Kasus Ecstasy Dan UU Psikotropika

6
Kasus Ecstasy dan UU Psikotropika PERSIDANGAN kasus ecstasy dengan terdakwa Zarina Mirafsur (24) di Pengadilan Negeri Jakarta Barat saat ini, kembali memancing kita untuk bicara tentang penanggulangan penggunaan ilegal (termasuk pembuatan dan pengedaran) pil setan tersebut. Apalagi akhir Januari lalu, persisnya 27 Januari 1997, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menyetujui RUU (Rancangan Undang-undang) Psikotropika menjadi undang-undang, yang berarti dasar hukum untuk menangani kasus obat-obatan sejenis ecstasy menjadi lebih jelas. Dari sejumlah kasus yang berhasil diungkap aparat berwenang, dapat dilihat bahwa pengguna, pengedar, dan pembuat ecstasy semakin hari semakin menonjol. Bahkan upaya untuk memasukkan pil tersebut ke dalam negara ini pun terasa semakin "gencar". Pihak Bea Cukai saja di tahun 1996 lalu berhasil membongkar penyelundupan sekitar 170.000 butir ecstasy. Konon, pengedar ecstasy demikian niatnya menyukseskan bisnisnya dengan antara lain mendatangi sejumlah sekolah-sekolah, terutama di kota-kota besar. Di awal perkenalannya, para pengedar tersebut tidak pernah meminta imbalan uang pada pengguna baru.

description

apt

Transcript of Kasus Ecstasy Dan UU Psikotropika

Kasus Ecstasy dan UU PsikotropikaPERSIDANGAN kasus ecstasy dengan terdakwa Zarina Mirafsur (24) diPengadilan Negeri Jakarta Barat saat ini, kembali memancing kita untukbicara tentang penanggulangan penggunaan ilegal (termasuk pembuatandan pengedaran) pil setan tersebut. Apalagi akhir Januari lalu,persisnya 27 Januari 1997, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telahmenyetujui RUU (Rancangan Undang-undang) Psikotropika menjadiundang-undang, yang berarti dasar hukum untuk menangani kasusobat-obatan sejenis ecstasy menjadi lebih jelas.Dari sejumlah kasus yang berhasil diungkap aparat berwenang, dapatdilihat bahwa pengguna, pengedar, dan pembuat ecstasy semakin harisemakin menonjol. Bahkan upaya untuk memasukkan pil tersebut ke dalamnegara ini pun terasa semakin "gencar". Pihak Bea Cukai saja di tahun1996 lalu berhasil membongkar penyelundupan sekitar 170.000 butirecstasy.Konon, pengedar ecstasy demikian niatnya menyukseskan bisnisnya denganantara lain mendatangi sejumlah sekolah-sekolah, terutama di kota-kotabesar. Di awal perkenalannya, para pengedar tersebut tidak pernahmeminta imbalan uang pada pengguna baru.Seperti dituturkan seorang ibu kepada Kompas beberapa waktu lalu,anaknya sempat menjadi sasaran penjualan pil setan itu. Ibu yang barusaja pindah dari satu daerah - suaminya salah seorang pejabatpemerintah - mengatakan, putranya yang belum kenal betul denganJakarta, sempat dipaksa sejumlah pemuda yang berkeliaran di sekitarsekolahnya di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, untuk meminumempat butir pil yang diduganya ecstasy. Untungnya dia memiliki relasiyang mampu meminta pemuda terkait untuk tidak memaksa anaknya itumenggunakan pil setan itu lagi.***ORANGTUA yang sadar betul dengan masa depan keluarganya, tentunyasangat risih dengan kondisi seperti itu. Bagaimanapun, ecstasy tidakpernah memberi manfaat bagi mereka yang berjiwa sehat.Sebagaimana diungkapkan Menteri Kesehatan Sujudi di DPR beberapa waktulalu, ecstasy/MDMA termasuk psikotropika golongan I atau sangatberbahaya, karena terdapat unsur ketergantungan. Sebab itu,psikotropika golongan I pada prinsipnya dilarang untuk keperluanpengobatan, kecuali secara terbatas untuk kepentingan ilmu pengetahuandan pendidikan.Mengingat dampak dari penggunaan ecstasy demikian buruk, maka dalam UUPsikotropika yang baru ancaman pidana untuk kasus psikotropikagolongan I itu adalah seumur hidup sampai hukuman mati. Jika perbuatanitu dilakukan secara terorganisasi, ancaman hukumannya adalah kurunganbadan 20 tahun dan denda Rp 750 juta.Ancaman pidana itu memang lebih berat dari yang diberlakukan UUKesehatan Nasional No 23 Tahun 1992. Misalnya dalam kasus Zarina, yangdidakwa memiliki hampir 30 ribu butir ecstasy, jaksa menuntut denganpidana maksimal delapan tahun penjara. Ini berdasarkan pasal 80 ayat(4) butir b juncto pasal 40 ayat (1) UU No 23 Tahun 1992 tersebut.Zarina memang belum bisa dikenakan UU Psikotropika, karena tindakannyadilakukan sebelum UU itu disetujui DPR.Hal lain yang juga menarik disimak dalam kaitan ini adalah, jika kitamelihat ke belakang, dari sejumlah penyidangan kasus ecstasy diIndonesia, hukuman atas kasus sejenis cukup beragam. Misalnya terhadapRidwan Chaniago - dengan 60.778 butir ecstasy - Pengadilan NegeriTangerang menjatuhkan hukuman tiga tahun penjara dengan denda Rp 2juta. Sedangkan terhadap Tossy W dan Bayaki Y - dengan tujuh botolcairan ecstasy - Pengadilan Negeri Jakarta Utara hanya menjatuhkanhukuman enam bulan penjara dengan percobaan satu tahun. Itu berbedadengan Meiske A yang kedapatan memiliki dua butir ecstasy, PengadilanNegeri Denpasar justru menghukumnya lima bulan penjara.***MENGAPA penjatuhan hukuman untuk kasus sejenis bisa berbeda-beda,apakah hal tersebut tidak menyebabkan penanggulangan kasus seperti itumenjadi sulit? Kriminolog Drs Adrianus Meliala Msi Msc yang jugapengajar di Universitas Indonesia menyatakan, putusan yangberbeda-beda itu memang menjadi salah satu penyebab tidak tuntasnyapenyelesaian kasus ecstasy. Tapi, dugaan kuat yang menyebabkan kasusini tidak tertuntaskan adalah tidak adanya penegakan hukum. "Merekaumumnya berpikiran, kalau diadili bisa 'minta' dibebaskan," demikianMeliala.Dari penelitian Meliala yang dilakukan baru-baru ini - sebagian besarrespondennya adalah mereka yang berusia di bawah 20 tahun - diketahuibahwa pengguna ecstasy umumnya orang yang memiliki kemandirian dibidang ekonomi, di samping tidak mendapat social support lagi. "Kalausudah bekerja, gajinya bisa puluhan juta, dan kalau itu mahasiswa ataupelajar, biasanya mereka dapat uang jajan bulanannya paling tidaksetengah juta rupiah. Mereka umumnya berasal dari kalangan yangorangtuanya sudah tidak mau tahu lagi, atau tidak peduli lagi denganmasa depan yang bersangkutan," kata Meliala menambahkan.Karena itu, ancaman hukuman yang berat yang ditetapkan UU Psikotropikabaru-baru ini, menurut Meliala, tidak sepenuhnya menjamin penuntasankasus ecstasy. Kunci utama penanggulangan kasus ini adalah mengubahpersepsi orang-orang yang terlibat ecstasy sebaik mungkin. Dalam arti,menyadarkan mereka bahwa itu sama sekali tidak ada manfaatnya bagidiri yang bersangkutan, apalahi bagi bangsa ini."Dari penelitian yang saya lakukan, umumnya mereka tidak lagimenggunakan ecstasy itu karena sudah sadar, kapok, tidak mampu membelilagi, dan malu, tapi bukan karena takut dipenjara atau takutdigerebek," tambah kriminolog tersebut.Sekarang, niat pemerintah untuk memberantas kasus ecstasy atausejenisnya memang sudah tersirat. UU Psikotropika dan UU Narkotikasudah terwujud. Bahkan Indonesia juga sudah mempersiapkan ratifikasiKonvensi PBB 1988 soal Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika danPsikotropika (United Nations Convention Against Illicit Traffic inNarcotic Drugs and Psychotropic Substances, 1988).Masalahnya, sejauh mana kemampuan aparat terkait untuk menegakkanhukum yang ada dan melakukan penyuluhan yang efektif terhadapmasyarakat? Di samping, kata Meliala, perlu pula dipikirkan bagaimanacaranya membuat suatu parameter hukuman, sehingga bisa dihindaripenjatuhan hukuman yang beragam, yang terasa jauh dari rasa keadilanyang tumbuh dalam masyarakat. (fan)