Jurnal Sda

10
Ada Apa dengan Pengelolaan Sumber Daya Alam Indonesia Author: Hidayatullah Muttaqin Dosen Fakultas Ekonomi Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin Potensi kekayaan alam Indonesia Realita hidup dan kehidupan manusia tidak terlepas dari alam dan lingkungannya, karena hal tersebut merupakan hubungan mutualisme dalam tatanan keseimbangan alam dan kehidupannya (Balancing Ecosystem). Sumber daya alam terbagi dua, yaitu SDA yang tidak dapat diperbaharui (unrenewable) dan yang dapat diperbaharui (renewable). Keanekaragaman hayati termasuk didalam sumber daya alam yang dapat diperbaharui. Potensi sumber daya alam hayati tersebut bervariasi, tergantung dari letak suatu kawasan dan kondisinya. Pengertian istilah sumber daya alam hayati cukup luas, yakni mencakup sumber daya alam hayati, tumbuhan, hewan, bentang alam (landscape). Indonesia memiliki keanekaragaman sumberdaya alam hayati yang berlimpah ruah sehingga dikenal sebagai negara MEGABIODIVERSITY. Keanekaragaman hayatinya terbanyak kedua diseluruh dunia. Wilayah hutan tropisnya terluas ketiga di dunia dengan cadangan minyak, gas alam, emas, tembaga dan mineral lainnya. Terumbu karang dan kehidupan laut memperkaya ke-17.000 pulaunya. Lebih dari itu, Indoensia memiliki tanah dan dan area lautan yang luas, dan kaya dengan berjenis-jenis

description

jurnal SDA

Transcript of Jurnal Sda

Page 1: Jurnal Sda

Ada Apa dengan Pengelolaan Sumber Daya Alam IndonesiaAuthor: Hidayatullah Muttaqin

Dosen Fakultas Ekonomi Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan

Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin

Potensi kekayaan alam Indonesia

 

Realita hidup dan kehidupan manusia tidak terlepas dari alam dan lingkungannya, karena hal tersebut merupakan

hubungan mutualisme dalam tatanan keseimbangan alam dan kehidupannya (Balancing Ecosystem). Sumber daya

alam terbagi dua, yaitu SDA yang tidak dapat diperbaharui (unrenewable) dan yang dapat diperbaharui

(renewable). Keanekaragaman hayati termasuk didalam sumber daya alam yang dapat diperbaharui. Potensi

sumber daya alam hayati tersebut bervariasi, tergantung dari letak suatu kawasan dan kondisinya. Pengertian

istilah sumber daya alam hayati cukup luas, yakni mencakup sumber daya alam hayati, tumbuhan, hewan, bentang

alam (landscape). Indonesia memiliki keanekaragaman sumberdaya alam hayati yang berlimpah ruah sehingga

dikenal sebagai negara MEGABIODIVERSITY. Keanekaragaman hayatinya terbanyak kedua diseluruh dunia.

 

Wilayah hutan tropisnya terluas ketiga di dunia dengan cadangan minyak, gas alam, emas, tembaga dan mineral

lainnya. Terumbu karang dan kehidupan laut memperkaya ke-17.000 pulaunya. Lebih dari itu, Indoensia memiliki

tanah dan dan area lautan yang luas, dan kaya dengan berjenis-jenis ekologi. Menempati hampir 1.3 persen dari

wilayah bumi, mempunyai kira-kira 10 persen jenis tanaman dan bunga yang ada di dunia, 12 persen jenis binatang

menyusui, 17 persen jenis burung, 25 persen jenis ikan, dan 10 persen sisa area hutang tropis, yang kedua setelah

Page 2: Jurnal Sda

Brazil (world Bank 1994). Walaupun demikian persoalan tentang pengelolaan sumber daya alam hanya mendapat

perhatian sedikit dari para pengambil kebijakan.

 

Kepulauan Indonesia yang terdiri atas 17,000 pulau, merupakan tempat tinggal bagi flora dan fauna dari dua tipe

yang berbeda asal usulnya. Bagian barat merupakan kawasan Indo-Malayan, sedang bagian timur termasuk

kawasan Pacifik dan Australia. Meski daratannya hanya mencakup 1,3 persen dari seluruh daratan di bumi,

Indonesia memiliki hidupan liar flora dan fauna yang spektakuler dan unik. Indonesia juga memiliki

keanekaragaman hayati yang mengagumkan: sepuluh persen dari spesies berbunga yang ada didunia, 12 persen

dari spesies mamalia dunia, 16 persen dari seluruh spesies reptil dan amphibi, 17 persen dari seluruh spesies

burung, dan 25 persen dari semua spesies ikan yang sudah dikenal manusia.

 

Sebagian besar hutan yang ada di Indonesia adalah hutan hujan tropis, yang tidak saja mengandung kekayaan

hayati flora yang beranekaragam, tetapi juga termasuk ekosistem terkaya didunia sehubungan dengan keanekaan

hidupan liarnya. Indonesia memiliki kawasan hutan hujan tropis yang terbesar di Asia-Pasific, yaitu diperkirakan

1,148,400 kilometer persegi. Hutan Indonesia termasuk yang paling kaya keaneka ragaman hayati di dunia. Hutan

Indonesia dikenal sebagai hutan yang paling kaya akan spesies palm (447 spesies, 225 diantaranya tidak terdapat

dibagian dunia yang lain), lebih dari 400 spesies dipterocarp (jenis kayu komersial yang paling berharga di Asia

tenggara), dan diperkirakan mengandung 25,000 species tumbuhan berbunga. Indonesia juga sangat kaya akan

hidupan liar: terkaya didunia untuk mamalia (515 spesies, 36% diantaranya endemik), terkaya akan kupu-kupu

swalowtail (121 spesies, 44% diantaranya endemik), ketiga terkaya didunia akan reptil (ada lebih dari 600 spesies),

keempat terkaya akan burung (1519 spesies, 28% diantaranya endemik) kelima untuk amphibi (270 species), dan

ketujuh untuk tumbuhan berbunga.

 

Lingkungan Pesisir dan Kelautan di Indonesia Panjang seluruh garis pesisir di Indonesia mencapai 81,000 kilometer,

ini adalah 14% dari seluruh pesisir di dunia. Indonesia adalah negara yang memiliki pesisir terpanjang di dunia.

Ekosistem kelautan yang dimiliki oleh Indonesia sungguh sangat bervariasi, dan mendukung kehidupan kumpulan

Page 3: Jurnal Sda

spesies yang sangat besar. Indonesia memiliki hutan bakau yang paling luas, dan memiliki terumbu karang yang

paling spektakuler di kawasan Asia. Hutan bakau paling banyak dijumpai di Pesisir Timur Sumatra, pesisir

Kalimantan, dan Irian Jaya (yang memiliki 69% dari seluruh habitat hutan bakau di Indonesia). Sedangkan lautan

biru di Maluku dan Sulawesi menaungi ekosistem yang sangat kaya akan ikan, terumbu karang, dan organisme

terumbu karang yang lain.

 

Ada apa dengan pengelolaan sumber daya alam Indonesia ?

 

DI SEKTOR MIGAS : Masalah kebijakan tambang migas di Indonesia : Minyak dan Gas Bumi (Migas), diyakini

banyak kalangan sebagai komoditi tulang punggung ekonomi Indonesia hingga kini. Dilihat dari angka-angka, Migas

memang berkontribusi paling tinggi dibanding sektor lain pada pendapatan (yang katanya) negara. Oleh karena itu,

semua mata jadi tertutup, dan kita tidak dapat melihat berbagai masalah yang terjadi dalam penambangan migas.

Akibatnya, Pertamina sebagai satu-satunya pemegang hak atas Migas di Indonesia bersama para kontraktornya

leluasa berbuat sewenang-wenang atas kekayaan alam Indonesia.

 

Kesalahan utama kebijakan dan orientasi pertambangan di Indonesia bermula dari UU No 1 tahun 1967 tentang

Penanaman Modal Asing yang diikuti penandatanganan kontrak karya (KK) generasi I antara pemerintah Indonesia

dengan Freeport McMoran . Disusul dengan UU No 11 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok

Pertambangan. Sejak saat itu, Indonesia memilih politik hukum pertambangan yang berorientasi pada kekuatan

modal besar dan eksploitatif. Dampak susulannya adalah keluarnya berbagai regulasi pemerintah yang berpihak

pada kepentingan pemodal. Dari kebijaakan-kebijakannya sendiri, akhirnya pemerintah terjebak dalam posisi lebih

rendah dibanding posisi pemodal yang disayanginya. Akibatnya, pemerintah tidak bisa bertindak tegas terhadap

perusahaan pertambangan yang seharusnya patut untuk ditindak.

 

Sejak tahun 1967 hingga saat ini, pemerintah yang diwakili oleh Departemen Pertambangan dan Energi, (kini

Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral) seolah merasa bangga jika berhasil mengeluarkan izin pertambangan

Page 4: Jurnal Sda

sebanyak mungkin. Tidak heran jika sampai dengan tahun 1999 pemerintah telah “berhasil” memberikan izin

sebanyak 908 izin pertambangan yang terdiri dari kontrak karya (KK), Kontrak karya Batu Bara (KKB) dan Kuasa

Pertambangan (KP), dengan total luas konsesi 84.152.875,92 Ha atau hampir separuh dari luas total daratan

Indonesia . Jumlah tersebut belum termasuk perijinan untuk kategori bahan galian C yang perizinannya dikeluarkan

oleh pemerintah daerah berupa SIPD. Walaupun baru sebagian kecil dari perusahaan yang memiliki izin itu

melakukan kegiatan eksploitasi, namun dampaknya sudah terasa menguatirkan.

 

Berbagai kasus korupsi di dunia pertambangan belum satupun yang diusut tuntas. Eufemisme justru sering

digunakan untuk menyelamatkan Pertamina dari tuduhan korupsi seperti kasus mis-manajemen yang diungkap

pada Habibie. Selain masalah korupsi, banyak masalah lain yang juga belum terungkap dalam penambangan

Migas. Misal saja, hak menguasai negara yang diberikan secara mutlak pada PERTAMINA, proses lahirnya

Production Sharing Contract (Kontrak Bagi Hasil/PSC) antara PERTAMINA dengan perusahaan multinasional, rencana

investasi yang diatur oleh perusahaan multinasional.

 

Di sisi lain, perkembangan RUU Migas UU Migas No. 44 Prp tahun 1960, kini sedang disiapkan penggantinya oleh

pemerintah. Rancangan UU ini sempat menjadi kontroversial, karena terjadi perbedaan pandangan yang tajam

antara pemerintah dan DPR-RI saat itu. Perdebatan yang mengemuka saat itu berkisar pada peran Pertamina, dan

kepentingan ekonomi negara.

 

Production Sharing Contrac (Kontrak Bagi Hasil/PSC) Dalam usulan RUU Migas, pemerintah berkeinginan mengganti

PSC dengan Kontrak Kerjasama, yang menyerupai Kontrak Karya dalam pertambangan umum. Padahal semua tahu

model Kontrak Kerjasama ala Kontrak Karya, telah nyata-nyata merugikan bangsa yang dikeruk hasil alamnya oleh

perusahaan tambang. Perdebatan menjadi tereduksi oleh bingkai penglihatan sistem kontrak, yang sangat

diharapkan oleh investor.

 

Page 5: Jurnal Sda

Liberalisasi distribusi dan pemasaran migas, Pemerintah lewat RUU Migas berjanji untuk mengikis habis monopoli di

PERTAMINA. Namun yang ditawarkan adalah membuka suatu kesempatan bagi perusahaan swasta lain untuk ikut

berkompetisi dalam distribusi dan pemasaran migas. Sepintas ide ini cukup menarik. Namun ancaman di balik itu

sungguh sangat mengerikan. Saat ini yang paling siap untuk berkompetisi adalah perushaan-perusahaan

multinasional seperti Mobil Oil, Shell, Caltex, Texaco, Unocal, Vico, Total dan lain sebagainya. Karena mereka yang

paling siap, maka mereka yang akan merebut pangsa pasar distribusi dan pemasaran migas di Indonesia. Maka

yang akan terjadi adalah bergantinya Monopoli Pertamina pada Oligopoli perusahaan multinasional.

 

Ancaman besarnya modal yang akan masuk pada industri migas di Indonesia, juga menjadi tidak mendapatkan

perhatian pemerintah. Padahal, dilihat dari rencana investasi yang sedang disiapkan oleh perusahaan multinasional

dan campur tangan mereka lewat lembaga-lembaga keuangan internasional dalam kebijakan negara, adalah

ancaman serius yang patut diperhatikan semua pihak. Perang saudara di Angola adalah satu contoh terparah akan

betapa buruknya intervensi perusahaan multinasional pada keutuhan negara.

 

Isu lingkungan hidup merupakan isu yang sangat marjinal di kalangan politisi dan pemerintah. Seolah-olah aktivitas

industri migas dilakukan di wilayah hampa kepemilikan dan kebal polusi. Padahal berbagai kasus menunjukan isu

ini menjadi pemicu lahirnya perlawanan rakyat, seperti kasus Aceh, Riau dan Kaltim. Kasus Mobil Oil yang sudah

lama disengketakan orang Aceh, masih juga belum cukup jadi referensi bagi pengambil kebijakan untuk mengubah

susbstansi dan perilaku kebijakan. Negara secara semena-mena mereduksi perlawanan rakyat atas ketidakadilan

menjadi persoalan perimbangan keuangan semata. Kontrak karya pertambangan yang berada dikawasan hutan

lindung telah mencapai 17,669 juta ha atau 37,5 % dari total luas lahan kontrak karya seluas 47,059 juta ha.

Kontribusi kerusakan hutan sejak tahun 1996 meningkat 2 juta ha per tahun.

 

DI SEKTOR KEHUTANAN : Kawasan hutan lindung/konservasi yang saat ini benar-benar sudah terancam

keberadaannya diantaranya hutan lindung Pulau Gag-Papua yang sudah resmi menjadi lokasi proyek PT Gag

Nickel/BHP, Tahura Poboya-Paneki oleh PT Citra Palu Mineral/Rio Tinto, Palu (Sulteng) dan Taman Nasional Meru

Page 6: Jurnal Sda

Betiri di Jember Jawa Timur oleh PT Jember Metal, Banyuwangi Mineral dan PT Hakman. Belum lagi ancaman

terhadap kawasan konservasi lainnya yang hampir semuanya dijarah oleh perusahaan tambang, seperti ; Taman

Nasional Lore Lindu – Sulawesi tengah oleh PT. Mandar Uli Minerals/Rio Tinto, Taman Nasional Kerinci Sebelat oleh

PT. Barisan Tropikal Mining dan Sari Agrindo Andalas; Kawasan Hutan lindung Cagar Alam Aketajawe dan Lalobata,

Maluku Tengah oleh Weda Bay Minerals; Hutan lindung Meratus – Kalimantan Selatan oleh PT. Pelsart Resources NL

dan Placer Dome; Taman Nasional Wanggameti oleh PT. BHP; Cagar Alam Nantu oleh PT. Gorontalo Minerals; dan

Taman Wisata Pulau Buhubulu, oleh PT. Antam Tbk.

 

Terjadi perubahan luas kawasan hutan karena eksploitasi hutan tropis Indonesia secara besar-besaran, dipacu

dengan UU No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan Ketentuan Pokok Kehutanan. Sejalan itu pula, diterbitkan UU No. 1

Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) dan UU No. 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam

Negeri (PMDN), yang memberi ruang bagi para investor menanamkan modalnya di Indonesia. Selanjutnya diikuti

dengan berbagai kebijakan yang memungkinkan para pengusaha besar kroni Orde Baru menguasai dan membabat

hutan untuk membesarkan modalnya, misalnya PP No. 21 Tahun 1970 tentang Pengusahaan Hutan, PP No. 7 Tahun

1990 tentang Hutan Tanaman Industri, dan peraturan lainnya yang secara nyata tidak berpihak kepada

 

Struktur penguasaan kekayaan sumber daya alam di Indonesia banyak didominasi oleh pengusaha besar dengan

kekuatan kapitalnya. Mereka dapat menguasai kawasan hutan, lahan dan pertambangan serta mengeksploitasinya

sampai jutaan hektar luasnya dan puluhan tahun masa konsesinya. Sementara masyarakat setempat yang

hidupnya mengandalkan sumber daya lahan tersebut secara turun temurun sebelum negara berdiri, nasibnya

justru menjadi sengsara. Ketidakadilan distribusi penguasaan sumber daya alam ini sebagai basis konflik sosial

yang riil terjadi dalam kehidupan rakyat. Ketimpangan pembangunan yang paling serius justru terjadi pada sub

sektor kehutanan, antara pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dengan rakyat.

 

Perusahaan pemegang HPH yang membawa izin dari pusat, tanpa menghiraukan kepentingan rakyat menebang

pohon-pohon besar “milik negara”. Sementara akses rakyat setempat untuk sekedar memanfaatkan hasil hutan

Page 7: Jurnal Sda

non-kayu (seperti rotan dan damar) ditutup secara sepihak.. Ada 574 perusahaan HPH yang dikatakan mengelola

59 juta ha hutan, padahal faktanya mereka tidak mengelola tetapi sekedar menebang bahkan membabat hutan

tanpa menanam kembali. Beberapa konglomerat yang pernah memegang HPH sampai jutaan hektar, diantaranya

Prajogo Pangestu seluas 3.536.800 Ha, Andi Sutanto (3.142.800 ha), Burhan Uray (3.996.200 ha), PO Suwandi

(2.189.000 ha), dll. (BI, 23/10/98). Fakta lain mengatakan bahwa awal Juli 1999, Dephutbun mengumumkan 18 HPH

yang berindikasi KKN para kroni Soeharto. 9 HPH/HPHTI diduga kuat melakukan KKN, 4 HPH dicabut

pencadangannya, 5 HPH tidak diperpanjang izin konsesinya (Kompas, 9 Juli 1999) Dephutbun juga

mengidentifikasikan bahwa seluas 3,03 juta ha lahan perkebunan dikuasai oleh 33 perusahaan besar di 7 propinsi.

 

Eksploitasi yang dilakukan para pemegang HPH sangat fantastis dalam rentang 10 tahun terakhir. Data

memperlihatkan bahwa produksi kayu bulat mencapai 260,58 juta meter kubik, kayu gergajian 35,84 juta meter

kubik, dan kayu lapis 98,052 juta meter kubik. Di sisi lain, ekspor kayu lapis Indonesia dalam 5 tahun terakhir

mencapai 56,06 juta m3 dengan nilai devisa 18,73 milyar US$. Sayangnya, nilai devisa itu tidak dinikmati oleh

rakyat, tidak juga oleh Pemerintah Daerah. Studi Walhi (1994) menunjukkan 85% keuntungan sektor kehutanan

langsung dinikmati oleh para pengusaha, sementar sisanya oleh Pemerintah Pusat. Tampak jelas bahwa hasil

eksploitasi bukan untuk rakyat. Indikator ini dapat dilihat dari tenaga kerja yang terlibat dalam usaha perkayuan

pada HPH terbilang sangat kecil, yakni hanya 153.438 orang pada tahun 1997. Sementara di pihak lain, ada sekitar

20 juta jiwa rakyat yang mengharapkan hidupnya dari sumber daya hutan mengalami kemiskinan yang

berkepanjangan. Bahkan akibat kebakaran hutan dan lahan 1997-1998, mereka mengalami proses pemiskinan

antara 40-73 persen dibandingkan sebelum kebakaran.

 

Selama beberapa dasawarsa, penguasa Indonesia mendorong pertumbuhan ekonomi dengan mengorbankan

lingkungan dan kehidupan masyarakat setempat yang berkelanjutan. Sikap ini tidak lepas dari dukungan

pemerintah negara-negara Utara, program bantuan internasional dan perusahaan-perusahaan asing. Atas nama

pembangunan hutan dirusak dan laut, sungai dan tanah tercemar. Masyarakat harus mengalah kepada HPH, HTI,

Page 8: Jurnal Sda

pertambangan, pembangkit listrik dan proyek berskala besar lainnya. Ironisnya, keuntungan yang diperoleh hanya

dinikmati oleh segelintir orang, kelompok elit yang kaya dan penanam modal internasional.

 

Penutup

 

Pengelolaan sumberdaya alam adalah perkara yang sangat serius dan berkesinambungan tentang manajemen dan

kebijaksanaan. Degradasi penglolaan sumberdaya alam lebih banyak disebabkan oleh kelalaian manusia dalam

mengikuti dan menerapkan kaidah-kaidah Syariat, serta keberanian manusia dalam melawan kaidah-kaidah tsb

dalam kehidupan sehari-hari.

 

Berbagai persoalan krusial sebagai implikasi yang timbul dari tidak diterapkannya aturan yang benar yang

mengatur tentang Pengelolaan sumberdaya alam, sangat kita rasakan akibatnya hingga kini. Permasalahan

berpangkal dari tidak tegaknya aturan main regulasi penerapan dan mekanisme pengelolaan sumberdaya alam

sebagai syarat utama bekerjanya system aturan pengelolaan sumbedaya alam.

 

Air, listrik, minyak bumi dan barang-barang tambang lainnya adalah harta kekayaan yang diciptakan Allah SWT

untuk dinikmati umat yang tidak boleh di rampas oleh siapapun. Jika negara menguasainya, maka itu hanyalah

untuk mencegah agar tidak dikuasai individu ataupun pihak asing. Lebih penting dari itu, agar negara dapat

mengatur pemanfaatan untuk kepentingan seluruh rakyat karena merekalah pemiliknya yang sesungguhnya atau

yang disebut kepemilikan umum.

 

Ironisnya, dibalik kekayaan Indonesia yg begitu melimpah, fakta yang dihadapi umat saat ini justru lilitan utang

luar negeri yang telah menenggelamkan bangsa Indonesia dalam krisis multidimensional yang berkepanjangan.

Rakyat semakin dalam terpuruk dalam kemiskinan dan penderitaan . Posisi utang luar negeri Indonesia pada bulan

April 2001 tercatat 139 milyar US Dolar (USD), atau sebesar Rp 1.251 trilyun, yang terdiri dari 72 milyar USD (52%)

utang pemerintah dan 67 milyar USD (48%) utang swasta (laporan BI,2002). Akibatnya, Anggaran Pendapatan dan

Page 9: Jurnal Sda

Belanja Negara (APBN) kita terbebani oleh pembayaran bunga utang dan cicilan pokok utang luar negeri. Pada

Rancangan APBN tahun 2002, alokasi untuk Pembayaran Utang Luar Negeri sebesar Rp. 129.505,60 milyar atau

sebesar 38,95 % dari anggaran belanja. Pada saat yang bersamaan, untuk menutup defisit anggaran APBN 2002,

pemerintah memproyeksikan mendapat pinjaman baru sebesar Rp. 43.032,50 milyar. Selain itu, privatisasi

(penjualan BUMN) juga dilakukan untuk menutup defisit anggaran tersebut.