JURNAL: Neuro Antidepresan Untuk Profilaksis Migrain

18
Penyusun: Oleh Dokter Muda Nurul Mahirah Binti Meor Halil 030.04.267 Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti Jakarta 2011 1

description

Oleh Dokter Muda Nurul Mahirah Binti Meor Halil030.04.267Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti Jakarta 2011

Transcript of JURNAL: Neuro Antidepresan Untuk Profilaksis Migrain

Page 1: JURNAL:  Neuro Antidepresan Untuk Profilaksis Migrain

Penyusun:

Oleh Dokter Muda Nurul Mahirah Binti Meor Halil

030.04.267

Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti

Jakarta 2011

1

Page 2: JURNAL:  Neuro Antidepresan Untuk Profilaksis Migrain

Antidepresan untuk Profilaksis Migrain

Christian Lampl dan Christine Schweiger

Afiliasi: Departemen Kedokteran Neurologi dan Nyeri, Konvent hospital Barmherzige Bru¨der Linz, Linz,

Austria

Abstrak

Tujuan dari tinjauan ini adalah untuk memberikan analisis kritis yang komprehensif dari

beberapa laporan penelitian uji coba terkontrol secara acak terkait penggunaan antidepresan

untuk mengurangi nyeri kepala di kalangan orang dewasa dengan migrain, serta untuk

menentukan apakah adanya variasi hasil pengobatan sesuai dengan karakteristik lain pasien

yang penting, seperti depresi. Mekanisme dimana amitriptyline dan antidepresan lain

menghasilkan efek analgesik masih belum diketahui, namun blokade serotonin dan

norepinefrin-serapan kembali telah diduga memainkan peran penting. Mengenai

amitriptyline, ada beberapa bukti bahwa antidepresan trisiklik ini mungkin bermanfaat dalam

profilaksis migrain di beberapa pasien. Untuk inhibitor reuptake serotonin selektif (SSRI) dan

inhibitor serotonin reuptake norepinefrin (SNRIs), efek menguntungkan setara dengan yang

terlihat pada kelompok plasebo dalam waktu 2 bulan terapi. Sebagai kesimpulan, ada bukti

yang terbatas untuk menyatakan keunggulan klinis amitriptyline dan SSRI berbanding

pengobatan lain dengan ß-blocker, antikonvulsan, atau penghambat saluran kalsium dalam

mencegah migrain. Antidepresan pada migrain harus dipertimbangkan jika obat lini pertama

atau kedua tidak mengurangi jumlah serangan bulanan atau jika terjadi depresi secara

bersamaan. Oleh karena itu, antidepresan merupakan agen profilaksis yang kedua atau

(bahkan) ketiga pada pasien dengan migrain saja.

Kata kunci: Migrain, antidepresan, pengobatan profilaksis, SSRI, SNRIs

Korespondensi: Christian Lampl, Departemen Kedokteran Neurologi dan Nyeri, Konventhospital Barmherzige

Bru¨der Linz, Linz, Austria Tel: (43)-732-780-625320; Fax: (43)-732-780-625398;

e-mail: [email protected]

2

Page 3: JURNAL:  Neuro Antidepresan Untuk Profilaksis Migrain

PENDAHULUAN

Migrain merupakan salah satu masalah neurologis yang sering diteliti di pusat

kesehatan primer. Migren yang rekuren dapat merugikan, dan akibat dari absensi kerja serta

penurunan kinerja yang berhubungan dengan migrain melebihi biaya intervensi medis secara

langsung.

Di negara-negara barat, penelitian prevalensi migrain berbasis masyarakat yang

menggunakan kriteria diagnostik standar estimasi prevalensi 1 tahun, sekitar 10-12% [1, 2],

dengan tingkat tertinggi dilaporkan dalam rentang usia 25-55 tahun; wanita sebagai mayoritas

pasien dengan migrain [3].

Tanpa mengabaikan manajemen yang tepat untuk migrain akut, terapi pencegahan

dapat mengurangi frekuensi migrain sebesar 50% atau lebih, dan pasien harus dievaluasi

untuk memulai terapi pencegahan. Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan untuk

mendapat terapi pencegahan dengan segera termasuk penurunan kualitas hidup yang berat,

beban pekerjaan, kehadiran di sekolah, frekuensi serangan per bulan, pengobatan migren akut

yang tidak responsif, atau disertai aura yang berlangsung lama, berulang dan tidak nyaman

[4]. Agen lini pertama untuk profilaksis migren termasuk betablocker non-selektif

propranolol [5, 6] dan betablocker beta-1-selektif metoprolol [7]. Bisoprolol berkemungkinan

efektif, tetapi hanya diteliti dalam dua studi [8, 9]. Dari kelompok antagonis kalsium, hanya

flunarizine telah dipastikan efektif [10-12]. Dosis 5 mg berkemungkinan sama efektif dengan

10 mg [13]. Dalam beberapa penelitian prospektif, antikonvulsif asam valproik telah terbukti

efektif [14-16]. Topiramate memiliki sifat profilaksis migrain yang dikonfirmasi dalam tiga

studi plasebo-terkontrol yang besar [17-19]. Kecuali untuk bisoprolol, semua obat yang

disebutkan di atas direkomendasikan (obat pilihan pertama) untuk pengobatan profilaksis

migrain [4].

ANTIDEPRESAN-PENDEKATAN KRITIS

Sebagaimana mekanisme yang mendasari migrain masih tidak sepenuhnya dipahami,

berbagai jenis obat telah digunakan untuk profilaksis migrain sejauh ini. Penelitian baru

tentang patofisiologi migrain telah membawa konsep baru untuk pencegahan migrain.

Mekanisme untuk meringankan nyeri migrain dianggap karena adanya penghambatan

serapan kembali serotonin dan norepinefrin dalam kornu dorsal, namun, mekanisme lain yang

mungkin termasuk blokade alfa-adrenergik, efek saluran natrium, dan antagonis reseptor

3

Page 4: JURNAL:  Neuro Antidepresan Untuk Profilaksis Migrain

asam N-metil-D-aspartat (NMDA). Oleh karena itu, obat yang terlibat harus berada

terutama pada dua sasaran: inhibisi pada eksitasi kortikal serta restorasi pada dismodulasi

nosiseptif. Antiepileptik, penghambat saluran kalsium seperti verapamil, dan inhibitor depresi

penyebaran kortikal adalah beberapa contoh obat yang mengurangi hipereksitabilitas saraf.

Di sisi lain, modulator sistem serotonergik dan adrenergik serta obat perangsang kolinergik

dapat mengembalikan efek penghambat nosiseptif yang menurun dan berperan dalam

pencegahan migrain.

Namun demikian, pemberian semua obat lain, kecuali ß-blockers dan antikonvulsan,

lebih didasarkan pada data empiris daripada konsep patofisiologi yang terbukti. Oleh karena

saat ini migrain dianggap sebagai gangguan neurovaskular dengan komponen utama sistem

saraf pusat (SSP), upaya kini fokus pada percobaan untuk mencegah serangan migrain

dengan memodulasi sistem neurotransmiter daripada mengubah tonus vaskuler intrakranial

[20].

Lance dan Curran [21], pada tahun 1964, sebagai bagian dari penelitian eksplorasi,

pertama menunjukkan amitriptyline yang memiliki efek profilaksis pada sakit kepala tipe

tegang pada kelompok 27 pasien dengan sakit kepala. Selama dekade terakhir, penelitian

selanjutnya menunjukkan terdapat beberapa golongan obat antidepresan yang efektif dalam

mencegah sakit kepala kronis. Sebagai akibatnya, terapi tersebut telah diterima untuk

perawatan pasien [22, 23], meskipun tidak disetujui untuk indikasi tersebut di AS atau Eropa.

Namun demikian, hasil studi obat antidepresan untuk profilaksis pengobatan sakit

kepala harus disikapi dengan hati-hati. Dalam meta-analisis yang dipublikasikan 38 studi,

para penulis menyimpulkan bahwa penggunaan antidepresan dalam sakit kepala kronis

harus didukung [24]. Berkenaan dengan migrain, hanya enam

penelitian menggunakan kriteria International Headache Society (IHS) tahun1988

[25], sedangkan rekomendasi Klasifikasi Headaches dari Komite Ad Hoc 1962 [26]

digunakan dalam 11 studi. 23 studi lain menggunakan berbagai definisi, dan tidak ada dua

studi memberikan hasil masing-masing dengan cara yang sama. Dalam meta-analisis di atas,

adalah tidak mungkin untuk membedakan apakah efek obat obat antidepresan

pada migrain adalah independen dari pengaruhnya terhadap depresi. Hal ini jelas karena

pasien yang depresi mengalami perbaikan dalam keluhan somatik karena depresi yang

mendasari berhasil diobati dan, apalagi, pasien dengan depresi memiliki sakit kepala yang

lebih berat. Dalam penelitian longitudinal, bukti lebih jauh mendukung hubungan dua arah

4

Page 5: JURNAL:  Neuro Antidepresan Untuk Profilaksis Migrain

antara migrain dan depresi, dengan masing-masing gangguan meningkatkan risiko [27]

lainnya. Ini jelas mendukung bahwa obat antidepresan mungkin memiliki manfaat bagi

pasien sakit kepala kronis.

Pertanyaan utama yang harus diajukan adalah apakah keberhasilan antidepresan

bervariasi sesuai dengan diagnosis sakit kepala tertentu atau potensinya tergantung

karakteristik pasien, seperti depresi; apakah antidepresan sama efektif untuk

pasien non-depresi, dan apakah mencapai efek analgesik langsung selain untuk mengobati

depresi secara bersamaan.

Secara umum, harus dinyatakan bahwa analisis pencegahan terapi migrain dengan

antidepresan mempunyai beberapa isu-isu metodologi yang perlu difokuskan pada: definisi

dan kriteria diagnostik migrain (percobaan sebelum dan sesudah 1988); kualitas uji coba;

definisi parameter hasil primer (migrain skor tertentu vs pengurangan frekuensi migrain);

populasi pasien inklusi (pasien US vs Eropa perbandingan antara populasi penelitian); serta

informasi terhadap kualitas hidup dan komorbiditas (misalnya, depresi dan ansietas).

Paling utama, kriteria diagnostik migrain harus sesuai dengan IHS [28]. Perihal

kualitas dari percobaan, Clinical Trials Subcommittee dari IHS mempublikasikan

pedoman percobaan terkontrol untuk obat migrain edisi pertamanya pada tahun 1991. Dengan

adanya tren percobaan multinasional besar-besaran saat ini, ada kebutuhan untuk

meningkatkan kesadaran para peneliti tentang isu-isu metodologis dalam uji klinis obat untuk

migrain. Oleh karena itu, pedoman baru dikembangkan untuk meningkatkan kualitas

uji klinis terkendali pada migrain, karena hanya percobaan berkualitas yang dapat

membentuk dasar bagi kerjasama internasional terapi obat [29].

Kedua, sakit kepala dengan intensitas sedang atau berat, migrain harian, atau

frekuensi episode migrain harus menjadi ukuran keberhasilan utama. Evaluasi keberhasilan

harus didasarkan pada buku harian sakit kepala, yang mengandung kunci penilaian untuk

masing-masing studi.

Untuk mengevaluasi dampak sakit kepala dan terapinya pada penderita individu, hasil

penelitian muncul sebagai alat penting. Yang tidak kalah penting adalah dampak dari

pengukuran klinis pada persepsi pasien terhadap kualitas kehidupan termasuk komorbiditas,

prestasi kerja, dan ekonomi. Kualitas kesehatan yang berhubungan dengan kehidupan

(HRQOL) mewakili efek bersih pengaruh penyakit dan terapi dengan persepsi pasien

5

Page 6: JURNAL:  Neuro Antidepresan Untuk Profilaksis Migrain

terhadap kemampuannya untuk hidup yang penuh bermakna [30]. HRQOL dapat diukur

dengan berbagai kuesioner generik dan spesifik seperti angket Migraine Disability

Assessment (MIDAS), yang telah digunakan dalam satu ujicoba[31] dan terbukti bermanfaat.

AMITRIPTYLINE

Manfaat dari penggunaan amitriptyline pada migrain dilaporkan pada akhir tahun

1960 oleh Friedman [32] dan [33] Mahloudji. Salah satu penelitian klinis awal yang

dilakukan oleh Gomersall dan Stuart pada tahun 1973 [34] menunjukkan keampuhan

amitriptyline sebagai pengobatan profilaksis untuk migrain pada orang 26 pasien. Jumlah

serangan berkurang lebih dari 50% pada sekitar setengah dari subyek, dan lebih dari 70%

pada seperempat dari mereka. Jumlah serangan berkurang sebesar 42%, yang signifikan

secara statistik (P, 0,001).

Pada tahun 1979, Couch dan Hassanein [35] menunjukkan bahwa amitriptyline 75 mg

menurunkan skor migrain tertentu (mencerminkan frekuensi, keparahan, dan durasi serangan)

lebih dari 50% dalam 55% pasien yang diobati amitriptyline, dibandingkan dengan 34%

pasien yang diobati dengan plasebo. Keuntungan terapi dalam studi tersebut adalah 21%.

Namun, data frekuensi migrain tidak disajikan, dan pasien dengan komorbiditas depresi tidak

dieklusikan.

Sepuluh tahun kemudian, Ziegler et al [36] mempresentasikan hasil

uji coba terkontrol dengan placebo untuk membandingkan amitriptyline dan propranolol.

Mereka menyimpulkan bahwa amitriptyline, serta propranolol, efektif dalam mengurangi

skor sakit kepala yang spesifik serta hasil positif dari amitriptyline tidak terkait dengan

depresi. Semua uji coba awal menggunakan kriteria longgar untuk mendefinisikan

migrain, mereka tidak mengeksklusikan pasien dengan komorbiditas kecemasan

dan depresi dan mempunyai keterbatasan evaluasi klinis secara global, dan tidak dipilih

catatan harian sakit kepala untuk menilai hasil.

Rafieian-Kopaei et al [37] melaporkan penurunan yang signifikan dalam

frekuensi migrain, durasi, dan intensitas bila menggunakan amitriptyline. Bagaimanapun,

amitriptyline menurunkan frekuensi serangan migren selama pengobatan; setelah

penghentian, efek rebound lebih tinggi daripada di kelompok kontrol.

Dua penelitian diterbitkan baru-baru ini membandingkan antara amitriptyline dengan

topiramate. Studi pertama meneliti kemanjuran profilaksis gabungan antara amitriptyline dan

6

Page 7: JURNAL:  Neuro Antidepresan Untuk Profilaksis Migrain

topiramate pada pasien dengan episode migrain 3-12 kali, dibandingkan dengan monoterapi

dengan masing-masing obat [38]. Kedua pengobatan menunjukkan hasil perbaikan yang

signifikan tetapi, sekali lagi, pasien dengan depresi ringan hingga sedang tidak dieksklusikan.

Studi kedua dilakukan oleh Dodick dan rekan [39]. Dalam studi multicenter, jangka

panjang, acak, doubleblind, double-dummy, kelompok paralel, non-inferiority ini,

hasil efikasi primer adalah perubahan dalam jumlah rata-rata dari baseline episode migrain

bulanan. Populasi yang ingin diobati termasuk 331 subyek, dan perubahan dari jumlah

rata-rata baseline dalam episode migren bulanan tidak berbeda secara signifikan antara

kelompok topiramate dan amitriptyline. Para penulis menyimpulkan bahwa topiramate

setidaknya sama efektif dengan amitriptyline dalam hal mengurangi tingkat rata-rata episode

migrain bulanan dan efek sekunder lain seperti yang telah diharapkan sebelumnya.

Topiramate dikaitkan dengan perbaikan dalam beberapa indikator kualitas hidup

dibandingkan dengan amitriptyline dan juga dikaitkan dengan penurunan berat badan dan

kepuasan terhadap status berat badan.

Kami melakukan uji coba untuk menguji manfaat profilaksis dua dosis amitriptyline

extended release (ER) selama periode 6 bulan dengan pengamatan tanpa plasebo dalam

kehidupan nyata [40]. Hipotesis penelitian adalah amitriptyline efektif dalam mencegah

serangan migrain dan bahwa amitriptyline 50 mg ER lebih efektif dari amitriptyline 25 mg

ER. Selain itu, kami tertarik untuk menentukan adanya kemungkin faktor prediktif yang

berpengaruh terhadap respons terapeutik. Perubahan jumlah rata-rata hari migrain dari awal

sampai akhir periode pengobatan dalam jangka waktu 6 bulan dianggap sebagai pengukuran

keberhasilan yang utama. Penurunan signifikan secara statistik pada hari migrain rata-rata

ditemukan antara bulan awal, 3 dan 6. Akan tetapi, tidak ada perbedaan yang signifikan

dalam keberhasilan pengobatan yang diamati antara pengobatan dengan amitriptyline 25 mg

lepas lambat / hari dibandingkan dengan amitriptyline 50 mg lepas lambat / hari pada setiap

periode waktu. Berbeda dengan penelitian serupa lainnya, yang menggunakan jumlah hari

serangan sakit kepala sebagai hasil efikasi primer, seperti “jumlah serangan dalam 4

minggu”, karena dianggap jumlah hari sakit kepala sebagai parameter lebih kuat dan

konservatif. Ketika melihat hasil pengukuran sekunder, hari migrain dapat dikurangi sebesar

> 30% pada 39% pasien di akhir penelitian. Ketika melihat hasil pengukuran sekunder, jumlah

hari serangan migrain dapat dikurangi sebesar > 30% pada 39% pasien di akhir penelitian. Akan

tetapi, hanya 14% dari pasien studi mengalami pengurangan > 50% dalam hari serangan

migrain, sedangkan tidak ada pasien yang mendapat keuntungan lebih dari 70%. Studi ini

7

Page 8: JURNAL:  Neuro Antidepresan Untuk Profilaksis Migrain

menunjukkan bahwa amitriptyline mungkin tidak efektif dalam dosis hingga 50 mg, Efek

profilaksis terlihat pada studi tidak melampaui respon placebo yang mencapai pengurangan

lebih 20-30%.

Dapat disimpulkan, ada beberapa bukti bahwa amitriptyline mungkin bermanfaat

dalam profilaksis migren pada beberapa pasien. Laporan sebelumnya, secara eksklusif dari

Amerika Serikat, telah menunjukkan bahwa pasien migrain dapat berespon terhadap

amitriptyline yang digunakan sebagai terapi profilaksis. Sebagian besar dari studi ini kurang

berkualitas secara ilmiah. Sebagian besar penelitian yang dibahas dalam tulisan ini

mempunyai ukuran sampel yang terbatas (median 50 pasien acak, dengan tingkat rata-rata

drop-out sebesar 20%), yang meninggalkan temuan kurang jelas untuk banyak hasil ukuran.

Lama tindak-lanjut sering terlalu singkat (lama rata-rata, 12 minggu; direkomendasikan,

24 minggu), dan pengukuran hasil klinis (skala atau indeks) sering tidak rasional dan tidak

dinyatakan sebelumnya. Ketepatan analisis statistik adalah bagian yang sering menjadi

perhatian, khususnya dalam perbandingan beberapa terapi, pengulangan pengukuran

dari waktu ke waktu, dan analisis subkelompok.

Dalam beberapa tahun terakhir, hubungan antara migrain dan depresi telah

digambarkan dalam kedua populasi klinik dan komunitas. Banyak peneliti mengatakan

bahwa migren kronis dapat menimbulkan depresi reaktif yang menjadi lebih jelas jika rasa

sakit tersebut semakin kronis. Untuk menjelaskan perkembangan dari migrain sampai

depresi, hipotesis bahwa serangan rasa sakit parah yang tak terduga mungkin menyebabkan

kegelisahan dan depresi. Dalam studi longitudinal, terdapat bukti yang mendukung hubungan

dua arah antara migrain dan depresi, dengan masing-masing gangguan meningkatan risiko

yang satunya [27, 41]. Dalam kasus seperti ini, amitriptyline dapat memberikan manfaat yang

lebih berbanding obat lain. Namun demikian, pendekatan ini tidak berhasil pada semua

pasien migrain, dan cara penentuan untuk mengidentifikasi pasien yang berespon terhadap

amitriptyline sebaiknya menjadi tujuan penelitian prioritas tinggi.

Dalam beberapa kasus, manfaat yang diperoleh harus melebihi risiko. Efek samping

yang paling penting adalah mengantuk dan gejala antikolinergik seperti mulut kering,

sembelit, dan takikardi. Peningkatan berat badan terjadi pada sebagian besar pasien bersama

dengan peningkatan kadar leptin, insulin, dan C peptida [42], dan dapat menjadi faktor

penghambat yang menyebabkan gangguan kepatuhan dan pengunduran diri. Terkadang,

amitriptyline dapat menimbulkan glaukoma, perpanjangan PQ dan QT interval pada

8

Page 9: JURNAL:  Neuro Antidepresan Untuk Profilaksis Migrain

elektrokardiogram (EKG), serta hipertrofi prostat jinak, yang harus dieksklusikan sebelum

terapi. Amitriptyline dimetabolisme oleh isoenzim sitokrom P450 (CYP), khususnya

CYP2D6, yang bertanggung jawab untuk beberapa interaksi (misalnya, antiaritmia kelas Ia

dan IIIa, warfarin, opiat, propranolol, diuretik, insulin). Oleh karena itu, penggunaannya turut

dibatasi oleh usia.

INHIBITOR SERAPAN KEMBALI SEROTONIN SELEKTIF (SSRIS)

SSRI saat ini digunakan pada migrain terdiri dari citalopram, escitalopram, fluoxetine,

fluvoxamine, paroxetine, dan sertraline. Bila dibandingkan dengan plasebo, SSRI tidak

menunjukkan kelebihan pada pasien dengan migrain. Bila dibandingkan dengan pengobatan

aktif lainnya, khususnya antidepresan trisiklik, SSRI tidak lebih unggul dalam migrain[43].

Ada beberapa bukti bahwa SSRI lebih baik ditoleransi daripada pengobatan aktif lain

sehubungan dengan efek samping yang kecil. Tolerabilitas ini tidak berdampak pada jumlah

pasien yang menarik diri sebagai akibat dari efek samping [44]. Pasien yang memakai

antidepresan trisiklik untuk sakit kepala berkemungkinan untuk melanjutkan

mengambil trisiklik sama seperti pasien yang diobati dengan SSRI akan terus

melanjutkan mengambil SSRI. Masalah pengobatan jangka panjang (0,3 bulan) dengan

memperhatikan keberhasilan dan tolerabilitas masih harus dibahas, dalam kondisi kehidupan

nyata.

Fluoxetine hampir pasti merupakan SSRI paling ekstensif dipelajari pada

pencegahan migrain. Gangguan visual pada pasien migrain di hihilangkan dengan fluoxetine

20 mg / hari, di samping itu, frekuensi serangan migrain berkurang secara signifikan [45].

Dalam sebuah penelitian prospektif oleh Krymchantowski et al [46] pada pasien dengan

transformed migraine, amitriptyline 40 mg ditemukan sama-sama efektif seperti kombinasi

amitriptyline dan fluoxetine. Tidak ada efek yang signifikan bagi fluoxetine 20-40 mg sehari

dibandingkan dengan plasebo setelah dikonsumsi 3 bulan pada skala sakit kepala yang dinilai

sendiri, atau jumlah hari sakit kepala berat per minggu[47]..

Sebagai kesimpulan, saat ini data tentang penggunaan SSRI pada pencegahan migrain

mendukung penggunaan fluoxetine. Namun demikian, harus dipertimbangkan bahwa

sebagian dari studi-studi ini tidak konsisten dan memiliki kekurangan dalam jumlah pasien.

Tinjauan Cochrane [44] mengungkapkan bahwa efek menguntungkan dari SSRI adalah

setara dengan yang terlihat pada kelompok plasebo dalam waktu 2 bulan terapi.

9

Page 10: JURNAL:  Neuro Antidepresan Untuk Profilaksis Migrain

INHIBITOR SERAPAN KEMBALI SEROTONIN NORADRENALIN (SNRIS)

Duloxetine dan venlafaxine telah dikatakan sebagai obat yang sangat berguna dalam

migrain dan depresi. Dalam migrain, analisis retrospektif terhadap 65 pasien migrain yang

menerima 30-60 mg sehari selama minimal 2 bulan memberikan hasil pengurangan serangan

yang signifikan per bulan. Yang menarik adalah dalam analisis subkelompok, pasien

dengan komorbiditas depresi tidak mendapat manfaat signifikan, sedangkan mereka yang

memiliki komorbiditas gangguan kecemasan mendapat manfaat yang lebih besar daripada

semua 65 pasien migrain secara bersamaan[49].

Bagi venlafaxine, empat studi diterbitkan, tetapi hasil positif yang dilaporkan dibatasi

oleh prosedur open-label [50], desain retrospektif, fakta bahwa profilaksis migrain secara

bersaan diperblehkan, atau bahwa mayoritas pasien menderita sakit kepala tension tipe tegang

[51]. Dalam uji coba crossover, acak, double-blind, pasien migrain dengan dan tanpa aura

menerima baik amitriptyline atau venlafaxine ER. Jumlah serangan per bulan serta durasi dan

intensitas serangan berkurang secara signifikan dengan kedua obat [52]. Namun demikian,

jumlah pasien yang kecil di setiap kelompok membatasi dampak dari hasil ini.

KESIMPULAN

Dalam uji coba plasebo terkontrol yang terdahulu, hasil positif dapat

ditampilkan untuk amitriptyline dalam pengobatan profilaksis migrain. Hasil penelitian yang

membandingkan amitriptyline dengan propranolol menyatakan propranolol lebih efektif pada

pasien dengan migrain tunggal, sedangkan amitriptyline adalah lebih menguntungkan untuk

pasien dengan migrain campuran dan sakit kepala tipe tegang. Dibandingkan dengan

topiramate, amitriptyline sama efektifnya dalam hal mengurangi angka kejadian rata-rata

episode migrain bulanan. Namun demikian, topiramate dikaitkan dengan peningkatan pada

beberapa indikator kualitas hidup dibandingkan dengan amitriptyline serta dikaitkan dengan

efek samping yang lebih sedikit.

SSRI tidak menunjukkan keunggulan pada pasien dengan migrain, bila dibandingkan

dengan plasebo. Bila dibandingkan dengan pengobatan aktif lainnya, khususnya antidepresan

trisiklik, SSRI tidak lebih unggul dalam profilaksis migrain. Selain itu, ada bukti yang

terbatas untuk menyatakan keunggulan klinis amitriptyline dan SSRI berbanding pengobatan

lain dengan ß-blocker, antikonvulsan, atau penghambat saluran kalsium dalam mencegah

migrain.

10

Page 11: JURNAL:  Neuro Antidepresan Untuk Profilaksis Migrain

Oleh karena itu, antidepresan pada migrain harus didiskusikan dengan pasien jika obat

lain (beta-blocker, flunarizine, valproat, dan topiramate) tidak mengurangi jumlah serangan

bulanan, terbatas karena beberapa memiliki efek samping, atau jika pada waktu bersamaan

menderita depresi (atau penyakit kejiwaan lainnya). Antidepresan dapat dipertimbangkan

sebagai agen profilaksis yang kedua (amitriptyline) atau ketiga (SSRIs, SNRIs) pada pasien

dengan migrain saja. Kewaspadaan penulis dalam merekomendasi penggunaan antidepresan

mencerminkan masih kurangnya data tentang obat-obat yang disebutkan. Penelitian di masa

akan datang harus menerapkan standar yang lebih tinggi dalam hal desain dan

pelaporan dengan menggunakan kriteria diagnostik International Headache Society

untuk mengklasifikasikan nyeri pasien dalam bentuk kronis baik migrain dan / atau sakit

kepala tipe tegang. Menurut Task Force of the International Headache Society Clinical Trials

Subcommittee, sakit kepala dengan intensitas sedang atau berat, migrain harian, atau

frekuensi episode migrain harus menjadi ukuran keberhasilan utama [29]. Heterogenitas lain

adalah fakta bahwa beberapa penelitian yang didiskusikan meneliti efektifitas pencegahan

migrain hanya pada pasien tanpa depresi secara bersamaan, sedangkan pada penelitian lain

sebaliknya. Saat ini, beberapa panduan mengadopsi pendekatan yang ketat yang hanya

merekomendasikan antidepresan untuk profilaksis migrain [3], sedangkan panduan lain,

seperti Akademi Neurologi AS, merekomendasikan obat-obatan lain, meskipun telah

menekankan kurangnya bukti berkualitas yang mendukung obat tersebut [53].

11