Makalah Fix Psikotropika Baruu

49
KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena atas ridho dan limpahan rahmat-Nya Tugas Makalah ini dapat tersusun tepat pada waktunya. Makalah ini merupakan salah satu prasyarat dalam rangka menyelesaikan Kepaniteraan Klinik di SMF Ilmu Kedokteran Forensik. Makalah ini berjudul “Penyalahgunaan Psikotropika”. Makalah ini akan membahas mengenai jenis-jenis psikotropika yang sering disalahgunakan di masyarakat, beserta ciri-ciri keracunan yang ditimbulkan dan pemeriksaan forensiknya secara umum sesuai dengan tanda-tanda keracunan pada secara umum Kami mohon maaf jika dalam penulisan referat ini terdapat kesalahan. Kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan untuk dapat memperbaikinya pada kesempatan mendatang. Semoga tulisan ini dapat memberikan sumbangan ilmiah dalam masalah kesehatan dan memberikan manfaat bagi masyarakat, khususnya dalam kaitannya dengan ilmu forensik terkait narkotika. Mataram, 19 Februari 2014 Penulis

description

psikotropika

Transcript of Makalah Fix Psikotropika Baruu

Page 1: Makalah Fix Psikotropika Baruu

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena atas ridho dan limpahan rahmat-Nya Tugas

Makalah ini dapat tersusun tepat pada waktunya. Makalah ini merupakan salah satu prasyarat

dalam rangka menyelesaikan Kepaniteraan Klinik di SMF Ilmu Kedokteran Forensik. Makalah

ini berjudul “Penyalahgunaan Psikotropika”.

Makalah ini akan membahas mengenai jenis-jenis psikotropika yang sering

disalahgunakan di masyarakat, beserta ciri-ciri keracunan yang ditimbulkan dan pemeriksaan

forensiknya secara umum sesuai dengan tanda-tanda keracunan pada secara umum

Kami mohon maaf jika dalam penulisan referat ini terdapat kesalahan. Kritik dan saran

yang membangun sangat diharapkan untuk dapat memperbaikinya pada kesempatan mendatang.

Semoga tulisan ini dapat memberikan sumbangan ilmiah dalam masalah kesehatan dan

memberikan manfaat bagi masyarakat, khususnya dalam kaitannya dengan ilmu forensik terkait

narkotika.

Mataram, 19 Februari 2014

Penulis

Page 2: Makalah Fix Psikotropika Baruu

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyalahgunaan psikotropika di Indonesia, sekarang ini sudah sangat memprihatinkan,

hal ini disebabkan beberapa hal antara lain karena mengingat perkembangan ilmu pengetahuan

dan teknologi, pengaruh globalisasi, arus transportasi yang sangat maju. Pengaruh globalisasi

terhadap suatu bangsa baik secara langsung maupun tak langsung telah banyak menimbulkan

perubahan-perubahan pada berbagai sektor kehidupan masyarakat. Perubahan tersebut tidak

hanya terbatas pada kemajuan IPTEK dan pendapatan ekonomi semata, tetapi berpengaruh juga

pada perilaku meyimpang dalam masyarakat. Trend perkembangan kejahatan Psikotropika di

Indonesia dalam 5 tahun terakhir ini menunjukkan peningkatan yang sangat tajam.

Psikotropika merupakan suatu zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan

narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang

menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. Psikotropika apabila

digunakan secara tidak teratur menurut takaran/dosis akan dapat menimbulkan bahaya fisik2 dan

mental3 bagi yang menggunakannya serta dapat menimbulkan ketergantungan pada pengguna itu

sendiri. Psikotropika merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di bidang pengobatan atau

pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan, tetapi juga dapat menjadi zat yang

berbahaya bagi penggunanya apabila disalahgunakan.

Berdasarkan hasil survei Badan Narkotika Nasional (BNN) bekerjasama dengan Pusat

Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia (UI) memperkirakan prevalensi penyalahgunaan

NAPZA pada tahun 2009 adalah 1,99% dari penduduk Indonesia berumur 10-59 tahun. Pada

tahun 2010, prevalensi penyalahgunaan NAPZA meningkat menjadi 2,21%. Jika tidak dilakukan

upaya penanggulangan diproyeksikan kenaikan penyalahgunaan NAPZA dengan prevalensi

2,8% pada tahun 2015 (BNN, 2011).

Page 3: Makalah Fix Psikotropika Baruu

Berdasarkan laporan Direktorat IV Narkoba dan KT BARESKRIM POLRI pada tahun

2007 diketahui kasus narkotika, psikotropika, dan bahan berbahaya sebanyak 22.630 kasus yaitu

proporsi kasus narkotika 50,28%, proporsi kasus psikotropika 43,43% dan proporsi kasus bahan

berbahaya 6,29%. Sumatera Utara merupakan peringkat ketiga kasus terbanyak setelah Jawa

Timur dan Metro Jaya (BNN, 2008). Berdasarkan data BNN jumlah pengguna NAPZA di

Provinsi Sumatera Utara tahun 2010 sebanyak 2.065 kasus dan tahun 2011 sebanyak 2.068 kasus

(BNN, 2011).

Penyalahgunaan psikotropika merupakan penggunaan salah satu atau beberapa jenis

psikotropika secara berkala atau teratur diluar indikasi medis, sehingga menimbulkan gangguan

kesehatan fisik, psikis dan gangguan fungsi sosial.

Page 4: Makalah Fix Psikotropika Baruu

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Psikotropika

Penyalahgunaan zat adalah pemakaian zat atau obat diluar indikasi medik tanpa petunjuk

atau resep dokter, digunakan untuk pemakaian sendiri secara teratur atau berkala, sekurang-

kurangnya selama satu bulan dan dapat menciptakan keadaan yang tidak terkuasai oleh individu.

Obat psikotropika ialah bahan atau zat (substansi) yang bekerja pada atau mempengaruhi

fungsi fisik psikis, kelakuan atau pengalaman ( WHO, 1966). Menurut Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika, Psikotropika adalah zat atau

obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh

selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan

perilaku. Ketentuan peresepan berdasarkan Undang - undang No. 5 Tahun 1997 yang mengatur

kegiatan yang berhubungan dengan psikotropika yang berada dibawah pengawasan internasional,

yaitu yang mempunyai potensi mengakibatkan sindrom ketergantungan. Psikotropika

digolongkan menjadi :

a. Psikotropika golongan I

Adalah psikotropika yang hanya digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan dan

tidak digunakan dalam terapi, hanya diberikan khusus untuk penelitian serta potensinya

amat kuat mengakibatkan sindrom ketergantungan. Termasuk obat psikotropika golongan

I adalah 3-4 methylenedioxymethamphetamine (MDMA) (Ectacy), Psilosibin dan

psilosin, LSD (Lysergic Diethylamide), Mescaline. Berikut penjelasan golongan ekstasi

sebagai psikotropika yang sering disalahgunakan.

Page 5: Makalah Fix Psikotropika Baruu

Ekstasi

Ekstasi atau nama lainnya 3,4-metilenedioksimetamfetamin (MDMA)

didefinisikan sebagai suatu zat bersifat stimulan yang merupakan analogis dari

amfetamin. Jika ditinjau dari definisi secara kimia, ekstasi merupakan suatu sintetik

yang analogis dengan amfetamin C11H15NO2 yang digunakan untuk meningkatkan

mood seseorang dan agen hallusinasi (Merriam-WebsterDictionary).

C ara kerja ekstasi

Ekstasi merupakan derivat amfetamin yang dikenal sebagai 3,4-

methylenedioxymethamphetamine (MDA). Seperti amfetamin yang lain, ekstasi

merangsang pelepasan katekolamin dari presinaps. Ekstasi bersifat selektif terhadap

neuron serotonin yang menyebabkan pelepasan serotonin yang banyak dan

menghambat reuptake serotonin pada presinaps dengan reversal dari fungsi serotonin

transporter (SERT). Maka, lebih banyak serotonin yang berkumpul di ruang sinaps.

Peningkatan level serotonin menyebabkan peningkatan rasa senang seperti empati,

euforia, disinhibisi.

Efek penggunaan ekstasi

Ekstasi dapat menimbulkan berbagai keburukan terhadap sistem tubuh. Antaranya

ialah efek pada sistem kardiovaskuler. Dengan penggunaan yang sedang, tetap dapat

menyebabkan perubahan di mana penggunaan ekstasi menyebabkan peningkatan sistol

dan diastol tekanan darah yang dibuat penelitiannya antara pengguna ekstasi dengan

sampel yang diberi placebo. Pada gangguan yang berkaitan dengan psikologi, hal

yang dapat terjadi adalah seperti depresi, ansietas dan psikosis. Selain itu, terdapat

juga beberapa efek samping yang didapati dari penggunaan ekstasi yaitu penurunan

selera makan, peningkatan keringat, sensitif terhadap suhu yang dingin, mulut menjadi

kering, sering dahaga, palpitasi dan sulit untuk konsentrasi.

Terdapat juga beberapa efek samping yang bersifat akut seperti hipertermia.

Akibatnya, mereka akan coba kompensasi keadaan ini dengan meminum air yang

banyak. Namun, hal ini lebih membahayakan karena akan menyebabkan intoksikasi

Page 6: Makalah Fix Psikotropika Baruu

air seterusnya memicu kepada hiponatremia yang berat, kejang dan dapat berakibat

fatal. Komplikasi lain seperti sindrom serotonin yaitu perubahan status mental,

hiperaktivitas autonomik, dan abnormalitas neuromuskular . Penghentian ekstasi

secara tiba-tiba pula dapat menimbulkan withdrawal syndrome yang ditandai dengan

depresi yang terjadi sehingga beberapa minggu. Selain itu, dilaporkan juga terjadinya

aggresifitas pada mereka yang ‘berpuasa’ dari mengambil ekstasi (Katzung, 2007).

Hubungan Ekstasi dan otak

- Ekstasi dan neurotoksisitas

Ekstasi merupakan monoaminergik agonis yang dapat menghambat reuptake dan

merangsang pelepasan serotonin, dan juga menyebabkan penurunan dopamin. Pada

manusia, hasil yang didapati adalah terjadinya kerusakan pada akson terminal. Namun,

bagaimana proses ini terjadi masih tidak diketahui. Penyalahgunaan ekstasi

menyebabkan kerusakan pada akson terminal pada neuron serotonin tetapi badan sel

pada neuron ini masih utuh .

- Ekstasi dan penurunan fungsi kognitif

Efek ekstasi terhadap penurunan fungsi kognitif dapat terjadi secara direk dan

indirek. Terjadinya secara direk adalah akibat dari sifat neurotoksin ekstasi yang

mengakibatkan kerusakan pada akson terminal neuron serotonin. Terjadinya secara

indirek adalah ekstasi menyebabkan penurunan sirkulasi serebral. Ekstasi juga

menyebabkan penurunan memori di mana ia menyebabkan defek pada hipokampus,

bagian otak yang berfungsi untuk konsolidasi memori jangka pendek kepada memori

jangka panjang.

- Ekstasi dan gangguan tidur

Salah satu fungsi dari serotonin adalah mengontrol jam biologi badan

(circadian rhytms) seperti rangsangan untuk tidur. Oleh karena itu, berkurangnya

serotonin menyebabkan defek pada pola tidur seseorang . Hormon yang

merangsang tidur adalah melatonin dalam proses circadian rhythm. Bahan baku

Page 7: Makalah Fix Psikotropika Baruu

untuk sintesa melatonin ini adalah serotonin. Maka, apabila serotonin berkurang,

penghasilan melatonin turut berkurang lalu menyebabkan gangguan tidur.

- Ekstasi dan hipertermia

Hiperaktivitas autonomik merupakan gejala utama toksisitas ekstasi dan hal ini

berkait langsung dengan dosis yang digunakan. Mekanisme terjadinya hipertermia ini

dimulai apabila amfetamin merangsang pelepasan katekolamin dan serotonin

b. Psikotropika golongan II

Adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan dapat digunakan dalam

terapi dan atau tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi kuat menimbulkan

sindrom ketergantungan apalagi diberikan dalam jangka waktu yang lama. Contoh antara

lain Amfetamin, Fenobilina, Metakualin, Zipepprol, Secobarbital.

c. Psikotropika golongan III

Adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan dapat digunakan dalam

terapi dan atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mengakibatkan sindrom

ketergantungan. Contoh Butalbital, Pentazosina, Amobarbital, Pentobarbital, Glutetimide.

d. Psikotropika golongan IV

Adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan dapat digunakan dala terapi

dan atau tujuan ilmu pengetahuan, serta mempunyai potensi ringan yang mengakibatka

sindrom ketergantungan. Obat Golongan IV ini sering diresepkan oleh dokter umum

maupun oleh dokter spesialis. Sebagian besar obat ini adalah depresan sistem saraf pusat

(SSP) Contoh antara lain Alprazolom, aminorex, Brotizolam, Etinomat, Bromazepam,

diazepam, Meprobamate. Peresepannya hanya untuk short term therapy misalnya tidak

boleh digunakan lebih dari satu minggu untuk tiap resep. Bila sesudah satu rninggu ada

indikasi untuk meneruskan maka dapat diberikan resep untuk satu minggu. Jadi setiap

kali resep jumlah obat yang diberikan hendaknya tidak boleh diberikan satu minggu

pemakaian.

Apabila dilihat dari pengaruh penggunaannya terhadap susunan saraf pusat

manusia obat psikotropika dapat dikelompokkan menjadi :

Page 8: Makalah Fix Psikotropika Baruu

1. Depresant

Yaitu yang bekerja mengendorkan atau mengurangi aktifitas susunan sarafpusat

(Psikotropika Go1 4), contohnya antara lain :. Sedatin 1 Pil BK, Rohypnol, Magadon,

Valium, Mandrak (MX).

2. Stimulant

Yaitu yang bekerja mengaktikan kerja susunan sad pusat, contohnya amphetamine, yang

terdapat dalam kandungan Ecstasi.

3. Hallusinogen

Yaitu yang bekerja menimbulkan rasa perasaan halusinasi atau khayalan contohnya

licercik acid dhietilamide (LSD), psylocibine, rnicraline. Disamping itu psikotropika

dipergunakan karena sulitnya mencariNarkotika dan mahal harganya. Penggunaan

psikotropika biasanya dicampur dengan alkohol atau minuman lain seperti air mineral,

sehingga menimbulkan efek yang sama dengan Narkotika.

Berdasarkan penggunaan klinik psikotropik dibagi menjadi 4 golongan, yaitu (1)

antipsikosis (major trankuilizer, neuroleptik); (2) antimietas (antineurosis, minor tranquilizer) (3)

antidepresan, dan (4) psikotogenik (psikotornimetik, psikodisleptik, halusinogenik)

2.2 Efek Pemakaian Psikotropika

Pemakaian psikotropika yang tidak sesuai dengan aturan dapat menimbulkan efek yang

membahayakan tubuh dibedakan menjadi 3, yaitu:

1. Depresan

Dalam ilmu medis Obat-obatan ini biasa nya digunakan membuat pasien merasa tenang

karena mengurangi cemas (gelisah) dan meredakan ketegangan emosi dan jiwa,

membantu pasien memudahkan tidur, membantu dalam proses penyembuhan darah

tinggi, pengobatan pasien dalam kasus epilepsi.

Depesan yaitu menekan sistem sistem syaraf pusat dan mengurangi aktifitas fungsional

tubuh sehingga pemakai merasa tenang, bahkan bisa membuat pemakai tidur dan tak

sadarkan diri. Bila kelebihan dosis bisa mengakibatkan kematian.

Page 9: Makalah Fix Psikotropika Baruu

Contoh psikotropika yang termasuk depresan adalah barbiturate, benzodiazepine dan

metakualon.

2. Stimulan

Stimulant merangsang fungsi tubuh dan meningkatkan kegairahan serta kesadaran. Jenis

stimulan: Amphetamin. Contoh yang sekarang sering dipakai adalah Shabu-shabu dan

Ekstasi.

a. Amphetamin : memiliki efek menghilangkan rasa mengantuk, menambah tenaga atau

kewaspadaan dan mengurangi nafsu makan sehingga obat-obatan ini tidak diberikan

kepada pasien dengan anoreksia (kehilangan nafsu makan), insomnia (sulit tidur) dan

kepribadian psikopat atau labil.

b. Ecstasy : mulut kering, kejang, jantung berdenyut lebih cepat dan keringat keluar

lebih banyak, kemudian efek selanjutnya adalah penderita merasakan mata kabur,

Demam tinggi, paranoid, sulit berkonsentrasi dan seluruh otot tubuh terasa nyeri yang

berlangsung seminggu atau lebih.

c. Shabu : merasa bersemangat karena kekuatan fisiknya meningkat, kemampuan

bekerja juga meningkat dan rasa lelah berkurang, kewaspadaan yang meningkat,

menambah daya konsentrasi, menyebabkan rasa gembira luar biasa dan kemampuan

besosialisasi meningkat, kuat jaga semalaman menyebabkan insomnia, mengurangi

nafsu makan, malas makan dan diikuti rasa haus, peningkatan gairah seksual, hal ini

berkebalikan dengan opiate menurunkan libido, namun penggunaan jangka panjang

justru menurunkan fungsi seksual, penggunaan pada saat hamil, bisa menyebabkan

komplikasi pralahir, meningkatkan kelahiran premature atau menyebabkan perilaku

bayi yang tidak normal.

3. Halusinogen

Efek utama halusinogen adalah mengubah daya persepsi atau mengakibatkan halusinasi.

Efek lain yang bisa ditimbulkan adalah rasa khawatir yang akut, gelisah dan tidak bisa

tidur, biji mata yang melebar, suhu badan yang meningkat, tekanan darah yang

meningkat dan gangguan jiwa yang berat.

Halusinogen kebanyakan berasal dari tanaman seperti mescaline dari kaktus dan

psilocybin dari jamur-jamuran. Selain itu ada juga yang diramu di laboratorium seperti

LSD. Yang paling banyak dipakai adalah marijuana atau ganja.

Page 10: Makalah Fix Psikotropika Baruu

2.3 Penyalahgunaan Napza (Psikotropika) Dan Hukum

Pembangunan kesehatan sebagai bagian integral dari pembangunan nasional diarah-kan

guna tercapainya kesadaran, kemauan, dan kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap penduduk

agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal, yang di-lakukan melalui berbagai upaya

kesehatan, diantaranya penyelenggaraan pelayan-an kesehatan kepada masyarakat.

Dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan tersebut, psikotropika memegang peranan

penting. Disamping itu, psikotropika juga digunakan untuk kepentingan ilmu pengetahuan

meliputi penelitian, pengembangan, pendidikan, dan pengajaran sehingga ketersediaannya perlu

dijamin melalui kegiatan produksi dan impor.

Penyalahgunaan psikotropika dapat mengakibatkan sindroma ketergantungan apabila

penggunaannya tidak di bawah pengawasan dan petunjuk tenaga kesehatan yang mempunyai

keahlian dan kewenangan untuk itu. Hal ini tidak saja merugikan bagi penyalahguna, tetapi juga

berdampak sosial, ekonomi, dan keamanan nasional, sehingga hal ini merupakan ancaman bagi

kehidupan bangsa dan negara.

Narkotika dan zat psikotropika merupakan jenis zat yang diperlukan dalam ilmu

pengetahuan dan pengobatan. Pengggunaan narkotika diatur dalam UU No.22/1997 tentang

Narkotika yang dapat menimbulkan ketergantungan Fisik dan psikis dan merugikan apabila

digunakan oleh seseorang tanpa pembatasan dan pengawasan seksama. Sedangkan psikotropika

diatur dalam UU No.5/1997 tentang Psikotropika merupakan obat yang diperlukan dalam dunia

kedokteran untuk pengobatan dan ilmu pengetahuan. Penggunaannya dapat menimbulkan

ketergantungan fisik dan psikis. Narkotika dan psikotropika keduanya termasuk dalam zat

berbahaya.

Dalam Undang-Undang Psikotropika telah diatur secara khusus ketentuan pidana

sebagaimana ditetapkan pada BAB XIV pasal 59 sampai dengan Pasal 72, seluruhnya

merupakan delik kejahatan. Tindak pidana di bidang psikotropika, antara lain berupa perbuatan-

perbuatan seperti memproduksi dan/atau mengedarkan secara gelap, maupunmenyalahgunakan

psikotropika merupakan perbuatan yang merugikan masyarakat dan negara. Di antara ketentuan

pidana yang diatur dalam UU Psikotropika terdapat ancaman pidana yang dibatasi maksimal dan

minimalnya sebagaimana dimaksud dalam pasal 59 ayat (1), yaitu minimal pidana penjara 4

tahun dan maksimal 15 Tahun serta pidana denda minimal Rp.10 juta dan maksimal Rp.750 juta.

Page 11: Makalah Fix Psikotropika Baruu

Sementara dalam pasal 59 ayat (2) dan (3), yaitu maksimal pidana mati dan ditambah pidana

denda paling banyak Rp. 5 milyar.

2.4 Resiko Penyalahgunaan Obat Psikotropika

Obat psikotropik, sebagai salah satu zat psikoaktif , bila digunakan secara salah (misuses)

atau disalah-gunakan (abuse) beresiko menyebabkan timbulnya gangguan jiwa menurut PPDGJ-

III termasuk kategori diagnosis F10-F19 “Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Penggunaan at

Psikoaktif”.

Gangguan mental dan perilaku tersebut dapat bermanifestasi dalam bentuk sebagai berikut :

a) Intoksikasi Akut (tanpa atau dengan komplikasi)

Berkaitan dengan dosis yang digunakan (efek yang berbeda oada dosis yang

berbeda)

Gejala intoksikasi tidak selalu mencerminkan efek primer dari zat (dapat terjadi

efek paradoksa)

b) Penggunaan yang merugikan (Harmful use)

Pola penggunaan zat psikoaktifyang merusak kesehatan (dapat berupa fisik atau

mental)

Belum menunjukkan adanya sindrom ketergantungan

Sudah ada hendaya psikososial sebagai dampaknya

c) Sindrom Ketergantungan (Dependence syndrome)

Adanya keinginan yang amat kuat (dorongan kompulsif) untuk menggunakan zat

psikoaktif secara terus-menerus dengan tujuan memperoleh efek psikoaktif dari

zat tersebut.

Terdapat kesulitan untuk menguasai perilaku menggunakan zat, baik mengenai

mulainya, menghentikannya, ataupun membatasi jumlahnya (loss of control)

Penghentian atau pengurangan penggunaan zat menimbulkan keadaan putus zat,

dengan perubahan fisiologis tubuh yang sangat tidak menyenangkan, sehingga

memaksa orang tersebut menggunakan zat tersebut lagi atau yang sejenis untuk

menghilangkan gejala putus zat tersebut.

Terjadi peningkatan dosis zat psikoaktif yang diperlukan untuk memperoleh efek

yang sama (gejala toleransi)

Page 12: Makalah Fix Psikotropika Baruu

Terus menggunakan zat meskipun individu menyadari adanya akibat yang

merugikan kesehatannya.

d) Keadaan Putus Zat (Withdrawal state)

Gejala-gejala fisik dan mental yang terjadi pada penghentian pemberian zat

sesudah suatu penggunaan zat yang terus menerus dalam jangka waktu panjang

dan/atau dosis tinggi.

Bentuk dan keparahan gejala tersebut tergantung pada jenis dan dosis zat yang

digunakan sebelumnya.

Gejala putus zat tersebut mereda dengan meneruskan penggunaan zat tersebut

Salah satu indikator dari sindrom ketergantungan.

e) Gangguan Psikotik (Psychotic Disorder)

Sekelompok gejala-gejala psikotik yang terjadi selama atau segera sesudah

penggunaan zat psikoaktif

Ditandai oleh halusinasi, kekeliruan identifikasi, waham dan/atau “ideas of

reference” (gagasan yang menyangkut diri sendiri sebagai acuan) yang seringkali

bersifat kecurigaan atau kejaran, gangguan psikomotor (excitement atau stupor)

dan efek yang abnormal yang terentang antara ketakutan yang mencekam sampai

kegembiraan yang berlebihan.

Pada umumnya keadaan kesadaran jernih

Variasi pola gejala dipengaruhi oleh jenis zat yang digunakan dan kepribadian

pengguna zat.

f) Sindrom Amnesik (Amnesic Syndrom)

Terjadi hendaya atau gangguan daya ingat jangka pendek (recent memory) yang

menonjol, kadang-kadang terdapat gangguan daya ingat jangka panjang (remote

memory), sedangkan daya ingat segera (immediate recall) masih baik. Fungsi

kognitif lainnya biasanya relatif masih baik.

Adanyagangguan sensasi waktu (menyusun kembali urutan kronologis, meninjau

kejadian berulangkali menjadi satu peristiwa, dll)

Keadaan kesadaran jernih

Page 13: Makalah Fix Psikotropika Baruu

Perubahan kepribadian, yang sering disertai keadaan apatis dan hilangnya

inisiatif, serta kecendrungan mengabaikan keadaan.

2.5 Tatalaksana Terapi Dan Rehabilitasi Psikotropika

- Outpatient (rawat jalan)

- Inpatient (rawat inap)

- Residency (Panti/Pusat Rehabilitasi)

2.5.1 Tujuan terapi dan rehabilitasi

1. Abstinensia

Absitensia atau Menghentikan sama sekali penggunaan Psikotropika. Tujuan ini

tergolong sangat ideal, namun banyak orang tidak mampu atau mempunyai motivasi

untuk mencapai tujuan ini, terutama kalau ia baru menggunakan Psikotropika pada

fase- fase awal. Pasien tersebut dapat ditolong dengan meminimalisasi efek- efek

yang langsung atau tidak langsung dari Psikotropika. Sebagian pasien memang telah

abstinesia terhadap salah satu Psikotropika tetapi kemudian beralih untuk

menggunakan jenis Psikotropika yang lain.

2. Pengurangan frekuensi dan keparahan relaps

Sasaran utamanya adalah pencegahan relaps. Bila pasien pernah menggunakan satu

kali saja setelah “clean” maka ia disebut “slip”. Bila ia menyadari kekeliruannya, dan

ia memang telah dibekali keterampilan untuk mencegah pengulangan penggunaan

kembali, pasien akan tetap mencoba bertahan untuk selalu abstinensia. Pelatihan

relapse prevention programe, Program terapi kognitif, Opiate antagonist maintenance

therapy dengan naltreson merupakan beberapa alternatif untuk mencegah relaps.

3. Memperbaiki fungsi psikologi dan fungsi adaptasi sosial.

Dalam kelompok ini, abstinensia bukan merupakan sasaran utama. Terapi rumatan

(maintence) metadon merupakan pilihan untuk mencapai sasaran terapi golongan ini.

Metadon adalah opiat sintetik yang bisa dipakai untuk menggantikan heroin yang

dapat diberikan secara oral sehingga mengurangi komplikasi medik. Program ini

masih kontroversial, di Indonesia program ini masih berupa uji coba di RSKO

Page 14: Makalah Fix Psikotropika Baruu

2.5.2 Terapi dan rehabilitasi

Gawat darurat medik akibat penggunaan psikotropika merupakan tanggung jawab

profesi medis. Profesi medis memegang teguh dan patuh kepada etika medis, karena itu

diperlukan keterampilan medis yang cukup ketat dan tidak dapat didelegasikan kepada

kelompok profesi lain. Salah satu komponen penting dalam keterampilan medis yang erat

kaitannya dengan gawat darurat medik adalah keterampilan membuat diagnosis.

Dalam rehabilitasi pasien ketergantungan psikotropika, profesi medis (dokter) mempunyai

peranan terbatas. Proses rehabilitasi pasien ketergantungan psikotropika melibatkan berbagai

profesi dan disiplin ilmu. Namun dalam kondisi emergency, dokter merupakan pilihan yang

harus diperhitungkan.

Gawat Darurat yang terjadi meliputi berbagai gejala klinis berikut :

a. Intoksikasi

b. Overdosis

c. Sindrom putus NALZA

d. Berbagai macam komplikasi medik (fisik dan psikiatrik)

Penting dalam kondisi Gawat Darurat adalah ketrampilan menentukan diagnosis, sehingga

dengan cepat dan akurat dapat dilakukan intervensi medik.

2.5.2.1 Terapi Medis ( Terapi Organo -Biologi)

a. Terapi intoksikasi

Pada intoksikasi amphetamine berikan Diazepam 10- 30 mg oral atau pareteral,atau

Klordiazepoksid 10-25 mg oral atau Clobazam 3x10 mg. Dapat diulang setelah 30 menit sampai

60 menit. Untuk mengatasi palpitasi beri propanolol 3x10- 40 mg oral.

b. Terapi Terhadap Keadaan Over Dosis

1. Usahakan agar pernapasan berjalan lancar, yaitu :

Lurus dan tengadahkan (ekstenikan) leher kepada pasien (jika diperlukan dapat

memberikan bantalan dibawah bahu)

Kendurkan pakaian yang terlalu ketat

Hilangkan obstruksi pada saluran napas

Bila perlu berikan oksigen

Page 15: Makalah Fix Psikotropika Baruu

2. Usahakan agar peredaran darah berjalan lancar

Bila jantung berhenti, lakukan masase jantung eksternal, injeksi adrenalin 0.1- 0.2

cc I.M

Bila timbul asidosis (misalnya bibir dan ujung jari biru,hiperventilasi) karena

sirkulasi darah yang tidak memadai, beri infus 50 ml sodium bi karbonas

3. Pasang infus dan berikan cairan (misalnya : RL atau NaC1 0.9 %) dengan kecepatan

rendah (10- 12 tetes permenit) terlebih dahulu sampai ada indikasi untuk memberikan

cairan. Tambahkan kecepatan sesuai kebutuhan,jika didapatkan tanda- tanda kemungki

nan dehidrasi.

4. Lakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk melihat kemungkinan adanya perdarahan atau

trauma yang membahayakan.

5. Observasi terhadap kemungkinan kejang. Bila timbul kejang berikan diazepam 10 mg

melalui IV atau perinfus dan dapat diulang sesudah 20menit jika kejang belum teratasi.

6. Bila ada hipoglikemi, beri 50 ml glukosa 50% IV

c. Terapi pada sindrom putus zat

- Terapi putus Kokain atau Amfetamin : Rawat inap perlu dipertimbangkan karena

kemungkinan melakukan percobaan bunuh diri. Untuk mengatasi gejala depresi

berikan anti depresi.

- Terapi untuk waham dan delirium pada putus amphetamine : Pada gangguan waham

karena amfetamin atau kokain berikan inj. Haloperidol 2.5- 5 mg IM dan dilanjutkan

peroral 3x2,5- 5 mg/hari.

d. Terapi terhadap komorbid (co- morbid psychopathology)

Setelah keadaan intoksikasi dan sindroma putus psikotropika dapat teratasi, maka perlu

dilanjutkan dengan terapi terhadap gangguan jiwa lain yang terdapat bersama - sama dengan

gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan zat psikoaktif (co- morbid

psychopathology), sebagai berikut :

Psikofarmakologis yang sesuai dengan diagnosis

Psikoterapi individual

- Konseling : bila dijumpai masalah dalam komonikasi interpersonal

Page 16: Makalah Fix Psikotropika Baruu

- Psikoterapi asertif : bila pasien mudah terpengaruh dan mengalami kesulitan dalam

mengambil keputusan yang bijaksan

- Psikoterapi kognitif : bila dijumpai depresi psikogen

Psikoterapi kelompok

Terapi keluarga bila dijumpai keluarga yang patologik

Terapi marital bila dijumpai masalah marital

Terapi relaksasi untuk mengatasi ketegangan

Dirujuk atau konsultasi ke RS Umum atau RS Jiwa

e. Terapi terhadap komplikasi medis

Terapi disesuaikan dengan besaran masalah dan dilaksanakan secara terpadu me libatkan

berbagai disiplin ilmu kedokteran. Misalnya :

Komplikasi Paru dirujuk ke Bagian Penyakit Paru

Komplikasi Jantung di rujuk ke Bagian Penyakit Jantung atau Interna/Penyakit Dalam

Komplikasi Hepatitis di rujuk ke Bagian Interna/Penyakit Dalam

HIV/AIDS dirujuk ke Bagian Interna atau Pokdisus AIDS Dan lain- lain.

f. Terapi Maintenance (Rumatan)

Terapi maintenance/rumatan ini dijalankan pasca detoksifikasi dengan tujuan untuk

mencegah terjadinya komplikasi medis serta tidak kriminal. Secara medis terapi ini

dijalankan dengan menggunakan :

- Terapi psikofarmaka,menggunakan Naltrekson (Opiat antagonis), atau Metadon

- Terapi perilaku, diselenggarakan berdasarkan pemberian hadiah dan Hukum, Self-

help group

2.5.2.2 Rehabilitasi

Setelah selesai detoksifikasi, penyalahguna psikotropika perlu menjalani Rehabilitasi.

Kenyataan menunjukkan bahwa mereka yang telah selesai menjalani detoksifikasi sebagian

besar akan mengulangi kebiasaan menggunakan psikotropika, oleh karena rasa rindu

(craving) terhadap psikotropika yang selalu terjadi. Dengan Rehabilitasi diharapkan

pengguna psikotropika dapat :

Page 17: Makalah Fix Psikotropika Baruu

Mempunyai motivasi untuk tidak menyalahgunakan psikotropika lagi

Mampu menolak tawaran penyalahgunakan psikotropika

Pulih kepercayaan dirinya, hilang rasa rendah dirinya;

Mampu mengelola waktu dan berubah perilaku sehari - hari dengan baik;

Dapat berkonsentrasi untuk belajar atau bekerja;

Dapat diterima dan dapat membawa diri dengan baik dalam pergaulan di

lingkungannya.

2.6 Pemeriksaan Toksikologi

2.6.1 Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan yang cepat harus dilakukan dengan penekanan pada daerah yang paling

mungkin memberikan petunjuk ke arah diagnosis toksikologi, termasuk tanda vital, mata dan

mutut, kulit, abdomen dan sistem saraf.

1. Tanda-tanda vital

Evaluasi dengan teliti tanda-tanda vital (tekanan darah, denyut nadi, pernapasan dan suhu

tubuh) merupakan hal yang esensial dalam kedaruratan toksikologi. Hipertensi dan

takikardia adalah khas pada obat-obat amfetamin, kokain, fensiklidin, nikotin dan

antimuskarinik. Hipotensi dan bradikardia, merupakan gambaran karakteristik dari

narkotika, kionidin, sedatif-hipnotik dan beta bloker. Takikardia dan hipotensi sering

terjadi dengan antidepresan trisiklik, fenotiazin dan teofihin. Pernapasan yang cepat

adalah khas pada amfetamin dan simpatomimetik lainnya, salisilat, karbon monoksida

dan toksin lain yang menghasilkan asidosis metabolik. Hipertermia dapat disebabkan

karena obat-obat simpatomimetik, antimuskarinik. salisilat dan obat-obat yang

menimbulkan kejang atau kekakuan otot. Hipotermia dapat disebabkan oleh obat

narkotik, fenotiazin dan obat sedatif, terutama jika disertai dengan pemaparan pada

lingkungan yang dingin atau infus intravena pada suhu kamar.1

2. Mata

Konstriksi pupil (miosis) adalah khas untuk keracunan narkotika, klonidin, fenotiazin,

insektisida organofosfat dan penghambat kolinesterase lainnya, Dilatasi pupil (midriasis)

umumnya terdapat pada amfetamin, kokain, LSD, atropin dan obat antirnuskarinik lain.

Nistagmus horizontal dicirikan pada keracunan dengan fenitoin, alkohol, barbiturat dan

Page 18: Makalah Fix Psikotropika Baruu

obat seclatit lain. Adanya nistagmus horizontal dan vertikal memberi kesan yang kuat

keracunan fensiklidin.1

3. Sistem saraf

Pemeriksaan neurologik yang teliti adalah esensial. Kejang fokal atau defisit

motorik lebih menggambarkan lesi struktural (seperti perdarahan intrakranial akibat

trauma) daripada ensefalopati toksik atau metabolik. Nistagmus, disartria dan ataksia

adalah khas pada keracunan fenitoin, alkohol, barbiturat dan keracunan sedatif lainnya.

Kekakuan dan hiperaktivitas otot umum ditemukan pada metakualon, haloperidol,

fensiklidin (PCP) dan obat-obat simpatomimetik. Kejang sering disebabkan oleh

antidepresan trisiktik, teotilin, isoniazid dan fenotiazin. Koma ringan tanpa refleks dan

bahkan EEG isoelektrik mungkin terlihat pada koma yang dalam karena obat narkotika

dan sedatif-hipnotik dan mungkin menyerupai kematian otak.1

2.6.2 Langkah-Langkah Analisis Toksikologi Forensik

Secara umum tugas analisis toksikolog forensik dalam melakukan analisis dapat

dikelompokkan ke dalam tiga tahap yaitu:

1) Penyiapan sampel “sample preparation”,

2) Analisis meliputi uji penapisan “screening test” atau dikenal juga dengan “general

unknown test” dan uji konfirmasi yang meliputi uji identifikasi dan kuantifikasi,

3) Langkah terakhir adalah interpretasi temuan analisis dan penulisan laporan analisis.

Berbeda dengan kimia analisis lainnya (seperti: analisis senyawa obat dan makanan,

analisis kimia klinis) pada analisis toksikologi forensik pada umumnya analit (racun) yang

menjadi target analisis, tidak diketahui dengan pasti sebelum dilakukan analisis. Tidak sering hal

ini menjadi hambatan dalam penyelenggaraan analisis toksikologi forensik, karena seperti

diketahui saat ini terdapat ribuan atau bahkan jutaan senyawa kimia yang mungkin menjadi

target analisis. Untuk mempersempit peluang dari target analisis, biasanya target dapat digali dari

informasi penyebab kasus forensik (keracunan, kematian tidak wajar akibat keracunan, tindak

kekerasan dibawah pengaruh obat-obatan), yang dapat diperoleh dari laporan pemeriksaan di

tempat kejadian perkara (TKP), atau dari berita acara penyidikan oleh polisi penyidik. Sangat

sering dalam analisis toksikologi forensik tidak diketemukan senyawa induk, melainkan

Page 19: Makalah Fix Psikotropika Baruu

metabolitnya. Sehingga dalam melakukan analisis toksikologi forensik, senyawa matabolit juga

merupakan target analisis.

Sampel dari toksikologi forensik pada umumnya adalah spesimen biologi seperti: cairan

biologis (darah, urin, air ludah), jaringan biologis atau organ tubuh. Berbeda dengan analisis

kimia lainnya, hasil indentifikasi dan kuantifikasi dari analit bukan merupakan tujuan akhir dari

analisis toksikologi forensik. Seorang toksikolog forensik dituntut harus mampu menerjemahkan

apakah analit (toksikan) yang diketemukan dengan kadar tertentu dapat dikatakan sebagai

penyebab keracunan (pada kasus kematian).

2.6.3 Penyiapan Sampel

Spesimen untuk analisis toksikologi forensik dapat berupa cairan biologis, jaringan,

organ tubuh. Dalam pengumpulan spesimen dokter forensik memberikan label pada masing-

masing bungkus/wadah dan menyegelnya. Label seharusnya dilengkapi dengan informasi: nomer

indentitas, nama korban, tanggal/waktu otopsi, nama spesimen beserta jumlahnya. Pengiriman

dan penyerahan spesimen harus dilengkapi dengan surat berita acara menyeran spesimen, yang

ditandatangani oleh dokter forensik. Toksikolog forensik yang menerima spesimen kemudian

memberikan dokter forensik surat tanda terima, kemudian menyimpan sampel/spesimen dalam

lemari pendingin “freezer” dan menguncinya sampai analisis dilakukan. Prosedur ini dilakukan

bertujuan untuk memberikan rantai perlindungan/pengamanan spesimen (chain of custody).

Beberapa hal yang perlu diperhitungkan dalam tahapan penyiapan sampel adalah: jenis

dan sifat biologis spesimen, fisikokimia dari spesimen, serta tujuan analisis. Dengan demikian

akan dapat merancang atau memilih metode penanganan sampel, jumlah sampel yang akan

digunakan, serta memilih metode analisis yang tepat. Penanganan sampel perlu mendapat

perhatian khusus, karena sebagian besar sampel adalah materi biologis, sehingga sedapat

mungkin mencegah terjadinya penguraian dari analit. Penyiapan sampel umumnya meliputi

hidrolisis, ekstraski, dan pemurnian analit. Prosedur ini haruslah mempunyai efesiensi dan

selektifitas yang tinggi. Perolehan kembali yang tinggi pada ekstraksi adalah sangat penting

untuk menyari semua analit, sedangkan selektifitas yang tinggi diperlukan untuk menjamin

pengotor atau senyawa penggangu terpisahkan dari analit. Pada analisis menggunakan GC/MS,

penyiapan sampel termasuk derivatisasi analit secara kimia, seperi salilisasi, metilisasi, dll.

Page 20: Makalah Fix Psikotropika Baruu

Derivatisasi ini pada umumnya bertujuan untuk meningkatkan volatilitas analit atau

meningkatkan kepekaan analisis.

2.6.4 Uji Penapisan “Screening test”

Uji skrinning adalah pemeriksaan pendahuluan laboratorium sebagai upaya penyaring

untuk mengetahui ada atau tidaknya dan jenis obat yang menimbulkan efek toksis atau efek

gangguan kesehatan. Dalam deteksi penyalahgunaan narkotika dan psikotropika, uji skrining

dilakukan untuk menentukan golongan analit (narkotika dan psikotropika) yang digunakan.1,2

Hasil dari uji skrining dapat dijadikan dasar dugaan atau hanya sebagai petunjuk dan

bukan merupakan bukti yang kuat bahwa seseorang telah mengkonsumsi narkotika dan

psikotropika karena uji skrining belum mampu mendeteksi jenis zat narkotika dan psikotropika

spesifik yang terkandung di dalam sampel .Pemeriksaan skrining positif berarti suatu obat atau

metabolitnya terdapat dalam darah sebanyak atau lebih banyak dari batas deteksi alat.2,3

Uji penapisan untuk menapis dan mengenali golongan senyawa (analit) dalam sampel.

Disini analit digolongkan berdasarkan baik sifat fisikokimia, sifat kimia maupun efek

farmakologi yang ditimbulkan. Obat narkotika dan psikotropika secara umum dalam uji

penapisan dikelompokkan menjadi golongan opiat, kokain, kannabinoid, turunan amfetamin,

turunan benzodiazepin, golongan senyawa anti dipresan tri-siklik, turunan asam barbiturat, dan

turunan metadon.

a. Teknik immunoassay

Teknik immunoassay adalah teknik yang sangat umum digunakan dalam analisis

obat terlarang dalam materi biologi. Teknik ini menggunakan “anti-drug antibody” untuk

mengidentifikasi obat dan metabolitnya di dalam sampel (materi biologik). Jika di dalam

matrik terdapat obat dan metabolitnya (antigen-target) maka dia akan berikatan dengan

“anti-drug antibody”, namun jika tidak ada antigentarget maka “anti-drug antibody” akan

berikatan dengan “antigen-penanda”. Terdapat berbagai metode / teknik untuk

mendeteksi ikatan antigenantibodi ini, seperti “enzyme linked immunoassay” (ELISA),

enzyme multiplied immunoassay technique (EMIT), fluorescence polarization

Page 21: Makalah Fix Psikotropika Baruu

immunoassay (FPIA), cloned enzyme-donor immunoassay (CEDIA), dan radio

immunoassay (RIA).2

Hasil dari immunoassay test ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan,

bukan untuk menarik kesimpulan, karena kemungkinan antibodi yang digunakan dapat

bereaksi dengan berbagai senyawa yang memiliki baik bentuk struktur molekul maupun

bangun yang hampir sama. Reaksi silang ini tentunya memberikan hasil positif palsu.

hasil reaksi immunoassay (screening test) harus dilakukan uji pemastian (confirmatori

test).2

Alat yang dapat digunakan untuk melakukan uji skrinning dan hanya memerlukan

waktu sesaat untuk membaca hasilnya secara manual adalah strip test. Strip test

merupakan teknik immunoassay dengan menggunakan dasar reaksi imunologi antara

antigen dan antibodi. Selanjutnya dilakukan uji konfirmasi untuk memastikan jenis zat

narkotika dan psikotropika yang terkandung di dalam sampel tersebut.2

b. Kromatografi lapis tipis (KLT)

KLT adalah metode analitik yang relatif murah dan mudah pengerjaannya, namun

KLT kurang sensitif jika dibandungkan dengan teknik immunoassay. Kombinasi KLT

dengan spektrofotodensitometri, analit yang telah terpisah dapat dideteksi spektrumnya

(UV atau fluoresensi). Kombinasi ini tentunya akan meningkatkan derajat sensitifitas dan

spesifisitas dari uji penapisan dengan metode KLT. Secara simultan kombinasi ini dapat

digunakan untuk uji pemastian.2

2.6.5 Uji konfirmasi

Analisis penyalahgunaan obat diawali dengan pemeriksaan pendahuluan (screening test),

yang kemudian dilanjutkan dengan uji konfirmasi. Uji konfirmasi dalam analisis obat melibatkan

metode kromatografi (umumnya dengan deteksi secara spektroskopik) untuk menentukan satu

atau lebih senyawa tunggal dan digunakan sebagai analisis lanjutan untuk memastikan hasil dari

uji imunokimia. High Performance Liquid Chromatography-Diode Array Detector (HPLCDAD)

merupakan salah satu metode kromatografi yang dapat digunakan dalam uji konfirmasi.2

Page 22: Makalah Fix Psikotropika Baruu

Pemeriksaan konfirmasi adalah suatu pemeriksaan lanjutan yang lebih akurat karena hasil

yang dikeluarkan sudah definitif menunjukkan jenis zat narkotika psikotropika yang terkandung

di dalam sampel tersebut. Pemeriksaan dilakukan apabila hasil pemeriksaan pendahuluan

(screening test) memberi hasil positif (BNN, 2008). Dari hasil uji konfirmasi ini akan diketahui

jenis zat golongan yang terdapat pada sampel, contohnya pada sampel darah diketahui positif

mengandung diazepam. Untuk mengetahui apakah pada saat kejadian korban berada di bawah

pengaruh obat tersebut, maka perlu dilakukan penetapan kadar.2

Bila uji skrining pada sampel menggunakan teknik immonoassay test (EMIT) terdeteksi

positif golongan opiat dan benzodiazepine, maka perlu dilakukan uji konfirmasi untuk

menentukadar kadar zat tersebut. Dari penetapan kadar alkohol di darah dan urin terdapat

alkohol 0,1 promil dan 0,1 promil.

Pada uji konfirmasi dengan menggunakan alat GC-MS diperoleh hasil:

- darah sebelum di hidrolisis: - morfin: 0,200 µg/ml, - kodein: 0,026 µg/ml

- darah setelah hidrolisis: - morfin: 0,665 µg/ml, - kodein: 0,044 µg/ml

- urin sebelum hidrolisis: - 6-asetilmorfin: 0,060 µg/ml, - morfin: 0,170 µg/ml, - kodein:

0,040 µgml

- urin setelah hidrolisis : - morfin: 0,800 µg/ml, - kodein: 0,170 µg/ml

Golongan benzodiazepin yang terdeteksi di darah adalah: diazepam: 1,400 µg/ml;

nordazepam: 0,086 µg/ml; oxazepam: 0,730 µg/ml; temazepam: 0,460 µg/ml

Dalam menginterpretasikan hasil temuannya seorang toksikolog forensik harus mengulas

kembali efek toksik dan farmakologi yang ditimbulkan oleh analit, baik efek tunggal dari opiate

dan benzodiazepin maupun efek kombinasi yang ditimbulkan dalam pemakaian bersama antara

opiat dan benzodiazepin. Menyacu informasi konsentrasi toksik (“lethal concentration”) dapat

diduga penyebab kematian dari korban. Efek toksik yang ditimbulkan oleh pemakaian heroin

adalah dipresi saluran pernafasan. Keracunan oleh heroin ditandai dengan adanya udema paru-

paru. Sedangkan pemakaian diazepam secara bersamaan akan meningkatkan efek heroin dalam

penekanan sistem pernafasan. Hal ini akan mempercepat kematian.

Page 23: Makalah Fix Psikotropika Baruu

Berikut tabel jenis pemeriksaan penunjang psikotropika beserta jenis analit yang dapat

terdeteksi.

Page 24: Makalah Fix Psikotropika Baruu
Page 25: Makalah Fix Psikotropika Baruu

2.7 Pemeriksaan pada Kematian Akibat Pemakaian Psikotropika

Kematian dapat terjadi melalui mekanisme depresi pusat pernafasan yang menimbulkan

henti nafas. Komplikasi berupa atelektasis, pneumonia hipostatik, pneumonia aspirasi dan edema

paru. Diagnosis keracunan barbiturat dapat sukar ditegakkan. Bunuh diri sering diikuti dengan

meminum alkohol jumlah banyak, sehingga bau alkohol pada pernafasan akan mengacaukan

diagnosis. Pada penderita yang segera meninggal atau yang ditemukan setelah meninggal,

pemeriksaan pada tempat kejadian perlu dilakukan. Ditemukannya botol obat yang kososng,

sisa-sisa tablet/kapsul pada tempat kejadian, sisa-sisa tablet dengan warna khas pada mulut atau

dalam lambung akan sangat membantu diagnosis.1,2,3

Diagnosis banding tergantung dari hasil pemeriksaan toksikologi jenis zat yang terdapat

dalam tubuh korban. Untuk ini diperlukan tersedianya pemeriksaan kromatografi yang dengan

cepat dapat menentukan jenis dan jumlah obat depresi SSP dalam tubuh. Pada barbiturat tidak

terjadi deposit masif dalam organ tertentu, meskipun dalam hati kadarnya lebih banyak dari

darah.2

Jika obat dihirup, dapat ditemukan sejumlah kecil bubuk pada saat hidung dibuka atau

melalui swab methanol pada septum hidung. Pada injeksi biasanya digunakan jarum insulin, dan

bekas suntikan biasanya agak sulit dilihat. Kaca pembesar dapat digunakan untuk melihat bekas

suntikan tersebut, bekas suntikan tersebut kemungkinan tidak terdapat perdarahan. Ketika

pengguna cenderung untuk menggunakan berulang kali untuk meningkatkan efek, bekas tusukan

cenderung banyak dan berkumpul disekitar vena yang sering digunakan. Terkadang bekas tato di

atas vena menyembunyikan bekas tusukan.

Jika obat dihisap atau dikonsumsi secara oral, mungkin tidak ada manifestasi eksternal

yang ditemukan. Disamping informasi lain, terdapat tanda terbakar pada jari telunjuk bagian

palmar yang digunakan untuk memegang pipa panas pada penggunaan oral.

Sampel autopsi harus menyertakan darah perifer, urin, jaringan hepar, empedu, isi lambung dan

rambut. Urin, cairan spinal dan jaringan dapat positif untuk beberapa hari setelah penggunaan

Page 26: Makalah Fix Psikotropika Baruu

pertama, dan positif untuk waktu yang lebih lama pada penggunaan kronis. Rambut juga dapat

dianalisis untuk melihat positif tidaknya penggunaan MDMA. Beberapa pemeriksaan juga

menyertakan paru – paru dan otak sebagai sampel tambahan

Penemuan Post Mortem pada Korban dengan Penyalahgunaan Psikotropika

Gambaran post mortem pada keracunan psikotropika biasanya tidak khas.Pada

pemeriksaan luar hanya tampak gambaran asfiksia. Keracunan psikotropika menimbulkan

depresi pusat pernapasan ditandai dengan terjadinya gangguan pertukaran udara pernapasan,

mengakibatkan oksigen darah berkurang (hipoksia) disertai dengan peningkatan karbon dioksida

(hiperkapnea). Dengan demikian organ tubuh mengalami kekurangan oksigen (hipoksia

hipoksik) dan terjadi kematian. Gangguan terjadi di dalam jaringan sendiri, sehingga jaringan

atau tubuh tidak dapat menggunakan oksigen secara efektif. Anoksia dapat terjadi pada

ekstraselular dan intraselular. Pada keracunan Barbiturat dan hipnotik lainnya, yang terjadi

adalah anoksia ekstraselular, dimana enzim sitokrom dihambat secara parsial sehingga kematian

berlangsung perlahan.

Selama beberapa tahun dilakukan autopsi untuk mendiagnosis kematian akibat asfiksia,

telah ditetapkan beberapa tanda klasik,yaitu:

a. Tardieu’s spot (Petechial hemorrages). Tardieu’s spot terjadi karena peningkatan

tekanan vena secara akut yang menyebabkan overdistensi dan rupturnya dinding

perifer vena, terutama pada jaringan longgar, seperti kelopak mata, dibawah kulit

dahi, kulit dibagian belakang telinga, circumoral skin, konjungtiva dan sklera

mata. Selain itu juga bisa terdapat dipermukaan jantung, paru dan otak. Bisa juga

terdapat pada lapisan viseral dari pleura, perikardium, peritoneum, timus, mukosa

laring dan faring, jarang pada mesentrium dan intestinum.

b. Kongesti dan Oedema. Ini merupakan tanda yang lebih tidak spesifik

dibandingkan dengan ptekie. Kongesti adalah terbendungnya pembuluh darah,

sehingga terjadi akumulasi darah dalam organ yang diakibatkan adanya gangguan

sirkulasi pada pembuluh darah. Pada kondisi vena yang terbendung, terjadi

peningkatan tekanan hidrostatik intravaskular (tekanan yang mendorong darah

mengalir di dalam vaskular oleh kerja pompa jantung) menimbulkan perembesan

Page 27: Makalah Fix Psikotropika Baruu

cairan plasma ke dalam ruang interstitium. Cairan plasma ini akan mengisi pada

sela-sela jaringan ikat longgar dan rongga badan (terjadi oedema).

c. Sianosis. Merupakan warna kebiru-biruan yang terdapat pada kulit dan selaput

lendir yang terjadi akibat peningkatan jumlah absolut Hb tereduksi (Hb yang

tidak berikatan dengan O2).

d. Tetap cairnya darah. Terjadi karena peningkatan fibrinolisin paska kematian.

Pada pemeriksaan luar jenazah dengan asfiksia dapat ditemukan:

a. Sianosis pada bibir, ujung-ujung jari dan kuku.

b. Warna lebam mayat merah-kebiruan gelap dan terbentuk lebih cepat. Distribusi

lebam mayat lebih luas akibat kadar karbondioksida yang tinggi dan aktivitas

fibrinolisin dalam darah sehingga darah sukar membeku dan mudah mengalir.

c. Terdapat busa halus pada hidung dan mulut yang timbul akibat peningkatan

aktivitas pernapasan pada fase 1 (dispneu) yang disertai sekresi selaput lendir

saluran napas bagian atas. Keluar masuknya udara yang cepat dalam saluran

sempit akan menimbulkan busa yang kadang-kadang bercampur darah akibat

pecahnya kapiler.

d. Gambaran pembendungan pada mata berupa pelebaran pembuluh darah

konjungtiva bulbi dan palpebra yang terjadi pada fase 2 (konvulsi) . Akibatnya

tekanan hidrostatik dalam pembuluh darah meningkat terutama dalam vena,

venula dan kapiler. Selain itu, hipoksia dapat merusak endotel kapiler sehingga

dinding kapiler yang terdiri dari selapis sel akan pecah dan timbul bintik-bintik

perdarahan yang dinamakan sebagai Tardieu’s spot.

Pada pemeriksaan dalam jenazah dapat ditemukan:

a. Darah berwarna lebih gelap dan lebih encer, karena fibrinolisin darah yang

meningkat paska kematian.

b. Busa halus di dalam saluran pernapasan.

c. Pembendungan sirkulasi pada seluruh organ dalam tubuh sehingga menjadi

lebih berat, berwarna lebih gelap dan pada pengirisan banyak mengeluarkan

darah.

Page 28: Makalah Fix Psikotropika Baruu

d. Petekie dapat ditemukan pada mukosa usus halus, epikardium pada bagian

belakang jantung belakang daerah aurikuloventrikular, subpleura viseralis

paru terutama di lobus bawah pars diafragmatika dan fisura interlobaris, kulit

kepala sebelah dalam terutama daerah otot temporal, mukosa epiglotis dan

daerah sub-glotis.

e. Edema paru sering terjadi pada kematian yang berhubungan dengan hipoksia.

Obat-obat psikotropika yang sering disalahgunakan adalah amfetamin dan barbiturat.

Berikut temuan post mortem obat-obat tersebut :

1. Keracunan Amfetamin

Penemuan pada otak. Studi post mortem memperlihatkan perubahan level serotonin dan

metabolit utamanya pada otak pada pengguna jangka panjang amfetamine. Level

serotonin berkurang 50%–80% pada regio yang berbeda pada otak, pada perbandingan

dengan yang tidak menggunakan amfetamine. Dapat memperlihatkan gambaran

disseminated intravaskular coagulation (DIC), edema dan degenerasi neuron nampak

pada lokus ceruleus. Sebuah studi postmortem terhadap 6 orang pengguna amfetamine, 2

orang memperlihatkan fokal hemoragi pada otak. Pada salah satu kasus terdapat nekrosis

glandula hipofisis, hal ini kemungkinan karena kurangnya suplai darah.

Penemuan pada paru – paru. Pada pemeriksaan internal, paru – paru berat, biasanya berat

masing – masing 400 hingga 500 gram, tapi berat paru – paru yang sampai 1000 gram

atau lebih juga terkadang ditemukan. Jika digunakan secara intravena, dapat ditemukan

benda asing pada paru. Sebuah studi postmortem terhadap 6 orang pengguna amfetamine,

ditemukan infark pulmonar pada salah seorang pengguna. Pada dua orang lainnya

ditemukan hemoragi intra alveolar. Pada salah satu kasus terdapat inhalasi isi gaster.

Penemuan pada jantung. Jantung adalah target organ, terkadang terjadi penambahan

berat, terutama pada hipertrofi ventrikel kiri dan pembesaran jantung bagian kanan. Pada

pemeriksaan mikroskopik ditemukan kongesti dari organ dengan edema. Juga dapat

ditemukan peningkatan sejumlah partikel karbon. Bisa juga terlihat nekrosis myofibril.

Sejak diketahui bahwa obat ini merupakan stimulator katekolamin, dan menyebabkan

Page 29: Makalah Fix Psikotropika Baruu

terjadinya peningkatan katekol dalam darah, jantung sering terdapat area iskemi dan

mionekrosis yang dikelilingi oleh neutrofil dan makrofag

Penemuan pada hepar. Dapat terdapat pembesaran hepatosit dan pada sitoplasma bisa

mengandung banyak vakuola. Kasus intoksikasi yang menyebabkan hipertermia dengan

kegagalan fungsi hati sering terdapat nekrosis hepatis massif., Perlemakan, dilatasi

sinusoidal dan inflamasi juga ditemukan.

Penemuan pada ginjal.

o Pada ginjal Amfetamine mengakibatkan myoglobinuric tubular necrosis,

sedangkan metamfetamine dapat menyebabkan Proliferatif Glomerulonephritis

akibat dari suatu systemic necrotizing vasculitis. Biasanya terjadi bila amfetamine

digunakan secara intravena, Merupakan keadaan yang jarang terjadi, dan timbul

bila terjadi overdosis. Yang paling sering adalah derivat metamfetamin

Pemeriksaan darah.

o Waktu paruh yang cukup lama menyebabkan obat dapat dideteksi pada darah

dalam waktu beberapa jam, bergantung dari dosisnya. Metabolisme menghasilkan

amfetamin sebagai metabolit pertama dari metamfetamin, dan rasio pada darah

dan urin dapat membantu menentukan penggunaan akut atau kronis. Kebanyakan

tes skrining darah untuk amfetamin adalah menggunakan teknik imunoassay.

Dapat juga dengan menggunakan gas kromatografi dan analisis spektroskopi.

Identifikasi amfetamine dengan menggunakan saliva telah ada dan dapat

digunakan untuk tes simpel yang non-invasif.

Tes Urin.

o Pengguna MDMA akan memperlihatkan hasil positif pada amfetamin (metode

umum) dan metamfetamin (metode tes yang baru dan lebih jarang digunakan).

Periode deteksi amfetamin pada urin adalah 24-96 jam setelah penggunaan (rata –

rata 72 jam). Periode deteksi amfetamin dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti

pH dan status hidrasi.

2. Keracunan Barbiturat

Page 30: Makalah Fix Psikotropika Baruu

Pada otopsi, diagnosis kematian akibat keracunan barbiturat akut terkadang tidak dapat

ditentukan oleh karena tertutupi oleh sebab kematian yang lain seperti perdarahan subarakhnoid

spontan, ruptur aneurisma aorta. Gambaran post mortem padakeracunan barbiturat biasanya tidak

khas.Pada pemeriksaan luar hanya tampak gambaran asfiksia berupa sianosis, keluarnya busa

halus dari mulut atau paru, tardieau spot, dapat ditemukan vesikel atau bula pada kulit daerah

yang tidak tertekan. Pada pembedahan jenazah, mukosa saluran cerna dan seluruh organ

menunjukkan tanda-tanda perbendungan. Esofagus menebal, berwarna merah coklat gelap dan

kongestif.1,2

Bercak perdarahan pada mukosa konjungtiva bulbi dan konjungtiva palpebra

Penemuan lain adanya perubahan warna mukosa esofagus dan lambung dengan lendir

yang berwarna merah muda pada keracunan seconal, kuning pada nembutal, hijau kebiruan pada

amytal. Tapat pula ditemukan sisa tablet di lambung. Oleh karena barbiturat bersifat iritatif ,

mukosa lambung dapat menunjukkan tanda-tanda korosif dengan atau tanpa perdarahan. Paru-

paru dapat menunjukkan tanda-tanda edema paru dan kongesti hebat, daerah basal paru dapat

mengalami deaerasi progresif yang menimbulkan atelektasis. Pada pleura dapat ditemukan

bercak perdarahan. Dalam saluran nafas terdapat cairan yang berbusa bercampur sedikit darah.

Otak menunjukkan tanda-tanda perbendungan, selain itu terdapat lesi di korteks dan basal

ganglia otak berupa infiltrasi sel-sel bulat perivaskular, degenerasi neuron terutama di talamus

dan putamen, small ring hemorrhages, nekrosis globus palidus yang simetris dan bilateral.1,2

Page 31: Makalah Fix Psikotropika Baruu

Pada paru-paru kanan ditemukan adanya buih.

Untuk pemeriksaan toksikologi, bahan yang harus dikirim ialah isi lambung, darah hati,

urin, ginjal. Interpretasi kadar barbiturat. Kadar obat ini dalam serum kurang lebih sama dengan

kadar dalam darah. Kadar dalam hati 4 kali lebih tinggi dibandingkan dengan kadar dalam darah.

Bila kadar lebih dari 4 kali berarti penelanan dalam waktu kurang drai 5 jam sebelum orang

tersebut mati. Untuk menentukan barbiturat dalam organ tubuh perlu dilakukan ekstraksi lebih

dahulu. Ada 5 macam metode ekstraksi dan yang memberikan hasil terbaik ialah ekstraksi

langsung dengan kloroform. Dapat pula dilakuakan dengan metode Kopanyi yaitu memasukkan

50 ml urin atau isi lambung dalam sebuah corong. Diperiksa dengan kertas lakmus, jika bersifat

alkali tambahkan HCl sampai bersifat asam. Tambahkan 100 ml eter, kocok selama beberapa

menit. Diamkan sebentar, tampak air terpisah dari eter, lapisan air dibuang, barbiturat terdapat

dalam lapisan eter. Saring eter ke dalam beaker glass dan uapkan sampai kering. Kemudian

tambahkan 10 tetes kloroform. Ambil beberapa tetes larutan letakkan pada white pocelain spot

plate. Tambahkan 1 tetes kobalt asetatdan 2 tetes isopropilamin. Barbiturat akan memberi warna

merah muda sampai ungu. Pemeriksaan semikuantitatif dan kuantitatif dapat dilakukan dengan

kromatografi lapis tipis, kromatografi gas cair, dan spektrofotometri ultra violet.1,2

Page 32: Makalah Fix Psikotropika Baruu

Bab 3Simpulan

1

3.1 Simpulan

Dari penjabaran yang telah disebutkan sebelumnya, dapat kami simpulkan bahwa

psikotropika dibagi menjadi 4 golongan menurut undang-undang Undang - undang No. 5 Tahun

1997 , yaitu dibagi menurut potensinya menimbulkan ketergantungan pada korban serta dalam

penggunaannya. Penyalahgunaan psikotropika dapat mengakibatkan sindroma ketergantungan

apabila penggunaannya tidak di bawah pengawasan . Keracunan pada psikotropika memiliki ciri

tertentu dan dengan pemeriksaan forensik serta pemeriksaan penunjang dapat dibedakan dari

keracunan pada zat atau obat-obatan lainnya.

Page 33: Makalah Fix Psikotropika Baruu

DAFTAR PUSTAKA

1. Rukiman, HM. 2005. Penyalahgunaan Psikotropika Dikalangan Remaja dan Penanggulangannya

Di Jawa Tengah. Tersedia dalam http://eprints.undip.ac.id/14589/1/2005MH5422.pdf ,

diakses pada 12 Februari 2014.

2. Wirasuta et all, 2007. Validasi Metode Uji Konfirmasi Senyawa Golongan Benzodiazepin

Dengan HPLC-DAD. Universitas Udayana. Tersedia dalam

http://ojs.unud.ac.id/index.php/jfu/article/download/5652/4293 , diakses pada 12 Februari

2014.

3. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 422/MENKES/SK/III/2010, Pedoman

Penatalaksanaan Medik Gangguan Penggunaan NAPZA. Tersedia dalam

http://buk.depkes.go.id/index.php?

option=com_docman&task=doc_download&gid=699&Itemid=142 , diakses pada 12

Februari 2014.