KADAR SERAT DAN ORGANOLEPTIK MIE KULIT SINGKONG DAUN...
Transcript of KADAR SERAT DAN ORGANOLEPTIK MIE KULIT SINGKONG DAUN...
KADAR SERAT DAN ORGANOLEPTIK MIE KULIT SINGKONG
(Manihot utillisima) DENGAN PENAMBAHAN PEWARNA EKSTRAK
DAUN KATUK (Sauropus androgynus)
JURNAL PUBLIKASI
Unuk memenuhi sebagian persyaratan
Guna mencapai derajat
Sarjana S-1
Pendidikan Biologi
DISUSUN OLEH:
SINTA NURMEI MUSTIKA DEVI
A.420100063
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2014
3
KADAR SERAT DAN ORGANOLEPTIK MIE KULIT SINGKONG (Manihot utillisima) DENGAN PENAMBAHAN PEWARNA EKSTRAK
DAUN KATUK (Sauropus androgynus)
Oleh:
SINTA NURMEI MUSTIKA DEVI, A.420100063, Program Studi Pendidikan Biologi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2014, 55 Halaman.
ABSTRAK
Pemanfaatan kulit singkong yang masih kurang dan peningkatan konsumsi tepung terigu yang masih impor sangat merugikan petani Indonesia. Bahan pangan yang dapat dijadikan substitusi dan sumber serat adalah kulit singkong. Mie yang disubstitusi dengan tepung kulit singkong dan ekstrak daun katuk diharapkan mampu menjadi produk pangan alternatif yang kaya akan kadar serat. Penelitian ini bertujuan menganalisis pengaruh substitusi tepung kulit singkong dan ekstrak daun katuk terhadap kadar serat dan organoleptik mie. Metode dalam penelitian ini eksperimental dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dua faktor, faktor I perbandingan tepung kulit singkong dengan tepung terigu; faktor II penambahan ekstrak daun katuk. Analisis statistik kadar serat mie menggunakan uji Kruskal-Wallis. Kadar serat tertinggi terdapat pada S3K1 dengan substitusi tepung kulit singkong 30 % yaitu 9,55 g/100 g. Daya terima konsumen tertinggi pada S2K3 substitusi tepung kulit singkong 20 % dan ekstrak daun katuk 30 g/100 cc yaitu 58,3 %. Substitusi tepung kulit singkong dan ekstrak daun katuk berpengaruh nyata terhadap kadar serat dan mutu organoleptik mie. Kata Kunci: Mie, tepung kulit singkong, daun katuk, serat pangan, organoleptik.
4
DETARY FIBRE AND ORGANOLEPTIC OF CASAFFA PEEL (Manihot utillisima) NOODLE WITH THE ADDITION DYES OF KATUK
LEAVES EXTRACT (Sauropus androgynus)
ABSTRACT
Utilization of cassava peel is still lacking and the increase consumption of imported wheat flour is still highly detrimental to the people of Indonesia. Foodstuffs which can be used as a substitute and a source of fiber is cassava peel (Manihot utillisima). The noodles were substituted with cassava peel flour and katuk leaves extract (Sauropus androgynus) are expected to become an alternative food products that are rich in fiber peel. The aim of the study were to analyze the effect of substitution of cassava peel flour and katuk leaves extract against fiber content and organoleptic characteristics. Experimental method in this study was of Completely Randomized Design (CRD) with two factors, the first used factor comparison cassava peel flour with wheat flour and second factor was the addition of katuk leaves extract. Of statistical analysis of the fiber content of noodles using the Kruskal-Wallis test. The highest fiber content found in S3K1 with cassava peel flour substitution of the 30 %, with be save 9.55 g/100 g. The highest consumer acceptance in cassava peel flour substitution S2K3 20 % and katuk leaves extract 30 g/100 cc is 58.3 %. Substitution of cassava peel flour and katuk leaves extract heve a significant effect on the fiber content and organoleptic quality of noodles. Keywords : Noodles, cassava flour, katuk leaves, dietary fiber, organoleptic.
5
PENDAHULUAN Dalam pemanfaatan tanaman singkong selain umbinya, masyarakat juga
memanfaatkan seluruh bagian dari tanaman ini mulai dari batang, daun, serta
kulitnya. Pada tahun 2011 produksi singkong di Indonesia mencapai 24.044.025
ton, sedangkan pada tahun 2012 meningkat menjadi 24.177.327 ton (BPS
Indonesia, 2012). Semakin tinggi jumlah produksi singkong, maka semakin tinggi
pula kulit yang dihasilkannya. Kulit singkong merupakan limbah agroindustri
pengolahan ketela pohon seperti industri tepung tapioka, indistri fermentasi, dan
industri pokok makanan. Komponen kimia dan zat gizi pada kulit singkong adalah
protein 8,11 g; serat kasar 15,2 g; pektin 0,22 g; lemak 1,29 g; dan kalsium 0,63 g
(Rukmana, 1997). Berdasarkan kandungan yang dimiliki, sangat disayangkan jika
kulit singkong dibuang begitu saja. Sejauh ini, pemanfaatan kulit singkong oleh
masyarakat dapat dikatakan sangat kurang. Pada penelitian sebelumnya, kulit
singkong dengan penambahan labu kuning dimanfaatkan dalam pembuatan cake
(Solekha, 2013). Oleh karena itu perlu adanya inovasi makanan dalam
pemanfaatan kulit singkong dalam pembuatan mie.
Mie merupakan suatu jenis makanan hasil olahan tepung yang dikenal
oleh masyarakat sebagai alternatif pengganti makanan pokok. Bahan baku yang
digunakan dalam pembuatan mie adalah tepung terigu yang selama ini masih
impor. Hal ini sangat merugikan petani, sehingga perlu adanya penelitian untuk
mencari bahan baku lokal untuk mengurangi konsumsi tepung terigu khususnya
dalam pembuatan mie.
Penelitian sebelumnya pembuatan mie dengan subtitusi pati garut 20 %
terhadap tepung terigu ditambah tepung kedelai 10 % diperoleh hasil terbaik
(Widaningrum, 2005). Bahan baku pengganti lainnya yang mengandung pati
misalnya kulit singkong. Kelemahan dari tepung kulit singkong adalah warnanya
yang putih kecoklatan dan rasa serta aromanya masih terkesan singkong, sehingga
perlu ditambah dengan bahan yang mempunyai sifat fungsionalitas tinggi seperti
daun katuk.
Tanaman katuk (Sauropus androgynus) dikenal oleh masyarakat Jawa
untuk sayuran, lalap, dan pewarna makanan, vitamin (A karoten, B1, C), mineral
6
(Fe, F, Ca, Mg, Na), dan air. Selain itu, daun katuk mengandung senyawa non gizi
alkaloid papaverin (Soenarso, 2004). Menurut penelitian sebelumnya, daun katuk
digunakan sebagai sumber zat pewarna alami. Kadar khlorofil daun katuk 2,74 %,
ekstrak daun katuk yang diperoleh sebesar 95,48 %, kadar khlorofil ekstrak daun
katuk sebesar 2,22 % db (Hardjanti, 2008).
Penggunaan campuran kulit singkong dengan penambahan ekstrak daun
katuk pada olah pangan pembuatan mie dirasa merupakan inovasi baru
pemanfaatan kulit singkong. Mie dari kulit singkong dianggap memiliki warna
kurang menarik dan bernilai gizi kurang, sehingga dilakukan penambahan ekstrak
daun katuk ditujukan sebagai pewarna alami dan untuk menambah nilai gizi yang
terkandung di dalam mie. Sebagian besar kandungan pada produk mie adalah
karbohidrat, namun setelah adanya inovasi pada produk olahan ini diharapkan
akan menambah nilai gizi terlebih kandungan kadar serat. Selain itu dipasaran
sudah terdapat mie dari sayuran, seperti bayam, sawi, wortel, dan belum ada mie
dari daun katuk. Penulis mengajukan judul penelitian “KADAR SERAT DAN
ORGANOLEPTIK MIE KULIT SINGKONG (Manihot utillisima) DENGAN
PENAMBAHAN EKSTRAK DAUN KATUK (Sauropus androgynus)”,
sehingga menghasilkan produk mie yang berkualitas dan menyehatkan.
METODE PENELITIAN
Metode eksperimen untuk memperoleh data dengan percobaan pembuatan
mie dari kulit singkong dengan penambahan ekstrak daun katuk. Parameter dalam
penelitian ini adalah kadar serat dan mutu organolepik mie kulit singkong.
Analisis data menggunakan analisis kuantitatif analisis non paramerik Kruskal-
Wallis taraf signifikansi 5%. Rangcangan dalam penelitian ini menggunakan
Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan dua faktor. Adapun rancangan
percobaan pembuatan mie kulit singkong dengan penambahan ekstrak daun katuk
dapat dilihat pada Tabel 1.
7
Tabel 1 Rancangan Percobaan Mie Kulit Singkong dengan Penambahan Pewarna Ekstrak Daun Katuk
Faktor 1 Faktor 2 S1 S2 S3
K1 S1K1 S2K1 S3K1 K2 S1K2 S2K2 S3K2 K3 S1K3 S2K3 S3K3
Keterangan: S1K1 : 10 % tepung kulit singkong; 90 % tepung terigu (1:9) dan 10 g
daun katuk / 100 cc air. S1K2 : 10 % tepung kulit singkong; 90 % tepung terigu (1:9) dan 20 g
daun katuk / 100 cc air. S1K3 : 10 % tepung kulit singkong; 90 % tepung terigu (1:9) dan 30 g
daun katuk / 100 cc air. S2K1 : 20 % tepung kulit singkong; 80 % tepung terigu (2:8) dan 10 g
daun katuk / 100 cc air. S2K2 : 20 % tepung kulit singkong; 80 % tepung terigu (2:8) dan 20 g
daun katuk / 100 cc air. S2K3 : 20 % tepung kulit singkong; 80 % tepung terigu (2:8) dan 30 g
daun katuk / 100 cc air. S3K1 : 30 % tepung kulit singkong; 70 % tepung terigu (3:7) dan 10 g
daun katuk / 100 cc air. S3K2 : 30 % tepung kulit singkong; 70 % tepung terigu (3:7) dan 20 g
daun katuk / 100 cc air. S3K3 : 30 % tepung kulit singkong; 70 % tepung terigu (3:7) dan 30 g
daun katuk / 100 cc air.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Hasil penelitian terhadap mie kulit singkong dengan penambahan ekstrak
daun katuk berupa hasil kadar serat dan hasil organoleptik mie kulit singkong.
Hasil analisis kadar serat mie kulit singkong dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 2 Hasil Uji Kadar Serat Mie Kulit Singkong dengan Penambahan Pewarna
Ekstrak Daun Katuk
Perlakuan Ulangan
Jumlah Rata-rata (wb) g/100 g 1 2
S1K1 2,18 2,34 4,53 2,26 S1K2 4,20 3,70 7,89 3,95 S1K3 3,48 2,85 6,34 3,17 S2K1 4,34 4,11 8,45 4,23 S2K2 6,22 6,57 12,79 6,40 S2K3 9,92 7,75 17,66 8,83 S3K1 10,02 9,08 19,10 9,55
8
S3K2 7,25 7,31 14,56 7,28 S3K3 6,99 6,76 13,74 6,87 Keterangan: *) : Kadar serat terendah pada mie kulit singkong
**) : Kadar serat tertinggi pada mie kulit singkong
Tabel 3 Hasil Uji Kruskal-Walis Kadar Serat Mie Kulit Singkong dengan Penambahan Pewarna Ekstrak Daun Katuk
Tes Statistik Kadar Serat Kasar
Penambahan kulit singkong
Penambahan daun katuk
Intreraksi perlakuan
Asym. Sig 0,003 0,834 0,034 Keputusan H0 ditolak H0 diterima H0 ditolak
Keterangan: Jika Sig. < 0,05 maka H0 ditolak dan H1 diterima Jika Sig. > 0,05 maka H0 diterima dan H1 ditolak H0= Tidak ada pengaruh pada perlakuan H1= Ada pengaruh pada perlakuan (Tanujaya, 2009).
Tabel 4 Hasil Uji DMRT Kadar Serat Mie kulit Singkong dengan Penambahan
Pewarna Ekstrak Daun Katuk Interaksi Kadar Serat Kasar
Kulit Singkong Daun Katuk S1 S2 S3
K1 2,26a 4,22b 9,55d
K2 3,95b 6,39c 7,28c K3 3,17ab 8,83d 6,87c
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama berarti berbeda tidak nyata dengan taraf signifikansi 5 %.
Tabel 5 Hasil Uji Organoleptik Mie Kulit Singkong dengan Penambahan
Pewarna Ekstrak Daun Katuk Parameter
Perlakuan
Warna Aroma Rasa Tekstur
S1K1 Hijau Kurang Langu Gurih Kenyal S1K2 Hijau Langu Kurang Gurih Kurang Kenyal S1K3 Sangat Hijau Langu Gurih Kenyal S2K1 Hijau Langu Kurang Gurih Kurang Kenyal S2K2 Kurang Hijau Langu Gurih Kenyal S2K3 Hijau Langu Gurih Kenyal S3K1 Hijau Langu Kurang Gurih Kurang Kenyal S3K2 Hijau Kurang Langu Kurang Gurih Kenyal S3K3 Hijau Langu Kurang Gurih Kurang Kenyal
Keterangan: S1K1 : 10 % tepung kulit singkong; 90 % tepung terigu (1:9) dan 10 g
daun katuk / 100 cc air. S1K2 : 10 % tepung kulit singkong; 90 % tepung terigu (1:9) dan 20 g
daun katuk / 100 cc air.
9
S1K3 : 10 % tepung kulit singkong; 90 % tepung terigu (1:9) dan 30 g daun katuk / 100 cc air.
S2K1 : 20 % tepung kulit singkong; 80 % tepung terigu (2:8) dan 10 g daun katuk / 100 cc air.
S2K2 : 20 % tepung kulit singkong; 80 % tepung terigu (2:8) dan 20 g daun katuk / 100 cc air.
S2K3 : 20 % tepung kulit singkong; 80 % tepung terigu (2:8) dan 30 g daun katuk / 100 cc air.
S3K1 : 30 % tepung kulit singkong; 70 % tepung terigu (3:7) dan 10 g daun katuk / 100 cc air.
S3K2 : 30 % tepung kulit singkong; 70 % tepung terigu (3:7) dan 20 g daun katuk / 100 cc air.
S3K3 : 30 % tepung kulit singkong; 70 % tepung terigu (3:7) dan 30 g daun katuk / 100 cc air.
Pembahasan
Pada pengujian kadar serat diperoleh hasil tertinggi pada perlakuan S3K1
yaitu 9,55 g/100 g sampel. Hal ini dikarenakan penambahan tepung kulit singkong
30 % dengan ekstrak daun katuk 10 g/100 cc. Sedangkan kadar serat terendah
pada perlakuan S1K1 yaitu 2,26 g/100 g sampel. Hal ini dikarenakan penambahan
tepung kulit singkong sebanyak 10 % dan ekstrak daun katuk 10 g/100 cc.
Umumnya orang membutuhkan serat kurang lebih 27-40 g serat setiap hari
(Depgis., 2012). Adapun hasil rata-rata dapat dilihat pada Gambar 1.
2,26
3,953,17
4,23
6,40
8,83 9,55
7,28 6,87
0
2
4
6
8
10
Nilai
S1K1 S1K2 S1K3 S2K1 S2K2 S2K3 S3K1 S3K2 S3K3
Perlakuan
KADAR SERAT (wb) g/ 100 g
Kadar Serat
Gambar 1 Histogram Kadar Serat Kasar Mie Kulit Singkong dengan
Penambahan Ekstrak Daun Katuk
Hasil uji Kruskal-Walis pada variabel A (tepung kulit singkong dan tepung
terigu) yaitu ada pengaruh pada penambahan tepung kulit singkong dan tepung
terigu terhadap kadar serat dari mie. Hal ini karena kulit singkong mengandung
10
serat kasar sebanyak 20,9 % (Wikanastri dkk., 2012). sedangkan tepung terigu
mempunyai kadar serat kasar rendah 1,9 % (Widaningrum dkk., 2005). Oleh
karena itu, mie basah dengan penambahan tepung kulit singkong semakin tinggi
akan meningkatkan kadar serat bila dibandingkan dengan mie basah yang ada di
pasaran.
Hasil yang berbeda pada variabel B (ekstrak daun katuk) yaitu tidak ada
pengaruh penambahan ekstrak daun katuk terhadap kadar serat dari mie. Hal ini
karena kadar serat daun katuk sendiri rendah daripada tepung kulit singkong yang
sekitar 1,5 g per 100 g (Haviva, 2007). Selain itu, daun katuk merupakan jenis
pangan golongan sayuran B yaitu hemiselulosa (Waspadji (1990) dalam Kusharto,
2006). Hemiselulosa sendiri tergolong dari serat tidak terlarut (insoluble-fiber)
(DepGis, 2012). Dengan demikian, penambahan daun katuk dalam bentuk ekstrak
tidak berpengaruh terhadap kadar serat mie kulit singkong.
Pada uji Duncan dengan taraf signifikansi 5 %, untuk mengetahui
perbedaan dari masing-masing perlakuan diperoleh S1K1 berbeda nyata dengan
perlakuan S1K2, S2K1, S2K2, S2K3, S3K1, S3K2, S3K3, namun berbeda tidak
nyata dengan S1K3.
Hasil penelitian warna mie kulit singkong sangat hijau dengan nilai 3,60
pada perlakuan S1K3. Hal ini terjadi karena kadar khlorofil ekstrak daun katuk
sebesar 2,2 % db dan penambahan tepung kulit singkong 10 %. Semakin banyak
daun katuk maka warna mie semakin hijau, namun jika penambahan tepung kulit
singkong yang berwarna coklat muda semakin banyak maka warna mie tidak
hijau. Kelemahan dari pewarna alami adalah warnanya yang tidak homogen.
Berdasarkan hasil penelitian terhadap aroma diperoleh aroma mie kurang
langu S1K1 dan S2K3 (3,00; 2,60). Apabila dibandingkan dengan karakteristik
aroma mie SNI 01-2987-1992 mempunyai standar aroma yang normal. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan aroma pada setiap sampel mie
karena adanya perbedaan komposisi penambahan tepung kulit singkong dan daun
katuk.
Rasa pada mie kulit singkong yaitu mie yang memiliki rasa gurih pada
perlakuan S1K1, S1K3, S2K3 dengan nilai 2,67; 2,73; 2,60. Apabila
11
dibandingkan dengan karakteristik rasa mie pada SNI 1-2987-1992 mempunyai
standar rasa yang normal. Rasa dalam mie dipengaruhi oleh bahan komposisinya.
Rasa gurih terdapat dari penambahan garam dan kandungan karbohidrat serta
protein pada telur, tepung kulit singkong dan tepung terigu. Penambahan tepung
terigu semakin banyak maka rasa mie semakin gurih dan penambahan tepung
kulit singkong semakin banyak maka rasa mie kurang gurih.
Hasil penelitian menunjukkan tekstur kenyal terdapat pada S1K1, S1K3,
S2K2, S2K3, S3K2 dengan nilai sebesar 2,93; 2,67; 2,67; 3,00; 2,60. Tekstur
dipengaruhi dengan penambahan tepung kulit singkong. Tepung kulit singkong
berstruktur lebih kasar, daripada tepung terigu yang halus berserbuk. Faktor lain
yang mempengaruhi tekstur bahwa umbi-umbian tidak memiliki gluten. Dapat
disimpulkan, penambahan tepung kulit singkong semakin banyak akan
mengurangi kekenyalan mie dan cepat putus. Lama proses pengulenan juga dapat
mempengaruhi tekstur mie sehingga menjadi homogen.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Kadar serat mie kulit singkong dengan penambahan ekstrak daun katuk
tertinggi 9,55 g/100 g sampel pada perlakuan S3K1 sedangkan kadar serat
terendah 2,26 g/100 g pada perlakuan S1K1.
2. Daya terima terbaik terhadap mie kulit singkong dengan penambahan ekstrak
daun katuk pada perlakuan S2K3 (tepung kulit singkong 20 %; tepung terigu
80 %; dan ekstrak daun katuk 30 g/100 cc) kadar serat 8,83 g/ 100 g.
3. Mie basah dengan penambahan tepung kulit singkong semakin tinggi akan
meningkatkan kadar serat, sedangkan penambahan ekstrak daun katuk tidak
berpengaruh terhadap kadar serat.
Saran
1. Pada penelitian uji organoleptik kurang maksimal, maka dari itu dibutuhkan
inovasi pembuatan mie ditambahkan dengan bahan fungsional untuk
menghilangkan aroma langu.
12
2. Perlu adanya penelitian lanjut dalam penggunaan daun katuk dengan
konsentrasi lebih kecil dibawah 10 % terhadap warna.
3. Dalam penimbangan bahan menggunakan timbangan digital.
4. Perlu adanya penelitian lanjut dalam pemanfaatan tepung kulit singkong pada
substitusi olah pangan karena dalam kulit singkong terdapat kadar serat tinggi
dan daun katuk memiliki provitamin tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
BPS Indonesia. 2012. Badan Pusat Statistik Republik Indonesia Tanaman Pangan. http://www.bps.go.id/tnmn_pgn.phpp. Diakses 26 September 2013 Pukul 15.00 WIB.
Departemen Gisi dan Kesehatan Masyarakat. 2012. Gisi dan Kesehatan
Masyarakat. Jakarta: PT Grafindo Persada. Hardjanti, Sri. 2008. “Potensi Daun Katuk sebagai Sumber Zat Pewarna Alami
dan Stabilitasnya Selama Pengeringan Bubuk dengan Menggunakan Binder Maltodekstrin”. Jurnal Penelitian Saintek. 1 (13): 1-18.
Kusharto, CM. 2006. “Serat Makanan dan Peranannya Bagi Kesehatan”. Jurnal
Gizi dan Pangan. 1(2): 45-54. Rukmana, Rahmat. 1997. Ubi kayu Budidaya dan Pasca Panen. Yogyakarta:
Kanisius. Soenarso, Soehardi. 2004. Memelihara Kesehatan Jasmani Melalui Makanan.
Bandung: ITB. Solekha, Rofiatun. 2013. Uji Protein dan Organoleptik Limbah Kulit Singkong
dan Labu Kuning Dalam Pembuatan Cake. Surakarta: UMS. Tanujaya, Edward. 2009. Pengolahan Data Statistik dengan SPSS 16,0. Jakarta:
Salemba Infotek. Widaningrum., Sri W., Soewarno TS. “Pengayaan Tepung Kedelai pada
pembuatan Mie Basah dengan Bahan Baku Tepung Terigu yang Disubstitusi Tepung Garut”. 2005. Jurnal Pasca Panen. 2(1):41-48.