JURUSAN SYARI’AH - Repository IAIN Pekalonganrepository.iainpekalongan.ac.id/1279/1/Ani Riana Wati...
Embed Size (px)
Transcript of JURUSAN SYARI’AH - Repository IAIN Pekalonganrepository.iainpekalongan.ac.id/1279/1/Ani Riana Wati...

1
SKRIPSI
EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM
PIDANA DAN HUKUM ISLAM
Di Susun untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat Guna
Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S.I)
Dalam Ilmu Syari‟ah
Oleh:
ANI RIANAWATI
NIM. 231 107 056
JURUSAN SYARI’AH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PEKALONGAN
2011

2
PERNYATAAN
Yang bertandatangan di bawah ini:
Nama : ANI RIANAWATI
NIM : 231107056
Jurusan : Syari‟ah
Prodi : Al – Ahwal Asy – Syakhsyiyyah
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi dengan judul “Euthanasia Dalam Perspektif
Hukum Pidana Dan Hukum Islam” adalah benar–benar hasil karya sendiri. Apabila
dikemudian hari ditemukan bahwa skripsi dengan judul diatas adalah plagiat, maka
penulis siap dicabut gelarnya.
Demikian pernyataan ini penulis buat dengan sebenar – benarnya.
Pekalongan, Oktober 2011
Penulis
ANI RIANAWATI

3
Dr. Ade Dedi Rohayana, M.Ag
Jl. Arimbi No. 12 Perum Panjam Indah
Pekalongan
H. Sam’ani Sya’roni, M.Ag
Jl. Supriyadi 36 RT. 1/5
Tirto Pekalongan
NOTA PEMBIMBING
Lamp : 3 (Tiga) eksemplar Pekalongan, Oktober 2011
Hal : Naskah Skripsi
Sdr. Ani Rianawati Kepada:
Yth. Ketua STAIN Pekalongan
c/q. Ketua Jurusan Syari‟ah
Di-
PEKALONGAN
Assalamu‟alaikum Wr.Wb
Setelah diadakan penelitian dan perbaikan seperlunya, maka bersama ini kami
kirimkan naskah skripsi saudara:
Nama : ANI RIANAWATI
NIM : 231 107 056
Judul Skripsi : EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM
PIDANA DAN HUKUM ISLAM
Dengan permohonan agar skripsi saudara tersebut segera dimunaqasyahkan.
Demikian harap menjadi perhatian dan terima kasih.
Wassalamu‟alaikum Wr. Wb
Pembimbing I
Dr. Ade Dedi Rohayana, M.Ag
NIP. 197101151998031005
Pembimbing II
H. Sam’ani Sya’roni, M.Ag
NIP. 197305051999031002

4
KEMENTERIAN AGAMA
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PEKALONGAN Alamat : Jl. Kusuma Bangsa No. 9 Telp. (0285) 412575-412572 Fax. 423418
E-mail : stainpkl@[email protected]
PENGESAHAN
Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Pekalongan
mengesahkan Skripsi Saudara :
Nama : ANI RIANAWATI
NIM : 231 107 056
Judul : EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM
PIDANA DAN HUKUM ISLAM
Yang telah diujikan pada hari Kamis tanggal 27 Oktober 2011 dan
dinyatakan berhasil, serta diterima sebagai salah satu syarat guna
memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S1) dalam Ilmu Syari‟ah.
Dewan Penguji,
Dra. Hj. Rita Rahmawati, M.Pd
NIP.196503301991032001
Ketua
Ali Trigiatno, M.Ag
NIP. 197610182002121008
Anggota
Pekalongan, Oktober 2011
Ketua,
DR. Ade Dedi Rohayana, M.Ag
NIP. 19710115 1998031005

5
HALAMAN PERSEMBAHAN
Sripsi ini salah satu persembahan kepada mereka yang terkasih, tersayang
yang telah memberikan motivasi saya untuk melangkah menuju hari depan yang
lebih maju. Satu keyakinan doa dan kasih sayang pengiringku sebagai
amanatdipundakku atas bimbingan dan petunjuk yang akan kembali pada ridho
Allah SWT.
1. Untuk Ayah (almarhum) tercinta yang selalu menjadi motivasiku untuk
bisa menjadi yang lebih baik
2. Ibunda penerang harapan sebagai curahan ta‟dhim dan baktiku,
sungkem dan sanjungku semaga ananda menjadi shalihah
3. Untuk Kakaku tercinta maz Sugiyanto dan mba Suaeni serta Kakak
Iparku yang selalu mendukung, membesarkan hatiku, untuk terus
melangkah menuju cita-cita yang cerah
4. Untuk Adik-adikku tercinta Andi dan Agung yang selalu menghibur
hari-hariku dalam kesunyian, semoga semua menjadi anak-anak yang
sholih
5. Sahabat-sahabatku seperjuangan di Fakultas Syari‟ah khususnya di As,
juga Sahabat-sahabatku di kos As-Salwa tercinta (Lia, Eni, Widi, Neli,
Ero, Dini, Devi, Eni, Nurul, Wiwi) bersama kita goreskan kenangan
dalam suka dan duka.
6. Untuk Ugeng Armawan yang menjadi harapanku senantiasa dengan
amanat kasih sayang tulus membimbingku menuju ridho Allah, semoga
suatu saat dengan izin dan ridho-Nya kita bersatu, aamiiiinnn....
7. Almamaterku tercinta STAIN Pekalongan

6
MOTO
و ل ك لل
“Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu maka apabila telah datang waktunya, mereka
tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula)
memajukannya”.(QS. Al-A’raaf: 34)

7
ABSTRAK
Rianawati, Ani.2011. Euthanasia Dalam Perspektif Hukum Pidana dan
Hukum Islam. Skripsi Jurusan Syari‟ah.Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri
(STAIN) Pekalongan.
Euthanasia pada tahun 2004 menjadi perdebatan dikalangan ahli hukum, ahli
medis dan ahli teolog di mana euthanasia merupakan tindakan memudahkan
kematian seseorang dengan sengaja tanpa merasakan sakit karena kasih sayang
dengan tujuan meringankan penderitaan si sakit, yang sampai sekarang belum ada
kejelasan tentang hukuman yang benar-benar ada dalam hukum pidana di
Indonesia akan tetapi terdapat pasal yang bisa dijadikan pedoman dalam
menentukan hukum bagi pelaku euthanasia yaitu pasal 344 KUHP. Sedangkan
euthanasia dalam hukum Islam merupakan pembunuhan yang dapat dijatuhi
hukuman qishas bagi pelaku euthanasia meskipun yang mengundangnya adalah
rasa belas kasihan seorang dokter kepada pasiennya. Euthanasia termasuk juga
dalam kategori bunuh diri ataupun pembunuhan yang disengaja yang dalam Al-
Qur‟an telah dijelaskan dalam surat An_Nisaa ayat 29 dan ayat 93
Dalam Skripsi ini penulis merumuskan masalah yaitu bagaimana
euthanasia dalam tinjauan hukum Pidana dan hukum Islam? Adapun tujuannya
adalah untuk mengetahui tinjauan hukum pidana dan hukum Islam tentang
euthanasia, diperbolehkan atau dilarang berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (KUHP) dan Al-Qur-an serta Al-Hadits.
Metode penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah (library
research) penelitian berdasarkan buku-buku pustaka dan menggunakan pendekatan
kualitatif sebagai prosedur penelitian yang hasil analisisnya disajikan dalam bentuk
deskriptif, yang diperoleh melalui buku-buku, Nash Al-Qur‟an, dan Hadits Nabi
serta melalui browsing internet yang menjadi penunjang dalam penulisan skripsi
ini, dari sumber-sumber data tersebut kemudian dianalisis secara komparatif
sehingga menghasilkan kesimpulan-kesimpulan untuk menjawab pokok maslah
atau rumusan masalah yang ada.
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa euthanasia
dalam hukum pidana di Indonesia dapat dikategorikan tindak pidana berdasarkan
pasal 344 KUHP walaupun itu atas permintaan si korban dan diancam hukuman
penjara selama 12 tahun. Meskipun didalamnya tidak secara langsung mengacu
tentang euthanasia, tetapi setidaknya pasal tersebut dapat dijadikan bahan acuan
atau pedoman diberlakukannya sanksi pidana bagi pelaku euthanasia. Sedangkam
dalam hukum Islam euthanasia merupakan perbuatan yang dilarang karena bukan
merupakan pembunuhan yang dibenarkan oleh syara‟, terkecuali euthanasia pasif
yang didasarkan pada perilaku tawakal dan bukan karena keputusasaan serta bukan
karena niat bunuh diri atau membunuh pasien,

8
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Subhanahu Wata‟ala yang
telah memberikan hidayah serta berbagai kenikmatan-Nya kepada penulis,
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Euthanasia Dalam
Perspektif Hukum Pidana dan Hukum Islam
Hal ini juga tak lepas dari bantuan berbagai pihak yang tanpa bantuan
tersebut penulis tidak bisa menyelesaikan skripsi ini. Karena itu penulis
mengucapkan banyak terima kasih kepada:
1. Bapak Dr. Ade Dedi Rohayana, M.Ag, selaku ketua STAIN Pekalongan
dan dosen pembimbing.
2. Bapak H. Sam‟ani Sya‟roni, M.Ag, selaku dosen pembimbing skripsi yang
telah meluangkan waktunya dalam memberikan bimbingan selama dalam
penyusunan skripsi ini.
3. Drs. A. Tubagus Surur, M.Ag selaku dosen wali studi yang telah
memberikan arahan dan bantuan kepada saya
4. Ibu yang senantiasa tiada hentinya memberikan dorongan, baik secara fisik
maupun non fisik, dan tiada henti-hentinya pula untuk selalu mendo‟akan
demi kelangsungan cita-cita anaknya.

9
5. Kakak dan adik, yang senantiasa memberikan spirit dalam membangkitkan
jiwa dan raga, supaya bersungguh-sungguh dalam belajar dan
menyelesaikan tugas akhir yang berupa pembuatan naskah skripsi ini.
6. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per-satu yang telah
membantu langsung maupun tidak langsung, hingga penyusunan skripsi
ini selesai.
Semoga amal baik beliau-beliau yang telah membantu penulis dalam
penyusunan skripsi ini diterima olah Allah Subhanahu Wata‟ala dengan
“Jazaakumullah Khairan Katsiiraa” semoga mendapatkan balasan kebaikan
yang banyak dari Allah Subhanhu Wata‟ala.
Akhirnya doa jualah yang dapat penulis panjatkan, harapan penulis yaitu
semoga skripsi dapat bermanfaat baik bagi penulis pada khususnya dan para
pembaca pada umumnya.
Pekalongan, November 2011
ANI RIANAWATI

10
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.................................................................................................i
HALAMAN PERNYATAAN.................................................................................ii
HALAMAN NOTA PEMBIMBING.....................................................................iii
HALAMAN PENGESAHAN.................................................................................iv
HALAMAN PERSEMBAHAN...............................................................................v
HALAMAN MOTTO.............................................................................................vi
ABSTRAK.............................................................................................................vii
KATA PENGANTAR..........................................................................................viii
DAFTAR ISI............................................................................................................x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.....................................................................1
B. Rumusan Masalah...............................................................................4
C.Penegasan Istilah..................................................................................4
D. Tujuan Penelitian................................................................................5
E. Keguaan Penelitian..............................................................................5
F. Tinjauan Pustaka.................................................................................6
G. Metode Penelitian.............................................................................11
H. Sistematika Pembahasan...................................................................13
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG EUTHANASIA

11
A. Pengertian Euthanasia......................................................................14
B. Macam dan Bentuk Euthanasia........................................................18
C. Fenomena Euthanasia.......................................................................24
1. Definisi Kematian........................................................................29
2. Hukum Berobat Menurut Islam...................................................33
BAB III EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM HUKUM PIDANA DAN HUKUM ISLAM
A. Euthanasia Dalam Tinjauan hukum Pidana......................................37
B.Euthanasia Dalam tinjauan Hukum Islam..........................................46
BAB IV ANALISIS
A. Analisis Hukum Pidana Tentang Euthanais.....................................59
B. Analisis Hukum Islam Tentang Euthanasia......................................62
BAB V PENUTUP
A. Simpulan...........................................................................................73
B. Saran – Saran....................................................................................73
DAFTAR PUSTAKA
Daftar Riwayat Hidup

12
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di dalam Al-Qur‟an surat Al-Mulk ayat 2 telah di ingatkan bahwa
hidup dan mati adalah ditangan Allah, yang Ia ciptakan untuk menguji iman,
amalan dan ketaatan manusia terhadap Tuhan penciptanya. Karena itu Islam
sangat memperhatikan keselamatan hidup dan kehidupan manusia itu. Islam
menetapkan berbagai norma hukum perdata dan pidana beserta sanksi-
sanksi, hukuman-hukuman mati, diyat (denda) dan ta‟zir.
Karena hidup dan mati itu adalah ditangan Allah dan merupakan
karunia dan wewenang Tuhan maka Islam melarang orang melakukan
pembunuhan, baik terhadap orang lain maupun terhadap diri sendiri.
Pembunuhan itu bisa dilakukan oleh diri sendiri ataupun melalui bantuan
orang lain, seperti halnya tenaga medis yaitu dokter, yang saat ini dikenal
dengan istilah “euthanasia” yang dewasa ini diartikan dengan pembunuhan
terhadap pasien yang tipis harapannya untuk sembuh.1
Dalam Bahasa Arab euthanasia disebut dengan qatl ar-Rahman atau
taisir al-maut yaitu tindakan memudahkan kematian seseorang dengan
sengaja tanpa merasakan sakit, karena kasih sayang dengan tujuan
meringankan penderitaan si sakit. Euthanasia dalam istilah pertolongan
medis adalah agar kesakitan atau penderitaan yang dialami seseorang yang
1 Ali Ghufron Mukti, Abortus, Bayi Tabung, Euthanasia, Transplantasi Ginjal, dan
Operasi Kelamin Tinjauan Hukum dan Hukum Islam, (Yogyakarta: Aditya Media), Hal. 206

13
akan meninggal diperingan juga berarti mempercepat kematian seseorang
yang ada didalam kesakitan dan penderitaan hebat menjelang kematiannya.2
Peristiwa lain mungkin saja terjadi seperti seseorang tidak tega lagi
melihat penderitaan orang lain, yang menurut orang tuanya atau
keluarganya dan secara medis orang tersebut dinyatakan akan meninggal
dalam waktu yang amat singkat lalu dia menyarankan kepada dokter, untuk
mempercepat kematiannya atau dengan jalan mencabut infusnya peristiwa
tersebut disebut dengan euthanasia yang masih menjadi perdebatan pada
beberapa kalangan yang menyetujui tentang euthanasia dan pihak yang tidak
setuju tentang euthanasia. Pihak yang menyetujui euthanasia dapat
dilakukan, hal ini berdasarkan bahwa setiap manusia memiliki hak untuk
hidup dan hak untuk mengakhiri hidupnya dengan segera dan hal ini
dilakukan dengan alasan yang cukup mendukung yaitu alasan kemanusiaan.
Dengan keadaan dirinya yang tidak lagi memungkinkan untuk sembuh atau
bahkan hidup, maka ia dapat melakukan permohonan untuk segera diakhiri
hidupnya. Sementara sebagian pihak yang tidak membolehkan euthanasia
beralasan bahwa setiap manusia tidak memiliki hak untuk mengakhiri
hidupnya, karena masalah hidup dan mati adalah kekuasaan mutlak Tuhan
yang tidak bisa diganggu gugat oleh manusia.
Perdebatan ini tidak akan pernah berakhir, karena sudut pandang yang
dipakai sangatlah bertolak belakang, dan lagi-lagi alasan perdebatan tersebut
adalah masalah legalitas dari perbuatan euthanasia, walaupun pada dasarnya
2 Ali Hasan, Masail Fiqiyah Al-Haditsah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), Hal.
132

14
tindakan euthanasia termasuk dalam perbuatan tindak pidana yang diatur
dalam pasal 344 Kitab Undang- undang Hukum Pidana (KUHP). Di
Negara-negara Eropa (Belanda) dan Amerika tindakan euthanasia
mendapatkan tempat tersendiri yang diakui legalitasnya, hal ini juga
dilakukan oleh Negara Jepang. Tentunya dalam melakukan tindakan
euthanasia harus melalui prosedur dan persyaratan-persyaratan yang harus
dipenuhi agar euthanasia bisa dilakukan. Munculnya pro dan kontra seputar
persoalan euthanasia menjadi beban tersendiri bagi komunitas hukum.
Sebab, pada persoalan “legalitas” inilah persoalan euthanasia akan
bermuara.3 Kejelasan tentang sejauh mana hukum (pidana) positif
memberikan regulasi / pengaturan terhadap persoalan euthanasia akan
sangat membantu masyarakat di dalam menyikapi persoalan tersebut. Lebih-
lebih di tengah kebingungan kultural karena munculnya pro dan kontra
tentang legalitasnya.4 Patut menjadi catatan, bahwa secara yuridis formal
dalam hukum pidana positif di Indonesia hanya dikenal satu bentuk
euthanasia, yaitu euthanasia yang dilakukan atas permintaan pasien / korban
itu sendiri (voluntary euthanasia) sebagaimana secara eksplisit diatur dalam
Pasal 344 KUHP.5 Penggunaan pasal tersebut sangat diperlukan karena
3http://laporanpenelitian.wordpress.com/2008/05/25/euthanasia-antara-legal-dan-non-
legal (20 Juli 2011) 4http://konsultasi.wordpress.com/2007/01/26/euthanasia-menurut-hukum-islam.(20 Juli
201 5http://konsultasi.wordpress.com/2007/01/26/euthanasia-menurut-hukum-islam. (20 Juli
2011)

15
yang menjadi tujuan akhir dari hukum pidana adalah melindungi masyarakat
dari pihak-pihak yang hendak memaksa hak-haknya.6
Dengan latar belakang dalam permasalahan yang telah dikemukakan
di atas tadi maka penulis memilih judul “EUTHANASIA DALAM
PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN HUKUM ISLAM”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pada uraian di atas maka, rumusan masalah dari
penelitian ini adalah
1. Bagaimana euthanasia menurut tinjauan hukum pidana?
2. Bagaimana euthanasia menurut tinjauan hukum Islam?
C. Penegasan Istilah
Selanjutnya agar tidak terjadi kesalah pahaman terhadap istilah-istilah
yang digunakan dalam tulisan ini, maka perlu kiranya membatasi pengertian
dan menguraikan secara singkat “EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF
HUKUM PIDANA DAN HUKUM ISLAM
Euthanasia adalah tindakan mengakhiri kehidupan seseorang dengan
sengaja yang dalam keadaan sakit berat atau luka parah dengan kematian
yang tenang dan mudah atas dasar perikemanusiaan.7
Perspektif adalah Pandangan8
6 Waluyadi, Ilmu Kedokteran Kehakiman..........Hal.135
7 Anton M Mulyono, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1988)
hal. 237 8 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Edisi kedua, (jakarta : Balai Pustaka, 1996), hal. 760

16
Hukum Pidana adalah keseluruhan peraturan hukum yang berisi
perintah-perintah dan larangan-larangan yang mempunyai sanksi pidana
yang dikenakan kepada mereka yang melanggarnya. Sanksi pidana yang
dimaksud guna menegakkan norma hukum yang ada padanya, agar tidak
terjadi pelanggaran lagi.9
Hukum Islam adalah seperangkat aturan berdasarkan wahyu Allah
swt dan sunnah Rosul-Nya tentang tingkah laku manusia mukallaf yang
diakui dan diyakini berlaku dan mengikat untuk semua umat yang beragama
Islam.10
Mengingat euthanasia merupakan masalah yang sangat dilematis dan
perlu adanya pemahaman yang mendalam tentang permasalahan tersebut,
maka berangkat dari sinilah penulis merasa tertarik untuk meneliti lebih
lanjut tentang euthanasia dan selanjutnya penulis mengambil judul
euthanasia dalam perspektif hukum pidana dan hukum Islam
D. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan:
1. Untuk menetahui euthanasia dalam tinjauan hukum pidana
2. Untuk mengetahui euthanasia dalam tinjauan hukum Islam
E. Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaannya sebagai berikut :
1. Secara praktis
9 Zaenul Bahri, Kamus Umum Hukum dan Politik, (Bandung: Angkasa, 1996), Hal. 102
10 Amir Syarifudin, Pengertian dan Sumber Hukum Islam, (Jakarta : Depag, Bumi
Aksara dan Depag, edisi I, cet. II,1992), hal. 14

17
Peneletian ini diharapkan dapat memberi sumbangan wacana dan
pengetahuan mengenai euthanasia
2. Secara teoritis
Meningkatkan pengetahuan, pemahaman dan pengalaman dalam ruang
lingkup yang lebih luas mengenai euthanasia
F. Tinjauan Pustaka
1. Kerangka Teori
Islam diturunkan sebagai Rahmatan lil „alamin, karenanya segala
dimensi pembangunnya harus mampu mengakomodir segala kebutuhan
maupun tuntutan hidup manusia yang selalu menyesuaikan perjalanan
waktu, tatanan ruang dan tuntutan efektifitas serta kepraktisan hidup. Maka,
sesuai dengan peranan dan kepentingan ini, dari sisi hukum, hukum Islam
(hukum Shar‟i) harus bisa menyesuaikan diri dengan dinamika problema
masyarakat yang terus berubah, mengikuti ruang dan waktu. Untuk
menjawab semuanya itu, diciptakanlah ilmu Fiqh, yaitu : kodifikasi hukum
Shar‟i yang diciptakan menurut ruang dan waktu, yang sifatnya
kontemporer dan substansial.
Mencermati masalah euthanasia, yaitu suatu proses “pembunuhan
yang disengaja” yang dilakukan oleh seorang dokter atau ahli medis lain
terhadap pasiennya, dalam rangka mengurangi beban rasa sakit dan atau
untuk menekan biaya berobat yang sia-sia, karena pada dasarnya tidak
mungkin lagi si pasien disembuhkan, maka penyelesaiannya adalah dengan
“membunuh” pasien, dalam hukum Islam terdapat hukum yang substansial.

18
Jika yang dijadikan Hujjah adalah dalil al-Qur‟an surat An-Nisaa‟ ayat
92, yang isinya, keharaman membunuh kecuali karena korban melakukan
kesalahan yang dibolehkan oleh agama untuk membunuhnya, maka
euthanasia menjadi haram, karena bagaimanapun seorang pasien tidak bisa
dikategorikan sebagai orang yang menyalahi aturan agama, sebab penyakit
menjadi suatu hal lain dari kuasa manusia untuk menghindarinya. Penyakit
adalah takdir Tuhan yang tak dapat disangkal, dihindari, apalagi dibuang
dengan kuasa manusia.
Keharaman euthanasia menjadi lebih tegas, bila mencermati dalil al-
Qur‟an surat An-Nisaa‟ ayat 29 yang isinya : keharaman membunuh diri
sendiri. Ini menjawab, bahwa upaya pengobatan pasien adalah suatu
kewajiban. Apapun alasannya seseorang yang sakit, diwajibkan berupaya
untuk menyembuhkan dirinya.maka, jika dikaitkan dengan euthanasia,
kerelaan pasien atau keluarganya untuk menjalani euthanasia, tidak sesuai
dengan hukum Islam. Lalu, pada surat Al-Baqarah ayat 178, yang
menerangkan tentang Qishash, yaitu : hukuman mati bagi seseorang yang
membunuh karena sengaja; dapat menjerat seorang dokter atau ahli medis
lain yang melakukan euthanasia.
Namun dalam perkembangannya, ada beberapa sebab dan dalil ayat
al-Qur‟an yang dapat dijadikan sebagai Hujjah kebolehan melakukan
euthanasia. Lihat bunyi surat al-An‟aam ayat 151, yang menyatakan :
dibolehkan membunuh karena adanya sebab yang dibenarkan secara Shar‟i.
Asas pembangun hukum Shar‟i, salah satunya adalah hifdzil maal atau

19
hifdzil nashab. Jika dikaitkan dengan euthanasia, maka apa yang menjadi
kesepakatan antara tenaga medis, pasien dan keluarga pasien, yaitu
membunuh pasien, menjadi diperbolehkan. Pertimbangannya adalah untuk
menyelamatkan harta pasien dari kesia-siaan melakukan upaya pengobatan,
sebab hasil diagnosa akhir adalah pasien tidak mungkin disembuhkan.
Upaya euthanasia dalam kasus seperti ini juga dalam rangka menyelamatkan
keberlangsungan kehidupan keluarga, karena dengan euthanasia dapat
menghidarkan keluarga dari keborosan atau perpecahan yang mungkin
terjadi.
Dalam hal penjatuhan hukum Qishash, hal ini dapat diabaikan, karena
apa yang dilakukan dokter atau ahli medis lainnya berdasarkan kesepakatan
dan izin pasien dan keluarganya. Di dalam kerelaan pasien dan keluarganya
itu tentu berisi pula pintu maaf sepenuh hati bagi tindakan dokter atau ahli
medis lainnya melakukan euthanasia. Hal ini sesuai dengan dalil al-Qur‟an
surat Al-Baqarah ayat 178, yang poin terpentingnya adalah : Penghapusan
Qishash sebab adanya maaf dari keluarga korban. Adapun Diyat yang
menjadi pengganti Qishash di dalam kasus euthanasia, juga terhapus karena
adanya illat yang pasti, yaitu: pada dasarnya euthanasia yang dilakukan
demi maslahah yang lebih besar.
upaya pengobatan pada dasarnya hukumnya mandub (sunnah),
sehingga pemasangan alat bantu penyembuhan serta pemberian obat boleh
dihentikan jika memang final diagnosa menyatakan pasien tidak dapat lagi
disembuhkan. Dokter tidak bisa di Qishas, karena dia hanya bertindak

20
sebagai perangkat medis. Dan apa yang dilakukannya (euthanasia) semata-
mata karena telah mendapatkan izin dari pasien dan keluarganya.
Sesuai dengan dalil-dalil didalam al-Qur‟an yang memberikan
peluang untuk melakukan euthanasia diatas, maka pada dasarnya hukum
Shar‟i-pun membolehkan euthanasia dengan ketentuan-ketentuan yang
mesti dilakukan, yaitu:
a. Hasil diagnosa akhir menyatakan pasien tidak mungkin lagi
disembuhkan
b. Upaya penyembuhan hanya kesia-siaan belaka, menimbulkan
keborosan dan kemungkinan terjadi perpecahan.
c. Adanya izin dari pasien dan keluarganya bagi dokter untuk melakukan
euthanasia.
d. Euthanasia dilakukan dengan cara manusiawi dan halus, seperti
mencabut infus atau selang oksigen, tidak dengan cara kasar, seperti
menyuntikkan suatu obat (racun) untuk mempercepat proses kematian.
Jika semua syarat atau ketentuan-ketentuan ini telah terpenuhi, maka
euthanasia dapat dilakukan, dan hukumnya adalah boleh. Adapun dokter
dan atau ahli medis lain tidak dapat dikenai Qishash dan juga Diyyat.
Namun dalam hal ini ada beberapa alterntif pasal dalam KUHP yang
dapat dijadikan pijakan dalam hal menentukan pertanggungjawaban pidana
dalam kaitannya dengan persoalan dan peristiwa euthanasia. Berikut adalah
pasal yang menjelaskan tentang pembunuhan secara umum, yaitu pasal
pertama dalam bab XIX yakni pasal 338 yaitu:

21
“Barang siapa sengaja merapas nyawa orang lain diancam karena
pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”
2. Hasil Penelitian Yang Relevan
Ada beberapa kajian atau tulisan yang berhubungan dengan problem
penelitian ini. Tulisan atau pustaka tersebut antara lain :
Dalam skripsi yang ditulis oleh Fajar Nugroho tahun 2008 yang
berjudul Euthanasia Dalam Tinjauan Pidana Islam dijelaskan bahwa
euthanasia berkaitan erat dengan pembunuhan, terutama euthanasia aktif.
Membunuh manusia hukumnya haram dengan alasan apapun dan dengan
cara apapun kecuali terhadap orang yang berhak untuk dibunuh, dan itupun
dilakukan oleh negara, yaitu qishas terhadap membunuh, rajam bagi orang
berzina yang statusnya sudah menikah. Sedangkan bunuh diri dengan cara
apapun dan dengan alasan apapun tidak dibenarkan. Namun dalam hal ini
tindakan euthanasia dalam hukum Islam belum ada kejelasan dalam hal
pengkategorian tindakan pembunuhan yang merupakan suatu jarimah.11
Dalam jurnal yang berjudul Euthanasia Pasif yang Disahkan di
Swedia dijelaskan bahwa otoritas medis mengakhiri kekosongan yuridis
dengan mengijinkan dokter untuk menerima seorang wanita cacat
dieuthanasia disambut baik oleh para pasien yang memang sudah
menginginkan untuk dieuthanasia. Pasien yang menginginkan untuk
dieuthanasia menganggap bahwa keputusan tersebut sangat baik karena hal
tersebut memudahkan mereka untuk secepatnya dieuthanasiakan karena
penyakit yang diderita tak kunjung sembuh. Keputusan tersebut merupakan
11
http://www.freeskripsi.com/search/jurnal-euthanasia.com. (30 Oktober 2011)

22
tanggapan terhadap penyelidikan yang ditimbulkan oleh masyarakat
Swedia.12
Penelitian ini ada korelasinya dengan hasil penelitian yang telah
dikemukakan di atas. Namun, dalam penelitian ini yang menjadi fokusnya
yaitu euthanasia dalam pandangan hukum pidana positif di Indonesia dan
hukum Islam.
G. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan saperangkat metode
penelitian yang dapat mempersiapkan, menunjang dan membimbing serta
mengarahkan penelitian ini sehingga memperoleh target yang dituju secara
ilimiah.
1. Jenis penelitian
Pada dasarnya penelitian ini adalah penelitian kepustakaan dan
pendekatan kualitatif yaitu suatu pendekatan dalam melakukan penelitian
yang berorientasi pada fenomena atau gejala yang bersifat alami dan hasil
analisisnya disajikan dalam bentuk deskriptif,13
karena sumber data
sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari sumber-sumber kepustakaan
yang relavan dengan tema pembahasan yang ada, dari berbagai sumber
tersebut kemudian di deskripsikan dan kemudian dianalisis sehingga
mengahasilkan kesimpulan-kesimpulan untuk menjawab pokok masalah
atau rumusan masalah yang ada.
12
http://translate.google.co.id/translate?hl=id&sl=en&u=http://www.jurnal.md/en/news/p
assive-euthanasia-legalized-in-sweden-185466.pdf. (30 Oktober 2011) 13
Wardi Bahtiar, Metodologi Penelitian Dakwah, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997),
hal. 72

23
2. Sumber Data
Data-data yang dihimpun sebagaimana tersebut di atas, diperoleh dari
literatur-literatur atau buku-buku tertulis, Nash Al-Qur‟an, Hadist Nabi Saw,
Kitab Undang-undang serta diambil dari internet yang spesifik membahas
dan mengupas secara tuntas terkait dengan penelitian tersebut.
3. Tekhnik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data-data yang diperlukan dalam menulis skripsi ini
yaitu dilakukan dengan menggunakan metode dokumentasi. Dokumen
ini berupa kitab Undang-undang, penelitian terdahulu yang relevan dan
buku-buku yang sesuai dengan pembahasan masalah.
Adapun agar mempermudah dalam proses menganalisis data, maka cara
yang digunakan adalah dengan membaca, memahami, dan mempelajari
serta menganalisis dokumen-dokumen tersebut, kemudian
mengelompokkannya pada bab-bab sesuai dengan sifatnya masing-
masing.
4. Analisis Data
Metode analisis data berisi cara-cara menganalisis bagaimana
menganalisis data yang telah terkumpul untuk digunakan dalam pemecahan
masalah penelitian. Perolehan data dianalisis secara komparasi berdasarkan
hukum pidana dan hukum Islam, menggunakan metode analisis untuk
menganalisis hukum-hukum yang tertulis dalam bahan yang telah
ditemukan berupa buku-buku, jurnal, Al-Qur‟an, Kitab Undang-undang
Hukum Pidana, maupun literatur dari internet. Kemudian data yang sudah

24
terkumpul dianalisis dan dipisah-pisahkan menurut kategori masing-masing
dan kemudian ditafsirkan dalam usaha mencari jawaban masalah-masalah
penelitian.14
H. Sistematika Pembahasan
Untuk lebih memperjelas gambaran dan mempermudah dalam
penelaahan data-data terkait dari penelitian yang akan dilakukan, maka
sistematika penulisan dalam penelitian ini, dikelompokkan ke dalam dua
bagian pokok, yaitu:
Bab I Pendahuluan, yang berisi tentang latar belakang masalah,
rumusan masalah, penegasan istilah, tujuan dan kegunaan penelitian, telaah
pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan.
Bab II Tinjauan umum, yang menguraikan tentang pengertian
euthanasia macam dan bentuk euthanasia, dan juga, membahas tentang
fenomena euthanasia.
Bab III Berisi tentang Euthanasia dalam perspektif hukum pidana dan
hukum Islam
Bab IV Analisis, berisi analisis tentang euthanasia dalam tinjauan
hukum pidana dan hukum Islam.
Bab V Penutup, berisi tentang simpulan dan saran-saran
14
Burhan Asshofa, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), Hal. 124

25
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG EUTHANASIA
A. Pengertian Euthanasia
Berdasarkan pada cara terjadinya, ilmu pengetahuan membedakan
kematian ke dalam tiga jenis yaitu:
a) Orthothanasia, yaitu kematian yang terjadi karena proses ilmiah
b) Dysthanasia, yaitu kematian yang terjadi secara tidak wajar
c) Euthanasia, yaitu kematian yang terjadi dengan pertolongan atau tidak
dengan pertolongan dokter.15
Jenis kematian euthanasia kini menjadi polemik hangat dikalangan
ahli teologi, ahli hukum, ahli kedokteran maupun masyarakat pada
umumnya, kiranya perlu kita bahas lebih lanjut.
Istilah “Euthanasia” secara etimologi berasal dari bahasa Yunani yang
berasal dari kata “Eu” dan “thanatos”. “Eu” yang artinya normal, baik atau
sehat. “Thanatos” artinya mati, “Euthanateo” artinya aku menjalani
kematian dengan layak. “Euthanatos” (kata sifat) artinya mati dengan
tenang.16
Dalam berbagai kepustakaan ditemukan juga sebutan lain untuk
Euthanasia, seperti “Mercy Death”, “Mercy Killing”, “hak untuk mati”,
“mati secara terhormat”, “hak untuk menolak pengobatan”, “pembunuhan
15
Djoko Prakoso dan Djaman Adhi Nirwanto, Euthanasia, Hak Asasi Manusia dan
Hukum Pidana, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984), Hal. 10 16
Sjechul Hadi Permono, Euthanasia Ditinjau Hukum Islam dan Hukum Pidana,
(Surabaya: Wali Demak Press), hal. 32

26
diri dengan bantuan”, “dan pembunuhan dengan kasih sayang”. Namun
diantara sekian banyak istilah tersebut, euthanasia merupakan sebutan yang
paling mapan.
Euthanasia secara sederhana dapat diartikan sebagai bentuk kematian
yang baik, yang menurut beberapa pihak dianggap sebagai sesuatu yang
baik.17
Euthanasia dalam istilah bahasa Arab disebut dengan (الرحمة قحل), ialah
tindakan memudahkan kematian seseorang dengan sengaja tanpa merasakan
sakit, karena kasih sayang dengan tujuan meringankan penderitaan sisakit,
baik dengan cara positif maupun negatif.18
Beberapa tokoh berpendapat mengenai euthanasia, diantaranya adalah:
1. Possidippos, pujangga sekitar tahun 300 SM, dia mengatakan “dari
apa yang diminta manusia kepada para dewa, tiada sesuatu yang lebih
baik daripada kematian yang baik”
2. Suetius, ahli sejarah, sekitar tahun 170-70 SM menerangkan tentang
kematian kaisar Agustinus sebagai berikut: “ia mujur mendapatkan
kematian yang sudah seperti yang selalu diinginkannya. Karena ia
hampir selalu mendengar seseorang dapat meninggal dengan cepat
dan tanpa penderitaan, biasa memohon kepada dewa-dewa bagi
dirinya dan keluarganya untuk dapat di euthanasia, itulah kata yang
dipakainya”.
17
Waluyadi, Ilmu Kedokteran Kehakiman, (Djambatan 2000), hal.135 18
Yusuf Qardhawi, Fatwa-fatwa Kontemporer, jil II, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995),
hal. 749

27
3. Cirero, seorang sastrawan sekitar tahun 106 SM, “memakai istilah
euthanasia dalam arti kematian penuh kehormatan, kemuliaan dan
kelayakan”.
4. Philo, filosof yahudi sekitar tahun 50-20 SM, “Euthanasia merupakan
kematian tenang dan baik”19
5. Fancis Bacon, dalam “Nosa Atlantis” mengajukan gagasan
Euthanasia, medica: Dokter hendaknya memanfaatkan juga untuk
meringankan penderitaan menjelang kematian”.
6. St. Thomas, dalam “the best from of gofernmentand the new island
of utopia” yang terbit pada tahun 1516 M, menguraikan gagasan
mengakhiri kehidupan yang penuh dengan sengasara secara bebas
dengan berhenti makan atau dengan racun yang dapat
membinasakan.20
Euthanasia biasa didefinisikan sebagai a good death atau mati dengan
tenang. Hal ini dapat terjadi karena pertolongan dokter atas permintaan dari
pasien ataupun keluarganya, karena penderitaan yang sangat hebat, dan
tiada akhir, ataupun tindakan membiarkan saja oleh dokter kepada pasien
yang sedang sakit tanpa menentu,tanpa memberikan pertolongan
seperlunya.21
Menurut kalangan medis, istilah euthanasia berarti membantu
seseorang untuk meninggal dunia lebih cepat demi untuk membebaskanya
19
http://www.inchrist.net/artikel/misi/euthanasia_sebuah_dilema_abuabu_dunia_kedokter
an.(20 Juli 201) 20
20 Djoko Prakoso, Euthanasia Hak Asasi Manusia dan Hukum Pidana, Hal. 35
21 Djoko Prakoso, Euthanasia Hak Asasi Manusia dan Hukum Pidana, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1984), hal. 55

28
dari penderitaan akibat penyakitnya. Dari sini jelas bahwa meskipun petugas
medis mempercepat atau paling sedikit “tidak menghambat” datangnya ajal,
mereka ingin membedakanya dari pengertian “pembunuhan” yang
mempunyai sifat kriminal, karena tugas yang paling utama dari seorang
dokter adalah memulihkan kesehatan (dan dengan demikian maka akan
menghambat kematian) dan bukanya mempercepat kematian seseorang,
maka sampai pada batas pengertian ini, sebenarnya euthanasia bertentangan
dengan tugas profesi seorang dokter,22
dan menjadi kontroversi para ahli
hukum, ahli teolog dan ahli kedokteran yang membutuhkan titik temu dalam
menanggapi masalah euthanasia.
Di Indonesia menurut kode etik kedokteran Indonesia (Kodeki), istilah
euthanasia dipergunakan dalam tiga arti, yaitu:
a. Berpindah ke alam baka dengan tenang dan aman, tanpa adanya
penderitaan untuk mereka yang beriman dengan menyebut nama Allah
b. Ketika hidup berakhir, penderitaan sisakit diringankan dengan cara
memberikan obat penenang.
c. Mengakhiri penderitaan dari hidup seseorang yang sakit dengan
sengaja atas permintaan dari sipasien sendiri dan keluarganya.23
Dari berbagai adanya perumusan istilah euthanasia, maka penulis
cenderung untuk melihat dari sisi hukum Islam dan hukum pidana serta
dilihat dari medis, hingga dapat mengemukakan definisi euthanasia adalah
22
Sjechul Hadi Permono, Euthanasia Ditinjau Hukum Islam dan Hukum Pidana.........
hal. 33 23
Abul Fadl Mohsin Ebrahin, Kloning Euthanasia, Transfusi Darah, Transplantasi
Organ dan Eksperimen pada Hewan..............Hal. 148-149

29
segala macam tindakan melakukan sesuatu untuk mengakhiri hidup seorang
pasien dengan cara membebaskan dari penderitaannya demi kepentingan
pasien sendiri dengan segala pertimbangan yang matang, dengan
berdasarkan atas persetujuan dari berbagai pihak baik dari diri pasien itu
sendiri, keluarganya maupun dari dokter yang ahli dibidangnya.24
B. Macam dan Bentuk Euthanasia
Dari uraian di atas tentang pengertian dan pemahaman istilah
euthanasia sebagaimana yang telah diuraikan, maka kita dapat menarik
suatu batas dalam macam dan bentuk euthanasia.
Pada dasarnya euthanasia dapat dibedakan kedalam tiga macam, yaitu:
a. Euthanasia Aktif
yaitu suatu tindakan dari dokter atau tenaga kesehatan lainnya dengan
secara sengaja memperpendek atau mengakhiri hidup si pasien.
b. Euthanasia pasif
Yaitu suatu tindakan dari seorang dokter atau tenaga kesehatan
lainnya dengan secara sengaja tidak lagi memberikan bantuan medis
yang akan dapat memperpanjang hidup si pasien, dalam hal ini bukan
berarti tindakan perawatan dihentikan akan tetapi perawatan terhadap
pasien tetap diberikan terus menerus secara optimal yang
dimaksudkan untuk membantu terhadap pasien dalam akhir hidupnya.
24
http://walausetitik
.blogspot.com/2007/09/euthanasia-menurut-hukum-islam.htm. (20 Juli
2011)

30
c. Auto euthanasia
Yaitu tindakan seorang pasien yang menolak secara tegas dan dalam
keadaan sadar untuk menerima perawatan medis dan ia juga
mengetahui bahwa hal tersebut akan dapat memeperpendek atau
mengakhiri hidupnya dan penolakan tersebut ia membuat sebuah
cocodicil (pernyataan tertulis tangan). Auto euthanasia pada dasarnya
adalah bentuk euthanasia pasif atas permintaan dari pasien.
Euthanasia menurut Jenny Teichman dapat digolongkan menjadi
tiga golongan yaitu antara lain:
a. Voluntary Euthanasia (euthanasia sukarela)
b. Non Voluntary Euthanasia (euthanasia yang diandai-andaikan)
c. Involuntary Euthanasia (euthanasia yang dipaksakan)25
Penggolongan euthanasia menurut Jenny Teichman tersebut di atas
mempunyai pengertian bahwa, voluntary euthanasia ini diartikan sebagai
kematian yang diminta oleh seseorang (pasien) sehingga tertolong untuk
segera mati, misalnya seseorang yang sedang menderita Sindroma Tay
Sach. Keputusan atau keinginan untuk mati ada pada pihak orang tua pasien
atau pada orang yang bertanggung jawab terhadap perbuatan tersebut.
Jenis yang kedua, mengandung pengertian bahwa kematian yang
dialami oleh pasien tidak diusulkan karena pasien tidak sadar atau terlalu
dini untuk diajak berbicara. Dalam hal ini individu tersebut dapat
menyatakan keinginannya.
25
Jenny Theichman, Etika Sosial, Kavislus, Cet. I, (Yogyakarta: 1998), hal. 75

31
Jenis euthanasia yang ketiga, dapat diartikan sebagai pembunuhan atas
diri pasien yang dalam keadaan sadar akan tetapi tidak dimintai persetujuan
sebelumnya.
Dr. JE. Sahetapi, SH, telah menggolongkan euthanasia, pada majalah
Badan Pembangunan Hukum Masyarakat (BPHM) kedalam tiga jenis, yaitu:
a. Action to Permit-Death to Occur
b. Failure to Take Action to Prevent-Death
c. Positive Action to Cause.26
Penjelasan dari tiga jenis euthanasia tersebut di atas adalah bahwa
pada jenis euthanasia yang pertama adalah bentuk kematian yang dapat
terjadi karena pasien dengan sungguh-sungguh dan secara cepat
menginginkan untuk segera mati. dalam hal ini pasien tentunya secara sadar
dan mengetahui bahwa penyakit yang di deritanya tidak akan dapat di
sembuhkan lagi, walaupun di adakan pengobatan dan perawatan secara baik.
Oleh karena itu pasien tersebut kemudian meminta kepada seorang dokter
agar dokter tidak usah memberikan pengobatan kepadanya guna
panyembuhan terhadap penyakit yang di deritanya, di samping itu juga
pasien tersebut meminta untuk tidak di adakan perawatan di rumah sakit
lagi, namun pasien supaya di biarkan begitu saja di rumah pasien sendiri,
dengan asumsi bahwa pasien tersebut akan merasa bahagia karena pasien
akan segera mati dengan tenang di samping keluarganya. Dalam hal ini
apabila dokter memberikan izin atas segala permohonan pasien, kematian
26
Djoko Prakoso dan Djaman Adhi Nirwanto, Euthanasia Hak Asasi Manusia dan
Hukum Pidana........... hal.73

32
yang mungkin akan terjadi seolah-olah merupakan bentuk kerjasama antara
pasien dan dokter yang semula merawatnya. Jenis euthanasia diatas disebut
dengan euthanasia pasif.
Jenis euthanasia yang kedua (Failure to take action to prevent death),
yaitu kematian yang terjadi karena kelalaian dari seorang dokter dalam
mengambil suatu tindakan guna mencegah adanya kematian, tatapi ia tidak
mengerjakan apapun atau tidak melakukan sesuatu,karena dokter
mengetahui atau mengerti bahwa pengobatan yang akan di berikan kepada
pasien tersebut adalah sia-sia belaka. Dengan pangertian bahwa bila dokter
tersebut akan memberikan pengobatan, maka hal itu di pandang sebagai
suatu tindakan yang tidak berarti, sehingga sudah tidak ada lagi upaya
penyembuhan secara normal. Akhirnya pasien dibiarkan begitu saja sampai
ajalnya tiba dengan sendirinya. Pada dasarnya euthanasia jenis yang kedua
ini adalah sama dengan jenis euthanasia yang pertama. Adapun letak
perbedaannya adalah pada tindakan membiarkan pasien tersebut mati
dengan sendirinya tanpa mengadakan pencegahan. Jika pada jenis yang
pertama tindakan membiarkan ini timbul karena adanya persetujuan dari
kedua belah pihak, yaitu persetujuan antara pasien dan dokter yang telah
merawatnya, sedangkan pada jenis yang kedua tindakan itu timbul hanya
datang dari salah satu pihak saja, yakni dari pihak dokter yang merawatnya.
Euthanasia jenis yang ketiga (positive action to cause death)
merupakan tindakan yang positif dari seorang dokter untuk mempercepat
terjadinya kematian. pada jenis euthanasia ini biasanya di katagorikan

33
sebagai euthanasia aktif, karena adanya aktifitas yang dilakukan oleh dokter
atau pihak lainnya untuk mempercepat kematian seseorang.27
Euthanasia menurut Dr. Yusuf Qordowi di golongkan kedalam tiga
jenis
1. Taisir al maut / Qotlu al rohmah, yaitu tindakan mempermudah
kematian seseorang dengan sengaja tanpa merasakan sakit karena
adanya kasih sayang dengan tujuan meringankan penderitaan si sakit,
baik yang di lakukan dengan cara positif maupun negatif.
2. Taisir al-maut ialah tindakan memudahkan kematian si sakit, karena
kasih sayang yang di lakukan oleh dokter yang mempergunakan
instruman (alat).
3. Taisir al-maut mufa‟il, pada euthanasia jenis ini dipergunakan
instrumen (alat) ataupun langkah - langkah aktif untuk mengakhiri
kehidupan si sakit, akan tetapi si sakit (pasien) hanya di biarkan
pengobatan untuk memperpanjang akhir hayatnya.28
Di dalam dunia medis, ada yang disebut dengan pseudo euthanasia,
yaitu bentuk semu euthanasia, bentuk ini Nampak mirip dengan euthanasia
tetapi bentuk ini bukanlah euthanasia, jadi pseudo euthanasia merupakan
tindakan yang mirip euthanasia baik yang aktif maupun yang pasif29
. hal ini
perlu diketahui atau dikemukakan oleh penulis agar dalam menentukan
suatu tindakan medis yang berhubungan dengan “hidup dan mati” tidaklah
27
Djoko Prakoso, Euthanasia Hak Asasi Manusia dan Hukum Pidana........... hal.74 28
Yusuf Qardhawi, Fatwa-fatwa Kontemporer, jilid II (Jakarta: Gema Insani Press,
1995), hal. 749 29
http://laporanpenelitian.wordpress.com/2008/05/25/euthanasia-antara-legal-dan-non-
legal. (20 juli 2011)

34
gegabah dan juga diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam
menentukan apakah suatu perbuatan dapat disebut sebagai euthanasia atau
bukan.
Menurut pendapat Prof. Mr. H.J.J. Leenen, guru besar hukum
kesehatan pada Fakultas Hukum dan Fakultas Kedokteran Van
Amsterdam yang mensinyalir bahwa di dalam dunia medis di temukan
bentuk-bentuk pengakhiran hidup yang bukan euthanasia, akan tetapi
memang mirip dengannya, bentuk-bentuk yang di maksud antara lain
adalah:
1. Pengakhiran perawatan pasien karena “mati batang otak” (brain
death) dalam keadaan seperti ini memperoleh tindakan penopang
(supurfit) dengan bantuan mesin.
2. Keadaan darurat (emergency) yang tidak dapat di atasi karena
terbatasnya fasilitas pelayanan kesehatan yang ada, misalnya pada
kejadian-kejadian luar biasa seperti adanya bencana alam.
3. Penghentian tindakan atau perawatan medis yang tidak ada gunanya
lagi, berdasarkan kriteria-kriteria ilmu kedokteran (zin loo) 30
4. Penolakan perawatan medis31
Dari berbagai uraian macam dan bentuk euthanasia di atas kiranya kita
dapat mensinyalir bentuk dan macam euthanasia, apa yang ada sesuai
30
Djoko Prakoso dan Djaman Adhi Nirwanto, Euthanasia Hak Asasi Manusia dan
Hukum Pidana........... hal.87 31
Danny Wradharma, Penuntun Kuliah Kedokteran, (Jakarta: Bina Rupa Aksara, 1996),
Hal. 44

35
dengan fenomena yang terjadi, baik di kalangan medis dan di masyarakat
pada umumnya.
C. Fenomena Euthanasia
Euthanasia merupakan sebuah istilah yang mungkin jarang
dibicarakan tetapi juga merupakan persoalan dan pilihan-pilihan sulit ketika
memang harus terjadi, karena keduanya adalah bagian dari realitas dalam
kehidupan kita .
Seorang ibu muda (Agian Isna Nauli) baru 30-an tahun umurnya,
pasca melahirkan melalui caesar sebagian besar jaringan ototnya tiba-tiba
menglami lumpuh secara total, termasuk otot yang di perlukan untuk
bernafas, menelan, membuang kotoran dan sebagiannya tetapi saraf-
sarafnya hidup, karena itu ia hanya terbaring, namun sadar sepenuhnya dan
hal ini tentu akan amat menyiksanya. Sebab dengan demikian, ia bisa
merasakan rasa ngilu luar biasa yang mengiringi penyakitnya, serta dengan
tanpa henti menderanya berbulan-bulan ia begitu, dengan 1001 macam
jarum tertanam di tubuhnya, sebab lantaran alat-alat itu sajalah, ia masih
bertahan hidup.
Sebelum ini, suaminya banyak melakukan perjalanan, mengurus
usahanya yang lumayan maju, kini tentu tidak bisa lagi, seluruh usahanya
berhenti secara total. Sebaliknya lebih dari satu milyar rupiah hanya
dikeluarkan untuk membiayai pengobatan, satu persatu barang milik yang
berharga terpaksa di jual, anak-anak pun kurang perhatian dan terbengkalai

36
sekolahnya. Suatu hari dokter spesialis neorologi yang merawatnya berkata;
“Bahwa usaha saya sudah maksimal”, akan tetapi kemungkinan istrinya
untuk sembuh nyaris tiada, namun ia masih bisa bertahan, itu semata-mata
adalah karena alat penunjang yang mahal biaya pemakaiannya, sementara
itu banyak pasien lain yang membutuhkan alat-alat tersebut.
Oleh karena itu, dokter meminta agar keluarganya mempetimbangkan
apakah tidak sebaiknya alat-alat tersebut di cabut saja. Dengan demikian
sang isteri tercinta bisa meninggal secara alamiah, bahkan terbebas dari
penderitannya, kalaupun Tuhan berkenan memberikan mukhjizat, toh tidak
bergantung pada menempel atau tidaknya alat-alat tersebut. Dengan sangat
terpaksa pada hari Jum‟at tanggal 22 Oktober 2004, pasca Satrya Hasan
Kusuma, menetapkan hati untuk mengirim surat permohonan tindakan
euthanasia untuk isteri Again Isna Nauli (23 tahun ke pengadilan Negeri
(PN) Jakarta Pusat, dalam surat permohonan tersebut, 32
Hasan meminta
kepada ketua PN Jakarta Pusat untuk berkenan menetapkan apakah bisa
dilakukan euthanasia terhadap isterinya atau tidak). Dengan adanya kasus
ini sontak mengundang polemik kembali meski sudah sejak lama, beberapa
kalangan menilai bahwa tindakan euthanasia sama saja dengan
pembunuhan, sementara pihak lain menganggap bahwa euthanasia bisa
dilakukan jika alasannya memang demi membantu si pasien terlepas dari
penderitaan.
32 http://konsultasi.wordpress.com/2007/01/26/euthanasia-menurut-hukum-islam. (20 juli
2011)

37
Manusia hanya dapat berusaha akan tetapi akhirnya hanya Allah yang
Maha Penentu dan pengatur segalanya, sesuatu yang dianggap baik oleh
manusia belum tentu baik menurut Allah. Tragis memang bila Ny. Agian
atas usulan suaminya agar dieuthanasia, yang mengundang polemik
diberbagai kalangan, baik kalangan hukum, agama, kedokteran dan
masyarakat luas ketika itu. Ternyata pada awal Januari 2005 sang isteri (Ny
Agian) yang berbulan-bulan koma, sudah dapat berbicara, berdoa dan
bernyanyi pula. Usul suami tidak sepenuhnya salah karena berangkat dari
ketetapan prognosis dokter yang menilai kondisi penyakit Ny. Again yang
sudah tidak mungkin dapat pulih kembali. 33
Kalau begitu kasus Ny. Again secara bahasa medis dinilai sudah
berprognosis infaust, bernasib buruk tanpa bisa ada tangan medis yang
memulihkannya lagi, ternyata apa yang dikategorikan berprognosis buruk
itu ternyata tidak seburuk yang dikira, hal itu berarti kita tidak harus
sepenuhnya percaya kepada bahasa medis, ramalan medis atau
penghitungan nasib penyakit yang kita idap, mungkin saja memang lebih
banyak betulnya, akan tetapi kita jangan lupa siapa tahu masih ada
keajaiban di sana, keajaiban yang semacam inilah yang tidak boleh kita
nafikan.
Memang tidak bijak bila kita tergesa-gesa mengambil keputusan dan
setiap realita yang masih menyimpan keajaiban, termasuk keajaiban untuk
sembuh, entah oleh tangan siapa yang harus kita tetap yakini bahwa Tuhan
33
http://konsultasi.wordpress.com/2007/01/26/euthanasia-menurut-hukum-islam. (20 juli
2011)

38
masih mau ikut campur dengan urusan kita, jika kita mau untuk
memintanya.
Masalah euthanasia ramai diperdebatkan di negara Belanda, sekitar
tahun 1952-an, yang bermula pada kasus seorang dokter yang melakukan
pembunuhan dengan niat sebenarnya membantu pasien melepaskan diri dari
derita berkepanjangan, pasien yang menderita penyakit yang selain
membuatnya sangat kesakitan juga tidak dapat di sembuhkan dengan cara
memberikan tablet dan suntikan. Kasus ini dihadapi oleh Rg. Utrecht, dan
mejatuhkan pidana bersyarat satu tahun vonis karena bertindak atas
dorongan hati nurani dengan berdasarkan ketentuan pasal 293 (pasal 344
KUHP jo pasal 447 dst, R KUHP/1999-2000), pembuat Undang-undang
yang berhadapan dengan konflik baru demikian tidak ditemukan alasan
meniadakan atau menghapus karakter pidana perbuatan yang dimaksud.34
Pandangan euthanasia yang lebih lunak dalam kehidupan masyarakat
digambarkan pada kebijakan penuntutan putusan pengadilan, hoge road.
Berikut ini diuraikan kasus euthanasia yang masuk ke pengadilan luar negri
yakni di Belanda; seorang wanita berumur 95 tahun berulangkali dengan
sungguh-sungguh meminta untuk diakhiri hidupnya, karena keadaan
fisiknya yang semakin lemah disebabkan penyempitan pembuluh darah.
Meskipun dua tahun sebelumnya wanita tua itu yang secara mental cukup
normal telah membuat pernyataan euthanasia. Dokter keluarga yang diminta
melakukan euthanasia seringkali membicarakan masalah itu dengan
34
Jan Remmelink, Hukum Pidana, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), Hal. 271

39
pasiennya dan bersama anak laki-laki dan menantunya. Dokter tersebut
dengan disertai asistennya melakukan tindakan euthanasia atas permintaan
tegas dari pasien tersebut, dengan memberikan suntikan, kemudian
melaporkan perbuatannya itu kepada polisi. Pengadilan Alkmaar, 10 Mei
1983, berdasarkan ketiadaan unsur melawan hukum materiil telah
membebaskan dokter tersebut dari tuntutan hukum. Tidak menutup
kemungkinan hal yang sama (euthanasia) atas permintaan pasien dengan
sunguh-sungguh tejadi di Indonesia, pernah menjadi kontroversi jika
dilakukan bagi penderita Aids stadium akhir. 35
Menurut K.H. Ibrahim Hosein, ketua komisi fatwa MUI, menjelaskan
bahwa euthanasia yang boleh dilakukan bagi penderita Aids yang
mengalami penderitaan berkepanjangan dan tidak bisa disembuhkan.36
Kedua, karena penderita Aids berbahaya bagi orang lain, mengingat daya
tularnya yang mengerikan. Melihat pada sisi kemaslahatan dan keadaan
penderita Aids yang sudah kronis hanya akan menderita tanpa bisa
disembuhkan.37
Satu-satunya cara untuk meringankan beban sang pasien
dalam kondisi semacam ini adalah dengan memberikan kematian yang
damai. Tanpa tindakan ini, para dokter dan kerabat keluarga hanya akan
menyiksa atau membiarkan penderitaan pasien. Pendapat ini disanggah oleh
K.H. Hasan Basri, ketua MUI ketika itu pelaksanaan euthanasia aktif
35
http://www.ptiq.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=40&Itemid=34
36 http://www.ptiq.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=40&Itemid=34
37 http://www.ptiq.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=40&Itemid=34
(20 Juli 2011)

40
bertentangan, baik dari sudut pandang agama, undang-undang, maupun
kode etik kedokteran.
Dari fenomena-fenomena tersebut di atas masalah euthanasia bukan
suatu masalah medical ethis saja, tetapi juga termasuk persoalan bioethics
yang bersifat interdisipliner. Oleh sebab itu diharapkan dapat menghasilkan
gambaran secara jelas mengenai perumusan masalah euthanasia yang
selama ini masih merupakan dilema dan kalaupun memang kematian
merupakan suatu yang bakal menimpa setiap orang, maka kematian yang
seharusnya akan dipilih.
1. Definisi Kematian
Dalam pandangan medis, kematian merupakan suatu bentuk proses
yang sebenarnya sudah diawali sejak bayi baru lahir. Sejak bayi, setiap hari
sebagian sel tubuh manusia mengalami kematian, kemudian diganti dengan
sel-sel yanga baru saja terbentuk. Semkin tua umur manusia, maka
pergantian sel-sel yang mati semakin tidak sempurna dan tidak semua sel
yang mati itu dapat diganti, sehingga pada akhirnya semua sel dalam tubuh
itu mati semua.
Menurut pernyataan IDI (Ikatan Dokter Indonesia), bahwa mati adalah
proses yang berlangsung secara berangsur-angsur, tiap sel tubuh manusia
mempunyai daya tahan yang berbeda-beda terhadap tidak adanya oksigen
dan karenanya mempunyai saat kematian yang berbeda pula. karena
kematian merupakan suatu proses yang berlangsung secara berangsur,
secara kliniks sulit untuk menetapkan kapan seseorang dinyatakan mati.

41
Namun dengan demikian berangsur pula teknologi modern di bidang
kedokteran telah mampu merubah konsep manusia tentang kematian.
Dahulu manusia mengatur kematian dengan pernapasan, dengan pengertian
jika seseorang telah terputus nafasnya, maka ia dapat dikatakan sudah mati.
Ukuran tersebut kemudian ditinggalkan, karena beberapa kejadian telah
membuktikan bahwa orang yang tidak bernafas selang beberapa waktu ia
dapat kembali bernafas, setelah itu orang mempercayai bahwa ukuran
kematian disebabkan oleh detak jantung, sejalan dengan lajunya
perkembangan teknologi kedokteran, ukuran itupun dibatalkan karena
ternyata secara ilmiah bahwa jantung tersebut digerakan oleh pusat syaraf
yang terletak di otak. Keyakinan terakhir inilah yang mengantarkan para
dokter kepada definisi mati dipatok oleh kondisi batang otak yang bekerja
sebagai pusat saluran syaraf pada tubuh manusia. Apabila batang otak betul-
betul diyakini sudah mati, tidak berfungsi lagi, maka dapat dipastikan kalau
hidup seseorang telah berakhir.38
Dalam ilmu kedokteran kematian dapat digolongkan menjadi dua
macam yaitu:
1. Somatic Death, yaitu kematian secara badaniah saja, terhadap kematian
ini orang belum dianggap mati dengan sesungguhnya, karena masih
dimungkinkan timbul gejala-gejala untuk hidup lagi walaupun gejala-
gejala tersebut sangat kecil kemungkinannya. Adapun tanda-tanda
seseorang dapat dikatakan somatic death adalah:
38
Luthfi Asy-Syaukani, Politik, HAM dan Isu-isu Teknologi dalam Fikih Kontemporer,
(Bandung: Pustaka Hidayah, 1998), Hal. 179

42
a. Livor minorilus (lebam mayat)
b. Rigor mortis (kaku mayat)
c. Algor mortis (warna dan dingin mayat)39
Setelah terjadi somatic death, untuk memastikan tentang kematian
seseorang hendaknya harus ditunggu sampai kurang lebih dua jam lamanya,
saat inilah yang dimungkinkan terjadinya apa yang disebut dengan mati suri,
dan apabila setelah lewat dari dua jam, maka mati suri itu berlanjut, maka
terjadilah gejala-gejala cel degeneration, sampai pada akhirnya terjadi
kematian biological death
2. Biological Death, yaitu kematian secara biologis atau kematian yang
dialami oleh semua organ, baik jasmani maupun rohaninya, yang
sebelumnya ditandai dengan gejala-gejala sebagai berikut:
a. Discoloration (terjadinya perubahan warna)
b. Soffering (jaringan menjadi lemah)
c. Nothing (terjadinya pembusukan)40
Dengan tanda-tanda tersebut, dapatlah diketahui bahwa yang disebut
mati dalam ilmu kedokteran adalah biological death (mati secara biologis),
dengan pengertian bahwa untuk meyakinkan kematian biological tersebut,
maka harus menunggu waktu selama 24 jam secara terus menerus dan dites
secara medis, apakah seluruh sel tubuh manusia sudah tidak berfungsi lagi
atau muncul sebaliknya.
39
Djoko Prakoso dan Djaman Adhi Nirwanto, Euthanasia, HAM dan Hukum Pidana,
Hal. 78
40
Djoko Prakoso dan Djaman Adhi Nirwanto, Euthanasia, HAM dan Hukum Pidana,
Hal. 97

43
Dalam “kasus kematian” dengan berbagai pengertianya sangat luas,
oleh karena mencakup segala macam kematian yang diduga karena
peristiwa yang merupakan “tindak pidana”, jadi semua kematian yang
diduga ditimbulkan dan atau diakibatkan oleh suatu tindak pidana, baik
berupa perbuatan atau tindakan kekerasan maupun penganiayaan, peracunan
dengan berbagai macam racun atau obat ataupun gas dan lain-lain
dikategorikan tindak pidana karena dapat merusak kesehatan dan tubuh serta
menghilangkan nyawa manusia.41
Seseorang dikatakan mati, menurut Syekh Izzudin bin Abdus Salam
yaitu putusnya pengendalian ruh terhadap seluruh anggota badan adalah alat
bagi ruh. Ruhlah yang mengfungsikannya, jadi mati berarti tidak
berfungsinya seluruh anggota tubuh, sedangkan kematian menurut hukum
adalah diukur dengan bernafas atau tidaknya seseorang,42
dengan asumsi
bahwa apabila seseorang masih bernafas, maka ia belum bisa dikatakan
mati, jadi seseorang dikatakan mati bilamana orang tersebut sudah tidak
bernafas lagi. Kematian menurut hukum ini setidaknya dapat diketahui demi
diajukannya suatu kasus kesidang pengadilan, apabila hakim
mendefinisikan bahwa orang tersebut mati terbunuh yang pada akhirnya
terdakwa dikenakan sanksi sesuai dengan pasal yang mengatur tentang hal
tersebut.
Kematian seseorang tentu disebabkan karena hal-hal tertentu yang
memang memungkinkan dapat mematikan atau mengakhiri hidup seseorang
41
R. Atang Ranoemihardja, Ilmu Kedokteran Kehakiman (Forensic Science),
(Bandung: Tarsito,1991,) hal. 37 42
Djoko Prakoso, Euthanasia, HAM dan Hukum Pidana, Hal. 98

44
namun, diantara sekian banyak penyebab kematian seseorang yakni karena
menderita suatu penyakit. Untuk hal ini perlu kiranya seseorang melakukan
usaha demi mempertahankan hidupnya dengan cara pengobatan.
2. Hukum Berobat Menurut Hukum Islam
Mengenai usaha pengobatan terhadap suatu penyakit, Rosulullah Saw
memaparkan dalam sebuah haditsnya diantaranya:
ب ع ع ه ع ع ن ب ع ع ن ع قعلع ع ع ن ع ع : ع ن أب هرع نرع ع ع ب ع ه علن ه ع ب اللن ب ي
ه عااء ب ن ع ن ع ع لع ه ب ع اء
Dari Abu Hurairah RA, dari Nabi SAW beliau bersabda, “Tidaklah Allah
SWT menurunkan penyakit melainkan menurunkan obat penyembuhnya”43
Seseorang tertimpa suatu penyakit merupakan takdir Allah dalam
rangka menguji hamba-Nya, disitu timbul hukum kausalitas (sebab akibat)
yakni timbulnya suatu penyakit maka akibatnya harus diobati, seperti halnya
sudah menjadi hukum alamiah, bahwa setiap manusia memiliki rasa lapar,
haus, panas dingin, itu semua merupakan takdir Allah, maka untuk
menghindari/menolak rasa itu juga harus dilawan dengan takdir Allah pula,
serangan musuh adalah takdir Allah SWT, dilawan dengan jihad adalah
takdir Allah pula. 44
Begitu pula dengan penyakit, maka harus dilawan dengan pengobatan
demi untuk kesembuhan, agar selanjutnya dapat membawa kemanfaatan
menjadi tenang dalam menjalankan ibadah kepada Allah. Tidak mau
43
Abi Abdilah Muhammadbin Ismail Al-Bukhari, Shahih Bukhari Juz V (Beirut Darul
Fikr, 1994), Hal. 11 44
http://konsultasi.wordpress.com/2007/01/26/euthanasia-menurut-hukum-islam (20 Juli
2011)

45
berobat karena adanya keputusan tidak boleh dilakukan karena putus asa itu
sendiri dilarang oleh agama, menurut pendapat dari golongan Syafi‟iyah,
menyatakan bahwa hukum berobat bagi orang yang sakit hukumnya sunnah,
sedangkan menurut pendapat jumhur ulama‟, bahwa hukum berobat tidaklah
bertentangan dengan tawakal kepada Allah, sehingga dapat dikatakan
hukumnya boleh.
Adapun mengenai hukum atau keutamaan berobat, para ulama
berbeda pendapat bahwa bersabar (tidak berobat) itu lebih utama.45
Dalam
hal ini hukum berobat atau mengobati penyakit yang lebih tepat adalah pada
dasarnya hukumnya wajib terutama untuk kesembuhan sesuai dengan
perintah Allah SWT untuk berobat. Inilah yang sesuai dengan petunjuk Nabi
Saw dalam masalah pengobatan. Oleh karena itu, pengobatan atau berobat
hukumnya sunnah atau wajib apabila penderita dapat diharapkan
kesembuhannya, sedangkan jika secara perhitungan akurat medis yang dapat
dipertanggungjawabkan sudah tidak ada harapan sembuh, sesuai dengan
sunnatullah dalam hukum kausalitas yang dikuasai oleh para ahli, seperti
dokter ahli, maka tidak ada seorang pun yang mengatakan sunnah berobat
apalagi wajib.
Menurut pendapat penulis sendiri, hukum berobat tetap hukumnya
wajib untuk dilakukan selagi masih ada harapan untuk sembuh, ketika sudah
berusaha semaksimal mungkin akan tetapi penyakitnya tak kunjung sembuh,
45
Abdul Qadim Zallum Kloning, Transplantasi Organ Tubuh, Abortus, Bayi Tabung,
Penggunaan Organ Tubuh Buatan, Definisi Hidup dan Mati, (Bangil: Al Izzah. 1998), hal. 69

46
maka barulah kita bertawakal kepada Allah swt, kalaupun Allah swt
berkehendak lain dan harus berakhir masa hidupnya.
Dari pendapat-pendapat para ulama‟ tersebut dikaji sebagaimana
dalam kaidah fiqhiyyah dan kalau memang penyakit itu termasuk “bahaya”
maka, sesuatu yang menimbulkan bahaya itu harus dihilangkan, dengan cara
melakukan pengobatan. Seperti pada kaidah fiqh yang berbunyi
ا ه رع ه ه ع ا لضع“kemadlaratan (bahaya harus dihilangkan)”
46
Dan juga sesuai dengan sabda Rasulullah saw.
ا ع رع رع ه ع ع ب ع ع
“tidak boleh memadaratkan orang lain dan diri sendiri”.47
Merupakan salah satu dari tujuan hukum Islam yang terhimpun dalam
al-kulliyah al-khamsah dan harus dipelihara antara lain adalah tentang: ( ح ظ
.memelihara jiwa / (الل س48
terpeliharanya kehidupan jiwa harus di usahakan
dan di akhiratnya, begitupun pengobatan adalah termasuk salah satu ikhtiar
pemeliharaan terhadap kelangsungan hidup yang wajib di lakukan selagi
dalam batas kemampuan manusia. Maka berobat perlu di lakukan pada diri
kita untuk menjaga potensi diri kita agar tetap sehat dan kuat, seingga segala
aktivitas dapat berjalan dengan baik.
Akan tetapi mejadi sebuah dilema manakala keadaan sudah tidak
memungkinkan lagi dilakukan, harapan hidup sangat tipis berdasarkan
46
Abdul Mujib, Al-Qoidah Fiqiyyah, (Yogyakarta: Nurcahaya, 1990), Hal. 19 47
Ade Dedi Rohayana, Ilmu Qowaid Fiqhiyyah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2008),
Hal. 48 48
Ismail Muhammad Iyah, Filsafata Hukum Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1999), hal.
70

47
diagnosa dari dokter atau mungkin karena keadan ekonomi dan untuk biaya
pengobatan sudah tidak ada lagi. Apakah pengobatan bisa di hentikan? lebih
lanjutnya penulis akan membahas masalah euthanasia di tinjau dari hukum
Islam dan hukum pidana pada bab berikutnya.

48
BAB III
EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA
DAN HUKUM ISLAM
A. Euthanasia Dalam Tinjauan Hukum Pidana
Di Indonesia baik dan buruknya terhadap euthanasia belum
sepenuhnya dapat dilakukan bahkan belum terlegalkan, mengingat pancasila
sebagai sumber etika sekaligus sumber dari segala hukum, maka
sepantasnyalah semua ketentuan yang ada berkenaan dengan euthanasia ini
berpedoman pada sumber tersebut meskipun belum ada hukum yang jelas
dan tegas secara langsung dalam mengatur euthanasia kiranya perlu
dicarikan acuan yang mendekati konsekuensi hukum bagi para pihak dan
pelaku euthanasia.
Jika mengacu pada perundang-undangan yang mengatur permasalahan
euthanasia masih berupa produk hukum warisan colonial Belanda, dalam
bentuk KUHP termaktub di dalamnya mengenai persoalan kejahatan
terhadap tubuh dan nyawa manusia, sekurang-kurangnya sedikit mendekati
terhadap euthanasia.
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) mengatur kejahatan
terhadap tubuh dan nyawa manusia mengandung kepentingan hukum yang
melindungi obyek kejahatan nyawa manusia.49
kejahatan terhadap nyawa
49
Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa, (Jakarta: Rajawali Press,
2004), Hal. 60

49
dalam KUHP dapat dibedakan atau dikelompokkan menjadi dua dasar yaitu:
atas dasar unsur kesalahannya dan atas dasar obyeknya (nyawa).
Atas dasar kesalahannya ada dua kelompok kejahatan terhadap nyawa
yaitu:
1. Kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan dengan cara sengaja (dolus
misdrijven), adalah bentuk kejahatan yang dimuat dalam bab XIX
KUHP, pasal 338 s/d 350.
2. Kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan tidak dengan cara sengaja
(culpuse misdrijven) yang termuat dalam bab XIX (khusus pada pasal
359)50
Atas dasar obyeknya (kepentingan hukum yang dilindungi), maka
kejahatan terhadap nyawa dengan sengaja dibedakan menjadi tiga macam
yaitu:
1. Kejahatan terhadap nyawa bayi pada saat atau tidak lama setelah
dilahirkan, dimuat dalam pasal 341, pasal 342 dan pasal 343.51
2. Kejahatan pada nyawa orang pada umumnya, dimuat dalam pasal 338,
339, 340, pasal 344 dan pasal 345.
3. Kejahatan terhadap nyawa bayi yang masih dalam kandungan ibunya
(janin), dimuat dalam pasal 346, 347, 348 dan 34952
Perihal kematian seseorang yang bertalian dengan perbuatan orang
lain, maka peristiwa tersebut hendaknya perlu ditinjau secara teoritis dari
segi hukum pidana mengenai kualifikasi delik-delik pembunuhan, makna
50
Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa.................Hal. 62 51
R Sugandi, KUHP dan Penjelasannya....................Hal. 357 52
Muljatno, KUHP.........................Hal. 123-125

50
dan penentuan hubungan krusial dalam hukum pidana, hubungan batin yang
berbeda antara orang melakukan perbuatan dengan akibat matinya orang,
sifat dan pembuktian kealpaan.53
Untuk dapat dipidanakan atau tidaknya karena kejahatan terhadap
jiwa, maka harus ada unsur-unsur yang terkandung dalam pasal-pasal yang
bersangkutan untuk mengantisipasi terjadinya euthanasia di Indonesia
meskipun pada kenyataannya kasus euthanasia yang sampai diajukan ke
pengadilan, namun belum ada seorang pun atau lembaga yang menyetujui
legalisasi euthanasia.
Dalam hal ini ada beberapa alternatif pasal dalam KUHP yang dapat
dijadikan pijakan dalam hal menentukan pertanggungjawaban pidana dalam
kaitannya dengan persoalan dan peristiwa euthanasia, Begitu pun dengan
masalah euthanasia yang masih menjadi teka-teki apa penyebabnya, karena
mengenai peristiwa matinya orang yang bertalian dengan perbuatan orang
lain. Berikut ini adalah pasal yang menjelaskan tentang pembunuhan secara
umum, yaitu pasal pertama dalam bab XIX yakni pasal 388 dalam
terjemahannya berbunyi:
“Barang siapa sengaja merampas nyawa orang lain diancam karena
pembunuhan dengan pidana penjara paling lama 15 tahun”.54
Apabila rumusan tersebut jika dirinci unsur-unsurnya, maka terdiri
dari:
1. Unsur Obyektif:
53
Muljatno, Membangun Hukum Pidana, (Jakarta: Bina Aksara, 2002), hal. 3 54
Muljatno, KUHP, (Jakarta: Bumi Aksara, 2007), hal. 122

51
a. Perbuatan : menghilangkan nyawa
b. Obyeknya : nyawa orang lain
2. Unsur Subyektif:
Dalam perbuatan merampas nyawa seseorang terdapat tiga syarat yang
harus terpenuhi, yaitu:
a. Adanya wujud perbuatan
b. Adanya hak kematian (orang lain)
c. Adanya hubungan sebab dan akibat (casual verband) antara perbuatan
dan akibat kematian orang lain.55
Dari kata “merampas nyawa” di atas, memiliki makna atau sifat jahat
dengan penilaian sebab terjadinya pristiwa tersebut (kematian). Meskipun
banyak yang menggunakan kata “menghilangkan nyawa”, bermaksud sama
yakni kematian, untuk dapat dituntut menurut pasal ini, pembunuhan itu
dilakukan dengan segera setelah timbul maksud dan tidak berfikir lebih
lama,56
dalam pasal 304 berbunyi:
“Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau membiarkan seseorang
dalam keadaan sengsara, sedang ia wajib memberi kehidupan, perawatan,
dan pemeliharaan kepada orang itu, karena hukum yang berlaku baginya
atau karena persetujuan, diancam dengan pidana penjara paling lama dua
tahun delapan bulan atau denda sabanyak-banyaknya empat ribu lima ratus
rupiah”.
Pasal ini dapat dijadikan acuan bagi tindakan euthanasia pasif dengan
membiarkan pasien menderita tanpa memberikan perawatan maupun
pengobatan. Pasal ini juga terdapat unsur “karena perjanjian”, kewajiban
55
Adami Chazawi, Kejahatan terhadap Tubuh dan Nyawa……hal. 57 56
R. Sugandhi, KUHP dan penjelasannya, (Surabaya: Usaha Nasional, 2002), hal. 357

52
hukum, hubungan antara pasien dan dokter yang sering dikenal dengan
terapeutik.
Pasal 338 KUHP merupakan aturan umum dari perampasan nyawa
seseorang, yaitu yang berbunyi:
“Barang siapa yang sengaja menghilangkan nyawa orang karena
pembunuhan biasa, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima
belas tahun.
Kejahatan seperti ini disebut dengan “makar mati” atau pembunuhan,
peristiwa ini juga perlu dibuktikan suatu perbuatan yang mengakibatkan
kematian orang lain, dan kematian itu memang disengaja.57
Dalam hal ini
meskipun tindakan euthanasia merupakan salah satu dari bentuk
perampasan nyawa dengan cara atau menggunakan alat apapun yang jelas,
pasien yang menderita itu menuju kematian, baik dengan cara euthanasia
pasif maupun aktif. Selanjutnya pasal 340 KUHP, sebagai pasal alternatif
yang dapat digunakan sebagai acuan tindakan pidana bagi pelaku
euthanasia, antara lain berbunyi:
“Barang siapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa
orang lain, karena bersalah melakukan pembunuhan dengan berencana,
dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau
selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun”.
Rumusan tersebut terdiri dari unsur-unsur:
1. Unsur Subyektif:
a. Dengan sengaja
b. Dan dengan rencana terlebih dahulu
2. Unsur Obyektif
57
R. Sugandhi, KUHP dan penjelasannya....................... Hal. 357

53
a. Perbuatan : menghilangkan nyawa
b. obyeknya : nyawa orang lain.58
Unsur “direncana terlebih dahulu” artinya timbulnya maksud
pembunuhan dengan pelaksanaannya itu masih ada tempo (waktu) bagi
pelaku pembunuhan untuk pelaksanaan niatnya, dengan tenang untuk
memikirkannya, dengan pengertian apakah dalam tempo tersebut pelaku
ingin meneruskan rencananya untuk membunuh dengan “modus operandi”
yang telah direncanakan, dapat dilihat dengan indikatornya bahwa dalam
waktu itu:
1. Pelaku masih sempat untuk menarik kembali kehendaknya untuk
membunuh, karena memahami tindakannya diancam hukuman pidana
2. Bila kehendaknya sudah bulat, ada waktu yang cukup untuk
memikirkan, misalnya bagaimana caranya, dengan alat apa
melaksanakannya, bagaimana cara menghilangkan jejaknya, untuk
menghindari tanggung jawab, jadi punya kesempatan untuk
memikirkan rekayasa.
Berkaitan dengan euthanasia, maka perlu dapat mengetahui secara
jelas sesuatu yang dapat mengakibatkan pasien tersebut, cepat atau lambat
akan berakhir hidupnya.
Alternatif pasal berikutnya dapat dijadikan acuan hukum euthanasia
yang dijelaskan dalam KUHP pasal 344 yang berbunyi:
58
Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa,……..hal. 81

54
“Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu
sendiri yang jelas dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana
penjara paling lama dua belas tahun”59
Kejahatan yang dirumuskan tersebut, terdiri dari unsur-unsur sebagai
berikut:
a. Perbuatan: menghilangkan nyawa
b. Obyek: nyawa orang lain
c. Atas permintaan orang itu sendiri
d. yang jelas dinyatakan dengan sungguh-sungguh
Pasal 344 KUHP ini berpedoman bahwa orang yang membunuh tidak
dapat membuktikan bahwa pembunuhan itu atas permintaan korban karena
pasal ini dikenakan kepada pelaku euthanasia aktif.
Pembunuhan atas permintaan sendiri pasal 344 ini sering disebut
dengan euthanasia (mercy killing), yang dipidananya pembunuh, walaupun
terbunuh sendiri yang memintanya, pembuktian bahwa sifat publiknya lebih
kuat dalam hukum pidana. Walaupun korbannya meminta sendiri agar
nyawanya dihilangkan, toh perbuatan orang lain yang memenuhi
permintaannya untuk tetap dapat dipidana.
Kedua unsur yang harus dibuktikan disyaratkan harus mengacu pada
pasal 245 HIR, yaitu:
1. Kesaksian
2. Surat-surat
3. Pengakuan
59
Moeljatno, KUHP...............................124

55
4. Isyarat-isyarat60
.
Dari ke empat unsur yang paling mungkin untuk didapatkan dalam
kasus euthanasia ini adalah alat bukti, surat-surat, dan kesaksian. Jadi
jelaslah bagi kalangan medis pada umumnya dan para dokter bila melihat
ketentuan-ketentuan diatas maka pelaksanaan euthanasia tidak mungkin
terjadi, kecuali apabila tindakan euthanasia tidak lagi diartikan tersebut di
atas, misalnya dokter yang “membiarkan” obat yang mematikan di minum
oleh si pasien atau membantunya mengarahkan jarum suntik.61
Terpaut dari ketentuan Pasal 344 KUHP tersebut tersimpul, bahwa
pembunuhan atas permintaan korban sekalipun tetap diancam pidana bagi
pelakunya. Dengan demikian, dalam konteks hukum positif di Indonesia
euthanasia tetap dianggap sebagai perbuatan yang dilarang. Dengan
demikian dalam konteks hukum positif di Indonesia, tidak dimungkinkan
dilakukan “pengakhiran hidup seseorang” sekalipun atas permintaan orang
itu sendiri. Perbuatan tersebut tetap dikualifikasi sebagai tindak pidana,
yaitu sebagai perbuatan yang diancam dengan pidana bagi siapa yang
melanggar larangan tersebut.62
Dalam memandang kasus seperti ini kita memandang dari dua sisi,
yaitu pertama, pasien memiliki hak untuk menentukan nasibnya sendiri dan
mempunyai hak untuk menolak perawatan, hal ini merupakan hak dasar
60
Djoko Prakoso, Euthanasia HAM dan Hukum Pidana,………hal. 72 61
Jan Ramelik, Hukum Pidana, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), hal.272 62
http://www.scribd.com/doc/11639357/Euthanasia-Persepetif-Medis-Dan-Hukum-
Pidana-Indonesia. (25 Sept 2011)

56
yang tercantum di dalam UU HAM dan UU Kesehatan.63
Kedua, dokter
mempunyai kewajiban bahwa di dalam menjalankan hak dan kebebasanya
sebagai seorang dokter hendaknya menghormati hak dan kebebasan yang
digunakan pasien untuk memenuhi tuntuntan yang adil sesuai dengan
pertimbangan etik-moral. Prof. Olga Lelacic dari fakultas hukum SPLIT
mengemukakan bahwa seorang pasien yang meminta dokter untuk
mengakhiri hidupnya sebetulnya tidak ingin mati tetapi ingin mengakhiri
penderitaanya. Namun demikian di negara kita belum ada hukum yang jelas
mengenai euthanasia ini.
Dasar dari penentuan tindakan boleh dilakukan euthanasia atau tidak
boleh dilakukan euthanasia adalah pedoman yang dikeluarkan oleh
Pengurus besar Ikatan Dokter Indonesia, yaitu Surat Edaran
No.702/PB/H.2/09/2004 tentang euthanasia. Dalam pandangan hukum,
euthanasia bisa dilakukan jika pengadilan megijinkan. Namun bila
euthanasia dilakukan tanpa dasar hukum, maka dokter dan rumah sakit bisa
dianggap melanggar pasal 345 KUHP, yaitu menghilangkan nyawa orang
lain dengan menggunakan sarana. Dari sudut pandang hukum euthanasia
aktif jelas melanggar, UU RI No. 39 tahun 1999 tentang HAM, yaitu Pasal
4, Pasal 9 ayat 1, Pasal 32, Pasal 51, Pasal 340, Pasal 344, dan Pasal 359.64
63
http://laporanpenelitian.wordpress.com/2008/05/25/euthanasia-antara-legal-dan-non-legal. (20 Juli 2011)
64 http://laporanpenelitian.wordpress.com/2008/05/25/euthanasia-antara-legal-dan-
non-legal. (20 Juli 2011)

57
B. Euthanasia Dalam Tinjauan Hukum Islam
Islam sebagai agama yang rahmatan lil al-„amin sangat
memperhatikan keselamatan hidup dan kehidupan pemeluk sejak ia berada
dalam kandungan ibunya, sepanjang sampai ia mati, untuk melindungi
keselamatan hidup dan kehidupan tersebut dalam Islam menetapkan sebagai
norma baik sakhsiyyah (perdata) maupun pidana dikenal dengan jinayah di
rumuskan beberapa asas hak asasi manusia sesuai dengan kebutuhannya
yakni;
حب نظه الن ع نلب حب نظه انلمع ب حب ن ه لنلع نلب حب نظه النلع نسب حب نظه الليب ن ب 65
“Menjaga akal, harta, keturunan, jiwa dan agama”
Dari kelima asas tersebut dalam pemahasan ini lebih di fokuskan pada
.yang akan di uraikan lebih lanjut ح ض الل س
Menjaga dan menghormati jiwa (ح ظ الل س) merupakan hak yang paling
utama, berdasarkan peninjauan dari sisi transisi tanpa mempertimbangkan
warna kulit, agama, kebangsaan dan negara, adapun yang paling utama yang
paling penting adalah hak hidup (pemeliharan jiwa), karena hal ini adalah
hak yang suci, tidak dibenarkan secara hukum jika di langgar kemuliaannya
dan tidak boleh di anggap remeh eksistensinya.
Pelanggaran hidup terhadap jiwa seseorang yang berakibat pada
kematian dengan cara pembunuhan dalam konteks Islam disebut dengan
(ال حل) yang menurut Ibnu Qosim al-Ghozali diartikan dengan “hilangnya
nyawa”, yang ditimbulkan (disebabkan) oleh suatu tindakan walaupun
65
Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1999), hal. 65

58
secara hukum, orang yang mati karena pembunuhan biasa disebut dengan ( ا
terbunuh, sedangkan orang yang mati bukan karena pembunuhan (لم حو
disebut dengan “mati” secara wajar. Perbedaan sebutan di atas harus
ditegaskan, karena orang yang mati yang disebabkan pembunuhan, ternyata
terdapat suatu penyebab dan adanya konsekuensi hukum yang harus
diterima oleh wali dan terhukum.
Dalam Al-Qur‟an menjelaskan beberapa ayat tentang larangan
melakukan pembunuhan beserta ancaman para pelakunya, antara lain:
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah, kecuali
dengan yang hak”.66
(QS. Al-Isro : 33)
“Dan tidak boleh seorang mukmin membunuh orang mukmin yang lain,
kecuali karena kesalahan, barang siapa membunuh orang mukmin karena
kesalahan maka ia wajib memerdekakan hamba sahaya yang mukmin dan
membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya, (sipembunuh),
kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) menyedekahkannya” (QS. an-Nisa
: 92)67
66
Deapartemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: Jumanatul „Ali-
ART, 2005), Hal. 285 67
http://konsultasi.wordpress.com/2007/01/26/euthanasia-menurut-hukum-islam. (24 juli
2011)

59
“Barang siapa yang membunuh orang mukmin dengan sengaja, maka
balasannya ialah neraka jahannam, ia kekal di dalamnya, Allah
mengutuknya dan menyediakan baginya siksaan yang pedih” (QS. An-Nisa:
93) 68
Di samping melarang untuk melakukan perbuatan pembunuhan
terhadap orang lain syari‟at Islam juga melarang untuk melakukan
perbuatan bunuh diri, sebagaimana dalam surat Al-Baqarah ayat 195:
“Dan bernafkahlah kamu pada jalan Allah dan jangan kamu lemparkan
dirimu kedalam kebinasaan dan berbuat baiklah, sesungguhnya Allah
menyukai kepada orang-orang yang berbuat baik”.(QS. Al-Baqarah: 195)69
Adapun mengenai pengklasifikasian pembunuhan dalam konteks
Islam para fuqoha‟ berbeda pendapat:
1. Ulama‟ Malikiyah mengklasifikasikan bentuk-bentuk pembunuhan
menjadi dua macam yaitu: pembunuhan sengaja (Al-Qothlu Al-Amdi)
dan pembunuhan keliru (Al-Qothlu Al-Khoto‟).
2. Jumhur Ulama‟ mengklasifikasikannya menjadi tiga macam, yaitu:
pembunuhan sengaja, semi sengaja, kekeliruan.
3. Sebagian Ulama‟Hanafiyah mengklasifikasikannya menjadi empat
macam, yaitu: pembunuhan sengaja, semi sengaja, kekeliruan dan
serupa kekeliruan.
68
Deapartemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya...........................Hal. 93 69
Deapartemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya...........................Hal.30

60
4. Sebagian Ulama‟ Hanafiyah mengklasifikasikannya menjadi empat
macam yaitu; pembunuhan sengaja, semi sengaja, kekeliruan, serupa
kekeliruan dan pembunuhan secara tidak langsung.70
Menurut pendapat para fuqoha tersebut Akibat hukum dari sekian
banyak macam dan bentuk pembunuhan, Islam menetapkan qishas atau
diyat bagi para pelaku pembunuhan, untuk dapat munentukan macam-
macam pembunuhan untuk di lakukan seseorang, dapat di lihat niat
seseorang apakah pembunuhan sengaja, semi sengaja atau kekeliruan.
Melihat posisi niat yang sangat penting dalam menentukan status
hukum suatu perbuatan, maka para ulama‟ membuat para kaidah asasi
tentang niat, yaitu; ( ا و أم ل) ,71
pengklasifikasian pembunuhan
sengaja menurut jumhur Ulama‟ yakni apabila sipembunuh melakukannya
dengan adanya niat atau maksud untuk menghilangkan nyawa korban.
Menurut ulama Hanafiyah suatu pembunuhan dikatakan sengaja,
apabila menggunakan alat yang dapat melukai tubuh, seperti: pisau, pedang,
panah, tombak dan alat-alat lainnya yang dapat menghilangkan nyawa tanpa
keraguan. Ulama‟ Syafi‟iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa alat yang
dapat menunjukkan suatu pembunuhan merupakan pembunuhan sengaja
adalah alat-alat yang pada umumnya dapat membunuh seseorang
(menghilangkan nyawa), alat-alat tersebut tidak selalu harus tajam. hal ini
sebagaimana kaidah yang berkenaan dengan pembunuhan sengaja ialah:
أبمع ع نحهله غع لب ء له هوع اعلن عمن
70
Jaih Mubarok, Kaidah Fikih Jinayah, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004), hal. 9 71
A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih, (Jakarta: Prenada Media Group, 2006), Hal.34

61
“Pembunuhan sengaja adalah pembunuhan yang dilakukan dengan
menggunakan alat yang pada umumnya dapat mematikan”.72
Kualifikasi pembunuhan semi sengaja dapat diketahui, jika alat-alat
yang digunakan bukan alat-alat yang dapat melukai, sebagaimana dalam
kaidah disebutkan.
لع ح أبغع نرب اعل ب لب هوع ب ن ه الن عمن
“Pembunuhan semi sengaja adalah pembunuhan yang dilakukan tidak
dengan menggunakan alat yang melukai atau senjata tajam”.
Adapun Ulama Syafi‟iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa
pembunuhan semi sengaja adalah yang dilakukan dengan menggunakan alat
yang pada umumnya tidak mematikan.
Euthanasia aktif dalam pandangan hukum Islam dapat dimasukkan
dalam jenis pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja, apabila euthanasia
aktif ini memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
1. Pembunuh: berakal, baligh, kesengajaan
2. Adanya target tertentu (membunuh orang)
3. Dilakukan dengan menggunakan alat yang pada umumnya dapat
berakibat orang lain terbunuh.
Ketiga unsur tersebut haruslah terpenuhi semuanya dengan pengertian
tidak boleh ada satu unsur yang tertinggal. Sedankan euthanasia aktif yang
dilakukan oleh medis terhadap pasien yang dalam keadaan sadar tidak
dimintai persetujuannya, dokter yang menanganinya tidak meminta
72
Jaih Mubarok, Kaidah Fikih Jinayah, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004), Hal. 14

62
pendapat dari teman sejawatnya dan tidak atas persetujuan keluarga pasien,
maka tindakan euthanasia aktif seperti diatas dapat digolongkan kedalam
pembunuhan sengaja, kesengajaan tersebut dilihat dari adanya tindakan
yang dilakukan oleh seorang ahli medis, misalnya dengan memberikan obat
penenang, obat penghilang rasa sakit yang melebihi dosis, dengan tujuan
pasien dapat segera menemui ajalnya dengan tidak merasakan sakit dikala
maut menjemputnya. Tindakan para medis terhadap para pasien yang
mengalami vegetative yang hidupnya tergantung pada alat bantu yang
dipergunakan, sehingga apabila alat bantu tersebut diambil atau dimatikan,
tentunya pasien yang mengalami hal tersebut akan menemui ajalnya dengan
segera, karena kehidupan pasien hanya bergantung pada alat bantu
(instrument) tersebut. 73
Tindakan seperti tersebut diatas apabila dilakukan oleh ahli medis,
tanpa adanya persetujuan dari keluarga pasien, maupun pendapat dari teman
sejawatnya, maka tindakannya disebut sebagai pembunuhan yang sengaja.
Oleh karena itu di samping tindakan ahli medis tersebut telah memenuhi
unsur-unsur dalam pembunuhan sengaja, dan juga dilakukan atas inisiatif
dokter itu sendiri tanpa memperdulikan pertimbangan lain yang
berhubungan dengan hal tersebut, maka tentunya pelaku pembunuhan akan
mendapatkan hukuman qishas, sebagaimana telah dijelaskandalam Al-
Qur‟an surat al-Baqarah ayat 178
73
Jaih Mubarok, Kaidah Fikih Jinayah.................Hal. 15

63
“Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu sekalian qishas
dalam pembunuhan”.(QS. Al-Baqarah: 178)74
Mengenai alat yang dipergunakan untuk pembunuhan sengaja,
menurut Ulama‟ Hanafiyah, yang pada umumnya dengan alat yang dapat
melukai tubuh, sehingga dapat mengakibatkan terbunuhnya seseorang,
berkaitan dengan euthanasia aktif, alat yang dipergunakan tentunya bukan
merupakan suatu alat yang tajam, akan tetapi secara umum dapat dipahami
bahwa pemberian obat penenang atau pembiusan yang melebihi dosis, juga
pencabutan alat bantu bagi pasien vegetatif, maka pembunuhan (euthanasia)
yang demikian dapat dikategorikan dengan pembunuhan sengaja dan akan
mendapatkan sanksi hukum, harus membayar diyat bagi pembunuh kepada
keluarga yang terbunuh.
Ulama‟ Syafi‟iyah menyatakan bahwa pembunuhan dikatakan sengaja
dengan menggunakan alat yang biasanya dapat menjadikan hilangnya
nyawa seseorang (mati) dan tidak harus selalu alat yang tajam, dengan
demikian tindakan medis euthanasia aktif dengan cara mencabut alat bantu
atau dengan memberikan obat bius yang melebihi dosis yang dilakukan
tanpa persetujuan dari pasien atau keluarganya, maka dapat dikatakan
sebagai pembunuhan sengaja dengan konsekuensi hukumnya adalah qishas
bagi pelakunya.
74
Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya....................Hal.27

64
Qishas sebagai sanksi hukum dari pembunuhan yang sengaja dapat
dilaksanakan apabila terpenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
1. Pelaku pembunuhan sudah baligh
2. Pelaku pembunuhan berakal sehat
3. Pelaku pembunuhan bukan orang tua korban
4. Ketika terjadi pembunuhan, antara pembunuh dan yang terbunuh
sederajat, dalam hal agama dan kemerdekaannya.
Hukum qishas tidak dapat dilaksanakan apabila terdapat hal-hal yang
tersebut dibawah ini:
1. Pembunuhan orang Islam dan korbannya non muslim
2. Orang yang merdeka membunuh budak
3. Orang tua membunuh anaknya sendiri75
Mengenai identitas korban yang tidak diketahui, dengan pengertian
apakah korban beragama Islam atau tidak, merdeka atau budak, maka
menurut Ar-Royani adalah bahwa pembunuhan dengan korban yang masih
tidak jelas identitasnya, maka hukum qishas tidak bisa dilaksanakan karena
alasan subhat.
Tindakan euthanasia aktif sebagaimana dikemukakan di atas,
demikian itu tidak dapat lepas dari kategori pembunuhan meskipun yang
mendorongnya itu rasa kasihan kepada pasien dan untuk meringankan
penderitaanya, karena bagaimanapun dokter tidaklah lebih pengasih dan
75
Huzaemah Tahedo, Masail Fiqiyah, (Bandung: Bumi Aksara, 2005), hal. 111

65
penyayang dari pada zdat yang menciptakannya.76
Karena itu serahkanlah
usaha tersebut kepada Allah swt, karena dialah yang memberikan kehidupan
kepada manusia dan yang mencabutnya apabila telah tiba ajal yang telah
ditetapkan-Nya. Pengecualian terhadap euthanasia aktif yang dilakukan oleh
seorang dokter dalam menyelamatkan ibu yang akan melahirkan anak
dengan jalan mematikan bayi yang ada dikandungannya, pada saat diketahui
proses kelahiran bayi tersebut akan membahayakan nyawa ibunya. Hal ini
sesuai dengan kaidah ushul:
مع اع علب ب جب ع اب ره ع ن ب ب فه الضع به اعخع عرن جعكب“Menempuh salah satu tindakan yang lebih ringan demi dua hal yang
berbahaya, karena kumpulnya dua bahaya tersebut”
Pengorbanan nyawa bayi yang masih dalam kandungan adalah
termasuk bahaya, akan tetapi akan lebih besar bahayanya jika membiarkan
bayinya selamat, tetapi harus mengorbankan nyawa ibu yang sudah,
sempurna, eksis dengan segala hak dan kewajibannya di dunia yang ramai
ini. Ia telah sempurna dengan adanya kepatutan mendapatkan hak dan
kewajiban dan patut untuk bertanggung jawab.77
Dari kedua bahaya tersebut
maka diambil tindakan dengan cara melihat kemaslahatan yang lebih besar
dan syara‟ juga memperbolehkan tindakan semacam ini, karena keadaan
yang dhorurot, sesuai dengan kaidah:
اتب ضهون ع حن اته جه ب نحه النمع ره ن ع ا لضع
76
Setiawan Budi Utomo, Fikih Aktual..............................Hal. 178 77
Sjechul Hadi Permono, Euthanasia ditinjau dari hukum islam dan hukum
pidana........hal.45

66
“Keadaan dhorurot dapat diperbolehkan terhadap perbuatan yang
dilarang”.78
Adapun memudahkan proses kematian dengan cara pasif (euthanasia
pasif), misalnya: ada seorang anak yang kondisinya sangat buruk karena
menderita kelumpuhan tulang belakang atau kelumpuhan otaknya, maka
dalam keadaan ini ia dapat saja dibiarkan tanpa diberi pengobatan, apabila
terserang penyakit paru-paru atau sejenis penyakit otak, yang mungkin akan
membawa kematian anak tersebut. 79
Dalam contoh tersebut di atas “menghentikan pengobatan atau tidak
memberikan pengobatan” merupakan salah satu bentuk euthanasia pasif, hal
ini berdasarkan pada keyakinan dokter bahwa pengobatan yang di lakukan
sia-sia saja dan tidak memberikan harapan kepada pasien sesuai dengan
sunnatullah (hukum Allah terhadap alam) dan hukum sebab akibat.80
Diantara masalah yang terkenal dikalangan ulama‟ yang telah
dijelaskan, ialah bahwa mengobati atau berobat dari penyakit tidak wajib
hukumnya menurut jumhur fuqoha‟ dan para imam madzab, bahkan ada
pula yang menghukumi mubah / boleh, sebagian nadzab Syafi‟iyah dan
imam Ahmad mewajibkannya, sebagai mana di kemukakan oleh Syechul
Islam Ibnu Timiyyah, dan sebagian lagi menganggapnya sunnah.
Oleh karena itu, pengobatan atau berobat hukumnya sunnah atau pun
wajib, apabila penderita dapat di harapkan kesembuhannya. Sedangkan jika
secara penghitungan yang akurat medis yang dapat di pertanggung
78
Ade Dedi Rohayana, Ilmu Qowaid Fiqiyyah......................Hal. 265 79
Setiawan Budi Utomo, Fiqih Aktual.......................Hal. 180 80
Yusuf Qardhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer jilid II..........................Hal. 750-751

67
jawabkan sudah tidak ada harapan sembuh, sesuai dengan sunnatullah dan
causalitas yang di kuasai para ahli, seperti dokter ahli maka tidak ada
seorang pun yang menyatakan sunnah berobat apalagi wajib,81
maka
penghentian obat atau tidak memberikan pengobatan, tindakan dokter
semacam ini hanya bersikap meninggalkan sesuatu yang hukumnya tidak
wajib ataupun tidak sunnah sehingga tidak terkena sanksi hukuman baik
menurut hukum Islam maupun hukum positif, tindakan euthanasia pasif
oleh dokter dalam kondisi seperti ini adalah jaiz (boleh) dan di benarkan
syara‟ apabila keluarga pasien mengizinkannya demi meringankan
penderitaan dan beban pasien dan keluarganya.82
Dengan dihentikan perawatan atau usaha medis, maka biasanya ajal
akan cepat menjemput, bagi pasien yang mampu membiayai pengobatan,
nampaknya akan terus dilanjutkan, tetapi bagi pasien yang miskin tentunya
upaya medis akan dihentikan, dan tinginya perawatan medis inilah yang
mendorong keluarga pasien untuk menghentikan upaya terhadap si sakit,
kejadian yang seringkali ditemui adalah si sakit di bawa pulang dan di
lakukan perawatan di rumah.
Dengan demikian pasien yang dalam keadaan moriboundity seperti
ini, Islam memandang bahwa sisi baik dari tindakan pasif adalah dari rasa
kasihan terhadap pasien maupun keluarganya. Islam tidak memperbolehkan
orang untuk menganjurkan bunuh diri apalagi melakukannya, akan tetapi
tradisi yang sudah berlaku sudah lama dilakukan oleh masyarakat Indonesia
81
Yusuf Qordowi, Fatwa-fatwa Kontemporer jilid II..............Hal. 753 82
Badri Khaeruman, Hukum Islam dan Perubahan Sosial, (Bandung: CV Pustaka Setia,
2010), hal. 210

68
adalah menyerahkan urusan hidup dan matinya terhadap Allah swt, kebiasan
tersebut adalah dibacakannya surat yasin atau dengan cara yang lainnya,
oleh para kelurga si sakit dengan maksud apabila si sakit lebih baik di
perpanjang hidupnya maka hal itu dipasrahkan kepada sang Kholik yang
maha berkehendak kapan manusia itu akan mati, dan apabila mati itu lebih
baik terhadap keadaan bagi si sakit, maka hal itu juga atas izin Allah swt,
sesuai dengan sabda Nabi saw dari Anas bin Malik sebagai berikut:
ع عحعمع ن : قعلع ع هون ه ب ع ع ه ع ع ن ب ع ع ن ن : ع ن عس ع ب ع ه علن ه
تع ون لهكه ه النمع تب ن كع ع ع أعلن ب ع لبضهري ع ع ع أب ب اعحع ون لن ء لب نمع حعمع ال ن ه ن :لن ع هلن ع ه
الب ه ع كع عثب النحع ع حن بلب ع جعوع فنلب خع نرء فع ب ع الب ه ذعاكع عثب النوع خع نرء
Dari Anas RA, dia berkata, Rasulullah SAW bersabda, Janganlah
seseorang diantara kalian mengharapkan kematian karena kesengsaraan
yang menimpanyakalaupun dia memang harus mengharapkan kematian
maka sebaiknya mengucapkan “Ya Allah, hidupkanlah aku selama
kehidupan itu baik bagiku, dan matikanlah aku bila memang kematian itu
lebih baik bagiku” (HR. Shahih Bukhari).83
Dari paparan hadits diatas maka, tradisi dilakukan seperti yang terjadi
selama ini tidaklah bertentangan dengan ajaran Islam, karena tujuan yang
sebenarnya adalah menyerahkan seluruh hidup dan mati hanya kepada Allah
swt, dengan pengertian bahwa hal ini tidak melanggar kewenangan
(kekuasaan) Allah untuk menentukan hidup dan mati hanya di tangan Allah.
Menyikapi masalah permintan tersebut di atas, Islam mensyaratkan adanya
unsur keterpaksaan, karena hal ini di tegaskan dengan adanya kalimat: ف )
83
Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Barri Jilid 30, (Jakarta: Pustaka Azam, 2008), Hal.
521

69
yang dapat diartikan dengan "apabila si sakit tersebut harus (ك ألف ل
melakukan".
Menurut penjelasan tentang euthanasia tersebut di atas, maka
diperoleh gambaran, bahwa yang dapat diterima oleh ajaran dan hukum
Islam adalah euthanasia yang pasif. Hal itupun masih disyaratkan adanya
ketentuan bahwa pasien tersebut sudah diberikan beberapa macam obat,
suntikan, usaha pengobatan lainnya dan juga sudah berganti-ganti dokternya
dan menurut pendapat para dokter ahli, pasien dinyatakan tidak akan dapat
sembuh lagi, harapan hidupnya tipis, hanya menunggu kapan ajal akan
datang menjemputnya.

70
BAB IV
ANALISIS KOMPARATIF HUKUM PIDANA DAN HUKUM ISLAM
TENTANG EUTHANASIA
A. Analisis Hukum Pidana Tentang Euthanasia
Apabila kita perhatikan lebih lanjut, dari pasal-pasal yang terkait
dengan masalah kejahatan terhadap tubuh dan nyawa, yaitu pasal 338, 340
dan 344 KUHP, ketiga-tiganya adalah mengandung makna larangan untuk
membunuh selanjutnya pasal 338 KUHP merupakan aturan umum dari pada
perampasan nyawa orang lain, pasal 340 KUHP adalah aturan khususnya,
karena dengan dimasukannya unsur-unsur dengan rencana lebih dulu, oleh
sebab itu pasal 340 KUHP ini dikatakan sebagai pasal terhadap
pembunuhan yang direncanakan atau pembunuhan berencana. Begitu pula
jika diperhatikan lebih lanjut pasal 344 KUHP pun merupakan aturan
khusus dari pasal 338 KUHP. Hal ini karena disamping pasal 344 KUHP
tersebut mengandung makna perampasan nyawa atau pembunuhan
sebagaimana diatur dalam pasal 338 KUHP, pada pasal 344 KUHP
ditambah pula adanya unsur “atas permintaan sendiri yang jelas dan
dinyatakan dengan kesungguhan hati”.
Jadi masalah euthanasia ini dapat menyangkut dua aturan hukum
yakni pasal 338 dan pasal 344 KUHP, dalam hal ini terdapat apa yang
disebut dengan concorcus idealis, yang merupakan sistem pemberian pidana
juga terjadi satu perbuatan pidana yang masuk dalam beberapa peraturan

71
hukum concorcus idealis ini diatur dalam pasal 63 KUHP, yang
menyebutkan bahwa:
a. Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana , maka
yang dikenakan hanya salah satu diantara aturan-aturan itu, jika
berbeda-beda yang dikenakan adalah yang memuat ancaman hukuman
pokok yang paling berat.
b. Jika suatu perbuatan yang masuk dalam satu aturan pidana yang umum
diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus
itulah yang dikenakan sanksinya.
Dalam pasal 63 ayat 2 KUHP ini mengandung asas lex specialis
derogat lege generali, yaitu bahwa aturan-aturan yang khusus akan
mendesak atau mengalahkan terhadap peraturan-peraturan yang dikatanya
umum84
, yang dimaksudkan sebagai peraturan yang khusus disini adalah:
“peraturan pidana yang mempunyai atau memuat unsur-unsur yang termuat
dalam peraturan pidana yang tidak termuat dalam peraturan pidana umum”.
Dengan adanya hal-hal tersebut diatas dapat dianalisiskan bahwa masalah
euthanasia yang menyangkut dua aturan hukum yaitu pasal 338 dan 344
KUHP itu, maka yang diterapkan adalah pasal 344 KUHP.
Apabila tidak terdapat asas lex specialis derogat lege generali, yang
disebut dalam pasal 63 (2) KUHP itu, maka aturan pemidanaan yang
dipakai adalah pasal 338 KUHP. Hal ini disebabkan karena ancaman pidana
84
http://hukumkes.wordpress.com/2008/03/15/aspek-hukum-dalam-pelaksanaan-
euthanasia-di-indonesia. (24 sept 2011)

72
penjara pada pasal 338 yaitu selama 15 tahun, berarti lebih berat daripada
ancman yang terdapat dalam pasal 344 KUHP yang hanya 12 tahun. Hal ini
dapat dimengerti karena dalam concorcus idealis akan diterapkan sistem
absorbsi, sebagaimana disebutkan pada pasal 63 (1) KUHP85
yang memilih
ancaman pidananya yang terberat, oleh sebab itu di dalam KUHP kita hanya
ada satu pasal saja yang mengatur tentang masalah euthanasia, yaitu pada
pasal 344 KUHP, yang menurut penulis termasuk pasal alternatif yang
dapat diterapkan dan dipakai dasar hukum bagi para pelaku euthanasia,
dengan adanya bukti pernyataan dengan kesungguhan hati dan tidak boleh
hanya diucapkan hanya dengan lisan, dan sebaiknya secara tertulis serta
disertai tanda tangan oleh saksi-saksiya, sehingga pada proses pembuktian
di pengadilan nanti, surat pernyataan tersebut dapat dijadikan sebagai alat
bukti seperti tersebut dalam pasal 295 HIR.
Dengan adanya hal-hal tersebut dapat disimpulkan bahwa masalah
euthanasia yang menyangkut dua aturan hukum yaitu pasal 338 dan pasal
344 KUHP maka dalam hal ini yang dapat diterapkan adalah pasal 344
KUHP. yaitu tentang pembunuhan atas permintaan sendiri. tetapi apabila
tidak terdapat lex specialis derogat lege generali yang disebutkan dalam
pasal 63 KUHP itu maka aturan pemidanaan yang dipakai adalah pasal 338
KUHP. Hal ini karena ancaman pidana penjara pada pasal 338 KUHP yaitu
15 tahun penjara dan itu lebih berat dari ancaman pidana yang terdapat pada
pasal 344 KUHP yang hanya 12 tahun penjara dan itu sudah lebih dari
85 http://hukumkes.wordpress.com/2008/03/15/aspek-hukum-dalam-pelaksanaan-
euthanasia-di-indonesia (20 Oktober 2011)

73
cukup dari apa yang telah dilakukan si pembunuh walaupun itu atas
permintaan dari si korban itu sendiri. setidaknya itu akan membuat jera bagi
pelaku yang bersangkutan tetapi apabila bukan didasarkan dengan
pembunuhan yang disengaja seperti euthanasia pasif yang hanya
melepaskan alat yang menjadi kelangsungan hidup bagi pasien seperti
respirator karena menurutnya sudah tidak berguna lagi, dan didasarkan atas
perilaku tawakal maka euthanasia pasif diperbolehkan.
B. Analisis Hukum Islam Tentang Euthanasia
Secara umum tujuan hukum Islam adalah selaras dengan fungsi dari
risalah Nabi Muahammad saw, yaitu “ untuk menciptakan ” حمة ل لم
rahmat untuk alam semesta. Sesuatu dapat dikatakan rahmat apabila
mengandung peningkatan harkat dan martabat manusia, meluruskan
keadailan ditengah-tengah masyarakat dan dapat merealisasikan
kemaslahatan-kemaslahatan.
Kemaslahatan dapat diwujudkan dengan pemeliharaan 5 (lima) pokok
hak asasi manusia yang harus dilindungi, yaitu:
a. Hak kebebasan untuk beragama
b. Hak terjaminnya perlindungan hidup
c. Hak terjaminnya memperoleh keturunan
d. Hak atas pengembangan akal dan berpendapat dengan pemikiran yang
sehat

74
e. Hak terjaminnya perlindungan harta benda.86
Masalah euthanasia yaitu masalah yang berhubungan erat dengan hak
perlindungan jiwa (hidup), ketika banyak orang menuntut haknya untuk
hidup. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi saw
هه حع ء . كع عرع ع ن ع النمع بثب كعكع عرع“Mematahkan tulang mayat seperti mematahkannya ketika dia masih
hidup”.
Namun ada sebagian orang yang menuntut hak untuk menentukan
kematiannya, karena merasa cukup menderita suatu penyakit yang sesuai
dengan diagnosa dokter sudah tidak ada harapan sembuh lagi, dan daripada
lama-lama menderita, akhirnya si penderita meminta untuk segera diakhiri
saja hidupnya.
Jelas sudah, kita sebagai umat beragama telah meyakini bahwa
permasalahan hidup dan matinya seseorang itu adalah merupakan hak
prerogatif bagi Allah swt, sebagaimana telah dijelaskan dalam Al-Qur‟an
surat Yunus ayat 56
“Dia (Allah) yang menghidupkan dan mematikan dan kepada-Nya kamu
sekalian kembali”(QS. Yunus: 56)87
Euthanasia jika dilihat dari segi jenisnya yaitu euthanasia aktif dan
euthanasia pasif, maka menurut para fuqoha‟ menilai dan
mempertimbangkan dibolehkan atau tidaknya euthanasia dilihat dari jenis
86
Abul A‟la Maududi, Hak Asasi Manusia Dalam Islam, (Bandug:Penerbit Pustaka, 1985),
Hal.21-39 87
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, (Bogor : Syaamil Al-Qur‟an, 2007 )Hal.
215

75
pembunuhan dan alasan dilakukannya pembunuhan, yang jelas pembunuhan
yang dibolehkan menurut hadits Nabi, telah dikemukakan oleh prof.
Mahmud Saltut dalam kitabnya “Al-Islam Aqidah Wa Syari‟ah”, bahwa
dengan melihat maksud dan tujuannya, pembunuhan yang dibolehkan syara‟
dapat dirumuskan dalam tiga segi yaitu:
a. Dilihat dari segi perintah atau kewajiban seperti pelaksanaan hukuman
mati oleh algojo atas perintah dari pengadilan atau hakim. Sebagai
konsekuensi hukumnya atas perbuatan yang dilakukan oleh orang yang
terkena hukuman.
b. Dilihat dari segi pelaksanaan hak yang meliputi:
1. Hak wali si korban untuk melaksanakan hukuman qishas.
2. Hak penguasa untuk menghukum mati perampok / pengganggu
stabilitas keamanan.
c. Segi pembelaan, baik terhadap diri, kehormatan maupun terhadap harta
benda yang dimilikinya.
Dari tiga segi pembunuhan yang dibolehkan yang dikemukakan oleh
Prof. Mahmud Syaltut di atas, euthanasia tidak termasuk didalamnya, jadi
dengan demikian maka euthanasia aktif jelas-jelas dilarang oleh hukum
Islam.
Adapun euthanasia aktif yang dilakukan oleh seorang dokter dalam
rangka menyelamatkan ibu yang akan melahirkan dengan jalan mematikan
bayi yang akan dilahirkannya, pada saat diketahui proses kelahiran bayi
akan mengakibatkan hilangnya nyawa si ibu, hal ini dibolehkan karena

76
dharurat, dan mengandung kemadharatan sedangkan kemadharatan itu harus
dihilangkan, sesuai dengan kaidah:
ا ه رع ه ه ع الضع“Kemadhorotan harus dihilangkan”
88
Sehubungan dengan adanya pengaruh keadaan dharurat tersebut
Abdul Wahab Khallaf dalam bukunya “Ushul Fiqih” menyatakan barang
siapa yang tidak bisa mempertahankan keselamatan dirinya kecuali dengan
cara membinasakan orang lain, tidaklah ia berdosa dengan tindakan itu
apalagi dalam keadaan dharurat, maka melakukan perbuatan yang dilarang
diperbolehkan pada saat itu, hal ini sesuai dengan kaidah:
حن اته جه ب نحه النمع ره ن ع اتب ه اعلضع ن ع
“Keadaan dharurat dapat memperbolehkan terhadap perbuatan yang
dilarang”89
Selain itu juga karena adanya pertimbangan dua kemadharatan, maka
yang diambil adalah yang lebih ringan akibat yang akan ditimbulkannya,
berdasarkan kaidah:
مع ره ع ن ب ب جب ع اب اع علب ب فه الضع به اعخع جعكب عرن
“Menempuh salah satu tindakan yang lebih ringan demi dua hal yang
berbahaya, karena kumpulnya dua bahaya tersebut”.
Selanjutnya bertalian dengan masalah persetujuan yang diberikan oleh
seorang dokter untuk membantu mempercepat kematiannya dianggap tidak
ada, tetapi dokter yang melakukan euthanasia dianggap melakukan tindakan
pidana atau kriminal yang harus dijatuhi hukuman jika memang telah
88
Ade Dedi Rohayana, Ilmu Qowa‟id Fiqhiyyah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2008), Hal. 88 89
Ade Dedi Rohayana, Ilmu Qowaid Fiqhiyyah........................Hal. 265

77
memenuhi unsur-unsur pembunuhan, hanya saja mengenai jenis
hukumannya menurut para ulama‟ terdapat adanya perbedaan.
Menurut Imam Abu Hanifah, Abu Yusuf, Muhammad bin Hasan dan
sebagian ulama‟ Syafi‟iyah, bahwa hukuman yang dikenakan terhadap
pelaku euthanasia (pembunuhan dengan persetujuan korban) adalah
membayar 100 ekor unta atau seharga itu dan bukan diqishas, dengan alasan
bahwa persetujuan si korban untuk menjadi obyek euthanasia merupakan
syubhat dalam status perbuatannya sesuai dengan hadits Nabi saw, yaitu
apabila dalam jarimah hudud (termasuk didalamnya qishas) terdapat
syubhat, maka hukumannya dapat digugurkan atau membayar ganti rugi.
Menurut Zufar, salah seorang murid Abu Hanifah, yaitu bahwa
hukuman yang dikenakan pada pelaku euthanasia tersebut di atas, tetap
hukuman qishas (hukuman mati), karena persetujuan untuk menjadi obyek
euthanasia tersebut dianggap tidak pernah ada, sehingga persetujuan
tersebut tidak ada pengaruhnya sama sekali.
Sedangkan menurut pendapat Imam Ahmad bin Hambal dan sebagian
ulama‟ Syafi‟iyah, bahwa pelaku euthanasia atas persetujuan si korban
dibebaskan dari hukuman, karena persetujuan pasien untuk menjadi obyek
euthanasia, sama statusnya dengan pembunuhan, baik dari hukuman qishas,
maupun diyat, maka dia bebas dari hukuman. Dalam hal ini penulis tidak
sependapat dengan Zufar, karena pelaku atau dokter yang menangani kasus
ini hendaknya dibebaskan dari hukuman qishas atau di Indonesia diatur
dalam KUHP pasal 344, karena persetujuan euthanasia oleh pasien atau

78
keluarganya atas pertimbangan antara penyelamatan si pasien dan nyawa
ibunya yang akan melahirkan dengan bayi yang akan dilahirkannya, dengan
syarat persetujuan tersebut dilakukan secara tertulis, sehingga dapat
dilakukan bukti otentik, bila terjadi sesuatu atau tuntutan dikemudian hari.
Upaya defensif medis yang dilakukan oleh dokter untuk melakukan
euthanasia pasif, ini biasanya terjadi pada keluarga pasien yang miskin,
dengan keputusasaan dan kepasrahan pasien terpaksa dibawa pulang untuk
dirawat di rumahnya, dan bila meninggalpun pasien diharapkan mati secara
alamiah, walaupun ada harapan tertolong sangat kecil, sementara bila
bergantung pada rumah sakit, beban pengobatan akan semakin besar,
sedangkan masih ada kebutuhan lain yang juga butuh biaya untuk
menghidupi keluarga lainnya.
Menurut Dr. Yusuf Qordhowi, yang berpedoman pada keputusan
lembaga “Fiqih Islam Al-Alam” (lembaga fiqih Islam internasional)
menyatakan tentang diberlakukannya semua hukum syara‟ yang berkenaan
dengan kematian, apabila telah ada indikasi medis antara lain yaitu:
a. Apabila denyut jantung dan pernafasannya sudah berhenti secara total
dan para dokter telah menetapkan bahwa keberhentian ini tidak dapat
pulih kembali.
b. Apabila seluruh aktivitas otaknya sudah berhenti dan para dokter ahli
sudah menetapkan tidak dapat pulih kembali, otaknya sudah tidak
berfungsi lagi.90
90
Yusuf Qordhowi, Fatwa-Fatwa kontemporer..............................Hal. 751

79
Dari dictum di atas dihasilkan hukum syara‟, yaitu: “Boleh melepas
alat-alat pengaktif organ dan pernafasan pasien karena tidak berguna lagi”,
manfaat dari tindakan ini adalah:
a. Mencegah perbuatan sia-sia, membuang tenaga, waktu dan biaya yang
hal itu dilarang oleh agama Islam karena mubazir.
b. Mempercepat pengurusan mayat
c. Memberikan mafsadat kepada orang lain untuk memanfaatkan alat-alat
yang digunakan oleh pasien tersebut.91
Dari pertimbangan tersebut di atas sesuai dengan salah satu tujuan
hukum Islam yaitu “rahmatan lil al-amin” yakni dengan memberikan
kemaslahatan, hal ini sesuai dengan kaidah ushul:
مع ع لبحب اه ع ن لع ب ن ع نبب الن لب اه ن النمع ع ب
“Menolak kerusakan harus lebih diutamakan daripada menarik
kemashlahatan”
Dengan demikian, maka dapat, penulis simpulkan bahwa yang dapat
diterima oleh ajaran / hukum Islam hanyalah euthanasia pasif, sesuai dengan
hadis nabi
ب ع ع ه ع ع ن ب ع ع ن ع قعلع ع ع ن ع ع : ع ن أب هرع نرع ع ع ب ع ه علن ه ع ب اللن ب ي
ه عااء ب ن ع ن ع ع لع ه ب ع اء
Dari Abu Hurairah RA, dari Nabi SAW beliau bersabda, “Tidaklah Allah
SWT menurunkan penyakit melainkan menurunkan obat penyembuhnya”92
Euthanasia pasif mengandung keperluan yang penting bagi si pasien
untuk mempermudah proses kematian karena adanya kerusakan yang
91
Badri Khaeruman, Hukum Islam dan Perubahan sosial..............................Hal. 213 92
Abi Abdilah Muhammadbin Ismail Al-Bukhari, Shahih Bukhari Juz V (Beirut Darul
Fikr, 1994), Hal. 11

80
menurut pertimbangan medis dapat dipastikan bahwa pengobatan yang
dilakukan itu tidak berguna, tidak dapat memberikan harapan sembuh pada
pasien, seperti kerusakan pada batang otak, dalam kondisi demikian,
tindakan euthanasia pasif boleh dilakukan, umpamanya dengan mencabut
selang pernapasan, masker oksigen dan pemacu jantung.
Disamping itu, hukum mengobati penyakit dalam waktu cukup lama,
tetapi penyakitnya tetap saja tidak ada perubahan maka pengobatannya itu
tidak wajib, terlebih lagi, membiarkan pasien yang hanya tampak dalam
pernapasan dan denyut nadi, padahal pasien itu sudah seperti orang mati,
tidak reponsif, tidak dapat mengerti dan tidak dapat merasakan sesuatu
hanya akan menghabiskan dana yang tak terbatas dan tidak dapat
menambah penderitaan lagi dan kesedihan bagi keluarga yang mungkin
sampai puluhan tahun maka euthanasia pasif merupakan tindakan yang
mendatangkan maslahat bagi si pasien, keluarga, serta para pasien yang
membutuhkan peralatan yang digunakan pasien tersebut. Jadi meskipun
pasien tersebut sudah tidak dibantu dengan alat pernapasan tetapi, apabila
Allah sudah berkehendak untuk menghidupkan pasien yang sudah dalam
keadaan koma tersebut maka tidak menuntut kemungkinan kalau pasien itu
bisa sembuh. Seperti yang kita ketahui bahwa semua yang hidup pasti mati
dan kembali kepada sang penciptanya, dari paparan analisis tersebut di atas,
penulis dapat mengkonsep perbandingan pandangan tentang euthanasia.
N No Masalah Hukum Pidana Hukum Islam Kesimpulan
01 Pengertian Euthanasia Euthanasia Euthanasia adalah

81
adalah kematian
belas kasihan
(mercy death),
sebab kematian
terjadi apabila
berdasar pada
permintaan
pasien untuk
mengakhiri
hidupnya93
.
adalah bagian
dari tindakan
bunuh diri,
sebab pada diri
kedua orang
tersebut yaitu
pasien dan
dokter adanya
kesadaran
untuk
mengakhiri
hidupnya
dengan
bantuan medis
perbuatan yang
dilakukan untuk
mengakhiri hidup
seorang pasien yang
penyakitnya divonis
tidak bisa
disembuhkan lagi
dengan melakukan
sesuatu atau tidak
melakukan sesuatu
dan dengan bantuan
medis yang diminta
dengan sungguh-
sungguh oleh pasien
02 Kebolehan Dilarang94
Dilarang Negara kita melarang
terhadap euthanasia
03 Hukuman Sesuai dengan
KUHP pasal
344, diancam
Menurut Al-
Qur‟an surat
An-Nisa‟ 29-
Seseorang yang
melakukan euthanasia
harus di hukum,
93
Waluyadi, Ilmu Kedokteran Kehakiman...............................135 94
Djoko Prakoso dan Djaman Adhi Nirwanto Euthanasia, Hak Asasi Manusia dan
Hukum Pidana........................Hal. 34

82
pidana paling
lama 12 tahun95
30
hukumannya
dosa besar,
sedang dalam
fiqih adanya
qishas, had,
diyat, ta‟zir
dan masuk
neraka besok
di akhirat96
.
sebab apabila
diperbolehkan
melakukannya maka
akan dibuat
sewenang-wenang
oleh orang yang tidak
dapat bertanggung
jawab/tidak berdaya
Berdasarkan paparan tersebut di atas yang paling relevan untuk
dijadikan hujjah dalam menentukan hukum euthanasia yaitu hukum Islam,
karena dalam menentukan hukuman yang dijatuhkan kepada pihak pasien
dan dokter yaitu berdasrkan Nash Al-Qur‟an yang sudah ada ketentuan
hukum-hukumnya dan ketentuan tersebut berasal dari Tuhan yang telah
menciptakannya dan sudah menjadi kodrat manusia yang pasti akan kembali
kepada-Nya. Karena menurut penulis kalau hanya dokter yang dijatuhi
hukuman saja maka itu tidak adil karena dalam hal ini dokter hanya
menjalankan tugasnya sebagai seorang dokter yang selalu ingin
menyelamatkan pasienya dari kesakitan yang dideritanya. Jadi hanya Allah
yang berhak menghukum pelaku euthanasia tersebut tetapi itu jika dalam hal
95
R. Sugandhi, KUHP dan Penjelasannya..........................Hal. 361 96
http//www.freskripsi.com/search/jurnal.euthanasia.com. (30 Oktober 2011)

83
euthanasia pasif. karena disini dokter tidak berbuat sesuatu yang aktif
seperti memberi obat yang dosisnya tinggi sehingga pasien menjadi over
dosis yang sama halnya dengan pembunuhan yang disengaja dan kalau hal
tersebut terjadi maka hukum pidana positif di Indonesialah yang dijadikan
acuan dalam menentukan hukum bagi dokter tersebut karena di sini ada
unsur kesengajaan.

84
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Dari pembahasan di atas, maka dapat penulis simpulkan sebagai berikut:
1. Euthanasia ditinjau dari segi hukum pidana, maka dapat dikenakan pasal
344 KUHP, meskipun di dalamnya tidak secara langsung mengatur
tentang euthanasia, tetapi setidaknya pasal tersebut dapat dijadikan sebagai
bahan acuan atau pedoman diberlakukannya sanksi pidana bagi para
pelaku euthanasia, yaitu akan diancam hukuman pidana minimal 12 tahun
penjara.
2. Menurut hukum Islam, bahwa pada dasarnya euthanasia itu dilarang
karena bukan merupakan pembunuhan yang dibenarkan (hak) oleh agama
(syara‟), terkecuali euthanasia pasif yang didasarkan pada keadaan dan
perilaku tawakal, dan bukan karena keputusasaan serta bukan pula adanya
niat bunuh diri atau membunuh pasien, maka diperbolehkan untuk
melakukan euthanasia pasif, karena meskipun hukum berobat itu wajib,
euthanasia yang dilakukan ini sudah dalam keadaan diluar batas
kemampuan manusia, diluar hal ini maka tawakkal itu lebih afdhol.
B. Saran-Saran
1. Perlunya informasi yang lengkap bagi penderita suatu penyakit atau
keluarganya tentang penyakit yang diderita dan dialami oleh si sakit, baik

85
yang dapat diusahakan penyembuhannya ataupun yang tidak dapat
diusahakan, sehingga tidak gegabah dalam menyikapi tindakan euthanasia.
2. Perlu adanya peninjauan kembali terhadap pasal yang terdapat dalam
KUHP atau perundang-undangan lainnya yang mempunyai hubungan erat
dengan euthanasia, oleh karena itu maka sebaiknya pemerintah membuat
Undang-undang yang khususnya membahas tentang euthanasia.
3. Pemberian informasi yang jelas dan mudah difahami dan dimengerti
mengenai permasalahan euthanasia kepada seluruh masyarakat, baik dari
kalangan medis, instansi pemerintah yang terkait maupun lembaga-
lembaga keagamaan yang ada di Indonesia.

86
DAFTAR PUSTAKA
Al Ghozali, Imam.1994. Terjemah Ihya Ulumudin jilid IX. Semarang. CV. Asy
Syifa.
Arikunto, Suharsismi. 1982. Prosedur Penelitian. Jakarta : Rineka Cipta
Asshofa, Burhan. 2007. Metode Penelitian Hukum. Jakarta : Rineka Cipta
Asy-Syaukani, Lutfi.1998. Politik, HAM dan Isu-isu Teknologi Dalam Fikih
Kontemporer. Bandung : Pustaka Hidayah
Audah, Abdul Qadir 1992. At-Tasyri‟ Al-Jina‟I Al-Islami. Beirut : Muasasah Ar-
Risalah
Bahri, Zaenul. 1996. Kamus Umum Hukum dan Politik. Bandung : Angkasa
Bahtiar, Wardi. 1997. Metodologi Penelitian Dakwah. Jakarta : Logos Wacana
Ilmu
Budi Utomo, Setiawan. 2003. Fkih Aktual. Jakarta : Gema Insani Press
Chazawi, Adam. 2004. Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa. Jakarta : Rajawali
Press
Deapartemen Agama RI. 2005. Al-Qur‟an dan Terjemahnya. Bandung :
Jumanatul „Ali-ART
Fadl Mohsin Ebrahim, Abul. 2004. Telaah Fikih dan Bioetika Islam, Jakarta :
Serambi Ilmu Semesta
Hadi Permono, Sjechul. 2004. Euthanasia Ditinjau dari Hukum Islam dan Hukum
Pidana. Surabaya : Wali Demak Press
Hasan, M Ali. 1995. Masail Fiqiyah Al Haditsah Pada Masalah-Masalah
Kontemporer Hukum Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Khaeruman, Badri. 2010. Hukum Islam dan Perubahan Sosial. Bandung : CV
Pustaka Setia
Mubarok, Jaih. 2004. Kaidah Fikih Jinayah. Bandung : Pustaka Bani Quraisy
Muhammad Iyah, Ismail. 1999. Filsafat Hukum Islam. Jakarta : Bumi Aksara
Mujib, Abdul. 1990. Al-Qoidah Fiqiyyah. Yogyakarta : Nurcahya

87
Mukti, Ali Ghufron. 1993. Abortus, Bayi Tabung, Euthanasia, Transplantasi
Ginjal, dan Operasi Kelamin Tinjauan Gukum dan Hukum Islam.
Yogyakarta : Aditya Media
Muljatno. 2002. Membangun Hukum Pidana. Jakarta : Bina Aksara
------------- 2007. KUHP. Jakarta : Bumi Aksara
Mulyono, Anton M. 1988. Kamus Besar bahasa Indonesia. Jakarta : Balai
Pustaka
Nasif, Syekh Mansyur Ali. 1994. Mahkota pokok-pokok Hadits Rosulullah SAW
jilid 3. Bandung : Sinar Baru Agnesindo
Prakoso, Djoko. 1984. Euthanasia Hak Asasi Manusia dan Hukum Pidana.
Jakarta : Ghalia Indonesia
Qordowi, Yusuf. 1995. Fatwa-fatwa Kontemporer. jilid II. Jakarta : Gema Insani
Press
Rammelink, Jan. 2003. Hukum Pidana. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama
Ranoemihardja, Atang R. 1991. Ilmu Kedokteran Kehakiman (Forensik Science).
Bandung : Tarsito
Sugandhi, R. 2002. KUHP dan Penjelasannya. Surabaya : Usaha Nasional
Syarifudin, Amir. 1992. Pengertian dan Sumber Hukum Islam (dalam falsafah
hukum islam). Jakarta : Depag. Bumi Aksara dan Depag. edisi I. cet. II
Tahedo, Huzaemah. 2005. Masail Fiqiyah. Bandung. Bumi Aksara
Theichman, Jeni. 1998. Etika Sosial Kavislus, Cet I. Yogyakarta
Waluyadi.2005. Ilmu Kedokteran Kehakiman. Jakarta : Djambatan
W.J.S Poerwadarminta. 1999. Kamus Bahasa Indonesia. Kamus Bahasa
Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka
Wradharma, Danny. 1996. Penuntun Kuliah Kedokteran. Jakarta : Bina Rupa
Aksara.
Zallum, Abdul Qadim. 1998. Beberapa Problem Kontemporer dalam Pandangan
Islam, Kloning, Transplantasi Organ Tubuh, Abortus, Bayi Tabung,
Penggunaan Organ Tubuh Buatan, Definisi Hidup dan Mati. Bangil : Al
Izzah

88
Browsing Internet
http://konsultasi.wordpress.com/2007/01/26/euthanasia-menurut-hukum-Islam (20
juli 2011)
http://www.ilunifk83.com/t130-kode-etik-kedokteran-indonesia (20 Juli 2011)
http://www.ptiq.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=40&Itemid
=34 (20 Juli 2011)
http://www.ptiq.konsultasi.wordpress.com/2007/01/26/euthanasia-menurut-
hukum-islam (20 Juli 2011)
http://www.scribd.com/doc/11639357/Euthanasia-Persepetif-Medis-Dan-Hukum-
Pidana-Indonesia (25 Sept 2011)
http://translate.google.co.id/translate?hl=id&sl=en&u=http://www.jurnal.md/en/n
ews/passive-euthanasia-legalized-in-sweden-185466.pdf. (30 Oktober
2011)
http://www.freeskripsi.com/search/jurnal-euthanasia.com. (30 Oktober 2011)

89
DAFTAR RIWAYAYT HIDUP
Identitas Diri
Nama Lengkap : Ani Rianawati
NIM : 231107056
Tempat/Tanggal Lahir : Brebes, 21 Juli 1987
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : brebes
Identitas Orang Tua
Nama Ibu : Nuripah
Nama Ayah : Madnuri (alm)
Alamat Orang Tua : Brebes
Riwayat Pendidikan
1. SD KEMURANG WETAN 4
2. SMPN 02 Bulakamba
3. SMA N 1 Bulakamba
4. STAIN Pekalongan