perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id KAJIAN ATAS .../Kajian-Atas...undang Nomor 1 Tahun 1974...
Transcript of perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id KAJIAN ATAS .../Kajian-Atas...undang Nomor 1 Tahun 1974...
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
KAJIAN ATAS PERKAWINAN BEDA AGAMA BERDASARKAN
PENETAPAN PENGADILAN NEGERI SURAKARTA (Studi Kasus Penetapan
Nomor 173/PDT.P/2011/PN.SKA)
Penulisan Hukum
(Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk
Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum
pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh
SYARIEF TOHA
NIM. E0006237
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2012
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
PERNYATAAN
Nama : Syarief Toha
NIM : E0006237
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul :
KAJIAN ATAS PERKAWINAN BEDA AGAMA BERDASARKAN
PENETAPAN PENGADILAN NEGERI SURAKARTA (Studi Kasus Penetapan
Nomor 173/PDT.P/2011/PN.SKA) adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang
bukan karya saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan
ditunjukkan dalam daftar pustaka.Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya
tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan
penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi)
ini.
Surakarta, 11 Juli 2012
Yang membuat pernyataan
Syarief Toha
NIM. E0006237
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
ABSTRAK
SYARIEF TOHA, E0006237. 2012. KAJIAN ATAS PERKAWINAN BEDA AGAMA BEERDASARKAN PENETAPAN PENGADILAN NEGERI SURAKARTA (Studi Kasus Penetapan NO. 173/PDT.P/2011/PN.SKA). Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dasar hukum hakim Pengadilan Negeri Surakarta dalam penetapan No. 173/PDT.P/2011/PN.SKA tentang ijin kawin beda agama dan untuk mengetahui legalitas penetapan tersebut terhadap Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Penelitian ini merupakan penelitian empirisbersifat deskriptif. Jenis data yang
digunakan, yaitu data primer dan data sekunder.Data primer, yaitu keterangan atau fakta yang diperoleh secara langsung melalui penelitian di lapangan, yaitu hasil wawancara dengan hakim di Pengadilan Negeri Surakarta.Data sekunder yaitu data yang diperoleh melalui bahan pustaka yang memuat informasi yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti. Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan menggunakan cara teknik analisis kualitatif dan studi putusan. Teknik analisis kualitatif adalah pendekatan yang digunakan penulis dengan mendasarkan pada data yang diperoleh dari cara wawancara.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dihasilkan simpulan. Kesatu,
dasar-dasar hukum yang dijadikan pertimbangan hakim Pengadilan Negeri Surakarta dalam memberikan penetapan ijin kawin beda agama pada perkara Nomor 173/PDT.P/2011/PN.SKA diantaranya adalah UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 8 jo Pasal 35 huruf (a) UU No.23 Tahun 2006, Stbl 1898 No. 158 serta ketentuan Peraturan Perundang-undangan lain yang bersangkutan. Kedua, berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang digunakan oleh hakim Pengadilan Negeri Surakarta maka legalitas putusan Pengadilan Negeri Surakarta tentang penetapan ijin kawin beda agama dapat dipertanggungjawabkan karena tidak bertentangan dengan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Selain itu apabila dikaitkan dengan Pasal 35 huruf a Undang-undang No. 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan maka penetapan ijin kawin beda agama merupakan wewenang Pengadilan Negeri. Kata Kunci : Perkawinan Beda Agama, Penetapan Pengadilan Negeri
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
ABSTRACT
SYARIEF TOHA, E0006237. 2012. A STUDY ON INTER-RELIGION MARRIAGE BASED ON SURAKARTA FIRST INSTANCE COURT’S STIPULATION (A Case Study on the Stipulation Number 173/PDT.P/2011/PN.SKA). Faculty of Law of SebelasMaretUniversity.
This research aims to find out the Surakarta First Instance Court Judge’s legal
rationales in the stipulation Number 173/PDT.P/2011/PN.SKA about inter-religion marriage permission and to find out the legality of such the stipulation against the Act No. 1 of 1974 about Marriage.
This research was an empirical research that was descriptive in nature. The
type of data used was primary and secondary data. The primary data, constituting information or fact, was obtained directly through research in the field, namely the result of interview with Surakarta First Instance Court. The secondary one was the one obtained through library materials containing information relevant to the problem studied. The data obtained was then analyzed using a qualitative technique of analysis and verdict study. Technique of analyzing qualitative data was the approach the writer used based on the data obtained from interview.
Based on the result of research and discussion, the following conclusions
could be drawn. Firstly, the legal rationales the Surakarta First Instance Court’s Judge used in issuing the inter-religion marriage permission in the case Number 173/PDT.P/2011/PN.SKA included Act No.1 of 1974 in the Article 8 jo Article 35 letter (a) of the Act No.23 of 2006, Stbl 1898 No.158 as well as other relevant legislations. Secondly, based on the rationales the Surakarta First Instance Court’s Judge used, the legality of Surakarta First Instance Court’s verdict about inter-religion marriage permission stipulation could be justified because it was not in contradiction with Act No.1 of 1974 about Marriage. In addition, in relation to the Article 35 letter (a) of Act No. 23 of 2006 about Demographic Administration, the stipulation of inter-religion marriage permission was the authority of First Instance Court.
Keywords: Inter-religion Marriage, First Instance Court’s Stipulation.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
MOTTO
“Life goes by so fast You only want to do what you think is right”
(Social Distortion – Story Of My Life)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
viii
PERSEMBAHAN
Karya kecil ini penulis persembahkan kepada :
§ Allah SWT, Pemilik Semesta Raya, yang
senantiasa memberikan yang terbaik dalam
setiap detik kehidupan;
§ Abah dan Mamah atas segala cinta dan
kasih sayang yang tak terkira serta
dukungan tiada henti;
§ Adik-adikku tersayang yang selalu
membantu dan menyemangati;
§ Teman-teman seperjuangan
§ Almamaterku Universitas Sebelas Maret
Surakarta
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ix
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT Yang Maha Pengasih dan
Maha Penyayang atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya,tak lupa shalawat dan salam
tercurahkan kepada junjungan Nabi besar Muhammad Saw, sehingga penulis dapat
menyelesaikan penulisan hukum (skripsi) dengan judul: KAJIAN ATAS
PERKAWINAN BEDA AGAMA BERDASARKAN PENETAPAN
PENGADILAN NEGERI SURAKARTA (Studi Kasus Penetapan Nomor
173/PDTP.P/2011/PN.SKA). Penulisan skripsi ini bertujuan untuk melengkapi tugas
akhir sebagai syarat memperoleh gelar kesarjanaan dalam Ilmu Hukum pada Fakultas
Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Penulis menyadari bahwa terselesaikannya laporan penulisan hukum atau
skripsi ini tidak lepas dari bantuan serta dukungan, baik materil maupun moril yang
diberikan oleh berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini dengan rendah
hati penulis ingin mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada :
1. Ibu Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan izin dan kesempatan
kepada penulis untuk mengembangkan ilmu hukum melalui penulisan skripsi.
2. Bapak Soehartono, S.H., M.Hum., selaku Pembimbing I yang telah menyediakan
waktu disela-sela kesibukannya, memberikan ilmu, bimbingan dan arahan bagi
tersusunnya skripsi ini.
3. Bapak Syafrudin Yudowibowo, S.H., M.H., selaku Pembimbing II yang telah
menyediakan waktu serta pikirannya, bimbingan dan arahan bagi tersusunnya
skripsi ini.
4. Bapak Sapto Hermawan, S.H., selaku Pembimbing Akademik atas bimbingan dan
nasihatnya selama penulis menuntut ilmu di Fakultas Hukum Universitas Sebelas
Maret Surakarta.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
x
5. Bapak Harjono, S.H., M.H., selaku ketua dewan penguji yang telah memberikan
masukan saran dan kritik untuk penulisan hukum ini.
6. Pengadilan Negeri Surakarta selaku instansi peradilan tingkat pertama yang telah
menerima penulis dengan tangan terbuka untuk melaksanakan penelitian serta
wawancara.
7. Bapak Abdul Rochim, S.H. selaku hakim Pengadilan Negeri Surakarta yang telah
bersedia menjadi narasumber yang memberikan waktu, informasi, dan membagi
ilmu serta pengetahuan kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini.
8. Segenap Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis sehingga
dapat dijadikan bekal dalam penulisan skripsi ini dan semoga dapat penulis
amalkan dalam kehidupan masa depan nantinya.
9. Pengelola Penulisan Hukum (PPH) Fakultas Hukum yang telah membantu dalam
mengurus prosedur penulisan hukum atau skripsi.
10. Segenap Staff dan Karyawan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret atas
bantuannya selama penulis menempuh pendidikan di FH UNS.
11. Seluruh keluarga, terima kasih untuk semua doa, perhatian serta kasih sayang
yang diberikan.
12. Teman-teman angkatan 2006 untuk pertemanan, dukungan, dan kerjasama selama
menimba ilmu di Fakultas Hukum UNS.
13. Teman-teman Kegiatan Magang Mahasiswa (KMM) untuk kerjasama, dukungan
satu sama lain selama melaksanakan KMM.
14. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu
baik secara langsung maupun tidak langsung dalam menyelesaikan penulisan
hukum ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xi
Penulis menyadari bahwa penulisan hukum ini terdapat banyak kekurangan,
untuk itu penulis dengan besar hati menerima kritik dan saran yang membangun,
sehingga dapat memperkaya penulisan hukum ini. Semoga karya tulis ini mampu
memberikan manfaat bagi penulis maupun para pembaca.
Surakarta, 11 Juli 2012
Penulis
Syarief Toha
E0006237
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................ i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ...................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ................................................ iii
HALAMAN PERNYATAAN .................................................................. iv
ABSTRAK ................................................................................................. v
MOTTO ...................................................................................................... vii
PERSEMBAHAN ..................................................................................... viii
KATA PENGANTAR ............................................................................... ix
DAFTAR ISI .............................................................................................. xii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................ xiv
BAB I PENDAHULUAN .................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................. 5
C. Tujuan Penelitian .............................................................. 5
D. Manfaat Penelitian ............................................................ 6
E. Metode Penelitian ............................................................. 7
F. Sistematika Penulisan Hukum ......................................... 12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .......................................................... 14
A. Kerangka Teori ................................................................. 14
1. Tinjauan Tentang Perkawinan .................................. 14
a). Pengertian Perkawinan ......................................... 14
b). Syarat Sahnya Perkawinan ................................... 18
c). Perkawinan menurut UU No.1 Tahun 1974 ........ 19
d). Perkawinan menurut Agama Islam ...................... 22
e). Perkawinan menurut Agama Kristen Protestan... 24
f). Perkawinan menurut Agama Katolik …..….……… 24
g). Perkawinan menurut Agama Hindu ……………… 27
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiii
h). Perkawinan menurut Agama Budha …………... 28
i). Sah Atau Tidaknya Perkawinan Beda Agama
menurut UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
………………………………………………….. 28
2. Tinjauan Tentang Perkawinan Beda Agama............. 30
B. Kerangka Pemikiran .......................................................... 32
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN.................... 34
A. Dasar Hukum yang digunakan Oleh Hakim Pengadilan
Negeri Surakarta dalam Menetapkan Perkawinan Beda
Agama Pada Penetapan Nomor 173/PDT.P/2011/PNSKA 39
B. Legalitas Putusan Pengadilan Negeri Surakarta Nomor
Perkara 173/PDT.P/2011/PN.SKA Tentang Penetapan
Ijin Kawin Beda Agama Terhadap Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan……………….. 42
BAB IV PENUTUP................................................................................. 49
A. Simpulan ............................................................................ 49
B. Saran .................................................................................. 52
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 53
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Model Analisis Interaktif ........................................................ 11
Gambar 2. Kerangka Pemikiran ............................................................... 32
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia sebagai sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna
dibekali dengan cipta rasa dan karsa. Dengan bekal tersebut manusia memiliki akal
pikiran untuk hidup bersama sama dengan individu lainya di dalam masyarakat, yang
dikenal sebagai “Makhuk Sosial”. Sesuai hakekat manusia yang membedakannya
dengan mahluk hidup lainnya, sudah menjadi kodrat alam sejak dilahirkan manusia
selalu hidup bersama dengan manusia lainnya di dalam suatu pergaulan hidup. Hidup
bersama manusia adalah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya baik yang bersifat
jasmani maupun bersifat rohani.
Pada umumnya, pada suatu masa tertentu bagi seorang pria maupun seorang
wanita timbul kebutuhan untuk hidup bersama dengan manusia lainnya yang
berlainan jenis kelaminnya karena manusia secara pribadi selalu ingin
mengelompokkan dirinya dengan sesamanya yang merupakan satu kesatuan sosial,
oleh karena dapat dirasakan bahwa tanpa adanya kebersamaan hidup dalam
menghadapi suatu kenyataan yang timbul dalam masyarakat akan mengurangi
kesempurnaan dalam roda kehidupan.
Kebersamaan hidup dapat ditempuh dengan melangsungkan perkawinan
antara seorang wanita dengan seorang pria yang akhirnya rumah tangga tersebut akan
menjalin hubungan dengan masyarakat sekitarnya. Dengan dilangsungkannya
perkawinan oleh suami dan istri maka timbul pula akibat hukum bagi suami dan istri,
salah satunya adalah mengenai harta rumah tangga yang menurut KUH Perdata
bahwa dengan dilangsungkannya perkawinan maka dengan sendirinya harta dalam
perilaku mereka menjadi satu kesatuan bulat sebagaimana yang dimaksud Pasal 119
KUH Perdata.
Dalam kehidupan bersama yang terbentuk pada sebuah lembaga perkawinan,
manusia memiliki tujuan hidup yang pokok yaitu melanjutkan keturunan. Di
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
Indonesia hak melanjutkan keturunan itu merupakan salah satu bentuk hak asasi yang
diimplementasikan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 Amandemen IV Pasal 28 B ayat (1) yang berbunyi “Setiap orang berhak
membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah”. Hal
yang sama juga telah diatur dalam UU No 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi
Manusia, hal tersebut diatur dalam Pasal 10 ayat (1) yang berbunyi: “Setiap orang
berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan
yang sah”. Dari bunyi Pasal tersebut dapat dilihat dengan jelas, bagaimana hak-hak
asasi manusia terkait dengan hak untuk melanjutka keturunannya diakui dan haknya
sangat diperjuangkan.
Sebagaimana yang tercantum di penjelasannya, yang dimaksud dengan
“perkawinan yang sah” Pasal 10 ayat (1) adalah perkawinan yang dilaksanakan
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan Indonesia yang mengatur hal
tersebut (perkawinan). Di Indonesia, peraturan perundang-undangan tentang
perkawinan telah diatur dalam UU No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Berkaitan
dengan pelaksanaan hak asasi manusia dalam hal hak untuk melanjutkan keturunan
melalui perkawinan yang sah terdapat berbagai kendala. Hal ini terjadi karena negara
Indonesia merupakan negara dengan wilayah yang luas dan terbentuk dari ribuan
pulau dari Sabang sampai Merauke.
Dalam wilayah yang luas dan banyak terpisahkan oleh lautan itu, hidup
golongan-golongan masyarat yang berbeda latar belakang satu sama lain. Di dalam
kondisi masyarakat Indonesia yang beragam tersebut, baik dari segi budaya, suku,
ras, agama, kontak antar satu golongan masyarakat satu dengan yang lain sudah tentu
tidak dapat dihindarkan. Kontak antar masyarakat yang berbeda latar belakang ini
pada kemudian hari menimbulkan adanya suatu fenomena dalam masyarakat yaitu
berupa perkawinan campuran.
Salah satu perkawinan campuran yang paling banyak mengundang perdebatan
adalah perkawinan campuran antara pasangan yang memiliki agama yang berbeda.
Perkawinan beda agama bukanlah perkawinan campuran dalam pengertian hukum
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
nasional kita karena perkawinan campuran menurut Undang-undang Perkawinan
disebut sebagai perkawinan yang terjadi antara Warga Negara Indonesia dengan
Warga Negara Asing, akan tetapi perkawinan beda agama di masyarakat sering pula
disebut perkawinan campuran. Masalahnya, dengan perkawinan beda agama akan
terjadi suatu perbedaan prinsipil dalam perkawinan itu sehingga dikhawatirkan akan
menimbulkan berbagai masalah yang rumit untuk diselesaikan di kemudian hari.
Oleh karena itu kemudian hal ini banyak mendapat tentangan dari masyarakat luas.
Selain permasalahan yang berhubungan dengan pengakuan Negara atau
pengakuan dari kepercayaan/agama atas perkawinan, pasangan yang melaksanakan
perkawinan tersebut seringkali menghadapi masalah-masalah lain di kemudian hari,
terutama untuk perkawinan beda agama. Misalnya saja, pengakuan Negara atas anak
yang dilahirkan, masalah perceraian, pembagian harta ataupun masalah warisan.
Belum lagi dampak-dampak lain, seperti berkembangnya gaya hidup kumpul kebo
atau hidup tanpa pasangan yang terkadang bisa dipicu karena belum diterimanya
perkawinan beda agama. (“Perkawinan Beda Agama”,
http://hukumonline.com/detail.asp?id=15656&el=Berita, diakses tanggal 26 Maret
2012)
Perkawinan beda agama terjadi karena besarnya rasa cinta antara kedua
pasangan tersebut, serta adanya sikap untuk mempertahankan agama dan kepercayaan
yang dianut masing-masing. Sikap mempertahankan agama dan kepercayaan yang
dianut masing-masing individu itu sendiri dilindungi oleh Pasal 29 ayat (2) UUD
1945 yang berbunyi “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu”.
Lahirnya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan secara
relatif telah dapat menjawab kebutuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang
mengatur perkawinan secara seragam dan untuk semua golongan masyarakat di
Indonesia, namun demikian, tidak berarti bahwa undang-undang ini telah mengatur
semua aspek yang terkait dengan perkawinan. Contoh persoalan yang tidak diatur
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
oleh Undang-undang Perkawinan adalah perkawinan beda agama, yaitu perkawinan
antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang berbeda agama. (Rusli & R.
Tama, 1986: 11)
Jarwo Yunu dalam Aspek Perkawinan Beda Agama di Indonesia (2005) ada
dua cara dalam menyikapi perkawinan beda agama ini, yaitu :
1. Salah satu pihak dapat melakukan perpindahan agama, namun ini dapat berarti
penyelundupan hukum karena sesungguhnya yang terjadi adalah hanya
menyiasati secara hukum ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan. Namun setelah perkawinan berlangsung masing-masing
pihak kembali memeluk agamanya masing-masiing. Cara ini sangat tidak
disarankan.
2. Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 1400 K/Pdt/1986 Kantor Catatan
Sipil diperkenankan untuk melangsungkan perkawinan beda agama. Kasus ini
bermula dari perkawinan yang hendak dicatatkan oleh Andi Vonny Gani P
(perempuan/Islam) dengan Petrus Hendrik Pelwan (laki-laki/Kristen). Dalam
putusannya Mahkamah Agung menyatakan bahwa dengan pengajuan pencatatan
pernikahan di Kantor Catatan Sipil maka Vonny telah tidak menghiraukan
peraturan agama Islam tentang perkawinan dan karenanya harus dianggap bahwa
ia menginginkan agar perkawinannya tidak dilangsungkan menurut agama Islam.
Dengan demikian, mereka berstatus tidak beragama Islam, maka Kantor Catatan
Sipil harus melangsungkan perkawinan tersebut.
Pada prakteknya sekarang ini banyak sekali keluarga-keluarga yang timbul
sebagai akibat dari perkawinan yang berbeda agama, dimana salah satunya dengan
cara memohon penetapan kepada Pengadilan Negeri, seperti yang terjadi pada
Pengadilan Negeri Surakarta dengan mengeluarkan penetapan No.
173/PDT.P/2011/PN.SKA yang berisi tentang pemberian izin untuk melangsungkan
perkawinan perbedaan agama antara Tuan X dan Nona Y dihadapan pegawai kantor
catatan sipil Surakarta.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
Berdasarkan hal yang telah diuraikan tersebut, maka penulis tertarik untuk
melakukan penelitian lebih lanjut mengenai perkawinan beda agama berdasarkan
penetapan Pengadilan Negeri dalam bentuk penulisan hukum dengan judul :
”KAJIAN ATAS PERKAWINAN BEDA AGAMA BERDASARKAN
PENETAPAN PENGADILAN NEGERI SURAKARTA (Studi Kasus Penetapan
Nomor 173/PDT.P/2011/PN.SKA)”
B. Perumusan Masalah
Perumusan masalah dimaksudkan untuk lebih menegaskan masalah yang akan
diteliti, sehingga dapat ditentukan suatu pemecahan masalah yang tepat dan mencapai
tujuan atau sasaran sesuai yang dikehendaki oleh penulis. Berdasarkan uraian latar
belakang tersebut di atas, perumusan masalah dalam penulisan hukum ini dirumuskan
sebagai berikut :
1. Apakah dasar hukum yang digunakan oleh Hakim Pengadilan Negeri
Surakarta dalam menetapkan perkawinan beda agama pada Penetapan Nomor
173/PDT.P/2011/PN.SKA?
2. Bagaimanakah legalitas putusan Pengadilan Negeri Surakarta Nomor perkara
173/PDT.P/2011/PN.SKA tentang Penetapan ijin kawin beda agama terhadap
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan merupakan target ingin dicapai sebagai pemecahan atas berbagai
masalah yang diteliti (tujuan obyektif) dan untuk memenuhi kebutuhan perorangan
(tujuan subyektif). Tujuan penelitian diperlukan karena berkaitan erat dengan
perumusan masalah dalam penelitian untuk memberikan arah yang tepat dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
penelitian, sehingga penelitian dapat berjalan sesuai dengan apa yang dikehendaki.
Tujuan penelitian ini adalah :
1. Tujuan Obyektif :
a. Untuk mengetahui dasar hukum yang digunakan Hakim Pengadilan Negeri
Surakarta dalam menetapkan perkawinan beda agama, khususnya pada
Penetapan Nomor 173/PDT.P/2011/PN.SKA.
b. Untuk mengetahui legalitas putusan Pengadilan Negeri Surakarta nomor
perkara 173/PDT.P/2011/PN.SKA tentang Penetapan ijin kawin beda agama
terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
2. Tujuan Subyektif :
a. Untuk memperoleh data dan informasi sebagai bahan utama dalam
penyusunan penulisan hukum guna memenuhi persyaratan akademis bagi
setiap mahasiswa dalam meraih gelar kesarjanaan dalam bidang ilmu hukum
di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
b. Untuk menambah dan memperluas wawasan, pengetahuan dan pengalaman
serta penambahan aspek hukum acara perdata dalam teori dan praktik di
lapangan, khususnya mengenai penetapan Pengadilan Negeri mengenai
perkawinan beda agama.
c. Untuk mendalami teori dan ilmu pengetahuan yang diperoleh selama
menempuh kuliah di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta,
khususnya tentang hukum acara perdata.
D. Manfaat Penelitian
Dalam hal ini penulis berharap kegiatan penelitian hukum ini akan memberi
manfaat baik bagi diri penulis sendiri maupun pihak lain. Adapun manfaat yang dapat
diperoleh dari penelitian hukum ini antara lain :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
1. Manfaat Teoritis :
a. Memberikan sumbangan pemikiran dibidang hukum pada umumnya,
khususnya hukum acara perdata, terutama yang berkaitan dengan
penetapan Pengadilan Negeri mengenai perkawinan beda agama.
b. Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk menambah referensi
dibidang karya ilmiah yang dapat mengembangkan materi Hukum
Acara Perdata.
c. Penelitian ini merupakan pembelajaran dalam menerapkan teori yang
diperoleh, sehingga dapat menambah pengetahuan, pengalaman, dan
dokumentasi ilmiah.
2. Manfaat Praktis :
a. Menambah ilmu pengetahuan dan pengalaman bagi peneliti dalam
teori dan praktik penelitian ilmiah dibidang ilmu hukum.
b. Hasil penelitian dapat memberikan jawaban atas permasalahan-
permasalahan yang menjadi pokok pembahasan dalam penelitian ini.
c. Meningkatkan wawasan dalam mengembangkan pengetahuan bagi
peneliti akan permasalahan yang diteliti dan dapat dipergunakan
sebagai bahan tambahan pengetahuan bagi para pihak yang terkait
dengan permasalahan dalam peneitian ini.
E. Metode Penelitian
Metodologi pada hakekatnya memberikan pedoman, tentang cara-cara
seorang ilmuwan mempelajari, menganalisa dan memahami lingkungan-lingkungan
yang dihadapinya dan bertujuan untuk menambah kemampuan para ilmuwan untuk
mengadakan atau melaksanakan penelitian secara lebih baik atau lengkap. Oleh
karena itu metodologi merupakan suatu unsur yang mutlak yang harus ada di dalam
penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan. Penelitian merupakan suatu
kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan kontruksi, yang dilakukan secara
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
metodologis, sistematis dan konsisten. Metodologis berarti sesuai dengan metode
atau cara tertentu, sistematis adalah berdasarkan suatu sistem, sedangkan konsisten
berarti tidak adanya hal-hal yang bertentangan dalam suatu kerangka tertentu
(Soerjono Soekanto, 2007 : 6-42).
Adapun metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu :
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian dalam penelitian ini adalah empiris, menurut Soerjono
Soekanto, penelitian empiris adalah penelitian yang diperoleh langsung dari
masyarakat (mengenai perilakunya) dan dinamakan data primer (Soerjono
Soekanto, 2007 : 51). Dalam penelitian hukum empiris ini, penulis melakukan
penelitian dan memperoleh informasi yang berkaitan dengan materi penulisan dari
Pengadilan Negeri Surakarta.
2. Sifat Penelitian
Sifat penelitian dari penelitian ini adalah penelitian deskriptif.Penelitian
deskriptif adalah penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan data yang
seteliti mungkin tentang manusia, keadaan, atau gejala-gejala lainnya (Soerjono
Soekanto, 2007:10).
Dalam penelitian ini penulis ingin menjelaskan mengenai dasar hukum
yang digunakan oleh Hakim Pengadilan Negeri Surakarta dalam menetapkan
perkawinan beda agama serta mengetahui legalitas penetapan ijin kawin beda
agama tersebut terhadap Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974.
3. Pendekatan Penelitian
Dalam penulisan ini, penulis menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu
pendekatan yang digunakan dengan mendasarkan pada data yang dinyatakan
responden secara tertulis ataupun lisan, dan juga perilaku yang nyata, diteliti dan
dipelajari sebagai sesuatu yang utuh (Soerjono Soekanto, 2007 : 250).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
4. Lokasi Penelitian
Penulis mengambil lokasi penelitian di Pengadilan Negeri Surakarta, karena
di Pengadilan Negeri Surakarta terdapat kasus yang sesusai dengan masalah yang
diteliti oleh penulis.
5. Jenis dan Sumber Data Penelitian
Jenis data yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah berupa data
primer dan data sekunder.Data yang diperoleh langsung dengan turun ke lapangan
atau yang disebut dengan data primer dan data yang diperoleh dari bahan-bahan
kepustakaan atau yang disebut dengan data sekunder.
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber data yang
meliputi :
a. Data primer, yaitu data yang diperoleh dan dikumpulkan secara langsung dari
lapangan yang menjadi objek penelitian atau yang diperoleh langsung dari
responden yang berupa keterangan-keterangan atau fakta-fakta (Soerjono
Soekanto, 1986 : 12). Disini data primer yang diperoleh adalah data hasil dari
wawancara dengan Abdul Rochim, S.H. selaku Hakim Pengadilan Negeri
Surakarta.
b. Data sekunder, yaitu data yang terlebih dahulu sudah dikumpulkan dan
dilaporkan oleh orang lain diluar penelitian yang berupa dokumen-dokumen
atau arsip, bahan pustaka, peraturan perundang-undangan, laporan-laporan
yang ada hubungannya dengan penelitian ini, serta berkas penetapan Nomor
173/PDT.P/2011/PN.SKA.
6. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan cara atau teknik tertentu guna
memperoleh data yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Teknik
pengumpulan data yang digunakan yaitu :
a. Wawancara merupakan teknik pengumpulan data dengan cara terjun langsung
pada obyek yang diteliti dengan cara mendapatkan keterangan atau informasi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
secara langsung dari pihak-pihak yang terkait dengan obyek yang diteliti,
yaitu Abdul Rochim, S.H. selaku Hakim Pengadilan Negeri Surakarta.
b. Studi kepustakaan merupakan teknik pengumpulan data dengan menggunakan
beberapa buku-buku literatur, peraturan perundang-undangan yaitu Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974, Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006,
putusan pengadilan berupa Penetapan dengan Nomor Perkara
173/PDT.P/2011/PN.SKA, dokumen-dokumen serta sumber tertulis lainnya
guna memperoleh bahan yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.
Menurut Soerjono Soekanto, studi kepustakaan adalah studi dokumen yang
merupakan suatu alat pengumpul data yang dilakukan melalui data tertulis
dengan mempergunakan “content analysis” atau yang biasa disebut dengan
analisis muatan (Soerjono Soekanto, 2007 : 21).
7. Teknik Analisis Data
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan
menggunakan analisis kualitatif dengan interaktif model, yaitu komponen reduksi
data dan penyajian data dilakukan bersama dengan pengumpulan data, kemudian
setelah data terkumpul maka tiga komponen tersebut berinteraksi dan bila
kesimpulan dirasakan kurang maka perlu ada verifikasi dan penelitian kembali
mengumpulkan data lapangan (H.B. Sutopo, 2002:8).
Menurut H.B. Sutopo, ketiga komponen tersebut adalah :
a. Reduksi Data
Merupakan proses seleksi, penyederhanaan dan abstraksi dari data (fieldnote).
b. Penyajian Data
Merupakan suatu rakitan organisasi informasi, deskripsi dalam bentuk
narasi yang memungkinkan kesimpulan penelitian yang dapat dilakukan.Sajian
data harus mengacu pada rumusan masalah sehingga dapat menjawab
permasalahan-permasalahan yang diteliti.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
c. Kesimpulan dan Verifikasi
Dalam pengumpulan data peneliti harus sudah memahami arti berbagai hal
yang ditemui, dengan melakukan pencatatan peraturan-peraturan dan pola-pola,
pernyataan-pernyataan dan konfigurasi yang mungkin, arahan, sebab akibat, dan
berbagai preposisi, kesimpulan perlu diverifikasi agar cukup mantap dan benar-
benar bisa dipertanggungjawabkan.
Untuk lebih jelasnya, analisis data kualitatif model interaktif dapat digambarkan
dengan skema sebagai berikut:
Gambar 1. Model analisis interaktif
(H.B. Sutopo . 2002. Pengantar Penelitian Kualitatif)
Maksud model analisis interaktif ini, pada waktu pengumpulan data Peneliti selalu
membuat reduksi dan sajian data. Reduksi dan sajian data harus disusun pada waktu
Peneliti sudah memperoleh unit data dari sejumlah unit yang diperlukan dalam
penelitian. Pada waktu pengumpulan data sudah berakhir, Peneliti mulai melakukan
usaha untuk menarik kesimpulan dan verifikasinya berdasarkan pada semua hal yang
terdapat dalam reduksi maupun sajian datanya. Jika kesimpulan dirasa kurang mantap
Pengumpulan Data
Reduksi Data Sajian Data
Penarikan Kesimpulan/Verfikasi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
karena kurangnya rumusan dalam reduksi maupun sajiannya, maka Peneliti dapat
kembali melakukan kegiatan pengumpulan data yang sudah terfokus untuk mencari
pendukung kesimpulan yang ada dan juga bagi pendalaman data (HB. Sutopo, 2002 :
95 – 96).
F. Sistematika Penulisan Hukum
Dalam Penulisan Hukum (Skripsi) ini terdiri dari empat bab yang
masing-masing terdiri dari beberapa subbab yang sesuai dengan pembahasan dan
materi yang diteliti. Adapun sistematika penulisan hukum ini adalah sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam bab ini diuraikan mengenai latar belakang masalah,
perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
metode penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini berisi kajian pustaka dan teori yang berkenaan dengan
judul dan masalah yang akan diteliti meliputi tinjauan umum
tentang perkawinan yang terdiri dari pengertian perkawinan,
syarat sahnya perkawinan, pengertian perkawinan menurut UU
No. 1 Tahun 1974, pengertian perkawinan dalam sudut
pandang berbagai agama, Sah atau tidaknya perkawinan beda
agama menurut UU No. 1 Tahun 1974, dan tinjauan umum
tentang perkawinan beda agama.
BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dalam bab ini, penulis mencoba menyajikan pembahasan
berdasarkan rumusan masalah yang telah disusun, yaitu
mengenai dasar hukum yang digunakan oleh Hakim
Pengadilan Negeri dalam memberi Penetapan ijin kawin beda
agama serta legalitas Penetapan tersebut terhadap UU No. 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
BAB IV : PENUTUP
Bab ini merupakan bagian akhir dari penulisan hukum ini.
Pada bab ini akan disampaikan kesimpulan-kesimpulan yang
diambil berdasarkan hasil penelitian dan saran-saran yang
dapat disampaikan atas penulisan hukum ini.
DAFTAR PUSTAKA
Berisi sumber-sumber pustaka yang dikutip dalam penulisan hukum baik langsung
maupun tidak langsung.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Tentang Perkawinan
a. Pengertian Perkawinan
Menurut Para Ahli - Setiap manusia pasti mendambakan hal
yang namanya perkawinan, baik itu pria ataun pun wanita, karena
manusia itu diciptakan untuk berpasang-pasangan dan perkawinan itu
adalah sesuatu yang sangat sakral sehingga orang terkadang harus
berfikir seribu kali dalam mempersiapkan perkawinannya. Pada
hakekatnya perkawinan adalah ikatan lahir batin manusia untuk hidup
brsama antara seorang pria dan seorang wanita untuk membentuk
keluarga (rumah tangga) yang kekal, bahagia dan sejahtera.
Perkawinan merupakan salah satu jalan atau suratan hidup yang
dialami oleh hampir semua manusia dimuka bumi ini walaupun ada
beberapa diantaranya yang tidak terikat dengan perkawinan sampai
ajal menjemput. Semua agama resmi di Indonesia memandang
perkawinan sebagai sesuatu yang sakral, harus dihormati, dan harus
dijaga kelanggengannya. Oleh karena itu, setiap orang tua merasa
tugasnya sebagai orang tua telah selesai bila anaknya telah memasuki
jenjang perkawinan.
Perkawinan mungkin salah satu praktek kebudayaan yang
paling mengundang upaya perumusan dari berbagai kalangan dalam
suatu masyarakat. Kegiatan yang dibayangkan, bahkan dipercayai,
sebagai perwujudan ideal hubungan cinta antara dua individu belaka
telah menjadi urusan banyak orang atau institusi, mulai dari orang tua,
keluarga besar, institusi agama sampai negara. Namun, pandangan
pribadi ini pada saatnya akan terpangkas oleh batas-batas yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
ditetapkan keluarga, masyarakat, maupun ajaran agama dan hukum
negara sehingga niat tulus menjalin ikatan hati, membangun kedirian
masing-masing dalam ruang bersama, tak pelak lagi tersendat, atau
seringkali terkalahkan.
Pengertian perkawinan menurut Mohammad Idris Ramulyo
adalah :
“Perkawinan adalah perjanjian yang suci, kuat dan kokoh untuk hidup bersama secara sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk membentuk keluarga yang bahagia yang kekal, dimana antara suami isteri itu harus saling menyantuni, kasih mengasihi, terdapat keadaan aman dan tentram penuh kebahagiaan baik moral spiritual dan material berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. (Mohammad Idris Ramulyo, 1996: 287)
Menurut R. Subekti secara tegas menyatakan bahwa
perkawinan merupakan pertalian yang sah antara seorang laki-laki dan
seorang perempuan untuk waktu yang lama. (R. Subekti, 1987: 23)
Pengertian perkawinan yang secara khusus adalah yang
sebagaimana yang dikemukakan oleh Djoko Prakoso dan I Ketut
Murtika, yaitu perkawinan merupakan suatu ikatan yang sah untuk
membina rumah tangga dan keluarga sejahtera dan bahagia dimana
kedua suami isteri memikul amanah dan tanggung jawab, si isteri oleh
karenanya akan mengalami suatu proses psykologis yang berat yaitu
kehamilan dan melahirkan yang meminta pengorbanan. (Djoko
Prakoso dan I Ketut Murtika, 1987: 2)
Dari pengertian perkawinan tersebut di atas maka dapat
disimpulkan bahwa suatu perkawinan merupakan perhubungan hukum
antara seorang laki-laki dan seorang perempuan sebagai suami isteri
dalam membentuk suatu kehidupan rumah tangga yang bahagia, kekal,
dan abadi dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa,
dimana dengan adanya perkawinan ini diharapkan memperoleh anak
sebagai penerus keturunan mereka kelak dikemudian hari.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
Kamus pun sebagai buku acuan publik yang paling sederhana
tak lepas dari kepungan wacana dominan, sambil berusaha memberi
tempat pada beragam praktek perkawinan yang terjadi dalam
kehidupan sehari-hari. Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer,
misalnya, mencantumkan 3 padanan kata untuk "kawin", yaitu
"menikah, bersetubuh (dalam ragam cakapan), berkelamin (untuk
hewan)", yang diikuti dengan deretan istilah kawin, mulai dari "kawin
acak" sampai "kawin suntik". Dalam kamus bahasa Inggris "marriage"
(perkawinan) ditegaskan sebagai: "the union of a man and woman by a
ceremony in law" (persatuan seorang laki-laki dan perempuan melalui
sebuah upacara menurut hukum) dan "the state of being so united"
(keadaan sedemikian bersatunya). Tugas ini kemudian dilembagakan
melalui peresmian hubungan laki-laki dan perempuan oleh institusi
agama dan negara untuk mendirikan keluarga. Lebih jauh lagi, demi
keteraturan sistem pewarisan dan keamanan kekayaan keluarga
menurut garis ayah dari generasi ke generasi, makna keluarga pun
semakin dipersempit menjadi pembentukan keluarga batih dengan
laki-laki sebagai pemimpinnya. Gagasan dominan tentang perkawinan
dan keluarga ini kemudian melahirkan kaidah-kaidah keramat yang
mencegah orang punya bayangan lain tentang bentuk perhubungan
akrab antar manusia.
Di satu sisi, perkawinan dianggap sebagai satu tahapan
memanusia yang melambangkan kedewasaan dan kewarasan. Di lain
sisi, tugas-tugas yang dibebankan ke lembaga ini seringkali demikian
menjerat sehingga mengancam kewarasan dan kedewasaan individu-
individu yang terlibat di dalamnya. Lebih jauh lagi, tumbuh di tengah
masyarakat yang mengunggulkan laki-laki sebagai pemimpin
kehidupan, kaidah-kaidah perkawinan secara khusus dipakai untuk
mengendalikan gerak perempuan. Bertahan sambil memperluas ruang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
gerak begitu perempuan masuk dalam lembaga perkawinan deretan
pekerjaan yang berjudul "melahirkan, mengurus anak, suami dan
rumah tangga" sudah menanti. Jenis pekerjaan yang terkandung dalam
kata "mengurus" bisa bervariasi, tergantung dari jumlah pembantu
yang disewa oleh sebuah rumah tangga. Walaupun sebagian kerja
fisik, seperti berbelanja, membersihkan rumah, atau memasak
kebanyakan didelegasikan ke pembantu, tujuan akhir seluruh
pekerjaan ini, yaitu menciptakan suasana rumah tangga yang tenang,
tentram dan penuh cinta kasih demi kesehatan fisik dan mental suami,
menuntut kesigapan dan kesiagaan istri sepanjang waktu.
Semua berlangsung teratur dengan asumsi beginilah
seharusnya kehidupan berkeluarga yang normal dan alamiah. Dengan
tanggung jawab sebagai perawat kesejahteraan keluarga, pengalaman
dan pengetahuan kebanyakan istri terbatas pada masalah
kerumahtanggaan dan keluarga. Maka, muncullah stereotip bahwa
perempuan gemar bergunjing, hanya peduli soal-soal "kecil", dan yang
paling telak, tidak rasional. Sang suami yang sudah lelah seharian
mengurus soal-soal "besar" tak tertarik pada cerita tentang tukang
sayur yang menipu, suami tetangga main gila, atau anak ketahuan
menyontek. Ia pilih bergunjing dengan kawanannya atau
bercengkerama dengan perempuan yang lebih "berpengalaman”.
Perkawinan, di luar makna persetubuhan itu sendiri, tidak seperti
lazim dipahami orang, bukanlah sesuatu yang biologis atau alamiah,
dan terbuka untuk dimaknai siapa pun. Masalahnya memang
reproduksi gagasan dominan tentang perkawinan dan kaitannya
dengan pembentukan keluarga begitu intensif dan menyeluruh. Ini
membuat banyak pihak yang memilih untuk larut dalam alur yang
sudah jelas aturan mainnya atau menolak sama sekali institusi yang
ada dengan menciptakan ruang-ruang pribadi yang terjaga
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
kenyamanannya secara sosial dan ekonomi. Persoalan berikutnya,
tidak semua orang, terutama perempuan, berada dalam posisi sosial
dan ekonomi yang memungkinkannya untuk membuat pilihan kedua.
Dalam posisi seperti ini seringkali pilihan satu-satunya adalah terus
memperjuangkan perluasan makna dan ruang gerak bersama dengan
kaumnya sambil mempersiapkan tatanan alternatif yang bisa
menjamin kediriannya sebagai manusia.
b. Syarat Sahnya Perkawinan
Menurut Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun
1974:”Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
masing-masingagama dan kepercayaannya itu”.Penjelasan pasal 2 ayat
(1) itu menerangkan bahwa:”Dengan perumusan pada Pasal 2 ayat (1)
ini, tidak adaperkawinan diluar hukum masing-masing agamanya
dankepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945”.
Menurut hazairin, menafsirkan bahwa hukum yang berlaku
adalah hukum masing-masing agama dan kepercayaannya bagi
masing-masing pemeluknya. Jadi bagi orang Islam tidak ada
kemunginan untuk kawin dengan melanggar agamanya sendiri.
Demikian juga bagi orang kristen dan bagi orang Hindu atau ”hindu-
Budha” seperti yang dijumpai di indonesia. (Hazairin, 1975: 5-6)
Dari ketentuan pasal 2 ayat (1) yang mana merupakan syarat
materiil, maka bisa kita lihat bahwa Undang- Undang Perkawinan ini
menggantungkan sahnya suatu perkawinan kepada hukum agama dan
kepercayaan masing-masing pemeluknya.
Setelah perkawinan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
yang tertuang pada Pasal 2 ayat (1), maka untuk selanjutnya
dilaksanakan pencatatan perkawinan sebagai syarat formil, sesuai
dengan ketentuan pada Pasal 2 ayat (2) yang berbunyi: “Tiap-tiap
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
c. Perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Menurut Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan, perkawinan
adalah sebuah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa. Dari pasal ini, tersirat bahwa perkawinan yang berlaku di
Indonesia adalah perkawinan antara seorang pria dan wanita saja.
Selanjutnya, dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974
tentang Perkawinan tersebut disebutkan bahwa perkawinan dianggap
sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan
kepercayaan para pihak. Setelah perkawinan dilakukan, perkawinan
tersebut pun harus dicatatkan dalam di Kantor Urusan Agama (KUA)
untuk mereka yang beragama Islam dan Catatan Sipil untuk mereka
yang beragama Non Muslim.
Dalam konsepsi hukum perdata Barat, perkawinan hanya
dipandang sebagai hubungan keperdataan saja. Artinya, perkawinan
sah apabila sudah memenuhi ketentuan Undang-undang, tidak ada
unsur Agama dalam perkawinan.Undang-undang hanya mengenal
perkawinan perdata, yaitu perkawinan yang dilangsungkan di hadapan
seorang pegawai catatan sipil.
Dengan berlakunya Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, (Undang-undang Perkawinan) maka semua peraturan
yang mengatur tentang perkawinan Hindia Belanda dinyatakan tidak
berlaku lagi. Hal ini ditafsirkan dalam ketentuan pasal Pasal 66
Undang-Undang Perkawinan.
Pasal 6 Undang-Undang Perkawinan menetapkan beberapa
persyaratan untuk melakukan perkawinan, yaitu:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
1) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua
calon mempelai.
2) Bila calon mempelai belum mencapai umur 21 tahun,
maka ia harus mendapat izin kedua orangtua atau salah
satunya bila salah satu orangtua telah meninggal dunia
atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan
kehendaknya. Apabila keduanya telah meninggal dunia
atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan
kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang
yang memelihara atau keluarga yang mempunyai
hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas
selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat
menyatakan kehendaknya.
3) Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang
yang disebut di atas atau salah seorang atau lebih
diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka
Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang
yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan
orang tersebut dapat memberikan izin melakukan
perkawinan.
4) Ketentuan di atas tidak bertentangan atau tidak diatur
lain oleh hukum rnasing-masing agamanya dan
kepercayaannya yang bersangkutan.
Sementara untuk larangan kawin, Undang-undang Perkawinan
(Pasal 8) pada prinsipnya hanya melarang terjadinya perkawinan yang
keduanya memiliki hubungan tertentu, baik hubungan sedarah,
semenda, susuan atau hubungan-hubungan yang dilarang oleh
agamanya atau peraturan lain.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
Undang-undang Perkawinan memandang perkawinan tidak
hanya dilihat dari aspek formal semata-mata, melainkan juga dari
aspek agama. (Salim HS, 2002: 61). Aspek agama menetapkan tentang
keabsahan suatu perkawinan, sedangkan aspek formalnya menyangkut
aspek administratif, yaitu pencatatan perkawinan. Menurut Undang-
Undang Perkawinan, kedua aspek ini harus terpenuhi keduanya. Bila
perkawinan hanya dilangsungkan menurut ketentuan Undang-undang
negara, tanpa memperhatikan unsur agama, perkawinan dianggap tidak
sah.Sebaliknya, apabila perkawinan dilakukan hanya memperhatikan
unsur hukum agama saja, tanpa memperhatikan atau mengabaikan
Undang-undang (hukum negara), maka perkawinan dianggap tidak
sah. (Wahono Darmabrata, 2003: 102).
Perkawinan merupakan suatu peristiwa dalam kehidupan
seseorang yang sangat mempengaruhi status hukum orang tersebut.
Oleh karena itu, pelaksanaan perkawinaan harus dilakukan menurut
ketentuan-ketentuan yang berlaku sehingga dipandang sah menurut
hukum,baik hukum agama atau hukum positif. Mengenai lembaga
perkawinan ini pembentuk Undang-Undang perkawinan telah
mengeluarkan sebuah Undang-Undang yaitu Undang-Undang No. 1
tahun 1974. Pengertian perkawinan menurut Pasal 1 Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974 adalah sebagai berikut: ”Ikatan lahir batin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Pengertian perkawinan dapat kita ambil dari anak kalimat
pertama dari rumusan Pasal 1 tersebut diatas, yaitu anak kalimat yang
berbunyi : “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami isteri…”
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
Menurut R. Sardjono, bahwa “ikatan lahir” berarti para pihak
yang bersangkutan karena perkawinan secara formil merupakan suami
isteri baik bagi mereka dalam hubungan satu sama lain maupun bagi
mereka dengan masyarakat luas. Pengertian, “ikatan lahir batin” dalam
perkawinan berarti dalam lahir batin suami isteri yang bersangkutan
terkandung niat yang sungguh-sungguh untuk hidup bersama sebagai
suami isteri dengan tujuan membentuk dan membina keluarga bahagia
dan kekal. Jelasnya dalam suatu perkawinan tidak boleh hanya ada
ikatan lahir saja atau ikatan batin saja. Kedua unsur terebut ada dalam
setiap perkawinan. (R. sardjono, 2000: 6).
d. Perkawinan Menurut Agama Islam
Perkawinan dalam islam ialah suatu akad atau perjanjian
mengikat antara seorang laki-laki dan perempuan untuk menghalalkan
hubungan kelamin antara kedua belah pihak dengan suka rela dan
kerelaan kedua belah pihak merupakan suatu kebahagiaan hidup
berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang dan ketentraman (sakinah)
dengan cara-cara yang di ridhloi Allah SWT. Pengertian Definisi
Perkawinan Sacara bahasa Az-zawaaj adalah kata dalam bahasa arab
yang menunjukan arti: bersatunya dua perkara, atau bersatunya ruh
dan badan untuk kebangkitan. Sebagaimana firman Allah ‘azza wa
jalla (yang artinya): “Dan apabila ruh-ruh dipertemukan (dengan
tubuh)” (Q.S At-Takwir :7) dan firman-Nya tentang nikmat bagi kaum
mukminin di surga, yang artinya mereka disatukan dengan bidadari.
Dalam Pasal 2 Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991
tentanng Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa Perkawinan
adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqah
gholiidhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya
merupakan ibadah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
Perkawinan dalam istilah agama disebut nikah, ialah
melakukan suatu akad atau perjanjian untuk mengikat diri antara
seorang laki-laki dan wanita untuk menghalalkan hubungan kelamin
antara kedua belah pihak dengan dasar suka rela dan keridhoan kedua
belah pihak untuk mewujudkan suatu kebahagiaan hidup berkeluarga
yang diliputi kasih sayang dan ketentraman dengan cara-cara yang di
ridhoi Allah SWT. (Endang Sumiarni, 2004: 65)
Adanya berbagai macam pendapat yang dikemukakan
mengenai pengertian perkawinan tidak bermaksud memperlihatkan
adanya pertentangan antara yang satu dengan yang lainnya, tetapi
memperlihatkan keinginan para perumusnya. ( MahmudYunus, 1981:
1)
Menurut istilah ilmu fiqih, dalam perkawinan dipakai
perkataan (ziwaas).Nikah menurut bahasa mempunyai arti kiasan. Arti
sebenarnya nikah ialah ”dham” yang berarti ”menghimpit”,
”menindih” atau ”berkumpul”. Sedangkan arti kiasannya ialah,
”wathan” yang berarti ”setubuh” atau ”aqad” yang berarti mengadakan
perjanjian pernikahan antara seorang pria dengan seorang wanita.
(Kamal Muchtar, 1992: 11)
Hukum melakukan perkawinan menurut pendapat sebagian
sarjana hukum Islam adalah ibadah atau kebolehan atau halal. Tetapi
berdasarkan kepada perubahan ”illanya, hukum melakukan
perkawinan itu dapat beralih menjadi sunnah, wajib, makruh, dan
haram. Sedangkan sebagian sarjana hukum Islam lainnya ada yang
menyebutkannya sunnah dan bahkan ada yang mengatakan wajib
hukumnya. (Asmin.Status, 1996: 28)
Pandangan Agama Islam terhadap perkawinan beda agama,
pada prinsipnya tidak memperkenankannya. Dalam Alquran dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
tegas dilarang perkawinan antara orang Islam dengan orang musrik
seperti yang tertulis dalam Al-Quran yang berbunyi :
“Janganlah kamu nikahi wanita-wanita musrik sebelum mereka beriman.Sesungguh nya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walupun dia menarik hati.Dan janganlah kamu menikahkah orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman.Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik daripada orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu”.(Al-Baqarah (2):221)
Larangan perkawinan dalam surat al-Baqarah ayat 221 itu
berlaku bagi laki-laki maupun wanita yang beragama Islam untuk
kawin dengan orang-orang yang tidak beragama Islam.
e. Perkawinan Menurut Agama Kristen Protestan
Perkawinan menurut hukum agama Kristen Protestan adalah
suatu persekutuan hidup dan percaya yang total, eksklusif dan
kontinyu, antara seorang pria dan wanita yang dikuduskan dan
diberkati olek Kristus Yesus.( Asmin, 1996: 39-40)
Namun menurut R.H Sudarmadi, perkawinan adalah
persekutuan hidup antara satu laki-laki dan satu perempuan yang
masing-masing belum terikat dalam perkawinan dengan orang lain
serta yang dalam kedaulatan dan kesepakatan masing-masing sesuai
dengan norma yang fundamental dan universal yaitu hak dan
kewajiban asasi manusia bertekad menukah dengan maksud
“memanusiakan dirinya” atau pengembangan pribadinya sesuai
dengan kodratnya sebagai laki-laki dan perempuan. (Sumiarni,
Endang, 2004: 81)
Sedangkan Gustrude Nystrom mengatakan, yang menjadi dasar
utama perkawinan menurut Alkitab adalah “kasih” yang tulus dari dua
orang, satu pada yang lainnya, sehingga mereka menentukan untuk
hidup bersatu dalam suka atau duka sehingga diceraikan oleh
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
kematian. Kasih tersebut ialah kasih yang dibimbing oleh “Agape”,
Kasih Tuhan, kasih yang memelihara, yang melindungi dan yang
mendukung. ( Asmin, 1996: Hal 39)
Pada prinsipnya agama Protestan menghendaki agar
penganutnya kawin dengan orang yang seagama, karena tujuan utama
perkawinan untuk mencapai kebahagiaan sehingga akan sulit tercapai
kalau suami istri tidak seiman. Dalam hal terjadi perkawinan antara
seseorang yang beragma Protestan dengan pihak yang menganut
agama lain, maka mereka dianjurkan untuk menikah secara sipil di
mana kedua belah pihak tetap menganut agama masing-masing.
Kepada mereka diadakan pengembalaan khusus. Pada umumnya
gereja tidak memberkati perkawinan mereka.
Ada gereja-gereja tertentu yang memberkati perkawinan
campur ini beda agama ini, setelah pihak yang bukan protestan
membuat pernyataan bahwa ia bersedia ikut agama Protestan.
Keterbukaan ini dilatarbelakangi oleh keyakinan bahwa pasangan yang
tidak seiman itu dikuduskan oleh suami atau isteri yang beriman. Ada
pula gereja tertentu yang bukan hanya tidak memberkati, malah
anggota gereja yang kawin dengan orang yang tidak seagama itu
dikeluarkan dari gereja.
f. Perkawinan Menurut Agama Kristen Katolik
Agama Kristen Katolik menganggap nikah sebagai suatu
sakramen. Gereja Roma Katolik mendasarkan ajarannya itu pada
Efesus 5:25-33, yang berbunyi:
”hai suami, kasihilah isteri-isterimu sebagaimana Kristus telah
mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya. Untuk
mengenduskan-Nya, sesudah IA mensucikannya dengan
memandikannya dengan air dan firman, supaya dengan demikian ia
menetapkan jemaat dihadapan diri-Nya dengan cemerlang atau tanpa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
cacat atau kerut atau yang serupa itu, tetapi setelah jemaat kudus dan
tidak tercela. Demikian juga suami harus mengasihi isterinya
mengasihi dirinya sendiri. Sebab tidak pernah orang membenci
tubuhnya sendiri, tetapi mengasuhnya dan merawatinya, sama seperti
Kristus terhadap jemaat-Nya, karena kita adalah anggota tubuh-Nya.
Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan
bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging.
Rahasia ini besar, tetapi yang aku maksudkan ialah hubungan Kristus
dan jemaat. Bagaimanapun juga, bagi kamu masing-masing berlaku
kasihanilah isterimu seperti dirimu sendiri dan isteri hendaklah
menghormati suaminya.”
Dengan demikian ikatan cinta kasih suami isteri diangkat
ketingkatan yang lebih tinggi yaitu ke dalam cinta kasih Ilahi. Artinya
Kristus sendiri membuat perkawinan itu menjadi sarana bagi
penyaluran cinta kasih Ilahi. Hukum negara katolik merumuskan
perkawinan sebagai perjanjian perkawinan, dengan mana pria dan
wanita membentuk antara mereka kebersamaan seluruh hidup, dari
sifat kodratnya terarah pada kesejahteraan suami isteri serta pada
kelahiran dan pendidikan anak, oleh Kristus Tuhan perkawinan antara
orang-orang yang di baptis di angkat ke martabat dan sukramen.(
Asmin, 1996: 35)
Bagi Gereja Katolik menganggap bahwa perkawinan antar
seseorang yang beragama katholik dengan orang yang bukan katholik,
dan tidak dilakukan menurut hukum agama Katolik dianggap tidak
sah.Disamping itu, perkawinan antara seseorang yang beragama
Katolik dengan orang yang bukan Katolik bukanlah merupakan
perkawinan yang ideal. Hal ini dapat dimengerti karena agama Katolik
memandang perkawinan sebagai sakramen sedangkan agama lainnya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
(kecuali Hindu) tidak demikian karena itu Katolik menganjurkan agar
pengahutnya kawin dengan orang yang beragama katolik.
g. Perkawinan Menurut Agama Hindu
Perkawinan orang yang beragama Hindu yang tidak memenuhi
syarat dapat dibatalkan.suatu perkawinan batal karena tidak memenuhi
syarat bila perkawinan itu dilakukan menurut Hukum Hindu tetapi
tidak memenuhi syarat untuk pengesahannya, misalnya mereka tidak
menganut agama yang sama pada saat upacara perkawinan itu
dilakukan, atau dalam hal perkawinan antar agama tidak dapat
dilakukan menurut hukum agama Hindu.
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa untuk mensahkan
suatu perkawinan menurut agama Hindu, harus dilakukan oleh
Pedande/Pendeta yang memenuhi syarat untuk itu. Di samping itu
tampak bahwa dalam hukum perkawinan Hindu tidak dibenarkan
adanya perkawinan antar penganut agama Hindu dan bukan Hindu
yang disahkan oleh Pedande.
Dalam agama Hindu tidak dikenal adanya perkawinan antar
agama. Hal ini terjadi karena sebelum perkawinan harus dilakukan
terlebih dahulu upacara keagamaan. Apabila salah seorang calon
mempelai tidak beragama Hindu, maka dia diwajibkan sebagai
penganut agama Hindu, karena kalau calon mempelai yang bukan
Hindu tidak disucikan terlebih dahulu dan kemudian dilaksanakan
perkawinan, hal ini melanggar ketentuan dalam Seloka V89 kitab
Manawadharmasastra, yang berbunyi:
“Air pensucian tidak bisa diberikan kepada mereka yang tidak menghiraukan upacara-upacara yang telah ditentukan, sehingga dapat dianggap kelahiran mereka itu sia-sia belaka, tidak pula dapat diberikan kepada mereka yang lahir dari perkawinan campuran kasta secara tidak resmi, kepada mereka yang menjadi petapa dari golongan murtad dan pada mereka yang meninggaal bunuh diri.”
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perkawinan antar
agama dimana salah satu calon mempelai beragama Hindu tidak boleh
dan pendande/Pendeta akan menolak untuk mengesahkan perkawinan
tersebut.
h. Perkawinan Menurut Agama Budha
Perkawinan beda agama yang mana salah seorang calon
mempelai tidak beragama Budha, menurut keputusan Sangha Agung
Indonesia diperbolehkan, asal pengesahan perkawinannya dilakukan
menurut cara agama Budha. Dalam hal ini calon mempelai yang tidak
bergama Budha tidak diharuskan untuk masuk agama Budha terlebih
dahulu, akan tetapi dalam upacara ritual perkawinan tersebut kedua
mempelai diwajidkan mengucapkan “atas nama Sang Budha, Dharma
dan Sangka” yang merupakan dewa-dewa umat Budha.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa agama Budha
tidak melarang umatnya untuk melakukan perkawinan dengan
penganut agama lain. Akan tetapi kalau penganut agama lainnya maka
harus dilakukan menurut agama Budha.
Di samping itu, dalam upacara perkawinan itu kedua mempelai
diwajibkan untuk mengucapkan atas nama Sang Budha, Dharma dan
Sangka, ini secara tidak langsug berarti bahwa calon mempelai yang
tidak beragama Budha menjadi penganut agama Budha, walaupun
sebenarnya ia hanya menundukkan diri pada kaidah agama Budha
pada saat perkawinan itu dilangsungkan. Untuk menghadapi praktek
perkawinan yang demikian mungkin bagi calon mempelai yang tidak
beragama Budha akan merasa keberatan.
i. Sah Atau Tidaknya Perkawinan Beda Agama Menurut Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Terdapat perbedaan penafsiran mengenai keabsahan
perkawinan beda agama diantara para ahli hukum. Sebagian
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
menyatakan bahwa perkawinan beda agama merupakan pelanggaran
terhadap Undang-undang Perkawinan, namun tidak sedikit pula yang
menyatakan perkawinan beda agama bukan sebuah pelanggaran dan
bahkan ada juga yang berpendapat perkawinan beda agama sama
sekali tidak diatur dalam Undang-undang. Beragamnya interpretasi
tersebut berakar dari kurang tegas dan tidak tuntasnya Undang-undang
Perkawinan dalam mengatur perkawinan beda agama.
Ketidakjelasan dan ketidaktegasan Undang-undang
Perkawinan tentang perkawinan antar agama dalam Pasal 2 adalah
pernyataan “menurut hukum masing-masing agama atau
kepercayaannya”. Artinya jika perkawinan kedua calon suami-istri
adalah sama, maka tidak ada kesulitan. Tapi jika hukum agama atau
kepercyaannya berbeda, maka dalam hal adanya perbedaan kedua
hukum agama atau kepercayaannya itu harus dipenuhi semua, berarti
satu kali menurut hukum agama atau kepercayaan calon dan satu kali
lagi menurut hukum agama atau kepercayaan dari calon lainnya.
(Soedharyo Soimin, 2002: 95)
Untuk mengindari kekosongan hukum karena tidak jelasnya
pengaturan perkawinan beda agama, maka hakim Pengadilan Negeri
dapat melakukan interpretasi dalam memberi penetapan tentang
perkawinan beda agama, misalnya dengan menafsirkan bahwa dalam
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dalam
Pasal 8 yang mengatur larangan untuk melaksanakan perkawinan tidak
diatur larangan perkawinan yang dilaksanakan oleh dua calon
mempelai yang berbeda agama dan secara tegas juga tidak mengatur
perkawinan calon mempelai yang beda agama.
Interpretasi adalah metode penemuan hukum oleh hakim dalam
hal peraturannya ada tetapi tidak jelas, untuk dapat diterapkan pada
peristiwanya. Sebaliknya dapat terjadi juga hakim memeriksadan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
mengadili perkara yang tidak ada peraturannya yang khusus. Di sini
hakim menghadapi kekosongan atau ketidaklengkapan undang-undang
yang harus diisi atau dilengkapi.Untuk mengisi kekosongan itu
dipergunakanlah metode kontruksiyang disebut metode argumentum.
Perlu dipisahkan antara metode interpretasi atau penafsiran dengan
metode kontruksi secara tegas. Hal itu bukan hanya dibutuhkan dalam
sistematika ilmu hukum, melainkan juga dalam praktek ilmu hukum di
pengadilan. (Sudikno Mertokusumo, 1996: 157)
2. Tinjauan Tentang Perkawinan Beda Agama
Perkawinan beda agama merupakan sebuah perkawinan yang dilangsungkan
atas dasar rasa cinta dan kasih sayang dari masing-masing mempelai yang saling
berbeda agama atau keyakinan, yang mana kedua mempelai tersebut sepakat untuk
tetap mempertahankan agama dan kepercayaan yang dianut masing-masing di dalam
perkawinannya tersebut.
Fenomena perkawinan beda agama lumrah ditemui pada negara yang seperti
Indonesia. Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang heterogen, sehingga
memungkinkan terjadinya perkawinan yang berbeda agama. Namun pasangan yang
berbeda agama akan terhalang perkawinannya oleh aturan tentang perkawinan yang
mengharuskan berdasarkan ketentutan hukum masing-masing agama, karena pada
prinsipnya seluruh agama yang diakui di Indonesia tidak membolehkan
dilangsungkannya perkawinan yang dilakukan jika kedua mempelai memiliki agama
atau kepercayaan yang berbeda. Perkawinan mempunyai hubungan yang erat dengan
agama atau kerohanian, sehingga perkawinan tidak hanya mempunyai unsur lahir
atau jasmani akan tetapi terkandung pula unsur batin atau rohani yang mempunyai
peranan yang sangat penting.
Dalam sudut pandang agama Islam, yang dimaksud dengan beda agama di
sini adalah perempuan muslim dengan laki-laki non muslim dan sebaliknya laki-laki
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
muslim dengan perempuan non islam. Keduanya boleh melakukan pernikahan
apabila pihak yang non muslim tersebut telah masuk islam. Tentang larangan kawin
beda agama disebutkan dalam pasal 40 Kompilasi Hukum Islam Indonesia yang
diberlakukan berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991 disebutkan
bahwa“dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dan wanita, karena
wanita tersebut tidak beragama islam”. Berdasarkan ketentuan ini dapat diketahui
bahwa tidak ada perkawinan beda agama, bagi pihak-pihak yang ingin melaksanakan
perkawinannya, mereka harus memilih agama yang dianut oleh pihak istri atau pihak
suami. Tidak ada lagi setelah nikah di Kantor Urusan Agama Kecamatan lalu pindah
menikah di gereja atau Catatan Sipil. (Abdul Manan, 2006: 56)
Perkawinan beda agama secara tegas diatur dalam ajaran agama Islam. Agama
Islam telah melarang seorang pria muslim menikah dengan wanita musyrik, yaitu
wanita yang menyekutukan Allah dengan yang lain seperti penyembahan berhala,
dewa ataupun roh-roh (animisme). Hal ini jelas terlihat dalam Al Qur’an Surat Al
Baqarah ayat 21 yang berbunyi : ”Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik
sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mu’min lebih baik dari
wanita musyrik walaupun dia menarik hatimu...”.
Selain itu dalam agama Kristen Protestan perkawinan itu memiliki dua aspek.
Aspek pertama adalah ia merupakan soal sipil yang erat hubungannya dengan
masyarakat dan negara, karenanya negara berhak mengaturnya menurut Undang-
undang Negara. Aspek kedua, perkawinan adalah merupakan soal agama, yang harus
tunduk pada hukum agama. Pernikahan sebagai soal sipil karena dengan pernikahan
akan lahir keluarga yang merupakan inti dari suatu bangsa. Sebab itu, negara wajib
menetapkan suatu peraturan supaya pernikahan itu dicatat dan diakui sah secara
yuridis oleh hukum negara.Dengan pencatatan, pernikahan tersebut beserta akibat-
akibat hukumnya memperoleh jaminan kepastian dari negara dan masyarakat.
Pernikahan sebagai soal agama, karena perkawinan harus mengikuti hukum agama,
hukum tuhan, agar pernikahan tersebut sesuai dengan kehendak Tuhan yang
menciptakan itu. (Asmin, 1986: 40)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
Berdasar pada pandangan tersebut, Gereja Kristen Protestan berpendapat
bahwa agar perkawinan itu sah, baik menurut hukum negara maupun hukum Tuhan
haruslah dlakukan berdasarkan baik hukum agama maupun hukum negara.
B. Kerangka Pemikiran
\
Gambar 2. Skematik Kerangka Pemikiran
Keterangan :
Kerangka pemikiran tersebut menggambarkan alur pemikiran dari penulis
dalam menguraikan dan menganalisis serta menemukan jawaban dari permasalahan
yang diangkat. Dalam penelitian ini disajikan mengenai dasar hukum yang digunakan
oleh Hakim Pengadilan Negeri Surakarta dalam mengabulkan permohonan Penetapan
ijin kawin beda agama pada Penetapan Nomor 173/PDT.P/2011/PN.SKA. Selain itu
juga membahas mengenai legalitas penetapan tersebut terhadap Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Kasus ini bermula ketika pasangan Tuan X yang beragama Islam dan Nona Y
yang beragama Budha ingin melangsungkan perkawinan mereka.Untuk itu mereka
mengahadap kepada Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Surakarta agar
perkawinannya dapat dilangsungkan dan dicatatkan. Namun keinginan mereka ini
Perkawinan Beda Agama
Penolakan Pencatatan Oleh Kantor Catatan Sipil Surakarta
Permohonan Penetapan Ijin Kawin Beda agama ke
Pengadilan Negeri Surakarta
Dasar Hukum Hakim PN Surakarta Dalam Penetapan
Ijin Kawin Beda Agama
Legalitas Penetapan Ijin Kawin Beda Agama Terhadap UU No. 1
Tahun 1974
Perkawinan Beda Agama
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
ditolak oleh pegawai Kantor Catatan Sipil Surakarta karena perkawinan tersebut
adalah perkawinan beda agama, akan tetapi Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan
Sipil Surakarta memberikan Surat Keterangan Rekes No. 474.2/1503/2011 kepada
Pengadilan Negeri Surakarta yang pada garis besarnya menyatakan bahwa Kantor
Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Surakarta akan melangsungkan dan
mencatatkan perkawinan beda agama yang diajukan oleh Tuan X dan Nona Y apabila
perkawinan tersebut mendapatkan ijin dari Pengadilan Negeri Surakarta.
Setelah mendapatkan penolakan dari Kantor Dinas Kependudukan dan
Catatan Sipil Surakarta, pasangan tersebut mengajukan permohonan kepada
Pengadilan Negeri Surakarta dengan menyertakan Surat Keterangan Rekes tersebut
agar Pengadilan Negeri Surakarta berkenan untuk menerima, memeriksa, serta
memberikan penetapan terhadap kasus yang dimohonkan mereka. Pada akhirnya
permohonan tersebut dikabulkan oleh hakim Pengadilan Negeri Surakarta dengan
memberikan penetapan ijin kawin beda agama.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Pada tanggal 11 Januari 2012 telah terjadi persidangan di Pengadilan Negeri
Surakarta, yang memeriksa perkara perdata dan telahmemberikan Penetapan perkara
Permohonan untuk melangsungkanperkawinan perbedaan Agama di hadapan Kantor
Catatan Sipil Surakarta, yang di ajukan oleh Tuan X dan Nona Y. Kronologis
pengajuan permohonan berawal pada tanggal 28 Desember 2011 yang mana ketika
para pemohon mengajukan surat permohonan dengan perihal ijin menikah kepada
Pengadilan Negeri Surakarta di bawah Nomor 173/PDT.P/2011/PN.Ska.
Dalam surat yang diajukan para pemohon tersebut kepada Pengadilan Negeri
Surakarta telah mengemukakan hal-hal yang menjadi dasar dan alasan-alasan
diajukannya permohonan, antara lain :
1. Bahwa para pemohon telah sepakat satu sama lain untuk melaksanakan
perkawinan yang rencananya dilangsungkan di hadapan Pegawai Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Surakarta.
2. Bahwa pada tanggal 16 Desember 2011 para pemohon telah memberitahukan
kepada Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Surakarta tentang
akan dilaksanakannya perkawinan tersebut tetapi oleh karena beda agama
yaitu Pemohon I beragama Budha, sedangkan Pemohon II beragama Islam
maka oleh Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Surakarta
permohonan para pemohon tersebut ditolak, dengan alasan sebagaimana
pokok tersebut dalam pasal 2 ayat (1), (2) dari Undang-Undang Pokok
Perkawinan No, 1 Tahun 1974.
3. Bahwa para pemohon masing-masing tetap pada pendiriannya untuk
melakukan perkawinan dengan tetap pada kepercayaannya masing-masing,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
dengan cara mengajukan Permohonan Ijin kepada Pengadilan Negeri
Surakarta mengacu pada Pasal 21 ayat (3) dan (4) Undang-Undang Pokok
Perkawinan No, 1 Tahun 1974 jo Pasal 35 huruf (a) Undang-Undang No.23
Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan beserta penjelasannya (Vide
Surat Keterangan Rekes dari Catatan Sipil Surakarta Nomor
474.2/1503/2011).
4. Bahwa asas hukum yang berlaku di Negara Republik Indonesia pada
prinsipnya perbedaan agama tidaklah menjadikan halangan untuk melakukan
perkawinan.
5. Bahwa untuk dapat melaksanakan Perkawinan Beda Agama tersebut harus
ada ijin dari Pengadilan Negeri Surakarta.
Di dalam persidangan, para pemohon telah mengajukan bukti-bukti surat,
berupa fotokopi yang telah dibubuhi materai secukupnya dan telah pula dicocokkan
dengan bukti aslinya, yaitu :
1. Kartu Tanda Penduduk atas Nama Nona Y.
2. Kartu Keluarga No. 33720551303089356.
3. Akte Kelahiran No. T. 411/1983 tertanggal 17 Oktober 1983 atas nama Nona
Y.
4. Akte Perkawinan No. T. 149/1981 tertanggal 7 Desember 1981.
5. Surat Persetujuan orang tua atas perkawinan yang dilakukan Nona Y.
6. Surat pernyataan belum pernah menikah atas nama Nona Y tertanggal 15
Desember 2011.
7. Surat keterangan / Pengantar dari Kelurahan atas nama Nona Y.
8. Surat keterangan Untuk Nikah Model N-1 dari Kelurahan atas nama Nona Y
No. 474.2/049 tertanggal 15 Desember 2011.
9. Surat Keterangan Asal-usul Model N-2 dari Kelurahan atas nama Nona Y
No. 474.2/049 tertanggal 15 Desember 2011.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
10. Surat Persetujuan Mempelai Model N-3 yang ditandatangani oleh Nona Y
dan Tuan X tertanggal 15 Desember 2011.
11. Surat Keterangan Tentang Orang Tua Model N-4 dari Kelurahan No.
474.2/049 tertanggal 15 Desember 2011.
12. Kartu Tanda Penduduk atas nama Tuan X.
13. Kartu keluarga No. 3674042709110027.
14. Akte Kelahiran atas nama Tuan X No. 243 tertanggal 6 Juli 1982.
15. Surat Ijin orang tua atas perkawinan yang dilakukan oleh Tuan X.
16. Surat pernyataan belum pernah menikah atas nama Tuan X tertanggal 15
Desember 2011.
17. Surat Keterangan Untuk Nikah Model N-1 dari Kelurahan atas nama Tuan X
No. 474.2/410/Pem/2011 tertanggal 12 Desember 2011.
18. Surat Keterangan Asal-usul Model N-2 dari Kelurahan atas nama Tuan X
No. 474.2/411/Pem/2011 tertanggal 12 Desember 2011.
19. Surat Persetujuan Mempelai Model N-3 yang ditandatangani oleh Tuan X
dan Nona Y tertanggal 12 Desember 2011.
20. Surat Keterangan Tentang Orang Tua Model N-4 dari Kelurahan No.
474.2/412/Pem/2011 tertanggal 12 Desember 2011.
21. Formulir Permohonan Pencatatan Perkawinan dari Dinas Kependudukan dan
Catatan Sipil Surakarta atas nama Tuan X dan Nona Y tertanggal 15
Desember 2011.
22. Surat Keterangan Untuk Rekes dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil
Surakarta No. 474.2/1503/2011 tertanggal 15 Desember 2011.
Selanjutnya pada saat persidangan juga dihadiri oleh Tuan A dan Tuan B yang
bertindak sebagai saksi yang diajukan oleh para pemohon, yang pada pokoknya
menerangkan sebagai berikut :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
1. Bahwa benar saksi kenal dengan Para Pemohon.
2. Bahwa benar saksi mengetahui kalau para pemohon akan melangsungkan
perkawinan di Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Surakarta
tetapi ditolak dikarenakan adanya perbedaan agama.
3. Bahwa benar Tuan X beragama Islam sedangkan Nona Y beragama Budha.
4. Bahwa benar rencana Perkawinan para pemohon yang akan dilangsungkan
secara beda agama tersebut telah diketahui oleh orang tua para pemohon.
5. Bahwa benar orang tua para pemohon telah menyetujui dan mengijinkan
kehendak para pemohon yang akan melangsungkan perkawinan dengan cara
beda agama tersebut.
6. Bahwa rencana perkawinan antara para pemohon tersebut atas dasar
kesepakatan mereka berdua yang didasari rasa cinta dan kasih sayang dari
mereka berdua tanpa adanya paksaan dari siapapun.
7. Bahwa sepengetahuan saksi para pemohon telah siap dan bersungguh-
sungguh untuk menikah beda agama dan mereka sangat menghormati
keyakinan agama masing-masing.
Dalam persidangan orang tua dari para pemohon juga memberikan keterangan
yang pada pokoknya adalah sebagai berikut :
1. Bahwa orang tua para pemohon telah mengetahui rencana perkawinan anak-
anak mereka, yaitu Tuan X dan Nona Y.
2. Bahwa sebagai orang tua para pemohon telah menyetujui dan mengijinkan
Tuan X dan Nona Y menikah dengan cara Perkawinan Beda Agama.
3. Bahwa sebagai orang tua dari para pemohon mengetahui kalau maksud Tuan
X dan Nona Y untuk melangsungkan perkawinan dengan cara beda agama
tersebut telah ditolak oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota
Surakarta.
4. Bahwa sebagai orang tua dari para pemohon mengetahui kalau Tuan X dan
Nona Y telah mengajukan permohonan ke Pengadilan Negeri Surakarta untuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
meminta ijin melakukan perkawinan beda agama yang akan dilaksanakan di
Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Surakarta.
5. Bahwa rencana perkawinan antara para pemohon tersebut atas dasar
kesepakatan mereka berdua yang didasari rasa cinta dan kasih sayang dari
mereka berdua tanpa adanya paksaan siapapun,
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas maka para pemohon mengajukan
permohonan kepada Pengadilan Negeri Surakarta yang diantara lain meliputi :
1. Mengabulkan permohonan para pemohon.
2. Memberikan ijin kepada para pemohon untuk melangsungkan Perkawinan
Beda Agama di Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota
Surakarta.
3. Memerintahkan kepada Pegawai Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan
Sipil Surakarta untuk melakukan pencatatan tentang Perkawinan beda Agama
para pemohon tersebut di atas ke dalam Register Pencatatan Perkawinan yang
digunakan untuk itu.
4. Membebankan biaya perkara ini kepada para pemohon.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
B. Pembahasan
1. Dasar Hukum yang Digunakan Oleh Hakim Pengadilan Negeri Surakarta
dalam Menetapkan Perkawinan Beda Agama pada Penetapan Nomor
173/PDT.P/2011/PN.SKA.
Seorang hakim dalam memutuskan suatu perkara selalu didasarkanpada
pertimbangan hukum maupun fakta-fakta untuk dijadikan dasar hukum, tanpa hal
tersebut putusan dan penetapan hakimmenjadi cacat hukum atau tidah sah. Dalam
kasus ini dasar hukum yang digunakan hakim adalah :
a. Di dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa “Pengadilan dilarang menolak
untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan
dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib
untuk memeriksa dan mengadilinya.”
b. Kewenangan untuk memeriksa suatu perkawinan yang ditolak oleh Kantor
Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil berada pada pihak Pengadilan Negeri,
hal ini berdasarkan Pasal 21 ayat (3) dan (4) Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan.
c. Pada Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 secara tegas
menyatakan bahwa hakim wajib menggali nilai hukum dan rasa keadilan
dalam masyarakat, oleh karena itu Hakim Pengadilan Negeri Surakarta
melakukan interpretasi karena kurang jelasnya pengaturan perkawinan beda
agama pada Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dengan menafsirkan
bahwa Pasal 2 ayat (1) sama sekali tidak menyinggung masalah perkawinan
beda agama.
d. Perbedaan agama bukan merupakan larangan untuk melangsungkan
perkawinan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 8 Undang-undang No. 1
tahun 1974, maka sudah tepatlah apabila persoalan permohonan perkawinan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
beda agama adalah menjadi kewenangan Pengadilan Negeri untuk memeriksa
dan memutuskan.
e. Pemohon I dan Pemohon II sebagai warga negara Indonesia dan warga negara
dunia adalah berhak untuk mempertahankan keyakinan dari agamanya
termasuk dalam beribadah membentuk rumah tangga yang dilakukan oleh dua
calon yang berbeda agama, hal mana sebagaimana dimaksud dalam UUD
1945 Pasal 29 dan Piagam PBB tahun 1948 tentang kebebasan memeluk
keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
f. Hakim Pengadilan Negeri juga menafsirkan bahwa Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 dalam Pasal 8 yang mengatur larangan untuk melaksanakan
perkawinan tidak diatur larangan yang dilaksanakan oleh dua calon mempelai
yang berbeda agama dan secara tegas juga tidak mengatur perkawinan calon
mempelai yang beda agama.
g. Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dalam Bab XIV Ketentuan
Penutup Pasal 66 menyatakan bahwa “Untuk perkawinan dan segala sesuatu
yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan Undang-undang ini, maka
dengan berlakunya Undang-undang ini ketentuan yang diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, HOCI Stbl. 1993 No. 74 (ordinansi
Perkawinan Indonesia Kristen), Peraturan Perkawinan Campuran (Regelling
op de gemengde Huwelijke Stbl. 1898 No. 158) dan peraturan-peraturan lain
yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam undang-undang
ini, dinyatakan tidak berlaku.
h. Oleh karena UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan tidak secara tegas
mengatur tentang perkawinan yang dilaksanakan oleh umat yang berlainan
agama, maka ketentuan-ketentuan dalam Stbl 1898 No, 158 tentang Peraturan
Perkawinan Campuran dapat diterapkan dalam perkara permohonan
perkawinan antara Pemohon I dan Pemohon II yang masing-masing
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
bersikukuh tetap mempertahankan keyakinan agamanya (Yurisprudensi MA
No, 245 K/SIP/1953 dalam perkara Pemohon: RH Sadikin Soeriatmaja).
.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
2. Legalitas Putusan Pengadilan Negeri Surakarta Nomor Perkara
173/PDT.P/2011/PN.SKA Tentang Penetapan Ijin Kawin Beda Agama
Terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Pengajuan permohonan izin menikah yang dilakukan oleh para mempelai,
yaitu Tuan X yang beragama Islam dan Nona Y yang beragama Budha untuk
melangsungkan perkawinan dihadapan pegawai Kantor Dinas Kependudukan dan
Catatansipil yang kemudian ditetapkan oleh Hakim dengan Keputusan Pengadilan
Negeri Surakarta Nomor 173/Pdt.P/2011/PN.SKA., menunjukan bahwa permohonan
perkawinan tersebut terjadi antara dua orang yang berbeda agama.
Bedasarkan keterangan saksi yang diajukan oleh para pemohon juga
menyatakan bahwa rencana perkawinan antara para pemohon tersebut atas dasar
kesepakatan mereka berdua yang didasari rasa cinta dan kasih sayang dari mereka
berdua tanpa adanya paksaan dari siapapun. Selain itu saksi-saksi juga memberikan
keterangan bahwa para pemohon telah siap dan bersungguh-sungguh untuk menikah
beda agama dan mereka sangat menghormati keyakinan agama masing-masing.
Dengan pertimbangan hakim yang menyatakan bahwa Undang-undang nomor
1 tahun 1974 tidak mengatur perkawinan beda agama, maka pengadilan
menggunakan ketentuan-ketentuan dalam Stbl 1898 No.158 dan pasal 35 huruf a
Undang-undang Nomor 23 tahun 2006 serta pasal 29 UUD 1945, dimana perbedaan
agama, bangsa, dan asal-usul tidak menjadi penghalang bagi berlangsungnya suatu
perkawinan, karena pada prinsipnya suatu perkawinan adalah untuk membentuk
suaturumah tangga yang harmonis, kekal/abadi, saling mencintai, menyayangi
dansaling menghormati. Maka permohonan yang diajukan Para Pemohon tersebut
dikabulkan oleh Pengadilan Negeri Surakarta dan diberi izin untuk menikah
dihadapan petugas Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Surakarta.
Bentuk lain untuk melakukan perkawinan antar agama dapat dilakukan
dengan cara melakukan perkawinan bagi pasangan yang berbeda agama tersebut di
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
luar negeri. Berdasarkan pada pasal 56 UU No. 1/1974yang mengatur perkawinan di
luar negeri, dapat dilakukan oleh sesama warga negara Indonesia, dan perkawinan
antar pasangan yang berbeda agama tersebut adalah sah bila dilakukan menurut
hukum yang berlaku di negara dimana perkawinan itu berlangsung. Setelah suami
isteri itu kembali di wilayah Indonesia, paling tidak dalam jangka waktu satu tahun
surat bukti perkawinan dapat didaftarkan di kantor pencatatan perkawinan tempat
tinggal mereka. Artinya perkawinan antar agama yang dilakukan oleh pasangan
suami isteri yang berbeda agama tersebut adalah sah karena dapat diberikan akta
perkawinan. (http://excellent-lawyer.blogspot.com/2010/04/perkawinan-beda-agama-
diindonesia.htmldiakses tanggal 11April 2012)
Perkawinan dapat dikatakan sah apabila telah sesuai dan sejalan dengan
hukum agama dan hukum negara. Seluruh agama yang ada di Indonesia pada
prinsipnya melarang adanya perkawinan yang dilakukan antara kedua mempelai yang
berbeda agama. Namun realita yang terjadi dalam sistem hukum Indonesia
perkawinan beda agama dapat dilangsungkan hal ini disebabkan ada kerancuan pada
peraturan perundang-undangan tentang perkawinan sehingga memberikan peluang
tersebut terjadi, karena dalam peraturan tersebut dapat memberikan beberapa
penafsiran bila terjadi perkawinan antar agama.
Dalam memahami perkawinan beda agama menurut Undang-undang
Perkawinan ada tiga penafsiran yang berbeda. Pertama, penafsiran yang berpendapat
bahwa perkawinan beda agama merupakan pelanggaran terhadap Undang-undang
Nomor 1 tahun 1974 pasal 2 ayat 1 jo pasal 8 f. Pendapat kedua, bahwa perkawinan
antara agama adalah sah dan dapat dilangsungkan, karena telah tercakup dalam
perkawinan campuran, dengan argumentasi pada pasal 57 tentang perkawinan
campuran yang menitikberatkan pada dua orang yang di Indonesia tunduk pada
hukum yang berlainan, yang berarti pasal ini mengatur perkawinan antara dua orang
yang berbeda kewarganegaraan juga mengatur dua orang yang berbeda agama.
Pendapat ketiga bahwa perkawinan antar agama sama sekali tidak diatur dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
Undang-undang Nomor 1 tahun 1974, oleh karena itu berdasarkan pasal 66 Undang-
undang Nomor 1 tahun 1974 maka persoalan perkawinan beda agama dapat merujuk
pada peraturan perkawinan campuran, karena belum diatur dalam Undang-undang
perkawinan. (Ahmad Sukarja, 1996: 17-18)
Pendapat yang menyatakan perkawinan beda agama merupakan pelanggaran
terhadap Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 pasal 2 ayat 1 jopasal 8 f, maka
instansi baik KUA dan Kantor Catatan Sipil dapat menolak permohonan perkawinan
beda agama berdasarkan pada pasal 2 ayat 1 jo pasal 8 f Undang-undang Nomor 1
tahun 1974 yang menyatakan bahwa perkawinan adalah sah, jika dilakukan menurut
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu. Dalam penjelasan Undang-
undang ditegaskan bahwa dengan perumusan pasal 2 ayat 1, maka tidak ada
perkawinan diluar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
Ketentuan pasal tersebut berarti bahwa perkawinan harus dilakukan menurut
agamanya, dan ketentuan yang dilarang oleh agama berarti dilarang juga oleh
undang-undang perkawinan. (Masjfuk Zuhdi, 1993: 3)
Pendapat yang menyetujui bahwa perkawinan antar agama adalah sah
berpendapat bahwa dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang No .1 Tahun 1974 tentang
perkawinan yang berbunyi “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agama dan kepercayaannya itu” di dalamnya tidak terkandung
masalah perkawinan beda agama. Kemudian dalam Pasal 8 Undang-undang No . 1
Tahun 1974 tentang perkawinan yang berisi tentang larangan perkawinan juga tidak
melarang adanya perkawinan yang berlandaskan beda agama.
Selain itu pendapat yang mengatakan bahwa perkawinan antar agama dapat
dilangsungkan adalah karena telah terdapat dalam perkawinan campuran, dengan
menjadikan pasal 57 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 sebagai dasar agumentasi
yang mana Pasal tersebut menitikberatkan pada dua orang yang di Indonesia tunduk
pada hukum yang berlainan, yang artinya dapat ditafsirkan bahwa pasal ini mengatur
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
perkawinan antara dua orang yang berbeda kewarganegaraan juga mengatur dua
orang yang berbeda agama. Pada pasal 1 Peraturan Perkawinan campuran
menyatakan bahwa perkawinan campuran adalah perkawinan antara orang-orang
yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan.
Akibat dirasa kurang tegasnya perumusan pada Pasal-pasal tersebut, salah
satunya adalah tentang tunduk pada hukum yang berlainan, ada beberapa penafsiran
dikalangan ahli hukum. Pendapat pertama menyatakan bahwa perkawinan campuran
hanya terjadi antara orang-orang yang tunduk pada hukum yang berlainan karena
berbeda golongan penduduknya. Pendapat kedua menyatakan bahwa perkawinan
campuran adalah perkawinan antara orang-orang yang berlainan agamanya. Pendapat
ketiga berpendapat bahwa perkawinan campuran adalah perkawinan antara orang-
orang yang berlainan asal daerahnya.
Pendapat yang terakhir menyatakan bahwa sebenarnya Undang-undang No .1
Tahun 1974 tentang Perkawinan sama sekali tidak mengatur tentang perkawinan beda
agama, sehingga sesuai dengan Pasal 66 UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
yang menyatakan;
“Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-undang ini, maka dengan berlakunya Undang-undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (burgelijk Wetboek), Ordinansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijk Ordanantie Christen Indonesia 1933 No.74, Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op gemeng de Huwelijken S.1898 No. 158), dan Peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku.”
Maka yang digunakan sebagai dasar hukum untuk perkawinan beda agama
adalah Staatblad 1898 No. 158 tercantum dalam Pasal 7. Isi dari Pasal tersebut pada
garis besarnya berbunyi perbedaan bukanlah penghalang untuk terjadinya perkawinan
baik perbedaan agama, bangsa, ataupun keturunan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
Perlu diketahui bahwa terkait perkawinan beda agama, wewenang untuk
memberikan penetapan ijin kawin beda agama berada pada Pengadilan Negeri. Hal
ini didasarkan pada rekes yang dikeluarkan oleh Dinas Kependudukan dan Catatan
Sipil ketika menanggapi permohonan yang diterima terkait perkawinan beda agama.
Pada kasus dengan Nomor Perkara 173/PDT.P/2011/PN.SKA tentang
perkawinan beda agama yang dilangsungkan oleh Tuan X dan Nona Y selaku para
pemohon, pada mulanya mereka mendaftarkan perkawinan tersebut ke Kantor Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil Surakarta namun pada akhirnya ditolak. Alasan
ditolaknya perkawinan mereka adalah karena perkawinan tersebut berlandaskan beda
agama, sehingga tidak sesuai dengan sebagaimana yang diatur pada Pasal 2 ayat (1)
dan ayat (2) Undang-undang No . 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Atas penolakan
oleh Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Surakarta, para pemohon dapat
mengajukan permohonan ijin kawin kepada Pengadilan Negeri Surakarta dengan
mengacu pada Pasal 21 ayat (3) dan ayat (4) Undang-undang No . 1 Tahun 1974 yang
berbunyi :
a. Ayat (3), para pihak yang perkawinannya ditolak berhak mengajukan
permohonan kepada Pengadilan di dalam wilayah mana pegawai pencatat
perkawinan yang mengadakan penolakan berkedudukan untuk memberikan
putusan, dengan menyerahkan surat keterangan penolakan tersebut di atas.
b. Ayat (4), pengadilan akan memeriksa perkaranya dengan acara singkat dan
memberikan ketetapan, apakah ia akan menguatkan penolakan tersebut
ataukah memerintahkan agar supaya perkawinan dilangsungkan.
Berdasarkan alasan tersebut, Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil
Surakarta mengeluarkan rekes yang ditujukan kepada Pengadilan Negeri Surakarta
yang berisi bahwa Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Surakarta akan
mencatatkan perkawinan yang akan dilakukan oleh para pemohon apabila telah ada
ijin dalam bentuk penetapan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri Surakarta.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
Dasar hukum yang digunakan adalah Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan jo Pasal 35 Undang-undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan. Pasal 35 Undang-undang No. 23 Tahun 2006 menyatakan bahwa
pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 Undang-undang No.
35 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan berlaku pula bagi perkawinan
yang ditetapkan oleh Pengadilan dan perkawinan Warga Negara Asing yang
dilakukan di Indonesia atas permintaan Warga Negara Asing yang bersangkutan.
Sedangkan dalam penjelasan atas Pasal 35 huruf a UU No. 35 Tahun 2006, yang
dimaksud dengan “perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan” adalah perkawinan
yang dilakukan antar umat yang berbeda agama.
Pada Inpres Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam secara
tegas tertuang larangan perkawinan yang dilaksanakan oleh mempelai yang berbeda
agama. Hal ini tercantum pada Pasal 40 huruf c yang garis besarnya menyatakan
bahwa dilarang melakukan perkawinan antara pria dengan wanita karena keadaan
tertentu, yaitu wanita tersebut bukan beragama Islam. Pasal 44 juga menyatakan
bahwa seorang wanita Islam dilarang melakukan perkawinan dengan seorang pria
yang bukan beragama Islam.
Meskipun ketentuan tentang larangan perkawinan beda agama sudah tertuang
di dalam Inpres Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam, hakim
Pengadilan Negeri tidak harus memperhatikan ketentuan tersebut dalam
pertimbangannya untuk memberikan penetapan ijin kawin beda agama yang diajukan
pada Pengadilan Negeri karena Inpres Nomor 1 Tahun 1991 ditujukan sebagai
pedoman, landasan, serta pegangan bagi hakim-hakim di Pengadilan Agama,
Pengadilan Tinggi Agama, dan hakim-hakim di Mahkamah Agung dalam memeriksa
dan memutuskan perkara-perkara yang menjadi wewenang Pengadilan Agama. Selain
itu secara hirarki kedudukan Inpres berada di bawah Undang-undang.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
Dengan melihat dasar-dasar hukum yang digunakan oleh hakim Pengadilan
Negeri Surakarta di dalam pertimbangannya untuk memberikan penetapan ijin kawin
beda agama yang diajukan para pemohon, maka dapat dikatakan keputusannya bisa
dipertanggung jawabkan, karena telah sesusai dengan koridor hukum yang ada.
Sehingga putusan hakim Pengadilan Negeri Surakarta dengan Nomor Perkara
173/PDT.P/2011/PN.SKA tidaklah bertentangan dengan ketentuan pokok yang
mengatur tentang perkawinan, yaitu Undang-undang No. 1 Tahun 1974.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan seluruh uraian yang telah dijelaskan penulis dalam BAB I sampai
dengan BAB III, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Dasar hukum yang digunakan oleh Hakim Pengadilan Negeri Surakarta dalam
memberikan penetapan ijin kawin beda agama pada Nomor Perkara
173/PDT.P/2011/PN.SKA diantaranya :
a. Di dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa “Pengadilan
dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu
perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau
kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.”
b. Kewenangan untuk memeriksa suatu perkawinan yang ditolak oleh
Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil berada pada pihak
Pengadilan Negeri, hal ini berdasarkan Pasal 21 ayat (3) dan (4)
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
c. Pada Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 secara
tegas menyatakan bahwa hakim wajib menggali nilai hukum dan rasa
keadilan dalam masyarakat, oleh karena itu Hakim Pengadilan Negeri
Surakarta melakukan interpretasi karena kurang jelasnya pengaturan
perkawinan beda agama pada Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
dengan menafsirkan bahwa Pasal 2 ayat (1) sama sekali tidak
menyinggung masalah perkawinan beda agama.
d. Perbedaan agama tidak merupakan larangan untuk melangsungkan
perkawinan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 8 Undang-
undang No. 1 tahun 1974, maka sudah tepatlah apabila persoalan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
permohonan perkawinan beda agama adalah menjadi kewenangan
Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutuskan.
e. Pemohon I dan Pemohon II sebagai warga negara Indonesia dan warga
negara dunia adalah berhak untuk mempertahankan keyakinan dari
agamanya termasuk dalam beribadah membentuk rumah tangga yang
dilakukan oleh dua calon yang berbeda agama, hal mana sebagaimana
dimaksud dalam UUD 1945 Pasal 29 dan Piagam PBB tahun 1948
tentang kebebasan memeluk keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha
Esa.
f. UU No. 1 Tahun 1974 dalam Pasal 8 yang mengatur larangan untuk
melaksanakan perkawinan tidak diatur larangan yang dilaksanakan
oleh dua calon mempelai yang berbeda agama dan secara tegas juga
tidak mengatur perkawinan calon mempelai yang beda agama.
g. UU No.1 Tahun 1974 dalam Bab XIV Ketentuan Penutup Pasal 66
menyatakan bahwa “Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang
berhubungan dengan perkawinan berdasarkan Undang-undang ini,
maka dengan berlakunya Undang-undang ini ketentuan yang diatur
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, HOCI Stbl. 1993 No.
74 (ordinansi Perkawinan Indonesia Kristen), Peraturan Perkawinan
Campuran (Regelling op de gemengde Huwelijke Stbl. 1898 No. 158)
dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh
telah diatur dalam undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku.
h. Oleh karena UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan tidak secara
tegas mengatur tentang perkawinan yang dilaksanakan oleh umat yang
berlainan agama, maka ketentuan-ketentuan dalam Stbl 1898 No, 158
tentang Peraturan Perkawinan Campuran dapat diterapkan dalam
perkara permohonan perkawinan antara Pemohon I dan Pemohon II
yang masing-masing bersikukuh tetap mempertahankan keyakinan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
agamanya (Yurisprudensi MA No, 245 K/SIP/1953 dalam perkara
Pemohon: RH Sadikin Soeriatmaja).
2. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang digunakan oleh hakim
Pengadilan Negeri Surakarta maka legalitas putusan Pengadilan Negeri
Surakarta tentang penetapan ijin kawin beda agama dapat dipertanggung
jawabkan karena tidak bertentangan dengan Undang-Undang No . 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan. Selain itu apabila dikaitkan dengan Pasal 35 huruf a
Undang-Undang No . 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan
maka penetapan ijin kawin beda agama merupakan wewenang Pengadilan
Negeri.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
B. SARAN
1. Perlu dilakukan peninjauan ulang Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan agar memberikan pengaturan yang tegas mengenai perkawinan
beda agama, sehingga tidak terjadi kerancuan dan penafsiran yang berbeda di
kalangan masyarakat, karena sebagian berpendapat bahwa perkawinan
tersebut tidak sah karena tidak memenuhi baik ketentuan yang berdasarkan
agama, maupun berdasarkan Undang-undang negara, sementara ada pihak
yang berpendapat bahwa perkawinan antara pasangan yang berbeda-agama
sah sepanjang dilakukan berdasarkan agama/keyakinan salah satu pihak, dan
tidak sedikit pula yang berpendapat bahwa perkawinan beda agama sama
sekali tidak diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974.
2. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang
Administrasi Kependudukan tersebut sebenarnya dapat melemahkan Undang-
undang Pokok Perkawinan yang ada sebagai Undang-undang perkawinan
yang berlaku di Indonesia, padahal Undang-undang Pokok Perkawinan
tersebut adalah Undang-undang yang sangat menghormati dan memperhatikan
nilai-nilai Agama, sebaiknya dibuat regulasi yang lebih sejalan dengan
Undang-undang Pokok Perkawinan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Abdul Manan. 2006. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: CV. Kencana Prenada Media Group.
Ahmad Sukarja. 1996. Perkawinan Berbeda Agama Menurut Hukum Islam. Jakarta: PT Pustaka Firdaus.
Asmin. 1996. Status Perkawinan Beda Agama. Jakarta: Dian Rakyat.
_____. 1986. Status Perkawinan Antar Agama Ditinjau Dari Undang-UndangPerkawinan No. 1/1974. Jakarta: Dian Rakyat.
Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika. 1987. Azas-azas Hukum Perkawinan di Indonesia. Jakarta: BinaAksara.
Endang Sumiarni. 2004. Kedudukan Suami Istri Dalam Hukum Perkawinan (Kajian Kesetaraan Jender Melalui Perjanjian Kawin). Yogyakarta: Wonderful Publishing Company.
Kamal Muchtar. 1992. Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan. Jakarta: BulanBintang.
Mahmud Yunus. 1981. Hukum Perkawinan Dalam Islam, Cet. 9. Jakarta: Hidaya karya Agung.
Mohammad Idris Ramulyo. 1996. Hukum Perkawinan Islam, Suatu Analisis Dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
R. Sardjono. Berbagai masalah hukum dalam Undang-Undang republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (Diedarkan Dikalangan mahasiswa Fakultas Hukum di kalangan Universitas Trisakti, Jakarta).
R. Subekti. 1987. Pokok-pokok Hukum Perdata. Jakarta: PT. Intermasa.
Rusli& R. Tama. 1986. Perkawinan Antar Agama Dan Masalahnya. Bandung: Pionir Jaya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
Salim HS. 2002. Pengantar Hukum Perdata (BW). Jakarta: Sinar Grafika.
Sudikno Mertokusumo. 1996. Penemuan Hukum Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Liberty.
Soedharyo Soimin, SH. 2002. Hukum Orang dan Keluarga. Jakarta: Sinar Grafika.
Soerjono Soekanto. 2006. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press.
S.U Jarwo Junu. 2005. Aspek Perkawinan Beda Agama di Indonesia. Jakarta: CV.Insani.
Wahono Darmabrata. 2003. Tinjauan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Beserta Undang-Undang dan Peraturan Pelaksanaannya. Jakarta: CV. Gitama Jaya.
Masjfuk Zuhdi. 1993. Masail Fiqhiyah. Jakarta: CV. Haji Masaung.
Undang-undang
Undang-undangNomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Undang-undangNommor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan
InstruksiPresiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam
Internet
http://hukumonline.com/detail.asp?id=15656&el=Berita, diaksestanggal 26 Maret 2012
http://excellent-lawyer.blogspot.com/2010/04/perkawinan-beda-agama-diindonesia.html,diaksestanggal 11 April 2012