Jurnal Widya Prabha 2014 - kebudayaan.kemdikbud.go.id€¦ · 1 Jurnal Widya Prabha 2014 Pengantar...

86
1 Jurnal Widya Prabha 2014

Transcript of Jurnal Widya Prabha 2014 - kebudayaan.kemdikbud.go.id€¦ · 1 Jurnal Widya Prabha 2014 Pengantar...

  • 1

    Jurnal Widya Prabha 2014

  • 2

    Jurnal Widya Prabha 20143

    12

    29

    19

    4257

    68

  • 1

    Jurnal Widya Prabha 2014

    Pengantar Redaksi

    Puja dan puji syukur kita haturkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rah-mat dan karuniaNya sehingga apa yang kita rencanakan dapat terlaksana dengan baik dan lancar. Penerbitan jurnal tahunan Widya Prabha ke-3 ini telah dapat dilakukan dengan baik sesuai dengan rencana. Jurnal ini diterbitkan sebagai salah satu publikasi berbagai aspek tentang pelestarian ca-gar budaya. Upaya publikasi itu merupakan bagian dari implementasi program internalisasi cagar budaya kepada masyarakat. Terimakasih kepada para kontributor tulisan yang telah meluangkan waktu dan meman-faatkan kesempatan untuk menulis artikel dalam jurnal ini. Kepada semua Tim Redaksi yang telah dapat mewujudkan jurnal ini, kami tidak lupa memberikan penghargaan yang tinggi. Semoga jurnal ini dapat menjadi sumbang saran di dalam kajian tentang pelestarian dan dapat menjadi bahan kepustakaan. Diakui bahwa berbagai kontribusi penulisan tersebut masih terbatas dan belum mak-simal, oleh karena itu berbagai kritik dan saran diperlukan untuk perbaikan penerbitan di masa mendatang. Semoga Tuhan selalu memberikan perlindungan dan meridhoi setiap upaya kita da-lam mengimplementasikan internalisasi tentang pentingnya cagar budaya bagi penguatan karakter bangsa.

    Redaksi

  • 2

    Jurnal Widya Prabha 2014

    Catatan Redaksi :

    Perspektif Budaya dan Lingkungan dalam Pelestarian

    Peran budaya di dalam berbagai bidang kehidupan, disadari maupun tidak, pada dasarnya memiliki posisi sentral dan menentukan. Di dalalam era pembangunan yang mengejar pertumbuhan diyakini bahwa pertumbuhan ekonomi akan dapat memperbaiki standard kehidupan dan kesejahteraan. Secara logis sumber daya alam menjadi tumpuan untuk dapat dieksploatasi bagi kepentingan manusia. Pada akhirnya ekplorasi yang dilakukan tidak mempertimbangkan aspek keseimbangan ekologis. Tidak mengherankan apabila kemudian muncul kritik dan mendesak ditinggalkannya praktek-praktek seperti tersebut diatas. Paradigma yang kemudian muncul adalah pendekatan yang pembangunan berkelanjutan yang holistik dengan mengimplementasikan asas keseimbangan dengan aspek-aspek sosial - budaya dan lingkungan hidup. Artinya, bahwa di dalam melaksanakan pembangunan harus memperhitngkan dimensi sosial, pelestarian budaya, dan lingkungan hidup.

    Pada dasarnya budaya dapat diartikan sebagai corak hidup di dalam suatu lingkungan masyarakat yang tumbuh dan berkembang berdasarkan spiritualitas dan tata nilai yang disepakati bersama. Dapat pula dipersepsikan sebagai sistem makna dan pemahaman arti dalam suatu sistem kepercayaan serta pola perilaku kehidupan yang dilakukan masyarakat pendukung. Proses itu untuk menghayati kehidupan di dalam memperjuangkan kehidupan (survival) bagi kehidupan yang bermartabat. Apa yang menjadi tata nilai budaya dan kearifan di dalam masyarakat dapat menjadi kunci di dalam melakukan peendekatan bagi terwujudnya upaya membangun kelestarian budaya dan alam sekelilingnya. Kita semua dituntut untuk menjaga keseimbangan dan harmoni hubungan di antara manusia, alam, dan lingkungannya.

    Satu contoh bahwa di dalam menjaga eksistensi geo heritage dan ekosistem Merapi harus memahami bagaimana persepsi masyarakat tentang lingkungannya serta pola perilaku untuk memperjuangkan kehidupan yang berkeseimbangan. Tentunya aspek pencegahan atau preventif menjadi pilihan yang utama untuk dilakukan. Hal itu baik yang dilakukan dalam konteks lingkungan maupun budaya. Tidak kalah pentingnya adalah bagaimana menjaga kelestarian budaya dalam arti melakukan proses konservasi material dan bangunan cagar budaya seperti halnya yang dilakukan di Benteng Cepuri Kotagede. Apabila pendekatan preventif tidak dapat membuahkan hasil konkrit maka tentu harus menjalankan aspek kuratif atau represif. Aspek represif inilah yang telah dilakukan di dalam menjaga eksistensi bangunan cagar budaya SMA 17 1 Yogyakarta. Menjaga eksistensi bangunan, sebagai salah satu properti budaya, juga akan dapat menjaga nilai atau makna yang terkandung di dalamnya. Makna yang tersurat inilah yang perlu terus dibudidayakan di dalam masyarakat. Kedepannya, tugas menjaga keberlanjutan di dalam konteks keseimbangan merupakan tanggungjawab bersama. Pemahaman arti penting dan pembelajaran pentingnya menjaga eksistensi alam, lingkungan, dan warisan budaya sangat urgen untuk di implementasikan dalam rangka membangun peradaban bangsa.

    Redaksi

  • 3

    Jurnal Widya Prabha 2014

    I. Pendahuluan

    Konsep pembangunan berkelanjuan yang dicanangkan World Commission on Environment and Development di bulan April 1987 mendeklarasikan upaya mengatasi berbagai kemelut lingkungan yang terjadi di belahan dunia. Anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa, termasuk Indonesia sepakat memadukan lingkungan hidup dalam pembangunan, sehingga lahirlah pola Pembangunan Berkelanjutan atau berwawasan Lingkungan. Artinya arah pembangunan dilaksanakan dengan memperhatikan kontuinitas dalam hal kelangsungan hidup alam dan manusia. Namun sejak lahirnya konsep tersebut hingga saat ini apakah lingkungan hidup menjadi semakin baik? Kasus bencana alam yang terus terjadi di berbagai tempat dan bumi semakin panas mengindikasikan masalah lingkungan belum terintregrasi dengan baik dalam pembangunan berkelanjutan. Cita-cita utama pembangunan berkelanjutan adalah upaya untuk mensinkronkan, mengintegrasikan dan memberi bobot yang sama bagi tiga aspek utama pembangunan, yaitu ekonomi, sosial-budaya, dan lingkungan hidup. Artinya Pembangunan aspek sosial-budaya dan lingkungan hidup tidak boleh dikorbankan demi dan atas nama pembangunan ekonomi.

    Konflik sosial-budaya yang terjadi di tanah air, yaitu perasaan diberlakukan tidak adil, termarjinalisasi, dan terancam secara budaya adalah contoh terabaikannya aspek sosial-budaya dalam pembangunan nasional (Keraf, 2002). Kasus yang sama terjadi pada masalah pemanfaatan sumberdaya alam yang berorientasai pada

    pendapatan daerah, tanpa memperhatikan kualitas lingkungan yang semakin buruk. Krisis ekologi yang terjadi menujukan kuatnya paham antroposentis dalam kebijakan pembangunan yang lebih mementingkan pertumbuhan ekonomi dan persepsi yang keliru tentang kekayaan alam. Pertumbuhan ekonomi diyakini akan memperbaiki standart kehidupan masyarakat menjadi lebih sejahtera, dan sumberdaya alam merupakan sumberdaya yang siap dieksploitasi untuk pertumbuhan ekonomi. Eksplorasi alam tidak lagi mempertimbangkan keseimbangan ekologis. Paradigma pembangunan berkelanjutan yang sangat antroposentris tersebut mendesak untuk ditinggalkan dan diganti dengan cara pandang yang lebih holistik dan saling melengkapi dengan memberi perhatian pada aspek sosial-budaya dalam pengelolaan lingkungan hidup. Berdasarkan kondisi tersebut muncul permasalahan : Mengapa aspek budaya perlu lebih ditingkatkan perannya saat ini dalam menjaga keseimbangan ekosistem?. Asumsinya pendekatan budaya yang meletakkan manusia dalam kapasitasnya sebagai makhluk berbudaya, beretika, bermoral dan berdimensi spiritual-transendental sangat relevan untuk dikaji dan ditransformasikan dalam kehidupan saat ini mengingat tingkat kerusakan ekologi di sekitar kita dari hari ke hari semakin meningkat.

    II. Hakekat Manusia Sebagai Makhluk Ekologis

    Kelangsungan hidup manusia tergantung pada pemeliharaan ekosistem, karena ekosistem merupakan batas keberadaan dan kerangka kerja kegiatan manusia, ekositem dapat berjalan tanpa kita, namun kita tidak dapat berbuat apa-apa tanpa ekosistem, selama kita hidup di bumi ini (Kompas, 2004). Pada dasarnya secara

    PERAN BUDAYA DALAM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP *

    Oleh :Dra. Niken Wirasanti,M.Si **

  • 4

    Jurnal Widya Prabha 2014

    naluriah manusia dimanapun tempat tinggalnya pasti akan mencari ketenangan dan keamanan diri. Adapun sumber dari intervensi ketidaktentraman dibayangkan bukan hanya dari suasana psikologis di dalam dirinya semata, melainkan juga dbayangkan berasal lingkungan jagad raya yang dipersepsikan sebagai sesuatu yang misterius, dan menakjubkan, yang tidak dapat dicerna oleh akal pikiran. Dari persepsi ini mulai menggagas adanya daya-daya alam adiduniawi yang mengitari dirinya, dan dikonsepsikan sebagai dewa-dewa (Suhardi, 2009). Pandangan masyarakat terus berlanjut, khususnya masyarakat Jawa beranggapan lingkungan merupakan sebagai sumber energi yang bermanfaat untuk kehidupan manusia. Masyarakat berteori tentang tatanan jagat raya (kosmogoni) yang memiliki perputaran gerak yang sempurna, misalnya rotasi perjalanan benda-benda angkasa yang demikian tertibnya, merupakan perwujudan keseimbangan alam dan dunia. Jagat raya bergerak demikian pula isi dunia termasuk masyarakatnya. Apabila manusia mampu menyerasikan hidupnya sesuai dengan hukum alam yaitu gerak perputaran alam semesta, maka akan diperoleh kesejahteraan. Gerak harmonis dari benda-benda di jagat raya digerakkan oleh sebuah kekuatan (daya) dan apabila kekuatan itu memancar pada seorang pemimpin, atau raja, maka pemimpin atau raja tersebut dianggap memiliki daya linuweh (kesaktian). Asumsinya semakin kuat pancaran yang dimiliki seorang pemimpin atau raja maka individu tersebut akan semakin memiliki kewibawaan dan berkharisma. Implikasinya dari kewibawaan dan kharisma seorang pemimpin/raja akan tercapai keadaan tata titi tentrem karta raharjo. Sejumlah naskah Jawa kuna, misalnya Babad Tanah Jawi, Kitab Centini, Wedatama menceritakan adanya gambaran ideal seorang pemimpin atau raja dalam menjaga tata tertib kosmos. Demikian pula ramalan-ramalan Joyoboyo yang populer masa Kerajaan Kadiri-abad XIII Masehi, dan ramalan Pujangga Ronggowasito (masa Kerajaan Surakarta-abad XVIII Masehi). Dalam sejarah kebudayaan dikenal nama-

    nama yang menjadi gambaran ideal seorang tokoh pemimpin yang mampu mengembalikan keserasian dalam hubungan manusia dengan ekosistemnya, yaitu tokoh Ratu Adil, dan tokoh Satrio Piningit. Pada masa Kerajaan Mataram (Islam) Raja-Raja Mataram sebagai pewaris tahta kerajaan harus bersikap dan berbuat sebagai kalifah dari Tuhan (Senapati ing Alaga Sayidin Panatagama Kalifatullah Tanah Jawa). Tugas yang diemban adalah Hamengku, Hamangku, Hamangkoni. Asas tersebut bermakna keseimbangan dunia-akherat, finansial-spiritual, manunggaling Kawulo Gusti yaitu suatu tekad mengelola alam tanpa merusak dan menjaga segala kekayaan alam yang merupakan pemberian sekaligus amanah Sang Pencipta (Suhardjo, 2004). Masih di lingkungan kraton sejumlah nama raja disebut dengan nama Paku Buwono (tiang pancang alam semesta), Hamengku Buwono ( Penguasa atau Pemelihara alam semesta), Pakualam ( tiang pancang alam semesta) Mangkunegara ( pemelihara negara).

    Selain gambaran ideal seorang pemimpin, dalam sastra Jawa pun termuat ajaran-ajaran pentingnya menjaga keharmonisan antar sesama dan lingkungan. Naskah Jawa yaitu Serat Sasana Mulyo (Kompas, 2 November 2009) menyebutkan sikap hemat dan bersahaja (gemi nastiti) merupakan penangkal sikap konsumeristik yang makin menjangkiti masyarakat. Gaya hidup boros dan bermewah-mewah bertentangan dengan etika Jawa. Prinsip hemat dan cermat dapat menjadi pedoman dalam mengelola sumberdaya alam.

    Gambaran dari masyarakat adat yang kehidupannya menyatu dengan alam lingkungannya merupakan lanjutan konsep kepercayaan yang telah dikenal turun-temurun. Masa Jawa Kuna memiliki kepercayaan yang berlandaskan pada konsep kosmogonis yaitu kepercayaan adanya suatu keserasian antara dunia manusia (mikrokosmos) dengan alam manusia (makrokosmos) (Geldern, 1942). Menurut kepercayaan ini manusia selalu ada di bawah pengaruh kekuatan-kekuatan yang

  • 5

    Jurnal Widya Prabha 2014

    terpancar dari antara bintang-bintang dan planet. Kekuatan tersebut dapat membawa kesejahteraan atau bencana terganung dari dapat atau tidaknya individu aau komunitas menyerasikan hidup dan semua kegiatannya dengan gerak alam semesta. Individu atau komunitas dapat memperoleh keserasian dengan mengikuti petunjuk astrologi atau sejumlah perlambang yang menujukkan akan datangnya keberuntungan atau bencana (Sumadio, 2007). Terkait dengan hal tersebut, diyakini tata ruang kraton (Yogyakarta- Surakarta), disusun dan diselaraskan dengan tatanan jagat raya, keseimbangan secara keruangan ditata dengan menempatkan pejabat-pejabat kraton di penjuru mata angin dari kraton. Dalam konsep Jawa, tata letak daerah-daerah penyangga yang terpusat di kraton dikenal dengan konsep Mancapat dan Mancalimo.

    Orang Jawa sangat akrab dengan kosmologi, yang dicakup dalam istilah kejawen. Perlu dimaklumi di sini bahwa kejawen bukanlah katagori agama, tetapi menunjuk kepada suatu etika dan gaya hidup yang dimaklumi oleh seluruh fikiran Jawa (Mulder, 1996). Sehingga istilah kejawen apabila dipandang sebagai ilmu pengetahuan merupakan etika dan gaya fikiran yang tidak terhindar dari agama, nuansa mistis dan legenda, tasawuf, serta filsafati. Lebih tegas Sonny Keraf (2002 ) berpendapat hakekat manusia bukan hanya makhluk sosial tetapi juga makhluk ekologis. Sebagai bagian dari komunitas ekologis manusia mempunyai kewajiban moral dan tanggungjawab untuk menghormati setiap kehidupan, baik terhadap manusia maupun pada makhluk lain dan benda-benda non hayati, karena semua benda di alam semesta mempunyai hak yang sama untuk ada, hidup, dan berkembang. Dengan memahami dirinya sebagai bagian integral dari alam, maka dalam memanfaatkan alam harus dilakukan secara arif, yaitu menjaga keseimbangan dan kelestariannya (Keraf,2009., Elliot.,1955.) Eksploitasi sumberdaya alam diatur dengan berbagai macam aturan religius untuk menjamin

    agar keselarasan ekosistemnya dapat terjaga dan aturan-aturan tersebut melahirkan sejumlah tradisi. Tradisi tersebut terus berlangsung dilengkapi dengan sejumlah mitos. Van Peursen (2005) menjelaskan dalam tahap perkembangan kebudayaan yang imanen, mistik berkembang dengan baik sedangkan ilmu pengetahuan belum dapat berkembang. Kesadaran manusia dalam mengelola lingkungan untuk menjaga kelestarian alam lingkungan telah dimiliki masyarakat lokal di Indonesia melalui kearifan budaya daerah baik berupa adat maupun tradisi. Kearifan masyarakat lokal berintikan kesadaran manusia akan eksistensinya di alam semesta. Bagi masyarakat lokal alam dan lingkungan merupakan wilayah yang sakral, berdimensi spiritual transendental. Jalinan persahabatan dengan alam dan lingkungan hidupnya diwujudkan dalam berbagai upacara adat atau upacara religius, yang sarat dengan makna kehidupan manusia sebagai mikrokosmos dan alam semesta sebagai makrokosmos. Berbagai bentuk kearifan tradisional tersebut dihayati, dan diwariskan secara turun temurun yang membentuk sikap dasar manusia sehari-hari, seperti yang tampak pada berbagai upacara adat masyarakat misalnya acara bersih desa, rasulan dan pethik laut.

    III. Pendekatan Budaya dalam pengelolaan Lingkungan

    Pendekatan budaya dalam pengelolaan lingkungan diartikan sebagai upaya mencari dan mengembangkan sumber-sumber kekuatan yang ada dalam diri manusia, yang dapat dilihat dari adat dan tradisi masyarakat yang bersifat arif, bertanggung jawab terhadap alam dan lingkungannya. Kebudayaan adalah suatu corak hidup dari suatu lingkungan masyarakat yang tumbuh dan berkembang berdasarkan spiritual dan tata nilai yang disepakati oleh masyarakat pendukungnya, oleh karenanya menjadi eksistensial bagi lingkungan masyarakat tersebut. Hilangnya budaya suatu masyarakat adalah hilangnya identitas dan jati diri masyarakat yang berarti hilang pula keberadaanya

  • 6

    Jurnal Widya Prabha 2014

    sebagai suatu pribadi (Wibowo, 1995). Manusia adalah makhluk berbudaya dan budaya manusia penuh dengan simbol-simbol. Dengan kata lain budaya manusia penuh diwarnai dengan simbolisme yaitu suatu tata pemikiran atau paham yang menekankan atau mengikuti pola-pola yang mendasarkan diri pada sejumlah tanda. Simbolisme sangat menonjol peranannya pertama-tama dalam religi. Hal ini dapat dilihat pada segala bentuk upacara-upacara religius (Herusatoto,2007). Ritus atau upacara religius merupakan sarana yang menghubungkan manusia dengan yang keramat. Ritual bukan hanya sarana memperkuat ikatan sosial kelompok dan mengurangi ketegangan, tetapi juga suatu cara untuk merayakan peristiwa-peristiwa penting yang menyebabkan krisis. Kegiatan upacara tersebut akan berpengaruh menyatukan semua orang dalam suatu usaha bersama sedemikian rupa, sehingga ketakutan dan kekacauan bergerak menjadi tindakan bersama dan optimisme tertentu. Keseimbangan hubungan di antaranya semua orang, yang tadinya kacau, menjadi normal kembali. Upacara pada masa krisis itu berdasarkan anggapan bahwa dalam jangka waktu hidupnya manusia mengalami banyak krisis dan sering amat menakutkan. Dalam hal menghadapi masa krisis manusia butuh melakukan perbuatan untuk memperteguh dan menguatkan dirinya (Koentjaraningrat, 2006). Pendapat yang lain (Van Gennep – Koentjaraningrat, 2006), menyebutkan bahwa upacara religius secara universal pada azasnya berfungsi sebagai aktivitas untuk menimbulkan kembali semangat kehidupan sosial antara warga masyarakat. Ia menyatakan bahwa kehidupan sosial dalam tiap masyarakat di dunia secara berulang, dengan interval waktu tertentu, memerlukan apa yang disebutnya ”regenerasi” semangat kehidupan sosial seperti itu. Hal ini disebabkan karena selalu ada saat-saat ketika semangat kehidupan sosial itu menurun, dan sebagai akibatnya akan muncul kelesuan dalam masyarakat. Van Gennep juga menyatakan bahwa gejala turunnya semangat kehidupan sosial itu biasanya

    terjadi pada masa akhir suatu musim alamiah, atau pada akhir suatu tahap dalam produksi pertanian. Saat itu energi manusia seolah-olah sudah habis terpakai dalam aktivitas sosial selama musim yang hampir berlalu itu. Untuk menghadapi tiap musim yang baru masyarakat memerlukan ”regenerasi” semangat kehidupan sosial. Sikap takut sekaligus bercampur dengan percaya terhadap hal-hal gaib serta keramat menyebabkan masyarakat mempunyai sikap serba religi yaitu suatu getaran yang menggerakkan jiwa manusia. Selanjutnya keyakinan tersebut diwujudkan dalam berbagai kegiatan upacara (ritus). Kegiatan yang serba religi merupakan suatu upaya untuk menjaga keharmonisan dan sekaligus berkomunikasi dengan Tuhan dan penghuni dunia gaib lainnya. Sikap ritual dalam upacara adat dapat dilihat pada maksud dan tujuannya. Pada umumnya upacara adat memandang alam, Tuhan dan menusia sebagai kesatuan ritual. Maksud dan tujuan ini dalam rangka mensyukuri karunia Tuhan yang diwujudkan dalam bentuk keberhasilan kehidupannya. Misalnya atas hasil panen yang baik, dan hasil tangkap ikan yang melimpah. Di samping itu upacara tersebut juga merupakan permohonan keselamatan kesejahteraan hidup untuk masa yang akan datang. Semua itu dapat terwujud apabila kelestarian dan keharmonisan kosmos dan segala unsur terjaga. Dalam kepercayaan orang Jawa bahwa kosmos atau alam semesta ini terdiri atas makro-kosmos dan mikro kosmos. Suatu keserasian dan keharmonisan tidak hanya diwujudkan dalam hubungan vertikal, antara manusia dengan alam semesta atau jagad gedhe, tetapi juga dalam bentuk hubungan horisontal yaitu hubungan manusia dengan manusia dalam kehidupan sosialnya. Keselarasan dalam kehidupan masyarakat akan menjamin kehidupan yang baik bagi individu. Untuk menjaga keselarasan horisontal tersebut seseorang wajib melakukan kewajiban-kewajiban

  • 7

    Jurnal Widya Prabha 2014

    sosialnya. kewajiban sosial dilakukan berdasarkan pada prinsip rukun dan hormat antara sesama warga masyarakat (Mulder,2001). Untuk menjaga hubungan serasi dan hormat baik vertikal maupun horisontal manusia melakukan upacara adat. Upacara adat merupakan sikap religius yang dilakukan menurut tata kelakukan baku. Upacara adat ini akan berlangsung berulang-ulang baik setiap hari, setiap musim panen, setiap tahun, pada hari-hari tertentu. Masing-masing upacara memiliki tata cara yang berbeda-beda di masing-masing daerah. Namun demikian secara keseluruhan dapat dilihat bahwa ada tindakan yang sama yang dilakukan meliputi berdoa, bersujud, bersaji, berkorban, makan bersama, menari dan menyanyi, berprosesi, berdrama suci, membisu, berpuasa, bertapa dan bersemedi. Selain itu terdapat komponen yang menyertai kegiatan upacara religi yaitu (Koentjaraningrat, 2006): tempat upacara, saat upacara, benda upacara, para pelaku upacara ritual. Gambaran dunia bagi masyarakat Jawa yaitu alam merupakan lingkup kehidupan sejak kecil. Irama-irama siang dan malam, musim dingin, musim kemarau menentukan kehidupan sehari-hari dan seluruh perencanaannya. Dari lingkungan sosial-budaya masyarakat belajar bahwa alam dapat mengancam, tetapi juga memberi berkah ketenangan bahwa eksistensinya tergantung dari alam. Pergulatannya dengan alam membantu orang Jawa untuk meletakkan dasar-dasar masyarakat dan kebudayaannya. Kepekaannya terhadap alam menentukan ungkapannya dalam berbagai cara, misalnya dengan upacara-upacara rakyat (Suseno, 1984). Dijelaskan bagi masyarakat Jawa, alam indrawi merupakan ungkapan alam gaib yaitu misteri berkuasa yang mengelilinginya, dari padanya ia memperoleh eksistensinya. Alam adalah ungkapan kekuasaan yang akhirnya menentukan kehidupannya. Berikut adalah contoh kasus kegiatan budaya yang dikumpulkan berdasar hasil pengamatan yang dilakukan di sejumlah tempat

    (Wirasanti, 2001). Sejumlah kegiatan budaya (ritual) di berbagai tempat yang hingga kini masih berlangsung menggambarkan upaya manusia untuk selalu dekat dengan alam. Mereka meyakini keberlangsungan hidup manusia dapat langgeng apabila mampu ”berkomunikasi” yakni menghormati, menghargai dengan alam. Sonny Keraf (2002) berpendapat alam mempunyai hak untuk dihormati, tidak saja karena kehidupan manusia tergantung pada alam. Tetapi terutama karena kenyataan ontologis bahwa manusia adalah bagian integral dari alam, manusia adalah anggota komunitas ekologis. Rangkaian upacara yang dipilih sebagai pusat kegiatan biasanya memiliki arti khusus bagi masyarakat pendukungnya. Masyarakat di Dusun Gunungbang, Kecamatan Karangmojo, Gunungkidul memusatkan kegiatan di sumber air. Selain itu tempat berupa laut juga merupakan pusat kegiatan upacara ritual yang disebut dengan labuhan atau petik laut, contohnya di sepanjang pantai selatan Pulau Jawa. Berkaitan dengan hal tersebut ada salah satu tradisi yang populer di Jawa yang dilakukan saat menjelang pergantian tahun, yaitu bulan Suro (atau bertepatan dengan 1 Muharam). Masyarakat Jawa percaya bulan tersebut memiliki arti khusus, yang terlihat dari berbagai upacara ritual yang dilakukan. Tradisi turun-temurun menganjurkan bahwa bulan tersebut saat yang tepat untuk menjalankan laku prihatin. Tujuannya di masa-masa mendatang selalu dalam lindungan Tuhan Yang Maha Esa. Tradisi yang masih dilakukan di lingkungan kraton Yogyakarta, Surakarta, dan Mangkunegaran dalam menyambut tahun baru Jawa atau disebut tanggap warso tidak dengan berpesta pora, melainkan dengan berbagai laku yang bernilai keprihatinan. Malam menjelang pergantian tahun (yang bertepatan dengan 1 Muharam) masyarakat berbondong-bondong melakukan prosesi mengelilingi benteng kraton dengan membisu. Mereka merasakan saat pergantian waktu (tahun) tersebut dengan berjalan keliling dan membisu memberikan suggesti untuk bersikap prihatin dan mawas diri dalam menyongsong awal tahun.

  • 8

    Jurnal Widya Prabha 2014

    Ada upacara menyambut pergantian tahun baru Jawa (Sura) atau Muharam dalam kalender Islam, ada pula upacara ritual menyambut tahun baru Syaka bagi umat Hindu. Upacara ritual menyambut tahun baru Syaka yang dikenal dengan Tawur Agung dilakukan di Dusun Ringintelu, Desa Ngadirenggo, Kecamatan Wlingi, Kabupaten Blitar. Tawur Agung yang berarti pengorbanan besar adalah upacara sakral yang berfungsi sebagai ruwatan bagi alam bumi beserta makhluknya. Upacara ini ditujukan untuk menjalin hubungan timbal balik antara manusia dengan alam lingkungan atas kesejahteraan hidup yang telah dipetik oleh manusia dari alam bumi dan sebaliknya bumi sendiri agar tidak atau jangan sampai membiaskan dampak negatip bagi manusia yang dapat menyeret ke penderitaan dan kehancuran. Upacara ini lebih cenderung difungsikan sebagai ruwatan agung. Secara tradisi upacara dilaksanakan menjelang pergantian tahun baru Syaka sehari sebelum hari raya Nyepi. Sebelum upacara Tawur Agung telah dilakukan rangkaian kegiatan beberapa hari sebelumnya. Pergantian tahun ini didasarkan pada pengalihan purnama (Bulan penuh) dan tilem (bulan mati). Artinya perayaan Nyepi dimulai setiap awal bulan kesepuluh atau sehari setelah hari tilem yaitu bulam kesembilan. Menurut perhitungan yang didasarkan pada peredaran matahari dan bulan mengelilingi bumi serta pergantian musim diperkirakan hari raya Nyepi jatuh pada bulan Maret. Tepatnya tahun 2010 Masehi ini hari raya Nyepi jatuh pada hari selasa, 16 Maret 2010. Beberapa hari sebelum acara Tawur Agung telah dimulai upacara Melasthi (sesaji untuk air/lautan) di pantai Balekambang dengan membersihkan semua peralatan upacara. Puncak acara Tawur Agung ditandai dengan pemusnahan Bhutakala (ogoh-ogoh). Arti simbolisnya yaitu figur Bhutakala identik dengan penyebab kehancuran moral manusia, selanjutnya tokoh tersebut dibakar dengan api suci hingga menjadi abu, yang pada akhirnya abu diambil segenggam untuk ditabur di masing-masing pekarangan rumah penduduk

    sebagai simbol peruwat (mengelola) bumi. Tepat pada pukul 00.00 tengah malam semua warga (Hindu) di Wringintelu (Blitar-Jawa Timur) mulai melaksanakan brata penyepian. Selanjutnya terkait dengan masalah bahaya gaib yang mengancam individu dan lingkungan, masyarakat Jawa mengenal upacara pensucian. Yang dimaksud dengan upacara pensucian yaitu upacara yang ditujukan terhadap seseorang untuk membebaskan dirinya dari segala macam kutukan, fitnah, penyakit. Manusia yang terkena itu akan berakibat buruk pada lingkungan sekitarnya. Dengan kata lain manusia terkutuk selalu membuat onar sehingga suasana tidak tentram, tidak adalagi keselarasan. Upacara ritual (upacara pensucian) yang sekarang dikenal dengan nama ruwatan itu telah dikenal pada masa Jawa Kuno sekitar abad XI Masehi. Hal ini antara lain dibuktikan dengan dipahatkannya cerita Sudamala pada candi-candi abad XI Masehi sampai abad XV Masehi. Contoh-contoh candi yang memahatkan relief Sudamala adalah Candi Tigawangi, Candi Panataran, dan candi Sukuh. Adanya sejumlah candi yang menampilkan sebagian adegan dari cerita tentang ruwatan, merupakan suatu indikasi bahwa kisah tersebut populer dikalangan masyarakat pendukungnya. Kepopuleran cerita itu ditambah dengan adanya sejumlah karya sastra yang memberikan gambaran tentang kegiatan upacara pensucian. Karya sastra tersebut diantaranya adalah naskah Kakawin Sumanasantaka (XXXII 1 –18), Kakawain Kresnandaka XXV – XXVI), Kakawin Parthayadya IX 1 – 10, 1-12), dan Cerita Nawaruci. Kisah ruwatan dalam cerita Sudamala telah melalui kurun waktu berabad-abad, dihayati dan diminati oleh masyarakat dari angkatan ke angkatan. Sebagai contoh, masyarakat yang tinggal di lereng bukit Desa Jatimulyo, Girimulyo, Kab. Kulon Progo akhir-akhir ini resah dengan keadaan lingkungan tempat tinggalnya. Curah hujan yang memuncak akan memicu pergerakan tanah yang akan

  • 9

    Jurnal Widya Prabha 2014

    mendorong tanah dan perakaran pohon hingga batangnya condong. Mereka memahami kejenuhan kadar air dalam tanah akan menyebabkan longsir. Ancaman tersebut membuat warga resah. Pilihan masyarakat menghadapi situasi tersebut adalah melakukan ruwatan bumi. Mayarakat beranggapan ketenangan batin yang hendak dicarai dalam ritual ruwatan. Ketenangan jiwa akan memicu berpikir jernih dan sigap menghadapi berbagai ancaman bencana. Ritual ruwatan selalu diakhiri dengan pertunjukan wayang kulit dengan lakon Murwokolo. Sampai sekarang kisah itu masih dapat disaksikan melalui pertunjukan wayang kulit. Sebagai salah satu tradisi yang hidup di dalam tata budaya masyarakat Jawa tentunya dari cerita tersebut ada suatu simbol dari pandangan hidup Jawa yang berisi petuah yang ingin disampaikan kepada tiap-tiap generasi. Petuah tersebut bersifat didaktis filsafati. Sifat didaktis filsafati dari cerita pensucian (misalnya cerita Sudamala atau Murwokolo) yaitu tentang hakekat kehidupan di dunia yang menurut ”pengawikan kejawen ” mempunyai pengertian bahwa hidup haruslah berdasarkan apa yang dinamakan ”kebenaran”. Ada dua tingkat kebenaran yaitu kebenaran yang bersifat ketuhanan (kebenaran ilahi) yang mutlak adanya dan yang juga disebut kebenaran sejati, sedangkan yang lain disebut kebenaran manusiawi (Timoer,1990). Dijelaskan lebih lanjut sifat filsafati dari cerita tentang ruwatan tampak bahwa dalam diri manusia bermukim dua kekuatan saling berlawanan, yaitu kekuatan destruktif (nafsu rendah, angkara) yang membawa manusia menuju kepada hidup sesat, malapetaka, dan kekuatan kontruktif (budi utama, keluhuran) yang mengangkat manusia kepada kebenaran. Manusia sebagai makhluk memiliki kedua kekuatan berlawanan itu dan selalu dihadapkan kepada suatu pilihan dilematis (konflik) dengan dirinya sendiri. Dalam berebut pengaruh itu terlihat berdasarkan cerita ruwatan bahwa kekuatan destruktiflah yang agaknya jauh lebih dominan dibandingkan dengan

    kekuatan yang konstruktif. Adapun usaha untuk menghindari dan menjauhkan diri dari gangguan kejahatan manusia harus belajar dan mencari ilmu tentang rahasia kehidupan dunia melalui kearifan serta kebajikan. Dari cerita-cerita tentang pensucian itulah tampak adanya cita-cita kesempurnaan hidup yang harmoni, selaras dengan alam dan lingkungannya. Artinya cerita-cerita itu mengisahkan perbuatan seseorang yang apabila berbuat kejahatan, menghina, menghasut, tidak jujur dan sebagainya pasti akan mendapatkan hukuman dari Sang Pencipta. Untuk terbebas kembali dari bebagai dosa, maka harus dilakukan upacara pensucian yaitu suatu upacara yang bertujuan membebaskan seseorang dari berbagai kesalahan, melepaskan diri dari malapetaka atau menghalau dan mengimbangi kekuatan jahat yang muncul pada saat-saat tertentu. Selain sifat didaktis filsafati dari cerita tersebut juga tampak memiliki arti berkaitan dengan moral dan religi. Nilai moral dan religi yang tampak dari cerita ruwatan tersebut adalah gambaran dunia Jawa tradisional. Maksudnya yaitu masyarakat dan alam merupakan lingkup kehidupan orang Jawa sejak kecil. Irama-irama siang dan malam, musim dingin, musim kemarau menentukan kehidupan sehari-hari dan seluruh perencanaannya. Dari lingkungan sosial masyarakat belajar bahwa alam dapat mengancam, tetapi juga memberi berkah ketenangan bahwa eksistensinya tergantung dari alam. Pergulatannya dengan alam membantu orang Jawa untuk meletakkan dasar-dasar masyarakat dan kebudayaannya. Kepekaannya terhadap alam menentukan ungkapannya dalam berbagai cara, misalnya dengan upacara-upacara rakyat (Suseno, 1984). Dijelaskan bagi masyarakat Jawa, alam indrawi merupakan ungkapan alam gaib yaitu misteri berkuasa yang mengelilinginya, dari padanya ia memperoleh eksistensinya. Alam adalah ungkapan kekuasaan yang akhirnya menentukan kehidupannya. Jadi orang Jawa menghadapi dunia sebagai tempat dimana kesejahteraannya tergantung dari apakah ia mampu untuk menyesuaikan diri dengan kekuatan yang angker itu. Terdapat hubungan yang

  • 10

    Jurnal Widya Prabha 2014

    erat antara sistem sosial-budaya dan alam. Perlu ada harmoni antara dunia manusia dan dunia alam, antara dunia batin dan dunia lahir, antara makrokosmos dan mikrokosmos. Ketika harmoni ini terganggu maka akan terjadi kekacauan dan bencana. Dengan upacara dan segala perlengkapanya, maka msayarakat merasa selamat. Perasaan selamat itu berkaitan dengan terbebasnya seseorang dari kekacauan tak manusiawi yang menimbulkan malapetaka. Masalah malapetaka dikaitkan dengan kedudukan seseorang dalam keadaan bahaya disebabkan oleh karena orang tersebut berbuat salah atau bertindak melanggar norma-norma yang berlaku dalam masyarakat (Mulder,2001.,. Wirasanti,2001). Dengan selesainya pelaksanaan ritus religius yang telah dilakukan, maka memberi suatu keadaan psikis tertentu yaitu ketenangan, ketentraman, dan keseimbangan batin. Niels Mulder (2001) berpendapat bahwa masyarakat Jawa menganggap bahwa realitas tidak dibagi dalam berbagai bidang yang terpisah dan tanpa hubungan dengan satu sama lain, melainkan bahwa realitas dilihat sebagai suatu kesatuan menyeluruh. Artinya dunia masyarakat dan alam bagi orang Jawa, kodrati bukanlah bidang yang berdiri sendiri dan masing-masing mempunyai hukumnya sendiri, melainkan merupakan suatu kesatuan pengalaman. Terdapat keterkaitan antara masyarakat dan alam sekelilingnya, masyarakat yang resah akan membuat makhluk lainnya juga tidak aman. Masih terkait dengan makna ritus religius tersebut, orang Jawa beranggapan bahwa hidup manusia sebenarnya tidak sendirian, tetapi berada bersama dengan segala yang ada dijagat raya ini. Oleh karena itu ia harus menjaga keselarasan dirinya dengan segala yang ada di sekelilingnya, agar tidak mengganggu penghuni alam lainnya dan agar ia pun tidak diganggu oleh makhluk lainnya pula, termasuk oleh manusia lain yang hidup bersamanya (Herusatoto,2007). Ringkasnya pandangan hidup masyarakat Jawa Kuno selalu mengarah kepada suatu cita-cita untuk dapat hidup selaras dengan alam sekitarnya, yang dalam prakteknya diwujudkan dalam tingkah lalu atau

    pergaulan yang susila. Menyitir pendapat Anton Neben dalam tulisannya

    di sebuah surat kabar (Suara Pembaharuan, Desember 1999) dengan judul merayakan nilai-nilai disebutkan kebiasaan merayakan sesuatu mengasumsikan bahwa orang menaruh perhatian akan nilai-nilai yang terkandung dalam perayaan tersebut. Di tengah rutinitas hidup sehari-hari, perayaan tersebut akan membuat kegairahan hidup terbangkitkan, makna dan paradigma baru dimunculkan. Perayaan – perayaan yang kental bernuansa religius, selain mengetengahkan relasi vertikal dengan Yang Ilahi, juga relasi horisontal baik dengan diri sendiri, sesama, maupun dengan lingkungan hidup. Dalam relasi dengan diri sendirinya manusia

    menyadari kenyataan bahwa ia masih diperkenankan ada, hidup dan bernafas. Sejumlah kegiatan ritual yang dilakukan merupakan bentuk tanggung jawab manusia untuk tetap menyadari bahwa alam bukan semata-mata tersedia untuk kepentingan manusia.

    IV. Penutup

    Keberadaan masyarakat adat beserta seluruh kekayaan dan nilai-nilai budayanya perlu diakui, dijamin, dan dilindungi kebebasannya untuk menunjukkan identitas atau menjadi diri sendiri. Hal ini wajar mengingat kearifan masyarakat lokal penuh pesan moral dan falsafah hidup yang concern terhadap alam dan lingkungan. Kearifan tersebut didasarkan pandangan yang holistik yaitu keinginan untuk terus menjalin harmoni antara manusia, alam, dan lingkungan. Citra lingkungan yang penuh dengan makna kearifan ekologis ini amat penting untuk membangun kesadaran religiusitas manusia yang berdimensi spiritual dalam upaya menjaga kelestarian daya dukung lingkungan. Dengan kata lain watak dan keutamaan yang baik dalam kehidupan manusia akan mempengaruhi tingkah laku seseorang dalam menghadapi dan mengolah lingkungan hidup di sekelilingnya.

  • 11

    Jurnal Widya Prabha 2014

    Daftar Pustaka

    Elliot, Robert (ed)., 1955, Environmental Ethics, Oxford Univ,Press,

    Geldern, Heine 1942, Conceptions of State and Kingship in Sout-east Asia, FEO vol 22, hlm 15-39

    Herusatoto, Budiono., 2007, Simbolisme dalam Budaya Jawa, PT, Henindita, Yogyakarta.

    Koentjaraningrat, 2006, Masalah-Masalah Pembangunan Masyarakat Pedesaan di Indonesia, Jakarta: LP3ES

    Keraf, Sonny., 2002, Etika Lingkungan, penerbit Kompas, Jakarta

    Mulder, Niels 1996, Agama Hdup sehari-hari dan Perubahan, (Jakarta, Gramedia Pustaka Utama.

    Mulder., Niels (2001),Ruang Batin Masyarakat Indonesia , Yogyakarta, LKis

    Sumadio, Bambang ed., 2007, Sejarah Nasional Indonesia jilid II, Jakarta: Balai Pustaka

    Suhardjo, Drajad., 2004, Mengaji Ilmu Lingkungan Kraton, Yogyakarta, Safirna Insania Press.

    Susilo, Eko Budi., 2003, Menuju Keselarasan Lingkungan, Averroes Perss, Malang.

    Suseno, Frans Magnis 1984, Etika Jawa Sebuah analisis Filsafati Tentang Kebijakan Hidup Jawa, Jakarta :PT, Gramedia, edisi I

    Suhardi 2009, Ritual : Prncaharian Jalam Keselamatan Tataran Agama dan Masyarakat Perspektif Antrolopogi, Yogayakrat :Pidato Pengukuhan Guru Besar Antropologi UGM

    Timoer, Soenarto 1990, Ruwatan dipandang dari sudut filsafat, seminar ruwatan, Yogyakarta: tidak diterbitkan.

    *) Sebagian materi diseminarkan dalam Forum komunikasi Lingkungan Hidup kab.Gunungkidul,2004 dan telah diperbaharui.**) Penulis adalah Dosen Jurusan Arkeologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

    Wibowo, Fred., 1995, Budaya untuk Wisata atau Wisata untuk Budaya, Harian Kedaulatan Rakyat Oktober, Yogyakarta.

    Wirasanti, Niken 1992, Mengamati Alam Pikir dan Praktek Keagamaan Masyarakat Jawa Kuna Melalui Relief Cerita Sri Tanjung dan Sudamala, Laporan Penelitian FIB-UGM, tidak diterbitkan.

    _________, 2001, “Aspek Budaya Menyangkut Ritual”, Masyarakat Jawa dalam Keseharian, laporan Penelitian, Fak.ilmu Budaya UGM, Yogyakarta.

    Wibowo, Samudra (ed), 1991, Pembangunan Berkelanjutan, Konsep dan Kasus, PT. Tiara Wacana, Yogyakarta.

    The World Commission on Environment and Devolepment, 1987, Our Common Future, Oxford Univ Press, Oxford.

    Peursen, Van 2005 , Strategi Kebudayaan, Yogyakarta : Yayasan Kanisius.

  • 12

    Jurnal Widya Prabha 2014

    Abstract

    Gunungapi Merapi sejak ratusan tahun memiliki ekosistem dan sosiosistem vulkan yang spesifik. Artinya Gunungapi Merapi sebagai sebuah heritage menyimpan potensi sumberdaya alam dan sumberdaya hayati yang menyatu dengan sosio-kultur masyarakat di sekitarnya. Dalam sejarahnya, Gunungapi Merapi terus menunjukkan aktivitas vulkaniknya. Meskipun dampak letusan berpotensi sebagai ancaman, tetapi tetap saja dalam rentang waktu yang panjang kawasan tersebut menjadi daya tarik kamunitas untuk tinggal dekat dengan Gunungapi Merapi. Masyarakat memahami sifat-watak Gunungapi Merapi, dan tanda-tanda alam dipahami masyarakat sebagai sesuatu yang sakral yaitu kekuatan-kekuatan yang berjiwa, yang harus di hormati. Sikap hormat menjadi prinsip dan panduan hidup sehari-hari dalam upaya menjaga harmoni antara manusia dan alam lingkungannya.

    Potensi yang beragam menjadikan Gunungapi Merapi saat ini rentang terhadap eksploitasi oleh berbagai pihak dan pada saatnya akan memicu terjadinya degradasi lingkungan. Pilihannya adalah mengelola Gunungapi Merapi dengan semangat konservasi. Oleh karena konservasi kawasan merupakan proses publik, maka dalam pelaksanannya harus melibatkan masyarakat setempat, karena mereka memiliki pengetahuan lokal yang telah mentradisi dan terbukti mampu menjaga dan mengelola Gunungapi Merapi tetap lestari. Kata kunci : Geoheritage, persepsi, Konservasi.

    I. Pendahuluan

    Indonesia mempunyai deretan gunungapi aktif sebagai bagian dari “Cincin Api Pasifik” (Ring of Fire on Pasific Rims), Gunungapi Merapi yang terletak di dua wilayah (Provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta) merupakan salah satu dari gunungapi aktif dan dampak erupsinya sering mengakibatkan banyak korban baik harta benda maupun jiwa. Gunungapi Merapi memiliki potensi ancaman bencana yang rata-rata setiap 3-5 tahun sekali menunjukkan aktivitas dengan produknya berupa aliran lava, awan panas (wedhus gembel), hujan abu, dan bahaya sekunder berupa gerakan massa tanah dan banjir lahar. Produk tersebut jelas merupakan ancaman bagi jiwa manusia, dan disisi lain gunungapi Merapi menyimpan potensi semberdaya alam yang sangat dibutuhkan untuk bahan pembangunan (bahan galian tambang), pertanian-peternakan, dan sumber air untuk masyarakat setempat dan sekitarnya bahkan untuk wilayah lainnya. Oleh karena itu walaupun penduduk dibayang-bayangi oleh bencana letusan Gunungapi Merapi, tetapi tetap menjadi pilihan untuk bertempat tinggal pada di lereng kawasan Gunungapi Merapi.

    Dalam sejarah kebudayaan menunjukkan kawasan Gunungapi Merapi telah menjadi hunian masyarakat dibuktikan dengan data arkeologis berupa candi yang diasumsikan bangunan tersebut milik komunitas pendukungnya untuk beribadah. Bahkan pesanggrahan-pesanggrahan masa Mataram Islam yaitu milik Kraton Surakarta dan Yogyakarta. Berdasarkan data tersebut menunjukkan bahwa Gunungapi Merapi dalam dimensi ruang dan waktu

    Geoheritage Gunungapi Merapi yang Kharismatik : Masalah Persepsi dan Konservasi Ekosistem*

    Oleh :Andi Sungkowo **

  • 13

    Jurnal Widya Prabha 2014

    menjadi ikon bagi masyarakat pendukungnya, meskipun kawasan tersebut dekat dengan bencana. Bukti-bukti di lapangan menunjukkan aktivitas Gunungapi Merapi mengubur hampir semua temuan purbakala yang ada dikawasan tersebut. Pada masa Mataram Islam posisi Gunungapi Merapi menjadi penting terkait dengan pembangunan keraton Yogyakarta. Kawasan Gunungapi Merapi sebagai kawasan pelestarian alam adalah sebuah langkah yang mudah dipahami oleh berbagai pihak mengingat peran pentingnya sebagai fungsi ekologis, fungsi ekonomis, dan fungsi sosial-budaya. Pada tahun 2002 menjadi pusat perhatian para pemerhati dan ahli lingkungan, juga masyarakat khususnya masyarakat yang tinggal di lereng Gunungapi Merapi, karena adanya surat keputusan dari Pemerintah (Departemen Kehutanan) yang mengeluarkan penetapan (SK No 134/MENHUT – II/2004) kawasan Gunungapi Merapi sebagai Taman Nasional Gunungapi Merapi (TNGM). Munculnya penetapan tersebut karena Gunungapi Merapi berfungsi sebagai hutan lindung, cagar alam, dan hutan wisata sehingga layak untuk dikembangkan menjadi Taman Nasional yang dalam UU Nomer 5 tahun 1990 diidentikan dengan kawasan pelestarian alam. Rencana TNGM tersebut tampaknya tidak mudah dipahami masyarakat, dibuktikan dengan bentuk penolakan terhadap rencana tersebut. Masyarakat memiliki persepsi tentang melindungi kawasan Gunungapi Merapi.

    Memahami persepsi masyarakat tentang lingkungannya dan bagaimana harus mensikapi persepsi tersebut tampaknya belum populer untuk tidak mengatakan sulit. Kesulitan memahami persepsi masyarakat akan menjadi kendala dalam upaya menjadikan Gunungapi Merapi sebagai kawasan konservasi dalam wujud Taman Nasional. Terkait dengan hal itu dalam tulisan ini akan diulas bagaimana memahami geoheritage Gunungapi Merapi dan peranannya dalam upaya mengelola kawasan Gunungapi Merapi sebagai kawasan

    konservasi.

    II. Geoheritage Merapi

    Bagi ahli vulkanologi, tulisan terkait dengan aktivitas Gunungapi Merapi sudah cukup banyak. Catatan sejarah letusan Gunungapi Merapi ditentukan berdasarkan pemetaan distribusi endapan hasil letusan, sehingga dapat disusun teprosratigrafi atau urutan perlapisan produk letusan gunung tersebut (Andreastuti, 2009). Adapun menurut Camus, dkk (2000) dalam Bahagiarti (2002) mencatat evolusi vulkanik Gunungapi Merapi menghasilkan batuan dengan karakteristik spesifik dalam setiap periodenya. Selanjutnya dijelaskan letusan periode kegiatan Gunungapi Merapi dapat dibagi menjadi empat periode, yaitu periode Pre Gunungapi Merapi menghasilkan lava; ancient Gunungapi Merapi menghasilkan lava yang membentuk gunung bibi; auto breksia lava dan endapan lahar; middle Gunungapi Merapi menghasilkan endapan lava batulawang dan gajah mungkur, lava andesitik yang tebal dipisahkan oleh sesar kukusan umur 2200 - 14.000; recent Gunungapi Merapi menghasilkan endapan lava tipis dan endapan awan panas dan lahar umurnya 1000 tahun hingga 2000 tahun; dan modern Gunungapi Merapi mempunyai kegiatan yang sangat khas yang disebut tipe Gunungapi Merapi. Di sisi lain Gunungapi Merapi menangkap, menyimpan, dan mengalirkan air bersih dalam batuannya dalam jumlah besar, membentuk sistem hidrologi yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat Gunungapi Merapi dan sekitarnya. Gunungapi Merapi merupakan gunungapi strato, mempunyai karakteristik berkaitan dengan pertumbuhan dan gugurnya kubah lava yang menghasilkan gas beracun solfatara (S2) di sekitar kepundan, juga awan panas yang oleh masyarakat disebut Wedhus Gembel (glowing cloud). Selain sifat letusan eksplosif tersebut, juga letusan effusive ditandai dengan lelehan lava pijar. Jika dimusim penghujan berpotensi terjadi lahar.

  • 14

    Jurnal Widya Prabha 2014

    Banyak ahli berpendapat Gunungapi Merapi itu eksotis sekaligus memiliki karakterisik unik dibandingkan dengan gunungapi lainnya yaitu ketika aktivitasnya meningkat berupa asap yang selalu mengepul, wedhus gembelnya yang membahana, hingga lava pijarnya yang menyala. Fenomena tersebut sesungguhnya sangat indah dipandang, tetapi juga menakutkan. Karakteristik tersebut dipersepsikan masyarakat Gunungapi Merapi memiliki nilai kharismatik sehingga banyak cerita-cerita mistik, atau folklor yang kini tetap hidup dan hadir dalam kehidupan sehari-hari masyarakatnya. Berbagai fenomena terkait dengan aktivitas Gunungapi Merapi sering dipersepsikan dengan hal-hal yang sifatnya irasional. Namun dibalik ungkapan-ungkapan yang terkesan tidak logis tersimpan makna bentuk kesadaran masyarakat dalam menghayati kekuatan-kekuatan adikodrati. Sikap dan persepsi masyarakat yang menganggap Gunungapi Merapi adalah gunungapi yang berkharisma telah berlangsung lama, dibuktikan adanya peninggalan Mataram Kuna (Hindu-Buddha) dan Mataram baru (Islam) yang tersebar di lereng tengah, dan lereng bawah Gunungapi Merapi. Gunung dalam banyak kebudayaan dihayati sebagai tempat yang tinggi, tempat yang paling dekat dengan dunia atas, tempat yang tinggi disimbolkan dengan segala yang mulia dan yang menguasai sekitarnya. Para leluhur (dewata) selalu dibayangkan hidup dalam wilayah puncak-puncak gunung. Dari sumber tertulis dikisahkan para kawi mempersonifikasikan gunung untuk menggambarkan karyanya dan merasakan bahwa alam pada dasarnya bersatu dengannya (Mangunwijaya, 1995, Wirasanti, 2009). Bukti-bukti arkeologis berupa candi, prasasti, dan data toponim menunjukkan adanya sejumlah peninggalan purbakala abad VIII dan abad XVII – awal abad XVIII tersebar di lereng tengah – hingga bawah Gunungapi Merapi (Sumadio, 1984; Wirasanti, 2000, 2009). Dalam sejarahnya kawasan yang pernah menjadi wilayah kerajaan Mataram Kuna itu mengalami kehancuran akibat aktivitas vulkanik Gunungapi Merapi. Semua candi di temukan rusak dan sebagian

    terbesar terpendam abu vulkanik. Masih di lereng gunungapi Gunungapi Merapi, masuk wilayah Boyolali terdapat pesanggrahan dan petilasan Paku Buwono X yaitu Pesanggrahan Pracimoharjo, petilasan Tapak Noto dan Susuh Angin. Pada masa pembangunan kraton Yogyakarta, keberadaan Gunungapi Merapi terkait dengan kosmologi Kraton, yaitu dunia ini terdiri atas lima bagian. Bagian tengah kraton Yogyakarta sebagai pusatnya, bagian utara gunungapi Gunungapi Merapi, bagian timur Gunung Semeru, bagian selatan Laut Selatan dan bagian barat di Sendang Ndlepih di Gunung Menoreh. Gunungapi Merapi memiliki potensi sumberdaya hayati dan non hayati, dan kultur misalnya hutan, sumber air, binatang, dan sejumlah petilasan, yang bagi masyarakat Gunungapi Merapi tempat-tempat tersebut dipercayai sebagai tempat-tempat yang dijaga oleh makhluk halus, sehingga terdapat sejumlah pamali yang harus dihormati. Cara masyarakat menghormati adalah mentaati pantangan untuk tidak menebang pohon, merumput, berburu, mengucapkan kata-kata kotor, mengumpat, buang air besar dan kecil di tempat-tempat yang dianggap angker. Tempat-tempat yang diangap angker, diantaranya kawah Gunungapi Merapi yang dianggap sebagai keraton makhluk halus, ke arah bawah terdapat suatu tanah lapang dengan batuan dan pasir yang dipercayai sebagai Pasar Bubrah. Selain itu terdapat Gunung Wutoh yang dianggap sebagai pintu gerbang utama Kraton Gunungapi Merapi. Cara masyarakat berinteraksi dan sekaligus menjaga harmoni dengan lingkungan Gunungapi Merapi yaitu dengan melakukan upacara adat, diantaranya Sedekah Gunung, Selamatan Ternak, Selamatan Selasa Kliwon, Selamatan Mencari orang Hilang, upacara Merawat Kali dan selamatan menghadapi Bencana Gunungapi Merapi. Manusia dalam berinteraksi dengan lingkungan akan banyak memperoleh pengalaman sehingga pada akhirnya memperoleh gambaran

  • 15

    Jurnal Widya Prabha 2014

    tentang lingkungan hidup sekelilingnya, yaitu bagaimana lingkungan berfungsi dan bagaimana berbagai fenomena alam bereaksi terhadap berbagai perubahan. Secara sosiokultural masyarakat Gunungapi Merapi khususnya di lereng selatan (Yogyakarta) mempercayai bahwa Gunungapi Merapi dan dinamikanya terkait dengan pandangan supranatural. Pandangan ini kemudian menjadi mitos yang membuat mereka terlindungi, aman, termasuk letusannya. Mitos supranatural Gunungapi Merapi tidak hanya bewujud simbol dan pandangan hidup masyarakat lokal, melainkan juga menjadi suatu keyakinan yang membangun interaksi dinamis kuat dan membentuk etos kerja (Ghazali, 2008). Masyarakat sekarang ini masih tetap menganggap bencana yang berasal dari Gunungapi Merapi disikapi oleh masyarakat sebagai takdir yang harus diterima. Kesadaran masyarakat dalam menghayati kekuatan-kekuatan adikodrati menunjukkan kesatuannya dengan tata lingkungan yang memandang individu atau komunitas sebagai bagian integral dari alam sekitarnya. Masyarakat terus menjalin dengan lingkungannya dan membentuk ikatan dan relasi dengan ekosistemnya. Sikap hormat dan menjaga hubungan baik dengan lingkungan menjadi prinsip moral yang selalu dipatuhi dan dijaga dengan berbagai ritus dan upacara religius- adat (Wirasanti, 2002). Tanda-tanda alam terkait dengan aktivitas Gunungapi Merapi merupakan pengetahuan yang mengarahkan masyarakat Gunungapi Merapi untuk bersikap tetap bertahan di lokasi tempat tinggalnya atau menjauh menghindar dari aktivitas Gunungapi Merapi. Persepsi yang sangat kuat tersebut mampu menjadi panduan kehidupan mereka secara turun temurun. Untuk itulah Gunungapi Merapi layak disebut sebagai geoheritage karena kekhasannya yang selalu menarik untuk terus dikaji dari berbagai sisi, baik dari aspek geofisik maupun dari sosiokultural masyarakatnya.

    III. Memahami Persepsi Masyarakat dan Konservasi Ekosistem Gunung Merapi

    Secara sosio-kultural masyarakat lereng Gunungapi Merapi memiliki sejumlah pengetahuan lokal dalam memahami berbagai fenomena alam termasuk persepsinya terhadap aktivitas Gunungapi Merapi. Tanda-tanda alam yang ditemui sehari-hari menciptakan berbagai bentuk interaksi manusia dengan alam lingkungan yang harmonis, dan merupakan pedoman hidup dan budaya yang menarik. Dari interaksinya dengan lingkungan tempat mereka hidup, menghasilkan berbagai pengalaman dan citra lingkungan hidupnya, dan memberikan serangkaian petunjuk mengenai perilaku yang akan mereka lakukan terhadap lingkungan (Sumarwoto, 1998). Persepsi masyarakat tentang aktivitas gunungapi Gunungapi Merapi dan sekaligus lingkungannya menunjukkan bahwa persepsi tersebut terikat oleh budaya (culture–bound). Artinya bagaimana kita memaknai pesan, obyek, atau lingkungan bergantung pada sistem nilai yang kita anut. Oleh karena persepsi berdasarkan budaya, maka persepsi seseorang atas lingkungannya bersifat subyektif. Semakin besar perbedaan nilai-nilai budaya antara dua pihak, semakin besar pula perbedaan persepsi mereka terhadap realitas. Tedapat unsur-unsur budaya yang mempengaruhi persepsi yakni, 1) kepercayaan (belief), nilai (values), dan sikap (attitudes), 2) pandangan dunia (worldview), 3) organisasi sosial (social oganization), 4) tabiat manusia (human nature), 5) Orientasi kegiatan (activity orientation), 6) persepsi tentang diri dan orang lain ( perseption of self and other) (Mulyana. 2009). Berdasarkan pengertian tersebut persepsi masyarakat Gunungapi Merapi dipengaruhi kepercayaan, pengetahuan dan nilai-nilai yang telah mereka kenal secara turun-temurun, semuanya tentang alam lingkungan sekitar Gunungapi Merapi. Menyadari bahwa perbedaan nilai-nilai budaya suatu masyarakat akan berbeda pula persepsinya terhadap fenomena alam dan lingkungannya. Untuk

  • 16

    Jurnal Widya Prabha 2014

    itu bagi masyarakat luar yang memiliki nilai budaya berbeda dengan masyarakat Gunungapi Merapi, pasti akan kesulitan memahami kondisi realitas masyarakat Gunungapi Merapi, yang menurut mereka kurang rasional. Wajarlah kalau pada waktu muncul gagasan menjadikan Gunungapi Merapi menjadi TNGM terjadi penolakan oleh warga masyarakat Gunungapi Merapi. Penolakan masyarakat antara lain karena rencana tersebut tergesa-gesa dianggap tidak demokratis, tidak transparan, dan tidak partisipatif. Selain itu tercetus juga persepsi berupa kekhawatiran masyarakat setempat tidak dapat lagi atau dibatasi aksesnya menuju lokasi-lokasi yang biasanya menjadi ajang berkumpulnya warga dalam berbagai upacara adat, dan masyarakat petani-peternak tidak dapat merumput untuk pakan ternak. Ide membenahi, dan melestarikan ekosistem Gunungapi Merapi tentunya tidak salah, karena dilandasi spirit konservasi. Pengertian konservasi berarti menyelamatkan, melindungi, melestarikan, dan menyimpan. Dalam konteks perlindungan dan pengelolaan terhadap fungsi Gunungapi Merapi dan budaya yang berlangsung padanya dengan pendekatan konservasi, maka Gunungapi Merapi sebagai suatu ekosistem yang utuh, tentunya memiliki dinamika geofisik spasial. Jika dalam konteks ekologi bahwa salah satu sistem tidak berfungsi, maka siklus pemulihan sumberdaya hayati akan menjadi kendala. Degradasi yang terjadi pada ekosistem dan ekologi akan berujung pada bencana. Keberfungsian sistem ekosistem Gunungapi Merapi, bergantung pada daya dukung. Sebelum semuanya terlambat gagasan menjadikan Gunungapi Merapi sebagai kawasan konservasi adalah tepat, namun dalam pelaksanaannya tampaknya tidak sederhana. Silang pendapat baik yang pro maupun yang kontra terus terjadi saat ditetapkan sebagai Taman Nasional Gunungapi Merapi (TNGM), dan bukan Cagar Alam, Taman Hutan Raya, Suaka Margasatwa, atau lainnya. Bahkan ada yang mengusulkan Gunungapi Merapi menjadi Laboratorium Alam Lingkungan Hidup (Bronto, 2002).

    Rencana mewujudkan Gunungapi Merapi dengan Format Taman Nasional disinyalir mengacu kesepakatan Internatonal Union for Conservation of Nature and Natural Resaurces (IUCN) 1994a, format tersebut dianggap tidak sesuai apabila diterapkan di gunungapi Gunungapi Merapi. IUCN mendefinisikan taman nasional sebagai kawasan yang dilindungi, daerah reserve alam ketat, monumen alam, daerah konservasi habitat dan margasatwa, lanskap yang dilindungi, dan area perlindungan sumberdaya. Peraturan Pemerintah Nomer 68 Tahun 1998 pasal 1 angka 6, menyebutkan kawasan Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk keperluan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Perlindungan dan pengelolaan fungsi Gunungapi Merapi perlu disesuaikan dengan kondisi komunitas lokal Gunungapi Merapi dengan memahami sumberdaya dan pengetahuan lokal masyarakat. Artinya dalam perlindungan dan pengelolaan perlu mengadaptasi pengetahuan lokal masyarakat yang selama ini memiliki ikatan batin kuat dengan alam lingkungan Gunungapi Merapi, dan ikatan batin tersebut mampu memunculkan tanggungjawab untuk menjaga Gunungapi Merapi. Masyarakat telah membuktikan melalui perilaku penuh tanggung jawab, sikap hormat dan peduli terhadap sumberdaya di sekelilingnya, dan hal itu telah menjadi prinsip yang dianut secara turun-temurun. Masyarakat meyakini perilaku yang selaras dan serasi mampu menjaga keutuhan ekosistem Gunungapi Merapi. Mudah-mudahan tidak ada peubah dari luar ekosistem Gunungapi Merapi yang mempengaruhi kondisi tersebut, berdasarkan kepentingannya.

  • 17

    Jurnal Widya Prabha 2014

    IV. Penutup

    Gunungapi Merapi sebagai geoheritage memiliki ekosistem yang menyatu dengan sosiokultur masyarakatnya yang spesifik. Dalam dimensi ruang dan waktu ekosistem Gunungapi Merapi tetap menarik perhatian masyarakat untuk menjadi tempat hunian, meskipun kawasan tersebut dekat dengan ancaman aktivitas gunungapi. Catatan sejarah menujukkan sejak masa kerajaan Mataram Hindu pada abad VIII Masehi dan Kerajaan Mataram Islam (XVI Masehi) memilih ekosistem Gunungapi Merapi menjadi pilihan untuk membangun bangunan permukiman dan bangunan ritual (misalnya candi, keraton dan pesanggrahan). Hubungan antara komunitas dengan sumberdaya alam dan lingkungan yang berlangsung di Gunungapi Merapi apabila kurang memperhatikan karakteristiknya akan mengakibatkan penurunan kualitas sumberdaya dan lingkungannya. Kultur masyarakat dalam berinteraksi dengan Gunungapi Merapi terus berlangsung dan memunculkan pandangan yang sifatnya supranatural, diwujudkan dengan sejumlah cerita mistis, cerita-cerita rakyat, dan tata upacara adat dan tradisi. Gunungapi Merapi akhirnya menjadi mitos yang menurut persepsi masyarakat tetap aman dan nyaman sebagai hunian, bahkan bersahabat dengan bencana letusan Gunungapi Merapi. Pengetahuan yang menyeluruh tentang Gunungapi Merapi baik yang ilmiah (Vulkanologi) dan pengetahuan lokal yang dikonstruksi oleh komunitasnya menjadikan Gunungapi Merapi sebagai sebuah geoheritage yang terus berkharisma. Sudah seharusnya menjaga kelestarian fungsi lingkungan Gunungapi Merapi, bercermin pada perilaku arif komunitas yang hidup dan berlangsung di kawasan tersebut.

    DAFTAR PUSTAKA

    Andreastudi, SD, Stratigraphy and Geochemestry of Gunungapi Merapi Volkano, Central Java: Implikation for Assesssment of Volkanic Hazards. Ph. D University of Aukland Zealand.

    Anonim, 2001, Rancangan Pengembangan Taman Nasional Gunung Gunungapi Merapi Propinsi DIY, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Prop DIY, tidak dipublikasikan.

    Anonim, 2002, Sekitar Pengertian dan Persepsi Taman Nasional Gunung Gunungapi Merapi, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Prop DIY, tidak dipublikasikan.

    Bahagiarti K, 2002, “Gunungapi Merapi Sebagai Sumberdaya Hidrogeologi”, harian Kedaulatan Rakyat, 28 September.

    Bronto S, “Gunungapi Merapi Sebagai Laboratorium Alam Lingkungan Hidup”, Harian Kedaulatan Rakyat, 30 September 2002

    Ghozali I., 2008, Pasag Gunungapi Merapi, : Kebijakan Lokal Pengelolaan Bencana; Pola Penanganan Darurat Letusan Gunungapi Merapi, Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

    Rais J., 2004, Menata Ruang Laut Terpadu, Jakarta; Pradnya Paramita

    Setyawati K, Wiryomartono K, Willem van der Molen, 2002, Katalog Naskah Gunungapi Merapi-Merbabu, Yogyakarta : Penerbit Universitas Sanata Darma

    Sumadio B, ed al, 1984, Sejarah Nasinal Jilid II, Jakarta : Penerbit Jambatan.

    Sumarwoto O., 1989, Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Jakarta : Penerbit Djambatan.

    Manunwijaya, 1995, Wastu Citra, Jakarta: GramediaMulyana D., 2009; Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar,

    Bandung ; Remaja Rosdakarya Noordyn, 1982, Bujangga manik’ Journeys Through Java

    : Topographical Data From An Old Sundanese Source, BKI S-Gravenhage – Martinus Nijhoff, Deel 138, h. 413-442

  • 18

    Jurnal Widya Prabha 2014

    Wirasanti Niken., 2000, Pemanfaatan Sumberdaya Lingkungan Pada Masa Mataram Kuna abad IX-X Masehi (Studi Kasus Wilayah Prambanan dan Sekitarnya), Tesis Pascasarjana UGM.

    Wirasanti Niken., 2009, “Cara Pandang Pengetahuan Lokal Masyarakat Kawasan Gunungapi Merapi Sebagai Komunitas Ekologis “, Jurnal Sejarah dan Budaya Vol IV no.7 Juni, hlm 572-583

    Wiryomartono Ign. K, 1987, Arjunawiwaha, Transformasi Teks Jawa Kuna Lewat tanggapan dan Penciptaan di Lingkungan Sastra Jawa, Disertasi UGM,

    Wiryomartono Ign. K, 1990, The Scriptoria in the Merbabu- Gunungapi Merapi, BKI, ‘S-Gravenhage – Martinus Nijhoff , Deel 130 h 502-509.

    * Artikel ini disampaikan dalam seminar Vise Utilization of Mineral, Energy and Geoheritage for Prosperity. 3rd Indonesia-Malaysia Joint Conference, di UPN Veteran- Yogyakarta 6-8 Oktober 2010 .** Penulis adalah dosen Program Studi Teknik Lingkungan, Fakultas Teknologi Mineral, UPN “Veteran” Yogyakarta.

  • 19

    Jurnal Widya Prabha 2014

    ABSTRACT

    Physically the Borobudur and Prambanan temple area and surround are included in the Temple Tourism Park (TTP). This TTP managed by PT. Taman Wisata Candi Borobudur dan Prambanan one of State-Owned Enterprises (Badan Usaha Milik Negara/BUMN), the Ministry of Tourism and Creative-Economy. However, there are some academic problems which need to be re-examined for the benefit of future professional management. Several archaeological problems that are required to re-assesment are the datas that related to stupika and tablet, remains Bodhisatwa statue, fragments of pottery and ceramics in southwest of Borobudur temple. In the Temple Tourism Park of Prambanan area, there is a concept of Mandala at Sewu temple complex. The question is, whether borders of Prambanan Temples Tourism Park is correct? Hopefully the study and reinterpretation as mentioned above will provide a “healthier” contribution to the revitalize the Borobudur and Prambanan Temples Tourism Park area.

    Key words: Borobudur and Prambanan Temples Tourism Park, archaeological problems,concept of mandala, reinterpretation, revitalization.

    I. PENDAHULUANKawasan percandian Borobudur dan

    Prambanan serta candi – candi yang ada diantara kedua kompleks percandian tersebut sejak tahun 1991 oleh UNESCO telah ditetapkan sebagai situs cagar budaya dunia (World Heritage Site) dengan nomor : 592 th. 1991 (Candi Borobudur) dan 642 th. 1991 (Candi Prambanan). Bagi bangsa Indonesia pengakuan dunia tersebut merupakan salah satu kebanggaan yang patut disyukuri. Sebagai salah satu obyek wisata budaya berskala internasional, Taman Wisata Purbakala Candi Prambanan – Sewu ini menjadi Daerah Tujuan Wisata yang potensial bagi pemerintah maupun masyarakat.

    Mengingat potensi situs cagar budaya, serta agar situs tersebut dapat dipertahankan akan pengakuan dunia internasional sebagai world heritage site, maka perlu diberikan dukungan yang dapat memperkuat kedudukannya sebagai situs cagar budaya dunia. Salah satu dukungan yang dapat diberikan adalah dukungan akademis yang terkait dengan kondisi fisik kawasan situs cagar budaya dunia kompleks percandian Prambanan – Sewu. Adapun dukungan akademis yang dimaksud ialah mencari batas – batas situs Candi Sewu berdasarkan konsep mandala yang diperkirakan belum dijadikan pertimbangan dalam menentukan kawasan cagar budaya dunia tersebut.

    REINTERPRETASI DAN REVITALISASI KOMPLEKS TAMAN WISATA CANDI BOROBUDUR DAN PRAMBANAN :

    “Sebuah usulan pengelolaan sumberdaya arkeologi terintegrasi”Oleh:

    Gunadi Kasnowihardjo*

  • 20

    Jurnal Widya Prabha 2014

    II. TAMAN WISATA CANDI BOROBUDUR

    Sejak awal abad XIX AD di dalam sejarah kesenian Eropa Candi Borobudur dikenal sebagai salah satu puncak karya seni dari ajaran agama Budha Jawa. Candi yang dibangun pada abad VIII AD ini sempat beberapa abad tenggelam dan terlupakan hingga seluruh bangunannya tertutup tanah dan semak belukar. Setelah kurang lebih selama 1000 tahun yaitu pada tahun 1907 Masehi Candi Borobudur diketahui oleh Th. Van Erp seorang sarjana berkebangsaan Belanda yang waktu itu datang ke Indonesia bersama dalam kesatuan tentara kolonial. Candi Borobudur kemudian digali dan dibersihkan, di bawah kepemimpinan Van Erp inilah selanjutnya dilakukan penelitian dan pemugaran Candi Borobudur hingga tahun 1911. Kegiatan pemugaran yang dilakukan pada saat itu yang paling penting yaitu rekonstruksi lantai selasar yang telah mengalami penurunan

    atau kemlesakan yang cukup siknifikan. Hingga saat ini oleh para peneliti dan pemerhati Candi Borobudur lantai tersebut dikenal sebagai “lantai Van Erp”. Sejak saat itu pula Candi Borobudur dikenal masyarakat secara luas bahkan hingga mancanegara dan bahkan dikenal sebagai salah satu dari 9 keajaiban dunia.

    Perlu disadari oleh kita semua bahwa keberadaan Candi Borobudur yang terletak di wilayah Kabupaten Magelang ini tidak dapat dipisahkan dengan candi-candi dan bangunan kuna lain yang ada di sekitarnya. Demikianpula dengan masyarakat dan lingkungannya. Sebagai candi terbesar di Indonesia yang berlatar belakang agama Budha, diperkirakan candi Borobudur merupakan pusat pengembangan agama Budha di Indonesia. Oleh karena itu keberadaan candi ini tentu saja didukung oleh berbagai aktivitas termasuk didalamnya adalah berbagai fasilitas pendukungnya. Tinggalan lain seperti Candi Mendut dan Candi Pawon serta

    Sumber : http://townsofusa.com

    Candi Borobudur

  • 21

    Jurnal Widya Prabha 2014

    data lain seperti misalnya umpak-umpak batu yang diperkirakan bekas alas tiang bangunan profan yang digunakan sebagai tempat istirahat oleh para peziarah atau para pendeta termasuk lingkungan Borobudur yang perlu diperhatikan. Demikian pula dengan keberadaan masyarakat dan lingkungan alamnya, selama ini kurang diperhatikan oleh pengelola kawasan wisata Candi Borobudur.

    Sudah lebih dari dua dasawarsa kawasan Candi Borobudur dijadikan kawasan Taman Wisata dan dikelola oleh PT. Taman Wisata Candi Borobudur & Prambanan salah satu BUMN dibawah Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Dalam pengelolaan kawasan Candi Borobudur ini ada sesuatu yang perlu saya ingatkan yaitu bergesernya konsep “Taman Purbakala” menjadi “Taman Wisata” diawali dari pergeseran konsep inilah akhirnya dikemudian hari muncul berbagai persoalan terkait dengan pengelolaannya. Memperhatikan beberapa hal seperti tersebut di atas, maka dalam pengelolaan kawasan wisata Candi Borobudur kedepan perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:

    1. Secara akademis, mengembalikan “potensi” atau konteks arkeologis Candi Borobudur baik dalam skala mikro, meso ataupun makro. Dalam skala mikro misalnya beberapa data artefaktual yang ditemukan di sekitar halaman candi baik dari ekskavasi maupun survey. Konteks dalam skala meso antara lain data toponimi, sumberdaya alam sekitar, dan informasi dari berbagai referensi maupun legenda yang berkembang tentang Candi Borobudur. Sedangkan konteks dalam skala makro misalnya hubungan antara Candi Borobudur, Mendut dan Candi Pawon, serta objek-objek lain baik yang berupa artefak maupun nonartefak.

    2. Apabila pertimbangan akademis ini dapat dikaji kembali, maka upaya pelestarian

    pusaka budaya dan pengelolaan Candi Borobudur beserta lingkungannya akan dapat ditata kembali terutama dalam melibatkan peran serta masyarakat di sekitar kawasan Borobudur.

    3. Pedagang asongan perlu disebar di beberapa titik dengan jumlah yang rasional di masing-masing titik, sehingga kondisi pedagang asongan tidak terkesan semrawut.Inilah impian saya cepat atau lambat mudah-mudahan impian ini akan menjadi kenyataan, amin.

    III. TAMAN WISATA CANDI PRAMBANAN

    Walaupun secara fisik kawasan percandian Prambanan – Sewu dan candi – candi yang berada diantaranya telah dikemas menjadi bagian dari Taman Wisata Candi Prambanan yang dikelola oleh PT. Taman Wisata Candi Borobudur dan Prambanan salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, akan tetapi secara akademis masih terdapat berbagai permasalahan yang perlu dikaji, diteliti, dan diluruskan demi pengelolaan di masa yang akan datang yang lebih profesional. Beberapa permasalahan arkeologis yang perlu dikaji kembali antara lain tentang konsep mandala pada kompleks Candi Sewu. Seingat penulis, yang saat itu ikut menjadi salah satu anggota tim penelitian arkeologi, konsep mandala Candi Sewu belum dijadikan pertimbangan dalam menentukan seberapa luas areal yang dibutuhkan untuk Taman Wisata Candi Prambanan. Bahkan tinggalan lain yang ditemukan saat penelitian yang merupakan data baru seperti misalnya konstruksi stupa perwara dan sisa-sisa pagar ketiga yang terletak di sebelah Timur Candi Sewu, tidak masuk dalam “perhitungan dan pertimbangan”.

  • 22

    Jurnal Widya Prabha 2014

    Kata mandala adalah bahasa Sanskerta yang dalam kamus Jawa Kuna – Inggris dapat diartikan sebagai: anything round, disk, circle, orb, ring, circumference, district, teritory, province, country, multitude, collection, whole body (Zoetmulder, P.J. 1982: Hal. 1099). Secara sederhana Dr. Riboet Darmosoetopo mengartikan mandala adalah kawasan atau lingkup keagamaan yang diekspresikan secara fisik berupa bangunan – bangunan keagamaan dan dapat pula melambangkan sebuah kekuasaan (wawancara langsung dengan Dr. Riboet Darmosoetopo, 12 Mei 2010). Berdasarkan pengertian di atas, maka keberadaan Candi Gana di sebelah Timur, Candi Bubrah di Selatan, Candi Kulon (?) di Barat, dan Candi Lor di sebelah Utara diperkirakan sebagai bagian dari mandala candi Sewu. Namun demikian, dalam pengelolaan dan penataan kawasan situs cagar budaya dunia Candi Prambanan – Sewu ataupun Taman Wisata Candi Prambanan – Sewu tersebut, Candi Gana, Candi Kulon, dan Candi Lor ketiganya

    “terlepas” dari konsep mandala dan dipisahkan pula oleh pagar batas Taman Wisata yang tidak memperhatikan pertimbangan-pertimbangan akademis seperti misalnya batas – batas suatu situs (Gunadi, 1996).

    Dibangunnya Taman Wisata Candi Borobudur dan Prambanan yang dimulai sejak awal tahun 1980 an, dilatar belakangi oleh keberadaan tinggalan arkeologis yang ada di dua kawasan tersebut. Selain bertujuan melestarikan kawasan cagar budaya yang berskala internasional, keberadaan Taman Wisata tersebut akan menambah daya tarik wisatawan untuk berkunjung ke obyek wisata budaya ini. Hal ini dapat dibuktikan dari jumlah kunjungan wisatawan tahun 2009 baik wisatawan nusantara maupun wisatawan mancanegara yang mencapai rata – rata 76.960 orang per bulan untuk wisatawan nusantara dan 12.595 orang per bulan untuk wisatawan mancanegara. Demikian pula dalam sepuluh tahun terakhir (2000 – 2009) diketahui bahwa jumlah kunjungan di obyek wisata budaya ini cukup signifikan,

    Candi Prambanan

  • 23

    Jurnal Widya Prabha 2014

    seperti terlihat pada daftar di bawah. Bahkan harapan pengelola PT. Taman Wisata Candi Borobudur dan Prambanan jumlah wisatawan di Kompleks Taman Wisata Candi Prambanan – Sewu untuk tahun 2010 mencapai 1.200.000 orang. Harapan tersebut ternyata tidak sia – sia, karena hingga minggu ke tiga bulan Desember 2010 pengunjung di obyek wisata tersebut telah mencapai 1.011.918 orang. Sehingga program “Sejuta Turis ke Prambanan” yang dicanangkan pada tahun 2010 tersebut hampir mencapai harapan (http://travel.kompas.com).

    Jumlah Wis Nus dan Wis Man Th. 2000 – 2009 TAHUN WISNUS WISMAN JUMLAH2000 91.9752001 95.2872002 899.463 86.613 900.0762003 915.383 48.357 963.7402004 908.276 77.417 985.6932005 888.686 75.638 964.3242006 451.987 44.073 452.0602007 549.997 74.590 624.5872008 856.029 114.951 970.9802009 923.540 130.372

    JUMLAH 8.460.460 839.273 9.299.733Sumber : PT. TWC Borobudur-Prambanan.

    IV. SITUS CANDI BOROBUDUR, PRAMBANAN DAN NILAI HISTORIS- ARKEOLOGISNYA

    Dua kompleks percandian Borobudur dan Prambanan yang berada di kawasan Taman Wisata, masing – masing memiliki keunikan dan nilai – nilai historis – arkeologis yang berbeda. Berdasarkan prasasti Çiwagrha yang berangka tahun 778 çaka atau tahun 856 Masehi, candi Prambanan dibangun pada masa pemerintahan Rakai Pikatan dan dilanjutkan oleh Rakai Kayuwangi. Candi Prambanan atau dikenal dengan nama Lara Jonggrang merupakan bangunan suci agama Hindu, terlihat dari ciri – ciri arsitektur, relief dan beberapa arca yang melengkapi bangunan tersebut. Kompleks Candi

    Prambanan terdiri dari tiga buah candi utama, tiga buah candi wahana, dan dua buah candi apit yang semuanya berada di halaman pertama yang terletak dibagian paling dalam. Halaman kedua yang secara konsentris mengelilingi halaman pertama terdapat empat baris candi perwara dengan jumlah keseluruhannya mencapai 224 buah. Sedangkan halaman ketiga hingga saat ini batas atau pagar keliling belum ditampakkan baik oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Yogyakarta maupun saat pembangunan Taman Wisata Candi Prambanan – Sewu.

    Perbedaan antara Candi Sewu dan Prambanan antara lain Candi Sewu berlatar belakang agama Budha, sedangkan arsitekturnya lebih tambun dibanding Candi Lara Jonggrang yang terlihat ramping. Ciri lain Candi Sewu atap atau kemuncak berbentuk stupa yang merupakan salah satu lambang dari agama Budha. Adapun susunan halaman sama dengan Candi Prambanan, yaitu terdiri dari tiga halaman yang konsentris. Halaman pertama ditempatkan bangunan candi utamanya yang tidak memiliki candi wahana. Halaman kedua ditemukan sejumlah candi perwara yang susunannya sama dengan candi perwara di kompleks Prambanan. Di halaman kedua sisi Timur pada tahun 1980 an pernah ditemukan sisa-sisa bangunan perwara yang diperkirakan sebagai “stupa perwara” yang mirip dengan stupa perwara yang ada di kompleks Candi Plaosan. Bangunan Candi Sewu oleh para ahli dikaitkan dengan sebuah prasasti yang ditemukan di Dusun Kelurak tidak jauh dari Prambanan.

    Prasasti Kelurak atau disebut juga Prasasti Manjusrigrha merupakan prasasti batu berangka tahun 782 M yang ditemukan di Desa Kelurak, di sebelah utara Kompleks Percandian Prambanan, Jawa Tengah. Keadaan batu prasasti Kelurak sudah sangat aus, sehingga isi keseluruhannya kurang diketahui. Secara garis besar, isinya

  • 24

    Jurnal Widya Prabha 2014

    adalah tentang didirikannya sebuah bangunan suci untuk arca Manjusri atas perintah Raja Indra yang bergelar Sri Sanggramadhananjaya. Menurut para ahli, yang dimaksud dengan bangunan tersebut adalah Candi Sewu, yang terletak di Kompleks Percandian Prambanan. Nama raja Indra tersebut juga ditemukan pada Prasasti Ligor dan Prasasti Nalanda peninggalan kerajaan Sriwijaya. Prasasti Kelurak ditulis dalam aksara Pranagari, dengan menggunakan bahasa Sansekerta. Prasasti ini kini disimpan dengan No. D.44 di Museum Nasional, Jakarta (http://id.wikipedia.org/wiki/Prasasti_Kelurak).

    Dalam pembangunan Taman Wisata Candi Prambanan, kompleks Candi Sewu dan candi – candi lain yang terletak di antara keduanya seperti Candi Lumbung dan Candi Bubrah semuanya masuk dalam area atau kawasan taman wisata tersebut. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa pembangunan Taman Wisata Candi Borobudur dan Prambanan antara lain bertujuan untuk melestarikan tinggalan cagar budaya yang tidak ternilai harganya. Dengan demikian pengembangan kawasan dan situs cagar budaya sebagai obyek wisata tersebut tidak semata – mata mempertimbangkan faktor ekonomis, akan tetapi kepentingan ekonomis tersebut mampu mendukung upaya pelestariannya.

    Selain dari pada itu, kawasan Taman Wisata Candi Prambanan – Sewu oleh UNESCO telah ditetapkan sebagai situs warisan budaya dunia atau World Heritage Site. Oleh karena status atau peringkat sebagai situs warisan dunia tersebut sewaktu – waktu dapat dicabut dari daftar UNESCO, maka perlu didukung agar pengakuan internasional tersebut dapat dijaga kontinuitasnya. Situs – situs cagar budaya yang telah diakui dan masuk dalam daftar World Heritage Sites UNESCO, oleh pemerintah termasuk kawasan strategis yang harus tetap

    dipertahankan. Sehingga berbagai sektor terkait dalam program kerjanya disarankan dapat memberikan dukungan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi masing – masing lembaga. Hal ini sesuai dengan Kontrak Kinerja Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di bidang Kebudayaan dan Pariwisata.

    V. PEMBAHASAN

    Setidak-tidaknya ada tiga hal yang perlu dikaji untuk mendukung Kawasan Taman Wisata Candi Prambanan – Sewu baik sebagai situs cagar budaya dunia ataupun sebagai Kawasan Strategi Nasional, pertama adalah pertimbangan akademis yaitu terkait antara batas-batas situs dan areal atau kawasan taman wisata. Mengacu pada konsep mandala yang ada di kompleks Candi Sewu, ada asumsi bahwa candi tersebut dahulu di kelilingi oleh 4 buah sandi yang berada di 4 penjuru mata angin. Ke empat candi tersebut adalah Candi Bubrah di sisi Selatan, Candi Gana di Timur, Candi Lor (Candirejo) di Utara, dan Candi Kulon yang terletak di sisi Barat Candi Sewu. Di antara keempat candi tersebut hanya Candi Bubrah dan Candi Gana yang masih dapat terlihat dengan jelas. Sedangkan Candi Lor sisa-sisa batu candi sebagian digunakan oleh penduduk setempat untuk pagar dan pondasi rumah masih dapat ditelusuri. Adapun untuk memastikan keberadaan Candi Kulon perlu dilakukan penelitian lapangan, guna membuktikan asumsi di atas.

    Kata mandala adalah bahasa Sanskerta berasal dari akar kata manda yang berarti inti atau pokok dan tambahan kata la yang berarti sesuatu yang ditambahkan. Konsep “tata ruang” dalam mandala bervariasi yaitu dapat diwujudkan dalam satu area (one square) yang disebut Pitha atau Upapitha, empat area (Ugrapitha), dan sembilan area atau Sthandila ( http://en.wikipediar.org /

  • 25

    Jurnal Widya Prabha 2014

    wiki/Mandala). Mengacu pada konsep mandala tersebut, maka dapat diperkirakan bahwa Candi Bubrah, Gana, Lor, dan Candi Kulon merupakan 4 area penyangga Candi Sewu. Sampai saat ini tidak seorangpun ahli arkeologi yang pernah membicarakan tentang konsep mandala Candi Sewu yang dikaitkan dengan pembangunan taman wisata tersebut. Oleh karena itu tidak mengherankan apabila selain Candi Bubrah, ketiga candi lain yang terletak di sisi Timur, Utara dan Barat tidak pernah dipertimbangkan dalam pembangunan Kawasan Taman Wisata Candi Prambanan – Sewu. Candi Bubrah sendiri karena posisinya yang terletak diantara Candi Prambanan dan Candi Sewu sehingga secara kebetulan termasuk dalam zona taman wisata.

    Kedua, secara ideologis, keberadaan Candi Prambanan yang Hinduistis dan Candi Sewu yang Budhistis dalam satu lokasi yang sangat berdekatan, hal ini mensiratkan kepada generasi sekarang maupun generasi yang akan datang tentang isu – isu multikultural yang telah berkembang sejak abad IX M. Bahkan apabila kita kaji lebih tajam tentang pagar halaman ketiga masing – masing percandian Prambanan dan Sewu, kemungkinan sekali akan ditemukan data yang saling tumpang tindih antara pagar terluar kedua candi tersebut. Apabila mengacu kepada waktu pembangunannya, Candi Sewu dibangun pada tahun 782 sedangkan Candi Prambanan didirikan tahun 856, dengan demikian ada selisih waktu 74 tahun. Walaupun demikian, dapat diperkirakan bahwa pada masa pembangunan Candi Prambanan eksistensi agama Budha saat itu dapat dikatakan masih stabil sebagai agama kerajaan. Sehingga tanpa ada pemahaman dan toleransi yang tinggi dari masing – masing pemeluk agama Hindu dan Budha, niscaya kedua kompleks bangunan suci yang berbeda keyakinan tersebut dapat dibangun secara berdampingan.

    Ketiga adalah pertimbangan praktis, bahwa kajian tentang Kawasan Taman Wisata Candi Pramaban – Sewu ini seperti telah disebutkan sebelumnya yaitu sebagai langkah konkrit dalam mendukung pengembangan kawasan strategis demi kepentingan pengelolaan yang lebih profesional. Agar dapat meningkatkan kualitas pengelolaan suatu kawasan strategis seperti situs – situs yang sudah ditetapkan sebagai World Heritage Site, maka perlu dilakukan kajian – kajian secara periodik, baik kajian akademis maupun pertimbangan lainnya. Sebagai aparat pemerintah yang ada di daerah dan langsung menyentuh pada tugas pokok dan fungsi lembaga, maka program seperti ini merupakan action dari sebagian kecil kontrak kinerja pemerintah.

    VI. PENUTUP

    Mengacu pada Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2010 – 2014, mengenai bidang sosial budaya dan kehidupan beragama, utamanya dalam kerjasama yang sinergis antar pihak terkait dalam upaya pengembangan nilai budaya, pengelolaan keragaman budaya serta perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan warisan budaya. Peraturan Presiden yang kemudian ditindaklanjuti dengan terbitnya Rencana Strategis Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata tahun 2010 – 2014 antara lain menetapkan arah kebijakan dan strategi tentang peningkatan kesadaran dan pemahaman jati diri dan karakter bangsa. Dalam rangka melaksanakan arah kebijakan Peningkatan Kesadaran dan Pemahaman Jati Diri dan Karakter Bangsa, maka strategi diarahkan dengan :

  • 26

    Jurnal Widya Prabha 2014

    1) Peningkatan internalisasi nilai-nilai budaya yang mendukung pembangunan karakter dan pekerti bangsa. 2) Peningkatan revitalisasi dan reaktualisasi nilai-nilai tradisi. 3) Peningkatan pemberdayaan komunitas adat. 4) Peningkatan internalisasi kesejarahan dan wawasan kebangsaan (periksa Rencana Strategis Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata tahun 2010 – 2014, http://www.budpar.go.id/page). Atas dasar Peraturan Presiden RI Nomor 5 tahun 2010 dan Rencana Strategis Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Tahun 2010 – 2014 di atas, maka penulis sebagai peneliti di salah satu Unit Pelaksana Teknis Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata mengusulkan perlunya suatu kegiatan penelitian yang dapat dilakukan secara kolaboratif inter disipliner yang melibatkan beberapa ahli seperti arkeologi, antropologi, sejarah, dan kepariwisataan. Salah satu contoh kasus yang diusulkan dalam artikel ini ialah kawasan Taman Wisata Candi Prambanan,

    yang sangat menarik untuk dilakukan kajian ulang ataupun re-interpretasi beberapa hal yang berkaitan antara luas situs dan luas taman wisata, beberapa data arkeologi baru, serta manfaat praktis yang selama ini belum banyak dilakukan. Kawasan Taman Wisata Candi Prambanan, yang di dalamnya meliputi Candi Sewu dan candi – candi lain yang berada di antaranya, setelah oleh UNESCO ditetapkan sebagai salah satu World Heritage Site, maka ada konskwensi untuk tetap menjaga dan meningkatkan kualitas situs agar dikemudian hari status sebagai warisan budaya dunia dapat terus dipertahankan. Kajian – kajian seperti disebutkan di atas dapat dilakukan secara kolaboratif dalam suatu tim penelitian yang terdiri dari berbagai disiplin ilmu antara lain arkeologi, sejarah, antropologi dan kepariwisataan. Dengan penelitian terpadu tersebut akan dapat ditemukan langkah – langkah konkrit dalam mengembangkan kawasan strategis atau situs

    Kompleks Candi PrambananKompleks Candi Borobudur

  • 27

    Jurnal Widya Prabha 2014

    – situs cagar budaya yang telah ditetapkan sebagai World Heritage Site. Selanjutnya model penelitian seperti ini akan dapat diterapkan pada situs – situs yang lain. Masih banyak situs – situs arkeologi yang dalam pengelolaannya belum dilakukan secara sinergis antara bidang penelitian, pelestarian, dan pemanfaatan (Kasnowihardjo, 2001 dan 2004). Terutama situs – situs yang telah dimanfaatkan oleh masyarakat baik untuk kepentingan pariwisata maupun ilmu pengetahuan.

    * Penulis adalah staff Balai Arkeologi Daerah Istimewa Yogyakarta. ([email protected])

    Daftar Pustaka

    Boechari, 1978. “Bahan Kajian Arkeologi Untuk Pengajaran Sejarah”, Majalah Arkeologi, Th. II. No. 1. Sept. 1978, hal. 3 – 26. Fakultas Sastra, Universitas Indonesia, Jakarta.

    Endraswara, Suwardi. 2006. Metodologi Penelitian Kebudayaan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

    Gibbon, Guy, 1984. Anthropological Archaeology, Columbia University Press, New York.

    Gunadi, 1996. “Pengertian Situs dan Batas – Batas Situs”, Pertemuan Ilmiah Arkeologi ke VII, Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI), Cipanas, Jawa Barat.

    Kasnowihardjo, Gunadi. 2001. Manajemen Sumberdaya Arkeologi, pengantar Prof. Dr. Edi Sedyawati, Penerbit LEPHAS, Universitas Hasanuddin, Makassar. ISBN 979-530-035-0.

    Kasnowihardjo, Gunadi. 2004. Manajemen Sumberdaya Arkeologi-2, Pengantar Prof. Dr. Sumijati Atmosudiro, diterbitkan oleh Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia, Komda Kalimantan, ISBN 979-98450-1-7.

    Liebert, Gosta. 1976. Iconographic Dictionary Of The Indian Religions, E.J. Brill, Leiden.

    Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2010 – 2014, BAPPENAS.

    Rencana Strategis Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Tahun 2010 – 2014, http://www.budpar.go.id

    Sutopo, H. B. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif, Dasar teori dan terapannya dalam penelitian, Sebelas Maret University Press, Surakarta.

  • 28

    Jurnal Widya Prabha 2014

    Zoetmulder, P.J. 1982. Old Javanese – English Dictionary, Koninklijk Instituut voor Taal, Land En Volkenkunde, s’Gravenhage Martinus Nijhoff.

    http://travel.kompas.com “Sejuta Turis ke Prambanan”.

    http://id.wikipedia.org/wiki/Prasasti_Kelurakhttp://en.wikipediar.org /wiki/Mandala

  • 29

    Jurnal Widya Prabha 2014

    I. Pengantar

    Komunikasi antara orang-orang Eropa dan khususnya kumpeni dagang dengan Kerajaan Mataram terutama sejak era Kartasura semakin intensif. Kondisi itu terus berlanjut dan semakin meningkat seiring dengan dinamika sosial politik kerajaan. Artinya, bahwa setiap momentum politik tertentu di kerajaan ada koherensi hubungan dengan kumpeni. Demikian juga pada pasca Perjanjian Giyanti 1755 M, komunitas orang-orang Eropa di Kasultanan Yogyakarta juga sudah ada sejak masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono I. Hal ini dapat dibuktikan dengan eksisnya berbagai fasilitas kantor residen atau pun lembaga-lembaga (sipil dan militer), prasarana umum, dan berbagai tempat usaha swasta. Berbagai fasilitas yang berkembang itu menunjukkan bahwa hubungan antara pribumi dengan Eropa sudah terjalin lama.

    Keberadaan berbagai fasilitas publik pemerintahan dan swasta antara lain: Kantor Residen atau Gedung Gubernuran (sekarang Gedung Agung) 1824 M, Benteng Vredeburg (benteng perdamaian) dahulu bernama Rustenberg (1778 M), Loji Kecil, dan Societeit De Vereneging (1822 M), Societeit Militer, Javasche Bank, Kantor Pos, serta tempat-tempat usaha swasta baik di perkotaan maupun di pedesaan. Hal itu menunjukkan adanya intensitas tingggi adanya penetrasi orang-orang Eropa. Komunitas orang-orang Eropa tersebut mengalami perkembangan pesat pada masa Kasultanan Yogyakarta berada di bawah

    pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VII (1877 – 1921 M). Menurut data dari Europeans, 1921 M tahun 1905 M jumlah penduduk Eropa 1.477 jiwa, sedangkan sumber yang lain yaitu Bevolking Solo en Djokja 1893, penduduk Eropa di Yogyakarta pada tahun 1893 M ada 1849 jiwa. Pesatnya perkembangan tersebut, khususnya untuk orang-orang Belanda, berkaitan erat dengan tumbuh dan berkembangnya lembaga-lembaga swasta, antara lain: pabrik, asuransi, perbankan, pendidikan, kesehatan, bar dan perhotelan. Disamping itu, pada abad ke-19 sampai dengan awal abad ke-20 kemudian tumbuh fasilitas-fasilitas untuk sarana religius untuk beribadat, antara lain: Gereja Protestan (Jl. Margamulya depan Pasar Beringharjo) dan Gereja Kidul Loji Jl. Secodiningratan. Para awal abad ke-20 wilayah hunian berkembang, tidak hanya berada di sekitar pusat kota tetapi kemudian bergeser ke arah utara Jetis, timur (Bintaran dan Baciro), dan timur laut (Kota Baru).

    II. Eksistensi Awal Kawasan Kota Baru Munculnya ide awal perluasan hunian orang-orang Eropa di Yogyakarta pada dasarnya disebabkan adanya peningkatan kebutuhan lahan untuk orang Belanda. Di Kota Yogyakarta pada masa Residen Cornelis Canne tahun 1917 M terjadi perluasan personel untuk kepentingan pengawasan pajak, kehakiman dan pendidikan. Di samping itu, juga merupakan konsekuensi logis adanya perkembangan lembaga-lembaga swasta, antara lain: administratur pabrik-

    KOTA BARU YOGYAKARTA : CITRA KAWASAN DAN UPAYA PENGENDALIANNYA

    Oleh Sri Suharini, SS dan Drs. Ign. Eka Hadiyanta, MA.*

  • 30

    Jurnal Widya Prabha 2014

    pabrik gula 17 lokasi, karyawan Asuransi Nv Levensverzekering Mij “Milmij van 1859” cabang Yogyakarta (kantornya sekarang untuk Bank BNI), dan profesi kesehatan. Untuk itu kemudian bekerjasama dengan Departemen Pekerjaan Umum (Burgelijk van Openbare Werken) mengadakaan perencanaan untuk memenuhi kebutuhan ruang. Untuk kepentingan perluasan lahan tersebut, maka Residen Canne kemudian mengajukan permohonan kepada Sri Sultan Hamengku Buwono VII untuk dapat menyediakan tempat khusus bagi orang-orang Eropa, sebagian besar di sebelah timur Sungai Code.

    Pengaturan pelaksanaan pembuatan hunian baru tersebut diatur dalam Rijksblad van Sultanaat Djogjakarta No. 12 tahun 1917. Isi Rijksblad, antara lain: mengatur pemberian lahan beserta adanya wewenang supaya didirikan bangunan, jalan, taman, perawatan (diatur oleh kasultanan), sedangkan penggunaan tanah diatur oleh komisi pengguna tanah (Comissie van Grondbedrij) dengan anggota yang ditentukan oleh Sultan dan Residen. Sebagai pelaksana proyek pembuatan kawasan adalah Departemen van Sultanaat Werken, sebagai ketua yaitu Ir. L.V.R. Bijleveld (Gegeven, 1926 A., Reza Hudiyanto, 1997). Proyek kawasan Kota Baru mulai dikerjakan pada tahun 1917 M, yaitu dengan beaya awal sejumlah F. 170.000,- untuk mendapatkan lahan dan pembuatan jalan serta asseneri