Euthanasia dan Hak Asasi Manusiarepository.uki.ac.id/48/1/Eutanasia dan hak asasi manusia.pdf ·...

of 12 /12

Embed Size (px)

Transcript of Euthanasia dan Hak Asasi Manusiarepository.uki.ac.id/48/1/Eutanasia dan hak asasi manusia.pdf ·...

  • Euthanasia dan Hak Asasi Manusia

    Rospita A. Siregar

    Departemen Forensik dan Medikolegal FK- UKI

    Jakarta – Indonesia

    Abstrak

    Sebagai bagian dari perkembangan ilmu kedokteran, seorang pasien yang menderita

    penyakit yang sangat parah dan tidak mungkin dapat disembuhkan lagi dapat mengajukan

    permohonan untuk mengakhiri hidupnya dengan jalan menghentikan pengobatan atau

    dengan jalan diberi obat suntik dengan dosis lethal. Kematian dengan cara inilah yang

    dimaksud dengan euthanasia. Sementara ini tindakan euthanasia merupakan perbuatan

    yang terlarang karena dikategorikan sebagai pembunuhan atas nyawa seseorang dan bagi

    pelakunya diancam pidana kurungan. Sehingga muncullah permasalahan seperti

    (1) Bagaimana pengaturan euthanasia dalam hukum positif di Indonesia (2) Bagaimana

    pengaturan euthanasia ditinjau dari Hak Asasi Manusia (3) Bagaimana pengaturan

    euthanasia di negara lain. Pasal 344 dalam KUHPidana yang berkaitan dengan euthanasia

    berbunyi:"Barang siapa yang merampas nyawa orang lain yang jelas dinyatakan dengan

    kesungguhan hati diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun". Di dalam

    Declaration of Human Rights hanya mengatur "hak untuk hidup" sedangkan “hak untuk

    mati “ belum diatur secara khusus di Indonesia . Hak untuk hidup merupakan salah satu hak

    asasi manusia yang paling mendasar dan melekat pada diri manusia secara kodrat, berlaku

    universal dan bersifat abadi sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa, sehingga larangan

    untuk euthanasia merupakan suatu tindakan yang melanggar Hak Asasi Manusia

    kata kunci : euthanasia, hak asasi manusia, hak untuk mati

    Abstract

    A patient who is suffering from terminal illness and an incurable condition has the possibility

    to propose to end his/ her life by lethal injection or suspending the medical treatment. This

    practice is known as euthanasia. Euthanasia is forbidden because it is categorized as

    homicide and consequently the perpetrator is punishable by criminal law. This review

    discusses (1) How is euthanasia legislation in Indonesian positive laws (2) How is

    euthanasia viewed from human rights perspective (3) How euthanasia is eligislated and

    conducted in some European countries. To analyze the afore mentioned problems, the writer

    conducts research by legal normative approach which is implemented in the thorough study

    of written regulation, official documents and related literatures. The writer finds tha

  • Euthanasia is regarded as criminal act in Indonesia because it is a form of crime against life

    which stipulated in the Article 344 of the Indonesian Criminal Code (Kitab Undang-Undang

    Hukum Pidana/ KUHP):”Anyone who takes life of others which is clearly done with an

    intention is punishable by imprisonment for maximum twelve years”. The Declaration of

    Human Rights has stipulated the “right to life” which is fundamental and inherent in the

    nature of human being, universally acknowledge and an eternal endowment from The God.

    However, there are no any stipulations on the right to die and therefore euthanasia is a

    violation of human rights and against the principle of believing in one God . But, the right to

    die is already stipulated in some laws of developed countries, such as some countries in

    Europe

    keywords : euthanasia, human rights and right to die

    PENDAHULUAN

    1. PENGERTIAN EUTHANASIA

    Euthanasia (eu = baik, thanatos = mati) atau good death or easy death sering pula

    disebut “mercy killing” pada hakekatnya pembunuhan atas dasar perasaan kasihan,

    sebenarnya tidak lepas dari apa yang disebut hak untuk menentukan nasib sendiri (the right

    self of determination) pada diri pasien.1 Hak ini menjadi unsur utama hak asasi manusia dan

    seiring dengan kesadaran baru mengenai hak-hak tersebut. Demikian pula dengan berbagai

    perkembangan ilmu dan teknologi (khususnya dalam bidang kedokteran), telah

    mengakibatkan perubahan yang dramatis atas pemahaman mengenai euthanasia.1 Namun,

    uniknya, kemajuan dan perkembangan yang pesat ini rupanya tidak diikuti oleh

    perkembangan di bidang hukum dan etika.1 Pakar hukum kedokteran Separovic

    menyatakan bahwa konsep kematian dalam dunia kedokteran masa kini dihadapkan pada

    kontradiksi antara etika, moral, dan hukum di satu pihak, dengan kemampuan serta

    teknologi kedokteran yang sedemikian maju di pihak lain.2

    Menurut Hilman (2001), euthanasia berarti “pembunuhan tanpa penderitaan” (mercy

    killing). Tindakan ini biasanya dilakukan terhadap penderita penyakit yang secara medis

    sudah tidak mungkin lagi untuk bisa sembuh. 2

    Di dunia etik kedokteran kata euthanasia diartikan secara harfiah akan memiliki arti

    “mati baik”.3 Di dalam bukunya seorang penulis Yunani bernama Suetonius menjelaskan arti

    euthanasia sebagai “mati cepat tanpa derita”. Euthanasia Studi Grup dari KNMG Holland

    (Ikatan Dokter Belanda) menyatakan: “Euthanasia adalah perbuatan dengan sengaja untuk

    tidak melakukan sesuatu untuk memperpanjang hidup seorang pasien atau sengaja

    melakukan sesuatu untuk memperpendek atau mengakhiri hidup seorang pasien, dan

    semua ini dilakukan khusus untuk kepentingan pasien itu sendiri”.4,5,6

  • 2. SEJARAH EUTHANASIA

    Istilah euthanasia pertama kali dipopulerkan oleh Hippokrates dalam manuskripnya

    yang berjudul sumpah Hippokrates, yang ditulis pada tahun 400-300 SM. Dalam

    sumpahnya tersebut Hippokrates menyatakan; "Saya tidak akan menyarankan dan atau

    memberikan obat yang mematikan kepada siapapun meskipun telah dimintakan untuk itu".

    Dari dokumen tertua tentang eutanasia di atas, dapat kita lihat bahwa, justru anggapan yang

    dimunculkan oleh Hippocrates adalah penolakan terhadap praktek eutanasia.7

    Sejak abad ke-19, eutanasia telah memicu timbulnya perdebatan dan pergerakan di

    wilayah Amerika Utara dan di Eropa. Pada tahun 1828 undang-undang anti euthanasia

    diberlakukan di negara bagian New York, dan beberapa tahun kemudian diberlakukan pula

    di negara bagian lainnya. Setelah masa perang saudara, beberapa advokat dan beberapa

    dokter mendukung dilakukannya euthanasia secara sukarela, kelompok-kelompok

    pendukung euthanasia mulanya terbentuk di Inggris pada tahun 1935 dan di Amerika pada

    tahun 1938 yang memberikan dukungannya pada pelaksanaan euthanasia agresif,

    walaupun demikian perjuangan untuk melegalkan euthanasia tidak berhasil dijalankan di

    Amerika maupun di Inggris.7

    Pada tahun 1937, euthanasia atas anjuran dokter dilegalkan di Swiss, sepanjang

    pasien yang bersangkutan tidak memperoleh kesembuhan . Pada era yang sama,

    pengadilan Amerika menolak beberapa permohonan dari pasien yang sakit parah dan

    beberapa orang tua yang memiliki anak cacat yang mengajukan permohonan euthanasia

    kepada dokter sebagai bentuk "pembunuhan berdasarkan belas kasihan".7

    Pada tahun 1939, pasukan Nazi Jerman melakukan suatu tindakan kontroversial

    dalam suatu "program" euthanasia terhadap anak-anak di bawah umur 3 tahun yang

    menderita keterbelakangan mental, cacat tubuh, atau pun gangguan lainnya yang

    menjadikan hidup mereka tak berguna. Program ini dikenal dengan nama Aksi T4

    ("Aktion T4") yang kelak diberlakukan juga terhadap anak-anak usia di atas 3 tahun dan

    para jompo atau lansia.4

    Setelah dunia menyaksikan kekejaman Nazi dalam melakukan euthanasia, maka

    pada era tahun 1940 dan 1950 berkuranglah dukungan terhadap euthanasia, terlebih-lagi

    terhadap tindakan euthanasia yang dilakukan secara tidak sukarela ataupun karena

    disebabkan oleh cacat genetika. Nazi yang saat itu dipimpin oleh Adolf Hitler, menganggap

    bahwa orang cacat merupakan hambatan terhadap kemajuan suatu bangsa, sehingga

    secara besar-besaran Nazi melakukan euthanasia secara paksa kepada semua orang cacat

    di Berlin, Jerman. Di India pernah dipraktekkan suatu kebiasaan untuk melemparkan orang-

    orang tua kedalam sungai Gangga.4 Lalu di Sardinia orang tua dipukul hingga mati oleh

    anak laki-laki tertuanya di zaman purba. Di Uruguay kebebasan praktek euthanasia

  • dicantumkan dalam undang-undang yang telah berlaku sejak tahun 1933. Begitu pula di

    beberapa negara Eropa, praktek euthanasia bukan lagi kejahatan kecuali di Norwegia yang

    sejak 1902 memperlakukannya sebagai kejahatan khusus. Di Amerika Serikat, khususnya di

    semua negara bagian mencantumkan euthanasia sebagai kejahatan. Bunuh diri atau

    membiarkan dirinya dibunuh adalah melanggar hukum di Amerika Serikat. Akan tetapi satu-

    satunya negara yang dapat melakukan tindakan euthanasia bagi para anggotanya adalah

    Belanda. Orang dengan persyaratan tertentu dapat meminta tindakan euthanasia atas

    dirinya.

    3. KLASIFIKASI EUTHANASIA

    Dilihat dari orang yang membuat keputusan,euthanasia dibagi menjadi:1 Voluntary

    euthanasia, jika yang membuat keputusan adalah orang yang sakit dan Involuntary

    euthanasia, jika yang membuat keputusan adalah orang lain seperti pihak keluarga atau

    dokter karena pasien mengalami koma medis.Menurut Veronica Komalawati mengatakan

    bahwa euthanasia dapat dibedakan menjadi:2 Euthanasia aktif, yaitu tindakan secara

    sengaja yang dilakukan dokter atau tenaga kesehatan lain untuk memperpendek atau

    mengakhiri hidup si pasien. Misalnya, memberi tablet sianida atau menyuntikkan zat-zat

    berbahaya ke tubuh pasien. Euthanasia pasif, yaitu dokter atau tenaga kesehatan lain

    secara sengaja tidak (lagi) memberikan bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup

    pasien. Misalnya tidak memberikan bantuan oksigen bagi pasien yang mengalami kesulitan

    dalam pernapasan atau tidak memberikan antibiotika kepada penderita pneumonia berat,

    atau dengan mencabut peralatan yang membantunya untuk bertahan hidup.4

    Autoeuthanasia yaitu seorang pasien menolak secara tegas dengan sadar untuk menerima

    perawatan medis dan ia mengetahui bahwa itu akan memperpendek atau mengakhiri

    hidupnya. Dengan penolakan tersebut, ia membuat sebuah codicil (pernyataan tertulis

    tangan). Autoeuthanasia pada dasarnya adalah euthanasia atas permintaan sendiri.4

    Euthanasia ditinjau dari sudut cara pelaksanaannya dapat dibagi menjadi :

    a. Euthanasia agresif, disebut juga eutanasia aktif, adalah suatu tindakan secara

    sengaja yang dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lainnya untuk

    mempersingkat atau mengakhiri hidup seorang pasien. Euthanasia agresif dapat

    dilakukan dengan pemberian suatu senyawa yang mematikan, baik secara oral

    maupun melalui suntikan. Salah satu contoh senyawa mematikan tersebut adalah

    tablet sianida.5

    b. Euthanasia non agresif, kadang juga disebut euthanasia otomatis (autoeuthanasia)

    digolongkan sebagai euthanasia negatif, yaitu kondisi ketika seorang pasien menolak

    secara tegas dan dengan sadar untuk menerima perawatan medis meskipun

    mengetahui bahwa penolakannya akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya.

    Penolakan tersebut diajukan secara resmi dengan membuat sebuah "codicil"

  • (pernyataan tertulis tangan). Euthanasia non agresif pada dasarnya adalah suatu

    praktik euthanasia pasif atas permintaan pasien yang bersangkutan.5,10

    c. Euthanasia pasif dapat juga dikategorikan sebagai tindakan euthanasia negatif yang

    tidak menggunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan

    seorang pasien. Euthanasia pasif dilakukan dengan memberhentikan pemberian

    bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien secara sengaja,contohnya

    dengan tidak memberikan bantuan oksigen bagi pasien yang mengalami kesulitan

    pernapasan, tidak memberikan antibiotika kepada penderita pneumonia berat,

    meniadakan tindakan operasi yang seharusnya dilakukan guna memperpanjang

    hidup pasien, ataupun pemberian obat penghilang rasa sakit seperti morfin yang

    disadari justru akan mengakibatkan kematian. Tindakan eutanasia pasif seringkali

    dilakukan secara terselubung oleh kebanyakan rumah sakit.4 Euthanasia pasif bisa

    dilakukan oleh tenaga medis maupun pihak keluarga yang menghendaki kematian

    seseorang, misalnya keluarga pasien yang tidak mampu membayar biaya

    pengobatan, akan meminta pihak rumah sakit untuk membuat "pernyataan pulang

    paksa" situasi ini memicu pasien meninggal secara alamiah juga sebagai upaya

    defensif medis.8,9

    Euthanasia ditinjau dari sudut pemberian izin, dapat digolongkan menjadi:10

    a. Euthanasia di luar kemauan pasien: yaitu suatu tindakan euthanasia yang

    bertentangan dengan keinginan si pasien untuk tetap hidup. Tindakan euthanasia

    semacam ini dapat disamakan dengan pembunuhan.

    b. Euthanasia secara tidak sukarela seringkali menjadi bahan perdebatan dan

    dianggap sebagai suatu tindakan yang keliru oleh siapapun juga, terjadi apabila

    seseorang yang tidak berkompeten atau tidak berhak untuk mengambil suatu

    keputusan melakukan dan mengatas nama sebagai wali dari si pasien (seperti

    pada kasus Terri Schiavo). Terri Schiavo usia 41 tahun meninggal dunia di negara

    bagian Florida, 13 hari setelah Mahkamah Agung Amerika memberi izin mencabut

    pipa makanan (feeding tube) yang selama ini memungkinkan pasien dalam koma ini

    masih dapat hidup. Kasus ini mula-mula terjadi pada tahun 1990, saat Terri jatuh di

    rumahnya dan ditemukan oleh suaminya Michael Schiavo, dalam keadaan gagal

    jantung.Terri diresusitasi oleh petugas medis ambulans , tetapi karena cukup lama ia

    tidak bernapas, akibatnya ia mengalami kerusakan otak yang berat, karena

    kekurangan oksigen. Menurut kalangan medis, gagal jantung itu disebabkan oleh

    ketidakseimbangan unsur potasium dalam tubuhnya. Terri Schiavo selama 8 tahun

    berada dalam keadaan koma, akhirnya pada bulan Mei 1998 suaminya mengajukan

    http://id.wikipedia.org/wiki/Terri_Schiavohttp://id.wikipedia.org/wiki/Floridahttp://id.wikipedia.org/wiki/Amerika_Serikathttp://id.wikipedia.org/wiki/Pipa_makananhttp://id.wikipedia.org/wiki/Koma_%28medis%29http://id.wikipedia.org/wiki/1990http://id.wikipedia.org/wiki/Jantunghttp://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Resusitasi&action=edit&redlink=1http://id.wikipedia.org/wiki/Otakhttp://id.wikipedia.org/wiki/Oksigenhttp://id.wikipedia.org/wiki/Jantunghttp://id.wikipedia.org/wiki/Potasiumhttp://id.wikipedia.org/wiki/1998

  • permohonan ke pengadilan agar pipa alat bantu makanan pada istrinya dicabut

    sehingga istrinya dapat meninggal dengan tenang. 11,12

    c. Euthanasia secara sukarela: dilakukan atas persetujuan si pasien sendiri namun,

    tindakan ini masih dianggap kontroversial.

    Euthanasia ditinjau dari sudut tujuan dilakukannya, di bagi atas: 4

    a. Pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing).

    b. Euthanasia hewan.

    c. Euthanasia berdasarkan bantuan dokter, ini adalah bentuk lain dari pada euthanasia

    agresif secara sukarela.

    Frans Magnis Suseno membedakan 4 arti euthanasia mengikuti J.Wundeli yaitu:1

    a. Euthanasia murni:usaha untuk meringankan kematian seseorang tanpa

    memperpendek kehidupannya, termasuk semua usaha perawatan dan pastoral agar

    yang bersangkutan dapat mati dengan baik.Euthanasia ini tidak menimbulkan

    masalah apapun.

    b. Euthanasia pasif: tidak dipergunakan semua teknik kedokteran yang sebenarnya

    tersedia untuk memperpanjang kehidupan.

    c. Euthanasia tidak langsung: usaha memperingan kematian dengan memanfaatkan

    efek samping obat. Pasien mungkin mati dengan lebih cepat.dengan cara pemberian

    segala macam obat narkotik, hipnotik dan analgetika yang mungkin de facto dapat

    memperpendek kehidupan pasien dengan tidak disengaja.

    d. Euthanasia aktif: proses kematian diperingan dengan memperpendek kehidupan

    secara terarah dan langsung, disebut sebagai “mercy killing”. Dalam euthanasia aktif

    masih perlu dibedakan pasien menginginkannya atau tidak.

    4. EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF MEDIS

    Dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang medik, kehidupan

    seorang pasien bisa diperpanjang dan hal ini seringkali membuat para dokter dihadapkan

    pada dilema untuk memberikan bantuan tersebut atau tidak dan jika sudah terlanjur

    diberikan apakah boleh untuk dihentikan.4 Tugas seorang dokter adalah untuk menolong

    jiwa seorang pasien, padahal hal itu sudah tidak bisa dilanjutkan lagi dan jika hal itu

    diteruskan, kadang-kadang akan menambah penderitaan pasien.4 Penghentian

    pertolongan tersebut merupakan salah satu bentuk euthanasia.

    Berdasarkan pada cara terjadinya, ilmu pengetahuan membedakan kematian kedalam tiga

    jenis:

    a. Orthothansia, merupakan kematian yang terjadi karena proses alamiah,

  • b. Dysthanasia, adalah kematian yang terjadi secara tidak wajar

    c. Euthanasia, adalah kematian yang terjadi dengan pertolongan atau tidak dengan

    pertolongan dokter.

    Nyonya Agian yang mengalami koma selama tiga bulan dan dalam hidupnya

    membutuhkan alat bantu pernafasan, sehingga dia hanya bisa melakukan pernafasan

    dengan bantuan alat pernafasan. Jika alat pernafasan tersebut dicabut otomatis jantungnya

    akan berhenti memompakan darahnya keseluruh tubuh, maka tanpa alat tersebut pasien

    tidak akan bisa hidup. Namun, ada yang menganggap bahwa orang sakit seperti ini sebagai

    "orang mati" yang tidak mampu melakukan aktifitas. Maka memberhentikan alat pernapasan

    itu sebagai cara yang positif untuk memudahkan proses kematiannya. 4,12

    Hal tersebut di atas adalah contoh euthanasia positif yang dilakukan secara aktif

    oleh medis. Sedangkan euthanasia negatif dalam proses tersebut tenaga medis tidak

    melakukan tindakan secara aktif, contohnya sebagai berikut;

    a. Penderita kanker yang sudah kritis, orang sakit yang sudah dalam keadaan koma,

    disebabkan benturan pada bagian kepalanya atau terkena semacam penyakit pada otak

    yang tidak ada harapan untuk sembuh, atau orang yang terkena serangan penyakit paru-

    paru yang jika tidak diobati (padahal masih ada kemungkinan untuk diobati) akan dapat

    mematikan penderita.

    b. Seorang anak yang kondisinya sangat buruk karena menderita kelumpuhan tulang

    belakang atau kelumpuhan otak. Dalam keadaan demikian ia dapat saja dibiarkan (tanpa

    diberi pengobatan) apabila terserang penyakit paru-paru atau sejenis penyakit otak, yang

    mungkin akan dapat membawa kematian anak tersebut. Dari contoh tersebut,

    "penghentian pengobatan" merupakan salah satu bentuk eutanasia negatif. Menurut

    gambaran umum, anak-anak yang menderita penyakit seperti itu tidak berumur panjang,

    maka menghentikan pengobatan dan mempermudah kematian secara pasif (euthanasia

    negatif) itu mencegah perpanjangan penderitaan si anak yang sakit atau kedua orang

    tuanya. 5

    5. Euthanasia dalam pandangan Hukum dan HAM di Indonesia

    Prinsip umum Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang berkaitan dengan

    masalah jiwa manusia adalah memberikan perlindungan, sehingga hak hidup secara wajar

    sebagaimana harkat kemanusiaannya menjadi terjamin, maka berdasarkan hukum di

    Indonesia euthanasia adalah perbuatan yang melawan hokum. Hal ini dapat dilihat pada

    peraturan perundang-undangan yang ada yaitu pada Pasal 344 KUHP yang menyatakan

    bahwa "Barang siapa menghilangkan nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri,

    yang disebutkannya dengan nyata dan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-

    lamanya 12 tahun".8 demikian juga halnya pada pengaturan pasal 388 KUHP dinyatakan:

  • “Barang siapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain, dihukum, karena makar mati,

    dengan hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun”. Sementara dalam ketentuan

    Pasal 340 KUHP dinyatakan, “ Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana lebih

    dulu merampas nyawa orang lain diancam, karena pembunuhan berencana, dengan pidana

    mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama duapuluh

    tahun”, serta pasal 345 KUHP yang berbunyi “dengan sengaja menghasut orang lain untuk

    membunuh diri, menolongnya dalam perbuatan itu atau memberikan daya upaya itu jadi

    bunuh diri, dihukum penjara selama-lamanya empat tahun”, dan 359 KUHP , yang

    dinyatakan “Barangsiapa yang karena salahnya telah menyebabkan meninggalnya orang

    lain.8 Dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun, atau dengan

    hukuman kurungan selam-lamanya satu tahun”, yang juga dapat dikatakan memenuhi

    unsur-unsur delik dalam perbuatan euthanasia.8 Dengan demikian, secara formal hukum

    yang berlaku di negara kita memang tidak mengizinkan tindakan euthanasia oleh siapa pun

    juga .8

    Munculnya pro dan kontra seputar euthanasia menjadi beban tersendiri bagi

    komunitas hokum, yaitu persoalan “legalitas” euthanasia. Kejelasan tentang sejauh mana

    hukum (pidana) positif memberikan regulasi/pengaturan terhadap persoalan euthanasia

    akan sangat membantu masyarakat di dalam menyikapi persoalan tersebut.5 Lebih-lebih di

    tengah masyarakat indonesia yang menganut faham komuni sehingga menimbulkan pro

    dan kontra . Patut menjadi catatan, bahwa secara yuridis formal dalam hukum pidana positif

    di Indonesia hanya dikenal satu bentuk euthanasia, yaitu euthanasia yang dilakukan atas

    permintaan pasien/korban itu sendiri (voluntary euthanasia) sebagaimana secara eksplisit

    diatur dalam pasal 344 KUHP. Pasal 344 KUHP secara tegas menyatakan, “Barang siapa

    merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan

    dengan kesungguhan hati diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”.6

    Bertolak dari ketentuan Pasal 344 KUHP tersebut tersimpul, bahwa pembunuhan atas

    permintaan korban sekalipun tetap diancam pidana bagi pelakunya.7 Dengan demikian,

    dalam konteks hukum positif di Indonesia euthanasia tetap dianggap sebagai perbuatan

    yang dilarang.6 Dengan demikian dalam konteks hukum positif di Indonesia, tidak

    dimungkinkan dilakukan “pengakhiran hidup seseorang” sekalipun atas permintaan orang itu

    sendiri. Perbuatan tersebut tetap digolongkan sebagai tindak pidana, yaitu sebagai

    perbuatan yang diancam dengan pidana bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. 5

    Di luar ketentuan di atas juga terdapat ketentuan lain yang dapat digunakan untuk

    menjerat pelaku euthanasia, yaitu ketentuan Pasal 356 (3) KUHP yang juga mengancam

    terhadap “Penganiayaan yang dilakukan dengan memberikan bahan yang berbahaya bagi

    nyawa dan kesehatan untuk dimakan atau diminum”8,15 Selain itu patut juga diperhatikan

    adanya ketentuan dalam Bab XV KUHP khususnya Pasal 304 dan Pasal 306 (2).7 Dalam

  • ketentuan Pasal 304 KUHP dinyatakan, “Barang siapa dengan sengaja menempatkan atau

    membiarkan seorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku

    baginya atau karena persetujuan, dia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau

    pemeliharaan kepada orang itu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun

    delapan bulan atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”.8

    Dalam Pasal 306 (1) KUHP dinyatakan: Jika salah satu perbuatan berdasarkan pasal 304

    dan 305 mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara

    paling lama tujuh tahun enam bulan. Sementara Pasal 306 (2) KUHP menyatakan, “Jika

    mengakibatkan kematian pidana penjara paling lama sembilan tahun”.8 Dua ketentuan di

    atas memberikan penegasan, bahwa dalam konteks hukum positif di Indonesia,

    meninggalkan orang yang perlu ditolong juga dikualifikasi sebagai tindak pidana. atau

    dengan pengertian lain pasal ini juga bermakna melarang terjadinya euthanasia pasif yang

    sering terjadi di Indonesia.6

    Ketua umum pengurus besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Farid Anfasa Moeloek

    mengarahkan di majalah Tempo Selasa 5 Oktober 2004 euthanasia atau "pembunuhan

    tanpa penderitaan" hingga saat ini belum dapat diterima dalam nilai dan norma yang

    berkembang dalam masyarakat Indonesia. "Euthanasia hingga saat ini tidak sesuai dengan

    etika yang dianut oleh bangsa dan melanggar hukum positif yang masih berlaku yakni

    KUHP”.7,14

    6. PANDANGAN EUTHANASIA DI NEGARA LAIN

    Sejauh ini euthanasia diperkenankan di negara Belanda, Belgia, Colombia, Swiss,

    Spanyol, Jerman, Denmark dan ditoleransi di negara bagian Oregon di Amerika. Pada

    tanggal 10 April 2001 Belanda menerbitkan undang-undang yang mengizinkan euthanasia.

    Undang-undang ini dinyatakan efektif berlaku sejak tanggal 1 April 2002, yang menjadikan

    Belanda menjadi negara pertama di dunia yang melegalkan praktik euthanasia.4 Pasien

    yang mengalami sakit menahun dan tak tersembuhkan, diberi hak untuk mengakhiri

    penderitaannya.7,9,11,13 Tetapi perlu ditekankan, bahwa dalam Kitab Hukum Pidana Belanda

    secara formal euthanasia dan mengakhiri hidup berbantuan masih dipertahankan sebagai

    perbuatan kriminal.14 Sebuah karangan berjudul "The Slippery Slope of Dutch Euthanasia"

    dalam majalah Human Life International Special Report Nomor 67, November 1998,

    halaman 3 melaporkan bahwa sejak tahun 1994 setiap dokter di Belanda dimungkinkan

    melakukan euthanasia dan tidak akan dituntut di pengadilan asalkan mengikuti beberapa

    prosedur yang telah ditetapkan.6 Prosedur tersebut adalah mengadakan konsultasi dengan

    rekan sejawat (tidak harus seorang spesialis) dan membuat laporan dengan menjawab

    sekitar 50 pertanyaan.

  • Sejak akhir tahun 1993, Belanda secara hukum mengatur kewajiban para dokter

    untuk melapor semua kasus euthanasia dan mengakhiri hidup berbantuan.13,15 Instansi

    kehakiman selalu akan menilai betul tidaknya prosedurnya. Pada tahun 2002, sebuah

    konvensi yang berusia 20 tahun telah dikodifikasi oleh undang-undang Belanda, yaitu

    seorang dokter yang melakukan euthanasia pada suatu kasus tertentu tidak akan

    dihukum.14

    Kesimpulan

    Belum terdapat kesepakatan mengenai pengertian dan pelaksanaan euthanasia dari

    para ahli. Dapat disimpulkan bahwa euthanasia merupakan suatu tindakan medis tertentu

    yang dengan sengaja dilakukan oleh dokter atau tenaga medis lain untuk mengakhiri atau

    mempercepat kematian pasien yang menderita suatu penyakit yang menurut ilmu

    kedokteran tidak dapat sembuh, atas atau tanpa permintaan pasien dan atau keluarganya

    sendiri, demi kepentingan pasien dan atau keluarganya.

    Masalah euthanasia bukan masalah baru , masalah ini sudah sering diangkat dalam

    berbagai forum diskusi. Akan tetapi, pendangan medis, etis, yuridis, agama dan lain

    sebagainya masih mengundang pro dan kontra, baik di Indonesia maupun di berbagai

    negara di dunia.

    Di Indonesia, belum ada hukum yang mengatur secara jelas mengenai praktek

    euthanasia dalam bidang medis. Apabila terjadi praktek euthanasia dapat dijerat dengan

    pasal pembunuhan, antara lain pasal 304,306,340,344,345,359,356 dan 388 KUHP. Selain

    itu, etika kedokteran dan agama di Indonesia masih menentang pelaksanaan euthanasia

    dengan alasan apapun. Tidak mudah untuk menilai apakah perbuatan itu bertentangan

    dengan hukum (pidana, perdata) Indonesia, jika tidak diketahui dengan jelas kaitan antara

    hukum (pidana, perdata) tersebut dengan kriteria yang dipakai sebagai tolok ukur, bagi

    sesuatu perbuatan yang menurut ukuran-ukuran medis mungkin lolos dari hukum (pidana,

    perdata). Untuk itu, hendaknya hukum pidana kita tetap berpedoman pada azas yang

    berlaku umum yaitu actus non facit reum nisi mens sit rea atau an act does not innocence,

    dipakai dalam mencari kebenaran materil yang dihasilkan melalui pembuktian adanya

    hubungan kausal antara perbuatan dan akibat.

    Saran

    Diharapkan pada masa mendatang, Indonesia memiliki hukum yang mengatur

    euthanasia dengan batasan yang jelas mengenai penyakit/keadaan pasien dan latar

    belakang yang menjadi alasan dilaksanakannya euthanasia. Pandangan hukum dan

    pertimbangan hak azasi manusia menjadi diskusi yang sangat berguna, dimana profesi

    dokter dapat dilindungi dari berbagai pihak yang terkait.

  • DAFTAR PUSTAKA

    1. Karyadi, P.Y. Euthanasia: Dalam Perspektif Hak Azasi Manusia. Yogyakarta Penerbit Media

    Pressindo: 2001: h. 53-87.

    2. Budiyanto, A, et.al. Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta: Bagian Kedokteran Forensik Fakultas

    Kedokteran Universitas Kedokteran Indonesia:1997: h. 25-8

    3. S, Abraham, et al. Tanya Jawab Ilmu Kedokteran Forensik. Semarang: Badan Penerbit

    Universitas Dipenogoro. 2009: h. 39-40.

    4. Wila Chandrawila Supriadi. Hukum Kedokteran. Bandung: Mandar Maju: 2001:h 97-9

    5. J.Guwandi.Kumpulan kasus Bioethics & Biolaw.Balai Penerbit FKUI : 2000 : h 4-9

    6. Dwi Ratna Sarashvati.Tanya-jawab hukum kesehatan: panduan praktis untuk tenaga

    kesehatan, mahasiswa hukum dan kesehatan, serta peminat hukum kesehatan. Jakarta:

    Yayasan Kusuma Buana :2008: h 56-62

    7. Anny Isfandyarie dkk.Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi bagi Dokter Buku ke II.Jakarta

    :Prestasi Pustaka : 26 : h 77-99

    8. J.Guwandi.Hospital law : emerging doctrines & jurisprudence. Jakarta: Balai Penerbit FKUI :

    2002: h 22-9

    9. J.Guwandi.Hukum medic (medical Law). Jakarta: Balai Penerbit FKUI : 2007: h 246-250

    10. Qomariyah Sachrowardi,Ferryal Basbeth: Bioetik isu dan dilema: Jakarta: Penerbit Pensil-

    324: 2011: h14

    11. J.Guwandi.Medical error dan Hukum Medis :Jakarta: Balai Penerbit FKUI : 2007: h 116-116

    12. J.Guwandi.A Concise Glossary of Medical Law Terms:Jakarta: Balai Sagung Seto : 2007: h

    67-69

    13. J.Guwandi.Hukum dan dokter:Jakarta : Balai Sagung Seto : 2008: h 73-79

    14. Safitri Hariyani. Sengketa Medik: Jakarta: Penerbit Diadit Media: 2005, h 69-72

    15. Rinanto Suryadhimirtha. Hukum malpraktek kedokteran:Yogyakarta:Penerbit Total

    Media:2011: h 110