Jurnal Widya Prabha 2014 -...

86
1 Jurnal Widya Prabha 2014

Transcript of Jurnal Widya Prabha 2014 -...

Page 1: Jurnal Widya Prabha 2014 - purbakalayogya.compurbakalayogya.com/main/fungsi/code/download.php?file=jurnal... · ... bahwa di dalam melaksanakan pembangunan harus memperhitngkan dimensi

1

Jurnal Widya Prabha 2014

Page 2: Jurnal Widya Prabha 2014 - purbakalayogya.compurbakalayogya.com/main/fungsi/code/download.php?file=jurnal... · ... bahwa di dalam melaksanakan pembangunan harus memperhitngkan dimensi

2

Jurnal Widya Prabha 2014Jurnal Widya Prabha 20143

12

29

19

4257

68

Page 3: Jurnal Widya Prabha 2014 - purbakalayogya.compurbakalayogya.com/main/fungsi/code/download.php?file=jurnal... · ... bahwa di dalam melaksanakan pembangunan harus memperhitngkan dimensi

Jurnal Widya Prabha 2014

1

Jurnal Widya Prabha 2014

Pengantar Redaksi

Puja dan puji syukur kita haturkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rah-mat dan karuniaNya sehingga apa yang kita rencanakan dapat terlaksana dengan baik dan lancar. Penerbitan jurnal tahunan Widya Prabha ke-3 ini telah dapat dilakukan dengan baik sesuai dengan rencana. Jurnal ini diterbitkan sebagai salah satu publikasi berbagai aspek tentang pelestarian ca-gar budaya. Upaya publikasi itu merupakan bagian dari implementasi program internalisasi cagar budaya kepada masyarakat. Terimakasih kepada para kontributor tulisan yang telah meluangkan waktu dan meman-faatkan kesempatan untuk menulis artikel dalam jurnal ini. Kepada semua Tim Redaksi yang telah dapat mewujudkan jurnal ini, kami tidak lupa memberikan penghargaan yang tinggi. Semoga jurnal ini dapat menjadi sumbang saran di dalam kajian tentang pelestarian dan dapat menjadi bahan kepustakaan. Diakui bahwa berbagai kontribusi penulisan tersebut masih terbatas dan belum mak-simal, oleh karena itu berbagai kritik dan saran diperlukan untuk perbaikan penerbitan di masa mendatang. Semoga Tuhan selalu memberikan perlindungan dan meridhoi setiap upaya kita da-lam mengimplementasikan internalisasi tentang pentingnya cagar budaya bagi penguatan karakter bangsa.

Redaksi

Page 4: Jurnal Widya Prabha 2014 - purbakalayogya.compurbakalayogya.com/main/fungsi/code/download.php?file=jurnal... · ... bahwa di dalam melaksanakan pembangunan harus memperhitngkan dimensi

2

Jurnal Widya Prabha 2014Jurnal Widya Prabha 2014

Catatan Redaksi :

Perspektif Budaya dan Lingkungan dalam Pelestarian

Peran budaya di dalam berbagai bidang kehidupan, disadari maupun tidak, pada dasarnya memiliki posisi sentral dan menentukan. Di dalalam era pembangunan yang mengejar pertumbuhan diyakini bahwa pertumbuhan ekonomi akan dapat memperbaiki standard kehidupan dan kesejahteraan. Secara logis sumber daya alam menjadi tumpuan untuk dapat dieksploatasi bagi kepentingan manusia. Pada akhirnya ekplorasi yang dilakukan tidak mempertimbangkan aspek keseimbangan ekologis. Tidak mengherankan apabila kemudian muncul kritik dan mendesak ditinggalkannya praktek-praktek seperti tersebut diatas. Paradigma yang kemudian muncul adalah pendekatan yang pembangunan berkelanjutan yang holistik dengan mengimplementasikan asas keseimbangan dengan aspek-aspek sosial - budaya dan lingkungan hidup. Artinya, bahwa di dalam melaksanakan pembangunan harus memperhitngkan dimensi sosial, pelestarian budaya, dan lingkungan hidup.

Pada dasarnya budaya dapat diartikan sebagai corak hidup di dalam suatu lingkungan masyarakat yang tumbuh dan berkembang berdasarkan spiritualitas dan tata nilai yang disepakati bersama. Dapat pula dipersepsikan sebagai sistem makna dan pemahaman arti dalam suatu sistem kepercayaan serta pola perilaku kehidupan yang dilakukan masyarakat pendukung. Proses itu untuk menghayati kehidupan di dalam memperjuangkan kehidupan (survival) bagi kehidupan yang bermartabat. Apa yang menjadi tata nilai budaya dan kearifan di dalam masyarakat dapat menjadi kunci di dalam melakukan peendekatan bagi terwujudnya upaya membangun kelestarian budaya dan alam sekelilingnya. Kita semua dituntut untuk menjaga keseimbangan dan harmoni hubungan di antara manusia, alam, dan lingkungannya.

Satu contoh bahwa di dalam menjaga eksistensi geo heritage dan ekosistem Merapi harus memahami bagaimana persepsi masyarakat tentang lingkungannya serta pola perilaku untuk memperjuangkan kehidupan yang berkeseimbangan. Tentunya aspek pencegahan atau preventif menjadi pilihan yang utama untuk dilakukan. Hal itu baik yang dilakukan dalam konteks lingkungan maupun budaya. Tidak kalah pentingnya adalah bagaimana menjaga kelestarian budaya dalam arti melakukan proses konservasi material dan bangunan cagar budaya seperti halnya yang dilakukan di Benteng Cepuri Kotagede. Apabila pendekatan preventif tidak dapat membuahkan hasil konkrit maka tentu harus menjalankan aspek kuratif atau represif. Aspek represif inilah yang telah dilakukan di dalam menjaga eksistensi bangunan cagar budaya SMA 17 1 Yogyakarta. Menjaga eksistensi bangunan, sebagai salah satu properti budaya, juga akan dapat menjaga nilai atau makna yang terkandung di dalamnya. Makna yang tersurat inilah yang perlu terus dibudidayakan di dalam masyarakat. Kedepannya, tugas menjaga keberlanjutan di dalam konteks keseimbangan merupakan tanggungjawab bersama. Pemahaman arti penting dan pembelajaran pentingnya menjaga eksistensi alam, lingkungan, dan warisan budaya sangat urgen untuk di implementasikan dalam rangka membangun peradaban bangsa.

Redaksi

Page 5: Jurnal Widya Prabha 2014 - purbakalayogya.compurbakalayogya.com/main/fungsi/code/download.php?file=jurnal... · ... bahwa di dalam melaksanakan pembangunan harus memperhitngkan dimensi

Jurnal Widya Prabha 2014

3

Jurnal Widya Prabha 2014

I. Pendahuluan

Konsep pembangunan berkelanjuan yang dicanangkan World Commission on Environment and Development di bulan April 1987 mendeklarasikan upaya mengatasi berbagai kemelut lingkungan yang terjadi di belahan dunia. Anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa, termasuk Indonesia sepakat memadukan lingkungan hidup dalam pembangunan, sehingga lahirlah pola Pembangunan Berkelanjutan atau berwawasan Lingkungan. Artinya arah pembangunan dilaksanakan dengan memperhatikan kontuinitas dalam hal kelangsungan hidup alam dan manusia. Namun sejak lahirnya konsep tersebut hingga saat ini apakah lingkungan hidup menjadi semakin baik? Kasus bencana alam yang terus terjadi di berbagai tempat dan bumi semakin panas mengindikasikan masalah lingkungan belum terintregrasi dengan baik dalam pembangunan berkelanjutan. Cita-cita utama pembangunan berkelanjutan adalah upaya untuk mensinkronkan, mengintegrasikan dan memberi bobot yang sama bagi tiga aspek utama pembangunan, yaitu ekonomi, sosial-budaya, dan lingkungan hidup. Artinya Pembangunan aspek sosial-budaya dan lingkungan hidup tidak boleh dikorbankan demi dan atas nama pembangunan ekonomi.

Konflik sosial-budaya yang terjadi di tanah air, yaitu perasaan diberlakukan tidak adil, termarjinalisasi, dan terancam secara budaya adalah contoh terabaikannya aspek sosial-budaya dalam pembangunan nasional (Keraf, 2002). Kasus yang sama terjadi pada masalah pemanfaatan sumberdaya alam yang berorientasai pada

pendapatan daerah, tanpa memperhatikan kualitas lingkungan yang semakin buruk. Krisis ekologi yang terjadi menujukan kuatnya paham antroposentis dalam kebijakan pembangunan yang lebih mementingkan pertumbuhan ekonomi dan persepsi yang keliru tentang kekayaan alam. Pertumbuhan ekonomi diyakini akan memperbaiki standart kehidupan masyarakat menjadi lebih sejahtera, dan sumberdaya alam merupakan sumberdaya yang siap dieksploitasi untuk pertumbuhan ekonomi. Eksplorasi alam tidak lagi mempertimbangkan keseimbangan ekologis. Paradigma pembangunan berkelanjutan yang sangat antroposentris tersebut mendesak untuk ditinggalkan dan diganti dengan cara pandang yang lebih holistik dan saling melengkapi dengan memberi perhatian pada aspek sosial-budaya dalam pengelolaan lingkungan hidup. Berdasarkan kondisi tersebut muncul permasalahan : Mengapa aspek budaya perlu lebih ditingkatkan perannya saat ini dalam menjaga keseimbangan ekosistem?. Asumsinya pendekatan budaya yang meletakkan manusia dalam kapasitasnya sebagai makhluk berbudaya, beretika, bermoral dan berdimensi spiritual-transendental sangat relevan untuk dikaji dan ditransformasikan dalam kehidupan saat ini mengingat tingkat kerusakan ekologi di sekitar kita dari hari ke hari semakin meningkat.

II. Hakekat Manusia Sebagai Makhluk Ekologis

Kelangsungan hidup manusia tergantung pada pemeliharaan ekosistem, karena ekosistem merupakan batas keberadaan dan kerangka kerja kegiatan manusia, ekositem dapat berjalan tanpa kita, namun kita tidak dapat berbuat apa-apa tanpa ekosistem, selama kita hidup di bumi ini (Kompas, 2004). Pada dasarnya secara

PERAN BUDAYA DALAM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP *

Oleh :Dra. Niken Wirasanti,M.Si **

Page 6: Jurnal Widya Prabha 2014 - purbakalayogya.compurbakalayogya.com/main/fungsi/code/download.php?file=jurnal... · ... bahwa di dalam melaksanakan pembangunan harus memperhitngkan dimensi

4

Jurnal Widya Prabha 2014Jurnal Widya Prabha 2014

naluriah manusia dimanapun tempat tinggalnya pasti akan mencari ketenangan dan keamanan diri. Adapun sumber dari intervensi ketidaktentraman dibayangkan bukan hanya dari suasana psikologis di dalam dirinya semata, melainkan juga dbayangkan berasal lingkungan jagad raya yang dipersepsikan sebagai sesuatu yang misterius, dan menakjubkan, yang tidak dapat dicerna oleh akal pikiran. Dari persepsi ini mulai menggagas adanya daya-daya alam adiduniawi yang mengitari dirinya, dan dikonsepsikan sebagai dewa-dewa (Suhardi, 2009). Pandangan masyarakat terus berlanjut, khususnya masyarakat Jawa beranggapan lingkungan merupakan sebagai sumber energi yang bermanfaat untuk kehidupan manusia. Masyarakat berteori tentang tatanan jagat raya (kosmogoni) yang memiliki perputaran gerak yang sempurna, misalnya rotasi perjalanan benda-benda angkasa yang demikian tertibnya, merupakan perwujudan keseimbangan alam dan dunia. Jagat raya bergerak demikian pula isi dunia termasuk masyarakatnya. Apabila manusia mampu menyerasikan hidupnya sesuai dengan hukum alam yaitu gerak perputaran alam semesta, maka akan diperoleh kesejahteraan. Gerak harmonis dari benda-benda di jagat raya digerakkan oleh sebuah kekuatan (daya) dan apabila kekuatan itu memancar pada seorang pemimpin, atau raja, maka pemimpin atau raja tersebut dianggap memiliki daya linuweh (kesaktian). Asumsinya semakin kuat pancaran yang dimiliki seorang pemimpin atau raja maka individu tersebut akan semakin memiliki kewibawaan dan berkharisma. Implikasinya dari kewibawaan dan kharisma seorang pemimpin/raja akan tercapai keadaan tata titi tentrem karta raharjo. Sejumlah naskah Jawa kuna, misalnya Babad Tanah Jawi, Kitab Centini, Wedatama menceritakan adanya gambaran ideal seorang pemimpin atau raja dalam menjaga tata tertib kosmos. Demikian pula ramalan-ramalan Joyoboyo yang populer masa Kerajaan Kadiri-abad XIII Masehi, dan ramalan Pujangga Ronggowasito (masa Kerajaan Surakarta-abad XVIII Masehi). Dalam sejarah kebudayaan dikenal nama-

nama yang menjadi gambaran ideal seorang tokoh pemimpin yang mampu mengembalikan keserasian dalam hubungan manusia dengan ekosistemnya, yaitu tokoh Ratu Adil, dan tokoh Satrio Piningit. Pada masa Kerajaan Mataram (Islam) Raja-Raja Mataram sebagai pewaris tahta kerajaan harus bersikap dan berbuat sebagai kalifah dari Tuhan (Senapati ing Alaga Sayidin Panatagama Kalifatullah Tanah Jawa). Tugas yang diemban adalah Hamengku, Hamangku, Hamangkoni. Asas tersebut bermakna keseimbangan dunia-akherat, finansial-spiritual, manunggaling Kawulo Gusti yaitu suatu tekad mengelola alam tanpa merusak dan menjaga segala kekayaan alam yang merupakan pemberian sekaligus amanah Sang Pencipta (Suhardjo, 2004). Masih di lingkungan kraton sejumlah nama raja disebut dengan nama Paku Buwono (tiang pancang alam semesta), Hamengku Buwono ( Penguasa atau Pemelihara alam semesta), Pakualam ( tiang pancang alam semesta) Mangkunegara ( pemelihara negara).

Selain gambaran ideal seorang pemimpin, dalam sastra Jawa pun termuat ajaran-ajaran pentingnya menjaga keharmonisan antar sesama dan lingkungan. Naskah Jawa yaitu Serat Sasana Mulyo (Kompas, 2 November 2009) menyebutkan sikap hemat dan bersahaja (gemi nastiti) merupakan penangkal sikap konsumeristik yang makin menjangkiti masyarakat. Gaya hidup boros dan bermewah-mewah bertentangan dengan etika Jawa. Prinsip hemat dan cermat dapat menjadi pedoman dalam mengelola sumberdaya alam.

Gambaran dari masyarakat adat yang kehidupannya menyatu dengan alam lingkungannya merupakan lanjutan konsep kepercayaan yang telah dikenal turun-temurun. Masa Jawa Kuna memiliki kepercayaan yang berlandaskan pada konsep kosmogonis yaitu kepercayaan adanya suatu keserasian antara dunia manusia (mikrokosmos) dengan alam manusia (makrokosmos) (Geldern, 1942). Menurut kepercayaan ini manusia selalu ada di bawah pengaruh kekuatan-kekuatan yang

Page 7: Jurnal Widya Prabha 2014 - purbakalayogya.compurbakalayogya.com/main/fungsi/code/download.php?file=jurnal... · ... bahwa di dalam melaksanakan pembangunan harus memperhitngkan dimensi

Jurnal Widya Prabha 2014

5

Jurnal Widya Prabha 2014

terpancar dari antara bintang-bintang dan planet. Kekuatan tersebut dapat membawa kesejahteraan atau bencana terganung dari dapat atau tidaknya individu aau komunitas menyerasikan hidup dan semua kegiatannya dengan gerak alam semesta. Individu atau komunitas dapat memperoleh keserasian dengan mengikuti petunjuk astrologi atau sejumlah perlambang yang menujukkan akan datangnya keberuntungan atau bencana (Sumadio, 2007). Terkait dengan hal tersebut, diyakini tata ruang kraton (Yogyakarta- Surakarta), disusun dan diselaraskan dengan tatanan jagat raya, keseimbangan secara keruangan ditata dengan menempatkan pejabat-pejabat kraton di penjuru mata angin dari kraton. Dalam konsep Jawa, tata letak daerah-daerah penyangga yang terpusat di kraton dikenal dengan konsep Mancapat dan Mancalimo.

Orang Jawa sangat akrab dengan kosmologi, yang dicakup dalam istilah kejawen. Perlu dimaklumi di sini bahwa kejawen bukanlah katagori agama, tetapi menunjuk kepada suatu etika dan gaya hidup yang dimaklumi oleh seluruh fikiran Jawa (Mulder, 1996). Sehingga istilah kejawen apabila dipandang sebagai ilmu pengetahuan merupakan etika dan gaya fikiran yang tidak terhindar dari agama, nuansa mistis dan legenda, tasawuf, serta filsafati. Lebih tegas Sonny Keraf (2002 ) berpendapat hakekat manusia bukan hanya makhluk sosial tetapi juga makhluk ekologis. Sebagai bagian dari komunitas ekologis manusia mempunyai kewajiban moral dan tanggungjawab untuk menghormati setiap kehidupan, baik terhadap manusia maupun pada makhluk lain dan benda-benda non hayati, karena semua benda di alam semesta mempunyai hak yang sama untuk ada, hidup, dan berkembang. Dengan memahami dirinya sebagai bagian integral dari alam, maka dalam memanfaatkan alam harus dilakukan secara arif, yaitu menjaga keseimbangan dan kelestariannya (Keraf,2009., Elliot.,1955.) Eksploitasi sumberdaya alam diatur dengan berbagai macam aturan religius untuk menjamin

agar keselarasan ekosistemnya dapat terjaga dan aturan-aturan tersebut melahirkan sejumlah tradisi. Tradisi tersebut terus berlangsung dilengkapi dengan sejumlah mitos. Van Peursen (2005) menjelaskan dalam tahap perkembangan kebudayaan yang imanen, mistik berkembang dengan baik sedangkan ilmu pengetahuan belum dapat berkembang. Kesadaran manusia dalam mengelola lingkungan untuk menjaga kelestarian alam lingkungan telah dimiliki masyarakat lokal di Indonesia melalui kearifan budaya daerah baik berupa adat maupun tradisi. Kearifan masyarakat lokal berintikan kesadaran manusia akan eksistensinya di alam semesta. Bagi masyarakat lokal alam dan lingkungan merupakan wilayah yang sakral, berdimensi spiritual transendental. Jalinan persahabatan dengan alam dan lingkungan hidupnya diwujudkan dalam berbagai upacara adat atau upacara religius, yang sarat dengan makna kehidupan manusia sebagai mikrokosmos dan alam semesta sebagai makrokosmos. Berbagai bentuk kearifan tradisional tersebut dihayati, dan diwariskan secara turun temurun yang membentuk sikap dasar manusia sehari-hari, seperti yang tampak pada berbagai upacara adat masyarakat misalnya acara bersih desa, rasulan dan pethik laut.

III. Pendekatan Budaya dalam pengelolaan Lingkungan

Pendekatan budaya dalam pengelolaan lingkungan diartikan sebagai upaya mencari dan mengembangkan sumber-sumber kekuatan yang ada dalam diri manusia, yang dapat dilihat dari adat dan tradisi masyarakat yang bersifat arif, bertanggung jawab terhadap alam dan lingkungannya. Kebudayaan adalah suatu corak hidup dari suatu lingkungan masyarakat yang tumbuh dan berkembang berdasarkan spiritual dan tata nilai yang disepakati oleh masyarakat pendukungnya, oleh karenanya menjadi eksistensial bagi lingkungan masyarakat tersebut. Hilangnya budaya suatu masyarakat adalah hilangnya identitas dan jati diri masyarakat yang berarti hilang pula keberadaanya

Page 8: Jurnal Widya Prabha 2014 - purbakalayogya.compurbakalayogya.com/main/fungsi/code/download.php?file=jurnal... · ... bahwa di dalam melaksanakan pembangunan harus memperhitngkan dimensi

6

Jurnal Widya Prabha 2014Jurnal Widya Prabha 2014

sebagai suatu pribadi (Wibowo, 1995). Manusia adalah makhluk berbudaya dan budaya manusia penuh dengan simbol-simbol. Dengan kata lain budaya manusia penuh diwarnai dengan simbolisme yaitu suatu tata pemikiran atau paham yang menekankan atau mengikuti pola-pola yang mendasarkan diri pada sejumlah tanda. Simbolisme sangat menonjol peranannya pertama-tama dalam religi. Hal ini dapat dilihat pada segala bentuk upacara-upacara religius (Herusatoto,2007). Ritus atau upacara religius merupakan sarana yang menghubungkan manusia dengan yang keramat. Ritual bukan hanya sarana memperkuat ikatan sosial kelompok dan mengurangi ketegangan, tetapi juga suatu cara untuk merayakan peristiwa-peristiwa penting yang menyebabkan krisis. Kegiatan upacara tersebut akan berpengaruh menyatukan semua orang dalam suatu usaha bersama sedemikian rupa, sehingga ketakutan dan kekacauan bergerak menjadi tindakan bersama dan optimisme tertentu. Keseimbangan hubungan di antaranya semua orang, yang tadinya kacau, menjadi normal kembali. Upacara pada masa krisis itu berdasarkan anggapan bahwa dalam jangka waktu hidupnya manusia mengalami banyak krisis dan sering amat menakutkan. Dalam hal menghadapi masa krisis manusia butuh melakukan perbuatan untuk memperteguh dan menguatkan dirinya (Koentjaraningrat, 2006). Pendapat yang lain (Van Gennep – Koentjaraningrat, 2006), menyebutkan bahwa upacara religius secara universal pada azasnya berfungsi sebagai aktivitas untuk menimbulkan kembali semangat kehidupan sosial antara warga masyarakat. Ia menyatakan bahwa kehidupan sosial dalam tiap masyarakat di dunia secara berulang, dengan interval waktu tertentu, memerlukan apa yang disebutnya ”regenerasi” semangat kehidupan sosial seperti itu. Hal ini disebabkan karena selalu ada saat-saat ketika semangat kehidupan sosial itu menurun, dan sebagai akibatnya akan muncul kelesuan dalam masyarakat. Van Gennep juga menyatakan bahwa gejala turunnya semangat kehidupan sosial itu biasanya

terjadi pada masa akhir suatu musim alamiah, atau pada akhir suatu tahap dalam produksi pertanian. Saat itu energi manusia seolah-olah sudah habis terpakai dalam aktivitas sosial selama musim yang hampir berlalu itu. Untuk menghadapi tiap musim yang baru masyarakat memerlukan ”regenerasi” semangat kehidupan sosial. Sikap takut sekaligus bercampur dengan percaya terhadap hal-hal gaib serta keramat menyebabkan masyarakat mempunyai sikap serba religi yaitu suatu getaran yang menggerakkan jiwa manusia. Selanjutnya keyakinan tersebut diwujudkan dalam berbagai kegiatan upacara (ritus). Kegiatan yang serba religi merupakan suatu upaya untuk menjaga keharmonisan dan sekaligus berkomunikasi dengan Tuhan dan penghuni dunia gaib lainnya. Sikap ritual dalam upacara adat dapat dilihat pada maksud dan tujuannya. Pada umumnya upacara adat memandang alam, Tuhan dan menusia sebagai kesatuan ritual. Maksud dan tujuan ini dalam rangka mensyukuri karunia Tuhan yang diwujudkan dalam bentuk keberhasilan kehidupannya. Misalnya atas hasil panen yang baik, dan hasil tangkap ikan yang melimpah. Di samping itu upacara tersebut juga merupakan permohonan keselamatan kesejahteraan hidup untuk masa yang akan datang. Semua itu dapat terwujud apabila kelestarian dan keharmonisan kosmos dan segala unsur terjaga. Dalam kepercayaan orang Jawa bahwa kosmos atau alam semesta ini terdiri atas makro-kosmos dan mikro kosmos. Suatu keserasian dan keharmonisan tidak hanya diwujudkan dalam hubungan vertikal, antara manusia dengan alam semesta atau jagad gedhe, tetapi juga dalam bentuk hubungan horisontal yaitu hubungan manusia dengan manusia dalam kehidupan sosialnya. Keselarasan dalam kehidupan masyarakat akan menjamin kehidupan yang baik bagi individu. Untuk menjaga keselarasan horisontal tersebut seseorang wajib melakukan kewajiban-kewajiban

Page 9: Jurnal Widya Prabha 2014 - purbakalayogya.compurbakalayogya.com/main/fungsi/code/download.php?file=jurnal... · ... bahwa di dalam melaksanakan pembangunan harus memperhitngkan dimensi

Jurnal Widya Prabha 2014

7

Jurnal Widya Prabha 2014

sosialnya. kewajiban sosial dilakukan berdasarkan pada prinsip rukun dan hormat antara sesama warga masyarakat (Mulder,2001). Untuk menjaga hubungan serasi dan hormat baik vertikal maupun horisontal manusia melakukan upacara adat. Upacara adat merupakan sikap religius yang dilakukan menurut tata kelakukan baku. Upacara adat ini akan berlangsung berulang-ulang baik setiap hari, setiap musim panen, setiap tahun, pada hari-hari tertentu. Masing-masing upacara memiliki tata cara yang berbeda-beda di masing-masing daerah. Namun demikian secara keseluruhan dapat dilihat bahwa ada tindakan yang sama yang dilakukan meliputi berdoa, bersujud, bersaji, berkorban, makan bersama, menari dan menyanyi, berprosesi, berdrama suci, membisu, berpuasa, bertapa dan bersemedi. Selain itu terdapat komponen yang menyertai kegiatan upacara religi yaitu (Koentjaraningrat, 2006): tempat upacara, saat upacara, benda upacara, para pelaku upacara ritual. Gambaran dunia bagi masyarakat Jawa yaitu alam merupakan lingkup kehidupan sejak kecil. Irama-irama siang dan malam, musim dingin, musim kemarau menentukan kehidupan sehari-hari dan seluruh perencanaannya. Dari lingkungan sosial-budaya masyarakat belajar bahwa alam dapat mengancam, tetapi juga memberi berkah ketenangan bahwa eksistensinya tergantung dari alam. Pergulatannya dengan alam membantu orang Jawa untuk meletakkan dasar-dasar masyarakat dan kebudayaannya. Kepekaannya terhadap alam menentukan ungkapannya dalam berbagai cara, misalnya dengan upacara-upacara rakyat (Suseno, 1984). Dijelaskan bagi masyarakat Jawa, alam indrawi merupakan ungkapan alam gaib yaitu misteri berkuasa yang mengelilinginya, dari padanya ia memperoleh eksistensinya. Alam adalah ungkapan kekuasaan yang akhirnya menentukan kehidupannya. Berikut adalah contoh kasus kegiatan budaya yang dikumpulkan berdasar hasil pengamatan yang dilakukan di sejumlah tempat

(Wirasanti, 2001). Sejumlah kegiatan budaya (ritual) di berbagai tempat yang hingga kini masih berlangsung menggambarkan upaya manusia untuk selalu dekat dengan alam. Mereka meyakini keberlangsungan hidup manusia dapat langgeng apabila mampu ”berkomunikasi” yakni menghormati, menghargai dengan alam. Sonny Keraf (2002) berpendapat alam mempunyai hak untuk dihormati, tidak saja karena kehidupan manusia tergantung pada alam. Tetapi terutama karena kenyataan ontologis bahwa manusia adalah bagian integral dari alam, manusia adalah anggota komunitas ekologis. Rangkaian upacara yang dipilih sebagai pusat kegiatan biasanya memiliki arti khusus bagi masyarakat pendukungnya. Masyarakat di Dusun Gunungbang, Kecamatan Karangmojo, Gunungkidul memusatkan kegiatan di sumber air. Selain itu tempat berupa laut juga merupakan pusat kegiatan upacara ritual yang disebut dengan labuhan atau petik laut, contohnya di sepanjang pantai selatan Pulau Jawa. Berkaitan dengan hal tersebut ada salah satu tradisi yang populer di Jawa yang dilakukan saat menjelang pergantian tahun, yaitu bulan Suro (atau bertepatan dengan 1 Muharam). Masyarakat Jawa percaya bulan tersebut memiliki arti khusus, yang terlihat dari berbagai upacara ritual yang dilakukan. Tradisi turun-temurun menganjurkan bahwa bulan tersebut saat yang tepat untuk menjalankan laku prihatin. Tujuannya di masa-masa mendatang selalu dalam lindungan Tuhan Yang Maha Esa. Tradisi yang masih dilakukan di lingkungan kraton Yogyakarta, Surakarta, dan Mangkunegaran dalam menyambut tahun baru Jawa atau disebut tanggap warso tidak dengan berpesta pora, melainkan dengan berbagai laku yang bernilai keprihatinan. Malam menjelang pergantian tahun (yang bertepatan dengan 1 Muharam) masyarakat berbondong-bondong melakukan prosesi mengelilingi benteng kraton dengan membisu. Mereka merasakan saat pergantian waktu (tahun) tersebut dengan berjalan keliling dan membisu memberikan suggesti untuk bersikap prihatin dan mawas diri dalam menyongsong awal tahun.

Page 10: Jurnal Widya Prabha 2014 - purbakalayogya.compurbakalayogya.com/main/fungsi/code/download.php?file=jurnal... · ... bahwa di dalam melaksanakan pembangunan harus memperhitngkan dimensi

8

Jurnal Widya Prabha 2014Jurnal Widya Prabha 2014

Ada upacara menyambut pergantian tahun baru Jawa (Sura) atau Muharam dalam kalender Islam, ada pula upacara ritual menyambut tahun baru Syaka bagi umat Hindu. Upacara ritual menyambut tahun baru Syaka yang dikenal dengan Tawur Agung dilakukan di Dusun Ringintelu, Desa Ngadirenggo, Kecamatan Wlingi, Kabupaten Blitar. Tawur Agung yang berarti pengorbanan besar adalah upacara sakral yang berfungsi sebagai ruwatan bagi alam bumi beserta makhluknya. Upacara ini ditujukan untuk menjalin hubungan timbal balik antara manusia dengan alam lingkungan atas kesejahteraan hidup yang telah dipetik oleh manusia dari alam bumi dan sebaliknya bumi sendiri agar tidak atau jangan sampai membiaskan dampak negatip bagi manusia yang dapat menyeret ke penderitaan dan kehancuran. Upacara ini lebih cenderung difungsikan sebagai ruwatan agung. Secara tradisi upacara dilaksanakan menjelang pergantian tahun baru Syaka sehari sebelum hari raya Nyepi. Sebelum upacara Tawur Agung telah dilakukan rangkaian kegiatan beberapa hari sebelumnya. Pergantian tahun ini didasarkan pada pengalihan purnama (Bulan penuh) dan tilem (bulan mati). Artinya perayaan Nyepi dimulai setiap awal bulan kesepuluh atau sehari setelah hari tilem yaitu bulam kesembilan. Menurut perhitungan yang didasarkan pada peredaran matahari dan bulan mengelilingi bumi serta pergantian musim diperkirakan hari raya Nyepi jatuh pada bulan Maret. Tepatnya tahun 2010 Masehi ini hari raya Nyepi jatuh pada hari selasa, 16 Maret 2010. Beberapa hari sebelum acara Tawur Agung telah dimulai upacara Melasthi (sesaji untuk air/lautan) di pantai Balekambang dengan membersihkan semua peralatan upacara. Puncak acara Tawur Agung ditandai dengan pemusnahan Bhutakala (ogoh-ogoh). Arti simbolisnya yaitu figur Bhutakala identik dengan penyebab kehancuran moral manusia, selanjutnya tokoh tersebut dibakar dengan api suci hingga menjadi abu, yang pada akhirnya abu diambil segenggam untuk ditabur di masing-masing pekarangan rumah penduduk

sebagai simbol peruwat (mengelola) bumi. Tepat pada pukul 00.00 tengah malam semua warga (Hindu) di Wringintelu (Blitar-Jawa Timur) mulai melaksanakan brata penyepian. Selanjutnya terkait dengan masalah bahaya gaib yang mengancam individu dan lingkungan, masyarakat Jawa mengenal upacara pensucian. Yang dimaksud dengan upacara pensucian yaitu upacara yang ditujukan terhadap seseorang untuk membebaskan dirinya dari segala macam kutukan, fitnah, penyakit. Manusia yang terkena itu akan berakibat buruk pada lingkungan sekitarnya. Dengan kata lain manusia terkutuk selalu membuat onar sehingga suasana tidak tentram, tidak adalagi keselarasan. Upacara ritual (upacara pensucian) yang sekarang dikenal dengan nama ruwatan itu telah dikenal pada masa Jawa Kuno sekitar abad XI Masehi. Hal ini antara lain dibuktikan dengan dipahatkannya cerita Sudamala pada candi-candi abad XI Masehi sampai abad XV Masehi. Contoh-contoh candi yang memahatkan relief Sudamala adalah Candi Tigawangi, Candi Panataran, dan candi Sukuh. Adanya sejumlah candi yang menampilkan sebagian adegan dari cerita tentang ruwatan, merupakan suatu indikasi bahwa kisah tersebut populer dikalangan masyarakat pendukungnya. Kepopuleran cerita itu ditambah dengan adanya sejumlah karya sastra yang memberikan gambaran tentang kegiatan upacara pensucian. Karya sastra tersebut diantaranya adalah naskah Kakawin Sumanasantaka (XXXII 1 –18), Kakawain Kresnandaka XXV – XXVI), Kakawin Parthayadya IX 1 – 10, 1-12), dan Cerita Nawaruci. Kisah ruwatan dalam cerita Sudamala telah melalui kurun waktu berabad-abad, dihayati dan diminati oleh masyarakat dari angkatan ke angkatan. Sebagai contoh, masyarakat yang tinggal di lereng bukit Desa Jatimulyo, Girimulyo, Kab. Kulon Progo akhir-akhir ini resah dengan keadaan lingkungan tempat tinggalnya. Curah hujan yang memuncak akan memicu pergerakan tanah yang akan

Page 11: Jurnal Widya Prabha 2014 - purbakalayogya.compurbakalayogya.com/main/fungsi/code/download.php?file=jurnal... · ... bahwa di dalam melaksanakan pembangunan harus memperhitngkan dimensi

Jurnal Widya Prabha 2014

9

Jurnal Widya Prabha 2014

mendorong tanah dan perakaran pohon hingga batangnya condong. Mereka memahami kejenuhan kadar air dalam tanah akan menyebabkan longsir. Ancaman tersebut membuat warga resah. Pilihan masyarakat menghadapi situasi tersebut adalah melakukan ruwatan bumi. Mayarakat beranggapan ketenangan batin yang hendak dicarai dalam ritual ruwatan. Ketenangan jiwa akan memicu berpikir jernih dan sigap menghadapi berbagai ancaman bencana. Ritual ruwatan selalu diakhiri dengan pertunjukan wayang kulit dengan lakon Murwokolo. Sampai sekarang kisah itu masih dapat disaksikan melalui pertunjukan wayang kulit. Sebagai salah satu tradisi yang hidup di dalam tata budaya masyarakat Jawa tentunya dari cerita tersebut ada suatu simbol dari pandangan hidup Jawa yang berisi petuah yang ingin disampaikan kepada tiap-tiap generasi. Petuah tersebut bersifat didaktis filsafati. Sifat didaktis filsafati dari cerita pensucian (misalnya cerita Sudamala atau Murwokolo) yaitu tentang hakekat kehidupan di dunia yang menurut ”pengawikan kejawen ” mempunyai pengertian bahwa hidup haruslah berdasarkan apa yang dinamakan ”kebenaran”. Ada dua tingkat kebenaran yaitu kebenaran yang bersifat ketuhanan (kebenaran ilahi) yang mutlak adanya dan yang juga disebut kebenaran sejati, sedangkan yang lain disebut kebenaran manusiawi (Timoer,1990). Dijelaskan lebih lanjut sifat filsafati dari cerita tentang ruwatan tampak bahwa dalam diri manusia bermukim dua kekuatan saling berlawanan, yaitu kekuatan destruktif (nafsu rendah, angkara) yang membawa manusia menuju kepada hidup sesat, malapetaka, dan kekuatan kontruktif (budi utama, keluhuran) yang mengangkat manusia kepada kebenaran. Manusia sebagai makhluk memiliki kedua kekuatan berlawanan itu dan selalu dihadapkan kepada suatu pilihan dilematis (konflik) dengan dirinya sendiri. Dalam berebut pengaruh itu terlihat berdasarkan cerita ruwatan bahwa kekuatan destruktiflah yang agaknya jauh lebih dominan dibandingkan dengan

kekuatan yang konstruktif. Adapun usaha untuk menghindari dan menjauhkan diri dari gangguan kejahatan manusia harus belajar dan mencari ilmu tentang rahasia kehidupan dunia melalui kearifan serta kebajikan. Dari cerita-cerita tentang pensucian itulah tampak adanya cita-cita kesempurnaan hidup yang harmoni, selaras dengan alam dan lingkungannya. Artinya cerita-cerita itu mengisahkan perbuatan seseorang yang apabila berbuat kejahatan, menghina, menghasut, tidak jujur dan sebagainya pasti akan mendapatkan hukuman dari Sang Pencipta. Untuk terbebas kembali dari bebagai dosa, maka harus dilakukan upacara pensucian yaitu suatu upacara yang bertujuan membebaskan seseorang dari berbagai kesalahan, melepaskan diri dari malapetaka atau menghalau dan mengimbangi kekuatan jahat yang muncul pada saat-saat tertentu. Selain sifat didaktis filsafati dari cerita tersebut juga tampak memiliki arti berkaitan dengan moral dan religi. Nilai moral dan religi yang tampak dari cerita ruwatan tersebut adalah gambaran dunia Jawa tradisional. Maksudnya yaitu masyarakat dan alam merupakan lingkup kehidupan orang Jawa sejak kecil. Irama-irama siang dan malam, musim dingin, musim kemarau menentukan kehidupan sehari-hari dan seluruh perencanaannya. Dari lingkungan sosial masyarakat belajar bahwa alam dapat mengancam, tetapi juga memberi berkah ketenangan bahwa eksistensinya tergantung dari alam. Pergulatannya dengan alam membantu orang Jawa untuk meletakkan dasar-dasar masyarakat dan kebudayaannya. Kepekaannya terhadap alam menentukan ungkapannya dalam berbagai cara, misalnya dengan upacara-upacara rakyat (Suseno, 1984). Dijelaskan bagi masyarakat Jawa, alam indrawi merupakan ungkapan alam gaib yaitu misteri berkuasa yang mengelilinginya, dari padanya ia memperoleh eksistensinya. Alam adalah ungkapan kekuasaan yang akhirnya menentukan kehidupannya. Jadi orang Jawa menghadapi dunia sebagai tempat dimana kesejahteraannya tergantung dari apakah ia mampu untuk menyesuaikan diri dengan kekuatan yang angker itu. Terdapat hubungan yang

Page 12: Jurnal Widya Prabha 2014 - purbakalayogya.compurbakalayogya.com/main/fungsi/code/download.php?file=jurnal... · ... bahwa di dalam melaksanakan pembangunan harus memperhitngkan dimensi

10

Jurnal Widya Prabha 2014Jurnal Widya Prabha 2014

erat antara sistem sosial-budaya dan alam. Perlu ada harmoni antara dunia manusia dan dunia alam, antara dunia batin dan dunia lahir, antara makrokosmos dan mikrokosmos. Ketika harmoni ini terganggu maka akan terjadi kekacauan dan bencana. Dengan upacara dan segala perlengkapanya, maka msayarakat merasa selamat. Perasaan selamat itu berkaitan dengan terbebasnya seseorang dari kekacauan tak manusiawi yang menimbulkan malapetaka. Masalah malapetaka dikaitkan dengan kedudukan seseorang dalam keadaan bahaya disebabkan oleh karena orang tersebut berbuat salah atau bertindak melanggar norma-norma yang berlaku dalam masyarakat (Mulder,2001.,. Wirasanti,2001). Dengan selesainya pelaksanaan ritus religius yang telah dilakukan, maka memberi suatu keadaan psikis tertentu yaitu ketenangan, ketentraman, dan keseimbangan batin. Niels Mulder (2001) berpendapat bahwa masyarakat Jawa menganggap bahwa realitas tidak dibagi dalam berbagai bidang yang terpisah dan tanpa hubungan dengan satu sama lain, melainkan bahwa realitas dilihat sebagai suatu kesatuan menyeluruh. Artinya dunia masyarakat dan alam bagi orang Jawa, kodrati bukanlah bidang yang berdiri sendiri dan masing-masing mempunyai hukumnya sendiri, melainkan merupakan suatu kesatuan pengalaman. Terdapat keterkaitan antara masyarakat dan alam sekelilingnya, masyarakat yang resah akan membuat makhluk lainnya juga tidak aman. Masih terkait dengan makna ritus religius tersebut, orang Jawa beranggapan bahwa hidup manusia sebenarnya tidak sendirian, tetapi berada bersama dengan segala yang ada dijagat raya ini. Oleh karena itu ia harus menjaga keselarasan dirinya dengan segala yang ada di sekelilingnya, agar tidak mengganggu penghuni alam lainnya dan agar ia pun tidak diganggu oleh makhluk lainnya pula, termasuk oleh manusia lain yang hidup bersamanya (Herusatoto,2007). Ringkasnya pandangan hidup masyarakat Jawa Kuno selalu mengarah kepada suatu cita-cita untuk dapat hidup selaras dengan alam sekitarnya, yang dalam prakteknya diwujudkan dalam tingkah lalu atau

pergaulan yang susila. Menyitir pendapat Anton Neben dalam tulisannya

di sebuah surat kabar (Suara Pembaharuan, Desember 1999) dengan judul merayakan nilai-nilai disebutkan kebiasaan merayakan sesuatu mengasumsikan bahwa orang menaruh perhatian akan nilai-nilai yang terkandung dalam perayaan tersebut. Di tengah rutinitas hidup sehari-hari, perayaan tersebut akan membuat kegairahan hidup terbangkitkan, makna dan paradigma baru dimunculkan. Perayaan – perayaan yang kental bernuansa religius, selain mengetengahkan relasi vertikal dengan Yang Ilahi, juga relasi horisontal baik dengan diri sendiri, sesama, maupun dengan lingkungan hidup. Dalam relasi dengan diri sendirinya manusia

menyadari kenyataan bahwa ia masih diperkenankan ada, hidup dan bernafas. Sejumlah kegiatan ritual yang dilakukan merupakan bentuk tanggung jawab manusia untuk tetap menyadari bahwa alam bukan semata-mata tersedia untuk kepentingan manusia.

IV. Penutup

Keberadaan masyarakat adat beserta seluruh kekayaan dan nilai-nilai budayanya perlu diakui, dijamin, dan dilindungi kebebasannya untuk menunjukkan identitas atau menjadi diri sendiri. Hal ini wajar mengingat kearifan masyarakat lokal penuh pesan moral dan falsafah hidup yang concern terhadap alam dan lingkungan. Kearifan tersebut didasarkan pandangan yang holistik yaitu keinginan untuk terus menjalin harmoni antara manusia, alam, dan lingkungan. Citra lingkungan yang penuh dengan makna kearifan ekologis ini amat penting untuk membangun kesadaran religiusitas manusia yang berdimensi spiritual dalam upaya menjaga kelestarian daya dukung lingkungan. Dengan kata lain watak dan keutamaan yang baik dalam kehidupan manusia akan mempengaruhi tingkah laku seseorang dalam menghadapi dan mengolah lingkungan hidup di sekelilingnya.

Page 13: Jurnal Widya Prabha 2014 - purbakalayogya.compurbakalayogya.com/main/fungsi/code/download.php?file=jurnal... · ... bahwa di dalam melaksanakan pembangunan harus memperhitngkan dimensi

Jurnal Widya Prabha 2014

11

Jurnal Widya Prabha 2014

Daftar Pustaka

Elliot, Robert (ed)., 1955, Environmental Ethics, Oxford Univ,Press,

Geldern, Heine 1942, Conceptions of State and Kingship in Sout-east Asia, FEO vol 22, hlm 15-39

Herusatoto, Budiono., 2007, Simbolisme dalam Budaya Jawa, PT, Henindita, Yogyakarta.

Koentjaraningrat, 2006, Masalah-Masalah Pembangunan Masyarakat Pedesaan di Indonesia, Jakarta: LP3ES

Keraf, Sonny., 2002, Etika Lingkungan, penerbit Kompas, Jakarta

Mulder, Niels 1996, Agama Hdup sehari-hari dan Perubahan, (Jakarta, Gramedia Pustaka Utama.

Mulder., Niels (2001),Ruang Batin Masyarakat Indonesia , Yogyakarta, LKis

Sumadio, Bambang ed., 2007, Sejarah Nasional Indonesia jilid II, Jakarta: Balai Pustaka

Suhardjo, Drajad., 2004, Mengaji Ilmu Lingkungan Kraton, Yogyakarta, Safirna Insania Press.

Susilo, Eko Budi., 2003, Menuju Keselarasan Lingkungan, Averroes Perss, Malang.

Suseno, Frans Magnis 1984, Etika Jawa Sebuah analisis Filsafati Tentang Kebijakan Hidup Jawa, Jakarta :PT, Gramedia, edisi I

Suhardi 2009, Ritual : Prncaharian Jalam Keselamatan Tataran Agama dan Masyarakat Perspektif Antrolopogi, Yogayakrat :Pidato Pengukuhan Guru Besar Antropologi UGM

Timoer, Soenarto 1990, Ruwatan dipandang dari sudut filsafat, seminar ruwatan, Yogyakarta: tidak diterbitkan.

*) Sebagian materi diseminarkan dalam Forum komunikasi Lingkungan Hidup kab.Gunungkidul,2004 dan telah diperbaharui.**) Penulis adalah Dosen Jurusan Arkeologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

Wibowo, Fred., 1995, Budaya untuk Wisata atau Wisata untuk Budaya, Harian Kedaulatan Rakyat Oktober, Yogyakarta.

Wirasanti, Niken 1992, Mengamati Alam Pikir dan Praktek Keagamaan Masyarakat Jawa Kuna Melalui Relief Cerita Sri Tanjung dan Sudamala, Laporan Penelitian FIB-UGM, tidak diterbitkan.

_________, 2001, “Aspek Budaya Menyangkut Ritual”, Masyarakat Jawa dalam Keseharian, laporan Penelitian, Fak.ilmu Budaya UGM, Yogyakarta.

Wibowo, Samudra (ed), 1991, Pembangunan Berkelanjutan, Konsep dan Kasus, PT. Tiara Wacana, Yogyakarta.

The World Commission on Environment and Devolepment, 1987, Our Common Future, Oxford Univ Press, Oxford.

Peursen, Van 2005 , Strategi Kebudayaan, Yogyakarta : Yayasan Kanisius.

Page 14: Jurnal Widya Prabha 2014 - purbakalayogya.compurbakalayogya.com/main/fungsi/code/download.php?file=jurnal... · ... bahwa di dalam melaksanakan pembangunan harus memperhitngkan dimensi

12

Jurnal Widya Prabha 2014Jurnal Widya Prabha 2014

Abstract

Gunungapi Merapi sejak ratusan tahun memiliki ekosistem dan sosiosistem vulkan yang spesifik. Artinya Gunungapi Merapi sebagai sebuah heritage menyimpan potensi sumberdaya alam dan sumberdaya hayati yang menyatu dengan sosio-kultur masyarakat di sekitarnya. Dalam sejarahnya, Gunungapi Merapi terus menunjukkan aktivitas vulkaniknya. Meskipun dampak letusan berpotensi sebagai ancaman, tetapi tetap saja dalam rentang waktu yang panjang kawasan tersebut menjadi daya tarik kamunitas untuk tinggal dekat dengan Gunungapi Merapi. Masyarakat memahami sifat-watak Gunungapi Merapi, dan tanda-tanda alam dipahami masyarakat sebagai sesuatu yang sakral yaitu kekuatan-kekuatan yang berjiwa, yang harus di hormati. Sikap hormat menjadi prinsip dan panduan hidup sehari-hari dalam upaya menjaga harmoni antara manusia dan alam lingkungannya.

Potensi yang beragam menjadikan Gunungapi Merapi saat ini rentang terhadap eksploitasi oleh berbagai pihak dan pada saatnya akan memicu terjadinya degradasi lingkungan. Pilihannya adalah mengelola Gunungapi Merapi dengan semangat konservasi. Oleh karena konservasi kawasan merupakan proses publik, maka dalam pelaksanannya harus melibatkan masyarakat setempat, karena mereka memiliki pengetahuan lokal yang telah mentradisi dan terbukti mampu menjaga dan mengelola Gunungapi Merapi tetap lestari. Kata kunci : Geoheritage, persepsi, Konservasi.

I. Pendahuluan

Indonesia mempunyai deretan gunungapi aktif sebagai bagian dari “Cincin Api Pasifik” (Ring of Fire on Pasific Rims), Gunungapi Merapi yang terletak di dua wilayah (Provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta) merupakan salah satu dari gunungapi aktif dan dampak erupsinya sering mengakibatkan banyak korban baik harta benda maupun jiwa. Gunungapi Merapi memiliki potensi ancaman bencana yang rata-rata setiap 3-5 tahun sekali menunjukkan aktivitas dengan produknya berupa aliran lava, awan panas (wedhus gembel), hujan abu, dan bahaya sekunder berupa gerakan massa tanah dan banjir lahar. Produk tersebut jelas merupakan ancaman bagi jiwa manusia, dan disisi lain gunungapi Merapi menyimpan potensi semberdaya alam yang sangat dibutuhkan untuk bahan pembangunan (bahan galian tambang), pertanian-peternakan, dan sumber air untuk masyarakat setempat dan sekitarnya bahkan untuk wilayah lainnya. Oleh karena itu walaupun penduduk dibayang-bayangi oleh bencana letusan Gunungapi Merapi, tetapi tetap menjadi pilihan untuk bertempat tinggal pada di lereng kawasan Gunungapi Merapi.

Dalam sejarah kebudayaan menunjukkan kawasan Gunungapi Merapi telah menjadi hunian masyarakat dibuktikan dengan data arkeologis berupa candi yang diasumsikan bangunan tersebut milik komunitas pendukungnya untuk beribadah. Bahkan pesanggrahan-pesanggrahan masa Mataram Islam yaitu milik Kraton Surakarta dan Yogyakarta. Berdasarkan data tersebut menunjukkan bahwa Gunungapi Merapi dalam dimensi ruang dan waktu

Geoheritage Gunungapi Merapi yang Kharismatik : Masalah Persepsi dan Konservasi Ekosistem*

Oleh :Andi Sungkowo **

Page 15: Jurnal Widya Prabha 2014 - purbakalayogya.compurbakalayogya.com/main/fungsi/code/download.php?file=jurnal... · ... bahwa di dalam melaksanakan pembangunan harus memperhitngkan dimensi

Jurnal Widya Prabha 2014

13

Jurnal Widya Prabha 2014

menjadi ikon bagi masyarakat pendukungnya, meskipun kawasan tersebut dekat dengan bencana. Bukti-bukti di lapangan menunjukkan aktivitas Gunungapi Merapi mengubur hampir semua temuan purbakala yang ada dikawasan tersebut. Pada masa Mataram Islam posisi Gunungapi Merapi menjadi penting terkait dengan pembangunan keraton Yogyakarta. Kawasan Gunungapi Merapi sebagai kawasan pelestarian alam adalah sebuah langkah yang mudah dipahami oleh berbagai pihak mengingat peran pentingnya sebagai fungsi ekologis, fungsi ekonomis, dan fungsi sosial-budaya. Pada tahun 2002 menjadi pusat perhatian para pemerhati dan ahli lingkungan, juga masyarakat khususnya masyarakat yang tinggal di lereng Gunungapi Merapi, karena adanya surat keputusan dari Pemerintah (Departemen Kehutanan) yang mengeluarkan penetapan (SK No 134/MENHUT – II/2004) kawasan Gunungapi Merapi sebagai Taman Nasional Gunungapi Merapi (TNGM). Munculnya penetapan tersebut karena Gunungapi Merapi berfungsi sebagai hutan lindung, cagar alam, dan hutan wisata sehingga layak untuk dikembangkan menjadi Taman Nasional yang dalam UU Nomer 5 tahun 1990 diidentikan dengan kawasan pelestarian alam. Rencana TNGM tersebut tampaknya tidak mudah dipahami masyarakat, dibuktikan dengan bentuk penolakan terhadap rencana tersebut. Masyarakat memiliki persepsi tentang melindungi kawasan Gunungapi Merapi.

Memahami persepsi masyarakat tentang lingkungannya dan bagaimana harus mensikapi persepsi tersebut tampaknya belum populer untuk tidak mengatakan sulit. Kesulitan memahami persepsi masyarakat akan menjadi kendala dalam upaya menjadikan Gunungapi Merapi sebagai kawasan konservasi dalam wujud Taman Nasional. Terkait dengan hal itu dalam tulisan ini akan diulas bagaimana memahami geoheritage Gunungapi Merapi dan peranannya dalam upaya mengelola kawasan Gunungapi Merapi sebagai kawasan

konservasi.

II. Geoheritage Merapi

Bagi ahli vulkanologi, tulisan terkait dengan aktivitas Gunungapi Merapi sudah cukup banyak. Catatan sejarah letusan Gunungapi Merapi ditentukan berdasarkan pemetaan distribusi endapan hasil letusan, sehingga dapat disusun teprosratigrafi atau urutan perlapisan produk letusan gunung tersebut (Andreastuti, 2009). Adapun menurut Camus, dkk (2000) dalam Bahagiarti (2002) mencatat evolusi vulkanik Gunungapi Merapi menghasilkan batuan dengan karakteristik spesifik dalam setiap periodenya. Selanjutnya dijelaskan letusan periode kegiatan Gunungapi Merapi dapat dibagi menjadi empat periode, yaitu periode Pre Gunungapi Merapi menghasilkan lava; ancient Gunungapi Merapi menghasilkan lava yang membentuk gunung bibi; auto breksia lava dan endapan lahar; middle Gunungapi Merapi menghasilkan endapan lava batulawang dan gajah mungkur, lava andesitik yang tebal dipisahkan oleh sesar kukusan umur 2200 - 14.000; recent Gunungapi Merapi menghasilkan endapan lava tipis dan endapan awan panas dan lahar umurnya 1000 tahun hingga 2000 tahun; dan modern Gunungapi Merapi mempunyai kegiatan yang sangat khas yang disebut tipe Gunungapi Merapi. Di sisi lain Gunungapi Merapi menangkap, menyimpan, dan mengalirkan air bersih dalam batuannya dalam jumlah besar, membentuk sistem hidrologi yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat Gunungapi Merapi dan sekitarnya. Gunungapi Merapi merupakan gunungapi strato, mempunyai karakteristik berkaitan dengan pertumbuhan dan gugurnya kubah lava yang menghasilkan gas beracun solfatara (S2) di sekitar kepundan, juga awan panas yang oleh masyarakat disebut Wedhus Gembel (glowing cloud). Selain sifat letusan eksplosif tersebut, juga letusan effusive ditandai dengan lelehan lava pijar. Jika dimusim penghujan berpotensi terjadi lahar.

Page 16: Jurnal Widya Prabha 2014 - purbakalayogya.compurbakalayogya.com/main/fungsi/code/download.php?file=jurnal... · ... bahwa di dalam melaksanakan pembangunan harus memperhitngkan dimensi

14

Jurnal Widya Prabha 2014Jurnal Widya Prabha 2014

Banyak ahli berpendapat Gunungapi Merapi itu eksotis sekaligus memiliki karakterisik unik dibandingkan dengan gunungapi lainnya yaitu ketika aktivitasnya meningkat berupa asap yang selalu mengepul, wedhus gembelnya yang membahana, hingga lava pijarnya yang menyala. Fenomena tersebut sesungguhnya sangat indah dipandang, tetapi juga menakutkan. Karakteristik tersebut dipersepsikan masyarakat Gunungapi Merapi memiliki nilai kharismatik sehingga banyak cerita-cerita mistik, atau folklor yang kini tetap hidup dan hadir dalam kehidupan sehari-hari masyarakatnya. Berbagai fenomena terkait dengan aktivitas Gunungapi Merapi sering dipersepsikan dengan hal-hal yang sifatnya irasional. Namun dibalik ungkapan-ungkapan yang terkesan tidak logis tersimpan makna bentuk kesadaran masyarakat dalam menghayati kekuatan-kekuatan adikodrati. Sikap dan persepsi masyarakat yang menganggap Gunungapi Merapi adalah gunungapi yang berkharisma telah berlangsung lama, dibuktikan adanya peninggalan Mataram Kuna (Hindu-Buddha) dan Mataram baru (Islam) yang tersebar di lereng tengah, dan lereng bawah Gunungapi Merapi. Gunung dalam banyak kebudayaan dihayati sebagai tempat yang tinggi, tempat yang paling dekat dengan dunia atas, tempat yang tinggi disimbolkan dengan segala yang mulia dan yang menguasai sekitarnya. Para leluhur (dewata) selalu dibayangkan hidup dalam wilayah puncak-puncak gunung. Dari sumber tertulis dikisahkan para kawi mempersonifikasikan gunung untuk menggambarkan karyanya dan merasakan bahwa alam pada dasarnya bersatu dengannya (Mangunwijaya, 1995, Wirasanti, 2009). Bukti-bukti arkeologis berupa candi, prasasti, dan data toponim menunjukkan adanya sejumlah peninggalan purbakala abad VIII dan abad XVII – awal abad XVIII tersebar di lereng tengah – hingga bawah Gunungapi Merapi (Sumadio, 1984; Wirasanti, 2000, 2009). Dalam sejarahnya kawasan yang pernah menjadi wilayah kerajaan Mataram Kuna itu mengalami kehancuran akibat aktivitas vulkanik Gunungapi Merapi. Semua candi di temukan rusak dan sebagian

terbesar terpendam abu vulkanik. Masih di lereng gunungapi Gunungapi Merapi, masuk wilayah Boyolali terdapat pesanggrahan dan petilasan Paku Buwono X yaitu Pesanggrahan Pracimoharjo, petilasan Tapak Noto dan Susuh Angin. Pada masa pembangunan kraton Yogyakarta, keberadaan Gunungapi Merapi terkait dengan kosmologi Kraton, yaitu dunia ini terdiri atas lima bagian. Bagian tengah kraton Yogyakarta sebagai pusatnya, bagian utara gunungapi Gunungapi Merapi, bagian timur Gunung Semeru, bagian selatan Laut Selatan dan bagian barat di Sendang Ndlepih di Gunung Menoreh. Gunungapi Merapi memiliki potensi sumberdaya hayati dan non hayati, dan kultur misalnya hutan, sumber air, binatang, dan sejumlah petilasan, yang bagi masyarakat Gunungapi Merapi tempat-tempat tersebut dipercayai sebagai tempat-tempat yang dijaga oleh makhluk halus, sehingga terdapat sejumlah pamali yang harus dihormati. Cara masyarakat menghormati adalah mentaati pantangan untuk tidak menebang pohon, merumput, berburu, mengucapkan kata-kata kotor, mengumpat, buang air besar dan kecil di tempat-tempat yang dianggap angker. Tempat-tempat yang diangap angker, diantaranya kawah Gunungapi Merapi yang dianggap sebagai keraton makhluk halus, ke arah bawah terdapat suatu tanah lapang dengan batuan dan pasir yang dipercayai sebagai Pasar Bubrah. Selain itu terdapat Gunung Wutoh yang dianggap sebagai pintu gerbang utama Kraton Gunungapi Merapi. Cara masyarakat berinteraksi dan sekaligus menjaga harmoni dengan lingkungan Gunungapi Merapi yaitu dengan melakukan upacara adat, diantaranya Sedekah Gunung, Selamatan Ternak, Selamatan Selasa Kliwon, Selamatan Mencari orang Hilang, upacara Merawat Kali dan selamatan menghadapi Bencana Gunungapi Merapi. Manusia dalam berinteraksi dengan lingkungan akan banyak memperoleh pengalaman sehingga pada akhirnya memperoleh gambaran

Page 17: Jurnal Widya Prabha 2014 - purbakalayogya.compurbakalayogya.com/main/fungsi/code/download.php?file=jurnal... · ... bahwa di dalam melaksanakan pembangunan harus memperhitngkan dimensi

Jurnal Widya Prabha 2014

15

Jurnal Widya Prabha 2014

tentang lingkungan hidup sekelilingnya, yaitu bagaimana lingkungan berfungsi dan bagaimana berbagai fenomena alam bereaksi terhadap berbagai perubahan. Secara sosiokultural masyarakat Gunungapi Merapi khususnya di lereng selatan (Yogyakarta) mempercayai bahwa Gunungapi Merapi dan dinamikanya terkait dengan pandangan supranatural. Pandangan ini kemudian menjadi mitos yang membuat mereka terlindungi, aman, termasuk letusannya. Mitos supranatural Gunungapi Merapi tidak hanya bewujud simbol dan pandangan hidup masyarakat lokal, melainkan juga menjadi suatu keyakinan yang membangun interaksi dinamis kuat dan membentuk etos kerja (Ghazali, 2008). Masyarakat sekarang ini masih tetap menganggap bencana yang berasal dari Gunungapi Merapi disikapi oleh masyarakat sebagai takdir yang harus diterima. Kesadaran masyarakat dalam menghayati kekuatan-kekuatan adikodrati menunjukkan kesatuannya dengan tata lingkungan yang memandang individu atau komunitas sebagai bagian integral dari alam sekitarnya. Masyarakat terus menjalin dengan lingkungannya dan membentuk ikatan dan relasi dengan ekosistemnya. Sikap hormat dan menjaga hubungan baik dengan lingkungan menjadi prinsip moral yang selalu dipatuhi dan dijaga dengan berbagai ritus dan upacara religius- adat (Wirasanti, 2002). Tanda-tanda alam terkait dengan aktivitas Gunungapi Merapi merupakan pengetahuan yang mengarahkan masyarakat Gunungapi Merapi untuk bersikap tetap bertahan di lokasi tempat tinggalnya atau menjauh menghindar dari aktivitas Gunungapi Merapi. Persepsi yang sangat kuat tersebut mampu menjadi panduan kehidupan mereka secara turun temurun. Untuk itulah Gunungapi Merapi layak disebut sebagai geoheritage karena kekhasannya yang selalu menarik untuk terus dikaji dari berbagai sisi, baik dari aspek geofisik maupun dari sosiokultural masyarakatnya.

III. Memahami Persepsi Masyarakat dan Konservasi Ekosistem Gunung Merapi

Secara sosio-kultural masyarakat lereng Gunungapi Merapi memiliki sejumlah pengetahuan lokal dalam memahami berbagai fenomena alam termasuk persepsinya terhadap aktivitas Gunungapi Merapi. Tanda-tanda alam yang ditemui sehari-hari menciptakan berbagai bentuk interaksi manusia dengan alam lingkungan yang harmonis, dan merupakan pedoman hidup dan budaya yang menarik. Dari interaksinya dengan lingkungan tempat mereka hidup, menghasilkan berbagai pengalaman dan citra lingkungan hidupnya, dan memberikan serangkaian petunjuk mengenai perilaku yang akan mereka lakukan terhadap lingkungan (Sumarwoto, 1998). Persepsi masyarakat tentang aktivitas gunungapi Gunungapi Merapi dan sekaligus lingkungannya menunjukkan bahwa persepsi tersebut terikat oleh budaya (culture–bound). Artinya bagaimana kita memaknai pesan, obyek, atau lingkungan bergantung pada sistem nilai yang kita anut. Oleh karena persepsi berdasarkan budaya, maka persepsi seseorang atas lingkungannya bersifat subyektif. Semakin besar perbedaan nilai-nilai budaya antara dua pihak, semakin besar pula perbedaan persepsi mereka terhadap realitas. Tedapat unsur-unsur budaya yang mempengaruhi persepsi yakni, 1) kepercayaan (belief), nilai (values), dan sikap (attitudes), 2) pandangan dunia (worldview), 3) organisasi sosial (social oganization), 4) tabiat manusia (human nature), 5) Orientasi kegiatan (activity orientation), 6) persepsi tentang diri dan orang lain ( perseption of self and other) (Mulyana. 2009). Berdasarkan pengertian tersebut persepsi masyarakat Gunungapi Merapi dipengaruhi kepercayaan, pengetahuan dan nilai-nilai yang telah mereka kenal secara turun-temurun, semuanya tentang alam lingkungan sekitar Gunungapi Merapi. Menyadari bahwa perbedaan nilai-nilai budaya suatu masyarakat akan berbeda pula persepsinya terhadap fenomena alam dan lingkungannya. Untuk

Page 18: Jurnal Widya Prabha 2014 - purbakalayogya.compurbakalayogya.com/main/fungsi/code/download.php?file=jurnal... · ... bahwa di dalam melaksanakan pembangunan harus memperhitngkan dimensi

16

Jurnal Widya Prabha 2014Jurnal Widya Prabha 2014

itu bagi masyarakat luar yang memiliki nilai budaya berbeda dengan masyarakat Gunungapi Merapi, pasti akan kesulitan memahami kondisi realitas masyarakat Gunungapi Merapi, yang menurut mereka kurang rasional. Wajarlah kalau pada waktu muncul gagasan menjadikan Gunungapi Merapi menjadi TNGM terjadi penolakan oleh warga masyarakat Gunungapi Merapi. Penolakan masyarakat antara lain karena rencana tersebut tergesa-gesa dianggap tidak demokratis, tidak transparan, dan tidak partisipatif. Selain itu tercetus juga persepsi berupa kekhawatiran masyarakat setempat tidak dapat lagi atau dibatasi aksesnya menuju lokasi-lokasi yang biasanya menjadi ajang berkumpulnya warga dalam berbagai upacara adat, dan masyarakat petani-peternak tidak dapat merumput untuk pakan ternak. Ide membenahi, dan melestarikan ekosistem Gunungapi Merapi tentunya tidak salah, karena dilandasi spirit konservasi. Pengertian konservasi berarti menyelamatkan, melindungi, melestarikan, dan menyimpan. Dalam konteks perlindungan dan pengelolaan terhadap fungsi Gunungapi Merapi dan budaya yang berlangsung padanya dengan pendekatan konservasi, maka Gunungapi Merapi sebagai suatu ekosistem yang utuh, tentunya memiliki dinamika geofisik spasial. Jika dalam konteks ekologi bahwa salah satu sistem tidak berfungsi, maka siklus pemulihan sumberdaya hayati akan menjadi kendala. Degradasi yang terjadi pada ekosistem dan ekologi akan berujung pada bencana. Keberfungsian sistem ekosistem Gunungapi Merapi, bergantung pada daya dukung. Sebelum semuanya terlambat gagasan menjadikan Gunungapi Merapi sebagai kawasan konservasi adalah tepat, namun dalam pelaksanaannya tampaknya tidak sederhana. Silang pendapat baik yang pro maupun yang kontra terus terjadi saat ditetapkan sebagai Taman Nasional Gunungapi Merapi (TNGM), dan bukan Cagar Alam, Taman Hutan Raya, Suaka Margasatwa, atau lainnya. Bahkan ada yang mengusulkan Gunungapi Merapi menjadi Laboratorium Alam Lingkungan Hidup (Bronto, 2002).

Rencana mewujudkan Gunungapi Merapi dengan Format Taman Nasional disinyalir mengacu kesepakatan Internatonal Union for Conservation of Nature and Natural Resaurces (IUCN) 1994a, format tersebut dianggap tidak sesuai apabila diterapkan di gunungapi Gunungapi Merapi. IUCN mendefinisikan taman nasional sebagai kawasan yang dilindungi, daerah reserve alam ketat, monumen alam, daerah konservasi habitat dan margasatwa, lanskap yang dilindungi, dan area perlindungan sumberdaya. Peraturan Pemerintah Nomer 68 Tahun 1998 pasal 1 angka 6, menyebutkan kawasan Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk keperluan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Perlindungan dan pengelolaan fungsi Gunungapi Merapi perlu disesuaikan dengan kondisi komunitas lokal Gunungapi Merapi dengan memahami sumberdaya dan pengetahuan lokal masyarakat. Artinya dalam perlindungan dan pengelolaan perlu mengadaptasi pengetahuan lokal masyarakat yang selama ini memiliki ikatan batin kuat dengan alam lingkungan Gunungapi Merapi, dan ikatan batin tersebut mampu memunculkan tanggungjawab untuk menjaga Gunungapi Merapi. Masyarakat telah membuktikan melalui perilaku penuh tanggung jawab, sikap hormat dan peduli terhadap sumberdaya di sekelilingnya, dan hal itu telah menjadi prinsip yang dianut secara turun-temurun. Masyarakat meyakini perilaku yang selaras dan serasi mampu menjaga keutuhan ekosistem Gunungapi Merapi. Mudah-mudahan tidak ada peubah dari luar ekosistem Gunungapi Merapi yang mempengaruhi kondisi tersebut, berdasarkan kepentingannya.

Page 19: Jurnal Widya Prabha 2014 - purbakalayogya.compurbakalayogya.com/main/fungsi/code/download.php?file=jurnal... · ... bahwa di dalam melaksanakan pembangunan harus memperhitngkan dimensi

Jurnal Widya Prabha 2014

17

Jurnal Widya Prabha 2014

IV. Penutup

Gunungapi Merapi sebagai geoheritage memiliki ekosistem yang menyatu dengan sosiokultur masyarakatnya yang spesifik. Dalam dimensi ruang dan waktu ekosistem Gunungapi Merapi tetap menarik perhatian masyarakat untuk menjadi tempat hunian, meskipun kawasan tersebut dekat dengan ancaman aktivitas gunungapi. Catatan sejarah menujukkan sejak masa kerajaan Mataram Hindu pada abad VIII Masehi dan Kerajaan Mataram Islam (XVI Masehi) memilih ekosistem Gunungapi Merapi menjadi pilihan untuk membangun bangunan permukiman dan bangunan ritual (misalnya candi, keraton dan pesanggrahan). Hubungan antara komunitas dengan sumberdaya alam dan lingkungan yang berlangsung di Gunungapi Merapi apabila kurang memperhatikan karakteristiknya akan mengakibatkan penurunan kualitas sumberdaya dan lingkungannya. Kultur masyarakat dalam berinteraksi dengan Gunungapi Merapi terus berlangsung dan memunculkan pandangan yang sifatnya supranatural, diwujudkan dengan sejumlah cerita mistis, cerita-cerita rakyat, dan tata upacara adat dan tradisi. Gunungapi Merapi akhirnya menjadi mitos yang menurut persepsi masyarakat tetap aman dan nyaman sebagai hunian, bahkan bersahabat dengan bencana letusan Gunungapi Merapi. Pengetahuan yang menyeluruh tentang Gunungapi Merapi baik yang ilmiah (Vulkanologi) dan pengetahuan lokal yang dikonstruksi oleh komunitasnya menjadikan Gunungapi Merapi sebagai sebuah geoheritage yang terus berkharisma. Sudah seharusnya menjaga kelestarian fungsi lingkungan Gunungapi Merapi, bercermin pada perilaku arif komunitas yang hidup dan berlangsung di kawasan tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Andreastudi, SD, Stratigraphy and Geochemestry of Gunungapi Merapi Volkano, Central Java: Implikation for Assesssment of Volkanic Hazards. Ph. D University of Aukland Zealand.

Anonim, 2001, Rancangan Pengembangan Taman Nasional Gunung Gunungapi Merapi Propinsi DIY, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Prop DIY, tidak dipublikasikan.

Anonim, 2002, Sekitar Pengertian dan Persepsi Taman Nasional Gunung Gunungapi Merapi, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Prop DIY, tidak dipublikasikan.

Bahagiarti K, 2002, “Gunungapi Merapi Sebagai Sumberdaya Hidrogeologi”, harian Kedaulatan Rakyat, 28 September.

Bronto S, “Gunungapi Merapi Sebagai Laboratorium Alam Lingkungan Hidup”, Harian Kedaulatan Rakyat, 30 September 2002

Ghozali I., 2008, Pasag Gunungapi Merapi, : Kebijakan Lokal Pengelolaan Bencana; Pola Penanganan Darurat Letusan Gunungapi Merapi, Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Rais J., 2004, Menata Ruang Laut Terpadu, Jakarta; Pradnya Paramita

Setyawati K, Wiryomartono K, Willem van der Molen, 2002, Katalog Naskah Gunungapi Merapi-Merbabu, Yogyakarta : Penerbit Universitas Sanata Darma

Sumadio B, ed al, 1984, Sejarah Nasinal Jilid II, Jakarta : Penerbit Jambatan.

Sumarwoto O., 1989, Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Jakarta : Penerbit Djambatan.

Manunwijaya, 1995, Wastu Citra, Jakarta: GramediaMulyana D., 2009; Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar,

Bandung ; Remaja Rosdakarya Noordyn, 1982, Bujangga manik’ Journeys Through Java

: Topographical Data From An Old Sundanese Source, BKI S-Gravenhage – Martinus Nijhoff, Deel 138, h. 413-442

Page 20: Jurnal Widya Prabha 2014 - purbakalayogya.compurbakalayogya.com/main/fungsi/code/download.php?file=jurnal... · ... bahwa di dalam melaksanakan pembangunan harus memperhitngkan dimensi

18

Jurnal Widya Prabha 2014Jurnal Widya Prabha 2014

Wirasanti Niken., 2000, Pemanfaatan Sumberdaya Lingkungan Pada Masa Mataram Kuna abad IX-X Masehi (Studi Kasus Wilayah Prambanan dan Sekitarnya), Tesis Pascasarjana UGM.

Wirasanti Niken., 2009, “Cara Pandang Pengetahuan Lokal Masyarakat Kawasan Gunungapi Merapi Sebagai Komunitas Ekologis “, Jurnal Sejarah dan Budaya Vol IV no.7 Juni, hlm 572-583

Wiryomartono Ign. K, 1987, Arjunawiwaha, Transformasi Teks Jawa Kuna Lewat tanggapan dan Penciptaan di Lingkungan Sastra Jawa, Disertasi UGM,

Wiryomartono Ign. K, 1990, The Scriptoria in the Merbabu- Gunungapi Merapi, BKI, ‘S-Gravenhage – Martinus Nijhoff , Deel 130 h 502-509.

* Artikel ini disampaikan dalam seminar Vise Utilization of Mineral, Energy and Geoheritage for Prosperity. 3rd Indonesia-Malaysia Joint Conference, di UPN Veteran- Yogyakarta 6-8 Oktober 2010 .** Penulis adalah dosen Program Studi Teknik Lingkungan, Fakultas Teknologi Mineral, UPN “Veteran” Yogyakarta.

Page 21: Jurnal Widya Prabha 2014 - purbakalayogya.compurbakalayogya.com/main/fungsi/code/download.php?file=jurnal... · ... bahwa di dalam melaksanakan pembangunan harus memperhitngkan dimensi

Jurnal Widya Prabha 2014

19

Jurnal Widya Prabha 2014

ABSTRACT

Physically the Borobudur and Prambanan temple area and surround are included in the Temple Tourism Park (TTP). This TTP managed by PT. Taman Wisata Candi Borobudur dan Prambanan one of State-Owned Enterprises (Badan Usaha Milik Negara/BUMN), the Ministry of Tourism and Creative-Economy. However, there are some academic problems which need to be re-examined for the benefit of future professional management. Several archaeological problems that are required to re-assesment are the datas that related to stupika and tablet, remains Bodhisatwa statue, fragments of pottery and ceramics in southwest of Borobudur temple. In the Temple Tourism Park of Prambanan area, there is a concept of Mandala at Sewu temple complex. The question is, whether borders of Prambanan Temples Tourism Park is correct? Hopefully the study and reinterpretation as mentioned above will provide a “healthier” contribution to the revitalize the Borobudur and Prambanan Temples Tourism Park area.

Key words: Borobudur and Prambanan Temples Tourism Park, archaeological problems,concept of mandala, reinterpretation, revitalization.

I. PENDAHULUANKawasan percandian Borobudur dan

Prambanan serta candi – candi yang ada diantara kedua kompleks percandian tersebut sejak tahun 1991 oleh UNESCO telah ditetapkan sebagai situs cagar budaya dunia (World Heritage Site) dengan nomor : 592 th. 1991 (Candi Borobudur) dan 642 th. 1991 (Candi Prambanan). Bagi bangsa Indonesia pengakuan dunia tersebut merupakan salah satu kebanggaan yang patut disyukuri. Sebagai salah satu obyek wisata budaya berskala internasional, Taman Wisata Purbakala Candi Prambanan – Sewu ini menjadi Daerah Tujuan Wisata yang potensial bagi pemerintah maupun masyarakat.

Mengingat potensi situs cagar budaya, serta agar situs tersebut dapat dipertahankan akan pengakuan dunia internasional sebagai world heritage site, maka perlu diberikan dukungan yang dapat memperkuat kedudukannya sebagai situs cagar budaya dunia. Salah satu dukungan yang dapat diberikan adalah dukungan akademis yang terkait dengan kondisi fisik kawasan situs cagar budaya dunia kompleks percandian Prambanan – Sewu. Adapun dukungan akademis yang dimaksud ialah mencari batas – batas situs Candi Sewu berdasarkan konsep mandala yang diperkirakan belum dijadikan pertimbangan dalam menentukan kawasan cagar budaya dunia tersebut.

REINTERPRETASI DAN REVITALISASI KOMPLEKS TAMAN WISATA CANDI BOROBUDUR DAN PRAMBANAN :

“Sebuah usulan pengelolaan sumberdaya arkeologi terintegrasi”Oleh:

Gunadi Kasnowihardjo*

Page 22: Jurnal Widya Prabha 2014 - purbakalayogya.compurbakalayogya.com/main/fungsi/code/download.php?file=jurnal... · ... bahwa di dalam melaksanakan pembangunan harus memperhitngkan dimensi

20

Jurnal Widya Prabha 2014Jurnal Widya Prabha 2014

II. TAMAN WISATA CANDI BOROBUDUR

Sejak awal abad XIX AD di dalam sejarah kesenian Eropa Candi Borobudur dikenal sebagai salah satu puncak karya seni dari ajaran agama Budha Jawa. Candi yang dibangun pada abad VIII AD ini sempat beberapa abad tenggelam dan terlupakan hingga seluruh bangunannya tertutup tanah dan semak belukar. Setelah kurang lebih selama 1000 tahun yaitu pada tahun 1907 Masehi Candi Borobudur diketahui oleh Th. Van Erp seorang sarjana berkebangsaan Belanda yang waktu itu datang ke Indonesia bersama dalam kesatuan tentara kolonial. Candi Borobudur kemudian digali dan dibersihkan, di bawah kepemimpinan Van Erp inilah selanjutnya dilakukan penelitian dan pemugaran Candi Borobudur hingga tahun 1911. Kegiatan pemugaran yang dilakukan pada saat itu yang paling penting yaitu rekonstruksi lantai selasar yang telah mengalami penurunan

atau kemlesakan yang cukup siknifikan. Hingga saat ini oleh para peneliti dan pemerhati Candi Borobudur lantai tersebut dikenal sebagai “lantai Van Erp”. Sejak saat itu pula Candi Borobudur dikenal masyarakat secara luas bahkan hingga mancanegara dan bahkan dikenal sebagai salah satu dari 9 keajaiban dunia.

Perlu disadari oleh kita semua bahwa keberadaan Candi Borobudur yang terletak di wilayah Kabupaten Magelang ini tidak dapat dipisahkan dengan candi-candi dan bangunan kuna lain yang ada di sekitarnya. Demikianpula dengan masyarakat dan lingkungannya. Sebagai candi terbesar di Indonesia yang berlatar belakang agama Budha, diperkirakan candi Borobudur merupakan pusat pengembangan agama Budha di Indonesia. Oleh karena itu keberadaan candi ini tentu saja didukung oleh berbagai aktivitas termasuk didalamnya adalah berbagai fasilitas pendukungnya. Tinggalan lain seperti Candi Mendut dan Candi Pawon serta

Sumber : http://townsofusa.com

Candi Borobudur

Page 23: Jurnal Widya Prabha 2014 - purbakalayogya.compurbakalayogya.com/main/fungsi/code/download.php?file=jurnal... · ... bahwa di dalam melaksanakan pembangunan harus memperhitngkan dimensi

Jurnal Widya Prabha 2014

21

Jurnal Widya Prabha 2014

data lain seperti misalnya umpak-umpak batu yang diperkirakan bekas alas tiang bangunan profan yang digunakan sebagai tempat istirahat oleh para peziarah atau para pendeta termasuk lingkungan Borobudur yang perlu diperhatikan. Demikian pula dengan keberadaan masyarakat dan lingkungan alamnya, selama ini kurang diperhatikan oleh pengelola kawasan wisata Candi Borobudur.

Sudah lebih dari dua dasawarsa kawasan Candi Borobudur dijadikan kawasan Taman Wisata dan dikelola oleh PT. Taman Wisata Candi Borobudur & Prambanan salah satu BUMN dibawah Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Dalam pengelolaan kawasan Candi Borobudur ini ada sesuatu yang perlu saya ingatkan yaitu bergesernya konsep “Taman Purbakala” menjadi “Taman Wisata” diawali dari pergeseran konsep inilah akhirnya dikemudian hari muncul berbagai persoalan terkait dengan pengelolaannya. Memperhatikan beberapa hal seperti tersebut di atas, maka dalam pengelolaan kawasan wisata Candi Borobudur kedepan perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:

1. Secara akademis, mengembalikan “potensi” atau konteks arkeologis Candi Borobudur baik dalam skala mikro, meso ataupun makro. Dalam skala mikro misalnya beberapa data artefaktual yang ditemukan di sekitar halaman candi baik dari ekskavasi maupun survey. Konteks dalam skala meso antara lain data toponimi, sumberdaya alam sekitar, dan informasi dari berbagai referensi maupun legenda yang berkembang tentang Candi Borobudur. Sedangkan konteks dalam skala makro misalnya hubungan antara Candi Borobudur, Mendut dan Candi Pawon, serta objek-objek lain baik yang berupa artefak maupun nonartefak.

2. Apabila pertimbangan akademis ini dapat dikaji kembali, maka upaya pelestarian

pusaka budaya dan pengelolaan Candi Borobudur beserta lingkungannya akan dapat ditata kembali terutama dalam melibatkan peran serta masyarakat di sekitar kawasan Borobudur.

3. Pedagang asongan perlu disebar di beberapa titik dengan jumlah yang rasional di masing-masing titik, sehingga kondisi pedagang asongan tidak terkesan semrawut.Inilah impian saya cepat atau lambat mudah-mudahan impian ini akan menjadi kenyataan, amin.

III. TAMAN WISATA CANDI PRAMBANAN

Walaupun secara fisik kawasan percandian Prambanan – Sewu dan candi – candi yang berada diantaranya telah dikemas menjadi bagian dari Taman Wisata Candi Prambanan yang dikelola oleh PT. Taman Wisata Candi Borobudur dan Prambanan salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, akan tetapi secara akademis masih terdapat berbagai permasalahan yang perlu dikaji, diteliti, dan diluruskan demi pengelolaan di masa yang akan datang yang lebih profesional. Beberapa permasalahan arkeologis yang perlu dikaji kembali antara lain tentang konsep mandala pada kompleks Candi Sewu. Seingat penulis, yang saat itu ikut menjadi salah satu anggota tim penelitian arkeologi, konsep mandala Candi Sewu belum dijadikan pertimbangan dalam menentukan seberapa luas areal yang dibutuhkan untuk Taman Wisata Candi Prambanan. Bahkan tinggalan lain yang ditemukan saat penelitian yang merupakan data baru seperti misalnya konstruksi stupa perwara dan sisa-sisa pagar ketiga yang terletak di sebelah Timur Candi Sewu, tidak masuk dalam “perhitungan dan pertimbangan”.

Page 24: Jurnal Widya Prabha 2014 - purbakalayogya.compurbakalayogya.com/main/fungsi/code/download.php?file=jurnal... · ... bahwa di dalam melaksanakan pembangunan harus memperhitngkan dimensi

22

Jurnal Widya Prabha 2014Jurnal Widya Prabha 2014

Kata mandala adalah bahasa Sanskerta yang dalam kamus Jawa Kuna – Inggris dapat diartikan sebagai: anything round, disk, circle, orb, ring, circumference, district, teritory, province, country, multitude, collection, whole body (Zoetmulder, P.J. 1982: Hal. 1099). Secara sederhana Dr. Riboet Darmosoetopo mengartikan mandala adalah kawasan atau lingkup keagamaan yang diekspresikan secara fisik berupa bangunan – bangunan keagamaan dan dapat pula melambangkan sebuah kekuasaan (wawancara langsung dengan Dr. Riboet Darmosoetopo, 12 Mei 2010). Berdasarkan pengertian di atas, maka keberadaan Candi Gana di sebelah Timur, Candi Bubrah di Selatan, Candi Kulon (?) di Barat, dan Candi Lor di sebelah Utara diperkirakan sebagai bagian dari mandala candi Sewu. Namun demikian, dalam pengelolaan dan penataan kawasan situs cagar budaya dunia Candi Prambanan – Sewu ataupun Taman Wisata Candi Prambanan – Sewu tersebut, Candi Gana, Candi Kulon, dan Candi Lor ketiganya

“terlepas” dari konsep mandala dan dipisahkan pula oleh pagar batas Taman Wisata yang tidak memperhatikan pertimbangan-pertimbangan akademis seperti misalnya batas – batas suatu situs (Gunadi, 1996).

Dibangunnya Taman Wisata Candi Borobudur dan Prambanan yang dimulai sejak awal tahun 1980 an, dilatar belakangi oleh keberadaan tinggalan arkeologis yang ada di dua kawasan tersebut. Selain bertujuan melestarikan kawasan cagar budaya yang berskala internasional, keberadaan Taman Wisata tersebut akan menambah daya tarik wisatawan untuk berkunjung ke obyek wisata budaya ini. Hal ini dapat dibuktikan dari jumlah kunjungan wisatawan tahun 2009 baik wisatawan nusantara maupun wisatawan mancanegara yang mencapai rata – rata 76.960 orang per bulan untuk wisatawan nusantara dan 12.595 orang per bulan untuk wisatawan mancanegara. Demikian pula dalam sepuluh tahun terakhir (2000 – 2009) diketahui bahwa jumlah kunjungan di obyek wisata budaya ini cukup signifikan,

Candi Prambanan

Page 25: Jurnal Widya Prabha 2014 - purbakalayogya.compurbakalayogya.com/main/fungsi/code/download.php?file=jurnal... · ... bahwa di dalam melaksanakan pembangunan harus memperhitngkan dimensi

Jurnal Widya Prabha 2014

23

Jurnal Widya Prabha 2014

seperti terlihat pada daftar di bawah. Bahkan harapan pengelola PT. Taman Wisata Candi Borobudur dan Prambanan jumlah wisatawan di Kompleks Taman Wisata Candi Prambanan – Sewu untuk tahun 2010 mencapai 1.200.000 orang. Harapan tersebut ternyata tidak sia – sia, karena hingga minggu ke tiga bulan Desember 2010 pengunjung di obyek wisata tersebut telah mencapai 1.011.918 orang. Sehingga program “Sejuta Turis ke Prambanan” yang dicanangkan pada tahun 2010 tersebut hampir mencapai harapan (http://travel.kompas.com).

Jumlah Wis Nus dan Wis Man Th. 2000 – 2009 TAHUN WISNUS WISMAN JUMLAH2000 91.9752001 95.2872002 899.463 86.613 900.0762003 915.383 48.357 963.7402004 908.276 77.417 985.6932005 888.686 75.638 964.3242006 451.987 44.073 452.0602007 549.997 74.590 624.5872008 856.029 114.951 970.9802009 923.540 130.372

JUMLAH 8.460.460 839.273 9.299.733Sumber : PT. TWC Borobudur-Prambanan.

IV. SITUS CANDI BOROBUDUR, PRAMBANAN DAN NILAI HISTORIS- ARKEOLOGISNYA

Dua kompleks percandian Borobudur dan Prambanan yang berada di kawasan Taman Wisata, masing – masing memiliki keunikan dan nilai – nilai historis – arkeologis yang berbeda. Berdasarkan prasasti Çiwagrha yang berangka tahun 778 çaka atau tahun 856 Masehi, candi Prambanan dibangun pada masa pemerintahan Rakai Pikatan dan dilanjutkan oleh Rakai Kayuwangi. Candi Prambanan atau dikenal dengan nama Lara Jonggrang merupakan bangunan suci agama Hindu, terlihat dari ciri – ciri arsitektur, relief dan beberapa arca yang melengkapi bangunan tersebut. Kompleks Candi

Prambanan terdiri dari tiga buah candi utama, tiga buah candi wahana, dan dua buah candi apit yang semuanya berada di halaman pertama yang terletak dibagian paling dalam. Halaman kedua yang secara konsentris mengelilingi halaman pertama terdapat empat baris candi perwara dengan jumlah keseluruhannya mencapai 224 buah. Sedangkan halaman ketiga hingga saat ini batas atau pagar keliling belum ditampakkan baik oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Yogyakarta maupun saat pembangunan Taman Wisata Candi Prambanan – Sewu.

Perbedaan antara Candi Sewu dan Prambanan antara lain Candi Sewu berlatar belakang agama Budha, sedangkan arsitekturnya lebih tambun dibanding Candi Lara Jonggrang yang terlihat ramping. Ciri lain Candi Sewu atap atau kemuncak berbentuk stupa yang merupakan salah satu lambang dari agama Budha. Adapun susunan halaman sama dengan Candi Prambanan, yaitu terdiri dari tiga halaman yang konsentris. Halaman pertama ditempatkan bangunan candi utamanya yang tidak memiliki candi wahana. Halaman kedua ditemukan sejumlah candi perwara yang susunannya sama dengan candi perwara di kompleks Prambanan. Di halaman kedua sisi Timur pada tahun 1980 an pernah ditemukan sisa-sisa bangunan perwara yang diperkirakan sebagai “stupa perwara” yang mirip dengan stupa perwara yang ada di kompleks Candi Plaosan. Bangunan Candi Sewu oleh para ahli dikaitkan dengan sebuah prasasti yang ditemukan di Dusun Kelurak tidak jauh dari Prambanan.

Prasasti Kelurak atau disebut juga Prasasti Manjusrigrha merupakan prasasti batu berangka tahun 782 M yang ditemukan di Desa Kelurak, di sebelah utara Kompleks Percandian Prambanan, Jawa Tengah. Keadaan batu prasasti Kelurak sudah sangat aus, sehingga isi keseluruhannya kurang diketahui. Secara garis besar, isinya

Page 26: Jurnal Widya Prabha 2014 - purbakalayogya.compurbakalayogya.com/main/fungsi/code/download.php?file=jurnal... · ... bahwa di dalam melaksanakan pembangunan harus memperhitngkan dimensi

24

Jurnal Widya Prabha 2014Jurnal Widya Prabha 2014

adalah tentang didirikannya sebuah bangunan suci untuk arca Manjusri atas perintah Raja Indra yang bergelar Sri Sanggramadhananjaya. Menurut para ahli, yang dimaksud dengan bangunan tersebut adalah Candi Sewu, yang terletak di Kompleks Percandian Prambanan. Nama raja Indra tersebut juga ditemukan pada Prasasti Ligor dan Prasasti Nalanda peninggalan kerajaan Sriwijaya. Prasasti Kelurak ditulis dalam aksara Pranagari, dengan menggunakan bahasa Sansekerta. Prasasti ini kini disimpan dengan No. D.44 di Museum Nasional, Jakarta (http://id.wikipedia.org/wiki/Prasasti_Kelurak).

Dalam pembangunan Taman Wisata Candi Prambanan, kompleks Candi Sewu dan candi – candi lain yang terletak di antara keduanya seperti Candi Lumbung dan Candi Bubrah semuanya masuk dalam area atau kawasan taman wisata tersebut. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa pembangunan Taman Wisata Candi Borobudur dan Prambanan antara lain bertujuan untuk melestarikan tinggalan cagar budaya yang tidak ternilai harganya. Dengan demikian pengembangan kawasan dan situs cagar budaya sebagai obyek wisata tersebut tidak semata – mata mempertimbangkan faktor ekonomis, akan tetapi kepentingan ekonomis tersebut mampu mendukung upaya pelestariannya.

Selain dari pada itu, kawasan Taman Wisata Candi Prambanan – Sewu oleh UNESCO telah ditetapkan sebagai situs warisan budaya dunia atau World Heritage Site. Oleh karena status atau peringkat sebagai situs warisan dunia tersebut sewaktu – waktu dapat dicabut dari daftar UNESCO, maka perlu didukung agar pengakuan internasional tersebut dapat dijaga kontinuitasnya. Situs – situs cagar budaya yang telah diakui dan masuk dalam daftar World Heritage Sites UNESCO, oleh pemerintah termasuk kawasan strategis yang harus tetap

dipertahankan. Sehingga berbagai sektor terkait dalam program kerjanya disarankan dapat memberikan dukungan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi masing – masing lembaga. Hal ini sesuai dengan Kontrak Kinerja Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di bidang Kebudayaan dan Pariwisata.

V. PEMBAHASAN

Setidak-tidaknya ada tiga hal yang perlu dikaji untuk mendukung Kawasan Taman Wisata Candi Prambanan – Sewu baik sebagai situs cagar budaya dunia ataupun sebagai Kawasan Strategi Nasional, pertama adalah pertimbangan akademis yaitu terkait antara batas-batas situs dan areal atau kawasan taman wisata. Mengacu pada konsep mandala yang ada di kompleks Candi Sewu, ada asumsi bahwa candi tersebut dahulu di kelilingi oleh 4 buah sandi yang berada di 4 penjuru mata angin. Ke empat candi tersebut adalah Candi Bubrah di sisi Selatan, Candi Gana di Timur, Candi Lor (Candirejo) di Utara, dan Candi Kulon yang terletak di sisi Barat Candi Sewu. Di antara keempat candi tersebut hanya Candi Bubrah dan Candi Gana yang masih dapat terlihat dengan jelas. Sedangkan Candi Lor sisa-sisa batu candi sebagian digunakan oleh penduduk setempat untuk pagar dan pondasi rumah masih dapat ditelusuri. Adapun untuk memastikan keberadaan Candi Kulon perlu dilakukan penelitian lapangan, guna membuktikan asumsi di atas.

Kata mandala adalah bahasa Sanskerta berasal dari akar kata manda yang berarti inti atau pokok dan tambahan kata la yang berarti sesuatu yang ditambahkan. Konsep “tata ruang” dalam mandala bervariasi yaitu dapat diwujudkan dalam satu area (one square) yang disebut Pitha atau Upapitha, empat area (Ugrapitha), dan sembilan area atau Sthandila ( http://en.wikipediar.org /

Page 27: Jurnal Widya Prabha 2014 - purbakalayogya.compurbakalayogya.com/main/fungsi/code/download.php?file=jurnal... · ... bahwa di dalam melaksanakan pembangunan harus memperhitngkan dimensi

Jurnal Widya Prabha 2014

25

Jurnal Widya Prabha 2014

wiki/Mandala). Mengacu pada konsep mandala tersebut, maka dapat diperkirakan bahwa Candi Bubrah, Gana, Lor, dan Candi Kulon merupakan 4 area penyangga Candi Sewu. Sampai saat ini tidak seorangpun ahli arkeologi yang pernah membicarakan tentang konsep mandala Candi Sewu yang dikaitkan dengan pembangunan taman wisata tersebut. Oleh karena itu tidak mengherankan apabila selain Candi Bubrah, ketiga candi lain yang terletak di sisi Timur, Utara dan Barat tidak pernah dipertimbangkan dalam pembangunan Kawasan Taman Wisata Candi Prambanan – Sewu. Candi Bubrah sendiri karena posisinya yang terletak diantara Candi Prambanan dan Candi Sewu sehingga secara kebetulan termasuk dalam zona taman wisata.

Kedua, secara ideologis, keberadaan Candi Prambanan yang Hinduistis dan Candi Sewu yang Budhistis dalam satu lokasi yang sangat berdekatan, hal ini mensiratkan kepada generasi sekarang maupun generasi yang akan datang tentang isu – isu multikultural yang telah berkembang sejak abad IX M. Bahkan apabila kita kaji lebih tajam tentang pagar halaman ketiga masing – masing percandian Prambanan dan Sewu, kemungkinan sekali akan ditemukan data yang saling tumpang tindih antara pagar terluar kedua candi tersebut. Apabila mengacu kepada waktu pembangunannya, Candi Sewu dibangun pada tahun 782 sedangkan Candi Prambanan didirikan tahun 856, dengan demikian ada selisih waktu 74 tahun. Walaupun demikian, dapat diperkirakan bahwa pada masa pembangunan Candi Prambanan eksistensi agama Budha saat itu dapat dikatakan masih stabil sebagai agama kerajaan. Sehingga tanpa ada pemahaman dan toleransi yang tinggi dari masing – masing pemeluk agama Hindu dan Budha, niscaya kedua kompleks bangunan suci yang berbeda keyakinan tersebut dapat dibangun secara berdampingan.

Ketiga adalah pertimbangan praktis, bahwa kajian tentang Kawasan Taman Wisata Candi Pramaban – Sewu ini seperti telah disebutkan sebelumnya yaitu sebagai langkah konkrit dalam mendukung pengembangan kawasan strategis demi kepentingan pengelolaan yang lebih profesional. Agar dapat meningkatkan kualitas pengelolaan suatu kawasan strategis seperti situs – situs yang sudah ditetapkan sebagai World Heritage Site, maka perlu dilakukan kajian – kajian secara periodik, baik kajian akademis maupun pertimbangan lainnya. Sebagai aparat pemerintah yang ada di daerah dan langsung menyentuh pada tugas pokok dan fungsi lembaga, maka program seperti ini merupakan action dari sebagian kecil kontrak kinerja pemerintah.

VI. PENUTUP

Mengacu pada Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2010 – 2014, mengenai bidang sosial budaya dan kehidupan beragama, utamanya dalam kerjasama yang sinergis antar pihak terkait dalam upaya pengembangan nilai budaya, pengelolaan keragaman budaya serta perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan warisan budaya. Peraturan Presiden yang kemudian ditindaklanjuti dengan terbitnya Rencana Strategis Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata tahun 2010 – 2014 antara lain menetapkan arah kebijakan dan strategi tentang peningkatan kesadaran dan pemahaman jati diri dan karakter bangsa. Dalam rangka melaksanakan arah kebijakan Peningkatan Kesadaran dan Pemahaman Jati Diri dan Karakter Bangsa, maka strategi diarahkan dengan :

Page 28: Jurnal Widya Prabha 2014 - purbakalayogya.compurbakalayogya.com/main/fungsi/code/download.php?file=jurnal... · ... bahwa di dalam melaksanakan pembangunan harus memperhitngkan dimensi

26

Jurnal Widya Prabha 2014Jurnal Widya Prabha 2014

1) Peningkatan internalisasi nilai-nilai budaya yang mendukung pembangunan karakter dan pekerti bangsa. 2) Peningkatan revitalisasi dan reaktualisasi nilai-nilai tradisi. 3) Peningkatan pemberdayaan komunitas adat. 4) Peningkatan internalisasi kesejarahan dan wawasan kebangsaan (periksa Rencana Strategis Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata tahun 2010 – 2014, http://www.budpar.go.id/page). Atas dasar Peraturan Presiden RI Nomor 5 tahun 2010 dan Rencana Strategis Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Tahun 2010 – 2014 di atas, maka penulis sebagai peneliti di salah satu Unit Pelaksana Teknis Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata mengusulkan perlunya suatu kegiatan penelitian yang dapat dilakukan secara kolaboratif inter disipliner yang melibatkan beberapa ahli seperti arkeologi, antropologi, sejarah, dan kepariwisataan. Salah satu contoh kasus yang diusulkan dalam artikel ini ialah kawasan Taman Wisata Candi Prambanan,

yang sangat menarik untuk dilakukan kajian ulang ataupun re-interpretasi beberapa hal yang berkaitan antara luas situs dan luas taman wisata, beberapa data arkeologi baru, serta manfaat praktis yang selama ini belum banyak dilakukan. Kawasan Taman Wisata Candi Prambanan, yang di dalamnya meliputi Candi Sewu dan candi – candi lain yang berada di antaranya, setelah oleh UNESCO ditetapkan sebagai salah satu World Heritage Site, maka ada konskwensi untuk tetap menjaga dan meningkatkan kualitas situs agar dikemudian hari status sebagai warisan budaya dunia dapat terus dipertahankan. Kajian – kajian seperti disebutkan di atas dapat dilakukan secara kolaboratif dalam suatu tim penelitian yang terdiri dari berbagai disiplin ilmu antara lain arkeologi, sejarah, antropologi dan kepariwisataan. Dengan penelitian terpadu tersebut akan dapat ditemukan langkah – langkah konkrit dalam mengembangkan kawasan strategis atau situs

Kompleks Candi PrambananKompleks Candi Borobudur

Page 29: Jurnal Widya Prabha 2014 - purbakalayogya.compurbakalayogya.com/main/fungsi/code/download.php?file=jurnal... · ... bahwa di dalam melaksanakan pembangunan harus memperhitngkan dimensi

Jurnal Widya Prabha 2014

27

Jurnal Widya Prabha 2014

– situs cagar budaya yang telah ditetapkan sebagai World Heritage Site. Selanjutnya model penelitian seperti ini akan dapat diterapkan pada situs – situs yang lain. Masih banyak situs – situs arkeologi yang dalam pengelolaannya belum dilakukan secara sinergis antara bidang penelitian, pelestarian, dan pemanfaatan (Kasnowihardjo, 2001 dan 2004). Terutama situs – situs yang telah dimanfaatkan oleh masyarakat baik untuk kepentingan pariwisata maupun ilmu pengetahuan.

* Penulis adalah staff Balai Arkeologi Daerah Istimewa Yogyakarta. ([email protected])

Daftar Pustaka

Boechari, 1978. “Bahan Kajian Arkeologi Untuk Pengajaran Sejarah”, Majalah Arkeologi, Th. II. No. 1. Sept. 1978, hal. 3 – 26. Fakultas Sastra, Universitas Indonesia, Jakarta.

Endraswara, Suwardi. 2006. Metodologi Penelitian Kebudayaan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Gibbon, Guy, 1984. Anthropological Archaeology, Columbia University Press, New York.

Gunadi, 1996. “Pengertian Situs dan Batas – Batas Situs”, Pertemuan Ilmiah Arkeologi ke VII, Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI), Cipanas, Jawa Barat.

Kasnowihardjo, Gunadi. 2001. Manajemen Sumberdaya Arkeologi, pengantar Prof. Dr. Edi Sedyawati, Penerbit LEPHAS, Universitas Hasanuddin, Makassar. ISBN 979-530-035-0.

Kasnowihardjo, Gunadi. 2004. Manajemen Sumberdaya Arkeologi-2, Pengantar Prof. Dr. Sumijati Atmosudiro, diterbitkan oleh Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia, Komda Kalimantan, ISBN 979-98450-1-7.

Liebert, Gosta. 1976. Iconographic Dictionary Of The Indian Religions, E.J. Brill, Leiden.

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2010 – 2014, BAPPENAS.

Rencana Strategis Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Tahun 2010 – 2014, http://www.budpar.go.id

Sutopo, H. B. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif, Dasar teori dan terapannya dalam penelitian, Sebelas Maret University Press, Surakarta.

Page 30: Jurnal Widya Prabha 2014 - purbakalayogya.compurbakalayogya.com/main/fungsi/code/download.php?file=jurnal... · ... bahwa di dalam melaksanakan pembangunan harus memperhitngkan dimensi

28

Jurnal Widya Prabha 2014Jurnal Widya Prabha 2014

Zoetmulder, P.J. 1982. Old Javanese – English Dictionary, Koninklijk Instituut voor Taal, Land En Volkenkunde, s’Gravenhage Martinus Nijhoff.

http://travel.kompas.com “Sejuta Turis ke Prambanan”.

http://id.wikipedia.org/wiki/Prasasti_Kelurakhttp://en.wikipediar.org /wiki/Mandala

Page 31: Jurnal Widya Prabha 2014 - purbakalayogya.compurbakalayogya.com/main/fungsi/code/download.php?file=jurnal... · ... bahwa di dalam melaksanakan pembangunan harus memperhitngkan dimensi

Jurnal Widya Prabha 2014

29

Jurnal Widya Prabha 2014

I. Pengantar

Komunikasi antara orang-orang Eropa dan khususnya kumpeni dagang dengan Kerajaan Mataram terutama sejak era Kartasura semakin intensif. Kondisi itu terus berlanjut dan semakin meningkat seiring dengan dinamika sosial politik kerajaan. Artinya, bahwa setiap momentum politik tertentu di kerajaan ada koherensi hubungan dengan kumpeni. Demikian juga pada pasca Perjanjian Giyanti 1755 M, komunitas orang-orang Eropa di Kasultanan Yogyakarta juga sudah ada sejak masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono I. Hal ini dapat dibuktikan dengan eksisnya berbagai fasilitas kantor residen atau pun lembaga-lembaga (sipil dan militer), prasarana umum, dan berbagai tempat usaha swasta. Berbagai fasilitas yang berkembang itu menunjukkan bahwa hubungan antara pribumi dengan Eropa sudah terjalin lama.

Keberadaan berbagai fasilitas publik pemerintahan dan swasta antara lain: Kantor Residen atau Gedung Gubernuran (sekarang Gedung Agung) 1824 M, Benteng Vredeburg (benteng perdamaian) dahulu bernama Rustenberg (1778 M), Loji Kecil, dan Societeit De Vereneging (1822 M), Societeit Militer, Javasche Bank, Kantor Pos, serta tempat-tempat usaha swasta baik di perkotaan maupun di pedesaan. Hal itu menunjukkan adanya intensitas tingggi adanya penetrasi orang-orang Eropa. Komunitas orang-orang Eropa tersebut mengalami perkembangan pesat pada masa Kasultanan Yogyakarta berada di bawah

pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VII (1877 – 1921 M). Menurut data dari Europeans, 1921 M tahun 1905 M jumlah penduduk Eropa 1.477 jiwa, sedangkan sumber yang lain yaitu Bevolking Solo en Djokja 1893, penduduk Eropa di Yogyakarta pada tahun 1893 M ada 1849 jiwa. Pesatnya perkembangan tersebut, khususnya untuk orang-orang Belanda, berkaitan erat dengan tumbuh dan berkembangnya lembaga-lembaga swasta, antara lain: pabrik, asuransi, perbankan, pendidikan, kesehatan, bar dan perhotelan. Disamping itu, pada abad ke-19 sampai dengan awal abad ke-20 kemudian tumbuh fasilitas-fasilitas untuk sarana religius untuk beribadat, antara lain: Gereja Protestan (Jl. Margamulya depan Pasar Beringharjo) dan Gereja Kidul Loji Jl. Secodiningratan. Para awal abad ke-20 wilayah hunian berkembang, tidak hanya berada di sekitar pusat kota tetapi kemudian bergeser ke arah utara Jetis, timur (Bintaran dan Baciro), dan timur laut (Kota Baru).

II. Eksistensi Awal Kawasan Kota Baru Munculnya ide awal perluasan hunian orang-orang Eropa di Yogyakarta pada dasarnya disebabkan adanya peningkatan kebutuhan lahan untuk orang Belanda. Di Kota Yogyakarta pada masa Residen Cornelis Canne tahun 1917 M terjadi perluasan personel untuk kepentingan pengawasan pajak, kehakiman dan pendidikan. Di samping itu, juga merupakan konsekuensi logis adanya perkembangan lembaga-lembaga swasta, antara lain: administratur pabrik-

KOTA BARU YOGYAKARTA : CITRA KAWASAN DAN UPAYA PENGENDALIANNYA

Oleh Sri Suharini, SS dan Drs. Ign. Eka Hadiyanta, MA.*

Page 32: Jurnal Widya Prabha 2014 - purbakalayogya.compurbakalayogya.com/main/fungsi/code/download.php?file=jurnal... · ... bahwa di dalam melaksanakan pembangunan harus memperhitngkan dimensi

30

Jurnal Widya Prabha 2014Jurnal Widya Prabha 2014

pabrik gula 17 lokasi, karyawan Asuransi Nv Levensverzekering Mij “Milmij van 1859” cabang Yogyakarta (kantornya sekarang untuk Bank BNI), dan profesi kesehatan. Untuk itu kemudian bekerjasama dengan Departemen Pekerjaan Umum (Burgelijk van Openbare Werken) mengadakaan perencanaan untuk memenuhi kebutuhan ruang. Untuk kepentingan perluasan lahan tersebut, maka Residen Canne kemudian mengajukan permohonan kepada Sri Sultan Hamengku Buwono VII untuk dapat menyediakan tempat khusus bagi orang-orang Eropa, sebagian besar di sebelah timur Sungai Code.

Pengaturan pelaksanaan pembuatan hunian baru tersebut diatur dalam Rijksblad van Sultanaat Djogjakarta No. 12 tahun 1917. Isi Rijksblad, antara lain: mengatur pemberian lahan beserta adanya wewenang supaya didirikan bangunan, jalan, taman, perawatan (diatur oleh kasultanan), sedangkan penggunaan tanah diatur oleh komisi pengguna tanah (Comissie van Grondbedrij) dengan anggota yang ditentukan oleh Sultan dan Residen. Sebagai pelaksana proyek pembuatan kawasan adalah Departemen van Sultanaat Werken, sebagai ketua yaitu Ir. L.V.R. Bijleveld (Gegeven, 1926 A., Reza Hudiyanto, 1997). Proyek kawasan Kota Baru mulai dikerjakan pada tahun 1917 M, yaitu dengan beaya awal sejumlah F. 170.000,- untuk mendapatkan lahan dan pembuatan jalan serta assenering sejumlah f. 35.000 dan f. 89.000,- (Reza Hudiyanto, 1997). Proses pembangunan hunian atau perumahan di kawasan itu dilaksanakan sampai dengan awal tahun 1920-an. Menurut data artefaktual yang masih ada sebagai salah satu perancang pembangunan di kawasan Kota Baru, yaitu, Arch. En. Ings. Bur. Fermont- Cuyper. Berdasarkan data-data yang ada konsultan perencana tersebut juga merancang bangunan di wilayah Purworejo, Jawa tengah.

Di dalam Kawasan Kota Baru disamping diperuntukkan untuk hunian, juga ada fasilitas-fasilitas pendukung lainnya, yaitu fasilitas religius (Gereja Katholik Santo Antonius dan Gereja Protestan), kesehatan, olah raga (Stadion Bijleveld sekarang Kridosono dan Kolam Renang), serta sarana pendidikan (HIS, Mulo, AMS) (Sri Sutjiatiningsih dan Sutrisno Kutoyo, 1980). Antara kawasan tersebut di atas dengan pusat kota dihubungkan dengan akses jaringan jalan yang melintas Sungai Code (Boulevard Jonquiere / sekarang Jalan Abu Bakar Ali) dan sampai jalan poros Tugu - Keraton. Perlu diketahui, bahwa jembatan di atas Sungai Code dan jaringan jalan tersebut selesai dibuat pada tahun 1924 M. Oleh masyarakat luas sekarang jembatan itu dikenal dengan nama “jembatan Kewek” atau dari asal kata “kerkweg” yaitu jalan menuju Gereja Santo Antonius.

Pada masa pendudukan Jepang, kawasan tersebut diambil alih untuk kepentingan tentara Jepang, baik untuk perkantoran, perumahan, tangsi, gudang dll. Perlu diketahui, bahwa salah seorang perwira tentara Jepang, yaitu Butaico Mayor Otsuka menempati rumah bekas karyawan Nilmij (Sekarang kantor Asuransi Jiwasraya Yogyakarta). Rumah Otsuka mempunyai nilai sejarah tinggi mengingat pada saat itu sebagai tempat perundingan pelucutan senjata tentara Jepang oleh Pejuang Republik Indonesia. Perundingan gagal dan kemudian terjadi pertempuran untuk mengambil alih senjata secara paksa. Oleh karena itu, pada masa awal kemerdekaan (6-7 Oktober 1945) tempat tersebut sebagai salah satu tempat kancah perjuangan perebutan senjata melawan tentara Jepang (dikenal dengan nama Pertempuran Kota Baru). Disamping itu, pada waktu Yogyakarta menjadi Ibu Kota Republik Indonesia mulai 4 Januari 1946 M sampai dengan 1949 M, ada beberapa bangunan di kawasan tersebut yang dipergunakan untuk kepentingan pemerintah

Page 33: Jurnal Widya Prabha 2014 - purbakalayogya.compurbakalayogya.com/main/fungsi/code/download.php?file=jurnal... · ... bahwa di dalam melaksanakan pembangunan harus memperhitngkan dimensi

Jurnal Widya Prabha 2014

31

Jurnal Widya Prabha 2014

pusat. Bangunan tersebut antara lain: Gedung seminari Santo Ignatius untuk Kementrian Pertahanan, Christelijke MULO (SMU BOPKRI I) untuk Militer Akademi, Muskala Dikbud untuk Kementrian Luar Negeri dan Kementrian P dan P, Kantor Transmigrasi Kota Yogyakarta untuk rumah Let. Jend. Urip Soemohardjo dan route akhir Pangsar Sudirman serta salah satu perumahan Jiwasraya untuk kantor Intelijen.

III. Citra Kawasan Kota Baru

Di dalam perspektif arsitektural pada dasarnya suatu lingkungan binaan dibuat untuk memenuhi kebutuhan hidup atau mewadahi berbagai aktivitas, baik melakukan kegiatan sosial, budaya, politik, berusaha, maupun bertempat tinggal. Dilihat dari kelengkapan fisik, sarana dan prasarannya kawasan Kota Baru dibuat inheren dengan rancangan sebagaimana fungsi yang menjadi peruntukannya, yaitu hunian yang mempunyai ciri-ciri “layaknya sebuah kota”. Kawasan Kota Baru tersebut dibuat dengan kelengkapan fasilitas sebagaimana suatu “kota”. Perlu diketahui, bahwa konsep rancangan kota baru diperkenalkan pertama kali oleh Sir Elbenezer Howard di dalam buku klasiknya Garden Cities of Tomorrow, 1898). Gagasan ini dimaksudkan untuk mengatasi keruwetan dan kesumpekan kota serta upaya pemekaran perkotaan (urban sprawl) (Eko Budihardjo, 1977).

Di dalam konteks kehidupan masyarakat urban saat ini kawasan Kota Baru tersebut mempunyai komponen-komponen yang ditengarai dapat membentuk suatu nilai atau makna lingkungannya. Komponen-komponen tersebut menurut Lynch (1960) ada 5 (lima) katagori, antara lain: pertama: jejalur (paths), bahwa jalur-jalur di kawasan Kota Baru ditata rapi, hal itu sebagai sarana sirkulasi transportasi, baik

untuk fasilitas di dalam kawasan maupun ke luar kawasan, antara lain: Jl. Abu Bakar Ali (Boulevard Jonquiere), Jl. Atmo Sukarto (Emplacementweg), Jl. Faridan M. Noto (Sultanboulevard), dan Jl. Lempuyangan (Stationsweg). Kedua batas (edges), batas-batas fisik kawasan Kota Baru, yaitu Sungai Code (barat), Jl. Jend. Sudirman (utara), jalur kereta api Lempuyangan (selatan). Dan Jl. Wahidin Sudiro Husodo / Klitren (timur). Ketiga: Segmen kawasan (distric), bagian suatu kawasan yang mempunyai ciri tertentu yaitu Kridosono (sekitar Sport-boulevard), Bethesda. Keempat: Simpul (nodes), simpul merupakan bertemunya beberapa jalur jalan, antara lain: Pertigaan Abu Bakar Ali - Kleringan, perempatan Gondokusuman (Museum Angkatan Darat - Gramedia), Gondolayu (Tuguwetan), Klitren, Jl. Kridosono (Sportboulevard) dan Lempuyangan. Kelima: land mark, yaitu tanda-tanda fisik yang menonjol atau tengeran di kawasan Kota Baru, antara lain: Gereja Santo Antonius, Seminari Tinggi atau Kateketik, Stadion Kridosono, SMAN 3, BOPKRI I, RS. DKT, dan RS. Bethesda.

Ciri-ciri tersebut di atas yang membedakan dengan kawasan hunian Belanda lainnya, baik di Bintaran maupun Jetis. Hunian Belanda di Bintaran dan Jetis tersebut kelengkapan dan fasilitasnya tidak selengkap sebagaimana yang ada di kawasan Kota Baru. Dilihat dari beberapa tinggalan dan komponennya, maka rancangan kawasan tersebut sangat rapi dengan pemanfaatan ruang yang teratur. Tata ruang kawasannya dibuat seperti yang ada di Belanda, yaitu tidak berorientasi arah utara-selatan, seperti halnya konsep tata ruang tradisional (Sumulyo, 1993: 4). Di samping itu, gaya atau style bangunan yang ada di kawasan itu bergaya indis, yaitu perpaduan antara arsitektur lokal dengan Belanda atau Eropa pada umumnya. Perlu diketahui, bahwa ciri-ciri yang dominan pada bangunan di Kota Baru, antara lain bangunan tinggi, besar, halaman luas,

Page 34: Jurnal Widya Prabha 2014 - purbakalayogya.compurbakalayogya.com/main/fungsi/code/download.php?file=jurnal... · ... bahwa di dalam melaksanakan pembangunan harus memperhitngkan dimensi

32

Jurnal Widya Prabha 2014Jurnal Widya Prabha 2014

jendela-pintu berukuran panjang besar, variasi daun pintu rangkap dengan model krepyak, langit-langit tinggi, jendela atap, hiasan kaca, teras terbuka, dan ukuran kamar besar. Ciri-ciri dan lambang pada bangunan tersebut berbeda dengan yang ada pada bangunan masyarakat pribumi, hal ini tentunya mempunyai koherensi dengan refleksi orang Eropa yang mempunyai latar belakang budaya yang berbeda dengan pribumi. Dalam perspektif penguasa atau kaum colonial, hal itu untuk menunjukkan gaya hidupnya sebagai golongan yang berkuasa (Djoko Soekiman, 1996). Atas dasar citra kawasan dan nilai penting Cagar Budaya, maka Kota Baru oleh Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta termasuk di dalam salah satu kawasan di Kota Yogyakarta yang telah ditetapkan sebagai Kawasan Cagar Budaya dengan SK No. 186/ 2011, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta. Berdasarkan kawasan itu maka setiap perencanaan pembangunan, rehabilitasi, dan pemugaran oleh masyarakat maupun lembaga harus memenuhi ketentuan sesuai peraturan perundangan yang berlaku (Undang-undang No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya dan Peraturan Daerah No. 6 Tahun 2012 tentang Pelestarian Warisan Budaya dan Cagar Budaya beserta Peraturan Gubernur yang terkait (Pergub No. 62 / 2013 tentang Pelestarian Cagar Budaya, Pergub No. 55 / 2014 tentang Pengelolaan Cagar Budaya, dan Pergub No. 56 / 2014 tentang Penghargaan Pelestari Warisan Budaya dan Cagar Budaya.

IV. Kemerosotan Citra KawasanKondisi saat ini kawasan Kota Baru

merupakan tempat yang mempunyai daya tarik, bagi berbagai kepentingan. Faktor penarik dan pendorongnya, yaitu letak strategis kawasan dekat dengan beberapa perguruan tinggi fasilitas penting kota, dan kawasan pertokoan di Jl. Jend. Sudirman, Jl. Urip Soemohardjo, dan tidak jauh

dari Jl. Poros Tugu-Malioboro-Keraton. Kondisi tersebut menjadikan kawasan ini mengalami perkembangan pesat, akibatnya memunculkan proses pergeseran penggunaan kawasan, yaitu yang semula sebagai kawasan hunian dengan berbagai fasilitasnya kemudian didominasi banyaknya tempat-tempat usaha baru, lembaga pendidikan, kantor dll. Kondisi tersebut menjadi pemicu tumbuh kembangnya penciptaan tata ruang kontemporer berdasarkan selera pemilik dan orientasi kebutuhan alih fungsi. Dengan demikian, kawasan yang masuk katagori Kawasan Cagar Budaya tersebut kemudian tumbuh dan berkembang sebagaimana mekanisme pasar, yaitu sesuai trend dan kebutuhan masyarakat serta lingkungannya. Akibatnya adanya tantangan kontemporer tersebut yang paling terasa adalah semakin lama adanya kemerosotan citra kawasan dan corak bangunan indis berubah secara cepat. Bahkan banyak bangunan yang dibongkar serta tumbuh kembangnya “wajah asing” fasad bangunan yang kontradiktif dengan lingkungannya. Hal itu banyak terlihat di Jl. Abu Bakar Ali selatan jalan, Jl. Yos Sudarso, Jl. Suroto, Jl. Hadi Darsono, Jl. Wardhani, Jl. Faridan M. Noto, Jl. Nyoman Oka dan Jl. Jend Sudirman. Kecenderungan tersebut kalau tidak terkendali menjadikan hambatan dan tantangan upaya konservasi atau pelestarian, untuk ke depan memerlukan langkah nyata sebagai solusi problema yang berkembang.

Peruabahan di Kota Baru terus berlangsung berdasarkan identifikasi pendataan yang dilakukan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Yogyakarta (sekarang BPCB) tahun 2008 atau pencermatan kondisi bangunan dapat dibedakan menjadi beberapa katagori yaitu:

A. Bangunan masih autentik atau asli (38 %).

B. Bangunan autentik dengan perubahan minimal (18 %).

Page 35: Jurnal Widya Prabha 2014 - purbakalayogya.compurbakalayogya.com/main/fungsi/code/download.php?file=jurnal... · ... bahwa di dalam melaksanakan pembangunan harus memperhitngkan dimensi

Jurnal Widya Prabha 2014

33

Jurnal Widya Prabha 2014

C. Bangunan autentik dengan perubahan bagian fasad (12 %).

D. Bangunan sudah berubah total atau baru (32 %).

Berdasarkan data tersebut lebih dari 40 % bangunan di Kota Baru mengalami perubahan dan kondisi itu mendorong kearah kemerosotan citra kawasan. Apabila tidak dilakukan langkah-langkah konkrit maka kecenderungan itu akan semakin terus berkembang, dan tidak terkontrol.

V. Konklusi: Upaya Pengendalian Kawasan

Secara keseluruhan kondisi tersebut memerlukan langkah-langkah antisipasi dan pengelolaan agar tidak menjadikan kecenderungan semakin berlanjut, antara lain, pertama, kepastian peruntukan tata ruang yang mengarah pada upaya-upaya pelestarian kawasan. Hal itu harus diikuti dengan peraturan perijinan bangunan yang selektif. Kedua , regulasi di tingkat daerah, baik SK Gubernur, ataupun Perda pelindungan kawasan cagar budaya yang mengikat. Surat Keputusan tentang Penetapan Kawasan Cagar Budaya Kota Baru tentu harus dipandang sebagai salah satu upaya pengendalian kerusakan lingkungan budaya. Ketiga, memberikan panduan teknis tentang pelaksanaan rehabiliasi, revitalisasi, dan adaptasi bangunan. Keempat, penerapan reward-punishment, insentif-disinsentif, sanksi - kompensasi maupun penghargaan di dalam kawasan cagar budaya. Contoh: reward dapat berupa pemberian penghargaan sertifikat, plakat, kompensasi langsung dan keringanan pajak (PBB) maupun fasilitas lainnya. Disisi lain perlu adanya punishment (hukuman) yang berupa penegakan hukum sesuai aturan yang berlaku bagi yang melanggar atau bahkan melakukan

tindakan pidana. Kelima, akuisisi public (publik acquisition) oleh pemerintah secara selektif. Keenam, penanganan secara lintas sektoral dan konprehensif serta sistematis, terutama dalam rekomendasi perijinan proses rehabiliasi. Ketujuh, revitalisasi kawasan dalam rangka mewujudkan kembali vitalitas kawasan di dalam pengembangan potensi, baik sosial-budaya, ekonomi dukungan utilitas dan pemanfaatan serta pengembangan lainnya sampai tercapai tujuan pelestariannya. Kedelapan, mengakomodasi partisipasi masyarakat, serta berkolaborasi dengan berbagai pihak terkait (stake holders), baik kalangan akademik, masyarakat, dan pemerintah (pemerintah daerah dan pusat). Perlu disadari, bahwa segala sesuatu itu tentu akan “berproses dan berubah”, oleh karena itu perubahan dengan berbagai permasalahannya perlu diantisipasi. Langkah-langkah upaya pelestarian diperlukan agar keberadaan kawasan dapat berproses, berkembang, mengalami perubahan secara alami, tidak tercerabut dari konteks lingkungan, kharakter, dan identitasnya (keunikan budaya dan citra kawasan indis). Untuk hal ini dapat membendingkan dengan kawasan-kawasan indis di kota-kota lainnya, seperti kawasan Menteng Jakarta, “little Netherland,” Semarang, dan Bandung. Perubahan frontal atau drastis akan menjadikan rusaknya lingkungan budaya, sehingga akan menjadikan kawassan budaya tercerabut dari konteks lingkungannya. Terjadinya bunuh diri arsitektural harus dicegah agar kharakter dan identitas, dan autentisitas kota bahkan bangsa secara keseluruhan tidak hilang. “Keutuhan autentisitas” akan menjadi modal sosial – budaya untuk upaya reproduksi nilai-nilai penting bagi proses kehidupan.

Page 36: Jurnal Widya Prabha 2014 - purbakalayogya.compurbakalayogya.com/main/fungsi/code/download.php?file=jurnal... · ... bahwa di dalam melaksanakan pembangunan harus memperhitngkan dimensi

34

Jurnal Widya Prabha 2014Jurnal Widya Prabha 2014

Kantor RRI (Jl. A. Jazuli No. 4)Bangunan asli masih dipertahankan, pada sisi utara ada tambahan bangunan baru. Dahulu bangunan

ini merupakan rumah tinggal Dr. Yap

Foto bangunan dan peta kawasan Kotabaru

Wisma Anggaran (Jl. A. Jazuli No. 6)Bangunan masih asli/otentik, ada tambahan

pada sisi timur.

Gereja Santo Antonius (Jl. I.D.N. Oka. no. 1)Bangunan induk masih asli, pada bagian depan ada tambahan penutup teras dari beton. Pada sisi Utara

dan Selatan ada tambahan gedung baru.

Jl. Abu Bakar Ali No. 24Bangunan asli, mempunyai hiasan menarik berupa

pola-pola geometris di bawah atap. Bangunan tamba-han di sebelah Barat bangunan utama

Gardu listrik (ANIEM) Jl. Ungaran No. 91.terletak di persimpan-gan jalan, bangunan masih asli meskipun dipenuhi dengan graffiti

Page 37: Jurnal Widya Prabha 2014 - purbakalayogya.compurbakalayogya.com/main/fungsi/code/download.php?file=jurnal... · ... bahwa di dalam melaksanakan pembangunan harus memperhitngkan dimensi

Jurnal Widya Prabha 2014

35

Jurnal Widya Prabha 2014

Kolese St. Ignatius (Jl. Abu Bakar Ali No. 1)Bangunan asli, namun ada tambahan kanopi pada pintu masuk. Bangunan ini pernah digunakan sebagai kantor

Kementerian Pertahanan.

Kantor Majalah Fresh (Jl. I.D.N. Oka No. 7)Bangunan utama asli, teras diberi atap, daun pintu baru.Bangunan tambahan disebelah Selatan bangunan utama

Jl. Sunaryo No. 1Bangunan masih asli hanya terdapat

tambahan atap teras

Kantor harian Republika (Jl. Perahu No. 4)Saat ini merupakan kantor harian Republika. Pada

bagian belakang masih asli, namun fasadnya sudah tertutup bangunan baru.

STEI Islamic Business School (Jl. I.D.N. Oka No. 3A)

Atap masih asli, namun ada bangunan tambahan di seputarnya sehingga menutup bangunan asli

Impressions Body Care (Jl. I.D.N. Oka No. 5)Kondisi bangunan telah mengalami perubahan tetapi

arsitektur bangunan disesuaikan dengan bangunan lama. (bangunan lama dan baru digabung menjadi 1)

Page 38: Jurnal Widya Prabha 2014 - purbakalayogya.compurbakalayogya.com/main/fungsi/code/download.php?file=jurnal... · ... bahwa di dalam melaksanakan pembangunan harus memperhitngkan dimensi

36

Jurnal Widya Prabha 2014Jurnal Widya Prabha 2014

Gedung Bimo (Jl. I.D.N. Oka No.30)Bangunan baru, 2 lantai

Lab. Pusat IST AKPRIND (Jl. I.D.N. Oka No.32)Bangunan baru, 2 lantai

Kantor UPT Perpustakaan Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta (Jl. Suroto No. 9)

Bangunan baru, 2 lantai.

Jl. I.D.N. Oka No. 13.Di lokasi ini dahulu merupakan bangunan museum OD yang bangunannya Berarsitektur indis. Bangunan terse-

but kemudian diganti dengan Masjid Syuhada. Masjid ini merupakan bangunan monumen

peringatan untuk penghormatan korban peristiwa pertempuran Kotabaru 7-10-1945.

Toko Buku Gramedia (Jl. Krasak No. 54)Bangunan baru

kantor Bank Lippo (Jl. Krasak No. 50)Bangunan baru

Page 39: Jurnal Widya Prabha 2014 - purbakalayogya.compurbakalayogya.com/main/fungsi/code/download.php?file=jurnal... · ... bahwa di dalam melaksanakan pembangunan harus memperhitngkan dimensi

Jurnal Widya Prabha 2014

37

Jurnal Widya Prabha 2014

Page 40: Jurnal Widya Prabha 2014 - purbakalayogya.compurbakalayogya.com/main/fungsi/code/download.php?file=jurnal... · ... bahwa di dalam melaksanakan pembangunan harus memperhitngkan dimensi

38

Jurnal Widya Prabha 2014Jurnal Widya Prabha 2014

Page 41: Jurnal Widya Prabha 2014 - purbakalayogya.compurbakalayogya.com/main/fungsi/code/download.php?file=jurnal... · ... bahwa di dalam melaksanakan pembangunan harus memperhitngkan dimensi

Jurnal Widya Prabha 2014

39

Jurnal Widya Prabha 2014

Page 42: Jurnal Widya Prabha 2014 - purbakalayogya.compurbakalayogya.com/main/fungsi/code/download.php?file=jurnal... · ... bahwa di dalam melaksanakan pembangunan harus memperhitngkan dimensi

40

Jurnal Widya Prabha 2014Jurnal Widya Prabha 2014

Page 43: Jurnal Widya Prabha 2014 - purbakalayogya.compurbakalayogya.com/main/fungsi/code/download.php?file=jurnal... · ... bahwa di dalam melaksanakan pembangunan harus memperhitngkan dimensi

Jurnal Widya Prabha 2014

41

Jurnal Widya Prabha 2014

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2008. Laporan Pendataan Kawasan Kota Baru, Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Yogyakarta.

Djoko Soekiman, Kebudayaan Indis, Disertasi Universitas Gadjah Mada, 1996.

Eko Budiharjo, Arsitektur Sebagai Warisan Budaya, Jakarta: Djambatan, 1997.

Gegeven over Djokjakarta, 1926 AHudiyanto, Reza. 1997. “Perkembangan

Pemukiman Masyarakat Eropa di Kota Yogyakarta 1917-1936”, Skripsi S1 FIB, Universitas Gadjah Mada.

Lynch, Kevin. 1960. The Image of The City. Rijksblad van Sultanaat Djogjakarta No. 12

tahun 1917.Sri Sutjiatiningsih dan Sutrisno Kutoyo, 1980.

Sejarah Pendidikan di Daerah Istimewa Yogyakarta. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Kutoyo, Sutrisno. 1981. Sejarah Pendidikan Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Sumulyo, Yulianto. 1993. Atrsitektur Kolonial Belanda di Indonesia. Yogyakarta: Gama Press.

* Penulis adalah staff Balai Pelestarian Cagar Budaya Yogyakarta

Page 44: Jurnal Widya Prabha 2014 - purbakalayogya.compurbakalayogya.com/main/fungsi/code/download.php?file=jurnal... · ... bahwa di dalam melaksanakan pembangunan harus memperhitngkan dimensi

42

Jurnal Widya Prabha 2014Jurnal Widya Prabha 2014

I. Pendahuluan Cagar budaya yang ada di wilayah Yogyakarta

terbuat dari berbagai jenis material antara lain batu andesit, batu putih (tuff), batu-bata, kayu dan logam. Dari beberapa material cagar budaya tersebut ada beberapa jenis yang rentan terhadap pengaruh klimatologi, seperti misalnya batu bata dan batu putih. Pada kedua material tersebut pelapukan alami berjalan terus-menerus lebih cepat dari pelapukan natural terhadap material lain. Sifat fisik batu putih dan batu-bata yang lebih rentan terhadap fluktuasi lingkungan membuat material ini harus mendapatkan perhatian lebih intensif. Terutama jika kerentanan itu disebabkan oleh pelapukan yang disebabkan mikroorganisme.

Mengingat hal demikian, maka dilakukan penelitian yang terkait dengan pelapukan dan variasi mikroorganisme yang berhabitat di batu putih tersebut. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui penurunan kualitas batuan candi yang mengisi talud barat pendopo komplek Kraton Ratu Boko, dan mengetahui ketidaklengkapan komponen batu putih sehingga dapat mengakibatkan kerapuhan/kerusakan pada batu serta untuk mengetahui mikroorganisme apa saja yang merusak dan memicu pelapukan.

II. Dasar TeoriA. Pengertian dasar tentang : Mineral Batu

putihBatuan sedimen adalah batuan

yang terbentuk dari akumulasi material hasil perombakan batuan yang sudah ada sebelumnya atau hasil aktivitas kimia maupun organisme, yang diendapkan

lapis demi lapis pada permukaan bumi yang kemudian mengalami pembatuan ( Pettijohn, 1975 ). Batuan sedimen hanya 5 % dari seluruh batuan-batuan yang terdapat di kerak bumi. Dari jumlah 5 % ini, batu lempung adalah 80 %, batu pasir 5 % dan batu gamping kira-kira 80 % (Pettijohn, 1975 ).

Secara umum, dari hasil analisis kimia terlihat adanya hubungan yang jelas antara derajat pelapukan dengan perubahan komposisi kimia. Komposisi SiO2, MgO, K2O, CaO dan Na2O mengalami pengurangan terhadap meningkatnya derajat pelapukan. Sedangkan, komposisi Al2O3, TiO2, dan H2O- cenderung mengalami pengayaan terhadap naiknya derajat pelapukan. Sementara itu, Fe2O3 mengalami pengurangan pada derajat pelapukan I sampai III yang kemudian mengalami pengayaan kembali pada derajat pelapukan IV dan VI. Walaupun demikian, beberapa indeks memperlihatkan hubungan yang tidak jelas.

Secara umum, indeks yang menggambarkan berkurangnya SiO2 dan perbandingan antara oksida mobile dengan immobile memperlihatkan hubungan yang jelas terhadap derajat pelapukan. Sedangkan, indeks yang didasarkan atas kesamaan karakteristik geokimia seperti oksida mobile dengan mobile atau immobile dengan immobile memperlihatkan hubungan yang tidak baik. Begitupun dengan indeks yang melibatkan kelimpahan Fe2O3, memperlihatkan pola perubahan yang tidak teratur.

Hasil dari pengujian sifat fisik dan

PENGUJIAN PENGARUH PERTUMBUHAN MIKROORGANISME PADA BATU PUTIH DI KRATON RATU BOKO *

Oleh :Wikanto Harimurti, MA **

Page 45: Jurnal Widya Prabha 2014 - purbakalayogya.compurbakalayogya.com/main/fungsi/code/download.php?file=jurnal... · ... bahwa di dalam melaksanakan pembangunan harus memperhitngkan dimensi

Jurnal Widya Prabha 2014

43

Jurnal Widya Prabha 2014

mekanik, terdapat hubungan yang jelas terhadap perubahan derajat perlapukan. Kandungan air (w), porositas (n), angka pori (e), batas cair (LL), batas plastis (PL), indeks plastisitas (IP) dan nisbah Poisson (vd) mengalami peningkatan terhadap naiknya derajat pelapukan.

Sedangkan, densitas (γ) modulus elastisitas (Ed), modulus geser (Gd) mengalami pengurangan terhadap meningkatnya derajat pelapukan. (http://digilib.itb.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=jbptitbpp-gdl-asepnurjam-33703)

B. Pengertian dasar tentang : Mikroorganisme1. Lumut (Moss)

Tumbuhan lumut adalah golongan tumbuhan tingkat rendah yang filogenetiknya lebih tinggi daripada golongan algae. Dalam klasifikasi tumbuhan, golongan tumbuhan lumut termasuk divisi Bryophyta. Pengaruh yang disebabkan oleh tumbuhan lumut dapat bersifat mekanik atau kimiawi. Pengaruh sifat mekanik yaitu berkembangnya akar tumbuh-tumbuhan di batuan yang dapat merusak struktur batuannya. Pengaruh zat kimiawi yaitu berupa zat asam yang dikeluarkan oleh akar- akar lumut sehingga makanan mudah diserat oleh akar lumut. Zat asam ini merusak batuan sehingga garam-garaman mudah diserap oleh akar.

2. Ganggang (Algae)Ganggang yang hidup di bangunan

cagar budaya merupakan ganggang sederhana atau disebut juga microalgae (gambar 1). Algae merupakan produsen dalam ekosistem sehingga keberadaannya merupakan permulaan dari kehidupan mikroorganisme lainnya seperti lichen dan lumut. Mikroalga merupakan alga

berukuran mikro yang biasa dijumpai ditempat yang lembab atau berair, cukup sinar matahari dan karbondioksida. Selain itu mikroalga merupakan tumbuhan thalus yang berklorofi dan mempunyai pigmen tumbuhan yang dapat menyerap cahaya matahari melalui proses fotosintesis. Hidup di air tawar, payau, laut dan hidup secara terestrial, epifit, dan epizoic.

3. Jamur Kerak (Lichens)Jamur kerak atau lichens (gambar

2.) merupakan asosiasi dari jamur dan ganggang, dimana jamur sebagai mikrobiont dan ganggang sebagai photosynthetic symbiont-photobiont. Lichens menyebabkan kerusakan secara fisik dan kimiawi batuan.Lichens dikelompokkan dalam tiga jenis yaitu crustose/menempel, foliose/seperti daun dan fruticose/berambut-rambut.

Gambar 1. Microalgae jika dilihat secara mikroskopik

Gambar 2. Contoh lichen yang umumnya ada di batu (Xanthoparmelia cf. lavicola, a foliose

lichen, on basalt)

Page 46: Jurnal Widya Prabha 2014 - purbakalayogya.compurbakalayogya.com/main/fungsi/code/download.php?file=jurnal... · ... bahwa di dalam melaksanakan pembangunan harus memperhitngkan dimensi

44

Jurnal Widya Prabha 2014Jurnal Widya Prabha 2014

III. Pelaksanaan Penelitian Kegiatan pengujian pengaruh pertumbuhan mikroorganisme pada batu putih di Kraton Ratu Boko ini dilakukan pada tanggal 25 November sampai dengan 3 Desember 2013 (selama 5 hari kerja). Dengan sasaran kegiatan pengujian adalah batu putih asli dari isian talud barat pendopo komplek Kraton Ratu Boko yang ditumbuhi mikroorganisme.

A. Hasil pengujian batu secara fisik di laboratorium BPCB Yogyakarta

Dari hasil pengujian di laboratorium terhadap sampel batu dari Kraton Ratu Boko dihasilkan data-data seperti dibawah ini :

Batu putih lama memiliki grafik yang lebih tinggi pada parameter porositas, ini dapat diartikan bahwa kondisi batu putih sudah mengalami penurunan kualitas karena porositasnya yang sudah meningkat (Gambar 3.), jika porositas meningkat berarti bahwa volume rongga-rongga dalam batu semakin besar. Jika batu sudah mengalami peningkatan porositas maka berarti juga telah mengalami penurunan kekompakan material.

Perubahan porositas akan sangat mempengaruhi densitas dari batuan, semakin besar porositasnya maka akan semakin menurun densitasnya karena batuan dipenuhi rongga bukan kristal/material. Peningkatan porositas ini diakibatkan oleh terjadinya proses destruksi atau pelarutan unsur-unsur dalam batuan sehingga ronggo-rongga dalam batuan semakin besar. Dari hasil penghitungan presentase batu putih lama dan baru, batu putih lama sudah mengalami penambahan porositas sebesar 8,36 %. Kekerasannya juga sudah menurun ke skala 2 dari skala 3, skala kekerasan yang digunakan adalah skala Mohs dengan pembanding (gambar 4.)

Gambar 3. Kondisi batu yang telah mengalami pertambahan porositas

Gambar 4. Skala kekerasan batu yang di uji sudah berubah dari kekerasan mineral gypsum menjadi

kekerasan mineral calcite.

Page 47: Jurnal Widya Prabha 2014 - purbakalayogya.compurbakalayogya.com/main/fungsi/code/download.php?file=jurnal... · ... bahwa di dalam melaksanakan pembangunan harus memperhitngkan dimensi

Jurnal Widya Prabha 2014

45

Jurnal Widya Prabha 2014

B. Pengujian dari Laboratorium Biologi1. Ganggang/Algae

Dalam penelitian ini, Ganggang/Algae yang diperoleh dari sampel, difoto dengan menggunakan mikroskop dan diidentifikasi menggunakan buku identifikasi mikroalga, diperoleh hasil sebagai berikut: a. Euglena sp.

Sel-sel, berwarna hijau, berbentuk metabolic dan berukuran sekitar 50 μm, bagian posterior menyempit sampai berujung tumpul, peri plast berbentuk spirally striated, kloroplast berjumlah banyak, diskus (cakram) berbentuk tidak teratur, paramylon body banyak dan berbentuk batangan kecil tersebar. (Radha et al., 2006; Mahendraperumal and Anand, 2008).

b. Chroococcus sp Thallus berlendir, seperti agar-agar (gelatinous), sel kelihatan biru-hijau, bulat atau hemispherical, 3-4 m diameter, tunggal atau berpasangan, selubung berwarna, sangat tipis, hamper tidak terlihat. Didapatkan sebagai kerak kehijauan di permukaan berkapur pada dinding batuan (Desikachary, 1959).

2. Lumut/MossLumut yang diperoleh dari sampel batuan, kemudian diidentifikasi dengan menggunakan kunci identifikasi dan selanjutnya diperoleh hasil, bahwa lumut yang tumbuh di batuan putih candi adalah lumut dengan nama takson tingkat jenis Bryum clavatum (Schimp.) C. Mull.

Keterangan Gambar 7. : A. Batu putih candi C. Sampel lumut segarB. Populasi lumut di atas batu D. Preparat anatomi daun

Gambar 5. Euglena sp. Gambar 6. Chroococcus sp

Gambar 7. Lumut Bryum Clavatum (Schimp.) C. Mull

Page 48: Jurnal Widya Prabha 2014 - purbakalayogya.compurbakalayogya.com/main/fungsi/code/download.php?file=jurnal... · ... bahwa di dalam melaksanakan pembangunan harus memperhitngkan dimensi

46

Jurnal Widya Prabha 2014Jurnal Widya Prabha 2014

C. Hasil Scaning Electron Microskup (Sem) Pada Batu Putih Candi Yang Ditumbuhi Lumut

(Kerjasama dengan laboratorium Sistematika Tumbuhan Fak. Biologi UGM)

1. Hasil SEM Batu Putih Berdasarkan hasil SEM pada Batu Putih candi yang ditumbuhi lumut, yang telah dipotong secara manual (dengan Cutter) secara tranversal, maka penampang melintangnya terlihat pada gambar 8, 9, & 10. Pada penampang lintang batu dengan perbesaran 1.500x (gambar 10) dapat terdeskripsi adanya organ lumut yang berupa risoid (akar lumut) yang bersifat uniselluler, tidak bercabang dan halus seperti rambut. Selain risoid, dijumpai pula adanya protonema (tumbuhan muda) yang terdiri dari sel-sel yang berbentuk benang yang bercabang banyak. Hal ini akan sangat berbeda apabila dibandingkan dengan penampang melintang batu putih yang tidak ditumbuhi lumut (gambar 11). Pada gambar

11. ini tidak dijumpai adanya risoid maupun protonema. Apabila dilihat secara morfologi fisik batu putih yang ditumbuhi lumut menunjukkan lebih porous dibanding batuan pembanding gambar 11 (tidak ditumbuhi lumut), dimana pada batuan pembanding ini terlihat pori-pori batuannya berukuran kecil-kecil, bahkan secara umum struktur partikel batuannya terlihat masih kompak dan padat. Pori-pori pada batuan yang ditumbuhi lumut ini terdeskripsi cukup lebar dengan diameter ± 150 µm yang berhimpitan antara pori satu dengan pori yang lain membentuk pola seperti jala dengan lakuna-lakuna (lubang), sehingga tipe ornamentasi yang terlihat seperti tipe Retikulat. Perubahan porositas batuan yang cukup lebar ini lambat laun akan menyebabkan kerusakan (pelapukan) pada batuan. Kerusakan batuan ini kemungkinan besar dapat disebabkan oleh agen biotik dan

Gambar 8.Beberapa

potongan batu putih yang ditumbuhi

lumut

Gambar 9.SEM denganperbesaran 30xpada batu putih yang ditumbuhi lumut

Gambar 10.SEM denganperbesaran

1.500 x pada batu putih di

bawah tumbuhan

lumut

Gambar 11.SEM denganperbesaran 1500 x pada batu putih yang tidak ditumbuhi lumut

Page 49: Jurnal Widya Prabha 2014 - purbakalayogya.compurbakalayogya.com/main/fungsi/code/download.php?file=jurnal... · ... bahwa di dalam melaksanakan pembangunan harus memperhitngkan dimensi

Jurnal Widya Prabha 2014

47

Jurnal Widya Prabha 2014

abiotik. Agen biotik yang dapat melapukkan batuan adalah organisme Jamur, Lichen dan Lumut. Kerusakan biotik dapat terlihat sebagai hasil proses kerusakan biologis yaitu proses yang bersifat mekanis dan proses kimia yang desimilatif.

Tumbuhan lumut yang hidup pada batuan candi telah teridentifikasi dengan nama jenis Bryum clavatum (Schimp.) C. Mull. Jenis lumut ini tergolong dalam lumut epilith yang mempunyai cara adaptasi pengambilan air dengan tipe Endohydric, yaitu air diambil dari substrata dan dihantarkan secara internal ke organ daun atau permukaan evaporasi lain. Sifat permukaan dari tumbuhan ini adalah water-rapellent, oleh karena itu dalam mengambil air dan zat-zat makanan lumut Bryum clavatum dengan menggunakan organ risoid, yaitu dengan cara menembus pori-pori batuan. Sehingga secara mekanis mampu memperlebar poritas batuan dan dapat memecah pori-pori antar batuan, sehingga dapat merubah pori-pori batuan menjadi lakuna-lakuna yang ukuran lubangnya lebih besar.

Kenyataan ini dapat terjadi karena risoid yang telah menyerap air mempunyai bentuk morfologi menjadi lebih besar, secara internal dengan kemampuan hidroskopis risoid dapat mendorong pori batuan yang berukuran kecil menjadi lebih lebar. Selain itu seperti kita ketahui bahwa volume air sangat dipengaruhi oleh fluktuasi suhu yang ada disekitarnya, sehingga air yang ada di dalam risoid ini juga akan berpengaruh, yaitu akan mengembang jika suhu dingin (malam) dan menyempit jika suhu panas (siang). Proses mengembang dan menyempitnya air di dalam risoid inilah yang menyebabkan pori-pori batuan semakin lebar dan akhirnya menyebabkan pelapukan batuan jika terjadi secara terus menerus.

Selain bentuk pelapukannya dapat terlihat berupa perubahan porositas batuan yang dilakukan aktifitas risoid lumut Bryum clavatum secara mekanik (fisik), secara kimiawi lumut ini dapat pula merubah kandungan unsur-unsur batuan. Hal ini karena risoid lumut ini dapat mengambil mineral terlarut dari dalam batuan, sehingga batu putih candi tidak hanya mengalami penghancuran fisik tetapi disertai perubahan struktur kimiawi batuan tersebut.

Dalam mengambil mineral-mineral terlarut pada tumbuhan ini dapat dilakukan dengan proses kimia desimilatif , misalnya hasil aktifitas respirasi risoid lumut ini dapat menghasilkan zat asam arang (karbon diaksida), selanjutnya karbon diokasida akan beraksi dengan air dalam pori batuan dan mengahsilkan asam karbonat, kemudian asam karbonat inilah yang dapat menghacurkan (memecah) garam mineral batuan. Seluruh mineral-mineral yang terlarut dalam air dalam batuan dapat diserap oleh risoid lumut ini, karena akumulasi mineral atau logam tidak bersifat selektif, tetapi secara pasif sebagai penukar ion. Sehingga mineral atau logam yang tidak diperlukan oleh tubuhnya diendapankan pada seluruh tubuhnya. Kenyataan ini dapat terlihat bahwa tubuh lumut Bryum clavatum menjadi agak keras dan kaku.

Berdasarkan hasil SEM batuan diatas, untuk perawatan batu putih candi yang telah dilakukan dengan menyikat batuan tidak tepat dilakukan. Hal ini karena batuan hanya bersih pada permukaannya, sedangkan protonema yang ada di dalam setiap pori batuan masih tetap hidup dan akan muncul ke permukaan batuan lagi sebagai tumbuhan lumut. Oleh karena itu sebagai saran untuk pengawetan batuan perlu dilakukan penelitian yang tepat

Page 50: Jurnal Widya Prabha 2014 - purbakalayogya.compurbakalayogya.com/main/fungsi/code/download.php?file=jurnal... · ... bahwa di dalam melaksanakan pembangunan harus memperhitngkan dimensi

48

Jurnal Widya Prabha 2014Jurnal Widya Prabha 2014

untuk mencegah dan memberantas organisme perusak batuan yang tumbuh pada batu putih candi.

b. Jamur kerak/LichensPada sampel batu candi yang digunakan ditemukan 2 jenis lichen, yaitu Lepraria nivalis dan Pertusaria sp. L. nivalis lebih mendominasi permukaan batu daripada Pertusaria sp. Dengan pengamatan langsung, L. nivalis tampak berwarna hijau muda keabu-abuan sedangkan Pertusaria berwarna hijau tua keabu-abuan (Gambar 12.c,d).1. Lepraria nivalis Laundon

Deskripsi Syn. Lepraria crassissima : Talus crustose, diffuse, hijau muda keabu-abuan (segar) sampai hijau kekuningan (kering), permukaan atas talus penuh tertutup soredia yang tampak seperti tepung hingga talus tidak kelihatan, talus sangat tipis. Soralia, isidia dan apotesia tidak ada. Soredia sangat banyak, bergerombol menutupi seluruh permukaan atas talus, berupa granula yang tampak halus, berwarna hijau keabu-abuan sampai kecoklatan dan mudah lepas dari talus. Jika dipisahkan dengan substratnya, permukaan bawah tampak berwarna putih (lapisan medula), helaian helaian hifa longgar putih tampak jelas melekat di permukaan substrat. K+ kuning C Sumber referensi: Lepraria (Dobson, 1992); Lepraria nivalis (Wirth, 1995)Keterangan Gambar 13 : Morfologi L. nivalis (a,c,e dan Pertusaria sp. (b,d,f) menunjukkan permukaan atas talus L. nivalis(a) dan Pertusaria sp. (b) soredia memenuhi seluruh permukaan

talus L. nivalis (c) soredia di dekat celah di permukaan

talus Pertusaria sp.

(d) permukaan bawah talus L. nivalis(e) dan Pertusaria sp. (f) Keterangan: soredia (S) (bar = 1 mm)

Gambar 12. Batu candi yang ditumbuhi lichen (a,b); koloni lichen di permukaan batu (c,d). Keterangan: L.

nivali (panah merah) dan Pertusaria sp. (panah kuning)

Gambar 13. Morfologi L. nivalis dan Pertusaria sp.

Gambar 14. Mikrokristal pada pengujian L. nivalis dengan reagen G.A.An. (a,b) dan G.A.o-T (c,d).

Page 51: Jurnal Widya Prabha 2014 - purbakalayogya.compurbakalayogya.com/main/fungsi/code/download.php?file=jurnal... · ... bahwa di dalam melaksanakan pembangunan harus memperhitngkan dimensi

Jurnal Widya Prabha 2014

49

Jurnal Widya Prabha 2014

2. Pertusaria sp.Talus crustose, hijau tua keabu-abuan, kasap dan tidak mengkilap, permukaan tidak rata dan tampak terdapat tonjolan-tonjolan, terdapat celah / retakan. Soralia, isidia dan apotesia tidak ada. Soredia lebih sedikit (daripada L. nivalis), menggerombol di dekat celah / retakan di permukaan atas talus, berupa granula yang tampak lebih kecil daripada L. nivalis dan berwarna hijau tua keabu-abuan (seperti warna talus). Jika dipisahkan dengan substratnya, permukaan bawah tampak berwarna putih tebal dan padat (lapisan medula) dengan helaian hifa yang tidak tampak jelas. Medula K+ kuning C-, soredia K+ kuning C+ kuning. Indikasi atranorin (Gambar 15.b).Sumber referensi: Pertusaria (Dobson, 1992; Wirth, 1995)

D. Hasil Analisis Scanning Electron Microscope (SEM) Batu Candi Yang Ditumbuhi Lichen ((Kerjasama dengan laboratorium Sistematika Tumbuhan Fak. Biologi UGM)

Komunitas lichen yang hidup pada substrat batu (saxicolous lichens) yang dominan dijumpai pada sampel batu candi menunjukkan tipe talus seperti kertas/ kerak (crustose). Lichen tipe tersebut talusnya tidak memiliki lapisan korteks bawah sehingga talus langsung melekat pada permukaan batu. Tipe lichen seperti kertas/kerak melekat kuat pada substrat dan tidak dapat dipisahkan dengan substratnya tanpa menghancurkan substrat tersebut. Beberapa jenis lichen bahkan dapat tumbuh di bagian dalam celah batuan (Budel & Scheidegger, 2008; Paracer & Ahmadjian, 2000). Zona kontak antara lichen pada batu dengan substratnya menyediakan kondisi mikro yang ideal untuk mempelajari interaksi keduanya, yaitu berupa pelapukan secara biologis (Adamo & Violante, 2000).

Pada gambar 16. tampak permukaan paling atas merupakan lapisan korteks atas, selanjutnya lapisan medula, kemudian substrat batu candi. Simbion fotosintetik lichen tidak dapat diamati karena lapisan alga tidak tampak jelas dalam gambar tersebut. Talus lichen sebagian besar tersusun atas helaian hifa fungi yang bentuknya menyerupai benang. Lapisan korteks berupa kumpulan hifa yang tersusun padat dan helaian hifanya tidak tampak jelas sedangkan lapisan medula berupa kumpulan hifa yang helaiannya tampak jelas dan tersusun lebih longgar. Pada jenis lichen tersebut tidak dijumpai lapisan korteks bawah sehingga hifa penyusun lapisan medula langsung melekat pada permukaan batu. Menurut Adamo & Violante (2000), fungi yang berasosisiasi dalam lichen (mycobiont) akan lebih berperan penting

Gambar 15. Mikrokristal pada pengujian Pertusaria sp.dengan reagen G.A.An. (a,b); G.A.o-T. (c,d);

G.E. (e) dan G.A.W. (f).

Page 52: Jurnal Widya Prabha 2014 - purbakalayogya.compurbakalayogya.com/main/fungsi/code/download.php?file=jurnal... · ... bahwa di dalam melaksanakan pembangunan harus memperhitngkan dimensi

50

Jurnal Widya Prabha 2014Jurnal Widya Prabha 2014

Pada gambar 17. dapat dilihat helaian hifa yang menyerupai benang dijumpai terletak di bagian dalam batu. Hifa-hifa tersebut terletak dalam rongga yang besar diantara struktur bagian dalam batu yang tidak padat dan tampak rapuh. Beberapa helaian hifa tampak melilit fragmen batu yang telah hancur dan terlepas dari batu induknya.

Permukaan batu tepat di bawah talus lichen beresiko mengalami retakan, disagregasi dan fragmentasi (Adamo & Violante, 2000). Pada gambar 18c. dapat dilihat retakan vertikal di bawah lapisan medula tebal yang tersusun atas kumpulan hifa fungi. Struktur batu tepat di bawah talus lichen hingga kedalaman 3 mm dimungkinkan hanya berupa kumpulan fragmen batu (gambar 18 b). Kestabilan bagian tersebut dipengaruhi oleh hifa yang saling mengikatkan antar fragmen batu dan talus lichen yang menyelubungi permukaan batu. Menurut Tiano (2009), fragmen-fragmen batu bahkan juga dapat dijumpai tersebar dalam talus lichen.

Batu yang menjadi substrat pertumbuhan lichen akan cenderung mengalami kerusakan baik secara fisik (pelapukan biogeofisik) maupun kimia (pelapukan biogeokimia) jika dibandingkan batu yang tidak ditumbuhi organisme. Kerusakan secara fisik diakibatkan karena proses biomekanik, yaitu aktivitas

dalam kemampuan lichen melapukan substrat dibanding simbion fotosintetiknya. Hal tersebut disebabkan karena posisi hifa fungi yang kontak langsung dengan permukaan batu sedangkan simbion fotosintetiknya terletak diantara lapisan korteks atas dan medula.

Pada gambar 16. sebagian hifa juga dapat dijumpai terdapat hingga ke bagian dalam substrat batu. Terdapat kemungkinan bahwa lichen tersebut merupakan euendolithic form, yaitu jenis/bentuk yang aktif melubangi batuan (Chen et al, 2000). Hifa pada lapisan medula melakukan penetrasi aktif masuk ke dalam pori-pori batu.

Ketebalan talus lichen diperkirakan sekitar 250 µm. Lapisan medula lebih tebal daripada lapisan korteks atas. Berdasarkan foto Scanning Electron Microscope (SEM), penetrasi hifa dapat mencapai 3 mm masuk dalam pori-pori batu.

Gambar 16. Penampang bujur batu candi yang ditumbuhi lichen

menunjukkan ketebalan crustose lichens (L); helaian hifa fungi penyusun lichen (H); lapisan korteks atas lichen (K); dan bagian

substrat batu candi (B) (bar = 400 µm)

Gambar 17. Helaian hifa yang terdapat pada bagian

dalam batu candi

Page 53: Jurnal Widya Prabha 2014 - purbakalayogya.compurbakalayogya.com/main/fungsi/code/download.php?file=jurnal... · ... bahwa di dalam melaksanakan pembangunan harus memperhitngkan dimensi

Jurnal Widya Prabha 2014

51

Jurnal Widya Prabha 2014

penetrasi hifa pada substratnya. Lichen yang tampaknya hanya melekat di permukaan batu ternyata juga melakukan penetrasi masuk ke dalam pori-pori batu. Hifa pada lapisan korteks bawah melekat erat pada permukaan batu dan melakukan pertumbuhan masuk ke dalam pori-pori batu. Pertumbuhan hifa menghasilkan rongga-rongga yang semakin besar dan dalam mengikuti pertumbuhan hifa tersebut. Hifa juga mengalami hidrasi dan dehidrasi secara bergantian mengikuti kondisi lingkungan sekitarnya yang menyebabkan helaian hifa tersebut mengembang (hidrasi) dan menyusut (dehidrasi) secara bergantian menyebabkan rongga-rongga dalam batu semakin besar (Adamo & Violante, 2000).

Penetrasi lichen pada batu menyebabkan porositas batu semakin bertambah. Pada gambar 18.c. dapat dilihat rongga-rongga vertikal pada substrat batu yang dihasilkan oleh aktivitas penetrasi hifa. Rongga tersebut menyebabkan konsistensi substrat berkurang sehingga pada bagian permukaan batu hingga bagian yang masih dapat dijumpai penetrasi hifa

memiliki kecenderungan untuk lebih mudah terfragmentasi.

Menurut Tiano (2009), aktivitas fisik lichen berbahaya karena penetrasi hifa dapat mencapai 15 mm dan hifa dapat mengembang hingga mencapai 35 kali dari berat keringnya ketika mengalami hidrasi. Pertumbuhan lichen lambat tetapi konstan, yaitu mencapai 1 mm per tahun dan dapat menutupi permukaan batu pada area yang luas. Menurut Lisci et al. (2002), kedalaman penetrasi hifa tergantung pada jenis lichen, jenis dan kondisi alami substratnya. Menurut Adamo & Violante (2000), permukaan batu tepat di bawah talus lichen dapat mengalami fragmentasi bahkan retakan akibat aktivitas mekanik talus lichen. Intensitas disintegrasinya merupakan hasil dari berkurangnya kekompakan, kekerasan dan perubahan kondisi permukaan batu.

Kerusakan secara kimia (pelapukan biogeokimia) disebabkan karena proses biokimia, yaitu berupa interaksi metabolit sekunder yang dihasilkan fungi yang berasosiasi dalam lichen (mycobiont) dengan mineral substratnya. Metabolit sekunder yang sebagian besar berupa asam yang dapat membentuk kompleks logam yang bersifat dapat larut (Easton, 1995). Metabolit sekunder menyebabkan perubahan komposisi lapisan permukaan batu yang terletak di bawah talus lichen, yaitu berupa penurunan unsur kimia utama batu (misalnya Al, Mg, Mn, Zn, Si, Ca, K, Fe) dan akumulasi unsur kimia lain terutama Ca di dalam talus lichen (Tiano, 2009).

Metabolit sekunder yang paling banyak dikenal dan dipelajari adalah asam oksalat. Komunitas lichen pada batu dengan tipe talus seperti kertas/ kerak (saxicolous crustose lichens) dapat menghasilkan asam oksalat hingga mencapai 50 % dari berat

Gambar 18. Substrat batu candi menunjukkan sampel batu yang dianalisis SEM (a) dengan bagian batu yang berrongga (lingkaran) dan

bagian batu yang padat dan masif (persegi); fragmen-fragmen batu (b); dan bagian batu yang berrongga vertikal (X) dan

retakan vertikal (Y) (c). Keterangan: bar = 1 mm (a); 300 µm (b); 100 µm (c).

Page 54: Jurnal Widya Prabha 2014 - purbakalayogya.compurbakalayogya.com/main/fungsi/code/download.php?file=jurnal... · ... bahwa di dalam melaksanakan pembangunan harus memperhitngkan dimensi

52

Jurnal Widya Prabha 2014Jurnal Widya Prabha 2014

total talusnya (Tiano, 2009). Asam oksalat bereaksi dengan mineral substrat membentuk berbagai garam oksalat tergantung pada kation yang tersedia dan kondisi hidrasi substrat (Lisci et al., 2002). Menurut Ibarrondo et al. (2012), jika asam oksalat diekskresikan pada substrat yang banyak mengandung Ca karbonat maka terjadi reaksi netralisasi, yaitu rekasi asam-basa yang menghasilkan Ca oksalat. Ca oksalat yang dihasilkan dalam bentuk monohidrat/ whewellite (CaC2O4.H2O) dan dihidrat/ weddellite (CaC2O4.2H2O).

Menurut Lisci et al. (2002), kelarutan kedua senyawa tersebut rendah. Kristal whewellite dan weddellite diakumulasi pada talus, di bagian batas antara substrat dan talus atau kadang membentuk lapisan kristal di permukaan atas talus. Pada talus Caloplaca, bagian talus yang berwarna putih menunjukkan positif mengandung Ca oksalat sedangkan bagian apotesia yang berwarna hitam menunjukkan negatif terhadap Ca oksalat. Pada genus tersebut Ca oksalat tidak terdistribusi secara merata (Ibarrondo et al., 2012). Menurut Easton (1995), kandungan Ca dan K dalam talus lichen sangat berkaitan dengan komposisi mineral tersebut pada substratnya.

Proses respirasi lichen menghasilkan CO2. Pemutusan ikatan CO2 dalam air yang diabsorbsi oleh talus menghasilkan pembentukan asam

karbonat. Asam karbonat juga sedikit berperan dalam pelapukan yang terjadi pada substrat di bawah talus lichen (Adamo & Violante, 2000). Pada potongan membujur batu dengan talus lichen di permukaannya menunjukkan variasi distribusi kompleks logam pada lapisan batu yang berbeda. Analisis menggunakan Raman Spectrometer menunjukkan lapisan yang berwarna merah-kecoklatan menunjukkan terdapat megnesit (MgCO3), lapisan putih sebagian besar tersusun atas Ca oksalat dalam bentuk monohidrat dan dihidrat (Ibarrondo et al., 2012).

Bagian batu yang masih dapat dijumpai penetrasi hifa terletak dekat dengan permukaan sedangkan bagian yang dipastikan bebas dari organisme letaknya jauh di dalam batu dan jauh dari permukaan batu (Gambar 18.a). Kedua bagian tersebut menunjukkan karakteristik struktur yang berbeda. Batu yang bebas organisme tampak padat dan permukaannya relatif halus sedangkan batu yang dijumpai adanya organisme permukaannya tampak lebih kasar, tampak lapuk karena konsistensinya berkurang dan menjadi mudah hancur. Pada potongan membujur batu (Gambar 19.), bagian batu yang masih dijumpai penetrasi hifa menunjukkan struktur yang tampak berongga dan terdapat fragmen-fragmen batu sedangkan bagian batu yang lebih dalam (tidak

Gambar 19. Struktur bagian dalam batu candi menunjukkan struktur yang berrongga akibat penetrasi hifa lichen dan terdapat fragmen-fragmen batu (a); serta struktur yang relatif padat tanpa penetrasi hifa lichen (b)

Page 55: Jurnal Widya Prabha 2014 - purbakalayogya.compurbakalayogya.com/main/fungsi/code/download.php?file=jurnal... · ... bahwa di dalam melaksanakan pembangunan harus memperhitngkan dimensi

Jurnal Widya Prabha 2014

53

Jurnal Widya Prabha 2014

dijumpai hifa) menunjukkan struktur yang tampak relatif lebih padat. Pada gambar 19.b. digunakan sampel batu sebagai pembanding yang letaknya 6-11 cm dari permukaan batu. Dapat dipastikan pada bagian tersebut bebas organisme karena letaknya yang jauh dari permukaan batu sehingga jauh dari jangkauan penetrasi organisme. Gambaran skematis proses pelapukan yang disebabkan oleh lichen pada substrat batuan menurut Chen et al, 2000 dapat dilihat pada gambar 20. Menurut Chen et al. (2000), kerusakan fisik batuan diawali dengan penetrasi hifa pada pori-pori batuan, cekungan dan lubang intergranular pada retakan-retakan mineral induk. Tipe lichen yang paling merusak adalah tipe talus seperti kertas/ kerak (crustose). Tipe tersebut melakukan penetrasi vertikal dan horizontal hingga 4 mm melalui pori-pori batuan. Penetrasi hifa dilakukan dengan melubangi batuan sebagai ruang untuk pertumbuhan talus. Pertumbuhan hifa dapat melepaskan mineral dari batuan induk sehingga pertumbuhan hifa tersebut akan sebanding dengan bertambahnya fragmen mineral di permukaan batuan induk.

Batuan induk dengan mineral micaceous dipecah menjadi kristal-kristal berukuran kecil sedangkan mineral kuarsa dan feldspar dipecah menjadi butiran-butiran yang lebih kecil.

Candi sebagai salah satu bangunan peninggalan bersejarah merupakan warisan budaya yang harus dijaga dan dilestarikan eksistensinya agar nilai-nilai luhur budaya bangsa tetap terpelihara. Selain fisik dan kimia, biologi merupakan faktor yang sangat penting dalam mendorong perubahan karakteristik komposisi dan struktur batu candi. Keberadaan organisme pada batu menimbulkan masalah dalam upaya konservasi candi dan bangunan bersejarah lain yang terbuat dari batu, yaitu mendorong terjadinya pelapukan biologis akibat interaksi organisme tersebut dengan batu sebagai substratnya. Keberadaan lichen pada permukaan batu dapat meningkatkan proses biomekanik (pelapukan biogeofisik) dan biokimia (pelapukan biogeokimia). Hal tersebut berkaitan dengan peran ekologis lichen dalam soil development (pedogenesis),

Gambar 20. Proses kerusakan yang disebabkan lichen pada substrat batuan (Chen et al, 2000)

Page 56: Jurnal Widya Prabha 2014 - purbakalayogya.compurbakalayogya.com/main/fungsi/code/download.php?file=jurnal... · ... bahwa di dalam melaksanakan pembangunan harus memperhitngkan dimensi

54

Jurnal Widya Prabha 2014Jurnal Widya Prabha 2014

yaitu mempercepat perubahan batuan dengan mempercepat pelapukan mineral penyusun batuan (Adamo & Violante, 2000). Meskipun tanah yang terbentuk jumlahnya diperkirakan sangat sedikit tapi peran lichen sebagai organisme perintis dapat memfasilitasi kolonisasi organisme lain, misalnya bakteri, lumut dan tumbuhan tingkat tinggi, pada substrat batu tersebut (Easton, 1995; Lisci et al., 2002).

IV. Dampak Populasi Lichen Pada BatuEfek yang ditimbulkan oleh

pertumbuhan lichen pada permukaan batu candi berlangsung secara perlahan-lahan dan akan tampak jelas dalam jangka waktu yang lama. Hal tersebut didukung dengan pengamatan penetrasi lichen yang hanya mencapai 3 mm masuk ke dalam pori-pori batu serta karakter pertumbuhan talus lichen yang lambat. Menurut Hale (1983), pertumbuhan lichen sangat lambat dan pertumbuhan crustose lichens paling lambat dibandingkan tipe lichen yang lain, yaitu 0,25 – 1,00 mm/ tahun. Pertumbuhan tersebut bervariasi dipengaruhi oleh habitat dan umur lichen. Menurut Adamo & Violante (2000), penutupan oleh lichen menyebabkan perubahan warna dan detail pahatan pada bangunan karya seni dan bangunan bersejarah.

Terdapat kemungkinan bahwa efek paling merugikan terjadi jika lichen tumbuh pada permukaan batu candi yang memiliki pahatan baik berupa relief maupun arca. Detail pahatan relief dan arca tersebut semakin lama menjadi kurang jelas. Menurut Tiano (2009), permukaan batu yang awalnya tampak halus dan bersih berubah secara perlahan-lahan menjadi kasar dan berpori disertai terbentuknya retakan mikro dan patahan dengan butiran-butiran kristal.

V. PenutupA. KesimpulanDari hasil penelitian diketahui bahwa berdasarkan uji fisik dan kimia batuan, batu putih yang merupakan batu penyusun isian talud barat pendopo komplek Kraton Ratu Boko diketahui bahwa: 1. Unsur-unsur penyusun dari batu putih banyak

yang sudah larut, sehingga kekompakan atau kekuatan ikatan antar unsur penyusun batu berkurang, ini dibuktikan dari kenaikan porositas dan uji kekerasannya.

2. Berdasar hasil penelitian porositas sampel sudah naik 8,36%, sehingga ruang antar unsur menjadi lebih luas, kekompakan, kekuatan dan kekerasan berkurang,.

3. Dari hasil uji kekerasan batu putih sudah berubah dari skala 2 menjadi skala 3 ini berarti bahwa batu putih sudah berubah dari kekerasan mineral gypsum menjadi kekerasan mineral calcite (batu putih sudah lebih lunak jika dibandingkan dengan batu putih yang masih segar)

4. Dari hasil identifikasi di laboratorium Biologi dapat diketahui mikroorganisme yang berada pada batuan yaitu :

• Algae/ microalgae yang ditemukan dalam sampel ada 2, yaitu :a. Euglena spb. Chrococcus sp

• Lumut yang ditemukan dalam sampel yaitu ada satu jenis Bryum clavatum (Schimp.) C. Mull

• Lichens yang ditemukan dalam batuan ada 2 jenis yaitu :a. Lepraria crassissimab. Pertusaria sp.

5.. Berdasarkan hasil analisa sampel penurunan kualitas baik fisik dan unsurnya salah satu yang mempengaruhi adalah adanya pertumbuhan mikroorganisme oleh lumut, ganggang, dan jamur kerak.

Page 57: Jurnal Widya Prabha 2014 - purbakalayogya.compurbakalayogya.com/main/fungsi/code/download.php?file=jurnal... · ... bahwa di dalam melaksanakan pembangunan harus memperhitngkan dimensi

Jurnal Widya Prabha 2014

55

Jurnal Widya Prabha 2014

6. Akumulasi lichen dominan pada sampel batu candi menunjukkan tipe talus seperti kertas/ kerak (crustose). Talus tersusun dari lapisan korteks atas, lapisan medula, kemudian substrat batu candi. Batu yang menjadi substrat pertumbuhan lichen mengalami kerusakan secara fisik (pelapukan biogeofisik) maupun kimia (pelapukan biogeokimia). Kerusakan secara fisik diakibatkan proses biomekanik, yaitu aktivitas penetrasi hifa pada substrat serta hidrasi dan dehidrasi hifa. Kerusakan secara kimia disebabkan karena proses biokimia, yaitu interaksi metabolit sekunder yang dihasilkan fungi yang berasosiasi dalam lichen (mycobiont) dengan mineral substratnya. Foto SEM menunjukkan penetrasi hifa mencapai 3 mm masuk dalam pori-pori batu, terdapat helaian hifa menyerupai benang terletak dalam rongga yang besar di dalam batu yang melilit fragmen batu, terdapat rongga dan retakan vertikal di dalam batu. Pertumbuhan lichen menyebabkan porositas batu semakin bertambah, konsistensi substrat berkurang, lebih mudah terfragmentasi.

7. Pertumbuhan lichen di permukaan batu candi menimbulkan masalah dalam upaya konservasi candi. Efek yang ditimbulkan berlangsung secara perlahan-lahan dan tampak jelas dalam jangka waktu yang lama. Kerusakan batu candi akibat pertumbuhan lichen meliputi perubahan warna dan detail pahatan terutama pada relief maupun arca. Detail pahatan relief dan arca semakin lama menjadi kurang jelas. Permukaan batu yang awalnya tampak halus dan bersih berubah secara perlahan-lahan menjadi kasar dan berpori disertai terbentuknya retakan mikro. Batu menjadi lapuk dan rapuh karena struktur dalamnya yang tidak padat dan konsistensinya berkurang.

B. Rekomendasi/saran • Untuk meminimalisir pertumbuhan

mikroorganisme perlu pembersihan mekanis secara rutin dan berkesinambungan.

• melakukan treatment pada kondisi tertentu, sehingga tidak merusak permukaan batu.

• Perlu dicari dan dikembangkan solusi untuk menghilangkan mikroorganisme dengan bahan yang ramah lingkungan.

*) Tulisan ilmiah ini adalah hasil penelitian laboratorium BPCB Yogyakarta, tahun 2013, dan diedit kembali dalam rangka penyusunan jurnal tahunan Widya Prabha 2014**) Penulis adalah staf di Balai Pelestarian Cagar Budaya Yogyakarta

Page 58: Jurnal Widya Prabha 2014 - purbakalayogya.compurbakalayogya.com/main/fungsi/code/download.php?file=jurnal... · ... bahwa di dalam melaksanakan pembangunan harus memperhitngkan dimensi

56

Jurnal Widya Prabha 2014Jurnal Widya Prabha 2014

Daftar Pustaka

Adamo, P. and P. Violante. 2000. Weathering of rock and neogenesis of minerals associated with lichen activity. Applied Clay Science No.16. Elsevier Science. pp: 229-256

Budel, B. and C. Scheidegger. 2008. Tallus Morphology and Anatomy. Lichen Biology. 2nd ed. Edited by T.H. Nash Cambridge University Press. New York. pp: 40-68

Chen, J., H.P. Blume and L. Beyer. 2000. Weathering of rocks included by lichen colonization – a review. Catena No.39. Elsevier Science. pp: 121-146

Desikachary T.V. 1959. Cyanophyta: Indian Council ofAgricultural Research, New Delhi,686 pp

Dobson, F.F. 1992. Lichen: an Illustrated to the British and Irish Species. The Richmond Publishing Co. Ltd. England

Easton, R.M. 1995. Lichens and Rocks: A Review. Geoscience Canada. Vol. 21 No. 2.

Hale, M.E. 1983. The Biology of Lichens. 3rd ed. Edward Arnold. London

Huneck, S. and I. Yoshimura. 1996. Identification of Lichen Substances. Springer. Berlin

Ibarrondo I., I. Martínez-Arkarazo, Juan-Manuel Madariaga. 2012. Biominerals Resulting from Biodeterioration Promoted by Different Saxicolous Lichens. Macla No. 16. revista de la sociedad española de mineralogía

Lisci, M., M. Monte and E. Pacini. 2002. Lichens and higher plants on stone: a review. Elsevier Science Ltd.

Mahendraperumal, T.M. and N. Anand, 2008. Manual of fresh water algae of Tamilnadu.Bishen Singh Mahendrapal Singh, 23-A, Dehra Dun. 1-124 pp

Paracer, S and V. Ahmadjian. 2000. Symbiosis : An Introduction to Biological Assiciations. 2 ed. Oxford University Press, Inc. New York.

Radha, S. K., Jena, M. and Adhikary, S. P. 2006. Euglenophytes of Orissa state, East Cost of

India. Algae (Koreal Journal of Phycology) 21: 61-73

Tiano, Piero. 2009. Biodegradation of Cultural Heritage: Decay Mechanisms and Control Methods. Italy

Volkmar, Wirth. 1995. Die Flechten Baden-Württembergs (The Lichens: Baden-Württembergs). Vol. 1. 2nd ed. English translation by Doyle Anderegg. Germany

Page 59: Jurnal Widya Prabha 2014 - purbakalayogya.compurbakalayogya.com/main/fungsi/code/download.php?file=jurnal... · ... bahwa di dalam melaksanakan pembangunan harus memperhitngkan dimensi

Jurnal Widya Prabha 2014

57

Jurnal Widya Prabha 2014

I. PendahuluanA. Latar Belakang

Bahan lempung merupakan bahan asli yang dipergunakan oleh nenek moyang sebagai salah satu bahan bangunan dan bahkan sampai saat ini masih ada yang bertahan. Penggunaan lumpur dan tanah liat juga digunakan pada bangunan-bangunan cagar budaya di dunia seperti di Babilonia, Iran dan juga Piramida di Mesir. Campuran inilah yang merupakan sejarah dibuatnya semen. Namun pada saat ini metode membangun dengan menggunakan bahan lempung tidak lagi dilakukan.

Ilmu teknik pengerjaan lempung sebagai bahan bangunan mungkin sudah banyak yang hilang karena dianggap tidak relevan lagi dengan perkembangan bahan bangunan yang semakin beragam/maju, sehingga banyak bahan bangunan yang telah diganti misalnya dengan semen. Namun, pengembalian teknis tradisional pada bangunan tradisional yang berkaitan dengan keaslian material dan workmanship sangat penting dipelajari dan digali lebih dalam lagi karena hal ini sangat penting untuk menjaga kelestarian serta pengembalian ke aslinya.

Berdasarkan paradigma konservasi saat ini hal yang paling penting ditekankan untuk kegiatan konservasi adalah intervensi minimum dan mengembalikan metode konservasi tersebut berdasarkan pada kearifan tradisional. Intervensi minimum adalah usaha dalam melaksanakan konservasi sedikit mungkin mengambil tindakan yang dapat menyebabkan efek samping bagi kelestarian cagar budaya. Jadi tindakan yang dilakukan hanya jika memang benar-benar

diperlukan. Sedangkan kearifan tradisional akan menjauhkan cagar budaya dari bahan kimia. Penggunaan bahan kimia dalam jangka waktu yang pendek mungkin dapat menyelesaikan persoalan konservasi, namun dalam jangka panjang seringkali akibatnya tidak bisa diprediksi. Bahkan, seringkali bahan konservan lebih kuat sehingga merusak bahan asli. Oleh karena itu metode kearifan tradisional sangat dibutuhkan untuk digali lagi lebih dalam sehingga bisa digunakan untuk pelestarian cagar budaya.

Penggunaan lempung dalam pelestarian cagar budaya kini mulai diujicobakan kembali pada kegiatan pemugaran ataupun konservasi, namun keefektifan lempung pada bangunan Cagar Budaya belum dapat diuji.

Uji efektifitas ini dilatarbelakangi oleh adanya aplikasi lempung sebagai nat di Benteng Cepuri. Lempung digunakan sebagai pengganti tanah lempung lama sebagai penyusun atau perekat susunan batu putih pada Benteng Cepuri. Untuk itu penelitian efektifitas lempung ini dapat dipakai sebagai bahan pertimbangan selanjutnya tentang penggunaan lempung pada Bangunan Cagar Budaya.

B. Dasar Hukum

1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya

2. DIPA-023.15.2.427798/2013 tanggal 5 Desember 2012

EFEKTIFITAS LEMPUNG SEBAGAI NAT PADA BATU PUTIH DI BENTENG CEPURI

Oleh :Mida Andriana, MA*

Page 60: Jurnal Widya Prabha 2014 - purbakalayogya.compurbakalayogya.com/main/fungsi/code/download.php?file=jurnal... · ... bahwa di dalam melaksanakan pembangunan harus memperhitngkan dimensi

58

Jurnal Widya Prabha 2014Jurnal Widya Prabha 2014

3. Program Kerja Kelompok Pemeliharaan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Yogyakarta Tahun Anggaran 2013

4. Surat Tugas Nomor : 3013/CB5/KP.A.3/ 2013 tanggal 15 November 2013

C. Maksud dan Tujuan PenelitianMaksud dari penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik lempung, sifat fisik dan kimia lempung serta kemampuan/efektifitas lempung jika di gunakan sebagai mortar pengisi nat di Beteng Cepuri Kotagede. Sedangkan tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendukung kegiatan pelestarian benda cagar budaya khususnya bangunan cagar budaya dengan material batu.

II. Dasar TeoriA. Mineral Lempung

Lempung adalah kelompok mineral, kristalnya sangat kecil, hanya dapat dilihat dan dibedakan dengan mikroskop. Lempung dapat dibedakan berdasarkan struktur kristal dan variasi komposisinya. Lempung atau tanah liat memiliki butiran yang sangat halus, bersifat plastik, yaitu mudah dibentuk, dan mempunyai daya lekat. Lempung membentuk gumpalan keras saat kering dan lengket apabila basah terkena air. Sifat ini ditentukan oleh jenis mineral lempung yang mendominasi. Mineral lempung digolongkan berdasarkan susunan lapisan oksida silikon dan oksida aluminium yang membentuk kristalnya. Golongan 1:1 memiliki lapisan satu oksida silikon dan satu oksida aluminium, sementara golongan 2:1 memiliki dua lapis golongan oksida silikon yang mengapit satu lapis oksida aluminium. Mineral lempung golongan 2:1 memiliki sifat elastis yang kuat, menyusut saat kering dan memuai saat basah. Karena perilaku inilah beberapa jenis tanah dapat membentuk kerutan-kerutan atau “pecah-pecah” bila kering. Partikel mineral lempung biasanya bermuatan negatif sehingga partikel lempung hampir selalu mengalami hidrasi, yaitu dikelilingi oleh lapisan-lapisan molekul air yang disebut sebagai air teradsorbsi.

Mineral lempung merupakan koloid dengan ukuran sangat kecil (kurang dari 1 mikron). Masing-masing koloid terlihat seperti lempengan-lempengan kecil yang terdiri dari lembaran-lembaran kristal yang memiliki struktur atom yang berulang. Lembaran-lembaran kristal yang memiliki struktur atom yang berulang tersebut adalah: (http://ptbudie.wordpress.com/2010/05/31/mineral-lempung/)1. Tetrahedron / Silica sheet

Merupakan gabungan dari Silica Tetrahedron (Gambar 1)

Foto 1. situasi Benteng Cepuri

Page 61: Jurnal Widya Prabha 2014 - purbakalayogya.compurbakalayogya.com/main/fungsi/code/download.php?file=jurnal... · ... bahwa di dalam melaksanakan pembangunan harus memperhitngkan dimensi

Jurnal Widya Prabha 2014

59

Jurnal Widya Prabha 2014

2. Octahedron /  Alumina sheetMerupakan gabungan dari Alumina Octahedron. (Gambar 2)

Jenis – Jenis dan Kegunaan Mineral LempungJenis mineral lempung yang utama ialah:• Kaolinit     1:1     Al2 (Si2O5 (H2O))• Illit             2:1     KAl2 (AlSi3O10 (OH)2)• Smektit   2:2     (AlMg)4 Si8 O20 (OH)10)• Klorit      2:1:1 (MgFe)6-x (AlFe)x Si4-x Alx (OH)10

Berdasarkan struktur kristal dan variasi komposisinya dapat dibedakan menjadi beberapa jenis mineral lempung diantaranya: kaolinit, halloysite, momtmorillonite (bentonites), illite, smectite,vermiculite, chlorite,attapulgite dan allophone.Komposisi kimia dari kaolinit, yaitu SiO2 46.54%, Al2O3 39.50%, dan H2O 13.96% (Sarapaa dan Al-Ani 2008). Molekul air dalam struktur kristal kaolinit dapat ditemukan pada ruang antar lapisannya seperti gambar 3 di bawah ini:

Gambar 3. Struktur Kaolinit

B. Metode Penentuan Jenis Mineral LempungPenentuan jenis mineral lempung

baik secara kimia maupun secara fisik telah dikembangkan melalui berbagai metode, dengan menggunakan alat mulai dari yang sederhana sampai penggunaan alat yang modern. Menurut Sastiono (1997) dan Sjarif (1991), penentuan mineral lempung secara kualitatif dan kuantitatif dapat dibagi atas dua kelompok besar yaitu:a. Metode berdasarkan sifat fisik b. Metode berdasarkan sifat. kimia

Setiap metode mempunyai kelemahan dan kelebihan, sehingga kombinasi beberapa metode perlu dilakukan untuk memperoleh hasil yang lebih baik.

Pengujian fisik terhadap lempung :1. Ukuran butir tanah

Pengukuran distribusi butir di laboratorium dilakukan dengan 2 cara yaitu sieve analysis dan hydrometer analysis. Sieve analysis dilakukan untuk tanah yang berbutir kasar yaitu tertahan saringan no. 200 (diameter lebih besar dari 0,06 mm), percobaan dilakukan dengan cara mekanis. Butiran yang besar akan mengendap

Page 62: Jurnal Widya Prabha 2014 - purbakalayogya.compurbakalayogya.com/main/fungsi/code/download.php?file=jurnal... · ... bahwa di dalam melaksanakan pembangunan harus memperhitngkan dimensi

60

Jurnal Widya Prabha 2014Jurnal Widya Prabha 2014

terlebih dahulu di dalam suatu larutan dan yang lebih kecil akan lebih lambat, dengan mengukur kecepatan jatuh partikel di dalam larutan berdasarkan Hukum Stoke, dapat diketahui prosentase masing – masing range ukuran.

2. Plastisitas Tanah (Atterberg limits) Lempung mempunyai sifat yang sangat spesifik, antara lain mempunyai sifat muai susut yang sangat besar dalam keadaan aslinya, tetapi setelah lempung diolah, maka sifat muai susut yang besar ini dapat dihilangkan, sehingga dapat dipergunakan sebagai bahan bangunan olahan. Untuk mendapatkan data-data tentang tingkat plastisitas dan tingkat kejenuhan lempung, maka dilakukan pengujian-pengujian, baik di laboratorium maupun di lapangan. Jenis pengujian tanah lempung yaitu:a. Plastic limit atau batas plastis.b. Shringkage limit atau batasan susut.c. Liquid limit atau batasan cair. Pengujian plastisitas tanah lempung berdasarkan pada daya lekat lempung dan tingkat muai susutnya dilakukan dengan melihat jumlah air yang dikandung, maka perbedaan plastisitas sampel yang diuji akan berbeda-beda pada setiap jenis sampel. Dari pengujian ini dapat diketahui batas Plastis atau keadaan antar plastis dan semi padat (Plastis Limit), batas cair yaitu batas atau keadaan antara cair dan plastis (Liquid Limit ), dan batas susut yaitu keadaan antara semi padat dan padat (Shrinkage Limit). Batas-batas tersebut lebih dikenal dengan batas-batas Atterberg ( Atterberg Limits ). Dengan diketahui nilai konsistensi lempung maka sifat plastisitas dari lempung dapat diketahui. Nilai plastisitas berada pada range 1-12, sedangkan tingkat plastis yang paling baik pada range 6.5.

3. Uji Klasifikasi Teknik

Hasil pengujian indeks propertis lempung dapat digunakan untuk mengidentifikasi dan mengklasifikasikan lempung. Indeks plastisitas dan sifat perubahan volume lempung berhubungan erat dengan jumlah partikel yang berukuran lebih kecil dari 0.001 mm, yaitu partikel yang sifatnya bergantung pada gaya permukaan dan bukan gaya gravitasi. Skempton mengemukakan rumus dari parameter aktifitas (Ac) sebagai berikut:

Gambar 4. Kedudukan index Plastisitas

Gambar 5. Skema uji batas cair

Page 63: Jurnal Widya Prabha 2014 - purbakalayogya.compurbakalayogya.com/main/fungsi/code/download.php?file=jurnal... · ... bahwa di dalam melaksanakan pembangunan harus memperhitngkan dimensi

Jurnal Widya Prabha 2014

61

Jurnal Widya Prabha 2014

Dalam tabel 1-2. dapat dilihat hubungan aktivitas dan kandungan mineral tanah lempung. Dari Tabel tersebut dijelaskan bahwa untuk aktivitas yang lebih besar dari 1.25 digolongkan aktif dan sifatnya ekspansif, aktivitas antara 0.75 – 1.25 digolongkan normal, sedangkan yang kurang dari 0.75 digolongkan tidak aktif.

III. Pelaksanaan Kegiatan Kegiatan penelitian efektifitas lempung ini dilakukan pada tanggal 18 – 22 November 2013 (selama 5 hari kerja). Sasaran kegiatan pengujian adalah lempung yang diaplikasikan sebagai nat dan spesi pada bangunan Benteng Cepuri di Kotagede.

A. Tahapan kegiatan1. Pengamatan aplikasi lempung di lapangan

Pengamatan pada penerapan lempung pada kegiatan pemugaran di Benteng Cepuri. Dari hasil pengamatan diketahui bahwa aplikasi lempung pada bangunan Benteng Cepuri di Kotagede digunakan sebagai nat, perekat dan juga berfungsi sebagai pengisi. Campuran yang digunakan berbeda-beda tergantung pada

keletakannya pada bangunan Benteng. Pada posisi di tengah campuran lempung dan pasir yang digunakan dengan perbandingan 3 lempung dan 1 pasir. Pada bagian pinggir atau batu luar campuran yang digunakan adalah lempung, semen dan kapur dengan perbandingan lempung : kapur : semen adalah 3 : 2 : 1, campuran ini berfungsi sebagai perekat.

Sedangkan untuk penutupan nat-nat pada susunan batu putih, digunakan lempung yang dicampur dengan air kemudian disaring dengan saringan halus untuk mendapatkan air lempung (yiyit). Setelah didapat air lempung yang bebas kerikil kemudian ditambahkan dengan semen dan kapur yang juga telah disaring halus. Campuran air lempung, semen, dan kapur yang memiliki butiran yang sama tersebut sehingga mudah diaplikasikan ke nat batu yang cukup rapat hingga terisi penuh.

Foto 2. Aplikasi lempung : kapur : semen

foto 3. Aplikasi lempung : pasir

Tabel 1. Hubungan aktivitas dan kandungan mineral tanah menurut Skempton (1953)

Tabel 2. Hubungan mineral lempung dengan aktivitasnya (Skempton dan Mitchel)

Page 64: Jurnal Widya Prabha 2014 - purbakalayogya.compurbakalayogya.com/main/fungsi/code/download.php?file=jurnal... · ... bahwa di dalam melaksanakan pembangunan harus memperhitngkan dimensi

62

Jurnal Widya Prabha 2014Jurnal Widya Prabha 2014

2. Pengujian Laboratoriuma. Pelaksanaan kegiatan dengan melakukan

beberapa pengujian di laboratorium teknik sipil. Pengujian-pengujian yang dilakukan adalah : • Pemeriksaan Kadar Air (Water Content)

Percobaan ini dimaksudkan untuk menentukan kadar air tanah.

• Pemeriksaan Berat Jenis (Specific Gravity) Pemeriksaan ini bertujuan untuk menentukan berat jenis butiran tanah (Gs).

• Pemeriksaan Analisa Saringan (Sieve Analysis) Pemeriksaan ini bertujuan, Untuk mengetahui gradasi pembagian butiran dari suatu contoh tanah berbutiran kasar. Untuk mengklasifikasikan tanah.

• Pemeriksaan Analisa Hidrometer (Hydrometer Analysis) Bertujuan untuk menentukan macam butiran tanah yang lolos saringan nomor 200 dan lengkung gradasinya.

• Pemeriksaan Batas Cair (Liquid Limit) Pemeriksaan batas cair ini bertujuan untuk menentukan kadar air suatu sampel tanah pada batas cair.

• Pemeriksaan Batas Plastis (Plastic Limit) Percobaan ini bertujuan untuk menentukan kadar air suatu tanah dalam keadaan batas plastis.

• Pemeriksaan Potensial Mengembang ASTM D4546-90 menyajikan tiga cara pengukuran tekanan mengembang. Dalam penelitian ini yang digunakan hanya metoda A (free Swell Pressure Test). Dari metoda A ini bisa diperoleh: a) Nilai mengembang bebas (free swell) b) Nilai Persentase mengembang (percent swell)

c) Nilai Tekanan mengembang (swelling pressure)

B. Pelaksanaan kegiatan pengujian di laboratorium BPCB Yogyakarta

Pengujian lempung di laboratorium dilakukan dengan membuat miniatur pasangan batu putih dengan menggunakan lempung. Miniatur ini kemudian di uji dengan metode aging, namun pada pengujian ini teknik uji dengan aging tidak bisa dilanjutkan karena lempung tidak mampu bertahan dalam air pada siklus aging test. Dari sini diketahui bahwa metode pengujian aging test tidak bisa dilakukan terhadap spesi tanah.

Sampel batu dengan aplikasi lempung

Sampel batu dengan aplikasi semen : pasir

Sampel batu dengan aplikasi semen:kapur

Penelitian aging test di laboratorium

Foto 4. Kegiatan pengujian laboratorium

Page 65: Jurnal Widya Prabha 2014 - purbakalayogya.compurbakalayogya.com/main/fungsi/code/download.php?file=jurnal... · ... bahwa di dalam melaksanakan pembangunan harus memperhitngkan dimensi

Jurnal Widya Prabha 2014

63

Jurnal Widya Prabha 2014

IV. Analisa DataPerilaku dan sifat lempung sangat tergantung

pada komposisi mineral, unsur-unsur kimia, partikel-partikelnya dan pengaruh lingkungan di sekitarnya. Sehingga untuk dapat memahami sifat dan perilakunya diperlukan pengetahuan tentang mineral dan komposisi kimia lempung. Sehingga mineralogi adalah faktor utama untuk mengontrol ukuran, bentuk dan sifat fisik serta kimia dari partikel tanah. Berdasarkan hasil penelitian laboratorium karakteristik tanah asli yaitu meliputi batas-batas Atterberg, analisa distribusi butiran, kepadatan, kadar air optimum, berat jenis, dan nilai kembang-susut (swelling) dihasilkan data seperti tabel 3 dibawah ini:

Lempung Desa Wiro, Bayat, Klaten termasuk dalam lempung lempung ekspansif. Batas konsistensi antara lain nilai LL = 65,54 %, PL = 21,4 %, dan PI = 44,14 % sedangkan kandungan fraksi halus 67,74 % dengan nilai spesifik gravitas = 2,754. Menurut Unified Soil Classificatin System (USCS) lempung asli termasuk dalam kelompok CH yaitu lempung anorganik dengan plastisitas tinggi (hight plasticity clay) atau lempung gemuk (fat clays), sedangkan berdasarkan American Association of State Highway and Tranportation Officials (ASHTO) termasuk dalam kelompok A-7-6, merupakan lempung lempung buruk apabila digunakan untuk fondasi jalan. (Sumber: (www.polines.ac.id/…/jurnal_wahana_1332665217.pdf).

Sedangkan data hasil analisis lempung Kotagede dapat dijelaskan seperti uraian di bawah ini sehingga diketahui karakteristik sampel lempung yang

diaplikasikan di Kotagede.

A. Uji Klasifikasi Teknik (Sistem Klasifikasi AASHTO dan Unifed)1. Ukuran butiran

ASTM D-653 memberikan batasan bahwa secara fisik ukuran lempung adalah partikel yang berukuran antara 0,002 mm sampai 0,005 mm. Namun untuk menunjukkan hal itu perlu saringan yang lebih kecil dari No.200 sehingga hal ini tidak bisa dilakukan di laboratorium. Akan tetapi literatur lain menjelaskan bahwa cukup dengan saringan terkecil No 200 sudah dapat digunakan untuk mengklasifikasikan ukuran butir tanah. Ukuran partikel sampel yang dia[plikasikan di Kotagede adalah sebagai berikut:

• Kerikil: fraksi yang lolos saringan ukuran 75 mm (3 in) dan tertahan pada saringan No. 10 sebesar 0%

• Pasir: fraksi yang lolos saringan No. 10 (2 mm) dan tertahan pada saringan No.200 (0,075 mm) sebesar 30%

• Lanau dan lempung: fraksi yang lolos saringan No. 200 sebesar 69,89%

Sehingga memperoleh grafik ukuran butiran seperti grafik di bawah ini:

Tabel 3.Hasil pengujian karakter sampel tanah Kotagede dan Bayat

Gambar 6. Grafik ukuran butiran tanah

Page 66: Jurnal Widya Prabha 2014 - purbakalayogya.compurbakalayogya.com/main/fungsi/code/download.php?file=jurnal... · ... bahwa di dalam melaksanakan pembangunan harus memperhitngkan dimensi

64

Jurnal Widya Prabha 2014Jurnal Widya Prabha 2014

2. Specific Gravity (Sg) Dari hasil penelitian Sg dari tanah yang diaplikasikan di Kotagede sebesar 2,66 sehinggan dapat diperkirakan (Sg) sebesar 2,66 merupakan tanah lempung anorganik atau berlanau yang memiliki mineral dominan Kaolinite (Al2O3·2SiO2·2H2O) dapat dilihat pada tabel 4 dan 5. Mineral Kaolinite, mempunyai ukuran partikel yang lebih besar dan mempunyai sifat pengembangan yang lebih kecil. Tanah lempung yang diaplikasikan di Kotagede merupakan jenis tanah berbutir halus (lanau/lempung/ fine-grained soils) karena lebih dari 50 % lolos saringan nomor 200 yaitu sebanyak 69,89 %. Sand/pasir sebesar 30.11 % dan Gravel/kerikil 0 %.

3. Plastisitas (Atterberg) Kandungan air sangat berpengaruh terhadap perilaku tanah berbutir halus, sehingga tingkatan plastis tanah dapat ditentukan apabila batas plastis dan batas

cairnya telah diketahui. Tingkat plastisitas tanah ditentukan berdasarkan Indeks Plastisitas (IP) (tabel 6 dan 7). Dari data hasil pengujian Atterberg limit dihasilkan data batas cair 50,49 %, batas plastis 26.05 % dan indek plastisitas (IP) sebesar 24,43 %. Jika data ini diplotkan pada tabel di atas maka terlihat bahwa sampel memiliki mineral lempung kaolinite dengan nilai IP di atas 17 % sehingga bersifat plastisitas tinggi. Nilai plastisitas ini menunjukkan bahwa semakin besar nilai numeriknya, semakin besar terjadinya susut pada waktu proses menjadi kering, atau peka terhadap pertambahan air. Selain IP bisa menentukan jenis tanah, IP juga bisa memprediksikan tingkat pengembangannya (tabel 8). Sampel tanah yang diujikan dengan IP 24,43 % memiliki tingkat pengembangan yang tinggi.

Tabel 4. Specific Gravity tanah (Hardiyatmo, 2006)

Tabel 5. Specific Gravity mineral tanah (Das, 1994)

Tabel 6. harga-harga batasan atterberg untuk mineral lempung (Mitchell, 1976)

Tabel 7. Nilai Indexs plastisitas dan macam tanah (Chen, 1975)

Tabel 8. Korelasi nilai IP dengan tingkat pengembangan

Page 67: Jurnal Widya Prabha 2014 - purbakalayogya.compurbakalayogya.com/main/fungsi/code/download.php?file=jurnal... · ... bahwa di dalam melaksanakan pembangunan harus memperhitngkan dimensi

Jurnal Widya Prabha 2014

65

Jurnal Widya Prabha 2014

4. Aktifitas (Kriteria Skempton (1953)) Hasil pengujian index properties dapat digunakan untuk mengidentifikasi tanah ekspansif. Hardiyatmo (2006) merujuk pada Skempton (1953) mendefinisikan aktivitas tanah lempung sebagai perbandingan antara Indeks Plastisitas (IP) dengan prosentase butiran lolos saringan No.200 dihasilkan :

Ac (Aktivitas) = 200≠fine

IP

= = 0,3495

Sehingga dengan nilai aktivitas 0,3495 tanah yang diaplikasikan di Kotagede merupakan mineral Kaolinite seperti juga dijelaskan sesuai parameter lainnya (tabel 9).

Struktur Kaolinite berbentuk lembaran-lembaran atau plat yang bertumpuk-tumpuk (gambar 7). Kaolinite merupakan mineral dari kelompok kaolin, terdiri dari

susunan satu lembaran silika tetrahedra dengan lembaran aluminium oktahedra, dengan satuan susunan setebal 7,2 Å. Kedua lembaran terikat bersama-sama, sedemikian rupa sehingga ujung dari lembaran silika dan satu dari lapisan lembaran oktahedra membentuk sebuah lapisan tunggal. Dalam kombinasi lembaran silika dan aluminium, keduanya terikat oleh ikatan hidrogen. Pada keadaan tertentu, partikel kaolinite mungkin lebih dari seratus tumpukan yang sukar dipisahkan. Karena itu, mineral ini stabil dan air tidak dapat masuk di antara lempengannya untuk menghasilkan pengembangan atau penyusutan pada sel.

5. Swelling Test Sifat lempung yang lain yang harus diketahui adalah proses pengembangan (swelling) dan penyusutannya (Shrinking) yaitu dengan menggunakan swelling test. Dari hasil swelling test sampel lempung yang diaplikasikan dikotagede menghasilkan 0,38% swell. Berdasarkan tabel 10 di bawah ini lempung yang diaplikasikan di Kotagede termasuk pada kategori < 2 sehingga potensial pengembangannya rendah /low.Tabel 9. Hubungan mineral lempung dengan aktivitasnya

(Skempton and Mitchel)

Gambar 7. a) Diagram skematik struktur kaolinit (lambe,1953)

b) Struktur atom Kaolinit (Grin, 1959)

Tabel 10. hubungan potensi mengembang dengan tekanan mengembang menurut Gracia-Iturbe (1980)

Gambar 8. Mekanisme kembang susut pada partikel lempung

24,43 %69,89 %

Page 68: Jurnal Widya Prabha 2014 - purbakalayogya.compurbakalayogya.com/main/fungsi/code/download.php?file=jurnal... · ... bahwa di dalam melaksanakan pembangunan harus memperhitngkan dimensi

66

Jurnal Widya Prabha 2014Jurnal Widya Prabha 2014

Proses kembang-susut ini sebagian besar adalah akibat peristiwa kapiler atau perubahan kadar air pada tanah tersebut. Pengurangan kadar air yang diikuti oleh kenaikan tegangan efektif menyebabkan volume tanah menyusut dan sebaliknya penambahan kadar air menyebabkan pengembangan. Hal ini yang terjadi saat lempung diaplikasikan sebagai spesi, akan terjadi kembang susut dan juga hal ini dipengaruhi oleh sifat plastisitasnya. Jika kembang susutnya besar maka kestabilan struktur bangunan akan terganggu.

V. Kesimpulan dan SararnA. Kesimpulan

1. Tanah lempung yang diaplikasikan di Benteng Cepuri Kotagede berdasarkan beberapa pengujian adalah sebagai berikut: a. Jenis tanah berbutir halus (lanau/

lempung/ fine-grained soils) karena lebih dari 50% lolos saringan nomor 200 yaitu sebanyak 69,89%, Sand/pasir sebesar 30.11% dan Gravel/kerikil 0%.

b. Berdasarkan beberapa pengujian aktivitas dan parameter lainnya menunjukkan sampel lempung adalah jenis Kaolinite. Mineral Kaolinite, mempunyai ukuran partikel yang lebih besar dan mempunyai sifat pengembangan yang lebih kecil. Berdasarkan susunan partikelnya, kaolinite jika memiliki lebih dari seratus tumpukan (layer) maka akan sukar dipisahkan. Karena mineral ini

akan stabil dan air tidak dapat masuk di antara lempengannya untuk menghasilkan pengembangan atau penyusutan pada sel. Berdasarkan swelling test, sampel lempung yang diaplikasikan di Kotagede termasuk pada kategori < 2 sehingga potensial pengembangannya rendah.

c. Sampel yang diujikan dengan IP (index plustisitas) 24,43% memiliki tingkat plastisitas yang tinggi karena berada pada level >17. Nilai IP (index plastisitas) tinggi menunjukan lempung tersebut peka terhadap perubahan kadar air (memiliki kembang-susut yang besar), sehingga pengaruhnya terhadap daya dukung atau kekuatan lempung rendah. Pada saat lempung sudah melewati batas plastis maka lempung akan bersifat cair dan daya lengketnya sudah menurun bahkan habis.

2. Lempung yang diaplikasikan di Benteng Cepuri memiliki batas cair yang tinggi sehingga mempunyai sifat teknik yang buruk, yaitu daya dukungnya rendah / kekuatannya rendah, pemampatannya tinggi dan sulit memadatkannya. Oleh karena itu lempung dalam keadaan aslinya dengan atau tanpa bahan tambahan perlu diproses. Karena sifat muai susutnya yang besar, sehingga tidak dapat langsung digunakan dalam keadaan aslinya.

B. Saran1. Hasil dari aplikasi lempung di Benteng Cepuri

perlu dilakukan monitoring secara rutin sehingga dapat diketahui efektifitas bahan tersebut.

2. Untuk dijadikan bahan perekat antar batuan maka dibutuhkan lempung yang memiliki plastisitas tinggi sehingga tidak mudah terurai menjadi cair dan nilai kohesivitas yang tinggi.

3. Penggunaan lempung yang disarankan sebagai bahan perekat yaitu lempung jenis bentonit (monmorrillonite) karena memiliki kohesivitas

Gambar 9. Mekanisme kembang susut pada partikel lempung yang stabil

Page 69: Jurnal Widya Prabha 2014 - purbakalayogya.compurbakalayogya.com/main/fungsi/code/download.php?file=jurnal... · ... bahwa di dalam melaksanakan pembangunan harus memperhitngkan dimensi

Jurnal Widya Prabha 2014

67

Jurnal Widya Prabha 2014

yang tinggi, batas cair yang tinggi. Atau disebut juga lempung golongan 2:1 karena memiliki dua lapis golongan oksida silikon yang mengapit satu lapis oksida aluminium. Mineral lempung golongan 2:1 memiliki sifat elastis yang kuat jika dibandingkan dengan Kaolinite (tabel 10).

No Material Batas cair

(%)

Batas plas-

tik(%)

Batas

susut(%)1 Monmorril-

lonite

100-900 50-100 8,5 - 15

2 Kaolinite 30-100 25-40 25 - 29

*) Penulis adalah staf di Balai Pelestarian Cagar Budaya

Yogyakarta

Daftar Pustaka:

Das, Braja M, 1990, “Principles of foundation Engineering”, Second Edition, PWS – KENT Publishing Company, 1990.

Das, Braja M, (translated by Mochtar.N.E and Mochtar I.B.), 1995, “Mekanika Tanah (Prinsip prinsip Rekayasa Geoteknis) Jilid I”, Erlangga, Jakarta.

Annual Books of ASTM Standards, 1989, American Society for Testing Material, Philadelphia.

Hardiyatmo, Hary Christady, 1996, “Mekanika Tanah 1”, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

Tabel 10. Perbandingan Monmorrillonite dengan Kaolinite

Page 70: Jurnal Widya Prabha 2014 - purbakalayogya.compurbakalayogya.com/main/fungsi/code/download.php?file=jurnal... · ... bahwa di dalam melaksanakan pembangunan harus memperhitngkan dimensi

68

Jurnal Widya Prabha 2014Jurnal Widya Prabha 2014

I. Pendahuluan

Perilaku dan aksi manusia pada dasarnya merupakan aktivitas subjek yang sulit diprediksi, hal ini karena mempunyai kompleksitas permasalahan tinggi, bersifat dinamis, berproses, dan terus berubah (Skinner, BF., 2013 : 22). Apalagi perilaku subjek itu tidak hanya secara individual saja, tetapi dapat dilakukan secara bersama-sama dan menyatu dalam suatu keinginan bersama.Hal itu tentu membutuhkan pendekatan, pemahaman,serta penanganan secara komprehensif dan seksama. Peraturan perundangansebagai perangkat pengendali pada dasarnya dibuat untuk individu dan masyarakat dengan tujuan untuk membangun ketertiban, ketaatan, dan disiplin yang bersifat mengikat. Sebuah pertanyaan muncul, apakah di dalam konteks masyarakat itu adakah hukum yang dapat mengikat warganya secara menyeluruh? Pada dasarnya tidak ada hukum yang dapat mengikat dan mengendalikan warganya kecuali atas dasar kesadaran hukum semua warga untuk menaati peraturan yang ada (Salman, 2004: 49). Peraturan dan hukum dibuat dengan tujuan untuk mengendalikan perilaku dan menumbuh-kembangkan norma-norma untuk individu dan masyarakat. Sistem hukum yang ada dalam perspektif rasionalitas formal, yaitu sistematisasi norma-norma umum dan pola keteraturan prosedural, pada dasarnya tidak ada yang sempurna dan dapat mengikat serta secara tuntas menyelesaikan permasalahan yang timbul. Menurut Max Weber bahwa hukum merupakan suatu tertib yang memaksa yang mempunyai dukungan potensial

dari negara. Sejalan dengan hal itu, menurut pendapat Durkheim sebagaimana dikutip oleh Salman (2004: 45-46), merumuskan bahwa hukum adalah suatu kaidah-kaidah yang bersanksi (every precept of law can be defined as a rule of sanctioned conduct). Terkait dengan hal itu maka untuk menegakkan peraturan perundangan yang ada diperlukan aparat yang bersih dan berwibawa dalam mengawal undang-undang, serta mampu menegakkan aturan yang berlaku secara konsisten dan kosekuen.

Penegakan hukum (law enforcement) aturan sesuai perundangan yang berlaku khususnya dalam bidang pelestarian cagar budaya di Indonesia, diampu oleh instansi UPT Kebudayaan Pusat yang ada di daerah (Balai Pelestarian Cagar Budaya atau BPCB, Balai Konservasi Borobudur, dan Balai Manusia Purba Sangiran). Upaya itu dilakukan mengingat keberadaan cagar budaya, baik benda, bangunan, struktur, situs, dan kawasan mempunyai urgensi untuk dilestarikan karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, kebudayaan, agama, dan / atau pendidikan. Penanganan pelindungan pada umumnya dan penegakan hukum khususnya harus dilakukan secara komprehensif.

Khusus untuk Daerah Istimewa Yogyakarta upaya itu dilakukan oleh BPCB bekerjasama secara komprehensif dengan pemangku kepentingan terkait, yaitu Kepolisian RI dan SKPD di bidang kebudayaan, baik DIY maupun Kabupaten / Kota, serta berbagai peran yang dilakukan masyarakat, kalangan akademik, dan lembaga swadaya. Beberapa institusi tersebut melakukan tugas fungsi, baik melalui langkah-langkah kerja yang bersifat imperatif, preventif, dan represif. Sebagai dasar hukum atau landasan kebijakan pelestarian yang dilakukan adalah Undang-undang

Penegakan Hukum Cagar Budaya :Sebuah Tantangan

Oleh :Drs. Ign. Eka Hadiyanta, MA*

Page 71: Jurnal Widya Prabha 2014 - purbakalayogya.compurbakalayogya.com/main/fungsi/code/download.php?file=jurnal... · ... bahwa di dalam melaksanakan pembangunan harus memperhitngkan dimensi

Jurnal Widya Prabha 2014

69

Jurnal Widya Prabha 2014

RI (UURI) No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Khusus dalam hal implementasi kerja terutama secara represif maka sebagai pelaksana penyidikan yaitu PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil) yang diberi kewenangan khusus menegakkan peraturan perundangan di bidang cagar budaya. Terkait dengan hal itu ada pertanyaan, bagaimana tugas kewenangan PPNS dan manajemen pelaksanaan penyidikan, implementasi penegakan hukum yang dilakukan, serta peluang – tantangan PPNS dalam melaksanakan ketugasannya?

II. Hukum dan Fungsinya: Upaya Pengendalian Secara garis besar hukum mempunyai fungsi sebagai alat pengendalian, mengubah masyarakat, membangun ketertiban, pengaturan, mewujudkan keadilan, penggerak pembangunan, dan pengayoman. Sebagai kaidah positif maka hukum, menurut Sjahran Basah, sebagaimana dikutip oleh Akhdiat (2011: 29-30) mempunyai fungsi yaitu sebagai berikut: direktif, integratif, stabilitatif, dan korektif. Artinya, bahwa hukum mempunyai fungsi yang terkait dengan aspek pengatur atau pengarah; mempersatukan berbagai hal agar kondisinya stabil, serta menjadi acuan evaluasi perilaku manusia. Oleh karena itu, hukum selalu terkait erat dengan pengaturan perilaku manusia, baik secara individu maupun sebagai anggota dalam kelompok masyarakat. Pengaturan perilaku manusia di dalam perspektif hukum harus tunduk kepada asas legalitas, artinya tidak ada suatu perbuatan manusia dapat dipidana, kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam Peraturan Perundang-Undangan yang telah ada sebelum perbuatan itu dilakukan (Pasal 1 Ayat (1) KUHP). Perilaku manusia sebagai subjek di dalam berbagai konfigurasinya tentunya tidak dapat dibiarkan secara bebas begitu saja, terutama dalam berinteraksi antara sesama maupun dengan objek yang dihadapi. Pada dasarnya perilaku dan proses interaksi yang dilakukan dapat dikenakan batasan-batasan sebagai frame

pengendali. Kerangka pengendalian itu dapat dilakukan oleh berbagai pihak, baik oleh adanya agen-agen lembaga pengendali formal maupun informal, terutama oleh institusi pemerintahan dengan berbagai hal yaitu implementasi kebijakan, norma-norma, dan praktek-praktek penegakan hukumnya (Skinner, BF., 2013: 514, 519). Kerangka yang dapat dikatagorikan sebagai wujud tahapan pengendalian hukum adalah upaya imperatif dan preventif. Pada umumnya BPCB di seluruh Indonesia secara relatif sudah melakukan implementasi program kegiatan imperatif dan preventif secara baik. Sedangkan untuk langkah represif pada umumnya BPCB saat ini (2014) secara keseluruhan belum melaksanakan sesuai yang diharapkan di dalam amanat UURI No. 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya.

A. Langkah Imperatif: Upaya Persuasif Di dalam upaya pelestarian cagar budaya

umumnya dan pelindungan khususnya maka diperlukan langkah-langkah imperatif dan persuasif. Langkah itu dilakukan sebagai upaya membangun kesadaran tentang makna dan nilai-nilai yang dikandung berbagai wujud cagar budaya baik berupa benda, bangunan, struktur, situs, dan kawasan. Berbagai nilai penting cagar budaya, baik sejarah, ilmu pengetahuan, kebudayaan, agama, dan pendidikan perlu terus dilakukan internalisasi kepada masyarakat luas dengan cara sosialisasi dan pembelajaran. Internalisasi merupakan upaya membangun kesadaran bersama untuk membentuk rasa memiliki, rasa bangga, rasa berkewajiban untuk dapat bertanggungjawab tentang arti pentingnya melestarikan nilai-nilai dan keberadaan cagar budaya.

Proses internalisasi tentang berbagai aspek cagar budaya dapat dilakukan melalui berbagai cara baik formal, non-formal, dan informal, upaya itu merupakan proses

Page 72: Jurnal Widya Prabha 2014 - purbakalayogya.compurbakalayogya.com/main/fungsi/code/download.php?file=jurnal... · ... bahwa di dalam melaksanakan pembangunan harus memperhitngkan dimensi

70

Jurnal Widya Prabha 2014Jurnal Widya Prabha 2014

penanaman nilai-nilai penting cagar budaya. Beberapa ahli, Peter L. Berger dan Lawang, Horton dan Hunt menyebutkan bahwa proses mempelajari nilai, norma, partisipasi, dan berkontribusi dalam peran, hal itu merupakan prinsip atau makna sosialisasi (Akhdiat dan Marliani, 2011: 36). Proses itu dilakukan agar dapat membangun pemahaman tentang eksistensi ruang dan waktu, menguatkan memori individu, serta memori kolektif di tengah masyarakat, agar dapat mempunyai kesadaran bersama tentang pentingnya meneguhkan wawasan keberlanjutan. Wawasan keberlanjutan sangat penting mengingat cagar budaya mempunyai sifat tidak terbarukan, terbatas, mudah rusak, dan unik, sehingga prinsip-prinsip autentisitas ataupun originalitas dikedepankan sebagai urgensi pelestarian. Harapannya dapat melakukan eksternalisasi dengan wujud tindakan nyata untuk menjadi pelaku maupun ikut berpartisipasisebagai pelestari aktif.

Langkah imperatif dan meyakinkan atau persuasif merupakan tahap awal dalam membangun kepercayaan masyarakat. Kepercayaan masyarakat untuk sadar mengikuti norma-norma, peraturan, dan memaknai berbagai nilai harus terus diintroduksikan secara terus menerus. Dengan demikian, kesadaran, ketaatan, dan ketertiban akan menjadi pola perilaku dan model sebuah habitus baru bagi masyarakat. Berbagai langkah imperatif yang dilakukan adalah dengan berbagai cara, antara lain: sosialisasi atau publikasi, dokumentasi, penerbitan buku, jurnal, dan buletin, audio-visual, dan publikasi media cetak – elektronik.

B. Upaya Preventif Langkah pencegahan merupakan bagian

dari antisipasi terhadap munculnya perilaku tindak pidana. Pencegahan sebagai langkah pengendalian realita konkrit menerapkan atau implementasi program kebijakan dalam dimensi fisik artefaktual (benda, bangunan, struktur) dan ruang spasial (situs dan kawasan). Sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan cagar budaya yang ada (UURI No. 11 tahun 2010) merupakan bagian pengaturan pelindungan cagar budaya. Bentuk tindakan-tindakan pelindungan cagar budaya, antara lain kegiatan penyelamatan, pengamanan, zonasi atau penetapan batas-batas situs, pemeliharaan, dan pemugaran.

Pertama, upaya penyelamatan cagar budaya yang dimiliki pada dasarnya berhak dilakukan oleh setiap orang, baik dalam keadaan darurat atau memaksa. Penyelamatan dilakukan untuk mencegah kerusakan karena faktor manusia dan / atau alam yang mengakibatkan berubahnya keaslian dan berbagai nilai yang dikandungnya. Di samping itu, juga untuk mencegah pemindahan dan beralihnya kepemilikan dan / atau penguasaan cagar budaya yang bertentangan dengan peraturan yang berlaku (pasal 57 – 58).

Kedua, pengamanan dilakukan untuk menjaga dan mencegah cagar budaya agar tidak hilang, hancur, atau musnah. Hal itu wajib dilakukan oleh pemilik ataupun yang menguasainya, baik individu, lembaga, maupun pemerintah. Pelaksana pengamanan dilakukan oleh juru pelihara dan / atau polisi khusus. Di samping itu, masyarakat juga dapat berpartisipasi dalam pelaksanaan pengamanan cagar budaya. Implementasi pengamanan ini dapat dilakukan dengan memberi pelindung, melakukan penyimpanan, dan menempatkan ke lokasi yang terhindar dari gangguan ancaman alam dan manusia (pasal 65). Ketentuan pengamanan

Page 73: Jurnal Widya Prabha 2014 - purbakalayogya.compurbakalayogya.com/main/fungsi/code/download.php?file=jurnal... · ... bahwa di dalam melaksanakan pembangunan harus memperhitngkan dimensi

Jurnal Widya Prabha 2014

71

Jurnal Widya Prabha 2014

yang pokok adalah adanya larangan untuk tidak boleh merusak dan mencuri, serta ketentuan persyaratan untuk izin kepada pemerintah dan pemerintah daerah bagi yang memindahkan dan memisahkannya.

Ketiga, pengaturan zonasi atau penetapan batas-batas situs cagar budaya ke dalam sistem pembagian ruang spasial yaitu : zona inti, penyangga, pengembangan dan / atau penunjang. Di masing-masing zona itu sudah ditentukan peruntukan dan fungsi ruangnya secara konkrit.

Keempat, upaya pemeliharaan cagar budaya wajib dilakukan oleh setiap orang dengan cara dan persyaratan tertentu. Kegiatan yang dilakukan yaitu dengan cara merawat untuk mencegah dan menanggulangi kerusakan akibat pengaruh alam dan/atau manusia.

Kelima, melakukan pemugaran bangunan dan struktur cagar budaya, hal itu untuk memulihkan kondisi fisik dengan cara memperbaiki, memperkuat, dan / atau mengawetkan melalui pekerjaan rekonstruksi, konsolidasi, rehabilitasi, dan restorasi (pasal 77).

Berbagai langkah tersebut di atas, diharapkan menjadikan perilaku masyarakat akan mengacu dan menyesuaikan berbagai ketentuan serta pengaturan detraktif, serta pembatasan-pembatasan dalam rangka pencegahan terhadap adanya pelanggaran. Di sisi lain kepastian hukum keberadaan cagar budaya dapat terjamin, sehingga upaya pelindungan cagar budaya dapat dilakukan secara maksimal. Aspek preventif tersebut merupakan implementasi amanat perundangan yang harus diwujudkan oleh lembaga pemerintah yang mempunyai tugas dan fungsi yang bertanggungjawab terhadap pelestarian cagar budaya. Berbagai pemangku kepentingan ataupun stake holder, yaitu Pemerintah (BPCB), Pemerintah Daerah, POLRI, Akademisi,

masyarakat, LSM, dan swasta secara komprehensif perlu melakukan langkah-langkah konkrit dalam mengkonfigurasikan perannya. Terutama partisipasi masyarakat mempunyai urgensi di dalam mensukseskan upaya-upaya imperatif dan preventif yang dilakukan pemerintah dan pemerintah daerah.

III. PPNS dan Implementasi Penegakan Hukum Cagar Budaya

Cagar budaya perlu terus dijaga keberadaannya terutama melalui upaya pelindungan terhadap gangguan dan ancaman yang berakibat kerusakan, hilang maupun musnah. Gangguan itu dapat diakibatkan oleh berbagai ancaman, baik peperangan, infiltrasi budaya asing, bencana, penggunaan cagar budaya sebagai objek “perdagangan gelap”, dan aktivitas para kolektor yang tidak bertanggung jawab yang mendapatkan koleksinya secara gelap (Hardjasoemantri, 2005). Cagar budaya sebagai objek perdagangan gelap semata dan aktivitas orang-orang yang tidak bertanggung jawab dapat memicu berbagai ancaman pencurian dan perusakan. Adanya ancaman perlu adanya tindakan penegakan hukum yang mencakup pelaksanaan dan penerapan hukum, serta melakukan tindakan hukum terhadap setiap pelanggaran ataupun penyimpangan yang dilakukan oleh subjek hukum. Hal itu dilakukan untuk mengatur dan mengikat subjek hukum dalam semua aspek kehidupan. Dalam arti sempit penegakan hukum merupakan bagian upaya represif yang meliputi kegiatan penindakan terhadap setiap pelanggaran, penyimpangan, dan tindak pidana sebagaimana diatur dalam peraturan perundangan.

Page 74: Jurnal Widya Prabha 2014 - purbakalayogya.compurbakalayogya.com/main/fungsi/code/download.php?file=jurnal... · ... bahwa di dalam melaksanakan pembangunan harus memperhitngkan dimensi

72

Jurnal Widya Prabha 2014Jurnal Widya Prabha 2014

A. Upaya RepresifUpaya represif ini bukan dalam arti

penerapan “hukum represif”, yaitu memandang hukum sebagai alat kekuasaaan pemerintah semata dengan kekuasaan tanpa batas (Salman, 2004: 94). Akan tetapi, merupakan wujud implementasi atau upaya penegakan hukum yang dilakukan apabila ada perilaku individu maupun kelompok yang melakukan tindak pidana dan melanggar ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundangan yang berlaku. Di dalam UURI No. 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya secara jelas diatur adanya larangan-larangan yang mengandung konsekuensi yuridis dengan penerapan sanksi-sanksi hukum. Mengingat bahwa hukum merupakan suatu tata tertib yang mempunyai kekuatan memaksa dan secara substantif mempunyai suatu kaidah-kaidah yang bersanksi serta mempunyai dukungan dari negara. Penegakan hukum pada akhirnya mempunyai tujuan untuk “mendidik” orang yang telah melakukan kejahatan agar jangan mengulangi kejahatan kembali. Di samping itu, juga untuk memperbaiki orang agar tabiatnya menjadi lebih baik dan bermanfaat bagi masyarakat (Prodjodikoro, 1986: 18). Diharapkan penegakan hukum dapat berdampak positif dan menjadi sarana refleksi diri untuk arah perbaikan kualitas diri.

Pengaturan yang mengandung sanksi hukum atau ketentuan pidana di dalam perundangan cagar budaya terutama diatur dalam pasal 101 sampai dengan pasal 112, sedangkan pasal 113 – 114 merupakan pengaturan hukuman bagi tindakan yang dilakukan oleh badan usaha dan orang yang memberi perintah akan ditambah 1/3 dari hukuman sebagaimana diatur dalam pasal 101 sampai dengan pasal 112. Khusus untuk pasal 115 merupakan hukuman tambahan yaitu kewajiban mengembalikan keaslian bangunan yang dirusak dan perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindakan pidana. Implementasi

represif pelanggaran peraturan perundangan bidang cagar budaya tersebut dilakukan oleh PPNS bekerjasama dengan bagian koordinasi - pengawasan oleh POLRI (KORWAS PPNS POLDA atau POLRES setempat), serta institusi Kejaksaan, dan Badan Peradilan.

Penerapan aturan dalam rangka upaya represif tentang perundangan cagar budaya diharapkan dapat mencegah, mengurangi, dan membawa efek jera terhadap pelanggaran tindak pidana cagar budaya secara signifikan. Sejak diundangkannya UURI No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, perundangan ini belum ditegakan sebagaimana mestinya. Hal ini didasarkan realita bahwa di dalam setiap pelanggaran hukum cagar budaya masih sangat sedikit upaya penegakan hukum yang dilakukan. Artinya, eksistensi PPNS yang mempunyai ketberanian dan dapat melakukan penyidikan atau pemberkasan secara tuntas, bahkan sampai berhasil maju ke pengadilan perlu direalisasikan dan menjadi urgensi bersama. Oleh karena itu, secara nasional hal itu tentu masih perlu didorong secara sistemik, baik tata kelola organisatoris maupun implementasinya dengan terus menerus.

Instansi UPT BPCB di Indonesia sebagai instansi teknis yang mempunyai tugas dan kewenangan menegakkan peraturan perundangan tersebut harus mampu menegakkan perundangan tersebut sampai tuntas. Berbagai perangkat perundangan secara eksplisit mendukung kewenangan penegakan hukum itu secara tuntas.Keberadaan PPNS sebagaimana amanat UURI No. 11 sebTahun 2010 tentang Cagar Budaya berperan sangat penting di dalam upaya penegakan hukum cagar budaya di Indonesia.

Sesuai amanat pasal 100 (2) kedudukan yang terkait dalam tugas dan wewenang dalam bidang penegakan hukum tersebut meliputi tindakan antara lain: menerima laporan atau

Page 75: Jurnal Widya Prabha 2014 - purbakalayogya.compurbakalayogya.com/main/fungsi/code/download.php?file=jurnal... · ... bahwa di dalam melaksanakan pembangunan harus memperhitngkan dimensi

Jurnal Widya Prabha 2014

73

Jurnal Widya Prabha 2014

pengaduan; melakukan tindakan pertama di TKP; menyuruh berhenti seorang tersangka; melakukan penggeledahan dan penyitaan; melakukan pemeriksaan dan penyitaan barang bukti; mengambil sidik jari dan memotret tersangka; memanggil dan memeriksa tersangka dan / atau saksi; mendatangkan seorang ahli; membuat dan menandatangani berita acara; menghentikan penghentian penyidikan apabila tidak cukup bukti tentang adanya tindak pidana di bidang cagar budaya.

Proses penyidikan yang dilakukan tersebut harus memenuhi ketentuan Undang-undang yang menjadi dasar hukumnya (UURI No. 11 Tahun 2010, UURI No 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, serta implementasinya menerapkan manajemen penyidikan sebagaimana diatur dalam Peraturan KAPOLRI No. 6 Tahun 2010.

B. Tugas dan Kewenangan PPNS Cagar BudayaPada dasarnya dasar hukum keberadaan

Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) diatur di dalam Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dalam pasal 6 (1) huruf a disebutkan bahwa “Penyidik adalah pejabat polisi negara RI”; huruf b : “Pejabat Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang. Penyidik sebagaimana dimaksud dalam pasal itu yaitu wewenang yang dimiliki adalah sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukum masing-masing dan dalam pasal 7 (2) KUHAP disebutkan bahwa pelaksanaan tugas PPNS berada di bawah koordinasi dan pengawasan (KORWAS) penyidik Polisi Republik Indonesia(POLRI), yaitu Kasi KORWAS PPNS di Direktorat Reserse Kriminal Khusus. Pada dasarnya kondisi ini sesuai dengan kerangka atau sistem penyidikan tindak pidana di dalam “Criminal Justice Siystem” dipertanggungjawabkan kepada penyidik POLRI.

Dalam pasal 95 UURI No. 11 tahun 2010

tentang Cagar Budaya bahwa salah satu tugas pemerintah dan / atau Pemerintah Daerah mempunyai tugas melakukan pelestarian baik dengan cara pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan cagar budaya. Sedangkan pasal 96 bahwa pemerintah dan / atau pemerintah daerah mempunyai beberapa kewenangan, yaitu 1) Mengkoordinasikan pelestarian cagar budaya melalui lintas sektoral; 2) Melakukan penyidikan kasus pelanggaran hukum maupun kejahatan terhadap cagar budaya. Tugas dan kewenangan tersebut inheren dengan penyidikan yang dilakukan oleh PPNS. Dalam pasal 100 (1) disebutkan bahwa “penyidik pegawai negeri sipil merupakan pejabat pegawai negeri sipil yang lingkup tugas dan tanggungjawabnya di bidang pelestarian, khususnya penegakan hukum cagar budaya yang diberi wewenang khusus melakukan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang tentang Hukum Acara Pidana serta peraturan perundangan tindak pidana Cagar Budaya” (UURI No. 11 Tahun 2010).

Berdasarkan pengaturan pasal 100 (1) itu maka dapat dikatakan bahwa PPNS cagar budaya merupakan penyidik yang bersifat mandiri atau tunggal. Artinya bahwa PPNS cagar budaya mempunyai kewenangan “besar” dalam bidang penanganan tindak pidana cagar budaya. Kewenangan yang dimiliki diatur dalam pasal 100 (2) yaitu sebagai berikut: 1. Menerima laporan atau pengaduan;2. Pemeriksaan di TKP (Tempat Kejadian

Perkara); 3. Melakukan penggeledahan dan sita

barang bukti; 4. Pendokumentasian sidik jari dan

pemotretan; 5. Memanggil dan memeriksa tersangka

dan saksi;

Page 76: Jurnal Widya Prabha 2014 - purbakalayogya.compurbakalayogya.com/main/fungsi/code/download.php?file=jurnal... · ... bahwa di dalam melaksanakan pembangunan harus memperhitngkan dimensi

74

Jurnal Widya Prabha 2014Jurnal Widya Prabha 2014

6. Mendatangkan saksi ahli; 7. Membuat berita acara pemeriksaan; 8. Menghentikan penyidikan jika tidak

cukup bukti tentang adanya tindak pidana di bidang cagar budaya.

Dalam hal tugas penyidikan tindak pidana cagar budaya, penyidik POLRI mempunyai kewenangan terbatas, yaitu sebagai KORWAS PPNS (pasal 100 (3)). Konsekuensi logis dan yuridis aturan itu bahwa penanganan tindak pidana cagar budaya sebagaimana diamanatkan UURI No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya tidak akan dapat dilakukan secara tuntas sampai dengan penuntutan oleh JPU (jaksa penuntut umum) apabila pemberkasan atau (berita acara pemeriksaan) tidak dilaksanakan, dan ditandatangani sendiri oleh PPNS.

Untuk mendukung tugas kewenangannya yang khusus itu, maka syarat-syarat pengangkatan SDM (sumberdaya manusia) PPNS terus ditingkatkan. Dalam Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983,bahwa PPNS sekurang-kurangnya berpangkat Pengatur Muda Tingkat I /Golongan II / b, kemudian berdasarkan Peraturan KAPOLRI No. 26 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pendidikan dan Latihan PPNS syarat itu ditingkatkan, hal itu untuk mendukung tugas dan kewenangannya itu. Beberapa perubahan dan peningkatan syarat itu antara lain: berpangkat paling rendah Penata Muda/golongan III/a serta berpendidikan paling rendah sarjana hukum atau sarjana lain yang setara. Dalam mengimplementasikan tugas dan kewenangannya itu maka diperlukan suatu tata kelola organisasi di UPT BPCB yang mendukung ketugasan PPNS secara komprehensif, baik kebijakan, program kegiatan, pembinaan, dan pendanaan yang bijak serta memadai.

C. Manajemen Penyidikan PPNS Hakekat penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam rangka mengumpulkan barang bukti untuk membuat terang suatu perkara tindak pidana guna menentukan seseorang sebagai tersangka. Dalam hal ini penyidik dituntut untuk melakukan pembuktian dengan mengacu kepada pasal 184 KUHAP (1), yaitu alat bukti yang sah adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Beberapa alat bukti itu kemudian dilakukan analisis, baik terkait dengan kesaksian, barang bukti, dan keberadaan pelaku. Langkah-langkah pembuktian yang dilakukan adalah penanganan TKP agar tetap status quo; pendokumentasian TKP; mencari, mengumpulkan, dan mengidentifikasikan barang bukti serta hasil wawancara. Dengan pendekatan teknik dan taktik penyidikan maka penanganan yang dilakukan akan dapat memenuhi asas legalitas untuk langkah-langkah lebih lanjut ke dalam penanganan penyelidikan, penindakan, dan pemeriksaan. Langkah-langkah penanganan itu harus dilaksanakan secara benar dan sah menurut peraturan perundangan serta dengan tata kelola pengorganisasian atau manajemen penyidikan. Pada dasarnya manajemen mempunyai pengertian proses dimana suatu kelompok secara bekerja sama mengarahkan dan mengkoordinasikan tindakannya untuk mencapai tujuan bersama. Proses tata kelola pelaksanaan kegiatan tersebut berdasarkan perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengendalian, pengawasan, serta evaluasi (Arsyad, 2003: 1, 15).Unsur-unsur utama di dalam pelaksanaan manajemen itu yaitu ide-ide, manusia, dan sesuatu yang terkait dengan proses manajerial. Proses kegiatan akan dapat dilakukan secara baik, efektif, dan efisien apabila menerapkan aspek itu. Tidak terkecuali

Page 77: Jurnal Widya Prabha 2014 - purbakalayogya.compurbakalayogya.com/main/fungsi/code/download.php?file=jurnal... · ... bahwa di dalam melaksanakan pembangunan harus memperhitngkan dimensi

Jurnal Widya Prabha 2014

75

Jurnal Widya Prabha 2014

di dalam pelaksanaan proses penyidikan suatu tindak pidana oleh PPNS. Untuk melaksanakan tata kelola penyidikan secara efektif dan efisien, maka PPNS mengacu kepada aspek manajemen penyidikan yang diatur di dalam Peraturan KAPOLRI No. 6 Tahun 2010 tentang Manajemen Penyidikan oleh PPNS. Manajemen penyidikan PPNS adalah pengelolaan penyidikan tindak pidana yang dilakukan oleh PPNS secara terencana, terorganisir, terkendali, sehingga penyidikan dapat berjalan secara efektif dan efisien. Manajemen penyidikan secara menyeluruh di dalam kasus tindak pidana cagar budaya meliputi proses penanganan yang diawali dengan adanya Laporan Kejadian, Proses Penyelidikan, Proses Penyidikan (pemberkasan/BAP), Resume Berita Acara Pemeriksaan (Saksi, Tersangka, Saksi Ahli), dan Penyerahan Berkas Perkara ke Jaksa Penuntut Umum (JPU) melalui Penyidik POLRIKORWAS PPNS. Alur proses manajemen tersebut sebagai berikut:

Rangkaian manajemen penyidikan oleh PPNS diawali dengan perencanaan untuk menentukan, pertama, menentukan sasaran penyidikan didasarkan: orang yang diduga melakukan pidana, perbuatan pidana, unsur pasal yang akan diterapkan, alat bukti serta barang bukti. Kedua, sumberdaya yang dilibatkan terdiri dari tim pelaksana yang mempunyai otoritas, kredibilitas, kompetensi, dan integritas; sarana prasarana dan anggaran yang diperlukan. Ketiga, cara bertindak meliputi bidang teknis dan prosedur kegiatan penyidikan. Keempat, waktu yang akan digunakan dengan memperhatikan proses kegiatan penyidikan. Kelima, pengendalian penyidikan terdiri dari penyiapan administrasi penyidikan; buku kontrol yang berisi jadwal kegiatan, materi supervisi dan asistensi; jadwal evaluasi kegiatan (perencanaan, pengorganisasian, dan pelaksanaan); laporan kegiatan penyidikan serta data penyelesaian

kasus. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan di dalam perencanaan penyidikan yaitu melakukan inventarisasi fakta dan data untuk menyusun matrik penyidikan. Langkah berikutnya adalah menentukan beberapa hal sebagai berikut : (1) penyidik atau PPNS; (2) saksi, dan pelaku yang akan diperiksa; (3) saksi ahli yang akan diundang; (4) barang bukti; (5) tersangka tindak pidana dan pasal yang disangkakan; (6) penyiapan SPDP (Surat Pemebitahuan Dimulainya Penyidikan; (7) Koordinasi dengan pihak terkait khususnya KORWAS PPNS (POLRI). Di samping itu, dalam proses penyidikan juga dilaksanakan gelar perkara, baik awal (sebelum penyidikan), pertengahan (proses penyidikan), dan akhir. Hal itu dilakukan untuk memperoleh masukan, baik dari pihak internal dan eksternal yang dapat menyempurnakan berkas pemeriksaan. Setelah itu berkas pemeriksaan yang lengkap siap dikirim ke JPU melalui penyidik POLRI. Setelah dilakukan perencanaan maka ditindaklanjuti dengan melakukan pengorganisasian penyidikan baik pengorganisasi sumberdaya, menentukan kriteria sumberdaya manusia PPNS, dan penggolongan pengorganisasian sumberdaya PPNS, baik dalam perkara mudah ( ditangani oleh 2 PPNS), sedang (3 PPNS), sulit (4 PPNS), dan sangat sulit (5 PPNS atau lebih). Diketahuinya tindak pidana dalam bidang kepurbakalaan diawali dengan adanya laporan kejadian, tertangkap tangan, dan diketahui langsung oleh PPNS cagar budaya. Setelah itu dilakukan penyelidikan dan dilanjutkan dengan mulainya proses penyidikan yang terdiri dari beberapa tahapan kerja sebagai berikut: 1. Pengolahan TKP2. Pemberitahuan dimulainya penyidikan,

Page 78: Jurnal Widya Prabha 2014 - purbakalayogya.compurbakalayogya.com/main/fungsi/code/download.php?file=jurnal... · ... bahwa di dalam melaksanakan pembangunan harus memperhitngkan dimensi

76

Jurnal Widya Prabha 2014Jurnal Widya Prabha 2014

3. Pemanggilan,4. Penangkapan (untuk PPNS cagar budaya

dengan meminta bantuan penyidik POLRI).5. Penahanan (untuk PPNS cagar budaya

dengan meminta bantuan penyidik POLRI).6. Penggeledahan dan penyitaan7. Berita Acara Pemerikasaan8. Penyelesaian berkas dan penyerahan

berkas perkara sebagaimana persyaratan manajemen atau tata aturan administrasi penyidikan

9. Pengendalian penyidikan.

Dari beberapa langkah penyidikan tersebut aspek pengendalian penyidikan merupakan langkah dukungan atasan merupakan urgensi yang strategis. Pada dasarnya pengendalian tersebut dilakukan selama proses perencanaan, pengorganisasian, dan pelaksanaan. Hal itu dilakukan sebagai langkah kontrol dan perangkat evaluasi di dalam proses penyidikan. Pihak-pihak yang melakukan pengendalian adalah atasan PPNS dan penyidik POLRI selaku KORWAS. Oleh karena itu, atasan PPNS harus melaksanakan koordinasi lintas sektoral untuk memperlancar tugas-tugas penyidikan. Langkah pengendalian ini diperlukan agar alur manajemen penyidikan tetap di dalam bingkai peraturan yang berlaku dan untuk mewujudkan penegakan hukum sebagaimana undang-undang yang menjadi dasar hukumnya (UURI No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya) secara konsekuen. Makna konsekuen di dalam penegakan hukum cagar budaya yaitu untuk mewujudkan asas pelestarian terutama keadilan, ketertiban, kepastian hukum, keberlanjutan, transparansi, dan akuntabilitas. Di samping itu, juga mengingat tujuan pelestarian dalam hal,“melestarikan warisan budaya bangsa dan warisan umat manusia”.

D. Penegakan Hukum Tindak Pidana Cagar Budaya di Daerah Istimewa Yogyakarta 2013 – 2104

Penanganan penyidikan tindak pidana cagar budaya di Daerah Istimewa Yogyakarta yang dilakukan oleh penyidik PPNS BPCB Yogyakarta bersama POLRI khususnya KORWAS-PPNS POLDA Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 2013-2014 yaitu antara lain: 1) Kasus perusakan bangunan cagar budaya SMA 17 I Yogyakarta; 2) Pencurian koleksi Museum Negeri Sanabudaya Yogyakarta. Penanganan pencurian koleksi di Museum Negeri Sanabudaya Yogyakarta masih terus diintensifkan penyelidikannya dengan melakukan pemeriksaan beberapa saksi. Sampai saat ini belum ditemukan tersangka dan barang bukti benda koleksinya. Untuk kasus penegakan hukum perusakan bangunan cagar budaya SMA 17 I Yogyakarta dapat dilakukan secara tuntas, dari penyidikan sampai berlanjut ke pengadilan. Terkait dengan keberadaan bangunan cagar budaya dan upaya penanganan kasus tersebut yaitu sebagai berikut.1. Status Bangunan Cagar Budaya SMA 17 I

Yogyakarta Status kepemilikan lahan saat ini

masih menjadi permasalahan pelik antara Yayasan SMA 17 I Yogyakarta dengan seseorang bernama Bedasakti R.H. (BRH), yaitu salah seorang putera atau ahli waris Alm. Bonaventura (mantan ketua Yayasan). Kondisi terkahir permasalahan menjadi melebar karena oleh BRH aset tersebut di jual kepada orang lain dan terakhir dijual kepada seseorang yang berdomisili di Purwokerto yaitu MZ (Mohammad Zakaria). Terkait dengan status hukum bahwa bangunan SMA 17 I Yogyakarta tersebut ditetapkan sebagai bangunan Cagar Budaya, No. urut 39, dengan Surat Keputusan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta No. 210/KEP/2010, tanggal 02 September 2010. Ditetapkan sebagai cagar budaya oleh

Page 79: Jurnal Widya Prabha 2014 - purbakalayogya.compurbakalayogya.com/main/fungsi/code/download.php?file=jurnal... · ... bahwa di dalam melaksanakan pembangunan harus memperhitngkan dimensi

Jurnal Widya Prabha 2014

77

Jurnal Widya Prabha 2014

Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, karena bangunan tersebut mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan pendidikan. Nilai-nilai penting itu inheren dengan coraknya sebagai bangunan indis dan dibangun pada masa Hindia Belanda. Secara historis bangunan tersebut dahulu difungsikan untuk asrama atau salah satu markas tentara pelajar di ibu kota Republik Indonesia di Yogyakarta, mulai 17 Juli 19146 sampai dengan tahun 1948. Oleh karena itu, status hukum bangunan tersebut dilindungi dengan peraturan perundangan cagar budaya yang berlaku dan setiap tindakan pidana yang dilakukan terhadap bangunan tersebut ketentuan hukumnya mengacu kepada UURI No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.

2. Kronologi Kasus Perusakan Bangunan Cagar

Budaya. Kronologi ini didasarkan kesaksian Kepala Sekolah SMA 17 I yaitu SYD (Suyadi) dan guru-guru yang menjelaskan secara singkat sebagai berikut.• Ada kejadian yang mendahului

perusakan yaitu pada hari Kamis tanggal 21 Maret 2013 diawali dengan adanya pemasangan pagar besi dan pintu sekolahan digembok atau dikuci. Akibatnya, kegiatan belajar mengajar di sekolahan tersebut mengalami gangguan dan tidak lancar.

• YTH (Yogo T.H.) mendapatkan SPK (Surat Perjanjian Kerja) dari MZ pemilik terakhir yang beralamat dari Kota Purwokerto. Akan tetapi, SPK dari MZ tersebut ditanda tangani oleh BRH, yaitu pemilik sebelumnya.

• Atas dasar SPK tersebut YTH kemudian menunjuk tukang pembongkar atau menggunakan jasa pelaksana

pembongkar bangunan yaitu orang yang bernama HH yang membawa tukang bongkar sebanyak kira-kira 30 orang.

• HH melaksanakan pembongkaran karena mendapatkan SPK dari YTH.

• Pada Hari Sabtu tanggal 11 Mei 2013 pukul 14.45 seseorang suruhan dari pemilik yang beralamat di Purwokerto yang bernama YTH bersama dengan sekitar 30 orang datang dengan membawa palu dan peralatan tukang dan kemudian naik keatas merusak kerpus, menurunkan genting melepas dengan paksa kayu usuk, kayu reng, kayu kerangka kuda–kuda dan melepas kusen pintu dan jendela bangunan Cagar Budaya, sisi Selatan paling Timur. Bangunan cagar budaya yang masih tersisa atau tidak dibongkar yang sisi tengah.

• Akibat perbuatan dengan sengaja tersebut bangunan cagar budaya SMA 17 I Yogyakarta mengalami kerusakan parah, baik bagian struktur atap, kusen pintu, kusen jendela, maupun sebagian dinding-dinding bangunannya.

• Atas dasar kerusakan itu kemudian oleh SYD (Suyadi) atau kepala sekolah SMA 17 I melaporkan kasus perusakan itu kepada PPNS BPCB Yogyakarta. Untuk selanjutnya kemudian dibuat Laporan Kejadian (LK) dan selanjutnya dilakukan proses penyidikan sebagaimana peraturan perundangan yang berlaku.

3. Penegakan Hukum Tindak Pidana Perusakan Bangunan Cagar Budaya SMA 17 I Yogyakarta.

Atas tindakan pelanggaran

Page 80: Jurnal Widya Prabha 2014 - purbakalayogya.compurbakalayogya.com/main/fungsi/code/download.php?file=jurnal... · ... bahwa di dalam melaksanakan pembangunan harus memperhitngkan dimensi

78

Jurnal Widya Prabha 2014Jurnal Widya Prabha 2014

hukum yang dilakukan, maka oleh Tim Penyidik dari PPNS BPCB Yogyakarta bekerja sama dengan KORWAS POLDA Yogyakarta melakukan proses penyidikan. Berdasarkan analisis kasus, yaitu atas berbagai alat bukti yang ada, baik keterangan saksi-saksi, dan barang bukti, telah diketahui adanya kerusakan bangunan cagar budaya yang dilakukan dengan sengaja. Akibatnya terjadi kerusakan material komponen bangunan maupun bangunan secara keseluruhan, serta rusak pula berbagai nilai-nilai penting yang dikandungnya. Atas dasar itu kemudian PPNS menetapkan 2 (dua) orang tersangka perusakan cagar budaya yaitu MZ (tersangka I) dan YTH penting (tersangka II). Proses pemberkasan penyidikan diawali pada tahun 2013 sampai dengan 2014. Berdasar analisis yuridis tindakan tersangka memenuhi unsur-unsur pasal yang disangkakan yaitu tindak pidana perusakan cagar budaya dengan sengaja yang diatur dalam pasal 66 ayat 1 “setiap orang dilarang merusak cagar budaya, baik seluruh maupun bagian-bagiannya, dari kesatuan, kelompok, dan / atau dari letak asal”. Tindak pidana itu diancam hukuman dengan pasal 105, yaitu “...dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp.500.000.000,- (lima ratus ribu rupiah) dan paling banyak RP.5.000.000.000,- (lima milyar rupiah).” Sebagaimana diketahui bahwa perusakan cagar budaya tidak hanya berakibat merusakan material fisiknya tetapi juga berdampak pada degradasi dan kehilangan nilai-nilai pentingnya.

Sesuai dengan tata aturan manajemen penyidikan bahwa setelah proses pemberkasan selesai, kemudian BAP diserahkan kepada JPU (jaksa penuntut umum) di Kejaksaan Tinggi Yogyakarta

melalui KORWAS PPNS POLDA DIY. Setelah adanya arahan perbaikan atau keterangan P-19 dari JPU, kemudian dilakukan koreksi dan berbagai macam perbaikan dengan mengadakan pemeriksaan tambahan, maka setelah perbaikan BAP dikirimkan kembali ke JPU, kemudian Kejaksaan Tinggi mengeluarkan P 21 atau BAP sudah lengkap. Atas dasar itu PPNS BPCB Yogyakarta bersama KORWAS PPNS POLDA harus menyerahkan Tersangka dan Barang Bukti ke Kejaksaan pada 9 September 2014, kemudian siap dilimpahkan ke Pengadilan Negeri untuk dapat disidangkan.

IV. Tantangan PPNS dalam Penegakan Hukum Cagar Budaya

Sebagaimana diketahui bahwa keberadaan PPNS di bidang Cagar Budaya mempunyai kedudukan sangat penting di dalam upaya penegakan hukum cagar budaya (pasal 100, UURI No. 11/2010). Kewenangan PPNS secara formal atau apa yang seharusnya, di dalam proses penyidikan sangat besar dan kuat, karena merupakan penyidik mandiri atau independen. Di dalam proses penanganan tindak pidana cagar budaya, PPNS harus melakukannya secara mandiri dengan berkoordinasi dengan KORWAS POLRI. Akan tetapi, secara realita atau kenyataannya, implementasi tugas dan kewenangan dalam penegakan hukum cagar budaya di Indonesia masih menjadi cita-cita bersama ataupun tantangan yang perlu diwujudkan. Institusi UPT Kebudayaan yang menjadi induk organisasi atau pengampu PPNS secara keseluruhan belum dapat menjalankan tugas proses penyidikan sebagaimana diatur peraturan perundangan yang berlaku. Jumlah PPNS cagar budaya di UPT Kebudayaan Pusat yang ada di daerah kira-kira berjumlah 33 orang. Katagori pendidikan diklat PPNS tersebut ada 2 (dua) macam yaitu, pertama, pendidikan diklat PPNS standard selama 400 jam di PUSDIKLAT RESKRIM (d/h RESINTELPAM) POLRI di Megamendung, Bogor.

Page 81: Jurnal Widya Prabha 2014 - purbakalayogya.compurbakalayogya.com/main/fungsi/code/download.php?file=jurnal... · ... bahwa di dalam melaksanakan pembangunan harus memperhitngkan dimensi

Jurnal Widya Prabha 2014

79

Jurnal Widya Prabha 2014

Katagori pendidikan ini diperuntukan bagi pelaksana fungsional penyidikan kasus cagar budaya dalam rangka penegakan hukum perundangan yang menjadi dasar hukumnya (pasal 5, PERKAP KAPOLRI No. 26/2011). Kedua, pendidikan diklat PPNS melalui penataran manajerial PPNS selama 200 jam yang bersifat program cepat. Katagori diklat manajemen PPNS ini pada dasarnya khusus diperuntukkan untuk meningkatkan pemahaman bagi pengampu kebijakan tentang arti penting pelaksanaan tugas fungsi PPNS. Tujuannya untuk menghasilkan manajer atau pimpinan atasan PPNS yang mampu merencanakan, mengorganisasi, melaksanakan, dan mengendalikan proses penyidikan yang dilakukan oleh PPNS sebagai pelaksana penyidikan yang berada di bawah tanggung jawabnya (pasal 6 ayat 2). Realita konkrit kondisi PPNS di 12 UPT Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan saat ini, baik dalam perencanaan, pelaksanaan tugas fungsi secara teknis, dan penganggaran secara maksimal belum dilaksanakan sebagaimana mestinya oleh institusi tersebut. Di samping itu, berdasarkan laporan pada saat pembinaan PPNS bulan November 2013 di Bogor dapat diketahui, sebagai berikut: (1) PPNS yang secara konkrit pernah melakukan pengumpulan bahan keterangan atau penyelidikan dan pemberkasan atau penyusunan berita acara pemeriksaan (BAP) dalam rangka penyidikan adalah BPCP Jawa Timur dan BPCB Yogyakarta atau dengan prosentase 16, 66 % dari total 12 UPT. (2) PPNS yang telah dapat melaksanakan penyusunan atau pemberkasan sampai dengan BAP lengkap (P21) untuk menegakkan UURI No. 11 tahun 2010 tentang cagar budaya adalah BPCB Yogyakarta. (3) Instansi yang telah elakukan perencanaan pendanaan atau penganggaran untuk penanganan kasus penegakan hukum cagar budaya prosentasenya 6,33 % dari total 12 UPT. Sampai dengan tahun 2014 yang menganggarkan di dalam kegiatan tersebut adalah BPCB Yogyakarta. Namun demikian kuantitasnya

masih harus ditingkatkan secara signifikan atau disesuaikan dengan tantangan penanganan kasus yang dihadapi. Beberapa permasalahan itu dapat diidentifikasikan, yaitu disebabkan oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal terkait dengan beberapa tantangan, pertama, kondisi kualitas dan kuantitas PPNS cagar budaya. Kedua, manajemen organisasi PPNS cagar budaya di UPT. Faktor eksternal adalah terkait dengan kondisi tantangan permasalahan penegakan hukum tindak pidana cagar budaya yang seringkali menghadapi kendala administrasi proses pencagarbudayaan, baik bangunan, benda, struktur, situs, dan kawasan. Berdasarkan kondisi tersebut di atas menjadi sebuah tantangan bagi keberadaan PPNS cagar budaya. Berdasarkan peta permasalahan dapat dikemukakan bahwa ada 6 (enam) persoalan besar yang menjadi tantangan itu yaitu sebagai berikut:

1. Persoalan administrasi dan sistem di dalam proses serta prosedur penetapan cagar budaya yang membutuhkan waktu yang panjang, sehingga secara kuantitatif belum banyak bangunan, benda, struktur, situs, dan kawasan yang ditetapkan sebagai cagar budaya. Hal ini diakibatkan kemampuan dan keberadaan tim ahli cagar budaya di daerah yang belum siap. Kondisi ini berpengaruh terhadap kuantitas cagar budaya yang dapat diproses secara hukum apabila terjadi tindak pidana.

2. Persoalan adanya berbagai ancaman keberadaan cagar budaya yang ada di darat dan / atau di air, baik berupa pelanggaran perijinan (pengalihan, memindahkan, memisahkan, membawa cagar budaya ke luar wilayah, dan mengubah fungsi ruang), tidak melaporkan temuan yang diduga cagar budaya, tidak izin melakukan pencarian, menghalangi atau menggagalkan upaya pelestarian, sengaja melakukan perusakan,

Page 82: Jurnal Widya Prabha 2014 - purbakalayogya.compurbakalayogya.com/main/fungsi/code/download.php?file=jurnal... · ... bahwa di dalam melaksanakan pembangunan harus memperhitngkan dimensi

80

Jurnal Widya Prabha 2014Jurnal Widya Prabha 2014

pencurian, dan penadahan hasil pencurian cagar budaya.

3. Persoalan manajerial dan tata organisasi baik di tingkat UPT di daerah maupun Direktorat belum mempunyai “struktur induk PPNS” secara jelas dan tersistem. Kegiatan PPNS saat ini menjadi satu bagian dengan tugas kelompok kerja pelindungan ataupun pengamanan, sehingga tugas itu masih dianggap tugas sampiran dan bukan sebagai tugas pokoknya. Perlu diketahui, bahwa berdasarkan kewenangan dan tugas fungsinya bahwa UPT Kebudayaan tersebut pada dasarnya menjadi sebuah institusi pengemban penegakan hukum cagar budaya. Oleh karena itu, di dalam UURI No. 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya sudah diatur tentang tugas “Penyidikan cagar budaya” (pasal 100) dalam rangka pelestarian cagar budaya.

4. Persoalan teknis pelaksanaan proses penyidikan akan dapat berjalan secara baik, apabila mempunyai keberanian, kemampuan, komitmen, konsistensi, dan integritas di dalam melakukan penyusunan berkas atau pemberkasan (BAP) dalam penanganan kasus-kasus hukum cagar budaya.

5. Persoalan pendanaan atau penganggaran penanganan untuk kasus secara khusus dapat memungkinkan penanganan kasus tindak pidana cagar budaya dapat berjalan baik. Bukan rahasia lagi bahwa masih adanya persoalan dan kesulitan pendanaan dalam penegakan hukum cagar budaya. Minimnya dana atau bahkan tidiak adanya dana yang dianggarkan juga menjadi hambatan dalam rangka membangun eksistensi tugas fungsi secara optimal. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan PPNS belum optimal menjadi leading sector kegiatan penanganan kasus penegakan hukum. Terkesan eksistensi PPNS cagar budaya masih termarjinalkan dan belum menjadi tugas pokok yang mempunyai urgensi signifikan bagi upaya pelestarian cagar budaya, baik secara imperatif, preventif, dan represif.

6. Persoalan membangun jejaring atau kemitraan dengan KORWAS POLRI di POLRES maupun POLDA di masing-masing daerah. Membangun jejaring dan pelaksanaan tugas-tugas penyidikan harus dilakukan secara integral, terlebih di BPCB yang mempunyai wilayah perairan dan mempunyai potensi cagar budaya yang sangat banyak. Di samping mempunyai kerawanan dan ancaman yang tinggi serta kompleks, dalam penanganannya juga harus membangun jejaring dengan jajaran aparat penyidik lainnya. Kemitraan dan koordinasi penting dilakukan mengingat organisasi yang ada seringkali tumpang tindih dengan tugas fungsi Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB).

Gambar 1. Kondisi bangunan SMA 17 1 Yogyakarta sebelum terjadi perusakan

Page 83: Jurnal Widya Prabha 2014 - purbakalayogya.compurbakalayogya.com/main/fungsi/code/download.php?file=jurnal... · ... bahwa di dalam melaksanakan pembangunan harus memperhitngkan dimensi

Jurnal Widya Prabha 2014

81

Jurnal Widya Prabha 2014

V. Kesimpulan

Persoalan dan tantangan di dalam upaya penegakan hukum cagar budaya tersebut perlu terus dikelola dan dicarikan jalan atau solusi secara baik. Upaya pelestarian cagar budaya khususnya melalui cara penegakan hukum merupakan bagian kewenangan dan harus menjadi gerakan aksi nasional bagi institusi UPT Kebudayaan (BPCB, Balai Konservasi Borobudur, maupun Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran). Kesiapan UPT Kebudayaan di daerah di seluruh Indonesia tentunya harus didukung secara maksimal. Terkait dengan permasalahan itu ada beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain :

• Pelaksanaan pendampingan bagi upaya pembenahan administrasi dalam proses pendaftaran cagar budaya sampai dengan implementasi penetapan khususnya dan register nasional di SKPD masing-masing Pemerintah Daerah pada umumnya;

• Pembenahan organisasi dalam rangka membangun sistem penegakan hukum cagar budaya, yaitu dengan malakukan pembentukan organisasi atau kelompok kerja yang secara substantif bertugas dalam hal proses penyidikan cagar budaya sebagai bagian esensial dari suatu jabatan pokok yang harus dilaksanakan;

• Peningkatan kuantitas dan peningkatan kapasitas kemampuan atau kualitas sumberdaya manusia PPNS cagar budaya;

• Pembinaan sumberdaya manusia khususnya PPNS Cagar Budaya secara berkelanjutan;

• Peningkatan jejaring kerjasama antara PPNS Cagar Budaya dengan KORWAS PPNS di POLDA dan POLRES di masing-masing daerah;

• Penegakan hukum cagar budaya merupakan prioritas utama dalam upaya pelindungan cagar budaya secara menyeluruh;

• Perencanaan pendanaan dalam rangka penegakan hukum harus dilakukan secara baik dan akuntabel, sehingga mampu untuk memproses penanganan hukum secara tuntas, baik untuk kasus yang ada di darat dan / atau di bawah air. Khusus penegakan hukum cagar budaya di air tentu proses penanganannya harus menyesuaikan dengan tantangan lingkungan kerja yang ada, baik dari segi prosedur pelaksanaan proses penyidikan maupun pembeayaannya.

Ke depan harapannya akan tercipta pemahaman substansi hukum bidang cagar budaya oleh masyarakat; tercipta struktur hukum cagar budaya yang dilakukan BPCB / UPT Kebudayaan secara sistemik; tercipta budaya hukum cagar budaya yang baik, dan pelestarian cagar budaya

Gambar 2. Kondisi bangunan SMA 17 1 Yogyakarta setelah dilakukan pembongkaran, tampak bagian

genteng, kerangka atap sudah dibongkar, serta kusen, daun pintu-jendela dan beberapa bagian dinding.

Page 84: Jurnal Widya Prabha 2014 - purbakalayogya.compurbakalayogya.com/main/fungsi/code/download.php?file=jurnal... · ... bahwa di dalam melaksanakan pembangunan harus memperhitngkan dimensi

82

Jurnal Widya Prabha 2014Jurnal Widya Prabha 2014

secara berkelanjutan. Akhirnya, upaya imperatif, langkah preventif, dan tindakan represif diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran, serta suatu dampak hukum yang positif yaitu adanya ketaatan hukum oleh masyarakat. Di samping itu, secara kelembagaan akan ada komitmen dan kompetensi penanganan penegakan hukum cagar budaya oleh institusi BPCB / UPT Kebudayaan sebagaimana diatur dalam peraturan perundangan yang berlaku secara berintegritas dan konsisten. Pengalaman penegakan hukum dalam kasus perusakan bangunan cagar budaya SMA 17 I Yogyakarta dapat menjadi refleksi bersama bahwa UU RI No. 11 Tahun 2010 tentang cagar budaya dapat ditegakkan /diimplementasikan oleh PPNS BPCB.

* Penulis adalah Kapokja Dokumentasi, Publikasi, dan Informasi, Balai Pelestarian Cagar Budaya Yogyakarta.

Daftar Pustaka

Akhdiat, Hendra dan Marliani, Rosleny. 2011. Psikologi Hukum. Bandung: Pustaka Setia.

Anonim. Undang-undang RI. No. 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya.

_______. Undang-undang RI. No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana.

_______. Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 2012 Tentang Tatacara Pelaksanaan Koordinasi, Pengawasan, dan Pembinaan Terhadap Kepolisian Khusus, PPNS, dan bentuk-bentuk Pamswakarsa.

_______. Peraturan Daerah No. 6 Tahun 2012 Tentang Pelestarian Warisan Budaya dan Cagar Budaya.

_______. Peraturan Kepala Kepolisian Negara RI No. 26 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pendidikan dan Latihan Penyidik Pegawai Negeri Sipil.

_______. Peraturan Kepala Kepolisian Negara RI No. 6 Tahun 2010 Tentang Manajemen Penyidikan Oleh PPNS.

_______. Peraturan Kepala Kepolisian Negara RI No. 20 Tahun 2010 Tentang Koordinasi, Pengawasan, dan Pembinaan Penyidikan Bagi PPNS.

Arsyad, Azhar. 2002. Pokok-pokok Manajemen. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Hardjasoemantri, Koesnadi. 2005. Hukum Tata Lingkungan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Hujbers, Theo. 1995. Filsafat Hukum. Yogyakarta: Kanisius.

Prodjodikoro, Wirjono. 1989. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia. Bandung: Eresco.

Prot, Lyndel dan P.J.O. Keffe. 1984. Law and the Cultural Heritage. Profesional Book Limited.

Salman, Otje dan Susanto, Anthon F. 2004. Beberapa Aspek Sosiologi Hukum. Bandung: Alumni.

Skinner, B.F. 2013. Ilmu Pengetahuan dan Perilaku Manusia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Susanto, I.S. 2011. Kriminologi. Yogyakarta: Genta Publishing.

Page 85: Jurnal Widya Prabha 2014 - purbakalayogya.compurbakalayogya.com/main/fungsi/code/download.php?file=jurnal... · ... bahwa di dalam melaksanakan pembangunan harus memperhitngkan dimensi

Jurnal Widya Prabha 2014

83

Jurnal Widya Prabha 2014

Page 86: Jurnal Widya Prabha 2014 - purbakalayogya.compurbakalayogya.com/main/fungsi/code/download.php?file=jurnal... · ... bahwa di dalam melaksanakan pembangunan harus memperhitngkan dimensi

84

Jurnal Widya Prabha 2014