Komparasi Antara Silase dan Hay Sebagai Teknik Preservasi ...
PENGARUH PENAMBAHAN SILASE DAUN SINGKONG DAN …digilib.unila.ac.id/24423/15/3. SKRIPSI FULL TANPA...
Transcript of PENGARUH PENAMBAHAN SILASE DAUN SINGKONG DAN …digilib.unila.ac.id/24423/15/3. SKRIPSI FULL TANPA...
PENGARUH PENAMBAHAN SILASE DAUN SINGKONG DAN
MINERAL MIKRO ORGANIK DALAM RANSUM BERBASIS LIMBAH
KELAPA SAWIT TERHADAP KECERNAAN SERAT KASAR DAN
PROTEIN KASAR PADA SAPI
(Skripsi)
Oleh
EKO PRASETYO PURBA
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2016
ABSTRAK
PENGARUH PENAMBAHAN SILASE DAUN SINGKONG DAN
MINERAL MIKRO ORGANIK DALAM RANSUM BERBASIS LIMBAH
KELAPA SAWIT TERHADAP KECERNAAN SERAT KASAR DAN
PROTEIN KASAR PADA SAPI
Oleh
Eko Prasetyo Purba
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: 1) pengaruh penambahan daun
singkong terfermentasi dalam ransum berbasis limbah kelapa sawit terhadap
kecernaan serat kasar dan protein kasar; 2) pengaruh penambahan daun singkong
dan mineral mikro organik dalam ransum berbasis limbah kelapa sawit terhadap
kecernaan serat kasar dan protein kasar. Penelitian ini dilaksanakan pada Mei—
Juli 2016 di Kandang Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas
Lampung. Analisis bahan pakan dan feses dilakukan di Laboratorium Nutrisi dan
Makanan Ternak, Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung.
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK). Perlakuan
dalam penelitian yaitu R0 ransum berbasis limbah kelapa sawit terfermentasi, R1
penambahan 10% silase daun singkong, R2 penambahan 10% silase daun
singkong dan mineral mikro organik (Zn 40 ppm, Cu 10 ppm, Se 0,10 ppm, Cr
0,30 ppm). Data yang diperoleh dianalisis dengan Analisis Ragam dan dilanjutkan
dengan Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) 0,05 dan 0,01. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa penambahan silase daun singkong 10% dalam ransum
berbasis limbah kelapa sawit memberikan pengaruh yang nyata (P<0,05)
terhadap kecernaan protein namun tidak berpengaruh terhadap kecernaan serat
kasar. Penambahan silase daun singkong 10% dan mineral mikro organik dalam
ransum berbasis limbah kelapa sawit memberikan pengaruh yang nyata (P<0,05)
terhadap kecernaan protein dan kecernaan serat kasar.
Kata kunci: silase daun singkong, mineral mikro organik, limbah kelapa sawit,
kecernaan serat kasar dan protein kasar
ABSTRACT
THE EFFECT OF CASSAVA LEAVES SILAGE AND MICRO ORGANIC
MINERAL ADDITION IN FEED BASED ON PALM OIL WASTE TO
DIGESTIBILITY OF CRUDE FIBER AND CRUDE PROTEIN ON CATTLE
By
Eko Prasetyo Purba
The objectives of this research were to determine: 1) the effect of cassava leaves
silage addition in feed based on palm oil waste to digestibility of crude fiber and
crude protein; 2) the effect of cassava leave silages and micro organic mineral
addition in feed based on palm oil waste to digestibility of crude fiber and crude
protein. The research was conducted in Mei—July 2016 in the Cattle and
Laboratory of Nutrition and Feed Livestock, Department of Animal Husbandry,
Faculty of Agriculture, University of Lampung. This study used a Randomized
Block Design (RBD). Treatment used are R0 control diet, R1 addition of 10%
cassava leaves silage, R2 addition of 10% of cassava leaves silage and micro
organic mineral (Zn 40 ppm, Cu 10 ppm, Se 0,10 ppm, Cr 0,30 ppm). Data were
analyzed by Analysis of Varians and continued with Least Significant Difference
Test (LSD) 0.05 and 0.01. The result showed that the addition of 10% cassava
leaves silage in feed based on palm oil waste giving a significant result (P<0.05)
to digestibility of crude protein, where as no significant effect on crude fiber . The
addition of 10% cassava leaves silage and micro organic mineral in feed based
on palm oil waste also giving a significant result (P<0.05) to digestibility of crude
fiber and crude protein.
Keywords: cassava leaves silage, micro organic mineral, palm oil waste,
digestibility, crude fiber, crude protein
PENGARUH PENAMBAHAN SILASE DAUN SINGKONG DAN
MINERAL MIKRO ORGANIK DALAM RANSUM BERBASIS LIMBAH
KELAPA SAWIT TERHADAP KECERNAAN SERAT KASAR DAN
PROTEIN KASAR PADA SAPI
Oleh
EKO PRASETYO PURBA
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar
Sarjana Peternakan
Pada
Jurusan Peternakan
Fakultas Pertanian Universitas Lampung
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2016
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Bengkulu, 04 November 1991. Penulis merupakan anak pertama
dari lima saudara, putra pasangan Bapak Hotbin Purba dan Ibu Rosmani
Manullang.
Penulis menyelesaikan pendidikan di SDN1 Rebang Tangkas, Way Kanan (2005),
SMP Xaverius IV, Way Halim Permai (2007), SMAN 1 Rebang Tangkas, Way
Kanan (2011). Pada tahun 2011, penulis mengikuti Seleksi Nasional Masuk
Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) dan diterima di Jurusan Peternakan,
Fakultas Pertanian, Universitas Lampung.
Selama menjadi mahasiswa penulis aktif di Pomperta dan panitia pelaksana winter
X. Penulis melakukan Kuliah Kerja Nyata Tematik di Desa Bandar Jaya,
Kecamatan Bengkunat, Kabupaten Pesisir Barat pada Januari - Februari 2015 dan
melaksanakan Praktik Umum pada Juli - Agustus 2014 di Balai Besar Inseminasi
Buatan (BBIB) Singosari, Malang, Jawa Timur.
SANWACANA
Puji syukur Penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yesus Kristus karena berkat dan
anugerah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengaruh
Penambahan Silase Daun Singkong dan Mineral Mikro Organik dalam Ransum
Berbasis Limbah Kelapa Sawit terhadap Kecernaan Serat Kasar dan Protein
Kasar”.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan
berbagai pihak yang telah memberikan andil cukup besar. Untuk itu penulis
menyampaikan rasa terima kasih kepada :
1. Dr. Ir. Erwanto, M.S., selaku pembimbing utama atas kebaikan, saran,
nasehat, arahan, bekal ilmu, semangat, dan motivasi yang telah diberikan;
2. Liman, S.Pt., M.Si., selaku pembimbing anggota atas arahan, saran, kritik,
dan bimbingan selama penulisan skripsi;
3. Prof. Dr. Ir. Muhtarudin, M.S., selaku pembahas atas kritik dan saran yang
menyempurnakan tulisan ini;
4. Dr. Ir. Rudy Sutrisna, M.S., selaku Pembimbing Akademik atas bimbingan
dan arahan selama menjalankan studi;
5. Sri Suharyati, S.Pt, M.P., selaku Ketua Jurusan Peternakan;
6. Prof. Dr. Ir. Irwan Sukri Banuwa, M.Si., selaku Dekan Fakultas Pertanian;
7. Bapak ibu dosen Jurusan Peternakan atas bekal ilmu yang diberikan;
ix
8. Ayahanda dan ibunda terimakasih untuk semangat, motivasi, doa, dan
segalanya yang sangat berarti bagi penulis;
9. Keempat adikku, terimakasih untuk kebersamaan dan semangatnya;
10. Tim penelitian, Agus dan Marco terimakasih atas bantuannya;
11. Teman-teman PTK 2011 Restu, Edwin, Apri, Sarina, Lisa, Lasmi, Atikah,
Maria, Fitri Yuwanda, Tanti, Fikri, Dimas Rahma, Arie,;
12. Seluruh pihak yang membantu dalam penyelesaiaan skripsi ini.
Akhir kata, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan,
akan tetapi sedikit harapan semoga skripsi yang sederhana ini dapat bermanfaat
dan berguna bagi kita semua.
Bandar Lampung,
Penulis,
Eko Prasetyo Purba
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ............................................................................................ x
DAFTAR TABEL ................................................................................... xiii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................... xiv
I. PENDAHULUAN .............................................................................. 1
1.1. Latar Belakang ............................................................................. 1
1.2. Tujuan Penelitian ......................................................................... 2
1.3. Kegunaan Penelitian .................................................................... 2
1.4. Kerangka Pemikiran..................................................................... 3
1.5. Hipotesis ...................................................................................... 4
II. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................... 5
2.1. Sapi Peranakan Ongole (PO) ....................................................... 5
2.2. Pencernaan Ruminansia ............................................................... 6
2.3. Pakan ............................................................................................ 8
2.4. Potensi Hasil Samping Kelapa Sawit ........................................... 8
2.5. Pelepah Daun Kelapa Sawit ......................................................... 8
2.6. Bungkil Inti Sawit ........................................................................ 9
2.7. Fermentasi Bahan Pakan .............................................................. 10
2.8. Daun Singkong ............................................................................. 10
2.9. Nutrisi Mineral ............................................................................. 12
xi
2.9.1. Seng (Zn) ................................................................................ 13
2.9.2. Selenium (Se) ......................................................................... 14
2.9.3. Tembaga (Cu)......................................................................... 15
2.9.4. Kromium (Cr) ........................................................................ 15
3.0. Kebutuhan Protein Kasar ............................................................. 16
3.1. Kebutuhan Serat Kasar ................................................................. 17
3.2. Kecernaan pada Ternak Ruminansia ............................................ 18
III. METODE PENELITIAN ................................................................ 20
4.1. Waktu dan Tempat Penelitian ...................................................... 20
4.2. Alat dan Bahan Penelitian ............................................................ 20
4.1.1. Alat penelitian ........................................................................ 20
4.1.2. Bahan penelitian ..................................................................... 20
4.3. Rancangan Penelitian .................................................................. 21
4.4. Prosedur Penelitian....................................................................... 22
4.4.1. Persiapan Mineral Zn, Cu, Se, dan Cr .................................... 22
4.4.1.1. Zn-lysinat ......................................................................... 22
4.4.1.2. Cu-lysinat ......................................................................... 23
4.4.1.3. Se-lysinat .......................................................................... 23
4.4.1.4. Cr-lysinat .......................................................................... 23
4.4.2. Persiapan Ransum Basal ........................................................ 23
4.4.3. Persiapan Limbah Sawit Terfermentasi ................................. 23
4.4.4. Prosedur Koleksi Sampel ....................................................... 25
4.4.5. Prosedur Analisis Proksimat .................................................. 25
4.4.5.1. Kadar protein kasar .......................................................... 25
4.4.5.2. Kadar serat kasar .............................................................. 27
4.5. Peubah yang Diamati ................................................................... 28
4.6. Analisis Data ................................................................................ 28
xii
IV. PEMBAHASAN ................................................................................ 29
5.1. Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Serat Kasar ................. 29
5.2. Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Protein ........................ 31
V. KESIMPULAN ................................................................................... 34
6.1. Kesimpulan .................................................................................. 34
6.2. Saran. ............................................................................................ 34
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 35
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Kebutuhan nutrisi pakan sapi untuk tujuan produksi ......................... 7
2. Komposisi zat makanan pelepah daun kelapa sawit .......................... 9
3. Kandungan nutrisi bungkil inti sawit ................................................. 10
4. Kandungan zat daun singkong berdasarkan bahan kering ................. 11
5. Ransum perlakuan ............................................................................. 21
6. Pengaruh perlakuan terhadap kecernaan serat kasar .......................... 29
7. Pengaruh perlakuan terhadap kecernaan protein ................................ 31
8. Analisis ragam kecernaan protein ..................................................... 40
9. Notasi huruf membedakan nilai tengah kecernaan protein ................ 40
10. Analisis ragam kecernaan serat kasar ................................................ 41
11. Notasi huruf membedakan nilai tengah kecernaan serat kasar........... 41
12. Pertambahan bobot badan harian sapi ................................................ 42
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Tata letak kandang perlakuan ………………………………………... 22
2. Skema limbah sawit terfermentasi …………………………………… 24
3. Ransum perlakuan ……………………………………………………. 43
4. Pakan hijauan terfermentasi ………………………………………….. 43
5. Sapi perlakuan ………………………………………………………... 43
6. Keadaan kandang penelitian ………………………………………….. 44
7. Proses pengumpulan feses ……………………………………………. 44
8. Poses analisis laboratorium …………………………………………… 44
1
1
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Peningkatan jumlah penduduk Indonesia yang semakin bertambah dari tahun ke
tahun sangat mempengaruhi permintaan akan konsumsi daging. Hal ini didasari
oleh masyarakat yang semakin sadar akan pentingnya mengkonsumsi protein,
salah satunya protein asal hewani. Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan
protein hewani yang semakin meningkat tersebut, maka diperlukan adanya suatu
upaya yang nyata dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas produk-produk hasil
peternakan, sehingga masyarakat dapat menikmati produk-produk olahan dengan
kualitas dan kuantitas yang diharapkan.
Permasalahan utama dalam peningkatan kualitas dan kuantitas usaha peternakan
di Indonesia adalah terbatasnya ketersediaan bahan pakan yang menjadi sumber
utama dikarenakan banyaknya lahan yang beralih fungsi menjadi perumahan,
lahan industri dan usaha dibidang lainnya. Upaya pemanfaatan limbah hasil
pertanian sebagai sumber pakan alternatif merupakan langkah yang tepat dalam
menekan biaya ransum dikarenakan biaya ransum adalah biaya terbesar yang
harus dikeluarkan oleh peternak. Langkah alternatif ini diambil dikarenakan biaya
yang harus dikeluarkan oleh peternak untuk ransum mencapai 50--80% dari total
biaya produksi. Pakan hasil limbah memiliki kualitas yang kurang baik untuk
dijadikan bahan pakan ternak dikarenakan masih tingginya kandungan serat kasar,
2
sehingga perlu dilakukan pengolahan lebih lanjut untuk meningkatkan mutu dari
bahan pakan limbah pertanian dan perkebunan tersebut.
Silase merupakan hasil olahan limbah pertanian yang difermentasi dalam keadaan
anaerob dengan tujuan untuk mengatasi kekurangan pakan pada musim kemarau,
selain itu pakan hasil olahan seperti silase juga dapat meningkatkan nilai nutrisi
yang terkandung dalam pakan tersebut, sehingga kebutuhan protein pada hewan
terpenuhi.
Berdasarkan uraian di atas, penulis melakukan penelitian untuk mengetahui
pengaruh penambahan daun singkong terfermentasi dan mineral mikro organik
dalam pakan terhadap kecernaan protein kasar dan serat kasar.
1.2. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. mengetahui pengaruh penambahan 10% daun singkong terfermentasi dalam
ransum berbasis limbah kelapa sawit terhadap kecernaan serat kasar dan
protein kasar;
2. mengetahui pengaruh penambahan 10% daun singkong terfermentasi dan
mineral mikro organik dalam ransum berbasis limbah kelapa sawit terhadap
kecernaan serat kasar dan protein kasar.
1.3. Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi tentang
manfaat penambahan silase daun singkong dan mineral mikro organik dalam
3
ransum berbasis limbah kelapa sawit sebagai ransum kepada masyarakat agar
dapat meningkatkan produksi sapi Peranakan Ongole (PO).
1.4. Kerangka Pemikiran
Kelapa sawit merupakan perkebunan yang hasil limbah sampingnya dapat
dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Pakan merupakan kebutuhan utama yang
digunakan ternak untuk kebutuhan hidup pokok, produksi dan reproduksi. Pakan
yang baik mampu menyediakan nutrient yang sesuai dengan kebutuhan ternak,
sehingga ternak dapat melaksakan proses metabolisme tubuh secara normal.
Produktivitas ternak yang tinggi memerlukan asupan berbagai unsur-unsur mikro
seperti vitamin dan mineral yang jarang diperhatikan kebutuhannya oleh peternak.
Pemberian pakan ruminansia harus memenuhi kebutuhan nutrient ternak, menjaga
kondisi optimum cairan rumen untuk proses fermentasi dan mensuplai nutrient
bagi pertumbuhan mikroba rumen. Nutrient yang cukup bagi pertumbuhan
mikroba rumen mempengaruhi proses pencernaan di dalam rumen. Mineral
berperan dalam optimalisasi bioproses dalam rumen dan pasca rumen. Pemberian
mineral dalam bentuk organik dapat meningkatkan ketersediaan mineral sehingga
dapat lebih tinggi diserap dalam tubuh ternak (Muhtarudin, 2002 dan Muhtarudin,
et al., 2003).
Peningkatan produktivitas ternak dapat juga dilakukan dengan cara memanfaatkan
limbah agroindustri seperti limbah perkebunan singkong dan kelapa sawit yang
saat ini belum dimanfaatkan dengan baik oleh masyarakat. Limbah perkebunan
4
singkong dan kelapa sawit merupakan limbah pertanian yang sangat melimpah
dan dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak.
Limbah hasil perkebunan singkong yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak
seperti daun, batang dan kulit buah selanjutnya dilakukan proses pengawetan
dengan pembuatan silase. Pembuatan silase daun singkong diharapkan dapat
memperpanjang masa simpan pakan, meningkatkan kecernaan protein kasar dan
serat kasar ransum. Limbah kelapa sawit memiliki kendala untuk digunakan
sebagai bahan pakan ternak karena memiliki kandungan serat kasar yang tinggi
dan kandungan protein kasar yang rendah serta palatabilitasnya yang rendah,
sehingga diperlukan adanya sentuhan teknologi atau dilakukan pengolahan lebih
lanjut. Salah satu pengolahan yang dapat digunakan yaitu fermentasi dimana
proses fermentasi sendiri dapat meningkatkan kecernaan protein, menurunkan
kadar serat kasar, serta memperbaiki rasa dan aroma bahan pakan.
Berdasarkan pemikiran di atas, maka diharapkan dengan penambahan silase daun
singkong 10% dan mineral mikro organik dalam ransum berbasis limbah kelapa
sawit akan meningkatkan kecernaan serat kasar dan protein kasar ransum.
1.5. Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:
1. Penambahan 10% daun singkong terfermentasi dalam ransum berbasis limbah
kelapa sawit berpengaruh terhadap kecernaan serat kasar dan protein kasar;
2. Penambahan 10% daun singkong terfermentasi dan mineral mikro organik
dalam ransum berbasis limbah kelapa sawit berpengaruh terhadap kecernaan
serat kasar dan protein kasar.
5
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sapi Peranakan Ongole (PO)
Sapi adalah ternak yang termasuk ke dalam kelas Bovinae. Masyarakat Indonesia
umumnya memeliharasapi untuk diambil susu dan dagingnya. Sapi PO
merupakan hasil pemuliaan melalui sistem persilangan dengan grading up antara
sapi Jawa dan Sumba Ongole (SO) lewat setengah abad silam. Sapi PO
menunjukkan keunggulan sapi tropis, yaitu: daya adaptasi iklim tropis yang
tinggi, tahan terhadap panas, tahan terhadap gangguan parasit seperti gigitan
nyamuk dan caplak. Selain itu juga menunjukkan toleransi yang baik terhadap
pakan yang mengandung serat kasar tinggi.
Sapi Peranakan Ongole merupakan hasil perkawinan antara sapi Sumba Ongole
dengan sapi betina Jawa yang berwarna putih. Sapi Ongole sebenarnya berasal
dari India termasuk tipe sapi pekerja dan pedaging yang disebarkan di Indonesia
sebagai sapi Sumba Ongole. Sapi Peranakan Ongole memiliki ciri antara lain
;berwarna putih sedikit keabu-abuan, terdapat gelambir kulit dari rahang bawah
hingga ujung dada bagian depan, badan besar, panjang dan dalam, berpunuk di
atas bahu, kepala panjang, telinga kecil dan tegak, paha besar, kulit tebal dan
lepas. Keunggulan sapi jenis ini adalah tahan terhadap panas tinggi dan tahan
terhadap endoparasit maupun ektoparasit (BBIB Singosari Web, 2016).
6
2.2. Pencernaan Ruminansia
Proses utama dari pencernaan adalah secara mekanik, hidrolisis dan fermentatif.
Proses mekanik terdiri dari mastikasi atau pengunyahan dalam mulut dan gerakan-
gerakan saluran pencernaan olehkontraksi otot sepanjang usus. Pencernaan secara
fermentatif dilakukan oleh mikroorganisme rumen (Tillman, et al., 1993). Rumen
dari hewan ruminansia merupakan tempat berdiamnya triliun mikroorganisme
termasuk protozoa, bakteri dan fungi. Mikroorganisme ini mencerna hijauan yang
mengandung selulosa dan hemiselulosa, konsentrat yang mengandung
karbohidrat, lemak dan protein. Kecernaan pakan tergantung dari peranan
mikroba rumen, adanya mikroba rumen menyebabkan ruminansia dapat mencerna
makanan berserat kasar tinggi (Sutardi, 2003).
Aktivitas mikroorganisme dalam mencerna selulosa dan hemiselulosa sangat
bermanfaat dikarenakan selulosa dan hemiselulosa tidak bisa dicerna secara
langsung oleh ternak (induk semang). Mikroorganisme mencerna bahan-bahan
kasar terutama menjadi asam asetat, propionat, dan butirat yang disebut dengan
asam lemak mudah terbang (Volatile Fatty Acid/VFA). Sebagian besar VFA
diserap melalui dinding rumen ke dalam aliran darah. Aksi mikroorganisme di
dalam rumen manjadi dasar alasan mengapa ruminansia dapat bertahan dengan
makanan yang berserat tinggi (Lasley, 1981).
2.3. Pakan
Pakan adalah semua bahan yang bisa diberikan dan bermanfaat bagi ternak serta
tidak menimbulkan pengaruh negatif terhadap tubuh ternak. Pakan yang
diberikan harus berkualitas tinggi, yaitu mengandung zat-zat yang diperlukan oleh
7
tubuh ternak dalam hidupnya seperti air, karbohidrat, lemak, protein, mineral dan
air (Parakkasi, 1999). Menurut Parakkasi (1991), semakin banyak bahan
makanan yang dapat dicerna melalui saluran pencernaan maka kecepatan
alirannya menyebabkan lebih banyak ruangan yang tersedia untuk penambahan
makanan sehingga konsumsi meningkat. Menurut Kartadisastra (1997) kebutuhan
pakan ternak ruminansia dicerminkan oleh kebutuhannya terhadap nutrisi. Jumlah
nutrisi setiap harinya sangat tergantung kepada jenis ternak, umur, fase
(pertumbuhan, dewasa, bunting, menyusui), kondisi tubuh (normal, sakit) dan
lingkungan tempat hidupnya serta berat badannya, sehingga setiap ekor ternak
yang berbeda kondisinya membutuhkan pakan yang berbeda. Kebutuhan nutrisi
pakan sapi untuk tujuan produksi (pembibitan dan penggemukan) dapat dilihat
pada Tabel 1.
Tabel 1. Kebutuhan nutrisi pakan sapi untuk tujuan produksi
Uraian Bahan (%) Tujuan Produksi
Pembibitan Penggemukan
Kadar air 12 12
Bahan kering 88 88
Protein kasar 10,4 12,7
Serat kasar 19,6 18,4
Lemak kasar 2,6 3,0
Kadar abu 6,8 8,7
Total Digestible Nutrien (TDN) 64,2 64,4
Sumber : Wahyono (2000)
8
2.4. Potensi Hasil Samping Kelapa Sawit
Produk samping industri kelapa sawit yang tersedia dalam jumlah banyak dan
belum dimanfaatkan secara optimal adalah pelepah daun, lumpur sawit dan
bungkil inti kelapa sawit sebagai bahan dasar ransum ternak ruminansia. Oleh
karena itu, pemanfaatan produk samping industri kelapa sawit pada wilayah
perkebunan sebagai pengadaan bahan pakan ternak, khususnya ruminansia
diharapkan banyak memberikan nilai tambah, baik secara langsung maupun tidak
langsung (Jalaludin, et al., 1991).
2.5. Pelepah Daun Kelapa Sawit
Pelepah dan daun sawit merupakan hasil ikutan yang diperoleh pada saat
dilakukan pemanenan tandan buah segar. Jumlah pelepah dan daun segar yang
dapat diperoleh untuk setiap ha kelapa sawit mencapai lebih 2,3 ton bahan kering.
Dengan asumsi 1 ha = 130 pohon, setiap pohon dapat menghasilkan 22--26
pelepah/tahun dengan rataan berat pelepah dan daun sawit 4--6 kg/ pelepah,
bahkan produksi pelepah dapat mencapai 40--50 pelepah / pohon/ tahun dengan
berat sebesar 4,5 kg / pelepah (Jalaludin dan Hutagalung, 1982).
Penampilan sapi yang diberi pelepah segar, diamoniasi atau silase dalam bentuk
kubus (1--2 cm3) cukup menjanjikan. Namun, disarankan untuk tidak mengolah
pelepah daun kelapa sawit sebagai pakan dalam bentuk pelet karena ukurannya
yang terlalu kecil sehingga mempersingkat waktu tinggal partikel tersebut dalam
saluran pencernaan. Pemberian pelepah daun kelapa sawit sebagai bahan ransum
dalam jangka waktu panjang menghasilkan karkas berkualitas baik (Balai
Penelitian Ternak, 2003).
9
Daun kelapa sawit menghasilkan hijauan segar yang dapat diberikan langsung ke
ternak baik dalam bentuk segar maupun yang telah diawetkan yaitu melalui proses
silase maupun amoniasi. Hasil analisis Balai Penelitian Bioteknologi Tanaman
Pangan (2000) menunjukkan kandungan serat kasar yang cukup tinggi yaitu
mencapai 50,94% (Tabel 2).
Tabel 2. Komposisi zat makanan pelepah daun kelapa sawit
Zat makanan Kandungan %
Bahan kering 26,07 b
Protein kasar 5,02 a
Serat kasar 50,94 a
TDN 45,00 b
Sumber : a. Balai Penelitian Ternak (2003)
b. Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) (2007)
2.6. Bungkil Inti Sawit
Bungkil inti sawit adalah limbah ikutan proses ekstrasi inti sawit. Bahan ini dapat
diperoleh dengan proses kimia atau dengan cara mekanik (Davendra, 1997).
Bungkil inti sawit telah digunakan secara luas untuk pakan ternak dengan tingkat
daya cerna berkisar 70 %. Bungkil inti sawit (BIS) mempunyai kandungan nutrisi
yang lebih baik daripada solid sawit (Tabel 3). Produksi rata-rata sekitar 40
ton/hari/pabrik. Bahan pakan ini sangat cocok terutama untuk pakan konsentrat
ternak ruminansia, namun penggunaannya sebagai pakan tunggal dapat
menyebabkan gangguan pada saluran pencernaan, oleh karenanya perlu diberikan
secara bersama-sama dengan bahan pakan lainnya (Mathius, 2004).
10
Tabel 3. Kandungan Nutrisi Bungkil Inti Sawit
Zat makanan kandungan %
Bahan kering 92,6 a
Protein kasar 21,51 b
Serat kasar 10,5 b
Lemak kasar 2,4 a
TDN 72,0 a
Ca 0,53 a
P 0,19 a
Sumber : a. Laboratorium Ilmu Makanan Ternak Departemen Petenakan Fakultas
Pertanian USU, Medan (2007)
b. Pusat Penelitian Kelapa Sawit
2.7. Fermentasi Bahan Pakan
Upaya untuk memperbaiki kualitas gizi, mengurangi atau menghilangkan
pengaruh negatif dari bahan pakan tertentu dapat dilakukan dengan penggunaan
mikroorganisme melalui proses fermentasi. Fermentasi juga dapat meningkatkan
nilai kecernaan, menambah rasa dan aroma, serta meningkatkan kandungan
vitamin dan mineral. Pada proses fermentasi dihasilkan pula enzim hidrolitik
serta membuat mineral lebih mudah untuk diabsorbsi oleh hewan ternak
(Winarno, 2000). Pakan yang difermentasi dengan EM-4 menyebabkan
peningkatan daya cerna dan kandungan protein bahan, kemampuan untuk
menurunkan kadar serat kasar dan meningkatkan palatabilitas bahan pakan.
2.8. Daun Singkong
Daun singkong merupakan salah satu limbah pertanian yang sering dijadikan
bahan pakan ternak. Tillman, et al. (1998) menyatakan sekitar 1,4 juta ha
singkong yang ditanam setiap tahunnya dapat menghasilkan 1,4 juta ton tangkai
11
dan daun. Daun singkong merupakan limbah hasil pertanian dari hasil panen ubi
kayu atau ketela pohon (manihot esculenta crantz). Potensi yang diharapkan dari
daun singkong adalah protein kasarnya yang cukup tinggi, yaitu berkisar antara
18--34 % dari bahan kering. Maka dari itu, kandungan protein kasar dari bahan
kering daun singkong dapat digunakan sebagai bahan suplementasi yang potensial
untuk ternak ruminansia maupun unggas. Kandungan zat makanan daun singkong
disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Kandungan zat-zat makanan daun singkong berdasarkan bahan kering
Zat makanan Jumlah (%)
Protein kasar 27,97
Serat kasar 13,40
Lemak kasar 8,84
Abu 9,97
BETN -
Ca 1,76
P 0,44
Sumber : Askar dan Marlina (1997)
Kandungan protein kasar pada daun singkong adalah 19,20% akan meningkat bila
difermentasikan dengan aspergilus niger menjadi 25%. Berdasarkan kandungan
protein yang terkandung, maka dapat dikatakan bahwa daun singkong memiliki
nilai gizi yang cukup tinggi dan setara dengan jumlah hijauan tanaman kacang-
kacangan (Surrachman, 1987). Daun singkong dapat digunakan sebagai sumber
asam amino rantai bercabang (branched chain amino acid = BCAA). Sintesis
protein oleh mikroba memerlukan BCFA (branched chain fatty acid) yang
meliputi asam isobutirat, 2 metil butirat dan isovalerat. BCFA dalam rumen
adalah hasil dekarboksilasi dan deaminasi BCAA yaitu valin, isoleusin dan leusin.
12
Menurut Zain (1999), suplementasi BCAA memacu pertumbuhan bakteri
sehingga kecernaan pakan dan pertumbuhan ternak meningkat. Lebih lanjut
dijelaskan rasio terbaik BCAA yang digunakan dalam meningkatkan kecernaan
pakan adalah 0,1% valin, 0,2% isoleusin dan 0,15% leusin. Mikroba rumen
mendegradasi daun singkong menjadi amonia dan amonia tersebut sebagian dapat
diubah kembali menjadi protein mikroba yang selanjutnya digunakan oleh ternak
inang (Leng, et al., 1984).
Daun singkong selain memiliki kandungan protein kasar yang tinggi juga memiliki
kandungan HCN yaitu senyawa toksik pada tanaman singkong. Penurunan kadar
HCN pada daun singkong dapat dilakukan dengan cara pengeringan dengan sinar
matahari (Pond dan Manner, 1974); perendaman, penguapan, dan pengeringan
dibawah suhu 75 0C (Ciptadi dan Mafhud, 1980); pengirisan, perendaman dan
pencucian dengan air mengalir (Winarno, 1980). Kandungan HCN dalam daun
singkong dapat juga dihilangkan atau diturunkan dengan cara tradisional, antara
lain dengan memasak, menggoreng dan mengeringkan di bawah sinar matahari
atau udara panas. Pengeringan selama 21 hari dapat mengurangi kadar HCN
sehingga tidak berbahaya bagi ternak.
2.9. Nutrisi Mineral
Mineral adalah bahan kimia anorganik yang berperan aktif dalam reaksi-reaksi
yang melibatkan enzim-enzim, memiliki fungsi spesifik dan penting bagi
kehidupan ternak (Churh and Pond, 1988). Pemberian mineral yang baik adalah
dengan menambahkan unsur yang diketahui kurang dalam bahan makanan.
13
Berdasarkan jumlah kebutuhannya, mineral dikelompokkan menjadi 2 golongan,
yaitu unsur mineral mikro dan makro.
Mineral dibutuhkan tubuh dalam jumlah yang relatif besar mencakup Ca, Mg, P,
Na, K, Cl, dan S, sedangkan mineral mikro dibutuhkan oleh tubuh dalam jumlah
yang relatif lebih sedikit dibandingkan mineral makro. Mineral mikro mencakup
Zn, Cu, Fe, Se, Mn, Co dan Cr. Pemberian unsur makro maupun mikro dalam
bentuk organik dapat meningkatkan ketersediaan, sehingga dapat diserap lebih
tinggi dalam tubuh ternak (Muhtarudin, 2002 dan Muhtarudin, et al., 2003).
Secara umum penggunaan mineral di dalam tubuh berperan dalam pembentukan
tulang dan gigi yang menyebabkan adanya jaringan keras dan kuat, sebagai buffer
yang efisien untuk menahan kelebihan keasaman atau kebebasan yang terjadi
karena makanan-makanan, sebagai aktivator sistem enzim maupun sebagai
komponen dari sistem suatu enzim (Tillman, et al., 1998). Ditambahkan pula oleh
Underwood (1977), bahwa mineral berperan sebagai pengatur transport zat
makanan ke sel, mengatur permeabilitas membran sel dan mengatur metabolisme
zat makanan.
2.9.1. Seng (Zn)
Little (1986), melaporkan bahwa kandungan Zn pada pakan ternak ruminansia
di Indonesia berkisar antara 20 dan 30 mg/kgbahan kering ransum, nilai ini
jauh dibawah kebutuhan ternak ruminansia. Ini sesuai dengan rekomendasi
NRC (1978), bahwa kandungan Zn pakan di Indonesia umumnya rendah dan
kadar Zn yang layak antara 40 dan 50 mg/kg.
14
Seng (Zn) terdapat pada semua jaringan tubuh, tetapi sebagian besar terdapat
pada jaringan prostat, hati, ginjal, urat daging, pankreas, limpa dan adrenal
(Underwood, 1977). Absorpsi seng terutama terjadi dibagian atas usus kecil
dan yang paling aktif pada duodenum. Menurut Hartati (1998), absorpsi Zn
yang utama terjadi pada bagian atas usus kecil. Penyerapan Zn dipengaruhi
oleh umur dan status Zn hewan. Menurut Underwood (1977), absorpsi Zn
sangat dipengaruhi oleh jumlah dan imbangan mineral lain, kandungan seng
dalam pakan dan bentuk seng yang diserap. Pemberian mineral Zn dapat
meningkatkan penampilan ternak (Hartati, 1998) dan memacu pertumbuhan
mikroba rumen (Putra, 1998).
2.9.2. Selenium (Se)
Salah satu unsur mineral mikro yang diperlukan ternak ruminansia adalah
selenium (Se). Tillman, et al. (1998), menyatakan bahwa pemberian selenium
dapat mencegah terjadinya distropi otot pada domba dan sapi, sedangkan pada
ternak unggas pemberian selenium dapat mencegah degenerasi nekrosis dan
diatesis eksudatif pada anak ayam.
Mineral Se diketahui sebagai elemen pelindung enzim glutation peroksidase
dari kerusakan yang ditimbulkan oleh lipida peroksidase dengan jalan merusak
peroksida tersebut. Menurut Parakkasi (1985), interaksi antara vitamin E dan
Se (ROOH) dapat menyebabkan rusaknya sel. Dengan adanya Se, lipid
hidroperoksida akan dirubah menjadi alkohol-alkohol yang sifatnya kurang
berbahaya dibandingkan dengan zat-zat aslinya, sedangkan vitamin E berperan
sebagai antioksidan.
15
Kadar Se dalam bahan pakan tidak selalu sama dan masih banyak yang belum
diketahui. Hal ini berkaitan erat dengan kemampuan spesies suatu tanaman
menyerap Se dan kadar Se itu sendiri di dalam tanah. Tillman, et al. (1998),
menyebutkan tanah dapat mengandung 40 mg/kg Se dan tanah yang mencapai
0,5 mg/kg Se dapat dikatakan berbahaya. Untuk ransum sapi perah dianjurkan
agar mengandung Se 0,3 ppm bahan kering ransum (NRC, 1981) dan 40 mg/kg
(NRC, 1978) pada makanan kuda.
2.9.3. Tembaga (Cu)
Penimbunan tembaga (Cu) pada tubuh ternak terjadi di dalam hati. Pemberian
makanan ternak mengandung Cu harus lebih berhati-hati karena konsumsi Cu
berlebih dapat memungkinkan terjadinya keracunan. NRC (1978),
merekomendasikan angka kebutuhan Cu, yaitu 10 mg/kg untuk ternak
ruminansia. Pada ternak ruminansia Cu kurang baik diabsorpsi karena hanya
1--3% yang diabsorpsi oleh tubuh ternak (McDowell, 1992). Keterkaitan
antara Cu dengan mineral lainnya seperti Molibdenum (Mo) dan Sulfat juga
merupakan salah satu faktor penyebabnya. Pada penelitian terdahulu
menunjukkan bahwa keracunan yang disebabkan oleh Mo dapat dikurangi
dengan pemberian CuSo4 dalam makanan sehingga sulfat dalam makanan
dapat mempengaruhi kerja Mo.
2.9.4. Kromium (Cr)
Kromium (Cr) untuk pertama kali diketahui sebagai unsur yang esensial pada
tahun 1959. Lebih banyak dibicarakan dalam hubungannya dengan Glucose
Tolerance Factor (GTF). Cr berperan sebagai Glucose Tolerance Factor
16
(GTF) dan tikus kekurangan Cr tidak dapat menggunakan glukosa yang
diinjeksikan dalam dosis tinggi dibandingkan tikus yang diberi suplemen Cr
dalam ransum.
Mineral Cr dapat meningkatkan pemasukan glukosa ke dalam sel-sel alveolus
untuk pembentukan laktosa susu. Susu mengandung laktosa (karbohidrat) yang
prekursornya perlu disediakan dalam jumlah yang cukup. Prekursor laktosa
adalah propionate produksi fermentasi rumen. Gejala-gejala defisiensi Cr
berhubungan dengan GTF. Ternak yang kekurangan Cr menunjukkan
pertumbuhan yang terhambat degenerasi nekrotil dari hati dan penggunaan
glukosa yang kurang efisien (Tillman, et al., 1998).
3.0. Kebutuhan protein kasar
Protein adalah senyawa organik komplek yang mempunyai berat molekul tinggi.
Tubuh memerlukan protein untuk memperbaiki dan menggantikan sel tubuh yang
rusak serta untuk produksi. Protein dalam tubuh diubah menjadi energi jika
diperlukan. Protein dapat diperoleh dari bahan-bahan pakan yang berasal dari
tumbuh-tumbuhan dan yang berasal dari biji-bijian (Sugeng, 1998).
Protein didalam tubuh ternak ruminansia dapat dibedakan menjadi protein yang
dapat disintesis dan protein tidak dapat disintesis. Protein yang dibutuhkan oleh
ternak ruminansia yaitu dalam bentuk Pk dan Prdd. Protein kasar adalah jumlah
nitrogen (N) yang terdapat didalam pakan dikalikan dengan 6,25 (Nx6,25),
sedangkan Prdd adalah protein pakan yang dicerna dan diserap dalam saluran
pencernaan (Siregar, 1994). Menurut Anggorodi (1994) kekurangan protein pada
17
sapi dapat menghambat pertumbuhan, sebab fungsi protein adalah untuk
memperbaiki jaringan, pertumbuhan jaringan baru, metabolisme, sumber energi,
pembentukan antibodi, enzim-enzim dan hormon.
Tujuan umum dalam pemberian pakan semua ternak adalah untuk menyediakan
jumlah dan kualitas protein yang benar untuk memaksimalkan produksi dan
meminimalkan biaya pakan. Ternak memerlukan nitrogen (protein) untuk
tumbuh, berkembang dan berproduksi. Ternak yang sedang tumbuh dan
berkembang memerlukan konsentrasi protein yang lebih tinggi dibandingkan
ternak yang sudah mencapai kedewasaan (Kearl, 1982; NRC, 1996). Dalam
usaha peternakan, pemberian protein harus lebih diperhatikan mengingat harga
protein pakan per unit berat lebih mahal dibandingkan nutrisi lainnya dan juga
tidak semua protein yang dikonsumsi ternak dimanfaatkan secara sempurna.
Apabila keseimbangan antara protein yang dikonsumsi dengan kebutuhan ternak
meningkat, maka nitrogen yang keluar pasti akan berkurang dan produksi
ternaknya akan meningkat. Proses pemanfaatan nitrogen yang dikonsumsi ternak
pada akhirnya terbagi menjadi dua yaitu yang keluar dari tubuh ternak (tidak
dimanfaatkan) dan yang termanfaatkan oleh ternak (teretensi oleh tubuh) yang
akan digunakan untuk memelihara fungsi jaringan dan sebagai produksi.
3.1. Kebutuhan serat kasar
Ternak ruminansia dapat memanfaatkan sumber karbohidrat berasal dari hijauan
yang tidak dapat dimanfaatkan ternak nonruminansia. Sumber karbohidrat
tersebut, menurut Preston dan Leng (1987), berupa selulosa, hemiselulosa dan
18
pektin yang berikatan dengan lignin yang ada pada dinding sel tanaman pakan dan
berfungsi memperkuat struktur sel tanaman. Adanya struktur tersebut dalam
tanaman menjadikannya sebagai sumber utama serat kasar yang juga dibutuhkan
bagi ternak ruminansia, yang mana dapat merangsang perkembangan organ rumen
ternak dalam mencerna pakan agar lebih optimal.
Serat kasar bagi ruminansia digunakan sebagai sumber energi utama berperan
penting dalam metabolisme tubuh ternak. Kandungan serat kasar dalam pakan
yang dikonsumsi ternak akan mampengaruhi produksi VFA (Vollatile Fatty Acid).
Asam asetat dan propionat merupakan komponen utama VFA hasil fermentasi
dalam rumen. Kandungan VFA rumen akan berpengaruh pada konsumsi dan
kecernaan pakan. Kadar serat kasar yang tinggi dalam ransum, mengakibatkan
ransum tersebut sulit dicerna, sebaliknya kadar serat kasar terlalu rendah,
menyebabkan gangguan pencernaan pada sapi.
3.2. Kecernaan pada ternak ruminansia
Pencernaan ternak ruminansia merupakan proses yang kompleks, melibatkan
interaksi yang dinamis antara makanan, mikroba dan hewan. Pencernaan
merupakan proses yang multi tahap. Proses pencernaan pada ternak ruminansia
terjadi secara mekanis di mulut, fermentatif oleh mikroba di rumen dan hidrolisis
oleh enzim pencernaan di abomasum dan duodenum hewan induk semang.
Kecernaan pada ruminansia dapat ditentukan dengan menggunakan ternak secara
langsung (in vivo). Kecernaan in vivo merupakan suatu cara penentuan kecernaan
nutrient menggunakan hewan percobaan dengan analisis nutrient pakan dan feses
19
(Tillman, et al., 1991). Kecernaan pakan ditetapkan berdasarkan jumlah bahan
pakan yang dimakan dikurangi jumlah tinja (feses) yang dikeluarkan, demikian
juga dengan nutrien yang tercerna. Penetapan kecernaan secara in vivo dilakukan
menggunakan metode koleksi total atau total collection yang terdiri dari periode
adaptasi kandang dan pakan dan periode koleksi data masing-masing selama lima
hari. Koleksi data meliputi konsumsi selama 24 jam dari pukul 8.00 sampai pukul
8.00 pada hari berikutnya (Zakharia, 2012).
20
III. METODE PENELITIAN
4.1. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada Mei – Juli 2016, bertempat di Kandang Jurusan
Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung. Analisis bahan pakan dan
feses dilakukan di Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak, Jurusan
Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung.
4.2. Alat dan Bahan Penelitian
4.2.1. Alat penelitian
Peralatan yang digunakan adalah kandang berkapasitas 9 ekor sapi, timbangan
digital, timbangan gantung, timbangan duduk, tali, kandang jepit, sekop, ember,
terpal, cangkul, chopper dan plastik. Alat yang digunakan untuk analisis
proksimat adalah kertas saring, oven, desikator, cawan porselin, alat soxhlet, alat
kondensor, timbangan analitik dan kompor listrik.
4.2.2. Bahan penelitian
Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini berupa 9 ekor sapi peranakan
Ongole. Setiap 3 ekor sapi mendapat perlakuan ransum yang berbeda. Hijauan
dan ransum perlakuan (R0, R1, R2) dengan penggunaan limbah kelapa sawit
(pelepah daun dan bungkil sawit), silase, dan mineral mikro organik.
21
4.3. Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 3
macam perlakuan dan 3 ulangan. Perlakuan ransum yang diberikan, yaitu :
R0 = Ransum berbasis limbah kelapa sawit terfermentasi
R1 = R1 + 10% silase daun singkong
R2 = R2 + mineral mikro organik (Zn 40 ppm, Cu 10 ppm, Se 0,10 ppm, Cr 0,30 ppm)
Ransum basal terdiri dari onggok, bungkil sawit, kulit kopi, pelepah sawit, rumput
gajah, molases, urea dan premix. Formulasi ransum yang digunakan dalam
penelitian dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Ransum Perlakuan
Imbangan %
Bahan Pakan
R0 R1 R2
Onggok 23 23 23
Bungkil sawit terfermentasi 35 35 35
Pelepah sawit terfermentasi 13 13 13
Kulit kopi 13 13 13
Rumput gajah 10 - -
Daun singkong - 10 10
Molases 4 4 4
Urea 1 1 1
Premix 1 1 1
Total 100 100 100
22
R1K1 R1K2 R1K3
R2K1 R2K2 R2K3
R3K1 R3K2 R3K3
Gambar 1. Tata Letak Kandang Perlakuan
4.4. Prosedur Penelitian
Pada tahap persiapan penelitian ini diawali dengan membersihkan kandang,
peralatan dan lingkungan sekitar kandang. Kemudian, melakukan penimbangan
sapi dan memasukkan ke dalam kandang sesuai dengan rancangan percobaan dan
tata letak yang telah ditentukan. Penelitian ini dilaksanakan dalam tiga tahap.
Tahap pertama merupakan prelium, yaitu sapi percobaan diberi ransum perlakuan.
Tahap ini berlangsung selama 14 hari. Tahap kedua yaitu tahap pengambilan
data. Tahap ini dilakukan setelah ternak mengonsumsi ransum perlakuan selama
14 hari koleksi feses dan awal koleksi berlangsung selama 5 hari setelah ternak
diberi ransum perlakuan selama 14 hari (masa prelium). Jumlah ransum yang
dikonsumsi dan yang tersisa ditimbang selama tahap pengambilan data. Sampel
ransum dan sampel feses selama periode diambil untuk analisis proksimat. Tahap
ketiga yaitu tahap pengambilan data analisis pada masa akhir penelitian.
4.4.1. Persiapan Mineral Zn, Cu, Se dan Cr
4.4.1.1. Zn-lysinat
2 Lys(HCL)2 + ZnSO4 Zn(Lys(HCL)2) + SO42-
Siapkan 43,823 gr lysine HCL kemudian dilarutkan dalam 100 ml air + 16,139 gr
ZnSO4 yang dilarutkan dalam 100 ml air.
23
4.4.1.2. Cu-lysinat
2 Lys(HCL)2 + CuSO4 Cu(Lys(HCL)2) + SO42-
Siapkan 43,823 gr lysine HCL kemudian dilarutkan dalam 100 ml air + 15,995 gr
CuSO4 yang dilarutkan dalam 100 ml air.
4.4.1.3. Se-lysinat
2 Lys(HCL)2 + NaSeO35H2O LysSO3 + 2 NaCl
Siapkan 0,8712 gr lysine (HCL)2 kemudian dilarutkan dalam 100 ml air +
0,627 gr NaSeO3 yang dilarutkan dalam 100 ml air.
4.4.1.4. Cr-lysinat
3 Lys(HCL)2 + CrCl36H2O Lys3Cr + H2O
Siapkan 11,2 gr lysine (HCL)2 kemudian dilarutkan dalam 100 ml air + 0,5 gr
CrCl36H2O yang dilarutkan dalam 100 ml air.
4.4.2. Persiapan ransum basal
Menyiapkan timbangan, kemudian timbang sesuai ukuran pakan yang akan
dicampurkan untuk membuat ransum basal. Ransum basal utama yang
digunakan adalah onggok, bungkil sawit, pelepah sawit, tetes, kulit kopi,
molasses, urea dan premix. Aduk hingga semua bahan-bahan tersebut merata
maka jadilah ransum basal yang diinginkan untuk pakan ternak sapi.
4.4.3. Persiapan limbah sawit terfermentasi
Menyiapkan limbah sawit yang terdiri dari pelepah daun dan bungkil sawit.
Terlebih dahulu daun dan pelepah sawit dikeringkan untuk mengurangi kadar air
24
hingga 30%. Bungkil sawit tidak dilakukan pengeringan karena bungkil sawit
memiliki kadar air sebesar 10%. Setelah bahan-bahan tersebut siap, masing-
masing dari bahan tersebut kemudian disemprot/dicampur dengan EM-4.
Setelah dicampur dengan EM-4, disimpan secara anaerob yaitu dipadatkan dan
ditutup rapat-rapat agar tidak ada udara yang masuk dan didapatkan hasil dari
fermentasi yang maksimal. Proses fermentasi berlangsung sampai 20 hari
setelah itu dapat digunakan untuk pakan.
Gambar 2. Skema limbah sawit terfermentasi
Pelepah dan daun kelapa sawit
Chopper
Mengurangi kadar air
dengan menjemur di bawah sinar
matahari
Bungkil inti kelapa sawit
Semprot dengan EM-4
Dipadatkan, ditutup rapat dan disimpan
dalam kondisi anaerob selama 20 hari
Diberikan ke ternak
25
4.4.4. Prosedur koleksi sampel
Metode kecernaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode koleksi
total. Sampel ransum dan sampel feses yang diperoleh selama 14 hari masa
prelium dan 5 hari pengambilan data. Sampel feses yang dikoleksi sebanyak
2%. Sampel ransum yang diambil sebanyak 100 gram dari ransum yang
diberikan pada ternak, kemudian ditimbang sebagai Berat Segar (BS) dan
dijemur untuk mengetahui Berat Kering Udara (BKU). BKU diperoleh dengan
cara menjemur sampel dibawah sinar matahari kemudian ditimbang. Sampel
tersebut kemudian dianalisis protein kasar (PK) dan serat kasar (SK).
Menurut Tillman, et al. (1991), kecernaan dihitung berdasarkan bahan kering
dengan rumus :
∑ zat makanan yang dikonsumsi (g) - ∑ zat makanan dalam feses (g)
X 100%
∑ zat makanan yang dikonsumsi (g)
4.4.5. Prosedur analisis proksimat
Analisis proksimat menurut Fathul (1999) :
4.4.5.1. Kadar protein kasar
Tahap pelaksanaan analisis protein adalah sebagai berikut :
1. menimbang kertas saring biasa (6 x 6 cm²) dan mencatat bobotnya (A);
2. memasukkan sampel analisa sebanyak 0,1 g dan kemudian mencatat
bobotnya (B);
3. memasukkan sampel ke dalam labu Kjeldahl. Menambahkan 15 ml
H₂SO₄ pekat. Menambahkan 0,2 g campuran garam;
4. menyalakan alat destruksi, kemudian mengerjakan destruksi. Mematikan
alat destruksi apabila sampel berubah warna menjadi jernih kehijauan, lalu
mendiamkan sampai menjadi dingin;
26
5. menambahkan 200 ml air suling. Menyiapkan 25 ml H₂BO3 di gelas
Erlenmeyer, kemudian ditetesi 2 tetes indikator (larutan berubah menjadi
biru) memasukkan ujung alat kondensor ke dalam gelas tersebut dan harus
dalam posisi terendam;
6. menyalakan alat destilasi dan menambahkan 50 ml NaOH 45% ke dalam
labu Kjeldahl. Mengangkut ujung alat kondensor yang terendam, apabila
larutan telah menjadi sebanyak 2/3 bagian dari gelas tersebut dan matikan
alat destilasi.
7. membilas ujung kondensor dengan air suling menggunakan botol semprot
dan menyiapkan alat untuk titrasi. Mengisi buret dengan larutan HCl 0,1N.
Mengamati dan membaca angka pada buret kemudian mencatat (L1);
8. menghentikan titrasi apabila larutan berubah warna menjadi hijau,
mengamati buret dan membaca angka, kemudian mencatatnya (L2);
9. menghitung kadar protein kasar dengan rumus berikut :
N = ( Lblanko – Lsampel ) x Nbasa x N/1000 x 100%
B - A
Keterangan :
N = besarnya kandungan nitrogen (%)
Lblanko = volume titran untuk blanko (ml)
Lsampel = volume titran untuk sampel (ml)
Nbasa = normalitas NaOH sebesar 0,1
N = berat atom nitrogen 14
A = bobot kerta saring biasa (gram)
B = bobot kertas saring biasa berisi sampel (gram)
Menghitung kadar protein dengan rumus sebagai berikut :
KP = N x FP
Keterangan :
KP = kadar protein kasar (%)
N = kandungan nitrogen
FP = angka faktor protein untuk pakan nabati sebesar 6,25
27
4.4.5.2. Kadar serat kasar
Tahap pelaksanaan analisis serat kasar adalah sebagai berikut :
1. menimbang kertas dan mencatat bobotnya (A);
2. memasukkan sampel analisis sebanyak 0,1 g, kemudian mencatat
bobotnya (B);
3. menuangkan sampel analisa ke dalam gelas Erlenmeyer, lalu
menambahkan 200 ml H₂SO₄ 0,25 N menghubungkan gelas erlenmeyer
dengan alat kondensor dan menyalakan panas. Memanaskan selama 30
menit terhitung sejak awal mendidih;
4. menyaring dengan corong kaca beralas kain linen, kemudian membilas
dengan air suling panas dengan menggunakan botol semprot sampai bebas
asam. Melakukan uji kertas lakmus untuk mengetahui bebas asam,
kemudian memasukkan residu kembali ke gelas Erlenmeyer;
5. menambahkan 200 ml NaOH 0,313 N. Menghubungkan gelas Erlenmeyer
dengan alat kondensor kemudian memanaskan selama 30 menit terhitung
sejak awal mendidih. Menyaring dengan menggunakan corong kaca beralas
kertas saring Whatman ashles yang diketahui bobotnya (C);
6. membilas dengan air suling panas dengan menggunakan botol semprot
sampai bebas busa. Melakukan uji kertas lakmus untuk mengetahui bebas
basa, lalu bilas dengan aceton;
7. melipat kertas saring Whatman ashles berisi residu, memanaskan didalam
oven 105 0C selama 6 jam. Mendinginkan di dalam desikator selama 15
menit, kemudian menimbang dan mencatat bobotnya (D);
8. meletakkan ke dalam cawan porselin yang sudah diketahui bobotnya (E);
9. mengabukan didalam tanur 600 0C selama 2 jam, lalu matikan tanur.
Mendiamkan ± sampai warna merah membara pada cawan sudah tidak
ada. Memasukkan ke dalam desikator, sampai mencapai suhu kamar, lalu
menimbang mencatat bobotnya (F);
10. menghitung kadar serat kasar dengan rumus berikut:
(D – C) – (F – E)
KS = X 100 %
(B – A)
28
Keterangan:
KS = kadar serat kasar (%)
A = bobot kertas (gram)
B = bobot kertas berisi sampel analisa (gram)
C = bobot kertas saring Whatman Eashles (gram)
D = bobot kertas saring Whatman Eashles berisi residu (gram)
E = bobot cawan porselin (gram)
F = bobot cawan porselin berisi abu (gram)
4.5. Peubah yang Diamati
Peubah yang diamati dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut :
1. Kecernaan serat kasar dan protein kasar
Kecernaan zat-zat makanan yang diukur adalah protein kasar dan serat kasar.
koefisien cerna diukur dengan cara menghitung selisih antara zat-zat makanan
yang terkandung dalam makanan yang dimakan dengan zat-zat makanan yang
terdapat dalam feses.
4.6. Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis of varian (ANOVA) apabila dari
hasil analisis varian berpengaruh nyata pada satu peubah maka analisis akan
dilanjutkan dengan uji beda nyata terkecil (BNT) pada taraf nyata 5% dan atau 1%.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa:
1. Penambahan silase daun singkong 10% dalam ransum berbasis limbah
kelapa sawit memberikan pengaruh yang nyata (P<0,05) terhadap
kecernaan protein namun tidak berpengaruh terhadap kecernaan serat
kasar;
2. Penambahan silase daun singkong 10% dan mineral mikro organik dalam
ransum berbasis limbah kelapa sawit memberikan pengaruh yang nyata
(P<0,05) terhadap kecernaan protein dan kecernaan serat kasar.
B. Saran
Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai level penggunaan limbah kelapa
sawit, silase daun singkong, mineral mikro dalam ransum dan cara pengolahannya
untuk mengetahui pengaruh penggunaan ransum limbah kelapa sawit terhadap
kecernaan serat kasar dan protein kasar Sapi Peranakan Ongole.
35
DAFTAR PUSTAKA
Anggorodi. 1994. Ilmu Makanan Ternak Umum. Penerbit Gramedia. Jakarta.
Askar, S. P dan N. Marlina. 1997. Komposisi Kimia Beberapa Hijauan Pakan
Ternak. Buletin Teknik Pertanian.
Balai Besar Inseminasi Buatan Singosari Malang. www.bbibsingosari.com
Diakses pada tanggal 19 januari 2016.
Balai Penelitian Ternak, 2003. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Ciawi. Bogor.
Church, D. C. and W. G. Pond. 1988. Basic Animal Nutrition and Feeding. 3rd
ed Jhon Willey and Sons. New York
Ciptadi, W dan Mahfhud. 1980. Mempelajari Pendayagunaan Umbi-umbian
Sebagai Sumber Karbohidrat. Departement Teknologi Hasil Pertanian
Bogor. IPB. Bogor.
Devendra, C. 1977. Utilization of Feedingstuff from the Oil Palm.Dalam:
Feedingstuffs for Livestock in South East Asia. pp. 116-131.
Fathul, F. 1999. Penuntun Praktikum Penentuan Kualitas Zat Makanan dalam
Bahan Makanan Ternak. Jurusan Produksi Ternak. FakultasPertanian.
Universitas Lampung. Bandar Lampung.
Hartati, E. 1998. Suplementasi Minyak Lemuru dan Seng ke dalam Ransum yang
Mengandung Silase Pod Coklat dan Urea untuk Memacu Pertumbuhan
Sapi Holstein Jantan. Disertasi. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian
Bogor. Bogor.
Jalaludin, S dan R. I. Hutagalung. 1982. Feeds for farm animals from the oil palm.
Agriculture University of Malaysia. Malaysia.
Jalaludin, S., Y. W. Ho, N. Abdullah and H. Kudo. 1991. Strategies for animal
improvment in southeast asia. In: Utilization of Feed Resources in
36
Realtion to Utilization and Physiology of Ruminant in the Tropic. Rops.
Afric.
Kartadisastra, H. R. 1997. Penyediaan dan Pengelolaan Pakan Ternak
Ruminansia. Kanisius. Yogyakarta.
Kearl, L. C. 1982. Nutrient Requirements of Ruminants in Developing Countries,
International Feedstuffs Institute, Utah Agricultural Experiment Station,
Utah state university, Logan, Utah. USA.
Laboratorium Ilmu Makanan Ternak. 2007. Departemen Peternakan. Fakultas
Pertanian, USU. Medan.
Lasley, J. F. 1981. Beef Cattle Production. Englewood Ciffs. New Jersey.
Leng, R. A., Nolan, J. V., Cuming, G., Edward, S. R., and Graham, C. A. 1984.
The effects of monensin on the pool size and turnover rate of protozoa in
the rumen of sheep. J. Agric. 62, 509-520.
Little, D. A. 1986. The Mineral Content of Ruminant Feeds and the Potential For
Mineral Supplementation in South-East Asia with Particular Reference to
Indonesia. In: R.M. Dixon (editor). Ruminant Feeding System Utilizing
Fibrous Agriculture Residues-1986. Canberra.
Mathius, I. W., D. Sitompul, B. P. Manurung dan Azmi. 2004. Produk samping
tanaman dan pengolahan kelapa sawit sebagai bahan pakan ternak sapi
potong : suatu tinjauan. Hlm :120-128. Prosiding Lokakarya Nasional
Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian, Pemerintah Provinsi Bengkulu dan PT Agricinal.
McDowell, L. R. 1992. Mineral in Animal and Human Nutrition. Departmen of
Animal Science. University of Florida. Florida.
Muhtarudin, 2002. Pengaruh Amoniasi, Hidrolisat Tepung Bulu Ayam, Daun
Singkong, dan Campuran Lysin Zn Minyak Lemuru Terhadap Penggunaan
Pakan pada Ruminansia. Disertasi. Program Pasca Sarjana IPB. Bogor
Muhtarudin, Liman, dan Widodo. 2003. Penggunaan Seng Organik dan
Polyunsaturated Fatty Acid dalam Upaya Meningkatkan Ketersediaan
Seng, Pertumbuhan, serta Kualitas Daging Kambing. Laporan Penelitian
Hibah Bersaing Perguruan Tinggi. Universitas Lampung.
National Research Council. 1978. Nutrient Requirement of Dairy Cattle. National
Academy of Science. Press. Washington D.C.
37
__________. 1981. Nutrient Requirement of Domestic Animal. National
Academy of Science. Press. Washington D.C.
__________. 1996. Nutrient Requirement of Beef Cattle. National Academy of
Science. Press. Washington D.C.
Parakkasi, A. 1985. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak. Fakultas Pertanian Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
__________. 1991. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminansia. Universitas
Indonesia. Jakarta.
__________. 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminan. Universitas
Indonesia. Jakarta.
Pond, W. G and J. H. Manner. 1974. Swine Production in Temperature and
Tropical Enviromental. W. H. Freeman and Company. San Francisco.
Preston, T. R. and R. A. Leng. 1987. Matching Ruminant Production System with
Available Resources in Tropics and Sub-Tropics. Panambul Book,
Armidale. Australia.
Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS). 2007. Pemanfaatan limbah kebun kelapa
sawit rakyat sebagai pakan hijauan sapi. PPKS. Medan.
Putra, S. 1998. Peningkatan Performans Sapi Melalui Perbaikan Mutu Pakan dan
Suplemen Seng Asetat. Disertasi. Program Pascasarjana IPB. Bogor.
Siregar, S. B. 1994. Ransum Ternak Ruminansia. Penebar Swadaya. Jakarta.
Sugeng, Y. B. 1998. Beternak Sapi Potong. Penebar Swadaya. Jakarta.
Sutardi, T. 2003. Penggunaan Limbah Perkebunan Sebagai Pakan Ruminansia.
Makalah disampaikan pada kunjungan ke PTPN VII Bandar Lampung.
Surrachman, M. 1987. Studi Pemanfaatan Daun Singkong Dengan Cara
Pembuatan Daun Singkong Berbentuk Serbuk. Departemen Teknologi
Pertanian. Fakultas Pertanian. Universitas Brawijaya. Malang.
Tillman, A. D. Hartadi, Soedomo Reksohadiprojo, S. Prawirokusumo dan
S. Lebdosoekojo. 1998. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Cetakan
keenam. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
38
__________. 1991. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Universitas Gadjah Mada.
Yogyakarta.
__________. 1993. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Universitas Gadjah mada.
Yogyakarta.
Underwood, E. J. 1977. Trace Element in Human Animal Nutrition. 14th
Ed.
Academic Press. New Work.
Wahyono, D. E. 2000. Pengkajian Teknologi Complete Feed pada Usaha
Penggemukan Domba. Laporan Hasil Pengkajian BPTP Jawa Timur.
Malang.
Winarno, F. G. 2000. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta.
__________. 1980. Mempelajari Kepoyohan Ubi kayu dan Beberapa Cara
Pencegahannya. Departement Teknologi Hasil Pertanian. Institut Pertanian
Bogor. Bogor.
Zakharia, A. 2012. Fermentasi Asam Laktat pada Silase. Fakultas Peternakan.
Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Zain, M. 1999. Peningkatan Manfaat Sabut Sawit dalam Ransum Pertumbuhan
Domba Melalui Defaunasi Parsial dan Suplementasi Analog Hidroksi
Metionin dan Asam Amino Bercabang. Disertasi. Program Pasca Sarjana
IPB. Bogor.