Tindak Pidana Narkotika Dan Psikotropika

download Tindak Pidana Narkotika Dan Psikotropika

of 271

description

Tindak Pidana Narkotika Dan Psikotropika tindakan tersebut berupa penyalahgunaan zat tropika

Transcript of Tindak Pidana Narkotika Dan Psikotropika

TINDAK PIDANA NARKOTIKA DAN PSIKOTROPIKABAGIAN PERTAMAPROLOG.Istilah narkotika, bukan lagi istilah asing bagi masyarakat mengingat begitu banyaknya, berita baik dari media cetak, maupun elektronik yang memberitakan tentang penggunaan narkotika, dan bagaimana korban dari berbagai kalangan dan usia berjatuhan akibat penggunaannya. Berbagai penelitian mengemukakan bahwa faktor penyebab timbulnya penyalahgunaan narkotika yakni;Pertama.Faktor individu. Terdiri dari aspek kepribadian, dan kecemasan atau depresi. Termasuk dalam aspek kepribadian, karena pribadi yang ingin tahu, mudah kecewa, sifat tidak sabar dan rendah diri. Sedangkan yang termasuk kecemasan atau depresi, karena tidak mampu menyelesaikan kesulitan hidup, sehingga melarikan diri dalam penggunaan narkotika dan obat obat terlarang.Kedua.Faktor sosial budaya, terdiri dari kondisi keluarga dan pengaruh pergaulan. Keluarga dimaksudkan sebagai faktor disharmonis seperti orang tua yang bercerai, orang tua yang sibuk dan jarang dirumah, serta perekonomian keluarga yang serba kekurangan. Pengaruh pergaulan, dimaksudkan karena ingin diterima dalam pergaulan kelompok narkotika.Ketiga.Faktor lingkungan, yang tidak baik maupun tidak mendukung, dan menampung segala sesuatu yang menyangkut perkembangan psikologis anak dan kurangnya perhatian terhadap anak untuk menjadi pemakai narkotika.Keempat.Faktor narkotika. Karena mudahnya narkotika didapat dan didukung dengan faktor-faktor tersebut, sehingga semakin mudah timbulnya penyalahgunaan narkotika.Hubungan timbal balik antara Narkotika dan kejahatan menciptakan suatucausa verbalatas terjadinya suatu tindak pidana. TimNewburnlebih jauh menjelaskan bahwa banyak pijakan teoritik mengenai keterkaitan antara penyalahgunaan narkotika dengan perbuatan pidana. Penggunaan narkotika dapat mengakibatkan beberapa kelumpuhan psikis yang mengakibatkan hilangnya kemampuan manusia berpresepsi terhadap suatu hal. Hilangnya kemampuan yang demikian itu berpotensi menghilangkan kemampuan konsentrasi dan mengambil keputusan.Newburnmengisyaratkan bahwa pada hakikatnya perbuatan pidana sesungguhnya perbuatan yang cenderung tidak akan dilakukan oleh manusia, apabila kemampuan berpresepsi manusia tersebut dalam keadaan baik, oleh karena itu penggunaan narkotika jelas mempunyai kaitan yang erat dalam menimbulkan suatu kejahatan. Alasan ekonomis penggunaan narkotika menjadi titik yang pula diamati olehNewburnbahwa sifat narkotika yang memabukkan dan adiktif menjadikan setiap orang dapat melakukan kejahatan demi memenuhi kebutuhan atas zat adiktif yang telah mengkontaminasi.Kejahatan Narkotika dan Psikotrapika, merupakan kejahatan kemanusiaan yang berat, yang mempunyai dampak luar biasa, terutama pada generasi muda suatu bangsa yang beradab. Kejahatan narkotika merupakan kejahatan lintas negara, karena penyebaran dan perdagangan gelapnya, dilakukan dalam lintas batas negara. Dalam kaitannya dengan negara Indonesia, sebagai negara hukum. Negara hukum yang dimaksud adalah negara yang menegakkan supremasi hukum untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Secara umum, dalam setiap negara yang menganut paham negara hukum terdapat tiga prinsip dasar, yaitu supremasi hukum (supremacy of law), kesetaraan dihadapan hukum (equality before the law), dan penegakan hukum dengan cara yang tidak bertentangan dengan hukum (due process of law). Dalam penjabaran selanjutnya, pada setiap negara hukum mempunyai ciri-ciri:Jaminan perlindungan hak-hak asasi manusia; Kekuasaan kehakiman atau peradilan yang merdeka; Legalitas dalam arti hukum, yaitu bahwa baik pemerintah/Negara maupun warga Negara dalam bertindak harus berdasar atas melalui hukum. Hukum adalah himpunan petunjuk hidup (perintah-perintah dan larangan-larangan) yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat, dan seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat yang bersangkutan.Kriteria bagi suatu negara yang modern, adalah negara yang menerima dan menerapkan inovasi inovasi baru, demi kehidupan yang terus menerus lebih baik bagi rakyat. Kekuasaan pemerintah dalam negara modern berdasarkan hukum, artinya dalam negara hukum, pemerintah yang dibentuk secara demokratis hanya menyelenggarakan kekuasaan politiknya, terbatas pada kerangka mandat konstitusi.Hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara memiliki kedudukan yang penting. Cita hukum bangsa dan negara Indonesia adalah pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, untuk membangun negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Cita hukum itulah Pancasila".Negara Indonesia dalam mencapai cita hukumnya, sesuai pada Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi, "Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya." Dengan begitu, bahwa setiap sikap, kebijakan, dan perilaku alat negara dan penduduk (warga negara dan orang asing) harus berdasarkan dan sesuai dengan hukum.Membedakan antara hukum pidana dengan bidang hukum lain, ialah sanksi hukum pidana, merupakan pemberian ancaman penderitaan dengan sengaja. Pidana adalah reaksi atas delik, dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara pada pembuat delik itu.Hukum pidana terbagi menjadi dua (2), yaitu hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Hukum pidana materiil mengatur mengenai perbuatan-perbuatan yang dapat dipidana, beserta sanksi pidananya, sedangkan hukum pidana formil mengatur mengenai penegakan hukum pidana materiil. Hukum pidana dalam usahanya mencapai tujuan-tujuannya tidaklah semata-mata dengan jalan menjatuhkan pidana, tetapi disamping itu juga dengan menggunakan tindakan-tindakan. Jadi disamping pidana ada pula tindakan. Tindakan inipun suatu sanksi juga, tetapi tidak ada sifat pembalasan padanya. Penjatuhan suatu pidana maupun tindakan, kepada pembuat delik, merupakan proses akhir dari suatu peradilan pidana.Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), menyatakan, "Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan". Dalam rumusan ini dikandung asas yang disebut asas legalitet. Inilah asas tentang penentuan perbuatan apa sajakah yang dipandang sebagai perbuatan pidana. Asas ini merupakan teori yang dikemukakanVon Feuerbachyang terkenal dengan maknanullum delictum nulla poena sine praevia lege.Dengan asas legalitet ini dimaksudkan, bahwa: Tidak ada perbuatan yang dilarang yang diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang; Untuk menentukan adanya perbuatan tidak boleh menggunakan analogi; Aturan aturan pidana tidak berlaku mundur. Perbuatan pidana adalah perbuatan yang bertentangan dengan tata atau ketertiban yang dikehendaki oleh hukum, syarat utama dari adanya perbuatan pidana adalah kenyataan bahwa ada aturan yang melarang". Sehinggauntuk dapat dipidana, perbuatan harus mencocoki rumusan delik dalam undang-undang.Penjatuhkan pidana terhadap pelaku, harus melalui prosedur peradilan pidana sebagaimana hukum pidana formil atau hukum acara pidana. Hukum acara pidana yakni dapat dirumuskan sebagai hukum yang menetapkan cara negara mempergunakan haknya untuk melaksanakan pidana. Juga biasa disebut sebagai hukum pidanaIn Concreto,karena mengandung peraturan bagaimana hukum pidana materiel atau hukum pidanaIn Abstractodituangkan dalam kenyataan.Dalam hukum acara pidana, dikenal, penegak hukum di dalamnya, yakni, hakim, penuntut umum, penasehat hukum. Hakim memiliki peran yang besar, karena hakim yang diberikan kewenangan oleh undang-undang utuk mengadili suatu perkara, hal ini dipertegas dalam ketentuan umum Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Pasal 1 butir 8, yang berbunyi, "hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili". Kewenangan hakim dalam mengadili perkara yang diajukan kepadanya berawal dari ketentuan pada Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan bahwa, "Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya, dipundak para hakim telah diletakkan kewajiban dan tanggung jawab agar hukum dan keadilan ditegakkan itu, baik didasarkan hukum tertulis atau hukum tidak tertulis tidak boleh satu pun yang bertentangan dengan asas dan sendi peradilan berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini juga senada dengan penjelasan Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 yang menyatakan: "Hakim sebagai organ pengadilan dianggap memahami hukum. Pencari keadilan datang kepadanya untuk memohon keadilan. Andaikata ia tidak menemukan hukum tertulis, ia wajib menggali hukum tidak tertulis, untuk memutus berdasarkan hukum sebagai orang yang bijaksana dan bertanggungjawab penuh kepada Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, masyarakat, bangsa dan negara".Hakim merupakan sosok sentral dalam mengadili dan menjatuhan suatu sanksi terhadap pelaku tindak pidana. Mengadili adalah serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak di sidang pengadilan. Sesuai dengan Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, pada Pasal 5 ayat (1) menyatakan bahwa, "Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat". Pada Pasal 5 ayat (2), "Hakim dan hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum. Berdasarkan pasal inilah yang menjadikan fondasi utama agar hakim dalam memutus suatu perkara dapat memberikan putusan yang objektif, berwibawa dan dapat diterima oleh masyarakat. Mengadili itu adalah suatu yang bukannya merupakan monopoli dari hakim, walaupun keputusannya merupakan sesuatu dan saat yang sangat penting.Hakim dalam memutus perkara yang diadilinya, mempunyai karakteristik masing-masing sesuai dengan pemahaman dan ilmu yang dimilikinya, sehingga dapat mendasari pertimbangan-pertimbangan dalam putusannya.Sebagai fokus studi sesuai dengan judul penelitian, maka untuk selanjutnya peneliti ingin mengaitkan mengenai dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan dalam perkara-perkara penyalahguna dan pecandu narkotika, serta melihat bagaimanakah Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika mengatur mengenai hal tersebut.Penyalahgunaan narkotika adalah penggunaan tanpa hak dan melawan hukum yang dilakukan tidak untuk maksud pengobatan, tetapi karena ingin menikmati pengaruhnya, dalam jumlah berlebih, kurang teratur, dan berlangsung cukup lama, sehingga menyebabkan gangguan kesehatan fisik, mental dan kehidupan sosial.Tindak pidana penyalahgunaan narkotika bagi diri sendiri diatur dalam Pasal 127 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yang bunyinya: (1) Setiap Penyalah Guna: 1. Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun; 2. Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun; dan, 3. Narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun. (2) Dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim wajib memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, Pasal 55, dan Pasal 103. (2) Dalam hal Penyalah Guna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan Narkotika, Penyalah Guna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Sanksi pidana berupa pidana penjara yang dapat dijatuhkan oleh hakim. Namun, hakim juga diberikan kemungkinan untuk tidak menjatuhkan pidana penjara, karena dalam pasal-pasal yang berkaitan dengan Pasal 127, terdapat pula kemungkinan penjatuhan sanksi tindakan rehabilitasi oleh hakim. Pasal yang dimaksud, yaitu pada Pasal 54 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009, yang menyatakan, "Pecandu narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial di pusat rehabilitasi ketergantungan narkotika. Selanjutnya Pasal 103 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 menyebutkan: (1) Hakim yang memeriksa perkara Pecandu Narkotika dapat: a. memutus untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu Narkotika tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika;atau b. menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu Narkotika tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika. (2) Masa menjalani pengobatan dan/atau perawatan bagi Pecandu Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman. Selalu yang menjadi perhatian dalam upaya, penerapan hukum, adalah tentang penegakan hukum, yang sangat mendapatkan perhatian, terutama peran Negara, dalam ikut serta bertanggungjawab, untuk memerangi kejahatan narkotika. Peran negara melalui BNN, telah merefleksikan politik hukum nasional dengan melalui sarana penal dan non penal, sebagai bagian dari kebijakan kriminal yang sedang menggejala saat ini.

BAGIAN KEDUAKEBIJAKAN KRIMINAL TERHADAP PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA.

A.POLITIK HUKUM PIDANA TENTANG TINDAK PIDANA NARKOTIKAIstilah Kebijakan diambil dari kata"Policy"(Inggris) atau"Politiek"(Belanda). Bertolak dari pengertian itu, maka kebijakan hukum pidana dapat pula disebut dengan istilah "Politik hukum pidana". Dalam kepustakaan politik hukum pidana dikenal dengan berbagai istilah yakni "Penal Policy". "Criminal Law Policy".Atau "Straffrechtspolitiek". Politik hukum, yakni sebagai usaha untuk mewujudkan peraturan peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat. Serta suatu Kebijakan dari negara melalui badan badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan peraturan yang dikehendaki, yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan, apa yang terkandung dalam masyarakat, dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan. Pengertian itu, dapat dipahami, sebagai prinsif-prinsif umum yang berfungsi untuk mengarahkan pemerintah, dalam arti luas termasuk penegak hukum, dalam memgelola, mengatur dan menyelesaikan, urusan-urusan publik, masalah-masalah masyarakat atau bidang-bidang penyusunan peraturan perundang-undangan dan mengalokasikan hukum/peraturan dengan suatu tujuan umum yang mengarah pada upaya mewujudkan kesejahteraan, atau kemakmuran masyarakat.Kebijaksanaan (Policy;beleid)merupakan kata atau istilah yang digunakan sehari-hari, tetapi justrus karena keterbiasaannya, terdapat semacam kerancuan atau kebingungan, kekacauan atau kekeliruan dalam mendefinisikan atau menguraikan istilah kebijakan (wisdom;wijsheid) yang acapkali ditautkan dengan istilah diskreasi (discreation.freis emersen). Selain itu, istilah kebijaksanaan/Policy seringkali penggunaannya dipertukarkan dengan istilah-istilah lain seperti tujuan (goals), program keputusan (decision), undang undang, ketentuan-ketentuan, usulan-usulan dan rancangan-rancangan besar. Bahkan seringkali orang awam bingung, dan tidak dapat membedakan antara policy dan politik. Kebijaksanaan sebenarnya dapat dirumuskan sebagai perilaku dari sejumlah pemeran, baik pejabat atau perorangan, kelompok-kelompok kekuatan politik, atau kelompok pakar ataupun instansi/lembaga pemerintahan yang terlibat dalam suatu bidang, kegiatan tertentu, yang diarahkan pada rumusan masalah/permasalahan sehubungan dengan adanya hambatan-hambatan tertentu. Untuk selanjutnya mengacu kepada tindak atau tindakan berpola yang mengarah kepada tujuan seraya mencari peluang-peluang untuk mencapai tujuan dan atau mewujudkan sasaran yang ingin dicapai. Menyimak konstelasi dan kehidupan politik di Indonesia ini, maka mungkin dapat dikonstatasi bahwa ciri ciri khas yang melekat pada kebijaksanaan-kebijaksanaan negara, bersumber pada kenyataan, bahwa kebijaksanaan itu memiliki kewenangan atau wewenang dalam sistem politik di tanah air. Kererkaitan dengan politik hukum pidana, berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundangan pidana yang paling baik, dalam arti memenuhi syarat keadilan dan dayaguna. Politik hukum pidana, berarti usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang.Kebijakan kriminalisasi, sebagai suatu kebijakan dalam menetapkan suatu perbuatan, yang semula bukan tindak pidana, menjadi suatu tindak pidana. Sehingga pada hakekatnya kebijakan kriminalisasi merupakan bagian dari kebijakan kriminal, dengan menggunakan sarana hukum pidana (penal) dan karena itu, merupakan bagian dari kebijakan hukum pidana (penal policy).Pengertian politik kriminal,Criminele Politiek; Criminal Policy,yakni kebijakan pemerintah dalam melakukan pencegahan dan penanggulangan kejahatan. Dalam kaitan itu, maka dikenal pula beberapa pengertian yang saling berkaitan antara kebijakan kriminal yaitu; Kriminalisasi. Penalisasi. Sehingga politik hukum pidana, mengandung arti bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan suatu perundang-undangan pidana yang baik. Pengertian demikian terlihat pula dalam definisi"penal policy"

yang secara singkat dapat dinyatakan sebagai "suatu ilmu sekaligus seni yang bertujuan untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik. Garis kebijakan hukum pidana adalah untuk menentukan : Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu dirubah atau diperbaharui; Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana; Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan pidana harus dilaksanakan.Setiap masyarakat yang terorganisir memiliki sistem hukum pidana yang terdiri dari : (a) Peraturan-peraturan hukum pidana dan sanksinya. (b) Suatu prosedur hukum pidana. (c) Suatu mekanisme pelaksanaan pidana. Sedangkan kebijakan kriminal, selalu berkaitan dengan tiga hal pokok, yakni : Dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana. Dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi. Dalam arti paling luas, ialah keseluruhan kebijakan, yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat. Sehingga dapat dipahami bahwa politik kriminal merupakan "suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan. ("the rational organization of the control of crime by society".)Bertolak dari pengertian itulah maka,"Criminal policy is the rational organization of the social reactions to crime".Berbagai definisi lainnya yang, ialah;Criminal policy is the science of responses; Criminal policy is the science of crime prevention; Criminal policy is a policy of designating human behavior as crime; Criminal policy is a rational total of the responses to crime. Modern Criminal Science, terdiri dari tiga komponen; yakni;Criminology. Criminal Law dan Penal Policy.Adapun Penal Policy, adalah ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya, mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik, dan untuk memberikan pedoman, tidak hanya kepada pembuat undang undang dan juga kepada para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan. Diantara studi mengenai faktor kriminologis di satu pihak dan studi mengenai tehnik perundang undangan dilain pihak. Ada tempat bagi suatu ilmu pengetahuan yang mengamati dan menyelidiki fenomena legislatif dan bagi suatu seni yang rasional, dimana para sarjana dan praktisi, kriminologi dan sarjana hukum dapat bekerjasama, tidak sebagai pihak yang saling berlawanan atau saling berselisih, tetapi sebagai kawan sekerja yang terikat dalam tugas bersama, yaitu tugas untuk menghasilkan suatu kebijakan pidana yang realistis, humanis dan berpikiran maju, progresif dan sehat.Penggunaan hukum pidana dalam mencegah dan menanggulangi kejahatan, sangatlah terbatas. Keterbatasan itu mengandung beberapa kelemahan yakni;1. Secara dogmatis/idealis, sanksi pidana merupakan jenis sanksi yang paling tajam/keras, karenanya sering disebut sebagaiUltimum remedium.2. Secara fungsional/pragmatis, operasionalisasi dan aplikasinya, memerlukan sarana pendukung yang lebih bervariasi, yakni undang-undang, lembaga/aparat pelaksana dan menuntut biaya yang tinggi.3. Sanksi hukum pidana merupakanRemedium, yang mengandung sifat kontradiktif/paradoksal dan mengandung unsur atau efek samping yang negatif.4. Penggunaan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan hanya merupakan hal yang bertujuan menanggulangi/menyembuhkan gejala. Hukum sanksi pidana hanya merupakan pengobatan simbiotik dan bukan pengobatan kasuistik, karena sifat-sifat kejahatan yang demikian kompleks di luar jangkauan hukum pidana.5. Hukum sanksi pidana, hanya merupakan bagian kecil, dari sarana kontrol sosial, yang tidak mungkin mengatasi masalah kejahatan, sebagai masalah kemanusiaan, dan kemasyarakatan yang kompleks6. Sistem pemidanaan bersifatPragmentairdanIndividual,tidak bersifatStrukturakdanfungsional.7. Efektivitas pidana, masih bergantung kepada banyak faktor, karenanya masih sering dipermasalahkan.

Dengan keterbatasan itulah, maka, dalam kebijakan hukum pidana penggunaannya haruslah berhati-hati, cermat, dan sarana penal, tidak selalu harus digunakan dalam setiap produk legislatif. Karenanya terdapat kondisi pembatasan penggunaan hukum pidana yakni antara lain;1. Hukum Pidana, jangan digunakan untuk semata-mata pembalasan.2. Hukum pidana, jangan digunakan hanya untuk memidana perbuatan yang tak merugikan atau membahayakan.3. Hukum pidana, jangan hanya digunakan untuk mencapai tujuan, yang dapat dicapai secara lebih efektif dengan sarana-sarana lain yang lebih ringan.4. Hukum pidana, jangan digunakan, apabila kerugian atau bahaya yang timbul dari pidana lain lebih besar dari kerugian atau bahaya dari perbuatan atau tindak pidana itu sendiri.5. Hukum pidana, dilarang mengandung sifat lebih berlebihan daripada perbuatan yang akan dicapai.6. Hukum pidana, jangan membuat larangan-larangan yang tidak mendapat dukungan kuat dari publik.7. Hukum Pidana jangan membuat larangan-larangan atau ketentuan-ketentuan yang tidak dapat dilaksanakan atau dipaksakan.

Kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik, tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan, sehingga merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum. Oleh karenanya pembuatan undang undang pidana, merupakan bagian integral dari kebijakan perlindungan sosial masyarakat, meliputi politik sosial, sehingga diartikan sebagai usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan dan sekaligus perlindungan masyarakat. Undang undang narkotika, adalah suatu hasil dari kebijakan legislatif yang rasional, bertujuan untuk pencegahan dari bahayanya narkotika bagi umat manusia. Undang Undang narkotika, selalu terkait dengan Instrumen hukum internasional, di bidang penegakan hukum pidana, khususnya dalam upaya pencegahan perdagangan gelap narkotika

B.TUJUAN SOSIAL DALAM POLITIK HUKUM TENTANG NARKOTIKA

Ditengah hingar bingarnya isu globalisasi, kejahatan narkotika yang sejak lama menjadi musuh bangsa kian menkhawatirkan. Geliat mafia seakan tak mampu terbendung oleh gebrakan aparat penegak hukum di berbagai belahan komitmen bersama memberantas memberantas narkotika oleh seluruh dunia. Tak sedikit badan-badan dunia yang terlibat, namun peredaran narkotika terus merajalela. Dari berbagai indikasi menunjukkan bahwa kejahatan narkotika merupakanextra orginary crime. Adapun pemaknaannya adalah sebagai suatu kejahatan yang berdampak besar dan multi-dimensional terhadap sosial, budaya, ekonomi dan politik serta begitu dahsyatnya dampak negatif yang ditimbulkan oleh kejahatan ini. Untuk ituextraordinary punishmentkiranya begitu menjadi relevan mengiringi model kejahatan yang berkarakteristik luar biasa yang dewasa ini kian merambahi ke se-antero bumi ini sebagaitransnational crime.Berbagai kajian baik oleh lembaga-lembaga manapun, baik nasional maupun internasional, telah menunjukkan kesepakatan untuk memberantas narkotika yang terus merambah sendi-sendi kehidupan. Untuk itu kiranyaextraordinary Punishment, menjadi salah satu alternatif yang lebih pas demi menyelamatkan anak bangsa ini. Timbulnya pro dan kontra pun akan terbuka. Entah dampak hembusan isu Hak Asasi Manusia atau justru kepentingan bisnis ilegal pihak tertentu. Narkotika memang bisnis yang menggiurkan. Lihat saja dengan satu kilogram shabu-shabu, bisa mengantongi satu miliar rupiah.Kini menjadi tantangan bersama yakni bagaimana membangun kinerja jaringan yang profesional, bernurani, dan berkemanusiaan demi menyelamatkan anak bangsa ini. Sejak merebaknya peredaran gelap narkotika, bangsa negeri ini pun tidak tinggal diam. Komponen pemerintahan, praktisi, kalangan intelektual maupun kelompok masyarakat telah gencar memberantasnya. Sayangnya kasus kejahatan narkotika dari waktu ke waktu terus meningkat. Tengok saja prevalensi (penyebarluasan) kasus peredaran narkotika sejak lima tahun terakhir 2007-2011 menunjukkan trend peningkatannya, dari 1,75% menjadi 1,99%. Prevalensi 1,99% setara dengan 3,6 juta-an jiwa menjadi pengguna narkoba. Dikaitkan dengan fenomena gunung es kejahatan narkotika, menurut Dadang Hawari, bahwa muncul ke permukaan hanyalah 10% dari yang berada di bawah permukaan. Dampak penggunaan narkotika adalah tumbuhnya budaya malas, konsumtif, eforia, foya-foya, yang tak terarah. Aspek ekonomi, mengahancurkan ekonomi, ratusan triliun rupiah hilang sia-sia dalam setahun sekedar untuk mengejar barang haram. Aspek poltik, secara politis negara yang menjadi konsumen narkotika akan dikendalikan oleh mafia narkotika dan akan kurang prospektifnya dalam membangun kepercayaan dunia dalam berbagai aspek kemajuan bangsanya.Dalam upaya untuk menuangkan norma sosial yang diberlakukan menjadi norma hukum, yang dituangkan dalam ketentuan undang-undang. Maka undang undang mempunyai fungsi penciptaan, dengan membuat suatu norma perilaku menjadi norma hukum, untuk seluruhnya atau sebahagian, yang terkandung dalam maksudnya, adalah untuk memberikan perlindungan pada kepentingan umum yang berhubungan dengan norma itu. Perlindungan itu tidak selamanya mutlak. Tetapi dapat diharapkan, bahwa penentuan dapat dipidana itu, akan membantu ditepatinya norma tersebut.Terhadap Usaha-usaha yang rasional untuk mengendalikan atau menanggulangi kejahatan, tidak hanya menggunakan sarana penal semata, tetapi juga dapat menggunakan sarana non penal. Usaha-usaha non penal ini meliputi penyantunan dan pendidikan sosial, dalam rangka mengembangkan tanggung jawab sosial masyarakat, penggarapan kesehatan jiwa masyarakat, melalui pendidikan moral, agama dan sebagainya, peningkatan usaha-usaha kesejahteraan anak dan remaja, kegiatan pengawasan secara terus menerus oleh polisi, aparat keamanan dan sebagainya. Tujuan utama dari usaha-usaha non penal, adalah memperbaiki kondisi-kondisi sosial tertentu. Namun secara tidak langsung mempunyai pengaruh preventif terhadap kejahatan. Dengan demikian dapat dilihat, dari sudut politik kriminal, keseluruhan kegiatan preventif yang non penal itu, sebenarnya mempunyai kedudukan yang sangat strategis, dan mempunyai posisi kunci yang harus diintensifkan. Oleh karena itu, suatu kebijakan kriminal harus dapat mengintegrasikan dan mengharmonisasikan seluruh kegiatan preventif non penal ke dalam suatu sistem kegiatan yang teratur dan terpadu.Kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan pada hakikatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat. Oleh karena itu dapat dikatakan, bahwa tujuan akhir atau utama dari politik kriminal ialah "perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraannya". Perumusan tujuan politik kriminal tersebut, dinyatakan dalam salah satu laporan kursus ke-34 yang diselenggarakan oleh UNAFEI di Tokyo tahun 1973 sebagai berikut :Dapat dipahami, bahwa salah satu usaha penanggulangan kejahatan, ialah menggunakan hukum pidana dengan sanksinya yang berupa pidana. Namun demikian, usaha ini masih sering dipersoalkan. Pengunaan hukum pidana dalam mengatasi kejahatan telah berlangsung beratus ratus tahun yang lalu. Tetapi usaha pengendalian perbuatan anti sosial, dengan menggunakan pidana pada seseorang yang bersalah, melanggar peraturan pidana, merupakan suatu problem sosial yang mempunyai dimensi hukum yang penting.Usaha yang rasional dari masyarakat untuk menanggulangi kejahatan, meliputi aktivitas dari pembentuk undang-undang, kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan aparat eksekusi pemidanaan. Tidaklah berdiri sendiri, melainkan berkaitan satu sama lain, sesuai fungsinya masing-masing. Proses penegakkan hukum pidana dalam penanggulangan kejahatan. Maka hukum pidana hendaknya dipertahankan, sebagai salah satu sarana untuk perlindungan masyarakat, terhadap kejahatan, dengan memperbaiki atau memulihkan kembali bagi penjahat, tanpa mengurangi keseimbangan kepentingan perorangan pelaku kejahatan dan masyarakat. Maka dengan itu kebijakan sosial dapat dpahami sebagai segala usaha yang rasional, untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.Dengan demikian dapatlah dikatakan, bahwa politik kriminal pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari politik sosial, yaitu kebijakan atau upaya untuk mencapai kesejahteraan sosial. Upaya penanggulangan kejahatan perlu di tempuh dengan pendekatan kebijakan, dalam arti :Ada keterpaduan antara politik kriminal. Ada keterpaduan antara upaya penanggulangan kejahatan melalui sarana "penal" dan "non penal".Penegasan perlunya upaya penanggulangan sosial dan perencanaan kejahatan diintegrasikan dengan keseluruhan kebijakan sosial dan perencanaan pembangunan nasional. Bertolak dari konsepsi integral yang demikian itu, maka kebijakan penanggulangan kejahatan tidak banyak artinya, apabila kebijakan sosial atau kebijakan pembangunan itu sendiri justru menimbulkan faktor-faktor kriminogen dan victimogen. Sehubungan dengan masalah ini, laporan Komisi Kongres PBB ke-6 yang membicarakan"Crime trend and crime prevention strategies"antara lain menyatakan: the correlation between development and increasing criminality could become such if it was not rationally palnned, disregarded cultural and moral values and did not include intergrated social defence strategies. Demikian pula dalam membicarakan masalah "New perspectives and criminal justice and development", juga dinyatakan :"it was felt that development per se was not responsible for the increase in crime. Crime, with its attendant cocts to society, was seen not only as a hindrance to development but also, in some cases, as a consequence of the latter, particularly of unplannedor inadequately planned economic growth and social imbalances".Pernyataan serupa juga terlihat pada salah satu pertimbangan "Milan Plan of Action" hasil Kongres PBB ke-7 sebagai berikut :"The past years have witnessed rapid and farreaching social and economic transformations in many countries. Development is not criminogenic per se, especially where its fruits are equitable distributed among all he peoples, thus contributed among all the peoples, thu contributing to the improvement of overall social condition; however, unbalanced or inadequately planned development contributes contribute s to increases of criminality".Dari pernyataan kongres PBB tersebut, jelas menunjukan suatu penegasan, bahwa : Pembangunana itu sendiri pada hakikatnya memang tidak bersifat kriminogen, khususnya, bilamana hasil-hasil itu, didistribusikan secara pantas dan adil kepada semua rakyat, serta menunjang seluruh kondisi sosial. Namun demikian, pembangunan dapat bersifat kriminogen atau dapat meningkatkan kriminalitas, apabila pembangunan itu : tidak direncanakan secara rasional; perencanaan yang timpang, atau tidak seimbang; Mengabaikan nilai-nilai cultural dan moral; serta. Tidak mencakup, strategi perlindungan masyarakat yang integral. Dalam hal konsep perlindungan masyarakat melalui perdebatan rasional, maka dapat diketehaui, bahwa, bilamana orang mendasarkan hukum pidana pada konsepsi perlindungan masyarakat, maka tugas selanjutnya adalah mengembangkannya secara rasional, yakni mendasarkan pada hasil-hasil maksimum dengan biaya yang maksimum, bagi masyarakat, dan minimum penderitaan bagi individu. Orang harus mengandalkan hasil-hasil penelitian ilmiah, mengenai sebab-sebab kejahatan dan efektivitas dari bermacam-macam sanksi.Dengan demikian, maka, dapat diketahui dari sudut politik kriminal, masalah strategis yang justru harus ditanggulangi, ialah menangani masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara langsung atau tidak langsung, dapat menimbulkan atau menumbuh suburkan kejahatan. Ini berarti, penanganan atau penggarapan masalah-masalah ini, justru merupakan posisi kunci yang strategis dilihat dari sudut kriminal. Oleh karena itu adalah wajar apabila Kongres PBB ke-6 tahun 1980 sangat memperhatikan masalah ini. Dalam pertimbangan resolusi mengenai "Crime trends and crime prevention strategies" yakni: bahwa masalah kejahatan merintangi kemajuan untuk pencapaian kualitas hidup yang pantas bagi semua orang, bahwa strategi pencegahan kejahatan harus didasarkan pada penghapusan sebab-sebab dan kondisi-kondisi yang menimbulkan kejahatan,bahwa penyebab utama dari kejahatan di banyak negara ialah ketimpangan sosial, diskriminasi rasial dan diskriminasi nasional, standard hidup yang rendah, pengangguran dan kebutahurufan (kebodohan) di antara golongan besar penduduk.

Setelah mempertimbangkan hal-hal demikian, maka dalam resolusi itu dinyatakan, antara lain "menghimbau" semua anggota PBB, untuk mengambil tindakan dalam kekuasaan mereka, untuk menghapus kondisi-kondisi kehidupan yang menurunkan martabat kemanusiaan dan menyebabkan kejahatan, yang meliputi masalah pengangguran, kemiskinan, kebutuhurufan (kebodohan), diskriminalisasi rasial dan nasional dan bermacam-macam bentuk dari ketimpangan sosial". Kebijakan integral dengan penekanan pada pengurangan atau penghapusan, kondisi-kondisi yang memberikan kesempatan untuk timbulnya kejahatan, juga sangat mendapatkan perhatian dari Kongres PBB ke-7 tahun 1985. Ditegaskan di dalam dokumen kongres mengenai "Crime prevention in the context of development" (dokumen A/CONF.121/L.9), bahwa upaya penghapusan sebab-sebab dan kondisi yang menimbulkan kejahatan harus merupakan "strategi pencegahan kejahatan yang mendasar". Sikap dan strategi yang demikian juga dilanjutkan dalam kongres ke-8 tahum 1990 di Havana, Cuba.

Dalam dokumen kongres No. A/CONF.144/L/17 (tentang"Social aspects of crime prevention and criminal justice in the context of development"),antara lain dinyatakan : bahwa aspek-aspek sosial dari pembangunan merupakan faktor penting dalam mencapai tujuan strategi penanggulangan kejahatan dan harus diberikan prioritas paling utama; bahwa tujuan pembangunan, pertumbuhan ekonomi dan kerjasama ekonomi internasional hendaknya ditujukan untuk menjamin hak-hak asasi manusia untuk suatu kehidupan yang bebas dari kelaparan, kemiskinan, kebutahurufan, kebodohan, penyakit dan ketakutan akan perang serta memberi kemungkinan bagi manusia untuk hidup dalam lingkungan yang sehat. Dalam kongres ke-8 ini diindentifikasikan faktor-faktor kondusif penyebab kejahatan yang lebih luas dan terperinci, antara lain: kemiskinan, pengangguran, kebutahurufan (kebodohan), ketiadaan/kekurangan perumahan yang layak dan sistem pendidikan serta sistem latihan yang tidak cocok/serasi; meningkatkan jumlah penduduk yang tidak mempunyai prospek, karena proses integrasi sosial, juga karena memperburuk ketimpangan-ketimpangan sosial; mengendurnya ikatan sosial dan keluarga; keadaan-keadaan/kondisi yang menyulitkan bagi orang-orang yang berimigrasi ke kota-kota atau ke negara-negara lain; rusaknya atau hancurnya identitas budaya asli, yang bersamaan dengan adanya racisme dan diskriminasi menyebabkan kerugian/ kelemahan di bidang sosial, kesejahteraan dan dalam bidang/ lingkungan pekerjaan, meliputi;1. menurun atau mundurnya (kualitas) lingkungan perkotaan yang mendorong peningkatan kejahatan dan berkurangnya (tidak cukupnya) pelayanan bagi tempat-tempat fasilitas lingkungan /bertetangga;2. kesulitan-kesulitan bagi orang-orang dalam masyarakat modern untuk berintegrasi sebagaimana mestinya di dalam lingkungan masyarakatnya, di lingkungan keluarga/familinya, tempat pekerjaannya atau di lingkungan sekolahnya;3. penyalahgunaan alkohol, obat-bius dan lain-lain yang pemakainya juga diperluas karena faktor-faktor yang di sebut di atas;4. meluas aktifitas kejahatan yang terorganisir, khususnya perdagangan obat bius dan penadahan barang-barang curian;5. dorongan-dorongan (khususnya oleh mass media) mengenai ide-ide dan sikap-sikap yang mengarah pada tingkatan kekerasan, ketidaksamaan (hak) atau sikap-sikap toleransi;

Seberapa jauh faktor-faktor kondusif yang diidentifikasi oleh kongres PBB ke-8 sesuai dengan keadaan di Indonesia kiranya masih perlu di dukung oleh hasil-hasil penelitian. Hal ini penting dilihat dari sudut politik kriminal yang rasional. Sehubungan dengan perlunya dilakukan penelitian dan perencanaan yang rasional, "Guiding Principles" yang dihasilkan oleh kongres PBB ke-7 tahun 1985 antara lain menyatakan: Proyek-proyek dan program-program pembangunan yang direncanakan dan dilaksanakan sesuai dengan kenyataan-kenyataan lokal, regional dan nasional, hendaknya didasarkan pada penelitian yang dapat diandalkan dan perkiraan/ ramalan akan perkembangan atau kecenderungan kejahatan, pada saat ini, maupun di masa yang akan datang, dan juga hendaknya di dasarkan pada studi/penelitian mengenai pengaruh dan akibat-akibat sosial dari keputusan-keputusan serta investigasi-investigasi kebijakan. Studi-studi kelayakan juga harus meliputi faktor-faktor sosial, dan dilengkapi dengan penelitian mengenai kemungkinan timbulnya akibat-akibat kriminogen serta strategi alternatif untuk menghindarinya"Pentingnya untuk melakukan studi dan evaluasi terhadap perkembangan/kecenderungan kejahatan. Beberapa dimensi perkembangan kejahatan yang mendapat perhatian Kongres PBB mengenai"The Prevention of Crime and the Treatment of offenders",antara lain sebagai berikut:1. Kongres ke-5 tahun 1975 di Jenewa meminta perhatian antara lain terhadap :1. "crime as business" yaitu kejahatan yang bertujuan mendapatkan keuntungan materiil melalui kegiatan dalam bisnis atau industri, yang pada umumnya dilakukan secara terorganisir dan dilakukan oleh mereka yang mempunyai kedudukan terpandang dalam masyarakat; termasuk dalam kejahatan ini antara lain yang berhubungan dengan pencemaran lingkungan, perlindungan konsumen dan dalam bidang perbankan, di samping kejahatan-kejahatan lainnya yang biasa dikenal dengan "organized crime" "white collar crime" dan korupsi;2. Tindak pidana yang berhubungan dengan hasil pekerjaan seni dan kekayaan budaya, objek-objek budaya atau warisan budaya;3. Kejahatan yang berhubungan dengan alkohol dan penyalahgunaan obat-obatan;4. Perbuatan kekerasan antar perorangan (interpersonal violence), khususnya di kalangan remaja;5. Perbuatan kekerasan yang bersifat transnasional dan internasional, yang biasa disebut dengan perbuatan-perbuatan "terorisme" (catatan : ada pendapat dari peserta kongres bahwa istilah "terorisme" dan "transnational violence" jangan gunakan sebagai suatu sinonim);6. Kejahatan yang berhubungan dengan lalu lintas kendaraan bermotor;7. Kejahatan yang berhubungan dengan perpindahan tempat (migrasi) dan peralihan pengungsi akibat bencana alam dan peperangan' masalah-masalah yang berhubungan dengan perpindahan tempat misalnya mengenai pelanggaran paspor dan visa, pemalsuan dokumen, mengeksploitir tenaga kerja, pelacur dan sebagainya. Masalah-masalah yang berhubungan dengan pengungsi antara lain masalah pengalihan bantuan dan masalah spionase;8. Kejahatan yang dilakukan oleh wanita.

1. Di dalam kongres ke-6 tahun 1980 di Caracas, masalah "crime trend" dibicarakan dalam Komisi I. Dengan masih tetap memperhatikan hasil kongres-5, dalam laporan Komisi I Kongres ke-6 ditegaskan, bahwa kejahatan-kejahatan yang sangat membahayakan dan merugikan tidaklah hanya kejahatan-kejahatan yang sangat membahayakan dan merugikan terhadap nyawa, orang, dan harta benda, tetapi juga "penyalahgunaan kekuasaan" (abuse of power). Ditegaskan pula bahwawhite collar crimedaneconomic crimecenderung menjadi terorganisasi dan bersifat transnasional.2. Di dalam kongres PBB ke-7 tahun 1985, antara lain dimintakan perhatian terhadap kejahatan-kejahatan tertentu yang dipandang membahayakan seperti "economic crime", "environmental offences", "illegal trafficking in drugs", "terrorism" dan "apartheid". Sehubungan dengan peranan dari pertumbuhan industri serta kemajuan ilmu dan teknologi, Kongres ke-7 juga meminta perhatian khusus terhadap masalah "industrial crime", khusunya yang berhubungan dengan masalah :1. Kesehatan dan kesejahteraan masyarakat (public);2. Kondisi para pekerja/buruh/karyawan (labour conditions);3. Eksploitasi sumber-sumber alam dan lingkungan (the exploitation of natural resources and the environment);4. Pelanggaran terhadap ketentuan/persyaratan barang dan jasa bagi para konsumen (offences against the provision of goods and services to consumers).Pernyataan kongres ke-7 mengenai perlunya "protection against industrial crime" sebagai berikut :"In view the characteristic of temporary post industrial society and the role played by scientific progress, special protection against sriminal negligence should be ensured in matters pertaining to public health, labour conditions, the exploitation of natural resources and the environment and the provision of goods and services to consumersa".3. Dalam Kongres ke-8 tahun 1990 di Hanava, Cuba, antara lain masih disoroti dimensi kejahatan yang dibicarakan pada kongres-kongres sebelumnya dengan beberapa penekanan antara lain:1. Masalah "urban crime";2. Crime against the nature and the environment;3. "Corruption keterkaitan dengan economic crime, organized crime, illicit trafficking in narcotic drugs and psichotropic substances,termasuk juga masalah "money laundering";4. Crimes against movable cultural property (cultural heritage);5. Computer related crime;6. Terrorisme;7. Domestic violence;8. Instrumental use children in criminal activitiesDi samping perlunya memperhatikan berbagai aspek sosial, dan dampak negatif dari pembangunan serta perkembangan/ kecenderungan kejahatan. Maka kebijakan integral juga berarti perlunya memperhatikan korban kejahatan. Hak-hak korban harus juga dilihat sebagai bagian integral dari keseluruhan kebijakan kriminal. Dalam istilah Kongres PBB ke-7 di Milan dinyatakan bahwa Pengertian korban, hendaknya tidak dilihat semata-mata dari sudut individual atau menurut perumusan abstrak dalam perundang-undangan yang berlaku, tetapi dilihat juga dalam konteks yang lebih luas. Dalam Kongres PBB ke-8 dimohon perhatian terhadap korban dari adanya perubahan perundang-undangan, korban dari penyalahgunaan kekuasaan dan korban dari pelanggaran-pelanggaran terhadap standar-standar yang di akui secara internasional. Secara khusus Kongres memohon pula perhatian terhadap wanita sebagai korban kejahatan karena mereka mudah menjadi korban eksploitasi, korban perampasan hak dan tindakan-tindakan kekerasan khususnya dalam masalah seksual,dan tindak kekerasan dalam rumah tangga. Ditegaskan dalam Kongres itu, bahwa kekerasan terhadap wanita, baik secara nyata maupun tersembunyi, akan membahayakan secara serius perkembangan sosial dari wanita. Oleh karena itu ditegaskan, bahwa menanggulangi masalah ini, merupakan'the best interestof society generally".Mengenai penyalahgunaan kekuasaan, Kongres meminta perhatian pula akan pengertian yang luas. Penyalahgunaan kekuasaan, tidak hanya penyalahgunaan kewenangan hukum, tetapi juga penyalahgunaan kekuasaan ekonomi. Bahkan adanya korban sebagai akibat atau pengaruh dari suatu kebijakan di bidang tenaga kerja yang mengganggu lapangan pekerjaan, atau menciptakan adanya pengangguran, dapat dilihat sebagai"abuse of power"dalam arti luas. Masalah perlindungan terhadap hak-hak asasi korban kejahatan dan korban penyalahgunaan kekuasaan juga masih di bicarakan dalam kongres yang terakhir (ke-8 tahun 1990) di Havana, Cuba, mengenai "Protection of the human rights of victims of crime and abuse of power.Upaya penanggulangan kejahatan yang integral mengandung arti pula, bahwa masyarakat dengan seluruh potensinya harus juga dipandang sebagai bagian politik kriminal. Sehubungan dengan hal ini, kongres PBB pun menekankan bahwa"the over all organization of society should be consudered as anti criminogenicdan menegaskan bahwa"community relations were the basis for crime prevention programmers".Oleh karena itu dipandang perlu untuk membina dan meningkatkan efektifitas"extra legal system"atau"informal system"yang ada pada masyarakat dalam usaha penanggulangan kejahatan, antara lain kerjasama dengan organisasi sosial dan keagamaan, lembaga-lembaga pendidikan dan organisasi volunteer yang ada di masyarakat. Sehubungan dengan pemanfaatan"extra legal system"atauinformal system",maka di dalam "Guilding Principles" yang dihasilkan Kongres PBB ke-7 juga diberikan pedoman mengenai "traditional forms of social control".Politik hukum pidana, terhadap pencegahan perdagangan gelap narkotika, yang sangat membahayakan umat manusia, dan melibatkan organisasi internasional, yang teramat sulit pembuktiannya, dengan berbagai sel sel terputus. Karenanya dalam undang undang narkotika, diberikan kewenangan kepada BNN, untuk melakukan tindakan secara penal dan non penal, guna bekerja secara maksimal, untuk melakukan tindakan hukum, guna memudahkan proses pembuktiannya, melalui hal hal yang luar biasa, dengan penggunanaan kewenangan untuk melakukan berbagai kemudahan dalam pembuktian. Juga upaya upaya pencapaian kesadaran masyarakat, akan akibat bahaya narkotika, dengan berbagai upaya non penal. Karena itu BNN, melakukan upaya hukum pidana dan non hukum pidana, dalam pencapaian tujuannya, guna mencapai tujuan sosial yang lebih besar, yakni pencapaian negara kesejahteraan.

C.TENTANG KRIMINALISASI KEJAHATAN NARKOTIKA.

Kejahatan, selain masalah kemanusiaan, juga merupakan permasalahan sosial. Menghadapi masalah ini, telah banyak dilakukan upaya untuk menanggulanginya, dan bahkan dimasukkan dalam kerangka kebijakan kriminal. Pengaggulangan kejahatan dengan menggunakan sanksi pidana, merupakan cara yang paling tua, setua peradaban manusia itu sendiri. Pidana merupakan peninggalan kebiadaban masa lalu. Pidana merupakan tindakan perlakuan yang kejam. Selanjutnya terjadi gelombang perubahan pandangan mengenai pidana di Eropa Kontinental dan Inggris, yang merupakan reaksi humanistis terhadap kekejaman pidana. Pada masa itulah berkembang pemikiran determinisme yang menyatakan, bahwa orang tidak mempunyai kehendak bebas dalam melakukan suatu perbuatan, karena dipengaruhi oleh watak pribadinya, faktor-faktor biologis dan faktor lingkungan kemasyarakatannya. Kejahatan sebuah manifestasi dari keadaan jiwa seseorang yang abnormal, sehingga dalam perkembangannya, diperlukan tindakan sebagai upaya untuk memperbaiki keadaan pelaku kejahatan. Kejahatan juga dipandang sebagai perujudan ketidaknormalan atau ketidakmatangan pelaku kejahatan, sehingga sikap memidana harus diganti dengan sikap mengobati.Pemahaman berikutnya dari hukum pidana, dapat juga disebut sebagai alat pencegah yang ekonomis. Karena hukum pidana itu, benar-benar mempunyai syarat sebagai alat pencegah, dan hukum pidana itu, tidak menyebabkan timbulnya keadaan-keadaan yang lebih berbahaya atau merugikan, dari pada hal yang terjadi, bilamana hukum pidana itu tidak dilaksanakan. Atau tidak ada pidana lain yang dapat mencegah, secara efektif dengan bahaya atau kerugian yang lebih kecil. Sehingga hukum pidana, bertujuan untuk melindungi kepentingan sosial yang mengandung nilai-nilai, untuk memelihara tertib masyarakat. Perlindungan warga masyarakat dari kejahatan, atau bahaya-bahaya yang tidak dapat dibenarkan, yang dilakukan oleh orang lain. Memasyarakatkan kembali para pelanggar hukum. Memelihara atau mempertahankan integritas pandangan dasar tertentu, mengenai keadilan sosial, martabat kemanusiaan dan keadilan individu. Karena itu sanksi, merupakan salah satu unsur penting dalam struktur hukum, dan untuk menjamin efektivitas suatu norma, mengharuskan diperlukannya suatu norma lain, bilamana tidak dipatuhi, maka ada rangkaian sanksi yang tak pernah berakhir.Dengan demikian maka hukum pidana diperlukan, sekarang maupun akan datang, karena sanksi pidana merupakan alat atau sarana yang terbaik dan tersedia, yang kita miliki, untuk menghadapi bahaya-bahaya besar dan segera untuk menghadapi ancaman dari bahaya itu. Sanksi pidana merupakan penjamin utama yang terbaik, tetapi dapat sebagai pengancaman utama dari beberapa manusia, apabila digunakan secara sembarangan dan secara paksa.Berkenaan dengan tujuan yang ingin dicapai oleh hukum pidana, maka kaedah kaedah yang ditetapkan oleh hukum pidana melalui hukum, haruslah memiliki syarat-syaratnya yakni.1. Hukum harus mudah dikurangi atau ditambah.2. Hukuman harus berlaku untuk semua orang.3. Hukuman dapat diukur melalui motif perbuatannya.4. Hukuman akan mudah teringat.5. Hukuman menjadi contoh.6. Hukuman harus tepat guna.7. Hukuman bisa diampuni atau dibatalkan.

Dalam perkembangannya, setelah usai perang dunia ke dua, para ahli hukum pidana yang dikenal sebagai mashab Utrecht di negeri Belanda. Memandang hukum pidana sebagai instrumen dari politik kriminal, yang bertujuan lebih adil, dengan ajaran hukum fungsional. Hukum pidana dilihat sebagai instrumen dengan bantuan pemerintah, dalam mewujudkan tujuan-tujuan politik kriminal tertentu. Dalam hukum pidana selain unsur kesalahan dan melawan hukum, maka penting pula untuk merumuskan atau menetapkan suatu perbuatan sebagai tindak pidana, yakni subsosialitas, sehingga menempatkan ilmu hukum pidana ketataran sosial politik. Reaksi kecenderungan hukum pidana fungsional dan instrumental, menempatkan hukum pidana, tidak lagi primer, sebagai sarana untuk mencapai tujuan tujuan kenegaraan. Sebaliknya dengan adanya pengakuan dari keterberian perang melawan kriminalitas dan tekanan pada aspek kemasyarakatan, aksentuasinya diberikan pada proses pemidanaan. Dalam proses itu warga diberi kesempatan untuk membela diri, untuk membela hak-haknya, dalam kerangka hukum yang sangat tidak adil, dan memperjuangkan kepentingan-kepentingan sosialnya.Dengan demikian maka dapat diketahui hal terkini, bahwa tujuan hukum pidana dalam politik kriminal, yakni bertujuan untuk pencegahan, dan bukan untuk pembalasan. Undang undang pidana, seharusnya dibuat dengan memperhatikan tujuannya, dan hanya dibuat untuk itu. Sistem hukum pidana, seharusnya dibuat dan berfungsi, hanya dengan maksud untuk melakukan pencegahan, bukan sebagai perujudan pencelaan moral. Syarat pertanggungjawaban mental, hanya merupakan syarat untuk adanya pencelaan moral, dan harus dinyatakan sebagai tidak beralasan. Sehingga dapat diketahui pandangan masyarakat mengenai patut dicelanya suatu perbuatan tertentu, untuk melakukan kriminalisasi dan dekriminalisasi, yakni didasarkan pada berbagai faktor;1. Keseimbangan sarana-sarana yang digunakan dalam hubungannya dengan hasil yang ingin dicapai.2. Analisis biaya terhadap hasil-hasil yang diperoleh dalam hubungannya dengan tujuan-tujuan yang dicari.3. Penilaian atas tujuan yang dicari dengan prioritas prioritas lainnya, dalam pengalokasian sumber-sumber tenaga manusia.4. Pengaruh sosial dan dari kriminalisasi yang berkenaan dengan pengaruh-pengaruh sekunder.

Perujudan suatu sanksi pidana dapat dilihat, sebagai suatu proses perujudan kebijakan melalui tiga tahap yakni tahap penetapan pidana oleh pembuat undang undang. Tahap pemberian atau penjatuhan pidana oleh Pengadilan. Tahap pelaksanaan oleh pelaksana pidana yakni aparat eksekusi pidana. Dilihat sebagai satu kesatuan proses, dan pada tahap kebijakan legislatif inilah, diharapkan adanya suatu garis pedoman untuk tahap-tahap selanjutnya. Tetapi pada tahap inilah yang ditengarai, banyak mengandung berbagai permasalahan, terutama dengan banyaknya perundang undangan, yang memuat janis sanksi pidana, sebagai sanksi utamanya, mengindikasikan bagaimana tingkat pemahaman, legislator terhadap masalah-masalah pidana dan pemidanaan. Paling tidak keterbatasan pemahaman mereka, terhadap masalah sanksi dalam hukum pidana, turut mempengaruhi, proses penetapan sanksi, ketika membahas suatu perundang-undangan. Hal ini menimbulkan inkonsistensi dalam penetapan jenis, maupun bentuk bentuk sanksinya, antara perundang-undangan yang satu dengan perundang undangan yang lain.Suatu parameter bagi penetapan sanksi pidana baru dapat diciptakan, apabila telah disepakati sebelumnya, apa yang hendak dijadikan landasan berpikir untuk pemidanaan. Terdapat beberapa peringkat berdasarkan keseriusan tindak pidana, dalam lima tingkatan, menggunakan skala semantik dari sangat ringan, sampai dengan sangat serius. Tindak pidana sangat ringan tidak diperkenankan dengan sanksi perampasan kemerdekaan. Sedangkan tidak pidana yang sangat serius, adalah tindak pidana yang dikenai sanksi pidana penjara lebih dari tujuh tahun. Upaya menentukan proporsi ini tidak mudah, tetapi penting untuk konsistensi, bukan hanya tahap legislasi, tetapi pada tahap implementasi. Ketiadaan parameter ini, bukan hanya masalah tekhnis, tetapi juga masalah filosofis sehubungan dengan tidak adanya falsafah pemidanaan. Bahwa proses legislasi sebagai suatu proses politik, yang menghasilkan hukum yang berlaku untuk seluruh rakyat Indonesia, sampai sekarang belum memuaskan. Hal ini disebabkan karenaLogrolingatauVote trading, mekanisme penggodokan yang hingga kini masih diperdebatkan, rendahnya partisipasi publik, dan kemampuan para legislator, merupakan faktor yang signifikan. Hal ini terasa ketika melihat produk hukum pidana, karena merupakan proses praktek dengan argumen politik, menentukan perilaku yang dipandang layak, diancam dengan sanksi pidana, kemudian jenis dan besaran pidana yang layak diancamkan pada perilaku tersebut.Sejak negara memiliki kewenangan untuk menentukan suatu bentuk-bentuk pemidanaan, teori-teori pidana bergantung pada teori politik yang digunakan oleh suatu negara. Perbedaan teori politik yang digunakan akan menghasilkan justifikasi yang berbeda. Hal ini dikarenakan teori-teori politik yang dianut oleh suatu negara mencakup perbedaan peran dan ruang lingkup negara, dan berbeda pula dalam menggambarkan hubungan antara pemerintah dengan warganegaranya. Dinegara yang menganut teori liberal, lebih mengutamakan hak dan kebebasan individu yang aman supaya setiap individu, dapat menjalankan kehidupan dan pilihan mereka dengan baik. Dinegara ini, pidana dapat dijustifikasi, sepanjang pidana itu mampu, melindungi kebebasan individu warga negara agar hidup mereka aman dari ancaman kejahatan. Disini kewenangan negara harus dibatasi dengan ketat untuk memastikan bahwa kewenangan itu digunakan untuk meningkatkan kebebasan individu. Di negara yang menganut teoriCommunitarian, individu diisolasikan dari individu yang lain. Maka dibedakan dengan jelas antara kepentingan individu warga negara dan negara. Negara memiliki peran yang lebih luas dan diatur dalam hukum positif untuk memajukan kesejahteraan sosial dan menjaga nilai-nilai sosial.

D. KEBIJAKAN LEGISLATIF TENTANG TINDAK PIDANA NARKOTIKA

Sebagai salah satu upaya untuk mencapai tujuan nasional, maka politik hukum pidana, bertujuan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Politik hukum pidana itu sendiri pada dasarnya merupakan aktivitas yang menyangkut proses menentukan tujuan dan cara melaksanakan tujuan tersebut. Terkait proses pengambilan keputusan atau pemilihan melalui seleksi di antara berbagai alternatif yang ada mengenai apa yang menjadi tujuan sistem hukum pidana mendatang. Dalam rangka pengambilan keputusan dan pilihan tersebut, disusun berbagai kebijakan yang berorientasi pada berbagai masalah pokok dalam hukum pidana (perbuatan yang bersifat melawan hukum, kesalahan atau pertanggungjawaban pidana, dan berbagai alternatif sanksi baik yang merupakan pidana maupun tindakan).Dalam bidang hukum pidana usaha untuk mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang. Disebutkan juga undang-undang mempunyai dua fungsi, yakni fungsi untuk mengekspresikan nilai-nilai dan fungsi instrumental.Perkembangan yurisprudens,i dan ilmu hukum yang ingin mengikuti gerak dinamika dalam pandangan masyarakat, dengan perundang-undangan yang sudah ada, hingga menimbulkan adanya penghapus pidana, tidak menutup jalan perkembangan dari perundang-undangan pidana itu sendiri dalam ataupun di luar dari kodifikasi yang bersifat pembaharuan. Dengan mengikutsertakan yurisprudensi dan ilmu hukum yang berkembang tidak mengenalstandstilldan gerak terus adalah gambaran kronik mengenai hukum pidana, di samping perkembangan perundang-undangan pidana.Politik hukum pidana, sebagai bagian dari politik hukum mengandung arti bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan suatu perundang-undangan pidana yang baik. Oleh karenanya,Penal Policyadalah suatu ilmu sekaligus seni yang bertujuan untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik.Hubungan yang erat antara hukum dan politik, telah terjadi intervensi politik terhadap hukum dalam realitanya, hukum tidak steril dari subsistem kemasyarakatan lainnya. Politik seringkali melakukan intervensi terhadap pembuatan dan pelaksanaan hukum, sehingga muncul pula pertanyaan tentang sistem mana yang lebih suprematif apakah subsistem politik ataukah subsistem hukum. Bagaimanakah pengaruh politik terhadap hukum, mengapa politik banyak mengintervensi hukum, jenis sistem politik yang bagaimana yang dapat melahirkan produk hukum yang berkarakter tertentu dan sebagainya.Produk legislasi adalah produk politik, hasil tarik menarik berbagai kepentingan politik yang mengejawantah dalam produk hukum. Hukum adalah instrumentasi dari putusan atau keinginan politik, sehingga pembuatan undang-undang sarat dengan kepentingan-kepentingan tertentu, dan dengan demikian medan pembuatan undang-undang menjadi medan perbenturan dan pergumulan kepentingan-kepentingan. Badan pembuat undang-undang akan mencerminkan konfigurasi kekuatan dan kepentingan yang ada dalam masyarakat, karena pembuatan undang-undang modern bukan sekedar merumuskan materi hukum secara baku berikut rambu-rambu yuridisnya, melainkan membuat putusan politik terlebih dahulu. Kekuatan dan kepentingan dalam pembuatan undang-undang, intervensi-intervensi dari luar tidak dapat diabaikan dalam pembentukan undang-undang terutama oleh golongan yang memiliki kekuasaan dan kekuatan secara sosial, politik maupun ekonomi, sehingga politik hukum mencakup pengertian bagaimana politik mempengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi yang ada di belakang pembuatan dan penegakan hukum.Hukum adalah hasil sebagian pembentukan keputusan yang diambil dengan cara yang tidak langsung oleh penguasa. Penguasa mengatur dengan cara-cara umum yang serba luas dan rumit, pengaturan itu disebut pengambilan keputusan politik yang dituangkan dalam aturan formal diundangkan dengan demikian hukum adalah hasil resmi pembentukan keputusan politik. Setidak-tidaknya yang menyangkut kekuasaan legislatif dan eksekutif, yang bertalian dengan peradilan kurang diperhatikan, walaupun kekuasaan yudikatif sedikit banyak hubungan-hubungan dan perimbangan-perimbangan politik maupun sebagai opsi kemasyarakatan yang ikut berproses di dalam suatu pergaulan hidup tertentu. Fungsi-fungsi hukum hanya mungkin dilaksanakan secara optimal, jika hukum memiliki kekuasaan dan ditunjang oleh kekuasaan politik, legitimasi hukum melalui kekuasaan politik salah satunya terwujud dalam pemberian sanksi bagi pelanggar hukum, hukum ditegakkan oleh kekuasaan politik melalui alat-alat politik.Hubungan hukum dengan kekuasaan dalam masyarakat, di mana hukum memerlukan kekuasaan bagi pelaksanaannya, sebaliknya kekuasaan itu ditentukan batas-batasnya oleh hukum. Dengan demikian hukum dan kekuasaan merupakan suatu unsur mutlak dalam suatu masyarakat hukum, dalam arti masyarakat yang diatur oleh dan berdasarkan hukum. Kekuasaan adalah suatu fungsi dari masyarakat yang teratur.Sedangkan, efektivitas hukum dalam realita adalah kekuasaan hukum dan merupakan hak dan kekuasaan. Oleh karenanya hukum tidak bisa hadir tanpa kekuasaan. Hukum adalah suatu tata atau organisasi kekuasaan yang spesifik.Hukum dan politik memang sulit dipisahkan, khususnya hukum tertulis yang mempunyai kaitan langsung dengan negara. Dalam sistem hukum Indonesia, undang-undang adalah produk legislasi, oleh karenanyalah peran politisi memegang peranan penting dan pembuatan undang-undang. Hukum tidak dapat dipisahkan dengan politik, terutama di masyarakat yang sedang membangun, dan pembangunan itu adalah keputusan politik, dan pembangunan membutuhkan legalitas dari sektor hukum. Politik hukum secara sederhana dapat dirumuskan sebagai kebijakan hukum (legal policy) yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah.Politik mempengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada di belakang perbuatan dan penegakan hukum itu. Dalam konteks ini hukum tidak hanya dipandang sebagai pasal-pasal yang bersifat imperatif, atau keharusan-keharusan yang bersifatdas sollen, melainkan harus dipandang sebagai subsistem yang dalam kenyataannya (das sein) bukan tidak mungkin sangat ditentukan oleh politik, baik dalam perumusan materi dan pasal-pasalnya, maupun dalam implementasi dan penegakannya.Studi-studi hubungan hukum dan politik telah menyimpulkan, bahkan melahirkan tesis hanya sistem politik yang demokratis yang dapat melahirkan hukum responsif dan mendorong tegaknya supremasi hukum. Sistem politik yang non demokratis, hanya akan melahirkan hukum-hukum yang ortodoks baik dalam pembuatannya maupun dalam penegakannya. Hal ini terjadi karena dalam kenyataannya hukum adalah produk politik yang mencerminkan konfigurasi kekuasaan politik.Kriteria bagi suatu negara yang modern adalah negara yang menerima dan menerapkan inovasi-inovasi baru demi kehidupan yang terus menerus lebih baik bagi rakyat banyak. Kekuasaan memerintah dalam negara modern berdasarkan hukum, artinya dalam negara hukum pemerintah yang dibentuk secara demokratis hanya menyelenggarakan kekuasaan politiknya terbatas pada kerangka mandat konstitusi. Dalam rangka politik, fungsi hukum adalah untuk memanusiakan penggunaan kekuasaan. Negara adalah perwujudan dari akal sehat yang harus diselenggarakan menurut kaidah-kaidah hukum yang berlaku umum. Suatu konstitusi atau perundang-undangan bisa dipahami sebagai produk dari suatu proses politik, secara demokratis menampung dan menyalurkan aspirasi politik yang utama, yang mencerminkan pandangan masyarakat tentang tata norma etis sosial, penertiban umum, keadilan, nilai sosial, budaya, peranan serta hubungan-hubungan antar lembaga-lembaga sosial.

Dalam peradaban modern, hukum telah mengungguli bentuk-bentuk manifestasi tatanan yang lain. Ketajaman dan kejelasannya mampu untuk memaksa untuk dipatuhi, maka hukum merupakan bentuk tatanan masyarakat yang unggul (excellent), disebabkan bentuknya yang sangat tajam dan penetratif, maka sejak kemunculannya hukum modern terjadilah suatu revolusi diam-diam di dunia.Derajat saling mempengaruhi secara timbal balik yang terjadi antara kebiasaan-kebiasaan kemasyarakatan yang tumbuh dan berkembang secara spontan dan aturan hukum yang dibentuk oleh penguasa, sangat bergantung pada perimbangan-perimbangan kekuatan yang ada. Ciri khas utama sebuah permasalahan politik saling mempengaruhi secara timbal balik. Hubungan ini berlangsung sesuai aturan main dari berbagai pihak yang tersangkut dalam permainan politik dan secara gentar melancarkan tuntutan dan ideologinya untuk mencarai alasan pembenar, dengan membayangkan ekspresi asas-asas abstrak tertentu yang lebih disukai menghubungkannya dengan kategori-kategori absolut yang dikendalikan secara eksperimental sepertiKetuhanan,logos, ilmu pengetahuan dan lain-lain.Dari pengamatan praktik hukum, hukum adalah perilaku terhadap normativitas atau disebut intervensi perilaku, oleh karenanya menjalankan hukum bukan hanya logika tetapi juga pengalaman. Proses pembentukan hukum oleh legislator, senantiasa memperhatikan beberapa sudut pandang, yakni sudut pandang filosofis, disusun dan ditakar secara baik dan benar sesuai dengan pandangan filosofis, secara yuridis harus ditempuh sesuai dengan prosedur yang sesuai dengan tata cara yang diatur oleh hukum itu sendiri. Kemudian dari segi sosiologis, apakah hukum itu sudah dapat diterima secara senang dan sukarela.Pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan salah satu syarat dalam rangka pembangunan hukum nasional yang hanya dapat terwujud apabila didukung oleh cara dan metode yang pasti, baku, dan standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang. Pembentukan peraturan perundang-undangan adalah proses dimulai dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan dan penyebarluasan. Suatu undang-undang yang baik, seyogyanya mengandung unsur yuridis, sosiologis, dan filosofis, sehingga kaidah yang tercantum dalam undang-undang adalah sah secara hukum (legal validity) berlaku efektif, dan diterima oleh masyarakat secara wajar dan berlaku untuk waktu panjang. Dimaksudkan dengan kaidah yang mempunyai dasar yuridis. Pertama, keharusan adanya kewenangan dari pembuat undang-undang. Kedua, keharusan adanya kesesuaian bentuk atau jenis peraturan perundang-undangan. Ketiga, keharusan mengikuti tata cara tertentu. Keempat,keharusan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya.Unsur-unsur yuridis, sosiologis, dan filosofis, ada unsur lain yang perlu diperhatikan yakni unsur teknik perancangan yang merupakan unsur yang tidak boleh diabaikan dalam upaya membuat peraturan perundang-undangan. Dalam penyusunan undang-undang terdapat tahap perencanaan dan tahap perancangan. Tahap perencanaan meliputi tahap penyusunan naskah akademik. Pada perencanaan ini melibatkan para ahli dari berbagai universitas, konsultan, badan pemerintah maupun non pemerintah, disusun melalui dasar-dasar, alasan-alasan, pertimbangan-pertimbangan yang tidak semata-mata politis, tetapi atas pertimbangan yuridis, sosiologis, ekonomis, sosial, budaya, filosofis, agar dapat memenuhi pertimbangan manfaat atau akibat yang akan timbul.Tahap perancangan, yakni meliputi tahap aspek-aspek prosedural dan penulisan rancangan, dengan menterjemahkan, gagasan-gagasan, naskah akademik, bahan-bahan yang lain ke dalam bahasa dan struktur yang normatif, serta memperhatikan asas-asas formal dan materiil.Berpangkal tolak pada asas hukum, adalah pikiran-pikiran dasar yang ada di dalam dan di belakang tiap-tiap sistem hukum, yang telah mendapat bentuk sebagai aturan perundang-undangan dan putusan pengadilan dan ketentuan-ketentuan dan keputusan itu dapat dipandang sebagai penjabarannya. Asas hukum memaonkan peranannya dalam penemuan hukum, sehingga asas hukum memngambil tempat sentral dalam hukum posistif. Dari defini tadi maka, dapat ditari tiga ciri asas-asas hukum;Pertama.Asas hukum adalah fundemen dari sistem hukum, karena merupakan pikiran-pikiran dasar dari sistem hukum.Kedua.Asas hukum bersifat lebih umum dari ketentuan perundang-undangan, dan keputusan hukum merupakan suatu penjabarannya..Ketiga.Maka beberapa asas hukum, sebagai dasar dari sistem hukum, dan selebihnya berada di belakangnya, dan mempunyai pengaruh terhadap sistem hukum tersebut.Pembentukan undang-undang merupakan proses sosial dan proses politik yang sangat penting artinya dan mempunyai pengaruh luas. Proses pembentukan ini akan memberi bentuk dan mengatur atau mengendalikan masyarakat. Undang-undang ini digunakan oleh penguasa untuk mencapai dan mewujudkan tujuan-tujuan tertentu. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa undang-undang itu mempunyai dua fungsi yaitu pertama, fungsi untuk mengekspresikan nilai-nilai, dan kedua, fungsi instrumental. Bertitik tolak pada kedua fungsi tersebut, maka sebaiknya politik hukum pidana dijalankan tanpa mengingkari fungsi lainnya. Misalnya, sifat atau pengaruh simbolis dari undang-undang tertentu.Pembentukan undang-undang juga merupakan instrumentasi dari putusan dan keinginan politik, disebut sebagaipurposive human action. Sebagai keputusan politik, undang-undang merupakaneen neerlag van politieke machtsverhoudingen(suatu endapan dari pertukaran antara kekuatan-kekuatan politik dalam masyarakat.Proses pembuatan aturan yang baik haruslah memuat syarat-syarat tertentu. Pertama, dalam proses-prosesnya harus dipastikan bahwa para pembuat keputusan menerima masukan dan tanggapan dari seluruh populasistakeholderyang ada, dan mengesampingkan hal-hal yang tidak relevan. Kedua, para pembuat aturan ini harus memperhatikan aturan-aturan tentangconversion processsesuai kriteria-kriteria yang telah ditentukan.Conversion processini memuat tentang solusi-solusi yang ditimbulkan olehagency power, faktor-faktor yang harus diperhatikan dan dipertimbangkan oleh para pejabat, prosedur-prosedur pembuatan keputusan yang harus digunakan oleh para pejabat ketika membuat keputusan. Ketiga, Struktur dan proses pembuatan putusan harus menggunakan metodologi yang didasarkan pada pengalaman. Keempat, proses pembuatan keputusan ini harus dibuat secara transparan dan akuntabel.Proses pembuatan undang-undang menempuh proses dan aktivitas yang kompleks, mulai dari penyusunan rancangan akademis (academic reasoning) seperti idealisme, hasil riset normatif dan empiris kajian kecenderungan internasional. Kemudian proses yang paling kompleks adalah proses sosial budaya di parlemen sebagai lembaga politik yang sangat heterogen. Hukum sebagai kaidah sosial, tidak lepas dari nilai yang berlaku di suatu masyarakat, bahkan dapat dikatakan bahwa hukum itu merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Hukum yang baik adalah yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat (the living law).Peraturan perundang-undangan saja tidaklah cukup untuk mendorong berjalannya suatu sistem hukum. Kadang-kadang undang-undang hanya sebagai huruf mati di atas kertas. Banyak undang-undang di negara maju maupun di negara berkembang, mengalami kegagalan. Ada beberapa faktor yang membuat suatu undang-undang tidak dapat diterapkan.Pertama, undang-undang tidak memuat pesan apa yang dikehendaki oleh undang-undang tersebut. Kalaupun pesan itu ada, tetapi tidak dirumuskan dengan bahasa yang dimengerti oleh masyarakat. Pihak legislatif kadangkala tidak melihat kenyataan bahwa membuat undang-undang saja tidak cukup. Perlu adanya pemantauan terhadap penerimaan oleh masyarakat dan pelaksanaannya. Perlu pula adanya evaluasi pelaksanaan suatu undang-undang setelah jangka waktu tertentu untuk melihat efektifitasnya. Kedua, adanya konflik isi undang-undang dengan apa yang dikehendaki oleh masyarakat dan untuk siapa undang-undang itu diadakan. Ketiga, gagalnya penerapan suatu undang-undang selalu terjadi karena tidak disertai dengan norma-norma pelaksanaannya. Selain itu, juga tidak diikuti dengan perintah, institusi, prosedur, dan prasarana yang seharusnya menjadi bagian dari undang-undang tersebut. Oleh karena itu, untuk mencegah gagalnya suatu undang-undang maka perlu dilakukan evaluasi terhadap undang-undang yang telah lahir. Apakah undang-undang dan peraturan pelaksanaannya mampu menjaga persatuan, ketertiban, mendorong pertumbuhan ekonomi, dan menghidupkan kesejahteraan sosial. Sistem hukum yang modern ditandai oleh adanya keseragaman hukum. Keseragaman hukum bermakna bahwa penerapan hukum yang cenderung bersifat teritorial dan personal, dan bukan perbedaan makna intrinsik atau kausalitas. Hukum transaksional adalah kecenderungan untuk membagi hak dan kewajiban yang timbul dari transaksi. Hukum universal adalah cara-cara khusus pengaturan bagi penerapan hukum yang dapat diulangi kembali. Hirarki yakni suatu jaringan tingkat naik banding dan telaah ulang oleh badan dengan pelimpahan fungsi kepada yang memiliki diskresi penuh di dalam yurisdiksinya. Birokrasi adalah untuk menjamin adanya uniformitas. Rasionalitas adalah bahwa peraturan dan prosedur dari sumber tertulis dan dengan cara-cara yang dapat dipelajari.Profesionalisme adalah suatu sistem yang dikelola berdasarkan persyaratan yang dapat diuji dalam suatu pekerjaan. Perantara adalah sistem yang lebih teknis dan kompleks. Dapat diralat adalah tidak ada ketetapan yang mati di dalam sistem prosedur, sehingga dimungkinkan adanya revisi terhadap sistem dan prosedur. Pengawasan politik adalah monopoli yang dilakukan oleh pengadilan dalam memutuskan sengketa. Pembedaan adalah menerapkan hukum pada kasus konkrit dibedakan dari fungsi-fungsi pemerintahan dalam hal personal dan teknik.Adapun politik hukum di Indonesia terutama tentang perkembangan legislator dalam menentukan hukum pidana, tidak terlepas dari realitas sosial dan tradisional, dan realitas hukum internasional. Dengan demikian faktor-faktor yang akan menentukan politik hukum tidak semata-mata, ditentukan oleh apa yang kita cita-citakan atau tergantung pada pembentuk hukum, tetapi ikut ditentukan oleh kenyataan-kenyataan serta perkembangan hukum di lain-lain negara serta perkembangan hukum internasional.Walaupun pluralisme hukum menjadi tantangan masyarakat Indonesia, bagi pembangunan hukum, dalam menunjang kebutuhan hukum masa kini. Harus tetap berpegang teguh pada prinsif-prinsif filsafat dan hukum yang tertera maupun tersimpul, di dalam pembukaan undang undang dasar tahun 1945, maka niscaya keutuhan bangsa dan kehidupan bernegara dan berbangsa, tidak akan kehilangan arah. Karena diberbagai bidang selalu berpegang pada asas-asas hukum, yang tetap akan mempersatukan kita, dan menjadi kesadaran hukum Indonesia modern di millinium ketiga ini. Maka fisafat, mengenai tujuan hukum, asas-asas hukum, pembentukan hukum, penegakan hukum, pembaharuan dan pembangunan hukum nasional, Bhineka Tunggal Ika, dijadikan asas hukum nasional yang terpenting dalam rangka reformasi hukum.Dalam bingkai-bingkai kesatuan politik kenegaraan yang satu dan bersatu dalam konteks-konteksnya yang nasional, tetap tertampakkanlah pluralisme dan keragaman yang kultural dalam konteks-konteksnya yang lokal dan subnasional. Maka di negeri yang berkultur Bhineeka Tunggal Ika, yang tunggal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, eksistensi hukum nasional yang memanifestasikan nasionalisme politik itu, selalu menghadapi berbagai ragam hukum lokal, yang memanifestasikan kesetian-kesetian dan kebutuhan-kebutuhan lokal, tidaklah akan mudah tersingkir begitu saja. Melainkan tetap saja bertahan, bahkan makin menguatHukum yang dilihat sebagai hasil dari suatu proses pertumbuhan yang dinamis. Melihat hukum sebagai sesuatu yang bersifat dinamis didasarkan pada keyakinan, bahwa hukum itu terjadi sebagau suatu perencanaan dari suatu situasi tertentu menuju kepada suatu tujuan yang akan dicapai.Hukum bukan merupakan suatu tujuan, melainkan hanya sebagai suatu alat, untuk mencapai tujuan yang tidak yuridis. Finalitas dari hukum yang tidak yuridis, dan karenanya pula hukum mendapat dorongan bertumbuhnya dari luar hukum. Faktor-faktor ekstra yuridislah yang memelihara tetap berlangsungnya proses pertumbuhan dinamis dari hukum.Hukum yang terus berkembang seiring dengan perkembangan globalisasi, ikut mendorong reformasi di berbagai bidang hukum. Masalah hukum dalam pembangunan terdiri dari empat masalah mendasar dan mendesak yang harus menjadi prioritas. Pertama, masalah reaktualisasi sistem hukum yang bersifat netral dan berasal dari hukum lokal, ke dalam sistem hukum nasional yang berasal dan bersumber dari perjanjian internasional. Kedua, penataan kelembagaan aparatur hukum yang masih belum dibentuk secara komprehensif, sehingga melahirkan berbagai ekses dan ego sektoral. Ketiga, pemberdayaan masyarakat, kesadaran hukum, budaya hukum sebagai rangkaian yang tidak terpisahkan.Implikasi perkembangan hukum Internasional, terhadap kejahatan nasional dapat menjadi atau bersifat transnasional, sehingga melahirkan kejahatan internasional yang berimplikasi terhadap pendidikan hukum pidana yang melahirkan disiplin baru. Disiplin baru itu adalah hukum pidana internasional sejak 1990-an dengan diadopsinya Statuta Roma mengenai Mahkamah Pidana Internasional termasuk juga munculnya nomenklator baru dalam lingkup hukum pidana nasional seperti genosida(genocide), kejahatan kemanusiaan(crimes against humanity), agresi(aggression), kejahatan perang(war crimes), kejahatan perdagangan orang khususnya perempuan dan anak(human trafficking), penyelundupan migran(migrant smuggling), penyelundupan senjata(smuggling firearms),dan kejahatan pencucian uang(money laundering).Dengan demikian, maka setiap kebijakan yang diambil dalam suatu sistem pembangunan yang mengarah kepada perubahan hukum harus dilihat melalui tiga unsur penting yakni, unsur struktur hukum, unsur substansi hukum, dan unsur budaya hukum. Oleh karenanya, posisi politik hukum sebagai bagian kebijakan dari negara, melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan. Pembuatan kebijakan itu sendiri dimulai dari berbagai lembaga legislatif yang ada. Penerapan kebijakan itu dilakukan oleh lembaga-lembaga administratif. Jadi, proses pembuatan kebijakan itu mencakup formulasi undang-undang penerapannya, dan dampak dari semua tindakan yang diambil oleh lembaga-lembaga pemerintah. Kebijakan dapat didefinisikan ke dalam berbagai macam. Pada umumnya kebijakan mengarah pada tujuan individu, kelompok, atau lembaga. Kebijakan biasanya juga terdiri dari tujuan dan sarana untuk mencapai tujuan itu. Kadangkala tujuan itu berubah, diartikan kembali, dan dibentuk ketika kebijakan itu diterapkan. Untuk itu diperlukan sarana yang tepat untuk menerapkannya.Penerapan kebijakan ini melibatkan usaha dari pembuat kebijakan untuk mempengaruhi apa yang disebut sebagaistreet level bureaucrats,untuk memberikan pelayanan atau mengatur perilaku kelompok sasaran. Untuk kebijakan yang sederhana, implementasi hanya melibatkan satu badan yang berfungsi sebagai implementator, sedangkan untuk kebijakan makro, implementasinya akan melibatkan berbagai institusi seperti birokrasi dan instansi-instansi terkait lainnya. Politik hukum adalah usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu.Sehubungan dengan politik hukum nasional harus dapat dilihat beberapa hal. Pertama, pelaksanaan ketentuan yang telah ada secara konsisten. Kedua, pembangunan hukum adalah pembangunan terhadap ketentuan hukum yang telah ada yang telah dianggap usang, dan penciptaan ketentuan hukum baru yang diperlukan untuk memenuhi tuntutan masyarakat. Ketiga, penegasan fungsi lembaga penegakkan hukum. Keempat, meningkatkan kesadaran hukum masyarakat.Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan hukum, untuk menentukan, pertama,perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi berupa pidana, bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. Kedua, kapan dan dalam hal apa saja keadaan mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan. Ketiga, dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut. Penggunaan upaya hukum termasuk hukum pidana sebagai salah satu upaya untuk mengatasi masalah sosial termasuk di dalam kebijakan penegakan hukum. Karena tujuan penegakan hukum adalah untuk mencapai kesejahteraan masyarakat pada umumnya, maka kebijakan penegakan hukum inipun termasuk dalam bidang kebijakan sosial, yaitu segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Sebagai suatu masalah yang termasuk masalah kebijakan maka penggunaan hukum pidana sebenarnya tidak merupakan keharusan. Tidak ada kemutlakan dalam bidang kebijakan, karena pada hakikatnya dalam masalah kebijakan orang dihadapkan pada masalah penilaian dan pemilihan dari berbagai macam alternatif. Sasaran politik kriminal adalahlegislatedenvironmentyang meliputi warga negara, penegak hukum semuanya bertujuan untuk melindungi masyarakat dengan usaha penanggulangan kejahatan lewat pembuatan undang-undang hukum pidana dan cara pelaksanaan peraturan perundang-undangan pidana oleh sistem peradilan pidana.Politik hukum pidana dapat dipahami sebagai bagian dari politik kriminal, sedangkan politik kriminal tersebut diartikan, Pertama, dalam pengertian sempit digambarkan sebagai keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum pidana. Kedua, dalam arti lebih luas, merupakan keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum termasuk didalamnya cara kerja pengadilan dan polisi. Ketiga, dalam arti yang paling luas, merupakan keseluruhan kebijakan, yang dilakukan melalui peraturan perundang-undangan dan badan-badan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat.Pada tahap pembuatan peraturan perundang-undangan, proses pembuatan undang-undang, dituntut pula untuk semakin baik yang antara lain diharapkan untuk memenuhi pelbagai persyaratan antara lain; Dapat menyerap aspirasi suprastruktural; Dapat mengartikulasikan aspirasi infrastruktural. Mengikutsertakan pandangan- pandangan kepakaran. Memperhatikan, kecenderungan-kecenderungan internasional yang diakui masyarakat beradab. Menjaga sinkronisasi baik vertikal maupun horizontal. Dapat menjaga keselarasan, keserasian dan keseimbangan antara pemikiran ketertiban (ardeningsdenken) dan pemikiran pengaturan (regelingsdenken).Politik hukum pidana pada intinya bagaimana hukum pidana dapat dirumuskan dengan baik dan memberikan pedoman kepada pembuat undang-undang, kebijakan aplikasi dan pelaksanaan hukum pidana, kebijakan legislatif sangat menentukan bagi tahap-tahap berikutnya, karena pada saat perundang-undangan pidana dibuat maka sudah ditentukan arah yang hendak dituju dengan dibuatnya undang-undang tersebut atau dengan kata lain adalah proses kriminalisasi.Dengan demikian jika politik kriminal dengan menggunakan politik hukum pidana maka harus merupakan langkah-langkah yang dibuat dengan sengaja dan sadar. Memilih dan menetapkan hukum pidana sebagai sarana untuk menanggulangi kejahatan harus benar-benar memperhitungkan semua faktor yang dapat mendukung berfungsinya atau bekerjanya hukum pidana dalam kenyataannya. Dengan mengutip Bruggink, diperlukan wawasan tentang peranan kaidah-kaidah hukum di dalam masyarakat sebagai titik tolak.Adapun masalah kriminalisasi dan dekriminalisasi atas suatu perbuatan haruslah sesuai dengan politik kriminal yang dianut oleh bangsa Indonesia, yaitu sejauh mana perbuatan tersebut bertentangan dengan nilai-nilai fundamental yang berlaku dalam masyarakat dan dianggap oleh masyarakat patut atau tidak patut dihukum dalam rangka menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat. Dalam hubungannya dengan pembaharuan hukum pidana Indonesia, setidaknya ada 3 (tiga) alasan penting dalam rangka penyusunan hukum nasional. Pertama, alasan politis adalah wajar bahwa Indonesia sebagai negara merdeka mempunyai hukum pidana yang bersifat nasional yang didasarkan pada pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum di Indonesia. Kedua, alasan sosiologis urgensi pembentukan hukum nasional didasarkan pada keharusan, bahwa hukum nasional itu harus didasarkan pada nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia harus mencerminkan keadilan masyarakat Indonesia. Ketiga, alasan praktis bahwa hukum nasional itu harus dapat dipahami oleh masyarakatnya sendiri.Hubungan antara kebijakan sosial dan kebijakan pidana belum dapat diidentifikasikan dengan jelas. Pemidanaan harus berkaitan dengan kesalahan moral pihak terdakwa tersebut. Tingkat kesalahan moral seseorang tidak hanya semata-mata menentukan tingkat pemidanaan yang akan diberikan tetapi hal ini secara universal merupakan salah satu penentu saja. Masih ada dua hal yang perlu diperhatikan untuk menentukan pemidanaan yaitu tingkat pelanggaran yang dilakukan dan dengan mempertimbangkan tingkat kekejian bagaimana kejahatan itu dilaksanakan.Penegasan upaya penanggulangan kejahatan secara terpadu dengan keseluruhan kebijakan sosial, bilamana hukum pidana hendak dilibatkan dalam usaha mengatasi segi-segi negatif dari perkembangan masyarakat, maka hendaknya dilihat dalam hubungan keseluruhan politik kriminal atausocial defence planningdan merupakan bagian integral dari rencana pembangunan nasional. Pandangan masyarakat mengenai patut dicelanya suatu perbuatan tertentu untuk melakukan kriminalisasi dan dekriminalisasi, didasarkan berbagai faktor. Pertama, keseimbangan sarana-sarana yang digunakan dalam hubungannya dengan hasil yang dicari atau yang ingin dicapai. Kedua, analisis biaya terhadap hasil-hasil yang diperoleh dalam hubungannya dengan tujuan-tujuan yang dicari. Ketiga, penilaian atas tujuan yang dicari dengan prioritas-prioritas lainnya dalam pengalokasian sumber-sumber tenaga manusia; Keempat, pengaruh sosial dari kriminalisasi dan dekriminalisasi yang berkenaan dengan pengaruh-pengaruh sekunder. Selanjutnya disebutkan, bahwa pendebatan yang berorientasi pada kebijakan, harus mempertimbangkan salah satuscientific devicedan digunakan sebagai alternatif dari pendekatan yang secara emosional diorientasikan pada nilai yang kebanyakan diikuti oleh badan-badan legislatif.Dalam merumuskan pembaharuan hukum pidana yang bersifat sistematik, tidak bersifatad hoc, dan tambal sulam, bukanlah pekerjaan yang ringan mengingat sifat multidimensi masyarakat Indonesia, yang di satu pihak ingin terus memperhitungkannya aspek-aspek partikuliristik yang melekat pada agama, etika moral, bahkan kepercayaan pada kekuatan gaib yang bersifat pluralistik dan dilain pihak menginginkan keberadaan hukum pidana modern yang memenuhi standar baku pergaulan antar bangsa dalam rangka hubungan internasional dan proses globalisasi.Dengan demikian dapat dikatakan bahwa suatu politik kriminal dengan menggunakan kebijakan hukum pidana harus merupakan suatu usaha atau langkah-langkah yang dibuat dengan sengaja dan sadar. Dalam memilih dan menetapkan hukum pidana sebagai sarana untuk menanggulangi kejahatan harus benar-benar telah memperhitungkan semua faktor yang dapat mendukung berfungsinya atau bekerjanya hukum pidana itu dalam kenyataannya. Jadi diperlukan pula pendekatan yang fungsional dan merupakan pendekatan yang inheren pada setiap kebijakan yang rasional. Usaha-usaha yang rasional untuk mengendalikan atau menanggulangi kejahatan tidak hanya menggunakan sarana penal (hukum pidana) semata, tetapi dapat juga menggunakan sarana-sarana non penal. Usaha-usaha non penal ini meliputi penyantunan dan pendidikan sosial dalam rangka mengembangkan tanggung jawab sosial masyarakat, penggarapan kesehatan jiwa masyarakat melalui pendidikan moral, agama, dan sebagainya, peningkatan usaha-usaha kesejahteraan anak dan remaja, kegiatan pengawasan secara terus menerus oleh polisi, aparat keamanan, dan sebagainya. Tujuan utama dari usaha-usaha non penal ini adalah memperbaiki kondisi-kondisi sosial tertentu. Namun secara tidak langsung, mempunyai pengaruh preventif terhadap kejahatan. Dengan demikian, dilihat dari sudut politik kriminal, keseluruhan kegiatan preventif yang non penal itu sebenarnya mempunyai kedudukan yang sangat strategis dan memegang posisi kunci yang harus diintensifkan dan diefektifkan. Oleh karena itu, suatu kebijakan kriminal harus dapat mengintegrasikan dan mengharmonisasikan seluruh kegiatan preventif non penal ke dalam suatu sistem kegiatan yang teratur dan terpadu.Dalam hal konsep perlindungan masyarakat melalui perdebatan rasional, yakni bilamana orang mendasarkan hukum pidana pada konsepsi perlindungan masyarakat, maka tugas selanjutnya adalah mengembangkannya secara rasional mungkin, hasil-hasil maksimum dengan biaya yang minimum bagi masyarakat dan minimum penderitaan bagi individu, orang harus mengandalkan hasil-hasil penelitian ilmiah mengenai sebab-sebab kejahatan dan efektivitas dari bermacam-macam sanksi.Hukum pidana dapat juga disebut sebagai alat pencegah yang ekonomis. Dengan syarat-syarat yakni:1. pidana itu sungguh-sungguh mencegah;2. pidana itu tidak menyebabkan timbulnya keadaan yang lebih berbahaya atau merugikan daripada yang akan terjadi apabila pidana itu tidak dikenakan;3. tidak ada pidana lain yang dapat mencegah secara efektif dengan bahaya atau kerugian yang lebih kecil. Selanjutnya dengan mengutip Bassiouni, tentang tujuan yang ingin dicapai oleh pidana, umumnya terwujud dalam kebijakan yang berkaitan dengan nilai yang akan dicapai melalui kepentingan sosial yang mengandung nilai-nilai, yakni, Pertama, pemeliharaan tertib masyarakat. Kedua, perlindungan warga masyarakat dari kejahatan kerugian atau bahaya-bahaya yang tidak dapat dibenarkan, yang dilakukan orang lain. Ketiga, memasyarakatkan kembali para pelanggar hukum; keempat,memelihara atau mempertahankan integritas pandangan dasar tertentu mengenai keadilan sosial, martabat kemanusiaan dan keadilan individu.

Sanksi pidana sangatlah diperlukan, sekarang maupun akan datang. Sanksi pidana merupakan alat atau sarana yang terbaik dan tersedia, yang kita miliki untuk menghadapi bahaya-bahaya besar dan segera untuk menghadapi ancaman dari bahaya itu. Sanksi pidana merupakan penjamin utama yang terbai