Kajian Atas PSO

22
Kajian Atas PSO (Public Service Obligation) A. Latar Belakang Kajian Public Service Obligation (PSO) adalah kewajiban BUMN dalam melayani kebutuhan publik. Tugas pelayanan publik alias public service obligation (PSO) yang dibebankan ke BUMN lebih banyak dijalankan dengan setengah hati. Hal ini disebabkan tugas PSO bertumpuk, sementara dukungan dari pemerintah amat minim, baik dari sisi peraturan sebagai captive market maupun dari sisi bantuan anggaran. Agar penugasan PSO dijalankan dengan sepenuh hati, Kementerian Negara BUMN mengusulkan adanya kontrak kerja PSO antara pemerintah sebagai pemberi tugas dan BUMN sebagai penerima tugas. Padahal soal dana PSO BUMN tersebut telah jelas diatur dalam penjelasan pasal 66 UU 19/2003 tentang BUMN yang menyatakan, apabila penugasan yang diberikan tersebut tidak feasible, maka seluruh biaya harus ditanggung oleh pemerintah plus marjin. Menurut Said, selama ini kebanyakan BUMN yang melakukan PSO tidak memperoleh marjin. Pihak Kementerian Negara BUMN sendiri telah menetapkan bahwa untuk meningkatkan laba, rencananya manajemen perusahaan (corporate management) yang bermotif mencari keuntungan dengan PSO perusahaan-perusahaan BUMN tahun 2006 nanti akan dipisahkan sehingga lebih memudahkan pengawasannya. Menurut Menteri Negara BUMN Sugiharto, selama ini kinerja perusahaan BUMN tidak terukur pasti karena masih tercampurnya manajemen perusahaan yang bermotif mencari keuntungan dengan PSO. Untuk lebih mengefisienkan pengalokasian dana PSO dan subsidi, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani akan mengkaji pengembalian dana itu ke departemen teknis terrkait. Menurut Menkeu, jika PSO dan subsidi diserahkan ke departemen teknis,maka bisa diketahui apakah penyaluran PSO maupun subsidi itu berjalan benar.

description

pso

Transcript of Kajian Atas PSO

Kajian Atas PSO (Public Service Obligation)

A. Latar Belakang Kajian

Public Service Obligation (PSO) adalah kewajiban BUMN dalam melayani kebutuhan publik. Tugas pelayanan publik alias public service obligation (PSO) yang dibebankan ke BUMN lebih banyak dijalankan dengan setengah hati. Hal ini disebabkan tugas PSO bertumpuk, sementara dukungan dari pemerintah amat minim, baik dari sisi peraturan sebagai captive market maupun dari sisi bantuan anggaran. Agar penugasan PSO dijalankan dengan sepenuh hati, Kementerian Negara BUMN mengusulkan adanya kontrak kerja PSO antara pemerintah sebagai pemberi tugas dan BUMN sebagai penerima tugas. Padahal soal dana PSO BUMN tersebut telah jelas diatur dalam penjelasan pasal 66 UU 19/2003 tentang BUMN yang menyatakan, apabila penugasan yang diberikan tersebut tidak feasible, maka seluruh biaya harus ditanggung oleh pemerintah plus marjin. Menurut Said, selama ini kebanyakan BUMN yang melakukan PSO tidak memperoleh marjin.

Pihak Kementerian Negara BUMN sendiri telah menetapkan bahwa untuk meningkatkan laba, rencananya manajemen perusahaan (corporate management) yang bermotif mencari keuntungan dengan PSO perusahaan-perusahaan BUMN tahun 2006 nanti akan dipisahkan sehingga lebih memudahkan pengawasannya. Menurut Menteri Negara BUMN Sugiharto, selama ini kinerja perusahaan BUMN tidak terukur pasti karena masih tercampurnya manajemen perusahaan yang bermotif mencari keuntungan dengan PSO.

Untuk lebih mengefisienkan pengalokasian dana PSO dan subsidi, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani akan mengkaji pengembalian dana itu ke departemen teknis terrkait. Menurut Menkeu, jika PSO dan subsidi diserahkan ke departemen teknis,maka bisa diketahui apakah penyaluran PSO maupun subsidi itu berjalan benar.

Dengan demikian, yang bertugas mengawasi pelaksanaan PSO tersebut adalah departemen teknis dan bukan departemen keuangan. Departemen keuangan hanya bertugas sebagai juru bayar bila penugasan PSO tersebut dilaksanakan.

Berkaitan dengan pembiayaan PSO, perhatian pemerintah terhadap PSO sebenarnya sudah memadai. Contohnya, Undang-undang Perkeretaapian yang telah disahkan DPR pada Selasa 27 Maret 2007 lalu membuka peran swasta untuk penyelenggaraan jasa perkeretaapian. UU tersebut mengatur pemberian subsidi berupa PSO berapa pun besarnya kepada operator (termasuk swasta) yang mengoperasikan KA ekonomi.

Disisi lain, rencana PT Biofarma untuk memproduksi vaksin flu burung terhambat. Pengajuan dana PSO kepada pemerintah sebesar Rp 300 miliar hingga kini belum ada tanggapan.

Permasalahan lain yang mengemuka berkaitan dengan PSO adalah pelaporan kinerja PSO, efek dilusi pada BUMN terbuka, dan PSO tanpa margin. Salah satu kasus dalam pelaporan kinerja PSO adalah Pertamina. Pertamina yang bertugas untuk menyalurkan BBM bersubsidi baru bisa menyerahkan hasil audit harga pokok produksi BBM paling cepat pertengahan tahun 2005. Ini karena Pertamina baru memisahkan fungsi PSO-nya pada 2005. Untuk menghindari pembebanan PSO, BUMN seperti PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) meminta pemerintah untuk mendirikan suatu perusahaan lain untuk menangani subsidi (PSO) gas bagi masyarakat. Hal ini disebabkan kerugian yang ditimbulkan oleh unit usaha PSO telah menyeret turun nilai pasar BUMN terbuka tersebut. Efek dilusi ini telah menyebabkan perusahaan tidak dapat menunjukkan nilainya yang sebenarnya.

Pembayaran PSO yang minim tanpa margin mengemuka sebagaimana dikeluhkan oleh Perumnas bahwa bisnis rumah susun sederhana sewa (rusunawa) yang dikelola oleh Perum Perumnas dari tahun ke tahun terus merugi. Penyebabnya adalah biaya sewa jauh lebih rendah dari biaya yang dikeluarkan Perumnas sebagai pengelola, sehingga hingga setiap tahun Perumnas harus menyisihkan subsidi hingga Rp 15 miliar. PSO yang diajukan kepada pihak departemen teknis tidak cukup untuk menutupi biaya operasional unit tersebut.

Rencana Pemerintah untuk memberikan peluang kepada swasta dalam menyalurkan BBM bersubsidi kepada masyarakat juga menyisakan pertanyaan mengenai target operasional layanan, standar pelayanan minimal, selisih biaya pelaksanaan yang harus dibebankan kepada pemerintah. Untuk itu perlu diatur mengenai pelaporan kinerja, tatacara penagihan dan pembayaran serta prosedur audit atas PSO.

Banyaknya keluhan dari BUMN disatu sisi, dan belum adanya prosedur standar yang dapat mempermudah pembayaran PSO, menyebabkan keengganan BUMN dapat melaksanakan PSO yang dibebankan kepadanya. Berkaitan dengan hal tersebut maka diperlukan adanya satu pihak independen yang dapat meyakinkan stakeholders bahwa BUMN tersebut telah melaksanakan PSO yang diembannya sehingga berhak dibayar atas selisih yang dibebankan kepadanya.

B.Tujuan dan Ruang Lingkup

Tujuan dari kajian ini adalah untuk mendapatkan dasar bagi Pemerintah mengenai perlunya dilakukan evaluasi atas pelaksanaan PSO bagi BUMN serta verifikasi atas pengajuan pembayaran PSO oleh BUMN. Hal ini akan menempatkan BPKP sebagai pihak ketiga yang independen dan profesional untuk berdiri ditengah dalam penugasan tersebut. Berdasarkan kajian ini kemudian diharapkan dapat dibentuk tim / satuan tugas untuk menyusun pedoman dalam melaksanakan evaluasi atas pelaksanaan PSO bagi BUMN serta pedoman dalam melaksanakan verifikasi atas pengajuan pembayaran PSO oleh BUMN. Ruang lingkup kajian mencakup permasalahan berkaitan dengan PSO dan jenis-jenis PSO. Dengan demikian, diharapkan dapat diperoleh pemahaman mengenai perlunya evaluasi atas pelaksanaan PSO dan verifikasi atas pengajuan pembayaran PSO.

C. Identifikasi Permasalahan

Berbagai macam permasalahan tersebut diatas berkaitan dengan pelaksanaan PSO bila diklasifikasikan akan terbagi menjadi 3 golongan sebagai berikut:

1. Dari sisi Masyarakat

a. Pemenuhan sarana/prasarana utama (SPU) yang harus disediakan oleh pemerintah dengan kualitas yang memadai dan harga yang murah/terjangkau.

b.Peningkatan kualitas hidup sebagai bagian dari kehidupan bernegara agar lebih makmur dan sejahtera.

c. Sesuai dengan pasal 33 UUD 45 yang menyatakan bahwa negara menguasai hal ekonomi yang menyangkut hajat hidup orang banyak.

2. Dari sisi BUMN / BUMD

a. Kepastian dari pemerintah bahwa jasa / produk yang diberikan oleh BUMN / BUMD yang bersangkutan merupakan SPU yang dapat diklasifikasikan sebagai PSO,

b. Kepastian dari pemerintah bahwa selisih antara biaya dengan pendapatan atas pelaksanaan PSO tersebut akan dibayarkan oleh pemerintah,

c. Kepastian dari pemerintah bahwa perhitungan laba dari sektor komersial diperhitungkan seluruhnya sebagai effort dari manajemen.

3. Dari sisi Pemerintah

a. Kepastian bagi pemerintah bahwa jasa / produk yang diberikan oleh BUMN / BUMD tersebut merupakan jasa / produk yang tidak bisa diberikan oleh pihak swasta lainnya dengan harga pasar,

b. Kepastian bagi pemerintah bahwa PSO yang diberikan telah memenuhi standar pelayanan minimum (SPM) yang harus disampaikan kepada rakyat,

c. Kepastian bagi Pemerintah bahwa tagihan yang diajukan oleh BUMN merupakan PSO yang seharusnya diberikan atas pemenuhan SPU yang wajib disediakan oleh pemerintah,

d. Kepastian bagi Pemerintah bahwa tagihan yang diajukan oleh BUMN merupakan selisih antara biaya dengan pendapatan dan bukan akibat ketidakefisienan dan telah sesuai dengan aktivitas yang diberikan atas biaya yang dikeluarkan BUMN tersebut.

D.Dasar Hukum PSO

UU 19/2003 tentang BUMN pasal 66 yang menyatakan, apabila penugasan yang diberikan tersebut tidak feasible, maka seluruh biaya harus ditanggung oleh pemerintah plus marjin. Khusus untuk pelaksanaan PSO pada beberapa sektor baru diatur sebagai berikut :

Undang-undang Perkeretaapian yang telah disahkan DPR pada Selasa 27 Maret 2007 mengatur pemberian subsidi berupa PSO berapa pun besarnya kepada operator (termasuk swasta) yang mengoperasikan KA ekonomi.

Inpres Nomor 13 Tahun 2005 tentang Kebijakan Perberasan, Bulog ditugaskan membeli 6-7% dari produksi beras nasional.

E. Definisi PSO

Pada tingkat masyarakat, kewajiban jasa layanan publik didefinisikan berbeda dengan kewajiban jasa layanan universal yang harus dipenuhi. Sebagai contoh, kewajiban dimana jasa telekomunikasi, dan pos (dan, dibawah amandemen undang-undang sektor energi, jasa kelistrikan) adalah subjek dimana masyarakat harus memperolehnya diperistilahkan sebagai kewajiban jasa universal, sementara kewajiban untuk menghadirkan gas dan sektor transportasi diperistilahkan sebagai kewajiban jasa layanan publik. Meskipun air bersih ditetapkan sebagai jasa dari kepentingan ekonomi umum dalam dokumentasi komunitas yang tetap, industri air bersih bukan subjek dari setiap peristilahan khusus antara kedua istilah tersebut, baik kewajiban layanan universal atau kewajiban layanan publik pada tingkat masyarakat. Perbedaan kedua istilah tersebut baik kewajiban jasa universal ataupun kewajiban jasa publik terbukti telah membuat bingung dan sering mengakibatkan kesalahan dalam pengambilan keputusan.

Komisi Uni Eropa mendefinisikan konsep layanan publik sebagai Peran kepentingan umum yang dibebankan kepada sebuah badan penyedia jasa dari kepentingan ekonomi umum. Kewajiban layanan publik adalah kewajiban yang harus dibebankan oleh penguasa publik kepada badan (atau badan-badan) untuk menyediakan jasa untuk mempertemukan dengan kebutuhan kepentingan umum. Istilah kewajiban layanan publik adalah terminologi generik yang merujuk pada setiap jasa layanan yang harus disediakan oleh pemerintah melalui penyedia jasa atau dengan kata lain penyediaan jasa untuk kebutuhan masyarakat umum. Kewajiban layanan publik (PSO) dapat dibedakan antara kewajiban layanan universal (UPSO) dengan kewajiban layanan khusus (SPSO) tergantung kepada hakikat dari tujuan jasa tersebut diberikan.

Masyarakat pada umumnya menunjukkan jasa universal sebagai seperangkat jasa minimum dengan kualitas yang spesifik, disediakan kepada semua pengguna tidak tergantung pada lokasi geografi dalam kondisi nasional yang khusus, pada harga yang dapat diterima (wajar). Kewajiban layanan universal adalah kewajiban yang ditempatkan untuk didisain oleh penyedia jasa untuk mempertemukan dengan kebutuhan layanan universal. Kewajiban layana universal mungkin dipertimbangkan untuk diberikan pada jumlah yang lebih sedikit daripada kewajiban layanan khusus, dimana, bersama-sama ditambahkan menemui kebutuhan kewajiban layanan universal.

Kewajiban layanan publik khusus, dimana bukan merupakan bagian dari kewajiban layanan universal, dan tidak termasuk prinsip kekhususan dari akses universal, adalah juga pembebanan kepada sektor yang relevan untuk tujuan kepentingan umum. Kewajiban layanan publik khusus ini mungkin dipenuhi, diantara yang lain, kondisi akses, perlindungan pelanggan dan pemakaian ulang, syarat harga, keamanan pasokan, standar kualitas dan syarat lingkungan hidup yang memadai.

Komisi tersebut cenderung memilih Tugas Layanan Publik Khusus (specific public service obligations; SPSO atau SSO) sebagai Kewajiban Layanan Publik (public service obligations; PSO). Sesuai dengan hal tersebut maka kami mempergunakan terminologi public service obligation untuk keduanya.

F. Praktik dan Kebijaksanaan PSO saat ini

Dalam menjalankan kegiatan operasionalnya sehari-hari suatu perusahaan sering dihadapkan kepada situasi dilematis terkait dengan lingkungan sosialnya. Hal tersebut lebih terasa nuansanya pada Badan Usaha Milik Negara/Daerah (BUMN/BUMD), karena kegiatan operasional BUMN/BUMN tersebut selain diarahkan kepada pencapaian profit semaksimal mungkin sebagaimana layaknya perusahaan swasta/bisnis lainnya, juga dibatasi dengan peraturan perundang-undangan dari Pemerintah selaku pemilik atau pemegang saham. Singkatnya, dalam menjalankan usaha BUMN/BUMD dituntut bukan hanya mengejar profit semata, namun juga memperhatikan kepentingan masyarakat umum.

Konsumen atau para pemakai mempunyai kebutuhan dan harapan atas produk atau jasa-jasa yang disediakan oleh perusahaan. Kepentingan publik tersebut perlu direspon secara memadai oleh manajemen dan merupakan Public Service Obligation (PSO) bagi perusahaan. Sampai saat ini, kegiatan perusahaan untuk mengakomodir kepentingan masyarakat umum belum terpola dengan baik. Sehubungan dengan hal itu, perlu dilakukan pengkajian mengenai PSO sebagai langkah awal untuk merancang atau menyusun suatu aplikasi PSO yang dapat memenuhi kepentingan publik, yang pada gilirannya diharapkan akan meningkatkan kinerja perusahaan.

Selama ini PSO masih dipandang sebagai beban oleh perusahaan pada umumnya, karena untuk melaksanakannya perusahaan harus mengalokasikan sebagian sumber dayanya yang terbatas. Mengacu kepada prinsip dasar strategi perusahaan, sumber daya di setiap perusahaan biasanya dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk mencapai tujuan utama perusahaan yaitu profit maksimal atau nilai perusahaan yang semakin meningkat. Walaupun disadari bahwa pelaksanaan PSO ini manfaatnya akan diperoleh juga dalam jangka panjang, namun kebanyakan perusahaan tidak sabar menunggu outcome atau output dari pelaksanaan PSO ini. Karena itu, perlu dipahami lagi secara lebih komprehensif mengenai PSO, terutama alasan atau dasar suatu perusahaan harus memiliki atau melaksanakan PSO. Apabila tidak ditetapkan secara spesifik melalui peraturan / perundangan maka perlu dilakukan evaluasi menyeluruh agar dapat mengklasifikasikan jasa tersebut sebagai PSO.

Sebagai salah satu contoh, bukti keengganan perusahaan dalam melaksanakan PSO, dapat dilihat dari kondisi PLN yang mengemuka saat ini bahwa jika boleh sebenarnya PLN tidak minta PSO. Asalkan input cost disesuaikan dengan tarif yang ditetapkan pemerintah dan di sisi hilir perusahaan bisa bekerja secara profesional. Menurut pihak PLN, dengan melaksanakan PSO sudah membuat PLN banyak mengalami masalah. Seperti kejadian pada tahun lalu, yang pemerintah baru membayar subsidi PLN di akhir tahun. Akibatnya, PLN berutang ke Pertamina sebesar Rp 8 triliun, yang membuat Pertamina harus berutang pula ke pemerintah Rp 10 triliun. Sementara ketika subsidi dibayarkan Rp 7,6 triliun, kembali uang tersebut ditarik pemerintah Rp 6,1 triliun untuk kewajiban kepada Pertamina.

Komisi VII DPR RI dan pemerintah menyepakati subsidi listrik naik Rp 6,6 triliun menjadi Rp 32,4 triliun pada perubahan APBN 2007. Bahkan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) berpeluang mendapatkan marjin keuntungan sebagai kompensasi pelaksana PSO. Semula pada APBN 2007, subsidi untuk listrik adalah Rp 25,8 trliun tanpa kompensasi untuk PLN. Kenaikan subsidi listrik disebabkan pertumbuhan listrik yang naik cukup signifikan hingga Mei tahun ini, sebesar 6,6 persen. Padahal, targetnya justru ditekan hanya 0,51 persen. Konsekuensinya, penjualan yang tadinya hanya 111 miliar Kwh diperkirakan naik menjadi 117 miliar Kwh pada akhir 2007. Dengan naiknya penjualan listrik, maka kebutuhan bahan bakar pun meningkat terutama BBM.

Besarnya anggaran pemerintah yang harus disediakan untuk membayar sarana dan prasarana utama yang disediakan oleh BUMN melalui PSO membuat PSO ini cukup strategis manfaatnya secara politis. Oleh sebab itu, harus disusun prosedur operasi standar (SOP) yang lebih baik dalam hal pemberian penugasan PSO, pelaporan kinerja, tatacara penagihan dan pembayaran serta prosedur audit atas PSO.

G. Usulan Evaluasi

Pertama, BUMN menerima penugasan PSO dari Menteri Teknis. Dalam beberapa kasus, penugasan PSO ini dianggap sebagai captive market bagi BUMN tertentu. Apabila ternyata BUMN tersebut tidak sanggup membiayai penugasan tersebut dengan sektor komersial yang ada, maka BUMN tersebut kemudian menagihkan selisih pembiayaan penugasan tersebut kepada Menteri Teknis. Menteri Teknis kemudian mengajukan pembayaran PSO tersebut dalam anggaran belanja departemen terkait. Berdasarkan anggaran belanja tersebut kemudian departemen keuangan menyelesaikan pembayaran PSO ini langsung kepada BUMN tersebut. Modus ini dilaksanakan saat pengajuan PSO Rusunawa oleh Perum Perumnas pada tahun 2006 dan 2007. Pada saat itu, Perumnas memperoleh pembayaran PSO sebesar Rp.10 milyar.

Permasalahan dari hal tersebut diatas yang mengemuka adalah berkaitan dengan hal-hal sebagai berikut:

1. Apakah penugasan tersebut dapat dikategorikan sebagai PSO?

2.Apakah laporan pertanggungjawaban kinerja tersebut sudah dapat diyakini kewajarannya?

3.Apakah permintaan pembiayaan PSO tersebut sudah diverifikasi bukti pendukungnya?

4. Apakah PSO yang diajukan sudah memenuhi kriteria yang diperjanjikan, seperti target pelayanan operasi, standar pelayanan minimum dan operasional yang efisien?

Definisi Internal Auditing (The Institute of Internal Auditing, 1999) menjelaskan bahwa Internal auditing adalah kegiatan memberikan jaminan kewajaran secara independen dan obyektif dan memberikan konsultasi untuk memberikan nilai tambah serta peningkatan operasi perusahaan. Kegiatan ini membantu perusahaan mencapai tujuannya dengan suatu pendekatan yang disiplin dan sistematis untuk mengevaluasi serta meningkatkan efektifitas manajemen risiko, pengendalian, dan proses governance. Sesuai dengan hal tersebut maka evaluator dapat berperan lebih jauh dalam pelaksanaan PSO ini dengan melaksanakan hal-hal sebagai berikut:

1. Evaluasi kinerja atas PSO ini terbagi atas beberapa jenis, tergantung pada tahapan dari PSO tersebut. Namun secara umum, langkah kerja dari evaluasi kinerja PSO ini tidak banyak berbeda sehingga dapat dijadikan sebagai satu satuan pedoman pelaksanaan. Adapun beberapa kondisi dari pelaksanaan penugasan PSO tersebut dapat diuraikan berikut ini.

Pada saat pengajuan penugasan / penetapan PSO, Pemerintah cq departemen teknis menetapkan kebutuhan atas suatu jasa layanan publik dengan menyatakan jumlah satuan dan lama pelayanan yang dibutuhkan. Departemen teknis dapat memberikan langsung kepada BUMN yang bersangkutan atau menawarkannya kepada pihak swasta yang berminat. Pada saat inilah evaluator melakukan evaluasi kinerja untuk menetapkan apakah kebutuhan tersebut merupakan kewajiban layanan publik atau bukan, menghitung selisih antara harga pokok dan pendapatan yang diterima, menetapkan kemampuan keuangan BUMN tersebut untuk mengemban penugasan tersebut serta menetapkan standar pelayanan minimum yang harus diserahkan. Apabila penugasan tersebut telah berjalan selama ini, BUMN dapat mengajukan kepada departemen teknis agar ditetapkan sebagai PSO meski mungkin BUMN tersebut tidak mengajukan subsidi keuangan karena kemampuan keuangan perusahaan masih sanggup untuk membiayai PSO tersebut.

Pada saat inilah evaluator melakukan evaluasi untuk menetapkan apakah kebutuhan tersebut merupakan kewajiban layanan publik yang harus disediakan Pemerintah atau bukan, menghitung selisih antara harga pokok dan pendapatan yang diterima, serta menetapkan standar pelayanan minimum yang harus/telah diserahkan.

Apabila penugasan tersebut telah berjalan, dan kemudian departemen teknis berniat meninjau ulang keputusan tersebut atau hendak memperpanjang penugasan tersebut maka evaluator dapat melakukan evaluasi untuk menetapkan apakah kebutuhan jasa tersebut masih diperlukan oleh masyarakat dengan persyaratan khusus sebagai PSO, menghitung pembayaran PSO yang diberikan terhadap selisih plus marjin yang harus diterima BUMN tersebut, menilai standar pelayanan minimum yang harus/telah diserahkan oleh BUMN tersebut kepada masyarakat.

Hal-hal yang perlu dievaluasi menyangkut beberapa Key Performance Indicator (KPI) terkait dengan target layanan operasi, standar pelayanan minimum dan kinerja keuangan. Analisis dilakukan terhadap gap yang terjadi dan mengidentifikasi penyebab kejadian untuk kemudian menyusun rekomendasi perbaikan.

2. Disisi lain, evaluator juga dapat bertindak sebagai verifikatur, yakni saat BUMN yang terkait menyerahkan tagihan kepada departemen teknis dengan tembusan departemen keuangan. Evaluator melakukan penilaian berkaitan dengan keabsahan dan kelengkapan bukti pembiayaan yang dikeluarkan oleh BUMN tersebut. Hal ini disamping untuk mencegah ketidak-efisienan BUMN tersebut, juga untuk memastikan bahwa pembayaran yang ditagihkan sebenar-benarnya berasal dari pengeluaran unit tersebut dan tidak dicampur dengan pengeluaran unit usaha lainnya yang tidak efisien.

Auditor dalam hal ini memberikan keyakinan yang memadai kepada pihak stakeholders bahwa laporan yang disajikan oleh pihak auditee telah bebas bias dan bebas salah saji, sehingga stakeholders dapat mengambil keputusan terhadap auditee. Sedangkan terhadap auditee auditor dapat membantu memverifikasi bukti pendukung yang disajikan di dalam laporan tersebut dan memberikan rekomendasi perbaikan bila diperlukan.

PROBLEMATIKA PELAKSANAAN PUBLIC SERVICEOBLIGATION

Posted by syadullah on December 3, 2008

Oleh: Makmun

Pelaksanaan Kewajiban Pelayanan Publik (Public Service Obligation-PSO) sampai saat ini belum berjalan dengan baik. Secara umumpermasalahan tersebut antara lain adalah belum adanyapersepsi yang sama tentang pengertian/definisi PSO, dasar dan belum semua kegiatan PSO dilakukan melalui proses dilelang, adanya perhitungan dasar kebutuhan dana PSO belum seragam diantara BUMN pelaksana PSO dan belum adanya pemisahan laporan keuangan antara kegiatan usaha yang di PSO kan dan kegiatan usaha non PSO. Disamping itu realisasi atas kompensasi dari penugasan (PSO) dari pemerintah tidak mencukupi.

Latar Belakang

Berdasarkan Pasal 34 ayat 3 UUD 1945 sebagaimana diatur lebih lanjut melalui Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, pemerintah dapat memberikan penugasan khusus kepada BUMN untuk menyelenggarakan fungsi kemanfaatan umum dengan tetap memperhatikan maksud dan tujuan kegiatan BUMN.Penugasan ini disebut dikenal sebagai Kewajiban Pelayanan Umum atauPublic Service Obligation (PSO).Namun sesuai dengan penjelasan dari pasal 66 Undang-UndangNomor 19 Tahun 2003tersebut, apabila penugasan pemerintah menurut kajian finansial tidak fisibel, maka pemerintah harus memberikan kompensasi atas semua biaya yang telah dikeluarkan oleh BUMN tersebut termasukmarginyang diharapkan.

AdanyaPublic Service Obligation(PSO) adalah dalam rangka menjaga agar kegiatan penyediaan barang publik,tersedia dalam jumlah yang cukup sekalipun tidak memberikan keuntungan yang cukup bagi penyedia jasa untuk tetap dapat menjalankan kegiatannya. PSO yang secara finansial tidak memberikan keuntungan harus tetap disediakan, karena hal tersebut diharapkan akan memberikanmultiplier effectsecara ekonomi bagi masyarakat.

Terkait dengan penugasan Pemerintah kepada BUMN untuk menyelenggarakan Kewajiban Pelayanan Umum (PSO) tentunya pemerintah harus menyediakan sejumlah dana pada pos pengeluarannya dalam APBN. Dana yang dianggarkan tersebut termasuk dalam pos pengeluaran subsidi untuk bantuan kepada BUMN dalam rangka menjalankan PSO, di luar jenis subsidi yang diberikan pemerintah berupa subsidi listrik, subsidi bahan bakar minyak (BBM), subsidi pupuk, subsidi pos dan subsidi lainnya.

Pemberian subsidi tersebut sebenarnya menimbulkan dilema bagi pemerintah. dimana pada satu sisi pemberian subsidi dan pelaksanaan kewajiban pelayanan publik merupakan konsekuensi dan tugas serta tanggung jawab pemerintah namun disisi lain hal tersebut terkendala oleh terbatasnya anggaran yang tersedia.

Beberapa permasalahan yang timbul terkait dengan PSO dan subsidi antara lain adalah: Belum adanya kebijakan umum yang jelas dan tegas dari pemerintah mengenai kegiatan PSO dan pemberian subsidi, terdapat beberapa jenis, pola dan mekanisme pelaksanaan subsidi yang dilaksanakan oleh pemerintah; terdapat kesenjangan (gap) antara besarnya kebutuhan subsidi untuk kegiatan PSO dengan kemampuan keuangan pemerintah; kurang tegas dan jelasnya pembagian tugas, kewenangan dan tanggung jawab atas pelaksanaan subsidi dan PSO; dan kurangnya koordinasi antar instansi pemerintah dan BUMN dalam perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan serta evaluasi pelaksanaannya.

KonsepPublic Service Obligation

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN memberikan pilihan subsidi, yang dikenal sebagai penugasan Pemeritah atau PSO. Dalam pasal 66 Undang-undang tersebut, pemerintah dapat memberikan penugasan khusus kepada BUMN untuk menyelenggarakan fungsi kemanfaatan umum dengan tetap memperhatikan maksud dan tujuan kegiatan BUMN (ayat 1). Namun demikian, setiap penugasan harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan RUPS/menteri (ayat 2). Keberadaan dan operasional BUMN diatur melalui Undang-undang Nomor 19 tahun 2003 tentang BUMN.Dalam undang-undang tersebut diatur bahwa tujuan pendirian BUMN adalah:

1.Memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional pada umumnya dan penerimaan negara pada khususnya.

2.Mengejar keuntungan.

3.Menyelenggarakan kemanfaatan umum bagi hajat hidup orang banyak.

4.Menjadi perintis kegiatan usaha yang belum dapat dilaksanakan oleh sektor swasta dan koperasi.

5.Turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi dan masyarakat.

Pada sisi lain, Undang-undang tersebut juga mempunyai misi sosial, sebagaimana diatur dalam pasal 66, yang kemudian dikenal sebagai konsep PSO. Untuk melakukan PSO tersebut, diperlukan syarat dan kondisi tertentu, yaitu sesuai dengan Keputusan Menteri BUMN No. KEP-101/MBU/2002 tanggal 4 Juni 2002, misi sosial dapat dibebankan kepada BUMN apabila: Telah dikaji terlebih dahulu oleh Direksi BUMN, tidak mengakibatkan kerugian bagi perusahaan, pembiayaan misi sosial harus ditanggung sepenuhnya oleh Pemerintah, dan secara tegas dilakukan pemisahan dalam RKAP mengenai penugasan pemerintah dengan pencapaian usaha perusahaan

Pada sisi lain, dimungkinkan juga komersialisasi PSO, namun khusus ditujukan untuk mendanai operasional PSO tersebut. Hal itu karena sebenarnya komersialisasi PSO yang termasuk didalamnya suatuframeworkpendanaan PSO, akan membuat BUMN dapat melakukan segala aktivitasnya berdasarkan prinsip komersial, sehingga meningkatkan akuntabilitas manajemen dan kinerja BUMN.

FrameworkPSO yang jelas akan memberikan pilihan kepada Pemerintah untuk tidak melakukan jasa pelayanan umum yang telah dilakukan oleh pihak swasta, sehingga Pemerintah dapat berkonsentrasi pada pencapaian tujuan PSO. Selain itu, Pemerintah juga dapat menugaskan BUMN untuk melaksanakan PSO, dalam suatu perjanjian. Selanjutnya, jumlah kompensasi dana yang diberikan Pemerintah kepada BUMN harus dapat menutup kerugian BUMN dan memberikan tingkat laba yang wajar. Dengan demikian, BUMN dapat menunjukkan kinerja yang akuntable. Sebagai alternatif lainnya, kegiatan PSO dapat dilakukan oleh pemerintah dengan cara tender terbuka.

Terdapat empat kelebihan pola kerja PSO, yaitu:Pertama, lingkup kegiatan PSO yang dilakukan oleh BUMN terbatas pada tingkat yang telah disepakati, dan Pemerintah tidak dapat menambah lingkup kerja dari kegiatan PSO tersebut tanpa persetujuan BUMN terhadap pendanaan atas biaya tambahan yang diperlukan,Kedua, terdapat pemisahan yang jelas antara kegiatan komersial dan kegiatan non-komersial yang dilakukan oleh BUMN. Kegiatan-kegiatan komersial dapat dilakukan tanpa campur tangan pemerintah.Ketiga,pembiayaan jangka menengah dan jangka panjang dari aktivitas BUMN dijamin oleh serangkaian kontrak dengan Pemerintah, dankeempat, manajemen dilengkapi dengan tujuan kebijakan yang jelas.

Pola PSO tersebut pada dasarnya merupakan bagian darigrand strategyrestrukturisasi industri dan kebijakan tarif, mengingat aktivitas PSO harus berdasarkan pada prinsip-prinsip komersial dalam rangka penerapan transparansi dan efisiensi. Komersialisasi dari BUMN akan mempercepat pemisahan dari peranan Pemerintah yang beragam yaitu sebagai pembuat kebijakan, regulator, pemilik serta operator, dan memungkinkan Pemerintah untuk berkonsentrasi pada kebijakannya, fungsi pengatur, dan kegiatan pemberian fasilitas. BUMN akan tetap menjalankan kegiatan-kegiatan yang dilakukan berdasarkan tujuan sosial dan strategis namun bertanggung jawab kepada Pemerintah melalui sistem PSO.

Sistem PSO perlu dikorelasikan dengan program penyesuaian tarif untuk memenuhicost recovery, dengan disediakan subsidi yang spesifik yang diperlukan untuk keperluan pengembangan atau kegiatan yang menguntungkan. Ukuran keberhasilan konsep PSO ini adalah apabila struktur perusahaan berhasil mencerminkan pemisahaan misi komersial dengan non komersial. Oleh sebab itu, BUMN harus melakukan restrukturisasi ulang untuk memisahkan peranan komersial dan non-komersial mereka, di mana hal tersebut dapat memberikan fokus yang lebih jelas kepada manajemen, dan mengurangi ketidakjelasan peranan dan tujuan, dan memberikan struktur keuangan yang transparan, dengan identifikasi yang lebih jelas terhadap pendapatan, biaya dan aset yang terkait dengan perbedaan peranan.

Pada beberapa kasus, komponen PSO hanya merupakan bagian kecil dari keseluruhan pengeluaran unit bisnis, dan dapat diestimasi secara akurat dengan menggunakan metode yang relatif sederhana. Sebagai contoh kasus PT Merpati, PT ASDP dan PT Pelni mungkin saja daerah-daerah yang rugi dispin offdengan status Perum, sebagai perusahaan yang menjalankan misi sosial, sedangkan PT Merpati tetap menjalankan misi korporatnya tanpa harus terganggu kewajiban sosial. Pemisahan tersebut juga dapat memungkinkan penggunaan struktur tarif dan metode pendanaan permodalan yang digunakan untuk segmen bisnis komersial dan nonkomersial yang berbeda.

Berdasarkan gambaran di atas, maka pola subsidi melalui PSO tetap harus memenuhi beberapa azas sebagai berikut: Komersialisasi PSO memerlukan peran Pemerintah untuk membeli kewajiban Penyediaan PSO dari BUMN, transaksi harus sejauh mungkin mencerminkan transaksi komersial yang normal, seluruh kegiatan BUMN harus diletakkan pada dasar komersial, agar PSO dapat berjalan secara efektif, kompensasi untuk PSO harus mencukupi untuk menutup biaya pengadaan jasa secara efisien, dan secara konseptual, berapapun jumlah yang dibayarkan kepada BUMN sebagai kompensasi atas PSO harus dikembalikan kepada Pemerintah melalui jalur penerimaan deviden.

Gambaran Umum Pelaksanaan PSO

Berdasarkan laporan keuangan BUMN, kinerja BUMN yang menjalankan misi PSO belum semuanya menunjukkan adanya kinerja yang baik. Gambaran kinerja yang kurang baik ini akhirnya membawa citra BUMN PSO yang kurang baik di mata publik. Terdapat kesan bahwa BUMN PSO identik denganinefisiensidan sarang korupsi baik oleh manajemen maupun politisi dan birokrat (Aviliani,Suara Karya, 16 Agustus 2006). Menghadapi situasi yang tidak menguntungkan ini, timbul argumen bahwa penyebab memburuknya kinerja BUMN PSO adalah karena BUMN PSO pada umumnya menjalankan tugas PSO mulai awal tahun, namun subsidi PSO dari pemerintah tidak diterima pada awal tahun, bahkan seringkali dilakukan di akhir tahun. Tidak sinkronnya antara penugasan dengan pencairan dana PSO kemungkinan berdampak pada arus kas BUMN. Pencairan dana PSO pada akhir tahun ini lebih disebabkan pemerintah harus melakukan verifikasi terlebih dahulu sebagai dasar dilakukannya pembayaran subsidi PSO[1]. Namun dampak keterlambatan pencairan dana PSO pada kinerja BUMN PSO yang kurang baik, pada akhirnya bermuara pada citra BUMN PSO yang kurang baik di mata masyarakat. Citra buruk ini semakin diperparah dengan kurang adanya informasi yang transparan berkenaan denganharga pokok riil barang dan jasa yang dihasilkan oleh BUMN PSO.

Tidaklah mudahmengelola BUMN PSO, karena relatif rawanmoral hazard, baik dari sisi pengguna barang dan jasa maupun. Terdapat kecenderungan pada pengelola BUMN PSO kurang memiliki perilaku yang kreatif dan inovatif. Para pengelola juga cenderung kurang berhati-hati, sehingga dapat berpotensi adanyainefisiensibiaya operasional. Terdapat pandangan di masyarakat bahwa terdapat kecenderungan BUMN yang memperoleh subsidi cenderung menjual barang dengan tidak tepat sasaran, sehingga konsumen yang menikmati subsidi adalah masyarakat kalangan menengah atas. Disamping itu pola subsidi juga dapat berdampak pada kurang kreatif dan inovatifnya manajemen BUMN penerima subsidi.

Berbagai Permasalahan Umum Dalam Pelaksanaan PSO

Secara umum dapat diidentifikasi berbagai masalah dihadapi oleh BUMN dalam pelaksanaan PSO.Permasalahan tersebut terjadi pada tiga tahapan, yaitu tahap perencanaan PSO, tahap pelaksanaan PSO dan tahap evaluasi pelaksanaan PSO.Secara umum permasalahan tersebut dapat dirangkum sebagai berikut: (lihat Tabel 1).

Tabel 1. Berbagai Kendala Umum Dalam Pelaksanaan PSO

Tahap Perencanaan

Tahap Pelaksanaan

Tahap Evaluasi

Belum adanya persepsi yang sama tentang pengertian/definisiPSO.

Perhitungan dasar kebutuhan dana PSO belum seragam diantara BUMN pelaksana PSO

Realisasi atas kompensasi dari penugasan (PSO) dari pemerintah tidak mencukupi. Dan pembayaran dilakukan setelah dilakukan verifikasi oleh Departemen keuangan

Dasar penentuan rute-rute transportasi yang di PSO kan belum jelas

Belum ada pemisahan laporan keuangan antara kegiatan usaha yang di PSO kan dan kegiatan usaha non PSO

BUMN pelaksana PSO cenderung tidak efisien dan kurang inovatif.

Belum semua kegiatan PSO dilelang

Sumber: Hasil penelitian, diolah.

Pada tahap perencanaan PSO terdapat tiga masalah utama, yaitu:Pertama, belum adanya definisi yang jelas tentang konsep PSO. Sampai saat ini masih terjadi perbedaan pandangan antara masyarakat dengan arti sebenarnya tentang PSO.Tabel 2 menunjukkan tiga perbedaan pandangan tentang konsep PSO, yakni menyangkut masalah untung/rugi BUMN pelaksana PSO, masalah subsidi silang dan pemanfaatan assets potensial BUMN.

Perbedaan pandangan masyarakat tentang konsep PSO dengan arti yang sebenarnya berdampak pada pandangan mereka terhadap kinerja BUMN pelaksana PSO. Masyarakat memandang bahwa BUMN pelaksana PSO pada umumnya memiliki kinerja yang tidak efisien dan cenderung kurang inovatif. Akibatnya BUMN pelaksana PSO terus dilanda kerugian. Pandangan masyarakat ini tidak sepenuhnya keliru, karena BUMN pelaksana PSO selama ini belum membuat pembukuan laporan keuangan secara terpisah atas kegiatan yang didanai dengan PSO dan kegiatan yang komersial. Apabila terdapat laporan secara terpisah, maka akan dengan mudah dapat ditentukan penyebab rendahnya kinerja BUMN.

Tabel 2. Persepsi PSO Pandangan Masyarakat dan Sebenarnya

Masyarakat

Sebenarnya

Apabila perusahaan merugi, minta dana ke negara

PSO bukan masalah untung/rugi, tetapi penugasan untuk mendukung kebijakan pemerintah. Perhitungan: selisih biaya dengantarif yang ditetapkan pemerintah

Operasi yang untung akan mensubsidi operasi yang rugi

Keuntungan dari bisnis angkutan komersial digunakan untuk mengembangkan bisnis komersial, agar perusahaan berkembang

Asset potensial tidak dimanfaatkan untuk menutupi operasi yang merugi

Asset tidak merupakan pengganti PSO, tetapi didayagunakan untuk pengembangan segmen komersial dalam rangkasustainable growth

Keduadalam bidang transportasi pelaksanaan PSO juga dihadapkan pada masalah dasar penentuan rute-rute transportasi yang di PSO kan. Selama ini belum ada aturan atau kriteria yang jelas dalam menentukan rute-rute transportasi yang di PSO kan. Banyak rute-rute yang sudah layak dikomersialkan (karena swasta juga sudahmembuka pelayanan yang sama), namun oleh pemerintah masih dijadikan jalur perintis atau jalaur yang di PSO kan.

Ketiga, belum semua kegiatan PSO dilakukan melalui seleksi lelang. Belum dipenuhinya salah satu mekanisme dalam penunjukkan badan usaha pelaksana PSO ini akan berdampak pada kinerja badan usaha yang cenderung tidak efisien.

Dalam tahap pelaksanaan PSOjuga terdapat dua masalah utama, yaitu:Pertamasebagai akibat ketidakjelasan konsep PSO, maka sampai ini belum ada standardisasi penghitungan kebutuhan dana PSO. Sebagaimana dimaklumi bahwa penghitungan nilai PSO antar BUMN selama ini masih menunjukkan adanya keberagaman. Sebagai contoh dalam penghitungan nilai PSO dan subsidi pada PT Pelni dan PT ASDP, misalnya telah memasukkanmarginlaba dan perkiraan pajak yang ditanggung perusahaan, namun dalam metode perhitungan PSO pada PT. KAI belum memasukkan unsurmargindan pajak.

Kedua,belumadanya pemisahan laporan keuangan BUMN atas kegiatan PSO dan non PSO. Beberapa BUMN yang mendapatkan penugasan PSO mengakui adanya kesulitan dalam memisahkan laporan keuangan atas kegiatan PSO dan non PSO. Berdasarkan hasil investigasi yang dilakukan olehBusiness Review(Edisi Oktober 2006) terungkap bahwa diantara BUMN bidang transportasi misalnya baru PT KAI dan PT. ASDP yang memisahkan laporan keuangan atas kegiatan PSO dan non PSO, sedangkan PT. Merpati dan PT. Pelni belum mampu memisahkan laporan keuangan atas kedua jenis kegiatan ini.

Berbagai permasalahan yang timbul dalam tahap perencanaan dan tahap pelaksanaan PSO, pada akhirnya membawa dampak pada hasil evaluasi terhadap pelaksanaan PSO. Sebagai akibat tidak adanya konsep PSO yang jelas, akhirnya bermuara pada penghitungan kebutuhan dana PSO. Kebutuhan PSO yang dapat direalisasikan dalam APBN cenderung lebih rendah, hal bisa jadi lebih disebabkan keterbatasan keuangan negara, namun dengan adanya perencanaan yang baik dalam jangka menengah dan panjang, hal ini dapat dihindarkan. Melalui proses perencanaan yang baik, Departemen Teknis dapat menyusun harga pokok penjualan (HPP) untuk disesuaikan dengan kemampuan pemerintah dalam menyediakan dana PSO.

Rekomendasi

Berdasarkan permasalahan-permasalahan yang timbul dalam pelaksanaan PSO, perlu dicarikan jalan keluar pemecahan berbagai kendala yang dihadapi. Untuk itu beberapa jalan keluar yang disarankan adalah sebagai berikut:Pertama, perlunyaStandardisasi Formula Perhitungan Kebutuhan Dana PSO.Dalam konteks ini kiranya perlu duduk bersama antara Departemen Keuangan Departemen Teknis terkait, Meneg. BUMN, Bappenas, dan Badan Pemeriksa Keuangan. Sesuai dengan lingkup pekerjaan yang di PSO kan, sebaiknya dalam formula penghitungan kebutuhan dana PSO tidak hanya menyangkut biaya pelayanan (yang terdiri dari harga pokok penjualan + margin keuntungan + pajak pendapatan), namun diperhitungkan pula biaya biaya lain terkait, misalnya biaya pemeliharaan alat transportasi untuk PSO bidang transportasi.

Kedua, perlunya pemisahan Laporan Keuangan atas Kegiatan Operasional PSO dan Non PSO. Terdapat lima indikator yang dapat digunakan untuk melihat apakah penugasan PSO berjalan dengan baik, yaitu tepat sasaran, tepat waktu, tepat jumlah dana PSO yang dibutuhkan, kualitas pelayanan yang diberikan dan harga (tarif).Indikator-indikator inilah yang belakangan ini selalu mendapatkan sorotan publik. Memang harus diakui sampai saat ini belum ada transparansi BUMN pelaksana PSO, sehingga wajar kalau muncul pandangan yang miring dari publik terhadap BUMN pelaksana PSO.

Untuk menghindari pandangan yang negatif dari publik dan untuk memenuhi asas transparansi dalam pelaksanaan PSO, sudah waktunya BUMN pelaksana PSO membuat laporan keuangan yang terpisah antara kegiatan PSO dan non PSO. Landasan hukum pemisahan laporan keuangan atas kegiatan PSO dan non PSO sudah ditetapkan pemerintah, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2005. Dengan adanya pemisahan laporan keuangan diharapkan akan memudahkan pemerintah dalam melakukan pengawasan pengalokasian dana PSO dan subsidi. Disamping itu melalui pemisahan laporan keuangan ini, pemerintah juga akan mudah melakukan kontrol tentang harga pokok penjualan sebenarnya.

Penulis adalah Peneliti Madya pada Badan Kebijakan Fiskal, Depkeu.