kaku, kelu!

7
Kaku, kelu! Suara mirip peluit tanda air telah mendidih itu terhenti. Enyak Mila--begitu tetangga kami memanggil ibu--mematikan kompor gas di dapur yang sekaligus kamar dan ruang tamu serta ruang TV. Siti Karmila Az-zahra. Nama indah yang diberikan almarhum kakek kepada anak perempuan satu-satunya itu. Siti yang berarti bumi atau ibu dari bahasa Sansekerta. Karmila yang berarti lemah lembut dan sabar. Az-zahra yang dalam bahasa arab berarti sangat pintar. Siti Karmila Az-zahra berarti Ibu lemah lembut, sabar, dan pintar. Kurang lebih itulah penjelasan kakek dulu ketika aku berumur sepuluh tahun. Dan setelah dipikir-pikir nama ibu sesuai dengan harapan kakek dulu. Sejak SD hingga SMA, ibu selalu juara kelas dan mendapat beasiswa. Pada akhir tahun kelulusan, sayangnya ibu harus menikah dengan bapak ketimbang mengambil beasiswa ke Massachussets di Amerika sana lantaran ibu berbadan dua. Badannya berbagi dengan badanku kala itu. Ibu dihamili bapak yang sedang mabuk yang kebetulan bertemu ibu malam hari ketika hendak ke warung. Kesabaran dan kelemah lembutan ibu ditandai dengan merawatku sendirian sejak aku masuk SD. Bapak mabuk, dikeroyok orang dan tewas tertabrak truk pasir ketika mencoba melarikan diri dari kerumunan tinju dan kaki di tubuhnya. Kesabaran ibu juga ditandai ketika dia menyadari kalau aku bisu. Awalnya ibu tak percaya kalau aku bisu saat berumur satu tahun lebih belum bisa memanggilnya ibu layaknya anak-anak normal. Kebutuhan keluarga kecil ini dicukupi oleh ibu. Ibu yang kesehariannya berjualan kopi sasetan dan mi instan dalam cup di terminal Kampung Rambutan. Tapi kini dia tak sanggup lagi berjualan. Ibu sering pusing dan jatuh pingsan satu tahun terakhir ini. Kata dokter, ibu

description

fiksi cerpen

Transcript of kaku, kelu!

Kaku, kelu!Suara mirip peluit tanda air telah mendidih itu terhenti. Enyak Mila--begitu tetangga kami memanggil ibu--mematikan kompor gas di dapur yang sekaligus kamar dan ruang tamu serta ruang TV. Siti Karmila Az-zahra. Nama indah yang diberikan almarhum kakek kepada anak perempuan satu-satunya itu. Siti yang berarti bumi atau ibu dari bahasa Sansekerta. Karmila yang berarti lemah lembut dan sabar. Az-zahra yang dalam bahasa arab berarti sangat pintar. Siti Karmila Az-zahra berarti Ibu lemah lembut, sabar, dan pintar. Kurang lebih itulah penjelasan kakek dulu ketika aku berumur sepuluh tahun. Dan setelah dipikir-pikir nama ibu sesuai dengan harapan kakek dulu. Sejak SD hingga SMA, ibu selalu juara kelas dan mendapat beasiswa. Pada akhir tahun kelulusan, sayangnya ibu harus menikah dengan bapak ketimbang mengambil beasiswa ke Massachussets di Amerika sana lantaran ibu berbadan dua. Badannya berbagi dengan badanku kala itu. Ibu dihamili bapak yang sedang mabuk yang kebetulan bertemu ibu malam hari ketika hendak ke warung. Kesabaran dan kelemah lembutan ibu ditandai dengan merawatku sendirian sejak aku masuk SD. Bapak mabuk, dikeroyok orang dan tewas tertabrak truk pasir ketika mencoba melarikan diri dari kerumunan tinju dan kaki di tubuhnya. Kesabaran ibu juga ditandai ketika dia menyadari kalau aku bisu. Awalnya ibu tak percaya kalau aku bisu saat berumur satu tahun lebih belum bisa memanggilnya ibu layaknya anak-anak normal. Kebutuhan keluarga kecil ini dicukupi oleh ibu. Ibu yang kesehariannya berjualan kopi sasetan dan mi instan dalam cup di terminal Kampung Rambutan. Tapi kini dia tak sanggup lagi berjualan. Ibu sering pusing dan jatuh pingsan satu tahun terakhir ini. Kata dokter, ibu mengidap hipertensi dengan komplikasi gagal jantung dan harus beristirahat. Aku menggantikan ibu berjualan untuk mencukupi kebutuhan hidup kami sehari-hari. Belakangan, hasil berjualan makin sedikit dikarenakan harga-harga bahan pokok tak sejalan atau berlawanan dengan pemasukan sehari-hari.Pegimane, tong, jualan ni ari? Laku banyak kaga?, tanya ibu kontan ketika melihatku pulang membawa termos air panas.Lumayan deh, nyak. Ni ampir abis popmi, kopi tinggal 5 sasetan. Sahutku dengan bahasa isyarat. Aku berbohong. Tak tega rasanya menjawab cuma dikit nyak. Tak tega melihat raut wajahnya menekuk barang sedikitpun. Tak sanggup rasanya menempatkan rasa sedih pada sudut hatinya. Tak kuat rasanya melihat kerlingan alisnya, alis wanita yang selalu memijit pundakku sepulang berjualan meski kadang ia mengaku napasnya makin sesak belakangan ini. Tak tega melihat wanita ini durja, wanita yang hanya mengerti aku.Udeh makan, nyak? Aye beliin bubur mang engkin ye nyak, balasku bertanya. Tangan dan jariku bergerak-gerak menggantikan lidahku yang kelu.Udeeh, tong, udeh. Tadi enyak makan popmi sisa kemaren, abisnye nyak kire elu balik abis isa, jadi enyak makan duluan. Alhamdulillah ye baru magrib udeh balik, untung lagi laris ye!, kata ibu setengah berseru.Ih, si enyak, pan kata dokter enyak gaboleh makan mi, banyak garemnye. Aduh bandel deh si enyak!yeee abis gimane tong, pan di dapur kita adanya ntu doang. Yodeh gidah mandi dulu lu sana.****************Rumah mewahnya sangat kontras dibandingkan dengan lingkungan sekelilingnya, tinggi megah dengan tiang-tiang penyangga menyamai istana negara. Di setiap penjuru mata angin rumahnya berdiri pos penjagaan. Rumah megah itu berdiri diantara rumah-rumah lain bertipe 36 yang tidak lebih luas dibandingkan garasi rumah itu.Yaitu Luus Mahi sang pemilik rumah. Pengacara itu sedang naik daun beberapa tahun belakangan ini. Macan pengadilan julukannya. Selalu menang dalam perkara apapun. Pembunuhan, sengketa tanah, sengketa hak waris, korupsi dan apapun itu. Sudah ratusan kasus ditanganinya sejak dia menjadi sarjana hukum dengan gelar cum laude. Kalau kau sering menonton berita kasus-kasus yang melibatkan hukum, maka kau pasti mengenalnya. Sisir kecil putihnya bergesekan dengan rambut berkilau dilapisi minyak agar selalu terlihat segar. Bayangannya terpancar pada cermin besar berbingkai ukiran jati. Dilipatnya dasi membentuk segitiga yang melilit kerah kemejanya. Setelan jas Armani hitam gelap menghiasi tubuhnya yang tegap. Dia bersiap menuju kantor firma hukumnya. Kasus apalagi kali ini, mas?, istrinya membuka percakapan pagi itu. Biasa, orang pemerintahan. Oh, ya, kau suka lamborghini atau ferrari?, balasnya.Kau berniat beli mobil baru lagi? Kalau aku tidak salah ingat, baru minggu lalu kau membelinyaTidak, tidak, yang ini gratisGratis? Mana ada hari gini gratisan. Suap? Pasti kau menerima uang suap untuk kemudian menyuap temanmu yang hakim itu kan?!, nada bicara istrinya mulai meninggi.Sayang, berapa kali harus kujelaskan sih biar kamu paham? Tak ada yang namanya suap di dunia ini. Aku lebih suka kata uang capek ketimbang suap.Dengan wajah manja dan sedikit senyum, dia menjelaskan kepada istri cantiknya itu.Sama saja mas!!!Ayo dong, cerdas sedikit. Aku pikir semua orang suka suap, jika suap yang kau maksudkan adalah suap dari pengertian orang-orang media bodoh itu. Ya, semua orang suka suap. Dari mulai masyarakat awam, polisi, hingga pak ustad pun suka dengan yang namanya suap. Misal, seseorang ditilang polisi karena tidak memakai helem. Pasti orang itu lebih memilih bayar denda tilang di tempat kejadian yang uangnya pasti masuk ke kantong polisi bukan ke kas negara, daripada mengikuti proses hukum yang seharusnya yang pastinya memakan waktu yang lama. Bukannya itu suap juga? Orang menyuap, polisi disuap. Dua-duanya tak dirugikan. Dan sepertinya hampir setiap orang memilih proses yang sama.Dia mencoba meyakinkan istrinya. Istrinya tampak tidak puas.Hmmm, contoh lain pak ustad! Kau mesti masih ingat, kan, pilkada kemarin. Ada caleg yang tiba-tiba hadir di acara pengajian di mesjid depan warung sana. Caleg itu kawanku sewaktu kuliah dulu. Pasti kau bertanya-tanya, untuk apa seorang caleg yang berdomisili bukan dari kampung atau perumahan dekat sini ikut pengajian? Ternyata dia berminat menyumbang masjid yang kebetulan kekurangan dana untuk pembangunan. Ya, ketua masjid menerimanya. Dan sebagai gantinya, pagar sekeliling masjid dipasang spanduk dengan wajah si caleg tadi. Ironi bukan menurutmu? Menurutku tidak! Menurutmu itu suap?Terserah kamu mas!jadi, lamborghini atau ferrari?, senyumnya mengembang.TERSERAH.Sepulang kerja, dia selalu menyempatkan diri memberi makan ayam-ayamnya di belakang rumah. Dia sangat suka memelihara ayam yang seakan menjadi alarm alami yang membangunkannya setiap pagi tiba. Tak jarang dia memandikan ayamnya sendiri, lalu mengeringkannya dengan handuk. Satu persatu ayamnya diberi makan. Kemudian baru masuk ke dalam rumah dan menemui istrinya.********Lele goreng, cah kangkung, gurame bakar, dan dua bungkus teh tawar hangat. Aku pulang dengan membawa lauk-lauk yang tak biasa. Beruntung hari ini jualanku ludes. Hari itu terminal ramai orang seperti semut pada toples gula yang lupa ditutup. Mungkin karena liburan tiba. Tanpa pikir panjang kubelikan semua hasil jualanku dengan lauk dalam kantong kresek hitam ini. Ibu pasti senang sekali dibawakan makanan kesukaannya.Pagar tinggi itu terlihat. Tanda rumahku tinggal beberapa ratus meter lagi. Kupercepat langkahku menuju rumah. Aku berhenti sejenak saat tiba tepat di depan pagar tinggi itu. Mobil merah idolaku yang sering kulihat di film-film barat terparkir di halamannya. Mobil ceper dua pintu dengan body sporty. Tak kusangka aku bisa melihatnya sedekat ini. Agak lama kupandangi mobil itu hingga tiba-tiba datang suara mengejutkanku.Mau ngapain mas liat-liat? Maling ya?!, satpam rumah itu melotot. Aku melonjak kaget. Cepat-cepat aku beranjak dari pagar tinggi rumah itu.Di persimpangan rumah itu aku berbelok memasuki gang di bagian selatan rumah itu. Dibagian selatan rumah itu aku melihat seekor ayam. Warnanya biru dongker menyala pada sayapnya. Kepalanya merah marun berjengger hitam gelap. Tak pernah kulihat ayam secantik itu. Ayam dari kayangan mungkin.Kudekati ayam itu. Anehnya ayam itu tak takut. Kupeluk ayam itu lalu kuamati dengan jelas kepalanya yang berwarna marun itu. Benar-benar ayam dari kayangan. Mungkin ini bidadarinya ayam, pikirku.Eh, mas! Ayam siapa tuh! Punya bos saya ya! Wah iya tuh!, teriak seseorang dari pagar. Ternyata satpam yang tadi. Entah kenapa aku linglung dan gelagapan. Padahal aku cuma ingin melihatnya dari dekat.Maling ya?!, kata satpam itu dengan lantang. Aku melepaskan ayam segera.Ingin aku menjelaskan kepada satpam itu tapi apadaya. Aku membisu. Aku memang bisu. Satpam itu membuka pagar sambil meneriakiku maling. Orang-orang keluar dari rumahnya dan mendekati suara satpam itu. Aku panik. Baru saja bersiap berlari, seseorang menendang kakiku. Aku tersungkur. Untungnya kantong kresek hitam ini masih ditanganku. Kugenggam kuat-kuat kantong kresek hitam ini. Tak bisa kubedakan lagi yang mana kaki dan yang mana tangan mendarat di tubuhku. Dalam pikiranku hanya kantong kresek hitam ini masih di tangan. Seseorang merebutnya dariku. Sayang, mataku terlalu memar untuk melihat. Jangan, jangan yang itu. Cukup wajah dan badanku. Jangan. Jangan, tolong, jangan! Bajingan!