Habis Gelap Terbitlah Gelap G - Universitas Padjadjaran · 2011-11-25 · lampu buat ruang...

1
25 MEGAPOLITAN JUMAT, 25 NOVEMBER 2011 PEMANDANGAN KONTRAS: Di balik vila-vila megah yang berdiri di Puncak, Bogor, terdapat bangunan kusam tempat warga sekitar tinggal. Mereka hidup miskin di tengah- tengah kemewahan warga pendatang. Fasilitas sosial dan umum yang diberikan Pemkab Bogor pun sangat minim. Habis Gelap Terbitlah Gelap bisa mencapai Rp3 juta guna menda- patkan listrik berkapasitas 500 watt. Itulah sebabnya kerinduan sedemi- kian kuat memperoleh aliran listrik membuat warga kehilangan logika ketika dua orang yang mengaku petu- gas PLN datang sekitar lima bulan lalu. Kedua orang itu mendaftar nama warga yang berminat memasang listrik. Kecewa Onih, 45, pemilik warung di RT 3 RW 5 segera mendaftar. Apalagi petu- gas tadi menunjukkan nama-nama warga yang sudah mendaftar seka- ligus memberikan uang muka. Onih pun mengambil modal warungnya sebesar Rp700 ribu sebagai tanda jadi. “Saya tak sabar punya listrik. Pak Jujum, tetangga saya, juga memberi uang muka sebesar Rp300 ribu. Selain kami berdua, masih banyak yang kena tipu,” tutur Onih yang selama ini memakai genset untuk menerangi warungnya. Genset menghabiskan 2 liter bensin per hari dengan pemakaian mulai pu- kul 18.00 WIB hingga 22.00 WIB atau kadang-kadang sampai pukul 24.00 WIB. Harga bensin Rp6.500 per liter. Dengan pemakaian 2 jam, ia harus mengeluarkan uang Rp13 ribu atau Rp400 ribu per bulan. Lain halnya kalau ada listrik, harga tertinggi paling Rp100 ribu per bulan dan bisa dipakai selama 24 jam. Onih benar-benar kecewa. “Saya tak akan percaya lagi kepada siapa pun yang menjanjikan pemasangan listrik,” tegasnya. Bagaimana warga tak sakit hati, sepelemparan batu ke bawah, vila- vila mewah bertaburan de- ngan penerangan berlebihan. Setiap vila setidaknya punya 30 titik lampu mulai gerbang hingga sekeli- ling kompleks. Sebaliknya, keinginan warga yang hanya mengharapkan empat lima titik lampu buat ruang keluarga, kamar, dan dapur, tak jua terkabul sejak 50 tahun lalu. Bila pemerintah memang punya nurani, menurut Joni dan te- tangganya, Elis serta Elah, pemasang- an listrik ke kampung mereka cukup mudah sebab tinggal menyambung dari tiang vila terdekat. Kalau pemerintah hanya punya setengah nurani, buatkan kincir air. “Satu rumah satu kincir, buat kami sudah cukup,” imbuh Joni. Kincir akan membuat desa menjadi hidup. Anak-anak sekolah bisa belajar pada malam hari. Bukan seperti sekarang, lampu minyak membuat hidung dan alis mata menjadi hitam seusai belajar beberapa menit. Kampung Citamiyang bagaikan sebuah lukisan dari kejauhan. Peman- dangan sekeliling sangat indah, bukit-bukit hijau, pepohonan besar menyegarkan mata, cuaca dingin dan berkabut. Orang-orang kota mengimpikan suasana seperti itu di setiap akhir pekan. Namun bila semakin mendekat ke perkampungan, aduhai tergang- gunya mata kala menyaksikan gubuk reyot bertaburan. Musala Citamiyang bahkan rawan ambruk, tapi tetap digunakan anak-anak belajar mengaji dan menulis Arab. Lebih miris lagi bila menyaksikan rumah Edah, 70, janda yang berda- gang gorengan. Dia tidur di lantai tanah berlapiskan tikar dan karpet plastik yang sudah usang. Tidak ada kasur. “Kalau ada lampu listrik, mungkin rasanya tidak sedingin ini. Lagi pula kalau terang, nenek bisa melihat pada malam hari,” cetusnya. Edah berha- rap, sebelum ajal menjemput, kiranya ia dapat menyaksikan ‘Citamiyang caang’. (Dede Susianti/J-1) TANPA LISTRIK: Gemerlap cahaya di malam hari yang terlihat di vila-vila mewah tidak sebanding dengan kehidupan warga sekitar di Kecamatan Megamendung, Bogor. Hingga kini warga di sekitar vila banyak yang hidup tanpa listrik. FOTO-FOTO: MI/DEDE SUSIANTI G UBERNUR Jawa Barat Ah- mad Heryawan mencanang- kan Jabar Caang 2010. Caang dalam bahasa Sunda berarti terang. Di tangan Ahmad Heryawan, seluruh wilayah Jabar akan dialiri listrik pada 2010. Batas waktu pencanangan sudah melintas setahun, tetapi Kampung Citamiyang, Desa Megamendung, Ke- camatan Megamendung, Kabupaten Bogor, tetap saja gulita tanpa listrik pada malam hari. Telinga warga sudah penuh dengan janji-janji para pejabat, mulai Pem- prov Jabar hingga Pemkab Bogor, bahwa listrik segera dipasang. “Ku- ping kami sudah penuh janji-janji. Tapi satu pun tak ditepati. Bagaimana listrik bisa masuk ke rumah kami kalau tiang dan kabel saja belum dipasang,” cetus Joni, 40, warga Cita- miyang, pekan lalu. Jumlah warga Citamiyang tercatat 60 kepala keluarga (KK) dengan lebih dari 400 jiwa. Seluruhnya belum merasakan pijar aliran listrik. Setali tiga uang, kampung sebelah, Paseban, juga merasakan hal yang sama seperti mereka. Jumlah warga Paseban lebih banyak dari Citamiyang, yakni men- capai 80 KK. Posisi kedua kampung, Citamiyang dan Paseban, berada di atas gunung berhutan dengan kabut tebal. Sejati- nya warga kedua kampung itu sangat bergantung pada listrik. Di pagi hari, kawasan mereka masih gelap oleh kabut. Mendapatkan cahaya pun susah karena tertutup oleh rindang pohon pinus. Penerangan utama warga pada saat berkabut dan malam hari adalah lampu berbahan bakar minyak tanah. Memang ada enam rumah yang me- makai genset dan tiga menggunakan energi dari kincir air buatan sendiri. Namun, energi yang dapat dipakai sangat terbatas. Warga yang memakai lampu mi- nyak berusaha seirit mungkin. Paling banyak dua atau tiga lampu. Posisi- nya diletakkan di tempat keluarga berkumpul. Waktu mereka tidur, lampu itu ditaruh di ruang tengah agar semua kebagian cahaya walau sedikit. “Kami harus berhemat karena susah mencari minyak tanah,” urai Elis, warga Citamiyang yang hanya punya satu lampu minyak. Kebutuhan warga Citamiyang men- capai 15 liter minyak tanah per ming- gu. Harga per liter Rp13 ribu, itu pun harus pesan dua tiga hari sebelumnya. Misalnya, persediaan minyak tanah habis hari Senin, maka ada utusan ke kampung sebelah pada hari Jumat un- tuk memesannya. Orang yang meng- antarkan minyak akan diberi ongkos ojek sebesar Rp20 ribu. Warga Citamiyang umumnya bekerja sebagai penjaga vila, kuli cangkul, atau pemotong rumput. Penghasilan mereka berkisar Rp10 ribu-Rp20 ribu per hari. Penghasilan Rp10 ribu per hari tak memungkinkan mereka membuat kincir air sendiri. Sumber air memang tersedia di Sungai Ciesek. Akan tetapi, posisi sungai jauh di bawah pegunungan. Biaya yang dikeluarkan

Transcript of Habis Gelap Terbitlah Gelap G - Universitas Padjadjaran · 2011-11-25 · lampu buat ruang...

25Fokus megapolitan jumat, 25 november 2011

PEMANDANGAN KONTRAS: Di balik vila-vila megah yang berdiri di Puncak, Bogor, terdapat bangunan kusam tempat warga sekitar tinggal. Mereka hidup miskin di tengah-tengah kemewahan warga pendatang. Fasilitas sosial dan umum yang diberikan Pemkab Bogor pun sangat minim.

Habis Gelap Terbitlah Gelap

bisa mencapai Rp3 juta guna menda­pat kan listrik berkapasitas 500 watt.

Itulah sebabnya kerinduan sedemi­kian kuat memperoleh aliran listrik membuat warga kehilangan logika ketika dua orang yang mengaku petu­gas PLN datang sekitar lima bulan lalu. Kedua orang itu mendaftar nama warga yang berminat memasang listrik.

Kecewa Onih, 45, pemilik warung di RT 3

RW 5 segera mendaftar. Apalagi petu­gas tadi menunjukkan nama­nama warga yang sudah mendaftar seka­ligus memberikan uang muka. Onih pun mengambil modal warungnya sebesar Rp700 ribu sebagai tanda jadi.

“Saya tak sabar punya listrik. Pak Jujum, tetangga saya, juga memberi uang muka sebesar Rp300 ribu. Selain kami berdua, masih banyak yang kena tipu,” tutur Onih yang selama ini memakai genset untuk menerangi warungnya.

Genset menghabiskan 2 liter bensin per hari dengan pemakaian mulai pu­kul 18.00 WIB hingga 22.00 WIB atau kadang­kadang sampai pukul 24.00 WIB. Harga bensin Rp6.500 per liter. Dengan pemakaian 2 jam, ia harus mengeluarkan uang Rp13 ribu atau Rp400 ribu per bulan.

Lain halnya kalau ada listrik, harga tertinggi paling Rp100 ribu per bulan dan bisa dipakai selama 24 jam. Onih benar­benar kecewa. “Saya tak akan percaya lagi kepada siapa pun yang menjanjikan pemasangan listrik,” tegasnya.

Bagaimana warga tak sakit hati, sepelempar an batu ke bawah, vila­vila mewah ber taburan de­ngan penerang an berlebihan. Setiap vila setidaknya punya 30 titik

lampu mulai gerbang hingga sekeli­ling kompleks.

Sebaliknya, keinginan warga yang hanya mengharapkan empat lima titik lampu buat ruang keluarga, kamar, dan dapur, tak jua terkabul sejak 50 tahun lalu. Bila pemerintah memang punya nurani, menurut Joni dan te­tang ganya, Elis serta Elah, pemasang­an listrik ke kampung mereka cukup mudah sebab tinggal menyambung dari tiang vila terdekat.

Kalau pemerintah hanya punya setengah nurani, buatkan kincir air. “Satu rumah satu kincir, buat kami sudah cukup,” imbuh Joni. Kincir akan membuat desa menjadi hidup. Anak­anak sekolah bisa belajar pada malam hari. Bukan seperti sekarang, lampu minyak membuat hidung dan alis mata menjadi hitam seusai belajar beberapa menit.

Kampung Citamiyang bagaikan sebuah lukisan dari kejauhan. Peman­dangan sekeliling sangat indah, bu kit­bukit hijau, pepohonan besar me nyegarkan mata, cuaca dingin dan berkabut. Orang­orang kota mengimpikan suasana seperti itu di setiap akhir pekan.

Namun bila semakin mendekat ke perkampungan, aduhai tergang­gunya mata kala menyaksikan gubuk reyot bertaburan. Musala Citamiyang bahkan rawan ambruk, tapi tetap digunakan anak­anak belajar mengaji dan menulis Arab.

Lebih miris lagi bila menyaksikan rumah Edah, 70, janda yang berda­gang gorengan. Dia tidur di lantai tanah berlapiskan tikar dan karpet plastik yang sudah usang. Tidak ada kasur.

“Kalau ada lampu listrik, mungkin rasanya tidak sedingin ini. Lagi pula kalau terang, nenek bisa melihat pada malam hari,” cetusnya. Edah berha­rap, sebelum ajal menjemput, kiranya ia dapat menyaksikan ‘Citamiyang caang’. (Dede Susianti/J­1)

TANPA LISTRIK: Gemerlap cahaya di malam hari yang terlihat di vila-vila mewah tidak sebanding dengan kehidupan warga sekitar di Kecamatan Megamendung, Bogor. Hingga kini warga di sekitar vila banyak yang hidup tanpa listrik.

Foto-Foto: MI/DEDE SUSIANtI

GUBERNUR Jawa Barat Ah­mad Heryawan mencanang­kan Jabar Caang 2010. Caang

dalam bahasa Sunda berarti terang. Di tangan Ahmad Heryawan, seluruh wilayah Jabar akan dialiri listrik pada 2010.

Batas waktu pencanangan sudah melintas setahun, tetapi Kampung Citamiyang, Desa Megamendung, Ke­camatan Megamendung, Kabupaten Bogor, tetap saja gulita tanpa listrik pada malam hari.

Telinga warga sudah penuh dengan janji­janji para pejabat, mulai Pem­prov Jabar hingga Pemkab Bogor, bahwa listrik segera dipasang. “Ku­ping kami sudah penuh janji­janji. Tapi satu pun tak ditepati. Bagaimana listrik bisa masuk ke rumah kami kalau tiang dan kabel saja belum dipasang,” cetus Joni, 40, warga Cita­miyang, pekan lalu.

Jumlah warga Citamiyang tercatat 60 kepala keluarga (KK) dengan lebih dari 400 jiwa. Seluruhnya belum merasakan pijar aliran listrik. Setali tiga uang, kampung sebelah, Paseban, juga merasakan hal yang sama seperti mereka. Jumlah warga Paseban lebih banyak dari Citamiyang, yakni men­capai 80 KK.

Posisi kedua kampung, Citamiyang dan Paseban, berada di atas gunung berhutan dengan kabut tebal. Sejati­nya warga kedua kampung itu sangat bergantung pada listrik. Di pagi hari, kawasan mereka masih gelap oleh kabut. Mendapatkan cahaya pun susah karena tertutup oleh rindang pohon pinus.

Penerangan utama warga pada saat berkabut dan malam hari adalah lampu berbahan bakar minyak tanah. Memang ada enam rumah yang me­makai genset dan tiga menggunakan energi dari kincir air buatan sendiri. Namun, energi yang dapat dipakai sangat terbatas.

Warga yang memakai lampu mi­nyak berusaha seirit mungkin. Paling banyak dua atau tiga lampu. Posisi­nya diletakkan di tempat keluarga berkumpul. Waktu mereka tidur, lampu itu ditaruh di ruang tengah agar semua kebagian cahaya walau sedikit. “Kami harus berhemat karena susah mencari minyak tanah,” urai Elis, warga Citamiyang yang hanya punya satu lampu minyak.

Kebutuhan warga Citamiyang men­capai 15 liter minyak tanah per ming­gu. Harga per liter Rp13 ribu, itu pun harus pesan dua tiga hari se be lumnya. Misalnya, persediaan minyak tanah habis hari Senin, maka ada utusan ke kampung sebelah pa da hari Jumat un­tuk memesannya. Orang yang meng­antarkan minyak akan diberi ongkos ojek sebesar Rp20 ribu.

Warga Citamiyang umumnya bekerja sebagai penjaga vila, kuli cangkul, atau pemotong rumput. Penghasilan mereka berkisar Rp10 ribu­Rp20 ribu per hari.

Penghasilan Rp10 ribu per hari tak memungkinkan mereka membuat kincir air sendiri. Sumber air memang tersedia di Sungai Ciesek. Akan tetapi, posisi sungai jauh di bawah pegunungan. Biaya yang dikeluarkan