JURNAL PK 1 HPLC.docx

31
PENETAPAN KADAR TABLET PARASETAMOL DALAM SEDIAAN FARMASI DENGAN METODE HPLC ( High Performance Liquid Chromatography ) I. TUJUAN 1. Mengetahui prinsip pemisahan dengan High Performance Liquid Chromatography (HPLC). 2. Mengetahui prosedur kerja metode High Performance Liquid Chromatography (HPLC). 3. Menetapkan kadar parasetamol dalam sediaan farmasi dengan metode High Performance Liquid Chromatography ( HPLC). II. DASAR TEORI HPLC dimanfaatkan dalam analisis beberapa senyawa sekaligus misalnya obat beserta metabolitnya. Penggunaan utama HPLC meliputi studi farmakokinetik dan metabolik, pengukuran konsentrasi obat plasma yang diberikan dalam terapi, dan dalam pemantauan paparan bahan kimia beracun (Flannagan et al., 2007). Prinsip pemisahan dengan HPLC adalah memisahkan suatu analit dalam sampel dari pengotor- pengotornya dengan melewatkan sampel melalui kolom yang mengandung padatan stasioner dengan bantuan aliran bertekanan dari fase gerak cair, kemudian komponen bermigrasi melalui kolom pada kecepatan yang berbeda yang disebabkan oleh perbedaan afinitas antara fase diam dan fase gerak berdasarkan adsorpsi, ukuran atau muatan (Fifield and Kealey, 2000). 1

description

xxx

Transcript of JURNAL PK 1 HPLC.docx

Page 1: JURNAL PK 1 HPLC.docx

PENETAPAN KADAR TABLET PARASETAMOL DALAM SEDIAAN FARMASI

DENGAN METODE HPLC

( High Performance Liquid Chromatography )

I. TUJUAN

1. Mengetahui prinsip pemisahan dengan High Performance Liquid Chromatography

(HPLC).

2. Mengetahui prosedur kerja metode High Performance Liquid Chromatography

(HPLC).

3. Menetapkan kadar parasetamol dalam sediaan farmasi dengan metode High

Performance Liquid Chromatography ( HPLC).

II. DASAR TEORI

HPLC dimanfaatkan dalam analisis beberapa senyawa sekaligus misalnya obat

beserta metabolitnya. Penggunaan utama HPLC meliputi studi farmakokinetik dan

metabolik, pengukuran konsentrasi obat plasma yang diberikan dalam terapi, dan dalam

pemantauan paparan bahan kimia beracun (Flannagan et al., 2007). Prinsip pemisahan

dengan HPLC adalah memisahkan suatu analit dalam sampel dari pengotor-pengotornya

dengan melewatkan sampel melalui kolom yang mengandung padatan stasioner dengan

bantuan aliran bertekanan dari fase gerak cair, kemudian komponen bermigrasi melalui

kolom pada kecepatan yang berbeda yang disebabkan oleh perbedaan afinitas antara fase

diam dan fase gerak berdasarkan adsorpsi, ukuran atau muatan (Fifield and Kealey, 2000).

Pemisahan solut-solut ini diatur oleh distribusi dalam fase gerak dan fase diam. Fase

gerak atau eluen biasanya terdiri atas campuran pelarut yang dapat bercampur yang secara

keseluruhan berperan dalam daya elusi dan resolusi. Daya elusi dan resolusi ini ditentukan

oleh polaritas keseluruhan pelarut, polaritas fase diam, dan sifat komponen-komponen

sampel (Gandjar dan Rohman, 2007).

Instrumentasi HPLC pada dasarnya terdiri dari 8 komponen pokok yaitu wadah fase

gerak, pompa, kolom, detektor, wadah penampung buangan fase gerak, tabung

penghubung, dan komputer (Gandjar dan Rochman, 2007) seperti yang ditunjukkan pada

gambar di bawah ini:

1

Page 2: JURNAL PK 1 HPLC.docx

Instrumentasi KCKT pada dasarnya terdiri atas delapan komponen pokok yaitu wadah

fase gerak, pompa, injektor, kolom,detector, dan lain - lain (Gandjar dan Rohman, 2007).

1. Wadah Fase Gerak

Wadah fase gerak harus bersih dan lembam (inert). Wadah pelarut kosong ataupun

labu laboratorium dapat digunakan sebagai wadah fase gerak. Wadah ini biasanya dapat

menampung fase gerak antara 1 sampai 2 liter pelarut (Gandjar dan Rohman, 2007).

2. Pompa

Pompa yang cocok digunakan untuk KCKT adalah pompa yang mempunyai syarat

sebagaimana syarat wadah pelarut yakni : pompa harus inert terhadap fase gerak. Ada 2

jenis pompa dalam KCKT yaitu: pompa dengan tekanan konstan dan pompa dengan aliran

fase gerak yang konstan (Gandjar dan Rohman, 2007).

3. Injektor

Sampel-sampel cair dan larutan disuntikan secara langsung ke dalam fase gerak yang

mengalir dibawah tekanan menuju kolom menggunakan alat penyuntik yang terbuat dari

tembaga tahan karat dan katub teflon yang dilengkapi dengan keluk sampel (sample loop)

internal atau eksternal (Gandjar dan Rohman, 2007).

4. Kolom

2

Gambar 2.4 Skema instrumentasi HPLC (Snyder et al., 2010)

Page 3: JURNAL PK 1 HPLC.docx

Ada 2 jenis kolom pada KCKT yaitu kolom konvensional pada kolom mikrobor.

Kolom mikrobor mempunyai 3 keuntungan yaitu:

Konsumsi fase gerak kolom mikrobor hanya 80% atau lebih kecil dibanding

dengan kolom konvensional.

Adanya aliran fase gerak yang lebih lambat membuat kolom mikrobor lebih

ideal jika digabung dengan spektrometer massa.

Sensitivitas kolom mikrobor ditingkatkan karena solut lebih pekat, karenanya

jenis kolom ini sangat bermanfaaat jika jumlah sampel terbatas misal sampel

klinis (Gandjar dan Rohman, 2007).

5. Detektor

Idealnya, suatu detektor harus mempunyai karakteristik sebagai berikut:

Mempunyai respon terhadap solut yang cepat dan reprodusibel

Mempunyai sensitifitas yang tinggi

Stabil dalam pengoperasiannya

Tidak peka terhadap perubahan suhu dan kecepatan alir fase gerak.

(Gandjar dan Rohman, 2007).

Detektor photodiodie-array PDA

Detektor PDA merupakan detector UV – Vis dengan berbagai keistimewaan. Detektor

ini mampu memberikan kumpulan kromatogram secara simultan pada panjang gelombang

yang berbeda dalam sekali proses ( single run). Selama proses berjalan, suatu

kromatogram pada panjang gelombang yang diinginkan (biasanya antara 190-400) dapat

ditampilkan.

Dengan demikian PDA memberikan lebih banyak informasi sampel dibandingkan

dengan detector UV – Vis. Dengan detector ini, spectrum UV tiap puncak yang terpisah

sehingga dapat dijadikan sebagai alat yang penting untuk memilih panjang gelombang

maksimal untuk system HPLC yang digunakan. Dan akhirnya dengan detector ini pula,

dapat dilakukan uji kemurnian puncak dengan membandingkan antara sepektra analit

dengan sepektra senyawa yang sudah diketahui (Gandjar dan Rohman, 2007).

Diode Array Detector (DAD) merupakan salah satu detekang lebih banyak digunakan

karena mampu memberikan kumpulan kromatogram secara simultan pada panjang

gelombang yang berbeda dalam sekali proses (Gandjar dan Rochman, 2007). Selain itu,

DAD dapat menghasilkan spektra lengkap beberapa analit dalam suatu sampel (Snyder et

al., 2010). DAD berguna untuk campuran kompleks yang mengandung senyawa dengan

3

Page 4: JURNAL PK 1 HPLC.docx

rentang absorbansi yang sangat berbeda dan untuk senyawa yang puncaknya saling

tumpang tindih tapi masih dapat dipisahkan dengan faktor absorban UV. Detektor ini

memberikan spektrum UV yang penuh untuk tiap puncak dalam kromatogram, yang

membantu dalam identifikasi senyawa-senyawa yang belum dikenal (Watson, 2005).

Keunggulan HPLC antara lain pengoperasiannya pada temperatur rendah sehingga

dapat meminimalkan terjadinya dekomposisi termal dibandingkan dengan Gas

Chromatography (GC), dapat digunakan untuk menganalisa senyawa non-volatile atau

senyawa polar, kemampuannya dalam memisahkan senyawa dengan perbedaan rentang

polaritas yang luas, lebih fleksibel karena dapat memilih berbagai fase gerak atau fase

diam yang akan digunakan untuk keperluan analisis serta mudah diautomatisasi, selain itu

pada HPLC tidak perlu dilakukan derivatisasi serta tidak dipengaruhi oleh sifat kepolaran

yang berbeda dari analit (Watson, 2005).

Faktor kromatografi

2.5.1. Waktu Retensi

Waktu tambat (retention time) adalah periode waktu yang dilalui dari penyuntikan sampel hingga diperoleh serapan puncak maksimum. Waktu tambat suatu zat selalu konstan pada kondisi kromatografi yang sama sehingga dapat dijadikan suatu dasar analisis kualitatif (Dong, 2006). Sedangkan waktu retensi pelarut yang tidak tertahan atau waktu yang dibutuhkan oleh fase gerak untuk melewati kolom disebut dengan void time/dead time (tm) (Meyer, 2010).

4Gambar 2.5 Kromatogram yang menunjukkan waktu retensi, void

time, dan tinggi puncak (Dong, 2006)

Page 5: JURNAL PK 1 HPLC.docx

2.5.2. Faktor Retensi (k)

Faktor retensi atau faktor kapasitas (k) didefinisikan sebagai waktu yang dibutuhkan zat terlarut berada di dalam fase diam (tR) dibagi dengan waktu zat terlarut berada dalam fase gerak (tm), dengan persamaan sebagai berikut:

k =

t 'R

tm

=tR − tM

tM .......................................(Dong, 2006) (2.2)

Faktor retensi sampel (k) pada saat elusi secara isokratik biasanya dikontrol dengan memvariasikan komposisi dari fase gerak. Tujuan pemisahan adalah mendapatkan nilai k ≤10 untuk semua puncak, karena dengan nilai k ≤10 biasanya didapatkan puncak yang sempit dan tinggi dan untuk meningkatkan intensitas deteksi karena dalam jangka waktu yang pendek sampel yang dapat dianalisis menjadi lebih banyak. Nilai k <1 dapat menghasilkan resolusi yang kurang baik, terutama adanya kemungkinan tumpang tindih (overlap) antara analit dengan matriks pengganggu yang biasanya menumpuk di dekat tm (dead time). Oleh karena itu nilai 1≤ k ≤10 biasanya merupakan tujuan dalam pemisahan akhir suatu senyawa untuk semua puncak (Snyder, 2010).

5

Gambar 2.6 Kromatogram yang menunjukkan perhitungan faktor

retensi (Dong, 2006)

Page 6: JURNAL PK 1 HPLC.docx

2.5.3. Faktor Selektifitas (α)

Selektifitas (α) adalah kemampuan sistem kromatografi untuk membedakan analit yang berbeda. Selektifitas ditentukan sebagai rasio perbandingan faktor retensi dari analit yang berbeda (Dong, 2006).

α =

k2

k1

=tR 2 − tm

t R 1− t m ........................................(Dong, 2006) (2.3)

Nilai selektivitas yang didapatkan dalam sistem HPLC harus >1. Jika α = 1, maka tidak terjadi pemisahan 2 puncak yang sempurna karena waktu retensi 2 puncak tersebut identik. Selektivitas dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain sifat fase diam, komposisi fase gerak, dan sifat zat terlarut (Dong, 2006).

2.5.4. Resolusi (Rs)

Resolusi merupakan derajat pemisahan dari dua puncak analit yang bersebelahan. Resolusi didefinisikan sebagai perbedaan waktu retensi antara dua puncak (ΔtR = tR2 -tR1) dibagi dengan rata-rata lebar pada setengah tinggi puncak (W0,5).

Rs =

1 , 18 ΔtR

(W (0,5)1 + W (0,5 )2 ) ..........................(Dong, 2006) (2.4)

6

Gambar 2.7 Faktor selektivitas 2 puncak kromatogram (Dong, 2006)

Page 7: JURNAL PK 1 HPLC.docx

Dua puncak dikatakan terpisah dengan baik apabila nilai Rs ≥1,5 (Gandjar dan Rochman, 2007)

2.5.5 Efisiensi Kolom (N)

Efisiensi kolom ditunjukkan dari jumlah lempeng teoritis atau theoritical plates (N), yang dapat dihitung dengan rumus :

N = 5 , 546 ( tR

W 0,5)2

.........................(Dong, 2006) (2.5)

Kolom yang efisien adalah kolom yang mampu menghasilkan puncak yang sempit dan tajam, serta memisahkan analit dengan baik dalam waktu yang relatif singkat. Nilai lempeng akan semakin tinggi jika ukuran kolom semakin panjang, hal ini berarti proses pemisahan yang terjadi semakin baik (Dong, 2006).

2.5.6 Tailing Factor (Tf)

Idealnya, puncak kromatogram akan memperlihatkan bentuk Gaussian dengan derajat simetris yang sempurna. Namun kenyataannya, puncak yang simetris secara sempurna jarang dijumpai. Jika diperhatikan secara cermat, maka hampir setiap puncak dalam kromatografi memperlihatkan tailing. Pengukuran derajat asimetris puncak dapat dihitung dengan 2 cara yaitu faktor tailing dan faktor asimetris seperti yang ditampilkan pada gambar 2.9. Faktor tailing (Tf) dihitung dengan menggunakan lebar puncak pada ketinggian 5%, rumusnya dituliskan sebagai berikut

Tf = W0,05 / 2f..........................................(Dong, 2006) (2.6)

Tf lebih dari 1 (Tf >1) menunjukkan adanya tailing pada puncak kromatogram, sedangkan Tf kurang dari 1 (Tf <1) menandakan adanya fronting. Nilai 0,5< Tf <2,0 masih dapat dianggap mengintegrasikan luas puncak secara tepat (Meyer, 2010).

7

Page 8: JURNAL PK 1 HPLC.docx

Validasi Metode Analisis

Validasi metode analisis menurut United State Pharmacopeia (USP) dilakukan untuk menjamin bahwa metode analisis akurat, spesifik, reprodusibel, dan tahan pada kisaran analit yang akan dianalisis. Validasi harus mencakup semua langkah dalam analisis, dimulai dari pemilihan sampel, preparasi sampel, perolehan kembali analit, kalibrasi instrumen, prosedur, interpretasi, dan pelaporan hasil (Moffat et al., 2005). Suatu metode harus divalidasi ketika

a. Metode baru dikembangkan untuk mengatasi masalah analisis tertentu

b. Metode yang sudah baku direvisi untuk menyesuaikan perkembangan atau karena

munculnya suatu masalah yang mengarahkan bahwa metode tersebut harus direvisi

c. Penjaminan mutu yang mengindikasikan bahwa metode telah berubah seiring

dengan berjalannya waktu (Gandjar dan Rochman, 2007)

Dalam uji validasi metode analisis terdapat beberapa parameter yang harus dipertimbangkan dalam penetapan kadar atau studi kuantitatif yaitu kecermatan (accuracy), keseksamaan (precision), spesifisitas, batas kuantitasi (limit of quantitation/LOQ), rentang dan linearitas, serta kekasaran metode (ruggedness) (Swartz dan Krull, 1997).

2.7.1. Kecermatan (accuracy)

Kecermatan adalah ukuran yang menunjukkan derajat kedekatan hasil analisis dengan kadar analit yang sebenarnya. Kecermatan dinyatakan sebagai persen perolehan kembali (recovery) analit yang ditambahkan. Kecermatan hasil analisis sangat tergantung kepada sebaran galat sistematik dalam keseluruhan tahapan analisis. Sehingga untuk mencapai kecermatan yang tinggi, terjadinya galat sistematik harus dikurangi seperti menggunakan peralatan yang telah dikalibrasi, menggunakan pereaksi dan pelarut yang baik, pengontrolan suhu dan pelaksanaannya yang cermat, taat asas sesuai prosedur. Kecermatan ditentukan dengan dua cara yaitu metode simulasi (spiked-placebo recovery) atau metode penambahan baku (standard addition method) (Harmita, 2004).

8

Gambar 2.8 Diagram yang menunjukkan faktor tailing dan faktor

asimetri pada kromatogram (Dong, 2006)

Page 9: JURNAL PK 1 HPLC.docx

Dalam kedua metode tersebut, persen perolehan kembali dinyatakan sebagai rasio antara hasil yang diperoleh dengan hasil yang sebenarnya. Perhitungan perolehan kembali dapat ditetapkan dengan rumus sebagai berikut:

% Perolehan kembali = kadar yang didapat

kadar yang sebenarnya x 100%...................(Harmita, 2004) (2.7)

Selisih kadar pada berbagai penentuan (Xd) harus ≤5% atau kurang pada setiap konsentrasi analit pada mana prosedur dilakukan. Harga rata-rata selisih secara statistik harus 1,5% atau kurang (Harmita, 2004). Dalam penentuan parameter akurasi diperlukan minimal 3 larutan dengan konsentrasi berbeda dengan pengulangan sebanyak 3 kali. Data yang dilaporkan dalam bentuk persen perolehan kembali dari zat yang ditambahkan pada larutan atau perbedaan antara nilai rata-rata perolehan kembali dengan jumlah yang sebenarnya dengan interval kepercayaan ± 1 SD.

2.7.2. Keseksamaan (precision)

Keseksamaan adalah ukuran yang menunjukkan derajat penyebaran hasil individual dari rata-rata jika prosedur diterapkan secara berulang pada sampel-sampel yang diambil dari campuran yang homogen. Keseksamaan dinyatakan dalam standar deviasi (SD) dan koefisien variasi (KV). Keseksamaan dapat dilakukan dengan keterulangan (repeatability) dan ketertiruan (reproducibility). Keterulangan merupakan keseksamaan metode jika dilakukan berulang kali oleh analis yang sama pada kondisi sama dan dalam interval waktu yang pendek, sedangkan ketertiruan (reproducibility) merupakan keseksamaan metode jika dikerjakan pada kondisi yang berbeda seperti analisis dilakukan dalam laboratorium-laboratorium yang berbeda menggunakan peralatan, pereaksi, pelarut, dan analis yang berbeda pula. Jika hasil analisis adalah x1, x2, x3, x4,.....................xn dan ditentukan rata-ratanya maka simpangan bakunya (SD) adalah:

1

2

n

xxSD

Simpangan baku relatif (RSD) atau koefisien variasi (KV) adalah :

%100xx

SDKV

Kriteria seksama diberikan jika metode memberikan simpangan baku relatif atau koefisien variasi 2% atau kurang. Akan tetapi kriteria ini sangat fleksibel. Dari penelitian dijumpai bahwa koefisien variasi meningkat dengan menurunnya kadar analit yang dianalisis.

9

.........................................(Harmita, 2004) (2.8)

......................................... (Harmita, 2004) (2.9)

Page 10: JURNAL PK 1 HPLC.docx

Untuk menetapkan batas presisi, dapat digunakan persamaan 2.10 dan 2.11 untuk menentukan metode ketertiruan dan keterulangan yang tepat.

RSD¿ 2(1−0,5 log c )

dan untuk keterulangan :

RSD¿2(1−0,5log c )x0 , 67

c = konsentrasi analit sebagai fraksi desimal (contoh: 0,1% = 0,001)

2.7.3. Batas deteksi (LOD) dan batas kuantitasi (LOQ)

Batas deteksi adalah jumlah terkecil analit dalam sampel yang dapat dideteksi dan masih memberikan respon signifikan dibandingkan dengan blanko. Batas kuantitasi adalah jumlah terkecil analit dalam sampel yang masih dapat memenuhi kriteria cermat dan seksama. Penentuan batas deteksi suatu metode dapat dihitung dengan mengukur respon blanko beberapa kali lalu dihitung simpangan baku respon blanko dengan rumus :

Q =K x S y /x

b

S y /x = √∑ ( y− y \) rSup { size 8{2} } } over {N - 2} } } } { ¿¿¿¿...................................(Harmita, 2004) (2.13)

Dimana Q adalah LOD atau LOQ, K adalah konstanta (3 untuk LOD dan 10 untuk LOQ),

S y /x adalah simpangan baku respon analitik dari blanko, b adalah slope (b pada persamaan garis y = bx+a), y adalah absorbansi larutan parasetamol yang diperoleh berdasarkan pengukuran, y” adalah absorbansi larutan parasetamol setelah dimasukkan ke dalam persamaan linearnya, dan N adalah jumlah sampel.

Batas deteksi dan kuantitasi dapat dihitung secara statistik melalui garis regresi linier dari kurva kalibrasi. Nilai pengukuran akan sama dengan nilai b pada persamaan garis linier y = bx + a, sedangkan simpangan baku blanko sama dengan simpangan baku residual (Sy/x.).

a. Batas deteksi (LOD)

Nilai K pada penentuan LOD adalah 3, maka LOD dapat ditentukan dengan rumus :

LOD =3 x S y /x

b ………………...….............(Harmita, 2004) (2.14)

10

.............................................(Harmita, 2004) (2.12)

.......................................(Harmita, 2004) (2.11)

Page 11: JURNAL PK 1 HPLC.docx

b. Batas kuantitasi (LOQ)

Nilai K pada penentuan LOQ adalah 10, maka LOQ dapat ditentukan dengan rumus :

LOQ =10 x S y / x

b ......………………............(Harmita, 2004) (2.15)

2.7.4. Rentang dan Linearitas

Rentang metode adalah batas terendah dan tertinggi analit dalam sampel yang menunjukkan bahwa prosedur analisis tersebut memiliki nilai kesesuaian presisi, akurasi, dan linearitas yang tinggi. Rentang ini biasanya dinyatakan dalam satuan yang sama dengan hasil yang diperoleh dengan metode uji (misalnya ng/mL) (Harmita, 2004; Snyder et al., 2010).

Linearitas adalah kemampuan metode analisis memberikan respon yang secara langsung atau dengan bantuan persamaan matematik yang baik, proporsional terhadap konsentrasi analit dalam sampel. Linearitas biasanya dinyatakan dalam istilah variansi sekitar arah garis regresi yang dihitung berdasarkan persamaan matematik data yang diperoleh dari hasil uji analit dalam sampel dengan berbagai konsentrasi analit (Harmita, 2004). ICH merekomendasikan digunakan minimal 5 variasi konsentrasi dalam penentuan linearitas (Swartz and Krull, 1997).

Data linearitas dilaporkan dalam bentuk kurva kalibrasi dan koefisien determinasi (r2) (Snyder et al., 2010)

2.7.5. Kekuatan (Robustness)

Kekuatan prosedur analitis didefinisikan sebagai kemampuan untuk memperoleh hasil yang sebanding dan dapat diterima ketika terganggu oleh variasi dalam yang ditentukan kondisi percobaan. Kekuatan memberikan indikasi bahwa metode yang digunakan memberikan kesesuaian (suitability) dan kehandalan (reliability) selama penggunaan secara normal. Untuk memvalidasi kekuatan suatu metode perlu dibuat perubahan metodologi yang kecil dan terus menerus dan mengevaluasi respon analitik dan efek presisi dan akurasi (Harmita, 2004; Snyder et al., 2010). Perubahan yang dibutuhkan untuk menunjukkan kekuatan prosedur HPLC dapat mencakup perubahan komposisi organik fase gerak (1%), pH fase gerak (± 0,2 unit), dan perubahan temperatur kolom (±2-30C) (Harmita, 2004).

Tabel 2.1. Perubahan yang dilakukan untuk menunjukkan kekuatan prosedur HPLC dalam

pemisahan isokratik (Snyder et al., 2010)

11

Page 12: JURNAL PK 1 HPLC.docx

Faktor Batas Rentang

Konsentrasi pelarut organik ± 2-3%

Konsentrasi buffer ± 1-2%

pH dapar (jika digunakan) ± 0,1-0,2 pH unit

Temperatur ± 30C

Laju alir ± 0,1-0,2 mL/menit

Panjang gelombang pengukuran ± 2-3 nm untuk 5 nm lebar pita

2.7.6. Spesifisitas

Spesifisitas adalah kemampuan pengukuran secara akurat dan spesifik terhadap analit yang ada dalam sampel (Snyder, 2010). Untuk tujuan identifikasi, spesifisitas ditunjukkan dengan kemampuan suatu metode analisis untuk membedakan antar senyawa yang mempunyai struktur molekul yang hampir sama. Untuk tujuan uji kemurnian dan tujuan pengukuran kadar, spesifisitas ditunjukkan oleh daya pisah 2 senyawa yang berdekatan (Gandjar dan Rochman, 2007).

Internal Standar (IS)

Larutan baku internal atau internal standar merupakan senyawa yang berbeda dengan analit dan dapat terpisah dengan baik selama proses pemisahan. Salah satu alasan utama digunakannya internal standar adalah sebagai pengoreksi hilangnya sampel jika suatu sampel memerlukan perlakuan signifikan yang dapat mengurangi konsentrasi sampel meliputi proses derivatisasi, ekstraksi, dan filtrasi (Gandjar dan Rochman, 2007). Syarat-syarat suatu senyawa dapat digunakan sebagai intenal standar adalah :

1. Terpisah dengan baik dari senyawa yang dituju atau puncak-puncak lain

2. Mempunyai kemiripan sifat dengan analit dalam hal preparasi sampel

3. Tidak mempunyai kemiripan secara kimiawi dengan analit

4. Tersedia dalam kemurnian yang tinggi

5. Stabil dan tidak reaktif dengan sampel atau dengan fase gerak

6. Mempunyai respon detektor yang hampir sama dengan analit pada konsentrasi yang digunakan.

12

Page 13: JURNAL PK 1 HPLC.docx

Parasetamol

2.2.1. Sifat Fisikokimia Parasetamol Trihidrat

parasetamol memiliki struktur kimiawi C8H9NO2 atau Acetaminophen; N-Acetyl–p–aminophenol dengan berat molekul 151.2 g/mol.

Gambar 2. Struktur Kimia Paracetamol (Mofatt et all, 2005).

Parasetamol mengandung tidak kurang dari 98.0% dan tidak lebih dari 101,0% C8H9NO2dihitung sebagai anhidrat. (Depkes RI, 1995).

Parasetamol berwarna putih, tidak berbau, serbuk hablur, rasa sedikit pahit, larut dalam air mendidih dan dalam natrium hidroksida 0,1 N, dan mudah larut dalam etanol (Depkes RI, 1995). Parasetamol memiliki konstanta disosiasi pKa 9,5. Panjang gelombang maksimum (λmaks) spektrum UV dalam suasana asam adalah 245 nm, sedangkan pada suasana basa pada 257 nm (Moffat et al., 2005).

13

Page 14: JURNAL PK 1 HPLC.docx

2.2.2. Farmakokinetika Parasetamol

14

Gambar 3. Spektrum UV parasetamol (Moffat et al., 2005)

Page 15: JURNAL PK 1 HPLC.docx

III. ALAT DAN BAHAN

a. Alat

Perkamen

Sendok tanduk

Pipet volume

Ballfiller

Alat HPLC

Detektor UV-Vis

Syringe

Kolom dengan fase diam C18

Mortir

Stamper

Batang pengaduk

Beaker glass

Labu ukur

Gelas ukur

Pipet tetes

Timbangan analitik

Pompa vakum

b. Bahan

Methanol

WFI

Tablet Parasetamol

Baku Parasetamol

Sulfametaksasol

IV. PROSEDUR KERJA

a. Pembuatan fase gerak

Fase gerak disiapkan dengan cara menambahkan 330 mL metanol dengan 660 mL WFI

hingga homogen. Larutan tersebut ditambahkan dengan asam orthoposfat 10 % hingga

mencapai pH 3,0.

15

Page 16: JURNAL PK 1 HPLC.docx

b. Pembuatan Larutan Stok Parasetamol

10 mg parasetamol standar ditimbang. Dimasukkan dalam beaker glass. Ditambahkan

metanol secukupnya, diaduk hingga larut. Dimasukkan dalam labu ukur 10 mL.

Ditambahkan metanol hingga tanda batas, digojog hingga homogen.

c. Pembuatan Larutan Stok Internal Standar

Ditimbang 10 mg sulfametaksasol kemudian dimasukkan ke dalam labu ukur 10 mL

dan dilarutkan dengan pelarut metanol sampai tanda batas. Diperoleh larutan stok

sulfametaksasol 1 mg/mL

d. Pembuatan Larutan Standar Parasetamol

Dipipet 1 mL larutan stok baku parasetamol ke dalam labu ukur 10 mL. Ditambahkan

fase gerak sampai tanda batas pada masing-masing labu. Digojog hingga homogen

(diperoleh larutan standar 100 μg/mL). Dipipet masing-masing 0,5 mL; 1mL; 1,5 mL;

2mL dan 2,5 mL larutan standar 100 μg/mL ke dalam labu ukur 5 mL. Ditambahkan

fase gerak sampai tanda batas pada masing-masing labu. Digojog hingga homogen.

Dari langkah di atas diperoleh seri larutan standar parasetamol dengan konsentrasi 5

µg/mL; 10 µg/mL; 15 µg/mL; 20 µg/mL dan 30 μg/mL.

e. Pembuatan Larutan Sampel

20 tablet digerus, ditimbang setara dengan 50 mg parasetamol. Dilarutkan dengan 100

ml fase gerak, disonikasi, disaring. Dipipet sebanyak 0,4 ml kemudian ditambahkan

dengan fase gerak hingga volume 10 ml (5000 µg/mL). Dipipet sebanyak 0,5 ml

kemudian ditambahkan dengan fase gerak hingga volume 5 ml (500 µg/mL). Dipipet

0,15 ml lalu dari larutan tersebut dan ditambahkan fase gerak hingga volume 5 ml

hingga diperoleh konsentrasi sebesar 15 µg/mL. Tahap ini dilakukan sebanyak 3 kali

sehingga diperoleh 3 larutan sampel.

f. Pencucian Kolom

Sebelum digunakan, sistem HPLC diprekondisikan berturut-turut dengan metanol selama 30

menit dengan laju alir 1 mL/menit. Pada penelitian ini digunakan fase gerak yaitu campuran

methanol dan WFI (33,3 : 66,67 v/v). Kemudian, dilakukan pengaturan panjang gelombang

16

Page 17: JURNAL PK 1 HPLC.docx

deteksi parasetamol yaitu pada rentang 210 - 400 nm dan laju alir fase gerak melewati kolom

saat proses pemisahan 1,78 mL/menit. Sistem HPLC dicuci (flushing) dengan metanol selama

30 menit setelah penggunaan fase gerak hingga stabil (± 1 jam, baseline check PASS).

g. Pembuatan Kurva Standar

Larutan standar disaring terlebih dahulu. Salah satu larutan standar parasetamol (5

µg/mL) diinjeksikan sebanyak 40 µl ke dalam injector HPLC dengan laju alir 1

mL/menit. Discanning pada panjang gelombang 200-400 nm. Ditentukan panjang

gelombang maksimumnya. Larutan standar lain diukur pada panjang gelombang

maksimum. Dibuat kurva kalibrasi standar parasetamol dan persamaan regresi linier y =

bx + a, y = AUC dan x = kadar sampel (µg/mL)

h. Penetapan Kadar Sampel

Larutan sampel parasetamol diinjeksikan ke injektor HPLC sebanyak 40 μL dengan

laju alir 1 mL/menit. Dilakukan pengamatan pada panjang gelombang maksimum. Data

AUC yang diperoleh dimasukkan ke dalam persamaan regresi linier. Langkah diatas

diulangi 3 kali. Ditentukan perolehan kembali kadar parasetamol pada sampel yang

diperoleh dengan kadar parasetamol yang sebenarnya pada monografi tablet.

i. Validasi Sampel

Untuk mengetahui kesalahan yang mungkin terjadi pada saat proses praktikum

berlangsung atau proses pemisahan dapat dilakukan validasi metode . Validasi metode

yang dilakukan meliputi akurasi, presisi, LOD, dan LOQ.

SKEMA KERJA

1. Pembuatan Larutan

j. Pembuatan Larutan Stok parasetamol

Perhitungan

17

Page 18: JURNAL PK 1 HPLC.docx

Diketahui : kadar stok parasetamol = 1 mg/mL

V larutan = 10 mL = 0,01 L

BM parasetamol = 151,16 g/mol = 151,16 mg/mmol

Ditanya : massa parasetamol = …?

Jawab :

M pasetamol =

1mg

ml

151,16mg

mmol

= 6,62 × 10-3M

Massa parasetamol = M × BM × V

= 6,62 × 10-3 M × 151,16 g/mol × 0,01 L

= 0,01 g

=10 mg

=10 mg

k. Pembuatan Larutan Standar

Pembuatan Larutan Stok Sekunder Parasetamol

Larutan baku pembanding parasetamol ini dibuat dalam 5 konsentrasi, yaitu 5

µg/mL; 10 µg/mL; 15 µg/mL; 20 µg/mL dan 25 µg/mL. Maka larutan baku yang

diambil adalah :

M1 x V1 = M2 x V2

50 μg/mL x 10 mL = 1000 μg/mL x V2

V2 = 0,5 mL

Jadi volume larutan parasetamol 1 mg/mL dipipet sebanyak 0,5 mL

Seri konsentrasi 1

M1 x V1 = M2 x V2

5 μg/mL x 5 mL = 50 μg/mL x V2

V2 = 0,5 mL

Jadi volume larutan parasetamol 50 μg/mL dipipet sebanyak 0,5 mL

Seri Konsentrasi 2

M1 x V1 = M2 x V2

10 μg/mL x 5 mL = 50 μg/mL x V2

18

Page 19: JURNAL PK 1 HPLC.docx

V2 = 1 mL

Jadi volume larutan parasetamol 50 μg/mL dipipet sebanyak 1 mL

Seri Konsentrasi 3

M1 x V1 = M2 x V2

15 μg/mL x 5 mL = 50 μg/mL x V2

V2 = 1,5 mL

Jadi volume larutan parasetamol 50 μg/mL dipipet sebanyak 1,5 mL

Seri Konsentrasi 4

M1 x V1 = M2 x V2

20 μg/mL x 5 mL = 50 μg/mL x V2

V2 = 2 mL

Jadi volume larutan parasetamol 50 μg/mL dipipet sebanyak 2 mL

Seri Konsentrasi 5

M1 x V1 = M2 x V2

25 μg/mL x 5 mL = 50 μg/mL x V2

V2 = 2,5 mL

Jadi volume larutan parasetamol 50 μg/mL dipipet sebanyak 2,5 mL

l. Pembuatan Larutan Sampel

Sampel A

Perhitungan

Diketahui : kadar parasetamol dalam tablet = 500 mg

massa serbuk 20 tablet = 11903 mg

massa parasetamol yang diinginkan = 100 mg

Ditanya :massa serbuk parasetamol yang setara dengan 100 mg serbuk

parasetamol = ...?

Jawab :

Kadar parasetamol dalam 20 tablet = 20 × 500 mg

= 10.000 mg

Massa tablet yang setara 100 mg parasetamol =

19

Page 20: JURNAL PK 1 HPLC.docx

100mg10 . 000mg

× 11903 mg= 119,03 mg

Kadar awal sampel yang ingin dibuat = 10 mg/ml

Volume fase gerak yang dibutuhkan untuk menghasilkan sampel 10 mg/ml yang

mengandung 100 mg parasetamol

100 mgx

= 10 mg/ml

10 x = 100 mg

x = 10 ml

jadi volume methanol yang dibutuhkan sebesar 10 ml.

Dibuat pengenceran hingga kadar 5000 µg/ml, dengan volume 5 ml

M1 × V1 = M2 × V2

10.000 µg/mL × V1 = 5000 µg/mL × 5 mL

V1 = 2,5 mL

Dibuat pengenceran hingga kadar 500 µg/ml, dengan volume 5 ml

M1 × V1 = M2 × V2

5000 µg/mL × V1 = 500 µg/mL × 5 mL

V1 = 0,5 mL

Dibuat pengenceran hingga kadar 15 µg/ml, dengan volume 5 ml

M1 × V1 = M2 × V2

500 µg/mL × V1 = 15 µg/mL × 5 mL

V1 = 0,15 mL

Dilakukan tahap yang sama untuk kedua sampel sehingga setiap sampel memiliki

kadar sebesar 15 µg/mL.

Sampel B

Perhitungan

Diketahui : kadar parasetamol dalam tablet = 500 mg

massa serbuk 20 tablet = 12020 mg

massa parasetamol yang diinginkan = 100 mg

Ditanya :massa serbuk parasetamol yang setara dengan 100 mg serbuk

parasetamol = ...?

Jawab :

Kadar parasetamol dalam 20 tablet = 20 × 500 mg

20

Page 21: JURNAL PK 1 HPLC.docx

= 10.000 mg

Massa tablet yang setara 100 mg parasetamol =

100mg10 . 000mg

× 12020 mg= 120,02 mg

Kadar awal sampel yang ingin dibuat = 10 mg/ml

Volume fase gerak yang dibutuhkan untuk menghasilkan sampel 10 mg/ml yang

mengandung 100 mg parasetamol

100 mgx

= 10 mg/ml

10 x = 100 mg

x = 10 ml

jadi volume methanol yang dibutuhkan sebesar 10 ml.

Dibuat pengenceran hingga kadar 5000 µg/ml, dengan volume 5 ml

M1 × V1 = M2 × V2

10.000 µg/mL × V1 = 5000 µg/mL × 5 mL

V1 = 2,5 mL

Dibuat pengenceran hingga kadar 500 µg/ml, dengan volume 5 ml

M1 × V1 = M2 × V2

5000 µg/mL × V1 = 500 µg/mL × 5 mL

V1 = 0,5 mL

Dibuat pengenceran hingga kadar 15 µg/ml, dengan volume 5 ml

M1 × V1 = M2 × V2

500 µg/mL × V1 = 15 µg/mL × 5 mL

V1 = 0,15 mL

Dilakukan tahap yang sama untuk kedua sampel sehingga setiap sampel memiliki

kadar sebesar 15 µg/mL.

Sampel C

Perhitungan

Diketahui : kadar parasetamol dalam tablet = 500 mg

massa serbuk 20 tablet = 12065 mg

massa parasetamol yang diinginkan = 100 mg

Ditanya :massa serbuk parasetamol yang setara dengan 100 mg serbuk

parasetamol = ...?

21

Page 22: JURNAL PK 1 HPLC.docx

Jawab :

Kadar parasetamol dalam 20 tablet = 20 × 500 mg

= 10.000 mg

Massa tablet yang setara 100 mg parasetamol =

100mg10 . 000mg

× 12065 mg= 12065 mg

Kadar awal sampel yang ingin dibuat = 10 mg/ml

Volume fase gerak yang dibutuhkan untuk menghasilkan sampel 10 mg/ml yang

mengandung 100 mg parasetamol

100 mgx

= 10 mg/ml

10 x = 100 mg

x = 10 ml

jadi volume methanol yang dibutuhkan sebesar 10 ml.

Dibuat pengenceran hingga kadar 5000 µg/ml, dengan volume 5 ml

M1 × V1 = M2 × V2

10.000 µg/mL × V1 = 5000 µg/mL × 5 mL

V1 = 2,5 mL

Dibuat pengenceran hingga kadar 500 µg/ml, dengan volume 5 ml

M1 × V1 = M2 × V2

5000 µg/mL × V1 = 500 µg/mL × 5 mL

V1 = 0,5 mL

Dibuat pengenceran hingga kadar 15 µg/ml, dengan volume 5 ml

M1 × V1 = M2 × V2

500 µg/mL × V1 = 15 µg/mL × 5 mL

V1 = 0,15 mL

Dilakukan tahap yang sama untuk kedua sampel sehingga setiap sampel memiliki

kadar sebesar 15 µg/mL.

22