JURNAL PENGEMBANGAN PENYULUHAN …...JURNAL PENGEMBANGAN PENYULUHAN PERTANIAN Bidang Ilmu-ilmu...

115

Transcript of JURNAL PENGEMBANGAN PENYULUHAN …...JURNAL PENGEMBANGAN PENYULUHAN PERTANIAN Bidang Ilmu-ilmu...

JURNAL

PENGEMBANGAN PENYULUHAN PERTANIAN

Bidang Ilmu-ilmu Peternakan

Volume 11 (22), Desember 2015 ISSN: 1858- 1625

DAFTAR ISI

Penambahan Enzim Fitase Pada Ransum dengan Level Protein

Berbeda Terhadap Efisiensi Protein Ayam Broiler Apriliyana, K. T., Suprijatna E. dan Atmomarsono, U 1-9

Total Polifenol dan Aktivitas Antioksidan Yoghurt dengan

Penambahan Tepung Jewawut Laksito Rukmi, D., Legowo , A M., dan Dwiloka, B 10-18

Pengaruh Subtitusi Jagung dengan Tepung Biji Alpukat Terhadap

Konsumsi Ransum, Asupan Protein, dan Retensi Nitrogen Pada Ayam

Broiler S. Irianing , N. Suthama

dan I. Mangisah 19-24

Kecernaan In Vitro Jerami Padi Fermentasi dengan Menggunakan

Berbagai Level Inokulum Aspergillus Niger dan Lactobacillus

Plantarum Saputro , R. A. T. W, Ngadiyono, N., Yusiati, L. M, Budisatria, I. G. S. 25-35

Kajian Evaluasi Program Penyuluhan Pupuk Bokashi di Kelompok

Tani Angulir Hasto, Kecamatan Kedu Kabupaten Temanggung Supriyanto, Soeharso, N

dan Achadiati, N 36-47

Penggunaan Tepung Biji Alpukat dan Pengaruhnya Terhadap

Kecernaan Lemak Kasar dan Energi Metabolis Ransum Ayam

Broiler Nurrohman, A., Yunianto, V. D., dan Mangisah, I 48-57

Pengaruh Penggunaan Tepung Limbah Rumput Laut (Gracilaria

Verrucosa) Fermentasi dalam Ransum Terhadap Produksi Telur Itik

Pedaging Wijayanto, D., Suprijatna, dan E., Sarengat, W 58-63

Kecernaan Nutrien Pakan Konvensional yang Disubtitusi dengan

Berbagai Level Silase Pakan Komplit Berbahan Eceng Gondok Secara

In Vitro Hida, M. H. A, Muktiani, A. dan Pangestu, E 64-72

Respon Peternak Terhadap Pencegahan dan Pengobatan Penyakit

Cacing Gilig Pada Ternak Kambing di Desa Tracap Kecamatan

Kaliwiro Kabupaten Wonosobo Widiarso, B.P., Sunarsih

dan Meniati 73-88

Analisis Keseimbangan Harga Daging Ayam Broiler di Propinsi Jawa

Tengah

Nurdayati1 89-96

Pengaruh Pemberian Ramuan Herbal Sebagai Pengganti Vitamin dan

Obat-Obatan dari Kimia Terhadap Performan Ternak Ayam

Kampung Super Prabewi, N. dan Junaidi, P. S. 97-108

Pengantar Redaksi

Puji syukur kita panjatkan ke hadlirat Allah Swt., atas terbitnya jurnal

Pengambangan Penyuluhan Pertanian, Bidang Ilmu-ilmu Peternakan, Volume 11 (21), Juli

2015, yang diterbitkan oleh Program Studi Penyuluhan Peternakan, Sekolah Tinggi

Penyuluhan Peternakan. Jurnal ini merupakan publikasi ilmiah di bidang Ilmu Penyuluhan

Pertanian, khususnya Penyuluhan di bidang Peternakan, yang terbit 2 (dua) kali dalam

setahun, yaitu pada bulan Juli dan Desember.

Pada edisi kali ini kami menampilkan beberapa tulisan seperti: Penambahan Enzim

Fitase Pada Ransum dengan Level Protein Berbeda Terhadap Efisiensi Protein Ayam

Broiler; Total Polifenol dan Aktivitas Antioksidan Yoghurt dengan Penambahan Tepung

Jewawut; Pengaruh Subtitusi Jagung dengan Tepung Biji Alpukat Terhadap Konsumsi

Ransum, Asupan Protein, dan Retensi Nitrogen Pada Ayam Broiler; Kecernaan In Vitro

Jerami Padi Fermentasi dengan Menggunakan Berbagai Level Inokulum Aspergillus Niger

dan Lactobacillus Plantarum; Kajian Evaluasi Program Penyuluhan Pupuk Bokashi di

Kelompok Tani Angulir Hasto, Kecamatan Kedu Kabupaten Temanggung; Penggunaan

Tepung Biji Alpukat dan Pengaruhnya Terhadap Kecernaan Lemak Kasar dan Energi

Metabolis Ransum Ayam Broiler; Pengaruh Penggunaan Tepung Limbah Rumput Laut

(Gracilaria Verrucosa) Fermentasi dalam Ransum Terhadap Produksi Telur Itik Pedaging;

Kecernaan Nutrien Pakan Konvensional yang Disubtitusi dengan Berbagai Level Silase

Pakan Komplit Berbahan Eceng Gondok Secara In Vitro; Respon Peternak Terhadap

Pencegahan dan Pengobatan Penyakit Cacing Gilig Pada Ternak Kambing di Desa Tracap

Kecamatan Kaliwiro Kabupaten Wonosobo; Pengaruh Pemberian Ramuan Herbal Sebagai

Pengganti Vitamin dan Obat-Obatan dari Kimia Terhadap Performan Ternak Ayam

Kampung Super.

Kami mengucapkan terima kasih kepada penulis dan semua pihak yang telah

membantu penerbitan jurnal ini dan semoga, dapat memberikan motivasi dan dorongan

kepada semua sivitas akademika STPP Magelang pada khususnya dan semua pihak pada

umumnya untuk memublikasikan hasil penelitian di bidang penyuluhan peternakan, hasil

telaahan pustaka, atau pengalaman lain yang dapat bermanfaat bagi kemajuan di bidang

ilmu penyuluhan peternakan pada khususnya dan pembangunan pertanian pada umumnya.

Redaksi

1 Penambahan Enzim Fitase Pada Ransum dengan Level Protein Berbeda Terhadap Efisiensi Protein

Ayam Broiler

PENAMBAHAN ENZIM FITASE PADA RANSUM DENGAN LEVEL PROTEIN

BERBEDA TERHADAP EFISIENSI PROTEIN AYAM BROILER

(Phytase Enzymes Addition in The Ration with Different Protein Level On Protein Efficiency

of Broiler Chickens)

Apriliyana, K. T1., Suprijatna E.

2 dan Atmomarsono, U

3

1)

Mahasiswa Pasca Sarjana Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro

Kampus drh. Soejono Koesoemowardojo Tembalang Semarang 50275

E-mail : [email protected]

2,3)

Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro

Kampus drh. R. Soejono Kusumowardojo Tembalang, Semarang 50275

Diterima : 15 Desember 2014 Disetujui : 25 September 2015

ABSTRACT

The research was conducted to learn the effect of phytase enzymes addition in the

ration with different protein level on protein efficiency broiler chickens. Material the

research used were 128 broiler chickens at 8 days old initial body weight 108,14 ± 11,44 g

(CV 10,58%) housed in 16 pen for 6 weeks. Complete Random Design (RAL) involving 4

treatments with 4 repetitions were used in this study are T0 (23% protein ration), T1 (21%

protein ration + 1000 FTU phytase enzymes), T2 (23% protein ration + 1000 FTU phytase

enzymes), T3 (23% protein ration + 1% bone meal). The data was analyzed using F test to

determine the effect of treatment, continued with Duncan's multiple range test with

probability level at 5% if any significant effect was found. Parameters research were protein

consumption, ileal protein digestibility and protein efficiency ratio (PER). The results

showed that the addition of phytase enzymes in the diet that there was significant effect

(P<0,05) on the protein consumption, ileal protein digestibility and protein efficiency ratio

(PER). The conclusion of this research is the addition of phytase enzymes in the 21% protein

ration results in protein efficiency have better than control ration, addition phytase in protein

23% of ration and addition mineral in protein 23% of ration.

Key words : phytase enzymes, protein level, protein efficiency, broiler chickens.

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji penggunaan enzim fitase dalam ransum pada

taraf protein yang tepat untuk meningkatkan efisiensi penggunaan protein ayam broiler.

Materi yang digunakan dalam penelitian adalah ayam broiler dengan bobot badan 108,14 ±

11,44 g (CV 10,58%) umur 1 minggu sebanyak 128 ekor (unsex) yang dipelihara dalam 16

unit kandang selama 6 minggu, masing-masing unit berisi 8 ekor ayam. Penambahan fitase

dilakukan pada minggu kedua pemeliharaan. Rancangan percobaan yang digunakan adalah

rancangan acak lengkap dengan 4 perlakuan dan 4 ulangan yaitu T0 (Ransum protein 23%),

T1 (Ransum protein 21% + fitase 1000 FTU/kg), T2 (Ransum protein 23% + enzim fitase

1000 FTU/kg), T3 (Ransum protein 23% + mineral 1%). Data dianalisis ragam menggunakan

uji F pada taraf 5%, jika ada pengaruh perlakuan dilanjutkan dengan uji duncan untuk melihat

2 Penambahan Enzim Fitase Pada Ransum dengan Level Protein Berbeda Terhadap Efisiensi Protein

Ayam Broiler

perbedaan antar perlakuan. Parameter penelitian meliputi konsumsi protein, kecernaan

protein ileal dan rasio efisienfi protein. Hasil penelitian perlakuan menunjukkan berpengaruh

nyata (P<0,05) terhadap konsumsi protein, kecernaan protein ileal dan rasio efisiensi protein.

Kesimpulan dari penelitian ini adalah ransum protein 21% yang ditambahkan fitase

menunjukkan hasil efisiensi protein yang lebih baik dibandingkan ransum kontrol, ransum

protein 23% yang ditambah fitase maupun ransum protein 23% yang ditambahkan mineral.

Kata kunci : fitase, level protein, efisiensi protein, broiler

PENDAHULUAN

Dewasa ini peternakan unggas

berkembang pesat, salah satunya peternakan

ayam broiler. Ransum unggas terutama

terdiri dari tumbuhan yang berasal dari biji-

bijian, namun dalam pemanfaatannya pakan

tersebut mengandung asam fitat yang tidak

bisa dihidrolisis oleh saluran pencernaan.

Asam fitat merupakan zat antinutrisi yang

terdapat dalam kacang-kacangan yang dapat

bervalensi dengan mineral (Ca, Mg, Zn, Fe)

dan protein sehingga menyebabkan

terjadinya gangguan kecernaan yang dapat

menurunkan nilai gizi. Ketersediaan protein

sebagai substrat dalam tubuh berhubungan

erat dengan metabolisme protein khususnya

proses deposisi protein yang menunjang

pertumbuhan. Proses pertumbuhan melalui

deposisi protein daging secara kimiawi

ditunjang oleh beberapa faktor antara lain

kalsium dalam bentuk ion dan aktivitas

enzim protease yang disebut Calcium

Activated Neutral Protease (CANP) dalam

daging (Biehl et al., 1997). Terbentuknya

senyawa fitat-mineral atau fitat-protein yang

tidak larut dapat menyebabkan penurunan

ketersediaan mineral dan nilai gizi protein

pakan. Mineral-mineral dan protein yang

membentuk komplek dengan fitat tersebut

tidak dapat diserap oleh dinding usus bagi

ternak (Kornegay et al., 1999). Aktivitas

enzim protease dan tripsine dalam saluran

pencernaan menjadi rendah dengan adanya

protein yang terikat asam fitat (Caldwell,

1992). Ikatan kompleks fitat dan mineral

yang tidak larut aktif sebagai penghambat

kecernaan protein. Asam fitat menghambat

penyerapan protein dan mineral saat

pencernaan pakan, oleh karena itu upaya

peningkatan efisiensi protein pakan

dilakukan dengan beberapa cara, salah

satunya dengan penggunaan enzim fitase.

Enzim fitase merupakan enzim yang

dapat mengkatalisis reaksi hidrolisis asam

fitat dan menghasilkan ortofosfat anorganik

serta senyawa inositol fosfat yang lebih

rendah. Enzim fitase dapat mengatasi efek

negatif dari asam fitat terhadap performan

ternak. Penggunaan enzim sebagai

suplementasi dalam ransum dapat

menguntungkan secara ekonomi bila dapat

meningkatkan secara nyata efisiensi ransum

dan menekan harga ransum. Enzim fitase

yang diproduksi oleh fungus Aspergillus

ficcum NRRL 3135 mempunyai aktivitas

enzim fitase tertinggi, sehingga sangat cocok

digunakan sebagai feed additive (Augspurger

et al. 2003). Suplementasi enzim fitase

Natuphos sebanyak 500 fitase total unit

(FTU)/kg pada ransum ayam broiler yang

mengandung P-tersedia rendah (0.22% untuk

umur 1 hari–3 minggu dan 0.14% untuk

ayam umur 3–6 minggu), mampu

memperbaiki performan dan meningkatkan

penggunaan mineral P, Ca, Mg dan Zn

(Viveros et al., 2002). Hasil penelitian Lan

et al. (2002), menunjukkan bahwa efisiensi

suplementasi fitase pada performan dan

kecernaan nutrisi ayam broiler pada pakan

rendah Non-Phospat Phospor (NPP)

menghasilkan performan pertumbuhan yang

lebih baik pada nilai kecernaan protein dan

bahan kering, penggunaan Ca, P, dan Cu,

dan mineralisasi tulang dibandingkan dengan

penambahan enzim fitase 250 FTU, 500 FTU

dan 750 FTU. Unggas tidak dapat

menghasilkan enzim fitase pemecah asam

fitat sehingga perlu diberikan enzim fitase

dalam pakan, hal ini bertujuan untuk

meningkatkan penyerapan nutrisi protein dan

mineral serta kecernaan bahan pakan.

3 Penambahan Enzim Fitase Pada Ransum dengan Level Protein Berbeda Terhadap Efisiensi Protein

Ayam Broiler

Sehingga, diharapkan akan meningkatkan

efisiensi penggunaan protein ayam broiler.

Tujuan dari penelitian ini adalah

mengkaji peningkatan efisiensi protein ayam

broiler akibat penambahan fitase pada

ransum taraf protein yang berbeda. Hasil

penelitian ini bermanfaat untuk memberikan

informasi bahwa penambahan enzim fitase

pada level protein berbeda dalam ransum

yang efisien untuk ayam broiler.

MATERI DAN METODE

Penelitian dilaksanakan di kandang

Fakultas Peternakan dan Pertanian

Universitas Diponegoro Semarang selama 6

minggu yaitu mulai bulan Desember 2013-

Januari 2014.

Materi

Materi yang digunakan adalah ayam

broiler dengan bobot badan 108,14 g ± 11,44

g (CV 10,58%) umur 1 minggu sebanyak

128 ekor, enzim fitase merk Natuphos

5000®, vaksin gumboro, vaksin NDIB dan

ND Lasota. Komposisi dan kandungan

nutrisi penyusun ransum terdapat pada Tabel

1 yang terdiri dari jagung kuning, bekatul,

bungkil kedelai, PMM (Poultry Meat Meal),

tepung ikan, tepung tulang steam. Ransum

dalam bentuk mash. Untuk analisis protein

ekskreta digunakan gelas ukur, pipet tetes,

labu Kjeldahl, erlenmeyer, beker glass, alat

destilasi, incubator, serta buret. Kandang

perlakuan kecernaan menggunakan kandang

cage sejumlah 16 buah cage.

Tabel 1. Bahan Pakan dan Kandungan Nutrisi Ransum Penelitian

T0 T1 T2 T3

Bahan Pakan : ----------------------------(%)------------------------------

Jagung 42,50 47,50 42,50 41,50 Bekatul 20,50 20,50 20,50 20,50

Tepung ikan 8,00 8,00 8,00 8,00

Bungkil kedelai 23,00 15,50 23,00 22,00 PMM 6,00 8,50 6,00 7,00

Tepung tulang steam 0 0 0 1,00

Enzim Fitase 0 1000 FTU 1000 FTU 0

Jumlah 100 100 100 100

Kandungan :

EM (kkal/kg)* 3163,40 3155,98 3163,40 3126,21

Protein (%)* 23,17 21,36 23,17 23,14

Serat Kasar (%)* 5,08 4,84 5,08 5,04 Lemak Kasar (%)* 7,64 8,94 7,64 8,47

Ca (%)* 0,79 0,90 0,79 1,07

P-tersedia (%)* 0,53 0,57 0,53 0,67 Lysin* 1,53 1,42 1,53 1,54

Metionin* 0,50 0,49 0,50 0,50

Arginin* 1,80 1,69 1,80 1,81

Triptofan* 0,29 0,26 0,29 0,29 Fitase (U/kg) 0 1000,00 1000,00 0

Sumber : * Kandungan nutrisi bahan pakan ransum dianalisis di Laboratorium Ilmu Nutrisi dan

Pakan.

4 Penambahan Enzim Fitase Pada Ransum dengan Level Protein Berbeda Terhadap Efisiensi Protein

Ayam Broiler

Metode

Rancangan Penelitian

Percobaan menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan 4 perlakuan dan 4 ulangan,

setiap unit percobaan diisi 8 ekor DOC. Ransum perlakuan terdiri dari:

T0 : Ransum protein 23%

T1 : Ransum protein 21% + enzim fitase 1000 FTU/kg

T2 : Ransum protein 23% + enzim fitase 1000 FTU/kg

T3 : Ransum protein 23% + tepung tulang 1%

Prosedur Penelitian

Ransum dan air minum diberikan ad

libitum. Ransum perlakuan dengan

penambahan enzim fitase diberikan mulai

hari ke-8 sampai hari ke-42. Setiap akhir

minggu dilakukan penimbangan bobot badan

untuk mengetahui pertambahan bobot badan.

Pengambilan data konsumsi protein

dilakukan setiap hari dengan menimbang

jumlah konsumsi ransum dikalikan dengan

kadar protein ransum. Untuk pengambilan

data kecernaan protein diambil 1 ekor ayam

kemudian ditempatkan pada kandang cage

dan dipuasakan selama 24 jam namun air

minum tersedia ad libitum. Ayam diberi

pakan sebanyak 70 g per ekor dengan

metode force feeding setelah pemuasaan

selesai. Metode force feeding tidak dilakukan

dengan memasukkan pakan langsung ke

tembolok, namun dengan membentuk pakan

menjadi bolus (gumpalan) lalu dimasukkan

ke mulut ayam, pakan harus habis dalam

waktu 1 - 2 jam, namun air minum tetap

disediakan hingga saat penyembelihan.

Empat jam setelah pakan habis dikonsumsi,

ayam disembelih dan organ dalamnya

dikeluarkan. Digesta diambil dari usus halus

bagian ileum, yaitu 1 cm setelah Meckel's

diverticulum hingga batas 1 cm sebelum

ileo-ceca junction. Digesta diletakkan dalam

nampan dan dijemur selama empat hari,

setelah itu dianalisis kandungan proteinnya

dengan metode mikro Kjehldahl di

Laboratorium Ilmu Nutrisi dan Pakan

Fakultas Peternakan dan Pertanian

Universitas Diponegoro.

Data diolah menggunakan sidik ragam

dan apabila menunjukkan pengaruh nyata

(P<0,05) akibat perlakuan dilanjutkan

dengan uji Duncan untuk mengetahui

perbedaan antar perlakuan.

Parameter Penelitian

Parameter penelitian yang diteliti

adalah konsumsi protein, kecernaan protein

ileal dan rasio efisiensi protein. Konsumsi

protein dihitung setiap hari selama masa

penelitian, sedangkan parameter kecernaan

protein ileal diambil pada masa akhir

penelitian saat ayam broiler umur 42 hari.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh penambahan enzim fitase

pada ransum dengan level protein berbeda

terhadap efisiensi ransum yang terdiri dari

konsumsi protein, kecernaan protein ileal

dan rasio efisiensi protein disajikan dalam

Tabel 2.

5 Penambahan Enzim Fitase Pada Ransum dengan Level Protein Berbeda Terhadap Efisiensi Protein

Ayam Broiler

Tabel 2. Pengaruh Penambahan Enzim Fitase pada Level Protein Berbeda terhadap

Efisiensi Ransum Ayam Broiler

Parameter Perlakuan

T0 T1 T2 T3

Konsumsi Protein (g/ekor/hari) 12,47±1,85 b

13,67±1,62b 15,12±2,01

b 17,99±1,28

a

Kecernaan Protein Ileal (%) 40,79±2,02c 39,82±0,28

c 43,55±1,33

b 64,62±1,30

a

Rasio Efisiensi Protein (REP) 1,37±0,14b 1,66±0,13

a 1,54±0,11

ab 1,46±0,13

ab

Keterangan : Superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05)

Konsumsi Protein

Pengaruh penambahan enzim fitase

pada ransum dengan level protein berbeda

pada ayam broiler berpengaruh nyata

(P<0,05) terhadap konsumsi protein

(g/ekor/hari) disajikan dalam Tabel 2.

Berdasarkan uji Duncan, diperoleh bahwa

konsumsi protein perlakuan T3 (protein 23%

+ mineral 1%) meningkat secara nyata

dibandingkan perlakuan T0, T1 dan T2 yang

disebabkan konsumsi ransum perlakuan

berbeda nyata antar perlakuan. protein

dipengaruhi oleh konsumsi ransum,

sedangkan konsumsi ransum dipengaruhi

oleh metabolisme zat-zat makanan dalam

tubuh. Semakin baik metabolisme zat-zat

makanan dalam tubuh maka akan

berpengaruh juga nafsu makan dan konsumsi

ransumnya. Perlakuan T3 (protein

23%+mineral 1%) mengalami peningkatan

ketersediaan fosfor bagi tubuh ternak

akibat penambahan mineral. Menurut

Trisiwi et al (2004), fosfor mempunyai peran

dalam metabolisme karbohidrat. Penelitian

ketersediaan fosfor dalam defluorionated

fosfat dengan solubilitas fosfor yang berbeda

oleh Coffey et al., (1994), secara nyata

meningkatkan konsumsi ransum,

pertambahan bobot badan, konversi ransum,

kekuatan tulang tibia ayam broiler. Ahmed

et al., (2004), menyatakan bahwa konsumsi

ransum, konversi ransum, bobot badan ayam

broiler meningkat akibat suplementasi fitase

pada ransum berbasis tepung kedelai.

Menurut Wahju (2004), besarnya konsumsi

ransum mencerminkan besarnya protein

yang dikonsumsi. Konsumsi ransum yang

tinggi, maka konsumsi protein juga semakin

tinggi, begitu juga sebaliknya jika konsumsi

ransum rendah maka konsumsi protein juga

rendah.

Hasil penelitian ini menunjukkan

besarnya konsumsi protein berkisar 12,47-

17,99%. Wahju (2004) menyatakan bahwa,

kebutuhan protein ayam broiler umur 6

minggu adalah 14,1-19,1% dengan rata-rata

sekitar 16,6%. Berdasarkan hasil penelitian

rata-rata konsumsi protein ayam broiler

akibat penambahan fitase dalam ransum

dengan level protein berbeda yaitu 14,81%

sesuai dengan standar konsumsi protein yaitu

14,1-19,1%. Hal tersebut dikarenakan fitase

dapat memecah ikatan fitat dengan mineral

dan protein sehingga ketersediaan protein

dan mineral menjadi lebih baik. Augspurger

et al. (2003), yang menyatakan bahwa enzim

fitase aktif didalam saluran pencernaan

unggas. Ikatan fitat dengan fosfor lepas

akibat kerja enzim fitase sehingga

meningkatkan ketersediaan mineral fosfor,

protein dan energi.

Kecernaan Protein Ileal

Berdasarkan analisis ragam, perlakuan

penambahan fitase pada ransum level protein

berbeda memberikan pengaruh nyata

(P<0,05) terhadap kecernaan protein ileal

yang disajikan dalam Tabel 2. Uji duncan

6 Penambahan Enzim Fitase Pada Ransum dengan Level Protein Berbeda Terhadap Efisiensi Protein

Ayam Broiler

menunjukkan T3 meningkat secara nyata

akibat penambahan mineral 1%

dibandingkan dengan perlakuan T0, T1 dan

T2. Penambahan fitase pada ransum protein

rendah (T1) berbeda dengan ransum protein

tinggi yang ditambahkan mineral 1% (T3)

dan penambahan fitase pada protein tinggi

(T2), tetapi tidak berbeda dengan ransum

kontrol (T0) akibat konsumsi protein yang

berbeda antar perlakuan. Konsumsi nutrisi

yang meningkat diiikuti dengan kecernaan

yang tinggi menyebabkan jumlah nutrisi

yang tercerna dan terserap semakin banyak.

Konsumsi ransum dan konsumsi protein

ransum T0 dan ransum T2 tidak berbeda,

tetapi pada retensi protein ransum T2

(protein 23%+fitase 1000 FTU/kg)

menunjukkan hasil yang lebih baik

dibandingkan ransum kontrol. Penambahan

mineral 1% nyata lebih baik meningkatkan

kecernaan protein ileal dibandingkan ransum

protein 23% yang ditambahkan fitase akibat

ketersediaan mineral yang lebih baik pada

ransum T3 sehingga nutrisi yang terserap

dalam usus juga meningkat. Mirnawati et al.

(2013), menyatakan kecernaan protein kasar

tergantung pada kandungan protein di dalam

ransum. Ransum yang kandungan proteinnya

rendah, umumnya mempunyai kecernaan

yang rendah pula dan sebaliknya. Tinggi

rendahnya kecernaan protein tergantung

pada kandungan protein ransum dan

banyaknya protein yang masuk dalam

saluran pencernaan. Menurut Wahju (2004),

kecernaan dipengaruhi komposisi ransum,

jumlah pemberian, jenis ternak, penyajian

pakan.

Berdasarkan uji duncan kecernaan

protein ileal T3 meningkat secara nyata

dibandingkan T0, T1 dan T2. Penambahan

fitase pada ransum protein tinggi (T2)

berbeda dengan ransum protein tinggi yang

ditambahkan mineral 1% (T3), penambahan

fitase pada protein tinggi (T2) dan ransum

kontrol (T0). Perlakuan ransum T0 dan T1

tidak berbeda, hal tersebut merupakan akibat

dari penambahan fitase pada ransum protein

21% sehingga dapat menyamai kecernaan

protein ileal ransum kontrol protein 23%

yang menunjukkan bahwa ketersediaan

protein ransum yang ditambahkan fitase

meningkat. Enzim fitase berpengaruh positif

pada ketersediaan protein, dengan adanya

hidrolisis asam fitat oleh enzim dan

melepaskan ikatan fitat-protein-asam amino.

Sesuai Biehl dan Baker (1997) yang

menyatakan bahwa fitase memegang peran

kecil, akan tetapi signifikan berpengaruh

positif terhadap ketersediaan metionin,

treonin, lisin dan valin. Penambahan fitase

pada ransum protein rendah (T1) tidak

berbeda dengan ransum kontrol protein

23%(T0). Hal tersebut dikarenakan fitase

dapat melepaskan ikatan asam fitat dan

protein sehingga ketersediaan protein

meningkat dan kecernaan menjadi lebih baik

pula. Hasil penelitian Kies et al. (2001),

menunjukkan bahwa daya cerna protein

kasar secara signifikan meningkat pada ayam

broiler yang diberikan suplementasi fitase

mikroba. Hasil penelitian Lan et al (2001),

suplementasi enzim fitase 500 dan 1.000

FTU/kg pakan secara signifikan

meningkatkan kecernaan protein.

Rasio Efisiensi Protein

Penambahan enzim fitase pada level

protein yang berbeda dalam ransum broiler

memberikan pengaruh berbeda nyata

(P<0,05) terhadap rasio efisiensi protein

yang terdapat pada Tabel 2. Hasil analisis

menunjukkan penambahan penambahan

enzim fitase pada level protein yang berbeda

dalam ransum broiler memberikan pengaruh

berbeda nyata (P<0,05) terhadap rasio

efisiensi protein. Hal ini disebabkan karena

konsumsi protein dan pertambahan bobot

7 Penambahan Enzim Fitase Pada Ransum dengan Level Protein Berbeda Terhadap Efisiensi Protein

Ayam Broiler

badan yang berbeda nyata antar perlakuan.

Menurut Wahju (2004), diperoleh dengan

cara pertambahan bobot badan (g) dibagi

konsumsi protein (g) untuk mengetahui

kualitas protein. Menurut Kompiang et al.

(2001), penurunan imbangan efisiensi

protein merupakan indikator bahwa

konsumsi protein melebihi kebutuhan.

Hasil penelitian menunjukkan T1

(protein 21% + fitase 1000 FTU/kg) berbeda

dengan T0, tetapi T2 dan T3 tidak berbeda

nyata dengan T0 dan T1 yang menandakan

bahwa ransum dengan protein lebih rendah

memiliki efisiensi protein yang baik dengan

ditambahkan fitase dalam ransum

dibandingkan dengan ransum kontrol

(protein 23%). Penambahan fitase dalam

ransum menyebabkan ikatan asam fitat

dengan protein dan mineral terlepas sehingga

protein yang dicerna ketersediaannya

meningkat sehingga bioavability protein

dalam pakan meningkat. Onyango et al.

(2004) menyatakan bahwa suplementasi

enzim fitase sebanyak 1000 FTU/kg ke

dalam ransum dapat meningkatkan

pertambahan bobot badan dan efisiensi

ransum. Yusriani (2011) bahwa efisiensi

protein secara nyata lebih baik pada

perlakuan pakan dengan konsentrasi protein

dan energi rendah. Saima et al. (2010)

melaporkan bahwa ransum ayam broiler

yang diturunkan proteinnya menjadi lebih

efisien dengan koreksi asam-asam amino

esensial.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapat

disimpulkan bahwa penambahan fitase

dalam ransum broiler umur 6 minggu yang

berbeda taraf proteinnya berpengaruh nyata

pada konsumsi protein, kecernaan protein

ileal dan rasio efisiensi protein, namun tidak

berpengaruh terhadap penggunaan protein

netto (PPN). Penambahan fitase hanya akan

meningkatkan rasio efisiensi meningkat pada

ransum protein 21%. Penambahan mineral

berpengaruh meningkatkan konsumsi

protein, kecernaan ileal dan rasio efisiensi

protein (Lim, et al, 2003).

Saran

Berdasarkan hasil penelitian

disarankan bahwa sebaiknya pada ransum

dengan protein 21% ditambahkan fitase

untuk meningkatkan efisiensi pakan ayam

broiler.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmed, F., M. S. Rahman, S. U. Ahmed and

M. Y. Miah. 2004. Performance of

broiler on phytase supplemented

soybean meal based diet. J. Poultry

Sci. 3 (4) :266-271.

Augspurger. N. R., D. M. Webel., X.G. Lei

and D. H. Baker. 2003. Efficacy of an

E. Coli phytase expressed in yeast for

releasing phytate-bound phosphorus

in young chick and pigs. J. Anim. Sci.

81 : 474-483.

Biehl, R. R., and D. H. Baker. 1997a.

Microbial phytase improves amino

acid utilization in young chicks fed

diets based on soybean meal but not

diets based on peanut meal. Poult.

Sci. 76 : 355-360.

Caldwell, R.A. 1992. Effect of calcium and

phytic acid on the activation of

trypsinogen and the stability of

trypsin. J. Agric. A Food Chem. 40 :

406-413.

8 Penambahan Enzim Fitase Pada Ransum dengan Level Protein Berbeda Terhadap Efisiensi Protein

Ayam Broiler

Coffey, R. D., K. W. Mooney, G. L.

Cromwell and D. K. Aaron. 1994.

Biological availability of phosphorus

in defluorinated phosphates with

different phosphorus solubilities in

neutral ammonium citrate for chicks

and pigs. J. Anim. Sci. 72 : 2653-2660

de Carvalho, F.B., J.H. Stringhini, M.S.

Matos, R.M.J. Filho, M.B. Cafe,

N.S.M. Leandro, and M.A. Andrade.

2012. Performance and nitrogen

balance of laying hens fed increasing

levels of digestible lysine and

arginine. R. Bras. Zootec. 41 (10) :

2183 - 2188.

Kompiang, I.P., Supriyati, M.H. Togatorop,

dan S.N. Jarmani. 2001. Kinerja

ayam kampung dengan pemberian

pakan secara memilih dengan bebas.

Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 6

(2): 94 - 99.

Kornegay E.T., Z. Yi, and D.H Baker. 1999.

Effect of supplemental natuphos

phytase on trace mineral availability

for poultry. Di dalam: Coelho MB,

Kornegay ET. Phytase in Animal

Nutrition and Waste Management. A

BASF Reference Manual. Ed ke-2.

BASF Corporation. Hlm 497 - 506.

Lan G.Q., N. Abdullah, S. Jalaludin and

Y.W. Ho. 2002. Efficacy of

supplementation of a phytase

producing bacterial culture on the

performance and nutrisit use of

broiler chickens fed corn-soybean

meal diets. Poult. Sci. 81:1522–1532.

Lim, H.S., H., Namkung and I.K., Paik.

2003. Effects of phytase

supplementation on the performance,

egg qua lity, and phosphorus

excretion of laying hens fed differet

levels of dietary calcium and

nonphytate phosphorus. Poult. Sci.

82: 92-99.

McDonald, P., R. A. Edward, J. F. G.

Greenhalgh dan C. A. Morgan. 2002.

Animal Nutrition. Ed ke-6.

Longmann Singapore Publishers (Pte)

Ltd. Singapore.McLeod, M.G., C. C.

Whitehead, H. D. Griffin dan T. R.

Jewitt. 1988. Energy and nitrogen

retention and loss in broiler chickens

genetically selected for leanness and

fatness. Br. Poult. Sci. 67: 285-292

Mirnawati, B. Sukamto dan V., D. Yunianto.

2013. Kecernaan protein, retensi

nitrogen dan massa protein daging

ayam broiler yang diberi ransum daun

murbei (Morus alba L) yang

difermentasi dengan cairan rumen.

JITP 3 (1) : 25-32.

Nasoetion, M.H. 2001. Pengaruh Pemberian

Kelenjar Tiroid Sapi Pasca

Pembatasan Pakan terhadap

Penampilan dan Penggunaan Protein

Ayam Broiler. Tesis. Fakultas

Peternakan Universitas Diponegoro,

Semarang.

Onyango, E. M., R. N Dilger, J. S. Sands and

O., Adeola. 2004. Evaluation of

microbial phytase in broiler diets 1.

Poult Sci 83 : 962-970.

Saima, M., Z. U. Khan, M. A. Jabbar, A.

Mehmud, M. M. Abbas and A.

Mahmood. 2010. Effect of lysine

supplementation in low protein diets

on the performance of growing

broilers. Pakistan Vet. J. 30 (1):17-

20.

Trisiwi, H.F., Zuprizal, dan Supadmo. 2004.

Pengaruh level protein dengan

koreksi asam amino esensial dalam

pakan terhadap penampilan dan

9 Penambahan Enzim Fitase Pada Ransum dengan Level Protein Berbeda Terhadap Efisiensi Protein

Ayam Broiler

nitrogen ekskreta ayam kampung.

Buletin Peternakan 28 (3): 131 – 141.

Viveros A, A. Brenes, I. Arija and C.

Centeno. 2002. Effects of microbial

phytase suplementation on mineral

utilization and serum enzyme

activities in broiler chicks fed

different levels of phosphorus. Poult

Sci 81:1172–1183.

Wahju, J. 2004. Ilmu Nutrisi Unggas. Gadjah

Mada University Press, Yogyakarta.

Yusriani, Y., T. Toharmat, Sumiati, E. Wina

and A. Setiyono. 2011. Effect of

fermented Jatropha curcas meal

combined with enzymes on

metabolizable energy, retention of N,

P, Ca and digesteble crude fiber. JITV

16(3): 163-172.

10 Total Polifenol dan Aktivitas Antioksidan Yoghurt dengan Penambahan Tepung Jewawut

TOTAL POLIFENOL DAN AKTIVITAS ANTIOKSIDAN YOGHURT DENGAN

PENAMBAHAN TEPUNG JEWAWUT

(Total polyphenols and antioxidant activity yoghurt with addition of millet flour)

Laksito Rukmi, D.,1, Legowo , A M.

2, dan Dwiloka, B

3

1) Mahasiswa Pasca Sarjana Fakultas Peternakan Dan Pertanian Universitas Diponegoro

Kampus drh. Soejono Koesoemowardojo Tembalang Semarang 50275

E-mail : dyah [email protected]

2,3)

Staf pengajar Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro

Kampus drh. R. Soejono Kusumowardojo Tembalang, Semarang 50275

Diterima : 15 Desember 2014 Disetujui : 25 November 2015

ABSTRACT

The purpose of this study was to determine the total polyphenols and antioxidant

activity of yogurt with millet flour addition. The research design used was a completely

randomized design (CRD) with 3 treatments and 7 replications. Treatments are L.

acidophilus starter inoculation comparison with S. thermophilus of 1: 1 (v / v), consisting of

T1 = 3%; T2 = 4%; T3 = 5%. Based on the results of comparative studies starter inoculum

affect significantly (P <0.05) of total polyphenols and antioxidant activity. Total polyphenols

increase from 50.30 ppm to 69.44 ppm and antioxidant activity increase from 9.55% to 11.41

%.

Keywords: yoghurt, millet flour, starter inoculation

ABSTRAK

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui total polifenol dan aktivitas

antioksidan yoghurt dengan penambahan tepung jewawut. Rancangan penelitian yang

digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) dengan tiga perlakuan dan tujuh ulangan.

Perlakuan yang diberikan adalah perbandingan inokulasi starter L. acidophilus dengan S.

thermophilus sebesar 1 : 1 (v/v), terdiri atas T1 = 3% ; T2 = 4% ; T3 = 5%. Berdasarkan hasil

penelitian perbandingan inokulasi starter berpengaruh secara nyata (P<0,05) terhadap total

polifenol dan aktivitas antioksidan. Total polifenol meningkat dari 50,30 ppm sampai 69,44

ppm dan aktivitas antioksidan meningkat dari 9,55 % sampai 11,41%

Kata kunci: yoghurt, tepung jewawut, inokulasi starter

PENDAHULUAN

Yoghurt adalah produk susu fermentasi

bergizi tinggi namun tidak mengandung

serat. Dalam beberapa tahun terakhir,

penambahan serat makanan dalam produk

susu fermentasi telah meningkatkan

keragaman di bidang pangan fungsional.

Sebagian besar aplikasi serat pangan untuk

yoghurt terkait dengan penggunaan serat

pangan yang larut dalam air karena

mempunyai sifat mengikat air. Serat pangan

yang ditambahkan dalam proses pengolahan

11 Total Polifenol dan Aktivitas Antioksidan Yoghurt dengan Penambahan Tepung Jewawut

yoghurt pada penelitian ini adalah tepung

jewawut.

Millet/jewawut (Setaria italica L.)

termasuk tanaman tahan kering, sesuai di

lahan marginal mampu berproduksi 3-4 t/ha.

Menurut (Nurmala 2003) produksinya

jewawut di Indonesia mampu mencapai 4,0

t/ha di lahan marginal sementara tanaman

pangan lain kurang berhasil. Jewawut dapat

dijadikan sebagai sumber energi, protein,

kalsium, vitamin B-1, riboflavin (B-2),

sedangkan nutrisi lainnya setara dengan

beras. Jewawut juga mengandung senyawa

penting seperti vitamin B, antioksidan

bioaktif dan serat. Selain itu jewawut

mengandung gluten yang sifatnya elastis,

kedap udara, sehingga tidak mudah putus

saat pencetakan mie

Komponen serat pangan yang

terkandung dalam jewawut menurut

Muchtadi et al. (1992) yaitu hemiselulosa,

selulosa, ester – ester fenolik, dan

glikoprotein. Sedangkan komponen lainnya

seperti glukan, pektin, dan mucilage

merupakan serat pangan mudah larut

(soluble dietary fiber) yang mudah

terfermentasi oleh mikroba. Menurut

Suhartono (2002), ester – ester fenolik pada

jewawut dapat membentuk polifenol yang

berfungsi sebagai antioksidan. Antioksidan

merupakan zat yang mampu memperlambat

atau mencegah proses oksidasi. Antioksidan

adalah senyawa kimia yang dapat

menyumbangkan satu atau lebih elektron

kepada radikal bebas, sehingga radikal bebas

tersebut dapat diredam.

Tubuh manusia tidak mempunyai

cadangan antioksidan dalam jumlah berlebih,

sehingga jika terjadi paparan radikal berlebih

maka tubuh membutuhkan antioksidan

eksogen. Adanya kekhawatiran akan

kemungkinan efek samping yang belum

diketahui dari antioksidan sintetik

menyebabkan antioksidan alami menjadi

alternatif yang sangat dibutuhkan (Schmidl

et al, 2000) Oleh karena itu, berdasarkan

latar belakang tersebut dilakukan penelitian

mengenai tepung jewawut menjadi sumber

serat pangan yang ditambahkan pada yoghurt

dengan tujuan untuk memanfaatkan

probiotik dalam yoghurt untuk

memaksimalkan kesehatan saluran

pencernaan manusia serta sebagai

antioksidan alami yang aman dan bermanfaat

bagi kesehatan bagi tubuh manusia.

MATERI DAN METODE

Penelitian ini dilaksanakan pada

bulan Juli 2014 di Laboratorium Ilmu

Nutrisi Pakan dan Laboratorium Ekologi

dan Produksi Tanaman, Fakultas

Peternakan dan Pertanian, Universitas

Diponegoro, Semarang.

Materi Penelitian

Bahan yang digunakan dalam

pembuatan yoghurt adalah susu sapi, kultur

starter (Lactobacillus acidophilus FNCC

0051 dan Streptococcus thermophilus FNCC

0040 yang diperoleh dari Pusat Studi Pangan

dan Gizi Universitas Gadjah Mada

Yogyakarta) dan jewawut (Setaria italica)

yang diperoleh dari Pasar Kartini. Bahan

yang digunakan dalam uji total bakteri asam

laktat antara lain aquades, medium MRS

Broth. Reagen yang dibutuhkan untuk

pengujian total polifenol yaitu : reagen Folin

Ciocalteu, larutan induk asam galat, Na2CO3

20%, dan aquabides. Pengujian aktivitas

antioksidan membutuhkan larutan DPPH

atau 2,2-dypheny-1-picrylhydrazil dan

etanol. Alat – alat yang dibutuhkan dalam

penelitian ini meliputi : mikro pipet, kuvet,

forteks, tabung reaksi, timbangan analitik,

penangas air, inkubator, erlenmeyer,

spektrofotometer, dan pH-meter.

12 Total Polifenol dan Aktivitas Antioksidan Yoghurt dengan Penambahan Tepung Jewawut

Metode

Persiapan Penelitian

Persiapan penelitian dilakukan melalui

beberapa kegiatan yaitu penghitungan alat

dan bahan, sterilisasi alat, media, dan

sterilisasi ruangan. Alat yang tahan panas

disterilisasi kering dalam oven dengan suhu

170 ºC selama 1 jam. Sedangkan media yang

digunakan untuk menumbuhkan bakteri

(MRS broth) disterilisasi dengan autoklaf

pada suhu 121 ºC selama 15 menit. Ruangan

dan meja yang akan digunakan dibuat aseptis

dengan penyemprotan alkohol 70%.

Penelitian Pendahuluan

Kegiatan yang terangkum dalam

penelitian pendahuluan yaitu: pengolahan

biji jewawut menjadi tepung jewawut. Proses

pembuatan tepung jewawut dimulai dengan

memisahkan biji – bijian jewawut dari

kotoran yang ada dengan cara ditampi, untuk

mendapatkan bijian jewawut yang bersih.

Selanjutnya merendam jewawut dalam air,

mengeringkannya, memblender hingga

halus, diayak lalu melakukan sterilisasi

dengan autoklaf pada suhu 121 ºC selama 15

menit.

Penelitian Utama

Penelitian tahap kedua bertujuan untuk

menganalisis pengaruh jumlah starter

terhadap kualitas yoghurt jewawut. Peneltian

tahap kedua dimulai dari menumbuhkan

starter BAL dalam media MRS broth

(Ilustrasi 1), pembuatan Mother Starter

dalam media susu (Ilustrasi 2), dan

pembuatan yoghurt jewawut (Ilustrasi 3).

Penumbuhan Starter dalam Media MRS broth

Ilustrasi 1. Diagram Alir Penumbuhan Starter dalam Media MRS broth (Widowati dan

Misgiyarta, 2007)

Kultur starter

Inkubasi pada suhu 39 ºC selama 48 jam

Sterilisasi pada suhu 121ºC

selama 15 menit

Starter yang tumbuh

mengalami duplikasi sel

MRS Broth (5,2 gram

dalam 100 ml aquades)

13 Total Polifenol dan Aktivitas Antioksidan Yoghurt dengan Penambahan Tepung Jewawut

Penumbuhan Starter dalam Media Susu

Ilustrasi 2. Diagram Alir Penumbuhan Starter dalam Media Susu (Widowati dan

Misgiyarta, 2007, dengan modifikasi)

Proses Pembuatan Yoghurt

Ilustrasi 3. Diagram Alir Proses Pengolahan Yoghurt dengan Penambahan Tepung Jewawut

(Legowo, 2005, dengan modifikasi)

Susu Segar

Tepung Jewawut

3% (b/v)

Pasteurisasi dengan suhu 72 ºC selama 15 detik

Penurunan suhu hingga 43 ºC

C Starter LA:ST =

1:1 (v/v)

Inokulasi sebanyak 3,4,5% (v/v)

Inkubasi 39 ºC selama 8 jam hingga keasaman pH 4 - 5

Yoghurt jewawut disimpan suhu 4-10 ºC

Susu UHT

Starter dalam

media MRS Inokulasi & inkubasi pada suhu 39

ºC selama 8 jam

Starter dalam media susu disimpan pada suhu dibawah 4-

10 ºC

14 Total Polifenol dan Aktivitas Antioksidan Yoghurt dengan Penambahan Tepung Jewawut

Perlakuan

Perlakuan yang diberikan adalah

variasi jumlah starter dengan persentase yang

berbeda. Perlakuan yang diberikan pada

proses pembuatan yoghurt jewawut antara

lain :

T1 = Perbandingan inokulasi starter L.

acidophilus dengan S. thermophilus

sebesar 1 : 1 sebanyak 3 % dari volume

susu (v/v).

T2 = Perbandingan inokulasi starter L.

acidophilus dengan S. thermophilus

sebesar 1 : 1 sebanyak 4 % dari

volume susu (v/v).

T3 = Perbandingan inokulasi starter L.

acidophilus dengan S. thermophilus

sebesar 1 : 1 sebanyak 5 % dari

volume susu (v/v).

Parameter dan Prosedur Pengujian

1) Total Polifenol (Waterhouse, 1999)

Pengujian total polifenol diawali

dengan pembuatan larutan

Na2CO320% dan larutan induk asam

galat. Pembuatan larutan Na2CO3 20 %

yaitu menimbang 5 g Na2CO3 dan

tambahkan 20 ml aquabidest lalu

didihkan kemudian diamkan selam 24

jam, saring dan encerkan dengan

aquabidest 25 ml. Pembuatan larutan

induk asam galat (5 mg/ml) yaitu

menimbang 0,25 g asam galat

tambahkan 5 ml etanol 96 % dan

tambahkan aquabidest sampai 50 ml,

sehingga diperoleh konsentrasi 5

mg/ml. Dari larutan induk dipipet 6, 8,

10, 12, 14 ml dan diencerkan dengan

aquabidest sampai volumenya 100 ml,

sehingga dihasilkan dengan

konsentrasi 300, 400, 500, 600, dan

700 mg/L asam galat. Dari masing-

masing konsentrasi di atas dipipet 0,2

ml tambah 15, 8 ml aquabidest

ditambah 1 ml Reagen Folin Ciocalteu

kocok. Diamkan selama 8 menit

tambah 3 ml larutan Na2CO3 20%

kocok homogen. Diamkan selama 2

jam pada suhu kamar. Ukur serapan

pada panjang gelombang serapan

maksimum 765 nm, lalu buat kurva

kaliberasi hubungan antara konsentrasi

asam galat (mg/L) dengan absorban.

2) Aktivitas Antioksidan (Yen dan

Cheng, 1995).

Menimbang 1-2 g sampel kemudian

larutkan menggunakan methanol pada

konsentrasi tertentu. Ambil 1 ml

larutan induk ,masukkan pada tabung

reaksi. Tambahkan 1 ml larutan 1 ,1 ,2

,2 –Diphenyl Picryl Hydrazyl (DPPH)

200 M. Inkubasikan pada ruang gelap

selama 30 menit. Encerkan hingga 5ml

menggunakan etanol. Buat blanko (1ml

larutan DPPH + 4 ml etanol). Tera

pada panjang gelombang 515 nm

Total Antioksidan ( % )

= OD Blangko – OD Sampel x 100 %.....(1)

OD Blangko

Analisis Data

Design penelitian yang digunakan

dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak

Lengkap dengan tiga perlakuan dan tujuh

ulangan (Gomez dan Gomez, 1995). Data

yang diperoleh dari hasil pengujian

dianalisis menggunakan analisis ragam pada

taraf signifikansi 5%,jika terdapat pengaruh

nyata, maka diuji lanjut dengan uji Wilayah

Ganda Duncan untuk mengetahui

perbendaan antar perlakuan. Data ini

dihitung dengan bantuan program SAS 9.13

15 Total Polifenol dan Aktivitas Antioksidan Yoghurt dengan Penambahan Tepung Jewawut

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kandungan Nutrien Tepung Jewawut

Jewawut yang dipakai dalam penelitian

ini memiliki kandungan nutrien sebagai

berikut: 13,57% air; 3,61 protein kasar; 1,7%

lemak kasar; 2,22% serat kasar; 2.3% abu;

dan 78,83% karbohidrat. Sedangkan

kandungan serat pangan tak larut air sebesar

10,44% dan serat pangan larut airnya sebesar

0,31%. Kandungan serat kasar jewawut

yang digunakan dalam penelitian ini cukup

tinggi, yaitu sekitar 2,22%. Kandungan

jewawut menurut Widyaningsih dan

Mutholib (1999) meliputi 84,2% karbohidrat;

10,7% protein; 3,3% lemak; dan 1,4% serat.

Dijelaskan lebih lanjut untuk kandungan

mineral Ca, Fe, Vit B1, Vit B2, dan Vit C tiap

100 gram jewawut berturut-turut yaitu

sebesar 37; 6,2; 0,48; 0,14; dan 2,5 gram/mg.

Tingginya kadar serat kasar pada jewawut

tersebut menjadi latar belakang penambahan

jewawut ke dalam yoghurt sebagai sumber

serat.

Pengaruh Inokulasi Kultur Starter

terhadap Total Polifenol Yoghurt dengan

Penambahan Tepung Jewawut

Total polifenol semakin meningkat

dengan semakin banyaknya penambahan

jumlah starter. Selama fermentasi, terjadi

peningkatan total polifenol pada yoghurt

jewawut. Hal ini sejalan dengan analisis serat

pangan, semakin tinggi penurunan kadar

serat pangan jewawut pada yoghurt semakin

tinggi pula senyawa fenolik yang terdeteksi.

Data hasil pengujian total polifenol yoghurt

dengan penambahan tepung jewawut

disajikan pada Tabel 1.

Jewawut mengandung komponen

fitokimia seperti komponen fenolik yang

terdiri atas fenol, dan golongan flavonoid.

Glukan merupakan salah satu komponen

yang penting dalam sorgum dan jewawut,

dimana senyawa ini berfungsi sebagai

imunomodulator, antiateroskerosis,

antiradiasi dan antioksidan (Schmidl dan

Labuza, 2000). Komponen asam fenolik

yang tinggi adalah jenis asam ferulat,

kaumarat, sianamat, dan gensitin. Komponen

fenolik ini memiliki sifat antioksidan yang

dapat menekan reaksi oksidasi yang

merugikan bagi tubuh.

Tabel 1. Pengaruh Inokulasi Kultur Starter terhadap Total Polifenol Yoghurt dengan

Penambahan Tepung Jewawut

Ulangan Total Polifenol

T1 T2 T3

-------------------------------- (ppm) -----------------------------

u1 51,63 63,16 66,07

u2 51,15 63,04 64,87

u3 51,26 63,16 73,72

u4 51,63 54,80 83,92

u5 50,78 55,15 65,00

u6 47,63 58,06 65,35

u7 44,95 58,92 67,18

Rerata 50,30a 59,47

b 69,44

c

Keterangan : Superskrip yang berbeda pada kolom rerata menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)

16 Total Polifenol dan Aktivitas Antioksidan Yoghurt dengan Penambahan Tepung Jewawut

Hasil penelitian menunjukkan bahwa

yoghurt dengan penambahan tepung jewawut

memiliki total polifenol yang cukup tinggi

yaitu sekitar 50-73 ppm atau setara dengan

0,05-0,07 mg/ml. Berdasarkan hasil

penelitian Supriyono (2008) susu sapi yang

difermentasi dengan Candida kefir dan L.

bulgaricus dengan penambahan serat berupa

kacang hijau mengandung total polifenol

sebesar 0,0384-0,054 mg/ml atau setara

dengan 38,4-54 ppm. Tingginya kandungan

polifenol pada produk yoghurt dengan

penambahan tepung jewawut ini diduga

karena jewawut memiliki senyawa asam

hidroksi sinamat maupun asam ferulat yang

didekarboksilasi menjadi senyawa fenol oleh

enzim dari BAL.

Kenaikan total polifenol akibat

fermentasi diduga adanya senyawa fenolik

yang dibebaskan selama proses fermentasi.

Menurut Gawel (2004) peningkatan jumlah

senyawa fenol selama fermentasi diduga

karena Lactobacillus memiliki enzim ferulic

acid reductase dan vinyl phenol reductase

untuk mendegradasi asam ferulat dan asam

sinamat yang merupakan komponen

polisakarida dinding sel menjadi 4-vinyl

phenol dan 4-vinyl guaiacol.

Asam yang terbentuk dihasilkan oleh

Lactobacillus acidophillus yaitu dengan

mengkonversi glukosa menjadi asam laktat.

Reaksi oksidasi dari proses fermentasi juga

menyebabkan polifenol beraksi sebagai

antioksidan untuk melawan reaksi oksidasi

tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat

Kruszewka et al., 2002) yang menyatakan

bahwa selain dari asam laktat, antioksidan

merupakan metabolit sekunder dari

metabolisme BAL. Beberapa penelitian

menunjukkan bahwa bakteri probiotik

meningkatkan senyawa antioksidan dalam

bentuk vitamin C dan vitamin E.

Pengaruh Inokulasi Kultur Starter

terhadap Aktivitas Antioksidan Yoghurt

dengan Penambahan Jewawut

Meningkatnya antioksidan pada

yoghurt dengan penambahan tepung jewawut

sejalan dengan meningkatnya total polifenol.

Jewawut memiliki komponen bioaktif seperti

asam fenolik, flavonoid, dan kondensat tanin

yang memiliki fungsi sebagai penangkal atau

memperlambat reaksi radikal bebas atau

bersifat antioksidan (Awika dan Rooney,

2004). Menurut Singh et al., (2002)

komponen asam ferulat, cafeat, ρ-caumarin,

sinapat, dan flavonoid pada sorgum dan

jewawut, memiliki reaktivitas yang tinggi

untuk memicu terekspresinya enzim SOD,

sehingga dengan pemberian konsumsi 25

g/Kg BB sudah meningkatkan kadar SOD

hati secara signifikan. Menurut penelitian

Sirappa (2003) bahwa asam ferulat

mampunyai kemampuan antioksidan secara

invitro, dengan menangkal radikal

superoksida, sehingga mampu menurunkan

beban oksidasi pada saluran darah, selama

proses pengangkutan. Data hasil pengujian

aktivitas antioksidan yoghurt disajikan pada

Tabel 2.

17 Total Polifenol dan Aktivitas Antioksidan Yoghurt dengan Penambahan Tepung Jewawut

Tabel 2. Pengaruh Inokulasi Kultur Starter terhadap Aktivitas Antioksidan Yoghurt

dengan Penambahan Tepung Jewawut

Ulangan Aktivitas Antioksidan

T1 T2 T3

---------------------------------- (%) -------------------------------

u1 9,69 10,31 11,25 u2 9,38 10,62 11,56

u3 8.97 10,46 11,41

u4 9,53 10,54 11,38

u5 9,84 10,54 11,54

u6 9,50 10,32 11,50

u7 9,94 10,49 11,21

Rerata 9,55a 10,47

b 11,41

c

Keterangan : Superskrip yang berbeda pada kolom rerata menunjukkan perbedaan yang

nyata (P<0,05)

Semakin tinggi inokulasi starter yang

diberikan, semakin tinggi total polifenol

yang dilepaskan, semakin tinggi pula

aktivitas antioksidannya. Hal ini diduga

disebabkan adanya senyawa fenol yang

terbebaskan akibat hidrolisis serat oleh BAL

selama fermentasi sehingga aktivitas

antioksidan fenolik meningkat. Hal ini sesuai

dengan pendapat Baublis, et al. (2000) yang

menyatakan bahwa senyawa fenolik

memiliki aktivitas antioksidan lebih tinggi

setelah dihidrolisis oleh enzim mikroba dari

polisakarida yang mengikatnya. Senyawa

fenolik serealia sebesar 74 g (0,2% dari

fenolik terekstrak) memiliki aktivitas

antioksidan dengan menghambat oksidasi

lemak hingga 90%. Menurut Singh et al

(2002) antioksidan fenolik sulit untuk di

ekstrak karena terikat pada serat tidak larut.

Ikatan kovalen pada serat tidak larut dapat

dihidrolisis oleh mikroba. Menurut

Kruszewka (2002) terlepasnya ikatan

kovalen pada serat tidak larut menyebabkan

bioavaibilitas antioksidan fenolik meningkat.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Penambahan tepung jewawut ke dalam

proses pengolahan yoghurt berpengaruh

terhadap total polifenol dan aktivitas

antioksidan. Semakin tinggi persentase

penambahan starter menyebabkan semakin

meningkatnya total polifenol dan aktivitas

antioksidan.

Saran

Perlu penelitian lebih lanjut pada

penambahan tepung jewawut untuk

meningkatkan total polifenol dan aktivitas

antioksidan

DAFTAR PUSTAKA

Awika, J.M. dan Rooney L.W. 2004.

Sorghum phytochemical and their

potential impact on human health. J.

Sci Direct: Phytochemistry 65:1199-

1221.

Baublis, A., E.A. Decker, F.M. Clydesdale.

2000. Antioxidant effect of aqueous

extracts from wheat based ready to

18 Total Polifenol dan Aktivitas Antioksidan Yoghurt dengan Penambahan Tepung Jewawut

eat breakfast cereals. J. Food Chem

68: 1–6.

Gawel, R. 2004. Brettanomyces Character in

Wine. The Australian Society of

Wine Education National

Convention. Hunter Valley,

Australia. 4th-6

th of June 2004.

Gomez, K. A dan A.A Gomez. 1995.

Prosedur Statistik untuk Penelitian

Pertanian Edisi kedua. Badan

Penerbit Universitas Indonesia,

Jakarta.

Legowo, A. M. 2005. Diktat Kuliah

Teknologi Pengolahan Susu.

Universitas Diponegoro, Semarang

(Tidak Diterbitkan)

Muchtadi, D., N. S. Palupi, dan M. Astawan.

1993. Petunjuk Laboratorium :

Metoda Kimia Biokimia dan Biologi

dalam Evaluasi Nilai Gizi Pangan

Olahan. Pusat antar Universitas

Pangan dan Gizi. Institut Pertanian

Bogor, Bogor.

Kruszewka, H, T. Zareba, and S. Tvski.

2002. Search of antimicrobial activity

of selected non-antibiotic drugs. Acta

Pol Pharm 59 (6):436-439.

Nurmala, T. 2003. Prospek Jewawut

(Pinnisetum spp.) Sebagai Pangan

Serealia Alternatif. Jurnal Bionatura

5 (1):11-20.

Schmidl, M.K. dan T.P. Labuza 2000.

Essentials of Functional Foods. USA:

Aspen Publisher Inc. Maryland.

Singh, R.P., Murthy K.N.C., Jayaprakasha

G.K. 2002. Studies on antioxidant

activity of ponegranate (Punica

granatum) peel and seed extract using

in vitro model. J.Agri Food Chem

50:81-86.

Sirappa, S.A. 2003. Pholyfenol : antioxidant

and beyond. J.Clinical Nutrition

81(1):215-229.

Suhartono, E., Fujiati, and I. Aflanie. 2002.

Oxygen toxicity by radiation and

effect of glutamic piruvat transamine

(GPT) activity rat plasma after

vitamine C treatmen, Diajukan pada

International seminar on

Environmental Chemistry and

Toxicology, Yogyakarta.

Supriyono, T. 2008. Kandungan Beta

Karoten, Polifenol Total, dan

Aktivitas “Merantas” Radikal Bebas

Kefir Susu Kacang Hijau (Vigna

radiata) Oleh Pengaruh

(Lactobacillus bulgaricus dan

Candida kefir) dan Konsentrasi

Glukosa. Tesis. Universitas

Diponegoro, Semarang .

Widowati, S dan Misgiyarta. 2007.

Efektifitas Bakteri Asam Laktat

(BAL) dalam Pembuatan Produk

Fermentasi Berbasis Protein/Susu

Nabati. Balai Penelitian Bioteknologi

dan Sumberdaya Genetik Pertanian

Prosiding Seminar Hasil Penelitian

Rintisan dan Bioteknologi Tanaman,

Jakarta, 360 – 373.

Widyaningsih, S. dan A. Mutholib. 1999.

Pakan Burung. Penebar Swadaya,

Jakarta

19 Pengaruh Subtitusi Jagung dengan Tepung Biji Alpukat Terhadap Konsumsi Ransum, Asupan

Protein, dan Retensi Nitrogen Pada Ayam Broiler

PENGARUH SUBTITUSI JAGUNG DENGAN TEPUNG BIJI ALPUKAT

TERHADAP KONSUMSI RANSUM, ASUPAN PROTEIN, DAN RETENSI

NITROGEN PADA AYAM BROILER

(The Effect of Dietary Corn Subtitution to Avocado Seed Meal in the Ration on Feed

Consumption, Protein Intake, And Nitrogen Retention in Broiler Chicken)

S. Irianing 1, N. Suthama

2 dan I. Mangisah

3

1)

Mahasiswa Pasca Sarjana Fakultas Peternakan Dan Pertanian Universitas Diponegoro

Kampus drh. Soejono Koesoemowardojo Tembalang Semarang 50275

E-mail : Irianing [email protected]

2,3)

Staf pengajar Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro

Kampus drh. R. Soejono Kusumowardojo Tembalang, Semarang 50275

Diterima : 15 Desember 2014 Disetujui : 25 November 2015

ABSTRACT

This research aimed to clarify the effect of dietary corn subtitution to avocado seed

meal in the ration on feed consumption, protein intake, and nitrogen retention in broiler

chicken. 90 of day old chick (DOC) Lohmann strain broiler chickens with an average of

initial body weight of 41,38 ± 1,08 g were used in this research. The subjects were divided

based on completely randomized design (CRD) to 3 different feeding treatments, consisted of

T0 (control ration), T1 (ration with 7,5% avocado seed meal), and T2 (ration with 15%

avocado seed meal). The parameter of observed were feed consumption, protein intake, and

nitrogen retention. This result that feeding avocado seed meal significantly effected (P<0,05)

on feed consumption, protein intake, and nitrogen retention. In conclusion was that increase

of feeding avocado seed meal until 15% decrease effect on feed intake, protein intake, and

nitrogen retention in broiler chicken.

Keyword : broiler chicken, feed intake, protein intake, and nitrogen retention.

ABSTRAK

Penelitian bertujuan mengetahui dan mengkaji pengaruh penggunaan tepung biji

alpukat terolah sebagai subtitusi jagung dalam ransum terhadap konsumsi ransum, asupan

protein dan retensi nitrogen pada ayam broiler. Materi yang digunakan adalah 90 ekor day

old chick (DOC) unsex strain Lohmann dengan bobot badan awal rata-rata 41,38±1,08 g.

Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3

perlakuan dan 5 ulangan. Ransum perlakuan meliputi T0 = ransum kontrol (tanpa tepung biji

alpukat), T1= ransum dengan 7,5% tepung biji alpukat, T2= ransum dengan 15% tepung biji

alpukat. Parameter yang diamati adalah konsumsi ransum, asupan protein dan retensi

nitrogen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang nyata (p<0,05) tepung

biji alpukat terhadap konsumsi ransum, asupan protein dan retensi nitrogen. Simpulan

penelitian adalah peningkatan level penggunaan tepung biji alpukat sampai 15% sebagai

subtitusi jagung dalam ransum ayam broiler menurunkan konsumsi ransum, asupan protein

dan retensi nitrogen.

Kata kunci: broiler, konsumsi ransum, asupan protein, retensi nitrogen

20 Pengaruh Subtitusi Jagung dengan Tepung Biji Alpukat Terhadap Konsumsi Ransum, Asupan

Protein, dan Retensi Nitrogen Pada Ayam Broiler

PENDAHULUAN

Ketersediaan jagung sebagai bahan

penyusun ransum ternak unggas masih

bersaing dengan kebutuhan manusia. Selain

harganya yang semakin mahal, ketersediaan

jagung di Indonesia sebagian masih impor.

Oleh karena itu, untuk menekan biaya

produksi perlu bahan pakan sumber energi

alternatif yaitu biji alpukat. Biji alpukat

merupakan limbah dari buah alpukat adalah

bahan alternatif yang dapat dimanfaatkan

sebagai pakan ternak sumber energi untuk

subtitusi jagung. Persentase biji dalam buah

alpukat sebesar 10-15%. Produksi buah

alpukat di Indonesia pada tahun 2013

mencapai 276.311 ton, sehingga dapat

dihitung produksi limbah biji alpukat

mencapai 34.538 ton (Badan Pusat Statistik,

2013).

Pemanfaatan biji alpukat diharapkan

dapat mengurangi penggunaan jagung

sehingga biaya pakan menjadi murah. Biji

alpukat mengandung protein kasar 10,40%

dan energi metabolis 3570 kkal/kg, tetapi

pemakaiannya harus dibatasi karena

mengandung zat anti nutrisi berupa tanin

sebesar 1,02% (Nelwida, 2009). Tanin yang

membentuk senyawa komplek dengan ikatan

peptida dari protein, tidak larut di dalam

saluran pencernaan sehingga dapat

mempengaruhi ketersediaan protein. Oleh

karena itu, perlu pengolahan sebelum biji

alpukat dipakai sebagai komponen ransum

melalui perendaman dengan larutan kalsium

hidroksida Ca(OH)2 dan perebusan dengan

air panas.Penurunan kadar tanin sebagai anti

nutrisi yang dilakukan pada biji alpukat

diharapkan tidak mengganggu pencernaan

nutrien khususnya protein, sehingga dampak

positif pada produktivitas ayam broiler.

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui

dan mengkaji pengaruh penggunaan tepung

biji alpukat terolah sebagai subtitusi jagung

terhadap asupan protein, retensi N dan

presentase karkas pada ayam broiler.

Manfaat penelitian adalah memberikan

informasi tentang penggunaan tepung biji

alpukat terolah sebagai substitusi jagung

yang tidak mengganggu produktivitas ayam

broiler berdasarkan pemanfaatan protein.

MATERI DAN METODE

Materi

Materi yang digunakan adalah 90 ekor

DOC unsex strain Lohmann dengan bobot

awal rata-rata 41,38±1,08 g. Komposisi dan

kandungan nutrisi dalam ransum penelitian

dapat dilihat pada Tabel 1. Perlengkapan

yang digunakan adalah peralatan kandang,

timbangan, dan termometer.

Metode

Penelitian dimulai dengan tahap

persiapan teknis meliputi persiapan kandang,

pembuatan tepung biji alpukat, penyusunan

ransum serta persiapan ternak dan peralatan

yang digunakan pada penelitian. Pembuatan

tepung biji alpukat dengan mengiris tipis biji

alpukat dengan pisau, kemudian merendam

biji alpukat dengan larutan kalsium

hidroksida Ca(OH)2 dengan perbandingan

200 g Ca(OH)2 dan 1 liter air selama 30

menit. Biji alpukat yang sudah direndam,

kemudian dibilas dengan air hingga bersih,

selanjutnya merebus biji alpukat dengan air

mendidih selama 30 menit. Biji alpukat yang

sudah direbus, dikeringkan dibawah sinar

matahari sampai kering. Proses selanjutnya

menggiling biji alpukat sampai halus

menjadi tepung.

21 Pengaruh Subtitusi Jagung dengan Tepung Biji Alpukat Terhadap Konsumsi Ransum, Asupan

Protein, dan Retensi Nitrogen Pada Ayam Broiler

Tabel 1. Komposisi dan Kandungan Nutrisi Ransum Penelitian

Bahan pakan T0 T1 T2 T2

----------------(%)---------------- Jagung kuning

Tepung biji alpukat

Bungkil kedelai Bekatul

PMM

Tepung ikan Premix

59,00

-

15,00 12,00

8,00

5,00 1,00

51,50

7,50

15,00 12,00

8,00

5,00 1,00

44,00

15,00

15,00 12,00

8,00

5,00 1,00

Jumlah 100 100 100

Kandungan nutrien (%)*

Protein kasar*a

Energi Metabolis (kkal/kg)a

Lemak kasar *a

Serat kasar

*b

Kalsium*a

Fosfor*a

Tanin*a

20,06

3.079,00

6,34 5,12

0,88

0,55 0,27

20,20

3.105,00

6,43 5,24

0,93

0,54 0,32

20,33

3.132,00

6,52 5,67

0,98

0,54 0,39

Keterangan : a

Dianalisis di Lab. Ilmu Nutrisi dan Pakan Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas

Diponegoro, Semarang. b

Dianalisis di Pusat Studi Pangan dan Gizi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Tahap pendahuluan, dilakukan

vaksinasi ND melalui tetes mata pada umur 4

hari. DOC hingga umur 10 hari diberi 100%

ransum komersial, umur 11-13 hari

dilakukan adaptasi pakan untuk digantikan

menjadi ransum kontrol, umur 14 hari diberi

100% ransum kontrol, sedangkan pada umur

15-41 hari diberi ransum perlakuan dan

dipindahkan dalam kandang petak. Ransum

perlakuan diberikan ad libitum setiap hari

selama pemeliharaan. Data yang diamati

meliputi konsumsi ransum, asupan protein,

dan retensi nitrogen.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil pengukuran terhadap konsumsi

ransum, asupan protein dan retensi nitrogen

ditampilkan pada Tabel 2. Pengaruh level

penggunaan tepung bii alpukat terolah

sebagai subtitusi jagung dalam ransum

menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05)

menurunkan konsumsi ransum, asupan

protein dan retensi nitrogen.

Konsumsi ransum selama penelitian

(15-41 hari) menunjukkan bahwa

peningkatan penggunaan tepung biji alpukat

terolah (T1 dan T2) nyata (p<0,05)

dibandingkan ransum kontrol (T0) (Tabel 2).

Konsumsi ransum mengalami penurunan

seiring dengan peningkatan level

penggunaan tepung biji alpukat terolah.

Fenomena tersebut dapat diasumsikan

bahwa akibat pengaruh warna ransum

perlakuan karena semakin tinggi penggunaan

tepung biji alpukat terolah, warna ransum

menjadi semakin gelap. Warna ransum bagi

ternak unggas mempengaruhi selera makan

atau palatabilitas. Palatabilitas ransum

unggas tidak berdasarkan penciuman dan

melalui lidah, karena bau dan rasa ransum

bukan penentu selera makan pada unggas.

Selera makan unggas ditentukan oleh terang

atau gelapnya warna ransum. Menurut

22 Pengaruh Subtitusi Jagung dengan Tepung Biji Alpukat Terhadap Konsumsi Ransum, Asupan

Protein, dan Retensi Nitrogen Pada Ayam Broiler

Sulistyoningsih (2009) warna adalah aspek

utama dari cahaya, melalui retina mata

diteruskan oleh syaraf mata menuju

hipotalamus anterior, sehingga

mensekresikan hormon yang berfungsi

mempengaruhi enzim yang berhubungan

dengan proses metabolisme dan

meningkatkan aktiftas metabolisme.

Tabel 2. Rata-rata konsumsi ransum, asupan protein dan retensi nitrogen ayam broiler

Parameter Perlakuan

T0 T1 T2

................................g/ekor.............................................

Konsumsi ransum 105,05a 86,74

ab 80,08

b

Asupan protein 15,83a 12,46

b 11,03

b

Retensi nitrogen 3,35a 2,0

b 1,54

b

Keterangan : Huruf berbeda pada nilai rata-rata menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05).

Retnani et al. (2009) memperkuat

proses tersebut diatas bahwa ayam lebih

menyenangi warna orangye kuning dan

warna yang mengkilap yang dapat

merangsang perhatian. Hal lain yang

mempengaruhi menurunnya konsumsi

ransum dapat diasumsikan sebagai akibat

adanya kandungan tanin dalam ransum.

Kandungan tanin ransum semakin meningkat

seiring dengan semakin meningkatnya

penggunaan tepung biji alpukat terolah

dalam ransum sehingga dapat

mempengaruhi penurunan konsumsi ransum.

Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian

Akmal (2008) dan Anita et al. (2012) bahwa

semakin banyak kandungan tanin dalam

ransum dapat menurunkan konsumsi ransum

pada ayam broiler. Tanin merupakan satu

jenis antinutrisi yang terdapat pada bahan

pakan secara alami. Antinutrisi tersebut

dapat membatasi konsumsi ransum pada

ternak unggas karena dapat mengganggu

proses pencernaan ransum di dalam usus

akhirnya berakibat pada umpan balik

terhadap konsumsi.

Demikian pula Nilai asupan protein

nyata menurun karena dihitung dari nilai

daya cerna protein ransum dikalikan dengan

konsumsi protein. Nilai konsumsi protein

signifikan menurun dalam penelitian ini,

sehingga hal tersebut selaras dengan hasil

asupan protein yang nyata menurun. Asupan

protein dalam tubuh ternak unggas

dipengaruhi oleh jumlah konsumsi ransum

dan konsumsi protein. Konsumsi protein

semakin menurun akibat semakin

meningkatnya penggunaan tepung biji

alpukat. Kondisi ini sesuai dengan pendapat

Permana (2012) bahwa asupan protein

dipengaruhi oleh jumlah konsumsi ransum

dan protein. Demikian pula Gultom et al.

(2014) menyatakan bahwa konsumsi ransum

berhubungan dengan konsumsi protein,

apabila konsumsi protein tinggi

menyebabkan asupan protein juga tinggi.

Penurunan asupan protein juga dapat

dikaitkan dengan adanya tanin di dalam

ransum karena biji alpukat mengandung

tanin (Tabel 2). Tanin bersifat dapat

membentuk senyawa komplek dengan ikatan

peptida dari protein, tidak larut dalam

saluran pencernaan, dan segera dikeluarkan

melalui ekskreta sehingga mempengaruhi

ketersediaan protein. Menurut Akmal (2008)

tanin mempunyai kemampuan

mengendapkan protein, karena tanin

mengandung sejumlah kelompok fungsional

ikatan yang kuat dengan molekul protein dan

menghasilkan ikatan silang yang besar dan

kompleks dalam bentuk protein tanin. Tanin

menyebabkan daya cerna asam asam amino

menurun yang seharusnya dapat diserap oleh

23 Pengaruh Subtitusi Jagung dengan Tepung Biji Alpukat Terhadap Konsumsi Ransum, Asupan

Protein, dan Retensi Nitrogen Pada Ayam Broiler

villi usus yang dimanfaatkan untuk

perkembangan jaringan tubuh ternak unggas.

Selanjutnya, retensi nitrogen erat

kaitannya dengan asupan protein karena

dipengaruhi oleh jumlah protein ransum

yang dikonsumsi. Berdasarkan hasil analisis

ragam penggunaan tepung biji alpukat

terolah dalam ransum ayam broiler

menunjukkan adanya pengaruh nyata

terhadap retensi nitrogen (p<0,05). Hasil uji

Duncan menunjukkan bahwa peningkatan

level penggunaan tepung biji alpukat terolah

dalam ransum (T1 dan T2) nyata (p<0,05)

menurunkan retensi nitrogen dibandingkan

dengan ransum kontrol (T0). Rendahnya

nilai retensi nitrogen pada ayam broiler

berkaitan dengan semakin menurunnya

jumlah asupan protein akibat dari

berkurangnya tingkat konsumsi ransum.

Konsumsi nitrogen berbanding lurus dengan

konsumsi protein ransum, apabila konsumsi

nitrogen tinggi, maka retensi nitrogen yang

dihasilkan juga tinggi. Sebaliknya apabila

konsumsi nitrogen rendah maka retensi

nitrogen yang dihasilkan juga rendah. Hal ini

sesuai dengan pendapat Maulana (2008)

bahwa tingkat retensi nitrogen bergantung

pada konsumsi nitrogen. Demikian pula

menurut Sofiati (2008) bahwa meningkatnya

konsumsi nitrogen memberikan kesempatan

untuk retensi nitrogen lebih tinggi.

Rendahnya retensi nitrogen juga dapat

diakibatkan oleh keberadaan tanin dalam

ransum. Berdasarkan hasil penelitian

Nyachoti et al. (1996) bahwa semakin tinggi

kadar tanin dalam ransum semakin rendah

retensi nitrogen yang dihasilkan karena tanin

mengikat protein menjadi senyawa yang

tidak larut. Selanjutnya protein tersebut

diekskresikan melalui ekskreta yang

berakibat pada penurunan retensi nitrogen,

sehingga tidak bermanfaat bagi inang

(Bikrisima et al, 2014).

KESIMPULAN

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapat

disimpulkan bahwa peningkatan level

penggunaan tepung biji alpukat terolah

sampai 15% sebagai subtitusi jagung dalam

ransum ayam broiler, menurunkan konsumsi

ransum, asupan protein, dan retensi nitrogen.

Saran

Perlu pengkajian yang lebih

mendalam berkaitan dengan persentase

penggunaan tepung biji alpukat sebagia

subtitusi jagung dalam ransum ayam broiler.

DAFTAR PUSTAKA

Akmal. 2008. Pengaruh pemberian daun

sengon (Albizzia falcataria) hasil

rendaman dengan larutan Ca(OH)2

terhadap bobot karkas dan bobot

organ pencernaan ayam pedaging. J.

Ilmiah Ilmu – Ilmu Pet. 9 (4): 100 –

107.

Anita, W. Y., I. Astuti., Suharto. 2012.

Pengaruh pemberian tepung daun teh

tua dalam ransum terhadap performan

dan persentase lemak abdominal

ayam broiler. J. Trop. Anim.

Husbandry. 1(1) : 1-6.

Badan Pusat Statistik. 2013. Produksi Buah-

buahan dan Sayuran Tahunan di

Indonesia. www.bps.go.id. Diakses

tanggal 24 agustus 2014.

Bikrisima, S. H. L., L. D. Mahfudz., N.

Suthama. 2014. Kemampuan

produksi ayam broiler yang diberi

tepung jambu biji merah sebagai

24 Pengaruh Subtitusi Jagung dengan Tepung Biji Alpukat Terhadap Konsumsi Ransum, Asupan

Protein, dan Retensi Nitrogen Pada Ayam Broiler

sumber antioksidan alami. JITP. 3

(2): 69-75.

Gultom, S.M., Supratman, R.D.H., Abun.,

2014. Pengaruh imbangan energi dan

protein ransum terhadap bobot karkas

dan bobot lemak abdominal ayam

broiler umur 3 – 5 minggu. Students

e- Journal. 1(1) : 6 -10.

Maulana, Irfan. 2008. Nilai Retensi Nitrogen

pada Ayam Kampung Umur 12

Minggu yang diberi Pakan

Mengandung Tepung Silase Ikan.

Skripsi. Fakultas Peternanakan

Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Nelwida. 2009. Efek Penggantian jagung

dengan biji alpukat yang direndam air

panas dalam ransum terhadap retensi

bahan kering, bahan organik dan

protein kasar pada ayam broiler. J.

Ilmiah Ilmu-Ilmu Pet. 8 (1) : 50 -56.

Nyachoti, C. M., J. L. Atkinson and S.

Leeson. 1996. Response of broiler

chicks fed a high tannin sorghum

diet. J. Appl. Poultry science. 239-

245.

Permana, Bintang Tampubolon. 2012.

Pengaruh Imbangan Energi dan

Protein Ransum Terhadap Energi

Metabolis dan Retensi Nitrogen

Ayam Broiler. Students e – Journal.

1(1) : 1 – 5.

Retnani, Y., E. Suprapti., I. Firmansyah., L.

Herawati., R. Mutia. 2009. Pengaruh

penambahan zat pewarna dalam

ransum ayam broiler terhadap

penampilan, persentase berat bursa

fabrisius, karkas dan organ dalam. J.

Indon. Trop. Anim. Agric. 34 (2) :

115 – 121.

Sofiati, E. A. M. R. 2008. Metabolisme

Energi dan Retensi Nitrogen Broiler

Pasca Perlakuan Ransum

Mengandung Tepung Daun Jarak

Pagar (Jatropha curcas L.). Skripsi.

Fakultas Peternakan Institut Pertanian

Bogor, Bogor.

Sulistyoningsih, M. 2009. Pengaruh

pencahayaan (lighting) terhadap

performans dan konusumsi protein

pada ayam. Prosiding Seminar

Nasional ISBN 978 – 602-95207-0-5.

Hal 1-20

25 Kecernaan In Vitro Jerami Padi Fermentasi dengan Menggunakan Berbagai Level Inokulum

Aspergillus Niger dan Lactobacillus Plantarum

KECERNAAN IN VITRO JERAMI PADI FERMENTASI DENGAN

MENGGUNAKAN BERBAGAI LEVEL INOKULUM Aspergillus niger DAN

Lactobacillus plantarum

( In Vitro Digestibility Value Fermented Rice Straw using Inoculum stratified level

Aspergillus niger and Lactobacillus plantarum)

Saputro , R. A. T. W1, Ngadiyono, N.

2, Yusiati, L. M

3, Budisatria, I. G. S.

4

1) Staf Pengajar Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian Magelang

Jl.Magelang-Kopeng Km7 Tegalrejo Magelang

E-mail : [email protected]

2,3,4)

Staf Pengajar Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

Diterima : 15 September 2015 Disetujui : 25 November 2015

ABSTRACT

Utilization of rice straw as the basic feed into the strategic thing to be developed to

meet the needs of fibrous feed for cattle. Cellulolytic microbes and lactic acid bacteria are

one source of inoculum that can improve the quality of rice straw as feed fibrous base. The

study was conducted with the aim to obtain the appropriate carbon source for the growth of

Aspergillus niger (AN) and Lactobacillus plantarum (LP) .The research was done by using

fermented rice straw AN and LP. Carbon source treatment given two kinds of substrates,

namely molasses and bran. AN treatment levels of 0, 5, 10, and 15%. Giving LP of 10% in

each treatment. Fermentation is carried out for 21 days, while the digestibility value using in

vitro method Tilley and Terrydan Gas Test. The variables were observed in this study were

pH, lactic acid, BK, BO, PK, SK, NDF, ADF, and TDN. Data were analyzed using analysis of

variance completely randomized design (Completely Randomized Design / CRD)

unidirectional pattern and pattern factor(2 x 3), if there is a real effect followed by DMRT

(Duncan's Multiple Range Test). The results showed the use of Aspergillus nigerdan

Lactobacillus plantarumuntuk best fermented rice straw is 15% of Aspergillus niger and 10%

Lactobacillus plantarum of dry matter. The use of molasses substrate better when compared

to bran, it is seen from the results of the analysis of the PK, SK, LK, ADF, and the results of

physical testing rice straw fermentation.

ABSTRAK

Pemanfaatan sisa hasil pertanian (jerami padi) sebagai pakan dasarmenjadi hal yang

strategis untuk dikembangkan guna memenuhi kebutuhan pakan berserat bagi ternak sapi

potong. Mikrobia selulolitik dan bakteri asam laktat merupakan salah satu sumber inokulum

yang dapat meningkatkan kualitas jerami padi sebagai pakan dasar berserat. Penelitian

dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan sumber karbon yang tepat untuk pertumbuhan

Aspergillus niger(AN) dan Lactobacillus plantarum(LP).Penelitian ini dilakukan dengan

menfermentasi jerami padi menggunakan AN dan LP. Perlakuan sumberkarbon yang

diberikan dua macam substrat, yaitu molasses dan dedak. Perlakuan level AN sebesar 0, 5,

10, dan 15%. Pemberian LP sebesar 10% pada setiap perlakuan. Fermentasi dilakukan selama

21 hari,sedang nilai kecernaannyadievaluasi dengan menggunakan metode in vitro Tilley and

Terrydan Gas Test. Variabel yang diamati dalam penelitian ini adalah pH, asam laktat,BK,

26 Kecernaan In Vitro Jerami Padi Fermentasi dengan Menggunakan Berbagai Level Inokulum

Aspergillus Niger dan Lactobacillus Plantarum

BO, PK, SK, NDF, ADF, dan TDN. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis

varian rancangan acak lengkap (Completely Randomized Design/CRD) pola searah dan pola

faktoril (2 x 3), bila terdapat pengaruh nyata dilanjutkan dengan uji DMRT (Duncan’s

Multiple Range Test). Hasil penelitian menunjukkan penggunaan Aspergillus nigerdan

Lactobacillus plantarumuntuk fermentasi jerami padi yang terbaik adalah 15% Aspergillus

nige rdan 10% Lactobacillus plantarum dari bahan kering. Penggunaan substrat molases

lebih baik jika dibandingkan dengan dedak, hal ini terlihat dari hasil analisis PK, SK, LK,

ADF, dan hasil uji fisik jerami padi fermentasi.

Kata Kunci: Jerami Padi, Fermentasi, Kecernaan

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Jerami padi merupakan limbah

pertanian yang paling banyak tersedia dan

sering digunakan sebagai bahan pakan pada

saat persediaan rumput berkurang. Namun

salah satu kekurangan jerami padi yaitu

kandungan nutrisinya yang rendah, antara

lain karena dinding selnya tersusun oleh

selulosa, lignin, dan silika, sehingga dalam

pemanfaatan jerami padi diperlukan

suplementasi bahan yang berkualitas

kemudian diolah agar nilai nutrisinya dapat

ditingkatkan. Salah satu upaya untuk

membantu memecahkan permasalahan

kualitas pakan adalah melakukan pengolahan

(Bachrudin, 1992).

Oleh karena jerami padi merupakan

limbah tanaman tua maka telah terjadi

lignifikasi bertaraf lanjut yang menyebabkan

terjadinya ikatan yang erat dan kompleks

antara lignin dan selulosa maupun

hemiselulosa. Selain itu molekul selulosa

sebagaian besar telah berubah dari bentuk

amorf menjadi bentuk kristalin.

Kompleksitas kimia dan struktural bahan ini

akan mempersulit mikroorganisme untuk

dekomposisi bahan tersebut.

Rendahnya kandungan nutrisi terutama

protein dan rendahnya tingkat kecernaan

bahan kering serta tingginya kandungan serat

kasar, merupakan faktor pembatas jerami

padi sebagai pakan ternak. Penggunaan

jerami padi yang semula adalah limbah

pertanian sebagai pakan ternak, memerlukan

usaha untuk memenuhi kebutuhan nutrisi dan

menghasilkan produksi ternak yang sesuai

dengan harapan, maka jerami padi perlu

diberikan perlakuan khusus guna

meningkatkan nilai nutrisinya.

Untuk meningkatkan nilai nutrisi

jerami padi sebagai pakan diperlukan adanya

sentuhan teknologi seperi penggunaan starter

mikrobia dalam fermentasi jerami

padi.Sesungguhnya, perbaikan nilai gizi bisa

dilakukan melalui pengolahan limbah

pertanian secara fisik, kimia, maupun

mikrobiologi. Salah satu di antaranya, untuk

meningkatkan mutu jerami padi dengan

melakukan inovasi teknologi berupa

fermentasi jeramipadi dengan menggunakan

mikrobia selulolitik dan bakteri asam laktat

(BAL) (Cheeke, 2005).

Salah satu usaha peningkatan

kecernaan jerami padi dengan perlakuan

biologis adalah dengan penambahan

mikrobia Aspergillus niger (P. bryantii B14)

dan Lactobacillus plantarum selama proses

fermentasi. Manipulasi genetik dengan

mengatur kondisi pertumbuhan pada

mikrobia, hewan dan tumbuhan dapat

meningkatkan enzim baik dari segi kualitas

maupun kuantitasnya (Crueger dan Crueger,

1984). Selulase adalah enzim pemecah

selulosa, sedangxilanase dibentuk oleh

beberapa bakteri secara konstruktif yang

27 Kecernaan In Vitro Jerami Padi Fermentasi dengan Menggunakan Berbagai Level Inokulum

Aspergillus Niger dan Lactobacillus Plantarum

mampu memecah hemiselulosa (Schlegel,

1994).

Fermentasi jerami padi dengan

menggunakan inokulum mikrobia selulolitik

dan BAL, dengan mensekresikan enzim

selulase dan xilanase oleh mikrobia

selulolitik tersebut, maka selulosa dan

hemiselulosa dihidrolisis menjadi gula

sederhana yang selanjutnya oleh BAL diubah

menjadi asam laktat sehingga pH turun dan

terjadi proses defaunasi. Dengan demikian

akan terjadi peningkatan kecernaan bahan

kering dan total nutrient tercerna (TDN). Hal

ini menunjukkan bahwa mikrobia selulolitik

dapat menghasilkan enzim selulase dan

xilanase yang mampu memecah ikatan

lignoselulosa sehingga dapat mengadakan

penetrasi untuk merombak dan mendegradasi

dinding sel untuk selanjutnya dirubah

menjadi senyawa karbohidrat sederhana

yang digunakan sebagai substrat oleh

Lactobacillus plantarum untuk menghasilkan

asam laktat guna menurunkan pH. Isolat

mikrobia selulolitik dan Lactobacillus

plantarum dapat digunakan sebagai

perlakuan fermentasi jerami padi yang

memberi hasil pada peningkatan kualitas zat

pakan dengan menurunkan kandungan serat

kasar serta meningkatkan kecernaan pakan,

sehingga jerami padi dapat ditingkatkan nilai

nutrisinya dengan menggunakan beberapa

level Aspergillus nigerdan Lactobacillus

plantarum (Aderemi, 2008).

Hasil penelitian yang disampaikan

pada tahap ini merupakan tahap kedua dari

tiga tahap penelitian untuk ikut membantu

mengatasi permasalahan pakan pada ternak

ruminansia,khususnya sapi potong yang

kebanyakan dipelihara oleh peternak.

Permasalahan yang dapat diangkat dari

penelitian tahap ini adalah :

1. Bagaimana mendapatkan metode yang

tepat untuk menghasilkan kecernaan

jerami padidengan penggnaan

mikrobia pencerna serat, utamanya

selulolitik, yaitu Aspergillus niger dan

bakteri asam laktat(Lactobacillus

plantarum)jerami padi difermentasi.

2. Bagaimana kemampuan mikrobia

Aspergillus niger dan Lactobacillus

plantarum dalam mendegradasi bahan

pakan berserat untuk mengamati

kualitas kimia dan kecernaan secara in

vitro padajerami padi hasil fermentasi

yang menggunakan mikrobia tersebut.

Permasalahan ini akan dicoba

dipecahkan dengan melakukan serangkaian

penelitian yang terbagi dalam dua penelitian,

yakni :

1. Sejauh manakemampuan mikrobia

Aspergillus niger dan Lactobacillus

plantarum dalam mendegradasi

seratsetah proses fermentasi jerami

padi.

2. Berapa level inokulan selulolitik yang

tepat jika diaplikasikan pada

fermentasi jerami padi agar diperoleh

daya cerna yang optimal secara in

vitro.

Tujuan Penelitian

Tujuan yang akan dicapai dalam

penelitian ini adalah:Sejauh mana

kemampuan Aspergillus niger dan

Lactobacillus plantarum dalam

mendegradasi serat dan meningkatkann

kandungan nutrien jerami padi fermentasi.

Kegunaan Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari

penelitian ini adalah untuk mengetahuisejauh

mana kemampuan Aspergillus niger dan

Lactobacillus plantarum dalam

mendegradasi seratdan meningkatkan

kandungan nutrien sehingga dapat

28 Kecernaan In Vitro Jerami Padi Fermentasi dengan Menggunakan Berbagai Level Inokulum

Aspergillus Niger dan Lactobacillus Plantarum

mengoptimalkan produksi jerami padi

fermentsi dalam rangka pemanfaatan jerami

padi sebagai pakan ternak.

MATERI DAN METODE

Materi

Materi peneltitian ini menggunakan

sumber mikrobia yang digunakan adalah

Aspergillus niger koleksi Pusat Antar

Universitas (PAU) Bioteknologi Universitas

Gadjah Mada dan Lactobacillus plantarum

koleksi Laboratorium Biokimia Nutrisi

Fakultas Peternakan Universitas Gadjah

Mada. Bahan yang difermentasi adalah

jerami padi varietas IR64dan molases

sebagai sumber karbon.Selain itu juga

digunakan reagensia analisis kecernaan in

vitro menggunakan metode Tilley and Terry

dan Gas Test.

Metode

Jalannya penelitian

a. PenumbuhanAspergillus niger dan

Lactobacillus plantarumpada

medium cair. Aspergillus niger

ditumbuhkan dalam medium Potato

Dextrose Broth(PDB) steril kemudian

diinkubasi pada suhu kamar selama 4

hari.Lactobacillus

plantarumditumbuhkan dalam medium

cairMan Rogosa Sharpe(MRS) steril

kemudian diinkubasi selama 24 jam.

Penelitian ini bertujuan untuk

memperbanyak isolat mikrobia

Aspergillus niger dan BAL

(Lactobacillus plantarum). Penelitian

diawali dari pengkayaan (enrichment

culture) isolat dan mengoptimasi

isolat dengan suhu dan waktu yang

berbeda.

b. Pertumbuhan Aspergillus niger

Dengan Cara Fermentasi Semi Solid.

Aspergillus niger ditumbuhkan dalam

medium PDB cair steril, kemudian

diperbanyak dalam fermentasi semi

solid. Medium semi solid merupakan

medium PDByang ditambah dengan

10% substrat jerami padi. Fermentasi

dilakukan selama 4 hari.

c. Fermentasi Jerami Padi Skala

Laboratorium. Pelaksanaan

fermentasi jerami padi dimulai dengan

memotong-motong jerami padi segar

dengan ukuran 3 sampai 5 cm.

Selanjutnya jerami padi tersebut

ditimbang sebanyak 100 g dicampur

dengan sumber karbon yaitu molasses

2% dari total as feed kemudian

ditambah dengan Aspergillus niger

dengan level 0, 5, 10 dan 15% dari

total asfeeddan 10%

Lactobacillusplantarum pada semua

level. Setelah dicampur rata kemudian

dimasukkan ke dalam gelas fermentor,

kemudian ditekan supaya padat

sehingga udaranya keluar dan suasana

tabung menjadi anaerob untuk

diinkubasi selama 3 minggu pada suhu

kamar.

d. Evaluasi kecernaan jerami

fermentasi. Sampel jerami padi hasil

fermentasi dikeringkan dengan

memasukkan ke dalam oven pada suhu

55°C selama 3 sampai 4 hari kemudian

digiling menggunakan Grinder dengan

lubang saringan 1mm. Sampel

digunakan untuk uji degradasi secara

in vitro menggunakan teknik produksi

gas menurut Mounfort et al (1985).

Setelah sampel pakan basal, larutan

buffer dan mikrobia selulolitik

dipersiapkan, selanjutnya dimasukkan

dalam tabung syringe, kemudian

dianalisis dan di inkubasi pada suhu

29 Kecernaan In Vitro Jerami Padi Fermentasi dengan Menggunakan Berbagai Level Inokulum

Aspergillus Niger dan Lactobacillus Plantarum

39°C, selanjutnya dimasukkan dengan

pipet semi otomatis sebanyak 30 ml.

Bila terdapat gelembung udara

diusahakan agar naik ke permukaan

dengan cara menggoyang-

goyangkannya. Gas CO₂ dialirkan

kedalam tabung syringe beberapa saat

(15 detik) sekala dibawah klep penutup

dibaca (V₀) kemudian di inkubasi pada

suhu 390C. Dibuat pula blanko sebagai

koreksi dengan cara seperti di atas,

hanya tanpa penambahan sampel bahan

pakan. Kenaikan volume gas setelah

diinkubasi selama 0, 1, 2, 4, 6, 8, 12,

24, 36, 48 dan 72 jam selanjutnya

dapat diamati. Pada saat tertentu, bila

volume gas dalam tabung syringe

sudah maksimum, maka gas

dikeluarkan dengan cara membuka

klep dan volume dikembalikan ke

posisi V₀. Pada dasarnya semakin

banyak karbohidrat atau zat nutrisi

bahan pakan yang mudah terfermentasi

oleh mikrobia inokulum, maka

produksi gas yang dihasilkan juga

semakin meningkat.

Menurut McDonald (1994) laju

produksi gas diukur dengan model

eksponensial yaitu :

P = a + b (1 – ect

)

Keterangan :

P = gas yang dihasilkan dalam waktu t

a = produksi gas dari fraksi yang

mudah larut

b = produksi gas dari fraksi yang

lambat terdegradasi

c = laju produksi gas dari b

Untuk mempermudah perhitungan

tersebut, maka digunakan program

NewayExcel(Church, 1978).

Selain menggunakan metode

kecernaan in vitro secara gas test,

fermentasi jerami juga dianalisis

kecernaan in vitro metode Tilley and

Terry (1963). Sampel pakan basal yang

telah dihaluskanditimbah sebanyak

0,25 gram kemudian dimasukkan ke

dalam tabung in vitro. Cairan rumen

yang sebelumnya telah dipersiapkan,

dicampurkan dengan larutan

McDougall dengan perbandingan 1:4.

Larutan campuran ini kemudian

dimasukkan ke dalam tabung in vitro

yang telah berisi sampel. Tabung in

vitro yang telah beisi sampel dan

larutan campuran kemudian diinkubasi

selama 48 jam menggunakan water

bath dan digojok setiap 8 jam sekali.

Setelah inkubasi selama 48 jam,

sampel kemudian disaring

menggunakan crusibel yang

sebelumnya telah dilapisi dengan

glasswoll.

Kecernaan Bahan Kering (KcBK) =

Kecernaan Bahan Organik (KcBO) =

Cairan rumen hasil analisis kecernaan

secara in vitro metode Tilley and Terry

kemudian dianalisis kadar protein

mikrobia menggunakan metode Lowry

dan kadar ammonia menggunakan

metode Chaney and Marbach.

Analisis Data

Data penelitian yang diperoleh

dianalisis statistik menggunakan pola searah.

Selanjutnya dilanjutkan dengan uji Duncan‘s

MultipleRangeTest (DMRT) untuk

mengetahui perbedaan antar rerata (Steel dan

Torrie, 1991).

30 Kecernaan In Vitro Jerami Padi Fermentasi dengan Menggunakan Berbagai Level Inokulum

Aspergillus Niger dan Lactobacillus Plantarum

HASIL DAN PEMBAHASAN

Nilai Kecernaan Nutrien

Kecernaan bahan kering

Tabel 1. Nilai kecernaan bahan kering

Waktu Cerna Level Aspergillus niger

0% 5% 10% 15%

48 jam (%)ns

20,26±3,01 25,95±5,00 27,00±9,85 24,59±0,76

72 jam (%)ns

31,00±2,62 35,04±2,32 37,12±1,34 35,77±2,41

ns: non signifikan.

Hasil penelitian yang dilakukan

didapat nilai kecernaan bahan kering (KcBK)

dengan perlakuan 0, 5, 10, dan 15% level

Aspergillus niger pada waktu 48 jam

(20,26±3,01; 25,95±5,00; 27,00±9,85; dan

24,59±0,76%) dan waktu 72 jam

(31,00±2,62; 35,04±2,32; 37,12±1,34; dan

35,77±2,41%). Hasil analisis statistik

kecernaan bahan kering dengan perlakuan 0,

5, 10, dan 15% level Aspergillus niger pada

waktu 48 dan 72 jam tidak menunjukkan

perbedaan yang nyata (P<0,05) diantara

beberapa level tersebut. Pada waktu 48 dan

72 jam dengan pemberian atau level

Aspergillus niger 0, 5, dan 10% nilainya

terus naik, akan tetapi pada level ke-15%

nilainya turun. Namun, nilai disetiap level

pada waktu 48 jam lebih kecil dari nilai

disetiap level pada waktu 72 jam. Menurut

Anggorodi (1990) faktor yang

mempengaruhi kecernaan bahan kering

antara lain bentuk fisik bahan pakan,

komposisi ransum, suhu, laju perjalanan

melalui alat pencernaan. Penggunaan tepung

ikan dalam pakan konsentrat sebesar 10 dan

15% dalam ransum dapat meningkatkan

kecernaan berat kering 64,4 dan 65,7

gram/ekor/hari (Marjuki, 2008).

Kecernaan bahan organik

Tabel 2. Nilai kecernaan bahan organik

Waktu Cerna Level Aspergillus niger

0% 5% 10% 15%

48 jam (%)ns 36,63±1,63 36,99±2,72 39,32±1,13 38,86±0,94

72 jam (%)ns 44,07±2,62 42,13±6,05 45,65±2,52 46,30±0,65

ns: non signifikan.

Hasil penelitian yang dilakukan

didapat nilai kecernaan bahan organik

(KcBO) dengan perlakuan 0, 5, 10, dan 15%

level Aspergillus niger pada waktu 48 jam

(36,63±1,63; 36,99±2,72; 39,32±1,13; dan

38,86±0,94%) dan waktu 72 jam

(44,07±2,62; 42,13±6,05; 45,65±2,52; dan

46,30±0,65%). Hasil analisis statistik

kecernaan bahan kering dengan perlakuan 0,

5, 10, dan 15% level Aspergillus niger pada

waktu 48 dan 72 jam tidak menunjukkan

perbedaan yang nyata (P<0,05) diantara

beberapa level tersebut. Pada waktu 48 jam

dengan pemberian atau level Aspergillus

niger 0, 5, dan 10% nilainya terus naik, akan

tetapi pada level ke-15% nilainya turun. Pada

waktu 72 jam dengan pemberian atau level

Aspergillus niger 0% ke 5% nilai mengalami

31 Kecernaan In Vitro Jerami Padi Fermentasi dengan Menggunakan Berbagai Level Inokulum

Aspergillus Niger dan Lactobacillus Plantarum

penurunan dan dari 5, 10, dan 15% nilainya

terus naik. Namun, nilai disetiap level pada

waktu 48 jam lebih kecil dari nilai disetiap

level pada waktu 72 jam. Daya cerna pakan

dalam sistem pencernaan ruminansia akan

mempengaruhi laju aliran pakan dari rumen

ke saluran pencernaan berikutnya sehingga

tersedia ruang dalam rumen untuk

penambahan pakan (Van Soest, 1994). Lebih

lanjut Soebarinoto et al. (1991) menjelaskan

bahwa daya cerna pakan juga mempengaruhi

jumlah pakan yang digunakan untuk proses

metabolisme dalam pertumbuhan ternak.

Dengan demikian semakin tinggi daya cerna

pakan semakin banyak jumlah pakan yang

digunakan untuk proses metabolisme.

Kecernaan serat kasar, produksi NH3, dan sintesis protein mikrobia

Tabel 3. Nilai kecernaan serat kasar, produksi NH3, dan sintesis protein mikrobia

Parameter Level Aspergillus niger

0% 5% 10% 15%

KcSK (%)ns 31,56±14,81 40,57±2,42 45,01±0,84 35,76±4,86

NH3 (mg/100ml)ns 27,92±2,05 27,39±2,02 24,71±2,59 24,46±0,30

SPM (mg/ml)ns 0,0950±0,01587 0,1170±0,00964 0,1063±0,01305 0,1087±0,00404

KcSK : Kecernaan serat kasar,

SPM : Sintesis protein mikrobia,

ns :Non signifikan.

Hasil penelitian yang dilakukan

didapat nilai kecernaan serat kasar (KcSK)

dengan perlakuan 0, 5, 10, dan 15% level

Aspergillus niger pada waktu 72 jam

(31,56±14,81; 40,57±2,42; 45,01±0,84; dan

35,76±4,86%). Hasil analisis statistik

kecernaan bahan kering dengan perlakuan 0,

5, 10, dan 15% level Aspergillus niger pada

waktu 72 jam tidak menunjukkan perbedaan

yang nyata (P<0,05) diantara beberapa level

tersebut. Pada waktu 72 jam dengan

pemberian atau level Aspergillus niger 0, 5,

dan 10% nilainya terus naik, akan tetapi pada

level ke-15% nilainya turun.

Arora (1989) menyatakan ketika

protein pakan diproteksi oleh suatu bahan

maka akan lolos degradasi mikrobia dalam

rumen sehingga dapat menurunkan

konsentrasi NH3. Sedangkan protein yang

tidak diproteksi dari konsentrat basal mampu

menyediakan NH3 yang cukup untuk

memenuhi bakteri selulolitik untuk

berkembang secara optimal.Bakteri

selulolitik merupakan bakteri yang mencerna

dinding sel tanaman khususnya fraksi serat

kasarnya (Arora, 1989). Dari hasil penelitian

terdapat perbedaan antara suplemen protein

yang terproteksi 15% dengan 45%,

dimungkinkan adanya aktifitas bakteri

selulolitik dalam mencerna serat berbeda

antara perlakuan pakan.

Degradasi fraksi a (%)

Ulangan Level Aspergillus niger

0% 5% 10% 15%

1 -2.20 -0.06 -2.09 0.32

2 -2.30 -0.32 -1.29 0.48 3 -1.03 -1.44 2.07 -0.86

Reratans

-1.84 ±0.70 -0.60±0.73 -0.43±2.20 -0.02±0.73

ns non signifikan.

32 Kecernaan In Vitro Jerami Padi Fermentasi dengan Menggunakan Berbagai Level Inokulum

Aspergillus Niger dan Lactobacillus Plantarum

Degradasi fraksi b (%)

Ulangan Level Aspergillus niger

0% 5% 10% 15%

1 56.28 55.03 57.98 56.51

2 57.38 57.79 57.83 57.31 3 54.54 54.25 56.56 55.33

Reratans

56.06±1.43 55.69±1.85 57.46±0.77 56.38±0.99

ns non signifikan.

Degradasi fraksi c (%)

Ulangan Level Aspergillus niger

0% 5% 10% 15%

1 0.02 0.02 0.03 0.03

2 0.03 0.02 0.03 0.02

3 0.02 0.03 0.03 0.03

Reratans

0.02±0.00 0.02±0.00 0.02±0.00 0.03±0.00

ns non signifikan.

Total Produksi Gas (ml)

Ulangan Level Aspergillus niger

0% 5% 10% 15%

1 41.25 40.5 43.25 43.75

2 42.5 42.75 43.5 44

3 41 41.5 43.25 44.5

Reratas 41.58±0.80

a 41.58±1.13

a 43.33±0.144

b 44.08±0.38

b

ns non signifikan.

Kadar Gas Metan (%)

Ulangan Level Aspergillus niger

0% 5% 10% 15%

1 5.73 4.24 3.33 9.72 2 5.84 10.46 11.21 5.70

3 11.12 8.20 6.17 9.08

Reratans

7.56±3.01 7.63±3.15 6.89±3.99 8.16±2.16

ns non signifikan.

Produksi Gas Metan (ml)

Ulangan Level Aspergillus niger

0% 5% 10% 15%

1 2.34 1.70 1.44 4.26

2 2.45 4.49 4.86 2.55 3 4.50 3.54 2.44 4.05

Reratans

3.10±1.22 3.24±1.42 2.91±1.76 3.62±0.93

ns non signifikan.

33 Kecernaan In Vitro Jerami Padi Fermentasi dengan Menggunakan Berbagai Level Inokulum

Aspergillus Niger dan Lactobacillus Plantarum

BKT(g/0,3g)

Ulangan Level Aspergillus niger

0% 5% 10% 15%

1 0.1156 0.1066 0.1162 0.1133

2 0.1068 0.1060 0.1159 0.1182 3 0.1075 0.1204 0.1220 0.1183

Reratans

0.1100±0.0049 0.1110±0.0081 0.1180±0.0034 0.1166±0.0028

ns non signifikan.

BOT (g/0,3g)

Ulangan Level Aspergillus niger

0% 5% 10% 15%

1 0.1405 0.1063 0.1322 0.1369

2 0.1315 0.1317 0.1331 0.1391

3 0.1248 0.1414 0.1458 0.1408

Reratans

0.1323±0.0078 0.1265±0.0181 0.1370±0.0076 0.1389±0.0019

ns non signifikan.

BKT/Produksi metan (ml/ g/0,3g)

Ulangan Level Aspergillus niger

0% 5% 10% 15%

1 20.26 15.95 12.38 37.58

2 22.97 42.36 41.91 21.54

3 41.84 29.38 20.03 34.19

Reratans

28.36±11.75 29.23±13.21 24.77±15.33 31.10±8.45

ns non signifikan.

BOT/Produksi metan (ml/ g/0,3g)

Ulangan Level Aspergillus niger

0% 5% 10% 15%

1 16.67 16.01 10.88 31.11

2 18.65 34.11 36.51 18.31

3 36.04 25.01 16.75 12.06

Reratans

23.79±10.66 25.04±9.05 21.38±13.43 20.49±9.71

ns non signifikan.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Dari hasil penelitian ini diperoleh hasil

dimana penggunaan Aspergillus nigerdan

Lactobacillus plantarumuntuk fermentasi

jerami padi yang terbaik dalah :

1. 15% Aspergillus nigerdan 10%

Lactobacillus plantarumdari bahan

kering

2. Penggunaan substrat molases lebih

baik jika dibandingkan dengan dedak,

hal ini terlihat dari hasil analisis PK,

SK, LK, ADF, dan hasil uji fisik jerami

padi fermentasi.

34 Kecernaan In Vitro Jerami Padi Fermentasi dengan Menggunakan Berbagai Level Inokulum

Aspergillus Niger dan Lactobacillus Plantarum

Saran

Dari hasil penelitian ini diperoleh hasil

dimana penggunaan Aspergillus nigerdan

Lactobacillus plantarum untuk fermentasi

jerami padi maka dapat disrankan :

1. Penggunaan cairan rumen sapi

hendaknya sesuai dengan kebutuhan

Protein kasar danenergi untuk minimal

memenuhi kebutuhan pokok hidupnya

2. Hasil fermentasinya pada akhir

inkubasi setidaknya diperoleh pH 4,5

sampai dengan 5, sehingga hasilnya

dapat dilakukan uji berikutnya.

DAFTAR PUSTAKA

Anggorodi, R. 1990. Ilmu Makanan Ternak

Umum. PT. Gramedia. Jakarta.

Aderemi, B. O., Abu, E., and Highina, B. K.,

2008.The Kinetics of glucose

production frromrice straw by

Aspergillus niger. African Journal of

Biotechnology. Vol. 7(11) pp. 1745-

1752.

Arora, S.P. 1989. Pencernaan Mikroba Pada

Ruminansia. Terjemahan Retno

Murwani. Gajah Mada University

Press. Yogyakarta.

Bachrudin, Z., 1992a. Aplikasi enzim dalam

bioteknologi pertanian. Buletin

Peternakan Fakultas Peternakan,

Universitas Gadjah Mada.

Yogyakarta. Edisi Khusus. Pp. 221-

137.

Cheeke, P. R., 2005. Aplied Animal

Nutrition Feed and Feeding 3rd

Ed.

Prentice Hall, UpperSaddle River,

New Jersey

Church, D. C. and W. G. Pond, 1978. Basic

Animal Nutrition and Feeding 3rd

Ed.

John Willeyand Sons. New York.

Crueger, W. and A. Crueger. 1984.

Biotechnology: A Text Book of

Industrial Microbiology Science

Tech., Inc., Madison, Wisconsin.

Leng, R. A., 1973. Salient features of

digestion of pastures by ruminant and

other herbivores. In: Chemistry and

Biochemistry of Herbage. Academic

Press. London and New York.

Marjuki. 2008. Penggunaan Tepung Ikan

Dalam Pakan Konsentrat Dan

Pengaruhnya Terhadap Pertambahan

Bobot Badan Kambing Betina. Jurnal

Ternak Tropika Vol. 9. No.2: 90-100.

McDonald. ., R. A. Edwards and J. F. D.

Green Halgh, 1994. Animal

Nutrition. 5th ed. EnglishLanguage

Book Society. Longman, London.

Mounfort, D. O. and R. A. Asher. 1985.

Production and regulation of

cellulose by two strins of the rumen

anaerobic fungus Neocallimastic

frontalis. J. Appl. Environt.

Microbiol. 49 (5): pp. 1314-1322.

Prayitno, 1997. Purifikasi dan analisis

Kinetika Reaksi Enzim Selulosa Dari

Aspergillusniger L-23. Tesis .

Program Pascasarjana. Fakultas

Peternakan, Universitas Gadjah

Mada. Yoguakarta.

Schlegel, H. G., 1994. Mikrobiologi Umum.

Ed. Ke 6. Gadjah Mada University

Press. Yogyakarta.

Smith, J. E. 1990. Prinsip Bioteknologi. PT.

Gramedia. Jakarta.

Soebarinoto, S. Chuzaemi, dan Mashudi.

1991. Ilmu Gizi Ruminansia.

UniversitasBrawijaya.Malang.

Steel, R. G. D. dan J. H. Torrie, 1991.

Prinsip dan Prosedur Statistika.

35 Kecernaan In Vitro Jerami Padi Fermentasi dengan Menggunakan Berbagai Level Inokulum

Aspergillus Niger dan Lactobacillus Plantarum

Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

(Terjemahan).

Tilley, J.M. and R.A. Terry. 1963. A two

stage technique for in vitro digestion

of forage crops. J. Br. Grassl. Soc.

Vol 18: 105-111

van Soest, P.J. 1994. Nutrional Ecology Of

The Ruminant. Cornell University

Press. New York.

36 Kajian Evaluasi Program Penyuluhan Pupuk Bokashi di Kelompok Tani Angulir Hasto, Kecamatan

Kedu Kabupaten Temanggung

KAJIAN EVALUASI PROGRAM PENYULUHAN PUPUK BOKASHI DI

KELOMPOK TANI ANGULIR HASTO, KECAMATAN KEDU KABUPATEN

TEMANGGUNG

(Extension Program Evaluation Study of Bokashi Fertilizer in Farmers Group Angulir

Hasto, District Kedu County Temanggung)

Supriyanto1, Soeharso, N

2 dan Achadiati, N

3

1,2).

Staf Pengajar Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian Magelang

Jl.Magelang-Kopeng Km 7 Tegalrejo Magelang

E-mail : [email protected]; [email protected]

3)

Fungsional Penyuluh Pertanian di BPP Berau Kabupaten Hulu Sungai Tengah Kalsel

Email : [email protected]

Diterima : 15 Oktober 2015 Disetujui : 25 November 2015

ABSTRACT

The extension Program Evaluation Study of Bokashi Fertilizer Production in Farmers

Group Angulir Hasto, Kedu, Temanggung. The objective to be achieved in this to know the

level of outcomes on education programs fertilizer bhokasi in Farmers Group Angulir Hasto.

The research activities carried out in the village of Mojotengah region Agricultural

Extension Hall Plantation and Forestry (BP3K) Kedu subdistrict, Temanggung. Tools and

materials are used to support the implementation of the study are: 1. The tools used in this

activity is stationery, measuring tools such as questionnaires and digital cameras. 2.

Material in the form of a monograph District of Kedu and Programa BP3K Agricultural

Extension District of Kedu in 2014. The analysis shows the respodents know-ledge reached

246 and the average score of (15.38), this means the category out (15.38), attitude of

respondents shows that j reaches 140 with an average score of 8.75 this means agreeing

(8.75) and Skills respondents indicated that at 78 and total average score of 4.87, not in

accordance with the target, this means that skilled (4.87). Results of analysis of the

effectiveness of counseling Bokashi organic fertilizer that has been implemented by = 80.5%,

this means that the value of the effectiveness of counseling on effective category (80.5%)

means that the extension can be run properly carried out according to the procedure of

extension.

The conclusions extension program that has been implemented is reached, but the

results of the evaluation on the skills aspect less category. The effectiveness of counseling

Bokashi organic fertilizer categorized as effective, behavior change outcomes reached 80.5%

of the targeted behavior change.

Keywords: Evaluation, Program Extension, Fertilizer Bokashi

ABSTRAK

Program Penyuluhan Pupuk Bokashi telah dilaksanakan di Kelompok Tani Angulir Hasto,

Kecamatan Kedu Kabupaten Temanggung. Tujuan dari penyuluhan ini untuk meningkatkan

pengetahuan, sikap dan keterampilan tentang pupuk Bokashi. Penelitian ini dilaksanakan di Balai

Penyuluhan Pertanian Kecamatan Kedu Kabupaten Temanggung. Alat dan bahan yang

digunakan demi mendukung pelaksanaan kajian adalah : alat tulis, alat ukur berupa kuisioner

37 Kajian Evaluasi Program Penyuluhan Pupuk Bokashi di Kelompok Tani Angulir Hasto, Kecamatan

Kedu Kabupaten Temanggung

dan kamera digital. Bahan berupa monografi Kecamatan Kedu dan Programa Penyuluhan

Pertanian BP3K Kecamatan Kedu tahun 2014.

Pengetahuan responden terhadap penyuluhaan pupuk organik bokashi dinilai

berdasarkan jawaban responden menunjukkan bahwa jumlah skor kumulatif pengetahuan

yang diperoleh responden mencapai 246 dan skor rata-rata sebesar (15,38), Sikap responden

terhadap anjuran pupuk organik bokashi dinilai berdasarkan jawaban responden

menunjukkan bahwa jumlah skor sikap yang diperoleh responden mencapai 140 dengan skor

rata-rata 8,75. Keterampilan responden terhadap anjuran pupuk organik bokashi dinilai

berdasarkan jawaban responden terhadap 3 pertanyaan keterampilan pada kuesioner

menunjukkan bahwa jumlah skor keterampilan yang diperoleh responden mencapai 78 dan

jumlah skor rata-rata 4,87

Hasil evaluasi program penyuluhan tercapai sesuai target, namun hasil evaluasi pada

aspek keterampilan kategori kurang terampil.

Efektivitas penyuluhan pupuk organik bokashi yang dilaksanakan pada tahun 2014 lalu

masuk kategori efektif, dengan capaian perubahan perilaku mencapai 80,5% dari perubahan

perilaku yang ditargetkan. Terbukti dari tingkat pengetahuan responden tentang materi yang

disuluhkan mencapai kategori pengetahuan baik, aspek sikap mencapai kategori baik tetapi

aspek keterampilan memiliki kategori kurang.

Kata kunci :Evaluasi, Program Penyuluhan, pupuk Bokashi

PENDAHULUAN

Penyuluh pertanian, memegang

peranan penting dalam menggerakan

pembangunan pedesaan. Penyuluh

diharapkan mampu menawarkan atau

“memasarkan” inovasi sampai dengan

inovasi tersebut diadopsi oleh masyarakat

tani. Penyuluhan pertanian sebagai bagian dari

sistem pembangunan pertanian mempunyai

peranan yang sangat penting, petani dan

keluarganya dikembangkan kemampuannya,

keswadayaannya dan kemandiriannya agar

mereka dapat mengelola usaha taninya secara

produktif, efektif, dan efisien sehingga

mempunyai daya saing tinggi dan dapat

meningkatkan mutu hidup. Pengalaman

menunjukan bahwa kegiatan penyuluhan

menjadi sangat mutlak, sebagai pemicu

sekaligus pemacu atau sering di sebut sebagai

“ujung tombak” pembangunan pertanian.

Pembangunan pertanian melalui

Penyuluh pertanian diharapkan mampu

meningkatkan kesejahtraan masyarakat

khususnya pelaku utama dan pelaku usaha,

untuk mengetahui seberapa besar tingkat

efektivitas dan out put dari dilaksanakannya

kegiatan penyuluhan pertanian maka perlu

dilakukan evaluasi.

Evaluasi adalah suatu proses untuk

menentukan relevansi, efisiensi, efektivitas,

dan dampak kegiatan-kegiatan

proyek/program sesuai dengan tujuan yang

akan dicapai secara sistematik dan obyektif.

Manfaat melakukan evaluasi adalah: 1.

Menentukan tingkat perubahan perilaku

petani setelah penyuluhan dilaksanakan; 2.

Perbaikan program, sarana, prosedur,

pengorganisasian petani dan pelaksanaan

penyuluhan pertanian; dan 3.

Penyempurnaan kebijakan penyuluhan

pertanian.

Di Balai Penyuluhan Pertanian

Perkebunan dan Kehutanan (BP3K)

Kecamatan Kedu, Kabupaten Temanggung

pada tahun 2012 mempunyai program

kegiatan penyuluhan tentang pembuatan

pupuk organik bokashi, pada Kelompok Tani

“Angulir Hasto” Desa Mojotengah, hasil

analisa data sampai dengan saat ini belum

38 Kajian Evaluasi Program Penyuluhan Pupuk Bokashi di Kelompok Tani Angulir Hasto, Kecamatan

Kedu Kabupaten Temanggung

pernah dilakukan evaluasi program kegiatan

tersebut.

Berdasarkan data tersebut maka penulis

melakukan kegiatan pengkajian yang berjudul

“ Evaluasi Program Penyuluhan Pembuatan

Pupuk Bokashi di Kelompok Tani Angulir

Hasto, Kecamatan Kedu Kabupaten

Temanggung

MATERI DAN METODE

Materi

1. Waktu dan Tempat

Kegiatan kajian dilaksanakan pada

tanggal Mei – Juli 2015, di Desa

Mojotengah wilayah Balai Penyuluhan

Pertanian Perkebunan dan Kehutanan

(BP3K) Kecamatan Kedu, Kabupaten

Temanggung.

2. Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan demi

mendukung pelaksanaan kajian adalah:

1. Alat yang digunakan dalam kegiatan

ini adalah alat tulis, alat ukur berupa

kuisioner dan kamera digital. 2. Bahan

berupa monografi Kecamatan Kedu

dan Programa Penyuluhan Pertanian

BP3K Kecamatan Kedu tahun 2014.

Metode

Jalannya Kajian

a. Metode Evaluasi

Rancangan evaluasi penyuluhan

dilaksanakan dengan metode evaluasi

formatif yaitu evaluasi yang

dilaksanakan setelah kegiatan

penyuluhan dilaksanakan dengan

mengukur hasil perubahan perilaku

yang terjadi sebagai akibat adanya

penyuluhan (Daryanto, 2001 dan

Arief, 2011).

Metode pengumpulan data

evaluasi dilaksanakan dengan

memadukan metode wawancara dan

menggunakan kuisioner, dipilihnya

metode wawancara dan kuesioner

dalam pengumpulan data karena

metode ini paling sederhana, namun

lebih teliti karena pertanyaan yang

diajukan telah dipersiapkan terlebih

dahulu dalam kuesioner.

Kuesioner adalah daftar dari

sejumlah pertanyaan yang persiapkan

untuk memperoleh data dari rseponden

dalam suatu kegiatan evaluasi atau

penelitian, termasuk evaluasi

penyuluhan pertanian (Padmowihardjo,

1999).

b. Instrumen Evaluasi

Instrumen adalah suatu alat yang

memenuhi persyaratan akademis,

sehingga dapat dipergunakan sebagai

alat ukur atau pengumpulan data

mengenai suatu variabel. Alat ukur

(instrumen) yang digunakan dalam

evaluasi ini adalah kuesioner, yang

terdiri dari pertanyaan pengetahuan,

sikap dan tindakan/ketrampilan.

Tahapan kegiatan yang

dilaksanakan dalam mempersiapkan

instrumen, pertama adalah mempelajari

materi penyuluhan yang pernah

disampaikan oleh penyuluh dalam

kegiatan penyuluhan yang dievaluasi.

Selanjutnya berdasarkan materi

tersebut ditetapkan variabel yang akan

diukur dalam hal ini adalah

pengetahuan, sikap dan

tindakan/ketrampilan peternak/petani

terhadap pembuatan pupuk organik

bokashi. Langkah selanjutnya adalah

menentukan indikator dan parameter

serta cara ukur masing-masing

variabel, sebagaimana uraian anak sub

bab dibawah ini.

39 Kajian Evaluasi Program Penyuluhan Pupuk Bokashi di Kelompok Tani Angulir Hasto, Kecamatan

Kedu Kabupaten Temanggung

1) Indikator dan parameter

Untuk mengetahui tingkat

pengetahuan, sikap dan

tindakan/ketrampilan responden

terhadap pupuk organik bokashi

digunakan indikator dan parameter

sebagaimana Tabel dibawah ini.

Tabel 1. Indikator dan Parameter Pengetahuan, Sikap dan Keterampilan Tentang

Pupuk Bokashi

Indikator Parameter

Aspek Pengetahuan Mengetahui apa itu pupuk bokashi. Dapat menjelaskan apa yang di maksud

dengan pupuk bokashi .

Mengetahui tentang manfaat dari pupuk bokashi bagi tanah dan tanaman

Mengetahui tentang jenis- jenis pupuk

bokashi.

Dapat menjelaskan manfaat dari pupuk bokashi bagi tanah dan tanaman.

Dapat menyebutkan berbagai macam

jenis pupuk bokashi .

Mengetahui tentang alat yang diperlukan dalam pembuatan pupuk bokashi

Mengetahui tentang bahan yang diperlukan

dalam pembuatan pupuk bokashi Mengetahui tentang ciri- ciri pupuk bokashi

yang jadi / gagal.

Dapat menyebutkan alat yang diperlukan dalam pembuatan pupuk

bokashi.

Dapat menyebutkan bahan yang diperlukan dalam pembuatan pupuk

bokashi.

Dapat menyebutkan ciri-ciri bokashi yang jadi / gagal.

Aspek Sikap

Respon positif berupa minat untuk membuat

bokashi.

Mau untuk membuat pupuk bokashi.

Respon positif untuk menggunakan pupuk

bokashi .

Mau untuk menggunakan pupuk

bokashi.

Respon positif untuk selalu memberikan pupuk bokashi di lahan usaha tani.

Mau untuk selalu memberikan pupuk bokashi pada lahan usaha tani.

Aspek Tindakan/Ketrampilan

Terampil dalam menyiapkan alat dan bahan

yang diperlukan dalam pembuatan pupuk organik.

Dapat menyiapakan alat dan bahan

sesuai waktu yang ditentukan.

Terampil dalam mencampur bahan- bahan

untuk pembuatan pupuk bokashi.

Dapat mencampur bahan – bahan untuk

pembuatan pupuk bokashi sesuai dengan waktu yang ditentukan.

Terampil dalam mengetahui pupuk bokashi

yang jadi / gagal

Dapat menentukan apakah pupuk

bokashi tersebut jadi / gagal dibuat sesuai dengan waktu yang ditentukan.

2) Cara ukur pengetahuan

Pengetahuan peternak adalah

segala sesuatu yang diketahui

peternak sebagai akibat

dilaksanakannya penyuluhan

tentang pupuk bokashi, yang

mencakup pengetahuan antara lain

tentang apa itu bokasi, manfaat,

jenis- jenis bokashi, manfaat

pupuk bokashi, alat dan bahan

yang diperlukan dan ciri – ciri

bokashi yang jadi / gagal.

Pengukuran tingkat

pengetahuan peternak dilakukan

dengan skala likert, yang diukur

melalui 6 pertanyaan pengetahuan.

Pertanyaan disusun dalam bentuk

pertanyaan terbuka, dimana

40 Kajian Evaluasi Program Penyuluhan Pupuk Bokashi di Kelompok Tani Angulir Hasto, Kecamatan

Kedu Kabupaten Temanggung

responden kemudian diminta

untuk menjawab setiap soal. Jika

responden dapat menjawab dengan

benar/tahu = skor 3, jika hanya

mampu menjawab sedikit /

sebagian dengan benar/kurang

tahu = skor 2, jika tidak mampu

menjawab atau salah/tadak tahu =

skor 1.

3) Cara ukur sikap.

Sikap peternak adalah tanggapan

peternak terhadap penyuluhan

tentang pembuatan pupuk bokashi,

yang mencakup sikap antara lain

minat untuk membuat bokashi,

setuju untuk menggunakan dan

keinginan untuk terus menerus

menggunakan bokashi.

Pengukuran sikap peternak

menggunakan model skala likert,

yang diukur melalui 3 pertanyaan

sikap, dengan alternatif jawaban

setuju = skor 3, Jawaban ragu-ragu

= skor 2, jawaban tidak setuju =

skor 1.

4) Cara ukur keterampilan.

Keterampilan adalah perbuatan

petani dalam pembuatan pupuk

bokashi, yang mencakup

keterampilan antara lain

keterampilan dalam menyiapkan

alat dan bahan, keterampilan

dalam mencampur bahan dan

keterampilan dalam menentukan

antara bokashi yang jadi atau

gagal sesuai dengan waktu yang

ditentukan.

Pengukuran keterampilan peternak

menggunakan model skala likert,

jumlah pertanyaan 3 soal, jika

responden terampil diberi skor 3,

jika cukup terampil diberi skor 2

dan jika responden kurang

terampil maka diberi skor 1.

c. Menetapkan Sampel

Sampel dari populasi ditetapkan

dengan teknik purposive sampling

yaitu sengaja memilih anggota

Kelompok Tani Angulir Hasto Desa

Mojotengah yang menjadi sasaran

kegiatan penyuluhan tentang

pembuatan pupuk bokashi pada tahun

2014 yang dapat mewakili populasi di

Kecamatan Kedu. Kriteria sampel

adalah seluruh anggota kelompok

pernah mengikuti penyuluhan tentang

pembuatan pupuk bokashi dan aktif

dalam kegiatan pertemuan kelompok.

d. Mentabulasikan Data Hasil Evaluasi

Tahapan kegiatan merekap dan

mentabulasikan data hasil evaluasi

penyuluhan dilaksanakan dengan

beberapa tahapan yaitu :

1) Editing

Kegiatan editing dilakukan dengan

cara memeriksa data hasil jawaban

dari kuesioner yang telah

diberikan kepada responden dan

kemudian dilakukan koreksi

apakah telah terjawab dengan

lengkap. Editing dilakukan di

lapangan sehingga bila terjadi

kekurangan atau tidak sesuai dapat

segera dilengkapi.

2) Coding

Coding dilakukan dengan cara

memberi kode angka pada

kuesioner terhadap dari jawaban

responden agar lebih mudah dalam

pengolahan data selanjutnya. Kode

untuk tingkat pengetahuan adalah

jawaban tahu = 3, jawaban kurang

tahu = 2, jawaban tidak tahu atau

salah = 1. Kode untuk sikap adalah

setuju = 3, ragu- ragu = 2, tidak

setuju= 1. Kode untuk

tindakan/keterampilan adalah

41 Kajian Evaluasi Program Penyuluhan Pupuk Bokashi di Kelompok Tani Angulir Hasto, Kecamatan

Kedu Kabupaten Temanggung

terampil = 3, cukup terampil = 2,

tidak terampil = 1.

3) Entry data

Entry data dilakukan dengan cara

memasukkan data tentang

pengetahuan sikap, dan

tindakan/keterampilan responden

yang sudah diubah dalam bentuk

kode angka untuk diolah memakai

program komputer Microsoft

Excel 2010 untuk dianalisis.

4) Cleaning

Cleaning merupakan kegiatan

pengecekan kembali data yang

sudah masukan apakah ada

kesalahan atau tidak.

5) Tabulating

Tabulasi data dilakukan dengan

meringkas data yang diperoleh

kedalam tabel yang telah

disiapkan, agar mudah

dianalisa.Untuk tabulasi

digunakan program komputer

Microsoft Excel 2010, dengan

proses kegiatan tabulasi adalah :

1) Siapkan tabel dengan kolom

dan baris sesuai kebutuhan.

2) Hitung banyaknya frekuensi

untuk setiap kategori jawaban.

3) Susun distribusi frekuensi dan

persentase kedalam tabel agar

data yang ada dapat tersusun

rapi, mudah dibaca dan di

analisa.

e. Analisa Data Hasil Evaluasi

Analisis data merupakan proses

dalam menyederhanakan data ke

bentuk yang lebih mudah dibaca dan

diinterpretasikan. Analisis data

ditujukan untuk mengetahui tingkat

pengetahuan, sikap dan keterampilan

peternak/petani terhadap pembuatan

pupuk bokashi. Analisis data yang

digunakan dalam evaluasi ini adalah

analisis diskriptif kuantitatif dan

kualitatif.

Analisis diskriptif kuantitatif

digunakan untuk menganalisis variabel

yang ada secara deskriptif dengan

menghitung distribusi frekuensi

berbentuk tabel yang meliputi

pengetahuan, sikap dan keterampilan

responden terhadap pembuatan pupuk

organik bokashi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Hasil Evaluasi

Hasil kegiatan merekap dan

mentabulasikan data hasil evaluasi berupa

rekap data jawaban responden dari aspek

pengetahuan, sikap dengan kuesioner dan

pengamatan kegiatan keterampilan dengan

mengunakan elemen ketrampilan. Kegiatan

analisis menggunakan analisis deskriptif,

dimana analisis data dilakukan dengan

perhitungan frekuensi dan persentase,

selanjutnya hasil analisis ditampilkan dalam

bentuk tabel distribusi frekuensi.

a. Analisis data pengetahuan

responden

Pengetahuan responden terhadap

penyuluhaan pupuk organik

bokashi dinilai berdasarkan

jawaban responden menunjukkan

bahwa jumlah skor kumulatif

pengetahuan yang diperoleh

responden mencapai 246 dan skor

rata-rata sebesar (15,38), hal ini

berarti bahwa responden pada

aspek pengetahuan pada katagori

tahu (15,38) terhadap materi

penyuluhan pembuatan pupuk

bokasi atau sesuai dengan target.

b. Analisis data sikap responden

Sikap responden terhadap anjuran

pupuk organik bokashi dinilai

berdasarkan jawaban responden

42 Kajian Evaluasi Program Penyuluhan Pupuk Bokashi di Kelompok Tani Angulir Hasto, Kecamatan

Kedu Kabupaten Temanggung

menunjukkan bahwa jumlah skor

sikap yang diperoleh responden

mencapai 140 dengan skor rata-

rata 8,75 hal ini berarti bahwa

responden mempunyai sikap

terhadap materi penyuluhan adalah

setuju (8,75) atau sesui dengan

yang ditargetkan.

c. Analisis data keterampilan

Keterampilan responden terhadap

anjuran pupuk organik bokashi

dinilai berdasarkan jawaban

responden terhadap 3 pertanyaan

keterampilan pada kuesioner

menunjukkan bahwa jumlah skor

keterampilan yang diperoleh

responden mencapai 78 dan

jumlah skor rata-rata 4,87, tidak

sesuai dengan yang ditargetkan.

Hal ini berarti bahwa responden

tidak trampil (4,87) dalam

pembuatan pupuk bokasi.

d. Analisis efektivitas penyuluhan

Pengukuran tingkat efektivitas

dilakukan berdasarkan jumlah skor

yang berhasil dicapai masing-

masing aspek perilaku yaitu

pengetahuan, sikap dan

keterampilan, menunjukkan

jumlah skor pengetahuan, sikap

dan keterampilan yang dicapai

yaitu dengan jumlah skor

maksimal pengetahuan, sikap dan

keterampilan yang ditargetkan.

Untuk menganalisis

efektivitas penyuluhan pupuk

organik bokashi yang telah

dilaksanakan di Kecamatan Kedu

Tahun 2014, digunakan rumus

efektivitas sebagai berikut Dewi

dkk. (2012), Efektifitas

Penyuluhan= 80,5%. Setelah

mendapatkan nilai efektivitas

penyuluhan selanjutnya nilai

efektivitas dikategorikan sesuai

dengan kriteria tingkat efektivitas

penyuluhan (Padmowiharjo, 1999)

sebagai berikut :

Efektifitas penyuluhan

dilakukan mendapat nilai sebesar

80,5%, ini berarti nilai efektifitas

penyuluhan pada katagori efektif

(80,5%) artinya bahwa penyuluhan

yang dilaksanakan pada tahun

2014 dengan materi pembuatan

pupuk organik bokasi dapat

berjalan dengan baik sesuai

prosedur penyuluhan.

2. Menetapkan Hasil Evaluasi

Hasil evaluasi disajikan dalam bentuk

teks narasi kualitatif untuk menggambarkan

perubahan perilaku (pengetahuan, sikap dan

keterampilan) yang terjadi sebagai akibat

dilaksanakannya penyuluhan.

Proses penyuluhan yang dilaksanakan

terdapat beberapa unsur antara lain:

penyuluh, materi penyuluhan, media

penyuluhan, metode dan tehnik penyuluhan,

sasaran penyuluhan dan tujuan penyuluhan.

Penyuluhnya adalah Danik Purwati,

adalah merupakan Tenaga Harian Lepas

(THL) dengan pengalaman kerja sebagai

penyuluh di bidang pertanian saat itu selama

6 tahun dengan masa kerja sebagai THL

sampai dengan saat 7 tahun 7 bulan, sesuai

dengan pendapat Soeharto (2005) dan

Deptan (2009) bahwa penyuluh adalah

perorangan warga Indonesia yang melakukan

kegiatan penyuluhan dibidang pertanian,

baik merupakan penyuluh PNS, swasta

maupun swadaya. Adapun yang menjadi

tugas pokok penyuluh adalah menyiapkan,

melaksanakan, mengembangan,

mengevaluasi dan melaporkan kegiatan

penyuluhan pertanian, sehingga penyuluh

dituntut mampu melaksanakan tugas dan

fungsinya sebagai penyuluh dilapangan

43 Kajian Evaluasi Program Penyuluhan Pupuk Bokashi di Kelompok Tani Angulir Hasto, Kecamatan

Kedu Kabupaten Temanggung

dengan menjadi mitra kerja petani yang

berperan sebagai fasilitator.

Materi penyuluhan yang diberikan saat

itu adalah Pembuatan Pupuk Organik Bokasi

yang sangat dibutuhkan oleh kelompok tani

dan ditunjang potensi wilayah dengan

adanya ± 50 ekor sapi karena setiap anggota

mempunyai rata-rata 2 ekor, hal ini sesuai

pendapat Setiana (2005) materi penyuluhan

adalah bahan penyuluhan yang akan

disampaikan kepada pelaku utama (petani)

dan pelaku usaha dalam berbagai bentuk

yang meliputi: informasi, teknologi, rekayasa

social, manajemen, ekonomi dan kelestarian

lingkungan.

Media penyuluhan yang digunakan

leaflet, power point, demplot terdapat di 3

onggota kelompok tani dan melakukan

demostrasi cara pada saat penyuluhan, hal ini

sesuai dengan pendapat yang menyatakan

bahawa media penyuluhan pertanian adalah

merupakan alat komunikasi untuk

memindahkan materi penyuluhan kepada

pelaku utama dan pelaku usaha yang

bertujuan untuk memperjelas pemahaman

dari kelayan tersebut terhadap materi

penyuluhan yang disampaikan (Salim, 2005).

Metode dan tehnik penyuluhan yang

dilakukan dengan metode pendekatan

kelompok sebanyak 2 kali dan pendekatan

perorangan pada seluruh anggota kelompok

tani, serta tehnik penyuluhan dengan

ceramah, diskusi dan demostrasi cara, hal ini

sesuai dengan pendapat bahwa metode

penyuluhan pertanian dapat diartikan sebagai

cara atau teknik penyampaian materi

penyuluhan kepada pelaku utama dan pelaku

usaha (kelayan) beserta keluarganya baik

secara langsung maupun tidak langsung agar

mereka lebih mudah memahami dan dapat

mempermudah penerapan suatu inovasi.

Dalam penggunaan metode penyuluhan

dapat dibedakan menjadi beberapa golongan

berdasarkan: teknik komonikasi, jumlah

sasaran dan indera penerima dari sasaran

(Sumardi, 2005).

Selanjutnya metode penyuluhan

pertanian penggunaan panca indera tidak

terlepas dari suatu proses belajar mengajar

seseorang karena panca indera tersebut selalu

terlibat di dalamnya, yang di dalam

penelitiannya memperoleh hasil sebagai

berikut: 1% melalui indera pengecap, 1,5%

melalui indera peraba,3% melalui indera

pencium, 11% melalui indera pendengar dan

83% melalui indera penglihat (Daryanto,

2001).

Sasaran penyuluhan pada Kelompok

Tani “Angulir Hasto” dengan karakteristik

sasarannya adalah: a. Seluruh anggota dan

pengurus telah mengalami pendidikan

minimal SD (31%) dan sebagian besar SLTA

(56%), b. Sebagian besar adalah umur/usia

produktif (88%), c. Semua anggota

mempunyai lahan pertanian rata-rata 0,2 ha,

d. Anggota dan pengurus terdiri dari laki-laki

(68,75%) dan perempuan (31,25%), tidak

ada perbedaan gender.

Sasaran penyuluhan pertanian adalah:

pelaku utama dan pelaku usaha. Dimaksud

pelaku utama disini adalah petani yang

merupakan warga Negara Indonesia beserta

keluarganya atau koperasi yang mengelola

usaha dibidang pertanian, wanatani,

minatani, agropastur, penangkaran satwa dan

tumbuhan didalam dan disekitar hutan, yang

meliputi usaha hulu, usaha tani, agroindustri,

pemasaran dan jasa penunjang. Sedangkan

pelaku usaha dimaksud adalah perorangan

waraga Negara Indonesia atau korporasi

yang dibentuk menurut hokum Indonesia

yang mengelola usaha pertanian, perikanan

dan kehutanan (Deptan, 2009).

Tujuan penyuluhan yang dilakukan

adalah proses perubahan perilaku di

kalangan masyarakat agar mereka tahu, mau

dan mampu melakukan perubahan demi

tercapainya peningkatan produksi,

44 Kajian Evaluasi Program Penyuluhan Pupuk Bokashi di Kelompok Tani Angulir Hasto, Kecamatan

Kedu Kabupaten Temanggung

pendapatan/keuntungan dan perbaikan

kesejahteraanya. Dalam perkembangannya,

pengertian tentang penyuluhan tidak sekadar

diartikan sebagai kegiatan penerangan, yang

bersifat searah (one way) dan pasif. Tetapi,

penyuluhan adalah proses aktif yang

memerlukan interaksi antara penyuluh dan

yang disuluh agar terbangun proses

perubahan “perilaku” (behaviour) yang

merupakan perwujudan dari: pengetahuan,

sikap, dan ketrampilan seseorang yang dapat

diamati oleh orang/pihak lain, baik secara

langsung (berupa: ucapan, tindakan, bahasa-

tubuh) maupun tidak langsung (melalui

kinerja dan atau hasil kerjanya) (Ibrahim

dkk., 2003).

Tujuan Penyuluhan Pertanian

mencakup tujuan jangka pendek dan tujuan

jangka panjang. Tujuan penyuluhan jangka

pendek yaitu menumbuhkan perubahan-

perubahan dalam diri petani yang mencakup

tingkat pengetahuan, kecakapan,

kemampuan, sikap, dan motivasi petani

terhadap kegiatan usaha tani yang dilakukan.

Tujuan penyuluhan jangka panjang yaitu

peningkatan taraf hidup masyarakat tani

sehingga kesejahteraan hidup petani

terjamin. Tujuan pemerintah terhadap

penyuluhan pertanian adalah: meningkatkan

produksi pangan, merangsang pertumbuhan

ekonomi, meningkatkan kesejahteraan

keluarga petani dan rakyat desa,

mengusahakan pertanian yang berkelanjutan

(Padmowikarjo, 2002).

Sesuai tujuan kegiatan evaluasi

penyuluhan dan hasil analisis data

pengetahuan, sikap dan

tindakan/keterampilan, maka hasil yang

diperoleh sebagaimana uraian pada anak sub

bab dibawah ini.

a. Gambaran tingkat pengetahuan

responden tentang pupuk

organik bokashi

Hasil analisis data

pengetahuan pada anak sub bab

sebelumnya, didapati hasil bahwa

tingkat pengetahuan responden

tentang pupuk organik bokashi,

sebagai akibat dilaksanakannya

penyuluhan tentang materi

tersebut pada tahun 2014,

mencapai tingkat pengetahuan

dengan kategori tahu (± 15,38).

Tingkat pengetahuan

responden yang mayoritas pada

kategori tahu (±15,38), sangat

dimungkinkan karena kegiatan

penyuluhan yang dilakukan sudah

sesuai dengan standart ketentuan

antara lain dengan materi

penyuluhan pembuatan pupuk

organik bokashi sangat dibutuhan

kelompok tani, disampaikan secara

langsung (ceramah, diskusi dan

demcar) dengan metode

pendekatan kelompok dan

perorangan, penyuluhan yang

dilakukan juga dengan media

penyuluhan berupa leaflet dan

power point, poin-poin tersebut

sebagai tindak lanjut materi

penguat serta akses ke aspek

pengetahuan.

Hal lainnya yang

memungkinkan pengetahuan

responden dalam kategori tahu

adalah tingkat pendidikan

responden dimana seluruh

responden (100%) telah

mengalami proses pendidikan

mulai dari SD hingga D III, hal ini

sesuai dengan apa yang ditulis

Sulistiyono (2010) bahwa semakin

tinggi jenjang pendidikan

seseorang akan memiliki

kemampuan lebih baik untuk

45 Kajian Evaluasi Program Penyuluhan Pupuk Bokashi di Kelompok Tani Angulir Hasto, Kecamatan

Kedu Kabupaten Temanggung

menerima dan menelaah informasi

yang diterima.

Selanjutnya Abdullah (2012)

yang menyatakan bahwa semakin

tinggi tingkat pendidikan akan

menyebabkan petani lebih

responsif terhadap suatu teknologi,

sebaliknya tingkat pendidikan

yang rendah akan menjadi kendala

dalam proses adopsi teknologi

pertanian.

b. Gambaran sikap responden

tentang pupuk organik bokashi.

Hasil analisis data sikap

responden didapati bahwa sikap

responden terhadap anjuran pupuk

organik bokashi, yang disuluhkan

mencapai kategori sikap mau

(±8,75).

Pengetahuan responden

tentang materi penyuluhan pupuk

organik bokashi yang berada pada

kategori pengetahuan tahu

(±15,38) sangat mungkin menjadi

faktor yang menyebabkan baiknya

sikap responden terhadap anjuran

penyuluhan. Hal ini sesuai dengan

uraian tentang sikap yang dikutip

Sulistiyono (2010) dari pendapat

Mar’at (1994) yang menyatakan

bahwa terbentuknya sikap sangat

dipengaruhi oleh aspek

kemampuan cognitif yang berupa

pengetahuan yang didasarkan pada

informasi yang berhubungan

dengan suatu obyek tertentu.

Selanjutnya Allum dkk. (2005)

menyatakan bahwa hasil penelitian

menunjukkan bahwa pengetahuan

mempunyai satu garis lurus

terhadap sikap pada sebuah ilmu

pengetahuan atau informasi yang

diterima.

c. Gambaran keterampilan

responden terhadap anjuran

pupuk organik bokashi

Hasil analisis data

keterampilan, didapati bahwa

keterampilan responden terhadap

anjuran pupuk organik bokashi,

sebagai akibat dilaksanakannya

penyuluhan tentang materi

tersebut pada tahun 2014, masih

dalam katagori tidak

terampil/mampu (±4,87) walaupun

tingkat pengetahuan pada katagori

tahu (±15,38) dan sikapnya

setuju/mau (±8,75), hal ini sangat

mungkin terjadi karena walaupun

peternak memiliki niat baik untuk

bertindak menerapkan anjuran

karena dukungan aspek

pengetahuannya dan sikap yang

positif, namun penerapannya

dalam bentuk keterampilan sangat

dipengaruhi oleh situasi sekitar

dan prioritas pemenuhan

kebutuhan, sehingga keinginan

untuk menerapkan apa yang

dianjurkan menjadi terhambat.

Prioritas pemenuhan kebutuhan

keluarga dan memerlukan waktu

dalam pembuatannya sering

menimbulkan keragu-raguan untuk

bertindak. Hal ini sesuai uraian

Sulistiyono (2010) tentang

keterampilan adalah perilaku yang

tidak hanya ditentukan oleh

attitude tetapi juga ditentukan oleh

lingkungannya. Selanjutnya Dewi

et al (2012) terbentuknya niat

untuk berperilaku dipengaruhi

oleh nilai sikap dan obyektif serta

Internal Conflict, faktor internal

yang paling berpengaruh adalah

antara pemenuhan kebutuhan dan

kendala usahanya.

46 Kajian Evaluasi Program Penyuluhan Pupuk Bokashi di Kelompok Tani Angulir Hasto, Kecamatan

Kedu Kabupaten Temanggung

d. Gambaran efektivitas

penyuluhan

Hasil analisis efektivitas

penyuluhan didapati bahwa skor

efektivitas penyuluhan yang

berhasil dicapai adalah 464 dari

576 skor maksimal efektivitas

penyuluhan yang ditargetkan. Hal

ini dapat diartikan bahwa dari

target maksimal perubahan

perilaku yang diharapkan terjadi

sebagai akibat dilaksanakannya

penyuluhan, tingkat

ketercapaiannya mencapai 80,5%.

Merujuk pada kategori efektivitas

penyuluhan yang dikemukakan oleh

Mardikanto (2009) maka tingkat efektivitas

penyuluhan pupuk organik bokashi yang

telah dilaksanakan pada tahun 2014 lalu

masuk kategori efektif.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisa data dan

pembahasan maka program penyuluhan

pembuatan pupuk organik, adalah sebagai

berikut :

1. Hasil evaluasi program penyuluhan

tercapai sesuai target, namun hasil

evaluasi pada aspek keterampilan

kategori kurang trampil.

2. Efektivitas penyuluhan pupuk organik

bokashi yang dilaksanakan pada tahun

2014 lalu masuk kategori efektif,

dengan capaian perubahan perilaku

mencapai 80,5% dari perubahan

perilaku yang ditargetkan. Terbukti

dari tingkat pengetahuan responden

tentang materi yang disuluhkan

mencapai kategori pengetahuan baik,

aspek sikap mencapai kategori baik

tetapi aspek keterampilan memiliki

kategori kurang.

Saran

Pelaksanaan penyuluhan kedepannya

hendaknya dengan memadukan antara

metode pertemuan kelompok dengan

demonstrasi cara, agar sasaran dapat melihat

langsung keuntungan cara membuat pupuk

organik bokashi, sehingga aspek ketrampilan

dapat meningkat.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, R. (2012). Peranan penyuluhan

dan kelompok tani ternak untuk

meningkatan adopsi tehnologi

peternakan saapi potong. Proseding

Seminar Nasional Sapi Potong. Hal

.188-195.

Arif, W. 2011. Evaluasi Psikologi

Komunikasi dan Efektivitas

Komunikasi. Thesis Universitas

Sebelas Maret. Diakses 4 Juni 2015.

http://psikom-

mamoy.blogspot.com/2011/11/efekti

vitas-komunikasi.html

Daryanto. 2001. Evaluasi Pendidikan.

Rineka Cipta. Jakarta.

Deptan. 2009. Permentan Nomor :

25/permentan/ot.140/5/2009.

Pedoman Penyusunan

Programa Penyuluhan Pertanian.

Deptan Jakarta.

Dewi, I.A.C., M.K.S.Budhi, dan A.A.I.N.

Marhaeni. 2012. Efektivitas Program

Jaminan Kesehatan Bali Mandara

(JKBM) di Kecamatan Gianyar

Kabupaten Gianyar. Diakses 2 Mei

2015. lemlit.undiksha.ac.id/

media/1231._dr.

47 Kajian Evaluasi Program Penyuluhan Pupuk Bokashi di Kelompok Tani Angulir Hasto, Kecamatan

Kedu Kabupaten Temanggung

Ibrahim, J.T, A. Sudiyono dan Harpowo.

2003. Komunikasi dan Penyuluhan

Pertanian. Bayu Media Publishing.

Malang.

http://database.deptan.go.id:8081/portalpeny

uluhan

Mardikanto T. 1999. Penyuluhan

Pembangunan Pertanian. Sebelas

Maret University Press. Surakarta.

Padmowihardjo. 1999. Evaluasi Penyuluhan

Pertanian. Penerbit Universitas

Terbuka, Jakarta.

Padmowihardjo. 2002. Metode Penyuluhan

Pertanian. Universitas Terbuka.

Jakarta.

Salim, F. 2005. Dasar-dasar Penyuluhan

Pertanian. Bandung Pustaka Martim.

Setiana, L. 2005. Teknik Penyuluhan dan

Pemberdayaan Masyarakat. Ghalia

Indonesia. Bogor.

Soeharto, N.P. 2005. Progama Penyuluhan

Pertanian. UI Press. Jakarta.

Sulistiyono. 2010. Pengetahuan Sikap Dan

Tindakan Petani Bawang Merah

Dalam Penggunaan Pestisida (Studi

Kasus di Kabupaten Nganjuk

Propinsi Jawa Timur). J. Agroland.

Diakses 24 Mei 2015,

http://jurnal.

untad.ac.id/jurnal/index.php/AGROL

AND/article/viewFi le/37/3.

48 Penggunaan Tepung Biji Alpukat dan Pengaruhnya Terhadap Kecernaan Lemak Kasar dan Energi

Metabolis Ransum Ayam Broiler

PENGGUNAAN TEPUNG BIJI ALPUKAT DAN PENGARUHNYA TERHADAP

KECERNAAN LEMAK KASAR DAN ENERGI METABOLIS RANSUM AYAM

BROILER

(Use of Avocado Seed Meal And Effect in the Ration On Crude Fat Digestibilty And Energy

Metabolism in Broiler Chickens)

Nurrohman, A.1, Yunianto, V. D.,

2 dan Mangisah, I

3

1) Mahasiswa Fakultas Peternakan Dan Pertanian Universitas Diponegoro

Kampus drh. Soejono Koesoemowardjojo Tembalang Semarang 50275

Email : [email protected]

2,3)

Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro

Kampus drh. Soejono Koesoemowardjojo Tembalang Semarang 50275

Diterima : 15 Oktober 2015 Disetujui : 25 November 2015

ABSTRACT

This research was aimed to identify and review the effect of avocado seed meal in the

ration on crude fat intake, crude fat digestibility, energy intake, and true metabolizable

energy. Ninety of Day Old Chick (DOC) Lohmann strain broiler chickens with an average of

initial body weight of 41,38 ± 1,08 g were used in this research. Completely Randomized

Design (CRD) was used in this research with 3 treatments and 5 replications, consisted of T0

(control ration), T1 (ration with 7,5% avocado seed meal), and T2 (ration with 15% avocado

seed meal). Parameters observed were crude fat intake, crude fat digestibility, energy intake

dan true metabolizable energy. Results showed that utilization of avocado seed meal in

broiler ration significantly effected (P<0,01) on crude fat intake, crude fat digestibility and

energy intake, and significantly affected (P<0,05) the true metabolizable energy. In

conclusion, the utilization of avocado seed meal in the ration on level 7,5% did not decrease

true metabolizable energy, but decreased crude fat intake, crude fat digestibility and energy

intake.

Keyword : broiler chicken, crude fat intake, crude fat digestibility, energy intake, and true

metabolizable energy.

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mengkaji pengaruh penggunaan tepung

biji alpukat dalam ransum terhadap konsumsi lemak kasar, kecernaan lemak kasar, konsumsi

energi dan energi metabolis murni. Materi yang digunakan dalam penelitian adalah ayam

broiler unsex strain Lohmann sebanyak 90 ekor yang berumur 1 hari dengan bobot awal rata-

rata 41,38 ± 1,08 g. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap

(RAL) dengan 3 perlakuan dan 5 ulangan. Ransum perlakuan meliputi T0 = ransum kontrol

(tanpa tepung biji alpukat), T1= ransum dengan 7,5% tepung biji alpukat, T2= ransum

dengan 15% tepung biji alpukat. Parameter yang diamati adalah konsumsi lemak kasar,

kecernaan lemak kasar, konsumsi energi dan energi metabolis murni. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa penggunaan tepung biji alpukat dalam ransum berpengaruh nyata

(P<0,01) terhadap konsumsi lemak kasar, kecernaan lemak kasar dan konsumsi energi dan

49 Penggunaan Tepung Biji Alpukat dan Pengaruhnya Terhadap Kecernaan Lemak Kasar dan Energi

Metabolis Ransum Ayam Broiler

ayam broiler, dan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap energi metabolis murni. Simpulan

penelitian adalah penggunaan tepung biji alpukat dalam ransum pada level 7,5% tidak

menurunkan energi metabolis murni, tetapi menurunkan konsumsi lemak kasar, kecernaan

lemak kasar, dan konsumsi energi.

Kata kunci: broiler, konsumsi lemak kasar, kecernaan lemak kasar, konsumsi energi, energi

metabolisme murni.

PENDAHULUAN

Ayam broiler merupakan ayam

pedaging yang dipelihara dengan waktu yang

relatif cepat (±35 hari) dapat memproduksi

daging dengan efisien. Daging ayam broiler

dibutuhkan masyarakat untuk mencukupi

kebutuhan akan daging dan harganya

terjangkau. Populasi ayam broiler di

Indonesia mencapai 1.344.191.000 (BPS,

2014). Produktifitas ayam broiler didukung

dengan pakan yang berkualitas. Pakan

merupakan salah satu faktor keberhasilan

usaha ayam broiler mencapai 60-70% dari

total produksi. Tingginya harga pakan

menjadi salah satu kendala dalam usaha

ayam broiler, sehingga perlu alternatif yang

murah dan memiliki kuaitas yang baik untuk

menekan biaya produksi, salah satunya yaitu

biji alpukat.

Produksi buah alpukat di Indonesia

pada tahun 2012 mencapai 294.200 ton

(BPS, 2014). Biji alpukat mengandung

energi metabolisme 3570 kkal/kg dan protein

kasar 10,40% lebih tinggi dibanding jagung

yaitu kandungan energi metabolisme 3370

kkal/kg dan protein kasar 8,70%. Kandungan

lemak kasar biji alpukat 5,81%, serat kasar

6,11%, Ca 0,70%, dan P 0,21% (Nelwida,

2009). Penggunaan biji alpukat diharapkan

dapat mengurangi penggunaan jagung

dimana porsi jagung dalam ransum mencapai

50-60% sehingga biaya pakan menjadi

murah. Pemakaian biji alpukat harus dibatasi

karena mengandung tannin yang dapat

menurunkan daya cerna, palatabilitas dan

produktifitas ayam broiler.

Tannin dapat menyebabkan

palatabilitas menurun sehingga menurunkan

konsumsi ransum. Tannin menghambat kerja

enzim pencernaan yang daapt menyebabkan

pertambahan bobot badan menurun (Anita et

al., 2012). Oleh karena itu, perlu dilakukan

pengolahan terhadap biji alpukat untuk

menurunkan kadar tannin menggunakan

larutan kalsium hidroksida Ca(OH)2 dan

perebusan menggunakan air panas. Suhirman

et al. (2006) menyatakan bahwa Ca(OH)

merupakan larutan basa dan tannin sebagai

polifenol larut dalam air dan basa, sehingga

tannin akan berkurang setelah polifenol yang

terlarut dihilangkan dengan cara pencucian.

Berdasarkan penelitian Wiryawan (1999)

bahwa perendaman daun kaliandra dengan

menggunakan larutan kapur tohor (CaO) 2%

selama 30 menit mampu menurunkan

kandungan tannin sebesar 48% serta dapat

meningkatkan kecernaan protein 82,40%.

Penurunan kadar tannin dalam ransum

diharapkan mampu meningkatkan kecernaan

nutrisi ransum (protein kasar, serat kasar,

lemak kasar, dan energi metabolis) dan

meningkatkan nilai manfaat ransum sehingga

dapat meningkatkan produktifitas ayam

briler. Tujuan penelitian ini adalah untuk

mengetahui dan mengkaji penggunaan

tepung biji alpukat yang telah diolah

terhadap konsumsi lemak kasar, kecernaan

lemak kasar, konsumsi energi dan energi

metabolisme murni ransum. Manfaat dari

penelitian ini diharapkan memberikan

informasi tentang pemanfaatan biji alpukat

sebagai sumber energi dalam ransum ayam

broiler.

50 Penggunaan Tepung Biji Alpukat dan Pengaruhnya Terhadap Kecernaan Lemak Kasar dan Energi

Metabolis Ransum Ayam Broiler

MATERI DAN METODE

Materi

Materi yang digunakan dalam

penelitian ini adalah 90 ekor anak ayam

umur 1 hari DOC unsex strain Lohmann

dengan bobot awal rata-rata 41,38±1,08 g.

Komposisi dan kandungan nutrisi dalam

ransum penelitian dapat dilihat pada Tabel 1.

Perlengkapan yang digunakan dalam

penelitian ini antara lain kandang litter,

kandang batteray, tempat pakan, tempat

minum, timbangan digital, sekam, dab

nampan.

Metode

Penelitian dimulai dengan persiapan

kandang, pembuatan tepung biji alpukat,

penyusunan ransum serta persiapan ternak

dan peralatan yang digunakan pada

penelitian. Pembuatan tepung biji yaitu biji

alpukat diiris tipis menggunakan pisau.

Kemudian biji alpukat direndam dengan

larutan kalsium hidroksida Ca(OH)2 dengan

perbandingan 200 g kalsium hidroksida

dilarutkan dengan 1 liter air selama 30 menit.

Biji alpukat yang sudah direndam kemudian

dibilas dengan air bersih, selanjutnya direbus

selama 30 menit. Biji alpukat yang sudah

direbus, disaring dan dikeringkan dibawah

sinar matahari sampai kering. Proses

selanjutnya adalah membuat tepung biji

alpukat dengan cara menggiling biji alpukat

dengan grinder sampai halus.

Tahap pemeliharaan yaitu ayam broiler

dipelihara selama 41 hari. Ayam divaksin

ND melalui tetes mata pada umur 4 hari.

Ayam broiler diberi pakan komersial selama

2 minggu. Umur 11-14 hari dilakukan

adaptasi ransum perlakuan terhadap ayam

broiler, sedangkan ayam broiler diberi

ransum perlakuan 100% pada umur 15 hari

dan dipindahkan dalam kandang petak. Pada

umur 4 hari, ayam dilakukan vaksinasi ND

melalui tetes mata untuk mencegah penyakit

Newcastle Desease (ND).

Tahap pengambilan data dengan

mengukur konsumsi ransum, dan kecernaan

nutrien. Pengukuran kecernaan

menggunakan metode total koleksi selama 4

hari. Selama total koleksi dilakukan

pengukuran konsumsi ransum dengan

menghitung pemberian ransum dikurangi

sisa ransum. Ayam yang digunakan dalam

total koleksi diambil secara acak dari setiap

unit percobaan, masing-masing 1 ekor

dimasukkan dalam kandnag batteray pada

umur 38 hari dan dipuasakan selama 24 jam.

Umur 39 hari dan 40 hari ayam diberi

ransum yang telah dicampur dengan

indikator Fe2O3 sebanyak 0,05% dari jumlah

ransum dan dilakukan penampungan

menggunakan nampan yang telah dilapisi

plastik. Penampungan dimulai ketika

ekskreta ayam berubah warna menjadi

merah. Umur 41 hari ayam diberi ransum

tanpa indikator dan penampungan ekskreta

selesai dilakukan ketika ekskreta sudah

berubah menjadi normal atau tidak nampak

berwarna merah. Selama penampungan,

ekskreta disemprot dengan HCl 0,2 N setiap

2 jam sekali agar N eksreta tidak menguap.

Ayam diberi air minum secara adlibitum.

51 Penggunaan Tepung Biji Alpukat dan Pengaruhnya Terhadap Kecernaan Lemak Kasar dan Energi

Metabolis Ransum Ayam Broiler

Tabel 1. Komposisi dan Kandungan Nutrisi Ransum Penelitian

Bahan pakan T0 T1 T2

----------------(%)---------------- Jagung kuning

Tepung biji alpukat

Bungkil kedelai Bekatul

PMM

Tepung ikan Premix

59,00

-

15,00 12,00

8,00

5,00 1,00

51,50

7,50

15,00 12,00

8,00

5,00 1,00

44,00

15,00

15,00 12,00

8,00

5,00 1,00

Jumlah 100 100 100

Kandungan nutrien

Protein kasar (%)* Energi Metabolis (kkal/kg)****

Lemak kasar (%)*

Serat kasar (%)**

Kalsium (%)*** Fosfor (%)***

Tanin (%)*

20,06 3.079,00

6,34

5,12

0,88 0,55

0,27

20,20 3.105,00

6,43

5,24

0,93 0,54

0,32

20,33 3.132,00

6,52

5,67

0,98 0,54

0,39

Keterangan :

* Dianalisis di Lab. Ilmu Nutrisi dan Pakan Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas

Diponegoro, Semarang. **

Dianalisis di Pusat Studi Pangan dan Gizi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

*** Berdasarkan Tabel Hartadi et al. (1980), Patrick and Scott (1982), dan Nelwida (2009).

**** Dianalisis di Lab. Ilmu Nutrisi dan Pakan Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas

Diponegoro, Semarang. Perhitungan energi berdasarkan gross energi x 0,725 (NRC, 1994).

Pengukuran endogenus ekskreta ayam

broiler dimulai pada umur 38 hari dengan

dipuasakan selama 24 jam dan dilakukan

penampungan ekskreta endogenus pada hari

ke 39 selama 24 jam. Ekskreta yang telah

ditampung kemudian dipisahkan dari

rontokan bulu dan kotoran, kemudian

ditimbang untuk mendapatkan berat basah

ekskreta dan selanjutnya dijemur dibawah

sinar matahari. Ekskreta yang sudah kering

ditimbang untuk mendapatakan berat

ekskreta berat kering udata kemudian

ekskreta dihaluskan menggunakan blender.

Ekskreta yang sudah halus dianalisis untuk

mengetahui kadar lemak kasar dan energi

metabolis ekskreta.

Parameter yang diamati pada penelitian

ini yaitu konsumsi lemak kasar, konsumsi

energi metabolis, kecernaan lemak kasar dan

metabolisme energi murni. Rumus

perhitungannya diuraikan sebagai berikut:

1. Konsumsi Lemak Kasar = Konsumsi ransum (g) x Kadar lemak ransum (%)

2. Konsumsi Energi Metabolis = Konsumsi ransum x Kadar energi metabolis ransum

(Kkal/kg)

3. Kecernaan Lemak Kasar =

Lemak yang dikonsumsi (g) - Lemak dalam ekskreta (g) 100%

Lemak yang dikonsumsi (g)x

Keterangan:

Lemak yang dikonsumsi = Kadar lemak ransum x konsumsi ransum

Lemak dalam ekskreta = Kadar lemak Ekskreta x jumlah ekskrta

52 Penggunaan Tepung Biji Alpukat dan Pengaruhnya Terhadap Kecernaan Lemak Kasar dan Energi

Metabolis Ransum Ayam Broiler

4. Energi metabolis dihitung dengan rumus Sibbald (1976) yang disitasi oleh Mulyono et

al. (2009)

EMM (kkal/g) = (GEf x A - (YEf x B - YEc x C))

A

Keterangan:

EMM : energi metabolis murni

GEf : energi bruto (kkal/kg)

YEf : energi bruto ekskreta ayam yang diberi makan (kkal/kg)

YEc : energi bruto ekskreta ayam yang dipuasakan (kakl/kg)

A : berat pakan yang diberikan (g)

B : berat ekskreta yang diberi makan (g)

C : berat ekskreta yang dipuasakan (g)

Rancangan percobaan yang digunakan

adalah rancangan acak lengkap (RAL)

dengan 3 perlakuan dan 5 ulangan dengan 6

ekor ayam tiap ulangan. Perlakuan meliputi

T0: Ransum basal; T1: Ransum basal

subtitusi jagung dengan tepung biji alpukat

7,5% dan T2: Ransum basal subtitusi jagung

dengan tepung biji alpukat 15%. Data hasil

penelitian diolah secara statistik dengan

analisis ragam dan apabila hasil analisis

menunjukkan pengaruh yang nyata maka

dilakukan uji beda nilai tengah ganda

Duncan untuk mengetahui perbedaan antar

perlakuan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil pengukuran terhadap konsumsi

lemak kasar, kecernaan lemak kasar,

konsumsi energi dan energi metabolis murni

ditampilkan pada Tabel 2.

Pengaruh Perlakuan Terhadap Konsumsi

Lemak Kasar

Hasil analisis statistik menunjukkan

bahwa penggunaan biji alpukat berpengaruh

sangat nyata (p<0,01) terhadap konsumsi

lemak kasar. Dari Tabel 2 dapat diketahui

bahwa penggunaan tepung biji alpukat dalam

ransum menurunkan konsumsi lemak kasar.

Rata-rata konsumsi lemak kasar pada

perlakuan T0, T1, dan T2 secara berturut-

turut yaitu 3,22 g/ekor/hari, 2,18 g/ekor/hari,

dan 1,75 g/ekor/hari. Konsumsi lemak kasar

pada perlakuan T1 dan T2 lebih rendah

dibandingkan dengan T0, hal ini dapat

disebabkan oleh konsumsi ransum yang

rendah. Semakin rendah konsumsi ransum,

semakin rendah lemak yang dikonsumsi. Hal

ini sesuai dengan pendapat Meliandasari et

al. (2014) menyatakan bahwa konsumsi

ransum ayam broiler dapat dipengaruhi

beberapa faktor, diantaranya yaitu kualitas

dan kuantitas ransum, aktifitas ternak, umur,

suhu lingkungan, palatabilitas, kesehatan,

suhu lingkungan dan tingkat produksi dan

pengelolaannya.

Konsumsi lemak yang rendah dapat

dipengaruhi oleh warna ransum yang lebih

gelap akibat kandungan tannin dalam

ransum. Tannin memiliki warna gelap

sehingga menurunkan palatablitias ransum.

Aris et al. (2006) menyatakan bahwa

penurunan tingkat palatabilitas ransum dapat

dipengaruhi oleh warna ransum yang lebih

pekat, bau dan rasa yang tajam. Anita et al.

(2012) menyatakan bahwa pemberian tepung

daun teh dalam ransum menurunkan

konsumsi ransum yang disebabkan adanya

kandungan tannin dalam ransum, dimana

semakin rendah konsumsi ransum seiring

53 Penggunaan Tepung Biji Alpukat dan Pengaruhnya Terhadap Kecernaan Lemak Kasar dan Energi

Metabolis Ransum Ayam Broiler

dengan peningkatan level pemberian tepung

daun teh dalam ransum. Krisnan (2005)

menyatakan bahwa rendahnya palatabilitas

ransum dapat disebabkan oleh adanya tannin

dalam ransum. Palatabilitas rendah

menyebabkan konsumsi ransum rendah dan

berdampak pada laju pertumbuhan yang

rendah.

Tabel 2. Rata-rata konsumsi lemak kasar, konsumsi energi, kecernaan lemak kasar, dan

energi metabolisme murni ransum

Parameter Perlakuan

T0 T1 T2

Konsumsi lemak kasar

(g/ekor/hr)*

3,22a 2,18

b 1,75

b

Konsumsi energi (kkal/hr)* 356,73a 233,54

b 186,61

b

Kecernaan lemak kasar (%)* 83,20a 72,16

b 71,42

b

Energi metabolismemurni

(kkal/kg)**

3.122,34a 2.913,38

ab 2.793,71

b

Keterangan : * Huruf berbeda pada nilai rata-rata menunjukkan perbedaan nyata

(P<0,01).

**Huruf berbeda pada nilai rata-rata menunjukkan perbedaan nyata

(P<0,05).

Pengaruh Perlakuan Terhadap

Kecernaan Lemak Kasar

Hasil analisis statistik menunjukkan

bahwa penggunaan biji alpukat berpengaruh

sangat nyata (p<0,01) terhadap kecernaan

lemak kasar. Dari Tabel 2 dapat diketahui

bahwa penggunaan tepung biji alpukat dalam

ransum menurunkan kecernaan lemak kasar.

Rata-rata kecernaan lemak kasar pada

perlakuan T0, T1, dan T2 secara berturut-

turut yaitu 83,20%, 72,16%, dan 71,42%.

Kecernaan lemak kasar pada perlakuan T1

dan T2 lebih rendah dibandingkan dengan

T0, hal ini dapat disebabkan oleh rendahnya

konsumsi lemak kasar ransum ayam yang

juga semakin menurun. Hal ini sesuai dengan

pendapat Kiha et al. (2012) yang

menyatakan bahwa pengukuran kecernaan

lemak kasar berdasarkan konsumsi lemak

dikurangi lemak dalam eksreta dibagi

konsumsi lemak dikalikan 100 persen,

semakin tinggi konsumsi lemak maka

semakin tinggi pula kecernaan lemak.

Sukaryana et al. (2011) menyatakan bahwa

penentuan kecernaan dilakukan untuk

mengetahui nutrien yang dapat diserap untuk

kebutuhan pokok, pertumbuhan dan

produksi. Kecernaan dapat dipengaruhi oleh

tingkat pemberian pakan, spesies hewan,

defisiensi zat makanan, pengolahan bahan

pakan, pengaruh gabungan bahan pakan dan

gangguan saluran pencernaan.

Rata-rata kecernaan lemak kasar T0,

T1, dan T2 pada perlakuan secara berturut-

turut yaitu 83,20%, 72,16% dan 71,42%.

Nilai kecernaan ransum digunakan untuk

mengetahui tingkat penyerapan nutrien

dalam tubuh. Rendahnya nilai kecernaan

akibat penggunaan tepung biji alpukat dapat

disebabkan oleh kandungan tannin dalam

ransum. Hal ini sesuai dengan pendapat

Estiningdriati et al. (2009) yang menyatakan

bahwa kandungan tannin dalam ransum

dapat menghambat enzim pencernaan

sehingga menurunkan utilitas nutriennya.

Konsumsi ransum yang rendah

menyebabkan ayam broiler kekurangan

nutrien sehingga nutrien yang dikonsumsi

tidak mencukupi kebutuhan untuk

54 Penggunaan Tepung Biji Alpukat dan Pengaruhnya Terhadap Kecernaan Lemak Kasar dan Energi

Metabolis Ransum Ayam Broiler

produktifitas. Sukaryana et al. (2011)

menyatakan bahwa kecernaan dapat

dipengaruhi oleh defisiensi zat makanan,

pengolahan bahan pakan, dan gangguan

saluran pencernaan.

Garam empedu sangat diperlukan

unggas dalam pencernaan dan penyerapan

lemak. Jika garam empedu ternak tidak

mencukupi untuk mengemulsi dan

mengarbsopsi lemak maka dapat

menurunkan nilai kecernaan lemak kasar.

Hal ini sesuai dengan pendapat Widodo

(2002) yang menyatakan bahwa cairan

empedu adalah suatu cairan garam yang

mengandung kolesterol, fosfolipid lesitin,

serta pigmen empedu. Garam-garam empedu

(garam natrium dan kalium) dari asam

glikokolat dan taurokolat dari cairan empedu

yang berperan dalam pencernaan dan

penyerapan lemak. Garam empedu dapat

membantu dalam menciptakan suasana yang

lebih alkalis dalam khim usus halus agar

absorpsi berlangsung dengan lancar.

Pengaruh Pelakuan Terhadap Konsumsi

Energi

Hasil analisis statistik menunjukkan

bahwa penggunaan biji alpukat berpengaruh

sangat nyata (p<0,01) terhadap konsumsi

energi. Dari Tabel 2 dapat diketahui bahwa

penggunaan tepung biji alpukat dalam

ransum menurunkan konsumsi energi.

Konsumsi energi pada perlakuan T1 dan T2

lebih rendah dibandingkan dengan T0, hal ini

dapat disebabkan oleh rendahnya konsumsi

ransum. Hal ini sesuai dengan pendapat

Kayadoe dan Hartini (2009) yang

menyatakan bahwa konsumsi energi dihitung

berdasarkan konsumsi ransum dikalikan

dengan energi metabolis dalam ransum.

Selain konsumsi, warna ransum perlakuan

yang lebih gelap juga mempengaruhi

konsumsi ransum ayam broiler karena ayam

broiler lebih suka terhadap warna yang

terang dibanding warna yang gelap. Hal ini

sesuai dengan pendapat Situmorang et al.

(2013) yang menyatakan bahwa ayam broiler

lebih menyukai pakan yang berwarna kuning

dan tidak gelap. Nelwida (2009) menyatakan

bahwa tannin mempunyai warna merah dan

rasa kelat sehingga konsumsi ransum

menurun seiring dengan semakin

meningkatnya level penggantian jagung

dengan biji alpukat baik yang direndam

maupun yang tidak direndam dengan air

panas.

Berdasarkan hasil penelitian

menunjukkan bahwa penggunaan tepung biji

alpukat menurunkan konsumsi energi. Rata-

rata konsumsi energi pada perlakuan T0, T1,

dan T2 secara berturut-turut yaitu 356,73

Kkal/kg, 233,54 Kkal/kg dan 186,61

Kkal/kg. Hal ini tidak sesuai dengan

pendapat Kayadoe dan Hartini (2009) yang

menyatakan bahwa konsumsi energi ayam

broiler dapat mencapai 485,71 kkal.kg. Pada

umumnya ayam meningkatkan konsumsi

untuk memenuhi kebutuhan energinya, selain

itu tingkat palatabilitas dapat merangsang

ayam untuk meningkatkan konsumsinya.

Menurunnya konsumsi energi dapat

disebabkan oleh tannin yang terkandung

dalam ransum dan berpengaruh terhadap

performa ayam broiler. Semakin tinggi

konsumsi energi semakin besar peluang

ayam broiler memanfaatkan energi untuk

hidup pokok dan pertumbuhan lebih optimal.

Suci dan Setiyanto (2001) menyatakan

bahwa zat antinutrisi tannin dapat

menyebabkan konsumsi ransum, kecernaan

protein, penggunaan energi menurun

sehingga pertumbuhan menjadi terhambat.

Krisnan (2005) menyatakan bahwa

kandungan tannin dalam ampas teh dapat

menekan energi metabolis dan menurunkan

konsumsi ransum sehingga pertambahan

bobot hidup menjadi lebih rendah.

55 Penggunaan Tepung Biji Alpukat dan Pengaruhnya Terhadap Kecernaan Lemak Kasar dan Energi

Metabolis Ransum Ayam Broiler

Pengaruh Perlakuan Terhadap Energi

Metabolis Murni

Hasil analisis statistik menunjukkan

bahwa penggunaan biji alpukat berpengaruh

sangat nyata (p<0,05) terhadap energi

metabolis murni. Dari Tabel 2 dapat

diketahui bahwa energi metabolis murni

pada T1 tidak berbeda nyata dengan T0,

sedangkan T2 lebih rendah dibandingkan

dengan T0 dan T1. Pada perlakuan T1 tidak

berbeda nyata dengan T0, hal ini

menunjukkan bahwa kandungan energi

terhitung mencukupi kebutuhan meskipun

konsumsi ransum lebih rendah dibandingkan

dengan T0. Rendahnya energi metabolis

murni pada T2 disebabkan oleh rendahnya

konsumsi energi ransum ayam yang rendah.

Meskipun energi terhitung lebih tinggi

dibanding dengan T0 dan T1 tetapi konsumsi

ransum rendah, sehingga kebutuhan energi

tidak mencukupi. Hal ini sesuai dengan

pendapat Mulyono et al. (2009) yang

menyatakan bahwa konsumsi energi

metabolis diperoleh dari perkalian antara

energi metabolis dengan konsumsi ransum,

semakin tinggi konsumsi ransum peluang

konsumsi energi semakin semakin tinggi.

Kiha et al. (2012) yang menyatakan bahwa

konsumsi ransum menurun yang semakin

berkurang menyebabkan konsumsi nutrien

sumber energi juga ikut berkurang dimana

sumber energi dapat bersumber dari

konsumsi karbohidrat, lemak dan protein.

Berdasarkan Tabel 2 menunjukkan

bahwa penggunaan tepung biji alpukat dalam

ransum menurunkan energi metabolis murni.

Rata-rata energi metabolis murni pada

perlakuan T0, T1, dan T2 dalam penelitian

ini berturut-turut 3.122,34 Kkal/kg, 2.913,48

Kkal/kg, dan 2.793,71 Kkal/kg. Hal ini

sesuai dengan pendapat Ichwan (2003) yang

menyatakan bahwa kebutuhan energi ayam

broiler periode starter sebesar 2800-3100

kkal/kg pada tingkat protein 21-23%,

sedangkan kebutuhan energi periode finisher

sebesar 2900-3200 kkal/kg pada tingkat

protein 19-21%. SNI (2006) menyatakan

bahwa kebutuhan energi ayam broiler

periode starter dan fisiher yaitu minimal

2900 Kkal/kg.

Energi metabolis yang rendah dapat

disebabkan oleh kecernaan lemak kasar yang

rendah. Energi dapat diperoleh dari

metabolisme karbohidrat, lemak dan protein.

Hal ini sesuai dengan pendapat Wahju

(1997) yang menyatakan bahwa zat-zat

makanan yang menjadi sumber energi adalah

karboidrat, lemak dan protein. Berdasarkan

hasil penelitian terhadap kecernaan protein

(Nelwida, 2009) penggunaan tepung biji

alpukat menurunkan kecernaan protein

akibat semakin tinggi level penggunaan

tepung biji alpukat. Protein merupakan salah

satu sumber energi bagi ternak. Rendahnya

kecernaan dapat dipengaruhi oleh kandungan

tannin dalam ransum karena tannin bersifat

mengikat protein sehingga penyerapan

protein terhambat. Widodo (2002)

menyatakan bahwa tannin mempunyai

kemampuan mengendapkan protein, karena

tannin mengandung sejumlah kelompok

fungsional ikatan yang kuat dengan molekul

protein dan menghasilkan ikatan silang yang

besar dan kompleks yaitu protein tannin.

Wahyuni et al. (2008) menyatakan bahwa

tannin dalam ransum mempengaruhi

metabolisme zat gizi dalam tubuh karena

dapat menghambat kerja enzim amilase,

lipase dan protease sehingga menyebabkan

penurunan penyerapan gizi yang dapat

digunakan sebagai sumber energi dan

mempengaruhi nilai energi metabolisnya.

Kandungan tannin dalam ransum

mempengaruhi tingkat penyerapan nutrien

karena tannin mampu mengikat protein

sehingga proses abdosrpsi protein jadi

terhambat. Kandungan tannin dalam ransum

56 Penggunaan Tepung Biji Alpukat dan Pengaruhnya Terhadap Kecernaan Lemak Kasar dan Energi

Metabolis Ransum Ayam Broiler

penelitian yaitu 0,27% (T0), 0,32% (T1), dan

0,39 (T2). Tingginya kandungan tannin

semakin meningkat seiring dengan

meningkatnya kandungan tepung biji alpukat

dalam ransum. Widodo (2005) menyatakan

bahwa pemberian pakan yang mengandung

tannin sebesar 0,33 persen tidak

membahayakan. Akan tetapi apabila

kandungan tannin dalam pakan mencapai 0,5

persen atau lebih dapat menekan

pertumbuhan ayam karena tannin menekan

retensi nitrogen dan mengakibatkan

menurunnya daya cerna asam-asam amino

yang seharusnya dapat diserap oleh vili-vili

usus dan dimanfaatkan untuk pertumbuhan

dan perkembangan jaringan tubuh.

KESIMPULAN

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapat

disimpulkan bahwa penggunaan tepung biji

alpukat level 7,5% tidak menurunkan energi

metabolis murni, tetapi menurunkan

konsumsi lemak kasar, kecernaan lemak

kasar dan konsumsi energi.

Saran

Perlu pengkajian yang lebih

mendalam tentang penggunaan tepung biji

alpukat level dibawah atau di bawah 7,5%

dan pengaruh terhadap energi metabolis

murni, konsumsi lemak kasar, dan kecernaan

lemak kasar.

DAFTAR PUSTAKA

Anita, W. Y., I. Astuti, dan Suharto. 2012.

Pengaruh pemberian tepung daun teh

tua dalam ransum terhadap performan

dan persentase lemak abdominal

ayam broiler. Tropical Animal

Husbandry. 1 (1) : 1-6.

Aris, S., E. Mirwandhono, dan Emmyliam.

2006. Pemanfaatan tepung

temulawak (Curcuma xanthorriza

Roxb.) dan molases dalam ransum

terhadap performa dan income over

feed cost (IOFC) itik peking umur 1-

56 hari. Jurnal Agribisnis

Peternakan. 2 (2) : 67-71.

Badan Standarisasi Nasional. Pakan Ayam

Ras Pedaging (Broiler Finisher). SNI

01 – 3931-2006.

Badan Standarisasi Nasional. Pakan Ayam

Ras Pedaging (Broiler Starter). SNI

01 – 3930-2006.

Estiningdriati, I., U. Atmomarsono, L.

Jauhari, dan A. L. Nuary. 2009.

Penggunaan tempe sorghum dalam

ransum dan pengaruhnya terhadap

penampilan produksi ayam broiler.

Seminar Nasional Kebangkitan

Peternakan : 682-687.

Ichwan. 2003. Membuat Pakan Ayam Ras

Pedaging. Cetakan I. PT Agromedia

Pustaka Utama, Jakarta.

Kayadoe, M., dan S. Hartini. 2009.

Kemampuan konsumsi ayam

pedaging pada ransum komersiil yang

disubstitusi dengan solid kelapa sawit

fermentasi. Jurnal Ilmu Peternakan.

4 (1) : 13-19.

Kiha, A. F., W. Murningsih, dan Tristiarti.

2012. Pengaruh pemeraman ransum

dengan sari daun pepaya terhadap

kecernaan lemak dan energi

metabolis ayam broiler. Animal

Agricultural Journal. 1 (1) : 265-276.

Krisnan, R. 2005. Pengaruh pemberian

ampas teh (Camellia sinensis)

57 Penggunaan Tepung Biji Alpukat dan Pengaruhnya Terhadap Kecernaan Lemak Kasar dan Energi

Metabolis Ransum Ayam Broiler

fermentasi dengan aspergillus niger

pada ayam broiler. JITV. 10 (1) : 1-5.

Meliandasari, D., B. Dwiloka, dan E.

Suprijatna. 2014. Profil perlemakan

darah ayam broiler yang diberi pakan

tepung daun kayambang (Salvinia

molesta). Jurnal Ilmu-Ilmu

Peternakan. 24 (1) : 45-55.

Mulyono, R., Murwani, dan F. Wahyono.

2009. Kajian penggunaan probiotik

Saccharomyces cereviceae sebagai

alternatif aditif antibiotik terhadap

kegunaan protein dan energi pada

ayam broiler. J.Indon.Trop.Agric. 34

(2) : 145-151.

Nelwida. 2009. Efek Penggantian jagung

dengan biji alpukat yang direndam air

panas dalam ransum terhadap retensi

bahan kering, bahan organik dan

protein kasar pada ayam broiler.

Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Peternakan.

12 (1) : 50-56.

Situmorang, N. A., L. D., Mahfudz, dan U.

Atmomarsono. 2013. Pengaruh

pemberian tepung rumput laut

(gracilaria verrucosa) dalam ransum

terhadap efisiensi penggunaan protein

ayam broiler. Animal Agricultural

Journal. 2 (2) : 49-56.

Suci, D. W., dan H. Setiyanto. 2001.

Pengaruh pengolahan sorgum

terhadap penurunan kadar tanin dan

pengukuran energi metabolis.

Seminar Nasional Teknologi

Peternakan dan Veteriner : 647-651.

Suhirman, S., H. EA, dan Lince. 2006.

Pengaruh penghilang tanin dari jenis

pala terhadap sari buah pala. Bul.

Littro. 17 (1) : 39-52.

Sukaryana, Y., U. Atmomarsono, V. D.

Yunianto dan E. Suprijatna. 2011.

Peningkatan nilai kecernaan protein

kasar dan lemak kasar produk

fermentasi campuran bungkil inti

sawit dan dedak pagi pada broiler.

JITP. 1 (3) : 167-172.

Wahju, J. 1997. Ilmu Nutrisi Unggas. Gadjah

Mada University Press, Yogyakarta.

Wahyuni, H. I., R. I. Pujiningsih., dan P. W.

Sayekti. 2008. Kajian nilai energi

metabolis biji sorghum melalui

teknologi sangrai pada ayam petelur

periode afkir. Agripet. 8 (1) : 25-30.

Widodo, W. 2002. Nutrisi dan Pakan Unggas

Kontekstual. Fakultas Peternakan

Universitas Malang, Malang.

Widodo, W. 2005. Tanaman Beracun dalam

Kehidupan Ternak. Fakultas

Peternakan Universitas

Muhammadiyah Malang, Malang.

Wiryawan, K.G. 1999. Upaya pengurangan

kadar tanin dalam daun kaliandra

(Calliandra callothyrsus ) dengan

menggunakan larutan kapur tohor

(CaO) dan uji kecernaannya secara

in-vitro. Media Peternakan. 22 (2) :

52-59.

www.bps.go.id. 2014. Populasi Ternak,

2000-2014.

www.bps.go.id. 2014. Produksi Buah-

buahan dan Sayuran Tahunan di

Indonesia.

58 Pengaruh Penggunaan Tepung Limbah Rumput Laut (Gracilaria Verrucosa) Fermentasi dalam

Ransum Terhadap Produksi Telur Itik Pedaging

PENGARUH PENGGUNAAN TEPUNG LIMBAH RUMPUT LAUT (Gracilaria

verrucosa) FERMENTASI DALAM RANSUM TERHADAP PRODUKSI TELUR

ITIK PEDAGING

(The Effect of Fermented Seaweed (Gracilaria verrucosa) By Product Flour In The Diet on

Egg Production Pengging Duck)

Wijayanto, D1., Suprijatna, E

2., dan Sarengat, W

3

1) Mahasiswa Fakultas Peternakan Dan Pertanian Universitas Diponegoro

Kampus drh. Soejono Koesoemowardjojo Tembalang Semarang 50275

Email : [email protected]

2,3)

Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro

Kampus drh. Soejono Koesoemowardjojo Tembalang Semarang 50275

Diterima : 12 Oktober 2015 Disetujui : 25 November 2015

ABSTRACT

This study aims to determine the effect of fermented seaweed by product flour in rations

on egg production Pengging ducks. The material used is 125 ducks laying age of 32 weeks

with an average initial weight of 1290,008 ± 124,24 g. Duck were housed at floor system

house divided into 25 pen. Rations were used consisting of yellow corn, rice bran, soybean

meal, fish meal, premix, CaCO3, methyonin, lysine, coconut oil, Brotia costulla flour,

seaweed by product flour (SBPF) and fermented seaweed by product flour (FSBPF). This

study used a completely randomized design (CRD) with five treatments and five replications,

T0: ration without SBPF ; T1: ration with 15 % SBPF; T2: ration with 15 % FSBPF; T3:

ration with 17,5 % FSBPF and T4: ration with 20 % FSBPF. The results showed that the use

of FSBPF in rations did not significantly effect (P>0.05) the total feed intake, body weight

gain and feed conversion, but significantly decrease effect (P<0.05) level on daily weight

production.

Key words: pengging duck, seaweed by product, egg production.

ABSTRAK

Penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan tepung limbah rumput

laut fermentasi terhadap produksi telur Itik Pengging. Materi penelitian adalah 125 ekor Itik

Pengging betina umur 32 minggu. Ransum tersusun dari jagung kuning, bekatul, bungkil

kedelai, tepung ikan, minyak nabati, CaCO3, premix, methionin, lysin, tepung sumpil (Brotia

costulla), tepung limbah rumput laut (TLRL) dan tepung limbah rumput laut fermentasi

(TLRLF). Rancangan Acak Lengkap (RAL) diterapkan dengan 5 perlakuan, 5 ulangan, T0:

ransum kontrol tanpa TLRL; T1:ransum mengandung 15% TLRL, T2:ransum mengandung

15% TLRLF; T3:ransum mengandung 17,5% TLRLF; T4:ransum mengandung 20% TLRLF.

Hasil penelitian menunjukkan perlakuan tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap

konsumsi ransum, pertambahan bobot badan dan konversi ransum, tetapi berpengaruh

menurunkan (P<0,05) produksi telur.

Kata kunci : itik pengging, limbah rumput laut, produksi telur.

59 Pengaruh Penggunaan Tepung Limbah Rumput Laut (Gracilaria Verrucosa) Fermentasi dalam

Ransum Terhadap Produksi Telur Itik Pedaging

PENDAHULUAN

Itik Pengging, plasma nutfah tergolong

jenis Itik Jawa (Anas javanica) berasal dari

Boyolali, Jawa Tengah. Itik Pengging

membutuhkan pakan bernutrisi tinggi agar

berproduksi telur maksimal. Dewasa ini

bahan pakan mahal harganya, dikarenakan di

pasaran bahan pakan bersaing dengan pabrik

pakan ternak komersil lain. Diperlukan

alternatif sumber bahan pakan lain agar

dapat menekan biaya pakan sehingga biaya

produksi tidak meningkat.

Rumput laut jenis Gracilaria

verrucosa adalah rumput laut termasuk alga

merah yang memiliki banyak manfaat.

Indonesia termasuk sebagai pengekspor

rumput laut terbesar di dunia, mempunyai

potensi limbah rumput laut yang melimpah

dan dapat dimanfaatkan sebagai sumber

bahan pakan. Kandungan nutrisi rumput laut

menurut Istini dan Suhaini (1998), kadar air

12,90 %, karbohidrat 4,94 %, protein 7,30 %,

lemak 0,09%, serat kasar 2,50 %, Ca 29,925

ppm, vitamin B1 0,019 mg/100g, vitamin B2

4 mg/ 100 dan karaginan 47,37%. Rumput

laut merah mengandung sejumlah

polisakarida, yaitu karaginan dan agar

(Anggadireja et al., 2011).

Penggunaan rumput laut hingga level

12% dalam ransum menunjukkan

performans dan kualitas karkas yang baik

(El-Deek dan Brika, 2009; Horhoruw et al.,

(2009). Kandungan serat kasar yang pada

limbah rumput laut yang cukup tinggi perlu

diturunkan agar dapat dimanfaatkan secara

baik. Fermentasi diharapkan menurunkan

kandungan serat kasar, meningkatkan

kecernaan dan palatabilitas sehingga pakan

lebih efisien. Aspergillus niger menghasilkan

enzim amylase, amiloglukosidase dan

selulase yang dapat mendegradasi selulosa

serta meningkatkan kandungan protein dan

menurunkan kadar serat kasar (Setiawan, et

al., 2013).

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui

pengaruh penggunaan tepung limbah rumput

laut fermentasi dengan level yang berbeda

terhadap konsumsi ransum, produksi telur

harian, pertambahan bobot badan, dan

konversi ransum Itik Pengging.

MATERI DAN METODE

Materi

Materi penelitian adalah 125 ekor itik

Pengging betina umur 32 minggu. Kandang

yang digunakan adalah 25 petak kandang

litter berukuran 1 x 1 x 1 m, masing-masing

petak berisi 5 itik. Ransum tersusun dari

jagung kuning, bekatul, bungkil kedelai,

tepung ikan, minyak nabati, CaCO3, premix,

methionin, lysin, tepung sumpil (Brotia

costulla), tepung limbah rumput laut (TLRL)

dan tepung limbah rumput laut fermentasi

(TLRLF). Ransum berdasarkan isoprotein

dan isoenergi dengan kandungan PK 18 %

serta energi metabolis 2900 kkal/kg. Limbah

rumput laut diperoleh dari Kabupaten

Brebes.

Metode

Pembuatan tepung rumput laut diawali

dengan proses seleksi dan pencucian.

Menjemur limbah rumput laut hingga

kering, dan menggilingnya menjadi tepung.

Mengukus tepung limbah rumput laut

30 menit, mendinginkan hingg suhu 350C.

Mencampur Aspergillusniger sebanyak 12

gram per kg tepung limbah rumput laut.

Melakukan pemeraman 2 minggu secara

aerob. Membalik permukaan fermentasi

1x/minggu, menjemur dengan sinar

matahari selama1 hari untuk menghentikan

60 Pengaruh Penggunaan Tepung Limbah Rumput Laut (Gracilaria Verrucosa) Fermentasi dalam

Ransum Terhadap Produksi Telur Itik Pedaging

proses fermentasi. Parameter yang diamati

yaitu a) Konsumsi ransum (gram/ekor/hari);

b)PBB (gram/ekor); c) Produksi Telur

Harian (%); d) Konversi Ransum.Rancangan

percobaan yang digunakan adalah

Rancangan Acak Lengkap (RAL) terdiri dari

5 perlakuan dan 5 ulangan: T0 (Ransum

tanpa TLRL / ransum kontrol), T1(Ransum

dengan TLRL non fermentasi 15 %), T2

(Ransum dengan TLRLF 15%), T3 (Ransum

dengan TLRLF 17,5%), T4 (Ransum dengan

TLRLF 20%). Data dianalisis menggunakan

analisis ragam (Analysis of Variance /

ANOVA) dan uji F untuk mengetahui

pengaruh perlakuan dan dilanjut uji wilayah

ganda Duncan pada taraf 5 % bila terdapat

signifikasi.

Tabel 1. Komposisi ransum dan kandungan nutrient ransum perlakuan Bahan Pakan Perlakuan

T0 T1 T2 T3 T4 ------------------------------------%----------------------------

---- Jagung 56,1 49,1 48,3 46,8 45,0

Rumput Laut Non Fermentasi

0 15,0 0 0 0

Rumput Laut Fermentasi 0 0 15,0 17,5 20,0

Bungkil Kedelai 17,6 17,5 17,1 16,3 15,9

Minyak Nabati 0,7 0,7 0,5 0,4 0,4

Bekatul 13,8 6,7 8,7 8,2 8,3

Tepung Ikan 7,0 7,0 5,9 6,6 6,6

CaCO3 1,9 1,2 1,7 1,4 1,0

Premix 1,0 1,0 1,0 1,0 1,0

Methionin 0,4 0,4 0,4 0,4 0,4

Lysin 0,5 0,4 0,4 0,4 0,4

Brotia costulla 1,0 1,0 1,0 1,0 1,0 Komponen Nutrien

EM (kkal/kg)* 2929,29 2900,66 2907,52 2902,74 2901,84 Protein kasar(%) 18,08 18,05 18,02 18,02 18,01

Serat Kasar (%) 6,44 6,44 6,59 6,72 6,99

Lemak Kasar(%) 8,01 7,67 8,53 8,58 8,72

Ca (%) 2,48 2,44 3,96 4,01 3,91

P (%) 0,72 0,60 0,60 0,61 0,61

*Hasil perhitungan berdasarkan rumus Carpenter dan Clegg (Anggorodi, 1985). BETN = 100 –

(%air+%abu+%PK+%LK+%SK)

EM = 40,81 (0,87 (Protein Kasar + 2,25 Lemak kasar + BETN) + 2,5)

Tabel 2. Kandungan Nutrisi Tepung Rumput Laut Non Fermentasi dan Tepung Rumput

Laut Fermentasi

Kadar dalam 100 % Bahan Kering Bahan

Pakan

Tepung Rumput

Laut Non

Fermentasi

Tepung Rumput

Laut Fermentasi

Persentase (-/+)

LK 3,87 11,48 + 7,61 % SK 14,28 12,30 - 1,98 % PK 6,98 11,46 + 4,48 %

Keterangan : Hasil Analisis Laboratorium Ilmu Nutrisi Dan Pakan, Fakultas Peternakan dan

Pertanian, Universitas Diponegoro, 2015.

61 Pengaruh Penggunaan Tepung Limbah Rumput Laut (Gracilaria Verrucosa) Fermentasi dalam

Ransum Terhadap Produksi Telur Itik Pedaging

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian penggunaan tepung limbah rumput laut fermentasi dalam ransum

terhadap produksi Itik Pengging Betina dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Pengaruh Perlakuan Terhadap Produktivitas Itik Pengging Betina

Parameter

Perlakuan T0 T1 T2 T3 T4

Konsumsi Ransum (g/ekor/hari)

130,61 128,85 128,13 128,86 130,45 PBB (g/ekor) 264,32 283,48 251,72 299,32 249,96 Produksi Telur (%)* 33,78a 24,92b 21,14c 19,21cd 12,21e Konversi * 14,934 13,31 13,02 11,36 11,39 Keterangan : *Nilai rataan menunjukkan adanya perbedaan nyata (P<0,05).

Konsumsi Ransum

Penggunaan TRLF tidak berpengaruh

nyata terhadap konsumsi pakan (P> 0,05).

Komposisi nutrien yang tidak berbeda dalam

ransum (lihat Tabel 1) dan penurunan

persentase serat kasar pada fermentasi

rumput laut (lihat Tabel 2), tidak

mempengaruhi tingkat konsumsi ransum.

Faktor yang mempengaruhi konsumsi

ransum itik adalah sistem pemeliharaan,

keadaan lingkungan, macam bahan makanan

dan kondisi ransum yang diberikan,

kebutuhan produksi dan hidup itik

berdasarkan tingkat pertumbuhannya, selera,

metode pemberian pakan, kandungan energi

ransum, dan jenis itik (Rasyaf, (1993);

Srigandono (1997); Amrullah (2004);

Arianti dan Ali (2009)).

Pertambahan Bobot Badan

Penggunaan TRLF tidak berpengaruh

terhadap rataan pertambahan bobot badan

(P> 0,05). Hal ini disebabkan oleh·konsumsi

ransum pada masing-masing perlakuan tidak

berbeda nyata, dimana kebutuhan itik pada

fase ini sudah melewati dewasa tubuh dan

masuk dalam fase produksi yang

membutuhkan asupannutrisi yang tinggi

untuk produksi telur. Rafian (2003)

me1aporkan bahwa ternak yang

mengkonsumsi ransum dengan kandungan

zat - zat makanan yang sama akan

memperlihatkan pertambahan bobot badan

yang hampir sama pula. Setioko et al. (2002)

menyatakan bahwa pertumbuhan itik

dipengaruhi oleh pakan yang dikonsumsi,

lingkungan sekitar, sistem perkandangan dan

potensi genetiknya.

Produksi Telur Harian

Penggunaan TRLF berpengaruh

menurunkan produksi telur (P< 0,05).

Semakin tinggi persentase pemberian rumput

laut dalam ransum berpengaruh terhadap

kecernaan protein yang menurun,

mengakibatkan produksi telur turun. Hal ini

karena karaginan larut air, sehingga

memberikan rasa kenyang pada itik.

Kandungan serat larut air (karaginan) dalam

rumput laut cukup tinggi (Burtin, 2003).

Rumput laut (Gracilaria verrucosa)

mengandung karaginan, yang mampu

mengurangi penyerapan nutrisi dalam usus

halus karena kandungan nutrisi rumput laut

tersebut dilapisi karaginan (Harianto, 1996).

Hal ini sesuai dengan pendapat Horhoruw et

al., (2009) yang menyatakan bahwa

pemberian pakan ternak ayam dengan menu

rumput laut (Porphyra atropurpurae) dengan

62 Pengaruh Penggunaan Tepung Limbah Rumput Laut (Gracilaria Verrucosa) Fermentasi dalam

Ransum Terhadap Produksi Telur Itik Pedaging

level 2,5 sampai 10% dari total pakan

memberikan hasil yang baik, meningkatkan

kesehatan, bobot telur, produksi telur,

kekuatan kulit telur dan daya tetas. Semakin

tinggi persentase penggunaan rumput laut

dalam pakan, maka akan menunjukkan

penurunan performans.

Konversi Ransum

Penggunaan TRLF tidak berpengaruh

terhadap rataan nilai konversi ransum (P<

0,05). Menunjukkan bahwa pada penelitian

ini, penggunaan TRLF Mengakibatkan

konversi pakan buruk, hal ini dikarenakan

semakin menurunnya produksi telur akibat

rendahnya kecernaan protein. Penelitian

Lisma (2009) menyatakan bahwa puyuh

membutuhkan beberapa unsur nutrisi untuk

kebutuhan tersebut seperti protein, energi,

vitamin, mineral dan air. Kekurangan unsur

– unsur tersebut dapat mengakibatkan

gangguan kesehatan dan menurunkan

produktivitasnya. Widyatmoko et al. (2013),

faktor yang mempengaruhi konversi ransum

adalah konsumsi, apabila kandungan serat

kasar yang dikonsumsi cukup tinggi maka

akan mempengaruhi konsumsi protein

mengakibatkan performans turun.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Penggunaan tepung limbah rumput laut

(Gracilaria verrucosa) fermentasi dalam

ransum itik Pengging sampai level 20% tidak

berpengaruh nyata terhadap konsumsi,

pertambahan bobot badan dan konversi

ransum,tetapi berpengaruh nyata

menurunkan produksi telur Itik Pengging

Betina.

Saran

Perlu pengkajian yang lebih mendalam

tentangpenggunaan tepung limbah rumput

laut fermentasi terhadap pertambahan berat

badan , konversi ransum, dan produksi telur

itik pada level dibawah 20%.

DAFTAR PUSTAKA

Amrullah, I. K. 2004. Nutrisi Ayam Petelur.

Cetakan Ke 3. Lembaga Satu

Gunungbudi, Bogor.

Anggadiredja, J. T., M. A. Widodo., A.

Arifah., A. Zatnika., S.

Kusnowirjono., I. Indrayani., D.

Ma’mun., Samila dan S. Hadi.

2011.Kajian strategi

pengembangan industri rumput laut

dan pemanfaatannya secara

berkelanjutan. Seminar Nasional.

Badan Pengkajian dan Penerapan

Teknologi (BPPT), Asosiasi Petani

dan Pengelola Rumput Laut

Indonesia (ASPPERLI) dan Indonesia

Seaweed Society (ISS).

Arianti dan A. Ali. 2009. Performans itik

pedaging (Lokal x Peking) pada fase

starter yang diberi pakan dengan

persentase penambahan jumlah air

yang berbeda. Fakultas Pertanian dan

Peternakan Universitas Islam Negeri

Sultan Syarif Kasim Riau. J.

Petemakan 6 (2) : 71-77.

Burtin, P. 2003. Nutritional Value of

Seaweeds. Electron. J. Agric. Food.

Chem. 2 (4) : 12 – 24.

El-Deek, A. dan A. Brikaa. 2009. Effect of

different level of seaweed in starter

and finisher diets in pellet and mash

form on performances and carcass

quality of ducks. International

63 Pengaruh Penggunaan Tepung Limbah Rumput Laut (Gracilaria Verrucosa) Fermentasi dalam

Ransum Terhadap Produksi Telur Itik Pedaging

Journal of Poultry Science. 8 (10) :

1014 -1021

Harianto. 1996. Manfaat serat makanan.

Sadar Pangan dan Gizi 5 (2) : 4-5.

Horhoruw, W.M., Wihandoyo., dan T.

Yuwanto. 2009. Pengaruh

pemanfaatan rumput laut G. edulis

dalam pakan terhadap kinerja ayam

fase pullet. Buletin Peternakan. 33

(1) : 8 – 16.

Lisma, P. R. 2009. Pemberian Tepung

Cangkang Telur Ayam Ras dalam

Ransum terhadap Fertilitas, Daya

Tetas dan Mortalitas Burung Puyuh

(Coturnix coturnix japonica). Skripsi.

Departemen Peternakan Fakultas

Pertanian Universitas Sumatera

Utara, Medan.

Rafian, A. 2003. Penampilan ayam broiler

dan komposisi kimia karkas dengan

perlakuan pembatasan konsumsi

energi pada awal fase starter. Skripsi.

Fakultas Peternakan Universitas

Gajah Mada, Yogyakarta.

Rasyaf, M. 1993. Beternak Itik Komersial.

Penerbit Kanisius,

Yogyakarta.Septyana, H. 2008.

Performa itik petelur lokal dengan

pemberian tepung daun katuk

(Sauropus androgynus(l.)merr.)

dalam ransumnya. Skripsi. Fakultas

Pertanian. Institut Pertanian Bogor,

Bogor.

Setiawan, A. S., Mahfudz, L. D., dan

Sumarsono. 2013. Performa dan

status kesehatan pada itik local jantan

akibat penggunaan daun eceng

gondok (Eichornia crassipes)

fermentasi dalam ransum.

Agromedia 31 (2) : 9 –19.

Setioko, A. R., L. H. Prasetyo, B.

Brahmantiyo dan M. Purba. 2002.

Koleksi dan Karakterisasi Sifat - Sifat

Beberapa Jenis Itik. Kumpulan Hasil-

hasil Penelitian APBN Tahun

Anggaran 2001. Balai Penelitian

Ternak Ciawi, Bogor.

Srigandono, B. 1997. Ilmu Unggas Air.

Gadjah Mada Press. Yogyakarta.

Widyatmoko, H., Zuprizal dan Wihandoyo.

2013. Penggunaan corn dried

distillers gains with solubles dalam

ransum terhadap performans puyuh

jantan. Bul. Peternakan. 37(2): 120 –

124.

64 Kecernaan Nutrien Pakan Konvensional yang Disubtitusi dengan Berbagai Level Silase Pakan

Komplit Berbahan Eceng Gondok Secara In Vitro

KECERNAAN NUTRIEN PAKAN KONVENSIONAL YANG DISUBTITUSI

DENGAN BERBAGAI LEVEL SILASE PAKAN KOMPLIT BERBAHAN ECENG

GONDOK SECARA IN VITRO

(In vitro Nutrient Digestibility of Conventional Feed Subtituted With Different Level

Complete Feed Silage Based on Water Hyacinth)

Hida, M. H. A1, Muktiani, A

2. dan Pangestu, E

3

1)

Mahasiswa Fakultas Peternakan Dan Pertanian Universitas Diponegoro

Kampus drh. Soejono Koesoemowardjojo Tembalang Semarang 50275

Email : [email protected]

2,3)

Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro

Kampus drh. Soejono Koesoemowardjojo Tembalang Semarang 50275

Diterima : 10 Oktober 2015 Disetujui : 25 November 2015

ABSTRACT

The study aims to assess the digestibility of dry matter, organic matter, and crude

protein, the conventional ration that subtituted with complete feed silage made from water

hyacinth. Research using a completely randomized design with 5 treatments and 3

replications. The treatments namely, P0 = Conventional feed (80% concentrate + 20%

napier grass), P1 = 75% P0 + 25% complete feed silage, P2 = 50% P0 + 50% complete

feed silage, P3 = 25% P0 + 75% complete feed silage, P4 = 100% complete feed silage. The

study was conducted at the Laboratory of Nutrition and Feed Science, Faculty of Agriculture

Diponegoro University in September 2014 to November 2014. Parameters observed were dry

matter digestibility (IVDMD), organic matter digestibility (IVOMD), and crude protein

digestibility (CPD) with in vitro (Tilley and Terry, 1963 method). The data obtained were

processed statistically using a completely randomized design. The results showed that

treatment with the silages level not significantly different (P <0.05) of dry matter digestibility

(ranging from 64.37 to 65.98%), organic matter digestibility (ranging from 69.42 to 70.64%)

and digestibility of crude protein (ranging from 64.94 to 69.24%). The conclusion of this

study, the replacement of conventional feed, in the form of napier grass and concentrates,

can be replaced by complete feed silage made from water hyacinth.

Keywords: silage,complete feed, water hyacinth, digestibility.

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan mengkaji kecernaan nutrien (bahan kering, bahan organik, dan

protein kasar) ransum konvensional yang disubtitusi dengan silase pakan komplit berbahan

eceng gondok (SPKEG). Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap dengan 5

perlakuan dan 3 ulangan yaitu P0= Pakan konvensional (80% pakan konsentrat + 20%

rumput), P1= 75% P0 + 25% silase pakan komplit, P2= 50% P0 + 50% silase pakan komplit,

P3= 25% P0 + 75% silase pakan komplit, P4= silase pakan komplit 100%. Penelitian

dilaksanakan di Laboratorium Ilmu Nutrisi Pakan, Fakultas Peternakan dan Pertanian,

Universitas Diponegoro, Semarang pada bulan September 2014 sampai bulan November

2014. Parameter yang diamati adalah kecernaan bahan kering (KcBK), kecernaan bahan

organik (KcBO), dan kecernaan protein kasar (KcPK) yang dilakukan secara in vitro

65 Kecernaan Nutrien Pakan Konvensional yang Disubtitusi dengan Berbagai Level Silase Pakan

Komplit Berbahan Eceng Gondok Secara In Vitro

menggunakan metode Tilley dan Terry (1963). Data yang diperoleh diolah menggunakan

analisis of varian dengan uji F pada taraf 5%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan

pemberian silase dengan taraf berbeda tidak berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap kecernaan

bahan kering (berkisar 64,37 – 65,98%) , kecernaan bahan organic (berkisar 69,42 – 70,64%)

dan kecernaan protein kasar (berkisar 64,94 – 69,24%). Simpulan dari penelitian ini adalah

penggantian ransum konvensional berupa rumput dan konsentrat dapat dilakukan dengan

pemberian silase pakan komplit berbahan eceng gondok

Kata Kunci : silase, pakan komplit, eceng gondok, kecernaan.

PENDAHULUAN

Pakan komplit adalah ransum yang

cukup gizi untuk hewan ternak, dibentuk

untuk diberikan sebagai pakan yang mampu

memenuhi kebutuhan hidup pokok tanpa ada

penambahan substansi lain kecuali air

(Hartadi et al., 2005). Pemberin pakan

komplit dalam bentuk total mixed ration

(TMR) pada ternak, akhir-akhir ini menjadi

pilihan peternak di banyak negara, karena

pakan komplit memiliki beberapa

keunggulan antara lain mudah diaplikasikan,

hemat dalam penggunaan tenaga kerja,

praktis dan ekonomis serta harganya relatif

murah (Yuan et al., 2015). Menurut

Mahaputra et al. (2003), Pakan komplit

dapat dibuat dari limbah pertanian seperti

kulit kacang, jerami kedelai, tetes tebu, kulit

kakao, kulit kopi, ampas tebu, bungkil biji

kapuk, dedak padi, onggok kering, dan

bungkil kopra. Bahan pakan tersebut

diformulasikan sedemikian rupa sehingga

semua nutrisi kebutuhan ternak terpenuhi.

Beberapa bahan penyusun pakan komplit

ketersediaannya sering menjadi

permasalahan karena keterbatasan sumber

serat. Sumber serat merupakan salah satu

persyaratan yang mutlak harus dipenuhi

dalam menyusun pakan komplit, oleh karena

itu perlu dicari bahan sumber serat yang

ketersediannya kontinyu, murah dan

ekonomis, serta tidak bersaing dengan

manusia. Salah satu contoh sumber serat

yang dapat digunakan dalam membuat pakan

komplit yaitu eceng gondok.

Eceng gondok (Eichornia crassipes)

termasuk dalam divisio Embryophytasi

phanogama, sub divisio Angiospermae, kelas

Monocotyldone, famili Ponterderaceae, dan

termasuk dalam genus Eichornia. Eceng

gondok memiliki laju pertumbuhan yang

sangat cepat dan sangat mudah beradaptasi

dengan lingkungannya. Villamagna (2009)

menyebutkan bahwa eceng gondok memiliki

laju reproduksi yang cepat. Reproduksinya

secara seksual dan nonseksual, 10-100% biji

akan berkecambah dalam waktu 6 bulan.

Pasaribu dan Sahwalita (2007) melaporkan

bahwa dalam waktu 6 bulan pertumbuhan

eceng gondok pada areal 1 ha dapat

mencapai bobot basah sebesar 125 ton.

Eceng gondok mempunyai potensi

sebagai pakan karena kandungan nutrien

yang baik yaitu abu 24,68%, protein kasar

7,11%, serat kasar 16,9%, lemak kasar

1,31%, BETN 50,0% (Muktiani, 2013).

Kandungan serat kasar yang tinggi pada

eceng gondok menjadikan tanaman ini cocok

dijadikan sebagai sumber serat pengganti

rumput pada ternak ruminansia, khususnya

pada pembuatan pakan komplit. Pembuatan

silase pakan komplit dengan bahan eceng

gondok dan konsentrat merupakan salah satu

bentuk pengawetan pakan. Pengawetan

bahan pakan dengan resiko penurunan

kualitas nutrien yang paling sedikit dapat

dilakukan dengan cara ensilase. Oleh sebab

itu perlu dikaji lebih lanjut pemanfaatan

66 Kecernaan Nutrien Pakan Konvensional yang Disubtitusi dengan Berbagai Level Silase Pakan

Komplit Berbahan Eceng Gondok Secara In Vitro

silase pakan komplit dengan bahan dasar

eceng gondok sebagai pengganti ransum

konvensional.

Penelitian bertujuan mengkaji tingkat

kecernaan bahan kering, kecernaan bahan

organik dan kecernaan protein kasar ransum

konvensional yang disubtitusi dengan silase

pakan komplit berbahan eceng gondok

(SPKEG). Manfaat yang diperoleh dari

penelitian ini diharapkan dapat memberikan

informasi yang akurat tentang tingkat

penggunaan eceng gondok dalam ransum

silase pakan komplit berbahan dasar eceng

gondok yang dilakukan secara in vitro,

sebelum diberikan kepada ternak secara

langsung. Hipotesis dari penelitian ini adalah

pemberian berbagai level silase pakan

komplit berbahan dasar eceng gondok

menghasilkan kecernaan bahan kering,

kecernaan bahan organik dan protein kasar

yang tidak berbeda nyata.

MATERI METODE

Penelitian dilaksanakan di Fakultas

Peternakan dan Pertanian Universitas

Diponegoro Semarang pada bulan

September 2014 sampai bulan November

2014.

Materi

Materi yang digunakan adalah sampel

silase pakan komplit eceng gondok, cairan

rumen sapi yang diambil dari Rumah

Pemotongan Hewan Kota Semarang,

akuades, larutan McDougall, larutan pepsin

HCl, CO2, H2SO4, selenium, asam borat,

indikator metil merah, HCl dan NaOH.

Peralatan yang digunakan antara lain tabung

fermentor, tutup tabung fermentor,

inkubator, oven, tanur, eksikator, kertas

saring, termos, termometer, timbangan

analitik, sentrifuge, beker glass, tabung ukur,

erlenmeyer, peralatan titrasi, kompor, tabung

kjedahl, lemari asam, dan peralatan destilasi.

Metode

Tahap Persiapan

Tahap persiapan yang dilakukan adalah

menyiapkan bahan pembuatan silase pakan

komplit berbahan eceng gondok sesuai yang

dilakukan Muktiani et al. (2013). Tahap awal

dalam pembuatan silase pakan komplit yaitu

meniriskan eceng gondok selama 24 jam.

Proses selanjutnya yaitu pencampuran yang

dilakukan dengan cara eceng gondok yang

sudah dicacah ditambah konsentrat dan

molasses, kemudian dicampur hingga

homogen. Eceng gondok yang sudah

dicampur dengan konsentrat kemudian

dimasukkan dalam drum plastik serta

dikemas sedemikian rupa sehingga

kondisinya anaerob. Setiap perlakuan

diulang 3 kali dan diperam selama 14 hari.

Susunan komposisi dan kandungan nutrien

silase pakan komplit seperti tertera pada

Tabel 1.

67 Kecernaan Nutrien Pakan Konvensional yang Disubtitusi dengan Berbagai Level Silase Pakan

Komplit Berbahan Eceng Gondok Secara In Vitro

Tabel 1. Susunan pakan komplit berbahan dasar eceng gondok

Bahan Pakan BK TDN* ABU PK LK SK BETN

---------- % ---------

Kulit kacang tanah 5 1,05 0,50 0,39 0,03 3,51 0,57

Onggok 10 7,83 0,24 0,19 0,89 0,03 8,65

Dedak 24 12,00 4,06 2,01 0,95 6,94 10,05

Bungkil Sawit 10 7,90 0,41 1,68 1,19 2,26 4,46

Kulit Kopi 7 1,48 0,71 0,55 0,04 4,91 0,8

Bungkil Kelapa 23 18,10 1,98 5,64 1,83 4,97 8,57

Bungkil Biji Kapuk 3 2,21 0,23 0,89 0,23 0,90 0,76

Tetes 2 1,41 0,22 0,08 0,01 0,01 1,69

Eceng Gondok 16 9,15 2,72 1,67 0,21 4,60 6,79

Jumlah 100 61,14 11,07 13,08 5,39 22,74 42,34

Formulasi silase pakan komplit eceng gondok (Muktiani et a.l, 2013).

*Hasil perhitungan berdasarkan persamaan Sutardi (2001).

Tahap Pelaksanaan

Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan

dalam penelitian ini yaitu rancangan acak

lengkap (RAL) dengan 5 perlakuan dan 3

ulangan. Perlakuan yang diterapkan yaitu

P0= pakan konvensional (80% Pakan

konsentrat + 20% rumput, P1= 75% P0 +

25% silase pakan komplit, P2= 50% P0 +

50% silase pakan komplit, P3= 25% P0 +

75% silase pakan komplit, P4= silase pakan

komplit 100%. Kandungan nutrien pakan

perlakuan disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Kandungan nutrien pakan perlakuan

Perlakuan Nutrien

BK PK SK TDN* ABU LK BETN

---------------------------- %-----------------------------

P0 73.24 11,16 23,87 52,54 9,15 5,30 50,52 P1 63.68 11,70 24,09 52,50 9,81 5,35 49,05

P2 54.12 12,24 24,31 52,47 10,48 5,40 47,57

P3 44.56 12,78 24,52 52,43 11,14 5,45 46,11

P4 35.00 13,32 24,74 52,40 11,80 5,51 44,63

*Hasil perhitungan berdasarkan persamaan dari Sutardi, 2001.

Pengukuran KcBK, KcBO, dan KcPK

Waterbath diisi air secukupnya dan

disiapkan dengan temperatur 390C. Sampel

pakan setiap perlakuan ditimbang sebanyak

0,55-0,65 gram kemudian masukkan ke

dalam setiap tabung fermentor dan pada

masing-masing sampel pakan dibuat duplo,

selanjutnya pada masing-masing tabung

fermentor ditambahkan larutan penyangga

(McDougall) sebanyak 40 ml dan cairan

rumen 10 ml, kemudian tabung fermentor

ditutup rapat yang sebelumnya dialiri dengan

CO2 agar tercipta suasana anaerob. Blangko

dibuat tanpa menggunakan sampel. Tabung

tersebut diinkubasi pada suhu 390C dalam

waterbath selama 48 jam, setiap 6 jam sekali

dilakukan penggojokan dan ditambah CO2,

setelah inkubasi selesai, tabung diangkat dari

waterbath. Tabung fermentor dimasukkan

dalam air es agar fermentasi berhenti,

selanjutnya dilakukan sentrifugasi selama 8-

10 menit pada kecepatan 3000 rpm,

68 Kecernaan Nutrien Pakan Konvensional yang Disubtitusi dengan Berbagai Level Silase Pakan

Komplit Berbahan Eceng Gondok Secara In Vitro

kemudian dilakukan pemisahan larutan

supernatan dan residu. Supernatan dibuang,

selanjutnya ditambahkan 50 ml larutan

pepsin HCl, kemudian diinkubasi lagi dalam

waterbath bersuhu 390C selama 48 jam.

Fermentasi diberhentikan setelah 48 jam dan

kemudian tabung fermentor didinginkan,

residu disaring dengan kertas saring

Wathman 41 yang sudah diketahui bobotnya.

Residu ditimbang dengan kertas saring

tersebut dan residu dimasukkan dalam cawan

porselen dan dioven pada suhu 105-1100C

selama 12 jam. Dinginkan sampel dalam

eksikator selama 15 menit, kemudian

ditimbang hingga memperoleh bobot bahan

kering (BK) residu. Bahan dalam cawan

porselen kemudian diabukan pada tanur

listrik selama 6 jam dengan suhu 6000C,

setelah dingin bahan dimasukkan dalam

eksikator selama 15 menit dan ditimbang.

Pengukuran kecernaan in vitro dilakukan

dengan menggunakan metode Tilley dan

Terry (1963), dilakukan dengan dua tahan

yaitu uji tahap fermentasi dan tahap

pencernaan enzimatis. Bobot bahan organik

residu dapat diperoleh dengan

mengurangkan bobot BK residu dengan abu.

Bobot protein residu diperoleh dari hasil

perkalian dari bobot BK residu dan kadar

protein residu. Kadar protein residu

diperoleh setelah dilakukan destruksi,

destilasi, dan titrasi terhadap hasil residu in

vitro. Menurut metode Tilley dan Terry

(1963), kecernaan bahan kering (KcBK),

kecernaan bahan organik (KcBO) dan

kecernaan protein kasar (KcPK) dapat

diperoleh dengan rumus :

Analisis Data

Data hasil penelitian dilakukan dengan

uji F berdasarkan prosedur sidik ragam dan

apabila terdapat pengaruh perlakuan yang

nyata (p < 0,05) dilanjutkan dengan uji

wilayah ganda Duncan pada taraf 5%

(Siregar, 1994).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kecernaan Bahan Kering, Bahan Organik

dan Protein Kasar

Hasil penelitian terhadap KcBK,

KcBO, KcPK silase pakan komplit berbahan

dasar eceng gondok secara in vitro diperoleh

rata-rata KcBK, KcBO, KcPK seperti yang

disajikan pada Tabel 3

KcBK (%) = X 100%

KcBO (%) = X 100%

KcPK (%) = X 100%

69 Kecernaan Nutrien Pakan Konvensional yang Disubtitusi dengan Berbagai Level Silase Pakan

Komplit Berbahan Eceng Gondok Secara In Vitro

Tabel 3. Kecernaan bahan kering, kecernaan bahan organik dan kecernaan protein kasar

secara in vitro

Perlakuan Parameter

KcBK KcBO KcPK

--------------%------------

P0 65,02 69,42 69,24

P1 64,94 69,60 68,20

P2 64,37 70,64 64,94

P3 65,98 69,65 66,19

P4 64,74 69,48 65,36

Hasil analisis ragam menunjukkan

bahwa silase pakan komplit berbahan dasar

eceng gondok tidak berpengaruh nyata

terhadap nilai KcBK (P<0,05). Kecernaan

bahan kering yang diperoleh dari penelitian

ini cukup tinggi yaitu berkisar antara 64,37 -

65,98%. Hasil kajian ini sejalan dengan hasil

kajian Yuan et al. (2015), yang menunjukkan

tidak adanya perbedaan yang signifikan antar

kecernaan in vitro silase TMR yang

mendapat aditif molasses (69,2%) maupun L.

plantarum (64,9%) dengan tanpa aditif/

control (67,3%).

Bedasarkan hasil penelitian yang

didapat, kecernaan bahan kering relatif sama

pada masing-masing perlakuan. Hal ini

diduga disebabkan oleh kandungan SK

pakan perlakuan yang relatif sama.

Kandungan SK pada pakan perlakuan P0,

P1, P2, P3, dan P4 yaitu 23,87; 24,09; 24,31;

24,52; dan 24,74%. Serat kasar merupakan

komponen BO yang sulit tercerna dalam

rumen. Kandungan SK yang tinggi,

umumnya diikuti meningkatnya jumlah

lignin yang mengikat selulosa dan

hemiselulosa sehingga menyebabkan

semakin turunnya nilai kecernaan (Tillman et

al., 1998). Nilai ini sebanding dengan hasil

penelitian Fariani (2013), dengan SK pakan

perlakuan sebesar 34,03% menghasilkan

kecernaan bahan kering dengan rata-rata

55%. Semakin tinggi nilai serat kasar maka

nilai kecernaan akan semakin rendah. Hal ini

sesuai dengan pendapat Putri (2013) yang

menyatakan bahwa kandungan serat kasar

merupakan salah satu faktor yang

menurunkan kecernaan nutrien. Jumlah serat

kasar tinggi dalam pakan akan menyebabkan

tebal dinding sel meningkat dan akibatnya

daya cerna dari pakan semakin rendah.

Hasil analisis ragam menunjukkan

bahwa silase pakan komplit berbahan dasar

eceng gondok tidak berpengaruh nyata

terhadap nilai KcBO (P<0,05). Kecernaan

bahan organik yang diperoleh dari penelitian

ini cukup tinggi yaitu berkisar antara 69,42 –

70,64%. Kecernaan bahan organik pakan

relatif sama diduga disebabkan oleh

kandungan BO pakan yang juga relatif sama.

Bahan organik dalam suatu pakan komplit

yang mudah tercerna adalah BO yang mudah

larut, baik yang berasal dari protein,

karbohidrat dan lemak (Tillman et al. (1998).

McDonald et al. (2002) menyatakan, faktor-

faktor yang mempengaruhi kecernaan yaitu

komposisi bahan, pakan, perbandingan

bahan pakan satu dengan yang lainnya,

pakan perlakuan, suplementasi enzim dalam

pakan, ternak dan taraf pemberian pakan.

Kecernaan bahan organik yang

diperoleh dari penelitian ini berkisar antara

69,42 – 70,64%. Nilai KcBO ini lebih tinggi

dibandingkan hasil penelitian Achbar (2007)

yang menggunakan silase berbahan dasar

limbah sayur pasar dan menghasilkan KcBO

60,26 – 65,55%.

70 Kecernaan Nutrien Pakan Konvensional yang Disubtitusi dengan Berbagai Level Silase Pakan

Komplit Berbahan Eceng Gondok Secara In Vitro

Faktor lain yang diduga menjadi

penyebab kecernaan bahan organik relatif

sama yaitu kandungan Total Digestible

Nutrients (TDN) pakan perlakuan yang

relatif sama. Pakan komplit disusun dengan

kandungan TDN yang tidak berbeda jauh,

sehingga TDN yang digunakan juga relatif

sama. Kandungan TDN yang dihitung

menggunakan perhitungan Sutardi (2001)

pada pakan perlakuan P0, P1, P2, P3, dan P4

yaitu 52,54; 52,50; 52,47; 52,43; dan 52,40.

Total Digestible Nutrients (TDN) merupakan

jumlah BO pada bahan pakan yang dapat

dimanfaatkan sebagai sumber energi, baik

energi untuk mikrobia rumen dan tubuh

ternak dalam bentuk ATP (Tillman et al.,

1998).

Hasil analisis ragam menunjukkan

bahwa silase pakan komplit berbahan dasar

eceng gondok tidak berpengaruh nyata

terhadap nilai KcPK (P<0,05). Kecernaan

protein kasar yang diperoleh dari penelitian

ini berkisar antara 64,94 – 69,24 %.

Kecernaan bahan kering yang relatif sama

diduga dipengaruhi oleh kandungan PK

pakan perlakuan yang relatif sama.

Kandungan PK pada pakan perlakuan P0,

P1, P2, P3, dan P4 berturut turut yaitu 11,16;

11,70; 12,24; 12,78; 13,32. Protein kasar

dalam rumen mempunyai peranan penting,

karena di dalam rumen PK akan dihidrolisis

peptida oleh enzim proteolisis yang

dihasilkan mikrobia. Peptida tersebut

mengalami degradasi lebih lanjut menjadi

asam-asam amino, asam-asam amino

kemudian akan dideaminasi menjadi amonia

untuk menyusun protein mikrobia

(Tomankova et al., 2002).

Kecernaan protein kasar yang

diperoleh dari penelitian ini berkisar antara

64,94 – 69,24%. Nilai kecernaan protein

hasil penelitian ini termasuk pada kategori

sedang. Fatimah (2007) menyatakan nilai

kecernaan pada kisaran 50-60% adalah

rendah, antara 60-70% adalah sedang, dan

diatas 70% berkualitas tinggi. Nilai KcPK ini

lebih tinggi dibandingkan hasil penelitian

Andayani (2010) yang menghasilkan KcPK

53,69 – 57,65%.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapat

disimpulkan bahwa perlakuan pemberian

silase pakan komplit berbahan eceng gondok

dapat diberikan pada ternak tanpa

berpengaruh pada kecernaan nutrien.

Saran

Perlu kajian yang lebih mendalam

tentang pemberian silase pakan komplit

berbahan eceng gondok pada berbagai ternak

tanpa berpengaruh pada kecernaan nutrien.

DAFTAR PUSTAKA

Achbar, M. 2007. Kecernaan bahan kering

dan bahan organik limbah sayur pasar

secara in vitro dengan starter dan

lama pemeraman berbeda. Fakultas

Peternakan Universitas Diponegoro,

Semarang. Agripet : 7 (1) : 67-74

Andayani, J. 2010. Evaluasi kecernaan in

vitro bahan kering, bahan organik dan

protein kasar penggunaan kulit buah

jagung amoniasi dalam ransum ternak

sapi. Jurnal Ilmiah Ilmu-ilmu

Peternakan. Jambi. 9 (2) : 88-92

Fariani, A., A. Abrar dan G. Muslim. 2013.

Kecernaan silase pelepah sawit dalam

complete feed block (CFB) untuk

sapi potong. Jurnal Lahan

Suboptimal 2 (2) : 129-136.

71 Kecernaan Nutrien Pakan Konvensional yang Disubtitusi dengan Berbagai Level Silase Pakan

Komplit Berbahan Eceng Gondok Secara In Vitro

Fatimah. 2007. Uji complete feed ditinjau

dari produksi nh3, nilai protein total

dan kecernaan protein secara in vitro.

Fakultas Peternakan. Universitas

Diponegoro, Semarang. Buletin

Peternakan 33 (2) : 81-87.

Hartadi, H., S. Reksohadiprodjo. Dan A.D.

Tillman. 2005. Tabel Komposisi

Pakan untuk Indonesia. Gadjah Mada

University Press, Yogyakarta.

Jennings, John. 2006. Principle of Silage

Making. Division of Agriculture.

University of Arkansas. USA

Kuswandi. 2011. Teknologi pemanfaatan

pakan lokal untuk menunjang

peningkatan produksi ternak

ruminansia. Pusat Penelitian dan

Pengembangan Peternakan. Bogor. 4

(3) : 189-204

Mahaputra, S., P. Kurniadhi, Rokhman dan

Kadiran. 2003. Analisis biaya

pemeliharaan domba dengan

complete feed. Buletin Teknik

Pertanian. Jakarta. 8 (2) : 22-28

McDonald, P., R. Edwards, J. Greenhalgh,

and C. Morgan. 2002. Animal

Nutrition. 6th Ed. Longman Scientific

& Technical, New York.

Muktiani, A. Kualitas eceng gondok

(Eichornia crassipes) sebagai pakan

di beberapa perairan di Jawa Tengah.

Prosiding Seminar Nasional. 12

November 2013. 8 (2) : 65-72

Muktiani, A., K.G. Wiryawan, B. Utomo, E.

Pangestu. 2013. Pemanfaatan eceng

gondok dalam pembuatan silase

complete feed dan suplementasi seng

organik untuk meningkatkan

produkstivitas peternakan rakyat.

Laporan Penelitian KKP3N Lembaga

Penelitian dan Pengabdian pada

Masyarakat Universitas Diponegoro,

Semarang.

Pasaribu, G dan Sahwalita. 2007.

Pengolahan eceng gondok sebagai

bahan baku kertas seni. Prosiding

Ekspose Hasil-hasil Penelitian :

Konservasi dan Rehabilitasi

Sumberdaya Hutan. Padang, 20

September 2006. 7 (2) 131-134

Putri, L. D. N. A. 2013. Pengaruh imbangan

protein dan energi pakan terhadap

produk fermentasi di dalam rumen

dan protein mikroba rumen pada sapi

madura jantan. Fakultas Peternakan

dan Pertanian. Universitas

Diponegoro, Semarang. J. Agripet 11

(2) : 35-40.

Siregar, S. 1994. Ransum Ternak

Ruminansia. Penebar Swadaya.

Jakarta.

Sutardi, T. 2001. Revitalisasi peternakan sapi

perah melalui penggunaan ransum

berbasis limbah perkebunan dan

suplementasi mineral organic.

Laporan akhir RUT VIII 1. Kantor

mentri Negara riset dan tekhnologi

dan LIPI.

Tilley, J. M. A. And R. A. Terry 1963. Two-

stage Technique for The In Vitro

Digestion of Forage Crops. J. British

Grassland Soc.,18:104.

Tillman, A. D., H. Hartadi, S.

Reksohadiprojo, S. Prawirokusumo

dan S. Lebdosukojo. 1998. Ilmu

Makanan Ternak Dasar. Cetakan ke-

6, Gadjah Mada University Press,

Yogyakarta.

Tománková O., Homolka P. 2002. Intestinal

digestibility of protein in concentrates

determined by combined enzymatic

72 Kecernaan Nutrien Pakan Konvensional yang Disubtitusi dengan Berbagai Level Silase Pakan

Komplit Berbahan Eceng Gondok Secara In Vitro

method. Czech. J. Anim. Sci., 47 : 15–

20.

Villamagna, A.M. 2009. Ecological effecy of

water hyacinth (Eichhornia crassipes)

on Lake Chapala, Mexico.

Dissertation. Faculty of the Virginia

Polytechnic Institute and State

University, Virginia

Yuan, X., G. Guo, A. Wen, Seare T. Desta, J.

Wang, Y., Wang, T. Shao. 2015. The

effect of different additives on the

fermentation quality, in vitro

digestibility and aerobic stability of a

total mixed ration silage. Animal

Feed Science and Technology. 207:

41-50.

73 Respon Peternak Terhadap Pencegahan dan Pengobatan Penyakit Cacing Gilig Pada Ternak

Kambing di Desa Tracap Kecamatan Kaliwiro Kabupaten Wonosobo

RESPON PETERNAK TERHADAP PENCEGAHAN DAN PENGOBATAN

PENYAKIT CACING GILIG PADA TERNAK KAMBING DI DESA TRACAP

KECAMATAN KALIWIRO KABUPATEN WONOSOBO

(Farmers Response To Prevention And Medication Goat Nematode Worm Disease At Tracap

Village Kaliwiro District Wonosobo Sub-Province.)

Widiarso, B.P.1, Sunarsih

2 dan Meniati

3

1,2)Staf Pengajar Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian Magelang

Jl. Magelang-Kopeng Km 7 Tegalrejo Magelang PO BOX 101

E-mail : [email protected]

3)

Fungsional Penyuluhan Pertanian di Kabupaten Kapuas Kalimantan Tengah

Diterima : 15 Desember 2014 Disetujui : 25 September 2015

ABSTRACT

This research was conducted to know farmers respon to prevention and medication

goat nematode worm disease and know factor - factor influencing farmer respon to

prevention and medication of nematode worm disease . Appliance and used materials that is

stationery, questioner,, folder, worm drug and vitamin tablet of B complek.Responder amount

to 30 people. The data taking away from pre test and post test by interview to hit home

prevention and medication goat nemode worm disease by using questioner .Based from

couple linear as follows : Y = 28.946 + 5.084X1 - 0,215X2 + 0,171X3+ 0,548X4 + e

From model of regresi above earning and interpreting that each;every make-up of

value of X1 ( pendidikan) equal to 1 % will add respon equal to 5.084, each;every make-up of

value of X2 ( umur) equal to 1 % will lessen respon equal to 0,215, each;every make-up of

value of X3 ( experience of beternak) equal to 1 % will add value of respon equal to 0,171,

and each;every make-up of value of X4 ( amount of the ownership of livestock) equal to 1 %

will add value of 0,548

The result of statistical test as a whole showed that education factor, age, experience of

amount and ownership of livestock collectively/together was] same to have an effect on very

signifikan to farmers respon to prevention and medication of goat nematode worm disease of

that is from low respon become high respon Education represent .

This study was concluded that happened the make-up of knowledge aspect equal to

14,87 with EP 82,6 % and EPP 77,36 , attitude aspect equal to 10,47 with EP 90,88 % and

EPP 82,12 % and also skill aspect equal to 5,1 with EP 86,6 % and EPP 79,19 % and make-

up of value of respon of knowledge aspect, attitude, and skill equal to 30,39 % that is from

low respon become high respon to prevention and medication of goat nematode worm

disease.

Keywords: nematode worm,goat, response

ABSTRAK

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui respon peternak terhadap pencegahan dan

pengobatan penyakit cacing gilig pada ternak kambing dan mengetahui faktor – faktor yang

mempengaruhi respon peternak terhadap pencegahan dan pengobatan penyakit cacing gilig.

74 Respon Peternak Terhadap Pencegahan dan Pengobatan Penyakit Cacing Gilig Pada Ternak

Kambing di Desa Tracap Kecamatan Kaliwiro Kabupaten Wonosobo

Alat dan bahan yang digunakan yaitu alat tulis, kuisioner, folder, EK, obat cacing dan tablet

vitamin B komplek.

Responden berjumlah 30 orang. Data di ambil dari pra test dan post test dengan cara

melakukan wawancara langsung mengenai pencegahan dan pengobatan penyakit cacing gilig

dengan alat bantu kuisioner. Berdasarkan analisis regresi didapatkan persamaan linear

berganda sebagai berikut : Y = 28.946 + 5.084X1 – 0,215X2 + 0,171X3+ 0,548X4 + e

Dari model regresi diatas dapat di artikan bahwa setiap peningkatan nilai X1

(pendidikan) sebesar 1% akan menambah respon sebesar 5.084, setiap peningkatan nilai X2

(umur) sebesar 1% akan mengurangi respon sebesar 0,215, setiap peningkatan nilai X3

(pengalaman beternak) sebesar 1% akan menambah nilai respon sebesar 0,171, dan setiap

peningkatan nilai X4 (jumlah kepemilikan ternak) sebesar 1% akan menambah nilai respon

sebesar 0,548.

Hasil uji statistik secara keseluruhan menunjukan bahwa faktor pendidikan, umur,

pengalaman beternak dan jumlah kepemilikan ternak secara bersama – sama berpengaruh

sangat nyata atau sangat signifikan terhadap respon peternak terhadap pencegahan dan

pengobatan penyakit cacing gilig pada ternak kambing.

Kajian ini disimpulkan bahwa terjadi peningkatan aspek pengetahuan sebesar 14,87

dengan EP 82,6% dan EPP 77,36% , aspek sikap sebesar 10,47 dengan EP 90,88% dan EPP

82,12% serta aspek keterampilan sebesar 5,1 dengan EP 86,6% dan EPP 79,19% dan

peningkatan nilai respon dari aspek pengetahuan, sikap, dan keterampilan sebesar 30,39%

yaitu dari respon rendah menjadi respon tinggi terhadap pencegahan dan pengobatan penyakit

cacing gilig pada ternak kambing. Pendidikan merupakan faktor yang paling berpengaruh

sangat signifikan 0,001 α (P ≤ 0,01) terhadap tingkat respon peternak (5,084).

Kata Kunci : Penyakit, cacing gilig, ternak kambing

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kebijakan pembangunan pertanian,

khususnya pada sektor peternakan, diarahkan

untuk meningkatkan pendapatan dan taraf

hidup petani melalui produksi peternakan

baik dari segi kualitas maupun kuantitas.

Usaha peternakan di Indonesia sampai

saat ini masih menghadapi kendala yang

mengakibatkan produktifitas ternak masih

rendah. Hal ini disebabkan oleh berbagai

jenis penyakit sering berjangkit di Indonesia

baik menular maupun tidak menular,

penyakit yang biasanya bisa menimbulkan

kerugian peternak.

Peningkatkan produktifitas ternak

khususnya kambing, maka kesehatan hewan

perlu mendapat perhatian, ternak yang sehat

dapat berkembangbiak dengan baik dan

produktifitasnya meningkat. Penyakit sangat

mempengaruhi pertumbuhan ternak, oleh

karena itu kita harus melakukan pencegahan

dan pengobatan terhadap ternak agar ternak

yang di pelihara dapat tumbuh sehat dan

berkembang tanpa ada penyakit yang di

derita oleh ternak. Seperti penyakit yang di

sebabkan oleh parasit ( penyakit cacing gilig

). Penyakit yang ini banyak terjangkit pada

ternak ruminansia yang mengakibatkan

pertumbuhan ternak lambat dan produktifitas

menurun.(Subekti et al, 1996)

Komoditas peternakan kambing

memiliki peluang untuk di kembangkan.

Kambing adalah salah satu ternak popular

yang banyak dipelihara di kalangan peternak

di pedesaan. Ternak kambing

pemeliharaannya mudah, cepat

berkembangbiak, modal yang di perlukan

relatif kecil di banding dengan ternak sapi

dan kerbau, bisa dipelihara di lahan sempit

75 Respon Peternak Terhadap Pencegahan dan Pengobatan Penyakit Cacing Gilig Pada Ternak

Kambing di Desa Tracap Kecamatan Kaliwiro Kabupaten Wonosobo

dan fecesnya bisa di manfaatkan sebagai

pupuk organik untuk tanaman. Dilihat dari

potensinya maka ternak kambing dengan

pemeliharaan dan perawatan yang baik akan

di peroleh hasil yang baik pula.

Keberhasilan dalam beternak kambing

selain faktor bibit, tatalaksana pemeliharaan,

perkandangan dan pakan, kesehatan ternak

juga harus di perhatikan. Pemeliharaan

ternak kambing oleh peternakdi desa Tracap

Kecamatan Kaliwiro Kabupaten Wonosobo,

ditinjau dari kesehatan ternaknya masih

kurang terutama dalam pencegahan dan

pengobatan Penyakit cacing gilig. Ternak –

ternak yang mereka pelihara pada umumnya

kurus dan bulunya kusam walaupun cukup

pakan.

Di desa Tracap Kecamatan Kaliwiro

terdapat 4 (empat) dusun yaitu Dusun

Wonoruto, Dusun Tracap, Dusun Jojogan,

dan Dusun Cikalan. Masing – masing dusun

terdapat kelompok tani diantaranya adalah

kelompok tani Wonomaju, Kartika tani,

Tunas mukti, Harapan, Cikalsari dan Sari

mulyo. Jumlah populasi ternak yang ada di

Desa Tracap Kecamatan Kaliwiro,sapi perah

sekitar 48 ekor, kambing 1312 ekor, dan

domba 286 ekor.

Hasil identifikasi di Desa Tracap

Kecamatan Kaliwiro terhadap ternak –

ternak yang menunjukan tanda – tanda

terserang Penyakit cacing gilig sehingga

ternak kambing yang di pelihara belum dapat

memenuhi harapan peternak yaitu

perkembangan tubuh yang maksimal sehinga

memiliki nilai jual yang tinggi.

Rumusan Masalah

Berdasarkan hasil identifikasi di Desa

Tracap Kecamatan Kaliwiro Kabupaten

Wonosobo terhadap beberapa permasalahan

yaitu :

1. Belum diketahui respon peternak

terhadap pencegahan dan pengobatan

Penyakit cacing gilig pada ternak

kambing di Desa Tracap Kecamatan

Kaliwiro Kabupaten Wonosobo.

2. Belum diketahui faktor – faktor yang

mempengaruhi respon peternak

terhadap pencegahan dan pengobatan

penyakit cacing pada ternak kambing.

Tujuan Penelitian

Dilihat dari permasalahan tersebut di

atas maka tujuan yang ingin di capai adalah

sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui respon peternak

terhadap pencegahan dan pengobatan

penyakit cacing gilig tehadap ternak

kambing

2. Untuk mengetahui faktor – faktor yang

mempengaruhi respon peternak

terhadap pencegahan dan pengobatan

Penyakit cacing gilig pada ternak

kambing.

MATERI DAN METODE

Materi

Materi penelitian ini meliputi alat dan

bahan.Bahan yang digunakan adalah obat

cacing monil, buah pinang, antibiotik dan

tablet vitamin B kompleks. Alat yang

digunakan dalam peneltian adalah alat tulis,

kuesioner, folder dan Elemen keterampilan

(EK)

Metode

1. Metode Pengambilan Sampel

Metode pengambilan sampel

responden menggunakan metode purposive

Random sampling, dimana dari 6 (enam)

kelompok tani yang ada di desa Tracap

76 Respon Peternak Terhadap Pencegahan dan Pengobatan Penyakit Cacing Gilig Pada Ternak

Kambing di Desa Tracap Kecamatan Kaliwiro Kabupaten Wonosobo

Kecamatan Kaliwiro dipilih peternak yang

mempunyai ternak kambing minimal 2 ekor,

Untuk setiap kelompok dipilih secara

random 5 (lima) orang peternak sehingga di

peroleh 30 responden. Jumlah ini dipilih agar

dapat memenuhi syarat perhitungan statistik

yang baik dengan penyebaran skor yang

mendekati kurva normal. (Rahmawati,

2008).

2. Metode Pengambilan Data

Metode pengambilan data dalam penelitian

dilakukan dengan :

observasi dan wawancara

Jenis data yang digunakan dalam penelitian

adalah :

a. Data primer

Yaitu data yang diperoleh secara

langsung dari peternak melalui

hasil wawancara dengan

menggunakan daftar pertanyaan

yang telah disiapkan terlebih

dahulu serta data hasil observasi.

Data primer dalam penelitian ini

meliputi data umur peternak

responden, tingkat pendidikan

responden, pengalaman beternak

dan jumlah ternak yang di miliki.

b. Data sekunder

Yaitu data yang diperoleh dari

sumber yang berkaitan dengan

masalah yang diteliti yaitu instansi

yang terkait dengan penelitian ini.

Data sekunder dalam penelitian ini

adalah data keadaan penduduk

Desa Tracap Kecamatan Kaliwiro

Kabupaten Wonosobo.

3. Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian dilakukan dalam

rangka pengukuran respon maupun faktor-

faktor yang mempengaruhi terhadap

pencegahan dan pengobatan penyakit cacing

gilig pada ternak kambing di Desa Tracap

Kecamatan Kaliwiro Kabupaten Wonosobo.

Responden berjumlah 30 orang diambil data

awal (pra test) dan pos test dengan cara

melakukan wawancara langsung mengenai

pencegahan dan pengobatan Penyakit cacing

gilig menggunakan alat bantu kuesioner yang

mana tingkatan atau jenjang setiap gejala di

ukur dengan menggunakan skala likert yaitu

Respon tinggi (5), Respon sedang (3) Respon

rendah (1), dimana daftar pertanyaan

merupakan alternatif pengungkapan

permasalahan yang di dasarkan pada variabel

yang diamati yaitu perubahan prilaku yang

terdiri dari tiga aspek, yaitu aspek

pengetahuan, sikap dan keterampilan.

Faktor-faktor yang mempengaruhi respon

dapat di uji menggunakan regresi linier

berganda.

4. Variabel Penelitian

Variabel penelitian yang ingin

diketahui adalah Pengetahuan, Sikap,

Keterampilan (PSK) peternak terhadap

pencegahan dan pengobatan penyakit cacing

gilig pada ternak kambing. Untuk mengukur

respon peternak terhadap pencegahan dan

pengobatan penyakit cacing gilig pada ternak

kambing dengan menggunakan kuesioner

PSK tersebut.

Analisis Data

Analisis yang digunakan adalah

analisis Deskriftif Comperatif yaitu

membandingkan perubahan pengetahuan

sebelum penyuluhan dan sesudah

penyuluhan dengan rancangan pra

eksperimental menggunakan two group Pra

Test and Post Test Designs (Mardikanto,

2009). Dalam rancangan ini, pengamatan

atau pengukuran di lakukan sebelum dan

sesudah variabel bebas atau perlakuan di

kenakan pada satu kelompok subjek yang di

teliti (O1 T O2) dengan penjelasan sebagai

berikut :

O1 : Pra test, untuk mengukur

pengetahuan, sikap dan

77 Respon Peternak Terhadap Pencegahan dan Pengobatan Penyakit Cacing Gilig Pada Ternak

Kambing di Desa Tracap Kecamatan Kaliwiro Kabupaten Wonosobo

keterampilan sebelum kegiatan

penyuluhan

T : Treatment, kegiatan penyuluhan

O2 : Post test, untuk mengukur

pengetahuan, sikap dan keterampilan

setelah diadakan kategori

penyuluhan.

Berdasarkan hasil pra test dan post test

di tentukan kategori penilaian dengan

menggunakan skala likert yaitu jumlah skor

maksimal dari setiap pertanyaan variabel

ukur dikurangi jumlah skor minimal,

kemudian selisihnya dibagi tiga. Dengan

jumlah pertanyaan ada lima, adapun kategori

dan skala yang digunakan sebagai berikut :

1. Untuk mengukur aspek pengetahuan nilai minimal (1) dan maksimal (5)

Tahu (5)

Kurang tahu (3)

Tidak tahu (1)

5---------------------------11,6------------------------18,2------------------25

Tidak tahu Kurang tahu Tahu

2. Untuk mengukur aspek sikap nilai minimal (1) dan nilai maksimal (5)

Setuju (5)

Ragu – ragu (3)

Kurang setuju (1)

5---------------------------11,6------------------------18,2------------------25

Kurang setuju Ragu – ragu Setuju

3. Untuk mengukur aspek keterampilan nilai minimal (1) dan maksimal (5)

Terampil (5)

Kurang terampil (3)

Tidak terampil (1)

2---------------------------4,66------------------------7,32----------------------10

Tidak terampil Kurang terampil Terampil

Respon adalah tanggapan atau reaksi

mereka terhadap adanya tekhnologi / inovasi

baru yang berupa pengetahuan (kognitif),

sikap (afektif) dan keterampilan

(psikomotorik). Respon diukur dari jumlah

skor ketiga aspek pengetahuan, sikap dan

keterampilan, skala kategori yang diukur

adalah sebagai berikut :

Skor 12 – 28 = Rendah

Skor 29 – 44 = Sedang

Skor 46 – 60 = Tinggi

Skor 12 merupakan jumlah nilai

terendah dari seluruh pertanyaan, skor 60

merupakan jumlah nilai tertinggi dari seluruh

pertanyaan pada aspek pengetahuan sikap

dan keterampilan. Untuk mendapatkan skala

12 dan 28 caranya skor tertinggi dikurang

skor terendah dibagi tiga (60 – 12) : 3),

hasilnya dijadikan skala.

12 _______________ 28 _______________ 44 _______________ 60

Rendah Sedang Tinggi

Hasil dari rekapitulasi pra test aspek

pengetahuan, sikap dan keterampilan

sebelum dilakukan penyuluhan hasilnya

dijumlahkan, kemudian hasil dari

rekapitulasi post test aspek pengetahuan,

sikap dan keterampilan setelah dilakukan

78 Respon Peternak Terhadap Pencegahan dan Pengobatan Penyakit Cacing Gilig Pada Ternak

Kambing di Desa Tracap Kecamatan Kaliwiro Kabupaten Wonosobo

penyuluhan juga dijumlahkan kemudian

diambil nilai rata-rata. Selisih dari kenakian

post test dikurang pra test dijadikan nilai

respon.

Analisis regresi, merupakan analisis

yang digunakan untuk menguji kesignifikan

pengaruh (keseluruhan atau masing-masing)

variabel-variabel bebas terhadap satu

variabel terikat, yang ditunjukan pada

koefisien regresinya.Maka untuk mengetahui

faktor – faktor yang mempengaruhi respon

digunakan analisis regresi linier berganda.

Dalam penelitian analisis regresi linier

berganda dapat digunakan dalam bentuk

yang model matematisnya Y = a + b1X1 +

b2X2 + b3X3 + b4X4 + e (Mardikanto, 2006)

Y = Tingkat respon peternak

(tinggi/sedang/rendah)

X1 = Variabel lama pendidikan (1,2,3)

X2 = Varabel umur peternak (thn)

X3 = Variabel pengalaman beternak (thn)

X4 = Variabel jumlah kepemilikan ternak

(ekor)

a = Konstanta

b1 = Koefisiensi regresi parsial yang

menghubungkan tingkat pendidikan

peternak terhadap respon

pencegahan dan pengobatan

penyakit cacing gilig pada ternak

kambing.

b2 = Koefisiensi regresi parsial yang

menghubungkan umur peternak

terhadap respon pencegahan dan

pengobatan penyakit cacing gilig

pada ternak kambing.

b3 = Koefisiensi regresi parsial yang

menghubungkan pengalaman

beternak terhadap respon

pencegahan dan pengobatan

penyakit cacing gilig pada ternak

kambing.

b4 = Koefisiensi regresi parsial yang

menghubungkan jumlah

kepemilikanternak terhadap respon

pencegahan dan pengobatan

penyakit cacing gilig pada ternak

kambing.

e = Faktor-faktor diluar persamaan.

Efektifitas penyuluhan (EP) dan

Efektifitas perubahan Perilaku (EPP)

dihitung untuk mengetahui hasil kegiatan

penyuluhan dengan rumus :

Skor Post Test

EP = _______________________ X 100 %

Nilai Maksimum

Skor Post Test – Skor Pra Test

EPP = ________________________ X 100%

Skor Maksimum – Skor Pra test

0_______________33,3%_____________66,6%_____________100%

Kurang efektif Cukup efektif Efektif

Adapun kriteria yang digunakan dalam skala sabagai berikut :

a. Skor 0 – 33,33% : Kurang efektif

b. Skor 33,34% – 66,66% : Cukup efektif

c. Skor 66,67% - 100% : Efektif

(Ginting, 1994).

79 Respon Peternak Terhadap Pencegahan dan Pengobatan Penyakit Cacing Gilig Pada Ternak

Kambing di Desa Tracap Kecamatan Kaliwiro Kabupaten Wonosobo

HASIL DAN PEMBAHASAN

Respon Responden

Hasil respon peternak terhadap

pencegahan dan pengobatan penyakit cacing

gilig pada ternak kambing setelah dilakukan

penyuluhan mendapatkan hasil sebagai

berikut :

1. Tingkat Respon Responden Pada

Aspek Pengetahuan

Nilai aspek pengetahuan sebelum dan

sesudah dilakukan penyuluhan dapat dilihat

pada tabel 1 berikut ini :

Tabel 1. Nilai aspek pengetahuan

No Pertanyaan Pra test Post test Peningkatan

1 Pengertian penyakit cacing gilig 1,46 4,93 3,47

2 Tanda – tanda penyakit cacing gilig 1,26 4,46 3,2

3 Cara pencegahan penyakit cacing gilig 1 4,06 3,06

4 Cara memberikan obat cacing pada ternak kambing

1 3,6 2,6

5 Cara mengobati penyakit cacing gilig

dengan menggunakan obat tradisional

(serbuk buah pinang)

1,06 3,6 2,54

Jumlah 5,78 20,65 14,87

Rata –rata 1,156 4,13 2,974

Sumber Data Primer Terolah 2012

O1 (5,78) O2 (20,65)

5--x------------------11,6----------------------18,2-----x-------------------25

Tidak tahu Kurang tahu Tahu

O1 = Pra test (5,78)

O2 = Post test (20,65)

Perhitungan EP dan EPP pada aspek pengetahuan

EP = Skor Post Test__ X 100 %

Nilai Maksimum

= 20,65 X 100 %

25

= 82,,6 %

EPP = Skor Post Test - Skor Pra test__ X 100 %

Skor Maksimum – Skor Pra test

EPP = 20,65 – 5,78 X 100 %

25 – 5,78

= 77,36 %

EPP EP

0-----------------------33,3%----------------------66,6%--------xa----------xb-------100

Kurang efektif Cukup efektif Efektif

Keterangan : xa = EPP 77,36 % ( Efektif )

xb = EP 82,6 % ( Efektif )

80 Respon Peternak Terhadap Pencegahan dan Pengobatan Penyakit Cacing Gilig Pada Ternak

Kambing di Desa Tracap Kecamatan Kaliwiro Kabupaten Wonosobo

Berdasarkan tabel 1 diatas dapat

diketahui pada aspek pengetahuan saat

dilakukan pra test memiliki nilai sebesar

5,78 (tidak tahu), setelah dilakukan treatmen

pada nilai post test menjadi 20,65 (tahu).

Dengan demikian terjadi peningkatan

sebesar 14,87 atau dari tidak tahu menjadi

tahu, hal ini di sebabkan oleh tingkat

pendidikan peternak dimana semua

responden rata-rata sudah mengenyam

bangku sekolah sehingga memungkinkan

mereka untuk dapat menyerap ilmu

pengetahuan dengan baik. Hal ini sesuai

pendapat Mardikanto (2006) bahwa tingkat

pendidikan yang dimiliki seseorang akan

berpengaruh terhadap kapasitas/kemampuan

belajar yang memerlukan tingkat

pengetahuan tertentu untuk dapat memahami

suatu teknologi/inovasi.

Peningkatan aspek pengetahuan

peternak tersebut juga disebabkan oleh

kesesuaian materi penyuluhan yang

diberikan menggunakan metode ceramah,

diskusi dan demontrasi cara dengan

menggunakan alat bantu berupa folder, EK

sehingga para petani lebih mudah memahami

apa yang disampaikan. Sesuai dengan

pendapat Mardikanto (2006) bahwa, dalam

penyampaian penyuluhan tidak hanya

dengan lisan, tetapi juga perlu alat bantu atau

alat peraga agar materi lebih mudah diterima

dan diserap serta lebih mengesankan.

Dari hasil analisis Pra Test dan Post

Test pada aspek pengetahuan responden

diketahui EP 82,6 % dinyatakan efektif dan

EPP 77,36 dinyatakan efektif. Efektifitas

Penyuluhan untuk merubah perilaku aspek

pengetahuan sebesar 82,6 % di katakan

efektif, hal ini berarti kegiatan penyuluhan

yang dilakukan dengan materi pencegahan

dan pengobatan penyakit cacing gilig pada

ternak kambing, dengan metode pendekatan

individu dan kelompok dan dengan teknik

ceramah, diskusi, serta demonstrasi cara

dapat berkesan / berpengaruh terhadap

perubahan aspek pengetahuan petani dari

sebelum dilakukan penyuluhan dengan nilai

5,78 dan setelah diberi penyuluhan

meningkat menjadi 20,65. Efektifitas

Perubahan Perilaku aspek pengetahuan

sebesar 77,36 % dikatakan efektif dimana

sasaran penyuluhan dapat menerima dengan

baik materi yang diberikan dalam

penyuluhan tersebut. Hal ini dapat dilihat

dari perubahan pengetahuan dari sebelum

dan sesudah dilakukan penyuluhan. Menurut

Ginting (1994), pada dasarnya dalam setiap

tahap dilakukan evaluasi ataupun

pemantauan dengan tujuan untuk

mengadakan perbaikan selama proses

berlangsung. Dalam kegiatan ini peternak

diikutsertakan agar mereka mengetahui

tingkat perubahan yang telah terjadi atau

sejauh mana efektifitas penyuluhan dan

efektifitas pengetahuan, sikap, dan

keterampilan yang dapat dicapai.

Peningkatan aspek pengetahuan

peternak tersebut juga disebabkan karena

dalam kegiatan penyuluhan menggunakan

teknik ceramah, diskusi dan demostrasi cara

dengan menggunakan alat bantu berupa

folder dan EK sehingga para peternak lebih

mudah memahami apa yang disampaikan.

Sesuai dengan pendapat Mardikanto (2006)

bahwa dalam penyampaian penyuluhan tidak

hanya dengan lisan, tetapi juga perlu alat

bantu atau alat peraga agar materi lebih

mudah diterima dan diserap serta lebih

mengesankan.

2. Tingkat Respon Responden Pada

Aspek Sikap

Nilai aspek sikap sebelum dan sesudah

dilakukan penyuluhan dapat dilihat pada

tabel 2 berikut ini :

81 Respon Peternak Terhadap Pencegahan dan Pengobatan Penyakit Cacing Gilig Pada Ternak

Kambing di Desa Tracap Kecamatan Kaliwiro Kabupaten Wonosobo

Tabel 2. Nilai aspek sikap

No Pertanyaan Pra test Post test Peningkatan

1 Membersihkan kandang secara periodik 2,13 4,6 2,47

2 Memberikan obat cacing monil untuk

pencegahan penyakit cacing gilig

2,53 4,73 2,2

3 Kambing sakit cacing gilig memanggil petugas keswan

2,26 4 1,74

4 Mencari rumput setelah pukul 09.00

WIB

2,6 4,46 1,86

5 Menggunakan obat cacing tradisional (serbuk buah pinang) untuk mengobati

penyakit cacing gilig

2,73 4,93 2,2

Jumlah 12,25 22,72 10,47

Rata - rata 2,45 4,544 2,094

Sumber Data Primer Terolah 2012

O1 (12,25) O2(22,72)

5------------------------11,6---x-------------------18,2-------------x------25

Kurang setuju Ragu – ragu Setuju

O1 = Pra Test (12,25)

O2 = post test (22,72)

Perhitungan EP dan EPP pada aspek sikap

EP = Skor Post Test__ X 100 %

Nilai Maksimum

= 22,72 X 100 %

25

= 90,88 %

EPP = Skor Post Test - Skor Pra test__ X 100 %

Skor Maksimum – Skor Pra test

EPP = 22,72 – 12,25 X 100 %

25 – 12,25

= 82,12 %

EPP EP

0-----------------------33,3%----------------------66,6%--------xa----------xb-------100

Kurang efektif Cukup efektif Efektif

Keterangan : xa = EPP 82,12 % ( Efektif )

xb = EP 90,88 % ( Efektif )

Melihat tabel 2 diatas dapat dilihat

nilai pra test pada aspek sikap menunjukkan

nilai 12,25 dengan kategori respon setuju,

sedangkan hasil post test menunjukkan nilai

22,72 dengan kategori respon setuju.

Berdasarkan hasil analisis pra test dan post

test terjadi peningkatan nilai sebesar 10,47

hal ini disebabkan oleh adanya kegiatan

82 Respon Peternak Terhadap Pencegahan dan Pengobatan Penyakit Cacing Gilig Pada Ternak

Kambing di Desa Tracap Kecamatan Kaliwiro Kabupaten Wonosobo

penyuluhan yang tepat sasaran dalam arti

baik materi maupun metode yang diberikan

sesuai dengan kebutuhan peternak yaitu

materi tentang pencegahan dan pengobatan

penyakit cacing gilig pada ternak kambing

dengan metode ceramah, diskusi dan

demontrasi cara alat bantu yang digunakan

berupa folder, EK (elemen ketrampilan)

sehingga para petani lebih mudah memahami

apa yang disampaikan, hal ini sesuai dengan

pendapat Mardikanto dan Sutarni (2006),

bahwa penyuluhan pertanian yang

terutamakan ditujukan kepada petani dan

keluarganya pada dasarnya dimaksudkan

untuk mengubah dalam arti dapat

meningkatkan perilakunya mengenai sikap

yang lebih progresif dan motifasi yang lebih

rasional.

Dari hasil analisis Pra Test dan Post

Test pada aspek sikap responden diketahui

EP 90,88 % dinyatakan efektif, berarti

bahwa program penyuluhan dengan materi

pencegahan dan pengobatan penyakit cacing

gilig pada ternak kambing dengan metode

pendekatan individu dan kelompok serta

dengan teknik ceramah, diskusi dan

demonstrasi cara dapat berpengaruh dan

berdampak bagi perubahan sikap petani

terhadap teknologi pencegahan dan

pengobatan penyakit cacing gilig pada ternak

kambing dapat dilihat dari aspek sikap

sebelum dan sesudah dilakukan penyuluhan

dari ragu – ragu (nilai 12,25) menjadi setuju

(nilai 22,72). Efektifitas Perubahan Perilaku

sebesar 82,12 adalah efektif berarti

penyuluhan yang dilaksanakan membawa

perubahan bagi sikap peternak dari ragu –

ragu dalam menerima teknologi pencegahan

dan pengobatan penyakit cacing gilig pada

ternak kambing (nilai 12,25) menjadi setuju

(nilai 22,72) dan berarti respon petani tinggi.

Menurut Ginting (1993), pada dasarnya

dalam setiap tahap dilakukan evaluasi

ataupun pemantauan dengan tujuan untuk

mengadakan perbaikan selama proses

berlangsung. Dalam kegiatan ini peternak

diikutsertakan agar mereka mengetahui

tingkat perubahan yang telah terjadi atau

sejauh mana efektifitas penyuluhan dan

efektifitas pengetahuan, sikap, dan

keterampilan yang dapat dicapai.

3. Responden Pada Aspek

Keterampilan

Nilai aspek keterampilan sebelum dan

sesudah dilakukan penyuluhan dapat dilihat

pada tabel 3 berikut ini :

Tabel 3. Nilai aspek keterampilan No Pertanyaan Pra test Post test Peningkatan

1 Pemberian obat cacing pada ternak dengan menggunakan

obat cacing monil

1,3 4,13 2,83

2 Cara apabila obat cacing monil

susah di telan

2,26 4,53 2,27

Jumlah 3,56 8,66 5,1

Rata -rata 1,78 4,33 2,55

Sumber data primer terolah 2012

O1 (3,56) O2 (8,66)

2------------x------------4,66----------------------7,32-----x-------------------10

Tidak terampil Kurang terampil Terampil

83 Respon Peternak Terhadap Pencegahan dan Pengobatan Penyakit Cacing Gilig Pada Ternak

Kambing di Desa Tracap Kecamatan Kaliwiro Kabupaten Wonosobo

O1 = Pra Test (3,56)

O2 = post test (8,66)

Perhitungan EP dan EPP pada aspek sikap

EP = Skor Post Test__ X 100 %

Nilai Maksimum

= 8,66 X 100 %

10

= 86,6 %

EPP = Skor Post Test - Skor Pra test__ X 100 %

Skor Maksimum – Skor Pra test

EPP = 8,66 – 3,56 X 100 %

10 – 3,56

= 79,19 %

EPP EP

0-----------------------33,3%----------------------66,6%-------xa---------xb--------100

Kurang efektif Cukup efektif Efektif

Keterangan : xa = EPP 79,19 % ( Efektif )

xb = EP 86,6 % ( Efektif )

Melihat tabel 3 diatas dapat dilihat

nilai pra test pada aspek keterampilan

menunjukkan nilai 3,56 dengan kategori

respon kurang terampil, sedangkan hasil post

test menunjukkan nilai 8,66 dengan kategori

respon terampil. Berdasarkan hasil analisis

pra test dan post test terjadi perubahan

peningkatan nilai sebesar 5,1 atau dari

kategori kurang trampil menjadi trampil. Hal

ini disebabkan oleh adanya dampak dari

kegiatan penyuluhan yang telah diberikan

khususnya demonstrasi cara pemberian obat

cacing sehingga peternak dapat melihat dan

mempraktekan secara langsung pemberian

obat cacing pada ternak kambing tersebut.

Hal ini sesuai dengan pendapat

Kartasapoetra (1988) mengatakan bahwa

pengukuran aspek keterampilan dipengaruhi

beberapa faktor berikut : a. Metode

penyuluhan adalah pendekatan kelompok

biasanya lebih efektif dan lebih bermanfaat

apabila dilakukan terhadap kelompok tani.

Dimana petani diajak dan dibimbing serta

diarahkan untuk melakukan kegiatan yang

lebih preduktif atas dasar kerjasama. b.

Teknik penyuluhan. Teknik penyuluhan yang

digunakan adalah ceramah dan diskusi dan

demcar dengan demikian petani ikut

berpartisipasi petani akan lebih memahami

materi yang disampaikan. Selanjutnya

menurut Mardikanto (2006), bahwa dengan

petani melihat sendiri mereka akan lebih

percaya dengan penyuluhan yang kita

berikan dan dengan kepercayaan tersebut

mereka akan terdorong untuk melakukan

tindakan terhadap inovasi baru yang

diterima.

Dari hasil analisis Pra Test dan Post

Test pada aspek keterampilan responden

diketahui EP 86,6 % dinyatakan efektif

berarti program penyuluhan yang telah

dilakukan dapat berdaya guna karena dapat

merubah keterampilan dari tidak terampil

menjadi trampil. EPP 79,19 dinyatakan

84 Respon Peternak Terhadap Pencegahan dan Pengobatan Penyakit Cacing Gilig Pada Ternak

Kambing di Desa Tracap Kecamatan Kaliwiro Kabupaten Wonosobo

efektif dapat dilihat dari peningkatan

perubahan aspek ketrampilan peternak dari

tidak trampil memberikan obat cacing pada

ternak kambing menjadi trampil.

4. Peningkatan nilai respon.

Nilai respon sebelum dan sesudah

dilakukan penyuluhan dapat dilihat pada

tabel 4 berikut ini :

Tabel 4. Nilai respon

Nilai Jumlah (orang) Post test Persentase (%)

Pengetahuan

Sikap

Keterampilan

5,8 20,66

12,26 22,73

3,6 8,66

12,54

4,4

3,66

Jumlah 21,66 52,05 30,39

Sumber : Data primer terolah 2012

O1(21,66) O2(52,05)

12---------------x---------28--------------------44--------------x-------60

Rendah Sedang Tinggi

Berdasarkan tabel diatas dapat

diketahui nilai respon saat dilakukan pra test

memiliki nilai sebesar 21,66 atau (Nilai

rendah), setelah dilakukan treatmen pada

nilai post test menjadi 52,05 atau (Nilai

tinggi). Dengan demikian terjadi

peningkatan sebesar 30,39 atau dari respon

rendah menjadi respon tinggi, untuk lebih

jelasnya dapat dilihat pada lampiran . Hal ini

di sebabkan oleh :

a. Tingkat pendidikan peternak

dimana semua responden rata-rata

sudah mengenyam bangku sekolah

sehingga memungkinkan mereka

untuk dapat menyerap ilmu

pengetahuan dengan baik. Hal ini

sesuai pendapat Mardikanto

(2006) bahwa tingkat pendidikan

yang dimiliki seseorang akan

berpengaruh terhadap

kapasitas/kemampuan belajar yang

memerlukan tingkat pengetahuan

tertentu untuk dapat memahami

suatu teknologi/inovasi.

Selanjutnya Padmowiharjo (2002),

menyatakan bahwa, semakin

tinggi tingkat pendidikan petani

maka pola pikir juga semakin luas

dan tentunya akan lebih cepat

dalam merespon teknologi baru

yang disampaikan.

b. Umur responden terbanyak adalah

36 – 49 tahun dengan persentase

43,33 % yang merupakan umur

produktif, karena umur responden

sangat mempengaruhi respon

petani. Junaidi (2007) Semakin

tinggi umur semakin sulit baginya

untuk menyerap dan menerima

suatu inovasi yang diberikan. Usia

15 s/d 65 tahun dikatakan

penduduk usia produktif adalah

yang melaksanakan produksi dari

segi ekonomi, dimana segala

kebutuhannya ditanggung mereka

sendiri, sedangkan penduduk usia

tidak produktif adalah penduduk

yang belum bisa bekerja atau tidak

mampu lagi memenuhi akan

kebutuhan hidupnya sendiri.

85 Respon Peternak Terhadap Pencegahan dan Pengobatan Penyakit Cacing Gilig Pada Ternak

Kambing di Desa Tracap Kecamatan Kaliwiro Kabupaten Wonosobo

(Kependudukan kantor informasi

dan komunikasi pemerintah

Propinsi Jawa Tengah, 2004).

c. Pengalaman beternak responden

rata-rata 4 - 12 tahun , sehingga

diharapkan dengan pengalaman

yang cukup tinggi maka tingkat

respon terhadap pencegahan dan

pengobatan penyakit cacing gilig

juga semakin tinggi. Junaidi

(2007) menyatakan bahwa,

pengalaman merupakan faktor

personal yang berpengaruh

terhadap perilaku seseorang.

d. Kepemilikan ternak rata - rata

peternak mempunyai ternak lebih

dari satu ekor ini terlihat dari

jumlah kepemilikan ternak

responden yaitu 2 – 4 ekor

sebanyak 14 orang atau (46,66 %).

Iswandari (2006) menyatakan

bahwa, peternak yang memiliki

ternak dengan jumlah banyak dan

dikelola sendiri akan mempunyai

kemauan yang tinggi dalam

merespon, memperbaiki usaha tani

ternaknya guna meningkatkan

hasil dan pendapatannya untuk

memenuhi kebutuhan sehari-

harinya.

e. Peningkatan respon peternak

tersebut mungkin karena

kesesuaian materi penyuluhan

yang diberikan menggunakan

metode ceramah, diskusi dan

demontrasi cara dengan

menggunakan alat bantu berupa

folder, EK sehingga para peternak

lebih mudah memahami apa yang

disampaikan. Sesuai dengan

pendapat Mardikanto (2006)

bahwa, dalam penyampaian

penyuluhan tidak hanya dengan

lisan, tetapi juga perlu alat bantu

atau alat peraga agar materi lebih

mudah diterima dan diserap serta

lebih mengesankan.

Uji Statistik

1. Analisis Regresi

Berdasarkan analisis regresi

didapatkan persamaan linear berganda

sebagai berikut : Y = 28.946 + 5.084X1 –

0,215X2 + 0,171X3+ 0,548X4 + e

Dari model regresi diatas dapat di

artikan bahwa setiap peningkatan nilai X1

(pendidikan) sebesar 1 % akan menambah

nilai respon sebesar 5.084, setiap

peningkatan nilai X2 (umur) sebesar 1 %

akan mengurangi nilai respon sebesar 0,215,

setiap peningkatan nilai X3 (pengalaman

beternak) sebesar 1 % akan menambah nilai

respon sebesar 0,171 dan setiap peningkatan

nilai X4 (jumlah kepemilikan ternak) sebesar

1 % akan menambah nilai respon sebesar

0,548.

a. Uji Determinasi (R2)

Berdasarkan Uji Determinasi

(Adjujusted R Square), untuk menentukan

sejauh mana pendidikan, umur, pengalaman

dan jumlah kepemilikan ternak secara

bersama – sama mempengaruhi respon

peternak terhadap inovasi teknologi

pencegahan dan pengobatan penyakit cacing

gilig pada ternak kambing sebesar 47,4 %

(Adjusted R2 = 0,474) sedangkan 52,6 %

dipengaruhi oleh faktor-faktor lain diluar

persamaan. Semakin besar R2

(mendekati 1)

semakin baik hasil regresi tersebut (semakin

besar variabel independen dapat menjelaskan

variabel dependen dan semakin mendekati 0

maka variabel independen secara

keseluruhan semakin kurang bisa

menjelaskan variabel dependen (Mubyarto,

1999).

b. Uji F /ANOVA

86 Respon Peternak Terhadap Pencegahan dan Pengobatan Penyakit Cacing Gilig Pada Ternak

Kambing di Desa Tracap Kecamatan Kaliwiro Kabupaten Wonosobo

Dilihat dari ANOVA, signifikansinya

0,000 α (P ≤ 0,01), hal ini berarti bahwa

pengaruh umur, pendidikan, pengalaman

beternak dan jumlah kepemilikan ternak

secara bersama – sama berpengaruh sangat

signifikan terhadap respon peternak terhadap

pencegahan dan pengobatan penyakit cacing

gilig.

c. Uji T

Nilai konstanta sebesar 28.946

menyatakan bahwa jika tidak ada variabel

independen, secara statistik nilai x1, x2, x3,

dan x4 adalah 0 maka nilai respon peternak

adalah 28.946 dengan nilai signifikan 0,000

yang artinya berpengaruh sangat signifikan

terhadap respon. Untuk mengetahui secara

parsial masing – masing variabel terhadap

variabel terkait, maka dapat digunakan uji t

dengan hasil sebagai berikut :

1) Pendidikan

Variabel pendidikan berpengaruh

sangat signifikan terhadap respon

dengan ⍺ (P ≤ 0, 01). Nilai

koefisien regresi dari variabel

pendidikan adalah 0,001

berpengaruh sangat signifikan

terhadap respon, hasil yang positif

ini dikarenakan rata-rata

pendidikan responden di Desa

Tracap sebagian besar lulus

Sekolah Dasar sehingga dapat

membaca dan menulis.

Mardikanto (2009) menyatakan

bahwa tingkat pendidikan yang

dimiliki seseorang akan

berpengaruh terhadap

kapasitas/kemampuan belajar yang

memerlukan tingkat pengetahuan

tertentu untuk dapat memahami

suatu teknologi/inovasi.

2) Umur

Variabel umur berpengaruh

signifikan ⍺ (P ≤ 0, 05) terhadap

respon dengan tingkat signifikansi

0,011 dan berpengaruh secara

negatif ( - ) artinya ada

kecenderungan semakin tinggi

umur peternak maka semakin

rendah pula respon peternak

terhadap inovasi teknologi

pencegahan dan pengobatan

penyakit cacing gilig pada ternak

kambing. Hal ini sesuai dengan

pendapat Mardikanto (2009) yang

menyatakan bahwa umur 50 tahun

keatas memiliki daya serap dan

pemahaman yang kurang atau

kurang merespon inovasi baru.

3) Jumlah ternak dan pengalaman

beternak

Variabel pengalaman beternak dan

jumlah ternak tidak berpengaruh

signifikan terhadap respon. Hal ini

disebabkan karena respon petani

lebih banyak dipengaruhi oleh

faktor-faktor selain variabel-

variabel tersebut. Mardikanto

(2009) mengemukakan ada

beberapa faktor yang

mempengaruhi kecepatan

seseorang untuk merespon

meliputi (1). Luas usaha tani,

semakin luas usaha taninya

biasanya semakin cepat merespon,

karena memiliki kemampuan

ekonomi yang lebih baik. (2).

Tingkat pendapatan semakin

tinggi pendapatan biasanya akan

semakin merespon inovasi. (3).

Keberanian mengambil resiko,

sebab pada tahap awal biasanya

tidak selalu berhasil seperti yang

diharapkan. Karena itu, individu

yang memiliki keberanian

menghadapi resiko biasanya lebih

inovatif. (4). Tingkat

partisipasinya dalam

kelompok/organisasi diluar

87 Respon Peternak Terhadap Pencegahan dan Pengobatan Penyakit Cacing Gilig Pada Ternak

Kambing di Desa Tracap Kecamatan Kaliwiro Kabupaten Wonosobo

lingkungannya sendiri, umumnya

lebih inovatif dibandingkan

mereka yang hanya melakukan

kontak pribadi dengan warga

masyarakat setempat. (5).

Aktivitas mencari informasi dan

ide-ide baru biasanya lebih

inovatif dibandingkan dengan

orang-orang yang pasif apalagi

yang selalu tidak percaya terhadap

sesuatu yang baru.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Hasil kajian respon peternak yang

diukur melalui perubahan perilaku pada

penelitian ini dapat disimpulkan sebagai

berikut :

1. Tingkat respon peternak terhadap

pencegahan dan pengobatan penyakit

cacing gilig pada ternak kambing

meningkat dari respon rendah (21,66)

menjadi respon tinggi (52,05).

2. Faktor pendidikan berpengaruh sangat

signifikan terhadap respon dengan nilai

signifikansi 0,001,α (P ≤ 0,01), dan

umur berpengaruh signifikan terhadap

nilai respon dengan nilai

signifikansinya 0,011 α (P ≤ 0,05),

sedangkan secara bersama - sama

faktor pendidikan, umur, pengalaman

beternak, jumlah ternak, berpengaruh

sangat signifikan terhadap peningkatan

respon, dengan nilai signifikansinya

0,000 α (P ≤ 0,01).

Saran

Berdasarkan hasil penelitian disarankan :

1. Perlu sosialisasi lebih lanjut tentang

pencegahan dan pengobatan penyakit

cacing gilig pada ternak kambing.

2. Perlu dilakukan pembinaan yang

berkelanjutan dari dinas atau instansi

terkait untuk terus dapat meningkatkan

pengetahuan, sikap, dan ketrampilan

petani dalam rangka peningkatan

usahatani.

DAFTAR PUSTAKA

Ginting, E. 1994. Pokok Pikiran Penerapan

Metode Penelitian Sosial dalam

Program Kuliah Kerja Lapang.

Universitas Brawijaya, Malang.

Iswandari. 2006. Respon Petani Terhadap

Pasca Panen Ubi Kayu di Kecamatan

Playen Kabupaten Gunung Kidul.

Skripsi Fakultas Pertanian UGM

Yogyakarta.

Junaidi. 2007. Pemahaman tentang Adopsi,

Difusi dan Inovasi (Teknologi) dalam

Penyuluhan Pertanian.

http://database.deptan.go.id:8081/portalpeny

uluhan

Kantor informasi dan komunikasi

pemerintah propinsi jawa tengah

tahun 2004

http://www.google.com/search?q=kependud

ukan+kantor+informasi+dan+komuni

kasi+pemerintah+provinsi+jawa+teng

ah&hl=en&prmd=ivns&ei=RO

Kartasapoetra. 1988. Metodologi Penelitian

Sosial dan Pendidikan Teori-

Aplikasi. Bumi Aksara. Jakarta

Mardikanto,T. 2006. Prosedur Penelitian

Untuk Penyuluhan Pembangunan dan

Pemberdayaan Masyarakat. Prima

Theresia Pressindo. Surakarta.

Mardikanto,T.2009. Sistem Penyuluhan

Pertanian. Lembaga pengembangan

pendidikan (LPP) UNS dan

Pencetakan (UNS Press). Surakarta.

88 Respon Peternak Terhadap Pencegahan dan Pengobatan Penyakit Cacing Gilig Pada Ternak

Kambing di Desa Tracap Kecamatan Kaliwiro Kabupaten Wonosobo

Mubyarto, 1999. Reformasi Sistem Ekonomi

dari Kapitalisme Menuju Ekonomi

Kerakyatan. Aditia Media

Yogyakarta.

Padmowihardjo, S. 2002. Metode

Penyuluhan Pertanian. Universitas

Terbuka. Jakarta.

Subekti, S, S. Mumpuni, S. Koesdarto dan H.

Puspitawati. 1996. Ilmu Penyakit

Nematoda. Fakultas Kedokteran

Hewan. Universitas Airlangga.

Surabaya.

Suryabrata. 2005. Psikologi Pendidikan.

Raja Grafindo persada. Jakarta.

89 Analisis Keseimbangan Harga Daging Ayam Broiler di Propinsi Jawa Tengah

ANALISIS KESEIMBANGAN HARGA DAGING AYAM BROILER DI PROPINSI

JAWA TENGAH

(Analysis of the System Price Balance on Demand Curve of Commodity Broiler Meat In

Central Java)

Nurdayati1

1).

Staf Pengajar Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian Magelang

Jl.Magelang-Kopeng Km 7 Tegalrejo Magelang

E-mail : [email protected];

Diterima : 11 Oktober 2015 Disetujui : 25 November 2015

ABSTRACT

This study aimed to analyze the balance system price on the demand curve and the

supply curve of commodity broiler meat in Central Java. Analysis of data using Cobweb

equilibrium model. The results show Using cobweb balance, the magnitude of price elasticity

of demand for broiler meat has a negative sign and is in elastic (e <1), where as the supply

elasticity which has a positive sign and have the elastic properties. It gives the sense that of

consumer behavior with the change in the price of its impact on the quantity demanded of the

smaller being on the side of the producers for its influence on the price changes of goods

produced greater

Keywords :price, broiler, meat

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk Menganalisis Sistem keseimbangan harga pada kurva

permintaan dan kurva penawaran komoditi daging ayam broiler di Jawa Tengah. Analisis

data menggunakan model keseimbangan COBWEB. Hasilnya menunjukkan Menggunakan

keseimbangan cobweb, besarnya elastisitas harga permintaan daging ayam broiler

mempunyai tanda yang negatif dan bersifat in elastik (e <1), sedangkan elastisitas penawaran

yang mempunyai tanda positif dan mempunyai sifat elastic. Ini memberikan arti bahwa dari

perilaku konsumen dengan adanya perubahan harga pengaruhnya terhadap jumlah barang

yang diminta lebih kecil sedang dari sisi produsen adanya perubahan harga pengaruhnya

terhadap barang yang diproduksi lebih besar.

Kata Kunci: Daging ayam broiler, keseimbangan harga

PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

Meningkatnya tingkat pendapatan dan

jumlah penduduk, menyebabkan permintaan

akan produk peternakan meningkat pula,

seperti daging sapi, daging ayam, telur, dan

susu. Hal tersebut dapat menimbulkan

ketimpangan atau kekurangan antara jumlah

pasokan produksi dengan jumlah kebutuhan

yang diminta pada komoditas peternakan

(Badan Pusat Statistik, 2000)

Daging ayam broiler merupakan salah

satu pangan yang memiliki peranan strategis

dan bernilai ekonomis serta mempunyai

peluang untuk dikembangkan. di Propinsi

Jawa Tengah daging ayam broiler

90 Analisis Keseimbangan Harga Daging Ayam Broiler di Propinsi Jawa Tengah

mempunyai peranan yang cukup penting

karena kemampuannya sebagai penyedia

daging paling besar jumlahnya apabila

dibanding dengan daging lainnya. Dari tahun

2008 – 2010 tercatat daging ayam broiler

menduduki urutan pertama selanjutnya

daging sapi dan sebagai urutan ketiga daging

ayam buras kemudian baru daging lainnya.

(Badan Pusat Statistik, 2010). Meningkatnya

produksi daging ayam broiler ini merupakan

alternatif sumber pendapatan bagi

masyarakat.

Konsumen pada dasarnya

menginginkan agar harga suatu barang turun,

sedangkan produsen menginginkan agar

harga suatu barang naik. Apabila kedua sisi

dipertemukan maka diperoleh suatu titik

tengah yang disebut dengan titik

keseimbangan. Titik keseimbangan adalah

harga dimana produsen memperoleh

keuntungan yang maksimum, sedangkan

konsumen memperoleh kepuasan

maksimum. Untuk mengetahui apakah harga

daging ayam broiler di Propinsi Jawa Tengah

telah memberikan kepuasan bagi konsumen

dan keuntungan bagi produsen maka perlu

adanya penelitian untuk mengetahui

keseimbangan harga daging broiler di

Propinsi Jawa Tengah.

Tujuan Penelitian

Menganalisis Sistem keseimbangan

harga pada kurva permintaan dan kurva

penawaran komoditi daging ayam broiler di

Jawa Tengah

Landasan Teori

Persamaan Simultan Fungsi Permintaan

dan Penawaran

Fungsi permintaan:

QD = D (P,α)

Keterangan: QD = jumlah permintaan, P =

harga barang, dan α = variabel yang

dimungkinkan dapat menggeser kurva

permintaan, termasuk didalamnya

pendapatan konsumen, harga barang lain,

perubahan preference, dan lainnya.

Persamaan tersebut diharapkan bahwa:

PD

= Dp < 0, P

D

= Dα, dan Dα dapat

bernilai positif atau negatif

Fungsi penawaran

Qs = S (P, β)

Keterangan Qs = jumlah penawaran, P =

harga barang, dan β = variabel yang dapat

menggeser kurva penawaran, seperti harga

input, teknologi, harga barang lain. Fungsi

penawaran tersebut diharapkan bahwa

PS

= Sp>0,

S = Sβ, danSβ = dapat positif atau

negatif. Keadaan keseimbangan dapat

tercapai pada saat:

QD = Qs

Deferensial total dari masing-masing fungsi

pada persamaan:

d QD = DPdP + Dα dα

dQs = SPdP + Sβdβ

Dalam keadaan seimbang

∂QD = ∂Qs

Persamaan tersebut dapat dicari perubahan

harga keseimbangan setiap kombinasi

pergeseran permintaan atau penawaran.

Misalnya permintaan berubah dan

penawaran tetap maka diperoleh persamaan:

DPdP +Dα dα = SPdP

atauDPSP

DP

Berdasarkan persamaan tersebut apabila α

merupakan pendapatan, dan barang yang

dimaksud adalah barang normal, maka D α

adalah positif.

91 Analisis Keseimbangan Harga Daging Ayam Broiler di Propinsi Jawa Tengah

Hubungan antara permintaan dan

penawaran suatu komoditi dapat

menggambarkan keadaan surplus, defisit

atau keadaan keseimbangan terhadap

komoditi yang bersangkutan.Keadaan

surplus dapat terjadi apabila jumlah

penawaran lebih banyak dari jumlah

permintaan.Atau keadaan surplus terjadi

pada tingkat harga tertentu, dimana jumlah

barang yang ditawarkan lebih banyak

dibandingkan dengan jumlah permintaan,

QS>QD.Keadaan kekurangan dapat terjadi

apabila jumlah permintaan lebih besar

dibanding jumlah penawaran, QS<QD.

Keadaan keseimbangan dapat terjadi apabila

jumlah permintaan sama dengan jumlah

penawaran (QD=QS), yakni terjadi pada saat

harga keseimbangan P dan jumlah

keseimbangan Q tercapai.Hal ini

menunjukkan bahwa kenaikan pendapatan

akan menambah permintaan atau menggeser

kurve permintaan kekanan.

Kondisi keseimbangan, yakni harga

yang dibayarkan oleh konsumen sama

dengan harga yang diterima produsen atau

jumlah permintaan sama dengan jumlah

penawaran. Konsumen dapat memperoleh

kepuasan maksimum dan produsen dapat

memperoleh keuntungan maksimum.

Proses penyesuaian terhadap harga

keseimbangan sangat ditentukan oleh

besarnya elastisitas penawaran dan elastisitas

permintaan. Apabila elastisitas penawaran

lebih elastis dari pada elastisitas permintaan

maka dalam penyesuaiannya, harga barang

pada saat itu tidak menuju pada harga

keseimbangan. Sebaliknya apabila elastisitas

penawaran kurang elastis dibanding dengan

elastisitas permintaannya maka dalam

penyesuaiannnya harga pada saat itu akan

mengarah pada harga keseimbangan.

Teori Cobweb menjelaskan mengenai

harga produk pertanian yang menunjukkan

fluktuasi tertentu dari musim ke musim,

fluktuasi tersebut makin lama makin

mengecil dan akhirnya menuju

keseimbangan.Penyebab fluktuasi tersebut

adalah reaksi yang terlambat (time lag) dari

produsen (petani) terhadap harga.Menurut

Tomek dan Robinson (1972) menyatakan

bahwa siklus harga dan produksi dapat

terjadi dengan siklus yang mengarah pada

fluktuasi tetap (kontinyu), mengarah ketitik

keseimbangan (konvergen) dan siklus

menjauhi titik keseimbangan

(divergen)model tersebut dikenal dengan

nama model Cobweb.

Untuk menganalisis fungsi permintaan dan

penawaran dapat dilakukan dengan cara (a)

menggunakan persamaan tunggal (single

equation) dan (b) menggunakan persamaan

simultan (simultan equation system).

Menggunakan persamaan simultan dapat

ditentukan harga yang berlaku di pasar dan

jumlah barang yang ideal pada tingkat harga

tersebut, yakni ditentukan oleh perpotongan

antara kurve permintaan dengan kurve

penawaran.

Materi dan Metode

Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah

seluruh produsen dan konsumen daging

ayam broiler di Jawa Tengah, yang datanya

diperoleh dan dikumpulkan melalui

pencatatan secara langsung pada data

Sekunder (Time series) dari tahun 1999

sampai dengan 2010 pada berbagai sumber

sesuai dengan permasalahan yang diteliti.

Berbagai sumber yang dimaksud adalah (1)

Statistik Jawa Tengah (BPS), (2) Dinas

Peternakan Jawa Tengah, (3) SUSENAS (4)

Internet (5) berbagai jurnal, majalah, literatur

dan sumber yang lain.

92 Analisis Keseimbangan Harga Daging Ayam Broiler di Propinsi Jawa Tengah

Metode

Metode dasar yang dipergunakan

dalam penelitian ini adalah metode

deskriptif. Metode deskriptif adalah suatu

metode dalam penelitian kelompok manusia,

suatu obyek, suatu set kondisi, suatu sistem

pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada

masa sekarang. Tujuan dari penelitian adalah

untuk membuat deskriptif, gambaran atau

lukisan secara sistematis, faktual dan akurat

mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta

hubungan antar fenomena yang diselidiki

(Gujarati, 1999)

Pembatasan Masalah dan Asumsi

a. Pembatasan masalah

Karena luasnya permasalahan yang

berkaitan dengan obyek penelitian maka

untuk penyederhanaan dilakukan pembatasan

masalah sebagai berikut:

(1) Secara parsial, faktor-faktor yang

mempengaruhi penawaran adalah

Harga daging ayam broiler, harga

doc, jumlah permintaan daging

ayam broiler tahun lalu, harga

pakan (complete feed) , Teknologi

(FCR) dan wabah flu burung.

(2) Secara parsial berbagai faktor

yang mempengaruhi permintaan

daging ayam broiler di Jawa

Tengah adalah harga daging ayam

broiler, harga telur, harga beras,

harga daging sapi, jumlah

penduduk, pendapatan, wabah flu

burung.

b. Asumsi

Sejalan dengan maksud dari pembatasan

masalah diatas, diasumsikan :

(1) Jumlah penawaran daging ayam

broiler sama dengan jumlah

produksinya

(2) Jumlah permintaan daging ayam

broiler sama dengan jumlah

konsumsinya.

c. Koseptualisasi Variabel dan

Pengukurannya

Pada penelitian ini dilakukan

penyeragaman pengertian dalam penafsiran

variabel, sehingga diharapkan dapat

mendukung tercapainya tujuan. Pengertian-

pengertian yang dimaksud adalah sebagai

berikut:

1. Permintaan daging ayam (Qd) ,

adalah jumlah konsumsi daging

ayam broiler di Jawa Tengah dan

pada tahun tertentu, dinyatakan

dalam satuan kilogram, (kg)

2. Penawaran daging ayam broiler

(QS), adalah jumlah produksi

daging ayam broiler yang

dihasilkan (kg).

3. Harga daging ayam broiler

(Pday)adalah harga rata-rata

daging ayam broiler di pasar

(Rp/kg)

4. Harga daging ayam broiler tahun

lalu (Qdt-t) adalah harga rata-rata

daging ayam broiler di pasar tahun

lalu (Rp/kg)

5. Harga barang lain

a. Barang yang sejenis yang

digunakan untuk lauk

Harga barang lain adalah

harga daging sapi, harga

daging ayam buras dan telur

adalah harga transaksi antara

penjual dan pembeli yang

diecerkan, yang dinyatakan

dalam satuan Rp/kg.

b. Barang yang bukan dari

sejenis daging dan bisa untuk

saling melengkapi yaitu:

Harga beras, adalah harga

transaksi antara penjual dan

93 Analisis Keseimbangan Harga Daging Ayam Broiler di Propinsi Jawa Tengah

pembeli , yang dinyatakan

dalam satuan Rp/kg.

6. Harga pakan (Pakn), adalah harga

rata-rata pakan jadi berupa

(complete feed) setiap periode

pemeliharaan yang dinyatakan

dalam Rp/kg.

7. Jumlah penduduk (Jp), adalah

banyaknya penduduk Jawa Tengah

pada tahun tertentu, yang

dinyatakan dalam satuan jiwa

(orang).

8. Pendapatan per kapita penduduk

Propinsi Jawa Tengah (I)

diperoleh dengan membagi PDRB

atas dasar harga konstan dengan

jumlah penduduk Propinsi Jawa

Tengah.

9. Dummy Wabah Flu burung

(Dwfb), adalah kondisi di Jawa

Tengah saat ada wabah flu burung

Dwfb diberi nilai 0, saat kondisi

Jawa Tengah tidak ada wabah flu

burung Dwfb diberi nilai 1.

Macam dan Jenis Data

Untuk menganalisis permasalahan

dalam penelitian ini menggunakan data

sekunder “time series” antara lain :

(1) Jumlah permintaan daging ayam

broiler di Jawa Tengah

(2) Jumlah penawaran daging ayam broiler

di Jawa Tengah

(3) Harga jenis daging, yakni harga daging

dari jenis-jenis daging ayam broiler,

daging ayam buras dan harga daging

sapi.

(4) Harga barang lain (selain daging), yang

berkaitan dengan permintaan daging

ayam broiler terdiri dari barang

substitusi dan komplementer. Barang

substitusi daging ayam broiler adalah

telur dan daging sapi, sedangkan

barang komplementer adalah beras.

(5) Harga pakan (complete feed)

(6) Teknologi, jumlah produksi per jumlah

pakan yang dihabiskan.

(7) Jumlah penduduk dan pendapatan per

kapita.

Metode Analisa

Alat analisa yang digunakan dalam

penelitian adalah dengan: regresi berganda

yang diselesaikan dengan system persamaan

simultan untuk mengetahui hubungan

interdependensi pada kedua variabel

endogen (Crutchey et al, 1999), Model

simultan adalah model yang mempunyai

lebih dari satu variabel tidak bebas

(endogenous variabel) dan lebih dari satu

persamaan, yaitu persamaan Permintaan dan

persamaan Penawaran. Hubungan

interdependensi menyebabkan variabel

endogen yang menjelaskan (dependent

explanatory variable) menjadi stokastik dan

terkolerasi dengan gangguan (disturbance)

dari persamaan yang muncul sebagai

variabel yang menjelaskan.

Mengacu pada asumsi keseimbangan

sistem COBWEB, model fungsi permintaan

daging ayam broiler pada tahun t

didefinisikan sebagai fungsi dari permintaan

harga daging ayam broiler tahun t-1, harga

daging ayam broiler tahun t, Secara

matemetis permintaan daging ayam broiler

dirumuskan sebagai berikut:

Pada persamaan simultan, fungsi

penawaran dan fungsi permintaan

dirumuskan sebagai berikut (Johnston,

1984).

Fungsi Penawaran : Qs = f (P*, A)

Fungsi Permintaan : Qd = f (P*, Ps, I)

Keterangan:

Qs = jumlah penawaran, P* = harga

keseimbangan, A = teknologi,

94 Analisis Keseimbangan Harga Daging Ayam Broiler di Propinsi Jawa Tengah

Qd = jumlah permintaan, Ps = harga barang

lain dan I = pendapatan.

Diasumsi bahwa fungsi penawaran dan

permintaan dibentuk oleh variabel non

stokastik dan komponen pengganggu.

Persamaan penawaran dan permintaan yang

dimaksud dapat dirumuskan sebagai berikut:

a. Persamaan fungsi penawaran

Qs = a0 + a1 P* + a2 A + U

b. Persamaan fungsi permintaan

Qd = b0 + b1 P* + b2 Ps + b3 I + V

c. Persamaan keseimbangan

Qs = Qd

Persamaan simultan disini adalah

persamaan yang dibentuk pada posisi

keseimbangan terseb ut. Selanjutnya untuk

melakukan estimasi dari kedua persamaan

tersebut maka dilakukan dengan metode Two

Stage Least Square (TSLS) dengan cara

sebagai berikut:

1. Mengidentikkan antara jumlah penawaran dan jumlah permintaan : Qs = Qd

a0 + a1 P* + a2 A + u = b0 + b1 P* + b2Ps + b3 I +V

a0 + a2 A + u – b0 – b2 Ps - b3 I – v = b1 P* - a1 P*

a0 – b0 + a2 A – b2 Ps – b3 I – v = (b1 – a1) P*

(a0 – b0) a1 b1 a2b2 a3b3

P* = ----------- + ---------- A - ----------- Ps - ----------- I

(b1 – a1) (b1 – a1) (b1 – a1) (b1 – a1)

Dari persamaan tersebut dapat disusun persamaan reduce form sebagai berikut:

P* = π0 + π1 A + π2 Ps + π3 I

2. Memasukkan harga P* tersebut ke dalam persamaan struktural pertama

a. Persamaan fungsi penawaran

Qs = a0 + a1 P* + a2 A + u

b. Persamaan fungsi permintaan

Qd = b0 + b1 P * + b2 Ps + b3 I + U

HASIL DAN PEMBAHASAN

Harga Keseimbangan Pasar Model

Cobweb

Model persamaan permintaan dan

penawaran daging ayam broiler dapat

diformulasikan sebagai berikut:

Penawaran daging ayam broiler :

Ln Qs = Ln a + b ln Pdayl

Permintaan daging ayam broiler :

Ln Qd = Ln c – d ln Pday

Keterangan:

Ln Qs = Penawaran daging ayam broiler

Ln Pdayl = Harga daging ayam broiler tahun

lalu

Ln Qd = Permintaan daging ayam broiler

Untuk ln a dan ln c masing-masing

adalah konstanta, sedangkan b, d masing-

masing adalah elastisitas harga penawaran,

elastisitas harga permintaan daging ayam

broiler.

Berdasarkan besarnya elastisitas harga

permintaan dan penawaran daging ayam

broiler, maka tercapainya kondisi

keseimbangan sangat tergantung pada

perbedaan besarnya elastisitas harga pada

permintaan dan penawaran daging ayam

broiler.

95 Analisis Keseimbangan Harga Daging Ayam Broiler di Propinsi Jawa Tengah

Berdasarkan besarnya nilai elastisitas harga

pada permintaan dan penawaran dengan

model cobweb (Tomek dan Robinson, 1990)

adalah:

Qt(s)

= δ + γ Pt-1 (Supply)

Qt(s)

= Qt (d)

( Equilibrium)

Pt = α – β Qt (d)

(demand)

(demand)

(Supply)

Kondisi slope:

( - > divergent cycle

( - = continous cycle

( - < convergent cycle

Hasil analisis fungsi permintaan dan fungsi

penawaran daging ayam broiler adalah :

Ln Qd = 22,878** - 0,643 Ln Pday

Ln Qs = 0,961 + 2,218** Ln Pdayl

Keterangan : ** = nyata (P < 0,01)

Besarnya nilai elastisitas harga

permintaan daging ayam broiler (εd) = 0,643

lebih kecil apabila dibandingkan dengan

elastisitas penawaran daging ayam broiler

(εs) = 2,218, sehingga Ed< Es. Jika

elastisitas penawaran relatif lebih elastis

apabila dibandingkan dengan elastisitas

permintaan maka harga akan menuju ke

keseimbangan.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Menggunakan keseimbangan cobweb,

besarnya elastisitas harga permintaan daging

ayam broiler mempunyai tanda yang negatif

dan bersifat in elastik (e <1), sedangkan

elastisitas penawaran yang mempunyai tanda

positif dan mempunyai sifat elastis. Ini

memberikan arti bahwa dari perilaku

konsumen dengan adanya perubahan harga

pengaruhnya terhadap jumlah barang yang

diminta lebih kecil sedang dari sisi produsen

adanya perubahan harga pengaruhnya

terhadap barang yang diproduksi lebih besar.

Saran

Perlu pengkajian yang lebih mendalam

tentang perilaku konsumen terhadap

perubahan harga daging yang setiap saat

berubah, dan ketidakseimbangan jumlah

barang antara keinginan konsumen dengan

produsen.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik. 2000. Pengeluaran

Untuk Konsumsi Penduduk Indonesia

2000. Jakarta.Indonesia.

Badan Pusat Statistik. 2000. Konsumsi

Kalori dan Protein Penduduk

Indonesia. Jakarta. Indonesia.

Badan Pusat Statistik.2010. Jawa Tengah

dalam Angka. Laporan Tahunan

Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa

Tengah.

Crutchley, C.E., M.R.H. Jensen, Jr. Jahera,

and J.E. Raymond. 1999. “Agency

Problems and The Simultaneity

Decision Making The Role of

Institusional Ownership”.

International Review Of Financial

Analysis, 8.2.

Gujarati, D. 1999. Ekonometrika Dasar

Terjemahan (Sumarno Zaen)

Erlangga.

Johnston, J. 1984. Econometric Methods.

Third Edition. Mcgraw Hill. New

York.

Romaully . 2010. Model Penawaran dan

Permintaan Daging Ayam Ras

Pedaging di Propinsi Kalimantan

Selatan dengan Pendekatan

96 Analisis Keseimbangan Harga Daging Ayam Broiler di Propinsi Jawa Tengah

Persamaan Simultan,

http://kopertis11.net/jurnal/MIRAND

A ROMAULLY-MODEL (Diakses

tanggal 20 Juni 2013).

Tomek dan Robinson.1990. Agriculture

Product Prices. 3rd

. New York .USA.

Cornell University

97 Pengaruh Pemberian Ramuan Herbal sebagai Pengganti Vitamin dan Obat-Obatan dari Kimia

Terhadap Performan Ternak Ayam Kampung Super

PENGARUH PEMBERIAN RAMUAN HERBAL SEBAGAI PENGGANTI VITAMIN

DAN OBAT-OBATAN DARI KIMIA TERHADAP PERFORMAN

TERNAK AYAM KAMPUNG SUPER

(The Effect Of Herbs As a subtitute for Vitamin And Medicine on Crossbreed Chicken

Performance)

Prabewi, N.1 dan Junaidi, P. S.

2

1).

Staf Pengajar Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian Magelang

Jl.Magelang-Kopeng Km 7 Tegalrejo Magelang

E-mail : [email protected];

2)

Tenaga Teknis di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Kalimantan Timur

Jl. Pangeran M. Noor, Sempaja PO Box 1832. Samarinda 7511

Diterima : 11 Oktober 2015 Disetujui : 25 November 2015

ABTRACT

The research objective was to determine the performance of a crossbreed chicken

livestock by administering herbal ingredients. The method used is Complete Random Design

(CRD) composed-of three treatment provision of drinking water: Treatment (PH0) drinking

water without herbs, (PH1) of drinking water mixed with herbs fermented for 4 days, ( PH2)

drinking water mixed with herbs fermented for 6 days. Each repetition treatment three times

to obtain 9 a plot. Each repetition consisted of five chickens so that each treatment the

number of super chicken as much as 15 tails, and the number of crossbreedchicken for this

study a total of 45 heads reared from the age of 1 day or DOC until the age of 63 days. The

research variables were observed feed intake, FCR, body weight gain, mortality, harvesting

of live weight, carcass percentage. Data were analyzed using analysis methods Analyses Of

Variance (ANOVA), if there is a difference then further tested using Duncan's New Multeple

Rage Test (DNMRT). The results showed that administration of herb ingredients in the local

chicken super results were significantly different (P <0.05) on feed intake, body weight

harvesting, FCR, carcass percentage and daily body weight gain. While on a variable

percentage of mortality was not significantly different.

The conclusion that can be drawn is the treatment of herbs fermented for 6 days which

is given through drinking water as a substitute vitamins, medicines from chemicals to

maintain the performance of local chicken super, it is evident that the variable feed intake,

body weight gain, live weight harvesting , carcass percentage and thus obtain maximum feed

efficiency or lowest FCR

Keywords :herbs, crossbreed chicken performance

ABSTRAK

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui performan ternak ayam kampung super

dengan pemberian ramuan herbal. Metode penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak

Lengkap (RAL) terdiri-dari tiga perlakuan pemberian air minum,: Perlakuan (PH0) air

minum non herbal (tanpa herbal), (PH1) air minum yang dicampur dengan ramuan herbal

difermentasi selama 4 hari , (PH2) air minum yang dicampur dengan ramuan herbal yang

98 Pengaruh Pemberian Ramuan Herbal sebagai Pengganti Vitamin dan Obat-Obatan dari Kimia

Terhadap Performan Ternak Ayam Kampung Super

difermentasi selama 6 hari .Setiap perlakuan ulangannya sebanyak tiga kali sehingga

diperoleh 9 petak percobaan. Tiap ulangan terdiri dari 5 ekor ayam sehingga setiap perlakuan

jumlah ayam kampung super sebanyak 15 ekor, dan jumlah ternak ayam kampung super

untuk penelitian ini total 45 ekor dipelihara mulai umur 1 hari atau DOC sampai umur 63

hari. Variabel penelitian yang diamati konsumsi pakan, FCR, pertambahan bobot badan,

mortalitas, bobot hidup umur panen, persentase karkas. Metode analisis data dianalisis

menggunakan Analyses Of Variance (ANOVA), bila terdapat perbedaan maka diuji lanjut

menggunakan metode Duncan’s New Multeple Rage Test (DNMRT).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian ramuan herbal pada ayam kampung

super memberikan hasil yang berbeda nyata (P<0,05) terhadap konsumsi pakan, bobot hidup

umur panen, FCR, persentase karkas dan pertambahan bobot badan. Sedangkan pada variabel

persentase mortalitas tidak berbeda nyata.

Kesimpulan yang dapat diambil adalah perlakuan ramuan herbal fermentasi selama 6

hari yang diberikan melalui air minum sebagai pengganti vitamin, obat-obatan dari bahan

kimia dapat mempertahankan performan ayam kampung super, hal tersebut terbukti bahwa

variabel konsumsi pakan, pertambahan bobot badan, bobot hidup umur panen, persentase

karkas dan sehingga mendapatkan efisiensi pakan yang maksimal atau FCR terendah.

Kata kunci: Ramuan Herbal, Ayam Kampung Super, Performan.

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Ayam kampung super merupakan hasil

persilangan ayam pejantan Jawa dengan

ayam ras petelur yang memiliki kualitas

genetik tinggi dan telah mengalami

pemuliabiakan sehingga performan

pertumbuhannya lebih baik dari kebanyakan

ayam Jawa lainnya, (Dawung, 2012).

Sedangkan pencegahan penyakitnya dengan

memanfaatan ramuan herbal sebagai

alternatif pengganti obat – obatan serta

vitamin dari bahan kimia, karena ramuan

herbal sejak dahulu dikenal masyarakat

sebagai obat maupun untuk memperbaiki

metabolisme tubuh. Pendapat Zainuddin dan

Wakradihardja (2002) menyatakan bahwa

penggunaan berbagai bahan ramuan herbal

untuk manusia juga ampuh dan dapat

menekan berbagai penyakit pada ternak

ayam. Perbaikan metabolisme melalui

pemberian ramuan herbal secara tidak

langsung akan meningkatkan performan

ternak ayam melalui zat bioaktif yang

dikandungnya.

Rumusan Masalah

Permasalahan yang muncul adalah

apakah dengan pemberian ramuan herbal

fermentasi sebagai pengganti vitamin dan

obat-obatan dari bahan kimia dapat

mempertahankan performan ayam kampung

/ ayam kampung super ?

Tujuan Penelitian

Mengetahui dengan pemberian ramuan

herbal sebagai pengganti vitamin, obat-

obatan dari bahan kimia dapat

mempertahankan performan ayam kampung

super.

Landasan Teori

Tanaman herbal yang dapat digunakan

untuk ternak ayam adalah jahe, kencur,

lengkuas, temulawak, temuireng, lempuyang,

mengkudu atau pace, kunyit, daun sirih,

99 Pengaruh Pemberian Ramuan Herbal sebagai Pengganti Vitamin dan Obat-Obatan dari Kimia

Terhadap Performan Ternak Ayam Kampung Super

daging lidah buaya, daun pepaya, daun

sambiloto, kayu manis, tetes tebu, bawang

putih, EM-4 dan air sumur. Ramuan herbal

memiliki aktivitas farmakologis sebagai

antibiotik alami, antivirus, antimikrobia,

antiradang, antiparasit (cacingan),

antikolesterol, antikanker dan meningkatkan

nafsu makan serta meningkatkan daya cerna

ternak ayam (Wakhid, 2013).

Ramuan herbal memiliki aktivitas

farmakologis sebagai antibiotik alami,

antivirus, antimikrobia, antiradang,

antikolesterol, antikanker, meningkatkan

nafsu makan dan meningkatkan daya cerna

ternak ayam (Cahyono, 2011).

Dudung (2013) menyatakan bahwa

ayam kampung super merupakan persilangan

menggunakan 3 ayam yaitu: ayam kedu,

ayam ras Rhode Island Red dan White

Leghorn. Ayam kampung super memiliki

pertumbuhan yang lebih cepat dari pada

ayam kampung biasa, dengan rasa dan

tekstur daging yang menyerupai ayam

kampung, dari segi warna bulu yang

dominan putih, sebagian kecil berwarna

cokelat dan hitam. Menurut Yaman (2011)

menyatakan bahwa ayam lokal pedaging

unggul (ALPU) adalah ayam hasil

Crossbreeding yang menggunakan ayam

kampung sebagai pejantan atau induk

dengan menggunakan teknologi

pemuliabiakan dengan melewati selection

program termasuk progeny test pada setiap

fase anak sehingga memenuhi kreteria

sebagai ayam pedaging produktif

dibandingkan ayam lokal asli, untuk ayam

lokal pedaging unggul pada umur 8 minggu

capaian berat badan rata rata mencapi 835

gram/ekor

Agus (2007) menyatakan bahwa

tepung ikan mempunyai kandungan protein

kasarnya bervariasi dari 60% sampai 70%,

lemak antara 2% sampai 12%, energi

metabolis 3.000 kkal/kg tergantung dari

proses yang dilakukannya.

Bekatul mempunyai kandungan protein

kasar 10,2%, energi metabolisme 1.630

Kkal/kg, lemak 7,9%, serat kasar 8,2%,

(Nawawi dan Nurrohmah, 2003).

Jagung mempunyai kandungan energi

metabolis 3.390 kkal/kg, protein kasar 8,9%

dan kandungan serat kasarnya 2,5%,

(Retnani, 2002). Yamin (2011) menyatakan

bahwa ayam lokal pedaging unggul (ALPU)

menghasilkan pertambahan bobot badan per

minggu sebesar 104 gram/ekor/minggu.

Sedangkan menurut Cahyono (2011)

menyatakan bahwa pertambahan bobot

badan ayam kampung per minggu sebesar

50,5 gram/ekor/minggu.

Karkas adalah hasil pemotongan

unggas tanpa disertai darah, bulu, kepala,

cakar, usus, hati, jantung dan paru-paru

masuk kedalam karkas karena sulit

dipisahkan (Yuwanta, 2004).

Konversi pakan atau Feed Conversi

Ratio (FCR) yaitu perbandingan antara

pakan yang dihabiskan dengan berat ayam

yang didapat (Santoso dan Sudaryani, 2011).

Sedangkan Cahyono (2011) menyatakan

bahwa Ayam kampung menghasilkan

konversi pakan sebesar 4.93. Hasil penelitian

Warasoma (2004) ayam kampung dipelihara

selama 10 minggu dengan pakan

mengandung PK 18%, EM 2.600 kkal/kg

menghasilkan rerata pertambahan bobot

badan panen 792,64 gram, rerata konsumsi

pakan 2.547 gram/ekor. Sedangkan menurut

Cahyono (2011) menyatakan bahwa

pertambahan bobot badan ayam kampung

yang dipelihara selama 10 minggu dengan

pakan campuran adalah sesbesar 505,2

gram/ekor. Selanjutnya Yamin (2011)

menyatakan bahwa ayam lokal pedaging

unggul pemeliharaan selama 10 minggu

menghasilkan bobot hidup umur panen 1.153

gram/ekor.

100 Pengaruh Pemberian Ramuan Herbal sebagai Pengganti Vitamin dan Obat-Obatan dari Kimia

Terhadap Performan Ternak Ayam Kampung Super

Hipotesis

Diduga pemberian ramuan herbal

sebagai pengganti vitamin, obat-obatan dari

bahan kimia dapat mempertahankan

performan ayam kampung super.

MATERI DAN METODE

Materi

Lokasi dan Waktu

Lokasi pelaksanaan penelitian

dikandang Laboratorium Ternak Unggas dan

Aneka Ternak Sekolah Tinggi Penyuluhan

Pertanian (STPP) Magelang. Waktu

pelaksanaan penelitian tanggal 07 Juli 2013

sampai 07 September 2013.

Alat dan Bahan

1. Alat

Alat yang digunakan selama

pelaksanaan penelitian, meliputi: 1) kandang

percobaan 9 petak terbuat dari bambu dan

kawat ram, 2) tempat pakan 9 buah terbuat

dari kayu dan bambu, 3) tempat air minum 9

buah dengan kapasitas 1 liter, 4) lampu 25

watt sebanyak 9 bolam untuk penerangan, 5)

hand sprayer 1 buah untuk penyemprotan

kandang, 6) 1 buah alat blender untuk

membuat ramuan herbal, 7) timbangan

elektrik 1 unit dengan kepekaan 0,1 gram

untuk menimbang bobot hidup ayam, pakan

dan bahan-bahan ramuan herbal, 8) gelas

ukur 1 buah untuk mengukur pemberian air

minum dengan ramuan herbal.

2. Bahan

Bahan yang digunakan selama

pelaksanaan penelitian, meliputi: 1) bibit

ayam kampung super sebanyak 45 ekor, 2)

bahan - bahan herbal (satu resep ini untuk

dua kali periode pemeliharaan dengan

jumlah 45 ekor per periode pemeliharaan) :

bawang putih 125 gram, kencur 125 gram,

jahe 62,5 gram , lempuyang 62,5 gram, temu

ireng 62,5 gram, temu lawak 62,5 gram ,

kunyit 62,5 gram, lengkuas 30 gram, kayu

manis 30 gram, daun pepaya , daging lidah

buaya, sambiloto, pace atau mengkudu ,

daun sirih , EM 4 125 cc dan tetes tebu 62,5

cc

Metode

1. Pembuatan Ramuan Herbal

Cara pembuatan ramuan herbal yaitu

semua bahan herbal kecuali EM4 dan tetes

ditumbuk halus kemudian diambil sarinya

dan ditambah air bersih dari sumur sebanyak

5 liter untuk satu resep ini, baru ditambah

EM4 dan tetes tebu kemudian ditutup rapat

untuk difermentasi, selama fermentasi kita

aduk larutan herbal tersebut untuk

mengeluarkan gasnya selama fermentasi,

yang 50% jumlah larutan herbal difermentasi

selama 4 hari (Perlakuan Herbal I) dan 50%

jumlah larutan herbal difermentasi selama 6

hari (Perlakuan Herbal II), setelah fermentasi

selesai diberikan melalui air minum pada

ternak ayam dosisnya 1 liter air besih + 40 cc

larutan herbal. Dan pemberiannya setiap 4

hari sekali pada waktu sore hari. 3) pakan

BR-1, 4) bekatul, 5) jagung kuning giling, 6)

tepung ikan, 7) garam, 8) desinfektan, 9)

kapur. Komposisi pakan, kandungan protein

(%) dan energi metabolisme (kkal/kg) per-

minggu ayam kampung super yang

digunakan selama pelaksanaan penelitian

disajikan pada Tabel 1 dibawah ini:

101 Pengaruh Pemberian Ramuan Herbal sebagai Pengganti Vitamin dan Obat-Obatan dari Kimia

Terhadap Performan Ternak Ayam Kampung Super

Tabel 1. Komposisi Pakan, Kandungan Protein dan Energi Metabolisme Per-Minggu

Ayam Kampung Super

Jenis Pakan

Jumlah Pakan (%)

Minggu

1 dan 2

Minggu

3 dan 4

Minggu

5 dan 6

Minggu

7 dan 8

Minggu

9

Konsentrat BR-1 100

Jagung kuning 65 65 65 65

Bekatul 15 17,5 20 20

Tepung ikan 20 17,5 15 15

Jumlah 100 100 100 100 100

Protein kasar (%) 21 19,3 18 16,8 16,8

Energi Metabolis (Kkal/kg) 3.200 3.048 3.013 2.979 2.979

Sumber: data terolah 2013

2. Variabel Penelitian

Variabel penelitian yang diukur atau

diamati selama pelaksanaan penelitian

adalah sebagai berikut:

a. Konsumsi Pakan

Konsumsi pakan dengan cara

menimbang pakan ayam kampung

super untuk kebutuhan 1 minggu

dan pada hari ke-7, sisa ditempat

pakan dan pakan yang tercecer

kemudian ditimbang sehingga

dapat diketahui jumlah pakan yang

dikonsumsi (gram/ekor/minggu).

b. Pertambahan Bobot Badan

Pertambahan bobot badan dengan

cara menimbang ayam kampung

super setiap ekornya dan

dilakukan setiap minggu

(gram/ekor/minggu).

c. Bobot Hidup Umur Panen

Bobot hidup umur panen dengan

cara menimbang bobot badan

ayam saat panen dan melakukkan

pencatatan umur panen.

d. Persentase Mortalitas

Mortalitas dengan menghitung

jumlah ayam yang mati dan ditotal

pada akhir pemeliharaan berguna

untuk mengetahui presentase

mortalitasnya.

e. Feed Conversion Ratio (FCR)

Feed Conversion Ratio (FCR)

dengan cara menghitung

perbandingan jumlah pakan yang

dikonsumsi (kg) dengan berat

badan yang dihasilkan (kg) selama

pemeliharaan 63 hari ayam

kampung super sebanyak 45 ekor.

f. Persentase Karkas

Persentase karkas dengan cara

memotong ayam umur 63 hari,

setiap perlakuan dipilih 1 ekor

ayam untuk diketahui persentase

karkas dengan bobot karkas

ditimbang dan dibagi dengan

bobot hidup ayam dikalikan 100%.

3. Analisis Data Penelitian

Analisis data yang digunakan untuk

mengetahui performan ayam kampung super

adalah menurut Nuroso (2011), Nastiti

(2010) untuk mengetahui performan ayam

dari segi teknis maupun ekonomis ada

beberapa metode, antara lain: dengan

menghitung rata-rata pertambahan bobot

badan, konsumsi pakan, efisiensi pakan atau

FCR, bobot hidup umur panen, persentase

mortalitas, persentase karkas. Selanjutnya

data dianalisis menggunakan Analyses Of

Variance (ANOVA), bila terdapat perbedaan

maka diuji lanjut menggunakan metode

Duncan’s New Multeple Rage Test

(DNMRT).

102 Pengaruh Pemberian Ramuan Herbal sebagai Pengganti Vitamin dan Obat-Obatan dari Kimia

Terhadap Performan Ternak Ayam Kampung Super

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil analisis data secara statistik

selama pelaksanaan penelitian menggunakan

ramuan herbal sebagai pengganti vitamin dan

obat-obatan dari kimia pada ayam kampung

super sebanyak 45 ekor selama 63 hari,

meliputi: Perlakuan Non Herbal (PH0),

Perlakuan Herbal Fermentasi 4 hari (PH1)

dan Perlakuan Herbal Fermentasi 6 hari

(PH2) tertera pada Tabel 2 dibawah ini.

Tabel 2. Rerata Konsumsi Pakan, Pertambahan Bobot Badan, Bobot Hidup Umur Panen,

FCR dan Persentase Mortalitas serta Persentase Karkas Pada Ayam Kampung

Super Selama 63 Hari

Variabel kajian Perlakuan

PH 0 PH 1 PH 2

Konsumsi pakan (gram/ekor/63 hr) 2236,3 2298,3* 2315,3*

Pertambahan bobot badan (gram/ekor/minggu) 68,1 73,5* 80,0*

Bobot hidup umur panen (gram/ekor) 651,1 701,9* 761,8* FCR 3,4 3,2* 3,0*

Persentase mortalitas (%) 0 0 0

Persentase karkas (%) 56,8 66,5* 73,8*

*: Tanda bintang diatas angka menunjukkan berbeda nyata pada taraf nyata 0,05

Sumber: data terolah (2013).

Variabel yang diukur selama

pelaksanaan penelitian untuk mengetahui

performan ternak ayam kampung super

adalah rerata konsumsi pakan

(gram/ekor/63hari), pertambahan bobot

badan (gram/ekor/minggu), bobot hidup

umur panen (gram/ekor/63hr), persentase

mortalitas, FCR dan persentase karkas. Hal

ini sesuai pendapat Nuroso (2011), Nastiti

(2010), Santoso dan Sudaryani (2011),

menyatakan bahwa untuk mengetahui

performan ayam dari segi teknis maupun

ekonomis ada beberapa metode, antara lain:

dengan menghitung rerata konsumsi pakan,

pertambahan bobot badan, bobot hidup umur

panen, persentase mortalitas, FCR dan

persentase karkas. Selanjutnya Sugiyono

(2011) menyatakan bahwa data dianalisis

untuk membuktikan perbedaan data hasil

antara pemeliharaan tanpa penambahan

herbal dengan herbal langsung dan herbal

fermentasi dengan Uji ANOVA.

1. Konsumsi Pakan

Hasil analisis data menunjukkan bahwa

rerata konsumsi pakan ayam kampung super

selama 63 hari (9 minggu) pada perlakuan

pemberian herbal fermentasi 6 hari (2287

gram/ekor) berbeda nyata (P<0,05) atau

lebih tinggi dibandingkan perlakuan non

herbal (2225,8 gram/ekor), hal ini

disebabkan karena: perlakuan herbal yang

terdiri-dari bahan empon-empon seperti

temulawak, lengkuas, kunyit, tetes tebu dan

kayu manis melalui air minum berkhasiat

meningkatkan nafsu makan dan menjaga

stamina ternak ayam kampung super. Sesuai

pendapat Murdiati (2002) menyatakan

bahwa tanaman obat seperti: lengkuas,

temulawak dan kunyit memiliki zat aktif

seperti kurkumin dan minyak atsiri.

Kurkumin dapat meningkatkan kerja organ

dan memperlancar pencernaan sehingga

nafsu makan ternak ayam menjadi meningkat

dan minyak atsiri dapat memberi efek anti

mikrobia atau menghambat pertumbuhan

bakteri pada saluran pencernaan ternak

ayam. Hal sama dilaporkan oleh Zainuddin

dan Wakradihardja (2002) bahwa bagian

rimpang tanaman langkuas dan temulawak

dapat dimanfaatkan sebagai penambah nafsu

103 Pengaruh Pemberian Ramuan Herbal sebagai Pengganti Vitamin dan Obat-Obatan dari Kimia

Terhadap Performan Ternak Ayam Kampung Super

makan, menjaga stamina pada ternak ayam.

Selanjutnya Sudirman (2012) melaporkan

bahwa bagian rimpang tanaman kunyit

berfungsi sebagai anti bakteri, melancarkan

pencernaan dan menambah nafsu makan.

Sedangkan menurut Lokapirnasari (2007)

menyatakan bahwa kayu manis memiliki

efek farmakologis yang dibutuhkan dalam

obat-obatan seperti halnya: kulit batang,

daun dan akarnya. Kayu manis memiliki

kandungan minyak atsiri yang berguna

sebagai anti bakteri dan dapat meningkatkan

nafsu makan. Begitu juga menurut Retnani

(2002) menyatakan bahwa molases atau tetes

tebu merupakan sumber energi yang esensial

dengan kandungan gula didalamnya

sehingga dapat meningkatkan nafsu makan

dan menjaga stamina ternak. Selanjutnya

Sudirman (2012) menyatakan bahwa

molases dimanfaatkan sebagai bahan

tambahan pakan ternak dengan kandungan

protein kasar 3,1%, serat kasar 0,6%, BETN

83,5%, lemak kasar 0,9% dan abu 11,9%.

2. Pertambahan Bobot Badan

Hasil analisis data menunjukkan bahwa

rerata pertambahan bobot badan ternak ayam

kampung super selama 63 hari (9 minggu)

pada perlakuan pemberian herbal fermentasi

6 hari (78,9 gram/ekor/minggu) berbeda

nyata (P<0,05) atau lebih tinggi

dibandingkan perlakuan non herbal yang

hanya (70,6 gram/ekor/minggu), hal ini

disebabkan karena khasiat bahan campuran

ramuan herbal dapat memperbaiki

pertambahan bobot badan ternak ayam

kampung super. Sesuai pendapat

Lokapirnasari (2007) menyatakan bahwa

EM-4 berfungsi untuk menjaga

keseimbangan mikroorganisme yang ada

dalam saluran pencernaan sehingga

memperbaiki absorpsi makanan dalam usus,

dapat meningkatkan pertumbuhan dan

produksi serta antisipasi stres dengan cepat.

Sedangkan pemberian EM-4 pada ternak

akan menurunkan pH di dalam usus yang

dapat menghambat pertumbuhan bakteri

yang merugikan. Begitu juga menurut

Wakhid (2013) menyatakan bahwa probiotik

(EM-4) dapat menyeimbangkan

mikroorganisme dalam saluran pencernaan

ternak, meningkatkan nafsu makan,

menyehatkan ternak, mengurangi stres,

meningkatkan kualitas produksi ternak,

mengurangi bau kandang dan lingkungan.

Selanjutnya Hanura dan Sumang (2008)

menyatakan bahwa penambahan EM-4

dalam air minum dapat mengefisienkan

pemberian pakan dan dapat meningkatkan

pertambahan bobot badan ayam buras,

penggunaan EM-4 pada ternak ayam tidak

diberikan bersama dengan pemberian vaksin,

vitamin maupun antibiotik.

Pemberian temuireng dalam pakan

terbukti tidak menimbulkan dampak negatif

terhadap ayam dan bahkan dapat

meningkatkan pertambahan bobot badan.

Saenab et al. (2006) Selain itu interaksi

antara tepung temulawak dan molases pada

itik peking umur 1 sampai 56 hari dapat

meningkatkan pertambahan bobot badan.

Sedangkan Haruna dan Sumang (2008)

melaporkan bahwa pemberian kunyit sampai

dengan 0,05% terbukti dapat memperbaiki

pertambahan bobot badan ternak ayam serta

meningkatkan kandungan protein daging.

Cahyono (2011) menyatakan bahwa

faktor yang mempengaruhi terhadap

pertambahan bobot badan adalah konsumsi

pakan. Hal ini didukung pula oleh pendapat

Agus Ali (2007) yang menyatakan bahwa

secara umum penambahan bobot badan akan

dipengaruhi oleh jumlah konsumsi pakan

yang dimakan dan kandungan nutrisi yang

terdapat dalam pakan tersebut.

104 Pengaruh Pemberian Ramuan Herbal sebagai Pengganti Vitamin dan Obat-Obatan dari Kimia

Terhadap Performan Ternak Ayam Kampung Super

3. Bobot Hidup Umur Panen

Hasil analisis data menunjukkan bahwa

rerata bobot hidup umur panen ternak ayam

kampung super selama 63 hari (9 minggu)

pada perlakuan pemberian herbal fermentasi

6 hari (751,6 gram/ekor) berbeda nyata

(P<0,05) atau lebih tinggi dibandingkan

perlakuan non herbal (673,8 gram/ekor), hal

ini disebabkan karena adanya pemberian

ramuan herbal berfungsi untuk

meningkatkan dan menjaga stamina,

menekan angka mortalitas atau angka

kematian, efisiensi dalam penggunaan pakan,

menambah nafsu makan, menurunkan

persentase bobot lemak karkas dan

memberikan kekebalan tubuh yang

menjadikan ternak ayam tahan terhadap

serangan berbagai penyakit sehingga

menghasilkan bobot hidup umur panen yang

lebih tinggi dari pada ternak ayam kampung

super tanpa pemberian ramuan herbal.

Ramuan herbal tersebut seperti: a) bawang

putih, b) kencur, c) jahe, d) lengkuas dan

temulawak, e) temuireng, f) lempuyang, g)

kunyit, h) mengkudu, i) daun sirih, j) daun

lidah buaya, k) daun pepaya, l) daun

sambiloto, m) kayu manis, n) tetes tebu dan

EM-4. Sesuai pendapat Zainuddin dan

Wakradihardja (2002) menyatakan bahwa

tanaman herbal dan fungsinya pada ternak

unggas, meliputi: a) temuireng berfungsi

sebagai antibiotik dan obat cacing, b)

lempuyang berfungsi mencegah batuk dan

diare serta memperbaiki sel yang rusak dari

serangan virus dan bakteri, c) daun lidah

buaya berfungsi menekan angka mortalitas

dan meningkatkan efisiensi penggunaan

pakan, d) daun pepaya berfungsi

meningkatkan daya tahan tubuh dan

menurunkan persentase bobot lemak karkas,

e) kayu manis berfungsi antibakteri dan

meningkatkan nafsu makan, f) tetes tebu

berfungsi meningkatkan nafsu makan, g)

EM-4 berfungsi meningkatkan kesehatan,

pertumbuhan dan kualitas produksi ternak.

Selanjutnya Zainuddin (2006) melaporkan

bahwa tanaman herbal yang digunakan dan

fungsinya pada ternak unggas lokal (ayam

kampung dan itik), meliputi: a) buah

mengkudu berfungsi menjaga stamina,

efisiensi pakan dan memperbaiki warna

kuning telur, b) sambiloto berfungsi

mengatasi penyakit flu dan berak darah,

meningkatkan stamina dan antiviral, c) jahe

berfungsi mencegah dan mengobati penyakit

berak darah, ngorok dan meningkatkan

kekebalan tubuh, d) kunyit berfungsi

menambah nafsu makan, mencegah

gangguan pencernaan, e) lengkuas dan

temulawak berfungsi menambah nafsu

makan dan menjaga stamina, f) daun sirih

berfungsi mencegah dan mengobati berak

darah serta antiviral, g) kencur berfungsi

mengobati penyakit flu, i) bawang putih

berfungsi antibiotik dan obat cacing.

Sedangkan pemberian ramuan herbal dalam

bentuk tepung atau larutan jamu

menghasilkan bobot akhir umur 75 hari

adalah 1028,63 gram/ekor lebih tinggi

dibandingkan kontrol (999,17 gram/ekor).

4. Feed Conversion Ratio (FCR)

Hasil analisis data menunjukkan bahwa

rerata FCR ternak ayam kampung super

selama 63 hari (9 minggu) pada perlakuan

pemberian herbal fermentasi 6 hari (3,0)

berbeda nyata (P<0,05) dibandingkan

perlakuan non herbal (3,3) atau FCR

perlakuan herbal lebih rendah dari pada

perlakuan non herbal karena adanya

pemberian ramuan herbal, seperti: buah

mengkudu, daun lidah buaya dan sambiloto

yang salah-satu fungsinya untuk

meningkatkan efesiensi penggunaan pakan

pada ternak ayam. Angka FCR menunjukkan

perbandingan antara pakan yang dihabiskan

selama periode pemeliharaan dengan produk

daging yang dihasilkan, atau angka FCR

105 Pengaruh Pemberian Ramuan Herbal sebagai Pengganti Vitamin dan Obat-Obatan dari Kimia

Terhadap Performan Ternak Ayam Kampung Super

menunjukkan tingkat penggunaan pakan

ternak ayam dalam satu periode

pemeliharaan, jika angka FCR semakin kecil

maka penggunaan pakan semakin efisien dan

sebaliknya jika angka FCR semakin besar

maka penggunaan pakan tidak efisien.

Kajian ini menunjukkan perlakuan herbal

angka FCR nya lebih kecil atau rendah

dibandingkan dengan hasil penelitian

Sudirman (2012) yang melaporkan bahwa

angka FCR yang didapatkan: a) perlakuan

pemberian jamu ternak angka FCR 3,16

sedangkan perlakuan kontrol angka FCR

4,23, yaitu penelitian dengan pemberian

jamu terhadap ayam buras pada

pemeliharaan umur 5 minggu sampai umur 8

minggu. Didukung oleh hasil penelitian

Zainuddin (2006) melaporkan bahwa

pemberian sambiloto dan buah mengkudu

terhadap ayam kampung pada umur 40 hari

sampai 75 hari (35 hari/satu periode

pemeliharaan) dengan FCR sebagai berikut:

a) perlakuan yang diberi buah mengkudu

dengan FCR adalah 2,76, b) perlakuan yang

diberi sambiloto dengan FCR adalah 2,77, c)

kontrol dengan FCR adalah 3,20. Maka FCR

pemberian buah mengkudu dan sambiloto

(2,76 dan 2,77) lebih rendah atau lebih

efisien dalam penggunaan pakan dari pada

kontrol (3,20), sedangkan ayam percobaan

yang diberi perlakuan buah mengkudu

dengan kondisi bulu primer lebih berkilap

dibandingkan perlakuan lainnya. Sesuai

pendapat Zainuddin dan Wakradihardja

(2002) menyatakan bahwa pemberian larutan

sambiloto dan buah mengkudu melalui air

minum pada ternak ayam dapat

meningkatkan efisiensi penggunaan pakan

dan dapat menekan aflatoksin dalam pakan.

Sedangkan pendapat Saenab et al. (2006)

menyatakan bahwa penggunaan bioaktif

lidah buaya sebagai Feed Additive dalam

bentuk gel atau ekstrak terlihat adanya

peningkatan efisiensi pakan, selanjutnya

setelah diukur saluran pencernaan ternak

ayam yang diberi perlakuan gel lidah buaya

ternyata ukurannya lebih besar dan jumlah

bakteri aerob menjadi lebih sedikit.

Selanjutnya Hanura dan Sumang (2008)

menyatakan bahwa penggunaan jamu ternak

sebagai campuran air minum pada ternak

ayam buras berpengaruh nyata menurunkan

konversi ransum.

5. Persentase Mortalitas

Hasil analisis data menunjukkan bahwa

rerata persentase mortalitas ternak ayam

kampung super selama 63 hari (9 minggu)

pada perlakuan pemberian herbal fermentasi

6 hari adalah 0% atau tidak ada terjadi

kematian yang disebabkan oleh penyakit

karena pemberian ramuan herbal, seperti: a)

bawang putih, b) kencur, c) jahe, d)

temuireng, e) lempuyang, f) kunyit, g) daun

sirih, h) daun lidah buaya, i) daun sambiloto,

j) kayu manis ditambah EM-4. Salah-satu

khasiat ramuan herbal adalah meningkatkan

kekebalan tubuh ternak ayam kampung super

sehingga dapat terhindar dari serangan

berbagai penyakit disebabkan oleh: virus dan

bakteri, parasit (cacing), protozoa (berak

darah) yang berakibat pada kematian. Sesuai

pendapat Agustina et al. (2009) melaporkan

bahwa ekstrak ramuan herbal mengandung

berbagai zat bioaktif yang memiliki aktifitas

antimikroba, mampu menghambat bakteri

patogen gram positif sebanyak 4 jenis dan

gram negatif sebanyak 7 jenis, dapat

memperbaiki metabolisme dan menekan

berbagai penyakit. Selanjutnya Sudirman et

al. (2012) menyatakan bahwa manfaat

penggunaan tanaman obat bagi manusia dan

ternak yaitu untuk meningkatkan daya tahan

tubuh, pencegahan dan penyembuhan

penyakit serta pemulihan kesehatan.

Pemberian ramuan herbal yang terdiri-

dari: kencur, temulawak, lengkuas, jahe,

kunyit, bawang putih, bawang merah,

106 Pengaruh Pemberian Ramuan Herbal sebagai Pengganti Vitamin dan Obat-Obatan dari Kimia

Terhadap Performan Ternak Ayam Kampung Super

lengkuas, daun sirih, belimbing wuluh,

kemangi, temulawak, temu hitam serta

molasses dapat meningkatkan daya tahan

tubuh dengan mencegah pertumbuhan parasit

dan tidak ada ditemukan kematian yang

disebabkan oleh penyakit (Agustina, 2009).

Selanjutnya Lokapirnasari (2007)

menyatakan bahwa EM-4 berfungsi untuk

menjaga keseimbangan mikroorganisme

yang ada dalam saluran pencernaan sehingga

memperbaiki absorpsi makanan dalam usus,

dapat meningkatkan pertumbuhan dan

produksi serta antisipasi stres dengan cepat.

Sedangkan pemberian EM-4 pada ternak

akan menurunkan pH di dalam usus yang

dapat menghambat pertumbuhan bakteri

yang merugikan.

6. Persentase Karkas

Hasil analisis data menunjukkan bahwa

rerata persentase karkas ternak ayam

kampung super selama 63 hari (9 minggu)

pada perlakuan pemberian herbal fermentasi

6 hari (68,3%) berbeda nyata (P<0,05) atau

lebih tinggi dibandingkan Perlakuan Non

Herbal yang hanya (59,8%) hal ini

disebabkan karena didalam ramuan herbal

terdapat daun pepaya yang berfungsi untuk

meningkatkan daya tahan tubuh,

meningkatkan bobot karkas, memperbaiki

kualitas daging dan menurunkan persentase

bobot lemak karkas ayam kampung super.

Hal ini sesuai pendapat Belawa (2004)

menyatakan bahwa suplementasi

Lactobacillus komplek pada ransum yang

mengandung daun pepaya dapat

meningkatkan bobot karkas, meningkatkan

produksi daging, menurunkan persentase

bobot lemak karkas dan dapat memperbaiki

kualitas daging. Selanjutnya menurut Saenab

et al. (2006) menyatakan bahwa pemberian

jamu cenderung meningkatkan persentase

karkas akibat pembentukan daging dada pada

ayam yang diberi jamu lebih tinggi daripada

tidak diberi jamu. Diperkuat oleh pernyataan

Agustina et al (2009) bahwa pemberian daun

pepaya pada itik masa pertumbuhan ternyata

dapat memperbaiki kualitas daging.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Pemberian ramuan herbal melalui air

minum sebagai pengganti vitamin, obat-

obatan dari bahan kimia dapat

mempertahankan performan ayam kampung

super dengan ramuan herbal yang terdiri-

dari: bawang putih, kencur, jahe, lengkuas,

temulawak, temuireng, lempuyang, kunyit,

mengkudu, daun sirih, lidah buaya, daun

pepaya, daun, kayu manis, tetes tebu dan

EM-4 serta ditambah air sumur memberikan

hasil yang berbeda nyata (P<0,05) terhadap

konsumsi pakan, pertambahan bobot badan,

bobot hidup umur panen, FCR, persentase

karkas. Sedangkan untuk variabel persentase

mortalitas tidak ada kematian (0%).

Saran

Untuk membuktikan bahwa dengan

ramuan herbal dapat mengatasi segala

kendala perkembangan usaha peternakan

unggas yang disebabkan dari berbagai

penyakit perlu adanya pengujian titer

antibodi dari ternak yang diberi perlakuan

ramuan herbal fermentasi, sehingga dapat

menginformasikan sampai seberapa jauh

tinggkat kekebalan yang dihasilkan dengan

penjadwalan pemberian jamu herbal tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Agus, Ali. 2007. Membuat Pakan Ternak

Secara Mandiri. PT Citra Aji

Pratama, Yogyakarta.

107 Pengaruh Pemberian Ramuan Herbal sebagai Pengganti Vitamin dan Obat-Obatan dari Kimia

Terhadap Performan Ternak Ayam Kampung Super

Agustina, M. Hatta dan S. Purwanti. 2009.

Penggunaan Ramuan Herbal Untuk

Meningkatkan Produktifitas dan

Kualitas Broiler. 1. Analisis Zat

Bioaktif dan Uji Aktifitas Antibakteri

Ramuan Herbal Dalam Menghambat

Bakteri Gram Positif dan Gram

Negatif. Prosiding Seminar Nasional

Peternakan Berkelanjutan, Hal. 60-

75. Fakultas Peternakan Universitas

Padjajaran. Diakses 05 Juni 2014.

http://balitnak.litbang.deptan.go.id/in

dex.php?option=com_phocadownloa

d&view=category&id=77:3&downlo

ad=1504:3&Itemid=1

Cahyono, B. 2011. Ayam Buras Pedaging.

Cetakan Pertama, Penebar Swadaya

Jakarta.

Dawung Farm. 2012. Analisa Usaha Ayam

Kampung Super. Diakses 17 Oktober

2013.

http://dawungfarm.blogspot.com/201

2/09/blog-post.html

Haruna, S dan Sumang. 2008. Pemanfaatan

Jamu Sebagai Campuran Air Minum

Pada Ternak Ayam Buras. STPP,

Gowa. Jurnal Agrisistem. STPP

Gowa Diakses 06 Juni 2014.

http://www.stppgowa.ac.id/DataDow

nloadCentrePap/data-jurnal-

agrisistem-stpp-gowa/1.pdf

Lokapirnasari, W. P. 2007. The Effect Of

Effective Microorganism To Feed

Consumption And Body Weight Of

Broiler Chicken. J. Protein. 14 (1):

37-40. Diakses 05 Juni 2014.

http://repository.ipb.ac.id/xmlui/bitstr

eam/handle/123456789/58019/D12yy

u.pdf

Murdiati, T. B. 2002. Obat Tradisional

Melengkapi Obat Konvensional.

Infovet. 93: 4-6.

Nastiti, R. 2010. Menjadi Milyarder

Budidaya Ayam Broiler. Pustaka

Baru Press, Yogyakarta.

Nawawi dan Nurrohmah. 2003. Ransum

Ayam Kampung. Swadaya, Jakarta.

Nuroso. 2011. Panen Ayam Pedaging

Dengan Produksi Dua Kali Lipat.

Penebar Swadaya, Jakarta.

Retnani, Y. 2002. Proses Produksi Pakan

Ternak. Ghalia Indonesia, Bogor.

Saenab, A. B. Bakrie, T. Ramadhan dan

Nasrullah. 2006. Pengaruh Pemberian

Jamu Terhadap Kualitas Karkas

Ayam Buras. Buletin Ilmu

Peternakan dan Perikanan, Vol X(2)

:133–143. Fakultas Peternakan

Universitas Hasanuddin, Makassar.

Sudirman, H. 2012. Pemanfaatan Tanaman

Obat Sebagai Jamu Untuk Ayam

Buras. Jurnal Agrisistem, Vol. 8

No.1. Sekolah Tinggi Penyuluhan

Pertanian (STPP), Gowa. Diakses 07

Juni 2014.

http://www.stppgowa.ac.id/DataDow

nloadCentrePap/data-jurnal-

agrisistem-stpp-gowa/7.pdf

Sugiyono. 2011. Statistika Untuk Penelitian.

Cetakan ke-16, CV. Alfabeta,

Bandung.

Wakhid, A. 2013. Beternak Itik. Cetakan

Pertama, Agromedia. Jakarta.

Yamin. 2007. Statistika. Diakses 17 Oktober

2013. http.//www.yaminsetiawan.com

Yuwanta, T. 2004. Dasar Beternak Unggas.

Kanisius, Yogyakarta.

Zainuddin, D, dan E. Wakradihardja. 2002.

Racikan Ramuan Tanaman Obat

Dalam Bentuk Larutan Jamu Dapat

Meningkatkan Kesehatan Hewan

Serta Produktifitas Ternak Ayam

108 Pengaruh Pemberian Ramuan Herbal sebagai Pengganti Vitamin dan Obat-Obatan dari Kimia

Terhadap Performan Ternak Ayam Kampung Super

Buras. Prosiding Seminar Nasional

XIX Tumbuhan Obat Indonesia.

Kerjasama POKJANAS Tumbuhan

Obat Indonesia dengan Puslit

Perkebunan. Bogor.

109 Pengaruh Pemberian Ramuan Herbal sebagai Pengganti Vitamin dan Obat-Obatan dari Kimia

Terhadap Performan Ternak Ayam Kampung Super