DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI...
Transcript of DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI...
i
DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK DALAM
KEANGGOTAAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH
(Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-XVI/2018)
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
MUHAMMAD FAIZ PUTRA SYANEL
NIM: 11140480000046
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1440 H / 2019 M
v
ABSTRAK
MUHAMMAD FAIZ PUTRA SYANEL, NIM 11140480000046,
DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK DALAM
KEANGGOTAAN DEWAN PERWAKILA DAERAH, Program Studi Ilmu
Hukum, Konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara, Fakultas Syariah dan
Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 1441H/2019 M.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui hakikat konstitusional lahirnya Dewan
Perwakilan Daerah (DPD), dari kewenangan hingga sumber keanggotaannya.
Penelitian ini sekaligus menjadi kritik atas Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 30/PUU-XVI/2018, yang melakukan perluasan norma dalam
pertimbangannya, dengan membuat pengurus fungsionaris partai politik
termasuk dalam frasa “pekerjaan lain” pada pasal 182 Huruf I Undang-undang
Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum, yang dianggap memiliki
potensi untuk terjadinya konflik kepentingan dengan tugas, wewenang dan hak
sebagai anggota DPD.
Jenis penelitian yang digunakan yaitu kualitatif, dengan pendekatan
penelitian normatif-doktriner, di mana terdapat unsur pendekatan perUndang-
undangan (statute approach) dan pendekatan konsep (conceptual approach)
yang digunakan untuk mengetahui peran pengurus partai politik dalam
mengoptimalkan kewenangan konstitusional DPD.
Penelitian ini membuktikan sebaliknya. Terdapat keselarasan antara peran
DPD dan Partai Politik, membuat DPD semakin optimal dalam melaksanakan
kewenangannya. Sehingga dugaan terjadinya konflik kepentingan tidaklah
terbukti, dan seharusnya mahkamah tidaklah memutus demikian.
Kata Kunci: DPD, Partai Politik, Mahkamah Konstitusi.
Pembimbing Skripsi: Fathudin, S.H.I., S.H., M.A.Hum., M.H.
Daftar Pustaka: Tahun 1811 sampai tahun 2018
vi
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr.Wb.
Allhamdulilahirabbil’aalamin, peneliti menyampaikan segala puji dan syukur
kehadirat Allah SWT, yang senantiasa memberikan rahmat, taufiq, dan hidayahNya
kepada kita semua. Shalawat serta salam senantiasa kita curahkan kepada baginda
Nabi dan Rasul kita Muhammad SAW, kepada segenap keluarganya, sahabat serta
umatnya sepanjang zaman, yang Insya Allah kita ada di dalamnya.
Atas rahmat dan karunia Allah SWT, peneliti beryukur mampu menyelesaikan
penelitian skripsi ini dengan judul “DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS
PARTAI POLITIK DALAM KEANGGOTAAN DEWAN PERWAKILAN
DAERAH”, sebagai salah satu persyaratan yang diwajibkan untuk memperoleh
gelar Sarjana Hukum (S.H) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Peneliti menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bimbingan,
dukungan, nasihat, dan motivasi yang peneliti dapatkan dari berbagai pihak di
sekitar peneliti. Oleh karenanya, peneliti ingin mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada yang terhormat:
1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A. Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Muhammad Ali Hanafiah Selian, S.H.,M.H. Ketua Program Studi Ilmu
Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum. Sekeretaris Prodi Studi Ilmu Hukum, Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Fathudin, S.H.I., SH., M.A.Hum., M.H. Fathudin, S.H.I., SH., M.A.Hum.,
M.H. Sebagai dosen pembimbing skripsi, yang rela mengorbankan ilmu dan
waktunya untuk berdiskusi guna membimbing kajian peneliti.
vii
5. Keluarga tercinta, yaitu Syamsudin Landie (Ayahanda), Elya Rita Djardjis
(Ibunda) dan Keluarga Besar Marqum yang selalu memberikan kasih sayang
dan dukungannya kepada peneliti. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan
rahmat dan nikmat-Nya kepada Ayah, Bunda, danKeluarga Besar yang peneliti
cintai.
6. Nila Tari, sebagai pendamping perjuangan. Orang yang telah memberikan
banyak pelajaran dan pengalaman kepada peneliti, yang banyak berkorban
demi peneliti semasa perkualiahan. Dari segi materil maupun i-materil, Yang
Terkasih.
7. Ksatria Imam Nugraha, sebagai sahabat peneliti. Kawan berfikir dalam bangku
perkuliahan, serta sahabat yang selalu membantu peneliti dalam kesulitan
semasa perkuliahan. Banyak kebaikannya yang peneliti rasa tidak sanggup
untuk membalasnya.
8. Keluarga Besar Moot Court Community Fakultas Syariah dan Hukum.
Terutama kepada abangda Muhammad Raziv Barokah, Teguh Triesna Dewa,
Abdulatief Zainal, Muhamad Reza Baihaqi dan Kakak Hamalatul Qura’ani
selaku senior sekaligus mentor peneliti, yang setia membimbing peneliti dari 0
hingga saat ini. Kepada Muhamad Sidik, Nur Rahmi Febriani, Dalilah
Hazimah, Zul Amirul Haq, Muhamad Eddy Kurniawan, Martunis, Iqra
Fadhilah, Rizki Ramadhan, dan Dadi selaku kawan angkatan 2014 yang
berproses peneliti. Tanpa mereka semua, peneliti tidak yakin dapat menjadi
seperti saat ini.
9. Aditya Dwi Prayudi, Anwar Fauzi, Euis Nur Atikah, Syifa Maulidya, Yasmine
Assegaf, dan Adit Ahmad Muzaki selaku sahabat-sahabat peneliti, yang selalu
menemani peneliti saat naik maupun turun, yang selalu mengatakan apa adanya
untuk menasehati peneliti.
10. Keluarga Besar Himpunan Mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum, sebagai
rumah perhimpunan peneliti, tempat awal peneliti berjuang dalam organisasi
intra kampus.
viii
11. Kawan-kawan Ilmu Hukum 2014, selaku teman seperjuangan peneliti dari awal
perkuliahan hingga selesai.
12. Keluarga Besar Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat Fakultas Syariah dan
Hukum Cab. Ciputat sebagai organisasi ekstra yang menjadi wadah awal
perjuangan peneliti pada masa perkuliahan, banyak pengalaman yang sangat
berharha peneliti peroleh dari organisasi ini.
13. Pihak Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum dan Pusat Perpustakaan
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah
memberikan berbagai macam fasilitas kepada peneliti dalam rangka melakukan
studi kepustakaannya.
14. Semua pihak yang telah membantu peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini,
yang tidak dapat peneliti sebutkan satu-persatu, semoga Allah SWT
memberikan berkah dan karunia-Nya serta membalas kebaikan mereka semua.
Demikianlah yang dapat peneliti sampaikan, semoga skripsi ini dapat
bermanfaat bagi para pihak pembacanya, dan berkontribusi bagi kemajuan hukum
ketatanegaraan di Indonesia agar menuju ke arah yang lebih baik lagi.
Wassalamualaikum Wr.Wb
Jakarta, September 2019
Peneliti,
Muhammad Faiz Putra Syanel
ix
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN ................................................................................. ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ................................. iii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................. iv
ABSTRAK .............................................................................................................. v
KATA PENGANTAR .......................................................................................... vi
DAFTAR ISI ....................................................................................................... ixx
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah .................................................................. 1
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah ...................... 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...................................................... 8
D. Metode Penelitian ............................................................................. 9
E. Pedoman Penulisan ......................................................................... 12
F. Sistematika Penelitian ..................................................................... 12
BAB II KUALIFIKASI LEMBAGA PERWAKILAN DALAM REZIM
INDIRECT DEMOCRACY .................................................................. 14
A. Kerangka Konseptual ..................................................................... 14
1. Diskursus ...................................................................................... 14
2. Pengurus Fungsionaris Partai Politik ....................................... 14
3. Dewan Perwakilan Daerah ......................................................... 15
4. Inkonsistensi ................................................................................ 16
5. Inkoherensi .................................................................................. 16
B. Kerangka Teoritik .......................................................................... 16
1. Teori Demokrasi Konstitusional ................................................ 16
2. Teori Representatif ..................................................................... 22
C. Review Kajian Terdahulu .............................................................. 23
BAB III DESAIN KONSTITUSIONAL DEWAN PERWAKILAN DAERAH
REPUBLIK INDONESIA ................................................................... 26
A. Perdebatan Desain Parlemen Indonesia ....................................... 26
B. Kedudukan Dewan Perwakilan Daerah ....................................... 31
x
C. Dinamika Pengaturan Calon Anggota Dewan Perwakilan
Daerah .............................................................................................. 43
BAB IV INKOHERENSI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
NOMOR 30/PUU-XVI/2018 DENGAN SEMANGAT
KONSTITUSIONALITAS DEWAN PERWAKILAN DAERAH .. 48
A. Problematika Pengurus Fungsionaris Parpol Dalam
Keanggotaan DPD ........................................................................... 48
1. Frasa Pekerjaan Lain ................................................................. 48
2. Konflik Kepentingan ................................................................... 53
B. Dewan Perwakilan Daerah Dalam Iklim Constitutional
Democracy ........................................................................................ 60
1. Teritorial Representative .............................................................. 60
2. Independensi Dewan Perwakilan Daerah ................................. 68
BAB V PENUTUP ............................................................................................ 73
A. Kesimpulan ...................................................................................... 73
B. Rekomendasi ................................................................................... 74
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 75
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pasca reformasi, Indonesia mewujudkan pergolakkan aspirasi rakyat yang
berujung pada pergeseran negara kekuasaan menuju negara hukum.
Pergolakkan tersebut menjadi salah satu landasan yang memicu perubahan
pada sendi fundamental Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, salah satunya adalah kedaulatan itu sendiri. Majelis
Permusyawaratan Rakyat sebagai rumah rakyat yang sebelumnya menjadi
lembaga pemegang kekuasaan tertinggi dan sebagai lembaga pelaksana
kedaulatan rakyat, berubah menjadi lembaga tinggi negara yang setara dengan
lembaga tinggi negara lainnya yang secara tegas mengembalikan kedaulatan
untuk dipegang oleh Rakyat serta dilaksanakan oleh lembaga – lembaga tinggi
negara lainnya dan dijalankan menurut Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Perubahan tersebut berimplikasi pula pada reformulasi struktur Majelis
Permusyawaratan Rakyat, sebelumnya MPR terdiri dari Dewan Perwakilan
Rakyat dan Utusan Golongan. Berbeda setelah perubahan, lahirnya lembaga
perwakilan daerah baru merubah struktur kelembagaan MPR, menjadi Dewan
Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah. Lahirnya Dewan
Perwakilan Daerah diiringi dengan legitimasi kontitusional yang tertuang pada
pasal 2 Ayat (1) UUD 1945, yang menyatakan MPR terdiri dari anggota DPR
dan anggota DPD yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut
melalui Undang-Undang.1 Berbagai perubahan – perubahan lain pula terjadi
di berbagai lembaga konstitusionaldan tetapmenjadikan hukum sebagai dasar
pelaksanaan berbangsa dan bernegara.2 Karena hukum dibentuk memang
bertujuan demikian, yakni sebagai jaminan profesionalitas lembaga negara.
1 Kris Nugroho, “Problematika Dewan Perwakilan Daerah: Antara Fungsi Konstitusional dan
Realitas Politik”, Jurnal Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, Vol.20 /No.2,2007, h. 104.
2 Azhari, Negara Hukum Indonesia, Analisis Yuridis Normatif Tentang Unsur‐Unsurnya,
(Jakarta: Ul‐Press, 1995), h. 12.
2
Konsekuensi logis Indonesia sebagai negara hukum adalah terjaminnya
hak asasi manusia yang dalam hal ini masuknya hak–hak individu di dalam
konstitusi negara yaitu Undang– Undang Dasar Negara Republik Indonesia
1945 sebagai bentuk pengawalan serta penegasan negara dalam iklim yang
sehat di dalamproses kedaulatan rakyat itu sendiri.3 Jaminan hak asasi manusia
yang menjadi penunjang utama dari adanya negara hukum yang demokratis
untuk menjalankan kedaulatan rakyat adalah hak politik.
Hak politik Menurut Pasal 25 huruf a International Convention on Civil
and Political Right yang telah diratifikasi Indonesia melalui Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant on Civil
and Political Rights, dinyatakan bahwa setiap warga negara berhak ikut dalam
pelaksanaan urusan pemerintahan, baik secara langsung maupun melalui wakil
– wakil yang dipilih secara bebas, sehingga hak politik digunakan untuk
masyarakat agar dapat ikut andil dalam pemerintahan atau memberikan suara
dengan hak suara yang telah terjamin di dalam Undang– Undang Dasar Negara
Republik Indonesia 1945 yang setara dan berlakuberlaku secara nasional.
Iklim demokrasi di Indonesia dijalankan melalui Pemilihan Umum. Jika
kita mengacu pada pasal 1 Ayat (1) Undang – Undang Nomor 7 Tahun 2017
Tentang Pemilihan Umum yang dimaksud dengan Pemilihan Umum adalah
Pemilihan Umum yang selanjutnya disebut Pemilu adalah sarana kedaulatan
rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan
Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan untuk memilih anggota
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang dilaksanakan secara langsung,
umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesiaberdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Keseluruhan hak tersebut tidak boleh dikesampingkan, karena proses
kedaulatan rakyat tidak boleh dilepaskan dari pemilihan umum yang menjadi
prinsip dasar Indonesia sebagai negara yang demokratis. Di mana masyarakat
3 Abdul Mukhtie Fadjar, Tipe Negara Hukum, (Malang: Banyumedia Intrans, 2004), h. 34.
3
wajib berpartisipasi aktif untuk menggunakan haknya dalam konstestasi
politik, untuk dipilih maupun memilih.4 Pemilu sebagai implementasi dari
kedaulatan rakyat harus di iringi dengan regulasi, ditujukan untuk menjamin
keadilan dan proporsionalitas dalam pengimplementasiannya. Semakin
regulasi tersebut membuka ruang, memberikan seluruh penentuan dan pilihan
kepada masyarakatnya, semakin pula Indonesia mendekati hakikat dari
kedaulatan rakyat itu sendiri dan sebaliknya.5
Problematika baru muncul pasca keluarnya Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 30/PUU-XVI/2018. Pasalnya, mahkamah memperluas
penafsiran terhadap pihak yang memiliki pekerjaan lain untuk menjadi
anggota Dewan Perwakilan Daerah. Dalam pertimbangan mahkamah
mengganggap, pengurus fungsionaris partai politik akan menganggu
independensi dari Dewan Perwakilan Daerah dalam menjalankan tugas, fungsi
dan wewenangnya.
Perluasan penafsiran frasa “pekerjaan lain” pada pasal 182 huruf l Undang
– Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum, yang salah satunya
menjadi pengurus fungsionaris partai politik. Dalam pertimbangannya,
mahkamah menilai eksistensi pengurus partai politik akan lebih
mementingkan kepentingan partai politik dari pada kepentingan daerah.
Namun kekeliruan terjadi, ketika mahkamah memutuskan penafsiran
demikian. Implikasinya, tidak diperbolehkannya pengurus fungsionaris partai
politik untuk mencalonkan diri sebagai calon legislatif dalam kamar Dewan
Perwakilan Daerah. Salah satu alasannya adalah untuk menjaga kemurnian
dari original intent lahirnya Dewan Perwakilan Daerah, yang ditujukan untuk
memperjuangkan kepentingan daerah itu sendiri dibidang legislasi.
Secara normatif pengaturan mengenai keanggotaan Dewan Perwakilan
Daerah di dalam pasal 22C Ayat (2) Undang-Undang Negara Republik
4 Dahlan Thaib, Implementasi Sistem Ketatanegaraan Menurut UUD 1945, (Jakarta: Liberty,
1993), h. 94.
5 Khairul Fahmi, “Prinsip Kedaulatan Rakyat Dalam Penentuan Sistem Pemilihan Umum
Anggota Legislatif”, Jurnal Konstitusi, Volume 7, Nomor 3, Juni 2010, h. 121.
4
Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa anggota Dewan Perwakilan Daerah
dari setiap provinsi jumlahnya sama dan jumlah seluruh anggota Dewan
Perwakilan Daerah tidak lebih dari sepertiga jumlah Dewan Perwakila Rakyat.
Hal tersebut membuktikan bahwa jumlah keanggotaan Dewan Perwakilan
Daerah jauh lebih rendah dibandingkan Dewan Perwakilan Rakyat yang secara
mutatis mutandis Dewan Perwakilan Daerah akan cenderung tidak dapat
secara optimal untuk memutus atau memperjuangkan kebijakan dari pada
daerah itu sendiri di dalam kamar parlemen.
Kewenangan utama Dewan Perwakilan Daerah yakni legislasi yang
tertuang didalam pasal 22D menyatakan bahwa Dewan Perwakilan Daerah
hanya berwenang untuk mengajukan Rancangan Undang-Undang kepada
Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah dapat ikut
membahas Rancangan Undang-Undang.6
Tidak seimbangnya kewenangan yang dimiliki atara Dewan Perwakilan
Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah dalammenghasilkan produk legislasi.
Pasalnya, kewenangan yang dimiliki oleh DPD tidak mampu untuk
mengeksekusi dari aspirasi yang diserapnya.Hal tersebutlahang membuat
Dewan Perwakilan Daerah hanya sebagai lembaga konsultatif dari Dewan
Perwakilan Rakyat itu sendiri.7
Dalam pertimbangan hukum, mahkamah menginginkan Dewan
Perwakilan Daerah dapat secara optimal memperjuangankan kepentingan
daerah, dengan lemahnya kewenangan Dewan Perwakilan Daerah tersebut
rekayasa konstitusional apapun yang dilakukan tanpa merubah kewenangan
Dewan Perwakilan Daerah di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia hanyalah akan sia-sia belaka.
Salah satu cara untuk menyeimbangkan kekurangan kewenangan ialah
dengan memperbolehkan pengurus fungsionaris partai politik sebagai power
6 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Depok: Rajawali Pres, 2013), h.
299.
7 Kris Nugroho, “Problematika Dewan Perwakilan Daerah: Antara Fungsi Konstitusional dan Realitas Politik”,… h. 103.
5
keanggotaan Dewan Perwakilan Daerah untuk memperjuangkan aspirasi
Daerah di atas lemahnya kewenangan yang dimiliki oleh Dewan Perwakilan
Daerah itu sendiri. Dalam hal ini, dibantu melalui latarbelakang anggota
Dewan Perwakilan Daerah yang memiliki kesamaan dengan anggota Dewan
Perwakilan Rakyat.
Putusan mahkamah telah melakukan tebang pilih dan inkonsisten dalam
melakukan pertimbangan, dengan memperluas tafsir frasa pekerjaan lain
menjadi pengurus fungsionaris partai politik sebagai salah satu pekerjaan baru
yang tidak boleh mendaftarkan dirinya sebagai anggota Dewan Perwakilan
Daerah. Artinya mahkamah masih memperbolehkan anggota dari Partai
Politik untuk mencalonkan diri mereka, sehingga upaya pemurnian dari
anggota Dewan Perwakilan Daerah itu sendiri tidak akan terwujud dengan
baik.
Sejatinya kita seharusnya menyadari bahwa partai politik merupakan pilar
utama dari Demokrasi yang bertanggung jawab atas pendidikan politik dan
penyambung lidah aspirasi setiap warga negara dengan proses – proses
penyelenggaraan pemerintahan,8 sehingga Indonesia sebagai negara hukum
yang demokratis seharusnya memperkuat serta memurnikan kelembagaan dari
pada partai politik di Indonesia. Jangan sampai menimbulkan asumsi melalui
hukum bahwa partai politik ialah buruk yang justru akan membuat minimnya
partisipasi rakyat terhadap partai politik yang membawa kelembagaan dari
pada partai politik itu sendiri semakin menjauh dari bentuk ideal mereka
sebagai sebuah partai.9
Iklim yang buruk terjadi akibat ulah oknum dalam partai politik, sehingga
tidaklah etis bahkan logis ketika kita menggeneralisir seluruh partai politik itu
buruk. Sehingga pelarangan melalui putusan mahkamah yang diskriminatif
tersebut dengan tetap memperbolehkan anggota partai politik menjadi anggota
Dewan Perwakilan Daerah sama saja akan membawa kepentingan dari partai
8 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara,… h. 414.
9 Sirajuddin, “Eksistensi Partai Politik Dalam Sistem Hukum Ketatanegaraan Di Indonesia”, Lex Administratum, Vol. IV/No. 1, h. 76.
6
politik itu sendiri. Dengan demikian, mahkamah yang semula dengan niat
mulianya untuk memurnikan Dewan Perwakilan Daerah dengan melarang
pengurus fungsionaris partai politik merupakan sebuah penafsiran yang
inkonsisten dan penerapannya hanya akan semakin melemahkan Dewan
Perwakilan Daerah yang semakin jauh pula dengan dapat memperjuangkan
aspirasi dari kepentingan daerah itu sendiri.
Karena dengan tidak adanya pengurus fungsionaris partai politik didalam
kursi Dewan Perwakilan Daerah hanya akan semakin mempersulit proses
konsolidasi antar lembaga untuk memperjuangkan kepentingan daerah itu
sendiri di atas lemahnya kewenangan yang dimiliki oleh Dewan Perwakilan
Daerah di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
Bentuk ideal dari pada partai politik ketika telah mengkiblatkan dengan
baik kepentingan partainya untuk kepentingan rakyat, sehingga optimisme
inilah yang harus di jaga dan tetap diperjuangkan dengan baik di dalam iklim
demokratisasi di Indonesia. Maka atas landasan tersebut peneliti tertarik
melakukan penelitian dengan judul “Diskursus Pengurus Fungsionaris Partai
Politik Dalam Keanggotaan Dewan Perwakilan Daerah”.
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latarbelakang masalah yang telah dijabarkan
sebelumnya, maka identifikasi masalah dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
a. Mahkamah memunculkan norma baru dalam putusannya.
b. Original intent lahirnya DPD tidak mengharuskan DPD terbebas dari
partai politik.
c. Independensi Dewan Perwakilan Daerah tidak terganggu dengan
adanya pengurus partai politik di dalam keanggotaanya.
d. Pengurus fungsionaris partai politik dalam DPD tidak akan merubah
sifat perwakilan DPD menjadi perwakilan partai.
7
e. Pengurus fungsionaris partai politik tidak masuk dalam kategori
pekerjaan lain yang dimaksud pada pasal 182 huruf I Undang –
Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum.
f. Dalam pengambilan keputusan di DPD tidak tergantung dari
latarbelakang anggotanya.
2. Pembatasan Masalah
Agar permasalahan yang peneliti bahas dan kaji tidak melebar, maka
pembahasan dalam skripsi ini dibatasi pada Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 30/PUU/-XVI/2018, terkait pelarangan pengurus
fungsionaris partai politik untuk menjadi calon anggota DPD.
3. Perumusan Masalah
Masalah utama dalam penelitian ini adalah mengapa terdapat larangan
bagi pengurus fungsionaris partai politik untuk menjadi calon anggota
Dewan Perwakilan Daerah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
30/PUU-XVI/2018. Untuk mempertegas arah pembahasan dari masalah
utama yang telah diuraikan sebelumnya, maka peneliti membuat rincian
perumusan masalah dalam bentuk pertanyaan penelitian, yaitu:
a. Bagaimana pertimbangan hakim konstitusi terhadap keberadaan
pengurus fungsionaris partai politik dalam keanggotaan DPD?
b. Bagaimana potensi konflik kepentingan pengurus fungsionaris partai
politik dalam keanggotaan DPD?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah dan pertanyaan penelitian yang
telah dipaparkan dandiuraikan di atas, maka tujuan yang hendak dicapai
oleh peneliti dalam melakukan penelitian ini adalah :
a. Untuk mengetahui pertimbangan mahkamah konstitusi atas
keberadaan pengurus fungsionaris partai politik dalam keanggotaan
DPD.
8
b. Untuk mengetahui potensi konflik kepentinganatas keberadaan
pengurus fungsionaris partai politik di dalam keanggotaan Dewan
Perwakilan Daerah.
2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis
1) Melatih kemampuan untuk melakukan penelitian secara ilmiah
dan menuliskan hasil-hasil penelitian tersebut kedalam bentuk
tulisan.
2) Menerapkan teori-teori yang diperoleh dari bangku perkuliahan
untuk di praktikan di lapangan.
3) Untuk memperoleh manfaat di bidang hukum pada umumnya
maupun bidang ketatanegaraan secara khususnya dengan
mempelajari literatur yang ada serta perkembangan hukum yang
timbul di dalam kehidupan masyarakat.
b. Manfaat Praktis
Manfaat praktis dari penelitian ini adalah menggali lebih dalam
peraturan perUndang-Undangan yang ada, serta sebagai bahan
rujukan penelitian pada masa yang akan tiba terkait urgensi
keberadaan pengurus fungsionaris partai politik dalam keanggotaan
dewan perwakilan daerah. Tujuannya adalah untuk menambah
pengetahuan serta kepekaan atas situasi dan aktifitas dalam dunia
hukum, serta perkara baru yang terjadi di tengah masyarakat yang
terkait akan hal tersebut.
D. Metode Penelitian
Penelitian hukum merupakan sebuah kegiatan ilmiah, yang di dasarkan
pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk
mempelajari satu atau beberapa gejala hukum, dengan jalan menganalisanya.
Pentingnya melakukan penelitian terhadap fakta hukum, dengan metode untuk
memunculkan solusi atas permasalahan yang timbul dalam gejala hukum.10
10 Soerjono Soekato, Pengantar Peneltian Hukum, cet 3, (Jakarta: Universitas Indonesia Press,
1986), h. 43.
9
Ada beberapa hal terkait metode yang digunakan dalam penulisan ini
antara lain :
1. Jenis Penelitian
Abdul Kadir Muhammad menyatakan, bahwa terdapat tiga jenis
penelitian hukum. Yaitu penelitian hukum normatif, penelitian hukum
normatif-empiris, dan penelitian hukum empiris. Menurutnya, perbedaan
pada fokus tiap metode pengkajian dapat kita tinjau berdasarkan pada
fokus pengkajiannya.11 Dalam kajian ini, peneliti menggunakan jenis
penelitian Normative Law Research atau penelitian hukum normatif.
Dalam pengkajiannya, peneliti menggunakan studi kasus
berupaproduk hukum normatif, yakniputusan peradilan. Sedangkan
pokok kajiannya, mengacu pada hukum positif. Sehingga penelitian ini
berfokus pada inventarisasi hukum positif, asas dan doktrin hukum,
penemuan hukum dalam perkara incraht, sistematika hukum,
singkronisasi hukum, perbandingan hukum serta sejarah hukum.12
2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian skripsi ini
adalah pendekatan dengan jenis normatif-doktriner, pendekatan normatif-
doktriner mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam
peraturan perUndang-Undangan dan putusan-putusan pengadilan serta
norma-norma hukum yang ada dalam masyarakat guna ditelaah lebih
lanjut.13
Untuk mendukung pengkajian melalui metode ini, perlu dibedah
melalui dua metode pendekatan. Yakni, Pendekatan PerUndang-
Undangan (statue approach) yakni pendekatan dengan menggunakan
legislasi dan regulasi, serta Pendekatan Konsep (conceptual approach)
11 Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Cet.1, (Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 2004), h. 52.
12 Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Cet.1,… h. 52.
13 Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, cet.2, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h. 105.
10
yang merujuk pada doktrin-doktrin hukum yang ada.14 Obyek penelitian
ini dalam bentuk putusan peradilan, yakni Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 30/PUU/-XVI/2018.
3. Data dan Bahan Penelitian
Data penelitian dan bahan penelitian yang digunakan dalam penelitan
ini, dikelompokan menjadi 3 (tiga) jenis bahan hukum, diantaranya:
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat
autoritatif, artinya hanya bersumber dari pemegang otoritas. Bahan-
bahan hukum primer terdiri atas perUndang-Undangan, catatan-
catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perUndang-Undangan
dan putusan-putusan hakim.15
Terdapat beberapa bahan hukum primer yang digunakan dalam
penelitian ini. Pertama adalah Undang Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Kedua adalah Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 30/PUU/-XVI/2018. Ketiga adalah Naskah
Komprehensif Perubahan UUD 1945. Keempat adalah Undang –
Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik. Kelima adalah
Undang – Undang Nomor 2 Tahun 2011 Perubahan atas Undang –
Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik. Keenam adalah
Undang – Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang perubahan Undang
– Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi.
Ketujuh adalah Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Kedelapan adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2
Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor
17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
14 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Ed.Revisi, (Jakarta: Kencana Prenadamedia,
2005), h. 178.
15 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Ed.Revisi,… h. 181.
11
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah. Terakhir adalah Undang–undang Nomor
7 Tahun 2017 Tentang Pemilu.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder dapat juga disebut sebagai bahan hukum
yang berasal dari literasi. Bahan hukum sekunder yang digunakan
dalam penelitian ini terdiri dari buku-buku yang berkenaan dengan
Hukum Tata Negara, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, Skripsi Hukum
Tata Negara, dan jurnal atau materi-materi hukum yang mendukung
tulisan ini.
c. Bahan non- Hukum
Merupakan bahan atau rujukan yang berupa petunjuk atau
penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan sekunder
seperti kamus hukum, ensklopedia, berita hukum, dan lain-lain.
4. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan studi
kepustakaan. Studi kepustakaan dilakukan dengan mencari referensi
untuk mendukung materi penelitian ini melalui berbagai literatur seperti
buku, bahan ajar perkuliahan, artikel, jurnal, skripsi, tesis, putusan hakim
dan Undang-Undang di berbagai perpustakaan umum serta universitas.
5. Teknik Pengelolaan dan Analisis Data
Penelitian ini menggunakan metode analisis deskriptif-kualitatif.
Analisis deskriptif-kualitatif. Data dikelola serta diklasifikasi terlebih
dahulu sesuai dengan kategori masing-masing. Data yang telah dipilih,
kemudian dihubungkan satu sama lain lalu ditafsirkan dalam usaha
mencari jawaban atas masalah penelitian.
Secara detail, tahapan yang dilakukan dalam melakukan analisis
adalah: Pertama, semua bahan hukum disusun secara sistematis, lalu
diklasifikasi menurut objek bahasanya. Kedua, dilakukanlah eksplikasi,
12
yang diuraikan dan di jelaskan objek yang diteliti berdasarkan teori.
Ketiga, bahan yang dilakukan evaluasi, yakni dinilai dengan
menggunakan ukuran ketentuan hukum maupun teori hukum yang
berlaku.
E. Pedoman Penulisan
Pedoman penulisan yang digunakan oleh peneliti dalam menyusun skripsi
ini berpacu dengan kaidah-kaidah penulisan karya ilmiah dan buku “Pedoman
Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri
Syarif HidAyatullah Jakarta Tahun 2017”.
F. Sistematika Penelitian
Sistematika penulisan skripsi ini terdiri atas lima bab yang masing-
masing terdiri dari sub bab guna memperjelas cakupan permasalahan yang
menjadi objek penelitian. Urutan bab dijabarkan sebagai berikut:
BAB -I: Merupakan Pendahuluan, pada bab ini akan diuraikan
mengenai: Latar Belakang Masalah, Identifikasi, Pembatasan
dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian,
Metode penelitian, Pedoman Penelitian dan Sistematika
Penulisan.
BAB -II: Merupakan kajian yang berisi kerangka konseptual dan
teoritik. Mengenai keselarasan antara pertimbangan dalam
Putusan Mahkamah Konstitusi dengan seluruh teori doktrin
yang terkait. Seperti teori demokrasi konstitusional dan teori
representatif.
BAB –III: Merupakan bab yang menguraikan mengenai perdebatan
bentuk parlemen Indonesia, desain konstitusional lahirnya
Dewan Perwakilan Daerah dan dinamika atas pengaturan
calon anggotanya.
BAB -IV: Merupakan bab yang berisikan analisis terhadap
pertimbangan hukum mahkamah serta pengkajian tentang
13
hakikat DPD dan Partai Politik dalam konstruksi ketanegaraan
Indonesia.
BAB -V: Merupakan bab penutup. Bab ini merupakan bagian akhir dari
seluruh kegiatan penelitian, yang berisi kesimpulan dan
rekomendasi yang diperoleh berdasarkan paparan dari bab-
bab sebelumnya.
14
BAB II
KUALIFIKASI LEMBAGA PERWAKILAN DALAM REZIM INDIRECT
DEMOCRACY
A. Kerangka Konseptual
1. Diskursus
Kata diskursus secara bahasa berarti rasionalitas, pertukaran ide atau
gagasan, penyampaian wacana pemikiran secara formal dan teratur.1 Kata
diskursus juga dikenal dalam dunia filsafat, konsep tersebut
dikembangkan oleh Michel Foucault. Definisi diskursus menurutnya
adalah sebuah sistem pemikiran serta gagasan, yang digunakan untuk
membangun budaya hingga peradaban. Diskursus berasal dari asumsi-
asumsi, kemudian diskursus menjadi ciri khas, baik dalam kelompok atau
organisasi kecil maupun dalam periode pembahasan tertentu dalam
sejarah.2 Berdasarkan definisi serta pendapat di atas, makna diskursus
yang dimaksud dalam penelitian ini adalah perdebatan.
2. Pengurus Fungsionaris Partai Politik
Penggorganisasian Partai Politik, dijalankan oleh anggota dan
pengurus fungsionaris partai. Pengurus fungsionaris partai politik yang
peneliti maksud dalam penelitian ini adalah pengurus aktif (sedang
menjabat) dalam partai politik.
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun
2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008
Tentang Partai Politik menyatakan bahwa partai politik adalah organisasi
yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara
Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita
untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota,
masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara.
1 KBBI Daring, “Diskursus”, www.kbbi.kemdikbud.go.id, diakses pada 17 Juli 2019.
2 Nicholas Abercrombie, Stephen Hill and Bryan S. Turner, The Penguin Dictionary of
Sociology, Cet.3, (London: Penguin Books, 1994), h. 119.
15
Lahirnya partai politik sebagai organisasi yang diakui secara
konstitusional dan nasional juga memiliki tujuan dan fungsi utama, hal
tersebut diatur dalam pasal 10 hingga 11 Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2008 tentang Partai Politik yang bertitik berat pada kepentingan umum
dan kepentingan nasional serta pendidikan politik kepada masyarakat
untuk meningkatkan partisipasi politik warga negaranya.
Keseluruhan dari hal tersebut tidak lain untuk meningkatkan iklim
demokratisasi di Indonesia, sehingga sangat wajar apabila partai politik
sebagai jembatan rakyat kepada pemerintahan masuk dalam setiap
lembaga pemerintah sebagai representasi dari berbagai ideologi
masyarakatnya. Sebagai konsekuensi sebagai negara demokrasi, yakni
kebebasan untuk berserikat dan berkumpul.
3. Dewan Perwakilan Daerah
Dewan Perwakilan Daerah atau yang dikenal dengan sebutan DPD
merupakan lembaga yang memperjuangkan aspirasi daerah di tingkat
pusat. Di dalam MPR, pasca amandemen ketiga, DPD membantu DPR
untuk meningkatkan kualitas pembentukan Undang-Undang.3
Secara keterwakilan, DPD berbeda dengan DPR. Keterwakilan DPR
ditujukan kepada kepentingan politik rakyat, sedangkan DPD menjadi
perwakilan dari seluruh daerah di Indonesia.4 Harapan tersebut agar
eksistensi DPD dalam tubuh MPR dapat saling melengkapi dan
menguatkan fungsi dan kewenangan DPR. Hadirnya DPD selain untuk
menyalurkan keanekaragaman aspirasi dari berbagai daerah, juga
diharapkan akan membantu serta mengoptimalkan keputusan politik
rakyat yang diputuskan oleh DPR.5
3 Denny Indrayana, "Indonesian Constitutional Reform 1999–2002: An Evaluation of
Constitution-Making in Transition", (PhD Thesis: Faculty of Law University of Melbourne, 2005),
h. 369.
4 Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD
1945, Cet.1, (Yogyakarta: FH UII Press, 2004), h. 50.
5 Tim Penyusun, Panduan Masyarakatan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2007), h. 93.
16
Senada demikian, Bagir Manan menegaskan gagasan dibalik
terbentuknya DPD. Yakni untuk mengubah sistem perwakilan menjadi
dua kamar (bicameralism) dan gagasan untuk mengikutsertakan daerah
dalam pengambilan keputusan di tingkat pusat.6 Namun, dalam segi
kewenangannya DPD terbilang sangat lemah, dibandingkan DPR.7
Perihal kewenangan legislasi DPD, hanya memiliki kewenangan
rekomendatif. Yakni, mengajukan rancangan Undang-Undang kepada
DPR.
4. Inkonsistensi
Secara bahasa, inkonsistensi berarti ketidakserasian atau
ketidaksesuaian.8 Definisi inkonsistensi yang dimaksud dalam penelitian
ini adalah tidak Konsisten.
5. Inkoherensi
Secara bahasa, inkoherensi berasal dari kata inkoheren. Yang berarti
tidak logis atau ketidaksesuaian.9 Dalam penelitian ini, yang dimaksud
dengan inkoherensi adalah pertimbangan logika yang kontradiktif.
B. Kerangka Teoritik
1. Teori Demokrasi Konstitusional
Keberhasilan dari people power atau aksi masa yang digalakkan pada
tahun 1998 melahirkan secercah harapan baru bagi seluruh rakyat
Indonesia dalam bernegara. Sebelumnya rezim diktator dengan
pemerintahan yang di jalankan menurut penguasanya menjadi mimpi
buruk dalam tidur malam seluruh masyarakat Indonesia, gerakkan
reformis kala itu berhasil mengakhiri masa kelam bernegara tersebut dan
6 Bagir Manan, DPR, DPD dan MPR Dalam UUD 1945 Baru, Cet.3, (Yogyakarta: FH UII
Press, 2005), h. 9.
7 Hernandi Affandi, “Problematika Fungsi Legislasi Dewan Perwakilan Daerah Dalam
Hegemoni Dewan Perwakilan Rakyat”, Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum, Volume 1-No.1, 2014, h.
136. 8 KBBI, “Inkonsistensi”, www.kbbi.web.id, diakses pada 23 Agustus 2019.
9 Merriam Webster, “incoherent”, www.merriam-webster.com, diakses pada 23 Agustus 2019.
17
membebaskan rakyat dari rasa takut akan negaranya sendiri. Reformasi
adalah kata yang menggambarkan peristiwa tersebut.
Sehubung dengan momentum politik yang sangat mendukung, MPR
yang masih menjadi lembaga tertinggi melakukan amandemen konstitusi
sebanyak empat kali, di mana sebelumnya, konstitusi dianggap sebagai
kitab suci yang tidak dapat diamandemen. Salah satu upaya progresif dari
amandemen terebut adalah membuat seluruh lembaga negara setara, serta
memberikan kedaulatan rakyat sepenuhnya kepada rakyat yang dijalankan
menurut konstitusi.
Mencoloknya akan perubahan tersebut membawa sistem
pemerintahan Indonesia ke arah sistem demokrasi konstitusional atau
pelaksanaan kedaulatan rakyat secara langsung, namun tetap
berlandaskan oleh sebuah konstitusi. Sehingga saat ini tidak dapat adanya
tindakan pemerintah yang mampu sewenang-wenang atau melanggar hak
asasi warga negaranya.
Istilah demokrasi konstitusional lahir dari perkawinan antar dua
sistem bernegara, yakni Demokrasi (sistem negara berasaskan
kerakyatan) dengan Negara Hukum (negara yang bersandar pada
konstitusi). Di mana demokrasi Untuk pertama kalinya demokrasi berawal
dari kata “damos” atau “damokai” yang berasal dari masyarakat pada
zaman Mycenaean Period (c. 1500 – 1200 BCE) yang tertuang di dalam
“The Linear B Script”.
Praktik ini awalnya berpusat di Mycenae dan di sekitar permukiman
Peloponnese.10 Praktik demokrasi ini berkembang di wilayah timur yang
saat ini kita kenal sebagai negara Syiria, Irak dan Iran, praktik tersebut
berkembang hingga ke India dan di wilayah bagian barat praktik
demokrasi berkembang di wilayah Byblos dan Sidon, kemudian sampai
di Athena pada abad ke-5 SM.11
10 John Keane, The Life and Death of Democracy, (London-Sydney-Newyork-Toronto: Pocket
Books, 2010), h. xi.
11 John Keane, The Life and Death of Democracy,… h. xi.
18
Meski praktik demokrasi telah ditemui pada “The Linear B. Script”,
kata demokrasi pada saat ini lebih sering diasosiasikan pada pemaknaaan
demokrasi yang berasal dari Yunani kuno terdiri dari kata “demos” yang
berarti rakyat dan “kratos” yang berarti pemerintahan, sehingga
melahirkan demokrasi sebagai bentuk pemerintahan yang berasaskan
pada kerakyatan sebagai dasar acuannya.
Definisi tersebut secara kongkrit pertama kali diutarakan oleh Daniel
Webster pada tahun 1833 dengan pernyataan “a people’s government,
made for the people, made by the people, and answerable to the people,12
Definisi yang serupa juga diutarakan oleh Abraham Lincoln dalam pidato
19 November 1863 di Gettysburg, Pennsylvania dengan membentuk
redaksi yang lebih sederhana menjadi “government of the people, by the
people, forthe people”.13 Berangkat dari acuan tersebutlah perkembangan
demokrasi menjadi suatu hal yang popular dalam negara modern saat ini
karena dalam sistem pemerintahannya secara fiosofis rakyat menduduki
derajat tertinggi dalam suatu negara.
Dalam mengoptimalisasi penerapan dari sistem demokrasi, keadilan
serta moral publik perlu kiranya bagi negara untuk menyediakan beberapa
komoditas utama dalam penyelenggaraan demokrasi sebagai guarantee
mechanism. Yakni,14 adanya sistem pemilihan umum untuk menentukan
penyelenggara pemerintahan, yang harus dilakukan secara bebas dan adil.
Selanjutnya harus adanya partisipasi aktif dari masyarakat dalam
penyelenggaraan pemerintahan. Serta Negara wajib menjamin hak warga
negaranya, melalui supremasi hukum. Hal tersebut ditujukan untuk
mencapai kesetaraan bagi setiap individu rakyatnya.
Konsepsi demokrasi pada intinya berupaya secara optimal untuk
melindungi hak asasi masyarakatnya yang dilakukan melalui hukum,
12 Arend Lijphart, Pattern of Democracy: Government Forms and Performance in Thirty-Six
Countries, (New Haven & London: Yale University Press, 2012), h. 1.
13 Abraham Lincoln, The Gettysburg Address, (England: Penguin Books, 2009), h. 116.
14 Larry Diamond, In Search of Democracy, (London: Routledge, 2016), h. 3-4.
19
karena penegakkan hukum dan hak asasi manusia akan menghasilkan
suatu kondisi pemerintahan yang optimal dengan tidak mendzalimi
rakyatnya.15
Jika bandingkan dengan negara hukum, jika ditinjau pada negara
europ continent biasa dikenal dengan istilah “recthstaat” atau apabila
dalam negara anglo saxon biasa di kenal sebagai “rule of law”.16 Ciri
utama dari negara hukum ialah dalam penyelenggaraan pemerintahan
dalam sebuah negara mengedepankan hukum sebagai ujung tombak dari
penyelenggaraan sebuah negara.17 Hal ini ditujukan untuk menghindari
kekuasaan pemerintahan yang terlalu dominan sehingga cenderung
disalahgunakan.
Gagasan negara hukum pada awalnya terbentuk sebagai jawaban atas
peristiwa Glorious Revolution pada tahun 1688 di Inggris yang ditujukan
untuk merespon sikap kerajaan yang di nilai terlalu absolut.18 Konsep
negara hukum ini sekaligus sebagai bentuk penolakan rakyat terhadap
konsep pemerintahan yang tirani atau selalu melakukan penindasan
terhadap rakyatnya, hal tersebut terjadi dikarenakan pemerintahan dalam
menjalankan kewenangannya tidak memiliki batas atas kekuasaaanya
Bermula dari pendapat yang dikemukakan oleh Immanuel Kant yang
mendefinisikan Negara Hukum adalah Negara Hukum Formal (Negara
berada dalam keadaan statis). Sedangkan pendapat lainnnya berasal dari
F.J. Stahl, seorang ahli hukum dari Eropa Kontinental yang memberikan
ciri-ciri Negara hukum (rechtstaat), yakni wajibnya terdapat pengakuan
15 Todd Landman, "Democracy and Human Rights: Concepts, Measures, and
Relationships", Politics and Governance, 6 (1): 2018, h. 48.
16 Philipus M.Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat- Sebuah Studi Tentang
Prinsipprinsipnya, Penanganannya Oleh Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum Dan
Pembentukan Peradilan Administrasi Negara, (Surabaya: Bina Ilmu, 1987), h. 30.
17 Bahder Johan Nasution, Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia, (Bandung: Mandar Maju,
2013), h. 1.
18 Jimly Assihiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, (Jakarta: Sekretariat
Jendral dan Kepaniteraan MK RI, 2006), h. 87.
20
terhadap hak asasi manusia, harus adanya pemisahan kekuasaan lembaga
Negara, pelaksanaan pemerintahan harus berlandaskan pada Undang-
Undang dan adanya peradilan administrasi.19
Konsepsi Negara Hukum yang dilkemukakan oleh F.J. Stahl
kemudian dikaji kembali oleh International Commision of Jurist pada
Konferensi yang diselenggarakan di Bangkok pada tahun 1965, sehingga
lahirlah beberapa kriteria baru. Yaitu, adanya perlindungan
konstitusional, dari hadirnya hak asasi di dalam konstitusi, hingga
prosedur untuk memperoleh perlindungan atas hak tersebut. Selanjutnya,
harus memiliki badan peradilan yang merdeka dan independen. Serta
dalam menentukan penyelenggara pemerintahan, diadakannya pemiliha
umum yang bebas. Dijaminnya hak untuk bebas menyatakan berpendapat
dan berserikat/berorganisasi dan menempati posisi atas serikat tersebut.
Serta setiap warga mendapat pendidikan kewarganegaraan.20
Perkawinan dari dua sistem besar tersebutlah yang kini membawa
Indonesia dalam era demokrasi konstitusional, di mana tidak adanya
pemimpin yang dapat secara tirani merampas hak rakyat serta tidak
adanya kebebasan yang diberikan kepada rakyat secara sebebas-
bebasnya.21 Karena sistem demokrasi kontitusional merupakan anti-tesa
dari absolutisme itu sendiri, hal tersebut dikarenakan karakteristik dari
sistem demokrasi konstitusional yang menutup celah demikian.22
Karakteristik dari demokrasi konstitusional terdiri dari beberapa
aspek.Pertama, Popular Sovereignty, yaitu hukum yang berpedoman pada
kedaulatan rakyat. Kedua, Majority Rule and Minority Right, yaitu
19 Fatkhurrohman, Dian Aminudin dan Sirajudin, Memahami Keberadaan Mahkamah
Konstitusi di Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004), h. 1.
20 Fatkhurrohman, Dian Aminudin dan Sirajudin, Memahami Keberadaan Mahkamah
Konstitusi di Indonesia,… h. 1.
21 Charles N. Quigley, “Constitutional Democracy”, www.civiced.org, diakses pada 22 Juni
2019.
22 Charles N. Quigley, “Constitutional Democracy”,…
21
membuat kebijakan berdasarkan pada aspirasi mayoritas, namun tetap
memperhatikan hak individu bagi semua pihak. Ketiga, Limited
Governmentatau pemerintahan terbatas. Pemerintahan yang tunduk pada
konstitusi, baik yang tertulis maupun tidak. Keempat, Institutional and
Procedural Limitation on Powers atau adanya badan pengawas untuk
setiap lembaga negara serta limitasi kewenangan bagi institusi negara.23
Limitasi kewenangan institusi negara dilakukan dengan beberapa
cara. Pertama, Seperated and Share Power atau penyebaran kekuasan
kepada beberapa cabang pemerintahan. Seperti, lembaga eksekutif,
legislatif dan yudikatif. Kedua, Chekcs and Balances, yaitu kedudukan
yang seimbang bagi tiap lembaga negara, serta harus dilengkapi
kewenangan untuk mengawasi lembaga lain. Seperti, kewenangan
judicial review yang dilekatkan pada lembaga peradilan. Ketiga, Due
Process of Law atau perlindungan dan penegakkan hukum yang adil, serta
hak untuk hidup, merdeka dan memiliki harta benda terproteksi oleh
hukum. Keempat, Leadership Succession Through Elections, yakni
pejabat pemerintah yang dipilih melalui pemilihan umum secara periodik,
dan masa transisi pemerintahan berlangsung secara damai.24
Konsepsi demokrasi konstitusional, dinilai sebagai puncak
keseimbangan dari berbagai gagasan demokrasi dewasa ini. Jimly
Asshiddiqie berpendapat, bahwa demokrasi konstitusional merupakan
keutuhan dari gagasan, prinsip, nilai, serta perilaku yang berdasarkan
konstitusi.25 Suatu entitas pemerintahan yang demokratis, dengan
kekuasaan pemerintahan yang terbatas dan tidak berhak untuk mendzalimi
rakyatnya.26
23 Charles N. Quigley, “Constitutional Democracy”,…
24 Charles N. Quigley, “Constitutional Democracy”,…
25 Jimly Assihiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, (Jakarta: Konstitusi
Press, 2005), h. 243.
26 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Cet. 4, (Jakarta: Gramedia Pustaka, 2008),
h. 23.
22
2. Teori Representatif
Partisipasi rakyat yang menjadi ikon paling mencolok dalam negara
demokrasi, telah mengalami beberapa perkembangan. Saat ini rakyat
sudah tidak mungkin lagi untuk seluruhnya berkumpul pada suatu waktu
dan tempat untuk menentukan piliha mereka, hal tersebut merupakan
demokrasi tradisional yang hanya mungkin terjadi pada negara yang
memiliki jumlah rakyat dan wilayah yang tidak besar.27
Dalam demokrasi modern, kita mengenal istilah demokrasi
perwakilan yakni kedaulatan tertinggi tetap diberikan kepada rakyat,
namun dillaksanakan melalui wakil mereka yang dipilih secara langsung
oleh rakyat dalam pemilihan umum.28 Sistem demokrasi perwakilan
dinilai dapat menjadi sistem yang berlaku pada kurun waktu yang lama.29
Implementasi dari demokrasi perwakilan,tentu memiliki perubahan
serta perkembangan pada praktiknya. Terutama, pada klasifikasi sikap
wakil rakyat terhadap konstituennya. Menurut Gilbert Abcarian, terdapat
empat klasifikasi relasi antara wakil rakyat dan konstituennya.30 Pertama,
relasi dengan bentuk trustee, atau sikap wakil rakyat yang diaggap telah
dipercaya oleh rakyat, sehingga bebas memproduksi kebijakan tanpa
konsultasi pada konstituennya terlebih dahulu.31
Kedua, relasi dengan bentuk delegate. Dalam melaksanakan
tugasnnya, wakil rakyat seperti menjadi rakyat dalam pemerintahan.
Dalam arti lain, wakil rakyat selalu melakukan sesuatu yang dimandatkan
konstituen kepadanya. Ketiga, relasi dengan bentuk politico. Relasi ini
27 Mac Iver, The Modern State, First Edition, (London: Oxford University Press, 1955), h. 313.
28 Moh. Mahfud MD, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, (Jakarta: Rineka CIpta,
2001), h. 240.
29 Destutt de Tracy, A Commentary and Review of Montesque’s Spirit of Law, (Philadelpia:
William Duane, 1811), h. 19, dikutip dalam Adriene Koch, The Philosophy of Thomas Jefferson,
(Chicago, 1964), h. 152-153.
30 Abu Dauh Busroh, Ilmu Negara, (Jakarta: PT.Bumi Aksara, 2008), h. 143.
31 Abu Dauh Busroh, Ilmu Negara,… h. 143.
23
merupakan gabungan dari dua tipe sebelumnya, terkadang wakil rakyat
bertindak sebagai delegate, terkadang sebagai trustee.Keempat, relasi
dalam bentuk partisan. Wakil rakyat sebagai loyalis partai, ia cenderung
mendengarkan arahan partai pengusungnya, daripada konstituennnya.32
Pandangan lainjuga diutarakan oleh Googerwerf, menurutnya
terdapat lima jenis relasi antara wakil rakyat dan konstituen yang
diwakilinya.33 Pertama, relasi dengan jenis delegate. Saat menjabat, wakil
rakyat bertindak berdasarkan arahan pemodal atau pengusaha. Kedua,
relasi dengan jenis trustee. Wakil rakyat telah mendapat persetujuan
penuh dari konstituen, untuk bertindak berdasarkan pertimbangannya
sendiri.34
Ketiga, relasi dengan jenis politicas. Relasi jenis ini merupakan
campuran dari delegate dan trustee. Keempat, relasi dengan jenis
Kesatuan. Angota lembaga perwakilan dianggap sebagai perwakilan dari
seluruh rakyat. Kelima, relasi dengan jenis Diversifikasi. Wakil rakyat
dipandang sebagai wakil dari territorial, golongan atau kelompok sosial
tertentu.35
C. Tinjauan Kajian Terdahulu
Dalam penelitian skripsi ini peneliti merujuk kepada berbagai penelitian
lainnya, yang terdiri dari buku maupun jurnal terdahulu. Penelitian ini juga
memiliki kesamaan konteks pembahasan dengan penelitian lain, namun
perbedaan yang mendasar berada pada permasalahan penelitian, perbedaan
permasalahan tersebut dapat berarti perbedaan sudut pandang hingga
kesimpulan.
32 Abu Dauh Busroh, Ilmu Negara,… h. 143.
33 Bintan R Saragih dan Moh. Kusnadi, Ilmu Negara, Edisi Revisi, Cetakan Keempat, (Jakarta:
Gaya Media Pratama, 2000), h. 189.
34 Bintan R Saragih dan Moh. Kusnadi, Ilmu Negara, Edisi Revisi, Cetakan Keempat,… h.
189.
35 Bintan R Saragih dan Moh. Kusnadi, Ilmu Negara, Edisi Revisi, Cetakan Keempat,… h.
189.
24
Buku, Janedjri M. Gaffar, Dewan Perwakilan Daerah Dalam Sistem
Ketatanegaraan Republik Indonesia, Sekretariat Jenderal MPR RI dan UNDP,
2003.36 Buku ini membahas terkait fungsi dan keanggotaan secara
konstitusional dan secara peraturan perUndang-Undangan secara garis besar,
yang menjadi perbedaan buku ini dengan penelitian yang peneliti lakukan
adalah pembahasan yang spesifik terkait problematika keberadaan pengurus
fungsionaris partai politik di dalam keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat
pasca terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU/-XVI/2018
yang melarang secara tegas untuk pengurus fungsionaris partai politik dalam
keanggotaan Dewan Perwakilan Daerah.
Jurnal, Kris Nugroho, Problematika Dewan Perwakilan Daerah: Antara
Fungsi Konstitusional dan Realitas Politik, Jurnal Masyarakat,
Kebudayaandan Politik/Vol.20 /No.2, 2007.37 Kajian tersebut membahas
kesenjangan antara praktik dari fungsi Dewan Perwakilan Rakyat berdasarkan
peraturan perUndang-Undangan akibat dari keanggotaannya yang masih
berasal dari partai politik. Perbedaan yang substansial dalam penelitian ini
dengan kajian yang peneliti lakukan, ialah pembahasan yang spesifik terkait
promblematika keberadaan pengurus fungsionaris partai politik di dalam
keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat pasca terbitnya Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 30/PUU/-XVI/2018 yang melarang secara tegas untuk
pengurus fungsionaris partai politik dalam keanggotaan Dewan Perwakilan
Daerah.
Skripsi, Grimaldi Anugrah Putranto, Problematika Pengaturan
Keanggotaan Dewan Perwakilan Daerah Dari Kader dan Pengurus Partai
Politik, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 2018.38
36 Janedjri M. Gaffar, Dewan Perwakilan Daerah Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik
Indonesia, (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI dan UNDP, 2003), h. v.
37 Kris Nugroho, “Problematika Dewan Perwakilan Daerah: Antara Fungsi Konstitusional dan
Realitas Politik”, Jurnal Masyarakat, Kebudayaandan Politik/Vol.20 /No.2, 2007, h. 103.
38 Grimaldi Anugrah Putranto, “Problematika Pengaturan Keanggotaan Dewan Perwakilan
Daerah Dari Kader dan Pengurus Partai Politik”, (Yogyakarta: Skripsi-S1 Fakultas Hukum
Universitas Islam Indonesia, 2018), h. v.
25
Penelitian ini menganalisis keberadaan pengurus dan anggota partai politik di
dalam keanggotaan Dewan Perwakilan Daerah. Dampaknya kepada buruknya
kinerja Dewan Perwakilan Rakyat itu sendiri, penelitian ini dibuat sebelum
adanya putusan Mahkamah Konstitusia quo, yang menjadi objek penelitian
ini. Perbedaan dengan penelitian ini adalah kajian yang peliti lakukan adalah
membahas tentang permasalahan keberadaan pengurus fungsionaris partai
politik dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU/-XVI/2018 yang
melarang pengurus fungsionaris partai politik dalam keanggotaan DPD.
26
BAB III
DESAIN KONSTITUSIONAL DEWAN PERWAKILAN DAERAH
REPUBLIK INDONESIA
A. Perdebatan Desain Parlemen Indonesia
Perkembangan zaman menuju modern democracy, membawa kita pada
perkembangan sistem pemerintahan pula, salah satunya perkembangan pada
lembaga parlemen. Secara bahasa, parlemen berasal dari berbagai bahasa.
“Parler”, merupakan pengistilahan parlemen dalam bahasa Perancis.
Sedangkan dalam bahasa latin, parlemen biasa dikenal dengan istilah
“parliamentum”. Keseluruhan istilah tersebut tetap mengacu pada makna yang
sama untuk penyebutan istilah parlemen, yakni suatu lembaga untuk
bermuaranya seluruh aspirasi rakyat yang disampaikan melalui para wakilnya.1
Dalam perkembangannya, bentuk parlemen mengalami beberapa bentuk
perubahan. Terdapat negara yang menggunakan sistem parlemen satu kamar
(unicameral), serta dua kamar (bicameral) atau lebih.2 Pengaturan mengenai
bentuk parlemen yang dianur sebuah negara, tecermin dari pengaturan dalam
konstitusi negaranya.3
Dalam penentuan bentuk parlemen, tidak semata-mata bergantung pada
bentuk negara terkait.4 Dalam implementasinya, penentuan bentuk parlemen
dipengaruhi oleh beberapa faktor. Diantaranya, faktor politik, sosial, ekonomi,
budaya dan faktor lainnya. 5
1 Muchammad Ali Syafa'at, Parlemen Bikameral, Studi Perbandingan di Amerika Serikat,
Perancis, Belanda, Inggris, Austria, dan Indonesia, Cetakan Pertama, (Malang: Universitas
Brawijaya Press, 2010), h. 24.
2 Widayati, “Sistem Parlemen Berdasarkan Konstitusi Indonesia”, MMH, Jilid 4 No.4,
Oktober 2015, h. 416.
3 Laode Ida, Menegaskan Posisi Dewan Perwakilan Daerah, dalam Gagasan Amandemen
UUD 1945 Suatu Rekomendasi, (Jakarta: Komisi Hukum Nasional RI, 2008), h. 260.
4 Widayati, “Sistem Parlemen Berdasarkan Konstitusi Indonesia”,… h. 416.
5 Dahlan Thaib, “Menuju Parlemen Bikameral (Studi Konstitusional Perubahan Ketiga UUD
1945)”, Pidato Pengukuhan dalam Jabatan Guru Besar Madya dalam Hukum Tata Negara
Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, tanggal 4 Mei 2002, h. 20.
27
Bentuk parlemen unicameral atau parlemen satu kamar, biasanya dianut
oleh negara yang memiliki masyarakat yang tidak banyak serta cenderung
homogen.6 Kelebihan sistem parlemen ini adalah singkatnya waktu
memproduksi regulasi (sedikit perbedaan pendapat), memiliki tanggungjawab
yang lebih besar, anggota yang terpilih tidaklah banyak serta hemat biaya bagi
penyelenggaraan pemilihannya.7
Berbeda dengan bentuk parlemen bicameral, sistem ini memiki bentuk
perwakilan dua kamar. Dengan kamar tinggi dan rendah, perbedaan tersebut
mengacu pada fungsi perwakilannya. Pada umumnya kamar tinggi mewakili
representasi fungsional, sedangka kamar rendah mewakili kepentingan rakyat.8
Gagasan parlemen dua kamar, dinilai menjadi anti-tesa terhadap parlemen satu
kamar. Pasalnya, keabsolutan pada sistem satu kamar dinilai membuka ruang
akan penyalah gunaan kewenangan dan mudah terpengaruh oleh kondisi geo-
politik pada masa pemerintahannya.9
Terdapat tiga tuntutan negara menggunakan sistem parlemen
ini.10Pertama, gagalnya partai politik untuk mengartikulasikan kepentingan
rakyat. Kedua, lembaga perwakilan perlu mencerminkan perwakilan rakyat,
wilayah serta wakil politik. Ketiga, luasnya negara serta heterogennya rakyat
membutuhkan wakil yang merepresentasika mereka.
Lebih dari itu, spesifikasi dari tuntutan tersebut bermuara pada dua hal.
Yakni, tuntutan pada variasi keterwakilan yang tidak hanya didomoniasi oleh
partai politik dan tuntuntan adanya redundancy, atau pembahasan kebijakan
publik secara berlapis, ditujukan untuk terciptanya check and balances dalam
lembaga parlemen, upaya tersebut diharapkan untuk mengobjektifikasi produk
6 Widayati, “Sistem Parlemen Berdasarkan Konstitusi Indonesia”,… h. 417.
7 Widayati, “Sistem Parlemen Berdasarkan Konstitusi Indonesia”,… h. 417.
8 Widayati, “Sistem Parlemen Berdasarkan Konstitusi Indonesia”,… h. 417.
9 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Cet.9, (Jakarta: Gramedia, 1985), h. 180.
10 Djatmiko Anom Husodo, Dewan Perwakilan Daerah Dan Masa Depan Bikameralisme
Indonesia, Dalam Gagasan Amandemen UUD 1945 Suatu Rekomendasi, (Jakarta: Komisi Hukum
Nasional RI, 2008), h. 250.
28
kebijakan agar tidak cacat formil atau terproduksinya regulasi yang tidak
mencerminkan aspirasi rakyat.11 12
Dalam konteks ke Indonesiaan, Indonesia telah mengalami pencarian
panjang terhadap bentuk ideal parlemennya. Pada awal kemerdekaan,
Indonesia memiliki bentuk parlemen unicameral. Menurut Jimly Asshiddiqie,
cerminan tersebut muncul dari proses kedaulatan rakyat yang sepenuhnya
dilaksanakan menurut MPR, dan MPR menjadi lembaga tertinggi kala itu.13
Perubahan bentuk negara terjadi pada tahun 1949-1950, di mana Indonesia
berubah menjai Republik Indonesia Serikat (RIS). Berubahnya bentuk negara
berbanding lurus dengan berubahnnya bentuk konstitusi. Dalam Konstitusi
RIS, terjadi pula perubahan bentuk perlemennya. Dalam Pasal 1 Ayat (2)
Konstitusi RIS menyatakan:
“Kekuasaan kedaulatan Republik Indonesia Serikat dilakukan oleh pemerintah
bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat dan Senat.”
Dari bunyi Pasal tersebut, kita dapat melihat perubahan pada parlemen
Indonesia menjadi bicameral.Sebelumnya, bentuk kekuasaan tertingi dipegang
oleh MPR. Sebagai rumah rakyat, lembaga yang dianggap sebagai jelmaan dari
seluruh rakyat. Pasca perubahan , terdapatnya kamar DPR dan Senat yang
berdaulat untuk menjalankan roda pemerintahan.14
Perubahan kembali terjadi pada tahun 1950-1959, berlakunya UUDS 1950
merubah seluruh bentuk negara sebelumnya. Kembalinya Indonesia menjadi
negara kesatuan, juga merubah bentuk dari parlemen Indonesia kala itu.
Parlemen satu kamar adalah pilihannya (unicameral). Namun tidak
11 Djatmiko Anom Husodo, Dewan Perwakilan Daerah Dan Masa Depan Bikameralisme
Indonesia, Dalam gagasan Amandemen UUD 1945 Suatu Rekomendasi,… h. 252.
12 Dahlan Thaib, “Menuju Parlemen Bikameral (Studi Konstitusional Perubahan Ketiga UUD
1945)”,… h. 9.
13 Jimly Asshiddiqqie, Menuju Parlemen Dua Kamar, dalam Muchammad Ali Syafa'at,
Parlemen Bikameral, Studi Perbandingan di Amerika Serikat, Perancis, Belanda, Inggris, Austria,
dan Indonesia,… h. 88 dalam Widayati, “Sistem Parlemen Berdasarkan Konstitusi Indonesia”,…
h. 420.
14 Widayati, “Sistem Parlemen Berdasarkan Konstitusi Indonesia”,… h. 421.
29
dilaksanakan oleh MPR, melainkan oleh DPR, hal tersebut berdasar pada Pasal
44 UUDS 1950.15
Jelang 9 tahun keberlangsungan UUDS 1950, konstitusi Indonesia kembali
mengalami perubahan. Terbitnya Dekrit Presiden 1959, mengembalikan
eksistensi dari UUD 1945. Kebijakan tersebut disusul dengan terbitnya
Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1959, penetapan tersebut menetapkan
sistem perwakilan menjadi sistem MPR. Menurut Eddy Purnama, keadaan
demikian tidak dapat dikategorikan sebagai bentuk parlemen bicameral
maupun unicameral. Karena, MPR dan DPR memiliki kedudukan yang
hierarkis dan kewenangan yang terpisah.16
Keberlakuan sistem tersebut berakhir pada tahun 2004, dimana telah
disahkannya UUD NRI 1945 hasil amandemen sebanyak empat kali. Dalam
perubahannya, kembali menjadikan parlemen menjadi objek amandemen.
Dengan menjadikan seluruh lembaga negara setara, serta munculnya lembaga
perwakilan baru yakni DPD, memunculkan perbedaan pendapat dikalangan
para ahli. Dikarenakan lembaga perwakilan saat ini menjadi tiga kamar, yakni
MPR, DPR dan DPD yang masing-masing memiliki kewenangan dan anggota
yang berbeda pula.
Sistem parlemen bicameral menurut Ni’matul Huda, menekankan pada
lembaga yang menjadi unsur parlemen, bukan anggota. Dalam konteks
keindonesiaan, yakni berdirinya lembaga DPR dan DPD. Sama seperti
Congress Amerika serikat, yang terdiri dari Senate dan House of
Representative. Berbeda halnya apabila keanggotaanlah yang menjadi unsur
kelembagaan, maka MPR dapat menjadi subjek tersendiri (berdiri setara
dengan DPR dan DPD) dalam parlemen Indonesia.17
15 Widayati, “Sistem Parlemen Berdasarkan Konstitusi Indonesia”,… h. 421.
16 Eddy Purnama, Negara Kedaulatan Rakyat, Analisis Terhadap Sistem Pemerintahan
Indonesia dan Perbandingannya dengan Negara-Negara Lain, (Bandung: Nusamedia, 2007, h. 195
dalam Widayati, “Sistem Parlemen Berdasarkan Konstitusi Indonesia”,… h. 422.
17 Ni’matul Huda, Lembaga Negara Dalam Masa Transisi Demokrasi, (Yogyakarta: UII
Press, 2007), h. 99.
30
Menyoal pada sudut padang yang berbeda, Bagir Manan menyoroti sistem
parlemen Indonesia dari sisi kewenangannya. Perbedaan kewenangan yang
sangat signifikan antar masing-masing lembaga, membawa argumentasi Bagir
Manan pada parlemen tiga kamar. Yakni, MPR, DPR dan DPD. Dalam arti
lain, pasca amandemen konstitusi, Indonesia menghadirkan sistem parlemen
tiga kamar atau tricameral.18
Perspektif yang hampir serupa juga diutarakan oleh Jimly Asshiddiqie,
menurutnya Indonesia menganut sistem tricameral. Ia menambahkan, sistem
parlemen tricameral tidak pernah dianut oleh negara manapun, kecuali di
Indonesia. Argumentasi tersebut dilandasi pada terdapatnya tiga kamar
perwakilan yang memiliki functie yang berbeda satu dengan yang lainnya.
Bahkan menurutnya, keberadaan MPR sebagai auxiliary organ atau forum
tersendiri diluar fungsi DPR dan DPD untuk mengambil keputusan.19
Widayati menyatakan perbedaan pendapat yang mendasar pula,
menurutnya parlemen Indonesia tidak mencerminkan bicameral dalam MPR,
apalagi tricameral. Pasalnya, setelah Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan
Perwakilan Rakyat menyatu menjadi anggota Majelis Permusyawaratan
Rakyat, identitas merekamenjadi MPR. Tidak adanya dikotomi kelembagaan
lagi yang muncul dalam MPR, semuanya telah melebur menjadi satu, yakni
MPR.20
Pandangan peneliti, dalam kontruksi parlemen yang seperti ini, kita tidak
dapat mengkultuskan satu bentuk penilaian terhadap sistem lembaga
perwakilan yang dianut oleh Indonesia. Melainkan, keseluruhan bentuk
parlemen tersebut dapat terjadi di Indonesia, namun dalam waktu dan keadaan
yang berbeda. Seperti unicameral, Indonesia menganut unicameralism ketika
DPR dan DPD sedang melebur dalam MPR. Sedangkan bicameralism, dapat
18 Bagir Manan, DPR, DPD dan MPR dalam Undang Undang Dasar 1945 Baru, (Yogyakarta:
FH UII Press, 2003), h. 55.
19 Jimly Asshiddiqie, Perkembangan Dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,
(Jakarta: Sekretarian Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), h. 45-46.
20 Widayati, “Sistem Parlemen Berdasarkan Konstitusi Indonesia”,… h. 422-423.
31
terjadi ketika DPR dan DPD sedang mewakilkan rakyat serta membahas
produk Undang-Undang. Dan tricameralisme, secara konstitusional Indonesia
menganut sistem tiga kamar, karena memiliki kewenangan, kedudukan
lembaga serta anggota yang berbeda satu dengan yang lain.
B. Kedudukan Dewan Perwakilan Daerah
Dalam sidang kedua BPUPKI, Muhammad Yamin mengutarakan bahwa
dalam UUD yang akan kita susun nanti, harus terdapat Majelis
Permusyawaratan untuk seluruh rakyat yang berdiri diatas Kepala Negara dan
Wakil Kepala Negara, yang menjadi pemegang kekuasaan tertinggi dalam
Republik Indonesia merdeka. Komposisi anggota yang akan mengisi Majelis
Permusyawaratan harus mencerminkan perwakilan dari seluruh rakyat, yang
terdiri dari wakil-wakil daerah, wakil golongan, dan anggota Dewan
Perwakilan Rakyat. Sebagai jelmaan dari seluruh rakyat, maka Presiden
sekalipun harus bertanggung jawab kepada Majelis ini.21
Pada tanggal 13 Juli 1945, gagasan demikian cukup mendapat perhatian.
Pasalnya, pemerintahan berdasarkan rakyat sedang menjadi bentuk ideologi
yang dianggap solutif kala itu. Rapat Panitia Perancang Undang-Undang Dasar
menghasilkan sebuah Rancangan Undang-Undang Dasar yang mengakomodir
bentuk MPR gagasan Muh.Yamin.22
Pasca kemerdekaan Indonesia, UUD Tahun 1945 berlaku secara nasional.
Namun MPR belum terbentuk secara langsung, berdasarkan Maklumat Wakil
Presiden Nomor X (eks) tanggal 16 Oktober 1945, yang menyatakan bahwa:
“Bahwa Komite Nasional Indonesia Pusat, sebelum terbentuknya Majelis
Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat diserahi kekuasaan
legislatif dan ikut menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara, serta pekerjaan
Komite Nasional Indonesia Pusat sehari-hari berhubung dengan gentingnya
keadaan dijalankan oleh sebuah Badan Pekerja yang dipilih di antara mereka
dan yang bertanggung jawab kepada Komite Nasional Indonesia Pusat”.
21 Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI) Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), 28 Mei 1945-22 Agustus
1945,(Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1998), h. 201-202.
22 Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI) Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI),… h. 249-252.
32
Setelah berlakunya UUD Tahun 1945, hadirnya KNIP merupakan zigot dari
eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Perjalanan sejarah Indonesia membawa kita pada transisi konstitusi dari
UUD Tahun 1945 menuju Konstitusi RIS 1949, sampai saat itu MPR belum
juga terbentuk. Dalam konstitusi RIS, MPR tidak terkonfigurasi di dalamnya,
tetapi Konstituante (Sidang Pembuat Konstitusi) menggantikanya.
Konstituante bertugas untuk bersama dengan pemerintah untuk segera
memprduksi konstitusi untuk menggantikan konstitusi sementara ini
(Konstitusi RIS).
Belum efektif pelaksanaan dari Konstitusi RIS, pada tahun 1950 lahirlah
UUDS 1950 sebagai penggantinya. Di dalamnya kembali tidak mengenal
keberadaan dari MPR, namun di dalamnya yang dimaksud sebagai alat
kelengkapan negara, tertuang dalam Pasal 44 Undang Undang Dasar
Sementara 1950 adalah: Presiden dan Wakil Presiden, Menteri-menteri, Dewan
Perwakilan Rakyat, Mahkamah Agung, dan Dewan Pengawas Keuangan.
Sebagai pengganti MPR, Konstituante tetap eksis pada UUDS 1950.
Namun secara konstitusional, fungsi dari Konstituante terpisah dari fungsi
legislatif fungsi legislatif biasanya berfungsi untuk membentuk Undang-
Undang yang biasa.23 Karenanya, Konstituante kala itu hanya dilekatkan
kewenangan untuk memproduksi Undang Undang Dasar sebagai dasar Negara
Indonesia.
Keberlakuan UUDS 1950 tak semanis harapan para pembentuknya,
ditambah Konstituante yang telah gagal untuk membentuk UUD baru. Pada
tahun 1959 Konstituante di bubarkan melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang
berbunyi:
“menetapkan pembubaran Konstituante, menetapkan UndangUndang Dasar
1945 berlaku lagi, pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara
yang terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat ditambah dengan
utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan serta pembentukan
23 Jimly Asshiddiqie, “Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Serpihan Pemikiran
Hukum”, Media dan HAM, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia, 2006), h. 19.
33
Dewan Pertimbangan Agung Sementara, akan diselenggarakan dalam waktu
yang sesingkatsingkatnya.“
Bentuk tindak lanjut atas terbitnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, terbitnya
Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1959 sebagai dasar hukum bagi
terbentuknya MPRS, yang anggotanya berasal dari anggota DPR Gotong
Royong ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah (Daerah Swatantra
Tingkat I) dan golongan-golongan (Golongan Karya). Untuk pengangkatan
anggota MPRS yang berasal dari Utusan Derah, DPRD mengajukan calon-
calon kepada Presiden dalam jumlah sebanyak-banyaknya dua kali jatah yang
ditentukan untuk daerah itu. Bila belum ada DPRD, maka Kepala Daerah
Tingkat I mengajukan calon-calon itu dengan memperhatikan pertimbangan
instansinstansi sipil dan militer, organisasi-organisasi rakyat dan tokoh-tokoh
di daerahnya.24
MPRS dengan fungsi dan kedudukan yang demikian tidak bertahan lama.
Lahirnya Supersemar 1966 sebagai tanda berakhirnya rezim orde lama. Salah
satu dampaknya adalah perubahan terhadap MPRS itu sendiri, marwah MPRS
dikembalikan kepada Konstitusi, sebagai pelaksana penuh atas kedaulatan
rakyat.25 Keanggotaan MPR pada masa itu dapat berasal melalui tiga metode
pengisian, yakni melalui Pemilihan Umum, Pemilihan Bertingkat dan melalui
Pengangkatan/Penunjukan.26 Untuk metode pengisian anggota MPR melalui
pemilu dilakukan untuk mengisi sebagian kursi di DPR, namun hanya untuk
keanggotaan yang berasal dari organisasi peserta pemilu, karena ada sebagian
anggota DPR yang pengisiannya dengan cara pengangkatan.
Pada metode pengisian melalui pemilihan bertingkat dilakukan untuk
mengisi sebagian anggota MPR yang berasal dari Utusan Daerah. Anggota
MPR yang berasal dari Utusan Daerah dipilih oleh DPRD Tingkat I, sedangkan
24 Ismail Suny, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, (Jakarta: Aksara Baru, 1977), h. 228.
25 Widayati, “Rekonstruksi Kelembagaan MPR”, Pengembangan Epistimologi Ilmu Hukum,
(Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta), h. 202.
26 Eddy Purnama, Negara Kedaulatan Rakyat: Analisis Terhadap Sistem Pemerintahan
Indonesia dan Perbandingannya dengan Negara-Negara lain, (Bandung: Nusamedia, 2007), h.
186.
34
untuk pemilihan anggota DPRD dilakukan dengan cara pemilu. Metode ketiga
yakni untuk pengisian anggota MPR melalui pengangkatan atau penunjukan,
baik untuk mengisi sebagian kursi di DPR yang anggotanya berasal dari Golkar
ABRI maupun untuk mengisi sebagian kursi di MPR dari Golkar ABRI.
Pengangkatan atau penunjukan dengan cara yang sama juga dilakukan untuk
pengisian anggota MPR yang berasal dari Utusan Daerah serta seluruh Utusan
Golongan.
MPR sebagai perwakilan dari rakyat memiliki tugas dan wewenanganya
masing-masing. Pada masa pemerintahan Orde Baru, pengertian golongan
diperluas dengan maksud untuk memperbesar dukungan politik kepada
penguasa. Cara pengisian utusan golongan yang secara sepihak dititahkan
kepada presiden mudah menimbulkan kolusi politik antara golongan yang
diangkat.27
Memberi wewenang kepada Presiden mengangkat utusan golongan,
membuka peluang penyalahgunaan wewenang. Presiden akan mengangkat
golongan hanya untuk menyokong Presiden atau politik Presiden. Rezim orde
baru telah mencapai puncaknya, pemberontakan oleh seluruh elemen
masyarakat yang dilakukan secara sporadis dan berapi-api mendesak presiden
Soeharto sebagai presiden kalaitu mengundurkan diri pada tahun 1998,
Reformasi adalah selogan yang berkumandang kala itu.
Kedudukan tertinggi saat itu tetap berada pada MPR. Setelah pemilu 1999,
MPR tetap berasal dari DPR ditambah Utusan Golongan dan Daerah. Pada
kondisi tersebut, MPR melaksanakan fungsi fundamental lembaga tersebut
dengan melakukan Amandemen Konstitusi sebanyak empat kali selama 4
tahun berturut-turut. Di mana sebelumnya, kewenangan fundamental tersebut
tidak pernah dilakukan oleh MPR yang lalu.28
Rekonstruksi konstitusional besar-besaran terjadi pasca amandemen, salah
satunya dalam konstruksi MPR. Sebelumnya MPR merupakan lembaga
27 Bagir Manan, DPR, DPD dan MPR dalam Undang-Undang Dasar 1945 Baru,… h. 72.
28 Widayati, “Rekonstruksi Kelembagaan MPR”, Pengembangan Epistimologi Ilmu
Hukum,… h. 204.
35
tertinggi pelaksana kedaulatan rakyat yang terdiri dari DPR ditambah Utusan
Golongan dan Daerah, menjadi setara dengan lembaga negara lainnya, dan
keanggotaan MPR berasal dari anggota DPR dan DPD (pengganti Utusan
Golongan dan Daerah) yang dipilih secara langsung melalui pemilu.
Geistlichen hintergrund amandemen konstitusi, membawa kita pada salah
satu unsur perubahan yang menarik pada lembaga perwakilan daerah.
Sebelumnya, kepentingan daerah diwakili oleh Utusan Daerah, lembaga yang
dibentuk agar mampu mengartikulasikan kepentingan daerah ke tingkat pusat.
Di mana, anggota utusan daerah dipilih oleh DPRD daerah terkait terlebih
dahulu.Setelah terpilih, barulah dapat menjadi utusan daerah di tingkat pusat.
Permasalahan yang sangat mendasar muncul, terdapat pihak yang
menyatakan bahwa dengan pemilihan utusan daerah yang seperti itu tidak akan
memunculkan wakil yang mengedepankan kepentingan daerah, melainkan
kepentingan partai politik. Karena anggota DPRD berasal dan diusukan dari
partai politik, maka wakil yang dipilih oleh DPRD secara tidak langsung akan
menjadi perwakilan partai politik pada utusan daerah di tingkat pusat. Maka
wajar saja, jika mayoritas partai di DPR dan pemerintahan (berlatarbelakang
partai) kala itu akan senantiasa mendapatkan dukungan suara juga oleh Utusan
Daerah.29
Urgensi akan hadirnya DPD juga termaktub pada pertimbangan
mahkamah konstitusi dalam Putusan Nomor 30/PUU-XVI/2018, yang
menyatakan:
“Pentingnya mendengar aspirasi daerah dan melibatkannya dalam pengambilan
keputusan politik untuk hal-hal tertentu juga dimaksudkan sebagai bagian dari
constitutional engineering untuk mengatasi dan mencegah timbulnya
ketidakpuasan daerah yang disebabkan oleh pengambilan keputusan politik yang
bersifat sentralistik yang diberlakukan berdasarkan sistem ketatanegaraan yang
lama (sebelum dilakukan perubahan UUD 1945). Karena itulah, ketika dilakukan
penambahan satu Ayat dalam Pasal 33 UUD 1945 dimasukkan frasa “serta
dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”,
sebagaimana terbaca saat ini dalam rumusan Pasal 33 Ayat (4) UUD 1945.
Dengan demikian, kehadiran DPD adalah bagian tak terpisahkan dari desain
konstitusional untuk memperkuat keberadaan Negara Kesatuan Republik
29 P J Suwarno, “Utusan Daerah Dalam Undang-Undang Dasar 1945”,
perpustakaan.bappenas.go.id, diakses pada 24 juni 2019.
36
Indonesia. Itulah sebab ditolaknya gagasan membentuk sistem perwakilan
berkamar dua (bikameral) yang sempat muncul pada saat berlangsungnya proses
perubahan UUD 1945 di Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR yang
menghendaki adanya kedudukan sejajar dan kewenangan yang setara antara DPR
dan DPD karena dianggap tidak sesuai dengan keberadaan Indonesia sebagai
negara kesatuan, terlepas dari soal benar atau tidaknya anggapan demikian jika
ditinjau secara akademik.”
Keseluruhan dari permasalahan yang timbul tersebut, akibat kontstruksi
lembaga perwakilan yang kurang sempurna. Akibatnya, menjadikan proses
penyaluran aspirasi daerah ke tingkat pusat menjadi tidak efektif,30 tanpa
adanya kewenangan untuk mengeksekusi aspirasi menjadi legislasi tersebut.
Hal tersebut yang melatarbelakangi para the second founding fathers bangsa
untuk membentukrumusan baru, yang ditujukan untuk menyempurnakan
sistem ketatanegaraan Indonesia. Lahirnya Dewan Perwakilan Daerah sebagai
pengganti Utusan Daerah dan penghapusan Utusan Golongan.Harapan besar
atas lahirnya DPDagar mampu memperjuangkan kepentingan daerah pada
tingkat pusat.
Dalam perumusannnya, terdapat perdebatan akademis yang menjadi latar
belakang terbentuknya DPD. Dinamika dalam perdebatan tersebut tercatat jelas
dalam sejarah. Diawali dari pendapat mengenai kedudukan, hingga pendapat
mengenai kedudukan Dewan Perwakilan Daerah. Untuk mencerminkan
seluruh perdebatan demikian, peneliti hanya mengutip beberapa perdebatan.
Ditujukan untuk sekedar menggambarkan suasanan kebatinan yang terjadi kala
itu. Salah satunya adalah pendapat yang dikeluarkan oleh juru bicara F-PG,
yaitu Theo L. Sambuaga, yang menyampaikan pendapat mengenai DPR dan
DPD, yakni:31
“...Dewan Perwakilan Daerah dalam rangka struktur MPR yang terdiri dari
Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah ini adalah berangkat
30 Putra Dekantara, “Optimalisasi Fungsi Legislasi DPD Dalam Sistem Lembaga Perwakilan
di Indonesia”, (Tesis S-2 Fakultas Hukum, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 2018), h. 3.
31 Sekretariat Jenderal MPR RI, Risalah Perubahan Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia Tahun 1945 (1999-2002), Tahun Sidang 2001, Buku Empat, (Jakarta: Sekertariat
Jenderal MPR RI, 2000), h. 223 dalam Tim Penyusun Revisi Naskah Komprehensif Proses dan
Hasil Perubahan UUD 1945, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan 1999-2002,
(Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan, 2010), h. 1453.
37
daripada upaya kita untuk menyeimbangkan keterwakilan. Keterwakilan,
representativeness terutama dari daerah, yang pada waktu-waktu yang lalu
sedikit banyak menimbulkan rasa ketidakadilan di daerah, menimbulkan rasa
kekecewaan. Sehingga ada yang kebablasan untuk membangkitkan upaya-upaya
untuk memisahkan diri dari NKRI, umpamanya ada upaya-upaya seperti itu”
Aspirasi akankesatuan, menjadi salah satu alasan kunci pembentukan
DPD.Selain itu, Theo L Sambuaga juga menyampaikan pendapat lain, yaitu
Tentang sistem keterwakilan dan efek negatif dari DPD, yakni:32
“… Mengenai Pasal 22D, sekali lagi ditegaskan bahwa untuk Ayat (2), alternatif
kita adalah alternatif dua, koreksi yang tadi. Jadi Saudara-saudara sekalian, kalau
dikatakan bahwa DPD dikhawatirkan itu sejajar dengan prinsip federalisme, itu
sama sekali tidak benar.
Banyak negara di dunia termasuk negara yang paling demokratis seperti
Inggris, negara kesatuan yang mengaplikasikan prinsip dua kamar seperti ini.
Jangan jauh-jauh dari kita Thailand, Philipina, Jepang, itu semua adalah negara-
negara kesatuan yang menerapkan dengan baik sistem dua kamar seperti ini.
Jadi di sini jelas sama sekali tidak berkata bahwa Dewan Perwakilan Daerah
ini sejajar dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Karena fungsi legislasinya maupun
fungsi pengawasannya sangat terbatas pada hal-hal yang berkaitan dengan
daerah. Demikian juga Saudara-Saudara sekalian, kalau dilihat dari segi
kehadiran Dewan Perwakilan Daerah, ini melengkapi disamping segi
keterwakilan, segi demokratisasi, segi demokrasi, juga aspek checks and
balances. Jadi kehadiran di sini bukan sekedar untuk menghadirkan badan baru,
tetapi secara sadar mengupayakan satu sistem keterwakilan kita yang lebih
menjamin demokrasi, keterwakilan, dan checks andbalances. Dan dengan
demikian itu berarti justru memperkuat posisi kita dalam bentuk Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Justru dengan demikian mengakomodir dan menyalurkan pemikiran-
pemikiran, suara-suara yang ingin memperjuangkan aspirasi daerah dalam suatu
mekanisme yang terlembaga. Bukan mekanisme seperti yang kita ada sekarang
ini, hanya sekedar Utusan Daerah atau menjadi Fraksi Utusan Daerah.”
Menanggapi hal yang demikian, Sutjipto sebagai juru bicara F-UG,
menyampaikan aspirasi fraksinya mengenai permasalahan kewenangan DPD,
perihal kewenangan legislasi, yakni:33
32 Sekretariat Jenderal MPR RI, Risalah Perubahan Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia Tahun 1945 (1999-2002), Tahun Sidang 2001, Buku Empat,… h. 223-224 dalam Tim
Penyusun Revisi Naskah Komprehensif Proses dan Hasil Perubahan UUD 1945, Naskah
Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Latar
Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan 1999-2002,… h. 1454.
33 Sekretariat Jenderal MPR RI, Risalah Perubahan Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia Tahun 1945 (1999-2002), Tahun Sidang 2001, Buku Empat,… h. 224-225 dalam Tim
Penyusun Revisi Naskah Komprehensif Proses dan Hasil Perubahan UUD 1945, Naskah
Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Latar
Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan 1999-2002,… h. 1454-1455.
38
“… Pasal 22D, jadi Ayat (1) memang DPD dapat mengajukan kepada DPR
rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan
pusat dan daerah, dan lain-lain.
Lalu kalau nanti ini DPD berhak mengajukan, kalau DPR juga berhak
mengajukan, nanti yang akan dibahas yang mana? Punya DPD atau punya yang
diajukan DPR atau diajukan oleh Pemerintah. Ini kan sudah suatu implikasi yang
juga kita mesti pikirkan juga nanti dalam undangundang. Karena kalau yang
mengajukan DPD tentunya heavy nya kepentingan daerah. Kalau hasil pusat nanti
mungkin saja bahwa itu juga heavy-nya juga ke pusat. Oleh karena itu hal-hal
yang demikian.
Padahal, sebenarnya anggota DPR juga meskipun dia mewakili partai,
political representation, tetapi mereka juga dari daerah-daerah. Jadi saya kira
memang sangat naif kalau anggota daerah, anggota DPR-DPR daerah tidak mau
memperjuangkan kepentingan daerah.”
Berbagai argumentasi terlontarkan, dinamika utama dalam perdebatan
tersebut tetap menginginkan adanya konstruksi lembaga perwakilan daerah
yang optimal, dari segi perwakilan hingga legislasi.Andi Najmi Fuadi selaku
juru bicara F-KB, menangapi adanya pernyataan demikian, dengan
menyatakan:34
“… Namun demikian, agar tidak terjadi over lapping antara DPR dan DPD maka
serta merta gagasan ini harus diatur sedemikian rupa, sehingga ketika keinginan
untuk memperkuat posisi DPD ini juga tidak menjadi over lapping dengan DPR,
itu bukan berarti bahwa fungsi-fungsi DPD sebagai sandingan dari DPR yang
dipilih secara langsung itu juga menjadi tidak ada. Artinya apa, bahwa DPD pun
tetap harus memiliki fungsi legislasi meskipun itu sangat terbatas, sebagaimana
diatur dalam Konsep Pasal 22D Ayat (2) alternatif 1, bahwa DPD memiliki fungsi
legislasi yang terbatas. Kemudian pada Ayat (3) ini juga mengatur Tentang fungsi
DPD, dalam hal pengawasan yang juga sangat terbatas dalam alternatif 1 nya.”
Pernyataan demikian selaras dengan pandangan Patrialis Akbar, yang
menyatakan bahwa:35
“…Oleh karena itu kami setuju, Tentang masalah fungsi dan tugas ini memang
harus betul-betul kita kembali bicarakan. Tapi paling tidak pada posisi-posisi
DPD di dalam ikut serta membahas rancangan Undang-Undang dan ikut serta
34 Sekretariat Jenderal MPR RI, Risalah Perubahan Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia Tahun 1945 (1999-2002), Tahun Sidang 2001, Buku Empat,… h. 227 dalam Tim
Penyusun Revisi Naskah Komprehensif Proses dan Hasil Perubahan UUD 1945, Naskah
Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Latar
Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan 1999-2002,… h. 1456.
35 Sekretariat Jenderal MPR RI, Risalah Perubahan Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia Tahun 1945 (1999-2002), Tahun Sidang 2001, Buku Empat,… h. 228 dalam Tim
Penyusun Revisi Naskah Komprehensif Proses dan Hasil Perubahan UUD 1945, Naskah
Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Latar
Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan 1999-2002,… h.1458.
39
sekaligus melakukan pengawasan, itu memang seharusnya dilibatkan. Akan
tetapi bahanbahan pengawasan itu tetap diberikan kepada Dewan Perwakilan
Rakyat sebagai bahan pertimbangan lebih lanjut untuk ditindaklanjuti oleh
Dewan Perwakilan Rakyat. Oleh karena itu, itu terbatas juga posisinya…”
Majemuknya pendapat yang terlontarkan, sudah pasti menuai persamaan
hingga perbedaan pendapat. Hal tersebut ditujukan untuk menyentuh bentuk
ideal dari lembaga perwakilan daerah yang akan setujui untuk dibuat. Aspirasi
lain muncul dari Tjeje Hidayat Padmadinata, sebagai juru bicara F-KKI. Beliau
menegaskan bahwa:36
“…Bagi kami, keberadaan DPD ini teramat mahal. Sudah banyak makan korban
nyawa dan lain sebagai, selama kurang lebih 45 tahun. Jadi sekali lagi mengapa
kami tidak berani melewati 22C? Jadi harga dari suara pemilihnya itu kalau Di
Jawa Barat anggota DPR 82 orang nanti hanya 5 jadi jumlah suara kurang lebih
17 kali 400.000, oh mahal itu. Saya belum bisa membayangkan, walaupun tadi
bukan partai lain sebagainya, persisnya bagaimana ini nantinya. Saya tidak bisa
membayangkan anggota DPD dipilih sama sekali lepas dari mekanisme bahkan
mesin partai. Belum bisa membayangkan! Bagaimana ini? Tanpa keterlibatan
mesin atau mekanisme partai.
Dan juga mengapa, sekali lagi kami belum berani loncat dari 22C itu. Wakil
daerah ini strong semacam senator di Amerika atau soft sekedar penghubung
daerah dengan pusat saja. Daripada berontak, lebih baik ada lima orang di sini,
itu misalnya. Jadi pada prinsipnya setuju…”
Keseluruhan pandangan lainnya menjadi latar belakang lahirnya DPD
pada amandemen ketiga UUD NRI 1945. Setelah pengesahan, bentuk
konstruksi DPD menjadi:37
Pasal 22C
(1) Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui
pemilihan umum.
(2) Anggota Dewan Perwakilan Daerah dari setiap provinsi jumlahnya sama dan
seluruh anggota Dewan Perwakilan Daerah itu tidak lebih dari sepertiga
jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
(3) Dewan Perwakilan Daerah bersidang sedikitnya sekali dalam setahun.
(4) Susunan dan kedudukan Dewan Perwakilan Daerah diatur dengan Undang-
Undang.
36 Sekretariat Jenderal MPR RI, Risalah Perubahan Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia Tahun 1945 (1999-2002), Tahun Sidang 2001, Buku Empat,… h. 232 dalam Tim
Penyusun Revisi Naskah Komprehensif Proses dan Hasil Perubahan UUD 1945, Naskah
Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Latar
Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan 1999-2002,… h. 1460.
37 Tim Penyusun Revisi Naskah Komprehensif Proses dan Hasil Perubahan UUD 1945,
Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan 1999-2002,…h. 1467-1468.
40
Pasal 22D
(1) Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan
Rakyat rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan otonomi daerah,
hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta
penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya
ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat
dan daerah.
(2) Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan Undang-Undang yang
berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,
pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber
daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan
pusat dan daerah, serta memberikan pertimbangan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat atas rancangan Undang-Undang anggaran pendapatan
dan belanja negara dan rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan
pajak, pendidikan, dan agama.
Berdasarkan perdebatan tersebut, upaya penyempurnaan Dewan
Perwakilan Daerah sebagai lembaga perwakilan daerah sangat terlihat. Hemat
kata, untuk mengakhiri perdebatan yang telah disajikan sebelumnya, Peneliti
mengutip pendapat akhir dari juru bicara F-PDIP, yakni I Dewa Gede Palguna.
Mewakili fraksinya, beliau menegaskan:38
“Di samping keberadaan DPR dengan fungsi legislasi, fungsi pengawasan dan
fungsi anggaran yang mewakili rakyat, keberadaan dan keterlibatan DPD itu pasti
akan lebih meningkatkan kualitas proses dan keputusan politik nasional,
khususnya mengenai pengembangan otonomi, hubungan keuangan pusat dan
daerah, penyusunan APBN, dan sebagainya.”
Implikasi dari hadirnya DPD, terdapat perubahan pada realitas sistem
parlemen di Indonesia.Perubahan tersebut mengarah padabicameral system
atau sistem parlemen dua kamar, karena membuka ruang baru pada koridor
perwakilan di Indonesia. Pasalnya, DPR tidak lagi menjadi lembaga tunggal
atas perwakilan rakyat, karena terdapat Dewan Perwakilan Daerah (DPD),
sebagai lembaga baru yang merepresentasikan kepentingan daerah untuk
diperjuangkan pada tingkat pusat.39
38 Sekretariat Jenderal MPR RI, Risalah Perubahan Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia Tahun 1945 (1999-2002), Tahun Sidang 2001, Buku Empat,… h. 661 dalam Tim
Penyusun Revisi Naskah Komprehensif Proses dan Hasil Perubahan UUD 1945, Naskah
Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Latar
Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan 1999-2002,… h. 1464.
39 Firman Manan, “Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Dalam Sistem
Pemerintahan Republik Indonesia”, Cosmogov, Vol.1 No.1, 2015, h. 49.
41
Dewan Perwakilan Daerah sebagai badan representasi baru, diharapkan
mampu untuk membentuk mengupayakan aspirasi daerah ke dalam Undang-
Undang yang berkaitan dengan kedaerahan. Agar kehadirannya berfungsi
secara optimal untuk memperjuangkan kepentingan daerah, karena DPD telah
menjadi badan representatif sebagai perwakilan rakyat dalam kursi
pemerintahan sekaligus dalam bidang legislatif.40
Desain konstitusional DPD juga ditegaskann oleh Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia, melalui Putusan Nomor 10/PUU-VI/2008, menyatakan:
“Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa desain konstitusional DPD sebagai
organ konstitusi adalah:
1) DPD merupakan representasi daerah (territorial representative) yang
membawa dan memperjuangkan aspirasi dan kepentingan daerah dalam
kerangka kepentinga nasional, sebagai imbangan atas dasar prinsip “check
and balances” terhadap DPR yang merupakan representasi politik (political
representative) dari aspirasi kepentingan politik partai-partai politik dalam
kerangka kepentingan nasional;
2) Keberadaan DPR dan DPD dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang
seluruh anggotanya menjadi anggota MPR bukanlah berarti bahwa sistem
perwakilan Indonesia menganut sistem perwakilan bicameral, melainkan
sebagai gambaran Tentang sistem perwakilan yang khas Indonesia;
3) Meskipun kewenangan konstitusional DPD terbatas, namun dari seluruh
kewenangannya di bidang legislasi, anggaran, pengawasan, dan
pertimbangan sebagaimana diatur dalam Pasal 22D UUD 1945, kesemuanya
terkait dan berorientasi kepada kepentingan daerah yang harus
diperjuangkan secara nasional berdasarkan postulat keseimbangan antara
kepentingan nasional dan kepentingan daerah;
4) Bahwa sebagai representasi daerah dari setiap provinsi, anggota DPD dipilih
melalui pemilu dari setiap provinsi dengan jumlah yang sama, berdasarkan
pencalonan secara perseorangan, bukan melalui Partai, sebagai peserta
pemilu;”
Optimalisasi kewenangan dari DPD sangatlah diharapkan, karena saat ini
DPD sebagai lembaga perwakilan daerah memiliki kedudukan yang setara
dengan DPR, MPR atau lembaga konstitusional negara lainnnya. Serta fungsi
DPD untuk mampu menjadi jembatan artikulasi atas kepentingan lokal
kedaerahan dalam krangka kepentingan nasional, tidak menjadi hal yang
semantik belaka.41
40 Katt Hall, Legislation, (Chatswood: Butterworths, 2002), h. 6-9.
41 Dewan Perwakilan Daerah RI, Untuk Apa DPD RI, (Jakarta: Kelompok DPD di MPR RI,
2006), h. 18.
42
Dalam praktiknya, harapan tersebut tidak mudah untuk terpenuhi. Dengan
konstruksi yang demikian, permusyawaratan dalam MPR akan didominasi oleh
DPR, dari segi kewenangan hingga keanggotaan. Jika dibandingkan dalam segi
keanggotaan, jumlah anggota DPD tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota
DPR. Perihal legislasi, kewenangan DPD sangat limitatif. Hanya mampu
mengajukan RUU dan ikut membahas Undang-Undang terkait kedaerahan,
namun keputusannya tetap berada pada DPR dan Presiden. Dalam praktiknya
DPR tetap memiliki power yang mendominasi dalam kamar parlemen.42
Sejalan demikian, Andi Salman Maggalatung menyatakan, bahwa
eksistensi DPD memang kuat secara prosedural konstitusional, namun lemah
secara subtantif kelembagaan.43 Cacat Demokratis merupakan istilah yang
mampu menggambarkan DPD dan kewenangannya. Bagaimana tidak, lembaga
yang seluruh anggotanya dipilih langsung oleh rakyat, namun tidak mampu
mengeksekusi secara lugas aspirasi tersebut.44 Membuat dilema baru dalam
hegemoni ketatanegaraan Indonesia, haruskan kita memperkuat DPD secara
subtantif, agar dapat hingga mengeksekusi aspirasi distrik yang diwakilinya,
atau menghapusnya, karena dianggap eksistensinya hanya sekedar formalitas
reformasi belaka.
Dari seluruh argumentasi historis di atas, peneliti berpendapat bahwa
terdapat beberapa alasan ataslimitatifnya kewenangan DPD dibandingkan
DPR. Pertama, kekahawatiran akan overlapping-nya kewenangan DPR dan
DPD dalam hal legislasi.45 Kedua, DPD hanya sebagai perwakilan kepentingan
daerah di tingkat pusat. Agar dalam membentuk kebijakan, juga menyertakan
42 Dewan Perwakilan Daerah RI, Untuk Apa DPD RI,… h. 21-25.
43 Salman Maggalatung, Desain Kelembagaan Negara Pasca Amandemen UUD 1945,
(Bekasi: Gramata Publishing, 2016), h. 76.
44 Salman Maggalatung, Desain Kelembagaan Negara Pasca Amandemen UUD 1945,… h.
76.
45 Sekretariat Jenderal MPR RI, Risalah Perubahan Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia Tahun 1945 (1999-2002), Tahun Sidang 2001, Buku Empat,… h. 224-225. dalam Tim
Penyusun Revisi Naskah Komprehensif Proses dan Hasil Perubahan UUD 1945, Naskah
Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Latar
Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan 1999-2002,… h. 1454-1455.
43
aspirasi kedaerahan dan meningkatkan kualitas kebijakan politik nasional.46
Ketiga, penghormatan terhadap hasil amandemen pertama, mengenai
kewenangan DPR pada Pasal 20 Ayat (1). Yang menyatakan bahwa, DPR
memegang kekuasaan untuk membentuk Undang-Undang. Atas dasar tersebut,
seluruh kebijakan pembentukan Undang-Undang dalam parlemen, harus
bermuara pada persetujuan DPR. Menilai, perumusan DPD baru lahir pada
amandemen ketiga. Dan yang terakhir, karena Indonesia merupakan Negara
kesatuan, bukan federal.
C. Dinamika Pengaturan Calon Anggota Dewan Perwakilan Daerah
Hegemoni dalam kelembagaan negara, bukan hanya terdapat pada
permusan kewenangan lembaganya saja. Melainkan, untuk menyempurnakan
niat pembentukan lembaga DPD, berbagai perdebatan juga terjadi untuk
menentukan anggota yang akan mengisi kursi DPD, dari latarbelakang anggota
hingga model pemilihan yang akan dipilih untuk memilih anggotanya.
Dalam perumusannya, muncul gagasan untuk mempertegas bagaimana
dan dari mana sumber keanggotaan dari DPD. Pada Rapat PAH I BP MPR Ke-
30 pada tanggal 6 Juni 2019 mengenai pembahasan untuk rumusan pemilihan
anggota yang tertuang dalam Ayat (1) yang dipimpin oleh Ali Masykur Musa
dari F-KB. Berbagai rumusan kalimat berdatangan hingga berujung pada
usulan kalimat yang di utarakan oleh Yusuf Muhammad dari F-KB yang
menegaskan sebagai berikut:47
“Anggota Dewan Perwakilan Daerah merupakan wakil individu yang dipilih dari
setiap provinsi melalui pemilihan umum.”
Karena tidak adanya tanggapan lagi dari seluruh peserta sidang lainnya
atas usulan kalimat tersebut, Ali Masykur Musa sebagai pimpinan sidang kala
46 Sekretariat Jenderal MPR RI, Risalah Perubahan Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia Tahun 1945 (1999-2002), Tahun Sidang 2001, Buku Empat,… h. 661 dalam Tim
Penyusun Revisi Naskah Komprehensif Proses dan Hasil Perubahan UUD 1945, Naskah
Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Latar
Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan 1999-2002,… h. 1464.
47 Risalah Rapat Tim Perumus PAH I BP MPR, 6 Mei 2000, h. 6, dalam Tim Penyusun Revisi
Naskah Komprehensif Proses dan Hasil Perubahan UUD 1945, Naskah Komprehensif Perubahan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Latar Belakang, Proses, dan
Hasil Pembahasan 1999-2002,… h. 78.
44
itu menganggap semuanya setuju dengan rumusan tersebut, beliau
menegaskan:48
“Maka, pertanyaannya, rumusan Ayat (1) itu sudah bisa ada peluang baik partai
maupun individu, atau ada kesimpulan, salah satunya syarat-syarat menjadi
calon, di Ayat (1) catatannya di bawahnya, calon anggota DPD pada prinsipnya
mewakili perorangan, pengertiannya nanti di keanggotaan.”
Prinsip utama yang lahir dari perdebatan tersebut ialah anggota DPD dapat
bersumber dari manapun, baik perorangan maupun partai politik. Intinya,
dipilih secara langsung oleh rakyat pada daerah terkait dan wajib bagi
pemilihannya bersifat individu atau perorangan (boleh berasal dari manapun,
asal tidak diusung dari kelompok atau partai yang menjadi latarbelakang
individunya). Hasil dari rumusan yang di sahkan mengenai sumber
keanggotaan, tertuang dalam Pasal 22C (1) UUD NRI 1945 dan rumusannya
menjadi:
Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan
umum.***)
Syarat peserta calon anggota DPD dipertegas dalam Pasal 22 E Ayat (4), yaitu:
Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah
adalah perseorangan.*** )
Implementasi konstitusional atas lahirnya DPD sebagai upaya
pendemokratisasi rakyat, bukanlah omongkosong belaka. Diawali dari
Lahirnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah, adalah salah satu pembuktiannya. Sebagai
implementasi demokratis, bahwa lembaga perwakilan daerah akan benar-benar
dipilih secara langsung dan berasal dari rakyat.
Dalam Undang-Undang a quo, terdapatsyarat tambahan bagi calon
anggota DPD. Yakni, untuk menjadi anggota DPD, pengurus partai wajib
mengundurkan diri terlebih dahulu dari jabatannnya. Pasal 63 huruf b,
menyatakan:
“Tidak menjadi pengurus partai politik sekurang-kurangnya 4 (empat) tahun yang
dihitung sampai dengan tanggal pengajuan calon.”
48 Risalah Rapat Tim Perumus PAH I BP MPR, 6 Mei 2000,…
45
Artinya, calon perorangan apabila ingin menjadi calon anggota DPD, tidak
boleh menjabat sebagai pengurus partai, minimal 4 tahun sebelum ia
mendaftarkan dirinya menjadi anggota DPD.
Dalam perkembangan politik hukum pemilu di Indonesia, syarat tersebut
dihilangkan. Tepatnya pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang menjadi dasar hukum
baru bagi penyelenggaran pemilu berikutnya. Perubahan regulasi pemilu juga
berdampak pada berubahnya syarat anggota DPD, di mana sebelumnya
terdapat larangan bagi pengurus partai politik namun dalam Undang-Undang a
quo syarat tersebut telah dihapuskan.
Syarat baru muncul bagi calon anggota DPD yang tertuang pada pasal 12
huruf K, L, dan M yang menyatakan:
k. mengundurkan diri sebagai pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional
Indonesia, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, pengurus pada
badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik daerah, serta badan lain
yang anggarannya bersumber dari keuangan negara, yang dinyatakan dengan
surat pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali;
l. bersedia untuk tidak berpraktik sebagai akuntan publik, advokat/pengacara,
notaris, pejabat pembuat akta tanah (PPAT), dan tidak melakukan pekerjaan
penyedia barang dan jasa yang berhubungan dengan keuangan negara serta
pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas,
wewenang, dan hak sebagai anggota DPD sesuai peraturan perUndang-
Undangan;
m. bersedia untuk tidak merangkap jabatan sebagai pejabatnegara lainnya,
pengurus pada badan usaha milik negara, dan badan usaha milik daerah, serta
badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara;
Serta terdapat penjelasan peraturan pada huruf k Undang-Undang a quo yang
menyatakan:
“Surat pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali dibuktikan dengan surat
keterangan telah diterima dan diteruskan oleh instansi terkait. Yang dimaksud
dengan “keuangan negara” termasuk APBN/APBD.”
Hasil dari perubahan tersebut, menghilangkan larangan menjadi pengurus
fungsionaris partai politik apabila ingin mencalonkan diri sebagai anggota
DPD. Konsekuensi dari hal tersebut adalah pada pemilu selanjutnya, pengurus
partai politik diperkenankan untuk menjadi calon anggota DPD.
46
Pada tahun 2012, konstruksi politik hukum pemilu kembali mengalami
perubahan. Berlakunya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2012 Tentang
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah secara tidak langsung
mendeterminnasi kekuatan hukum Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008
Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagai dasar
hukum pemilu legislatif khususnya untuk DPD. Perubahan tersebut berimbas
pada berubahnya syarat bagi calon anggota DPD yang berada pada pasal 12
huruf k, l, dan m Undang-Undang a quo. Namun, tetap tidak ada larangan bagi
pengurus partai untuk menjadi anggota DPD.
Perubahan regulasi pemilu terus terjadi, hal tersebut berbanding lurus
dengan kedinamisan politik hukum pemilu di Indonesia. Pada tahun 2017,
regulasi pemilu kembali melahirkan perubahan. Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum menjadi dasar hukum pemilu baru,
yang mendeterminasikan regulasi pemilu sebelumnya.
Dalam Undang-Undang ini, tetap tidak adanya laragan bagi pengurus
fungsionaris partai politik untuk menjadi calon anggota DPD. Artinya,
pengurus fungisonaris partai tetap boleh mencalonkan diri menjadi anggota
DPD. Di mana pada awalnya, terdapat larangan bagi pengurus partai untuk
menjadi anggota DPD akibat transisi regulasi atau bentuk Undang-Undang
yang belum optimal. Dengan syarat yang tidak sepenuhnya dapat menjamin
objektifitas, wajar saja jika terdapat larangan bagi pengurus partai. Namun
seiring perkembangannya, bermunculan banyak syarat baru sebagai garansi
akan objektifitas DPD, sehingga menurut hemat penulis wajar saja jika
larangan bagi pengurus partai tersebut dihilangkan.
Dinamika hukum pemilu kembali memberikan perhatian. Pasalnya, pada
tahun 2018 mahkamah konstitusi melalui Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 30/PUU-XVI/2018 melakukan perluasan penafsiran pada hukum
pemilu. Yakni pada pasal 182 huruf l UU pemilu a quo, mahkamah
memperluas frasa “pekerjaan lain” pada regulasi tersebut, serta menjadikan
47
pengurus fungsionaris partai politik termasuk di dalamnya. Artinya, setelah
putusann mahkamah konstitusi tersebut, pengurus fungsionaris partai politik
pada pemilu mendatang (pemilu tahun 2024 dan seterusnya) tidak boleh
mencalonkan diri sebagai anggota DPD.
48
BAB IV
INKOHERENSI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR
30/PUU-XVI/2018 DENGAN SEMANGAT KONSTITUSIONALITAS
DEWAN PERWAKILAN DAERAH
A. Problematika Pengurus Fungsionaris Parpol Dalam Keanggotaan DPD
1. Frasa Pekerjaan Lain
Agar tidak tersesat pada saat membaca dan memahami konstitusi,
upaya mendasar untuk memahaminya adalah melalui metode tafsir
konstitusi (constitutional interpretation),1 yang berbeda dengan penafsiran
peraturan perundang-undangan biasa (interpretation of statutes). Menurut
Albert H. Y. Chen, penafsiran konstitusi merupakan upaya pemahaman
dalam bentuk tafsir dan menjadikan konstitusi sebagai objek tafsirnya, dan
penafsiran ini sudah menjadi kesatuan dengan aktifitas judicial review.2
Implementasi penafsiran konstitusi dalam peradilan di Indonesia
diterapkan secara bebas, hakim dibebaskan untuk menentukan metode tafsir
apa saja yang digunakan, hal tersebut ditujukan untuk menjamin
independensi hakim. Pada kebiasaanya, dalam setiap interpretasi regulasi
minimal terdapat penafsiran gramatikal, sistematis, teleologis dan historis.3
Berbagai klasifikasi penafsiran yang dapat secara bebas digunakan oleh
hakim untuk memutus perkara di dalam persidangan, seluruh metode
penafsiran konstitusi juga tidak memiliki strata kedudukan yang lebih tinggi
atau rendah antara satu dan lainnya, melainkan keberlakuannya memiliki
kedudukan yang setara. Menurut J.A. Potier, hal tersebut dilakukan sebagai
1 Craig R. Ducat, Constitutional Interperation, (California: Wordsworth Classic, 2004),
Charles Sampford (Ed.), Interpreting Constitutions Theories, Principles and Institutions, (Sydney:
The Ferderation Press, 1996), Jeffrey Goldsworthy (Ed.), Interpreting Constitutions, A
Comparative Study, (New York: Oxford University Press, 2006), Keith E. Whittington,
Constitutional Interpretation, Textual Meaning, Original, and Judicial Review, (Kansas: University
Press of Kansas, 1999) dalam Ali Syafa’at, “Penafsiran Konstitusi”, http://safaat.lecture.ub.ac.id, h.
66. diakses pada 24 Juli 2019.
2 Albert H Y Chen, The Interpretation of the Basic Law-Common Law and Mainland Chinese
Perspectives, (Hong Kong: Hong Kong Journal Ltd., 2000), h. 1-2.
3 Ali Syafa’at, “Penafsiran Konstitusi”,… h. 78-79.
49
penjaminan akan kebebasan seorang hakim.4 Dalam realitas konsep hukum,
kebebasan hakim dalam memutus perkaranya, termasuk sebagai
Freirechtsbewegung atau gerakan hukum bebas. Tindakan tersebut justru
menuai banyak kritik, yang paling mendasar adalah perihat legitimasi atas
pijakan mana yang akan dipilih ketika berhadapan dengan suatu
permasalahan.5 Tanpa ada legitimasi atas kriteria yang spesifik, tindakan
penafsiran dapat terjelma menjadi kesewenangan hakim.6
Pada bagian ini, peneliti akan mencoba untuk mengkritisi pertimbangan
hakim konstitusi melalui interpretasi gramatikal. Interpretasi ini
menekankan pada kedudukan bahasa dalam pemaknaanya terhadap suatu
target atau objek dalam suatu kalimat peraturan.7 Metode interpretasi ini
merupakan penafsiran yang paling sederhana, karena kita menafsirkan
berdasarkan uraian bahasa, susunan kata dan bunyinya, namun harus tetap
ditafsirkan dengan logis.8
Pada metode penafsiran ini, dapat menggunakan tiga kontekstualisasi
pendekatan. Salah satunya adalah pendekatan dengan jenis expressum facit
cassare tacitum, atau penegasan kata yang secara tegas dicantumkan untuk
mengakhiri pendeskripsian beberapa objek yang dicantumkan dalam
Undang-Undang. Seperti, ‘pedagang, tenaga terampil, pekerja atau orang
lain apapun’.9 Maka kata ‘orang lain apapun’ dalam kalimat tersebut harus
diartikan sama atau sesuai dengan konteks dan jenis klasifikasi
pekerjaanyang terdapat dibelakangnya.10 Hal yang senada juga di utarakan
4 J.A. Pontier, Penemuan Hukum, diterjemahkan oleh B. Arief Sidharta, (Bandung: Jendela
Mas Pustaka, 2008), h. 94.
5 Ali Syafa’at, “Penafsiran Konstitusi”,… h. 80.
6 J.A. Pontier, Penemuan Hukum,… h. 74-73.
7 Ali Syafa’at, “Penafsiran Konstitusi”,… h. 72.
8 Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Penemuan Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti,
1993), h.14-15.
9 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2006), h. 97-98.
10 Satjipto Rahardjo,… h. 97-98.
50
oleh Philipus M. Hadjon, saat mengeluarkan pendapat ahli dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi RI Nomor 005/PUU-IV/2006.11
Kaitannya dengan penelitian ini, pada pertimbangan hukum mahkamah
dalam Putusan Mahkamah Konstusi Nomor 30/PUU-XVI/2018 (putusan
yang menjadi objek kajian peneliti), mahkamah melakukan interpretasi
gramatikalterhadap frasa “pekerjaan lain” yang menjadi pengurus partai
politk termasuk di dalamnya. Mahkamah berpendapat bahwa:
“… Terhadap persoalan tersebut Mahkamah berpendapat tidak terdapat
alasan kuat dan mendasar bagi Mahkamah untuk mengubah pendiriannya.
Sebaliknya, justru terdapat kebutuhan bagi Mahkamah untuk menegaskan
kembali pendiriannya yang berkait dengan keanggotaan DPD tersebut.
Sebab, Pasal 182 UU Pemilu yang mengatur persyaratan perseorangan untuk
menjadi calon anggota DPD tidak secara tegas menyebutkan adanya larangan
bagi pengurus partai politik untuk mencalonkan diri sebagai anggota DPD.
Sebagai lembaga yang didirikan dengan fungsi mengawal Konstitusi dalam
sistem ketatanegaraan yang menganut prinsip supremasi konstitusi,
Mahkamah berkewajiban untuk menjamin terealisasinya semangat yang
terkandung dalam Pasal 22D UUD 1945, sehingga gagasan bahwa DPD
merupakan representasi daerah benar-benar terealisasi dan tidak terdistorsi
dalam praktik kehidupan bernegara yang disebabkan tidak adanya
pembatasan berkenaan dengan persyaratan pencalonan terutama yang terkait
dengan pengurus partai politik.
Dengan tidak adanya penjelasan terhadap frasa “pekerjaan lain yang
dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang, dan hak
sebagai anggota DPD sesuai dengan peraturan perUndang-Undangan” dalam
Pasal 182 huruf l UU Pemilu, timbul ketidakpastian hukum apakah
perseorangan warga negara Indonesia yang sekaligus pengurus partai politik
dapat atau boleh menjadi calon anggota DPD, sehingga bertentangan dengan
Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945. Jika ditafsirkan dapat atau boleh maka hal itu
akan berTentangan dengan hakikat DPD sebagai wujud representasi daerah
dan sekaligus berpotensi lahirnya perwakilan ganda (double representation)
sebab, jika calon anggota DPD yang berasal dari pengurus partai politik
tersebut terpilih, maka partai politik dari mana anggota DPD itu berasal secara
faktual akan memiliki wakil baik di DPR maupun di DPD sekalipun yang
bersangkutan menyatakan sebagai perseorangan tatkala mendaftarkan diri
sebagai calon anggota DPD. Hal ini berarti berTentangan dengan semangat
Pasal 22D UUD 1945. Sebaliknya, jika ditafsirkan tidak dapat atau tidak
boleh, larangan demikian tidak secara ekplisit disebutkan dalam UU Pemilu,
khususnya Pasal 182 huruf l. Oleh karena itu Mahkamah penting menegaskan
bahwa perseorangan warga negara Indonesia yang mencalonkan diri sebagai
anggota DPD tidak boleh merangkap sebagai pengurus partai politik sehingga
Pasal 182 huruf l UU Pemilu harus dimaknai sebagaimana tertuang dalam
amar Putusan ini.
11 Ali Syafa’at, “Penafsiran Konstitusi”,… h. 73.
51
Argumentasi tersebut dipertegas oleh mahkamah, dalam amar
putusannya yang mengadili sepenuhnya permohonan pemohon, serta
melakukan pelebaran penafsiran pada Pasal 182 Huruf l. Yang menyatakan
bahwa:
“Frasa ‘pekerjaan lain’ dalam Pasal 182 huruf l Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 6109) berTentangan dengan UUD 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak
dimaknai mencakup pula pengurus (fungsionaris) partaipolitik”
Secara tidak langsung, mahkamah berpendapat bahwa pengurus
fungsionaris partai politik merupakan bagian dari pekerjaan yang dilarang
dalam Pasal 182 huruf l Undang-Undang a quo, karena dinilai akan
menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang dan hak
anggota DPD. Pasca putusan ini, pengurus fungsionaris partai tidak dapat
mencalonkan diri mereka menjadi anggota DPD.
Peneliti berpendapat, Indonesia menganut sistem negara yang
berbasiskan pada hukum, maka tentu perlunya kita sebagai masyarakat ikut
serta untuk menelisik setiap keputusan hukum yang dibuat oleh
pemerintahannya, sebagai bentuk partisipasi korektif terhadap pemerintah.
Terlebih dahulu, kita harus memeriksa definisi dari pekerjaan serta hal yang
terkait dengannya menurut hukum. Peneliti berlandaskan pada Pasal 1 Ayat
(1) hingga Ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan yang menyatakan bahwa:
“… Ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja
pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja.
Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna
menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri
maupun untuk masyarakat.
Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah
atau imbalan dalam bentuk lain.
Pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau
badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar
upah atau imbalan dalam bentuk lain.”
Berdasarkan hal tersebut, kita dapat menyimpulkan menurut konteks
hukum, sebuah kegiatan yang dapat dikategorikan sebagai pekerjaan apabila
52
memenuhi unsur yang terdiri dari pekerja, pemberi kerja dan upah atas
bayaran dari pekerjaan mereka.
Daftar pekerjaan yang tercantum dalam Pasal 182 huruf l
mencerminkan itu semua, yang terdiri dari akuntan publik, advokat, notaris,
pejabat pembuat akta tanah, dan/atau tidak melakukan pekerjaan penyedia
barang dan jasa yang berhubungan dengan keuangan negara. Keseluruhan
dari pekerjaan tersebut secara hukum sah dikatakan sebagai sebuah
pekerjaan karena memenuhi unsur yang telah dijabarkan sebelumnya.
Kekeliruan terjadi ketika mahkamah melakukan pelebaran tafsir
terhadap pengurus fungsionaris partai politik sebagai pekerjaan lain.
Pasalnya partai politik merupakan organisasi independen, bahkan dalam
partai politik sekalipun tidak ada yang disebut sebagai pekerja, pemberi
kerja serta pembayaran upah terhadap pengurus partai politik seperti yang
digambarkan oleh mahkamah sebagai pekerjaan.
Jika kita melakukan pendekatan secara perundang-undangan, peneliti
menyimpulkan perluasan tafsir yang dilakukan oleh mahkamah keluar dari
konteks pekerjaan yang dimaksud dalam Pasal 182 huruf l UU Pemilu.
Keberadaan pengurus partai politik pada hakekatnya bukanlah untuk
mencari keuntungan pribadi atau sebagai pekerjaan yang memiliki upah.
Melainkan jabatan apresiasi terhadap implementasi kedaulatan rakyat yang
dijamin dalam konstitusi perihal kebebasan berserikat dan menduduki posisi
atas serikat tersebut.
Hal yang senada juga di utarakan dengan konsepsi negara hukum yang
dilakukan oleh International Comission of Jurist atas kajian terhadap
konsepsi negara hukum F.J. Stahl yang melahirkan kriteria baru dalam
negara hukum, hasilnya menandakan bahwa negara hukum selain memiiiki
jaminan hukum, juga harus menjamin hak politik rakyat, sebagai akomodasi
negara yang demokratis, salah satunya adalah hak untuk berkebebasan
berserikat/berorganisasi dan berposisi.12
12 Fatkhurrohman, Dian Aminudin dan Sirajudin, “Memahami Keberadaan Mahkamah
Konstitusi di Indonesia”,… h. 1.
53
2. Konflik Kepentingan
Frasa pekerjaan lain yang ditafsirkan oleh mahkamah dalam
pertimbangannya menunjukkan bahwa pengurus fungsionaris partai politik
menjadi salah satu jabatan yang dilarang di dalamnya. Pasalnya, jabatan
tersebut dianggap berpotensi memiliki konflik kepentingan dengan fungsi,
kewenangan dan hak sebagai anggota DPD.
Terdapat berbagai pendefinisian terhadap konflik kepentingan, salah
satunya di utarakan oleh Organisation for Economic Co-operation and
Development (OECD), yakni:13
“A conflict of interest involves a conflict between the public duty and the
private interest of a public official, in which the official’s private-capacity
interest could improperly influence the performance of their official duties and
responsibilities.”
Definisi yang hampir serupa juga diutarakan oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia (KPK RI). Yakni sebuah
kondisi yang tidak transparan dan akuntabel. Memiliki banyak kelemahan,
dari segi pengawasan hingga hukum. Kekosongan tersebut memicu oknum
untuk bertindak tidak transparan. Sehingga membuka peluang bagi pejabat
negara untuk mengeluarkan kebijakan yang jauh dari kepentingan rakyat.14
Dalam konfigurasi hukum Indonesia, istilah konflik kepentingan
termaktub dalam Pasal 1 Ayat (14) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014
Tentang Administrasi Pemerintahan., yang menyatakan bahwa Konflik
Kepentingan adalah kondisi Pejabat Pemerintahan yang memiliki
kepentingan pribadi untuk menguntungkan diri sendiri dan/atau orang lain
dalam penggunaan wewenang sehingga dapat mempengaruhi netralitas dan
kualitas Keputusan dan/atau Tindakan yang dibuat dan/atau dilakukannya.
Menurut peneliti, konflik kepentingan merupakan suatu tindakan yang
tidak professional. Dimana individu tidak mampu berlaku adil dan
13 OECD (Economic Co-operation and Development), Managing Conflict of Interest in the
Public Sector: A Toolkit, (Paris: OECD Publishing, 2005), h. 13.
14 Komisi Pemberantasan Korupsi, “Panduan Penanganan Konflik Kepentingan Bagi
Penyelenggara Negara”, (Jakarta: KPK, 2009), h. 2.
54
konsekuen terhadap apa yang mereka sepakati atau setujui. Syarat yang
spesifik telah dijelaskan dalam Pasal 182 huruf l Undang-Undang Pemilu,
seluruhnya dapat dikatakan sebuah pekerjaan yang menimbulkan konflik
kepentingan dengan fungsi, kewenangan dan hak sebagai anggota DPD.
Kedudukan individu sebagai Akuntan publik, advokat, notaris, dan
pejabat pembuat akta tanah merupakan pekerjaan yang membutuhkan
objektifitas murni serta berlandaskan pada peraturan perUndang-Undangan
dan kebutuhan personal dari masing-masing klien. Ditambah pekerjaan
tersebut membutuhkan jam kerja penuh waktu dari masing-masing individu
sebagai pekerja, sehingga dengan menjadi anggota DPD sudah pasti akan
mengganggu atau membuat akuntan publik, advokat, notaris, dan pejabat
pembuat akta tanah tidak optimal dalam bekerja.
Untuk pekerjaan penyedia barang dan jasa yang berhubungan dengan
keuangan negara juga memiliki perhatian tersendiri, larangan ditujukan
pada pekerjaan ini karena bersinggungan dengan keuangan negara.
Penyedia barang atau jasa merupakan individu yang bekerja untuk
melakukan pengadaan barang atau jasa, pengaturan mengenai hal tersebut
tercantum pada Pasal 1 Ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018
Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, dalam peraturannya
dinyatakan bahwa:
“Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang selanjutnya disebut Pengadaan
Barang/Jasa adalah kegiatan Pengadaan Barang/Jasa oleh
Kementerian/Lembaga/Perangkat Daerah yang dibiayai oleh APBN/APBD
yang prosesnya sejak identifikasi kebutuhan, sampai dengan serah terima hasil
pekerjaan.”
Proses pengadaan barang/jasa dapat melalui beberapa cara yang
tercantum dalam Pasal 1 Ayat (23), Ayat (26) hingga Ayat (28) Perpres a
quo, yang memperbolehkan pemerintah melakukan pengadaan barang
secara swaloka atau bekerjasama dengan pelaku usaha yang disahkan oleh
kontrak atau perjanjian.
Konflik kepentingan dalam pengadaan barang dan jasa yang berkaitan
dengan keungan negara sudah tepat untuk tidak diperbolehkan, hal tersebut
55
ditujukan agar proses tender dapat dilaksanakan secara objektif , tanpa ada
pihak yang memiliki di pemerintahan. Konflik kepentingan yang senada
juga diutarakan oleh Ombudsman Victoria, kepentingan bisnis pribadi dan
pekerjaan pada sektor publik rentan akan terjadinya konflik kepentingan.15
Berbeda halnya dengan pengurus fungsionaris partai politik, yang
menjadi pengurus inti dari partai politik. Keberadaan partai politik dinilai
mampu untuk menyalurkan aspirasi masyarakat sekaligus dapat dijadikan
kendaraan untuk memperjuangkan kepentingan nasional melalui idealisme
tiap individu masyarakat di kursi pemerintahan, yakni melalui DPD.
Edmund Burke memaparkan, bahwa esensi dari partai politik adalah
sebuah organ yang mewadahi kesamaa aspirasi yang berasal dari sebuah
kelompok. Dengan perjuangan atas dasar kesamaan rasa untuk kemajuan
kepentingan nasional.16 Konsekuensi logis hidup bermasyarakat, sejalan
dengan kehidupan berorganisasi. Yakni, sepenuh hati untuk melakukan
perjuangan. Bertujuan untuk memenuhi kebutuan pribadi hingga kelompok.
Dari kepentingan yang seragam maupun yang beragam. Untuk mencapai
target yang tetap berlandaskan pada nurani kolektif.17
Dewasa ini tingginya partisipasi rakyat merupakan implikasi
pergeseran demokrasi kearah yang lebih modern, yakni praktik indirect
democracy atau demokrasi perwakilan. Konsekuensi dari hal tersebut,
banyaknya masyarakat yang merasa perluu untuk bergabung ke dalam partai
politik. Karena dinilai bahwa partai politik mampu untuk mengorganisir
serta memperluas partisipasi tersebut.18
15 Ombudsman Victoria, Conflict of Interest In The Public Sector, (Victoria: Victorian
Government Publishing, 2008), h. 20.
16 Jesse Norman, ConHome op-ed: the USA, “Radical Conservatism and Edmund Burke”,
https://www.jessenorman.com/2013/09/conhome-op-ed-the-usa-radical-conservatism-and-
edmund-burke.html, diakses pada 15 februari 2019, pukul 21:30.
17 Ali Safa’at Muchamad, Pembubaran Partai Politik: Pengaturan dan praktik Pembubaran
Partai Politik dalam pergulatan Republik. (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), h. 4-5.
18 Samuel Huntington P, Tertib Politik di Tengah Pergeseran Kepentingan Massa, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2003), h. 472.
56
Alasan lain atas berbondong-bondongnya masyarkat bergabung dengan
partai politik adalah untuk merebut kursi pemerintahan agar mereka mampu
merumuskan kebijakan nasional juga mengakomodasi pandangan yang
bersumber dari ideologi partai mereka.19 Sehingga dapat peneliti simpulkan
bahwa partai politik merupakan salah satu fondasi dari demokrasi serta
merupakan hak rakyat untuk memiliki keyakinan politik dalam bentuk
apapun, selama sesuai dengan konteks kepancasilaan sebagai ideologi
negara.
Apabila terdapat larangan bagi pengurus fungsionaris partai politik
menduduki kursi DPD, sama saja dengan melarang pengurus fungsionaris
organisasi advokat (Ex: Peradi) untuk bekerja selain pada persidangan,
melarang pengurus fungsionaris organisasi ke profesian lainnnya (IAPI,
INI, dan IPPAT) untuk melakukan pekerjaannya di lapangan (di luar
kebutuhan keorganisasian dan pekerjaanya), karena pengurus partai politik
merupakan politisi. Sudah seharusnya mengimplementasikan hasil
pendidikan politik yang telah ia peroleh di partainya kedalam jabatan publik.
Konflik kepentingan oleh pengurus fungsionaris partai politik hanya
akan terjadi apabila terdapat ketidaksinambungan tujuan partai politk dan
DPD. Namun hal tersebut tidak akan terjadi, menurut Pasal 10 hingga 11
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2008 Tentang Partai Politik menyatakan:
Pasal 10
(1) Tujuan umum Partai Politik adalah:
a. Mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
b. Menjaga dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia;
c. Mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila
dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia; dan
d. Mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
(2) Tujuan khusus Partai Politik adalah:
a. Meningkatkan partisipasi politik anggota dan masyarakat dalam
rangka penyelenggaraan kegiatan politik dan pemerintahan;
19 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik,… h. 160-161.
57
b. Memperjuangkan cita-cita Partai Politik dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; dan
c. Membangun etika dan budaya politik dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. (3) Tujuan Partai Politik
sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dan Ayat (2) diwujudkan secara
konstitusional.
Pasal 11
(1) Partai Politik berfungsi sebagai sarana:
a. Pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas agar menjadi
warga negara Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;
b. Penciptaan iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa
Indonesia untuk kesejahteraan masyarakat
c. Penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat
dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara;
d. Partisipasi politik warga negara Indonesia; dan e. rekrutmen politik
dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi
dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender.
(2) Fungsi Partai Politik sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) diwujudkan
secara konstitusional.
Kepentingan dari partai politik menurut Undang-Undang partai politik
mengisaratkan kepada seluruh kepentingan rakyat dan kepentingan
nasional. Untuk hidup dan dapat menggerakkan roda organisasi dalam partai
politik, Pasal 14 Undang-Undang a quo menyatakan bahwa siapa saja dapat
menjadi bagian dari partai politik tanpa terkecuali, serta dalam Pasal 15
Ayat (1) Undang-Undang a quo yang menjelaskan bahwa kedaulatan partai
berada pada tangan anggota yang dilaksanakan menurut AD dan ART
masing-masing partai.
Indikasi demikian dapat kita artikan bahwa di dalam pengelolaan
sebuah partai politik, anggotalah yang memiliki kedudukan vital dan
berdaulat di dalam sebuah partai. Ditambah dengan adanya fungsi partai
untuk melakukan atau sebagai pendidikan politik bagi anggota partai dan
masyarakat dapat dijadikan garansi atas kemahiran anggota serta
pengurusnya dalam berorganisasi.
Eksistensi dari individu pengurus fungsionaris partai politik dapat
secara tidak langsung menjadi injeksi konstitusional DPD dalam
menjalankan perannya. Menurut Pasal 19 Undang-Undang Partai Politik
kedudukan dari kepengurusan partai politik berada pada tiap tingkatan
58
pemerintahan, kepengurusan tingkat pusat berada pada ibu kota negara,
kepengurusan tingkat provinsi berada pada ibu kota provinsi, serta
kepengurusan tingkat kab/kota berada pada ibu kota kab/kota.
Pemilihan pengurus partai pada tiap tingkatan menurut Pasal 22
Undang-Undang a quo dilakukan secara demokratis, yakni melalui
musyawarah yang sesusai dengan AD/ART. Dalam pengambilan keputusan
partai politik di tiap tingkatan tersebut dilakukan juga secara demokratis
yang sesuai dengan AD/ART masing-masing partai, hal tersebut yang
tertuang dalam Pasal 27 hingga Pasal 28 Undang-Undang a quo. Tidak
adanya kemungkinan pengurus fungsionaris partai mendahulukan
kepentingan subjektif atas tugas diemban sebagai pengurus partai dalam
jabatannya, hal tersebut menandakan bahwa secara legal formil tidak adanya
konflik kepentingan yang secara nyata dalam antar peraturan DPD dan
Partai Politik, justru saling menguatkan.
Keuntungan dari letak kepengurusan partai politik yang tersebar di
berbagai tingkat pemerintahan tak lain untuk mempermudah mobilisasi
serta komunikasi anggota DPD kepada konstituennya. Pasalnya, anggota
DPD hanya terdiri dari empat orang per provinsi. Sehingga dalam
menjalankan tugasnya DPD dapat optimal dan meminimalisir waktu serta
tenaga anggota DPD tersebut, apabila dapat dibantu oleh mesin partai untuk
menjalankan perannya.
Keuntungan lain juga hadir dalam kewenangan DPD dapat mengajukan
rancangan Undang-Undang yang menyangkut kepentingan daerah kepada
DPR. Minimnya anggota DPD yang jumlahnya tidak boleh lebih dari
sepertiga anggota DPR sudah pasti tidak akan optimal untuk
memperjuangkan kepentingan daerah dalam hal legislasi dengan aroma
kedaerahan.
Namun dengan adanya individu DPD yang berasal dari pengurus
fungsionaris partai politik akan mempermudah jalur konsolidasi atas
kepentingan daerah yang nantinya akan disetujui oleh DPR bersama
presiden. Alur rekayasa konstitusional seperti ini merupakan salah satu jalan
59
keluar atas minimnya kewenangan DPD dalam UUD NRI 1945, tidak
adanya peran DPD hingga tahap pengesahan mengharuskan pembentuk
Undang-Undang melakukan manuver hukum untuk memperkuat DPD dari
segi keanggotaan namun tetap sesuai dengan UUD.
Perbedaan dari output yang dihadirkan oleh tiap partai politik tidak
dapat disebut sebagai sebuah konflik kepentingan atau lebih mementingan
kepentingan partai dari pada rakyat. Namun, hal tersebut timbul akibat
bermacam ideologi dari berbagai partai politik yang berlomba-lomba untuk
mengartikulasikan kepentingan rakyat dalam pemerintahan melalui cara
mereka masing-masing.
Menjadi diperjuangkan
Sama Dengan ke dalam
Secara filosofis, partai politik menurut Russel J Dalton dan Martin P
Wattenberg yang memiliki tiga fungsi penting dalam organisasi dan
pemerintahan.20 Salah satunya adalah parties in the organization atau partai
sebagai organisasi. Dalam fungsi ini partai dibebankan tanggungjawab
untuk melakuken rekruitmen atau kaderisasi kepimimpinan politik bagi
negara dengan melakukan pelatihan elite politik yang mampu untuk
mengartikulasikan kepentingan politik tiap partainnya serta mengagregasi
atau melakukan filter terhadap berbagai kepentingan yang ada dalam partai
tersebut untuk diperjuangkan di tingkat nasional. Sehingga peneliti
simpulkan dengan adanya pengurus fungsionaris partai politik dalam
keanggotaan DPD tidak akan menimbulkan konflik kepentingan dengan
fungsi, kewenandan dan hak sebagai anggota DPD.
20 Sigit Pamungkas, Partai Politik: Teori dan Praktik di Indonesia, (Yogyakarta: Institute for
Democracy and Welfarism, 2011), h. 15-20.
Kebijakan
Publik
Artikulasi
Parpol
Kepentingan
Rakyat
60
B. Dewan Perwakilan Daerah Dalam Iklim Constitutional Democracy
1. Teritorial Representative
Pada pertimbangan mahkamah yang lainnya, mahkamah juga
menggunakan interpretasi gramatikal, historis, komparatif dan struktural.
Interpretasi historis merupakan penafsiran yang menggunakan pendekaatan
original intent sebuah konstitusi, penafsiran ini digunakan untuk
menjelaskan struktur, konteks dan tujuan dari hukum tersebut.21 Sedangkan
interpretasi komparatif merupakan tindakan penafsiran melalui
perbandingan yang dilakukan antara beberapa hukum, guna mencari
kesesuaian atau pertentangan.22 Ditujukan untuk mencari kejelasan makna
yang terkandung dalam suatu peraturan.
Interpretasi struktural merupakan jenis penafsiran dengan metode
mensistematiskan peraturan yang lebih rendah kepada yang lebih tinggi.
Dalam hal ini, antara Undang-Undang dan konstitusi. Menurut Bobbit,
penafsiran ini berkaitan salah satunya dengan pemisahan kekuasaan serta
permasalahan lain yang terkait dengannya.23 Menurut peneliti, ketiga
interpretasi tersebut digunakan dalam pertimbangan mahkamah untuk
menekankan pada akan terjadinya double representative atau perwakilan
partai secara ganda, antara DPR dan DPD apabila diperbolehkannya
pengurus partai politik berada dalam keanggotaan DPD. Lebih lengkapnya,
dalam pertimbangannya mahkamah menyatakan:
“Menimbang bahwa sejak putusan pertamanya yang berkait dengan
keanggotaaan DPD, yaitu Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 10/PUU-
VI/2008, Mahkamah secara konsisten menunjukkan pendiriannya dalam
menjaga hakikat keberadaan DPD sesuai dengan desain UUD 1945. Hal itu
tertuang dalam pertimbangan hukum putusan-putusan Mahkamah
selanjutnya, yaitu di antaranya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
92/PUU-X/2012 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79/PUU-
XII/2014 yang keduanya berkait dengan kewenangan DPD. Dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012, sebelum sampai pada
21 Anthony Mason, The Interpretation of a Constitution in a Modern Liberal Democracy,
dalam Charles Sampford (Ed.), Interpreting Constitutions Theories, Principles and Institutions,...
h. 14.
22 Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Penemuan Hukum,… h. 19.
23 Ali Syafa’at, “Penafsiran Konstitusi”,… h. 77.
61
pendapatnya mengenai kewenangan legislasi DPD, Mahkamah dalam
pertimbangan hukumnya menekankan keanggotaan DPD sebagai
representasi teritorial yang pengisian jabatannya bukan berasal dari partai
politik serta perbedaannya dengan anggota DPR yang berasal dari partai
politik. Mahkamah antara lainmenyatakan:
4. DPD adalah sebuah lembaga negara yang dibentuk berdasarkan perubahan
UDD 1945. Pembentukan DPD merupakan upaya konstitusional yang
dimaksudkan untuk lebih mengakomodasi suara daerah dengan memberi
saluran, sekaligus peran kepada daerah- daerah. Saluran dan peran tersebut
dilakukan dengan memberikan tempat bagi daerah-daerah untuk
menempatkan wakilnya dalam badan perwakilan tingkat nasional untuk
memperjuangkan dan menyuarakan kepentingan-kepentingan daerahnya
sehingga akan memperkuat kesatuan Negara Republik Indonesia.
Perwakilan daerah dalam DPD mencerminkan prinsip representasi
teritorial atau regional (regional representation) dari daerah, dalam hal ini
provinsi. Dengan demikian, keberadaan DPD tidak dapat dipisahkan dari
adanya Utusan Daerah sebagai salah satu unsur MPR. Dengan
ditetapkannya bahwa seluruh anggota MPR harus dipilih dalam Pemilihan
Umum [vide Pasal 2 Ayat (1) UUD 1945], maka Utusan Daerah pun harus
dipilih dalam Pemilihan Umum.
5. … Keterwakilan anggota DPR dan anggota DPD yang sama-sama
mewakili daerah di badan perwakilan tingkat nasional mengandung
perbedaan, antara lain, anggota DPR dipilih berdasarkan daerah- daerah
pemilihan dari seluruh Indonesia. Adapun anggota DPR dicalonkan dan
berasal dari partai politik peserta pemilihan umum, yang dalam posisinya
sebagai anggota DPR mewakili dua kepentingan sekaligus, yaitu
kepentingan partai politik dan kepentingan rakyat daerah yang
diwakilinya. Pada sisi lain, anggota DPD berasal dari perseorangan yang
dipilih secara langsung oleh rakyat di daerah tersebut, sehingga anggota
DPD hanya akan secara murni menyuarakan kepentingan-kepentingan
daerahnya, yaitu seluruh aspek yang terkait dengan daerah yang
diwakilinya. Berbeda dengan anggota DPR, yang oleh karena mewakili
partai politik tertentu sering dibebani oleh misi partai politik yang
bersangkutan. Selain itu, wakil rakyat yang duduk di DPR yang berasal
dari partai politik dan terpilih dari suatu daerah pemilihan dapat saja
berdomisili atau berasal dari daerah lain yang bisa saja tidak begitu
mengenal daerah yang diwakilinya. Hal semacam itu sangat kecil
kemungkinan terjadi bagi anggota DPD, karena mereka dipilih secara
perseorangan dalam pemilihan umum secara langsung oleh rakyat di
daerah yang bersangkutan;
Dengan pertimbangan yang menekankan pada hakikat keberadaan DPD
serta perbedaan antara anggota DPD dan anggota DPR demikian tampak jelas
bahwa Mahkamah tidak mengubah pendiriannya sebagaimana ditegaskan
dalam putusan sebelumnya, in casu Putusan Mahkamah Konsitusi Nomor
10/PUU- VI/2008, bahwa anggota DPD bukan berasal dari partai politik.
Pendirian Mahkamah tersebut koheren dengan pendirian Mahkamah
berkenaan dengan kewenangan legislasi yang dimiliki oleh DPD
sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79/PUU-
XII/2014 yang pada intinya menegaskan bahwa DPD harus secara maksimal
62
dilibatkan dalam proses pembentukan Undang-Undang yang berkaitan
dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan
pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya ekonomi
lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah (vide lebih jauh
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79/PUU- XII/2014).
Dikatakan koheren sebab jika DPD tidak dilibatkan secara maksimal
dalam proses penyusunan Undang-Undang yang berkait dengan soal-soal
tersebut maka hakikat representasi daerah yang melekat dalam eksistensi
DPD (yang anggota-anggotanya bukan berasal dari partai politik) akan
terdegradasi karena keputusan politik yang diambil dalam soal-soal yang
langsung berkait dengan kepentingan daerah tersebut akan lebih banyak
ditentukan oleh lembaga yang merupakan representasi politik, yakni DPR
(yang anggotanya berasal dari partai politik). Apalagi, Anggota DPR yang
berasal dari daerah provinsi tidaklah selalu sepenuhnya dapat dikatakan
mewakili provinsi yang bersangkutan sebagaimana halnya anggota DPD
karena basis pencalonan Anggota DPR adalah berdasarkan daerah pemilihan
(Dapil) di suatu provinsi meskipun untuk provinsi tertentu, provinsi sekaligus
menjadi Dapil karena jumlah Dapil-nya berjumlah tidak lebih dari satu.
Dengan demikian, dalam analisis selanjutnya, apabila keanggotaan DPD juga
dimungkinkan berasal dari partai politik, in casu pengurus partai politik,
maka keadaan demikian akan makin meneguhkan fenomena di mana
keputusan politik yang berkait langsung dengan kepentingan daerah,
khususnya dalam kebijakan legislasi, secara faktual menjadi berada di tangan
pihak yang semata-mata merupakan representasi politik. Hal ini jelas tidak
bersesuaian dengan semangat yang terkandung dalam Pasal 22D UUD1945.
Menurut hemat peneliti, terdapat kekeliruan mahkamah dalam
melakukan perbandingan menggunakan kata “berasal” yang dihadapkan
secara setara kepada DPR dan DPD. Secara bahasa, kata berasal berarti
bersumber.24 Dalam pertimbangannya, mahkamah menegaskan bahwa
anggota DPR merupakan representasi politik karena anggotanya berasal dari
partai politik. Menurut peneliti, asumsi demikian muncul akibat dari bunyi
Pasal 19 Ayat (1) dan 22E Ayat (3) UUD NRI 1945. Yang menyatakan
bahwa, anggota DPR dipilih melalui pemilihan umum dan peserta pemilihan
umum DPR adalah partai politik. Atas dasar tersebut, dalam
pertimbangannya dikatakan bahwa anggota DPR berasal dari partai politik.
Jika kita bandingkan dengan pernyataan mahkamah yang menyatakan:
“… Dengan demikian, dalam analisis selanjutnya, apabila keanggotaan DPD
juga dimungkinkan berasal dari partai politik, in casu pengurus partai
politik…”
24 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa,
2008), h. 95.
63
Dari kalimat tersebut, peneliti berpandangan bahwa mahkamah
berpendapat, jika diperbolehkanya pengurus partai politik untuk ikut serta
dalam kontestasi pemilihan anggota DPD, maka terbuka peluang untuk
anggota DPD berasal dari partai. Hal tersebut merupakan perbandingan
yang tidak seimbang, karena pengurus partai politik dalam pencalonan DPD
tidaklah menjadi sumber anggota DPD, melainkan hanya menjadi latar
belakang calon anggota DPD. Karena sumber anggota DPD menurut Pasal
22C Ayat (1) UUD dan 22E Ayat (4) UUD NRI 1945 adalah anggota yang
terpilih melalui pemilihan umum dan pesertanya adalah perorangan.
Sehingga frasa ‘berasal’ tidak dapat digunakan secara setara antara DPR dan
DPD.
Pada hakikatnya, iklim demokrasi konstitusional telah mendewasakan
hak masyarakat untuk menyuarakan ide serta gagasan mereka ke dalam
kursi pemerintahan, sebagian masyarakat saat ini juga berfikir untuk
menjadi bagian dari pemerintah namun melalui jalur yang tidak dibatasi
oleh suatu golongan atau yang biasa kita kenal sebagai jalur perorangan.
Konsep tersebut dinilai sebagai proses purifying ideafrom representative
body yang diajukan secara langsung tanpa filter ideology dari sebuah
organisasi atau sebuah kelompok.
Konsepsi demikian terakomodir dengan terbentuknya Dewan
Perwakilan Daerah dengan anggota yang berasal dari perorangan. Hadirnya
DPD dinilai sebagai pertemuan dari dua kutub gagasan untuk
mendemokratisasi rakyat Indonesia dan mengakomodir kepentingan daerah
yang ditujukan untuk menjaga integrasi nasional.25
Sejalan demikian, Sri Sumantri Martosoewignjo dan Mochamad
Isnaeni Ramdhan menyatakan, hadirnya DPD dinilai untuk mengakomodir
tuntutan demokratisasi dalam pengisian anggotanya, sebagai lembaga yang
diharapkan mampu untuk menggantikan Utusan Golongan dan Daerah
dalam Komposisi MPR. Karenanya, DPD sangat diharapkan mampu untuk
25 Muchamad Ali Safa’at, “DPD Sebagai Lembaga Perwakilan Daerah dan Proses Penyerapan
Aspirasi”, www.safaat.lecture.ub.ac.id, h. 1. diakses pada 7 Juli 2019.
64
meredam aspirasi hingga tuntutan beberapa daerah untuk memisahkan diri
melalui gerakan separatisme yang dikabulkan melalui otonomi daerah.
Berdasarkan hal tersebut, lahirnya DPD diciptakan sebagai territorial
representative.26
Alasan demikian dapat kita lihat dari rapat PAH I BP MPR saat
perumusan DPD. Salah satu anggotanya, I Dewa Gede Palguna, menyatakan
bahwa:27
“Pembentukan Dewan Perwakilan Daerah dengan sejumlah wewenang yang
diberikan kepadanya, yang nanti akan dijelaskan pada uraian berikutnya
adalah sebagai upaya konstitusional untuk memberi saluran sekaligus peran
kepada daerah-daerah untuk turut serta dalam pengambilan keputusan politik
terhadap masalah-masalah yang berkaitan dengan daerah. Asumsinya adalah,
jika daerah-daerah telah merasa diperhatikan dan diperankan dalam
pengambilan keputusan-keputusan politik penting yang menyangkut
kepentingannya maka alasan untuk memisahkan diri itu akan kehilangan
argumentasi rasionalnya.”
Eksistensi DPD sebagai perwakilan kepentingan daerah di tingkat pusat
dalam era demokrasi kontitusional, tercermin dengan sangat jelas pada
proses pemilihannya. Sebelumnya, perwakilan daerah tidak dipilih langsung
oleh rakyat. Namun pasca era ini, seluruh perwakilan kepentingan daerah
ini dipilih secara langsung melalui pemilihan umum. Jenis pemilihan umum
yang dilaksanakan untuk pemilihan anggota DPD berbeda dengan DPR,
paslnya DPD menggunakan sistem distrik, sedangkan DPR menggunakan
konsep daerah pemilihan. Konsekuensi tersebut sejalan dengan karakteristik
dari demokrasi konstitusional, yakni adanya prosedur wakil rakyat yang
dipilih secara periodik melalui pemilu.28
26 Sri Soemantri Martosoewignjo dan Mochamad Isnaeni Ramdhan, Perihal Dewan
Perwakilan Daerah Dalam Perspektif Ketatanegaraan, dalam Janedjri M. Gaffar et al. (ed.), Dewan
Perwakilan Daerah Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, (Jakarta: Sekretariat
Jenderal MPR RI dan UNDP, 2003), h. 32.
27 I Dewa gede Palguna, Susunan Dan Kedudukan Dewan Pewakilan Daerah, dalam Janedjri
M. Gaffar et al. (ed.), Dewan Perwakilan Daerah Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik
Indonesia,… h. 62.
28 Charles N. Quigley, “Constitutional Democracy”, www.civiced.org, diakses pada 22 Juni
2019.
65
Proses pemenuhan asas demokrasitisasi untuk pemilihan umum
anggota DPD sebelum mengalami perdebatan panjang untuk syarat calon
anggotanya, kongklusi dari perdebatan tersebut memperbolehkan anggota
DPD berasal dari partai maupun individu, karena pemilihan yang dilakukan
dalam proses pemungutan suara ialah memilih orang bukan memilih
gambar.29
Realisasi konstitusional akan eksistensi perdebatan tersebut termaktub
dalam Pasal 22E Ayat (4) UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa peserta
pemilu DPD adalah perorangan. Hal yang senada ditegaskan dalam Pasal 1
Ayat (27) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu yang juga
menyatakan bahwa peserta pemilu DPD adalah perorangan. Dan penjelasan
Tentang perorangan termaktub dalam Pasal 1 Ayat (31) UU a quo yakni
perorangan yang telah memenuhi persyaratan sebagai peserta pemilu
anggota DPD.
Persyaratan sebagai peserta pemilu DPD diatur dalam Pasal 182 UU a
quo, namun hal yang sebaliknya muncul saat lahirnya Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 30/PUU-XVI/2018 yang memperluas salah satu syarat
anggota DPD, yakni pada Pasal 182 huruf I UU Pemilu dalam frasa
“pekerjaan lain” yang di dalamnya harus memuat pengurus fungsionaris
partai politik.Dalam pertimbangan hukum putusan a quo, mahakamah
menilai akan terjadi konflik kepentingan dalam menjalankan tugas DPD.
Problematika tesebut bermuara pada kekhawatiran akan bergesernya
sifat perwakilan dari DPD, semula dari perwakilan daerah di tingkat pusat
menjadi perwakilan partai politik. Artikulasi mahkamah dalam
pertimbangannya yang menyatakan bahwa akan terjadinya double
representative atau perwakilan ganda pada tubuh MPR, yakni perwakilan
politik yang dapat menduduki kursi DPR hingga DPD. Karena dengan
diperbolehkannya pengurus partai politik dalam kursi DPD dikhawatirkan
29 Tim Penyusun Revisi Naskah Komprehensif Proses dan Hasil Perubahan UUD 1945,
Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan 1999-2002, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan, 2010), h. 78.
66
akan lebih mementingkan kepentingan partai politik dari pada kepentingan
rakyat daerah.
Peneliti berpandangan sebaliknya, pengurus fungsionaris partai politik
yang duduk di kursi DPD tidak akan menjadi perwakilan partai. Terdapat
perbedaan yang sangat mendasar antara keduanya, dari sumber peserta
pemilu, model dan larangan kampanye, cakupan pengambilan suara hingga
model kertas suara yang dibagikan untuk dipilh oleh rakyat.
Pasal 1 Ayat (27) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang
Pemilihan Umum menjelaskan perbedaan yang mendasar untuk calon
peserta pemilu DPR dan DPD. Peserta pemilu untuk DPR adalah partai
politik, sedangkan peserta pemilu untuk anggota DPD ialah perorangan.
Artinya anggota DPD melakuan perwakilan secara langsung antar Individu
kepada rakyat provinsinya langsung tanpa di usung oleh partai politik.
Dalam rangka untuk memperkenalkan calon wakil rakyat kepada
rakyatnya, KPU selaku pelaksana pemilu memberika rentang waktu untuk
melakukan proses pengenalan calon atau proses kampanye yang
dilaksanakan oleh pelaksana kampanye masing-masing. Pelaksana
kampanye untuk DPD diatur dalam Pasal 271 UU a quo yang menyatakan
bahwa Pelaksana Kampanye Pemilu anggota DPD terdiri atas calon anggota
DPD, orang seorang, dan organisasi yang ditunjuk oleh Peserta Pemilu
anggota DPD. Proses kampanye untuk memperkenalkan calon juga
membutuhkan dana kampanye untuk melaksanakannya, regulasi sumber
dana kampanye juga akan menentukan asas keterwakilan serta independensi
dari tiap peserta pemilu.
Untuk DPD, sumber dana kampanye termaktub dalam Pasal 332 Ayat
(1) dan (2) UU a quo yang menyatakan bahwa kegiatan serta dana
kampanye DPD menjadi tanggungjawab calon anggota DPD masing-
masing, serta bersumber dari calon anggota DPD yang bersangkutan dan
sumbangan yang sah menurut hukum. Berbeda halnya denga partai politik,
Pasal 329 Ayat (1) dan (2) UU a quo menyatakan bahwa dana yang
dikeluarkan untuk proses kampanye calon menjadi tanggungjawab partai
67
politik masing-masing peserta pemilu, serta dana kampanye juga berasal
salah satunya dari partai politik.
Perbedaan mendasar tercermin pada materi kampanye, Pasal 274 Ayat
(1) huruf b & c yang menegaskan bahwa materi kampanye untuk anggota
DPR adalah visi, misi dan program partai politik. Sedangkan materi
kampanye bagi anggota DPD adalah visi, misi dan program yang
bersangkutan untuk kampanye perorangan anggota DPD. Penegasan atas
keseluruhan mekanisme tersebut termaktub dalam Pasal 280 Ayat (1) huruf
I UU a quo melarang membawa atau menggunakan tanda gambar dan/atau
atribut selain dari tanda gambar dan/atau atribut peserta pemilu yang
bersangkutan. Konsekuensi dari hal tersebut adalah anggota DPD dilarang
mengkampanyekan selain dari dirinya sendiri.
Dari proses pengenalan tersebut dapat kita simpulkan bahwa anggota
DPD akan menjadi perwakilan individu untuk daerah serta membuat
pemilih mengenali mereka sebagai calon independen anggota DPD secara
perorangan, bukan diperkenalkan latarbelakang dari calon perorangan
anggota DPD tersebut.
Proses pelaksanaan pemilu anggota DPD juga memiliki perbedaan yang
menjadikan ciri khas dari DPD sebagai territorial representative, Pasal 168
Ayat (3) UU a quo menjelaskan bahwa pemilu DPD akan dilaksanakan
dengan sistem distrik berwakil banyak. Sistem distrik atau yang biasa
dikenal sebagai single non-transferable vote system memiliki kelebihan
yakni membuat wakil rakyat dekat dengan konstituennya, Pasalnya lingkup
distrik yang tidak begitu besar (provinsi) membuat para wakil bisa terfokus
pada distrik sebagai tanggungjawab mereka masing-masing.30
Interkoneksi dari anggota DPD sebagai territorial representative
dengan demikian tidak akan terdegradasi dengan kepentingan partai politik,
apabila terdapat pengurus partai di dalam anggotanya. Karena relasi yang
dibangun oleh anggota DPD ialah relasi perorangan dengan distrik masing-
30 Husni Kamil Malik, “Sistem Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD Tahun 2014”,
www.fhuiguide.files.wordpress.com, diakses pada 8 Juli 2019.
68
masing. Relasi demikian menurut Googerwerf disebut sebagai relasi
diversifikasi, yakni wakil rakyat dilihat sebagai perwakilan individu yang
mencerminkan teritorial, golongan, atau kelompok sosial tertentu yang
menjadi tempat perwakilannya.31
Namun relasi dengan anggota yang akan selalu tunduk kepada partai
juga dapat muncul dalam lembaga perwakilan. Hal tersebut disampaikan
oleh Gilbert Abcarian, yang menyatakan bahwa relasi tersebut adalah
bentuk relasi partisan, dimana loyalis partai akan mendengarkan seluruh
arahan partai serta melupakan aspirasi konstituennya, namun tindakan
tersebut hanya akan terjadi apabila calon diusung oleh partai.32 Dalam
konteks ke Indonesiaan, bentuk relasi yang demikian kemungkinan besar
terjadi dalam lembaga DPR, bukan DPD.
Pada akhirya peneliti berpandangan sebaliknya. Bahwa mahkamah
seharusnya tidak melakukan penafsiran yang keluar dari konteks konstitusi
atau the underlying idea behind the text of constitution,sebagai hukum
tertinggi atau grundnorm,33 karena dalam perdebatan yang terjadi dalam
Rapat Tim Perumus PAH I BP MPR menyatakan bahwa anggota DPD dapat
bersumber dari independen atau partai selama dipilih dan mewakili individu
bukan kelompok atau partai.34
2. Independensi Dewan Perwakilan Daerah
Perkara Independensi atau output kebijakan yang akan dikeluarkan oleh
DPD akan terganggu, apabila pengurus partai terdapat di dalamnya. Karena
hadirnya DPD harus menjadi penyeimbang kekuatan politik DPR dan
31 Bintan R Saragih dan Moh. Kusnadi, Ilmu Negara, Edisi Revisi, Cetakan Keempat, (Jakarta:
Gaya Media Pratama, 2000), h. 189.
32 Abu Dauh Busroh, Ilmu Negara, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008) h. 143.
33 Raymond Wacks, Understanding Jurisprudence: An Introduction to Legal Theory, (Oxford:
Oxford University Press, 2005), h. 90. dalam Atip Latipulhayat, “Khazanah: Hans Kelsen”,
Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum, Volume 1 -1 No.1 – Tahun 2014, h. 202.
34 Risalah Rapat Tim Perumus PAH I BP MPR, 6 Mei 2000,… h. 78.
69
Presiden. Lebih lengkapdalam pertimbangan hukumnya, mahkamah
menyatakan:
“Menimbang bahwa gagasan untuk lebih meningkatkan akomodasi terhadap
aspirasi daerah yang diejawantahkan dengan pembentukan DPD tersebut
akan terwujud apabila aspirasi daerah itu tercermin dalam keputusan politik
yang diambil di tingkat nasional, khususnya dalam kebijakan legislasi, in casu
pembentukan Undang-Undang sebagai penjabaran lebih jauh dari gagasan
yang tertuang dalam UUD 1945 yang berkait langsung dengan kepentingan
daerah. Dalam konteks demikian DPD didesain sebagai kekuatan
pengimbang terhadap DPR sebagai lembaga negara yang oleh UUD 1945
diberi kekuasaan membentuk Undang-Undang bersama Presiden [vide Pasal
20 juncto Pasal 5 Ayat (1) UUD 1945]. Artinya, kebijakan legislasi dalam
wujud pembentukan undang- undang yang berkait langsung dengan
kepentingan daerah tidak boleh semata- mata lahir sebagai produk akomodasi
dan kompromi politik kekuatan-kekuatan yang merupakan perwujudan
representasi politik, yaitu DPR dan Presiden yang meskipun sama-sama
dipilih oleh rakyat namun pengusulan dalam pengisian jabatannya dilakukan
melalui sarana partai politik. Oleh karena itu, untuk dapat menjadi kekuatan
pengimbang dimaksud maka pengisian jabatan anggota DPD haruslah berasal
dari luar partai politik. Anggota DPD didesain berasal dari tokoh- tokoh
daerah yang sungguh-sungguh memahami kebutuhan daerahnya dan
memiliki kemampuan untuk (bersama-sama dengan tokoh-tokoh dari daerah
lain) menyuarakan dan memperjuangkan kebutuhan itu dalam pengambilan
keputusan politik nasional yang berkait langsung dengan kepentingan daerah,
khususnya dalam proses pembentukan Undang-Undang. Gambaran itulah
yang dapat disarikan dari proses pembahasan yang terjadi di Panitia Ad Hoc
I Badan Pekerja MPR ketika merumuskan pelembagaan DPD (vide lebih jauh
Risalah rapat-rapat Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR, khususnya
pembahasan pada Perubahan Kedua dan Ketiga UUD1945).
Menurut peneliti, kekhawatiran mahkamah menurut pertimbangannya
di atas tidak mudah terjadi. Pasca terpilihnya seorang calon anggota sebagai
anggota DPD, merekalangsung terikat dengan regulasi mengenai kode etik
serta peraturan mengenai DPD. Urgensi tersebut ditujukan untuk menjaga
serta melindungi anggota DPD dari tindakan yang dianggap akan
mencoreng marwah dari DPD atau membuat DPD keluar dari peran
utamanya, yakni sebagai perwakilan daerah di tingkat pusat.
Penjagaan independensi dari DPD juga diperkuat dalam Undang-
Undang maupun regulasi lainnya, seperti sebelum memangku jabatannya
DPD wajib bersumpah seperti yang terdapat dalam Pasal 254 Undang
Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
70
Rakyat Daerah (UU MD3) yang menegaskan sumpah bagi seluruh anggota
DPD untuk menjalankan kewajibannya sebagai anggota maupun pimpinan
DPD dengan adil serta wajib pula untuk mengutamakan kepentingan
bangsa, negara dan daerah daripada kepentingan pribadi, seseorang dan
golongan.
Sumpah anggota DPD termanifestasi dalam kewajiban DPD yang
tercantum dalam Pasal 258 huruf d UU MD3 yang mewajibkan bagi seluruh
anggota DPD untuk mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan
pribadi, kelompok, golongan dan daerah. Setelah mengucapkan sumpah dan
serta menaati kewajiban DPD, anggota DPD juga harus menandatangani
Pakta Integritas yang tertuang dalam Pasal 10 Ayat (1) Peraturan Dewan
Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Tata
Tertib yang ditujukan untuk mencerminkan penyelenggaraan yang baik dan
tidak koruptif serta bersedia diberhentikan oleh Badang Kehormatan DPD
apabila dikemudia hari ditemukan terjadinya pelanggaran sumpah atau kode
etik DPD.
Alasan pemberhetian anggota DPD atau yang biasa dikenal dengan
istilah penggantian antarwaktu menurut Pasal 307 Ayat (1) UU MD3 terjadi
karena tiga hal, yang salah satunya adalah diberhentikan. Alasan
pemberhentian termaktub dalam Ayat (2), salah satu alasannya adalah
apabila melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik DPD. Sehingga
peneliti menyimpulkan bahwa individual guarantee of legislator
Independence untuk bersifat netral dan tidak memiliki konflik kepentingan
dengan latarbelakang anggota mereka sebagai anggota DPD sudah sangat
terang menurut hukum. Apabila terjadinya pelanggaran atau konflik
kepentinganpun, Undang-Undang terkait telah mengatur mekanisme
penyelesaian permasalahan tersebut yang berujung pada pergantian
antarwaktu anggota DPD terkait.
Untuk menjaga independensi dari kelembagaan DPD, dalam kinerja
lembaganya DPD dilengkapi dengan alat kelengkapan DPD yang diatur
dalam Pasal 259 Ayat (1) UU MD3 yang salah satunya adalah Pimpinan
71
DPD. Menurut Pasal 50 Ayat (1) Peraturan DPD a quo menggariskan bahwa
seluruh anggota DPD berhak mendaftarkan diri sebagai bakal calon
pimpinan DPD.
Salah satu tugas Pimpinan DPD menurut Pasal 261 Ayat (1) UU MD3
adalah mempimpin sidang DPD serta menyimpulkan hasil sidang untuk
diambil keputusan. Sedangkan proses pengambilan keputusan DPD
termaktub dalam Pasal 296 Ayat (1) dan (2) UU MD3 menyatakan bahwa
proses pengambilan keputusan dilakukan dengan cara musyawarah untuk
mufakat, apabila musyawarah untuk mufakat tidak terpenuhi, maka
keputusan akan diambil melalui suara terbanyak.
Penjelasan mengenai cara pengambilan suara terbanyak dijelaskan
dalam Pasal 297 Ayat (1) & (2) UU MD3 yang menyatakan bahwa
keputusan hanya akan diambil ketika telah mencapai kuorum serta kuorum
dinyatakan terpenuhi apabila rapat dihadiri oleh ½ jumlah anggota
rapat/sidang. Dengan demikian, apabila pemohon dalam permohonannya
menyatakann bahwa terdapat 78 dari 132 berasal dari anggota hingga
pengurus partai politik akan menganggu independensi DPD, hal tersebut
hanyalah asumsi belaka.
Jika kita melakukan perhitungan dengan data yang disertakan
pemohon, jumlah anggota DPD yang berasal dari partai politik yang secara
sah menjadi koalisi pemerintahan pada pemilu 2014 yakni hanya sejumlah
56 anggota (Hanura 28 Anggota, Golkar 14 Anggota, PPP 8 Anggota, PKB
3 Anggota, PDI-P 2 Anggota dan Nasdem 1 Anggota). Bahkan jumlah
koalisi mayoritas partai kolisi pemerintahanpun tidak mencapai angka
kuorum dari 132 anggota DPD, yakni 66 orang. Konsekuensi logis dari hal
tersebut adalah keputusan tidak dapat ditentukan oleh deminasi mereka saja.
Sehingga peneliti berpendapat bahwa sudah bukan seharusnya kita
mempermasalahkan latarbelakang dari anggota DPD, melainkan dalam
negara hukum kita membuat regulasi yang mempersempit pejabat untuk
melakukan konflik kepentingan dalam melaksanakan jabatannya.
72
Peneliti berpendapat bahwa dengan seluruh pembuktian serta analisis
melalui metode pendekatan normatif-konseptual yang peneliti lakukan,
seharusnya mahkamah tidak mengabulkan permohonan yang diajukan oleh
pemohon. Kejanggalan yang mendasar ialah tidak adanya bukti kongkret
atas konfik kepentingan yang terjadi apbila pengurus parpol dapat
bergabung dalam DPD yang menjadi dasar permohonan pemohon, hal
tersebut tidak memenuhi asas hukum acara yang berbunyi actori incumbit
probation atau siapa yang mendalilkan, ialah yang harus membuktikan.
Penelitian ini bukan bermaksud untuk tidak mengakui Putusan
Mahkamah Konstitusi a quo. Peneliti hanya mencoba untuk memberikan
sumbangsih sudut pandang yang berbeda, demi kemajuan semesta
ketatanegaraan Indonoesia. Peneliti tetap mengakui putusan a quo memiliki
kekuatan hukum tetap, dan wibawanya sebagai putusan dari lembaga akhir
sengketa pemulihan atas terlanggarnya hak konstitusi rakyat, yakni
Mahkamah Konstitusi, sebagai Guardian of Constitution and The Protector
of Human Rights.
73
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dari seluruh rangkaian penelitian serta pengkajian yang
telah dilakukan, maka peneliti menarik kesimpulan dari permasalahan yang
telah dikemukakan dalam skripsi ini, yaitu:
1. Pertimbangan Mahkamah Konstitusi untuk melarang pengurus
fungsionaris partai politik menjadi calon anggota DPD didasarkan pada
dua alasan. Pertama, akan bergesernya perwakilan DPD, dari perwakilan
daerah menjadi perwakilan partai. Karena perwakilan bagi partai politik
telah tersedia, yakni di DPR. Kedua, eksistensi dari pengurus fungsionaris
partai politik sangat berpotensi untuk terjadinya konflik kepentingan
dengan tugas, fungsi dan hak sebagai anggota DPD. Pengurus fungsionaris
partai politik, disinyalir akan lebih mementingkan kepentingan partai
politik dibandingkan dengan kepentingan daerah.
2. Majemuknya latar belakang anggota DPD tidak akan menganggu
independensi dari anggota serta kewenangan DPD. Koridor regulasi DPD
telah mempersempit ruang untuk anggota DPD melakukan tindakan yang
keluar dari kepentingan DPD serta nasional dan kedaerahan. Apabila
dikemudian hari terbukti terjadinya penyimpangan, maka regulasipun
telah memberikan solusinya untuk dapat hingga diberhentikan menjadi
anggota DPD. Jaminan independensi lain muncul dari proses pengambilan
keputusan di DPD, kehadiran pengurus fungsionaris partai politik dalam
DPD tidak akan dapat menggeser kepentingan DPD menjadi kepentingan
partai politik. Pasalnya seluruh proses pengambilan keputusan di DPD
dilakukan secara demokratis, dari proses musyawarah hingga pengambilan
suara yang perlu mencapai kuorum dari peserta sidang untuk mencapai
kata sepakat.
74
B. Rekomendasi
Untuk menyumbang sedikit pengetahuan peneliti mengenai sistem
ketatanegaraan Indonesia, agar dalam hegemoninya tetap menjunjung nilai-
nilai proporsionalitas, peneliti hendak mengajukan rekomendasi sebagai
secercah kontribusi peneliti atas kemajuan konstruksi politik ketatanegaraan
Indonesia. Peneliti berpendapat, seharusnya bukanlah dengan menambahkan
syarat bagi anggota DPD, melainkan syarat bagi pimpinan DPD.
1. Peneliti merekomedasikan penambahan syarat dalam Undang-undang
MD3 maupun Tatib DPD, dengan bentuk kalimat “Pimpinan DPD harus
berhenti menjadi pengurus maupun anggota partai politik saat terpilih dan
dilantik menjadi pimpinan DPD yang dibuktikan dengan surat
pengunduran diri dari partai politik terkait”.
Dengan pimpinan DPD yang tidak berasal dari anggota maupun pengurus
fungsionaris partai politik, justru lebih memberikan jaminan serta tidak
melanggar aspek demokrasi konstitusional di Indonesia. Karena pengurus
maupun anggota partai politik tetap boleh menjadi anggota DPD, namun tidak
boleh menjadi Pimpinan DPD. Dari konstruksi yang demikianlah partai politik
hanya sebagai injeksi implementasi konstitusional DPD, dan semakin
memperkecil kemungkinan DPD keluar dari jalur perwakilannya.
75
DAFTAR PUSTAKA
Buku-Buku
Abercrombie, Nicholas dkk, The Penguin Dictionary of Sociology, Cet.3,
London: Penguin Books, 1994.
Ali Syafa’at, Muchammad, Pembubaran Partai Politik: Pengaturan dan
praktik Pembubaran Partai Politik dalam pergulatan Republik.
Jakarta: Rajawali Pers, 2011.
____________, Parlemen Bikameral, Studi Perbandingan di Amerika
Serikat, Perancis, Belanda, Inggris, Austria, dan Indonesia, Cetakan
Pertama, Malang: Universitas Brawijaya Press, 2010.
Ali, Zainudin, Metode Penelitian Hukum, Cet.2, Jakarta: Sinar Grafika, 2010.
Anom Husodo, Djatmiko, Dewan Perwakilan Daerah Dan Masa Depan
Bikameralisme Indonesia, Dalam gagasan Amandemen UUD 1945
Suatu Rekomendasi, Jakarta: Komisi Hukum Nasional RI, 2008.
Asshiddiqie, Jimly, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran
Kekuasaan Dalam UUD 1945, Cet.1, Yogyakarta: FH UII Press,
2004.
_________, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Depok: Rajawali Press,
2013.
_________, Perkembangan Dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca
Reformasi, Jakarta: Sekretarian Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi RI, 2006.
_________, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Jakarta:
Konstitusi Press, 2005.
76
_________, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, Jakarta: Sekretariat
Jendral dan Kepaniteraan MK RI, 2006.
Azhari, Negara Hukum Indonesia: Analisis Yuridis Normatif Tentang
Unsur‐ Unsurnya, Jakarta: Ul‐ Press, 1995.
Budiardjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Cet.4 ,Jakarta: Gramedia
Pustaka, 2008.
Busroh, Abu Daud, Ilmu Negara, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008.
Chen, Albert H Y, The Interpretation of the Basic Law--Common Law and
Mainland Chinese Perspectives, Hong Kong: Hong Kong Journal Ltd,
2000.
Co-operation, Economic and Development, Managing Conflict of Interest in
the Public Sector: A Toolkit, Paris: OECD Publishing, 2005.
Diamond, Larry, In Search of Democracy, London: Routledge, 2016.
Ducat, Craig R, Constitutional Interperation, California: Wordsworth
Classic, 2004.
Fadjar, Abdul Mukhtie, Tipe Negara Hukum, Malang: Banyumedia Intrans,
2004.
________, Hukum Acara Pengujian Undang-undang, Jakarta: Sekretariat
Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2005.
Gaffar, Janedjri M, (ed), Dewan Perwakilan Daerah Dalam Sistem
Ketatanegaraan Republik Indonesia, Jakarta: Sekretariat Jenderal
MPR RI dan UNDP, 2003.
Goldsworthy, Jeffrey (Ed.), Interpreting Constitutions, A Comparative Study,
New York: Oxford University Press, 2006.
77
Hadjon, Philipus M, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat- Sebuah Studi
Tentang Prinsipprinsipnya, Penanganannya Oleh Pengadilan Dalam
Lingkungan Peradilan Umum Dan Pembentukan Peradilan
Administrasi Negara, Surabaya: Bina Ilmu, 1987.
Hall, Katt, Legislation, Chatswood: Butterworths, 2002.
Huda, Ni’matul, Lembaga Negara Dalam Masa Transisi Demokrasi,
Yogyakarta: UII Press, 2007.
Ida, Laode, Menegaskan Posisi Dewan Perwakilan Daerah, dalam Gagasan
Amandemen UUD 1945 Suatu Rekomendasi, Jakarta: Komisi Hukum
Nasional RI, 2008.
Iver, Mac, The Modern State, First Edition, London: Oxford University Press,
1955.
Keane, John, The Life and Death of Democracy, London-Sydney-Newyork-
Toronto: Pocket Books, 2010.
Koch, Adriene, The Philosophy of Thomas Jefferson, Chicago, 1964.
Lijphart, Arend, Pattern of Democracy: Government Forms and Performance
in Thirty-Six Countries, New Haven & London: Yale University
Press, 2012.
Lincoln, Abraham, The Gettysburg Address, England: Penguin Books, 2009.
Maggalatung, Salman, Desain Kelembagaan Negara Pasca Amandemen
UUD 1945, Bekasi: Gramata Publishing, 2016.
Mahfud MD, Moh, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Jakarta:
Rineka Cipta, 2001.
Manan, Bagir DPR, DPD dan MPR dalam Undang-undang Dasar 1945
Baru, Yogyakarta: FH UII Press, 2003.
78
________, DPR, DPD dan MPR Dalam UUD 1945 Baru, Cet.3, Yogyakarta:
FH UII Press, 2005.
Marzuki, Peter Mahmud, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Kencana, 2008.
Mertokusumo, Sudikno dan Pitlo, A, Penemuan Hukum, Bandung: Citra
Aditya Bakti, 1993.
Muhammad, Abdulkadir, Hukum dan Penelitian Hukum, Cet.2, Bandung:
PT. Citra Aditya Bakti, 2004.
Nasution, Bahder Johan, Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia, Bandung:
Mandar Maju, 2013.
Pamungkas, Sigit, Partai Politik: Teori dan Praktik di Indonesia,
Yogyakarta: Institute for Democracy and Welfarism, 2011.
Pemberantasan Korupsi, Komisi, Panduan Penanganan Konflik Kepentingan
Bagi Penyelenggara Negara, Jakarta: KPK, 2009.
Penyusun, Tim, Panduan Masyarakatan Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR
RI, 2007.
Phillips, Samuel Huntington, Tertib Politik di Tengah Pergeseran
Kepentingan Massa, Jakarta: Raja Grafindo persada, 2003.
Pontier, J.A, Penemuan Hukum, diterjemahkan oleh Arief Sidharta, Bernard
Bandung: Jendela Mas Pustaka, 2008.
Purnama, Eddy, Negara Kedaulatan Rakyat: Analisis Terhadap Sistem
Pemerintahan Indonesia dan Perbandingannya dengan Negara-
Negara lain, Bandung: Nusamedia, 2007.
Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2006.
79
Rakove, Jack N. (Ed.), Interpreting Constitution: The Debate Over Original
Intent, Michigan: Northeastern University Press, 1990.
Republik Indonesia, Mahkamah Konstitusi, Cetak Biru Membangun
Mahkamah Konstitusi Sebagai Institusi Peradilan Konstitusi yang
Modern dan Terpercaya, Jakarta: Sekretariat Jenderal Mahkamah
Konstitusi RI, 2004.
Republik Indonesia, Mahkamah Konstitusi, Laporan Tahunan Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia, (Jakarta: Sekretariat Jenderal
Mahkamah Konstitusi RI, 2006
RI, Dewan Perwakilan Daerah, Untuk Apa DPD RI, Jakarta: Kelompok DPD
di MPR RI, 2006.
Sampford, Charles (Ed.), Interpreting Constitutions Theories, Principles and
Institutions, Sydney: The Ferderation Press, 1996.
Saragih, Bintan R dan Kusnadi, Moh, Ilmu Negara, Edisi Revisi, Cetakan
Keempat, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000.
Sirajudin, dkk, Memahami Keberadaan Mahkamah Konstitusi di Indonesia,
Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004.
Soekato, Soerjono, Pengantar Peneltian Hukum, cet 3, Jakarta: Universitas
Indonesia Press, 1986.
Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif, Kuantitatif,dan R&D, (Bandung:
Alfabeta, 2005.
Suny, Ismail, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Jakarta: Aksara Baru, 1977.
Thaib, Dahlan, Implementasi Sistem Ketatanegaraan Menurut UUD 1945,
Jakarta: Liberty, 1993.
80
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat
Bahasa, 2008.
Tim Penyusun Revisi Naskah Komprehensif Proses dan Hasil Perubahan
UUD 1945, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Latar Belakang, Proses, dan
Hasil Pembahasan 1999-2002, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan, 2010.
Tracy, Destutt De, A Commentary and Review of Montesque’s Spirit of Law,
Philadelpia: William Duane, 1811.
Victoria, Ombudsman, Conflict of Interest In The Public Sector, Victoria:
Victorian Government Publishing, 2008.
Wacks, Raymond, Understanding Jurisprudence: An Introduction to Legal
Theory, Oxford: Oxford University Press, 2005.
Whittington, Keith E, Constitutional Interpretation, Textual Meaning,
Original, and Judicial Review, Kansas: University Press of Kansas,
1999.
Jurnal
Fahmi, Khairul, “Prinsip Kedaulatan Rakyat Dalam Penentuan Sistem
Pemilihan UmumAnggota Legislatif”, Jurnal Konstitusi, Volume 7,
Nomor 3, (2010): h. 121.
Firman Manan, “Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Dalam
Sistem Pemerintahan Republik Indonesia”, Cosmogov, Vol.1 No.1,
2015, h. 49
Hernandi Affandi, “Problematika Fungsi Legislasi Dewan Perwakilan
Daerah Dalam Hegemoni Dewan Perwakilan Rakyat”, Padjadjaran
Jurnal Ilmu Hukum, Volume 1-No.1, 2014, h. 136
81
Jimly Asshiddiqie, “Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Serpihan
Pemikiran Hukum”, Media dan HAM, (Jakarta: Sekretariat Jenderal
dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2006),
h. 19.
Kris Nugroho, “Problematika Dewan Perwakilan Daerah: Antara Fungsi
Konstitusional dan Realitas Politik”, Jurnal Masyarakat, Kebudayaan
dan Politik, Vol.20 /No.2, (2007): h. 104
LatipulhAyat, Atip, “Khazanah: Hans Kelsen”, Padjadjaran Jurnal Ilmu
Hukum, Volume 1 -1 No.1, (2014): h. 202.
Rahman, Faiz dan Wicaksono, Dian Agung, “Eksistensi dan Karakteristik
Putusan Bersyarat Mahkamah Konstitusi”, Jurnal Konstitusi, Volume
13, Nomor 2, Juni, (2016): h. 357.
Sirajuddin, “Eksistensi Partai Politik Dalam Sistem Hukum Ketatanegaraan
Di Indonesia”, Lex Administratum, Vol. IV/No. 1, h. 76.
Soeroso, Fajar Laksono, “Aspek Keadilan Dalam Sifat Final Putusan
Mahkamah Konstitusi”, Jurnal Konstitusi, Volume 11, Nomor 1,
Maret, (2014): h. 65.
Todd Landman, "Democracy and Human Rights: Concepts, Measures, and
Relationships", Politics and Governance, 6 (1), (2018): h. 48.
WidAyati, “Rekonstruksi Kelembagaan MPR”, Pengembangan Epistimologi
Ilmu Hukum, (Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta), h.
202.
_______, “Sistem Parlemen Berdasarkan Konstitusi Indonesia”, MMH, Jilid
4 No.4, Oktober 2015, h. 416.
82
Karya Ilmiah
Dekantara, Putra, “Optimalisasi Fungsi Legislasi DPD Dalam Sistem
Lembaga Perwakilan di Indonesia”, Tesis S-2 Fakultas Hukum:
Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 2018.
Indrayana, Denny, "Indonesian Constitutional Reform 1999–2002: An
Evaluation of Constitution-Making in Transition", PhD Thesis:
Faculty of Law University of Melbourne, 2005.
Makalah
Dahlan Thaib, “Menuju Parlemen Bikameral (Studi Konstitusional
Perubahan Ketiga UUD 1945)”, Pidato Pengukuhan dalam Jabatan
Guru Besar Madya dalam Hukum Tata Negara Universitas Islam
Indonesia (UII) Yogyakarta, tanggal 4 Mei 2002, h. 20.
Palguna, I Dewa Gede, Susunan dan Kedudukan Dewan Perwakilan Daerah.
Makalah pada Focus Group Discussion “Kedudukan dan Peranan
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam Sistem Ketatanegaraan
Republik Indonesia” di Semarang, 25 Maret 2003 dan di Malang, 26
Maret 2003.
Zoelva, Hamdan, “Mekanisme Checks and Balances Antar Lembaga Negara
(Pengalaman dan Praktik di Indonesia)”, Simposium Internasional
“Negara Demokrasi Konstitusional”, Hotel Shangri-La, Jakarta, 12
Juli 2011, h. 5.
Risalah Sidang
Risalah Rapat Tim Perumus PAH I BP MPR, 6 Mei 2000
Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI) Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(PPKI), 28 Mei 1945-22 Agustus 1945, (Jakarta: Sekretariat Negara
Republik Indonesia, 1998
83
Media Internet
Ali Syafa’at, “Penafsiran Konstitusi”, <http://safaat.lecture.ub.ac.id>.
Malik, Husni Kamil, “Sistem Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD Tahun
2014”, <www.fhuiguide.files.wordpress.com>.
Norman, Jesse, ConHome op-ed: the USA, “Radical Conservatism and
Edmund Burke”, <www.jessenorman.com>.
Quigley, Charles N, “Constitutional Democracy”, <www.civiced.org>.
Safa’at, Muchamad Ali, “DPD Sebagai Lembaga Perwakilan Daerah dan
Proses Penyerapan Aspirasi”, <www.safaat.lecture.ub.ac.id>.
Suwarno, PJ, “Utusan Daerah Dalam Undang-undang Dasar 1945”,
<perpustakaan.bappenas.go.id>.