katajiwa edisi kamar gelap

45

description

katajiwa Majalah Kebudayaan adalah salah satu produk Komunitas Langit Sastra. Edisi kamar gelap adalah edisi ketiga katajiwa.

Transcript of katajiwa edisi kamar gelap

Page 1: katajiwa edisi kamar gelap
Page 2: katajiwa edisi kamar gelap

katajiwa majalah kebudayaan

Semua manusia adalah kamar gelap bagi yang

lain. Tak ada yang bisa kita gapai dari seseorang kecuali orang tersebut membiarkan kita masuk ke sana. (dan) Satu satunya cara

untuk masuk ke kamar gelap itu hanyalah kata. Kata ibarat untai yang menjembatani satu kamar gelap yang satu dengan kamar

gelap yang lain. Ironis sebenarnya mengambil kamar gelap

sebagai metafor diri kita. Lihat saja dunia kita memang dunia yang begitu memuja cahaya.

Indra yang paling membuat kita menderita jika hilang fungsinya (paling tidak jika kita

berandai andai) adalah indra penglihatan. Lebih dari itu pengetahuan selalu dianggap

sebagai suluh, obor, cahaya, atau apapun itu yang berhubungan dengan penglihatan.

Jarang, bahkan boleh jadi tidak pernah hal ini disubstitusi dengan cecap, aroma, riak, suara,

dan sebagainya. Padahal jika kita mengulik sejarah peradaban kita betapa banyak

(maha)karya (yang masih membuat kita terpukau detik ini) lahir dari rahim kamar gelap, penjara, pembuangan, dan tempat

sunyi, suram, pengap lainnya. Teringat eksperimentasi Al Hazen (Ibn Haytam) tentang prototipe kamera, yang dikenal sebagai

pinhole camera, beliau membutuhkan kamar gelap untuk bisa menangkap citra. Menariknya

hal ini tetap berlaku untuk kamera di masa modern. Jangan-jangan, memang kita butuh

kamar gelap, untuk melihat citra, melihat ide, dan bahkan melontarkan cerita-cerita yang

abadi di masa nanti. Terakhir, kamar gelap, adalah metafor, untuk kita menggelapkan sekitar, kemudian biarkan buah pikir kita, kata-kata kita berpijar sedikit

demi sedikit membuatnya kembali bercaya, memancarkan jembatan sehingga manusia lain

tahu siapa kita, agar masa depan tahu apa yang terpikir di saat ini. Bolehlah sesekali

karya-karya dikerjakan dalam kamar gelap untuk mendapat sentimen yang kurang lebih

sama. Selamat menikmati kamar gelap masing

masing.

Koordinator Komunitas: Muhammad Akhyar Pemimpin Redaksi: Kawako Tami Sekretaris Redaksi: Novika Grasiaswaty Editor: Nila Rahma, Johan Rio Pamungkas,                Tery Marlita Marketing: Alfi Syahriyani Layout: Indra Eka Widya Jaya, Vita Wahyu Hidayat 

Tahun I, no.3/2011, Desember 2011  Catatan Kebudayaan~ 2 Kepada yang Tak Pernah Terbebaskan Kawako Tami Puisi~ Ahmad Fauzi 3 Jangan-Jangan Zakiyus Shadicky 5 Bolehkah Aku Masuk? 7 Malumu Pasang Indra Eka Widya Jaya 9 Perginya Marbotku 11 Penyair Tolol 12 Dialog dengan Krishna Kawako Tami 13 Topeng 14 Sajak yang Terperangkap Opini~ 15 Kegelapan, Cahaya, Tuhan Mulyadi Syamsuri Cerita Pendek~ 19 Kamida Fina Febriani 26 Cerita Sebelum Lelap Taufik Akbar 28 Kenangan Musim Gugur Alfi Syahriyani Kritik~ 35 The Shawshank Redemption: Mengapa Menjadi Film No 1*? Johan Rio Pamungkas Resensi~ 38 Don’t be Afraid of the Dark Rizqan Adhima Pantau~ 40 Karna dalam Empat Monolog Tery Marlita Her Voice~ 43 Prison of the Authors Alfi Syahriyani Bidik~ 44 Perjalanan Mengunduh Bayangan Muhammad Akhyar

 

katajiwa adalah salah satu produk dari  

Komunitas Langit Sastra 

email: [email protected]

twitter: @katajiwa

Page 3: katajiwa edisi kamar gelap

Catatan Kebudayaan~   

Katajiwa Tahun I, no.3/2011, Desember 2011 2 

  

Kepada yang Tak Pernah Terbebaskan  

Kawako Tami  

 

Kau ingin menjadi simbol dari kemerdekaan kata. Menjadi bentuk yang tak terjamah

aturan. Kau berontak pada setiap cengkraman. Padamu teriak akan tirani tiada berguna.

Bukan jiwaku di bawah terang dan terik memanggang, aku setan di malam kelam. Tukasmu

ditanya, mengapa kau diam.

Kau selalu bersembunyi dalam kamar sewaan. Teman-teman menjadi lantang

berdendang mars perjuangan. Kau menyeret langkahmu pada ruang-ruang sepi di balik

tembok ratapan. Adakah sekeping dua logamnya membasuh kerongkongan kering sang nenek

yang tak putus melantun Quran di pinggir gang? Adakah jika ditelannya perut itu akan

berhenti di balik ketiga keroncongannya?

Lalu malam itu kau duduk di trotoar ibukota. Kau tak pernah sebebas malam itu. Tak

ada siapapun hanya dirimu. Tak ada tembok, tak ada belenggu, tak ada aturan. Kau seperti

burung yang bertahun tak menghirup udara bebas. Bukankah selama ini kau terpenjara?

Terbungkam oleh takutmu, di rantai dogma dan aturan dalam otak dan jiwamu. Soekarno,

Tan Malaka, Sayyid Qutb, Ibnu Taimiyyah, Pram dan banyak raga yang terpenjara, tapi jiwa

mereka bebas merdeka.

Kau merasa bertemu dengan kebebasan malam itu. Mengambil helai kertas pada esok

harinya. Berusaha mengenang indahnya kebebasanmu malam itu. Lalu kau mengambil pena

dan berusaha menggores sebuah kata. Ah, kenapa terasa sulit? Mengapa tak satu kata yang

keluar? Apa yang sungguhnya ingin kau tulis? Puisikah? Prosa liris kah? Cerpen? Tanpa kau

sadar kau menulis tak tentu arah, hingga jatuh kembali kepada penjaramu. Baiklah kau

mungkin tak pernah bebas. Tapi dalam kamar tahanan baru ini akankah kau menjadi terang?

Atau kah Cuma setan yang tak pernah mencerahkan?

Depok 09, Desember 2011

Page 4: katajiwa edisi kamar gelap

Puisi~ 

Katajiwa Tahun I, no.3/2011, Desember 2011 3

 

 

 

Ahmad Fauzi 

Jangan-Jangan

segarang-garang matahari, ia tak pernah membangkang

Mangkir, atau terlambat pulang

Seburuk-buruk rembulan, ia tahu malu

Menutup borok, menggalang cahaya

Jangan-jangan kamar kita, adalah musuh kita selama ini

Jika memang kita sudah lelah menangis

sepulang dari dosa

lalu tidur membelakangi malam

mengecoh pagi, berbohong pada semua hidung, lalu

bersiap berangkat mengulang kebodohan yang sama

dari zaman alif sampai zaman ya

Page 5: katajiwa edisi kamar gelap

Puisi~ 

Katajiwa Tahun I, no.3/2011, Desember 2011 4

Dari jendela yang kita buka lebar-lebar

Di sana biasanya kita melihat keluar

Dari jendela yang kita buka lebar-lebar

Di sana tak biasa kita melihat ke dalam

Semua musuh adalah musuh

Namun semua teman belum pasti teman semua

Oleh karena kita, sudah lakukan semuanya

Jangan-jangan kamar kita,

Adalah musuh kita selama ini.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 6: katajiwa edisi kamar gelap

Puisi~ 

Katajiwa Tahun I, no.3/2011, Desember 2011 5

Zakiyus Shadicky 

Bolehkah Aku Masuk?

perlu untuk kau ketahui, saat ini sedang kucoba teguhkan hati sekuat-kuatnya...

sambil berharap bahwa suara ini tidak milik segelintir mereka saja...

mereka yang dianggap terlalu anak-anak dan tak nyata...lucu!

kueratkan perjuangan yang masih tersisa ini, demi meyakinkan diri ini bahwa masih ada

harapan di sudut hatimu...

ku ketuk...

tak ada jawaban...

ketika kusingkapkan kain itu, kulihat kau sedang tertidur...

aku ingin membangunkanmu; tapi tak tahu caranya...

aku rindu kau... aku rindu rangkulan tangan kita, yang setiap tinjunya kita arahkan menantang

langit, demi sekadar berkata, "ku 'kan meraihmu!"

aku ingin kita bermain bersama lagi. bercengkerama ikhlas dan tulus...

aku rindu kebanggaan yang terukir bersama, dan jiwa ini maupun jiwa mu juga menjadi

bangga karenanya...

tapi kini, kerinduan itu hanya nostalgia belaka. bahkan aku hampir lupa rasanya rindu itu...

maukah kau mengingatkanku?

aku takut sendiri...

aku takut semua ini sia-sia. apa yang telah kita lalui hanya simbol belaka!

hanya karena kita, kau, ataupun aku terlalu takut dikatakan orang lain berkhianat; karena kau

awalnya tak mau sendiri! dan ketika kau dapatkan sinarnya, kau tinggalkan aku...

kumohon dengarkanlah...hanya karena aku yang redup ini, ingin dapatkan sedikit gapaianmu.

agar ku tetap bersinar, menerangi mereka yang lain yang juga sedang menunggu...

cukup mereka, tak perlu aku...

Page 7: katajiwa edisi kamar gelap

Puisi~ 

Katajiwa Tahun I, no.3/2011, Desember 2011 6

dulu kita memang polos...

masih terlalu kecil untuk menatap dunia ini...

sekarang pun, kita masih polos, namun bernoda...

huft!

kucoba lagi, kembali ku ketuk...

pintumu bergeser...

ku masuk menghampirimu...

kau masih tertidur, menggigil rupanya...

kuselimuti tubuhmu agar kau tak kedinginan lagi...

owh, tidurmu semakin pulas...

ya sudah, tak apa...

aku tak mau menganggumu...

aku tunggu di luar saja...

semoga kau mimpi indah di dunia mu yang lain, dan kau terbangun dengan gembira...

sehingga kau mau bermain bersama lagi...

bersama mereka jua tentunya...

 

 

 

 

 

 

 

Page 8: katajiwa edisi kamar gelap

Puisi~ 

Katajiwa Tahun I, no.3/2011, Desember 2011 7

Zakiyus Shadicky 

Malumu Pasang

terdesak hari ini,

selepas bumi yang lembab karena air mata langit

sebagian ada yang mengumpat, dicercanya hujan karena ia jadi terkurung.

dia hina berkah Tuhan!

bila awan mulai putih kembali

menyingkirkan tabir hitam yang turut memutih

mereka cekikikan bersama pelangi.

katanya, pelangi malu menapak di bumi.

tapi sayang, tak kutemukan rasa semacam itu saat padamu kini.

tidak puas. tidak pula gembira.

ku lekatkan mataku pada lekukan mukamu.

kerut. letih. sendiri.

tak ada yang lain.

kau redup.

hilang cerita tentang hujan dan pelangi.

kau kenapa?

Page 9: katajiwa edisi kamar gelap

Puisi~ 

Katajiwa Tahun I, no.3/2011, Desember 2011 8

aku tahu kau petualang.

kau hantam beringin-beringin tinggi di hutan.

kau rakiti sungai lebar dan panjang.

kau kalahkan naga-naga ganas dalam pikiranmu.

tapi aku pun tahu, kekuatanmu lompati tubuhmu.

dalam takutmu, kau selimuti mereka dengan nyalanya matamu

kau gertak hantu penunggu hati pengikut hidupmu

padahal kau sembunyikan gemetar gentar hati kecilmu dalam larian.

kau lingkarkan lengan pada kaki di sudut. menunduk.

tak kuat hatimu melangkah, kau tak berdaya kini berpura-pura

kau merana kesakitan

lebih memilih tinggalkan dunia, malam bahkan siangnya.

yang terpendam dalam kungkungan palsumu

mulai menyemburat.

bukannya menyurut

bahkan kini aku tahu kau juga punya malu

 

 

 

 

Page 10: katajiwa edisi kamar gelap

Puisi~ 

Katajiwa Tahun I, no.3/2011, Desember 2011 9

 

Indra Eka Widya Jaya 

Perginya Marbotku

 

Kelam siang itu gelap beserta guntur

Mihrab sepi tanpa suara

hanya ada cahaya berbisik dari balik jendela

kelam makin kelam siang beranjak malam

Miharab masih sepi tanpa suara

jamaah tertunduk bisu

mata mata mereka tak jalang dan tak liar

Surauku sepi

lebih sepi dari malam

seolah hilang cahayanya

tiada lagi suara parau

membangunkan kami

tiada lagi senandung....

Page 11: katajiwa edisi kamar gelap

Puisi~ 

Katajiwa Tahun I, no.3/2011, Desember 2011 10

Ilaahi lastu lilfirdausi ahlan

walaa aqwaa 'alannaaril jahimi

fahabli taubatan waghfir dzunuubi

fa innaka ghoofiruddzambil 'adziimi

Dzunuubi mitslu a'daadir rimaali

fahablii taubatan yaa dzaljalaali

wa'umrii naaqishun fiikulliyaumi

wa dzambii zaa-idum kaifahtimali

Ilaahi 'abdukal 'aashi ataaka

muqirron biddzunuubi waqod da'aaka

fa in taghfir fa anta lidzaaka ahlun

wa in tadrud faman narjuu siwaaka

tiada yang ingatkan kami

akan azab neraka ketika kami dibelai seprei surga

yang tersisa

hanya wangi kamboja...

Page 12: katajiwa edisi kamar gelap

Puisi~ 

Katajiwa Tahun I, no.3/2011, Desember 2011 11

Indra Eka Widya Jaya 

Penyair Tolol

Aku tak punya dukungan

langkahku adalah sebuah kemalangan

aku bertindak atas desah nestapa yang ada

oh ya?

Aku hanya punya sebuah kepala

yang berisi dunia Utopia dalam kata-kata

kau tahu?

Langitnya terdiri dari jutaan kata

jalan-jalannya diperkeras dengan idealisme banci

rerumputannya terdiridari nyali-nyali kelas teri

dan lorong gelapnya diterangi dengan pikiran cabul

lalu apa?

Sepanjang siang aku hanya bersemadi di mihrab ku

yang kubiarkan remang dalam bilik-bilik bambu

karena cahaya terang hanya akan menggelapkan yang remang

karena kegelapan akan menerangi yang remang

dan?

Berlabuhlah pada seprei yang berbau sperma!

Page 13: katajiwa edisi kamar gelap

Puisi~ 

Katajiwa Tahun I, no.3/2011, Desember 2011 12

Indra Eka Widya Jaya 

Dialog dengan Krishna

Chandra tak pernah tertawa sebengis ini...

matamu kelam membiru dari tubuhmu yang tua dan renta itu!

apa kau lihat anak muda!

aku pernah menjadi Kali

aku pernah kalahkan Siwa dan Indra!

apa yang kau tatap!

kau hanya memliki seribu tangan!

tapi aku seribu nyali!

kelam hidup tak membuat persadaku kelam!

Bana!

Krishna!

kau adalah Dia

Gita Mu menyesakkan semesta

Kasih Mu menyejukkan para Gopi di Vrindavarna!

Kau punya Kisah dengan Radha!

tapi kau

bahkan kau menjegal Smara ku untuk cucumu!

Bana!

Bukan aku!

Tapi naiklah dulu ke Pundak Nand

Page 14: katajiwa edisi kamar gelap

Puisi~ 

Katajiwa Tahun I, no.3/2011, Desember 2011 13

 

 

 

 

Kawako Tami 

Topeng

 

aku di sudut. pada tegak lurusku adalah tiga badut pada tiga wajah. sorang bertopeng secerah

pasar dihari jumat lengkap dengan para tukang obat yang menjaja batu merah pekat tuk obat

kuat, agar pria tak tumbang sekali sebat, pun bagi yang teruk kan syahwat.

seorang lagi bermuka masam. kacau beliau dah rupa kapal karam. beserak segala rupa segala

macam. tak ubah mambang mnggganyang malam. siapa memandang pastikan enggan

berbalik badan. tiada suka bukan pun segan. hilang segala jika berjumpa tatapan.

lain si riang, lain si muka suram, lainpun si muka garang. menekuk kening berlipat tujuh.

mata menyalang semerah saga. mukanya padam nyaris menghitam. taring mencuat tak ubah

pedang. takut menyebar sekali pandang. tak dapat kutahan untuk menghindar, kututup wajah

mangalih pandang. kala reda, mataku terkesiap.tak ada siapa hanya cermin mentang.

Depok, 15/11/11

Page 15: katajiwa edisi kamar gelap

Puisi~ 

Katajiwa Tahun I, no.3/2011, Desember 2011 14

Kawako Tami 

Sajak yang Terperangkap

Di dunia misterius itu,

ada seekor sajak yang terperangkap

Ya.. terperangkap dalam ruang kosong

di lingkaran pokok-pokok hutan kehampaan

Pokok-pokok imajinasi meninggi,

hingga sayap-sayap katanya tak sanggup mengepak

menembus langit bebas

Sebuah rantai makna mengikat kakinya

Rantai yang hulunya menancap dalam

lapisan rambut yang hampir botak

menghujam sel-sel kelabu hingga batang otak

Seekor sajak mulai sekarat

di hutan kehampaan, terantai makna

di pokok imajinasi

Hingga kumengerti, kehampaan

itu adalah senyummu

Dunia itu adalah dirimu

Dan sajak itu adalah.. aku

Depok 27/10/11

Page 16: katajiwa edisi kamar gelap

Opini~ 

Katajiwa Tahun I, no.3/2011, Desember 2011 15

Kegelapan, Cahaya, Tuhan

Mulyadi Syamsuri 

 

Seorang teman pernah mengajukan pertanyaan dalam salah satu note-nya di

Facebook: mengapa Tuhan menciptakan kejahatan? Setelah bertanya, ia sendiri kemudian

yang memberikan jawaban kenapa kira-kira Tuhan yang dikenal Mahabaik itu menciptakan

kejahatan di dunia ini: agar orang-orang baik bisa mendapatkan pahala dari adanya

kejahatan –entah dengan bersabar menghadapi kejahatan, atau dengan mencegah terjadinya

kejahatan atau pula dengan membawa orang-orang yang melakukan kejahatan kembali ke

jalan kebaikan.

Terlepas dari jawaban yang teman penulis berikan, yang semoga dapat kita diskusikan

di lain kesempatan, penulis merasa tertarik untuk menelaah petanyaan yang dia ajukan.

Menurut penulis, pertanyaan ‘mengapa Tuhan menciptakan kejahatan?’ adalah pertanyaan

yang penting namun ia bukanlah pertanyaan tingkat dasar yang mendesak untuk dijawab

dengan segera. Ia merupakan pertanyaan tingkat lanjut –dalam artian; sebelum pertanyaan

‘mengapa Tuhan menciptakan kejahatan?’ ini muncul, seharusnya ada pertanyaan lain yang

mendahuluinya, yang sifatnya lebih mendasar (fondasional) dan lebih mendesak untuk

dijawab. Pertanyaan fondasional itu adalah: apakah iya Tuhan menciptakan kejahatan?

Pertanyaan fondasional ini penting untuk diajukan dan dijawab terlebih dahulu karena

bila ternyata Tuhan tidak menciptakan kejahatan, maka pertanyaan ‘mengapa Tuhan

menciptakan kejahatan?’ adalah pertanyaan yang nyata-nyatanya tidak urgent lagi untuk kita

pertanyakan. Sebaliknya, bila ternyata Tuhan memang menciptakan kejahatan, maka jawaban

pertanyaan ini akan menjadi landasan yang kuat bagi kita untuk mempertanyakan ‘mengapa

Tuhan menciptakan kejahatan?’. Jadi, demi sistematisasi pemikiran, pertanyaan ‘apakah

Tuhan menciptakan kejahatan?’ mutlak untuk dipertanyakan terlebih dahulu. Sehingga, bila

diurut-urutkan, urutan pertanyaan yang seharusnya teman penulis ajukan adalah seperti ini (1)

apakah Tuhan menciptakan kejahatan? Jika jawabannya adalah ‘iya’, baru kita beranjak

menuju pertanyaan (2) mengapa Tuhan menciptakan kejahatan? Jika jawabannya adalah

‘tidak’, kita masih bisa mengajukan pertanyaan (3) mengapa Tuhan hanya menciptakan

kebaikan dan tidak menciptakan kejahatan? atau menganggap masalah ini telah selesai.

Page 17: katajiwa edisi kamar gelap

Opini~ 

Katajiwa Tahun I, no.3/2011, Desember 2011 16

Kejahatan sebagai ‘predikat-kondisi’ bukan ‘objek-eksistensi’

Mari kita analogikan kejahatan sebagai ‘gelap’ atau ‘kegelapan’. Apakah sebenarnya

gelap itu? Jawaban pertama yang paling mudah dan paling sering kita dengar dari kalangan

awam adalah ‘gelap merupakan lawan dari terang’. Terang dan gelap adalah dua objek yang

eksis dan meniadakan satu sama lain; terang tidak mungkin gelap, begitu pula gelap tidak

mungkin terang. Adapun jawaban yang lain mengatakan bahwa ‘gelap adalah kondisi tanpa

cahaya’. Mendengar jawaban yang kedua ini, mungkin kita jadi teringat sebuah video

mengenai seorang siswa SD yang berani membantah pernyataan seorang guru yang menuduh

Tuhan sebagai pencipta kejahatan. Dalam argumentasinya, siswa SD tersebut mengajukan

tiga pertanyaan dan tiga bantahan kepada sang guru. Ketika sang guru memberikan jawaban

‘iya’ terhadap pertanyaan kedua ‘apakah gelap itu ada?’ siswa SD itu menjawab: Sir, dark is

not exists. In reality, dark is the absent of the light. Siswa SD tersebut adalah Albert Einstein [1].

Menurut Einstein, ‘gelap’ bukanlah suatu eksistensi seperti benda-benda, ia hanyalah

suatu kondisi ketika cahaya tidak ada. Jawaban Einstein tersebut sangat brilian dan mampu

mengagetkan orang-orang yang selama ini menganggap ‘gelap’ sebagai sebuah-objek-yang-

eksis. Meskipun demikian, pandangan mengenai ‘gelap sebagai kondisi tanpa cahaya’

sebenarnya telah lebih dulu diutarakan oleh pemikir asal Persia bernama Suhrawardi (1153-

1191) dengan konsep iluminasinya. Suhrawardi menyatakan bahwa cahaya memberikan

penyinaran kepada objek-objek di sekelilingnya. Dalam penyinaran ini, tiap objek

mendapatkan limpahan pancaran sinar yang berbeda-beda tergantung dari jarak objek

tersebut terhadap sumber cahaya. Gradasi cahaya (perbedaan intensitas pancaran cahaya) ini

akan menimbulkan perbedaan kualitas pada objek: ada objek yang sangat dekat dengan

sumber cahaya sehingga ia tampak sangat terang karena mendapatkan intensitas pancaran

yang sangat kuat, ada juga objek yang agak jauh dari sumber cahaya sehingga tampak ‘terang

biasa‘ karena mendapatkan intensitas pancaran cahaya yang sedang-sedang saja, semakin

jauh dari sumber cahaya, intensitas pancaran cahaya menjadi semakin lemah sehingga

menghasilkan objek-objek yang tampak redup, lalu terus menjauh hingga memasuki kondisi

gelap total dimana cahaya sama sekali tidak ada sehingga objek tidak terlihat [2].

Page 18: katajiwa edisi kamar gelap

Opini~ 

Katajiwa Tahun I, no.3/2011, Desember 2011 17

Konsep iluminasi Suhrawardi ini bisa jadi merupakan sebuah counter terhadap ajaran

Zoroaster yang sangat masyhur di Persia. Ajaran Zoroaster mengenal dua Tuhan:

Ahuramazda sebagai Tuhan kebaikan dan Ahriman sebagai Tuhan kejahatan, yang

disimbolkan sebagai ‘terang’ dan ‘gelap’ yang selalu berperang dalam dunia ini dan juga

dalam diri manusia. Kebaikan dan keburukan itu kedua-duanya eksis, ada, sebagai sebuah

pertentangan yang abadi dan tak terjembatani sehingga manusia harus memilih salah satu di

antara keduanya. Suhrawardi dengan konsep iluminasinya beranggapan lain: yang eksis, ada,

adalah cahaya, sedangkan terang atau gelap hanyalah predikat atau keterangan atau suatu

penjelas mengenai objek yang eksis. ‘Terang’ bukanlah objek, ia adalah kondisi dimana

suatu benda atau ruang dekat dengan cahaya. ‘Gelap’ juga bukan sebuah objek, ia adalah

kondisi dimana suatu benda atau ruang berada jauh dari cahaya. Jadi, yang ada adalah

cahaya. Ketika cahaya ada, terang muncul. Ketika cahaya tidak ada, kegelapan yang muncul.

Bila kita kembalikan analogi ‘gelap’ kepada ‘kejahatan’, adakah perbedaan ketika kita

mengatakan ‘kejahatan sebagai predikat-kondisi’ dengan ketika kita mengatakan ‘kejahatan

sebagai objek-yang-eksis’? Menurut penulis, ada. Bila kita mengatakan kejahatan sebagai

objek-yang-eksis, itu artinya kita mengakui bahwa Tuhan menciptakan objek (makhluk)

bernama kejahatan di samping kebaikan. Tapi bila kita mengatakan kejahatan sebagai

predikat-kondisi –dalam hal ini: kondisi ketika seseorang jauh dari Tuhan— maka Tuhan

tidak bisa dipersalahkan atas munculnya kejahatan di dunia ini karena Dia tidak menciptakan

kejahatan itu sama sekali. Kebaikan dan kejahatan adalah kondisi yang bisa manusia

manipulasi –berkat kehendak bebas yang telah Tuhan anugerahkan kepada mereka—seperti

halnya mereka bisa memanipulasi kondisi terang atau gelap. Bila seseorang menginginkan

kondisi terang, ia harus mendekati sumber cahaya –ia dapat keluar dari rumahnya, lalu berdiri

di sebuah tempat yang dilimpahi sinar cahaya. Bila seseorang menginginkan kondisi gelap, ia

harus menjauhi sumber cahaya –ia dapat masuk ke dalam rumahnya, lalu masuk ke dalam

ruang bawah tanah yang tersembunyi di bawah lantai rumahnya.

Terang muncul ketika ada cahaya dan gelap muncul ketika cahaya tidak ada. Dalam

masalah kebaikan dan kejahatan, ‘cahaya’ itu adalah Tuhan. Tidak ada makhluk Tuhan atau

objek bernama kebaikan dan kejahatan. Yang ada adalah manusia yang dekat dengan Tuhan

sehingga ia menjadi baik, dan manusia yang jauh dari Tuhan sehingga ia menjadi jahat.

Kebaikan adalah kondisi ketika manusia dengan kehendak bebasnya bergerak mendekati

Tuhan, sedangkan kejahatan adalah kondisi ketika manusia dengan kehendak bebasnya

bergerak menjauh dan melarikan diri dari Tuhan.

Page 19: katajiwa edisi kamar gelap

Opini~ 

Katajiwa Tahun I, no.3/2011, Desember 2011 18

Jadi, sekali lagi: apakah Tuhan menciptakan kejahatan? Menurut penulis, jawabannya

adalah tidak –akan tetapi manusia-lah yang menjerumuskan dirinya sendiri dalam kegelapan,

kejahatan dan kezaliman. Seandainya saja manusia yang terjebak dalam kondisi kejahatan

mau beranjak, niscaya ia akan terbebas dari kejahatan tersebut.

Berdiam diri dalam gelap? Lebih baik beranjak mencari cahaya! Terjebak dalam

kejahatan? Lebih baik beranjak mencari Tuhan! (*)

Catatan:

[1] dapat dilihat di youtube.com dengan kata kunci “Does God Exist? Albert Einstein”

[2] apakah kondisi kegelapan total, yang sama sekali tidak dimasuki unsur cahaya sedikitpun itu ada? Kita perlu merujuk kepada penelitian di bidang Fisika.

[3] masih terdapat banyak kekurangan dari tulisan ini.

Page 20: katajiwa edisi kamar gelap

Cerita Pendek~ 

Katajiwa Tahun I, no.3/2011, Desember 2011 19

Fina Febriani 

Kamida

Seandainya bisa memilih, ingin rasanya aku memilih untuk tidak dilahirkan di zaman ini...

Suatu hari di Januari 1944, pukul 07.00 pagi

Aku terbangun dan mendapati diriku terbaring di sebuah gubuk bambu. Gelap. Butuh

waktu lama bagiku untuk mengenali keadaan.

Di mana aku ?

Belum sempat kutemukan jawaban, sebuah suara muncul dari balik pintu,

“Kau jugun ianfu-kah?”

Serta merta dadaku berdegup kencang. Kurapatkan tubuh ke dinding. Kuremas bantal

lusuh di samping.

Siapa itu?

“Aku bukan Jepang. Tenanglah.”

Suara itu kian nyata dengan munculnya sang pemilik, seorang lelaki tua berwajah

bijaksana. Disusul seorang wanita sebayanya yang tersenyum menenangkan. Keduanya

mendekat dan duduk di samping dipan.

“Makanlah, Nak.” Wanita itu menyodorkan dua potong ubi.

Kugerakkan tangan ke arah piring. Sakit. Kuperhatikan lenganku. Memar di setiap

sisinya.

“Bapak akan mencari dedaunan untuk obati lukamu. Makanlah dulu.” Kata sang

Bapak sambil berdiri.

***

Page 21: katajiwa edisi kamar gelap

Cerita Pendek~ 

Katajiwa Tahun I, no.3/2011, Desember 2011 20

10 hari sebelumnya, pukul 20.00

Empat tangan mendorongku dengan kasar. Aku tersungkur dengan siku sebagai

tumpuan. Sakit luar biasa. Belum sempat aku berdiri,

“Blammm!” pintu di belakangku tertutup.

“Klik.” Terkunci.

Setelah beberapa saat, baru kusadari aku berada dalam sebuah ruangan beratap

dengan tembok tinggi di keempat sisinya. Di dalamnya hanya ada sebuah tempat tidur dan...

Ya Tuhan! Aku memekik dalam hati.

Di hadapanku rupanya sudah berdiri sosok tinggi berseragam bermata sipit.

Senyumnya tersungging. Matanya hanya mengisyaratkan satu hal: ia siap menerkamku

dengan nafsu buasnya.

Refleks, aku berdiri dan melangkah mundur. Kutatap sekeliling, mencari peluang

untuk meloloskan diri. Tapi jendela berjeruji dan pintu yang terkunci memberiku jawaban

jelas atas semua itu.

Sulit. Tidak, tepatnya tidak mungkin.

Sosok itu seolah tidak peduli betapa takutnya aku. Ia tetap melangkah maju. Satu per

satu pakaiannya ia buka di hadapanku.

Aku terus mundur. Aku tahu dengan cepat aku akan tersusul. Kucoba berteriak, tapi

suaraku hilang ditelan angin.

“Tolong….” aku merintih, bahkan jangkrik pun tak akan mendengar.

Pria itu mendekat. Semakin dekat. Nafasnya terdengar jelas olehku. Aku

memejamkan mata. Menangis. Aku tak mampu mengelak dari derita yang menyiksa itu.

***

Page 22: katajiwa edisi kamar gelap

Cerita Pendek~ 

Katajiwa Tahun I, no.3/2011, Desember 2011 21

Enam jam kemudian

Aku terbangun dengan menahan rasa sakit yang sangat. Tidak hanya pada tubuhku,

tapi juga hatiku. Aku sadar sepenuhnya apa yang telah terjadi. Juga sadar sepenuhnya tempat

macam apa ini.

Di tengah aliran air mata yang menderas, terngiang lagi percakapan hari itu,

“Pokoknya, Mbak Yu, di sana dia pasti akan jadi pemain opera yang sukses.” Pakde

Kusno, tetangga kami, masih berusaha meyakinkan Ibu.

“Tapi, …”

“Yang penting sekarang dia berangkat dulu. Biar saya yang antar.”

Ibu menatapku dari jauh. Aku mengangguk.

‘Jika ini untuk hidup Ibu yang lebih baik, biarlah.’ batinku.

Wanita terkasih itu masih diam. Hatinya tak mengiyakan, tapi bibirnya tak melarang.

Diam terlalu identik dengan kata sepakat. Berangkatlah aku bersama Pakde Kusno

menuju kota yang katanya bernama Jakarta. Tanpa prasangka.

Belum terhapus juga dari ingatanku awal mula petaka itu,

Setelah tiga hari, tempat tujuan tampak juga di hadapan. Pakde Kusno hanya

mengantarku sampai pelataran. Aku disambut empat lelaki.

“Siapa nama kamu?” tanya salah satu dari mereka dengan logat asing yang kental.

“Karsiah.” Jawabku.

“Mulai sekarang, nama kamu Kamida. Paham?”

Tanpa menunggu jawabanku, dua orang lainnya mencengkeram kedua lenganku.

Menyeretku paksa ke hadapan sebuah pintu. Masih sempat terbaca angka yang tertulis di

depannya: “Kamar No. 11.”

Kini, di kamar inilah aku dipaksa menghabiskan waktu. Mungkin, seumur hidupku.

Ibu. Kembali aku menunduk. Tergugu.

***

Page 23: katajiwa edisi kamar gelap

Cerita Pendek~ 

Katajiwa Tahun I, no.3/2011, Desember 2011 22

“Tok tok tok.” Sebuah ketukan mendarat di pintu kamarku.

“Kamida-san.”

Ini hari kelima. Kebencianku akan nama itu semakin bertambah saja. Kubuka pintu.

Seorang pelayan membawa pesan.

“Anda diminta bersiap. Lima menit lagi akan ada yang datang.”

Aku menatapnya tanpa senyum sedikitpun. Ingin sekali kuludahi wajahnya, sebesar

keinginanku membunuh para majikannya.

Kututup kembali pintu tanpa kata.

Aku tahu, aku bukan yang pertama. Ratusan pendahuluku telah mengalami

penderitaan sama.

“Tok tok tok.”

Haruskah aku berakhir seperti mereka? Mati perlahan di lumpur kenistaan tanpa

sedikit pun perlawanan?

“Tok tok tok.” Masih tak kugubris.

“Dug dug dug!”

Jika aku bertahan, pintu ini akan terbuka dengan paksa.

Aku menyerah. Bangkit. Membuka pintu. Sosok yang dimaksud sang pelayan muncul

di hadapan.

Tuhan. Aku lelah lahir dan batin. Tak mengerti apa yang harus kuperbuat.

Aku tahu, selalu ada pilihan untuk menolak dan berontak. Selalu ada lebam dan luka

yang tersisa setiap kali aku memutuskan untuk memilihnya

Kubiarkan ia masuk. Semua terasa semakin gelap.

***

Page 24: katajiwa edisi kamar gelap

Cerita Pendek~ 

Katajiwa Tahun I, no.3/2011, Desember 2011 23

“Tolong. Tolong.”

Aku terbangun dari tidurku di tengah malam. Ini malam kedelapan.

Suara siapa itu? Hantukah?

“Tolong.”

Terdengar lagi. Ini suara manusia. Ia datang dari kamar sebelah. Kamar nomor

sepuluh.

Aku bergegas keluar. Melihat keadaan. Kamar itu tak terkunci. Dengan mudah aku

menerobos masuk.

Seorang wanita jatuh terduduk. Kukenali ia sebagai Mbak Yu Parmi alias Fumiko,

penghuni senior di tempat ini. Ia telah berada di sini jauh sebelum aku datang. Usianya

sekitar 45 tahun.

“Ada apa dengan Anda?” tanyaku.

“Darah. Darah.”

Ya Tuhan! Baru kusadari ia duduk di tengah genangan darah. Kudekati ia. Cairan itu

keluar dari kemaluannya.

Kubantu ia berbaring di tempat tidur. Kuberi segelas air minum.

“Biar kupanggilkan dokter.” Kataku setelah ia lebih tenang.

“Jangan.” cegahnya.

“Mengapa?”

“Dik, aku tidak akan tertolong. Sudah lama penyakit terkutuk ini aku derita. Lebih

baik aku pergi agar tak lagi merana.”

Aku terdiam.

“Dengarkan aku. Pergilah dari sini. Secepatnya. Sejauh-jauhnya.”

Page 25: katajiwa edisi kamar gelap

Cerita Pendek~ 

Katajiwa Tahun I, no.3/2011, Desember 2011 24

“Tapi, ….”

“Jika tidak, kau hanya punya dua pilihan: mati dengan kondisi seperti ini atau

terbunuh dengan cara yang lebih buruk lagi. Pergilah….”

Nafas terakhirnya terhembus. Aku terisak.

***

Suatu hari di Januari 2005, pukul 12.00

“Menurut Bapak dan Ibu, malam itu, saya mengetuk pintu gubuk mereka dan muncul

dalam kondisi terluka.”

Aku terdiam. Mengambil jeda. Berlanjut,

“Bapak mengatakan, sebelum jatuh tak sadarkan diri, saya sempat menyebutkan nama

sebuah tempat. Dari sanalah Bapak mulai menduga bahwa saya seorang jugun ianfu.”

“Bagaimana Anda bisa mencapai gubuk itu?”

Aku mengangkat bahu dan menggeleng.

“Saya tetap tidak bisa mengingat apa yang terjadi setelah kematian Mbak Yu Parmi.

Saya hanya ingat bahwa saya terus berlari, berlari, dan berlari. Saya bahkan lupa bagaimana

tembok tinggi berkawat duri itu bisa saya lewati. Saya heran bagaimana barisan anjing

penjaga itu bisa saya kelabui. Saya tak mengerti kekuatan apa yang membuat saya, hanya

dalam semalam, bisa mencapai gubuk itu, dua puluh lima kilometer dari rumah bordil milik

Jepang tempatku dieksploitasi. Yang saya tahu, saya hanya tidak ingin berakhir seperti para

pendahulu saya. Hanya itu.” paparku sambil tersenyum.

Wartawan wanita di hadapanku terpana.

Page 26: katajiwa edisi kamar gelap

Cerita Pendek~ 

Katajiwa Tahun I, no.3/2011, Desember 2011 25

Catatan:

Jugun ianfu (comfort woman) adalah sebutan untuk para perempuan yang dipaksa menjadi

budak seks oleh militer Jepang. Pada masa penjajahan, Jepang membuat rumah-rumah bordil dan

merampas gadis-gadis remaja untuk dijadikan wanita penghibur bagi tentara Jepang. Konon, mereka

meyakini, dengan disediakannya wanita penghibur tersebut, tentara Jepang akan semakin termotivasi

dalam bekerja.

Jugun ianfu di Indonesia mencapai angka sekitar 1500 jiwa. Sebagian besar dari mereka

menderita penyakit kelamin menular karena dipaksa melayani ratusan tentara Jepang selama

bertahun-tahun. Jika menolak melayani, tentara-tentara itu tidak segan melakukan kekerasan fisik.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 27: katajiwa edisi kamar gelap

Cerita Pendek~ 

Katajiwa Tahun I, no.3/2011, Desember 2011 26

Taufik Akbar 

Cerita Sebelum Lelap

“Karena gelap melindungi diri kita dari kelelahan…”

(Eross Chandra: Jangan Takut Gelap)

Kudampingi tidurmu malam ini, sekali lagi. Seperti malam-malam sebelumnya, ketika kau terlelap, menguapkan kelelahan sepenuh waktu menghadapi dunia yang baru dan semakin mengherankan. Setelah itu aku mengusap-usap, mengembus-hembuskan keningmu yang menghangat lalu berjingkat pelan-pelan memadamkan lampu. Hingga tiada cahaya lagi.

Kau selalu merengek, merayu dengan cara yang biasa kau ucapkan. Setengah dibuat-buat memang, “Jangan matikan lampu, aku takut gelap…” Ujarmu memandangku manis. Tapi kau akhirnya akan menyerah jua dan lupa karena rasa kantuk telah menyergap.

Kau takut gelap bukan karena hehantuankan ? Iya, sejenis badut yang sering tampil di kotak penerang malam ataupun di panggung tirai-tirai raksasa.

Hantu oh hantu. Mengapa kau harus takut padanya. Percaya padaku, ia tak pernah ada dalam wujud nyata.

Hantu merupakan wujud ketakutan yang tertanam dalam alam bawah sadar insan yang bernyawa karena sejarah peradaban bangsanya.

Bangsa Eropa sering menggambarkan hantunya dengan simbol-simbol kekuasaan karena sejarah Eropa, sejarah yang dipenuhi dengan drama kekuasaan dan penderitaan rakyat.

Layaknya vampir dengan jubah dan kebiasaan menghisap darah. Ah, jubah dan menghisap darah merupakan ejawantah ketakutan akan penguasa yang senang memeras rakyatnya.

Di tanah kita ini, hehantuan lebih mengenaskan, kuntilanak. Kau tahukan, sejenis wanita yang berjubah putih berkeliaran malam-malam senang tertawa tak jelas arah.

Bah, ini tentunya ejawantah ketakutan kaum pria yang tak senang dengan kaum hawa yang bebas mengekspresikan dirinya di dunia ini tanpa kekangan yang melanggar rambu rasionalitas.

Page 28: katajiwa edisi kamar gelap

Cerita Pendek~ 

Katajiwa Tahun I, no.3/2011, Desember 2011 27

Lain lagi dengan pocong, badan terikat dan hanya melompat-lombat menggunakan pembungkus tubuh yang itu-itu saja. Ini cerita tentang gambaran ketakutan akan kemiskinan yang menjerat tubuh, tak bisa bergerak utuh, menggunakan pakaian yang tak berganti setiap hari.

Seru bukan ? Nah, jadi kenapa kau harus takut. Kalaupun nanti ada orang yang ingin menakut-nakutimu dengan cerita bualan. Katakan saja kuntilanak dan pocong perlu dikasihani. Mengapa kuntilanak harus tertawa sendirian dan pocong mengapa harus terus melompat? Mereka pasti kelelahan tentunya.

Seharusnya ini bisa jadi bahan lelucuan kita berdua. Sttt, tapi ini untuk kita berdua saja ya. Janji?

Bayangkan, mengapa kuntilanak terus tertawa dan pocong senantiasa melompat-lompat? Oh begini, kutilanak terus tertawa karena geli melihat pocong terus melompat-lompat saja kerjanya. Pocong terus melompat-lompat bukan karena tak bisa membuka ikatan tubuhnya namun ia akan telanjang jika membuka ikatan tubuhnya.

Jika ia telanjang tentulah akan makin meledak tawa kuntilanak. “Sudah hantu telanjang pula..” mungkin itu olok-olokan yang akan kuntilanak katakan. Ha ha ha

Sudah tak ada yang perlu ditakutkan bukan? Ehm, kau sudah kelelahan tampaknya. Kini, sudah saatnya kau untuk mengalun mimpi. Besok malam kita lanjutkan lagi hikayat sebelum lelap ini.

****

Kudampingi tidurmu malam ini, sekali lagi. Seperti malam-malam sebelumnya. Ketika kau terlelap, menguapkan kelelahan sepenuh waktu menghadapi dunia yang baru dan semakin mengherankan. Setelah itu aku mengusap-usap, mengembus-hembuskan keningmu yang menghangat lalu berjingkat pelan-pelan memadamkan lampu. Hingga tiada cahaya lagi.

Kudampingi tidurmu malam ini, sekali lagi. Seperti malam-malam sebelumnya. Hingga subuh menjelang, Kau akan diam-diam masuk ke kamarku, berjingkrakan di atas tubuhku. Akupun akan terkaget-kaget lalu menatapmu heran. Sayangnya kau hanya akan berceloteh seringan kapas dan sebening embun pagi,

“Ayah, setelah sholat subuh kita akan main kemana hari ini ?”

 

 

 

Page 29: katajiwa edisi kamar gelap

Cerita Pendek~ 

Katajiwa Tahun I, no.3/2011, Desember 2011 28

Alfi Syahriyani 

Kenangan Musim Gugur

November 23, 2011

Aku mematut diri di depan cermin. Alih-alih mengenakan kaus dan jeans, hari ini aku

mulai mengenakan sweater yang ternyata tak cukup ampuh untuk menghangatkan tubuhku

yang terbiasa dengan iklim tropis. Musim gugur akhirnya datang, setelah beberapa hari yang

lalu aku masih bisa menikmati cuaca cerah dan hangat, kini bahkan matahari hanya

mengintip sedikit dengan langit lebih kelabu. Kugesekkan kedua telapak tanganku untuk

menghalau hawa dingin. Pemanas ruangan baru saja dinyalakan pagi ini hingga sensasi

breeze masih terasa dominan di dalam rumah. Lalu kulirik jendela kamar. Di luar tampak

seorang perempuan sedang menyalakan mobil.

“Andin…! hurry up!” panggilan seperti biasanya. Cepat-cepat aku meninggalkan

kamar, berlari menuju teras rumah. Sapaan “how was your sleep?” tidak pernah terlewat

setiap pagi.

Perempuan itu kupanggil dengan sebutan ‘mom’ , tapi sesungguhnya ia bukan ibu

kandungku. Sudah empat bulan lebih aku ‘menumpang hidup’ bersamanya sebagai pelajar

asing. Terkadang masih canggung untuk memulai percakapan. Apalagi bukan dalam bahasa

ibu. Tetapi tetap saja menurutku mom terlalu baik untuk didiamkan. Terlalu ramah untuk

dicueki. Terlalu, well…?

“Terlalu cepatkah kita berangkat?” tanyanya sambil menoleh ke arahku yang sedang

melompat naik dan duduk di sebelahnya.

Aku setengah tersenyum, entah harus membalas dengan cara apa lagi. Sudah ke-

sekian kalinya ia mengatakan hal serupa, walau dengan struktur kalimat yang berbeda. Isinya

sama, segalanya harus tepat waktu. Mom memang selalu seperti itu setiap kali berangkat.

Selalu paling pagi, selalu in time, selalu membuat aku, sebagai orang Indonesia yang dikenal

santai, kepayahan.

Page 30: katajiwa edisi kamar gelap

Cerita Pendek~ 

Katajiwa Tahun I, no.3/2011, Desember 2011 29

Mom kembali sekilas melirik ke arahku saat mobil sudah mulai meluncur menuju

main street, “Nanti aku akan persiapkan mantel untukmu. Yang kaubawa dari Indonesia itu

tidak cukup tebal,” lanjut mom sambil memainkan setir mobil dengan lihai tanpa harus

menunggu jawabanku atas pertanyaan pertamanya tadi.

Ah, ini lagi… Mom adalah orang yang sangat peka, ia sangat peduli dengan

kebutuhan-kebutuhanku bahkan ketika aku sendiri pun tidak begitu sadar. Kurasa setiap

musimnya mom akan membelikanku pakaian yang berbeda-beda. Saat musim gugur saja aku

sudah merasa sedikit menggigil, tak dapat kubayangkan bagaimana lebih menggigilnya aku

nanti ketika musim dingin.

Aku sebenarnya tidak tahu akan dibawa mom ke mana. Bulan lalu, ia berbaik hati

mengantarku ke sebuah komunitas Muslim di Minneapolis. Di sana banyak terdapat imigran

Somalia yang beragama muslim. Aku surprised dengan dinamika muslim di sana. Walaupun

banyak terdapat perbedaan, kurasa mereka orang yang mau terbuka. Pernah juga suatu kali

aku diajak mom ke sebuah gereja. Ia memintaku berdiri saat acara kebaktian selesai, untuk

diperkenalkan kepada hadirin lain. Awalnya aku sempat takut, tapi ternyata itu hanya pikiran

negatifku saja. Kurasa dunia ini begitu sempit untuk dilihat hanya dari satu sudut pandang.

Sebenarnya, ini juga momen yang aneh. Besok hari Thanksgiving, mom bilang

keluarga besar akan datang berkunjung ke rumahnya. Ia memang orang yang dituakan.

Seharusnya hari ini mom mempersiapkan acara tersebut di rumah. Mom memang telah

memasak thanksgiving turkey[2] semalam, tapi bukan dalam porsi besar.

“Look!” mom menoleh ke arah kiri. Ada yang berbeda di sepanjang jalan,

“yellowish…” bisik mom, ”Beautiful, isn’t it?"

Aku takjub melihat boulevard [1] yang kulewati. Pohon maple berguguran sepanjang

jalan. Warna daunnya hijau dan jingga. Perpaduan warna yang indah ini seringkali disebut

dengan yellowish. Bentuk daun maple seperti jari, lebih tepatnya seperti daun pohon pepaya,

tapi berukuran kecil. Yellowish selalu ditunggu-tunggu setiap musim gugur tiba, terutama saat

berjalan-jalan di taman kota. Indah sekali. Kalau saja aku bisa turun dan berjalan-jalan di

taman itu.

Page 31: katajiwa edisi kamar gelap

Cerita Pendek~ 

Katajiwa Tahun I, no.3/2011, Desember 2011 30

Aku sempat menarik ujung kemeja mom, seolah-olah bilang kepadanya, Mom,

tunggu, aku ingin main ke boulevard, biarkan aku menikmati ini dulu!

Seperti bisa membaca pikiranku, mom tersenyum lalu berkata, “Setelah dari sini kita

akan ke North Shore of Lake Superior, tempat yang bagus untuk menikmati musim gugur,

kau akan suka dan kita akan mengambil beberapa gambar untuk bisa kau bawa pulang,

kenang-kenangan setelah pulang ke Indonesia nanti...”

Aku mengangguk antusias, “but—where we are we going now?” Akhirnya

kutanyakan juga hal tersebut pada mom, meski perlu beberapa detik mengganti subtitle alami

dalam otakku. Walau sudah berbulan-bulan aku tinggal dan membaur bersama native

Americans, aku tetap saja harus mendengar ekstra keras untuk mengimbangi gaya bicara

mereka yang cepat. Kadang juga aku harus berkerut-kerut menautkan kedua alis dan

mendekatkan telingaku agar bisa lebih mengerti apa yang dikatakan. Untung saja mom cukup

paham dengan kondisiku ini. Ia tak segan mengulang berkali-kali jika menangkap ekspresiku

yang kebingungan.

“Kita akan ke sebuah tempat yang juga menyimpan kenangan di masa lalu,”

pandangan mom lurus ke depan. Tangannya menarik gigi mobil lagi.

“What? A memory?”

“You’ll see it later darling…” Mom tersenyum penuh rahasia, pandangannya sekilas

nampak menghangat, aku tak berani menebak mengapa. Bagus, ia berhasil membuatku

penasaran.

Mom orang yang senang bercerita. Tapi tidak untuk kehidupan pribadinya, kurasa.

Pernah suatu kali, Josh, anak yang tinggal bersamanya bercakap-cakap denganku. Ia bilang

kalau dirinya bukan anak kandung mom. Josh bahkan bilang ia adalah cucu mom, hasil

hubungan gelap antara anak mom dan seorang pria “yang tidak bertanggung jawab.” O well,

baiklah, ini istilah buat anak Indonesia sepertiku. Tapi untuk orang Amerika, aku tidak tahu.

“You’re such a liar! Nggak mungkin kalau kamu bukan anak mom,” kataku suatu hari

kepada Josh.

Page 32: katajiwa edisi kamar gelap

Cerita Pendek~ 

Katajiwa Tahun I, no.3/2011, Desember 2011 31

“Cek aja. Nih, aku telepon mom yah,” katanya, lalu ia tekan tombol loud speaker. Ia

pura-pura bertanya tentang kabar ibu kandungnya.

Kudengar dengan jelas jawaban mom tentang kabar Ashley, ibu kandung Josh. Ashley

pernah kutemui saat kali pertama aku sampai di rumah mom. Ia tipikal orang yang tak banyak

bicara. Mom bilang Ashley bekerja di Ohio, hanya pulang pada momen tertentu.

“Nah, Andin, kamu percaya kan sekarang aku anak Ashley, bukan mom?” Josh

tertawa-tawa di depanku.

Sementara HP lupa ia matikan. Dari seberang kudengar mom marah-marah.

“Andin’s there? Hey, what did you do, Josh?!! She’s Asian, Josh! Wait until I arrive

back home! Josh! Josh, I will….” Lalu Josh mematikan telepon genggamnya karena panik.

Tidak perlu kuceritakan kejadian selanjutnya seperti apa. Sedang aku? Ya ya ya,

baiklah! Aku sangat terkejut dengan kenyataan itu. Dasar anak tidak tahu diri. Bangga sekali

menjadi anak hasil hubungan gelap. Baiklah, ini masih istilah orang Indonesia. Diam-diam

aku bercerita kepada mom suatu hari dan ujung-ujungnya Josh dimarahi habis-habisan. Butuh

berminggu-minggu untuk meluruhkan dendam Josh padaku. Lalu kami baikan lagi. Aneh

bukan?

Kalau saja waktu itu aku tidak mengobrol dengan Josh, barangkali mom tidak akan

menceritakan kehidupan Ashley kepadaku. Mom bilang Ashley mengandung Josh saat masih

duduk di bangku SMP. Ia sempat terkejut mengetahui kenyataan itu. Namun sampai

sekarang, Ashley enggan bercerita siapa ayah Josh. Ia memilih diam, lalu meneruskan

kehidupannya secara normal.

Sejak mendengar cerita itu, aku seringkali bergidik ketika melihat beberapa kawanku

berjalan di koridor sekolah dengan perut yang terisi. Di sekolah-sekolah Amerika

pemandangan demikian sepertinya sudah lazim. Tapi tentu tak semua orang seperti itu, ada

juga yang merasa bahwa keperawanan adalah hal yang sangat penting, dan institusi

pernikahan adalah hal yang sangat sakral.

Page 33: katajiwa edisi kamar gelap

Cerita Pendek~ 

Katajiwa Tahun I, no.3/2011, Desember 2011 32

“Ok, here we are…” mom kembali menarik gigi mobil. Aku tersentak, tak terasa

sudah satu jam perjalanan aku sibuk dengan pikiranku sendiri. Hanya sedikit percakapan

yang kami lakukan sepanjang perjalanan tadi. Mom memarkirkan mobilnya di halaman

kompleks perumahan khusus dengan area yang luas dan lebar, tempat itu nampaknya

nyaman, hanya ada sebuah papan penanda yang bertuliskan ‘Sterling House Brookdale

Senior Living.’

Kami kemudian masuk ke dalam bangunan bernuansa putih bersih itu. Di sana banyak

terdapat kamar. Ada sebuah ruangan untuk menonton televisi bersama-sama. Dan juga

beberapa ruangan lainnya, dari suatu ruangan suara denting piano terdengar, beberapa lansia

nampak berkumpul dan bercakap-cakap dengan pelan. Kondisinya tenang, bersih, rapi,

tapi…..menyedihkan atau malah suram?

“Mrs. Pearsly…!” seorang perempuan berseragam hijau lumut dengan logo Sterling

House menyambut kami dengan senyuman ramah, ia nampak sebaya mom dengan rambut

cokelat bergelombang yang diikat praktis ke belakang,

“Oh, hi Laura…”

Ia menyapa mom dengan akrab, “so, what do you bring for your husband this time?”

Deg! Jantungku seketika berdetak. Semoga saja telingaku betul-betul telinga orang

Indonesia, yang masih sering salah dengar bahasa native. Husband?

“A Turkey,” mom memamerkan kotak Tupperware-nya,

“As usual huh?” Laura mengintip kotak yang dibawa mom,

“Hmm, smells good! Alright Mrs. Pearsly, this way…”

Aku mengikuti mom dan staf berseragam tersebut melintasi lorong menuju sebuah

ruangan yang lebih mirip seperti kamar perawatan di rumah sakit. Seorang lelaki berusia 60-

an nampak sedang duduk di sebuah sofa menghadap ke jendela besar yang memiliki akses

pemandangan langsung ke taman. Lelaki tua itu nampak pucat dengan rambut abu-abu tipis.

Kemeja yang ia kenakan rapi dan bersih tetapi nampak kebesaran menutupi tubuh tipisnya

yang rapuh.

Page 34: katajiwa edisi kamar gelap

Cerita Pendek~ 

Katajiwa Tahun I, no.3/2011, Desember 2011 33

Mom menghampiri lelaki itu, Ia menatap mom dengan ekspresinya yang datar.

Sekalipun kepalanya dielus-elus, tak ada gerakan yang berarti. Diam seribu bahasa. Pelan-

pelan mom menyuapi lelaki tua itu dengan masakannya sendiri. Awalnya ia tak mau, tapi

Laura membantu mom dengan sabar. Samar-samar kudengar mereka mengobrol tapi tidak

begitu kupedulikan karena otakku sedang sibuk berpikir tentang banyak hal. Tentang

status mom yang single parent, tentang Josh, tentang Ashley, tentang banyak hal.

Setelah tiga puluh menit menghabiskan waktu bersama lelaki yang ternyata suami

mom itu, kami keluar gedung dengan saling terdiam. Aku bingung bagaimana memulai

percakapan. Mom juga sepertinya sibuk dengan pikirannya sendiri hingga mobil melaju

menuju North Shore of Lake Superior seperti yang mom janjikan.

***

“Kami dulu bertemu di sini” tiba-tiba saja mom bersuara saat kami berjalan berdua,

menikmati pemandangan musim gugur di North Shore of Lake Superior,

“Saat musim panas tiba, dad sering jogging pagi-pagi di daerah ini. Ia pernah menjadi

seorang atlet marathon sambil terus studi menyelesaikan PhD-nya. Jika musim gugur

tiba, dad sering menyendiri di taman ini, menulis puisi tentang maple”

“Lalu?” tanyaku, dengan wajah tenang, walau dalam hati aku siap melompat.

“Lima tahun yang lalu ia terserang Alzheimer[3]. Kupikir tubuh dia sehat walaupun

sudah tua, tapi entah mengapa penyakit itu tiba-tiba saja terjadi, sejak saat itu aku selalu

menengoknya satu minggu sekali di akhir pekan”

“Menengok rutin? Tetapi ia kan diam saja, Mom. Buat apa?”

Mom tersenyum, “Kalau saja di setiap musim gugur Maple tidak seindah ini",

jawabnya. Tiba-tiba saja aku menyesal mengatakan pertanyaan bodoh itu.

Sebenarnya dalam hati yang terdalam aku ingin sekali bilang, “memang ada apa

dengan pohon maple sih?” Tapi aku tidak ingin memperpanjang perkara.

Kubiarkan mom berjalan sendiri, sedikit mendahului langkahku. Yellowish kali ini bisa

sedikit kunikmati dengan lebih santai.

Page 35: katajiwa edisi kamar gelap

Cerita Pendek~ 

Katajiwa Tahun I, no.3/2011, Desember 2011 34

Lagi-lagi seperti bisa membaca pikiranku mom berujar, “beberapa orang menganggap

pohon maple sebagai simbol janji. Tapi entah mengapa, ia tampak lebih cantik saat daunnya

berguguran. Walaupun Dad sudah sama sekali tak bisa ingat apa-apa, kenangan saat kami

bersama akan selalu ada selama pohon maple tumbuh dan berwarna indah di tiap musim

gugur...”

Aku mengerutkan kening, berpikir lama sambil menginjak satu demi satu daun yang

bertebaran di jalanan.

“So, Andin, let me take your picture here…” Suara ceria mom memecah keheningan

sementara kami, kulihat mom tersenyum lebar seraya bersiap mengambil fotoku dengan

kamera. Cuaca terasa semakin dingin, namun entah mengapa ada sesuatu lain yang mendadak

menghangat—

-inspired by true story and a small research done-

Keterangan:

[1]Taman kota

[2]Makanan khas perayaan Thanksgiving di Amerika, berupa sajian kalkun panggang untuk makan bersama keluarga besar. Perayaan Thanksgiving di Amerika disebut juga dengan ‘Hari Kalkun’. Biasanya semua orang berkumpul bersama keluarga besar. Awalnya perayaan Thanksgiving adalah bentuk syukur atas panen yang berhasil, namun sejak 1983 diperingati sebagai hari raya nasional.

[3]Sebuah penyakit yang didasarkan pada penurunan kemampuan mengingat yang progresif. Serangan penyakit Alzheimer ditandai dengan kehilangan daya pikir secara bertahap dan akhirnya dapat menjadi cacat mental total.

Page 36: katajiwa edisi kamar gelap

Kritik~ 

Katajiwa Tahun I, no.3/2011, Desember 2011 35

The Shawshank Redemption: Mengapa Menjadi Film No 1*?

Johan Rio Pamungkas 

“Fear can hold you prisoner. Hope can set you free”

Penjara adalah tempat gelap. Tempat yang manusia mana pun tidak mau masuk ke dalamnya. Tempat di mana harapan menjadi berbahaya seiring dengan lamanya manusia tertahan di sana. Mungkin selain orang-orang yang memang bersalah atas tindak pidananya maupun yang sebenarnya tidak bersalah tapi kemudian tetap dijebloskan ke penjara serta petugas penjara itu sendiri, hanya manusia-manusia “ingin tahu” yang mau berada di penjara. Mereka melakukan riset, penelitian atau hanya sekadar mencari berita. Namun, tempat pembersihan kesalahan ini juga menyimpan serakan renungan pemikiran. Banyaknya cerita dari penjara yang bisa digali membuat orang-orang yang berotak kreatif menulis buku atau menjadikannya kisah bergambar di layar lebar. The Shawshank Redemption adalah salah satunya.

The Shawshank Redemption adalah film yang diadaptasi dari novelet Maha Karya Stephen King. Judul lengkap noveletnya adalah Rita Hayworth and Shawshank Redemption. Kata-kata “Rita Hayworth” kemudian dihilangkan agar menghilangkan kesan film tersebut menceritakan tentang Rita Hayworth, padahal inti ceritanya adalah tentang orang-orang di Penjara Negara Shawshank, Maine, Amerika Serikat.

Film ini menjadi menarik untuk dikaji karena menduduki posisi teratas Top 250 versi Internet Movie Database (IMDb). IMDb merupakan situs film terpopuler yang pasti dijadikan referensi baik para penggemar film biasa maupun para pakar film. IMDb menggunakan rumus formula Perkiraan Bayesian untuk menentukan rating sebuah film[i]. Maka, film ini sudah tentu bukan film picisan sembarangan kalau sudah mendapatkan rating senilai 9.2 mengalahkan film-film beken nan keren macam The Godfather, 12 Angry Men, Star Wars, bahkan termasuk mengalahkan rating film pemenang Piala Oscar tahun 1995 : Forrest Gump, yang “hanya” meraih rating senilai 8,6. Banyak kritikus film mengatakan, andai kata The Shawshank Redemptiondiproduksi tidak bersamaan tahun dengan Forrest Gump, dapat dipastikan pemenang Oscar-nya adalah The Shawshank Redemption.

The Shawshank Redemption termasuk film Genre Induk Primer yakni ; Drama. Satu yang menarik adalah jika merujuk makna dari genre noir [:noa] yang bermakna “gelap” atau “suram” film ini juga bisa masuk ke dalam genre ini seharusnya, namun ternyata film ini tetap digolongkan ke dalam film drama. Apa sebab ? Karena secara lebih detail, noir melakukan pendekatan sinematik dan tema yang unik, sedangkan The Shawshank Redemption tidak menggunakan sinematik yang luar biasa seperti filmnoir populer macam L.A Confidential, The Usual Suspect atau film yang hanya mendapatkan pengaruh noir seperti The Matrix yang menggunakan slow motion sinematik.

Page 37: katajiwa edisi kamar gelap

Kritik~ 

Katajiwa Tahun I, no.3/2011, Desember 2011 36

Setiap cerita apapun bentuknya dan seberapa pun pendeknya pasti mengandung unsur naratif. Begitu pula dengan film ini. Unsur naratif inilah sepertinya yang menjadikan film ini mendapatkan hati para penggemar film dan para kritikus film yang memberikan penilaian mereka lewat IMDb. Padahal, jika sebuah novel diadaptasi menjadi sebuah film, maka tidak semua isi (cerita) novel tersebut akan muncul dalam filmnya. Dalam sebuah novel, suasana pagi yang cerah dapat dideskripsikan begitu detil hingga beberapa ratus kata, namun dalam film bisa hanya disajikan dalam sebuah shot saja. Contohnya ketika Andrew "Andy" Dufresne (Tim Robbins) merangkak dalam saluran pipa kotoran untuk bebas, di noveletnya terjelaskan secara detil berapa panjang pipa tersebut; yakni 5600 yard[ii] namun di film hanya memperlihatkan Andy Dufresne yang merangkak di pipa sungai penuh kotoran. Atau contoh lain, tempat hukuman para narapidana khusus yang melawan peraturan penjara yang disebut “The Hole” dalam noveletnya deskripsinya sangat jelas, sedangkan dalam film diperlihatkan hanya setengah dari ruangan “The Hole”tersebut.

Namun, hal-hal tersebut yang tidak dijelaskan secara detil di film tidak mengurangi tingginya nilai struktur naratif dalam film ini. Penggunaan narator yang dibawakan sangat apik oleh Ellis Boyd “Red” Redding (Morgan Freeman), elemen pokok naratif yang semuanya ada dan bernilai sangat tinggi dari mulai pelaku cerita, permasalahan dan konflik serta tujuan cita-cita dari pelaku cerita membuat yang sudah pernah menonton film ini ingin lagi dan lagi menonton film ini. Pesan film ini juga sangat kuat dari mulai kenyataan bahwa ada sesuatu yang salah dengan sistem hukuman penjara di dunia sampai pesan positif yang nampaknya menjadi trend saat ini yakni, "Jangan pernah berputus asa !" atau tentang harapan-harapan di masa depan yang berusaha diwujudkan.

Mise-en-scene yang terdiri dari empat unsur pembentuk utama, yakni : setting, make-up, lighting dan akting, bisa dikatakan hanya akting para pemainnya saja yang membuat aspek Mise-en-scene The Shawshank Redemption bernilai tinggi. Akting Tim Robbins yang memerankan narapidana mantan bankir yang dituduh membunuh istri dan selingkuhan istrinya patut diberikan kedua jempol tangan. Tim Robbins dapat menunjukkan secara jelas karakter Andy Dufresne yang pendiam tapi penuh perhitungan. Kemudian, nama Morgan Freeman sendiri adalah sebuah jaminan tentang kualitas peran. Morgan Freeman yang memang merupakan aktor watak sekali lagi memperlihatkan kepiawaiannya bermain dengan karakter orang tua bijak sekaligus narator cerita yang membawa kisah serta pesan. Latar film hanya biasa saja, penjara di Amerika Serikat dekade 1940-an. Kostum pun begitu, hanya menampilkan kostum-kostum yang memang biasa dipakai para narapidana dan sipir penjara sama persis juga dengan film Lock Up-nya Sylvester Stallone. Pencahayaan rada lumayan karena bisa memakai teknik manipulasi cahaya untuk ruangan “The Hole”. Kebanyakan pencahayaan yang dipakai dalam film ini adalah tata cahaya kontras antara area gelap dan terang (low-key lighting).

Terakhir yang sekarang pasti selalu ada dalam film, yang coba dinilai, adalah suara. Karena sekarang bukan zamannya lagi film bisu, maka, mutlak suara adalah aspek penting dalam sebuah film. Untuk aspek suara ini para penikmat film khususnya yang juga penikmat suara-suara jernih nampaknya harus berterima kasih kepada film ini karena berkat film inilah Hollywood’s Best Film Scoring, Thomas Newman lahir. Thomas Newman juga secara

Page 38: katajiwa edisi kamar gelap

Kritik~ 

Katajiwa Tahun I, no.3/2011, Desember 2011 37

cerdas memasukkan musik dalam diegetic sound[iii]film ini, yakni ketika Andy Dufresne memutar piringan hitam buah hasil permintaannya ke Senat Daerah Maine. Terlantunlah suara sopran wanita Italia yang sangat indah membuat para narapidana di sana seperti tersihir dan Red (Morgan Freeman), sang narator, hanya berkata :

“I have no idea to this day what those two Italian ladies were singing about. Truth is, I don't want to know. Some things are best left unsaid. I'd like to think they were singing about something so beautiful, it can't be expressed in words, and makes your heart ache because of it. I tell you, those voices soared higher and farther than anybody in a gray place dares to dream. It was like some beautiful bird flapped into our drab little cage and made those walls dissolve away, and for the briefest of moments, every last man in Shawshank felt free”

Keterangan:

*Versi Internet Movie Database (IMDb)

**Tambahan informasi : Film ini menjadi Trending Topic Twitter Worldwide selama tiga hari, tanggal 26-29 November 2011, ketika jaringan televisi berbayar HBO, menayangkannya di tiga hari itu.

[i] weighted rating (WR) = (v ÷ (v+m)) × R + (m ÷ (v+m)) × C

dengan:

R = average for the movie (mean) = (Rating)

v = number of votes for the movie = (votes)

m = minimum votes required to be listed in the Top 250 (currently 3000)

C = the mean vote across the whole report (currently 6.9) for the Top 250, only votes from regular voters are considered.

(perlu diketahui bahwa regular voters juga terdiri dari para kritikus film terkenal seperti Owen Glebeirman(E! Entertainment Weekly) dan Roger Erbert (Chicago Sun Times/ Pulitzer Winner for Criticism)

[ii] Sekitar 5,1 Kilometer

[iii] Semua suara yang berasal dari dalam dunia cerita filmnya.

Page 39: katajiwa edisi kamar gelap

Resensi~ 

Katajiwa Tahun I, no.3/2011, Desember 2011

38

Don’t be Afraid of the Dark

Rizqan Adhima 

Pemain : Bailee Madison (Sally), Katie Holmes (Kim), Guy Pearce (Alex)

Sutradara : Troy Nixey Produser : Guillermo Del Toro Produksi : Miramax

Duras : 99 Menit

Film apa yang kira-kira layak ditonton di kamar

gelap? Setelah Paranormal Activity dan Insidious berhasil

membuat saya ketar-ketir dan serak karena teriak sepanjang

film, judul Don’t be Afraid of the Dark cukup menggoda

apalagi dengan adanya nama Guillermo Del Toro dan Katie

Holmes dalam karya film horor ini.

Cerita dimulai dengan adegan “pengrusakkan gigi”

seorang wanita oleh Mr.Blackwood untuk menyelamatkan

anaknya yang diculik gnemon (peri gigi dengan wajah

mengerikan) di Abad ke-19, adegan awal yang cukup

berdarah-darah terhenti menyisakan misteri untuk awalan

cerita masa kini. Lewat dua abad, rumah itu kini dihuni oleh

pasangan arsitek Alex (Guy Pearce) dan Kim (Katie Holmes) yang gemar merenovasi rumah-

rumah tua sebagai investasi.

Alex memiliki anak dari pernikahan sebelumnya, Sally (Bailee Madison) yang

bertampang depresi karena harus tinggal dengan ayah dan calon ibu tirinya. Di rumah yang

sangat besar itu, Sally menemukan ruang bawah tanah dimana dulu Mr. Blackwood

kehilangan anak dan meninggal pula di lokus tersebut. Bisik-bisik setan mulai bermunculan

yang ditenggarai berasal dari makhluk gnemon yang mirip tikus keriput bertaring, mereka

mengajak Sally bermain padahal memiliki niat busuk untuk memakan gigi serta seluruh

tubuh anak kecil itu.

Page 40: katajiwa edisi kamar gelap

Resensi~ 

Katajiwa Tahun I, no.3/2011, Desember 2011

39

Film ini mendapat banyak kritik karena memang klise dan tidak masuk diakal. Sally

adalah anak depresi yang banyak ditinggal di rumah sendirian; tidak disekolahkan bahkan

tidak didorong untuk berteman dengan siapa pun sehingga gnemon leluasa menyerang kapan

saja. Adapun Alex dan Kim sama sekali tidak percaya dengan pengakuan-pengakuan Sally

yang mereka anggap anak depresi. Belum lagi ketika ada tukang kebun yang juga celaka

karena diserang gnemon –dengan luka-luka pecahan kaca dan sebagainya- si orang tua tetap

tidak percaya atas keberadaan gnemon-gnemon ini.

Dinamika film jadi agak membosankan, apalagi saat masuk adegan Kim yang merasa

gagal sebagai Ibu tiri versus Alex yang mengabaikan Sally versus Sally yang terus depresi.

Bahkan adegan Sally depresi lebih banyak ketimbang kemunculan gnemon. Alih-alih Don’t

be Afraid of the Dark, saya merasa film ini lebih seperti “Don’t Forget to Send Your Kid to

School – so They Have Enough Activity and Stay Away from Gnemon.”

Sisi baiknya adalah setting rumah tua cukup detail serta penampakan gnemon yang

lebih gaul dari Smeagol atau Dolby. Kalian yang mencintai Hell Boy atau Pan’s Labyrinth

tidak akan menemukan tangan emas Del Toro dalam film ini, kalau boleh menunjuk kambing

hitam mungkin kesalahannya terletak pada sang sutradara debutan, Troy Nixey.

Jadi tidak usah bersiap-siap dengan alkitab atau segala macam alat yang bisa

mengusir setan ketika akan menonton film ini sendirian di kamar gelap. Alih-alih ketakutan

kalian lebih mungkin akan melongo kebingungan dan terkekeh di beberapa adegan. Pun ada

mantra paling ampuh untuk menangani gnemon-gnemon annoying ini: nyalakan saja lampu

kamarmu, kamar tak lagi gelap dan gnemon lenyap.

Page 41: katajiwa edisi kamar gelap

Pantau~ 

Katajiwa Tahun I, no.3/2011, Desember 2011 40

Karna dalam Empat Monolog

Tery Marlita 

Komunitas Salihara kembali menggelar pertunjukkan teater dalam program

November—Desember mereka. Teater ini berlangsung dari tanggal 17-20 November 2011

setiap pukul 20.00 WIB.

Kali ini, lakon yang

dibawakan adalah Karna,

berwujud dalam empat monolog

dengan Goenawan Mohammad

sebagai penulis naskah sekaligus

sutradara. Karna dalam Empat

monolog merupakan sebuah

penafsiran kembali satu bagian

dari Bharatayudha, perang saudara

habis-habisan antara Kurawa dan

lima pangeran Pandhawa. Kisah

Karna dilepaskan dari dongeng

tentang dewa, ia digambarkan sebagai orang yang tersisih dari kasta-kasta yang ada. Seorang

yang selamanya ‘lain’ yang menemukan harkatnya dari perang dan kematian.

Dibangun dari ingatan-ingatan tentang Karna sajian teater empat monolog ini

membawa empat lakon, Karna sebagai yang diingar Radha, perempuan yang menemukan

bayi di sungai. Karna sebagai yang diingat Parashurama, sebagai seorang Brahmana

pembunuh yang ikut dalam pertikaian antar-kasta. Karna sebagai yang diingat Kunthi, yang

pertama kali melihatnya di paruh pertama bulan Chaitra, dan Karna sebagai yang berbicara

kepada Surtikanti, dalam sepucuk surat terakhirnya sebelum pertempuran.

Nama-nama besar mengisi panggung teater Karna. Sejumlah pemain yang mengisi

lakon empat monolog ini adalah Niniek L. Karim (Kunthi) peraih Piala Citra tahun 1986,

Putri Ayudya (Surtikanti), pernah berduet bersama Philippe Bizot, aktor pantomim asal

Prancis dalam You and Me tahun 2009. Sita Nursanti (Radha), lebih dikenal sebagai Sita RSD

Page 42: katajiwa edisi kamar gelap

Pantau~ 

Katajiwa Tahun I, no.3/2011, Desember 2011 41

memiliki debut dalam drama musikal Madame Dasima (2001). Sitok Srengenge (Karna),

penyair sekaligus kurator teater di Komunitas Salihara, serta Whani Darmawan

(Parashurama), seorang aktor dan juga penulis monolog Metaniezsche-Boneka Sang Pertapa

(2001—2004). Tak ketinggalan, Jay Subyakto yang dikenal sebagai sutradara konser-konser

musik penyanyi papan atas Indonesia seperti Anggun, Chrisye, Tiga Diva juga turun andil

sebagai penata artistik dalam pementasan teater empat monolog ini.

Putri Ayudya, ketika ditanyai mengenai kesannya ketika bekerja sama dalam

pementasan teater Karna ini mengungkapkan, “ini pesta! Dengan all-star team, saya merasa

diberikan kesempatan untuk seolah membaca semua buku seenaknya dari satu perpustakaan

lengkap. Orang-orang besar ini, teruma Goenawan Mohamad sendiri, sangat down to earth.

Iswadi Pratama, sutradara Teater Satu Lampung, membuka mata saya akan berbagai teknik

latihan dan cara mendalami suatu peran. Mas Toto (Toto Arto) juga sabar sekali menjawab

pertanyaan-pertanyaan saya tentang produksi teater. Dan diantara orang-orang besar itu, saya

berlari mengajar langkah-langkah panjang mereka. Saat itu saya merasa, lengkap, jadi

manusia seutuhnya.”

Kostum yang dikenakan dalam pementasan teater empat monolog ini tergolong

menarik, meski kisah yang diangkat merupakan penafsiran dari salah satu kisah pewayangan,

pakaian yang dikenakan oleh pemain dirancang berdasarkan pakaian tradisi Tanibar, Maluku.

Dalam situs, ANTARA News menyebutkan pertunjukkan Teater Karna juga ditonton

oleh Wakil Presiden Boediono hingga melewatkan acara pertandingan final sepak bola SEA

Games XXVI antara Indonesia melawan Malaysia di Gelora Bung Karno,Jakarta.

Saat ditanyakan hal tersebut, Yopie mengatakan Wapres menonton acara tersebut

untuk memenuhi undangan dari Goenawan Mohammad. "Ada undangan dari Mas Goenawan.

Bola kan sudah, malam ini giliran seni budaya. Semua harus kebagian kan."

Page 43: katajiwa edisi kamar gelap

Her Voice~ 

Katajiwa Tahun I, no.3/2011, Desember 2011 42

Prison of the Authors

Alfi Syahriyani 

Living in prison could be a consequence for those who struggle for a better change of

life. That is what history recorded. A lot of literary works were born from the musty and dark

prison. They thrived from the nature of revolution. A number of famous world leaders have

proved that dark and small place can’t restrict their thought and limit their space of freedom.

Although their physics were isolated, their soul and thought were free. They lived for their

people. They tried to survive to share their idea. They gave hope. They were there—to battle.

We have Soekarno, our former president, who wrote Indonesia Menggugat. He was

put into the jail for his sharpness of tongue toward the Dutch colonizers. We also have

Pramoedya Ananta Toer, from his phenomenal tetralogy, Tetralogi Pulau Buru. He was in

prison for his sharp criticism in his novels. He didn’t stay silent looking at his country lead

by tyranny regime. In other side of the world, we know Ibnu Taimiyah, a Muslim leader

figure whose words are eternally recorded in history. Damascus city was the witness of his

hard struggle. In that period, the king forbade him to have pens, papers, and ink since the

people knew that the words born from his fingers were like a sharp sword that could kill the

dictatorship. Consequently, he had his students throw the charcoal—instead of a pen—into

the prison, so he can keep his hand moving. The same tragic but awesome story experienced

by Sayyid Quthb, a scientist, a poet, and an Islamic thinker from Egypt. Prison encouraged

him to write beautiful pieces of his life experiences with the Koran. What the leaders did was

nothing but one purpose: they fight against the unpleasant condition due to the occupation,

from the unpleasant place due to the imprisonment.

“From darkness for the darkness”, it might be the right expression to describe the

authors. They wrote their best from the narrow and dark prison to overcome the darkness of

their people’s life, the life surrounded by the imperialists, the life that was full of misery, the

life that forced them to fight for independence. They gave their opinion to enlighten people

outside. Never think that darkness is only about the place that has no light, rather, it’s the

condition where the tyranny exists, it’s the condition where we can’t claim our right to have a

proper life. Poverty, ignorance, stupidity, and tyranny are the darkness that we should

eradicate.

Page 44: katajiwa edisi kamar gelap

Her Voice~ 

Katajiwa Tahun I, no.3/2011, Desember 2011 43

Then, a big question might appear, “Should we be in prison first to show our best

work?” Off course not. Writing shouldn’t be started from the dark place like prison. When we

see something wrong with our environment, we might say that it is part of the darkness that

we should eliminate. However, in some cases, history records that somehow sword can’t

answer the restlessness of the people. “The pen is mightier than the sword”, a metonymic

adage coined by an English author, Edward Bulwer Lytton, in 1839 for his play Richelieu; Or

the Conspiracy, is relevant with our current condition.

True, This! —

Beneath the rule of men entirely great,

The pen is mightier than the sword. Behold

The arch-enchanters wand! — itself a nothing! —

But taking sorcery from the master-hand

To paralyze the Cæsars, and to strike

The loud earth breathless! — Take away the sword —

States can be saved without it!

See how the authors in prison can inspire millions of people outside. See how the

works created in a dark place can give enlightenment. And see, how the words can ruin the

tyranny. (*)

Page 45: katajiwa edisi kamar gelap

Bidik~ 

Katajiwa Tahun I, no.3/2011, Desember 2011 44

Perjalanan Mengunduh Bayangan

Muhammad Akhyar 

Perjalanan selalu menjadi fakta yang menyenangkan sekaligus dirindukan. Ia selalu punya hal-hal baru untuk diambil, dipelajari, atau sekadar dinikmati. Muka baru, rasa baru, aroma baru, teman baru, ide baru, apapun. Selain itu, boleh jadi yang kita temukan adalah hal-hal lama. Tentu

saja dengan pemaknaan yang relatif beda. Ringkasnya, dari perjalanan selalu dapat kita tarik sesuatu, sesuai kemampuan dan kemauan kita. Sebagaimana bayangan yang selalu berbeda dari

nyatanya, bisa lebih hablur, lebih pendek, atau malah lebih pekat, lebih jelas. Selamat mengunduh bayangan dari perjalanan kalian.