KAJIAN AKADEMIS RANCANGAN PERATURAN DAERAH...
Transcript of KAJIAN AKADEMIS RANCANGAN PERATURAN DAERAH...
i
KAJIAN AKADEMIS
RANCANGAN PERATURAN DAERAH
KABUPATEN KARANGASEM TENTANG
PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK
KARANGASEM TAHUN
2017
ii
TIM PENELITI
1. Prof. Dr. I Wayan Parsa, SH.,M.Hum
2. Ida Ayu Sukihana, SH.,MH
3. Ni Luh Gede Astariyani.,SH.,MH
iii
KATA PENGANTAR
Negara memiliki kewajiban memberikan perlindungan
kepada setiap warga negara sesuai dengan pembukaan UUD
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Bahwa perempuan dan
anak termasuk kelompok rentan yang cenderung mengalami
kekerasan sehingga perlu mendapatkan perlindungan. Segala
bentuk perbuatan yang mengurangi hak terhadap perempuan dan
anak tersebut merupakan pelanggaran hak asasi manusia
sehingga perlu dilindungi harga diri dan martabatnya serta
dijamin hak hidupnya tanpa adanya diskriminasi.Kekerasan
merupakan setiap perbuatan secara melawan hukum dengan
atau tanpa menggunakan sarana terhadap fisik dan psikis
yang menimbulkan bahaya bagi nyawa, badan atau
menimbulkan terampasnya kemerdekaan seseorang. Selanjutnya
Kekerasan terhadap perempuan merupakan setiap tindakan
berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat atau
mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan
secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman tindakan
tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara
sewenang-wenang, baik yang terjadi di ranah publik atau dalam
kehidupan pribadi.
Dalam rangka melindungi perempuan dan anak di
Kabupaten Karangasem agar terpenuhi hak-haknya maka perlu
dilakukan perlindungan terhadap perempuan dan anak dalam
bentuk peraturan daerah.
Denpasar, 15 November 2017 Tim Peneliti
iv
DAFTAR ISI
Narasi Pengantar ……………………………………………………… I
Daftar Isi ……………………………………………………… iv
Daftar Tabel ……………………………………………………… vi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ………………………………………………. ………… 1
B Identifikasi Masalah………………………………………….………… 5
C. Tujuan dan Kegunaan……………………………………….………… 5
D. Metode…………………………………………………………..………… 6
BAB II KAJIAN TEORITIS
A. Kajian Teoritis ………………………………………………...………… 8
B. Kajian Terhadap Asas/Prinsip yang Terkait dengan
Penyusunan Norma ………………………………………….…………
8
C. Kajian terhadap praktik penyelenggaraan, kondisi yang ada,
serta permasalahan yang dihadapi masyarakat………………….
15
D. Kajian terhadap implikasi penerapan sistem baru yang akan
diatur dalam Peraturan Daerah terhadap aspek kehidupan
masyarakat dan dampaknya terhadap aspek beban keuangan
daerah………………..……………………………………………………
18
Bab III. EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN TERKAIT
A. Kondisi Hukum Dan Satus Hukum Yang Ada............. ………… 19
B. Keterkaitan Dengan Peraturan Perundang-Undangan Yang
Lain................................................................... …………………
22
Bab IV. LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS DAN YURIDIS 38
A. Pandangan Ahli...........................................................…………
Bab V. JANGKAUAN ARAH PENGATURAN DAN RUANG LINGKUP
MATERI MUATAN PERATURAN DAERAH
A. Ketentuan Umum....................................................... ………… 33
B. Materi Muatan Yang Akan Diatur............................... .………… 34
Bab VI. PENUTUP
A. Simpulan................................................................... 35
B. Saran ....................................................................... 35
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN:
Racangan Peraturan Daerah Kabupaten Karangasem tentang
Perlindungan Perempuan dan Anak
v
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1 : Bentuk Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak Berdasarkan Pengadulan Langsung Ke
P2TP2A di Provinsi Bali……………………………
2
Tabel 2 : Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Baik, Yang Bersifat Formal (berdasarkan Pasal 5 UU 12/2011 dan
Penjelasannya) ………………………………………
11
Tabel 3 : Asas Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan Yang Baik, Yang Bersifat Materiil (berdasarkan Pasal 6 yat (1) dan ayat (2) UU
12/2011 dan Penjelasan) ……………………………
13
Tabel 4 : Asas-asas Yang Melandasi Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalm Pasal 3 UU KDRT…………………………………………………
14
Tabel 5 : Data Jumlah Kekerasan Pada Tahun 2013………………………………………………………
15
Tabel 6 : Data Jumlah Kekerasan Pada Perempuan dan
Anak..........................................…………………
16
Tabel 7 : KeData Jumlah Kekerasan Pada Tahun
2015………………………………………………………
16
Tabel 8 : Data Jumlah Kekerasan Pada Tahun
2016………………………………………………………
17
Tabel 9 : Keterkaitan Peraturan Perundang-undangan
yang lain....... …………………………………………
22
Tabel 10 : Landasan Keabsahan Peraturan Perundang-undangan menurut Para Sarjana Indonesia.......
26
Tabel 11 : Pandangan teoritik tentang landasan keabsahan peraturan perundang-undangan....... ....... .......
29
Tabel 12 : Landasan Keabsahan Peraturan Perundang-undangan Berdasarkan Pandangan Teoritik dan
UU No. 12/2011…….…….…….…….…….…….…
30
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Di Provinsi Bali persoalan perempuan dan anak tampaknya
masih menjadi isu sentral karena sampai saat ini jumlah
perempuan dan anak yang berada dalam situasi sulit masih cukup
banyak. Perempuan dan anak yang berada di dalam situasi sulit
ini meliputi juga perempuan yang mengalami kekerasan, anak-
anak yang telantar, anak-anak yang dieksploitasi dan anak-anak
yang membutuhkan perlindungan khusus termasuk anak cacat,
anak-anak yang berada di dalam lembaga pemasyarakatan, anak-
anak yang berada di dalam panti asuhan dan juga anak-anak yang
bekerja di sektor formal maupun informal.Berkaitan dengan anak
jumlah anak-anak yang berada dalam situasi sulit ini kemampuan
negara untuk mengatasinya hanya 4% setahun atau lebih kurang
708.000 anak, ini artinya negara baru mampu menyelesaikan
masalah anak anak yang berada dalam situasi sulit ini
Kenyataan tersebut di atas menunjukkan bahwa persoalan
anak masih memerlukan penanganan yang serius dan
komprehensif. Hal ini mengingat bahwa Anak sebagai potensi dan
aset merupakan generasi penerus Bangsa dan sumberdaya
manusia yang sangat menentukan keberhasilan pembangunan
pada masa-masa mendatang. Oleh karena itu peningkatan
kesejahteraan dan perlindungan terhadap anak merupakan hal
yang sangat penting disamping juga karena perlindungan
terhadap anak merupakan hak azasi anak. Upaya peningkatan
kualitas sumberdaya manusia perlu dilakukan sejak dini
sehingga anak dapat tumbuh dan berkembang secara wajar baik
pertumbuhan fisik, mental, intelektual serta jaminan haknya.
2
Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai setiap
orang termasuk di dalamnya perempuan dan anak.Kualitas
sumberdaya yang tangguh ini sangat ditentukan oleh bagaimana
lingkungan keluarga dan masyarakat memperlakukan perempuan
dan anak. Perlindungan perempuan dan anak adalah segala
kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya
agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara
optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta
mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Tabel 1: Bentuk Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak
Berdasarkan Pengadulan Langsung Ke P2TP2A di Provinsi Bali
Bentuk
Kekerasan
2014 2015 2016
Anak Dewasa Anak Dewasa Anak Dewasa
P L P L P L P L P L P L
Fisik 3 1 13 3 4 1 14 0 1 2 10 1
Psikis 3 3 25 10 9 5 35 14 6 4 36 8 Pelecehan seksual
0 0 0 0 7 1 3 0 3 0 1 0
Penelantaran 0 0 4 1 2 1 11 2 1 2 11 1
Eksploitasi 0 0 0 0 0 0 1 0 1 0 1 0
ABH 0 3 0 0 0 13 0 0 0 0 0 0
Lainnya 1 0 0 0 0 0 2 0 1 2 3 1
Jumlah 7 7 42 14 22 21 66 16 13 10 62 11
Total Kasus 70 128 96
Sumber : P2TP2A Provinsi Bali Tahun 2017
Berdasarkan data yang diperoleh dari P2TP2A di Provinsi
Bali dapat dipahami bahwa adanya penurunan kekerasan yang
pada tahun 2016. Meskipun adanya penurunan tetapi masih perlu
dilakukan tindakan Perlindungan Perempuan dan Anak .
Pentingnya perlindungan tersebut dapat dilakukan dengan
menetapkan kebijakan dalam bentuk pengaturan di provinsi dan
kabupaten/kota.
Kabupaten Karangasem sebagai salah satu kabupaten di
Provinsi Bali belum memiliki Peraturan Daerah tentang
Perlindungan Perempuan dan Anak. Tingginya perkembangan
perlu pula diantisipasi dengan perangkat penghtauran terkait
3
dengan perempuan dan anak. Segala bentuk kekerasan adalah
pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat
kemanusiaan, serta bentuk diskriminasi. Pasal 28 G ayat (1)
Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
menyatakan bahwa: setiap orang berhak atas perlindungan diri
pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang
berada di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan
perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak
berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
Dalam KUHP Bab XIV yaitu Pasal 285,286, 287,288 dan 297
pengaturan tersebut dimaksud lebih untuk mengatur kesusilaan
seseorang bukan melindungi perempuan yang menjadi korban dari
tindak pidana tersebut dan hanya mengatur kekerasan yang
berakibat perlakuan secara fisik.1 Dalam Konvensi mengenai
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (
CEDAW) pengaturan kekerasan terhadap perempuan tidak saja
kekerasan fisik, namun juga kekerasan psikis dan kekerasan
seksual.2
Berdasarkan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak mengatur bahwa Negara,
pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua berkewajiban
bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak.
Dalam Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga, (UU KDRT) mengatur bahwa
negara jaminan perlindungan. Tingginya pengurangan hak dalam
rumah tangga, yang kebanyakan adalah Perempuan dan anak,
harus mendapat perlindungan agar terhindar dan terbebas dari
kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan
yang merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan.
1 Niken Savitri.2008,HAM Perempuan Kritik Teori Hukum Feminis
terhadap KUHP, Refika Aditama, hal 10 2 Ibid, hal 4
4
Berdasarkan Pasal 11, Pasal 12 dan Pasal 13 UUKDRT
mengatur bahwa :
Pasal 11 mengatur : Pemerintah bertanggung jawab dalam upaya
pencegahan kekerasan dalam rumah tangga;
Pasal 12
(1) Untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11, pemerintah: a. merumuskan kebijakan tentang penghapusan
kekerasan dalam rumah tangga;
b. menyelenggarakan komunikasi, informasi, dan edukasi tentang kekerasan dalam rumah tangga;
c. menyelenggarakan advokasi dan sosialisasi tentang
kekerasan dalam rumah tangga; d. menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan sensitif
gender dan isu kekerasan dalam rumah tangga serta menetapkan standar dan akreditasi pelayanan yang sensitif gender.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh menteri.
(3) Menteri dapat melakukan koordinasi dengan instansi
terkait dalam melakukan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Pasal 13
Untuk penyelenggaraan pelayanan terhadap korban,
pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan fungsi dan tugas masing-masing dapat melakukan upaya:
a. penyediaan ruang pelayanan khusus di kantor kepolisian;
b. penyediaan aparat, tenaga kesehatan, pekerja sosial,
dan pembimbing rohani; c. pembuatan dan pengembangan sistem dan
mekanisme kerja sama programpelayanan yang
melibatkan pihak yang mudah diakses oleh korban; dan
d. memberikan perlindungan bagi pendamping, saksi, keluarga, dan teman korban.
Berdasarkan dasar kewenangan pengaturan dan latar belakang
adanya kekeransan maka perlu untuk disusun Kajian Akademik
Rancangan Peraturan Daerah tentang Perlindungan Perempuan
dan Anak.
5
B. IDENTIFIKASI MASALAH
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas dapat dilakukan
identifikasi masalah, yakni perlindungan perempuan dan anak di
Kabupaten Karangasem merupakan suatu hal yang mendapat
perhatian sehingga perlu dilakukan pengaturan, oleh karena itu
perlu Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Karangasem
tentang Perlindungan Perempuan dan Anak.
Berdasarkan pada identifikasi masalah tersebut dapat
dirumuskan 3 (tiga) pokok masalah, yaitu sebagai berikut:
1. Permasalahan hukum apakah yang dihadapi sebagai alasan
pembentukan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten
Karangasem tentang Perlindungan Perempuan dan Anak?.
2. Apakah yang menjadi pertimbangan atau landasan filosofis,
sosiologis, yuridis pembentukan Rancangan Peraturan
Daerah Kabupaten Karangasem tentang Perlindungan
Perempuan dan Anak ?.
3. Apakah sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup
pengaturan, jangkauan, dan arah pengaturan dalam
Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Karangasem
tentang Perlindungan Perempuan dan Anak ?.
C. TUJUAN DAN KEGUNAAN KEGIATAN PENYUSUNAN
NASKAH AKADEMIK
Sesuai dengan ruang lingkup identifikasi masalah yang
dikemukakan di atas, tujuan penyusunan Kajian
Akademikdirumuskan sebagai berikut:
1. Merumuskan permasalahan hukum yang dihadapi
sebagai alasan pembentukan Rancangan Peraturan
6
Daerah Kabupaten Karangasem tentang Perlindungan
Perempuan dan Anak .
2. Merumuskan pertimbangan atau landasan filosofis,
sosiologis, yuridis pembentukan Rancangan Peraturan
Daerah Kabupaten Karangasem tentang Perlindungan
Perempuan dan Anak .
3. Merumuskan sasaran yang akan diwujudkan, ruang
lingkup pengaturan, jangkauan, dan arah pengaturan
dalam Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten
Karangasem tentang Perlindungan Perempuan dan Anak.
Adapun kegunaan penyusunan Kajian Akademik adalah
sebagai acuan penyusunan dan pembahasan Rancangan
Peraturan Daerah Kabupaten Karangasem tentang Perlindungan
Perempuan dan Anak.
D. METODE PENELITIAN PENYUSUNAN NASKAH AKADEMIK
Penyusunan Kajian Akademik ini yang pada dasarnya
merupakan suatu kegiatan penelitian penyusunan Kajian
menggunakan metode yang berbasiskan metode penelitian
hukum.3
Metode penelitian hukum yang digunakan dalam penelitian
penyusunan Kajian melalui cara-cara sebagai berikut:
1. Melakukan studi tekstual, yakni menganalisis teks hukum
yaitu pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan
dan kebijakan publik (kebijakan negara) secara kritikal dan
dijelaskan makna dan implikasinya terhadap subjek hukum
(terutama dalam hal ini adalah perempuan dan anak
korban kekerasan).
2. Melakukan studi kontekstual, yakni mengaitkan dengan
konteks saat peraturan perundang-undangan itu dibuat
3 Diadaptasi dari Soelistyowati Irianto, “Memperkenalkan Studi
Sosiolegal …”, Ibid., hlm. 177-178.
7
ataupun ditafsirkan dalam rangka pembentukan Peraturan
Daerah Kabupaten Karangasem tentang perempuan dan
anak korban kekerasan.
Intinya, metode penelitian hukum yang digunakan dalam
penelitian penyusunan Kajian Akademik ini berada dalam
paradigma interpretivisme terkait dengan hermeneutika hukum4.
Hermeneutika hukum pada intinya adalah metode interpretasi
atas teks hukum, yang menampilkan segi tersurat yakni bunyi
teks hukum dan segi tersirat yang merupakan gagasan yang ada
di belakang teks hukum itu. Oleh karena itu untuk mendapatkan
pemahaman yang utuh tentang makna teks hukum itu perlu
memahami gagasan yang melatari pembentukan teks hukum dan
wawasan konteks kekinian saat teks hukum itu diterapkan atau
ditafsirkan. Kebenaran dalam ilmu hukum merupakan kebenaran
intersubjektivitas, oleh karena itu penting melakukan konfirmasi
dan konfrontasi dengan teori, konsep, serta pemikiran para
sarjana yang mempunyai otoritas di bidang keilmuannya
berkenaan dengan tematik penelitian penyusunan Kajian
Akademikini5.
4 Irianto, Sulistyo & Shidarta, 2009, Metode Penelitian Hukum Konstelasi
dan Refleksi, Yayasan Obor Indonesia, hlm 181. 5 Diadaptasi dari Gede Marhaendra Wija Atmaja, “Politik Pluralisme
Hukum dalam Pengakuan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dengan Peraturan Daerah”, Disertasi Doktor, Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum
Universitas Brawijaya, Malang, 2012, hlm. 17-18
8
BAB II
KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS
A. KAJIAN TEORITIS
Pembaharuan hukum terjadi yang ditandai oleh adanya
berbagai instrument hukum yang menjamin kesetaraan dan
keadilan bersumber dari beberapa kovensi internasional, hukum
positif nasional, termasuk yurisprudensi dimana perempuan
mendapatkan keadilan. Namun terdapat jurang yang dalam di
antara apa yang seharusnya ( das sollen) dikehendaki terjadi oleh
hukum dan implementasinya dalam kehidupan sehari-hari ( das
sein) sehingga hukum hanya dipandang sebagai payung fantasi.6
Dari studi yang dilakukan analisis gender banyak
ditemukan ketidak adilan terhadap perempuan, antara lain: 1).
terjadi marginalisasi/pemiskinan ekonomi terhadap perempuan;
2). terjadi sub ordinasi terhadap salah satu jenis kelamin, yaitu
perempuan; 3) terjadi stereotype jenis kelamin dalam rumah
tangga yang mengakibatkan pembatasan terhadap perempuan; 4)
terjadi kekerasan violence terhadap jenis kelamin tertentu
umumnya perempuan karena perbedaan gender; 5) kerena peran
gender perempuan adalah mengelola pekerjaan domestic lebih
banyak dan lebih lama/burden.
Kekerasan berbasis gender seperti yang diserukan
Rekomendasi Umum CEDAW merupakan pelanggaran HAM Anak
adalah harapan bangsa dimasa mendatang. Perlindungan hukum
terhadap anak dapat diartikan sebagai upaya perlindungan
hukum terhadap berbagai kebebasan dan hak asasi anak
(fundamental rights and freedoms of children) serta berbagai
kepentingan yang berhubungan dengan kesejahteraan anak.
6 Jurnal Perempuan, 2006,Sejauh Mana Komitmen Negara ?,jurnal YJP,
No 25 thun 2006, ISSN1410-153X,hal 34-35
FF
9
Setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab, maka ia
perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh
dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial
dan berakhlak mulia, oleh karenanya perlu dilakukan upaya
perlindungan serta untuk mewujudkan kesejahteraan anak.
Penelantaran anak merupakan salah satu bentuk kekerasan
dalam rumah tangga, hal ini diakibatkan dari orang tua yang tidak
melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya terhadap anak
untuk memberikan jaminan perlindungan bagi anak-anak mereka.
Orang tua tidak memperdulikan keselamatan anaknya, sepanjang
ia dapat memberikan keuntungan financial bagi keluarga. Di kota-
kota besar, anak di eksploitasi untuk bekerja menafkahi keluarga.
Menurut Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 Pasal 1 ayat
(1) tentang Perlindungan Anak, disebutkan sebagi berikut: “Anak
adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,
termasuk anak yang masih dalam kandungan”. Pelaksanaan
perlindungan anak yang baik harus memenuhi persyaratan yang
sebagai berikut :7
1. Para partisipan dalam terjadinya dan terlaksananya
perlindungan anak harus mempunyai pengertian-
pengertian yang tepat berkaitan dengan masalah
perlindungan anak agar dapat bersikap dan betindak
secara tepat dalam menghadapi dan mengatasi
permasalahan yang berkaitan dengan pelaksanaan
perlindungan anak.
2. Perlindungan anak harus dilakukan bersama antara
setiap warganegara, anggota masyarakat secara
individual maupun kolektif dan pemerintah demi
kepentingan bersama.
7 Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak, Akademika Pressindo, Jakarta
1989.h. 19
10
3. Kerjasama dan koordinasi diperlukan dalam melancarkan
kegiatan perlindungan anak yang rasional, bertanggung
jawab dan bermanfaat antar para partisipan yang
bersangkutan.
Dalam penyusunan Ranperda ini mempergunakan beberapa
konsep antara lain:
1). Konsep perlindungan.
Perlindungan adalah segala tindakan pelayanan untuk
menjamin dan melindungi hak-hak korban tindak
kekerasan yang diselenggarakan oleh Pusat Pelayanan
Terpadu;
2) Konsep perempuan.
Perempuan adalah manusia dewasa berjenis kelamin
perempuan dan orang yang oleh hukum diakui sebagai
perempuan;
3) Konsep anak,
Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun,
termasuk anak yang ada dalam kandungan.
B. KAJIAN TERHADAP ASAS/PRINSIP YANG TERKAIT
DENGAN PENYUSUNAN NORMA
Asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang
baik, sebagaimana yang dikehendaki oleh tujuan hukum, yakni
adanya keadilan dan kepastian hukum yang telah dipositipkan
dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Dalam undang-
undang sebagaimana dimaksud, asas yang bersifat formal diatur
dalam Pasal 5 dan asas yang bersifat materiil diatur dalam Pasal
6. Pengertian masing-masing asas ini dikemukakan dalam
penjelasan pasal dimaksud. Dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan yang baik, asas yang bersifat formal
pengertiannya dapat dikemukakan dalam tabel berikut.
11
Tabel 2 : Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang
Baik, Yang Bersifat Formal (berdasarkan Pasal 5 UU
12/2011 dan Penjelasannya)
Pasal 5 UU 12/2011 Penjelasan Pasal 5 UU 12/2011
Dalam membentuk Peraturan Perundang-
undangan harus dilakukan berdasarkan pada
asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik,
yang meliputi:
a. kejelasan tujuan
bahwa setiap Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan (PPu) harus mempunyai tujuan yang jelas yang
hendak dicapai.
b. kelembagaan atau pejabat
pembentuk yang tepat
bahwa setiap jenis PPu harus dibuat oleh lembaga negara atau pejabat
Pembentuk PPu yang berwenang. PPu tersebut dapat dibatalkan atau batal
demi hukum apabila dibuat oleh lembaga negara atau pejabat yang tidak berwenang.
c. kesesuaian antara jenis, hierarki,
dan materi muatan
bahwa dalam Pembentukan PPu harus benar-benar memperhatikan materi
muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarki PPu.
d. dapat dilaksanakan
bahwa setiap Pembentukan PPu harus memperhitungkan efektivitas PPu tersebut di dalam masyarakat, baik
secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis.
e. kedayagunaan dan kehasilgunaan
bahwa setiap PPu dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
f. kejelasan rumusan
bahwa setiap PPu harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan PPu,
sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak
menimbulkan berbagai macam
12
interpretasi dalam pelaksanaannya.
g. Keterbukaan bahwa dalam Pembentukan PPu mulai
dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau
penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan
masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk
memberikan masukan dalam Pembentukan PPu.
Sumber: Diolah dari Pasal 5 UU 12/2011 dan Penjelasan
Adapun asas pembentukan peraturan perundang-undangan
yang baik, yang bersifat materiil berikut pengertiannya,
sebagaimana tampak dalam tabel berikut.
Tabel 3 : Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Baik, Yang Bersifat Materiil (berdasarkan Pasal 6
yat (1) dan ayat (2) UU 12/2011 dan Penjelasan)
PASAL 6 UU 12/2011
PENJELASAN PASAL 6 UU 12/2011
ayat (1) Materi muatan
Peraturan Perundang-
undangan harus mencerminkan asas:
a. Pengayoman
bahwa setiap Materi Muatan Peraturan
Perundang-undangan (PPu) harus berfungsi memberikan pelindungan
untuk menciptakan ketentraman masyarakat.
b. Kemanusiaan
bahwa setiap Materi Muatan PPu harus mencerminkan pelindungan dan penghormatan hak asasi manusia serta
harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional.
c. Kebangsaan
bahwa setiap Materi Muatan PPu harus mencerminkan sifat dan watak bangsa
Indonesia yang majemuk dengan tetap menjaga prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
d. Kekeluargaan
bahwa setiap Materi Muatan PPu harus mencerminkan musyawarah untuk
mencapai mufakat dalam setiap
13
pengambilan keputusan.
e. Kenusantaraan
bahwa setiap Materi Muatan PPu
senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan Materi
Muatan PPu yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
f. Bhinneka Tunggal Ika
bahwa Materi Muatan PPu harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi
khusus daerah serta budaya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara.
g. Keadilan
bahwa setiap Materi Muatan PPu harus
mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara.
h. Kesamaan
Kedudukan dalam Hukum
dan Pemerintahan
bahwa setiap Materi Muatan PPu tidak
boleh memuat hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar
belakang, antara lain, agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial.
i. Ketertiban dan Kepastian
Hukum
bahwa setiap Materi Muatan PPu harus dapat mewujudkan ketertiban dalam
masyarakat melalui jaminan kepastian hukum.
j. Keseimbangan, Keserasian, dan Keselarasan
bahwa setiap Materi Muatan PPu harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara
kepentingan individu, masyarakat dan kepentingan bangsa dan negara.
ayat (2) PPu tertentu dapat berisi asas lain
sesuai dengan bidang hukum
Peraturan Perundang-undangan yang
bersangkutan.
antara lain: a. dalam Hukum Pidana, misalnya,
asas legalitas, asas tiada hukuman
tanpa kesalahan, asas pembinaan narapidana, dan asas praduga tak
bersalah; b. dalam Hukum Perdata, misalnya,
dalam hukum perjanjian, antara lain,
asas kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan itikad baik.
Sumber: Diolah dari Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) UU 12/2011 dan Penjelasan
14
Asas-asas tersebut kemudian membimbing para legislator
dalam perumusan norma hukum ke dalam aturan hukum, yang
berlangsung dengan cara menjadikan dirinya sebagai titik tolak
bagi permusan norma hukum dalam aturan hukum.
Tabel 4 : Asas-asas Yang Melandasi Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga Dalm Pasal 3 UU KDRT
Pasal 3 UU 23/2004
Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga dilaksanakan
berdasarkan asas:
a. penghormatan hak asasi manusia;
b. keadilan dan kesetaraan gender;
c. nondiskriminasi; dan
d. perlindungan korban
Dalam Undang-Undang Perlindungan Anak mengatur serta
prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak meliputi :
a. non diskriminasi;
b. kepentingan yang terbaik bagi anak;
c. hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan
perkembangan; dan
d. penghargaan terhadap pendapat anak. Penyusunan
Raperda Kabupaten Karangasem didasarkan pada asas-asas
tersebut di atas, baik asas pembentukan peraturan perundang-
undangan yang baik yang formal dan materiil, maupun asas yang
termuat dalam UU KDRT.
Ada tiga asas yang relevan untuk diperhatikan dalam
pembentukan Peraturan Daerah tentang Perlindungan Perempuan
dan Anak . Asas tersebut adalah sebagai berikut: asas
kemanusiaan, asas keadilan, dan asas kesamaan kedudukan
dalam hukum dan pemerintahan. Ketiga asas ini pada dasarnya
15
merupakan hakekat dari hak asasi manusia, yakni asas yang
utama dalam paham hak asasi manusia yaitu non diskriminasi.
Sedangkan asas keterbukaan, selain menjadi landasan
dalam pembentukan peraturan daerah adalah juga sebagai asas
yang melandasi pokok pengaturan di dalam peraturan daerah
yang sedang dirancang ini.
C. KAJIAN TERHADAP PRAKTIK PENYELENGGARAAN,
KONDISI YANG ADA, SERTA PERMASALAHAN YANG
DIHADAPI MASYARAKAT
Dalam pratik penyelengaraan Perlindungan Perempuan dan
Anak di Kabupaten Karangasem, terdapat beberapa jenis
tindakan kekerasan yang dilakukan terhadap perempuan dan
anak. Adapun data tindakan kekerasan tersebut terdapat yang
mengalami peningkatan dalam dari tahun 2013 sampai dengan
tahun 2016 sebagaimana dalam tabel berikut :
Tabel 5 : Data Jumlah Kekerasan Pada Tahun 2013
No KASUS Jumlah
1 Pelecehan Seksual 6
2 Penganiayaan 2
3 KDRT 9
4 Pencurian 6
5 Perkelahinan 2
6 Pemerkosaan 1
7 Pergi dari rumah tanpa ijin orang tua 1
8 Traffiking 1
9 Hamil di luar nikah 1
Jumlah 29
Sumber : Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
(DP3A Kabupaten Karangasem)
16
Berdasarkan pada praktik penyelenggaraan, kondisi yang
ada, serta permasalahan yang dihadapi masyarakat di Kabupaten
Karangasem berdaasrakan data kekerasan pada tahun 2013
ternyata kekerasan terbanyak terjadi pada kasus KDRT dari
sembilan jenis kasus yang terjadi. Hal ini menunjukkan maih
terdapat bentuk kekerasan yang perlu mendapatkan
perlindungan. Dalam perkembangannya di tahun 2012 sampai
dengan tahun 2016 data kasus kekerasan pada perempuan dan
terdiri dari beberapa jenis kekerasan/ KDRT sebagaimana
dimaksud dalam tabel di bawah ini :
Tabel 6 : Data Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak
No KASUS Anak Perempuan
1 2012 30 18
2 2013 19 41
3 2014 45 67
4 2015 17 49
5 2016 16 56
Total 127 231
Sumber : Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A Kabupaten Karangasem)
Dalam praktik penyelenggaraan, kondisi yang ada, serta
permasalahan yang dihadapi masyarakat dapat dilihat dalam tabel
5 kekerasan yang paling banyak terjadi karena pelecehan seksual.
Kekerasan tang terjadi pada tahun 2014 mengalami peningkatan
dari 29 menjadi 46 kasus. Perkembangan jenis kasus nampak
tejadi juga pada tahun 2015 dari 10 kasus menjadi 12 kasus.
Perkembangan peningkatan kasus kekerasan yang terjadi terus
mengalami peningkatan sebagaimana dalam Tabel 6 di bawah ini.
Tabel 7 : Data Jumlah Kekerasan Pada Tahun 2015
No KASUS Jumlah
1 Pelecehan Seksual 5
2 KDRT 13
3 Pencurian 4
4 Pergi dari rumah tanpa ijin orang tua 5
5 Pemerkosaan 3
17
6 Perzinahan 2
7 Percobaan Pembunuhan 1
8 Mengancam dengan senjata tajam 2
9 Perkelahian 1
10 Melahirkan tanpa suami 1
11 Anak hilang 1
12 Laka lantas 1
Total 39
Sumber : Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
(DP3A Kabupaten Karangasem) Di Kabupaten Karangasem peningkatan jenis kasus terjadi
juga pada tahun 2016, dari 12 jenis kasus pada tahun 2015
menjadi 16 jenis kasus sebagaimana nampak dalam tabel 7 di
bawah ini :
Tabel 8 : Data jumlah kekerasan pada tahun 2016
No Kasus Jumlah
1 Pelecehan seksual/persetubuhan/pencabulan 9
2 KDRT 7
3 Fedofilia 1
4 Dibuli teman 1
5 Pembunuhan 1
6 Pencurian 5
7 Main Judi 1
8 Pengancaman lewat IT 1
9 Penelantaran 3
10 Kekerasan terhadap anak 3
11 Kerja dar rumah tanpa ijin orang tua 3
12 Perkelahian 1
13 Perselingkuhan 1
14 Pemerkosaan 1
15 Perebutan anak 1
16 Hamil tidak dipertanggungjawabkan 1
Total 40
Sumber : Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
(DP3A Kabupaten Karangasem).
Tingginya angka kekerasan terhadap perempuan dan anak
di kabupaten Karangasem menunjukkan perlunya Perlindungan
Perempuan dan Anak . Perlunya pengaturan ini diharapkan
mampu menanggulangi dan menangani korban kekerasan
18
terhadap perempuan dan anak sehingga, kewajiban pemerintah
daerah dalam pemenuhan hak asasi manusia dapat terpenuhi.
D. KAJIAN TERHADAP IMPLIKASI PADA ASPEK KEHIDUPAN
MASYARAKAT DAN DAMPAKNYA PADA ASPEK BEBAN
KEUANGAN DAERAH.
Pembentukan Peraturan Daerah Kabupaten Karangasem
tentang Perlindungan Perempuan dan Anak akan membawa
implikasi pada aspek kehidupan masyarakat, yakni:
1. Adanya pembatasan terhadap perilaku masyarakat,
terutama perlakuan kekerasan terhadap perempuan dan
anak, berupa kewajiban-kewajiban yang dibebankan
kepadanya.
2. Adanya tuntutan kesadaran hukum masyarakat, untuk
memahami jalur hukum yang disediakan untuk
menyelesaikan masalah hukum berkenaan Perlindungan
Perempuan dan Anak .
3. Adanya tuntutan sikap profesional kepada pemerintah
dan masyarakat yang mengemban tugas pengawasan
bagi Perlindungan Perempuan dan Anak .
4. Adanya tuntutan bagi Pemerintah yang mengemban tugas
dan ngawasan terhadap untuk mengadakan sosialisasi
dan konsultasi publik untuk meningkatkan kesadaran
hukum berkaitan dengan melakukan Perlindungan
Perempuan dan Anak .
Pembentukan Peraturan Daerah Kabupaten Karangasem
tentang Perlindungan Perempuan dan Anak akan membawa
implikasi pada aspek keuangan daerah, sehingga sangat
diperlukan adanya pengaturan sebagai dasar penyelenggaraan
Perlindungan Perempuan dan Anak di Kabupaten Karangasem
oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Karangasem.
19
BAB III
EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN YANG MENJADI DASAR HUKUM
DAN YANG TERKAIT
A. KONDISI HUKUM DAN SATUS HUKUM YANG ADA
Peraturan Perundang-undangan yang menjadi dasar
hukum pembentukan Peraturan Daerah Kabupaten Karangasem
tentang Perlindungan Perempuan dan Anak adalah:
1. Pasal Pasal 28 G ayat (1) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Indonesia Tahun 1945.
2. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia
3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2002 Nomor 10 ).
4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23
Tahun 2004 Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 95, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4419).
5. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5234).
6. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang
Pelindungan Anak ( Lembaran Negara Tahun 2014 No
297 dan Tambahan lembaran Negara Nomor 5606 ).
20
7. Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 44 37)
sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 59
Tahun 2008, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4844);
8. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah,
Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan
Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara RI Tahun
2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Nomor
473 ).
9. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 4
Tahun 2006 Tentang Penyelenggaraan Dan Kerja
Sama Pemulihan Korban Kekerasan Dalam Rumah
Tangga.
10. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 4
Tahun 2006 Tentang Penyelenggaraan Dan Kerja
Sama Tentang Pemulihan Korban Kekerasan Dalam
Rumah Tangga
11. Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan
Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Pedoman Pelaksanaan Perlindungan Perempuan
12. Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan
Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2008 tentang
Pedoman Pelaksanaan Perlindungan Anak.
21
13. Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan
Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2010 tentang
Standar Pelayanan Minimal Bidang Layanan Terpadu
Bagi Perempuan Dan Anak Korban Kekerasan
14. Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan
Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010 Tentang `
Panduan Pembentukan Dan Pengembangan Pusat
Pelayanan Terpadu.
15. Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan
Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2011 Tentang
Pedoman Pemberdayaan Perempuan Korban
Kekerasan
Pasal 18 ayat (6) UUD 1945 menentukan pemerintahan
daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-
peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas
pembantuan. Ketentuan ini merupakan landasan hukum
konstitusional bagi pembentukan Peraturan Daerah.
Pemerintahan daerah provinsi, pemerintah daerah
kabupaten/kota adalah mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan
(Pasal 18 ayat (2) UUD 1945). Pemerintahan daerah menjalankan
otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh
undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat
(Pasal 18 ayat (5) UUD 1945).
Ketentuan tersebut menjadi politik hukum pembentukan
peraturan daerah tentang Perlindungan Perempuan dan Anak .
Sebagai dasar hukum formal pembentukan perda ini adalah Pasal
18 ayat (6) UUD 1945, sebagaimana juga ditentukan pada
Pedoman 39 Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan
(TP3U) Lampiran UU 12/2011, yang menyatakan bahwa dasar
22
hukum pembentukan Peraturan Daerah adalah Pasal 18 ayat (6)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
B. KETERKAITAN DENGAN PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN YANG LAIN
Materi pokok yang diatur mengenai Perlindungan
Perempuan dan Anak yang akan diatur dalam Peraturan Daerah
yang sedang disusun Naskah Akademisnya ini mempunyai
keterkaitan dengan sejumlah peraturan perundang-undangan.
Tabel 9 : Keterkaitan Peraturan Perundang-undangan yang lain
Materi Muatan
KETERKAITAN DENGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANAN YANG LAIN
UU No. 39 Tahun 1999 Tentang
HAM
UU No. 7 Tahun 1984 Tentang
Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi Terhadap Wanita ( CEDAW)
Pasal 21 ayat (3) UU No 35
Tahun 2014 tentang
Pelindungan Anak.
Menge nai
struk tur organi
sasi kedudu
kan, tugas, fungsi,
susu nan organis
asi, dan
tata kerja PPT
Pasal 49 Wanita
(1) Wanita ber hak untuk memilih, dipi
lih, diang kat dalam
pekerjaan, jabatan, dan profesi sesuai
dengan persyaratan dan peraturan
perundang-undangan.
(2) Wanita berhak untuk mendapatkan
perlindungan khusus dalam
pelaksanaan
Pasal 12 Negara wajib
menghapus diskriminasi terhadap
perempuan di bidang
pemeliharaan dan pelayanan kesehatan
reproduksi
Pasal 21 ayat (3) Untuk menja
min pemenu han Hak Anak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1),
Pemerintah berkewajiban dan bertang
gung jawab dalam merumus
kan dan melaksanakan
kebijakan di bidang penyelenggaraa
n Perlindungan Anak.
23
pekerjaan atau
profesinya terhadap hal-hal yang
dapat mengancam
keselamatan dan atau kesehatannya
berkenaan dengan fungsi
reproduksi wanita.
(3) Hak khusus
yang melekat pada diri wanita
dikarenakan fungsi
reproduksinya, dijamin dan dilindungi
oleh hukum. Pasal 52 Anak
(1) Setiap anak berhak atas
perlindungan oleh orang tua, keluarga,
masyarakat, dan negara.
(2) Hak anak adalah hak asasi manusia
dan untuk kepentingannya hak anak
itu diakui dandilindungi
oleh hukum bahkan sejak dalam
kandungan.
Sumber : Diolah dari UU Ham, UU Tentang Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita, UU Perlindungan Anak.
24
BAB IV
LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS
A. PANDANGAN AKHLI DAN UU 12/2011
Validitas menurut Hans Kelsen adalah eksistensi norma
secara spesifik.8Suatu norma adalah valid merupakan suatu
pernyataan yang mengasumsikan eksistensi norma bahwa norma
itu memiliki kekuatan mengikat (binding forcé) terhadap orang
yang perilakunya diatur. Aturan adalah hukum dan hukum yang
validadalah norma. Jadi hukum adalah norma yang memberikan
sanksi.
Satjipto Raharjo berdasarkan pada pandangan Gustav
Radbruch menyatakan bahwa validitas adalah kesahan berlaku
hukum serta kaitannya dengan nilai-nilai dasar dari hukum.
Hukum dituntut untuk untuk memenuhi berbagai karya dan oleh
Radbruch disebut sebagai nilai-nilai dasar dari hukum. Ketiga
nilai dasar tersebut adalah keadilan, kegunaan/kemanfaatan
(zweekmaszikeit) dan kepastian hukum. Sekalipun ketiganya
merupakan nilai dasar dari hukum, namun diantara ketiga-
tinganya terdapat suatu spannungsverhaltni, suatu ketengan satu
sama lain, hal itu disebabkan karena ketiga-tiganya berisi
tuntutan yang berlainan.9
Keterkaitan validitas hukum dengan nilai-nilai dasar hukum
didasarkan pada : pertama, keberlakuan filsafat selalu merupakan
rechsidee10 apa yang mereka harapkan dari hukum, supa hukum
8 Jimly Asshiddiqie, 2006, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Sekretariat
Jendral Dan Kepaniteran Mahkamah Konstitusi, Jakarta, hlm.36 9 Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti Bandung, h. 19 ;
Yohanes usfunan, 2016, Perancangan Dan Penyusunan Produk Hukum Daerah,
Makalah disampaikan Dalam Pelatihan Penyusunan Naskah
Akademik,Diselenggarakan Unit Pusat Perancangan Hukum, Fakultas Hukum Universitas Udayana, hlm. 1.
10 Bagir Manan, Dasar-dasar Perundang-undangan, Indo Hill Bandung,
hlm. 17.
25
mencerminkan nilai keadilan. Kedua, keberlakuan
sosilogis/sosiologishe gelding artinya mencerminkan kenyataan
yang hidup di masyarakat supaya mencerminkan nilai kegunaan.
Ketiga, keberlakuan yuridis mencerminkan nilai kepastian hukum.
Istilah validitas atau geldigheid berarti keabsahan. Selain
istilah geldigheid ada juga istilah gelding yang berarti keberlakuan.
Menurut Bruggink istilah validitas digunakan untuk logika, yakni
tentang penalaran yang sah (valid), jika suatu penalaran
memenuhi syarat-syarat yang ditunjuk oleh kaidah dan logika.11
Validitas hukum adalah suatu kualitas hukum yang
menyatakan bahwa norma-norma hukum itu mengikat dan
mengharuskan orang untuk berbuat sesuai dengan yang
diharuskan oleh norma-norma hukum tersebut. Suatu norma
hanya dianggap valid apabila didasarkan kondisi bahwa norma
tersebut termasuk ke dalam suatu sistem norma.
Berkenaan dengan validitas hukum ini, Satjipto Rahardjo
dengan mendasarkan pada pandangan Gustav Radbruch
mengungkapkan, bahwa validitas adalah kesahan berlakunya
suatu hukum serta kaitannya dengan nilai-nilai dasar dari hukum
tersebut. Bahwasanya hukum itu dituntut untuk memenuhi
berbagai karya dan oleh Radbruch disebut sebagai nilai-nilai dasar
dari hukum, yakni keadilan, kegunaan, dan kepastian hukum.12
Uraian tersebut menunjukkan keterhubungan antara
validitas hukum dengan nilai-nilai dasar hukum, bahwasanya
hukum didasarkan pada keberlakuan filsafati supaya hukum
mencerminkan nilai keadilan, didasarkan pada keberlakuan
sosiologis supaya hukum mencerminkan nilai kegunaan, dan
didasarkan pada keberlakuan yuridis agar hukum itu
mencerminkan nilai kepastian hukum.
11 Bruggink, J.J.H. Bruggink, yang disunting oleh Arief Sidarta, 1996,
Refleksi Tentang Hukum, Citra Adytia Bhakti, Bandung, hlm.147. 12 Satjipto Rahardjo, op.cit, hlm. 19.
26
Uraian tentang validitas hukum atau landasan keabsahan
hukum dalam kaitannya dengan peraturan perundang-undangan
di Indonesia dapat ditemukan dalam sejumlah buku yang ditulis
oleh sarjana Indonesia, antara lain Jimly Assiddiqie13, Bagir
Manan14, dan Solly Lubis15.. Pandangan ketiga sarjana itu dapat
disajikan dalam tabel berikut.
Tabel 10: Landasan Keabsahan Peraturan Perundang-undangan
menurut Para Sarjana Indonesia16
Landa San
Jimly Asshiddiqie
Bagir Manan M. Solly Lubis
Filosofis
Bersesuaian
dengan nilai-
nilai filosofis
yang dianut oleh
suatu Negara.
Contoh, nilai-
nilai filosofis
Negara Republik
Indonesia
terkandung
dalam Pancasila
sebagai
“staatsfunda-
mentalnorm”.
Mencerminkan
nilai yang
terdapat dalam
cita hukum
(rechtsidee), baik
sebagai sarana
yang melindungi
nilai-nilai
maupun sarana
mewujudkannya
dalam tingkah
laku
masyarakat.
Dasar filsafat
atau
pandangan,
atau ide yang
menjadi dasar
cita-cita
sewaktu
menuangkan
hasrat dan
kebijaksanaan
(pemerintahan
) ke dalam
suatu rencana
atau draft
peraturan
Negara.
Sosiologis Mencerminkan
tuntutan
Mencerminkan
kenyataan yang
-
13 Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, Jakarta: Konstitusi Press,
2006, hlm. 169-174, 240-244 14 Bagir Manan, op.cit, hlm. 14-17. 15 M. Solly Lubis, 1989, Landasan dan Teknik Perundang-undangan,
Penerbit CV Mandar Maju, Bandung, hlm. 6-9. 16 Gede Marhaendra Wija Atmaja, “Politik Pluralisme Hukum dalam
Pengakuan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dengan Peraturan Daerah”, Disertasi Doktor, Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas
Brawijaya, Malang.
hlm. 38.
27
kebutuhan
masyarakat
sendiri akan
norma hukum.
[Juga dikatakan,
keberlakuan
sosiologis
berkenaan
dengan (1)
kriteria
pengakuan
terhadap daya
ikat norma
hukum; (2)
kriteria
penerimaan
terhadap daya
ikat norma
hukum; dan (3)
kriteria faktisitas
menyangkut
norma hukum
secara faktual
memang berlaku
efektif dalam
masyarakat.
hidup dalam
masyarakat.
Kenyataan itu
dapat berupa
kebutuhan atau
tuntutan atau
masalah-
masalah yang
dihadapi yang
memerlukan
penyelesaian.
Yuridis Norma hukum
itu sendiri
memang
ditetapkan (1)
sebagai norma
hukum
berdasarkan
norma hukum
yang lebih tinggi;
(2) menunjukkan
hubungan
keharusan
antara suatu
kondisi dengan
akibatnya; (3)
Keharusan (1)
adanya
kewenangan dari
pembuat
peraturan
perundang-
undangan;
(2) adanya
kesesuaian
bentuk atau
jenis peraturan
perundang-
undangan
dengan materi
yang diatur;
Ketentuan
hukum yang
menjadi dasar
hukum bagi
pembuatan
suatu
peraturan,
yaitu:
(1) segi formal,
yakni
landasan
yuridis yang
memberi
kewenangan
untuk
28
menurut
prosedur
pembentukan
hukum yang
berlaku; dan (4)
oleh lembaga
yang memang
berwenang
untuk itu.
(3) tidak
bertentangan
dengan
peraturan
perundang-
undangan yang
lebih tinggi; dan
(4) mengikuti
tata cara
tertentu dalam
pembentukan
nya.
membuat
peraturan
tertentu; dan
(2) segi
materiil, yaitu
landasan
yuridis untuk
mengatur hal-
hal tertentu.
Politis Harus tergambar
adanya cita-cita
dan norma dasar
yang terkandung
dalam UUD NRI
1945 sebagai
politik hukum
yang melandasi
pembentukan
undang-undang
[juga dikatakan,
pemberlakuanny
a itu memang
didukung oleh
faktor-faktor
kekuatan politik
yang nyata dan
yang mencukupi
di parlemen].
Garis
kebijaksanaan
politik yang
menjadi dasar
bagi
kebijaksanaan
-
kebijaksanaan
dan
pengarahan
ketatalaksana
an
pemerintahan.
Misalnya,
garis politik
otonomi dalam
GBHN (Tap
MPR No. IV
Tahun 1973)
memberi
pengarahan
dalam
pembuatan
UU Nomor 5
Tahun 1974.
Pandangan teoritik tentang landasan keabsahan peraturan
perundang-undangan tersebut menunjukan:
29
1. Pemahaman keabsahan peraturan perundang-undangan
pada ranah (1) normatif; dan (2) sosiologis. Pemahaman
dalam ranah sosiologis tampak pada pandangan Jimly
Asshiddiqie tentang landasan sosiologis dan politis yang
terdapat dalam tanda kurung ([…]). Dalam konteks
landasan keabsahan peraturan perundang-undangan yang
menyangkut pembentukan peraturan perundang-
undangan, lebih tepat memahami landasan keabsahan
peraturan perundang-undangan dalam ranah normatif.
2. Landasan keabsahan politis pada ranah normatif dari Jimly
Asshiddiqie, mengambarkan politik hukum, yakni adanya
cita-cita dan norma dasar yang terkandung dalam UUD NRI
1945 (Pembukaan dan pasal-pasalnya), yang dapat
diakomodasi dalam landasan filosofis dan yuridis.
3. Landasan keabsahan politis dari M. Solly Lubis yang
menggambarkan garis politik hukum dalam Ketetapan MPR,
yang dapat diakomodasi dalam landasan yuridis
Berdasarkan pandangan para sarjana tersebut tentang
landasan keabsahan atau dasar keberlakuan peraturan
perundang-undangan, maka landasan keabsahan filosofis,
sosiologis, dan yuridis dapat dirangkum sebagai berikut:
Tabel 11: Pandangan teoritik tentang landasan keabsahan
peraturan perundang-undangan 17
LANDASAN URAIAN
Filosofis Mencerminkan nilai-nilai filosofis atau nilai yang terdapat dalam cita hukum (rechtsidee).
Diperlukan sebagai sarana menjamin keadilan.
Sosiologis Mencerminkan tuntutan atau kebutuhan
masyarakat yang memerlukan penyelesaian. Diperlukan sebagai sarana menjamin kemanfaatan.
Yuridis Konsistensi ketentuan hukum, baik menyangkut dasar kewenangan dan prosedur pembentukan,
17 Gede Marhaendra Wija Atmaja, op.cit hlm. 29.
30
maupun jenis dan materi muatan, serta tidak adanya kontradiksi antar-ketentuan hukum yang
sederajat dan dengan yang lebih tinggi. Diperlukan sebagai sarana menjamin kepastian hukum.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan (UU 12/2011) mengadopsi
validitas tersebut sebagai (1) muatan menimbang yang memuat
uraian singkat mengenai pokok pikiran yang menjadi
pertimbangan dan alasan pembentukan Peraturan Perundang–
undangan, ditempatkan secara berurutan dari filosofis, sosiologis,
dan yuridis; dan (2) harus juga ada dalam naskah akademis
rancangan peraturan perundang-undangan.
Merujuk pada pandangan teoritik dari para sarjana yang telah
dikemukakan di atas, dikaitkan dengan ketentuan tentang teknik
penyusunan peraturan perundang-undangan18 dan teknik
penyusunan naskah akademik19 yang diadopsi Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011, ketiga aspek dari validitas tersebut dapat
disajikan dalam tabel berikut:
Tabel 12: Landasan Keabsahan Peraturan Perundang-undangan
Berdasarkan Pandangan Teoritik dan UU No. 12/2011
LANDASAN URAIAN
Filosofis Menggambarkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta
falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum itu, pada dasarnya berkenaan dengan keadilan yang mesti dijamin dengan adanya peraturan
perundang-undangan.
18 Angka 18 dan 19 TP3 (vide Pasal 64 ayat (2) Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2011). 19 Pasal 57 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
31
Sosiologis Menggambarkan kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek yang memerlukan penyelesaian,
yang sesungguhnya menyangkut fakta empiris mengenai perkembangan masalah dan kebutuhan masyarakat dan negara.
Kebutuhan masyarakat pada dasarnya berkenaan dengan kemanfaatan adanya peraturan perundang-
undangan.
Yuridis Menggambarkan permasalahan hukum yang akan
diatasi, yang sesungghunya menyangkut persoalan hukum yang berkaitan dengan substansi atau materi yang diatur.
Permasalahan hukum yang akan diatasi itu pada dasarnya berkenaan dengan kepastian hukum yang mesti dijamin dengan adanya peraturan
perundang-undangan, oleh karena itu harus ada konsistensi ketentuan hukum, menyangkut dasar
kewenangan dan prosedur pembentukan, jenis dan materi muatan, dan tidak adanya kontradiksi antar-ketentuan hukum yang sederajat dan dengan
yang lebih tinggi.
Sumber: Diolah dari berbagai sumber
Tanggung jawab negara diamanatkan dalam pembukaan
UUD 1945 alenia ke 4 anatara lain adalah ; 1) melindungi segenap
bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia ; dan 2)
memajukan kesejahteraan umum
Perlindungan yang menjadi tanggung jawab Negara itu tidak
saja terhadap setiap orang baik dari arti individual dan kelompok
berikut identitas budaya yang melekat padanya, tetapi juga
perlindungan terhadap tanah air, yang tercakup di dalamnya
sumber daya alam dan lingkungan hidup. Perlindungan tersebut
diarahkan dalam rangka memajukan kesejahteraan umum yang
juga merupakan tanggung jawab Negara.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, Pemerintahan
Kabupaten Karangasem perlu membentuk Peraturan Daerah
tentang Perlindungan Perempuan dan Anak . Materi yang diatur
dalam Peraturan Daerah ini meliputi antara lain kewajiban dan
32
tanggung jawab, layanan pengaduan, layanan rehabilitasi
kesehatan, layanan rehabilitasi social, layanan bantuan hukum,
pemulangan, pemantauan dan evaluasi, pelaporan, pendanaan,
pembinaan dan pengawasan.
33
BAB V
JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP
MATERI MUATAN PERATURAN DAERAH
A. KETENTUAN UMUM
Pedoman 98 Lampiran II Undang-Undng Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
menentukan,ketentuan umum berisi: a.batasan pengertian atau
definisi; b.singkatan atau akronim yang dituangkan dalam
batasan pengertian atau definisi; dan/atau c. hal-hal lain yang
bersifat umum yang berlaku bagi pasal atau beberapa pasal
berikutnya antara lain ketentuan yang mencerminkan asas,
maksud, dan tujuan tanpa dirumuskan tersendiri dalam pasal
atau bab.
Pedoman 109 Lampiran II Undang-Undng Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
menentukan, urutan penempatan kata atau istilah dalam
ketentuan umum mengikuti ketentuan sebagai berikut: a.
pengertian yang mengatur tentang lingkup umum ditempatkan
lebih dahulu dari yang berlingkup khusus; b. pengertian yang
terdapat lebih dahulu di dalam materi pokok yang diatur
ditempatkan dalam urutan yang lebih dahulu; dan c.pengertian
yang mempunyai kaitan dengan pengertian di atasnya yang
diletakkan berdekatan secara berurutan.
Beberapa hal yang relevan dicantumkan sebagai ketentuan
umum dalam pembentukan Peraturan Daerah tentang
Perlindungan Perempuan dan Anak diantaranya adalah:
1. Perlindungan perempuan dan anak , dilaksanakan
berdasarkan asas:
a. keadilan dan kesetaraan gender;
b. nondiskriminasi; dan
2. Hak-hak Korban
3. Tanggung Jawaban
34
4. Layanan Pengaduan dan Rehabilitasi
5. Layanan Pemulihan
6. Pemantauan
7. Evaluasi
8. Pembinaan
9. Pendanaan
10. Pengawasan
B. MATERI YANG AKAN DIATUR
Materi Pokok Yang Diatur adalah Perlindungan Perempuan
dan Anak Pembagian materi pokok ke dalam kelompok yang lebih
kecil dilakukan menurut kriteria yang dijadikan dasar pembagian
(Pedoman 111 Lampiran II Undang-Undng Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan), yakni:
BAB I KETENTUAN UMUM
BAB II ASAS DAN TUJUAN
BAB III PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK
BAB IV PELAYANAN TERPADU
BAB V HAK PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN
BAB VI LARANGAN
BAB VII PEMANTAUAN DAN EVALUASI
BAB VIII PEMBIAYAAN
BAB IX PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
BAB X PERAN SERTA MASYARAKAT
BAB XII SANKSI ADMINISTRATIF
BABXIII KETENTUAN PENUTUP
35
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan kajian yang telah di lakukan di Bab terdahulu,
dapat ditarik konklusi bahwa Pemerintah Daerah Kabupaten
Karangasem belum mempunyai Peraturan Daerah tentang
Perlindungan Perempuan dan Anak. Berdasarkan keseluruhan
tersebut di atas dirumuskan simpulan yaitu :
Kabupaten Karangasem mempunyai kewenangan
membentuk Peraturan Daerah tentang Perlindungan Perempuan
dan Anak. Berdasarkan Pasal 20 UU Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak mengatur bahwa Negara, pemerintah,
masyarakat, keluarga, dan orang tua berkewajiban
bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak.
Selanjutnya dalam. Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, (UU KDRT)
mengatur bahwa negara menjamin untuk melakukan pencegahan
terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku
kekerasan dalam rumah tangga, dan melindungi korban
kekerasan dalam rumah tangga.
UU KDRT, Pasal 1 angka 2 mengatur bahwa Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah jaminan yang diberikan
oleh negara untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah
tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan
melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga. Dalam Pasal 5
Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan
B. Saran
1. Menyiapkan segera Peraturan Bupati tentang
pembentukan, tugas pokok, fungsi, dan mekanisme kerja
PPT untuk melaksanakan Peraturan Daerah
36
2. Agar diselenggarakan proses konsultasi publik sehingga
masyarakat dapat memberikan masukan dalam penyusunan
Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Karangasem
tentang Perlindungan Perempuan dan Anak , sesuai dengan
asas keterbukaan dan ketentuan tentang partisipasi
masyarakat dalam Pasal 96 Lampiran II Undang-Undng
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan dan Pasal 354 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Peraturan Daerah.
37
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU
Arif Gosita, 1989, Masalah Perlindungan Anak, (Jakarta:
Akademika Pressindo.
Bagir Manan, 1992, Dasar-Dasar Perundang-undangan Indonesia,
Penerbit Ind-Hill.Co, Jakarta.
Gede Marhaendra Wija Atmaja, 2012, Politik Pluralisme Hukum
dalam Pengakuan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat
dengan Peraturan Daerah”, Disertasi Doktor, (Malang:
Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas
Brawijaya, 2012).
Hans Kelsen, 2006, Teori Umum tentang Hukum dan Negara,
terjemahan Raisul Muttaqien dari judul asli: General Theory
of Law and State, Bandung: Penerbit Nusamedia dan
Penerbit Nuansa., Bandung.
Jimly Asshiddiqie, 2006, Perihal Undang-Undang, (Jakarta:
Konstitusi Press.
Mansour Fakih, 2004, Analisis Gender & Transformasi Sosial,
Jakarta: Pustaka Pelajar, Jakarta.
M. Solly Lubis, 1989, Landasan dan Teknik Perundang-undangan,
Penerbit CV Mandar Maju, Bandung.
Niken Savitri, 2008,HAM Perempuan Kritik Teori Hukum Feminis
terhadap KUHP, Refika Aditama, Jakarta.
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Penerbit PT Citra Aditya
Bakti, 2000).
Sulistyo Irianto & Shidarta, 2009, Metode Penelitian Hukum
Konstelasi dan Refleksi, Yayasan Obor Indonesia
Yohanes usfunan, 2016, Perancangan Dan Penyusunan Produk
Hukum Daerah, Makalah disampaikan Dalam Pelatihan
Penyusunan Naskah Akademik,Diselenggarakan Unit Pusat
Perancangan Hukum, Fakultas Hukum Universitas
Udayana.
38
B. JURNAL
Jurnal Perempuan ( Untuk Pencerahan dan Kesetaraan ), Sejauh Mana Komitmen Negara ? Diskriminasi Terhadap Perempuan, ISSN : 1410-153X,2006.
C. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002
Nomor 109 ).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004
Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 95, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4419).
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, sebagaimana diubah keduakalinya dengan Undang-
undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan
Daerah.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5234).
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian
Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan
Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota
(Lembaran Negara Ri Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4737 ).
39
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2006
Tentang Penyelenggaraan Dan Kerja Sama Pemulihan
Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2006
Tentang Penyelenggaraan Dan Kerja Sama Tentang
Pemulihan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Republik
Indonesianomor 2 Tahun 2008tentang Pedoman Pelaksanaan
Perlindungan Perempuan.
Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Republik
Indonesianomor 3 Tahun 2008tentang Pedoman Pelaksanaan
Perlindungan Anak.
Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Republik
Indonesianomor 1 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan
Minimal Bidang Layanan Terpadu Bagi Perempuan Dan
Anak Korban Kekerasan
Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Republik
Indonesianomor 5 Tahun 2010 Tentang ` Panduan
Pembentukan Dan Pengembangan Pusat Pelayanan Terpadu.
Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Republik
Indonesianomor 19 Tahun 2011 Tentang Pedoman
Pemberdayaan Perempuan Korban Kekerasan
Peraturan Daerah Kabupaten Karangasem Nomor 4 Tahun 2008
tentang Urusan Pemerintah Kabupaten Karangasem
(Lembaran Daerah Kabupaten Karangasem Tahun 2008
Nomor 4 Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten
Karangasem Nomor 4).
40
DRAFT RANCANGAN PERATURAN DAERAH
BUPATI KARANGASEM
PROVINSI BALI
PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARANGASEM
NOMOR … TAHUN …
TENTANG
PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
BUPATI KARANGASEM,
Menimbang : a. bahwa setiap orang berhak mendapatkan rasa
aman dalam bentuk Perlindungan ;
b. bahwa perlindungan yang dilakukan terhadap
perempuan dan anak merupakan tindakan
salah satu bentuk penghargaan kepada umat
manusia yang memberikan manfaat bagi
kesejahteraan masyarakat;
c. bahwa penyelenggaraan perlindungan perempuan
dan anak di Kabupaten Karangasem belum
memiliki dasar pengaturan;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c,
41
perlu membentuk Peraturan Daerah tentang
Perlindungan Perempuan dan Anak ;
Mengingat : 1. Pasal 18 ayat (6 Undang-Undang Dasar Re
publik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 69 Tahun 1958 tentang
Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat II Dalam
Wilayah Daerah-Daerah Tingkat I Bali Nusa
Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1958 Nomor 122; Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 1555);
3. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi manusia (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3886);
4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlingdungan Anak (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2000 Nomor 208, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4235) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 297, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5606);
5. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 95, Tambahan Lembaran Negara
42
Republik Indonesia Nomor 4419);
6. Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor
64, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4635);
7. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan
orang (Lembaran Negara Republik Imdonesia
Tahun 2009 Nomor 58, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4720);
8. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang
Kesejahteraan Sosial (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 12, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4967);
9. Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Anak (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 153,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5332);
10. Undang – Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5234);
11. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2012 tentang
Pengesahan Optional Protocol To The Convention
On The Rights Of The Child On The Sale Of
Children, Child Prostitution And Child
Pornography (Protokol Opsional Konvensi Hak-
43
Hak Anak Mengenai Penjualan Anak, Prostitusi
Anak, Dan Pornografi Anak) (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 149,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5330);
12. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244,
Tambahan Lembaran Negara Republik
Indoenesia Nomor 5587) sebagaimana telah
diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara
Repubik Indonesia Nomor 5679);
13. Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 2
Tahun 2008 tentang Pelaksanaan
Perlindungan Perempuan;
14. Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 3
Tahun 2008 Tentang Pedoman Pelaksanaan
Perlindungan Anak;
15. Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 1
Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan
Minimal Bidang Layanan Terpadu Bagi
Perempuan dan Anak Korban Kekerasan;
16. Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan
44
Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 5
Tahun 2010 tentang Panduan Pembentukan
dan Pengembangan Pusat Pelayanan Terpadu;
17. Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 02
Tahun 2011 tentang Pedoman penanganan
anak Korban Kekerasan;
18. Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 19
Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberdayaan
Perempuan Korban Kekerasan;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN KARANGASEM
dan BUPATI KARANGASEM,
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG PERLINDUNGAN
PEREMPUAN DAN ANAK.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini, yang dimaksud dengan:
1. Daerah adalah Daerah Kabupaten Karangasem.
2. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Daerah Kabupaten
Karangasem.
3. Bupati adalah Bupati Karangasem.
4. Satuan Kerja Perangkat Daerah, yang selanjutnya disingkat SKPD
adalah unsur pembantu Bupati dan DPRD dalam penyelenggaraan
Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.
45
5. Satuan Kerja Perangkat Daerah teknis yang selanjutnya disebut
SKPD teknis adalah Satuan Kerja Perangkat Daerah yang lingkup
tugas dan tanggung jawabnya meliputi urusan Pemberdayaan
Perempuan dan/atau Perlindungan Anak.
6. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas)
tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
7. Perempuan adalah manusia berjenis kelamin perempuan dan
orang yang oleh hukum diakui sebagai perempuan.
8. Pemberdayaan Perempuan adalah setiap upaya meningkatkan
kemampuan fisik, mental spiritual, sosial, pengetahuan, dan
keterampilan agar perempuan siap didayagunakan sesuai dengan
kemampuan masing-masing.
9. Pemenuhan Hak Anak adalah segala kegiatan untuk menjamin
dan melindungi anak serta hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh,
berkembang dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan
harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan
dari kekerasan dan diskriminasi.
10. Kekerasan adalah setiap perbuatan yang berakibat timbulnya
kesengsaraan atau penderitaan baik secara fisik, seksual,
psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk
ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau
perampasan kemerdekaan seseorang secara melawan hukum.
11. Korban adalah perempuan dan/atau anak yang mengalami
kesengsaraan dan/atau penderitaan baik secara langsung maupun
tidak langsung sebagai akibat dari kekerasan yang terjadi di
wilayah Kabupaten Karangasem.
12. Perlindungan adalah segala tindakan pencegahan, pelayanan dan
pemberdayaan untuk melindungi dan menjamin hak-hak
perempuan dan anak dari tindak kekerasan.
13. Pencegahan adalah kegiatan yang dilakukan untuk mencegah
terjadinya tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak.
46
14. Pelayanan adalah tindakan yang dilakukan sesegera mungkin
kepada korban ketika melihat, mendengar dan mengetahui akan,
sedang atau telah terjadinya kekerasan terhadap korban.
15. Pemberdayaan adalah penguatan perempuan korban kekerasan
untuk dapat berusaha dan bekerja sendiri setelah mereka
dipulihkan dan diberikan layanan rehabilitasi kesehatan dan
sosial.
16. Rehabilitasi Kesehatan adalah upaya pemulihan kondisi korban
meliputi kesehatan fisik, psikis dan sosial agar korban dapat
melaksanakan perannya kembali secara baik dan wajar baik dalam
keluarga maupun dalam masyarakat.
17. Rehabilitasi sosial adalah pelayanan yang ditujukan untuk
memulihkan dan mengembangkan kemampuan seseorang yang
mengalami disfungsi sosial agar dapat melaksanakan fungsi
sosialnya secara wajar.
18. Pemulangan adalah upaya mengembalikan korban kekerasan dari
wilayah daerah ke daerah asal.
19. Reintegrasi sosial adalah upaya penyatuan kembali korban dengan
pihak keluarga, keluarga pengganti atau masyarakat yang dapat
memberi perlindungan dan pemenuhan kebutuhan bagi korban.
20. Pusat Pelayanan Terpadu yang selanjutnya disingkat PPT, adalah
suatu unit yang menyelenggarakan pelayanan terpadu untuk
korban kekerasan dan terintegrasi dengan PPT yang
menyelenggarakan pelayanan terpadu untuk saksi dan/atau
korban tindak pidana perdagangan orang.
21. Pengarusutamaan gender (gender mainstreaming) adalah strategi
untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender melalui
kebijakandan program yang memperhatikan pengalaman, aspirasi,
kebutuhan, dan permasalahan perempuan, dan laki-laki kedalam
perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi,dari
seluruh kebijakan dan program di berbagai bidang kehidupan dan
47
pembangunan.
BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 2
Pelindungan Perempuan dan Anak, dilaksanakan berdasarkan asas:
a. penghormatan dan perlindungan Hak Asasi Manusia;
b. keadilan dan kesetaraan gender;
c. non diskriminasi;
d. kepentingan terbaik bagi Anak;
e. hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan;
f. pemberdayaan; dan
g. kepastian hukum.
Pasal 3
Peraturan Daerah ini bertujuan untuk :
a. menjamin terpenuhinya hak-hak perempuan dan anak;
b. memelihara keutuhan rumah tangga agar terwujud keluarga yang
harmonis;
c. mencegah kekerasan terhadap perempuan dan anak;
d. melindungi dan memberikan rasa aman bagi perempuan dan
anak;
e. memberikan pelayanan kepada perempuan dan anak korban
tindak kekerasan;
f. memberikan perlindungan kepada pelapor dan saksi; dan
g. melakukan pemberdayaan kepada perempuan korban kekerasan.
BAB III
PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK
Bagian Kesatu
48
Pemberdayaan Perempuan
Paragraf 1
Hak dan Kewajiban Perempuan
Pasal 4
Setiap Perempuan berhak:
a. untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan
kehidupannya;
b. untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui
perkawinan yang sah;
c. mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya;
d. mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu
pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan
kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia;
e. untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara
kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negara;
f. atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang
adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum;
g. untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil
dan layak dalam hubungan kerja;
h. memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan;
i. atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan
pendapat;
j. atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan
harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa
aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat
atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi;
k. untuk bebas dari penyiksaaan atau perlakuan yang merendahkan
derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik
dari negara lain;
l. hidup sejahtera lahir batin, bertempat tinggal dan mendapat
lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta berhak memperoleh
49
pelayanan kesehatan;
m. atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya
secara utuh sebagai manusia yang bermartabat;
n. atas kebersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan;
o. atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan;
p. dalam upaya pembelaan negara;
q. untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk
mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak
untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan
menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis
saluran yang tersedia;
r. memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut
agamnya dan kepercayaannya itu; dan
s. mendapat pendidikan.
Paragraf 2
Bentuk Pemberdayaan Perempuan
Pasal 5
(1) Guna meningkatkan kedudukan, peran, dan kualitas perempuan,
serta upaya mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam
kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara, perempuan harus diberdayakan.
(2) Pemberdayaan perempuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diarahkan untuk memperoleh kesempatan dan hak-haknya
sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam
kegiatan ekonomi, sosial budaya, politik, dan hukum.
Pasal 6
(1) Pemerintah Daerah berkewajiban dan bertanggungjawab dalam
50
upaya pemberdayaan perempuan.
(2) Upaya pemberdayaan perempuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan secara terpadu sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 7
Penyelenggaraan pemberdayaan perempuan di bidang ekonomi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dilaksanakan melalui:
a. pemberian keterampilan dan pelatihan kerja;
b. fasilitasi pembentukan kelompok usaha ekonomi produktif;
c. fasilitasi penguatan dan pengembangan kelompok usaha ekonomi
produktif;
d. fasilitasi dan bantuan permodalan; dan
e. fasilitasi pengembangan jaringan pemasaran.
Pasal 8
Pemberdayaan perempuan di bidang sosial budaya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dilaksanakan melalui:
a. peningkatan pengetahuan, sikap dan keterampilan untuk
mendorong pemenuhan pendidikan secara berjenjang sesuai
dengan potensi untuk meningkatkan status sosial;
b. peningkatan kesadaran, kemauan dan kemampuan untuk
mengatasi permasalahan kesehatan melalui upaya promotif,
preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang berkualitas utamanya di
bidang kesehatan reproduksi.
c. peningkatan kesadaran dan pengetahuan tentang perencanaan
keluarga mandiri, sehat dan sejahtera termasuk akses layanan
konsultasi dan pencatatan perkawinan; dan
d. fasilitasi dan upaya pelestarian adat istiadat dan pengembangan
ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan budaya untuk kemajuan
51
perempuan.
Pasal 9
(1) Penyelenggaraan pemberdayaan perempuan di bidang politik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) meliputi :
a pelibatan perempuan dalam pengambilan keputusan di berbagai
level;
b pemberian kesempatan bagi perempuan untuk menduduki jabatan
publik;
c partisipasi dalam pemilihan umum; dan
d pengembangan diri melalui organisasi untuk berserikat, berkumpul
dan mengeluarkan pendapat.
(2) Penyelenggaraan pemberdayaan perempuan di bidang politik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 10 (1) Penyelenggaraan pemberdayaan perempuan di bidang hukum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) meliputi :
a. peningkatan kesadaran dan pengetahuan di bidang hukum melalui
layanan komunikasi, informasi dan edukasi; dan
b fasilitasi akses dan layanan konsultasi hukum
(2) Penyelenggaraan pemberdayaan perempuan di bidang hukum
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 11
52
(1) Untuk melaksanakan Pemberdayaan Perempuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6, Pemerintah Daerah menyelenggarakan
pengarusutamaan gender meliputi:
a. menetapkan pelaksanaan pengarusutamaan gender;
b. mengoordinasikan, memfasilitasi, dan mediasi pengarusutamaan
gender;
c. memfasilitasi penguatan kelembagaan dan pengembangan
mekanisme pengarusutamaan gender pada lembaga pemerintah,
pusat studi wanita, lembaga penelitian dan pengembangan,
lembaga non pemerintah;
d. melaksanakan pengarusutamaan gender yang terkait dengan
bidang pembangunan, pendidikan, kesehatan, ekonomi, hukum,
Hak Asasi Manusia dan politik, lingkungan dan sosial budaya;
e. meningkatkan kualitas hidup perempuan terkait dengan bidang
pembangunan, pendidikan, kesehatan, ekonomi, hukum, Hak
Asasi Manusia dan politik, lingkungan dan sosial budaya;
f. mengintegrasikan upaya peningkatan kualitas hidup perempuan
terkait dengan bidang pembangunan, pendidikan, kesehatan,
ekonomi, hukum, Hak Asasi Manusia dan politik, lingkungan dan
sosial budaya;
g. mengoordinasikan pelaksanaan peningkatan kualitas hidup
perempuan terkait dengan bidang pembangunan, pendidikan,
kesehatan, ekonomi, hukum, Hak Asasi Manusia dan politik,
lingkungan dan sosial budaya;
h. menyelenggarakan perlindungan perempuan terutama
perlindungan terhadap korban kekerasan, tenaga kerja
perempuan, perempuan lanjut usia, dan perempuan penyandang
cacat, di daerah konflik dan daerah yang terkena bencana;
i. memfasilitasi pengintegrasian perlindungan perempuan terutama
perlindungan terhadap korban kekerasan, tenaga kerja
perempuan, perempuan lanjut usia dan perempuan penyandang
53
cacat, di daerah konflik dan daerah yang terkena bencana;
j. mengoordinasikan perlindungan perempuan terutama
perlindungan terhadap korban kekerasan, tenaga kerja
perempuan, perempuan lanjut usia dan perempuan penyandang
cacat;
k. memfasilitasi penguatan dan pengembangan jaringan kerja
lembaga atau organisasi kemasyarakatan dan dunia usaha untuk
pelaksanaan pengarusutamaan gender;
l. mengembangkan sistem infomasi berbasis gender; dan
m. menyediakan dan menyelenggarakan layanan terpadu ataupun
tidak terpadu terhadap perempuan korban kekerasan, tenaga
kerja perempuan, perempuan lanjut usia, dan perempuan
penyandang cacat.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk-bentuk pemberdayaan
perempuan dan mekanisme pengarusutamaan gender sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bupati.
Paragraf 3
Peran Serta Masyarakat
Pasal 12
(1) Untuk melakukan pemberdayaan perempuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6, Pemerintah Daerah dapat melibatkan peran serta
masyarakat.
(2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh perseorangan, Lembaga Sosial Kemasyarakatan,
lembaga keagamaan dan/atau lembaga lain yang sah
Bagian Kedua Perlindungan Anak
Paragraf 1 Hak dan Kewajiban Anak
Pasal 13
54
Setiap anak berhak mendapatkan :
a. pencatatan kelahiran;
b. kesehatan;
c. pendidikan; dan
d. kesejahteraan sosial.
Pasal 14
Setiap anak mempunyai kewajiban untuk:
a. menghormati orang tua, wali dan guru;
b. mencintai keluarga, masyarakat dan menyayangi teman;
c. mencintai tanah air, bangsa dan negara;
d. menunaikan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya;
e. belajar dan mengembangkan diri sesuai dengan kemampuan dan
bakat, minatnya; dan
f. berbudi pekerti luhur.
Paragraf 2 Pencatatan Kelahiran
Pasal 15
Penyelenggaraan Pemenuhan Hak Anak dibidang pencatatan kelahiran,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf a, Pemerintah Daerah
berkewajiban menyelenggarakan pencatatan kelahiran anak dengan
penerbitan akta kelahiran sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Paragraf 3
Kesehatan
Pasal 16
(1) Penyelenggaraan Pemenuhan Hak Anak di bidang kesehatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf b, Pemerintah Daerah
55
wajib menyediakan fasilitas dan menyelenggarakan layanan
kesehatan yang komprehensif bagi anak, agar setiap anak
memperoleh derajat kesehatan yang optimal sejak dalam kandungan
yang dilakukan bertahap disesuaikan dengan kemampuan keuangan
daerah serta didukung oleh peran serta masyarakat.
(2) Layanan kesehatan yang komprehensif sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi:
a upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif untuk pelayanan
kesehatan dasar;
b. pembebasan dari beban biaya bagi anak gizi buruk, anak yang
menjalani cuci darah karena gagal ginjal, anak penderita thalasemia
mayor, anak penyandang disabilitas, anak berkebutuhan khusus,
anak jalanan, anak yang terinfeksi HIV/AIDS, pekerja anak, anak
korban penyalahgunaan narkotika, psikotropika dan zat adiktif
lainnya (NAPZA), anak yang menjadi korban kekerasan, seperti
penelantaran, tereksploitasi secara ekonomi, seksual dan korban
perdagangan orang.
(3) Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah anak dari
keluarga miskin kecuali yang diatur berbeda sesuai dengan program
pembiayaan kesehatan yang ditetapkan pemerintah
Pasal 17
Pemerintah Daerah, masyarakat, keluarga dan orang tua wajib
mengusahakan agar anak yang lahir terhindar dari penyakit yang
mengancam kelangsungan hidup dan/atau menimbulkan kecacatan
Paragraf 4
Pendidikan
Pasal 18
(1) Penyelenggaraan Pemenuhan Hak Anak dibidang pendidikan
56
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf c, Pemerintah Daerah
menjamin terselenggaranya program wajib belajar 12 (dua belas)
tahun untuk semua anak.
(2) Setiap penyelenggara satuan pendidikan wajib memberikan
kesempatan kepada anak untuk memperoleh layanan pendidikan
tanpa diskriminasi.
Pasal 19
Setiap penyelenggara satuan pendidikan dilarang mengeluarkan anak dari
lembaga pendidikan kecuali ada jaminan terhadap keberlangsungan
pendidikan anak.
Pasal 20
Setiap penyelenggara satuan pendidikan wajib berkoordinasi dengan
instansi terkait perlindungan anak apabila mendapati anak putus sekolah
karena menjadi korban tindak kekerasan.
Pasal 21
Anak penyandang disabilitas dan anak berkebutuhan khusus diberikan
kesempatan yang sama untuk memperoleh layanan pendidikan formal,
nonformal dan informal, termasuk pendidikan luar biasa dan inklusi.
Pasal 22
Pendidikan Anak Usia Dini bagi anak usia 0 (nol) sampai dengan 3 (tiga)
tahun dan 4 (empat) sampai dengan 6 (enam) tahun dapat
diselenggarakan oleh lembaga Posyandu, Taman Posyandu, Pos
Pendidikan Anak Usia Dini dan lembaga satuan Pendidikan Anak Usia
Dini sejenis.
57
Pasal 23
Bagi anak yang tidak menempuh pendidikan formal, dapat menempuh
pendidikan melalui satuan pendidikan nonformal meliputi:
a. Bagi anak yang telah berusia 14 (empat belas) tahun keatas dan
tidak menempuh pendidikan formal SD atau sederajat dapat
menempuh pendidikan nonformal Paket A atau setara Sekolah
Dasar (SD)/Madrasah Ibtidaiyah (MI);
b. Bagi anak yang telah berusia 17 (tujuh belas) tahun keatas dan
tidak menempuh pendidikan formal SMP atau sederajat dapat
menempuh pendidikan nonformal Paket B atau setara Sekolah
Menengah Pertama (SMP)/Madrasah Tsanawiyah (MTs); atau
c. Bagi anak yang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun keatas dan
tidak menempuh pendidikan formal SMP atau sederajat dapat
menempuh pendidikan nonformal Paket C atau setara Sekolah
Menengah Atas (SMA)/Sekolah Menengah Kejuruan
(SMK)/Madrasah Aliyah/Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK);
Paragraf 5
Kesejahteraan Sosial
Pasal 24
(1) Penyelenggaraan Perlindungan dan pemberdayaan anak dibidang
kesejahteraan sosial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf d,
Pemerintah Daerah wajib menyelenggarakan kesejahteraan sosial
bagi:
a. anak yang berhadapan dengan hukum;
b. anak korban kekerasan yang tereksploitasi secara ekonomi dan
seksual, anak terlantar, anak korban penculikan dan anak korban
perdagangan orang;
c. anak korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika
58
dan zat adiktif lainnya (NAPZA);
d. anak terinfeksi HIV/AIDS;
e. anak yang tidak mempunyai orang tua dan diasuh oleh pihak lain
atau keluarga yang tidak mampu;
f. anak jalanan;
g. anak korban bencana alam atau bencana sosial;
h. anak penyandang disabilitas;
i. anak keluarga buruh migran;
j. anak yang hidup di dalam atau di sekitar lokasi prostitusi; dan
k. anak korban perlakuan salah lainnya.
(2) Kesejahteraan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
berupa penyediaan layanan:
a kesehatan;
b pendidikan;
c bantuan hukum;
d pendampingan;
e bimbingan sosial, mental dan spiritual;
f rehabilitasi sosial;
g pemberdayaan;
h bantuan sosial; dan/atau
i reintegrasi.
Pasal 25
(1) Pemerintah Daerah wajib melindungi pemenuhan hak pekerja anak
pada sektor informal.
(2) Pekerja Anak pada sektor informal sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) meliputi:
a pekerja rumah tangga;
b penyemir sepatu;
59
c pedagang asongan;
d pemulung;
e tukang parkir;
f anak yang bekerja di bidang pertanian, peternakan dan
perkebunan;
g anak yang bekerja di bidang pertambangan; dan
h pekerjaan sektor informal lainnya yang mempekerjakan anak.
(3) Setiap orang yang mempekerjakan anak pada sektor informal wajib
memperhatikan persyaratan:
a usia minimal 15 (lima belas) tahun, kecuali bagi kategori Bentuk
Pekerjaan Terburuk Anak minimal 18 (delapan belas) tahun;
b mendapat persetujuan tertulis dari orangtua/wali pekerja anak;
c memiliki perjanjian kerja tertulis antara majikan dengan orang
tua/wali pekerja anak dan mendapat pengesahan dari instansi
yang berwenang;
d tidak dipekerjakan pada malam hari;
e waktu kerja paling lama 3 (tiga) jam dalam sehari;
f tidak dipekerjakan pada tempat atau lingkungan yang dapat
mengganggu proses tumbuh kembang anak, baik fisik, mental,
moral dan intelektual maupun kesehatan anak;
g memberi kesempatan untuk mendapat pendidikan sesuai dengan
bakat dan minatnya;
h mempekerjakan untuk jenis pekerjaan yang ringan; dan
i memberikan kesempatan libur satu hari dalam seminggu.
Pasal 26
Pemenuhan Hak Anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 berupa:
a penyuluhan kepada para pemangku kepentingan tentang hak-hak
anak;
60
b bantuan layanan psikologi, medis dan hukum dan reintegrasi
sosial ekonomi;
c pemberdayakan keluarga melalui pemberian pelatihan, stimulan
modal usaha dan pendampingan;
d beasiswa untuk melanjutkan pendidikan formal ke jenjang yang
lebih tinggi; dan
e pendidikan nonformal dan pelatihan ketrampilan bagi yang tidak
menempuh pendidikan formal.
Bagian Ketiga
Bentuk Kekerasan
Pasal 27
Bentuk-bentuk kekerasan meliputi:
a. kekerasan fisik;
b. kekerasan psikis;
c. kekerasan seksual;
d. penelantaran;
e. eksploitasi; dan/atau
f. kekerasan lainnya.
Pasal 28
Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf a
disebabkan karena perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, cedera,
luka atau cacat pada tubuh seseorang, gugurnya kandungan, pingsan
dan/atau menyebabkan kematian.
Pasal 29
Kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf b
61
disebabkan karena perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya
rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak
berdaya dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang
Pasal 30
Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf c
disebabkan karena :
a. perbuatan yang berupa pelecehan seksual;
b. pemaksaan hubungan seksual;
c. pemaksaan hubungan seksual dengan tidak wajar atau tidak
disukai; dan/atau
d. pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan
komersial dan/atau tujuan tertentu.
Pasal 31
Penelantaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf d disebabkan
karena :
a. perbuatan yang mengakibatkan tidak terpenuhinya kebutuhan
anak secara wajar, baik fisik, mental, spiritual maupun sosial
yang dilakukan oleh orang tua, wali, atau pihak lain manapun
yang bertanggung jawab atas pengasuhannya;
b. perbuatan mengabaikan dengan sengaja untuk memelihara,
merawat, atau mengurus anak sebagaimana mestinya yang
dilakukan oleh orang tua, wali, atau pihak lain yang bertanggung
jawab atas pengasuhannya;
perbuatan menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya,
padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena
persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan,
perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut; dan/atau
d. perbuatan yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan
cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di
dalam atau di luar rumah sehingga korban berada dibawah
62
kendali orang tersebut.
Pasal 32
Eksploitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf e disebabkan
karena :
a. perbuatan yang mengeksploitasi ekonomi atau seksual dengan
maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain;
b. perbuatan yang dengan atau tanpa persetujuan korban antara
lain pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau
praktik serupa, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik,
seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum
memindahkan atau mentransplantasi organ dan/atau jaringan
tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang
oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan materiil atau
immateriil; dan/atau
c. segala bentuk pemanfaatan organ tubuh seksual atau organ
tubuh lain dari korban untuk mendapatkan keuntungan,
termasuk tetapi tidak terbatas pada semua kegiatan pelacuran
atau pencabulan.
Pasal 33
Kekerasan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf f
disebabkan karena :
a. ancaman kekerasan meliputi : setiap perbuatan secara melawan
hukum berupa ucapan, tulisan, gambar, simbol, atau gerakan
tubuh, baik dengan atau tanpa menggunakan sarana yang
menimbulkan rasa takut atau mengekang kebebasan hakiki
seseorang; dan
b. pemaksaan, meliputi : suatu keadaan dimana seseorang/korban
disuruh melakukan sesuatu sedemikian rupa sehingga orang itu
melakukan sesuatu yang berlawanan dengan kehendak sendiri.
63
Bagian Keempat
Pencegahan Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak
Pasal 34
(1) Upaya pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan anak
dilakukan secara terpadu oleh Pemerintah Daerah dan
dikoordinasikan oleh SKPD teknis.
(2) Upaya pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
dengan cara :
a. melakukan pembinaan menuju keutuhan rumah tangga yang
harmonis;
b. membentuk jaringan kerja dalam upaya pencegahan kekerasan;
c. melakukan koordinasi, integrasi, sinkronisasi pencegahan
kekerasan berdasarkan pola kemitraan;
d. membentuk sistem pencegahan kekerasan;
e. melakukan sosialisasi mengenai peraturan perundang-undangan
yang berkaitan dengan Perlindungan Perempuan dan Anak ; dan
f. memberikan pendidikan kritis mengenai hak-hak perempuan dan
anak bagi masyarakat.
Pasal 35
Selain Pemerintah Daerah, upaya pencegahan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 34 ayat (1) dilakukan oleh :
a. keluarga dan/atau kerabat terdekat;
b. masyarakat;
c. lembaga pendidikan; dan
d. Lembaga Swadaya Masyarakat.
Bagian Kelima
Penanganan terhadap Perempuan dan Anak Korban Kekerasan
Pasal 36
64
Penyelenggaraan Penanganan terhadap perempuan dan anak korban
kekerasan dilaksanakan dengan:
a. cepat;
b. aman dan nyaman;
c. rasa empati;
d. non diskriminasi;
e. mudah dijangkau;
f. tidak dikenakan biaya; dan
g. dijamin kerahasiaannya.
Pasal 37
Bentuk penanganan terhadap perempuan dan anak korban kekerasan
meliputi :
a. pelayanan pengaduan, konsultasi, dan konseling;
b. pelayanan pendampingan;
c. pelayanan rehabilitasi medis;
d. pelayanan rehabilitasi sosial;
e. pelayanan hukum; dan
f. pelayanan reintegrasi sosial.
Pasal 38
Pelayanan pengaduan, konsultasi, dan konseling sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 37 huruf a meliputi :
a. identifikasi atau pencatatan awal korban;
b. identifikasi Kasus; dan
c. persetujuan dilakukan tindakan.
Pasal 39
Pelayanan pendampingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 huruf b
meliputi :
a. mendampingi korban selama proses pemeriksaan dan pemulihan
65
kesehatan;
b. mendampingi korban selama proses pemeriksaan di kepolisian,
kejaksaan dan pengadilan;
c. memantau kepentingan dan hak-hak korban dalam proses
pemeriksaan di kepolisan, kejaksaan dan pengadilan;
d. menjaga privasi dan kerahasiaan korban dari semua pihak yang
tidak berkepentingan, termasuk pemberitaan oleh media massa;
e. memberikan rasa aman kepada korban; dan
f. memberikan penanganan yang berkelanjutan hingga tahap
rehabilitasi.
Pasal 40
Pelayanan rehabilitasi medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37
huruf c meliputi :
a. pertolongan pertama kepada korban;
b. perawatan dan pemulihan luka fisik yang bertujuan untuk
pemulihan kondisi fisik korban yang dilakukan oleh tenaga
medis dan paramedis; dan
c. rujukan ke layanan kesehatan.
Pasal 41
(1) Pelayanan rehabilitasi sosial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37
huruf d merupakan pelayanan yang diberikan dalam rangka
memulihkan kondisi traumatis korban.
(2) Bentuk pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melalui
dukungan secara sosial.
(3) Dukungan secara sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan melalui :
a. bimbingan kerohanian kepada korban; dan
66
b. pemulihan kejiwaan korban.
Pasal 42
Pelayanan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 huruf e adalah
untuk membantu korban dalam menjalani proses peradilan dengan cara :
a. memberikan konsultasi hukum yang mencakup informasi
mengenai hak-hak korban dan proses peradilan;
b. mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan, dan
pemeriksaan dalam sidang pengadilan dan membantu korban
untuk secara lengkap memaparkan kekerasan yang dialaminya;
dan
c. melakukan koordinasi dengan sesama penegak hukum, relawan
pendamping, dan pekerja sosial agar proses peradilan berjalan
sebagaimana mestinya.
Pasal 43
(1) Pelayanan reintegrasi sosial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37
huruf f bertujuan untuk mengembalikan korban kepada keluarga dan
lingkungan sosialnya.
(2) Pelayanan reintegrasi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh Pemerintah Daerah dengan berkoordinasi kepada:
a. instansi dan lembaga terkait baik pemerintah maupun non
pemerintah; dan
b. lembaga kemasyarakatan desa dan/atau tokoh masyarakat
setempat.
BAB IV
PUSAT PELAYANAN TERPADU
67
Pasal 44
(1) Penyelenggaraan pelayanan terhadap Perempuan dan anak korban
kekerasan dilakukan secara terpadu oleh PPT.
(2) PPT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian yang
terintegrasi dan merupakan satu kesatuan dengan PPT yang
menyelenggarakan pelayanan terpadu untuk saksi dan/atau korban
tindak pidana perdagangan orang.
(3) Penyelenggaraan pelayanan terhadap Perempuan dan anak korban
kekerasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. memberikan layanan cepat dan tanpa biaya kepada korban;
b. menyelenggarakan perlindungan dan pemenuhan hak korban
atas rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan,
reintegrasi sosial dan bantuan hukum;
c. melakukan kerjasama dengan lembaga tertentu dalam
penyediaan penerjemah dan relawan pendamping yang
diperlukan bagi korban;
d. melakukan jaringan dengan rumah sakit pemerintah atau swasta
untuk perawatan dan pemulihan kesehatan korban serta
melakukan kerjasama dengan lembaga perlindungan saksi dan
korban, rumah perlindungan sosial atau pusat trauma milik
pemerintah, masyarakat atau lembaga-lembaga lainnya untuk
pemulihan kesehatan korban;
e. memberikan kemudahan, kenyamanan dan keselamatan bagi
korban;
f. menjaga kerahasiaan korban; dan
g. memberikan pemenuhan bantuan hukum bagi korban.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan mekanisme
penyelenggaraan PPT diatur dengan Peraturan Bupati.
68
BAB V
HAK-HAK PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN
Pasal 45
Setiap Perempuan dan Anak korban kekerasan mendapat hak-hak
sebagai berikut :
a. hak atas penanganan pengaduan;
b. hak untuk dihormati harkat dan martabatnya sebagai manusia
c. hak untuk mendapat perlindungan dari keluarga, masyarakat,
pemerintah daerah dan/atau pihak lain baik sementara maupun
berdasarkan penetapan perlindungan dari pengadilan;
d. hak atas pemulihan kesehatan dan psikologis dari penderitaan
yang dialami korban;
e. hak menentukan sendiri keputusannya;
f. hak atas penanganan secara khusus berkaitan dengan
kerahasiaan korban;
g. hak mendapatkan informasi;
h. hak atas kerahasiaan identitasnya;
i. hak atas rehabilitasi sosial;
j. hak atas pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum
pada setiap tingkat proses pemeriksaaan sesuai dengan
peraturan peundang-undangan; dan
k. hak atas pelayanan bimbingan rohani.
Pasal 46
Perempuan dan anak korban kekerasan selain mendapatkan hak-hak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45, juga mendapatkan hak-hak
khusus, sebagai berikut :
a. hak atas kelangsungan hidup;
b. hak atas tumbuh dan berkembang;
69
c. hak untuk mendapatkan perlindungan yang sama; dan
d. hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat
BAB VI LARANGAN
Pasal 47
(1) Setiap penyelenggaraan usaha yang aktivitasnya dapat mengganggu tumbuh kembang anak dilarang menerima pengunjung anak.
(2) Penyelenggaraan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a diskotek;
b klub malam;
c bar;
d karaoke dewasa;
e pub;
f panti pijat;
g panti mandi uap/sauna; dan
h bidang usaha lain yang sejenis.
Pasal 48
Setiap penyelenggara hotel, motel, losmen, usaha wisma pariwisata dan
kegiatan usaha sejenis dilarang menyewakan kamar kepada anak tanpa
didampingi oleh orang tua atau keluarga yang telah dewasa atau guru
pendamping/penanggung jawab dalam rangka melaksanakan kegiatan
sekolah atau kegiatan lainnya.
Pasal 49
(1) Setiap penyelenggara usaha layanan internet, play station dan jenis-
jenis permainan anak yang berbasis teknologi informasi dan
komunikasi lainnya diwajibkan mengelola dan merancang tempat yang
ramah anak.
(2) Setiap penyelenggara usaha sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1)
wajib:
a mengatur ruang/bilik dengan penerangan cukup dan tidak
tertutup;
b tidak menerima anak yang memakai seragam dan/atau ketika
70
jam sekolah berlangsung;
c memblokir secara lokal situs yang mengandung unsur pornografi
dan pornoaksi; dan
d membatasi jam kunjungan dan mengawasi penggunaan fasilitas
yang ada.
BAB VII
PEMANTAUAN DAN EVALUASI
Pasal 50
(1) Untuk menjamin sinergi, keseimbangan dan efektivitas langkah-
langkah secara terpadu dalam pelaksanaan kebijakan, program,
kegiatan, perlindungan Perempuan dan anak, Pemerintah melakukan
pemantauan.
(2) Pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh
SKPD Teknis dan PPT.
(3) Pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah untuk
mengetahui perkembangan dan hambatan dalam pelaksanaan
kebijakan, program dan kegiatan Perlindungan Perempuan dan anak.
(4) Pemantauan dilakukan secara berkala melalui koordinasi dan
pemantauan langsung terhadap SKPD yang melaksanakan kebijakan,
kegiatan Perlindungan Perempuan dan Anak .
(5) Pemantauan dilakukan mulai dari perencanaan sampai dengan
pelaksanaan kebijakan, program dan kegiatan perlindungan
perempuan dan anak setiap tahun.
Pasal 51
(1) Evaluasi pelaksanaan kebijakan, program dan kegiatan
Perlindungan Perempuan dan Anak dilakukan setiap
berakhimya tahun Anggaran atau jika diperlukan sesuai
71
kebutuhan.
(2) Hasil evaluasi pelaksanaan kebijakan, program dan kegiatan
Perlindungan Perempuan dan Anak digunakan sebagai bahan
masukan bagi penyusunan kebijakan, program dan kegiatan
Perlindungan Perempuan dan Anak untuk tahun berikutnya.
(3) Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan Perundang-undangan.
BAB VIII
PEMBIAYAAN
Pasal 52
Pendanaan untuk penyelenggaraan Perlindungan terhadap Perempuan
dan anak, bersumber dari :
a. Anggaran pendapatan dan belanja daerah; dan/atau
b. Sumber lain yang sah dan tidak mengikat sesuai dengan ketentuan
peratuaran perundangundangan.
BAB IX
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 53
(1) Bupati melakukan pembinaan dan pengawasan atas
pelaksanaan peraturan daerah ini.
(2) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) meliputi pemberian petunjuk pelaksanaan, bimbingan,
supervisi, monitoring dan evaluasi Pelaksanaan Perlindungan
Perempuan dan Anak.
BAB X
PERAN SERTA MASYARAKAT
72
Pasal 54
(1) Dalam penyelenggaraan Perlindungan terhadap Perempuan dan
anak, masyarakat dapat :
a. membentuk mitra keluarga di tingkat Kelurahan/Desa oleh
masyarakat;
b. melakukan sosialisasi hak perempuan dan anak secara
mandiri;
c. melakukan pertolongan pertama kepada korban; dan
d. melaporkan kepada instansi yang berwenang apabila di
lingkungannya terjadi kekerasan terhadap korban.
(2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh perorangan, lembaga kemasyarakatan, lembaga
swadaya masyarakat, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan,
swasta dan/atau media massa.
BAB XI
SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 55
(1) Setiap orang atau badan usaha yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47, Pasal 48, Pasal 49
dikenakan sanksi adminisratif berupa:
a Peringatan tertulis;
b Pembekuan izin;
c Denda Administratif; dan
d Pencabutan izin.
(2) Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
diberikan sebanyak 3 (tiga) kali dengan tenggang waktu antara
peringatan satu dengan peringatan lainnya paling singkat 1
(satu) bulan.
73
Pembekuan Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
dikenakan apabila telah dilakukan peringatan tertulis
sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Pembekuan Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
dapat ditarik kembali apabila orang atau badan usaha yang
melakukan pelanggaran membayar denda administratif sebesar
Rp. 30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah).
(5) Apabila dalam jangka waktu yang ditentukan dalam pembekuan
izin, tidak membayar denda administratif maka akan dilakukan
pencabutan izin.
BAB XII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 56
Paling lambat 1 (satu) tahun, terhitung sejak berlakunya Peraturan
Daerah ini, Peraturan Pelaksana Peraturan Daerah ini harus telah
ditetapkan.
Pasal 57
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah
Ditetapkan di Karangasem
Pada tanggal ...........................
BUPATI KARANGASEM
Diundangkan di Karangasem Pada tanggal
.....................
SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN KARANGASEM,
74
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KARANGASEM TAHUN NOMOR
NOREG PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARANGASEM, PROVINSI BALI NOMOR : (…,…./2017)
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARANGASEM
75
NOMOR ............ TAHUN............
TENTANG
PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK
I. UMUM
Setiap manusia memiliki hak yang sama dalam menjalani
kehidupan. Negara memiliki kewajiban memberikan
perlindungan kepada setiap warga negara sesuai dengan
pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Bahwa
perempuan dan anak termasuk kelompok rentan yang
cenderung mengalami sering kali mengalami pengurangan hak
sehingga perlu mendapatkan perlindungan. Guna meningkatkan
kedudukan, peran, dan kualitas perempuan, serta upaya
mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan
berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara,
perempuan harus diberdayakan. Pemberdayaan perempuan
diarahkan untuk memperoleh kesempatan dan hak-haknya
sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam
kegiatan ekonomi, sosial budaya, politik, dan hukum.
Perlindungan Anak diupayakan agar setiap anak mendapatkan
kesehatan, pendidikan; dan kesejahteraan social.
Peraturan Daerah ini mengatur upaya perlindungan bagi
perempuan dan anak khususnya dalam hal pelayanan,
pemantauan dan evaluasi, pelaporan, pendanaan, pembinaan dan
pengawasan terhadap perempuan dan anak di Kabupaten
Karangasem.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
76
Pasal 2
Cukup jelas
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Cukup jelas
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Cukup jelas
Pasal 8
Cukup jelas
Pasal 9
Cukup jelas
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Cukup jelas
Pasal 12
Cukup jelas
Pasal 13
Cukup jelas
Pasal 14
Cukup jelas
77
Pasal 15
Cukup jelas
Pasal 16
Cukup jelas
Pasal 17
Cukup jelas
Pasal 18
Cukup jelas
Pasal 19
Cukup jelas
Pasal 20
Cukup jelas
Pasal 21
Cukup jelas
Pasal 22
Cukup jelas
Pasal 23
Cukup jelas
Pasal 24
Cukup jelas
Pasal 25
Cukup jelas
Pasal 26
Cukup jelas
Pasal 27
Cukup jelas
78
Pasal 28
Cukup jelas
Pasal 29
Cukup jelas
Pasal 30
Cukup jelas
Pasal 31
Cukup jelas
Pasal 32
Cukup jelas
Pasal 33
Cukup jelas
Pasal 34
Cukup jelas
Pasal 35
Cukup jelas
Pasal 36
Cukup jelas
Pasal 37
Cukup jelas
Pasal 38
Cukup jelas
Pasal 39
Cukup jelas
Pasal 40
Cukup jelas
79
Pasal 41
Cukup jelas
Pasal 42
Cukup jelas
Pasal 43
Cukup jelas
Pasal 44
Cukup jelas
Pasal 45
Cukup jelas
Pasal 46
Cukup jelas
Pasal 47
Cukup jelas
Pasal 48
Cukup jelas
Pasal 49
Cukup jelas
Pasal 50
Cukup jelas
Pasal 51
Cukup jelas
Pasal 52
Cukup jelas
Pasal 53
Cukup jelas
80
Pasal 54
Cukup jelas
Pasal 55
Cukup jelas
Pasal 56
Cukup jelas
Pasal 57
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KARANGASEM
TAHUN 2017 NOMOR …..