JURNAL MANAJEMEN PELAYANAN KESEHATAN ANALISIS KEBIJAKAN …

9
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 11, No. 3 September 2008 147 Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan ANALISIS KEBIJAKAN BERBASIS KESELAMATAN DAN KESEHATAN EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN LIMBAH CAIR RUMAH SAKIT POLICY ANALIYSIS BASED ON THE SAFETY AND HEALTH THE IMPACT EVALUATION OF THE HOSPTAL WASTE WATER POLICY Benyamin Sugeha Dewan Pengurus Nasional Asosiasi Ahli Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Yogyakarta ABSTRAK Latar belakang: Implementasi kebijakan internalisasi limbah cair rumah sakit secara adhoc berupa pembuatan instalasi pengolahan air limbah (IPAL) telah menimbulkan keluhan dari masyarakat sekitar rumah sakit. Fenomena paradoks internalisasi ini menarik untuk diteliti dengan mempertanyakan apakah implementasi kebijakan limbah cair rumah sakit tersebut ergonomik. Metode: Penelitian deskriptif-normatif yang menunjang analisis kebijakan ini dilaksanakan di empat rumah sakit yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Responden diambil secara purposive (purposive sampling). Penelitian kualitatif ini mengikuti alur proses dedukto-hipotetiko-verifikatif. Hasil: Hasil penelitian menunjukkan adanya IPAL di dalam rumah sakit menimbulkan kondisi tidak sehat, tidak aman, dan tidak nyaman bagi civitas hospitalia. Semuanya itu meverifikasi tidak serasinya hubungan sosio prosesual dengan tekno struktural. Dalam aspek analisis kebijakan secara ad hoc dengan pembuatan IPAL limbah B3 dalam rumah sakit, menjadikan tidak ergonomik, sehingga dapat menimbulkan bahaya dan risiko bagi rumah sakit. Kesimpulan dan saran: Implementasi kebijakan yang tidak memperhatikan lingkungan dimana kebijakan itu akan diterapkan, dapat menimbulkan kondisi yang tidak ergonomic. Perlu disarankan agar pelaksana kebijakan memperhatikan grand theory of policy implementation yang tidak hanya melihat faktor kebijakannya saja, tetapi juga organisasi/pelaku dan lingkungan dimana kebijakan akan diterapkan. Kata kunci: kebijakan internalisasi, IPAL, paradoks internalisasi, ergonomik, grand theory of policy implementation ABSTRACT Background: the internalization policy for hospital liquid waste in ad hoc implemented, by building a waste water treatment plant (WWTP), had raised complain from the neighbouring, area around the hospital. This internalization paradox fenomena is an interesting subject to research, by putting question as: how ergonomic was the implementation of WWTP hospital. Method: A descriptive research was conducted at four hospitals in Yogyakarta Special Province (DIY). Respondens were taken by purposive sampling. This qualitative research was conducted by deduct-hiptetico - verificative process. Result: It showed that current condition is not healthy, not safe and not comfortable for civitas hospitalia. This study verifies the in balanced relationship between socio processual and techno structural that made the condition not ergonomic. Conclusion: the implementation of the policy, by ignoring the existence of the environment and the substance of the organization made is not ergonomic. The implementation of this policy should take care to the grand theory of policy implementation that not focused to the policy making, but also to the organization and the environment. Keywords: internalization policy, W W T P, paradox internalization, ergonomic and grand theory of policy implementation PENGANTAR Dalam upaya internalisasi limbah cair rumah sakit, Menteri Negara Lingkungan Hidup telah menerbitkan kebijakan KEP-58/Men LH/12/1995 yang mewajibkan pengelola rumah sakit melakukan pengolahan limbah cair agar tidak melampaui baku mutu yang telah ditetapkan, sebelum dibuang ke lingkungan. 1 Akan tetapi, sangat disesalkan bahwa Keputusan Menteri (Kepmen) tersebut tidak berorientasi pada Peraturan Pemerintah (PP) No. 19/1994 2 sebagai kebijakan yang lebih tinggi dan telah ada sebelumnya yang menyebutkan bahwa limbah rumah sakit (RS) tergolong sebagai limbah B3. Akibatnya, asas-asas yang terkait dengan pengelolaan limbah B3, seperti asas kehati-hatian (precautionary) menjadi terabaikan. Hal tersebut memberi peluang pada implementor untuk mengimplementasikan KEP-58/Men LH/12/1995 1 secara ad hoc lewat teknologi end-of-pipe dengan menggunakan bioreaktor yang berupa Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) statusquo sebagaimana dilaksanakan pada sektor industri. Bukti empiris menunjukkan bahwa adanya IPAL rumah sakit tersebut menyebabkan gangguan pada masyarakat. Di Yogyakarta, misalnya, penduduk di sekitar kampung Sagan dan Kotabaru mengeluh terhadap timbulnya bau dari IPAL RS Pantirapih dan RS Bethesda. Pengusaha salon di sekitar Jalan Ngupasan yang berdampingan dengan IPAL RS PKU menyatakan protes karena bau yang mengganggu. Sementara itu, masyarakat Desa Jebugan Bantul yang berdampingan dengan lokasi IPAL RS JURNAL MANAJEMEN PELAYANAN KESEHATAN VOLUME 11 No. 03 September 2008 Halaman 147 - 155 Artikel Penelitian

Transcript of JURNAL MANAJEMEN PELAYANAN KESEHATAN ANALISIS KEBIJAKAN …

Page 1: JURNAL MANAJEMEN PELAYANAN KESEHATAN ANALISIS KEBIJAKAN …

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 11, No. 3 September 2008 147

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

ANALISIS KEBIJAKAN BERBASIS KESELAMATAN DAN KESEHATANEVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN LIMBAH CAIR RUMAH SAKIT

POLICY ANALIYSIS BASED ON THE SAFETY AND HEALTH THEIMPACT EVALUATION OF THE HOSPTAL WASTE WATER POLICY

Benyamin SugehaDewan Pengurus Nasional Asosiasi Ahli Keselamatan dan Kesehatan Kerja,

Yogyakarta

ABSTRAKLatar belakang: Implementasi kebijakan internalisasi limbahcair rumah sakit secara adhoc berupa pembuatan instalasipengolahan air limbah (IPAL) telah menimbulkan keluhan darimasyarakat sekitar rumah sakit. Fenomena paradoksinternalisasi ini menarik untuk diteliti dengan mempertanyakanapakah implementasi kebijakan limbah cair rumah sakit tersebutergonomik.Metode: Penelitian deskriptif-normatif yang menunjang analisiskebijakan ini dilaksanakan di empat rumah sakit yang ada diDaerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Responden diambil secarapurposive (purposive sampling). Penelitian kualitatif ini mengikutialur proses dedukto-hipotetiko-verifikatif.Hasil: Hasil penelitian menunjukkan adanya IPAL di dalam rumahsakit menimbulkan kondisi tidak sehat, tidak aman, dan tidaknyaman bagi civitas hospitalia. Semuanya itu meverifikasi tidakserasinya hubungan sosio prosesual dengan tekno struktural.Dalam aspek analis is kebijakan secara ad hoc denganpembuatan IPAL limbah B3 dalam rumah sakit, menjadikan tidakergonomik, sehingga dapat menimbulkan bahaya dan risikobagi rumah sakit.Kesimpulan dan saran: Implementasi kebijakan yang tidakmemperhatikan lingkungan dimana kebijakan itu akan diterapkan,dapat menimbulkan kondisi yang tidak ergonomic. Perludisarankan agar pelaksana kebijakan memperhatikan grandtheory of policy implementation yang tidak hanya melihat faktorkebijakannya saja, tetapi juga organisasi/pelaku dan lingkungandimana kebijakan akan diterapkan.

Kata kunci: kebijakan internalisasi, IPAL, paradoks internalisasi,ergonomik, grand theory of policy implementation

ABSTRACTBackground: the internalization policy for hospital liquid wastein ad hoc implemented, by building a waste water treatmentplant (WWTP), had raised complain from the neighbouring,area around the hospital. This internalization paradox fenomenais an interesting subject to research, by putting question as:how ergonomic was the implementation of WWTP hospital.Method: A descriptive research was conducted at fourhospitals in Yogyakarta Special Province (DIY). Respondenswere taken by purposive sampling. This qualitative researchwas conducted by deduct-hiptetico - verificative process.Result: It showed that current condition is not healthy, notsafe and not comfortable for civitas hospitalia. This studyverifies the in balanced relationship between socio processualand techno structural that made the condition not ergonomic.Conclusion: the implementation of the policy, by ignoring theexistence of the environment and the substance of the

organization made is not ergonomic. The implementation of thispolicy should take care to the grand theory of policyimplementation that not focused to the policy making, but alsoto the organization and the environment.

Keywords: internalization policy, W W TP, paradoxinternalization, ergonomic and grand theory of policyimplementation

PENGANTARDalam upaya internalisasi limbah cair rumah

sakit, Menteri Negara Lingkungan Hidup telahmenerbitkan kebijakan KEP-58/Men LH/12/1995yang mewajibkan pengelola rumah sakit melakukanpengolahan limbah cair agar tidak melampaui bakumutu yang telah ditetapkan, sebelum dibuang kelingkungan.1 Akan tetapi, sangat disesalkan bahwaKeputusan Menteri (Kepmen) tersebut tidakberorientasi pada Peraturan Pemerintah (PP) No.19/1994 2 sebagai kebijakan yang lebih tinggi dantelah ada sebelumnya yang menyebutkan bahwalimbah rumah sakit (RS) tergolong sebagai limbahB3. Akibatnya, asas-asas yang terkait denganpengelolaan limbah B3, seperti asas kehati-hatian(precautionary) menjadi terabaikan. Hal tersebutmemberi peluang pada implementor untukmengimplementasikan KEP-58/Men LH/12/19951

secara ad hoc lewat teknologi end-of-pipe denganmenggunakan bioreaktor yang berupa InstalasiPengolahan Air Limbah (IPAL) statusquosebagaimana dilaksanakan pada sektor industri.

Bukti empiris menunjukkan bahwa adanya IPALrumah sakit tersebut menyebabkan gangguan padamasyarakat. Di Yogyakarta, misalnya, penduduk disekitar kampung Sagan dan Kotabaru mengeluhterhadap timbulnya bau dari IPAL RS Pantirapih danRS Bethesda. Pengusaha salon di sekitar JalanNgupasan yang berdampingan dengan IPAL RS PKUmenyatakan protes karena bau yang mengganggu.Sementara itu, masyarakat Desa Jebugan Bantulyang berdampingan dengan lokasi IPAL RS

JURNAL MANAJEMEN PELAYANAN KESEHATANVOLUME 11 No. 03 September 2008 Halaman 147 - 155

Artikel Penelitian

Page 2: JURNAL MANAJEMEN PELAYANAN KESEHATAN ANALISIS KEBIJAKAN …

148 Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 11, No. 3 September 2008

Benyamin Sugeha: Analisis Kebijakan Berbasis Keselamatan ...

Panembahan Senopati resah karena busa hasilproses limbah yang terbawa angin masuk keperkampungan. Bahkan, masyarakat Code Utaratelah melakukan gugatan atas tercemarnya sungaiCode oleh lumpur (sludge) yang dihasilkan IPAL RSDr. Sardjito.

Adanya gangguan pada tetangga di sekitar RStersebut menarik apabila dikaitkan dengan teoriFinsterbusch dan Motz yang mengatakan bahwadampak terhadap berbagai unit sosial bersifatagregatif dan resiprokal, serta tidak terpisahkan satudengan yang lain.3 Apabila masyarakat selakubenefeciaries sampai melakukan pengaduan,apalagi civitas hospitalia selaku losser mereka tentumengalami gangguan yang lebih besar. Oleh karenaitu, tidak tampak adanya komplain civitas hospitaliamerupakan kontradiksi yang menjadikanimplementasi kebijakan limbah cair rumah sakitmenarik untuk ditel i t i lebih lanjut denganmempertanyakan: Apakah ergonomis, implementasikebijakan limbah cair rumah sakit dengan pembuatanIPAL status quo?

1. Implementasi KebijakanMenurut Effendi4, studi implementasi baru mulai

berkembang sejak tahun 1970 karena sebelumnyayang ada hanyalah dikotomi yang memisahkanantara proses politik dan administrasi. Sebagaiakibatnya, administrator tidak pernah melihatpelaksanaan kebijakan ataupun hasilnya. Apakahoutcome yang diperoleh sudah sesuai dengan tujuankebijakan bukan merupakan urusan administrasi.Akan tetapi, setelah tahun 1970 muncul tuntutankepada administrator untuk mempertanggungjawabkankebijakannya. Oleh karena itu, berkembanglah tigagenerasi studi implementasi.4 Generasi pertamayang dimotori oleh Bardach, Wilclausley, danPressmean hanya meneliti pelaksanaan sebuahkebijakan di satu lokasi saja. Penelitian demikiandalam studi ilmu sosial disebut sebagai studi kasusdengan kelemahan tidak dapat menjelaskan secarasistematis apakah lokasi tersebut mampu atau tidakmelaksanakan kebijakan, hubungan kausalnya tidakdapat diketahui, karena hanya satu.4 Generasi keduadimotori oleh Grandle, Edward, dan Sabatier yangmencoba menjelaskan mengapa suatu kebijakandapat gagal atau berhasil. Generasi ini sudah dapatmenjelaskan apakah outcome disebabkan olehvariabel independen dan hubungan kausalnya mulaijelas. Kelemahan generasi ini yaitu tidak dapatmenjelaskan variabel independen mana yang palingmempengaruhi outcome. Generasi ketiga mencobamenutupi kelemahan kedua generasi sebelumya

dengan cara menjelaskan hubungan antarvariabelmelalui komunikasi yang sistematis.4

Proses implementasi kebijakan merupakanproses untuk mengkomunikasikan pesan-pesankebijakan dari perumus kebijakan kepada level dibawahnya selaku implementor kebijakan.5 Tidakmustahil terjadi permasalahan akibat munculnyadampak yang tidak diharapkan di kemudian harisebagai akibat tidak adanya komunikasi yangmemadai. Kurangnya komunikasi yang memadaipada implementasi kebijakan limbah cair rumahsakit berbasis Keselamatan dan Kesehatan Kerja(K3) menyangkut penyesuaian peralatan IPALdengan kemampuan esensial civitas hospitalia untukmemperoleh output yang optimal.

Aspek ergonomi merupakan hasil darikombinasi yang serasi antara subsistem peralatanIPAL dalam sistem rumah sakit yang merupakantekno struktural, dan subsistem civitas hospitaliayang menyangkut faal, psikologis, latar belakangsosial, sebagai subsistem sosio-prosesual. MenurutSilalahi, timbulnya keserasian antara tekno-struktural dengan sosio-prosesual tersebutmenjadikan kedua subsistem tersebut berada dalamsuatu tata kartesis (sistem kerja yang terpadu) yangergonomis, tetapi sebaliknya sebagai t idakergonomik atau nirergonomik.6

Menurut Weale, hambatan politis sering terjadipada implementasi kebijakan sehingga pemerintahmaupun implementor harus peka terhadap harapandan nilai-nilai masyarakat. Sementara itu, hambatandari sisi administratif terjadi karena kebijakan seringtidak dirancang sesuai dengan kompleksitasekosistem ataupun norma-norma yang ada.7

Basis K3 menyangkut etika dan aktivitasintelektual sehingga dalam menganalisis kebijakanberbasis K3 perlu didukung pengetahuan yangmenyangkut etika. Sesuai dengan pernyataanHomoroes bahwa sejalan dengan standar isulingkungan terkini yang berbasis pada masyarakatpengguna dan generasi mendatang, menekankankepada etika.8 Hal tersebut juga telah dijelaskandengan baik oleh Wood dalam Dunn melaluipernyataannya bahwa problem kita bukan melakukanapa yang benar tetapi untuk mengetahui apa yangbenar, pengetahuan mengenai apa itu fakta, manayang benar sebagai nilai, dan apa yang harusdilakukan sebagai tindakan merupakan landasanbagi suatu advokasi.9

Fakih10 menekankan bahwa advokasi berfungsisebagai salah satu perangkat sekaligus prosesdemokratisasi yang dapat dilakukan oleh warganegara untuk mengawasi dan melindungi

Page 3: JURNAL MANAJEMEN PELAYANAN KESEHATAN ANALISIS KEBIJAKAN …

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 11, No. 3 September 2008 149

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

kepentingan mereka terutama terkait dengankebijakan yang dilakukan oleh pemerintah. Secarasingkat dapat dinyatakan bahwa advokasi bertujuanuntuk mengubah, menyempurnakan atau membelasuatu kebijakan tertentu, karena saat inipermasalahan kebijakan tidak lagi didominasi olehelite politik, namun semakin banyak melibatkanwarga negara dan kelompok-kelompok kepentingantertentu, sebagaimana disampaikan oleh Winarno.11

2. Ergonomi Menurut Suma’mur,12 ergonomi adalah

penerapan ilmu-ilmu biologis tentang manusiabersama dengan ilmu teknik dan ilmu yang lain untukmencapai penyesuaian yang optimal pada manusiaterhadap pekerjaannya, yang manfaatnya diukurdengan efisiensi dan kesejahteraan kerja. Sebagaiilmu terapan, ergonomi telah banyak mengalamiperkembangan, mengiring kemajuan teknologi.Menurut Singleton, apabila pendekatan ergonomikklasik, yang dilakukan hanyalah menyesuaikanperalatan dengan mereka yang bekerja, pendekatansistem ergonomis mengupayakan penyelesaikanpersoalan sistem secara total.13 Dengan demikian,ergonomik sistem lebih erat kaitannya dengankebijakan dan bersifat makro, dibandingkan denganergonomik klasik yang lebih dekat denganpermasalahan teknis dan bersifat mikro.

Menurut Sutalaksana,14 ada dua cara melihatergonomi sebagai ilmu. Kedua cara itu adalah (1)mengkaji manusia dalam menjalankan berbagaiaktivitasnya, dan (2) memanfaatkan pengetahuantentang manusia untuk merancang sistem kerja yangmelibatkan manusia. Adapun tujuannya adalah agarsistem tersebut tidak membebani manusia melampauibatas kemampuannya. Kedua cara tersebut salingberkaitan. Cara yang pertama memberikan informasitentang manusia, dan yang kedua memanfaatkaninformasi itu untuk tercapainya kehidupan yang sehat,aman, dan nyaman bagi manusia pelakunya maupunefisiensi dan efektivitas bagi institusi penggunannya.Output dari aplikasi ergonomi adalah salah satu darihal-hal berikut: peralatan kerja yang ergonomik, bahanatau produk yang dapat ditangani dengan ergonomik,lingkungan kerja yang ergonomik, dan metode kerjayang ergonomik,14 bahkan telah sampai kepadakebijakan yang ergonomik.

Reyes mendefinisikan ergonomik secara makroyaitu pendekatan yang berpusatkan pada manusia(human-centered design). Secara prinsip ergonomikberarti fit the system to the man, not the other wayaround. Artinya, alat-alat kerja, bahan-bahan,lingkungan, metode, dan sistem sosioteknik yangcocok dengan orang yang memakainya.15 Istilah lain

adalah human-focused design, human-based design,dan anthropocentric design. Pendekatan ini diyakinimemiliki sifat-sifat aman, sehat, dan nyaman bagiunsur manusianya dan efektif serta efisien bagiorganisasi yang bersangkutan.14,15 Dalam penelitianini ergonomi bertujuan untuk melihat apakah terjalinkombinasi yang serasi antara subsistem peralatanIPAL di RS dengan subsistem civitas hospitaliasebagai subsistem sosio-prosesual.

Untuk mengkaji permasalahan yangmenyangkut instalasi kerja demikian, menurutRositaningrum, perlu dilakukan penelitian denganmerancang sistem kerja yang berbasis ergonomisecara makro yaitu optimasi sistem kerja dalamkaitannya dengan perilaku organisasi dan psikologiorganisasi.16 Dalam ergonomi secara makro, apabilaterdapat keserasian antara tekno-struktural dengansosio-prosesual, kedua subsistem tersebut menjadidua unsur dalam suatu tata kartesis (sistem kerjayang terpadu) yang ergonomis. Atau sebaliknya,kedudukannya tidak merupakan dua unsur dalamsuatu sistem kerja yang terpadu sehingga menjaditidak ergonomik.6,16

a. IPAL sebagai Tekno StrukturalWalaupun limbah cair rumah sakit, secara

dominasi materi sama dengan limbah cair hotel,perkantoran, ataupun perumahan, yakni sebagailimbah domestik, limbah rumah sakit sesuai denganPP No. 19/1994, yang kemudian diperbaiki melaluiPP No. 12/1995 tentang pengolahan limbahberbahaya dan beracun, dikategorikan sebagailimbah bahan berbahaya dan beracun (B-3).2 Hal itumembawa implikasi pada persyaratan yang ketatpada pengelolaan, tidak sekedar secara ad hocdengan teknologi end of pipe, seperti halnya padalimbah cair hotel dan industri.

Pada proses pengolahan limbah secarabiologis, sebagaimana yang ada sekarang, dipakaijasa berbagai variasi mikroorganisme yang dapatmemetabolisme berbagai macam limbah organik. Haltersebut membawa implikasi pada kondisi di dalamIPAL yang juga akan kondusif terhadap bakterimaupun virus yang ada. Kondisi demikian tentu akanmenambah health hazard pada lingkungan IPAL.WHO, melalui National Guidelines for theManagement of Clinical and Related Waste, telahmenekankan bahwa limbah rumah sakit dapatmemberi kontribusi sebagai sumber penyebarankuman yang besar di rumah sakit.17

Pada proses pengolahan limbah dengan sistembiologis, keberadaan IPAL tidak terlepas dari hukumThermodinamika II yang menekankan bahwa dalambioreaktor akan timbul entropi yang diartikan sebagai

Page 4: JURNAL MANAJEMEN PELAYANAN KESEHATAN ANALISIS KEBIJAKAN …

150 Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 11, No. 3 September 2008

Benyamin Sugeha: Analisis Kebijakan Berbasis Keselamatan ...

timbulnya kerusakan dari sistem yang terisolir.18

Entropi dari subsistem IPAL yang terisolir itu akanberpenetrasi kepada sistem rumah sakit sampaimencapai nilai maksimum. Entropi di dalamlingkungan rumah sakit yang sudah rentan itu akanmuncul dalam bentuk bahaya biologis (biohazard).

Menurut Soejogo, 85% limbah yang dihasikanoleh rumah sakit merupakan limbah domistik, 10%merupakan limbah infeksius dan 5% tercemar bahankimia beracun.19 Dengan penggunaan kolamekualisasi, sebagaimana dipakai pada PAL,keseluruhan limbah akan tercampur dan tercemar.Pencampuran tersebut mengakibatkan kuantitaslimbah infeksius mencapai nilai optimal.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwadalam domain IPAL, sebagai subsistem rumah sakityang menampung dan mengolah limbah cairinfeksius, akan berkembang biak pula virus danbakteri patogen secara kondusif bersama denganbakteri fungsional. Apalagi, Sahib menengaraiterbentuknya plasmid DNA yang resisten terhadapantibiotika.20 Hal ini menyebabkan peningkatankualitas dari bakteri infeksius yang terkandung didalam limbah. Adanya peningkatan kuantitas dankualitas limbah infeksius itu tentu akan berimplikasipada meningkatnya bahaya kesehatan (healthhazard) di lingkungan rumah sakit.

b. Civitas Hospitalia sebagai Sosio-ProsesualBerbeda dengan industri manufaktur, rumah

sakit merupakan suatu institusi dengan berbagaikarakteristik yang khusus. Rumah sakit (RS) dikelolaoleh tenaga medis dan paramedis dari berbagaidisiplin keilmuan yang memberikan pelayananselama 24 jam terus-menerus selama 365 hari dalamsetahun.21

Sunu mengatakan bahwa tangung jawabmanajemen rumah sakit meliputi kelangsungan hidupRS, dan tanggung jawab terhadap lingkunganekternal maupun internal RS, yang meliputikeselamatan dan kesehatan kerja karyawan.22

Rumah sakit pada umumnya mengutamakankebersihan, tidak saja terhadap yang kasat mata,tetapi sampai pada kebersihan dalam arti sterilkarena akan mempengaruhi prevelensi nosokomial.

Civitas hospitalia sangat rentan terhadap bebantambahan biologis, sebagaimana dinyatakanSuma’mur bahwa beban biologi dapat menimbulkaninfeksi dan penyakit seperti bakteri, virus, kuman,jamur, fungi, cacing, parasit, dan serangga yangberada di dalam lingkungan kerja.23 Padahal, menurutSoejoga nilai infeksi nosokomial RS telah hampirmencapai nilai maksimum (10%),19 sedangkanHarsono menyatakan bahwa survei membuktikan

nilai INOS di RS Jakarta mencapai angka 20%, danpada bulan April 2001 nilai INOS di RS Dr. Sardjitopernah mencapai angka 9,43%.24 Nilai-nilai itumerupakan ambang batas yang jugamembahayakan civitas hospitalia.

Menurut teori segitiga epidemiologi seperti yangdinyatakan Gordon dan Le Richt,25 keberadaan IPAL,lingkungan RS, dan civitas hospitalia merupakanpenjamu, penyebab penyakit dan lingkungan.Dengan demikian, adanya bioreaktor IPAL di dalamRS berarti menghimpitkan aspek penjamu, penyebabpenyakit dan lingkungan dalam lingkup sempit rumahsakit. Padahal, lingkungan RS sudah sangat rentanterhadap bahaya biologis sebagaimana ditengaraidengan angka INOS di RS pada umumnya yangsudah mendekati angka 10%.

Hal itu apabila dikaitkan dengan teori Suma’murtentang beban biologis pada karyawan,26 dapatmemberikan kesimpulan bahwa keberadaan IPAL didalam RS sebagai tekno struktural tidak sesuai,bahkan sangat rentan terhadap keberadaan civitashospitalia sebagai sosio-prosesual. Ketidakserasianantara tekno-struktural dengan sosio-prosesual inimemunculkan jawaban semantara (hipotesis) bahwaadanya IPAL statusquo di RS sebagai tindakan yangtidak ergonomik atau nirergonomik.

BAHAN DAN CARA PENELITIANPenelitian implementasi kebijakan jenis ini

dikelompokkan ke dalam analisis implementasikebijakan generasi ketiga dengan menggali teori dariberbagai disiplin keilmuan dan menekankan padafakta dan teori secara seimbang.5 Supaya dapatdipertanggungjawabkan secara ilmiah, dipakairancangan penelitian yang menggabungkan polarasional dan empiris27,28, dengan dituntun olehkomponen deduktif-rasional dan penalaran induktif-empiris sehingga memenuhi alur dedukto-hipotetiko-verifikatif.29 Penelitian dengan bingkai analisiskebijakan ini mengarah kepada dampak sebagaiakibat keberadaan IPAL secara deskriptif ataupunpreskriptif sehingga dapat disebut studi evaluasidampak kebijakan.

Penelitian ini dilakukan pada empat RS diDaerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yaitu RS Dr.Sardjito, PKU Muhammadiyah, PanembahanSenopati, dan Bethesda. Rumah Sakit (RS) Dr.Sardjito dan Bethesda merupakan RS besar,sedangkan RS PKU Muhammadiyah danPanembahan Senopati merupakan RS kecil. RumahSakit (RS) Dr Sardjito dan Panembahan Senopatimerupakan RS pemerintah, sedangkan RSBethesda dan PKU Muhammadiyah merupakan RSswasta. Dari setiap RS yang diteliti, dipilih sepuluh

Page 5: JURNAL MANAJEMEN PELAYANAN KESEHATAN ANALISIS KEBIJAKAN …

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 11, No. 3 September 2008 151

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

responden untuk mengisi kuesioner dan seorangdireksi untuk diwawancarai secara terstruktur. Alurpenelitian selengkapnya tampak pada Gambar 1.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian di samping ditentukan oleh

penilaian keberadaan objek penelitian, jugaditentukan oleh civitas hospitalia sebagai subjekyang merasakan dan menilai lingkungan kerja. Padahakekatnya tidak ada penilaian yang lebih baik selainyang dilakukan oleh mereka yang berkaitan langsungdengan lingkungan kerjanya. Kondisi lingkungankerja rumah sakit diungkap melalui kuesioner kepadakaryawan dan wawancara terstruktur pada direksi,yang menyangkut penilaian aspek sehat, aman dannyaman, atau sebaliknya.a. Penilaian Sehat

Aspek ini ditengarai melalui jawaban kuesioneratas pertanyaan mengenai tingkat potensi bahayaterhadap timbulnya penyakit yang terkandung pada

IPAL (ringan, sedang, serius). Jawaban yang diberikanresponden dari sesetiap rumah sakit ternyatabervariasi, sebagaimana tampak pada Gambar 2.

Responden di RS Dr. Sardjito berpendapatbahwa tingkat potensi bahaya timbulnya penyakitakibat IPAL yaitu 30% mengatakan serius, 40%mengatakan sedang, dan 30% mengatakan ringan.Hal tersebut berbeda dengan responden di RS PKUyaitu 80% responden menyatakan bahwa tingkatrisiko timbulnya penyakit akibat IPAL berada padatingka serius, 20% mengatakan sedang, dan tidakada yang mengatakan ringan. Responden di RSPanembahan Senopati berpendapat bahwa tingkatpotensi bahaya timbulnya penyakit akibat IPAL yaitu40% mengatakan serius, 40% mengatakan sedang,dan 10% mengatakan ringan. Sementara itu, 50%responden di RS Bethesda mengatakan bahwatingkat risiko timbulnya penyakit akibat IPAL beradapada tingkat serius, 40% mengatakan sedang, dan10% mengatakan ringan.

Gambar 2. Penilaian Responden Mengenai Potensi Timbulnya Penyakit Akibat IPAL pada Tiap RS yang Diteliti

Gambar 1. Alur Langkah Penelitian

Page 6: JURNAL MANAJEMEN PELAYANAN KESEHATAN ANALISIS KEBIJAKAN …

152 Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 11, No. 3 September 2008

Benyamin Sugeha: Analisis Kebijakan Berbasis Keselamatan ...

Dari Gambar 2 tampak bahwa mayoritas (80%)responden di RS PKU Muhammadiyah menilaitingkat potensi penyakit akibat adanya IPAL padatingkat serius. Demikian pula mayoritas (50%)responden di RS Bethesda yang menilai seriustingkat potensi penyakit akibat adanya IPAL. Kondisiini berbeda dibandingkan dengan responden padaRS Dr. Sardjito dan Panembahan Senopati. Apabiladikaitkan dengan hasil observasi yang dilakukansebagai pelengkapan triangulasi, hal tersebut dapatdipahami karena tata letak unit IPAL RS PKUMuhammadiyah dan RS Bethesda ternyataberdampingan dengan instalasi gizi, sedangkan tataletak IPAL di RS Dr. Sardjito dan PanembahanSenopati berjauhan dengan instalasi gizi. Walaupundemikian, secara keseluruan pendapat respondenmengenai tingkat potensi bahaya timbulnya penyakitakibat keberadaan IPAL pada setiap rumah sakityang diteliti tersebut mengindikasikan bahwakeberadaan IPAL ternyata telah menjadikanlingkungan rumah sakit menjadi tidak sehat.

b. Kondisi yang Tidak AmanAspek ini dinilai melalui jawaban kuesioner pada

civitas hospitalia yang mempertanyakan seberapaseriuskah (ringan, sedang, serius) potensi bahayainfeksi nosokomial (INOS), yang terkandung padaIPAL. Jawaban yang diberikan responden dari setiaprumah sakit umumnya bervariasi sebagaimanatampak pada Gambar 3.

Di RS Dr. Sardjito, responden berpendapatbahwa tingkat potensi timbulnya INOS akibat IPALadalah sebagai berikut: 40% mengatakan serius,30% mengatakan sedang, dan 30% mengatakanringan. Hal tersebut berbeda dengan responden diRS PKU yaitu 80% responden menyatakan bahwatingkat risiko timbulnya INOS akibat IPAL beradapada tingka serius, 20% mengatakan sedang, dantidak ada yang mengatakan ringan. Responden diRS Panembahan Senopati berpendapat bahwa

tingkat potensi bahaya timbulnya INOS akibat IPALyaitu 40% mengatakan serius, 40% mengatakansedang, dan 10% mengatakan ringan. Sementara itu,50% responden di RS Bethesda mengatakan bahwatingkat risiko timbulnya INOS akibat IPAL berada padatingkat serius, 40% mengatakan sedang, dan 10%mengatakan ringan. Adanya ancaman bahaya INOSakibat keberadaan IPAL pada setiap rumah sakit yangditeliti, sebagaimana telah disampaikan olehresponden tersebut, mengindikasikan bahwakeberadaan IPAL telah menjadikan lingkungan rumahsakit menjadi tidak aman.

c. Kondisi yang Tidak NyamanWalaupun dari sisi estetika, sebagaimana

tampak dalam kuesioner yang dibagikan kepadakaryawan mengungkapkan bahwa keindahan RSBethesda secara estetika menjadi lebih baik sejakdibangunnya IPAL, namun keindahan tersebut tentutidak dapat mengimbangi adanya bau yangmenjadikan kondisi RS yang tidak nyaman. Agarpenilaian ketidaknyamanan tersebut dapat dinilaisecara lebih tegas, diindikasikan pada potensituntutan karyawan akibat dampak yang muncul ataskeberadaan IPAL yang ditengarai dari jawaban ataskuesioner yang dibagikan.

Di RS Dr. Sardjito pendapat responden yangtidak menguatirkan adanya tuntutan akibat dampakIPAL cukup mendominasi yaitu 80%. Hanya ada 20%responden yang menguatirkan adanya tuntutankarena keberadaan IPAL. Berbeda dengan respondendi rumah sakit PKU Muhammadiyah yangmengkuatirkan adanya tuntutan hingga mencapaiangka 60%. Hal ini juga terjadi sebagaimana halnyapendapat responden pada RS Senopati Bantul yangjuga mencapai 60%. Sementara itu, responden diRS Bethesda menunjukkan ada 20% yangmengatakan sangat menguatirkan dan 10% yangmengatakan menguatirkan. Selengkapnya, jawabanresponden tersebut tampak pada Gambar 4.

Gambar 3. Penilaian Responden terhadap Potensi INOS Akibat IPAL

Page 7: JURNAL MANAJEMEN PELAYANAN KESEHATAN ANALISIS KEBIJAKAN …

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 11, No. 3 September 2008 153

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

Gambar 4 menunjukkan bahwa terdapatketidaknyaman civ itas hospital ia terhadapmunculnya berbagai dampak yang dapat mengarahkepada munculnya ancaman tuntutan. Kondisidemikian secara umum mengungkapkan bahwaadanya IPAL di RS telah memberikan rasa tidaknyaman bagi civitas hospitalia. Di dalam Gambar 4tersebut tampak pola responden di RS Dr. Sardjitodan RS Bethesda, sebagai RS besar di satu sisi,dengan pola responden pada RS PKUMuhammadiyah dan RS Panembahan Senopatisebagai RS kecil, di sisi lain. Ternyata keberadaanlahan yang lebih luas akan menambah tingkatkenyamanan dan mengurangi ketidakpuasan yangmengarah kepada ancaman tuntutan.

Munculnya bau yang berkaitan dengankeberadaan IPAL merupakan indikator minimal darikondisi RS yang menjadi tidak nyaman. Keadaantersebut ternyata sulit dihilangkan, sebagaimanatampak dari wawancara lebih lanjut yang dilakukanpada Direksi RS Dr. Sardjito ataupun RS Bethesda.Dari wawancara terstruktur tampak bahwa merekamerasa pesimis untuk dapat menghilangkan bauyang bersumber dari IPAL. Pernyataan yangdisampaikan oleh Kepala Instalasi KesehatanLingkungan RS Bethesda adalah sebagai berikut:

“Berbicara soal masalah bau, mana ada yangnamanya pengolahan limbah tidakmenimbulkan bau? Tetapi kita tetapberupaya untuk mengetahui, bau itubersumber dari apa, dan ternyata bau ituberasal dari proses IPAL yang sedangberproses. Selanjutnya kami telahmelakukan sosialisasi kepada penduduk disekitar rumah sakit bahwa bau itumerupakan hasil samping dari proses yangsedang berjalan, dan hasilnya penduduk bisamengerti. Perlu juga diketahui bahwa bau itutidak timbul terus-menerus. Dalam satuminggu hanya terjadi beberapa kali, dan sayakira itu hal yang wajar.”

Di sisi lain, melalui wawancara dengan KepalaKesehatan Lingkungan RS Dr. Sardjito, diperolehpernyataan senada sebagai berikut:

“Mengenai bau, timbulnya bau itu berasal darilimbah-limbah yang memang sudah bau ataudapat menimbulkan bau sehingga dalampemilihan teknologi pengolahan telah di pilihteknologi yang dapat meminimalkan bau danhasil atau baku mutu sesuai standartermasuk yang dapat mengurangi vektorpenyakit. Walaupun jarang, tapi keluhan-keluhan itu tetap ada, terutama darilingkungan intern rumahs akit. Sebagaicontoh, untuk tempat-tempat pelayanan yangberdekatan dengan sum-pit atau bakpenampung limbah cair, pada saat terjadibeban puncak dan pada saat pompa mulaibekerja menghisap limbah cair, maka akanmenimbulkan bau. Bau yang berasal dari IPALjuga timbul dari proses pengeringanlumpur”.

Wawancara terstruktur pada direksi RS tersebutmemperkuat pendapat bahwa adanya bau yangmempengaruhi kenyamanan bagi civitas hospitaliatersebut ternyata melekat dengan keberadaan IPAL.Adanya bau yang mengganggu kenyamanan kerjatersebut sulit untuk dipisahkan dengan keberadaanbio reaktor IPAL.

Hasil penelitian ini menunjukkan adanya IPALdi dalam RS menimbulkan kondisi tidak sehat, tidakaman, dan tidak nyaman bagi civitas hospitalia.Semuanya itu meverifikasi tidak serasinya hubungansosioprosesual civitas hospitalia dengan tekno-struktural IPAL. Dalam aspek kebijakan terungkapbahwa tidak dipertimbangkannya keberadaanlingkungan dan substansi l imbah cair RS,mengakibatkan diimplementasi kebijakan limbah cairRS secara ad hoc tersebut menjadi tidak ergonomik.Keadaan tersebut akan membawa implikasimangerial karena dapat berbahaya dan berisiko bagipengelolaan RS maupun masyarakat luas, bahkan

Gambar 4. Penilaian Responden terhadap Potensi Timbulnya Tuntutan Karyawan Akibat IPAL

Page 8: JURNAL MANAJEMEN PELAYANAN KESEHATAN ANALISIS KEBIJAKAN …

154 Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 11, No. 3 September 2008

Benyamin Sugeha: Analisis Kebijakan Berbasis Keselamatan ...

absurditas kebijakan perlindungan lingkungan.Timbulnya kebijakan yang tidak ergonomiksebenarnya dapat dihindari dengan memperhatikanaspek yang menyangkut keselamatan dankesehatan, sebagaimana halnya perhatian kepadaaspek sustainability.

Pemahaman mengenai piramida-hirarchi yangmenyangkut aspek sustainability, perlindunganlingkungan dan keselamatan dan kesehatan kerja,sebenarnya dapat membantu didalam membuatkebijakan yang komprehensip. Denganmemperhatikan aspek yang berkaitan denganjangkauan waktu: hari, bulan dan tahun, tanpameninggalkan cakupan keluasan, yang menyangkutjangkauan: lokal, regional dan global, tentu akanmendapatkan hasil yang komprehensip.30

Butler memperlihatkan adanya kebutuhan untukmempertimbangkan jangka waktu yang panjang danpenyebaran konsekuensi praktis yang muncul darisuatu kebijakan.30 Hal tersebut penting diperhatikan,sebagaimana dampak kegiatan yang tidakberkelanjutan (unsustainable practices) di dalambanyak hal dapat mengganggu kesehatan dalamwaktu yang relatif panjang.31 Sebenarnya perhatianyang serius terhadap kesehatan dalam jangkauankebijakan lingkungan, sebagaimana fenomena yangmuncul dari hasil penelitian ini telah lama dipahami.The United Nations Environment and DevelopmentUK Commitee, sejak tahun 1994 telahmenyimpulkan bahwa pengamanan terhadapkesehatan dan peningkatan kualitas lingkunganmempunyai hubungan yang sangat erat.32

Dalam kaidah ilmu kebijakan public sebenarnyajuga telah dikenal Grant Theory of PolicyImplementation yang tidak hanya melihat faktorkebijakannya saja, tetapi juga organisasi/pelaku danlingkungan dimana kebijakan itu akan diterapkan.33

Bahkan Dye telah menanamkan pemahaman tigaelemen sistem kebijakan, yang meliputi public policy,policy stakeholder dan policy environtment.34 Dengandemikian, karena policy stakeholder identik denganaspek sosio prosesual, sedangkan policyenvironment merupakan representasi dari teknostruktural yang berkaitan dengan lingkungan kerjarumah sakit, maka sistem kebijakan dapatdisederhanakan menjadi public policy danergonomic. Dengan kata lain setiap kebijakan publicyang baik harus memenuhi persyaratan ergonomi.

KESIMPULAN DAN SARAN Kondisi yang tidak sehat, tidak aman, dan tidak

nyaman tersebut telah memverifikasi bahwa

implementasi kebijakan IPAL dengan sistembioreaktor aerob di dalam lingkungan rumah sakittidak ergonomik. Kondisi yang tidak ergonomiktersebut membawa implikasi managerial yang tidakefektif dan tidak efisien dalam pengelolaan RS untukjangka panjang. Dari prespektif kebijakan tampakbahwa pembuatan kebijakan yang tidakmemperhatikan lingkungan tempat kebijakan itu akanditerapkan, dalam implementasinya dapatmenimbulkkan kondisi yang tidak ergonomik.

Perlu disarankan agar policy maker lebihmemperhatikan Grand theory of policyimplementation yang tidak hanya melihat faktorkebijakannya saja, tetapi juga organisasi danlingkungan tempat kebijakan itu akan diterapkan.33

Untuk implemenetor kebijakan, disarankan agarkebijakan l imbah cair RS tidak sekedardiimplementasi secara ad hoc dengan pembuatanbioreakor di dalam RS, tetapi mengingat limbah cairRS termasuk limbah B3, sesuai dengan PP No. 19/1994,2 seharusnya diolah dengan asas ke hati-hatianyang tinggi dengan memperhatikan asasprecautionary.

Pergeseran dari paradigma government yangselama ini hanya terfokus pada peranan pemerintahyang bertindak sebagai pemain tunggal menjadigovernance yang lebih berorientasi kepadakompabilitas diantara pemerintah, swasta, dankomponen-komponen di dalam masyarakat. Banyakfaktor yang menentukan apakah suatu hasil analisiskebijakan akan dimanfaatkan oleh implementor.31

Peranan analisis tidak hanya terbatas padapenggunaan metode yang konvensional, tetapi dalammenjalankan fungsinya sebagai agen perubahansosial yang terencana haruslah membantu orangyang mempengaruhi dan dipengaruhi olehkebijakan.35 Oleh karena itu, ergonomi merupakanformula yangtepat untuk jawaban bagi kebijakanyang humanistik.

UCAPAN TERIMA KASIH Perkenankan peneliti menyampaikan terima

kasih yang sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. dr.Subijanto, Prof. Dr. Sudarmadji, M. Eng. Sc., danProf. dr. Laksono Trisnantoro M. Sc., Ph.D., karenamelalui bimbingan beliau penulisan naskah disertasiini dapat terlaksana dengan baik.

KEPUSTAKAAN1. KLH, Keputusan Menteri Negara Lingkungan

Hidup No 58/Men LH/12/1995 tentang BakumutuLimbah Cair untuk Kegiatan Rumah Sakit, 1995.

Page 9: JURNAL MANAJEMEN PELAYANAN KESEHATAN ANALISIS KEBIJAKAN …

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 11, No. 3 September 2008 155

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

2. BAPEDAL, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Mengenai Pengendalian DampakLingkungan, PPIPL - BAPEDAL, KLH Jakarta.1996.

3. Finsterbusch, Kurt and Anabelle Bender Motz,Social Research for Policy Decision, Belmont,California: Wadsworth Publishing Company,1980.

4. Effendi, S, Bahan Kuliah Analisis KebijakanPublik, untuk MAP UGM, Yogyakarta, 2000.

5. Goggin.ML, Implementation Theory andPractice. Brown Higher Education, LondonEngland, 1995.

6. Silalahi, B.N.B, Manajemen Keselamatan danKesehatan Kerja. PT. Pustaka BinamanPressindo. Jakarta, 1991.

7. Weale, A., Implemetation Failure: a suitablecase for review. Elykke (ed) Achiev ingEnvironmental goal; the concept and practiceof environtmental performance review. Belhaven.London, UK, 1992.

8. Harremoes, P, Integrated Water and WasteManagement. Water Science And Technology.A Jurnal of The International Association onWater Quality. London, UK. 1997.

9. Dunn, W. N, Analisa Kebijaksanaan Publik.Cetakan ke-6, Hanindita Graha Widia.Yogyakarta, 2000.

10. Fakih, M, dkk, Mengubah Kebijakan Publik,INSIST Press, Yogyakarta, 2000.

11. Winarno, B., Teori dan Proses Kebijakan Publik,Media Pressindo, Yogyakarta, 2002.

12. Suma’mur P.K, Keselamatan Kerja danPencegahan Kecelakaan, Cetakan IX, PT TokoGunung Agung, Jakarta. 1996.

13. Singleton W.T, Introdduction to Ergonomic,World Health Organization, Geneva, 1972.

14. Sutalaksana, I.Z., Ergonomi Kerja,Perkembangan Keilmuan, Manfaat danPemasyarakatannya. Departemen teknikindustri ITB, Bandung, 2003.

15. Reyes, A.R.L, Ergonomics, Human Engineering,Bacom Development Corporation, Makati, Rizal.Philippines,1975.

16. Rositaningrum, Alfia; Wignjosoebroto, Sritomo;Santhi. D, Dyah, Analisa ImplementasiErgonomi Makro Terhadap KeuntunganPerusahaan (Studi Kasus: Merpati MaintenanceFacility Juanda Surabaya). Jurnal Teknik Industri,Institut Teknologi Sepuluh November (ITS).Surabaya, 2007.

17. WHO, National Guidelines for the Managementof Clinical and Related Waste, 1988.

18. Odum, H. T, Ekologi Sistem, Gadjah MadaUniversity Press. Yogyakarta. 1992.

19. Soejoga, H, Hospital Waste Management InIndonesia. Makalah pada: Regional Consultationon Sound Management of Hospital Waste diChiangmei. Ministry of Health RepublicIndonesia. Jakarta, 1996.

20. Shahib, M. N., Pendekatan Biologi Molekulerpada Limbah RS dan Laboratorium Klinik diBandung, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993.

21. DEPKES, Konsep dan Prinsip ManagemenRumah Sakit. Jilid I: Dasar-Dasar ManagemenRumah Sakit. Direktorat Jenderal PelayananMedik, Jakarta. 1990.

22. Sunu, Melindungi Lingkungan DenganMenerapkan ISO 14001. Grasindo, Jakarta, 2001.

23. Suma’mur P. K, Higene Perusahaan danKesehatan Kerja, CV. Haji Masagung, Jakarta.1994.

24. Harsono, Seminar Nosokomial, Rumah SakitDr Sardjito, Yogyakarta. 2001.

25. Hersusanto, Penyakit Akibat Kerja, Handout,Program Studi Ilmu Kesehatan Kerja, UniversitasGadjah Mada, Yogyakarta, 1995.

26. Suma’mur P. K, Keselamatan Kerja danPencegahan Kecelakaan, Cetakan IX, PT TokoGunung Agung, Jakarta, 1996.

27. Thoyibi. M. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya.Muhammadiyah University Press. 1999.

28. Tejoyuwono, KMRT., Filsafat dan MetodologiPenelitian dan Beberapa Implikasi dalamPenelitian Geografi, Fakultas Geografi, UGM.Yogyakarta. 1991.

29. Mantra, Ida Bagoes, Filsafat penelitian , PustakaPelajar, Yogyakarta. 2004.

30. David Butler, Jonathan Parkinson, TowardsSustainable Urban Drainage, Water Scienceand Technology. International Aswsociation onWater Quality Jurnal, 1997.

31. Brooks, H, What is Sustainability? in Scienceand Sustainability: Selected paper on IIASA’s20th anniversary,1992.

32. UNED-UK. Health and Environment, A Reportof the UNED-UK Roundtabel, United NationsEnvironment and Development UK Commitee.1994.

33. Dunn, W.N. Analisis Kebijakan Publik.Kerangka Analisis dan Prosedur PerumusanMaslah. Hadinata. Yogyakarta. 2002.

34. Thomas R. Dye, Understanding public policy, 3th.Edition. Englewood Cliffs, NJ Prentice Hall, 1981.

35. Carol Weiss, Symposium on the ResearchUtilization Quandary, Policy Studies Journal, 4Numbers 3, spring, 1976.