Jurnal Reading Psikiatri-1

29
Aktivitas Fisik, Olahraga, Depresi, dan Gangguan Cemas Andreas Strohle Dikirim: 15 April 2008 / Diterima: 24 June 2008 / Diterbitkan: 23 agustus 2008 © Springer-Verlag 2008 Abstrak Aktifitas fisik dan olah raga dipercaya khalayak umum dapat memberikan dampak positif pada perasaan ataupun kecemasan, dan banyak penelitian yang menunjukan keterkaitan antara aktifitas fisik dengan kesehatan secara menyeluruh, perasaan dan kecemasan. Sejalan dengan hal diatas penelitian dengan intervensi menunjukan adanya dampak anxiolitik dan anti depresif saat melakukan aktivitas fisik pada pasien yang tidak memiliki masalah kesehatan. Namun, kebanyakan penelitian yang telah diterbitkan memiliki kekurangan yang substansial dalam hal metodologi yang digunakan. Tujuan artikel ini adalah meninjau secara kritis penelitian yang saat ini. Tujuan 1

description

psikiatri

Transcript of Jurnal Reading Psikiatri-1

Page 1: Jurnal Reading Psikiatri-1

Aktivitas Fisik, Olahraga, Depresi, dan Gangguan

Cemas

Andreas Strohle

Dikirim: 15 April 2008 / Diterima: 24 June 2008 / Diterbitkan: 23 agustus 2008

© Springer-Verlag 2008

Abstrak

Aktifitas fisik dan olah raga dipercaya khalayak umum dapat memberikan

dampak positif pada perasaan ataupun kecemasan, dan banyak penelitian yang

menunjukan keterkaitan antara aktifitas fisik dengan kesehatan secara menyeluruh,

perasaan dan kecemasan. Sejalan dengan hal diatas penelitian dengan intervensi

menunjukan adanya dampak anxiolitik dan anti depresif saat melakukan aktivitas fisik

pada pasien yang tidak memiliki masalah kesehatan. Namun, kebanyakan penelitian

yang telah diterbitkan memiliki kekurangan yang substansial dalam hal metodologi

yang digunakan. Tujuan artikel ini adalah meninjau secara kritis penelitian yang saat ini.

Tujuan dari makalah ini adalah untuk secara kritis meninjau literatur yang tersedia saat

ini sehubungan dengan (1) asosiasi aktivitas fisik, latihan dengan prevalensi dan insiden

depresi dengan gangguan kecemasan dan (2) potensi terapeutik kegiatan pelatihan

olahraga pada pasien dengan gangguan depresi atau kecemasan. Meskipun hubungan

aktivitas fisik dan prevalensi gangguan mental, termasuk depresi dan gangguan

kecemasan telah berulang kali dijelaskan, hanya sedikit penelitian yang meneliti

hubungan aktivitas fisik dan gangguan mental secara prospektif. Menurunnya insidensi

depresi dan gangguan kecemasan dengan adanya olahraga atau aktifitas fisik

1

Page 2: Jurnal Reading Psikiatri-1

menimbulkan pertanyaan apakah aktifitas fisik dapat digunakan untuk mencegah

beberapa gangguan mental. Selain serangkaian kasus dan studi terkontrol kecil, studi

terkontrol yang diadakan denga baik baru-baru ini menunjukkan bahwa olahraga secara

klinis efektif, setidaknya dalam depresi berat dan gangguan panik. Namun, bukti efek

positif dari aktifitas fisik dan olahraga pada depresi dan kecemasan mulai berkembang,

aplikasi secara klinis, setidaknya sebagai tambahan untuk pengobatan yang telah ada

seperti pendekatan secara psikoterapi atau farmakoterapi, masih baru dimulai. Penelitian

lebih lanjut tentang efek klinis olahraga, interaksinya dengan pendekatan pengobatan

standar dan rincian tentang jenis aktifitas fisik yang optimal, intensitas, frekuensi dan

durasi lebih lanjut dapat mendukung penatalaksanaan pada pasien. Selain itu, adanya

kekurangan pengetahuan tentang bagaimana penangan terbaik pada pasien dengan

gejala yang terkait depresi dan kecemasan yang menghambat pasien untuk berpartisipasi

dan mendapatkan keuntungan dari aktifitas fisik dan olahraga.

Kata kunci Depresi· Kecemasan· Gangguan kecemasan· Aktivitas fisik· Olahraga

Pengantar

“Agar manusia dapat berhasil dalam hidup, Tuhan memberinya dua cara, pendidikan

dan aktivitas fisik. Tidak secara terpisah, satu untuk jiwa dan yang lainnya untuk tubuh,

tetapi untuk keduanya secara bersama-sama. Dengan dua cara tersebut, manusia dapat

mencapai kesempurnaan '' (Plato, abad keempat SM).

Aktivitas fisik dikaitkan dengan berbagai manfaat kesehatan, dan ketiadaannya

dapat memiliki efek yang merugikan pada kesehatan dan kesejahteraan, meningkatkan

risiko penyakit jantung koroner, diabetes, kanker tertentu, obesitas, hipertensi dan

semua penyebab kematian (CDC 1996). Aktivitas fisik juga dapat dikaitkan dengan

2

Page 3: Jurnal Reading Psikiatri-1

perkembangan gangguan mental: beberapa penelitian klinis dan epidemiologi telah

menunjukkan hubungan antara aktivitas fisik dan gejala depresi dan kecemasan dalam

studi crosssectional dan prospektif-longitudinal (Abu-Omar dkk. 2004a, b; Bhui and

Fletcher 2000; Farmer dkk. 1988; Dunn dkk. 2001; Goodwin 2003; Haarasilta dkk.

2004; Lampinen dkk. 2000; Motl dkk. 2004). Selain itu, olahraga merupakan bagian

integral dalam pengobatan dan rehabilitasi dari banyak kondisi medis. Peningkatan

kesejahteraan secara fisik juga dapat menyebabkan peningkatan kesejahteraan

psikologis dan telah diterima secara umum bahwa aktivitas fisik dapat memiliki efek

positif pada suasana hati dan kecemasan. Apa bukti empiris untuk keyakinan ini: apa

yang kita tidak tahu tentang hubungan aktivitas fisik dan depresi ataupun gangguan

cemas dan dapatkah aktifitas fisik ataupun olahraga menjadi tatalaksana dari depresi

ataupun gangguan cemas?

Rekomendasi untuk kegiatan fisik telah bergeser dalam dekade terakhir: pada

1990-an fokus rekomendasi kesehatan masyarakat menganjurkan 3-5 kali aktifitas fisik

per Minggu (American College of Sports Medicine tahun 1978, 1990). Sejak tahun

1995, (Pate et al. 1995) aktivitas fisik dengan intensitas sedang selama minimal 30

menit pada kebanyakan dan dilakukan beberapa kali dalam seminggu memang

dianjurkan, dan selain itu aktifitas olahraga 'klasik', yaitu aktivitas fisik sehari-hari

seperti jalan cepat, berkebun atau mencuci jendela dianggap sebagai aktivitas fisik yang

meningkatkan kesehatan. Setelah ada pergeseran dalam rekomendasi kesehatan

masyarakat, instrumen standarisasi untuk penilaian konteks independen aktivitas fisik

(olahraga, di rumah, untuk transportasi, di tempat kerja) telah dikembangkan. Salah satu

instrumen ini adalah kuesioner aktivitas fisik internasional (IPAQ) (Craig dkk. 2003),

yang memungkinkan untuk melakukan penghitungan yag setara dengan penghitungan

3

Page 4: Jurnal Reading Psikiatri-1

metabolik selama seminggu terakhir dan studi pertama telah diterbitkan menggunakan

instrumen seperti ini, dan dapat memperluas fokus penelitian dari efek latihan (training)

untuk aktivitas fisik pada kesehatan(mental) dan penyakit.

Aktivitas fisik, latihan dan prevalensi dan hubungannya dengan insiden depresi

dan gangguan kecemasan

Studi cross-sectional telah menunjukan secara konsisten tingginya keterkaitan

yang dilaporkan secara mandiri antara aktivitas fisik dengan kesehatan mental yang

lebih baik dan korelasi aktifitas disik dan latihan dengan tingkat depresi rendah (tapi

tidak kecemasan) telah dijelaskan pada remaja (Morris dkk. 1992) dan pada orang tua

(Ruuskanen dan Ruoppila 1995). Studi terkontrol yang mengendalikan kelas sosial dan

status kesehatan, Steptoe dan Butler (1996) menunjukkan dalam studi kohort besar (n =

5.061) bahwa partisipasi olahraga berat memiliki keterkaitan dalam menurunkan

tekanan emosional. Sejalan, Steptoe dkk. (1997) melaporkan bahwa setelah mengontrol

usia dan jenis kelamin, olahraga berkorelasi dengan tingkat depresi yang lebih rendah di

16.483 mahasiswa. Di Bavaria, Jerman (n = 1.536) (Weyerer 1992) dan dalam sampel

terpisah dari Amerika Serikat dan Kanada sebesar 55.000 subyek (Stephens 1988),

dilaporkan secara mandiri, aktivitas fisik rekreasi berkorelasi dengan tingkat kesehatan

mental yang lebih baik, termasuk gejala yang lebih sedikit baik dari kecemasan dan

depresi (setelah mengendalikan variabel pengganggu termasuk usia, jenis kelamin,

status sosiodemografi dan penyakit fisik). Di Uni Eropa, aktivitas fisik (dalam

kehidupan sehari-hari) yang diukur dengan IPAQ dikaitkan dengan kesehatan diri

secara umum (Abu-Omar dkk. 2004b) dan juga dengan kesehatan mental diri (Abu-

4

Page 5: Jurnal Reading Psikiatri-1

Omar et al. 2004a). Sebanyak 16.230 responden, usia 15 tahun dan di atas, dipelajari; di

beberapanegara dari total 15 negara, bukti hubungan dosis dan respons antara aktivitas

fisik dan kesehatan mental ditemukan. Pada tingkat diagnostik, Goodwin (2003)

menganalisis data dari Komorbiditas Survei Nasional AS (n = 5877): asosiasi aktivitas

fisik secara teratur dan tingkat prevalensi yang rendah dari depresi berat, fobia sosial,

fobia spesifik, dan agoraphobia ternyata signifikan dan bertahan setelah mengendalikan

karakteristik sosiodemografi, gangguan fisik yang dilaporkan secara mandiri dan

gangguan mental komorbid. Dalam kebanyakan studi, kebugaran subjek studi tidak

langsung dinilai dan Thirlaway dan Benton (1992) menemukan bahwa kebugaran sang

subjek berinteraksi dengan kebiasaan olahraga sehingga sangat cocok jika subjek yang

tidak berolahraga memiliki status kesehatan mental yang lebih buruk dari yang lain;

yaitu subjek yang bugar namun tidak rutin berolahraga atau mungkin sementara tidak

dapat untuk berolahraga, dapat memperburuk suasana hati dan meningkatkan

kecemasan (Morris dkk. 1990). Secara simultan, mengukur kebiasaan olahraga dan

suasana hati atau kecemasan (gangguan) dalam survei cross-sectional secara inheren

memiliki hasil yang ambigu tentang sebab dan akibat. Oleh karena itu, studi prospektif

longitudinal diperlukan untuk lebih mencirikan asosiasi aktivitas fisik dan gangguan

mental. Sampai saat ini, studi ini jarang dlakukan dan setidaknya hanya parsial, studi

prospektif longitudinal mendukung hasil dan hipotesis yang berasal dari studi cross-

sectional. Paffenbarger dkk: (1994) menemukan bahwa aktivitas fisik berkorelasi

negatif dengan depresi sekitar 25 tahun kemudian dalam sampel 10.201 orang. Dalam

sampel dengan 4.848 subyek, Camacho dkk. (1991) melaporkan bahwa tidak adanya

kebiasaan olahraga dikaitkan dengan depresi di dua periode 9 tahun yang akan datang.

Namun, penelitian ini tidak mengontrol depresi pada awal penelitian. Pada 2.084 orang

5

Page 6: Jurnal Reading Psikiatri-1

tua, dibagi menjadi kelompok dalam depresi rendah dan tinggi, berjalan santai setiap

hari diprediksi memperbaiki depresi pada kedua kelompok setelah 3 tahun (Mobily dkk.

1996). Pada orang dewasa yang lebih tua, Strawbridge dkk (2002) melaporkan efek

perlindungan dari aktivitas fisik pada berkembangnya depresi. Penelitian pada 1.900

subyek selama 8 tahun, Farmer dkk. (1988) melaporkan bahwa olahraga teratur

mengurangi risiko untuk berkembangnya depresi. Sejalan, Motl dkk. (2004) melaporkan

bahwa perubahan yang terjadi secara alami dalam aktivitas fisik yang berbanding

terbalik dengan gejala depresi di awal masa remaja. Dalam sampel 2.548 remaja dan

dewasa muda, kami baru-baru ini menggambarkan bahwa subyek dengan aktivitas fisik

secara teratur memiliki insiden keseluruhan jauh lebih rendah dari setiap gangguan jiwa

dan komorbiditas gangguan jiwa setelah 4 tahun dan tingkat kejadian yang lebih rendah

dari somatoform-, dysthymic- dan beberapa gangguan kecemasan (Stro¨hle dkk. 2007).

Latihan (training) dalam pengobatan gangguan depresi dan kecemasan.

Literatur awal yang membahas latihan sebagai pengobatan untuk gangguan

depresi dan kecemasan menunjukan hasil yang positif. Namun, penelitian ini memiliki

berbagai kelemahan metodologis (Lawlor dan Hopker 2001) dan mungkin telah

mengganggu antusiasme terhadap pelaksanaan olahraga dalam perawatan rutin dan

perawatan. Namun, dalam dekade terakhir, uji klinis terkontrol telah dilakukan,

memeriksa cara olahraga dilakukan dan diberikan dalam pengobatan depresi dan

beberapa gangguan kecemasan.

Depresi

Sejumlah besar studi menunjukkan bahwa latihan olahraga dapat mengurangi

gejala depresi pada populasi non klinis dan klinis (Blumenthal dkk 1989;. DiLorenzo

6

Page 7: Jurnal Reading Psikiatri-1

dkk 1999;. Roth dan Holmes 1987;. King dkk. 1993) dan pada pasien dengan depresi

berat (Blumenthal . dkk1999; Dunn dkk2005;. Singh dkk 2005;. Martinsen dkk 1985;.

Klein dkk 1985;. Veale dkk 1992;. McNeil dkk 1991;. Singh dkk, 2001;. Dimeo dkk .

2001). Selain hasil meta analisis, studi yang telah dipilih memiliki aspek yang berbeda

dari pengobatan menggunakan latihan fisik pada depresi telah ditunjukan. Studi meta-

analisis menyediakan satu cara untuk meringkas pertumbuhan dari penelitian primer dan

mengidentifikasi variabel yang dapat memoderasi efek dari latihan pada depresi. North

dkk. (1990) menganalisis 80 studi dan melaporkan efek ukuran (Effect Size) dari -0,53,

menunjukkan bahwa latihan olahraga mengurangi skor depresi sekitar satu setengah dari

standar deviasi dibandingkan dengan kelompok pembanding; efek ukuran lebih besar (-

0,94) dilaporkan pada populasi klinis (misalnya, penyalahguna zat, pasca-infark

miokard atau pasien hemodialisis). Studi hanya melibatkan pasien yang didiagnosis

dengan depresi besar (bukan karena kondisi medis umum, n = 30), Craft dan Landers

(1998) melaporkan efek ukuran dari -0,72, menunjukkan bahwa durasi program latihan

adalah moderator signifikan efek klinis, dengan program minimal 9 minggu menujukan

tingkat penurunan lebih besar pada depresi. Karakteristik pasien (usia, jenis kelamin,

tingkat keparahan depresi) tidak menjadi moderator signifikan dan bila dibandingkan

dengan pengobatan standar depresi (farmakoterapi, psikoterapi), aktifitas fisik atau

olahraga memiliki efek yang lebih menguntungkan. Dilakukan pembatasan analisis

untuk uji coba terkontrol acak (n = 14), Lawlor and Hopkins melaporkan ukuran efek

sebesar -1.1, ketika olahraga dan aktifitas fisik dibandingkan dengan kelompok kontrol

tanpa perlakuan khusus. Selain itu, aktifitas olahraga sama efektifnya dengan terapi

kognitif, dengan efek ukuran tidak signifikan sebesar -0.3. Craft dan Perna (2004)

mengubah ukuran efek keseluruhan dari meta-analisis menjadi ukuran efek binomial,

7

Page 8: Jurnal Reading Psikiatri-1

yang memungkinkan untuk menguji signifikansi klinis praktis ini: latihan olahraga

meningkatkan tingkat keberhasilan hingga 67-74%. Karena dalam berbagai

penatalaksanaan medis, penurunan 50% dari gejala dianggap sebagai respon dari

pengobatan, tingkat kesuksesan ini cukup luar biasa. Dalam review kuantitatif dan

kualitatif yang lebih baru dari studi pada pasien yang didiagnosis dengan depresi berat

(n = 11), Stathopoulou dkk. (2006) melaporkan efek ukuran sebesar -1,42 untuk

keuntungan dari latihan olahraga dibanding subjek dengan kondisi kontrol. jumlah dosis

laihan yang dapat digunakan untuk pengobatan depresi berat dipelajari oleh Dunn dkk.

(2005): dosis konsisten dari rekomendasi kesehatan masyarakat adalah (17,5 kkal / kg

per minggu) ( Pate dkk. 1995) adalah dosis pengobatan yang efektif untuk depresi

ringan sampai sedang utama dan dosis yang lebih rendah dapat disamakan sebagai

plasebo dengan tidak adanya perubahan setelah melakukan 3 sampai 5 sesi /minggu.

Meskipun tidak ada kelompok kontrol terlibat, studi Dimeo dkk. (2001)

menunjukkan bahwa pada pasien dengan depresi berat yang resisten terhadap

pengobatan medis, berjalan selama 30 menit di treadmill selama sepuluh hari berturut-

turut dianggap cukup untuk menghasilkan pengurangan klinis yang relevan dan

signifikan secara statistik pada depresi , yang diukur dengan rating Skala Hamilton

Depression. Temuan ini didukung oleh penelitian yang lebih baru yang melibatkan

kelompok aktifitas fisik plasebo (peregangan dan latihan relaksasi dengan intensitas

rendah) pada pasien yang menerima pengobatan anti depresan standar: pengurangan

skor depresi dan tingkat respon yang lebih besar pada kelompok pelatihan olahraga

Knubben dkk. (2006).

Beberapa studi (Dunn dkk. 1998;. Kodis dkk, 2001), tetapi tidak semua (. King

et al 1991) telah melaporkan bahwa hasil latihan olahraga yang disupervisi memberi

8

Page 9: Jurnal Reading Psikiatri-1

perbaikan besar dalam kapasitas fungsional dibandingkan dengan olahraga atau aktifitas

rumahan, dan bahwa pengeluaran energi yang lebih besar berkaitan dengan

pengurangan besar pada gejala depresi (Dunn et al. 2005). Namun, masalah ini perlu

studi yang terkontrol pada pasien dengan depresi berat.

Sementara kebanyakan studi menggunakan aktifitas berjalan atau jogging,

efektivitas latihan non aerobik juga telah dipelajari. Pada lansia dengan depresi,

program pelatihan ketahanan lebih efektif daripada kondisi yang terkontrol (Singh dkk.

1997). Membandingkan kegiatan secara acak untuk dilakukan atau mengangkat besi,

Doyne dkk. (1987) melaporkan bahwa kedua kegiatan tersebut mengurangi gejala

depresi, dan tidak ada perbedaan yang signifikan secara statistik pada akhir fase

pengobatan aktif atau follow-up setelah 1 tahun. Demikian pula, Martinsen dkk. (1989)

tidak menemukan perbedaan antara olahraga aerobik (joging atau jalan cepat) dan

nonaerobic (latihan kekuatan, koordinasi dan pelatihan fleksibilitas).

Blumenthal dkk. (1999) menunjukkan bahwa 16 minggu pelatihan latihan

kelompok pada pasien yang lebih tua dengan depresi berat sama efektifnya dengan

pengobatan antidepresan menggunakan sertraline. Yang paling luar biasa adalah, tingkat

kekambuhan 10 bulan secara signifikan lebih rendah pada kelompok yang melakukan

latihan fisik (8%), dibandingkan dengan sertraline (38%) atau kelompok kombinasi

(31%) (Babyak dkk. 2000). Dalam penelitian terbaru, Blumenthal dkk. (2007)

melaporkan bahwa juga pada orang dewasa dengan depresi berat, khasiat olahraga

secara umum nampak sebanding dengan antidepresan obat dan penggunaan keduanya

cenderung lebih baik dibandingkan hanya menggunakan plasebo. Selain itu, tampaknya

aktifitas fisik cukup baik dibandingkan dengan pemberian psikoterapi standar pada

depresi mayor: (. Greist dkk. 1979) dalam beberapa studi yang telah mengevaluasi

9

Page 10: Jurnal Reading Psikiatri-1

efektivitas relatif mereka, ternyata aktifitas fisik sama efektifnya dengan psikoterapi,

terapi kognitif atau kombinasi terapi kognitif dan aktifitas fisik (Fremont dan Craighead

1987).

Gangguan kecemasan

Dibandingkan dengan berbagai penelitian tentang efek positif dari aktifitas fisik

pada depresi berat, gangguan kecemasan lebih jarang diteliti. Selain itu, keragaman

klinis gangguan kecemasan tidak memungkinkan untuk menggeneralisasi dari sebuah

studi untuk gangguan kecemasan tertentu dengan gangguan kecemasan yang lain.

Perubahan pada kriteria diagnostik membuat interpretasi studi awal menjadi lebih rumit.

Namun, tidak ada keraguan tentang kemungkinan efek anxiolytic dari aktifitas fisik atau

olahraga aerobik pada sukarelawan yang sehat (Long dan Satvel 1995). Selain itu, studi

dengan yang subyek sehat dan dua laporan kasus lainnya (Orwin 1974; Muller dan

Armstrong 1975) menunjukkan bahwa pada masa akut aktifitas fisik juga berefek

anxiolytic. Sebaliknya, aktifitas fisik dapat menyebabkan serangan panik akut (Broocks

et al 1998;. Barlow dan Craske 1994) atau meningkatkan kecemasan subjektif pada

pasien dengan gangguan panik lebih dari pada orang lain. Namun, ada bukti awal bahwa

penderitaan akut saat olahraga memiliki aktivitas antipanic pada subyek yang sehat

(Stro¨hle et al. 2005) dan pada pasien dengan gangguan panik (Esquivel et al. 2002),

namun pasien dengan gangguan panik lebih rentan mengalami gejala somatik setelah

latihan. Banyak meta analisis telah menerbitkan tentang efek dari aktifitas fisik pada

kecemasan (Petruzzello dkk 1991;. Long dan van Stavel 1995; Guszkowska 2004).

Namun, hanya dua yang meneliti efek dari aktifitas fisik pada subyek dengan

peningkatan kadar kecemasan. Dalam satu meta-analisis, 11 penelitian yang telah

dianalisis melaporkan sifat kecemasan pada subyek yang diidentifikasi sebagai sangat

10

Page 11: Jurnal Reading Psikiatri-1

cemas: rerata ukuran efek adalah 0,47, menunjukkan bahwa dibandingkan dengan

kontrol, pelatihan olahraga menghasilkan penurunan moderat dalam kecemasan

(Petruzzello dkk 1991. ). Meta analisis yang kedua mempelajari efek latihan aerobik dan

anaerobik pada depresi dan kecemasan simtomatologi pada subyek dengan skor

kecemasan diatas persentil 50. Sebelas studi acak membandingkan efek dari aktifitas

olahraga dengan kontrol dan analisis daftar tunggu menunjukan efek ukuran 0,94.

Dalam perbandingan ini, ukuran efek dari studi dengan gangguan kecemasan formal (n

= 7) adalah 0,99 (Stich 1998).

Pada pasien dengan sifat kecemasan yang tinggi atau gangguan kecemasan

umum, aktifitas fisik aerobik unggul dalam hal kekuatan dan mobilitas latihan (Steptoe

dkk. 1989) atau tanpa pengobatan dan sebanding efektif sebagai terapi perilaku kognitif

(McEntee dan Halgin 1999). Dalam sampel pasien campuran (gangguan panik,

gangguan kecemasan umum atau fobia sosial), program uang dijalankan di rumah dapat

meningkatkan kemanjuran klinis dari kelompok terapi perilaku kognitif dibandingkan

dengan sesi edukasional yang fokus pada pola makan sehat (Merom dkk. 2007 ).

Laporan kasus (Dractu 2001) dan dua studi klinis yang diterbitkan menunjukkan

bahwa aktifitas olahraga dapat digunakan sebagai terapi pada pasien dengan kecemasan

neurosis (Sexton dkk 1989.) Dan gangguan panik (Broocks dkk, 1998.); Broocks dan

rekannya membandingkan clomipramine, aktifitas olahraga dan plasebo pada pasien

dengan gangguan panik dan menunjukkan bahwa meskipun clomipramine memiliki

onset yang lebih cepat, kedua tatalaksana yang aktif ini secara signifikan lebih baik

daripada (pil) plasebo. Dalam studi terbaru dari grup ini, aktifitas olahraga tidak unggul

untuk memberi efek relaksasi pada pasien gangguan panik, dibanding dengan yang

diobati menggunakan paroxetine atau plasebo (Wedekind dkk. Disampaikan). Ada bukti

11

Page 12: Jurnal Reading Psikiatri-1

awal, bahwa gangguan panik merespon kedua intervensi, baik aerobik ataupun

nonaerobic (Martinsen dkk. 1989).

Gangguan stres pasca trauma juga dapat menanggapi latihan pelatihan (Manger

2000; Manger dan Motta 2005). Namun, dibandingkan dengan situasi di agoraphobia,

fobia sosial dan fobia spesifik dengan jumlah studi acak uji klinis yang terkontrol

diperlukan untuk menyimpulkan bahwa olahraga adalah pengobatan yang efektif untuk

pasien dengan gangguan kecemasan tertentu. Pada saat ini, kami memiliki bukti terbaik

untuk efektivitas olahraga pada pasien dengan gangguan panik, meskipun replikasi hasil

ini masih hilang.

Kesimpulan

Faktor perkembangan, neurobiologis dan psikologis (Cotman dan Berchtold

2002; Cohen dan Rodriguez 1995) mungkin mendasari, menengahi dan / atau moderat

asosiasi aktivitas fisik dengan beberapa gangguan mental dengan cara yang sangat

dinamis. Dengan demikian, efek dari aktivitas fisik mungkin merangsang sistem yang

kompleks dan memicu kaskade kejadian, yang, misalnya, menghasilkan ketahanan yang

lebih tinggi terhadap gangguan mental (Cotman dan Berchtold 2002; Cohen dan

Rodriguez 1995; Charney 2004) . Karakterisasi lebih lanjut dan studi intervensi acak

diperlukan sebelum menyimpulkan bahwa berolahraga merupakan target yang

menjanjikan untuk mencegah timbulnya gangguan mental yang spesifik. Efek

pencegahan tersebut dapat sangat relevan bagi individu yang berisiko tinggi untuk

gangguan ini baik dikodekan secara genetik, diperoleh selama hidup premorbid, atau

sebagai trauma yang dibuat oleh episode penyakit sebelumnya atau peristiwa traumatik

(Stro¨hle dan Holsboer 2003). Topik kesehatan masyarakat ini sangat relevan harus

12

Page 13: Jurnal Reading Psikiatri-1

dijawab dengan studi intervensi dikendalikan berdasarkan dana publik. Studi telah

disajikan memberikan bukti bahwa aktivitas fisik dan olahraga dapat juga digunakan

dalam pengobatan gangguan depresi dan kecemasan. Mekanisme yang bertanggung

jawab untuk perbaikan-latihan terkait dalam gangguan depresi dan kecemasan tidak

semua diketahui, dan kemungkinan besar terjadi interaksi yang kompleks dari

mekanisme psikologis dan neurobiologis yang mendasari, memediasi dan / atau

memoderasi efek ini. Pada saat ini kita jauh dari teori meyakinkan yang menjelaskan

aktivitas antidepresan dan anxiolytic saat melakukan aktifitas fisik. Secara singkat,

beberapa mekanisme yang saat ini sedang disorot: meskipun beberapa studi

menunjukkan bahwa dukungan sosial belum terbukti penting untuk efek terapi olahraga,

sejumlah faktor psikologis telah diusulkan: meningkatnya efikasi diri, rasa penguasaan,

efek distraksi, dan perubahan konsep diri tampaknya akan terlibat dalam keberhasilan

dari terapi aktifitas fisik. Pada gangguan panik, olahraga juga dapat dianggap sebagai

terapi (Marks 1999). Selain itu, jalur biologis juga dikemukakan, termasuk peningkatan

neurotransmiter norepinefrin pusat (Sothman dan Ismail tahun 1984, 1985), perubahan

dalam sistem adrenocortical hipotalamus (Droste et al 2003;. Stro¨hle dan Holsboer

2003), dan peningkatan sekresi natriuretik atrial peptida (Stro¨hle et al 2006.), metabolit

amina, serta sintesis serotonin dan metabolisme (Dishman et al 1997;. Ransford 1982)

dan beta-endorfin. Mekanisme selanjutnya yang berbeda dari bantuan aktivitas

antidepressive dan anxiolytic dapat meningkatkan efektivitas klinis dari aktifitas olahrag

sebagai tatalaksana pada gangguan depresi dan kecemasan. Saat ini masih ada

kekurangan dari studi sistematis tentang bagaimana penanganan terbaik pada depresi

dan gejala kecemasan terkait yang menghambat pasien untuk berpartisipasi dan

mendapatkan keuntungan dari aktifitas olahraga. Pada saat ini, strategi untuk mengubah

13

Page 14: Jurnal Reading Psikiatri-1

aktivitas fisik, yang telah berhasil pada subyek yang sehat, dapat disesuaikan bagi

mereka yang memiliki gangguan depresi atau kecemasan.

Izin medis diperlukan untuk subyek dengan faktor risiko penyakit

kardiovaskular. Fisik kuesioner kesiapan aktivitas (PAR-Q) (Thomas dkk. 1992) adalah

alat skrining sederhana yang biasa digunakan dalam skrining pre-partisipasi untuk

program aktivitas fisik dengan intensitas sedang. Setelah menetapkan pilihan untuk

modus yang akan digunakan untuk aktifitas olahraga, pengujian aktifitas fisik harus

dilakukan dengan sesuai dan pengakhiran aktifitas fisik berakhir dengan inisiasi dan

pemantauan program . Salah satu hal utama adalah jangan memberikan hal-hal yang

diingini pasien sebelum memulai terapi. Sayangnya, tidak ada konsep umum untuk

administrasi terapi aktivitas fisik untuk pasien dengan gangguan depresi dan kecemasan

(Meyer dan Broocks 2000). Biasanya, dilakukan 3-4 sesi pelatihan / minggu dengan

durasi setidaknya 20-30 menit. Kebanyakan penelitian memiliki durasi keseluruhan

program dari 8-14 minggu. Sebuah buku harian kegiatan dianjurkan untuk digunakan

dan aktivitas fisik kehidupan sehari-hari juga harus dicatat. Kegiatan dengan intensitas

sedang seperti berjalan memiliki hasil yang lebih sukses dari pada program aktivitas

fisik yang berat (Dishman dan Buckwort 1996) dan intervensi yang menargetkan

kelompok tertentu atau disesuaikan dengan individu tersebut lebih efektif daripada

intervensi yang diberikan secara generik (Marcus dkk 1998;. Marcus dan Forsyth 1998 ;

Strecher dkk, 2002;. Segar dkk, 2002).. pemberian program aktifitas fisik atau pesan

motivasi dalam bentuk cetakan atau dengan komputer tampaknya juga lebih efektif

daripada konseling tatap muka (Dishman dkk 1997;. Smith dkk 2000;.. Swinburn dkk

1998). Untuk pasien dengan depresi atau gangguan kecemasan, informasi spesifik

tentang aktifitas fisik (training) harus diberikan kepada pasien. Sebagai contoh, pasien

14

Page 15: Jurnal Reading Psikiatri-1

dengan depresi berat dengan perubahan diurnal harus melakukan aktifitas fisik di

keesokan hari; pasien dengan gangguan panik atau serangan panik, harus diberitahu

bahwa dalam beberapa kasus dapat terjadi sensasi pada tubuh saat melakukan latihan

fisik yang dapat memicu serangan panik, terlepas dari aktivitas anxiolytic akut (Stro¨hle

et al. 2005) dan latihan jangka panjang (Broocks et al. 1998), dan bahwa peningkatan

gejala ini dapat dianggap sebagai bentuk terapi paparan. Kegiatan harian harus

mencakup pengukuran untuk depresi serta keparahan gejala kecemasan dan telah

dihipotesiskan ada umpan balik langsung antara hal-hal tersebut dengan olahraga dan

kesejahteraan yang dapat meningkatkan kepatuhan pasien untuk mengikuti program

aktifitas fisik tersebut. Strategi yang digunakan dengan terapi perilaku kognitif dapat

diterapkan untuk aktifitas olahraga (training): analisis situasi, penetapan tujuan,

pemantauan diri, kegiatan pekerjaan rumah, dan mengikuti serta menyokong

perkembangannya dapat mendukung kepatuhan dan membantu mencapai dan

mempertahankan perilaku yang baru (Otto dkk 2007) . Pada beberapa pasien dengan

bentuk yang paling parah dari depresi mayor, memerlukan perbaikan dari gejala yang

ada melalui pendekatan pengobatan lain sebelum berpartisipasi dalam program latihan

aktifitas. Pasien lain, misalnya, responden yang hanya menggunakan pengobatan

parsial, atau subyek dengan hambatan untuk menerima penatalaksanaan dengan

pendekatan medis atau psikologis tradisional, seperti, misalnya, perempuan minoritas,

mendapatkan manfaat paling besar dari aktifitas olahraga (Otto dkk. 2007).

Implementasi dan optimasi lebih lanjut dari program aktifitas olahraga untuk pasien

dengan gangguan depresi atau kecemasan memerlukan pendekatan multidisiplin yang

melibatkan ilmuwan dan praktisi dalam psikiatri, psikologi, kesehatan olah raga dan

penyedia perawatan kesehatan serta menggunakan dana publik.

15

Page 16: Jurnal Reading Psikiatri-1

16

Page 17: Jurnal Reading Psikiatri-1

Daftar pustaka

1. Abu-Omar K, Ru¨tten A, Lehtinen V (2004a) Mental health and physical activity in the European Union. Soz Praventivmed 49:301–309

2. Abu-Omar K, Ru¨tten A, Robine J-M (2004b) Self-rated health and physical activity in the European Union. Soz Praventivmed 49:235–242

3. American College of Sports Medicine (1978) The recommended quantity and quality of exercise for developing and maintaining fitness in healthy adults. Med Sci Sports Exerc 10:VII–X

4. American College of Sports Medicine (1990) Position stand: the recommended quantity and quality of exercise for developing and maintaining cardiorespiratory and muscular fitness in healthy adults. Med Sci Sports Exerc 22:265–274

5. Babyak M, Blumenthal JA, Herman S et al (2000) Exercise treatment for major depression: maintenance of therapeutic benefits at 10 months. Psychosom Med 62:633–638

6. Barlow DH, Craske MG (1994) Mastery of your anxiety and panic. Graywind Publications, Albany, NY Bhui K, Fletcher A (2000) Common mood and anxiety states: gender differences in the protective effect of physical activity. Soc Psychiatry Psychiatr Epidemiol 35(1):28–35

7. Blumenthal JA, Emery CF, Madden DJ et al (1989) Cardiovascular and behavioral effects of aerobic exercise training in healthy older men and women. J Gerontol 44:M147–M157

8. Blumenthal JA, Babyak MA, Moore KA et al (1999) Effects of exercise training on patients with major depression. Arch Int Med 159:2349–2356

9. Blumenthal JA, Michael A, Babyak A et al (2007) Exercise and pharmacotherapy in the treatment of major depressive disorder. Psychosom Med 69:587–596

10. Broocks A, Bandelow B, Pekrun G et al (1998) Comparison of aerobic exercise, clomipramine, and placebo in the treatment if panic disorder. Am J Psychiatry 155:603–609

11. Camacho TC, Roberts RE, Lazarus NB, Kaplan GA, Cohen RD (1991) Physical activity and depression: evidence from the Alamada County study. Am J Epidiomiol 134(2):220–231

12. CDC (1996) Physical activity and health: a report of the surgeon general. US Department of Health and Human Services, National Center for Chronic Disease Prevention and Health Promotion, Atlanta Charney DS (2004) Psychobiological mechanisms of resilience and vulnerability: Implications for successful adaptation to extreme stress. Am J Psychiatry 161:195–216

13. Cohen S, Rodriguez R (1995) Pathways linking affective disturbances and physical disorders. Health Psychol 15:374–380

14. Cotman CW, Berchtold NC (2002) Exercise: a behavioral intervention to enhance brain health and plasticity. Trends Neurosci 25(6):295–301

15. Craft LL, Landers DM (1998) The effects of exercise on clinical depression resulting from mental illness: a meta-analysis. J Sport Exerc Psychol 20:339–357

17

Page 18: Jurnal Reading Psikiatri-1

16. Craft LL, Perna FM (2004) The benefits of exercise for the clinically depressed. Prim Care Companion J Clin Psychiatry 6:104–111

17. Craig CI, Marshall AL, Sjostrom M, Baumann AE, Booth ML, Ainsworth BE, Pratt M, Ekelund U, Yngve A, Sallis JF, Oja P (2003) International physical activity questionnaire: 12 country reliability and validity. Med Sci Sports Exerc 35:1381–1395

18. DiLorenzo TM, Bargman EP, Stucky-Ropp R et al (1999) Long-term effects of aerobic exercise on psychological outcomes. Prev Med 28:75–85

19. Dimeo F, Bauer M, Vahram I, Proest G, Halter U (2001) Benefits from aerobic exercise in patients with major depression: a pilot study. Br J Sports Med 35:114–117

20. Dishman RK, Buckwort J (1996) Increasing physical activity: a quantitative synthesis. Med Sci Sports Exerc 28:706–719

21. Dishman RK, Renner KJ, Youngstedt SD et al (1997) Activity wheel running reduces escape latency and alters brain monoamine levels after footshock. Brain Res Bull 42:399–406

22. Doyne EJ, Ossip-Klein DJ, Bowman ED et al (1987) Running versus weight lifting in the treatment of depression. J Consult Clin Psychol 55:748–754

23. Dractu L (2001) Physical exercise: an adjunctive treatment for panic disorder? Eur Psychiatry 16:372–374

24. Droste SK, Gesing A, Ulbricht S et al (2003) Effects of long-term voluntary exercise on the mouse hypothalamic-pituary-adrenocorticalm axis. Endocrinology 114(7):3012–3023

25. Dunn AL, Garcia ME, Marcus BH et al (1998) Six month physical activity and fitness changes in project active, randomized trial.Med Sci Sports Exerc 30:1076–1083

26. Dunn AL, Madhukar H, Trivedi MD et al (2005) Exercise treatment for depression Efficacy and dose response. Am J Prev Med 28(1):1–8

27. Dunn AL, Trivedi MH, O’Neal HA (2001) Physical activity doseresponse effects on outcome of depression and anxiety. Med Sci Sports Exerc 33:S587–S597

28. Esquivel G, Schruers K, Kuipers H, Griez E (2002) The effects of acute exercise and high lactate levels on 35% CO2 challenge in healthy volunteers. Acta Psychiatr Scand 106:394–397

29. Farmer ME, Locke BZ, Mosciki EK, Dannenberg AL, Larson DB, Radloff LS (1988) Physical activity and depressive symptoms: the NHANES I epidemiologic follow-up study. Am J Epidemiol 128:1340–1351

30. Fremont J, Craighead LW (1987) Aerobic exercise and cognitive therapy in the treatment of dysphoric moods. Cognit Ther Res 11:241–251

31. Goodwin RD (2003) Association between physical activity andmental disorders among adults in the United States. Prev Med 36:698–703

32. Greist JH, Klein MH, Eischens RR et al (1979) Running as treatment for depression. Compr Psychiatry 20:41–54 Guszkowska M (2004) Effects of exercise on anxiety, depression and mood. Psychiatr Pol 38(4):611–620

33. Haarasilta LM, Marttunen MJ, Kapiro JA, Aro HM (2004) Correlates of depression in a representative nationwide sample of adolescents (15–19 years) and young adults (20–24 years). Eur J Pub Health 14:280–285

18

Page 19: Jurnal Reading Psikiatri-1

34. King AC, Haskell WL, Taylor CB, Kraemer HC, DeBusk RF (1991) Group- vs. home-based exercise training in healthy older men and women: a community-based trial. JAMA 266:1535–1542

35. King AC, Taylor CB, HaskellWL(1993) Effects of differing intensities and formats of 12 months of exercise training on psychological outcomes in older adults. Health Psychol 12:292–300

36. Klein MH, Greist JH, Gurman AS, Neiberyer DP (1985) A comparative outcome study of group psychotherapy vs. Exercise treatments for depression. Int J Mental Health 13:148–176

19