Jurnal Psikobuana Vol1No3-Feb2010

79

description

Jurnal

Transcript of Jurnal Psikobuana Vol1No3-Feb2010

  • Editorial Psikobuana Volume 1 Nomor 3 ini menghadirkan enam buah artikel. Artikel pertama ditulis

    oleh Idhamsyah Eka Putra dan Zora A. Wongkaren, dengan judul Konstruksi Skala Fundamentalisme Islam di Indonesia. Sebagaimana kita ketahui, harian Kompas pada 28 Maret 2008 memaparkan hasil survei yang dilakukan aktivis gerakan nasionalis pada 2006, bahwa 80% mahasiswa memilih syariah sebagai pandangan hidup berbangsa dan bernegara, 15,5% memilih aliran sosialisme dengan berbagai varian sebagai acuan hidup, sedangkan hanya 4,5% responden yang masih memandang Pancasila tetap layak sebagai pandangan hidup berbangsa dan bernegara. Penelitian itu dilakukan di Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, Universitas Gadjah Mada, Universitas Airlangga, dan Universitas Brawijaya. Dalam konteks ini, artikel Putra dan Wongkaren sangat penting karena mereka kini menyediakan sebuah alat ukur berupa skala psikologis yang sudah teruji yang dapat mengenali para fundamentalis Islam di Indonesia secara lebih memadaidibandingkan dengan alat ukur dari Barat. Dengan selangkah lagi memikirkan bersama bagaimana alat ukur ini digunakan secara efektif serta bagaimana hasil ukur disikapi, kita berharap bahwa karya mereka mampu memberikan sumbangsih menuju gerakan pencegahan ekstrimisme ideologis yang disinyalir marak berkembang di kampus-kampus.

    Artikel kedua ditulis oleh Meilisha Djati Arum dan A. A. Anwar Prabu Mangkunegara, dengan judul "Peran Sikap, Norma Subjektif, dan Persepsi Kendali Perilaku Dalam Memprediksi Intensi Wanita Melakukan Pemeriksaan Payudara Sendiri. Kesehatan perempuan merupakan sesuatu yang penting, terlebih lagi perempuan, khususnya di Indonesia, dewasa ini dapat menjadi pemimpin (khalifah). Oleh karenanya, artikel hasil penelitian dari Arum dan Mangkunegara tersebut dapat kita pandang berkontribusi terhadap upaya penyadaran dan edukasi terhadap perempuan untuk mengembangkan intensi yang kuat guna memelihara kesehatan payudara, organ vital perempuan. Sebab, pemeliharaan kesehatan ini berarti juga pemeliharaan kehidupan yang lebih luas.

    Artikel ketiga ditulis oleh Juneman, Pengurus Ikatan Psikologi Sosial Himpunan Psikologi Indonesia, dengan judul Masalah Transportasi Kota dan Pendekatan Psikologi Sosial". Selanjutnya, Lukman Sarosa Sriamin menyampaikan pemikirannya yang berjudul Pancasila Sebagai Landasan Terbentuknya Sane Society Fromm. Sriamin memang menyayangkan bahwa Fromm tidak dilahirkan sebagai orang Indonesia. Namun demikian, ia melihat bahwa masyarakat yang diidamkan Fromm merupakan suatu posibilitas, bukan hanya mimpi, dan Pancasila dari Indonesia adalah jawab untuk mewujudkannya. Pada akhirnya, Bonar Hutapea serta Rendy Wirawan dan Eunika Sri Tyas Suci masing-masing menyampaikan hasil penelitiannya mengenai Studi Komparatif Tentang Motivasi Berprestasi Pada Atlet Kempo Propinsi DKI Jakarta Ditinjau Dari Kepribadian serta Gambaran Faktor-faktor Pembentuk Efikasi Diri Dalam Membuat dan Menerbitkan Komik Bergaya Jepang Pada Komikus yang Sudah Menerbitkan Karyanya.

    Penyunting

  • Daftar Isi Editorial Penyunting Daftar Isi Konstruksi Skala Fundamentalisme Islam di Indonesia Idhamsyah Eka Putra dan Zora A. Wongkaren Peran Sikap, Norma Subjektif, dan Persepsi Kendali Perilaku Dalam Memprediksi Intensi Wanita Melakukan Pemeriksaan Payudara Sendiri Meilisha Djati Arum dan A. A. Anwar Prabu Mangkunegara Masalah Transportasi Kota dan Pendekatan Psikologi Sosial Juneman Pancasila Sebagai Landasan Terbentuknya "Sane Society" Fromm Lukman Sarosa Sriamin Studi Komparatif Tentang Motivasi Berprestasi Pada Atlet Kempo Propinsi DKI Jakarta Ditinjau Dari Kepribadian Bonar Hutapea Gambaran Faktor-faktor Pembentuk Efikasi Diri Dalam Membuat dan Menerbitkan Komik Bergaya Jepang Pada Komikus yang Sudah Menerbitkan Karyanya Rendy Wirawan dan Eunike Sri Tyas Suci Panduan Bagi Penulis Indeks

    i

    ii

    151161

    162172

    173189

    190198

    199209

    210-218

    Psikobuana ISSN 2085-4242 2010, Vol. 1, No. 3

  • Konstruksi Skala Fundamentalisme Islam di Indonesia

    Idhamsyah Eka Putra dan Zora A. Wongkaren Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia

    The purposes of this study are to adapt and modify RFS (Religious Fundamentalism Scale) and IFS (Intratextual Fundamentalism Scale) in order to develop ISFS (Islamic Fundamentalism Scale). Moreover, this study is to find the coefficient correlation between IFS and prejudice towards Christians. Data were derived from 311 Muslim participants who were given a questionnaire. The results show that the items coefficient reliability of the ISFS is .86 and the items coefficient validity is between .37 and .64. Therefore, the ISFS is considered effective enough as an Islamic fundamentalism measuring tool. The research results also indicate that there is significant correlation between Islamic fundamentalism and prejudice towards Christians. Further, this research exhibits the Islamic fundamentalism as an independent variable in prejudice prediction towards Christians. Recommendations for further researches are about the relationship between Islamic fundamentalism and prejudice towards other believers, certain races and or ethnicities, homosexuals, and other psychological variables such as social identities, social dominance orientation, and authoritarianism in prejudice.

    Keywords: religious fundamentalism, prejudice, authoritarianism, religious orientation

    Dalam psikologi sosial, diskriminasi dan prasangka merupakan kajian yang banyak diteliti terutama setelah perang dunia pertama dan kedua. Setidaknya laporan terakhir dalam pangkalan jurnal PsycINFO (2010) menunjukkan 1.424 artikel jurnal yang memberikan judul prasangka dan sekitar 5.103 artikel jurnal yang memiliki kata kunci prasangka. Data tersebut belum termasuk jumlah buku, tesis, disertasi, artikel konferensi. Tokoh-tokoh awal psikologi seperti Thorndike, Lewin, Ash, dan Allport pun ikut memberikan kontribusi terhadap berbagai kajian di seputar isu tersebut. Prasangka menjadi suatu topik

    yang banyak ditelaah karena konflik sosial, perang, dan penindasan antara lain diakibatkan oleh prasangka.

    Prasangka dapat muncul dari berbagai sebab, antara lain karena deprivasi relatif (Davis, 1959), identitas (Tajfel & Turner, 1979), konflik sosial (Bar-Tal & Teichman, 2005), orientasi dominansi sosial (Sidanius & Pratto, 2001), sifat otoriter (Adorno, Frenkel-Brunswik, Levinson, & Sanford, 1950; Altemeyer, 1981), ancaman (Greenberg, Solomon, & Pyszczynski, 1997), dan agama (Allport, 1954). Faktor terakhir yang disebut sebagai penyebab prasangka, yaitu agama,

    Psikobuana ISSN 2085-4242 2010, Vol. 1, No. 3, 151161

    151

  • 152 PUTRA DAN WONGKAREN

    menarik untuk ditelaah secara mendalam. Hal ini karena unsur ajaran setiap agama yang mempromosikan nilai-nilai kebaikan dan kemuliaan (termasuk tidak memiliki prasangka negatif terhadap sesama atau manusia lain) untuk dijadikan pedoman bagi pemeluknya agar mencapai ketenangan dan kesejahteraan hidup, justru malah menjadi faktor prasangka.

    Berkaitan dengan agama sebagai determinan prasangka, Allport dan Ross (1967) membuktikan bahwa orang beragama dengan orientasi ekstrinsik cenderung memiliki prasangka negatif terhadap penganut lain. Orang beragama dengan orientasi intrinsik cenderung tidak mendukung prasangka terhadap penganut lain. Orientasi keberagamaan ekstrinsik berarti agama dimanfaatkan. Agama berguna untuk mendukung kepercayaan diri, memperbaiki status, bertahan melawan kenyataan, atau memberi sanksi pada suatu cara hidup. Orang dengan orientasi keberagamaan ekstrinsik menemukan bahwa agama bermanfaat dalam banyak hal, dan menekankan imbalan yang akan diperolehnya. Sebaliknya, orientasi keberagamaan intrinsik berarti agama dihayati. Iman dipandang bernilai pada dirinya sendiri yang menuntut keterlibatan dan mengatasi kepentingan diri. Orientasi keberagamaan intrinsik meletakkan motif orientasi di bawah keterlibatan yang komprehensif (Allport, 1960, dalam Crapps, 1993). Dua kecenderungan ini muncul karena, menurut Allport (1954), agama selain mengajarkan kebaikan juga mengajarkan kekerasan dan intoleransi. Kondisi ini memberikan potensi munculnya dua sisi pandang yang berbeda mengenai agama, yakni di satu sisi menciptakan kebaikan, dan di sisi lain menciptakan kejahatan.

    Di samping Allport dan Ross, beberapa

    peneliti seperti Duck dan Hunsberger (1999) serta Cannon (2001) turut memberikan dukungan dan menguatkan hasil temuan mereka. Namun demikian, beberapa penelitian terakhir mengenai orientasi intrinsik dan ekstrinsik membuktikan tentang lemah atau tidak kuatnya konsep yang diberikan Allport dan Ross. Beberapa temuan menunjukkan bahwa orang dengan orientasi intrinsik juga menunjukkan dukungannya terhadap prasangka terhadap penganut lain (Herek, 1987; Lough, 2005; Spilka, Hood, & Gorsuch, 1985). Hasil dari penjelasan-penjelasan tersebut menunjukkan adanya faktor lain yang terlewat atau belum terpikir, yang menjadi determinan sesungguhnya dalam mengukur hubungan antara agama dan prasangka. Menurut Altemeyer (2003), hal lain yang belum terpikirkan tersebut adalah kefanatikan. Dengan kata lain, kefanatikan menurutnya merupakan penyebab sesungguhnya dalam mengukur hubungan antara agama dan prasangka. Kefanatikan ini menurutnya muncul di dalam fundamentalisme agama. Altemeyer sendiri menjelaskan fundamentalisme agama adalah suatu keyakinan kuat tentang ajaran agama yang digunakan sebagai dasar untuk memahami dan berperilaku. Lebih jelas, Altemeyer dan Hunsberger menjelaskan:

    The belief that there is one set of religious teaching that clearly contains the fundamental. Basic intrinsic, essential, inerrant truth about humanity and deity; that this essential truth is fundamentally opposed by forces of evil which must be vigorously practice of the past; and that those who believe and follow these fundamental teachings have a special relationship with the deity. (Altemeyer & Husberger, 1992)

  • KONSTRUKSI SKALA 153

    Senada dengan Altemeyer, Taylor dan Horgan (2001) mengartikan fundamentalisme agama sebagai suatu ideologi yang berangkat dari latar belakang keyakinan agama yang kuat dan kehidupan agama yang dijalankan dengan sangat serius. Berangkat dari pemahaman tersebut, Altemeyer dan Hunsberger (1992) membuat alat ukur yang disebut dengan skala fundamentalisme agama (religious fundamentalisme scale/RFS). Pada beberapa penelitian dengan mayoritas sampel beragama Kristen, RFS menunjukkan hubungan yang kuat dengan prasangka ras maupun etnis (Smith, Stones, Peck, & Naidoo, 2007), prasangka terhadap agama yang berbeda (Altemeyer, 2003; lihat juga Raiya, Pargament, Mahoney, & Trevino, 2008; Rowatt, Franklin, & Cotton, 2005), dan dukungan kekerasan terhadap homoseksual (Bizumic & Duckitt, 2007; Laythe, Finkel, & Kirkpatrick, 2001).

    Meskipun RFS telah menunjukkan kekonsistenannya dalam menguji hubungan fundamentalisme agama dengan prasangka, Hood, Hill, dan Williamson (2005) berpendapat bahwa penjelasan Altemeyer dan Hunsberger (1992) mengenai fundamentalisme agama perlu dikoreksi dan dikembangkan. Menurut mereka, hal mendasar dari fundamentalisme agama tidak sekedar keyakinan yang kuat, melainkan juga bagaimana keyakinan tersebut dimaknai dan dipahami. Pemaknaan dan pemahaman ini terkait erat dengan bagaimana seseorang menempatkan, menggali, dan mempelajari kitab sucinya. Fundamentalis agama cenderung memahami kitab suci secara literal dan tertutup untuk didiskusikan dan dinegosiasikan pada kitab lain.

    Model pemahaman kitab suci tersebut oleh Hood, Hill, dan Williamson (2005) disebut dengan model intratekstual yang berlawanan

    dengan model intertekstual yaitu bentuk pemahaman Al-Quran yang terbuka untuk didiskusikan dan ditafsirkan. Kitab suci sebagai dasar ajaran biasanya oleh fundamentalis agama digunakan untuk memahami dirinya dan untuk memahami seluruh yang ada, yang sifatnya mutlak dan tidak berubah. Mereka yakin bahwa isi kitab suci adalah suatu yang dipastikan benar dan akurat sifat kebenarannya. Menurut mereka, inti pengukuran fundamentalisme agama terletak pada pemahaman mengenai kitab suci. Untuk mengakomodasi gagasan ini dan mengujinya secara empiris, mereka membuat alat ukur skala intratekstual fundamentalisme (Intratextual Fundamentalism Scale/IFS). Pertanyaan yang muncul setelah membaca keterangan mereka adalah apakah alat ukur yang dikembangkan mereka akan cocok diukur pada agama Islam. Jika mengamati konsep fundamentalisme agama dan memahaminya secara khusus, maka IFS yang dikembangkan oleh mereka akan bermasalah ketika diuji pada agama Islam.

    Dasar Islam tidak hanya berasal dari kitab suci Al-Quran tetapi juga pada As-Sunnah yang merekam segala perbuatan dan ucapan Muhammad, dan pola pengajaran atau pemahaman yang diberikan (Lewis, 1993). Menurut Taylor dan Horgan (2001), beberapa pemahaman yang khas dimiliki fundamentalisme Islam adalah (1) Islam merupakan agama yang universal, (2) ajarannya dapat menjelaskan dan menyelesaikan segala aspek kehidupan, (3) memiliki hukum dan aturan yang jelas, (4) Muhammad telah memberikan contoh pemerintahan yang baik di Madina, atau biasa disebut sebagai zaman keemasan Islam. Dari penjelasan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa kerangka konseptual yang dikembangkan Hood, Hill, dan

  • 154 PUTRA DAN WONGKAREN

    Williamson (2005) belum dapat mengukur fundamentalisme Islam yang sebenarnya.

    Penelitian ini berupaya untuk (1) mengadaptasi dan memodifikasi alat ukur fundamentalisme agama Altemeyer dan Hunsberger (1992), serta Hood, Hill, dan Williamson (2005), dan (2) mengembangkannya menjadi sebuah alat ukur fundamentalisme Islam berdasarkan penjelasan Lewis (1993) serta Taylor dan Horgan (2001). Setelah skala pengukuran fundamentalisme Islam terbentuk, alat tersebut akan diuji keterkaitannya dengan prasangka.

    Metode

    Partisipan

    Partisipan penelitian ini adalah orang yang beragama Islam dengan rentang usia 14 sampai dengan 32 tahun, dengan M = 17,74, dan Median = 17 tahun. Partisipan berjumlah 311 orang dengan komposisi jenis kelamin laki-laki 43% dan perempuan 54%.

    Instrumen

    Instrumen pertama adalah Skala Fundamentalisme Agama. Penelitian ini menggunakan Skala Fundamentalisme Agama yang dikembangkan oleh Altemeyer (2003) dengan terlebih dahulu diterjemahkan dan diadaptasi. Bentuk alat ukur ini berupa pernyataan yang diajukan dalam 6 pilihan tingkat respons, yakni dari 1 (Sangat Tidak Setuju) sampai dengan 6 (Sangat Setuju), dengan tidak mengondisikan pilihan netral. Beberapa contoh pernyataannya adalah (1) "Menelaah Al-Quran secara kritis dengan mempertanyakan unsur-unsur di dalamnya

    adalah bentuk pembangkangan terhadap sabda Tuhan", (2) "Tuhan telah memberikan manusia pedoman hidup yang lengkap menuju kebahagiaan dan kesejahteraan hidup yang harus diikuti sepenuhnya", (3) "Pada dasarnya terdapat dua macam manusia: Muslim yang akan diberi ganjaran surga dan yang tidak."

    Instrumen kedua, Skala Fundamentalisme Intratekstual, merupakan terjemahan dan adaptasi oleh Putra (2007). Bentuk alat ukur ini berupa pernyataan yang diajukan dalam 6 pilihan tingkat respons, yakni dari 1 (SangatTidak Setuju) sampai dengan 6 (Sangat Setuju), dengan tidak mengondisikan pilihan netral. Beberapa contoh pernyataannya adalah (1) "Al-Quran adalah satu-satunya pedoman atau acuan manusia jika ingin selamat", (2) "Al-Quran adalah pedoman yang sempurna sehingga tidak boleh mempertanyakan unsur-unsur di dalamnya".

    Instrumen ketiga, Skala Fundamentalisme Isla, adalah alat ukur yang dibuat berdasarkan pengembangan dan adaptasi dua alat ukur, yakni skala fundamentalisme agama dengan skala fundamentalisme intratekstual, untuk disesuaikan dan mengukur fundamentalisme Islam yang sesungguhnya. Bentuk alat ukur ini berupa pernyataan yang diajukan dalam 6 pilihan tingkat respons, yakni dari 1 (SangatTidak Setuju) sampai dengan 6 (Sangat Setuju), dengan tidak mengondisikan pilihan netral.

    Instrumen keempat, alat ukur Prasangka terhadap Pemeluk Kristen, dibangun berdasarkan adaptasi dari pengukuran-pengukuran mengenai prasangka. Bentuk alat ukur ini berupa pernyataan yang diajukan dalam 6 pilihan tingkat respons, yakni dari 1 (SangatTidak Setuju) sampai dengan 6 (Sangat Setuju), dengan tidak mengondisikan pilihan netral. Contoh pernyataan yang diajukan adalah (1)

  • KONSTRUKSI SKALA 155

    "Kehadiran umat Kristen di Indonesia memiliki segi positif", (2) "Saya senang bersahabat dengan siapa saja, bahkan dengan orang Kristen sekalipun", dan (3) "Kehadiran umat Kristen di Indonesia sangat menguntungkan".

    Hasil

    Hasil uji validitas dan reliabilitas menunjukkan bahwa beberapa instrumen yang diadaptasi dari alat ukur skala fundamentalisme agama dan skala fundamentalisme intratekstual tidak kuat nilainya ketika diuji pada umat Islam. Item-item yang tidak kuat tersebut seperti (1) "Al-Quran adalah sumber pengetahuan yang kedudukannya berada di atas kitab-kitab dan teks-teks lain", dan (2) "Manusia boleh berpikir kritis pada hal-hal lain selain ayat-ayat Al-Quran.

    Sebaliknya, item-item baru yang bukan hasil adaptasi dan merupakan penjabaran konsep Islam Fundamentalisme dari salafisme pemurnian Islam memberikan nilai yang kuat sebagai bagian dari Skala Fundamentalisme Islam. Hasil perhitungan validitas dan reliabilitas pada Skala Fundamentalisme Islam menunjukkan nilai reliabilitas & = 0,86 dengan koefisien validitas yang diperoleh r = 0,37sampai dengan r = 0,64.

    Analisis faktor dilakukan untuk menguji item-item yang mengukur fundamentalisme Islam dan prasangka terhadap pemeluk Kristen. Hasil analisis faktor, sebagaimana nampak dalam Tabel 1, menunjukkan bahwa item-item yang diajukan menunjukkan kecocokannya terhadap sesuatu yang diukur, yaitu fundamentalisme Islam dan prasangka terhadap pemeluk Kristen. Hasil uji ini menunjukkan bahwa adaptasi alat ukur dan penambahan item-item yang sebelumnya tidak disertakan di dalam skala fundamentalisme agama dan skala

    fundamentalisme intratekstual sangat sesuai untuk mengukur fundamentalisme Islam.

    Uji korelasi antara fundamentalisme Islam dengan prasangka terhadap pemeluk Kristen menunjukkan hubungan positif (r = 0,25). Hasil ini berarti semakin kuat fundamentalisme Islam seseorang maka akan semakin kuat juga prasangkanya terhadap Kristen.

    Uji regresi menunjukkan fundamentalisme Islam memberikan kontribusi secara signifikan (p < 0,01; = 0,071; R = 0,064; F = 20,863)pada prasangka terhadap pemeluk Kristen, sebagaimana nampak dalam Tabel 2. Arti dari signifikansi tersebut adalah bahwa fundamentalisme Islam merupakan salah satu faktor penyebab munculnya prasangka terhadap pemeluk Kristen. Besarnya pengaruh yang diberikan adalah sebesar 6,4%.

    Diskusi, Kesimpulan, dan Saran

    Alat Ukur dan Skala Fundamentalisme Islam

    Mendukung penjelasan Lewis (1993) serta Taylor dan Horgan (2001), hasil penelitian ini menunjukkan bahwa (1) keyakinan bahwa permasalahan sosial akan selesai dengan menjalankan pemerintahan Islam seperti zaman Muhammad, (2) keyakinan mengenai Islam yang harus satu dan tidak memiliki perbedaan, serta (3) kebenaran Al-Quran dan As-Sunnah sebagai suatu pedoman utama yang harus ditafsirkan seperti apa adanya, telah terbukti menjadi bagian dalam fundamentalisme Islam. Temuan ini sekaligus menunjukkan bahwa alat ukur yang dikembangkan oleh Altemeyer (2003) serta Hood, Hill, dan Williamson (2005) tidak dapat diadaptasi langsung tanpa menambahkan pemahaman mengenai sunnah Muhammad, pemerintahan, dan hukum.

  • 156 PUTRA DAN WONGKAREN Tabel 1. Konten Item dan Muatan Analisis Faktor Fundamentalisme Islam dan Prasangka Terhadap

    Pemeluk Kristen

    Fundamentalisme Islam

    Al-Quran tidak dapat ditafsirkan ulang untuk disesuaikan dengan bukti-bukti sejarah dan ilmu pengetahuan .446

    Sebagai pedoman yang diturunkan Tuhan Yang Maha Tahu, Al-Quran telah menjabarkan secara lengkap tentang kebijaksanaan, kebenaran, dan kehidupan, sehingga tidak terlalu perlu mempelajari pedoman dari teks lain

    .507

    Al-Quran adalah pedoman yang sempurna, sehingga tidak boleh mempertanyakan unsur-unsur di dalamnya .542

    Kebenaran dari Al-Quran tidak akan lekang oleh waktu, sehingga dapat diaplikasikan pada semua generasi tanpa perlu ditafsirkan kembali .600

    Al-Quran tidak bisa berkompromi dengan pernyataan-pernyataan dari teks atau sumber lain .373

    Al-Quran adalah satu-satunya pedoman atau acuan manusia jika ingin selamat .502

    Jika ada ketidaksejalanan antara sains dengan Al-Quran, maka yang harus menyesuaikan adalah sains, sehingga Al-Quran tidak mesti ditafsirkan ulang .506

    Agama Islam yang dibawa oleh Muhammad SAW adalah satu-satunya jalan hidup yang mulia .565

    Hanya ada satu pedoman kebenaran, yaitu Al-Quran, sehingga orang yang tidak berpedoman dengan Al-Quran tidak akan menemukan kebenaran hakiki .573

    Menelaah Al Quran secara kritis dengan mempertanyakan unsur-unsur di dalamnya adalah bentuk pembangkangan terhadap sabda Tuhan

    .435

    Pada dasarnya terdapat 2 macam manusia: muslim (pemeluk agama Islam) yang akan diberi ganjaran surga, dan yang tidak

    .497

    Al-Quran berisi kebenaran-kebenaran dasar yang perlu diterima secara absolut dan mutlak .559

    Ajaran Islam tidak akan pernah dapat disandingkan apalagi berkompromi dengan kepercayaan-kepercayaan lain .545

    Al-Quran harus ditafsirkan seperti apa adanya, tidak perlu disesuaikan dengan konteks jaman dan tempat

    .557

    Al Quran dan As-Sunnah telah mengatur seluruh hidup manusia sehingga tidak diperlukan tambahan dasar hokum lain karena kesannya mengada-ada atau bidah

    .580

    Al Quran dan As Sunnah sudah cukup untuk menjawab semua permasalahan manusia dari ekonomi, politik, hingga rumah tangga

    .563

    Sistem pemerintahan yang pernah diterapkan Muhammad SAW dapat diterapkan kapan saja dan di mana saja

    .554

    Hanya dengan menerapkan sistem pemerintahan yang pernah diterapkan Muhammad SAW, rakyat akan sejahtera

    .496

    Islam tidak mengenal perbedaan, Islam harus satu; satu pemikiran, pemahaman, dan penafsiran

    .531

  • KONSTRUKSI SKALA 157

    Prasangka terhadap umat Kristen

    Kehadiran umat Kristen di Indonesia memiliki banyak segi positif (R) .535

    Saya senang bersahabat dengan siapa saja, bahkan dengan orang Kristen sekalipun (R) .362

    Kehadiran umat Kristen di Indonesia sangat menguntungkan (R) .530

    Orang Kristen di Indonesia boleh menjadi pemimpin bahkan Presiden sekalipun (R) .568

    Item adaptasi yang tidak cocok diberikan untuk Fundamentalisme Islam

    Tidak ada satu buku atau alkitab pun yang memuat secara lengkap tentang dasar-dasar kebenaran yang mendalam tentang hidup

    -.435

    Sumber utama kejahatan di muka bumi ini adalah syaitan, yang dengan kebrutalan selalu menentang Tuhan -.439

    Lebih penting untuk menjadi orang yang berhati mulia/lembut dalam kesehariannya, daripada untuk menjadi penganut 1 agama yang paling benar

    Ketika terdapat konflik antara sains dan kitab suci, yang benar adalah sains karena berdasarkan fakta-fakta empiris

    -.238

    Seluruh agama di muka bumi ini memiliki kelemahan atau kesalahan dalam ajarannya -.187

    Catatan. R = item yang nilainya harus dibalik

    Tabel 2. Hasil Regresi dan Korelasi untuk Memprediksi Prasangka terhadap umat Kristen Variabel Std. Error of the Estimate Fundamentalisme Islam .071 3.69634Catatan. RP2 P = .064; F = 20.863P**P; T = 4.863

    P

    **Pp < .01.

    Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa pengukuran fundamentalisme agama yang dibuat oleh Altemeyer belum cukup kuat mengukur gejala fundamentalisme yang ada di Islam. Beberapa item Skala Fundamentalisme Agama (Religious Fundamentalisme Scale/RFS) yang telah diterjemahkan dan diadaptasi, terbukti tidak cukup kuat dipakai

    sebagai satu kesatuan bangunan dalam fundamentalisme Islam. Contoh-contoh item yang tidak dapat dipakai itu adalah (1) "Sumber utama kejahatan di muka bumi ini adalah setan, yang dengan kebrutalan selalu menentang Tuhan", (2) "Seluruh agama di muka bumi ini memiliki kelemahan atau kesalahan dalam ajarannya", dan (3) "Lebih penting untuk menjadi orang berhati mulia atau lembut dalam

  • 158 PUTRA DAN WONGKAREN

    kesehariannya, daripada untuk menjadi penganut satu agama yang paling benar". Beberapa item yang tidak terpakai ini menunjukkan bahwa adanya perbedaan karakter atau budaya dalam masing-masing agama yang satu sama lainnya sehingga alat yang dikembangkan Altemeyer (2003; lihat juga Altemeyer & Hunsberger, 1992) hanya sesuai pada agama tertentu saja.

    Hal lain yang dapat menjadi alasan mengapa tidak semua item alat ukur RFS yang dikembangkan Altemeyer tidak dapat menjelaskan gejala fundamentalisme Islam adalah karena tidak sesuai dengan budaya Islam di Timur, Indonesia. Item yang dikembangkan oleh Altemeyer seperti, "Lebih penting untuk menjadi orang berhati mulia atau lembut dalam kesehariannya, daripada untuk menjadi penganut satu agama yang paling benar," merupakan item yang tidak relevan atau tepat diberikan pada wilayah atau daerah yang memiliki nilai religiusitas yang tinggi seperti Indonesia ini. Dapat dipastikan setiap muslim yang ada di Indonesia akan memilih pendapat tidak setuju karena dalam konsep masyarakat religius, hal yang paling pertama dilakukan untuk menjadi orang berhati mulia adalah dengan beragama itu sendiri. Argumen ini didukung penemuan Cohen dan Hill (2007) yang menunjukkan adanya pemahaman religiusitas yang berbeda diantara budaya yang individualistis dengan budaya yang lebih menekankan kebersamaan atau kolektivistis. Budaya individualistis akan menekankan pemahamannya pada pencapaian personal, keunikan atau kekhasan, dan pengaturan personal. Sementara itu, budaya kolektivistis lebih menekankan ikatan kelompok (Cohen & Hill, 2007).

    Berbeda dengan Altemeyer, alat ukur yang

    dikembangkan oleh Hood, Hill, dan Williamson (2005)setelah diterjemahkan dan diadaptasi sesuai dengan bahasa Indonesiamenunjukkan bahwa model penafsiran intratekstual sangat kuat menjadi bagian dari alat ukur fundamentalisme Islam. Hal ini menerangkan bahwa penafsiran Al-Quran yang dilakukan oleh fundamentalis agama bersifat tertutup dan tidak dapat didiskusikan.

    Hal lain yang menarik dibahas adalah permasalahan generalisasi konsep pemahaman fundamentalisme agama. Telah ada kesepakatan pada para peneliti (misalnya, Altemeyer & Hunsberger, 1992; Altemeyer, 2003; Hood dkk., 2005, Taylor & Horgan, 2001) bahwa fundamentalis agama adalah mereka yang memiliki pola keyakinan tunggal yang ajek (konsisten) mengenai dunia berdasarkan ajaran atau kitab sucinya, tanpa ada tawar menawar. Kesepakatan ini tidak berarti mengartikan bahwa ideologi kelompok fundamentalis pada setiap agama akan sama. Jika tiap-tiap ajaran agama memiliki konsep, pengajaran, dasar ajaran, dan keyakinan yang berbeda-beda, maka dapat dipastikan ideologi yang muncul di dalam individu atau kelompok yang disebut fundamentalis adalah berbeda-beda pula.

    Hasil penelitian ini menunjukkan dan membuktikan bahwa untuk mengukur fundamentalisme Islam tidak dapat diukur melalui alat ukur skala fundamentalisme agama dari Altemeyer dan Hunsbeger (1992; lihat juga Altemeyer, 2003) atau skala fundamentalisme intratekstual oleh Hood, Hill, dan Williamson (2005) dengan begitu saja menerjemahkan dan mengadaptasinya. Alat-alat tersebut perlu dikembangkan dan disesuaikan berdasarkan konsep fundamentalisme Islam sehingga dapat menyentuh dan mengukur secara mendalam dan lebih tepat.

  • KONSTRUKSI SKALA 159

    Prasangka

    Temuan penelitian ini menunjukkan adanya hubungan yang positif antara fundamentalisme Islam dengan prasangka terhadap pemeluk Kristen. Hasil saat ini mendukung dan memperkuat temuan-temuan sebelumnya yang menerangkan adanya hubungan yang positif antara fundamentalisme agama dengan prasangka (Altemeyer, 2003; lihat juga Raiya, Pargament, Mahoney, & Trevino, 2008; Rowatt, Franklin, & Cotton, 2005). Hal ini menerangkan bahwa orang-orang yang memiliki fanatisme pada pemahaman ayat Al-Quran, As-Sunnah Muhammad, model pemerintahan masa lalu, dan satu kebenaran mutlak akan memiliki kecenderungan memiliki prasangka.

    Temuan penelitian ini juga menunjukkan hasil bahwa fundamentalisme merupakan salah satu prediktor atau faktor penyebab munculnya prasangka terhadap pemeluk Kristen. Akan tetapi, prasangka terhadap pemeluk Kristen hanya dihasilkan 6,4% dari fundamentalisme Islam. Hal ini menunjukkan bahwa munculnya prasangka terhadap pemeluk Kristen lebih besar disebabkan oleh faktor-faktor lain. Artinya bahwa fundamentalisme Islam tidak dapat dijadikan sebagai satu-satunya prediktor dalam mengukur prasangka terhadap pemeluk Kristen. Faktor-faktor lain yang perlu dipertimbangkan tersebut adalah identitas sosial, orientasi dominansi sosial (ODS), dan otoritarianisme.

    Tajfel dan Turner (1979) menerangkan bahwa melalui suatu identitas seseorang dapat memahami dan membangun nilai-nilai positif. Identitas adalah hal yang sifatnya di luar personalitas atau sangat bersifat sosial. Di dalam identitas sosial, individu-individu yang mencirikan dirinya sebagai satu identitas

    kelompok akan membentuk solidaritas sebagai perwujudan ikatan kebersamaan. Efek dari pembentukan identitas ini adalah pengagungan yang berlebih terhadap kelompok dan menghina atau merendahkan orang-orang yang berasal dari kelompok lain. Penjelasan ini menerangkan bahwa orang dengan identitas agama yang kuat akan memiliki prasangka yang negatif terhadap pemeluk agama lain.

    Orientasi dominansi sosial merupakan konsep yang dikembangkan oleh Sidanius dan Pratto (2001). Pemahaman dasarnya adalah bahwa kehidupan sosial memiliki struktur sosial yang sifatnya hierarki. Kondisi hierarki sosial ini membentuk dua model struktur kelompok berbeda, yaitu (1) kelompok superior sebagai kelompok pemegang kuasa atau yang memiliki dominansi, dan (2) kelompok inferior sebagai kelompok rendah atau lemah. Bagi individu atau kelompok yang memegang pemahaman seperti ini, orang dari kelompok lain bernilai lebih rendah atau bahkan tidak memiliki nilai.

    Otoritarianisme awalnya dikembangkan sebagai suatu bentuk kepribadian (Adorno, Frenkel-Brunswik, Levinson, & Sanford, 1950; Altemeyer, 1981) sebelum Duckitt (2001) mengembangkan dan menyimpulkan bahwa sikap otoritarian berangkat dari suatu ideologi. Biasanya orang yang memiliki ideologi otoritarian adalah mereka yang bersifat konservatif, menolak hal yang baru, tidak menyukai perbedaan, dan menekankan pada satu pemahaman. Individu atau kelompok yang memiliki kecenderungan otoritarian akan memandang yang memiliki pemahaman berbeda sebagai suatu ancaman dan keburukan. Orang yang berbeda ini dianggap akan merusak kestabilan pemahaman sehingga akan membentuk suatu dunia yang kehancuran atau tidak menentu. Orang beragama yang

  • 160 PUTRA DAN WONGKAREN

    menganggap bahwa ajarannya yang paling benar dan agama lain sebagai suatu ancaman maka dapat dipastikan mereka akan memiliki prasangka yang negatif pada orang dari agama lain.

    Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan untuk menguji hubungan fundamentalisme Islam dengan prasangka terhadap ras atau etnis tertentu, jender, dan homoseksualitas, di samping perlu juga mempertimbangkan faktor yang dapat mengontrol hubungan fundamentalisme dengan prasangka (misalnya, identitas sosial, orientasi dominansi, dan otoritarianisme).

    Bibliografi

    Adorno, T. W., Frenkel-Brunswik, E., Levinson, D. J., & Sanford, R. M. (1950). The authoritarian personality. New York: Harper.

    Allport, G. W. (1954). The nature of prejudice (3 Prd P ed.). Boston: The Beacon Press.

    Allport, G. W., & Ross, J. M. (1967). Personal religious orientation and prejudice. Journal of Personality and Social Psychology, 4,432-443.

    Altemeyer, B. (1981). Right-wing authoritarianism. Canada: University of Manitoba Press.

    Altemeyer, B. (2003). Why do religious fundamentalists tend to be prejudiced? The International Journal for the Psychology of Religion, 13(1), 17-28.

    Altemeyer, B., & Hunsberger, B. E. (1992). Authoritarianism, religious fundamentalism, quest, and prejudice. International Journal for the Psychology of Religion, 2, 113-133.

    Bar-Tal, D., & Teichman, Y. (2005). Stereotypes and prejudice in conflict. New

    York: Cambridge universisty press. Bizumic, B., & Duckitt, J. (2007). Varieties of

    group self-centeredness and dislike of the specific other. Basic and Applied Social Psychology, 29(2), 195-202.

    Cannon, C. E. (2001). The influence of religious orientation and white racial identity on expressions of prejudice. Disertasi, tidak diterbitkan, University of Marryland Coll Park, US.

    Cohen, A. B., & Hill, P. C. (2007). Religion as culture: Religious individualism and collectivism among American Catholics, Jews, and Protestants. Journal of Personality, 75(4), 709-742.

    Crapps, R. W. (1993). Dialog psikologi dan agama (A. M. Hardjana, Penerj.). Yogyakarta: Kanisius.

    Davis, J. A. (1959). Group decision and social interaction: A theory of social decision schemes. Psychological Review, 80, 97-125.

    Duck, R.J. & Hunsberger, B. (1999). Religious orientation and prejudice: The role of religious proscription, right-wing authoritarianism, and social desirability. The International Journal for the Psychology of Religion, 9, 157-179.

    Duckitt, J. (2001). A dual-process cognitive-motivational theory of ideologi and prejudice. Dalam Zanna, M. P. (Ed.), Advances in Experimental Social Psychology, 33, 41-113.

    Greenberg, J., Solomon, S., & Pyszczynski, T. (1997). Terror management theory of self-esteem and cultural worldviews: Empirical assessments. Advances in Experimental Social Psychology, 29, 139.

    Herek, G. M. (1987). Religious orientation and prejudice: A comparison of racial and sexual attitudes. Personality and Social

  • KONSTRUKSI SKALA 161

    Psychology Bulletin, 13(1), 56-65. Hood, R. W., Hill, P. C., & Williamson, P.

    (2005). The psychology of religious fundamentalism. New York-London: The Guilford Press

    Laythe, B., Finkel, D.,& Kirkpatrick, L. A. (2001). Predicting prejudice from religious fundamentalism and right-wing authoritarianism: A multiple-regression approach. Journal for the Scientific Study of Religion, 40, 1-10.

    Lewis, B. (1993). Islam and the West. New York: Oxford University Press.

    Lough, J. (2005). Religious orientation, social conservatism, traditional values, and authoritarianism as predictors of prejudice.Disertasi, tidak diterbitkan, George fox University.

    Putra, I. E. (2007). Pengaruh orientasi keberagamaan, ideologi politik, fundamentalisme, orientasi dominasi sosial terhadap intoleransi politik: Studi pada kelompok agama Islam. Tesis, tidak diterbitkan, Universitas Indonesia, Depok.

    Raiya, H. A., Pargament, K. I., Mahoney, A., & Trevino, K. (2008). When Muslims are perceived as a religious threat: Examining the connection between desecration, religious coping, and anti-Muslim attitudes. Basic and Applied Social Psychology, 30(4), 311-325.

    Rowatt, W. C., Franklin, L. M., & Cotton, M. (2005). Patterns and personality correlates of implicit and explicit attitudes toward Christians and Muslims. Journal for the Scientific Study of Religion, 44(1), 29-43.

    Sidanius, J., & Pratto, F. (2001). Social dominance. Cambridge: University Press.

    Smith, T. B., Stones, C. R., Peck, C. E., & Naidoo, A. V. (2007). The association of

    racial attitudes and spiritual beliefs in post-apartheid South Africa. Mental Health, Religion & Culture, 10(3), 263-274.

    Spilka, B., Hood, R. W., & Gorsuch, R. L. (1985). The psychology of religion: An empirical approach. Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall.

    Tajfel, H. & Turner, J. C. (1979). An integrative theory of intergroup conflict. Dalam Austin, W. G., & Worchel, S. (Eds.), The social psychology of intergroup relations (h. 33-47). Montley, CA: Brooks/Cole.

    Taylor, M., & Horgan, J. (2001). The psychological and behavioural bases of Islamic fundamentalism. Terrorism and Political Violence, 10(4), 37-71.

  • Peran Sikap, Norma Subjektif, dan Persepsi Kendali Perilaku Dalam Memprediksi Intensi Wanita Melakukan Pemeriksaan Payudara Sendiri

    Meilisha Djati Arum dan A. A. Anwar Prabu Mangkunegara

    Fakultas Psikologi, Universitas Mercu Buana

    The objective of this study is to find how attitude, subjective norm and perceived behavioral control (PBC) play in women's intention prediction for performing breast cancer early detection by breast self-examination (BSE) technique. The theory used is the theory of planned behavior (TPB). This is a quantitative research with ex-post-facto field study design and the research instrument was an attitude scale. Using the accidental sampling technique, there were 120 female students of the Mercu Buana University - Jakarta as participants of this study. The results of multiple regression analysis showed that: a) attitude, subjective norm and perceived behavioral control (PBC) was interactively influential for the intention prediction; b) attitude and perceived behavioral control (PBC) independently and significantly are able to predict the intention; and c) subjective norm alone is not significantly able to predict the intentions.

    Keywords: theory of planned behavior, intention, attitude, subjective norm, perceived behavioral control, breast self examination (BSE)

    Pada tahun 2008 data statistik Globocan (Global burden of cancer) International Agency for Research on Cancer (IARC) menunjukkan bahwa 292.600 jiwa penduduk Indonesia menderita kanker (kasus baru). Dari jumlah tersebut sebanyak 39.831 jiwa dari wanita Indonesia menderita kanker payudara (Most frequent cancers, 2010). Kanker payudara menempati urutan pertama dalam jumlah penderita dari seluruh jenis kanker yang ada pada penduduk Indonesia. Dari data tersebut didapatkan informasi jumlah insiden penemuan kasus baru kanker payudara sebesar 36,2 jiwa per 100.000 jiwa per tahun dengan jumlah kematian sebanyak 18,6 jiwa per 100.000 jiwa

    per tahun dari seluruh penyakit kanker yang diderita wanita di Indonesia. Kanker payudara adalah tumbuhnya sel abnormal di payudara yang tidak mengenal batas volume serta bisa menyebar. Benjolan di payudara disebut jinak jika tetap di tempatnya, dan ganas jika menjalar ke organ lain, seperti ke paru-paru, hati, tulang, atau otak (Dicanangkan, program nasional, 2008).

    Menurut Kementerian Kesehatan, salah satu alasan semakin berkembangnya penyakit kanker payudara adalah rendahnya cakupan deteksi dini (Dicanangkan, program nasional, 2008). Berdasarkan data Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) tahun 2007, kanker

    Psikobuana ISSN 2085-4242 2010, Vol. 1, No. 3, 162172

    162

  • PERAN SIKAP, NORMA 163

    payudara menempati urutan pertama pada pasien rawat inap di seluruh RS di Indonesia (16,85%). Hal ini sesuai dengan estimasi Globocan IARC tahun 2002 ("Jika tidak dikendalikan", 2010). Data statistik ini memberikan pemahaman tentang dampak dari penyakit pada populasi wanita dan menyoroti perlunya strategi pencegahan yang efektif. Data lain yang mendukung estimasi Globocan IARC diperoleh dari sumber data bidang rekam medis Rumah Sakit Kanker Dharmais (RSKD) pada pasien rawat jalan. Data ini menyebutkan bahwa kanker payudara menempati urutan tertinggi dalam jumlah penderita dari tahun 2004 sampai dengan tahun 2007 dibandingkan dengan jenis kanker lainnya. Jumlah penderita kanker yang paling banyak diderita pada tahun 2007 adalah kanker payudara (Ca mammae)sebanyak 437 kasus dari data pasien rawat jalan di RSKD (10 besar kanker, 2007). Cakupan umur para penderita kanker payudara juga melebar. Jika dahulu para penderita yang datang pertama kali ke rumah sakit terdeteksi mengidap kanker payudara umumnya berumur 40-46 tahun. Namun dewasa ini, Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo mencatat seorang wanita muda berumur 24 tahun telah didiagnosis mengidap kanker (Dicanangkan, program nasional, 2008).

    Deteksi dini kanker payudara dapat menggunakan metode SADARI (pemeriksaan payudara sendiri). Tujuan dari SADARI secara rutin adalah untuk merasakan dan mengenal lekuk-lekuk payudara sehingga jika terjadi perubahan dapat diketahui segera (Damanik, 2008). Pemeriksaan payudara sendiri (SADARI) secara rutin memiliki berbagai keuntungan seperti efektivitas biaya, tidak invasif, merupakan metode deteksi dini yang sederhana, serta dapat melangsungkan hidup

    yang lebih baik (Kurebayashi, 1994, dalam Mason & White, 2008). Untuk hasil yang lebih komprehensif, selanjutnya SADARI dilengkapi dengan pemeriksaan klinis payudara oleh tenaga medis profesional, pemeriksaan ultrasonografi (USG) atau dengan mammografi. Kemungkinan penderita kanker payudara untuk sembuh lebih tinggi apabila kanker diketahui pada stadium satu. Pada kondisi ini penderita kanker payudara tidak perlu melakukan operasi pengangkatan payudara. Itu sebabnya, deteksi sedini mungkin melalui SADARI sangat penting.

    Masalahnya, di Indonesia umumnya seseorang baru diketahui menderita penyakit berisiko tinggi ini setelah menginjak stadium lanjut. Sedikitnya pengetahuan ditambah rasa takut dan malu menjadi penyebab utama wanita terlambat menyadari telah terkena kanker payudara. Padahal dengan menyadari adanya kelainan pada area payudara, risiko penyakit ini bisa dihindari dengan penanganan yang tepat. Rendahnya unjuk perilaku masyarakat khususnya wanita untuk melakukan deteksi dini kanker payudara yang dapat dilaksanakan dengan SADARI menjadi konsen peneliti.

    Penelitian tentang prediktor intensi melakukan SADARI belum banyak dilakukankalau bukan tidak adadi Indonesia, khususnya dimensi yang menyangkut psikologi sikap. Penelitian ini bermaksud untuk mengisi kesenjangan ini. Penelitian ini mengadopsi sebuah pendekatan berbasis teori untuk memeriksa keyakinan-keyakinan yang mendasari dalam pemahaman kita tentang bagaimana keyakinan yang seseorang pegang pada akhirnya dapat mempengaruhi keputusan perilaku mereka. Teori perilaku terencana (Theory of Planned Behavior/TPB) yang dikemukakan oleh Ajzen

  • 164 ARUM DAN MANGKUNEGARA

    dapat digunakan sebagai dasar teoretis yang bermanfaat untuk memahami berbagai perilaku termasuk SADARI (Mason & White, 2008).

    Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melakukan analisis terhadap intensi melakukan SADARI berdasarkan TPB pada wanita berumur antara 18 sampai dengan 30 tahun. Penelitian ini memeriksa Sikap, Norma Subjektif dan Persepsi Kendali Perilaku (PBC) melalui keyakinan-keyakinan behavioral, keyakinan normatif, dan keyakinan kendali terkait dengan keterlibatan wanita dalam melakukan SADARI. Keyakinan-keyakinan itu hendak diketahui kontribusi perannya, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama, terhadap perilaku SADARI.

    Diharapkan bahwa penelitian ini dapat menjadi masukan bagi Pemerintah maupun lembaga-lembaga di masyarakat (terutama lembaga pendidikan dan lembaga kesehatan) untuk menyusun serta mengembangkan kebijakan-kebijakan dan program-program konkret dalam rangka meningkatkan intensi (niat) dan perilaku SADARI melalui pemahaman dan modifikasi keyakinan individu dan masyarakat seputar SADARI.

    Teori Perilaku Terencana

    Adanya ketidaksesuaian antara sikap dan

    perilaku sudah diketahui oleh para ahli sejak lama. LaPiere (1934, dalam Albarracin, Blair & Zanna, 2005) dengan penelitiannya mengenai hubungan sikap dan perilaku menunjukkan bahwa tidak terdapat konsistensi antara sikap dan perilaku aktual. LaPiere bersama seorang teman keturunan China berkeliling Amerika Serikat, mendatangi 251 restoran, hotel, dan tempat umum lainnya. Dari semua tempat yang dikunjungi, hanya satu kali mereka ditolak.

    Enam bulan kemudian, ia mengirim surat kepada semua tempat yang sudah dikunjunginya dengan pertanyaan apakah mereka mau menerima tamu dari ras China. Dari 128 yang membalas surat, 90 persen menjawab tidak (Sarwono, 2002). Pemahaman para ahli psikologi sosial mengenai hubungan sikap-perilaku telah berkembang pesat sejak publikasi dari penelitian LaPiere yang dipaparkan di atas. Penelitian LaPiere dan pengembangan selanjutnya dipandang sebagai bukti dari inkonsistensi antara hal yang dikatakan orang (sikap) dengan hal yang dilakukan orang.

    Guna tidak sekedar memahami, namun juga untuk dapat memprediksi perilaku, Ajzen dan Fishbein (dalam Azwar, 2003) mengemukakan teori tindakan beralasan (Theory of Reasoned Action/TRA). TRA mengatakan bahwa sikap mempengaruhi perilaku lewat suatu proses pengambilan keputusan yang teliti dan beralasan, dan dampaknya terbatas hanya pada tiga hal. Pertama, perilaku tidak banyak ditentukan oleh sikap umum tetapi oleh sikap yang spesifik terhadap sesuatu. Kedua, perilaku dipengaruhi tidak hanya oleh sikap tetapi juga oleh norma-norma subjektif (subjective norms)yaitu keyakinan kita mengenai apa yang orang lain inginkan agar kita perbuat. Ketiga, sikap terhadap suatu perilaku bersama norma-norma subjektif membentuk suatu intensi atau niat untuk berperilaku tertentu. Sebagaimana nampak dalam Gambar 1, secara sederhana teori ini mengatakan bahwa seseorang akan melakukan suatu perbuatan apabila ia memandang perbuatan itu positif dan bila ia percaya bahwa orang lain ingin agar ia melakukannya (Azwar, 2003).

  • PERAN SIKAP, NORMA 165

    Gambar 1. Teori tindakan beralasan (Azwar, 2003)

    TRA kemudian diperluas dan dimodifikasi

    oleh Ajzen (dalam Azwar, 2003). Modifikasi ini dinamai Teori Perilaku Terencana (Theory of Planned Behavior/TPB). Kerangka pemikiran TPB dimaksudkan untuk mengatasi masalah kontrol volisional yang belum lengkap dalam teori terdahulu. Inti TPB berada pada faktor Intensi perilaku. Namun determinan intensi tidak hanya dua (Sikap terhadap perilaku yang bersangkutan dan Norma-norma subjektif) melainkan tiga dengan diikutsertakannya aspek Persepsi Kendali Perilaku (perceived behavioral control/PBC). Dalam TPB, keyakinan-keyakinan (beliefs) berpengaruh pada sikap terhadap perilaku tertentu, norma-norma subjektif, dan pada persepsi kendali perilaku (PBC). Ketiga komponen ini berinteraksi dan menjadi determinan bagi intensi, yang pada gilirannya akan menentukan apakah perilaku yang bersangkutan akan dilakukan atau tidak (Gambar 2).

    Gambar 2. Teori perilaku terencana (Ajzen,

    2005)

    Ajzen dan Fishbein (1975, dalam Hagger & Chatzisarantis, 2005) berhipotesis bahwa intensi mengindikasikan derajat perencanaan yang direncanakan seseorang pada perilaku mendatang dan menggambarkan seberapa keras seseorang menghendaki untuk mencoba serta seberapa banyak upaya yang mereka perkirakan untuk dikeluarkan dalam menampilkan perilaku. Sikap adalah disposisi untuk berespons secara positif (favorable) atau negatif (unfavorable) terhadap benda, orang, institusi atau kejadian (Ajzen, 2005). Sikap terhadap perilaku ditentukan oleh total rangkaian keyakinan (belief) keperilakuan yang aksesibel yang mengaitkan perilaku dengan berbagai hasil dan atribut-atribut yang lain. Dengan perkataan lain, seseorang yang yakin bahwa sebuah tingkah laku dapat menghasilkan outcome yang positif, maka ia akan memiliki sikap yang positif, begitu juga sebaliknya.

    Selanjutnya, Ajzen (2005) mendefinisikan norma subjektif sebagai tekanan sosial yang dipersepsikan oleh seseorang untuk melibatkan diri atau tidak melibatkan diri dalam sebuah perilaku. Ajzen mengasumsikan bahwa norma subjektif ditentukan oleh total rangkaian keyakinan normatif (normative belief) yang dapat diakses berkenaan dengan harapan-harapan yang berasal dari referent atau orang/kelompok yang berpengaruh bagi individu (significant others) seperti orang tua, pasangan, teman dekat, rekan kerja atau lainnya, tergantung pada perilaku yang terlibat. Norma subjektif tidak hanya ditentukan oleh referent, tetapi juga ditentukan oleh motivation to comply. Secara umum, individu yang yakin bahwa banyak referent yang membuat dirinya termotivasi untuk mengikuti, berpikir bahwa dirinya harus menampilkan perilaku, akan merasakan tekanan sosial untuk melakukannya.

  • 166 ARUM DAN MANGKUNEGARA

    Sebaliknya, individu yang yakin bahwa kebanyakan referent akan tidak menyetujui dirinya menampilkan perilaku tertentu maka hal ini akan menyebabkan dirinya memiliki subjective norm yang menempatkan tekanan pada dirinya untuk menghindari melakukan perilaku tersebut (Ajzen, 2005).

    Gambar 2 menunjukkan dua hal penting dari TPB. Pada gambar di atas terdapat dua jalur hubungan antara Persepsi Kendali Perilaku (PBC) dan Perilaku: (1) garis penuh dengan perantara intensi, dan (2) garis putus-putus tanpa melalui intensi. Hal penting pertama, teori ini berasumsi bahwa PBC memiliki implikasi motivasional pada intensi. Orang yang percaya bahwa dirinya tidak memiliki sumber daya atau kesempatan untuk menampilkan perilaku tertentu cenderung tidak membentuk intensi yang kuat untuk melakukannya walaupun jika ia memiliki sikap yang favorabel terhadap perilaku itu dan ia percaya bahwa orang-orang terdekatnya (important others) akan mendukung unjuk perilakunya itu. Hal ini menggambarkan bahwa asosiasi antara PBC dan Intensi tidak ditengahi oleh Sikap dan Norma Subjektif. Hal ini digambarkan oleh panah yang menghubungkan PBC dan Intensi (Ajzen, 2005).

    Hal penting kedua adalah posibilitas hubungan langsung antara PBC dan perilaku yang digambarkan dengan panah putus-putus. Dalam banyak kejadian unjuk, perilaku tidak hanya tergantung pada motivasi untuk melakukannya, namun juga pada kendali yang cukup kuat terhadap perilaku yang hendak diramalkan. Kontrol perilaku aktual (actual behavioral control) merupakan derajat sejauh mana seseorang memiliki keterampilan, sumber-sumber daya, dan prasyarat-prasyarat lain yang dibutuhkan untuk menampilkan

    sebuah perilaku. Kesuksesan unjuk perilaku bergantung tidak hanya pada intensi yang favorabel, tetapi juga bergantung pada tingkat kendali perilaku yang cukup (sufficient). Sejauh PBC itu akurat, maka PBC juga dapat menjadi wakil (proxy) dari kontrol perilaku aktual, serta dapat digunakan untuk meramalkan terjadinya perilaku (Ajzen, 2006). Penelitian dewasa ini menunjukkan bahwa penambahan konstruk PBC secara umum sungguh-sungguh meningkatkan prediksi dari intensi dan perilaku, khususnya apabila perilaku yang dicakup merupakan perilaku yang tidak dapat dikontrol secara sempurna oleh individu (Semin & Fiedler, 1996).

    Metode

    Partisipan

    Populasi dalam penelitian ini adalah 120 mahasiswi aktif Universitas Mercu Buana Jakarta berusia 18-30 tahun. Sebelum melakukan pengambilan data lapangan melalui kuesioner penelitian, peneliti melakukan tahap elisitasi keyakinan-keyakinan yang menonjol (salient beliefs) dengan sampel terpakai sebanyak 40 orang. Desain dan Analisis

    Penelitian ini adalah ex post facto field study atau penelitian non-eksperimental. Penelitian ini menggunakan desain korelasional. Analisis regresi berganda (multiple regression)digunakan untuk melihat signifikansi prediksi variabel Sikap, Norma Subjektif dan Persepsi Kendali Perilaku/PBC terhadap Intensi wanita melakukan SADARI.

  • PERAN SIKAP, NORMA 167

    Material dan Prosedur

    Penelitian ini menggunakan dua alat ukur. Alat ukur pertama digunakan pada tahap elisitasi untuk melihat salient beliefs tentang perilaku SADARI dari partisipan. Sedangkan alat ukur kedua adalah skala yang digunakan untuk mengukur determinan-determinan intensi (sikap, norma subjektif dan PBC) serta intensi melakukan SADARI.

    Tahap elisitasi diperlukan untuk mengidentifikasi keyakinan behavioral, keyakinan normatif dan keyakinan kendali yang dapat diakses. Elisitasi dalam penelitian ini dilakukan dengan memberikan partisipan deskripsi singkat mengenai SADARI. Kemudian partisipan diberikan kuesioner terbuka yang berupa serangkaian pertanyaan yang berkaitan dengan perilaku SADARI. Respons yang didapat dari partisipan digunakan untuk mengidentifikasi salient beliefs pribadi, yaitu keyakinan yang unik/menonjol dari masing-masing partisipan penelitian, atau untuk membangun sebuah daftar modal salient belief.Modal salient belief dijadikan dasar untuk membangun alat ukur kedua yang digunakan untuk mengukur Sikap, Norma Subjektif, PBC, dan Intensi. Tahap elisitasi ini dilakukan pada 57 orang dengan karakteristik yang sama dengan populasi, namun hanya 40 orang yang memenuhi syarat.

    Peneliti menggunakan daftar pertanyaan berdasarkan pedoman yang dicontohkan Ajzen (2006) untuk menggali salient beliefs partisipan. Berikut adalah daftar pertanyaan yang diajukan peneliti kepada partisipan penelitian: (1) Behavioral beliefs (Apa sajakah keuntungan yang Anda yakini dengan melakukan SADARI?, Apa sajakah kerugian yang Anda yakini dengan melakukan

    SADARI?, Adakah konsekuensi lain yang Anda hubungkan dengan melakukan SADARI?), (2) Normative beliefs (Siapa sajakah orang-orang/kelompok yang mendukung Anda melakukan SADARI?, Siapa sajakah orang-orang/kelompok yang menghambat Anda melakukan SADARI?, Siapa sajakah orang-orang/kelompok yang muncul dalam pikiran Anda saat Anda berpikir tentang melakukan SADARI?), (3) Control Belief (Faktor/keadaan apa sajakah yang akan membantu/memudahkan Anda melakukan SADARI?, Faktor/keadaan apa sajakah yang akan menyulitkan Anda atau tidak memungkinkan Anda melakukan SADARI?, Apakah ada hal lain yang muncul dalam pikiran ketika Anda berpikir tentang kesulitan melakukan SADARI?).

    Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini berupa kuesioner yang merupakan metode self-report, yakni partisipan diminta untuk memberikan respons sesuai dengan keadaan dirinya. Alat ukur ini berupa satu kuesioner, disusun berdasarkan panduan dari Ajzen (2006), yang terbagi menjadi 5 bagian, yaitu:

    Pertama, Skala Sikap yang terdiri atas 2 sub-skala, yaitu Behavioral Belief dan Outcome Evaluation. Skala Sikap uji coba terdiri atas 12 butir untuk masing-masing sub-skala (A1 = behavioral beliefs/keyakinan akan konsekuensi perilaku, dan A2 = outcome evaluation/penilaian terhadap hasil perilaku). Contoh pernyataan untuk skala A1: (1) SADARI akan memunculkan bayangan rasa takut telah terjadi suatu penyakit pada payudara saya, (2) SADARI memunculkan rasa dosa karena menimbulkan rangsangan, (3) SADARI hanya mendapatkan hasil yang tidak akurat mengenai kondisi payudara saya. Pilihan respons bergerak dari 1 (Sangat Tidak Setuju)

  • 168 ARUM DAN MANGKUNEGARA

    sampai dengan 7 (Sangat Setuju). Contoh pernyataan untuk skala A2: (1) Bagi saya, munculnya bayangan rasa takut telah terjadi suatu penyakit pada payudara saya , (2) Bagi saya, munculnya rasa dosa akibat menimbulkan rangsangan pada badan ...., (3) Bagi saya, ketidakakuratan pengetahuan mengenai kondisi payudara . Pilihan respons bergerak dari 1 (Sangat Buruk) sampai dengan 7 (Sangat Baik).

    Kedua, Skala Norma Subjektif uji coba terdiri atas 5 butir untuk masing-masing sub-skala (B1 = normative belief/keyakinan normatif, dan B2 = motivation to comply/motivasi untuk mengikuti norma). Contoh pernyataan untuk skala B1: (1) Sahabat saya akan menyetujui saya melakukan SADARI, (2) Ibu dan/atau ayah saya mengharapkan saya melakukan SADARI, (3) Pacar saya mendukung saya melakukan SADARI. Contoh pernyataan untuk skala B2: (1) Harapan ibu dan/atau ayah saya membuat saya melakukan SADARI, (2) Persetujuan sahabat saya meneguhkan saya melakukan SADARI, (3) Dukungan pacar saya memegang peran penting bagi tindakan saya melakukan SADARI.

    Ketiga, Skala Persepsi Kendali/PBC Perilaku uji coba terdiri atas 12 butir untuk masing-masing sub-skala (C1 = keyakinan kendali/control belief, dan C2 = power perceived/daya atau kekuatan yang dipersepsikan dari faktor kendali). Contoh pernyataan untuk skala C1: (1) Keadaan yang tenang dan sedang sendirian adalah keadaan yang mendukung untuk melakukan SADARI, (2) Waktu luang yang tersedia menjadi faktor pendukung untuk melakukan SADARI, (3) Mengingat langkah-langkah SADARI menjadi hal yang mendukung untuk melakukan SADARI. Contoh pernyataan untuk skala C2:

    (1) Saya mampu menciptakan keadaan yang tenang dan sendirian untuk melakukan SADARI, (2) Waktu luang yang tersedia akan mendorong saya untuk melakukan SADARI, (3) Saya mampu mengingat langkah-langkah SADARI.

    Keempat, Skala Intensi uji coba (Skala D) terdiri atas 4 butir. Contoh pernyataan untuk skala D: Saya berniat untuk melakukan SADARI secara rutin minimal 1 (satu) kali dalam sebulan. Kelima, Kuesioner data diri (Kuesioner E) yang terdiri dari untuk mengetahui gambaran demografis dan psikografis partisipan penelitian.

    Selanjutnya, instrumen penelitian yang sudah teruji digunakan untuk penelitian lapangan yang melibatkan 120 partisipan. Semua tahapan ini dilakukan di lingkungan UMB. Partisipan pada tahap elisitasi, uji coba dan penelitian lapangan merupakan tiga kelompok partisipan yang berbeda. Artinya, partisipan yang sudah mengikuti salah satu tahap dipastikan tidak mengikuti tahap lainnya.

    Hasil

    Berdasarkan data, peneliti membagi usia partisipan menjadi 4 kelompok. Total jumlah partisipan dalam penelitian ini sebanyak 120 orang. Gambaran umum partisipan menunjukkan bahwa usia partisipan yang terbesar adalah pada rentang usia 18-20 tahun (40%) dan 21-23 tahun (42,50%), dengan Musia = 21,38 tahun dan SD = 0,25 tahun. Sedangkan kelompok usia terkecil berada di rentang usia 27-30 tahun (6,67%). Berdasarkan data, seluruh partisipan tidak pernah menderita kanker payudara dan tidak ada keluarga intinya juga bukan penderita kanker. Jumlah partisipan penelitian yang terkena paparan pengetahuan SADARI dan yang tidak pernah terkena

  • PERAN SIKAP, NORMA 169

    paparan pengetahuan SADARI jumlahnya hampir seimbang. Yang pernah terpapar pengetahuan SADARI sebanyak 46,67% dan yang tidak pernah terpapar sebanyak 53,33%.

    Hasil uji validitas dan reliabilitas alat ukur adalah sebagai berikut: (1) Skala Sikap menunjukkan konsistensi internal yang tinggi (/= 0,771) setelah mengeliminasi 2 butir yang tidak valid, (2) Skala Norma Subjektif menunjukkan konsistensi internal yang tinggi (/= 0,876) tanpa mengeliminasi satu butir pun, (3) Skala PBC ini menunjukkan konsistensi internal yang tinggi (/ = 0,877) setelah mengeliminasi 5 butir yang tidak valid, (4) Skala Intensi ini menunjukkan konsistensi internal yang tinggi (/= 0,855) tanpa mengeliminasi satu butir pun.

    Sebelum dilakukan analisis regresi, diuji terlebih dahulu korelasi antara masing-masing variabel bebas (prediktor) dengan variabel terikat (kriterion). Hasil menunjukkan terdapat korelasi Pearson antara Sikap, Norma Subjektif, dan PBC dengan Intensi masing-masing dengan p < 0,01. Artinya bahwa seluruh prediktor/variabel bebas dapat menjadi kandidat model regresi berganda. Selanjutnya, dilakukan analisis regresi berganda, dengan hasil sebagai berikut.

    Sebagaimana nampak dalam Tabel 1, regresi berganda menunjukkan hasil koefisien determinasi ganda RP2 P = 0,313, F(3; 230,771) = 17,618; p < 0,01. Hal ini berarti bahwa 31,3% dari variasi Intensi dapat dijelaskan oleh Sikap, Norma Subjektif, dan PBC sebagai prediktornya; sedangkan variasi sisanya dijelaskan oleh prediktor lain yang tidak diperhitungkan dalam penelitian ini. Berdasarkan koefisien Beta pada Tabel 1, penelitian ini menemukan bahwa Sikap ( =0,202; p < 0,05) secara sendirian signifikan untuk memprediksi Intensi. Temuan

    penelitian ini mengandung makna bahwa semakin positif Sikap untuk melakukan SADARI, maka Intensi untuk melakukan SADARI semakin tinggi pula. Selanjutnya, Norma Subjektif ( = 0,124; p > 0,05) secara sendirian tidak signifikan untuk memprediksi Intensi. Persepsi Kendali Perilaku/PBC ( =0,426; p < .05) secara sendiri signifikan memprediksi Intensi. Temuan penelitian ini mengandung makna bahwa semakin tinggi persepsi kendali perilaku/PBC untuk melakukan SADARI, maka Intensi melakukan SADARI semakin tinggi pula.

    Untuk mengetahui kontribusi efektif dari masing-masing prediktor, dilakukan analisis regresi ganda stepwise.

    Sebagaimana nampak dalam Tabel 2, hasil menunjukkan bahwa: (1) Sumbangan efektif prediktor Sikap dan PBC secara bersama adalah 30,5%, berdasarkan hasil RP2P = 0,305; (2) Sumbangan efektif prediktor PBC adalah 26,5%, berdasarkan hasil RP2P = 0,265; (3) Sumbangan efektif prediktor Sikap adalah 4%. Hal ini diperoleh dari 30,5% (kontribusi Sikap dan PBC) dikurangi dengan 26,5% (kontribusi PBC); (4) Sumbangan efektif prediktor Norma Subjektif adalah 0,8%. Hal ini diperoleh dari 31,3% (kontribusi Sikap, PBC, Norma Subjektif) dikurangi dengan 30,5% (kontribusi Sikap dan PBC). Jadi, sumbangan efektif terbesar dalam memprediksi Intensi berasal dari PBC, yakni 26,5%. Dengan perkataan lain, sumbangan relatif prediktor ini dibandingkan dengan prediktor lainnya adalah sebesar 84,67% (yaitu: proporsi 26,5% dari 31,3%).

    Diskusi, Kesimpulan, dan Saran

    Penelitian ini menemukan bahwa Sikap, Norma Subjektif dan PBC secara interaksional berpengaruh dalam memprediksi intensi wanita

  • 170 ARUM DAN MANGKUNEGARA

    Tabel 1. Hasil Analisis Regresi Ganda untuk Memprediksi Intensi (n = 120) Variabel B SE B Sikap .013 .005 .202P*

    Norma subjektif .009 .008 .124Persepsi kendali perilaku .028 .007 .426P**

    Catatan. R = .559; RP2P = .313; F = 17.618P**P, df = (3, 230.771)

    P

    **Pp < .01.

    Tabel 2. Hasil Analisis Regresi Ganda dengan Metode Stepwise

    Model R RP2 Adjusted RP2 Std. Error of the Estimate 1 .515Pa .265 .259 3.710922 .552Pb .305 .293 3.62573a. Prediktor: (Constant), Persepsi_Kendali b. Prediktor: (Constant), Persepsi_Kendali, Sikap

    untuk melakukan SADARI. Hal ini sekali lagi mengkonfirmasi keberlakuan teori perilaku terencana (planned behavior) yang dikemukakan oleh Ajzen (1991, dalam Mason & White, 2008).

    Hasil penelitian ini juga memperlihatkan bahwa Norma Subjektif secara sendirian tidak bermakna dalam memprediksi intensi wanita melakukan SADARI. Hal ini dapat dipahami dan dijelaskan dengan mempertimbangkan fakta bahwa sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah para wanita dewasa muda yang hidup di kota besar metropolitan Jakarta. Emile Durkheim (1960) mengungkapkan bahwa perubahan masyarakat yang cepat karena semakin meningkatnya pembagian kerja menghasilkan suatu kebingungan tentang norma, yang akhirnya mengakibatkan runtuh atau simpang siurnya norma-norma sosial yang mengatur perilaku. Hal ini disebut sebagai kondisi anomi. Norma dan nilai dengan demikian menjadi relatif, khususnya dalam Era Posmodern sekarang ini (Bauman, 1993).

    Maka, tidak mengherankan apabila Sikap dan PBC yang lebih memiliki lokus pada pribadi, apabila diperbandingkan dengan Norma Subjektif yang lebih memiliki lokus pada significant others dan tokoh panutan, dalam penelitian ini ditemukan lebih memegang peranan dalam menentukan intensi wanita melakukan SADARI. Besarnya kontribusi relatif PBC, yakni 84,67% kembali mengkonfirmasi bahwa pemikiran pribadi, dibandingkan dengan pemikiran orang lain dalam Norma Subjektif, memegang peran yang penting.

    Temuan penelitian ini juga diperkuat oleh penelitian-penelitian sebelumnya yang mengaplikasikan teori perilaku terencana. Misalnya, Armitage dan Conner (2001, dalam Hagger & Chatzisarantis, 2005) mengungkap bahwa Norma Subjektif memang memainkan peran dengan bobot yang kurang dalam hal memprediksi Intensi, apabila dibandingkan dengan peran Sikap dan Persepsi Kendali Perilaku. Menurut mereka, hal ini mungkin

  • PERAN SIKAP, NORMA 171

    disebabkan karena orang-orang yang membentuk Intensi berdasar atas norma-norma, yang disebut sebagai orang-orang yang dikendalikan secara normatif (normatively controlled individuals) merupakan kelompok minoritas dalam masyarakat. Oleh karena itu, untuk mayoritas orang, target intervensi untuk memodifikasi niat wanita untuk melakukan SADARI bukanlah Norma Subjektifnya melainkan Sikap dan Persepsi Kendali Perilakunya.

    Selanjutnya, menurut Ajzen (1991, dalam Hagger & Chatzisarantis, 2005), Sikap dan Persepsi Kendali Perilaku dapat diubah dengan memodifikasi sistem keyakinan dominan yang mendasarinya (underlying belief systems, modal salient belief). Yang dimaksud dengan modal belief dalam hal ini adalah keyakinan-keyakinan yang terungkap dengan frekuensi yang cukup tinggi terkait dengan target perilaku (SADARI) dalam populasi yang diteliti. Oleh karena itu, apabila hasil penelitian ini hendak ditransfer penerapannya dalam populasi wanita yang lain (suku bangsa lain, jenjang pendidikan yang lain, daerah/wilayah yang lain, kelompok usia yang lain), maka konsekuensinya adalah bahwa pengguna (user) hasil penelitian ini hendaknya kembali melakukan elisitasi sistem-sistem keyakinan yang menonjol dalam populasi yang bersangkutan. Dengan perkataan lain bahwa penelitian ini memberikan temuan yang penting bahwa Sikap dan Persepsi Kendali Perilaku serta interaksi Sikap-Persepsi Kendali Perilaku-Norma Subjektif memainkan peran dalam meramalkan intensi. Namun demikian, dalam rangka intervensi sosial, sistem keyakinan dalam populasi harus diidentifikasi kembali, agar intervensi efektif.

    Untuk populasi dengan karakteristik seperti dalam penelitian ini, dalam hal mana sikap

    wanita melakukan SADARI adalah lemah (secara sendirian), maka menarik sekali untuk merancang intervensi dalam rangka melakukan perubahan sikap ini. Untuk konstruk yang sudah kuat, misalnya dalam penelitian ini adalah Persepsi Kendali Perilaku, maka urgensi kebutuhan untuk melakukan intervensi justru tidak begitu penting. Dengan perkataan lain, penelitian ini memberikan tantangan terapan untuk merancang intervensi pengubahan sikap. Dalam hal ini, Ajzen (1991, dalam Hagger & Chatzisarantis, 2005) mengungkapkan bahwa penampilan persuasif dan komunikasi persuasif merupakan intervensi yang cukup efektif.

    Bibliografi

    10 besar kanker tersering di RS Kanker Dharmais rawat jalan (kasus baru) tahun 2007. (2007). Diakses dari HThttp://www.dharmais.co.id/index.php/statistic-center.html T H pada 10 Desember 2009.

    Ajzen, I. (2005). Attitudes, personality, and behavior (2 PndP Ed.). Milton-Keynes, England: Open University Press/McGraw- Hill.

    Ajzen, I. (2006). Constructing a TPB questionnaire: Conceptual and methodological considerations. Diakses dari HThttp://people.umass.edu/aizen/pdf/tpb.measurement.pdfT H pada pada 10 Desember 2009.

    Albarracin, D., Blair, T. J. & Zanna, M. P. (2005). The handbook of attitudes. Dalam Ajzen, I. & Fishbein, M., The Influence of attitudes on behavior. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates.

    Azwar, S. (2003). Sikap manusia: Teori dan pengukurannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

    Bauman, Z. (1993). Postmodern ethics. Oxford:

  • 172 ARUM DAN MANGKUNEGARA

    Blackwell Publishers Ltd. Brown, C. (2006). Social psychology. London:

    Sage Publications. Damanik, C. (2008). Deteksi kanker payudara

    sendiri pun bisa!. Diakses dari HThttp://www.kompas.com/read/xml/2008/11/12/13331334/deteksi.kanker.payudara.sendiri.pun.bisaT H pada 10 Desember 2009.

    Dicanangkan, program nasional deteksi kanker rahim dan payudara. (2008, 21 April). Dicanangkan, Program Nasional Deteksi Kanker Rahim dan Payudara. Kompas.Diakses dari HThttp://www.kompas.com/read/xml/2008/04/21/09585380/dicanangkan.program.nasionai.deteksi.kanker.rahim.dan.payudara Tpada 10 Desember 2009.

    Durkheim, E. (1960). The Division of Labor in Society. (G. Simpson, Penerj.) New York: The Free Press.

    Hagger, M., & Chatzisarantis, N. (2005). Social psychology of exercise and sport. Berkshire: Open University Press.

    Jika tidak dikendalikan 26 juta orang di dunia menderita kanker. (2010) Diakses dari HThttp://www.depkes.go.id/index.php/berita/press-release/1060-jika-tidak-dikendalikan-26-juta-orang-di-dunia-menderita-kanker-.htmlTH pada 10 Januari 2010.

    Mason, T. E., & White, K. M. (2008). The role of behavioral, normative and control beliefs in breast self-examination. Women & Health, 47(3), 39-46.

    Most frequent cancers: Women. (2010). Globocan 2008 Fast Stats. Diakses dari HThttp://globocan.iarc.fr/factsheets/populations/factsheet.asp?uno=360#WOMENTH pada 10 Januari 2010.

    O'Connor, R.C. & Armitage, C.J. (2003). Theory of planned behaviour and

    parasuicide: An exploratory study. Current Psychology, 22, 247-256

    Sarwono, S. W. (2002). Psikologi sosial: Individu dan teori-teori psikologi sosial.Jakarta: Balai Pustaka.

    Semin, G. R. & Fiedler, K. (1996). Applied social psychology. London: Sage Publications.

  • Masalah Transportasi Kota dan Pendekatan Psikologi Sosial

    J u n e m a n

    Ikatan Psikologi Sosial, Himpunan Psikologi Indonesia

    The writer of this article tried to clear up urban transport problems using social psychology approach. The first major problem is about traffic jam, which is analyzed by the concept of Tragedy of the Commons (Hardin, 1968). The second major difficulty is the traffic accidents which are analyzed by the risk theories of Wilde (1982, 1998), Summala (1974, 1997), and Fuller (2000). The writer also delivers the influence of illusion of control, optimism bias, and locus of control on risk taking decision. Moreover, the writer offers three solutions for each of the problems and the solutions are intended for individual level, cultural level and structural level. It is expected that this writing will give a theoretical contributions in the subject of transportation psychology in Indonesia. Transportation psychology is a relatively new field of applied psychology in Indonesia, and there is not much yet attention and development given to this particular subject. It is also expected that this writing gives ideas for transportation policies made by the governmental officers, especially in Indonesia's big cities.

    Keywords: traffic-jam, traffic accidents, transportation psychology, tragedy of the commons, risks theory, urban transport policies

    Dua masalah utama yang sering terjadi pada dunia transportasi di kota besar, seperti Jakarta, adalah (1) kemacetan, dan (2) kecelakaan lalu lintas. Ungkapan Cahyo Wardana, warga Pamulang, Tangerang Selatan berikut ini (Jakarta Mengarah, 2009) mewakili keluhan hampir seluruh warga kota besar mengenai permasalahan yang pertama:

    Saya ini kerja di kota, tetapi pola berangkatnya seperti petani di desa. Sebelum matahari terlalu tinggi, saya harus segera meninggalkan rumah. Saya harus meninggalkan rumah sebelum pukul 06.00

    agar dapat sampai di kantor sebelum pukul 08.00. Jika berangkat sesudah pukul 06.20, saya butuh waktu tiga jam untuk menempuh perjalanan 27 kilometer ke kantor.

    Menurut Ketua Umum Masyarakat Transportasi Indonesia, Bambang Susanto (2006), berkebalikan dengan keyakinan umum, untuk pusat kota, yang diperlukan adalah mengelola kebutuhan (transport demand management) dan bukannya menambah jalan baru. Jalan baru di tengah kota dianggap akan membangkitkan lalu lintas baru (latent

    Psikobuana ISSN 2085-4242 2010, Vol. 1, No. 3, 173189

    173

  • 174 JUNEMAN

    demand), yang pada akhirnya justru akan menambah kemacetan.

    Permasalahan lainnya adalah kecelakaan lalu lintas. Angka kecelakaan lalu lintas pada 2009 mencapai 19.000 kasus. Menurut Menteri Perhubungan Jusman Sfafii Djamil di Jakarta (Angka Kecelakaan, 2009), jumlah ini naik dibanding tahun sebelumnya yang mencapai 18.000 kasus. Sebanyak 70 persen penyumbang kecelakaan adalah kendaraan roda dua. Berdasarkan data yang diperoleh dari Polda Metro Jaya, sedikitnya empat orang tewas setiap harinya akibat kecelakaan lalu lintas di Jakarta, dan setiap harinya terjadi sekitar 20 kasus kecelakaan di seluruh wilayah Jakarta (Di Jakarta, 2009). Umumnya korban kecelakaan merupakan pengendara sepeda motor. Sementara itu, angka kecelakaan lalu lintas yang melibatkan bus Trans Jakarta (busway) mengalami peningkatan tiap tahun, dalam hal mana angka kecelakaan hingga Oktober 2009 menembus 268 kasus (Sepanjang 2009, 2009). Faktor utamanya adalah semua koridor busway tidak steril karena dimasuki kendaraan lain.

    Mencermati fenomena transportasi kota di atas, psikologi sosial sebagai "Ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku individu sebagai fungsi dari rangsang-rangsang sosial" (Shaw & Costanzo, 1970) sangat berkepentingan untuk memainkan perannya dalam memahami (dalam dimensi ontologis) sekaligus menawarkan pemecahan masalah (dalam dimensi aksiologis) atas permasalahan kronis yang menjangkiti kota-kota besar di Indonesia tersebut.

    Kemacetan Lalu Lintas

    Kemacetan lalu lintas merupakan salah satu

    masalah utama dalam dunia transportasi di kota besar. Waktu tempuh untuk jarak yang sama dari waktu ke waktu mengalami penambahan. Masalah klasiknya adalah bahwa pertambahan jalan tidak sebanding dengan pertambahan jumlah kendaraan bermotor. Sebagai contoh, angka kepemilikan sepeda motor setiap tahunnya mengalami kenaikan yang signifikan. Jika pada 2005 jumlah sepeda motor mencapai 4,4 juta unit, kini di tahun 2009 jumlah kendaraan roda dua ini naik menjadi 7,3 juta unit (Di Jakarta, 2009).

    Pada kebanyakan wilayah, jalan memang merupakan milik bersama warga kota (public goods) yang bebas digunakan oleh siapa saja. Namun, kerap kali jalan digunakan secara tidak tertib sehingga mengurangi nilainya bagi setiap orang. Setiap orang ingin menggunakan jalan secara berlebihan. Sementara itu, tidak ada insentif finansial sekecil apapun sekiranya orang tidak melakukan penggunaan jalan secara berlebihan. Setiap individu berupaya untuk tiba di tempat tujuannya dengan kendaraannya secepat mungkin dengan melalui rute-rute tercepat. Pada awalnya, setiap tambahan pengendara di jalan tidak memperlambat lalu lintas. Hal ini karena terdapat kemungkinan momen-momen kelancaran lalu lintas kecil-kecil yang cukup untuk menampung pengendara tambahan. Kendati demikian, pada sejumlah fase kritis, setiap tambahan pengendara mengakibatkan pengurangan kecepatan rata-rata dari semua kendaraan. Pada akhirnya, terdapat terlalu banyak pengendara sehingga lalu lintas padat-merayap.

    Masalah ini dapat ditinjau dari kacamata psikologi sosial sebagai contoh modern dari gejala The Tragedy of the Commons (Tragedi Bersama) yang dikemukakan oleh Garret Hardin (1968). Guna memahami Tragedi

  • MASALAH TRANSPORTASI 175

    Bersama, mari kita simak ilustrasi berikut ini. Bayangkan diri Anda berada dalam sebuah

    lingkungan pedesaan dengan kampung-kampung yang dikelilingi oleh padang rumput di mana para gembala dapat bebas menggembalakan dombanya. Padang rumput, yang merupakan tempat bersama (the commons)itu, tersedia bagi semua gembala tanpa pembatasan. Bayangkan bahwa padang rumput tersebut menampung domba-domba dalam jumlah maksimum tertentu. Terdapat jumlah rerumputan yang cukup untuk seluruh domba tersebut untuk terberi makan dengan baik. Menambahkan satu domba lagi saja akan mengurangi jumlah makanan bagi domba-domba yang lain. Namun demikian, tiap-tiap gembala berpikir bahwa meningkatkan jumlah gembalaannya akan merupakan hal yang menguntungkan. Lebih banyak domba yang digembalakan berarti dapat dihasilkan lebih banyak wol dan lebih banyak penghasilan bagi gembala. Terdapat pula kerugian bila hal ini dilakukan, yakni jumlah makanan akan berkurang sedikit bagi domba-domba yang lain, termasuk domba gembalaannya sendiri. Namun, ketidakuntungan ini kelihatannya kecil karena tersebar merata diantara domba-domba. Jadi, dari sudut pandang masing-masing gembala, perolehan yang didapatnya besar, sementara kerugian yang diakibatkan oleh tindakannya adalah kecil. Tragedi terjadi ketika semua gembala melakukan hal yang sama, karena kerugian yang kecil-kecil tadi kemudian lalu meningkat menjadi bencana bagi setiap orang.

    Berdasarkan kacamata psikologi sosial di atas, maka setiap pengendara yang (1) berupaya untuk mencari jalan pintas atau jalan tercepat, (2) tidak mau berkorban untuk melalui jalan dengan rute normal atau yang agak lebih

    panjang, (3) mencoba mengambil keuntungan dengan melanggar lampu lalu lintas saat tidak ada polisi yang mengawasi, (4) tidak mau rugi dengan menggunakan setiap ruas jalan apapun yang bisa digunakan (termasuk trotoar pejalan kaki) untuk dilalui atau pun untuk tempat parkir, (5) setuju untuk memanfaatkan jasa pungli (pungutan liar) untuk mempercepat waktu tempuh, demikian juga (6) penggunaan kendaraan individual yang bersifat masif (tidak mau beralih menggunakan transportasi masal umum) sementara tidak selalu ada pertambahan jalan, (7) supir angkutan umum yang ngetem beberapa saat untuk mencari penumpang, maupun (8) calon penumpang yang memberhentikan kendaraan umum bukan di halte yang semestinya, sesungguhnya telah bersama-sama berkonspirasi untuk menjamin waktu tempuh berkendara yang lebih panjang bagi setiap orang.

    Puncak tragedi bersama yang dapat kita bayangkan adalah bahwa semua kendaraan di Jakarta akan terjebak kemacetan sesaat setelah keluar dari rumah pada tahun 2014 (Jakarta Mengarah, 2009).

    Kecelakaan Lalu Lintas

    Kecelakaan lalu lintas dapat disebabkan

    oleh sejumlah faktor, misalnya kondisi kendaraan, lingkungan, dan pengendara, serta interaksi antar faktor-faktor tersebut. Namun demikian, karakteristik pengendara menyumbang proporsi terbesar. Hal ini sesuai dengan analisis Lewin (1982), bahwa faktor manusia berkontribusi terhadap kecelakaan lalu lintas sampai dengan 90%. Tidak semua kecelakaan ini disebabkan oleh kekhilafan atau kekeliruan (error). Seringkali pengendara secara sengaja menyimpang dari perilaku

  • 176 JUNEMAN

    berkendara yang aman (Reason, Manstead, Stradling, Baxter, & Campbell, 1990). Penyimpangan ini mungkin disebabkan oleh sejumlah faktor, seperti misalnya kebutuhan sehari-hari (misalnya: berupaya untuk memenuhi janji di suatu tempat), karakteristik kepribadian (misalnya: kepribadian yang suka mencari sensasi), motivasi, dan bias-bias kognitif. Penyimpangan dari perilaku berkendara yang aman ini meningkatkan risiko sampai ke titik yang tidak terduga, bergantung pada komponen atau sifat dari peristiwa kecelakaan itu sendiri.

    Risiko dan perubahan perilaku yang dihasilkannya merupakan konsep inti dalam penelitian tentang keamanan (safety). Risiko adalah setiap situasi yang dapat berakhir dengan hasil negatif, dan melibatkan dua komponen, yakni (1) kemungkinan hasil negatif, dan (2) tingkat beratnya hasil negatif (van der Pligt, 1996). Dalam mempelajari risiko, konstruk ini biasanya dipelajari sebagai sebuah konstruk subjektif dan multi-aspek. Penelitian-penelitian psikometris pada akhir 1970-an (Fischoff, Slovic, Lichtenstein, Read, & Combs, 1978; sebagaimana dikutip dalam Kobbeltvedt, Brun, & Laberg, 2004) membuktikan adanya sembilan aspek dari persepsi risiko, yakni (1) ketidaksengajaan paparan (involuntariness of exposure), (2) kesegeraan akibat (immediacy of effects), (3) ketiadaan pengetahuan yang akurat mengenai tingkat risiko (lack of precise knowledge about risk levels), (4) ketiadaan pengetahuan ilmiah (lack of scientific knowledge), (5) ketidakmampuan mengendalikan (uncontrollability), (6) kebaruan (newness), (7) potensi katastrofik (catastrophic potential), (8) perasaan cemas atau takut (feeling of dread), dan (9) konsekuensi mematikan (fatal consequences). Kesembilan

    aspek ini dapat dirunut kepada dua faktor, yakni (1) risiko yang ditakuti (dread risk), dan (2) risiko yang tidak diketahui (unknown risk). Risiko yang ditakuti dicirikan oleh persepsi tentang aspek no. (5), (7), (8), dan (9). Risiko yang tidak diketahui dicirikan oleh bahaya yang tidak teramati, bahaya yang tidak diketahui, serta bahaya baru. Faktor risiko yang ditakuti ditemukan berkorelasi tinggi dengan persepsi risiko apabila dibandingkan dengan faktor risiko yang tidak diketahui.

    Pada masa yang lalu, pendekatan yang dilakukan untuk mengurangi kecelakaan utamanya difokuskan pada ukuran-ukuran rancang-bangun. Dengan perkataan lain, dengan memperbaiki atau meningkatkan infrastruktur, merancang jalan-jalan yang lebih aman, serta mewajibkan penggunaan sabuk pengaman dan helm SNI, diharapkan mengurangi tingkat fatalitas kecelakaan sampai derajat tertentu. Lebih jauh lagi, tindakan-tindakan regulatif juga dilakukan dengan menjadikan penggunaan sabuk pengaman sebagai kewajiban, pembatasan jumlah alkohol yang diperbolehkan ketika berkendara, serta pembatasan kecepatan laju kendaraan. Namun demikian, baik intervensi rancang-bangun maupun pengaturan-pengaturan hukum dapat berinteraksi dengan efek pilihan-pilihan pribadi pengendara serta pilihan-pilihan yang tidak diniatkannya dalam mempengaruhi perilaku berkendaranya (Rothengatter, 2002).

    Dengan perkataan lain, faktor manusia tidak dapat dikontrol tanpa upaya untuk memahami faktor-faktor psikologis yang mempengaruhi perilaku pengendara dan persepsi pengendara. Pengendara mengadaptasikan perilaku mereka menurut kebutuhan situasi dengan mempertimbangkan persepsi risiko dan persepsi tuntutan tugas mereka (Rothengatter &

  • MASALAH TRANSPORTASI 177

    Huguenin, 2004). Menurut Schlag (1999), pencegahan kecelakaan serta peningkatan keamanan berlalu lintas ini termasuk dalam area psikologi transportasi dan lalu lintas.

    Terdapat tiga teori yang mengupas perilaku kompensatori pengendara: (1) Risk homeostasis theory (teori homeostasis risiko) dari Wilde (1982), (2) Zero risk theory (teori nol risiko) dari Summala (1974)yang selanjutnya berkembang menjadi model hierarkis tentang adaptasi perilaku (1997), dan (3) Task capability model (model kapabilitas tugas) dari Fuller (2000).

    Kompensasi risiko (risk compensation)merupakan perilaku adaptif dalam merespons perubahan-perubahan dalam risiko yang dipersepsikan seseorang. Apabila orang meyakini bahwa risikonya meningkat, maka ia akan mengambil tindakan pengamanan untuk mengurangi efek negatif dari situasi yang melibatkan risiko. Sebaliknya, jika orang mempersepsikan risiko itu rendah dan merasa aman, ia akan berperilaku kurang waspada serta siap menghadapi atau berkonfrontasi dengan situasi bahaya. Persoalan pokok dalam kompensasi risiko adalah persepsi tentang perubahan dalam tingkat risiko, yang akan menghasilkan perubahan perilaku (Hedlund, 2000). Bilamana pengendara merasa memiliki kebutuhan untuk mengadaptasikan perilaku mereka? Teori Homeostatis Risiko

    Gerald J. S. Wilde dalam Teori Homeostatis Risiko (1982) menghipotesiskan bahwa kita semua memiliki tingkat risiko sasaran (target risk level) serta mengukur risiko seperti sebuah termostat risiko. Perilaku berisiko melibatkan untung-rugi (costs and benefits). Tingkat risiko

    sasaran merupakan keuntungan bersih (net benefit) dari risiko yang diniatkan (intended risk). Dengan perkataan lain, tingkat risiko sasaran merupakan fungsi utilitas/kegunaan ekonomis dalam rangka memaksimalkan pencapaian bersih yang dikaitkan dengan dugaan kerugian dan keuntungan dari alternatif berisiko serta alternatif aman. Teori ini berasumsi bahwa orang membuat penilaian tentang risiko secara berkelanjutan. Apabila risiko yang dipersepsikan (perceived risk, subjective risk) tidak kongruen dengan tingkat risiko sasaran (target risk), maka orang akan mengadaptasikan perilaku mereka untuk memperkecil bahkan menghapus kesenjangan (sampai dengan nol) di antara keduanya. Jadi, apabila tingkat risiko yang dipersepsikan (subjective risk) lebih rendah daripada yang dapat diterimanya, maka orang cenderung untuk terlibat dalam tindakan yang meningkatkan keterpaparan mereka terhadap risiko.

    Misalnya, apabila saat berkendara, hari mulai hujan, maka orang akan melambatkan kendaraannya untuk mengurangi kemungkinan celaka. Namun, apabila matahari bersinar kembali, mereka akan mempercepat laju kendaraannya sampai dengan titik di mana mereka merasa nyaman; hal ini menggambarkan tingkat risiko sasaran mereka. Contoh lainnya adalah pada tingkah laku pengendara melintasi rel kereta. Pada saat pengendara melihat dari jauh bahwa palang lintasan kereta belum benar-benar menutup (atau bahkan tidak ada palang), pengendara akan memiliki suatu peningkatan persepsi keamanan (penurunan persepsi risiko bahaya) untuk melintasi rel kereta. Persepsi tersebut akan berimplikasi pada peningkatan kecepatan, yang hasilnya adalah suatu persepsi subjektif keuntungan (dapat berhasil melintasi rel) yang

  • 178 JUNEMAN

    sesungguhnya justru secara objektif tidak aman. Teori Wilde mencakup sebuah lingkaran

    umpan balik (feedback loop) antara perilaku dan pencapaian (outcome), sebagaimana nampak dalam Gambar 1. Dengan demikian, perilaku pengendara yang penuh kehati-hatian tercermin dalam tingkat kerugian (injury rate), sementara tingkat kerugian juga tercermin dalam perilaku pengendara. Risiko sasaran merupakan konsep kunci dalam kausalitas sirkular ini. Teori ini menyatakan bahwa untuk mengurangi tingkat kerugian (meningkatkan perilaku aman), maka tingkat risiko sasaran yang ingin diambil oleh seseorang harus dikurangi (Wilde, 1998). Teori Nol-Risiko

    Teori nol-risiko berfokus pada determinan motivasional, khususnya penilaian risiko subjektif pengendara dan perilaku kompensatori yang ingin diambil oleh mereka (Naatanen & Summala, 1974). Summala memperluas pendekatan teoretis nol-risiko pengendara dari sejumlah aspek.

    Model hierarkis adaptasi perilaku tugas pengendara dari Summala mempertimbangkan perubahan dalam sistem lalu lintas (changes in the traffic system) dalam menilai reaksi pengendara. Model ini dibangun dari kubus tugas tiga-dimensi (Summala, 1997). Model ini memandang tugas berkendara (driving task)sebagai interaksi antara (a) hierarki fungsional, (b) tingkat pemrosesan, dan (c) taksonomi fungsional. Dimensi hierarki fungsional memiliki kisaran dari kontrol kendaraan sampai dengan keputusan pergi (trip decisions) dan pilihan kendaraan. Dimensi taksonomi fungsional perilaku mencakup keterampilan berkendara, seperti melewati liukan jalan (lane

    keeping), menyeberang (crossing management), dan bermanuver (maneuvering). Tingkat pemrosesan psikologis ini membedakan antara kontrol perseptual-motor dan pengambilan keputusan serta tingkat pemantauan (supervisory monitoring level). Model ini menyatakan bahwa semakin tinggi tugas dalam taksonomi fungsional, semakin sering pengambilan keputusan sadar dan pemantauan diterapkan. Kontrol perhatian (attention control) berada di antara kedua proses tersebut dan diterapkan baik top-down maupun bottom-up. Kontrol kecepatan dan kontrol waktu terletak di tengah kubus karena kedua faktor ini menentukan mobilitas dan merupakan tujuan motivasional utama berkendara. Model Kapabilitas Tugas

    Model kapabilitas tugas dari Fuller (2000) membedakan antara kompetensi pengendara dan kapabilitas pengendara. Kompetensi merupakan pencapaian keterampilan pengendara, yang mencakup keterampilan kontrol, keterampilan persepsi bahaya, dan keterampilan antisipasi serta defensif. Kapabilitas merupakan kemampuan pengendara untuk mentransfer tingkat kompetensinya dalam situasi tertentu.

    Sejumlah besar hasil penelitian yang dipublikasi dalam jurnal-jurnal, seperti Accident Analysis and Prevention, Ergonomics, Safety Science, Human Factors, dan Transportation Research, menggambarkan keterbatasan umum manusia dalam hal: persepsi pengendara, pengambilan keputusan pengendara, dan eksekusi respons. Jurnal-jurnal tersebut menunjukkan bahwa terdapat banyak faktor individual dan faktor temporer yang dapat juga mempengaruhi seberapa efektif dan seberapa

  • MASALAH TRANSPORTASI 179

    aman pengendara melakukan tugas mereka. Faktor-faktor tersebut mulai dari pendidikan dan pengalaman, alkohol dan agresi, sampai dengan kantuk dan stres. Faktor-faktor itu juga berkontribusi terhadap instabilitas kinerja pengendara, dan dapat berinteraksi dengan motivasi sesaat dari pengendara.

    Mengendarai kendaraan dapat digambarkan sebagai tugas kendali dinamis (dynamic control task) dalam hal mana pengendara harus menyeleksi informasi yang relevan dari sejumlah besar masukan visual, untuk membuat keputusan dan menjalankan respons kendali yang tepat guna mencapai mobilitas yang aman. Meskipun terdapat situasi-situasi di mana pengendara harus bereaksi terhadap sejumlah peristiwa tak terduga (misalnya, seorang anak yang tiba-tiba keluar dari belakang sebuah kendaraan yang sedang diparkir), namun utamanya pengendara menjalankan tindakan yang direncanakan yang dibentuk oleh harapan-harapan mereka tentang bentangan jalan, pejalan kaki, dan skenario lalu lintas di depan mereka, serta realitas yang mereka amati secara aktual.

    Dari Gambar 2 di atas, kita dapat melihat faktor-faktor kuncinya adalah lingkungan, yang disusun oleh jalan dan kondisi fisik seperti adhesi permukaan dan visibilitas jalan, pengguna jalan yang lain dengan siapa pengendara mungkin berinteraksi, serta tampilan/display informasi, kontrol, dan karakteristik operasion