KAJIAN EKONOMI REGIONAL · KAJIAN EKONOMI REGIONAL VISI BANK INDONESIA : nasional maupun...
Transcript of KAJIAN EKONOMI REGIONAL · KAJIAN EKONOMI REGIONAL VISI BANK INDONESIA : nasional maupun...
KAJIAN EKONOMI REGIONAL
TRIWULAN IV
KAJIAN EKONOMI REGIONAL
2012
KAJIAN EKONOMI REGIONAL
VISI BANK INDONESIA :
nasional maupun internasional melalui penguatan nilai-nilai
strategis yang dimiliki serta pencapaian inflasi
MISI BANK INDONESIA :
pemeliharaan kestabilan moneter dan pengembangan stabilitas
sistem keuangan untuk pembangunan nasional jangka panjang yang
NILAI-NILAI STRATEGIS ORGANISASI BANK INDONESIA :
-nilai yang menjadi dasar Bank Indonesia, manajemen, dan
pegawai untuk bertindak dan atau berperilaku, yang terdiri atas
Kompetensi, Integritas, Transparansi, Akuntabilitas, dan
GE KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Kata Pengantar
iii
BUKU Kajian Ekonomi Regional (KER) Provinsi Riau ini merupakan terbitan rutin
triwulanan yang berisi analisis perkembangan ekonomi dan perbankan di Provinsi
Riau. Terbitan kali ini memberikan gambaran perkembangan ekonomi dan
perbankan di Provinsi Riau pada triwulan IV-2012 dengan penekanan kajian pada
kondisi ekonomi makro regional (PDRB dan Keuangan Daerah), Inflasi, Moneter
dan Perbankan, Sistem Pembayaran, Kesejahteraan dan Prakiraan Perkembangan
Ekonomi Daerah pada triwulan I-2013. Analisis dilakukan berdasarkan data laporan
bulanan bank umum dan BPR, data ekspor-impor yang diolah oleh Kantor Pusat
Bank Indonesia, data PDRB dan inflasi yang diterbitkan Badan Pusat Statistik (BPS)
Provinsi Riau, serta data dari instansi/lembaga terkait lainnya.
Tujuan dari penyusunan buku KER ini adalah untuk memberikan informasi kepada
stakeholders tentang perkembangan ekonomi dan perbankan di Provinsi Riau,
dengan harapan kajian tersebut dapat dijadikan sebagai salah satu sumber
referensi bagi para pemangku kebijakan, akademisi, masyarakat, dan pihak-pihak
lain yang membutuhkan.
Kami menyadari masih banyak hal yang harus dilakukan untuk menyempurnakan
buku ini. Oleh karena itu kritik, saran, dukungan penyediaan data dan informasi
sangat diharapkan.
Pekanbaru, 7 Februari 2013
Kantor Perwakilan Bank Indonesia
Provinsi Riau
ttd
Mahdi Muhammad Kepala Kantor
KATA PENGANTAR
GE KAJIAN EKONOMI REGIONAL
xi
Tw III Tw IV Tw I Tw II Tw III Tw IV
Indeks Harga Konsumen :
- Kota Pekanbaru 127,44 129,35 130,20 131,64 132,81 133,68
- Kota Dumai 132,55 133,98 133,20 134,91 137,15 138,28
Laju Inflasi Tahunan (yoy, %) :
- Kota Pekanbaru 6,10 5,09 4,20 5,67 4,21 3,35
- Kota Dumai 5,78 3,10 2,75 4,38 3,47 3,21
Pertumbuhan PDRB (yoy %, dengan migas) 3,93 4,63 5,03 3,96 4,06 2,37
Pertumbuhan PDRB (yoy %, tanpa migas) 7,64 7,40 7,37 7,50 8,26 7,21
Nilai Ekspor Migas (Juta USD) 2.357,29 3.353,92 3.150,93 2.799,44 3.513,23 3.094,51
Volume Ekspor Migas (ribu Ton) 4.543,57 4.639,19 4.156,44 3.795,08 4.739,09 4.989,14
Nilai Impor Migas (Juta USD) 423,66 402,95 343,56 471,79 429,49 443,14
Volume Impor Migas (ribu Ton) 624,16 652,79 574,11 787,71 680,47 611,83
INDIKATOR
(dalam Rp juta) Tw III Tw IV Tw I Tw II Tw III Tw IV
Bank Umum
Total Aset 59.370.445 59.752.476 66.463.817 68.837.287 74.444.053 72.349.212
DPK 43.980.255 44.920.105 48.480.274 50.314.329 53.457.012 52.242.540
- Giro 11.567.327 10.837.130 13.012.413 14.452.073 17.014.756 14.149.049
- Tabungan 20.142.350 22.342.860 21.588.604 22.216.431 22.782.145 25.373.740
- Deposito 12.270.578 11.740.115 13.879.258 13.645.825 13.660.111 12.719.750
Kredit - berdasarkan lokasi proyek 50.011.231 51.090.943 51.475.647 54.197.279 59.527.235 58.954.331
LDR - Lokasi Proyek (%) 113,71 113,74 106,18 107,72 111,36 112,85
Kredit 33.623.173 36.082.932 37.414.869 40.303.169 41.881.367 43.443.660
- Modal Kerja 11.939.534 12.729.875 12.804.704 14.246.546 14.462.342 15.201.999
- Investasi 9.199.610 10.207.813 10.676.704 11.298.412 11.868.510 12.252.477
- Konsumsi 12.484.028 13.145.244 13.933.462 14.758.211 15.550.515 15.989.184
- LDR (%) 76,45 80,33 77,18 80,10 78,35 83,16
- NPL (%) 2,39% 1,95% 2,22% 2,35% 2,76% 2,89%
Kredit UMKM
- Mikro 2.901.705 3.112.386 3.313.470 3.545.514 3.617.892 3.843.216
- Kecil 4.921.351 5.448.902 5.640.244 5.935.445 5.787.787 6.057.104
- Menengah 4.440.529 4.868.783 4.955.899 5.364.799 5.160.074 5.729.879
NPL MKM (%) 3,13% 2,40% 3,06% 3,16% 3,80% 4,03%
BPR
Total Aset 848.125 920.404 972.275 997.840 1.008.552 1.038.271
DPK 624.634 642.785 685.220 692.916 692.080 694.541
Kredit - berdasarkan lokasi proyek 601.015 617.548 655.469 689.275 704.545 708.530
Rasio NPL 8,75% 8,22% 10,51% 10,88% 12,96% 13,11%
LDR 96,22% 96,07% 95,66% 99,47% 101,80% 102,01%
*) SBH 2007
2012
2012
2011
B. PERBANKAN2011
A. INFLASI DAN PDRB
INDIKATOR
TABEL INDIKATOR EKONOMI TERPILIH
GE KAJIAN EKONOMI REGIONAL
xii
Tw III Tw IV Tw I Tw II Tw III Tw IV
C. SISTEM PEMBAYARAN
2.500.522 1.075.807 488.702 2.419.614 2.456.644 3.291.115
1.270.188 1.002.685 1.084.400 828.061 1.505.849 957.321
3.770.710 2.078.492 1.573.102 3.247.675 3.962.492 4.248.435
Pemusnahan Uang (Jutaan lembar/keping) 390.321 306.454 476.657 318.844 66.850 99.164
Nominal Transaksi RTGS (Rp miliar) 65.315 76.774 53.909 70.527 82.291 84.580
Volume Transaksi RTGS (lembar) 55.387 27.151 62.391 58.345 57.267 59.648
Rata-rata Harian Nominal Transaksi RTGS (Rp miliar) 1.071 1.200 856 1.119 1.349 1.387
Rata-rata Harian Volume Transaksi RTGS (lembar) 908 424 990 926 939 978
Nominal Tolakan Cek/BG Kosong 131.245 146.297 138.024 161.134 152.457 159.869
Volume Tolakan Cek/BG Kosong 4.946 5.615 5.042 5.680 5.755 5.523
Rata-rata Harian Nominal Cek/BG Kosong 2.152 2.286 2.191 2.558 2.499 2.621
Rata-rata Harian Cek/BG Kosong 81 88 80 90 94 91
INDIKATOR2011 2012
Inflow
Outflow
Posisi Kas Gabungan
GE KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Ringkasan Eksekutif
1
I. GAMBARAN UMUM
Perkembangan ekonomi Riau pada tahun 2012 mencatat pertumbuhan yang
tidak sekuat periode sebelumnya. Pada triwulan IV-2012, perekonomian tercatat
tumbuh sebesar 2,37% (yoy) dan 3,55% (yoy) untuk kumulatif tahun 2012.
Dengan pencapaian tersebut, maka pertumbuhan ekonomi tahun 2012 berada
pada tingkat yang lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata lima tahun terakhir
yang mencapai 4,24% (yoy).
Meskipun demikian, dengan mengeluarkan unsur migas, pertumbuhan ekonomi
mencapai 7,21% (yoy) dan 7,82% untuk kumulatif tahun 2012. Pertumbuhan
kumulatif tersebut berada diatas rata-rata pertumbuhan kumulatif non migas Riau
selama tiga tahun terakhir yang mencapai 7,12% (yoy) serta diatas pertumbuhan
ekonomi non migas nasional tahun 2012 yang tercatat 6,83% (yoy). Sementara
itu, di sisi harga, tingkat inflasi berada pada tingkat yang rendah sejalan dengan
terjaganya pasokan bahan makanan dan ekspektasi inflasi.
RINGKASAN EKSEKUTIF
Perekonomian Riau tahun 2012 secara umum berada dibawah rata-rata pertumbuhan lima tahun terakhir.
GE KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Ringkasan Eksekutif
2
II. ASSESMEN MAKROEKONOMI REGIONAL
Perkembangan ekonomi Riau ditinjau dari sisi penggunaan secara umum
menunjukkan perlambatan diluar komponen ekspor. Permintaan domestik,
terutama konsumsi, yang menguasai pangsa terbesar dalam struktur
ekonomi Riau tercatat tumbuh lebih rendah dibandingkan dengan triwulan
sebelumnya meskipun masih berperan sebagai sumber pendorong utama
pertumbuhan. Adanya perlambatan diperkirakan tidak terlepas dari faktor
pelemahan tingkat keyakinan konsumen sejalan dengan menurunnya
harga jual Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit. Disamping itu, dari hasil
survei yang dilakukan kepada pelaku usaha, hal ini juga diyakini erat
deman yang terjadi secara
beriringan pada triwulan sebelumnya.
Meskipun konsumsi secara umum mengalami pelemahan dibandingkan
triwulan sebelumnya. Namun tingkat pertumbuhannya masih relatif lebih
tinggi jika dibandingkan dengan triwulan IV-2011 yang tercatat sebesar
5,83% (yoy). Kondisi ini secara implisit mengindikasikan bahwa daya beli
masyarakat di Riau masih relatif terjaga dan stabil ditengah tekanan krisis
ekonomi global yang telah berlangsung sejak tahun 2011 lalu.
Lebih lanjut, kinerja perdagangan eksternal Riau pada triwulan laporan
mulai menunjukkan peningkatan ditengah tekanan krisis ekonomi global.
Peningkatan ini utamanya didorong oleh meningkatnya ekspor non migas
khususny komoditas pulp and paper ke wilayah Asia terutama Cina dan
kawasan ASEAN.
Secara sektoral, kondisi ekonomi Riau pada triwulan laporan masih
ditopang oleh sektor non-tradables khususnya sektor perdagangan dan
bangunan. Sedangkan sektor tradables secara umum menunjukkan
perkembangan yang kurang menggembirakan sebagaimana terlihat dari
kembali minimmya peran sektor tradables dalam menopang
perekonomian. Bahkan secara tahunan, pertumbuhan sektor tradables Riau
mengalami kontraksi sebesar 1,51% atau merupakan titik terendahnya
selama lima tahun terakhir.
Dari sisi penggunaan, sumber pertumbuhan ekonomi relatif berimbang dimana permintaan domestik masih tercatat sebagai motor penggerak utama perekonomian diiringi dengan meningkatnya peran ekspor
Dari sisi sektoral, sektor non tradables kembali menjadi sumber pertumbuhan utama khususnya sektor perdagangan dan bangunan.
GE KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Ringkasan Eksekutif
3
Hal ini utamanya disebabkan adanya penurunan kinerja sektor migas
sejalan dengan faktor alamiah (natural decline) akibat usia sumur minyak
yang sudah tidak produktif. Disamping itu, menurunnya kapasitas terpakai
sektor industri pengolahan Riau pada triwulan laporan juga diperkirakan
juga turut menjadi sumber penyebab rendahnya pertumbuhan sektor
industri sejalan dengan dengan faktor terbatasnya permintaan dari negara
mitra dagang terhadap komoditas unggulan Riau dan adanya hambatan
pasokan bahan baku khususnya pada industri karet olahan.
III. ASSESMEN INFLASI
Sejalan dengan perkiraan sebelumnya, tekanan inflasi Riau pada tahun
2012 (yoy) relatif rendah dan terkendali juga merupakan yang terendah
dalam kurun waktu 2 (dua) tahun terakhir. Inflasi Riau pada tahun 2012
terjaga pada tingkat yang rendah yakni sebesar 3,32% (yoy) mengalami
penurunan yang berarti dibandingkan tahun 2011 yang mencapai 4,72%.
Kelompok volatile food, yaitu komoditas cabe merah memberikan
sumbangan yang berarti terhadap menurunnya tekanan inflasi selama
tahun 2012.
Relatif stabilnya inflasi Riau pada tahun 2012 tidak terlepas dari (i)distribusi
dan ketersediaan pasokan bahan pangan yang relatif aman dan lancar,
(ii)penundaan kebijakan pembatasan BBM bersubsidi, (iii)trend penurunan
harga komoditas pangan internasional, (iv)koordinasi TPID secara intensif
disertai kebijakan-kebijakan pemerintah daerah yang lebih antisipatif.
Berdasarkan kota yang disurvei di Provinsi Riau, inflasi tertinggi terjadi di
Kota Pekanbaru yaitu sebesar 3,35%, namun telah menunjukkan
kecenderungan yang menurun dalam kurun waktu 1 (satu) tahun terakhir.
Selanjutnya, inflasi yang terjadi di Kota Dumai juga berada pada tingkat
yang relatif rendah yaitu sebesar 3,20% dan tercatat lebih rendah dari
inflasi Kota Pekanbaru.
Tekanan inflasi Riau pada tahun 2012 relatif rendah dan terkendali, dan merupakan yang terendah dalam kurun waktu 2 tahun terakhir.
Faktor penyebab rendahnya kinerja sektor tradables utamanya dipengaruhi oleh usia sumur yang tidak produktif, terbatasnya permintaan dari negara mitra dagang dan hambatan
pasokan baha baku
GE KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Ringkasan Eksekutif
4
IV. ASSESMEN KEUANGAN
Perbankan
Kondisi usaha perbankan pada triwulan IV-2012 secara umum menunjukkan
perkembangan yang tidak terlalu menggembirakan bila dibandingkan
dengan triwulan sebelumnya. Kondisi ini tercermin dari perkembangan
beberapa indikator utama perbankan Riau yaitu aset dan dana yang
mengalami penurunan serta risiko kredit yang mengalami peningkatan
meskipun masih berada pada batas aman. Di sisi lain, penyaluran kredit
perbankan masih terus mengalami peningkatan meskipun pertumbuhan
kreditnya relatif melambat dibandingkan triwulan sebelumnya.
Aset perbankan di Riau mengalami penurunan sebesar 2,74%
dibandingkan dengan triwulan III-2012, sehingga menjadi sebesar
Rp73,39 triliun. Penurunan ini terjadi seiring dengan menurunnya dana
pihak ketiga yang dihimpun oleh perbankan Riau yang utamanya
disebabkan oleh menurunnya giro milik Pemda. Sementara kredit yang
disalurkan masih terus meningkat menjadi Rp44,15 triliun (3,68%).
Sebagian besar kredit yang disalurkan utamanya ditujukan pada sektor
perdagangan, hotel dan restoran diikuti oleh sektor perdagangan.
Sementara itu, tingkat kredit bermasalah (NPL gross) perbankan
Riaumengalami sedikit peningkatan dari 2,93% menjadi 3,05%. Meskipun
meningkat, tingkat NPL tersebut masih berada di bawah batas yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia yakni sebesar 5%.
Kepedulian bank umum di Riau terhadap sektor UMKM ditunjukkan dengan
terus meningkatnya penyaluran kredit kepada UMKM yang telah mencapai
Rp15,63 triliun atau meningkat sebesar 7,31% (qtq) dan 16,38% (yoy).
Pangsa kredit UMKM pada triwulan laporan tercatat sebesar 35,98% dari
total kredit bank umum. Sebagian besar kredit UMKM tersebut disalurkan
kepada sektor perdagangan dan pertanian.
Kondisi perbankan Riau menunjukkan perkembangan yang tidak terlalu menggembiarakan bila dibandingkan dengan triwulan
sebelumnya.
Penyaluran kredit UMKM terus mengalami peningkatan, dengan pangsa mencapai 35,98%.
NPL meningkat, namun masih dibawah batas yang ditentukan
GE KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Ringkasan Eksekutif
5
Perbankan syariah di Riau menunjukkan perkembangan yang
menggembirakan yang tercermin dari peningkatan aset, dana maupun
financing. Sementara, pangsa aset perbankan Syariah terhadap total
perbankan di Provinsi Riau pada akhir tahun 2012 telah mencapai 6,24%,
mengalami peningkatan dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang
memiliki pangsa sebesar 5,37%.
Keuangan Daerah
APBD Riau tahun 2012 mengalami peningkatan yang signifikan, yaitu dari
Rp4,80 triliun menjadi Rp 8,37 triliun. Meskipun anggaran belanja
mengalami peningkatan namun pencapaian realisasi tercatat lebih rendah
dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Seperti halnya anggaran belanja, target anggaran belanja tahun 2012 juga
mengalami peningkatan dibandingkan dengan tahun sebelumnya yaitu dari
Rp4,62 triliun menjadi Rp6,64 triliun. Pencapaiannya juga mengalami
penurunan dibandingkan dengan tahun sebelumnya, namun demikian
pencapaian realisasi pendapatan tersebut telah melebihi target yang
ditentukan yaitu sebesar 100,57%.
V. PROSPEK PEREKONOMIAN DAERAH
Perkembangan ekonomi Riau pada triwulan I-2013 diperkirakan akan
tumbuh relatif tidak berbeda dengan periode sebelumnya. Dengan
memasukkan unsur migas, pertumbuhan ekonomi Riau diperkirakan secara
tahunan pada kisaran 2,4%-3,0% (yoy). Sementara itu, dengan
mengeluarkan unsur migas, pertumbuhan ekonomi diperkirakan akan
mencapai kisaran 7,4%-7,9% (yoy).
Dari sisi penggunaan, sumber pertumbuhan diperkirakan akan ditopang
oleh permintaan domestik terutama konsumsi rumah tangga dan ekspor
non migas. Beberapa faktor yang berpotensi mendukung kondisi tersebut
antara lain (i)meningkatnya Upah Minimum Provinsi tahun 2013,
(ii)membaiknya harga komoditas CPO di pasar internasional (iii)
Perkembangan ekonomi Riau pada triwulan I-2013 diperkirakan akan tumbuh relatif tidak berbeda dengan periode
sebelumnya
Pangsa perbankan Syariah Riau telah mencapai 6,24%, meningkat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya.
APBD Riau tahun 2012 mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2011, namun pencapaian realisasinya mengalami penurunan
GE KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Ringkasan Eksekutif
6
meningkatnya kinerja perdagangan sejalan dengan mulai pulihnya negara
mitra dagang ekonomi Riau terutama Cina.
Dari sisi sektoral, perekonomian Riau pada triwulan mendatang
diperkirakan akan ditopang oleh sektor non-tradables khususnya sektor
perdagangan. Hal ini tidak terlepas dari mulai meningkatnya konsumsi
masyarakat dan pulihnya kinerja ekspor sehingga turut menjaga kestabilan
pertumbuhan di sektor perdagangan. Sementara itu, sektor pertanian
khususnya pada sub sektor perkebunan diperkirakan akan mulai membaik
sejalan dengan membaiknya harga komoditas internasional seperti CPO
dan karet yang tentunya akan memberikan insentif bagi para petani untuk
melakukan panen.
Namun demikian, belum ditemukannya sumur minyak yang lebih produktif
diperkirakan akan mengakibatkan pencapaian lifting minyak bumi Riau
lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya, sehingga berpotensi
membawa pertumbuhan ekonomi Riau menyentuh batas bawah proyeksi
(downside risks). Sementara itu, salah satu faktor yang berpotensi
membawa pertumbuhan menyentuh batas atas (upside risks) adalah
potensi pemulihan ekonomi negara mitra dagang utama Riau dan negara
berkembang (emerging market) di kawasan Asia yang diperkirakan akan
memberikan spill over positif bagi kinerja ekspor utama Riau.
Selanjutnya dari sisi harga, perkembangan inflasi Kota Pekanbaru pada
triwulan mendatang akan relatif meningkat dan diproyeksikan berada pada
kisaran 4,8% - 5,5% (yoy) dan 2,0% - 2,8% (qtq). Kondisi ini diperkirakan
dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya (i)kondisi cuaca ekstrem,
(ii)meningkatnya biaya produksi di tingkat pelaku usaha sejalan dengan
kenaikan Tarif Tenaga Listrik (TTL) dan Upah Minimum Regional (UMP),
(iii)gangguan produksi akibat faktor musiman dan menurunnya luas tanam
bahan pangan pokok, (iv)masih belum memadainya kondisi infrastruktur.
Terdapat beberapa faktor yang berpotensi membawa inflasi melewati batas
atas kisaran proyeksi (upside risks) antara lain kenaikan eksepektasi pelaku
usaha sejalan dengan kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP), hambatan
Iinflasi Kota Pekanbaru pada triwulan mendatang akan relatif meningkat dibandingkan dengan triwulan IV-
2012
GE KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Ringkasan Eksekutif
7
distribusi dan infrastruktur. Sementara itu, beberapa faktor yang berpotensi
membawa inflasi ke batas bawah (downside risks) proyeksi diantaranya
adalah solusi dini (pre-emptive solution) TPID yang dihasilkan melalui
koordinasi dengan berbagai instansi terkait dan penguatan strategi
komunikasi dalam menjaga ekspektasi.
GE KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
8
1. KONDISI UMUM
Kinerja perekonomian Riau pada triwulan laporan menunjukkan perkembangan
yang tidak sekuat periode sebelumnya. Dengan memasukkan unsur migas,
pertumbuhan ekonomi Riau tumbuh sebesar 2,37% (yoy) atau melambat
dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Hal ini utamanya disebabkan oleh
tidak optimalnya kinerja pada sektor tradables yang memiliki peran signifikan
terhadap perekonomian. Dengan pencapaian tersebut, maka selama tahun 2012
perekonomian Riau mencatat pertumbuhan sebesar 3,55% (yoy) atau lebih rendah
dibandingkan rata-rata pertumbuhan selama lima tahun terakhir yang mencapai
4,24% (yoy).
Bab 1 KONDISI EKONOMI
MAKRO REGIONAL
GE KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
9
Sementara itu, dengan mengeluarkan unsur migas, perekonomian Riau mengalami
pertumbuhan yang lebih tinggi yakni sebesar 7,21% (yoy), lebih lambat
dibandingkan triwulan sebelumnya. Secara kumulatif, pertumbuhan ekonomi tanpa
unsur migas mencapai 7,82% (yoy) atau berada diatas rata-rata pertumbuhan
kumulatif non migas Riau selama tiga tahun terakhir yang mencapai 7,12% (yoy)
serta diatas pertumbuhan ekonomi non migas nasional tahun 2012 yang tercatat
6,83% (yoy).
Grafik 1.1. Pertumbuhan Ekonomi Riau dan Nasional (yoy,%)
Sumber : BPS
2. PDRB SISI PENGGUNAAN
Perkembangan ekonomi Riau ditinjau dari sisi penggunaan secara umum
menunjukkan perlambatan kecuali komponen ekspor. Permintaan domestik,
terutama konsumsi, yang menguasai pangsa terbesar dalam struktur ekonomi Riau
tercatat tumbuh lebih rendah dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Adanya
perlambatan diperkirakan tidak terlepas dari faktor pelemahan tingkat keyakinan
konsumen sejalan dengan menurunnya harga jual Tandan Buah Segar (TBS) kelapa
sawit. Disamping itu, dari hasil survei yang dilakukan kepada pelaku usaha, hal ini
juga diyakini erat kaitannya dengan 1 yang terjadi
secara beriringan pada triwulan sebelumnya.
Meskipun konsumsi secara umum mengalami pelemahan dibandingkan triwulan
sebelumnya, namun tingkat pertumbuhannya masih relatif lebih tinggi jika
-
1,00
2,00
3,00
4,00
5,00
6,00
7,00
8,00
9,00
10,00
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV
2008 2009 2010 2011 2012
Riau Nasional Riau (Tanpa Migas) Nasional (Tanpa Migas)
GE KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
10
dibandingkan dengan triwulan IV-2011 yang tercatat sebesar 5,83% (yoy). Kondisi
ini secara implisit mengindikasikan bahwa daya beli masyarakat di Riau masih relatif
terjaga dan stabil ditengah tekanan krisis ekonomi global yang telah berlangsung
sejak tahun 2011 lalu. Selain itu, relatif stabilnya daya beli juga diperkirakan tidak
terlepas dari pesatnya pembangunan ekonomi dan infrastruktur yang cukup
berdampak terhadap pembukaan lapangan kerja baru pada baik pada sektor
formal maupun informal.
Di sisi investasi, pertumbuhan mengalami perlambatan akibat rendahnya investasi
di sektor migas. Namun apabila melihat investasi sektor non migas, pembangunan
infrastruktur masih relatif kuat sebagaimana tercermin dari pertumbuhan PMTB
non migas. Pada triwulan laporan, PTMB non migas di Riau tumbuh sebesar
13,65% (yoy), meskipun lebih rendah dibandingkan sebelumnya yang tercatat
sebesar 15,88% namun masih relatif lebih tinggi bila dibandingkan dengan
pertumbuhan pada periode yang sama tahun sebelumnya yang tercatat sebesar
10,22% (yoy).
Tabel 1.1. Pertumbuhan Ekonomi Riau Sisi Penggunaan (yoy)
Tabel 1.2. Pertumbuhan Ekonomi Riau Sisi Penggunaan Tanpa Migas (yoy)
1 Hari Raya Idul Fitri, Pekan Olahraga Nasional (PON) ke-18.
IV III IV 2011 III-12 IV-12 2012
1. Konsumsi 5,83 6,16 7,45 5,98 6,83 2,58 3,23 2,62 2,72
2. 8,12 8,36 7,69 5,64 5,83 2,33 2,22 1,62 1,67
3. Ekspor 4,71 3,08 2,13 3,60 4,15 1,77 1,20 2,01 2,36
4. Impor 8,16 5,78 8,21 6,15 6,70 1,79 2,55 1,93 2,11
4,63 5,01 4,06 2,37 3,55 5,01 4,06 2,37 3,55
Sumber : BPS Provinsi Riau
Keterangan : ***(data sangat sementara)
Sumbangan (%)
PMTB
Total
2012***2011***
2011***2012***
Komponen
IV III IV 2011 III-12 IV-12 2012
1. Konsumsi 5,83 6,16 7,45 5,98 6,83 5,18 6,26 5,05 5,35
2. PMTB 10,22 9,45 15,88 13,65 12,97 2,75 4,43 3,94 3,70
3. Ekspor 6,20 10,46 3,07 4,97 8,58 4,70 1,39 2,19 3,80
4. Impor 9,65 6,08 12,09 5,17 5,95 3,63 6,85 3,03 3,53
7,40 7,63 8,26 7,21 7,82 7,63 8,26 7,21 7,82
Sumber : BPS Provinsi Riau
Keterangan : ***(data sangat sementara)
Sumbangan (%)
Non Migas
2012***2011***
2011***2012***
Komponen
-
2,00
4,00
6,00
8,00
10,00
12,00
%
RT Swasta Pemerintah
GE KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
11
Lebih lanjut, kinerja perdagangan eksternal Riau pada triwulan laporan mulai
menunjukkan peningkatan ditengah tekanan krisis ekonomi global. Total ekspor
Riau pada triwulan laporan tumbuh meningkat dari 2,13% (yoy) menjadi
3,60% (yoy). Sementara, dengan mengeluarkan unsur migas, ekspor Riau tumbuh
lebih tinggi yaitu 4,97% (yoy), meningkat dibandingkan triwulan sebelumnya yang
tercatat sebesar 3,07% (yoy). Peningkatan ini utamanya didorong oleh
meningkatnya volume ekspor (pulp and paper) ke wilayah Asia terutama Cina dan
kawasan ASEAN.
2.1. Konsumsi
Pertumbuhan konsumsi Riau pada triwulan IV-2012 mengalami perlambatan yakni
dari 7,45% (yoy) menjadi 5,98% (yoy). Penurunan ini utamanya didorong oleh
melambatnya konsumsi rumah tangga Riau yakni dari 8,17% pada
triwulan III-2012 menjadi 6,80% pada triwulan IV-2012. Meskipun demikian,
tingkat pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada triwulan laporan masih lebih
tinggi dibandingkan dengan triwulan IV-2011 yang tercatat sebesar 5,65% (yoy)
yang mencerminkan bahwa kondisi daya beli masyarakat Riau masih relatif terjaga
dan stabil.
Adanya perlambatan dalam triwulan laporan dibandingkan dengan triwulan
sebelumnya diperkirakan tidak terlepas dari pelemahan keyakinan konsumen
terhadap kondisi ekonomi Riau pada triwulan yang utamanya bersumber akibat
menurunnya harga jual TBS. Sebagaimana diketahui, harga rerata TBS di Riau pada
Grafik 1.2. Pertumbuhan Komponen Konsumsi Riau Tahun 2011-2012 (yoy)
Grafik 1.3. Pergerakan Indeks Keyakinan Konsumen Riau
Sumber : BPS Provinsi Riau
6,80
4,92
1,02
-
2,00
4,00
6,00
8,00
10,00
12,00
I II III IV I II III IV
2011 2012
%
RT Swasta Pemerintah
50
70
90
110
130
150
170
II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV
2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
Indeks Keyakinan KonsumenIndeks Kondisi Ekonomi Saat IniIndeks Ekspektasi KonsumenBaseline
GE KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
12
akhir tahun 2012 mencapai Rp1.068 per Kg atau merupakan yang terendah
sepanjang tahun 2012. Sehingga kondisi ini sedikit banyak berpengaruh terhadap
tingkat pendapatan masyarakat khususnya yang bekerja di sektor perkebunan.
Sejalan dengan melemahnya keyakinan konsumen, konsumsi yang dibiayai melalui
kredit perbankan juga tercatat menunjukkan perlambatan. Pertumbuhan kredit
konsumsi riil pada triwulan laporan tercatat tumbuh melambat yakni dari
19,53% (yoy) pada triwulan III-2012 menjadi 17,59% (yoy). Kegiatan konsumsi
yang dibiayai melalui kredit sebagian besar diserap dalam bentuk kredit
perdagangan elektronik, perumahan dan perdagangan kendaraan bermotor.
Sejalan dengan melemahnya
konsumsi, penjualan kendaraan
bermotor di Riau pada triwulan
laporan juga tercatat masih relatif
stagnan dan pertumbuhannya tercatat
mengalami kontraksi sebesar
11,14% (yoy). Kondisi ini diindikasikan
tidak terlepas dari adanya risiko
penurunan harga komoditas Crude
Palm Oil (CPO) dunia yang berdampak
terhadap penurunan harga TBS Riau2.
Selain itu, adanya ketentuan Bank
Indonesia untuk menahan laju kredit konsumsi (Loan To Value/LTV) diperkirakan
turut mempengaruhi, tercermin dari melambatnya realisasi kredit properti
(perumahan) dan kendaraan bermotor.
2 Pada triwulan IV-2012, harga komoditas CPO dunia tercatat sebesar USD679 per MT atau turun 30,31% (yoy).
Grafik 1.4. Perkembangan Kredit Konsumsi di Riau
19,53
17,69
-
5,00
10,00
15,00
20,00
25,00
-
2,00
4,00
6,00
8,00
10,00
12,00
14,00
16,00
18,00
I II III IV I II III IV I II III IV
2010 2011 2012
%
Rp
tri
liu
n
K. Konsumsi (kiri) yoy (kanan)
GE KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
13
Grafik 1.5. Perkembangan Harga TBS Lokal dan CPO Dunia
Grafik 1.6. Perkembangan Indikator Penjualan Kendaraan Bermotor di Riau
Sumber : Dispenda Riau
Selain itu, penjualan kendaraan bermotor juga mengalami kontraksi yang diikuti
pula dengan menurunnya konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM) disamping karena
adanya penurunan kuota BBM bersubsidi di Riau pada tahun 2012. Konsumsi listrik
Riau pada triwulan IV-2012 juga tercatat mengalami perlambatan jika
dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Hal ini diperkirakan sangat terkait
dengan telah berlalunya event PON XVIII pada triwulan III-2012 lalu.
Grafik 1.7. Perkembangan Konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM) di Riau
Grafik 1.8. Perkembangan Konsumsi Listrik di Riau
Sumber : PT. Pertamina Wilayah Riau Sumber : PT. PLN Wilayah Riau
2.2. Investasi
Perkembangan investasi di Riau sebagaimana tercermin dari pertumbuhan
Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) menunjukkan perlambatan, yakni dari
-
200
400
600
800
1.000
1.200
1.400
1.000
1.100
1.200
1.300
1.400
1.500
1.600
1.700
1.800
1.900
Jan-1
0Fe
b-1
0M
ar-
10
Apr-
10
May-1
0Ju
n-1
0Ju
l-10
Aug-1
0Sep-1
0O
ct-1
0N
ov-1
0D
ec-1
0Ja
n-1
1Feb-1
1M
ar-
11
Apr-
11
May-1
1Ju
n-1
1Ju
l-11
Aug-1
1Sep-1
1O
ct-1
1N
ov-1
1D
ec-1
1Ja
n-1
2Fe
b-1
2M
ar-
12
Apr-
12
May-1
2Ju
n-1
2Ju
l-12
Aug-1
2Sep-1
2O
ct-
12
Nov-1
2D
ec-1
2
USD
/MT
Rp
/Kg
TBS Domestik (kiri) CPO Dunia (kanan)
(40,00)
(20,00)
-
20,00
40,00
60,00
80,00
100,00
120,00
140,00
-
20.000
40.000
60.000
80.000
100.000
120.000
I II III IV I II III IV I II III IV
2010 2011 2012
%un
it
Penjualan Kendaraan yoy (kanan)
-40
-30
-20
-10
0
10
20
30
-
100
200
300
400
500
600
700
I II III IV I II III IV I II III IV
2010 2011 2012
%
rib
u K
L
BBM yoy (kanan)
12
13
14
15
16
-
1.000,0
2.000,0
3.000,0
4.000,0
5.000,0
6.000,0
7.000,0
8.000,0
I II III IV I II III IV
2011 2012
%
KW
h
Konsumsi (kiri) yoy (kanan)
GE KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
14
7,69% (yoy) pada triwulan III-2012 menjadi 5,64% (yoy) pada triwulan IV-2012.
Dengan mengeluarkan unsur migas, PMTB Riau tercatat tumbuh lebih tinggi yakni
sebesar 13,65%, namun juga melambat dibanding triwulan sebelumnya meskipun
masih lebih tinggi bila dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Kondisi
tersebut mengindikasikan bahwa kegiatan investasi di Provinsi Riau, khususnya
investasi non migas masih cukup tinggi pada akhir tahun 2012.
Beberapa indikator penunjang yang mendukung kondisi tersebut adalah total
jumlah proyek investasi langsung yang mencapai 62 proyek pada triwulan laporan
atau merupakan yang tertinggi sepanjang tahun 2012. Meskipun jumlah proyek ini
tinggi, namun total nilai penanaman modal di Riau pada triwulan laporan tercatat
lebih rendah. Pada triwulan III-2012 nilai realisasi penanaman modal mencapai
Rp5,97 triliun, namun pada triwulan IV-2012 hanya tercatat sebesar Rp2,61 triliun.
Indikator lain yang mendukung masih tingginya kegiatan investasi di sektor non
migas adalah tingkat konsumsi semen dan penjualan kendaraan jenis truk. Tingkat
konsumsi semen di Riau pada triwulan laporan tercatat sebesar 418 ribu ton,
merupakan yang tertinggi selama tiga tahun terakhir, dan tumbuh meningkat dari
4,36% (yoy) pada triwulan III-2012 menjadi 7,91% (yoy) pada triwulan IV-2012.
Kemudian, penjualan kendaraan jenis truk pada triwulan laporan tercatat sebesar
5.532 unit atau tumbuh sebesar 52,82% (yoy). Pertumbuhan ini juga cenderung
meningkat bila dibandingkan dengan triwulan sebelumnya maupun triwulan IV-
2011.
Meskipun kegiatan investasi non migas masih tumbuh tinggi, namun investasi yang
dibiayai melalui kredit cenderung menunjukkan perlambatan yakni dari 23,79%
(yoy) menjadi 16,14% (yoy) dengan nominal penyaluran sebesar Rp12,25 triliun.
Sebagian besar kredit ini utamanya diserap oleh sektor konstruksi terutama sub
sektor bangunan lainnya dan perumahan sederhana. Adanya perlambatan
diperkirakan berkaitan dengan faktor pemberlakuan kebijakan LTV dan telah
selesainya pembangunan tempat penginapan yang cenderung mencapai
puncaknya di triwulan III-2012 lalu.
GE KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
15
Grafik 1.11. Perkembangan PMA dan PMDN
Grafik 1.12. Perkembangan Penjualan Kendaraan Jenis Truk di Riau
Sumber : Badan Koordinasi Penanaman Modal
Sumber : Dispenda Provinsi Riau
2.3. Ekspor Impor
Kinerja perdagangan eksternal Riau pada triwulan laporan mengalami peningkatan,
yakni dari 2,13% (yoy) pada triwulan III-2012 menjadi 3,60% (yoy). Peningkatan
yang terjadi utamanya bersumber dari meningkatnya ekspor non migas ke wilayah
Asia terutama Cina dan kawasan ASEAN. Volume ekspor non migas ke wilayah
tersebut tercatat sebesar 1,96 juta ton atau tumbuh sebesar 26,38% (yoy), lebih
tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan triwulan sebelumnya yang tercatat
sebesar 15,89% (yoy).
1,84
9,42
1,64 6,26 5,97
2,61
2621
34
56
23
62
2010 2011 I-2012 II-2012 III-2012 IV-2012
Nilai (Rp triliun) Proyek
-
20,00
40,00
60,00
80,00
100,00
120,00
140,00
0
1000
2000
3000
4000
5000
6000
I II III IV I II III IV I II III IV
2010 2011 2012
%unit
Truck yoy (kanan)
Grafik 1.9. Perkembangan Penjualan Semen di Riau
Grafik1.10. Perkembangan Kredit Investasi di Riau
Sumber : Asosiasi Semen Indonesia
-20,00
-10,00
0,00
10,00
20,00
30,00
40,00
50,00
-
50
100
150
200
250
300
350
400
450
I II III IV I II III IV I II III IV
2010 2011 2012
%
rib
u T
on
Konsumsi Semen (kiri) g.yoy (kanan)
23,79
16,14
-
5,00
10,00
15,00
20,00
25,00
30,00
-
2,00
4,00
6,00
8,00
10,00
12,00
14,00
I II III IV I II III IV I II III IV
2010 2011 2012
%
Rp
tri
liu
n
K. Investasi (kiri) yoy (kanan)
GE KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
16
Jika dilihat berdasarkan
kelompoknya, barang mentah
khususnya komoditas pulp and
paper menjadi sumber
pendorong meningkatnya
ekspor non migas dalam
triwulan laporan. Sementara,
minyak dan kelompok nabati
yang utamanya didominasi oleh
CPO masih tercatat tumbuh
melambat sejalan dengan
terbatasnya permintaan dari negara mitra dagang utama. Ekspor komoditas non
migas lain yang juga tercatat mengalami penurunan adalah batubara dan karet
olahan.
Tabel 1.3. Perkembangan Volume Ekspor Non Migas di Riau (ribu Ton)
Grafik 1.14. Perkembangan Volume Ekspor CPO Riau
Grafik 1.15. Perkembangan Ekspor Pulp and Paper Riau
I II III IV IV-12 III-12 IV-12
Makanan dan Hewan Bernyawa 360 278 287 407 9,95 (25,62) 45,02
Tembakau dan Minuman 4 4 3 5 0,14 158,10 288,02
Barang Mentah 668 600 656 735 15,81 (2,00) 22,86
Bahan Bakar Mineral dan Pelumas 321 496 474 501 13,06 (26,84) (18,98)
Minyak dan Lemak Nabati 2.203 1.766 2.626 2.721 46,53 29,00 7,07
Bahan Kimia 193 252 304 251 6,64 (26,22) 8,68
Barang Manufaktur 408 399 388 368 10,52 (0,64) 0,13
Mesin dan Peralatan 0 - 0 0 - - -
Hasil Olahan Manufaktur 0 0 - 0 0,00 - -
Koin, bukan mata uang - - - - - - -
4.156 3.795 4.739 4.989 4,30 7,54
Kelompok SITCPangsa (%)
Total 100,00
yoy (%)2012
(100,0)
(50,0)
-
50,0
100,0
150,0
200,0
0
500
1.000
1.500
2.000
2.500
3.000
I II IIIIV I II IIIIV I II IIIIV I II IIIIV I II IIIIV I II IIIIV I II IIIIV
2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
%ribu T
on
Vol (kiri) yoy (kanan)
(100,0)
(50,0)
-
50,0
100,0
150,0
200,0
-
100,0
200,0
300,0
400,0
500,0
600,0
700,0
800,0
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV
2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
%
ribu T
on
Vol (kiri) yoy (kanan)
Grafik 1.13. Perkembangan Volume Ekspor Non Migas Riau Menurut Wilayah Tujuan
629 756 931 910 786 762 1.078 1.034
485
1.101 713 884 511 481
787 675 784
534 648
638
783 733
842 922 510
844 856 730
734 563
600 901 1.019
1.465 1.396 1.477
1.343 1.257
1.433 1.457
(900)
100
1.100
2.100
3.100
4.100
5.100
I II III IV I II III IV
2011 2012
Lainnya
MEE
ASEAN
India
Cina
GE KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
17
Grafik 1.16. Perkembangan Volume Ekspor Batubara Riau
Grafik 1.17. Perkembangan Volume Ekspor Karet Olahan Riau
Di sisi lain, impor Riau pada triwulan IV-2012 menunjukkan perlambatan yakni dari
8,21% (yoy) pada triwulan III-2012 menjadi 6,15% (yoy). Sementara, dengan
mengeluarkan unsur migas, impor non migas mengalami perlambatan
pertumbuhan yakni dari 12,09% (yoy) menjadi 5,17% (yoy). Kondisi ini utamnya
didorong oleh menurunnya impor barang mentah dan bahan kimia terutama
pupuk sejalan dengan masih terbatasnya kapasitas terpakai industri. Meskipun
demikian, volume impor barang manufaktur tercatat mengalami kenaikan sebesar
39,59% (yoy) menjadi 138,47 ribu ton. Kenaikan ini utamanya terjadi pada
komoditas barang olahan kayu, pakaian serta elektronik. Hal ini mengindikasikan
bahwa kegiatan ekonomi yang didorong oleh konsumsi masih cukup tinggi.
Tabel 1.4. Perkembangan Volume Impor Non Migas di Riau (ribu Ton)
(200,0)
(100,0)
-
100,0
200,0
300,0
400,0
500,0
600,0
700,0
-
200,0
400,0
600,0
800,0
1.000,0
1.200,0
1.400,0
1.600,0
I II IIIIV I II IIIIV I II IIIIV I II IIIIV I II IIIIV I II IIIIV I II IIIIV
2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
%
Rib
u T
on
Vol (kiri) yoy (kanan)
(500,0)
-
500,0
1.000,0
1.500,0
2.000,0
2.500,0
-
1,0
2,0
3,0
4,0
5,0
6,0
7,0
8,0
9,0
10,0
I II IIIIV I II IIIIV I II IIIIV I II IIIIV I II IIIIV I II IIIIV I II IIIIV
2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
%
Rib
u T
on
Vol (kiri) yoy (kanan)
I II III IV IV-12 III-12 IV-12
Makanan dan Hewan Bernyawa 27,65 12,70 10,06 5,07 1,61 -58,28 -86,21
Tembakau dan Minuman 0,25 0,24 0,78 0,08 0,03 221,48 -69,23
Barang Mentah 142,11 171,83 191,06 132,28 21,81 27,58 -13,38
Bahan Bakar Mineral dan Pelumas - - 0,00 0,00 0,00 - -
Minyak dan Lemak Nabati 0,16 0,21 0,17 0,01 0,03 - -
Bahan Kimia 268,06 465,86 374,55 318,88 59,14 13,46 -6,53
Barang Manufaktur 117,64 119,98 76,70 138,47 15,23 -24,84 39,59
Mesin dan Peralatan 12,92 10,56 18,89 10,07 1,34 91,05 -29,94
Hasil Olahan Manufaktur 5,33 6,32 8,26 6,97 0,80 4,00 -16,28
Koin, bukan mata uang - - 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
574,11 787,71 680,47 611,83 9,02 -6,27
yoy (%)
100
Pangsa (%)
Total
Kelompok SITC2012
GE KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
18
3. PDRB SEKTORAL
Kondisi ekonomi sektoral Riau pada triwulan laporan secara umum menunjukkan
perkembangan yang kurang menggembirakan sebagaimana terlihat dari kembali
minimmya peran sektor tradables dalam menopang perekonomian. Bahkan secara
tahunan, pertumbuhan sektor tradables Riau mengalami kontraksi sebesar 1,51%
atau merupakan titik terendahnya selama lima tahun terakhir. Hal ini utamanya
disebabkan adanya penurunan kinerja sektor migas sejalan dengan faktor alamiah
(natural decline) akibat usia sumur minyak yang sudah tidak produktif. Disamping
itu, menurunnya kapasitas terpakai sektor industri pengolahan Riau pada triwulan
laporan juga diperkirakan turut menjadi sumber penyebab rendahnya pertumbuhan
sektor industri sejalan dengan terbatasnya permintaan dari negara mitra dagang
terhadap komoditas unggulan Riau dan adanya hambatan pasokan bahan baku
khususnya pada industri karet olahan3.
Sebaliknya, peran sektor non-tradables terhadap perekonomian semakin
menunjukkan kenaikan khususnya pada sektor sekunder dan tersier terutama
sektor bangunan dan perdagangan. Kondisi ini secara umum menunjukkan
terjadinya pergeseran struktur ekonomi di Provinsi Riau. Secara spesifik, motor
penggerak utama pertumbuhan ekonomi Riau pada triwulan laporan utamanya
berasal dari sektor perdagangan dan bangunan. Kedua sektor tersebut tercatat
memberikan sumbangan terbesar dibandingkan sektor lainnya baik terhadap total
pertumbuhan dengan migas maupun pertumbuhan tanpa unsur migas.
Meningkatnya peran kedua sektor tersebut secara signifikan diindikasikan tidak
terlepas dari pesatnya pembangunan ekonomi Riau yang menjadi magnet bagi para
pelaku usaha baik dari wilayah sekitar ataupun dari luar pulau.
3 Hasil liason dan Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) Bank Indonesia
GE KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
19
Tabel 1.5. Pertumbuhan Ekonomi Riau Sisi Sektoral (yoy,%)
Tabel 1.6. Pertumbuhan Ekonomi Riau Sisi Sektoral Tanpa Migas (yoy,%)
3.1. Sektor Pertanian
Pertumbuhan sektor pertanian Riau pada triwulan laporan kembali mengalami
perlambatan dari triwulan sebelumnya menjadi 1,21% (yoy) dan merupakan yang
terendah sejak lima tahun terakhir. Melambatnya pertumbuhan sektor pertanian
diindikasikan dipengaruhi oleh tidak optimalnya produksi tanaman perkebunan
unggulan Riau baik karet alam maupun TBS. Hal ini diperkirakan tidak terlepas dari
faktor tingginya curah hujan yang sedikit banyak mempengaruhi hasil panen
komoditas tersebut.
Kondisi ini juga tidak terlepas dari penurunan produktivitas tanaman kelapa sawit
mengingat sebagian besar tanaman kelapa sawit di Riau sudah berada dibawah
kinerja produktifnya dan masuk dalam kategori peremajaan. Disamping itu,
berdasarkan hasil survei kepada pelaku usaha, diketahui juga adanya penurunan
produksi karet karena rendahnya minat petani untuk menyadap getah karet sejalan
dengan rendahnya harga jual di tingkat pabrik.
III IV III IV 2011 III-12 IV-12 2012
A. Sektor Tradables 2,11 2,56 2,25 0,70 (1,51) 0,89 2,72 0,51 -1,14 0,351 Pertanian 3,58 2,41 3,88 1,73 1,21 2,46 0,66 0,29 0,20 0,422 Pertambangan 0,27 1,97 2,61 (0,28) (2,97) (0,91) 1,27 -0,13 -1,4 -0,433 Industri Pengolahan 7,66 5,19 6,93 3,08 0,39 3,91 0,79 0,35 0,05 0,36B. Sektor Non Tradables 9,98 11,48 9,98 14,63 14,22 13,19 2,29 3,55 3,51 3,204 Listrik, Gas dan Air 9,21 6,73 6,85 2,52 3,19 3,64 0,01 0,01 0,01 0,015 Bangunan 13,25 14,04 12,77 15,69 13,58 14,13 0,46 0,61 0,55 0,556 Perdagangan, Hotel & Restoran 9,61 12,38 10,09 17,32 18,18 16,02 0,93 1,70 1,81 1,557 Penganggkutan dan Komunikasi 9,59 11,12 9,73 13,31 12,84 12,03 0,30 0,44 0,43 0,388 Keuangan dan Jasa Perusahaan 9,46 10,22 9,67 17,78 13,36 14,21 0,14 0,26 0,21 0,219 Jasa-jasa 8,82 8,92 8,48 9,54 9,12 9,12 0,45 0,53 0,50 0,50
3,93 4,63 5,01 4,06 2,37 3,55 5,01 4,06 2,37 3,55 Total
Sumbangan (%)2012***
2011***2011***
2012***Keterangan
III IV III IV 2011 III-12 IV-12 2012
A. Sektor Tradables 2,11 2,56 2,25 0,70 (1,51) 0,89 3,03 1,39 0,46 1,551 Pertanian 3,58 2,41 3,88 1,73 1,21 2,46 1,33 0,57 0,39 0,822 Pertambangan 13,65 12,62 13,18 7,58 6,93 7,21 0,26 0,16 0,14 0,153 Industri Pengolahan 8,74 5,88 8,09 3,69 (0,38) 3,27 1,44 0,66 -0,07 0,58B. Sektor Non Tradables 9,98 11,48 9,98 14,63 14,22 13,19 4,60 6,88 6,75 6,274 Listrik, Gas dan Air 9,21 6,73 6,85 2,52 3,19 3,64 0,03 0,01 0,01 0,025 Bangunan 13,25 14,04 12,77 15,69 13,58 14,13 0,92 1,19 1,05 1,076 Perdagangan, Hotel & Restoran 9,61 12,38 10,09 17,32 18,18 16,02 1,87 3,30 3,49 3,037 Penganggkutan dan Komunikasi 9,59 11,12 9,73 13,31 12,84 12,03 0,61 0,85 0,82 0,778 Keuangan dan Jasa Perusahaan 9,46 10,22 9,67 17,78 13,36 14,21 0,27 0,51 0,40 0,419 Jasa-jasa 8,82 8,92 8,48 9,54 9,12 9,12 0,90 1,02 0,98 0,97
7,64 7,40 7,63 8,26 7,21 7,82 7,63 8,27 7,21 7,82 Non Migas
Sumbangan (%)2012***
2011***2011***
2012***Keterangan
GE KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
20
Grafik1.18. Perkembangan Curah Hujan di Provinsi Riau
Grafik 1.19. Perkembangan Nilai Tukar Petani Tanaman Perkebunan di Riau
Sumber : Departemen Pertanian AS Sumber : BPS Provinsi Riau
3.1. Pertambangan dan Penggalian
Sektor pertambangan Riau pada triwulan laporan mengalami kontraksi sebesar
2,97% (yoy) atau merupakan yang terendah sejak lima tahun terakhir. Kondisi ini
utamanya disebabkan oleh faktor alamiah (natural decline) akibat usia sumur
minyak yang sudah relatif tua serta minimnya penggunaan teknologi modern
dalam penggalian sumur minyak tua. Disamping itu juga ditemui sejumlah kendala
lain seperti adanya pengikisan lingkungan, tumpang tindih lahan serta kendala
peraturan dan birokrasi perizinan. Pada triwulan IV-2012, volume lifting minyak
bumi Riau tercatat sebesar 32,77 juta barel atau terkontraksi sebesar 4,50% (yoy).
Dengan demikian, selama tahun 2012, rata-rata volume lifting minyak Riau
mencapai 371,88 ribu barel per hari atau turun 0,26% dibandingkan pencapaian
rata-rata lima tahun terakhir yang tercatat sebesar 373,88 ribu barel per hari.
Sementara itu, dengan mengeluarkan unsur migas, laju pertumbuhan sektor
pertambangan mencatat angka yang lebih tinggi yaitu sebesar 6,93% (yoy), namun
melambat jika dibandingkan dengan pertumbuhan triwulan III-2012 yang tercatat
sebesar 7,58% (yoy) dan periode yang sama tahun sebelumnya yang tercatat
sebesar 12,62% (yoy). Berdasarkan hasil survei kepada pelaku usaha4, diketahui
bahwa kondisi ini utamanya disebabkan oleh terbatasnya produksi batubara sejalan
dengan faktor lokasi tambang yang sudah cukup dalam serta relatif tingginya curah
hujan yang mengakibatkan produksi tidak optimal.
4 Survei liason
(6)(4)(2)-2 4 6 8 10 12
90 92 94 96 98
100 102 104 106 108
I II III IV I II III IV I II III IV
2010 2011 2012
%
NTP (kiri) yoy (kanan)
GE KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
21
Grafik 1.20. Perkembangan Volume Lifting Minyak Bumi di Riau
Grafik 1.21. Perkembangan Volume Lifting Gas Bumi di Riau
Sumber : Departmen ESDM RI
Sumber : Departmen ESDM RI
3.2. Industri Pengolahan
Dalam triwulan laporan, sektor industri pengolahan Riau mencatat perlambatan
cukup signifikan yakni dari 3,08% (yoy) menjadi 0,39% (yoy). Hal ini utamanya
bersumber dari menurunnya kinerja sektor industri pengolahan non migas yang
pada triwulan laporan mengalami kontraksi sebesar 0,38% (yoy). Pertumbuhan ini
sekaligus menunjukkan pencapaian yang kurang menggembirakan mengingat
fenomena ini merupakan yang pertama kali terjadi sejak lima tahun terakhir.
Kondisi ini diindikasikan tidak terlepas dari faktor krisis zona Eropa yang
mengakibatkan minimnya permintaan terhadap komoditas ekspor unggulan Riau
terutama CPO. Disamping itu, krisis yang juga menyebabkan penurunan harga
komoditas unggulan TBS dan CPO internasional sepanjang tahun 2012 turut
mempengaruhi kapasitas pelaku industri dalam meningkatkan produksinya. Hasil
survei yang dilakukan kepada industri pengolahan kelapa sawit menunjukkan
adanya penurunan produksi sebesar 4% (yoy), sedangkan pada industri karet
olahan terjadi penurunan sekitar 30% (yoy).5
Kapasitas produksi sektor industri pengolahan di Provinsi Riau yakni turun dari
76,00% pada triwulan III-2012 menjadi 73,21% pada triwulan IV-2012.
Perkembangan tersebut juga mengakibatkan pertumbuhan kapasitas produksi
5 Hasil survei liason kepada beberapa pelaku industri utama.
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
-
5
10
15
20
25
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV
2008 2009 2010 2011 2012
juta
bare
l
juta
bare
l
Bengkalis Indragiri Hulu Kampar Kep. Meranti
Rokan Hilir Rokan Hulu Siak Total (kanan)
-
0,50
1,00
1,50
2,00
2,50
3,00
3,50
-
500
1.000
1.500
2.000
2.500
3.000
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV
2008 2009 2010 2011 2012
Mili
ar BTU
Mili
ar BTU
Pelalawan Pekanbaru Total (kanan)
GE KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
22
mengalami kontraksi sebesar 8,03% (yoy).6 Berdasarkan hasil survei yang
dilakukan, penurunan ini lebih disebabkan karena adanya penurunan volume
produksi akibat keterbatasan bahan baku dan menurunnya permintaan dari
negara mitra dagang.
3.3. Perdagangan, Hotel dan Restoran (PHR)
Sektor PHR Riau pada triwulan laporan mengalami peningkatan yaitu dari
17,32% (yoy) pada triwulan III-2012 menjadi 18,18% (yoy) pada triwulan IV-2012,
dan merupakan yang tertinggi dalam kurun waktu 5 tahun terakhir. Kondisi ini
diperkirakan dipengaruhi oleh relatif stabilnya daya beli masyarakat yang
bersamaan dengan perayaan Natal dan musim liburan akhir tahun sehingga turut
mendorong kenaikan pertumbuhan di sektor perdagangan .
Adanya kondisi tersebut juga turut mendorong kenaikan tingkat hunian hotel
(occupancy rate) hotel di Provinsi Riau. Dalam triwulan laporan, rata-rata tingkat
pemenuhan kamar hotel mencapai 61,39% atau lebih tinggi dibandingkan dengan
triwulan sebelumnya dan periode yang sama tahun sebelumnya yakni masing-
masing tercatat sebesar 51,71% dan 52,42%.
6 Hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha Bank Indonesia
Grafik 1.22. Kapasitas Terpakai Industri Pengolahan di Riau (%)
Sumber : SKDU
Grafik 1.23. Realisasi Kegiatan Usaha Industri Pengolahan di Riau
Sumber : SKDU
(30,00)
(20,00)
(10,00)
-
10,00
20,00
30,00
40,00
50,00
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV
2009 2010 2011 2012
%%
Kapasitas yoy (kanan)
GE KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
23
Grafik.1.24. Perkembangan Tingkat Hunian Hotel Bintang 3,4,5 Riau
Grafik.1.25. Perkembangan Penjualan Mobil dan Motor di Riau
Sumber : Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia Sumber : Dispenda Provinsi Riau
3.4. Pengangkutan dan Komunikasi
Secara umum kegiatan perkembangan sektor pengangkutan dalam triwulan
laporan menunjukkan perkembangan yang cukup kuat. Pertumbuhan sektor
pengangkutan dan komunikasi di Riau mencapai 12,84% (yoy), sedikit melambat
dibandingkan dengan pertumbuhan triwulan III-2012 yang tercatat sebesar
13,31% (yoy) namun masih lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan
periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai 11,12% (yoy).
46,72%
54,41%
48,12%
56,06%
45,91%
51,33%
44,35%
52,42%
48,96%
52,20%51,71%
61,39%
40,00%
45,00%
50,00%
55,00%
60,00%
65,00%
I II III IV I II III IV I II III IV
2010 2011 2012
(40,00)
(20,00)
-
20,00
40,00
60,00
80,00
100,00
120,00
140,00
160,00
-
10.000
20.000
30.000
40.000
50.000
60.000
70.000
80.000
90.000
100.000
I II III IV I II III IV I II III IV
2010 2011 2012
%un
it
Mobil dan Motor yoy (kanan)
Grafik 1.26. Arus Kedatangan dan Keberangkatan Penumpang di Bandara
Internasional Sultan Syarif Kasim
Grafik 1.27 Arus Kedatangan dan Keberangkatan Pesawat di Bandara Internasional Sultan Syarif Kasim
Sumber : PT. Angkasa Pura II
2000
2200
2400
2600
2800
3000
3200
3400
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV
2009 2010 2011 2012
datang berangkat
200000
220000
240000
260000
280000
300000
320000
340000
360000
380000
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV
2009 2010 2011 2012
datang berangkat
GE KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
24
Salah satu indikator yang mendukung kondisi tersebut adalah relatif tingginya arus
kedatangan dan keberangkatan penumpang dan pesawat di Bandara Internasional
Sultan Syarif Kasim (SSK). Pada triwulan laporan, arus kedatangan penumpang di
Bandara Internasional SSK mencapai 360.938 jiwa atau tumbuh 11,00% (yoy)
dan lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan triwulan III-2012 yang
tercatat sebesar 12,14% (yoy).
Di sisi lain, jumlah penumpang yang berangkat dari Bandara Internasional SSK
mencapai 361.991 jiwa atau tumbuh 10,80% (yoy) dan lebih rendah dibandingkan
dengan pertumbuhan triwulan III-2012 yang mencapai 14,78% (yoy). Relatif
melambatnya baik kedatangan maupun keberangkatan penumpang diperkirakan
erat kaitannya dengan berakhirnya faktor siklikal PON ke-18 pada triwulan
sebelumnya yang turut meningkatkan migrasi penduduk secara temporer dari luar
provinsi Riau baik melalui pelabuhan maupun bandara udara.
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
25
1. KONDISI UMUM
Sejalan dengan perkiraan sebelumnya, tekanan inflasi Riau pada tahun 2012
(yoy)1 relatif rendah dan terkendali. Inflasi Riau pada tahun 2012 merupakan
yang terendah selama 2 (dua) tahun terakhir, serta tercatat berada di bawah
inflasi nasional maupun Sumatera. Berdasarkan disagregasinya, inflasi core
Riau berada pada tingkat yang relatif stabil dibandingkan dengan inflasi tahun
sebelumnya. Sementara, inflasi noncore terutama kelompok volatile food
mengalami penurunan yang berarti bila dibandingkan dengan tahun 2011
yang lalu.
1 yoy (year on year) atau inflasi tahunan merupakan perbandingan Indeks Harga Konsumen (IHK) pada
bulan laporan dengan IHK di bulan yang sama tahun sebelumnya
PERKEMBANGAN
INFLASI DAERAH
Bab 2
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
26
Relatif stabilnya inflasi Riau pada tahun 2012 tidak terlepas dari (i)distribusi
dan ketersediaan pasokan bahan pangan yang relatif aman dan lancar,
(ii)penundaan kebijakan pembatasan BBM bersubsidi, (iii)trend penurunan
harga komoditas pangan internasional, (iv)koordinasi TPID secara intensif
disertai kebijakan-kebijakan pemerintah daerah yang lebih antisipatif.
2. INFLASI TAHUNAN (YOY)
Secara tahunan, inflasi Riau pada tahun 2012 terjaga pada tingkat yang
rendah yakni sebesar 3,32%. Inflasi pada tahun 2012 tercatat mengalami
penurunan yang berarti dibandingkan dengan inflasi tahun 2011 yang
mencapai 4,72%, juga lebih rendah bila dibandingkan dengan inflasi
Sumatera dan Nasional yang pada tahun 2012 masing-masing tercatat sebesar
3,51% dan 4,30%. Kondisi ini menunjukkan bahwa tingkat harga di Riau
pada tahun 2012 tercatat lebih terjaga bila dibandingkan dengan tingkat
harga di wilayah Sumatera maupun Nasional.
Grafik 2.1. Perkembangan Inflasi Riau, Sumatera dan Nasional secara Tahunan (yoy)
Sumber : BPS, diolah
Berdasarkan kota yang disurvey di Provinsi Riau, inflasi tertinggi terjadi di Kota
Pekanbaru yaitu sebesar 3,35%, namun telah menunjukkan kecenderungan
yang menurun dalam kurun waktu 1 (satu) tahun terakhir. Deflasi yang terjadi
pada komoditas cabe merah, ikan, minyak goreng dan beras menjadi sumber
menurunnya tekanan inflasi di Kota Pekanbaru pada periode laporan. Di sisi
lain, kenaikan harga pada kontrak/sewa rumah, daging sapi, dan rokok telah
Sumatera
Riau
Nasional
4,31 4,30
4,51
3,38 3,514,75
4,083,32
4,61
Inflasi Tw III-12 (yoy)
Inflasi 2012 (yoy)
Rata-rata selama 2009-2011 (yoy)
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
27
menahan laju penurunan inflasi pada tingkat yang lebih rendah di Kota
Pekanbaru pada tahun 2012.
Grafik 2.1. Perkembangan Inflasi di Riau, Sumatera dan Nasional secara Tahunan (yoy)
Sumber : BPS, diolah
Selanjutnya, searah dengan inflasi Kota Pekanbaru, inflasi yang terjadi di Kota
Dumai juga menunjukkan kecenderungan yang menurun. Pada tahun 2012,
inflasi Kota Dumai tercatat lebih rendah dari inflasi Kota Pekanbaru yaitu
sebesar 3,20%. Seperti halnya di Kota Pekanbaru, deflasi yang terjadi pada
komoditas cabe merah menjadi sumber utama menurunnya tekanan inflasi di
Kota Dumai, yang selanjutnya diikuti oleh deflasi pada komoditas bayam, teri,
kentang dan bawang merah. Sementara kenaikan bahan bakar rumah tangga,
sewa rumah, rokok dan beras menjadi sumber terjadinya inflasi pada tahun
2012.
Tabel 2.1. Komoditas dengan Kontribusi Inflasi Tertinggi selama tahun 2012 (yoy)
Sumber : BPS, diolah
3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
2010 2011 2012
P.baru 2,20 1,94 2,26 4,58 4,72 7,00 7,76 5,61 6,10 5,09 4,20 5,67 4,21 3,35
Dumai 3,22 0,80 1,81 5,27 3,94 9,05 8,49 5,42 5,78 3,10 2,75 4,38 3,47 3,20
Riau 2,39 1,73 2,18 4,71 4,57 7,37 7,90 5,57 6,04 4,72 3,94 5,44 4,08 3,32
Sumatera 3,36 2,44 3,40 5,96 5,25 7,83 7,47 5,48 6,12 3,98 3,75 4,99 3,38 3,51
0,00
1,00
2,00
3,00
4,00
5,00
6,00
7,00
8,00
9,00
10,00
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
28
Grafik 2.2. Inflasi IHK dan Disagregasi Inflasi (yoy)
Sumber : BPS, diolah Disagregasi dengan pendekatan subkelompok
(2,00)
-
2,00
4,00
6,00
8,00
10,00
12,00
14,00
16,00
18,00
2008 2009 2010 2011 2012
Core Volatile Food
Administered Price IHK
2.1. Disagregasi Inflasi
Pada tahun 2012, seluruh
komponen inflasi IHK yaitu
inflasi inti (core), inflasi
volatile food dan inflasi
administered price berada
pada level yang rendah.
Realisasi masing-masing
komponen tersebut juga
tercatat lebih rendah
dibandingkan dengan tahun 2011. Pencapaian tersebut tidak terlepas dari
koordinasi kebijakan yang semakin solid antara Bank Indonesia dengan
Pemerintah Daerah.
2.1.1. Inflasi Inti (Core)
Laju inflasi inti Riau pada tahun 2012 tetap berada pada level yang rendah dan
relatif menurun. Kebijakan moneter yang dilakukan selama tahun 2012
mampu menjaga stabilitas nilai tukar sehingga menjadi faktor yang
mendorong turunnya inflasi inti.
Grafik 2.3. Perkembangan Nilai Tukar dan Inflasi Inti (yoy)
Sumber : BPS, diolah
3,0
3,5
4,0
4,5
5,0
5,5
6,0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
2011 2012
Core Inflation (yoy)
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
29
Harga komoditas non pangan global juga melambat dibandingkan dengan
tahun sebelumnya, sehingga turut mendorong relatif rendahnya inflasi inti.
Selain itu, penurunan harga minyak global dan perlambatan dari kenaikan
harga emas dunia juga turut mendorong menurunnya inflasi inti tahun 2012.
Grafik 2.4. Perkembangan Komoditas Global dan Inflasi Inti (yoy)
Grafik 2.5. Survey Konsumen Bank Indonesia
Sumber : Bloomberg dan BPS, diolah Sumber : Bank Indonesia
Di sisi lain, rendahnya inflasi inti pada tahun 2012 juga didukung oleh
terkendalinya ekspektasi inflasi dan kemampuan sisi penawaran dalam
merespon permintaan. Di awal tahun, ekspektasi inflasi sempat meningkat
terkait dengan rencana kenaikan harga BBM bersubsidi, namun kembali
terkendali hingga akhir tahun. Mempertimbangkan kondisi eksternal dan
domestik pada saat itu, Bank Indonesia menjaga BI-Rate pada level yang tetap
di 5,75% sepanjang tahun 2012. Kondisi ini juga didukung oleh keputusan
pemerintah untuk melakukan penundaan penyesuaian harga energi tahun
2012.
2.1.2. Inflasi Volatile Food
Stabilitas harga pangan disepanjang tahun 2012 relatif terjaga yang didukung
oleh terjaganya stabilitas nilai tukar, kebijakan sektoral yang positif dan
koordinasi kebijakan yang intensif. Kelompok volatile food tercatat mengalami
penurunan yang signifikan, sehingga pada tahun 2012 tercatat merupakan
yang terendah dalam kurun waktu 5 (lima) tahun terakhir.
-
1,00
2,00
3,00
4,00
5,00
6,00
7,00
(40,00)
(20,00)
-
20,00
40,00
60,00
80,00
100,00
120,00
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112
2010 2011 2012
Inti (RHS) CPO ($/MT) WTI ($/barel) Emas ($/Oz) Beras ($/MT)
150155160165170175180185190195200
1 2 3 4 1 2 3 4
2011 2012
Ekspektasi harga 3bulan yad Ekspektasi harga 6 bulan yad
Ekspektasi harga 12 bulan yad
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
30
Grafik 2.6. Perkembangan Komoditas Pangan Global dan Inflasi Volatile Food (yoy)
Sumber : Bloomberg dan BPS, diolah
Penurunan harga pada komoditas cabe merah dan beras memberikan
sumbangan tertinggi terhadap rendahnya tingkat inflasi kelompok volatile
food tahun 2012. Pengadaan beras oleh BULOG secara nasional yang
meningkat di tahun 2012 dan juga didukung oleh peningkatan produksi beras
secara nasional tercatat mampu menurunkan tekanan inflasi beras selama
tahun 2012. Terjaganya stabilitas harga beras juga turut didukung oleh
penyaluran raskin, pelaksanaan operasi pasar dan pasokan domestik yang
cukup serta didukung oleh kondisi cuaca yang kondusif.
Namun demikian, meskipun secara umum kelompok volatile food mengalami
penurunan dibandingkan tahun 2011, masih terdapat komoditas yang
mengalami peningkatan yang berarti antara lain komoditas daging sapi. Pada
tahun 2012 inflasi daging sapi di Kota Pekanbaru tercatat sebesar 19,82%
sementara di Kota Dumai sebesar 11,72%. Kondisi ini didorong oleh adanya
kelangkaan stok daging sapi secara nasional yang berimbas pula ke Riau.
2.1.3. Inflasi Administered Price
Sejalan dengan minimnya implementasi kebijakan administered price yang
strategis, inflasi kelompok administered price pada tahun 2012 relatif
terkendali. Komoditas administered price seperti bahan bakar rumah tangga
dan bensin tercatat memberikan sumbangan yang minimal terhadap inflasi
kelompok administered price di Riau.
-5,00
0,00
5,00
10,00
15,00
20,00
25,00
(60,00)
(40,00)
(20,00)
-
20,00
40,00
60,00
80,00
100,00
120,00
140,00
1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11
2010 2011 2012
Gula ($/Pound)
Jagung ($/bushel)
Kedelai($/bushel)
Terigu ($/bushel)
Beras ($/MT)
VF (RHS)
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
31
Kondisi ini juga sejalan dengan kelancaran program konversi minyak ke gas,
selain adanya penambahan subsidi energi yang berdampak pada penundaan
implementasi kenaikan harga BBM bersubsidi pada tahun 2012. Selain itu,
pada tahun 2012 juga terdapat penambahan kuota untuk BBM bersubsidi
secara nasional sebesar 45,6 juta KL2. Sumbangan inflasi kelompok
administered price pada tahun 2012 berasal dari kenaikan harga komoditas
rokok, seiring dengan penetapan tarif cukai rokok tahun 2012 yang
ditetapkan sebesar 15%.
2.2. Inflasi Kelompok Barang dan Jasa
Berdasarkan kelompok barang dan jasa yang disurvey di Provinsi Riau, inflasi
tertinggi terjadi pada kelompok pendidikan, sebaliknya inflasi terendah dialami
oleh kelompok bahan makanan. Namun, bila dilihat dari kontribusinya,
kelompok makanan jadi tercatat memberikan sumbangan inflasi tertinggi pada
tahun 2012, diikuti oleh kelompok perumahan. Sementara, kelompok bahan
makanan tercatat memberikan sumbangan terendah terhadap inflasi Riau
2012.
Tabel 2.2. Perkembangan Inflasi Kelompok Barang dan Jasa (yoy)
Sumber : BPS, diolah
2.2.1. Kelompok Bahan Makanan
Pada tahun 2012, kelompok bahan makanan tercatat mengalami inflasi
terendah yaitu sebesar 0,24%, mengalami penurunan yang signifikan bila
dibandingkan dengan tahun sebelumnya (4,98%). Kelompok ini juga tercatat
memberikan sumbangan inflasi terendah pada tahun 2012. Relatif rendahnya
2 Sumber : BKF-Kemenkeu
Pbr Dumai Riau Pbr Dumai Riau Pbr Dumai Riau Pbr Dumai Riau
Bahan Makanan 6,01 0,69 4,98 1,61 0,20 1,36 -0,13 1,90 0,24 -0,03 0,54 0,06
Makanan Jadi 5,88 5,06 5,73 1,23 1,05 1,17 6,45 4,40 6,07 1,35 0,92 1,28
Perumahan 3,48 3,78 3,54 0,77 0,75 0,74 4,87 4,45 4,80 1,07 0,89 1,02
Sandang 6,33 10,68 7,06 0,50 0,74 0,52 3,41 4,69 3,63 0,25 0,33 0,27
Kesehatan 7,10 3,49 6,47 0,30 0,11 0,25 5,17 2,40 4,69 0,22 0,08 0,18
Pendidikan 7,18 5,92 6,96 0,43 0,27 0,37 7,26 5,44 6,95 0,45 0,25 0,39
Transportasi 2,73 0,34 2,25 0,39 0,05 0,33 0,84 1,36 0,94 0,12 0,21 0,14
UMUM 5,09 3,10 4,72 5,09 3,10 4,72 3,35 3,20 3,32 3,35 3,20 3,32
Inflasi Kontribusi
2012
Inflasi KontribusiKelompok
2011
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
32
Grafik 2.7. Perkembangan IHK Kelompok Bahan Makanan (yoy)
Sumber : BPS, diolah
(30,00)
(20,00)
(10,00)
-
10,00
20,00
30,00
40,00
50,00
60,00
2008 2009 2010 2011 2012
Padi-padian Daging dan Hasil-hasilnya
Ikan Diawetkan Bumbu - bumbuan
Lemak dan Minyak BAHAN MAKANAN
inflasi kelompok bahan makanan utamanya disebabkan deflasi yang terjadi
pada subkelompok bumbu-bumbuan terutama komoditas cabe merah.
Sementara itu, kenaikan harga daging sapi dan daging ayam ras merupakan
penyumbang utama terjadinya
inflasi di Riau selama tahun
2012. Kenaikan harga daging
sapi disebabkan oleh kelangkaan
stok daging sapi secara nasional,
sementara kenaikan harga
daging ayam ras terjadi karena
peningkatan harga Day Old
Chicken (DOC) di sentra utama.
Jika dilihat berdasarkan kota yang disurvey, relatif rendahnya inflasi kelompok
bahan makanan disebabkan oleh deflasi kelompok bahan makanan yang
terjadi di Kota Pekanbaru (0,13%), turun signifikan dibandingkan dengan
tahun sebelumnya yang mencapai inflasi 6,01%. Sementara kelompok bahan
makanan di Kota Dumai tercatat mengalami inflasi sebesar 1,90%.
Berbeda dengan Kota Pekanbaru, tekanan inflasi pada kelompok bahan
makanan di Kota Dumai mengalami peningkatan dibandingkan tahun
sebelumnya. Kenaikan harga beras merupakan faktor utama meningkatnya
inflasi pada kelompok bahan makanan di Kota Dumai. Mengingat kontribusi
Kota pekanbaru terhadap inflasi Riau sangat besar, maka deflasi yang terjadi
pada kelompok bahan makanan di kota tersebut telah menurunkan tekanan
harga kelompok bahan makanan secara umum.
2.2.2. Kelompok Makanan Jadi, Minuman, Rokok & Tembakau
Secara umum, dalam kurun waktu 4 (empat) tahun terakhir, tingkat inflasi
kelompok makanan jadi tercatat relatif stabil. Perubahan harga yang terjadi
pada subkelompok makanan jadi secara umum memberikan pengaruh yang
lebih dominan terhadap inflasi kelompok makanan jadi diikuti oleh
subkelompok tembakau & minuman berakohol. Pada tahun 2012, inflasi
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
33
kelompok makanan jadi sedikit
mengalami peningkatan
dibandingkan tahun
sebelumnya yaitu dari 5,73%
menjadi sebesar 6,07%.
Inflasi yang terjadi pada
kelompok makanan jadi
tercatat memberikan kontribusi
tertinggi terhadap inflasi Riau
pada tahun 2012. Dilihat dari komoditasnya, tingginya kontribusi didorong
oleh inflasi yang terjadi pada komoditas rokok sebagai dampak dari
penyesuaian harga cukai rokok pada tahun 2012. Inflasi kelompok makanan
jadi di Kota Pekanbaru yaitu mencapai 6,45%, dan di Kota Dumai tercatat
mengalami inflasi sebesar 4,40%.
2.2.3. Kelompok Perumahan
Peningkatan harga yang
cukup berarti pada
subkelompok biaya tempat
tinggal (7,04%)
dibandingkan dengan tahun
sebelumnya (4,66%) telah
mendorong peningkatan
inflasi pada kelompok
perumahan. Kenaikan ini
utamanya bersumber dari
kenaikan biaya sewa dan kontrak rumah serta biaya tukang. Peningkatan
biaya tukang diperkirakan terjadi seiring dengan pesatnya pembangunan
proyek-proyek infrastruktur di Riau pada tahun 2012.
Searah dengan hal tersebut, inflasi kelompok perumahan tertinggi terjadi di
Kota Pekanbaru yaitu sebesar 4,87%, mengingat pusat pembangunan
infstruktur tersebut terdapat di Kota Pekanbaru dan tercatat meningkat
Grafik 2.8 Perkembangan IHK Kelompok Makanan Jadi (yoy)
Sumber : BPS, diolah
0,00
5,00
10,00
15,00
20,00
25,00
2008 2009 2010 2011 2012
Makanan JadiMinuman Tdk BeralkoholTembakau & Minuman BeralkoholMAKANAN JADI, MINUMAN, ROKOK & TEMBAKAU
Grafik 2.9. Perkembangan IHK
Kelompok Perumahan (yoy)
Sumber : BPS, diolah
-
4,00
8,00
12,00
16,00
20,00
2008 2009 2010 2011 2012
Biaya Tempat Tinggal Bahan Bakar, Penerangan dan Air
Perlengkapan Rumahtangga Penyelenggaraan Rumahtangga
PERUMAHAN,AIR,LISTRIK,GAS & BB
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
34
dibandingkan tahun sebelumnya (3,48%). Sementara, inflasi kelompok
perumahan di Kota Dumai tercatat sebesar 4,45%, juga meningkat
dibandingkan dengan tahun sebelumnya (3,78%).
2.2.4. Kelompok Sandang
Tekanan inflasi kelompok
sandang pada tahun 2012
mengalami penurunan yang
signifikan bila dibandingkan
dengan tahun sebelumnya.
Penurunan tersebut utamanya
bersumber dari menurunnya
tekanan inflasi pada
subkelompok barang pribadi
dan sandang lainnya yang disebabkan oleh perlambatan kenaikan harga pada
komoditas emas dunia yang berdampak pada pergerakan harga emas lokal.
Berdasarkan kota yang disurvey, inflasi kelompok sandang tertinggi masih
terjadi di Kota Dumai yaitu sebesar 4,69%, namun menurun signifikan
dibandingkan tahun sebelumnya (10,68%). Sementara, inflasi sandang di kota
Pekanbaru sebesar 3,41%, namun mengalami peningkatan dibandingkan
dengan tahun sebelumnya (6,33%).
2.2.5. Kelompok Kesehatan
Inflasi kelompok kesehatan
pada tahun 2012 tercatat
mengalami penurunan
dibandingkan dengan tahun
2011 yang lalu. Relatif
menurunnya tekanan inflasi
pada kelompok ini didorong
oleh minimnya tekanan inflasi
yang berasal dari
subkelompok jasa kesehatan dan subkelompok perawatan jasmani dan
Grafik 2. 10. Perkembangan IHK Kelompok Sandang (yoy)
Sumber : BPS, diolah
-2,00
2,00
6,00
10,00
14,00
18,00
22,00
26,00
30,00
2008 2009 2010 2011 2012
Sandang Laki-laki Sandang Wanita
Sandang Anak-anak Barang Pribadi dan Sandang Lain
SANDANG Emas Dunia (yoy)
Grafik 2.11. Perkembangan IHK Kelompok Kesehatan (yoy)
Sumber : BPS, diolah
0,00
4,00
8,00
12,00
16,00
20,00
2008 2009 2010 2011 2012
Jasa Kesehatan Obat-obatan
Jasa Perawatan Jasmani Perawatan Jasmani dan Kosmetika
KESEHATAN
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
35
kosmetika yang tercatat memiliki andil yang besar terhadap inflasi kelompok
kesehatan. Inflasi yang terjadi pada kelompok kesehatan di tahun 2012
utamanya hanya berasal dari peningkatan pada tarif rumah sakit.
Berdasarkan kota yang disurvey, kota Pekanbaru tercatat mengalami inflasi
tertinggi yaitu 5,17%, sementara di Kota Dumai inflasinya tercatat sebesar
2,40%. Inflasi kelompok kesehatan pada kedua kota tersebut tercatat
mengalami penurunan dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
2.2.6. Kelompok Pendidikan, Rekreasi dan Olahraga
Inflasi kelompok pendidikan
pada tahun 2012 relatif
berada pada yang tingkat
yang sama dibandingkan
dengan tahun sebelumnya.
Dilihat dari subkelompoknya
peningkatan yang signifikan
hanya terjadi pada
subkelompok rekreasi antara
lain berasal dari kenaikan
harga sepeda untuk anak-anak. Namun demikian kenaikan pada subkelompok
ini dikompensasi dengan penurunan tekanan inflasi pada subkelompok
pendidikan yang tercatat memiliki andil terbesar terhadap inflasi kelompok
pendidikan.
2.2.7. Kelompok Transpor, Komunikasi dan Jasa Kesehatan
Tekanan inflasi pada
kelompok transpor
tercatat mengalami
penurunan dibandingkan
dengan tahun
sebelumnya. Hal ini
utamanya didorong oleh
Grafik 2.12. Perkembangan IHK Kelompok Pendidikan (yoy)
Sumber : BPS, diolah
-2,00
2,00
6,00
10,00
14,00
18,00
22,00
26,00
2008 2009 2010 2011 2012
Pendidikan Kursus-kursus/Pelatihan
Perlengkapan/Peralatan Pendidikan Rekreasi
Olahraga PENDIDIKAN, REKREASI DAN OLAH RAGA
Grafik 2.13. Perkembangan IHK Kelompok Transpor (yoy)
Sumber : BPS, diolah
-12,00
-8,00
-4,00
0,00
4,00
8,00
12,00
16,00
2008 2009 2010 2011 2012
TransporKomunikasi Dan PengirimanSarana dan Penunjang TransporJasa KeuanganTRANSPOR,KOMUNIKASI DAN JASA KEUANGAN
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
36
menurunnya tekanan inflasi dari subkelompok transpor dan subkelompok
sarana dan penunjang transpor. Subkelompok transpor tercatat memiliki andil
terbesar terhadap inflasi kelompok transpor. Berdasarkan kota yang disurvey,
penurunan inflasi terjadi pada Kota Pekanbaru, dan tercatat memberikan
sumbangan yang berarti. Sementara inflasi kelompok transportasi di Kota
Dumai mengalami peningkatan dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
3. INFLASI TRIWULANAN (QTQ)
Tekanan inflasi Riau pada
triwulan laporan tercatat
mengalami penurunan bila
dibandingkan dengan
triwulan sebelumnya yaitu
dari 1,03% menjadi 0,68%.
Kondisi yang sama juga
terjadi pada inflasi nasional
(0,77%), maupun Sumatera
(0,67%), dimana tekanan
inflasi tercatat mengalami penurunan dibandingkan dengan triwulan
sebelumnya. Koordinasi yang intensif oleh TPID Riau, TPID Pekanbaru dan TPID
Dumai dengan instansi terkait diperkirakan menjadi salah satu pendorong
menurunnya tekanan inflasi Riau pada triwulan laporan.
Berdasarkan kota yang disurvey di Provinsi Riau, inflasi tertinggi terjadi di Kota
Dumai yaitu sebesar 0,82%, namun tekanannya mengalami penurunan yang
berarti dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang mencapai 1,66%.
Selanjutnya, seperti halnya Kota Dumai, maka tekanan inflasi di Kota
Pekanbaru juga mengalami penurunan yaitu dari 0,89% menjadi 0,66%.
Menurunnya tekanan inflasi pada kelompok noncore (inti dan administered
price) menjadi faktor utama menurunnya inflasi Riau selama triwulan laporan.
Di sisi lain, komponen inflasi IHK lainnya yaitu inflasi volatile food mengalami
sedikit peningkatan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya.Meningkatnya
Grafik 2.14. Grafik Perkembangan Inflasi Riau, Sumatera & Nasional secara Triwulanan (qtq)
Sumber : BPS, diolah
3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
2010 2011 2012
P.baru 1,70 0,30 0,79 1,72 1,83 2,48 1,51 -0,3 2,30 1,50 0,66 1,10 0,89 0,66
Dumai 3,52 -1,1 0,26 2,60 2,21 3,71 -0,2 -0,3 2,56 1,08 -0,5 1,28 1,66 0,82
Nasional 2,07 0,49 0,99 1,41 2,79 1,59 2,25 2,23 2,88 1,76 2,33 1,96 1,68 0,77
Riau 2,04 0,03 0,69 1,89 1,90 2,71 1,18 -0,3 2,35 1,43 0,43 1,13 1,03 0,68
Sumatera 2,80 0,16 0,91 1,97 2,12 2,62 0,58 0,09 2,74 0,55 0,35 1,29 1,16 0,67
-2,00
-1,00
0,00
1,00
2,00
3,00
4,00
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
37
inflasi pada kelompok volatile food didorong oleh inflasi pada komoditas beras
dan daging ayam ras.
Relatif terkendalinya inflasi Kota Pekanbaru pada triwulan IV-2012 didorong
oleh deflasi yang terjadi pada komoditas cabe merah, minyak goreng dan
beberapa jenis ikan. Sementara itu, peningkatan harga/biaya tukang, beras,
rokok, daging sapi dan daging ayam ras telah menahan laju penurunan inflasi
pada tingkat yang lebih rendah lagi.
Selanjutnya, rendahnya inflasi yang terjadi di Kota Dumai pada triwulan
laporan didorong oleh deflasi yang terjadi pada komoditas ikan, sepeda
motor,dan batu bata/tela. Sementara itu, seperti halnya di Kota Pekanbaru
peningkatan harga pada komoditas beras, rokok, dan daging ayam ras juga
telah menahan laju penurunan inflasi Kota Dumai selama triwulan laporan.
Tabel 2.3. Komoditas dengan Kontribusi Inflasi Tertinggi selama Triwulan IV-2012 (qtq)
Sumber : BPS, diolah
3.1. Inflasi Kelompok Barang dan Jasa
Berdasarkan kelompok barang dan jasa yang disurvey di Provinsi Riau, maka
inflasi tertinggi terjadi pada kelompok perumahan yaitu sebesar 1,32%.
Kelompok ini juga tercatat memberikan sumbangan tertinggi terhadap inflasi
triwulan IV-2012. Di sisi lain, kelompok transportasi tercatat mengalami inflasi
terendah (-0,07%), dan juga tercatat memberikan sumbangan deflasi
terhadap inflasi Riau triwulan IV-2012.
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
38
Tabel 2.4. Perkembangan Inflasi Kelompok Barang dan Jasa (qtq)
Sumber : BPS, diolah
3.1.1. Kelompok Bahan Makanan
Pada triwulan IV-2012, inflasi kelompok bahan makanan tercatat mengalami
peningkatan yaitu dari -0,45% menjadi 0,29%. Inflasi kelompok bahan
makanan berasal dari peningkatan harga di Kota Dumai, sementara kelompok
bahan makanan di Kota Pekanbaru tercatat stabil. Berdasarkan
subkelompoknya, peningkatan inflasi pada subkelompok padi dan
subkelompok daging telah mendorong terjadinya inflasi kelompok bahan
makanan pada triwulan laporan.
Grafik 2.15. Perkembangan Inflasi Kelompok Bahan Makanan (qtq)
Sumber : BPS, diolah Sumber : Perindag Pekanbaru
Berdasarkan komoditasnya, Inflasi kelompok bahan makanan tersebut
didorong oleh meningkatnya harga-harga komoditas beras, daging ayam ras
dan bawang merah dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Kenaikan
harga daging sapi tersebut didorong oleh masih terbatasnya pasokan di pasar
meskipun pemerintah telah melakukan penambahan kuota impor. Sementara
itu, kenaikan harga Day Old Chicken (DOC) pada sentra utama telah
mendorong meningkatnya harga komoditas daging ayam ras.
-40,00
-30,00
-20,00
-10,00
0,00
10,00
20,00
30,00
40,00
50,00
60,00
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
2010 2011 2012
BAHAN MAKANANPadi-padian, Umbi-umbian dan HasilnyaDaging dan Hasil-hasilnyaBumbu - bumbuanLemak dan Minyak
-
5.000
10.000
15.000
20.000
25.000
-10.000 20.000 30.000 40.000 50.000 60.000 70.000 80.000 90.000
100.000
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
2012Cabe Merah (kiri) Daging sapi (kiri) Beras
Daging Ayam Ras Bwg Merah
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
39
Di sisi lain, penurunan harga pada komoditas cabe merah dan minyak goreng
tercatat mampu meredam laju peningkatan inflasi kelompok bahan makanan
pada triwulan laporan. Menurunnya harga cabe merah terjadi seiring dengan
terjaganya pasokan, sementara penurunan harga CPO selama triwulan laporan
telah mendorong penurunan harga minyak goreng.
3.1.2. Kelompok Makanan Jadi, Minuman, Rokok & Tembakau
Inflasi kelompok makanan jadi
tercatat tidak mengalami
perubahan yang signifikan
dibandingkan dengan
triwulan sebelumnya yaitu
dari 1,30% menjadi 1,24%.
Kondisi yang relatif sama juga
terjadi pada Kota Pekanbaru,
sementara untuk Kota Dumai,
inflasi kelompok makanan
jadi tercatat mengalami perubahan yang lebih berarti yaitu dari 0,99%
menjadi 1,49%. Namun mengingat kontribusi Kota Dumai yang relatif kecil
terhadap inflasi Riau, maka perubahan tersebut tidak terlalu memberikan
dampak yang besar terhadap tingkat inflasi kelompok makanan jadi di Riau.
Inflasi yang terjadi pada kelompok ini hanya berasal dari kenaikan harga
rokok, seiring dengan penyesuaian tarif cukai rokok oleh pemerintah.
Sementara itu deflasi yang terjadi pada komoditas gula pasir merupakan faktor
pendorong relatif tertahannya inflasi kelompok makanan jadi pada triwulan
laporan.
3.1.3. Kelompok Perumahan
Pada triwulan laporan, inflasi tertinggi berasal dari kelompok perumahan yaitu
mencapai 1,32%, namun tercatat mengalami sedikit penurunan bila
dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Inflasi kelompok ini juga tercatat
memberikan kontribusi tertinggi terhadap inflasi Riau selama triwulan laporan.
Berdasarkan Kota yang disurvey, penurunan terjadi pada kedua kota yang
Grafik 2.16. Inflasi Kelompok Makanan Jadi (qtq)
Sumber : BPS, diolah
-2,00
-1,00
0,00
1,00
2,00
3,00
4,00
5,00
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
2010 2011 2012
MAKANAN JADI, MINUMAN, ROKOK & TEMBAKAUMakanan JadiMinuman yang Tidak BeralkoholTembakau dan Minuman Beralkohol
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
40
disurvey, dengan penurunan
tertinggi terjadi pada Kota
Dumai yaitu dari 2,30%
menjadi 0,13% pada triwulan
laporan. Sementara kelompok
perumahan di Kota Pekanbaru
relatif tidak mengalami
perubahan yang berarti yaitu
dari 1,64% menjadi 1,57%.
3.1.4. Kelompok Sandang
Menurunnya tekanan
inflasi kelompok sandang
dibandingkan triwulan
sebelumnya yaitu dari
1,55% menjadi 0,76%
tidak terlepas dari telah
berakhirnya perayaan hari
Raya Idul Fitri. Harga-
barang-barang sandang
tercatat relatif stabil. Inflasi
Riau pada triwulan laporan hanya berasal dari peningkatan harga emas
perhiasan, namun peningkatan harga emas dunia pada triwulan laoran relatif
minim, sehingga tidak terlalu memberikan tekanan yang besar terhadap inflasi
kelompok sandang di Provinsi Riau.
3.1.5. Kelompok Kesehatan
Inflasi kelompok kesehatan pada triwulan IV-2012 tercatat sebesar 0,29%,
mengalami peningkatan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang
tercatat sebesar 0,11%. Seperti pada triwulan sebelumnya, inflasi tertinggi
terjadi di Kota Dumai yaitu sebesar 0,82%, dan inflasi kelompok kesehatan di
Kota Pekanbaru tercatat sebesar 0,19%. Berdasarkan komoditasnya, inflasi
Grafik 2.17. Inflasi Kelompok Perumahan (qtq)
Sumber : BPS, diolah
-1,00
0,00
1,00
2,00
3,00
4,00
5,00
6,00
7,00
8,00
9,00
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
2010 2011 2012
PERUMAHAN,AIR,LISTRIK,GAS & BAHAN BAKAR
Biaya Tempat Tinggal
Bahan Bakar, Penerangan dan Air
Perlengkapan Rumahtangga
Penyelenggaraan Rumahtangga
Grafik 2.18. Inflasi Kelompok Sandang (qtq)
Sumber : BPS, diolah
-6,00
-4,00
-2,00
0,00
2,00
4,00
6,00
8,00
10,00
12,00
14,00
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
2010 2011 2012
SANDANG
Sandang Laki-laki
Sandang Wanita
Sandang Anak-anak
Barang Pribadi dan Sandang Lain
Emas Dunia (qtq)
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
41
kelompok kesehatan berasal
dari kenaikan harga
komoditas bedak, obat
dengan resep dan pasta
gigi.
3.1.6. Kelompok Pendidikan, Rekreasi dan Olahraga
Telah berakhirnya masa
persiapan tahun ajaran
baru menjadi penyebab
penurunan yang signifikan
pada inflasi kelompok
pendidikan, yaitu dari
5,19% menjadi 0,10%.
Berdasarkan komoditasnya,
peningkatan utamanya
didorong oleh inflasi pada
biaya kursus musik dan kursus komputer. Kedua komponen ini pada triwulan
sebelumnya tercatat tidak mengalami inflasi.
3.1.7. Kelompok Transpor, Komunikasi dan Jasa Kesehatan
Pada triwulan laporan,
kelompok transpor tercatat
mengalami deflasi sebesar
0,07%, setelah mengalami
inflasi sebesar 0,58% pada
triwulan sebelumnya.
Menurunnya tingkat harga
Grafik 2.19. Inflasi Kelompok Kesehatan (qtq)
Sumber : BPS, diolah
-2,00
0,00
2,00
4,00
6,00
8,00
10,00
12,00
14,00
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
2010 2011 2012
KESEHATAN
Jasa Kesehatan
Obat-obatan
Jasa Perawatan Jasmani
Perawatan Jasmani dan Kosmetika
Grafik 2.20. Inflasi Kelompok Pendidikan (qtq)
Sumber : BPS, diolah
-2,00
0,00
2,00
4,00
6,00
8,00
10,00
12,00
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
2010 2011 2012
PENDIDIKAN, REKREASI DAN OLAH RAGAPendidikanKursus-kursus / PelatihanPerlengkapan / Peralatan PendidikanRekreasiOlahraga
Grafik 2.21. Inflasi Kelompok Transpor (qtq)
Sumber : BPS, diolah
-2,00
0,00
2,00
4,00
6,00
8,00
10,00
12,00
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
2010 2011 2012
PENDIDIKAN, REKREASI DAN OLAH RAGAPendidikanKursus-kursus / PelatihanPerlengkapan / Peralatan PendidikanRekreasiOlahraga
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
42
pada kelompok ini didorong oleh penurunan pada subkelompok transpor yang
berasal dari penurunan harga bensin yaitu untuk jenis pertamax. Di Kota
Pekanbaru komoditas bensin mengalami deflasi sebesar 0,11%, sementara di
Kota Dumai tercatat mengalami deflasi sebesar 0,09%.
3.1. Disagregasi Inflasi
Pada triwulan laporan,
menurunnya inflasi Rau
secara umum disebabkan
oleh menurunnya tekanan
inflasi dari komponen
inflasi inti (core) dan
inflasi administered price
dibandingkan dengan
triwulan sebelumnya. Sementara, komponen inflasi IHK lainnya yaitu inflasi
volatile food mengalami sedikit peningkatan dibandingkan dengan triwulan
sebelumnya. Meningkatnya inflasi pada kelompok volatile food didorong oleh
inflasi pada komoditas beras dan daging ayam ras.
3.1.1. Inflasi Inti
Pada triwulan laporan, inflasi inti Riau menunjukkan penurunan setelah
mengalami peningkatan pada triwulan sebelumnya. Penurunan inflasi inti
terjadi pada kedua kota yang disurvey di Riau yaitu Kota Pekanbaru dan Kota
Dumai, meskipun secara triwulanan nili tukar rupiah mengalami depresiasi.
Grafik 2.23 PerkembanganNilai Tukar dan Inflasi Inti Riau (qtq)
Sumber : BPS, diolah
0,00
0,50
1,00
1,50
2,00
2,50
3,00
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
2009 2010 2011 2012
Pekanbaru
Dumai
Riau
Grafik 2.22. Inlasi IHK dan Disagregasi Inflasi Riau (qtq)
Sumber : BPS, diolah
(6,00)
(4,00)
(2,00)
-
2,00
4,00
6,00
8,00
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
2010 2011 2012
Core
Volatile Food
Administered Price
IHK
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
43
3.1.2. Inflasi Volatile Food
Berbeda dengan kondisi tahunan, inflasi volatile food Riau secara triwulanan
menunjukkan peningkatan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya.
Namun, berdasarkan kota yang disurvey, peningkatan hanya terjadi pada Kota
Pekanbaru, sementara inflasi volatile food di Kota Dumai cenderung berada
pada tingkat yang stabil. Berdasarkan komoditas yang disurvey, inflasi yang
terjadi pada komponen volatile food utamanya berasa dari peningkatan harga
beras, baik di Kota Pekanbaru maupun Kota Dumai. Namun demikian,
menurunnya harga cabe merah, mampu menahan laju peningkatan inflasi
volatile food yang terjadi pada triwulan laporan.
Grafik 2.24. Perkembangan Rata-rata Harga Beras dan Cabe Merah di Pekanbaru
Grafik 2.25. Perkembangan Inflasi Volatile Food Riau (qtq)
Sumber : Disperindag Pekanbaru, diolah Sumber : BPS, diolah
3.1.3. Inflasi Administered Price
Peningkatan harga rokok sebagai
dampak dari penyesuaian cukai
rokok oleh pemerintah
merupakan faktor pendorong
terjadinya inflasi kelompok
administred price pada triwulan
laporan. Namun demikian,
peningkatan harga rokok
tersebut belum dapat mendorong peningkatan inflasi pada kelompok
administered price secara umum selama triwulan laporan. Hal ini disebabkan
oleh deflasi yang terjadi pada komoditas bensin yaitu pertamax turut
memberikan sumbangan yang berarti.
9.000
9.200
9.400
9.600
9.800
10.000
10.200
10.400
-
5.000
10.000
15.000
20.000
25.000
30.000
35.000
40.000
45.000
50.000
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
2012
Cabe Merah
Beras
-6,00
-4,00
-2,00
0,00
2,00
4,00
6,00
8,00
10,00
12,00
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
2009 2010 2011 2012
Pekanbaru
Dumai
Riau
Grafik 2.26. Inflasi Administered Price (qtq)
Sumber : BPS, diolah
-1,00
-0,50
0,00
0,50
1,00
1,50
2,00
2,50
3,00
3,50
4,00
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
2010 2011 2012
Pekanbaru
Dumai
Riau
Determinan Surplus-Defisit Bahan Pangan Strategis
di Provinsi Riau : Pendekatan Model Data Panel Spasial
Ketahanan pangan merupakan salah satu isu paling strategis dalam pembangunan nasional
karena terkait erat dengan ketahanan sosial, stabilitas politik, ketahanan nasional, serta
stabilitas ekonomi. Aspek fundamental dalam membangun ketahanan pangan adalah
ketersediaan pangan dalam jumlah dan kualitas yang memadai dalam jangka panjang
khususnya melalui perbaikan manajemen cadangan pangan. Kondisi tersebut merupakan
salah satu faktor penting bagi pemerintah guna melakukan kebijakan penyediaan bahan
pangan secara konsisten guna menciptakan stabilitas perekonomian dalam negeri.
Dalam konteks ketahanan pangan , cadangan pangan berfungsi utama sebagai sumber
pasokan untuk mengisi kesenjangan antara produksi dan kebutuhan masyarakat,
termasuk untuk mengantisipasi masalah rawan pangan, seperti kekurangan pangan dan
keadaan darurat. Pengelolaan cadangan pangan yang baik menjadi sangat penting dalam
upaya mewujudkan ketersediaan pangan yang cukup bagi seluruh penduduk dan
mengupayakan agar setiap rumah tangga mampu mengakses pangan sesuai
kebutuhannya1.
Cadangan pangan harus dapat terukur secara baik, sehingga dapat memudahkan untuk
melakukan perencanaan dan pelaksanaan program ketahanan pangan. Namun,
realitanya data/informasi mengenai cadangan pangan nasional daerah secara umum belum
tersedia dengan baik. Bahkan data tersebut cenderung mengalami bias/polemik karena
data stok yang relatif akurat tidak tersedia. Ketidakpastian data/informasi ini dapat
menimbulkan ekses yang negatif, seperti: penimbunan, atau tindakan spekulasi lainnya, yang
pada gilirannya berdampak pada kenaikan harga yang cenderung berlebihan (eksesif).
Sebagai ilustrasi, pada tahun 2011, produksi gabah kering giling (gkg) mencapai 65,4 juta
ton (37 juta ton beras dengan laju konversi 0,57). Apabila konsumsi beras diperkirakan
sebesar 113,5 kg per kapita, maka total konsumsi beras untuk 237,6 juta penduduk
Indonesia seharusnya sebesar 27 juta ton. Berdasarkan data tersebut, maka Indonesia
seharusnya mengalami surplus beras sebanyak 10 juta ton. Namun, fakta menunjukkan
bahwa Indonesia mengimpor beras sebanyak 2 juta ton (Arifin, 2011).2
Sebagai negara kepulauan yang mempunyai karakteristik yang beragam, dapat diduga
tidak semua daerah dapat mencukupi semua kebutuhannya sendiri (swasembada) pangan.
1Sumber: Departemen Pertanian (2005). 2 Arifin, Bustanul. 2011. “Ketahanan Pangan dan Pengendalian Harga”.
Boks 1
Hal ini disebabkan karena kurangnya dukungan sumber daya alam maupun karena faktor
lainnya, seperti inefisiensi. Oleh karena itu, peran perdagangan antar daerah akan menjadi
sangat penting terutama dalam memfasilitasi ketahanan pangan daerah pada khususnya,
dan perekonomian nasional pada umumnya.
Provinsi Riau merupakan salah satu tulang punggung perekonomian nasional. Wilayah Riau
terdiri atas 12 kabupaten/kota yang terletak berada pada bagian tengah Pulau Sumatera
yang membentang di lereng kaki pegunungan Bukit Barisan sampai ke laut Cina Selatan.
Dengan posisi geografis tersebut, wilayah ini setidaknya mempunyai posisi yang strategis
dalam perekonomian nasional dan Sumatera. Nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
Riau pada tahun 2012 mencapai Rp469,07 triliun atau berada pada tingkat ke-5 di tingkat
nasional dengan kontribusi sebesar 5,7% terhadap pembentukan PDRB nasional. Secara
umum, sektor migas memiliki peran yang cukup dominan terhadap perkembangan PDRB di
Provinsi Riau meskipun trendnya cenderung menurun dari 43% pada tahun 2004 hingga
menjadi sebesar 37% pada tahun 2012.
Meskipun memiliki kekuatan ekonomi yang besar, namun ketersediaan pasokan bahan
pangan seperti beras dan cabe merah cenderung sangat minim. Pada tahun 2010,
kebutuhan beras di Provinsi Riau mencapai 770 ribu ton sedangkan produksinya mencapai
638 ribu ton. Dengan perkembangan tersebut, maka Provinsi Riau mengalami defisit
pasokan beras setiap tahunnya mencapai 225 ribu ton. Sementara itu, kebutuhan Cabe
merah di Riau pada tahun 2010 mencapai 28.879 ton dengan jumlah produksi lokal
mencapai 10.575 ton. Artinya pasokan Cabe merah di Provinsi Riau mengalami defisit
sebanyak 18.304 ton atau merupakan yang tertinggi di kawasan Sumatera. Dengan
demikian, dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa Provinsi Riau merupakan wilayah
dengan kategori defisit pangan.
Tabel 1. Kebutuhan dan Produksi Beras di
Sumatera (ribu ton) Tahun 2010
Tabel 2. Kebutuhan dan Produksi Cabe Merah
di Sumatera (ton) Tahun 2010
Sumber : BPS, Dinas Tanaman Pangan Asumsi : konsumsi beras 139 Kg per kapita / tahun
Sumber : BPS, Dinas Tanaman Pangan Asumsi : konsumsi Cabe 5,21kg per kapita/tahun
Provinsi PendudukKebutuhan
Beras
Produksi
Beras
Surplus/
Defisit
Aceh 4.486.570 624 1.628 1.004
Sumatera Utara 12.985.075 1.805 3.587 1.782
Sumatera Barat 4.845.998 674 2.192 1.519
Riau 5.543.031 770 546 (225)
Jambi 3.088.618 429 658 229
Kepulauan Riau 1.685.698 234 1 (233)
Sumatera Selatan 7.446.401 1.035 3.249 2.214
Bengkulu 1.713.393 238 512 274
Lampung 7.596.115 1.056 2.702 1.646
Kep. Bangka Belitung 1.223.048 170 26 (144)
SUMATERA 50.613.947 7.035 15.100 8.065
Provinsi PendudukKebutuhan
Cabai
Produksi
Cabai
Surplus/
DefisitAceh 4.486.570 23.375 32.832 9.457
Sumatera Utara 12.985.075 67.652 145.960 78.308
Sumatera Barat 4.845.998 25.248 39.151 13.903
Riau 5.543.031 28.879 10.575 (18.304)
Jambi 3.088.618 16.092 16.934 842
Kepulauan Riau 1.685.698 8.782 3.568 (5.214)
Sumatera Selatan 7.446.401 38.796 27.053 (11.743)
Bengkulu 1.713.393 8.927 44.973 36.046
Lampung 7.596.115 39.576 26.769 (12.807)
Kep. Bangka Belitung 1.223.048 6.372 5.509 (863)
SUMATERA 50.613.947 263.699 353.324 89.625
Untuk menduga kondisi ketersediaan bahan pangan pangan dan harga komoditas khususnya
beras, cabe merah dan bawang merah di Provinsi Riau maka dilakukan studi dengan
menggunakan model data panel spasial yang dikembangkan oleh Elhorst (2003, 2010).3
Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa harga komoditas pertanian seperti beras, cabe
merah dan bawang merah pada masing-masing kabupaten/kota dipengaruhi secara signifikan
oleh variabel produktivitas lahan, pendapatan riil, biaya input, kondisi infrastruktur dan faktor
efek spasial4.
Dari hasil estimasi, diketahui bahwa faktor efek spasial sebagaimana terlihat dari variabel jarak
ekonomi memiliki tingkat elastisitas tertinggi dibandingkan variabel lainnya. Pada komoditas beras
dan bawang merah, kenaikan jarak antara masing-masing kabupaten/kota dengan kota referensi
sebesar 1% akan mendorong kenaikan harga beras dan bawang merah berkisar hingga
0,68%-0.90%. Kondisi ini diperkirakan tidak terlepas dari karakteristik Provinsi Riau yang berada
dalam wilayah defisit pangan sehingga distribusi pangan pokok hampir sebagian besar
didatangkan dari daerah sekitar.
Faktor lain disamping efek spasial yang juga diketahui memberikan pengaruh cukup dominan
terhadap kenaikan harga di masing-masing kabupaten/kota adalah kondisi infrastruktur.
Ssemakin menurunnya rasio jalan beraspal di masing-masing kabupaten/kota sebesar 1% akan
mendorong peningkatan harga beras sekitar 0,1%. Sementara, pada komoditas bawang merah
menurunnya rasio jalan beraspal sebesar 1% akan mendorong peningkatan harga di masing-
masing kabupaten/kota antara 0,13% sampai 0,67%.
Selanjutnya, faktor biaya input juga memberikan pengaruh signifikan terhadap kenaikan harga
komoditas pertanian di masing-masing kabupaten/kota. Faktor biaya input memiliki tingkat
elastisitas tertinggi pada komoditas cabe merah dibandingkan dengan komoditas beras dan
bawang merah. Kenaikan biaya input sebesar 1% akan meningkatkan harga cabe merah sekitar
0.15% hingga 0.26% di masing-masing kabupaten/kota. Sementara, pada komoditas pertanian
lainnya, kenaikan biaya input sebesar 1% akan meningkatkan harga antara 0,02% sampai
0,60%.
3 Spesifikasi model selengkapnya dalam Elhorst, J.P. 2003. “Specification and estimation of spatial panel data models”, International Regional Science Review 26: 244-268 dan Elhorst, J.P. 2010. “Applied spatial econometrics: raising the bar”, Spatial Economic Analysis 5: 9-28. Variabel (data sekunder) yang digunakan dakam penelitian diperoleh diperoleh dari Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura dan BPS Provinsi Riau, meliputi 12 Kabupaten/Kota dalam rentang waktu triwulan I-2003 sampai triwulan IV-2010. Penentuan jarak atau matriks spasial menggunakan perangkat lunak Arc GIS dan Geoda. Mengingat adanya keterbatasan data stok di tiap kabupaten/kota, maka proksi variabel stok menggunakan harga jual.
4 Efek spasial mengukur jarak antara kabupaten/kota di Provinsi Riau dengan sentra ekonomi, dalam penelitian ini adalah DKI Jakarta.
Kemudian, faktor pendapatan riil, pengaruh yang cukup signifikan ditemukan pada komoditas
cabe merah dan bawang merah dimana hasil estimasi menunjukkan jika terjadi kenaikan
pendapatan riil sebesar 1% maka akan menyebabkan kenaikan harga cabe merah dan bawang
merah masing-masing berkisar 0.02% sampai 0.03%. Hal ini mengindikasikan bahwa jika terjadi
kenaikan pendapatan masyarakat di masing-masing daerah, maka akan berdampak positif
terhadap permintaan cabe merah dan bawang merah sehingga pada akhirnya berdampak
terhadap kenaikan harga. Secara implisit, kondisi ini menunjukkan bahwa komoditas pertanian di
luar beras bersifat barang normal.
Sementara itu, pada faktor produktivitas lahan, hasil estimasi menunjukkan bahwa jika terjadi
penurunan produktivitas sebesar 1% maka akan meningkatkan harga komoditas pada masing-
masing kabupaten/kota berkisar 0,02% baik pada komoditas beras maupun cabe merah.
Semakin menurunnya luas areal lahan tanaman pangan akan berdampak negatif terhadap harga
komoditas pangan di Riau. Kondisi ini juga tidak terlepas dari fakta di lapangan yang
menunjukkan terjadinya konversi lahan pertanian menjadi lahan perkebunan kelapa sawit dan
karet.
Grafik 1. Kondisi Surplus-Defisit Komoditas Pangan Strategis di Masing-Masing Kabupaten/Kota
Berdasarkan Hasil Estimasi Modal Data Panel Spasial
Sumber : Olahan data Keterangan : Sumbu Y merupakan ukuran surplus-defisit dimana nilai diatas 0 mengindikasikan adanya defisit pangan di suatu daerah.
Hasil studi ini juga menunjukkan (Grafik 1) bahwa secara umum daerah-daerah di Riau
mengalami defisit komoditas pangan strategis seperti beras, cabe merah dan bawang merah,
kecuali di Kabupaten Indragiri Hulu dan Indragiri Hilir. Hal ini juga sesuai dengan kondisi
dilapangan yang menunjukkan adanya kesenjangan antara kebutuhan dengan kemampuan
-0,005
0
0,005
0,01
0,015
0,02
0,025
beras cabe merah bawang merah
produksi (terutama seperti beras dan cabe merah) di Provinsi Riau. Berdasarkan Grafik 1. juga
diketahui bahwa Kabupaten Bengkalis merupakan daerah yang mengalami defisit komoditas
pertanian tertinggi dibandingkan dengan wilayah lainnya terutama untuk komoditas beras dan
bawang merah. Kondisi ini mengakibatkan harga komoditas pertanian di wilayah tersebut relatif
tinggi dibandingkan dengan wilayah lainnya.
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
44
1. Kondisi Umum
Kondisi perbankan Riau pada triwulan IV-2012 menunjukkan hal yang kurang
menggembirakan dibandingkan dengan triwulan III-2012. Beberapa indikator
utama perbankan seperti aset dan Dana Pihak Ketiga (DPK) pada triwulan
laporan menunjukkan penurunan. Sementara itu, dari sisi jumlah kredit yang
disalurkan masih terus mengalami peningkatan yang juga diikuti dengan
meningkatnya risiko kredit. Namun jika dilihat secara tahunan, indikator
Bab 3 PERKEMBANGAN PERBANKAN
DAN SISTEM PEMBAYARAN
DAERAH
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
45
perbankan pada akhir tahun menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan
jika dibandingkan dengan tahun 2011
2. Perkembangan Perbankan Riau
Setelah mengalami peningkatan yang cukup tinggi pada triwulan sebelumnya,
kegiatan usaha perbankan di Provinsi Riau pada triwulan laporan menunjukkan
penurunan. Kondisi ini tercermin dari menurunnya total aset perbankan Riau
sebesar 2,74% (qtq) hingga menjadi Rp73,39 triliun. Penurunan tersebut
utamanya bersumber dari menurunnya penghimpunan Dana Pihak Ketiga (DPK)
yakni dari Rp54,15 triliun pada triwulan III-2012 menjadi Rp52,94 triliun pada
triwulan IV-2012 atau mengalami kontraksi sebesar 2,24% (qtq).
Tabel 3.1. Perkembangan Indikator Perbankan Riau (dalam Rp Juta)
Di sisi lain, kredit yang disalurkan oleh perbankan Riau pada triwulan IV-2012
masih tetap menunjukkan kenaikan, yakni dari Rp42,58 triliun menjadi Rp44,15
triliun atau naik 3,68% (qtq). Sementara, dengan memperhitungkan kredit
berdasarkan lokasi proyek, jumlah kredit yang disalurkan per November 2012
tercatat sebesar Rp58,95 triliun atau turun 0,96% dibandingkan dengan
triwulan sebelumnya yang mencapai Rp59,53 triliun. Peningkatan realisasi kredit
yang diikuti dengan penurunan jumlah dana yang dihimpun telah menyebabkan
Loan to Deposit Ratio (LDR) perbankan Riau pada triwulan IV-2012 mengalami
kenaikan yakni dari menjadi sebesar 78,65% menjadi 83,41%. Namun, dengan
memperhitungkan lokasi proyek, LDR perbankan Riau tercatat mengalami
kenaikan yaitu dari 109,93% menjadi 111,37%. Di sisi risiko, rasio kredit
I II III IV yoy qtq
Jumlah Bank 75 77 78 79 79
- Bank Umum 44 44 45 45 45
- BPR 31 33 33 34 34
- Jaringan Kantor 619 624 634 650 676
Aset 60,672,880 67,436,092 69,835,127 75,452,605 73,387,482 20.96 -2.74
Kredit 36,700,480 38,070,338 40,992,444 42,585,913 44,152,190 20.30 3.68
Kredit Lokasi Proyek 51,090,943 51,475,647 54,197,279 59,527,235 58,954,331 15.39 -0.96
Dana Pihak Ketiga 45,562,890 49,165,494 51,007,244 54,149,092 52,937,080 16.18 -2.24
LDR 80.55% 77.43% 80.37% 78.65% 83.41%
LDR (lokasi proyek) 112.13% 104.70% 106.25% 109.93% 111.37%
NPL 2.05% 2.36% 2.50% 2.93% 3.05%
2012Pertumbuhan
Tw IV-2012 (%)2011Indikator
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
46
bermasalah atau Non Performing Loan(NPL) yang dialami perbankan Riau masih
berada di bawah batas yang ditetapkan oleh Bank Indonesia sebesar 5%.
Meskipun demikian, risikonya sedikit mengalami peningkatan dibandingkan
triwulan sebelumnya yaitu dari 2,93% menjadi 3,05%.
3. Perkembangan Bank Umum
3.1. Perkembangan Jaringan Kantor
Jumlah jaringan kantor bank umum di Riau pada triwulan laporan mengalami
kenaikan sebanyak 26 kantor, sehingga menjadi 676 kantor. Penambahan
jaringan kantor tersebut terjadi pada jumlah Kantor Cabang Pembantu
(23 unit), kantor kas (2 unit) dan lainnya (1 unit).
Sementara itu, pada tingkat
kabupaten/Kota, penyebaran
jaringan kantor bank umum
masih terpusat di Kota
Pekanbaru dengan jumlah
mencapai 252 jaringan diikuti
oleh Kabupaten Indragiri Hilir
dan Kota Dumai. Namun,
perbankan juga sudah mulai
melihat potensi ekonomi pada
kabupaten/kota lain di Provinsi
Riau sebagaimana tercermin
dari meningkatnya jumlah kantor bank di Kabupaten lain.
Tw I Tw II Tw III Tw IV
1. Jumlah Bank 44 44 45 45 45
- Pemerintah 6 6 6 6 6
- Swasta 29 29 29 29 29
- Asing 0 0 0 0 0
- Syariah 5 5 5 5 5
- Unit Usaha Syariah 4 4 5 5 5
2. Kantor Pusat 1 1 1 1 1
3. Kantor Cabang 83 84 85 86 86
- Pemerintah 43 43 43 44 44
- Swasta 40 41 42 42 42
- Asing 0 0 0 0 0
4. Kantor Cab.Pembantu 384 386 392 409 432
5. Kantor Kas 56 58 58 56 58
6. Lainnya *) 95 95 98 98 99
Jumlah 619 624 634 650 676
*) Kantor Wilayah, Payment point , Kantor Fungsional,
Kantor Layanan Syariah, Gerai, Kas Mobil
Keterangan2012
2011
Tabel 3.2. Perkembangan Jaringan Kantor Bank Umum
di Riau Triwulan IV-2012
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
47
Tabel 3.3. Perkembangan Jaringan Kantor Bank Umum Menurut Kab./Kota di Riau
Triwulan IV-2012
3.2. Perkembangan Aset
Aset bank umum di Riau pada triwulan IV-2012 tercatat sebesar
Rp72,35 triliun atau turun sebesar 2,81% dibandingkan dengan
triwulan III-2012. Penurunan ini disebabkan karena adanya perubahan
portofolio aset dari DPK ke penempatan antar bank dalam bentuk surat
berharga. Meskipun demikian, jika dilihat secara tahunan, aset bank umum
Riau masih mencatat perkembangan yang positif yakni tumbuh sebesar
21,39% (yoy), sedikit lebih rendah dibandingkan pertumbuhan triwulan
sebelumnya yang mencapai 25,39%.
Grafik 3.1. Perkembangan Aset Bank Umum di Provinsi Riau
Grafik 3.2. Perkembangan Pangsa Aset Bank Umum Menurut Kelompok
Berdasarkan kelompoknya, komposisi aset bank umum di Riau tidak
mengalami perubahan yang signifikan dibandingkan periode-periode
sebelumnya. Aset bank milik pemerintah masih memiliki pangsa terbesar
KP Kanwil KC KCP KK Lainnya Total1 Pekanbaru 1 1 50 127 29 44 252 2 Bengkalis - - 8 21 2 10 41 3 Dumai - - 2 41 2 3 48 4 Indragiri Hulu - - 2 33 3 8 46 5 Indragiri Hilir - - 5 43 5 10 63 6 Kampar - - 2 31 4 5 42 7 Kuantan Singingi - - 2 26 2 2 32 8 Pelalawan - - 2 27 2 2 33 9 Rokan Hulu - - 4 29 5 5 43
10 Rokan Hilir - - 4 22 2 4 32 11 Siak - - 2 25 1 3 31 12 Meranti - - 3 7 1 2 13
1 1 86 432 58 98 676
Jumlah Kantor Bank Umum di Kabupaten/Kota
Total
No. Kab./Kota
-
5,00
10,00
15,00
20,00
25,00
30,00
-
10,00
20,00
30,00
40,00
50,00
60,00
70,00
80,00
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV
2008 2009 2010 2011 2012
yo
y, %
Rp
tri
liun
Aset (kiri) Pertumbuhan (kanan)
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
100%
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV
2008 2009 2010 2011 2012
Pemerintah Swasta
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
48
dengan nilai mencapai Rp50,78 triliun atau sekitar 70% dari total aset bank
umum di Riau.
3.3. Kredit
3.3.1. Perkembangan Penyaluran Kredit
Pada triwulan IV-2012, kredit yang disalurkan bank umum di Riau mencapai
Rp43,44 triliun, atau meningkat sebesar 3,73% (qtq). Secara tahunan,
pertumbuhan kredit tercatat sebesar 20,40% atau lebih rendah dibandingkan
dengan triwulan III-2012 yang tercatat sebesar 24,56%. Menurut jenis
kelompok bank, komposisi penyaluran kredit bank umum di Riau masih
didominasi oleh kelompok bank milik pemerintah dengan nilai mencapai
Rp27,60 triliun (63,53%), sedangkan pada kelompok bank milik swasta
nilainya mencapai Rp15,84 triliun (36,47%). Sementara itu, dari sisi jenis
valuta, lebih dari 90% kredit yang disalurkan oleh bank umum di Riau
utamanya berupa mata uang Rupiah dengan nilai nominal sebesar
Rp42,01 triliun (Tabel 3.4).
Tabel 3.4. Posisi Kredit Bank Umum Di Provinsi Riau (dalam Rp juta)
3.3.2. Konsentrasi Kredit
Secara sektoral, kredit yang disalurkan bank umum utamanya masih
terkonsentrasi pada sektor perdagangan, hotel dan restoran dengan nilai
kredit mencapai Rp9,51 triliun atau porsinya sekitar 21,89% terhadap total
kredit. Dalam triwulan laporan, penyaluran kredit ke sektor ini mencatat
kenaikan sebesar 5,96% dengan tiga subsektor penggerak yakni kredit sub
sektor perdagangan eceran makanan (Rp1,23 triliun), kredit sub sektor
perdagangan mobil (Rp456,01 miliar) dan kredit sub sektor perdagangan
kelapa (Rp437,82 miliar). Ketiga sub sektor tersebut tercatat memberikan
I II III IV yoy qtq
A. Kelompok Bank 1. Bank Pemerintah 23,295,168 24,077,457 25,791,245 26,708,895 27,600,241 18.48 3.34 2. Bank Swasta 12,787,764 13,337,413 14,511,924 15,172,473 15,843,419 23.90 4.42
B. V a l u t a 1. Rupiah 34,748,115 35,966,424 38,734,053 40,326,516 42,008,274 20.89 4.17 2. Valas 1,334,816 1,448,445 1,569,115 1,554,851 1,435,386 7.53 -7.68
T o t a l 36,082,931 37,414,869 40,303,168 41,881,367 43,443,660 20.40 3.73
Pertumbuhan (%)2011
2012Keterangan
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
49
sumbangan sebesar 34,62% terhadap kenaikan (qtq) kredit sektor
perdagangan di Riau. Sementara itu, kredit sub sektor perdagangan eceran
keliling yang juga memiliki pangsa cukup besar (Rp1,02 triliun) mengalami
penurunan sebesar 0,82% dibandingkan dengan triwulan sebelumnya.
Sektor lain yang juga tercatat menyerap kredit cukup besar adalah sektor
pertanian, dimana sebagian besar kredit diserap oleh sub sektor perkebunan
kelapa sawit dengan nilai mencapai Rp6,91 triliun dan jumlahnya naik 7,46%
(qtq). Masih tingginya konsentrasi penyaluran kepada sub sektor perkebunan
kelapa sawit diperkirakan tidak terlepas dari adanya kegiatan peremajaan
tanaman kelapa sawit yang membutuhkan dana cukup besar serta tingginya
minat pelaku usaha dalam melakukan ekspansi usaha melalui peningkatan
luas tanam.
Tabel 3.5. Kredit Menurut Sektor Ekonomi di Provinsi Riau (Rp juta)
Ditinjau dari segi pertumbuhannya, penyaluran kredit sektor konstruksi masih
mengalami pertumbuhan tertinggi dibandingkan dengan sektor lainnya yakni
sebesar 19,47% (qtq) atau mencapai 55,41% (yoy). Kondisi ini diperkirakan
tidak terlepas dari pesatnya pembangunan infrastruktur di Riau terutama
seperti pembangunan tempat penginapan, gedung perbelanjaan dan
perumahan sederhana.
Sementara itu, berdasarkan jenis penggunaannya, penyaluran kredit produktif1
masih tetap mendominasi dengan nilai sebesar Rp27,45 triliun atau mencapai
63,20% dari total kredit yang disalurkan dan tumbuh sebesar 4,27% (qtq) dan
1 Terdiri dari Kredit Modal Kerja dan Kredit Investasi
I II III IV yoy qtq
1 Pertanian 6,662,578 6,936,742 7,548,586 8,327,232 9,012,129 35.26 8.22
2 Pertambangan 355,058 244,627 251,149 271,420 261,265 -26.42 -3.74
3 Perindustrian 1,763,623 1,758,769 1,870,186 1,740,050 1,421,502 -19.40 -18.31
4 Listrik, Gas dan Air 103,376 107,313 103,605 103,179 97,665 -5.52 -5.34
5 Konstruksi 983,619 895,840 977,907 1,279,529 1,528,632 55.41 19.47
6 Perdag., Resto. & Hotel 7,798,914 7,935,746 8,792,084 8,975,364 9,510,652 21.95 5.96
7 Pengangkutan 1,109,161 1,191,996 1,361,472 1,242,420 1,410,383 27.16 13.52
8 Jasa-jasa 3,065,079 3,070,879 3,366,105 3,673,582 3,691,311 20.43 0.48
9 Lain-lain 14,241,524 15,272,958 16,032,076 16,267,323 16,509,030 15.92 1.49
36,082,932 37,414,869 40,303,169 41,880,098 43,442,568 20.40 3.73Jumlah
Pertumbuhan (%)No. Sektor Ekonomi
20122011
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
50
19,69%. Sementara kredit konsumsi tercatat sebesar Rp19,89 triliun atau naik
2,82% (qtq) dan 21,63% (yoy).
DIlihat dari jenis komponennya, Kredit Modal Kerja (KMK) yang disalurkan
pada triwulan IV-2012 tercatat sebesar Rp15,20 triliun atau tumbuh sebesar
19,42% (yoy). Sedangkan Kredit Investasi (KI) mencapai Rp12,25 triliun atau
tumbuh sebesar 20,03% (yoy). Relatif tingginya pertumbuhan KI di Riau
diperkirakan tidak terlepas karena masih kuatnya daya tahan perekonomian
Riau di tengah arus krisis ekonomi global sehingga mampu mendorong
peningkatan investasi yang dibiayai dari kredit.
Grafik 3.3. Perkembangan Pangsa Kredit Menurut Jenis Penggunaan
Grafik 3.4. Pertumbuhan (yoy,%) Kredit Menurut Jenis Penggunaan
Sementara itu, jika dilihat berdasarkan lokasi proyek, maka total realisasi kredit
Riau per November 2012 telah mencapai Rp58,95 triliun atau turun 0,96%
dibandingkan triwulan sebelumnya. Berdasarkan daerahnya, kredit lokasi
proyek yang diserap di Provinsi Riau sebagian besar masih terkonsentrasi di
Kota Pekanbaru dengan nilai mencapai Rp24,39 triliun dan meningkat 2,79%
dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Wilayah lain yang tercatat
menyerap kredit cukup tinggi adalah Kota Dumai dan Kabupaten Indragiri
Hulu dengan nilai masing-masing mencapai Rp6,28 triliun dan Rp3,74 triliun.
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
100%
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV
2009 2010 2011 2012
Modal Kerja Investasi Konsumsi
-
5
10
15
20
25
30
35
40
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV
2009 2010 2011 2012
yoy,%
Pertumb. MK Pertumb. Inv
Pertumb. Kons Total
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
51
Tabel 3.6. Distribusi Penyaluran Kredit Lokasi Proyek Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Riau (Rp juta)
3.3.3. Penyaluran Kredit UMKM
Penyaluran kredit kepada Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) oleh bank
umum di Riau pada triwulan IV-2012 mencapai Rp15,63 triliun atau
meningkat sebesar 7,31% (qtq) dan 16,38% (yoy). Pangsa kredit ini mencapai
35,98% dari total kredit bank umum di Riau, namun menurun jika
dibandingkan dengan tahun 2011 (37,22%). Secara spesifik, jika dilihat
menurut skala usahanya, kredit yang disalurkan sebagian besar diserap oleh
usaha kecil dengan nilai kredit sebesar Rp6,06 triliun, diikuti oleh skala usaha
menengah dan mikro masing-masing sebesar Rp5,72 triliun dan Rp3,84 triliun.
Relatif besarnya penyaluran kredit UMKM di Riau mengimplikasikan tingginya
kepedulian perbankan Riau dalam mendukung kemajuan sektor UMKM.
Tabel 3.7. Perkembangan Kredit UMKM di Provinsi Riau (Rp juta)
Ket : Kriteria UMKM mengikuti UU No.20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah
Dilihat secara sektoral, kredit UMKM yang disalurkan oleh bank umum di Riau
utamanya diserap ke sektor perdagangan dan pertanian (Tabel 3.8). Pada
sektor perdagangan, penyaluran kredit UMKM utamanya diserap oleh sub
sektor perdagangan eceran keliling dan perdagangan yang didominasi oleh
makanan, minuman dan tembakau masing-masing sebesar Rp1,02 triliun dan
Rp1,09 triliun. Selanjutnya, sektor UMKM yang juga cukup besar adalah sektor
I II III Nov ytd qtq
1 Pekanbaru 21,666,041 22,011,832 22,618,110 23,736,541 24,397,882 12.61 2.79
2 Bengkalis 3,395,686 3,219,482 3,274,797 3,317,323 3,413,266 0.52 2.89
3 Dumai 4,719,193 4,734,703 5,159,444 7,342,889 6,287,121 33.22 -14.38
4 Indragiri Hilir 2,258,084 2,180,437 2,267,220 2,425,193 2,459,965 8.94 1.43
5 Indragiri Hulu 3,606,247 3,576,043 3,740,232 3,751,049 3,740,086 3.71 -0.29
6 Lainnya 15,445,692 15,753,150 17,137,476 18,954,239 18,656,010 20.78 -1.57
51,090,943 51,475,647 54,197,279 59,527,234 58,954,330 15.39 (0.96) Jumlah
No Kab./Kota2012
2011Pertumbuhan (%)
I II III IV yoy qtq
Mikro 2,204,853 3,112,386 3,313,470 3,545,514 3,617,892 3,843,216 23.48 6.23
Kecil 4,797,283 5,448,902 5,640,244 5,935,445 5,787,787 6,057,104 11.16 4.65
Menengah 3,175,997 4,868,783 4,955,899 5,364,799 5,160,074 5,729,879 17.69 11.04
Kredit MKM 10,178,133 13,430,070 13,909,612 14,845,758 14,565,754 15,630,199 16.38 7.31
NPL MKM 3.24% 2.40% 3.06% 3.16% 3.80% 4.03%
Total Kredit 29,194,961 36,082,932 37,414,869 40,303,169 41,881,367 43,443,660 20.40 3.73
(% terhadap Total Kredit) 34.86% 37.22% 37.18% 36.84% 34.78% 35.98%
Pertumbuhan (%)2011Skala Usaha
20122010
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
52
pertanian (78,53%) yaitu digunakan untuk sub sektor kelapa sawit seiring
dengan masih cerahnya prospek perkebunan kelapa sawit di Provinsi Riau.
Sementara itu dilihat dari penggunaannya, Kredit UMKM utamanya diserap
dalam bentuk kredit modal kerja yakni sebesar Rp10,77 triliun dan sisanya
merupakan kredit investasi yakni sebesar Rp4,85 triliun. Penyaluran kredit
modal kerja kepada UMKM di Riau tercatat meningkat sebesar 17,88% (yoy)
dan penyaluran kredit investasi sebesar 13,19% (yoy).
Tabel 3.8. Sebaran Kredit UMKM menurut Sektor Ekonomi (Rp juta)
3.3.4. Kelonggaran Tarik
Jumlah kredit yang belum dicairkan (undisbursed loan) pada triwulan laporan
tercatat sebesar Rp3,74 triliun (sekitar 8,62% dari total kredit), turun sebesar
2,93% (Rp113,04 miliar) dibandingkan dengan triwulan sebelumnya.
Sebagian besar kredit yang belum dicairkan tersebut masih terdapat pada
kelompok bank milik swasta dengan nilai sebesar Rp2,34 triliun dan jumlahnya
mengalami kenaikan sebesar 4,56% (Rp272,88 miliar) dibandingkan triwulan
sebelumnya.
Jumlah Pangsa yoy qtq
1 Pertanian 3,559,782 3,693,996 3,962,481 4,385,602 4,717,083 30.2% 32.51 7.56
2 Pertambangan 40,231 44,578 80,070 72,619 86,353 0.6% 114.6 18.9
3 Perindustrian 415,450 417,929 455,196 307,591 323,321 2.1% (22.2) 5.1
4 Listrik, Gas dan Air 7,964 6,786 6,618 9,398 8,913 0.1% 11.9 (5.2)
5 Konstruksi 475,643 463,482 528,375 629,279 687,217 4.4% 44.5 9.2
6 Perdag., Resto. & Hotel 6,025,879 6,093,857 6,593,722 6,703,088 7,188,246 46.0% 19.3 7.2
7 Pengangkutan 512,506 519,095 540,282 430,095 638,027 4.1% 24.5 48.3
8 Jasa-jasa 1,296,335 1,330,393 1,405,148 1,310,834 1,460,101 9.3% 12.6 11.4
9 Lain-lain 1,096,280 1,339,496 1,273,865 717,249 520,938 3.3% (52.5) (27.4)
13,430,070 13,909,612 14,845,758 14,565,754 15,630,199 100% 16.38 7.31
Pertumbuhan (%)2011 Tw I-12 Tw II-12
Tw. IV-12Tw III-12
Jumlah
No. Sektor Ekonomi
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
53
Grafik 3.5. Jumlah Kredit yang Belum Dicairkan Bank Umum di Riau
Menurut jenis penggunaan, kredit yang belum dicairkan pada kelompok bank
milik swasta tersebut utamanya merupakan kredit modal kerja dengan nilai
mencapai Rp1,85 triliun diikuti oleh kredit investasi yakni sebesar
Rp484,52 miliar. Sementara, Jika dilihat menurut sektor ekonomi, jumlah
kredit yang belum dicairkan terbesar utamanya terdapat pada sektor
perdagangan dan real estate yakni masing-masing sebesar Rp982,59 miliar
dan Rp396,52 miliar. Relatif tingginya jumlah undisbursed loan diperkirakan
karena pencairan kredit tersebut utamanya bersifat termin atau bertahap.
3.3.5. Risiko Kredit
Kondisi risiko kredit bermasalah (Non Performing Loans/NPL2) bank umum
berada pada tingkat yang relatif terjaga. Pada triwulan laporan, NPL bank
umum di Riau mencapai 2,89% sedikit meningkat dibandingkan dengan
triwulan III-2012 (2,76%) namun masih berada dibawah batas kewajaran yang
ditetapkan Bank Indonesia yakni sebesar 5%.
2 NPL Gross
0,00
0,50
1,00
1,50
2,00
2,50
3,00
3,50
4,00
Tw I 09
Tw II 09
Tw III 09
Tw IV 09
Tw I 10
Tw II 10
Tw III 10
Tw IV 10
Tw I 11
Tw II 11
Tw III 11
Tw IV 11
Tw I 12
Tw II 12
Tw III 12
Tw IV 12
Pemerintah 1,01 0,85 0,94 1,15 1,14 1,34 1,39 1,94 1,72 1,50 1,57 1,83 1,88 1,67 1,62 1,41
Swasta 0,96 1,15 0,95 0,96 1,42 1,72 1,90 1,44 1,65 1,97 2,19 2,00 2,01 1,96 2,24 2,34
Total 1,98 1,99 1,89 2,11 2,56 3,07 3,29 3,38 3,36 3,47 3,77 3,83 3,89 3,63 3,86 3,75
Rp T
riliu
n
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
54
Grafik 3.6. Perkembangan NPL Gross di Provinsi Riau
Berdasarkan sektor ekonomi, diketahui bahwa sektor konstruksi masih
mengalami NPL tertinggi dibandingkan sektor-sektor lainnya yaitu sebesar
7,85%. Meskipun demikian, pangsa penyaluran kredit ke sektor ini relatif
kecil, sehingga belum memberikan dampak yang signifikan terhadap NPL
secara umum. Namun demikian, mengingat pertumbuhan kredit di sektor ini
pada triwulan laporan cukup tinggi, sehingga perlu menjadi perhatian
perbankan Riau agar tingkat resikonya dapat terkontrol.
Tabel 3.9. NPLs Per Sektor Ekonomi di Provinsi Riau
2,89
-
0,50
1,00
1,50
2,00
2,50
3,00
3,50
0
100
200
300
400
500
600
700
800
900
Tw I 09
Tw II 09
Tw III 09
Tw IV 09
Tw I 10
Tw II 10
Tw III 10
Tw IV 10
Tw I 11
Tw II 11
Tw III 11
Tw IV 11
Tw I 12
Tw II 12
Tw III 12
Tw IV 12
%Rp miliar
Kurang Lancar Diragukan Macet NPLs (kanan)
Tw I Tw II Tw III Tw IV
1 Pertanian 1.11% 1.50% 1.42% 1.70% 2.11%
2 Pertambangan 0.15% 0.45% 0.58% 0.49% 0.50%
3 Perindustrian 1.24% 1.33% 1.31% 0.97% 1.17%
4 Listrik 0.18% 0.09% 0.58% 1.24% 0.66%
5 Konstruksi 6.82% 6.78% 8.95% 10.14% 7.85%
6 Perdagangan 3.80% 4.11% 3.87% 4.13% 4.34%
7 Pengangkutan 0.39% 0.17% 0.42% 0.51% 1.63%
8 Jasa Dunia Usaha 1.07% 1.35% 1.50% 1.83% 1.96%
9 Jasa Sosial 1.39% 4.51% 4.05% 4.16% 5.80%
10 Lain-lain 1.42% 1.60% 1.92% 2.46% 2.32%
1.95% 2.22% 2.35% 2.76% 2.89%
20122011
Total
No. Sektor Ekonomi
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
55
Jika dilihat berdasarkan risiko di Kabupaten/Kota, maka risiko kredit
bermasalah tertinggi terdapat di Kabupaten Indragiri Hilir, yaitu sebesar
6,09%, mengalami kenaikan dibandingkan triwulan sebelumnya yang tercatat
sebesar 4,67%. Relatif tingginya risiko kredit bermasalah di Kabupaten
Indragiri Hilir utamanya berasal dari sektor perumahan terutama kepemilikan
rumah tempat tinggal tipe sederhana dengan NPL mencapai 37,41% dan
perdagangan eceran yang didominasi oleh makanan dengan NPL mencapai
19,45%. Sedangkan NPL terendah terdapat di Kota Dumai yaitu sebesar 2,25,
menurun dibandingkan triwulan sebelumnya yang tercatat sebesar 2,77%.
Tabel 3.10. NPLs Berdasarkan Kota/Kabupaten di Provinsi Riau
Ket.: *) Data perubahan
3.4. Kondisi Likuiditas
3.4.1. Dana Pihak Ketiga
Penghimpunan DPK oleh bank umum di Riau pada triwulan laporan
mengalami penurunan sebesar 2,27% (qtq) menjadi Rp52,24 triliun. Dana
yang dihimpun ini juga utamanya masih bertumpu pada dana jangka pendek.
Adanya penurunan DPK disebabkan karena menurunnya jumlah giro dan
deposito yang dihimpun bank umum di Riau. Tingginya penurunan jumlah giro
diindikasikan terkait dengan siklus realisasi belanja pemerintah daerah yang
pada umumnya berada pada akhir tahun anggaran. Sementara itu, komponen
tabungan yang memiliki pangsa terbesar dalam DPK masih terus mengalami
peningkatan sebesar 11,38% (qtq) dan 13,57% (yoy) pada triwulan laporan
hingga menjadi Rp25,37 triliun.
I II III *) IV
1 Pekanbaru 2.10% 2.34% 2.39% 2.82% 2.92%
2 Dumai 1.58% 1.11% 2.41% 2.77% 2.25%
3 Bengkalis 1.89% 2.18% 3.52% 3.95% 3.68%
4 Indragiri Hulu 1.09% 1.30% 1.01% 1.36% 3.24%
5 Indragiri Hilir 1.29% 2.91% 2.32% 4.67% 6.09%
6 Lainnya 1.78% 2.11% 2.28% 2.24% 2.15%
No. Kab./Kota2012
2011
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
56
Tabel 3.11. Perkembangan DPK di Provinsi Riau (Rp miliar)
Berdasarkan kepemilikannya, terlihat bahwa penurunan DPK bank umum
di Riau utamanya didorong oleh penurunan dana milik Pemerintah Daerah.
Pada triwulan laporan, komposisi dana milik Pemerintah Daerah di bank
umum mencapai Rp7,79 triliun atau turun 44,71% dibandingkan dengan
triwulan sebelumnya yang terkait dengan realisasi belanja Pemda. Sementara
itu, DPK milik perorangan yang tercatat menguasai pangsa terbesar
menunjukkan kenaikan yakni dari Rp31,48 triliun menjadi Rp34,58 triliun.
Terus meningkatnya dana milik perorangan mengindikasikan semakin
meningkatnya akses masyarakat untuk menggunakan jasa perbankan yang
tercermin dari meningkatnya jumlah tabungan milik perorangan pada
kelompok nilai sampai dengan Rp100 juta
Tabel 3.12. Perkembangan DPK di Provinsi Riau Menurut Kepemilikan (Rp juta)
Berdasarkan Kabupaten/Kota, penghimpunan DPK oleh bank umum di Riau
pada triwulan laporan tidak mengalami perubahan signifikan dibandingkan
dengan triwulan-triwulan sebelumnya. Penghimpunan DPK oleh bank umum
masih terkonsentrasi di Kota Pekanbaru dengan nilai mencapai Rp32,28 triliun
atau sekitar 61,80% terhadap total DPK bank umum. Wilayah lain yang juga
I II III IV yoy qtq
1 Giro 10,837 13,012 14,452 17,015 14,149 30.6 -16.84
2 Tabungan 22,343 21,589 22,216 22,782 25,374 13.6 11.38
3 Deposito 11,740 13,879 13,646 13,660 12,720 8.3 -6.88
a. s.d 3 bln 9,446 11,566 11,160 11,138 9,913 4.9 -11.00
b. > 3-6 bln 1,238 1,304 1,507 1,475 1,614 30.4 9.40
c. > 6-12 bln 818 788 812 867 1,007 23.1 16.12
d. > 12 bln 238 221 167 179 185 -22.2 3.21#DIV/0! #DIV/0!
44,920 48,480 50,314 53,457 52,243 16.30 -2.27
2011Pertumbuhan (%)
Total DPK
No Komponen DPK2012
I II III IV yoy qtq
7,354,226 12,437,605 13,368,237 15,033,055 9,105,668 23.82 -39.43
1 Pemerintah Pusat 209,282 221,268 204,086 211,716 388,934 85.84 83.712 Pemerintah Daerah 6,484,913 11,488,233 12,378,411 14,098,828 7,794,785 20.20 -44.713 Badan/Lembaga Pemerintah 80,958 191,992 128,338 82,199 119,414 47.50 45.274 Badan Usaha Milik Negara 485,786 492,845 596,105 573,722 704,665 45.06 22.825 Badan Usaha Milik Daerah 93,287 43,267 61,297 66,590 97,870 4.91 46.97
6,354,088 5,976,678 6,307,174 6,948,758 8,557,573 34.68 23.156 Perusahaan Asuransi 74,236 81,437 103,593 109,946 109,135 47.01 -0.747 Perusahaan Swasta 5,565,121 5,255,431 5,540,719 5,831,564 7,504,515 34.85 28.698 Yayasan dan Badan Sosial 564,985 485,323 529,553 859,146 771,308 36.52 -10.229 Koperasi 134,565 140,598 124,062 132,806 159,213 18.32 19.88
10 Lainnya 15,181 13,890 9,246 15,296 13,402 -11.72 -12.3831,211,791 30,065,991 30,638,917 31,475,199 34,579,298 10.79 9.86
44,920,105 48,480,274 50,314,329 53,457,012 52,242,540 16.30 -2.27
2011Pertumbuhan (%)
Jumlah
Sektor Swasta
Sektor Pemerintah
Perorangan
2012No Kepemilikan
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
57
memiliki pangsa DPK cukup besar adalah Kabupaten Bengkalis dan Kota
Dumai masing-masing sebesar 8,97% dan 8,32% (Tabel 3.14). Relatif
tingginya penghimpunan DPK di ketiga kota tersebut diindikasikan tidak
terlepas dari prospek dan pertumbuhan ekonomi di wilayah tersebut yang juga
memiliki andil cukup signifikan terhadap perekonomian Riau.
Tabel 3.13. Penghimpunan DPK Berdasarkan Kota/Kabupaten di Provinsi Riau
3.4.2. Perkembangan Loan to Deposit Ratio (LDR)
Posisi LDR bank umum di Riau pada triwulan IV-2012 tercatat sebesar 83,16%
atau lebih tinggi dibandingkan dengan periode sebelumnya yang mencapai
78,35%. Hal ini utamanya tidak terlepas dari relatif ekspansifnya bank umum
dalam menyalurkan kredit baik untuk sektor produktif maupun konsumtif
sejalan dengan menurunnya tingkat bunga kredit sementara dana yang
dihimpun mengalami penurunan. Sementara itu, dengan memperhitungkan
kredit berdasarkan lokasi proyek3, LDR perbankan Riau dalam triwulan laporan
mencapai angka yang lebih tinggi yakni sebesar 111,37%, juga lebih tinggi
jika dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang mencapai 109,93% dan
LDR nasional4 yang tercatat 84,36% pada periode yang sama.
3data posisi November 2012 4 data posisi November 2012
Rp Pangsa yoy qtq
1 Pekanbaru 27,747,965 28,916,758 29,860,131 31,399,109 32,283,391 61.80% 16.35 2.82
2 Bengkalis 4,727,706 4,748,899 4,875,790 5,342,213 4,670,893 8.94% -1.20 -12.57
3 Dumai 3,623,654 3,658,386 3,802,907 3,898,884 4,344,964 8.32% 19.91 11.44
4 Indragiri Hilir 1,688,899 1,828,706 2,013,106 2,037,309 1,900,567 3.64% 12.53 -6.71
5 Indragiri Hulu 1,935,182 1,872,710 1,990,529 2,126,516 2,124,574 4.07% 9.79 -0.09
6 Lainnya 5,196,698 7,454,815 7,771,865 8,652,981 6,918,150 13.24% 33.13 -20.05
44,920,104 48,480,274 50,314,328 53,457,012 52,242,540 100% 16.30 -2.27
Pertumbuhan (%)Tw II-12Tw I-12
Tw IV-122011 Tw III-12
Jumlah
No. Kab./Kota
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
58
Grafik 3.7. Perkembangan LDR Di Provinsi Riau
Ket : LDR 1 = LDR berdasarkan kredit lokasi proyek
3.5. Profitabilitas
3.5.1. Spread Bunga
Pergerakan suku bunga rata-rata tertimbang bank umum di Riau pada
triwulan IV-2012 menunjukkan penurunan baik pada suku bunga dana yang
tercermin dari deposito 3 bulan maupun suku bunga kredit. Suku bunga kredit
tertimbang bank umum pada triwulan laporan tercatat menurun sebesar
13 bps menjadi 12,22%. Sementara itu, suku bunga dana tertimbang
mencatat kenaikan sebesar 18 bps menjadi 5,39%. Kondisi ini mendorong
turunnya margin yang diterima bank umum sebesar 31 bps hingga menjadi
6,83%. Meskipun margin yang diterima perbankan telah mengalami
penurunan, namun tingkat margin yang dinikmati oleh perbankan masih
berada pada tingkat yang relatif tinggi
Secara umum, rata-rata suku bunga kredit maupun dana pada tahun 2012
telah mengalami penurunan bila dibandingkan dengan tahun 2011. Namun,
karena laju penurunan suku bunga dana yang lebih tinggi daripada suku
bunga kredit maka telah mendorong meningkatnya margin yang diterima
perbankan pada akhir tahun 2012 relatif lebih tinggi dibandingkan tahun
2011 yang mencapai 6,01%.
Tw I 09
Tw II 09
Tw III 09
Tw IV 09
Tw I 10
Tw II 10
Tw III 10
Tw IV 10
Tw I-11
Tw II-11
Tw III-11
Tw IV-11
Tw I-12
Tw II-12
Tw III-12
Tw IV 12
Nasional 88,4% 87,1% 73,6% 72,9% 75,7% 75,7% 77,4% 75,5% 77,2% 80,0% 81,7% 79,0% 80,8% 83,4% 84,72 84,36
LDR 65,2% 66,0% 73,2% 78,0% 73,4% 77,4% 78,5% 78,8% 75,2% 75,9% 76,5% 80,3% 77,2% 80,1% 78,3% 83,2%
LDR1 98,2% 95,9% 106,2 114,5 104,1 111,2 117,4 114,4 114,0 112,1 113,7 113,7 108,5 111,0 111,4 112,8
40,0%
50,0%
60,0%
70,0%
80,0%
90,0%
100,0%
110,0%
120,0%
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
59
Grafik 3.8. Perkembangan Suku Bunga Rata-rata Tertimbang Kredit dan Deposito 3 bulan
Dalam upaya meningkatkan good governance dan mendorong persaingan
yang sehat dalam industri perbankan, Bank Indonesia secara resmi telah
mengeluarkan kebijakan pemberlakuan transparansi Suku Bunga Dasar
Kredit5. Kebijakan ini bertujuan untuk menciptakan disiplin pasar yang lebih
baik melalui terbentuknya informasi yang simetris baik di tingkat pelaku usaha,
masyarakat umum maupun perbankan.
3.5.2. Pendapatan dan Beban Bunga
Jumlah pendapatan bunga yang diperoleh bank umum di Provinsi Riau selama
triwulan laporan mencapai Rp1,67 triliun atau meningkat Rp66,47 miliar
(4,13%) dibandingkan dengan triwulan III-2012. Peningkatan pendapatan
bunga sebagian besar bersumber dari pendapatan bunga kredit yang tercatat
meningkat sebesar Rp32,31 miliar menjadi Rp1,46 triliun sejalan dengan
bertumbuhnya penyaluran kredit di Riau pada triwulan laporan meskipun rata-
rata suku bunganya mengalami penurunan.
5 Sebagaimana diatur dalam SE Ekstern No.13/5/DPNP tanggal 08 Februari 2011 tentang Transparansi Informasi Suku Bunga Dasar Kredit
2,00
4,00
6,00
8,00
10,00
12,00
14,00
16,00
18,00
20,00
%MarginKreditDeposito 3 bulanBI rate
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
60
Grafik 3.9. Komposisi Pendapatan Bunga (Rp miliar)
Di sisi lain, beban bunga yang ditanggung oleh bank umum di Riau pada
triwulan laporan mengalami peningkatan sebesar 3,48% (Rp 17,87 miliar)
dibandingkan triwulan sebelumnya. Kondisi disebabkan oleh adanya
peningkatan yang relatif tinggi pada beban bunga deposito jangka pendek
(1-3 bulan) selama periode Oktober sampai Desember 2012 meskipun jumlah
dana yang dihimpun mengalami penurunan.
Grafik 3.10. Komposisi Beban Bunga (Rp miliar)
Lebih tingginya peningkatan pendapatan bunga dibandingkan dengan
peningkatan beban bunga telah mendorong meningkatnya nilai pendapatan
bunga bersih6 bank umum di Riau per Desember 2012. Nilai pendapatan
6 Net Interest Income atau pendapatan bunga bersih adalah pendapatan bunga dikurangi beban bunga.
Tw I 09
Tw II 09
Tw III 09
Tw IV 09
Tw I 10
Tw II 10
Tw III 10
Tw IV 10
Tw I 11
Tw II 11
Tw III 11
Tw IV 11
Tw I 12
Tw II 12
Tw III 12
Tw IV 12
Lainnya 0,3 0,5 1,2 1,2 80,3 85,7 81,9 86,0 100,4 103,3 110,3 140,4 89,8 84,8 86,0 123,7
Antar Bank 76,9 55,0 51,8 88,5 32,2 45,3 47,4 42,3 28,0 40,6 43,5 34,9 21,3 43,2 47,6 51,9
Kredit 705,5 716,6 870,9 816,9 930,8 994,0 1.048 1.072 1.103 1.115 1.223 1.257 1.243 1.361 1.432 1.464
SBI dan surat berharga 84,9 61,2 35,8 17,3 14,1 30,7 25,1 25,8 36,1 42,7 50,4 55,1 40,5 39,9 42,5 34,6
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
100%
Tw I 09
Tw II 09
Tw III 09
Tw IV 09
Tw I 10
Tw II 10
Tw III 10
Tw IV 10
Tw I-11
Tw II-11
Tw III-11
Tw IV-11
Tw I-12
Tw II-12
Tw III-12
Tw IV-12
Lainnya 4.8 4.7 4.8 1.9 72.7 77.4 88.3 83.2 113.1 110.3 114.1 125.6 101.9 110.3 93.0 102.7
Antar Bank 23.9 45.7 39.1 35.6 38.0 43.7 44.8 39.8 23.5 16.6 23.3 11.8 7.0 6.1 8.0 8.7
Tabungan 104.1 90.5 108.8 110.4 107.9 102.9 109.3 116.6 125.1 129.0 133.6 129.0 124.4 110.3 111.4 114.3
Deposito 210.7 181.5 215.2 158.1 144.7 174.2 160.2 165.4 157.2 193.3 211.7 222.6 206.0 220.2 207.2 207.9
Giro 73.9 85.5 72.3 39.4 45.3 55.6 57.0 56.1 61.7 63.2 68.2 69.2 66.4 79.2 94.4 98.4
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
100%
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
61
bunga bersih pada tahun 2012 mencapai Rp1,14 triliun atau lebih tinggi
dibandingkan triwulan sebelumnya dan periode yang sama tahun sebelumnya
yang masing-masing tercatat sebesar Rp1,09 triliun dan Rp930 miliar.
4. Perbankan Syariah
Kondisi perbankan syariah Riau per Desember 2012 menunjukkan
kecenderungan yang lebih baik dibandingkan triwulan sebelumnya maupun
periode yang sama tahun sebelumnya. Posisi aset perbankan syariah Riau pada
Desember 2012 mencapai Rp4,58 triliun atau naik 8,15% (qtq) dan
40,79% (yoy). Peningkatan aset ini utamanya didorong oleh meningkatnya
penghimpunan dana yaitu dari Rp3,20 triliun menjadi Rp3,45 triliun atau naik
7,60% (qtq) dan 47,27% (yoy).
Dengan demikian, pangsa aset Perbankan syariah terhadap total perbankan di
Provinsi Riau pada akhir tahun 2012 telah mencapai 6,24%, mengalami
peningkatan dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang memiliki pangsa
sebesar 5,37%. Tingginya animo perbankan nasional dalam melakukan
penetrasi ke provinsi Riau terutama di bidang perbankan syariah diperkirakan
masih akan terus mendongkrak pangsa aset perbankan syariah pada masa
mendatang.
Tabel 3.14. Indikator Kinerja Utama Perbankan Syariah di Provinsi Riau (Rp juta)
Sementara itu, pembiayaan yang disalurkan oleh Perbankan syariah di Riau pada
triwulan laporan juga mengalami kenaikan sebesar 5,70% (qtq) sehingga
menjadi Rp2,91 triliun pada triwulan laporan. Namun, lebih rendahnya
pertumbuhan pembiayaan dibandingkan dengan pertumbuhan DPK
mengakibatkan FDR Perbankan syariah di Riau relatif menurun yaitu dari
I II III IV yoy qtq
1 Jumlah Bank 11 11 12 12 12
2 Aset 3,256,336 3,457,740 3,911,778 4,239,148 4,584,517 40.79 8.153 DPK 2,341,312 2,743,362 2,868,268 3,204,695 3,448,148 47.27 7.60
- Giro 328,209 416,494 445,583 584,125 623,723 90.04 6.78- Tabungan 1,175,950 1,420,873 1,491,500 1,596,958 1,769,684 50.49 10.82- Deposito 837,153 905,995 931,185 1,023,612 1,054,741 25.99 3.04
4 Pembiayaan 2,290,267 2,373,195 2,576,518 2,750,200 2,906,878 26.92 5.70
5 NPF 2.58% 2.91% 2.95% 3.03% 2.98%
6 FDR 97.82% 86.51% 89.83% 85.82% 84.30%
No. KeteranganPertumbuhan (%)
20112012
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
62
85,82% pada triwulan III-2012 menjadi 84,30% pada triwulan laporan.
Meskipun demikian, risiko pembiayaan bermasalah (NPF) yang dialami berada
pada tingkat relatif terjaga yakni sebesar 2,98%, juga mengalami penurunan
dibandingkan dengan triwulan sebelumnya (Tabel 3.14).
Sebagian pembiayaan yang disalurkan oleh bank umum syariah di Provinsi Riau
utamanya diserap dalam bentuk pembiayaan produktif dengan pangsa
mencapai 54,20% dan sisanya sebesar 45,79% diserap dalam bentuk
pembiayaan konsumtif. Secara triwulanan pembiayaan modal kerja dan investasi
masing-masing meningkat sebesar 2,80% (qtq) dan 7,44% (qtq), sedangkan
pembiayaan konsumsi tercatat meningkat sebesar 6,59% (qtq).
Sementara itu, secara sektoral, pembiayaan perbankan syariah sebagian besar
masih ditujukan ke sektor lain-lain serta jasa dunia usaha dengan pangsa
masing-masing mencapai 45,80% dan 22,74%. Pembiayaan sektor lain yang
juga relatif besar disalurkan ke sektor pertanian khususnya sub sektor
perkebunan kelapa sawit.
5. Perkembangan Bank Perkreditan Rakyat (BPR/S)
Kegiatan usaha BPR/S secara umum dalam triwulan laporan masih
menunjukkan perkembangan yang cukup menggembirakan. Aset BPR/S Riau
per Desember 2012 tercatat sebesar Rp1,04 triliun atau naik sebesar 2,95%
dibandingkan dengan triwulan III-2012 yang mencapai Rp1,01 triliun.
Meningkatnya jumlah aset utamanya didorong oleh kenaikan penghimpunan
DPK dari Rp692,08 miliar pada triwulan III-2012 menjadi Rp694,54 miliar
(0,36%). Sementara itu, penyaluran kredit juga mengalami kenaikan yakni dari
Rp704,55 miliar menjadi Rp708,53 miliar atau naik sebesar 0,57% (qtq). Lebih
tingginya peningkatan kredit yang disalurkan dibandingkan dengan
peningkatan penghimpunan DPK mendorong LDR BPR/S di Riau meningkat
yakni dari 101,80% pada triwulan III-2012 menjadi 102,01% pada akhir tahun
2012.
Namun demikian, dari sisi risiko rasio kredit bermasalah BPR/S di Riau masih
terus menunjukkan kenaikan yakni dari 12,96% menjadi 13,11%. Hal ini
utamanya masih disebabkan oleh belum optimalnya kinerja debitur BPR
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
63
mengingat sebagian besar segmen kreditnya berada pada sektor informal.
Kondisi ini sepatutnya dapat menjadi perhatian bagi BPR/S di Riau karena
dapat mengakibatkan tingkat Kualitas Aktiva Produktif (KAP) memburuk yang
pada akhirnya berpotensi mengganggu fungsi intermediasi bank.
Tabel 3.15. Indikator Kinerja Utama BPR/S di Provinsi Riau (dalam Rp juta)
6. Perkembangan Kredit Usaha Rakyat (KUR)
Kredit Usaha Rakyat yang disalurkan oleh 6 (enam) bank pelaksana KUR di
Riau hingga triwulan IV-2012 telah mencapai Rp3,08 triliun, naik 9,82% (qtq)
atau berada pada urutan ke-7 di tingkat nasional dan ke-2 di Sumatera.
Penyaluran KUR di Riau mencakup sekitar 3,17% dari total penyaluran KUR
secara nasional yang tercatat sebesar Rp97,16 triliun. Jumlah debitur penerima
KUR di Provinsi Riau s.d triwulan IV-2012 tercatat sebesar 125.571 jiwa.
Dengan demikian, rata-rata KUR yang disalurkan di Provinsi Riau per Desember
2012 mencapai Rp24,52 juta/jiwa atau naik sebesar 3,30% (qtq) dan 17,69%
(yoy)
Tabel 3.16. Perkembangan Penyaluran KUR di Riau
Sumber: Kantor Menko Perekonomian
I II III IV yoy qtq
1. Jumlah BPR/S 33 34 34 34 34
2. Asset 920,404 972,275 997,840 1,008,552 1,038,271 16.14 2.95
3. DPK 642,785 685,220 692,916 692,080 694,541 10.80 0.36
- Tabungan 302,472 317,379 316,892 313,758 313,312 5.72 -0.14
- Deposito 340,313 367,841 376,024 378,322 381,228 15.39 0.77
4. Kredit 617,548 655,469 689,275 704,545 708,530 17.23 0.57
5. LDR 96.07% 95.66% 99.47% 101.80% 102.01%
6. NPLs 8.22% 10.51% 10.88% 12.96% 13.11%
Pertumbuhan (%)Keterangan 2011
2012
I II III IV
Kredit Usaha Rakyat 1,963,716 2,255,137 2,569,548 2,804,050 3,079,345
- Jumlah Debitur 94,246 101,284 110,260 118,121 125,571
- Rata-rata (Rp juta/jiwa) 20.84 22.27 23.30 23.74 24.52
Indikator 20112012
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
64
7. Perkembangan Transaksi Pembayaran
7.1. Kondisi Umum
Perkembangan transaksi pembayaran secara tunai di Provinsi Riau pada
triwulan laporan mengalami peningkatan dari sisi uang keluar (outflow) namun
mengalami penurunan dari sisi uang masuk (inflow). Trend ini relatif berbeda
dari tahun-tahun sebelumnya, dimana outflow cenderung menurun pasca hari
raya. Sementara itu, dari sisi transaksi pembayaran non tunai, transaksi BI RTGS
masih mendominasi dibandingkan transaksi kliring. Transaksi BI RTGS
mengalami kenaikan, sedangkan transaksi kliring mengalami penurunan.
7.2. Perkembangan Transaksi Pembayaran Tunai
7.2.1. Aliran Uang Masuk dan Keluar (Inflow Outflow)
Pada triwulan laporan, perkembangan peredaran uang kartal di Provinsi Riau
yang tercermin dari arus outflow tercatat sebesar Rp4,25 triliun, mengalami
peningkatan dibandingkan triwulan sebelumnya maupun triwulan yang sama
di tahun sebelumnya, yaitu masing-masing sebesar 7,22% dan 12,93%.
Outflow di Provinsi Riau pada tahun 2012 menunjukkan perbedaan
dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, dimana jumlah outflow cenderung
menurun pasca hari raya. Namun, kondisi saat ini menunjukkan bahwa sampai
dengan akhir tahun 2012 jumlah outflow Riau masih terus mengalami
peningkatan. Hal ini diperkirakan dipengaruhi oleh adanya kegiatan Pekan
Paralimpik Nasional (Paparnas) ke XIV di Kota Pekanbaru pada bulan Oktober,
sehingga perbankan cenderung meningkatkan ketersediaan uang tunai.
Di sisi lain, inflow tercatat sebesar Rp957 miliar, mengalami penurunan sebesar
36,43% dibandingkan triwulan sebelumnya. Penurunan ini merupakan faktor
seasonal di mana inflow cenderung akan turun pasca hari raya yang jatuh pada
triwulan III-2012. Namun jumlah inflow pada triwulan laporan masih lebih
tinggi dibandingkan triwulan yang sama tahun sebelumnya yang tercatat
sebesar Rp653,5 miliar.
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
65
Dengan perkembangan tersebut di atas, jumlah transaksi uang tunai di Provinsi
Riau pada triwulan IV-2012 masih terus menunjukkan net outflow yaitu
sebesar Rp3,29 triliun. Jumlah ini tercatat mengalami peningkatan bila
dibandingkan dengan net outflow pada triwulan sebelumnya maupun triwulan
yang sama di tahun sebelumnya, yaitu masing-masing sebesar 33,97% dan
5,88%.
Grafik 3.11. Perkembangan Inflow dan Outflow Riau (dalam Rp miliar)
Jika dilihat secara keseluruhan tahun 2012, maka jumlah outflow Provinsi Riau
mencapai Rp 13,03 triliun. Meningkat dibandingkan dengan outflow tahun
sebelumnya (8,11%), yang tercatat sebesar Rp12,05 triliun. Peningkatan
outflow Riau selama tahun 2012 terjadi seiring dengan adanya beberapa event
pada tahun 2012 antara lain PON XVIII dan Pekan Paralimpik Nasional
(Paparnas) XIV. Jumlah outflow Riau juga tercatat jauh lebih tinggi
dibandingkan provinsi tetangga khususnya di Sumatera Bagian Tengah (Jambi
dan Padang). Relatif tingginya outflow Riau tidak terlepas dari prospek bisnis di
Riau, sebagai dampak dari pesatnya perkembangan ekonomi Riau dalam kurun
waktu beberapa tahun terakhir.
-500
1.000 1.500 2.000 2.500 3.000 3.500 4.000 4.500
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV
2008 2009 2010 2011 2012
Rp
. mili
ar
Inflow Outflow Net Outflow
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
66
Grafik 3.12. Outflow Riau dibandingkan Daerah Lain di Sumatra Bagian Tengah
(Miliar Rupiah)
7.2.2. Penyediaan Uang Kartal Layak Edar
Dalam upaya pemenuhan jumlah nominal uang kartal menurut jenis pecahan
dan dalam kondisi layak edar (Clean Money Policy) bagi masyarakat, Bank
Indonesia, secara berkala melakukan kegiatan pemusnahan uang tidak layak
edar (UTLE), dengan Pemberian Tanda Tidak berharga (PTTB). UTLE tersebut
berasal dari setoran bank maupun penukaran uang dari masyarakat, yang
selanjutnya ditukar dengan uang yang layak edar (fit for circulation).
Meskipun jumlah uang kartal masuk (inflow) pada triwulan laporan mengalami
penurunan, namun UTLE yang dimusnahkan (PTTB) mengalami peningkatan
dibandingkan triwulan sebelumnya. Tercatat UTLE yang dimusnahkan sebanyak
Rp99,16 miliar, meningkat 48,01% dibandingkan triwulan sebelumnya.
Dengan perkembangan tersebut, ratio UTLE yang dimusnahkan terhadap
inflow pada triwulan laporan tercatat sebesar 10,36%, meningkat
dibandingkan triwulan sebelumnya yang tercatat sebesar 4,45%. Kenaikan
UTLE yang dimusnahkan pada triwulan laporan berasal dari akumulasi sebagian
UTLE dari triwulan sebelumnya, dan baru dimusnahkan pada triwulan laporan.
Kondisi ini terjadi karena di triwulan III-2012 difokuskan pada pelayanan
penukaran uang kepada masyarakat Riau dalam rangka menyambut Hari Raya
Idul Fitri.
-
5.000
10.000
15.000
2008 2009 2010 2011 2012Riau Jambi Padang
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
67
Grafik 3.13. Perkembangan Pemberian Tanda Tidak Berharga (PTTB) terhadap
Inflow di Provinsi Riau
Untuk menjaga jumlah uang yang dimusnahkan tetap berada pada level yang
rendah, Bank Indonesia tetap giat melakukan sosialisasi prinsip 3D (Didapat,
Disimpan, Disayang) kepada masyarakat. Hal ini dilakukan agar masyarakat
memahami cara-cara memperlakukan uang dengan baik sehingga dapat
memperpanjang usia manfaat fisik uang. Selama tahun 2012, Kantor
Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Riau telah melakukan sosialisasi prinsip 3D
di beberapa tempat di Kota Pekanbaru. Selain itu, sosialisasi prinsip 3D juga
dilakukan dalam berbagai kesempatan seperti Dumai Expo, Pekanbaru Expo
dan Riau Expo, maupun sosialisasi kepada pihak eksternal lainnya yang
melakukan kegiatan kunjungan ke Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi
Riau.
7.2.3. Uang Rupiah Tidak Asli
Jumlah uang rupiah tidak asli yang ditemukan oleh Kantor Perwakilan Bank
Indonesia Provinsi Riau pada triwulan IV-2012 tercatat mengalami penurunan
dibandingkan triwulan sebelumnya, yaitu dari 94 lembar menjadi 86 lembar.
Namun nominalnya sedikit lebih tinggi dibandingkan triwulan sebelumnya yaitu
dari Rp7,25 juta menjadi Rp7,35 juta. Pada triwulan laporan ditemukan
sebanyak 86 lembar uang palsu, dengan rincian pecahan Rp100.000 sebanyak
61 lembar (71%) dan pecahan Rp50.000 sebanyak 25 lembar (29%).
0
20
40
60
80
100
120
-
500
1.000
1.500
2.000
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV
Inflow (kiri) PTTB (kiri) Ratio PTTB terhadap Inflow (kanan)
Rp.
mili
ar
pers
en
(%)
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
68
Penemuan uang rupiah tidak asli tersebut didasarkan pada permintaan
klarifikasi perbankan dan masyarakat serta temuan dari setoran bank-bank ke
Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Riau. Sebagai upaya menanggulangi
peredaran uang rupiah tidak asli, Bank Indonesia telah melakukan berbagai
upaya, antara lain dengan meningkatkan security features uang yang dicetak
dan terus melakukan sosialisasi ciri-ciri keaslian uang rupiah, melalui penerapan
prinsip 3D (Dilihat, Diraba, Diterawang).
Grafik 3.14. Perkembangan Peredaran Uang Rupiah Tidak Asli di Provinsi Riau
7.3. PERKEMBANGAN TRANSAKSI PEMBAYARAN NON TUNAI
7.3.1. Transaksi Kliring
Jumlah warkat dan nominal transaksi non tunai secara kliring pada triwulan
IV-2012 tercatat mengalami penurunan dibandingkan triwulan sebelumnya.
Jumlah warkat tercatat sebesar 267.841 lembar, menurun 5,46%
dibandingkan triwulan sebelumnya yang mencapai 283.463 lembar. Seiring
dengan penurunan jumlah warkat tersebut jumlah nominal transaksi kliring
juga mengalami penurunan (7,59%), yaitu dari Rp 7,38 triliun pada triwulan
III-2012 menjadi Rp 6,82 triliun pada triwulan laporan. Penurunan jumlah
warkat kliring yang diiringi dengan penurunan jumlah nominal transaksi kliring
mengindikasikan menurunnya jumlah aktivitas kliring selama triwulan laporan.
-20 40 60 80 100 120 140 160
-1 2 3 4 5 6 7 8
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV
2008 2009 2010 2011 2012
Rp
. Ju
ta
Nominal (kiri) Lembar (kanan)
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
69
Grafik 3.15. Perkembangan Transaksi Kliring di Provinsi Riau
7.3.2. Real Time Gross Settlement (RTGS)
Nilai transaksi dan jumlah warkat non tunai melalui Bank Indonesia Real Time
Gross Settlement (BI-RTGS) di Riau pada triwulan IV-2012 mengalami
peningkatan dibandingkan triwulan sebelumnya. Pada triwulan laporan, nilai
transaksi tercatat sebesar Rp84,58 triliun meningkat 2,78% dibandingkan
triwulan sebelumnya. Seiring dengan meningkatnya nominal transaksi maka
jumlah warkat transaksi juga mengalami peningkatan sebesar 4,16% yaitu
dari 57.267 lembar pada triwulan III-2012 menjadi 59.648 lembar pada
triwulan IV-2012.
Tabel 3.17. Perkembangan Nilai BI-RTGS di Provinsi Riau Triwulan IV-2012 (Rp
miliar)
-50 100 150 200 250 300 350
-1.000 2.000 3.000 4.000 5.000 6.000 7.000 8.000
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV
2008 2009 2010 2011 2012
Nominal (kiri) Warkat(kanan)
From To From - To Kumulatif From To From - To Kumulatif
Bengkalis 629 1,504 298 1,836 746 1,163 283 1,626
Dumai 1,985 1,744 368 3,361 1,938 1,676 433 3,182
Indragiri Hulu 3 - - 3 4 1 - 5
Indragiri Hil ir 14 - - 14 11 0 - 11
Kampar 19 626 - 644 18 450 1 466
Kuantan Singingi - - - - - 1 - 1
Pekanbaru 49,768 44,155 18,570 75,354 52,651 41,281 15,460 78,472
Pelalaw an 1 11 - 12 1 32 0 33
Rokan Hulu - 1 - 1 - 2 - 2
Rokan Hil ir 31 1 - 32 29 1 0 30
Siak 206 848 19 1,035 279 499 25 753
RIAU 52,656 48,890 19,255 82,291 55,676 45,106 16,202 84,580
IV-2012Jumlah Nominal
Kab/Kota
ii i-2012
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
70
Tabel 3.18. Perkembangan Volume Warkat BI-RTGS di Riau Triwulan IV-2012
(lembar)
Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Riau, jumlah transaksi RTGS tertinggi
tercatat di kota Pekanbaru dan Dumai, hal ini sejalan dengan tingginya
aktivitas ekonomi di kedua daerah tersebut, terutama Kota Pekanbaru.
Transaksi RTGS di kota Pekanbaru tercatat mengalami peningkatan baik
nominal maupun warkat yaitu masing-masing sebesar 4,14% dan 6,5%
dibandingkan triwulan sebelumnya. Beberapa event olahraga di Riau pada
triwulan IV-2012, serta penyelesaian pembangunan beberapa proyek menjadi
faktor pendorong peningkatan tersebut.
Sementara itu, jumlah transaksi RTGS terendah tercatat di Kabupaten Kuantan
Singingi dan Rokan Hulu yaitu masing-masing sebesar Rp1 miliar dan Rp2
miliar. Hal ini dikarenakan sejalan dengan masih minimnya jumlah jaringan
kantor perbankan di kedua kabupaten tersebut. Kedepan diharapkan dengan
adanya peningkatan jaringan kantor perbankan di kedua daerah tersebut
dapat pula mendorong peningkatan aktivitas transaksi bisnis, sehingga
transaksi non tunai juga akan meningkat.
From To From - To Kumulatif From To From - To Kumulatif
Bengkalis 845 398 106 1,137 1,267 612 214 1,665
Dumai 3,553 3,080 867 5,766 2,506 3,037 933 4,610
Indragiri Hulu 38 2 - 40 33 4 - 37
Indragiri Hil ir 266 4 - 270 201 6 - 207
Kampar 312 163 11 464 237 179 8 408
Kuantan Singingi - 4 - 4 - 4 - 4
Pekanbaru 24,843 31,052 8,142 47,753 26,854 32,759 8,756 50,857
Pelalaw an 18 45 - 63 20 63 1 82
Rokan Hulu 1 18 - 19 - 20 - 20
Rokan Hil ir 880 47 - 927 753 35 1 787
Siak 536 308 20 824 671 326 26 971
RIAU 31,292 35,121 9,146 57,267 32,542 37,045 9,939 59,648
Jumlah Warkat
Kab/Kota
II I-2011 IV-2012
Dampak Pelaksanaan Pekan Olahraga Nasional (PON)
Terhadap Transaksi Pembayaran di Provinsi Riau
Pelaksanaan Pekan Olahraga Nasional (PON) ke-18 yang berlangsung pada triwulan III-2012 lalu
diperkirakan telah secara langsung maupun tidak langsung mendorong kenaikan belanja
masyarakat sehingga berdampak terhadap sektor perdagangan, hotel dan restoran di Provinsi
Riau. Sejalan dengan kondisi tersebut, hal ini terkonfirmasi dari hasil survei yang dilakukan
kepada beberapa pelaku usaha.1
Pada Grafik 1 dapat dilihat bahwa persentase kenaikan omzet pada responden kategori hotel
(diukur dengan tingkat hunian hotel) di Riau selama PON berlangsung menunjukkan angka yang
cukup signifikan, yaitu mayoritas hotel dan penginapan (48,1%) mengalami peningkatan 75%
hingga 100%. Namun tidak terlihat adanya lonjakan yang cukup signifikan di atas 100%
dikarenakan banyaknya hotel dan penginapan yang tersedia, terutama di kota Pekanbaru dan
bermunculan sebelum penyelenggaraan PON.
1 Survei dilakukan di 6 (enam) daerah yaitu Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Kampar, Kabupaten Indragiri Hulu,
Kabupaten Siak, Kota Dumai Dan Kota Pekanbaru. Responden Total sampel mencapai 110 responden yang
terdistribusi secara merata di tiap wilayah untuk tiap kategori responden. Metode sampel menggunakan
probability random sampling.
< 25% 25 % - 50 % 50 % - 75% 75 % - 100 % > 100 %
1,9%
34,6%
9,6%
48,1%
0,0%
Grafik 1. Persentase peningkatan Tingkat Hunian Hotel dan Penginapan Selama PON XVIII di Provinsi Riau
< 25% 25 % - 50 % 50 % - 75% 75 % - 100 % > 100 %
Boks 2
Sementara, pada pelaku usaha sektor perdagangan juga mengalami kenaikan yang lebih
bervariasi sebagaimana terlihat pada Grafik 2. Secara umum, sekitar 33,3% responden
mengalami kenaikan keuntungan 25%-50% dan sekitar 27,50 menikmati kenaikan keuntungan
berkisar 75%-100%. Kondisi ini secara implisit menunjukkan bahwa pelaksanaan PON
memberikan dampak signifikan terhadap pendapatan pelaku usaha.
Terkait dengan penggunaan cara pembayaran yang dilakukan, terdapat perbedaan metode
pembayaran yang diterima oleh pengusaha. Pada responden hotel, lebih dari 50% transaksi
dilakukan umumnya melalui pembayaran non tunai dan hanya tiga wilayah yang dominan
melakukan transaksi tunai yakni Kota Pekanbaru Kab. Kampar dan Kab. Pelalawan. Sebaliknya,
pada pelaku usaha, seluruh responden cenderung untuk melakukan transaksi pembayaran secara
tunai dibandingkan non tunai. Dari 6 wilayah yang disurvei, hanya Kab. Indragiri Hulu yang
tercatat secara dominan melakukan transaksi pembayaran non tunai.
Grafik 3. Metode Pembayaran Selama PON
XVIII di Tingkat Hotel
Grafik 4. Metode Pembayaran Selama PON
XVIII di Tingkat Pelaku Usaha Lain
Sejalan dengan tingginya transaksi pembayaran tunai di tingkat pelaku usaha lainnya, hasil survei
menunjukkan bahwa mayoritas pelaku usaha (32,1%) menyimpan uang tunai kurang dari 7 hari
< 25% 25 % - 50 % 50 % - 75 % 75 % - 100 % > 100%
19,6%
33,3%
11,8%
27,5%
2,0%
Grafik 2. Peningkatan Omzet Pelaku Usaha Selama PON XVIII Di Provinsi Riau
57,1%
80,0%
0,0%
28,6%
33,3%
55,8%
47,6%
42,9%
20,0%
100,0%
71,4%
66,7%
44,2%
52,4%
0,0% 50,0% 100,0%
Pelalawan
Kampar
Indragiri Hulu
Siak
Dumai
Pekanbaru
Total
Metode Pembayaran
Wila
yah
Non Tunai
Tunai
60,0%
80,0%
40,0%
100,0%
80,0%
96,7%
85,5%
40,0%
20,0%
60,0%
0,0%
20,0%
3,3%
14,5%
0,0% 50,0% 100,0%
Pelalawan
Kampar
Indragiri Hulu
Siak
Dumai
Pekanbaru
Total
Metode Pembayaran
Wila
yah
Non Tunai
Tunai
untuk kemudian disetor ke perbankan, sebanyak 20% pelaku usaha menyimpan uang tunai
antara 7 – 14 hari, sebanyak 17% pelaku usaha menyimpan uang tunai antara 21 – 30 hari,
sebanyak 3,8% pelaku usaha menyimpan uang tunai > 30 hari dan sebahagian yang lain (26,4%)
tidak menyetor hasil usahanya ke perbankan.
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Kondisi Keuangan Daerah
71
1. Kondisi Umum
Pada tahun 2012, Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Riau
mengalami peningkatan yang signifikan bila dibandingkan dengan tahun
sebelumnya, baik dari sisi anggaran pendapatan maupun anggaran belanja.
Namun, realisasi penyerapan anggaran pendapatan maupun anggaran belanja
pemerintah Provinsi Riau pada tahun 2012 diperkirakan akan lebih rendah
dibandingkan penyerapan tahun 2011 yang lalu.
Bab 4 KONDISI KEUANGAN
DAERAH
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Kondisi Keuangan Daerah
72
2. Realisasi APBD
Realisasi pendapatan Provinsi Riau sampai dengan triwulan IV-2012
diperkirakan sebesar Rp6,68 triliun (100,57%) dari rencana anggaran sebesar
Rp6,64 triliun. Sementara itu, realisasi anggaran belanja sampai dengan
triwulan IV-2012 diperkirakan sebesar Rp6,42 triliun atau sekitar 76,63% dari
rencana anggaran belanja tahun 2012 yang mencapai Rp8,37 triliun. Jika
dibandingkan dengan tahun sebelumnya, realisasi anggaran pendapatan
maupun anggaran belanja pada periode laporan mengalami penurunan
masing-masing dari 117,64% dan 88,90% menjadi 100,57% dan 76,63%.
Tabel 4.1. Ringkasan Realisasi APBD Provinsi Riau 2011 dan 2012 (Rp miliar)
Keterangan : *) Data Sangat Sementara Sumber : Biro Perekonomian Provinsi Riau
Jumlah realisasi pendapatan yang lebih besar dibandingkan dengan realisasi
belanja mendorong anggaran Provinsi Riau sampai dengan triwulan IV-2012
tercatat mengalami surplus sebesar Rp260,17 miliar. Sementara itu,
pembiayaan netto Provinsi Riau diperkirakan mencapai Rp1,72 triliun. Dengan
perkembangan tersebut, maka sampai dengan triwulan IV-2012 Sisa Lebih
Pembiayaan Anggaran (SILPA) Provinsi Riau diperkirakan akan mengalami
peningkatan menjadi sebesar Rp1,98 triliun atau mengalami peningkatan
sebesar 48,18% dibandingkan tahun sebelumnya.
Alokasi
Anggaran
Nilai
Realisasi
Pencapaian
(%)
Alokasi
Anggaran Nilai Realisasi
Pencapaian
(%)
(1) (2) (2) / (1) (1) (2) (2) / (1)Pendapatan 4.624,52 5.440,44 117,64 6.639,43 6.677,01 100,57
Belanja 4.797,60 4.265,13 88,90 8.373,81 6.416,84 76,63
Surplus / Defisit (173,08) 1.175,31 - (1.734,38) 260,17 -
Pembiayaan
Penerimaan Daerah 390,61 421,52 107,91 1.839,38 1.829,51 99,46
Pengeluaran Daerah 224,92 257,45 114,46 105,00 105,00 100,00
Pembiayaan Netto 165,68 164,07 99,03 1.734,38 1.724,51 99,43
SILPA - 1.339,38 - - 1.984,68 -
2012 *)
Uraian
2011
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Kondisi Keuangan Daerah
73
2.1. Realisasi Pendapatan
Realisasi komponen pendapatan daerah terbesar terjadi pada Pendapatan Asli
Daerah (PAD) dengan nilai realisasi diperkirakan sebesar Rp2,42 triliun
(110,87%). Salah satu pendorong tingginya realisasi anggaran PAD pada
periode laporan berasal dari pendapatan pajak daerah dengan nilai realisasi
diperkirakan sebesar Rp1,96 triliun dari alokasi anggaran yang telah
ditetapkan sebesar Rp1,84 triliun.
Jika dilihat per komponen pendapatan, alokasi anggaran pendapatan Provinsi
Riau sebagian besar berasal dari pendapatan transfer yang mencapai Rp3,79
triliun yang diperkirakan akan terealisasi sebesar Rp3,62 triliun (95,39%).
Realisasi tersebut utamanya berasal dari dana perimbangan sebesar Rp3,62
triliun (95,38%) dari alokasi anggaran sebesar Rp3,79 triliun. Secara umum,
realisasi seluruh komponen pendapatan yaitu transfer, pendapatan asli daerah,
dan pendapatan lain-lain yang sah Provinsi Riau pada periode laporan relatif
menurun dibandingkan dengan periode sebelumnya (Tabel 4.2).
Tabel 4.2. Realisasi Pendapatan Provinsi Riau s.d. Triwulan IV-2012 (Rp miliar)
Keterangan : *) Data Sangat Sementara Sumber : Biro Perekonomian Provinsi Riau
2.2. Realisasi Belanja
Pencapaian realisasi belanja Provinsi Riau sampai dengan triwulan IV-2012
diperkirakan mengalami penurunan dibandingkan tahun sebelumnya,
meskipun alokasi anggarannya mengalami peningkatan. Realisasi belanja pada
tahun 2012 tercatat sebesar 76,63% dengan nominal sebesar Rp6,42 triliun,
relatif menurun dibandingkan pencapaian tahun sebelumnya yang mencapai
88,90%. Alokasi anggaran belanja Provinsi Riau pada tahun 2012 mengalami
peningkatan yang signifikan dibandingkan tahun sebelumnya, yaitu dari
Alokasi
Anggaran
Nilai
Realisasi
Pencapaian
(%)
Alokasi
Anggaran Nilai Realisasi
Pencapaian
(%)
(1) (2) (2) / (1) (1) (2) (2) / (1)Pendapatan Asli Daerah 1.732,70 2.210,13 127,55 2.181,22 2.418,38 110,87
Pendapatan Transfer 2.888,35 3.226,84 111,72 3.793,93 3.619,22 95,39
Lain-Lain Pendapatan Yang Sah 3,47 3 100,00 664,27 639 96,26
Pendapatan 4.624,52 5.440,44 117,64 6.639,43 6.677,01 100,57
2012 *)
Uraian
2011
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Kondisi Keuangan Daerah
74
Alokasi
Anggaran
Nilai
Realisasi
Realisasi s.d
Tw.IV-2011, %
Alokasi
Anggaran Nilai Realisasi
Realisasi s.d
Tw.IV-2012,
%
(1) (2) (2) / (1) (1) (2) (2) / (1)Belanja Operasi 2.716,93 2.411,83 88,77 4.881,75 3.752,05 76,86
Belanja Modal 1.547,45 1.342,18 86,73 2.457,13 1.868,06 76,03
Belanja Tidak Terduga 1,50 0,10 6,77 10,78 0,00 0,00
Transfer 531,72 511,02 96,11 1.024,15 796,73 77,79
Belanja 4.797,60 4.265,13 88,90 8.373,81 6.416,84 76,63
2012
Uraian
2011
Rp4,80 triliun menjadi Rp8,37 triliun (74,54%). Komponen dengan realisasi
belanja terbesar terdapat pada belanja transfer dengan nilai realisasi sebesar
Rp796,73 miliar (77,79%) yang dialokasikan seluruhnya pada bagi hasil pajak
ke Kabupaten/Kota. Namun, alokasi anggaran untuk komponen ini tidak
terlalu besar bila dibandingkan dengan komponen belanja lainnya.
Selanjutnya, komponen belanja yang juga terealisasi lebih tinggi adalah
komponen belanja operasi yang diperkirakan mencapai 76,86% dengan nilai
realisasi sebesar Rp3,75 triliun. Penyerapan terbesar pada komponen ini
utamanya berasal dari belanja hibah dengan nilai realisasi sebesar Rp1,5 triliun,
diikuti belanja barang dan jasa sebesar Rp1,06 triliun dan belanja pegawai
sebesar Rp997 miliar.
Selanjutnya belanja modal yang dialokasikan sebesar Rp2,46 triliun telah
terealisasi sebesar Rp76,03% sampai dengan triwulan IV-2012 dengan nilai
realisasi sebesar Rp1,87 triliun. Realisasi belanja modal ini utamanya berasal
dari realisasi untuk belanja jalan, irigasi dan jaringan yaitu sebesar Rp1,12
triliun (80,41%) diikuti oleh belanja gedung dan bangunan sebesar Rp501
miliar (69,31%).
Tabel 4.3. Realisasi Belanja Provinsi Riau s.d Triwulan IV-2012 (Rp miliar)
Keterangan : Data Sangat Sementara Sumber : Biro Perekonomian Provinsi Riau
Terdapat beberapa faktor yang diperkirakan menyebabkan belum optimalnya
penyerapan belanja antara lain (i) permasalahan internal, yaitu kelambatan
proses administrasi dan belum optimalnya perencanaan sehingga penyerapan
menjadi tidak optimal, (ii) mekanisme pengadaan barang dan jasa yang relatif
panjang, (iii) faktor geografis serta keterbatasan kapasitas
developer/kontraktor di daerah.
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Kesejahteraan
Daerah
75
1. Kondisi Umum
Kondisi kesejahteraan Provinsi Riau khususnya di pedesaan, sebagaimana
tercermin salah satunya dari perkembangan Nilai Tukar Petani (NTP)
menunjukkan penurunan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya maupun
triwulan yang sama pada tahun sebelumnya. Penurunan tersebut didorong
oleh menurunnya harga TBS lokal akibat penurunan harga CPO dunia dan
peningkatan produksi pada triwulan IV-2012. Namun disisi lain, peningkatan
UMP Provinsi dan upah minimum Kab/Kota menjadi indikator yang akan
mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat Riau. Meskipun demikian,
Pemerintah Daerah juga perlu aware terhadap resiko-resiko yang mungkin
muncul.
Bab 5
PERKEMBANGAN
KESEJAHTERAAN DAERAH
MONETER, PERBANKAN
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Kesejahteraan
Daerah
76
2. Nilai Tukar Petani (NTP)
Nilai Tukar Petani (NTP)1 merupakan salah satu indikator yang digunakan
untuk melihat tingkat kesejahteraan petani dengan mengukur kemampuan
tukar produk yang dihasilkan oleh petani dengan produk yang dibutuhkan
oleh petani baik untuk proses produksi maupun untuk konsumsi rumah
tangga petani. Semakin tinggi NTP mengindikasikan semakin meningkatnya
kemampuan daya tukar (term of trade) petani yang sejalan dengan
peningkatan kehidupan petani.
Pada triwulan IV-2012 indeks NTP di Provinsi Riau mengalami penurunan
dibandingkan dengan triwulan sebelumnya maupun triwulan yang sama pada
tahun sebelumnya. Penurunan NTP tersebut mengindikasikan semakin
menurunnya daya tukar petani dari produk yang dihasilkan terhadap produk
yang dibutuhkan. Kondisi ini disebabkan oleh menurunnya indeks yang
diterima oleh petani dari produk yang dihasilkan sementara indeks yang harus
dibayar petani dari produk yang dibutuhkan/dikonsumsi mengalami
peningkatan. Kondisi tersebut pada akhirnya akan memberikan dampak yang
cukup berarti terhadap menurunnya kesejahteraan petani.
Grafik 5.1. Perkembangan Nilai Tukar Petani di Provinsi Riau
Sumber : BPS Provinsi Riau, diolah
1 NTP adalah perbandingan antara indeks harga yang diterima petani dengan indeks harga yang dibayar petani dan dinyatakan dalam bentuk persentase
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Kesejahteraan
Daerah
77
Pada triwulan laporan, NTP di Provinsi Riau tercatat sebesar 102,54 menurun
dibandingkan dengan triwulan sebelumnya maupun triwulan yang sama pada
tahun sebelumnya yaitu masing-masing sebesar 103,61(1,03%) dan 105,05
(2,39%). Secara tahunan (yoy), penurunan NTP Riau disebabkan karena lebih
tingginya peningkatan indeks yang dibayar petani yaitu untuk konsumsi
rumah tangga, biaya pemeliharaan dan penambahan barang modal
dibandingkan dengan kenaikan indeks yang diterima. Namun demikian,
secara triwulanan penurunan terjadi karena indeks yang diterima menurun
sementara indeks yang dibayar mengalami peningkatan.
Selanjutnya, jika dilihat secara sektoral, hampir semua sektor mengalami
penurunan, kecuali sektor peternakan dan sektor perikanan. Namun demikian,
indeks sektor perikanan secara persisten masih berada dibawah 100. Kondisi
yang sama juga terjadi pada sektor tanaman perkebunan rakyat, dimana
indeksnya pada 3 (tiga) triwulan terakhir berada dibawah 100. Jika dilihat dari
perkembangannya, maka penurunan NTP yang paling besar terjadi pada
sektor tanaman perkebunan rakyat yaitu menurun sebesar 2,81% (qtq) dan
5,61% (yoy). Mengingat besarnya pangsa sektor ini di Provinsi Riau sehingga
telah memberikan pengaruh yang cukup berarti terhadap penurunan NTP
secara umum.
Grafik 5.2. Perkembangan Nilai Tukar
Petani Sektoral di Provinsi Riau
Grafik 5.3. Perkembangan Harga
Tandan Buah Segar (TBS) Lokal
di Provinsi Riau dan Harga CPO Dunia
Sumber : United States Departemen of Agriculture Foreign Agricultural Service
Sumber : United States Departemen of Agriculture Foreign Agricultural Service
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Kesejahteraan
Daerah
78
Menurunnya NTP sektor tanaman perkebunan rakyat disebabkan oleh
penurunan harga TBS lokal. Pada triwulan laporan, harga TBS lokal secara
rata-rata menurun dibandingkan triwulan sebelumnya maupun triwulan yang
sama pada tahun sebelumnya, yaitu masing-masing sebesar 19,68% dan
25,35%. Kondisi tersebut disebabkan oleh menurunnya harga CPO dunia
akibat berkurangnya permintaan dunia terhadap CPO khususnya dari China
sebagai konsumen CPO terbesar. Selain itu, panen raya pada bulan Agustus
sampai November juga mengakibatkan peningkatan produksi TBS sehingga
stok TBS Riau juga meningkat yang juga memicu penurunan harga TBS lokal.
Grafik 5.4. Perkembangan Konsumsi
CPO Dunia di Negara India, China dan
Eropa
Grafik 5.5. Perkembangan Produksi
CPO Dunia di Negara Indonesia,
Malaysia dan Thailand
Sumber : United States Departemen of Agriculture Foreign Agricultural Service
Sumber : United States Departemen of Agriculture Foreign Agricultural Service
3. Upah Minimum Provinsi (UMP)
Melalui Surat Keputusan (SK) Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 67 tahun
2012 tentang penetapan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK), Pemerintah
Provinsi Riau telah menetapkan upah minimum di masing-masing
Kabupaten/Kota yang ada di Provinsi Riau. Selanjutnya berdasarkan Kab/Kota,
kenaikan upah minimum terbesar terdapat pada Kabupaten Bengkalis yaitu
sebesar 26,77% dari Rp1,27 juta menjadi Rp1,61 juta, diikuti oleh Kabupaten
Siak dari Rp1,31 juta menjadi Rp1,6 juta (22,14%). Upah minimum
Kabupaten Bengkalis juga merupakan upah minimum yang tertinggi di
Provinsi Riau.
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Kesejahteraan
Daerah
79
No Wilayah 2010 2011 2012 2013Pertumbuhan
11/12
Pertumbuhan
12/13
1 Kab. Pelalawan 1.020.000 1.128.000 1.250.000 1.445.000 10,82 15,60
2 Kab. Rokan Hulu 1.060.000 1.150.000 1.265.000 1.450.000 10,00 14,62
3 Kab. Rokan Hilir 1.040.000 1.140.000 1.287.000 1.520.000 12,89 18,10
4 Kab. Indragiri Hulu 1.108.500 1.208.000 1.389.000 1.548.888 14,98 11,51
5 Kab. Indragiri Hilir 1.030.000 1.130.000 1.250.000 1.492.000 10,62 19,36
6 Kab. Siak 1.048.500 1.186.000 1.310.000 1.600.000 10,46 22,14
7 Kab. Bengkalis 1.050.000 1.125.000 1.270.000 1.610.000 12,89 26,77
8 Kab. Kampar 1.122.000 1.230.000 1.345.000 1.492.000 9,35 10,93
9 Kab. Kuantan Singingi 1.017.500 1.123.000 1.270.000 1.447.800 13,09 14,00
10 Kab. Kep. Meranti 1.016.000 1.125.000 1.255.000 1.510.000 11,56 20,32
11 Kota Pekanbaru 1.055.000 1.135.000 1.260.000 1.450.000 11,01 15,08
12 Kota Dumai 1.070.000 1.177.000 1.287.000 1.490.000 9,35 15,77
Provinsi Riau 1.016.000 1.120.000 1.238.000 1.400.000 10,54 13,09
Selanjutnya, upah minimum terendah terdapat di Kabupaten Pelalawan yaitu
sebesar Rp1,45 juta dari Rp1,25 juta. Namun demikian, jika dilihat dari
besarannya, upah minimum di Riau telah berada pada tingkat yang cukup
baik. Peningkatan upah minimum pada masing-masing Kab/Kota juga tercatat
cukup tinggi, bahkan secara umum lebih tinggi dibandingkan tahun
sebelumnya.
Kenaikan UMP pada tahun 2012 tercatat sebesar 10,54%, lebih tinggi
dibandingkan dengan kenaikan UMP pada tahun 2011 yang lalu (10,24%). Di
sisi lain, inflasi Riau pada tahun 2012 tercatat sebesar 3,32% (yoy) lebih
rendah dibandingkan dengan inflasi pada tahun 2011 yang mencapai 4,72%.
Kenaikan UMP yang lebih tinggi dan diiringi dengan inflasi yang lebih rendah
mengindikasikan bahwa penduduk Riau pada tahun 2012 lebih sejahtera
dibandingkan tahun 2011.
Tabel 5.1 Perkembangan Upah Minimum per Kabupaten/Kota di Provinsi Riau
Sumber : Kementerian Tenaga Kerja, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Penduduk
GE KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Prospek Perekonomian Daerah
80
1. PROSPEK MAKROREGIONAL
Perkembangan ekonomi Riau pada triwulan I-2013 diperkirakan akan tumbuh
relatif tidak berbeda dengan periode sebelumnya. Dengan memasukkan unsur
migas, pertumbuhan ekonomi Riau diperkirakan secara tahunan pada kisaran
2,4%-3,0% (yoy). Sementara itu, dengan mengeluarkan unsur migas,
pertumbuhan ekonomi diperkirakan akan mencapai kisaran 7,4%-7,9% (yoy).
PROSPEK PEREKONOMIAN
DAERAH
Bab 6
GE KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Prospek Perekonomian Daerah
81
Tabel 6.1. Prakiraan Pertumbuhan Ekonomi Triwulan IV-2012
Sumber : BPS Provinsi Riau Keterangan :***) Angka Sangat Sementara, p) Perkiraan Bank Indonesia
Ditinjau dari sisi penggunaan, sumber pertumbuhan diperkirakan ditopang oleh
permintaan domestik terutama konsumsi rumah tangga dan ekspor non migas.
Beberapa faktor yang berpotensi mendukung kondisi tersebut antara lain (i)
meningkatnya Upah Minimum Provinsi tahun 2013 dari Rp1,24 juta menjadi
Rp1,40 juta atau naik 13,09% (yoy) yang juga diikuti oleh peningkatan upah
minimum di tingkat kabupaten/kota, (ii) membaiknya harga komoditas CPO di
pasar internasional, dimana pada bulan Januari telah terjadi kenaikan harga CPO
sebesar 8,07% (mtm) menjadi USD734 per MT dan (iii) meningkatnya kinerja
perdagangan sejalan dengan mulai pulihnya negara mitra dagang ekonomi Riau
terutama Cina1.
Dari sisi sektoral, perekonomian Riau pada triwulan mendatang diperkirakan akan
ditopang oleh sektor non-tradables khususnya sektor perdagangan. Hal ini tidak
terlepas dari mulai meningkatnya konsumsi masyarakat dan pulihnya kinerja ekspor
sehingga turut menjaga kestabilan pertumbuhan di sektor perdagangan.
Sementara itu, sektor pertanian khususnya pada sub sektor perkebunan
diperkirakan akan mulai membaik sejalan dengan membaiknya harga komoditas
internasional seperti CPO dan karet yang tentunya akan memberikan insentif bagi
para petani untuk melakukan panen.
Namun demikian, terdapat beberapa hal yang berpotensi membawa pertumbuhan
ekonomi Riau menyentuh batas bawah proyeksi (downside risks). Dari sisi internal,
belum ditemukannya sumur minyak yang lebih produktif diperkirakan akan
mengakibatkan pencapaian lifting minyak bumi Riau lebih rendah dibandingkan
tahun sebelumnya. Namun terdapat beberapa kebijakan pemerintah untuk
meningkatkan volume lifting minyak bumi diantaranya (i) peningkatan eksplorasi
sehingga reserve replacement ratio mendekati satu, (ii) mengganti infrastruktur
1 Dana Moneter Internasional memprediksi bahwa pertumbuhan ekonomi Cina pada tahun 2013 mencapai 8,2% (yoy) atau lebih tinggi dari tahun 2012 yang tercatat sebesar 7,8% (yoy).
2013p)
I II III IV I
Total 5,01 5,02 3,96 4,06 2,37 3,55 2,4 - 3,0
Tanpa Migas 7,63 7,36 7,50 8,26 7,21 7,82 7,4 - 7,5
2012***Pertumbuhan 2012***
2011***
GE KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Prospek Perekonomian Daerah
82
lama dan (iii) optimalisasi pelaksanaan Inpres 2/2012 tentang peningkatan produksi
minyak bumi nasional. Sementara itu, salah satu faktor yang berpotensi membawa
pertumbuhan menyentuh batas atas (upside risks) adalah potensi pemulihan
ekonomi negara mitra dagang utama Riau dan negara berkembang (emerging
market) di kawasan Asia yang diperkirakan akan memberikan spill over positif bagi
kinerja ekspor utama Riau. Disamping itu, adanya prakiraan terhadap kenaikan
volume perdagangan dunia juga diperkirakan akan memberikan imbas positif
terhadap kinerja perdagangan eksternal Riau secara umum.2
Grafik 6.1. Perkembangan Indeks Keyakinan Konsumen di Provinsi Riau
Grafik 6.2. Prakiraan Indeks Kegiatan Usaha di Provinsi Riau
Grafik 6.1. Prakiraan Indeks Kegiatan Usaha Sektor Pertanian
Grafik 6.2. Prakiraan Indeks Kegiatan Usaha Sektor Pertambangan
2 Dana Moneter Internasional memprediksi bahwa pertumbuhan volume perdagangan dunia pada tahun 2013 mencapai 3,8% atau naik 1% dari tahun 2012 sejalan dengan pemulihan ekonomi negara maju.
50
70
90
110
130
150
170
II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1
2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2012 2013
Indeks Keyakinan Konsumen Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini
Indeks Ekspektasi Konsumen Baseline
GE KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Prospek Perekonomian Daerah
83
Grafik 6.1. Prakiraan Indeks Kegiatan Usaha Sektor Industri
Grafik 6.2. Prakiraan Indeks Kegiatan Usaha Sektor Perdagangan
2. PERKIRAAN INFLASI
Perkembangan inflasi Kota Pekanbaru pada triwulan mendatang relatif meningkat
dan diproyeksikan berada pada kisaran 4,8% - 5,5% (yoy). Sedangkan secara
triwulanan, inflasi diperkirakan berkisar 2,0% - 2,8% (qtq). Kondisi ini diperkirakan
dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya Pertama, kondisi cuaca ekstrem yang
berpotensi mengganggu pasokan dan distribusi secara umum. Kedua, meningkatnya
biaya produksi di tingkat pelaku usaha sejalan dengan kebijakan administered price
yakni kenaikan Tarif Tenaga Listrik (TTL) dengan rata-rata sebesar 15% dan Upah
Minimum Regional (UMP). Ketiga, gangguan produksi akibat faktor musiman dan
menurunnya luas tanam bahan pangan pokok seperti cabe merah di wilayah sentra
produksi.3 Keempat, masih belum memadainya kondisi infrastruktur seperti kondisi
jalan yang masih belum memenuhi standar yang terjadi akibat adanya
ketidakseimbangan antara tonase jalan dengan kapasitas kendaraan sehingga
berpotensi menghambat kelancaran distribusi pasokan bahan makanan.
Tabel 6.2. Perkembangan Inflasi Aktual dan Prakiraan Inflasi Triwulan IV-2012
Sumber : BPS Provinsi Riau, Keterangan : p) Proyeksi Bank Indonesia
3 Berdasarkan informasi dari Dinas Perdagangan Kota Pekanbaru, sekitar 40% pasokan cabe merah keriting berasal dari Sumatera Utara, adanya masa libur pada tanggal 24-31 Desember 2012 cukup mempengaruhi pasokan cabe merah keriting di Riau mengingat petani di Sumatera Utara belum melakukan panen.
2013p)
I II III IV I II III IV I
yoy,% 7,90 5,58 6,04 4,71 3,93 5,44 4,08 3,32 4,8 - 5,5
qtq,% 1,18 -0,30 2,35 1,42 0,43 1,14 1,03 0,69 2,0 - 2,8
Inflasi2012***2011***
GE KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Prospek Perekonomian Daerah
84
Terdapat beberapa faktor yang berpotensi membawa inflasi melewati batas atas
kisaran proyeksi (upside risks) antara lain kenaikan eksepektasi pelaku usaha sejalan
dengan kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP), hambatan distribusi dan
infrastruktur. Sementara itu, beberapa faktor yang berpotensi membawa inflasi ke
batas bawah (downside risks) proyeksi diantaranya adalah solusi dini (pre-emptive
solution) TPID yang dihasilkan melalui koordinasi dengan berbagai instansi terkait
dan penguatan strategi komunikasi dalam menjaga ekspektasi.
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Daftar Istilah
xv
Aktiva Produktif
Adalah penanaman atau penempatan yang dilakukan oleh bank dengan tujuan
menghasilkan penghasilan/pendapatan bagi bank, seperti penyaluran kredit,
penempatan pada antar bank, penanaman pada Sertifikat Bank Indonesia (SBI), dan
surat-surat berharga lainnya.
Aktiva Tertimbang Menurut Resiko (ATMR)
Adalah pembobotan terhadap aktiva yang dimiliki oleh bank berdasarkan risiko dari
masing-masing aktiva. Semakin kecil risiko suatu aktiva, semakin kecil bobot
risikonya. Misalnya kredit yang diberikan kepada pemerintah mempunyai bobot
yang lebih rendah dibandingkan dengan kredit yang diberikan kepada perorangan.
Kualitas Kredit
Adalah penggolongan kredit berdasarkan prospek usaha, kinerja debitur dan
kelancaran pembayaran bunga dan pokok. Kredit digolongkan menjadi 5 kualitas
yaitu Lancar, Dalam Perhatian Khusus (DPK), Kurang Lancar, Diragukan dan Macet.
Capital Adequacy Ratio (CAR)
Adalah rasio antara modal (modal inti dan modal pelengkap) terhadap Aktiva
Tertimbang Menurut Resiko (ATMR).
Dana Pihak Ketiga (DPK)
Adalah dana yang diterima perbankan dari masyarakat, yang berupa giro,
tabungan atau deposito.
DAFTAR ISTILAH
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Daftar Istilah
xvi
Financing to Deposit Ratio (FDR)
Adalah rasio antara pembiayaan yang diberikan oleh bank syariah terhadap dana
yang diterima. Konsep ini sama dengan konsep LDR pada bank umum
konvensional.
Inflasi
Kenaikan harga barang secara umum dan terus menerus (persistent).
Inflasi Administered Price
Inflasi yang terjadi pergerakan harga barang-barang yang termasuk dalam
kelompok barang yang harganya diatur oleh pemerintah (misalnya bahan bakar).
Inflasi Inti
Inflasi yang terjadi karena adanya gap penawaran aggregat and permintaan
agregrat dalam perekonomian, serta kenaikan harga barang impor dan ekspektasi
masyarakat.
Inflasi Volatile Food
Inflasi yang terjadi karena pergerakan harga barang-barang yang termasuk dalam
kelompok barang yang harganya bergerak sangat volatile (misalnya beras).
Kliring
Adalah pertukaran warkat atau Data Keuangan Elektronik (DKE) antar peserta
kliring baik atas nama peserta maupun atas nama nasabah peserta yang
perhitungannya diselesaikan pada waktu tertentu.
Kliring Debet
Adalah kegiatan kliring untuk transfer debet antar bank yang disertai dengan
penyampaian fisik warkat debet seperti cek, bilyet giro, nota debet kepada
penyelenggaran kliring lokal (unit kerja di Bank Indonesia atau bank yang
memperoleh persetujuan Bank Indonesia sebagai penyelenggara kliring lokal) dan
hasil perhitungan akhir kliring debet dikirim ke Sistem Sentral Kliring (unit kerja
yang menangani SKNBI di KP Bank Indonesia) untuk diperhitungkan secara
nasional.
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Daftar Istilah
xvii
Kliring Kredit
Adalah kegiatan kliring untuk transfer kredit antar bank yang dikirim langsung oleh
bank peserta ke Sistem Sentral Kliring di KP Bank Indonesia tanpa menyampaikan
fisik warkat (paperless).
Loan to Deposit Ratio (LDR)
Adalah rasio antara jumlah kredit yang disalurkan terhadap dana yang diterima
(giro, tabungan dan deposito).
Net Interest Income (NII)
Adalah antara pendapatan bunga dikurangi dengan beban bunga.
Non Core Deposit (NCD)
Adalah dana masyarakat yang sensitif terhadap pergerakan suku bunga. Dalam
laporan ini, NCD diasumsikan terdiri dari 30% giro, 30% tabungan dan 10%
deposito berjangka waktu 1-3 bulan.
Non Performing Loans/Financing (NLPs/Ls)
Adalah kredit/pembiayaan yang termasuk dalam kualitas Kurang Lancar, Diragukan
dan Macet
Penyisihan Pengghapusan Aktiva Produktif (PPAP)
Adalah suatu pencadangan untuk mengantisipasi kerugian yang mungkin timbul
dari tidak tertagihnya kredit yang diberikan oleh bank. Besaran PPAP ditentukan
dari kualitas kredit. Semakin buruk kualitas kredit, semakin besar PPAP yang
dibentuk. Misalnya, PPAP untuk kredit yang tergolong Kurang Lancar adalah 15%
dari jumlah kredit Kurang Lancar (setelah dikurangi agunan), sedangkan untuk
kredit Macet, PPAP yang harus dibentuk adalah 100% dari total kredit macet
(setelah dikurangi agunan).
Rasio Non Performing Loans/Financing (NPLs/Fs)
Adalah rasio kredit/pembiayaan yang tergolong NPLs/Fs terhadap total
kredit/pembiayaan. Rasio ini juga sering disebut rasio NPLs/Fs gross. Semakin
rendah rasio NPLs/Fs, semakin baik kondisi bank ysb.
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Daftar Istilah
xviii
Rasio Non Performing Loans (NPLs) Net
Adalah rasio kredit yang tergolong NPLs, setelah dikurangi pembentukan
Penyisihan Pengghapusan Aktiva Produktif (PPAP), terhadap total kredit
Sistem Bank Indonesia Real Time Settlement (BI RTGS)
Adalah proses penyelesaian akhir transaksi pembayaran yang dilakukan seketika
(real time) dengan mendebet maupun mengkredit rekening peserta pada saat
bersamaan sesuai perintah pembayaran dan penerimaan pembayaran.
Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKN-BI)
Adalah sistem kliring Bank Indonesia yang meliputi kliring debet dan kliring kredit
yang penyelesaian akhirnya dilakukan secara nasional.