Majalah Kamar Sastra - Edisi 0

65

description

Seolah aku menemukan sihir baru pemusnah segala penyakit, akupun bangkit dari tidur dan segera mencermati kata – kata yang menurutku menarik dalam buku ini. Mulailah aku berdialog dengan manusia lain di dalam diriku. “Apakah sebenarnya tubuh ini sudah terlalu banyak diberi pestisida yang tidak organik sehingga mudah sakit seperti tanaman tersebut?”

Transcript of Majalah Kamar Sastra - Edisi 0

Page 1: Majalah Kamar Sastra - Edisi 0
Page 2: Majalah Kamar Sastra - Edisi 0

Writers Index

Pulang

Bagian Pertama

Cerita dalam Cerita

Refernsi Imajinasi

Senja Kita Hati hanya bisa disentuh dengan hati part 4

Speda ontel tua, Score dan jodoh(puisi) dari seorang anak zanggiCerbung: Hijab in Love Istana Santri

Sebaris Doa Bunuh Diri

Manusia Organik

Terlambat

kamar sastra edisi 01 Bulan Agustus 2015

39

5

17

3

6

25

7 1 11

56

Page 3: Majalah Kamar Sastra - Edisi 0

kamar sastra edisi 01 Bulan Agustus 2015

Pagi ini dingin tak seperti biasanya.Itu yang aku rasakan ketika bangun hari ini.

Sepertinya belakangan ini, diriku dan dirimu menjadi begitu dekat.Padahal sebelumnya kita tidak begitu dekat.Mungkin karena kita sama-sama melankolis.Sehingga kemistri kita menyatu begitu cepat.

~“Terlambat”

Page 4: Majalah Kamar Sastra - Edisi 0

Hidup itu memang penuh dengan tantangan.Bahkan hewan pun mempunyai tantangan.

Kita yang diberi kelebihan akalpun tidak boleh menyerah dengan yang namannya tantangan.Belakangan ini di setiap malam yang sunyi.

Kita selalu berdiskusi mengenai tantangan-tantangan kita pasca kuliah.Aku rasa aku sedikit mengerti perasaanmu.

Karena akupun mungkin sedang mengalami hal yang sama denganmu.Karena akupun mungkin sedang mengalami hal yang sama denganmu.Terbesit tanya apakah aku memang dibutuhkan disini?Sepertinya kehadiran ku disini hanya sebagai pelengkap.Sepertinya yang lain lebih membutuhkanku.

Aku rasa seperti yang kita pikirkan saat ini.Hingga pada akhirnya dirimu membuat sebuah keputusan.Sebuah keputusan yang sebenarnya mungkin bisa dipikir 2 kali.

Jika kita bertemu lebih cepat.Ah dasar.

Sepertinya aku sering sekali tidak peka dengan kondisi lingkungan.Selalu saja kepekaanku muncul di waktu yang tidak tepat.Selalu saja kepekaanku muncul di waktu yang tidak tepat.

Namun …Kekhawatiranku seolah menghilang.

Saat melihat raut wajahmu yang begitu optimis dengan pilihan yang kamu buat saat ini.Aku tahu ini pilihan yang berat jika aku berada di posisimu.Semoga kamu bisa melewati pilihanmu yang sulit ini dengan baik.

Doaku selalu menyertai namamu.

kamar sastra edisi 01 Bulan Agustus 2015

Page 5: Majalah Kamar Sastra - Edisi 0

kamar sastra edisi 01 Bulan Agustus 2015

Dersik senja membelai lembut wajah kusutmu. Sepulang kerja tadi, bantal kursi yang kulempar segera kau tangkap dan berhasil melelapkanmu. Hentakkan cangkir tehku rupanya mengusik kelopak matamu untuk tetap terpejam. Kau mengintip dari pintu, gontai hampiri aku. Lengkap sempurna senyummu hangatkan senjaku, senja kita. Secangkir lagi, kuseduh teh manis kesukaanmu. Dua lingkar kulacino terbentuk di atas meja kayu yang membuat jarak di antara kita. Jujur aku menyukai itu. Jarak memberiku kesempatan utuh memandangmu Jujur aku menyukai itu. Jarak memberiku kesempatan utuh memandangmu mencintaiku, kesempatan utuh mencintaimu dengan pandangku. Jarak menjadikan celengan rinduku bertemu denganmu penuh, bahkan koin-koin rindu itu berceceran. Nafasmu teratur berirama. Diammu sesungguhnya bercerita. Tentang perjalanan kita. Sejak matamu bertabrakan dengan mataku tersebab lomba saling mendahului saat sekolah dulu. Kau berhasil mengelabuiku. Aku kau menangkan.Diam-diam aku menoleh lalu berbalik. Berpura-pura. Padahal mencoba mencuri Diam-diam aku menoleh lalu berbalik. Berpura-pura. Padahal mencoba mencuri teduhmu di sela nyanyian hujan. Petrikor menyengat menyebarluas memenuhi ruang sunyi kita. Kuhirup dalam-dalam hingga kutemukan kembali potongan-potongan gambar kita.Tak pernah berubah. Hadirmu tak pernah tak membuat detak jantungku bertalu ribut. Beruntung hujan samarkan suaranya. Aku gugup tiba-tiba. Teringat detik-detik menegangkan itu. Kau datang bersama ibu, bapa, keluarga, dan janjimu menjadikanku malaikat kecilmu. Aku sangat bahagia meski kutahu dunia ini efemeral. Karna kau pernah malaikat kecilmu. Aku sangat bahagia meski kutahu dunia ini efemeral. Karna kau pernah bilang, cinta kita abadi sampai nanti sampai mati sampai bertemu kembali.

Senja kita - repost

Page 6: Majalah Kamar Sastra - Edisi 0

kamar sastra edisi 01 Bulan Agustus 2015

Redanya hujan, perginya senja, hadirnya malam, terus akan bergulir hingga tak lagi Ia menghendakinya.

Kututup bincang sunyi kita senja ini dengan seruputan terakhir di cangkir tehku, juga tehmu.

Kau tersenyum sekali lagi. Telunjukmu mengarah ke kolam, menunjukkan mangata yang menunjukkan mangata yang

serupa dengan perjalanan hidup kita. Aku mengangguk, menyambut tanganmu tanpa terlebih dahulu membereskan cangkir-cangkir.

Page 7: Majalah Kamar Sastra - Edisi 0

kamar sastra edisi 01 Bulan Agustus 2015

Sejak kapan kita merantau?Betulkah kita perantau?Dulu, kita mengatakan "Disanalah kampung halamanku. Setiap tahun aku selalu pulang ke kampung halaman".Menjadi perantau memang mengasyikkan, katanya.Menjadi perantau memang penuh tantangan, katanya.Menjadi perantau memang penuh ketidakpastian, katanya.Menjadi perantau memang penuh ketidakpastian, katanya.Pergi jauh dari rumah dan melangkahkan kaki di tempat serba baru.

Bahkan karena betahnya, kita menikmati jadi perantau dan lupa kampung halaman kita sebenarnya.Akan tetapi, setiap perantau menyadari dan lebih suka perjalanan pulang.Sebab dengannya kita jadi tahu arti pulang dan kepada siapa kita harus pulang.Ya. Pulang..Sebagaimana Tetes-tetes air yang mengembara bersama awan. Kelak ia akan pulang pada tempatnya semula. Lautan.Kelak ia akan pulang pada tempatnya semula. Lautan.Duhai para perantau, siapkah kita untuk pulang ke rumah, ke kampung halaman saat semua sebab telah tiba?

Pulang

*Ini adalah prosa sederhana,tentang rindunya dedaun yang tua pada tanahtentang kangennya hujan pada bebungaan

ditulis selepas jeda sejenak sebelum melanjutkan perjalanan*

Page 8: Majalah Kamar Sastra - Edisi 0

kamar sastra edisi 01 Bulan Agustus 2015

Seorang anak zanggiDuduk manis tapi menangisKulihat tapi kuseganTapi tangisnya makin menyayat di ujung perasaanJadi kudekati si anak zanggiMatanya basah hidungnya jugaItulah namanya empatiItulah namanya empatiKau juga akan sedih walau tak kenal apa yang terjadiKata si anak zanggiIni tahun empat puluh dua?Apa Malcolm X masih ada?Martin Luther King Jr. masih bisa melihatku di sini?Kujawab, bukan.Ini abad dua satu, dua ribu lima belasIni abad dua satu, dua ribu lima belasMemangnya kenapa?Kenapa bersedih?Ia masih sesenggukkan kemudian tenang dan berkata:

(puisi) Dari Seorang Anak Zanggi

Page 9: Majalah Kamar Sastra - Edisi 0
Page 10: Majalah Kamar Sastra - Edisi 0
Page 11: Majalah Kamar Sastra - Edisi 0

Mega berkelebat di ufuk mur siap menyambut sang raja bangkit. Tak ada satupun akvitas terlihat, hanya saja kokok ayam mulai terdengar rendah bersahutan dari lain dimensi. Semilir angin menyusupi lembah kami melalui celah kecil pintu da jendela, menusuk raga yang masih terbuai oleh bunga-bunga di alam durdurnya. Masih sangat pagi. Ia sedikit terusik dan terperanjat kemudian saat matanya tertuju pada petunjuk waktu yang bertengger tepat dihadapan-nya.

"Astagfirullah, sudah siang...." pekiknya, padahal jam masih menunjukkan pukul 3.30 pagi!Ia bangkit perlahan dari tempat durnya dengan m mata sedikit terpejam dan mulut yang tampak meringis menahan sakit. Satu tangan ia letakkan pada pinggangnya seolah menunjukkan dimana rasa sakit itu berasal, sementara tangan lain menumpu pada tepi

kamar sastra edisi 01 Bulan Agustus 2015

Sebaris Do’a

Page 12: Majalah Kamar Sastra - Edisi 0

kamar sastra edisi 01 Bulan Agustus 2015

Ha dan pikirannya beradu hebat, ia sangat ingin pergi ke dokter hanya saja secara logika ada kebutuhan lain yang menurutnya harus didahulukan.Air wudhu diambilnya dan ditunaikan 2 rakaat sebelum kemudian ia bergan pakaian dinas tanpa mandi terlebih dahulu. Tak lupa ia berkunjung ke bilik sebelah mengambil semangat lebih untuk melawan dinginnya pagi dan kantuknya mata yang sedari tadi meggoda semangatnya. Bibirnya tersenyum namun matanya sedikit bersedikit berkaca, gemuruh dalam dadanya kembali menggelora dan kini ia siap untuk menggempur dunia sekalipun.Berdirinya sudah dak lagi simetris, sepernya demi menahan rasa sakit Ia condongkan badannya ke bagian lain agar mendapa posisi nyaman. Ditangannya tergenggam sebuah senjata yang selama ini memberikan nafas untuk terus hidup, senjata ini pula yang digunakan untuk memberikan tambahan nyawa pada manusia-manusia di belahan bumi manapun. Sebuah cangkul. Ia mulai menyusuri dunia dunia yang masih gulita menuju ladang tempatnya mengais rizki, ia sudah ternggal jauh dari kawannya sehingga langkah kakinya mulai ia percepat meski sama sekali tak ada pengaruh dengan kondisinya yang seper itu. Tetap saja lambat.

ranjang mendorongnya agar dapat segera berdiri. Sudah beberapa hari ini Ia merasakan itu namun

enggan sekalipun memeriksa- kannya ke dokter.

Page 13: Majalah Kamar Sastra - Edisi 0

kamar sastra edisi 01 Bulan Agustus 2015

Ditengah perjalanan kumandang adzan subuh terdengar, langit semakin terang benderang. Hanya mulai cemas takut-takut ia tak bisa mendapatkan hasil yang cukup, takut-takut kawannya menghabiskan semua jatahnya dan ia pulang dengan tangan hampa. Namun ia kembali berfikir dan yakin ada Allah yang maha mengatur rizki manusia, hingga ia putuskan untuk mampir ke mushola terdekat untuk menunaikan kewajibannya terlebih dahulu.SSatu jam setengah waktu yang ditempuhnya dari rumah menuju ladang hari itu dari setengah jam waktu biasanya. Matahari sudah mulai menampakkan batang hidungnya cuacapun mulai terasa hangat. Alhamdulillah apa yang ia cemaskan ternyata dak benar terjadi, meski sistem borongan kawannya tak serta merta menghabiskan jatahnya. Mungkin mereka merasa iba pada kondisinya, tapi ia tak pedulikan itu, yang jelas ia bersyukur masih bisa pulang dengan membawa hasil meski tak sebanyak biasanya.TTerima kasih ayah, sudah mau berjuang untuk senanasa memenuhi kebutuhan kami anak-anakmu meaki kondisimu dak memungkinkan untuk itu. Terima kasih karena dari perjuanganmu kami bisa belajar apa makna dari tanggung-jawab, kerja keras serta rasa ikhlas.

Besar keinginanku untuk menegurmu agar kau tak lagi bergelut dengan akfitasmu saat ini. Namun apa daya pundak ini masih belum cukup mampu untukku menggankan posisimu. Maaan ayah, hanya sebaris doa semoga aayahanda terus diberikan kesehatan dan kekuatan yang bisa aku sampaikan hingga dek ini. Semoga dak lama lagi aku dapat membantumu, doakan saja. :')

Page 14: Majalah Kamar Sastra - Edisi 0

kamar sastra edisi 01 Bulan Agustus 2015

“Selamat nggal.Di sini aku akan bahagia.”Demikian bunyi surat yang ditulis oleh Suchart. Selembar kertas yang sudah kusut dan berwarna kecokelatan tersebut ditemukan di dekat mayatnya.

Bunuh Diri

Page 15: Majalah Kamar Sastra - Edisi 0

Suchart melihat semua itu.

Ia adalah seorang pria lajang yang baru menginjak usia duapuluh tahun. Pria itu

memang kerap mengisi hari-harinya di rumah Nenek Lim. Ia tidak memiliki saudara.

Ibunya sudah meninggal tigabelas tahun yang lalu karena penyakit yang diderita

bertahun-tahun. Sementara ayahnya yang seorang pemabuk hampir tidak pernah di

rumah. Sudah dipastikan pria paruh baya itu tidak memenuhi kewajibannya sebagai

orang tua. Suchart sendiri tidak pernah menuntut apapun. Selain menyadari dirinya telah

dewasa, Suchart menjadi orang yang paling tahu melebihi siapapun bahwa ayahnya

adalah seseorang yang sangat miskin.

Membantu Nenek Lim mengangkut kerang-kerangnya kepada para pengepul adalah

satu-satunya usaha yang bisa ia lakukan untuk memenuhi kebutuhan perut. Meskipun

tidak terlalu penyayang dan selalu bernada kasar saat berbicara, Nenek Lim masih

berbaik hati untuk berbagi makanan dengan Suchart karena jasa yang telah

dilakukannya. Hal itu sudah bagus. Suchart sama sekali tidak mengharapkan upah.

Mengingat ia tidak pernah dipekerjakan oleh Nenek Lim.

Kehidupan Suchart dapat dengan mudah dicap sebagai kehidupan sengsara. Namun,

bukan berarti tidak ada kebahagiaan di sana. Setiap orang dapat berbahagia asal mereka

bisa menemukannya di tempat yang tepat. Dan bagi Suchart, kebahagiaan itu

dijumpainya dalam diri Junta. Seorang gadis tetangga berusia limabelas tahun yang

memiliki wajah manis dengan rambut ikal yang menjuntai indah.

Page 16: Majalah Kamar Sastra - Edisi 0

Tidak hanya baik rupa, Junta juga gadis yang baik sikap. Kadang-kadang ia datang

membawakan makanan untuk Nenek Lim dan Suchart.

Suchart sungguh jatuh cinta dibuatnya.

Dibandingkan dengan Suchart, kehidupan Junta sedikit lebih baik. Gadis itu memiliki

kedua orang tua dan saudara yang menyayanginya. Dibandingkan dengan Suchart,

kehidupan Junta sedikit lebih baik. Gadis itu memiliki kedua orang tua dan saudara

yang menyayanginya. Junta juga memiliki seorang paman yang bekerja di kota.

Menurut warga, pamannya yang baik hati itu sering membantu kebutuhan ekonomi

keluarga Junta. Bahkan sampai membantu perbaikan rumah kayu keluarga Junta

menjadi tempat yang lebih layak.

Tapi toh, sayangnya, lebih baik tidak selamanya lebih beruntung. Junta mengalaminya.

Satu minggu yang lalu, setelah didera oleh penyakit aneh sejak satu bulan sebelumnya,

gadis berkulit sawo matang itu mengembuskan napas terakhir.

Sang gadis pujaan, kini telah tiada.

Suchart pun tidak bisa tinggal diam. Ia harus mengejar sumber kebahagiaannya. Ia

harus menyusul gadis pujaannya. Tunggu aku Junta, aku akan segera menemuimu.

Pohon belakang rumah Nenek Lim menjadi tempat pilihan Suchart. Meskipun hampir

dipastikan tidak ada seorangpun yang akan merasa kehilangan atas kematiannya,

Suchart tetap menulis sebuah surat peninggalan.

13

Page 17: Majalah Kamar Sastra - Edisi 0

Ia berpikir, barangkali setidaknya Nenek Lim sedikit berbeda. Bagaimanapun mereka

banyak menghabiskan waktu bersama.

Ahh. Lalu, di mana ini?

Sebelumnya Suchart sempat bertanya-tanya, apakah ia sudah benar-benar mati atau

belum? Dan suasana di sekitarnya yang sangat dingin dan gelap gulita itu seolah

menjawab, "Tentu saja kau sudah mati." Ya. Ia pasti sudah mati. Baguslah. Itu berarti

kini dirinya sudah satu alam dengan Junta. Ia pun harus bersegera menemukan gadis

itu.

Suchart sama sekali tidak bisa melihat apapun di hadapannya. Namun, meskipun

sedikit gentar, ia tetap berjalan maju. Meneruskan usahanya menemukan Junta. Dan

tidak sia-sia. Senyumnya pun mengembang ketika pandangannya menangkap sosok

sang gadis pujaan berdiri tak jauh dari tempatnya. "Junta!" Suara serak Suchart

menimbulkan gema.

"Suchart?" wajah Junta terkaget. "Apa yang sedang kau lakukan di sini? Ini bukan

tempatmu."

Suchart menatap Junta dengan raut berseri. "Aku menyusulmu."

"Apa?" Bagaimana kau bisa sampai sini?"

"Aku membunuh diriku sendiri, Junta. Aku menggantung diriku di pohon milik Nenek

Lim. Awalnya aku tidak yakin bisa kembali bertemu denganmu.

14

Page 18: Majalah Kamar Sastra - Edisi 0

Tapi aku membulatkan tekad. Dan benar saja, sekarang aku bisa melihatmu. Bukankah

ini mengagumkan?" Suchart sedikit menggebu. Ia tidak menyangka jika di alam ini

dirinya bisa bersemangat.

"Bodoh!" sela Junta cepat. "Tuhan akan menghukummu, Suchart!"

Kening Suchart berkerut. "Mengapa? Apakah Tuhan juga akan menghukummu?"

"Setidaknya hukumanku akan lebih ringan. Aku mati karena sakit. Ada kesempatan

Tuhan akan mengampuni dosa-dosaku."

Raut Suchart berubah. "Lalu, bagaimana denganku?" Mendadak saja ia memikirkan

dirinya sendiri. "Tuhan membenci seseorang yang membunuh dirinya sendiri, Suchart.

Bunuh diri adalah bentuk keputusasaan. Tuhan tidak menyukainya. Ayolah, ada banyak

tempat di mana kau bisa menemukan kebahagiaan. Kau harus mencarinya. Yakinlah,

kau akan menemukannya. Ku mohon, Suchart!"

Seperti sebuah adegan film yang berpindah secepat kilat, sosok Junta pun hilang dalam

sekejap. Keadaan kembali dingin dan gelap gulita. Sampai tiba-tiba...

Byurrr!

Seolah tenggelam di dasar lautan, Suchart mendapati dirinya sangat sulit bernapas.

"Buka matamu!" Kemudian sebuah teriakan membuat matanya terbelalak dalam satu

gerakan cepat. "Nenek Lim? Benarkah itu kau? Apa kau juga sudah mati?" Suchart

sungguh terheran. Ia tidak pernah berharap Nenek Lim akan menyusulnya.

15

Page 19: Majalah Kamar Sastra - Edisi 0

.

"Mati saja sendiri. Tapi jangan di tempatku!" ujar Nenek Lim dengan nada tinggi.

Wanita tua itu kemudian memutar tubuhnya dengan gerakan lambat dan melengang

santai meninggalkan Suchart.

"A-apa?" Kedua alis Suchart terangkat.

Pria itu pun mulai menyadari sesuatu. Saat ini, tubuhnya yang basah kuyup tengah

tergeletak tepat di bawah pohon. Meskipun silau oleh sinar matahari yang begitu terik,

ia melempar pandangan ke berbagai arah. Di sana, ada rumah Nenek Lim dan juga

pemiliknya yang baru saja berlalu melewati pintu kayu yang reyot dan tua. Lalu,

kepalanya yang pusing dan nyeri mulai mengingat sesuatu lainnya.

Ah ya. Tadi, saat dirinya siap bergelantungan dan hendak melepas pijakan, wanita tua

itu mengayunkan tongkatnya sekuat tenaga ke arah kepala Suchart. Sudah pasti ia jatuh

pingsan seketika. Kini Suchart mengerti. Ia masih hidup dan perkara bunuh dirinya pun

ternyata... gagal!

-Tamat-

"... dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya yang berputus

asa dari rahmat Allah, hanyalah orang-orang yang kafir." (Alquran 12:87)

16

Page 20: Majalah Kamar Sastra - Edisi 0
Page 21: Majalah Kamar Sastra - Edisi 0

18

Dia bilang akan menungguku di depan gerbang sekolah tepat jam tujuh pagi, sementara

camp-ku lebih jauh dari gerbang dibanding tempat bermalannya tadi malam. Dia akan

segera pindah ke camp yang baru dan tak akan bersamaku lagi. Ternyata memang benar

jam tujuh pagi dia sudah berada di gerbang sekolah, bahkan kurang dari itu.

Sepeda tua ini membuatku grasak-grusuk—kesulitan membuka kunci karena aku tak tak

tahu di mana letak lubang kuncinya. Seseorang lewat di hadapanku dan aku memintanya

untuk menunjukkan letak lubang kunci, kemudian tanpa berat hati ia pun membukakan

kunci sepeda tua itu. Kepanikan yang kedua adalah ketika aku tak sanggup melepas

standard dari ban belakang, “kenapa aku terlihat bodoh sekali.” Lagi-lagi saat orang yang

sama kembali ke dalam ¬camp aku meminta tolong untuk ditunjukkan bagaimana caranya

melepaskan standard yang tak biasa ini. Aku mengucapkan terimakasih berkali-kali dan

mencoba tenang kemudian mulai melesatkan pijakan dan ban sepedapun berputar.

Miss Lisfa pasti akan sangat lama menunggu tetapi dia tak masalah dengan ini. bagaimana

mungkin aku akan berjalan jauh tanpa memeriksa keadaan sepeda, membuka kunci dan

melepaskan standard-nya saja sangat susah sekali. Bagaimana dengan remnya, bagaimana

dengan kedua bannya yang sangat tipis ini, dan bagaimana juga dengan rantainya. Semua

kuanggap baik-baik saja dan aku mulai mengikuti Miss Lisfa dari belakang.

Pagi ini yang akan membiarkanku berlari dengan cara yang benar. Bunyi, “kreteeekkk,

kreteeekkk” lagi, membuatku harus lebih bersabar mengejar ketertinggalan, meskipun

Page 22: Majalah Kamar Sastra - Edisi 0

19

akan lebih banyak menyembunyikan keringatku di balik masker. Lebih lama mengenggam

stang dari biasanya dan mewaspadai jalanan dengan penglihatan kabur karena embun di

kaca mata.

Kupikir aku sudah bisa mengejarnya dengan cepat…. dia terlihat berjalan pelan tapi serasa

masih jauh dariku. Berkali-kali aku tancap gas kepayahan namun sepertinya dia makin

jauh. Ini seperti… seperti… seperti sama payahnya dengan mengejar score di ujian tiap

akir pekan. Bahkan mungkin lebih berat dari ini. Tadi malam saja aku merengek-rengek

di telpon kepada Ibu hanya karena sakit kepala meskipun kemarin demam dan diareku

sudah baikan.

Ini masih di jalanan biasa-biasa saja yang hanya dilewati para pejalan kaki. Kami belum

melewati jalan raya yang banyak kendaraan dan lampu merah itu. Giliran keluar ke jalan

raya, Miss Lisfa berhenti dan aku sedikit lega tetapi tak berapa lama kami harus

menyebrang jalan dua kali dan melewati jembatan, berbelok dan menyebrang lagi. Ini yang

terberat, aku benci menyebrang jalan. Ibuku tak pernah yakin saat aku menuntunnya

menyebrang jalan raya, dia selalu bilang, “hati-hati, hati-hati….”

Lama-kelamaan ini menjadi menyenangkan. Kupikir tak apa jika aku belum bisa mengejar

ketertinggalanku, tak usah dipaksakan. Sama seperti ketika mengejar score tinggi di tiap

ujian. Aku hanya bisa menjaga jarak, perlahan dengan kesabaran dan kewaspadaan dalam

pola belajar yang baik akan ada waktunya bisa melesat jauh. Kemarin siang dengan sangat

Page 23: Majalah Kamar Sastra - Edisi 0

20

panasnya atmosfer Kediri, aku melototi enam digit angka berturut-turut sebanyak tiga kali

dan menghitungnya sendiri sebelum besok akhirnya terpasang di papan pengumuman.

“Arrghhhh…. Mr. Fuddin dan Mr. Rusman setidaknya akan bertanya di kelas pada

muridnya tentang ujian massal itu dan dia kemarin melihatku berada di bangku paling

depan.” Kenapa aku harus marah. Sudahlah, score hanya akan tetap menjadi score, lain

halnya jika aku mensyukuri ada pertolongan dan campur tangan Allah di dalamnya.

“Yosh!!!”

Ini menyenangkan… di jalanan, banyak kendaraan, banyak orang juga yang menggunakan

sepeda. Semakin terbiasa dengan tantangan maka aku akan semakin mudah mengantisipasi

segala bentuk tanya dan mengetahui jawabannya. Tentang ujian di tiap akhir pekan adalah

hanya setitik ujian dari target ujian sebenarnya di akhir tahu nanti. Aku masih belum

mendapatkan kesempatan interview penelitianku dengan seorang professor. “Ya Allah,

mudahkan jalan segala urusan….”

Ada saatnya memang kami akan menjaga jarak atau kami akan sangat dekat sekali.

Akhirnya aku bisa mendahului Miss Lisfa saat kami melewati parkiran Taman Makam

Pahlawan. Ternyata ini memang tempat yang ingin kami tuju, kukira aku benar-benar telah

mengejarnya.

Kunci sepedaku sulit sekali dilepas dan kami menitipkan sepeda-sepeda tua kami pada

tukang parkir di depan Kilisuci. Di taman ini banyak sekali orang berkumpul. Menikmati

Page 24: Majalah Kamar Sastra - Edisi 0

21

angin segar, makan-makan bersama keluarga, lari pagi, melingkar dalam majelis ilmu,

diskusi dan banyak lagi.

Aku tak tahu apa tema materi kita hari ini. Jauh dari pikiranku tentang apapun selain hanya

ingin selamat di jalanan. Baru saja aku duduk, Umi Nunuk sudah melemparkan kata-kata

“jodoh”, lebih tragis lagi menyinggung-nyinggung “lelaki pengecut” lebih tepatnya “sikap

lelaki yang pengecut”

Aku tersenyum-senyum sendiri, di tengah-tengah mengejar score justru Allah berikan

ilmu-ilmu lain. Mungkin ini topik lama yang bisa saja akan tetap menjadi baru karena

ilmunya sangat dalam—tak hanya sekedar score sebenarnya setelah satu atau tiga bulan

berlatih. Benar saja jika tanpa kesiapan, ketaatan penuh pada Allah maka mental kita akan

sangat jatuh. Semuanya butuh persiapan, segala perjalanan dan segala ujian hanya akan

butuh persiapan atau bekal. Akan dengan apa aku nanti menghadapi semua ujian-ujian itu,

kegembiraan dan ketegangan bahkan saat menghadapi rizky yang tak disangka-sangka

sampai Allah alihkan pula pada rizky-rizky yang lain.

“…. Barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan membukakan jalan keluar

baginya, dan Dia memberinya rizky dari arah yang tak disangka-sangka. Dan barang siapa

bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan keperluannya. Sesungguhnya

Allah melaksanakan urusan-Nya. Sungguh Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap

sesuatu.” QS. At-Talaaq ayat 2-3

Page 25: Majalah Kamar Sastra - Edisi 0

22

Semua teori hidup terlihat sangat sederhana tetapi realita akan sangat berbeda, bisa lebih

sulit bahkan lebih mudah atau akan biasa-biasa saja… dan aku tak bermaksud menghadapi

hidup ini dengan biasa-biasa saja, dengan mimpi biasa-biasa saja dan dengan usaha apa

adanya. Masih ada lima kali ujian di kelas, yang terakhir sebenarnya akan terasa sangat

menyusahkan. “Aaaaa… bagaimana ini?” Lantas apa yang membuatku tak yakin pada

kuasa Allah atas semua janji-janjinya di langit dan di bumi. Ingat, dengan ketaatan penuh

dan tidak membiarkan iman dalam kondisi lengah dan lemah. Semua akan berjalan dengan

baik sesuai rencana Allah. Meminta apa pun dengan sabar dan do’a juga tak bosan-

bosannya berkumpul dengan orang-orang yang soleh, ini tidak terlepas dari kewajiban

menjadi manusia terbaik bagi manusia lain.

“Wakatta!!!”

Dan mungkin teman-temanku akan menganggap upaya ini sebagai angan-angan atau

bahkan tidak berguna. Aku menghindari banyak perdebatan dan bully-an ketua kelas pada

sikembar Agnes dan Agnis di kelas, kecuali jika ada hubungannya dengan materi, juga

menolak banyak ajakan untuk jalan-jalan ke luar kota. “Aaahhh…. tahan dulu.” Dua hal

yang bisa saja membuatku gagal dan hanya membuang waktu. Aku tak ingin terlalu banyak

main dan melupakan semua pembelajaran ini ketika pulang. “Tak ingin menjadi orang

merugi!”

Page 26: Majalah Kamar Sastra - Edisi 0

23

Miss Lisfa selalu ada di depanku, aku tak begitu memaksakan harus sangat dekat

dengannya. Sepedaku lebih tua dan lebih karatan namun akhirnya bunyi “kreteeekkk,

kreteeekkk” itu menjadi biasa di telingaku. Sekarang tak begitu khawatir akan tertinggal

jauh di belakang karena memang butuh waktu untuk memperbaiki kemampuan seseorang

jika mesin yang kita gunakan sama saja.

Aku sedikit tertinggal lagi saat lampu merah berganti menjadi hijau. Kini jalanan lengang,

melewati pohon glodokan yang kusukai bentuk kanopinya. Angin sangat segar sekali

menyapu dahiku. Tak apa aku ada di belakang seseorang jika itu akan lebih membuatnya

aman dan terjaga selagi aku mempersiapkan kekuatan lain untuk bisa bersamanya nanti.

Kembali dengan semangat mengejar mimpi dalam banyak ketaatan. Semoga akan tetap

Allah jaga…. menjaga ruh ini, menjaga mereka—teman-temanku yang juga sedang

berjuang dengan cara yang berbeda.

“Sekarang, kembalilah ke camp dan kerjakan PR-mu.”

“Wakarimasu!!!”

Page 27: Majalah Kamar Sastra - Edisi 0

24

“I have no

place left to

live but in my

own heart.”

― Anne Enright, The Gathering

Page 28: Majalah Kamar Sastra - Edisi 0
Page 29: Majalah Kamar Sastra - Edisi 0

26

Saat itu, Aldo yang telah menginjak semester 9 masih berkontribusi aktif di lembaga

kemahasiswaan tingkat Universitas di kampusnya.

Hari itu adalah 5 hari menjelang sidang akhir kuliahnya, yang akan menyatakan

bahwa ia benar2 lulus dengan gelar sarjana. Sepulang dari kampus mengurus

persyaratan sidangnya, Aldo bergegas menuju sekretariat Kema (Keluarga

Mahasiswa) untuk mengurus persiapan sidang akhir tahun kema yang akan

dilaksanakan esok hari.

Gerimis mulai turun malam itu, disela2 aktifitasnya mempersiapkan sidang akhir

tahun kema, Aldo bergegas ke masjid saat mendengar adzan isya berkumandang,

menerjang gerimis yang mulai membasahi dan dinginnya Jatinangor malam yang

semakin menggigit..

Seusai shalat dan berdo’a, tiba2 Aldo teringat dan terpikir satu hal..

‘Fahri.. Apa maksud perkataannya tempo hari? Pertemuan terakhir?’ Gumamnya

dalam hati..

Page 30: Majalah Kamar Sastra - Edisi 0

27

Akhirnya Aldopun memutuskan untuk harus mendapatkan jawabannya malam itu,

dan mencoba menghubungi nomor baru yang Fahri berikan saat bertemu tempo

hari.. -sent-

45 menit berlalu dari setelah ia mengirimkan sms.. Tak jua ada balasan dari Fahri.

Akhirnya Aldo pergi ke tempat fotocopy yang terletak di depan kampus untuk

mengambil berkas2 sidang Kema. Sepulang dari tempat fotocopy sembari

membawa 1 dus berkas sidang, tiba2 tepat di pintu gerbang kampus Aldo berpapasan

dengan Fahri.

‘Eh Fahri, Assalamualaykum, Dari mana?’

Waalaykumussalam, abis dari asrama ketemu temen kak.

'SMS saya masuk ga? Tadi saya sms Fahri’

Oh ya? -sambil mengecek HP- ga ada sms apa2 kak, emang kenapa?

'Oh ga masuk ya? Mm, malam ini boleh main ke kosannya Fahri?’

Page 31: Majalah Kamar Sastra - Edisi 0

28

Oh boleh kak, ayo aja. Kebetulan temen2 kosan saya lagi ada acara di Bandung.

Jadinya saya di kosan sendiri, biar ada temen.

Setelah kembali ke sekre untuk menyimpan berkas sidang, Aldo bergegas menuju

kosan Fahri..

Fahri: Silakan duduk kak, saya ke dapur dulu nyiapin minuman.

Aldo: Wah gausah repot2 de,

Fahri: Gapapa kak, saya bikinin teh manis panas ya biar anget. Diluar hujan. —

Silakan diminum kak..

Aldo: Oh ya, kenapa muka Fahri tampak pucat? Lagi sakit?

Fahri: Oh nggak kak, mungkin karna kedinginan..

——————————–*****——————————–

Hujan semakin deras, gemericik air terdengar jelas dari atas genteng, dan dinginnya

malam semakin menyapa dan menyelimuti keheningan malam itu. Hanya Aldo

Page 32: Majalah Kamar Sastra - Edisi 0

29

berdua dengan Fahri di ruangan itu. Mereka saling berhadapan, duduk di kursi yang

berbeda dan terhalang oleh sebuah meja..

-Hening-..

Aldo mencoba mengakhiri keheningan, dan bertanya pada Fahri yang hanya duduk

tertunduk seolah sedang menyembunyikan sesuatu..

Aldo: Fahri lagi sibuk apa sekarang? Kuliah lancar?

Fahri: Oh iya kak, lagi sibuk kuliah aja. Alhamdulillah lancar..

Aldo mesih merasa bahwa Fahri seolah sedang menahan dan menyembunyikan

sesuatu.

Aldo: Amanah gimana de? Masih berjalankah? amanah sebagai Ketua Ospek

udah selesai ya? Kalau di rohis bagaimana?

Fahri: Iya, amanah di ospek sudah selesai. Kalu di rohis.. mmm … Saya ga tau kak..

Fahri menjawab dengan kaku dan tampak tak tahu harus menjawab apa.

Aldo: Loh, kok ga tau? Emang kenapa de? Ada masalah?

Page 33: Majalah Kamar Sastra - Edisi 0

30

Fahri: Itu dia kak, sebenarnya …

-Fahri enggan melanjutkan-

Aldo: Kenapa de?

Fahri: Sebenarnya saya lagi punya masalah berat. Saya takut kalo ini benar2

menjadi pertemuan terakhir kak.. jawab Fahri dengan nada berat dan kepala

tertunduk.

Aldo: Masalah apa de?

Fahri: Sebenarnya orang tua saya tak mengijinkan saya kuliah. Saat lulus SMA dulu,

Ibu menginginkan saya untuk mengelola pesantren peninggalan almarhum kakek

saya dulu. Tapi kuliah adalah cita2 saya, saya sangat ingin kuliah. Ingiiin sekali..

Aldo mengtahui bahwa saat bercerita tentang itu, dada Fahri nampaknya seolah

mulai terasa sesak dan berat untuk berucap.

Aldo: Lalu, dulu saat pertama kuliah dulu, Fahri mengurus segala sesuatu sama

siapa?

Page 34: Majalah Kamar Sastra - Edisi 0

31

Fahri: sendiri kak, karna orang tua pun tak mendukung. Jadi saya beranikan diri

untuk mengurus semuanya sendirian. Karna saya ingin sekali bisa kuliah.

Beruntung saya mendapatkan beasiswa. Dulu, waktu saya diterima di kampus ini,

saya pikir orang tua saya akan senang mendengarnya. Tapi, ternyata sama sekali

tidak seperti itu. Ayah dan ibu masih tetap menginginkan saya untuk mengelola

pesantren, dan tidak menginginkan saya kuliah.

Aldo: lalu saat ini kondisinya bagaimana? Sudah hampir 1,5 tahun Fahri kuliah

disini.

Fahri: kondisinya masih sama kak, bahkan setiap kali saya pulang ke rumah pasti

saya kesulitan untuk kembali kesini, karna orang tua selalu menahan saya agar

tidak kembali ke kampus. Nada suaranya makin terbata2 menahan sesak.

Aldo: Sampai sekarang Fahri masih punya keinginan besar untuk melanjutkan

kuliah?

Fahri: iya kak,

Aldo: Lalu, rencana Fahri selanjutnya apa?

Page 35: Majalah Kamar Sastra - Edisi 0

32

Fahri: saya ingin mencoba memberikan pemahaman pada orang tua, semoga bisa

mengijinkan saya untuk tetap kuliah, karna saya masih ingin disini. Tapi, kalo orang

tua saya tidak mengijinkan … saya … -berusaha menahan sesak dan tak kuasa

melanjutkan-

‘Ridha Allah ada pada ridha orang tua’..tutupnya.

Aldo bisa merasakan sesak yang dirasakan oleh Fahri. Ia melihat jelas Fahri

tertunduk di hadapannya. Sakit, ya, sakiit sekali.. kadang memang sulit untuk

berkompromi dengan ridha seorang -ayah dan ibu.

Aldo: sebelumnya, Fahri pernah menceritakan masalah ini pada orang lain?

Fahri: tidak kak,

Aldo: Jadi selama ini hanya memendamnya sendiri? Tidak pernah menceritakan

tentang ini pada orang lain, pada teman, tutor, atau kakak2 di Rohis?

Fahri: tidak kak.. singkat sekali ia menjawab.

Aldo: kenapa de? Lantas, kenapa Fahri bisa menceritakan ini semua pada saya dan

baru sekarang?

Fahri: (mulai mengangkat bahu dan kepalanya, menatap tajam pada Aldo)

Page 36: Majalah Kamar Sastra - Edisi 0

33

Tak semudah itu menceritakan sesuatu pada orang lain. Terlebih sesuatu itu adalah

berupa masalah.

Saya ingin sekali menceritakan ini pada orang lain dari dulu, dengan harapan

semoga ada yang bisa membantu atau setidaknya menguatkan saya. Tapi tak bisa,

dan tak ada seorangpun, yang saya bisa bercerita padanya. Teman, tutor, rohis..

Saya merasa mereka semua asik dengan urusan mereka.. Mereka terlalu sibuk untuk

saya jadikan kawan..

Jujur, dari awal saya sudah menganggap kak Aldo sebagai kakak saya sendiri.

Semenjak tau bahwa saat itu kak Aldo menjadi tutor saya, saya sangat senang

sekali. Saya pun bisa terbuka, dan bersedia menceritakan semua tentang masalah

yang saya alami. Ya, kau tak seperti mereka. Kau selalu berkenan, dan ada disaat

saya membutuhkan.

Kau tahu .. ? saat kau memutuskan bahwa usrahku dipindah, yaa, saat itu tepat

bersamaan dengan tekanan terberatku muncul. Menjadi seorang ketua ospek yang

tak pernah terbayangkan sedikitpun di benakku, dan begitupun orang tua yang

semakin memaksaku untuk berhenti. Dan saat itu pula aku kehilangan.. orang yang

selama ini selalu ada, menemani dan menguatkanku, iapun pergi meninggalkan..

Page 37: Majalah Kamar Sastra - Edisi 0

34

Saya tak tau harus pada siapa lagi mencari kekuatan, selain saya hanya bisa berdoa

pada Allah..

-Fahri kembali tertunduk, dan berusaha meluapkan gejolak jiwa yang selama ini ia

pendam-

Semenjak itu, saya tak bisa lagi melebur dengan teman satu usrah, amanah saya

terbengkalai, ospek yang saya pimpin, pernah saya tinggalkan. Dan rohis, saya pun

pernah gagal melaksanakan tanggung jawab saya disana. Saya pikir, mereka akan

memaklumi dan terus membimbing saya. Ternyata nihil. Tak ada satupun yang mau

berusaha faham dengan kondisi saya saat itu. Saya berusaha menelan dan

melanjutkan semuanya, -sendirian-..

Dan ….. sampai saat ini saya belum menemukan sosok yang bisa menggantikan

kak Aldo, sebagai kakak sekaligus pembimbing saya.

Lemas, ya lemaas sekali mendengarkan luapan emosi Fahri. Seolah Aldo mati

rasa, mati langkah, tak tahu lagi bagaimana menentramkan hati Fahri. Terlebih

bahwa ternyata ia telah melakukan kesalahan, meninggalkannya saat hal terberat

dalam dirinya muncul. Aku merasa selama ini aku telah berlaku kejam padanya.

Aldo melihat Fahri hanya tertunduk di hadapannya. Ia menghampiri ke sampingnya,

tempat duduk Fahri yang sebelumnya terhalang oleh meja.

Page 38: Majalah Kamar Sastra - Edisi 0

35

Jika kau ingin menangis, menangislah. dengan sesak Aldo mencoba berkata,

walau saat itu ia tahu bahwa Fahri menahan tangisnya.

Dan akhirnya. Ya, ia tak kuasa lagi menahannya. Ia menangis.

Di bahunya, di bahu orang yang selama ini ia banggakan, yang ia anggap akan bisa

membantunya keluar dari dilema yang semakin menggerogoti, Fahri menyandarkan

segala duka lara yang ia rasakan.

Aldo mendekapnya, erat. mendekap seorang adik yang selama ini

membutuhkannya. Adik yang selama ini telah tega ia tinggalkan bersama

kesulitan2nya..

Terasa sekali olehnya sesak yang dirasakan oleh Fahri, detak jantungnya yang

semakin keras, dan guratan di wajah Fahri yang semakin terlihat menahan sesak dan

tangis. Ya, ia bisa merasakan itu. Dan tubuhnya mulai bergetar..

‘maafkan aku.. membiarkanmu sendirian’..

‘maaf …’

Page 39: Majalah Kamar Sastra - Edisi 0

36

‘kenapa baru sekarang mengakui hal ini …’

-Hening-

Hujan semakin deras, seolah turut meneteskan air mata dengan apa yang telah

terungkap malam itu. Dingin sekali. Sepi.. seolah tak ada lagi makhluk yang terjaga

tengah malam itu..

——————————-———-*****———————————–——-

Aku telah melakukan kesalahan besar dalam hidupku. Ia yang membutuhkanku, aku

tinggalkan tanpa pesan sedikitpun. Aku tinggalkan ia bersama kesulitan2nya.

Pantas saja, di malam itu, saat malam puncak orientasi dan pengenalan kampus,

saat ia akan mengakhiri amanahnya, entah kenapa aku merasakan dada ini sesak

luar biasa. Saat itu aku menangis, air mata ini turun, dan aku berusaha

menyembunyikannya dari orang lain. Melihatnya berdiri,

mempertanggungjawabkan amanah dan kepemimpinannya selama ini. Ia sendiri,

ya saat itu aku bisa merasakan bahwa ia sendiri.

Page 40: Majalah Kamar Sastra - Edisi 0

37

Lalu, mengapa baru sekarang aku tersadar. Mengapa tak pernah aku berusaha

menghampirinya, dan kembali menguatkannya..

Aku makhluk paling egois, ya, ia pasti sudah menganggapku makhluk paling egois..

Teringat kembali saat aku membuka telpon genggam milikku, disana ada pesan dari

Fahri satu tahun silam bertuliskan:

‘Assalamualaykum, kak saya berangkat ya.. Mohon doanya :)’..

Dan dibawahnya, tak ada sedikitpun balasan dariku untuknya.

Fahri, yang saat itu masih hanif, masih dengan titel ‘maba’nya, yang setia dengan

celana pentalonnya sudah menggoreskan prestasi membanggakan untuk rohis yg

ketika itu aku pimpin. Ia satu2nya orang dari fakultasnya yang telah berhasil

menjadi juara pada lomba MTQ di kampus kala itu, dan lolos ke tingkat Nasional..

Aku juga teringat jelas, saat hujan deras sore itu ia menghampiriku dengan tekad

yang kuat agar bisa mengikuti perlombaan itu, meski pendaftarannya sudah ditutup.

Namun ia terus memaksaku, dan akhinya aku menemaninya untuk daftar,

menemaninya berlatih menerjang derasnya hujan, dan menemaninya saat

perlombaan..

Page 41: Majalah Kamar Sastra - Edisi 0

38

Hingga ia memohon restu tak berbalas dariku untuk mengikuti perlombaan di

tingkat nasional..

Tapi sekarang … aku telah tega membiarkannya berjalan sendirian..

Dan kini pesan terakhir darinya..

‘Assalamualaykum,

Kak, terima kasih untuk semuanya. Maafkan saya. Saya pamit…’

-Fahri-

Ya Allah, jagalah ia dikala penjagaanku tak sampai kepadanya, sayangi ia dikala

rasa sayangku tak mampu merangkulnya dalam dekapan nyata. Muliakan ia dikala

penghargaanku tak terangkum dalam kata yang sahaja, karena Engkau punya

segala yang tak ku punya. Semoga ia selalu dapat menjadi saudaraku di jalanMu

hingga akhir kelak..

-Maafkan aku, adikku..-

Aldo

Page 42: Majalah Kamar Sastra - Edisi 0

39

Page 43: Majalah Kamar Sastra - Edisi 0

40

Pagi ini semakin hangat. Mungkin kalau ditanyakan pada manusia tentang

waktu, si pagi akan selalu bersahabat dengan dingin. Tentu yang ini beda, alasan

memberikan jawaban mendukung untuk mengatakan Yes bahwa ruang-ruang rumah,

lorong-lorong, lantai-lantai, benda-benda pajangan, dan manusia-manusia pengisi

bangunan mewah duniawi itu diselimuti ayunan suara Faris yang bergelombang masuk

ke telinga bagi siapa saja yang di sana. Menghangati hati yang selalu dingin dengan

foya-foya. Gambaran kebanyakan orang berharta. QS. Al Baqarah ayat 186 dan

seterusnya di bacakan oleh Faris.

Suara tilawatul Qur’an Faris mulai mengisi rumah yang sudah tahunan tak pernah diisi

kalimat-kalimat suci-wahyu sang pencipta cinta. Mulailah benih-benih cinta tumbuh

mengecambah di rumah itu. Jika rumah Tuan Sardi, ayah Faris sama sekali telah luput

dari pandangan orang. Ta’lim dua tahun lalu terakhir Tuan Sardi menghadiri. Selebihnya

jauh dari komunal masyarakat.

“Alah, Tuan Sardi bakalan ga ada yang ngantarin ke kuburan, mungkin anaknya doang

yang mandiin, kafanin, shalatin, terus di gotong tuh ayahnya ke kuburan, sendiri juga

kali. Wong, saya tetangganya,

berani dia lewat depaN rumah, lah rumah lagi berduka. Di situ

saya sabar Ustadz,”

“Hush… sabar Pak Anang, sekarang kan Nak Faris sudah kembali lagi.

Page 44: Majalah Kamar Sastra - Edisi 0

41

Sekarang udah sering ditengah-tengah kita. tadi pagi juga ayahnya udah

dia bawa ke masjid juga. Kalau Mas Anang sabar, Allah lipat gandain nanti pahalanya.

Ane doain deh Pak Anang segera dapat istri baru lagi, tapi jangan lupa yang shalehah

ya.”

“Aamiin…. Aamiiin.”

***

Di ruang dapur.

“Bi Nom, ada yang aneh di rumah ini.”

“Aneh apa ya bu. Bukannya di rumah biasa-biasa aja bu.”

Bi Nom-nom, pembantu rumah tangga yang sudah berusia lima puluh tahunan. Sudah

janda dan tidak memiliki keturunan yang di bawa Nyonya Lasmi, Ibunya Faris dari

kampung halamannya di Solo. Sambil menyiapkan sarapan di meja masak. Sementara

Nyonya Lasmi, menyubit-nyubit roti panggang hangat di meja makan

dengan santainya. Sesekali menyeruput susu hangat buatan

Bi Nom.“ Sini Bi Nom.”Sang pembantu pun berjalan tunduk ke arah Nyonya Lasmi.

Sambil memegang serbet bergaris hitam. Bi Nom menduduki kursi di depan Nyonya

Lasmi. Pagi ini kursi makan tidak diisi penuh seperti biasanya. Hari ini, hari

Page 45: Majalah Kamar Sastra - Edisi 0

42

perdana Pak Sardi berpuasa sunnah senin. Faris berhasil membujuk ayahnya.

Dakwah keluarga mulai berjalan di rumah itu oleh Faris.

“Ada apa sih, Nyonya.”

“Coba tenang, jangan bersuara. Pelan-pelan dengerin ada suara dari lantai dua. Ada yang

ngaji.”

Keduanya serius saling bertumbu lengan di atas meja hitam mengkilap.

Terbayang kedua setengah badan Nyonya Lasmi dan Bi Nom.

“Nah, dengerin.”

“Iya, Nya. Oh itu. udah hampir tiap pagi Nya Mas Faris ngaji Qur’an. Jadi, saya juga ga

kesiangan lagi buat masak bu, hehehe ”

Nyonya Lasmi menukar tumpuan dagunya dengan tangan kiri.

Ekspresi wajah terlihat penasaran dengan pernyataan Bi Nom. Pada akhirnya kedua

tangannya dilipat saling bertumpu di atas meja. Bibir merah Nyonya Lasmi merapat.

Hidungnya mengembus keluar CO2.

“Mmmm…. pantesan. Semenjak saya nugas di Malaysia, telepon Faris setiap pagi

memanggil ke apartemen saya. Jadi, ada yang bisa Bi Nom ceritakan ke saya perubahan

Page 46: Majalah Kamar Sastra - Edisi 0

43

dia selama saya ga di rumah?”

“Oh iya… sebenarnya, Mas Faris ga ada yang disembunyiin. Seperti biasanya pulang

kuliah langsung ke kamar. Eh, ada deh Nya. Dua bulan ini setiap kamis Mas Faris

pulangnya malam-malam Nya. Bawa teman, namanya Kang Gugum. Katanya teman se

kampusnya. Tapi jauh sebelum-sebelum ini teman-temannya suka bikin berisik kalau ke

rumah. Yang satu ini beda Nya, lebih kalem, lebih alim. Mungkin karena temannya itu

yang membuat Mas Faris agak berubah. Tapi saya suka Mas Faris kalau udah berubah.”

Hening….

“Terus, ada apa lagi Bi?”

“oh iya… sebentar Nya.”

Bi Nom meninggalkan Nyonya Lasmi. Lari-lari kecil menuju

kamarnya yang tidak jauh dari dapur. Sekitar tiga puluh detik Bi Nom kembali ke rumah

makan dengan membawa kertas-kertas. Ditunjukkannya ke Nyonya Lasmi, mungkin

seperti surat bukti-bukti dari kantor pos.

“Dulu, sebelum Nyonya berangkat ke Malaysia, Mas Faris sering kedatangan bingkisan

dari Pos. Tapi pengirimnya ga jelas bu. Karena saya ga bisa baca. Hehe.

Tapi dari raut mukanya Mas Faris ga suka dengan bingkisan itu. mungkin

Page 47: Majalah Kamar Sastra - Edisi 0

44

dari pacarnya kali, Nya.”

Nyonya Lasmi melototi Bi Nom mendengar cerita itu. Sambil mencari identitas

pengirim, si pengirim misterius beberapa waktu lalu yang tak lain adalah Gugum.

Selembar dua lembar kertas itu dibuka dan diserak rapih di atas meja. Berjejer sepuluh

lembar surat tanda terima bingkisan dari pos.

“Semuanya ga ada yang dikasih identitas.” Gumam Nyonya Lasmi dalam hati.

“Hmmm…. Bi Nom, jadi Bi Nom sengaja mengumpulkan semua surat tanda terima ini?

tapi gapapa, nanti saya bisa bicara dengan Faris. Saya juga harus tahu kondisinya

belakangan ini yang berubah.”

“Iya, Nya. Saya kira setiap surat dari pos itu penting. Makanya saya kumpulkan.”

“iya, gapapa Bi Nom. Terimakasih ya.” Senyum Nyonya Lasmi dilempar ke Bi Nom

yang merasa bersalah dengan mengumpulkan surat-surat itu.

Pikiran Nyonya Lasmi bercampur dengan hati merasa bersalah karena jarang

memantau perkembangan sang anak. Padahal tidak ada yang perlu

dikhawatirkan dengan perubahan Faris yang terus mengarah pada hal-hal yang

baik.

Page 48: Majalah Kamar Sastra - Edisi 0

45

“ehm…. Mam.”

“iya…”

Nyonya Lasmi dan Bi Nom menatap ke arah ujung meja.

Di sana Faris berdiri siap-siap berangkat ke kampus. Dengan

terkejut Nyonya Lasmi gugup dan tergopoh-gopoh mengumpulkan kertas-kertas yang

masih diserak di atas meja. Bi Nom juga ikut latah, kaget dengan sosok Faris yang tiba-

tiba muncul.

“kenapa Mam, kaget gitu kalau Faris ke sini.?”

“Mmm.. gapapa, Nak.” Nyonya Lasmi melempar senyum gugup.

“kenapa, Bi?”

“mmmm.. mmmmm… Mmmm…. gapapa Mas, anuu… anuuu… tadi gapapa mas…

hehehe..” Bi Nom lebih gugup lagi sambil menggumpal kertas dan diremas.

“Sayang, sarapan dulu. Ini Bi Nom udah siapin dari tadi. Keburu dingin susu hangatnya,

ini roti bakarnya.”

“Bi Nom lupa ya, kan udah bilang kalau setiap senin dan kamis ga usah dibuati sarapan

pagi buat Aku, kan mau puasa.” Faris menimpalinya dengan rasa sayang kepada

Page 49: Majalah Kamar Sastra - Edisi 0

46

kedua perempuan di depannya.

“Bi Nom, kenapa ga bilang tadi, kan kelihatan saya gugupnya.

” Bisik Nyonya Lasmi ke telinga Bi Nom.

“Mam, Faris berangkat.” Sambil membaca SMS dari gugum yang sudah menunggu di

kampus.

“Oh iya, Faris pulangnya agak malaman, insyaa Allah ba’da isya. Ada teman ko mah, ga

usah khawatir, insyaa Allah.” Mendekati ibunya, menyentuhkan bibir merahnya yang

tidak beraroma rokok lagi ke pipi ibunya. Kecupan sayang sang anak ke bunda tercinta.

“Wassalamu’alaikum.”

“waaa…alaikum salam..”

Faris berlalu di pagi itu meninggalkan kecup kasih sayang yang menyentuh kalbu sang

Ibu. Punggung Faris ditatap sang Ibu sampai ujung pintu, sampai menghilang dan pergi.

Kali ini sang ibu merasakan apa makna cinta sesungguhnya. Sang Ibu menarawang masa

lalu yang tidak terlalu peduli dengan perkembangan Faris. Profesi menyita waktu yang

banyak sampai Faris kuliah. Sang ayah juga begitu. Namun, ruang-ruang cinta tidak

begitu hilang begitu saja ketika hati masih dibasahi oleh orang sekitar. Rumah besar itu

seperti sempit mengungkung hati dan pikiran menjadi tak bisa bebas seperti dedaunan di

Page 50: Majalah Kamar Sastra - Edisi 0

47

halaman rumah.

“Nyonya….” Bi Nom membangunkan Nyonya Lasmi dari lamunan yang menghakimi.

“Iya, Bi… gapapa… ayo lanjutin beresin dapur, saya ke kamar dulu.”

“Iya, Nya.”

***

Pukul 06.30 WIB. Faris tiba di kampus. Kehadirannya masih dikalahkan

oleh Gugum. Faris sudah berjanji dalam diam untuk mengalahkan Gugum tentang

waktu. Tetap saja Gugum yang jadi juara. Tidak ke masjid, tidak ke kampus, begitu juga

dengan janji-janji lain, tetap Gugum jadi juaranya.

“lain kali aku yang akan jadi juara.” Niat Faris.

“Assalamu’alaikum, Gum.”

“Wa’alaikumuusalam, Mas Faris… gimana Mas, ada yang bisa saya bantu?”

“iya nih Gum, saya mau minta saran yang baik dari antum, terkait dengan SMS saya

dini hari tadi.” Faris mencoba mencari tempat duduk yang pas agar leluasa bercerita

dengan teman karibnya. Kantin masih diisi oleh mereka berdua. Para pemilik kantin

Page 51: Majalah Kamar Sastra - Edisi 0

48

juga masih beres-beres dagangan. Cocok jika bercerita tentang curhat-curhat.

Tenang.

“Gum, masih kayak malam-malam sebelumnya. Saya terus-terusan mimpiin mantan

pacar saya. Dan tau Gum, dia datang dengan kondisi yang tidak sepantasnya. Saya ga

kuat kalau begini terus. Sebelum tidur saya wudhu’, tilawah, shalat dua rakaat, dan

doa-doa lainnya. Masih tetep terjadi. Bantu saya Gum, please!!!”

Pasrah hampir mengalahkan semangatnya. Sosok Lena-sang mantan mengalahkan ritual

malam sebelum tidur Faris, dinding mimpinya diterobos bayangan Lena. Bukan

ritualnya yang tak kuat, karena amal-amal itu telah dicontohkan sang Kekasih Allah.

Mungkin ada yang belum sampai pada level lengkap dan sempurna, tentang hijab hati

Faris.

“ehm… Mas Faris, coba yang tenang, istighfar..”

“Astagfirulahal ‘adziim..”

“Mas Faris, kalau memang Mas masih diganggu, sering mimpi begituan,…

Maaf jika saya lancang bilang ini,…

mmm… mas Faris mungkin belum ikhlas, mungkin ada niat yang belum lurus.”

“Maaf Gum, belum ikhlas dan belum lurus gimana maksudnya gum, saya

Page 52: Majalah Kamar Sastra - Edisi 0

49

udah usahain amal-amalan itu, shalat ini, baca ini itu, doa ini itu.” Suara

Faris agak sedikit tinggi.

Hening seketika. Mereka saling tatap. Timbul rasa kecewa pada diri Gugum melihat

sikap Faris yang agak melawan. Ditahan amarahnya dan dikendalikannya emosinya.

“Mas Faris… jujur saja, Mas Faris itu belum ikhlas untuk jadi orang yang bener-bener

baik. Baik di mata Allah, baik di mata manusia. Mas Faris mungkin masih mengandalkan

emosi ketika ingin berbuat baik, bukan hati yang di sini.” Gugum berdiri dan menunjuk

dada Faris dengan raut wajah merah.

“Astagfirullah… Mmmaaf… maaf Mas Faris, tidak bermaksud

kasar seperti ini, maaf saya ga sopan.”

Adu emosi terjadi di antara keduanya. Hilang seketika, angin-angin malaikat pencatat

amal baik tetap kuat di antara mereka.

“Maaf, Gugum, saya yang salah, saya terlalu emosi… Yah.. Yah… saya memang masih

bermain dengan emosi ini. baiklah, aku belum ikhlas, niatku belum baik… ya Allah.”

Faris menggerutu kepalanya, kepalanya seperti ingin lepas karena menahan gejolak

emosi yang terus ingin bebas. Air matanya keluar, sedih meratapi dirinya.

“Mas Faris, saya mau bantu Mas biar dapat kondisi tenang. Saya ada paman di Banten.

Page 53: Majalah Kamar Sastra - Edisi 0

50

Dia pemilik pesanteren di sana. Cobalah ke sana. Santri dulu beberapa bulan.

Biarlah mas Faris ambil cuti di kampus. Demi Mas Faris yang lebih baik.”

“Nyantri maksud mu Gum?”

“Iya nyantri di sana. Karena kita ini dipengaruhi sama

lingkungan. mana tau dengan kondisi yang religi, terkontrol,

sehat dan baik, mas bisa fokus di sana dalam menguatkan

iman. inyaaAllah.

Paman saya itu selalau welcome mas. Namanya Ustadz Burhan.”

Gugum merogoh kantong nya, mengambil dompet. Dicarinya kertas kartu nama,

diambilnya kemudian Gugum serahkan ke Faris.

“Ini kartu nama Paman saya. Hubungilah beliau. Semoga ini cara terbaik untuk mu Mas

Faris.”

Sejak pertemuan pagi itu, memang ketika bertemu dengan sosok Gugum selalu

menghadirkan cara yang berubah menjadi solusi. Dia pun sungguh-sungguh melengkapi

persyaratan cuti kempus selama dua bulan demi nyantri di luar kota, Banten. Berhari Ia

terus meyakinkan sang orang tua agar bisa bersabar untuk berpisah dalam waktu yang

Page 54: Majalah Kamar Sastra - Edisi 0

51

tidak lama. Ia tawarkan dan jelaskan pada kedua pahlawannya bahwa Ia hanya

ingin mendapatkan yang terbaik dalam masalah hidup dan hati.

Ketika pada waktunya tiba, hati sudah mantap, orang tua telah rela dalam melepaskan

anak, visi-misi telah ditetapkan dalam hati.

Bahwa dalam dua bulan sosok Lena telah absen dalam

mimpi. Begitu juga dengan dunia nyata.

“Semoga pilihan ini jadi yang terbaik dari-Mu, ya Allah.”

Faris menatap wajah kedua orang tuanya dari balik jendela mobil, Bi Nom-nom yang

baik hati, dan guru emosionalnya, Gugum siap melepaskan perjalanan spritual Faris yang

pertama ke luar kota.

“Aku akan merindukan mu Papa Mama, Assalamu’alaikum.” Lirih faris.

“ Ayo Pak , Jalan..”

***

Setelah beberapa jam perjalanan, mobil Toyota Alpard silver memasuki sebuah jalan

aspal setapak yang hanya bisa dilalui dua kendaraan dalam waktu bersamaan. Hijau

Page 55: Majalah Kamar Sastra - Edisi 0

52

pepohonan ditawarkan untuk memanjakan mata, tutupan lahan tanaman

padi yang mulai menguning memberi harapan bagi petani. Pegunungan masih utuh,

belum dijadikan sebagai korban kerok emas dan logam-logam mahal lainnya. Tidak

lama dari simpang masuk ke wilayah itu, tepat pukul 11.00 WIB tibalah ujung mobil di

depan gerbang utama Pesanteren.

SELAMAT DATANG DI PESANTEREN LA TANSA

“KAWASAN BERBUSANA MUSLIM/MUSLIMAH”

Dari depan gerbang sudah menularkan energi ketenangan bagi Faris. Ia pun menyusuh

supir pribadinya untuk memasuki kawan pesanteren setelah satpam menyilahkan mereka

masuk. Perlahan mobil menysuri jalanan kecil di dalam kampus pensateren menuju

gedung pusat penerima tamu dan santri. Sekitar jarak lima ratus meter berjalan sampailah

di gedung pusat. Faris langsung dituntun ke kantor direktur utama pesanteren. Di atas

pintu tertulis sebuah papan nama yang bertuliskan, KANTOR DIRUT BURHAN, Lc.

“Assalamu’alaikum.” Sang penerima tamu mengetuk pintu Ust. Burhan dan

menyilahkan Faris memasuki ruangan setelah disilahkan oleh Ust. Burhan.

Gugup masih melekat di dalam dirinya, segan ketika memasuki kawasan bernuansa

islami. Sedikit membungkuk dan menyalami dan mencium tangan ustadz. Faris menatap

seluruh isi ruangan sang ustadz. Di belakang ustadz, tergantung gambar Masjid Nabawi.

Di sebelah kanan meja ustadz berjejeran piagam - piagam kerja sama yang bertitel

Page 56: Majalah Kamar Sastra - Edisi 0

53

dari negeri-negeri timur tengah. Sungguh pesanteren standard internasional.

Bengong.

“silahkan duduk nak Faris.”

Faris menatap sofa berwarna coklat pekat di sebelah kiri meja ustadz. Di situ putri ustadz

sedang duduk membaca buku tebal yang Faris tentu tidak tahu apa judul buku itu. bisa

dijadikan bantal. Sang putri tidak menatap siapa yang datang. Fokus pada buku

bacaannya. Tentu sang putri menjaga pandangan, bukan muhrim.

“Cantik niat putri sang ustadz ini, hijabnya anggung sekali. Sungguh shalehah ia.”

Gumam faris.

“Nak faris, silahkan.” Faris terbangun dari kekagumannya.

“Ini putri kedua saya dari 3 bersaudara. namanya, Ifa, Huza Latifah.”

Faris menatap Ifa, Ifa hanya membayar senyum di balik cadar hitamnya.

Cuman bertiga saja di ruangan itu, Utsdaz Burhan, Faris dan Ifa.

Sang ustadz menjelaskan tentang suasana pesanteren.

Mulai dari pembelajaran yang memang dibedakan

dengan santri tetap. Tapi Faris akan tetap gabung dengan santri tetap diluar mata

pelajaran. Mulai dari kegiatan di masjid, ekstrakurikuler dan kegiatan – kegiatan

Page 57: Majalah Kamar Sastra - Edisi 0

54

malamnya.

“tapi kembali lagi ke Nak faris, ambil saja mana kira-kira yang sesuai dengan program

yang mendukung Nak faris selama dua bulan ke depan.”

“Ia Ustadz. Saya akan nanya-nanya dulu nanti teman yang akan jadi teman se kamar

saya. Mungkin lebih detail nanya nanti Ustadz.”

“Baiklah, Nak faris nanti diantar oleh bapak yang ngantar kamu ke mari.”

‘Baik, ustadz. Terimakasih banyak atas sambutannya.”

Ustadz Burhan memerhatikan gerak-gerik faris yang santun dan pandai dalam bercakap.

Ifa di lirik Ustadz sejak dari tadi tetap menjaga pandangannya.

“Hmmmm. Ifa… kapan kah jodohmu datang?”

Diperjalanan, faris menikmati udara pegunungan di

pesantren La Tansa. Semuanya sangat mendukung kondisi Faris. Tapi, sejak bertemu

dengan putri sang ustadz, menjadi buah pikir baginya.

“Bapak, putri ustadz yang tadi sudah menikah belum?”

“hehehe.. kamu naksir ya..”

Page 58: Majalah Kamar Sastra - Edisi 0

55

“Mmmm.. bukan pak.. bukan begitu maksud saya…” faris mencoba

menutupi kecorobohan tidak bisa menghilangkan kondisi hati yang mulai mem-

perhatikan Ifa.

“adduh… kenapa nanya itu lagi.”

Tiba di kamar, dia dikenalkan dengan seorang santri kelas 3 bernama Agung. Agung

berasal dari Jawa Timur. Cocoklah jadi partner kamarnya dalam dua bula ke depan.

Mungkin bisa saja menanyakan tentang Sang Huza latifah. Memang tak salah usulan dari

Gugum untuk menyuruhnya jadi santri kilat. Justru menjadi ladang baru membibitkan

cinta-cintanya yang akan dilabuhkan ke seseorang yang akan menjadi pemiliknya. Istana

cinta keabadian.

“semoga ini,menjadi istana santri yang mengukuhkan

cintaku kepadanya yang masih dirahasiakannya.” Kalimat

ini menjadi doa pengantar tidurnya di siang itu.

-Bersambung-

Page 59: Majalah Kamar Sastra - Edisi 0

56

Page 60: Majalah Kamar Sastra - Edisi 0

57

Page 61: Majalah Kamar Sastra - Edisi 0

58

Dilihat dari gejalanya, penyakit yang menyerangku tak lebih dari masuk angin akibat

seharian menonton drama

Korea, harusnya bisa

dimusnahka hanya degan

jamu kemasan yang dijual di

warung. Tidak ada igauan,

kejang, perut melilit, batuk

berdahak, atau produksi

ingus berlebih. Kepala

hanya pusing sebelah kiri

dengan sedikit badan panas,

kalaulah ditidurkan posisi

kepala bagian kiri di bantal,

nyamanlah kembali. Itu

saja.

Penyakit itu merambat hingga menyerang aspek psikomotorautomatik (murni istilah

yang kubuat sendiri). Bagaimana tidak? Aku sedang berjuang mengejar deadline skripsi

yang hingga kini berkutat di bab pertama, yang sebelum sakit saja harus berjuang

membangunkan raksasa dalam diri yang suka tidur dan tak bosan mengingatkan jiwa

Page 62: Majalah Kamar Sastra - Edisi 0

59

pengintai yang suka menghabiskan malam dengan 300 halaman lebih cerita fiksi. Dan,

itu menjadikan perasaanku tidak karuan. Sebelum sakit aku menyempatkan seminggu

tiga kali untuk lari keliling kampus, supaya segar fikiran dan sehat di badan ketika

menyusun butiran latar belakang skripsi, walaupun lebih tepatnya ini anjuran

pembimbing penelitianku. Dan terpaksa membuatku menyusun jadwal baru yang lebih

harmonis.

Dan aku tersadar betapa tidak nyamanya dengan ketersendirian, kecanggungan

menghadapi perhatian.

Meski dalam format hayalan sekalipun. Yaitu perhatian oleh buku – bukuku sendiri.

Genap seminggu umur penyakitku, aneh. Akhirnya penjagaku menyerah atau lebih

tepatnya diriku sendiri!. Diam – diam kubuka buku – buku itu, karena “haus” tak terkira,

ingin ku lahap cerita dalam sastra. Semuanya.

Maka ketika rasa lapar tersalurkan akhirnya berhenti juga kondisi ini dengan sad ending,

karena masih jengkel dengan Elektra1yang hidupnya terlalu indah. Akhirnya dengan

kondisi fisik yang masih malas dan otak yang mager, kuputuskan untuk terjun jauh pada

tulisan yang lebih banyak dihindari bahkan ketika SKS mendekati tutup buku.

TextBook!.

Page 63: Majalah Kamar Sastra - Edisi 0

60

Dan, karena penyakit misterius yang menjangkit dan tak kelihatan mata telanjang ini

menjadikan fikiranku liar menembus semak belukar. Sebuah komentar pelan menyemai

di otak, “Mat, lu benar – benar sakit.”

Sore itu, memang banyak orang bersliweran di kosan. Suara yang meledak – ledak,

seperti kawan lama yang telah lama terpisah akibat dari dua rekahan gunung es himalaya

yang terkena gempa. Untungnya aku bukan vampir, seekor spesies sejenis kelelawar

berwujud manusia yang sangat sensitif dengan suara termasuk suara ultrasonik yang

hanya beberapa hertz, sehingga naluri membacaku masih dapat dilanjutkan. Dengan

tolehan tajam.

Sekali lagi, adat memilih buku teks bagiku adalah yang mempunyai paling banyak

gambar dan tulisan yang seminimal mungkin. Memang terkesan ironis, novel – novel

polos berisi ratusan ribu karakter kubaca sampai menjilat lima jari. Bahkan tetralogi

laskar pelangi2 novel yang isinya tidak ada gambar berwarna satupun kecuali halaman

sampul- mampu kulahap. Dan yang kurang tepat lagi sebagai mahasiswa bukan sastra,

buku fiksi setebal bantal berjudul Musashi3 dan tetralogi Twilight saga4 masuk daftar

read di akun pribadi goodreads.com milikku @_somatBuk. Tapi, sisi baiknya aku tidak

menyelesaikan satu seriespun dari 7 seri Harry Potter, walau punya Deathly Hollows.

Page 64: Majalah Kamar Sastra - Edisi 0

61

Air muka Somat samar meneriakkan gemuruh. Pilihanya jatuh pada buku tipis 165

halaman, bahkan punya banyak foto dan gambar di dalamnya, dengan judul The Organic

Gardener karya Joanna Lorenz. Somat membaca dengan begitu syahdu, tak melewatkan

sedikitpun dari daftar pustaka. Maklum kali ini bukunya berbahasa asing, dan tidak bisa

semena – mena seperti liarnya membaca puisi Om Sapardi dan cepatnya novel Karl May.

Seolah aku menemukan sihir baru pemusnah segala penyakit, akupun bangkit dari tidur

dan segera mencermati kata – kata yang menurutku menarik dalam buku ini.

Mulailah aku berdialog dengan manusia

lain di dalam diriku. “Apakah

sebenarnya tubuh ini sudah

terlalu banyak diberi pestisida

yang tidak organik sehingga

mudah sakit seperti tanaman

tersebut?”

Kemudian tercapai pada satu pertanyaan

kesimpulan filosofis, “kayaknya mulai sekarang harus menjadi

manusia organik deh”.

Page 65: Majalah Kamar Sastra - Edisi 0

62

Catatan:

1. Tokoh utama dalam seri ketiga supernova - Petir

2. Tulisan karya novelis terkenal Andrea Hirata yang terdiri dari Laskar pelangi, Sang

pemipi, Edensor, dan Maryamah karpov

3. Novel terjemahan karya Eiji Yoshikawa setebal 1248 halaman berlatar seorang

samurai pasca peperangan di erea Tokugawa

4. Novel yang terdiri dari 4 jilid (Twilight, New Moon, Eclipse, dan Breaking dawn)

karangan Stephenie Meyer