KAJIAN FILOSOFIS ATAS TEORI DISKURSUS JÜRGEN HABERMAS
-
Upload
david-jones -
Category
Law
-
view
555 -
download
3
Transcript of KAJIAN FILOSOFIS ATAS TEORI DISKURSUS JÜRGEN HABERMAS
i
KAJIAN FILOSOFIS ATAS TEORI DISKURSUS
JÜRGEN HABERMAS
DAVID JONES SIMANUNGKALIT
1323009004
FAKULTAS FILSAFAT
UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDALA SURABAYA
2014
ii
LEMBAR PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH
Demi perkembangan ilmu pengetahuan, saya menyetujui skripsi/karya
ilmiah saya, dengan judul: Kajian Filosofis Atas Teori Diskursus Jürgen
Habermas untuk dipublikasikan atau ditampilkan di internet atau media lain yaitu
Digital Library Perpustakaan Unika Widya Mandala Surabaya untuk kepentingan
akademik sebatas sesuai dengan Undang-Undang Hak Cipta.
Demikian pernyataan persetujuan publikasi karya ilmiah ini saya buat
dengan sebenarnya.
Surabaya, 13 Juli 2014
MATERAI 6000
David Jones Simanungkalit
1323009004
iii
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa
hasil tugas akhir ini adalah benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri.
Apabila di kemudian hari diketahui bahwa skripsi ini
merupakan hasil plagiarisme, maka saya bersedia
menerima sangsi berupa pembatalan kelulusan
dan atau pencabutan gelar yang saya peroleh.
Surabaya, 13 Juli 2014
David Jones Simanungkalit
1323009004
iv
v
KATA PENGANTAR
Karya tulis ini merupakan buah dari proses pembelajaran filsafat yang
digeluti oleh penulis selama menempuh pendidikan jenjang strata satu (S1) di
Fakultas Filsafat Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya. Pemilihan tema
yang diangkat dalam karya tulis ini merupakan usaha penulis guna mendalami
pemikiran Jürgen Habermas yang berkaitan dengan teori diskursus. Penulis
berharap agar nantinya dalam kehidupan sehari-hari dapat menjadi agen
perubahan dalam masyarakat sesuai cita-cita yang dimiliki oleh Mazhab
Frankfurt.
Pada kesempatan ini, penulis hendak berterima kasih kepada:
1. Allah sumber segala pengetahuan dan kebijaksanaan.
2. Keluarga yang selalu memberikan dukungan moral dan material.
3. Agustinus Pratisto Trinarso Lic. Phil yang telah membimbing penulis
dalam proses penyelesaian karya tulis ini.
4. Dr. Agustinus Ryadi dan Aloysius Widyawan Lic. Phil yang telah
memberi masukan kritis demi perbaikan karya tulis ini.
5. Rekan-rekan filosofan di Unika Widya Mandala, secara khusus
Antonino Indrajaya sang petualang alam liar, yang telah membantu
penulis dalam diskusi dan proses penyelesaian karya tulis ini.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam karya tulis ini,
maka penulis membuka diri bagi kritik dan saran yang membangun demi
perbaikan karya tulis ini ke depan. Akhir kata, semoga karya tulis ini dapat
menjadi sumbangan bagi setiap pihak yang ingin mendalami pemikiran Jürgen
Habermas yang berkaitan dengan tema komunikasi.
Surabaya, 13 Juli 2014
Penulis
vi
DAFTAR ISI
Salinan Halaman Sampul………………………………………………………... i
Lembar Persetujuan Publikasi Karya Ilmiah…………………………………….. ii
Lembar Pernyataan Karya Ilmiah Non Plagiat……………….………………….. iii
Lembar Persetujuan Pembimbing…………………...…………………………… iv
Kata Pengantar………………...…………………………………………………. v
Daftar Isi…………………………………………………………………………. vi.
Abstraksi Skripsi…………………………………………………………………. viii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang…………………………………………………………… 1
1.2. Rumusan Masalah……………….……………………………………….. 3
1.3. Tujuan………….………………………………………………………… 3
1.4. Metode Penelitian……….……………………………………………….. 3
1.5. Sistematika Penulisan…………...……………………………………..… 4
BAB II JÜRGEN HABERMAS & MAZHAB FRANKFURT
2.1. Biografi Jürgen Habermas….…………………………….……………… 6
2.2. Mazhab Frankfurt…………………..……………………………………..10
2.3. Pemikiran Filosofis Jürgen Habermas……...………….……………….... 21
2.3.1. Rasio Komunikatif……………………………………………………... 21
2.3.2. Theory of Communicative Action…………………………………….. 26
BAB III TEORI DISKURSUS
3.1. Teori Diskursus…………..…………………………….………………… 33
3.2. Prosedur Diskursus…………….…..…………………………………...... 40
3.3. Prinsip Etika Diskursus………………….…………………………………....... 45
3.4. Tinjauan Kritis Terhadap Pemikiran Habermas…………………………. 49
3.4.1. Kritik atas Pemikiran Habermas oleh Michel Foucault…............. 50
vii
3.4.2. Defending Habermas oleh Michael Pusey………………………….. 55
BAB IV RELEVANSI TEORI DISKURSUS
4.1. Diskursus dan Ruang Publik …..…………………………...…………… 60
4.2. Relevansi Teori Diskursus di Indonesia..................................................... 62
4.3. Penerapan Diskursus Dalam Demokrasi di Indonesia…………………… 68
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan……………………...……………………….…….……….... 71
5.2. Saran………………….…………………………………….………….… 74
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………. 75
viii
ABSTRAKSI
KAJIAN FILOSOFIS ATAS TEORI DISKURSUS JÜRGEN HABERMAS
David Jones Simanungkalit
1323009004
Masyarakat modern memiliki kompleksitas nilai dan kepentingan.
Benturan nilai dan kepentingan merupakan sebuah hal yang tidak dapat dielakkan
lagi. Dalam situasi semacam itu, kita dihadapkan pada dua buah jalan pilihan.
Pertama, membangun sebuah tatanan masyarakat rasional yang dilandasi oleh
nilai-nilai etika dan moral. Kedua, menggunakan cara-cara irasional, seperti
kekerasan, uang, dan kekuasaan, yang cenderung mengarah pada kehancuran.
Kompeleksitas nilai dan kepentingan harus diatur sedemikian rupa guna
mencegah terjadinya konflik yang mengarah pada disintegrasi masyarakat. Pada
titik ini, keberadaan hukum menjadi hal yang sangat fundamental untuk mengatur
kompleksitas nilai dan kepentingan yang ada dalam masyarakat. Keberadaan
hukum dapat menjamin kehidupan bersama dalam masyarakat berjalan dengan
tertib.
Kendati demikian, tak jarang kita menjumpai berbagai problematika yang
muncul terkait dengan hukum. Problematika yang dimaksud adalah keberadaan
hukum yang kontroversial yang tidak mencerminkan nilai keadilan bagi
masyarakat. Contoh konkret dari keberadaan hukum yang controversial adalah
sistem hukum yang diterapkan oleh pemerintah kolonial terhadap daerah
jajahannya, seperti hukum tanam paksa yang pernah ada di Indonesia. Lalu
adanya politik Apartheid di Afrika Selatan yang memisahkan antara masyarakat
kulit hitam dan kulit putih dalam suatu sistem hukum politik negara. Keberadaan
hukum yang demikian tidak mencerminkan hakekat hukum yang seharusnya
memberikan nilai keadilan bagi masyarakat. Keberadaan hukum yang
kontroversial justru tidak menjamin terciptanya kehidupan masyarakat yang tertib
dan adil melainkan malah dapat memicu terjadinya disintegrasi masyarakat.
Keberadaan hukum yang kontroversial tersebut menjadi bukti bahwa
keberadaan hukum juga bukan tanpa masalah. Akar permasalahannya terletak
pada prosedur legitimasi pembentukan hukumnya. Keberadaan hukum yang
kontroversial tersebut ditetapkan secara sepihak oleh penguasa atau pihak
mayoritas yang bertujuan untuk melayani kepentingan pihak-pihak tertentu dan
melanggengkan status quo. Penekanan pada dimensi “subjektivitas” dari penguasa
dan pihak-pihak tertentu tanpa disertai adanya kontrol dan keterlibatan aktif dari
masyarakat merupakan sebuah problem yang menandakan adanya kecacatan
dalam prosedur dalam pembentukan hukum.
ix
Penulisan karya tulis ini bertujuan untuk memperkenalkan gagasan-
gagasan filosofis Jürgen Habermas yang berkaitan dengan proses penetapan
hukum atau norma melalui sebuah prosedur pengujian intersubjektif. Prosedur
pengujian secara intersubjektif merupakan esensi dari teori diskursus. Teori
diskursus, sebagai sumbangan pemikiran Habermas terhadap masyarakat modern,
pada dasarnya tidak menawarkan suatu ide substantif apapun, melainkan hanya
meradikalkan prosedur (cara) yang didasarkan pada hakekat rasio itu sendiri, yaitu
rasio komunikatif dan rasio prosedural.
Metode yang digunakan dalam karya tulis ini adalah metode kepustakaan
dengan pengunaan berbagai sumber pustaka yang terkait dengan tema dan dapat
dipertanggungjawabkan aspek keilmiahannya.
Teori diskursus kiranya sangat cocok sebagai salah satu solusi alternatif
terkait permasalahan mengenai proses penetapan hukum (norma). Menurut
pandangan Habermas, produk-produk legal formal yang menyangkut kehidupan
publik harus melewati sebuah proses pengujian diskursif yang menekankan
prinsip intersubjektivitas. Produk-produk legal formal yang dicapai melalui
prosedur pengujian diskursif akan menghasilkan sebuah konsensus yang memiliki
dasar legitimasi yang kuat. Kekuatan dasar legitimasinya terletak pada konsensus
yang dicapai secara intersubjektif. Pelaksanaan hasil konsensus yang dicapai
melalui mekanisme semacam itu bersifat mengikat terhadap seluruh partisipan
diskursus, karena mereka terlibat aktif di dalam prosesnya.Produk-produk legal
formal yang dihasilkan secara sepihak tanpa melibatkan partisipasi aktif
masyarakat tidak memiliki dasar legitimasi yang kuat karena adanya defisit dalam
proses legitimasinya.
Kata kunci: rasio prosedural, tindakan komunikatif, teori diskursus,
etika diskursus, intersubjektivitas.
x
ABSTRACT
Philosophical Study On Jürgen Habermas’ Discourse Theory
David Jones Simanungkalit
1323009004
Modern society has the complexity of values and interests. Conflict of
interests and values is a thing that cannot be avoided. In such a situation, we are
faced with two ways of choice. First, building a rational society which is based on
ethical values and moral. Second, using irrational ways, such as money violence
and power which tends to lead to destruction. Complexity of values and interests
must be arranged in such a way to prevent conflicts that lead to the disintegration
of society. At this point, the existence of law becomes a very fundamental thing
to set the values and interests of the complexities which exist in society. The
existences of law can ensure mutual aid in society walk orderly.
Nevertheless, we often encounter with various problems which arise
related to the law. The problem is the existence of controversial law which does
not reflect on the value of justice for society. Concrete example of the existence of
the controversial law is the legal system applied by the colonial government to its
colonies, such as legal cultivation that existed in Indonesia. Furthermore, the
existence of Apartheid politic in South Africa which separated black community
and white community in a legal system of political country. The existence of
such a law does not reflect the essence of the law which is supposed to provide
justice for the people. The existence of a controversial law precisely does not
ensure to have an order and fair community life, but instead it may lead to the
disintegration of society.
This existence of a controversial law was a proof that the existence of the
law is free from problems. The root of the problem lies on the legitimacy
procedure of law. The existence of the controversial law was determined only by
the ruler or the majority party that aims to serve the interests of certain parties and
perpetuate the status quo. Emphasis on the dimension of "subjectivity" from the
authorities and certain parties without being controlled and the active involvement
of the community is a problem which suggests a defect in the formation of legal
procedures.
This paper aims to introduce the philosophical ideas of Jürgen Habermas
related to legal or norm-setting process through an intersubjective testing
procedure. Intersubjective testing procedure is the essence of discourse theory.
Theory of discourse, as Habermas conceptual contribution to modern society,
basically it does not offer a substantive idea whatsoever, but only radicalized
xi
procedure (method) which based on the nature of the ratio itself, ie the ratio of
communicative and procedural ratio.
The method used in this paper is a literature method by conducting
various sources of literature which related to the theme and can be accounted for
scholarship aspect.
Discourse theory would very suitable as one alternative solution of the
problems related to the determination of the legal process (the norm). Habermas’
point of view, formal legal products related to public life must pass through a
testing process that emphasizes discursive intersubjectivity principle. Formal legal
products are achieved through the testing procedure will result in a discursive
consensus that has strong legitimacy base. Basic strength lies on its legitimacy
achieved intersubjective consensus. Implementation of the results of the
consensus reached through such a mechanism shall be binding on all the discourse
participants, because they are actively involved in the process. Formal legal
products were achieved unilaterally without involving the active participation of
the community, it does not have a strong legitimacy base because of the deficit in
the process of it’s legitimacy.
Keywords: ratio procedural, communicative action, discourse theory,
discourse ethics, intersubjectivity.
BAB I
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Jürgen Habermas dalam bukunya Faktizitat und Geltung mengungkapkan
bahwa masyarakat modern merupakan masyarakat yang memiliki kompleksitas
nilai dan kepentingan.1 Adanya kompleksitas nilai dan kepentingan mengharuskan
kehidupan masyarakat diatur sedemikian rupa untuk menghindari terjadinya
konflik yang mengarah pada disintegrasi masyarakat. Keberadaan hukum menjadi
sangat penting untuk mengatur adanya kompleksitas nilai dan kepentingan dalam
masyarakat. Keberadaan hukum dapat menjamin kehidupan bersama dalam
masyarakat berjalan dengan tertib.
Kendati demikian, tak jarang kita menjumpai berbagai problematika yang
muncul terkait dengan hukum. Problematika yang dimaksud adalah keberadaan
hukum yang kontroversial yang tidak mencerminkan nilai keadilan bagi
masyarakat. Contoh konkrit dari keberadaan hukum yang kontroversial adalah
sistem hukum yang diterapkan oleh pemerintah kolonial terhadap daerah
jajahannya. Lalu adanya politik Apartheid di Afrika Selatan yang memisahkan
masyarakat kulit hitam dan kulit putih dalam suatu sistem hukum politik negara
yang dijalankan dengan baik. Keberadaan hukum yang demikian tidak
mencerminkan hakekat hukum yang seharusnya memberi nilai keadilan bagi
1 JÜRGEN HABERMAS, Between fact and norm, (judul asli: Faktizitat und Geltung), diterjemahkan
oleh William Rehg, The MIT press, New Baskerville 19962, 1.
2
masyarakat. Keberadaan hukum yang kontroversial justru tidak menjamin
terciptanya kehidupan masyarakat yang tertib dan adil melainkan malah dapat
memicu terjadinya disintegrasi masyarakat.
Keberadaan hukum yang kontroversial tersebut menjadi bukti bahwa
keberadaan hukum juga bukan tanpa masalah. Menurut hemat penulis
permasalahannya terletak pada prosedur legitimasi pembentukan hukumnya.
Keberadaan hukum yang kontroversial tersebut hanyalah bentukan secara sepihak
oleh penguasa atau pihak mayoritas yang bertujuan untuk melayani kepentingan
pihak-pihak tertentu dan melanggengkan status quo. Penekanan pada dimensi
“subjektivitas” dari penguasa dan pihak-pihak tertentu tanpa disertai adanya
kontrol dan keterlibatan aktif dari masyarakat merupakan sebuah problem yang
menandakan adanya kecacatan dalam prosedur dalam pembentukan hukum.
Karya tulis ini merupakan usaha penulis guna mendalami pemikiran
Jürgen Habermas terkait bagaimana menghasilkan produk hukum yang memiliki
dimensi kesahihan dan legalitas melalui diskursus. Teori diskursus merupakan
sebuah teori yang dilandasi oleh paradigma komunikatif. Ukuran kesahihan dan
legalitas dalam hukum yang hendak disasar oleh teori diskursus terletak pada
prosedur komunikasi politis yang memungkinkan tercapainya konsensus bersama
oleh setiap anggota masyarakat. Jika mengacu pada teori diskursus, aspek
legalitas dalam hukum tidak terletak semata-mata pada otoritas yang berwenang
melainkan juga terletak pada keterlibatan aktif dan persetujuan dari masyarakat.
Dengan demikian, hukum dapat memiliki sifat mengikat dan legal karena
3
dihasilkan dari sebuah proses dimana masyarakat turut berpartisipasi aktif dalam
proses pembentukannya.
1.2. PERMASALAHAN
Rumusan permasalahan karya tulis ini adalah:
1. Apa itu teori diskursus dalam perspektif Jürgen Habermas?
2. Bagaimanakah prosedur diskursus dalam perspektif Jürgen Habermas?
1.3. TUJUAN PENULISAN
Tujuan dari penulisan karya tulis ini adalah:
1. Untuk memperkenalkan gagasan-gagasan filosofis Jürgen Habermas
yang berkaitan dengan proses penetapan norma-norma melalui sebuah
prosedur pengujian intersubjektif.
2. Untuk memenuhi persyaratan menyelesaikan program strata satu di
Fakultas Filsafat Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya.
1.4. MANFAAT PENULISAN
Manfaat dari penulisan karya tulis ini adalah:
1 Manfaat teoritis: Sebagai sumbangan bagi dunia ilmu pengetahuan
terkait kajian kritis mengenai teori diskursus Jürgen Habermas .
2 Manfaat praktis: Sebagai sumbangan terkait bagaimana menghasilkan
produk-produk hukum yang sahih melalui mekanisme diskursus.
4
1.5. METODE PENULISAN
Metode penulisan yang digunakan dalam karya tulis ini adalah metode
kepustakaan. Metode kepustakaan adalah pengunaan berbagai sumber pustaka
yang terkait dengan tema yang diangkat dalam karya tulis ini. Berbagai sumber
kepustakaan tersebut diolah oleh penulis menjadi sebuah karya tulis yang koheren
dan sistematis yang dapat dipertanggungjawabkan aspek keilmiahannya.
1.6. SISTEMATIKA PENULISAN
Skema penulisan karya tulis ini akan dibagi menjadi lima bab. Bab satu
merupakan pendahuluan yang berisi: latar belakang penulis memilih tema, tujuan
penulisan, pokok permasalahan yang diangkat, metode penulisan skripsi, dan
sistematika penulisan. Pada bagian ini penulis akan memaparkan permasalahan
terkait dengan prosedur penetapan norma-norma yang akan dibahas dalam
pemikiran Jurgen Habemas.
Pada bab dua, penulis akan memapaparkan biografi Jürgen Habermas .
Setelah itu, penulis akan memaparkan pemikiran para tokoh Mazhab Frankfurt
dimana Habermas tergabung di dalamnya. Pemaparan pemikiran tokoh Mazhab
Frankfurt bertujuan untuk mempertahankan kontinuitas dialektika filsafat
pemikiran Habermas yang berakar dari para tokoh pendahulunya dalam Mazhab
Frankfurt. Selanjutnya, penulis akan memaparkan gagasan-gagasan Habermas
sebagai pembaharu pemikiran dari para pendahulunya dalam Mazhab Frankfurt.
Bab tiga merupakan pemaparan secara khusus mengenai teori diskursus
yang menjadi rumusan permasalahan dalam karya tulis ini. Pemaparan mengenai
5
teori diskursus meliputi: apa itu teori diskursus?, bagaimanakah prosedur dalam
melakukan diskursus?, prinsip etika macam apakah yang ada dalam diskursus?.
Setelah itu, penulis akan menyajikan sebuah tinjauan kritis terhadap teori
diskursus guna mendapatkan sebuah objektivitas pemikiran terhadap teori
diskursus.
Pada bab empat, penulis akan merelevansikan teori diskursus dalam
dinamika demokrasi di Indonesia. Pemaparan pada bab ini akan dibagi menjadi
tiga bagian. Pertama, penulis akan memaparkan konsep ruang publik sebagai
aplikasi teori diskursus dalam ranah kehidupan politik praksis. Kedua, penulis
akan merelevansikan teori diskursus dalam dinamika demokrasi di Indonesia.
Ketiga, penulis akan memaparkan prasyarat-prasyarat yang harus dipenuhi dalam
melakukan diskursus dalam dinamika demokrasi di Indonesia.
Pada bab lima, penulis akan menyimpulkan seluruh pemaparan karya tulis
ini. Bab ini akan dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama merupakan
kesimpulan atas gagasan-gagasan pokok yang menjadi pemikiran Habermas yang
telah dipaparkan pada bab-bab sebelumnya. Bagian kedua berisi saran-saran yang
diajukan oleh penulis setelah mempelajari pemikiran Habermas.
BAB II
6
BAB II
JÜRGEN HABERMAS & MAZHAB FRANKFURT
2.1. BIOGRAFI JÜRGEN HABERMAS
Jürgen Habermas adalah salah seorang filsuf terkemuka abad ini. Gagasan-
gagasannya banyak dijadikan acuan oleh banyak orang yang terjun dalam arus
pemikiran filsafat. Sebagaimana diungkapkan oleh F. Magnis Suseno “Habermas
mengesan karena luasnya perhatian serta orisinalitas posisi-posisinya.”2 Keluasan
perhatian Habermas tampak dari pemikiran-pemikirannya yang mencakup banyak
bidang kajian, diantaranya filsafat, sosiologi, politik, hukum, dan budaya.
Karakter umum teorinya adalah interdisipliner. Sampai saat ini, pemikiran
teoretisnya berpengaruh dalam berbagai bidang humaniora dan ilmu sosial.
Habermas lahir pada tahun 1929 di Gummersbach, kota kecil dekat
Düsseldorf, Jerman. Franz Magnis Suseno, sebagaimana ditulis oleh Santosa
Irfaan dalam jurnalnya, mengungkapkan bahwa Habermas adalah anak Ketua
Kamar Dagang di suatu propinsi Jerman.3 Kakeknya adalah seorang pendeta.
Dengan demikian, Habermas dibesarkan dalam keluarga kelas menengah yang
berlatar belakang protestan.
Perkenalannya dengan dunia politik dimulai pada tahun 1945, ketika ia
masih berusia 16 tahun. Sebagai remaja pada saat itu, ia harus mengikuti gerakan
2 F. MAGNIS SUSENO, 12 Tokoh Etika Abad ke-20, Kanisius, Yogyakarta 2000, 215.
3 SANTOSA IRFAAN, “Jürgen Habermas : Problem Dialektika Ilmu Sosial”, Jurnal Dakwah dan
Komunikasi, STAIN Purwokerto, Vol 3, No. 1, Januari-Juni 2009, 1.
7
Pemuda Hitler (Hitler Youth). Hitler Youth merupakan sebuah wajib militer yang
harus dijalani oleh para pemuda di German pada rezim Hitler. Setelah perang usai,
Habermas melihat film dokumenter tentang Holocaust. Saat itulah Habermas
menyadari bahwa periode Nazi telah menghasilkan kengerian Auschwitz dan
bencana moral kolektif.4
Setelah menyelesaikan sekolah menengahnya, Habermas mulai
mempelajari kesusastraan, sejarah, dan filsafat di sebuah universitas yang terletak
kota Göttingen. Setelah itu, ia melanjutkan studi filsafatnya di Universitas Bonn
dan memperoleh gelar doktor pada tahun1954 melalui disertasinya tentang filsuf
Idealis Jerman, Friedrich Schelling. Selama masa studinya, ia juga mendalami
pemikiran Martin Heidegger5. Namun kekecewaannya pada Heidegger muncul
sejak ia mengetahui keberpihakan Heidegger pada Nazi. Kekecewaannya semakin
meningkat ketika ia juga mengetahui keberpihakan Heidegger pada Konrad
Adenauer. Adenauer adalah pemimpin pertama Republik Federal Jerman yang
berdiri pada tahun 1949, dan berkarakter konservatif.
Pada tahun 1956, Habermas berkenalan dengan sebuah Institut Penelitian
Sosial di Frankfurt dan menjadi asisten Theodor W. Adorno6. Dalam institut
4 JAMES GORDON FINLAYSON, Habermas:A Very Short Introduction, Oxford University press, New
York 2005, bagian Preface: Who is Jürgen Habermas ? (no page). 5 Martin Heidegger (1889-1976) adalah seorang filsuf berkebangsaan Jerman dan pengarang
buku Time and Being (1927). Karya-karya Martin Heidegger sangat mempengaruhi pemikiran
Habermas muda dan menjadi sebuah target besar kritisismenya. ANDREW EDGAR, Habermas:
The Key Concepts, Routledge, New York 2006, xi. 6 Theodor W. Adorno (1903-1969) adalah seorang filsuf, sosiolog, dan musikolog. Ia dikenal
sebagai salah seorang tokoh yang berpengaruh di Frankfurt School. Habermas menjadi asisten
Adorno pada tahun 1956. Ibid., x.
8
tersebut, Habermas juga berkenalan dengan Max Horkheimer7 yang menjabat
sebagai direktur di Institut tersebut sejak 1930. Keduanya menjadi guru sekaligus
pembimbing Habermas. Dari keduanya, Habermas belajar bagaimana
menganalisis masyarakat secara kritis dan berkenalan dengan lebih mendalam
dengan pemikiran Marxisme. Dalam periode ini pemikirannya menjadi semakin
radikal.
Pada tahun 1961-1964, Habermas meninggalkan Universitas Frankfurt dan
menjadi dosen filsafat di Universitas Heidelberg. Selama periode itu, ia menyusun
sebuah karangan yang berjudul Strukturwandel der Oeffentlichkeit (Transformasi
struktural dari lingkup umum), sebuah studi yang mempelajari sejauh mana
demokrasi dapat diterapkan dalam industri modern. Pada tahun 1964, ia kembali
ke Universitas Frankfurt karena diangkat menjadi Profesor Filsafat dan Sosiologi
menggantikan Horkheimer. Selama mengajar di Universitas Frankfurt, Habermas
menjadi seorang tokoh yang sangat populer di kalangan mahasiswa dan dianggap
sebagai ideolog mereka.
Pada tahun 1971-1981, Habermas kembali meninggalkan Universitas
Frankfurt untuk menjadi direktur di Institut Max Planck yang terletak di
Starnberg. Alasan perpindahannya adalah ia tidak lagi betah mengajar di
Universitas Frankfurt.8 Di Institut Max Planck, Habermas banyak meneliti kondisi
7 Max Horkheimer (1895-1973) adalah seorang filsuf yang beraliran Neo-Marxist. Ia merupakan
direktur awal institut penelitian yang menjadi basis institusional bagi berdirinya Frankfurt
School. Ibid., xi. 8 K. BERTENS, Filsafat Barat Kontemporer Inggris-Jerman, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
20024, 238.
9
kehidupan dalam dunia ilmiah-teknis bersama seorang rekannya yang bernama
C.F. Weizsacker.
Pada tahun 1983, Habermas kembali mengajar filsafat di Universitas
Frankfurt. Pada periode inilah Habermas mulai dikenal sebagai teoretikus sosial
dan pendukung demokratis kiri di Jerman Barat. Habermas menjadi saksi mata
saat Jerman bersatu yang ditandai dengan peristiwa jatuhnya Tembok Berlin. Ia
bahkan menjadi salah seorang aktor di balik peristiwa tersebut dengan
menyuarakan ide mengenai unifikasi antara Jerman Barat dan Jerman Timur.9
Pada periode selanjutnya, Habermas banyak mempelajari pemikiran John Rawls10
tentang liberalisme dan demokrasi konstitusional.
Sejak pensiun dari jabatannya di Frankfurt pada tahun 1994, Habermas
menghabiskan waktu dengan menulis di Starnberg dan menjadi pengajar paruh
waktu di Amerika Serikat. Beberapa kali tulisannya dimuat di media cetak sebagai
seorang komentator politik dan budaya. Tema yang diangkat diantaranya bioetika,
teknologi gen, terorisme, kosmopolitanisme, dan kebijakan luar negeri Amerika
Serikat setelah tragedi 9/11. Sampai saat ini, belum ada yang dapat merumuskan
teori sosial dan politik yang dapat menangkap kompleksitas dan ketegangan yang
terjadi, serta mengarahkannya pada ranah positif sebaik Habermas.
Selama hidupnya, Habermas telah menghasilkan banyak karya tulis. Ia
juga dikenal sebagai salah satu tokoh inspiratif di Jerman yang memiliki
9 JAMES GORDON FINLAYSON, Op.Cit., bagian Preface: Who is Jürgen Habermas ? (no page).
10 John Rawls (1921-2002) adalah seorang filsuf politik berkebangsaan Amerika dan pendukung
utama liberalisme. Ia mengarang sebuah buku yang berjudul A Theory of Justice (1972). Pada
tahun 1990’an, Habermas berdialog dengan Rawls mengenai hakikat dari masyarakat liberal.
ANDREW EDGAR, Op.Cit., xii.
10
pemikiran kritis terkait ruang publik. Filsafatnya dapat dikatakan sebagai sebuah
manifestasi seluruh tradisi filsafat Jerman di mana pemikiran-pemikirannya
merupakan sebuah refleksi kritis atas pemikiran filsuf-filsuf besar Jerman yang
menjadi pendahulunya. Pada bagian selanjutnya akan dipaparkan mengenai
Mazhab Frankfurt di mana pemikiran-pemikiran Habermas merupakan sebuah
refleksi kritis atas pemikiran para tokoh pendahulunya dalam mazhab tersebut.
2.2. MAZHAB FRANKFURT
Pada bagian ini, penulis hendak menyajikan sebuah arus deras pemikiran
yang menjadi dasar di mana Habermas kemudian merumuskan teorinya. Dengan
kata lain, penulis hendak menyajikan duduk perkara awal yang menjadi titik tolak
bagi Habermas dalam mengembangkan gagasan-gagasannya. Hal ini dirasa
penting oleh penulis guna menjaga kesinambungan dan kontinuitas arus deras
pemikiran falsafati yang melatarbelakangi proyek pemikiran Habermas.
Sebagaimana telah disinggung di atas, pada tahun 1956, Habermas
berkenalan dengan sebuah Institut Penelitian Sosial di Frankfurt dan menjadi
salah seorang anggotanya. Para tokoh yang tergabung dalam Institut Penelitian
Sosial tersebut dikenal dengan sebutan Mazhab Frankfurt. Pemikiran-pemikiran
kritis Mazhab Frankfurt disebut juga dengan nama ‘Teori Kritis’ (‘Kritische
Theorie’). Pemikiran-pemikiran Mazhab Frankfurt banyak diarahkan untuk
menganalisis secara kritis persoalan-persoalan yang timbul dalam masyarakat.
Dalam membangun gagasan-gagasannya, mereka menggunakan landasan
pemikiran dari beberapa tokoh besar dalam dunia filsafat, diantaranya adalah
11
Friedrich Hegel11
, Karl Marx12
, dan Sigmund Freud13
sebagai dasar paradigma
analisis kritis terhadap masyarakat.14
Jika kita ingin mendalami pemikiran Habermas dengan baik, maka harus
mengenal gagasan-gagasan para tokoh pendahulunya dalam Mazhab Frankfurt.
Pemikiran-pemikiran filosofis Habermas merupakan sebuah pengembangan atas
pemikiran-pemikiran para tokoh Mazhab Frankfurt yang menjadi pendahulunya.
Beberapa tokoh terkemuka yang sering disebut sebagai generasi pendahulu
(generasi pertama) Mazhab Frankfurt adalah Max Horkheimer, Theodor
Wiesendrund Adorno, dan Herbert Marcuse15
. Habermas kemudian disebut
sebagai generasi pembaharu (generasi kedua) Teori Kritis karena mampu
memberikan solusi atas kebuntuan pemikiran yang dialami oleh para pemikir
Teori Kritis generasi pertama.
Pemikiran-pemikiran Mazhab Frankfurt merupakan pembahasan kembali
ideologi dari Karl Marx. Bagi Mazhab Frankfurt, Marx telah mengubah skematika
dialektika pemikiran Hegel yang terlampau abstrak menjadi skema dialektika
11
G. W. F. Hegel (1770-1831) adalah seorang filsuf dan tokoh kunci dalam pengembangan
idealisme Jerman. Pemikirannya sangat berpengaruh terhadap pemikiran Karl Marx, Frankfurt
school, dan Habermas muda. Ibid., xi. 12
Karl Marx (1818-1883) adalah seorang filsuf berkebangsaan Jerman dan pencetus teori sosial,
di mana pemikiran-pemikirannya menjadi basis dari berbagai sekolah beraliran Marxisme dan
sosiologi. Ibid. 13
Sigmund Freud (1856-1939) adalah seorang ahli neuropatologi dan psikoanalisa. Ia
memelopori disiplin medis baru dan merumuskan prosedur dasar terapi yang kini digunakan
secara luas sebagai metode penyembuhan penderita neurosis dan psikosis. READY SUSANTO, 100
Tokoh Abad ke-20 Paling Berpengaruh, Penerbit Nuansa, Bandung 2004, 114. 14
K. BERTENS, Op.Cit., 196. 15
Herbert Marcuse (1898-1979) adalah seorang filsuf keturunan Yahudi. Pemikirannya banyak
dipengaruhi oleh pemikiran Edmund Husserl dan Martin Heidegger. Marcuse menulis sebuah
karya yang berjudul one-dimensional man yang sangat cocok untuk melukiskan situasi orang
modern, yaitu manusia berdimensi satu. Ibid., 215 & 228.
12
yang lebih berciri materialistik.16
Dialektika material ala Marx merupakan sejarah
pertentangan kelas di mana kaum proletar berusaha membebaskan diri dari
penindasan kaum borjuis. Pemikiran Karl Marx tersebut menginspirasi Mazhab
Frankfurt untuk menyusun sebuah teori yang bertujuan praksis emansipatoris.17
Pemikiran-pemikiran kritis Mazhab Frankfurt memang banyak diarahkan
untuk mengeritik positivisme.18
Kritik tersebut mengerucut pada penerapan cara
berpikir positivistis yang dipergunakan untuk menganalisis fenomena-fenomena
sosial.19
Mazhab Frankfurt menilai hal tersebut sebagai ideologi. Penerapan cara
berpikir positivistis untuk menganalisis fenomena-fenomena sosial dianggap
sebagai ideologi karena para penganutnya mengambil begitu saja metode ilmu
alam tanpa mempertanyakan terlebih dahulu: Apakah sistem tersebut cocok untuk
diterapkan ke dalam ilmu-ilmu sosial? Dengan kata lain, Mazhab Frankfurt
menilai bahwa pengintegrasian metode ilmu alam pada ilmu-ilmu sosial telah
menghilangkan dimensi kritis rasio dan menjadikan rasio hanya sebagai alat
belaka untuk memahami realitas. Kritik Mazhab Frankfurt tersebut akan
dijelaskan lebih lanjut melalui argumentasi-argumentasi yang diajukan para tokoh
generasi pertama Mazhab Frankfurt berikut ini.
16
F. BUDI HARDIMAN, Filsafat Modern Dari Machiavelli sampai Nietzsche, PT Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta 20072, 235.
17 Teori Kritis memiliki tujuan emansipatoris di mana mereka berusaha membuka kesadaran
masyarakat akan penindasan yang membelenggunya. Penindasan tersebut termanifestasi dalam
bentuk ideologi yang dinilai telah melanggengkan status quo dan meninabobokan masyarakat.
Dengan munculnya kesadaran atas penindasan tersebut diharapkan terwujud adanya praksis
revolusioner. K. BERTENS, Op.Cit., 202-203. 18
Positivisme adalah sebuah paham yang menghendaki adanya rumusan atas aturan-aturan
korespondensi. Positivisme mengedepankan adanya verifikasi langsung (empiris) untuk
menentukan dimensi kesahihan sebuah pernyataan. REZA A. A. WATTIMENA, Filsafat dan Sains:
Sebuah Pengantar, PT Grasindo, Jakarta 2008, 180. 19
Cara berpikir positivistis yang dimaksud berkaitan dengan paradigma positivisme yang
menekankan bahwa semua pernyataan di dalam ilmu pengetahuan haruslah didukung dengan
data-data yang didapat dari pengamatan dan eksperimen. Ibid., 156.
13
Horkheimer memberi nama pengintegrasian metode ilmu alam guna
memahami fenomena sosial sebagai ‘Teori Tradisional’.20
Cita-cita Teori
Tradisional, sebagaimana diungkapkan oleh Kees Bertens, adalah menciptakan
suatu sistem ilmiah menyeluruh yang meliputi semua bidang keahlian.21
Dengan
kata lain, Teori Tradisional hendak memaksakan klaim “kebenaran” ilmiahnya
dalam semua bidang kehidupan manusia. Teori Tradisional mengklaim dirinya
sebagai teori yang bebas nilai, mandiri, mencukupi dirinya dan terlepas dari
konteks kegiatan masyarakat sehari-hari. Klaim tersebut mengarah pada
argumentasi bahwa Teori Tradisional merupakan sebuah bentuk pengetahuan
yang bebas kepentingan. Maka dari itu, masyarakat yang ingin diterangkan dalam
teori harus dipandang sebagai fakta yang netral yang dapat dipelajari secara
obyektif.
Menanggapi klaim Teori Tradisional di atas, Mazhab Frankfurt
sebagaimana diungkapkan oleh K. Bertens, mengungkapkan bahwa sia-sialah
Teori Tradisional mengklaim dirinya dapat terlepas dari nilai.22
Penjelasan terkait
dengan nilai yang menggambarkan paradigma Mazhab Frankfurt diungkapkan
oleh Kees Bertens dalam bukunya Filsafat Barat Kontemporer sebagai berikut:
“ ”Nilai” tidak dapat dipandang sebagai suatu wilayah yang
terletak di luar ilmu pengetahuan, sebagaimana telah diusahakan
oleh sosiolog Jerman, Max Weber. Sadar atau tidak, ilmu
pengetahuan mengundang nilai-nilai. Suatu ilmu pengetahuan
sosial yang bersikap sama sekali netral merupakan ilusi belaka. Si
ilmuwan sendiri selalu termasuk obyek sosial yang dipelajarinya.
20
F. BUDI HARDIMAN, Kritik Ideologi: Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan, Kanisius,
Yogyakarta 1990, 54. 21
K. BERTENS, Op.Cit., 201. 22
Ibid., 203.
14
Tidak pernah ia berdiri otonom di hadapan obyek studinya. Karena
masyarakat yang diselidikinya tidak (atau belum) merupakan
perwujudan suatu pilihan bebas dan rasional oleh manusia, si
ilmuwan pun tidak dapat melepaskan diri dari ketidakbebasan itu.
Persepsinya sendiri diresapkan oleh tata susunan masyarakat
konkret dan janganlah ia mengira ia sanggup melepaskan diri
daripadanya begitu saja. Maka dari itu menekankan terpisahnya
facts and values pada kenyataannya berarti memihak pada status
quo.”23
Dari kutipan di atas tampak bahwa klaim Teori Tradisional yang
menyatakan dirinya bebas nilai tidak dapat dipertahankan karena nilai merupakan
sebuah hal yang berkaitan erat dengan dimensi hakiki kehidupan manusia.24
Ketiadaan penilaian dari subjek terhadap objek, sama dengan sikap acuh tak acuh
terhadap objek/fenomena. Dengan kata lain, jika tidak ada penilaian dari subjek
maka objek hanya menjadi sebuah kejadian yang tak bermakna. Hal itu tidak bisa
terjadi dalam realitas kehidupan manusia, sebab manusia adalah makhluk yang
selalu terhubung pemaknaannya dengan objek. Usaha untuk memisahkan antara
fakta dan nilai hanya akan melanggengkan status quo yang tidak mendorong
munculnya perubahan sosial.
Horkheimer dan Adorno membuat sebuah kesimpulan bahwa munculnya
positivisme yang menjadi biang keladi Teori Tradisional berakar pada
‘pencerahan budi’ (Aufklarung) yang menjadi cita-cita pencerahan itu sendiri.
Pencerahan yang terjadi pada abad ke-18 menandai suatu perubahan radikal
23
Ibid. 24
“Nilai berkaitan erat dengan subjek. Kalau tidak ada subjek yang menilai, maka tidak ada nilai
juga. Entah manusia hadir atau tidak, gunung tetap meletus. Tapi untuk dapat dinilai sebagai
“indah” atau “merugikan”, letusan gunung itu memerlukan kehadiran subjek yang menilai.”
K. BERTENS, Etika, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 201111
, 151.
15
terhadap pola pikir manusia di mana sebelumnya rasio masih terkungkung dalam
mitos dan tradisi-tradisi, kini dalam pencerahan rasio mulai menjadi otonom. Pada
era pencerahan inilah mulai terjadi demitologisasi, di mana cara berpikir mitis,
mulai digantikan dengan cara berpikir positivistis.
Horkheimer dan Adorno, sebagaimana diungkapkan F. Budi Hardiman
dalam bukunya Kritik Ideologi, mengungkapkan bahwa antara cara berpikir mitis
dan cara berpikir positivistis hanya berbeda di dalam cara memahami kenyataan,
bukan berbeda secara hakikatnya.25
Manusia yang berpikir mistis berusaha
memahami realitas dengan cara mimesis (meniru) tokoh-tokoh yang dimunculkan
dalam ritus-ritus keramat. Dalam melakukan mimesis, manusia mitis
membekukan gambaran dunianya sehingga mereka terkungkung di dalamnya.
Dengan jalan itulah manusia mitis mampu memahami kenyataan dan
kedudukannya di dalam semesta. Sedangkan dalam pencerahan, manusia berusaha
memahami realitas dengan mengambil jarak antara rasio dengan obyek yang ingin
dikendalikan. Pengendalian rasio atas objek kajiannya berjalan dengan prosedur
matematis yang bekerja secara tepat dan otomatis di bawah aturan-aturan yang
pasti dan niscaya. Rasionalitas pencerahan dinilai sebagai ideologi karena
cenderung mempertahankan status quo cara berpikirnya yang hanya menekankan
pendekatan positivistis sebagai tolok ukur utama dalam memahami realitas.
Adorno dan Horkheimer yang kritis melihat hal ini menyatakan bahwa
cara berpikir mitis dan cara berpikir positivistis memiliki sifat ideologis. Mitos
disebut sebagai ideologi karena manusia mitis membekukan gambaran dunianya
25
F. BUDI HARDIMAN, Kritik Ideologi: Pertautan…, Op.Cit., 63.
16
sehingga mereka terkungkung di dalamnya. Sedangkan rasionalitas pencerahan
dinilai sebagai ideologi karena metode positivistis yang digunakan telah
dibekukan menjadi satu-satunya tolok ukur utama manusia modern dalam
memahami realitas. Pendekatan positivistis tersebut telah menghilangkan
kemampuan khas rasio yang dapat kritis terhadap dirinya sendiri dan sekaligus
hanya menjadikan rasio sebagai alat (rasio instrumental) belaka dalam memahami
realitas. Pada akhirnya, Adorno dan Horkheimer berkesimpulan bahwa cara
berpikir positivistis yang lahir dalam masa pencerahan dinilai hanya melahirkan
sebuah mitos baru yang malah membawa banyak masalah sosial.
Herbert Marcuse, Sebagaimana Horkheimer dan Adorno, juga berpendapat
bahwa cara berpikir positivistis telah menjadi ideologi atau mitos dalam
masyarakat modern. Namun kritik yang diajukan oleh Marcuse lebih diarahkan
pada teknologi yang menjadi hasil dari cara berpikir positivistis masyarakat
modern. Marcuse, sebagaimana diungkapkan oleh F. Budi Hardiman,
mengungkapkan bahwa sains dan teknologi modern memang dapat membebaskan
manusia dari tuntutan untuk bekerja keras, namun di sisi lain sains dan teknologi
sekaligus menjadi sistem penguasaan yang total dalam masyarakat.26
Manusia
modern harus mengadaptasikan seluruh dirinya ke dalam sistem tersebut karena
seluruh bidang kehidupan telah diteknologikan menjadi suatu sistem birokrasi
total yang menuntut sistematisasi segalanya.
Lebih lanjut, Marcuse, sebagaimana diungkapkan F. Budi Hardiman,
mengungkapkan bahwa “Menolak menyesuaikan diri dengan sistem teknologis itu
26
Ibid., 66.
17
akan menyebabkan neurosis bahkan tidak mungkin sama sekali”.27
Dengan kata
lain, teknologi telah mendominasi seluruh aspek kehidupan manusia modern.
Dominasi teknologi tidak hanya berada dalam tataran praksis-fisik melainkan juga
menyerang hingga dimensi batin manusia. Serangan teknologi yang menyerang
hingga dimensi batin manusia tampil dengan adanya kebutuhan-kebutuhan palsu
yang termanifestasi dengan iklan-iklan.28
Keberadaan iklan-iklan tersebut telah
mendorong gaya hidup konsumtif, sebagai contoh: adanya iklan telepon genggam
(handphone) yang selalu berubah model dalam hitungan tahun atau bahkan bulan
menjadi lebih canggih. Keberadaan iklan tersebut memunculkan sebuah gaya
hidup baru yang lebih menekankan prestise namun malah cenderung
mengesampingkan fungsi utamanya. Dari sini tampak bahwa, sistem dan
teknologi telah mendominasi total segala aspek kehidupan manusia. Dominasi
total teknologi telah menjadikan manusia bukan lagi sebagai tuan atas teknologi,
melainkan sebaliknya, manusia justru menjadi hamba dari teknologi.
Seiring berjalannya waktu, oleh karena sifat kritis yang diusungnya secara
terus-menerus termasuk kritis pada dirinya sendiri, para pemikir Mazhab
Frankfurt pada akhirnya terjebak pada sebuah kontradiksi internal cara
berpikirnya sendiri. Sebagaimana telah dijabarkan di atas bahwa Mazhab
Frankfurt mengeritik Teori Tradisional sebagai ideologi karena paradigma
positivistis yang diterapkan ke ilmu-ilmu sosial dimutlakkan sebagai prinsip
utama untuk memperoleh pengetahuan yang diklaim bebas nilai dan kepentingan.
27
Ibid., 69. 28
Kebutuhan palsu merupakan kebutuhan yang ditanamkan dari luar diri manusia dan cenderung
dibuat-buat. Dengan demikian, kebutuhan palsu bukanlah kebutuhan alamiah yang berasal dari
dalam diri manusia.
18
Kritisisme yang diajukan oleh Mazhab Frankfurt terhadap Teori Tradisional dapat
dikategorikan sebagai ideologi. Sebagaimana makna ideologi adalah sebuah
perspektif berpikir yang coba diterapkan untuk menguasai keseluruhan bidang
kehidupan, kritisisme yang diusung Mazhab Frankfurt pun merupakan sebuah
perspektif berpikir yang bertujuan untuk menguasai objek kritiknya. Kritik
ideologi yang selama ini menjadi senjata andalannya sendiri pada akhirnya justru
menjadi bumerang bagi mereka sendiri.
F. Budi Hardiman dalam jurnalnya, Diskursus: Jurnal Filsafat dan
Teologi, mengungkapkan perihal kebuntuan berpikir yang dialami Mazhab
Frankfurt sebagai berikut:
“Sementara Adorno dan Horkheimer mengeritik ciri-ciri
rasional instrumental di dalam ilmu-ilmu sosial kemanusiaan
dewasa ini dengan cara menyingkapkan hubungan timbal balik
antara mitos dan pencerahan, ideologi dan kritik, mereka tetap
terperangkap di dalam asumsi-asumsi filsafat kesadaran. Sama
seperti seorang ideolog, seorang kritikus masyarakat ingin
menguasai objek yang dikritiknya secara monologis untuk
memaksakan visi-visi dan keyakinan-keyakinannya kepada orang-
orang lain. Dengan cara ini kritik merupakan manisfestasi lain dari
ideologi. Para pendahulu Habermas tidak dapat menemukan jalan
keluar dari dilema macam ini karena tolok ukur kritik mereka sama
dengan tolok ukur objek yang dikritiknya, yaitu ideologi. Dengan
kata lain, kritik hanya dapat diungkapkan dalam bahasa
kekuasaan.”29
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, Mazhab Frankfurt mengeritik secara
habis-habisan Teori Tradisional karena dianggap telah membekukan cara berpikir
positivistis sebagai satu-satunya ukuran “kebenaran” dalam memahami fenomena
29
F. BUDI HARDIMAN, et.al., “Teori Diskursus dan Demokrasi: Peralihan Habermas ke dalam
Filsafat Politik”, Diskursus: Jurnal Filsafat dan Teologi, Vol 7, No. 1, April 2008, 5.
19
sosial tanpa disertai sikap kritis terhadap cara berpikirnya sendiri. Namun pada
akhirnya, para tokoh Mazhab Frankfurt juga menyadari bahwa kritik yang
dilontarkan oleh mereka ternyata dapat membeku menjadi ideologi. Sebagaimana
diungkapkan oleh F. Budi Hardiman dalam kutipan di atas, Mazhab Frankfurt
terjebak dalam asumsi filsafat kesadaran di mana kritik ternyata merupakan
manifestasi dari klaim kebenaran subjektif yang dipaksakan pada objek kritiknya.
Problematika kebuntuan berpikir Mazhab Frankfurt disebabkan tidak
adanya ukuran pendasaran normatif yang jelas: Apakah yang membuat klaim
kebenaran Mazhab Frankfurt lebih baik/unggul dibandingkan dengan klaim
kebenaran positivistis? Bukankah kritik yang diusung oleh Mazhab Frankfurt
merupakan sebuah klaim monologis, yang diibaratkan oleh F. Budi Hardiman
dalam kutipan di atas seperti seorang ideolog yang memaksakan visi dan
kebenaran subjektifnya kepada pihak lain. Padahal, baik Mazhab Frankfurt
maupun pencetus Teori Tradisional sama-sama memiliki klaim kebenaran
tersendiri atas kesahihan metode yang digunakannya. Dalam pengertian inilah
kritik yang diajukan oleh Mazhab Frankfurt dapat dikategorikan sebagai ideologi
karena tolok ukur kritik yang digunakan sama dengan tolok ukur objek kritiknya.
Dengan demikian, kritik merupakan sebuah bentuk penguasaan, penindasan, dan
dominasi baru karena subjek yang mengeritik selalu ingin menguasai dan
mendominasi objek kritiknya secara monologis.
Di sisi lain, dalam pergerakan politik praktisnya, para tokoh Mazhab
Frankfurt selalu menolak ajakan para golongan muda yakni mahasiswa untuk
20
menjadi gerakan praksis yang revolusioner.30
Gerakan praksis revolusioner
tersebut merupakan manifestasi konkrit cita-cita Marxisme yang berusaha
mewujudkan keadilan sosial dalam bentuk masyarakat tanpa kelas. Alasan
penolakan untuk menjadi praksis revolusioner dilandasi adanya kesadaran dari
para tokoh Mazhab Frankfurt bahwa setiap gerakan praksis emansipatoris akan
jatuh pada sebuah bentuk perbudakan yang baru, karena setiap gerakan praksis
emansipatoris juga selalu menghasilkan suatu bentuk penguasaan yang baru
pula.31
Dititik inilah generasi pertama Mazhab Frankfurt mengalami jalan buntu.
Mereka menghadapi sebuah dilema antara menjadi ideologi di satu sisi dan
menjadi praksis emansipatoris yang selalu berarti menjadi dominasi baru di sisi
lain. Pada titik kebuntuan ini, Habermas muncul sebagai generasi pembaharu
Teori Kritis yang berhasil memecah kebuntuan berpikir tersebut dengan teori
paradigma komunikasinya. Proyek filosofis Habermas tidak melepaskan
hubungan antara teori dan praksis, melainkan lebih meradikalkan hubungan yang
terdapat di dalamnya melalui paradigma baru, yaitu paradigma rasio komunikatif.
Proyek filosofis Jürgen Habermas merupakan sebuah usaha solutif guna
mengatasi problematika yang dihadapi oleh para pendahulunya dalam Mazhab
Frankfurt. Pada bagian selanjutnya akan dijelaskan bagaimana Habermas
memecah kebuntuan berpikir yang dihadapi oleh para pendahulunya dalam
Mazhab Frankfurt.
30
Gerakan praksis revolusioner yang dimaksud adalah sebuah gerakan massa yang bertujuan
untuk menjatuhkan sistem pemerintahan yang dianggap tidak memberikan unsur keadilan bagi
masyarakat. 31
F. BUDI HARDIMAN, Kritik Ideologi: Pertautan..., Op.Cit., 73.
21
2.3. PEMIKIRAN FILOSOFIS JÜRGEN HABERMAS
2.3.1. Rasio Komunikatif
Sebagaimana telah disinggung di atas, Mazhab Frankfurt telah terjebak
dalam kontradiksi internal cara berpikirnya sendiri. Meminjam ungkapan seorang
filsuf yang bernama Friedrich Nietzsche32
, kontradiksi internal yang dimaksud
adalah kehendak untuk berkuasa yang menjadi kedok di balik rasionalitas
pencerahan. Secara lebih lugas, F. Budi Hardiman menyatakan bahwa kritik yang
menjadi kemampuan rasio (faculty of ratio) hanya dapat diungkapkan dalam
bahasa kekuasaan. Term kritik yang diusung oleh Mazbah Frankfurt, kendati
bertujuan (emansipatoris) untuk membuka kesadaran masyarakat akan penindasan
yang membelenggunya, ternyata dapat jatuh sebagai ideologi. Hal tersebut
disebabkan kritik yang diajukan Mazhab Frankfurt juga bertujuan untuk
menguasai objek kritiknya secara total. Kritik (in se) merupakan manifestasi
klaim kebenaran monologis yang cenderung dipaksakan kepada objek kritiknya.
Dengan demikian, kebuntuan yang dialami oleh Mazhab Frankfurt disebabkan
mereka tidak dapat melepaskan diri dari lingkaran kebuntuan tersebut.
32
Friedrich Nietzsche (1844-1900) adalah seorang filsuf berkebangsaan Jerman. Ia juga dikenal
sebagai seorang ahli ilmu filologi yang meneliti teks-teks kuno. Ia banyak mengeritik
kebudayaan Barat pada zamannya yang sebagian besar dipengaruhi oleh pemikiran Plato dan
tradisi kekristenan. Hampir seluruh karyanya merupakan kritik atas teisme. Ungkapannya yang
terkenal adalah Tuhan telah mati dan kita telah membunuhnya. Keadaan manusia tanpa Allah
adalah kemerdekaan mutlak, namun sekaligus membuat manusia kehilangan arah, sendirian,
dan kesepian. Keadaan manusia tanpa Allah disebut nihilisme. Sekilas tampak bahwa
Nietzsche adalah seorang filsuf yang ateis, namun jika memahami filsafat Nietzsche dengan
baik, filsafatnya justru merupakan sebuah ajakan untuk mencintai kehidupan dengan utuh
(Lebensbejahung), dan memosisikan manusia sebagai manusia purna Ubermensch dengan
kehendak untuk berkuasa (der Wille zur Macht). HENDI SUHENDI, Kapita Selekta Filsafat, CV
Pustaka Setia, Bandung 2010, 188-189.
22
Habermas, sebagaimana diungkapkan F. Budi Hardiman, menyebutkan
bahwa paradigma lama di mana subjek ingin menguasai objek kritiknya secara
monologis sebagai filsafat kesadaran atau filsafat subjek.33
Paradigma yang
digunakan dalam filsafat subjek berasal dari semangat pencerahan di mana subjek
adalah pusat realitas. Semangat pencerahan tersebut melahirkan cara berpikir
positivistis di mana subjek menjadi entitas yang lebih superior dari objek.
Keadaan superioritas tersebut berefek pada dominasi dan penguasaan secara
monologis oleh subjek terhadap objek. Dengan demikian, baik Mazhab Frankfurt
maupun Teori Tradisional telah terjebak dalam lingkaran setan filsafat kesadaran
karena keduanya sama-sama memposisikan diri sebagai subjek superior atas objek
kritik/kajiannya.
Teori Tradisional dapat dikategorikan dalam paradigma filsafat subjek
dalam kaitannya dengan metode positivisme yang diterapkan ke dalam ilmu-ilmu
kemanusiaan. Teori Tradisional, yang ingin merumuskan hukum yang melandasi
perilaku manusia, berusaha mengobjektifikasi manusia, mengambil sikap netral
terhadap objek riset, dan jika perlu memanipulasi objek riset tersebut secara
eksperimental. Dalam Teori Tradisional, manusia diobjektifikasi sedemikian rupa
oleh peneliti untuk menghasilkan tujuan-tujuan yang diharapkan oleh peneliti.
Manusia tidak dipandang sebagai teman yang sederajat, melainkan tidak lebih
hanya sekedar objek riset. Dari sini tampak jelas bahwa subjek lebih superior
daripada objek, di mana subjek berusaha mengontrol dan menguasai objek secara
monologis.
33
F. BUDI HARDIMAN, Diskursus: Jurnal Filsafat…, Op.Cit., 4.
23
Mazhab Frankfurt pada akhirnya menginsyafi bahwa paradigma yang
digunakan oleh mereka untuk mengeritik Positivisme dan Teori Tradisional dapat
membeku menjadi ideologi. Mazhab Frankfurt cenderung memaksakan visi,
keyakinan, dan kebenaran monologisnya terhadap objek kritiknya. Dengan kata
lain, Mazhab Frankfurt memposisikan dirinya sebagai subjek yang lebih superior
daripada objek kritiknya. Maka dari itu, Mazhab Frankfurt juga memposisikan
dirinya sebagai subjek yang ingin mengontrol dan menguasai objek kritiknya
secara monologis.
Guna memecah kebuntuan berpikir yang dialami oleh para pendahulunya,
Habermas menyarankan sebuah perubahan paradigma terhadap epistemologi
subjektivitas. Subjektivitas tidak lagi dimaknai dalam paradigma subjek yang
terisolasi pada dirinya sendiri, yang ditandai dengan klaim monologis,
melainkan subjektivitas lebih dipahami dalam kerangka komunikasi
intersubjektif.34
Dalam paradigma komunikasi, relasi antara subjek dan objek
tidak lagi berpola vertikal/atas-bawah di mana subjek cenderung lebih superior
daripada objek kritiknya, melainkan lebih berpola horizontal/egaliter di mana
subjektivitas lebih dipahami sebagai proses intersubjektif yang berpola sederajat
(subjek-subjek).
34
Dalam bukunya Between Facts and Norms, Habermas mengkategorikan konsep subjek yang
terisolasi dalam dirinya sendiri ke dalam filsafat Immanuel Kant, khususnya dalam konsep akal
budi praktis (practical reason). Bagi Habermas, pendasaran universalitas moral yang diberikan
oleh Immanuel Kant dalam Kritik atas Rasio Praktis (Critique of Practical Reason) memiliki
defisit dalam proses legitimasinya. Defisit yang dimaksud oleh Habermas adalah dasar
legitimasi moral yang diberikan oleh Immanuel Kant merupakan sebuah klaim monologis yang
dibuat oleh subjek yang menimbang-nimbang sendiri apa yang seharusnya dia lakukan. Bagi
Habermas, kompleksitas yang ada dalam masyarakat modern telah membawa krisis pada cara
legitimasi tradisional untuk diterapkan tak tanpa masalah (unproblematically) terhadap
dinamika masyarakat modern. JÜRGEN HABERMAS, Between Fact and Norm, (judul asli:
Faktizitat und Geltung), diterjemahkan oleh William Rehg, The MIT press, New Baskerville
19962, 1-2.
24
Dalam bukunya Faktizitat und Geltung,35
Habermas menjelaskan
perbedaan paradigma antara konsep rasio praktis (practical reason) ala Immanuel
Kant36
dengan konsep rasio komunikatif yang dicetuskannya sebagai berikut:
“Communicative reason differs from practical reason first
and foremost in that it is no longer ascribed to the individual actor
or a macrosubject at the level of the state or the whole of society.
[…..] Communicative rationality is ex-pressed in a decentered
complex of pervasive, transcendentally enabling structural
conditions, but it is not a subjective capacity that would tell actors
what they ought to do.”37
Dari kutipan tersebut tampak bahwa defisit yang ada dalam konsep rasio
praktis (practical reason), di mana kebenaran pengetahuan diperoleh dari klaim
monologis tanpa disertai adanya dialog intersubjektif, berusaha diperbaharui oleh
Habermas dengan paradigma yang baru, yaitu: konsep rasio komunikatif.
35
Faktizitat und Geltung (Between fact and norm ) merupakan buku karangan Jürgen Habermas .
Buku tersebut menekankan peran diskursus publik dalam hukum dan demokrasi. Buku tersebut
merupakan kontribusi Habermas, sebagai seorang pemikir sosial, terhadap trend intelektual
masyarakat dewasa ini. Ibid., ix. 36
Immanuel Kant (1724-1804) adalah seorang filsuf berkebangsaan Jerman. Ia dikenal sebagai
salah satu filsuf besar dalam filsafat modern. Proyek filosofisnya merupakan sebuah usaha
untuk mendamaikan pertentangan dua kubu pemikiran antara rasionalisme dan empirisme.
Rasionalisme adalah sebuah paham yang cenderung menekankan kemampuan rasionalitas
(faculty of ratio) -prinsip koherensi, sistematisasi, dan kausalitas- sebagai dasar kesahihan
pengetahuan manusia. Empirisme adalah sebuah paham yang cenderung menekankan peran
pancaindra sebagai dasar bagi pengetahuan manusia. Beberapa karyanya yang terkenal
diantaranya adalah Kritik der reinen Vernunft (Kritik atas rasio murni) dan Kritik der
praktischen Vernunft (Kritik atas rasio praktis). Dalam dua karya besarnya tersebut, Immanuel
Kant berusaha mencari sebuah prasyarat yang memungkinkan sebagai dasar bagi kesahihan
pengetahuan manusia. Dalam filsafat Immanuel Kant, peran akal budi menjadi lebih otonom
sebagai pendasaran bagi pengetahuan manusia. Immanuel Kant juga dikenal sebagai seorang
filsuf yang merefleksikan hakikat moral secara tajam dan mendalam. Pendapatnya tentang
hukum (juga moral) terdapat dalam karyanya Metaphysik der Sitten (1797). HYRONIMUS RHITI,
Filsafat Hukum: dari klasik sampai postmodernisme, Penerbit Universitas Atma Jaya,
Yogyakarta 2011, 121-123. 37
JÜRGEN HABERMAS, Op.Cit., 3-4.
25
Konsep rasio komunikatif, sebagaimana dimaksudkan oleh Habermas,
memiliki dua spektrum arti, yaitu: konstitutif dan regulatif.38
Fungsi rasio secara
konstitutif mengacu pada hakikat rasio yang memiliki sifat komunikatif yang
inhern di dalam rasio itu sendiri. Dengan kata lain, konsep rasio komunikatif
merupakan ide (pengandaian) dasar yang digunakan sebagai prasyarat agar
proses-proses komunikatif dapat terlaksana. Sedangkan fungsi rasio secara
regulatif mengacu pada mekanisme yang mengatur bagaimana proses komunikasi
intersubjektif dapat terlaksana dengan baik. Mekanisme yang berjalan secara
intersubjektif merupakan konsep rasio prosedural. Rasio prosedural dapat
dikatakan sebagai sebuah mekanisme di mana rasio memeriksa kesahihan
produknya sendiri melalui proses intersubjektif. Dalam konsep rasio prosedural,
klaim-klaim kesahihan tidak lagi dicapai melalui pola legitimasi yang bersifat
monologis, melainkan diperoleh melalui persetujuan intersubjektif.
Jika ingin memahami lebih jelas mengenai konsep rasio komunikatif,
maka kita harus menghubungkannya dengan konsep dasar lainnya yang
digunakan oleh Habermas, yaitu: konsep tindakan sosial. Dalam konsep tindakan
sosial, konsep rasio komunikatif akan dilihat dalam perspektif yang lebih praksis.
Habermas menghubungkan konsep rasio komunikatifnya dengan konsep tindakan
sosial yang dicirikan dengan pengunaan bahasa sebagai medium komunikasi.
Habermas menamai tindakan sosial yang dicirikan dengan pengunaan bahasa
sebagai medium komunikasi sebagai tindakan komunikatif (communicative
action). Tindakan komunikatif selalu bertujuan untuk mencapai kesepahaman dan
38
F. BUDI HARDIMAN, Diskursus: Jurnal Filsafat…, Op.Cit., 8-9.
26
kesepakatan secara intersubjektif, bukan untuk pembenaran diri sendiri yang
bersifat monologis. Bagi Habermas, bahasa itu sendiri (in se) telah memiliki sifat
komunikatif yang inhern di dalamnya. Pada bagian selanjutnya akan dijelaskan
lebih lanjut mengenai konsep tindakan komunikatif.
2.3.2. Theory of Communicative Action
Habermas meyakini bahwa jaringan interaksi sosial yang terjadi di
masyarakat (dari masa ke masa) tidak terjadi secara semena-mena, melainkan
pada dasarnya bersifat rasional.39
Sifat rasional yang dimaksudkan oleh Habermas
mengacu pada tindakan komunikatif yang berorientasi pada tercapainya saling
kesepahaman secara intersubjektif. Tindakan komunikatif terkait erat dengan
penggunaan bahasa sebagai instrumen guna tercapainya saling kesepahaman
antara satu sama lain.40
Bagi Habermas, penggunaan bahasa sebagai instrumen
bagi tindakan komunikatif memainkan peranan yang sangat vital, khususnya
dalam pola relasi yang kompleks sebagaimana terjadi pada masyarakat modern
dewasa ini.
Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa tindakan komunikatif
merupakan tindakan yang diorientasikan untuk mencapai saling kesepahaman
antara satu sama lain. Kata pemahaman (Verstandigung), Bagi Habermas,
memiliki dua spektrum arti, yaitu: mengerti (Verstehen) dan setuju
39
Hal tersebut diungkapkan oleh Habermas dalam bukunya Between Facts and Norms, sebagai
berikut: “[…] via communicative action, have a hand in constituting the social reality of
networks of interactions spreading out radially through space and time.” JÜRGEN HABERMAS,
Op.Cit., 19. 40
Hal tersebut diungkapkan oleh Habermas dalam bukunya Between Facts and Norms, sebagai
berikut: “With the concept of communicative action, the important function of social
integration devolves on the illocutionary binding energies of a use of language oriented to
reaching understanding.” Ibid., 8.
27
(Einverstandnis) atau konsensus (Konsens).41
Hal tersebut diungkapkan oleh
Habermas sebagai berikut:
“Communicative action, then, depends on the use of
language oriented to mutual understanding. This use of language
functions in such a way that the participants either agree on the
validity claimed for their speech acts or identify points of
disagreement, which they conjointly take into consideration in the
course of further interaction.”42
Pemahaman yang berarti mengerti mengacu pada tercapainya kondisi
saling kesepahaman/pengertian antara subjek-subjek yang komunikatif. Hal
tersebut tercermin dalam proses komunikasi manusia sehari-hari, di mana
seseorang berusaha menyampaikan gagasannya sedemikian agar lawan bicaranya
dapat mengerti maksudnya. Sedangkan term pemahaman yang berarti
setuju/konsensus berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk mengambil
posisi ya atau tidak terhadap argumentasi yang diajukan oleh lawan bicaranya.43
Tindakan komunikatif sebagaimana dimaksudkan oleh Habermas lebih mengarah
pada term pemahaman yang berarti setuju/konsensus.
Habermas menginsyafi bahwa tindakan sosial tidak selalu berwujud
tindakan komunikatif, melainkan juga ditandai dengan adanya paksaan dan
kekerasan. Dengan kata lain, bahasa, sebagai instrumen tindakan sosial, juga
dapat digunakan sebagai medium kekuasaan. Habermas, dalam bukunya Moral
Consciousness and Communicative Action, membedakan dua macam mekanisme
41
F. BUDI HARDIMAN, Diskursus: Jurnal Filsafat…, Op.Cit., 10. 42
JÜRGEN HABERMAS, Op.Cit., 18. 43
Hal ini terkait dengan konsep klaim validitas yang mengacu pada struktur normatif
argumentasi. Hal ini akan dijelaskan lebih lanjut pada paragraf-paragraf selanjutnya.
28
tindakan, yaitu: tindakan yang mengarah pada konsensus dan tindakan strategis.44
Tindakan yang mengarah pada konsensus adalah tindakan yang diorientasikan
untuk mencapai kesepakatan intersubjektif. Sedangkan tindakan strategis adalah
tindakan yang bersumber dari klaim kebenaran monologis yang sifatnya subjektif,
tanpa pengakuan orang lain, dan cenderung ditujukan demi tercapainya
kepentingan subjektif semata. Bagi Habermas, tindakan komunikatif adalah
tindakan yang mengarah pada konsensus. Tindakan yang mengarah pada
konsensus lebih fundamental daripada tindakan strategis, karena tindakan
komunikatif melibatkan proses koordinatif yang bersifat intersubjektif yang
bertujuan menghasilkan mekanisme koordinasi sosial.45
Dalam tindakan komunikatif, antar subjek yang berkomunikasi
menggunakan bahasa dalam bentuk proposisi-proposisi (kalimat-kalimat) sebagai
medium demi tercapainya saling kesepahaman antara satu sama lain. Habermas
memberikan semacam kerangka acuan normatif bagi mekanisme tindakan
komunikatif. Inilah yang disebut dengan klaim validitas atau klaim kesahihan.
Klaim validitas dapat dipahami sebagai sebuah prasyarat ideal, yang diandaikan
namun sekaligus bersifat empiris, untuk menentukan dimensi kesahihan dari
mekanisme tindakan komunikatif. Konsep klaim validitas diambil alih dari filsafat
44
JÜRGEN HABERMAS, Moral Consciousness and Communicative Action, (judul asli:
Moralbewuβtsein und kommunikatives Handeln), diterjemahkan oleh Christian Lenhardt and
Shierry Weber Nicholsen, Polity press, Cambridge 20074, 58.
45 F. BUDI HARDIMAN, Diskursus: Jurnal Filsafat…, Op.Cit., 12.
29
bahasa Anglosakson, yang kemudian dikembangkan oleh Habermas, sebagai
pendasaran teoritisnya dalam membangun teori komunikasi.46
Klaim validitas berisi tentang tiga tatanan konsep dunia (dunia objektif,
dunia sosial, dan dunia subjektif) yang digunakan sebagai kerangka acuan untuk
menentukan dimensi kesahihan dari argumentasi seseorang. Ketiga tatanan
konsep dunia tersebut diungkapkan oleh Habermas dalam bukunya Theorie des
Kornmunihativen Handelns, Band 1 sebagai berikut:
“In communicative action we today proceed from those
formal presup-positions of intersubjectivity that are necessary
if we are to be able to refer to something in the one objective
world, identical for all observers, or to something in our
intersubjectively shared social world. […..] But an analogous
mixing of domains of reality can be shown as well for the
relationship of culture and internal nature or the subjective
world.”47
Tiga konsep dunia sebagaimana dimaksudkan oleh Habermas digunakan
untuk menganalisis acuan pernyataan yang diungkapkan oleh seseorang. Sebagai
contoh: Pernyataan “di luar sedang hujan”. Pernyataan tersebut mengacu pada
tatanan dunia objektif di mana keadaan cuaca di luar memang hujan. Berbeda
dengan pernyataan “saya sedang sedih”. Pernyataan tersebut mengacu pada
tatanan dunia subjektif di mana si penutur memang mengalami kesedihan di
dalam dirinya. Lain lagi dengan pernyataan “jangan berteriak-teriak di ruang
46
“Habermas menganalisis sifat khusus dari praksis komunikatif dengan memanfaatkan teori
perbuatan-tutur (speech acts) dari John Austin dan John Searle. Inti pemikiran mereka adalah
bahwa berbahasa atau berbicara harus dimengerti sebagai melakukan perbuatan-perbuatan yang
tertentu, yaitu “perbuatan-tutur”. K. BERTENS, Filsafat Barat Kontemporer…, Op.Cit., 245. 47
JÜRGEN HABERMAS, The Theory of Communicative Action Vol. 1 Reason and The
Rationalization of Society, (judul asli: Theorie des Kornmunihativen Handelns, Band 1:
Handlungsrationalitat und gesellschaftliche), diterjemahkan oleh Thomas McCarthy, Beacon
press, Massachusetts 1984, 50-51.
30
perpustakaan ini”. Pernyataan tersebut mengacu pada tatanan dunia sosial yang
berhubungan dengan dimensi sosial-normatif.
Ketiga konsep dunia tersebut digunakan oleh Habermas sebagai
pendasaran normatif bagi klaim kebenaran (truth), ketepatan (normative
rightness), dan kejujuran (truthfulness) dari pernyataan seseorang. Hal tersebut
tampak jelas dalam ungkapan Habermas sebagai berikut:
“In cases where agreement is reached through explicit
linguistic processes, the actors make three different claims to
validity in their speech acts as they come to an agreement with one
another about something. Those claims are claims to truth, claims
to rightness, and claims to truthfulness, according to whether the
speaker refers to something in the objective world (as the totality
of existing states of affairs), to something in the shared social
world (as the totality of the legitimately regulated interpersonal
relationships of a social group), or to something in his own
subjective world (as the totality of experiences to which one has
privileged access).”48
Klaim akan kebenaran mengacu pada tatanan dunia objektif di mana
pernyataan seseorang harus memiliki kesesuaian dengan kenyataan faktual-
empiris. Klaim akan ketepatan mengacu pada tatanan dunia sosial di mana
pernyataan seseorang harus terkait dengan ketepatan dimensi sosial-normatif.
Sedangkan klaim akan kejujuran mengacu pada tatanan dunia subjektif di mana
pernyataan seseorang harus sungguh-sungguh menyatakan apa yang dialaminya
(si penutur tidak berbohong). Ketiadaan salah satu aspek saja dalam klaim
kesahihan mengakibatkan tidak sahihnya sebuah pernyataan. Maka dari itu, dalam
48
JÜRGEN HABERMAS, Moral Consciousness and Communicative Action…, Op.Cit., 58.
31
menyampaikan klaim-klaim kesahihannya, seorang penutur harus serentak benar,
tepat, dan jujur dalam menyampaikan segala pernyataannya.
Klaim kesahihan yang dinyatakan oleh seseorang pada dasarnya dapat
dikritik oleh si pendengarnya. Si pendengar juga dapat mengajukan sebuah klaim
kesahihannya sendiri. Hal tersebut diungkapkan oleh Habermas sebagai berikut:
“Validity claims are in principle are open to criticism
because they are based on formal world-concepts. They
presuppose a world that is identical for all possible observers, or a
world intersubjectively shared by members, and they do so in an
abstract form freed of all specific content. Such claims call for the
rational response of a partner in communication.”49
Klaim kesahihan terbuka akan kritik karena didasarkan pada konsep-
konsep dunia formal (formal world-concepts). Konsep dunia formal merupakan
realitas yang dialami secara intersubjektif sehingga setiap orang dapat mengkritisi
sebuah pernyataan melalui acuan-acuan yang digunakannya. Tahap ini
membutuhkan sebuah kemampuan untuk menerima atau menolak klaim kesahihan
yang diajukan oleh seseorang. Keberhasilan tindakan komunikasi sangat
bergantung pada kemampuan seseorang untuk menerima atau menolak klaim
kesahihan yang diajukan oleh lawan bicaranya.
Pada akhirnya, tindakan komunikatif selalu bertujuan untuk mencapai
konsensus. Dengan kata lain, tindakan komunikatif bukanlah tindakan yang
mengarah pada pembenaran klaim subjektif-monologis semata, melainkan selalu
melibatkan adanya persetujuan pihak lain (konsensus). Hal tersebut diungkapkan
oleh Habermas sebagai berikut:
49
JÜRGEN HABERMAS, The Theory of Communicative Action…, Op.Cit., 50.
32
“Finally, the concept of communicative action refer to
inter-action of at least two subjects capable of speech and action
who establish interpersonal relations (whether by verbal or by
extra-verbal means). The actors seek to reach an understanding
about the action situation and their plan of action in order to
coordinate their actions by way of agreement. The central concept
of interpretation refers in the first instance to negotiating
definitions of situations which admit to consensus. As we shall see,
language is given a prominent place in this model.”50
Pada bab selanjutnya akan dijelaskan secara khusus mengenai Teori
diskursus. Teori diskurus merupakan sebuah teori argumentasi yang dielaborasi
lebih lanjut dari teori tindakan-komunikatif. Dalam teori diskursus, klaim-klaim
kesahihan yang terbuka akan kritik akan direfleksikan secara lebih mendalam
dengan menganalisis struktur argumentasi.
50
Ibid., 86.
BAB III
33
BAB III
TEORI DISKURSUS
Pada bagian ini akan dibahas rumusan masalah utama karya tulis ini, yaitu:
Apa itu teori diskursus? Pembahasan mengenai teori diskursus pada bab ini akan
dibagi menjadi empat bagian. Pertama, penulis akan memaparkan apa itu teori
diskursus? (3.1). Kedua, penulis akan menjelaskan mengenai prosedur diskursus
(3.2). Ketiga, penulis akan memaparkan prinsip etika diskursus (3.3). Keempat,
penulis akan memaparkan tinjauan kritis terhadap teori diskursus (3.4).
3.1. TEORI DISKURSUS
Teori Diskursus (discourse theory) merupakan sebuah teori yang
dikembangkan lebih lanjut dari teori tindakan komunikatif (Theory of
Communicative Action). Pada prinsipnya, teori diskursus merupakan bentuk-
reflektif (reflex-ionform) dari teori tindakan komunikatif.51
Dengan kata lain,
diskursus adalah kelanjutan dari tindakan komunikatif dengan memakai sarana
lain, yaitu sarana argumentatif. Guna melihat secara lebih cermat bahwa teori
diskursus adalah bentuk-reflektif dari teori tindakan komunikatif, penulis akan
memaparkan terlebih dahulu perbedaan mendasar antara teori tindakan
komunikatif dengan teori diskursus.
51
JÜRGEN HABERMAS, Between fact and norm, (judul asli: Faktizitat und Geltung), diterjemahkan
oleh William Rehg, The MIT press, New Baskerville 19962, 223.
34
Teori tindakan komunikatif sebagaimana dimaksudkan oleh Habermas
bertitik pangkal pada proses komunikasi yang berada pada level praksis hidup
sehari-hari. Dalam pola komunikasi semacam ini, tiap-tiap subjek yang
berkomunikasi tidak terlalu mempermasalahkan secara khusus alasan-alasan yang
mendasari pernyataan-pernyataan yang diajukan oleh lawan bicaranya. Dengan
kata lain, klaim-klaim kesahihan yang ada dalam proses komunikasi semacam ini
tidak terlalu dipermasalahkan dan kebenarannya diandaikan begitu saja.
Komunikasi pada level ini tak lain merupakan sebuah bentuk komunikasi
sehari-hari dimana setiap orang saling berbicara, saling menukar informasi, dan
membentuk hubungan sosial antara satu sama lain. Andrew Edgar52
, dalam
bukunya Habermas: The Key Concepts, mengungkapkan hal tersebut sebagai
berikut: “Communication is the everyday activity through which people speak to
each other, share information, and set up and sustain social relationships.”53
Lebih lanjut, Habermas dalam bukunya Between Facts and Norms
mengungkapkan bahwa: “With the concept of communicative action, the
important function of social integration devolves on the illocutionary binding
energies of a use of language oriented to reaching understanding.”54
Dengan kata
lain, berbagai hal yang kebenarannya diandaikan begitu saja dalam tindakan
komunikatif (communicative action) menjadi sebuah hal yang sangat penting dan
52
Andrew Edgar adalah seorang pengajar filsafat senior di Universitas Cardiff. Dia adalah
seorang pengarang buku yang memperkenalkan gagasan-gagasan filosofis Habermas. Beberapa
buku karangannya adalah Acumen, 2005 dan Cultural Theory: The Key Concepts (with Peter
Sedgwick. Routledge, 1999). ANDREW EDGAR, Habermas: The Key Concepts, Routledge, New
York 2006. 53
Ibid, 42. 54
JÜRGEN HABERMAS, Op.Cit., 8.
35
dibutuhkan dalam menunjang integrasi sosial guna tercapainya sebuah tujuan
komunikasi, yaitu kesepahaman antara satu sama lain. Berbagai hal yang
diandaikan tersebut menjadi semacam pengetahuan-latarbelakang dan bersifat
pra-reflektif yang mendasari seluruh proses komunikasi verbal. Habermas,
sebagaimana dijelaskan oleh Andrew Edgar dalam bukunya Habermas: The Key
Concepts, menyebut Pengetahuan-latarbelakang tersebut sebagai dunia-kehidupan
(Lebenswelt).55
Namun berbagai hal yang kebenarannya diandaikan begitu saja dapat
menjadi problematis. Dalam dialog sehari-hari, tak jarang lawan bicara kita
mempertanyakan secara lebih eksplisit alasan-alasan yang mendasari pernyataan
kita, misalnya dengan melontarkan pertanyaan: Apakah yang kamu maksudkan?
Apakah ukuran yang kamu gunakan dalam menilai bahwa si A lebih pandai
daripada si B? Atau bahkan lawan bicara kita dapat menolak sama sekali
pernyataan-pernyataan kita. Dalam situasi semacam itu, berbagai hal yang
sebelumnya telah diandaikan begitu saja mulai terganggu. Kita perlu menafsirkan
kembali klaim-klaim kesahihan yang dalam tindakan komunikatif diandaikan
begitu saja. Di titik ini, pola komunikasi mengalami sebuah pergeseran dari
sekedar bertukar informasi diganti dengan pemberian alasan-alasan yang bersifat
rasional.
Dalam tindakan komunikatif (communicative action), pencapaian
konsensusnya cenderung telah diterima secara spontan dan tanpa pikir panjang
55
“Lifeworld: the stock of skills, competences and knowledge that ordinary members of society
use, in order to negotiate their way through everyday life, to interact with other people, and
ultimately to create and maintain social relationship. ANDREW EDGAR, Op.Cit., 89.
36
lagi, sedangkan dalam diskursus konsensusnya dicapai dalam taraf yang lebih
reflektif.56
Bentuk komunikasi dimana klaim-klaim kesahihan dipersoalkan
kembali adalah diskursus. Fungsi diskursus, sebagaimana diungkapkan Habermas
dalam bukunya Moral Conciousness and Communicative Action, adalah
membenahi klaim validitas yang kontroversial dan membuat klaim validitas baru
sebagai pengganti yang lama secara intersubjektif.57
Sebagaimana telah disinggung di atas, diskursus merupakan sebuah
bentuk-reflektif dari tindakan komunikatif. Sebagai bentuk-reflektif dari tindakan
komunikatif, diskursus memakai instrumen lain yaitu argumentasi. Habermas,
sebagaimana diungkapkan oleh J. Donald Moon dalam buku The Cambridge
Companion to Habermas, mengungkapkan hal tersebut sebagai berikut:
“When the validity of a norm is challenged, the
coordination sought through communicative action is disturbed
and so the parties must enter (“into a process of moral
argumentation”) through which they (“continue their
communicative action in a reflexive attitude with the aim of
restoring a consensus that has been disrupted.”) When they are
successful in reaching a consensus on the validity of the norms
governing their interaction, their agreement (“expresses a
common will,”) an agreement that is reflexive in the sense that the
56
Tindakan komunikatif hanya mempermasalahkan klaim validitas seseorang. Dengan kata lain,
tindakan komunikatif hanya mempermasalahkan kesesuaian proposisi yang dikatakan
seseorang dengan acuan konsep tiga dunia formal (subjective, objective, and social worlds).
JÜRGEN HABERMAS, The Theory of Communicative Action Vol. 1 Reason and The
Rationalization of Society, (judul asli: Theorie des Kornmunihativen Handelns, Band 1:
Handlungsrationalitat und gesellschaftliche), diterjemahkan oleh Thomas McCarthy, Beacon
press, Massachusetts 1984, 72. 57
JÜRGEN HABERMAS, Moral Conciousness and Communicative Action, (judul asli:
Moralbewuβtsein und kommunikatives Handeln), diterjemahkan oleh Christian Lenhardt and
Shierry Weber Nicholsen, Polity Press, Massachusetts 20073, 67.
37
parties know “that they have collectively become convinced of
something.”58
Di dalam proses diskursus, setiap peserta dapat mengemukakan semua
argumentasi yang relevan dan bahkan pengandaian-pengandaian yang ada di balik
sebuah pernyataan dapat dikritik, kalau perlu diubah, jika para peserta
menghendakinya. Apabila hal tersebut dipenuhi, maka tercapailah tujuan
diskursus itu sendiri yaitu sebuah konsensus yang rasional, karena bertumpu pada
argumentasi-argumentasi yang terbaik.59
Guna lebih memahami bagaimana bentuk konkret diskursus sebagaimana
dimaksudkan oleh Habermas, berikut ini penulis akan memberikan sebuah contoh
diskursus praktis60
yang dikemukakan oleh Logi Gunnarsson61
dalam bukunya
Making Moral Sense: Beyond Habermas and Gauthier:
“Two persons lie in beds in a hospital. One of them is just
waking up and notices the other one with surprise.
Patient: What are you doing here? You are my doctor!
Doctor: Yes, I know. But yesterday, as we were operating on you,
we noticed that you had two healthy kidneys. Since I needed a
kidney, another doctor took over the operation, and I now have
your kidney. I hope you don't mind.
58
J. DONALD MOON, et.al., “Practical Discourse and Communicative Ethics”, dalam Stephen K.
White (ed.), The Cambridge Companion to Habermas, Cambridge University Press, New York
1995, 148. 59
JÜRGEN HABERMAS, The Theory of Communicative Action Vol. 1…, Op.Cit., 72. 60
Jürgen Habermas membedakan antara diskursus teoritis dan diskursus praktis. Diskursus
teoritis mempersoalkan klaim kebenaran pernyataan-pernyataan teoritis-empiris, sedangkan
diskursus praktis mempersoalkan klaim ketepatan pernyataan-pernyataan normatif. Proyek
etika diskursus Habermas lebih memusatkan diri pada tipe diskursus praktis. JÜRGEN HABERMAS,
Between fact and norm…, Op.Cit., 230. 61
Logi Gunnarsson adalah seorang pengajar, pakar, dan peneliti filsafat di Universitas Humboldt,
Berlin. Karyanya antara lain Wittgensteins Leiter: Betrachtungen zum Tractatus, dan jurnal
penelitian filsafat yang berjudul ‘Deutsche Zeitschrift fur Philosophie and Dialektik’. LOGI
GUNNARSSON, Making Moral Sense: Beyond Habermas and Gauthier, Cambridge University
Press, New York 2000.
38
After initial reactions of disbelief and after having had the news
confirmed by others, the patient continues the conversation. The
interchange now turns into a discourse about the rightness of a
norm.
Patient: You had no right to do that. Nobody has the right to
remove another person's bodily organs without that person's
permission.
Doctor: I disagree. Earlier you had two healthy kidneys and I had
none. Now each of us has one. A person only needs one functioning
kidney. Now we can both lead a normal life. I know that you are
too egoistic ever to accept having a kidney removed, but you must
agree that the situation is now fairer than before.
Patient: You have to see the matter also from my point of view, the
point of view of the victim. By doing this without my permission
you have interfered with my right to have a final say over what is
done to my body.
So far the discourse can be classified as an SD-discourse. The
doctor and the patient are directly discussing the issue of whether
one has the right to transplant someone's kidney without her
permission. With the doctor's next contribution, the conversation
takes a new turn. She makes a suggestion which – if it were
accepted – would amount to a rejection of SD. The conversation
moves up a level: it turns into a discussion of whether SD or some
other principle of justification is the appropriate way of justifying
norms.
Doctor: I see the matter from both points of view. I am just trying
to be impartial. And I have reached the conclusion that the only
way to be impartial is to let the decision rest on what produces
more happiness, not on what we would agree to in discourse. If the
rightness of a norm is to be decided in a discourse among those
affected by the norm, there is no way the agreement is going to be
impartial. We have to agree in advance (in discourse) that the
rightness of a norm depends on its effect on happiness and not on
the issue whether it would be agreed to in discourse.
Patient: I disagree. You are confusing impartiality with
impersonality. The rightness of a norm rests on direct agreement
on the norm. This does not mean that in reaching agreement on the
norm the participants do not consider how the norm affects the
happiness of people. However, how happiness is to count in the
decision-making has to be decided by the participants themselves.
With her last answer the patient has, in effect, let herself in on the
changed terms of the discussion. She defends SD in a discussion
39
which is no longer directly about the norm itself, but about how to
decide on the rightness of norms.”62
Sebagaimana telah dikemukakan pada contoh di atas, yang menjadi objek
diskursus adalah klaim-klaim kesahihan yang dipermasalahkan kembali oleh
partisipan diskursus. Dalam contoh di atas, yang menjadi objek permasalahan
adalah klaim kesahihan dari sebuah norma: Apakah seseorang memiliki hak untuk
mentransplantasikan ginjal seseorang tanpa ijin? Dalam dialog di atas tampak
bahwa para partisipan diskursus berusaha menentukan dimensi ketepatan (dunia
sosial-normatif) sebuah norma melalui argumentasi-argumentasi terbaiknya. Jika
terjadi kesepakatan diantara para partisipan diskursus terhadap norma-norma yang
problematis, maka terbentuklah sebuah konsensus yang legitim.
Melalui contoh di atas tampak bahwa diskursus juga menandai sebuah
bentuk komunikasi modern dimana orang tidak menerima begitu saja segala
sesuatu yang telah ada secara turun-temurun melalui tradisi, melainkan
mengujinya dengan pertimbangan-pertimbangan yang lebih bersifat rasional.63
Pada bagian selanjutnya, penulis akan memaparkan mengenai prosedur diskursus
sebagai prasyarat yang memungkinkan tercapainya sebuah konsensus yang
legitim.
62
Ibid., 112-113. 63
Dalam bukunya Between fact and norm, Habermas mengungkapkan bahwa hal ini merupakan
permasalahan mendasar yang dihadapi oleh masyarakat modern dewasa ini, yaitu adanya krisis
terhadap cara-cara legitimasi politis tradisional. Kehidupan masyarakat dewasa ini ditandai
oleh adanya kemajemukan orientasi nilai dan kepentingan sehingga cara-cara legitimasi
tradisional, yang lebih cenderung bersifat monologis dan kebal terhadap kritik, tidak relevan
lagi untuk dipertahankan. JÜRGEN HABERMAS, Between fact and norm, Op.Cit., 227.
40
3.2. PROSEDUR DISKURSUS
Diskursus merupakan sebuah bentuk komunikasi dimana para partisipan
berusaha memecahkan norma-norma yang problematis melalui sebuah
mekanisme pengujian diskursif. Konsensus yang dicapai secara intersubjektif
melalui mekanisme semacam itu akan memiliki dasar legitimasi yang kuat. Bagi
Habermas, sebuah konsensus dapat dikatakan rasional jika konsensus tersebut
dapat diterima secara intersubjektif dan tanpa paksaan oleh semua peserta
diskursus.
Berangkat dari pernyataan di atas tampak bahwa Habermas memasukkan
unsur intersubjektivitas dalam teori diskursusnya. Intersubjektivitas digunakan
oleh Habermas sebagai unsur penting dalam diskursus guna menghindari klaim
monologis (pemahaman subjektif) yang bersifat sepihak.64
Dengan kata lain,
betapapun masuk akalnya pernyataan seseorang belum memiliki validitas sebelum
mendapatkan persetujuan intersubjektif dari setiap partisipan dalam diskursus.
Lebih lanjut Habermas, dalam bukunya Between Fact and Norm, mengungkapkan
bahwa sebuah konsensus rasional tidak hanya bergantung dari kemasukakalan
sebuah pernyataan seseorang tetapi juga bergantung dari struktur proses
argumentasinya.
“A discourse theory of law, which ties the rational
acceptability of judicial decisions not only to the quality of
arguments but also to the structure of the argumentative process, 64
Dengan memasukkan unsur intersubjektifitas dalam teorinya tampak bahwa Habermas
berusaha membenahi kesalahan yang dibuat oleh para pendahulunya dalam Mazhab Frankfurt.
Setiap klaim yang bersifat monologis tidak akan pernah menghasilkan sebuah konsensus
karena adanya defisit dalam proses legitimasinya. Teori diskursus menyertakan adanya dimensi
sosial normatif yang diwujudkan dalam konsep rasio komunikatif dimana perspektif partisipan
dielaborasi sedemikian rupa hingga mencapai sebuah persetujuan intersubjektif. Ibid., 228.
41
might not solve this problem, but it at least takes it seriously. Such
a theory relies on a strong concept of procedural rationality that
locates the properties constitutive of a decision's validity not only
in the logicosemantic dimension of constructing arguments and
connecting statements but also in the pragmatic dimension of the
justification process itself.”65
Struktur proses argumentasi, sebagaimana dimaksudkan oleh Habermas,
merupakan sebuah proses justifikasi yang berada pada dimensi pragmatis. Hal
tersebut mengacu pada bentuk ideal dari proses komunikasi yang memungkinkan
semua peserta menganggap sah konsensus yang dihasilkan oleh setiap partisipan
diskursus. Dengan kata lain, prosedur diskursus merupakan sebuah pengandaian
pragmatis bahwa pembicaraan antar peserta dalam ruang diskursus telah diatur
dengan kondisi tertentu.66
Kondisi ideal tersebut dimunculkan oleh Habermas guna mengantisipasi
adanya segala tindakan strategis yang tidak mengarah pada konsensus. Sebab tak
jarang kesepakatan-kesepakatan bersama yang menyangkut kehidupan publik
dihasilkan melalui politik uang (money politic), kekuasaan (dominance), dan
hanya sekedar memenuhi tuntutan-tuntutan dari pihak tertentu yang berkuasa.
Kesepakatan-kesepakatan semacam itu tidak dapat dinilai legitim (sah), karena
sebuah konsensus yang legitim membutuhkan persetujuan secara intersubjektif.
Maka dari itu, Habermas merumuskan prasyarat-prasyarat (aturan-aturan)
komunikasi guna menghasilkan sebuah konsensus yang dapat diterima secara
intersubjektif.
65
Ibid., 226. 66
LOGI GUNNARSSON, Op.Cit., 86.
42
Habermas, sebagaimana diungkapkan oleh F. Budi Hardiman67
dalam
jurnalnya, Diskursus: Jurnal Filsafat dan Teologi, menjelaskan prasyarat-
prasyarat komunikasi tersebut melalui konsep “idealisasi”.68
Apakah prasyarat-
prasyarat yang harus dipenuhi guna memperoleh sebuah konsensus rasional yang
dapat diterima oleh umum? Di dalam bukunya Moral Conciousness and
Communicative Action, Habermas merumuskan prosedur diskursus sebagai
berikut:
“(3.1) Every subject with the competence to speak and act is
allowed to take part in a discourse.
(3.2) a. Everyone is allowed to question any assertion whatever.
b. Everyone is allowed to introduce any assertion whatever
into the discourse.
c. Everyone is allowed to express his attitudes, desires, and
needs.
(3.3) No speaker may be prevented, by internal or external coer-
cion, from exercising his rights as laid down in (3.1) and
(3.2).”69
F. Budi Hardiman menterjemahkannya sebagai berikut:
1. “Semua subjek yang mampu berbicara dan bertindak boleh ikut
serta dalam diskursus.
2. a. Setiap peserta boleh mempermasalahkan setiap pendapat.
67
F. Budi Hardiman adalah seorang pengajar di Sekolah Tinggi Ilmu Filsafat Driyarkara dan
Universitas Pelita Harapan. Ia adalah seorang penulis buku dan aktif menulis untuk berbagai
media cetak. Beberapa karyanya antara lain: Filsafat Modern: dari Machiavelli sampai
Nietzsche, Kritik Ideologi: Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan, Demokrasi Deliberatjf:
Menimbang Negara Hukum’ dan ‘Ruang Publik‘ dalam Teori Diskursus Jurgen Habermas. F.
BUDI HARDIMAN, Filsafat Modern Dari Machiavelli sampai Nietzsche, PT Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta 20072.
68 “Idealisasi di sini berarti menurut Habermas (‘memikirkan proses-proses komunikasi
sedemikian rupa seolah-olah proses tersebut berlangsung di dalam kondisi-kondisi ideal’).”
F. BUDI HARDIMAN, et.al., “Teori Diskursus dan Demokrasi: Peralihan Habermas ke dalam
Filsafat Politik”, Diskursus: Jurnal Filsafat dan Teologi, Vol 7, No. 1, April 2008, 20. 69
JÜRGEN HABERMAS, Moral Conciousness and Communicative Action…, Op.Cit., 89.
43
b. Setiap peserta boleh mengajukan pendapat apapun di dalam
diskursus.
c. Setiap peserta boleh mengungkapkan sikap-sikap,
keinginan-keinginan dan kebutuhan-kebutuhannya.
3. Tidak seorang pembicarapun boleh dihalangi untuk
melaksanakan hak-haknya yang tercantum dalam (1) dan
(2).”70
Prosedur diskursus di atas merupakan prasyarat-prasyarat yang harus
dipenuhi agar proses diskursus dapat berjalan dengan egaliter, inklusif, dan bebas
dominasi. Lebih lanjut Habermas, sebagaimana diungkapkan oleh K. Bertens71
dalam bukunya Filsafat Barat Kontemporer Inggris-Jerman, mengungkapkan
bahwa jika sesuai dengan syarat-syarat ini terbentuk konsensus tentang kesahihan
pernyataan-pernyataan beserta pengandaian-pengandaian yang terkandung di
dalamnya, maka konsensus seperti itu memiliki pendasaran rasional.72
Dengan
demikian, pernyataan-pernyataan yang dapat dianggap valid merupakan
pernyataan-pernyataan yang dihasilkan melalui konsensus di bawah “situasi
percakapan yang ideal” dan bertumpu pada kekuatan argumentasi-argumentasi
terbaik serta tidak terdistorsi oleh hubungan-hubungan kekuasaan.
Subjektivitas, dalam pemikiran Habermas, tidak lagi dimaknai dalam
paradigma subjek yang terisolasi pada dirinya sendiri melainkan lebih dipahami
dalam kerangka komunikasi intersubjektif. Melalui prosedur diskursus, konsep
70
F. BUDI HARDIMAN, Diskursus: Jurnal Filsafat…, Op.Cit., 21. 71
Prof. Dr. K. Bertens adalah seorang pengajar filsafat di berbagai perguruan tinggi di Indonesia.
Spesifikasi keilmuan yang menjadi minatnya adalah etika terapan, khususnya etika bisnis dan
etika biomedis. Ia mempelopori pendirian “Himpunan Dosen Etika Seluruh Indonesia”
(HIDESI) dan menjadi ketuanya yang pertama (1990-1997). Beberapa karyanya antara lain:
Sejarah Filsafat Yunani (Yogyakarta, Kanisius 1975), Ringkasan Sejarah Filsafat
(Yogyakarta, Kanisius 1976), Filsafat Barat Abad XX, Jilid I (Jakarta, Gramedia 1987), Etika
(Jakarta, Gramedia Pustaka Utama 1994). K. BERTENS, Filsafat Barat Kontemporer Inggris-
Jerman, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 20024.
72 Ibid., 248.
44
rasio praktis dari Immanuel Kant dielaborasi kembali oleh Habermas ke dalam
prinsip pengujian secara intersubjektif.73
Dengan kata lain, konsep rasio praktis
dielaborasi menjadi konsep rasio prosedural.
Di sisi lain, Habermas mengungkapkan bahwa rasio prosedural tidak
ditujukan untuk memberikan suatu ide substantif apapun melainkan hanya
menuntut prosedur yang diterima secara intersubjektif.74
Hal ini dimaksudkan
oleh Habermas bahwa rasio prosedural bukanlah sebuah prosedur untuk
menghasilkan norma-norma yang legitim melainkan pertama-tama sebuah
prosedur untuk menguji validitas norma-norma. Hal tersebut diungkapkan oleh
Habermas dalam bukunya Moral Conciousness and Communicative Action
sebagai berikut:
“Practical discourse is not a procedure for generating
justified norms but a procedure for testing the validity of norms
that are being proposed and hypothetically considered for
adoption. That means that practical discourse […..] to reach a
73 Pada dasarnya, teori diskursus merupakan sebuah bentuk sublimasi dari kritik G.W.F. Hegel
terhadap Immanuel Kant dimana Habermas menyertakan adanya dimensi sosial yang
diwujudkan dalam konsep rasio komunikatif. Hal tersebut diungkapkan oleh Habermas dalam
bukunya Between Fact and Norm sebagai berikut: “As the reflexive form of communicative
action, argumentation distinguishes itself socio-ontologically, one might say, by a complete
reversibility of participant perspectives that unleashes the higher-level intersubjectivity of the
deliberating collectivity. In this way, Hegel's concrete universal is sublimated into a
communicative structure purified of all substantive elements.” JÜRGEN HABERMAS, Between
Fact and Norm, Op.Cit., 228. 74
“Teori diskursus –seperti dijelaskan oleh Habermas sendiri- bukanlah sebuah usaha baru untuk
menilai masyarakat modern. Teori ini juga bukanlah sebuah teori sosial yang menyeluruh
seperti teori-teori sosial politis dari Aristoteles, Hegel, atau Marx. Teori-teori klasik ini ingin
mengarahkan sejarah umat manusia sebagai keseluruhan untuk mencapai tujuan tertentu. Teori
diskursus sebaliknya sama sekali tidak menawarkan tujuan apapun yang harus dicapai oleh
masyarakat modern. Segala bentuk teleologi yang mewarnai metafisika dan teori-teori politik
klasik telah ditinggalkan. Yang ingin ditunjukkan oleh teori diskursus bukanlah tujuan
masyarakat, melainkan hanya cara atau prosedur untuk mencapai tujuan itu.” F. BUDI
HARDIMAN, Diskursus: Jurnal Filsafat…, Op.Cit., 2.
45
consensual means of regulating some controversial social
matter.”75
Pada bagian selanjutnya, penulis akan memapaparkan mengenai prinsip
etika diskursus. Pembahasan pada bagian tersebut pada dasarnya merupakan
sebuah pengujian diskursif proses penetapan norma-norma. Prinsip etika
diskursus dapat diandaikan sebagai sebuah pisau untuk menguji norma-norma
yang dapat diuniversalkan dan yang tetap bersifat partikular. Prinsip etika
diskursus sendiri merupakan sebuah prinsip etika yang berada pada ranah moral.
Dalam penjelasan mengenai prinsip etika diskursus akan tampak bahwa
Habermas berusaha mempertahankan universalisme Kantian, namun sekaligus
menolak pengandaian-pengandaian filsafat subjek di dalamnya.
3.3. PRINSIP ETIKA DISKURSUS
Pada bagian ini penulis akan berfokus pada teori moral diskursus dan pada
gagasan moral diskursus. Sebagaimana telah disinggung di atas, prinsip etika
diskursus merupakan sebuah kritik terhadap konsep imperatif kategoris dari
Immanuel Kant. Teori moral Immanuel Kant bertolak dari subjek yang
mempertimbangkan tindakan moralnya secara mandiri sedangkan teori moral
Habermas menyertakan unsur intersubjektivitas sebagai pendasaran legitimasinya.
Teori moral Habermas, sebagaimana diungkapkan oleh James Gordon
Finlayson76
, dapat dimengerti sebagai sebuah penjelasan eksplisit mengenai
75
JÜRGEN HABERMAS, Moral Conciousness and Communicative Action…, Op.Cit., 103. 76
James Gordon Finlayson adalah seorang dosen filsafat di Universitas New York. Secara
khusus, ia mengajarkan tentang teori diskursus Jürgen Habermas . Salah satu karyanya adalah
46
dimensi ketepatan dari klaim validitas.77
Problem dalam tindakan komunikasi
(communicative action) timbul ketika dimensi ketepatan sebuah norma dari klaim
validitas ditolak. Norma-norma yang sebelumnya diandaikan saja kebenarannya
menjadi problematis ketika lawan bicara kita meminta penjelasan lebih jauh
mengenai argumentasi kita. Dalam kondisi semacam ini, kita diminta untuk
mengeksplisitkan klaim-klaim kesahihan yang dalam tindakan komunikatif hal itu
diandaikan begitu saja.
Argumentasi-argumentasi yang dikemukakan dalam diskursus tentu
beraneka ragam. Argumentasi-argumentasi tersebut juga tentu tidak lepas dari
sebuah konteks atau perspektif berpikir tertentu. Terlebih lagi dalam mengikuti
sebuah diskursus, setiap partisipan tentu membawa kepentingan-kepentingan
pribadi. Permasalahannya sekarang adalah bagaimana menentukan sebuah
kepentingan atau norma, yaitu terkait: Kepentingan-kepentingan atau norma-
norma manakah yang dapat diuniversalkan atau tetap terikat pada konteks tertentu
(partikular)?
Guna menghindari adanya relativitas argumentasi dalam diskursus, maka
diperlukan adanya suatu pendasaran normatif yang jelas dalam proses diskursus.
Prinsip etika diskursus berfungsi sebagai “pisau bedah” terhadap norma-norma
atau kepentingan-kepentingan yang dapat universalkan atau tetap partikular.
Terkait dengan prinsip etika diskursusnya, Habermas mengungkapkan bahwa
segala argumentasi yang berkaitan dengan moral harus mengacu pada sebuah
Habermas: A Very Short Introduction (Oxford University Press, New York 2005). JAMES
GORDON FINLAYSON, Habermas: A Very Short Introduction, Oxford University Press, New York
2005. 77
Ibid, 77.
47
prinsip moral yang menjadi aturan argumentasi. Hal tersebut diungkapkan oleh
Habermas dalam bukunya Moral Conciuosness and Communicative Action
sebagai berikut: “[…] all studies of the logic of moral argumentation end up
having to introduce a moral principle as a rule of argumentation….”.78
Di dalam prinsip etika diskursusnya, Habermas sebagaimana diungkapkan
F. Budi Hardiman, menawarkan sebuah prinsip dasar untuk menguji apakah
norma-norma atau kepentingan-kepentingan dapat diuniversalkan atau tetap
partikular. Prinsip etika diskursus tersebut disusun dalam struktur gramatikal
irreal yang dalam bahasa Indonesia dijelaskan dengan kata “kiranya” dan
“seandainya”.79
Dengan kata lain, prinsip ini merupakan sebuah kondisi
pengandaian. Kondisi pengandaian yang dimaksud adalah walaupun secara
faktual tidak semua orang yang bersangkutan dengan norma tersebut dapat hadir
dalam diskursus, namun para peserta diskursus yang hadir harus berusaha agar
konsensus yang dicapai dalam diskursus tersebut dapat diterima oleh mereka yang
tidak hadir di dalam diskursus tersebut.
Prinsip etika diskursus (“D”) diungkapkan oleh Habermas dalam bukunya
Moral Conciousness and Communicative Action sebagai berikut: “Only those
norms can claim to be valid that meet (or could meet) with the approval of all
affected in their capacity as participants in a practical discourse.”80
“(Bahwa
setiap norma yang sahih kiranya akan mendapat persetujuan semua orang yang
78
JÜRGEN HABERMAS, Moral Conciousness and Communicative Action…, Op.Cit., 63. 79
F. BUDI HARDIMAN, Diskursus: Jurnal Filsafat…, Op.Cit., 24. 80
JÜRGEN HABERMAS, Moral Conciousness and Communicative Action…, Op.Cit., 66.
48
bersangkutan dengannya, seandainya orang-orang ini dapat ikut serta di dalam
sebuah diskursus praktis).”81
Menurut asas pengujian diskursif tersebut, norma-norma yang sahih harus
sesuai dengan kepentingan-kepentingan yang dapat diuniversalkan. Walaupun
secara factual (aspek de facto) tidak semua orang yang berkaitan dengan norma
tersebut dapat hadir dalam diskursus praktis, para partisipan diskursus yang hadir
harus menemukan konsensus yang dapat diterima oleh mereka yang tidak hadir
dalam diskursus tersebut (aspek de jure).
Prinsip etika diskursus itu merupakan turunan dari prinsip lain yang lebih
mendasar dari prinsip etika diskursus. Prinsip tersebut telah inhern di dalam
prinsip etika diskursus. Prinsip tersebut merupakan aturan argumentasi moral
yang menjadi prinsip dasar moral dari etika diskursus. Habermas menyebut
prinsip tersebut sebagai prinsip universalisasi (“U”) yang berbunyi:
“All affected can accept the consequences and the side
effects its general observance can be anticipated to have for the
satisfaction of everyones interests (and these consequences are
preferred to those of known alternative possibilities for
regulation).”82
Di dalam bahasa Indonesia berbunyi:
“Setiap norma yang sahih harus memenuhi prasyarat
bahwa efek-efek dan efek-efek samping yang barangkali terjadi
karena kepatuhan umum untuk pemenuhan kepentingan setiap
81
F. BUDI HARDIMAN, Diskursus: Jurnal Filsafat…, Op.Cit., 24. 82
JÜRGEN HABERMAS, Moral Conciousness and Communicative Action…, Op.Cit., 65.
49
individu dapat diterima tanpa paksaan oleh semua orang
yang bersangkutan dengan norma itu.”83
Prinsip “U“ digunakan dalam diskursus-diskursus guna mencari sebuah
pendasaran moral. Sebagaimana telah disinggung dalam paragraf di atas, prinsip
“U” menjadi semacam pisau bedah yang digunakan untuk menguji: Apakah
sebuah norma dapat diuniversalkan atau partikular? Prinsip “U” tidak lain
merupakan prinsip universalisme yang menjadi semangat pencerahan.84
Lebih
lanjut, prinsip “U” merupakan sebuah prinsip yang dielaborasi oleh Habermas
dari konsep imperatif kategoris Immanuel kant menjadi konsep rasio prosedural,
namun dengan menyertakan dimensi sosial (intersubjektivitas). Pada bagian
selanjutnya, penulis akan memaparkan tinjauan kritis terhadap teori diskursus.
3.4. TINJAUAN KRITIS TERHADAP TEORI DISKURSUS
Pada bagian ini, penulis akan menyajikan sebuah telaah kritis atas
pemikiran Habermas. Telaah kritis yang dimaksud adalah penyajian komentar-
komentar dari para pemikir lain yang pro maupun kontra terhadap pemikiran
Habermas. Pemaparan pada bagian ini bertujuan untuk memperoleh “objektivitas”
sebuah pemikiran, dimana sebuah pemikiran tentu memiliki sebuah kekuatan dan
kelemahan. Bagian ini akan dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama adalah
kritik atas pemikiran Habermas oleh Michel Foucault (3.4.1.). Bagian kedua
83
F. BUDI HARDIMAN, Diskursus: Jurnal Filsafat…, Op.Cit., 24. 84
Tokoh-tokoh postmodernisme, (seperti George Bataille, Michel Foucault, dan Jacques
Derrida), menuduh Habermas masih menganut kepercayaan naïf akan kemampuan rasio dan
masih menjalankan suatu proyek anakronistik dengan berusaha menciptakan teori yang
ditandai kesatuan komprehensif. K. BERTENS, Op.Cit., 253.
50
adalah pemikiran seorang pakar dan peneliti sosiologi yang berusaha
mempertahankan pemikiran Habermas, yaitu Michael Pusey (3.4.2.).
3.4.1. Kritik atas Pemikiran Habermas oleh Michel Foucault85
Sebagaimana telah disinggung pada bagian sebelumnya, Habermas
merupakan seorang filsuf yang mempertahankan universalisme Kantian. Dengan
kata lain, Habermas merupakan seorang filsuf yang berusaha untuk
mempertahankan semangat modernisme yang optimis terhadap adanya integrasi
atau kesatuan dalam masyarakat.86
Secara umum, posisi dan pemikiran Habermas
tersebut mendapat banyak kritik dari para pemikir postmodernisme.87
Tokoh-
tokoh postmodernisme menuduh Habermas masih menganut kepercayaan naïf
akan kemampuan rasio dan masih menjalankan suatu proyek anakronistik dengan
berusaha menciptakan teori yang ditandai kesatuan komprehensif.88
Para pemikir post modern merupakan orang-orang yang pesimis terhadap
rasionalitas modern. Para pemikir post modern, yang diawali oleh Nietzsche, telah
membongkar selubung tersembunyi yang ada dibalik rasionalitas, yaitu kehendak
85
Michel Foucalut (1926-1984): French historian and philosopher, closely associated with post-
structuralism. ANDREW EDGAR, Op.Cit., X. 86
'Modernity' typically refers to the period of European and American history that began with
the end of the Renaissance (and thus around the beginning of the seventeenth century), and
therefore 'modernism' is the culture that is characteristic of this period. A modernist culture
can be broadly characteristic in terms of its commitment to values that were fully articulated in
the European Enlightenment (of the seventeenth and aighteenth centuries). Reason and
scientific inquiry are to be used to bring about technological and political progress. Ibid., 96. 87
'Post-modernism is a culture that comes ater 'modernism' (althought the actual dating od this
cultural period is a matter of some dispute), and more profoundly to a culture that challenges
the most fundamental presuppositions od modernism, not least in terms of the assumed
perfectibility of humanity, and thus of the idea of political progress, and the assumption of the
universal validity and applicability of reason and science. The terms are important for
Habermas in that he presents himself as defending the 'unfinished project' of modernity in the
face of its post-modernist opponents. Ibid. 88
K. BERTENS, Op.Cit., 253.
51
berkuasa. Nietzsche, sebagaimana dikutip oleh Budi Hardiman dalam bukunya
Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche, mengungkapkan bahwa:
“Dunia ini adalah Kehendak-untuk-Berkuasa- dan tak lebih
dari itu! Dan anda sendiri pun adalah Kehendak-untuk-Berkuasa
ini- dan tak lebih dari itu!” […..] Baginya, Kehendak-untuk-
Berkuasa itu tampil dengan seluruh keberadaannya di mana saja di
dunia sini.”89
Kritik Nietzsche terhadap rasionalitas modern tersebut pada akhirnya
berdampak pada tidak diterimanya lagi pemikiran-pemikiran yang berusaha
membuat sintesis-komprehensif terhadap realitas-realitas sosial kemasyarakatan.
Maka tak heran jika Habermas, yang cenderung mempertahankan kembali proyek
filsafat modern, mendapatkan hujan kritik dari para pemikir postmodernisme yang
telah pesimis terhadap proyek filsafat modern. Pada paragraf selanjutnya, penulis
akan masuk pada argumentasi-argumentasi kritik yang lebih spesifik dari seorang
tokoh postmodernisme (Michel Foucault) terhadap pemikiran-pemikiran
Habermas.
Habermas dan Foucault merupakan dua tokoh filsafat yang memiliki dua
titik pijak yang berbeda dalam berfilsafat. Habermas, sebagaimana tersirat dalam
pemikiran-pemikirannya, merupakan filsuf yang cenderung mempertahankan
semangat progresivitas dan komprehensif dari filsafat modern. Sebaliknya,
Foucault dapat dikategorikan sebagai filsuf postmoderisme yang cenderung
pesimistis terhadap semangat modernitas.
Jika kita mencermati pemikiran Habermas dengan lebih seksama, kita
akan sampai pada sebuah pengandaian keadaan asali (kodrat) manusia yang
89
F. BUDI HARDIMAN, Filsafat Modern: Dari…, Op.Cit., 272.
52
dimiliki Habermas, yaitu Homo Democraticus.90
Pemikiran-pemikiran Habermas,
seperti: rasio komunikatif, tindakan komunikatif, dan diskursus merupakan
konsep-konsep aplikatif dari pengandaian kodrat manusia sebagai Homo
Democraticus. Selain itu, Habermas juga dapat dikategorikan sebagai seorang
filsuf moral. Hal tersebut sangat tampak dalam prinisip universalitas etika
diskursus yang sangat menekankan prinsip moral di dalamnya. Bertolak belakang
dengan Habermas, Foucault merupakan seorang filsuf real-history. Foucault,
mengikuti Nietzche, merupakan filsuf yang pendekatan pemikiran-pemikirannya
cenderung menggunakan perspektif konflik dan kekuasaan dalam memahami
realitas sosial.
Kritik Foucault atas pemikiran Habermas bertitik tolak dari hubungan
antara rasionalitas dan kekuasaan (rationality and power) yang ada dalam
pemikiran Habermas. Dalam pemikiran Habermas, hubungan antara rasionalitas
dan kekuasaan dituangkan dalam dua mekanisme jenis tindakan sebagaimana
telah dijelaskan pada bab dua, yaitu: tindakan komunikatif dan tindakan strategis.
Tindakan komunikatif merupakan representasi dari rasionalitas sebagaimana
dimaksudkan oleh Habermas, yaitu rasio komunikatif.91
Sebaliknya, tindakan
strategis merupakan representasi tindakan yang didasari oleh motif pemaksaan
kehendak dan kekuasaan. Dalam tindakan strategis orang menggunakan bahasa
90
BENT FLYVBJERG, Paper for the Political Studies Association’s 50 th Annual Conference, The
Challenges for Democracy in the 21 st Century, London School of Economics and Political
Science, 10-13 April 2000. 91
Sebagaimana telah dijelaskan pada bab dua, Habermas merumuskan konsep rasionalitas ke
dalam konsep rasio komunikatif. Penjelasan mengenai hal ini lihat kembali pada bab dua
mengenai konsep rasio komunikatif.
53
bukan sebagai medium pemahaman, melainkan sebagai alat pemaksaan kehendak
dan bahkan kekerasan dapat dipakai untuk menghasilkan konsensus.
Habermas memberikan sebuah prinsip legitimasi untuk membedakan
kedua jenis tindakan tersebut. Prinsip legitimasi yang dimaksud adalah konsensus
intersubjektif yang berusaha dicapai oleh setiap partisipan melalui tindakan
komunikatif. Tindakan komunikatif sangat menekankan prinsip intersubjektivitas
dalam proses legitimasinya guna menghindari tindakan-tindakan strategis yang
merupakan representasi dari kekuasaan dan kekerasan dalam pencapaian sebuah
konsensus.
Dalam bukunya Between Facts and Norms, sebagai usaha Habermas untuk
merealisasikan teori diskursusnya dalam ranah politik praksis, Habermas
mengaplikasikan teori diskursusnya ke dalam sebuah prosedur mekanis
pencapaian konsensus produk-produk hukum dalam negara demokrasi modern.
Dari sini mulai tampak jelas bahwa Habermas berusaha menyublimasikan konsep
kekuasaan (power) yang abstrak ke dalam sebuah bentuk konkrit, yaitu hukum.
Habermas, sebagaimana dikutip oleh Bent Flyvbjerg dalam essay-nya,
mengungkapkan hubungan antara hukum dan kekuasaan yang dimaksudkannya
sebagai berikut:
“On the relationship between law and power in this
process, Habermas states that (‘authorization of power by law and
the sanctioning of law by power must both occur uno acto’)
(emphasis in original).”92
Dari kutipan di atas tampak jelas bahwa Habermas memaknai kekuasaan
dalam perspektif hukum. Dengan kata lain, kekuasaan disublimasikan secara
92
BENT FLYVBJERG, Op.Cit., 4.
54
konkret dalam bentuk hukum positif. Pada titik inilah Foucault mulai mengkritisi
pengandaian dasar pemikiran Habermas. Foucault, pertama-tama mengemukakan
analisisnya bahwa kekuasaan sama sekali tidak bisa diidentikkan dengan hukum.
Foucault, sebagaimana dikutip oleh Bent Flyvbjerg dalam essay-nya,
mengungkapkan bahwa:
“it [means power] (‘can be constituted only if it frees itself
completely from [this] representation of power that I would term
… ‘juridico-discursive’ … a certain image of power-law, of power-
sovereignty.’)”93
Pernyataan Foucault di atas hendak menegaskan bahwa kekuasaan (in se)
tidak dapat direpresentasikan ke dalam bentuk apapun. Pernyataan Foucault di
atas dimaksudkan untuk mengkritisi pengandaian dasar yang digunakan oleh
Habermas terkait hubungan antara rasionalitas dan kekuasaan. Dengan
mengidentikkan atau menyublimasikan kekuasaan ke dalam hukum, pengandaian
dasar pemikiran Habermas telah memasuki sebuah blunder. Secara lebih lugas,
Habermas telah mengidentikkan dua konsep yang selalu dipertentangkan oleh
para tokoh postmodernisme, yaitu kekuasaan dan rasionalitas.
Hukum merupakan sebuah produk dari rasio. Hukum, sebagaimana
dimaksudkan Habermas, dihasilkan melalui sebuah proses diskursus yang
mengedepankan rasionalitas. Dalam diskursus, klaim-klaim validitas dipersoalkan
kembali guna mencapai sebuah konsensus yang legitim. Produk-produk hukum
yang dihasilkan melalui diskursus merupakan sebuah indikator konkret bahwa
hukum adalah produk dari rasio. Dari sini tampak jelas bahwa pengandaian dasar
yang digunakan oleh Habermas, dengan mengidentikkan antara rasionalitas dan
93
Ibid.
55
kekuasaan, telah memasuki sebuah blunder. Kritik Foucault terhadap pengandaian
dasar Habermas tersebut dapat dikatakan sebagai cut off the head of the king.
Lebih lanjut Foucault, sebagaimana dikutip oleh Bent Flyvbjerg dalam
essay-nya, mengungkapkan bahwa dalam proses komunikasi tidak dapat
menafikan adanya kekuasaan yang pasti berperan di dalamnya (‘power is always
present’).94
Kritik Foucault tersebut didasarkan pada pengalaman empiris bahwa
pengaruh kekuasaan akan selalu muncul dalam kehidupan real politis.
Foucault juga mengkritisi pemikiran Habermas tentang konsep situasi
percakapan ideal (the ideal speech situation). Bagi Foucault, the ideal speech
situation dalam sebuah diskursus tampak terlalu naif dan idealistik ketika
Habermas berusaha mengidealkan sebuah situasi komunikasi namun
mengesampingkan adanya distorsi-distorsi real yang pasti ada di dalamnya. Bagi
Foucault, keberhasilan sebuah retorika justru terletak pada pengasosiasian secara
tepat distorsi-distorsi. Dengan demikian, Foucault menilai bahwa pemikiran-
pemikiran Habermas masih sangat problematik, dan tergolong sebagai ilmu sosial
yang spekulatif (utopis).
3.4.2. Defending Habermas oleh Michael Pusey95
Sebagaimana telah disinggung di atas, pemikiran Habermas banyak
mendapatkan kritik dari para tokoh postmoderisme. Pada bagian ini penulis akan
memaparkan argumentasi-argumentasi dari seorang pakar dan peneliti sosiologi,
yang bernama Michael Pusey, yang cenderung mempertahankan pemikiran-
pemikiran Habermas.
94
Ibid. 95
Michel Pusey adalah seorang pakar dan peneliti sosiologi dari Department of Sociology
University of New South Wales, Australia.
56
Sebagaimana telah disinggung di atas, kritik terhadap pemikiran Habermas
berasal dari para tokoh postmodernisme. Menurut para tokoh psotmodernisme,
Habermas masih menganut kepercayaan naïf akan kemampuan rasio dan masih
menjalankan proyek filsafat modern dengan berusaha menciptakan teori yang
ditandai kesatuan komprehensif. Terkait dengan kritik tersebut, Michael Pusey
memberikan tanggapannya sebagai berikut:
“As we have seen, Habermas has gone to a great deal of
effort to ground his view of modernity in a world-historical
process of rationalization. The purpose was always to persuade us
to re-assess our modern situation as a one-sided development and
to help us recognize in its ‘jagged profile’ the traces of the other
stunted lines of development that have been repressed. In a world-
historical process of rationalization we have been brought to a
situation in which we experience and then gradually discern the
fundamental contradictions that are at work between, on the one
hand, a truly positive (emancipatory) rationalization of ideas and
ethics that points, in one direction, towards society, and, on the
other hand, an increasing penetration of money and power that
points instead to the ‘Iron Cage’ of a totally administered socity.
This world-historical process of rationalization has, as Habermas
puts it, ‘released a potential for Reason’ that could be taken up
and used, in a critically reflective attitude, to build a more rational
society. Or, alternatively, we could continue in the present course
and destroy ourselves in any number of ways.”96
Pernyataan dari Michael Pusey di atas hendak menegaskan bahwa situasi
dunia dewasa ini, yang didominasi oleh sistem yang berjalan dengan mekanisme
uang dan kekuasaan, telah membawa kita pada dua jalan pilihan. Pertama, melalui
sebuah proses rasionalisasi yang sungguh positif yang berakar pada nilai-nilai
96
MICHAEL PUSEY, “Jürgen Habermas ”, dalam Peter Hamilton (ed.), Key Sociologists, Routledge,
New York 20032, 116.
57
etika dan moral (tindakan komunikatif). Kedua, melalui penetrasi uang dan
kekuasaan yang cenderung mengarah pada kehancuran (tindakan strategis).
Dalam pilihan situasi tersebut, Habermas menawarkan sebuah metode (diskursus)
guna membangun sebuah masyarakat yang memiliki pijakan rasionalitas.
Kritik lain yang ditujukan pada pemikiran Habermas adalah diskursus
hanya dapat diikuti oleh kaum intelektual. Dengan kata lain, orang biasa (ordinary
people) yang cenderung kurang memiliki tingkat kesadaran kritis akan kesulitan
untuk berpartisipasi aktif di dalamnya. Dalam menjawab pertanyaan ini, Michel
Pusey mengutip pernyataan Habermas sebagai berikut:
“It is not a matter of choice. The circumstances of life in
the modernity of late capitalism—of life amidst desiccated
cultures, traditions and normative structures and an unrelenting
pluralization and relativization of value orientations—force
individuals to rely increasingly on their own ‘communicative
accomplishments’. As the security of relatively unproblematic
agreement against an established background consensus recedes
are ‘ordinary people’, Habermas insists, pressed further into an
open-ended and critically reflective form of communicative
interaction. A world-historical process of rationalization has,
according to the theory, also released a potential for reason that
could be actualized in new social structures mediated through
communicative ethics. This possibility leads to other criticisms of
the political sociology.”97
Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa situasi dunia dewasa ini, yang
ditandai dengan pluralitas dan relativitas orientasi nilai-nilai, menuntut kita untuk
memiliki sebuah kecakapan (accomplishments) komunikasi. Mengikuti pemikiran
97
Ibid.
58
Habermas, Michael Pusey mengungkapkan bahwa peran orang biasa (ordinary
people) justru dibutuhkan dalam proses diskursus. Guna mengatasi relativitas dan
retorika dalam argumentasi, peran orang biasa (ordinary people) dapat muncul
sebagai alternatif akhir yang terbuka (open-ended) dan merepresentasikan bentuk
reflektif kritis dari interaksi komunikatif (critically reflective form of
communicative interaction).
Kritik lain yang ditujukan pada pemikiran Habermas terkait dengan
pendasaran dan motif yang ada dibalik teorinya. Kritik tersebut berbunyi: In what
kind of prospect is it (Habermas’s theory) grounded? (Dalam kemungkinan
apakah teori Habermas didasarkan?). Tanggapan Habermas terhadap pertanyaan
tersebut dikemukakannya secara personal. Habermas, sebagaimana diungkapkan
oleh Michael Pusey, mengungkapkan motif konseptual dan intuisi fundamental
yang menjadi dasar dalam perumusan teorinya. Motif konseptual yang dimaksud
adalah sebuah rekonsiliasi kembali atas defisit yang ada pada filsafat modern.
Michael Pusey menambahkan bahwa tujuan proyek filosofis Habermas memang
ditujukan untuk meyakinkan kita guna mengakses kembali proyek filsafat modern
yang belum tuntas. Sedangkan intuisi fundamental yang dimaksud oleh Habermas
adalah konsep intersubjektivitas yang digunakannya sebagai dasar legitimasi
dalam teorinya. Berikut ini adalah kutipan tanggapan Habermas terkait
pertanyaan: In what kind of prospect is it (Habermas’s theory) grounded?
sebagaimana dikemukakan oleh Michael Pusey dalam bukunya Key Sociologists:
Jürgen Habermas .
59
“I have a conceptual motive and a fundamental intuition….
The motive-forming thought is the reconciliation of the decayed
parts of modernity, the idea that without surrendering the
differentiation that modernity has made possible in the social and
economic spheres, one can find forms for living together in which
real autonomy and dependency can appear in a satisfactory
relation, that one can move erect in a collectivity that does not
have the dubious quality of backward-oriented forms of
community…. The intuition springs from…experiences of
undisturbed intersubjectivity. These are more fragile than anything
that the history of communication structures has until now set into
motion—a web of intersubjective relations that nevertheless make
possible a relation between freedom and dependency that one can
always only imagine with interactive models…. These…ideas are
always of successful interaction, of reciprocity and distance, of
separation and manageable yet not failed nearness, of
vulnerability and complementary caution.”98
Pertanyaan kritis lain yang kiranya dapat ditujukan terhadap pemikiran
Habermas adalah Apakah manfaat yang ditawarkan oleh teori-teori Habermas?
Habermas, sebagaimana diungkapkan oleh Michael Pusey, mengungkapkan
bahwa realitas sosial dewasa ini diwarnai oleh berbagai kemajemukan (pluralitas)
orientasi nilai-nilai. Maka, diskursus rasional dapat muncul sebagai medium
dalam mewujudkan masyarakat yang berciri kolektif dan tidak bias dalam
berbagai bentuk relativitas.
98
Ibid.
BAB IV
60
BAB IV
RELEVANSI TEORI DISKURSUS
Pada bagian ini penulis akan merelevansikan teori diskursus ke dalam
dinamika kehidupan demokrasi di Indonesia. Pemaparan pada bab ini akan dibagi
menjadi tiga bagian. Pertama, penulis akan memaparkan konsep ruang publik
sebagai aplikasi teori diskursus dalam ranah kehidupan politik praksis (4.1.).
Kedua, penulis akan merelevansikan teori diskursus dalam dinamika demokrasi di
Indonesia (4.2.). Ketiga, penulis akan memaparkan prasyarat-prasyarat yang harus
dipenuhi dalam melakukan diskursus dalam dinamika demokrasi di Indonesia
(4.3.).
4.1. DISKURSUS DAN RUANG PUBLIK
Dalam proyek filsafatnya, Habermas berusaha mengaplikasikan teori-
teorinya ke dalam praktek politik praksis.99
Dalam usahanya mengaplikasikan
teori diskursus ke dalam politik praktis, Habermas memperkenalkan sebuah
konsep baru yang bernama ruang publik (public sphere). Habermas, dalam
karyanya The Structural Transformation of The Public Sphere, mengungkapkan
definisi ruang publik sebagai berikut: “The public sphere as a functional
element in the political realm was given the normative status of an organ for
the self-articulation of civil society with a state authority corresponding to its
99
Sebagaimana telah disinggung pada bab dua, pemikiran-pemikiran Mazhab Frankfurt berusaha
mengaitkan antara teori dan praksis. Mereka memperoleh inspirasi ini dari Karl Marx yang
berusaha mengelaborasi pemikiran Hegel yang terlampau abstrak menjadi sebuah teori yang
memiliki dimensi praksis emansipatoris. K. BERTENS, Filsafat Barat Kontemporer Inggris-
Jerman, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 20024, 202-203.
61
needs.”100
Mengacu pada definisi ruang publik di atas, ruang publik merupakan
wadah sosialitas yang bersifat informal yang terletak diantara masyarakat sipil dan
negara atau pemerintah. Dengan kata lain, ruang publik dapat diartikan sebagai
ruang bertemunya antara masyarakat dengan pemerintah terkait dengan hal-hal
yang menyangkut kehidupan publik. Ruang publik merupakan sebuah ruang yang
memiliki dimensi transendental sekaligus praksis. Ruang publik merupakan
tempat berlangsungnya sebuah diskursus yang rasional. Dalam ruang publik,
setiap orang dapat menyampaikan argumentasi-argumentasinya yang relevan pada
saat itu dan terlebih lagi segala klaim kesahihan dapat dipersoalkan kembali oleh
seluruh partisian diskursus guna mencapai unsur validitas sebuah norma.
Bentuk komunikasi semacam ini, dengan terus-menerus mempersoalkan
klaim kesahihan norma-norma yang kontroversial, akan membawa kita pada
sebuah bentuk komunikasi yang lebih cerdas. Prinsip ini jika berjalan dengan
baik, maka tentunya akan menjadi sebuah modal yang sangat berharga dalam
sebuah praktek demokrasi. Sebab dalam demokrasi yang sehat, setiap
pengambilan kebijakan yang terkait dengan kehidupan publik harus benar-benar
dapat merepresentasikan kehendak rakyat.101
Dengan demikian, semangat dan
atmosfer demokrasi dapat senantiasa terjaga dengan baik.
100
JÜRGEN HABERMAS, The Structural Transformation of The Public Sphere, (judul asli:
Strukturwandel der Offentlicheit), diterjemahkan oleh Thomas Burger, The MIT press,
Massachusett 1991, 74. 101
Habermas, sebagaimana diungkapkan oleh James Gordon Finlayson, mengungkapkan bahwa
sebuah negara demokrasi yang sehat akan cenderung menghasilkan hukum dan kebijakan-
kebijakan publik secara diskursif dengan mempertimbangkan opini publik. Jika hal-hal tersebut
dipenuhi, maka dapat dikatakan bahwa produk hukum dan kebijakan-kebijakan politis yang
diambil telah memenuhi aspek rasional dan legitim dalam prosesnya. JAMES GORDON FINLAYSON,
Habermas: A Very Short Introduction, Oxford University Press, New York 2005, 108-109.
62
Ruang publik berfungsi untuk memeriksa legitimasi kekuasaan pemerintah
yang tidak representatif dan tertutup. Jalan yang ditempuh adalah dengan
memeriksa apakah hukum beserta kebijakannya memihak kepentingan umum
secara efektif atau tidak. Ruang publik merupakan wadah sosialitas informal yang
terletak di antara masyarakat sipil dan negara atau pemerintah. Dalam kaitannya
dengan teori diskursus, ruang publik adalah ruang di mana subyek berpartisipasi
secara setara dalam diskusi rasional untuk mengejar kebenaran dan kebaikan
bersama.102
4.2. RELEVANSI TEORI DISKURSUS DALAM DINAMIKA DEMOKRASI INDONESIA
Pada bagian ini penulis akan merelevansikan teori diskursus ke dalam
praktek demokrasi di Indonesia. Menurut hemat penulis, praktek diskursus
sebenarnya telah melekat dalam falsafah kehidupan bangsa Indonesia. Diskursus
tak lain merupakan sebuah bentuk musyawarah atau dialog yang ditujukan untuk
mencapai sebuah kesepakatan bersama. Dalam bahasa Habermas tujuan diskursus
adalah mencapai sebuah konsensus berdasarkan argumentasi terbaik. Dalam
perspektif bangsa Indonesia, diskursus merupakan sebuah bentuk musyawarah
yang ditujukan untuk mencapai sebuah permufakatan bersama. Keduanya, antara
diskursus dan musyawarah mufakat, merupakan dua buah konsep yang identik
antara satu sama lain.
Jika melihat realita kehidupan bangsa Indonesia saat ini, penulis melihat
adanya ketidaksesuaian antara praktek nyata kehidupan politis dengan prinsip
102
ANDREW EDGAR, Habermas: The Key Concepts, Routledge, New York 2006, 124.
63
musyawarah mufakat yang dimiliki. Dalam era reformasi sekarang ini, dimana
pintu kebebasan bersuara bagi rakyat telah terbuka, masih sangat tampak bahwa
penerapan prinsip musyarwarah mufakat masih problematis dan bahkan
cenderung terabaikan. Hal tersebut dapat kita cermati dari sejumlah kebijakan
yang dibuat, baik oleh lembaga eksekutif maupun legislatif, tidak didasarkan pada
konsensus rasional yang melibatkan partisipasi aktif publik di dalamnya. Sebagai
dampaknya, kita dapat mencermati adanya kebijakan-kebijakan maupun norma-
norma yang sangat tidak berpihak pada kepentingan publik.
Dalam sebuah negara demokrasi, setiap pengambilan kebijakan yang
terkait dengan publik haruslah senantiasa memperhatikan segala aspirasi, opini,
dan kehendak publik itu sendiri.103
Dengan kata lain, kepentingan publik harus
menjadi pertimbangan utama dalam setiap pengambilan kebijakan politik.104
Dalam sebuah negara demokrasi, jika pengambilan kebijakan politiknya tidak
mempertimbangkan kepentingan publik, maka hal tersebut mengindikasikan
adanya suatu penyimpangan dari prinsip demokrasi itu sendiri. Penyimpangan
tersebut biasanya akan diwarnai dengan terjadinya praktek-praktek korupsi,
kolusi, dan nepotisme (KKN) di setiap elemen-elemennya.
103
Kebijakan publik adalah keputusan-keputusan atau pilihan-pilihan tindakan yang bersifat
strategis atau garis besar yang secara langsung mengatur pengelolaan dan pendistribusian
sumber daya publik (alam, finansial dan manusia) demi kepentingan rakyat banyak,
penduduk masyarakat atau warga negara. HABIBULLAH, S.Sos, M.Kesos, dalam telaah atas
bedah buku Kemiskinan dan Perlindungan Sosial di Indonesia Menggagas Model
Perlindungan Sosial Universal Bidang Kesehatan Karya Edi Suharto, Penerbit Alfabeta 2009
di Puslitbang Kesos pada tanggal 1 November 2011. 104
“Arti mendasar dari istilah ‘politik’ adalah (‘pengaturan hubungan antara pemerintah dan
warganya demi tercapainya kesejahteraan masyarakat’)….” FRANZ DAHLER dan EKA BUDIANTA,
Pijar Peradaban Manusia, Kanisius, Yogyakarta 20045, 182.
64
Sebagaimana telah kita ketahui bersama, Indonesia merupakan negara
dengan tingkat KKN yang cukup tinggi. Cukup banyak pejabat yang tertangkap
basah oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena telah ketahuan
menggelapkan uang negara untuk kepentingan pribadi semata. Hal tersebut tentu
mengindikasikan bahwa para pejabat tersebut tidak memperhatikan kepentingan
rakyat dalam pengambilan kebijakan-kebijakan politisnya. Jika para wakil rakyat
tidak lagi memperhatikan kepentingan rakyat, maka justru peran publik sangat
dibutuhkan sebagai alat kontrol sosial. Plato105
, sebagaimana dikutip oleh Franz
Dahler106
, mengungkapkan bahwa (‘politik adalah keterlibatan untuk kepentingan
umum’).107
Keterlibatan atau partisipasi aktif publik dalam negara demokrasi
modern merupakan sebuah hal yang sangat penting. Habermas, dalam bukunya
The Structural Transformation of The Public Sphere, mengungkapkan perihal
tersebut sebagai berikut:
In the political struggle against a strong royal
government, the participation of representatives of the people as
the essential characteristic of the law had to be increasingly
emphasized and ultimately had to become decisive. If the
participation of the people's representatives is politically a
preeminent feature of the law, this explains . . . the obverse:
whatever comes about with the participation of the people's
105
Plato (427/428-347) adalah seorang filsuf Yunani. Ia adalah murid Sokrates yang terpenting. Ia
menulis banyak karya, di antaranya yang berkaitan dengan hukum adalah pandangannya
tentang Negara, “kritias” (Negara yang ideal), ada dialog tentang “republik, “kriton”
(kewajiban penduduk), dan juga tentang Undang-Undang. Ajaran-ajarannya dapat dilihat
dalam bidang dialektika, fisika, dan etika. HYRONIMUS RHITI, Filsafat Hukum: dari klasik
sampai postmodernisme, Penerbit Universitas Atma Jaya, Yogyakarta 2011, 105. 106
Franz Dahler, asal Appensell, Swiss, pernah menjadi seorang dosen filsafat di Magelang,
Semarang, Jakarta (antara lain di Universitas Indonesia) sejak 1961 hingga 1979. Kemudian
menjadi redaktur majalah Wendekreis dan ketua organisasi intercultural Interteam di Swiss,
dan masih terus berkomunikasi dengan Indonesia dan dunia Islam. FRANZ DAHLER dan EKA
BUDIANTA, Op.Cit. 107
Ibid., 182.
65
representatives, is law. The rule of the law then means
participation or ultimately rule of the people's representative.108
Ketika kita melihat realita sosial dan politik Indonesia saat ini, wajar jika
kita menilai bahwa negara ini belum dapat menjalankan sistem demokrasi yang
sehat.109
Terkait dengan penetapan kebijakan publik, para pejabat yang duduk di
kursi pemerintahan “menutup telinganya rapat-rapat” terhadap segala kehendak
atau aspirasi rakyatnya. Terlebih lagi, hanya suara-suara dari pemilik modal yang
kiranya menjadi pertimbangan utama. Hal itu disebabkan para pemilik modal
memiliki kekuasaan (power) dalam bentuk uang yang dapat digunakan untuk
mengintervensi setiap kebijakan publik yang akan diambil oleh pemerintah.110
Jika kebijakan atau norma yang menyangkut kehidupan publik tidak didasarkan
pada kepentingan publik, melainkan hanya ditujukan untuk kepentingan pihak-
pihak tertentu, maka konsensus yang dihasikannya bukanlah sebuah konsensus
108
JÜRGEN HABERMAS, Op.Cit., 81. 109
Sebuah sistem demokrasi dikatakan sehat jika memenuhi kriteria-kriteria demokrasi sebagai
berikut:
1. Pemerintah dan/atau dewan perwakilan rakyat dipilih secara bebas oleh rakyat.
2. Tidak ada intimidasi oleh pihak penguasa atau golongan terkuat.
3. Ada pemisahan antara kekuasaan legislatif (parlemen), eksekutif (pemerintah), dan
yudikatif (pengadilan). Pengadilan dan parlemen berdaulat terhadap pemerintah.
4. Kemajemukan masyarakat diakui; mayoritas tidak boleh menekan, menindas minoritas
golongan, suku, agama. Itu lebih terjamin oleh struktur negara yang memberikan
kedaulatan kepada daerah-provinsi tertentu.
5. Kebebasan mendirikan serikat-serikat yang bersifat keagamaan, sosial-budaya, perkerjaan,
dan lain-lain.
6. Kebebasan media massa penting untuk kontrol sosial terhadap penyalahgunaan kekuasaan.
7. Ada keseimbangan antara kepentingan pribadi dan golongan di satu pihak, dan
kepentingan umum di lain pihak. FRANZ DAHLER dan EKA BUDIANTA, Op.Cit., 238. 110
Hal ini erat kaitannya dengan apa yang dimaksud oleh Habermas sebagai ruang publik
borjuis. Dalam karyanya yang berjudul The Structural Transformation of The Public Sphere,
Habermas menunjukkan adanya penurunan secara bertahap dan adanya fenomena disintegrasi
dalam masyarakat sejak abad ke-18. Habermas mengungkapkan bahwa pada masa itu ruang
publik dikuasai oleh kekuatan-kekuatan feodal seperti kaum gereja, kerajaan, dan golongan
bangsawan. Kehendak publik tidak direpresentasikan karena kaum-kaum tersebut cenderung
mengutamakan kepentingan pribadi dan golongannya masing-masing. PAULINE JOHNSON,
Habermas: Rescuing The Pbulic Sphere, Routledge, New York 2006, 21.
66
yang rasional dan legitim. Dalam perspektif pemikiran Habermas, tindakan
semacam itu bukanlah sebuah tindakan komunikatif melainkan justru mengarah
pada tindakan strategis.111
Dari pemaparan diatas tampak jelas bahwa ketika produk hukum hanya
dihasilkan melalui keputusan sepihak tanpa melibatkan masyarakat, hal ini pada
akhirnya akan membawa demokrasi ke titik nadirnya. Terlebih lagi, musyawarah
sebagai salah satu identitas kearifan lokal masyarakat Indonesia telah
dikesampingkan dan seolah-olah tidak berarti lagi. Bagaimanakah solusi yang
ditawarkan oleh Habermas atas permasalahan tersebut? Menurut Habermas,
produk-produk legal formal yang menyangkut kehidupan publik harus melewati
sebuah proses pengujian diskursif. Produk-produk legal formal yang dihasilkan
secara sepihak tanpa melibatkan masyarakat tidak memiliki dasar legitimasi yang
kuat karena dalam prosesnya mengabaikan prinsip-prinsip pengujian diskursif.
Pada praktiknya, produk-produk hukum semacam itu biasanya tidak berpihak
pada kepentingan publik.
Secara lebih konkrit, proses pengujian diskursif dapat diaplikasikan ke
dalam sebuah bentuk mekanisme uji publik terhadap kebijakan atau norma yang
ditetapkan, baik oleh lembaga eksekutif maupun legislatif. Sebagai contoh,
penetapan peraturan tentang out sourcing dalam bidang ketenagakerjaan. Menurut
hemat penulis, penetapan peraturan tentang out sourcing cenderung merugikan
pekerja. Penerapan peraturan tersebut berdampak pada hilangnya hak-hak yang
seharusnya didapatkan oleh pekerja di tempat kerjanya. Hak-hak pekerja, yang
111
Penjelasan mengenai tindakan komunikatif dan tindakan strategis dapat dilihat pada bab 2.
67
seharusnya diberikan oleh pihak tempat kerjanya, dilimpahkan kepada pihak
pengelola out sourcing yang pada praktiknya juga cenderung tidak memenuhi
standar-standar ketenagakerjaan. Menurut hemat penulis, permasalahan ini belum
mendapatkan perhatian (monitoring) yang serius dari pemerintah.
Sumbangan diskursus Jürgen Habermas kiranya dapat menjadi sebuah
jalan keluar yang efektif terkait permasalahan di atas. Sejalan dengan prinsip
diskursus, segala kebijakan atau peraturan yang menyangkut kehidupan publik
harus diambil melalui sebuah proses pengujian diskursif yang melibatkan pihak-
pihak yang terkait dengan kebijakan atau norma yang akan ditetapkan. Hal ini
bertujuan agar konsensus yang dicapai memiliki dasar legitimasi yang kuat. Selain
itu, guna menghindari pengambilan keputusan yang tendensius (cenderung
menguntungkan pihak tertentu).
Dalam proses penerapannya, pihak birokrasi harus mau duduk bersama
dengan masyarakat (dalam hal ini pekerja) untuk berkomunikasi dalam
perumusan kebijakan tersebut. Jika semua pihak duduk bersama dan
menghasilkan konsensus secara bersama, maka pelaksanaan keputusannyapun
akan mengikat seluruh peserta diskursus tersebut. Konsensus yang tercapai dalam
situasi semacam itu memiliki dasar legitimasi yang kuat. Hal tersebut sejalan
dengan prinsip universalitas (U) etika diskurus:
“Setiap norma yang sahih harus memenuhi prasyarat
bahwa efek-efek dan efek-efek samping yang barangkali terjadi
karena kepatuhan umum untuk pemenuhan kepentingan setiap
individu dapat diterima tanpa paksaan oleh semua orang
yang bersangkutan dengan norma itu.”112
112
F. BUDI HARDIMAN, Op.Cit., 24.
68
Kearifan lokal bermusyawarah yang melekat dalam kultur Indonesia
sebenarnya merupakan modal yang sangat berharga dalam menjalankan tipe
diskursus semacam ini. Konsep musyawarah untuk mencapai mufakat sangat
identik dengan konsep diskursus yang bertujuan untuk mencapai konsensus
(persetujuan) secara bersama-sama. Melalui musyawarah mufakat, setiap
kebijakan dan norma yang menyangkut kehidupan publik dihasilkan melalui
sebuah proses yang valid sehingga konsensus yang dihasilkan juga memiliki dasar
legitimasi yang kuat. Mekanisme tersebut juga dapat menghindari terciptanya
peluang-peluang yang mengarah pada tindakan strategis.
4.3. PENERAPAN DISKURSUS DALAM DEMOKRASI DI INDONESIA
Menurut hemat penulis, pelaksanaan diskursus tidak dapat terlaksana
dengan baik jika tidak didukung dengan adanya infrastruktur-infrastruktur yang
memadai. Dengan kata lain, proses pelaksanaan diskursus membutuhkan
prasyarat-prasyarat penunjang agar diskursus dapat berjalan dengan baik. Salah
satu faktor penunjang yang dimaksud oleh penulis adalah pembaharuan
kelembagaan, baik secara normatif maupun empiris, untuk menjamin praktek
komunikasi bisa berjalan dengan efektif. Sebab jika melihat praktek-praktek yang
dilakukan oleh lembaga-lembaga yang ada di Indonesia sekarang, penulis melihat
adanya tendensi yang bermotif tindakan strategis yang mewarnai seluruh aspek
dinamikanya.
69
Selain itu, prinsip musyawarah mufakat harus diwujudkan ke dalam
sebuah rumusan konkret yang memiliki kekuatan hukum positif.113
Keterlibatan
aktif publik harus dijamin dan diaplikasikan secara konkrit sehingga pengambilan
kebijakan publik dapat dikontrol langsung oleh masyarakat. Dengan kata lain,
perlu adanya sebuah undang-undang yang berisi tentang konsensus publik.
Keberadaan undang-undang tersebut akan menjamin bahwa setiap pengambilan
kebijakan apapun yang terkait kehidupan publik harus senantiasa
mengikutsertakan setiap pihak-pihak yang terkait dengannya. Melalui mekanisme
semacam itu, terciptalah sebuah ruang publik yang dapat menjadi media kontrol
sosial yang konkrit dari masyarakat terhadap pemerintah. Dengan demikian,
atmosfer demokrasi yang sehat dapat tercipta melalui sebuah tatanan demokrasi
yang baik.
Prasyarat mendasar lain yang sangat penting dalam menciptakan sebuah
atmosfer demokrasi yang sehat adalah peningkatan aspek pendidikan warga
masyarakat. Tujuan diskursus adalah pencapaian sebuah konsensus yang
didasarkan pada kekuatan argumentasi terbaik. Pribadi yang mampu
berargumentasi dengan baik adalah pribadi yang memiliki perspektif yang luas.
Praktik diskursus sendiri mengandaikan sebuah kondisi masyarakat yang
mengedepankan budaya komunikatif daripada budaya kekerasan. Dengan
demikian, tindakan komunikatif menjadi prinsip dasar dalam setiap pemecahan
masalah (problem solving).
113
Hukum positif (ius contitutum) adalah keseluruhan peraturan perundang-undangan yang secara
resmi dibuat oleh badan atau lembaga yang berwenang untuk itu dan peraturan perundang-
undangan itu saat ini masih sedang berlaku. HYRONIMUS RHITI, Op.Cit., 365.
70
Demikianlah usaha penulis dalam memperkenalkan gagasan-gagasan
Habermas dan Mazhab Frankfurt. Pada bagian selanjutnya, yaitu bagian terakhir
karya tulis ini, penulis akan menyimpulkan seluruh proses pemaparan mengenai
pemikiran-pemikiran Habermas yang telah disusun dari bab awal hingga bab ini.
BAB V
71
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 KESIMPULAN
Pemikiran-pemikiran Habermas merupakan sebuah ide pembaharuan atas
kebuntuan berpikir yang dialami oleh para pendahulunya dalam Mazhab
Frankfurt. Para tokoh Mazhab Frankfurt generasi pertama terjebak dalam
perangkap filsafat kesadaran yang ditandai dengan klaim monologis terhadap
objek kritiknya. Dalam upaya mencari sebuah solusi yang dihadapi oleh para
pendahulunya, Habermas menawarkan sebuah paradigma baru dalam memandang
epistemologi subjektivitas, yaitu paradigma teori komunikasi. Dalam paradigma
teori komunikatif, subjektivitas tidak lagi dilihat sebagai sesuatu yang terisolasi
dalam dirinya sendiri melainkan subjektivitas lebih dipahami sebagai hasil dari
proses komunikasi intersubjektif.
Teori tindakan komunikatif merupakan sebuah teori yang menjadi
landasan bagi teori diskursus. Jika dalam tindakan komunikatif para peserta
diskursus tidak mempermasalahkan klaim-klaim validitas yang berasal dari dunia-
kehidupan, dalam diskursus klaim-klaim kesahihan dipersoalkan kembali. Teori
diskursus merupakan sebuah teori yang dikembangkan dari teori tindakan
komunikatif namun dengan menggunakan sarana lain yaitu argumentasi. Menurut
Habermas, teori diskursus tidak menawarkan suatu ide substantif apapun namun
hanya menekankan sebuah prosedur untuk mencapai kesahihan sebuah norma. Ide
72
dasar dari teori diskursus mengacu pada proses legitimasi penetapan norma-norma
melalui sebuah mekanisme/prosedur pengujian secara diskursif yang menekankan
prinsip intersubjektivitas.
Terdapat tiga unsur penting dalam teori diskursus. Ketiga hal tersebut
harus dipenuhi untuk mencapai validitas norma-norma moral. Ketiga unsur
tersebut, yaitu:
1) Norma harus disepakati dalam diskursus publik.
2) Diskursus memenuhi syarat-syarat kondisi ideal.
3) Kesepakatan didukung oleh argumentasi rasional yang
mengekspresikan kepentingan universal. (Prinsip etika diskursus [“D”]
dan prinsip universalisme [“U”]).
Konsep ruang publik merupakan sebuah konsep yang dikembangkan oleh
Habermas guna mengaplikasikan teori diskursus ke dalam politik praksis. Ruang
publik merupakan wadah sosialitas informal yang terletak di antara masyarakat
sipil dan negara atau pemerintah. Dalam kaitannya dengan teori diskursus, ruang
publik adalah ruang di mana subyek berpartisipasi secara setara dalam diskusi
rasional untuk mengejar kebenaran dan kebaikan bersama
Permasalahan dalam negara demokrasi modern yang dicermati oleh
Habermas adalah penetapan norma-norma yang bernada kontroversial dan
kebijakan-kebijakan yang hanya ditujukan untuk kepentingan pihak tertentu.
Terlebih lagi dalam penetapan norma dan kebijakan tersebut, pihak-pihak yang
terkait tidak diikutsertakan dalam diskursus. Bagi Habermas, norma-norma dan
73
kebijakan-kebijakan yang dihasilkan melalui proses semacam itu tidak dapat
dinilai legitim karena terdapat defisit dalam proses legitimasinya.
Hal yang ingin ditawarkan Habermas melalui teori diskursus adalah
pencapaian sebuah konsensus rasional tentang produk-produk legal formal
melalui sebuah proses pengujian intersubjektif. Konsensus yang dihasilkan secara
bersama-sama dalam diskursus rasional akan mengikat seluruh peserta.
Konsensus tersebut juga memiliki legitimasi yang kuat karena prosesnya
melibatkan banyak pihak, didasarkan pada kekuatan argumentasi terbaik, dan
dihasilkan melalui proses pengujian diskursif.
Dalam konteks demokrasi di Indonesia, diskursus identik dengan kearifan
lokal yang telah dimiliki bangsa Indonesia, yaitu musyawarah mufakat. Namun
praktek musyawarah mufakat sendiri belum diterapkan dengan baik dalam
dinamika kehidupan real politik di Indonesia. Hal itu disebabkan pengambilan
kebijakan-kebijakan terkait kehidupan publik tidak dilalui dalam sebuah proses
diskursus yang melibatkan pihak-pihak terkait. Terlebih lagi, “dinding-dinding
parlemen” sengaja dibuat kedap suara terhadap kepentingan rakyat. Malah tak
jarang, norma-norma dan kebijakan-kebijakan yang dihasilkan cenderung
tendensius bagi golongan-golongan tertentu, terutama golongan pemilik modal.
Dalam situasi demokrasi semacam ini, teori diskursus dapat memberikan sebuah
solusi melalui mekanisme atau prosedur penetapan norma secara intersubjektif.
Dengan demikian, teori diskursus juga dapat digunakan sebagai media kontrol
sosial masyarakat terhadap pemerintah.
74
5.2 SARAN
Setelah mempelajari pemikiran-pemikiran Habermas secara seksama,
penulis hendak mengajukan beberapa hal yang menjadi saran, yaitu:
1. Penetapan produk-produk legal formal dalam negara demokrasi
hendaknya dicapai melalui sebuah mekanisme pengujian diskursif
yang melibatkan pihak-pihak terkait. Dengan demikian, konsensus
yang dihasilkan memiliki unsur legitimasi yang kuat karena konsensus
yang dihasilkan bertumpu pada kekuatan argumentasi terbaik dan
dilakukan secara intersubjektif.
2. Pendidikan politik bagi warga negara harus lebih ditingkatkan. Secara
khusus makna politik harus “dijernihkan” dari stigma-stigma negatif,
contohnya bahwa politik itu kotor, kejam, dll. Hal ini dimaksudkan
agar setiap orang lebih menyadari bahwa arti politik yang sebenarnya
merupakan keterlibatan aktif warga masyarakat dalam usaha
membangun kesejahteraan bersama. Terlebih lagi, diskursus
sebagaimana dimaksudkan Habermas, bertumpu pada kekuatan
argumentasi terbaik. Hal itu akan sulit tercapai jika mayoritas
masyarakat masih sulit merasakan akses pendidikan.
3. Karya tulis ini dapat dilanjutkan oleh pembaca dengan tema dan cara
pandang yang baru, khususnya terkait tema penjajahan sistem atas
dunia kehidupan. Tema tersebut sangat cocok untuk menganalisis
demokrasi yang terjadi di Indonesia dimana sistem birokrasi dikuasai
75
oleh hubungan-hubungan kapitalistis yang tidak lagi memberi ruang
bagi praksis-praksis komunikatif dunia-kehidupan.
4. Karya tulis ini dapat digunakan oleh para akademisi dan ilmuwan
sebagai salah satu referensi yang berkaitan dengan tema-tema
komunikasi dan untuk mengenal serta mendalami pemikiran-pemikiran
Jürgen Habermas.
DAFTAR PUSTAKA
76
DAFTAR PUSTAKA
SUMBER PRIMER:
HABERMAS, JÜRGEN, Between fact and norm, diterjemahkan oleh William Rehg,
The MIT press, New Baskerville 19962.
HABERMAS, JÜRGEN, Moral Consciousness and Communicative Action,
diterjemahkan oleh Christian Lenhardt and Shierry Weber Nicholsen,
Polity press, Cambridge 20074.
HABERMAS, JÜRGEN, The Structural Transformation of The Public Sphere,
diterjemahkan oleh Thomas Burger, The MIT press, Massachusett 1991.
HABERMAS, JÜRGEN, The Theory of Communicative Action Vol. 1 Reason and
The Rationalization of Society, diterjemahkan oleh Thomas McCarthy,
Beacon press, Massachusetts 1984.
SUMBER SEKUNDER:
BERTENS, K., Filsafat Barat Kontemporer Inggris-Jerman, PT Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta 20024.
EDGAR, ANDREW, Habermas: The Key Concepts, Routledge, New York 2006.
FINLAYSON, JAMES GORDON, Habermas: A Very Short Introduction, Oxford
University press, New York 2005.
GUNNARSSON, LOGI, Making Moral Sense: Beyond Habermas and Gauthier,
Cambridge University Press, New York 2000.
HARDIMAN, F. BUDI, Kritik Ideologi: Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan,
Kanisius, Yogyakarta 1990.
HARDIMAN, F. BUDI, Teori Diskursus dan Demokrasi: Peralihan Habermas ke
dalam Filsafat Politik, dalam: Diskursus: Jurnal Filsafat dan Teologi,
Vol 7, No. 1, April 2008.
IRFAAN, SANTOSA, Jürgen Habermas: Problem Dialektika Ilmu Sosial, dalam:
Jurnal Dakwah dan Komunikasi, STAIN Purwokerto, Vol 3, No. 1,
Januari-Juni 2009.
77
JOHNSON, PAULINE, Habermas: Rescuing The Pbulic Sphere, Routledge, New
York 2006.
MOON, J. DONALD, Practical Discourse and Communicative Ethics, in: The
Cambridge Companion to Habermas, Stephen K. White (ed.), Cambridge
University Press, New York 1995.
PUSEY, MICHAEL, Jürgen Habermas, in: Key Sociologists, Peter Hamilton (ed.),
Routledge, New York 20032.
SUMBER PENUNJANG LAINNYA:
BERTENS, K., Etika, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 201111
.
DAHLER, FRANZ dan EKA BUDIANTA, Pijar Peradaban Manusia, Kanisius,
Yogyakarta 20045.
FLYVBJERG, BENT, Paper for the Political Studies Association’s 50 th Annual
Conference, The Challenges for Democracy in the 21 st Century, London
School of Economics and Political Science, 10-13 April 2000.
HABIBULLAH, dalam telaah atas bedah buku Kemiskinan dan Perlindungan Sosial
di Indonesia Menggagas Model Perlindungan Sosial Universal Bidang
Kesehatan Karya Edi Suharto, Penerbit Alfabeta 2009, di Puslitbang
Kesos pada tanggal 1 November 2011.
HARDIMAN, F. BUDI, Filsafat Modern Dari Machiavelli sampai Nietzsche, PT
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 20072.
RHITI, HYRONIMUS, Filsafat Hukum: dari klasik sampai postmodernisme,
Penerbit Universitas Atma Jaya, Yogyakarta 2011.
SUHENDI, HENDI, Kapita Selekta Filsafat, CV Pustaka Setia, Bandung 2010.
SUSENO, F. MAGNIS, 12 Tokoh Etika Abad ke-20, Kanisius, Yogyakarta 2000.
SUSANTO, READY, 100 Tokoh Abad ke-20 Paling Berpengaruh, Penerbit Nuansa,
Bandung 2004.
WATTIMENA, REZA A. A., Filsafat dan Sains: Sebuah Pengantar, PT Grasindo,
Jakarta 2008.