Kalsium Sitrat Memperbaiki Progresi Injury Ginjal Kronik
Transcript of Kalsium Sitrat Memperbaiki Progresi Injury Ginjal Kronik
Kalsium Sitrat Memperbaiki Progresi Injury Ginjal Kronik
Kidney International, Vol 65 (2004), pp 1224-1230
Latar Belakang
Asidosis metabolik merupakan konsekuensi dari gagal ginjal kronik dan
mengakibatkan demineralisasi tulang, proteolisis otot dan progresi gagal ginjal
kronik. Tujuan studi ini adalah untuk mengevaluasi efek koreksi asidosis
metabolik dengan kalsium sitrat pada model eksperimental ablasi massa renal.
Metode
Tikus Wistar adalah subyek untuk refrektomi 5/6 dan dirandom menjadi satu dari
4 grup: grup non terapi (NFX); diterapi dengan kalsium sitrat (1,45 g/100g
makanan) (NFX-CIT); diterapi dengan kaptopril (500 mg/L air) (NFX-CAP); atau
diterapi dengan keduanya (NFX-CAP-CIT) selama 1, 10 atau 20 minggu. Berat
badan, tekanan darah sistolik, proteinuria, konsentrasi bikarbonat arterial, ekskresi
sitrat urin, kalsium plasma dan klirens inulin diukur. Skor kerusakan glomerular
dan tubulointerstisial histologi diukur pada minggu 1, 10 dan 20 dan proliferating
cell nuclear antigen (PCNA)-sel positif tubular dan glomerular, pewarnaan aktin
otot polos alfa dan desmin diteliti dengan imunohistokimiawi pada minggu 1 dan
10.
Hasil
Kelompok terapi menunjukkan kurangnya proliferasi seluler tubulointerstisial dan
glomerular bermakna pada minggu pertama (P<0,05), kurangnya transdiferensiasi
sel glomerular dan bikarbonat plasma lebih tinggi pada minggu ke 20 (P<0,05).
Klirens inulin lebih tinggi (P<0,05) dan laju ekskresi protein urin lebih rendah
(P<0,05) dibandingkan pada kelompok nonterapi NFX, namun tekanan darah
arterial tidak berbeda bermakna pada kelompok NFX-CIT.
1
Kesimpulan
Kalsium sitrat memperlambat progresi injury renal kronik pada model nefrektomi
5/6. Kalsium sitrat memperbaiki asidosis metabolik dan menurunkan proliferasi
sel dan transdiferensiasi tanpa perubahan pada tekanan darah sistolik.
Progresi gagal ginjal terminal tidak tergantung pada mekanisme patogenesis
awal. Mekanisme destruktif umum yang membawa beberapa penyakit ginjal
kronik untuk terjadinya kerusakan tubulointerstisial kronik dan
glomerulosklerosis sudah banyak diteliti dan model eksperimental yang paling
banuyak digunakan adalah nefrektomi 5/6.
Asidosis metabolik merupakan konsekuensi yang sering terjadi pada gagal ginjal
kronik, yang merupakan akibat dari inadekuasi ekskresi amonium dan
menurunnya reabsorpsi bikarbonat tubuler. Asidosis ini mejadi konsekuensi yang
parah karena hal ini meningkatkan penyakit tulang renal (osteodistrofi renal) dan
mengaktivasi proteolisis otot. Ada bukti bahwa asidosis menurunkan laju filtrasi
glomerular. Produksi amonia oleh nefron yang tersisa meningkat setelah
nefrektomi parsial dan ini mungkin mengakibatkankan kerusakan renal.
Logan menemukan bahwa pada sel ginjal tikus normal- urea menstimulasi
sintesis DNA dan Ling dkk mengamati bahwa amonia menghasilkan hipertrofi sel
tubular dan mesangial. Nath dkk telah menunjukkan bahwa proteinuria (setelah
nefrektomi 5/6 pada tikus ) menurun ketika amoniagenesis renal menurun akibat
suplementasi bikarbonat natrikus.
Mereka menyatakan bahwa amonia menstimulasi jalur alternatif komplemen
sehingga menghasilkan inflamasi tubulointerstisial dan injury renal dengan
perubahan fungsi tubular dan ini juga merupakan stimulus terhadap pertumbuhan
renal. Throssel dkk tidak dapat menunjukkan benefit dari suplementasi biknat.
Asidosis tikus dengan fungsi renal normal berkembang menjadi proteinuria dan
hipertrofi renal dan hiperplasia. Throssell dkk mempertimbangkan bahwa protein
2
terfiltrasi tidak dimetabolisir oleh sel tubular. Data ini juga menyatakan bahwa
asidosis metabolik memperburuk progresi gagal ginjal kronik.
Pada eksprerimen sebelumnya kami memberikan NaHCO3 selama 20 minggu
terhadap tikus Wistar nefrektomi 5/6 dan merreka menjadi hipertensi arterial
berat dan tidak memperbaiki laju filtrasi glomerular atau menurunkan lesi
histologis dibandingkan dengan kelompok nefrektomi nonterapi (hasil tidak
dipublikasikan).
Sitrat, merupakan agen alkalinisasi yang direabsorpsi pada tubulus proksimal
renal oleh transporter pasangan natrium, kotransporter Na+/dikarboksilat, dengan
substrat luas spesifik untuk intermediasi siklus Krebs. Tanner dkk menunjukkan
bahwa garam sitrat memperbaiki fungsi renal pada tikus dengan penyakit ginjal
polikistik, terutama dengan efek alkalinisasinya. Toblli dkk juga menunjukkan
efek benefit dari suplemen kalium sitrat pada nefropati asam urat.
Kami mengamati bahwa suplementasi kalsium sitrat juga melemahkan kerusakan
tubulointersitisal pada model tikus dari nefropati obstruktif (abstrak Gadola dkk, J
Am Soc Nephrol 12;703A, 2001). Kalsium sitrat akan menjadi garam sitrat yang
lebih aman untuk digunakan pada model gagal ginjal kronik untuk menghindari
risiko overload kalium atau natrium. Sejauh yang kami ketahui, belum ada
laporan tentang efek sitrat kalsium pada model ablasi progresi gagal ginjal.
Tujuan studi ini adalah untuk mengevaluasi efek pada progresi gagal ginjal kronik
dan mekanismenya dari alkalinisasi awal dan diperpanjang dengan kalsium sitrat
pada model nefrektomi 5/6, tanpa perubahan pada kandungan natrium diet atau
hemodinamik sistemik.
Metode
Tikur Wistar jantan dengan berat 256 + 74 g dibagi menjadi 5 kelompok. Satu
kelompok pura-pura dioperasi (SHAM) (N=18). Ada ablasi renal 5/6 dengan
3
nefrektomi kanan dan ablasi dari 2/3 ginjal kiri, dengan anestesi thiopental
intraperitoneal dilakukan pada 72 tikus. Sebelumnya tekanan darah sistolik pada
tikus diukur dengan pletismograsi optikal ekor.
Urin dikumpulkan selama 24 jam pada kandang metabolik. Dan ekskresi protein
urin ditentukan. Semua tikus ditempatkan pada kandang individual dengan sinar
alamiah dan dikendalikan suhu ruangan dan mereka diaperlakukan menurut the
Principles of Laboratory Animal Carea (National Institutes of Health, 1985).
Mereka bebas dari akses ke air dan diberikan diet standar dengan protein 24%.
Segera setelah nefrektomi (NFX), tikus diacak menjadi 4 kelompok (masing-
masing 18 tikus); (1) nonterapi (NFX); (2) kaptopril (NFX-CAP) diberikan 500
mg/L dalam minuman ; (3) kalsium sitrat (NFX-CIT) diberikan 1,45 g/100 g
makanan dan (4) kalsium sitrat plus kaptopril (NFX-CAP-CIT). Kelompok 5
(plasebo dan 4 kelompok terapi NFX). Dibagi menjadi 3 subgrup menurut waktu
pengamatan minggu 1, 10 dan 20 (masing-maisng 6 tikus).
Pada minggu 10 dan 20, berat badan, tekanan darah sistolik, ekskresi protein urin
24 jam dan bikarbonat arterial (didapatkan dari anestesia dibawah aorta dengan
thiopental) diukur. Pada minggu 20, ekskresi sitrat 24 jam urin , klirens inulin dan
kalsium plasma diukur.
Metode Analitik
Ekskresi protein urin dinilai dengan metode turbiditas dengan asam sulfosalisilat.
Kalsium plasma diukur dengan O-kresolftalein otomatis. Kadar inulin plasma
dan urin diukur dengan metode anthrone kolometrik. Bikarbonat arterial diukur
dengan gas analiser darah. Sitrat urin ditentukan dengan metode liase sitrat
enzimatik.
Klirens Inulin
Tikus dianestesi dengan thiopental natrium intraperitoneal (35 mg/kg BB) dan
mereka ditempatkan pada tabel regulasi suhu. Setelah nefrektomi, PE-50 kateter
4
diinsersikan ke dalam vena jugularis internal kanan dan kiri untuk infus normal
salin dan inulin. Suatu PE-50 kateter diinsersikan ke dalam arteri femoralis
sinistra untuk mengukur tekanan arterial rata-rata dan sampel darah. PE-50 kateter
diinsersikan ke dalam ureter kiri untuk mengumpulkan urin (atau kedua ureter
pada kelompok plasebo operasi/SHAM). Inulin diberikan dengan aliran kontinyu
1,2 mL/jam via pompa infus. Pengukuran klirens dilakukan pada dua interval dari
20 menit masing-masingnya, setelah 50 menit untuk persamaan konsentrasi inulin
plasma.
Imunohistokimiawi
Pemotongan jaringan ginjal terfiksasi Carnoy diproses dengan teknik
imunodeteksi tidak langsung dengan sistem deteksi Biotin streptavidin dengan
menggunakan tiga antibodi primer (Biogenex); antibodi monoklonal tikus
menjadi (1) proliferating nuclear cell antigen (PCNA) (pengenceran 1:200),
sebagai marker proliferasi sel; (2) desmin (pengenceran 1:80) dan (3) aktin otot
polos alfa (pengenceran 1:100) sebagai marker dari transformasi miofibroblast.
Kontrol negatif terdiri dari substitusi antibodi primer dengan konsentrasi sama
dari imunoglobulin tikus normal Ig(G). Rerata skor per biopsi dihitung sebagai
berikut: PCNA glomerular sebagai rerata jumlah sel proliferasi (positif ) pada 15
glomeruli (sel/pembelahan silang glomerular): skor tubular glomerular PCNA
didapatkan sebagai rerata jumlah sel proliferasi pada 20 lapangan pandang 0,1
mm2 masing-masingnya (sel/lapangan).
Untuk evaluasi desmin dan aktin otot polos alfa, setiap glomerular dan
tubulointerstisial digradasikan semikuantitatif menurut luasnya pewarnaan dari 0
(tidak ada) hingga 4 (lebih dari 75% pada tumpukan glomerular ( atau 5 (lebih
dari 75% lapang tubulointerstisial). Rerata skor dari 15 glomeruli dan 20 lapang
dihitung di setiap ginjal.
5
Teknik Morfologis
Semua ginjal yang tersisa difiksasi dengan cairan Bouin untuk preparat histologi
dan dari subgrup minggu 1 hingga 10 dibagi separuh-separuh, dan separuhnya
difiksasi dengan Carnoy untuk menunjukkan imunohistokimiawi.
Glomerulosklerosis (GS) indeks dinilai dalam 100 glomeruli per binatang,
menurut El Nahas dkk pada pewarnaan PAS dengan pembesaran 400 X.
Glomerulosklerosis digradasikan dari 0 hingga 4 dengan skor semikuantitatif;
grade 0 normal, 1 ekspansi mesangial atau sklerosis yang melibatkan kurang dari
25%, 2 moderate GS (25% hinga 50%), 3 berat GS (50-75%) dan grade 4 (difus
GS yang melibatkan lebih dari 75% dari tumpukan glomerulus).
Glomerulosklerosis indeks untuk setiap hewan dihitung sebagai rerata nilai dari
semua skor glomerular yang didapat.
Indeks tubulointerstisial ditentukan dengan menggunakan sistem skoring
semikuantitatif menurut Veniat dkk pada pewarnaan PAS (periodic acid schiff)
dengan pembesaran 100X. Sepuluh lapang pandang per ginjal diujikan dan lesi
digradsasikan dari 0 hingga 3 menurut area dengan perubahan tubulointerstisial
(atrofi tubulus, cast, inflamasi interstisial dan fibrosis). Skor indeks pada setiap
tikus diekspresikan sebagai nilai rerata dari semua skor yang didapat.
Semua analisis histologis dilakukan oleh pengamat yang tidak mengetahui terapi
yang diterima oleh setiap kelompok.
Statistik
Nilai dilaporkan sebagai rerata+SD. Kelompok dibandingkan dengan tes
ANOVA, diikuti dengan perbandingan post hoc pair-wise dengan mengunakan tes
Student-Newman-Keuls atau progresi linier dan tes korelasi. Nilai P bermakna jika
<0,05.
6
Hasil
Nilai untuk berat badan, tekanan darah sistolik, ekskresi protein urin, bikarbonat
arterial, kalsium plasma, sitrat urin dan klirens inulin ditunjukkan dalam tabel 1.
Kelompok NFX memiliki berat badan akhir kurang, peningkatan bermakna
tekanan darah sistolik (P<0,05) dan ekskresi proteinurin (P<0,05) versus
kelompok plasebo operasi. Bikarbinat arterial dan klirens inulin lebih rendah
dibandingkan kelompok plasebo operasi/SHAM (P<0,05).
Kelompok yang diterapi dengan kalsium sitrat saja (NFX-CIT) selama 20 minggu
bermana menurunkan proteinuria (28+18 mg/hari) dibandingkan dengna
kelompok NFX (152+71 mg/hari) (P<0,05) , namun tidak ada perbedaan ada
tekanan darah sistolik. Kelompok yang diterapi dengan kaptopril saja atau dengan
keduanya menunjukkan penurunan tekanand arah bermakna dan ekskresi protein
uria versus kontrol (P<0,05).
Konsentrasi kalsium plasma adalah lebih tinggi pada kelompok yang diterapi
dengan kalsium sitrat saja (8,3+0,3 mg/dL) atau dengan kaptoril (9,1+0,4 mg/dL)
dibandingkan dengan kelompok NFX (7,4+0,9mg/dL) (P<0,05). Pada minggu 10
bikarbonat arterial bermakna menurun pada kelompok NFX (17,3+2,4 mEq/dL)
(P<0,05) versus plasebo (25,5+1,6 mEq/dL) dan kelompok terapi (NFX-CIT
25+3,5 mEq/dL) (P<0,05).
Pada minggu 20 bikarbonat arterial adalah rendah di semua kelompok (karena ini
didapatkan dari tampilan kliren inulin), dan ini adalah terendah pada kelompok
NFX (Tidak bermakna). Sitrat urin adalah lebih rendah pada kelompok NFX
(7+5 mg/hari) versus plasebo operasi (25+7 mg/hari) (P<0,05) dan lebih tinggi
pada kelompok NFX-CIT (tidak bermakna) dan NFX-CIT-CAP (P<0,05).
Kliren inulin adalah bermakna lebih tinggi pada kelompok terapi dengan kalsium
sitrat (NFX-CIT) (92+29 uL/menit/100 g), dengan kaptopril NFX-CAP) (87+47
uL/menit/100g) dan keduanya (NFX-CIT-CAP) (103+60 uL/menit/100g)
7
dibandingkan dengan kelompok NFX (22+11 uL/menit/100 g) (P<0,05). Tidak
ada perbedaan bermakna ada ekskresi protein urin, bikarbonat arterial, kliren
inulin antara NFX-CIT, NFX-CAP dan NFX-CAP-CIT.
Kalsium sitrat menurunkan proteinuria dan meningkatkan konsentrasi plasma
kalsium, bikarbonat arterial dan klirens inulin meskipun tekanan darah sistolik
tetap tinggi.
Imunohistokimiawi
Data imunohistokimiawi pada minggu 1 dan 10 ditunjukkan pada tabel 2 dan
Gambar 1A-F. Pada minggu 1 dan 10 proliferasi sel glomerular dan
tubulointerstisial (PCNA sel positif) bermakna menurun pada kelompok plasebo
atau kelompok terapi dibandingkan kelompok NFX (P<0,05). Pada minggu 10,
pewarnaan desmin dan aktin otot polos alfa bermakna lebih luas pada tumpukan
glomerulus pada kelompok NFX dibandingkan yang plasebo operasi/SHAM atau
kelompok terapi (P<0,05).
Morfologi renal
Skor histologis glomerular dan tubulointerstisial ditunjukkan pada tabel 3 dan
Gambar 1G-H. Pada minggu 20 kelompok yang diterapi dengan kalsium sitrat dan
atau kaptopril memiiliki kerusakan glomerular dan tubulointerstisial lebih sedikit
dibandingkan dengan kelompok nonterapi NFX (P<0,05). Ekskresi protein uria
memiliki korelasi positif bermakna dengan kerusakan tubulointerstisialis (r2 =0,6,
P<0,05)(Gambar 2) dan korelasi lemah dengan glomerulosklerosis (r2=0,25
P<0,05).
8
Pembahasan
Pada studi ini, suplementasi kalsium sitrat untuk tikus dengan nefrektomi 5/6
memperbaiki bikarbonat plasma arterial, menurunkan proteinuria dan
meningkatkan kliren inulin dan ini memperbaiki kerusakan tubulus dan
glomerulus. Kalsium sitrat juga menurunkan proliferasi sel tubulus dan
glomerulus dan transdifferensiasi sel glomerulus (miofibroblast transformasi )
pada fase aal seperti ditunjukkan pada PCNA, pewarnaan desmin dan aktin otot
polos alfa.
Diketahui bahwa kaptopril juga menurunkan proteinuria, meningkatkan kliren
inulin dan dalam studi ini, juga meningkatkan bikarbonat plasma, mungkin karena
ini memperbaiki fungsi renal. Meskipun kalsium sitrat memiliki kesamaan efek
pada proteinuria, bikarbonat plasma dan kliren inulin, tidak ada efek adiktif dari
kalsium sitrat dan kaptopril.
Efek kalsium sitrat yang teramati dihasilkan dari mekanisme yang berbeda:
koreksi asidosis metabolik, perubahan pada pH intraseluler, kalsium dan atau
konsentrasi intraseluler sitrat.
Efek Sitrat
Sitrat secara selektif diambil dari ginjal dan karena metabolismenya
menghasilkan bikarbonat, mungkin jalan baik untuk target dasar terhadap sel
ginjal. Wright dkk dan Hering Smith dkk menunjukkan pada sel kultur dengan
asidosis akut dan kronik dimana pH ekstravesikuler yang rendah –yang
distimulasi pleh transpor sitrat ttergantung natrium pada membran brush border.
Selama asidosis metabolik reabsorpsi sitrat dan konsentrasi sitosol akan
meningkat. Tanner dan Tanner juga menunjukkan bahwa garam sitrat yang
berbeda akan memperbaiki fungsi renal pada tikus dengan ginjal polikistik
9
mungkin disebabkan oleh efek alkalinisasinya, meskipun mekanisme pastinya
masih belum diketahui.
Aktivitas sintase sitrat meningkat pada glomeruli yang tersisa. Model
eksperimental dengan menurunnya aktivitas sintase sitrat glomerulus diproteksi
dari nefropati sisa. Ini dapat dihipotesiskan bahwa perubahan pada konsentrasi
sitrat intraseluler juga memiliki aksi langsung.
Efek Kalsium
Kalsium karbonat memperbaiki kerusakan renal progresif pada garam
deoksikortikosterol asetat (DOCA) model pada tikus terutama dengan aksi ikatan
fosfatnya, namun status asam basa tidak ditentukan dan karbonat mungkin juga
memiliki efek alkalinisasi ringan. Hatton dan McCarron mempostulasikan bahwa
kalsium memiliki aksi antihipertensi yang diperantarai oleh beberapa mekanisme
yang mungkin berbeda. Pada studi ini, kelompok NFX CIT memiliki hipertensi
sistemik yang menetap, meskipun beberapa efek kalsium pada mikrosirkulasi
tidak dapat ditetapkan. Kadar kalsium plasma bermakna lebih tinggi pada
kelompok NFX-CIT dan juga pada kelompok NFX CAP (Tabel 1). Mungkin
seperti kaptopril akan memperbaiki fungsi renal, fosforus dan metabolisme
kalsium. Suplementasi terus menerus dari sitrat dan kalsium mungkin akan
memberikan efek benefit komplementer pada model gagal ginjal kronik.
Asidosis metabolik-Laju Filtrasi Glomerulus
Dipostulasikan bahwa asidosis merupakan ‘toksin uremikum’ karena asidosis
meningkatkan degradasi protein, menstimulasi kompleks proteolitik ubiquitin-
proteisome, menghasilkan pengurusan otot dan malnutrisi dan menghambat
pembentukan tulang normal. Selanjutnya, Farber dkk menunjukkan bahwa
asidosis metabolik menekan laju filtrasi glomerular dan aliran plasma renal
efektif, mungkin melalui mekanisme hormon mediasi. Produk akhir katabolik
10
protein (urea dan ammonia) juga berperan terhadap kerusakan renal. Peningkatan
ammoniagenesis renal diamati pada model massa renal yang menurun akan
menentukan hipertrofi renal. Pada studi ini, laju filtrasi glomerular dan bikarbonat
plasma bermakna meningkat pada kelompok NFX CIT, mungkin disebabkan oleh
efek alkalinisasi sitrat.
Kerusakan Glomerular dan Tubulointerstisial
Gloege dkk dan Kliem dkk mengamati bahwa proliferasi sel glomerulus dan
tubulointerstisial dimulai dalam 5-7 hari setelah ablasi renal dan memuncak pada
minggu 2, dan ekspresi marker miofibroblast seperti aktin otot polos alfa dan
desmin juga meningkat (perubahan fenotipik). Proliferasi seluler dan
trandifferensiasi pada model ini diperantarai oleh beberapa mekanisme. Proliferasi
tubulointerstisial ditemukan berkorelasi dengan masukan kalori, angiotensin II,
beberapa faktor pertumbuhan dan ammonia. Pada studi ini pemberikan kalsium
sitrat bermakna menurunkan proliferasi sel glomerulus dan trandiferensiasi dan
koreksi asidosis metabolik berperan pada efek ini karena bikarbonat plasma lebih
tinggi pada minggu 10 pada NFX CIT versus NFX. Kliren inulin yang lebih
tinggi pada kelompok NFX CIT bisa dijelaskan dengan menurunnya proliferasi
sel glomerulus dan transdifferensiasi.
Proteinuria
Ekskresi proteinuria menurun pada kelompok yang diterapi dengan kalsium sitrat
mungkin sebagai konsekuensi dari kerusakan glomerulus yang menurun (Tabel 3).
Tekanan darah sistolik tidak berubah pada kelompok ini (tabel 1), yang
menyatakan bahwa efek ini bebas dari aksi hemodinamik sistemik.
Ditunjukkan bahwa asidosis juga menghasilkan proteinuria dari tubulus asal.
Asidosis kronik meningkatkan produksi amonia dan berperan pada inflamasi
tubulointerstisial dengan aktivasi komplement. Diamati bahwa NH4Cl
11
menghasilkan edema lisosom pada tubulus proksimal dalam kultur dan penurunan
pada aktivitas lisosom. Kalsium sitrat, merupakan agen alkalinisasi akan
menurunkan konsentrasi NH4 pada sel tubulus proksimal dan interstisial kortikal,
memperbaiki metabolisme protein intraseluler dan sebagai konsekuensi,
menurunkan kerusakan tubulointerstisial (Tabel 3) dan mungkin tubular
proteinuria. Komposisi pasti dari proteinuria tidak ditentukan dalam studi ini,
namun kami bisa berhipotesis bahwa kedua komponen tubulus dan glomerulus
akan menurun karena pemberian terapi.
Kesimpulan
Pemberian kalsium sitrat setelah nefrektomi 5/6 : (1) memperbaiki asidosis
metabolik dan menurunkan proteinuria tanpa merubah tekanan darah sistolik; (2)
menurunkan proliferasi sel dan transdifferensiasi pada fase awal dan kerusakan
tubulointerstisial dan glomerulus pada minggu 20; dan (3) memperbaiki laju
filtrasi glomerulus.
*****
12