JURNAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN

58
JURNAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN Indonesian Agricultural Research and Development Journal ISSN 0216-4418 E-ISSN 2541-0822 697/AU3/P2MI-LIPI/07/2015 Volume 35 Nomor 4, Desember 2016 Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian

Transcript of JURNAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN

Page 1: JURNAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN

JURNAL PENELITIANDAN PENGEMBANGANPERTANIANIndonesian Agricultural Research and Development Journal

ISSN 0216-4418E-ISSN 2541-0822

697/AU3/P2MI-LIPI/07/2015

Volume 35 Nomor 4, Desember 2016

Badan Penelitian dan Pengembangan PertanianKementerian Pertanian

Page 2: JURNAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN

ISSN 0216-4418E-ISSN 2541-0822

Terakreditasi berdasarkan Keputusan Kepala LembagaIlmu Pengetahuan Indonesia No. 818/E/2015

Dewan Redaksi

Ketua

Deciyanto Soetopo Hama Penyakit Tanaman (Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan)

Anggota

Budi Marwoto Hama Penyakit Tanaman (Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura)Bambang Irawan Kebijakan Pertanian (Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian)Zulkifli Zaini Budi Daya Tanaman (Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan)Markus Anda Mineralogi dan Klasifikasi Tanah (Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian)Endang Yuli Purwani Teknologi Pascapanen (Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian)Sri Muharsini Parasitologi dan Mikologi (Balai Besar Penelitian Veteriner)

Mitra Bestari

Atang Sutandi Kesuburan Tanah (Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor)Elna Karmawati Hama Penyakit Tanaman (Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan)Ridwan Thahir Pascapanen Pertanian (Forum Komunikasi Profesor Riset Kementerian Pertanian)Ika Mariska Kultur Jaringan (Balai Besar Litbang Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian)Purwono Agronomi (Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor)I Wayan Rusastra Agronomi dan Kebijakan Pertanian (Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian)Budi Haryanto Pakan Ternak Ruminansia (Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan)

Redaksi Pelaksana

Mimi Haryani Pusat Perpustakaan dan Penyebaran Teknologi PertanianEndang Setyorini Pusat Perpustakaan dan Penyebaran Teknologi PertanianEnok Nurhayati Pusat Perpustakaan dan Penyebaran Teknologi PertanianHidayat Raharja Pusat Perpustakaan dan Penyebaran Teknologi Pertanian

Penerbit

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian

Alamat RedaksiPusat Perpustakaan dan Penyebaran Teknologi PertanianJalan Ir. H. Juanda No. 20, Bogor 16122Telp. : (0251) 8321746, 8337922Faks. : 62-251-8326561E-mail : [email protected] : http://pustaka.litbang.pertanian.go.id; http://ejurnal.litbang.pertanian.go.id/index.php/jppp

Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian terbit empat kali per tahun pada bulan Maret, Juni, September, dan Desemberoleh Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jurnal ini memuat artikel tinjauan (review) mengenai hasil-hasil penelitianyang telah diterbitkan, dikaitkan dengan teori, evaluasi hasil penelitian lain, dengan atau ketentuan kebijakan, dan ditujukankepada pengambil kebijakan sebagai bahan pengambilan keputusan. Jurnal dapat diakses melalui http://www.pustaka.litbang.pertanian.go.id.

Volume 35 Nomor 4, Desember 2016

Indonesian Agricultural Research and Development Journal

JURNAL PENELITIANDAN PENGEMBANGANPERTANIAN

Page 3: JURNAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN

Aplikasi teknologi DNA untuk akselerasiprogram pemuliaan ketahanan tanaman kakaoterhadap hama dan penyakit utamaI Made Tasma 155 166

Strategi pengembalian wilayah Nusa Tenggara Timursebagai sumber ternak sapi potongDwi Priyanto 167178

Hama penggerek tebu dan perkembangan teknikpengendaliannyaSubiyakto 179186

Sistem usaha tani kakao berbasis bioindustri padasentra pengembangan di Kabupaten LuwuSulawesi SelatanM. Basir Nappu dan Muh. Taufik 187196

Spesies padi liar (Oryza spp.) sebagai sumber genketahanan cekaman abiotik dan biotik padapadi budi dayaTintin Suhartini 197207

Daftar Isi

ISSN 0216-4418E-ISSN 2541-0822

Volume 35 Nomor 4, Desember 2016

Indonesian Agricultural Research and Development Journal

JURNAL PENELITIANDAN PENGEMBANGANPERTANIAN

Page 4: JURNAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN

Aplikasi teknologi DNA untuk akselerasi program pemuliaan .... (I Made Tasma) 155

APLIKASI TEKNOLOGI DNA UNTUK AKSELERASI PROGRAMPEMULIAAN KETAHANAN TANAMAN KAKAO TERHADAP

HAMA DAN PENYAKIT UTAMA

Application of DNA Technology to Accelerate Breeding Program forDisease and Insect Pest Resistance of Cacao

I Made Tasma

Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik PertanianJalan Tentara Pelajar No. 3A, Bogor 16111, Indonesia

Telp. (0251) 8337975, 8339793, Faks. (0251) 8338820E-mail: [email protected]; [email protected]

Diterima: 9 Mei 2016; Direvisi: 29 September 2016; Disetujui: 10 Oktober 2016

Jurnal Litbang Pertanian Vol. 35 No. 4 Desember 2016: 155-166 DOI: 10.21082/jp3.v35n4.2016.p155-166

ABSTRAK

Salah satu kendala utama dalam budi daya kakao ialah seranganhama dan penyakit. Hama dan penyakit utama kakao adalahpenggerek buah kakao (PBK), busuk buah kakao (BBK), vascularstreak dieback (VSD), dan cacao mirids (Helopeltis spp.).Kegiatan pemuliaan tanaman kakao secara konvensional berjalanlambat dan perlu waktu panjang. Untuk menghasilkan satu varietasunggul diperlukan waktu 1520 tahun. Aplikasi teknologi DNA(genomika melalui pemuliaan berbantuan marka dan rekayasagenetik) dapat mempercepat program pemuliaan tanaman kakao.Tulisan ini mengulas teknologi DNA yang tersedia saat ini danpotensi aplikasinya untuk mempercepat pemuliaan kakao tahanhama dan penyakit. Penemuan marka DNA dan gen/quantitativetrait loci (QTL) kakao berkembang cukup pesat. Banyak gen danQTL karakter penting telah diidentifikasi yang terkait ketahananhama dan penyakit serta produktivitas tanaman. Teknologigenomika dan pemanfaatan teknik marker-assisted selection(MAS) juga telah diaplikasikan untuk pemuliaan kakao termasukuntuk karakter ketahanan terhadap hama dan penyakit. Teknologirekayasa genetik telah diteliti untuk menganalisis potensipemanfaatannya dalam perbaikan bahan tanam kakao. Denganberkembangnya teknologi genomika modern, penemuan gen/QTL unggul dapat dipercepat, lebih efisien dan komprehensifuntuk mempercepat perakitan varietas unggul kakao tahan hamadan penyakit. Teknologi DNA khususnya MAS dan pemuliaanberbasis data genom siap diaplikasikan untuk mendukung programperbaikan ketahanan tanaman kakao terhadap hama dan penyakitutama dalam rangka peningkatan produktivitas dan mutu kakaonasional.

Kata kunci: Kakao, ketahanan hama dan penyakit, genomika,marka DNA, transformasi genetik, pemuliaan berbasis marka

ABSTRACT

One of the main constraints on cacao cultivation is disease andinsect pest attacks causing significant yield loss. The main insectpests and diseases on cacao plantation are cacao pod borer, cacao

fruit rot, vascular streak dieback and cacao mirids (Helopeltis spp.).Conventional breeding method to obtain new cacao clonesresistant to insect pests and diseases is a slow process. It may take1520 years to obtain a new superior clone. Applying DNAtechnology should expedite cacao breeding program. The articledescribed the application of DNA technology currently availableto expedite cacao breeding program for disease and insectresistance. Many genes and quantitative trait loci (QTLs) ofimportant traits have been discovered related to cacao plantproductivity and yield quality, disease and insect pest resistancetraits. Modern genomic technologies as well as DNA marker havealso been applied in cacao breeding program. Genetictransformation technology has been explored its application forcacao improvement. With the development of modern genomictechnology, important gene/QTL discoveries would be faster toaccelerate insect pest and disease resistant cultivar development.All these new DNA technologies have been assessed their potentialapplications for coping important pest and disease and for yieldimprovement. DNA technologies, mainly MAS and genomic-databased breeding technologies are ready to be applied to supportbreeding programs for main pest and disease resistance to enhanceIndonesian cacao productivity and quality.

Keywords: Cacao, disease and insect resistance, genomics, DNAmarkers, genetic transformation, marker-assisted breeding

PENDAHULUAN

Kakao (Theobroma cacao) merupakan tanamanperkebunan penting di Indonesia yang menyedia-

kan jutaan lapangan kerja, sumber pendapatan petani, dansebagai komoditas ekspor penghasil devisa negara.Indonesia merupakan negara penghasil kakao ketigaterbesar di dunia setelah Gana dan Pantai Gading denganproduksi 740.500 ton biji kakao per tahun yang mengisisekitar 16% pangsa pasar kakao dunia (FAOSTAT 2012).Sekitar 90% perkebunan kakao di Indonesia dilakukanoleh petani kecil (Karmawati et al. 2010). Sentra produksikakao di Indonesia berada di Sulawesi yang mencakup

Page 5: JURNAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN

156 J. Litbang Pert. Vol. 35 No. 4 Desember 2016: 155-166

sekitar 64% area kakao nasional (Ditjenbun 2010) dan areakakao lainnya (36%) menyebar di pulau-pulau lainnya.

Hama dan penyakit merupakan salah satu kendalautama dalam budi daya kakao di Indonesia. Hama danpenyakit utama kakao yaitu penggerek buah kakao (PBK),busuk buah kakao (BBK), penyakit vascular streakdieback (VSD), dan cacao mirids (Helopeltis spp).Kehilangan hasil per tahun akibat serangan hama danpenyakit mencapai 3040% (Siswanto dan Karmawati2011). Biaya pengendalian hama dan penyakit dapatmencapai 40% dari total biaya produksi (Sulistyowati etal. 2003). Ini menunjukkan bahwa pengendalian hama danpenyakit merupakan komponen produksi yang sangatpenting pada pertanaman kakao di Indonesia.

Salah satu metode yang murah dan aman untukmengendalikan hama dan penyakit kakao adalahmenggunakan varietas tahan hama dan penyakit. Olehkarena itu, varietas unggul baru kakao perlu dirakitdengan menggunakan metode pemuliaan yang sistematisdan terprogram dengan baik. Sumber-sumber genketahanan harus tersedia pada koleksi plasma nutfahkakao. Metode pemuliaan modern perlu diterapkan secaratunggal atau kombinasi beberapa metode untukmemperoleh varietas unggul kakao terbaik.

Metode pemuliaan konvensional telah diterapkandengan hasil yang cukup baik untuk memperoleh varietaskakao tahan hama dan penyakit. Namun, pemuliaan kakaosecara konvensional memerlukan lahan luas dan waktulama, bisa 10–15 tahun untuk menyelesaikan satu sikluspemuliaan. Kendala lain dalam aplikasi pemuliaankonvensional adalah hanya sebagian kecil koleksi sumberdaya genetik (SDG) yang dapat digunakan dalam programpemuliaan, walaupun tersedia keragaman yang luas padakoleksi SDG kakao. Keterbatasan ini memperlambat prosespemuliaan tanaman kakao tahan hama dan penyakit.

Tujuan penulisan ini ialah untuk menyampaikanstatus teknologi DNA dan potensinya untuk digunakandalam pemuliaan kakao tahan hama dan penyakit melaluiteknik marker-assisted breeding (MAS) atau seleksigenomika dan teknologi rekayasa genetik. Informasi yangdisajikan mencakup perkembangan teknologi DNA(genomika, marka DNA, dan rekayasa genetik) yangmeliputi informasi genetik, pengembangan dan aplikasiteknologi marka, transformasi genetik dan genomikamodern, serta perspektif pemuliaan kakao tahan hama danpenyakit utama di Indonesia.

GENOM DAN GENETIKA TANAMANKAKAO

Kakao termasuk tanaman tahunan berkayu, berasal darihutan basah Amazon di Amerika Selatan. Biji kakaomerupakan komponen utama dalam industri coklat atauproduk turunannya. Kakao dibudidayakan di negara-negara beriklim tropis basah termasuk Indonesia. Dinegara berkembang, kakao ditanam oleh petani dengan

skala kecil. Tiga negara penghasil kakao terbesar berturut-turut Gana, Pantai Gading, dan Indonesia.

T. cacao termasuk tanaman diploid dengan 10kromosom (2n = 2x = 20). Ukuran genom kakao relatifkecil, sangat mirip dengan ukuran genom padi, yangdiperkirakan berkisar 390–415 Mb (Figueira et al. 1992;Couch et al. 1993). T. cacao adalah anggota ordoMalvales yang sekelompok dengan tanaman pentingpenghasil serat yaitu kapas. Kakao dan kapas merupakananggota dari Eurosids II, kelompok tanaman yang didalamnya ada Brassicales, yang memasukkan tanamanmodel Arabidopsis thaliana sebagai anggotanya (Soltiset al. 2002). Kedekatan kekerabatan genetik genomtanaman kakao dengan genom A. thaliana memfasilitasikemajuan penelitian genom tanaman kakao, termasukpenyelesaian peta sekuen genom rujukan (referencegenome sequence map) tanaman kakao yang diperolehdari dua genotipe kakao, Criollo (Argout et al. 2011) danMatina 16 (Motamayor et al. 2013).

Keragaman genetik spesies T. cacao telah dilaporkanoleh beberapa peneliti. Namun varietas unggul komersialyang tersedia untuk petani saat ini, termasuk petani kakaoIndonesia, dirakit menggunakan pangkalan materi genetikdengan keragaman genetik yang sempit.

Genotipe kakao yang dibudidayakan di duniadikelompokkan menjadi tiga jenis populasi, yaituForastero, Trinitario, dan Criollo (Motamayor et al. 2002;Motamayor et al. 2008). Genotipe Forastero berasal darilembah Amazon (Amerika Selatan), sangat beragam secaragenetik dan sangat kaya dengan gen dan QTL untukketahanan terhadap hama dan penyakit, hasil dankomponen hasil, dan secara terbatas juga memiliki genatau QTL yang menentukan mutu biji kakao. GenotipeCriollo berasal dari Amerika Tengah dan Amerika Utara(Meksiko), umumnya memiliki karakteristik kuat padakualitas biji tinggi dengan cita rasa yang baik, tetapigenotipe ini umumnya peka terhadap hama dan penyakit.Tipe populasi yang ketiga, Trinitario merupakan hasilsilangan alami antara kedua populasi sebelumnya, Criollodan Trinitario. Di samping ketiga populasi tersebut, adabeberapa subpopulasi di dalam ketiga populasi utamatersebut. Namun, hasil analisis molekuler menunjukkanbahwa sebetulnya terdapat 10 populasi kakao di dunia,bukan tiga populasi seperti dilaporkan sebelumnyaberdasarkan analisis fenotipe (Motamayor et al. 2008).

Persilangan antarspesies dari genus T. cacao tidakmudah dilakukan. Melalui usaha keras, persilangan antar-spesies tersebut baru berhasil pada T. cacao dengan T.grandiflorum (Martinson 1966; Ahnert dan Pires 2000).Tingkat penyerbukan silang tanaman kakao berkisar 18–66%, tetapi inkompatibilitas penyerbukan sendirimencapai 100% (Vello 1971; Ahnert dan Pires 2000).Spesies T. cacao menunjukkan sistem seksualinkompatibilitas yang tinggi yang dikendalikan oleh lokusS dengan gen-gen pemodifikasi (Cope 1962). Sisteminkompatibilitas pada kakao membatasi produksi benihdan menyulitkan pembuatan jenis-jenis persilangan. Pada

Page 6: JURNAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN

Aplikasi teknologi DNA untuk akselerasi program pemuliaan .... (I Made Tasma) 157

beberapa program pemuliaan dan studi genetik, masalahinkompatibilitas ini biasanya dipecahkan denganpencampuran polen kakao dengan satu genus tanamanyang berkerabat dekat dengan kakao (Herrania) (Cope1962; Vello 1971).

TANTANGAN PEMULIAAN KAKAODENGAN TEKNIK KONVENSIONAL

Sebagai tanaman tahunan berkayu, dalam pemuliaankakao secara konvensional, pelaksanaan uji daya hasilsangat mahal dan memerlukan waktu 5–8 tahun untukmenyelesaikannya (Irizarry dan Rivera 2002). Sepertitelah dilaporkan sebelumnya, banyak genotipe kakaomemiliki sistem inkompatibilitas penyerbukan sendiriyang menyulitkan dalam pembentukan populasi F2untuk uji segregasi gen pengendali karakter maupununtuk pemetaan genetik karakter target. Mengingatlamanya waktu dan luasnya area yang diperlukan dalampenelitian pemuliaan konvensional, pemeliharaan hasilpenelitian sering terganggu oleh perubahan politik danprogram.

Varietas kakao yang tersedia dan ditanam petaniumumnya adalah varietas hibrida campuran yangdiperbanyak di kebun benih. Asal-usul genetik dan jenisgenotipe biasanya tidak jelas atau tidak diketahui (Hunter1990).

Karakter ketahanan hama dan penyakit pada kakaoumumnya dikendalikan oleh banyak gen (multigenik),yang mengakibatkan penemuan individu gen yang ber-tanggung jawab terhadap fenotipe ketahanan hampirtidak memungkinkan dengan menggunakan teknikkonvensional (Pires et al. 1996). Perkembangan teknologipemuliaan kakao modern pada dekade terakhir, yangdikenal dengan teknik seleksi berbasis marka (marker-assisted selection, MAS) diharapkan dapat memecahkanmasalah ini. Teknologi ini diinisiasi dengan pen-gembangan marka molekuler yang berpautan denganfenotipe target, dalam hal ini karakter ketahanan hama danpenyakit tanaman (Lande 1992). Marka DNA yangberpautan dengan karakter target kemudian digunakanpada proses praseleksi genotipe tanaman untuk diujiketahanannya terhadap penyakit atau untuk pemuliaansebelum fenotipe penyakit benar-benar diekspresikan.Sebagai contoh, dengan mengidentifikasi marka molekuleryang berpautan dengan karakter ketahanan busuk buahkakao (BBK) pemulia dapat mengidentifikasi materigenetik tahan BBK untuk program pemuliaan ketahananpenyakit BBK pada level pembibitan, tanpa harusmenunggu tanaman berbuah untuk menguji fenotipeketahanan tanaman terhadap BBK. Dengan demikian,metode MAS akan mempersingkat siklus pemuliaantanaman untuk memilih genotipe kakao yang membawakarakter ketahanan terhadap BBK. Salah satu contohaplikasi marka DNA untuk ketahanan terhadap penyakitpada kakao adalah pemanfaatan marka DNA yang

berpautan dengan QTL untuk penyakit witch’s broom(WB), frosty pod (FP), dan BBK yang digunakan untukMAS (Risterucci et al. 2003; Araújo et al. 2008). Dengandemikian, penting untuk mengembangkan markamolekuler polimorfiks yang berpautan dengan gen-genatau QTL pengendali karakter ketahanan hama danpenyakit.

Selain pengembangan jenis-jenis marka DNA umumseperti SSR, RAPD, AFLP, dan SSR, juga dikembangkanmarka jenis lain, yaitu marka molekuler menggunakanpendekatan gen kandidat (Gentzbittel et al. 1998). Akhir-akhir ini, marka single nucleotide polymorphism (SNP)menjadi sangat populer karena berbagai keunggulannyadibandingkan dengan jenis marka yang telahdiaplikasikan sebelumnya (Tasma 2014; Thomson 2014;Livingstone et al. 2015). Marka SNP jumlahnya hampirtidak terbatas pada genom tanaman, sangat mudahdiautomatisasi untuk membuat sistem genotypingkapasitas tinggi yang mengakselerasi penemuan gen danpelabelan QTL secara cepat untuk mempersingkatprogram pemuliaan kakao tahan hama dan penyakit(Tasma 2014; 2015).

Berkembangnya teknologi marka DNA baru yangmenggunakan berbagai tingkatan teknologi genomikadapat memecahkan masalah lambatnya proses pemuliaankakao dengan teknik pemuliaan konvensional.Penggunaan teknik MAS, dengan demikian, dapatmemotong siklus pemuliaan kakao menjadi setidaknyasetengah dari siklus pemuliaan kakao dengan teknikpemuliaan konvensional. Teknologi DNA mempercepatseleksi individu genotipe tanaman kakao yang membawagen atau QTL target pengendali karakter ketahanan hamadan penyakit untuk digunakan dalam program pemuliaanperakitan varietas kakao.

HAMA DAN PENYAKIT UTAMAKAKAO DI INDONESIA

Penyakit utama pada tanaman kakao di Indonesia adalahpenyakit busuk buah kakao (BBK) yang disebabkan olehjamur Phytophthora palmivora dan P. megakarya, danpenyakit vascular streak dieback (VSD) yangdisebabkan oleh jamur Oncobasidium theobromae. Hamapenting kakao adalah penggerek buah kakao (PBK)Conopomorpha cramerella (Famili Gracillariidae: OrdoLepidoptera), dan cacao mirids Helopeltis spp. (FamiliMiridae: Ordo Hemiptera) (Tabel 1). Di negara penghasilkakao yang lain ditemukan juga penyakit penting, tetapibukan penyakit utama di Indonesia, yakni frosty pod/monila pod rot yang disebabkan oleh jamurMoniliophthora roreri, penyakit witch's broom yangdisebabkan oleh Crinipellis permiciosa dan swelling ofthe root and stems yang disebabkan oleh swollen shootvirus (Tabel 1).

BBK adalah penyakit penting pada kakao, khususnyadi negara-negara tropis. Penyakit ini disebabkan oleh lima

Page 7: JURNAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN

158 J. Litbang Pert. Vol. 35 No. 4 Desember 2016: 155-166

spesies Phytophthora: P. palmivora (Butl.), P.citrophthora (R.E.Smith and E.H. Smith), P. capsici, P.megasperma (Drechsler), dan P. megakarya (Brasier andGriffin). Penyakit ini menyerang daun, batang, ujungbatang, bunga, dan buah kakao dengan berbagai tingkatkematangan. Buah yang belum matang paling pekaterhadap serangan penyakit ini dengan serangan palingparah di antara tingkat kematangan buah (Gambar 1A).Kerusakan buah terberat biasanya terjadi dua bulansebelum buah matang (Ramlan 2010). BBK telah lamadilaporkan sebagai penyakit jamur paling serius padapertanaman kakao di Indonesia yang dapat menyebabkanpenurunan hasil hingga 50% (Siswanto dan Karmawati2011; Rubiyo dan Amaria 2013). Pengendalian penyakit

BBK selama ini dilakukan dengan menggunakan varietastahan Sca6 dan Sca12, mengurangi kelembapan kebun,menjaga sanitasi kebun, dan mengaplikasikan fungisidanabati dan fungisida kimiawi secara periodik (Siswantodan Karmawati 2011; Rubiyo dan Amaria 2013).

Penyakit penting kedua pada tanaman kakao diIndonesia adalah vascular streak dieback (VSD).Penyakit ini menyerang hampir semua tingkatpertumbuhan tanaman kakao, dari bibit sampai tanamandewasa dan berbuah matang (Gambar 1C). Penyebaranpenyakit ini terjadi melalui spora yang diterbangkan olehangin. Spora kemudian berkecambah pada daun kakaodan hifa jamur tumbuh di dalam jaringan pembuluh kayu(xylem). Pertumbuhan jamur menyumbat jaringanpembuluh kayu yang menyebabkan daun gugur (Gambar1C). Kerugian ekonomi akibat penyakit ini bervariasiantara 360% (Siswanto dan Karmawati 2011).Pengendalian penyakit ini dilakukan dengan meng-gunakan varietas toleran karena belum tersedia varietaskakao yang tahan penyakit VSD, memelihara sanitasikebun, dan mengaplikasikan fungisida kimiawi secarareguler (Harni 2013).

Hama penggerek buah kakao (PBK) dilaporkan telahmenyerang pertanaman kakao di seluruh Indonesia. Hamaini menyerang buah muda maupun buah matang (Gambar2A) yang menyebabkan kehilangan hasil lebih dari 80%dan sekali pertanaman kakao terserang hama tersebutakan sangat sulit mengendalikan hama tersebut(Sulistyowati et al. 2003; Susilo et al. 2007; Karmawati etal. 2010). Serangan hama PBK mengakibatkan penurunankualitas biji kakao (Lim 1992; Anshary 2003).Pengendalian hama PBK dilakukan dengan menjagakelembapan kebun melalui pemangkasan secara regulertanaman kakao dan pohon peneduh, menjaga sanitasikebun, memanfaatkan musuh alami, dan penyemprotaninsektisida nabati dan insektisida kimia (Siswanto danKarmawati 2012).

Tabel 1. Penyakit dan hama utama tanaman kakao petanidan organisme penyebabnya.

Hama/penyakit Organisme penyebab

Penyakit jamurBusuk buah kakao Phytophthora palmivora (black pod) Phytophthora megakaryaFrosty pod (monila pod rot)1 Moniliophthora roreriWitch's broom1 Crinipellis permiciosaVascular streak dieback Onchobasidium (VSD) theobromae

Penyakit virusSwelling of the root and stems Swollen shoot virus

HamaPenggerek polong Conopomorpha (pod borer) cramerellaCocoa mirids Helopeltis sp.

1Penyakit ini umumnya menyerang pertanaman kakao di Amerikadan bukan penyakit serius di Asia.Sumber: World Cocoa Foundation (http://www. chocolateandcocoa.org/library/ disease/default.asp); Siswanto dan Karmawati(2011; 2012); Rubiyo dan Amaria (2013).

Gambar 1. Gejala beberapa penyakit utama tanaman kakao: (A) busuk buah kakao (Rubiyo dan Amaria 2013); (B) frostypod rot (Saunders 2002); (C) vascular streak dieback (Harni 2013): (a) dan (b) noktah pada pangkal daun (ciri utamapenyakit VSD), (c) nekrotik pada daun, (d) ranting mati.

A B C

Page 8: JURNAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN

Aplikasi teknologi DNA untuk akselerasi program pemuliaan .... (I Made Tasma) 159

Hama penting lain pada tanaman kakao ialahHelopeltis spp. (Famili Miridae: Ordo Hemiptera). Adabeberapa spesies Helopeltis di antaranya H. antonii, H.theivora, dan H. claviver (Karmawati et al. 2010). Stadiahama yang merusak tanaman kakao ialah nimfa(serangga muda) dan imago. Hama menyerang buahkakao muda dengan memasukkan stilet ke dalam buahkakao untuk menyerap cairan buah. Stilet jugamelepaskan toksin ke dalam buah kakao yangmenyebabkan kerusakan di sekitar tempat pemasukanstilet (Gambar 2B). Hama ini juga menyerang ujungbatang (shoot) dan daun muda. Hama ini dapatmenurunkan hasil 5060% (Karmawati et al. 2010).Pengendalian hama ini dilakukan dengan cara yang miripdengan pengendalian hama PBK (Karmawati et al. 2010;Siswanto dan Karmawati 2012).

Pemuliaan ketahanan terhadap penyakit BBK telahdilaksanakan sejak lama di banyak lembaga penelitiankakao di dunia, termasuk Indonesia. Ketahanan terhadapBBK menurun secara genetik dengan heritabilitas sempitdan heritabilitas luas berturut-turut 0,33 dan 0,51 (Iwaro etal. 2005). Sumber gen ketahanan BBK sudah diidentifikasidan 208 aksesi kakao juga telah diidentifikasi dan terdaftardi pangkalan data ICGD dengan tingkatan ketahananyang bervariasi. Untuk tujuan pemuliaan tanaman,metode inokulasi leaf disk telah dikembangkan dandigunakan untuk menyaring genotipe kakao dalam jumlahbesar pada level bibit (Crouzillat et al. 2000). Teknikinokulasi patogen BBK secara langsung ke buah kakaojuga telah digunakan untuk seleksi pada tahapan akhir(advanced selections). Seleksi untuk ketahanan BBKcukup berhasil, kecuali untuk patogen P. megakarya,yang menyerang tanaman kakao dan menyebabkankehilangan hasil berat di Afrika Barat.

PENGEMBANGAN MARKA DNAUNTUK PEMULIAAN KAKAO

Pengembangan marka molekuler sangat penting untukanalisis sidik jari, analisis keragaman genetik, konstruksipeta pautan genetik, dan pemetaan karakter kuantitatif(quantitative trait loci, QTLs) karakter target pemuliaan.Untuk itu, perlu mengidentifikasi populasi pemetaan yangsudah ada atau mengembangkan populasi baru melaluipersilangan menggunakan tetua terpilih yang me-mungkinkan identifikasi lokasi QTL untuk karakter yangterkait dengan ketahanan penyakit dan hama utama,kualitas biji, dan produktivitas. Tujuan akhirnya adalahmengaplikasikan teknik marka molekuler pada programpemuliaan kakao untuk mempercepat pembentukanvarietas kakao unggul tahan hama dan penyakit penting.

Pada awal pengembangan marka molekuler, hanyatersedia marka DNA dalam jumlah sangat terbatas, yangmeliputi marka RAPD, RFLP, AFLP, dan simple sequencerepeat (SSR) yang dikembangkan oleh berbagai lembagapenelitian kakao di dunia. Sebanyak 320 marka SSR telahdikembangkan oleh Centre de Coopération Internationaleen Recherche Agronomique pour le Développement(CIRAD), Prancis dan USDA-ARS SHRS Miami, AmerikaSerikat (Lanaud et al. 1999; Pugh et al. 2004; Brown et al.2005). Nama marka, sekuen primer, suhu penempelan primer,dan tipe pengulangan SSR telah tersedia pada websiteUSDA/ARS Miami. Selanjutnya dikembangkan marka SSRberdasarkan expressed sequence tags (ESTs), markaberdasarkan gen kandidat dan resistance gene homologuesdari nucleotide binding site/leucine rich repeat (NBS/LRR), dan marka berdasarkan gen faktor transkripsi WRKY(Borrone et al. 2004; 2007).

Gambar 2. Gejala serangan hama utama kakao (Siswanto dan Karmawati 2012): (A) penggerek buahkakao (PBK): (a) keragaan buah terserang PBK dari luar, warna buah tidak merata; (b) keragaan buahterserang PBK yang dibelah; (B) gejala serangan Helopeltis spp.

b

A B

a

Page 9: JURNAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN

160 J. Litbang Pert. Vol. 35 No. 4 Desember 2016: 155-166

Peta genetik marka molekuler kakao pertamadikonstruksi pada tahun 1995 yang mengandung 193marka (Lanaud et al. 1995). Selanjutnya, dihasilkan petagenetik dengan jumlah marka yang jauh lebih banyak,yakni 1.259 marka SSR dan SNP yang menyebar padasepuluh kromosom kakao (Crouzillat et al. 1996; Lanaud etal. 2004). Saat ini dengan diselesaikannya peta sekuengenom rujukan kakao yang berasal dari dua genotipekakao yaitu Criollo (Argout et al. 2011) dan Matina 16(Motamayor et al. 2013), banyak sekali tambahan markaDNA yang dikembangkan berdasarkan data resekuen darigenotipe kakao di dunia, di antaranya marka SSR danmarka DNA masa kini, di antaranya single nucleotidepolymorphisms (SNPs) dan insertion and deletion(Indel). Marka SNP menjadi sangat populer akhir-akhir inikarena memiliki berbagai keunggulan dibandingkandengan marka DNA sebelumnya (Thomson 2014; Tasma2014; 2015). Jumlah SNP hampir tidak terbatas dalamgenom tanaman, mempunyai dua alel (biallelic) yangmembuat sistem skoring SNP menjadi lebih simpel. SNPyang diidentifikasi di suatu laboratorium dapatdigabungkan dengan SNP yang diidentifikasi dilaboratorium lainnya. Pengujian SNP juga mudah dandapat diautomisasi dan disusun menjadi chip marka SNPkapasitas tinggi (high throughput SNP chip) untukmembuat sistem genotyping berkapasitas tinggi(Livingstone et al. 2015; Tasma 2015).

Konsorsium peneliti kakao dunia telah mengem-bangkan SNP chip kakao yang mengandung 6.000 markaSNP (6KCacao SNP chip) (Livingstone et al. 2015). SNPchip tersebut sangat bermanfaat untuk genotyping danpemetaan marka DNA dan gen pada kakao. Di samping itu,marka SNP termasuk SNP chip kapasitas tinggi sudahdigunakan untuk studi komparatif genom, konstruksi petagenetik consensus, pemuliaan berbantuan marka, danpenentuan off-types pada koleksi klon kakao (Kuhn et al.2012; Livingstone et al. 2012).

Di Indonesia, teknologi marka molekuler pada kakaosudah banyak diaplikasikan pada dekade terakhir,terutama untuk studi sidik jari dan keragaman genetikkoleksi plasma nutfah kakao. Sebagai contoh, Susilo et al.(2011) melaporkan analisis keragaman genetik kakao muliadari Jawa (Java-fine cacao type) menggunakan markaSSR. Studi keragaman genetik lainnya dan analisispenentuan tetua (parentage) dari genotipe-genotipekakao hasil seleksi petani di Sulawesi Selatan juga telahdipelajari menggunakan marka mikrosatelit (Dinarti et al.2015). Analisis genotyping dengan marka SSR juga telahdilakukan pada aksesi kakao dari Sulawesi Tengah(Suwastika et al. 2015). Aksesi kakao dari SulawesiTenggara juga telah dianalisis sidik jari dan tingkatkekerabatan genetiknya menggunakan marka SSR(Rubiyo et al. 2015). Ajijah et al. (2016) melaporkantingkat keragaman genetik menggunakan marka SSR padavariasi somaklonal kakao yang dihasilkan dari teknologisomatik embriogenesis (SE), untuk mengetahui tingkatkeragaman variasi somaklonal bibit kakao hasil SE.

Resekuensing genom lima varietas unggul kakaoIndonesia telah dilakukan Badan Penelitian danPengembangan Pertanian (Balitbangtan), yangmengidentifikasi lebih dari 2,6 juta variasi genom (SNP danIndel) (Tasma 2015; Tasma et al. 2016) yang merupakansumber daya pemuliaan bernilai tinggi untuk percepatanprogram pemuliaan kakao. Sebagian kecil dari variasigenom yang diidentifikasi tersebut (13,18%) berada padaprotein coding region (exon) yang merupakan sumbergen unggul untuk mendukung program percepatanperakitan varietas unggul kakao. Dengan didukungsumber daya pemuliaan yang baik tersebut, teknologiMAS untuk percepatan pemuliaan tanaman kakao tahanterhadap hama dan penyakit penting sudah siap untukdiaplikasikan di Indonesia. Demikian juga untuk karakterpenting lainnya, misalnya produktivitas dan mutu biji.Aplikasi teknologi MAS dalam program pemuliaan kakaodiharapkan akan meningkatkan daya saing produk kakaonasional di pasar global.

MARKA DNA UNTUK PROGRAMPEMULIAAN KETAHANAN KAKAOTERHADAP HAMA DAN PENYAKIT

Pemuliaan kakao melalui metode konvensional berjalanlambat dan umumnya menggunakan pangkalan genetik(genetic base) yang sangat sempit. Efisiensi pemuliaanuntuk karakter kuantitatif maupun kualitatif dapatditingkatkan jika dapat diperoleh marka molekuler yangberpautan dengan karakter-karakter target pemuliaan.Beberapa studi telah dilakukan untuk mengembangkanmarka molekuler untuk pemuliaan kakao. Sebagai contoh,pada tahun 1999 Amerika Serikat menginisiasi sebuahproyek untuk peningkatan ketahanan tanaman kakaoterhadap hama dan penyakit melalui aplikasi teknikmolekuler genetika modern dengan program pemuliaanberbantuan marka (marker assisted selection, MAS)untuk mempercepat program pemuliaan kakao (Lanaud etal. 1999; Clement et al. 2003). Proyek ini juga ditujukanuntuk mengidentifikasi sumber-sumber gen ketahananbaru pada berbagai koleksi SDG kakao di dunia.

QTL beberapa karakter agronomi penting telahdiidentifikasi, di antaranya QTL untuk ketahanan penyakitBBK dan witch’s broom, diameter batang, komponenhasil, dan karakter penting lain seperti ukuran buah danukuran biji kakao (Lanaud et al. 1996; Clement et al. 2003;Risterucci et al. 2003; Araújo et al. 2008). Lebih dari 320marka mikrosatelit dan 50 gen kandidat digunakan untukmemetakan karakter ketahanan penyakit witch’s broom,frosty pod, dan BBK. Marka DNA yang berpautan denganQTL untuk penyakit witch’s broom dan frosty pod telahdigunakan untuk MAS (Risterucci et al. 2003; Araújo etal. 2008) (Tabel 2). Sebuah QTL mayor yang bertanggungjawab terhadap lebih dari 35% variasi fenotipe untukkarakter ketahanan witch’s broom telah diidentifikasimenggunakan 197 marka AFLP dan RAPD pada populasi

Page 10: JURNAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN

Aplikasi teknologi DNA untuk akselerasi program pemuliaan .... (I Made Tasma) 161

F2 ICS-1 x Sca6 (Queiroz et al. 2003). Denganmenggunakan populasi yang masih berkerabat dekatdengan jumlah progeni lebih banyak dan marka DNA lebihbanyak dan memperkayanya dengan marka SSR danmarka gen kandidat, Brown et al. (2005) mengidentifikasidua QTL mayor untuk karakter ketahanan witch’s broom.QTL untuk karakter diameter batang juga dapatdiidentifikasi. Studi QTL yang mirip dengan studi Brownet al. (2005) telah dilakukan untuk beberapa karakterpenting lainnya, termasuk karakter ketahanan penyakitpenting kakao (Figueira dan Alemanno 2005). QTL mayoryang dihasilkan dari studi ini berpotensi digunakan dalamseleksi genotipe kakao yang memiliki ketahanan terhadappenyakit witch’s broom dan pemuliaan dengan bantuanmarka (marker-assisted breeding).

Banyak studi telah dilakukan untuk memetakan QTLkarakter ketahanan kakao terhadap penyakit BBK (Tabel2). Setidaknya 65 QTL yang mengendalikan karakterketahanan BBK telah diidentifikasi yang berlokasi padalinkage group (LG) 1, LG2, LG4, LG5, LG8, dan LG10(Brown et al. 2007; Lanaud et al. 2009), tetapi hanya 13QTL yang sesuai dengan peta QTL konsensus, yaitu QTLyang berlokasi pada LG1, LG2, LG4, dan LG5.

Pemuliaan untuk ketahanan terhadap penyakitwitch’s broom telah dimulai pada tahun 1950-an denganmenggunakan kultivar Scavina (SCA), SCA6, dan SCA12sebagai tetua donor sumber gen tahan witch’s broom(Johnson et al. 2003). Marka DNA dari expressedsequence tag (EST) telah dikembangkan khususnyaterkait gen ketahanan terhadap penyakit witch’s broom(Lima et al. 2010).

Di Indonesia, SCA6 dan SCA12 juga dilaporkan tahanterhadap penyakit BBK yang disebabkan oleh P.palmivora dan juga terhadap hama PBK (Rubiyo danAmaria 2013; Rubiyo, komunikasi pribadi). Keduagenotipe tersebut telah digunakan sebagai tetua donorgen ketahanan BBK dan PBK untuk membentuk populasiF1 untuk perakitan varietas hibrida F1 maupun pemetaan

gen/QTL ketahanan terhadap penyakit BBK dan hamaPBK menggunakan marka molekuler (Tasma et al. 2015;2016).

KEMAJUAN TEKNOLOGITRANSFORMASI GENETIK UNTUKPERBAIKAN KETAHANAN KAKAO

TERHADAP PENYAKIT

Di Indonesia, teknologi somatik embriogenesis (SE) padakakao telah digunakan dalam skala cukup luas untukperbanyakan bahan tanaman. Bibit hasil SE ini telahdigunakan dalam perluasan pertanaman kakao, antara lainmelalui Gerakan Nasional (Gernas) Penanaman Kakao.Perbanyakan kakao dengan teknik SE dengan demikiantelah banyak dan umum dilakukan (Maxinova et al. 2005;Ajijah et al. 2016). Teknologi SE terbaru dilaporkan olehAjijah et al. (2016) yang menunjukkan bahwa penggunaanmedia DKW yang diperkaya dengan kinetin dan 2,4-Defektif menginduksi SE pada kakao. Teknologi SE sangatpenting dalam pengembangan tanaman kakao transgeniktahan terhadap hama dan penyakit penting denganmengintroduksikan gen ketahanan ke dalam genom kakao.Regenerasi tanaman melalui teknik in vitro termasukmetode SE merupakan fondasi dalam penelitiantransformasi genetik untuk berbagai spesies tanamantermasuk kakao.

Penggunaan teknik Agrobacterium tumefacienspada transformasi genetik genom kakao yang mampumenghasilkan tanaman kakao utuh telah berhasildilakukan oleh Maximova et al. (2003). Denganmenggunakan marka dari gen penghasil protein denganfluorescent hijau untuk mengidentifikasi somatik embriotransgenik, peneliti menghasilkan serial tanamantransgenik yang dapat tumbuh menjadi tanaman dewasa.Pertumbuhan dan perkembangan tanaman kakao

Tabel 2. QTL yang telah dipetakan terkait karakter ketahanan tanaman kakao terhadap penyakit utama.

Populasi Jenis Ukuran Karakter yang Metode pemetaan Referensipopulasi populasi dipetakan1 QTL2

P7 x UF273 F1 256 BBK, FRP SIM, MQM Brown et al. (2007)P12 x Catongo F1 055 BBK SIM Crouzillat et al. (2000)(Catongo x P12) x Catongo BC 131 BBK SIM, ANOVA Crouzillat et al. (1996)ICS39 x CAB208 F1 168 WB SIM Figueira et al. (2006)UPA402 x UF676 F1 114 BBK SIM Lanaud et al. (1999)17-3/1 x 36-3/1 F1 345 BBK SIM Lanaud et al. (2004)Populasi tipe Trinitario Koleksi SDG 150 BBK ANOVA Pugh (2005)(Sca6 x H) x IFC1 F1 151 BBK MQM Risterucci et al. (2003)IMC57 x Catongo F1 155 BBK SIM Motilal et al. (2000)(SCA6 x H) x C1 F1 179 BBK SIM Akaza et al. (2016)(P7 x ICS100) x C1 F1 173 BBK SIM Akaza et al. (2016)(P7 x ICS95) x C1 F1 183 BBK SIM Akaza et al. (2016)

1BBK = busuk buah kakao; FRP = frosty pod rot; WB = witch’s broom. 2SIM = single interval mapping; MQM = multiple QTL mapping;ANOVA = analysis of variance.

Page 11: JURNAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN

162 J. Litbang Pert. Vol. 35 No. 4 Desember 2016: 155-166

transgenik tersebut sama dengan tanaman tanpaditransformasi. Tanaman transgenik yang ditanam sampaidewasa tersebut dan gen yang ditransformasi (transgene)ternyata juga diturunkan secara stabil melalui benihgenerasi berikutnya. Teknik transformasi ini telahdigunakan untuk mendemonstrasikan fungsi genchitinase untuk pertahanan tanaman terhadap seranganpatogen jamur Colletotrichum gloeosporoides (Maximovaet al. 2006). Delapan tanaman kakao transgenikindependen telah diperoleh dari penelitian ini dan gendiekspresikan dengan tingkat ekspresi yang bervariasipada delapan tanaman transgenik tersebut. Tingkataktivitas protein endochitinase meningkat sampai enamkali pada tanaman transgenik dibandingkan dengantanaman kakao nontransgenik (Maximova et al. 2006).

Hasil-hasil penelitian di atas menunjukkan bahwapembentukan tanaman transgenik kakao tahan terhadappenyakit cukup menjanjikan. Namun, aplikasinya padaprogram pemuliaan tanaman masih perlu dilihat lagi karenamasih hangatnya kontroversi penggunaan produkrekayasa genetika (GMO), khususnya untuk bahanpangan dan pakan. Banyak tantangan yang dihadapi parapeneliti pemulia kakao untuk mengembangkan tanamantransgenik yang mengekspresikan gen-gen target untukketahanan hama dan penyakit. Kondisi yang berbedadapat terjadi pada kelapa sawit dan jarak pagar yangproduknya bisa diarahkan untuk tujuan nonpangan, yaitusebagai bahan baku pembuatan biodisel (Tasma 2016a;2016b). Dengan demikian, pengembangan tanamantransgenik pada dua komoditas terakhir, khususnya untukjarak pagar, lebih menjanjikan dalam jangka pendekdibandingkan pada kakao karena produk akhirnya sebagaibahan baku produk nonpangan.

APLIKASI GENOMIKA MODERNUNTUK PERCEPATAN PENEMUAN GENDAN QTL UNTUK PEMULIAAN KAKAO

Pengembangan marka berkapasitas tinggi (highthroughput marker development) telah dilakukan denganresekuensing lima varietas kakao Indonesia (ICCRI2,ICCRI3, ICRRI4, SUL2, dan ICS13) dengan menggunakanteknologi next generation sequencing (NGS) HiSeq(Tasma et al. 2015; 2016). Sekuen genom tersebut telahdipetakan dengan sekuen genom rujukan kakao varietasCriollo (Argout et al. 2011). Sebanyak 2.326.088 SNP dan362.081 insersi dan delesi (Indel) telah diidentifikasimelalui penelitian ini (Tabel 3).

Rata-rata ditemukan satu varian DNA (SNP atauIndel) dari setiap 121 nukleotida sekuen genom kakao.Kebanyakan varian DNA yang diidentifikasi berada di luargen. Hanya 347.907 SNP dan Indel (13,18%) yang beradadalam protein coding region (exon). Di antara variasiDNA yang ada pada exon, 188.949 SNP menyebabkanmutasi missense (mutasi yang mengubah komposisi asamamino) dan 1.535 SNP menyebabkan mutasi nonsense

(mutasi yang menghasilkan stop codon). Variasi DNA inimerupakan sumber daya pemuliaan yang bernilai sangattinggi untuk penemuan gen dan pengembangan markayang mendukung program pemuliaan kakao nasional.Jutaan SNP yang diidentifikasi pada penelitian ini, setelahdiverifikasi dapat digunakan untuk sintesis sistemgenotyping kapasitas tinggi (high throughputgenotyping system) seperti SNP chip kakao densitastinggi.

Dari studi ini juga ditemukan 54 SNP yang spesifikuntuk varietas ICCRI 02 dan Criollo, keduanyadiklasifikasikan sebagai kakao mulia (“fine”, high qualitycacao type), yaitu tipe kakao dengan biji yang memilikiflavor kualitas tinggi (Gambar 3). Beberapa dari varian SNPini mungkin mengkode gen yang mengendalikan kualitasbiji kakao yang tentunya dapat digunakan untukmeningkatkan kualitas biji kakao lindak (“bulk”, lowerquality type of cacao). Walaupun memiliki kualitas bijitinggi, kakao mulia umumnya peka terhadap seranganhama dan penyakit (Motamayor et al. 2002; 2008). Diantara 54 lokus SNP di atas, beberapa di antaranyamungkin mengkode kepekaan tanaman terhadap penyakitsebagai bentuk gen peka (knock-out mutation) dari genketahanan hama dan penyakit yang dapat menjadi jalanawal (starting point) untuk mengisolasi gen tahan wildtype dari gen ketahanan target. Alternatif lainnya, yaitumengisolasi gen-gen ketahanan penyakit maupunketahanan hama dari 854 lokus SNP yang muncul padakelima genotipe kakao (Gambar 3). Dua dari lima genotipetersebut, yaitu SUL2 dan ICS13, termasuk kakao lindakyang umumnya tahan terhadap hama dan penyakit,produktivitasnya tinggi, namun mutu bijinya rendah(Motamayor et al. 2002; 2008). Kemungkinan lainnya, genketahanan diisolasi dari SNP lokus yang hanya munculpada varietas kakao lindak SUL2 dan ICS13 yangdianalisis pada studi sebelumnya (Tasma et al. 2015;2016).

Tabel 3. Variasi SNP dan Indel yang dideteksi dari hasilpenjajaran data resekuen genom total limavarietas kakao Indonesia dengan sekuen genomrujukan kakao varietas Criollo.

Tipe variasi DNA yang dihasilkan Jumlah variasi DNAyang dihasilkan

Jumlah total varian DNASNP 2,326,088Indel 362,081

SNP berlokasi pada genPada intron 509,599Pada ekson 347,907Synonymous 108,720Nonsynonymous 214,068

Indel pada genPada intron 212,827Pada ekson 6,299

Sumber: Tasma et al. (2015; 2016).

Page 12: JURNAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN

Aplikasi teknologi DNA untuk akselerasi program pemuliaan .... (I Made Tasma) 163

SNP lokus yang ada pada exon, bersama denganjutaan SNP lainnya, setelah diverifikasi dapat digunakanuntuk mengkonstruksi SNP chip densitas tinggi untukdigunakan dalam genotyping kapasitas tinggi padapopulasi maupun aksesi kakao. SNP chip ini mempercepatpenemuan gen maupun QTL untuk karakter bernilaiekonomi tinggi, termasuk gen dan QTL yangmengendalikan karakter ketahanan tanaman kakaoterhadap hama dan penyakit penting yang selanjutnyadigunakan pada program pemuliaan kakao menggunakanteknik MAS. Akhir-akhir ini, konsorsium peneliti kakaotelah mengembangkan SNP bead chip kakao yangmengandung 6.000 marka SNP (6KCacao SNP bead chip)(Livingstone et al. 2015). SNP chip ini sangat bermanfaatuntuk genotyping dan pemetaan genetik karakter pentinguntuk diaplikasikan dalam program pemuliaan kakao.

PERSPEKTIF PROGRAM PEMULIAANKAKAO TAHAN HAMA PENYAKIT

Penelitian genomika kakao yang lebih intensif denganmengaplikasikan teknologi genomika modern telahdimulai di Indonesia sejak lima tahun terakhir. Namun,pemanfaatan penelitian genomika secara keseluruhantelah dimulai jauh sebelum periode tersebut. Cukupbanyak penelitian analisis sidik jari dan keragaman genetikyang dilakukan dengan menggunakan marka molekuler.

Perkebunan komersial dan pemuliaan kakao diIndonesia telah dimulai sejak tahun 1900-an sehinggacukup banyak koleksi SDG kakao yang tersedia, termasukSDG kakao yang ada di kebun-kebun petani yang

merupakan genotipe spesifik lokasi yang dapat menjadisumber keragaman untuk program pemuliaan ke depan.Program kolaborasi internasional di antara negara-negarapenghasil kakao akan meningkatkan mobilitas pertukaranSDG kakao. Semua ini merupakan sumber daya pentinguntuk program pemuliaan kakao dalam menghadapitantangan lingkungan yang semakin kompleks terlebihdengan munculnya fenomena baru seperti pemanasanglobal. Kondisi ini akan mengubah paradigma pemuliaankakao ke depan yang memerlukan koleksi SDG kakaodengan keragaman genetik lebih luas untuk merakitvarietas unggul kakao yang lebih baik dalam menghadapitantangan lingkungan tersebut. Perkembangan hama danpenyakit kakao akan semakin dinamis dengan munculnyastrain-strain baru hama atau patogen yang perludiantisipasi melalui program pemuliaan yang tepat danmenerapkan teknologi modern, komprehensif dan lebihmenjanjikan yang dapat mengatasi permasalahan denganlebih cepat dan akurat. Keberhasilan program pemuliaankakao ke depan, dengan demikian, sangat bergantungpada ketersediaan koleksi SDG kakao yang beragamsecara genetik.

Dengan berkembangnya teknologi sekuensingmodern dan menurunnya biaya sekuensing, sekuensinggenom total SDG kakao akan lebih terjangkau olehlembaga penelitian, termasuk yang ada di negaraberkembang seperti Indonesia (Varshney et al. 2009;Tasma 2015). Fenomena ini akan mengubah carapenanganan, karakterisasi, pemanfaatan, dan proteksiSDG kakao dari paradigma lama yang didasarkan padakarakter fenotipe ke paradigma baru yang berdasarkanpada data genomika. Metode sekuensing genom dapatmenganalisis genotipe SDG kakao secara akurat,komprehensif, dan cepat dengan menggunakan analisispresisi tinggi. Teknologi genotyping SNP kapasitas tinggimempercepat penemuan gen dan QTL pengendali karakterekonomi penting pada kakao. Teknologi sekuensingmodern bersama dengan metode genotyping SNPkapasitas tinggi, akan merevolusi metode pemuliaan dariseleksi berdasarkan fenotipe menjadi seleksi berdasarkandata genom yang jauh lebih efisien, efektif, berpresisitinggi, dan komprehensif dalam pemanfaatan SDG kakaopada suatu program pemuliaan (Argout et al. 2011; Tasma2015; Tasma 2016a; 2016b).

Di Balitbangtan, pemuliaan kakao berbasis datagenom telah dimulai sejak tahun 2010. Lima varietas kakaoIndonesia telah diresekuen dengan NGS Hiseq dandihasilkan 2.326.088 SNP dan 362.081 Indels. Secara rata-rata ditemukan satu variasi DNA dari setiap 121 basasekuen genom kakao. Sebagian besar variasi DNAtersebut berada di luar gen dan hanya 13,18% yang ada didaerah genom yang mengkode protein (exon) (Tasma etal. 2015; 2016). Data genomika ini merupakan sumber dayapemuliaan bernilai tinggi untuk pengembangan teknologimarka berkapasitas tinggi dalam rangka percepatanpenemuan gen dan QTL unggul. Studi fungsionalgenomika perlu dilakukan sebagai tindak lanjut penemuan

Gambar 3. SNP lokus yang berada pada exon yang dimiliki olehdua genotipe kakao mulia (ICCRRI 02 dan Criollo) dan lokus SNPyang berada pada semua genotipe kakao yang dianalisis pada studisebelumnya (Tasma et al. 2015; 2016).

Page 13: JURNAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN

164 J. Litbang Pert. Vol. 35 No. 4 Desember 2016: 155-166

penting ini untuk mengisolasi gen-gen dan QTL yangbernilai ekonomi tinggi, termasuk gen dan QTL yangmengendalikan ketahanan hama dan penyakit pentingpada tanaman kakao.

Salah satu penelitian yang sedang berlangsung diBalitbangtan adalah pelabelan gen dan QTL yangmengendalikan karakter ketahanan kakao terhadappenyakit BBK. Populasi pemetaan yang terdiri atas 167progeni F1 telah dibuat dengan menyilangkan genotipetahan Phytophthora, Sca12, dengan genotipe peka tetapimemiliki karakteristik agronomi unggul, DR1 (Tasma et al.2015). Populasi ini akan di-genotype menggunakan teknikgenotyping-by-sequencing (GBS). Phenotyping populasiF1 tersebut akan dilakukan menggunakan teknik leaf diskdan teknik inokulasi alami di lapangan. Analisis QTLdilakukan dengan program Tassel dan marka yangberpautan dengan karakter ketahanan penyakit BBK akandigunakan untuk menyeleksi genotipe kakao tahan BBKmenggunakan teknik MAS untuk mendapatkan varietasunggul kakao tahan penyakit BBK. Varietas kakao tahanBBK yang dihasilkan diharapkan mampu meningkatkanproduktivitas kakao nasional yang pada akhirnya akanberimplikasi dalam mendukung program ketahananpangan dan ketahanan ekonomi nasional.

KESIMPULAN

Marka DNA untuk analisis sidik jari DNA, keragamangenetik, dan pemetaan genetik sudah tersedia dan secararutin digunakan untuk mendukung program pemuliaankakao di seluruh dunia. Peta keterpautan genetik telahtersedia dan digunakan untuk pemetaan gen dan QTLbernilai ekonomi penting, termasuk QTL yangmengendalikan karakter ketahanan hama dan penyakitpenting kakao. Dengan selesainya peta sekuen genomrujukan kakao, jutaan marka SNP, Indel, dan SSR telahtersedia di berbagai belahan dunia.

Resekuensing lima varietas kakao Indonesiamenghasilkan lebih dari 2,3 juta SNP, ratusan ribu Indeldan SSR yang dapat digunakan untuk percepatanprogram pemuliaan kakao nasional. Satu 6KSNP chipkakao yang mengandung 6.000 marka SNP telah tersediauntuk genotyping kapasitas tinggi yang akanmengakselerasi program pemuliaan kakao. Teknologitransformasi genetik dengan sistem A. tumefaciens telahdieksplorasi dan dapat diaplikasikan untuk pembentukantanaman kakao transgenik tahan penyakit, walaupunpemanfaatan produk rekayasa genetika (PRG) masihmenghadapi kontroversi, khususnya PRG untuk pangandan pakan.

Teknologi DNA (genomika, aplikasi marka DNA,dan teknologi rekayasa genetik) sangat potensialdiaplikasikan di Indonesia. Teknologi MAS sudah siapdiaplikasikan untuk mendukung perbaikan ketahanankakao terhadap hama dan penyakit utama. Ber-kembangnya teknologi genomika modern akan

memudahkan penemuan gen dan QTL unggul dari koleksiSDG lokal untuk digunakan dalam program pemuliaankakao nasional.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulisan artikel ulasan ini terkait dengan kegiatanpenelitian dengan judul Analisis Genom dan PemetaanGenetik Komoditas Pertanian Strategis yang didanai olehDIPA BB Biogen tahun anggaran 20142016.

DAFTAR PUSTAKA

Ahnert, D. and J.L. Pires. 2000. Use of the available geneticvariability of cocoa in Brazil: State of the knowledge on massproduction of genetically improved propagules of cocoa. Proc.Tech. Mtg. 1: 104113.

Ajijah, N., R.S. Hartati, Rubiyo, D. Sukma and Sudarsono. 2016.Effective cacao somatic embryo regeneration on kinetinsupplemented DKW medium and somaclonal variationassessment using SSRs markers. AGRIVITA 38(1): 8092.

Akaza, M.J., A.B. Kouassi, D.S. Akaffou, O. Ouet, A.S.P. N’guettaand C. Lanaud. 2016. Mapping QTLs for black pod(Phytophthora palmivora) resistance in three hybrid progeniesof cocoa (Theobroma cacao L.) using SSR markers. Int'l. J. Sci.Res. Publ. 6(1): 298311.

Anshary, A. 2003. Potensi klon kakao tahan penggerek buahConopomorpha cramerella dalam pengendalian hama terpadu.Risalah Simposium Nasional Penelitian PHT PerkebunanRakyat. Bogor, 1718 September 2002.

Araújo, I.S., G.A.S. Filho, M.G. Pereira, F.G. Faleiro, V.T. Queiroz,C.T. Guimarães, M.A. Moreira, E.G. Barros, R.C.R. Machado,L. Pires, R. Schnell and U.V. Lopes. 2008. Mapping ofquantitative trait loci for butter content and hardness in cocoabeans (Theobroma cacao L.). Plant Mol. Biol. Reporter 27:177183.

Argout, X., J. Salse, J.M. Aury, M.J. Guiltinan, G. Droc, J. Gouzy, M.Allegre, C. Chaparro, T. Legavre, S.N. Maximova, M. Abrouk,F. Murat, O. Fouet, J. Poulain, M. Ruiz, Y. Roguet, M. Rodier-Goud, J.F. Barbosa-Neto, F. Sabot, D. Kudrna, J.S. Ammiraju,S.C. Schuster, J.E. Carlson, E. Sallet, T. Schiex, A. Dievart, M.Kramer, L. Gelley, Z. Shi, A. Bérard, C. Viot, M. Boccara, A.M.Risterucci, V. Guignon, X. Sabau, M.J. Axtell, Z. Ma, Y. Zhang,S. Brown, M. Bourge, W. Golser, X. Song, D. Clement, R.Rivallan, M. Tahi, J.M. Akaza, B. Pitollat, K. Gramacho, A.D’Hont, D. Brunel, D. Infante, I. Kebe, P. Costet, R. Wing,W.R. McCombie, E. Guiderdoni, F. Quetier, O. Panaud, P.Wincker, S. Bocs and C. Lanaud. 2011. The genome ofTheobroma cacao. Nat. Genet. 43: 101108.

Borrone, J.W., D.N. Kuhn and R.J. Schnell. 2004. Isolation,characterization, and development of WRKY genes as usefulgenetic markers in Theobroma cacao. Theor. Appl. Genet.109: 495507.

Borrone, J.W., J.S. Brown, D.N. Kuhn, J.C. Motamayor and R.J.Schnell. 2007. Microsatellite markers developed fromTheobroma cacao L. expressed sequence tags. Mol. Ecol. Notes7: 236239.

Brown, J.S., D.N. Kuhn, U. Lopez and R.J. Schnell. 2005. Resistancegene mapping for witches’ broom disease in Theobroma cacaoL. in an F2 population using SSR markers and candidate genes.J. Am. Soc. Horti. Sci. 130: 366373.

Page 14: JURNAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN

Aplikasi teknologi DNA untuk akselerasi program pemuliaan .... (I Made Tasma) 165

Brown, J.S., W.P. Mora, E.J. Power, C. Krol, C.C. Martinez, J.C.Motamayor and R.J. Schnell. 2007. Mapping QTLs forresistance to frosty pod and black pod diseases and horticulturaltraits in Theobroma cacao L. Crop Sci. 47: 18511858.

Clement, D., A.M. Risterucci, J.C. Motamayor, J. N’Goran and C.Lanaud. 2003. Mapping QTL for yield components, vigor, andresistance to Phytophthora palmivora in Theobroma cacao L.Genome 46: 204212.

Cope, F.W. 1962. The mechanisms of pollen incompatibility inTheobroma cacao L. Heredity 17: 157182.

Couch, J.A., H.A. Zintel and P.J. Fritz. 1993. The genome of thetropical tree Theobroma cacao L. Mol. Gen. Genet. 237:123128.

Crouzillat, D., E. Lercetau, V. Pe´tiard, J. Morera, H. Rodrý´guez,D. Walker, W. Phillips, C. Ronning, R. Schnell, J. Osei and P.Fritz. 1996. Theobroma cacao L: a genetic linkage map andquantitative trait loci analysis. Theor. Appl. Genet. 93: 205–214.

Crouzillat, D., W. Phillips, P. Fritz and V. Petiard. 2000. Quantitativetrait loci analysis in Theobroma cacao using molecular markers.Inheritance of polygenic resistance to Phytophthora palmivorain two related cacao populations. Euphytica 114: 2336.

Dinarti, D.A.W. Susilo, L.W. Meinhardt, K. Ji, L.A. Motilal, S.Mischke and D. Zhang. 2015. Genetic diversity and parentagein farmer selections of cacao from Southern Sulawesi, Indonesiarevealed by microsatellite markers. Breeding Sci. 65: 438–446.

Ditjenbun. 2010. Peta penyebaran organisme pengganggu tumbuhan(OPT) utama tanaman kakao. Direktorat Jenderal Perkebunan,Jakarta.

FAOSTAT. 2012. Food and Agricultural commodities production.FAO Statistics Division: http: //faostat3.fao.org/home/index.html.

Figueira, A., J. Janick and P. Goldsbrough. 1992. Genome size andDNA polymorphism in Theobroma cacao. J. Am. Horti. Sci.117: 673677.

Figueira, A. and L. Alemanno. 2005. Theobroma cacao (Cacao).In: R.E. Litz (Ed.) Biotechnology of Fruit and Nut Crops. CABInternational Biosciences, Wallingford, UK. pp 639669.

Figueira, A., S. Paulo, B. Albuquerque and A.L. Gildemberg Jr. 2006.Genetic mapping and differential gene expression of Brazilianalternative resistance sources to witches’ broom (causal agentCrinipellis perniciosa). 15 th International Cocoa ResearchConference, October 2006. Cocoa Producers, Alliance, San Jose,Costa Rica. 15 pp.

Gentzbittel, L., S. Mouzeyar, S. Badaoui, E. Mestries, F. Vear, D.T.De Labrouhe and P. Nicolas. 1998. Cloning of molecular markersfor disease resistance in sunflower, Helianthus annuus L. Theor.Appl. Genet. 96: 519–525.

Harni, R. 2013. Vascular streak dieback, penyakit baru yangmematikan pada kakao. Info Perkebunan Agustus 2013. hlm.31.

Hunter, R.J. 1990. The status of cacao (Theobroma cacao,Sterculiaceae) in the western hemisphere. Econ. Bot. 44: 425–439.

Irizarry, H. and E. Rivera. 2002. Early yield of five cacao familiesat three locations in Puerto Rico. J. Agric. Univ. PR. 82: 163–171.

Iwaro, A.D., J.M. Thevenin, D.R. Butler and A.B. Eskes. 2005.Usefulness of the detached pod test for assessment of cacaoresistance to Phytophthora pod rot. Eur. J. Plant Pathol. 113:173–182.

Johnson, E.S., C.B. O’Conner, T.N. Sreenivasan and R.J. Schnell.2003. Population structure of the witches’ broom pathogen ofcacao in Trinidad and Tobago. Abstract no. 126 E. In Proc.Intl. Cocoa Research Conf. 14. Cocoa Producers’ Alliance, Lagos,Nigeria. pp. 35–46.

Karmawati, E., Z. Mahmud, M. Syakir, J. Munarso, K. Ardana, danRubiyo. 2010. Budi Daya dan Pascapanen Kakao. PusatPenelitian dan Pengembangan Perkebunan, Bogor. 92 hlm.

Kuhn, D.N., D. Livingstone and D. Main. 2012. Identification andmapping of conserved ortholog set (COS) II sequences of cacaoand their conversion to SNP markers for marker-assistedselection in Theobroma cacao and comparative genomicsstudies. Tree Genet. Genomes 8: 97–111.

Lanaud, C., A.M. Risterucci, A.K.J.N. Goram, D. Clement and M.H.Flament. 1995. A genetic linkage map of Theobroma cacao L.Theor. Appl. Genet. 91: 987–993.

Lanaud, C., I. Kebe, A.M. Risterucci, D. Clement, J.K.A. N’Goran,L. Grivet, M. Tahi, C. Cilas, I. Pieretti, A.B. Eskes and D.Despreaux. 1996. Mapping quantitative trait loci (QTL) forresistance to Phytophthora palmivora in T. cacao. The 12th

International Cocoa Research Conference, Salvador, Bahia,Brazil. pp. 99–105.

Lanaud, C., A.M. Risterucci, I. Pieretti, M. Falque, A. Bouet andP.J.L. Lagoda. 1999. Isolation and characterization ofmicrosatellites in Theobroma cacao L. Mol. Ecol. 8: 2141–2152.

Lanaud, C., A.M. Risterucci, I. Pieretti, J.A.K. N’Goran and D.Fargeas. 2004. Characterization and genetic mapping ofresistance and defence gene analogs in cocoa (Theobromacacao L.). Mol. Breed. 13: 211–227. DOI: 10.1023/B:MOLB.0000022515.23880.1b.

Lanaud, C., O. Fouet, D. Clément, M. Boccara, A.M. Risterucci, S.Surujdeo-Maharaj, T. Legavre and X. Argout. 2009. A meta-QTL analysis of disease resistance traits of Theobroma cacaoL. Mol. Breed. 24: 361–374.

Lande, R. 1992. Marker-assisted selection in relation to traditionalmethods of plant breeding. In H.T. Stalker and J.P. Murphy(Eds.). Plant Breeding in the 1990’s. CAB International,Wallingford, UK. pp. 437–451.

Lim, G.T. 1992. Biology, ecology and control of cocoa pod borer,Conopomorpha cramerella (Snellen). In: P.J. Keane and C.A.J.Putter (Eds.). Cocoa pest and disease management in SouthestAsia and Autralasia. FAO Plant Production and Protection Paper.

Lima, L.S., K.P. Gramacho, J.L. Pires, D. Clement, U.V. Lopes, N.Carels, A.S. Gesteira, F.A. Gaiotto, J.C.M. Cascardo and F.Micheli. 2010. Development characterization validation andmapping of SSRs derived from Theobroma cacao L.–Moniliophthora perniciosa interaction ESTs. Tree Genet.Genomes 6: 663–676.

Livingstone, D.S., B. Freeman, J.C. Motamayor, R. Schnell, S.Royaert, J. Takrama, A.J. Meerow and D. Kuhn. 2012.Optimization of a SNP assay for genotyping Theobroma cacaounder field conditions. Mol. Breed. 30: 33–52.

Livingstone, D., S. Royaert, C. Stack, K. Mockaitis, G. May, A.Farmer, C. Saski, R. Schnell, D. Kuhn and J.C. Motamayor.2015. Making a chocolate chip: development and evaluationof a 6K SNP array for Theobroma cacao. DNA ResearchAdvanced Published on June 11, 2015, p.1–13. DOI: 10.1093/dnares/dsv00.

Martinson, V.A. 1966. Hybridization of cacao and Theobromagrandiflora. J. Hered. 57: 134–136.

Maximova, S.N., C. Mller, G.A. de Mayolo and M.J. Guiltinan.2003. Stable transformation of Theobroma cacao L. andinfluence of matrix attachment regions on GFP expression.Plant Cell Reporter 21: 872–883.

Maximova, S.N., A. Young, S. Pishak, C. Miller, A. Traore and M.J.Guiltinan. 2005. Integrated system for propagation andtransformation of Theobroma cacao L. In: S.M. Jain and P.K.Gupta (Eds.). Protocol for Somatic Embryogenesis and GeneticTransformation in Woody Plants. Springer, Berlin, Heidelberg,New York. pp. 209–229.

Page 15: JURNAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN

166 J. Litbang Pert. Vol. 35 No. 4 Desember 2016: 155-166

Maximova, S.N., J.P. Marelli, A. Young, S. Pishak, C. Miller, J.A.Verica, and M.J. Guiltinan. 2006. Over-expression of a cacaoclass I chitinase gene in Theobroma cacao L. enhancesresistance against the pathogen Colletotrichum gloeosporoides.Planta 224: 740–749.

Motamayor, J.C., A.M. Risterucci, A.P. Lopez, C.F. Ortiz, A. Morenoand C. Lanaud. 2002. Cacao domestication I: the origin of thecacao cultivated by the Mayas. Heredity 89: 380–386.

Motamayor, J.C., P. Lachenaud, J.W.S. Mota, R. Loor, D.N. Kuhn,J.S. Brown and R.J. Schnell. 2008. Geographic and geneticpopulation differentiation of the Amazonian chocolate tree(Theobroma cacao L). PLoS One 3: 1–8.

Motamayor, J.C., K. Mockaitis, and J. Schmutz. 2013. The genomesequence of the most widely cultivated cacao type and its use toidentify candidate genes regulating pod color. Genome Biol. 14:R53.

Motilal, L.A., O. Sounigo, J.M. The´venin, A.M. Risterucci, I.Pierretti, J.L. Noyer and C. Lanaud. 2000. Theobroma cacaoL: genome map and QTLs for Phytophthora palmivoraresistance. Proceedings the 13th International Cocoa ResearchConference, 9–14 October 2000, Kota Kinabalu, Sabah,Malaysia. Cocoa Producers’ Alliance. pp 111–117.

Pires, J.L., E.D. Monteiro, E.D.M.N. Luz, S.D.V.M. Silva, L.R.M.Pinto, A. Figueria, D.E. Ahnert and M.I.B. Brugnerotto. 1996.Cocoa breeding for witches’ broom resistance at CEPLAC, Bahia,Brazil. Proc Int Workshop on the Contribution of DiseaseResistance to Cocoa Variety Improvement, 24–26 November1996, Salvador, Brazil, pp. 67–71.

Pugh, T., A.M. Fount, P. Brottier, M. Abouladze, C. Deletrez, B.Courtois, D. Clement, P. Larmande, J.A.K. N’Goran and C.Lanaud. 2004. A new cacao linkage map based on codominantmarkers: Development and integration of 201 newmicrosatellite markers. Theor. Appl. Genet. 108: 1151–1161.

Pugh, T. 2005. Etude du de´se´quilibre de liaison chez le cacaoyerappartenant aux groupes Criollo/Trinitario. Application aumarquage ge´ne´tique d’inte´reˆt pour la se´lection. The‘seDoctorat Ecole National Supe´rieur deAgriculture, Montpellier,France, p. 107.

Queiroz, V.T., C.T. Guimaraes, D. Anhert, J. Schuster, R.T. Daher,M.G. Pereira, V.R.M. Miranda, L.L. Loguercio, E.G. Barros andM.A. Moreira. 2003. Identification of a major QTL in cocoa(Theobroma cacao L.) associated with resistance to witches’broom disease. Plant Breed. 122: 268–272.

Ramlan. 2010. Pengelolaan penyakit busuk buah kakao. ProsidingSeminar Ilmiah PEI dan PFI XX Komisariat Daerah SulawesiSelatan, 27 Mei 2010. hlm. 380–387.

Risterucci, A.M., L. Grivet, J.A. Ngoran, I. Pieretti, M.H. Flamentand C. Lanaud. 2000. A high-density linkage map of Theobromacacao L. Theor. Appl. Genet. 101: 948–955.

Risterucci, A.M., D. Paulin, M. Ducamp, J.A.K. N’Goran and C.Lanaud. 2003. Identification of QTLs related to cocoa resistanceto three species of Phytophthora. Theor. Appl. Genet. 108:168–174.

Rubiyo dan W. Amaria. 2013. Ketahanan tanaman kakao terhadappenyakit busuk buah (Phytophthora palmivora Butl.).Perspektif 12(1): 23–36.

Rubiyo, N.K. Izzah, I. Sulistiyorini and C. Tresniawati. 2015.Evaluation of genetic diversity in cacao collected from Kolaka,Southeast Sulawesi, using SSR markers. Indones. J. Agric. Sci.16(2): 71–78.

Saunders, J.A. 2002. The USDA program for Theobroma cacao:molecular genomics, disease resistance and IPM strategies. TheManufacturing Confectioner September 2002. pp. 109–119.

Siswanto dan E. Karmawati. 2011. Percepatan adopsi teknologiPHT kakao di Sulawesi Selatan. Prosiding Seminar NasionalInovasi Perkebunan 201. hlm. 148–155.

Siswanto dan E. Karmawati. 2012. Pengendalian hama utama kakao(Conopomorpha cramerella dan Helopeltis spp.) denganpestisida nabati dan agens hayati. Perspektif 11 (2): 103-112.

Soltis, D.E., P.S. Soltis, V.A. Albert, D.G. Oppenheimer, C.W.DePamphilis, H. Ma, M.W. Frohlich and G. Theissen. 2002.Missing links: the genetic architecture of flower and floraldiversification. Trends Plant Sci. 7: 22–31.

Sulistyowati, E., Y.D. Junianto, S. Sukamto, S. Wiryadiputra, L.Winarto, dan N. Primawati. 2003. Analisis status penelitiandan pengembangan PHT pada pertanaman kakao. RisalahSimposium Nasional Penelitian PHT Perkebunan Rakyat.Bogor, 17–18 September 2002.

Susilo, A.W., W. Mangoendidjojo, dan Witjaksono. 2007. Hubungankarakteristik jaringan kulit buah beberapa klon kakao(Theobroma cacao L.) dengan sifat ketahanan terhadap hamapenggerek buah kakao. Pelita Perkebunan 23: 159–175.

Susilo, A.W., D. Zhang, L.A. Motilal, S. Mischke and L.W.Meinhardt. 2011. Assessing genetic diversity in Java fine-flavorcocoa (Theobroma cacao L.) germplasm by using singlenucleotide polymorphism (SSR) markers. Trop. Agric. Deve.55(2): 84–92.

Suwastika, N., Muslimin, Rifka, N. Aisyah, Rahmansyah, Mutmainah,Y. Ishizaki, Z. Basri and T. Shiina. 2015. Genotyping based onSSR marker on local cacao (Theobroma cacao L.) from CentralSulawesi. Procedia Environ. Sci. 28: 88–91.

Tasma, I.M. 2014. Single nucleotide polymorphism (SNP) sebagaimarka DNA masa depan. Warta Biogen 10 (3): 7–10.

Tasma, I.M. 2015. Pemanfaatan teknologi sekuensing genom untukmempercepat program pemuliaan tanaman. J. LitbangPertanian 34(4): 159–168.

Tasma, I.M., H. Rijzaani, D. Satyawan, P. Lestari, D.W. Utami, I.Rosdianti, A.R. Purba, E. Mansyah, A. Sutanto, R. Kirana,Kusmana, A. Anggraeni, M. Pabendon and Rubiyo. 2015. Next-gene-based DNA marker development of several importancecrop and animal species. Manuscript Presented at the 13 th

SABRAO Congress and International Conference, 14–16September 2015, IPB International Convention Center, Bogor,Indonesia. 8 pp.

Tasma, I.M. 2016a. Pemanfaatan teknologi genomika dantransformasi genetik untuk meningkatkan produktivitas kelapasawit. Perspektif 15 (1): 51–73.

Tasma, I.M. 2016b. Tinjauan aspek bioteknologi untuk perbaikanbahan tanam jarak pagar sebagai tanaman penghasil bahan bakarnabati. Jurnal AgroBiogen (In Review).

Tasma, I.M., D. Satyawan, H. Rijzaani, I. Rosdianti, P. Lestari andRubiyo. 2016. Genomic variation of five Indonesian cacao(Theobroma cacao L.) varieties based on analysis using nextgeneration sequencing. Indones. J. Agric. Sci. 17(2): 57–64.

Thomson, M.K. 2014. High throughput SNP genotyping toaccelerate plant breeding. Plant Breed. Biotechnol. 2(3): 195–212.

Varshney, R.K., S.N. Nayak, G.D. May and J.A. Jackson. 2009.Next-generation sequencing technologies and their implicationsfor crop genetics and breeding. Trends in Biotechnol. 9: 522–530.

Vello, E. 1971. Observações sobre polinização do cacaueiro na Bahia.In: Proceedings of the 3 rd International Cocoa ResearchConference. CRIG, Accra. pp. 565–575.

Page 16: JURNAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN

Strategi pengembalian wilayah Nusa Tenggara Timur sebagai .... (Dwi Priyanto) 167

STRATEGI PENGEMBALIAN WILAYAH NUSA TENGGARA TIMURSEBAGAI SUMBER TERNAK SAPI POTONG

Strategies To Return East Nusa Tenggara As a Source of Beef Cattle

Dwi Priyanto

Balai Penelitian TernakJalan Veteran III, Kotak Pos 221 Ciawi-Bogor 16720, Indonesia

Telp. (0251) 8328384, 8328384, Faks. (0251) 8240754E-mail: [email protected], [email protected]

Diterima: 12 Mei 2016; Direvisi: 26 September 2016; Disetujui: 7 Oktober 2016

Jurnal Litbang Pertanian Vol. 35 No. 4 Desember 2016:167-178 DOI: 10.21082/jp3.v35n4.2016.p167-178

ABSTRAK

Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) pada tahun 1980-anmerupakan pemasok ternak sapi potong ke Pulau Jawa denganbobot badan minimal 250 kg/ekor. Namun, kemampuan tersebutmakin menurun karena berbagai kendala yang dihadapi. Padangpenggembalaan merupakan keunggulan komparatif dengansistem pemeliharaan digembalakan. Namun, kualitas padangpenggembalaan makin menurun, selain kebijakan intensifikasitanaman padi yang berdampak terhadap berkurangnya areapenggembalaan. Kasus pencurian ternak yang tinggi akanmenurunkan minat peternak dalam usaha ternak. Kematian anaksapi yang masih tinggi dan adanya pemotongan sapi betinaproduktif akan mengganggu program peningkatan populasi sapi diNTT. Langkah kebijakan untuk memacu NTT kembali sebagaisumber ternak sapi potong di antaranya adalah perbaikan padangpenggembalaan dan pengelolaannya dan penerapan model integrasipadi-sapi untuk mengantisipasi berkurangnya area penggembalaandan meningkatkan daya dukung pakan. Jaminan keamanan ternakdiperlukan akibat kasus maraknya pencurian, karena sapi adalah asetutama petani dalam memenuhi ekonomi keluarga. Kebijakanpengendalian pemotongan sapi betina produktif dapat dilakukanmelalui pengembangan kelembagaan yang tepat oleh Pemda.Kematian anak sapi dapat diturunkan dengan tidak mengikutkananak dalam penggembalaan. Perbaikan kualitas genetik dilakukanmelalui kawin alam dengan pejantan unggul, maupun pe-ngembangan gertak berahi dan inseminasi buatan. Strategi inidiharapkan mampu memacu peningkatan populasi sapi potong danmengembalikan peran NTT sebagai pemasok sapi ke Pulau Jawa.

Kata kunci: Sapi potong, pengembangan wilayah, Nusa TenggaraTimur.

ABSTRACT

East Nusa Tenggara (NTT) in the 1998 was able to supply beef cattlewith minimum body weight of 250 kg to Java. This capacity,however, decreases today due to the some contraints faced. Pastureis a comparative advantage for grazing system. However, qualityof the pasture has declined, and rice intensification policy hasreduced grazing areas. The cases of livestock theft are also highwhich will decrease farmers interest to rearing cattle. Calf mortalityis high and slaughtering productive cows is still occurred which

resulted in decreasing beef cattle population. Policy measures topush NTT as a source of beef cattle include pasture managementand improvement and application of integrated paddy-cattle toanticipate the reduction of grazing areas in spuring the carryingcapacity. Cattle securing is required to avoid theft. Control policieson slaughtering of productive cows are needed through institutionaldevelopment by the local government. Decreasing calf mortalityrates with no shepherd and addition of feed based on localresources are needed. Furthermore, improvement of beef cattlegenetic quality through natural mating with the provision ofsuperior male, and development of snapping estrus and artificialinsemination are required. These strategies will be able to pushincreasing beef cattle population in NTT, therefore NTT wouldrevive as a supplier of beef cattle to Java Island.

Keywords: Beef cattle, regional development, East Nusa Tenggara

PENDAHULUAN

Kebutuhan konsumsi daging sapi nasional masihbelum tercukupi sehingga pemerintah melakukan

impor daging sapi dan sapi bakalan untuk memenuhikebutuhan tersebut. Kondisi demikian dikarenakan usahaternak sapi potong masih dilakukan oleh peternakanrakyat (98%) sebagai usaha tani terpadu dan diusahakansecara tradisional (Soedjana 2012).

Pola usaha yang umum dilakukan peternak ialahperkembangbiakan (produksi anak) yang dipersiapkansebagai pendapatan peternak. Kegiatan perkembang-biakan atau cow calf operation (CCO) untukmenghasilkan sapi bakalan (feeder cattle) harus dilakukansecara ekstensif (penggembalaan) atau secara intensifmelalui integrasi dengan tanaman pangan, perkebunan,dan lainnya (crop livestock system/CLS) sehingga dapatmenekan biaya produksi (Diwyanto dan Handiwirawan2004). Kegiatan tersebut menerapkan prinsip low externalinput sustainable agriculture (LEISA) atau denganpendekatan zero cost sehingga menghasilkan produk 4 F(food, feed, fertilizer, dan fuel) (Kementerian Pertanian2014).

Page 17: JURNAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN

168 J. Litbang Pert. Vol. 35 No. 4 Desember 2016: 167-178

Pengembangan ternak sangat ditentukan oleh dayadukung wilayah, khususnya ketersediaan pakan berupahijauan pakan (rumput dan leguminosa) dan limbahpertanian/perkebunan. Hijauan pakan ternak dapatbersumber dari rumput alam maupun rumput yangdibudidayakan, selain dari padang penggembalaan.Kondisi daya dukung wilayah sangat menentukanpotensi pengembangan ternak sapi potong spesifiklokasi. Oleh karena itu, pengembangan ternak berbasiswilayah sangat menentukan peningkatan produktivitasdalam mendukung produksi daging nasional.

Nusa Tenggara Timur (NTT) pada tahun 1980-anmerupakan gudang sapi potong yang secara rutinmemasok kebutuhan daging bagi wilayah Pulau Jawa.Pada saat itu, secara rutin dilakukan pengapalan sapi daripelabuhan Atapupu, Kecamatan Atambua, KabupatenBelu seminggu sekali sekitar 200 ekor dengan bobotbadan di atas 250 kg (Priyanto 1998). Namun, menurutKementerian Pertanian (2014), populasi sapi potong diNTT hanya menduduki peringkat ketiga dengankontribusi 15,8% dari kebutuhan nasional setelah JawaTimur dan Jawa Tengah. Kondisi demikian disebabkanmayoritas usaha ternak sapi potong di NTT adalah polausaha pembibitan dengan manajemen pemeliharaandigembalakan. Pada tahun 2013, populasi sapi potong diNTT menduduki posisi keempat tingkat nasional (803.450ekor) (Ditjen PKH 2014) dan pada tahun 2014 bergesermenjadi posisi kelima, yang digeser NTB (1.013.794 ekor)(Ditjen PKH 2015).

Pada pola usaha pembibitan diperlukan dukunganarea penggembalaan. Dengan sistem penggembalaan(ekstensif), peternak dapat memelihara ternak dalamskala besar sehingga mampu memperoleh keuntunganyang lebih besar dibandingkan dengan pola intensif(Priyanto dan Yulistiani 2005). Oleh karena itu,diperlukan perbaikan manajemen pemeliharaanternak yang mampu mendukung perkembangan danproduktivitas sapi potong. Hal ini sesuai programpemerintah yang akan mengembangkan NTT sebagaiwilayah sumber ternak nasional, merujuk programpemerintah daerah yang menargetkan populasi satu jutasapi pada tahun 2018 (Azilvia 2015). Dalam beberapadekade yang lalu, NTT merupakan pemasok utama sapibagi daerah lain di Indonesia. Namun akhir-akhir initerjadi penurunan jumlah pengeluaran ternak akibatmenurunnya produktivitas dan populasi ternak(Wirdahayati 2010).

Dari uraian tersebut diprediksi terdapat berbagaipermasalahan dalam pengembangan sapi potong di NTT.Tulisan ini membahas potensi, permasalahan, sertarekomendasi inovasi teknologi dan kebijakan dalam upayameningkatkan kinerja usaha ternak sapi potong di NTT.Rekomendasi tersebut diharapkan mampu mendukungwilayah NTT sebagai sumber ternak sapi potong untukmemenuhi kebutuhan konsumen di Pulau Jawa danwilayah Indonesia lainnya.

KONDISI UMUM NTT DAN SEJARAHPENGEMBANGAN PETERNAKAN

Kondisi Wilayah dan Iklim

NTT memiliki daratan seluas 4.734.990 ha yang tersebar di1.192 pulau (43 pulau dihuni dan 1.149 pulau tidak dihuni).Sebagian besar wilayahnya bergunung dan berbukit,hanya sedikit dataran rendah, terdiri atas 22 wilayahkabupaten/kota dan 306 wilayah kecamatan (BPS NTT2014).

Di NTT dikenal dua musim, yaitu musim kemarau danmusim hujan. Pada bulan Juni sampai September, arusangin berasal dari Australia dan tidak banyakmengandung uap air sehingga terjadi musim kemarau.Sebaliknya pada bulan Desember–Maret, arus angin yangberasal dari Asia dan Samudera Pasifik banyakmengandung uap air sehingga terjadi musim hujan.Keadaan seperti ini berganti setiap setengah tahunsetelah melewati masa peralihan pada bulan April–Meidan Oktober–November (BPS NTT 2014). Namun,mengingat NTT dekat dengan Australia, arus angin yangbanyak mengandung uap air dari Asia dan SamuderaPasifik tersebut, setelah sampai di wilayah NTTkandungan uap airnya sudah berkurang sehingga harihujan di NTT lebih sedikit dibanding wilayah yang dekatdengan Asia. Hal ini menjadikan NTT sebagai wilayahberiklim kering dengan 4 bulan basah (Desember–Maret)dan 8 bulan kering, bahkan pada bulan Agustus–September sering tidak turun hujan.

Berdasarkan curah hujan dan hari hujan, wilayah NTTmemiliki curah hujan rendah dan hari hujan yang pendek.Kondisi demikian akan berpengaruh terhadap sistemusaha tani dan vegetasi yang tumbuh di lokasi, yaknikomoditas unggulan jagung yang dimanfaatkan sebagaibahan pangan pokok sebagian besar masyarakat diNTT. Hal demikian tentu akan berdampak terhadappengembangan peternakan, terutama ketersediaanhijauan.

Keberhasilan pembangunan pertanian sangatditentukan oleh potensi sumber daya lahan, ketepatanpenggunaan, dan cara pengelolaannya. Optimalisasipemanfaatan lahan kering untuk pertanian masihdihadapkan pada faktor antropogenik dan biofisik lahan.Oleh karena itu, pengembangan pertanian di lahan keringperlu didorong dengan penerapan berbagai inovasiteknologi dan kelembagaan sehingga sumber daya lahantersebut dapat dimanfaatkan secara efisien dan lestari,baik bagi generasi sekarang maupun yang akan datang(Suryana dan Rahman 2006).

Sejarah dan Perkembangan UsahaTernak Sapi Potong

Berdasarkan sejarah, ternak sapi di NTT dimasukkan olehPemerintah Hindia Belanda pada tahun 1912, yakni sapi

Page 18: JURNAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN

Strategi pengembalian wilayah Nusa Tenggara Timur sebagai .... (Dwi Priyanto) 169

bali di Pulau Timor dan sapi madura di Pulau Flores bagianbarat. Pemasukan ternak ini bertujuan untuk memperbaikiekonomi masyarakat serta konsumsi daging lokal dannasional. Sampai tahun 1915, jumlah sapi yangdimasukkan ke NTT mencapai 234 ekor. Karena sudahhampir satu abad, sapi bali di NTT disebut sapi bali timor.Pada tahun 1914, Pemerintah Hindia Belanda jugamendatangkan sapi ongole dari India, yang ditempatkandi Pulau Sumba sebanyak 608 ekor. Ternak inidimanfaatkan sebagai tenaga kerja di perkebunan dandikenal dengan nama sapi sumba ongole (SO) (Ratu 2016).Sapi bali ternyata berkembang lebih pesat dibanding sapiSO dan madura sehingga mulai tahun 1970 PemerintahNTT secara bertahap mengganti sapi madura dengan sapibali timor.

Pada tahun 1972, Pemerintah NTT memperkenalkanusaha penggemukan sapi dengan sistem bagi hasil(paroan) di Kabupaten Kupang dan mulai berkembangpola penggemukan. Selain sapi potong, pada tahun 1982mulai digalakkan usaha ayam ras pedaging (broiler).Pada tahun 1989 ada bantuan ternak babi sebanyak 280ekor dari Pulau Bulan (Riau), serta kambing PeranakanEtawah (PE) sebanyak 260 ekor dari Jawa Tengah.Untuk mendukung ketersediaan pakan hijauan jugadikembangkan berbagai jenis rumput unggul dan kacang-kacangan, termasuk pagar hidup di pekarangan dan lahanpetani.

Populasi sapi potong di NTT saat ini mencapai823.134 ekor yang tersebar di 22 kabupaten/kota (Tabel 1).Populasi sapi tertinggi terdapat di Kabupaten TTS,Kupang, Belu, dan TTU yang masing-masing mencapai20,16; 18,35, 14,46; dan 13,14% dari total populasi,sedangkan 11 kabupaten/kota lainnya tingkat populasi-nya masih di bawah 20.000 ekor. Terdapat keterkaitanantara luas padang penggembalaan dengan populasisapi; semakin luas padang pengembalaan semakin tinggipopulasi sapi. Kondisi demikian karena sistem manajemenpemeliharaan sapi dilakukan dengan digembalakansehingga membutuhkan padang penggembalaan yang

luas. Penggembalaan dilakukan bukan hanya di padangpenggembalaan, tetapi juga di lahan sawah yang tidakditanami padi (lahan bera).

POTENSI WILAYAH UNTUKPENGEMBANGAN SAPI POTONG

Kondisi Padang Penggembalaan

Padang penggembalaan di Indonesia umumnya adalahpadang penggembalaan alam yang didominasi olehtanaman perenial, sedikit atau tidak terdapat semak belukar,gulma, dan pohon, dan tanpa campur tangan manusiaterhadap susunan floranya (McIllroy 1976). Padangpenggembalaan merupakan tempat atau lahan yangditanami rumput unggul dan legum (jenis rumput/legumtahan terhadap injakan ternak) yang digunakan untukmenggembalakan ternak (Direktorat Perluasan Area 2009).

Area padang penggembalaan di NTT mencapai832.228 ha sehingga potensial untuk mendukungpemeliharaan sapi secara ekstensif. Pola pemeliharaanternak dengan digembalakan sangat efisien dalampenggunaan tenaga kerja karena peternak tidak perlumencari pakan. Ternak diumbar di lahan pada periodetertentu dan ternak bebas memilih hijauan sehingga untukmemacu produktivitas ternak. Pada pola pembibitan,faktor input produksi (biaya) sangat ditekan karenaoutput yang diterima peternak adalah anak yang diperolehdalam periode yang panjang. Dengan pola digembalakan,peternak dapat memelihara ternak dalam jumlah lebihbanyak dibanding pemeliharaan secara intensif (Priyantodan Yulistiani 2005).

Perkembangan luas padang penggembalaan diIndonesia menunjukkan bahwa dalam 30 tahun terjadipenurunan area penggembalaan secara dratis, dari8.722.604 pada 1973 menjadi 2.392.908 ha pada 2003. Padatahun 1973, padang penggembalaan terluas terdapat di

Tabel 1. Populasi sapi potong dan potensi padang penggembalaan di Nusa Tenggara Timur berdasarkankabupaten, 2013.

Kabupaten/Kota Sapi potong Peringkat Padang penggembalaan Peringkat(ekor) (ha)

Timor Tengah Selatan (TTS) 165.959 (20,16) 1 38.961 3Kupang 151.112 (18,35) 2 69.991 2Belu 118.664 (14,46) 3 18.503 6Timor Tengah Utara (TTU) 108.167 (13,14) 4 31.082 4Sumba Timur 52.843 (6,42) 5 229.954 1Rote Ndao 45.030 (5,47) 6 24.243 5Ende 34.510 (4,19) 7 8.266 17Nagekeo 27.949 (3,39) 8 17.032 12Ngada 26.388 (3,25) 9 17.258 11Manggarai 24.601 (2,98) 10 8.555 1611 kabupaten/kota lainnya 67.911 (8,25) - - -

Total 823.134 (100) - 463.845 -

Sumber: BPS NTT (2014).

Page 19: JURNAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN

170 J. Litbang Pert. Vol. 35 No. 4 Desember 2016: 167-178

Lampung (1,27 juta ha), tetapi berangsur berkurang. Padatahun 2003, area penggembalaan paling luas tersedia diNTT yang mencapai 775,938 ha (32,42%) dan Lampungbahkan tidak masuk peringkat tujuh besar. Areapenggembalaan yang masih tersedia cenderung berada diluar Jawa, terutama di wilayah Indonesia Timur dan NAD.Hal demikian terjadi karena pengaruh perkembanganpenduduk sehingga lahan dimanfaatkan untukpengembangan tanaman pangan dan perkebunan danuntuk permukiman.

Padang penggembalaan di NTT didominasi olehrumput dan vegetasi cenderung hanya tumbuh padamusim hujan (34 bulan). Pada musim kemarau, vegetasihijauan cenderung mati dan mengering sehingga seringtarjadi kebakaran (Robinson 1995). Dari aspek luas lahanpenggembalaan, wilayah NTT memiliki keunggulankomparatif sehingga berpotensi untuk pengembangansapi potong dengan mempertahankan kualitas padangpenggembalaan yang ada agar dapat memberikan dayadukung pakan yang optimal. Namun dari aspek kualitas,padang penggembalaan masih jauh dalam memberikandaya dukung pakan sapi potong karena bergantung padafaktor musim dan curah hujan.

Potensi dan Perkembangan Sapi Potong

Populasi sapi potong nasional cenderung meningkat, dari5.229.800 ekor pada tahun 1978 (Direktorat Bina Program1979), menjadi 15.980.697 ekor pada 2013 (Ditjen PKH2014), atau mengalami peningkatan sekitar tiga kali lipat.Populasi tertinggi terdapat di Jawa Timur, Jawa Tengah,dan Sulawesi Selatan. NTT yang awalnya masuk padaperingkat keempat turun menjadi peringkat kelima.Ditinjau dari proporsi populasi secara nasional, NTTmengalami penurunan dari 6,17% pada 1978 menjadi5,09% pada tahun 2013. Data ini menggambarkan bahwaperkembangan populasi sapi potong di NTT tidaksebanding dengan perkembangan sapi potong secaranasional, yang menunjukkan kelesuan dalampengembangan usaha ternak. Kondisi demikian perludiatasi melalui penerapan teknologi maupun kebijakanuntuk memacu pengembangan populasi maupun kualitassapi potong di NTT.

Berdasarkan luas area penggembalaan, NTT beradadi peringkat teratas. Sebaliknya Jawa Timur dan JawaTengah tidak masuk dalam enam besar luas padangpenggembalaan di Indonesia, tetapi populasi sapi di JawaTimur dan Jawa Tengah menduduki peringkat ke-1 dan ke-2. Data sebaran populasi sapi potong menunjukkanbahwa NTT yang memiliki area penggembalaan terluas,populasi sapi hanya menduduki peringkat kelima.Tingginya populasi sapi potong di Jawa karena beberapafaktor (Sudaryanto dan Priyanto 2010), yaitu 1) populasiternak bukan hanya dari pola pembibitan, tetapi juga polapenggemukan melalui pengadaan sapi bakalan (muda)dari luar Jawa untuk dipelihara pada periode tertentu, 2)

tersedia limbah pertanian (tanaman pangan danperkebunan) yang cukup banyak sebagai sumber pakanyang murah dan mudah diperoleh, 3) pengaruh kepadatanpenduduk sehingga terbuka peluang usaha ternak untukmemenuhi ekonomi keluarga, sebaliknya di luar Jawapopulasi penduduk relatif jarang, 4) peternak lebih mudahmengakses teknologi untuk pengembangan peternakan,dan 5) kedekatan wilayah pengembangan ternak dengandaerah konsumen sehingga lebih efisien dan mudah dalampemasaran produk ternak.

Di NTT populasi sapi potong tidak terlalu padat (5,2ekor/ha) dibanding di Jawa Timur (11,2 ekor/ha) sehinggapeluang untuk berusaha ternak sapi potong masihterbuka, dengan sistem usaha pola pembibitan. Di Jawauntuk mendukung pengembangan peternakan danmengantisipasi daya dukung pakan yang makin terbatas,dikembangkan teknologi integrasi ternak-tanaman (CLS)untuk memanfaatkan limbah tanaman pangan danperkebunan. Melalui program tersebut, input produksimenjadi lebih rendah tanpa mengganggu produktivitasternak. Kelestarian sumber daya lahan menjadi titikperhatian dalam model ini (Diwyanto dan Handiwirawan2004). Model pengembangan integrasi tanaman-ternakbelum diterapkan di NTT karena: 1) limbah tanamanpangan (padi, jagung, dan perkebunan) terbatas karenapengaruh musim kering sehingga tanaman pangan hanyadapat ditanam sekali setahun, 2) manajemen pemeliharaansapi dengan digembalakan secara penuh dalam skalabesar, dan jarang yang dipelihara secara intensif sehinggatidak membutuhkan limbah tanaman yang diberikansecara cut and carry. Dengan demikian, padangpenggembalaan sangat dibutuhkan dalam pengembanganpeternakan di NTT, termasuk area sawah yang tidak dapatditanami untuk area penggembalaan.

MASALAH PENGEMBANGANPOPULASI SAPI POTONG

Dalam merancang kebijakan pengembangan kawasan/wilayah lahan kering, penerapan teknologi sangatdirekomendasikan untuk mendukung pendapatanmasyarakat melalui identifikasi potensi danpermasalahan yang dihadapi sehingga dapatdirumuskan rekomendasi kebijakan yang tepat. Tahapawal adalah stratifikasi kawasan menjadi daerah-daerahpengembangan yang lebih homogen, misalnya ke dalamagroekosistem berdasarkan kesamaan biofisik, sosialekonomi, dan faktor lain seperti entis, transmigran(pendatang) atau penduduk asli, atau berdasarkankomoditas dominan yang diusahakan petani. Tahapberikutnya merancang inovasi teknologi tepat gunaspesifik lokasi, mengimplementasikannya di lapangansehingga menjadi contoh konkret bagi pengguna danstakeholder, serta mendiseminasikannya ke area yanglebih luas sehingga transfer teknologi menjadi lebihcepat (Sudana et al. 2006).

Page 20: JURNAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN

Strategi pengembalian wilayah Nusa Tenggara Timur sebagai .... (Dwi Priyanto) 171

Penurunan Luas Padang Penggembalaan

Padang penggembalaan dapat diklasifikasikan menjadiempat golongan utama, yakni: 1) padang penggembalaanalam, 2) padang penggembalaan permanen yang sudahdiperbaiki, 3) padang penggembalaan buatan (temporer),dan 4) padang penggembalaan dengan irigasi. Vegetasiyang tumbuh di padang penggembalaan terdiri atasrumput-rumputan, kacang-kacangan, atau campurankeduanya (McIllroy 1976). Fungsi tanaman kacang-kacangan di padang penggembalaan adalah sebagaibahan pakan yang bernilai gizi tinggi, terutamakandungan protein, fosfor, dan kalium (Reksohadiprodjo1985). Padang penggembalaan yang ada di NTT adalahpadang penggembalaan alam tanpa perawatan maupuncampur tangan masyarakat dalam pengelolaannya.

Hasil penelitian terhadap padang penggembalaan diNTT menunjukkan bahwa perbandingan antara jenistumbuhan yang disukai ternak dan yang kurang disukaiternak adalah 77,6% dan 22,4%. Produksi bahan hijauansegar berkisar antara 2211.100 g/m2 dengan rata-rata 650g/m2. Padang savana di NTT memiliki keanekaragamanjenis tumbuhan yang cukup tinggi, namun produksibahan segar relatif rendah dan kualitas padang savanarendah, diduga akibat aktivitas manusia yang meliputipemanfaatan yang tidak terencana dan pembakaran padamusim kering (Robinson 1995). Padang penggembalaan diNTT umumnya tidak dilakukan pemeliharaan maupuncampur tangan masyarakat untuk mempertahankankeberadaannya sebagai area penggembalaan sapipotong. Hal demikian tidak terlepas dari kendala musimkering, selain kurangnya pengetahuan tentangpemanfaatan padang penggembalaan dan perbaikannyaoleh peternak maupun pemerintah daerah sehinggakualitasnya cenderung menurun.

Lahan penggembalaan yang mengalami kerusakanberdampak terhadap menurunnya daya dukung bagipengembangan peternakan. Pengurangan daya dukungtersebut, selain akibat berkurangnya area peng-gembalaan, juga karena kerusakan vegetasi akibatberkembangnya tanaman pengganggu (gulma) yangmenekan tanaman inti yang disukai ternak (Sudaryantodan Priyanto 2010). Akibat kerusakan padangpenggembalaan tersebut, produksi dan kualitas hijauanasli menjadi rendah (Marhadi 2009). Makin menurunnyakualitas padang penggembalaan di NTT juga sebagaiakibat iklim kering dan curah hujan yang rendah sehinggapertumbuhan hijauan tidak optimal, selain tekananpenggembalaan yang tinggi. Oleh karena itu, padangpenggembalaan diperbaiki karena menjadi faktor penentupengembangan ternak ruminansia.

Rekomendasi kebijakan dalam upaya peningkatandaya dukung pakan melalui penerapan inovasi teknologiyaitui: 1) tata laksana padang penggembalaan,meliputi pembenihan baru, pemupukan, pemberantasangulma hama/penyakit, pengendalian pembakaran, danpenggunaan sumber air, 2) penanaman pohon naungan,

dan 3) pemberian masa istirahat penggembalaan danpengaturan jumlah ternak yang digembalakan (Marhadi2009). Tujuan tata laksana padang penggembalaanadalah untuk 1) mempertahankan produksi hijauan tetaptinggi dan berkualitas dalam jangka panjang, 2)mempertahankan keseimbangan yang menguntungkandi antara berbagai jenis tanaman pakan, 3) mencapaipenggunaan hijauan pakan yang efisien, dan 4) mencapaiproduktivitas ternak yang tinggi.

Pengembangan padang penggembalaan maupunpenanaman hijauan pakan untuk mendukungpengembangan peternakan masih sulit diimplementasikandi NTT karena beberapa faktor penghambat (Abdullah etal. 2005), di antaranya: 1) keterbatasan area karenakompetisi pemanfaatan lahan dengan pengembangantanaman perkebunan, kehutanan, maupun tanamanpangan yang lebih diprioritaskan dibandingkan padangpenggembalaan untuk pengembangan peternakan, 2)berkurangnya area padang penggembalaan akibatdimanfaatkan untuk pengembangan kawasan industri danperumahan, 3) rendahnya dinamika bisnis hijauan pakansehingga tidak mendorong pengembangan sentra-sentraproduksi hijauan dan terbatasnya ketersediaan hijauan, 4)rendahnya kepedulian terhadap kualitas hijauan pakan,dan adanya anggapan tanaman pakan ternak kurangpenting sehingga bibit hijauan tidak tersedia, dan 5)sulitnya memperoleh jenis dan benih tanaman pakanunggul yang adaptif terhadap lingkungan untukpengembangan skala besar. Selain alih fungsi lahan, jugaterjadi perluasan lahan kritis, termasuk padangpenggembalaan akibat tekanan akan kebutuhan lahan,perladangan berpindah, penggembalaan yang berlebihan,pembakaran yang tidak terkendali, dan illegal loggingyang pemecahannya memerlukan keterlibatan masyarakat(Aswandi 2008).

Rekomendasi dalam tata laksana mempertahankanpadang penggembalaan  adalah memberikan masa istirahatagar tanaman pakan dapat tumbuh kembali setelahpenggembalaan, termasuk pengaturan jumlah ternak yangdigembalakan. Ternak dapat tumbuh dengan baik apabiladiberi kesempatan merenggut tanaman pakan sepuas-puasnya, tetapi tidak berlebihan (McIllroy 1976). Haldemikian diperlukan kebijakan pengelolaan padangpenggembalaan yang tepat sehingga tidak menurunkandaya dukung pakan yang berdampak terhadap penurunanpopulasi sapi potong di NTT.

Dampak Intensifikasi Lahan Sawah

Penggembalaan sapi potong di NTT tidak hanya dilakukandi padang penggembalaan, tetapi juga di lahan sawahyang tidak ditanami tanaman pangan (khususnya padi)pada musim kemarau. Hal tersebut berkaitan dengan polatanam yang bergantung pada curah hujan yang pendek.Padi/jagung hanya dapat ditanam sekali dalam setahundan setelah itu lahan diberakan karena tidak tersedia air.

Page 21: JURNAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN

172 J. Litbang Pert. Vol. 35 No. 4 Desember 2016: 167-178

Dari gambaran tersebut, terdapat keterkaitan antarapopulasi ternak dan area lahan sawah dalam mendukungpengembangan sapi potong di NTT karena peng-gembalaan termasuk di area persawahan. Terdapat tigawilayah yang memiliki populasi sapi tinggi, yakniKabupaten Kupang, Belu, dan TTU yang juga memilikilahan sawah yang luas (Tabel 2). Data tabel tersebutmenunjukkan terdapat keterkaitan antara populasi sapipotong dengan luas lahan sawah. Hal demikianmenggambarkan bahwa penggembalaan sapi potong diNTT potensial dilakukan juga di lahan persawahan padasaat lahan tidak bisa ditanami padi (Gambar 1).

Permasalahannya adalah lahan sawah yang awalnyahanya dapat ditanami padi sekali setahun (intensitaspertanaman atau IP 100), saat ini dibangun saluran irigasiteknis untuk pengembangan komoditas padi. Kondisitersebut berdampak terhadap kurangnya areapenggembalaan di wilayah pertanian lahan sawah dataranrendah (kasus Kabupaten Kupang, TTS, dan TTU).

Pada manajemen pemeliharaan dengan digembalakanumumnya peternak memiliki sapi relatif banyak, dibeberapa lokasi mencapai 250 ekor/peternak yangdikandangkan dengan pagar kayu (Gambar 2). Dikabupaten TTS (Tabel 3), ternak digembalakan di lahansawah saat tidak ditanami padi, dan sebaliknya saat musimhujan ternak digembalakan di area pegunungan karenasawah ditanami padi. Di Desa Bena, KecamatanAmanuban Selatan, 82 peternak (49,40%) memiliki sapi30-50 ekor dan yang memiliki sapi 150300 ekor mencapai24 peternak (14,45%) (Agro Indo Mandiri 2016). Hal yangsama juga dijumpai di beberapa wilayah di NTT yangmembutuhkan area sawah sebagai area penggembalaan.

Intensifikasi lahan sawah dengan peningkatan polatanam dari IP 100 menjadi IP 200/300 akan mempersempitarea penggembalaan pada musim tanam kedua atau ketiga(Gambar 3). Program pengembangan ternak akan tergusuroleh program lain yang dianggap lebih strategis. Apabilakondisi tersebut tidak diatasi, peternak akan membatasiskala pemilikan ternak sehingga akan menurunkanpopulasi sapi di NTT karena pemeliharaan dengandigembalakan adalah yang paling ekonomis dan sudah

Gambar 1. Area penggembalaan sapi di lahan sawah bekas tanamanpadi (lahan bera) di Nusa Tenggara Timur.

Gambar 2. Kandang sapi dengan pagar kayu untuk pemeliharaanskala 200 ekor/peternak yang digembalakan di sawah bera.

Tabel 2. Populasi sapi potong dan kaitannya dengan luas lahan sawah sebagai area penggembalaan di lima kabupaten di Nusa Tenggara Timur.

Kabupaten Populasi Peringkat Lahan sawah Peringkat(ekor) (ha)

Timor Tengah Selatan (TTS) 165.959 (27,81) 1 7.322 (8,73) 9Kupang 151.112 (25,32) 2 19.668 (23,45) 2Belu 118.664 (19,88) 3 17.280 (20,61) 3Timor Tengah Utara (TTU) 108.167 (18,13) 4 14.569 (17,37) 7Sumba Timur 52.843 (8,86) 5 25.018 (29,84) 1

Total Nusa Tenggara Timur 596.745 (100) - 83.857 (100) -

Sumber: BPS NTT (2014).

Page 22: JURNAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN

Strategi pengembalian wilayah Nusa Tenggara Timur sebagai .... (Dwi Priyanto) 173

membudaya. Usaha ternak dengan pemilikan sapi skalabesar umumnya dilakukan di lahan dataran rendah (tepipantai) dengan pola tanam padi sekali setahun (IP 100).Ternak digembalakan pada pagi hingga sore dan padamalam hari dikandangkan dalam suatu tempat semacampaddock di dekat rumah peternak. Bangsa sapi bali sangatadaptif di NTT dengan kondisi pakan rendah dibandingsapi Peranakan Ongole (PO).

Dalam mengantisipasi masalah tersebut, inovasiyang direkomendasikan adalah integrasi padi dan sapi(CLS) dengan pendekatan zero waste, dengan fokuspengolahan jerami padi untuk pakan sapi karenaintensifikasi padi akan meningkatkan produksi jerami.Sistem integrasi tanaman-ternak telah menjadi salah satusistem produksi pertanian yang sesuai dengan kondisiIndonesia (Devendra et al. 2001; Subagyono 2004). Polaini ditujukan untuk meminimalkan biaya produksi (pakan)sekaligus meningkatkan peran sapi dalam usaha tani.Salah satu upaya mengantisipasi alih fungsi lahan akibatintensifikasi padi di NTT ialah pemanfaatan jerami sebagaipakan sapi potong.

Terdapat tiga komponen teknologi utama dalamintegrasi padi-sapi, yakni 1) teknologi budi daya ternak, 2)teknologi budi daya padi, dan 3) teknologi pengolahanjerami dan kompos, yang diikuti pengembangankelembagaan (Haryanto et al. 2002). Jerami segardifermentasi dengan urea dan probiotik. Jerami ditumpuksetebal 20 cm, kemudian ditaburi urea dan probiotik, laluditimbun lagi secara berlapis 20 cm hingga tinggitumpukan mencapai 12 m. Takaran urea dan probiotikyaitu 5 kg untuk setiap ton jerami segar. Pencampurandilakukan secara merata, yang kemudian didiamkanselama 21 hari agar proses fermentasi berlangsungsempurna. Selanjutnya jerami fermentasi dikeringkandengan sinar matahari dan disimpan di tempat yangterlindung dari hujan dan siap diberikan pada sapi sebagaipengganti rumput.

Di lahan sawah tadah hujan, jerami padi belumdimanfaatkan secara optimal. Jerami biasanya ditumpuk ditepi lahan atau dibakar. Pembakaran jerami padi dapatberpengaruh buruk terhadap keanekaragaman hayati danmenyebabkan biomassa jerami sebagai bahan organikhilang. Pemberian mulsa jerami padi dapat memperbaikiiklim mikro yang bermanfaat untuk perkembangan mikro-arthropoda tanah dan pertumbuhan tanaman (Subiyaktoet al. 2005; Subiyakto dan Indrayani 2008).

Pencurian Ternak Sapi

Hal yang tidak kalah penting yang menghambatpengembangan usaha sapi potong di NTT adalahmaraknya pencurian ternak. Di Kabupatean Kupang(Kecamatan Fatuleu), misalnya, sapi yang digembalakanpada pagi hari 11 ekor, setelah dikandangkan sore haritinggal 2 ekor (9 ekor dicuri) (Teras NTT 2016). Hal yangsama terjadi di Kabupaten Sumba Timur, yaknipencurian 11 ekor sapi yang digembalakan di padangpenggembalaan. Kondisi demikian berakibat peternakbanyak yang menjual sapinya, walaupun Pulau Sumbabagian barat sangat potensial untuk pengembangan sapipotong.

Jaminan keamanan merupakan faktor penting dalammenyemangati peternak untuk berusaha sapi potong,sekaligus meningkatkan skala pemilikan. Masalahpencurian sapi menjadi penghambat utama dibandingmasalah kurang air, pengaruh iklim maupun ketersediaanpadang penggembalaan (Jonatan 2014). Pencurian ternakberkaitan dengan kemiskinan dan dinamika relasikelompok. Oleh karena itu, terobosan dalam aspekkebudayaan dan ekonomi menjadi prioritas. Strategipengembangan peternakan saat ini masih sekedar wacanadan belum disertai road map yang menjawab masalahsosial. Terobosan yang disarankan adalah menciptakanmekanisme sosial sehingga masyarakat mendapatkanjaminan keamanan sapi yang dimiliki.

Kasus pencurian sapi di NTT perlu mendapatkanperhatian dari Pemda karena akan berakibat lesunyasistem usaha ternak. Pada zaman dulu, ternak besar

Gambar 3. Pembangunan saluran irigasi di lahan sawah yangberdampak semakin kurangnya area penggembalaan di NusaTenggara Timur.

Tabel 3. Skala pemilikan sapi potong di Desa Bena,Kecamatan Amanuban Selatan, Kabupaten TimorTengah Selatan, Nusa Tenggara Timur.

Skala pemilikan JumlahPersentase(ekor) peternak

130 52 31,3330–50 82 49,4050–150 08 04,82150–300 24 14,45

Total 166 100,00

Sumber: Agro Indo Mandiri (2016) (diolah).

Page 23: JURNAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN

174 J. Litbang Pert. Vol. 35 No. 4 Desember 2016: 167-178

(kerbau dan sapi) dilakukan penomoran dengan dicapmenggunakan besi panas di bagian pantat sebagaiidentifikasi kepemilikan, sehingga untuk kasuspemotongan dapat dilacak. Sistem tersebut dapatditeruskan dengan modifikasi sehingga statuskepemilikan ternak dapat dilacak. Kondisi tersebutsekaligus akan memberikan rasa aman bagi pemilik sapisehingga meningkatkan minat peternak dalam usaha sapipotong. Langkah lain ialah membangun pos jaga di sekitararea penggembalaan dan patroli rutin dari pihak keamanan(Altur 2015). Disarankan untuk membuat Peraturan Desa(Perdes) tentang mutasi ternak agar pencurian ternakdapat dideteksi. Setiap pemotongan ternak harus disertaidokumen resmi, baik pihak eksekutor maupun pemilik,serta dokumen penjualan (Perdes Mutasi Ternak) (TerasNTT 2016).

Pemotongan dan PengeluaranSapi Betina Produktif

Pemotongan sapi betina produktif akan menurunkan lajupeningkatan populasi karena ternak yang seharusnyamampu melahirkan anak dipotong. Kasus pemotongansapi betina produktif masih tinggi karena kebutuhanpeternak dalam memenuhi ekonomi rumah tangga.Pemotongan sapi betina produktif di NTT mencapai 65%atau lebih tinggi dari nasional (28%). Setiap pemotongan100 ekor sapi betina produktif berpotensi menghilangkankesempatan memperoleh tambahan populasi dankelahiran 60 ekor sapi (Antara 2015). Oleh karena itu,menurunnya populasi sapi antara lain disebabkan olehmeningkatnya jumlah pemotongan betina produktif,selain sistem IB yang belum berjalan dengan baik karenakendala teknis dan kondisi lapangan yang menyulitkanpetugas melakukan IB tepat waktu (Inounu dan Setioko2005).

Fordyce et al. (2003) melaporkan bahwa pada eraotonomi daerah, izin ekspor sapi betina produktifdiperlonggar sehingga banyak bibit ternak yang baikdijual karena harganya mahal. Sekitar 40% sapi betinamuda setiap tahunnya dijual oleh peternak sehingga akanmengganggu laju peningkatan populasi. Ilham (2006)menyatakan bahwa faktor pendorong pemotongan sapibetina produktif adalah: 1) peternak membutuhkan uangtunai sehingga menjual sapi yang dimiliki, 2) harga jualsapi betina lebih murah dibanding sapi jantan sehinggamenarik pembeli, 3) adanya pemotongan di luar RPH, dan4) banyak RPH yang hanya berorientasi keuntungansehingga memotong sapi betina produktif.

Penyelamatan sapi betina produktif merupakanlangkah nyata dan tidak dapat ditunda jika NTT bertekadmenjadi provinsi ternak, selain mendukung swasembadapangan protein hewani. Dalam mengantisipasi masalahtersebut diperlukan dukungan dana khusus yang dikelolaoleh semacam Badan Layanan Umum (BLU) yangmenjaring/membeli sapi betina produktif dari peternak

yang membutuhkan uang tunai untuk didistribusikankembali kepada kelompok yang membutuhkan untukdikembangkan, selain perlu adanya tata kelola RPH didaerah (Priyanto 2011). Undang-undang pelaranganpemotongan sapi betina produktif sudah ada, tetapiimplementasinya sulit dilakukan di lapangan karenapeternak sebagai pemilik ternak memiliki hak untukmenjual ternaknya, termasuk sapi betina produktif karenatuntutan ekonomi keluarga.

Kematian Anak Sapi

Kasus kematian sapi potong di NTT masih tinggikhususnya pada anak. Jelantik dalam artikelnya yangterbit dalam Suara Pembaharuan tahun 2016 menyatakandari kelahiran 150.000 ekor anak setahun, 50.000 ekor(sekitar 33,3%) di antaranya mati. Hal tersebut terjadikarena anak sapi ikut digembalakan pada kondisi panasdan kurang air. Jika jumlah anak sapi yang mati tersebutdinilai dengan uang, nilainya mencapai Rp75 miliar/tahun.Kematian ternak juga sebagai akibat kelangkaan pakandan air terutama pada musim kemarau yang menyebabkanternak rentan terhadap serangan penyakit (Inounu danSetioko 2005). Namun, peternak menganggap kematiananak sapi merupakan kejadian yang biasa sehinggamasyarakat secara sosial tidak merasa rugi (Jonatan 2014).

Untuk menurunkan mortalitas anak sapi hinggamencapai 3%, Australian Centre for InternationalAgricultural Research (ACIAR) telah melakukanpenelitian di NTT. Upaya terobosan yang perlu dilakukanyakni tidak mengikutkkan pedet dalam penggembalaan,tetapi pedet dikandangkan dan diberi pakan lokal (jagunggiling, dedak padi, tepung ikan, dan tepung daun lamtoro)selama 4 minggu, dan pada malam hari disusui olehinduknya (Suara Pembaharuan 2016). Langkah tersebutcukup potensial menekan kematian anak sapi. Upayamencegah kematian pedet perlu digalakkan untukmeningkatkan populasi dan menjaga keberlanjutanpengembangan sapi potong di NTT. Penelitian kerja samadengan ACIAR direncanakan akan dilakukan di seluruhwilayah NTT dalam mendukung NTT sebagai provinsiternak, yang saat ini sudah menunjukkan keberhasilannyadalam mempertahankan populasi sapi potong di provinsitersebut.

PENINGKATAN POPULASI MELALUIINOVASI TEKNOLOGI DAN

KELEMBAGAAN

Peningkatan Populasi Sapi Potong

Populasi sapi potong di NTT mengalami peningkatan daritahun ke tahun. Populasi sapi potong di NTT mencapai899.534 ekor (BPS NTT 2016) dan proporsi induk 50,27%

Page 24: JURNAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN

Strategi pengembalian wilayah Nusa Tenggara Timur sebagai .... (Dwi Priyanto) 175

(Agro Indo Mandiri 2016) atau terdapat 413.789 induk danjumlah anak yang dilahirkan setiap tahun dengan asumsijarak beranak (calving interval/CI) 12 bulan. Target CItersebut dapat dicapai apabila perkawinan dapatditerapkan dengan tepat berdasarkan rekomendasi dinasterkait.

Pemotongan sapi di NTT mencapai 53.564 ekor, baikyang dilakukan pada rumah potong (RPH) maupun di luarrumah potong (berdasarkan peringkat). Semakin tinggipopulasi semakin tinggi pula pemotongan ternak.Pemotongan sapi di luar rumah potong masih tinggi,mencapai 16,67%, sedangkan di RPH 83,33% (Tabel 4).

Analisis produktivitas dan pengeluaran sapi(pemotongan dan pengeluaran) tahun 2013 menunjukkanbahwa dengan asumsi CI 12 bulan dan mortalitas 33,3%,dihasilkan pedet 275.860 ekor (0,66 x 413.789 ekor).Dengan pemotongan sebanyak 73.886 ekor danpengeluaran 60.520 ekor (BPS NTT 2014) (total 133.306ekor), masih tersisa ternak hasil kelahiran sebanyak142.554 ekor. Hal demikian tidak menjadi masalahditinjau dari pengurasan populasi. Namun, apabila CI diNTT mencapai 17,03 bulan (Tonbesi et al. 2009), pedetyang dihasilkan sebanyak 292.086 ekor (12/17 x 413.789ekor). Dengan mortalitas 33,3% maka dihasilkan anaksebanyak 195.697 ekor. Dengan jumlah pemotongan danpengeluaran 133.306 ekor maka akan tersisa anaksebanyak 62.391 ekor. Hal demikian sangat mengganggupopulasi sapi di NTT karena masih ada faktor lain yangberpengaruh terhadap perkembangan populasi.

Dari data persentase kelahiran 52,05% anak betinadan 47,95% jantan (Agro Indo Mandiri 2016), jumlah anakbetina yang dihasilkan mencapai101.860 ekor (52,05% x195.697) dan anak jantan 93.837 ekor (47,95% x 195.697).Dengan pemotongan dan pengeluaran ternak sebanyak133.306 berarti masih terjadi pemotongan/pengeluaransapi betina sebanyak 39.479 ekor (133.306 – 93.837 ekoranak jantan) (tahun 3013). Hal demikian akan berdampakterhadap kelahiran anak karena banyaknya sapi betinayang dipotong atau dikeluarkan.

Upaya yang tidak kalah pentingnya dalammengantisipasi penurunan populasi adalah pengendalian

sistem perkawinan, salah satunya penyediaan pejantanyang semakin berkurang karena dijual peternak. Upaya iniakan memperpendek CI, mengoptimalkan reproduksi, danmenekan mortalitas anak. Untuk menekan pengeluaransapi dari NTT, Dinas Peternakan NTT telah merancangkuota pengeluaran sapi, yakni sebanyak 55.000 ekor/tahun dengan bobot badan ternak minimum 275 kg(Anggara 2014).

Peningkatan Kualitas Sapi Potong

Sebelum tahun 2000, NTT secara rutin dapat mengirimsapi ke Pulau Jawa melalui pelabuhan Atapupu diKecamatan Atambua, Kabupaten Belu, dengan bobotbadan ternak minimal 250 kg (Priyanto 1998). Pada saat ini,pemasaran sapi keluar wilayah NTT dapat dilakukanmelalui tiga pelabuhan, yakni Pelabuhan Tenau diKupang, Pelabuhan Wini di TTU, dan Pelabuhan Atapupudi Belu. Standar bobot badan minimal tersebut kini sulitdipenuhi karena sapi yang ada sudah mengalamipenurunan kualitas genetik. Hasil penelitian Tonbesi et al.(2009) menunjukkan bahwa bobot badan sapi bali di NTTumur di atas 2–3 tahun mencapai 187,85 kg untuk jantandan 154,15 kg untuk betina, sedangkan pada umur di atas34 tahun bobotnya masing-masing 210,38 kg dan 198,21kg. Pada penelitian sebelumnya (Pane 1991), bobot badansapi bali dewasa di Provinsi Bali dan NTB lebih tinggidibanding di NTT dan Sulsel. Di NTT sapi betina dewasamencapai bobot 224300 kg dengan tinggi 1,051,14 m,sedangkan sapi jantan dewasa bobotnya antara 337494kg dengan tinggi 1,211,27. Bobot sapi betina terbaik(kontes ternak 1991) mencapai 300489 kg dengan tinggi1,211,27 m, sedangkan bobot badan sapi jantan terbaikmencapai 450647 kg dengan tinggi 1,251,44 m(Hardjosubroto 1994).

Rendahnya produktivitas ternak serta ukuran tubuhyang terus menurun disebabkan oleh buruknya kondisiinduk dan kelahiran anak yang terkonsentrasi pada musimkemarau saat kondisi pakan buruk, selain menurunnyamutu genetik ternak di kantong-kantong produksi akibat

Tabel 4. Populasi dan pemotongan sapi potong di lima kabupaten tertinggi di Nusa Tenggara Timur, 2013.

KabupatenPopulasi Pemotongan Pemotongan Total(ekor) di RPH di luar RPH pemotongan

(ekor) (ekor) (ekor)

Timor Tengah Selatan (TTS) 165.959 (1) 12.414 (1) 2.483 (1) 14.897 (1)Kupang 151.112 (2) 11.303 (2) 2.261 (2) 13.564 (2)Belu 118.664 (3) 8.875 (3) 1.775 (3) 10.650 (3)Timor Tengah Utara (TTU) 108.167 (4) 8.091 (4) 1.618 (4) 9.709 (4)Sumba Timur 52.843 (5) 3.953 (5) 791 (5) 4.744 (5)

Total NTT 596.745 44.636 8.928 53.564Persentase 83,33 16,67 100,00

Angka dalam kurung menunjukkan peringkat.Sumber: BPS NTT (2014),

Page 25: JURNAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN

176 J. Litbang Pert. Vol. 35 No. 4 Desember 2016: 167-178

pengurasan ternak produktif dan terjadinya in-breeding(Inounu dan Setioko 2005). Kondisi demikianmenunjukkan bahwa bobot badan dewasa sesuai standarseperti dulu sulit dipenuhi karena terjadinya penurunanmutu genetik. Pada sistem digembalakan, pejantan yangbaik umumnya dijual karena harganya tinggi sehinggayang tertinggal hanyalah pejantan yang kurang baiksehingga kualitas keturunannya semakin menurun. Solusiyang ditawarkan adalah sebagai berikut.

Pengadaan Pejantan

Pengadaan pejantan unggul untuk perkawinan dilapangan diperhitungkan berdasarkan populasi sapi dimasing-masing lokasi. Berdasarkan daya dukung pakanyang rendah (iklim kering), sapi bali adalah yang palingadaptif dan mampu bereproduksi secara optimaldibanding sapi lainnya. Kondisi demikian perlu difasilitasioleh Pemerintah Daerah dengan sistem kontrol yang ketatsehingga pejantan tidak dijual oleh peternak.

Pemerintah daerah (cq. Dinas Peternakan Provinsi),sebaiknya mengalokasikan anggaran untuk pembelianpajantan pemacek untuk program kawin alam yangdisesuaikan dengan kapasitas induk yang ada, di sampingpemetaan wilayah berdasarkan kelompok ternak untukpendistribusian berdasarkan sex ratio yang tepat. Perlupula melakukan seleksi pejantan yang dipelihara peternakdengan mengeluarkan pajantan kurang bagus sehinggainduk dapat dikawinkan dengan pejantan unggul. Sistemkawin alam terseleksi tersebut dapat memperbaiki kualitasgenetik sapi melalui perkawinan dengan pejantan unggul,sehingga bobot badan sapi akan kembali sesuai denganpotensi genetik sapi bali unggul.

Program Gertak Berahi dan Inseminasi Buatan

Upaya lain untuk memperbaiki kualitas sapi ialahmelakukan program inseminasi buatan (IB) terhadap sapibetina yang ada di wilayah NTT. Dalam perjalanannya,teknologi IB yang semula hanya sebagai “alat” seolahsudah berubah menjadi “tujuan”, seperti yang tertuangdalam Blue Print PSDS-2014 (Ditjen Peternakan 2010).Bahkan untuk sapi potong, IB seolah diartikan sebagaipersilangan dan up grading ke arah Bos taurus. Namun,dalam beberapa tahun terakhir, sudah disadari dan dikoreksiuntuk kembali menggunakan semen sapi lokal, terutamadalam program pemurnian dan pelestarian sumber dayagenetik (SDG) sapi lokal seperti di Jawa Tengah, DIYogyakarta, dan Jawa Timur (Ditjen PKH 2011).

Hal yang sangat menentukan keberhasilan IB adalahkualitas semen yang digunakan, mulai dari saatdiproduksi, disimpan, dibawa, dan disiapkan sesaatsebelum IB dilakukan. Peran inseminator serta fasilitaspenyimpanan dan ketersediaan nitrogen cair (N

2) sangat

menentukan dalam menjaga kualitas semen (Diwyanto

2012). Secara teknis pelaksanaan IB di daerah yang masihmenerapkan pemeliharaan pola ekstensif (digembalakan)seperti di NTT masih menghadapi banyak tantangan dankendala. Pengamatan berahi relatif sangat sulit ataubahkan tidak mungkin dilakukan dengan cermat.Kepedulian peternak terhadap teknologi ini juga masihsangat minimal karena keterbatasan pengetahuan danalasan memelihara sapi sebagai usaha sambilan. Sebagianbesar peternak masih memelihara sapi bukan untuk tujuanbisnis, sekedar untuk asuransi dan akumulasi aset, sertasecara khusus tidak ada pertimbangan untung-rugi. Dibeberapa daerah yang pemeliharaan ternaknya masihdilakukan secara ekstensif, peternak sulit berkomunikasidengan petugas (inseminator). Hal ini sangat menyulitkaninseminator untuk melakukan IB tepat waktu. Saranakandang jepit juga belum banyak tersedia. Selain itu, depountuk penyimpanan semen beku sulit memperolehpasokan N

2 cair. Oleh karena itu, sering terjadi tangki

penyimpan semen dalam kondisi kosong dan semuasemen rusak atau tidak layak untuk dipergunakan.Dengan demikian, secara teknis IB perlu pembenahan bilaakan dikembangkan di kawasan yang masih menerapkanusaha sapi potong sistem ekstensif.

Pada saat ini program IB berkembang menjadi gertakberahi dan inseminasi buatan (GBIB) yang pada tahun2015 ditargetkan akan menghasilkan kelahiran lebih dari500 ribu ekor (Ditjen PKH, 2015). GBIB dilakukan dalamupaya mencapai ketepatan perkawinan sehingga jarakberanak dapat diperpendek karena ada sinkronisasi berahi(menggunakan hormon), perkawinan dapat dilakukantepat waktu, dan deteksi kebuntingan dapat terkontrol.GBIB lebih tepat diterapkan di NTT karena manajemenpemeliharaan yang ekstensif. Kegiatan GBIB dibebankanpada institusi lingkup Ditjen PKH yang sekaligusmenyediakan semen beku untuk mendukung programtersebut. Sumber produksi semen beku utama adalah BalaiInseminasi Buatan Nasional (BBIB Singosari dan BIBLembang), di samping BIBD yang ada di daerah. Bahkankini sudah mengarah pada produk semen sexing untukmenentukan kelahiran anak yang dikehendaki (jantan ataubetina) (BBIB Singosari 2015; BIB Lembang 2015).

Semen beku yang diproduksi disesuaikan denganpermintaan dan rekomendasi wilayah program IB danGBIB. Untuk wilayah Jawa dengan kondisi pakan tersediabanyak, dikembangkan IB dengan semen sapi pejantanimpor (Brahman, Limousin, Angus dan Simental). Padadaerah tertentu diprogramkan pengembalian ke arah sapilokal (PO), seperti Jateng dan Jatim walaupun masih terjadikontraversi karena peternak sudah mampu mengelola sapisilangan dan menghasilkan ternak dengan postur lebihbesar dan harga jual tinggi. Proporsi sapi PO yangcenderung semakin menurun (Sumadi 2009) harus menjadiperhatian karena sapi-sapi silangan hasil IB terindikasimempunyai daya reproduksi yang lebih rendahdibandingkan sapi lokal (Prabowo 2009), terutama bilakurang pakan. Dengan pemeliharaan yang baik, sapisilangan hasil IB mempunyai nilai S/C cukup baik, sekitar

Page 26: JURNAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN

Strategi pengembalian wilayah Nusa Tenggara Timur sebagai .... (Dwi Priyanto) 177

1,87, namun CI relatif panjang (18 bulan) (Diwyanto danInounu 2009).

Pengembangan sapi di NTT sebaiknya menggunakansemen beku sapi bali yang cocok dengan kondisi iklimkering dan ketersediaan pakan yang relatif kurang,sehingga ternak hasil IB mampu bereproduksi secaraoptimal. Pengembangan IB dengan sapi PO maupun sapiimpor tidak direkomendasikan untuk wilayah NTT.

Program GBIB dipandang mampu meningkatkankelahiran karena ketepatan sistem perkawinan danmemperpendek CI (ketepatan IB). Keturunan memilikiperforma dan kualitas genetik yang baik yang ditunjukkanpeningkatan bobot badan dewasa. Kondisi demikian akanmampu mengembalikan potensi bobot badan sapi yangada sehingga seleksi pengeluaran ternak dapat tercapaidengan standar bobot badan di atas 250 kg.

Kebijakan dari aspek teknis melalui pengembanganinovasi teknologi adaptif dan pengembangankelembagaan dari hulu (peternak) sampai hilir perludilakukan oleh Pemerintah Daerah dan Pusat. Kebijakandiharapkan berpihak kepada peternak sehingga dapatmemacu peningkatan produktivitas dan populasi sapipotong di NTT dalam upaya menjadi wilayah sumberternak sapi potong.

KESIMPULAN

Pengembangan wilayah NTT berbasis ternak sapi potongperlu ditingkatkan dalam mendukung NTT sebagaiwilayah sumber sapi potong nasional. Potensi padangpenggembalaan merupakan keunggulan komparatifkarena sistem pemeliharaan secara ekstensif(digembalakan). Permasalahan yang dihadapi adalahmenurunnya kualitas padang penggembalaan, selainkebijakan intensifikasi tanaman padi yang berdampakberkurangnya area penggembalaan. Kasus pencurian,kematian anak yang masih tinggi, dan pemotongan sapibetina produktif perlu mendapat perhatian dalam upayapeningkatan populasi sapi di NTT.

Langkah kebijakan untuk mamacu NTT kembalisebagai sumber ternak sapi potong adalah perbaikanpadang penggembalaan dan pengelolaannya sertapenerapan model integrasi padi-sapi untuk meng-antisipasi berkurangnya area penggembalaan. Jaminankeamanan ternak juga penting karena sapi adalah asetutama petani dalam memenuhi ekonomi keluarga.Kebijakan pengendalian pemotongan sapi betinaproduktif melalui pengembangan kelembagaan yang tepatoleh Pemda, penurunan mortalitas anak dengan tidakdigembalakan dan pemberian pakan berbasis sumber dayalokal, serta perbaikan kualitas genetik sapi melalui kawinalam dengan pengadaan pejantan unggul maupunpengembangan GBIB juga dapat memacu peningkatanpopulasi sapi potong di NTT.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, L., P. Dewi, dan H. Soedarmadi. 2005. Reposisi tanamanpakan dalam kurikulum Fakultas Peternakan. ProsidingLokakarya Nasional Tanaman Pakan Ternak. Bogor, 16September 2005. Pusat Penelitian dan PengembanganPeternakan, Bogor. hlm. 1117.

Agro Indo Mandiri. 2016. Kajian ketersediaan sapi potong di enamdaerah sentra produksi. Laporan Akhir. Kerja sama AsosiasiProdusen Daging dan Feedlot Indonesia (APFINDO) denganPT Agro Indo Mandiri, Bogor, Januari 2016.

Altur, M. 2015. Kapolda NTT minta polisi atasi pencurian ternak.http://kupang.tribunnews.com/2015/02/13/kapolda-ntt-minta-polisi-atasi-pencurian-ternak? page=3.

Anggara, D. 2014. Dinas Peternakan NTT tertibkan kuotapengiriman sapi. http://www.beritasatu.com/nasional/214615.dinas-peternaka.ntt-tertibkan-kuota-pengiriman sapi.html.

Antara. 2015. Angka pemotongan sapi betina produktif di NTTsangat tinggi. http://www.beritasatu.com/ekonomi/270736-angka-pemotongan-sapi-di-ntt-sangat-tinggi.html.

Aswandi. 2008. Rehabilitasi lahan kritis dengan hutankemasyarakatan. www taksmamnanursery.blogspot.com.

Azilvia, D. 2015. Kementerian Pertanian dorong NTT jadi sentraternak nasional. http://industri.bisnis.com/read/20150528/99/438208/kementerian-pertanian-dorong-ntt-jadi-sentra-ternak-sapi-nasional.

BPS NTT (Badan Pusat Statistik Nusa Tenggara Timur). 2014.Nusa Tenggara Timur dalam Angka. BPS NTT, Kupang.

BPS NTT (Badan Pusat Statistik Nusa Tenggara Timur). 2016.Nusa Tenggara Timur dalam Angka. BPS NTT, Kupang.

BBIB Singosari (Balai Besar Inseminasi Buatan Singosari). 2015.Paparan Kepala BBIB Singosari dalam FGD: Pemantauan danevaluasi peningkatan produksi daging. Singosari, Oktober 2015.

BBIB Lembang (Balai Inseminasi Buatan Lembang). 2015. PaparanKepala BIB Lembang dalam FGD: Pemantauan dan evaluasipeningkatan produksi daging. Oktober 2015.

Devendra, C., C. Sevilla and D. Pezo. 2001. Food-feed systems inAsia: Review. Asian-Aust J. Anim. Sci. 14: 733745.

Ditjen Peternakan. 2010. Blue Print Program Swasembada DagingSapi 2014. Direktorat Jenderal Peternakan, KementerianPertanian, Jakarta.

Direktorat Bina Program. 1979. Buku Saku Peternakan. DirektoratBina Program, Direktorat Jenderal Peternakan, Jakarta.

Ditjen PKH. 2011. Kebijakan dan strategi pengembangan sapi balidalam mendukung program swasembada daging sapi 2014.Lokakarya Nasional Strategi Peningkatan Produktivitas SapiBali untuk Mendukung Swasembada Daging Nasional 2014.PKSB, UNUD. Denpasar, 2526 November 2011.

Ditjen PKH. 2014. Statistik Peternakan 2014. Direktorat JenderalPeternakan dan Kesehatan Hewan. Kementerian Pertanian,Jakarta.

Ditjen PKH. 2015. Statistik Peternakan 2015. Direktorat JenderalPeternakan dan Kesehatan Hewan. Kementerian Pertanian,Jakarta.

Direktorat Perluasan Area. 2009. Pedoman Teknis Perluasan AreaPadang Penggembalaan. Direktorat Perluasan Area. DirektoratJenderal Pengelolaan Lahan dan Air Departemen Pertanian,Jakarta.

Diwyanto, K. dan E. Handiwirawan. 2004. Peran litbang dalammendukung usaha agribisnis pola integrasi tanaman-ternak.Prosiding Sistem Integrasi Tanaman dan Ternak. PusatPenelitian dan Pengembangan Peternakan bekerja sama denganBalai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali dan Crop-AnimalSystems Research Network (CASREN), Bali. hlm. 6380.

Page 27: JURNAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN

178 J. Litbang Pert. Vol. 35 No. 4 Desember 2016: 167-178

Diwyanto, K. dan I. Inounu. 2009. Dampak crossbreeding dalamprogram inseminasi buatan terhadap kinerja reproduksi dan budidaya sapi potong. Wartazoa 19(2): 93102.

Diwyanto, K. 2012. Optimalisasi teknologi IB untuk mendukungusaha agribisnis sapi perah dan sapi potong. Bunga rampai.Puslitbang Peternakan, Bogor.

Fordyce, G., T. Panjaitan, Muzani and D. Poppy. 2003. Managementto facilitate genetic improvement of bali cattle in EasternIndonesia. In K. Entwistle and D.R. Lindsay (Eds.). ACIARProceedings No. 110, Canberra.

Hardjosubroto, W. 1994. Aplikasi Pemuliabiakan Ternak diLapangan. PT Gramedia Widia Sarana Indonesia, Jakarta.

Haryanto, B., I. Inounu, IGM Budi Arsana, dan K. Diwyanto. 2002.Panduan Teknis. Sistem Integrasi Padi-Ternak. Badan Penelitiandan Pengembangan Pertanian, Jakarta. 16 hlm.

Ilham, N. 2006. Analisis sosial ekonomi dan strategi pencapaianswasembada daging 2010. Analisis Kebijakan Pertanian 4(2):131145.

Inounu, I. dan A.R. Setioko. 2005. Dukungan inovasi teknologiuntuk pengembangan usaha peternakan di lahan kering. DalamR. Utomo, S.P.S. Budhi, B. Suhartanto, Zuprizal, Y. Erwanto,B. Suwignyo, dan N. Umami (Ed.). Prosiding Seminar NasionalPengembangan Usaha Peternakan Berdaya Saing di LahanKering. Fakultas Peternakan, Universitas Gadjah Mada,Yogyakarta. hlm. 510.

Jonatan. 2014. Hambatan pengembangan sapi di NTT bukan semataiklim. http//satutimor.com/hambatan-sosial-pengembangan-sapi-di ntt-dalam-iklim-yang-berubah.php.

Kementerian Pertanian. 2014. Blue print Program SwasembadaDaging Sapi 2014. Direktorat Jenderal Peternakan, KementerianPertanian, Jakarta.

Marhadi. 2009. Peremajaan  padang  penggembalaan. http//marhadinutrisi06.blogspot.com/2009/12/Padang-Penggembalaan/html.

McIllroy,  R.J.  1976.  Pengantar  Budi Daya  Padang  Rumput  Tropika.(Diterjemahkan oleh  S.  Susetyo, Soedarmadi, I. Kismono dan  S.Harini I. S.). Pradnya  Paramit, Jakarta. 

Pane, I. 1991. Produktivitas dan breeding sapi bali. Prosiding SeminarNasional Sapi Bali, 23 September 1991. Fakultas PeternakanUniversitas Hasanudin, Ujung Pandang.

Prabowo. 2009. Tingkat kebuntingan sapi potong pascainseminasidengan variasi metode thawing. LPPM UGM, Yogyakarta.

Priyanto, D. 1998. Timor Timur sebagai potensi sapi potong untukdiantarpulaukan: Analisis karakterisasi sosioekonomi pelakuusaha ternak. Prosiding Dinamika Ekonomi Pedesaan danPeningkatan Daya Saing Sektor Pertanian. Pusat PenelitianSosial Ekonomi Pertanian, Bogor. hlm. 4755.

Priyanto, D. dan D. Yulistiani. 2005. Estimasi dampak ekonomipenelitian partisipatif penggunaan obat cacing dalammeningkatkan pendapatan peternak domba di Jawa Barat.Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. PusatPenelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. hlm. 512520.

Priyanto, D. 2011. Strategi pengembangan usaha ternak sapi potongdalam mendukung swasembada daging sapi dan kerbau tahun2014. J. Litbang Pert. 30(3): 108116.

Ratu. 2016. Sejarah singkat peternakan Provinsi Nusa TenggaraTimur. http://www.disnakprovntt.web.id/index.php?option=com-content&task=view&=38hemid=4.

Reksohadiprodjo, S. 1985. Produksi Hijauan Makanan TernakTropik. Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada,Yogyakarta.

Robinson, H. 1995. Komposisi Jenis hijauan pada padang savanapenggembalaan di Desa Oemasi, Timor, NTT. ProsidingSeminar Nasional Peternakan dan Veteriner, Cisarua Bogor, 78 November 1995. Pusat Penelitian dan PengembanganPeternakan, Bogor. hlm. 545–552.

Soedjana, T.D. 2012. Geo-ekonomi industri sapi potong di Indonesia.Membumikan IPTEK Pertanian. IAARD Press, Jakarta. hlm.5070.

Suara Pembaharuan 2016. Selamatkan anak sapi di NTT, Australiabantu Rp. 250 miliar/tahun. Suara Pembaharuan, 4 April 2016.

Subagyono, D. 2004. Prospek pengembangan ternak pola integrasidi kawasan perkebunan. Prosiding Sistem Integrasi Tanaman –Ternak. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan bekerjasama dengan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali danCrop-Animal Systems Research Network (CASREN). hlm. 1317.

Subiyakto, S. Rasminah, G. Mudjiono, dan Syekhfani. 2005. Pengaruhbobot mulsa jerami padi terhadap kelimpahan mikro-arthropodatanah pada tumpang sari kapas dan kedelai. Prosiding SeminarNasional dan Kongres Biologi XIII dalam rangka Lustrum XFakultas Biologi Universitas Gadjah Mada, September 2005.hlm. 314323.

Subiyakto dan IGAA. Indrayani. 2008. Pengendalian serangan hamakapas menggunakan mulsa jerami padi. Perspektif 7(2): 5564.

Sudana, W., U.S. Nugraha, dan M. Syukur. 2006. Kebijakanpengkajian dan pengembangan teknologi pertanian dalamrangka memantapkan ketahanan pangan dan meningkatkanpendapatan petani lahan kering. Prosiding Seminar NasionalKomunikasi Hasil-Hasil Penelitian Bidang Tanaman Pangan,Perkebunan dan Peternakan dalam Sistem Usaha Tani LahanKering. Kupang 2627 Juli 2006. Balai Besar Pengkajian danPengembangan Teknologi Pertanian, Bogor. hlm. 2025.

Sudaryanto, B. dan D. Priyanto. 2010. Degradasi padangpenggembalaan. Dalam K. Suradisastra, S.M. Pasaribu, B.Sayaka, A. Dariah, I. Las, Haryono, dan E. Pasandaran.Membalik Kecenderungan Degradasi Sumber Daya Lahan danAir. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta.hlm. 97112.

Sumadi. 2009. Sebaran Populasi, Peningkatan Produktivitas danPelestarian Sapi Potong di Pulau Jawa. Pidato PengukuhanJabatan Guru Besar dalam Bidang Produksi Ternak pada FakultasPeternakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 30 Juni 2009.

Suryana, A. dan A. Rachman. 2006. Kebijakan penelitian danpengembangan pertanian lahan kering menuju ketahanan pangandan peningkatan pendapatan petani. Prosiding Seminar NasionalKomunikasi Hasil-Hasil Penelitian Bidang Tanaman Pangan,Perkebunan dan Peternakan dalam Sistem Usaha Tani LahanKering. Kupang 2627 Juli 2006. Balai Besar Pengkajian danPengembangan Teknologi Pertanian, Bogor. hlm. 110.

Teras NTT. 2016. Marak pencurian ternak sapi di Fatuleu. http//wwwterasntt.com/marak-pencurian-ternak-sapi-di-fatuleu.

Tonbesi, T.T., N. Ngadiyono, dan Sumadi. 2009. Estimasi potensidan kinerja sapi bali di Kabupaten Timor Tengah Utara ProvinsiNTT. Bulletin Peternakan 33(1): 3039.

Wirdahayati, R.B. 2010. Dukungan teknologi terhadap pengelolaansapi potong di Nusa Tenggara Timur. http://www.reseachgate.net/publikasi/229344978.-dukungan-teknologi-terhadap-pengembangan-sapi-potong-di-nusa-tenggara-timur.

Page 28: JURNAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN

Hama penggerek tebu dan perkembangan teknik pengendaliannya .... (Subiyakto) 179

HAMA PENGGEREK TEBU DAN PERKEMBANGAN TEKNIKPENGENDALIANNYA

Sugarcane Borers and Development of Control Techniques

Subiyakto

Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan SeratJalan Raya Karangploso km 4, Kotak Pos 199 Malang 65152, Indonesia

Telp . (0341) 491447, Faks. (0341) 485121E-mail: [email protected], [email protected]

Diterima: 29 Mei 2016; Direvisi: 13 September 2016; Disetujui: 4 Oktober 2016

Jurnal Litbang Pertanian Vol. 35 No. 4 Desember 2016: 179-186 DOI: 10.21082/jp3.v35n4.2016.p179-186

ABSTRAK

Upaya peningkatan produktivitas tanaman tebu sering terkendalaoleh serangan hama. Hama pada tanaman tebu menyebabkanpenurunan produksi gula sekitar 10%. Hama penting pada tanamantebu ialah penggerek pucuk dan tiga jenis penggerek batang.Perkembangan teknologi pengendalian hama penggerek padatanaman tebu berjalan lambat. Teknologi pengendalian hama yangdigunakan masih berdasar pada pengembangan tebu di lahan sawah.Bergesernya pengembangan tebu ke lahan tadah hujan seharusnyadiikuti perubahan teknologi pengendalian hama. Tulisan inimenginventarisasi komponen teknologi pengendalian hama padatanaman tebu dan merakitnya menjadi paket teknologi pengen-dalian hama di lahan tadah hujan. Paket pengendalian hama padatanaman tebu yang disarankan ialah 1) pengelolaan lahan, misalnyapengembalian residu tanaman ke lahan dan menanam tanamanpupuk hijau di antara barisan tanaman tebu untuk meningkatkankeragaman anthropoda terutama predator, 2) menanam benihbebas hama dan menggunakan varietas toleran untuk mencegahpenyebaran hama di pertanaman, 3) memantau dinamika populasihama di lapangan. 4) pengendalian hayati, antara lain menggunakanparasitoid telur Trichogramma chilonis, 5) pengendalian secaramakanis dengan mengambil telur dan ulat dan memusnahkannyaserta melakukan roges pada pucuk tanaman yang terserang hamapenggerek pucuk, (6) pengendalian secara kimiawi, merupakantindakan terakhir apabila cara pengendalian lain tidak berhasilmenekan populasi hama, misalnya dengan karbofuran, dan 7)pengendalian berdasarkan peraturan pemerintah/undang-undanguntuk menekan penyebaran hama dari suatu daerah ke daerah lain.

Kata kunci: Tebu, penggerek tebu, gejala kerusakan, kerugian,biologi, teknik pengendalian, paket pengendalian

ABSTRACT

Effort has been made to improve sugarcane productivity, but itoften confronted by pests. Pests in sugarcane caused a loss of about10% sugar production. In sugarcane, pests that are considered tobe most important are shoot borer and three types of stem borer.Until now there has been obtained control technology for reducingpopulation of the bore pests. In fact the development of pest controltechnology in sugarcane is relatively slow. Pest control technologyused is based on the development of sugarcane in wetland. Shifting

of sugarcane development to dryland should be followed bychanges in pest control technology. This paper aimed to inventorythe components of pest control technology available in sugarcaneand following up into packets of pest control technology indryland. Packages of pest control in sugarcane that recommendedto be applied are 1) land management that focused on thereturning crop residues to the soil and planting green manurecrops between rows of sugarcane to increase the diversity ofarthropods, especially predators, 2) planting pest-free seed andusing tolerant varieties to prevent the spread of pests in the field,3) monitoring population dynamics of the pest in the field, 4)biological control, among others, using the egg parasitoidTrichogramma chilonis, 5) control to mechanical manner, such asby taking the egg and caterpillar and destroy it, including rogeson the plant shoots attacked by shoot borers, 6) chemical control,the final act when other control methods failed to suppress pestpopulations, such as carbofuran, and 7) control based ongovernment regulation/law legislation to suppress the spread ofpests from one region to another.

Keywords: Sugarcane, sugarcane borers, symptoms of damage,crop losses, biology, control techniques, control package.

PENDAHULUAN

Upaya untuk meningkatkan produktivitas tanamantebu sering terkendala oleh serangan hama. Hal ini

karena tanaman tebu mudah terserang berbagai jenishama. Lebih dari 100 jenis hama menyerang tanaman tebu,terutama dari jenis serangga (Achadian et al. 2011). Hamayang sering merusak tanaman tebu ialah hama penggerek,baik penggerek batang maupun penggerek pucuk, yangdapat menurunkan produksi gula antara 5273% (Samoedi1995).

Ada tujuh jenis hama penggerek yang seringditemukan di lapangan (Tabel 1). Empat jenis di antaranyamenyebabkan kerugian secara ekonomi, yaitu penggerekpucuk Scirpophaga excerptalis Walker (Lepidoptera:Pyralidae), penggerek batang berkilat Chilo auriciliusDudgeon (Lepidoptera: Pyralidae), penggerek batangbergaris Chilo saccharariphagus Bojer (Lepidoptera:Pyralidae), dan penggerek batang raksasa Phragma-

Page 29: JURNAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN

180 J. Litbang Pert. Vol. 35 No. 4 Desember 2016: 179-186

taecia castanea Hubner (Lepidoptera: Cossidae) sertatiga jenis penggerek lain yang menyebabkan kerugianekonomi ringan (Pawirosemadi 2011).

Tingginya kehilangan hasil oleh hama penggerek ditingkat petani disebabkan oleh terbatasnya informasimengenai biologi hama penggerek. Selain itu, komponenteknologi pengendalian hama kurang banyak mengalamikemajuan. Teknologi pengendalian hama yang selama iniditerapkan petani disusun berdasarkan hasil penelitiansebelum tahun 1975 dan ditujukan untuk pengembangantebu pada agroekosistem lahan sawah. Seiringditerapkannya Tebu Rakyat Intensifikasi sejak tahun1975, pengembangan tebu bergeser dari lahan sawah kelahan tadah hujan. Saat ini pertanaman tebu sebagianbesar (7080%) berada di lahan tadah hujan. Pergeseranarea pengembangan tebu ini seharusnya diikuti olehperubahan teknologi pengendalian hama.

Tulisan ini menyajikan informasi biologi hamapenggerek pada tanaman tebu, komponen teknologipengendalian hama yang tersedia, dan komendasi paketteknologi pengendalian hama terpadu (PHT) berbasisekologi pada tanaman tebu.

HAMA PENGGEREK TANAMAN TEBU

Hama penggerek pada tanaman tebu yang menyebabkankerugian ekonomi tinggi ialah penggerek pucuk,penggerek batang berkilat, penggerek batang bergaris,dan penggerek batang raksasa. Gejala kerusakan,kerugian ekonomi, dan biologi masing-masing hamatersebut diuraikan sebagai berikut.

Penggerek Pucuk

Gejala

Serangan penggerek pucuk dimulai dari tunas umur 2minggu sampai tanaman dewasa (Samoedi 1995). Hama inimerusak tanaman melalui tulang daun pupus denganmembuat lorong gerekan menuju ke bagian tengah pucuksampai ruas muda, merusak titik tumbuh dan selanjutnyatanaman mati (Gambar 1a).

Kerugian

Penggerek pucuk dijumpai di berbagai daerah pengem-bangan tebu. Di Sumatera Selatan, populasi hama ini mulaimuncul pada umur tanaman 29 bulan, tetapi puncakpopulasi tertinggi terjadi pada tanaman berumur 6 bulan(Samoedi 1993a). Menurut Samoedi (1995), seranganpenggerek pucuk pada 5 bulan sebelum tebang dapatmenurunkan produksi gula 52,973,4% (Tabel 2). Hansdalam Pawirosemadi 2011) melaporkan bahwa 50%batang tebu terserang penggerek pucuk dengan perkiraankerugian 8,9%. Pada tahun 1987, hama penggerek tunasmenyebabkan kehilangan hasil tebu hingga 32 t/ha atausetara gula 3 t/ha di Papua Nugini (Kuniata 2010). DiLampung, penggerek pucuk menyebabkan kerusakanpucuk rata-rata 4,3710,03% selama 10 tahun (Goebel etal. 2010).

Tabel 1. Nama umum hama penggerek tebu, nama ilmiah, bagian tanaman yang diserang, dan kerugian ekonomi yangditimbulkan.

Nama umum Nama ilmiah Bagian tanaman yang diserang Kerugian ekonomi

Penggerek pucuk tebu Scirpophaga excerptalis Walker Batang melalui tulang daun pupus Tinggi1)

(Lepidoptera: Pyralidae)

Penggerek batang berkilat Chilo auricilius Dudgeon Ruas batang melalui daun dan pelepah Tinggi(Lepidoptera: Pyralidae)

Penggerek batang bergaris Chilo saccharariphagus Bojer Ruas batang melalui daun dan pelepah Tinggi(Lepidoptera: Pyralidae)

Penggerek batang raksasa Phragmataecia castanea Hubner Ruas batang melalui pelepah Tinggi(Lepidoptera: Cossidae)

Penggerek abu-abu Tetramoera schistaceana Snellen Bagian basal tebu muda (mati puser) Ringan2)

(Lepidoptera: Totricidae) atau batang beruas

Penggerek jambon Sesamia inferens Walker Batang tebu (mati puser pada tunas) Ringan(Lepidoptera: Noctuidae)

Penggerek kuning Chilo influscatellus Snellen Pelepah daun ke titik tumbuh Ringan(Lepidoptera; Crambidae) (mati puser)

1) Kerusakan ekonomi 5070%; 2) Kerusakan ekonomi < 25%.Sumber: Pawirosemadi (2011).

Page 30: JURNAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN

Hama penggerek tebu dan perkembangan teknik pengendaliannya .... (Subiyakto) 181

Biologi

Telur diletakkan secara berkelompok di bawahpermukaan daun dan ditutupi bulu-bulu berwarnacokelat kekuningan, panjang kelompok telur sekitar 22mm (Gambar 1b). Bentuk telur lonjong, berwarna putihkelabu, ukuran 1 mm. Stadia telur 89 hari. Ulat yang barumenetas menggerek dan menembus daun muda yangmasih belum membuka, menuju ke tulang daun untukmembuat lorong gerekan ke titik tumbuh. Ulat mudaberwarna putih dan ulat dewasa putih kekuningan,panjang sekitar 30 mm (Gambar 1c). Dalam satu batangtebu biasanya hanya dijumpai satu ekor ulat. Stadia ulatmencapai 35 hari. Pupa berada di dalam lubang gerekan,berwarna kuning pucat, panjang sekitar 20 mm. Stadiapupa berlangsung 812 hari. Dewasa atau ngengatberwarna putih, panjang sekitar 20 mm (Gambar 1d).Ngengat betina ditandai seberkas rambut merah oranyedi ujung abdomen. Ngengat berwarna putih, beukuran4550 mm. Ngengat betina bertelur pada malam hari, satubetina mampu bertelur 6070 butir (Samoedi 1986). DiIndia satu betina rata-rata bertelur 94,15 butirbergantung pada suhu. Suhu yang paling sesuai untukbertelur ialah 2735 C, di atas atau di bawah suhutersebut produksi telur menjadi berkurang (Kumar danRana 2014).

Penggerek Batang Berkilat

Gejala

Serangan penggerek batang biasanya dijumpai padatanaman tebu berumur 5 bulan ke atas. Gejalaserangannya diawali munculnya bercak-bercaktransparan berbentuk bulat oval di daun. Ulat masuk lewatpelepah dan batang tanaman tebu, kadang menyebabkanmati puser. Lubang gerekan di dalam batang terlihat lurus,sedangkan lubang keluar pada batang terlihat bulat.Kadang gerekan mengenai mata tunas sehingga tunasmenguning dan mengering, biasanya terjadi pada awalatau akhir musim hujan. Hama ini juga menyerang tanamanpadi dan jagung (Achadian et al. 2011).

Kerugian

Serangan hama penggerek batang menyebabkanpenurunan hasil gula sekitar 10%. Jenis hama ini bersamadengan penggerek pucuk menyebabkan kerusakanbatang sekitar 14,5% (Goebel et al. 2014). Di Bangladesh,penggerek batang tebu menyebabkan infestasi ruasbatang tebu 2336% (Rahman et al. 2013). Di Pakistan,hama ini menyebabkan kehilangan hasil tebu 3070%(Chohan et al. 2014).

Gambar 1. Serangan penggerek pucuk pada tanaman tebu: (a) gejala kerusakan, (b) telur, (c) ulat, dan (d) ngengat (Foto: Sujak).

a dcb

Tabel 2. Persentase penurunan hasil panen tebu yang terserang penggerek pucuk sebelum tebang.

Saat batang Waktu sebelumKerugian gula (%)

tebu mati tebang (bulan) Varietas PS56 Varietas BZ132 Varietas BZ148

Januari 5 73,4 52,9 66,9Februari 4 50,7 42,3 53,5Maret 3 38,0 31,8 40,1April 2 25,4 21,2 26,7Mei 1 12,7 10,6 13,4

Sumber: Samoedi (1995).

Page 31: JURNAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN

182 J. Litbang Pert. Vol. 35 No. 4 Desember 2016: 179-186

Biologi

Telur diletakkan secara berkelompok di bawah permukaandaun, panjang sekitar 20 mm, bentuk lonjong atau tidakteratur, berwarna putih kelabu 25 baris. Ulat setelahmenetas bergerak lewat pelepah dan batang tebu. Ulatberwarna putih kekuningan dengan panjang sekitar 25mm. Pupa diletakkan di dalam lubang gerekan, berwarnakuning pucat. Panjang pupa sekitar 15 mm. Ngengatjantan lebih kecil dibanding ngengat betina. Sayap depancokelat terang sampai cokelat kusam. Ngengat jantanmemiliki sayap belakang putih-cokelat, betinanyaberwarna putih sutera. Satu betina mampu bertelur 6070butir (Achadian et al. 2011).

Penggerek Batang Bergaris

Gejala

Serangga merusak daun, yang ditandai denganmunculnya bercak-bercak transparan memanjang tidakberaturan di daun (Gambar 2a). Ulat merusak daun dengancara masuk lewat pelepah dan batang. Lubang gerekanberada di dalam batang dan lubang keluar bentuknya tidakberaturan (Gambar 2b). Jenis hama ini merusak tanamantebu di berbagai negara, termasuk di Mauritus (Facknath1989).

Kerugian

Setiap 1% kerusakan ruas tanaman tebu dapatmenurunkan bobot tebu 0,5%. Di Lampung, rata-ratadalam 10 tahun hama ini menyebabkan kerusakan 4,7511,66% (Goebel 2011).

Biologi

Telur diletakkan berkelompok, berderet panjang sekitar 20mm (Gambar 2c). Ulat berwarna putih kekuningan, denganciri empat garis membujur dengan bintik-bintik hitam(Gambar 2d). Ulat dapat mencapai panjang 35 mm. Pupaberbentuk gilig dan berwarna cokelat dengan panjang 22mm. Serangga dewasa atau ngengat panjangnya 1218mm. Sayap depan berwarna cokelat terang atau cokelatkusam. Sayap belakang yang jantan berwarna putih-cokelat terang, sedangkan sayap betina berwarna putihsutra (Achadian et al. 2011).

Penggerek Batang Raksasa

Gejala

Ulat penggerek batang raksasa biasanya menyerangtanaman yang beruas muda, dan dapat menyebabkan matipuser. Apabila menyerang tanaman yang beruas tuaterkadang menyebabkan ruas habis digerek dan tanamantebu mati (Boedijono 1980). Hama ini dijumpai menyerangtebu liar di dataran tinggi, di Jawa dan Sumatera(Kalshoven 1981).

Kerugian

Tiap satu persen kerusakan ruas dapat menurunkanproduksi gula hingga 0,89%. Serangan yang parahmenyebabkan kerusakan sampai 60% (Thompson 1977).

Biologi

Telur diletakkan berderet berwarna kuning keputihan,panjang sampai 30 mm, diletakkan di daun-daun kering

Gambar 2. Gejala serangan (a), lubang gerek (b), telur (c), dan ulat (d) (Foto: Sujak).

a

c

db

Page 32: JURNAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN

Hama penggerek tebu dan perkembangan teknik pengendaliannya .... (Subiyakto) 183

atau pucuk kering bekas mati puser. Masa telur 910 hari.Ulat berwarna putih kemerahan dengan panjang 3555mm. Masa ulat 7882 hari. Karena ukuran ulat yang relatifbesar, ulat ini sering disebut sebagai penggerek batangraksasa. Pupa berwarna cokelat, panjang sampai 25 mm.Masa pupa 1518 hari. Serangga dewasa atau ngengatpanjangnya sampai 30 mm, sayapnya berwarna cokelat,biasanya tertarik pada cahaya (Boedijono 1980).

PENGENDALIAN HAMA

Sesuai dengan dinamika perkembangan teknologi, teknikpengendalian hama dapat dibedakan menjadi empat, yaitu1) pengendalian hama secara tradisional dan alami(sebelum 1942) melalui kultur teknis, pranoto mongso,pestisida alami, dan pestisida nabati, 2) pengendalian hamaberbasis pestisida kimia (19421985), 3) pengen-dalianhama terpadu (PHT) berbasis keseimbangan lingkungan(19862000), dan 4) PHT berbasis ekologi (2000sekarang)(Untung 2006). Perkembangan PHT pada tanaman tebuberjalan lambat dan masih berbasis teknologi. Hal initerlihat dalam tindakan pengendalian, yang meliputimonitoring hama secara intensif, penanaman benih tebubebas hama, pengolahan tanah yang baik, pergilirantanaman, pengaturan waktu tanam, penanaman varietastoleran hama, pengambilan telur, larva dan imago secaralangsung maupun dengan bantuan alat danmemusnahkannya, pengendalian hayati denganmenggunakan parasitoid telur, penggunaan jamurMetarhizium, pestisida nabati, dan peraturan pemerintah/undang-undang.

PHT pada tanaman tebu seharusnya sudah sampaipada PHT berbasis ekologi, yaitu PHT tidak hanyasebatas penerapan teknologi, tetapi berkembang menjadisuatu konsep mengenai proses penyelesaian masalahekologi. Pemikiran PHT berbasis ekologi didorong olehpengembangan dan penerapan PHT berdasarkan padapengertian ekologi lokal hama dan pemberdayaan petani.PHT berbasis ekologi disesuaikan dengan masalah yangada di setiap lokasi. PHT lebih menekankan padapengelolaan proses dan mekanisme ekologi lokaldaripada intervensi ekologi.

Menurut Meyer (2011), praktik pengelolaan hamapada tanaman tebu dapat dilakukan dengan 1)pengelolaan lahan sebelum panen dan kultur teknis, 2)pengelolaan lahan setelah panen, 3) pengendalian hayati,dan 4) pengendalian secara kimiawi. Namun dalam tulisanini untuk memudahkan pelaksanaan di lapangan,pengendalian hama pada tanaman tebu dibagi menjaditujuh bagian, yaitu 1) pengelolaan lahan, 2) penggunaanbenih bebas hama dan penanaman varietas toleran, 3)monitoring, 4) pengendalian hayati, 5) pengendaliansecara makanis, 6) pengendalian secara kimiawi, dan 7)pengendalian berdasarkan peraturan pemerintah/undang-undang.

Pengelolaan Lahan

Langkah utama dalam pengendalian hama melaluipengelolaan lahan ialah mengembalikan residu tanamanyang meliputi daun dan pucuk tanaman tebu (Gambar 3)dan menanam tanaman pupuk hijau Clotalaria juncea diantara barisan tanaman tebu (Gambar 4). Tanaman pupukhijau ditebang setelah berumur sekitar 2 bulan danbiomassanya dikembalikan ke lahan. Pengembalian residutanaman ke lahan dapat meningkatkan bahan organiktanah (Dalchiavon et al. 2013; Suma dan Savitha 2015),memperkaya keragaman arthropoda (Doube dan Schmidt1998; Straalen 1998), memperbaiki kinerja mikroba tanah(Roper dan Ophel-Keller 1998; Sparling 1998),meningkatkan keragaman hayati tanah (Lio et al. 2014),meningkatkan aktivitas predator (Kingstone et al. 2007),dan memperbaiki kualitas tanah dan produksi tebu(Muñoz-Arboleda dan Quintero-Duran 2009).

Dalam pengendalian hama pada tanaman tebu,peningkatan keragaman hayati akan memberikan berbagaikeuntungan terhadap kinerja musuh alami (Selvi danDayana 2015). Keragaman hayati yang tinggi merupakanindikator ekosistem yang stabil (Inayat et al. 2010).Berbagai arthropoda misalnya musuh alami (parasitoid

Gambar 3. Pengembalian residu tanaman meningkatkankeragaman arthropoda (Foto: Sujak).

Gambar 4. Tanaman Clotalaria juncea meningkatkan diversitasarthropoda (Foto: Subiyakto).

Page 33: JURNAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN

184 J. Litbang Pert. Vol. 35 No. 4 Desember 2016: 179-186

dan predator), serangga penyerbuk, serangga netral, danmikroba pengurai dapat berperan secara optimal. Olehkarena itu tidak dianjurkan membakar residu tanamankarena dapat menurunkan populasi predator, antara lainsemut, laba-laba, dan kumbang helm, selain berdampaknegatif terhadap tanah, terutama karbon organik tanahSajjad et al. (2012). Pembakaran residu tanamanmenyebabkan penurunan sekitar 15% stok karbon totaldalam 030 cm lapisan tanah (Sornpoon et al. 2013).

Menanam Benih Bebas Hamadan Varietas Toleran

Benih tebu bersertifikat adalah benih yang dijamin sehatatau bebas hama dan penyakit serta terjaga kemurnian-nya. Penanaman benih tebu yang terinfeksi hama akanmenjadi sumber hama di pertanaman. Penggunaanvarietas tebu toleran hama merupakan komponen pentinguntuk mengurangi kerugian ekonomi yang disebabkanoleh hama penggerek. Cara ini dapat dipadukan dengankomponen pengendalian hama yang lain.

Secara umum varietas tebu yang toleran penggerek,daunnya memiliki sedikit bulu sehingga imago sulitmeletakkan telur, daun tua mudah mengelentek sendiri,tulang daun utama keras, diameter batang relatif besar,dan batang keras (Leslie 2004). Varietas tebu yang toleranterhadap hama penggerek antara lain PSJT 941, PS 851, PS891, PS 921, dan PSBM 88-144 (Achadian et al. 2011).

Monitoring Hama

Monitoring atau pemantauan hama dapat dibagi menjaditiga kategori, yaitu 1) pemantauan luas, 2) pemantauan dipertanaman, dan (3) pemantauan dengan perangkap (Dent1991). Pemantauan secara luas bertujuan mengetahuidistribusi geografis hama dalam setiap musim, mem-prediksi terjadinya ledakan hama, dan mengidentifikasimigrasi jenis hama. Pemantauan hama di pertanamanbertujuan mengambil keputusan perlunya dilakukanpengendalian atau tidak. Jika hasil pemantauan dipertanaman tersebut mencapai ambang pengendalianhama penggerek batang, yaitu tercapai kerusakan 2%untuk kebun bibit dan 5% untuk tebu giling, harusdilakukan tindakan pengendalian. Pemantauan hamadengan perangkap antara lain dilakukan dengan

perangkap lampu, perangkap lem, dan feromon.Pemantauan dimaksudkan untuk mengetahui dinamikapopulasi hama sepanjang musim.

Pengendalian Hayati

Pengendalian hayati merupakan komponen penting dalampengendalian hama penggerek pada tanaman tebu. DiBrasil, mulai tahun 1988 telah dilakukan pengendalianhayati dengan pelepasan secara rutin parasitoid larvatachinid dan braconid untuk mengendalikan penggerek.Berdasarkan evaluasi, pelepasan parasitoid dapatmengurangi intensitas infestasi hama penggerek dari 10%menjadi 3%. Di Venezuela, pelepasan parasitoid dapatmenurunkan tingkat infestasi dari 16% (tahun 1947)menjadi 2% (tahun 1996) (Leslie 2004).

Di Indonesia, pengendalian hayati dilakukan denganpelepasan parasitoid lalat Jatiroto Diatraeophagasriatalis 30 pasang/ha. Pelepasan lalat tersebut dapatmenurunkan serangan penggerek batang dari 18%menjadi 6% (Boedijono1977). Di India, penggerek batangdikendalikan dengan pelepasan parasitoid telurTrichogramma chilonis setiap10 hari sekali dengan dosis50.000 ekor/ha (Anonim 2009). Di Pakistan, T. chilonisdosis 60.000 ekor/ha efektif menekan populasi penggerekbatang (Shahid et al. 2007; Saljoqi dan Walayati 2013).Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa pelepasanparasitoid telur T. chilonis setiap minggu dosis 100 ribuekor per ha efektif menekan 8% kerusakan batang yangdisebabkan oleh penggerek dan meningkatkan produksitebu 35 t/ha (Tabel 3; Goebel et al. 2010).

Pengendalian secara Mekanis

Apabila terjadi serangan penggerek di pucuk tanaman(Gambar 5a), pucuk dapat diroges atau dipotong sedikitdemi sedikit, dimulai dari pucuk ke bawah (Gambar 5b).Pelaksanaan roges dapat dimulai pada saat tanaman tebuberumur dua bulan sampai enam bulan. Rogesan intensifdapat mengurangi kerusakan serangan penggerek pucuksampai 50% atau menyelamatkan gula 283 kg/ha (Samoedi1977; Tabel 4). Pengendalian mekanis juga dapatdilakukan dengan memusnahkan telur dan larva yangdijumpai di tanaman.

Tabel 3. Pengaruh pelepasan Trichogramma terhadap tingkat kerusakan dan produksi tebu.

PerlakuanRuas rusak Produksi tebu Tambahan produksi

(%) (t/ha) (t/ha)

Kontrol (tidak dilepas) 33,1 115 -Trichogramma 80 ribu ekor 30,7 132 17Trichogramma 100 ribu ekor 25,4 150 35

Sumber: Goebel et al. (2010).

Page 34: JURNAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN

Hama penggerek tebu dan perkembangan teknik pengendaliannya .... (Subiyakto) 185

Pengendalian secara Kimiawi dan Nabati

Pengendalian secara kimiawi dengan insektisida dila-kukan apabila cara pengendalian lain tidak memberikanhasil. Insektisida dapat diaplikasikan apabila telahtercapai ambang pengendalian. Ambang pengendalianhama penggerek pucuk ialah apabila tercapai kerusakan2% untuk kebun bibit dan 4% untuk tebu giling.Insektisida yang dianjurkan antara lain insektisidaberbahan aktif karbofuran 5G dengan dosis 2540 kg/ha,diaplikasikan di tanah. Penggunaan feromon pernahdicoba pada tahun 1991 (Samoedi 1993b), tetapipengendalian penggerek pucuk dengan feromon tidakberlanjut.

Pengendalian Berdasarkan Peraturan/Undang-undang

Pengendalian berdasarkan peraturan pemerintahmerupakan salah satu upaya mencegah pemasukan,penyebaran, dan meluasnya organisme pengganggu

tanaman berbahaya dari satu daerah ke daerah lain ataudari satu negara ke negara lain. Undang-undang karantinabertujuan mencegah meluasnya hama dan penyakit yangtelah diketahui atau mencegah masuknya hama danpenyakit baru ke dalam suatu daerah atau negara. Halyang sering terjadi adalah pengiriman benih yangterinfestasi hama dari daerah atau pulau satu ke pulau lain,kegiatan koleksi plasma nutfah, dan tukar-menukar plasmanutfah.

KESIMPULAN DAN SARAN

Terdapat tujuh jenis hama penggerek pada tanaman tebu,empat jenis di antaranya menyebabkan kerugian, yaitupenggerek pucuk, penggerek batang bergaris, penggerekbatang berkilat, dan penggerek batang raksasa.Perkembangan teknik pengendalian hama penggerek padatanaman tebu masih lambat dan teknologinyaberdasarkan hasil penelitian di lahan sawah, padahalakhir-akhir ini pengembangan tebu sebagian besar (7080%) di lahan tadah hujan. Oleh karena itu, sudah saatnyapengendalian hama pada tanaman tebu menerapkanpengendalian hama berbasis ekologi lahan tadah hujan.Rakitan teknologi pengendalian hama yang di-rekomendasikan ialah 1) pengelolaan lahan, 2) penanamanbenih bebas hama dan penggunaan varietas toleran, 3)monitoring hama, 4) pengendalian hayati, 5) pengendaliansecara mekanis, 6) pengendalian secara kimiawi, dan 7)pengendalian berdasarkan peraturan pemerintah/undang-undang.

DAFTAR PUSTAKA

Achadian, E.M., A. Kristiani, R.C. Magarey, N. Sallam, P. Samson,F.R. Goebel, dan K. Lonie. 2011. Hama dan Penyakit Tebu.Buku Saku. Kerja Sama P3GI dengan BSES Limited, Australiadan ACIAR. 154 hlm.

Anonim. 2009. IPM in Sugarcane. Assignment part of module B.XII-2009. Pulikesh Naidu. 29 pp.

Boedijono. 1980. Biology Phragmataecia castaneae Hubner, thegiant borer of Sumatra, Indonesia. Proc. ISSCT XVII(2); 16521656.

Gambar 5. Pucuk tanaman tebu yang terserang penggerek pucuk(a) dan pengendalian dengan roges (b) (Foto: Subiyakto).

a b

Tabel 4. Perbandingan kerusakan dan kerugian produksi gula yang diroges dan yang tidak diroges padavarietas PS41 di area PG Gempol, Cirebon.

Saat kematian Waktu sebelumDiroges intensif Tidak diroges

batang tebang (bulan) Batang rusak/ha Rugi gula/ha Batang rusak/ha Rugi gula/ha

November 5 176 019,29 2.734 299,81Desember 4 2.543 221,55 5.790 504,42Januari 3 4.157 242,37 5.585 325,63Februari 2 3.635 110,86 1.872 057,03Maret 1 4.128 035,54 2.697 023,22

Sumber: Samoedi (1977).

Page 35: JURNAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN

186 J. Litbang Pert. Vol. 35 No. 4 Desember 2016: 179-186

Boedijono. 1977. Biologi lalat jatiroto, Diatraephaga striatalis Tns.,dan penerapannya dalam pengendalian penggerek batang, Chiloauricilius Dudgeon. Berita No.1/1997, Pusat PenelitianPerkebunan Gula Indonesia, Pasuruan.

Chohan, M.A., M.S. Aasi, R.Z. Ali, S. Hussain, M. Yasir, M. Fiaz,R.K. Shahzad and Q.A. Rana. 2014. Entomological survey onpest complex in sugarcane crop in Toba Tek Singh. Int. J. Curr.Res. Chem. Pharma. Sci. 1(9): 74–77.

Dalchiavon, F.C., M.P. Carvalho, R. Montanari, M. Andreotti andE.A.D. Bem. 2013. Sugarcane trash management assessed bythe interaction of yield with soil properties. Revista Brasileirade Ciência do Solo 37(6): 1709–1719.

Dent, D. 1991. Insect Pest Management. 2nd edition. CABInternational. pp. 28–30.

Doube, B.M. and O. Schmidt. 1998. Can the abudance or activity ofsoil microfauna be used to indicate the biological health ofsoils?. In C.E. Pakhrust, B.M. Doube and V.V.S.R. Gupta. (Eds.).Biological Indicators of Soil Health CAB International. pp.265–295.

Facknath, S. 1989. Pest management and the African farmerbiological control of sugarcane pest in Mauritus: A case study.Int'l. J. Trop. Insect Sci. 10(6): 809–813.

Goebel, F.R. 2011. Report on a Visit to Gunung Madu Plantations(East Sumatra), 1417 November 2011. CIRAD. 19 pp.

Goebel, F.R., E. Roux, M. Marquer, J. Frandon and H. Do ThiKhanh. 2010. Biocontrol of Chilo sacchariphagus(Lepidoptera: Crambidae) a key pest of sugarcane: lessons fromthe past and future prospects. Sugarcane Int'l. 28(3): 128–132.

Goebel, F.R., E. Achadian and P. Meguire. 2014. The economicimpact of sugarcane moth borers in Indonesia. Sugar Technol.16(4): 405–410.

Inayat, T.P., S.A. Rana, H.A. Khan and K. Rehman. 2010. Diversityof insect fauna in cropland of district Faisalabad. Pak. J. Agric.Sci. 47(3): 245–250.

Kalshoven, L.G.F. 1981. Pests of Crops in Indonesia. Rev. by VanDer Laan. PT Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta. 701 pp.

Kingstone, G., J.H. Meyer, A.L. Garside, K.F. Ng Kee Kwong, A.A.Jeyabal and G.H. Korndorfer. 2007. Better managementpractices in sugarcane fields. Proc. Int'l. Sugarcane Technol.26: 3–20.

Kumar, P. and K.S. Rana. 2014. Fecundity of sugarcane top borer;Tryporyza (Scirpophaga) nivella (Fab.) at some districts ofWestern Uttar Pradesh. Int'l. J. Adv. Res. 2(11): 276–281.

Kuniata, L.S. 2010. Borer damage and estimation of losses causedby Sesamia grisescens Walker (Lepidoptera: Noctuidae) insugarcane in Papua New Guinea. Int'l. J. Pest Management.44(2): 93–98.

Leslie, G. 2004. Pest of sugarcane. In G. Leslie. (Ed.). Sugarcane.Blackwell Science Ltd a Blackwell Publishing Company. p. 78–100.

Lio, Q., G. Po Wei, G.F. Chen, B. Liu, D.L. Huang and Y.R. Li. 2014.Effect of trash addition to the soil on microbial communitiesand physico-chemical properties of soils and growth of sugarcaneplants. Sugar Technol. 16(4): 400–404.

Meyer, J. 2011. Good Management Practices Manual for the CaneSugar Industry. PGBI House, Woodmead East, Johannesburg,South Africa. p. 334–366.

Muñoz-Arboleda, F. and R. Quintero-Duran. 2009. Trash managementafter green cane harvesting and its effect on productivity andsoil respiration. Proc. Int'l. Soc. Sugarcane Technol. 27: 1–6.

Pawirosemadi, M. 2011. Dasar-dasar Teknologi Budidaya Tebu danPengolahan Hasilnya. S. Simoen (Ed.). Penerbit UniversitasNegeri Malang (UM Press). 811 hlm.

Rahman, M.A., M.S. Noman, M.A. Maleque, M.Z. Alam, S.A andM.K.A. Chowdhury. 2013. Identification and distribution ofsugarcane stem borer in Bangladesh. SAARC J. Agric. 11(2):103–116.

Roper, M.M. and K.M. Ophel-Keller. 1998. Soil microflora asbioindicators of soil health. In C.E. Pakhrust, B.M. Doube andV.V.S.R. Gupta (Eds.). Biological Indicators of Soil Health. CABInternational. pp. 157–178.

Sajjad, A., F. Ahmad, A.H. Makhdoom and A. Imran. 2012. Doestrash burning harm arthropods biodiversity in sugarcane? Int. J.Agric. Biol. 14: 1021–1023.

Saljoqi, A.U.R and W.K. Walayati. 2013. Management of sugarcanestem borer Chilo infuscatellus (Snellen) (Lepidoptera: Pyralidae)through Trichogramma chilonis (Ishii) (Hymenoptera:Trichogrammatidae) and selective use of insecticides. PakistanJ. Zool. 45(6): 1481–1487.

Samoedi, D. 1977. Pengaruh pemberantasan mekanis rogesanterhadap penggerek pucuk dan besar populasi parasit-parasittelurnya. Majalah Perusahaan Gula XIII(1): 123–129.

Samoedi, D. 1986. Population dynamics of the sugarcane top borerTryporyza novella intact Sn and its parasitoid in Central Java,Indonesia. Proc. ISSCT XIX: 596–603.

Samoedi, D. 1993a. Fluktuasi populasi musiman hama penggerekpucuk Tryporyza novella intact Sn. dan musuh alaminya diSumatera Selatan. Buletin Pusat Penelitian Perkebunan GulaIndonesia No. 139: 34–40.

Samoedi, D. 1993b. Sex pheromone for controlling the sugarcanetop moth borer Tryporyza novella (Leidoptera: Noctuidae).Buletin Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia No. 139:25–33.

Samoedi, D. 1995. Yield losses of commercial cane varieties due toTryporyza nivella in Java. Proc. ISSCT XXII: 610–617.

Selvi, VP.T. and M. Dayana.L. 2015. Biodiversity of insect insugarcane field at a Vadipati, Tamil Nadu, India. Int. Res. J. Env.Sci. 4(4): 74–79.

Shahid, M.R., A. Suhail, M.J Arif, M.D. Gogi, M.A. Shahzad and S.Hussain. 2007. Effectiveness of Trichogramma chilonis (Ishii)(Hymenoptera:Trichogrammatidae) against sugarcane stemborer (Chilo infuscatellus Snellen) (Lepidoptera: Pyrallidae).Pak. Entomol. 29(2): 141–146.

Sornpoon, W., S. Bonnet and S. Garivait. 2013. Effect of openburning on coil carbon stock in sugarcane plantation in Thailand.Int. J. Env. Ecol. Geol. Geophys. Engin. 7(11): 507–511.

Sparling, G.P. 1998. Soil microbae biomass, activity and nutrientcycling as indicators of soil health. In C.E. Pakhrust, B.M.Doube and V.V.S.R. Gupta (Eds.). Biological Indicators of SoilHealth. CAB International. p. 97–120.

Straalen, N.M. 1998. Community structure of soil sarthropods as abioindicator of soil health. In C.E. Pakhrust, B.M. Doube andV.V.S.R. Gupta. (Eds.). Biological Indicators of Soil Health.CAB International. p. 235–264.

Suma, R. and C.M. Savitha. 2015. Integrated sugarcane trashmanagement: a novel technology for sustaining soil health andsugarcane yield. Adv. Crop Sci. Technol. 3: 160.

Thompson, H.A. 1977. Laporan Peninjauan ke Kebun-kebunPercobaan Proyek Pengembangan Industri Gula. DirektoratJenderal Perkebunan, Jakarta.

Untung, K. 2006. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Edisi-2.Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. 348 hlm.

Page 36: JURNAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN

Sistem usaha tani kakao berbasis bioindustri pada .... (M. Basir Nappu dan Muh. Taufik) 187

SISTEM USAHA TANI KAKAO BERBASIS BIOINDUSTRI PADA SENTRAPENGEMBANGAN DI KABUPATEN LUWU SULAWESI SELATAN

Bioindustrial-Based Cocoa Farming in Development Areaof Luwu Regency, South Sulawesi

M. Basir Nappu dan Muh. Taufik

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi SelatanJalan Perintis Kemerdekaan km 17,5 Kotak Pos 1234, Makassar 90242, Indonesia

Telp. (0411) 556449, Faks. (0411) 554522E-mail: [email protected], [email protected]

Diterima: 4 Mei 2016; Direvisi: 29 September 2016; Disetujui: 7 Oktober 2016

Jurnal Litbang Pertanian Vol. 35 No. 4 Desember 2016: 187-196 DOI: 10.21082/jp3.v35n4.2016.p187-196

ABSTRAK

Kakao (Theobroma cacao L.) merupakan salah satu komoditasandalan perkebunan yang berperan cukup penting dalamperekonomian nasional, sebagai penyedia lapangan kerja, sumberpendapatan petani dan devisa negara, dan pengembanganagroindustri. Tulisan ini membahas sistem usaha tani kakao berbasisbioindustri di Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan, sebagai usaha taniramah lingkungan yang efisien, bernilai tambah, dan berdaya saingtinggi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengembangan sistemini melalui integrasi kakao-sapi dapat mendorong peningkatanproduktivitas tanaman kakao dan pengembangan sapi melaluipemanfaatan limbah kakao sebagai sumber pakan ternak sertalimbah ternak sebagai sumber pupuk organik dan energi. Penerapanmodel integrasi kakao-sapi dapat meningkatkan pendapatan petanihingga 45,9%. Efisiensi usaha ternak sapi pada pola integrasikakao-sapi terjadi melalui pemanfaatan kulit kakao dan tanamanpelindung (leguminosa) sebagai bahan pakan yang menghemattenaga kerja dalam penyediaan pakan hingga 50%. Efisiensipengelolaan kebun kakao terjadi melalui penghematan biayapenggunaan pupuk kandang yang mencapai 40%. Hasil analisisfinansial menunjukkan bahwa usaha tani integrasi kakao-sapi jauhlebih menguntungkan dibandingkan dengan nonintegrasi. Polaintegrasi mampu memberikan keuntungan Rp13,03 juta/ha/2 ekor/tahun, sedangkan keuntungan pada pola nonintegrasi hanya Rp7,84juta/ha/tahun. Pola integrasi memberikan nilai tambah Rp5,1 jutaatau 66% dengan incremental benefit cost ratio (IBCR) 1,08. Sistemini berpotensi untuk diimplementasikan di berbagai wilayahpengembangan kakao di Indonesia, sekaligus untuk mendukungprogram peningkatan populasi sapi.

Kata kunci: Bioindustri, usaha tani, integrasi, kakao, sapi

ABSTRACT

Cocoa (Theobroma cacao L.) is an important estate cropcommodity which plays a role in national economy for creatingjobs, farmers income, stock-exchange sources, and agro-industrydevelopment. This article discusses cacao farming bioindustry inLuwu Regency, South Sulawesi, as eco-friendly, efficient, valueadded, and competitive farming system. The main benefit is derivedfrom plants as a source of livestock feed and increasing plant

production due to utilization of compost as fertilizer. While thebenefit from livestock can be generated from livestock waste asorganic fertilizer and a source of energy. Implementation of themodel increased farming revenues by 45.9%. Cattle businessefficiency can be obtained from utilization of cocoa pods andlegume forage as feed sources which save labor allocation up to50%. Cocoa farming efficiency that is obtained through the use ofmanure as organic fertilizer reached 40%. Financial analysisshowed that integrated cocoa and livestock was more profitablethan non-integrated model. Within one year, the integration patternprovided profits of Rp13.03 million/ha/2 cattle, whereas non-integration pattern only provided net profit of 7.84 million/ha/year.Thus the integration pattern gave added value of Rp5.1 million or66% with an incremental benefit cost ratio (IBCR) of 1.08. Thesystem is potential to be developed in other cocoa developmentareas in Indonesia, as well as to support the increasing cowpopulation program.

Keywords: Bioindustries, farming system, integration, cocoa, cowlivestock

PENDAHULUAN

Kakao (Theobroma cacao L.) merupakan salah satukomoditas andalan perkebunan yang memiliki peran

cukup penting dalam perekonomian nasional, sebagaipenyedia lapangan kerja, sumber pendapatan petani dandevisa negara, serta pengembangan wilayah danagroindustri yang diharapkan mampu menciptakan tricledown effect dalam perekonomian nasional dan daerah(Fadjar et al. 2008; Taufik dan Sjafaruddin 2008; Tuty2009; Limbongan 2011a; 2012). Permintaan duniaterhadap kakao semakin meningkat dari tahun ke tahun.International Cocoa Organization (ICCO) memperkirakanproduksi kakao dunia pada tahun 2017 akan mencapai 4,50juta ton, sementara konsumsi akan mencapai 4,51 juta ton,sehingga akan terjadi defisit produksi sekitar 10 ribu tonper tahun (Suryani dan Zulfebriansyah 2007).

Sulawesi Selatan sebagai salah satu sentra pengem-bangan kakao di Indonesia pada tahun 2016 menghasilkankakao 114.258 ton, meningkat 7,9% dari tahun sebelumnya

Page 37: JURNAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN

188 J. Litbang Pert. Vol. 35 No. 4 Desember 2016: 187-196

sebesar 14.460 ton dengan produktivitas 810 kg/ha(Ditjenbun 2015). Nilai ekspor biji kakao Sulawesi Selatanmencapai USD149,89 juta dengan volume 64,43 ribu ton(BPS Sulawesi Selatan 2014).  Luas lahan kakao diSulawesi Selatan mencapai 241.553 ha. Dari produksikakao nasional 760.429 ton, 96% berasal dari perkebunanrakyat dengan melibatkan 1.710.772 kepala keluarga danhanya 4% dari perkebunan besar (Ditjenbun 2015).

Usaha tani kakao berpeluang untuk dibenahi baik dariaspek teknis maupun pengelolaannya. Salah satu upayauntuk meningkatkan produksi dan pendapatan petanikakao ialah melakukan rehabilitasi tanaman melaluisambung samping (side-cleft grafting). Menurut Salimdan Drajat (2008), penerapan teknologi sambung sampingpada tanaman kakao di Sulawesi Tenggara dapatmeningkatkan penerimaan petani menjadi Rp50 juta/ha/tahun. Tanaman kakao hasil sambung samping diKabupaten Mamuju Sulawesi Barat dapat menghasilkanbuah 50% lebih tinggi dibandingkan dengan tanamanyang belum dilakukan sambung samping (Syafruddin2010).

Pada tahun 2009 Kementerian Pertanian melaluiDirektorat Jenderal Perkebunan mencanangkan GerakanNasional Peningkatan Produksi dan Mutu Kakao, yangdikenal dengan Gernas Kakao. Tujuannya ialah untukmeningkatkan produksi, produktivitas, dan mutu hasilkakao melalui perbaikan budi daya tanaman danpengendalian hama dan penyakit. Sasaran utamanyaadalah: 1) peremajaan tanaman tua dan rusak, 2)intensifikasi produksi melalui pemupukan danpemeliharaan tanaman, dan 3) rehabilitasi tanamandengan menggunakan teknik sambung samping(Ditjenbun 2008). Sasaran rehabilitasi adalah tanamankakao yang telah cukup tua (lebih dari 10 tahun) dankurang produktif (Limbongan 2011a).

Pengembangan tanaman kakao terintegrasi denganternak merupakan salah satu teknologi intensifikasi usahatani kakao dan potensial dilaksanakan di Sulawesi Selatan.Hal ini ditunjang oleh populasi sapi potong di provinsi iniyang meningkat 8,2% dalam 5 tahun terakhir, dari 637.128ekor pada tahun 2008 menjadi 1.119.889 ekor pada tahun2012 (Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Sulsel2012; Ditjennak 2013). Intensifikasi tanaman kakao dapatmeningkatkan produksi biomassa kakao sebagai bahanpakan ternak. Di lain pihak, sapi potong akanmenghasilkan feses dan urine yang dapat diolah menjadipupuk organik untuk tanaman kakao dan salah satusumber energi terbarukan.

Hal lain yang menjadi isu aktual pada kakao duniaadalah tuntutan implementasi sistem pertanian yangberkelanjutan (sustainable) dan ramah lingkungan(ecofriendly) (Kementerian Pertanian 2014).Pengembangan usaha sapi potong sebaiknya dilakukanmelalui pendekatan pola integrasi dengan tanamanpangan atau hortikultura dan perkebunan agar limbah darikomoditas-komoditas tersebut dapat dimanfaatkan secaraoptimal.

Sistem pertanian bioindustri tanpa limbah sebagaisalah satu strategi untuk meningkatkan nilai tambah dandaya saing menuntut setiap lini produk mempunyai nilaijual sehingga penggunaan sumber daya menjadi efisiendan dapat menekan biaya produksi (Haryono 2014;Suswono 2014). Sistem usaha tani tanaman-ternakmengintegrasikan seluruh komponen usaha pertanianbaik secara horizontal maupun vertikal sehingga tidak adalimbah yang terbuang (Diwyanto dan Haryanto 1999).Sistem ini sangat ramah lingkungan dan mampumemperluas sumber pendapatan dan menekan risikokegagalan (Nitis 1995; Adnyana 2005; Jones et al. 2011).Tulisan ini bertujuan untuk menelaah sistem usaha tanikakao berbasis bioindustri di Luwu, Sulawesi Selatanmelalui integrasi kakao-sapi dengan prinsip zero wastesehingga dapat meningkatkan nilai tambah dan dayasaing produk.

MODEL BIOINDUSTRI DENGANSISTEM INTEGRASI KAKAO-TERNAK

Sistem usaha tani tanaman-ternak mengintegrasikanseluruh komponen usaha pertanian sehingga tidak adalimbah yang terbuang, bersifat ramah lingkungan, sertadapat memperluas sumber pendapatan dan menekanrisiko kegagalan. Pupuk kandang dapat dimanfaatkansebagai sumber bahan organik tanah. Semua limbahternak dan pakan diproses secara in situ untukmenghasilkan biogas sebagai energi alternatif. Residupembuatan biogas dalam bentuk cair (slurry) dan padat(sludge) merupakan sumber pupuk organik bagi tanaman,sekaligus sebagai pembenah tanah (soil amendment).Pemanfaatan limbah pertanian untuk pakan maupunkompos hingga tidak ada lagi limbah yang terbuang akanmelestarikan perputaran unsur hara dari tanah – tanaman– ternak – kembali ke tanah. Kearifan lingkungan ini perluditumbuh-kembangkan sehingga mampu menjagakelestarian sumber daya alam.

Implementasi sistem integrasi kakao dan ternak sapidiharapkan mampu mengurangi biaya produksi usaha tanimaupun biaya usaha ternak karena tersedianya bahanpakan bagi ternak dan sumber pupuk bagi tanaman kakao.Hal ini karena selain menghasilkan produk utama berupabiji, tanaman kakao juga menghasilkan produk sampingatau limbah, yaitu kulit buah kakao yang dapatdimanfaatkan sebagai pakan ternak. Tanaman penaungkakao dan gulma juga dapat dimanfaatkan sebagai pakanternak. Ternak yang diusahakan di area pertanaman akanmenghasilkan kotoran (feses dan urine) yang dapat diolahmenjadi pupuk organik padat maupun cair (Gambar 1).

Parameter integrasi tanaman kakao-ternak sapi terdiriatas empat komponen penting, yaitu pemanfaatan limbahtanaman menjadi pakan, pengolahan limbah ternak sapi,pemanfaatan hasil pengolahan limbah ternak menjadipupuk organik dan biopestisida. Selain itu, limbah ternaksapi dapat diolah menjadi biogas. Hasil penelitian

Page 38: JURNAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN

Sistem usaha tani kakao berbasis bioindustri pada .... (M. Basir Nappu dan Muh. Taufik) 189

Sembiring et al. (2001) pada integrasi sapi – padi denganpendekatan zero waste menunjukkan bahwa pemberianjerami secara ad libitum ditambah rumput segar sebanyak5% dari bobot badan dapat meningkatkan pertambahanbobot badan sapi 290 g/hari.

Di Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan, kegiatanintegrasi kakao ternak sapi meliputi pembuatan kandang,penyediaan pakan, pengolahan limbah ternak sapi, danpembuatan kandang jepit (Tabel 1). Pengolahan limbahyang bersumber dari tanaman maupun ternak salingmendukung untuk meningkatkan produksi dan mutukomoditas kakao dan sapi. Dalam usaha penggemukan sapipotong, selain pemberian pakan yang tidak terbatas, jugadiperlukan perbaikan dalam aspek pemeliharaan yangmeliputi sistem perkandangan, pemanfaatan limbah untukpakan, dan upaya antisipasi keberlanjutan melaluipenanaman tanaman pakan (Hendayana dan Yusup 2003).

NILAI TAMBAH USAHA TANIINTEGRASI KAKAO-SAPI

Sistem integrasi kakao dengan sapi mulai dikembangkandi Sulawesi Selatan, tetapi pemanfaatan limbah sebagaisumber pakan ternak masih sangat terbatas.Pengembangan ternak sapi di perkebunan kakao dapatmemberi nilai tambah bagi petani. Beberapa pekebun yangmemelihara sapi telah memanfaatkan kotoran ternak

sebagai sumber energi untuk memasak. Urine yangdihasilkan dimanfaatkan sebagai pupuk dan sisapengolahan biogas untuk pupuk organik yang dapatmenghemat 25% biaya pupuk anorganik. Manfaat utamayang diperoleh dari tanaman adalah sumber pakan dankenaikan produksi, sedangkan dari ternak adalah pupukorganik dan sumber energi, sehingga sumber daya lahanterpelihara dan tingkat pendapatan petani meningkat.Perkebunan kakao memberikan dukungan pakan terhadapternak sapi, sebaliknya ternak sapi menghasilkan kotoransebagai sumber bahan organik untuk pupuk tanamankakao. Konsep ini akan menciptakan pola efisiensiusaha, baik efisiensi input sumber daya usaha tanimaupun efisiensi tenaga kerja keluarga.

Pada usaha ternak kambing, pemanfaatan kulit buahkakao dan hijauan tanaman pelindung (leguminosa)dapat menghemat alokasi tenaga kerja dalam penyediaanpakan hingga 50% (Priyanto 2008). Sebaliknya, efisiensipengelolaan kebun kakao terjadi melalui penghematanbiaya penggunaan pupuk kandang sebagai pupuktanaman kakao yang mencapai 40%, di sampingpenjualan pupuk kandang, seperti yang banyakdilakukan peternak di Lampung. Berdasarkan analisisusaha tani model integrasi, kebun seluas 1 ha setaradengan kemampuan daya tampung pemeliharaan enamekor kambing. Dengan penerapan model usaha tanisecara umum pendapatan rumah tangga petanimeningkat (Priyanto et al. 2004).

Pengolahan

Gambar 1. Kerangka model bioindustri kakao.

Limbah Ternak sapi

Daging

Pasar

Feses

Biogas

- Memasak- Listrik

Slurry

Kompospadat

- Biopestisida- Decomposer

- Nata kakao- Jus kakao

- Cocoa butter- Cocoa powder- Lemak

Pakan

Bibit Pulp Kulit Biji fermentasi

Biji kakao

Tanaman kakaoBiopestisida

Urine

- Kulit buah- Pangkasan

tanamanpelindung

- Gulma

Pengolahan

Pupuk cair

Page 39: JURNAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN

190 J. Litbang Pert. Vol. 35 No. 4 Desember 2016: 187-196

Pemanfaatan kompos sebagai pupuk dapat mening-katkan produktivitas tanaman kakao hingga 20% (Fajar etal. 2008). Penerapan model integrasi mampu mening-katkan pendapatan hingga 45,9%. Hasil perhitunganmenunjukkan bahwa penambahan satu satuan input akanmenghasilkan pendapatan 1,24 kali lebih besar (IBCR =1,24).

Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwapenerapan model integrasi dapat memberikan tambahanpendapatan kepada petani. Model integrasi ternakkambing pada perkebunan kakao rakyat di KabupatenLampung Utara mampu meningkatkan pendapatan petani17,45% (Priyanto et al. 2004). Kartamulia et al. (1993)melaporkan bahwa pemberian paket kredit empat ekorinduk domba yang diintegrasikan di perkebunan karetmampu meningkatkan pendapatan sebesar 12%. Horne etal. (1994) menyebutkan bahwa pada kondisi manajemensama, pemeliharaan 20 ekor induk per peternak mampumeningkatkan pendapatan 25%. Secara umum polaintegrasi tanaman-ternak menunjukkan prospek yangpositif dalam mendukung pendapatan petani di pedesaan.

Dari segi biaya, jumlah biaya pada pola integrasi lebihbesar dibandingkan dengan nonintegrasi. Namun dari sisipendapatan, pola integrasi lebih tinggi daripada non-integrasi. Hasil analisis finansial menunjukkan bahwausaha tani integrasi jauh lebih menguntungkandibandingkan dengan nonintegrasi. Dalam satu tahun,pola integrasi memberikan keuntungan Rp13,03 juta/ha/2ekor/tahun, sedangkan pada pola non-integrasikeuntungan hanya Rp7,84 juta/ha/tahun.Dengandemikian, pola integrasi memberikan nilai tambah Rp5,1juta atau 66% dengan incremental benefit cost ratio(IBCR) 1,08 (Harnowo dan Agussalim 2008).

Analisis kelayakan ekonomi menunjukkan bahwausaha tani integrasi layak dengan nilai R/C 3,73, yangberarti bahwa setiap pengeluaran Rp1.000 akanmendatangkan keuntungan Rp3.730. Pada pola non-integrasi nilai kelayakannya 2,96, yang berarti setiappengeluaran Rp1.000 akan memberikan keuntunganRp2.960 (Tabel 2). Dengan demikian, mengintegrasikanpemeliharaan ternak dengan usaha tani sangat mengun-tungkan petani melalui pengurangan biaya produksi danpeningkatan nilai tambah.

MANFAAT TERHADAP PENINGKATANPRODUKTIVITAS DAN KUALITAS

KAKAO

Pengelolaan Usaha Tani Kakao

Pengolahan buah kakao menghasilkan produk sampingantara lain pulp dan kulit kakao yang dapat dibuat kompossehingga memberikan nilai tambah pendapatan. Isroi(2007) menyatakan bahwa kandungan hara mineral kulitbuah kakao cukup tinggi, terutama kalium dan nitrogen.Sekitar 61% dari total nutrien buah kakao disimpan didalam kulit buah. Goenadi et al. (2000) dalam Isroi (2007)melaporkan kompos kulit buah kakao mengandung N1,81%, karbon organik 26,61%, P

2O

50,31%, K

2O 6,08%,

CaO 1,22%, MgO 1,37%, dan KTK 44,85 cmol/kg .Pemberian kompos kulit buah kakao dapat

menghasilkan biji kakao yang berkualitas, baik dalambentuk basah maupun kering. Karakteristik buah kakao diKabupaten Luwu yang mendapat perlakuan kompos kulitbuah kakao dan sambung samping disajikan pada Tabel 3.

Karakteristik buah kakao yang meliputi bobot buah,panjang buah, diameter buah, bobot biji basah, dan bobotbiji kering bervariasi antartanaman. Jumlah buah danbobot buah rata-rata tanaman kakao sambung sampingumur lebih dari 7 tahun masing-masing mencapai 219buah/pohon dan 429,78 g/buah. Bobot buah terkeciladalah 377,14 g/buah. Buah pada tanaman kakao umurkurang 3 tahun hasil sambung samping merupakan buahawal atau buah pertama. Bobot 100 biji kering pada umurtanaman 3 dan 7 tahun pada tanaman sambung sampinglebih tinggi daripada tanaman tanpa sambung samping.Berdasarkan hasil panen tersebut, produktivitas kakaosambung samping umur 3 dan 7 tahun masing-masingmencapai 1.016 dan 1.178 t/ha.

Biji Kakao Fermentasi

Tujuan fermentasi adalah untuk meningkatkan kualitas bijikakao yang dihasilkan petani sehingga produknyamemenuhi standar mutu SNI 01-2323-2008. Prosesfermentasi dengan menggunakan kotak berjenjang

Tabel 1. Kegiatan introduksi usaha tani tanaman kakaodan ternak sapi di Kabupaten Luwu, 2015.

KegiatanTingkat adopsi

(%)

Pembuatan kandang agar ternak sapi 100mudah dikendalikan dan limbahnyaterkumpul

Penyediaan pakan ternak sapi dengan 7,32memanfaatkan limbah tanaman pelindungdan limbah tanaman kakao, rumput, danjerami padi

Pengolahan limbah ternak sapi menjadi 7,32pupuk organik melalui instalasi biogasdan pembangunan rumah kompos gunamenampung pupuk tersebut

Pembuatan kandang jepit sebagai tempat 0,00inseminasi buatan (IB) dan penimbangansapi

Sumber: Nappu (2015).

Page 40: JURNAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN

Sistem usaha tani kakao berbasis bioindustri pada .... (M. Basir Nappu dan Muh. Taufik) 191

menghasilkan rendemen biji kakao 33,33%, sedangkanproses fermentasi yang dilakukan oleh petani hanyamenghasilkan rendemen biji 2025%. Hatmi et al. (2012)menyatakan biji kakao hasil fermentasi dengan meng-gunakan kotak berjenjang mengandung lemak 51,47%.

Berdasarkan SNI 2323-2008 tentang standar mutukakao, kualitas biji kakao dikelompokkan menjadi tiga,yaitu mutu I, II, dan III dengan masing-masingpersyaratan khusus dan umum (BSN 2008). Sementaramenurut ukurannya, biji kakao dikelompokkan menjadi

lima, yaitu AA (< 85/100 g), A (86100 biji 100 g), B (<101110 biji/100 g, C (111120 biji/100 g), dan S (> 120 biji/100g). Persyaratan mutu biji kakao, yaitu: 1) biji berasal daribiji yang baik, bersih, kering, cukup fermentasi, danukurannya seragam; 2) bobot biji kurang dari 1 g/biji, 3)kulit biji longgar, tidak pecah, bersih dari pulp, kadar kulit< 12% dari bobot biji keseluruhan, 4) kadar lemaksetinggi mungkin, 5) bebas bau asing, 6) kadar airserendah mungkin (< 7%), dan 7) fermentasi secaraoptimal.

Tabel 2. Analisis finansial usaha tani pola integrasi kakao-sapi dan nonintegrasi di Atula Kecamatan Ladongi, KabupatenKolaka, Sulawesi Tenggara.

Uraian Integrasi Nonintegrasi

Penerimaan (Rp) 17.815.000 11.889.000a. Kakao 13.695.000 10.449.000

- Produksi biji (kg/ha) 1.455 1.161- Harga biji (Rp/kg) 9.000 9.000- Produksi dedak kakao (kg) 1.200 -- Harga dedak kakao (Rp/kg)

b. Ternak (Sapi) 4.120.000 1.440.000- PBB (kg/tahun) 192 96- Harga daging hidup (Rp/kg) 15.000 15.000- Produksi kompos (kg) 5.000 -- Harga kompos (Rp/kg) 350 -

Biaya (Rp) 4.781.000 4.016.000a. Kakao 3.341.000 3.386.000

- Urea (Rp) 240.000 300.000 Jumlah (kg) 200 250

Harga (Rp) 1.200 1.200 - SP36 170.000 225.000

Jumlah (kg) 100 150 Harga (Rp) 1.700 1.700

- KCl 240.000 240.000 Jumlah (kg) 100 100 Harga (Rp) 2.400 2.400- Herbisida 85.000 86.000- Pestisida 105.000 105.000- Tenaga Kerja 2.500.000 2.440.000 Jumlah (HOK) 125 122 Harga (Rp/HOK) 20.000 20.000

b. Ternak sapi 1.440.000 630.000- Pakan 140.000 - Dedak (kg) 1.200 - Harga dedak (Rp/kg) 200 -- Vitamin dll 50.000 30.000- Tenaga Kerja 700.000 600.000 Jumlah (HOK) 35 30 Harga (Rp/HOK) 20.000 20.000- Kompos 500.000 - Komposting (kg) 5.000 - Biaya pembuatan kompos 100 -

Keuntungan 13.034.000 7.837.000R/C 3,73 2,96

Sumber: Agussalim et al. (2006) dalam Harnowo dan Agussalim (2008).

Page 41: JURNAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN

192 J. Litbang Pert. Vol. 35 No. 4 Desember 2016: 187-196

Fermentasi merupakan tahapan yang mutlakdilakukan dalam pengolahan biji kakao untukmendapatkan cita rasa maupun aroma cokelat yang baik(Misnawi 2008; Widyotomo 2008; Lima et al. 2011). Rasapahit dan sepat berkurang serta penampilan biji kakaomakin baik (Biehl et al. 1985; Widyotomo et al. 2004;Camu et al. 2008). Fermentasi juga dapat menghambatperkecambahan biji, kulit biji menjadi longgar, dan pulpmenjadi hancur sehingga mempermudah pengeringan biji(Afoakwa et al. 2008; 2012).

Fermentasi biji kakao selama lima hari menghasilkanbiji dengan mutu fisik maupun kimia terbaik, yaknimemiliki kandungan lemak 51,28%, lebih tinggidibandingkan dengan biji tanpa fermentasi sebesar42,43% pada kadar air yang sama (7,50%). Camu et al.(2008) mensyaratkan kandungan lemak biji kakao sebagaibahan baku produk cokelat berkisar 5051%. Fermentasiselama lima hari juga meningkatkan kandungan reduksi,salah satu senyawa penting selain asam amino danpeptida yang berperan sebagai prekursor cita rasamaupun aroma cokelat (Binh et al. 2012).

Bahan Tanam Berkualitas

Bahan tanam kakao berkualitas diperlukan petani untukmeningkatkan produksi dan produktivitas. Penyediaanbibit berkualitas dapat ditempuh melalui penyambunganbibit asal biji dengan entres dari klon unggul yangmenghasilkan biji bermutu tinggi. Beberapa klon unggullokal yang banyak digunakan petani di Sulawesi Selatanyaitu Sulawesi-1 (S-1), Sulawesi-2 (S-2), Masamba ClonCacao-01 (MCC-01), MCC-02, ICCRI 04, Sca 6 (Suhendi2008; Anonim 2010), Muktar 01, Muktar 03, Muktar 04,Muktar 05, Muktar 06, Muktar 07, dan Muktar 08(Limbongan 2012), ICS 60, ICS 13, UIT 1, TSH 858, GC 7,Tinading, dan Surumana (Syafruddin 2010).

Upaya meningkatkan frekuensi gen pembawa sifatunggul pada tanaman kakao melalui pemuliaan

memerlukan waktu bertahun-tahun. Menurut Toxopeusdalam Taufik et al. (2007), untuk menyelesaikan satusiklus pemuliaan tanaman kakao diperlukan waktu 2024tahun, selain memerlukan area yang luas dan biaya yangbesar. Untuk mengatasi kendala tersebut, perbanyakantanaman secara vegetatif atau klonalisasi merupakan salahsatu alternatif yang baik.

Klonalisasi diawali dengan penyediaan bahantanaman unggul dalam jumlah cukup serta teknologiklonalisasi yang andal (Prawoto et al. 2005). Untukmencari pohon induk yang dapat dijadikan sebagaisumber gen maupun entres, telah dilakukan eksplorasi dibeberapa lokasi pengembangan. Eksplorasi genotipekakao tahan hama penggerek buah kakao atau PBK(Conopomorpha cramella Snell.) telah dilaksanakan olehSusilo et al. (2004) di Kebun Pabatu, Sumatera Utara, danmengidentifikasi beberapa tanaman induk sepertidisajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Potensi hasil tanaman induk kakao hasil eksplorasidi Kebun Pabatu, Sumatera Utara, 2004.

Seri KW Kode seleksiHasil buah

Bobot biji(buah/pohon/

kering (g)musim)

KW 514 PAB A/I/Pbrk 72 ± 18,06 1,15 ± 0,20KW 569 PAB A/VIII/78B/1 174 ± 17,23 0,87 ± 0,13KW 516 PAB A/VIII/78B/2 115 ± 87,22 0,77 ± 0,16KW 518 PAB A/VIII/78B/3 65 ± 25,47 0,89 ± 0,14KW 565 PAB A/VIII/78F/2 160 ± 56,80 0,73 ± 0,15KW 564 PAB A/IX/90O/2 61 ± 34,92 1,17 ± 0,19KW 567 PAB A/IX/90O/3 60 ± 34,15 1,03 ± 0,17KW 566 PAB A/V/81L/1 52 ± 36,12 0,95 ± 0,12KW 562 PAB A/V/81L/2 70 ± 37,40 0,80 ± 0,07KW 568 PAB A/I/90C/1 72 ± 36,57 0,99 ± 0,17KW 562 PAB A/I/90C/2 109 ± 66,80 1,07 ± 0,15

Sumber: Susilo et al. (2004) dalam Limbongan (2011b).

Tabel 3. Karakteristik tanaman kakao hasil sambung samping di Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan,2015.

Parameter

Umur tanaman

Rata-rata3 tahun 7 tahun >7 tahunSambung samping Sambung samping Tanpa sambung

samping

Jumlah buah per pohon 215,00 232,00 210,00 219,00Bobot buah (g/buah) 377,14 490,40 421,80 429,78Panjang buah (cm) 14,85 17,30 17,80 16,65Diameter buah (cm) 8,28 8,88 10,19 9,12Bobot biji basah (g/buah) 89,60 97,70 68,60 85,30Jumlah biji per buah 31,80 36,50 32,00 33,43Bobot biji basah (g/100 biji) 284,40 267,91 212,50 254,94Bobot biji kering (g/100 biji) 133,88 125,92 95,93 118,48Produktivitas (t/ha) 1.016,94 1.178,35 716,21 970,50

Sumber: Nappu (2015).

Page 42: JURNAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN

Sistem usaha tani kakao berbasis bioindustri pada .... (M. Basir Nappu dan Muh. Taufik) 193

MANFAAT TERHADAPPENGEMBANGAN PETERNAKAN

Kulit kakao merupakan salah satu bahan pakan ternak sapiyang cukup prospektif karena dapat mengurangi porsipemberian rumput, khususnya pada usaha ternak polaintensif (dikandangkan penuh) (Priyanto et al. 2004).Daya dukung kulit kakao sebagai salah satu sumberbahan pakan ditentukan oleh produksi kakao yangdihasilkan per satuan luas serta distribusi produksisepanjang tahun. Tingkat produksi kakao bervariasi,yakni dalam 23 bulan terjadi puncak produksi dan bulan-bulan lainnya produksi rendah, bergantung pada wilayah.Hasil kajian di Kabupaten Luwu menunjukkan untukmemenuhi kebutuhan pakan, petani memanfaatkanrumput gajah, gamal, limbah tanaman kakao, jeramijagung, dan jerami padi, serta tanaman pelindung.Ketersediaan jenis pakan ternak tersebut melimpah padabulan Juli–September, dan ketersediaannya terbatas padabulan Maret hingga Juni. Ketersediaan berbagai jenispakan ini dapat diupayakan melalui bank pakan sehinggapakan tersedia sepanjang tahun dan pemeliharaan ternakdapat dilakukan dengan pola intensif, seperti terlihat padaGambar 2.

Limbah kulit buah kakao dan biomassa merupakanpakan yang potensial karena tersedia sepanjang tahun,mudah diperoleh, dan mengandung nutrisi tinggi. Buahkakao (pod) terdiri atas 70–80% kulit dan plasenta yangmerupakan limbah, selebihnya adalah biji. Berdasarkanproduksi kakao, dapat diketahui potensi limbah kulitkakao yang tersedia dan daya dukung pakan untuk ternaksapi (Tabel 5).

Dalam menghitung potensi daya dukung kulit kakaosebagai pakan ternak, perlu diperhatikan kontinuitasproduksi dan penyediaan pakan sepanjang tahun.Produksi biji kakao kering bergantung pada kondisispesifik lokasi perkebunan rakyat. Di Donggala, Sulawesi

Tengah, produksi kakao mencapai 880 kg biji kering/ha/tahun (jarak tanam 3 m x 3 m). Dengan konversi kakaokering mencapai 50% kakao basah maka kakao basah yangdihasilkan sebesar 100/50 x 880 kg = 1.760 kg/ha/tahun.Proporsi kulit kakao dan kakao basah mencapai 65% : 35%sehingga produksi kulit kakao mencapai 65/35 x 1.760 kg =3.268,6 kg/ha/tahun. Hasil pengamatan di perkebunankakao rakyat di Kabupaten Luwu menunjukkan bahwasetiap satu ekor sapi dewasa mampu mengonsumsi kulitkakao 6,5 kg/ekor/hari, sehingga untuk 1 ha kebun kakaomemiliki potensi daya dukung 1,39 ekor sapi dewasa.

MANFAAT TERHADAPPENGELOLAAN LINGKUNGAN

Penanganan limbah pertanian dan perkebunan sampaisaat ini masih merupakan kendala di tingkat petani karenaketerbatasan waktu, tenaga kerja, dan area pembuangan.Di samping itu, limbah pertanian belum banyakdimanfaatkan petani sebagai pakan ternak maupun bahanbaku pembuatan kompos. Jika tidak dikelola dengan baik,limbah tersebut berpotensi mencemari lingkungan,terutama limbah kotoran ternak. Pembuangan kotoranternak secara sembarangan dapat mencemari air, tanah,dan udara yang berdampak terhadap penurunan kualitaslingkungan, kualitas hidup peternak dan ternaknya, yangakhirnya dapat memicu konflik sosial.

Limbah ternak sapi terdiri atas feses dan urine yangberpotensi sebagai pupuk organik untuk memenuhikebutuhan hara tanaman. Pengelolaan limbah ternak sapidilakukan melalui sistem digester (Gambar 3). Limbahternak sapi dalam bentuk feses dan urine serta sisa pakandiolah secara anaerob dalam digester (Indrajit 2008) untukmenghasilkan biogas, limbah padat, dan limbah cair.Biogas yang dihasilkan dapat langsung dimanfaatkansebagai bahan bakar untuk memasak dengan memasanginstalasi dari digester ke kompor.Gambar 2. Kandang ternak kolektif di Kabupaten Luwu, Sulawesi

Selatan (Nappu 2015).

Tabel 5. Perhitungan daya dukung kulit kakao dalammendukung ketersediaan pakan ternak sapi.

Uraian Cara perhitungan Hasil

Buah kakao 1.100 x 0,8 kg 880 kg/ha/tahunkering

Buah kakao 100/50 x 880 kg 1.760 kg/ha/tahun basah

Produksi kulit 65/35 x 1.760 kg 3.268,6 kg/ha/tahunkakao

Kebutuhan kulit 6,5 kg x 360 hari 2.340 kg/hari/ekorkakao

Daya dukung kulit 3.268,6/2.340 1,39 ekor sapi/hakakao kakao

Sumber: Fajar et al. (2004) dalam Priyanto (2008, dimodifikasi).

Page 43: JURNAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN

194 J. Litbang Pert. Vol. 35 No. 4 Desember 2016: 187-196

Pupuk organik yang dihasilkan dalam prosesmetanisasi adalah pupuk padat dan pupuk cair. Pupukorganik padat mengandung unsur hara N 2,13%, P

2O

5

1,02%, K2O

30,5%, C-organik 10,80%, dan pH 7,5.

Kandungan unsur N sudah tinggi, namun untuk C-organik masih termasuk sedang, sementara persyaratanPermentan No. 70/Tahun 2011 tentang standar pupukorganik harus lebih tinggi 15%. Kandungan hara pupukorganik hasil pengolahan limbah ternak sapi disajikanpada Tabel 6.

Limbah cair yang juga disebut pupuk organik cair(POC) mengandung komposisi hara yang berbeda denganpupuk organik padat. Kandungan unsur POC antara lain N1,34%, P

2O

51,16% , K

2O

30,23% , C-organik 0,24%, dan pH

8,10. Hanya kandungan unsur N yang dikategorikancukup, sedangkan lainnya termasuk rendah. Namundemikian, pemanfaatan pupuk organik tersebutbermanfaat dalam memperbaiki struktur dan kimia tanah.Penambahan pupuk kandang ke dalam tanah, selaindapat memperbaiki struktur tanah juga meningkatkankandungan nitrogen (Diwyanto et al. 2001).

Pengelolaan limbah secara baik selain dapatmencegah pencemaran lingkungan juga dapatmemberikan nilai daya saing terhadap usaha ternak.Pemanfaatan limbah ternak sebagai pupuk kompos dapatmenyehatkan dan menyuburkan lahan pertanian. Selainitu gas metana yang terkandung dalam kotoran ternakdapat digunakan sebagai sumber energi biogas rumahtangga petani. Biogas menjadi sangat penting karenaharga bahan bakar fosil yang terus meningkat danketersediaannya makin terbatas. Menurut Puslitbangtan(2001), usaha tani ramah lingkungan (enviromentallyfriendly agriculture) menghendaki pemilihan danpenerapan teknologi yang serasi dengan lingkungansehingga produktivitas usaha tani optimal dan produk

yang dihasilkan aman. Salah satu kunci pelestarian lahan,baik lahan kering maupun lahan sawah adalah kandunganbahan organik yang cukup di dalam tanah. Penambahanpupuk kandang ke dalam tanah, selain dapat memperbaikistruktur tanah juga meningkatkan kandungan nitrogen.Tabel 7 menyajikan jumlah nitrogen dari kotoran berbagaijenis ternak.

Sri-Adiningsih (2000) menyarankan perbaikankesehatan tanah dan peningkatan produktivitas lahanpertanian melalui pengelolaan tanah secara terpadu, yangmencakup aspek kimia, fisik, dan biologi tanah, danpengelolaan bahan organik merupakan salah satukomponen utama. Ada bermacam cara untukmempertahankan kandungan bahan organik tanah tetaptinggi, yaitu dengan menanami lahan dengan tanamanpenghasil bahan organik yang kemudian dibenamkan kedalam tanah, atau menambahkan bahan organik dari luarlahan pertanian, berupa kompos, pupuk hijau atau pupukkandang. Dengan adanya efek negatif dari penggunaanpupuk anorganik yang berlebihan secara terus-menerus,penggunaan pupuk kandang akan menghasilkan produktanaman yang mempunyai daya saing tinggi.

Gambar 3. Instalasi pengolahan limbah ternak sistem digester serta produk pupuk organik padat (POP) dan pupuk organik cair (POC),2015 (Nappu 2015).

Tabel 6. Kandungan hara pupuk organik dari limbahternak, 2015.

Parameter Hasil slurry POC

Total N (%) 2,13 1,34P

2O

5 (%) 1,02 1,16

K2O

3 (%) 0,50 0,23

pH 7,50 8,10C-organik (%) 10,80 0,24

Sumber: Nappu (2015).

Page 44: JURNAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN

Sistem usaha tani kakao berbasis bioindustri pada .... (M. Basir Nappu dan Muh. Taufik) 195

KESIMPULAN

Sistem usaha tani kakao-sapi berbasis bioindustrimengintegrasikan seluruh komponen usaha tani kakao,baik secara horizontal maupun vertikal, denganmemanfaatkan seluruh sumber daya secara efektif, efisien,dan tidak ada limbah yang terbuang. Sistem ini bersifatramah lingkungan dan mampu memperluas sumberpendapatan dan menekan risiko kegagalan usaha. Melaluipendekatan zero waste, limbah tanaman dapat menjadipakan ternak dan produk turunan lainnya. Sebaliknya,limbah peternakan dapat digunakan sebagai pupuk ataukompos, biogas, dan biourine yang dapat meningkatkannilai tambah di setiap rantai produksi.

Hasil analisis finansial menunjukkan bahwa usahatani integrasi kakao-sapi lebih menguntungkandibandingkan dengan usaha tani nonintegrasi. Dalamsatu tahun, pola integrasi memberikan keuntungan Rp13,03 juta/ha/2 ekor/tahun, sedangkan pola nonintegrasihanya mendapatkan keuntungan Rp7,84 juta/ha/tahun.Dengan demikian, pola integrasi memberikan nilai tambahRp5,1 juta atau 66% dengan IBCR 1,08. Sistem usaha tanikakao berbasis bioindustri berpotensi dikembangkan disentra-sentra kakao sekaligus untuk mendukung programpeningkatan populasi sapi.

DAFTAR PUSTAKA

Adnyana, M.O. 2005. Pengembangan Sistem Integrasi Tanaman-Ternak Bebas Limbah di KP. Muara. Pusat Penelitian danPengembangan Tanaman Pangan, Bogor.

Afoakwa, E.O., A. Payterson, M. Fowler and A. Ryan,2008. Flavourformation and character in cocoa and chocolate: a criticalreview. Critical Rev. Food Sci. Nutr. 48: 840857.

Afoakwa, E.O., Q. Jennifer, S.B. Agnes, S.T. Jemmy and K.S. Fribu.2012. Influence of pulp pre-conditioning and fermentation onfermentative quality appearance of Ghanaian cocoa(Theobroma cocoa L.) beans. Int. Food Res. J. 19: 127133.

Anonim. 2010. Klon unggul kakao generasi ketiga - keragaan klonunggul Sulawesi -1. Rehabilitasi dengan Sambung Samping-EntresKakao Cukup untuk Mendukung Rehabilitasi di 4 Provinsi-Klon-

Klon Unggul Kakao-Teknologi SE Kakao Sistem Padat. http//pengawas benih tanaman.blogspot.com. [10 Februari 2010].

Biehl, B., E. Brunner, D. Passern, V.C. Quesnel and D. Adomoko.1985. Acidification, proteolysis and flavour potential infermenting cocoa beans. J. Sei. Food Agric. 36: 583598.

Binh, P.T., T.T. Hoatram, N.V. Thuong, P.V. Thao, T.T. Thambaand T.T. Hoanganh. 2012. Using invertae (novezyme) in cocoafor improving bean quality and fermentation process in Vietnam.J. Agric. Technol. 8: 93102.

BPS. 2014. Sulawesi Selatan Dalam Angka 2014. Biro Pusat StatistikProvinsi Sulawesi Selatan.

BSN. 2008. Standar Nasional Indonesia Biji Kakao 2323: 2008.http://sisni.bsn.go.id/index.php/sni_main/sni/detail_sni/7763.[19 Mei 2014]

Camu, N., T.D. Winter, S.K. Addo, J.S. Takrama, H. Bernat andL.D. Vuyst. 2008. Fermentation of cocoa beans: Influence ofmicrobial activities and polyphenol concentration on theflavour of chocolate. J. Sci. Food Agric. 81: 281288.

Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Sulsel. 2012. BahanKonsultasi dengan Gubernur Sulawesi Selatan, Makassar.

Ditjenbun (Direktorat Jenderal Perkebunan). 2008. GerakanPeningkatan Produksi dan Mutu Kakao Nasional. http:/ditjenbun.deptan.go.id. [29 Oktober 2008].

Ditjennak (Direktorat Jenderal Peternakan). 2013. Populasi SapiPotong Menurut Provinsi. http://www.deptan.go.id/infoeksekutif/nak/nak06/populasi. [7 Juli 2013].

Diwyanto, K. dan B. Haryanto. 1999. Pembangunan pertanianramah lingkungan: Prospek pengembangan ternak pola integrasi(Suatu konsep pemikiran dan bahan diskusi). Pusat Penelitiandan Pengembangan Peternakan, Bogor.

Diwyanto, K. and B. Haryanto. 2001. Importance of integrationin sustainable farming system. In: Integration of Agriculturaland Environmental Policies in an Environmental Age. KREI/FFTC–ASPAC, Seoul, Korea. pp. 97111.

Fadjar, U., M.T.F Sitorus, A.H. Dharmawan, dan S.M.P.Tjondronegoro. 2008. Transformasi sistem produksi pertaniandan struktur agraria serta implikasinya terhadap diferensiasisosial dalam komunitas petani. Jurnal Agro Ekonomi 26(2):209233.

Harnowo dan Agussalim. 2008. Keragaan sistem integrasi sapi dengankakao di beberapa wilayah di Indonesia. hlm. 327338.peternakan.litbang.pertanian.go.id/fullteks/...integrasi09-bab12.pd ?

Hatmi, R.U., Suharno, H. Hanafi, Sukar, Sarjiman, S.W. Budiarti,Y.P. Wanita, N. Cahyaningrum, dan E. Apriyanti. 2012.Perbaikan kualitas biji kakao dan meningkatkan nilai tambahmelalui produk olahan. Laporan Kegiatan Pengkajian. BalaiPengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta. 64 hlm.

Tabel 7. Produksi kotoran ternak dan nitrogen dari berbagai jenis ternak (per ekor/hari).

Jenis ternakBerat hidup Produksi kotoran Kandungan N Produksi N Produksi Ndewasa (kg) (kg bahan kering) (%)1) (g)1) per tahun (kg)1)

Kerbau 460 5,80 0,80 46,40 16,90Sapi 350 4,40 0,73 32,10 11,70Kambing 20 0,30 1,32 4,00 1,50Domba 20 0,30 0,91 2,70 1,00Ayam 2 0,05 3,90 0,202) 0,07Bebek 3 0,06 3,00 0,182) 0,07

1)Dalam berat kering, 2)Dalam mgSumber: Devendra (1993) dalam Diwyanto et al. (2001)

Page 45: JURNAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN

196 J. Litbang Pert. Vol. 35 No. 4 Desember 2016: 187-196

Haryono. 2014. Dukungan program bioindustri dari Balitbangtanuntuk sukseskan SIPP. Info Aktual Adm. [27 Januari 2014].

Hendayana, R. dan Yusup. 2003. Kajian adopsi teknologipenggemukan sapi potong mendukung pengembangan agribisnispeternakan di Nusa Tenggara Timur. Puslitbang Peternakan,Bogor.

Horne, P.M., R.M. Gatenby, L.P. Batubara and S. Karo-Karo. 1994.Research priorities for integrated tree cropping and smallruminant production systems in Indonesia. Prosiding SeminarSains dan Teknologi Peternakan. Balai Penelitian Ternak, Ciawi,Bogor. hlm. 485–494.

Indrajit, L.W. 2008. Pemanfaatan Limbah Ternak untuk Biogas,Pupuk Cair dan Bahan Pakan. Fakultas Pertanian UniversitasUdayana, Bali.

Isroi. 2007. Pengomposan limbah kakao. Materi disampaikan padaPelatihan TOT Budi Daya Kopi dan Kakao, Pusat PenelitianKopi dan Kakao, Jember, 25–30 Juni 2007.

Kartamulia, I., S. Karo-Karo and J. de Boer. 1993. Economic analysisof sheep grazing in rubber plantations. A case study of OPMMMembang Muda. Working Paper 145. SR-CRSP. Sei Putih, NorthSumatera. pp. 11–17.

Kementerian Pertanian. 2014. Konsep Strategi Induk PembangunanPertanian 20132045. Pertanian Bioindustri Berkelanjutan.Solusi Pembangunan Pertanian Indonesia Masa Depan.Kementerian Pertanian, Jakarta.

Lima, L.J.R., Almeida, M.J.R. Nout and Swietering. 2011.Theobroma cocoa L., The food of The Gods: Qualitydeterminants of commercial cocoa beans, with particularreference to the impact of fermentation. Critical Rev. FoodSci. Nutr. 51: 73161.

Limbongan, J. 2011a. Kesiapan penerapan teknologi sambungsamping untuk mendukung program rehabilitasi tanaman kakao.J. Litbang Pert. 30(4): 156163.

Limbongan, J. 2011b. Pengkajian pola penerapan inovasi pertanianspesifik lokasi tanaman kakao di Sulawesi Selatan. J. AgroSainTUKI Toraja III(2): 295–301.

Limbongan, J. 2012. Karakteristik morfologis dan anatomis klonharapan tahan hama penggerek buah kakao sebagai sumber bahantanam. J. Litbang Pert. 31(1): 1420.

Misnawi. 2008. Physico-chemical change cocoa fermentation andkey enzymes involved. Warta Review Penelitian Kopi danKakao 24: 4764.

Nappu, M.B. 2015. Model pertanian bioindustri pada sentrapengembangan kakao di Sulawesi Selatan. Laporan Akhir. BalaiPengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan, Makassar.57 hlm.

Nitis, I.M. 1995. Research Methodology for Semiarid Crop-AnimalSystems in Indonesia. Crop-Animal Interaction. In: C. Devendraand C. Sevilla (Eds.). IRRI. Discussion Paper Series No. 6. IRRI,Manila, Philippines.

Prawoto, A.A., N. Qomariya, S. Rahayu, dan B. Kusmanadhi. 2005.Kajian agronomis dan anatomis hasil sambung dini tanamankakao (Theobroma cacao L.). Pelita Perkebunan 21(3): 142148.

Priyanto, D., A. Priyanti, dan I. Inounu. 2004. Potensi dan peluangpola integrasi ternak kambing dan perkebunan kakao rakyat diProvinsi Lampung. Prosiding Seminar Nasional Sistem IntegrasiTanaman-Ternak, Denpasar, 20–22 Juli 2004. Puslitbang

Peternakan bekerja sama dengan BPTP Bali dan CASREN.hlm. 381388.

Priyanto, D. 2008. Model usaha tani kakao kambing dalam upayapeningkatan pendapatan petani. Wartazoa 18(1): 4656.

Puslitbangtan (Pusat Penelitian dan Pengembangan TanamanPangan). 2001. Strategi program ketahanan pangan: Aspekproduksi padi dan ternak. Dalam: Diwyanto, B. Haryanto, M.Sabrani, dan M. Winugroho (Eds.) Laporan Kegiatan ApresiasiTeknis Program Litkaji Sistem Usaha Tani Tanaman-Ternak(Crop-Animal Systems). Pusat Penelitian dan PengembanganTanaman Pangan, Bogor.

Salim, A. dan B. Drajat. 2008. Teknologi sambung samping tanamankakao: Kisah Sukses Primatani Sulawesi Tenggara. WartaPenelitian dan Pengembangan Pertanian 30(5): 810.

Sembiring, H., T. Panjaitan, Mashur, D. Praptomo, A. Muzani, A.Sauki, Wildam, Mansyur, Sasongko, dan A. Nurul. 2001. Prospekintegrasi sistem usahatani terpadu pemeliharaan sapi pada lahansawah irigasi di Pulau Lombok. Prosiding Seminar NasionalTeknologi Peternakan dan Veteriner. Pusat Penelitian danPengembangan Peternakan, Bogor.

Sri-Adiningsih, J. 2000. Peranan bahan organik tanah dalam sistemusaha tani konservasi. Dalam Bahri, A. Priyanti, E. Martindah,dan M. Saahaan (Eds.) Materi Pelatihan RevitalisasiKeterpaduan Usaha Ternak dan Sistem Usaha Tani. PusatPenelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.

Suhendi, D. 2008. Rehabilitasi tanaman kakao: Tinjauan potensi,permasalahan, dan rehabilitasi tanaman kakao di Desa PrimataniTonggolobibi. Prosiding Seminar Nasional PengembanganInovasi Lahan Marginal. Pusat Penelitian Kopi dan KakaoIndonesia, Jember. hlm. 335346.

Suryani, D. dan Zulfebriansyah. 2007. Komoditas kakao: Potretdan peluang pembiayaan. Econ. Rev. No. 210, 9 hlm.

Susilo, A.W., E. Sulistyowati, dan E. Mufrihati. 2004. Eksplorasigenotipe kakao tahan hama penggerek buah kakao(Conopomorpha cramerella Snell.). Pelita Perkebunan 20(1):112.

Suswono. 2014. Sektor pertanian akan menjadi bioindustri, 25 Januari2014 16:32 wib | Dani Jumadil Akhir – Economy. Okezone.com[20 Juli 2014]

Syafruddin. 2010. Sambung samping, pilar peningkatan produksikakao di Sulawesi Tengah. Harian Nasional Radar SulawesiTengah, 2 Januari 2001.

Taufik, M., Gustian, A. Syarif, dan I. Uliyansyah. 2007. Karakterisasipenampilan bibit kakao berproduksi tinggi. Jurnal Akta Agrosia,Edisi Khusus No. 1: 6770.

Taufik, M. dan M. Sjafaruddin. 2008. Kajian kelembagaan danpengendalian hama terpadu pada usaha tani kakao di KabupatenPolewali Mandar, Sulawesi Barat. Jurnal P2TP 11(2): 115125.

Tuty, F.M. 2009. Permintaan Ekspor Biji Kakao Sulawesi Tengaholeh Malaysia. Tesis. Program Pascasarjana UniversitasDiponegoro, Semarang. 146 hlm.

Widyotomo, S., Sri Mulato, dan Handaka. 2004. Mengenal lebihdalam teknologi pengolahan biji kakao. Warta Litbang Pertanian26(2): 56.

Widyotomo, S. 2008. Teknologi fermentasi dan diversifikasi pulpakakao menjadi produk yang bermutu dan bernilai tambah. WartaReview Penelitian Kopi dan Kakao 24: 6582.

Page 46: JURNAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN

Spesies padi liar (Oryza spp.) sebagai sumber gen ketahanan.... (Tintin Suhartini) 197

SPESIES PADI LIAR (Oryza spp.) SEBAGAI SUMBER GEN KETAHANANCEKAMAN ABIOTIK DAN BIOTIK PADA PADI BUDI DAYA

Wild Rice Spesies As a Source of Resistant Gene for Abioticand Biotic Stresses in Cultivated Rice

Tintin Suhartini

Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik PertanianJalan Tentara Pelajar 3A, Bogor 16111, Indonesia

Telp. (0251) 8337975, 8339793, Faks. (0251) 8338820E-mail: [email protected], [email protected]

Diterima: 1 April 2016; Direvisi: 14 September 2016; Disetujui: 27 September 2016

Jurnal Litbang Pertanian Vol. 35 No. 4 Desember 2016:197-207 DOI: 10.21082/jp3.v35n4.2016.p197-207

ABSTRAK

Spesies padi liar dapat dimanfaatkan dalam perakitan varietasunggul karena memiliki gen ketahanan terhadap cekaman biotikdan abiotik. Spesies padi liar yang ada di Indonesia adalah Oryzameyeriana, O. granulata, O. longiglumis, O. officinalis, O. ridleyi,O. rufipogon, dan O. schlechteri. IRRI memiliki koleksi 2.500aksesi padi liar dan 18 spesies dikoleksi di BB Biogen. Sejumlahaksesi O. officinalis memiliki gen ketahanan terhadap werengcoklat, penyakit blas, hawar daun bakteri (HDB), dan busukpelepah. Salah satu spesies yang memiliki ketahanan terhadaphama-penyakit tersebut adalah O. minuta. Ketahanan terhadapvirus tungro terdapat pada O. punctata. Toleransi terhadapkekeringan, keracunan Al, dan Fe terdapat pada spesies padi liarkelompok O. sativa genom AA. Gen ketahanan dari spesies padi liardapat dimasukkan (introgresi) ke dalam padi budi daya melaluiteknik konvensional yang dikombinasikan dengan bioteknologi,sementara transfer gen dapat melalui persilangan, markamolekuler, silang balik, dan penyelamatan embrio. Keberhasilanintrogresi gen ketahanan dari spesies padi liar ke padi budi daya akanmeningkatkan keragaman genetik tanaman. Spesies padi liar O.minuta telah dimanfaatkan dalam introgresi gen ketahanan HDBpada varietas IR64. Introgresi gen asal O. nivara di IRRI menambahvarietas unggul di Indonesia, yaitu IR30, IR32, IR34, IR36, danIR38, yang toleran terhadap wereng coklat, virus kerdil rumput, danHDB. Spesies padi liar O. rufipogon yang memiliki gen ketahananHDB dan blas telah digunakan dalam pembentukan varietas unggulbaru Inpari HDB dan Inpari Blas yang dilepas pada 2013.

Kata kunci: Oryza spp. , perakitan varietas, gen ketahanan,cekaman biotik, cekaman abiotik

ABSTRACT

Wild rice species could be used for improvement of rice varietiesbecause they have a good character for resistance to biotic andabiotic stresses. Some of Indonesian wild rice species are Oryzameyeriana, O. granulata, O. longiglumis, O. officinalis, O. ridleyi,O. rufipogon and O. schlechteri. IRRI has a collection of 2,500accesions of wild rice and 18 species were collected inICABIOGRAD, Bogor. Some species of wild rice are known to haveresistance genes to biotic and abiotic stresses. A number of

accessions of O. officinalis contained resistance gene to brownplanthopper, blast disease, bacterial leaf blight (BLB) and sheathrot. One of the species that has resistance to pests and diseases isO. minuta. The resistance to tungro virus occurs in O. punctata.Tolerance to drought, Al and Fe toxicities occurs in wild rice speciesof O. sativa genome AA group. Resistance genes from wild ricespecies can be inserted into cultivated rice through conventionaltechniques in combination with biotechnology, while gene transferand gene detection from wild rice to cultivated rice can be donethrough cross breeding, molecular markers, backcrossing andembryo rescue. The success of introgression of resistance genesfrom wild rice species to cultivated rice will increase geneticdiversity of rice. As an example O. minuta has been implementedin introgression of BLB resistance gene on IR64. Introgression ofO. nivara gene in IRRI had improved some superior rice varietiesin Indonesia, namely IR30, IR32, IR34, IR36 and IR38, whichwere tolerant to brown planthopper, dwarf virus and bacterial leafblight. Oryza rufipogon wich has BLB and blast resistance genehas been used for improvement of new varieties Inpari Blas andInpari HDB which were released in 2013.

Keywords: Oryza spp., varietal improvement, resistance genes,biotic stresses, abiotic stresses

PENDAHULUAN

Varietas padi unggul yang berdaya hasil tinggi,tahan terhadap hama penyakit utama, dan adaptif

pada lingkungan spesifik berperan sangat penting dalammenunjang peningkatan produksi padi. Untukmendukung pencapaian swasembada beras, produksipadi perlu ditingkatkan di antaranya melalui pemanfaatansumber daya genetik dalam perakitan varietas.

Pertanaman padi sering mengalami gangguan antaralain hama wereng coklat, penyakit hawar daun bakteri(HDB), tungro, serta cekaman lingkungan sepertikekeringan, tanah masam, dan rendaman/kebanjiran. Agarterwujud perkembangan varietas yang lestari harusdidukung oleh ketersediaan sumber genetik yang berasaldari varietas lokal, varietas introduksi, dan kerabat liarnya.

Sejak tahun 1960 luas serangan hama wereng terusmeningkat. Pada tahun 1972–1977 luas serangan lebih

Page 47: JURNAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN

198 J. Litbang Pert. Vol. 35 No. 4 Desember 2016: 197-207

dari 500.000 ha dan terus meningkat hingga awal 2010(Baehaki dan Widiarta 2008). Penularan penyakit tungromasih sering terjadi di Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat,dan Sulawesi Selatan (Praptana dan Yasin 2008).Kegagalan panen padi juga terjadi akibat kebanjiran dankekeringan.

Lahan marginal yang bersifat masam cukup luas diIndonesia, seperti lahan sulfat masam rawa pasang surutdan lahan kering masam yang dicirikan oleh pH rendah.Luas lahan kering masam sekitar 102 juta ha dan 56,3 jutaha sesuai untuk usaha pertanian. Luas lahan rawa (rawapasang surut, lebak, dan gambut) sekitar 34,7 juta ha dan24,8 juta ha di antaranya sesuai untuk usaha pertanian(Mulyani et al. 2004). Permasalahan yang umum dijumpaidi lahan masam adalah kemasaman tanah yang tinggi (<pH 5), ketersediaan hara P rendah, fiksasi P oleh Al dan Fe,dan keracunan Al dan Fe yang berakibat pada rendahnyahasil tanaman (Mulyani et al. 2004; Abdurachman et al.2008). Produksi padi dapat ditingkatkan melalui perluasanarea tanam pada lahan masam dengan teknologi penge-lolaan lahan yang efektif, seperti pengelolaan kesuburandan pengelolaan air, serta strategi pengembanganpertanian lainnya. Namun strategi yang efisien adalahmelalui penggunaan varietas yang toleran terhadaplingkungan lahan masam.

Varietas padi yang dilepas dewasa ini sulitberproduksi lebih tinggi lagi karena kemampuangenetiknya terbatas serta faktor lingkungan yang kurangkondusif. Perubahan ras penyakit dan biotipe hama yangrelatif cepat sering menyebabkan patahnya ketahanansuatu varietas padi. Perakitan varietas padi umumnyamasih menggunakan sumber gen utama dari varietas yangsudah dilepas, varietas lokal, dan varietas introduksi yangtermasuk golongan indica, sehingga bila ditelusuri tidakjarang berasal dari keturunan yang sama. Sumberkeragaman genetik tanaman padi yang semakin sempitkurang menguntungkan bagi kelangsungan perakitanvarietas unggul baru.

Upaya peningkatan dan pengamanan produksi padiharus terus dilakukan sejalan dengan berkembangnyadinamika hama dan penyakit utama, keterbatasan sumberdaya lahan, dan perubahan iklim. Oleh karena itu,dibutuhkan gene pool tanaman padi dengan keragamanyang luas sebagai cadangan sumber daya genetik untukperakitan varietas.

Padi liar merupakan kerabat padi budi daya (Oryzasativa) dengan karakter morfologis yang spesifik danmemiliki keragaman genetik yang potensial untukpemuliaan padi. Saat ini padi liar belum banyakdimanfaatkan, namun telah banyak dilaporkan bahwa padiliar memiliki karakter-karakter penting yang tidak dimilikioleh padi budi daya, seperti ketahanan terhadap hama danpenyakit (cekaman biotik) dan ketahanan terhadapcekaman abiotik atau lingkungan. Manfaat lain ialahsebagai sumber gen untuk meningkatkan karaktermorfologis tanaman. Beberapa spesies padi liar memiliki

karakter batang kuat, anakan produktif banyak, jumlahgabah per malai banyak, dan dapat diratun. Namun,kendala yang dihadapi adalah introgresi gen dari padi liarke padi budi daya tidak mudah, terutama pada spesies liardengan genom yang berbeda.

Biologi seluler dan molekuler seperti kultur jaringandan marka molekuler memiliki peranan penting dalamtransfer gen asal padi liar. Makalah ini membahas spesiespadi liar sebagai cadangan sumber genetik ketahananterhadap cekaman biotik dan abiotik untuk perbaikanvarietas padi.

PENYEBARAN SPESIES PADI LIARDAN HABITAT

Padi yang dikenal secara luas adalah O. sativa (indica danjaponica), yang sudah lama ditanam petani khususnya diAsia, sedangkan O. glaberrima dibudidayakan di Afrika.Oryza sativa berasal dari turunan O. nivara yangmengalami seleksi secara alami maupun bantuan manusia,yang nenek moyangnya adalah O. rufipogon yang ada diAsia. Oryza rufipogon bersifat tahunan (perennial),sedangkan O. nivara bersifat annual atau semusim.Spesies O. glaberrima yang berkembang di Afrikamerupakan hasil seleksi dari spesies O. breviligulatayang bersifat semusim, yang nenek moyangnya adalah O.longistaminata yang bersifat tahunan (Khush 1997).

Padi liar (Oryza spp.) di dunia yang sudah tercatat +87 spesies dan yang sudah diketahui genomnya baru + 22spesies (Khush 1997). Oryza spp. berupa tanaman diploid(2n = 24) dan tetraploid (2n = 48) dengan beberapa macamgenom (AA, BB, CC, EE, FF, BBCC, CCDD, GG, HHJJ, danHHKK). Beberapa spesies ini tersebar pada berbagailingkungan tumbuh, antara lain daerah rawa/dataranbanjir, pinggir hutan, savana, tepi sungai, daerah hutandan tepi laut (Vaughan 1994; Khush 1997). Sebaran padiliar meliputi Asia, Afrika, Amerika, dan Australia. Oryzaridleyi dan O. meyeriana penyebarannya meliputi Asiaantara lain Indonesia, Kamboja, Malaysia, Papua Nugini,Thailand, dan Myanmar. Grup O. sativa dan O. officinalispenyebarannya sangat luas, meliputi Asia, Afrika,Amerika, dan Australia (Tabel 1).

Beberapa spesies padi liar yang ada di Indonesiaadalah O. meyeriana, O. granulata, O. longiglumis, O.officinalis, O. ridleyi, O. rufipogon, dan O. schlechteri.Populasi O. rufipogon terdapat di Jawa Barat, namunpopulasinya mulai sulit ditemukan. Di Kalimantan banyakragam Oryza spp., namun kerusakan hutan menyebabkanpopulasi padi liar hampir punah (Vaughan 1989).

Bank gen di IRRI mengoleksi + 2.500 aksesi padi liardengan tipe genome AA, 500 aksesi grup O. officinalis(genom CC), 35 aksesi O. meyeriana (genom GG), 21aksesi O. ridleyi (genom HHJJ), 19 aksesi O.brachyantha, dan satu aksesi O. schlechteri, yangberasal dari berbagai wilayah di dunia (Brar 2005).

Page 48: JURNAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN

Spesies padi liar (Oryza spp.) sebagai sumber gen ketahanan.... (Tintin Suhartini) 199

PENGELOMPOKAN PADI LIAR

Padi liar dikelompokan berdasarkan beberapa ciri, yaituberdasarkan genom dan jumlah kromosom, karaktermorfologis, serta tingkat kesulitan introgresi gen ke dalampadi budi daya. Vaughan (1994) mengelompokkan padi liarberdasarkan genom dan kromosom ke dalam empat grup,yaitu 1) O. sativa, 2) O. officinalis atau disebut juga O.latifolia, 3) O. ridleyi, dan (4) O. meyeriana atau O.granulata. Pengelompokan padi liar yang sudah adamerupakan hasil pengelompokan berdasarkan genom danjumlah kromosom, seperti tercantum pada Tabel 1.

Pada tahun 1960 pengelompokan padi liarberdasarkan 42 karakter morfologis telah dilakukanMorishima dalam Song et al. (2001), dan diperoleh tiga

grup yaitu 1) O. sativa dan kerabatnya, 2). O. officinalisdan kerabatnya, dan 3) Oryza spp. yang memilikihubungan kekerabatan lebih jauh.

Prasetiyono et al. (2005) mengelompokkan kera-gaman genetik 85 aksesi padi liar menggunakan markamikrosatelit. Analisis kluster menunjukkan pada kesamaangenetik 81% padi liar dikelompokkan ke dalam dua grup.Grup I terdiri atas O. glaberrima, O. barthii, O. nivara, O.rufipogon, dan O. glumaepatula, dan grup II terdiri atasO. grandiglumis, O. alta, O, officinalis, O. latifolia, O.eichingeri, O. malamphuzaensis, O. rhizomatis, O.punctata, dan O. minuta. Grup I merupakan kelompok O.sativa dan grup II kelompok O. officinalis. Keadaan inihampir sama dengan pengelompokan berdasarkan jumlahkromosom atau genom dan karakter morfologis.

Tabel 1. Keragaman spesies, genom, penyebaran, dan habitat Oryza sp.

SpesiesKromosom/

Penyebaran dan habitatgenom

Grup Oryza sativaO. sativa 24/AA Cultigen (Asia, Afrika, Amerika, Australia)O. nivara 24/AA Asia (daerah terbuka, rawa, tepi danau, sawah)O. glumaepatula 24/AA Amerika Tengah dan Selatan (daerah terbuka, rawa, tepi danau, tepi

sawah, sawah)O. barthii 24/AA Afrika (dataran banjir, genangan, savana)O. glaberrima 24/AA Cultigen/Afrika Barat (lahan kering, tadah hujan, rawa)O. rufipogon 24/AA Australia dan Asia (rawa, pematang tepi danau, sungai, daerah terbuka)

Grup Oryza officinalisO. latifolia 48/CCDD Amerika Tengah dan Selatan (daerah terbuka, savana, hutan basah)O. officinalis 48/CC Australia dan Asia (daerah terbuka, hutan dan tepi hutan)O. alta 48/CCDD Belize, Brasil, Colombia, Guyana, dan Paraguay (savana, pinggiran

sungai dan danau, daerah berhutan)O. minuta 48/BBCC Filipina, Papua Nugini (tepi sungai, daerah rawa, pinggir hutan/

naungan)O. punctata 48/24 BBCC/BB Afrika Selatan, Timur dan Tengah (daerah terbuka, tepi hutan, semak

belukar, savana)O. rhizomatis 24/CC Sri Lanka (daerah terbuka, dataran banjir, sebagian naungan)O. australiensis 24/EE Australia Utara (hutan basah, rawa, tepi danau, sebagian pinggir laut)O. grandiglumis 48/CCDD Amerika Tengah dan Selatan (savana, hutan basah, tepi sungai,

daerah terbuka, sebagian naungan)O. eichingeri 48/CC Afrika Tengah, Afrika Timur, dan Sri Lanka (daerah terbuka, dataran banjir,

sebagian naungan, hutan basah)Grup Oryza meyerianaO. meyeriana 24/GG Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Thailand (hutan, hutan sekunder,

tepi sungai)O. granulata 24/GG Asia Selatan dan Tenggara (hutan sekunder, bukit, pegunungan)

Grup Oryza ridleyiO. ridleyi 48/HHJJ Asia Selatan (daerah hutan basah)O. longiglumis 48/HHJJ Indonesia (Papua) dan Papua Nugini (daerah hutan basah, rawa)O. coarctata HHKK India, dan Bangladesh (daerah rawa salin)

(Grup lain/belum diketahuigenomnya)O. schlechteri 48/- Asia/Indonesia (Papua), Papua Nugini (daerah hutan basah, rawa)

Sumber: Vaughan (1994), Khush (1997), Brar (2005).

Page 49: JURNAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN

200 J. Litbang Pert. Vol. 35 No. 4 Desember 2016: 197-207

Berdasarkan tingkat kesulitan dalam introgresi gen,padi liar dibagi menjadi tiga kelompok mulai yangtermudah hingga yang paling sulit (Morishima 1998),yaitu 1) kelompok primer, merupakan grup O. sativadengan genom AA, paling sedikit kesulitannya dalamintrogresi gen, 2) kelompok sekunder, yaitu grup O.officinalis dengan genom BB hingga EE, dan 3) kelompoktersier (grup O. meyeriana, O. ridleyi) dengan genomHHJJ dan lainnya. Semakin jauh kekerabatan, semakinsulit dilakukan introgresi gennya (Wang et al. 2005).

PADI LIAR SEBAGAI SUMBER GENKETAHANAN

Ketahanan terhadap Penyakit HawarDaun Bakteri

Di Indonesia terdapat 12 strain atau ras hawar daunbakteri (HDB). Sejak tahun 1996 strain IV dan VIII lebihsering ditemukan di lapangan (Kadir 2000). Gen ketahananterhadap penyakit HDB asal padi liar sudah banyakditeliti, di antaranya melalui pengujian 74 aksesi padi liarplasma nutfah BB Biogen terhadap HDB strain IV dan VIII.Penelitian memperoleh 25 aksesi yang tahan terhadapkedua strain tersebut, yakni O. rhizomatis (3 aksesi), O.officinalis (4 aksesi), O. minuta (3 aksesi), O. punctata (4aksesi), dan O. malamphuzaensis (2 aksesi) (Tabel 2). O.minuta (acc.101141) paling tahan terhadap kedua rastersebut dengan skor 0 atau tanpa gejala. Oleh karena itu,O. minuta (acc.101141) merupakan sumber gen yang baik

untuk ketahanan terhadap HDB. Hasil evaluasi yangdilaporkan IRRI menunjukkan spesies O. minuta (acc.101141) memiliki gen ketahanan HDB (gen Xa21) yangtahan terhadap strain I di Filipina (Abdullah et al. 2001). DiPunjab India, spesies O. barthii, O. longistaminata, O.meridionalis, O. nivara, O. rufipogon, O. punctata, O.minuta, O. malamphuzaensis, dan O. latifolia dilaporkanmemiliki ketahanan terhadap empat strain HDB (Kaushalet al. 2006). Spesies padi liar O. minuta (101141) telahdimanfaatkan dalam introgresi gen ketahanan HDBpada varietas IR64. Reaksi hibrida hasil silangantersebut menunjukkan keragaman dalam dominansiketahanan (Abdullah et al. 2001). Demikian pula hibridaturunan spesies O. punctata, O. latifolia, dan O.malamphuzaensis membawa sifat dominan ketahananterhadap HDB (Kaushal dan Ravi 1998) sehingga peluangmemperoleh galur-galur tahan lebih besar.

Ketahanan terhadap Penyakit Blas

Penyakit blas merupakan penyakit utama padi. Padaawalnya penyakit ini hanya dijumpai pada padi gogo,namun dalam perkembangannya penyakit blas jugamenyerang pertanaman padi sawah serta di persemaian.Hasil evaluasi spesies padi liar grup O. officinalis dangrup O. sativa terhadap tiga ras blas di Indonesia, yaituras 003 dan ras 173 asal Sukabumi serta ras 373 asalCiranjang Cianjur memperoleh lima spesies grup Oofficinalis dan dua spesies O. sativa tahan terhadapketiga ras tersebut, antara lain O. rufipogon 102186, O.glaberrima 100156, O. punctata ( 6 aksesi.), O. officinalis

Tabel 2. Spesies padi liar tahan penyakit hawar daun bakteri (HBD) strain IV dan VIII.

Spesies AksesiKetahanan terhadap HDB

Strain IV Strain VIII

Oryza officinalis 106520 Tahan Tahan106524 Tahan Tahan100896 Tahan Tahan100178 Tahan Tahan

O. malamphuzaensis 100957 Tahan Tahan100532 Tahan Tahan

O. minuta 101141 Tahan Tahan101386 Tahan Tahan101089 Tahan Tahan

O. rhizomatis 103410 Tahan Tahan103417 Tahan Tahan105432 Tahan Tahan

O. punctata 101409 Tahan Tahan101419 Tahan Tahan104059 Tahan Tahan104056 Tahan Tahan

Sumber: Abdullah (2002).

Page 50: JURNAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN

Spesies padi liar (Oryza spp.) sebagai sumber gen ketahanan.... (Tintin Suhartini) 201

(5 aksesi), dan O. minuta 101386 ( Tabel 3). Pada spesiesO. rufipogon 105491 terdapat gen Pir 4 tahan terhadappenyakit blas ras 001 asal Jasinga Jawa Barat (Utami et al.2005). Hasil seleksi Huang et al. (2008) pada 36 aksesi O.rufipogon koleksi IRRI menemukan tujuh aksesi yangtahan penyakit blas (gen Pi-ta), di antaranya koleksi asalIndonesia (O. rufipogon 81802), sedangkan O. minuta101141 tahan blas di Filipina (Brar 2005).

Ketahanan terhadap Penyakit Tungro

Penyakit tungro pada tanaman padi disebabkan olehvirus tungro basiliform atau virus B (RTBV) dan virustungro spherical atau virus S (RTSV), yang ditularkanoleh wereng hijau N. virescens (Thamrin et al. 2012).Selama ini sedikit sekali kultivar padi yang digunakansebagai sumber ketahanan terhadap tungro, di antaranyaberasal dari introduksi, yaitu ARC 11554, Utri Merah,Habiganj DWB, dan Utri Rajapan. Varietas tersebutmerupakan sumber gen ketahanan terhadap RTSV danRTBV (Praptana dan Yasin 2008). Varietas Tetep danBalimau Putih asal lokal Indonesia serta IR42 dan IR66asal introduksi dari IRRI juga tahan terhadap penyakittungro. Namun, ketahanan varietas padi terhadap virustungro sering patah selang beberapa musim atau tahun.Oleh karena itu, perbaikan varietas tahan tungro harusdilakukan terus-menerus dengan spektrum ketahananyang lebih luas dan daya tahan yang lebih tinggi.

Sejumlah spesies padi liar memiliki ketahananterhadap tungro. Hasil evaluasi ketahanan padi liar

terhadap tungro di laboratorium dan rumah kaca BBBiogen menunjukkan 18 aksesi padi liar tahan terhadaptungro, antara lain delapan aksesi dari O. punctatadengan skor (0) atau tanpa gejala (Tabel 4). Beberapaspesies lainnya yang memiliki ketahanan terhadaptungro adalah O. rufipogon (nomor aksesi 105909, 105908,105910), O. ridleyi 100821, O. officinalis 105365 dan100896, sedangkan O. officinalis aksesi 105100, 105365,dan 105376 tahan terhadap wereng hijau (Kobayashi et al.1993). Spesies O. eichingeri dan O. nivara dilaporkantahan terhadap virus tungro (Khush 1997). Gen ketahananterhadap tungro juga terdapat pada spesies O. alta, O.grandiglumis, O. latifolia, O. malamphuzaensis, dan O.minuta (Anjaneyulu et al. 1981).

Ketahanan terhadap Wereng Coklat

Spesies padi liar yang telah diuji dan tahan terhadapwereng coklat biotipe 3 adalah O. officinalis, O.malamphuzaensis, O. ridleyi, O. australiensis, O. minutadan O. alta (Tabel 5). Menurut Brar (2005), spesies padiliar yang memiliki ketahanan terhadap wereng coklatantara lain adalah spesies O. punctata, O. minuta, O.officinalis, O. eichingeri, O. latifolia, dan O.australiensis. Pada spesies O. australiensis terdapat genbph 18 dan O. officinalis memiliki gen bph 6 dan bph 13yang tahan terhadap wereng coklat biotipe 1, 2, 3 dan 4.Brar et al. (2009) menyatakan, O. minuta mengandung genbph 20 dan bph 21 yang tahan wereng coklat biotipe 1, danO. latifolia memiliki gen bph 12 yang tahan terhadap

Tabel 3. Spesies padi liar tahan tiga ras penyakit blas di Jawa Barat.

Spesies AksesiKetahanan terhadap blas

Ras 003 Ras 173 Ras 373

Kelompok Oryza officinalisO. punctata 10419 T T T

104956 T T T101409 T T T104959 T T T100892 T T T101417 T T T

O. officinalis 105220 T T T106520 T T T105365 T T T101181 T T T100178 T T T

O. minuta 101386 T T TO. alta 100952 T T TO. malamphuzaensis 100957 T T T

Kelompok O. sativaO. rufipogon 102186 T T TO. glaberrima 100156 T T T

Sumber: Silitonga et al. (2003).

Page 51: JURNAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN

202 J. Litbang Pert. Vol. 35 No. 4 Desember 2016: 197-207

wereng coklat biotipe 2. Hasil pengujian Velasamy (1987)di IRRI memperoleh 17 aksesi O. latifolia, 9 aksesi O.officinalis yang tahan wereng coklat biotipe 1, 2, dan 3, diantaranya O. latifolia aksesi 100165, 100168, 100914,101392, O. officinalis 100878 dan 100896. Spesies O.punctata 101409, O. alta 101395, O. autraliensis 101144dan 101397 juga tahan wereng coklat biotipe 1, 2, dan 3.

Toleransi terhadap Kekeringan

Evaluasi ketahanan padi liar terhadap kekeringandilakukan oleh Suardi dan Abdullah (2003). Dari 87 aksesi

padi liar yang diuji, enam spesies toleran kekeringan, yaituO. glaberrima 101297, O. nivara 103821 dan 102175, O.rufipogon 100211, O. barthii 104384, O. australiensis105264, dan O. alta 105143. Spesies O. glaberrima 101297paling toleran kekeringan dengan daya tembus akar palingbaik. Khush (1997) melaporkan beberapa spesies padi liartoleran kekeringan yang terdapat pada spesies O. nivara,O. barthii, O. brevilugata, O. longistaminata, O.meridionalis, O. rhizomatis, O. australiensis, dan O.glaberrima. Oryza barthii dan O. glaberrima asal Afrikatoleran terhadap kekeringan (Kayode et al. 2014).

Toleransi terhadap Keracunan Besidan Aluminium

Pengujian sejumlah aksesi padi liar koleksi BB Biogenpada lahan keracunan besi di Tamanbogo Lampungdengan konsentrasi 200300 ppm memperoleh beberapaspesies yang toleran keracunan Fe (Tabel 6). Padi liar yangtahan terdapat pada kelompok O. sativa, antara lain O.nivara (tujuh aksesi), O. glumaepatula, O. glaberrima(tiga aksesi), O. barthii dan O. rufipogon (dua aksesi),dengan skor 35 (tahan sampai sedang). Hasil pengujianyang dilakukan Mendoza et al. (2000) memperoleh tigaaksesi asal O. rufipogon yaitu nomor aksesi 105909,106412, dan 106423 yang sangat tahan terhadapkeracunan Fe konsentrasi 300400 ppm. Sebagaipembanding, varietas padi budi daya tahan Fe yaituBW267-3, Suakoko 8, IR9884, IR68544-29-2-1-3-1-2, danAzucena menunjukkan reaksi tahan pada konsentrasi Feyang sama.

Spesies padi liar toleran keracunan Al dilaporkanterdapat pada spesies asal O. rufipogon aksesi 106412,

Tabel 6. Spesies padi liar toleran terhadap keracunan besi.

Spesies Aksesi Skor ketahanan

Oryza nivara 103840 3O. nivara 103821 5O. nivara 102175 3O. nivara 102164 3O. nivara nepal 01 Nepal 01 3O. nivara nepal 02 Nepal 02 3O. glumaepatula 101960 5O. glaberrima 101914 3O. glaberrima 100156 3O. glaberrima 101297 3O. barthii 104384 3O. rufipogon 105349 3O. rufipogon 105308 5O. rufipogon 105491 5IR64 (kontrol peka) - 79

Skor 13 = tahan, skor 5 = sedang, skor 7 = peka, skor 89 =sangat peka.Sumber: Suhartini (2014).

Tabel 4. Spesies padi liar tahan terhadap penyakit tungro.

Spesies AksesiGejala tungro Skor

(%) ketahanan

Oryza nivara 102175‘ 7 3O. barthii 104384 10 3O. malamphuzaensis 105223 0 0O. punctata 101417 0 0O. punctata 104074 0 0O. punctata 101419 0 0O. punctata 101409 0 0O. punctata 104059 0 0O. punctata 105920 0 0O. punctata 100892 0 0O. punctata 105153 0 0O. rhizomatis 105153 0 0O. australiensis 105266 0 0O. australiensis 105219 0 0O. australiensis 105273 0 0O. officinalis Kaltim - 7 3O. officinalis 104314 10 3O. officinalis 100178 0 0Cek rentan (Cisadane) - 100 9Cek tahan (Tukad Petanu) - 0 0

Skor: 0 = tidak ada gejala, skor 13 = tahan, skor 46 = sedang,skor 7 = peka, skor 89 = sangat peka.Sumber: Suhartini dan Muhsin (2011).

Tabel 5. Plasma nutfah spesies padi liar BB Biogen tahanterhadap wereng coklat biotipe 3.

Spesies Aksesi Spesies Aksesi

Oryza officinalis 100878 O. malamphuzaensis 100957O. officinalis 106319 O. ridleyi 100877O. officinalis 100181 O. australiensis 100882O. officinalis 102460 O. minuta 101386O. officinalis 100178 O. alta 105222O latifolia 100914 O. alta 100952

O. alta 105143

Sumber: Silitonga et al. (2003).

Page 52: JURNAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN

Spesies padi liar (Oryza spp.) sebagai sumber gen ketahanan.... (Tintin Suhartini) 203

106423, dan 106424 asal Vietnam ( Nguyen et al. 2003).Demikian pula Brar (2005) melaporkan beberapa aksesi O.glaberrima dan O. rufipogon toleran keracunan Al.

Toleransi terhadap Rendaman

Genotipe padi yang toleran terhadap rendaman sangatdiperlukan, karena kegagalan panen dapat terjadi akibatkebanjiran dan terendam lebih dari 7 hari (Xu et al. 2006).Selama ini sumber gen ketahanan terhadap rendamanmasih sangat terbatas, di antaranya genotipe FR 13A asalIndia, yang tahan terhadap rendaman + 2 minggu (Takesiet al. 2008). Pada Oryza spp. ditemukan gen toleranrendaman (Sub1), yaitu pada O. rufipogon 80506, O.nivara 101524, dan O. nivara 80470. Ketiga spesiestersebut dikoleksi di Bank Gen IRRI (Takesi et al. 2008).Adanya spesies padi liar yang tahan rendaman akanmenambah keragaman genetik pada karakter ini.

Toleransi terhadap Salinitas

Program perbaikan varietas padi salah satunya diarahkanpada ketahanan terhadap salinitas untuk daerah-daerahaliran sungai tepi laut dan rawa pasang surut. Padakondisi tertentu, wilayah ini terintrusi air laut dengankegaraman yang tinggi sehingga diperlukan genotipe padiyang tahan salinitas. Pada kadar garam dengan EC > 8 dS/m, genotipe padi pada umumnya akan mati, hanyagenotipe yang tahan bisa tumbuh hingga EC 12 dS/m(Farroq et al. 1992).

Sumber ketahanan terhadap salinitas pada Oryza spp.terdapat pada O. officinalis 105322 yang tahan selama 6minggu pada EC 12 dS/m setelah perlakuan pada fase bibitdan O. officinalis 103286 tahan hingga 10 minggu pada ECyang sama. O. punctata 105158 lebih tahan karena tumbuhbaik pada perlakuan > 12 minggu. Varietas cek tahan Jhona349 (padi budi daya) mati setelah 4 minggu pada EC 12 dS/m (Farroq et al. 1992). Selama ini padi budi daya yangtahan terhadap salinitas dan digunakan sebagai tetuatahan adalah Nona Bokra dan Pokkali asal India. Keduagenotipe tersebut tahan terhadap salinitas hingga 25 dS/mEC (Alamgir et al. 2007). Dengan demikian adanya sumbergen tahan dari Oryza spp. akan menambah gen pool padiuntuk ketahanan terhadap salinitas. Spesies Oryza spp.yang paling tahan terhadap salinitas tinggi adalah Oryzacoarctata (genom HHKK) asal India dan Bangladesh,habitatnya di area rawa pasang surut dan tepi sungaidekat laut. Spesies ini tetraploid dengan 2n = 48, tahanterhadap salinitas pada EC 30-40 dS/m (Bal dan Dutt 1986).Namun spesies ini sangat sulit untuk diintrogresikan padapadi budi daya karena hubungan kekerabatannya jauh. DiBank Gen IRRI spesies ini memiliki kode IRGC 104502(Vaughan 1994).

Toleransi terhadap Naungan

Varietas padi toleran terhadap naungan dirasa pentingkarena banyak lahan perkebunan yang belumdimanfaatkan selain untuk tanaman pokok. Masalahnyatidak ada tanaman pangan yang toleran terhadap naungantanaman pokok dengan naungan > 50%. Batas ambangtoleransi tanaman padi terhadap naungan adalah 50%(Sasmita et al. 2006). Varietas padi gogo Jatiluhurdiketahui toleran terhadap naungan hingga 60% (Wibawa1996), namun varietas tersebut peka terhadap penyakitblas daun sehingga kurang berkembang sebagai tanamansela di area perkebunan. Dengan diperolehnya padi gogotoleran naungan, banyak lahan perkebunan yang dapatdimanfaatkan untuk menanam padi gogo di antaratanaman pokok. Beberapa spesies padi liar yang tolerannaungan antara lain O. meyeriana, O. granulata, O.minuta, O. longiglumis, dan O. ridleyi. Spesies O.meyeriana tumbuh baik pada kondisi naungan penuhseperti di bawah hutan primer Dipterocarpus dan O.granulata tumbuh baik di bawah hutan jati dan bambu(Vaughan 1994). Spesies O. granulata selain tolerannaungan juga toleran kekeringan (Wei et al. 2007).

KENDALA TRANSFER GEN PADI LIARKE PADI BUDI DAYA

Persilangan antargenus Oryza (genom AA) termasuk didalamnya padi budi daya dari O. sativa (indica danjaponica) dan O. glaberrima relatif mudah denganturunan pertama fertil dan dapat menurunkan generasiyang normal (fertil). Namun, persilangan padi budi dayadengan kerabat dekatnya dengan genom AA sepertiO. nivara, O. rufipogon, O. longistaminata, O.glumaepatula, O. barthii, dan O. meridionalis lebih sulitkarena sering menghasilkan turunan yang steril. Untukmengatasi masalah tersebut dilakukan silang balik (backcross) beberapa kali dengan tetua padi budi daya sebagairecurrent parent agar diperoleh generasi yang fertil.

Tingkat kesulitan yang paling tinggi dalampersilangan adalah dengan spesies Oryza spp. yangmemiliki hubungan kekerabatan lebih jauh dengan genomberbeda, baik yang diploid maupun tetraploid. Sitch (1990)melaporkan, O. sativa (genome AA) bila disilangkandengan Oryza spp. genom BB, BBCC, CC atau CCDDmemberikan tingkat keberhasilan memperoleh seedset (F1)0–30% dan bila disilangkan dengan genom EE and FFseedset berkisar 0,2–3,8% dengan turunan sangat sterilbaik bunga jantan maupun betina. Hal tersebut terjadikarena kromosom tidak homolog, aborsi embrio,kerontokan yang tinggi, dan sterilitas (Abdullah 2006).Pada kelompok ini transfer gen sulit dilakukan tanpamenggunakan teknik tertentu seperti teknik penyelamatanembrio, dilanjutkan dengan silang balik.

Page 53: JURNAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN

204 J. Litbang Pert. Vol. 35 No. 4 Desember 2016: 197-207

Kegagalan transfer gen asal padi liar ke padi budi dayadipengaruhi juga oleh spesies yang digunakan.Persilangan padi budi daya (genom AA) dengan O.officinalis (CC) akan terjadi aborsi embrio pada 57 harisetelah penyerbukan (Niroula et al. 2005). Persilangandengan O. minuta (BBCC) terjadi aborsi embrio +10 harisetelah penyerbukan (Amante Bordeos et al. 1992).Pemberian hormon tumbuh setelah persilangan dapatmencegah atau menunda aborsi embrio dini. Pemberianhormon tumbuh 75 ppm GA3 dan 75 ppm NAA(naphthalene acetic acid) setelah 2 hari persilangansampai embrio berumur 10 hari, kemudian diselamatkan danditanam dalam kultur media berhasil menyelamatkan embriomuda dan banyak digunakan oleh para peneliti (AmanteBordeos et al. 1992). Melalui teknik konvensional dandipadukan dengan bioteknologi seperti kultur embrio danmarka molekuler, keberhasilan transfer gen dan deteksi genasal kerabat jauh padi budi daya akan meningkat.

HASIL TRANSFER GEN ASAL PADILIAR PADA PADI BUDI DAYA

Pemanfaatan padi liar dalam perbaikan varietas antara lainpada O. nivara, yang memiliki ketahanan terhadap werengcoklat, virus kerdil rumput, dan HDB (Khush 1997).Introgresi gen asal O. nivara telah dilakukan di IRRI danhasilnya telah menambah varietas unggul yang ada diIndonesia, yaitu IR30, IR32, IR34, IR36, dan IR38, yang dilepas tahun 1975–1978 dengan nama PB30, PB32, PB34,PB36, dan PB38 yang toleran terhadap hama dan penyakitdi atas. Varietas IR36 cukup populer di Indonesia karenatahan terhadap wereng coklat biotipe 1 dan 2, tahan viruskerdil rumput, penyakit blas dan HDB (Suprihatno et al.2007). Gen ketahanan terhadap wereng coklat asal O.australiensis 100882 (genom EE) berhasil ditransfer kepadi budi daya dan diperoleh empat galur turunan BC

2F

4

(Multani et al. 1994). Jena et al. (2016) berhasilmentransfer gen asal O. punctata (BB) ke galur elitIR31917-45-3-2 , beberapa galur introgresi disomic ( DILs)generasi BC

1F

1 ( 20 galur) dan BC

2F

1 (59 galur) yang

memiliki ketahanan terhadap wereng coklat, wereng hijau,penyakit hawar daun bakeri, dan blas.

Di Filipina pada tahun 2002 dilepas varietas Matatag 9yang toleran terhadap tungro, merupakan hasil silanganO. sativa dengan O. rufipogon 105908 (sumber gen tahantungro) serta galur NSICRC112 hasil silangan O. sativadengan O. longistaminata (toleran terhadap werengcoklat dan tungro). Galur IR73678-6-9B dilepas di Vietnampada tahun 2001 dengan kode AS996, toleran pH rendah,merupakan silangan IR64 dengan O. rufipogon sebagaisumber gen tahan pH rendah (Brar dan Khush 2002). Limagalur turunan O. sativa × O. officinalis tahan terhadapwereng coklat telah dirilis di Vietnam pada tahun 1993–1995 dengan nama MTL98, MTL103, MTL105, MTL110,MTL114 (Brar 2005), dan sejumlah galur hasil persilangan

O. sativa dengan O. glaberrima dan O. rufipogon yangtoleran terhadap keracunan Fe 400 ppm telah diperoleh diIRRI (Mendoza et al. 2000). Pada tahun 2013 BB Biogenmenghasilkan dua galur asal silangan O. rufipogon danInpari yang dinamai Inpari HDB dan Inpari blas, yangmasing-masing tahan terhadap HDB dan blas.

Keragaman genetik ketahanan suatu varietas akanmeningkatkan durabilitas (tahan lebih lama), menurunkantekanan seleksi dan dapat mencegah epidemi penyakit.Oleh karena itu, perakitan varietas harus terusberlangsung yang didukung oleh sumber gen yang selalutersedia, di antaranya asal padi liar. Keberadaan padi liarakan sangat membantu dalam perbaikan varietas padiyang berkelanjutan. Habitat padi liar sudah terancam danhilang akibat perubahan oleh manusia ataupun alami.Konsekuensinya perlu dilakukan pelestarian (konservasi)agar tidak punah. Saat ini Bank Gen padi di IRRImengoleksi lebih dari 3.000 aksesi plasma nutfah padi liar(Brar 2005), sedang BB Biogen mengkoleksi + 4.000 aksesiplasma nutfah padi, 94 aksesi di antaranya merupakanspesies padi liar (Silitonga 2010).

STRATEGI PERCEPATAN TRANSFERGEN ASAL PADI LIAR KE PADI

BUDI DAYA

Para pemulia akan memilih spesies padi liar atau tanamanbeda spesies bila sumber gen yang tersedia pada padibudi daya makin terbatas atau tidak tersedia. Spesies padiliar memiliki banyak karakter yang diinginkan, di antaranyaketahanan terhadap cekaman biotik (hama penyakit) danabiotik. Untuk itu perlu dilakukan transfer gen dari spesiespadi liar ke padi budi daya. Namun terdapat kesulitanterutama pada spesies dengan genom yang berbeda, baikyang diploid maupun tetraploid. Pemuliaan tanamansecara konvensional akan menghadapi hambatan sepertiinkompatibilitas atau kromosom yang tidak homolog,kompleksnya alur penelitian, kondisi fisiologis tanamanyang tidak memungkinkan terjadi persilangan, dan lain-lain.

Padi liar dengan genom AA dapat ditransfer melaluicara konvensional ke padi budi daya walaupun seringmenghasilkan turunan yang steril (Abdullah 2006). Untukmengatasi masalah tersebut dilakukan silang balik (backcross) secara berulang dengan varietas budi daya agardiperoleh generasi yang fertil. Tingkat kesulitan yangpaling tinggi adalah persilangan dengan spesies Oryzaspp. yang memiliki hubungan kekerabatan lebih jauhdengan genom berbeda.

Kemajuan bioteknologi dapat membantu sebagianproses perakitan varietas yang memiliki kendala tersebut,di antaranya melalui teknik penyelamatan embrio dankultur jaringan/sel (Abdullah 2006; Hanarida 2013).Sejumlah penelitian yang terkait kegiatan ini cukupmemberi harapan dalam mengatasi masalah ini.

Page 54: JURNAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN

Spesies padi liar (Oryza spp.) sebagai sumber gen ketahanan.... (Tintin Suhartini) 205

Teknik Penyelamatan Embrio

Keberhasilan persilangan interspesifik padi budi dayadengan padi liar (kerabat jauh) sudah banyak dilaporkanmelalui persilangan yang dilanjutkan dengan penye-lamatan embrio. Sitch (1990) melaporkan, persilangan padibudi daya dengan padi liar genom BB hingga CCDDmemperoleh seed set F1 030%, dan persilangan dengangenome EE dan FF memperoleh seed set 0,23,8%. Studiyang dilakukan Abdullah et al. (1995) pada dua padi lokal(O. sativa genom AA) yang disilangkan dengan limaspesies padi liar dengan genom berbeda, yaitu O. alta(CCDD/48), O. latifolia (CCDD/48), O. officinalis (CC/48),O. minuta (BBCC/48), dan O. ridleyi (HHJJ/48),memperoleh tingkat keberhasilan seed set 052%.Persilangan dengan spesies O. ridleyi (HHJJ/48) dengantingkat kekerabatan paling jauh di antara spesies liar yangdigunakan, memperolah seed set 0%. Dari beberapapenelitian di atas, penyelamatan embrio akan mudahdilakukan bila ada kedekatan atau kesamaan genom. Olehkarena itu, diperlukan teknik lain dalam melakukanpersilangan dengan kerabat paling jauh. Teknik fusiprotoplas merupakan bagian dari teknik kultur jaringanyang dapat dimanfaatkan dalam persilangan somatikantarspesies yang berbeda (Sukmadjaya et al. 2007).

Teknik Fusi Protoplas

Salah satu cara transfer gen dalam perakitan varietas baruadalah melalui fusi protoplas atau hibridisasi somatik. Fusiprotoplas merupakan teknik penggabungan inti dan atausitoplasma antara dua genotipe atau lebih yang berbedaspesies secara in vitro untuk mendapatkan hibridadengan sifat-sifat yang diinginkan. Teknik ini merupakanteknologi alternatif untuk memperoleh tanaman hibridayang sulit dilakukan melalui metode konvensional karenaketidakcocokan kromosom atau untuk mengatasikelemahan dari hibrida secara seksual (Purwito 1999),sehingga hibridisasi dengan spesies padi liar kerabat jauhdengan genom berbeda dapat dilakukan. Penelitian yangmengarah pada somatik hibridisasi melalui fusi protoplassudah dilakukan.

Kegiatan isolasi protoplas padi telah dilakukan diBB Biogen pada padi lokal Rojolele, Pandan Wangi, danCisadane menggunakan mesofil daun dan kalus untukisolasi protoplas dengan tiga kombinasi enzim. Isolasibelum berhasil karena masih mencari kultur suspensiyang cocok untuk isolasi protoplas (Ambarwati danHanarida 1993). Koh-ichi et al. (1991) melakukan isolasiprotoplas pada 153 aksesi O. sativa (indica dan japonica)genom AA, dan 242 spesies padi liar (O. officinalis,latifolia, australiensis, punctata, grandiglumis,barthii, branchyata, rufipogon, nivara, glaberrima).Isolasi protoplas utuh berhasil dilakukan pada 15 aksesijaponica dan 12 aksesi indica, dua aksesi O. officinalis,O. barthii dan 16 aksesi O. rufipogon. Pada spesies padi

liar dengan genom BB/BBCC dan yang lebih jauh kurangberhasil.

Guangcun et al. (1998) berhasil melakukan purifikasiprotoplas padi liar O. australiensis, O. granulata, O.latifolia, dan O. ridleyi, kemudian dilakukan fusiprotoplas dengan varietas Taipei 309 (O. sativa). Bahanprotoplas diambil dari suspensi sel daun. Hibrida hasil fusiprotoplas diuji karakternya dengan analisis RAPD,namun masih belum berhasil dan perlu didiskusikan lebihlanjut. Sukmadjaya et al. (2007) melakukan purifikasiprotoplas (isolasi dan pemurnian) padi liar O. officinalisdan varietas IR64 menggunakan bahan kalus embriogenikatau batang muda hasil perkecambahan secara in vitro.Hasil purifikasi menunjukkan respons pembelahan selhingga menjadi agregat sel hanya terjadi pada varietasIR64, sedangkan pada O. officinalis tidak terjadi, sehinggabelum dapat dilaksanakan peleburan (fusi) antara keduaspesiesnya.

Dari hasil penelaahan kegiatan fusi protoplas padapadi, untuk tahap teknik isolasi protoplas sudah berhasil,namun hasil fusinya masih dalam penelitian. Keberhasilankultur protoplas dan regenerasinya ditentukan olehbeberapa faktor, antara lain genotipe dan jaringan yangdigunakan, fisiologi jaringan, jenis dan konsentrasi enzim,masa inkubasi, media kultur, zat pengatur tumbuh, dankondisi inkubasi (Sukmadjaya et al. 2007). Persilangansomatik melalui fusi protoplas merupakan metodealternatif yang sangat berguna dan mempunyai prospekyang baik bagi kegiatan pemuliaan pada masa mendatang.Jaringan tanaman yang digunakan untuk isolasi protoplasbervariasi, umumnya jaringan muda seperti pucuk muda.Protoplas dapat diisolasi dari hampir semua bagiantanaman seperti akar, daun, nodul, koleoptil, kultur kalus,dan daun in vitro (Husni et al. 2004). Dalam isolasi danpurifikasi protoplas belum ada standar atau metode bakukarena setiap individu sel atau jaringan yang akandigunakan sebagai sumber protoplas memerlukanperlakuan khusus (Sukmadjaya et al. 2007).

Fusi protoplas berhasil dilakukan pada tanamankentang, yaitu fusi protoplas spesies Solanum tuberosumdengan spesies liar S. lycopersicon pimpinellifolium danS. khasianum dengan S. aculestissima untuk men-dapatkan ketahanan terhadap penyakit hawar daun, layubakteri, dan kekeringan yang terdapat pada spesiesliarnya (Purwito 1999). Pemuliaan tanaman melalui fusiprotoplas dan penyelamatan embrio memiliki sejumlahhambatan yang belum dapat diatasi sepenuhnya. Namundemikian, beberapa studi awal telah dilakukan danmemberi harapan untuk langkah selanjutnya.

KESIMPULAN

Spesies padi liar merupakan sumber keragaman genetikketahanan terhadap cekaman biotik dan abiotik sehinggaperlu dievaluasi dan dikarakterisasi serta dilestarikan.Bioteknologi telah menghasilkan teknik yang dapat

Page 55: JURNAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN

206 J. Litbang Pert. Vol. 35 No. 4 Desember 2016: 197-207

mentransfer gen ketahanan dari spesies padi liar ke padibudi daya. Teknik persilangan, penyelamatan embrio,kultur jaringan, dan marka molekuler dapat mempermudahproses transfer gen dari spesies padi liar ke padi budidaya.

Gen-gen penting asal padi liar harus dimanfaatkansemaksimal mungkin untuk mengatasi kendala dalamproduksi padi. Keberhasilan transfer gen dari spesies padiliar ke padi budi daya akan meningkatkan keragamangenetik dan produksi padi. Gen-gen penting asal padi liarsudah berhasil ditranfer ke padi budi daya, sepertiketahanan terhadap hama wereng coklat, penyakit blas,HDB, dan virus tungro. Studi awal telah dilakukan untukpersilangan padi dengan kerabat liar melalui hibridisasisomatik, seperti isolasi dan pemurnian protoplas,penyelamatan embrio, analisis isoenzim dan DNA. Namundemikian terdapat kendala dalam prosesnya yang perluditeliti lebih lanjut.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, B., D.S Brar and R. Dalmacio. 1995. Interspecifichybridization between bulu rice and wild species of rice usingembryo rescue technique. Zuriat 6(2): 106109.

Abdullah, B., D.S. Brar and A.L. Carpena. 2001. Gene introgressionof bacterial leaf blight resistance gene from Oryza minuta J:B.Presl. Ex C. B. Presl. into new rice plant type (Oryza sativa L.)Penelitian Pertanian 20(1): 19.

Abdullah, B. 2002. Wild species Oryza spp.: a prospective source ofbacterial blight resistance for rice breeding. Penelitian Pertanian21(3): 15.

Abdullah, B. 2006. Potensi padi liar sebagai sumber genetik dalampemuliaan padi. Iptek Tanaman Pangan 2: 143152.

Abdurachman, A., A. Dariah, dan A. Mulyani. 2008. Strategi danteknologi pengelolaan lahan kering mendukung pengadaanpangan nasional. Jurnal Litbang Pertanian 27(2): 4349.

Alamgir, A.N.M., M. Musa and M.Y. Ali. 2007. Some aspect ofmechanisms of NaCl stress tolerance in the seedling of four ricegenotypes. Bangladesh J. Bot. 36(2): 181184.

Amante Bordeos, A.D., L.A Sitch, R. Nelson, R.D. Damalsio, N.P.Oliva, H. Aswidinoor and H. Leung. 1992. Transfer of bacterialleaf and blast resistance from the tetraploid wild rice Oryzaminuta to cultivated rice, O. sativa. Theor. Appl.Genet. 84:345354.

Ambarwati, A.D. dan I. Hanarida. 1993. Teknik isolasi protoplaspadi. Penelitian Pertanian 13(1): 15.

Anjaneyulu, A., V.D. Shuka, G.M. Rao and S.K. Singh. 1981.Perpetuation of rice tungro virus and its vectors. InternationalRice Research Nursery (IRRN) 6(1): 1213.

Baehaki, S.E. dan I.N. Widiarta. 2008. Hama wereng dan carapengendaliannya pada tanaman padi. Dalam Padi (Buku 2).Inovasi Teknologi Produksi. A.A. Darajat, A. Setyono, A.K.Makarim, dan A. Hasanudin (Penyunting). Balai Besar PenelitianTanaman Padi, Sukamandi, Subang. hlm. 347383.

Bal, A.R. and S.K. Dutt. 1986. Mechanism of salt tolerance in wildrice (Oryza coarctata Roxb). Plant and Soil 92: 399404.

Brar, D.S. and G.S. Khush. 2002. Transferring genes from wildspecies into rice. In Quantitative Genetics, Genomics and PlantBreeding. Kang M.S. (Editor). CAB International, Wallingford(UK). pp. 197217.

Brar, D.S. 2005. Broadening the gene pool of rice throughintrogression from wild species. In K Toriyama, K.L. Heong

and B. Hardy (Eds.) Rice is life: Scientific perspectives for the21st century. Proceedings of the World Rice ResearchConference, Tsukuba, Japan, 57 November 2004. pp. 157159.

Brar, D.S., P.S. Virk, K.K. Jena and G.S. Khush. 2009. Breeding forresistance to planthoppers in rice. In K.L. Heong and B. Hardy(Eds.). Planthoppers: new threats to the sustainability ofintensive rice production systems in Asia. International RiceResearch Institute, Los Banos, Philippines. pp. 401428.

Farroq, S., M. Asghar, N. Iqbal and T.M. Shah. 1992. Variability insalt tolerance of accessions of wild rice spesies Oryza punctataand O. officinalis. International Rice Research Nurseries (IRRN)17(6): 1516.

Guangcun, He., N. Blackball and M.R. Davey. 1998. Protoplastfusion of cultivated rice (Oryza sativa L.) to four wild Oryzaspecies. JGG 16(1): 1117. http://agris.fao.org/agris-search/search.

Hanarida, I.S. 2013. Percepatan perakitan varietas unggul padidengan bantuan pemuliaan nonkonvensional. PengembanganInovasi Pertanian 6(2): 62–73.

Huang, C.L, S.Y. Hwang, Y.C. Chiang  and  T.P. Lin. 2008. Molecularevolution of the Pi-ta gene resistant to rice blast in wild rice(Oryza rufipogon). Genetics 179(3): 1527–1538.

Husni, A., I. Mariska, dan Hobir. 2004. Fusi protoplas dan regenerasihasil fusi antara Solanum melongena dan Solanum torvum.Jurnal Bioteknologi Pertanian 9(1): 1–7.

Jena,  K.K., Ma.  LaRue,  E.  Ballesfin, B. Ricky  and Vinarao. 2016.Development of Oryza sativa L. by Oryza punctata Kotschyex Steud. monosomic addition lines with high value traits byinterspecific hybridization. Theor. Appl. Genet. 129(10): 1873–1886. DOI: 10.1007/s00122-016-2745-8

Kadir, T.S. 2000. Variasi patogen Xanthomonas oryzae pv. oryzae.Prosiding Kongres Nasional dan Seminar Ilmiah PerhimpunanFitopatologi Indonesia, 16–18 September 1999. UniversitasJenderal Soedirman, Purwokerto. hlm. 159–165.

Kaushal, P. and Ravi. 1998. Crossability of wild species of Oryzawith O. sativa cvs PR 106 and Pusa Basmati 1 for transfer ofbacterial leaf blight resistance through interspecifichybridization. J. Agric. Sci. Cambridge University 130: 423–430.

Kaushal, P., Ravi and J.S. Sidhu. 2006. Screening of wild Oryzaspecies against bacterial leaf blight (Xanthomonas oryzae pv.oryzae) pathotypes of Punjab (India). Plant Breeding 117(5):491–493. http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/j.1439-0523.1998.tb01980.x/abstract [25 April 2015].

Kayode,  S., M.  Lorieux and A.  Ghesquière. 2014. An extensiveanalysis of the African rice genetic diversity through a globalgenotyping. Theor. Appl. Genet. 127(10): 2211–2223. DOI:10.1007/s00122-014-2374-z

Khush, G.S. 1997. Origin dispersal cultivation and variation of rice.Plant Mol. Biol. 35: 25–34.

Kobayashi, N., R. Ikeda, I.T. Domingo and D.A. Vaughan. 1993.Resistance to infection of rice tungro viruses and vectorresistance in wild species of rice (Oryza spp.). Japan. J. Breed.43(3): 377–387.

Koh-ichi morii, T. Kinoshita and Y. Yamada. 1991. Callus formationand protoplast isolation in rice (Oryza sativa L.) and its relatedspecies. J. Fac. Agrie. Hokkaido Univ. 64(4): 304–310.

Mendoza, R.D., J.A. Molinawe, G.B.C. Gregori, Q. Guerta and D.S.Brar. 2000. Genetic variability of tolerance for iron toxicity indifferent species of Oryza and their derivatives. In G.S. Khush,D.S. Brar and B. Hardy (Eds.). Advances In Rice Genetics. IRRI,Los Baños, Laguna. pp. 154–157.

Morishima, H.O. 1998. Genetic difference between wild andcultivated rice. Agric. Archeol. 49(1): 30–35. http://http-server.carleton.ca/ ~bgordon/ Rice/papers/mori98.htm [20 April2014].

Page 56: JURNAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN

Spesies padi liar (Oryza spp.) sebagai sumber gen ketahanan.... (Tintin Suhartini) 207

Multani, D.S., K.K. Jena, D.S. Brar, B.G. Reyes, E.R. Angeles andG.S. Khush. 1994. Development of monosomic alien additionlines and introgression of genes from Oryza australiensis Domin.to cultivated rice O. sativa L. Theor. Appl. Genet. 88: 102–109.

Mulyani, A., Hikmatullah, dan H. Subagyo. 2004. Karakteristik danpotensi tanah masam lahan kering di Indonesia. hlm. 1–32Dalam Prosiding Simposium Nasional Pendayagunaan TanahMasam. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah danAgroklimat, Bogor.

Nguyen, B.D., D.S. Brar, B.C. Bui, T.V. Nguyen, L.N. Pham andH.T. Nguyen. 2003. Identification and mapping of the QTLsfor aluminum tolerance introgressed from the new source, Oryzarufipogon Griff., into indica rice (Oryza sativa L.). Theor. Appl.Genet. 106: 583–593.

Niroula, R.K., L.P. Subedi., R.C. Sharma and M.P. Upadhyay. 2005.Interspecific hybrid plants recovered from in vitro embryo rescuein rice. Scientific World 3(3): 90–94.

Praptana, R.H. dan M. Yasin. 2008. Peranan bioteknologi dalampengelolaan penyakit tungro. Iptek Tanaman Pangan 3(1):98–111.

Prasetiyono, J., Tasliah, M. Bustamam, T.S. Silitonga, dan B.Abdullah. 2005. Analisis keragaman genetik spesies padi liarmenggunakan markah mikrosatelit. Penelitian PertanianTanaman Pangan 24(3): 168–174.

Purwito, A. 1999. Fusi Protoplas Intra dan Interspesies padaTanaman Kentang. Disertasi. Program Pascasarjana, InstitutPertanian Bogor.

Sasmita, P., S.P. Bambang, S. Sujiprihati, I. Hanarida, I.S. Dewi, danM.A. Chozin. 2006. Evaluasi pertumbuhan dan produksi padigogo haploid ganda toleran naungan dalam sistem tumpangsari. Buletin Agronomi 34(2): 79–86.

Silitonga, T., Abdullah, M. Bustamam, A. Nasution, Bahagiawati,dan D. Suardi. 2003. Pemanfaatan teknik kultur jaringan danmolekuler untuk perbaikan genetik padi dengan menggunakanspesies padi liar. Laporan Hasil Penelitian Tahun 2003. BalaiBesar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber-daya Genetik Pertanian, Bogor. 34 hlm.

Silitonga, T.S. 2010. The use of biotechnology in thecharacterization, evaluation and utilization of Indonesian ricegermplasm. J. AgroBiogen 6(1): 49–56.

Sitch, L.A. 1990. Incompatibility barriers operating in crosses ofOryza sativa with related species and genera. In J.P. Gustafson(Ed.), Gene Manipulation in Plant Improvement II: 77–93.Plenum Press, New York.

Song, G., T. Sang, B.R. Lu and De-Yuan Hong. 2001. Phylogeny ofgenus Oryza as revealed by moleculer approaches. In GS Khush,D.S. Brar and B. Hardy (Eds.). Rice Genetic IV. InternationalRice Research Institute. pp. 88–105. http://books.google.co.id/books?id. [20 April 2014].

Suardi, D. dan B. Abdullah. 2003. Padi liar tetua toleran kekeringan.Buletin Plasma Nutfah 9(1): 33–38.

Suhartini, T. dan M. Muhsin. 2011. Plasma nutfah padi liar (Oryzaspp.) tahan terhadap penyakit tungro. Warta Biogen 7(1): 36.

Suhartini, T. 2014. Ketahanan plasma nutfah padi lokal dan kerabatliarnya terhadap keracunan Fe di lapang. Warta Biogen 10(3):10–12.

Sukmadjaya, D., N. Sunarlim, E.G. Lestari, I. Roostika, dan T.Suhartini. 2007. Teknik isolasi dan kultur protoplas tanamanpadi. Jurnal AgroBiogen 3(2): 60–65.

Suprihatno, B., A.A. Daradjat, Satoto, S.E. Baehaki, N. Widiarta, A.Setyono, S.D. Indrasari, dan H. Sembiring. 2007. DeskripsiVarietas Padi. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Subang.

Takesi, F., T. Harris and J.B. Serres. 2008. Evolutionary analysis ofthe Sub1 gene cluster that confers submergence tolerance todomesticated rice. Ann. Bot. 103(2): 143–150.

Thamrin, T., I.S. Marpaung, dan Syahri. 2012. Produktivitas danketahanan galur harapan padi terhadap penyakit tungro diSumatera Selatan. Jurnal Lahan Suboptimal 1(2): 130137.http://www.pur-plso-unsri.org/upload_file/18-82-1-PB [25 April2014]

Utami, D.W., S. Moeljopawiro, H. Aswidinnoor, A. Setiawan, dan I.Hanarida. 2005. Gen pengendali sifat ketahanan penyakit blas(Pyricularia grisea Sacc.) pada spesies padi liar O. rifipogonGriff. dan padi budi daya IR64. Jurnal AgroBiogen 1(1): 16.

Vaughan, D.A. 1989. Collection, conservation, and potential use ofthe wild relatives of rice in Asia and Australia. In A Mujeeb-Kaziand L.A. Sitch (Eds.). Review of Advances in PlantBiotechnology, 19851988. IRRI. Manila. pp. 180–190.

Vaughan, D.A. 1994. The wild relative of rice. A Genetic ResourcesHandbook. IRRI, Los Banos, Philippines. p. 137.

Velasamy. 1987. Wild rice resistance to brown planthopper (BPH).Genetic Evaluation and Utilization. Insect resistance. IRRNApril 1987. pp. 20–21.

Wang, Y.M., Z.Y. Dong, Z.J. Zhang, X.Y. Lin, Y. Shen, D. Zhou andB. Liu. 2005. Extensive de novo genomic variation in riceinduced by introgression from wild rice (Zizania latifolia Griseb.).Genetics 170: 1945–1956.

Wei, Q., S. Ge and De-yuan Hong. 2007. Genetic diversity inaccessions of wild rice Oryza granulata from South and SoutheastAsia. Genetic Resources and Crop Evolution 53(1): 197–204.

Wibawa, G. 1996. Optimalisasi penggunaan cahaya pada polatumpang sari karet dengan padi gogo tahan naungan, penyakitblas dan keracunan Al. Laporan Kemajuan Riset UnggulanTerpadu IV. Dewan Riset Nasional, LIPI dan BPPT, Jakarta.hlm. 12.

Xu, K., X. Xu, T. Fukao, P. Canlas, R. Maghirang-Rodriguez and S.Heuer. 2006. Sub1A is an ethylene-response-factor-like genethat confers submergence tolerance to rice. Nature 442: 705–708.

Page 57: JURNAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN

PENGAJUAN NASKAH

PERSYARATAN UMUM: Naskah yang diajukan belumpernah diterbitkan dan tidak sedang dalam proses evaluasipublikasi lain; telah mendapat persetujuan dari ko-penulis,jika ada, sebagai pihak yang sama-sama bertanggung jawabterhadap naskah. Penerbit tidak akan bertanggung jawabterhadap klaim atau permintaan kompensasi terhadap hal-hal yang berkaitan dengan naskah.

Naskah hendaknya dikirim rangkap dua disertai dengansoftcopy atau file elektronis dan diberi pengantar dari kepalaunit kerja, serta dialamatkan kepada: Redaksi PelaksanaJurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian (IndonesianAgricultural Research and Development Journal), PUSTAKA,Jalan Ir. H. Juanda No. 20, Bogor 16122, Telepon: (0251)8321746, Faks.: 622518326561, E-mail: [email protected], website: http://www.pustaka.litbang.pertanian.go.id.

Naskah yang diajukan harus dalam kondisi baik, diketik diatas kertas kuarto putih pada satu permukaan saja, memakaidua spasi. Pinggir kiri kanan tulisan disediakan ruang kosongminimal 3,50 cm dari pinggir kertas. Panjang naskah sebaiknyatidak melebihi 20 halaman termasuk tabel dan gambar.

RUANG LINGKUP: Jurnal ini memuat tinjauan (review)mengenai hasil-hasil penelitian yang telah diterbitkan, di-kaitkan dengan teori, evaluasi hasil penelitian lain dan atauketentuan kebijakan, dengan ditujukan kepada pengambilkebijakan sebagai bahan pengambil keputusan. Permasalahandibahas secara komprehensif serta bertujuan memberi infor-masi tentang teknologi pertanian di Indonesia.

PENYIAPAN NASKAH

BAHASA: Jurnal memuat artikel dalam bahasa Indonesiadan bahasa Inggris yang baik. Pemakaian istilah supayamengikuti Pedoman Pusat Pembinaan dan PengembanganBahasa.

BENTUK NASKAH: Naskah disusun dalam urutan sebagaiberikut: judul tulisan, nama penulis dan alamatnya, abstrakbahasa Indonesia dan Inggris (250 kata) dan kata kunci(bahasa Indonesia dan Inggris), pendahuluan, pokok masalah,kesimpulan dan saran (jika perlu), diakhiri dengan daftarpustaka.

JUDUL NASKAH: Judul harus singkat, faktual dan informatif,yang mencerminkan secara tepat isi naskah. Judul tidak bolehlebih dari 15 kata.

NAMA PENULIS: Nama penulis serta nama lembaga(institusi) tempat kerja penulis disertai alamat lengkap, nomortelepon, faks, dan email dicantumkan di bawah judul. Bila

penulis lebih dari seorang maka penulisan namanyamengikuti kode etik penulisan. Jika dirasa perlu, judul naskahdapat dilengkapi dengan subjudul untuk mempertegasmaksud tulisan.

ABSTRAK: Abstrak merupakan ringkasan elemen-elementerpenting dari naskah, ditulis dalam satu paragraf tidak lebihdari 250 kata. Abstrak harus dapat menggambarkan denganringkas mengenai masalah, tujuan penulisan, dan kesim-pulan. Hindari singkatan dan referensi di dalam abstrak.

KATA KUNCI: Minimal tiga sampai lima kata kunci yangterdiri atas satu kata atau gabungan kata yang menunjukkansubjek-subjek utama di dalam naskah.

SATUAN PENGUKURAN: Satuan ukuran di dalam teks dangrafik memakai sistem metrik, misalnya dalam satuan mikron,mm, cm, km, untuk panjang; cm3, liter untuk volume; dan g,kg, ton untuk berat. Pemakaian satuan pikul, kuintal, dan lainsebagainya supaya dihindari.

TABEL: Tabel hendaknya diberi judul singkat tetapi jelasdengan catatan secukupnya, termasuk sumbernya, se-demikian rupa sehingga setiap tabel mampu menjelaskaninformasi yang disajikan secara mandiri. Setiap tabel diberinomor secara berurutan dan diulas di dalam teks.

GAMBAR DAN GRAFIK: Gambar dan grafik dibuat dengangaris cukup tebal sehingga memungkinkan penciutan dalamproses mencetak. Semua simbol dan singkatan dalam gambardan grafik harus dijelaskan. Seperti halnya pada tabel, ke-terangan pada grafik harus mencukupi agar dapat disajikansecara mandiri. Gambar dan grafik harus diulas dalam teks.Foto hitam putih atau berwarna hendaknya mempunyaikualitas yang baik.

SITIRAN PUSTAKA: Pustaka disusun menurut abjadberdasarkan nama (keluarga) penulis pertama. Setiap pustakayang tercantum pada daftar pustaka harus dikutip (disitir)pada teks, dan sebaliknya setiap kutipan (sitasi) harusdicantumkan dalam daftar pustaka.

Jumlah sitiran pustaka minimal 25 buah. Pustaka primerdari beberapa penulis diharapkan lebih banyak daripadapustaka sekunder, dan pustaka dari dalam negeri lebih banyakdaripada pustaka dari luar negeri. Naskah dengan banyakpustaka dari luar negeri dapat diterima jika masalah yangdibahas bermanfaat atau berdampak langsung terhadapIndonesia. Kebaruan pustaka diupayakan 10 tahun terakhir.

Penulisan pustaka pada teks menggunakan sistem "nama-tahun" dengan dua bentuk, misalnya Hakim dan Sutarman(1991) dan (Hakim dan Sutarman 1991). Jika lebih dari satupustaka disebutkan bersama-sama maka penulisannyadisusun berdasarkan tahun terbit. Contohnya, (Harahap 1993;

PEDOMAN BAGI PENULIS

Page 58: JURNAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN

Roesdiyanto dan Purwantini 2001; Simanjuntak 2002; Setioko2003; Suparyanto 2004). Jika terdapat lebih dari dua penulismaka nama (keluarga) penulis pertama diikuti dengan et al.Namun et al. tidak boleh digunakan dalam Daftar Pustakawalaupun dapat digunakan di dalam teks. Semua nama penulisdan nama editor harus ditulis secara lengkap pada DaftarPustaka. Referensi yang tidak diterbitkan supaya dihindari.Contoh format referensi:

Artikel Jurnal (Jurnal Primer)Baliyadi, Y., W. Tengkano, Bedjo, dan Purwantoro. 2008.Validasi rekomendasi pengendalian hama terpadu kedelai dilahan sawah dengan pola pergiliran tanaman padi-kedelai-kedelai. Agritek 16(3): 492500.

BukuNorris, R.F., E.P. Caswell-Chen, and M. Kogan. 2003.Concepts in Integrated Pest Management. Prentice Hall,Upper Saddle River, New Jersey. 586 pp.

Artikel dalam BukuMarwoto. 2007. Potensi ekstrak daun Aglaia odorata untukpengendalian hama polong kedelai. hlm. 396404. Dalam D.Harnowo, A.A. Rahmiana, Suharsono, M.M. Adie, F. Rozi,Subandi, dan A.K. Makarim (Ed.). Peningkatan ProduksiKacang-Kacangan dan Umbi-Umbian Mendukung Keman-dirian Pangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan TanamanPangan, Bogor.

Tesis/DisertasiDoda, J. 1980. Studi Kelimpahan dan Keragaman JenisSerangga di Daerah Pertanian Desa Transmigrasi MopuyaKabupaten Bolaang Mengondow (Sulawesi Utara). TesisSekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 107 hlm.

Naskah ProsidingArdiwinata, A.N., W. Tengkano, dan M. Iman. 1997. Senyawakimia tanaman inang penarik imago Etiella zinckenella danHeliothis armigera. hlm. 368376. Dalam M. Arifin, Soetrisno,D. Soetopo, I.W. Laba, Harnoto, A. Kusmayadi, Siswanto,

I.M. Trisawa, dan D. Koswanudin (Ed.). Prosiding SeminarNasional Tantangan Entomologi pada Abad XXI, Bogor, 8Januari 1997. Perhimpunan Entomologi Indonesia CabangBogor dan Proyek Pengendalian Hama Terpadu.

Naskah KonferensiChin, L.J., L.M. Tan, and K. Wegleitner. 2007. Occurrence ofmycotoxins in feed samples from Asia. A continuation of thebromin mycotoxins survey program. Paper presented in 15th

Annual ASA-IM Southeast Asian Feed Technology andNutrition Workshop, 2730 May 2007, Bali-Indonesia.

Naskah Laporan Hasil PenelitianTengkano, W., D. Soekarna, E. Surachman, dan M. Roovers.1977. Fluktuasi serangan hama penting pada berbagai stadiapertumbuhan tanaman kedelai varietas Orba MK 1973-MP1974/1975. Laporan Kemajuan Penelitian Seri Hama/PenyakitNo. 10: 829.

Naskah onlineBrown, W.L. 2007. Bioprospecting. Missouri BotanicalGarden. http://www.wlbcenter.org/bioprospecting. htm#. [17September 2007].

MEKANISME SELEKSI NASKAH

Redaksi melakukan koreksi dan perbaikan serta mengubahformat sesuai dengan sifat jurnal yang informatif tanpamengubah arti dari naskah. Redaksi akan mengembalikannaskah kepada penulis untuk diperbaiki sesuai dengan hasilkoreksi redaksi serta naskah yang tidak dapat diterima denganalasan sesuai dengan keputusan Dewan Redaksi. Penulisdiharapkan segera mengembalikan perbaikan naskah agardapat diterbitkan pada waktunya. Contoh cetak naskahsebelum terbit akan dikirimkan ke penulis untuk mendapatkanpersetujuan. Kepada setiap penulis diberikan dua eksemplarjurnal ditambah 5 eksemplar reprint.