KAJIAN SILASE DAUN UBI KAYU (Manihot esculenta)...

47
KAJIAN SILASE DAUN UBI KAYU (Manihot esculenta) DENGAN BERBAGAI ZAT ADITIF TERHADAP KECERNAAN In Vitro SKRIPSI RIZKI NURUL AMALIA DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010

Transcript of KAJIAN SILASE DAUN UBI KAYU (Manihot esculenta)...

Page 1: KAJIAN SILASE DAUN UBI KAYU (Manihot esculenta) …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/63326/D10rna.pdfkajian silase daun ubi kayu (manihot esculenta) dengan berbagai zat

KAJIAN SILASE DAUN UBI KAYU (Manihot esculenta) DENGAN BERBAGAI ZAT ADITIF TERHADAP KECERNAAN In Vitro

SKRIPSI

RIZKI NURUL AMALIA

DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010

Page 2: KAJIAN SILASE DAUN UBI KAYU (Manihot esculenta) …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/63326/D10rna.pdfkajian silase daun ubi kayu (manihot esculenta) dengan berbagai zat

RINGKASAN

RIZKI NURUL AMALIA. D24061237. 2010. Kajian Silase Daun Ubi Kayu (Manihot esculenta) dengan Berbagai Zat aditif terhadap Kecernaan In Vitro. Skripsi. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Dr. Ir. Asep Sudarman, M.Rur.Sc. Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Dewi Apri Astuti, MS

Pemanfaatan limbah industri tepung tapioka seperti daun, tangkai dan batang ubi kayu bagi pakan ternak ruminansia perlu dipikirkan lebih dalam. Tahun 2009 diprediksikan Indonesia memproduksi ubi kayu sebesar 22.028.502 ton (Badan Pusat Statistik, 2009). Daun ubi kayu mempunyai protein yang tinggi yaitu sekitar 24,1% dan serat kasar sebesar 22,1% (Sutardi, 1981), oleh karena itu daun ubi kayu dapat dimanfaatkan sebagai alternatif sumber hijauan. Untuk dapat menyuplai kebutuhan hijauan ternak, diperlukan teknologi guna menambah umur simpan daun ubi kayu. Teknologi pengeringan (hay) dan silase merupakan alternatif cara pengolahan hijauan yang lazim diterapkan, namun pembuatan hay ini sangat bergantung pada cuaca dan kurang tahan simpan. Sebaliknya silase lebih tahan simpan dan pembuatannya dapat dilakukan pada setiap saat tanpa dipengaruhi oleh musim. Selain itu, daun ubi kayu sebagai hijauan makanan ternak adalah mudah sekali busuk jika ditumpuk dalam kondisi basah (segar), dan jika dikeringkan daun menjadi remah dan mudah hancur sehingga banyak biomasa daun yang hilang terutama pada saat penjemuran, pengangkutan dan penyimpanan sehingga teknologi yang tepat untuk pengolahan daun ubi kayu adalah dengan pembuatan silase.

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan kualitas terbaik dari silase daun ubi kayu dengan penambahan zat adiif berupa molases, dedak padi dan tepung tapioka dengan level yang berbeda. Kualitas silase yang diuji adalah sifat fisik, pH, kadar air, dan kecernaan in vitro (VFA, NH3, KCBK dan KCBO). Pada penelitian ini menggunakan dua rancangan yaitu Rancangan Acak Lengkap (RAL) untuk pH dan kadar air dan Rancangan Acak Kelompok (RAK) untuk analisa in vitro. Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam (ANOVA), jika terdapat perbedaan nyata maka dilakukan uji beda nyata terkecil. Penelitian ini menggunakan tujuan perlakuan dan tiga ulangan, yaitu : K: campuran daun, tangkai, batang ubi kayu; M5: K + 5 % molases; M10: K + 10% molases; DP5: K + 5% dedak padi; DP10: K + 10% dedak padi; T5: K + 5% tepung tapioka; T10: K + 10% tepung tapioka. Peubah yang diamati adalah sifat fisik (warna dan bau), pH, kadar air, NH3, VFA, KCBK dan KCBO silase daun ubi kayu.

Hasil pengukuran sifat fisik bahwa M5 dan M10 mempunyai sifat fisik yang baik dicirikan oleh warna hijau kecokelatan dan bau asam. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa penambahan zat aditif ke dalam silase sangat nyata (P<0,01) menurunkan pH dan nyata (P<0,05) menurunkan kadar air silase. Semakin rendah pH dan kadar air maka kualitas silase akan semakin baik. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap VFA, NH3, dan berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap KCBK dan KCBO. Nilai VFA pada perlakuan M5, M10, DP5, DP10 dan T5 lebih tinggi daripada K dan T10. Nilai NH3

Page 3: KAJIAN SILASE DAUN UBI KAYU (Manihot esculenta) …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/63326/D10rna.pdfkajian silase daun ubi kayu (manihot esculenta) dengan berbagai zat

pada perlakuan K, DP5 dan DP10 lebih tinggi daripada M5, M10, T5 dan T10. Nilai KCBK dan KCBO tertinggi terdapat pada T10 yaitu sebesar 64,77% dan 62,87%.

Berdasarkan hasil metode pembobotan (scoring) silase daun ubi kayu dengan penambahan molases (baik dengan penambahan 5% maupun 10%) memiliki kualitas yang lebih baik dibanding yang lain. Namun karena alasan ekonomis penambahan molases cukup 5%.

Kata-kata kunci: daun ubi kayu, in vitro, kecernaan, silase, zat aditif.

ii

Page 4: KAJIAN SILASE DAUN UBI KAYU (Manihot esculenta) …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/63326/D10rna.pdfkajian silase daun ubi kayu (manihot esculenta) dengan berbagai zat

ABSTRACT

The Study of Cassava Leaf Silages (Manihot esculenta) with Additives in In Vitro Digestibility

Amalia, R. N., A. Sudarman, and D. A. Astuti

Utilization of tapioca flour industry waste such as leaves, stalks and stems of cassava for ruminant feed need to be considered more deeply. This research was aimed to measure digestibility of tapioca flour industry waste (leaves, stalks and stems of cassava) in silages with added some additives such as molasses, rice bran and tapioca flour. There were seven treatments in this research, K (mixed leaves, stalks, stems of fresh cassava silages), M5 (K + 5% molasses), M10 (K + 10% molasses), DP5 (K + 5% rice bran), DP10 (K + 10% rice bran), T5 (K + 5% tapioca flour) and T10 (K + 10% tapioca flour). This study used two designs experimental. pH and water used complete randomized design and in vitro parameters used block randomized design then analyzed by analysis of variance (ANOVA). If there were further test noticeable difference then followed by least significant difference test (LSD). The parameters studied were phisical measurements (colour and smell), pH, water, and in vitro parameters such as fermentability (NH3, VFA) and digestibility (dry matter digestibility and organic matter digestibility). Addition of additives (molasses, rice bran and tapioca flour) into cassava leave silages significantly (P<0.05) increased fermentability and (P<0.01) increased digestibility in vitro. According to scoring method, the addition of either 5% or 10% molasses have a better quality than others but due to economic reasons, the addition of just 5% molasses.

Keywords : additive, cassava leaf, degradability, in vitro, silages.

Page 5: KAJIAN SILASE DAUN UBI KAYU (Manihot esculenta) …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/63326/D10rna.pdfkajian silase daun ubi kayu (manihot esculenta) dengan berbagai zat

KAJIAN SILASE DAUN UBI KAYU (Manihot esculenta) DENGAN BERBAGAI ZAT ADITIF TERHADAP KECERNAAN In Vitro

RIZKI NURUL AMALIA

D24061237

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010

Page 6: KAJIAN SILASE DAUN UBI KAYU (Manihot esculenta) …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/63326/D10rna.pdfkajian silase daun ubi kayu (manihot esculenta) dengan berbagai zat

Judul : Kajian Silase Daun Ubi Kayu (Manihot esculenta) dengan Berbagai Zat Aditif terhadap Kecernaan In Vitro

Nama : Rizki Nurul Amalia

NIM : D24061237

Menyetujui,

Pembimbing Utama,

(Dr. Ir. Asep Sudarman, M.Rur.Sc) NIP: 19640424 198903 1 001

Pembimbing Anggota,

(Dr. Ir. Dewi Apri Astuti, MS) NIP: 19611005 198503 2 001

Mengetahui:

Ketua Departemen, Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan

(Dr. Ir. Idat Galih Permana, M.Sc.Agr.) NIP: 19670506 199103 1 001

Tanggal Ujian: 21 Juni 2010 Tanggal Lulus:

Page 7: KAJIAN SILASE DAUN UBI KAYU (Manihot esculenta) …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/63326/D10rna.pdfkajian silase daun ubi kayu (manihot esculenta) dengan berbagai zat

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 9 Juli 1988 di Pemalang, Jawa Tengah.

Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Imam Pujo

Edy dan Ibu Sri Usniyatun.

Penulis mengawali pendidikan dasarnya di Sekolah Dasar Negeri Pintukisi 1

pada tahun 1994 dan diselesaikan pada tahun 2000. Pendidikan lanjutan pertama

dimulai pada tahun 2000 dan diselesaikan pada tahun 2003 di Sekolah Lanjutan

Tingkat Pertama Negeri 1 Sukabumi. Penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah

Menengah Atas Negeri 3 Sukabumi pada tahun 2003 dan diselesaikan pada tahun

2006.

Penulis diterima sebagai mahasiswi Institut Pertanian Bogor melalui jalur

Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2006 dan diterima di Departemen

Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan pada tahun 2007. Selama

menjadi mahasiswa, penulis aktif di Himpunan Mahasiswi Nutrisi dan Makanan

Ternak (HIMASITER) sebagai anggota Departemen Nutrisi dan Industri, periode

2007-2008. Penulis juga aktif sebagai anggota paduan suara Gradziono symphonia

dan dalam Organisasi Mahasiswa Daerah (OMDA) Keluarga Mahasiswa Sukabumi

di IPB. Penulis berkesempatan menjadi penerima beasiswa P2SDM (Peningkatan

dan Pengembangan Sumber Daya Manusia) pada tahun 2006/2007 dan beasiswa

BBM (Bantuan Beasiswa Mahasiswa) tahun 2008/2009. Selain itu, penulis juga

berkesempatan lulus seleksi program kreatifitas mahasiswa bidang kewirausahaan

(PKMK) dengan 2 judul yang didanai yaitu pada tahun 2009 dengan judul Sereal

Beq-T sebagai Alternatif Sarapan Pagi dan Snack Sehat serta Rendah

Kolesterol serta tahun 2010 dengan judul Je-La Jeli Buah Pala sebagai Alternatif

Jamu Penyembuh Penyakit Insomnia, Mual, dan Masuk Angin.

Page 8: KAJIAN SILASE DAUN UBI KAYU (Manihot esculenta) …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/63326/D10rna.pdfkajian silase daun ubi kayu (manihot esculenta) dengan berbagai zat

KATA PENGANTAR

Alhamdulillaahirabbil’aalamiin. Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat

Allah SWT atas segala karunia dan rahmat-Nya sehingga penelitian dan penulisan

skripsi ini dapat diselesaikan. Skripsi ini berjudul Kajian Silase Daun Ubi Kayu

(Manihot esculenta) Dengan Berbagai Zat aditif Terhadap Kecernaan In Vitro.

Daun ubi kayu mempunyai kandungan protein kasar yang tinggi. Selain itu,

daun ubi kayu banyak tersedia di Indonesia. Permasalahan yang membuat daun ubi

kayu sulit dimanfaatkan adalah mudah busuk jika disimpan basah dan mudah hancur

jika disimpan kering. Teknologi ensilase merupakan teknologi fermentasi hijauan

oleh bakteri yang banyak menghasilkan asam laktat sehingga diharapkan mengurangi

bahkan menghilangkan kebusukan. Analisa uji fisik dan in vitro adalah salah satu

metode yang dilakukan untuk menentukan kualitas silase. Oleh karena itu dilakukan

penelitian ini. Skripsi ini ditulis berdasarkan hasil penelitian yang penulis lakukan

mulai bulan September sampai bulan November 2009 bertempat di Laboratorium

Ilmu dan Teknologi Pakan serta di Laboratorium Ilmu Nutrisi Ternak Perah

Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut

Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah ikut

berperan sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan. Penulis berharap semoga

skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Page 9: KAJIAN SILASE DAUN UBI KAYU (Manihot esculenta) …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/63326/D10rna.pdfkajian silase daun ubi kayu (manihot esculenta) dengan berbagai zat

DAFTAR ISI

Halaman

RINGKASAN ........................................................................................ i

ABSTRACT ........................................................................................... iii

LEMBAR PERNYATAAN .................................................................... iv

LEMBAR PENGESAHAN .................................................................... v

RIWAYAT HIDUP ................................................................................ vi

KATA PENGANTAR ............................................................................ vii

DAFTAR ISI .......................................................................................... viii

DAFTAR TABEL .................................................................................. x

DAFTAR GAMBAR .............................................................................. xi

DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................... xii

PENDAHULUAN .................................................................................. 1

Latar Belakang ............................................................................ 1 Tujuan ........................................................................................ 2

TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 3

Ubi Kayu (Manihot esculenta) .................................................... 3 Teknologi Pengawetan Hijauan ................................................... 5

Pengeringan (Hay) ........................................................... 5 Silase ............................................................................... 6

Fermentasi Pakan dalam Rumen ................................................. 13 Rumen ............................................................................. 13 Volatile Fatty Acid (VFA) ................................................ 13 Amonia (NH3) ................................................................. 15 Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik .................. 17

MATERI DAN METODE ...................................................................... 19

Lokasi danWaktu ........................................................................ 19 Percobaan I (Pembuatan Silase) .................................................. 19

Materi .............................................................................. 19 Rancangan Percobaan ...................................................... 19 Prosedur .......................................................................... 20

Pelayuan Silase ......................................................... 20 Pembuatan Silase .................................................... 20 Pengukuran Sifat Fisik Silase .................................. 21 Pengfukuran pH Silase ........................................... 21 Pengukuran Kadar Air ............................................ 21

Percobaan II (Analisa In Vitro) ................................................... 22 Materi .............................................................................. 22 Rancangan Percobaan ...................................................... 22

Page 10: KAJIAN SILASE DAUN UBI KAYU (Manihot esculenta) …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/63326/D10rna.pdfkajian silase daun ubi kayu (manihot esculenta) dengan berbagai zat

Prosedur .......................................................................... 23 Pengambilan Cairan Rumen .................................... 23 Fermentasi In Vitro ................................................. 24 Pengukuran Konsentrasi VFA Total (General Laboratory Prosedures, 1966) ................................... 24 Pengukuran Konsentrasi NH3 (Conway, 1988) ......... 25 Analisis KCBK dan KCBO (Tilley dan Terry, 1966) . 25 Penentuan Kualitas Silase Keseluruhan ................... 26

HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................... 27

Sifat Fisik (Warna dan Bau) Silase Daun Ubi Kayu .................... 27 Nilai pH dan Kadar Air Silase Daun Ubi Kayu ........................... 29 Fermentabilitas dan Kecernaan In Vitro Silase Daun Ubi Kayu ... 32

Konsentrasi Volatile Fatty Acid (VFA) ............................ 33 Konsentrasi NH3 ...................................................................................................... 34 Koefisien Cerna Bahan Kering (KCBK) .......................... 36 Koefisien Cerna Bahan Organik (KCBO) ........................ 37 Kualitas Silase Keseluruhan ............................................. 38

KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................... 40

Kesimpulan ................................................................................. 40 Saran .......................................................................................... 40

UCAPAN TERIMAKASIH .................................................................... 41

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 42

LAMPIRAN ........................................................................................... 46

x

Page 11: KAJIAN SILASE DAUN UBI KAYU (Manihot esculenta) …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/63326/D10rna.pdfkajian silase daun ubi kayu (manihot esculenta) dengan berbagai zat

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Komposisi Zat-Zat Makanan Hasil Samping Tanaman Ubi Kayu Berdasarkan Bahan Kering .......................................................... 4

2. Karakteristik Produk Silase dengan Kualitas yang Berbeda ......... 8

3. Sifat Fisik Silase Daun Ubi Kayu dengan Berbagai Zat Aditif ...... 27

4. Rataan pH Silase Daun Ubi Kayu dengan Berbagai Zat Aditif .... 30

5. Rataan Kadar Air Silase Daun Ubi Kayu dengan Berbagai Zat Aditif .......................................................................................... 31

6. Rataan Konsentrasi VFA Total pada Silase Daun Ubi Kayu dengan Berbagai Zat Aditif ......................................................... 33

7. Rataan Konsentrasi Amonia Silase Daun Ubi Kayu dengan Berbagai Zat Aditif ..................................................................... 35

8. Rataan Koefisien Cerna Bahan Kering (KCBK) dengan Berbagai Zat Aditif ..................................................................... 37

9. Rataan Koefisien Cerna Bahan Organik (KCBO) dengan Berbagai Zat Aditif ..................................................................... 38

10. Hasil Perhitungan dengan Metode Pembobotan (Scoring) ............. 39

Page 12: KAJIAN SILASE DAUN UBI KAYU (Manihot esculenta) …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/63326/D10rna.pdfkajian silase daun ubi kayu (manihot esculenta) dengan berbagai zat

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Tanaman Ubi Kayu (Manihot esculenta) ..................................... 3

2. Diagram Alir Pembuatan Tepung Tapioka .................................. 12

3. Proses Metabolisme Karbohidrat di Dalam Rumen Ternak Ruminansia (McDonald et al., 2002) ........................................... 14

4. Proses Metabolisme Protein di Dalam Rumen Ternak Ruminansia (McDonald et al., 2002). ............................................ 16

5. Sifat fisik silase daun ubi kayu dengan Berbagai Zat Aditif ......... 27

6. Perbandingan Nilai Rataan pH (A) dan Kadar Air (B) Silase Daun Ubi Kayu dengan dan Tanpa Penambahan Zat Aditif .......... 30

7. Perbandingan Nilai Rataan VFA (A) dan NH3 (B) Silase Daun Ubi Kayu dengan dan Tanpa Penambahan Zat Aditif .................. 32

8. Perbandingan Nilai Rataan KCBK (A) dan KCBO (B) Silase Daun Ubi Kayu dengan dan Tanpa Penambahan Zat Aditif ......... 32

Page 13: KAJIAN SILASE DAUN UBI KAYU (Manihot esculenta) …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/63326/D10rna.pdfkajian silase daun ubi kayu (manihot esculenta) dengan berbagai zat

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Produksi Tanaman Ubi Kayu (Cassava) di Indonesia ............... 47

2. Hasil Sidik Ragam Nilai pH Silase Daun Ubi Kayu ................... 48

3. Hasil Sidik Ragam Kadar Air Silase Daun Ubi Kayu ................ 48

4. Hasil Sidik Ragam Konsentrasi NH3 Silase Daun Ubi Kayu ...... 48

5. Hasil Sidik Ragam Konsentrasi VFA Silase Daun Ubi Kayu ..... 49

6. Hasil Sidik Ragam Koefisien Cerna Bahan Kering (KCBK) Silase Daun Ubi Kayu ............................................................... 49

7. Hasil Sidik Ragam Koefisien Cerna Bahan Organik (KCBO) Silase Daun Ubi Kayu ............................................................... 49

8. Hasil Uji Lanjut Beda Nyata Terkecil (BNT) Nilai pH .............. 50

9. Hasil Uji Lanjut Beda Nyata Terkecil (BNT) Kadar Air ............. 51

10. Hasil Uji Lanjut Beda Nyata Terkecil (BNT) Konsentrasi NH3 .. 52

11. Hasil Uji Lanjut Beda Nyata Terkecil (BNT) Konsentrasi VFA . 53

12. Hasil Uji Lanjut Beda Nyata Terkecil Koefisien Cerna Bahan Kering ........................................................................................ 54

13. Hasil Uji Lanjut Beda Nyata Terkecil Koefisien Cerna Bahan Organik ...................................................................................... 55

Page 14: KAJIAN SILASE DAUN UBI KAYU (Manihot esculenta) …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/63326/D10rna.pdfkajian silase daun ubi kayu (manihot esculenta) dengan berbagai zat

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Hasil samping tanaman ubi kayu (Manihot esculenta) merupakan sumber

bahan baku pakan lokal yang cukup tersedia sepanjang tahun terutama sebagai

sumber hijauan. Indonesia termasuk sebagai negara penghasil ubi kayu yang cukup

besar. Produksi ubi kayu di Indonesia pada tahun 2008 sebesar 21.756.991 ton dan

pada tahun 2009 Indonesia diperkirakan memproduksi ubi kayu sebesar 22.028.502

ton (Badan Pusat Statistik, 2009). Menurut Hudhia (2006) tanaman ubi kayu muda (4

bulan) memiliki persentase masing-masing bagian tops adalah 42% batang dan

cabang, 36% daun dan 22% tangkai daun, sedangkan untuk tanaman dewasa (12

bulan) persentase tersebut berturut-turut adalah 81%, 7%, dan 12%. Bahan baku

yang digunakan untuk industri tepung tapioka adalah ubi kayu varietas pahit

(Manihot esculenta). Kalangan industri tepung tapioka hingga saat ini belum banyak

melirik manfaat daun ubi kayu. Padahal daun ubi kayu mengandung protein yang

cukup tinggi yaitu sekitar 24,1%, selain itu daun ubi kayu mengandung serat kasar

sebesar 22,1% (Sutardi, 1981). Serat kasar yang tinggi pada daun ubi kayu

membatasi penggunaannya untuk pakan unggas, namun hal demikian tidak menjadi

kendala bagi pakan ternak ruminansia. Kebutuhan hijauan makanan ternak dapat

disuplai melalui teknologi guna menambah umur simpan daun ubi kayu.

Teknologi pengeringan (hay) dan silase merupakan alternatif cara

pengawetan hijauan yang lazim diterapkan, namun pembuatan hay ini sangat

bergantung pada cuaca dan kurang tahan simpan. Sebaliknya silase lebih tahan

simpan dan pembuatannya dapat dilakukan pada setiap saat tanpa dipengaruhi oleh

musim. Selain itu, daun ubi kayu sebagai hijauan makanan ternak mudah sekali

busuk jika ditumpuk dalam kondisi basah (segar), dan jika dikeringkan daun menjadi

remah dan mudah hancur sehingga banyak biomasa daun yang hilang terutama pada

saat penjemuran, pengangkutan dan penyimpanan sehingga teknologi yang tepat

untuk pengawetan daun ubi kayu adalah dengan pembuatan silase.

Pembuatan silase sudah dikenal dan berkembang pesat di negara yang

beriklim subtropis. Prinsip pembuatan silase adalah fermentasi hijauan oleh bakteri

yang banyak menghasilkan asam laktat sehingga diharapkan menekan pertumbuhan

bakteri pembusuk dan silase menjadi tahan lama. Bakteri asam laktat secara alami

Page 15: KAJIAN SILASE DAUN UBI KAYU (Manihot esculenta) …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/63326/D10rna.pdfkajian silase daun ubi kayu (manihot esculenta) dengan berbagai zat

ada pada tanaman sehingga dapat secara otomatis berperan pada saat fermentasi,

tetapi untuk mengoptimumkan fase ensilase dianjurkan untuk melakukan

penambahan zat aditif untuk menjamin berlangsungnya fermentasi asam laktat yang

sempurna. Zat aditif tersebut digunakan sebagai substrat bagi bakteri asam laktat

untuk memproduksi asam laktat. Zat aditif yang digunakan antara lain molases,

dedak padi, dan tepung tapioka. Penggunaan molases, dedak padi, dan tepung

tapioka banyak terdapat di Indonesia sehingga mudah dalam pencarian ketiga aditif

tersebut dan dapat dengan mudah diaplikasikan kepada peternak.

Penelitian mengenai uji kualitas sifat fisik dan kecernaan in vitro silase daun

ubi kayu perlu dilakukan untuk menentukan kualitas terbaik dari silase daun ubi kayu

dengan penambahan berbagai zat aditif yang berbeda dan dengan level yang berbeda.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan kualitas terbaik dari silase daun

ubi kayu dengan penambahan zat aditif berupa molases, dedak padi dan tepung

tapioka dengan level yang berbeda.

Page 16: KAJIAN SILASE DAUN UBI KAYU (Manihot esculenta) …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/63326/D10rna.pdfkajian silase daun ubi kayu (manihot esculenta) dengan berbagai zat

TINJAUAN PUSTAKA

Ubi Kayu (Manihot esculenta)

Tanaman Manihot esculenta banyak dijumpai dengan nama lokalnya antara

lain ubi kayu, kaspe, budin, sampeu ataupun singkong (Gambar 1). Tanaman ubi

kayu dapat tumbuh dengan mudah hampir di semua jenis tanah dan bersifat tahan

terhadap serangan hama maupun penyakit. Perbandingan jumlah tops (daun, batang

dan cabang) dengan umbi yang dihasilkan untuk varietas lokal adalah 1 : 1

sedangkan pada varietas unggul adalah 3 : 2 (Anggraeny, 2006).

Gambar 1. Tanaman Ubi Kayu (Manihot esculenta)

Tanaman ubi kayu dapat tumbuh dengan baik hampir di semua jenis tanah

sehingga banyak dibudidayakan di seluruh Indonesia. Ubi kayu dapat ditanam

sepanjang tahun, tetapi hasil terbaik diperoleh apabila ditanam pada akhir musim

penghujan atau pada saat memasuki musim penghujan (Hudhia, 2006). Indonesia

termasuk sebagai negara penghasil ubi kayu terbesar ketiga (13.300.000 ton) setelah

Brazil (25.554.000 ton), Thailand (13.500.000 ton) serta disusul negara-negara

seperti Nigeria (11.000.000 ton), India (6.500.000 ton) dari total produksi dunia

sebesar 122.134.000 ton per tahun (Suriawiria, 2008). Potensi bahan pakan limbah

ubi kayu dapat dinilai dari produksi tanaman setiap tahun sebagaimana diperlihatkan

pada Lampiran 1.

Batang ubi kayu mempunyai kulit serta lapisan kayu yang berbentuk bulat,

berongga dan terisi oleh lapisan gabus. Batang ubi kayu dapat tumbuh mencapai

diameter ≤ 3,5 cm. Batang ini tidak begitu keras namun tinggi kandungan seratnya

(Anggraeny, 2006). Komposisi zat makanan hasil samping tanaman ubi kayu dapat

dilihat pada Tabel 1.

Page 17: KAJIAN SILASE DAUN UBI KAYU (Manihot esculenta) …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/63326/D10rna.pdfkajian silase daun ubi kayu (manihot esculenta) dengan berbagai zat

Tabel 1. Komposisi Zat-Zat Makanan Hasil Samping Tanaman Ubi Kayu Berdasarkan Bahan Kering

Bahan Abu PK LK SK BETN TDN Ca P

--------------------------------------------%--------------------------------------

Daund 16,06 24,98 29,37 3,48 26,11

Batangb 5,95 39,36 53,52

Umbic 1,34 0,84 0,27 2,36

Kulita 3,93 6,56 1,30 6,42 81,80 73,10 0,33 0,21

Onggoka 1,30 1,80 0,40 14,90 81,60 78,30 0,20 0,05 Sumber : a. Sutardi (1981) b. Anggraeny et al. (2006) c. Bradbury (1988) d. Santoso dan Aryani (2008)

Ubi kayu merupakan tanaman dengan batang kecil dan berdaun seperti jari

manusia terutama untuk diambil umbinya, sedangkan hasil samping dari budidaya ini

adalah batang, cabang, tangkai, dan daun yang lebih dikenal dengan istilah tops

(Hudhia, 2006). Pada tanaman ubi kayu muda (4 bulan) persentase masing-masing

bagian tops adalah 42% batang dan cabang, 36% daun dan 22% tangkai beserta

daunnya, sedangkan untuk tanaman dewasa (12 bulan) persentase tersebut berturut-

turut adalah 81%, 7%, dan 12% (Hudhia, 2006).

Kelebihan tanaman ubi kayu dibandingkan dengan tanaman sumber

karbohidrat lainnya yaitu (1) dapat tumbuh di lahan kering dan kurang subur, (2)

daya tahan terhadap penyakit relatif tinggi, (3) masa panennya tidak diburu waktu

sehingga bisa dijadikan lumbung hidup, yakni dibiarkan di tempatnya untuk

beberapa minggu dan (4) daun serta umbinya dapat diolah sebagai makanan ternak

(Lingga, 1989).

Faktor pembatas dalam penggunaan ubi kayu sebagai bahan pakan adalah

adanya senyawa glukosida sianogenik. Senyawa tersebut apabila dihidrolisa oleh

asam atau enzim linamarase akan menghasilkan asam sianida (HCN) yang bersifat

racun. Kadar HCN daun ketela pohon selalu lebih tinggi dibandingkan umbinya.

Kandungan HCN antara 30-150 mg/kg umbi segar. Konsentrasi HCN pada kulit

umbi 5-10 kali lebih besar dari daging umbinya dan bila dikeringkan dengan

mengupas kulitnya sangat membantu mengurangi kadar HCN (Coursey dan

Page 18: KAJIAN SILASE DAUN UBI KAYU (Manihot esculenta) …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/63326/D10rna.pdfkajian silase daun ubi kayu (manihot esculenta) dengan berbagai zat

Halliday, 1974). Gomez (1991) menyatakan bahwa batas maksimal kandungan HCN

yang aman bagi ternak adalah 100 mg/kg BK pakan.

Asam sianida (HCN) merupakan asam yang sangat lemah sedangkan

garamnya terhidrolisis dengan cepat dalam air (CN- + H2O OH + HCN). Sianida

sulit bereaksi dengan hemoglobin (Parakkasi, 1983). Walaupun sianida dapat

mengikat dan menginaktifkan beberapa enzim, tetapi yang mengakibatkan timbulnya

kematian adalah karena sianida mengikat bagian aktif dari enzim sitokrom oksidase

sehingga akan mengakibatkan terhentinya metabolisme sel secara aerobik. Sebagai

akibatnya hanya dalam waktu beberapa menit akan mengganggu transmisi neuronal.

Sianida dapat dibuang melalui beberapa proses tertentu sebelum sianida berhasil

masuk ke dalam sel (Utama, 2006).

Metoda yang efektif untuk menghilangkan seluruh atau sebagian HCN adalah

dengan pemberian panas. Perlakuan suhu antara 40-80oC efektif untuk

menghilangkan HCN. Titik didih HCN cukup rendah (26oC) sehingga mudah

menguap bila dimasak dan larut dalam air. Dehidrasi alami dengan pemanasan di

bawah sinar matahari juga merupakan cara yang aman untuk menghilangkan asam

sianogenik tanpa akan mengaktifkan enzim linamarase (Utama, 2006). Loc et al.

(2000) menyatakan bahwa pembuatan silase merupakan cara yang efektif untuk

menurunkan kadar HCN pada daun ubi kayu, yaitu dapat menurunkan kadar HCN dari

302 mg/kg BK silase daun ubi kayu menjadi 189 mg/kg BK silase daun ubi kayu.

Teknologi Pengawetan Hijauan

Pengeringan (Hay)

Pengeringan (Hay) adalah proses pemindahan panas dan uap air secara

simultan, yang memerlukan energi panas untuk menguapkan kandungan air yang

dipindahkan dari permukaan bahan, yang dikeringkan oleh media pengering yang

biasanya berupa panas (Naynienay, 2007). Pengeringan (Hay) juga merupakan

hijauan makanan ternak yang sengaja dipotong dan dikeringkan agar bisa diberikan

kepada ternak pada kondisi lain, misalnya digunakan pada musim kemarau. Prinsip

pembuatan hay adalah menurunkan kadar air menjadi 15% sampai 20% dalam waktu

yang singkat. Pembuatan hay dapat dilakukan dengan dua macam pengeringan yaitu

Page 19: KAJIAN SILASE DAUN UBI KAYU (Manihot esculenta) …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/63326/D10rna.pdfkajian silase daun ubi kayu (manihot esculenta) dengan berbagai zat

pengeringan dengan panas sinar matahari dan pengeringan dengan panas buatan

(Syamsu, 2006).

Silase

Silase adalah pakan produk fermentasi hijauan, hasil sampingan pertanian

dan agroindustri dengan kadar air tinggi yang diawetkan dengan menggunakan asam,

baik yang sengaja ditambahkan maupun secara alami dihasilkan bahan selama

penyimpanan dalam kondisi anaerob (Moran, 2005; Johnson dan Harrison 2001;

McDonald et al., 1991; Woolford 1984). Tujuan utama pembuatan silase adalah

untuk mengawetkan dan mengurangi kehilangan zat makanan suatu hijaun untuk

dimanfaatkan pada masa mendatang (Sapienza dan Bolsen 1993; Schroeder 2004;

Jones et al., 2004). Stimulan fermentasi bekerja membantu pertumbuhan bakteri

asam laktat sehingga kondisi asam segera tercapai, contohnya inokulan bakteri yaitu

bakteri asam laktat yang berfungsi untuk meningkatkan populasi bakteri asam laktat

dalam bahan pakan (McDonald et al., 1991).

Silase memiliki beberapa kelebihan antara lain ransum lebih awet, memiliki

kandungan bakteri asam laktat yang berperan sebagai probiotik dan memiliki

kandungan asam organik yang berperan sebagai growth promotor dan penghambat

penyakit. Silase yang baik diperoleh dengan menekan berbagai aktivitas enzim yang

berada dalam bahan baku yang tidak dikehendaki namun dapat mendorong

berkembangnya bakteri penghasil asam laktat (Sapienza dan Bolsen, 1993). Hasil

penelitian Lendrawati (2008) bahwa silase ransum komplit berbasis hasil samping

ubi kayu mempunyai warna campuran hijau, kuning dan cokelat dan mempunyai bau

khas fermentasi asam laktat (asam).

Pembuatan silase secara garis besar dibagi menjadi empat tahap (Sapienza

dan Bolsen, 1993). Pertama adalah tahap aerob, tahap ini berlangsung dua proses

yaitu proses respirasi dan proses proteolisis, akibat adanya aktivitas enzim yang

berada dalam tanaman tersebut sehingga menghasilkan pH sekitar 6-6,5. Proses

respirasi secara lengkap menguraikan gula-gula tanaman menjadi karbondioksida

dan air, dengan menggunakan oksigen dan menghasilkan panas. Aktivitas sel

tanaman tidak segera terhenti setelah dipanen, sel meneruskan respirasi selama masih

cukup tersedia karbohidrat dan oksigen. Oksigen dibutuhkan untuk proses respirasi

Page 20: KAJIAN SILASE DAUN UBI KAYU (Manihot esculenta) …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/63326/D10rna.pdfkajian silase daun ubi kayu (manihot esculenta) dengan berbagai zat

yang menghasilkan energi untuk fungsi sel. Persamaan reaksi respirasi adalah

sebagai berikut :

Gula + oksigen Karbondioksida + air + panas

Panas yang dihasilkan selama proses respirasi tidak dapat segera hilang,

sehingga temperatur silase dapat meningkat. Peningkatan temperatur dapat

mempengaruhi kecepatan reaksi dan merusak enzim (McDonald et al., 1991). Enzim

merupakan protein yang akan mengalami denaturasi pada temperatur tinggi.

Peningkatan tempetarur juga dapat mempengaruhi struktur silase misalnya

perubahan warna silase menjadi gelap (Reksohadiprodjo, 1988). Peningkatan

temperatur silase dapat dibatasi dengan pemanenan tanaman dengan kadar air yang

tepat dan dengan meningkatkan kepadatan silase. Pemadatan silase terkait dengan

ketersediaan oksigen di dalam silo, semakin padat silase maka oksigen semakin

rendah sehingga proses respirasi semakin pendek.

Kedua adalah tahap fermentasi yang berlangsung selama 1 minggu sampai 1

bulan ketika kondisi anerob tercapai pada bahan yang diawetkan beberapa proses

mulai berlangsung, isi sel makanan mulai dirombak. Glukosa dapat difermentasikan

menghasilkan asam laktat dan etanol. Produksi asam laktat oleh BAL menurunkan

pH (menurunkan keasaman) silase dan menjadi kunci stabilitas dan pengawetan

silase. Disamping itu proses fermentasi juga dapat meningkatkan temperatur silase.

Kenaikan temperatur tidak akan terjadi jika kondisi silo tertutup rapat dan masih

anaerob. Umumnya temperatur dalam pembuatan silase tidak boleh lebih dari 50°C,

karena pertumbuhan optimum untuk bakteri asam laktat sekitar 35°C (Susetyo et al,

1969). Temperatur yang baik untuk pembuatan silase berkisar 25-50°C, jika dibawah

25°C akan menyebabkan tumbuhnya bakteri pembusuk (Arnon, 1972). Persamaan

reaksi fermentasi glukosa menjadi asam laktat adalah sebagai berikut :

C6H12O6 2CH3CHOHCOOH + Panas

Ketiga adalah tahap stabil, setelah masa aktif pertumbuhan bakteri asam

laktat berakhir, maka ensilase memasuki tahap stabil, ditandai dengan stabilnya pH

silase dan hanya sedikit sekali aktivitas mikroba. Keempat adalah tahap pengeluaran

silase, oksigen secara bebas akan mengkontaminasi permukaan silase terbuka.

Fermentasi

Page 21: KAJIAN SILASE DAUN UBI KAYU (Manihot esculenta) …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/63326/D10rna.pdfkajian silase daun ubi kayu (manihot esculenta) dengan berbagai zat

Kualitas Silase. Macaulay (2004) menyatakan bahwa kualitas silase dipengaruhi

oleh beberapa faktor, yaitu warna, bau, tekstur, pH, kandungan asam laktat,

kandungan asam butirat dan kandungan amonia (Tabel 2).

Tabel 2. Karakteristik Produk Silase dengan Kualitas yang Berbeda

Karakteristik Kualitas silase

Baik Sedang Jelek

Warna Hijau terang

sampai kuning

atau hijau

kecokelatan

tergantung materi

silase

Hijau kekuningan

sampai hijau

kecokelatan

Hijau tua, hijau

kebiruan, abu-

abu, atau

cokelat

Bau Asam Agak tengik

dan bau amonia

Sangat tengik,

bau amonia dan

busuk

Tekstur Kokoh dan lebih

lembut dan sulit

dipisahkan dari

serat

Bahan lebih

lembut dan mudah

dipisahkan dari serat

Berlendir,

jaringan lunak,

mudah hancur,

berjamur atau

kering

pH

Kadar air <65%

<4,8

<5,2

>5,2

Kadar air >65% <4,2 <4,5 >4,8

Asam laktat 3-14% BK Bervariasi Bervariasi

Asam butirat <0,2% BK 0,2-0,5% BK >0,5% BK

N Amonia

(% total N)

<10 10-16 >16

ADIN (% total N) <15 15-30 >30 Sumber : Macaulay (2004).

Perubahan warna yang terjadi pada hijauan yang mengalami ensilase menurut

Reksohadiprodjo (1988) disebabkan oleh perubahan-perubahan yang terjadi dalam

Page 22: KAJIAN SILASE DAUN UBI KAYU (Manihot esculenta) …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/63326/D10rna.pdfkajian silase daun ubi kayu (manihot esculenta) dengan berbagai zat

hijauan karena proses respirasi aerobik yang berlangsung selama persediaan oksigen

masih ada, sampai gula tanaman habis. Gula akan teroksidasi menjadi CO2 dan air,

dan terjadi panas hingga temperatur naik. Bila temperatur tidak terkendali, silase

akan berwarna cokelat tua sampai hitam. Hal ini menyebabkan turunnya nilai

makanan, karena banyak sumber karbohidrat yang hilang dan kecernaan protein

turun, yaitu pada temperatur 55oC. Selanjutnya dijelaskan bahwa, warna cokelat pada

silase disebabkan karena adanya pigmen phatophytin suatu senyawa chlorophil yang

tidak ada magnesiumnya. Pada silase yang temperaturnya naik tetapi tidak terlalu

tinggi, kadar carotene tidak berubah seperti bahan asalnya. Carotene hilang pada

temperatur yang terlalu tinggi. Menurut Ensminger dan Olentine (1978), warna

cokelat tembakau, cokelat kehitaman, karamel (gula bakar), atau gosong

menunjukkan silase kelebihan panas. Saun dan Heinrichs (2008) menyatakan bahwa

warna silase mengindikasikan permasalahan yang mungkin terjadi selama

fermentasi. Silase yang terlalu banyak mengandung asam asetat akan berwarna

kekuningan, sedangkan apabila kelebihan asam butirat akan berlendir dan berwarna

hijau kebiruan dan silase yang baik menunjukkan warna hampir sama dengan warna

asalnya.

Susetyo et al. (1969) menyatakan bahwa dalam ensilase apabila oksigen telah

habis dipakai, pernapasan akan berhenti dan suasana menjadi anaerob. Dalam

keadaan demikian jamur tidak dapat tumbuh dan hanya bakteri saja yang masih aktif

terutama bakteri pembentuk asam. Dengan demikian, bau asam dapat dijadikan

sebagai indikator untuk melihat keberhasilan ensilase, sebab untuk keberhasilan

ensilase harus dalam suasana asam.

Derajat Keasaman. Derajat keasaman atau pH yang sesuai sangat diperlukan untuk

mencegah adanya organisme yang tidak dikehendaki dalam proses pembuatan silase

(Ensminger, 1990). Terbentuknya pH sebesar 3,5-4 merupakan kondisi kunci bagi

pengawetan silase, karena kondisi tersebut akan mencegah pertumbuhan bakteri

pembusuk. Organisme pembentuk asam butirat tidak mampu tumbuh dibawah pH

4,2. Menurut Ensminger (1990) karakteristik silase yang baik antara lain pH kurang

dari 4,5 serta berbau asam laktat atau campuran asam laktat dan asam asetat, warna

tidak berubah dari warna asalnya dan kehilangan nutrisi dapat ditekan.

Page 23: KAJIAN SILASE DAUN UBI KAYU (Manihot esculenta) …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/63326/D10rna.pdfkajian silase daun ubi kayu (manihot esculenta) dengan berbagai zat

Moore (1962) menyatakan bahwa pH yang baik untuk silase yang

mengandung kadar air yang tinggi berkisar antara 4,5-4,8. Bila silase dibuat dengan

kadar air yang rendah maka pH yang baik adalah 4,5. Moran (2005) menyatakan

bahwa semakin rendah pH maka aktifitas biologi semakin rendah, sehingga umur

simpan silase menjadi lebih lama. Nilai pH silase yang tinggi karena dalam

pembuatan silase tidak menggunakan bahan pengawet. Bahan pengawet biasanya

ditambahkan untuk mencukupi karbohidrat mudah larut yang berguna dalam

fermentasi, terutama untuk menurunkan pH silase (Matsuhima, 1979). Hasil

penelitian Loc et al. (2000) bahwa pH silase daun ubi kayu dengan penambahan

molases mempunyai pH yang lebih rendah dibanding dengan pH silase daun ubi

kayu dengan penambahan dedak padi atau tepung tapioka. Rendahnya pH selama

penelitian ini didukung oleh cukupnya kandungan karbohidrat yang mampu

menstimulasi pertumbuhan bakteri asam laktat untuk memproduksi asam laktat.

Semakin banyak asam laktat yang dihasilkan maka pH akan semakin rendah (Kung

dan Shaver, 2001).

Kadar Air. Moran (2005) bahwa kadar air silase yang baik berkisar antara 50-75 %.

Kadar air diatas 75% akan mengurangi palatabilitas dan konsumsi pakan. Penurunan

kadar air juga akan mengurangi perembesan cairan dari silo, menurunkan tekanan

pada dinding silo dan menurunkan aktivitas asam yang merusak tubuh silo

(Ensminger, 1990).

Menurut Winarno (1997) kadar air sangat berpengaruh terhadap mutu bahan,

hal ini merupakan salah satu penyebab mengapa dalam pengolahan bahan, air

dikurangi dengan cara pengeringan. Secara alami, komoditas pertanian baik sebelum

maupun sesudah diolah bersifat higroskopis yaitu dapat menyerap air udara

sekeliling serta dapat melepaskan sebagian air yang terkandung ke udara. Penelitian

Ly et al. (2000) silase daun ubi kayu dengan penambahan tepung tapioka mempunyai

kadar air yang paling rendah dibandingkan dengan silase daun ubi kayu dengan

penambahan molases atau dedak padi.

Zat Aditif Silase. Penambahan zat aditif pada silase bertujuan untuk mendapatkan

fermentasi yang berkualitas, mengurangi fermentasi yang tidak diinginkan dan

meningkatkan nilai nutrisi silase sehingga dapat meningkatkan performa ternak

Page 24: KAJIAN SILASE DAUN UBI KAYU (Manihot esculenta) …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/63326/D10rna.pdfkajian silase daun ubi kayu (manihot esculenta) dengan berbagai zat

(Jones et al., 2004 dan Schroeder, 2004). Dalam pembuatan silase, tujuan dari

penambahan zat aditif adalah untuk meminimalkan kegagalan dalam ensilase dan

juga akan memperbaiki nilai nutrisi dari silase yang dihasilkan. Beberapa kriteria

dari zat aditif tersebut adalah dapat mengurangi kehilangan bahan kering,

memperbaiki kualitas silase, meningkatkan nilai nutrisi silase dan menekan

fermentasi sekunder yang dapat mengganggu ensilase (Syamsu, 2006). Woolford

(1984) dan McDonald et al. (1991) mengemukakan bahwa bahan yang kaya

karbohidrat seperti molases, gula, pati yang berasal dari tanaman biji-bijian, whey,

ampas sitrus dan kentang merupakan sejumlah bahan yang berfungsi sebagai

stimulan pada proses fermentasi dan merangsang perkembangan bakteri asam laktat

(BAL). Zat aditif yang dapat digunakan dalam silase, anatara lain:

1. Molases

Molases adalah salah satu bahan baku pakan hasil samping agroindustri tebu

yang mengandung energi cukup tinggi. Molases merupakan bahan baku pakan yang

cukup potensial untuk diberikan kepada ternak. Hal ini sesuai dengan pernyataan

Perry et al. (2003) bahwa molases biasa diberikan kepada sejumlah ternak seperti

sapi, domba dan kuda dengan maksud memperbaiki aktivitas mikroba rumen,

memperbaiki palatabilitas ransum, mengurangi kadar debu yang terdapat dalam

pakan, dan sebagai pengikat pelet. Handerson (1993) dan Jones et al. (2004)

melaporkan bahwa molases merupakan sumber karbohidrat mudah larut yang paling

banyak digunakan pada pembuatan silase dan lebih efektif pada hijauan dengan

kandungan karbohidrat mudah difermentasi yang rendah.

Molases biasa digunakan tidak melebihi 10-15% dalam ransum karena

penggunaan di atas persentase tersebut dapat meningkatkan harga ransum,

mengurangi aktivitas mikroba dan ransum menjadi sulit ditangani karena menjadi

lembek (Perry et al., 2003). Menurut Sutardi (1981), komposisi molases dalam 100%

BK mengandung protein kasar 3,9%, serat kasar 0,4%, lemak kasar 0,3%, BETN

84,4%, dan abu 11%.

2. Dedak padi

Dedak padi merupakan hasil ikutan penggilingan padi yang berasal dari

lapisan luar beras pecah kulit dalam proses penyusuhan beras. Proses pengolahan

gabah menjadi beras akan menghasilkan dedak padi kira-kira sebanyak 10%,

Page 25: KAJIAN SILASE DAUN UBI KAYU (Manihot esculenta) …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/63326/D10rna.pdfkajian silase daun ubi kayu (manihot esculenta) dengan berbagai zat

pecahan beras atau menir sebanyak 17%, tepung beras 3%, sekam 20%, dan berasnya

sendiri 50%. Persentase tersebut sangat bervariasi tergantung pada varietas dan umur

padi, derajat penggilingan serta penyosohannya (Grist, 1972).

Menurut Sutardi (1981), komposisi dedak padi dalam 100% BK mengandung

protein kasar 13%, serat kasar 13,9%, lemak kasar 8,64%, BETN 50,9%, dan abu

13,6%. Menurut McDonald et al. (1991) dedak padi sebagai zat aditif silase dalam

ensilase sering kali diberikan dalam jumlah 5% dari berat hijauan.

Susetyo (1980) menyatakan bahwa penggunaan bahan pengawet seperti

dedak padi, menir, dan ampas sagu dalam pembuatan silase tidak menunjukan

perbedaan koefisien cerna atau kemunduran gizi yang berarti dibandingkan tetes.

3. Tepung tapioka

Tepung tapioka adalah pati yang banyak dihasilkan di Brazil, Thailand,

Malaysia, Indonesia, dan Nigeria. Tapioka berasal dari umbi singkong (Manihot

esculenta) yang diambil patinya melalui proses penggilingan umbi singkong,

dekantasi, pemisahan ampas dengan konsentrat, pengendapan, dan pengeringan

(Dziedzic dan Kearsley, 1995). Panditharatne et al. (1986) melaporkan bahwa

penambahan tepung tapioka pada silase rumput gajah dapat meningkatkan kualitas

fermentasi.

Gambar 2. Diagram Alir Pembuatan Tepung Tapioka (Radiyati dan Agusto, 1990)

Komponen utama dari tepung tapioka adalah pati, yaitu 73,3-84,9%, yang

terdiri dari amilosa sebanyak 17% dan amilopektin 83%. Selain itu, tapioka juga

mengandung lemak sebesar 0,08-1,54%, protein 0,03-0,60%, abu 0,02-0,33%, dan

Ubi Kayu

Dikupas Dicuci Diparut

Diperas

Ditambah Air

Disaring Diendapkan (1 malam) Ditiriskan

Dikeringkan Ditumbuk agar Tidak Ada yang

Menggumpal Diayak Tepung

Tapioka

Page 26: KAJIAN SILASE DAUN UBI KAYU (Manihot esculenta) …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/63326/D10rna.pdfkajian silase daun ubi kayu (manihot esculenta) dengan berbagai zat

sedikit fosfor 0,8-4,0% x 102 (Rickard et al., 1991). Menurut Oboh dan Elusiyan

(2007) bahwa tepung tapioka dalam 100% BK mengandung abu 0,9%, protein kasar

4,7%, serat kasar 2,7%, lemak kasar 1,1%, dan karbohidrat 90,6%. Menurut Radiyati

dan Agusto (1990) diagram alir tepung tapioka dapat dilihat pada Gambar 2.

Fermentasi Pakan di Dalam Rumen

Rumen

Ternak ruminansia mempunyai lambung sejati (abomasum) dan lambung

muka yang disebut seperti rumen, retikulum dan omasum (Arora, 1989) yang

merupakan organ pencernaan fermentatif sebelum usus halus. Adanya organ tersebut

memberi keuntungan yaitu dapat mencerna bahan makanan yang berserat kasar

tinggi, dapat memenuhi kebutuhan asam amino yang berasal dari mikroba, mampu

mengubah sumber N termasuk NPN menjadi protein bermutu tinggi, dapat

menyediakan produk fermentasi rumen dalam bentuk yang lebih mudah diserap usus

halus dan dapat memanfaatkan ransum bermutu relatif rendah untuk tujuan yang

lebih produktif. Adapun kelemahan dengan adanya organ pencernaan tersebut adalah

pemborosan energi sebagai metan (CH4) sebesar 6-8% dan selama proses fermentasi

adalah sebesar 4-6% dan bahan makanan sumber protein atau karbohidrat yang

mudah dicerna juga didegradasi mikroba (Arora, 1989).

Proses pencernaan dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaiu pencernaan mekanik

yang terjadi di dalam mulut, pencernaan fermentatif dalam rumen, dan pencernaan

hidrolitik di organ pasca rumen (Sutardi, 1981). Proses fermentasi pakan di dalam

rumen menghasilkan VFA dan NH3, serta gas-gas (CO2, H2, dan CH4) yang

dikeluarkan dari rumen melalui proses eruktasi (Arora, 1989).

Volatile Fatty Acid (VFA)

Karbohidrat pakan di dalam rumen mengalami dua tahap pencernaan oleh

enzim-enzim yang dihasilkan oleh mikroba rumen. Tahap pertama, karbohidrat

mengalami hidrolisis menjadi monosakarida, seperti glukosa, fruktosa, dan pentosa.

Selanjutnya, gula sederhana tersebut dipecah menjadi VFA (Volatile Fatty Acid)

berupa asam asetat, asam propionat, asam butirat, CO2, dan CH4. VFA yang

terbentuk akan diserap melalui dinding rumen dan gas CH4 serta CO2 akan hilang

melalui eruktasi (McDonald et al., 2002).

Page 27: KAJIAN SILASE DAUN UBI KAYU (Manihot esculenta) …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/63326/D10rna.pdfkajian silase daun ubi kayu (manihot esculenta) dengan berbagai zat

Mikroba rumen akan mencerna karbohidrat, sebagian protein, dan lemak

(Hungate, 1966) menjadi Volatile Fatty Acid (VFA), amonia (NH3), gas CO2, dan

metan. VFA merupakan produk akhir fermentasi karbohidrat dan merupakan sumber

energi utama ruminansia asal rumen. Konsentrasi VFA tergantung pada jenis ransum

yang dikonsumsi (McDonald et al., 2002). Menurut Sutardi (1980) bahwa kisaran

VFA yang optimal bagi pertumbuhan mikroba rumen adalah 80-160 mM.

Gambar 3. Proses Metabolisme Karbohidrat Didalam Rumen Ternak Ruminansia (McDonald et al., 2002)

Selulosa

Selobiosa

Glukosa-1-fosfat

Asam Uronat Pektin

Hemiselulosa

Pati

Glukosa-6-fosfat

Maltosa Isomaltosa

Glukosa

Sukrosa

Pentosa Fruktosa-6-fosfat Fruktosa Fruktan

Pentosan

Fruktosa-1,6-difosfat

Asam Piruvat

Format Asetil Co A Laktat Oksaloasetat Metilmalonil Co A

CO2 H2

Metan

Malonil Co A

Laktil Co A Malat

Asetil fosfat β-Hidroksibutiril CoA

Akrilil Co A

Fumarat

Asetoasetil Co A

Krotonil Co A Propionil Co A

Suksinat Suksinil Co A

Butiril Co A

Propionat Butirat Asetat

Page 28: KAJIAN SILASE DAUN UBI KAYU (Manihot esculenta) …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/63326/D10rna.pdfkajian silase daun ubi kayu (manihot esculenta) dengan berbagai zat

Proses metabolisme karbohidrat pada ruminansia dijelaskan oleh McDonald

et al. (2002) seperti tertera pada Gambar 3. Lebih lanjut dikemukakan bahwa sekitar

75% dari total VFA yang diproduksi akan diserap langsung di retikulo-rumen

termasuk ke darah, sekitar 20% diserap di abomasum dan omasum, dan sisanya

sekitar 5% diserap usus halus. Parakkasi (1999) menambahkan bahwa sebagian besar

VFA diserap langsung melalui dinding rumen, hanya sedikit asetat, beberapa

propionat dan sebagian besar butirat termetabolisme dalam dinding rumen. Sakinah

(2005) menyatakan bahwa rendahnya VFA diduga berhubungan dengan peningkatan

kecernaan zat makanan, dimana VFA tersebut digunakan sebagai sumber energi

mikroba untuk mensintesis protein mikroba dan digunakan untuk pertumbuhan sel

tubuhnya. Menurut Wahyuni (2008) bahwa aktivitas mikroba yang bervariasi dalam

mencerna diduga juga dapat mempengaruhi VFA yang terbentuk. France dan

Dijkstra (2005) menyatakan bahwa konsentrasi VFA tiap individu ternak biasanya

berkaitan dengan pola fermentasi dalam rumen. Faktor-faktor yang mempengaruhi

fermentasi yaitu pakan basal, tipe karbohidrat pakan, bentuk fisik pakan, tingkat

konsumsi, frekuensi makan, dan penggunaan aditif kimia.

Amonia (NH3)

Protein pakan di dalam rumen dipecah oleh mikroba menjadi peptida dan

asam amino, beberapa asam amino dipecah lebih lanjut menjadi amonia. Amonia

diproduksi bersama peptida dan asam amino yang akan digunakan oleh mikroba

rumen dalam pembentukan protein mikroba (McDonald et al., 2002). Proses

metabolisme protein pada ruminansia dijelaskan oleh McDonald et al. (2002) seperti

tertera pada Gambar 4.

Produksi NH3 berasal dari protein yang didegradasi oleh enzim proteolitik di

dalam rumen, protein dihidrolisis pertama kali oleh mikroba rumen. Tingkat

hidrolisis protein tergantung dari daya larutnya yang berkaitan dengan kenaikan

kadar NH3 (Arora, 1989). Haaland et al. (1982) menyatakan bahwa semakin tinggi

kandungan protein ransum maka produksi amonia akan semakin meningkat sebagai

akibat aktivitas proteolitik meningkat. Kadar amonia dalam rumen merupakan

petunjuk antara proses degradasi dan proses sintesis protein oleh mikroba rumen.

Jika pakan defisien akan protein atau proteinnya tahan degradasi maka konsentrasi

Page 29: KAJIAN SILASE DAUN UBI KAYU (Manihot esculenta) …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/63326/D10rna.pdfkajian silase daun ubi kayu (manihot esculenta) dengan berbagai zat

amonia dalam rumen akan rendah dan pertumbuhan mikroba rumen akan lambat

yang menyebabkan turunnya kecernaan pakan (McDonald et al., 2002).

Amonia merupakan sumber nitrogen utama dan penting untuk sintesis protein

mikroba (Sakinah, 2005). McDonald et al. (2002) kisaran optimum NH3 dalam

rumen berkisar antara 6-21 mM. Faktor utama yang mempengaruhi penggunaan

NH3 adalah ketersediaan karbohidrat dalam ransum yang berfungsi sebagai sumber

energi untuk pembentukan protein mikroba. Menurut Sutardi (1977), agar NH3 dapat

dimanfaatkan oleh mikroba penggunaannya perlu disertai dengan sumber energi

yang mudah difermentasi.

Gambar 4. Proses Metabolisme Protein di dalam Rumen Ternak Ruminansia (McDonald et al., 2002)

Pakan

Protein Non-protein N

Sulit Didegradasi

Mudah Didegradasi

Non-protein N

Peptida

Asam Amino

Protein Mikroba

Dicerna di usus

Kelenjar Saliva

Amonia Hati

NH3 Urea

Ginjal

Diekskresikan (urin)

Page 30: KAJIAN SILASE DAUN UBI KAYU (Manihot esculenta) …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/63326/D10rna.pdfkajian silase daun ubi kayu (manihot esculenta) dengan berbagai zat

Ranjhan (1977) menyatakan bahwa peningkatan jumlah karbohidrat yang

mudah difermentasi akan mengurangi produksi amonia, karena terjadi kenaikan

penggunaan amonia untuk pertumbuhan protein mikroba. Kondisi yang ideal adalah

sumber energi tersebut dapat difermentasi sama cepatnya dengan pembentukan NH3

sehingga pada saat NH3 terbentuk terdapat produksi fermentasi asal karbohidrat yang

akan digunakan sebagai sumber dan kerangka karbon dari asam amino protein

mikroba telah tersedia.

Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik

Kecernaan zat-zat makanan merupakan salah satu ukuran dalam menentukan

kualitas suatu bahan pakan. Kecernaan adalah perubahan fisik dan kimia yang

dialami bahan makanan dalam alat pencernaan. Perubahan tersebut dapat berupa

penghalusan bahan makanan menjadi butir-butir atau partikel kecil, atau penguraian

molekul besar menjadi molekul kecil. Selain itu pada ruminansia, pakan juga

mengalami perombakan sehingga sifat- sifat kimianya berubah secara fermentatif

sehingga menjadi senyawa lain yang berbeda dengan zat makanan asalnya.

Kecernaan adalah indikasi awal ketersediaan nutrien yang terkandung dalam bahan

pakan tertentu bagi ternak yang mengkonsumsinya. Kecernaan bahan makanan erat

hubungannya dengan komposisi kimianya dan serat kasar mempunyai pengaruh

paling besar terhadap kecernaan. Kecernaan yang tinggi mencerminkan besarnya

sumbangan nutrien tertentu pada ternak, sementara itu pakan yang mempunyai

kecernaan rendah menunjukkan bahwa pakan tersebut kurang mampu menyuplai

nutrien untuk hidup pokok maupun untuk tujuan produksi ternak (Yusmadi, 2008

dan Arora, 1989).

Kecernaan dapat diukur dengan teknik fermentasi in vitro menurut Tilley dan

Terry (1966). Selain itu, kecernaan dapat diukur dengan metode gas test. Metode gas

test adalah sebuah metode uji alternatif yang dapat dipilih untuk mengukur kecernaan

pada hewan ruminansia dengan hasil relatif lebih cepat serta tidak memerlukan

hewan percobaan (Sofyan, 2008). Prinsip dasar dari metode gas test merupakan

pengembangan dari in vitro. Metode ini mencoba menyempurnakan sistem kerja dari

metode in vitro sebelumnya, dengan mengukur volume gas yang dihasilkan sebagai

parameter untuk menilai kecernaan. Kelebihan metode ini selain dapat menghitung

kecernaan bahan, juga dapat digunakan untuk menentukan besarnya energi

Page 31: KAJIAN SILASE DAUN UBI KAYU (Manihot esculenta) …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/63326/D10rna.pdfkajian silase daun ubi kayu (manihot esculenta) dengan berbagai zat

termetabolis (EM) serta dapat pula untuk menghitung produksi asam lemak atsiri

(volatile) atau VFA yang merupakan asam lemak penentu produksi dan kualitas susu

dan daging. Kecernaan bahan organik meupakan faktor penting yang menentukan

nilai pakan (Sutardi, 1980). Sutardi (2001) melaporkan bahwa sebagian besar

komponen bahan kering terdiri atas bahan organik sehingga faktor-faktor yang

mempengaruhi tinggi rendahnya KCBK akan mempengaruhi juga tinggi rendahnya

KCBO ransum. Kecernaan in vitro dipengaruhi oleh pencampuran pakan, cairan

rumen dan inokulan, pH kondisi fermentasi, pengaturan suhu fermentasi, lamanya

waktu inkubasi, ukuran partikel sampel dan larutan penyangga (Selly, 1994).

Page 32: KAJIAN SILASE DAUN UBI KAYU (Manihot esculenta) …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/63326/D10rna.pdfkajian silase daun ubi kayu (manihot esculenta) dengan berbagai zat

MATERI DAN METODE

Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan September sampai dengan bulan

November 2009. Pembuatan silase dilakukan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi

Pakan, sedangkan untuk analisa pH, kadar air, dan in vitro dilakukan di

Laboratorium Nutrisi Ternak Perah Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor,

Bogor.

Percobaan I (Pembuatan Silase)

Materi

Bahan. Bahan yang digunakan dalam pembuatan silase adalah hijauan berupa

limbah ubi kayu yang meliputi daun, tangkai dan batang (yang masih dapat

dikonsumsi ternak) yang berasal dari pabrik tapioka di kawasan Indraprasta Bogor,

dan zat aditif untuk silase antara lain molases, dedak padi, dan tepung tapioka.

Alat. Peralatan yang digunakan dalam pembuatan silase adalah terpal, plastik tahan

panas berwarna putih ukuran 5 kg dan kantong plastik berwarna hitam ukuran 10 kg,

karet, solasi, timbangan analitik, dan pompa vakum.

Rancangan Percobaan

Perlakuan. Penelitian ini menggunakan tujuh perlakuan dan tiga ulangan adalah

sebagai berikut :

K = Campuran daun, tangkai, dan batang tanaman ubi kayu

M5 = K + 5 % molases (5% dari bobot silase)

M10 = K + 10% molases (10% dari bobot silase)

DP5 = K + 5% dedak padi (5% dari bobot silase)

DP10 = K + 10% dedak padi (10% dari bobot silase)

T5 = K + 5% tepung tapioka (5% dari bobot silase)

T10 = K + 10% tepung tapioka (10% dari bobot silase)

Peubah yang Diamati. Peubah yang diamati untuk pembuatan silase adalah :

1. Sifat fisik silase

Sifat fisik silase diukur dengan uji kualitatif meliputi warna dan bau.

Page 33: KAJIAN SILASE DAUN UBI KAYU (Manihot esculenta) …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/63326/D10rna.pdfkajian silase daun ubi kayu (manihot esculenta) dengan berbagai zat

2. pH dan Kadar Air (KA) silase

Pengukuran pH dengan menggunakan pH meter, sedangkan pengukuran kadar air

menggunakan oven 60oC dan oven 105oC.

Model Matematika. Model matematika yang digunakan pada percobaan I adalah:

Yij = µ + αi + εij

Keterangan:

Yij = Hasil pengamatan untuk perlakuan ke- i

µ = Nilai rataan umum perlakuan

αi = Pengaruh perlakuan ke-i

εij = Galat percobaan pada perlakuan ke-i

i = Perlakuan

j = Ulangan

Analisis Data. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan sidik ragam (ANOVA),

dan jika terdapat perbedaan yang nyata maka dilanjutkan dengan uji Beda Nyata

Terkecil (Steel dan Torrie, 1993).

Prosedur

Pelayuan Silase. Sebanyak 20 kg daun, tangkai dan batang ubi kayu dicacah hingga

berukuran panjang ± 2-3 cm. Kemudian daun, tangkai dan batang ubi kayu yang

telah dicacah disebar diatas terpal, lalu dilakukan pelayuan pada suhu ruang (27-

28oC). Setiap hari dilakukan pengukuran kadar air. Pada hari pertama diperoleh

kadar air sebesar 73,26%. Pada pelayuan hari kedua, diperoleh hasil kadar air sebesar

61,65%. Menurut Moran (2005) bahwa silase yang berkualitas baik memiliki kadar

air sebesar 50-75% dengan rata-rata 62,5%. Sehingga pelayuan hanya dilakukan

selama dua hari.

Pembuatan Silase. Sebanyak 0,5 kg campuran daun, tangkai dan batang ubi kayu

yang telah dilayukan selama 2 hari dicampur dengan 5% dan 10% masing-masing zat

aditif (molases, dedak padi dan tepung tapioka) hingga merata. Setelah itu

dimasukkan ke dalam plastik tahan panas berwarna putih berukuran 5 kg. Udara

dikeluarkan dari plastik tersebut menggunakan pompa vakum. Kemudian diikat

Page 34: KAJIAN SILASE DAUN UBI KAYU (Manihot esculenta) …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/63326/D10rna.pdfkajian silase daun ubi kayu (manihot esculenta) dengan berbagai zat

dengan karet dan diplester dengan lakban, lalu dimasukkan ke dalam kantong plastik

hitam untuk melindungi silase dari cahaya dan diinkubasi pada suhu ruangan selama

30 hari. Setelah 30 hari fermentasi dilakukan pembukaan silase. Setelah itu, silase

diamati sifat fisik (bau dan warna), pengukuran pH, kadar air, kemudian dilanjutkan

dengan in vitro.

Pengukuran Sifat Fisik Silase

Bau. Setelah 4 minggu, dilakukan uji kualitatif dengan 15 orang responden.

Cara penilaian bau silase yaitu, silase pada setiap perlakuan dibuka kemudian dibau

dengan cara mengipaskan tangan diatas mulut kantong plastik silase ke arah hidung.

Kemudian hasil dicatat. Bau silase mulai dari silase kualitas buruk, sedang dan baik

berturut-urut adalah busuk, agak asam, dan asam.

Warna. Setelah dilakukan pengukuran bau, dilakukan uji warna dengan 15

orang responden. Warna silase dari setiap perlakuan diamati. Warna silase dengan

kualitas buruk, sedang dan baik berturut-urut adalah cokelat, hijau kecokelatan dan

hijau terang sampai hijau kekuningan.

Pengukuran pH Silase. Sebanyak 10 g silase dicampur dengan 100 ml aquades dan

dimasukkan ke dalam blender selama 1 menit. Sebelum pengukuran pH, dilakukan

kalibrasi pH meter terlebih dahulu dengan cara elektroda dibilas dengan aquades

kemudian dilap menggunakan tisu. Setelah itu elektroda dimasukkan ke dalam

larutan standar dengan pH 4 dan 7. Setelah itu air dalam gelas kimia tersebut diukur

pH-nya menggunakan pH meter. Pengukuran pH pada setiap silase dilakukan secara

duplo.

Pengukuran Kadar Air. Sebanyak 100 g sampel (silase daun, tangkai dan batang

ubi kayu) ditimbang. Setelah itu, dimasukkan dalam loyang (bobot kosongnya sudah

diketahui). Kemudian dimasukkan ke dalam oven 60oC. Lalu sampel didinginkan

dalam eksikator selama ± 10 menit, kemudian ditimbang. Sampel yang kering

dihaluskan menggunakan blender dan ditimbang sebanyak 5 g. Setelah itu,

dimasukkan dalam cawan alumunium (bobot kosongnya sudah diketahui). Kemudian

dimasukkan ke dalam oven 105oC sampai bobot stabil. Setelah itu, didinginkan

Page 35: KAJIAN SILASE DAUN UBI KAYU (Manihot esculenta) …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/63326/D10rna.pdfkajian silase daun ubi kayu (manihot esculenta) dengan berbagai zat

dalam eksikator selama ± 10 menit kemudian ditimbang. Selanjutnya dilakukan

perhitungan kadar air.

Rumus Perhitungan Kadar Air (KA)

KA Oven (60o,105oC) (%) = KA Bahan (%) = KA Oven 60oC +

Percobaan II (Analisa In Vitro)

Materi

Bahan. Bahan-bahan untuk in vitro yaitu cairan rumen domba (diambil dari rumah

potong hewan di Sindangsari Ciampea Bogor), aquades, gas CO2, larutan buffer

McDougall, larutan makromineral, larutan mikromineral, larutan rezazurin 0,1%, dan

larutan pereduksi. Bahan untuk pengukuran %KCBK dan %KCBO yaitu larutan

McDougall (dengan temperatur 39oC dan pH 6,5-6,9), larutan pepsin-HCl 0,2 %, dan

larutan HgCl2 jenuh. Bahan yang digunakan untuk pengukuran VFA antara lain

H2SO4 15%, NaOH 0,5 N, indikator penolpthalin, dan HCl 0,5 N. Bahan yang

digunakan untuk pengukuran NH3 yaitu Na2CO3 jenuh, larutan asam borat, dan

H2SO4 0,005 N.

Alat. Peralatan yang digunakan dalam analisa in vitro adalah pipet mohr, bulp, gelas

piala, pH meter, shaker water bath (suhu air pemanas 39-40oC), termos, kain

penyaring, kertas saring Whatman no. 41, sentrifuse, magnetic Stirer, cawan

porselen, tabung kaca fermentor 100 ml dan tutup karet berventilasi, corong plastik,

corong Buchner, oven 60oC dan 105oC, tanur, eksikator, cawan Conway, vaselin,

labu pendingin, tabung destilasi, dan labu Erlenmeyer.

Rancangan Percobaan

Perlakuan. Penelitian ini menggunakan tujuh perlakuan dan tiga kelompok (cairan

rumen dari tiga domba yang berbeda) adalah sebagai berikut :

K = Silase campuran daun, tangkai, dan batang tanaman ubi kayu

Bobot sebelum oven – Bobot setelah oven Bobot sebelum oven

(100- KA Oven 105oC) x KA Oven 105oC) 100

x 100%

Page 36: KAJIAN SILASE DAUN UBI KAYU (Manihot esculenta) …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/63326/D10rna.pdfkajian silase daun ubi kayu (manihot esculenta) dengan berbagai zat

M5 = K + 5 % molases (5% dari bobot silase)

M10 = K + 10% molases (10% dari bobot silase)

DP5 = K + 5% dedak padi (5% dari bobot silase)

DP10 = K + 10% dedak padi (10% dari bobot silase)

T5 = K + 5% tepung tapioka (5% dari bobot silase)

T10 = K + 10% tepung tapioka (10% dari bobot silase)

Peubah yang Diamati. Peubah yang diamati untuk analisa in vitro adalah :

1. Konsentrasi NH3 (Amonia) (mM)

Konsentrasi amonia diukur dengan menggunakan metode mikrodifusi Conway

(Conway, 1958).

2. Konsentrasi VFA (mM)

Konsentrasi VFA total diukur dengan menggunakan steam destilation method

(General laboratory procedures, 1966).

3. KCBK (Koefisien Cerna Bahan Kering) dan KCBO (Koefisien Cerna Bahan

Organik)

(%) KCBK dan KCBO diukur dengan menggunakan metode Tilley dan Terry

(1966).

Model Matematika. Model matematika yang digunakan pada percobaan II adalah:

Yij = µ+ βi + τj + εij

Keterangan :

Yij = nilai pengamatan perlakuan ke-i, blok ke-j

µ = nilai rataan umum perlakuan

βi = efek perlakuan ke-i

τj = efek blok ke-j

εij = galat percobaan pada perlakuan ke-i dan blok ke-j

i = perlakuan

j = blok

Analisis Data. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan sidik ragam (ANOVA),

dan jika terdapat perbedaan yang nyata maka dilanjutkan dengan uji Beda Nyata

Terkecil. (Steel dan Torrie, 1993).

Page 37: KAJIAN SILASE DAUN UBI KAYU (Manihot esculenta) …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/63326/D10rna.pdfkajian silase daun ubi kayu (manihot esculenta) dengan berbagai zat

Prosedur

Pengambilan Cairan Rumen. Termos diisi dengan air panas hingga mencapai suhu

39oC. Air di dalam termos tidak boleh dibuang hingga cairan rumen didapatkan.

Cairan rumen diambil dari rumah potong hewan di Sindangsari, Ciampea, Bogor.

Kemudian, cairan rumen tersebut disaring menggunakan kain lalu dimasukkan dalam

termos yang sebelumnya sudah dibuang air panasnya. Cairan rumen dalam termos

tersebut harus segera dibawa ke laboratorium Nutrisi Ternak Perah, Fakultas

Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Fermentasi In Vitro. Sebanyak 0,5 g silase dari masing-masing perlakuan dan

ulangan (yang sudah dikeringkan pada suhu 60oC) ditimbang kemudian dimasukkan

ke dalam tabung fermentor, lalu dimasukkan ke dalam shaker water bath suhu 39oC.

Ditambahkan larutan McDougall (pH 6,5-6,9) sebanyak 40 ml dan cairan rumen

sebanyak 10 ml (selama pengerjaan, cairan rumen diberi gas CO2). Ke dalam tabung

fermentor tersebut dialiri gas CO2 selama 30 detik lalu ditutup. Kemudian diinkubasi

selama 48 jam. Setelah 48 jam, tabung fermentor diangkat dari shaker water bath,

kemudian diberi larutan HgCl2 jenuh sebanyak 2 tetes. Lalu disentrifuse selama 15

menit 3000 rpm. Substrat akan terpisah menjadi endapan (residu) di bagian bawah

dan supernatan yang berada di bagian atas. Supernatan diambil untuk pengukuran

NH3 dan VFA sedangkan endapan atau residu digunakan untuk pengukuran KCBK

dan KCBO.

Pengukuran Konsentrasi VFA Total (General Laboratory Procedures, 1966).

Pengukuran konsentrasi VFA menggunakan metode destilasi uap yaitu supernatan

yang sama dengan analisa NH3 diambil sebanyak 5 ml, kemudian dimasukkan ke

dalam tabung destilasi. H2SO4 15% ditambahkan, kemudian segera ditutup dengan

tutup karet yang mempunyai lubang dan dihubungkan labu pendingin. Segera setelah

ditambahkan H2SO4 ke dalam supernatan, tabung destilasi dimasukkan ke dalam labu

penyulingan yang berisi air mendidih (dipanaskan terus selama destilasi). Uap air

panas akan mendesak VFA dan akan terkondensasi dalam pendingin. Air yang

terbentuk ditampung dalam labu Erlenmeyer yang berisi 5 ml NaOH 0,5 N sampai

mencapai 300 ml. Indikator PP (Phenolpthalin) ditambahkan sebanyak 2-3 tetes dan

Page 38: KAJIAN SILASE DAUN UBI KAYU (Manihot esculenta) …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/63326/D10rna.pdfkajian silase daun ubi kayu (manihot esculenta) dengan berbagai zat

dititrasi dengan HCl 0,5 N sampai warna titrat berubah dari merah jambu menjadi

tidak berwarna.

Perhitungan Konsentrasi VFA total

VFA Total (mM) =

Pengukuran Konsentrasi NH3 (Conway, 1958). Pengukuran konsentrasi NH3

menggunakan metode mikrodifusi Conway yaitu bibir cawan Conway dan tutup

diolesi dengan vaselin. Supernatan yang berasal dari proses fermentasi diambil 1 ml

kemudian ditempatkan di salah satu ujung alur cawan Conway. Setelah itu larutan

Na2CO3 jenuh ditempatkan pada salah satu ujung cawan Conway bersebelahan

dengan supernatan (tidak boleh tercampur). Kemudian larutan asam borat

berindikator warna merah sebanyak 1 ml ditempatkan dalam cawan kecil yang

terletak ditengah cawan Conway. Cawan Conway yang sudah diolesi vaselin ditutup

rapat hingga kedap udara. Cawan digoyangkan dan dimiringkan untuk

mencampurkan Na2CO3 dengan supernatan. Setelah itu dibiarkan selama 24 jam

dalam suhu kamar. Amonia yang dibebaskan dari reaksi akan ditangkap oleh asam

borat yang diperlihatkan dengan adanya perubahan warna setelah 24 jam, kemudian

amonium borat dititrasi dengan H2SO4 0,005 N sampai terjadi perubahan warna ke

warna asal.

Perhitungan Konsentrasi NH3

NH3 (mM) =

Analisis KCBK dan KCBO (Tilley dan Terry, 1966). Residu atau endapan dari

fermentasi in vitro diberi larutan pepsin-HCl 0,2% sebanyak 50 ml ke dalam tabung

fermentor tersebut, dan diinkubasi kembali di dalam shaker water bath suhu 39oC

selama 48 jam tanpa ditutup. Setelah 48 jam dengan pepsin, tabung fermentor yang

berisi sampel diangkat dari shaker water bath, dan disaring dengan menggunakan

kertas saring Whatman no. 41 (bobot kosongnya sudah diketahui) pada pompa

vakum, dan dimasukkan ke dalam cawan porselin (bobot kosongnya sudah

diketahui). Residu bahan kering didapatkan dengan cara menguapkan air di dalam

(volume titran blanko – volume titran sampel) x N HCl x 1000/5

g sampel x BK sampel

ml H2SO4 x N H2SO4 x 1000 g sampel x BK sampel

Page 39: KAJIAN SILASE DAUN UBI KAYU (Manihot esculenta) …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/63326/D10rna.pdfkajian silase daun ubi kayu (manihot esculenta) dengan berbagai zat

oven dengan temperatur 105oC selama 24 jam. Untuk memperoleh residu bahan

organik, bahan dalam cawan dipijarkan dalam tanur listrik pada suhu 600oC selama 6

jam (sampel ditimbang sebelum dan sesudah masuk dalam oven dan tanur). Sebagai

blanko dipakai residu asal fermentasi cairan rumen tanpa sampel bahan pakan

(silase).

Perhitungan KCBK dan KCBO KCBK (%) =

KCBO (%) =

Penentuan Kualitas Silase Keseluruhan. Penentuan kualitas silase terbaik

dilakukan dengan menggunakan metode pembobotan (scoring). Dalam metode

pembobotan dilakukan penentuan nilai berdasarkan kualitas terbaik. Scoring untuk

VFA, NH3, KCBK dan KCBO dibagi menjadi 3 kelas. Kelas dihitung berdasarkan

nilai tertinggi dikurangi nilai terendah kemudian dibagi 3 (Walpole, 1992). Scoring

untuk warna, nilai 1 untuk silase yang berwarna cokelat, nilai 2 untuk silase yang

berwarna hijau kecokelatan, dan nilai 3 untuk silase yang berwarna hijau

kekuningan. Scoring untuk bau, nilai 1 untuk silase yang mempunyai bau busuk,

nilai 2 untuk silase yang mempunyai bau agak asam, dan nilai 3 untuk silase yang

mempunyai bau asam. Scoring untuk pH menurut Macaulay (2004) bahwa silase

kualitas baik yang memiliki pH <4,2 diberi nilai 3, kualitas sedang yang memiliki pH

4,2-4,5 diberi nilai 2 dan kualitas buruk yang memiliki pH >4,8 diberi nilai 1.

Scoring untuk bau, warna dan pH masing-masing dilakukan pengalian dengan

bilangan pengali 1 sedangkan scoring untuk VFA, NH3, KCBK dan KCBO dikalikan

dengan bilangan pengali 2 karena parameter VFA, NH3, KCBK dan KCBO

merupakan komponen utama sedangkan parameter warna, bau dan pH merupakan

komponen pendukung untuk menentukan kualitas silase. Komponen utama harus

mempunyai nilai dua kali lipat dari nilai komponen pendukung.

BK sampel (g) – (BK residu – BK blanko (g)) x 100% BK sampel (g)

BK sampel (g) – (BO residu – BO blanko (g)) x 100% BK sampel (g)

Page 40: KAJIAN SILASE DAUN UBI KAYU (Manihot esculenta) …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/63326/D10rna.pdfkajian silase daun ubi kayu (manihot esculenta) dengan berbagai zat

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sifat Fisik (Warna dan Bau) Silase Daun Ubi Kayu

Kualitas silase dapat dilihat berdasarkan sifat fisik silase tersebut. Hasil

pengamatan terhadap warna dan bau dapat dilihat pada Tabel 3 dan Gambar 5.

K M5 M10 DP5

DP10 T5 T10

Gambar 5. Sifat Fisik Silase Daun Ubi Kayu dengan Berbagai Zat Aditif

Tabel 3. Sifat Fisik Silase Daun Ubi Kayu dengan Berbagai Zat Aditif

Perlakuan Warna Bau

K Hijau Kekuningan Agak Asam

M5 Hijau Kecokelatan Asam

M10 Hijau Kecokelatan Asam

DP5 Hijau Kecokelatan Agak Asam

DP10 Hijau Kecokelatan Agak Asam

T5 Hijau Kecokelatan Agak Asam

T10 Hijau Kecokelatan Agak Asam Keterangan: K = silase campuran daun, tangkai, dan batang tanaman ubi kayu, M5 = K + 5 %

molases (5% dari bobot silase), M10 = K + 10% molases (10% dari bobot silase), DP5 = K + 5% dedak padi (5% dari bobot silase), DP10 = K + 10% dedak padi (10% dari bobot silase), T5 = K + 5% tepung tapioka (5% dari bobot silase), T10 = K + 10% tepung tapioka (10% dari bobot silase)

Dari ketujuh perlakuan (Tabel 3 dan Gambar 5) menunjukkan hasil warna

hijau kecokelatan kecuali perlakuan K (mempunyai warna hijau kekuningan). Warna

kecokelatan dan kekuningan yang terlihat tidak menunjukkan tanda-tanda kerusakan

selama ensilase, seperti terjadinya reaksi pencokelatan akibat bahan kering yang

Page 41: KAJIAN SILASE DAUN UBI KAYU (Manihot esculenta) …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/63326/D10rna.pdfkajian silase daun ubi kayu (manihot esculenta) dengan berbagai zat

tinggi atau pembusukan oleh bakteri pembusuk karena kelebihan kadar air. Hasil

penelitian Lendrawati (2008) menunjukkan hasil serupa dengan penelitian ini yaitu

silase ransum komplit berbasis hasil samping ubi kayu mempunyai warna campuran

hijau, kuning dan cokelat. Menurut Macaulay (2004) kualitas silase yang baik

mempunyai karakteristik warna hijau terang sampai kuning atau hijau kecokelatan

tergantung materi silase. Berdasarkan uji warna, silase pada penelitian ini termasuk

ke dalam kategori baik (Tabel 3). Perubahan warna yang terjadi pada hijauan yang

mengalami ensilase menurut Reksohadiprodjo (1988) disebabkan oleh perubahan-

perubahan yang terjadi dalam hijauan karena proses respirasi aerobik yang

berlangsung selama persediaan oksigen masih ada, sampai gula tanaman habis. Gula

akan teroksidasi menjadi CO2 dan air, kemudian terjadi panas hingga temperatur

naik. Bila temperatur tidak terkendali, silase akan berwarna cokelat tua sampai

hitam. Hal ini menyebabkan turunnya nilai nutrien pakan, karena banyak sumber

karbohidrat yang hilang dan kecernaan protein turun, yaitu pada temperatur 55oC.

Selanjutnya dijelaskan bahwa, warna cokelat pada silase disebabkan karena adanya

pigmen phatophytin suatu senyawa chlorophil yang tidak ada magnesiumnya. Pada

silase yang temperaturnya naik tetapi tidak terlalu tinggi, kadar carotene tidak

berubah seperti bahan asalnya. Carotene hilang pada temperatur terlalu tinggi.

Menurut Ensminger dan Olentine (1978) warna cokelat tembakau, cokelat

kehitaman, karamel (gula bakar), atau gosong menunjukkan silase kelebihan panas.

Saun dan Heinrichs (2008) menyatakan bahwa warna silase mengindikasikan

permasalahan yang mungkin terjadi selama fermentasi. Silase yang terlalu banyak

mengandung asam asetat akan berwarna kekuningan, sedangkan apabila kelebihan

asam butirat akan berlendir dan berwarna hijau-kebiruan dan silase yang baik

menunjukkan warna hampir sama dengan warna asalnya. Produksi panas yang

berlebihan (suhu di atas 42-44oC) dapat menyebabkan reaksi Mailard (pencokelatan)

(Sapienza dan Bolsen, 1993).

Selain warna, bau juga menentukan kualitas silase. Uji bau menunjukkan

bahwa hanya M5 dan M10 yang mempunyai bau asam sedangkan K, DP5, DP10, T5

dan T10 mempunyai bau agak asam (Tabel 3). Perlakuan M5 dan M10 memiliki bau

yang lebih asam dibandingkan dengan perlakuan yang lain. Hal ini disebabkan oleh

penambahan molases pada M5 dan M10 yang mudah dicerna oleh bakteri asam

Page 42: KAJIAN SILASE DAUN UBI KAYU (Manihot esculenta) …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/63326/D10rna.pdfkajian silase daun ubi kayu (manihot esculenta) dengan berbagai zat

laktat untuk memproduksi asam laktat. Lendrawati (2008) menyatakan bahwa silase

ransum komplit berbasis hasil samping ubi kayu mempunyai bau khas fermentasi

asam laktat. Menurut Macaulay (2004) kualitas silase yang baik mempunyai bau

asam. Berdasarkan uji bau, silase pada penelitian ini termasuk ke dalam kategori baik

(Tabel 3). Bau asam yang terbentuk dari silase disebabkan oleh asam organik yang

dihasilkan yaitu asam laktat. Susetyo et al. (1969) menyatakan bahwa dalam proses

ensilase apabila oksigen telah habis dipakai, pernapasan akan berhenti dan suasana

menjadi anaerob. Dalam keadaan demikian jamur tidak dapat tumbuh dan hanya

bakteri saja yang masih aktif terutama bakteri pembentuk asam.

Nilai pH dan Kadar Air Silase Daun Ubi Kayu

Kualitas silase juga dapat dilihat dari pH dan kadar air yang dihasilkan.

Rataan nilai pH silase daun ubi kayu dengan penambahan zat aditif lebih rendah

yaitu 4,13 dibandingkan dengan nilai pH tanpa penambahan zat aditif (K) yaitu 4,30

(Gambar 6A). Rataan kadar air dengan penambahan zat aditif 67,97% sedangkan

kadar air tanpa penambahan zat aditif (K) 73,39% (Gambar 6B). Penambahan zat

aditif pada silase menyebabkan penurunan pH silase. Hal ini disebabkan oleh

kandungan karbohidrat mudah larut sebagai sumber energi bagi bakteri asam laktat

untuk membentuk asam laktat. Hal ini sesuai dengan pernyataan Woolford (1984)

dan McDonald et al. (1991) yang mengemukakan bahwa bahan yang kaya

karbohidrat seperti molases, gula, dan pati yang berasal dari tanaman biji-bijian dapat

berfungsi sebagai stimulan pada proses fermentasi dan merangsang perkembangan

bakteri asam laktat (BAL). Adanya aktivitas BAL menyebabkan penurunan nilai pH

silase daun ubi kayu. Nilai pH silase yang tinggi karena dalam pembuatan silase

tidak menggunakan bahan pengawet. Bahan pengawet biasanya ditambahkan untuk

mencukupi karbohidrat mudah larut yang berguna dalam fermentasi, terutama untuk

menurunkan pH silase (Matsuhima, 1979).

Page 43: KAJIAN SILASE DAUN UBI KAYU (Manihot esculenta) …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/63326/D10rna.pdfkajian silase daun ubi kayu (manihot esculenta) dengan berbagai zat

Gambar 6. Perbandingan Nilai Rataan pH (A) dan Kadar Air (B) Silase Daun Ubi

Kayu dengan dan Tanpa Penambahan Zat Aditif

Tabel 4. Rataan pH Silase Daun Ubi Kayu dengan Berbagai Zat Aditif

Perlakuan Ulangan

Rataan 1 2 3

K 4,3 4,3 4,31 4,3d

M5 3,95 3,94 3,97 4,0b

M10 3,87 3,89 3,89 3,9a

DP5 4,23 4,22 4,22 4,2c

DP10 4,18 4,22 4,24 4,2c

T5 4,28 4,29 4,3 4,3d

T10 4,22 4,22 4,25 4,2c Keterangan : Superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P< 0,01). K = silase campuran daun, tangkai, dan batang tanaman ubi kayu, M5 = K + 5 %

molases (5% dari bobot silase), M10 = K + 10% molases (10% dari bobot silase), DP5 = K + 5% dedak padi (5% dari bobot silase), DP10 = K + 10% dedak padi (10% dari bobot silase), T5 = K + 5% tepung tapioka (5% dari bobot silase), T10 = K + 10% tepung tapioka (10% dari bobot silase)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan penambahan zat aditif

berpengaruh sangat nyata (P<0,05) menurunkan pH silase. Nilai pH M10 sangat

nyata lebih rendah dibandingkan M5, M5 lebih rendah dari DP5, DP10, dan T10, K

dan T5 mempunyai pH yang paling tinggi dibandingkan semua perlakuan (Tabel 4).

Menurut Macaulay (2004), silase kualitas baik memiliki pH <4,2, kualitas sedang

memiliki pH 4,2-4,5 dan kualitas buruk memiliki pH >4,8. Rataan pH silase selama

penelitian berkisar antara 3,88-4,30 sehingga silase dalam penelitian ini termasuk

dalam kualitas baik. Moran (2005) menyatakan bahwa semakin rendah pH maka

aktifitas bakteri pembusuk semakin rendah, sehingga umur simpan silase menjadi

Page 44: KAJIAN SILASE DAUN UBI KAYU (Manihot esculenta) …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/63326/D10rna.pdfkajian silase daun ubi kayu (manihot esculenta) dengan berbagai zat

lebih lama. Rendahnya pH selama penelitian ini didukung oleh cukupnya kandungan

karbohidrat yang mampu menstimulasi pertumbuhan bakteri asam laktat untuk

memproduksi asam laktat. Semakin banyak asam laktat yang dihasilkan maka pH

akan semakin rendah (Kung dan Shaver, 2001).

Tabel 5. Rataan Kadar Air Silase Daun Ubi Kayu dengan Berbagai Zat Aditif

Perlakuan Ulangan

Rataan 1 2 3

---------------------------------------------%-------------------------------------------

K 80,46 72,20 67,51 73,44b

M5 74,18 69,34 61,00 68,23b

M10 64,01 65,12 66,11 65,05ab

DP5 75,69 76,10 68,12 73,35b

DP10 67,34 76,45 70,96 71,63b

T5 71,43 73,56 65,32 70,05b

T10 55,34 62,54 60,87 59,52a Keterangan : Superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P< 0,05). K = silase campuran daun, tangkai, dan batang tanaman ubi kayu, M5 = K + 5 %

molases (5% dari bobot silase), M10 = K + 10% molases (10% dari bobot silase), DP5 = K + 5% dedak padi (5% dari bobot silase), DP10 = K + 10% dedak padi (10% dari bobot silase), T5 = K + 5% tepung tapioka (5% dari bobot silase), T10 = K + 10% tepung tapioka (10% dari bobot silase)

Selain pH, kadar air juga menentukan kualitas silase. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa perlakuan penambahan zat aditif berpengaruh nyata (P<0,05)

menurunkan kadar air silase. Rataan kadar air silase semua perlakuan yang

diperlihatkan pada Tabel 5 berkisar antara 59,59-73,39% masih dapat dikategorikan

ke dalam silase yang baik. Hal ini sesuai dengan pernyataan Moran (2005) bahwa

kadar air silase yang baik berkisar antara 50-75%. Kadar air diatas 75% akan

mengurangi palatabilitas dan konsumsi pakan. Hasil penelitian Ly et al. (2000)

bahwa silase daun ubi kayu dengan fermentasi 28 hari memiliki kadar air berkisar

antara 66,2-71,2%. Kisaran persentase kadar air hasil penelitian Ly et al. (2000) yang

lebih sempit disebabkan oleh perbedaan komposisi silase yaitu menggunakan 0,5%

garam, selain itu juga disebabkan perbedaan lama fermentasi. Lama fermentasi pada

penelitian ini adalah 30 hari sedangkan pada penelitian Ly et al (2000) selama 28

hari. Kadar air K, M5, DP5, DP10, dan T5 lebih tinggi dibandingkan dengan M10

Page 45: KAJIAN SILASE DAUN UBI KAYU (Manihot esculenta) …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/63326/D10rna.pdfkajian silase daun ubi kayu (manihot esculenta) dengan berbagai zat

dan T10. Silase daun ubi kayu dengan 10% tepung tapioka mempunyai kadar air

paling rendah dibandingkan semua perlakuan (Tabel 5). Penurunan persentase kadar

air disebabkan karena adanya penambahan 10% tepung tapioka pada silase daun ubi

kayu dimana BK tepung tapioka lebih tinggi dibandingkan dedak padi dan molases.

Syamsu (2006) menyatakan bahwa tujuan penambahan zat aditif adalah untuk

meminimalkan kegagalan dalam ensilase dan juga akan memperbaiki nilai nutrisi

dari silase yang dihasilkan. Beberapa kriteria dari zat aditif tersebut adalah dapat

mengurangi kehilangan bahan kering, memperbaiki kualitas silase, meningkatkan

nilai nutrisi silase dan menekan fermentasi sekunder yang dapat mengganggu

ensilase.

Fermentabilitas dan Kecernaan In Vitro Silase Daun Ubi Kayu

Pengukuran VFA, NH3, KCBK dan KCBO setiap ulangan pada setiap

perlakuan dilakukan duplo. Ada beberapa nilai duplo dengan perbedaan cukup besar.

Untuk mengatasi hal ini guna kepentingan analisis statistik dari duplo tersebut

digunakan data yang mendekati nilai ulangan lainnya. Sebagai contoh pada hasil

Laboratorium Nutrisi Ternak Perah Fakultas Peternakan Institut Pertaian Bogor.

Gambar 7. Perbandingan Nilai Rataan VFA (A) dan NH3 (B) Silase Daun Ubi Kayu

dengan dan Tanpa Penambahan Zat Aditif

Gambar 8. Perbandingan Nilai Rataan KCBK (A) dan KCBO (B) Silase Daun Ubi

Kayu dengan dan Tanpa Penambahan Zat Aditif

Page 46: KAJIAN SILASE DAUN UBI KAYU (Manihot esculenta) …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/63326/D10rna.pdfkajian silase daun ubi kayu (manihot esculenta) dengan berbagai zat

Gambar 7 dan Gambar 8 menunjukkan bahwa rataan penambahan zat aditif

pada silase memiliki nilai rataan VFA, KCBK dan KCBO lebih tinggi dibandingkan

dengan tanpa penambahan zat aditif, tetapi penambahan zat aditif pada silase

memiliki nilai rataan NH3 yang lebih rendah dibandingkan dengan tanpa penambahan

zat aditif. Hal ini akibat dari kandungan protein dalam silase tanpa penambahan zat

aditif lebih tinggi dibandingkan silase dengan penambahan zat aditif sehingga

protein dalam silase tanpa penambahan zat aditif yang terdegradasi menjadi NH3

akan semakin banyak. Hasil penelitian Loc et al. (2000) menunjukkan bahwa silase

daun ubi kayu tanpa penambahan zat aditif memiliki kandungan protein lebih tinggi

(27,4%) dibandingkan dengan rataan penambahan zat aditif (25,97%).

Konsentrasi Volatile Fatty Acid (VFA)

Volatile Fatty Acid (VFA) merupakan produk fermentasi yang berasal dari

bahan yang mengandung karbohidrat (Sutardi, 1980). Peningkatan jumlah VFA

menunjukkan mudah atau tidaknya pakan tersebut difermentasi oleh mikroba rumen.

Tabel 6. Rataan Konsentrasi VFA Total pada Silase Daun Ubi Kayu dengan Berbagai Zat Aditif

Perlakuan Kelompok

Rataan 1 2 3

---------------------------------------------mM---------------------------------------

K 123,02 184,35 123,15 143,51ab

M5 175,47 185,80 123,86 161,71a

M10 124,76 166,02 155,95 148,91a

DP5 187,54 177,11 166,87 177,17a

DP10 156,24 177,08 177,43 170,25a

T5 164,61 164,94 185,56 171,71a

T10 82,92 113,79 124,38 107,03b

Keterangan: Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05). K = silase campuran daun, tangkai, dan batang tanaman ubi kayu, M5 = K + 5 %

molases (5% dari bobot silase), M10 = K + 10% molases (10% dari bobot silase), DP5 = K + 5% dedak padi (5% dari bobot silase), DP10 = K + 10% dedak padi (10% dari bobot silase), T5 = K + 5% tepung tapioka (5% dari bobot silase), T10 = K + 10% tepung tapioka (10% dari bobot silase)

Page 47: KAJIAN SILASE DAUN UBI KAYU (Manihot esculenta) …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/63326/D10rna.pdfkajian silase daun ubi kayu (manihot esculenta) dengan berbagai zat

Rataan konsentrasi VFA dapat dilihat pada Tabel 6. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa penambahan zat aditif ke dalam silase daun ubi kayu

berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap peningkatan konsentrasi VFA yang dihasilkan.

Hal ini disebabkan adanya peningkatan sumber karbohidrat yang berasal dari

molases, dedak padi dan tepung tapioka. Rataan total VFA perlakuan silase daun ubi

kayu pada penelitian berkisar 107,03-177,17 mM (Tabel 6). Menurut Sutardi (1980)

bahwa kadar VFA yang dibutuhkan untuk pertumbuhan optimal rumen adalah 80-

160 mM. Konsentrasi VFA pada perlakuan K tidak berbeda dengan semua

perlakuan, tetapi M5, M10, DP5, DP10 dan T5 memiliki nilai yang lebih tinggi

dibandingkan dengan T10 (Tabel 6). Hal ini disebabkan kandungan karbohidrat yang

terdapat dalam silase dapat didegradasi dengan baik oleh mikroba rumen. Menurut

Arora (1989) makanan yang memiliki karbohidrat tinggi menghasilkan asetat dan

propionat yang tinggi pula sehingga akan meningkatkan jumlah VFA total.

Konsentrasi VFA pada perlakuan T10 paling rendah dibandingkan perlakuan

lainnya, padahal penambahan tepung tapioka pada T10 lebih banyak dibandingkan

pada T5. Hal ini mungkin disebabkan oleh VFA yang terbentuk digunakan oleh

mikroba sebagai sumber energi. Sakinah (2005) menyatakan bahwa rendahnya VFA

diduga berhubungan dengan peningkatan kecernaan zat makanan, dimana VFA

tersebut digunakan sebagai sumber energi mikroba untuk mensintesis protein

mikroba dan digunakan untuk pertumbuhan sel tubuhnya. Menurut Wahyuni (2008)

bahwa aktivitas mikroba yang bervariasi dalam mencerna diduga juga dapat

mempengaruhi VFA yang terbentuk. France dan Dijkstra (2005) menyatakan bahwa

konsentrasi VFA tiap individu ternak biasanya berkaitan dengan pola fermentasi

dalam rumen. Faktor-faktor yang mempengaruhi fermentasi yaitu pakan basal, tipe

karbohidrat pakan, bentuk fisik pakan, tingkat konsumsi, frekuensi makan, dan

penggunaan aditif kimia.

Konsentrasi NH3

Produksi NH3 berasal dari protein yang didegradasi oleh enzim proteolitik.

Protein yang masuk ke dalam rumen sebagian akan didegradasi menjadi amonia

(NH3). Amonia diproduksi bersama peptida dan asam amino yang akan digunakan

oleh mikroba rumen dalam pembentukan protein mikroba (McDonald et al., 2002).