Karya Okky Madasari -...
Transcript of Karya Okky Madasari -...
GERAKAN PERLAWANAN PEREMPUAN DALAM NOVEL
(Analisis Wacana Kritis Sara Mills dalam Novel Maryam
Karya Okky Madasari)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh
Ummamah Nisa Uljannah
NIM: 1111051000059
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H/2017 M
GERAKAN PERLAWANAN PEREMPUAN DALAM NOVEL
(Analisis Wacana Kritis Sara Mills dalam Novel Maryam
Karya Okky Madasari)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh
Ummamah Nisa Uljannah
NIM: 1111051000059
Pembimbing
Siti Nurbaya, M.Si
NIP: 19790823 200912 2 002
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H/2017 M
i
Nama : Ummamah Nisa Uljannah
NIM : 1111051000059
ABSTRAK
Gerakan Perlawanan Perempuan Dalam Novel (Analisis Wacana Kritis Sara
Mills Dalam Novel Maryam Karya Okky Madasari)
Budaya patriarki yang masih sangat kental di Indonesia, membuat
perempuan mengalami ketidakadilan gender yang menjelma menjadi citra baku.
Sub-ordinasi, stereotype, marginalisasi, beban ganda dan kekerasan bisa
dipastikan pernah dialami oleh tiap perempuan. Tidak hanya dialami secara
langsung, bentuk-bentuk ketidakadilan gender masuk hingga ranah sastra. Banyak
ditemukan cerita-cerita novel yang secara sadar atau tidak sadar menyudutkan
perempuan.
Berdasarkan latar belakang itu, kemudian muncul pertanyaan bagaimana
gerakan perempuan ditinjau dari posisi subjek-objek berdasarkan analisis wacana
Sara Mills dalam Novel Maryam? Bagaimana gerakan perlawanan perempuan
ditinjau dari posisi pembaca berdasarkan analisis wacana Sara Mills dalam Novel
Maryam? Mengapa gerakan perempuan dalam novel digambarkan demikian
dalam Novel karya Okky Madasari?
Penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di
paragraf sebelumnya, maka metode yang digunakan peneliti adalah metode
analisis wacana Sara Mills. Lalu, manfaat yang ingin dicapai adalah semoga
penelitian ini mampu menjadi rujukan penelitian-penelitian yang berkaitan dengan
feminisme dan analisis wacana Sara Mills kelak.
Pada penelitian ini, teori yang akan digunakan adalah teori feminisme
yang kaitannya dalam novel ini menceritakan kisah perempuan yang menyuarakan
haknya. Dalam penelitian ini yang menjadi persoalan paling utama adalah
bagaimana perempuan baik secara pribadi atau sebagai perwakilan sebuah
kelompok menyuarakan haknya dan bagaimana perjuangan perempuan tersebut
ditampilkan melalui pemilihan kata, kalimat dan bentuk cerita kepada khalayak.
Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis
wacana Sara Mills. Metode ini digunakan dalam penelitian yang menitikberatkan
pada wacana tentang perempuan. Titik perhatian metode ini adalah tentang
bagaimana perempuan ditampilkan dalam teks.
Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa gerakan perlawanan yang
dilakukan oleh perempuan bisa dilakukan melalui jalan sastra. Dengan
menampilkan perempuan sebagai tokoh utama yang tangguh sebagai subjek yang
menggugat budaya patriarki yang sudah terlanjur mapan di tengah masyarakat
sebagai objek dan pembaca digiring untuk turut sadar akan kekeliruan yang kerap
menyudutkan perempuan.
Kata Kunci: Perempuan, Subjek, Objek, Sara Mills, Novel Maryam
v
KATA PENGANTAR
الرحيم بسم اهلل الر حن Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin, segala puji bagi Allah SWT, Dzat Yang
Maha Baik dan Maha Sempurna, yang senantiasa menyempurnakan kenikmatan
kepada hamba-Nya. Shalawat serta salam juga selalu tercurahkan kepada baginda
Rasulullah SAW beserta keluarga dan sahabatnya.
Alhamdulillah, peneliti bersyukur kepada Allah SWT yang telah memberi
kesempatan untuk meraih gelar sarjana dari Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi di UIN Syarif Hidayatullah dengan menyelesaikan skripsi berjudul
“Gerakan Perlawanan Perempuan Dalam Novel (Analisis Wacana Sara Mills
dalam novel Maryam karya Okky Madasari)”.
Peneliti menyadari, dalam penyusunan skripsi ini masih ada kekurangan
dan kelemahan di berbagai tempat, oleh karena itu peneliti sangat menerima
koreksi dan saran dari pembaca untuk menyempurnakan skripsi ini agar menjadi
lebih baik. Selain itu, peneliti juga mengucapkan terima kasih kepada berbagai
pihak yang telah membantu peneliti dalam proses penyusunan dan penyelesaian
skripsi ini. Dalam kesempatan kali ini peneliti mengucapkan terima kasih yang
sedalam-dalamnya kepada:
Dr. Arief Subhan, MA selaku Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi. Suparto, M.Ed, Ph.D selaku Wakil Dekan I Bidang Akademik. Hj.
Roudhonah, M.Ag selaku Wakil Dekan II Bidang Administrasi dan Keuangan.
Dr. Suhaimi, M.Si selaku Wakil Dekan II Bidang Kemahasiswaan. Drs. Masran,
MA selaku Ketua Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam serta Fita
vi
Fathurokhmah, SS, M.Si selaku Sekretaris Jurusan Komunikasi dan Penyiaran
Islam.
Dosen Pembimbing Skripsi, Siti Nurbaya, M.Si yang telah meluangkan
waktunya dan memberikan pemahaman lebih dalam mengenai tema, konsep dan
alur penelitian, serta motivasi, kritik dan saran juga semangat sehingga peneliti
mampu menyelesaikan skripsi ini, juga kepada Bintan Humeira, M.Si selaku
dosen pembimbing akademik yang telah membimbing peneliti memasuki tahap
skripsi.
Seluruh dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi yang telah memberikan
ilmu dan pengetahuan untuk peneliti sejak awal perkuliahan hingga selesai, dan
kepada staf juga karyawan Fakultas Dakwah dan Komunikasi yang telah
membantu peneliti dalam urusan administrasi selama perkuliahan dan penelitian
skripsi.
Kepada Okky Madasari, penulis novel Maryam yang telah meluangkan
waktunya untuk bertemu, menjawab pertanyaan dan diskusi seputar penelitian.
Terima kasih telah menginspirasi dan memberikan motivasi kepada peneliti untuk
terus aktif menyuarakan perlawanan terhadap ketidakadilan dan selalu semangat
menyelesaikan sesuatu yang pernah dimulai.
Kepada kedua orang tua peneliti: Bapak Hamdani dan Ibu Istianah, terima
kasih telah menemani peneliti dengan kasih sayang dan melengkapi kebutuhan
materil yang peneliti butuhkan selama proses penelitian, terima kasih atas do’a
tanpa batas kepada peneliti. Terima kasih kepada kakak peneliti: Zia Ulhaq. Adik
peneliti: Nur Affifah Aljannah, Sayyid Humam Alhaq, Nida’ Mufidah Aljannah,
vii
Maghfirotul Chisab Aljannah dan Zaid Marzuki Alhaq yang telah memotivasi
peneliti untuk lebih semangat menyelesaikan skripsi.
Kepada Ratna Ayu Wulandari, Dewi Mauly Syahidah, Siti Aisyah, Wina
Saputri, Rizki Almu Kosasih, Achmad Maulana Sirojjudin, M. Reza Fansuri,
Muhammad Ardiansyah, Farihunnisa, Fitri Maulida Rachmawati dan teman-
teman KPI B angakatan 2011 yang telah sepenuhnya mendukung penulis
menyelesaikan skripsi.
Kepada kakak-kakak dari komunitas Goodreads Indonesia: Kak Wulan,
Kak Harun, Mbak Endang, Kak Echa, Kak Roos, Bang Jimmy, Kak Citra, Kak
Lya dan Bu guru Vera dan sahabat peneliti Kak Isti Toq’ah dan Syarofah Kaedah
yang telah membantu dan membuat penulis terus berkembang serta terus
semangat menyelesaikan skripsi.
Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang tidak
dapat peneliti sebutkan satu per satu, semoga Allah SWT membalas niat baik
kalian, Aamiin Ya Rabbal’alamin.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Jakarta, 3 April 2017
Ummamah Nisa Uljannah
DAFTAR ISI
ABSTRAK ............................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR ............................................................................................. v
DAFTAR ISI ............................................................................................................ viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................................ 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah ................................................................ 5
C. Tujuan Penelitian ...................................................................................... 6
D. Manfaat Penelitian .................................................................................... 6
E. Metodologi Penelitian .............................................................................. 7
F. Tinjauan Pustaka ...................................................................................... 11
G. Sistematika Penelitian .............................................................................. 13
BAB II LANDASAN TEORI
A. Teori Feminisme
1. Pengertian Feminisme ............................................................................. 15
2. Sejarah Singkat Perkembangan Feminisme ............................................ 17
3. Aliran-aliran Feminisme ......................................................................... 23
4. Feminisme menurut Helene Cixous ........................................................ 29
5. Feminisme dalam Pandangan Islam ........................................................ 33
B. Analisis Wacana Kritis
1. Analisis Wacana Kritis ............................................................................ 37
2. Analisis Wacana Sara Mills .................................................................... 39
3. Kerangka Analisis Wacana Sara Mills .................................................... 42
C. Novel
1. Pengertian Novel ..................................................................................... 43
2. Unsur Intrinsik dan Ekstrinsik Novel ...................................................... 45
BAB III GAMBARAN UMUM
A. Gambaran Umum Novel Maryam ................................................................. 50
B. Profil Singkat Penulis .................................................................................... 52
BAB IV HASIL TEMUAN DAN ANALISIS DATA
A. Temuan Data ................................................................................................. 57
1. Posisi Subjek ........................................................................................... 58
2. Posisi Objek ............................................................................................ 64
3. Posisi Pembaca ........................................................................................ 67
B. Interpretasi Penelitian Novel Maryam .......................................................... 69
1. Perlawanan Terhadap Tata Nilai Keluarga ............................................. 70
2. Perlawanan Terhadap Hegemoni Masyarakat Patriarki .......................... 73
3. Perlawanan Terhadap Diskriminasi Agama ............................................ 78
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................................... 85
B. Saran .............................................................................................................. 86
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 88
LAMPIRAN ............................................................................................................. 91
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Karya sastra, sebagai sebuah karya yang sengaja dibuat untuk
menyampaikan maksud penulis dengan cara komunikatif, pada umumnya
bertujuan hanya keindahan, dan pada khususnya bertujuan untuk membentuk
pikiran khalayak. Sebagai salah satu media komunikasi, karya sastra bisa tertuang
dalam bentuk novel, puisi, biografi, esai dan lainnya.
Novel memuat beragam gambaran kehidupan manusia di masyarakat.
Kehidupan yang menyenangkan atau menyedihkan, biasanya disesuaikan dengan
realitas yang berkembang. Tidak jarang karya yang dihasilkan banyak
menampilkan citra atau gambaran perempuan didalamnya.
Salah satu masalah yang sering muncul dalam karya sastra adalah sub-
ordinasi perempuan. Sering kali, perempuan dikondisikan dalam posisi yang lebih
rendah dari laki-laki. Kondisi ini membuat perempuan berada dalam posisi
tertindas, tidak memiliki kebebasan atas diri dan hidupnya. Dalam hal ini
berkaitan dengan masalah gender yang mempertanyakan tentang pembagian peran
serta tanggungjawab antara laki-laki dan perempuan. Perempuan dikondisikan
sebagai makhluk yang lemah, sedangkan laki-laki dikondisikan sebagai makhluk
yang kuat. Dengan „pembedaan‟ ini, berakibat pada peran perempuan yang
akhirnya sering diabaikan dalam kehidupan publik. Anggapan negatif terhadap
perempuan dengan menggunakan kausalitas yang dimiliki laki-laki sangat
berhubungan dengan konsep gender.
2
Gender merupakan sifat yang melekat pada laki-laki dan perempuan yang
dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Beberapa pakar mengatakan bahwa
ketidaksetaraan gender terjadi dalam bentuk marginalisasi, subordinasi,
stereotype, kekerasan dan beban kerja.1Pengaruh-pengaruh tersebut memunculkan
mitos-mitos serta citra baku (stereotype) tentang laki-laki dan perempuan, seperti
perempuan lemah dan lembut, sedangkan laki-laki kuat dan perkasa. Perempuan
boleh menangis dan laki-laki tidak boleh menangis.
Berbagai masalah muncul akibat mitos berbentuk citra baku yang telah
mengaitkan peran perempuan dan laki-laki dengan jenis kelaminnya, serta
penilaian secara sosial budaya yang telah dikenakan (dilabelkan) padanya,
akibatnya peran laki-laki dan perempuan dikotak-kotakan berdasar jenis kelamin
dan penilaian-penilaian tesebut. Citra tersebut membuat perempuan dibakukan ke
dalam sektor yang dianggap cocok dan lebih mudah dengannya (domestik), lebih
halus dan lebih ringan sedangkan laki-laki dibakukan ke dalam sektor publik,
dengan anggapan lebih sulit, keras dan kasar.
Pembagian seperti ini dalam struktur sosial menempatkan laki-laki dan
perempuan dalam kotak-kotak yang kadang sulit untuk ditembus, pembagian
peran seperti yang telah disebutkan, menyebabkan kurangnya penghargaan pada
apa yang telah dikerjakan oleh perempuan. Perempuan ditempatkan sebagai
sistem pelengkap dari dunia laki-laki. Laki-laki diberi label “pencari nafkah”,
sehingga apapun yang dikerjakan perempuan dianggap sebagai “sambilan” atau
“tambahan”, bahkan kadang tidak dianggap.
1 Sri Sundari Sasongko, Konsep dan Teori Gender, h. 10-11.
3
Mansour Faqih menyatakan, bahwa ketidakadilan gender termanifestasikan
dalam berbagai bentuk, misalnya marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi,
sub-ordinasi atau tanggapan tidak penting dalam keputusan politik, pembentukan
stereotype, beban kerja lebih panjang dan lebih banyak dan kekerasan (violence).
Seperti yang telah disebutkan juga data yang mengatakan kekerasan pada
perempuan baik kekerasan fisik atau psikis terus meningkat tiap tahunnya.
Meski, gerakan-gerakan perempuan menuntut kesetaraan sudah menjamur,
dan banyak pihak yang mengklaim bahwa wacana seputar keadilan gender
sebetulnya sudah selesai dan tidak perlu diperdebatkan lagi. Tapi nyatanya,
konsep gender yang sudah terlanjur mengakar pada sebagian besar masyarakat itu
membuat perempuan diperlakukan tidak adil. Data komnas perempuan
menyatakan bahwa kekerasan terhadap perempuan di Indonesia selalu meningkat
tiap tahunnya. Pada tahun 2014 menunjukan kekerasan terhadap perempuan
sebanyak 293.220 kasus. Jumlah ini meningkat dibanding tahun 2013 sebanyak
279.688 kasus.2
Kemungkinan terbesar yang menyebabkan kekerasan ialah faktor identitas
seperti suku, ras atau agama yang biasanya terjadi dalam bentuk diskriminasi.
Sayangnya, keragaman penafsiran dogma agama yang kemudian membuahkan
penafsiran yang dominan dalam masyarakat patriarki tidak pernah membuat laki-
laki dan perempuan sama. Meski dalam Islam tetap ada aturan-aturan untuk
perempuan.
2 “Indonesia Darurat Kekerasan terhadap Perempuan”, tempo.co, diakses pada 7 Maret
2015 pukul 12:56
4
Secara umum, novel Maryam menggambarkan tentang perjuangan
perempuan. Perjuangan bagaimana perempuan mempertahankan keyakinan
agamanya, yang membuatnya perlu melakukan perlawanan dan melakukan
perubahan dalam dirinya dan masyarakat. Sebagai seorang penulis perempuan,
Okky Madasari cenderung masuk pada aliran realisme sosialis yang menceritakan
realitas dalam masyarakat dan lebih sering menampilkan perempuan sebagai
tokoh utama dalam beberapa novelnya.
Dalam novel Maryam, Okky Madasari menampilkan Maryam sebagai tokoh
utama perempuan yang lahir dan besar dalam kelompok Ahmadiyah. Dengan
wacana „sesat‟ yang disematkan pada kepercayaan keluarganya, membuat
Maryam mengalami banyak konflik yang berhubungan dengan ke-Ahmadiyah-
annya. Anggapan bahwa pasti laki-laki yang akan lebih kuat menghadapi masalah
seperti ini, justru bertentangan dengan apa yang diungkap oleh Okky Madasari
melalui novel ini.
Dalam novel Maryam, Okky Madasari mengemukakan bahwa perempuan
sebagai korban dari konflik yang salah satunya disebabkan oleh latennya budaya
patriarki, sanggup menghadapinya bahkan menjadi tokoh pemerjuang hak
kelompok. Tokoh perempuan yang tercermin pada diri Maryam menunjukan citra
seorang perempuan yang cerdas, mandiri, tangguh dan berani.
Alasan dipilihnya novel Maryam sebagai objek penelitian, karena novel ini
mengungkap kehidupan perempuan yang lahir dan besar dalam kelompok
minoritas seperti Ahmadiyah yang sering mendapat perlakuan intimidatif dan
diskriminatif. Kisah kelompok Ahmadiyah yang menjadi latar belakang novel ini,
ditulis berdasarkan riset Okky Madasari selama enam bulan di Lombok, Nusa
5
Tenggara Barat, tempat terjadinya pengusiran kelompok Ahmadiyah tahun 2006.
Dan, karena keberaniannya menulis kisah ini, Okky Madasari melalui novel
Maryam mendapat penghargaan dari Khatulistiwa Literary Award sebagai karya
terbaik tahun 2012.
Berdasar dari latar belakang tersebut, maka peneliti tertarik mengkajinya
dalam bentuk skripsi dengan judul “GERAKAN PERLAWANAN
PEREMPUAN DALAM NOVEL (Analisis Wacana Kritis Sara Mills dalam
Novel Maryam Karya Okky Madasari)”
B. Batasan dan Rumusan Masalah
1. Batasan Masalah
Untuk menghindari meluasnya pembahasan dan untuk
mempertajam analisa penelitian, maka peneliti memberikan batasan
masalah dengan berfokus hanya pada kalimat-kalimat yang terkait
dengan gerakan perlawanan perempuan yang ditampilkan dalam Novel
Maryam.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah diatas, maka peneliti
merumuskan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana gerakan perlawanan perempuan ditinjau dari posisi subjek-
objek berdasarkan analisis wacana Sara Mills dalam Novel Maryam?
2. Bagaimana gerakan perlawanan perempuan ditinjau dari posisi
pembaca berdasarkan analisis wacana Sara Mills dalam Novel
Maryam?
6
3. Mengapa perempuan digambarkan sebagai pihak yang melawan
dalam novel Maryam?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan dilakukannya
penelitian ini, yaitu:
1. Untuk mengetahui gerakan perlawanan perempuan ditinjau dari
posisi subjek-objek berdasarkan analisis wacana Sara Mills
dalam novel Maryam.
2. Untuk mengetahui gerakan perlawanan perempuan ditinjau dari
posisi pembaca berdasarkan analisis wacana Sara Mills dalam
novel Maryam.
3. Untuk memaparkan mengapa perempuan digambarkan sebagai
pihak yang melawan dalam novel Maryam.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Akademis
Penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi bagi
pengembangan pengetahuan yang memadai bagi pembaca. Khususnya
dalam kajian Ilmu Komunikasi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan
analisis wacana kritis model Sara Mills dan menambah referensi penelitian
yang menggunakan novel sebagai objek penelitian di Jurusan Komunikasi
dan Penyiaran Islam, Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi.
7
2. Manfaat Praktis
Secara praktis, penelitian ini dapat menjadi titik tolok ukur untuk
penelitian yang lebih mendalam di kemudian hari dan perbendaharaan
informasi untuk penelitian selanjutnya.
E. Metodologi Penelitian
1. Paradigma Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan
paradigma kritis. Paradigma kritis digunakan untuk mengungkap ideologi
atau makna-makna tesirat dari sebuah wacana. Analisis Wacana dengan
pendekatan perspektif Sara Mills lebih menekankan bagaimana perempuan
dicitrakan dalam teks. Dengan konsep bagaimana aktor-aktor dalam teks
berita, akan didapatkan siapa yang dominan menceritakan kejadian (sebagai
subjek) serta posisi yang ditarik dalam cerita. Titik perhatiannya adalah
menunjukkan bagaimana teks yang menyudutkan perempuan dibongkar
dengan menganalisa posisi subjek-objek cerita juga posisi pembaca dalam
cerita.
2. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif
deskriptif dengan menggunakan analisis wacana kritis dengan model Sara
Mills. Dalam perspektif analisis wacana, teks tidak dimaknai sebagai
sesuatu yang netral. Pilihan kelompok mana yang diposisikan sebagai
pencerita menyebabkan peristiwa yang dihadirkan untuk khalayak muncul
dalam perspektif kepentingan pencerita. Oleh karena itu, posisi semacam itu
8
berkaitan erat dengan ideologi. Menurut pemahaman itulah, menurut Mills,
perlu pengkajian lebih dalam mengenai dua posisi tersebut. Siapa yang
menjadi subjek-objek dan posisi pembaca dalam teks bergantung pada
imajinasi khalayak dalam membaca teks tersebut.
3. Subjek dan Objek Penelitian
Subjek penelitian ini adalah gerakan perlawanan perempuan yang
ingin disampaikan Okky Madasari melalui novel Maryam sebagai objek
penelitian.
4. Jenis dan Sumber Data
a. Data Primer: cerita dalam novel Maryam karya Okky Madasari
b. Data Sekunder: data-data yang didapat dari berbagai macam
sumber tertulis yang terdiri dari buku, jurnal dokumentasi atau
arsip-arsip dan literatur lainnya yang berkaitan dengan penelitian
yang dilakukan.
5. Teknik Pengumpulan Data
a. Wawancara, yakni bertemu langsung dan mengajukan beberapa
pertanyaan pada penulis novel Maryam dan membahas topik
seputar penelitian.
b. Observasi, yakni dengan membaca novel Maryam, lalu
menganalisa ideologi feminisme penulis novel di dalamnya.
c. Research Document, yakni dengan mencari data-data di berbagai
surat kabar, majalah atau dokumen tertulis lainnya seputar
feminisme dan gerakan perlawanan perempuan untuk
memperkuat landasan teori dalam penelitian ini.
9
6. Teknik Analisis Data
Pengolahan data disesuaikan dengan Model Sara Mills, yang lebih
menekankan bagaimana aktor dan pembaca diposisikan dalam teks, baik
yang ditampilkan sebagai objek atau subjek.
Hal ini akan menentukan bagaimana struktur teks dan bagaimana
makna diperlakukan dalam teks secara keseluruhan. Selain itu juga
memusatkan perhatian pada bagaimana pembaca mengidentifikasi dan
menempatkan dirinya dalam penceritaan teks. Instrumen penelitian yang
digunakan dalam penelitian ini berupa table penelitian yang berisi mengenai
posisi subjek-objek dan posisi penulis-pembaca. Table digambarkan sebagai
berikut:3
3 Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media (Yogyakarta: LKiS Pelangi
Aksara, 2006), h.211
10
Tabel 1.1
Kerangka Analisis Sara Mills
Tingkat Uraian
Posisi Subjek-Objek Bagaimana peristiwa dilihat, dari
kacamata siapa peristiwa itu dilihat.
Siapa yang diposisikan sebagai
pencerita (subjek) dan siapa yang
menjadi objek yang diceritakan.
Apakah masing-masing actor dan
kelompok sosial mempunyai
kesempatan untuk menampilkan dirinya
sendiri, gagasannya atau kehadirannya,
gagasannya ditampilkan oleh
kelompok/orang lain.
Posisi Penulis Bagaimana posisi pembaca ditampilkan
penulis-dalam teks. Bagaimana
pembaca memposisikan dirinya dalam
teks yang ditampilkan. Kepada
kelompok manakah pembaca
mengidentifikasi dirinya.
11
F. Tinjauan Pustaka
Dalam penyusunan skripsi ini, peneliti sebelumnya melakukan
tinjauan pada skripsi-skripsi terdahulu. Berikut merupakan tinjauan skripsi
terdahulu yang sedikit banyak berkaitan dengan penelitian yang akan
peneliti lakukan.
a. Tesis yang dibuat oleh Rohmadtika Dita (1006797963),
mahasiswa Ilmu Komunikasi, Universitas Indonesia tahun
2012, dengan judul “Pemberontakan Perempuan dalam Novel
(Analisis Wacana Novel Trilogi Rara Mendut, Genduk Duku
dan Lusi Lindri Karya Y.B Mangunwijaya). Tesis ini
membahas konstruksi pemberontakan perempuan yang tertera
dalam trilogi novel karya Y.B Mangunwijaya. Penelitian ini
menggunakan analisis wacana kritis Norman Fairclough dan
teori sastra feminisme.
b. Skripsi yang dibuat oleh Tri Ayu Nutrisia Syam (E31107026),
mahasiswa Ilmu Komunikasi, Universitas Hasanuddin tahun
2013, dengan judul “Representasi Nilai Feminisme Tokoh Nyai
Ontosoroh dalam Novel Bumi Manusia karya Pramoedya
Ananta Toer (Sebuah Aanalisis Wacana)”. Skripsi ini
membahas bagaimana feminisme tercermin dalam novel
dengan penulis laki-laki. Menggunakan analisis wacana Sara
Mills dan teori feminisme dan teori konstruksi sosial.
c. Skripsi yang dibuat oleh Arsita Murtisari (111105110024),
mahasiswa Jurnalistik, UIN Syarif Hidayatullan tahun 2015,
12
dengan judul “Representasi Kekerasan Terhadap Perempuan
dalam Media Massa (Analisis Wacana Tayangan Harta Tahta
Wanita di Trans TV)”. Skripsi ini membahas tayangan televisi
yang menggambarkan kekerasan dalam rumah tangga yang
dialami oleh perempuan. Menggunakan analisis wacana Sara
Mills, paradigma kritis dan teori representasi Stuart Hall.
d. Skripsi yang dibuat oleh Rista Dwi Septiani (1112051100011),
mahasiswa Jurnalistik, UIN Syarif Hidayatullan tahun 2016,
dengan judul “Representasi Perempuan dalam Film (Analisis
Wacana Kritis Sara Mills dalam Film The Herd)”. Skripsi ini
membahas sebuah film yang menceritakan penderitaan sapi
betina di industri susu dengan menggantikan perannya dengan
perempuan. Skripsi ini menggunakan analisis wacana kritis
Sara Mills dan Teori Representasi Stuart Hall.
Adapun persamaan yang ditemukan dalam keempat penelitian diatas dengan
penelitian yang dilakukan peneliti adalah metode yang digunakan, yaitu analisis
wacana, paradigma penelitian yang kritis, objek penelitian berupa novel dan teori
feminisme secara umum. Perbedaan penelitian pertama dengan penelitian ini
adalah objek penelitian yang dibahas dan metode penelitian yang digunakan. Jika
tesis karya Rohmadtika Dita membahas novel trilogi karya Y.B Mangunwijaya
dan menggunakan metode penelitian analisis wacana kritis model Norman
Fairclough, maka penelitian ini membahas novel karya Okky Madasari dan
menggunakan analisis wacana kritis model Sara Mills sebagai metodenya.
13
Kemudian, perbedaan penelitian kedua dan penelitian ini terletak pada objek
penelitiannya, yaitu novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer.
Sedangkan perbedaan penelitian ketiga dengan penelitian ini terletak pada subjek
dan objek peneitian. Penelitian ketiga membahas representasi kekerasan terhadap
perempuan dalam media massa yang tayangan televisi sebagai objek
penelitiannya. Lalu, perbedaan penelitian keempat dengan penelitian ini terletak
pada subjek dan objek penelitian juga. Pada penelitian ini, Rista membahas
representasi perempuan yang tergambar dalam Film. Sedangkan penelitian yang
dibahas peneliti gerakan perlawanan perempuan yang tergambar dalam novel
Maryam karya Okky Madasari.
G. Sistematika Penulisan
Penulisan dalam penelitian ini mengacu pada buku pedoman penulisan
karya ilmiah (skripsi, thesis dan disertasi) karya Hamid Nasuhi dkk, yang
diterbitkan oleh CEQDA ( Center for Quality Development And Assurance)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007.
BAB I: Dalam bab ini, peneliti akan memaparkan garis besar isi
penelitian, dimulai dari latar belakang yang menyambung dengan judul,
dilanjutkan pada rumusan masalah beserta batasannya, juga tujuan
penelitian dan manfaat penelitian, baik akademis dan praktis. Selain itu,
masih dalam bab ini, peneliti juga memaparkan metodologi penelitian yang
mencakup paradigma dan pendekatan penelitian, subjek dan objek
penelitian, jenis dan sumber data, teknik pengumpulan data, teknik analisis
data, lalu tinjauan pustaka, dan yang terakhir acuan sistematika penulisan
penelitian.
14
BAB II: Dalam bab ini, peneliti menulis teori-teori yang menjadi
landasan dalam penelitian, yaitu teori feminisme beserta sejarah singkat dan
aliran-alirannya, analisis wacana kritis Sara Mills dan novel.
BAB III: Dalam bab ini, peneliti menulis gambaran umum dari apa
yang diceritakan dalam novel dan profil dari penulis Novel Maryam, Okky
Madasari.
BAB IV: Dalam bab ini, peneliti menulis temuan data berdasar pada
analisis wacana kritis Sara Mills yang ditemukan dalam novel Maryam dan
interpretasi dari temuan data tersebut.
Bab V: Dalam bab ini, peniliti menulis saran dan kesimpulan untuk
lebih baiknya penelitian-penelitian selanjutnya.
15
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Teori Feminisme
1. Pengertian Feminisme
Dalam mendefinisikan feminisme, para ilmuwan mendefinisikan
makna tersebut dalam beberapa pengertian. Secara etimologis, feminisme
berasal dari bahasa latin, femina yang berarti seseorang memiliki sifat
kewanitaan.5 Kemudian, dalam bahasa Inggris diterjemahkan menjadi
feminine, artinya memiliki sifat seperti perempuan. Lalu, kata tersebut
ditambahkan “ism” menjadi feminism, yang berarti hal hal tentang
perempuan atau paham mengenai perempuan.
Menurut Mansour Faqih, dalam buku yang berjudul “Membincang
Feminisme Diskursus Gender Perspektif Islam”. Feminisme adalah suatu
gerakan dan kesadaran yang berangkat dari asumsi bahwa kaum perempuan
mengalami diskriminasi dan usaha untuk menghentikan diskriminasi
tersebut. 6
Dari beberapa penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa feminisme
merupakan sebuah gerakan kesadaran akan penindasan dan ketidakadilan
terhadap hak-hak perempuan dan berusaha untuk mengubah keadaan
tersebut menuju kedalam suatu sistem yang lebih adil. Perhatian utama
kalangan feminis yaitu terciptanya suatu keadilan kesetaraan dalam struktur
masyarakat.
5 Euis Amalia. Dkk, Pengantar Kajian Gender (Jakarta: Pusat Studi Wanita Syarif
Hidayatullah, 2003) h. 86 6 Mansour Faqih. Dkk, Posisi Kaum Perempuan Dalam Islam; Tinjauan dari Analisis
Gender, dalam Membincang Feminisme Diskursus Gender Perspektif Islam, (Surabaya: Risalah
Gusti, 2003), h.67
16
Gerakan kaum perempuan pada hakikatnya adalah gerakan
transformasi dan bukanlah gerakan membalas dendam kepada kaum laki-
laki. Namun, kaum feminis menolak pandangan bahwa ketidaksetaraan
antara laki-laki dan perempuan bersifat alamiah dan tidak terelakkan.
Dengan demikian, dapat dikatakan gerakan tranformasi perempuan adalah
suatu proses gerakan untuk menciptakan hubungan antar sesama manusia
yang lebih baik, tanpa memandang status gender.
Fenomena bias gender yang terjadi ditengah masyarakat menjadi
motivasi dan stimulus utama untuk berkembangnya paham feminisme di
dunia masyarakat modern. Feminisme tumbuh sebagai suatu gerakan
sekaligus pendekatan yang berusaha merombak struktur yang ada karena
dianggap telah mengakibatkan ketidakadilan terhadap kaum perempuan.
Pendekatan feminisme berusaha merombak cara pandang kita terhadap
dunia dan berbagai aspek kehidupannya. 7
Menurut analisis feminis, ketidakadilan gender tersebut muncul
karena adanya kesalahpahaman terhadap konsep gender yang disamakan
dengan konsep seks. Sekalipun kata “gender” dan “seks” secara bahasa
memang mempunyai makna yang sama, yaitu jenis kelamin. Konsep seks,
bagi para feminis adalah suatu sifat kodrati (given), alami, dibawa sejak
lahir dan tak bisa diubah-ubah. Konsep seks hanya berhubungan dengan
jenis kelamin dan fungsi-fungsi dari perbedaan jenis kelamin itu saja.
Seperti bahwa perempuan itu bisa hamil, melahirkan, menyusui, sementara
laki-laki tidak.
7 Rian Nugroho, Gender dan Strategi Pengaruh Utamanya di Indonesia (Jakarta: pustaka
pelajar, 2008) h. 61-62
17
Adapun konsep gender, menurut feminisme, bukanlah suatu sifat yang
kodrati atau alami, tetapi merupakan hasil konstruksi sosial dan kultural
yang telah berproses sepanjang sejarah manusia. Contohnya, seperti
perempuan itu pasti lembut, emosional, hanya cocok dalam peran domestik,
sementara lelaki itu kuat, rasional, layak berperan di sektor publik. Disini,
ajaran agama diletakkan dalam posisi sebagai salah satu pembangunan
konstruksi sosial dan kultural tersebut. Melalui proses panjang, konsep
gender tersebut akhirnya dianggap sebagai ketentuan Tuhan. Maksudnya,
seolah-olah bersifat biologis dan kodrati yang tak bisa diubah-ubah lagi. 8
Secara historis kita hidup dalam masyarakat yang didominasi laki-
laki, perempuan lebih sering dijadikan objek ketika pencipta pengetahuan.
Hal ini berakibat pada banyaknya hal yang diwariskan sebagai pengetahuan
objektif mengenai dunia sebenarnya dihasilkan oleh kaum laki-laki dan
dibingkai oleh posisi mereka yang khas dalam masyarakat. Cara teorisasi
feminis menggugat cara mengetahui yang bersifat androsentris (berpusat
pada laki-laki), dengan mempertanyakan hierarki berbasis gender dalam
masyarakat dan budaya.9
2. Sejarah Singkat Perkembangan Pemikirian Feminisme
Dalam perkembangannya feminisme memiliki sejarah yang sangat
panjang. Maggie Humm dan Rebecca Walker mengatakan bahwa sejarah
feminisme dapat dibagi menjadi tiga gelombang. Gelombang pertama
8 http;//iniaiyya.blogspot.com/2012/09/makalah-feminisme-dalam-pandangan islam_21.
Html diakses pada hari Selasa, tanggal 15/12/2015, pukul 3.53 WIB 9 Stevi Jackson dan Jacki Jones, dkk. Teori-Teori Feminis Kontemporer (Jalasutra,
2009) h.1-2 (terjemahan)
18
merujuk pada gerakan hak pilih perempuan pada abad kesembilan belas dan
awal abad dua puluh. Gelombang kedua mengacu pada ide-ide dan tindakan
yang terkait dengan gerakan pembebasan perempuan dimulai pada tahun
1960-an. Gelombang ketiga mengacu pada kelanjutan dan reaksi terhadap
kegagalan yang dirasakan kedua gelombang sebelumnya.
a) Gelombang pertama
Gelombang pertama feminisme berkembang di Amerika pada
awal abad 19-20, gerakan ini semula difokuskan untuk mendapatkan
hak memilih. Akan tetapi setelah hak-hak itu diperoleh pada tahun
1920, gerakan ini sempat tenggelam dan muncul kembali pada tahun
1960-an, dipelopori oleh Betty Friedan, dan menertibkan bukunya
yang berjudul, The Feminisme Mystique (1963). Gerakan ini sempat
mengejutkan masyarakat, karena mampu memberikan kesadaran baru,
terutama bagi kaum perempuan, bahwa peran-peran tradisonal selama
ini ternyata menempatkan mereka dalam posisi yang tidak
menguntungkan, yaitu subordinasi dan marginalisasi perempuan.10
Pada gelombang pertama dalam sejarah kelahiran feminisme yang
menjadi fokus perjuangan kalangan perempuan adalah penghapusan
diskriminisasi, pada masa ini terdapat enam aliran feminisme, yaitu:
Feminisme Liberal, Feminisme Utopia, Feminisme Marxis,
Feminisme Psikoanalisis dan Feminisme Radikal.
Kata feminisme sendiri pertama kali dikreasikan oleh aktivis
sosialis yaitu Charles Fourier pada tahun 1837. Kemudian pergerakan
10
Abdul Muttaqim, Tafsir Feminis versus Tafsir Patriarki (Yogyakarta: Sabda Persada,
2003), h.20
19
yang berpusat di Eropa ini pindah ke Amerika dan berkembang pesat
sejak adanya publikasi buku yang berjudul the subjection of women
(1869) karya John Stuart Mill, dan perjuangan ini menandai kelahiran
gerakan feminisme pada gelombang pertama.
Memang gerakan ini sangat diperlukan pada saat itu (abad 18)
karena banyak terjadi pemasungan dan pengekangan akan hak-hak
perempuan. Selain itu, sejarah dunia juga menunjukkan bahwa secara
universal perempuan atau feminine merasa dirugikan dalam semua
bidang dan dinomorduakan oleh kaum laki-laki atau maskulin
terutama dalam masyarakat patriaki. Dalam bidang-bidang sosial,
pekerjaan, pendidikan dan politik, hak-hak kaum perempuan biasanya
lebih inferior ketimbang apa yang dinikmati oleh laki-laki, apalagi
masyarakat tradisional yang berorientasi agraris cenderung
menempatkan kaum laki-laki di depan, di luar rumah dan kaum
perempuan di rumah.
Situasi ini mulai mengalami perubahan ketika datangnya era
Liberalisme di Eropa dan tejadinya Revolusi Perancis di abad ke-18
dimana perempuan sudah mulai berani menempatkan diri mereka
seperti laki-laki yang sering berada di luar rumah. Selain itu, suasana
tersebut diperparah dengan adanya fundamentalisme agama yang
cenderung melakukan opresi terhadap kaum perempuan.
Sebetulnya di Eropa sudah berkembang gerakan untuk
menaikkan derajat kaum perempuan, tapi gaungnya kurang keras, baru
setelah di Amerika Serikat terjadi revolusi sosial dan politik, perhatian
20
pada hak-hak perempuan mulai mencuat. Tahun 1792, Mary
Wollstonecraft membuat karya tulis berjudul Vindication of the 8 right
of Human yang isinya dapat dikatakan meletakan prinsip-prinsip
feminisme di kemudian hari. Pada kisaran tahun 1830-1840 sejalan
terhadap pemberantasan praktek perbudakan, hak-hak kaum
perempuan mulai diperhatikan, jam kerja dan gaji kaum perempuan
mulai diperbaiki, diberi hak pilih dan mereka mulai diperbolehkan
ikut serta dalam pendidikan, sesuatu yang selama ini hanya dinikmati
kaum lak-laki.
Secara umum pada gelombang pertama dan kedua hal-hal
berikut ini yang menjadi momentum perjuangannya adalah gender
inequality, hak-hak perempuan, hak reproduksi, hak berpolitik, peran
gender, identitas gender dan seksualitas.
b) Gelombang Kedua
Setelah berakhirnya perang dunia kedua, yang ditandai dengan
lahirnya negara-negara baru yang terbebas dari penjajahan negara-
negara Eropa maka lahirlah gerakan Feminisme gelombang kedua
pada tahun 1960 dimana fenomena ini mencapai puncaknya dengan
diikutsertakannya kaum perempuan dan hak suara perempuan dalam
hak suara parlemen. Pada tahun ini merupakan awal bagi perempuan
mendapatkan hak pilih dari selanjutnya ikut mendiami ranah politik
kenegaraan.
21
Feminisme liberal gelombang kedua dipelopori oleh para
feminis Perancis seperti Helene Cixous dan Julia Kristeva, bersamaan
dengan kelahiran dekontruksionis, Derrida. Dalam the laugh of the
Medusa, Cixous mengkritik logosentrisme yang banyak didominasi
oleh nilai-nilai maskulin. Sebagai bukan white-Anglo-American
Feminist, dia menolak essensialisme yang sedang marak di Amerika
pada waktu itu. Julia Kristeva memiliki pengaruh kuat dalam wacana
pos-strukturalis yang sangat dipengaruhi oleh Foucault dan Derrida.
Secara lebih spesifik banyak feminis- individualis kulit putih
dan meskipun tidak semua, mengarahkan obyek penelitiannya pada
perempuan-perempuan dunia ketiga, meliputi negara-negara Afrika,
Asia dan Amerika Selatan. Dalam berbagai penelitian tersebut, telah
terjadi proses universalisme perempuan sebelum memasuki konteks
relasi sosialis, agama, ras dan budaya.
Banyak kasus menempatkan perempuan dunia ketiga dalam
konteks “all women”dimana semua perempuan adalah sama. Dalam
beberapa karya sastra novelis perempuan kulit putih yang ikut dalam
perjuangan feminisme yang masih terdapat lubang hitam, yaitu tidak
adanya representasi perempuan perempuan budak dari tanah jajahan
sebagai subyek. Penggambaran pejuang feminisme adalah masih
mempertahankan posisi budak sebagai pengasuh bayi dan budak
pembantu di rumah-rumah kulit putih.
Perempuan dunia ketiga tenggelam sebagai penderita yang sama
sekali tidak memiliki politik agensi selama sebelum dan sesudah
22
perang dunia kedua. Pejuang tanah Eropa yang lebih mementingkan
kemerdekaan bagi laki-laki daripada perempuan. Terbukti
kebangkitan semua negara- negara terjajah dipimpin oleh elit
nasionalis dari kalangan pendidikan, politik, dan militer yang
kesemuanya adalah laki-laki. Pada era itu kelahiran feminisme
gelombang kedua mengalamai puncaknya. Tetapi perempuan dunia
ketiga masih dalam kelompok yang bisu.
Dengan keberhasilan gelombang kedua ini, perempuan dunia
pertama melihat bahwa mereka perlu menyelamatkan perempuan-
perempuan yang teropresi di dunia ketiga, dengan asumsi bahwa
semua perempuan adalah sama.
c) Gelombang Ketiga
Gelombang ketiga feminisme dimulai pada awal 1990-an, yang
timbul sebagai respon terhadap kegagalan yang dirasakan dari
gelombang kedua dan juga sebagai respon terhadap serangan balasan
terhadap inisiatif dan gerakan yang diciptakan oleh gelombang kedua.
Gelombang ketiga feminisme berusaha untuk menantang atau
menghindari apa yang dianggapnya esensi dari definisi feminitas
gelombang kedua ini, yang (menurut mereka) lebih menekankan
pengalaman wanita kulit putih, kelas menengah keatas. Sebuah
interpretasi pasca-strukturalis gender dan seksualitas merupakan pusat
berbagai ideologi gelombang ketiga.
23
Gelombang ketiga feminis sering berfokus pada “mikro-politik”
dan menantang paradigma gelombang kedua itu seperti apa yang baik
dan tidak baik untuk perempuan. Gelombang ketiga memiliki asal-
usul dalam pertengahan 1980-an. Gelombang ketiga feminisme juga
mengandung perdebatan internal antara perbedaan kaum feminis
seperti Psikolog Carol Gilligan (yang percaya bahwa ada perbedaan
penting antara jenis kelamin) dan mereka yang percaya bahwa tidak
ada perbedaan yang melekat antara jenis kelamin dan berpendapat
bahwa peran gender dibentuk oleh kondisi sosial.
3. Aliran-aliran Feminisme
Orang yang menganut paham feminisme ini disebut dengan feminis.
Feminisme memiliki beberapa aliran yang menjadi ciri khas dari pengikut
gerakan-gerakannya. Berbagai varian alirannya muncul karena kedinamisan
dari feminisme itu sendiri, ketanggapan dalam menyesuaikan diri dengan
kondisi dan status perempuan setempat. Dalam buku berjudul Feminist
Thought, Rosmarie Putnam Tong menjabarkan aliran-aliran tersebut, yaitu:
a. Feminisme Liberal
Akar teori ini bertumpu pada kebebasan dan kesetaraan
rasionalitas. Perempuan adalah makhluk rasional, kemampuannya
sama dengan laki-laki. Sehingga harus diberi hak yang sama juga
dengan lai-laki. Oleh karena itu, pada abad 18 sering muncuk tuntutan
agar perempuan mendapatkan pendidikan yang sama, di abad 19
banyak upaya memperjuangkan kesempatan hak sipil dan ekonomi
24
bagi perempuan, dan di abad 20 organisasi-organisasi perempuan
mulai dibentuk untuk menentang diskriminasi seksual di bidang
politik, sosial, ekonomi maupun personal.
b. Feminisme Radikal
Aliran ini bertumpu pada pandangan bahwa penindasan terhadap
perempuan terjadi akibat sistem patriarki. Tubuh perempuan
merupakan objek utama penindasan oleh kekuasaan laki-laki. Oleh
karena itu, feminis radikal mempermasalahkan persoalan tubuh serta
hak-hak reproduksi, seksualitas (termasuk lesbianism), seksisme,
relasi kuasa perempuan dan laki-laki dan dikotomi privat-publik. “The
personal is political” menjadi gagasan anyar yang mampu
menjangkau permasalahan perempuan sampai ranah privat, masalah
yang dianggap paling tabu untuk diangkat ke permukaan.
c. Feminisme Marxis
Aliran ini memandang masalah perempuan dalam kerangka
kritik kapitalisme. Asumsinya sumber penindasan perempuan berasal
dari eksploitasi kelas dan cara produksinya. Teori Friedrich Engels
dikembangkan menjadi landasan aliran ini – status perempuan jatuh
karena adanya konsep kekayaan pribadi (private property). Kegiatan
produksi yang semula bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sendiri
berubah menjadi keperluan pertukaran (exchange). Laki-laki
mengontrol produksi untuk exchange dan sebagai konsekuensinya
mereka mendominasi hubungan sosial. Sedangkan perempuan di
reduksi menjadi bagian dari property. Sistem produksi yang
25
berorientasi pada keuntungan mengakibatkan terbentuknyya kelas
dalam masyarakat borjuis dan proletar. Jika kapitalisme tumbang
maka struktur masyarakat dapat diperbaiki dan penindasan terhadap
perempuan dihapus.
d. Feminism Sosialis
Feminisme sosialis muncul sebagai kritik terhadap feminism
marxis. Aliran ini mengatakan bahwa patriarki sudah muncul sebelum
kapitalisme dan tetap tidak akan berubah jika kapitalisme runtuh.
Kritik kapitalisme harus disertai dengan kritik dominasi atas
perempuan. Feminisme sosialis menggunakan analisis kelas dan
gender untuk memahami penindasan perempuan. Ia sepaham dengan
feminisme marxis bahwa kapitalisme merupakan sumber penindasan
perempuan. Akan tetapi, aliran ini juga setuju dengan feminism
radikal yang menganggap patriarki merupakan sumber penindasan itu.
Kapitalisme dan patriarki adalah dua kekuatan yang saling
mendukung. Seperti dicontohkan oleh Nancy Fraser di Amerika
Serikat, keluarga inti dikepalai oleh laki-laki dan ekonomi resmi
dikepalai oleh negara karena peran warga egara dan pekerja adalah
peran maskulin, sedangkan peran sebagai konsumen dan pengasuh
anak adalah peran feminin.
e. Feminisme Psikoanalisis dan Gender
Feminisme psikoanalisis dan gender percaya bahwa penjelasan
fundamental atas cara bertindak perempuan berakar dalam psikologi
perempuan, terutama dalam cara berpikir perempuan. Berdasarkan
26
konsep Sigmund Freud, seperti tahapan oedipal dan kompleks
Oedipus, mereka mengklaim bahwa ketidaksetaraan gender berakar
dari rangkaian pengalaman pada masa kanak-kanak yang bukan saja
mengakibatkan cara laki-laki memandang dirinya sebagai maskulin,
dan perempuan memandang dirinya sebagai feminin, melainkan juga
cara masyarakat memandang bahwa maskulinitas adalah lebih baik
dari feminitas. Tidak seperti feminism psikoanalisis, feminis gender
(terkadang diaku sebagai feminis kultural) cenderung berpendapat
bahwa mungkin memang ada perbedaan biologis dan juga perbedaan
psikologis, atau penjelasan kultural atas maskulinitas laki-laki dan
feminitas perempuan. Feminis gender menyimpulkan bahwa
perempuan harus berepegang teguh pada feminitas, dan bahwa laki-
laki harus melepaskan, paling tidak bentuk ekstrim dari
maskulinitasnya. Menurut mereka, suatu etika kepedulian (ethics of
care) feminis harus menggantikan etika keadilan (ethics of justice)
maskulin.
f. Feminisme Eksistensialis
Feminisme eksistensialisme Simone de Beauvoir menjelaskan
bahwa laki-laki dinamai “laki-laki” sang diri, sedangkan “perempuan”
sang liyan. Jika liyan adalah ancaman bagi “diri”, maka perempuan
adalah ancaman bagi laki-laki. Karena itu, jika laki-laki ingin tetap
bebas, ia harus mensubordinasi perempuan terhadap dirinya. Dalam
tiga bab awal karyanya The Second Sex, yang diberi judul The Point of
View of Historical Materialism, Beauvoir menelaah bagaimana
27
perempuan menjadi tidak hanya berbeda dan terpisah dari laki-laki
tetapi juga inferior terhadap laki-laki. Ia berspekulasi bahwa dengan
memandang dirinya sebagai subjek yang mampu mempertaruhkan
nyawanya dalam pertempuran, laki-laki memandang perempuan
sebagai objek, yang hanya mampu memberi hidup. Menurutnya,
“superioritas dihubungkan bukan pada jenis kelamin yang membawa
kehidupan melainkan kepada jenis kelamin yang membunuh”. Selain
itu, bersamaan dengan berkembangnya kebudayaan, laki-laki
mendapatkan bahwa mereka dapat menguasai perempuan dengan
menciptakan mitos tentang perempuan: irasionalitasnya,
kompleksitasnya dam mitos bahwa perempuan sulit dimengerti.
Secara ringkas, perempuan yang ideal, perempuan yang dipuja laki-
laki adalah perempuan yang percaya bahwa adalah tugas mereka
untuk mengorbankan diri agar menyelamatkan laki-laki dengan
menuruti semua keinginan laki-laki.
g. Feminisme Posmodern
Hubungan antara postmodernisme dan feminism agak „sulit‟
karena itu feminis yang mengklasifikasi dirinya sebagai feminis
postmodern seringkali menemukan kesulitan untuk menjelaskan
bagaimana mereka dapat menjadi seorang postmodern. Seperti semua
postmodernis yang berusaha untuk menghindari setiap tindakan yang
akan mengembalikan pemikiran falogosentris (phallogocentric), setiap
gagasan yang mengacu kepada kata (logos) yang style-nya „laki-laki”.
Dengan demikian, feminis postmodern memandang dengan curiga
28
setiap pemikiran feminis yang memberikan suatu penjelasan tertentu
mengenai penyebab opresi terhadap perempuan atau sepuluh langkah
tertentu yang harus diambil perempuan untuk mencapai kebebasan.
Feminis postmodern mengundang setiap perempuan yang berefleksi
dalam tulisannya untuk menjadi feminis dengan cara yang
diinginkannya. Tidak ada satu rumusan tertentu untuk menjadi
“feminis yang baik”.
h. Feminisme Multikultural dan Global
Feminisme multikultural dan global berbagi kesamaan dalam
cara pandang mereka terhadap Diri, yaitu Diri adalah terpecah.
Meskipun demikian, bagi feminis multikultural dan global
keterpecahan ini lebih bersifat budaya, rasial dan etnik daripada
seksual, psikologis dan sastrawi. Ada banyak kesamaan antara
feminisme multikultural dan global. Keduanya menentang
“esensialisme perempuan”, yaitu pandangan bahwa gagasan tentang
“perempuan” ada sebagai bentuk platonic yang seolah-olah setiap
perempuan, dengan darah dan daging, dapat sesuai dengan kategori
itu. Kedua pandangan feminisme ini juga menafikan “chauvinism
perempuan”, yaitu kecenderungan dari segelintir perempuan yang
diuntungkan karena rasa atau kelas mereka, misalnya untuk berbicara
atas nama perempuan lain. Ada beberapa perbedaan besar yang
membedakan keduanya. Feminisme multikultural didasarkan pada
pandangan bahwa bahkan dalam sebuah negara – Amerika Serikat,
misalnya- semua perempuan tidak diciptakan atau dikonstruksi secara
29
setara. Feminis global lebih jauh menekankan bahwa bergantung
kepada apakah – seorang perempuan warga negara dunia kesatu atau
dunia ketiga, Negara industri maju atau negara berkembang, Negara
yang menjajah atau dijajah akan mengalami opresi yang dialaminya
secara berbeda.
i. Ekofeminisme
Ekofeminisme adalah varian yang relatif baru dari etika
ekologis. Sebenarnya, istilah ekofeminisme muncul pertama kali pada
tahun 1974 dalam buku Francoise d‟Eaubonne yang berjudul Le
Feminisme ou la mort. Dalam karya ini ia mengungkapkan pandangan
bahwa ada hubungan langsung antara opresi terhadap alam. Ia
mengklaim bahwa pembebasan salah satu dari keduanya tidak dapat
terjadi secara terpisah dari yang lain. Kurang lebih satu dasawarsa
setelah Eubonne mempopulerkan istilah itu, Karen J. Warren
membuat spesifikasi asumsi dasar dari ekofeminisme.11
4. Feminisme menurut Helene Cixous
Sejarah panjang membuat teori feminis menjadi fenomena yang tidak
statis. Inilah salah satu alasan mengapa teori feminis terbukti sulit untuk
dimasukkan dalam klasifikasi seperti “liberal”, “marxis” atau “radikal”.12
Keragaman dan perubahan berkaitan satu sama lain. Seiring perkembangan
feminisme, teorisasi memiliki arah dan bentuk yang berbeda-beda. Masing-
11
Rosmarie Putnam Tong, Feminist Thought (California: Westview Press, 2009), h.15-
359 12
M. Maynard dalam Stevi Jackson dan Jacki Jones, dkk. Teori-Teori Feminis
Kontemporer (Jalasutra, 2009) h.3
30
masing feminis juga mengubah pandangan mereka sepanjang waktu. Hal ini
terlihat jelas dalam banyak karya feminis yang bercorak refleksif dan kritis
terhadap diri sendiri. Kaum feminis terus merefleksikan gagasan mereka
dalam mengubah pendirian mereka sebagai tanggapan atas perdebatan dan
tantangan dari feminis yang lain. Karena itu, seorang teoritisi tidak bisa
dilekatkan pada pernyataan tunggal mengenai pendirian mereka karena
pendirian ini terus menerus dikembangkan dan dimodifikasi.13
Begitu beragamnya pandangan membuat feminisme seperti
terfragmentasi dalam sekat-sekat aliran. Perbedaan yang paling jelas adalah
cara yang ditempuh dalam melakukan perlawanan terhadap sistem patriarki.
Ada aliran feminisme yang melawan sistem patriarki dengan cara masuk
dan mendobrak sistem tersebut dari dalam, ada pula yang mencoba keluar
dari sistem “bapak” tersebut dan membangun sistem tersendiri, seperti yang
dilakukan Helene Cixous.
Helene Cixous mengontraskan tulisan feminin dan maskulin. Karena
beragam alasan sosial budaya, tulisan maskulin sering dianggap lebih
bernilai dari tulisan feminin.14
Menurut Cixous, istilah laki-laki-perempuan
menunjukkan bahwa istilah kedua mengacu atau menyimpang dari istilah
yang pertama. Laki-laki adalah Diri, sedangkan perempuan adalah Liyan.
Karena itu, perempuan ada dalam dunia laki-laki dengan istilah laki-laki.
Perempuan adalah liyan bagi laki-laki atau ia tidak terpikirkan.15
Untuk
melakukan perlawanan terhadap sistem tulisan maskulin dan mencoba
menggunakan model tulisan feminin. Namun, penggunaan cara yang
13
Stevi Jackson dan Jacki Jones, dkk. Teori-Teori Feminis Kontemporer (Jalasutra, 2009) h.3 14
Rosmarie Putnam Tong, Feminist Thought (California: Westview Press, 2009), h.192 15
Rosmarie Putnam Tong, Feminist Thought (California: Westview Press, 2009), h.292
31
berbeda tersebut sesungguhnya dilakukan untuk tujuan yang sama:
melakukan pendobrakan terhadap sistem patriarki.
Dalam karyanya “The Laugh of Medusa”, Cixous berpendapat bahwa
menulis merupakan sesuatu yang harus dilakukan oleh setiap perempuan.
Dengan menulis, perempuan akan dapat mengubah dunia dan akan
mengonstruksi kembali pandangan masyarakat tentang perempuan.
Perempuan harus memasukkan dirinya ke dalam teks dan menulis untuk
dirinya sendiri juga untuk perempuan yang lain, untuk memberikan
wawasan kepada perempuan lainnya tentang tubuh mereka dan tentang
keunggulan yang mereka punya yang mereka tidak sadari. Karena ketika
seorang perempuan menulis, maka mereka akan membawa pengalaman dan
ketidaksadaran dalam dirinya ke dalam teks sehingga yang membacanya
akan dapat memahami perempuan yang sebenarnya seperti apa.
Dalam ajakannya kepada para perempuan untuk menulis, terdapat dua
tujuan yang sebenarnya ingin disampaikan dan diperjuangkan Cixous;
membebaskan perempuan dari tirani rasionalitas dan membebaskan
perempuan dari pandangan budaya terhadapnya.16
Dunia bahasa adalah dunia laki-laki. Sebab tanpa kita sadari, bahasa,
tanpa kita sadari, telah diatur oleh pola pikir rasional laki-laki. Bukan hanya
bahasa sebenarnya tetapi hampir seluruh pola pikir di dunia ini merupakan
pola pikir rasional laki-laki. Untuk memperlihatkan eksistensinya,
perempuan tentu harus menggunakan pola pikir rasional laki-laki ini.
Meskipus demikian, Cixous mengajak para perempuan untuk tidak terjebak
16
Lee A. Jacobus dan Regina Barecca, Helene Cixous: Critical Impressions (Connecticut: Gordon
and Breach Publisher, 1999), h. 2
32
pada apa yang telah diatur oleh pola pikir maskulin. Cixous mengajak
perempuan untuk menulis kisah tentang dirinya, tentang kebahagiaan,
hasrat, perasaan, tubuh dan seksualitasnya dengan gaya mereka sendiri.
Semua itu dituangkan oleh Cixous dalam kalimat “And why don’t you
write? Write! Writing is for you, you are for you; yous body is yours, take
it.”
Tulisan maskulin yang selalu dianggap lebih baik daripada tulisan
feminin akan berubah. Ketika seorang perempuan menulis tentang dirinya,
secara tidak langsung oposisi biner yang dibangun oleh logika laki-laki
selama ini (logosentrisme) yang terdapat dalam teks dan terkonstruksi dalam
masyarakat akan terhapus. Ketika seorang perempuan menulis, segala sisi
pasif dan negatif yang dilekatkan pada dirinya akan berubah. Dengan
menulis, perempuan akan menjadi subjek dari tulisannya. Predikat pasif
yang disematkan kepada perempuan akan hilang karena dengan menulis
perempuan akan melakukan hal yang yang aktif dan menjadikan dirinya
subjek, bukan objek seperti apa yang terkonstruksi dalam masyarakat.
Dan memang, dengan tulisan feminine, Cixous mencoba mematahkan
stereotip kultural, adanya dualisme oposisi, maskulin/feminin,
perempuan/laki-laki, superior/inferior, aktif/pasif, dll. Ia ingin mengubah
cara pandang masyarakat bahwa maskulinitas yang selalu dilihat dalam
kerangka positif, sementara feminitas dianggap sebagai hal yang negatif
ataupun pasif.
33
5. Feminisme Dalam Pandangan Islam
Keragaman teori feminisme yang kerap muncul sebagai bentuk
dari refleksi dan pandangan kritis dari para feminis tidak bisa terelakkan
dari semakin panjangnya sejarah feminisme. Hal ini juga bersentuhan
dengan agama sebagai bagian yang tidak terpisahkan dengan
masyarakat. Maka muncullah feminisme Islam yang berkembang di
negara-negara dengan penduduk mayoritas muslim.
Istilah Feminisme dikenal di dunia Islam kira-kira sudah sejak
awal abad ke-20, misalnya lewat pemikiran-pemikiran Aisyah
Taymuniah (penulis dan penyair Mesir), Zainab Fawwaz (eseis
Libanon), Rokeya Sakhawat Hosein dan nama-nama besar lain yang
dikenal sebagai perintis-perintis besar dalam menumbuhkan kesadaran
atas persoalan-persoalan sensisitif gender, termasuk dalam melawan
kebudayaan dan ideologi masyarakat yang memarjinalkan perempuan.17
Feminisme Islam muncul sebagai upaya membongkar sumber-
sumber permasalahan dalam ajaran Islam dan mempertanyakan
penyebab munculnya dominasi laki-laki dalam penafsiran hadis dan
Alquran.18
Praktik ketidakadilan dengan menggunakan dalil tidak
sejalan dengan teks dalam Al-Quran yang sebetulnya tidak memberi
peluang untuk memperlakukan perempuan dengan semena-mena.
Melalui perspektif feminis berbagai macam pengetahuan normatif
yang bias gender, tetapi dijadikan orientasi kehidupan beragama
17
Budhy Munawar-Rachman, “Islam dan Feminisme: Dari Sentralisme kepada
Kesetaraan” dalam Mansour Fakih dkk., Membincang Feminisme, (Surabaya: Risalah Gusti,
1995), h. 181-206 18
Shabana Fatma, Woman and Islam (New Delhi: Sumit Enterprises, 2007), h. 37
34
khususnya yang menyangkut relasi gender dibongkar atau
didekonstruksi dan dikembalikan pada semangat Islam yang lebih
menempatkan ideologi pembebasan manusia.19
Dengan semangat itu, maka muncullah berbagai gagasan dan
kajian terhadap tafsir ayat-ayat Alquran dan Hadits yang dilakukan para
intelektual muslim, yang kemudian dikenal dengan sebutan feminis
muslim.20
Munculnya gagasan dan kajian tersebut sesuai dengan
semangat teologi feminisme Islam yang menjamin keberpihakan Islam
terhadap integritas dan otoritas kemanusiaan perempuan yang terdistorsi
oleh narasi-narasi besar wacana keislaman klasik yang saat ini masih
mendominasi proses sosialisai dan pembelajaran keislaman
kontemporer. 21
Haideh Moghissi mengemukakan bahwa sesungguhnya hukum-
hukum yang kental budaya patriarkis adalah bentuk penindasan dan
perendahan kesucian perempuan yang memunculkan persepsi sosial
yang buruk mengenai harga diri dan keyakinan perempuan yang
menyebabkan mereka menjalani ketakutan yang berkepanjangan.
Sementara ketakutan dapat menjadi alat yang efektif untuk lebih
19
Siti Ruhaini Dzuhayatin, Rachman, dkk, Rekonstruksi Metodologis Wacana
Kesetaraan Gender dalam Islam, (Yogyakarta: Pusat Studi Wanita IAIN Sunan Kalijaga, 2002), h.
22 20
Budhy Munawar Rachman, “Penafsiran Islam Liberal atas Isu-isu Gender dan
Feminisme” dalam Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender dalam Islam,
(Yogyakarta: Pusat Studi Wanita IAIN Sunan Kalijaga, 2002), h. 34 21
Siti Ruhaini Dzuhayatin, Rachman, dkk, Rekonstruksi Metodologis Wacana
Kesetaraan Gender dalam Islam, (Yogyakarta: Pusat Studi Wanita IAIN Sunan Kalijaga, 2002), h.
22
35
memperkuat dominasi laki-laki dan membuat perempuan terpinggirkan
dan tak berdaya.22
Salah satu persoalan yang mendapatkan prioritas dalam feminisme
Islam adalah soal “patriarki” yang oleh para feminis muslim sering
dianggap sebagai asal-usul dari seluruh kecenderungan “misoginis”
yang menjadi dasar penulisan buku-buku teks keagamaan yang bias
gender (cenderung pada kepentingan laki-laki). Kenyataan bahwa
jarang sekali buku-buku dalam hal relasi gender yang ditulis oleh kaum
perempuan sendiri berakibat bukan saja pada tidak tersentuhnya kaum
perempuan, namun juga memunculkan dominasi kepentingan laki-laki
itu sendiri. Akibat berikutnya, terbentuklah pemikiran-pemikiran atau
masyarakat patriarki yang menomorduakan kemakhlukan perempuan.
Menurut feminis muslim, perjuangan perempuan tidak hanya
mencari ruang di arena publik, tetapi juga menyadarkan perempuan
bahwa kerja domestik adalah sesuatu yang patut dihargai, harus diberi
perhatian dan perlindungan. Namun, pekerjaan menjaga rumah tangga
bukan merupakan kewajiban perempuan saja. Laki-laki juga harus
disadarkan akan tanggungjawab dalam rumah tangga.
Salah satu upaya Al-Quran dalam menghilangkan ketimpangan
peran antara laki-laki dan perempuan adalah dengan mengubah struktur
masyarakat qabalah (patriarki patemalistik) menjadi masyarakat ummah
(bilateral-demokratis). Masyarakat qabalah menekankan bahwa
pembagian karir hanya bergulir di kalangan laki-laki, sedangkan
22
Haideh Moghissi, Feminisme dan Fundamentalisme Islam, (Yogyakarta: LKiS. 2005),
h.152
36
masyarakat ummah yang menjadi ukuran dari pembagian karir adalah
prestasi dan kualitas tanpa membedakan jenis kelamin atau suku bangsa.23
Sebagaimana feminisme pada umumnya, feminisme dalam Islam
tidaklah muncul dari satu pemikiran teoritik dan gerakan tunggal yang
berlaku bagi seluruh perempuan di negara Islam. Secara umum feminisme
dalam Islam menjadi gerakan atau alat analisis yang selalu bersifat historis
dan kontekstual seiring dengan kesadaran yang terus berkembang dalam
menjawab permasalahan-permasalahan yang dihadapi perempuan terkait
ketidakadilan dan ketidaksetaraan dalam agama.
Feminisme dalam Islam berupaya untuk memperjuangkan hak-hak
kesetaraan perempuan dengan laki-laki, yang terabaikan di kalangan
tradisional konservatif, yang menganggap perempuan sebagai subordinat
laki-laki. Hal tersebut dikuatkan oleh pernyataan Jalaluddin Rakhmat yang
merespon pernyataan Jary bersaudara yang menyebutkan bahwa saah satu
pengertian feminisme dengan teori atau praktik sosio politik yang
bertujuan untuk untuk membebaskan perempuan dari supremasi dan
eksploitasi kaum laki-laki.24
Berdasar pada pernyataan definisi feminisme oleh Jary bersaudara,
Jalaluddin Rakhmat memaparkan bahwa Islam mendukung feminisme
bukanlah sesuatu yang berlebihan, karena Islam memang menentang
ketidakadilan terhadap siapapun, termasuk ketidakadilan terhadap
perempuan. Hal ini juga diperkuat dalam bukunya yang berjudul Catatan
23
Nasarudin Umar, Bias Gender dalam Penafsiran kitab suci, (Jakarta: PT. Fikahati
Aneska, 2000), h.42 24
David Jary dan Julia Jary, Collins Dictionary of Sociology, (Glasgow: Harper Collins
Publisher, 1991), h.223-224
37
Kang Jalal: Visi Media, Politik, Pendidikan,25
Jalaluddin Rakhmat yang
telah meninjau berbagai gerakan feminisme dan menyimpulkan bahwa:
“Walhasil, Islam sangat memuliakan perempuan. Orang Islam harus
berjuang memuliakan mereka. Bila keadaan perempuan sekarang ini
belum mulia, maka kaum muslim wajib mengubah masyarakat sehingga
posisi mereka menjadi mulia. Jadi sampai disini orang Islam boleh
dikatakan feminis.”
B. Analisis Wacana Kritis
Analisis Wacana Kritis adalah metode alternatif terhadap kebuntuan-
kebuntuan analisis teks media, yang selama ini lebih didominasi oleh
analisis isi dengan paradigma positivis dan konstruktivis. Lewat analisis
wacana kritis, kita akan akan tahu bukan hanya tentang bagaimana isi teks
berita, tapi juga tentang mengapa pesan itu dihadirkan. Bahkan kita bisa
lebih jauh membongkar penyalahgunaan kekuasaan, dominasi, ideologi dan
ketidakadilan yang dijalankan dan diproduksi secara samar melalui teks-teks
berita.
Dalam analisis wacana kritis, wacana tidak dipahami sebagai studi
bahasa semata. Walau pada akhirnya, analisis wacana memang
menggunakan bahasa dalam teks untuk dianalisis, tetapi bahasa yang
dianalisis dalam konteks ini berbeda dengan studi bahasa dalam pengertian
linguistik tradisional. Bahasa yang dianalisis bukan dengan menggambarkan
aspek kebahasaan saja, tapi juga menghubungkannya dengan konteks.
Konteks, yang berarti bahwa bahasa itu digunakan untuk tujuan dan praktik
tertentu.
25
Jalaluddin Rakhmat, Catatan Kang Jalal: Visi Media, Politik, Pendidikan (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 1997), h.42
38
Teori wacana menjelaskan mengenai sebuah peristiwa yang terjadi
seperti terbentuknya sebuah kalimat atau pernyataan. Sebuah kalimat bisa
terungkap bukan hanya karena ada orang yang membentuknya dengan
motivasi atau kepentingan subjektif tertentu, namun kalimat tersebut hanya
bisa dibentuk dan akan bermakna pada sejumlah aturan gramatika diluar
keinginan si pembuat kalimat. Dengan kata lain, kalimat tersebut tidak dapat
dibentuk dan dimanipulasi semaunya oleh orang yang bersangkutan.26
Setelah memahami definisi wacana, peneliti akan memaparkan
mengenai analisis wacana. Analisis wacana mengasumsikan suatu
pemahaman dan kemampuan untuk mengidentifikasi wacana-wacana.
Konsep analisis wacana pada awalnya dikembangkan oleh Louis Althusser
pada tahun 1970-an. Ia mengembangkan analisis wacana berdasarkan
kumpulan makna mengenai topik atau subjek tertentu. Menurutnya, makna
dihasilkan melalui cara-cara tertentu, dan di dalamnya menggunakan bahasa
yang terkait dengan subjek/topik.
Analisis wacana digunakan untuk menggambarkan sebuah struktur
yang lebih luas dari sebuah kalimat dengan menggunakan persamaan dari
struktur kalimat seperti subjek, predikat, objek, kata kerja, kata benda dan
pelengkap. Penggunaan istilah wacana semacam inilah yang telah
mendapatkan pengakuan luas dalam ilmu bahasa.27
Berdasarkan uraian diatas, dapat dikatakan bahwa analisis wacana
adalah kajian mengenai sebuah bahasa yang digunakan secara alamiah, baik
26
Alex Sobur, Analisis Teks Media: Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, analisis
Semiotik, Analisis Framming, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2001), cet. ke-1, h. 13 27
Alex Sobur, Analisis Teks Media: Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, Analisis
Semiotik, Analisis Framming, cet. ke-1, h. 13
39
dalam bentuk lisan maupun tulisan. Penggunaan bahasa secara ilmiah yang
dimaksud adalah penggunaan bahasa seperti dalam komunikasi sehari-hari.
Hal tersebut bertujuan untuk menghindari subyektivitas dan bias dari
peneliti.
1. Analisis Wacana Sara Mills
Dalam pandangan Mills (1994), analisis wacana merupakan sebuah
reaksi terhadap bentuk linguistik tradisional yang bersifat formal. Fokus
kajian mengenai linguistik tradisional adalah pada pemilihan struktur
kalimat yang tidak memperhatikan analisa bahasa dalam penggunaannya.
Sedangkan dalam analisis wacana, hal-hal yang berkaitan dengan struktur
kalimat dan tata bahasa justru lebih diperhatikan.28
Mengacu pada pendapat Foucault, pengertian wacana dibagi menjadi
beberapa level atau tingkatan, yaitu wacana dilihat dari level konseptual
teoritis, konteks penggunaan dan metode penjelasan. Pada konseptual
teoritis, wacana diartikan sebagai domain umum dari semua pernyataan.
Artinya bahwa semua teks mempunyai makna dan mempunyai efek dalam
dunia nyata. Sementara dalam konteks penggunaannya, wacana berarti
sekumpulan pernyataan yang dapat dikelompokkan ke dalam kategori
konseptual tertentu guna mengidentifikasi struktur tertentu dalam wacana,
seperti imperalisme dan feminisme. Sedangkan pengertian wacana jika
dilihat dari metode penjelasannya adalah wacana merupakan suatu praktik
yang diatur untuk menjelaskan sejumlah pernyatan.29
28 Alex Sobur, Analisis Teks Media: Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, analisis
Semiotik, cet. ke-1, h. 13 29
Alex Sobur, Analisis Teks Media: Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, analisis
Semiotik, Analisis Framming, cet. ke-1, h. 11
40
Seperti yang diketahui bahwa Sara Mills telah banyak menulis
mengenai teori wacana. Akan tetapi, titik perhatian utamanya adalah pada
wacana mengenai feminis. Pendekatan perspektif feminis Sara Mills lebih
memusatkan perhatiannya pada wacana tentang perempuan. Bagaimana
perempuan ditampilkan dalam teks, novel, gambar, foto ataupun berita.
Pendekatan wacana ini sering disebut sebagai perspektif Sara Mills. Titik
perhatian dari perspektif wacana feminis adalah menunjukkan bagaimana
teks bisa dalam menampilkan perempuan. Perempuan cenderung
ditampilkan dalam teks sebagai pihak yang salah, marjinal dibandingkan
dengan pihak laki-laki. 30
Gagasan Sara Mills agak berbeda dengan model critical linguistics.
Jika critical linguistics memusatkan perhatian pada struktur kebahasaan dan
bagaimana pengaruhnya dalam pemaknaan khalayak, maka Sara Mills lebih
melihat pada bagaimana posisi-posisi aktor ditampilkan dalam teks. Posisi
ini dalam arti siapa yang menjadi subjek dalam pencitraan dan siapa yang
dijadikan objek pencitraan. Selain itu, Sara Mills juga memusatkan
perhatian pada bagaimana dan penulis ditampilkan dalam teks. Bagaimana
pembaca mengidentifikasi dan menempatkan dirinya dalam penceritaan.31
Sehubungan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian
terhadap tayangan televisi, maka dari itu yang akan dilihat adalah
bagaimana posisi aktor ditampilkan dalam sebuah adegan. Dalam arti siapa
yang menjadi subjek dan objek pencitraan. Dengan demikian akan
30
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, (Yogyakarta: LkiS
Yogyakarta, 2001), h. 199. 31
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h. 199
41
didapatkan bagaimana struktur dari adegan yang ditampilkan dan
bagaimana makna diberlakukan dalam adegan secara keseluruhan.
Sementara untuk posisi pembaca dalam penelitian ini diasumsikan sebagai
penonton.
Ada dua konsep inti dalam analisis wacana Sara Mills, yaitu posisi
subjek-objek dan posisi penulis dan pembaca. Konsep pertama digunakan
adalah untuk melihat posisi subjek yang memberikan penafsiran atas sebuah
peristiwa terhadap orang lain yang menjadi objek yang ditafsirkan. Posisi
tersebut yang nantinya akan membentuk sebuah teks atau gambaran dalam
masyarakat. Sedangkan konsep kedua tidak hanya meninjau dari sisi penulis
saja, namun mencoba menggali wacana yang muncul dari sisi pembaca.
Sara Mills menilai pembaca memiliki pengaruh ketika tulisan itu
dibuat oleh penulis. 32
Dalam konsep analisis wacana tidak hanya melihat
dari sisi produksi semata, tetapi lebih melihat kedalam bagaimana teks
diterima oleh pembaca. Namun dalam penelitian ini yang dimaksud teks
adalah adegan dan prolog dalam tayangan, dan pembaca adalah penonton.
2. Kerangka Analisis Wacana Sara Mills
a. Posisi Subjek-Objek
Bagaimana peristiwa dilihat dan dari kacamata siapa peristiwa itu
dilihat. Siapa yang diposisikan sebagai pencerita (subjek) dan siapa yang
menjadi objek yang diceritakan. Apakah masing-masing aktor dan
32 Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, hlm. 203.
42
kelompok sosial mempunyai kesempatan untuk menampilkan dirinya
sendiri, gagasannya atau kehadirannya. Gagasannya ditampilkan oleh
kelompok atau orang lain.
b. Posisi Pembaca
Bagaimana posisi pembaca ditampilkan penulis dalam teks.
Bagaimana pembaca memposisikan dirinya dalam teks yang ditampilkan.
Kepada kelompok manakah pembaca mengidentifikasi dirinya.
Salah satu perhatian Sara Mills terhadap strategi wacana adalah
bagaimana pembaca ditampilkan dalam teks. Strategi tersebut berkaitan
dengan pertanyaan bagaimanakah pembaca mengidentifikasi dan
menempatkan dirinya dalam cerita. Posisi semacam itu akan menempatkan
pembaca pada salah satu posisi dan memengaruhi bagaimana teks itu akan
dipahami dan bagaimana pula aktor sosial ini ditempatkan.33
Dalam hal ini
teks diartikan sebagai sebuah hasil negosiasi antara penulis dan pembaca.
Ringkasnya, yang ingin dianalisis pada hal tersebut adalah khalayak seperti
apa yang diimajinasikan oleh penulis untuk ditulis.34
Pemosisian seperti yang dijelaskan diatas pada dasarnya membuat
salah satu kelompok ditinggikan dan kelompok lain dimarjinalkan atau
ditampilkan secara buruk. Menurut Sara Mills, mereka yang sering
termarjinalkan salah satunya adalah perempuan. Dalam berita maupun
tayangan televisi banyak terlihat hal-hal yang menggambarkan perempuan
tidak sebagaimana mestinya. Mereka ditampilkan dalam teks sebagai objek
33
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h. 203. 34
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h. 211.
43
dan gambaran mereka ditampilkan oleh pihak lain. Mereka tidak bersuara,
tetapi ditampilkan oleh kelompok lain lengkap dengan bias prasangkanya.35
Pada posisi pembaca juga, Mills memusatkan perhatiannya pada
gender. Dalam banyak kasus, laki-laki dan perempuan mempunyai persepsi
yang berbeda ketika mereka membaca sebuah teks atau menonton tayangan.
Mereka juga berbeda dalam menempatkan posisi dirinya dalam teks dan
tayangan tersebut.
Berkaitan dengan hal tersebut, Mills membagi proses pembacaan
kedalam dua hal, yaitu pembacaan dominan (dominant reading) atas suatu
teks dan penafsiran teks oleh pembaca. Dalam pembacaan dominan
terhadap suatu teks, yang ingin dilihat adalah apakah teks tersebut
cenderung ditujukan untuk pembaca laki-laki atau perempuan. Sedangkan
untuk menafsirkan sebuah teks, baik laki-laki maupun perempuan bebas
menafsirkan apa yang ditampilkan dalam teks tersebut.
C. Novel
1. Pengertian Novel
Novel adalah karangan prosa yang panjang mengandung rangkaian
cerita seseorang dengan orang di sekelilingnya dengan menonjolkan watak
dan sifat setiap pelaku.36
Novel biasanya lebih panjang dan lebih kompleks
daripada cerpen, umumnya novel bercerita tentang tokoh-tokoh dalam
kehidupan sehari-hari. Secara istilah novel banyak didefinisikan oleh para
ahli.
35
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h. 215. 36
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Edisi ke-3 (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), h.788.
44
Menurut Abdullah Ambary, novel adalah cerita yang menceritakan
suatu kejadian luar biasa dari kehidupan pelakunya yang menyebabkan
perubahan sikap hidup atau menentukan nasibnya.37
Sedangkan menurut
P.Suparman, novel adalah kisah realita dari perjalanan hidup
seseorang.38
Novel juga merupakan salah satu karya sastra yang berbentuk
prosa dimana karya seni yang dikarang menurut standar kesusastraan.
Kesusastraan yang dimaksud adalah penggunaan kata yang indah dan gaya
bahasa serta gaya cerita yang menarik.39
Lalu menurut Ismail Kusmayadi,
novel adalah karya sastra yang berbentuk prosa narasi, bersifat imajinatif,
ceritanya lebih panjang dari cerita pendek yang merupakan peniruan dari
kehidupan manusia dan melibatkan banyak tokoh.40
Dengan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa novel merupakan media
menuangkan pikiran, perasaan dan gagasan penulis dalam karangan prosa
yang menggambarkan kehidupan manusia yang menyebabkan perubahan
sikap pelakunya, alur cerita dalam novel yang biasanya mengisahkan
kehidupan seorang tokoh, yaitu sesuatu yang luar biasa terjadi dalam
hidupnya yang menimbulkan konflik yang menjurus kepada perubahan
nasib si tokoh. Biasanya novel ditulis berdasarkan kehidupan pribadi atau
kehidupan di lingkungan penulis yang merupakan pengalaman si pengarang
dan secara tidak langsung memberikan sebuah pesan.
37
Abdullah Ambary, Intisari Sastra Indonesia (Bandung: Djatnika, 1983), h. 61. 38
P. Suparman Natawijaya, Bimbingan Untuk Cakap Menulis, cet. Ke-2 (Jakarta: Gunung
Mulia, 1979), h.37. 39
Zainudin, Materi Pokok Bahasan dan Sastra Indonesia, cet. Ke-1 (Jakarta: Rineke
Cipta, 1992), h.99. 40
Ismail Kusmayadi, Think Smart Bahasa Indonesia, (Bandung: Media Grafindo
Pratama, 2006), h.45
45
Novel memiliki alur cerita yang biasanya dibedakan melalui chapter
atau bagian-bagian cerita. Setiap chapter merupakan perpindahan dari suatu
cerita ke cerita berikutnya. Novel memiliki bahasa yang mengandung seni.
Kata-kata didalamnya dirangkai sedemikian rupa untuk membentuk
imajinasi pembaca agar seolah-olah dapat masuk ke dalam cerita. Cerita
yang ada di dalam novel dapat berupa fiksi atau kisah dari pengalaman
hidup penulisnya.
2. Unsur Intrinsik dan Ekstrinsik Novel
Menurut P. Suparman, novel memiliki unsur-unsur pembangun yang
menyebabkan karya sastra tersebut menjadi sebuah karya yang baik dan
mempunyai kekuatan dalam cerita, yaitu unsur intrinsik dan unsur
ekstrinsik.41
Unsur intrinsik novel adalah semua komponen cerita yang terdapat
dalam novel berupa plot, tema, tokoh dan penokohan. Unsur ini bisa
dijumpai ketika seseorang membaca sebuah novel. Semua unsur ini tidak
bisa dipisahkan satu dengan lainnya. Berikut adalah penjelasan masing-
masing unsur:
a. Plot
Plot merupakan urutan peristiwa yang sambung-menyambung dalam
sebuah cerita berdasarkan sebab akibat. Dengan peristiwa yang sambung-
menyambung tersebut terjadilah sebuah cerita dimana pada awal dan akhir
cerita terdapat alur. Alur inilah yang memaparkan bagaimana sebuah cerita
41
M. Atar Semi, Anatomi Sastra, Cet. Ke-1 (Padang: Angkasa Raya, 1988), h.35.
46
tersebut berjalan. Plot sering dikupas menjadi lima elemen penting,
masing-masing berupa pengenalan, timbulnya konflik, konflik memuncak,
klimaks dan pemecahan masalah.42
Plot merupakan unsur intrinsik yang sangat penting. Melalui plot,
pembaca akan lebih mudah untuk mendapatkan kejelasan tentang
keterkaitan cerita, sehingga pembaca novel akan memahami peristiwa-
peristiwa berkaitan yang ada di dalam cerita. Semakin sederhana plot,
semakin mudah sebuah cerita dimengerti, pun sebaliknya.
Plot berdasarkan waktunya dibedakan menjadi dua kategori yaitu plot
progresif dan plot regresif. Novel dikatakan memiliki plot progresif jika
cerita yang dikisahkan bersifat kronologis. Kronologis yang dimaksud
adalah jika rangkaian cerita dikemas secara berurutan dimulai dari tahap
awal, tahap tengah dan tahap akhir. Tahap awal terdiri dari penyituasian,
pengenalan dan pemunculan konflik. Tahap tengah cerita terdiri dari
konflik yang meningkat dan menemui titik klimaks. Sedangkan tahap akhir
berupa penyelesaian.43
Kemudian, novel dikatakan memiliki plot regresif jika memiliki alur
cerita flash back, yakni peristiwa yang diceritakan tidak bersifat
kronologis. Cerita tidak dimulai dari tahap awal, melainkan dari tahap
tengah atau bahkan tahap akhir, baru kemudian tahap awal cerita
dikisahkan kembali. Namun, tidak ada novel yang secara mutlak berplot
42
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gajah Mada University
Press, 2013), cet.ke-10, h.120 43
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gajah Mada University),
h.123
47
lurus-kronologis atau sebaliknya berplot flashback. Inilah yang membuat
Burhan Nurgiyantoro menambahkan satu kategori plot lagi, yaitu
progresif-regresif atau dinamakan dengan plot campuran.44
b. Tema
Tema dalam sebuah karya sastra, atau dalam hal ini novel, merupakan
dasar dari cerita yang akan dikembangkan, atau dapat dikatakan sebagai
gambaran umum dari cerita. Melalui tema, gagasan-gagasan penulis dapat
berkembang dan dituangkan kedalam cerita-ceritanya. Makna umum cerita
dalam karya sastra dapat diketahui melaui tema. Tema merupakan gagasan
dasar yang menopang sebuah karya sastra dapat diketahui melalui tema.
Tema merupakan gagasan dasar yang menopang sebuah karya sastra yang
terkandung di dalam teks sebagai struktur semantic dan yang menyangkut
persamaan-persamaan atau perbedaan-perbedaan. Pemahaman sebuah
tema dapat disimpulkan melalui rangkaian cerita secara keseluruhan.45
c. Tokoh dan Penokohan
Istilah tokoh merujuk pada orang atau pelaku cerita. Setiap tokoh pasti
memiliki watak atau karakter yang menunjukkan sifat dan sikap pribadi
tokoh tersebut. Menurut Abrams, sebagaimana dikutip oleh Burhan
Nurgiyantoro, tokoh cerita (character) adalah orang yang ada di dalam
suatu karya naratif atau drama, yang dipandang memiliki kualitas moral
atau kecenderungan tertentu oleh para pembaca, sesuai apa yang
44
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, h.214-215 45
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, h.213
48
diekspresikan dalam ucapan dan tindakan tokoh tersebut.46
Tokoh
dibedakan menjadi lima jenis, yaitu:
a) Tokoh utama (central character), yaitu tokoh yang paling
memegang peran dalam sebuah novel. Tokoh utama merupakan
tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku
kejadian maupun yang dikenai kejadian, termasuk konflik sehingga
tokoh tersebut memengaruhi perkembangan plot di cerita tersebut.
b) Tokoh protagonist. Alterbenhand dan Lewis, sebagaimana yang
dikutip oleh Burhan Nurgiyantoro, mengartikan tokoh protagonist
sebagai tokoh yang dikagumi, tokoh yang menerapkan norma-
norma kebaikan dan mempunyai nilai-nilai yang ideal bagi
pembaca.
c) Tokoh antagonis, yaitu tokoh atau pelaku yang menentang tokoh
protagonist sehingga terjadi konflik dalam cerita.
d) Tokoh sederhana, yaitu tokoh yang memiliki kualitas pribadi atau
watak tertentu saja. Sifatnya tidak memberikan efek yang begitu
mengejutkan untuk pembaca.
e) Tokoh kompleks, yaitu tokoh yang dapat memiliki watak tertentu,
bermacam-macam bahkan tidak terduga. Tokoh ini lebih sulit
dipahami dan terasa kurang familier pada pembaca.47
d. Setting atau Latar
Setting atau latar menurut M.H. Abrams adalah sebagaimana yang
dikutip oleh Burhan Nurgiyantoro, yaitu mengartikan pada pengertian
46
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, h.247 47
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gajah Mada University
Press, 2013) h.267
49
tempat, hubungan waktu dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-
peristiwa yang diceritakan. Latar terbagi menjadi tiga, yaitu: latar tempat,
latar waktu dan latar sosial. Latar tempat merupakan dimana terjadinya
peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Kemudian
latar waktu, berhubungan dengan masalah kapan terjadinya peristiwa-
peristiwa yang diceritakan. Sedangkan latar sosial berhubungan dengan
perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan
dalam karya fiksi.
Sedangkan unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada diluar
karya sastra, tetapi secara langsung memengaruhi isi cerita. Menurut
Welleck dan Werren, sebagaimana dikutip oleh Burhan Nurgiyantoro,
unsur-unsur tersebut antara lain keadaan dari pengarang cerita yang
memiliki sikap keyakinan dan pandangan hidup yang kesemuanya akan
memengaruhi karya yang ditulisnya.48
48
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gajah Mada University
Press, 2013) h.300
50
BAB III
GAMBARAN UMUM
A. Gambaran Umum Novel Maryam
Novel ini berkisah tentang mereka yang terusir karena iman di negeri yang
penuh keindahan. Pengusiran yang disertai diskriminasi sebelumnya. Mereka
yang terusir diwakili oleh Maryam dan keluarganya yang mengimani Ahmadiyah.
Ahmadiyah yang sama-sama kita tahu sebagai salah satu kelompok minoritas di
Indonesia.
Novel ini diawali dengan penggambaran tentang Maryam sebagai seorang
perempuan yang berasal dari sebuah desa kecil di Lombok, berhasil menempuh
pendidikan hingga jenjang sarjana ditengah kenyataan sebagian besar penduduk
dikampungnya yang laki-laki memilih untuk bekerja di usia sangat muda, dan
perempuannya dinikahkan di usia muda.
Sejak kecil Maryam sudah merasa ada yang berbeda dengan keyakinan yang
dianutnya, karena kelompoknya memiliki masjid sendiri dan pengajian sendiri.
Perasaan tentang “keeksklusifan” kelompoknya ini makin kuat saat Maryam
selalu mendapat nasihat bahwa sebisa mungkin jika umurnya sudah siap untuk
menikah, ia harus menikah dengan pria sesama kelompok Ahmadiyah.
Kemudian Maryam yang memilih untuk berkarir di Jakarta, jatuh cinta pada
pria yang bukan Ahmadi. Hubungan berlanjut hingga ke pelaminan tanpa restu
keluarga Maryam dan restu setengah hati dari keluarga Alam. Lalu, pernikahan
tanpa restu yang utuh ini harus kandas, karena Maryam selalu tersiksa dengan
51
desakan memliki keturunan dan tuduhan bahwa alasan ia belum juga memiliki
keturunan karena Maryam pernah “tersesat” di masa lalu.
Setelah bercerai, Maryam yang rindu pada keluarganya memutuskan untuk
pulang ke Lombok dan alangkah terkejutnya ia mendapati keluarganya sudah
diusir dari desanya dan tak ada satupun warga yang mengetahui keberadaannya.
Dengan sekuat tenaga Maryam mencari keluarganya, dan akhirnya ketemu di
sebuah desa yang jauh. Keluarga Maryam tinggal bersama keluarga Ahmadi yang
terusir lainnya.
Maryam diterima kembali di keluarganya. Tidak tahan melihat Maryam
bersedih sendiri, orangtua Maryam berencana menikahkan Maryam dengan
pemuda Ahmadi yang dulu sempat ingin dijodohkan dengan Maryam. Maryam
pun setuju dan terjadilah pernikahan kedua. Pernikahan berjalan lancar hingga
Maryam mengandung. Saat memasuki bulan ketujuh, keluarga Maryam
mengadakan syukuran di rumah orangtuanya. Namun tiba-tiba ada segerombolan
orang-orang yang menimpuki kediaman keluarga Ahmadi tanpa alasan yang jelas.
Kelompok Ahmadi yang sedang berkumpul di rumah Maryam pun banyak yang
terluka, lalu dibawa ke rumah sakit dan sisanya dibawa polisi untuk mengungsi.
Sampai pengungsian, semua warga sangat sedih, mereka menangis,
kebingungan apa yang membuat orang-orang diluar Ahmadi begitu membenci
mereka, padahal mereka tidak pernah mengusik kehidupan orang-orang itu.
Kehidupan di pengungsian baru mulai berjalan normal setelah setahun.
Keluarga Maryam dan suaminya adalah pihak Ahmadi yang paling tidak
terima dengan perlakuan orang-orang pada kelompok Ahmadi. Dia terus
mempertanyakan nasib kelompok Ahmadi kepada pemerintah setempat, dan terus
52
memperjuangkan nasib kelompok Ahmadi. Kesedihan Maryam makin menjadi
ketika ayahnya meninggal dan hendak dikubur di makam sebelah makam
kakeknya di kampungnya yang dulu, tapi ditolak dan warga sekitar ramai-ramai
memboikot acara pemakaman hingga Maryam mengambil langkah untuk
mengubur jenazah ayahnya di tempat lain.
Kelompok Ahmadi harus bertahan di pengungsian bertahun-tahun, tanpa
kejelasan nasib mereka dari pemerintah. Enam tahun berlalu dan tetap tak ada
yang berubah, Maryam yang terus mendesak pemerintah tak pernah mendapat
jawaban jelas, hingga Maryam memulis surat untuk Gubernur Lombok yang ada
di epilog novel ini.
Secara garis besar, novel ini tidak menceritakan ajaran Ahmadi yang
dianggap menyimpang lalu membuat mereka terusir, tapi lebih kepada bagaimana
kejadian seperti ini bisa dilakukan oleh orang yang juga beragama. Novel ini
dibuat sebagai bentuk perlawanan penulis terhadap ketidakadilan yang menimpa
kelompok minoritas, dimana hal ini awalnya dimotivasi oleh kejadian yang
menimpa sahabat penulis yang harus gagal menikah karena keyakinannya sebagai
Ahmadi, yang sekaligus penulis masih melihat adanya diskriminasi terhadap
kelompok minoritas.50
B. Profil Penulis
Okky Puspa Madasari atau yang akrab dikenal dengan nama Okky
Madasari, lahir di Magetan, Jawa Timur, pada 30 Oktober 1984. Mendapatkan
gelar Sarjana Ilmu Politik dari Jurusan Hubungan Internasional, Universitas Gajah
50
Wawancara pribadi dengan Okky Madasari di Jakarta tanggal 20 Desember 2015
53
Mada, serta gelar pascasarjana di Jurusan Sosiologi, Universitas Indonesia.
Setamat kuliah, Okky memilih berkarir sebagai wartawan dan mendalami dunia
penulisan. Entrok adalah novel pertamanya yang lahir sebagai bentuk kegelisahan
dan menipisnya toleransi dan maraknya kesewenang-wenangan. Selain menulis,
Okky juga menyuarakan kegelisahannya dengan mendirikan Yayasan Muara
Bangsa (YMB) yang bergerak di bidang pendidikan dan budaya. Kini Okky
tinggal di Tanjung Barat, Jakarta Selatan bersama suami dan puterinya.
Okky madasari merupakan novelis yang dikenal dengan karya-karya yang
menyuarakan kritik sosial. Okky meraih Khatulistiwa Literary Award 2012 untuk
novel Maryam (2012) yang bercerita tentang orang-orang yang terusir karena
keyakinannya. Maryam telah diterjemahkan dalam bahasa Inggris dengan judul
The Outcast. Novel pertama Okky, Entrok (2010), berkisah tentang dominasi
militer dan ketidakadilan pada masa orde baru. Entrok telah diterjemahkan dalam
bahasa Inggris dengan judul The Years of The Voiceless. Novel ketiganya, 86
(2011), bercerita tentang korupsi di Indonesia pada masa sekarang ini.
Selanjutnya, novel keempatnya berjudul Pasung Jiwa (2013), bercerita tentang
perjuangan manusia mendapatkan kebebasan dalam periode sebelum dan sesudah
reformasi. Edisi Inggrisnya diberi judul Bound.51
Novel kelima yang baru saja
terbit, berjudul Kerumunan Terakhir (2016), mengisahkan tentang teknologi yang
bisa menyelamatkan dan sangat bisa menjerumuskan.
Karya-karya Okky Madasari banyak mengangkat permasalahan-
permasalahan sosial mengenai ketidakadilan dan ketertindasan yang terjadi di
masyarakat. Okky merasa, melalui novel ia dapat memperjuangkan suara-suara
51
Okky Madasari, http://okkymadasari.net/about/ diakses pada tanggal 11 Oktober
2016
54
yang tertindas agar lebih efektif didengar dan dibaca. Okky percaya, sastra
merupakan salah satu medium yang paling efektif untuk menumbuhkan kesadaran
masyarakat ditengah bombardir berita dan pemberitaan yang kerap tidak berpihak
pada korban diskriminasi. Ia ingin tulisan-tulisan yang dibuatnya berisi banyak
soal kemanusiaan dan kritik sosial.52
Untuk menghasilkan sebuah karya, ia selalu melakukan riset. Menurut
Okky, riset lapangan ataupun kepustakaan akan memberikannya ide-ide menulis.
Menurutnya ide itu didapat setelah melakukan riset dari lapangan, atau bacaan,
atau wawancara, melihat atau mendengar. Ini juga yang dilakukannya sebelum
menulis Maryam. Ia melakukan riset selama 6 bulan terhadap kelompok
Ahmadiyah di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Pada novel ini Okky tetap
memperjuangkan ketidakadilan dan kebebasan serta kemanusiaan.53
Ia tak
menampik, pengalamannnya menjadi wartawan di sebuah media nasional selama
tiga tahun sangat membantunya, ia jadi merasa ringan ketika harus ke lapangan
mewawancarai narasumber, jadi layaklah kalau kisah novel-novelnya cukup
hidup.
Okky menyatakan bahwa dirinya selalu menulis berdasarkan apa-apa yang
ada disekitarnya, seperti Entrok yang dia tulis karena kedekatannya dengan
neneknya yang selalu menceritakan pengalaman hidupnya di masa Orba berulang-
ulang. Lalu novel 86, yang ditulis berdasarkan pengalamannya selama menjadi
wartawan yang seringkali meliput berita mengenai hukum, dan dia melihat ada
praktik-praktik korupsi di dalamnya. Kemudian Maryam, lahir karena
keprihatinannya terhadap diskriminasi yang dialami warga Ahmadiyah. Salah
52
Wawancara pribadi dengan Okky Madasari di Jakarta tanggal 20 Desember 2015 53
Wawancara pribadi dengan Okky Madasari di Jakarta tanggal 20 Desember 2015
55
satunya dialami oleh sahabatnya sendiri yang harus gagal menikah karena pihak
calon suami menolak dirinya sebagai Ahmadi.54
Hal ini juga diperkuat oleh
kenyataan yang kerap ia dengar atau lihat bahwa kekerasan menjadi hal yang
selalu dilakukan kepada kelompok minoritas.55
Ia selalu ingin membela apa yang
diyakini benar, dan untuknya, harusnya setiap orang punya hak untuk meyakini
apa saja tanpa ada gangguan.
54
Wawancara pribadi dengan Okky Madasari di Jakarta tanggal 20 Desember 2015 55
Wawancara pribadi dengan Okky Madasari di Jakarta tanggal 20 Desember 2015
56
BAB IV
HASIL TEMUAN DAN ANALISIS DATA
Pada bab ini peneliti akan memaparkan hasil penelitian dalam novel
Maryam dengan menggunakan analisis wacana model Sara Mills, yang
terdiri dari analisa mengenai posisi subjek-objek dan posisi pembaca.
Kemudian peneliti juga akan menguraikan gerakan perlawanan
perempuan melalui karya sastra yang ditinjau menggunakan teori
feminisme secara umum dan teori feminisme menurut Helene Cixous
secara khusus.
Novel Maryam merupakan karya ketiga dari novelis Okky
Madasari. Novel Maryam ditulis untuk menyoroti ketidakadilan yang
dialami kelompok minoritas di Indonesia. Kelompok minoritas diwakili
oleh kelompok Ahmadiyah yang harus terusir dari rumah mereka karena
anggapan sesat. Berlatar di sebuah desa kecil di Lombok, penulis novel
menulis kisah ini berdasar riset selama enam bulan.53
Atas keberaniannya
menulis tema sensitif, novel Maryam mendapat penghargaan
Khatulistiwa Literary Award (KLA) tahun 2012.
Novel yang menjadikan perempuan sebagai tokoh utama tentunya
memiliki gambaran tentang perempuan dengan kecenderungan yang
berbeda-beda. Dalam novel, perempuan bisa ditampilkan dengan citra
baik atau buruk, tergantung kemana penulis ingin mengarahkannya.
53
Wawancara pribadi dengan Okky Madasari di Jakarta tanggal 20 Desember 2015
57
Namun akan selalu ada pengaruh dari latar belakang kehidupan penulis
terhadap hasil cerita dan tampilan perempuan didalamnya.
Bagaimana perempuan ditampilkan dalam rangkaian kalimat-
kalimat merupakan titik utama dari penelitian ini. Dalam Maryam
semuanya tercermin dari pemilihan kata yang tertuang menjadi kalimat
yang kemudian disimpulkan oleh peneliti, ternyata terdapat perlawanan
perempuan atas tata nilai masyarakat, hegemoni masyarakat patriarki dan
diskriminasi agama yang berusaha disampaikan oleh penulis melalui
novel ini. Untuk membongkar bagaimana gerakan perlawanan perempuan
digambarkan dalam novel Maryam, maka peneliti menggunakan analisis
wacana Sara Mills yang mengkaji bagaimana perempuan ditampilkan
dalam teks.
A. Temuan Data
Model analisis wacana yang dikemukakan oleh Sara Mills ini
memiliki dua konsep dalam analisisnya. Konsep yang pertama yang ingin
dilihat adalah mengenai posisi-posisi aktor yang ditampilkan dalam
sebuah teks. Posisi yang dimaksud adalah posisi subjek dan objek, siapa
yang menjadi pencerita (subjek) dan siapa yang diceritakan (objek).
Kemudian posisi pembaca, bagaimana penulis memosisikan subjek-objek
dan bagaimana penulis menyampaikan ideologi atau agenda besar yang
ingin disampaikan pada pembaca. Dalam posisi ini juga dapat dilihat
kemana pembaca mengidentifikasi dirinya.
58
1. Posisi Subjek
Subjek dalam novel ini adalah Maryam, perempuan yang lahir
dalam lingkungan Ahmadiyah di Lombok. Maryam ditampilkan
sebagai perempuan yang cantik dan cerdas, seperti kalimat berikut:
“... Maryam memiliki kecantikan khas perempuan dari daerah
timur, kulit sawo matang yang bersih dan segar. Mata bulat dan
tajam, alis tebal dan bibir agak tebal kemerahan. Rambutnya yang
lurus dan hitam sejak kecil selalu dibiarkan panjang melebihi
punggung dan lebih sering dibiarkan tergerai. Di luar segala
kelebihan fisiknya, Maryam gadis yang cerdas dan ramah.” (hal.24)
Selain kecantikannya, penulis juga menggambarkan Maryam
sebagai sosok yang berhasil dalam karir, dibuktikan dalam
penggalan kalimat berikut:
“Dua puluh empat tahun usia Maryam saat itu. Baru pindah ke
Jakarta setelah tamat kuliah di Surabaya. Baru menikmati punya
penghasilan sendiri, yang jumlahnya paling besar dibanding teman-
teman kuliah seangkatan, dua juta rupiah” (h.16)
“... punya penghasilan sendiri membuat Maryam jauh lebih
percaya diri” (h.16)
Novel ini dimulai dengan kesedihan Maryam saat pulang ke
kampung halamannya: Gerupuk, sebuah desa kecil pinggir pantai di
Lombok setelah beberapa tahun pergi meninggalkan keluarganya
untuk menikah tanpa restu kemudian bercerai dengan Alam, laki-
laki pilihannya. Ia pulang untuk menemui keluarganya dan
meminta maaf atas semua yang terjadi. Namun, Maryam terkejut
saat tahu bahwa keluarganya telah diusir dari rumah, tanah dan
kampung halamannya sendiri. Kemudian, pada pertengahan cerita
Maryam menjadi sosok yang kuat, ditunjukkan dengan
perlawanannya terhadap diskriminasi yang dialami kelompok
59
Ahmadiyah, dan diakhiri dengan desakan Maryam meminta
kejelasan nasib warga Ahmadi pada pemerintah Lombok.
Temuan data pada posisi subjek terbagi menjadi tiga bagian,
yakni posisi subjek dalam perlawanan terhadap tata nilai keluarga,
hegemoni masyarakat patiarki dan diskriminasi agama.
a. Subjek dalam Perlawanan Terhadap Tata Nilai Keluarga
Novel ini dimulai dengan kesedihan Maryam saat pulang ke
kampung halamannya: Gerupuk, sebuah desa kecil pinggir pantai di
Lombok setelah beberapa tahun pergi meninggalkan keluarganya
untuk menikah tanpa restu kemudian bercerai dengan Alam, laki-
laki pilihannya. Maryam yang merasa sudah cukup dewasa untuk
menentukan pilihannya sendiri tanpa harus dibayang-bayangi
aturan-aturan baku keluarganya menjadi buat terhadap nasihat
orangtuanya. Maryam yang lantas kesal keputusannya ditentang,
nekad untuk tetap menikah dengan Alam (laki-laki bukan Ahmadi)
dan yakin akan bahagia bersamanya.
“Maryam marah. Ia sudah sangat bosan. Sudah terlalu lama
bersabar. Bertahun-tahun ia selalu berusaha menuruti apa yang
selalu dikatakan orangtuanya – berpacaran dan menikah dengan
orang dalam, orang yang sama dengan mereka … ” (h.17)
Namun sayangnya, keputusan Maryam menikah tanpa restu
membuat kehidupan pernikahannya tidak berjalan baik. Maryam
selalu menerima kekerasan psikologis dari mertuanya yang tidak
bisa menerimanya sebagai menantu karena keyakinan Maryam.
Kesedihan makin bertambah kala Maryam harus mengalami
60
perceraian, hal yang sejak awal sangat ditakutkan orangtua Maryam.
Ia sangat terpukul dengan kehidupan rumah tangganya kemudian
memutuskan untuk pulang dan minta maaf pada orangtuanya.
Setelah banyak kejadian yang menimpa Maryam dipertengahan
cerita Maryam dijodohkan untuk menikah lagi dengan laki-laki
Ahmadi pilihan ibunya dengan restu semua keluarga. Maryam yang
merasa bersalah atas pernikahan pertamanya menerima perjodohan
tersebut. Sedikit demi sedikit kebahagiaan menghampiri kehidupan
rumah tangga keduanya. Maryam hamil dan lahirlah seorang anak
perempuan yang ia beri Mandalika, nama dari Lombok, bukan nama
Arab yang biasa disematkan pada bayi-bayi di keluarganya. Maryam
merasa ini adalah langkah awal untuk menjauhkan anaknya dari
kesedihan yang kerap dialami kelompok Ahmadi.
Namun keputusannya memberi nama anak tersebut, ditentang
oleh keluarganya. Sebab dalam riwayat keluarganya, anak-anak
yang lahir selalu diberi nama Arab. Maryan dan keluarganya sempat
bersitegang, tapi Maryam tetap teguh dengan pendiriannya. Maryam
merasa bebas menamakan anaknya dengan nama apa saja.
“...‟Biarlah anak ini jauh dari agama tapi dekat dengan
kebaikan.‟” (h.241)
b. Subjek dalam Perlawanan Terhadap Hegemoni Masyarakat
Patriarki
Selain ketegasannya dalam memperjuangkan hak kelompok,
Maryam juga digambarkan sebagai perempuan dalam masyarakat
61
patriarki. Ia dibuat mampu mendobrak budaya patriarki melalui
tindakan-tindakan yang berani melawan dominasi masyarakat
patriarki yang cenderung mudah mendiskriminasi. Hal tersebut
dikisahkan dalam penggalan cerita tentang kehidupan rumah tangga
Maryam dengan Alam.
Ibu Alam tidak menyukai Maryam dan kehidupan rumah
tangganya setelah mengetahui bahwa puternya menikahi gadis
Ahmadiyah. Ibu Alam yang sinis pada Maryam selalu ikut campur
pada urusan rumah tangganya. Bahkan Ibu Alam terus mendesaknya
untuk segera memiliki anak tanpa peduli pada keadaan Maryam dan
konsep kehidupan pernikahan yang ingin mereka bangun. Maryam
menganggap ini sebagai bentuk upaya mertuanya untuk
memisahkannya dari Alam.
“usikkan-usikkan kembali datang, saat ibu Alam mulai banyak
bertanya tentang kehamilan. “sudah terlambat belum?‟ tanya-nya
setiap bertemu Maryam. Maryam hanya menggeleng sambil
tersenyum atau menjawab singkat, “belum, Bu” (h.115)
“Tapi pertanyaan-pertanyaan ibu Alam hadir seperti tuduhan.
Setiap hari ia merasa dikejar-kejar ...” (h.117)
Namun, ibu mertua Maryam tidak mau mendengar alasan
semacam itu dengan terus mendesak, bahkan menuding bahwa
keadaannya yang belum juga hamil karena dirinya adalah seorang
Ahmadi yang sesat. Maryam geram dengan ibu Alam yang selalu
mengaitkan segala hal tentang dirinya dengan keyakinannya
sebagai Ahmadi yang sesat.
62
„Apa salahnya kalau memang kita belum punya anak? ...‟
(h.124)
“Dia bilang “sesat”! Apa lagi maksudnya kalau bukan aku?!”
(h.123)
„Aku capek. Aku bosan disalahkan terus. Kenapa semua hal
gara-gara aku? Kenapa semuanya karena dulu aku Ahmadi?‟ (h.123)
Desakan demi desakan ibu Alam membuat Maryam muak dan
kesal yang akhirnya membuatnya memutuskan untuk hamil. Tapi
bukan untuk Alam apalagi ibu mertuanya. Maryam ingin hamil
untuk harga dirinya.
“… Harga diri dan egonya tertantang. Sekarang ia ingin segera
punya anak. Hanya supaya bisa memberikan bukti pada ibu Alam”
(h.117)
Namun setelah sekian lama mencoba pun, ia tak kunjung hamil.
Maryam yang lelah dengan tudingan-tudingan keluarga suaminya
yang selalu mengaitkan kesedihan dalam rumah tangganya adalah
akibat dari keyakinannya yang dicap sesat, memutuskan untuk
bercerai.
“ Maryam pun mengikuti apa kata pikirannya. Tak ada lagi yang
bisa diharapkan dari Alam. Tak ada seorang pun yang bisa
membuatnya bahagia selain dirinya sendiri. Maryam datang ke
pengadilan. Mengikuti semua aturan yang ada. Sampai kemudian ia
mendapat selembar surat kebebasan” (h.128)
c. Subjek dalam Perlawanan Terhadap Diskriminasi Agama
Sejak awal cerita novel, Maryam sudah ditampilkan sebagai
pejuang hak kelompoknya. Meski sedih dengan pengusiran yang
menimpa keluarga dan saudaranya sesama Ahmadiyah, Maryam
tetap ikhlas dan mencoba bahagia dengan segalanya, terutama
63
dengan kehidupan barunya dengan Umar. Diceritakan dalam satu
waktu, dalam perjalanan bisnis bersama suaminya, Maryam
bertemu dengan Nur, teman masa kecilnya di kampungnya dulu.
Nur yang senang dengan pertemuan itu mengajak Maryam
berkunjung ke rumahnya.
Berita kedatangan Maryam yang cepat menyebar, membuat
warga Gerupuk berbondong-bondong datang untuk mengusir
Maryam.
“Kampung ini sudah tenang sekarang. Semua rukun, semuanya
damai. Saya minta tolong, jangan lagi diganggu-ganggu” (h.207)
“Mereka yang sesat tak boleh lagi berada di kampung ini”
(h.208)
“Siapa yang tidak tahu kalian orang Ahmadiyah?” (h.208)
“Saudara-saudara, apa yang harus kita lakukan pada orang-orang
sesat yang sudah menghina nabi dan agama kita?” (h.209)
Maryam yang kesal dengan perlakuan kasar mereka pun
akhirnya meradang dan melawan cercaan mereka.
„Siapa yang sesat?‟ Nada bicara Maryam tidak lagi menyerupai
pertanyaan, tapi bentakan. (h. 208)
„Bagaimana kalian semua tahu kami mengingkari agama kami?‟
Maryam makin tak memperhatikan kesopanan. Ia sengaja menyebut
dua orang itu dengan “kalian” untuk menunjukkan kemarahan.” (h.
208)
“Maryam makin meradang. „Pak Haji, siapa yang perlu
bertobat? Saya dan keluarga saya atau orang-orang yang sudah
mengusir kami dari rumah kami sendiri?‟” (h.208)
“Maryam bangkit dari duduk. Setengah berteriak dia berkata,
„Saya masih punya hak di kampung ini. Rumah itu masih milik
kami. Saya akan lapor ke polisi. Ke pengadilan. Semua yang
mengusir kami haru mendapat hukuman!‟” (h.209)
64
.... Muka Maryam merah padam. Matanya berkaca-kaca. Sambil
keluar ia berteriak-teriak.
“Kalian semua bukan manusia!”
“Yang sesat itu kalian, bukan kami!”
“Rumah itu milik kami. Kalian semua perampok!” (h.211)
Dalam novel, Maryam juga digambarkan sebagai sosok yang
mudah marah sekaligus paling keras memperjuangkan nasib
kelompok Ahmadi yang diperlakukan semena-mena hingga harus
mengungsi di sebuah gedung bertahun-tahun. Hal ini ditunjukkan
saat Maryam berani mempertanyakan kelanjutan hidup kelompok
Ahmadi pada pemerintah Lombok.
“... Maryam tak sabar. Ia tak bisa lagi menahan diri pura-pura
mendengarkan sambil terus mengangguk-angguk dan sesekali
tersenyum. „Maaf, Pak Gub, jadi bagaimana nasib kami yang di
Transito ini? Kapan bisa kembali ke rumah kami?‟ (h.248)
“‟ Tapi itu rumah kami, Pak. Bukankah kita punya hukum?
Siapa yang menganggu dan siapa yang diganggu?‟ Maryam balik
bertanya.” (h.248-249)
“‟ Jadi hanya karena mereka banyak, lalu kami yang harus
mengalah?‟ tanya Maryam.” (h.249)
2. Posisi Objek
Dalam novel Maryam, posisi objek yang merupakan hasil definisi
subjek yang menggambarkannya dalam perspektifnya sendiri itu dapat
dilihat dari alur cerita dan potongan kalimat percakapan di dalamnya,
yakni kelompok Ahmadi dan kelompok non-Ahmadi, dengan
penggambarannya sebagai berikut
65
a. Kelompok Ahmadiyah
Maryam sebagai subjek pencerita menggambarkan keluarga dan
warga Ahmadi kerap diperlakukan tidak adil, seperti pengusiran
dan diskriminasi, diceritakan hal pertama kali yang dialami
keluarganya adalah soal Fatimah, adik Maryam selalu mendapat
nilai buruk pada kolom pelajaran agama di raport karena
keyakinannya sebagai Ahmadi, ia juga harus berhenti sekolah
beberapa saat untuk meghindari pertikaian dan keluarga Maryam
harus mengungsi di sebuah masjid selama setahun tanpa harapan
rumah mereka akan kembali.
„‟Kita semua tak terima. Tapi apa gunanya sekarang? Yang
penting bagaimana kita kedepannya bisa hidup lebih baik. Lebih
aman..” (h.170)
„Namanya juga cobaan. Bagian dari ujian iman, Maryam. Juga
bukti bahwa kita benar...‟ (h.171)
„Bukankah kita sudah biasa diuji? Banyaknya ujian
menunjukkan apa yang kita imani memang benar.” (h.222)
b. Kelompok Non-Ahmadiyah
Kelompok non-Ahmadi digambarkan sebagai masyarakat yang
mudah menghakimi, melakukan ketidakadilan dan diskriminasi pada
kelompok Ahmadi. Seperti pengusiran besar-besaran disertai
kekerasan oleh kelompok non-Ahmadi kepada komplek rumah
kelompok Ahmadi yang telah mereka beli dan mereka huni setelah
pengusiran dari kampung mereka masing-masing. Seperti penggalan
cerita yang mengisahkan saat kelompok Ahmadi sedang melakukan
syukuran empat bulan kehamilan Maryam, terdengar pengajian dari
66
masjid terdekat yang sedang berbicara tentang aliran sesat dan
Ahmadiyah disebut berkali-kali.
Orang-orang yang menghadiri syukuran kehamilan Maryam
mulai resah. Suara dari masjid itu makin merisaukan.
”Usir orang Ahmadiyah dari Gegerung. Kalau masyarakat disini
tidak mampu mengusir, saya akan mendatangkan masyarakat dari
tempat lain untuk mengusir mereka... Darah Ahmadiyah itu halal!”
(h.223)
“Usir! Usir!” teriakan mereka dibarengi dengan bunyi “brak”
dan “klontang”. Mereka melempar sesuatu ke rumah yang dilewati.
(h.224)
Batu-batu dilempar begitu saja. Ada beberapa orang (Ahmadi)
yang kena. Berteriak kesakitan. Beberapa berdarah. Semakin banyak
batu. Kali ini dengan lemparan lebih kuat. Mengenai genteng dan
jendela. Ada yang hanya memantul, ada yang bisa masuk dan
mengenai orang-orang yang ada di dalam.... teriakan kesakitan,
tangisan, serta teriakan untuk terus bertahan dan menyerang
bercampur baur. (h.229)
“Pergi! Atau kami bakar hidup-hidup sekarang!” (h.239)
Selain itu, kelompok non-Ahmadi yang juga bagian dari
masyarakat patriarki digambarkan sebagai pihak yang egois, mudah
terprovokasi dan mudah marah. Mereka muncul dengan gambaran
kasar, selalu kasar dan memandang remeh perempuan. Seperti yang
juga dialami Maryam dalam kehidupan rumah tangganya yang
selalu dicampuri ibu mertuanya yang selalu mengatur dan tidak
membiarkan Maryam mandiri mengambil keputusan bersama
suaminya. Dalam Maryam, penggambaran kelompok Ahmadi dibuat
sebaliknya. Kelompok Ahmadi ditampilkan sebagai pihak yang
sabar, tenang, selalu berserah pada Allah dan ikhlas atas segala
bentuk diskriminasi yang dialami.
67
3. Posisi Pembaca
Dalam analisis wacana kritis Sara Mills, teks dianggap sebagai
hasil negosiasi antara penulis dan pembaca. Pembaca ditempatkan
bukan hanya sebagai pihak yang menerima teks, tetapi juga pihak
yang ikut melakukan transaksi sebagaimana akan terlihat dalam
teks. Penempatan posisi pembaca ini biasanya dihubungkan dengan
bagaimana penyapaan atau penyebutan dilakukan dalam sebuah
teks. Dalam Maryam,cerita dikisahkan dengan sudut pandang
orang ketiga tahu segalanya yang menceritakan kisah hidup
Maryam. Maka, pembaca akan mengidentifikasi atau
mensejajarkan dirinya dengan Maryam yang adalah karakter utama
dalam teks.
Penggambaran karakter tokoh Maryam yang meski mendapat
banyak perlakuan diskriminatif tetap kuat dan tegar, secara tidak
sadar menempatkan pembaca pada karakter Maryam dan turut
merasakan kesedihan-kesedihan yang dialaminya. Dengan
pengisahan tokoh Maryam ini juga, pembaca diajak untuk
menyelami kesedihan-kesedihan yang ia alami. Cara pengisahan
tersebut membuat pembaca turut merasakan naik-turunnya emosi
Maryam mengahadapi segalanya.
Kesulitan Maryam hidup di negeri yang menjunjung keragaman
ini mengusik rasa perikemanusiaan, yang oleh penulis ditunjukkan
dengan menampilkan berbagai peristiwa yang menimpa kelompok
Ahmadi ini akan membuat pembaca kembali berpikir untuk tidak
68
mudah marah dan terprovokasi pada sesuatu (misalnya keyakinan
beragama) yang tidak benar-benar pembaca ketahui. Penggambaran
kesedihan Maryam dengan menampilkan perasaan bahwa dirinya
merasa sangat dibatasi untuk meyakini keyakinan yang tidak
mainstream dalam masyarakat, membuat khalayak seakan diajak
untuk lebih bersimpati dengan merasakan pengusiran dan
diskriminasi yang dialami Maryam sebagai perempuan dan
sebagai bagian dari kelompok Ahmadiyah.
Dalam Maryam, penulis mengajak pembaca untuk merasakan
pengusiran dan diskriminasi yang dirasakan oleh kelompok
Ahmadiyah. Bahkan dalam penggalan novel yang mengisahkan
kejadian di rumah Nur dengan lontaran pertanyaan Maryam sebagai
berikut
„Siapa yang sesat?‟ nada bicara Maryam tidak lagi menyerupai
pertanyaan, tapi bentakan. (h.208)
„Bagaimana kalian semua tahu kami mengingkari agama kami?‟
Maryam makin tak memperhatikan kesopanan. Ia sengaja menyebut
dua orang itu dengan “kalian” untuk menunjukkan kemarahan.” (h.
208)
“Maryam makin meradang. „Pak Haji, siapa yang perlu
bertobat? Saya dan keluarga saya atau orang-orang yang sudah
mengusir kami dari rumah kami sendiri?‟” (h.208)
Membuat pembaca merefleksikan pertanyaan-pertanyaan
tersebut kepada dirinya sendiri. Penulis mengajak pembaca untuk
turut menanyakan hal serupa kepada diri sendiri. Pertanyan-
pertanyaan keras Maryam adalah bentuk kekesalan yang ia rasakan
69
selama ini. Bahkan dirinya berani mengancam mereka untuk tidak
terus menyebut kata „haram‟ untuk keyakinannya.
Dengan alur cerita campuran dan pola bercerita semacam ini,
penulis seakan-akan mengarahkan pembaca untuk mendukung
Maryam. Ia membuat alur cerita dimana pembaca akan ikut
merasakan emosi Maryam yang sedih atas nasib kelompoknya Hal
tersebut dibuktikan dengan memunculkan tokoh Maryam yang
secara kuat menampilkan jalan cerita dalam novel. Penceritaan dan
penyuaraan hak-hak kelompok minoritas yang kuat ditunjukkan oleh
penulis melalui sosok Maryam yang menjadi subjek penceritaan
yang mendominasi dalam novel Maryam.
B. Interpretasi Penelitian Novel Maryam
Maryam merupakan novel yang menyoroti penderitaan yang dialami
kelompok minoritas, yakni kelompok Ahmadiyah. Penderitaan berupa
diskriminasi dan pengusiran. Jika selama ini kita disajikan berita-berita
pengusiran kelompok Ahmadiyah dalam perspektif kelompok mayoritas, novel
ini justru hadir sebagai penyeimbang. Novel Maryam hadir sebagai novel yang
mengisahkan tentang apa-apa yang dirasakan kelompok Ahmadiyah saat
didiskriminasi, bahkan diusir dari tanah mereka sendiri, karena kata “sesat”
yang disematkan pada kelompok mereka sudah terlanjur mengakar pada benak
sebagian masyarakat.
Kisah kejadian-kejadian yang dialami kelompok Ahmadiyah diwakili oleh
Maryam sebagai tokoh utama. Maryam digambarkan sebagai perempuan yang
70
mandiri dan dibuat mampu memperjuangkan keadilan bagi kelompoknya.
Meski kesadaran Maryam memperjuangkan keadilan bagi kelompoknya
muncul justru setelah Maryam berjarak dari keyakinannya. Novel Maryam
ditulis berdasarkan riset selama enam bulan di Lombok,54
salah satu kota
dimana kelompok Ahmadiyah terusir dan harus tinggal di sebuah tempat
pengungsian selama bertahun-tahun.
Berangkat dari hal tersebut, penulis merasa perlu untuk membentuk
kembali pandangan masyarakat soal kebebasan memeluk agama dan tidak
mudah memberi label sesat pada sebuah kelompok keyakinan minoritas.
Terlepas dari cerita tentang kelompok Ahmadiyah, gerakan perlawanan yang
dilakukan oleh perempuan dalam novel Maryam merupakan inti dari penelitian
ini. Peneliti menemukan adanya beberapa bentuk perlawanan yang ditampilkan
dalam novel yang akan dibahas dengan kacamata analisis wacana kritis Sara
Mills. Berikut bentuk perlawanan yang didapat oleh peneliti:
1. Perlawanan Terhadap Tata Nilai Keluarga
Gerakan perlawanan perempuan terlihat dari kalimat-kalimat
yang dilontarkan dan tindakan Maryam yang diceritakan dalam
novel. Dalam novel, Maryam diceritakan lahir dan besar dalam
keluarga Ahmadi yang taat. Hal ini didukung oleh penggambaran
Maryam dan keluarganya yang rutin menghadiri dan berpartisipasi
dalam setiap kegiatan kelompok Ahmadi di Lombok.
Tata nilai keluarga yang acap kali sangat kental dengan nuansa
patriarki, membuat ruang gerak perempuan di berbagai sektor sangat
54
Wawancara pribadi dengan Okky Madasari di Jakarta tanggal 20 Desember 2015
71
terbatas. Dalam novel ini, dijelaskan bahwa Maryam menolak tata
nilai keluarganya yang mengatur perempuan Ahmadi harus menikah
dengan laki-laki Ahmadi juga. Sebab Maryam jatuh cinta dengan
pria diluar Ahmadi dan yakin untuk hidup bersamanya.
Kata “sesat” yang telah disematkan untuk kelompok Ahmadiyah
membuat orangtua Maryam takut anaknya kecewa dengan
pernikahannya kelak jika menikah dengan laki-laki yang bukan
Ahmadi. Namun cinta membutakan Maryam dari nasihat
orangtuanya. Ia merasa sudah cukup dewasa untuk menentukan
pilihannya sendiri tanpa harus dibayang-bayangi aturan-aturan baku
keluarganya. Maryam yang kesal keputusannya ditentang, nekad
untuk tetap menikah dengan Alam (laki-laki bukan Ahmadi) dan
yakin akan bahagia bersamanya.
Hal ini juga sejalan dengan ajaran Islam yang menyatakan
bahwa jika dalam kebaikan, sebaiknya seseorang menuruti anjuran
dari orangtuanya. Seperti yang tercantum dalam Al- Isra ayat 23:
إااي وب ه ٲ۞وقضى زبل ألا تعبدوا إلا ىد ا ىى ىا إما إحس
أحدهما أو ملهما فل تقو ىاهما أف ىنبس ٱبيغها عىدك
ا ول تىهسهما وقو ىاهما قىلا مسما
Artinya: “Dan Rabbmu telah memerintahkan agar kamu jangan
menyembah selain-Nya dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu
bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang diantara
keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam
pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan
kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak
mereka perkataan yang mulia.” (Q.S Al-Isra: 23)
72
Ayat tersebut berbicara tentang perintah untuk berbakti kepada
orangtua yang jelas mengatakan, jika dalam hal kebaikan, sebaiknya
seseorang menuruti anjuran orangtuanya, bahkan dikatakan dalam
ayat tersebut jangan sampai seseorang mengucap kata “ah” pada
orangtua. Sebab tidak ada orangtua menginginkan hal buruk terjadi
pada anaknya.
Bersamaan dengan itu, sebagai penulis perempuan, dengan
menampilkan penolakan Maryam terhadap aturan keluarganya ini
justru akan memperburuk citra perempuan sebagai pihak yang keras
kepala dan gegabah dalam memilih keputusan, yang dibuktikan oleh
penyesalan Maryam atas pilihannya (yang tidak mendengar nasihat
orangtua) yang berujung pada perceraian.
Meski Maryam akhirnya mengakhiri perseteruan dengan
menyetujui pernikahan keduanya dengan lelaki Ahmadi pilihan
orangtuanya, tidak serta merta membuat citra Maryam membaik.
Karena persetujuan Maryam yang hambar membuat Maryam
(sebagai perempuan) hanya pasrah pada keputusan orangtuanya, dan
hal ini tidak sejalan dengan teori feminisme yang menyatakan
keputusan dalam hidup (yang kemudian akan dijalani) oleh seorang
perempuan harus berdasar pada keinginannya juga.
Kemudian, Maryam yang akhirnya hamil dalam pernikahan
keduanya, bertekad untuk tidak memberi nama anaknya dengan
nama Arab, melainkan dengan nama dari Lombok. Bagi Maryam ini
adalah langkah awal menjauhkan anaknya dari kesedihan yang
73
dialami kelompok Ahmadi, meski harus bersitegang dengan
keluarga sebelumnya
“...‟Biarlah anak ini jauh dari agama tapi dekat dengan
kebaikan.‟” (h.241)
Kalimat tersebut menunjukkan kekecewaan Maryam pada apa-
apa yang terjadi pada kelompok Ahmadi. Kekecewaan itu pula yang
dirasakan oleh penulis dan menggerakannya untuk menulis kisah
tentang Ahmadiyah.
”… kita juga tau berita-berita tentang Ahmadiyah, dimana
kekerasan menjadi hal yang selalu dilakukan. Nah, sebetulnya
disitu. Dititik itu sebenarnya, aku merasa harus menulis cerita
tentang Ahmadiyah ini …”55
2. Perlawanan Terhadap Hegemoni Masyarakat Patriarki
Budaya patriarki yang berkembang di masyarakat membuat
perempuan tanpa sadar terjebak pada konsep yang membuatnya
selalu dituntut untuk melakukan banyak hal terlepas dari
keinginannya. Dalam sebuah riwayat, Engels menjelaskan bahwa
patriarki dimulai ketika manusia mulai mengenal kepemilikan
pribadi.
Pandangan Engels berikutnya yang sejalan dengan pandangan
Cixous mengakui bahwa perempuan mulai tersingkir dengan
munculnya kepemilikan pribadi. Setelah itu, nasib perempuan
selama berabad-abad dikaitkan dengan kepemilikan pribadi.56
55
Wawancara pribadi dengan Okky Madasari di Jakarta tanggal 20 Desember 2015 56
Arif Budiman, Pembagian Kerja Secara Seksual (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
1981), h. 121-122
74
Kemudian laki-laki menganggap dirinya sebagai diri dan perempuan
sebagai liyan.
Jika budaya patriarki menempatkan perempuan sebagai liyan
yang cenderung lemah. Maka penulis novel membantahnya dengan
pemilihan perempuan sebagai tokoh utama yang ditampilkan
sebagai sosok yang berani, mandiri, berpendidikan dan berpikiran
modern. Ini sesuai dengan bagian konsep besar feminisme, yang
juga dipertegas oleh penulis sebagai berikut
“ … Buatku, Feminisme adalah tentang keadilan kemanusiaan,
tak peduli dia laki-laki atau perempuan. Karena keduanya punya hak
yang sama.”57
Melaui Maryam, sangat jelas bahwa penulis novel ingin
mengajak masyarakat (yang diwakili oleh pembaca) untuk berpikir
kembali tentang kesetaraan antara perempuan dan laki-laki.
Ditegaskan pula pada pernyatannya yang dilontarkan penulis novel
seperti ini
”... Sayangnya interpretasi yang dominan tidak membuat laki-
laki dan perempuan sama. Interpretasi mainstream (aku selalu
menggunakan kata mainstream), karena yang paling banyak diikuti
dan seringkali keliru, seringkali menyudutkan sebuah kelompok,
atau perempuan, dan ironisnya dirayakan dan perempuan juga
meng-iyakan… 58
Meski begitu, dalam penerapannya penulis novel tidak konsisten
menggambarkan sosok Maryam sebagai pelaku perlawanan dan
cerminan seorang feminis. Pada satu sisi Maryam memang
digambarkan sebagai perempuan mandiri dan mapan financial di
usia muda yang diperkuat dengan penggambaran karakter Maryam
57
Wawancara pribadi dengan Okky Madasari di Jakarta tanggal 20 Desember 2015 58
Wawancara pribadi dengan Okky Madasari di Jakarta tanggal 20 Desember 2015
75
yang demikian sebagai hasil dari pilihannya yang setamat SMA
memilih untuk meneruskan sekolah hingga jenjang sarjana ketika
teman-teman sebayanya di kampung memilih bekerja atau menikah.
Selain keberhasilan dalam karir, Maryam juga digambarkan sebagai
perempuan yang cantik.
“... lagi pula, tak ada alasan bagi laki-laki untuk tidak menyukai
Maryam. Maryam memiliki kecantikan khas perempuan dari daerah
timur, kulit sawo matang yang bersih dan segar. Mata bulat dan
tajam, alis tebal dan bibir agak tebal kemerahan. Rambutnya yang
lurus dan hitam sejak kecil selalu dibiarkan panjang melebihi
punggung dan lebih sering dibiarkan tergerai… ” (h.24)
Dalam mendefiniskan kecantikan, penulis masih cenderung
menggunakan perspektif mainstream dalam masyarakat. Karena jika
merunut pada pendapat para feminis. Cantik itu tidak bisa hanya
ditafsirkan dalam satu bentuk fisik. Meski penulis menuliskan
keterangan sifat Maryam yang cerdas dan ramah, namun tidak
sejajar dengan ciri-ciri dalam tubuh Maryam yang digambarkan
penulis.
Kemudian, pada sisi lainnya, Maryam digambarkan sebagai
perempuan Ahmadi yang lemah dan cenderung dibuat kasar dan
tidak mampu mengontrol emosi saat keyakinannya diragukan,
dihujat bahkan dijadikan alasan diskriminasi yang dialami
kelompoknya. Salah satunya seperti diskriminasi yang ia alami
dalam kehidupan rumah tangganya.
Maryam menyadari bahwa memiliki anak adalah bentuk
kebahagiaan terbesar dalam menjalani pernikahan. Namun, bukan
76
berarti memiliki anak setelah menikah adalah satu-satunya sumber
kebahagiaan. Tiap pasangan bisa merencanakan apa-apa saja yang
ingin mereka lakukan pasca menikah dan masyarakat tidak bisa
mengukur kebahagiaan pasangan dari apakah mereka sudah
memiliki anak atau belum. Namun desakan mertuanya membuat
Maryam muak dan kesal yang akhirnya membuat memutuskan
untuk hamil. Bukan untuk Alam apalagi ibunya, tapi untuk harga
dirinya.
Keputusan Maryam ingin hamil untuk harga dirinya merupakan
bentuk dari perlawanannya terhadap hegemoni masyarakat patriarki
yang diwakili keluarga Alam. Pada budaya patriarki dimana
perempuan dibentuk untuk menjadi “pendamping” laki-laki,
memang membuat perempuan yang sudah menikah akan dituntut
untuk segera memiliki keturunan tanpa mau melihat bagaimana
konsep rumah tangga yang sebetulnya ingin mereka bangun
bersama pasangannya. Maryam selalu mengungkapkan bahwa
memiliki anak setelah menikah bukan satu-satunya sumber
kebahagiaan. Mereka masih bisa melakukan banyak hal sebelum
benar-benar siap memiliki keturunan.
Setelah itu, yang lebih parahnya lagi, desakan dan pertanyaan
tersebut ditambah dengan tuduhan dari mertuanya bahwa yang
menyebabkan Maryam belum juga hamil dan kesedihan yang terjadi
dalam rumah tangganya adalah Maryam yang pernah menjadi
bagian dari Ahmadi yang telah dicap sesat oleh sebagian besar
77
masyarakat. Hal tersebut diperkuat oleh Alam yang ditampilkan
sebagai suami yang diam saja saat ibunya menuduh keyakinannya
sebagai sumber tiap masalah yang menimpa rumah tangga mereka.
Maryam yang sedih dan kesal akhirnya meyakinkan dirinya untuk
menempuh jalur perceraian sebagai bentuk perlawanannya pada
kehidupan rumah tangga yang membuatnya terus tertekan.
Dalam hal ini penulis justru cenderung memarjinalkan
perempuan dengan membuatnya tertekan. Dalam feminisme, hal
yang menimpa kehidupan pernikahan Maryam adalah salah satu
ketidakadilan gender dalam bentuk kekerasan psikologis yang
terjadi dalam rumah tangga.59
Konsep feminisme yang telah
dibangun penulis dan tercermin dalam diri Maryam, ternyata tidak
membuat kehidupan rumah tangga Maryam terhindar dari
ketidaksetaraan. Padahal, kesetaraan gender termasuk dalam Hak
Asasi Manusia (HAM) yang dalam perwujudannya sebaiknya
dimulai dari keluarga, sebab hal ini didukung oleh undang-undang
yang menyebutkan bahwa hukum mengakui adanya kesetaraan
gender dalam keluarga. 60
Dalam Islam juga disebutkan bahwa Allah memerintahkan umat
manusia untuk saling berbuat adil tanpa melihat jenis kelamin. Hal
tersebut tercantum dalam surat An-Nahl ayat 90, sebagai berikut
59
Sri Sundari Sasongko, Konsep dan Teori Gender, h. 10-11. 60
Liza Hadiz, Perempuan dalam Wacana Politik Orde Baru, (Jakarta: Pustaka LP3ES
Indonesia, 2004), h. 11-20.
78
ٱ۞إنا ه ٱو ىعده ٲأمس ب للا حس ىقسبى ٱوإتاي ذي ل
ٱو ىمىنس ٱو ىفحشاء ٱوىهى عه ىعيانم ترماسون عظنم ىبغ
٠ Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil
dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat dan Allah
melarang dari perbuatan keji, kemunkaran dan permusuhan. Dia
memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil
pelajaran.” (Q.S An-Nahl: 90)
Dalam ayat tersebut, Allah memerintahkan hamba-Nya, laki-laki
atau perempuan untuk berbuat adil dengan cara memilih jalan
tengah sebagai penyeimbang tanpa menguntungkan atau merugikan
salah satu pihak. Islam memandang laki-laki dan perempuan setara
di hadapan Allah. Maka dari itu, keadilan dalam Islam tidak pernah
memberatkan pihak laki-laki atau perempuan saja.
Konsep kesetaraan dan keadilan dalam novel Maryam nyatanya
terlihat samar. Masih terlihat adanya kesenjangan antara posisi laki-
laki dan perempuan dimana laki-laki digambarkan dengan posisi
lebih dihargai dibanding perempuan. Dalam beberapa penggalan
kisah, Maryam sebagai tokoh utama pun tidak lebih dihargai dari
tokoh laki-laki dalam novel.
3. Perlawanan Terhadap Diskriminasi Agama
Ahmadiyah merupakan gerakan keagamaan yang dipimpin
oleh Mirza Ghulam Ahmad (1835 – 1908) di Qadian, Punjab, India.
Kini banyak literasi yang menyebutkan bahwa Ahmadiyah terbagi
menjadi dua aliran, yaitu Qadian dan Lahore. Kedua aliran tersebut
mempunyai perebedaan yang mendasar, walaupun sebetulnya sama-
79
sama mengacu pada Mirza Ghulam Ahmad. Perbedaan mendasar itu
adalah pengakuan terhadap Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi
Ahmadiyah bagi Qadian dan mujaddid bagi Ahmadiyah Lahore.61
Dalam konteks di Indonesia, Ahmadiyah sebagai organisasi
keagamaan dapat digolongkan dalam aliran pemikiran dan gerakan.
Ahmadiyah masuk ke Indonesia mulai abad ke-20 seiring dengan
mulai berkembangnya paham kebangsaan sejak perempat awal abad
ke-20. Ahmadiyah di Indonesia sampai saat ini masih tetap eksis
walaupun anggotanya tidak sebanyak NU atau Muhammadiyah.62
Namun eksistensi Ahmadiyah ini mendapat banyak kecaman dari
beberapa lembaga Islam dan kelompok masyarakat.
Maryam yang lahir sebagai Ahmadi, sudah merasa ada yang
berbeda dengan keyakinannya sejak kecil. Beribadah di masjid
sendiri, memiliki pengajian sendiri, bersilaturahmi dengan sesama
anggota Ahmadi. Awalnya Maryam tidak curiga, tapi lama
kelamaan, saat Maryam memasuki usia sekolah, ia mulai sering
mendengar kata “sesat” dibelakang kata “Ahmadiyah” dan
mendapat perlakuan buruk dari masyarakat sekitarnya.
Sebagai Ahmadi banyak kesulitan yang harus Maryam alami.
Diskriminasi, pengusiran, keraguan dan segala bentuk kekerasan
menjadi kenyataan yang harus dilalui. Meski pada akhirnya ia harus
berusaha menghadapi kebimbangannya menerima dirinya sebagai
61
Iskandar Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah di Indonesia, (Yogyakarta: LKiS, 2005)
h. 2-3 62
Iskandar Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah di Indonesia, (Yogyakarta: LKiS, 2005)
h.xi
80
seorang Ahmadi. Kejadian demi kejadian tidak menyenangkan
bukan hanya diterimanya, tapi juga keluarganya dan warga Ahmadi
lainnya.
Dalam Maryam, penulis mengajak pembaca untuk merasakan
pengusiran dan diskriminasi yang dirasakan oleh kelompok
Ahmadiyah. Ia membuat alur cerita yang akan membawa pembaca
ikut merasakan emosi Maryam. Penulis juga menambahkan bahwa
ia memang dengan penuh kesadaran ingin menulis untuk
menumbuhkan kesadaran terhadap realita-realita yang beredar di
masyarakat dan seringkali keliru. Seperti pernyataan yang
dikemukakannya sebagai berikut
“…dari awal aku sudah dengan penuh kesadaran, aku ingin
menulis sesuatu yang memang membuat orang membuka mata
terhadap realita, bukan malah lupa.”63
Cerita mendetail seputar kejadian yang terjadi dan membuat
duka kelompok Ahmadi menjadi begitu dalam, membuat tiap
pembaca bertanya apakah penulis adalah bagian dari Ahmadi. Sebab
tiap kejadian yang dijelaskan dengan rinci tidak disertai dengan
penjelasan lebih dalam apa yang sebetulnya dilakukan kelompok
Ahmadi atau sedikit pengertian tentang Ahmadiyah yang akhirnya
membuat Ahmadi harus mendapat label sesat dan mendapat
perlakuan diskriminatif. Padahal, menurut Iskandar Zulkarnain
dalam bukunya “Gerakan Ahmadiyah di Indonesia” menyebutkan
63
Wawancara pribadi dengan Okky Madasari di Jakarta tanggal 20 Desember 2015
81
bahwa Ahmadiyah sudah berdiri sejak tahun 1925 di Indonesia dan
telah mendapat pengakuan dari pemerintah.64
Dalam novel ini juga penulis membuat stereotype pada
kelompok mayoritas yang diwakili oleh warga dari kampung
Maryam dengan membuat mereka selalu berlaku kasar pada
kelompok Ahmadi. Hal ini akan memperkuat anggapan bahwa
kekerasan adalah hal yang wajar dilakukan jika berkaitan dengan
kasus agama.
Padahal, tidak dibenarkan perlakuan kasar tersebut atau
mengarahkan khalayak untuk memihak satu kelompok, terlepas dari
salah atau benar. Karena siapapun yang tinggal di negeri ini, bebas
memilih keyakinannya dan negara menjaminnya. Seperti yang
tertuang dalam Pasal 28E ayat 1 UUD 1945, yaitu
“Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut
agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan,
memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah
negara dan meninggalkannta, serta berhak kembali.”
Lalu, diperkuat lagi oleh Pasal 28E ayat 2 UUD 1945 yang
menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan meyakini
kepercayaan. Selain itu dalam Pasal 28I ayat 1 UUD 1945 juga
diakui bahwa hak untuk beragama merupakan hak asasi manusia.
Selanjutnya Pasal 29 ayat 2 UUD 1945 juga menyatakan bahwa
negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk
memeluk agama.
64
Iskandar Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah di Indonesia, (Yogyakarta: LKiS, 2005)
h. 291
82
Kemudian yang tidak boleh dilupakan sama sekali adalah,
bahwa hak asasi tersebut bukannya tanpa batasan. Dalam pasal 28J
ayat 1 UUD 1945 diatur bahwa setiap orang wajib menghormati hak
asasi orang lain. Pasal 28J ayat 2 UUD 1945 selanjutnya mengatur
bahwa pelaksanaan hak tersebut wajib tunduk pada pembatasan-
pembatasan dalam undang-undang. Jadi hak asasi manusia tersebut
dalam pelaksanaannya harus tetap patuh pada batasan-batasan yang
diatur dalam undang-undang.
Perlakuan kasar dan mudahnya terprovokasi melakukan tindak
kekerasan karena adanya perbedaan ini bertentangan dengan ajaran
Islam yang tercantum dalam surat Al-Hujurat ayat 13 sebagai
berikut
أها ا وقبائو ىىااس ٱ نم شعىبا ه ذمس وأوثى وجعيى نم مإواا خيقى
إنا أمسمنم عىد ٱىتعازفىا ٱأتقىنم إنا للا عيم خبس للا
Artinya: Wahai manusia. Sungguh, Kami telah menciptakan kamu
dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami
jadikan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling
mengenal. Sungguh, yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah
ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha
Mengetahui. (Q.S Al-Hujurat: 13)
Dalam ayat tersebut, Allah jelas mengatakan bahwa Allah
memang menciptakan manusia berbeda-beda. Bukan hanya beda
fisik, tapi juga pengalaman, pola pikir, lingkungan, sifat dan
sebagainya yang bertujuan agar manusia saling mengenal dan
melengkapi untuk menjalankan tugas Allah sebagai khalifah di
bumi. Allah selalu melihat isi hati manusia, bahkan disebutkan juga
83
bahwa manusia yang paling mulia di sisi Allah adalah manusia yang
bertakwa, bukan manusia yang hebat di dunia.
Dengan tidak dijelaskannya bagaimana Ahmadi bisa mendapat
label sesat. Lalu yang digambarkan justru kelompok mayoritas yang
terlihat seperti membenci kelompok Ahmadiyah tanpa alasan hingga
mengusir bahkan merusak dan menjarah rumah mereka. Hal ini
akan membuat pembaca tergiring pada pertanyaan besar seperti:
“Apakah Ahmadiyah betul-betul sesat?” “Kenapa kelompok
mayoritas terlihat sangat kasar?” “Siapa yang harus dicap sesat
sebetulnya?” yang kemudian akan membuat masyarakat
menyimpulkan tentang siapa yang sesat atau tidak dan akan
memihak salah satu kelompok.
Padahal, menurut pasal 2 ayat 2 UU Penodaan Agama, jelas
dituliskan bahwa kewenangan menyatakan suatu organisasi/aliran
kepercayaan yang melanggar larangan penyalahgunaan dan/atau
penodaan agama sebagai aliran terlarang ada pada Presiden, setelah
mendapat pertimbangan dari Menteri Agama, Jaksa Agung dan
Menteri Dalam Negeri, yang dalam praktiknya dibantu oleh Badan
Koordinasi Pengawasan Kepercayaan Masyarakat (Bakor Pakem)
yang adalah tim koordinasi pengawasan kepercayaan yang dibentuk
berdasar Keputusan Jaksa Agung RI No.: KEP004/J.A/01/1994
84
tanggal 15 Januari 1994 tentang pembentukan tim Koordinasi
Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat (PAKEM).65
Melalui Maryam, penulis berhasil membawa khalayak (diwakili oleh
pembaca) merasakan dinamika emosi Maryam. Dalam penerapannya, penulis
berpendapat bahwa sastra adalah salah satu langkah efektif untuk
mendekonstruksi pemahaman yang keliru dan sudah mengakar dalam
masyarakat. Seperti pernyataan penulis sebagai berikut
“… Aku merasa sastra (yang berarti dalam bentuk bacaan) salah satu
jalan yang efektif untuk menumbuhkan kesadaran tentang nilai-nilai di
masyarakat yang bisa jadi keliru. …”
Namun kepiawaiannya ini, sayangnya tidak membuat dirinya
menyuarakan perlawanan melalui tokoh cerita yang juga menjadikan menulis
sebagai bentuk perlawanannya terhadap ketidakadilan. Karena Helene Cixous
melalui karyanya “The Laugh of Medusa” mengatakan bahwa dengan menulis,
perempuan akan dapat mengubah dunia dan mengonstruksi kembali pandangan
masyarakat tentang perempuan.
65
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl6556/ham-dan-kebebasan-beragama-
di-indonesia diakses pada tanggal 20 Januari pukul 18.26
85
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan analisa peneliti mengenai gerakan perlawanan
perempuan dalam novel Maryam yang dilihat dari posisi subjek, objek dan
pembaca pada bab sebelumnya, maka penelitian ini dapat disimpulkan
sebagai berikut:
1. Posisi subjek atau pencerita yang digambarkan dalam novel Maryam
adalah Maryam yang juga berperan sebagai tokoh utama. Semua peristiwa
yang terjadi dalam novel adalah penggambaran dari keterangan pelaku
yang dalam hal ini adalah perempuan. Perempuan yang menjadi subjek ini
menceritakan kejadian-kejadian yang menimpa diri, keluarga dan
kelompoknya dari sudut pandangnya. Meski yang diceritakan tentang
bentuk diskriminasi yang dialami oleh kelompok Ahmadi, tetap
didalamnya terdapat kata-kata yang mengarahkan pada perjuangan seorang
perempuan menyuarakan hak-hak kelompoknya.
Sementara itu, posisi objek dalam novel Maryam adalah kelompok
Ahmadi dan kelompok non-Ahmadi. Karena menjadi objek yang
diceritakan Maryam, maka posisi mereka benar-benar tidak
menguntungkan. Mereka tidak dapat menampilkan dirinya sendiri,
sehingga yang terlihat dalam novel tersebut hanyalah penggambaran
mereka sebagai pihak yang mendiskriminasi dan terdiskriminasi dan
86
penggambaran lainnya yang menyudutkan posisi mereka sebagai objek
yang diceritakan.
Untuk posisi pembaca, penulis cenderung mengarahkan kita untuk
merasakan apa yang dirasakan oleh kelompok Ahmadiyah melalui
perspektif Maryam yang juga bagian dari mereka. Karena selama ini, kita
lebih sering disuguhkan berita dalam perspektif kelompok mayoritas.
2. Bentuk perlawanan perempuan yang tertera dalam penelitian ini adalah
perlawanan terhadap tata nilai keluarga, perlawanan terhadap hegemoni
masyarakat patriarki dan perlawanan terhadap diskriminasi agama.
Gerakan perlawanan perempuan yang diceritakan dalam novel didominasi
oleh perlawanan terhadap hegemoni masyarakat patriarki yang menjadikan
perempuan mengalami ketidakadilan gender dan perlawanan terhadap
diskriminasi agama yang selalu menempatkan kelompok minoritas sebagai
pihak yang terdiskriminasi.
B. Saran
Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan oleh peneliti, maka
peneliti ingin memberikan beberapa saran kepada penulis dan pembaca,
sebagai berikut
1. Kepada penulis novel Maryam, akan lebih baik jika penulis novel
terus melanjutkan menyuarakan hak perempuan dan kelompok
minoritas melalui karya sastra dengan penceritaan lebih lengkap
tentang apa yang membuat sebuah kelompok mendapat perlakuan
buruk dari kelompok lainnya, yang juga disertai dengan penjelasan
87
lebih dalam dalam cerita atas asumsi yang beredar dalam
masyarakat.
2. Kepada pembaca, khususnya mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah,
ada baiknya penelitian ini dikembangkan agar lebih kritis dalam
menafsirkan informasi dan penelitian tentang perempuan dengan
menggunakan analisis wacana Sara Mills makin banyak agar dapat
dijadikan referensi untuk penelitian selanjutnya.
88
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Amalia, Euis Dkk. Pengantar Kajian Gender. Jakarta: Pusat Kajian Wanita Syarif
Hidayatullah, 2003.
Ambary, Abdullah. Intisari Sastra Indonesia. Bandung: Djatmika, 1983.
Arivia, Gadis. Feminisme: Sebuah Kata Hati. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2006.
Budiman, Arif. Pembagian Kerja Secara Seksual. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1981.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka, 2002.
Dzuhayatin, Siti Ruhaini, Budhy Munawar Rachman, dkk. Rekonstruksi
Metodologis.Surabaya: Risalah Gusti, 2002.
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LkiS Pelangi
Aksara, 2006.
Faqih, Mansour. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1999.
Faqih, Mansour Dkk. Posisi Kaum Perempuan Dalam Islam: Tinjauan dari Analisis Gender,
dalam Membincang Feminisme Diskursus Gender Perspektis Islam. Surabaya:
Risalah Gusti, 2003.
Fatma, Shabana. Woman and Islam. New Delhi: Sumit Enterprises, 2007.
Hadiz, Liza. Perempuan dalam Wacana Politik Orde Baru. Jakarta: Pustaka LP3ES
Indonesia, 2004.
Jackson, Stevi dan Jacki Jones, dkk. Teori-Teori Feminis Kontemporer. Jakarta: Jalasutra,
2009.
Jary, David dan Julia Jary. Collins Dictionary of Sociology. Glasgow: Harper Collins
Publisher, 1991.
Kutha, Ratna Nyoman. Teori Media dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2008.
Kusmayadi, Ismail. Think Smart Bahasa Indonesia. Bandung: Media Grafindo Pratama,
2006.
Madasari, Okky. Maryam. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2012.
Moghisi, Haideh. Feminisme dan Fundamentalis Islam. Yogyakarta: LKis, 2005.
89
Muttaqiem, Abdul. Tafsir Feminis versus Tafsir Patriarki. Yogyakarta: Sabda Persada, 2003.
Natawijaya, P. Suparman. Bimbingan Untuk Cakap Menulis. Jakarta: Gunung Mulia, 1979.
Nugroho, Rian. Gender dan Strategi Pengaruh Utamanya di Indonesia. Jakarta: Pustaka
Pelajar, 2008.
Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press,
2013.
Rachman, Budhy Munawar. “Islam dan Feminisme: Dari Sentralisme kepada Kesetaraan”
dalam Mansour Faqih dkk. Membincang Feminisme. Surabaya: Risalah Gusti, 1995.
Rakhmat, Jalaluddin. Catatan Kang Jalal: Visi Media, Politik, Pendidikan. Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1997.
Semi, M. Atar. Anatomi Sastra. Padang: Angkasa Raya, 1998.
Sobur, Alex. Analisis Teks Media. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2001.
Tong, Rosmarie Putnam. Feminist Thought. California: Westview Press, 2009.
Umar, Nasarudin. Bias Gender dalam Penafsiran kitab suci. Jakarta: PT. Fikahati Aneska,
2000.
Zainudin. Materi Pokok Bahasan dan Sastra Indonesia. Jakarta: Rineke Cipta, 1992.
Zulkarnain, Iskandar. Gerakan Ahmadiyah di Indonesia. Yogyakarta: LKiS, 2005.
Jurnal
Rachman, Budhy Munawar. “Penafsiran Islam Liberal atas Isu-isu Gender dan Feminisme,”
dalam Dzuhayatin, Siti Ruhaini, dkk. 2002. Rekonstruksi Metodologis Wacana
Kesetaraan Gender dalam Islam. Yogyakarta: Pusat Studi Wanita IAIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta bekerja sama dengan McGill-ICIHEP, dan Pustaka Pelajar,
2002.
Sasongko, Sri Sundari. Konsep dan Teori Gender. Pusat Pelatihan Gender dan Peningkatan
Kualitas Perempuan, Jakarta: BKKBN. Cetakan ke-2, 2009.
Wiyatmi. Wacana Kesetaraan Gender dalam Islam. Yogyakarta: Pusat Studi Wanita IAIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta beberja sama dengan McGill-ICIHEP, dan Pustaka
Pelajar, 2002
90
Referensi Pendukung
Wawancara pribadi dengan Okky Madasari di Jakarta tanggal 20 Desember 2015
“Indonesia Darurat Kekerasan terhadap Perempuan”, tempo.co, diakses pada 7 Maret 2015
pukul 20:35 WIB
http;//iniaiyya.blogspot.com/2012/09/makalah-feminisme-dalam-pandangan islam_21. Html
diakses pada tanggal 15 Desember 2015, pukul 3:53 WIB
http://okkymadasari.net/about/ diakses pada tanggal 11 Oktober 2016 pukul 16:29 WIB
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl6556/ham-dan-kebebasan-beragama-di-
indonesia diakses pada tanggal 20 Januari pukul 18:26 WIB
Hasil Wawancara Novel Maryam
Nama : Okky Madasari
Jabatan : Penulis
Pelaksanaan Wawancara : Jakarta, 20 Desember 2015
1. Apa definisi Feminisme menurut Mbak Okky?
Jawab: Menurutku, Feminisme adalah tentang keadilan kemanusiaan, tak
peduli dia laki-laki atau perempuan. Karena keduanya memiliki hak yang
sama.
2. Apakah tujuan Mbak Okky menulis Novel Maryam untuk
menggambarkan Feminisme?
Jawab: Enggak, aku tidak menyengaja mengangkat tentang perempuan,
karena niatnya memang ingin menceritakan tentang kisah manusia saja...
3. Novel-novel yang Mbak Okky tulis, selalu menjadikan perempuan
sebagai tokoh utama. Apakah Mbak Okky seorang Feminis?
Jawab: Saya pikir, nggak. Jadi gini, yang aku hidarkan, kita jangan
terjebak pada ideologi tertentu. Misalnya Feminisme. Jangan fokus pada
feminismenya, tapi lupa dengan apa yang diperjuangkannya (kesetaraan).
Kemudian, Feminisme menjadi “joke”, menjadi ketakutan tersendiri.
Padahal, esensinya kan manusia, tidak peduli laki-laki atau perempuan, dia
harus mendapatkan hak yang sama.
4. Bagaimana pandangan Mbak Okky tentang Feminisme?
Jawab: Kalau merunut pengalamanku sendiri melihat apa yang terjadi
(karena temenku banyak yang feminis), buat aku, seperti ada pengkotak-
kotakan, apalagi untuk orang yang jauh diluar dari ideologi ini. Pasti ada
anggapan “feminis-feminis itu, pusing deh“, kemudian itu yang
mendistorsi gerakan feminisme.
Seperti kata “wanita” yang katanya, akar katanya dari “wani ditata”. Lalu,
menjadikannya dihilangkan dan lebih baik menyebutnya dengan kata
perempuan (dalam perspektif bahasa).
Seperti perspektif realita, dikampung, bahwa gak ada yang memalukan
dari kegiatan memasak.
Jadi seperti kontraproduktif, karena mereka semata-mata jadi membelah
Feminisme, bukan menjadikannya sebagai upaya kesetaraan dan keadilan.
Itulah orang yang menjadi salah kaprah menilai feminis.
Buatku, Feminisme adalah tentang keadilan kemanusiaan, tak peduli dia
laki-laki atau perempuan. Karena keduanya punya hak yang sama.
5. Kalau dikaitkan dengan Novel Maryam, selain perempuan sebagai
tokoh utama, Apa yang sebetulnya ingin Mbak Okky suarakan?
Jawab: Keadilan kemanusiaan, aku selalu ingin menulis sesuatu yang
memang membuat orang membuka mata terhadap realita, bukan malah
lupa.
6. Bagaimana latar belakang penulisan Novel Maryam?
Jawab: Ini kisah tentang sahabatku setelah kuliah, kita udah temenan
sepuluh tahun lebih. Pada suatu hari dia mau menikah, lalu dia nangis, dia
curhat, karena ketika itu dia ada masalah, pernikahannya hampir batal gitu.
Aku tanya, keluarga suaminya ingin membatalkan kenapa? “Karena aku
Ahmadiyah” katanya. Lho, aku kaget setengah mati, aku kaget dalam
konteks, kita bersahabat udah sepuluh tahun lebih dan aku baru tau di hari
itu. Tapi disatu sisi, itu kan menunjukkan bahwa dalam persahabatan,
identitas (keyakinan) itu tidak penting gitu, kan. Dan, sahabatku ini gak
ada bedanya gitu lho, dengan aku, dengan teman-teman islam kebanyakan.
7. Apakah Novel Maryam memang ditulis untuk menggambarkan
Ahmadiyah?
Jawab: Oh, bukan. Ini murni tentang kemanusiaan. Seperti yang sudah
kuceritakan tentang sahabatku. Karena aku pun gak masalah dengan apa-
apa yang orang lain yakini. Lalu juga bersamaan dengan itu, kita juga tau
berita-berita tentang Ahmadiyah, dimana kekerasan menjadi hal yang
selalu dilakukan. Nah, sebetulnya disitu. Dititik itu sebenarnya, aku
merasa harus menulis cerita tentang Ahmadiyah ini. Bukan karena
latarbelakang keagamaannya.
8. Apakah latar belakang keagamaan Mbak Okky juga dari
Ahmadiyah?
Jawab: Aku bukan Ahmadiyah. Aku sebenarnya dari Islam yang abangan,
seperti muslim Indonesia pada umumnya. Orang Jawa yang sebenarnya
beragama karena diperkenalkan. Menjadi Islam dalam keluarga kami,
karena ya... bisa dibilang kebetulan, gitu...
Karena itu dominan di Jawa, ada Kyai nyebar, kemudian diajarkan di
sekolah untuk generasiku, karena orangtuaku Islam, maka akupun jadi
Islam, gitu..
Aku cenderung tidak tau tentang Ahmadiyah, kemudian aku punya sahabat
yang sudah kuceritakan tadi itu. Nah, kesadaran aku menulis tentang
Ahmadiyah, bukan karena aku Ahmadiyah, tapi karena aku melihat sendiri
bagaimana orang Ahmadiyah itu bagian dari kelompok masyarakat yang
terdiskriminasi, gitu, dan sebenarnya aku mempelajari tentang Ahmadiyah
itu baru ketika aku menulis ini. Jadi, bukan karena dari dulu... gitu juga
enggak.
9. Berapa lama proses penulisan Novel Maryam?
Jawab: Maryam ini salah satu novel yang agak lama pembuatannya karena
aku harus riset dulu selama enam bulan di Lombok untuk memastikan
yang aku tulis benar-benar sesuai realita.
10. Jika membaca Novel Maryam, kita jadi merasa ada ketidaksetaraan
dalam agama. Bagaimana Mbak Okky melihatnya?
Jawab: Kita ingin setara, tapi batas setara yang mana?
Menurutku, agama adalah nilai-nilai yang kita anut, tapi setelah itu, aku
percaya bahwa agama itu interpretasi masing-masing. Nah, masalah
interpretasi mana yang harus kita pertahankan, sayangnya interpretasi
yang dominan tidak membuat laki-laki dan perempuan sama.
Interpretasi mainstream (aku selalu menggunakan kata mainstream),
karena yang paling banyak diikuti dan seringkali keliru, dan seringkali
menyudutkan sebuah kelompok, atau perempuan, dan ironisnya dirayakan
dan perempuan juga meng-iyakan. Menyadarkan dan mengingatkan bahwa
yang seperti itu tidak benar seharusnya. Nah di sisi lain, di sisi
mengingatkan itulah aku memilih jalan sastra, bisa juga dengan cara
membaca karya sastra yang meng-counter isu tersebut.
11. Lalu, apakah dari awal Mbak Okky memang meniatkan tulisan-
tulisan yang ditulis Mbak Okky untuk menyadarkan orang lain?
Jawab: Gak ada niat orang-orang harus sadar dari tulisan aku, tapi dari
awal aku sudah dengan penuh kesadaran, aku ingin menulis sesuatu yang
memang membuat orang membuka mata terhadap realita, bukan malah
lupa.
12. Dari sekian banyak jalan, kenapa Mbak Okky memilih jalan sastra?
Jawab: Selain aku pernah menjadi wartawan, yang memang akrab dengan
dunia kepenulisan. Aku merasa sastra (yang berarti dalam bentuk bacaan)
salah satu jalan yang efektif untuk menumbuhkan kesadaran tentang nilai-
nilai di masyarakat yang bisa jadi keliru. Dan aku merasa dengan menulis
sebuah cerita dalam novel, aku bisa bebas mengekspresikan apa-apa yang
ingin aku sampaikan, tanpa dibatasi dengan kode etik seperti saat menjadi
wartawan.
Foto bersama penulis novel Maryam, Okky Madasari
Foto suasana diskusi sekaligus wawancara bersama penulis dan komunitas Baca.Rasa.Dengar