Kampanye Greenpeace Dalam Mencegah Aktivitas Pengeboran Minyak Oleh Shell dan Finlandia di Wilayah...
-
Upload
maudy-noor-fadhlia -
Category
Environment
-
view
123 -
download
4
Transcript of Kampanye Greenpeace Dalam Mencegah Aktivitas Pengeboran Minyak Oleh Shell dan Finlandia di Wilayah...
1
Kampanye Greenpeace Dalam Mencegah Aktivitas Pengeboran
Minyak Oleh Shell dan Finlandia di Wilayah Arktik
Greenpeace’s Campaign on Preventing The Oil Drilling of Shell
and Finland in Arctic
Oleh:
MAUDY NOOR FADHLIA
170210120096
SKRIPSI Untuk memenuhi salah satu syarat ujian
guna memperoleh gelar Sarjana pada Program Studi Hubungan Internasional
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR
2016
2
ABSTRAK
Maudy Noor Fadhlia. Kampanye Greenpeace dalam Mencegah Aktivitas
Pengeboran Minyak oleh Shell dan Finlandia di Wilayah Arktik. Jurusan
Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas
Padjadjaran. Jatinangor, 25 Maret 2016.
Arktik merupakan salah satu wilayah yang mulai terkena dampak dari
perubahan iklim global. Hal ini kemudian berdampak pada terbukanya jalur
pelayaran dan eksplorasi minyak dan gas alam yang tertimbun di dasar laut
Arktik. Salah satunya adalah Shell yang mengirimkan kapal sewaan milik
Finlandia, Fennica dan Nordica ke Arktik. Greenpeace sebagai organisasi yang
hirau dengan masalah lingkungan hidup, menyuarakan perlawanannya terhadap
aktifitas ini melalui kampanye Save the Arctic.
Penelitian ini bertujuan menganalisis apa saja strategi dalam kampanye
Save the Arctic dan apakah strategi ini efektif dalam menyukseskan kampanye.
Dalam masalah ini, peneliti mengkaji dari sisi komunikasi media global.
Penulis menggunakan teori kampanye dan metode penelitian kualitatif
dalam menjelaskan tindakan dan strategi kampanye yang dilakukan Greenpeace.
Analisis akan mengaitkan peran NGO dan media dalam kampanye Save the
Arctic. Sebab kampanye yang dilakukan Greenpeace nyatanya efektif dalam
mengatasi masalah pengeboran minyak oleh Finlandia dan Shell di Arktik.
Kata kunci: Komunikasi Media Global, Kampanye, Enviromentalisme,
Nongovernmental Organization, Save The Arctic, Greenpeace, Shell,
Finlandia
3
ABSTRACT
Maudy Noor Fadhlia. Greenpeace’s Campaign on Preventing The Oil
Drilling of Shell and Finland in Arctic. International Relations Major, Faculty of
Social and Political Sciences, Universitas Padjadjaran. Jatinangor, 25 March
2016.
Arctic is one of victims of the global climate change effect. This caused
Arctic to be more accessible through sea route and increased the amount of oil
and gas exploration in the deep sea of Arctic. Shell, the oil company, sent the
icebreakers owned by Finland, Fennica and Nordica. While Greenpeace
concerned to this issue and filed their complaints against Shell through Save the
Arctic campaign.
This thesis research goal is to analyze what are the strategies in Save the
Arctic campaign and whether it is effective in helping the campaign. Researcher
views this problem from global media communication study.
Researcher also uses campaign theory and qualitative method in
describing the action and campaign strategy of Greenpeace. This linked NGO
role and use of media in Save the Arctic campaign. In fact, the campaign done by
Greenpeace is effective in stopping Shell and Finland icebreaker activity.
Key words: Global Media Communication, Environmentalism, Non-
governmental Organization, Save the Arctic, Greenpeace, Shell, Finland.
4
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN.......................................................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN......................................................................... iii
ABSTRAK………………………………………………………………... iv
ABSTRACT………………………………………………………………... v
KATA PENGANTAR……………………………………………………. vi
DAFTAR ISI…………………………………………………………….... x
DAFTAR TABEL……………………………………………………….... xiv
DAFTAR GAMBAR……………………………………………………… xv
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang Penelitian……………………………………... 1
1.2 Rumus
an Masalah……………………………………………... 9
1.3 Tujuan
dan Manfaat Penelitian………………………………... 9
1.3.1 Tujuan
Penelitian………………………………………. 9
1.3.2 Manfaa
t Penelitian……………………………………... 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Komunikasi Media Global…………………………………….. 11
2.2 Kampanye……………………………………………………… 15
2.2.1 Strategi Komunikasi dalam Kampanye…………………..21
5
2.2.2 Media dalam Kampanye Lingkungan…………………….25
2.3 Non-Governmental Organizations…………………………….. 28
2.4 Environmentalisme……………………………………………. 30
2.5 Kerangka Pemikiran…………………………………………… 34
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian Kualitatif………………………………....... 36
3.2 Instrumen Penelitian…………………………………………… 38
3.3 Teknik Pengumpulan Data…………………………………….. 39
3.3.1 Data Set Penelitian………………………………………. 40
3.4 Strategi Analisis Data………………………………………….. 41
3.5 Validitas dan Reliabilitas Data………………………………….43
3.6 Lokasi dan Waktu Penelitian…………………………………... 44
3.6.1 Lokasi Penelitian…………………………………………. 44
3.6.2 Waktu Penelitian…………………………………………. 45
3.7 Sistematika Penulisan………………………………………….. 46
BAB IV OBJEK PENELITIAN
4.1 Keikutsertaan Finlandia dalam Dewan Arktik ………………… 47
4.2 Arctia Ltd………………………………………………………54
4.2.1 Kerjasama dengan Shell………………………………….55
4.2.2 Fennica dan Nordica……………………………………... 57
4.3 Greenpeace…………………………………………………….. 61
4.3.1 Kampanye Save the Arctic………………………………. 65
4.4 Benua Arktik…………………………………………………… 69
4.4.1 Kondisi Alam Wilayah Arktik…………………………… 69
4.4.2 Nilai Strategis Arktik……………………………………. 71
4.4.3 Pengeboran Minyak di Wilayah Arktik………………….. 75
4.4.4 Akitivitas Pengeboran Minyak oleh Shell………………...77
6
BAB V PEMBAHASAN
5.1 Penerapan Strategi Komunikasi dalam Kampanye Save the
Arctic……………………............................................................ 82
5.1.1 Protes Masyarakat melalui Kampanye Save the Arctic…...84
5.1.2 Peran Media dalam Kampanye Save the Arctic…………..90
5.2 Penghentian Aktivitas Industri oleh Shell di Alaska ………….. 97
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN
6.1 Simpulan……………………………………………………….. 104
6.2 Saran…………………………………………………………… 106
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………….. 107
LAMPIRAN………………………………………………………………. 113
7
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Model Komunikasi Shannon-Weaver…………………………… 12
Tabel 2.2 Model Sandman…………………………………………………. 18
Tabel 2.3 Karakteristik Media Massa ……………………………………....27
Tabel 2.4 Kerangka Pemikiran…………………………………………….. 26
Tabel 3.1 Data Primer……………………………………………………… 40
Tabel 3.2 Data Sekunder…………………………………………………… 41
Tabel 3.3 Waktu Penelitian………………………………………………… 45
DAFTAR GAMBAR
Gambar 4.1 Peta negara anggota dan pengamat Dewan Arktik …………... ..49
Gambar 4.2 Kapal penghancur es “Fennica” milik Finlandia …………….. ..59
Gambar 4.3 Kapal penghancur es “Nordica” milik Finlandia …………….. ..60
Gambar 4.4 Selebriti Hollywood pendukung Kampanye Save the Arctic … ..67
Gambar 4.5 Boneka beruang kutub raksasa di depan Kantor Shell ………. ..68
Gambar 4.6 Lautan Arktik yang ditutupi gunung dan batuan es …….......... ..70
Gambar 4.7 Peta jalur pelayaran Arktik …………………………………... ..74
8
Gambar 4.8 Ancaman Pengeboran Minyak di Arktik……………………... ..77
Gambar 5.1 Aksi protes aktivis Greenpeace di Finlandia………………… ..85
Gambar 5.2 Aksi protes pemasangan banner Save the Arctic di Pelabuhan
Helsinki…………………………………………………………87
Gambar 5.3 Pemasangan banner Save the Arctic…………………………. ..88
Gambar 5.4 Aktivis Greenpeace berusaha mengokupasi alat bor Shell…… ..89
Gambar 5.5 Kayaktivists di Portland………………………………………. ..90
Gambar 5.6 Pemasangan iklan Save the Arctic di Billboard dekat Kantor
Shell……………………………………………………………..91
Gambar 5.7 Video promosi yang dipublikasikan di situs Greenpeace…….. ..92
Gambar 5.8 Artikel-artikel di situs resmi Greenpeace…………………….. ..93
Gambar 5.9 Akun twitter Kampanye Save the Arctic……………………... ..94
Gambar 5.10 Akun facebook Kampanye Save the Arctic………………… ..94
Gambar 5.11 Web resmi Save the Arctic………………………………….. ..95
Gambar 5.12 Aktris Emma Thompson ikut mendukung Kampanye Save
The Arctic……………………………………………………...96
Gambar 5.13 Lokasi pengeboran minyak Shell di Laut Chukchi………….. ..99
Gambar 5.14 Lokasi sumur minyak Shell di Laut Beaufort……………….. 100
Gambar 5.15 Pengumuman resmi Greenpeace……………………………..101
9
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian
Arktik merupakan salah satu wilayah unik yang dikelilingi oleh 8 negara
dan memiliki 13 juta penduduk (Greenpeace, 2012). Wilayah ini terletak di
sebelah utara dunia, tepatnya di Samudera Arktik. Wilayah ini sebelumnya
dikenal sebagai wilayah tak berpenghuni, dimana hanya ada beruang kutub dan
hampir seluruh wilayahnya diselimuti oleh es. Wilayah Arktik saat ini tengah
menjadi sorotan perhatian masyarakat internasional bersamaan dengan maraknya
isu globalisasi. Dampak perubahan iklim yang besar dan sedang terjadi di Arktik,
membuat masyarakat internasional mulai khawatir terhadap kondisi ini. Sebab
apabila didiamkan begitu saja, maka di kemudian hari akan muncul dampak yang
lebih fatal khususnya bagi keamanan manusia.
Para ahli mengatakan bahwa Arktik merupakan sumber penyeimbang suhu
bumi (Greenpeace, 2012). Sehingga Arktik memiliki peranan penting dalam
meregulasi suhu global serta mencegah perubahan iklim. Lautan es yang ada di
Arktik memantulkan cahaya matahari sehingga bumi tetap dingin. Namun dengan
perubahan iklim yang tidak menentu dan suhu bumi yang kian panas, maka es di
Arktik pun meleleh dan lautan yang ada di wilayah tersebut mulai menyerap
cahaya matahari. Dengan ini maka suhu bumi akan terus meningkat dan es akan
makin cepat meleleh.
11
Kerusakan lingkungan yang terjadi disebabkan atas aktivitas industri yang
dilakukan oleh beberapa negara, seperti Amerika Serikat, Rusia, Kanada,
Denmark, dan Norwegia dalam rangka menguasai sumber energi yang tersimpan
di dalamnya (Dewi, 2007). Sebab sekitar 40% cadangan minyak dan gas alam
dunia berada di Arktik. Selain itu, wilayah Arktik dapat menjadi rute pelayaran
baru di kawasan Amerika dan Eropa (Muhaimin, 2015). Dulunya negara sulit
untuk masuk ke wilayah Arktik akibat tebalnya es yang membuat transportasi apa
pun sulit untuk mendarat di wilayah tersebut. Sehingga tidak banyak yang tahu
mengenai Arktik, dan wilayah tersebut hanya dianggap sebagai wilayah kosong
(Goodenough, 2010). Namun dengan kondisi es yang kian menipis, maka minyak
yang berada di bawah laut Arktik mulai terlihat dan akses transportasi seperti
kapal laut mulai bisa masuk ke wilayah Arktik. Sehingga aktivitas pengeboran
minyak ini akhirnya makin memperburuk perubahan iklim. Awalnya ketertarikan
terhadap wilayah Arktik ini didasari atas kekhawatiran mengenai melelehnya es di
Arktik yang dapat mengakibatkan perubahan iklim makin tidak menentu (Watt,
2013).
Masalah ini dapat menjadi ancaman bagi penduduk dan hewan liar yang
tinggal di Arktik. Sebab sejauh ini penduduk yang tinggal di Arktik banyak
bergantung pada sumber daya dan makanan yang ada. Lebih dari 40 kelompok
etnis dan budaya tinggal di wilayah tersebut (Greenpeace, 2012). Begitu juga
dengan berbagai macam hewan langka di dunia seperti beruang kutub, rusa, dan
serigala yang terancam punah 100 tahun ke depan (Greenpeace, 2012). Apabila
12
kondisi Arktik makin berbahaya dan suatu saat menghilang, maka tempat tinggal
dan kebudayaan penduduknya juga ikut menghilang.
Masalah ini kemudian menarik perhatian dan kekhawatiran masyarakat
akan kondisi lingkungan di Arktik. Sehingga masyarakat bergerak dan melakukan
serangkaian aksi, yang mana untuk mendukung tuntutan informasi, aksi, sikap,
serta kepedulian terhadap lingkungan ini muncullah Non-Governmental
Organizations (NGOs) yang menggunakan strategi komunikasi dalam membantu
permasalahan lingkungan tersebut. Strategi-strategi yang dilakukan misalnya
kampanye, workshop, sosialisasi lingkungan, newsletter, dsb. Strategi ini tentu
saja dilakukan dengan tujuan untuk mendorong aksi nyata, solusi, atau setidaknya
kepedulian terhadap permasalahan lingkungan yang terjadi. Dalam konteks
lingkungan, tujuan dilakukannya proses komunikasi ini adalah untuk membuat
masyarakat bercermin atas sikapnya terhadap isu lingkungan. Kampanye
lingkungan hidup menjadi alat komunikasi utama yang disebut efektif dalam
mewujudkan tujuan ini.
Salah satu contoh kasusnya adalah Greenpeace yang terdorong untuk
melakukan suatu tindakan demi melindungi Arktik, yaitu dengan menggagas
kampanye Save the Arctic. Kampanye ini telah dilakukan oleh Greenpeace sejak
tahun 2012 (Greenpeace, 2012). Greenpeace sendiri merupakan organisasi
independen yang fokus pada isu lingkungan. Greenpeace memulai kampanye ini
dengan tujuan untuk memperoleh jutaan dukungan berupa tanda tangan dan akan
diletakkan di Kutub Utara (Black, 2012). Petisi ini kemudian nantinya akan
diletakkan di dasar laut beserta dengan bendera yang dirancang oleh pemuda
13
(World Association of Girl Guides and Girl Scouts, 2013). Dalam rangka
menyelamatkan Arktik dari kerusakan lingkungan yang lebih besar, maka
organisasi ini merilis video bertajuk Save the Arctic untuk menghentikan
perusahaan multinasional dari beberapa negara dalam melakukan aktivitas
industri di wilayah tersebut. Aksi ini dilakukan demi menuntut perlindungan bagi
wilayah Arktik dan menyerukan suaka global.
Greenpeace banyak memanfaatkan media sosial sebagai alat kampanye
Save the Arctic, misalnya saja twitter, youtube, situs blog, dan facebook.
Kemudian kampanye ini juga mengundang dukungan dari berbagai pihak seperti
aktivis-aktivis lingkungan di Finlandia. Kelompok aktivis ini menentang adanya
aktivitas pengeboran minyak oleh kapal-kapal penghancur es milik Shell dan
pemerintah Finlandia. Cara-cara yang dilakukan aktivis ini banyak menggunakan
aksi langsung dengan melakukan pelayaran ke Arktik dengan menggunakan kapal
Arctic Sunrise milik Greeenpeace dan mengokupasi kapal penghancur es milik
Finlandia. Finlandia sendiri merupakan salah satu anggota dari Dewan Arktik
(Arctic Council, 2011). Di tahun 1989, Finlandia merupakan negara yang pertama
kali menginisiasi kerjasama antara delapan negara-negara Arktik untuk
melindungi wilayah Arktik. Namun pemerintah Finlandia justru mengizinkan
perusahaan milik negara Finlandia membantu Shell dalam mengoperasikan dua
kapal penghancur esnya, Fennica dan Nordica, untuk mengeksplor minyak di
daerah Alaska (Hamilton, 2013).
Pada tahun 2013, Finlandia sempat mendukung kampanye yang dilakukan
Greenpeace dan ikut menyuarakan suaka global. Bahkan aksi ini dianggap
14
sebagai lampu hijau bagi negara anggota Dewan Arktik lainnya untuk juga ikut
mendukung kampanye yang dilakukan Greenpeace. Saat itu Finlandia juga
menghentikan peminjaman kapal penghancur esnya kepada Shell sehingga
aktivitas pengeboran minyak pun juga ikut terhenti. Namun di tahun 2015, Shell
kembali menyewa kapal penghancur es milik Finlandia, Fennica, untuk
menelusuri minyak dan gas di perairan Alaska yang bocor sekitar awal bulan Juli
lalu (Yle, Juli 2015). Shell berencana untuk membuat lubang-lubang di perairan
Alaska untuk mengamati sumber daya alam yang ada di bawah dasar laut. Selain
Fennica, ada juga Nordica yang digunakan untuk melakukan operasi pengeboran
minyak di Laut Chukchi, Arktik. Kapal-kapal ini berada di bawah operasi Arctia
Shipping, yang secara penuh merupakan milik pemerintah Finlandia. Hal ini
kemudian mengundang respon dari Greenpeace terutama aktivis-aktivis
Greenpeace yang ada di Finlandia. Para aktivis ini pernah coba menghentikan
kapal es milik Finlandia dengan menggantungkan banner bertuliskan Stop Shell
#SaveTheArctic di badan kapal Fennica (Yle, Juli 2015).
Di tahun yang sama, aktivis-aktivis Greenpeace juga mengokupasi kapal
penghancur es milik Finlandia, Nordica, di pelabuhan Helsinki (Cole, 2012).
Aksi-aksi ini dilakukan oleh para aktivis Greenpeace yang berasal dari 13 negara
berbeda, antara lain Finlandia, Slovakia, Kolombia, Jerman, Chili, Brazil, Italia,
Swedia, Austria, Perancis, Hungaria, Norwegia, dan Denmark. Aksi-aksi dari
kampanye Greenpeace ini kemudian mendapat dukungan dari sekitar 400.000
orang yang menandatangani petisi mengenai penghentian aktivitas pengeboran
Shell dan Finlandia di Arktik.
15
Maka sasaran dari penelitian ini adalah untuk meneliti dan mempelajari
apa saja strategi kampanye Save the Arctic yang dilakukan oleh Greenpeace.
Kemudian apakah strategi tersebut berhasil menunjang kampanye Save the Arctic.
Selain itu, peneliti juga akan melihat relasi antara Arktik, Greenpeace, Finlandia
dan Shell, berdasarkan proses komunikasi yang berbeda (kampanye).
Dalam melakukan penelitian ini, peneliti telah melakukan kajian terhadap
penelitian terdahulu yang berkaitan dengan pembahasan yang akan diteliti untuk
dapat memberikan gambaran kepada peneliti. Di dalam jurnal Environmental
Campaign Construction and Symbolism: In The Case of WWF’s Campaign
“Earth Hour” oleh Ekaterina Kazakova disebutkan bahwa kampanye lingkungan
hidup didasarkan pada tiga pertanyaan fundamental, antara lain tujuan/objektif,
audiens, dan strategi. Kampanye pada umumnya berupaya untuk menarik
perhatian publik dengan serangkaian aksi simbolik. Objektif sifatnya berjangka
waktu (umumnya pendek) dan konkret. Dalam kampanye Earth Hour, audiens
yang ditargetkan merupakan semua golongan mulai dari individu, perusahaan,
hingga pemerintah. Selain itu, strategi dalam kampanye Earth Hour dibangun
dengan keyakinan bahwa aksi-aksi yang dilakukan memiliki kekuatan yang
mampu melewati perbedaan budaya dan sosial agar semua masyarakat bergerak
mencapai suatu tujuan.
Lalu dalam jurnal Greenpeace v. Shell: Media Exploitation and The Social
Amplification of Risk Framework (SARF) oleh Vian Bakir dijelaskan mengenai
kegunaan SARF dalam memahami peran media dalam dampak komunikasi. Sejak
dibentuk, SARF menjadi acuan dalam mengkritik kurangnya perhatian aktor
16
dalam penggunaan media, kemudian asumsi bahwa media beroperasi sebagai
suatu stasiun amplifikasi dalam komunikasi lingkungan hidup. Jurnal ini
menganalisis studi kasus dampak komunikasi pada kasus Greenpeace melawan
Shell dalam penghentian aktivitas pengeboran kilang minyak di dasar laut Brent
Spar, Atlantik di tahun 1995. Studi kasus tersebut dijadikan penelitian untuk
melihat apakah SARF berhasil mengkritik masalah ini. Namun dalam jurnal ini
disimpulkan bahwa kritik muncul sebagai konsekuensi dari peneliti yang
menggunakan SARF. Sehingga penggunaan SARF ini memperlihatkan analisis
bahwa media berperan sebagai amplifikasi sosial, Greenpeace menggunakan
media dengan baik untuk mengomunikasikan tanda bahaya dan masalah yang
berkaitan dengan isu.
Kemudian dalam jurnal yang ditulis oleh William DeJong yang berjudul
The Role of Mass Media Campaigns in Reducing High-Risk Drinking among
College Students dijelaskan bahwa terdapat strategi-strategi yang harus dilakukan
dalam kampanye. Meneliti dari keberhasilan dan kegagalan kampanye media
massa sebelumnya, maka ditarik kesimpulan bahwa kelompok layanan publik
atau NGOs saat ini menggunakan media massa untuk mempromosikan alasan
mereka. Sebab penggunaan media dalam eksekusi berdasarkan prinsip dasar
kampanye, khususnya dalam jangka panjang, berperan penting dalam perubahan
sikap serta perilaku baik langsung maupun dalam tingkat institusional, komunitas,
dan kebijakan. Banyak kampanye yang gagal karena perencanaan, penelitian, dan
strategi yang disusun belum amat mumpuni. Sehingga jurnal ini menggagas
strategi berdasarkan tiga jenis kampanye media massa, yaitu informasi,
17
pemasaran norma sosial, dan advokasi. Muncul hasil bahwa kampanye yang fokus
pada upaya pencegahan secara lingkungan saat ini banyak diimplementasikan dan
berhasil.
Penelitian terdahulu selanjutnya adalah Friends of Earth International
oleh Keith Sutter. FoEI merupakan gerakan lingkungan yang berbasis di
Amsterdam. Gerakan ini kemudian meluas sampai akhirnya terbentuklah suatu
organisasi yang peduli terhadap masalah lingkungan hidup. Tujuan utamanya
adalah untuk melindungi bumi dari deteriorasi dan memperbaiki kerusakan
lingkungan yang diakibatkan oleh aktivitas manusia, untuk meningkatkan
partisipasi publik dan pemutusan kebijakan yang demokratis dalam perlindungan
lingkungan dan manajemen sumber daya alam, untuk mencapai keadilan sosial,
ekonomi, dan politik dalam pemerataan akses sumber daya juga kesempatan
dalam tingkat lokal, nasional, maupun internasional, dan terakhir untuk
mengenalkan pembangunan berkelanjutan lingkungan hidup dalam tingkat lokal,
nasional, dan internasional. FoEI juga menggunakan beberapa kampanye
lingkungan hidup dengan isu yang beragam. Kampanye ini kemudian menarik
perhatian pemerintah dan media namun masih memiliki kelemahan dalam
kedalaman isu.
Penelitian terakhir diambil dari jurnal yang ditulis oleh Priscilla Weeks
dengan judul Cyber-activism: World Wildlife Fund’s Campaign to Save the Tiger.
Sebagai sebuah organisasi terbesar yang peduli terhadap isu konservasi dan
biodiversitas yang mencakup hampir 150 negara, banyak aksi yang telah
dilakukan oleh organisasi ini misalnya dalam proyek-proyek maupun kampanye
18
lingkungan hidup. Sejauh ini WWF telah menghabiskan dana sekitar jutaan dolar
dalam isu konservasi harimau sejak tahun 1972. Organisasi ini telah
memformulasikan strategi baru tentang konservasi harimau berdasarkan prinsip
biologi konservasi yang mengidentifikasi jenis habitat yang esensial bagi populasi
harimau serta mengembangkan strategi konservasi dengan baik untuk setiap jenis
habitat. Strategi ini diinformasikan kepada masyarakat luas melalui situs resmi
milik WWF, tujuannya agar masyarakat peduli dan mendukung aksi ini. Dengan
peningkatan jumlah pengguna internet saat ini, maka aksi tersebut cepat mendapat
respon. Sehingga kampanye dan gerakan yang dilakukan WWF tersampaikan
dengan baik, dan masyarakat juga menjadi peduli dan mulai ikut berkontribusi
memberikan gagasannya dalam isu ini.
Berdasarkan pemaparan di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti lebih
jauh mengenai strategi kampanye Save the Arctic yang dilakukan oleh
Greenpeace dan mengkajinya lebih lanjut dalam sebuah penelitian dengan judul:
“Kampanye Greenpeace dalam Mencegah Aktivitas Pengeboran Minyak
oleh Finlandia dan Shell di Wilayah Arktik”
1.2 Rumusan Masalah
Dari pemaparan di atas, rumusan masalah yang ingin diambil peneliti adalah
bagaimana strategi creative confrontatition dapat menunjang kampanye Save the
Arctic.
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1 Tujuan Penelitian
19
Tujuan yang ingin disampaikan penulis melalui penelitian ini antara lain:
1. Menggambarkan proses komunikasi media global dalam fenomena Arktik.
2. Mempelajari strategi Greenpeace dalam kampanye Save the Arctic.
3. Mendeskripsikan kaitan antara kampanye, NGOs, dan isu lingkungan hidup.
1.3.2 Manfaat Penelitian
Melalui penelitian ini, penulis mengharapkan karya tulis ini dapat berkontribusi
kepada studi hubungan internasional terkait persaingan kekuatan besar yang
berdampak pada keamanan wilayah Arktik. Penelitian diharapkan dapat berguna
bagi seluruh civitas maupun khalayak luas, yaitu untuk:
1. Memberikan sumbangsih informasi dalam studi Hubungan Internasional
khususnya mengenai peran NGOs dalam fenomena Arktik.
2. Menambah pengetahuan deskriptif mengenai kerusakan lingkungan yang
terjadi di Arktik dan gerakan yang dilakukan oleh Greenpeace bersama
aktifisnya dalam melindungi wilayah tersebut.
Memberikan referensi dan gambaran bagi penelitian selanjutnya yang tertarik di
dalam isu lingkungan, komunikasi media global, Greenpeace, dan Wilayah
Arktik.
36
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Komun
ikasi Media Global
Pertumbuhan aktivitas global bukan lagi hal yang baru dalam dunia
modern saat ini. Globalisasi telah menjadi proses yang menempatkan masyarakat
dalam percepatan arus komunikasi yang kemudian berpengaruh pada penyebaran
informasi oleh masyarakat. Manusia sebagai makhluk sosial berinteraksi untuk
melakukan komunikasi, sebagai elemen penting dalam kehidupan manusia sehari-
hari. Komunikasi tidak bisa dipisahkan dari rutinitas manusia, sebab manusia
membutuhkan pentingnya komunikasi dan informasi untuk mendorong manusia
itu sendiri dalam berinovasi untuk menyediakan media komunikasi yang lebih
efektif dan akurat (Malik, 1993).
Komunikasi internasional ini sendiri dapat didefinisikan menjadi sebuah
komunikasi yang dilakukan oleh komunikator yang mewakili suatu negara untuk
menyampaikan pesan-pesan yang berkaitan dengan kepentingan negara terhadap
komunikan yang mewakili negara lain (Malik, 1993). Komunikasi internasional
fokus pada keseluruhan proses melalui data dan informasi yang mengalir melalui
batas-batas negara. Subjek yang ditelaah adalah struktur arus bukan arus itu
sendiri. Selain itu, komunikasi internasional menelaah faktor-faktor yang terlibat
dalam arus, sarana yang digunakan, efek yang timbul, dan motivasi yang
mendasari terjadinya arus (Liliweri, 2001).
37
Maka dapat disimpulkan bahwa komunikasi internasional merupakan
proses resiprosi pertukaran tanda untuk menginformasikan, mengajak, atau
menginstruksi, berdasarkan makna dan kondisi bersama dalam konteks sosial dan
hubungan komunikator (Cutlip, 2006: 197). Komunikasi memiliki banyak model
yang dibentuk untuk memahami arus komunikasi. Namun terdapat model
komunikasi klasik dari Shannon-Weaver yang umumnya diadopsi untuk
mendeskripsikan alur tersebut.
Tabel 2.1
Model Komunikasi Shannon-Weaver
Feedback
Sumber: (Chandler & Munday, 2011)
Tabel di atas menunjukkan bahwa pengirim (sender) mengirimkan pesan
dari respon balik yang muncul dari komunikan sebagai dampak dari proses
komunikasi. Dalam tabel tersebut, proses komunikasi dideskripsikan sebagai
proses transmisi informasi sederhana, yang menekankan pada peran si pengirim.
Sender
Message Tools
Receive
r
Effect
38
Namun poin utamanya adalah strategi untuk mengajak melalui pesan.
Kelemahannya adalah model ini terlalu menekankan pada pengaruh eksternal.
Komunikasi internasional kemudian mengalami transisi menjadi
komunikasi global, yang mana membawa media ke dalam dimensi baru
komunikasi global. Transisi ini didorong oleh faktor keterbukaan informasi yang
ditawarkan oleh media. Media menjadi instrumen penting dalam kajian
komunikasi global, karena dampak dan jangkauannya yang luas. Media
memegang kekuatan penting karena mampu berkomunikasi dan mempengaruhi
massa.
“In order to be politically active, citizens require means to
communicate with one another and to debate the type of
government they desire for themselves. Civic discourse can take
place in various forums, the most important of which are the public
communications media, both print and electronic.” (Bratton, 1994:
2)
Informasi yang disampaikan melalui media cenderung dipercaya oleh
masyarakat karena dikemas ke dalam berita atau tayangan dengan teks yang
persuasif. Media mampu mengubah opini publik, bahkan mendorong publik untuk
membeli suatu produk melalui iklan. Sehingga tidak mengherankan jika media
digunakan sebagai instrumen kampanye lingkungan oleh Greenpeace. Sebab
dengan bantuan media, maka informasi dan opini yang ingin dibentuk dari
kampanye tersebut dapat terwujud.
39
Namun meski begitu, kekuatan media akan efektif apabila didukung
dengan strategi yang baik. Sebab dalam beberapa budaya, terdapat perbedaan
sikap atau respon masyarakat terhadap penggunaan media. Jangkauan media yang
sangat luas belum tentu mampu mengubah opini masyarakat atau memberikan
perubahan signifikan lainnya. Komunikasi yang dijalin melalui media mampu
meraih massa, namun publik biasanya memegang beragam kepercayaan dan
pengetahuan mengenai suatu hal misalnya lingkungan. Media belum tentu mampu
mencapai target kelompok yang relevan dengan informasi yang disampaikan.
Trend yang sedang terjadi dalam tingkat global saat ini adalah kebebasan
media yang mempengaruhi metode publikasi, metode penyebaran, metode
pembuatan berita, serta pertumbuhan kategori penonton. Internet dan televisi
menjadi media yang meluas, mudah dijangkau, dan amat berpengaruh. Karena
kebanyakan media pemberitaan, baik nasional maupun internasional, mulai
memasukkan konten berita ke dalam media online (UNESCO, 2014: 35).
Sehingga dalam perkembangan media global saat ini, pemberitaan yang sifatnya
interaktif mendapatkan kesempatan lebih besar karena mampu menarik minat
masyarakat serta tidak dibatasi. Hal ini mengubah arus informasi tradisional
menjadi lebih terbuka, juga menjadi tantangan baru bagi kerangka regulasi yang
ada.
Meningkatnya penggunaan smartphone yang terhubung ke dalam koneksi
internet dengan segala fitur cermatnya membuat sistem telekomunikasi ini
menjadi lebih diminati. Meskipun fenomena baru ini juga mampu mengganggu
arus bebas informasi dan privasi, termasuk sumber dan proses pemberitaan.
40
Dominasi internet ini secara cepat meningkatkan jumlah publikasi berita atau
informasi juga pengguna internet (UNESCO, 2014: 35). Konsekuensi yang
diterima relevan bagi kebebasan media dan pers, terkait bergesernya sistem media
tradisional, praktik pengumpulan berita, kode etik, serta norma profesional. Tidak
hanya internet, televisi juga membawa perubahan besar sebagai alternatif pilihan
bagi penonton dalam komunikasi media global.
Televisi atau media satelit kadang juga terhubung dengan media online
(media sosial). Keduanya membuat suatu mekanisme produksi dan penyebaran
baru dalam media global. Media-media pemberitaan besar, seperti BBC dan Al-
Jazeera, berhasil menarik perhatian audiens dengan operasional pengumpulan
berita yang dinilai efektif dalam menyajikan konten dari sumber-sumber berita
baru, seperti blog dan video (UNESCO, 2014: 26). Sehingga tidak hanya media
pemberitaan nasional dan internasional, tetapi kelompok-kelompok seperti
organisasi maupun komunitas juga memanfaatkan mekanisme media baru ini ke
dalam penyebaran informasi yang ingin disampaikan demi mencapai tujuannya.
2.2 Kampa
nye
Kampanye merupakan cara, tindakan, dan usaha mempengaruhi tindakan
dan menyampaikan pesan kepada target audiens dengan tujuan untuk
mendapatkan dukungan (Bragt, 2006). Kampanye bisa dilakukan oleh individu
dan kelompok terorganisir yang ingin mencapai suatu proses pengambilan
keputusan, atau juga untuk memengaruhi dan menghambat pencapaian tersebut.
Kampanye pada umumnya dapat dilakukan melalui siaran rekaman gambar atau
41
suara, media cetak, slogan, atau mouth to mouth (Truman Papers, 1953). Namun
dengan berkembangnya teknologi dan ruang publik, maka kampanye juga dapat
dilakukan melalui internet. Selain untuk memudahkan, cara ini dianggap efektif
sebab kebanyakan masyarakat seperti pemuda dan remaja banyak mengakses
internet dalam kesehariannya. Sehingga melalui internet, kampanye dilakukan
dengan merekayasa pencitraan atau untuk mengenalkan suatu gagasan serta isu
yang ingin disampaikan oleh suatu kelompok dengan harapan mendapatkan
respon, tanggapan, dan dukungan. Maka kampanye dapat disebut juga sebagai
media yang direncanakan dan distrategikan dengan baik untuk meningkatkan
kepedulian, menginformasikan, atau mengubah perilaku target audiens yang
dituju (Sandman, 2000: 79).
Kampanye seringkali didukung oleh instrumen, seperti penggunaan media
massa. Penggunaan media massa dalam kampanye diyakini berdampak positif,
karena informasi yang begitu cepat menyebar sehingga bantu mewujudkan visi
dari kampanye itu sendiri. Potensi dari kampanye melalui media massa ini
bersandar pada kemampuan media untuk mempropagandakan pesan yang
difokuskan kepada audiens secara berulang (Wakefield, 2010). Media massa
terbukti mampu menjangkau heteregonitas populasi.
Penting untuk mengartikan pesan utama kampanye ketika memutuskan
untuk melakukan kampanye lingkungan melalui media. Perlu adanya upaya untuk
mengidentifikasi pesan yang mampu mengisi kebutuhan audiens. Maka dari itu,
poin ini sifatnya krusial, yaitu untuk mengenali audiens lebih dalam agar mampu
merancang pesan yang efektif. Sehingga kampanye melalui media harus
42
mengikuti proses dasar yang berkaitan dengan membangun tujuan yang realistik,
memediasikan audiens, membangun strategi dalam penggunaan media yang
efektif, dan membentuk pesan (Sandman, 2000: 80). Semua elemen ini saling
berinteraksi untuk menyukseskan kampanye. Kemudian setelah kampanye
berjalan, butuh dilakukan evaluasi dengan cara mencatat publikasi, survei
audiens, dan mengobservasi perubahan sikap atau lingkungan yang disandang
dalam kampanye. Maka dari itu, terdapat empat strategi kampanye menurut Peter
M. Sandman (2000), antara lain:
a. Tujuan, Audiens, dan Sarana
Dalam tahapan awal, harus ditentukan perilaku apa yang coba diubah
sebagai tujuan dari kampanye. Perilaku ini dipilih berdasarkan proses
penelusuran terhadap target audiens. Selain itu, kampanye juga harus
melihat kriteria audiens dan media yang dominan digunakan.
b. Pesan
Pesan utama dalam kampanye disusun sesuai dengan konten dan hasil
dari penelitian formatif (tahap pertama). Pesan ini dapat dibuat
menarik dengan menggunakan ilustrasi, alur cerita, atau aksi tertentu.
Tetapi meskipun pesan ini dibuat oleh tim yang melakukan kampanye,
tetap harus mempertimbangkan sudut pandang audiens.
c. Implementasi Kampanye
Keberhasilan implementasi kampanye bergantung pada tahap satu dan
dua. Tahap ini biasanya merupakan tahap yang mengalami banyak
43
tantangan. Kampanye dikatakan sukses apabila mampu menggerakkan
masyarakat melalui suatu aksi.
d. Monitoring dan Evaluasi
Evaluasi mulai dilakukan sejak implementasi dilakukan. Evaluasi ini
dijadikan sebagai acuan untuk memperbaiki strategi kampanye
menjadi lebih baik.
Berdasarkan tahapan ini, maka dapat disusun model teoritis strategi
kampanye. Tidak hanya dengan memberikan informasi dan berharap akan
terjadinya perubahan sikap, namun terdapat pola yang lebih efektif dalam
melakukan kampanye berdasarkan human nature.
Tabel 2.2
Model Sandman
RELEVANT OR
IRRELEVANT
MOTIVATOR
INFORMATION
ATTITUDE
BEHAVIOR
COGNITIVE
DISSONANCE
INFORMATION
SEEKING
BEHAVIOR
NEED STATE
44
Sumber: (Peter M. Sandman, 2000: 83)
Model kampanye lingkungan hidup yang disebutkan oleh Peter Sandman
menggabungkan advertiser’s model dan educator’s model. Sebab pesan yang
disampaikan dalam kampanye berasal dari motivasi untuk membuat suatu
tindakan atau gerakan kecil dari masyarakat. Namun tindakan ini akan
menimbulkan suatu disonansi kognitif, yaitu kejanggalan terhadap apa yang
dilakukan. Misalnya ketika dihadapkan pada suatu petisi, individu cenderung
menandatangani petisi tersebut dengan alasan untuk mendukung petisi tersebut.
Tetapi setelah itu muncul keragu-raguan dari individu itu sendiri. Keragu-raguan
ini bisa diatasi dengan mencari informasi. Sehingga kampanye juga butuh
menyediakan informasi mengenai isu yang dikampanyekan, setidaknya
perkembangan mengenai isu tersebut. Setelah informasi didapatkan maka akan
terbentuk suatu tindakan dan perilaku, atau bahkan partisipasi. Maka dari itu
model kampanye ini paling cocok dalam mendeskripsikan kampanye yang
dilakukan Greenpeace.
Kampanye saat ini digunakan untuk konteks yang beragam, mulai dari
politik, budaya, bahkan lingkungan. Dengan meningkatnya jumlah isu lingkungan
hidup yang terjadi, maka kampanye lingkungan hidup dirasa perlu dan efektif
dalam mengenalkan masalah ini ke masyarakat luas. Namun kampanye juga
terkadang dilihat sebagai alat advokasi kebijakan untuk menciptakan tekanan
publik bagi aktor-aktor tertentu, seperti media massa dan pembuat kebijakan
(pemerintah).
45
Perubahan iklim menimbulkan dampak yang signifikan bagi kehidupan
masyarakat. Contohnya saja suhu bumi yang terasa semakin panas, dan kondisi
cuaca yang semakin tidak menentu. Secara global, seluruh masyarakat perlu
menjadi bagian dari gerakan untuk mencari solusi masalah ini. Hal ini juga
berguna bagi generasi masa sekarang juga generasi masa depan. Kampanye
lingkungan hidup mempromosikan pilihan positif sebagai tren baru, sehingga
melalui kampanye orang dapat memilih untuk bertindak maupun mengubah gaya
hidup mereka untuk beradaptasi terhadap perubahan iklim (WWF, 2010).
Misalnya saja dengan menghemat energi, mmengonsumsi sayuran hijau,
menanam tanaman hijau, dan lain sebagainya.
Dengan adanya kampanye mempromosikan gaya hidup hijau di antara
masyarakat misalnya, maka muncul tekanan publik secara langsung maupun tidak
langsung kepada aktor utama seperti pemerintah dan perusahaan untuk melakukan
tindakan terkait masalah ini (WWF, 2010).
Kampanye lingkungan hidup merupakan bagian dari gerakan lingkungan
hidup, yang direpresentasi oleh berbagai organisasi. Gerakan lingkungan hidup
dengan fokus yang lebih spesifik inilah yang seringkali disebut kampanye
lingkungan hidup. Kampanye lingkungan hidup ini pada dasarnya berfokus pada
keberlangsungan konservasi alam, kesehatan, keadilan bagi lingkungan hidup,
dan ekologi. Sehingga tujuan akhir yang ingin dicapai adalah untuk meningkatkan
awareness dari masyarakat. Environmental awareness ini dipahami sebagai hal
yang penting dan perlu dalam melindungi lingkungan hidup.
46
2.2.1 Strategi Komunikasi dalam Kampanye
Kampanye merupakan bentuk pengaplikasian komunikasi media massa beserta
strateginya dalam mencapai tujuan-tujuannya. Umumnya tujuan kampanye terdiri
atas dua, antara lain untuk mendefinisikan atau menjabarkan strategi untuk
memperingatkan masyarakat mengenai suatu hal dan untuk menjelaskan strategi
demi memperingatkan masyarakat serta memberikan pengetahuan baru
(Marciano, 2011: 16). Namun bagaimana pun juga, strategi ini yang digunakan
untuk meningkatkan pengetahuan berbeda dengan kampanye sebagai strategi
untuk memperingatkan masyarakat. Kampanye yang bertujuan untuk
memperingatkan masyarakat harus bersifat pragmatis (Marciano, 2011: 16),
dimana isi kampanye berisi konten sebab dan akibat. Konten ini harus dikemas
dengan semenarik dan sekreatif mungkin agar masyarakat terdorong untuk
melakukan apa yang diinginkan oleh pelaksana kampanye. Sehingga kampanye
ini menggunakan strategi yang harus mampu menarik masyarakat lewat cara-cara
yang persuasif. Misalnya saja dengan menggunakan media online, atau dengan
gambar-gambar yang berwarna, serta dengan membuat video yang mudah untuk
disebarkan kemana pun, dan lain sebagainya.
Sementara kampanye dengan tujuan untuk meningkatkan pengetahuan
masyarakat mengenai suatu isu, umumnya bersifat konstitutif (Marciano, 2011:
16). Jadi konten kampanye berisi tentang fakta-fakta serta laporan lengkap
mengenai suatu isu. Agar tidak terlihat membosankan, maka laporan ini dapat
dipublikasikan melalui situs internet, media pemberitaan online, maupun media
47
microblog lainnya seperti twitter dan facebook. Suatu kampanye bisa saja
memiliki kedua tujuan ini, dilihat dari konteks dan strateginya dalam
menyebarluaskan kampanye.
Penerapan strategi komunikasi dalam kampanye umumnya dilakukan
karena dianggap efektif dalam membantu kampanye. Kampanye awalnya
terinspirasi dari suatu gagasan, ide, atau keinginan mengenai suatu isu tertentu.
Gagasan ini kemudian dituangkan ke dalam aksi, baik langsung maupun tidak
langsung. Strategi komunikasi yang baik dalam kampanye adalah bagaimana cara
mewujudkan gagasan ke dalam suatu gerakan atau aksi secara efektif. Strategi
komunikasi fokus pada target, informasi, dan aksi. Strategi komunikasi penting
dalam kampanye, karena dapat membantu dalam: (Seeds for Change, 2013: 1)
a. Memilih taktik dan waktu yang tepat. Kampanye dapat berdampak
positif juga negatif, sehingga dengan menerapkan taktik yang tepat
akan mampu menyeimbangkan kedua hal tersebut. Taktik yang
tepat dapat dipilih dengan melihat jangka waktu kampanye dan
sampai tahap apa taktik ini dapat digunakan.
b. Mengevaluasi keberhasilan (maupun kegagalan). Apabila taktik
direncanakan dengan baik, selama proses pelaksanaan akan terlihat
apakah tujuan tercapai atau tidak. Hal ini penting untuk
perencanaan kampanye berikutnya.
c. Kekonsistenan. Kampanye harus muncul terus-menerus agar
terlihat berkembang, karena jeda menunjukkan ketidakkonsistenan
kampanye. Hal ini penting untuk menarik masyarakat, sebab
48
apabila tidak konsisten maka perhatian masyarakat juga akan
beralih dan tujuan dari kampanye itu terlupakan.
d. Kecocokan dengan kampanye atau gerakan lainnya. Kampanye
dengan fokus atau ruang lingkup yang sama setidaknya dapat
membantu satu sama lain, berupa dukungan atau persetujuan,
berdasarkan kecocokan karakteristik, fokus, atau tujuan kampanye.
Strategi kampanye direncanakan dan dapat diubah bila perlu, tergantung
pada situasi yang terus dapat berubah secara cepat dan fleksibel. Selain itu,
motivasi awal kampanye merupakan sumber energi terbesar bagi kampanye itu
sendiri. Sehingga disusunnya strategi adalah sebagai bahan pertimbangan untuk
membantu kampanye diwujudkan ke dalam suatu aksi tertentu. Strategi
komunikasi sifatnya sistematis yang terdiri dari beberapa aksi untuk mencapai
suatu tujuan tertentu yang diinginkan.
Strategi komunikasi dalam kampanye pertama adalah menetapkan tujuan
kampanye (Seeds for Change, 2013: 2). Apa saja hal-hal yang ingin dicapai, dan
tujuan ini sifatnya harus didasari oleh motivasi. Selain itu, strategi ini menuntut
tujuan yang bersifat mampu dicapai (achievable) dan realistis. Ketika tujuan ini
telah disepakati, maka harus diputuskan apakah keputusan tersebut sifatnya dapat
dinegosiasi atau tidak. Strategi selanjutnya adalah mengumpulkan informasi.
Informasi yang dikumpulkan bisa terkait dengan fakta, data, rincian mengenai
kampanye dengan basis tujuan yang sama, atau informasi mengenai latar belakang
perusahaan, institusi, atau aktor lainnya yang terlibat. Informasi yang akurat akan
sangat membantu dalam pelaksanaan kampanye karena dapat memberikan ide-ide
49
mengenai tindakan yang dapat dilakukan, atau untuk memperoleh bantuan dari
pihak lain (Seeds for Change, 2013: 2).
Strategi ketiga adalah untuk mengidentifikasi target yang dituju setelah
menyaring data yang dikumpulkan. Target dapat ditentukan dengan melihat pihak
atau aktor yang memiliki kepentingan dalam isu ini, atau setidaknya kelompok
orang yang ingin dibujuk. Pengidentifikasian target ini dapat ditentukan dengan
forcefield analysis (Seeds for Change, 2013: 2). Cara ini dilakukan dengan
menarik garis komitmen untuk menunjukkan seberapa besar pro dan kontra pihak-
pihak yang terlibat terkait isu kampanye. Garis ini dibentuknya seperti grafik
dengan garis netral ditengahnya yang mana garis netral ini disebut garis kekuatan
untuk menunjukkan seberapa besar pengaruh seorang aktor. Semakin dekat
dengan garis bawah maka semakin besar pengaruh aktor tersebut. Garis sebelah
kiri menunjukkan pihak-pihak yang kontra sedangkan garis kanan menunjukkan
pihak-pihak yang pro dengan isu tersebut.
Setelah target ditentukan, maka perlu adanya taktik kampanye. Taktik ini
berupa tindakan-tindakan yang dilakukan untuk mencapai tujuan yang diinginkan
misalnya untuk mendapatkan perhatian media atau meningkatkan kepedulian dan
perhatian publik. Taktik ini dapat ditentukan melalui action brainstorm dan
flowchart, agar ide-ide terkumpul dengan cepat dan mendorong kreatifitas (Seeds
for Change, 2013: 4). Dengan ini maka ide-ide dan taktik mengenai kampanye
dapat direalisasikan. Dalam strategi ini, dibutuhkan sebuah rancangan yang
digunakan untuk memberikan gambaran mengenai hal-hal yang dapat dilakukan.
Tidak hanya itu, rancangan juga berfungsi untuk mengembangkan ide lebih baik
50
lagi. Melalui rancangan ini maka akan terlihat seberapa besar kampanye ini
berhasil dan seberapa realistis strategi yang dilakukan.
Selain itu, strategi komunikasi baru dalam kampanye juga dapat
memanfaatkan media dengan baik. Misalnya dengan pembuatan situs kampanye,
akun-akun kampanye di twitter, facebook, line, atau instagram, juga
menggunakan media iklan untuk menyebarluaskan isu yang diusung kampanye
tersebut (Seeds for Change, 2013: 5). Saat ini, strategi komunikasi baru
menggunakan media untuk menghasilkan produk luaran yang positif dan
membawa masyarakat untuk lebih peduli dan cepat tanggap dalam menghadapi
isu tersebut.
2.2.2 Media dalam Kampanye Lingkungan Hidup
Tujuan dilakukannya kampanye adalah untuk menimbulkan efek-efek kampanye,
setidaknya untuk tujuan persuasi. Kampanye mampu mengubah pandangan,
keputusan, serta tindakan masyarakat mengenai sesuatu. Sehingga kampanye
menekankan pada objektif mengenai bagaimana kampanye tersebut mampu
mempengaruhi selera masyarakat. Perubahan tersebut tidak hanya terjadi dengan
sendirinya, namun harus ada upaya-upaya yang dilakukan ketika kampanye. Salah
satunya adalah dengan menggunakan media.
Media umumnya digunakan untuk aksi-aksi kampanye yang sifatnya
terkait penjualan sesuatu, misalnya produk atau jasa. Namun saat ini, media dapat
digunakan untuk kampanye apa pun karena media memegang pengaruh besar
dalam mengubah opini publik. Selama pesan yang ingin disampaikan dikemas
dengan baik dan menarik, maka akan mudah menarik dukungan dan opini publik.
51
Apalagi dengan tingginya jumlah pengguna media yang langsung terhubung ke
koneksi internet, maka kampanye dengan tema apa pun mampu diterima dengan
baik oleh masyarakat.
Begitu juga dengan masalah lingkungan, kampanye dapat dimanfaatkan
untuk mencari dukungan dan bantuan dalam menyelesaikan masalah tersebut.
Kampanye melalui media biasanya dilakukan untuk mempengaruhi target
kampanye. Umumnya, media digunakan untuk target yang lebih besar. Sehingga
hal ini dilakukan dengan memanfaatkan media massa yang terhubung ke
kelompok populasi yang besar dan mampu diakses oleh siapa pun. Media massa
dapat digunakan dengan empat cara berdasarkan tujuan dan target yang ingin
dicapai, antara lain sebagai: (Bragt, 2006: 2)
a. Media informatif. Contoh: program acara berita dan Koran.
b. Media edukasional. Contoh: buku dan video edukasional.
c. Media persuasif. Contoh: iklan banner/billboard, iklan televisi,
editorial Koran, dan web site.
d. Media hiburan. Contoh: film dan kuis.
Kampanye melalui media lebih fokus pada media persuasif karena
berupaya untuk meyakinkan pesan yang disampaikan melalui media kepada target
capaian. Namun terkadang, kampanye melalui media banyak dilakukan organisasi
dengan memanfaatkan ketergantungan masyarakat terhadap media. Masyarakat
bergantung pada media dalam hal informasi, sebab sulit bagi masyarakat untuk
memperoleh sendiri informasi-informasi tersebut atau pun untuk mengecek
sumber tiap-tiap informasi yang mereka terima. Sehingga organisasi ini
52
menggunakan apa yang audiens anggap sebagai media informasi objektif menjadi
media persuasif. Organisasi mempengaruhi media informatif dan menjadikan
informasi tersebut bersifat subjektif, atau dikenal dengan istilah indoktrinasi.
Untuk menyampaikan pesan tersebut maka kampanye media bisa menggunakan
berbagai kategori media massa, antara lain televisi (video juga termasuk), media
cetak (koran dan majalah), juga media elektronik (internet). Setiap jenis media
massa ini memiliki karakteristiknya masing-masing. Untuk mendapatkan hasil
yang maksimal dan kecocokan terhadap media tertentu, maka perlu adanya
pemilihan jenis media dengan baik.
Tabel 2.3 Karakteristik Media Massa
Medium Karakteristik
Televisi (satelit,
film, dan video)
a) Medium yang mampu mencapai target luas
b) Baik dalam menyampaikan pesan atau informasi
melalui visualisasi cerita
c) Memiliki kompetisi tinggi dalam waktu tayang
d) Durasi pesan sekitar 30-60 detik
Cetak (majalah,
koran, poster,
banner)
a) Umumnya menggunakan direct quotes dari
wawancara, statement, atau hasil jumpa pers
b) Menargetkan segmen publik tertentu
c) Menawarkan sorotan mendalam mengenai subjek
informasi
Elektronik
(internet)
d) Mampu diakses siapa saja, kapan pun, dan di mana
pun
53
e) Hampir tidak memiliki batasan dalam konten
f) Audiens dapat memilih apa konten yang ingin
diterima, bahkan menawarkan konten informasi
(Sumber: Bragt, 2006: 2)
Selain kecocokan karakteristik media dengan kampanye, penjadwalan
media juga penting dalam kampanye media, yaitu pertama mendeskripsikan target
yang ingin dituju untuk dipengaruhi (Bragt, 2006: 2). Sebab karakteristik target
juga menjadi faktor pengaruh dalam kampanye ini, agar dapat dengan mudah
menentukan media apa yang harus digunakan. Kedua menentukan hasil yang
diinginkan. Sebab ketika tujuan yang diinginkan jelas, maka lebih mudah untuk
menyusun konten pesan yang ingin disebarkan. Pemilihan media juga bergantung
pada jenis pesan yang ingin disampaikan. Selain itu, perlu juga mengidentifikasi
penggunaan media oleh target. Dengan begitu, maka pesan dapat disebarkan
secara efektif dan tujuan yang diinginkan dari kampanye tersebut mampu tercapai.
2.3 Non-Governmental Organizations
Nongovernmental Organizations merupakan organisasi yang bersifat
sukarela dimana anggota-anggotanya merupakan kumpulan individu yang
memiliki tujuan yang sama (Karns & Mingst, 2004: 10). Tujuan-tujuan menjadi
landasan advokasi masalah-masalah, seperti hak asasi manusia dan perlindungan
lingkungan hidup. NGO terus mengalami perkembangan, sampai akhirnya aktif di
tataran masyarakat dan komunitas global. NGO tidak membatasi anggotanya dari
satu negara saja, umumnya individu dari negara mana pun diperbolehkan untuk
bergabung. Dengan jaringan mobilisasi dan informasi yang tinggi, maka NGO
54
dianggap sebagai peran kunci dalam hubungan internasional. NGO mampu
melibatkan partisipasi publik, baik individu maupun kelompok, dalam
mencanangkan suatu gerakan atau aksi (Karns & Mingst, 2004: 12). Sebab NGO
memiliki jaringan yang luas, terbentuk karena adanya nilai dan diskursus bersama
sampai akhirnya kemudian mempercepat penyebaran informasi. Tidak hanya itu,
keyakinan bahwa manusia mampu melakukan perubahan juga menjadi faktor
pendorong berkembangnya NGO.
Keterlibatan NGO sebagai aktor penting dalam hubungan internasional
dimulai sejak tahun 1990-an. Berbeda dengan IGO, tidak semua NGO memiliki
legal standing dalam hukum internasional (Karns & Mingst, 1996: 18). Meskipun
cakupan aktivitas organisasi ini berada pada tingkat internasional, namun hanya
beberapa negara saja yang dianggap sebagai subjek dari regulasi hukum.
Perkembangan NGO juga dipengaruhi oleh peran pemerintah yang dianggap
gagal dalam memfasilitasi kebutuhan publik. Kekosongan peran ini pun diisi oleh
NGO, sebab aksi yang dilakukan NGO tampak lebih nyata (Karns & Mingst,
1996: 216).
Peran dari NGO ini pun beragam, mulai dari mengkampanyekan isu yang
mereka fokuskan, sampai mendorong opini publik dan mencari dukungan politik
dari masyarakat luas melalui media (Karns & Mingst, 1996: 229). Dalam kasus
ini, Greenpeace sebagai sebuah NGO yang fokus pada isu lingkungan hidup
berperan mengumpulkan dan mempublikasikan informasi mengenai isu tersebut.
Tidak hanya itu, Greenpeace juga telah menunjukkan perannya dalam membuat
55
jaringan global, mempromosikan norma baru, yaitu eco-friendly living dan
mendorong partisipasi publik.
Secara umum, terdapat lima fungsi utama NGO dalam hubungan
internasional. Pertama, NGO memberikan kritik-kritik internasional. Karena
organisasi ini tidak bergantung pada negara sehingga NGO bebas untuk
menyuarakan ketidakpuasannya terhadap kelemahan-kelemahan negara dalam
menindaklanjuti suatu isu. Kedua, NGO berfungsi sebagai bagian dari komunitas
epistemik. Para ahli yang tergabung dalam NGO tersebut dapat membentuk
komunitas yang mendorong agenda-agenda lingkungan bahkan mengubah cara
berpikir masyarakat. Ketiga, NGO juga berfungsi memberikan solusi atas konflik
yang ada dan bekerjasama dengan IGO. Keempat, NGO dapat melakukan fungsi
inspeksi. Kelima, NGO berfungsi memengaruhi kebijakan lingkungan negara.
sebab kehadiran NGO memberikan banyak opsi bagi pembuat kebijakan. Meski
begitu, negara tetap memiliki tanggungjawab utama dalam sistem karena negara
mampu melakukan kompromi dan tawar-menawar dengan negara lainnya.
2.4 Enviro
nmentalisme
Environmentalisme dipahami sebagai suatu gerakan yang bertujuan
melindungi lingkungan dari kerusakan serta meningkatkan taraf kesehatan
manusia. Environmentalisme kerap kali diasosiasikan dengan green world view,
dimana ada kepercayaan bersama bahwa perubahan sosial yang sifatnya
fundamental berpengaruh dalam membangun masyarakat yang baik secara
lingkungan (Pepper, 1996: 10). Warna hijau juga merupakan representasi dari
56
environmentalisme. Environmentalisme fokus menyebarkan pengaruhnya dalam
aktivitas dan pendidikan tertentu demi melindungi ekosistem. Kaum
environmentalist beranggapan bahwa kerusakan lingkungan yang terjadi
merupakan dampak dari perilaku manusia dan kebijakan publik negara (Gottlieb,
2005). Sebab kedua faktor ini berpengaruh pada manajemen sumber daya alam,
sehingga apabila kebijakan dan tindakan yang diambil tidak mendukung ekologi
maka akan berdampak pada kerusakan lingkungan.
Tindakan manusia yang mampu merusak lingkungan misalnya dengan
mengonsumsi sumber daya secara berlebihan. Sifat alami manusia cenderung
konsumtif sementara sumber daya sifatnya terbatas. Sehingga sifat alamiah ini
mendorong para pemegang industri untuk memenuhi dan memuaskan konsumsi
manusia dengan tujuan ekonomi. Kebijakan negara yang tidak mendukung,
seperti mengizinkan perusahaan-perusahaan asing mengelola sumber daya alam
negara tersebut, juga dapat menurunkan kualitas lingkungan hidup.
Environmentalisme melihat hubungan masyarakat dan alam, bahwa
permasalahan lingkungan yang ada muncul karena tidak adanya nilai yang
didambakan oleh manusia mengenai alam itu sendiri (Pepper, 1996: 10). Alam
dipandang sebagai suatu instrumen yang dapat digunakan sebagai material yang
tidak ada habisnya (Pepper, 1996: 13). Sehingga masyarakat berusaha untuk
memanipulasi hukum alam demi memenuhi kebutuhannya sendiri. Maka manusia
kemudian menggunakan kekuatan teknologi secara agresif dan kompetitif. Kaum
environmentalist menganggap masyarakat industri terlalu fokus pada tujuan untuk
memaksimalkan keuntungan dan mendukung konsumsi yang berlebih. Manusia
57
cenderung mengabaikan alam dan membuat polusi semakin besar, mengingat
berkembangnya sektor industrialisasi. Sementara daur ulang barang maupun
pengendalian polusi kurang digalakkan dengan alasan untuk menghemat biaya
dan kompetisi pasar (Pepper, 1996: 14).
Sehingga perlu adanya kesadaran bagi manusia mengenai nilai-nilai dan
pentingnya perlindungan terhadap lingkungan hidup. Setelah itu, manajemen
sumber daya secara berkelanjutan akan lebih mudah. Hal ini juga harus didukung
dengan perubahan perilaku masyarakat yang mengasosiasikan nilai-nilai
lingkungan dalam kehidupannya, serta kebijakan publik yang menitikberatkan
pada keberlangsungan lingkungan hidup.
Kesadaran dan perubahan perilaku masyarakat untuk dapat
mengasosiasikan nilai-nilai lingkungan mempengaruhi munculnya
environmentalisme global. Environmentalisme global berpotensi transformatif
serta memberikan dampak bagi hubungan internasional. Dengan munculnya
environmentalisme global, maka masyarakat internasional mulai peduli dengan
alam setidaknya dalam hal pencarian solusi dalam masalah-masalah lingkungan.
Gagasan serta norma lingkungan sendiri mulai masuk ke dalam tataran sistem,
tidak hanya masyarakat maupun negara, organisasi internasional juga ikut terjun
ke dalam aksi ‘menghijaukan’ masyarakat internasional.
Aksi ini dilakukan berdasarkan dua pendekatan, antara lain fungsionalis
dan sosiologis. Menurut fungsionalis, terbangunnya kesadaran akan lingkungan
menjadi suatu dorongan yang transformatif khususnya kepada masyarakat secara
global.
58
“It emphasized the scale and urgency of environmental problems
and argues that an unprecedented level of international
cooperation is required to avert a global crisis. As humanity comes
to understand the profound threat that it faces, it will develop
forms of collective action to counter the various environmental
degradation trends. Functional necessity is the handmaiden of a
new form of global environmental cooperation.” (Falkner, 2012:
506)
Sementara pendekatan sosiologis mengasosiasikan perspektif masyarakat global
dengan sumber perubahan global di luar hubungan internasional tradisional.
Dalam pandangan sosiologis, mobilisasi lingkungan dan pertumbuhan diskursus
saintifik transnasional selalu berkaitan dengan terbentuknya struktur organisasi
global. Kedua pendekatan ini sama-sama memperlihatkan relevansi mendalam
dengan environmentalisme global.
“They identify world society, that is, the beliefs and activities of
transnational societal actors such as scientists and environmental
campaigners, as the source of the greening of international
society.” (Falkner, 2012: 506)
59
2.5 Kerangka Pemikiran
Tabel 2.4
Sumber: Olahan Peneliti, 2016
Tinjauan pustaka yang dipaparkan peneliti disusun dengan
mengaplikasikan teori dan konsep kepada permasalahan yang diusung peneliti.
Penelitian ini bermula dari aktivitas pengeboran minyak yang dilakukan oleh
Finlandia bersama Shell, dengan mengirimkan beberapa kapal penghancur es ke
Wilayah Arktik. Meningkatnya dampak aktivitas industri bagi lingkungan hidup
menyebabkan isu ini ditempatkan sebagai salah satu permasalahan serius dalam
agenda internasional dan membutuhkan aksi penanggulangan bersama. Tingginya
intensitas aktivitas industri yang dilakukan Finlandia menyebabkan berbagai
masalah, khususnya masalah lingkungan hidup. Sehingga masalah ini pun
mendorong Greenpeace untuk melakukan serangkaian aksi.
Sebagai non-governmental organizations (NGO) yang fokus pada isu
lingkungan hidup, Greenpeace menerapkan strategi kampanye demi
meningkatkan awareness masyarakat serta solusi nyata terhadap masalah ini.
Greenpeace kemudian melakukan kampanye Save the Arctic melalui situs
Greenpeac
e
Save the
Arctic
Media
cetak dan
online
Masyaraka
t Arktik
Dukungan
masyaraka
t
60
resminya, twitter, facebook, dsb. Kampanye ini berhasil memperoleh dukungan
masyarakat, terutama para aktivis lingkungan di seluruh dunia. Tidak hanya itu,
Greenpeace juga menggerakkan aktivis-aktivisnya untuk menggalakkan aksi
protes, maupun okupasi kapal penghancur es miliki Finlandia dengan memasang
banner dsb. Gerakan yang dilakukan Greenpeace merupakan perwujudan dari
environmentalisme, dimana gerakan dilakukan untuk mengurangi kerusakan
lingkungan serta meningkatkan taraf hidup manusia. Teori ini percaya bahwa
lingkungan hidup selalu berkaitan dengan manusia, sehingga butuh adanya upaya
dari manusia sendiri.
47
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian Kualitatif
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif dengan
berfokus pada interpretasi. Interpretasi ini menekankan pada manusia sebagai
instrumen utama, khususnya peneliti (Stake, 2010: 20). Pemilihan metode
penelitian kualitatif sendiri didasarkan pada keinginan peneliti untuk mengkaji
masalah secara mendalam. Metode penelitian kualitatif mengacu pada makna,
konsep, definisi, karakteristik, serta deskripsi masalah.
Terdapat lima hal yang menjadi kekuatan metode penelitian ini (Yin,
2011: 8). Pertama, metode ini melihat makna-makna yang ada. Kedua, metode ini
merepresentasikan pandangan dan perspektif dari manusia sebagai aktor. Ketiga,
metode penelitian kualitatif mencakup konteks secara keseluruhan. Keempat,
metode penelitian kualitatif berkontribusi dalam melihat konsep yang dapat
menjelaskan suatu isu. Kelima, penggunaan sumber bukti yang beragam tidak
hanya sumber tunggal.
Maka secara umum, metode penelitian kualitatif merujuk pada pokok
permasalahan yang dikaji dengan analisis mendalam, yaitu membandingkan bahan
sumber informasi (studi kasus). Dengan demikian, maka metode penelitian
kualitatif menekankan pada banyaknya sumber informasi yang berkaitan dengan
isu yang dikaji. Data ini kemudian diolah oleh peneliti. Sehingga dalam
pengumpulan data, interpretasi atau subjektif peneliti menjadi hal yang sangat
48
penting untuk membentuk interpretasi dari masalah yang diteliti (Stake, 2010: 19-
20). Penelitian secara interpretasi sendiri diartikan sebagai investigasi masalah
dengan menitikberatkan pada peneliti yang mendefinisikan serta menguraikan
makna (Stake, 2010: 36). Tetapi penelitian ini tidak hanya menekankan pada
peneliti, namun juga penstudi lain karena data yang diambil juga mengacu pada
hasil penelitian penstudi lain. Penelitian yang diambil dari penstudi lain
merupakan penelitian dari fokus yang sama dengan penelitian peneliti.
Dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan dua macam interpretasi,
yaitu interpretasi mikro dan interpretasi makro. Interpretasi mikro merupakan
interpretasi dari individu yang mengalami langsung masalah tersebut. Interpretasi
mikro tidak hanya dilakukan oleh individu yang mengalami langsung, tetapi juga
dari individu yang mengamati dan memberikan makna pada individu tersebut
misalnya ekspresi, dialog, atau gerak tubuh (Stake, 2010: 39). Dalam hal ini,
interpretasi mikro banyak berpusat pada peneliti sendiri.
Kemudian peneliti juga menggunakan interpretasi makro, yaitu interpretasi
yang dilakukan oleh sekelompok orang mengenai suatu masalah (Stake, 2010:
39). Maka dari itu, interpretasi ini sifatnya umum dan memberikan variasi
terhadap analisis masalah. Interpretasi makro juga lebih mengaitkan masalah
dengan sumber dari segala sisi. Sehingga peneliti akan melihat dari aktor masalah
ini, yaitu Greenpeace dan Finlandia.
3.2 Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan secara garis besar mengacu pada manusia. Sebab
dalam penelitian kualitatif, manusia mampu melakukan sesuatu, merencanakan
49
suatu kajian, menyusun situasi yang akan diobservasi, mewawancarai orang lain,
menguji catatan atau berkas yang terkait dengan penelitian, mengaitkan gagasan,
sampai pada menulis laporan (Stake, 2010: 36). Sehingga manusia sebagai
instrumen utama merupakan manusia yang terlibat dalam penelitian, baik peneliti,
objek yang dikaji, maupun pihak yang melakukan interpretasi penelitian atau
narasumber, misalnya pihak yang mengalami langsung atau mendengarkan
kejadian tersebut dari pihak lain yang memiliki pengalaman.
Peneliti melakukan interpretasi dan mendasari hal tersebut pada
pemahaman, yaitu pemahaman model dan kalkulasi. Dalam metode penelitian
kualitatif, umumnya interpretasi dilakukan melalui pemahaman eksperiensial.
Pemahaman ini berasal dari pengalaman pribadi atau dari kumpulan dan artifak
pengalaman orang lain (Stake, 2010: 48). Sehingga pemahaman eksperiensial
disebut juga sebagai pengalaman yang berdasarkan pada pengalaman dan
observasi.
Penelitian ini juga menggunakan thick description, yang tidak hanya
menggunakan deskripsi rinci tetapi juga pemikiran pada teori (Stake, 2010: 49).
Meski begitu, penelitian ini tetap menekankan pada interpretasi. Dengan
menerapkan thick description, maka akan lebih mudah melihat situasi,
memahami, dan membandingkannya dengan interpretasi berdasarkan studi
literatur. Selain itu juga digunakan instrumen pencarian data berdasarkan urutan
kejadian dan data-data terkait (Stake, 2010: 101).
3.3 Teknik Pengumpulan Data
50
Teknik pengumpulan data penting dalam suatu penelitian, sebab data dipilih
berdasarkan kesesuaian terhadap pertanyaan penelitian (research question) dan
gaya penyelidikan data peneliti (Stake, 2010: 89). Data yang akan digunakan
peneliti dikumpulkan melalui hasil observasi/studi literatur, wawancara, dan
catatan-catatan yang berkaitan dengan masalah penelitian.
Studi literatur menggunakan berbagai buku, jurnal, dokumen, artikel, dan
lain-lain. Teknik pengumpulan data ini diambil dari data yang ditemukan di
berbagai perpustakaan yang menyediakan buku atau jurnal yang terkait. Data yang
digunakan harus relevan dan penting, karena ketika bercampur dengan data
lainnya maka data tersebut menjadi data agregat (Stake, 2010: 91). Maka butuh
adanya observasi data yang baik oleh peneliti agar data yang terkumpul relevan
satu sama lain.
Sementara pengumpulan data dengan menggunakan wawancara dilakukan
secara langsung maupun korespondensi. Tujuannya adalah untuk memperoleh
informasi dari orang lain, maupun menemukan hal yang tidak mampu diobservasi
langsung oleh peneliti (Stake, 2010: 95). Melalui wawancara langsung, data-data
yang diperoleh akan menjadi data primer dalam menunjang penelitian ini. Namun
apabila pihak yang bersangkutan untuk diwawancara tidak dapat ditemui, maka
wawancara akan dilakukan melalui e-mail (korespondensi). Berikut uraian data
primer dan sekunder:
3.3.1 Data Set Penelitian
Tabel 3.1
Data Primer
51
No. Data Primer Sumber
1. Kampanye Save the Arctic Artikel dan dokumen resmi
dari Greenpeace
Internasional
2. Peran Media dalam
Kampanye Save the Arctic
Korespondensi dengan
mantan aktivis Greenpeace
Internasional
3. Strategi Kampanye Save the
Arctic
Artikel dan dokumen resmi
dari Greenpeace
Internasional
Tabel 3.2
Data Sekunder
No. Data Sekunder Sumber
1. Media Global dan Perannya Buku, jurnal, dan dokumen
terkait
52
2. Kondisi lingkungan dan
Pengeboran Minyak di Arktik
Buku, jurnal, dan dokumen
resmi Greenpeace
3. Strategi Kampanye Buku, jurnal, dokumen
terkait, dan korespondensi
dengan mantan aktivis
Greenpeace Internasional
3.4 Strategi Analisis Data
Peneliti menggunakan strategi analisis data dengan lima langkah, antara lain
mengumpulkan data, mengkaji data atau sumber literatur, mengaitkan data/bukti
dengan masalah penelitian, menganalisis dan mensintesis masalah, serta
melakukan evaluasi. Peneliti memilah data yang dikumpulkan dan
menganalisisnya berdasarkan fokus penelitian. Interpretasi data yang didapat
kemudian dituangkan dalam bentuk deskripsi berupa tulisan, laporan, maupun
grafik (Stake, 2010: 134-153). Berikut strategi analisis data yang digunakan
peneliti, yaitu:
a. Pengumpulan Data
Pengumpulan data merupakan metode yang dipilih sesuai dengan
pertanyaan penelitian (research question). Tidak hanya itu, metode ini
disesuaikan dengan gaya analisis peneliti, misalnya melalui studi
literatur dan wawancara. Data yang dibutuhkan untuk
mengembangkan pertanyaan penelitian perlu disusun agar menjadi
informasi yang tepat.
53
b. Pengkajian Data
Data yang telah dipilih dikaji ulang berdasarkan kepentingannya. Hal
ini dilakukan demi mengefektifkan sumber informasi, dan mengurangi
informasi yang tidak begitu penting. Pengkajian data dapat dibantu
dengan memetakan data, fungsinya adalah untuk memberikan batasan
dalam penelitian.
c. Mengaitkan Data dengan Masalah Penelitian
Dapat dikatakan bahwa perencanaan penelitian serta pengumpulan
data dilakukan untuk memperoleh bukti atau informasi yang
berkualitas. Meski begitu, interpretasi bukti data juga sama pentingnya
dengan bukti data itu sendiri. Dimana interpretasi dimaksudkan untuk
mengaitkan data dengan masalah penelitian. Relevansinya dapat
dilihat berdasarkan pengalaman dan makna.
d. Mensintetis Masalah
Penelitian biasanya melibatkan analisis dan sintesis. Analisis
dilakukan dengan melihat lebih dalam relevansi antara kumpulan data
dan pengalaman. Kemudian disintesis dengan meletakkan kumpulan
data dan pengalaman tersebut, dilihat dari sisi yang berbeda. Hal ini
dilakukan untuk memunculkan interpretasi baru dan pola baru, dengan
tetap mengikuti tahapan biasanya. Dengan mensintesis masalah, maka
peneliti akan mampu membentuk pemahaman dari hasil penelitian.
e. Evaluasi Data
54
Evaluasi merupakan cara untuk mengenali masalah agar dapat
membuat kualitas laporan lebih baik. Dalam evaluasi, peneliti harus
mempertimbangkan berbagai pandangan terhadap masalah yang
dievaluasi. Menemukan pandangan yang berbeda bukan berarti
evaluasi tersebut tidak valid, namun banyaknya sudut pandang dapat
menjadi argumen untuk memunculkan kualitas dan pemahaman baru.
3.5 Validitas dan Reliabilitas Data
Dalam metode penelitian kualitatif, pembuktian validitas data diperlukan. Sebab
studi yang valid adalah studi yang secara benar mengumpulkan dan
menginterpretasi data, agar kesimpulan yang dicapai secara akurat merefleksikan
dan merepresentasi penelitian (Yin, 2011: 78). Validitas dan reliabilitas data
dilakukan dengan menggunakan triangulasi data yang berfungsi membuktikan
keabsahan data yang didapat dan untuk membuktikan kebenaran data tersebut.
Praktisnya, triangulasi data berhubungan dengan fase pengumpulan data. Sebab
idealnya triangulasi mencoba menemukan jenis-jenis data yang berbeda, baik
observasi langsung, tidak langsung (dokumen), maupun laporan verbal.
Triangulasi dilakukan dengan cara membandingkan satu data dengan data
lainnya atau juga dengan melakukan pengecekan ulang terhadap sumber data
seperti narasumber, buku, jurnal, dan berita/artikel. Uwe Flick (2002) dalam
bukunya yang berjudul An Introduction to Qualitative Research mengatakan
bahwa triangulasi tidak hanya sekedar mengkonfirmasi dan validasi, tetapi lebih
kepada diferensiasi (Stake, 2010: 124).
55
3.6 Lokasi dan Waktu Penelitian
3.6.1 Lokasi Penelitian
Studi kepustakaan akan dilakukan di lokasi-lokasi berikut:
1. Perpustakaan FISIP UNPAD, Jalan Raya Bandung-Sumedang
KM 21, Jatinangor
2. Perpustakaan CISRAL, Jalan Dipati Ukur No. 46, Bandung
Sedangkan untuk wawancara dilakukan kepada:
1. Greenpeace Internasional. Keterangan: Dialihkan ke Greenpeace
Indonesia.
2. Greenpeace Finlandia. Keterangan: Tidak ada kabar lanjutan.
3. Greenpeace Indonesia. Keterangan: Tidak ada balasan.
4. Kedutaan Besar Finlandia. Keterangan: Tidak ada balasan.
5. Mr. Chris Rose, mantan aktivis Greenpeace Internasional dan
aktivis lingkungan.
3.6.2 Waktu Penelitian
N
o Kegiatan
2015 2016
1 2 3 4 5 6 7 8 9 1
0
1
1
1
2 1 2 3 4 5
56
Tabel 3.3
Sumber: Olahan Peneliti, 2016
1 Pengajuan
Judul
2 Pengumpul
an Data
3 Masa
Bimbingan
4
Seminar
Usulan
Penelitian
5 Penelitian
6 Sidang
Skripsi
7 Wisuda
Sarjana
57
3.7 Sistematika Penulisan
BAB I: Menguraikan latar belakang penelitian yang akan peneliti kaji beserta
rumusan masalah dan tujuan manfaat yang ingin dicapai.
BAB II: Dalam bab ini dipaparkan teori dan konsep yang menjadi alat analisis
penelitian serta keterkaitan antara teori dan konsep dengan rumusan masalah dan
kerangka pemikiran penelitian.
BAB III: Menjelaskan metode penelitian yang dipilih oleh peneliti dengan
berbagai penjelasan mulai dari teknik pengumpulan data, analisis data, validitas
dan reliabilitas data, serta lokasi dan waktu penelitian.
BAB IV: Bab ini berisi tentang objek penelitian yang akan dikaji oleh peneliti
seperti Greenpeace, Finlandia, dan Arktik.
BAB V: Bab ini menjawab rumusan masalah yang menjadi fokus penelitian
dengan menggunakan teori dan konsep yang digunakan dengan objek yang dikaji.
BAB VI: Bab ini berisi kesimpulan dan saran peneliti terhadap penelitian yang
dilakukan.
58
BAB IV
OBJEK PENELITIAN
4.1 Keikutsertaan Finlandia dalam Dewan Arktik
Pada akhir tahun 1980-an, kerjasama internasional yang melibatkan Arktik
memasuki era baru. Berakhirnya konfrontasi antara Barat dan Timur
menyebabkan berubahnya struktur geopolitik dan membuka kesempatan
kerjasama lebih luas, khususnya di wilayah bagian Utara dunia. Apalagi sejak
negara-negara Nordik beserta Rusia membuat kesepakatan dengan Amerika
Serikat terkait Laut Arktik,
Finlandia menjadi negara pertama yang meneruskan kesempatan ini.
Finlandia menginisiasikan pembentukan organisasi kerjasama di antara delapan
negara-negara Arktik, yaitu Swedia, Norwegia, Finlandia, Islandia, Denmark,
Rusia, Kanada, dan Amerika Serikat di tahun 1989 (Arctic Council, 2015).
Pembentukan organisasi ini ditujukan untuk melindungi Arktik terutama dalam
segi lingkungan. Sampai akhirnya inisiasi yang dilakukan Finlandia ini dibawa
pada Konferensi Ministerial di Rovaniemi tahun 1991. Konferensi ini menjadi
pertemuan ministerial pertama yang dilakukan oleh negara-negara Arktik, yang
kemudian mengarah pada kerjasama lanjutan yang disebut Rovaniemi Process
(Arctic Council, 2015).
48
Pertemuan pertama ini dilakukan hanya untuk membangun kerjasama
dalam bidang lingkungan. Setelah itu, Kanada mengajukan pelaksanaan kerjasama
yang sifatnya lebih luas, yaitu dalam sektor ekonomi, budaya, dan sosial. Maka
dicanangkanlah Dewan Arktik sebagai wadah atau payung politik bagi masalah-
masalah yang dikhawatirkan pemerintah negara-negara Arktik. Dewan ini
diharapkan mampu bertindak sebagai forum untuk berdiskusi, maupun
berkoordinasi dalam memberikan arahan serta dorongan politik. Sampai akhirnya
Dewan Arktik resmi dibentuk tahun 1996 melalui Deklarasi Ottawa, dimana
negara anggotanya menandatangani Strategi Perlindungan Lingkungan Arktik
(Arctic Environmental Protection Strategy) (Arctic Council, 2011). Dewan Arktik
juga diisi komunitas pribumi Arktik dan penduduk Arktik lainnya berkaitan
dengan isu-isu, seperti perlindungan lingkungan dan pembangunan berkelanjutan
(Savage, 2013). Dewan Arktik juga melakukan kajian mengenai iklim, sumber
daya alam, dan jalur pelayaran di Arktik (Arctic Council, 2011).
49
Gambar 4.1 Peta Negara Anggota dan Pengamat Dewan Arktik
(Sumber: Arctic Council, 2015)
Dalam kerjasama ini, Finlandia banyak menawarkan keahliannya terutama
dalam sektor teknologi Arktik. Finlandia telah melakukan penelitian biologis yang
mengkaji tentang ekologi Arktik dan membangun pos-nya di Lapland. Selain itu,
Finlandia juga memiliki Arctic Centre yang melakukan penelitian interdisipliner
mengenai dampak perubahan global serta konsekuensi dari ketidakseimbangan
alam dan masyarakat Arktik (Prime’s Minister Office, 2010: 5). Dapat dikatakan
bahwa Finlandia telah banyak melakukan riset yang berkaitan dengan isu yang
terjadi di Arktik. Bahkan industri Finlandia juga memiliki teknologi modern
dalam konstruksi dan pembangunan infrastruktur Arktik, misalnya dalam hal
transportasi dan navigasi di perairan es.
Meski begitu, Finlandia belum memiliki kebijakannya sendiri mengenai
Arktik. Setelah lima negara pantai di Samudera Arktik mengadopsi strategi atau
kebijakan Arktiknya masing-masing, maka Finlandia terdorong untuk juga
mengadopsi strategi Arktik. Ketertarikan Finlandia terhadap Arktik juga
dipengaruhi oleh kepentingan ekonomi dan perubahan iklim. Keikutsertaan
50
Finlandia dalam Dewan Arktik pada akhirnya mendorong Finlandia untuk
meresmikan strateginya yang disebut Strategi Finlandia untuk Wilayah Arktik
(Finland’s Strategy for the Arctic Region). Strategi ini fokus pada tujuh hal yang
diprioritaskan, antara lain lingkungan, keamanan, ekonomi, institusi, infrastruktur,
warga lokal/pribumi, dan Uni Eropa (Prime’s Minister Office, 2010: 7).
Dalam strategi ini awalnya disebutkan mengenai Finlandia sebagai negara
paling utara di dunia. Sehingga sebagai negara Arktik, Finlandia merupakan
natural actor1 di wilayah Arktik (Prime Minister’s Office, 2010: 8). Tidak hanya
itu, beberapa alasan keikutsertaan Finlandia dalam Dewan Arktik dan
keterlibatannya dengan isu Arktik lainnya juga dipaparkan dalam strategi ini.
Salah satunya adalah karena Finlandia berperan penting dalam mengurusi isu-isu
Arktik. Finlandia secara internasional diakui telah banyak memiliki pengetahuan,
keahlian, dan keterampilan tersendiri mengenai Arktik melalui hasil riset.
Lalu disebutkan juga bahwa penduduk asli Arktik adalah suku Sámi yang
ada di Finlandia (Greenpeace, 2015). Penduduk asli Arktik ini statusnya telah
diamankan dalam konstitusi Finlandia. Finlandia sendiri menekankan bahwa
penduduk asli memiliki peranan utama dalam segala urusan yang melibatkan
Arktik, sehingga isu-isu Arktik patut dikonsultasikan bersama. Penduduk asli
Arktik juga harus diikutsertakan dalam segala pembuatan keputusan mengenai
masalah Arktik sesuai dengan hukum internasional. Alasan lainnya adalah karena
Arktik dianggap memiliki potensi ekonomi yang dapat menguntungkan Finlandia.
1 Aktor yang secara langsung/alami merupakan bagian dari Arktik. Sehingga alamiah jika
Finlandia memiliki kepentingan dalam urusan Arktik, terutama isu yang berkaitan dengan
wilayah paling utara Finlandia dan populasinya yang langsung berbatasan dengan Arktik.
51
Arktik tidak hanya memiliki sumber daya alam yang melimpah, tetapi letaknya
yang strategis juga menjadikan wilayah tersebut sebagai jalur pelayaran maritim
di Samudera Arktik (Greenpeace, 2015). Sehingga hal ini dapat menjadi
kesempatan bagi para ahli Finlandia untuk memperoleh keuntungan dari Arktik.
Selain itu Finlandia juga sadar bahwa Arktik memiliki lingkungan yang rapuh.
Hal ini disebabkan oleh masalah-masalah lingkungan, seperti perubahan iklim
juga dampak dari eksploitasi sumber daya alam yang menyebabkan berkurangnya
biodiversitas di Arktik dan polusi transportasi. Maka Finlandia berupaya untuk
melindungi lingkungan di wilayah Arktik.
Strategi-strategi inilah yang kemudian menjadi landasan kerjasama
Finlandia dalam Dewan Arktik. Dewan Arktik diharapkan mampu merespon
dengan baik tantangan atau masalah-masalah lingkungan dan pembangunan yang
dihadapi Arktik. Hal ini dapat tercapai dengan mendorong penelitian para ahli.
Tidak hanya itu, Dewan Arktik juga berfokus pada konservasi alam, memonitor
dan mengontrol masalah yang terjadi di Arktik, mempromosikan pembangunan
berkelanjutan dan meningkatkan taraf hidup masyarakat yang tinggal di Arktik
(Prime’s Minister Office, 2010: 37). Sebab Dewan Arktik memiliki beban politik
maka keputusan konsensus yang dicapai Negara anggota setidaknya menjadi suatu
rekomendasi.
Finlandia juga berperan sentral dalam mekanisme kerja Dewan Arktik,
terutama karena inisiasinya dalam pembentukan kerjasama ini. Potensi kelemahan
dalam kerja Dewan Arktik adalah pada kurangnya dana bersama yang terlihat dari
terbatasnya sumber daya penelitian bagi kelompok-kelompok riset. Finlandia
52
berusaha untuk mengembangkan operasi Dewan Arktik melalui aksi-aksi berikut
ini: (Prime Minister’s Office, 2010: 38-39)
a. Memperkuat Dewan Arktik sebagai satu-satunya struktur
kerjasama dalam wilayah Arktik dan mengakui pengamat-
pengamat baru.
Perubahan kondisi lingkungan di Arktik dan terbukanya jalur
pelayaran menimbulkan dampak global juga bagi Negara-negara
non Arktik. Maka dari itu Finlandia mendukung pengakuan
terhadap pengamat baru, terutama Uni Eropa, dengan alasan bahwa
pengamat baru memiliki tujuan yang sama dengan dewan. Selain
itu, pengamat baru akan membawa sumber daya tambahan yang
diinginkan oleh dewan.
b. Memperluas agenda Dewan Arktik
Finlandia percaya bahwa Dewan Arktik harus memperluas
kinerjanya sebagai forum untuk diskusi strategi Arktik. Sejauh ini,
kinerja Dewan Arktik berhasil membangun dasar yang baik untuk
mencapai tujuan bersama. Dewan Arktik juga dapat
mempertimbangkan perjanjian internasional mengenai wilayah
Arktik dan mengidentifikasi potensi masalah dan celah. Finlandia
sangat mendukung Dewan Arktik untuk memperluas aktivitasnya
ke dalam sektor-sektor yang dapat membawa nilai baru. Dewan
Arktik bisa saja melakukan Arctic Summit secara berkala untuk
53
mendiskusikan arah kebijakan Arktik dengan mengundang
pengamat agar keputusan yang diambil sifatnya merata.
c. Keraguan institusional
Dukungan Finlandia dalam memperkuat Dewan Arktik tidak hanya
pada gagasan untuk mengakui pengamat baru, tetapi juga pada
peningkatan keberadaan Dewan Arktik sebagai suatu institusi.
Struktur kesekretariatan Dewan Arktik masih belum permanen
sehingga menimbulkan keraguan/pesimis. Untuk membangun
sekretariatan ini, dibutuhkan persetujuan dan konsensus seluruh
Negara anggota. Apabila konsensus tidak tercapai, maka alternatif
solusi yang dapat dilakukan adalah dengan melanjutkan dan
membangun model sekretariat ad hoc. Dengan adanya struktur
kesekretariatan yang stabil, maka sistem dana keuangan Dewan
Arktik untuk penelitian para ahli juga tidak dapat diabaikan.
d. Meningkatkan perhatian terhadap kerja Dewan Arktik
Salah satu tugas penting Dewan Arktik adalah untuk memonitor
lingkungan di wilayah Arktik, memperhitungkan kemungkinan
masalah yang dapat terjadi, dan menginformasikan segala
perubahan mengenai Arktik. Kelompok peneliti yang diusung
Dewan Arktik memegang pekerjaan penting, namun hasil laporan
penelitian ini seringkali tidak disadari oleh publik secara umum.
Inilah kenapa kerja dewan butuh untuk diperlihatkan, agar segala
pemikiran dan tindakan dapat dimanfaatkan dengan efisien
54
terutama dalam pembuatan keputusan dan persiapan untuk
tantangan perubahan iklim yang dihadapi.
4.2 Arctia Ltd
Arctia Ltd merupakan perusahaan pelayaran milik pemerintah Finlandia yang
menyediakan kapal-kapal penghancur es, jasa menghancurkan es, dan jasa dalam
merespon kebocoran minyak di wilayah es. Perusahaan ini dibangun pada tahun
2010 ketika pemerintah memutuskan untuk mengkorporasikan layanan
penghancuran es (FINMARI, 2013). Arctia. Arctia Ltd, yang dulunya Arctia
Shipping Ltd, menjadi induk perusahaan yang membawahi Arctia Karhu Ltd,
Arctia Icebreaking Ltd, Arctia Offshore Ltd, dan Arctia Management Services Ltd
(Arctic Economic Council, 2010). Saat ini Arctia Ltd memiliki delapan kapal
penghancur es, antara lain Fennica dan Nordica yang dianggap sebagai kapal
penghancur es terkuat di dunia, serta Polaris yang baru selesai dibangun.
Salah satu perusahaan yang dibawahinya, Arctia Offshore, banyak
diminati khususnya dengan meningkatnya tantangan dalam ekspedisi ilmiah serta
minyak ke wilayah-wilayah sulit terjangkau seperti Arktik. Sebab perusahaan ini
memiliki teknologi serta kru yang berpengalaman, juga mampu melakukan
aktivitas apapun ketika berlayar, misalnya instalasi pipa, konstruksi bawah laut,
dan berbagai jasa lainnya. Jasa penghancuran es yang ditawarkan perusahaan ini
juga sudah termasuk dalam mengatur proses penghancuran es, mengamankan
jalur kapal, dan kontrol jalur kapal di wilayah dingin sehingga kapal-kapal milik
Arctia Offshore dikenal sebagai kapal penghancur es multiguna (Arctia official
55
website, 2015). Jasa yang ditawarkan oleh Arctia Offshore tidak hanya digunakan
untuk kepentingan negara saja, melainkan juga menyediakan jasa bagi perusahaan
privat yang berfokus di bidang eksplorasi minyak dan gas.
4.2.1 Kerjasama dengan Shell
Setelah kendali atas kapal-kapal penghancur – Fennica dan Nordica – dipegang
oleh Arctia Offshore, perusahaan ini banyak melakukan kerjasama dengan
perusahaan lainnya. Salah satunya adalah dengan perusahaan minyak Shell. Shell
merupakan perusahaan cabang dari Royal Dutch Shell yang berbasis di Amerika
Serikat. Sebagai perusahaan minyak multinasional, Shell dianggap berada di
antara salah satu perusahaan minyak terbesar di dunia (Houston Business Journal,
2002). Di tahun 2011, Arctia Offshore menandatangani kontrak dengan Shell
untuk meminjamkan kapal penghancur es Fennica dan Nordica dalam kurun
waktu tiga tahun (Shell, 2012). Kapal ini digunakan Shell untuk berlayar ke
Perairan Chukchi pada musim panas tahun 2012-2014. Selain itu, Nordica juga
dikhususkan untuk melindungi tempat pengilangan minyak –Kulluk– agar tidak
terhalang oleh pecahan-pecahan es ketika sedang beroperasi.
Penandatanganan kontrak kerjasama antara Arctia Ltd dan Shell diwakili
oleh CEO Tero Vauraste (Arctic Newswire, 2012). Dalam kontrak kerjasama ini
disebutkan bahwa kapal-kapal penghancur es milik Finlandia akan mengarungi
Alaska untuk membantu mengamankan jalur perairan es demi aktivitas
pengeboran minyak. Namun apabila terdapat kerusakan atau pun kebocoran
minyak yang dapat mengganggu ekosistem di Arktik, maka akan ada kompensasi
terhadap Arktik. Kompensasi ini bahkan dapat menyangkut pada pemerintah
56
Finlandia sebagai pemilik perusahaan ini. Namun Finlandia berargumen bahwa
kontrak kerjasama ini merupakan hal yang wajar, dan pelaku pengeboran lah yang
bertanggungjawab dalam mengatasi masalah ini berdasarkan prinsip dasar polusi
minyak (Arctic Newswire, 2012). Sehingga Arctia Ltd tidak memiliki tanggung
jawab apa pun apabila terjadi insiden kebocoran.
Selain itu, Arctia Ltd sendiri mengakui bahwa layanan penyewaan kapal
penghancur es kepada perusahaan minyak Shell memberikan keuntungan,
terutama ketika musim panas berlangsung (Yle, 2013). Sebab keuntungan yang
diraup lebih besar dibandingkan penghasilan dari membuka pelabuhan ketika
musim dingin. Arctia Ltd juga disebutkan telah memonopoli pasar Finlandia
melalui keuntungan operasi pengeboran minyak dan gas tersebut. Bahkan pada
tahun 2010, Arctia Ltd sempat diperingatkan mengenai resiko operasi pengeboran
yang besar (Yle, 2013). Namun berdasarkan kontrak perjanjian, Arctia Ltd
terlindungi dari resiko karena tanggung jawab apabila terjadi kebocoran minyak
suatu hari merupakan tanggung jawab Shell.
Kerjasama yang dijalin antara Shell dan Arctia Offshore ini nyatanya
menimbulkan berbagai protes dari berbagai pihak, terutama organisasi-organisasi
lingkungan seperti Greenpeace. Sebab melalui kontrak ini, Shell berencana
melakukan pengeboran minyak di Arktik menggunakan kapal penghancur es milik
Finlandia dan telah melakukan uji tes beberapa kali. Shell fokus pada area Laut
Beaufort di Alaska dan Laut Chukchi yang belum tersentuh sama sekali (YLE
News, 2012). Padahal sebelumnya Greenpeace telah menyatakan bahwa aktivitas
pengeboran minyak di Arktik sangat berbahaya. Sebab resiko yang timbul secara
57
alami nantinya akan berdampak lebih besar, bahkan penyelamatan minyak di
daerah tersebut akan terasa sulit (YLE News, 2012). Ditambah lagi dengan
minimnya infrastruktur di wilayah tersebut.
Sehingga kerjasama ini banyak menimbulkan kekhawatiran dari berbagai
pihak terutama karena wilayah Arktik yang memiliki beragam hewan langka,
seperti paus, beruang kutub, dan berbagai jenis ikan, yang kemungkinan akan
punah. Kebutuhan minyak yang meningkat jelas menjadi alasan utama aktivitas
ini namun perlu adanya kesepakatan untuk melakukan aktivitas tersebut secara
terkendali dan dibatasi dengan jelas oleh Dewan Arktik selaku pemegang
kedaulatan resmi atas Arktik.
4.2.2 Fennica dan Nordica
Kemajuan teknologi yang dialami Finlandia berdampak pada
berkembangnya industri transportasi Finlandia. Pemerintah mengelola sistem
transportasinya dengan baik, dimana perusahaan-perusahaan transportasi ini juga
merupakan milik pemerintah. Pengendalian transportasi ini dilakukan untuk dapat
memudahkan akses masyarakat maupun pemerintah Finlandia ke daerah
manapun. Karena wilayahnya yang banyak didominasi hutan, maka dirasa perlu
adanya transportasi yang baik dan merata.
Tidak hanya itu, Finlandia juga dikenal dengan teknologi pembuatan kapal
penghancur esnya. Terdapat dua kapal penghancur es terkenal milik pemerintah
Finlandia, yaitu Fennica dan Nordica. Fennica merupakan kapal penghancur es
58
dan platform supply vessel (PSV)2 yang dibuat pada tahun 1993 di Rauma,
Finlandia (Vessel Finder, 2015). Fennica saat ini berlayar di bawah bendera
Finlandia, dengan panjang sekitar 116 meter, lebar 26 meter dan berat kapal
sebesar 9392 ton (Vessel Finder, 2015). Fennica juga merupakan kapal
penghancur es pertama Finlandia yang didesain untuk melaju di atas es di Perairan
Baltik ketika musim dingin. Selain itu, Fennica juga didesain khusus untuk
membantu proyek konstruksi kilang minyak ketika laut mulau terbuka (es mencair
di musim panas). Kapal penghancur es ini terbilang kuat karena kualitasnya dibuat
untuk kuat menahan es di Arktik, sub-Arktik, maupun daerah Antartika. Fennica
bahkan mampu melewati lautan es musim dingin dengan ketebalan sekitar 1
meter, pegunungan es, serta gumpalan-gumpalan es (Arctia Shipping, 2012).
Fennica sendiri digerakkan oleh sistem mesin diesel listrik dengan empat
generator utama. Maka dari itu, konsumsi bahan bakar yang dibutuhkan per hari
nya adalah sekitar 30-42 ton minyak. Dengan mengonsumsi jumlah bahan bakar
tersebut, Fennica mampu beroperasi selama 45-67 hari tergantung kecepatan yang
digunakan (Arctia Shipping, 2012).
2 Kapal yang secara khusus didesain untuk membawa suplai minyak dan gas. Fungsi
utama dari kapal ini adalah untuk mengangkut barang-barang logistic serta transportasi
barang, alat, dan personil dari kilang minyak ke kilang lainnya (EMAS, tt)
59
Gambar 4.2 Kapal Penghancur Es “Fennica” Milik Finlandia
(Sumber:YLE News, 2012)
Selain Fennica, ada pula Nordica yang bentuknya identik dengan Fennica.
Nordica juga dibuat di Rauma, Finlandia pada tahun 1994 (Vessel Finder, 2015).
Kapal ini juga memiliki fungsi yang sama dengan Fennica, yaitu sebagai
penghancur es dan pengangkut barang logistik. Kapal ini beroperasi di sekitar
Laut Arktik dan seringkali disebut sister ship dengan Fennica. Meskipun Nordica
memiliki panjang dan lebar kapal yang sama dengan Fennica, namun berat
Nordica cenderung lebih enteng (Vessel Finder, 2015).
60
Gambar 4.3 Kapal Penghancur Es “Nordica” Milik Finlandia
(Sumber: http://www.seafarermedia.com/picture.php?/1869)
Pembuatan kapal-kapal penghancur es multifungsi ini dimulai sejak tahun
1980-an ketika pemerintah Finlandia mencanangkan proyek untuk memanfaatkan
kapal-kapal baru dengan fungsi selain penghancur es (Lohi, 1993: 233). Sebab
sebelumnya, kapal-kapal penghancur es yang dimiliki Finlandia selalu didesain
untuk membantu operasi di air pecahan es namun mesin kapalnya tidak mampu
berlayar di laut lepas. Sehingga kapal penghancur ini hanya bertahan 3-5 bulan
setiap tahunnya. Sejak saat itu, maka Finlandia mulai mengembangkan teknologi
kapal penghancur yang memiliki beragam fungsi agar dapat meningkatkan
ekonomi perkapalan negara. Namun konsep pengembangan kapal ini belum
terealisasi sampai awal tahun 1990-an karena adanya campur tangan dari
perusahaan Norwegia (Lohi, 1993: 237). Pada tahun 1991 Finlandia akhirnya
61
selesai berkonsultasi dan merangkai konstruksi kapal pertama di tahun 1991 dan
kapal kedua di tahun 1992 (Lohi, 1993: 239-240).
Setelah kapal-kapal ini diluncurkan, Fennica dan Nordica langsung
berlayar dan disepakati agar digunakan untuk tugas di area lepas pantai sebanyak
180 hari setiap harinya ketika bukan musim dingin. Sehingga pada musim panas
kapal ini harus kembali ke Finlandia untuk melaksanakan tugas memecahkan es di
Perairan Baltik. Hak eksklusif atas kapal penghancur es ini dipegang oleh Subsea
7 sampai tahun 2004 (Sjostrom, 2006). Di tahun 2010, perusahaan milik negara –
Arctia Shipping– mengambil alih operasional Fennica dan Nordica dan
manajemennya dipegang oleh perusahaan cabang dari Arctia Shipping, yaitu
Arctia Offshore. (Sjostrom, 2006) Pada tahun 2011, Arctia Offshore dan
pemerintah Finlandia memberlakukan kontrak terkait penggunaan kapal
penghancur es, Fennica dan Nordica, di perairan Finlandia ketika musim dingin
(Shell, 2012).
4.3 Greenpeace
Greenpeace merupakan non-governmental organization (NGO) yang fokus pada
masalah lingkungan. Greenpeace pertama kali didirikan oleh seorang aktivis
lingkungan asal Kanada di tahun 1971, dan sekarang berkantor pusat di Belanda
(Weyler, 2004). Sejauh ini, Greenpeace telah berhasil menyebarkan visi dan
misinya ke seluruh dunia. Greenpeace bahkan menjadi salah satu kelompok atau
organisasi lingkungan internasional tersukses dan terkenal di seluruh dunia.
Terbukti dengan tersebarnya kantor Greenpeace di 40 negara, demi
mengefektifkan koordinasi. Selain itu, masalah lingkungan terjadi di seluruh
62
wilayah dan fungsi dari kantor cabang ini adalah agar masalah lingkungan yang
terjadi di wilayah tersebut dapat segera ditangani.
Tujuan yang ingin dicapai Greenpeace adalah untuk memastikan bahwa
Bumi terus dapat membawa kehidupan dengan segala perbedaan yang ada
(Greenpeace Internasional, 2010). Maka dari itu Greenpeace berupaya
meningkatkan kepedulian, perhatian, serta tindakan nyata dari masyarakat
terhadap isu-isu lingkungan. Greenpeace mewujudkan tujuan ini umumnya
dengan menggunakan cara atau metode yang sifatnya damai, misalnya melalui
protes (aksi langsung), kampanye (langsung maupun tidak langsung), lobi, dan
juga riset. Dalam melaksanakan tugasnya, Greenpeace tidak bergantung pada dana
pemerintah, perusahaan, atau kelompok mana pun. Hal ini dilakukan untuk
menjaga organisasi ini sebagai organisasi independen. Dana yang dimiliki
Greenpeace kebanyakan berasal dari donasi-donasi relawan yang bergabung
bersama Greenpeace. Sejauh ini sudah ada 15.000 orang relawan yang bergabung
dan ikut menjalankan aksi-aksi Greenpeace (Greenpeace Internasional, 2010).
Awal terbentuknya Greenpeace dimulai sejak tahun 1968 ketika sebuah
kelompok aktivis lingkungan bernama SPEC (Scientific Pollution and
Environmental Control Society) yang terdiri dari Gwen Mallard, Derrick Mallard,
Alfred Turnbull, Bob Hunter, Terry Simmons, dan Irving Stowe di Vancouver
(Weyler, 2004). Setelah itu, mulai muncul kelompok-kelompok aksi ekologi
lainnya yang juga melakukan protes mengenai masalah lingkungan, misalnya
Green Panther yang diusung oleh Bob Hunter. Pada tahun 1969, Gwen dan
Derrick Mallard melakukan aksi protes yang menolak uji coba bom nuklir di
63
Vancouver (Weyler, 2004). Bob Hunter juga mendukung aksi ini dengan
membuat plakat bertuliskan “Don’t Make A Wave” sampai akhirnya brand ini
menjadi suatu gerakan dengan dibentuknya komite Don’t Make A Wave.
Kemudian di tahun 1970 muncul sebuah perahu yang bertuliskan “the
Greenpeace”, menandakan pertama kalinya nama ini dipublikasikan. Nama ini
didesain dengan simbol ekologi, simbol damai, dan ditengahnya tertulis
“Greenpeace” (Brayton, 2009). Lalu komite Don’t Make A Wave
mempublikasikan pamflet pertama Greenpeace dengan judul Nuclear Testing in
the Aleutians yang ditulis oleh Lille d’Easum (Weyler, 2004). Jadi tujuan awal
terbentuknya Greenpeace adalah sebagai cara untuk menghentikan segala bentuk
uji coba nuklir di wilayah Alaska, yang mana merupakan tempat beragam spesies
hewan.
Namun pada pertengahan tahun 1970, Greenpeace mulai memperluas
fokusnya dari masalah nuklir menjadi masalah-masalah lingkungan, seperti
penangkaran paus, penangkapan hewan laut, dan sampah laut (Brayton, 2009).
Kemudian resmi mengubah nama menjadi Greenpeace Foundation pada tahun
1972 (Weyler, 2004) Sehingga Greenpeace merasa perlu beroperasi ke seluruh
belahan dunia, berkembang dari tujuan awalnya menjadi kelompok yang
terorganisir. Saat ini, tujuan utama Greenpeace adalah menjaga dan menciptakan
lingkungan yang sehat tanpa adanya kerusakan-kerusakan yang mampu
mengancam kehidupan umat manusia bahkan Bumi (Brayton, 2009). Maka dari
itu Greenpeace mencoba untuk menghentikan perubahan iklim dengan
meningkatkan kepedulian publik terhadap isu ini. Tidak hanya itu, Greenpeace
64
juga menyosialisasikan cara hidup atau aktivitas yang dapat mengurangi
perubahan iklim tersebut. Faktanya, Greenpeace merupakan organisasi pertama
yang merencanakan pembangunan berkelanjutan sebagai solusi dari masalah
perubahan iklim (Brayton, 2009).
Dengan aksi-aksi nyatanya, Greenpeace disebutkan sebagai organisasi
lingkungan yang paling terlihat nyata. Sebab Greenpeace memberikan kontribusi
dalam meningkatkan pengetahuan publik mengenai isu-isu lingkungan serta
mampu mempengaruhi aktivitas sektor publik maupun privat. Kontribusi ini
diberikan melalui laporan penelitian yang disusun ke dalam suatu artikel dan
dipublikasikan melalui web. Sampai saat ini, Greenpeace terus melakukan
penelitian dan mencari solusi alternatif bagi masalah-masalah lingkungan yang
sedang dihadapi. Meskipun secara tradisional, Greenpeace juga menggunakan
cara-cara non-kekerasan untuk mendapat perhatian publik mengenai masalah
lingkungan ini. Umumnya cara-cara yang dilakukan Greenpeace adalah dengan
melakukan protes non-kekerasan, membuat petisi, atau dengan teknik perlawanan
pasif lainnya (Brayton, 2009). Greenpeace juga dikenal menggalakkan kampanye
dengan iklan-iklan yang agresif dan menyolok. Meskipun Greenpeace juga
mendapatkan kritik dan kontroversi, namun aksi-aksi yang dilakukan Greenpeace
tetap dianggap efektif dan berhasil dalam melaksanakan tugasnya sebagai
kelompok pelindung lingkungan.
4.3.1 Kampanye Save the Arctic
65
Sebagai suatu organisasi yang bergerak di bidang lingkungan, Greenpeace telah
banyak memberikan konstribusi dalam permasalahan lingkungan yang terjadi.
Salah satunya adalah tindakan yang dilakukan Greenpeace untuk menyelamatkan
habitat serta lingkungan di wilayah Arktik melalui kampanye “Save the Arctic”.
Kampanye ini merupakan kampanye yang diusung Greenpeace untuk melindungi
Arktik, khususnya demi mencegah pengeboran minyak dan penangkapan ikan
oleh perusahaan industri. Kampanye ini dimulai sejak tahun 2012, ketika itu
Greenpeace sedang meneliti wilayah-wilayah tak berpenghuni seperti Kutub
Utara. (Yle, 2015) Sampai akhirnya diketahui fakta bahwa Arktik menjadi salah
satu objek pengeboran minyak yang dilakukan beberapa perusahaan, yang mana
kemudian mendorong aktivis-aktivis lingkungan yang ada di Greenpeace untuk
membuat suatu kampanye agar terciptanya solusi demi melindungi Arktik.
Kampanye Greenpeace ini kemudian dikenal dengan nama “Save the
Arctic”. Greenpeace memulai kampanye “Save the Arctic” dengan coba
memperoleh tandatangan sebagai bentuk dukungan atas gerakan ini. Kemudian
pada tahun 2013 hasil tandatangan yang terkumpul diletakkan di dasar laut Kutub
Utara. Tandatangan atau petisi yang terkumpul saat itu berjumlah 2,5 juta
tandatangan dan diletakkan bersama bendera yang didesain oleh para pemuda,
yaitu Vivienne Westwood (World Association of Girl Guides and Girl Scouts,
2013).
Kampanye ini awalnya difokuskan untuk menolak aktivitas industri yang
dilakukan oleh Shell di tahun 2013. Bahkan pada saat itu Greenpeace bekerjasama
dengan Avaaz, organisasi global yang aktif dalam mempromosikan isu perubahan
66
iklim, penyelamatan hewan, korupsi, dan hak asasi manusia (Tuffrey, 2012).
Kerjasama ini dilakukan dengan membuat situs kampanye. Selanjutnya pada
tahun 2010, aktivis Greenpeace kembali melaksanakan aksinya dengan menulis
“No Arctic Drilling” di badan kapal BP Deepwater Horizon yang rencananya
akan digunakan Shell untuk mengeksplorasi minyak di Arktik (Greenpeace,
2014). Sementara pada tahun 2014, Greenpeace juga meluncurkan kampanye
global untuk mencegah perusahaan mainan, Lego, untuk memproduksi mainan
berlogokan Shell sebagai respon terhadap rencana pengeboran minyak di Arktik
(Greenpeace, 2014).
Kampanye ini berhasil mendapatkan perhatian dari berbagai kalangan
masyarakat, termasuk pemerintah negara lain dan organisasi seperti World Wide
Fund for Nature (WWF). Bahkan beberapa selebriti juga mendukung aksi
kampanye ini dengan mengenakan kaos yang bertuliskan “Save Arctic” dan
dipublikasikan di situs web Vivienne Westwood. Kaos yang digunakan dibuat dari
bahan katun organik tanpa proses kimia, dan hasil keuntungan penjualan kaos
didonasikan ke Greenpeace. Foto-foto dari selebriti ini kemudian dipajang di
sebuah pameran yang diadakan oleh Westwood, yang tujuannya adalah untuk
meningkatkan kepedulian untuk melindungi Arktik yang telah rapuh dan
mencegah pengeboran minyak oleh Shell.
67
Gambar 4.4 Selebriti Hollywood seperti George Clooney, Kate Moss, dan
Hugh Grant yang mendukung kampanye Save the Arctic
(Sumber: Vivienne Westwood Website
http://www.viviennewestwood.com/save-the-arctic)
Selain itu pada September 2015, kampanye ini juga berhasil mengajak
masyarakat untuk ikut terlibat (Buchanan, 2015). Terbukti dari aksi peletakan
boneka beruang kutub raksasa, sebagai simbol dari Arktik, di depan kantor Shell
di London.
68
Gambar 4.5 Boneka Beruang Kutub Raksasa di Depan Kantor Shell, London
(Sumber: Buchanan, 2015 –Independent News Website)
Gerakan ini menjadi suatu gerakan dengan tantangan terbesar, namun
Greenpeace pernah melakukan gerakan yang sama sebelumnya. Sekitar 20 tahun
yang lalu, Greenpeace juga mengadakan kampanye untuk melindungi Antartika
dari resiko-resiko industrialisasi dan militerisasi (Sauven, 2012). Kampanye ini
akhirnya menang dan Antartika berhasil dilindungi. Perbedaannya adalah bahwa
Arktik tidak hanya terancam dari aktivitas industri saja melainkan juga dari krisis
perubahan iklim global. Namun banyaknya dukungan masyarakat tetap menjadi
faktor penentu sebagai agen perubahan politik. Sehingga kampanye ini
membutuhkan dukungan dan aksi masyarakat serta organisasi untuk membantu
Arktik.
4.4 Benua Arktik
69
4.4.1 Kondisi Alam Wilayah Arktik
Wilayah Arktik selama ini dikenal sebagai area yang ditutupi oleh es. Namun
beberapa dekade ini, lapisan es yang ada di wilayah Arktik mulai menipis
terutama pada bulan musim panas. Apabila lapisan es ini terus mencair, maka
wilayah Arktik akan terbebas dari es untuk pertama kalinya dalam sejarah. Arktik
terletak di sebelah utara belahan bumi atau area paling puncak di globe. Karena
lapisan esnya, maka Arktik dianggap sebagai penyeimbang suhu bumi.
Arktik juga merupakan tempat tinggal bagi berbagai suku, salah satunya
adalah Inuit yang telah tinggal di Arktik selama ribuan tahun. Sebanyak 4 juta
penduduk yang tinggal di Arktik, terutama 40 warga etnis asli, menjadi terancam
(Greenpeace, 2012). Karena penduduk Arktik hanya bisa bergantung pada
makanan dan sumber daya yang ada. Sementara sumber daya ini justru
dieksploitasi oleh pihak asing yang tidak memiliki legitimasi apapun atas Arktik.
Selain itu, Arktik dianggap sebagai ekosistem yang unik karena merupakan
habitat dari berbagai jenis spesies langka yang ada di Bumi. Mulai dari beruang
kutub, ikan paus, serigala, rusa, angsa, singa laut, dan berbagai jenis ikan (Sauven,
2012). Para ahli menyatakan bahwa beruang kutub akan punah di masa 100 tahun
yang akan datang apabila masalah ini terus berlanjut. Setidaknya harus ada
tindakan yang dilakukan.
70
Gambar 4.6 Lautan Arktik yang ditutupi oleh gunung dan bebatuan es
(Sumber: The Guardian, 2012)
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, Arktik berperan penting dalam
meregulasi dan menyeimbangkan iklim Bumi (Greenpeace, 2012). Lautan es di
Arktik dikatakan seperti cermin raksasa yang mampu memantulkan cahaya
matahari yang masuk ke Bumi. Oleh sebab itu, suhu Bumi akan tetap normal dan
tidak terlalu panas. Sebab lautan es yang ada di Arktik membentuk padatan-
padatan garam yang kemudian tenggelam, yang mana padatan garam ini
membantu mengontrol arus laut (Sauven, 2012). Namun dengan perubahan iklim
juga aktivitas manusia yang simultan terus terjadi, misalnya kontaminasi udara
dan air, penangkapan ikan secara berlebihan, polusi sumber daya, maka es yang
ada di Arktik terus mencair dan pada akhirnya lautan ini pun menyerap panas
(Greenpeace, 2012). Karena itulah kenapa suhu Bumi saat ini terasa semakin
panas. Bumi yang semakin menghangat ini menyebabkan es semakin cepat
71
mencair. Fenomena yang terjadi membuat minyak yang berada di bawah perairan
Arktik menjadi target kepentingan negara maupun perusahaan industri minyak.
Padahal dulunya karena lautan yang membeku, tidak banyak pihak yang mampu
mengakses ke wilayah ini.
4.4.2 Nilai Strategis Arktik
Arktik mulai mendapatkan perhatian dari berbagai negara di dunia karena
potensinya yang dapat memberikan kesempatan maupun tantangan bagi suatu
negara. Isu yang berkaitan dengan Arktik diurusi dan dipegang oleh Dewan
Arktik, sebagai organisasi struktural yang secara alamiah berhak dalam
melindungi Arktik. Tetapi aktor yang terlibat dalam hal ini tidak hanya Dewan
Arktik saja, melainkan juga beberapa aktor non-Arktik yang memiliki
kepentingan serta didukung oleh berkurangnya lautan es secara signifikan.
Kepentingan terhadap Arktik terus meningkat selama 20 tahun ini. Bahkan pada
masa Perang Dingin, wilayah Arktik dianggap sebagai wilayah batas antara
NATO dan Rusia (Prime Minister’s Office, 2010). Namun saat ini, Arktik tidak
hanya dijadikan target kepentingan politik saja, melainkan juga ekonomi.
Potensi ekonomi yang dimiliki oleh Arktik serta terbukanya jalur
transportasi baru untuk masuk ke wilayah tersebut menjadi suatu daya tarik
strategis yang dimiliki Arktik. Potensi ini tidak lain berhubungan dengan sumber
daya alam dan jalur pelayaran. Banyak negara memprediksi bahwa beberapa
tahun kemudian Arktik akan menjadi cadangan energi utama dan penghubung
arus transportasi Eropa (Canadian International Council, 2011: 2). Sehingga hal
ini menyebabkan butuhnya kebijakan pengamanan yang mampu melindungi
72
Arktik. Menyebarnya kabar mengenai potensi Arktik ini kemudian membuat
meningkatnya aktivitas manusia dan kapal, yang pada akhirnya menimbulkan
masalah lingkungan yang serius khususnya di Samudera Arktik. Hal ini menjadi
suatu kerugian bagi Arktik, sebab apabila sumber daya alam diekploitasi secara
terkendali, maka setidaknya resiko-resiko lingkungan, budaya, dan sosial yang
dihadapi Arktik sedikit lebih baik.
Secara ekonomi, Arktik memiliki jumlah sumber daya mentah yang masih
sangat berlimpah, seperti minyak, gas, dan batu bara. Arktik dikatakan
menyimpan sekitar 30% gas dunia, 13% minyak dunia, serta 9% batu bara yang
belum terekspos (Prime Minister’s Office, 2010). Selain itu juga terdapat berlian,
emas, seng, tembaga, dan lain sebagainya. Karena dikitnya jumlah penduduk yang
tinggal di Arktik dan infrastruktur yang belum memadai maka sumber daya
mentah ini masih alami. Sehingga banyak negara yang mulai mengembangkan
teknologinya untuk dapat memasuki serta mengeksploitasi bahan mentah yang ada
di Arktik. Masalah kedaulatan juga menjadi tantangan bagi negara, khususnya
non-Arktik, untuk mencapai kepentingan ekonominya. Sebab kedaulatan atas
Arktik secara resmi dipegang oleh Dewan Arktik sehingga hukum internasional
membatasi ruang gerak negara lain. Selain itu, Arktik tidak hanya kaya akan
sumber bahan mentah saja melainkan juga memiliki jumlah ikan yang melimpah
(Canadian International Council, 2011). Karena lautannya yang luas, maka jenis
komoditi ikan yang ada di Arktik relatif langka sehingga menimbulkan daya tarik
tersendiri.
73
Kemudian, letaknya yang strategis juga menjadikan Arktik sebagai jalur
pelayaran baru. Ketika musim panas, jalur navigasi yang mengarah ke Arktik
sedikit demi sedikit terbuka (Perreault, 2012: 2). Fakta ini mendorong beberapa
negara untuk berlayar ke Arktik dengan adanya prospek jalur pelayaran yang lebih
singkat. Hal ini banyak menarik kepentingan negara-negara Asia seperti
Tiongkok, Jepang, dan Korea Selatan untuk bergabung menjadi pengamat tetap di
Dewan Arktik (Perreault, 2012: 2). Bagi negara seperti Tiongkok dan Rusia, jalur
pelayaran melalui Arktik dapat mengefisienkan perdagangan. Waktu yang
dibutuhkan menjadi lebih cepat dan biaya yang dikeluarkan juga lebih sedikit.
Rute pelayaran melalui Perairan Arktik juga dianggap lebih aman, karena
terhindar dari pembajak kapal yang umumnya berada di Terusan Suez.
74
Gambar 4.7 Peta Jalur Pelayaran Arktik
(Sumber: Brigham et al, 2009)
Arktik juga menjadi tempat yang potensial untuk aktivitas komersial
perkapalan. Negara seperti Korea Selatan sejauh ini telah banyak mengirim
kapalnya ke wilayah Arktik. Korea Selatan menemukan kepentingannya untuk
mengembangkan bisnis perkapalan yang dimilikinya. Sebab perusahaan-
perusahaan Korea Selatan seperti Daewoo Shipbuilding and Marine Engineering
dan Samsung Heavy Industries telah memproduksi kapal-kapal penghancur es di
dunia (Jae-Min Lee, 2011). Tidak hanya itu, Korea Selatan bahkan menjadi pionir
75
dalam mendesain dan memproduksi tank berbahan bakar gas dan minyak yang
mampu berjalan di wilayah es.
Dengan fenomena perubahan iklim yang sedang mengglobal, maka
kepentingan beberapa negara terhadap Arktik pun juga berkaitan dengan hal
tersebut. Beberapa negara non Arktik seperti Tiongkok, India, Jepang, Korea
Selatan, Jerman, Inggris, dan Perancis telah secara rutin melakukan penelitian
mengenai Arktik. Tiongkok misalnya, telah mengkaji Arktik sejak tahun 1999 dan
membangun sebuah badan riset di tahun 2003 (Jakobson, 2010). Sementara
Jepang awalnya melakukan penelitian mengenai wilayah kutub namun mulai
beralih ke wilayah Arktik sejak tahun 1990-an (Horinouchi, 2010). Perguruan
tinggi di Jepang bahkan melakukan proyek penelitian bersama sampai ke Kanada.
Sedangkan India relatif pendatang baru di Arktik. Penelitian yang dilakukan oleh
India mengenai wilayah kutub berlangsung selama 30 tahun. Namun India baru
mulai melakukan ekspedisi pertamanya ke Arktik di tahun 2007 (Sakhuja, 2010).
Setiap negara yang memiliki kepentingan dan telah melakukan penelitian
mengenai Arktik juga didukung oleh teknologi kapal penghancur yang mumpuni
demi memudahkan akses masuk ke Arktik.
4.4.3 Pengeboran Minyak di Wilayah Arktik
Arktik menjadi target pengeboran minyak yang dilakukan oleh perusahaan-
perusahaan minyak seperti Shell. Shell berusaha untuk menginvasi area
pengilangan minyaknya sampai ke Perairan Arktik yang ditutupi oleh es. Shell
mengklaim bahwa minyak yang tertanam di Perairan Arktik berada jauh di dasar
laut. Sehingga dengan dilakukannya pengeboran, perusahaan mencoba
76
mendapatkan keuntungan dari hasil penjualan minyak tersebut sementara dengan
membakar lebih banyak bahan bakar maka es akan semakin mencair dan menipis.
Minyak yang tersimpan di Laut Arktik hanya mampu menahan suplai global
selama tiga tahun (Sauven, 2012). Apabila terdapat kilang minyak yang bocor,
maka akan membahayakan kelestarian Laut Arktik.
Meski begitu, Shell berusaha meyakinkan masyarakat maupun pemerintah
bahwa tidak akan terjadi kebocoran dalam aktivitas pengeboran ini. Sebab area
yang bocor harus didiamkan dan baru bisa digali lagi sembilan bulan kemudian.
Namun pada tahun 2011, Shell melaporkan kebocoran karena alat-alat yang belum
memadai (Sauven, 2012). Sehingga Shell harus mengakui dan merespon cepat
masalah ini. Ketika sedang melakukan pengeboran, Shell sebelumnya mengatakan
bahwa apabila terjadi kebocoran maka setidaknya pihak mereka akan
memperbaiki 90% kebocoran minyak (Banerjee, 2012). Faktanya, sulit untuk
memperbaiki kerusakan yang terjadi di atas 10%. Sehingga pada akhirnya Shell
dituntut oleh 10 organisasi lingkungan, termasuk Alaska Wilderness League, the
Center for Biological Diversity, and Resisting Environmental Destruction on
Indigenous Lands (REDOIL), atas masalah kebocoran ini (Banerjee, 2012).
Setidaknya Shell menyebarkan substansi-substansi kimia ke Perairan Arktik setiap
tahunnya sebesar 336 ton nitrogen oksida (Banerjee, 2012). Tidak hanya
kebocoran minyak yang dapat membahayakan lingkungan, tetapi aktivitas
pengeboran ini juga membuat polusi suara di wilayah tersebut. Sebab paus
menggunakan suara sebagai navigasi ketika berenang di lautan es ketika gelap.
77
Sehingga pengeboran minyak yang terjadi di Arktik jelas amat berbahaya
sebab kondisi Arktik dengan lautan es dan cuaca yang ekstrem membuat
pembenahan atas kemungkinan terjadinya kebocoran minyak sangatlah sulit
(Greenpeace, 2012). Selain itu, bongkahan es dan platform minyak juga memiliki
kemungkinan untuk bertabrakan. Karena kebanyakan perusahaan minyak dengan
asal-asalan mencairkan bongkahan es yang ada di sekitar platform.
Gambar 4.8 Ancaman Pengeboran Minyak di Arktik
(Sumber: www.greenpeace.org)
4.4.4 Aktivitas Pengeboran Minyak oleh Shell
Aktivitas pengeboran minyak ini dimulai oleh Shell sejak tahun 2012. Pada saat
itu, perusahaan minyak Shell meluncurkan kapal pribadinya, Noble Discoverer,
yang berlayar dan akan diletakkan di Pelabuhan Dutch, Alaska (Banerjee, 2012).
Hal ini menandakan perjalanan pertama Shell ke wilayah Arktik namun tidak
disadari oleh pihak lain. Setelah melakukan perjalanan pertamanya ke salah satu
78
wilayah Arktik (Alaska), Shell mulai bersiap untuk melakukan aktivitas penuh,
yaitu pengeboran minyak, di Laut Arktik. Laut Arktik merupakan ekosistem yang
kaya dengan berbagai jenis kekayaan alam dan memiliki prospek yang positif.
Laut Arktik diperkirakan memiliki lebih dari 200.000 makhluk hidup yang tinggal
di bawah lautnya, namun hingga saat ini hanya tinggal sekitar 10.000 yang masih
bertahan (Banerjee, 2012).
Shell memulai aktivitas pengeboran minyaknya di Monterey Bay dan
Kulluk, kemudian mulai berlayar ke sebelah utara dengan harapan untuk
mendapatkan komoditi minyak yang lebih banyak. Aktivitas ini menimbulkan
kekhawatiran bagi warga lokal Arktik dan negara lain karena pengeboran minyak
yang dilakukan Arktik dianggap akan menjadi pengeboran paling berbahaya di
dunia.
Sebab dengan rentannya kondisi Arktik, maka aktivitas-aktivitas yang
dapat merusak lingkungan tersebut akan membuat Arktik semakin rapuh
(Banerjee, 2012). Ditambah lagi dengan Arktik yang berperan sebagai
penyeimbang suhu bumi, aktivitas industri justru mengancam kondisi iklim Bumi
dan akan menjadi tidak stabil.
Shell sebenarnya berencana untuk tidak melakukan pengeboran di tahun
2012 maupun 2013, karena lokasi pengeboran yang masih ditutupi oleh tebalnya
es. Shell berencana melakukan pengeboran di dua sumur minyak di Laut Beaufort
dan tiga sumur minyak di Laut Chukchi di tahun 2012 (Beilinson, 2012). Namun
82
data yang didapat menunjukkan ketidaksiapan area tersebut untuk dilakukannya
pengeboran, karena tantangan es yang turun lebih banyak dari waktu normal
mampu menghambat aktivitas ini. Tetapi pada tanggal 9 September 2012,
pengeboran minyak di Laut Chukchi tetap dilakukan dengan terbatasnya alat
namun kemudian ditunda beberapa hari kemudian sampai alat-alat tidak
tersangkut oleh es (Beilinson, 2012). Aktivitas yang dilakukan Shell pada saat itu
dianggap terlalu terburu-buru tanpa perhitungan yang tepat dan justru
menyebabkan munculnya protes dari aktivis-aktivis lingkungan.
Aktivitas pengeboran minyak tidak hanya langsung dilakukan begitu saja,
melainkan terdapat prosedur yang harus dilakukan terlebih dahulu. Prosedur
tersebut adalah permohonan izin sebelum melakukan operasi pengeboran dari
Environmental Protection Agency (EPA) yang berada di atur dalam Clean Air Act.
Namun izin pengeboran Shell ini terus mengalami penundaan selama bertahun-
tahun. Sampai akhirnya pada tanggal 28 Juni 2012, Shell mengajukan
permohonan peninjauan kembali perizinan yang sebelumnya pernah diajukan atas
pengeboran minyak di Laut Chukchi kepada EPA. Peninjauan kembali tersebut
berisi tentang pernyataan bahwa mesin Noble Discoverer (kapal milik Shell) tidak
mampu menahan kandungan nitrogen oksida dan ammonia di wilayah tersebut
(Beilinson, 2012). Pada dasarnya Shell mengungkapkan bahwa teknologi yang
dituliskan di dalam surat izin sebelumnya tidak berjalan dengan baik. Sampai
akhrinya EPA mengizinkan Noble Discoverer untuk memperbaharui mesinnya.
Namun hal ini menuai komplain dari kelompok gerakan lingkungan, sehingga
EPA mengeluarkan izin perintah baru yang menyatakan bahwa emisi gas yang
83
digunakan dalam mesin Noble Discoverer harus dibawah kesepakatan semula.
Izin perintah ini berlaku selama satu tahun dan permohonan izin lainnya oleh
Shell ditolak.
Pengeboran minyak yang dilakukan oleh Shell di Alaska bukanlah
pengeboran minyak pertama yang terjadi. Sebelumnya, sudah terdapat 30 sumur
minyak yang digali oleh perusahaan BP di Laut Beaufort di tahun 1980-an dan 5
sumur minyak di Laut Chukchi tahun 1990-an (Beilinson, 2012). Namun aktivitas
ini kemudian berhenti karena terjadinya penurunan harga minyak dunia di akhir
tahun 1980an sampai awal tahun 1990an. Sehingga pengeboran minyak di Arktik
pada saat itu hanya dilakukan secara ekonomis ketika harga minyak dunia sedang
tinggi. Sebab biaya yang dikeluarkan untuk sampai ke Arktik sangat besar
sehingga perkiraan biaya yang dikeluarkan justru akan lebih besar dan memakan
waktu lama.
Pada tahun 2013, Shell mencoba menjalin kerjasama dengan Finlandia
untuk peminjaman kapal penghancur es milik Finlandia, yaitu Fennica
(Greenpeace, 2013). Sebab selama ini aktivitas yang dilakukan Shell selalu
terhalangi oleh minimnya kapasitas dan kualitas kapalnya. Dengan teknologi
kapal penghancur es yang berhasil dikembangkan Finlandia, maka Shell berupaya
untuk meminjam kapal ini dalam keperluannya menggali sumur minyak di
Perairan Arktik (The Oregonian, 2015). Shell kemudian berhasil memperoleh izin
untuk menggunakan Fennica dan meneruskan aktivitasnya, namun berhenti
sementara karena ramainya protes yang dilayangkan oleh Greenpeace serta aktivis
84
lainnya. Sampai akhirnya Finlandia pun juga ikut bergabung dalam aksi
mendukung perlindungan suaka di Arktik (Greenpeace, 2013).
Namun pada tahun 2015, berita mengenai pengeboran minyak Shell
kembali menyebar (Mesh, 2015). Kapal penghancur es Fennica diberitakan telah
berlayar melewati Portland untuk kembali melakukan pengeboran minyak di
Alaska. Bahkan saat itu, Shell dilaporkan langsung melakukan pengeboran di Laut
Chukchi dan kembali ke Arktik pada tanggal 30 Juli (Mesh, 2015). Namun
aktivitas ini kemudian dihalangi oleh aktivis Greenpeace yang protes di bawah
Jembatan St. Johns Bridge di sekitaran Portland.
Faktanya, Shell dapat kembali melakukan aktivitas ini karena adanya
pemberian izin dari pemerintah AS. Izin resmi ini berisi tentang dibolehkannya
aktivitas pengeboran minyak di Perairan Arktik sekitaran pesisir barat laut Alaska.
Biro Keamanan dan Penyelenggara Lingkungan mengumumkan bahwa izin ini
diberikan untuk penggalian dibawah dasar laut setelah Shell membawa alat yang
dikatakan mampu menghentikan kebocoran sumur. Kemudian Fennica sampai di
area pengeboran di pesisir barat laut Alaska pada tanggal 11 Agustus 2015 (The
Oregonian, 2015). Shell mengestimasi untuk melakukan pengeboran sejauh 8000
kaki di bawah dasar laut. Pemerintah AS tetap menyatakan bahwa pengeboran ini
aman dan tetap mengabaikan permintaan penarikan izin dari kelompok
lingkungan dan malah mengabulkan izin pengeboran Shell yang dianggap
melawan sains, keinginan masyarakat, serta tidak masuk akal. Sampai tahun 2015,
Shell memiliki dua mesin bor utama dan sekitar 28 mesin bantuan di Laut
Chukchi (The Oregonian, 2015).
85
BAB V
PEMBAHASAN
5.1 Penerapan Strategi Komunikasi dalam Kampanye Save the Arctic
Dilihat dari tujuannya, kampanye Save the Arctic dapat bersifat pragmatik tetapi
juga konstitutif. Strategi yang digunakan sama dengan kampanye hubungan
kemasyarakatan, yang mana mengarah pada tujuan untuk menarik perhatian atau
mengenalkan masyarakat kepada sesuatu sekaligus juga memberikan pengetahuan
mengenai isu pengeboran minyak yang menjadi alasan diadakannya kampanye
ini. Namun terkadang tujuan dari suatu organisasi terlihat sedikit rancu, apakah
benar untuk memperingatkan masyarakat mengenai perubahan iklim yang terjadi
atau untuk menarik perhatian terhadap aktivitas organisasi saja.
Tetapi dilihat dari strategi-strategi yang dilakukan oleh Greenpeace,
kampanye Save the Arctic berusaha untuk meningkatkan kepedulian masyarakat
terhadap isu yang menimpa Arktik ini (Marciano, 2011). Karena letaknya yang
jauh dan kurang begitu diekspos oleh media pemberitaan, maka tidak banyak
orang yang mengetahui apa yang terjadi di Arktik. Isu pengeboran minyak yang
melanda Arktik pun merupakan salah satu isu lingkungan dengan resiko terbesar.
Dampak yang akan timbul dari hasil kerusakan ini dapat berpengaruh kepada
seluruh makhluk yang ada di Bumi. Apalagi dengan isu perubahan iklim yang
sedikit demi sedikit terlihat nyata dan mulai terasa. Aktivitas industri ini
menyebabkan makin menurunnya kualitas lingkungan yang ada di Arktik.
103
Maka akan sulit bagi manusia untuk memperbaiki hal ini. Juga karena Arktik
merupakan satu-satunya wilayah yang mampu menjadi penyeimbang suhu Bumi.
Itu sebabnya dengan melakukan kampanye Save the Arctic maka setidaknya
masyarakat mulai mengenal dan sadar akan kondisi yang terjadi.
Maka dari itu, kampanye Save the Arctic bukan fokus pada individu
melainkan pada masyarakat serta kondisi eksternal (Marciano, 2011). Kondisi
eksternal ini diubah dengan menerapkan strategi untuk mengedukasi dan
mengajak masyarakat untuk proaktif. Proaktif dalam artian melakukan hal-hal
positif yang mampu membawa dampak positif bagi lingkungan. Kemudian
kampanye ini juga mencoba untuk mengubah perspektif masyarakat. Dalam
strategi komunikasi isu lingkungan, penting menerapkan strategi-strategi yang
berbeda agar dapat mengubah individu secara internal (sikap dan perilaku)
maupun eksternal (masyarakat dan kebijakan). Kampanye ini dilakukan dengan
sangat keras, terutama Greenpeace yang selalu mendorong gerakan ini. Sebab isu
pengeboran minyak dan perubahan iklim merupakan isu yang kompleks. Sehingga
tidak cukup hanya satu strategi saja yang dilakukan.
Dalam kampanye Save the Arctic ini, strategi komunikasi diterapkan
dengan baik dan sistematis. Pertama, kampanye ini menetapkan tujuannya, yaitu
untuk meningkatkan kepeduliaan masyarakat terhadap isu Arktik serta untuk
menghentikan aktivitas pengeboran minyak yang dilakukan oleh Shell. Tujuan ini
juga yang menjadi motivasi awal dibentuknya kampanye tersebut. Kedua,
pengumpulan informasi mengenai isu ini telah menyebar dan menjadi bahan
rundingan berbagai pihak. Informasi mengenai Arktik dikumpulkan sendiri oleh
104
Greenpeace melalui hasil observasinya di kapal Arctic Sunrise (Greenpeace,
2014). Observasi ini dilakukan untuk menghasilkan informasi yang lebih akurat
dan terpercaya. Sehingga fakta dan latar belakang mengenai subjek-subjek yang
terlibat ini dapat membantu dan memberikan gambaran mengenai tindakan yang
akan dilakukan. Ketiga, target yang ditujukan dalam kampanye ini adalah
masyarakat luas dan Shell. Disebutkan oleh Chris Rose bahwa publik terlalu luas
untuk dijadikan audiens sehingga perlu adanya definisi dan identifikasi kembali
mengenai tujuan perubahan yang ingin dicapai. Sehingga konteksnya sangat luas
dan perlu adanya media yang mampu menghubungkan kampanye Save the Arctic
dengan pendukung kampanye. Keempat, taktik kampanye Save the Arctic
dilakukan secara langsung dan tidak langsung.
Secara langsung, aktivis Greenpeace bergerak langsung ke lokasi dan
menunjukkan protesnya melalui banner atau spanduk yang dipasang di badan
kapal. Selain itu juga, kampanye ini juga menggunakan aksi tidak langsung yaitu
melalui penyebaran artikel di situs resmi Greenpeace, berinteraksi dengan para
pendukung kampanye melalui twitter dan facebook, kemudian menyebarkan video
tentang isu tersebut, serta membuat petisi di situs Save the Arctic.
5.1.1 Protes Masyarakat melalui Kampanye Save the Arctic
Aktivitas yang dilakukan Shell menuai protes dari berbagai pihak, khususnya para
aktivis Greenpeace yang menolak adanya pengeboran minyak di wilayah Arktik.
Shell yang notabene merupakan perusahaan minyak besar dan terkenal, jelas dapat
membahayakan lingkungan Arktik karena aktivitas yang dilakukan pasti bukanlah
dalam skala kecil. Maka pada tahun 2012, tujuh orang aktivis Greenpeace yang
105
dipimpin oleh Lucy Lawless menaiki kapal bor “Fennica” di Selandia Baru
(Offshore Energy Today, 2012). Hal ini dilakukan untuk mencegah kapal ini terus
berlayar sampai ke Alsaka untuk melakukan pengeboran di Laut Chukchi. Namun
setelah 2 hari berada di kapal, para aktivis ini kemudian ditahan dan dikenai
hukuman masuk tanpa izin. Kemudian di Finlandia juga terjadi aksi protes
terhadap rencana pengeboran Shell di Arktik. Sekitar 20 orang aktivis Greenpeace
ikut menaiki dua kapal penghancur es yang disewa Shell dari Finlandia
(Greenpeace, 2012).
Gambar 5.1 Aksi Protes Aktivis Greenpeace di Finlandia
(Sumber: Greenpeace, 2012)
Para aktivis ini memasang banner yang bertuliskan “Stop Shell. Save the
Arctic” di atas kapal penghancur es Fennica. Sementara di tahun yang sama, para
aktivis Greenpeace juga mengokupasi kapal penghancur es Nordica di Pelabuhan
Helsinki. Aksi ini dilakukan oleh aktivis-aktivis Greenpeace yang berasal dari 13
negara berbeda, antara lain Finlandia, Slovakia, Kolombia, Jerman, Chili, Brazil,
Italia, Swedia, Austria, Perancis, Hungaria, Norwegia, dan Denmark (Cole, 2012).
106
Kapal-kapal ini merupakan kapal milik Finlandia yang disewa oleh Shell untuk
mengebor minyak di Laut Beaufort dan Laut Chukchi sekitaran daerah pesisir
Alaska. Penyewaan ini banyak didukung oleh EPA, sebab atas permintaan EPA
maka Arctia Offshore, perusahaan negara pemilik kapal ini, kemudian melakukan
modifikasi mesin dengan kebutuhan emisi kapal agar dapat beroperasi dengan
lancar di kondisi lingkungan Arktik yang penuh es (Offshore Energy Today,
2012).
Operasi minyak yang dilakukan oleh Shell dianggap beresiko, sebab
dengan persiapan yang terburu-buru akan menyebabkan tingginya kemungkinan
akan kebocoran minyak. Kebocoran minyak di Arktik memiliki kemungkinan
lebih tinggi karena gumpalan es yang mengapung, es yang tidak terbatas
jumlahnya, serta kondisi cuaca yang ekstrem. Maka apabila terjadi kebocoran,
dampak yang ditimbulkan akan sangat besar dan merugikan. Hal inilah yang
menjadi alasan ketidaksetujuan para pecinta lingkungan, karena kebocoran
minyak di Arktik akan sulit untuk diperbaiki juga dapat menyebabkan
tenggelamnya cakrawala dalam laut.
107
Gambar 5.2 Aksi Protes Pemasangan Banner Save the Arctic di Pelabuhan
Helsinki
(Sumber: YLE News, 2015)
Aksi protes ini terus berlanjut sampai akhirnya para aktivis Greenpeace
menutup 74 pom bensin Shell di London dan Edinburgh (Tuffrey, 2012). Hal ini
dilakukan sebagai protes setelah penangkapan 24 orang aktivis lainnya yang
menolak rencana pengeboran ini. Jumlah pom bensin yang ditutup oleh
Greenpeace, yaitu 71 pom bensin di London dan 3 pom bensin di Edinburgh.
Namun setelah aksi ini, 18 orang di London dan 6 orang di Edinburgh ditangkap
(Tuffrey, 2012). Pada aksi ini, para aktivis menutupi logo Shell dengan banner
Save the Arctic dan meletakkan boneka beruang kutub seukuran manusia di atap
pom bensin.
108
Gambar 5.3 Pemasangan Banner Save the Arctic
(Sumber: Greenpeace, 2012)
Para aktivis ini bahkan menutup pom bensin dengan menghidupkan tombol
penghentian otomatis agar minyak tidak terpompa ke atas dan juga mematikan
sekering untuk memperlambat tombol otomatis tersebut kembali menyala.
Kemudian dengan berlanjutnya kembali pengeboran minyak di Arktik,
maka aksi protes sebagai bentuk kampanye Save the Arctic juga terus berlanjut.
Pada tahun 2015, terdapat aktivis-aktivis Greenpeace yang mengangkut alat bor
minyak milik Shell ke Pelabuhan Seattle (Kinney-Lang, 2015). Alat bor minyak,
Polar Pioneer, merupakan properti milik Shell. Aksi ini direncanakan akan
dilakukan selama 6 hari berturut-turut agar Shell dapat menghentikan aktivitas
pengeborannya di Laut Chukchi. Ancaman terhadap lingkungan Arktik ini
sifatnya resiko jangka panjang dan resiko jangka pendek. Untuk resiko jangka
109
pendek, pengeboran ini dapat menyebabkan kebocoran minyak dan mengotori
lingkungan sekitar. Sementara untuk resiko jangka panjang, zat-zat hidrokarbon
yang dihasilkan dari aktivitas pengeboran akan meningkatkan perubahan iklim
yang sebelumnya sudah terjadi. Para aktivis ini secara aktif memasang banner
serta melakukan wawancara dengan jurnalis dan penulis. Aktivis-aktivis ini
berkembah di peron susuran tangga dekat alat bor, dan mengenakan pakaian tebal
untuk menjaga tubuh mereka tetap hangat dan aman (Kinney-Lang, 2015).
Gambar 5.4 Aktivis Greenpeace yang berusaha mengokupasi alat bor Shell
(Sumber: Greenpeace, 2015)
Kemudian pada tanggal 29 Juli 2015 juga terjadi aksi pemblokiran kapal
Fennica di bawah jembatan Portland, Oregon. Para aktivis ini memasang banner
bertuliskan “#ShellNo”, “Save the Arctic”, dan “President Obama, Last Chance to
Say #ShellNo” (Greenpeace, 2015). Sejak diperbolehkannya rencana pengeboran
minyak Shell di Laut Chukchi, Alaska oleh pemerintah AS, kedua kapal Shell,
Polar Pioneer dan Noble Discoverer, tidak melewati inspeksi rutin. Sehingga
110
kapal Fennica yang rusak di Pelabuhan Dutch sedang coba diperbaiki di Portland.
Maka dari itu 26 orang aktivis gerakan lingkungan global bergerak bahkan
membentuk blokade dengan menggunakan kayak di sekitar kapal Shell yang akan
menuju ke Alaska (Greenpeace, 2015).
Gambar 5.5 Kayaktivists di Portland
(Sumber: Greenpeace, 2015)
5.1.2 Peran Media dalam Kampanye Save the Arctic
Banyak organisasi lingkungan yang menggunakan media secara efektif sebagai
alat bantu kampanye. Salah satunya Greenpeace dalam kampanyenya “Save the
Arctic”. Kampanye ini dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Namun
aksi-aksi nyata yang dilakukan semata-mata tidak langsung terjadi, melainkan
karena adanya dorongan dari kampanye tidak langsung tersebut. Kampanye tidak
langsung ini dilakukan melalui perseorangan (mouth-to-mouth) maupun media.
Media yang digunakan sangat beragam, mulai dari media cetak sampai media
sosial. Media cetak yang digunakan dalam kampanye ini lebih banyak
111
menggunakan banner, spanduk, dan lain sebagainya. Banner dan spanduk ini
digunakan ketika para aktivis Greenpeace melakukan aksi nyata di lokasi-lokasi
kantor dan pom bensin milik Shell.
Gambar 5.6 Pemasangan Iklan Save the Arctic di Billboard Dekat Kantor
Shell
(Sumber: Greenpeace, 2014)
Selain itu, Greenpeace juga mengubah informasi ke dalam bentuk berita
yang disebarkan melalui video. Hal ini efektif karena berita tersebut mengemas
seluruh informasi penting mengenai Save the Arctic, masalah yang terjadi di
Arktik, dan solusi yang dapat dilakukan untuk memecahkan masalah tersebut.
Juga melalui video maka terdapat visualisasi yang mampu menarik masyarakat
untuk menonton video tersebut. Maka secara otomatis informasi yang ada dalam
video juga ikut tersampaikan dan tersebar.
112
Gambar 5.7 Video promosi yang dipublikasikan di situs Greenpeace
(Sumber: SavetheArctic.org)
Selain video, informasi-informasi yang ditulis ke dalam sebuah artikel
berita juga banyak dipublikasikan di situs resmi Greenpeace. Bahkan karena
banyaknya kantor cabang Greenpeace di seluruh dunia, setiap negara yang
memiliki situs resmi juga mempublikasikan artikelnya ke dalam bahasa masing-
masing. Artikel ini seringkali menjadi media agar masyarakat mengetahui
informasi terbaru atau perkembangan baru mengenai isu pengeboran minyak Shell
serta kampanye Save the Arctic.
113
Gambar 5.8 Artikel-artikel di situs resmi Greenpeace
(Sumber: Greenpeace.org)
Kemudian internet yang bisa diakses oleh siapa pun, di mana pun, dan
kapan pun juga ikut berkontribusi besar dalam kampanye ini. Sebab internet tidak
hanya digunakan untuk menyebarkan video dan artikel melalui situs, tetapi juga
digunakan sebagai penghubung antara Greenpeace dan para aktivis atau
pendukung kampanye ini. Sehingga orang dari negara mana pun bisa ikut
berpartisipasi secara tidak langsung, misalnya dengan ikut membagikan berita-
berita terbaru yang di-update oleh Greenpeace lewat akun twitter dan facebook.
114
Gambar 5.9 Akun twitter kampanye Save the Arctic
(Sumber: Twitter Save the Arctic @savethearctic)
Gambar 5.10 Akun facebook kampanye Save the Arctic
(Sumber: Facebook Save the Arctic)
Sehingga Greenpeace dikenal sebagai organisasi yang ahli menggunakan
media sosial untuk mengenalkan berbagai kampanyenya, termasuk Save the
Arctic. Greenpeace dapat memanfaatkan fungsi-fungsi yang ditawarkan oleh
media sosial ini, misalnya facebook yang menawarkan fitur “like” dan
115
“comment”. Fitur inilah yang kemudian mendorong banyaknya “likers” sebagai
bentuk rasa setuju dan kesediaan untuk berbagi pendapat mengenai isu-isu yang
dibahas oleh Greenpeace. Tidak hanya itu, media ini juga digunakan untuk
mengumpulkan dukungan masyarakat salah satunya dengan membuat petisi.
Facebook dan twitter dapat menjadi wadah untuk menyebarkan direct link ke web
resmi kampanye Save the Arctic. Chris Rose mengatakan bahwa petisi dapat
menjadi salah satu taktik yang efektif untuk topic tertentu ketika terdapat suatu
badan atau pengambil keputusan. Sebab petisi seringkali digunakan untuk
mendemonstrasikan kekuatan opini publik.
Gambar 5.11 Web resmi Save the Arctic
(Sumber: savethearctic.org)
Lalu pemanfaatan industri hiburan juga menawarkan kesempatan yang efektif
untuk semakin menarik dukungan masyarakat terhadap kampanye ini. Misalnya
dengan keikutsertaan para selebritis yang juga ikut mendukung kampanye Save
the Arctic.
116
Gambar 5.12 Aktris Emma Thompson ikut mendukung kampanye Save the
Arctic
(Sumber: Greenpeace, 2014)
Pada akhirnya, media berperan amat besar dalam kampanye Save the Arctic.
Sebab strategi-strategi kampanye ini mayoritas dilakukan melalui media. Media
yang paling banyak berkontribusi adalah media elektronik, yaitu media sosial dan
blog. Chris Rose juga menyebutkan bahwa salah satu hal baik dalam penggunaan
media digital/online adalah bahwa taktik ini mampu menjangkau banyak
‘masyarakat awam’ dengan sumber daya lainnya.
5.2 Penghentian Aktivitas Industri oleh Shell di Alaska
Shell telah melakukan pengeboran minyak di Alaska sejak tahun 2012. Meskipun
pengeboran minyak ini sempat terhenti di akhir tahun 2012 karena teknologi yang
117
kurang memadai untuk beraktivitas di Perairan Arktik. Namun pada tahun 2013
Shell kembali mengumumkan rencana pengeboran minyaknya di Arktik.
Walaupun banyaknya kecaman yang ditujukan kepada Shell, namun Shell tetap
bersikeras untuk tidak meninggalkan Arktik. Kemudian muncul kabar bahwa
Shell akan menghentikan aktivitas pengeboran di Alaska pada tahun 2014
(Sterling, 2014). Hal ini dikarenakan turunnya investasi sehingga Shell mengalami
penurunan keuangan. Namun Shell tetap bersikeras untuk mengupayakan dana
demi pengeboran ini dan pengeboran pun tetap berjalan.
Kemudian Greenpeace kembali melaksanakan kampanyenya dengan
mengajukan komplain mengenai kerjasama Shell dan Lego, ketika Lego membuat
video yang menggambarkan sumur minyak Shell yang bocor dan akhirnya
membanjiri lingkungan sekitar dengan minyak versi Lego (Boehrer, 2014). Video
ini dianggap merusak imajinasi anak-anak dan Greenpeace menghimbau Lego
untuk mengakhiri kerjasamanya dengan Shell. Tetapi Shell tetap mengabaikan
protes ini, kendati Lego kemudian mengakhiri kerjasamanya dengan Shell. Dalam
pengeboran ini, Shell banyak mengalami masalah. Misalnya mengenai izin
penempatan kapal bor Polar Pioneer di Pelabuhan Seattle. Kapal ini tidak
diperbolehkan mendarat di Pelabuhan Seattle karena kontrak sebelumnya hanya
berlaku untuk operasional kargo bukan untuk pengangkutan minyak. Sampai
akhirnya Shell diizinkan untuk mendaratkan kapalnya di pelabuhan tersebut untuk
waktu 6 bulan (The Huffington Post, 2015).
Namun pada tanggal 28 September 2015, Shell menyatakan berhenti
dalam aktivitas pengeboran minyak dan eksplorasi gas yang selama ini dilakukan
118
di Alaska (BBC, 2015). Aktivitas yang dilakukan Shell dikabarkan menimbulkan
hasil yang mengecewakan sehingga Shell mengumumkan akan berhenti
melakukan eksplorasinya di Alaska. Shell mengatakan bahwa pihaknya tidak
menemukan jumlah minyak dan gas yang cukup, sementara biaya yang dihabiskan
mencapai $7 milyar untuk pengembangan sumur minyak di Laut Beaufort dan
Chukchi tersebut (Macalister, 2015). Sebelumnya, Shell berasumsi adanya potensi
eksplorasi minyak di area tersebut, yang menjadikan wilayah tersebut menjadi
area strategis. Shell selalu menekankan kepada publik mengenai adanya potensi
hidrokarbon yang berlimpah. Namun setelah lebih kurang 4 tahun menjalani
operasi ini, hasil yang diinginkan tidak sesuai dengan capaian. Sebab Arktik
memang dikabarkan menjadi lokasi yang beresiko tinggi dan membutuhkan biaya
pengembangan yang besar. Ditambah lagi dengan harga minyak dunia yang
berada sekitar $50 per barel, membuat aktivitas ini semakin beresiko tanpa
jaminan akan berhasil. Kerugian yang dicapai oleh Shell diperkirakan mencapai
$4.1 milyar (Macalister, 2015). Keputusan untuk menghentikan aktivitas ini
semakin didorong karena adanya tekanan dari pemegang saham perusahaan yang
khawatir mengenai harga minyak dunia.
Pada intinya, terdapat empat alasan penghentian pengeboran minyak Shell
di Alaska. Pertama, kesalahan asumsi mengenai potensi geologi Arktik. Setelah
menghabiskan begitu banyak dana untuk mengeksplorasi sebuah sumur minyak di
dasar laut Alaska, Shell mengungkapkan adanya indikasi minyak dan gas namun
hal ini tidak menjadi alasan yang cukup untuk dilakukannya eksplorasi lanjutan.
Padahal sebelumnya Shell optimis bahwa pengeboran ini akan menghasilkan
119
penemuan minyak yang berlimpah, yaitu sebanding dengan 400 milyar barel
minyak atau 10 kali lipat dari jumlah minyak dan gas yang dihasilkan di Laut
Utara (Barrett, 2015). Sehingga ekspektasi ini yang kemudian menjadi alasan
utama Shell menghabiskan dana untuk pengeboran yang dianggap beresiko.
Selain beresiko, aktivitas ini juga mengalami banyak protes dari kelompok
lingkungan internasional seperti Greenpeace.
Gambar 5.13 Lokasi Pengeboran Minyak Shell di Laut Chukchi
(Sumber: Greenpeace, 2015)
120
Gambar 5.14 Lokasi Sumur Minyak Shell di Laut Beaufort
(Sumber: The Guardian, 2015)
Kedua, karena ketakutan Shell mengenai harga minyak dunia yang tidak
stabil. Dengan harga minyak yang berada pada angka $50 per barel, maka sulit
bagi Shell untuk meraih keuntungan. Shell awalnya memperkirakan bahwa harga
minyak Arktik setidaknya akan membuat harga minyak dunia di antara $70-$110
untuk jangka waktu 15 tahun ke depan (Barrett, 2015). Namun dengan penemuan
yang belum menemukan hasil apa pun, maka Shell pesimis perkiraan tersebut
akan terjadi. Sebab harga minyak saat ini saja mendorong perusahaan-perusahaan
untuk memangkas biaya. Sehingga dengan menghentikan pengeboran ini maka
akan mengurangi beban ekspenditur Shell.
Ketiga, aturan yang ketat juga kerapkali menghalangi aktivitas Shell.
Aturan ini datang dari pemerintah AS yang memberlakukan aturan lingkungan
federal baru untuk wilayah Alaska (Barrett, 2015). Keempat dan yang paling
penting adalah karena adanya tekanan dari berbagai kelompok lingkungan
121
internasional. Aksi protes yang telah dilakukan oleh Greenpeace dimulai sejak
Shell pertama kali memulai aktivitasnya di tahun 2012. Aksi ini terus terjadi
secara terus menerus, mulai dari okupasi kapal bor yang terjadi beberapa kali,
pemblokiran jalan jembatan di dekat Pelabuhan Portland, kapal yang dihadang
oleh para kayaktivist, petisi dari masyarakat seluruh dunia, serta berbagai
publikasi media lainnya (Greenpeace, 2015).
Gambar 5.15 Pengumuman Resmi Greenpeace
(Sumber: Greenpeace. 2015)
Kabar mengenai penghentian pengeboran minyak Shell di Arktik ini
langsung direspon oleh Greenpeace sebagai keberhasilan dari kampanye Save the
Arctic. Shell dianggap telah merugikan perusahaannya sendiri, baik secara
finansial maupun reputasi (Greenpeace, 2015). Sebab aktivitas yang dilakukan
Shell dianggap sebagai aktivitas penggalian minyak paling kontroversial, karena
122
besarnya resiko yang dihadapi. Kampanye ini akan terus berlanjut, guna
melindungi suaka di Arktik.
Selain itu, penghentian ini juga merupakan bagian dari dukungan yang
diberikan masyarakat Finlandia. Kebanyakan masyarakat Finlandia merespon
masalah ini dengan dukungan dan persetujuan. Masalah yang terjadi terhadap
Arktik dianggap sebagai masalah serius bagi masyarakat Arktik, sebab masalah
ini membahayakan lingkungan Arktik. Dukungan yang diberikan masyarakat
Finlandia beragam, mulai dari dukungan melalui media online maupun dukungan
secara langsung. Melalui media online, masyarakat Finlandia mengutarakan
pendapatnya dengan ikut menyebarkan berita ini. Namun masyarakat Finlandia,
terutama aktivis-aktivis lingkungan juga mendukung masalah ini dengan ikut
melakukan protes.
123
BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN
6.1 Simpulan
Melihat keberhasilan kampanye Save the Arctic, media global memegang peranan
penting dalam strategi kampanye isu lingkungan. Media global ini mendorong
arus komunikasi secara menyeluruh sehingga informasi lebih cepat dan mudah
diterima. Strategi-strategi yang digunakan Greenpeace dalam kampanye ini
terbagi atas dua, yaitu direct action dan indirect action. Meskipun mayoritas
didukung oleh penggunaan media elektronik. Para aktivis Greenpeace juga
melakukan kegiatan kampanye langsung, misalnya dengan melakukan aksi protes
di depan kantor Shell atau dengan mengambil alih salah satu pom bensin milik
Shell kemudian memasang tulisan “Stop Shell. Save the Arctic”. Bahkan banyak
lagi aksi yang lebih ekstrem dilakukan para aktivis ini, salah satunya ialah
mengokupasi kapal penghancur es Fennica dan Nordica demi memasang banner
Save the Arctic. Resikonya adalah para aktivis ini ditangkap dan dibawa ke kantor
polisi.
Namun demi tujuan awal yang juga menjadi motivasi dibentuknya
kampanye Save the Arctic, Greenpeace mencoba untuk menyuarakan masalah ini
dengan menyampaikan berbagai informasi mengenai Arktik ke situs resminya.
Informasi ini dipublikasikan dalam bentuk artikel maupun video.
107
Segala perkembangan terkait isu pengeboran minyak Shell ini selalu
dipublikasikan oleh Greenpeace. Tujuannya adalah agar masyarakat lebih sadar,
peduli, dan khawatir dengan kondisi yang terjadi. Masalahnya adalah aktivitas
pengeboran minyak yang dilakukan Shell tidak hanya akan merusak Arktik saja
tetapi kondisi iklim. Kerusakan-kerusakan yang terjadi di Arktik akan berdampak
secara global. Tingginya resiko lingkungan ini menyebabkan keharusan yang
dirasakan Greenpeace untuk meningkatkan pengetahuan dan mengajak
masyarakat ikut mendukung kampanye Save the Arctic.
Kampanye ini tidak hanya menggunakan strategi perilisan berita melalui
situs, tetapi juga melalui media sosial seperti twitter dan facebook. Media sosial
ini dijadikan media sharing informasi serta interaksi antara masyarakat dengan
Greenpeace. Greenpeace juga membuat petisi untuk mencari dukungan dari
orang-orang yang menolak pengeboran minyak di Arktik. Media sosial juga dapat
dimanfaatkan dalam memberikan direct link ke situs petisi tersebut.
Kampanye media akan berjalan apabila mengikuti strategi-strategi
komunikasi yang sesuai. Pertama menetapkan tujuan dilakukannya kampanye.
Kedua, mengumpulkan informasi yang dapat digunakan sebagai konten
kampanye. Ketiga, mengidentifikasi objek target kampanye. Pada kasus Save the
Arctic, target kampanye adalah masyarakat luas, khususnya masyarakat Finlandia.
Maka dari itu perlu adanya media massa dalam berkampanye. Terakhir, menyusun
taktik untuk kemudian diterapkan saat kampanye. Taktik ini bisa beragam
tergantung pada apa yang disukai dan diminati oleh target. Dari kedua taktik
tersebut, masyarakat Finlandia banyak terlibat dalam aksi tidak langsung. Terlihat
108
dari bagaimana masyarakat Finlandia merespon kampanye ini dengan dukungan
positif, misalnya dengan ikut menyebarkan hashtag #SavetheArctic di berbagai
media microblog.
Prosedur kampanye berjalan sesuai dengan konsep strategi komunikasi,
yaitu dengan mengutamakan unsur komunikator (pembentuk kampanye),
komunikan (target), dan pesan yang ingin disampaikan. Dalam hal ini Greenpeace
sebagai komunikator berperan penting dalam penyebaran serta upaya lainnya
kepada publik (komunikan) untuk menyukseskan kampanye Save the Arctic. Juga
pesan yang disampaikan dalam kampanye ini juga jelas, yaitu untuk
menghentikan aktivitas yang mampu merusak ekosistem Arktik dan untuk
melindungi wilayah tersebut. Sehingga kaitan antara ketiganya berjalan secara
berkesinambungan.
6.2 Saran
Setelah menarik dan memaparkan kesimpulan, saran yang dapat disampaikan
peneliti adalah bahwa penyebaran kegiatan kampanye Save the Arctic masih
belum menyeluruh. Penggunaan media elektronik seperti situs dan video dibuat
sangat bagus dan menarik. Namun media sosial terlihat begitu “kaku” dan kurang
interaktif, sehingga media sosial kebanyakan hanya dijadikan wadah untuk
berbagai berita atau direct link lainnya mengenai topik yang serupa. Minat
masyarakat yang tinggi perlu difasilitasi dengan memanfaatkan media secara lebih
maksimal lagi. Strategi membuat berita dan keterlibatan selebriti sudah sangat
bagus, sebab hal ini menjadi faktor penarik para volunteer untuk ikut
menyuarakan concern terhadap masalah ini. Selain itu, kampanye Save the Arctic
109
masih perlu banyak perbaikan terutama dalam metode-metode kampanye. Alasan
pemberhentian aktivitas pengeboran minyak oleh Shell setahun yang lalu lebih
dikarenakan tidak adanya prospek dan masalah perizinan. Maka dari itu tekanan
dari kelompok lingkungan harus lebih dilakukan agar tidak memakan waktu lama
dan menjadi sia-sia.
110
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Chandler, Daniel; Munday, Rod. (2011). A Dictionary of Media and
Communication. Oxford: Oxford University Press.
Cutlip, Scott M.; Center, Allen H.; Broom, Glen M. (2006). Effective Public
Relation, 9th
ed. New Jersey: Pearson Prentice Hall.
Holsti, K. J. (1992). Politik Internasional: Suatu Kerangka Analisis. Bandung:
Binacipta.
Karns, Margaret P.; Mingst, Karen. (1996). International Organizations: The
Politics and Processes of Global Governance. US: Lynne Rienner
Publishers.
Liliweri, Alo. (2001). Gatra-Gatra Komunikasi Antar Budaya. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Malik, Deddy Djamaluddin. (1993). Komunikasi Internasional. Bandung: Bina
Cipta.
Pepper, David. (1996). Modern Environmentalism. London dan New York:
Routledge.
Stake, Robert. (2010). Qualitative Research: Studying How Things Work. New
York: The Guildford Press.
Yin, Robert K. (2011). Qualitative Research from Start to Finish. New York,
London: The Guilford Press.
Artikel dan Jurnal
Amnon, Sella. (1978). “Barbarossa: Surprise Attack and Communication”.
Journal of Contemporary History 13 (3).
Arctia Ltd official website. (tt). Arctia Offshore: Expert in Arctic Navigation.
[online] http://arctia.fi/en/services/offshore/ [akses pada 25 Maret 2016]
Arctic Council. (2011). About the Arctic Council. [online] Tersedia di:
www.arctic-council.org/index.php/en/about-us/arctic-council/about-arctic-
council [akses pada: 5 Oktober 2014]
Arctic Council. (2015). Finland. [online] 10 September. http://www.arctic-
council.org/index.php/en/about-us/member-states/finland [akses pada 11
Februari 2016]
Arctic Economic Council. (tt). Arctia Shipping Ltd. (Arctia Group). [online]
http://arcticeconomiccouncil.com/arctia-shipping-ltd-arctia-group/ [akses
pada 25 Maret 2016]
111
Avaaz. (2009). About Us. [online] http://www.avaaz.org/en/about.php [akses pada
13 Februari 2016]
Banerjee, Subhankar. (2012). Shell Game in the Arctic. The Common Dreams.
[online] http://www.commondreams.org/views/2012/08/02/shell-game-
arctic [akses pada 13 Februari 2016]
Barrett, Paul. (2015). Why Shell quit drilling in the Arctic. Bloomberg [online]
http://www.bloomberg.com/news/articles/2015-09-28/why-shell-quit-
drilling-in-the-arctic [akses pada 16 Februari 2016]
BBC. (2012). Finland country profile. [online] 6 Februari.
http://news.bbc.co.uk/2/hi/europe/country_profiles/1023629.stm#facts
[akses pada 13 Februari 2016]
BBC. (2015). Shell stops Arctic activity after dissapointing tests. [online] 28
September. http://www.bbc.com/news/business-34377434 [akses pada 16
Februari 2016]
Beilinson, Jerry. (2012). Everything you need to know about Shell oil and Arctic
offshore drilling in Alaska. [online] 14 September.
http://www.popularmechanics.com/science/energy/a7938/everything-you-
need-to-know-about-shell-oil-and-arctic-offshore-drilling-in-alaska-
10720112/ [akses pada 15 Februari 2016]
Boehrer, Katherine. (2014). Greenpeace's Lego video aims to end Shell
partnership. The Huffington Post. [online] 11 Juli.
http://www.huffingtonpost.com/2014/07/08/greenpeace-lego-video-
shell_n_5567541.html [akses pada 16 Februari 2016]
Bragt, Jasper. (2006). Media Campaign Tracking. Twente University.
Brayton, Rebecca. (2009). The History of Greenpeace: Environmental Activists.
Watch Mojo. [online] http://watchmojo.com/video/id/8789/ [akses pada 13
Februari 2016]
Bratton, Michael. (1994). “Civil Society and Political Transition in Africa”.
Institute for Development Research Report, 11(6). [online] Tersedia di:
http://worlded.org/docs/Publications/idr/pdf/11-6.pdf [akses pada 19
Januari 2016]
Brian A. Day & Martha C. Monroe. (2000). Environmental Education &
Communication for a Sustainable World. NY: Academy for Educational
Development.
Canadian International Council. (2011). Interest and roles of non-arctic states in
the arctic. [online] 5 Oktober.
http://www.gordonfoundation.ca/sites/default/files/publications/Arctic%20
Seminar%20Background%20Brief_1.pdf [akses pada 13 Februari 2016]
C Buchanan, Rose Troup. (2015). Greenpeace activists install giant polar bear
outside Shell's London headquarters. Independent [online] 2 September.
http://www.independent.co.uk/news/uk/emma-thompson-joins-
greenpeace-campaigners-on-londons-southbank-to-protest-shell-
10482200.html [akses pada 13 Februari 2016]
112
Central Intelligence Agency. (2016). Europe: Finland. The World Factbook.
[online] 5 Januari. https://www.cia.gov/library/publications/the-world-
factbook/geos/fi.html [akses pada 10 Februari 2016]
Cole, Alan. (2012). Finland: Greenpeace Protest. [online] 5 Januari. Tersedia di:
http://www.xperedon.com/news/1231/finland-greenpeace-protest.html
[akses pada: 26 Oktober 2015]
EMAS. (tt). Platform Supply Vessel. [online]
http://www.emas.com/index.php/our-expertise/emas-marine/our-fleet-
2/platform-supply-vessels/ [akses pada 12 Februari 2016]
Falkner, Robert. (2012). “Global Environmentalism and The Greening of
International Society”. The Royal Institute of International Affairs, 88: 3.
UK: Blackwell Publishing.
Finnish Marine Research Infrastructure (FINMARI). (tt). Arctia Shipping Ltd.
[online] http://www.finmari-infrastructure.fi/partners/arctia-shipping-ltd/
[akses pada 25 Maret 2016]
Finnish Forest Association. (tt). Finland is the most forested country in Europe.
[online]http://www.smy.fi/en/forest-
fi/smyforest/foresteng.nsf/allbyid/BE3C5576C911F822C2256F3100418A
FD?Opendocument [akses pada 13 Februari 2016]
Finnish Transport Agency. (2010). Statistics of the Finnish Transport Agency.
[online] http://rhk-fi-
bin.directo.fi/@Bin/fc8c02705c0dcb70d9ba85f418f8c2a4/1455620451/ap
plication/pdf/4036970/Finnish%20Railway%20Statistics%202010.pdf
[akses pada 13 Februari 2016]
Garcia-Munro, Maia. (2014). Drilling in the Arctic: Is it worth it?. [online]
Tersedia di: http://theusdvista.com/2014/10/03/drilling-in-the-arctic-is-it-
worth-it/ [akses pada: 5 Oktober 2014]
Goodenough, Patrick. (2010). Claims on Resource-Rich Arctic Stoke
International Rivalry. CNS News. [online] Tersedia di:
http://cnsnews.com/news/article/claims-resource-rich-arctic-stoke-
international-rivalry [akses pada: 28 September 2014]
Greenpeace International. (2010). Background of Greenpeace Worldwide.
[online] 7 Januari.
http://www.greenpeace.org/international/en/about/worldwide/ [akses pada
13 Februari 2016]
Greenpeace. (2015). Shell abandons Arctic plans - Greenpeace International
response. [online] 28 September.
http://www.greenpeace.org/international/en/press/releases/2015/Shell-
abandons-Arctic-plans---Greenpeace-International-response/ [akses pada
16 Februari 2016]
Gottlieb, Robert. (2005). Forcing the Spring: The Transformation of the American
Enviromental Movement.
Hamilton, Neil. (2013). Finlandia! Bangsa Arktik pertama yang menyerukan
suaka global di sekitar Kutub Utara. [online] Tersedia di:
113
http://www.greenpeace.org/seasia/id/blog/finlandia-bangsa-arktik-
pertama-yang-menyeruk/blog/46575/ [akses pada: 5 Oktober 2014
Hoel, M. (1992). “International environment conventions: the case of uniform
reductions of emissions”. Environmental and Resource Economics, 2(2),
141-159.
Horinouchi, Hidehisa. (2010). Japan and the Arctic. Presentation at Japan-Norway
Polar Seminar. [online] http://ud-t-
portal.osl.basefarm.net/PageFiles/395907/JAPAN_AND_THE_ARCTIC.p
df [akses pada 13 Februari 2016]
Houston Business Journal. (2002). Shell to Brand New U.S. Gas Stations. [online]
8 Februari.
http://www.bizjournals.com/houston/stories/2002/02/04/daily41.html
[akses pada 12 Februari 2016]
Huebert, Rob, Heather Exner-Pirot, Adam Lajeunesse, dan Jay Gulledge. (2012).
Climate Change & International Security: The Arctic as a Bellwether.
[online] Tersedia di: http://www.c2es.org/docUploads/arctic-security-
report.pdf [akses pada: 28 September 2014]
Jae-Min, Lee. (2011). The Arctic Ocean in the Hear. The Korea Herald. [online]
http://www.koreaherald.com/opinion/Detail.jsp?newsMLId=20110809000
705 [akses pada 13 Februari 2016]
Jaremko, Gordon. (2008). “Arctic Fantasies Need Reality Check: Geologist
Knows Risks of Northern Exploration”. The Edmonton Journal. [online]
Tersedia di:
www.canada.com/edmontonjournal/news/business/story.html?id=bfda210
8-bf06-4a53-9c45-20b5eb36a34a&k=63243 [akses pada: 5 Okotber 2014]
Marciano, Ana Carolina dos S. (2011). The discourse behind an environmental
campaign - case study: The Earth Hour. Swedish University of
Agricultural Sciences. [online]
http://stud.epsilon.slu.se/3719/1/marciano_a_111217.pdf [akses pada 16
Januari 2016]
Macalister, Terry. (2015). Shell abandons Alaska Arctic drilling. The Guardian.
[online] 28 September.
http://www.theguardian.com/business/2015/sep/28/shell-ceases-alaska-
arctic-drilling-exploratory-well-oil-gas-disappoints [akses pada 16
Februari 2016]
McWhinney, James E. (2013). The Nordic Model: Pros and Cons. [online] 25
Juni. Investopedia.
http://www.investopedia.com/articles/investing/100714/nordic-model-
pros-and-cons.asp [akses pada 10 Februari 2016]
Mesh, Aaron. (2015) With the Fennica back in Alaska, here's what Shell has
planned for the Arctic. Willamette Week. [online] 7 Agustus.
http://www.wweek.com/portland/blog-33570-
with_the_fennica_back_in_alaska_heres_what_shell_has_planned_for_the
_arctic.html [akses pada 15 Februari 2016]
114
Offshore Energy Today. (2012). Finland: Greenpeace Activists Board Shell-
Leased Icebreakers. [online] 16 Maret.
http://www.offshoreenergytoday.com/finland-greenpeace-activists-board-
shell-leased-icebreakers/ [akses pada 15 Februari 2016]
Perreault, Francois. (2012). “Can China Become a Major Arctic Player?”. S.
Rajaratman School of International Studies Commentaries, No. 073/2012
[online] 24 April. https://www.rsis.edu.sg/wp-
content/uploads/2014/07/CO12073.pdf [akses pada 10 Februari 2016]
Polunin, N. (1982). “Our global environment and the World Campaign for The
Biosphere”. Environmental Conservation, 9(02), 115-121.
Portland. The Oregonian. [online] 17 Agustus.
http://www.oregonlive.com/environment/index.ssf/2015/08/feds_approve_
shell_drilling_in.html [akses pada 15 Februari 2016]
Prime's Minister Office. (2010). Finland's Strategy for the Arctic Region. [online]
5 Juli.
http://www.geopoliticsnorth.org/images/stories/attachments/Finland.pdf
[akses pada 13 Februari 2016]
Sakhuja, Vijay. (2010). “The Arctic Council: Is there a case for India?”. Indian
Council of World Affairs. [online]
http://www.icwa.in/pdfs/policy%20briefs%20dr.pdf [akses pada 13
Februari 2016]
Sauven, John. (2012). Saving the Arctic is environmentalism's biggest challenge
yet. The Guardian. [online] 24 Agustus.
http://www.theguardian.com/environment/blog/2012/aug/24/saving-arctic-
environmentalism-challenge [akses pada 13 Februari 2016]
Savage, Luiza. (2013). Why Everyone Wants A Piece of the Arctic. Maclean's.
Rogers Digital Media. [online] 13 Mei.
http://www.macleans.ca/news/canada/why-the-world-wants-the-arctic/
[akses pada 11 Februari 2016]
Seeds for Change. (2012). Planning your campaign. [online]
www.seedsforchange.org.uk/strategy.pdf [akses pada 14 Februari 2016]
Sterling, Toby. (2014). Shell to stop drilling in Alaska in 2014. The Huffington
Post. [online] 30 Januari.
http://www.huffingtonpost.com/2014/01/30/shell-alaska-
drilling_n_4694302.html [akses pada 16 Februari 2016]
Tuffrey, Laurie. (2012). Greenpeace activists shut down 74 UK Shell Petrol
stations. The Guardian. [online] 16 Juli.
http://www.theguardian.com/environment/2012/jul/16/greenpeace-
activists-shell-petrol [akses pada 13 Februari 2016]
Vessel Finder. (2015). Fennica - Icebreaker. [online] 21 November.
https://www.vesselfinder.com/vessels/FENNICA-IMO-9043615-MMSI-
230245000 [akses pada 12 Februari 2016]
Vessel Finder. (2015). Nordica - ICebreaker. [online] 19 November.
https://www.vesselfinder.com/vessels/NORDICA-IMO-9056985-MMSI-
230275000 [akses pada 12 Februari 2016]
115
Wakefield, M. A.; Loken, B.; Hornik, R. C.(2010). Use of mass media campaign
to change health behavior. Lancet 376 (9748)
Watt, Louis. (2013). China and India’s Rivalry Extends to the Arctic. The Big
Story. [online] Tersedia di: http://bigstory.ap.org/article/china-and-indias-
rivalry-extends-arctic [akses pada: 27 September 2014]
Weeks, P. (1999). “Cyber‐activism: World Wildlife Fund's Campaign to Save the
Tiger”. Culture & Agriculture, 21(3), 19-30.
Weyler, Rex. (2004). Greenpeace: How a Group of Ecologists, Journalist, and
Visionaries Changed the World. Vancouver: Raincoat Books [online]
https://books.google.co.uk/books?id=M1GW445y2n4C&q= [akses pada
13 Februari 2016]
World Association of Girl Guides and Girl Scouts. (2013). Flag for the Future.
[online] https://www.wagggs.org/en/flagforthefuture/ [akses pada 13
Februari 2016]
WWF. (2010). Kampanye. [online] Tersedia di:
http://www.wwf.or.id/tentang_wwf/upaya_kami/iklim_dan_energi/solusik
ami/kampanye/ [akses pada: 22 September 2015]
Yle. (2012). Report: Finland could face suit if accident strikes Shell’s Arctic
offshore drilling. [online] http://www.adn.com/article/report-finland-
could-face-suit-if-accident-strikes-shells-arctic-offshore-drilling [akses
pada 25 Maret 2016]
Yle. (2013). Finland’s Arctia: Offshore ops pay better than Baltic icebreaking.
[online] http://www.rcinet.ca/eye-on-the-arctic/2013/10/15/finlands-arctia-
offshore-ops-pay-better-than-baltic-icebreaking/ [akses pada 25 Maret
2016]
Yle. (2013). Finland looking to supply icebreakers to Russia. [online] 9
September. Tersedia di:
http://yle.fi/uutiset/finland_looking_to_supply_icebreakers_to_russia/6820
367 [akses pada: 26 Oktober 2015]
Yle. (2015). US protesters aim to halt Finnish icebreaker’s return to Arctic oil
operation. [online] 29 Juli. Tersedia di:
http://yle.fi/uutiset/us_protesters_aim_to_halt_finnish_icebreakers_return_
to_arctic_oil_operation/8190318 [akses pada: 26 Oktober 2015]