JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat...
Transcript of JURNAL KEDIKLATANppsdmregbandung.kemendagri.go.id/assets/uploads/pdf/jurnal-april-2018.pdfmengangkat...
JURNAL KEDIKLATAN
KEMENTERIAN DALAM NEGERI No. ISSN: 2088-4397
PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA
REGIONAL BANDUNG
Dinamika dan Tantangan DPRD dalam Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah Suparjana
Pengaruh Kepemimpinan Kepala Sekolah,
Motivasi Kerja dan Disiplin Kerja Terhadap
Kinerja Guru SD di UPT TK, SD dan Non Formal
Kecamatan Margaasih Kabupaten Bandung Asep Iwa Hidayat dan Kartiwa
Ketidakkonsistenan Beragama dengan Politik Memilih
Pimpinan di Daerah Sumantri
Eksistensi Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) dalam
Membangun Kemandirian Desa
(Studi di Kabupaten Cilacap) Erni Irawati
Implementasi Pasca Diklat Kepemimpinan Tingkat III
(Pola Baru) dalam Rangka Peningkatan Kinerja
Alumni Peserta Diklat di Lingkungan
Pemerintah Daerah Kabupaten Purwakarta Nanang Nugraha
Implementasi Dana DesaTerhadap
Manajemen Keuangan Desa dalam Mewujudkan
Efektivitas Pembangunan Desa di Kabupaten Garut Lutfhi N. Fahri
Localizing Saemaul Undong, A Rural Development
Movement in South Korea: Is It Possible? Teguh Solih Setiyo Wibowo
Analisis Faktor Yang Mempengaruhi
Kinerja Aparatur di Sekretratiat Kota Jakarta Timur Minesally Mahedo Dyan Firseta
Edisi April 2018
i
Jurnal Kediklatan merupakan media publikasi ilmiah berkala yang diterbitkan oleh
Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Dalam Negeri Regional Bandung
DEWAN REDAKSI
JURNAL KEDIKLATAN
PUSAT PENGEMBANGAN
SUMBER DAYA MANUSIA
KEMENTERIAN DALAM NEGERI
REGIONAL BANDUNG
Penanggung Jawab : Ir. Taty Devi M. Siregar, M.Si
Pimpinan Redaktur : 1. Drs. Suparjana, MA, M.Pub.Admin
2. Dra. Mimi Mintarti, M.AP
Penyunting Editor : 1. Kartiwi, M.Si
2. Dyah Miranti Maharani, MA
Sekretariat : 1. Mamay Mulyadin, SE, M.Si
2. Nusirman, SE, M.AP
3. Endang Yusnani, SE, M.Si
Desain Grafis : 1. Rudy Suhartanto, S.STP, M.AP
2. Lutfhi N. Fahri, S.STP, M.Si
Paper Calling for Jurnal
Dewan Redaksi Jurnal menerima sumbangan naskah berupa hasil
penelitian, kajian dan gagasan ilmiah yang merupakan karya orisinil
Penulis dan belum pernah dipublikasikan di media publikasi yang lain.
Tulisan dapat disampaikan ke Pusat Pengembangan Sumber Daya
Manusia Kementerian Dalam Negeri Regional Bandung Jalan Kiara
Payung Km. 4,5 Jatinangor-Sumedang atau melalui E mail
[email protected]. Untuk informasi lebih lanjut dapat
menghubungi Sekretariat Dewan Redaksi Jurnal (Telepon (022)
87835007).
Edisi April 2018
ii
SAMBUTAN KEPALA PUSAT PENGEMBANGAN
SUMBER DAYA MANUSIA
KEMENTERIAN DALAM NEGERI REGIONAL BANDUNG
Puji dan syukur senantiasa kita panjatkan kepada Allah SWT.
Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan rahmat, berkah dan hidayah-
Nya kepada semua kita semua sampai saat ini kita masih diberi
kesempatan untuk berkarya dalam mengarungi pengembangan
kompetensi SDM yang semakin kompetitif di era globalisasi ini.
Terbitnya Jurnal Kediklatan Edisi April yang merupakan terbitan
pertama di Tahun 2018 ini menjadi momentum yang berharga bagi kami
karena organisasi kami pun baru mengalami transformasi kelembagaan
dari sebelumnya Pusat Pendidikan dan Pelatihan menjadi Pusat
Pengembangan Sumber Daya Manusia. Transformasi kelembagaan ini
berimplikasi pula pada Jurnal Kediklatan sehingga karya-karya yang
dihasilkan menjadi lebih komprehensif, bermakna dan bermanfaat bagi
Pembaca. Jurnal ini sebagai wahana untuk mencurahkan pemikiran
melalui sebuah tulisan bagi para Penulis, Praktisi, Peneliti, Dosen, ASN,
Widyaiswara serta para Pengamat Pengembangan ASN.
Kami berharap dengan terbitnya Jurnal Kediklatan ini dapat
memberikan inspirasi dan penunjang peningkatan kompetensi SDM
Aparatur serta dapat meningkatkan kerjasama dengan para mitra kami
secara harmonis dan berkesinambungan.
SALAM KOMPETENSI...
Kepala Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia
Regional Bandung
Ir. Taty Devi M. Siregar, M.Si
Edisi April 2018
iii
PENGANTAR REDAKSI
ara Pembaca yang terhormat, dalam kesempatan ini Jurnal Kediklatan
kembali terbit pada Edisi April Tahun 2018 dengan format yang
berbeda dari terbitan tahun-tahun sebelumnya, hal ini disebabkan
karena Jurnal Kediklatan sedang berbenah diri, baik dalam tampilan, format
tulisan dan manajemen tata kelolanya sebagai wujud peningkatan transfer
knowledge dalam lembaga pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM)
Aparatur.
Adapun dalam kesempatan ini Jurnal Kediklatan diterbitkan dengan
tema Pemerintahan Daerah, baik mencakup konsep maupun berbagai hasil
penelitian. Konsep dan hasil penelitian merupakan pengembangan dan
pendalaman dari berbagai studi yang diuji secara khusus dan mendalam di
bidang Pemerintahan Daerah.
Harapannya adalah materi yang disajikan dalam jurnal ini dapat
bermanfaat guna menambah wawasan informasi dan pengetahuan bagi
ilmuwan, praktisi dan berbagai kalangan lainnya. Selanjutnya melalui
perubahan ini, yaitu dalam upaya untuk memperbaiki Jurnal Kediklatan agar
sesuai dengan standar mutu dan tata kelola jurnal ilmiah, kami (Redaksi)
meminta dukungan semua pihak, khususnya Calon Penulis agar bersama-
sama dengan kami membangun komitmen untuk menjaga kualitas Jurnal
Kediklatan. Atas dukungan semua pihak, kami mengucapkan terima kasih.
Selamat membaca, dukungan dan partisipasi Bapak/ Ibu sangat kami
harapkan.
P
Salam,
Redaksi
Edisi April 2018
iv
DAFTAR ISI
halaman
DEWAN REDAKSI ......................................................................... i
SAMBUTAN ...................................................................................... ii
PENGANTAR REDAKSI .............................................................. iii
DAFTAR ISI .................................................................................... iv
DINAMIKA DAN TANTANGAN DPRD DALAM
PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH Suparjana/ Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia
Kementerian Dalam Negeri Regional Bandung ............................................ 1 – 11
PENGARUH KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH,
MOTIVASI KERJA DAN DISIPLIN KERJA TERHADAP
KINERJA GURU SD DI UPT TK, SD DAN NON FORMAL
KECAMATAN MARGAASIH KABUPATEN BANDUNG Asep Iwa Hidayat dan Kartiwa/
Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Bandung ................................................. 12 – 31
KETIDAKKONSISTENAN BERAGAMA DENGAN
POLITIK MEMILIH PEMIMPIN DI DAERAH Sumantri/ Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia
Kementerian Dalam Negeri Regional Yogyakarta ........................................ 32 – 43
EKSISTENSI BADAN USAHA MILIK DESA (BUMDes)
DALAM MEMBANGUN KEMANDIRIAN DESA
(Studi di Kabupaten Cilacap) Erni Irawati/ Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Daerah
Provinsi Jawa Tengah .............................................................. ...................... 44 – 56
IMPLEMENTASI PASCA DIKLAT KEPEMIMPINAN
TINGKAT III (POLA BARU) DALAM RANGKA
PENINGKATAN KINERJA ALUMNI PESERTA
DIKLAT DI LINGKUNGAN PEMERINTAH DAERAH
KABUPATEN PURWAKARTA Nanang Nugraha/ Badan Kepegawaian dan Pengembangan
Sumber Daya Manusia Kabupaten Purwakarta ............................................. 57 – 88
IMPLEMENTASI DANA DESA TERHADAP
MANAJEMEN KEUANGAN DESA DALAM
MEWUJUDKAN EFEKTIVITAS PEMBANGUNAN DESA
DI KABUPATEN GARUT Lutfhi Nur Fahri/ Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia
Kementerian Dalam Negeri Regional Bandung ............................................ 89 – 111
Edisi April 2018
v
LOCALIZING SAEMAUL UNDONG, A RURAL
DEVELOPMENT MOVEMENT IN SOUTH KOREA:
IS IT POSSIBLE? Teguh Solih Setiyo Wibowo/ Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia
Kementerian Dalam Negeri Regional Bandung ............................................ 112 – 117
ANALISIS FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
KINERJA APARATUR DI SEKRETARIAT KOTA
JAKARTA TIMUR Minesally Mahedo Dyan Firseta/ Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.............. 118 – 136
Template Artikel Jurnal Kediklatan
Edisi April 2018
Suparjana
hal. 1 - 11
1
1. PENDAHULUAN
Menjelang pelaksanaan Pemilihan
Umum (Pemilu) serentak di tahun politik
2019, pembahasan tentang eksistensi
lembaga perwakilan daerah (DPRD)
kembali muncul dalam berbagai
kesempatan. Diskursus tersebut tidak
saja berfokus pada perubahan UU pemilu
yang banyak dinilai sarat kepentingan
dalam setiap penyelenggaraan pemilu,
namun juga terkait dengan kualitas
lembaga DPRD itu sendiri. Di satu sisi,
kehadirannya sangat dibutuhkan dalam
sistem pemerintahan yang demokratis,
namun di sisi lain, penyelenggaraan
pemilu di Indonesia dari tahun ke tahun
dinilai belum mampu menghasilkan
wakil-wakil rakyat di daerah yang
berkualitas. Alih-alih mendengar berita
tentang kinerja DPRD yang hebat, yang
terjadi justru kabar miring seputar
beberapa penyimpangan yang banyak
dilakukan oleh “oknum” anggota DPRD.
Sebut saja kasus suap pengesahan APBD
Provinsi Jambi yang melibatkan
gubernur dan perangkat daerah lainnya
serta ditetapkannya 38 anggota DPRD
Sumatera Utara sebagai tersangka kasus
korupsi oleh KPK baru-baru ini
merupakan puncak gunung es dari
permasalahan kualitas DPRD yang tidak
saja mencerminkan rendahnya etika
pemerintahan, namun juga kualitas
kinerja dan profesionalismenya. Jika
dipetakan, mungkin tak banyak anggota
𝐒𝐮𝐩𝐚𝐫𝐣𝐚𝐧𝐚𝟏
DINAMIKA DAN TANTANGAN DPRD
DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH
PPSDM Kemendagri Regional Bandung
Abstract
It can’t be dennied that Local representative board (DPRD) takes an important role in
democratic country like Indonesia. The performance of the DRPD can be seen as how
they contribute in local governance process especially in legistating, budgeting and
controlling.However the dynamic changes of the DPRD in difference rezime have
affected to their performance. In one side, the DPRD has been promoting democracy
effectively, but on the other hand performance of the DPRD is still tinged with ethical
violations such as corruption, abuse of political power, poor quality of legislation
product, etc. The challenges of local governance will be more severe in the future,
hence the DPRD need to improve their performance and profesionalsm significantly.
Keyword: The DPRD, Local Governance and performance.
1 Penulis adalah Widyaiswara Ahli Madya pada Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusi (P2SDM)
Kemendagri Regional Bandung, Alumni Graduate School of International Develoment (GSID) Nagoya
University, Jepang, dan School of Social Science, Flinders University, Australia.
Edisi April 2018
Suparjana
2
DPRD yang memahami dengan baik
sistem penyelenggaraan pemerintahan
daerah, sehingga menyebabkan mereka
terjebak dalam perilaku transaksional
dalam menjalankan fungsinya, baik
dalam menjalankan legislasi, budgeting
maupun pengawasan. Akibatnya, tak
heran jika penyelenggaraan pemilu
banyak disebut tak selalu terkait dengan
perbaikan penyelenggaraan pemerintahan
dan pelayanan publik di Indonesia.
Tidak dapat dipungkiri bahwa saat
ini penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah menghadapi tantangan yang
sangat dinamis dan kompleks. Pertama,
pembangunan demokrasi dalam rangka
menuju konsolidasi demokrasi di
Indonesia sudah menunjukkan
keberhasilan yang ditandai dengan
semakin tingginya kesadaran dan
partisipasi masyarakat baik di tingkat
nasional maupun lokal. Angka golput
dalam setiap penyelenggaraan pemilu
semakin berkurang dari tahun ke tahun.
Fenomena ini sekaligus menjadi
tantangan bagi DPRD untuk semakin
meningkatkan kinerjanya, mengingat
DPRD merupakan institusi penting
dalam pembangunan demokrasi di
daerah. Pembangunan demokrasi itu
sendiri merupakan kekuatan perubahan
yang akan melahirkan kemajuan di
berbagai bidang pembangunan.
Kedua, desentralisasi dan otonomi
daerah yang ditandai dengan terbitnya
UU Nomor 23 tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah, membuka ruang
yang semakin luas bagi aktor-aktor
strategis di daerah dalam
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah,
salah satunya adalah DPRD. Kondisi ini
menuntut DPRD mampu mengambil
peran penting dan strategis untuk
mewujudkan check and balances dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Masa, dimana DPRD hanya berperan
sebagai pelengkap dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah
sudah berlalu, dan kini memasuki
momentum yang penting bagi peran
DPRD yang lebih profesional dan
berkualitas.
Tulisan ini mencoba mengurai
dinamika kedudukan dan peran DPRD
dalam penyelenggaraan pemerintahan
daerah pasca reformasi hingga saat ini.
Penilain positif sudah banyak disematkan
kepada lembaga terhormat ini sejak
kurang lebih 15 tahun ini, misalnya
birokrasi pemerintahan lebih “bergairah”
dengan meningkatnya fungsi check and
balance, demokratisasi di tingkat lokal
juga semakin cair serta gairah
masyarakat untuk terjun ke dunia politik
semakin meningkat. Namun tak sedikit
pula penilaian negatif juga dicibirkan
kepada lembaga perwakilan ini, mulai
dari peran mereka yang jauh dari
representasi masyarakat yang
diwakilinya, meningkatnya kasus korupsi
di daerah maupun rendahnya kualitas
produk hukum yang dihasilkan oleh
DPRD.
2. PEMBAHASAN
A. Dinamika Kedudukan dan Peran
DPRD
Dalam sejarah otonomi daerah di
Indonesia, kedudukan DPRD mengalami
beberapa kali perubahan, sebagai bagian
dari unsur penyelenggara pemerintahan
daerah dan sebagai badan legislatif
daerah. Undang Undang 5/1974
menempatkan DPRD menjadi bagian
dari unsur penyelenggara pemerintahan
daerah. Dampak yang menonjol dari
kedudukan DPRD sebagai bagian dari
Edisi April 2018
Suparjana
3
penyelenggara pemerintahan daerah pada
waktu itu adalah kecenderungan
terjadinya marjinalisasi peran dari
DPRD. Undang Undang 22/1999
mengubah kedudukan DPRD menjadi
badan legislatif daerah. DPRD menjadi
sebuah badan yang sangat besar
kekuasaannya, termasuk untuk
mengangkat dan memakzulkan kepala
daerah. Namun, ketika DPRD menjadi
badan legislatif daerah muncul banyak
dampak negatif sehingga banyak keluhan
dari masyarakat terhadap perilaku
DPRD. Banyak studi pada waktu itu
menunjukan terjadinya pergeseran
perilaku korupsi dari eksekutif ke
DPRD1.
Undang Undang N0.32/2004
menempatkan DPRD kembali sebagai
unsur penyelenggara pemerintahan
daerah dan sekaligus sebagai lembaga
perwakilan rakyat. Munculnya banyak
dampak negatif ketika DPRD menjadi
badan legislatif dengan kekuasaan yang
sangat besar, termasuk munculnya
perilaku money politics dalam kehidupan
DPRD mendorong pemerintah
menempatkan kembali DPRD sebagai
unsur penyelenggara pemerintahan
daerah sekaligus sebagai lembaga
perwakilan rakyat. Kedudukan DPRD
seperti yang sekarang ini sering
menimbulkan pertanyaan tentang
kedudukan yang sebaiknya dimiliki oleh
DPRD, apakah sepenuhnya sebagai
lembaga perwakilan rakyat dan
ditempatkan sebagai badan legislatif di
daerah atau sebagai lembaga perwakilan
rakyat tetapi sekaligus juga sebagai
bagian dari pemerintahan daerah? Pro
dan kontra tentang hal ini marak terjadi
1 Laporan ICW Akhir Tahun 2016 menyebutkan
bahwa dari 432 kasus korupsi di daerah, DPRD
menyumbang 124 kasus dan KDH 83 kasus.
di kalangan praktisi dan ilmuwan dan
masing-masing memiliki argumentasi
sendiri.
Dalam menyikapi pro dan kontra
tentang kedudukan DPRD ada beberapa
hal yang perlu diperhatikan. Pertama,
pemahaman terhadap kedudukan DPRD
harus didasarkan pada UUD 1945,
termasuk hasil amandemennya. Kedua,
kajian terhadap kedudukan DPRD harus
mempertimbangkan bentuk negara
Indonesia sebagai negara kesatuan.
Ketiga, keputusan tentang status dan
kedudukan DPRD harus didasarkan pada
kepentingan rakyat. Pilihan yang
diambil harus pilihan yang paling
bermanfaat bagi upaya peningkatan
kesejahteraan rakyat. Ketiga hal tersebut
harus menjadi pertimbangan dalam
menyikapi pro dan kontra tentang
kedudukan DPRD baik apakah sebagai
unsur penyelenggara negara atau sebagai
lembaga parlemen daerah.
Dalam UUD 1945 ps 18 ayat 3
dikatakan bahwa “pemerintahan daerah
provinsi, daerah kabupaten, dan kota
memiliki Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah yang anggotanya dipilih melalui
pemilihan umum” dan ayat 2
mengatakan bahwa “pemerintahan
daerah provinsi, daerah kabupaten, dan
kota mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan...”, sedangkan ayat
6 mengatakan bahwa “pemerintahan
daerah berhak menetapkan peraturan
daerah dan peraturan-peraturan lain
untuk melaksanakan otonomi dan tugas
pebantuan. Ketiga ayat ini seringkali
ditafsirkan secara berbeda oleh berbagai
pihak untuk membangun argumentasi
terkait dengan pro dan kontra mengenai
kedudukan DPRD. Pasal 18 Ayat 3 yang
menyatakan bahwa anggota DPRD
dipilih melalui pemilihan umum
Edisi April 2018
Suparjana
4
karenanya anggota DPRD memiliki
fungsi reprensentasi dan karena itu
sebagian pihak mengusulkan supaya
DPRD diperlakukan sebagai parlemen
daerah.
Sedangkan mereka yang
menggunakan pasal 18 ayat 2 dan ayat 6
mengatakan bahwa DPRD sebagai
bagian dari unsur penyelenggara daerah.
Pemerintahan daerah sebagaimana
dimaksud dalam pasal 18 ayat2 dan ayat
6 adalah kepala daerah dan DPRD.
Dengan menggunakan pemahaman
terhadap pasal-pasal tersebut muncul
pemikiran mengenai apakah ketika
DPRD ditempatkan sebagai bagian dari
unsur penyelenggara pemerintahan
daerah, DPRD tidak dapat menjalankan
fungsi representasi? Argumentasi tentu
dapat dibangun untuk menyimpulkan
bahwa dengan menjadi bagian dari unsur
penyelenggara pemerintahan daerah,
DPRD tetap dapat menjalankan fungsi
representasi, kalau DPRD dan
anggotanya diberi fungsi representasi dan
memiliki kapasitas dan sumberdaya yang
memadai untuk menjalankan fungsi
representasinya.
Pengalaman internasional
menunjukan bahwa lembaga perwakilan
rakyat di daerah biasanya disebut sebagai
council yang lebih merupakan badan
regulasi daripada badan legislatif.
Council tidak memiliki kewenangan
legislatif, sebagaimana DPR, tetapi
memiliki kewenangan membuat regulasi
yang berlaku di wilayahnya. Kalau
melihat praktik internasional ini sebagai
benchmark maka kedudukan DPRD
tentu tidak dapat disamakan dengan
kedudukan DPR, yang menjadi lembaga
legislatif. Sebagai negara kesatuan,
desentralisasi yang dilakukan di
Indonesia adalah kewenangan
pemerintahan, bukan kewenangan
legislatif. Di dalam negara kesatuan,
lazimnya hanya ada satu lembaga
legislatif, yang ada di pusat dan tidak di
daerah. Dengan melihat pertimbangan
diatas, keinginan untuk menempatkan
kedudukan DPRD sebagai badan
legislatif sebagaimana DPR tampaknya
sulit untuk diterima.
Namun, apapun kedudukan yang
akan diberikan pada DPRD, tidak dapat
dinafikan bahwa DPRD adalah lembaga
perwakilan rakyat di daerah. Sebagai
lembaga perwakilan rakyat di daerah,
DPRD harus mampu merepresentasikan
kepentingan rakyat yang diwakilinya.
Karenanya, walapun DPRD ditempatkan
sebagai unsur penyelenggara
pemerintahan daerah, DPRD harus
mampu menjalankan fungsi representasi.
Karena hanya dengan mampu
menjalankan fungsi representasi DPRD
dapat mewujudkan adanya check and
balance. Untuk itu, DPRD perlu
diberdayakan agar mampu
merepresentasikan kepentingan rakyat
yang diwakilinya, bukan kepentingan
pemerintah, partai, atau kepetingan
DPRD dan anggotanya sendiri. DPRD
dan anggotanya harus memperoleh
dukungan keahlian dan sumberdaya yang
memadai sehingga mereka dapat
merepresentasikan kepentingan
warganya dalam proses regulasi di
daerah.
Untuk itu, pengaturan tentang
DPRD di dalam UU Nomor 23/2014
tentang Pemerintahan Daerah
mempertimbangkan kemampuan DPRD
merepresentasikan rakyat yang
diwakilinya. Hak-hak anggota DPRD
yang mempengaruhi kemampuannya
merepresentasikan kepentingan rakyat
telah diatur dengan jelas dan dipenuhi.
Edisi April 2018
Suparjana
5
Demikian juga kewajiban yang perlu
dilakukan anggota DPRD agar mereka
dapat merepresentasikan kepentingan
rakyatnya dengan baik diatur dengan
jelas dan haru dapat dilaksanakan dengan
baik oleh para anggota DPRD.
Kecenderungan DPRD dan anggotanya
untuk menuntut hak-haknya yang sering
tidak wajar dan berlebihan perlu
dihindari. Mengingat variabilitas yang
tinggi antar daerah, yang membuat beban
kerja dan tantangan yang dihadapi oleh
daerah dapat berbeda-beda maka hak dan
fasilitas yang diterima oleh anggota
DPRD perlu disesuaikan dengan beban
kerja dan tantangan yang dihadapi
daerahnya.
B. Masalah Krusial
Permasalahan yang dihadapi oleh
DPRD dapat dikatakan semakin
kompleks saat ini, baik secara individual
maupun kelembagaan. Secara individual,
lembaga DPRD masih banyak diwarnai
dengan munculnya oknum-oknum yang
tidak saja mencerminkan perilaku yang
kurang beretika sebagai anggota lembaga
yang terhormat, seperti korupsi, kolusi
dan nepotisme, penyimpangan asusila,
penyalahgunaan obat-obatan terlarang
dsb. Sedangkan secara kelembagaan,
DPRD belum banyak dirasakan
kontribusinya dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah dan pelayanan
publik yang berkualitas. Hal ini ditandai
dengan minimnya produk-produk
peraturan daerah yang berkualitas serta
munculnya inovasi-inovasi pembangunan
daerah.
Namun demikian secara
kelembagaan, salah satu masalah penting
yang dihadapi oleh DPRD adalah
rendahnya kemampuannya dalam
mengartikulasikan dan memperjuangkan
aspirasi rakyat yang diwakilinya. Banyak
penelitian menunjukan bahwa
kemampuan DPRD merepresentasikan
kepentingan rakyatnya di daerah masih
memiliki banyak kendala. Demonstrasi
dan protes dari masyarakat di daerah
terhadap ketidakmampuan DPRD dalam
memperjuangkan aspirasi masyarakat di
daerah dengan mudah dijumpai di
banyak daerah. Bahkan,
ketidakmampuan DPRD dalam merespon
aspirasi dan masalah publik yang ada di
daerah sering mendorong berbagai
kelompok masyarakat di daerah untuk
datang ke Jakarta untuk menyampaikan
aspirasi dan kepentingannya kepada
pemerintah.
Rendahnya kapasitas DPRD dan
anggotanya merepresentasikan
kepentingan warganya disebabkan
karena kapasitas mereka secara
individual dan dukungan kelembagaan
yang diterimanya sering sangat terbatas.
Keterbatasan anggaran yang dimiliki
oleh DPRD membuat mereka sering
tidak memiliki kesempatan untuk
memberdayakan anggotanya.
Peningkatan kapasitas individual anggota
dan kelembagaan DPRD amat terbatas,
sedangkan mereka nantinya akan
berhadapan dan bermitra dengan pejabat
birokrasi di daerah yang memiliki
kapasitas individual dan dukungan
kelembagaan yang tinggi. Dalam kondisi
seperti ini tentu mudah dipahami
mengapa kapasitas DPRD dalam
menjalankan fungsinya sering masih jauh
dari yang diharapkan. Akibatnya, fungsi
DPRD melakukan check and balance
sering belum dapat dilakukan secara
optimal.
Masalah lain dari yang dihadapi
oleh DPRD dalam memperjuangkan
aspirasi masyarakatnya di daerah juga
Edisi April 2018
Suparjana
6
muncul karena kurangnya media bagi
DPRD untuk membangun koneksi
dengan warga dan kelompok masyarakat
madani di daerah. Forum seperti
konsultasi publik dalam proses
pembuatan peraturan daerah dan
penganggaran sering tidak tersedia.
Akibatnya keterlibatan dan partisipasi
warga dan masyarakat madani dalam
berbagai kegiatan DPRD sering sangat
terbatas. Sedangkan forum seperti itu
sangat penting bagi DPRD dan
anggotanya dalam menjalankan fungsi
representasi. Menguatnya peran sosial
media maupun media mainstream belum
juga mampu dimanfaatkan secara baik
oleh anggota DPRD dalam menjalankan
fungsi represntasinya.
Sebagai lembaga perwakilan
rakyat, DPRD mempunyai fungsi (1)
pembentukan peraturan daerah; (2)
penyusunan dan penetapan anggaran
pendapatan dan belanja daerah; dan (3)
pengawasan pelaksanaan
penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Dalam praktiknya DPRD sering belum
dapat menjalankan fungsi tersebut
dengan baik. Peran DPRD untuk
merepresentasikan kepentingan rakyat
dalam proses pembentukan peraturan
daerah, proses perencanaan, dan
penyusunan APBD sering menjadikan
kegiatan tersebut menjadi arena dominasi
kepentingan elit politik dan birokrasi (elit
captures) (Dwiyanto,2008: 20).
Akibatnya, kepentingan warga di daerah
sering terabaikan dan ketidakpuasan dan
ketidakpercayaan mereka terhadap
DPRD cenderung semakin tinggi.
Ada beberapa penjelasan
mengenai mengapa DPRD belum mampu
merepresentasikan kepentingan
warganya. Pertama, kapasitas
kelembagaan DPRD yang masih terbatas
dalam memberi dukungan kepada para
anggotanya. Sebagai sebuah institusi
sekretariat DPRD mestinya dapat
memberi dukungan kepada para anggota
DPRD dalam menjalankan kewajiban
sebagai wakil rakyat di daerah, terutama
dalam pembentukan peraturan daerah,
penyusunan APBD, dan dalam
melakukan pengawasan terhadap
jalannya pemerintahan daerah. Karena
itu sekretariat daerah harus dilengkapi
dengan tenaga profesional yang memiliki
kemampuan teknis untuk mendukung
kegiatan dari para anggota DPRD.
Kedua, DPRD pada umumnya
belum memiliki sekretaris DPRD yang
profesional dan mampu membangun
kapasitas organisasi untuk memberi
dukungan kepada anggota DPRD. Posisi
sekretaris DPRD umum masih dianggap
sebagai posisi buangan dan marjinal
bukan posisi strategis dalam konteks
pengembangan karir di birokrasi daerah.
Persepsi yang seperti ini membuat daerah
sering tidak menempatkan calon yang
terbaik untuk posisi sekretaris daerah.
Apalagi kenyataan bahwa sekretaris
daerah sering mengalami posisi yang
sulit ketika terjadi konflik antara KDH
dengan DPRD, banyak membuat mereka
yang memiliki kemampuan yang baik
tidak tertarik menjadi sekretaris DPRD.
Semua hal diatas membuat sekretaris
daerah pada umum belum mampu
memberi dukungan yang optimal kepada
DPRD.
Ketiga, kemampuan anggauta
DPRD pada umum secara individul
masih rendah sehingga tidak dapat secara
optimal menjalankan peran mereka
sebagai wakil rakyat. Pendidikan dan
pengalaman mereka dalam kegiatan
pemerintahan yang terbatas sering
membuat kemampuan mereka untuk
Edisi April 2018
Suparjana
7
menjalankan peran sebagai anggota
DPRD tidak optimal. Keterbatasan
kemampuan mereka menjankan peran
sebagai anggota DPRD ikut mendorong
munculnya ketidakpuasan masyarakat
terhadap anggota DPRD dan DPRD
sebagai lembaga perwakilan rakyat.
Keempat, ketidakjelasan
kedudukan anggota DPRD sebagai wakil
rakyat. Proses rekrutmen anggota DPRD
yang sekarang terjadi lebih menempatkan
mereka sebagai wakil partai politik
daripada sebagai wakil rakyat. Intervensi
partai politik terhadap para anggota
DPRDnya yang sangat kuat membuat
para anggota DPRD tidak dapat
memperjuangkan kepentingan rakyat
yang diwakilinya, manakala kepentingan
rakyat yang diwakili berbeda dengan
kepentingan politik partainya.
Kelima, keterbatasan anggaran
yang tersedia bagi anggota DPRD untuk
menyerap, menggali, dan
memperjuangkan kepentingan warga dan
konstituen. DPRD juga memiliki
keterbasan anggaran dan sumberdaya
yang memungkin mereka menjalan
fungsi check and balance. Akibatnya,
kemampuan DPRD untuk dapat
menjalankan fungsi pengawasan
terhadap kinerja KDH masih sangat
terbatas.
Dengan memahami berbagai
faktor diatas, maka pemberdayaan DPRD
hanya akan efektif kalau dapat
menyelesaikan berbagai masalah diatas.
Pemberdayaan DPRD setidaknya harus
mampu meningkatkan kapasitas
sekretariat DPRD dan pejabatnya,
peningkatan kemampuan anggota DPRD
dalam menjalankan perannya sebagai
wakil rakyat, ketersediaan sumberdaya
untuk memberi dukungan kepada DPRD
dalam menjalangkan seluruh fungsinya,
dan perbaikan hubungan antara anggota
DPRD dengan konstituennya.
C. Tuntutan dan Profesionalitas
Anggota DPRD
Menghadapi tantangan global yang
semakin kompleks sebagaimana
digambarkan di atas, DPRD tidak hanya
diharapkan memiliki keahlian sebagai
politisi di daerah, namun juga dituntut
memiliki kapasitas dan kompetensi
teknokratis-administratif sebagai unsur
penyelenggara Pemerintahan Daerah,
sebagaimana diatur dalam Pasal 95 ayat
(1) UU Nomor 23 tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah. Kompetensi
tersebut sangat penting mengingat
beberapa hal, sebagai berikut :
Pertama, dalam menjalankan
semua tugas dan fungsinya, DPRD akan
berinteraksi dengan pemerintah daerah
(eksekutif), khususnya dalam rangka
mengkoordinasikan dan mensinergikan
berbagai kebijakan yang terkait dengan
penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Kedua, dinamika sosial dan politik yang
semakin tinggi yang ditandai dengan
tuntutan pelayanan publik yang semakin
transparan, efektif dan berkualitas dari
pemerintah daerah. Karenanya
membutuhkan kinerja pemerintahan,
pembangunan dan pelayanan publik yang
lebih tinggi dalam rangka menjaga
tegaknya kedaulatan Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) dan
mempercepat terwujudnya kesejahteraan
masyarakat. Ketiga, dinamika Peraturan
Perundang-undangan yang terkait dengan
penyelenggaraan pemerintahan yang
sangat cepat, menuntut anggota DPRD
harus selalu mengembangan
kapasitasnya baik dari aspek
kelembagaan, mekanisme kerja maupun
individunya, sehingga produk-produk
Edisi April 2018
Suparjana
8
peraturan daerah yang dihasilkan oleh
Pemerintah Daerah dan DPRD dapat
sejalan dengan dinamika tersebut.
Berbagai fenomena di atas
memberikan pemahaman mengenai
pentingnya peningkatan kompetensi dan
profesionalitas bagi Anggota DPRD. Hal
ini juga sesuai dengan Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 16 Tahun 2010
Pasal 28 yang menyatakan bahwa
Anggota DPRD mempunyai hak untuk
mengikuti orientasi pelaksanaan tugas
sebagai Anggota DPRD pada permulaan
masa jabatannya dan mengikuti
pendalaman tugas pada masa jabatannya.
Orientasi bagi anggota DPRD ini tidak
hanya bertujuan untuk memberikan
pemahaman dalam menjalankan tugas
dan fungsinya, namun sekaligus
memberikan panduan bagi anggota
DPRD dalam menggali dan menganalisis
secara kritis berbagai permasalahan
dalam penyelenggaraan pemerintahan
daerah, sekaligus melahirkan pilihan-
pilihan yang realistis dalam pemecahan
masalah tersebut.
Melalui orientasi ini, diharapkan
anggota DPRD dapat meningkatkan
fungsinya antara lain:
1. Fungsi Pembentukan Peraturan
Daerah (Perda) yakni bagaimana
anggota DPRD mampu menyerap
aspirasi masyarakat dan
mengartikulasikannya dalam Perda
yang dapat menjawab kebutuhan
masyarakat dan mensinergikan
dengan berbagai kebijakan,
kepentingan strategis nasional dan
peraturan-peraturan yang lebih tinggi.
Pelaksanaan fungsi legislasi bagi
anggota DPRD tidak hanya
memerlukan kompetensi akademik,
namun juga membutuhkan
kemampuan dalam memilih prioritas
kebutuhan (sense of urgency) dalam
menyelesaikan masalah-masalah yang
dihadapi di daerah. Dengan kata lain,
Perda yang dihasilkan oleh DPRD
hendaknya menjadi “world of
solution”, dan bukan justru menjadi
“source of Problem” atau sumber-
sumber masalah baru di daerah.
Banyaknya Perda yang dibatalkan
oleh Pemerintah karena bertentangan
dengan peraturan yang lebih tinggi
ataupun karena menimbulkan
disharmoni sosial setidaknya
mengindikasikan lemahnya kapasitas
DPRD dalam menangkap aspirasi
masyarakat dan memformulasikan
dalam produk-prodek peraturan
daerah.
2. Fungsi Anggaran, yakni bagaimana
membangun komitmen antara DPRD
dan Pemerintah Daerah untuk
mengedepankan prinsip-prinsip
transparansi dan akuntabilitas dalam
pengelolaan APBD serta berorientasi
pada kebijakan Pro-Poor
(Pengentasan kemiskinan), Pro-Job
(perluasan kesempatan kerja), Pro-
Growth (mendorong pertumbuhan
ekonomi) dan Pro-Environment
(mendukung pelestarian alam dan
lingkungan). DPRD juga harus
mampu mendorong pemerintah
daerah lebih mengalokasikan APBD
untuk kepentingan publik daripada
untuk kepentingan belanja aparatur.
3. Fungsi Pengawasan, yakni
bagaimana membangun komitmen
pengawasan penyelenggaraan
pemerintahan daerah secara
proporsional, konstruktif dan elegan.
Hal ini sejalan dengan Pasal 207 Ayat
(1) UU Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah yang
berbunyi “Hubungan kerja antara
Edisi April 2018
Suparjana
9
DPRD dan Kepala Daerah didasarkan
atas kemitraan yang sejajar”. Fungsi
pengawasan oleh DPRD hendaknya
dilaksanakan dengan semangat “silih
asah”, “silih asih” dan “silih asuh”
sehingga dapat menghasilkan
sinergitas antara DPRD dan
Pemerintah Daerah.
D. Tantangan DPRD pada Masa
Depan
Melihat besarnya peran DPRD
serta kompleksnya tantangan yang akan
dihadapi oleh DPRD dalam menjalankan
tugasnya, peningkatan kapasitas dan
profesionalitas anggota DPRD
dimaksudkan untuk menambah
pengetahuan dan wawasan dalam
membangun kesamaan visi dan persepsi
terhadap arah kebijakan dan
permasalahan di daerah, serta
meningkatkan kualitas sikap dan tugas
pengabdian untuk kepentingan bangsa,
negara, pemerintah daerah dan
masyarakat.
Hal ini sangat penting karena ke
depan kita akan menghadapi tantangan
yang sangat krusial : Pertama, arus deras
globalisasi yang membuat dunia menjadi
flat dan tanpa sekat (borderless state)
yang berdampak seperti pisau bermata
dua. Di satu sisi akan menjadi peluang
bagi bangsa kita untuk menunjukan
eksistensi diri sebagai negara besar dan
negara kaya melalui pengembangan
competitive advantages dan comparative
advantages. Tantangan menghadapi
perekonomian global yang semakin
turbulen dan tidak terkendali sudah tidak
bisa dihindari, tanpa kesiapan birokrasi
sektor publik yang handal dan mentalitas
masyarakat yang kuat, kita hanya akan
menjadi bangsa penonton dari persaingan
era global.
Tantangan kedua adalah
gelombang demokrasi yang kian masif
yang didukung oleh perkembangan
teknologi dan informasi. Saat ini
pemerintahan seperti bekerja dalam
ruang kaca yang bisa dilihat dan diamati
oleh siapa saja, dimana saja dan kapan
saja. Perkembangan cyber democracy
dan cyber governance sudah menjadi
keniscayaan yang tidak bisa dihindari.
Kekuatan dunia maya, media sosial dan
media massa bisa menjadi pedang tajam
dalam menuntaskan beratnya tugas-tugas
pemerintahan. Namun disisi lain bisa
menjadi senjata bumerang dalam
penyelenggaraan pemerintahan.
Kekuatan stakeholder pemerintah, sektor
swasta, civil society dan media harus
diperankan secara proporsional dan
seimbang dalam mewujudkan tata kelola
pemerintahan yang baik (good
governance). Tanpa penguatan hard skill
dan soft skill dari penyelenggara
pemerintahan, gelombang demokrasi
lebih mencitrakan nuansa ancaman
daripada peluang.
Ketiga, otonomi daerah yang
semakin proporsional dalam menjaga
keseimbangan antara pemerintah pusat,
pemerintah daerah dan masyarakat. Hal
ini sejalan dengan pernyataan Rondinelli
(2008) yang mengatakan bahwa
desentralisasi harus berfokus pada
keseimbangan distribusi kekuasaan
antara Government to Government (G to
G) dan Government to Society (G to C).
Tentu dalam pelaksanaannya
memerlukan kearifan dan keseriusan dari
semua penyelenggara negara dari
pemerintah pusat sampai dengan
pemerintah kabupaten/kota serta
masyarakat. Disinilah peran strategis
DPRD dalam menjembatani dua kutub
government dan society, yakni
Edisi April 2018
Suparjana
10
bagaimana DPRD mampu menyerap
aspirasi dan kepentingan masyarakat dan
membawanya menjadi kebijakan
pemerintah daerah yang memberi
kemaslahatan bagi pemerintah daerah,
sektor swasta dan masyarakat.
Menyikapi luas dan strategisnya
tantangan ke depan, maka anggota
DPRD harus terus meningkatkan
kapasitas dan kompetensi teknokratis-
administatif untuk meningkatkan kualitas
kinerja DPRD, maupun kompetensi
politis untuk membangun stabilitas
politik yang harmonis di daerah. Tanpa
stabilitas politik yang baik,
penyelenggaraan pemerintahan daerah
akan menimbulkan turbulensi yang
negatif dan mengganggu kinerja
pemerintah daerah. Penguatan kapasitas
kelembagaan DPRD juga harus selalu
dilakukan agar DPRD mampu
mengakselerasi perkembangan yang
terjadi pada pemerintah daerah
(eksekutif) sehingga menghasilkan
sinergitas yang tinggi antara lembaga
perwakilan daerah dengan lembaga
eksekutif daerah.
3. KESIMPULAN
Untuk meningkatkan kapasitas
profesionalitas DPRD sebagai lembaga
perwakilan rakyat maka beberapa hal
berikut perlu dilakukan:
1. Sinergitas dan harmoni antara kepala
daerah dan DPRD harus semakin
ditingkatkan dari waktu ke waktu.
DPRD memiliki kedudukan yang
setara dan sejajar dengan KDH,
dimana masing-masing tidak dapat
menjatuhkan yang lainnya.
Pembagian kewenangan diantara
keduanya dilakukan dalam rangka
mewujudkan adanya mekanisme
check and balance di dalam
penyelenggaraan pemerintahan
daerah. Untuk dapat menjalankan
fungsi check and balance maka
kapasitas DPRD harus ditingkatkan
melalui peningkatan dukungan
kelembagaan dan fasilitasi pada
anggotanya.
2. Perlu ada pengaturan yang dapat
memperkuat posisi sekretaris DPRD
sebagai seorang manajer yang
profesional dan independen dari
sekretariat daerah. Sebagai pimpinan
organisasi pendukung kegiatan DPRD
maka sekretaris DPRD harus dapat
bertindak secara profesional dan
independen dari tekanan pihak
Gubernur/ Bupati/ Walikota dan
sekretaris daerah. Untuk itu perlu ada
pengaturan yang jelas tentang
kedudukan sekretaris DPRD,
hubungannya dengan Sekda, KDH,
dan DPRD. Pengaturan harus
memungkinkan sekretaris DPRD
untuk mengoptimalkan dukungannya
kepada DPRD agar dapat
menjalankan tugasnya sebagai
lembaga perwakilan rakyat.
3. Perlu ada pengaturan yang
memungkinkan sekretariat DPRD
memfasilitasi DPRD dan para
anggotanya untuk menjalankan
perannya sebagai wakil rakyat di
daerah. Sekretariat DPRD harus
memiliki sumberdaya yang memadai
untuk merekrut tenaga ahli yang dapat
memberi dukungan kepada DPRD
dan para anggotanya dalam
menjalankan semua fungsi yang
melekat pada anggota DPRD.
4. Untuk dapat menjalankan fungsi
representasi anggota DPRD perlu
memiliki anggaran yang memadai
untuk menjalin hubungan yang erat
Edisi April 2018
Suparjana
11
dengan warga yang diwakilinya.
Kegiatan anggota DPRD dalam
menjalankan fungsi representasi harus
memperoleh anggaran yang wajar dan
memadai. Pengaturan perlu dibuat
agar anggaran yang disediakan benar-
benar dipergunakan untuk
menjalankan fungsi representasi dan
tidak dipergunakan untuk tujuan lain
yang tidak terkait dengan pelaksanaan
fungsi representasi.
4. REFERENSI
Dwiyanto, Agus, dkk. 2009a. “Reformasi
Tata Pemerintahan dan Otonomi
Daerah,” Yogyakarta: PSKK
UGM
Dwiyanto, Agus, 2010. “Mewujudkan
Good Governance Melalui
Pelayanan Publik,” Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press
Dwiyanto, Agus, dkk. 2008. “Kinerja
Tata Pemerintahan Daerah,”
Yogyakarta: PSKK UGM
Rondinelli, D.A. “Implementing
Decentralization Programs In
Asia: Comparative Analysis”,
Public Administration and
Development, (2008) Vol. 3 181-
207
Rondinelli, D.A., J.S. McCoullough, and
R.W. Johnson. "Analyzing
Decentralization Policies in
Developing Countries: A Political-
Economy Framework."
Development and Change 20, no.
1 (2011): 5-27.
UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah.
Edisi April 2018
Hidayat dan Kartiwa
hal. 12 - 31
12
1. PENDAHULUAN
Pemerintah Indonesia dalam upaya
meningkatkan pendidikan bagi warga
negaranya tidak henti-hentinya
melakukan berbagai kegiatan dan
menyediakan fasilitas pendukungnya
termasuk memberlakukannya Undang-
PENGARUH KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH, MOTIVASI
KERJA DAN DISIPLIN KERJA TERHADAP KINERJA GURU SD DI
UPT TK, SD DAN NON FORMAL KECAMATAN MARGAASIH
KABUPATEN BANDUNG
Asep Iwa Hidayat
Kartiwa
Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Bandung
Abstract
The teacher is one of the human resources in the school. Teacher performance in
schools has an important role in achieving school goals. Performance issues are
highlighted by various parties, government performance will be felt by the community
and the performance of teachers will be perceived by students or parents of students.
The principal has at least a role and function as an Editor, Manager, Administrator,
Supervisor, Leader, Innovator and Motivator (EMASLIM) in supporting teacher
performance. In connection with the above description then the problem of factors
that affect the performance of teachers need to be proven by conducting research.
Therefore, the authors make the title of research "Influence Principal Leadership,
Work Motivation and Work Discipline of Performance Teachers Elementary School in
UPT TK.SD and Non Formal Margaasih District Bandung". This study aims to
describe and analyze, using descriptive method with a quantitative approach. Data
collection was done through interview, observation (observation), questionnaire,
documentation study and literature study. The results showed that there is Influence
Principal Leadership, Work Motivation and Work Discipline on Performance of
Elementary Teachers at UPT TK.SD and Non Formal Margaasih District Bandung
District, either directly or not. Based on the above conclusions, the general
recommendations are proposed: leadership of the principal should be more effective,
need to follow the management workshop and more open to suggestions and criticisms
that are constructive. To improve the performance of teachers there needs to be a
system of guidance and supervision. The coaching system implemented should be
varied for example by using ESQ method.
Keywords: Principal Leadership, Work Motivation, Work Discipline, and Teacher
Performance
Edisi April 2018
Hidayat dan Kartiwa
13
Undang No. 14 tahun 2005 tentang guru
dan dosen. Seperti yang disampaikan
dalam penjelasan umum atas Undang-
Undang No. 14 tahun 2005, Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun1945 menyatakan bahwa
tujuan pendidikan nasional adalah untuk
melindungi segenap bangsa dan seluruh
tumpah darah Indonesia dan untuk
memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan
ikut melaksanakan ketertiban dunia
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi, dan keadilan sosial. Untuk
mewujudkan tujuan nasional tersebut,
pendidikan merupakan faktor yang
sangat menentukan.
Pendidikan adalah modal dasar
untuk menciptakan SDM yang unggul.
Dunia pendidikan yang utama adalah
sekolah. Sekolah merupakan salah satu
lembaga alternatif pelayanan pendidikan.
Sekolah sebagai suatu lembaga tentunya
memiliki visi, misi, tujuan dan fungsi.
Untuk mengemban misi, mewujudkan
visi, mencapai tujuan, dan menjalankan
fungsinya sekolah memerlukan tenaga
profesional, tata kerja organisasi dan
sumber-sumber yang mendukung baik
finansial maupun non finansial.
Sekolah sebagai suatu sistem
memiliki komponen-komponen yang
berkaitan satu sama lain serta
berkontribusi pada pencapaian tujuan.
Komponen-komponen tersebut adalah
siswa, kurikulum, bahan ajar, guru,
kepala sekolah, tenaga kependidikan
lainnya, lingkungan, sarana, fasilitas,
proses pembelajaran dan hasil atau
output. Semua komponen tersebut harus
berkembang sesuai tuntutan zaman dan
perubahan lingkungan yang terjadi di
sekitarnya. Untuk berkembang tentunya
harus ada proses perubahan.
Pengembangan ini hendaknya bertolak
dari hal-hal yang menyebabkan
organisasi tersebut tidak dapat berfungsi
dengan sebaik yang diharapkan (Gupta &
Shingi, 2001). Dalam konsepsi
pengembangan kelembagaan tercermin
adanya upaya untuk memperkenalkan
perubahan cara mengorganisasikan suatu
lembaga, struktur, proses dan sistem
lembaga yang bersangkutan sehingga
lebih dapat memenuhi misinya. Oleh
karena itu, perubahan yang terjadi pada
lembaga sekolah harus meliputi seluruh
komponen yang ada di dalamnya.
Dalam sistem pendidikan kita saat
ini, hal itu dapat membawa pengaruh
buruk, siswa jadi terlantar karena
gurunya terlambat datang. Apalagi kalau
ditambah dengan prilaku guru yang hadir
di sekolah karena malas atau kurang
tanggung jawab kadang tidak hadir di
kelas. Proses pembelajaran jadi
terhambat sehingga para siswa tidak
mendapat ilmu secara optimal.
Pada tahap inilah peran
kepemimpinan kepala sekolah
diperlukan. Kepala sekolah harus
bertindak tegas terhadap pelanggaran
yang terjadi, agar semua komponen yang
ada dalam sekolah memberikan
pelayanan yang optimal kepada para
siswa.
Sehubungan dengan uraian di atas
maka masalah faktor-faktor yang
mempengaruhi kinerja guru perlu
dibuktikan dengan mengadakan
penelitian. Oleh karena itu, penulis
membuat judul penelitian “ Pengaruh
Kepemimpinan Kepala Sekolah,
Motivasi Kerja dan Disiplin Kerja
terhadap Kinerja Guru SD di UPT
TK.SD dan Non Formal Kecamatan
Margaasih Kabupaten Bandung “.
Edisi April 2018
Hidayat dan Kartiwa
14
Berdasarkan paparan di atas, maka
masalah dalam penelitian ini dirumuskan
sebagai berikut :
1. Bagaimana gambaran kepemimpinan
kepala sekolah SD di Lingkungan
UPT TK,SD dan Non Formal
Kecamatan Margaasih Kabupaten
Bandung?
2. Bagaimana gambaran motivasi kerja
guru SD di Lingkungan UPT TK,SD
dan Non Formal Kecamatan
Margaasih Kabupaten Bandung?
3. Bagaimana gambaran disiplin kerja
guru SD di Lingkungan UPT TK,SD
dan Non Formal Kecamatan
Margaasih Kabupaten Bandung?
4. Bagaimana gambaran kinerja guru di
Lingkungan UPT TK,SD dan Non
Formal Kecamatan Margaasih
Kabupaten Bandung?
5. Berapa besar pengaruh kepemimpinan
kepala sekolah terhadap kinerja guru
SD di Lingkungan UPT TK,SD dan
Non Formal Kecamatan Margaasih
Kabupaten Bandung?
6. Berapa besar pengaruh motivasi kerja
terhadap kinerja guru SD di
Lingkungan UPT TK,SD dan Non
Formal Kecamatan Margaasih
Kabupaten Bandung?
7. Berapa besar pengaruh disiplin kerja
terhadap kinerja guru SD di
Lingkungan UPT TK,SD dan Non
Formal Kecamatan Margaasih
Kabupaten Bandung?
8. Berapa besar pengaruh kepemimpinan
kepala sekolah, motivasi kerja dan
disiplin kerja terhadap kinerja guru
SD di Lingkungan UPT TK,SD dan
Non Formal Kecamatan Margaasih
Kabupaten Bandung?
Tujuan penelitian ini adalah
untuk :
1. Mengetahui gambaran kepemimpinan
kepala sekolah SD di Lingkungan
UPT TK,SD dan Non Formal
Kecamatan Margaasih Kabupaten
Bandung.
2. Mengetahui gambaran motivasi kerja
guru SD di Lingkungan UPT TK,SD
dan Non Formal Kecamatan
Margaasih Kabupaten Bandung.
3. Mengetahui gambaran disiplin kerja
guru SD di Lingkungan UPT TK,SD
dan Non Formal Kecamatan
Margaasih Kabupaten Bandung.
4. Mengetahui gambaran kinerja guru
SD di Lingkungan UPT TK,SD dan
Non Formal Kecamatan Margaasih
Kabupaten Bandung.
5. Mengetahui berapa besar pengaruh
kepemimpinan kepala sekolah
terhadap kinerja guru SD di
Lingkungan UPT TK,SD dan Non
Formal Kecamatan Margaasih
Kabupaten Bandung.
6. Mengetahui berapa besar pengaruh
motivasi kerja terhadap kinerja guru
SD di Lingkungan UPT TK,SD dan
Non Formal Kecamatan Margaasih
Kabupaten Bandung.
7. Mengetahui berapa besar pengaruh
disiplin kerja terhadap kinerja guru
SD di Lingkungan UPT TK,SD dan
Non Formal Kecamatan Margaasih
Kabupaten Bandung.
8. Mengetahui berapa besar pengaruh
kepemimpinan kepala sekolah,
motivasi kerja dan disiplin kerja
terhadap kinerja guru SD di
Lingkungan UPT TK,SD dan Non
Formal Kecamatan Margaasih
Kabupaten Bandung.
Manfaat hasil penelitian ini
antara lain :
Edisi April 2018
Hidayat dan Kartiwa
15
1. Hasil dan saran-saran dari penelitian
ini diharapkan dapat memberikan
kontribusi dalam pengembangan Ilmu
Administrasi Negara yang
menyangkut kebijakan publik.
2. Bagi pihak-pihak terkait yaitu pihak
akademisi dan pihak peneliti lainnya
dapat diharapkan dijadikan sebagai
bahan masukan untuk mengkaji lebih
lanjut bagi upaya pengembangan ilmu
administrasi.
3. Hasil dari penelitian ini diharapkan
dapat menjadi masukan penting bagi
pihak yang membuat kebijakan
pendidikan pada Dinas Pendidikan
Kabupaten Bandung terutama dalam
disiplin dan pembinaan untuk
meningkatkan kinerja guru di UPT
TK SD dan Non Formal Kecamatan
Margaasih Kabupaten Bandung.
2. KAJIAN LITERATUR
A. Pengertian Administrasi
Pendidikan
Drs. M. Ngalim Purwanto
Administrasi Pendidikan ialah segenap
proses pengarahan dan penintegrasian
segala sesuatu baik personal, spiritual
dan material yang bersangkut paut
dengan tercapainya tujuan pendidikan.
Administrasi pendidikan
(Depdiknas RI) adalah suatu proses
keseluruhan kegiatan bersama dalam
dalam bidang pendidikan yang meliputi
perencanaan, pengorganisasian,
pengarahan, pengkoordinasian,
pengawasan, pembiyaan dan pelaporan
dengan menggunakan atau
memanfaatkan fasilitas yang tersdia, baik
operasional, material maupun sepritual
untuk mencapai tujuan pendidikan secara
efesien dan efektif.
Sedangkan menurut pendapat para
ahli yang lainnya Adminitrasi pendidikan
adalah suatu cara bekerja dengan orang –
orang dalam rangka usaha mencapai
tujuan pendidikan yang efektif ,yang
berarti mendatangkan hasil yang baik
dan tepat, sesuai dengan tujuan
pendidikan yang telah ditentukan.atau
administrasi pendidikan adalah semua
kegiatan sekolah yang meliputi usaha-
usaha besar seperti perumusan polis,
pengarahan usaha, koordinasi,
konsultasi, korespondensi, control dan
seterusnya, sampai kepada usaha-usaha
kecil dan sederhana seperti menjaga
sekolah, menyapu halaman dan lain
sebagainya.
Dengan beberapa pengertian
tersebut di atas ,maka perlu ditegaskan
disini sebagai berikut;
a. Bahwa seluruh administrasi
pendidikan itu merupakan proses
keseluruhan dan kegiatan- kegiatan
bersama yang harus dilakukan oleh
semua pihak yang ada sangkut
pautnya dengan tugas-tugas
pendidikan.
b. Bahwa administrasi pendidikan itu
mencakup kegiatan-kegiatan yang
luas yang meliputi kegiatan
perencanaan, pengorganisasian,
pengarahan dan pengawasan,
khususnya dalam bidang pendidikan
yang diselenggarakan di sekolah-
sekolah.
c. Bahwa administrasi pendidikan itu
bukan hanya sekedar kegiatan tata
usaha seperti dilakukan di kantor-
kantor, inspeksi pendidikan lainnya.
2. Kepemimpinan
Konsep tentang kepemimpinan
dalam dunia pendidikan tidak bisa
terlepas dari konsep kepemimpinan
Edisi April 2018
Hidayat dan Kartiwa
16
secara umum. Konsep kepemimpinan
secara umum sering dipersamakan
dengan manajemen, padahal dua hal
tersebut memiliki perbedaan yang cukup
berarti.
Dalam buku kepemimpinan
karangan Miftah Toha (2006 : 5)
mengartikan bahwa : “Kepemimpinan
adalah aktivitas untuk mempengaruhi
orang-orang supaya diarahkan untuk
mencapai tujuan organisasi.”
Pengertian di atas didukung oleh
pendapat Stephen P. Robbins dalam buku
Manajement, Seven edition yang dialih
bahasa oleh T. Hermaya (2005 : 128)
memberikan arti kepemimpinan sebagai
berikut : “Kepemimpinan adalah proses
mempengaruhi kelompok menuju
tercapainya sasaran”. Sedangkan
menurut AlanTucker dalam Syafarudin
(2002 : 49) mengemukakan bahwa :
“kepemimpinan sebagai kemampuan
mempengaruhi atau mendorong
seseorang atau sekelompok orang agar
bekerja secara sukarela untuk mencapai
tujuan tertentu atau sasaran dalam situasi
tertentu”. Hal ini memberikan suatu
perspektif bahwa seorang manajer dapat
berperilaku sebagai seorang pemimpin,
asalkan dia mampu mempengaruhi
perilaku orang lain untuk mencapai
tujuan tertentu. Tetapi seorang pemimpin
belum tentu harus menyandang jabatan
manajer.
Menurut Andrew J. Dubrin dalam
Buku The Complete Ideal’s Guides to
Leadership 2nd Edition yang dialih
bahasa oleh Tri Wibowo BS (2006 : 4)
arti kepemimpinan yang sesungguhnya
dapat dijelaskan dengan banyak cara.
Berikut ini adalah beberapa definisinya :
1. Kepemimpinan adalah upaya
mempengaruhi banyak orang melalui
komunikasi untuk mencapai tujuan.
2. Kepemimpinan adalah cara
mempengaruhi orang dengan
petunjuk atau perintah
3. Kepemimpinan adalah tindakan yang
menyebabkan orang lain bertindak
atau merespon dan menimbulkan
perubahan positif.
4. Kepemimpinan adalah kekuatan
dinamis penting yang memotivasi dan
mengkoordinasikan organisasi dalam
rangka mencapai tujuan.
5. Kepemimpinan adalah kemampuan
untuk menciptakan rasa percaya diri
dan dukungan diantara bawahan agar
tujuan organisasional tercapai.
Kepemimpinan sebenarnya dapat
berlangsung dimana saja, karena
kepemimpinan merupakan proses
mempengaruhi orang lain untuk
melakukan sesuatu dalam rangka
mencapai maksud tertentu. Berdasarkan
definisi kepemimpinan yang berbeda
terkandung kesamaan arti yang bersifat
umum.
Seorang pemimpin merupakan
orang yang memberikan inspirasi,
membujuk, mempengaruhi dan
memotivasi orang lain. Untuk
membedakan pemimpin dari non-
pemimpin dapat dilakukan dengan
menggunakan pendekatan teori perilaku.
3. Kepemimpinan Kepala Sekolah
Sejalan dengan uraian
kepemimpinan di atas kepemimpinan
dalam organisasi sekolah secara umum
sama. Kepala Sekolah adalah pemimpin
sekaligus manajer yang harus mengatur,
memberi perintah sekaligus mengayomi
bawahannya yaitu para guru dan
menyelesaikan masalah-masalah yang
timbul.
Edisi April 2018
Hidayat dan Kartiwa
17
Wahjosumidjo (2002 : 83)
mengartikan bahwa : “Kepala sekolah
adalah seorang tenaga fungsional guru
yang diberi tugas untuk memimpin suatu
sekolah dimana diselenggarakan proses
belajar mengajar atau tempat dimana
terjadi interaksi antara guru yang
memberi pelajaran dan murid yang
menerima pelajaran.”
Sementara Rahman dkk (2006 :
106) mengungkapkan bahwa “Kepala
sekolah adalah seorang guru (Jabatan
fungsional) yang diangkat untuk
menduduki jabatan structural (kepala
sekolah) di sekolah.
Berdasarkan beberapa pengertian
di atas dapat disimpulkan bahwa kepala
sekolah adalah seorang guru yang
mempunyai kemampuan untuk
memimpin dan memanaj segala sumber
daya yang ada pada suatu sekolah
sehingga dapat didayagunakan secara
maksimal untuk mencapai tujuan
bersama.
Berkaitan dengan kepemimpinan
kepala sekolah A. Tabrani Rusyan (2000)
menyatakan bahwa :
Kepemimpinan kepala sekolah
memberikan motivasi kerja bagi
peningkatan produktivitas kerja
guru dan hasil belajar siswa.
Kepemimpinan kepala sekolah
harus benar-benar dapat
dipertanggungjawabkan, karena
tanggung jawab kepala sekolah
sangat penting dan menentukan
tinggi rendahnya hasil belajar para
siswa, juga produktivitas dan
semangat kerja guru tergantung
kepala sekolah dalam arti sampai
sejauh mana kepala sekolah
mampu menciptakan kegairahan
kerja dan sejauh mana kepala
sekolah mampu mendorong
bawahannya untuk bekerja sesuai
dengan kebijaksanaan dan
program yang telah digariskan
sehingga produktivitas kerja guru
tinggi dan hasil belajar siswa
meningkat.”
Sebenarnya dalam mencapai
tujuan bersama, pemimpin dan
anggotanya mempunyai ketergantungan
satu dengan yang lainnya. Setiap anggota
organisasi mempunyai hak untuk
memberikan sumbangan demi
tercapainya tujuan organisasi. Oleh sebab
itu, perlu adanya kebersamaan. Rasa
kebersamaan dan rasa memiliki pada diri
setiap anggota mampu menimbulkan
suasana organisasi yang baik.
Menurut Supriadi dalam bukunya
(editor) Sejarah Pendidikan Teknik dan
Kejuruan di Indonesia (2002:268). Ada
tujuh indikator keberhasilan seorang
kepala sekolah, yaitu :
1. Kepala Sekolah sebagai Manajer.
2. Kepala Sekolah sebagai Pemimpin
3. Kepala Sekolah sebagai Wirausaha
4. Kepala Sekolah sebagai Pencipta
Iklim Kerja
5. Kepala Sekolah sebagai Pendidik
6. Kepala Sekolah sebagai
Administrator
7. Kepala Sekolah sebagai Penyelia
Supriadi juga mengatakan bahwa
kepemimpinan adalah kepribadian dan
integritas serta kemampuan untuk
meyakinkan dan mengarahkan orang
lain, untuk mencapai tujuan sesuai
dengan sasaran. Hal tersebut di atas
meliputi kepribadian, kemampuan
memotivasi, pengambilan keputusan,
komunikasi dan pendelegasian
wewenang.
Edisi April 2018
Hidayat dan Kartiwa
18
4. Motivasi Kerja
Motivasi adalah serangkaian sikap
dan nilai yang mempengaruhi individu
untuk mencapai hal yang spesifik sesuai
dengan tujuan individu. Sikap dan nilai
tersebut merupakan suatu yang invisible
yang memberikan kekuatan untuk
mendorong individu bertingkah laku
dalam mencapai tujuan. Veithzal (2005 :
455 ). Beliau juga mengemukakan : “Dua
hal yang dianggap sebagai dorongan
individu yaitu arah prilaku (kerja untuk
mencapai tujuan) dan kekuatan prilaku
(seberapa kuat usaha individu dalam
bekerja)”.
Beberapa ahli mengemukakan
teori motivasi diantaranya : Teori
Kebutuhan dari Maslow (Hierarchy of
Need Theory)
Kebutuhan dapat didefinisikan
sebagai suatu kesenjangan atau
pertentangan yang dialami antara
kenyataan dengan dorongan yang ada
dalam diri. Apabila kebutuhan pegawai
tidak terpenuhi maka pegawai tersebut
akan menunjukkan perilaku kecewa.
Sebaliknya jika kebutuhannya terpenuhi
maka pegawai akan memperlihatkan
perilaku yang gembira sebagai
manifestasi dari rasa puas.
Menurut Abraham Maslow
mengemukakan bahwa hirarki kebutuhan
manusia adalah :
1. Kebutuhan fisiologis (physiological
needs) yaitu kebutuhan yang
diperlukan untuk mempertahankan
kelangsungan hidup seseorang, seperti
makan, minum, udara, perumahan dan
lainnya. Dalam organisasi kebutuhan-
kebutuhan ini dapat berupa uang,
hiburan, program pension, lingkungan
kerja yang nyaman.
2. Kebutuhan keselamatan dan
keamanan (safety and security need)
yaitu kebutuhan keamanan dari
ancaman yakni merasa aman dari
ancaman kecelakaan dalam
melakukan pekerjaan. Dalam
organisasi kebutuhan ini dapat berupa
keamanan kerja, senioritas, program
pemberhentian kerja, uang pesangon.
3. Kebutuhan rasa memiliki (social
need) yaitu kebutuhan akan teman,
cinta dan memiliki. Sosial need di
dalam organisasi dapat berupa
keompok kerja (team work) baik
secara formal maupun informal.
4. Kebutuhan akan harga diri (esteem
need or status needs) yaitu kebutuhan
akan penghargaan diri, pengakuan
serta penghargaan prestise dari
karyawan dan masyarakat lingkungan.
Dalam organisasi kebutuhan ini dapat
berupa reputasi diri, gelar dsb.
5. Kebutuhan akan perwujudan diri (self
actualization) adalah kebutuhan akan
aktualisasi diri dengan menggunaka
kecakapan, kemampuan, keterampilan
dan potensi optimal untuk mencapai
prestasi kerja yang sangat memuaskan
atau luar biasa yang sulit dicapai
orang lain.
Selanjutnya, Abraham Maslow
berpendapat bahwa orang dewasa
(pegawa bawahan) secara normal harus
terpenuhi minimal 85% kebutuhan
fisiologi, 70% kebutuhan rasa aman,
50% kebutuhan sosial, 40% kebutuhan
penghargaan, dan 15% kebutuhan
aktualisasi diri, keluarga, dan bisa
menjadi penyebab terjadinya konflik
kerja.
Dengan demikian, jika kebutuhan
pegawai tidak terpenuhi, pemimpin akan
mengalami kesulitan dalam memotivasi
pegawai.
Edisi April 2018
Hidayat dan Kartiwa
19
5. Disiplin Kerja
Simamora dalam buku Manajemen
Sumber Daya Manusia Edisi III (2006:
610) menyatakan bahwa :
Disiplin adalah prosedur yang
mengoreksi atau menghukum
bawahan karena melanggar
peraturan atau prosedur. Disiplin
merupakan bentuk pengendalian
diri karyawan dan pelaksanaan
yang teratur dan menunjukkan
tingkat kesungguhan tim kerja di
dalam suatu organisasi.
Menurut Alma (2003:186)
mengatakan bahwa : “Disiplin dapat
diartikan sebagai suatu sikap patuh,
tingkah laku, dan perbuatan yang sesuai
dengan peraturan perusahaan baik lisan
maupun tertulis”.
Singodimejo dalam Sutrisno
(2009:85) mengatakan bahwa disiplin
adalah sikap kesediaan dan kerelaan
seseorang untuk mematuhi dan mentaati
norma-norma peraturan yang berlaku di
sekitarnya.
Sementara Sinungan (2003:135)
mendefinisikan disiplin sebagai: “Sikap
kejiwaan dari seseorang atau sekelompok
orang yang senantiasa berkehendak
untuk mengikuti/mematuhi segala
aturan/keputusan yang telah ditetapkan”.
Senada dengan pendapat di atas,
Fathoni (2006:172) mengartikan disiplin
sebagai : “Kesadaran dan kesediaan
seseorang mentaati semua peraturan
organisasi dan norma-norma sosial yang
berlaku”. Selanjutnya Fathoni
menjelaskan bahwa: “Kedisiplinan
diartikan bilamana karyawan selalu
datang dan pulang tepat pada waktunya,
mengerjakan semua pekerjaannya
dengan baik, mematuhi semua peraturan
perusahaan dan norma-norma sosial yang
berlaku.”
Dari pengertian di atas dapat
disimpulkan bahwa disiplin kerja adalah
sikap dan perbuatan guru dalam mentaati
semua pedoman dan peraturan yang telah
ditentukan untuk tercapainya tujuan
organisasi. Disiplin berkaitan erat dengan
perilaku karyawan dan berpengaruh
terhadap kinerja.
Menurut Siagian dalam Sutrisno
(2009 : 86), bentuk disiplin yang baik
akan tercermin pada suasana di
lingkungan organisasi sekolah, yaitu:
1. Tingginya rasa kepedulian guru
terhadap pencapaian visi dan misi
sekolah.
2. Tingginya semangat, gairah kerja dan
inisiatif para guru dalam mengajar.
3. Besarnya rasa tanggung jawab guru
untuk melaksanakan tugas dengan
sebaik-baiknya.
4. Berkembangnya rasa memiliki dan
rasa solideritas yang tinggi di
kalangan guru.
5. Meningkatkan efisiensi dan
produktivitas kerja.
Suatu asumsi bahwa pemimpin
mempunyai pengaruh langsung pada
sikap kebiasaan yang dilakukan
karyawan. Kebiasaan itu dampak dari
keteladanan yang dicontohkan oleh
pimpinan. Oleh karena itu, jika
mengharapkan karyawan memiliki
tingkat disiplin yang baik, maka
pemimpin harus memberikan
kepemimpinan yang baik pula.
6. Kinerja
Pengertian kinerja atau prestasi
kerja pegawai menurut beberapa ahli
memiliki pengertian yang sama namun
para ahli lain mengatakan berbeda.
Edisi April 2018
Hidayat dan Kartiwa
20
Armstrong dan Baron dalam
Wibowo (2007 : 2) menyampaikan
bahwa :
Kinerja (performance) adalah
tentang melakukan pekerjaan dan
hasil yang dicapai dari pekerjaan
tersebut. Kinerja merupakan hasil
pekerjaan yang mempunyai
hubungan kuat dengan tujuan
strategis organisasi, kepuasan
konsumen dan memberikan
kontribusi ekonomi.
Menurut Siswanto Bejo (2005 :
195) prestasi kerja adalah :
Hasil kerja yang dicapai oleh
seorang tenaga kerja dalam
melaksanakan tugas dan pekerjaan
yang dibebankan kepadanya. Pada
umumnya prestasi kerja seorang
tenaga kerja antara lain
dipengaruhi oleh kecakapan,
keterampilan, pengalaman,
kesanggupan tenaga kerja yang
bersangkutan.
Sedangkan menurut
Mangkunegara (2002:67), kinerja
(prestasi kerja) adalah hasil kerja secara
kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh
seorang pegawai dalam melaksanakan
tugasnya sesuai dengan tanggung jawab
yang diberikan kepadanya.
Mathis dan Jackson (2002:78)
menyatakan bahwa unsur yang
membentuk kinerja pegawai antara lain :
kuantitas output, kualitas output, jangka
waktu output, kehadiran di tempat kerja,
dan sikap kooperatif.
Sementara Gomez (2001 : 142)
mengemukakan unsur yang berkaitan
dengan kinerja terdiri dari:
1. Quantity of work, yakni jumlah
pekerjaan yang dapat diselesaikan
pada periode tertentu.
2. Quality of work, yaitu kualitas
pekerjaan yang dicapai berdasarkan
syarat yang ditentukan.
3. Job knowledge, yakni pemahaman
pegawai pada prosedur kerjadan
informasi teknis tentang pekerjaan.
4. Creativeness, yaitu kemampuan
menyesuaikan diri dengan kondisi dan
dapat diandalkan dalam pekerjaan.
5. Cooperation, yaitu kerjasama dengan
rekan kerja dan atasan.
6. Dependability, yakni kemampuan
menyelesaikan pekerjaan tanpa
tergantung kepada orang lain.
7. Inisiative, yakni kemampuan
melahirkan ide-ide dalam pekerjaan.
8. Personal qualities, yaitu kemampuan
dalam berbagai bidang pekerjaan.
Dari berbagai pengertian kinerja di
atas dapat disimpulkan bahwa kinerja/
prestasi kerja merupakan hasil kerja yang
dicapai seseorang dalam melaksanakan
tugas-tugas yang dibebankan kepadanya
yang didasarkan atas kecakapan,
pengalaman dan kesungguhan serta tepat
waktu. Wujud kinerja dapat dilihat dari
tingkat prestasi kerja yang berupa hasil
kerja, kemampuan dan penerimaan atas
kejelasan delegasi tugas serta minat
seorang pekerja.
7. Kinerja Guru
Rachman Natawijaya (2006 : 22)
secara khusus mendefinisikan kinerja
guru sebagai seperangkat perilaku nyata
yang ditunjukkan guru pada waktu dia
memberikan pembelajaran kepada siswa.
Kinerja guru bila mengacu pada
pengertian Mangkunegara bahwa tugas
yang dihadapi oleh seorang guru meliputi
Edisi April 2018
Hidayat dan Kartiwa
21
: membuat program pengajaran, memilih
metode dan media yang sesuai untuk
penyampaian, melakukan evaluasi, dan
melakukan tindak lanjut dengan
pengayaan dan remedial.
Menurut Undang- Undang RI
nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan
Dosen, pada bab 1 pasal 1 disebutkan
bahwa :
Guru adalah pendidik professional
dengan tugas utama mendidik,
mengajar, membimbing,
mengarahkan, melatih, menilai dan
mengevaluasi peserta didik pada
pendidikan usia dini jalur
pendidikan formal, pendidikan
dasar, dan pendidikan menengah.
Selanjutnya pada Undang-Undang
tersebut dijelaskan bahwa:
Professional adalah pekerjaan atau
kegiatan yang dilakukan oleh
seseorang dan menjadi sumber
penghasilan kehidupan yang
memenuhi standar mutu atau
norma tertentu serta memerlukan
pendidikan profesi.
Guru merupakan ujung tombak
pelaksana pendidikan. Keberhasilan guru
dalam melaksanakan tugasnya
merupakan cerminan dari kinerja guru,
dan hal tersebut terlihat dari aktualisasi
kompetensi guru dalam merealisasikan
tugas profesinya.
Sehubungan dengan kinerjanya
maka guru ada yang memiliki kinerja
baik dan ada juga yang memiliki kinerja
kurang baik. Guru yang memiliki kinerja
yang baik disebut guru yang profesional
(Supriadi, 1998 : 98).
Tugas profesional guru menurut
pasal 2 Undang-Undang No. 14 tahun
2005 meliputi :
a) Melaksanakan pembelajaran yang
bermutu serta menilai dan
mengevaluasi hasil pembelajaran.
b) Meningkatkan kualifikasi akademik
dan kompetensi secara berkelanjutan
dengan perkembangan ilmu
pengetahuan.
c) Menjunjung tinggi peraturan
perundang-undangan hukum dan kode
etik guru serta nilai-nilai agama dan
etika dan dapat memelihara,
memupuk persatuan dan kesatuan
bangsa.
3. METODE PENELITIAN
1. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini merupakan
penelitian deskriptif kuantitatif. Menurut
Suharsimi Arikunto (2006: 83) penelitian
deskriptif merupakan penelitian yang
memberikan informasi hanya mengenai
data yang diamati dan tidak bertujuan
menguji serta hanya menyajikan dan
menganalisis data agar bermakna dan
komunikatif. Sedangkan menurut
Sugiyono (2010: 7) penelitian kuantitatif
merupakan pendekatan penelitian dengan
data penelitiaanya berupa angka-angka
dan analisisnya menggunakan statistik.
Jenis penelitian yang digunakan
dalam penelitian ini adalah deskriptif.
Bersifat deskriptif karena penelitian ini
bertujuan untuk melihat dan
mendeskripsikan pembinaan professional
oleh kepala sekolah dalam meningkatkan
kinerja guru sekolah dasar negeri di
Kecamatan Margaasih Kabupaten
Bandung. Bersifat kuantitatif karena data
yang akan diperoleh berupa angka-angka
dan penggolahannya menggunakan
metode statistik.
Edisi April 2018
Hidayat dan Kartiwa
22
2. Operasional Variabel
Untuk memperjelas dalam
pengumpulan data dan pengujian
hipotesis perlu dikemukakan batasan-
batasan konsep variabel, dimensi
(subvariabel) dan indikator-indikatornya.
Hal ini untuk memudahkan jenis data
primer dan / atau sekunder, sifat data
kualitatif dan / atau kuantitatif dan skala
ukurannya nominal/ordinal/ratio, yang
dapat dinyatakan sebagai berikut :
Tabel 1
Operasionalisasi Variabel Penelitian Variabel Dimensi Indikator
Variabel
Kepemimpi
nan Kepala
Sekolah
(X1)
1. Kepala
sekolah
sebagai
educator
2. Kepala
sekolah
sebagai
manajer
3. Kepala
sekolah
sebagai
administra-tor
4. Kepala
sekolah
sebagai
supervisor
5. Kepala
sekolah
sebagai
leader
6. Kepala
sekolah
sebagai
inovator
7. Kepala
sekolah
sebagai
motivator
1. Memberi-
kan
pembinaan
kepada guru
2. Memberi-
kan
pembinaan
kepada
siswa
3. Membuat
visi dan
misi
4. Pemberday
aan guru
pada
pelaksana-
an program
5. Melakukan
pengawasan
program
6. Melakukan
evaluasi
program
7. Pengadmi-
nistrasian
pelaksana-
an program
8. Pendoku-
mentasian
hasil
pelaksana-
an program
9. Membuat
program
supervisi
Variabel Dimensi Indikator
Variabel
10. Melaksana-
kan
supervisi
11. Memberi-
kan
keteladanan
kepada
guru
12. Memberi
keputusan
yang tepat
13. Memberi-
kan
gagasan
baru dalam
kegiatan
pembelajar
an
14. Memberi-
kan
penghar
gaan dan
sangsi
kepada
guru
15. Menciptaka
n suasana
kerja yang
kondusif
Motivasi
kerja (X2)
1. Faktor
motivasional
2. Faktor
pemeliharaan
1. Kesempatan
untuk
berprestasi
2. Pengakuan
dari teman
sejawat
3. Merasa
bangga
dengan
pekerjaan
sebagai guru
4. Tanggung
jawab atas
pekerjaannya
5. Pekerjaan itu
sendiri
6. Kesempatan
untuk
meningkatkan
karir
7. Gaji atau
honor yang
diterima
Edisi April 2018
Hidayat dan Kartiwa
23
Variabel Dimensi Indikator
Variabel
8. Kondisi kerja
yang
menyenang-
kan
9. Kebijakan
pimpinan
sekolah
10. Hubungan
antarpribadi
Disiplin
Kerja (X3)
1. Ketepatan
Waktu
2. Kesadaran
dalam
bekerja
3. Kepatuhan
pada
Peraturan
1. Tepat
waktu
2. Efisien
3. Tingkat
kehadiran
4. Paham
tugas
5. Tanggung
Jawab
6. Pelaksana-
an tugas
7. Kerjasama
8. Taat pada
aturan
9. Sanksi
Kinerja
Guru (Y)
1. Mendidik
2. Mengajar
3. Membim-
bing
4. Mengarah-
kan
5. Melatih
6. Menilai
7. Mengevalu-
asi
1. Mendidik
akhlak
Siswa
2. Membuat
perencana-
an
pembelaja-
ran
3. Melaksana-
kan
pembelaja-
ran
4. Membim-
bing seluruh
siswa
5. Membim-
bing siswa
yang
mengalami
kesulitan
dalam
belajar
6. Mengarah-
kan siswa
dalam
belajar
7. Melatih
kemampuan
Variabel Dimensi Indikator
Variabel
siswa
8. Menilai hasil
kerja siswa
9. Melaksana-
kan evaluasi
pembelaja-
ran
Sumber: Peneliti, 2018.
3. Populasi, Sampel, dan Teknik
Sampling
Pengertian populasi menurut
Surakhmad (1990:39) adalah wilayah
generalisasi atas obyek/subyek yang
mempunyai kuantitas dan karakteristik
tertentu yang ditetapkan oleh peneliti,
untuk dipelajari yang kemudian ditarik
kesimpulan. Dalam penelitian ini yang
menjadi populasi penelitian adalah
Guru-guru yang berada di lingkungan
UPT TK SD dan Non Formal Kecamatan
Katapang Gugus 3 berjumlah 63 orang.
Sampel merupakan bagian dari
populasi, dalam penelitian ini mengingat
populasi relatif kecil maka
keseluruhannya diambil sebagai sampel
penelitian. Jadi seluruh populasi yang
jumlahnya 63 orang, semuanya dijadikan
sampel.
Teknik sampling yang digunakan
dalam penelitian ini adalah teknik
sampling jenuh yaitu teknik pengambilan
sampel, dari seluruh populasi yang relatif
kecil jumlah.
4. Teknik dan Intrumen
Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang
digunakan dalam penelitian ini terdiri
dari kuesioner, wawancara dan observasi.
Kuesioner dimaksudkan untuk menjaring
data tentang kepemimpinan, disiplin,
motivasi dan kinerja guru. Sementara
wawancara dimaksudkan untuk
Edisi April 2018
Hidayat dan Kartiwa
24
menjaring data keempat variabel
penelitian yang tidak dapat dijaring
dengan teknik kuesioner. Kelengkapan
data juga ditunjang oleh observasi.
Dalam penyusunan instrumen
digunakan dari model Rensis Likert
yakni dengan option Sangat Setuju (SS),
Setuju (S), Cukup Setuju (CS), Tidak
Setuju (TS), Sangat Tidak Setuju (STS).
Masing-masing option diberikan bobot
mulai dari 5 untuk sangat setuju hingga
bobot 1 untuk option sangat tidak setuju.
Nur Indriantoro (2002 : 99)
mengkatagorikan sifat data tersebut ke
dalam skala interval.
Data primer, yaitu data yang
diperoleh langsung dari responden
dikumpulkan dengan menggunakan
kuesioner dan skala likert (ordinal)
dengan metode rating yang dijumlahkan.
Metode pengumpulan data yag
digunakan dalam penelitian ini adalah
metode survey, yaitu teknik
pengumpulan dan analisis data berupa
opini dari subyek yang diteliti melalui
kuesioner, wawancara dan observasi.
Kuesioner dimaksudkan untuk
mencari data primer tentang
kepemimpinan, disiplin, motivasi dan
kinerja guru. Wawancara dengan
pimpinan dan karyawan di lingkungan
obyek penelitian dimaksudkan untuk
mengumpulkan data yang tidak diperoleh
oleh data hasil kuesioner sedangkan
observasi dilakukan untuk mengamati
secara spesifik perilaku dari variabel
yang sedang diteliti. Observasi juga
dilakukan dalam upaya mendapatkan
data-data umum lainnya tentang
organisasi yang diteliti.
5. Teknik Pengolahan dan Analisis
Data
Teknik analisis yang digunakan
adalah teknik analisis deskriptif. Teknik
analisis deskriptip digunakan untuk
mendeskripsikan variabel kepemimpinan
kepala sekolah (X_(1 )), motivasi kerja
(X_2), disiplin kerja (X_3), dan kinerja
guru (Y) dengan cara menghitung rata-
rata masing-masing variabel penelitian.
Tabel 2
Kriteria Penafsiran Kondisi Variabel
Penelitian
Rata-Rata Skor Penafsiran
4,2 – 5,0 Sangat baik
3,4 – 4,1 Baik
2,6 – 3,3 Cukup Baik
1,8 – 2,5 Kurang baik
1,0 – 1,7 Sangat kurang baik
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Kondisi Geografis
Secara geograpis letak Kabupaten
Bandung berada pada 6 41 – 7 19
Lintang selatan dan diantara 107 22 –
108 5 Bujur Timur dengan luas wilayah
291.346 Ha serta jumlah penduduk
4.052.641 jiwa. Sementara laju
Pertumbuhan Penduduk antara tahun
2007-2009 sebesar 2,77 % secara
administrasi wilayah pemerintah
kabupaten Bandung terdiri dari 45
Kecamatan 429 Desa dan 7 Kelurahan.
Batas administrative, yakni:
Sebelah Utara : Kabupaten Subang
Sebelah Timur : Kabupaten Sumedang
dan Kabupaten Garut
Sebelah Selatan : Kabupaten garut dan
Kabupaten Cianjur.
Sebelah Barat : Kabupaten Cianjur dan
Kabupaten Purwakarta.
Edisi April 2018
Hidayat dan Kartiwa
25
Bagian Tengah : Kota Bandung dan
Kota Cimahi.
Dilihat dari letak geograpis,
Kabupaten Bandung menempati posisi
strategis, berbatasan dengan Ibukota
Propinsi Jawa Barat dan letaknya tidak
jauh dari Ibu Kota Negara. Akibat dari
kedudukan strategis tersebut Kabupaten
Bandung dapat menanggung dampak
positif maupun dampak negative yang
cukup besar terhadap perkembangan
dalam bidang ekonomi, sumber daya
manusia, budaya serta kelestarian sumber
daya alam dan lingkungan hidup.
Wilayah Kabupaten Bandung
beriklim tropis dan dipengaruhi oleh
iklim muson curah hujan rata-rata
berkisar antara 1.500 sampai dengan
4.000 mm/tahun, suhu rata-rata berkisar
antara 19 C sampai 24 C dengan
penyimpangan harian mencapai 5 C serta
kelambaban udara berpariasi antara 78 %
pada musim hujan dan 70 % pada musim
kemarau.
Dikabupaten Bandung terdapat
beberapa sungai besar dan sungai kecil,
yaitu sungai Citarum, Sungai Cisangkuy
dan Sungai Cikapundung yang
dimanfaatkan untuk berbagai
kepentingan antara lain pengairan,
sumber air baku PDAM, dan Sumber
Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA).
Secara morpologis, wilayah
kabupaten Bandung kemiringan
lerengnya berpariasi antara 0 – 15 %
hingga di atas 45 % Pegunungan dan
perbukitan sebagian besar terbentang
sepanjang bagian utara, selatan serta
bagian barat dengan kemiringan antara
25 -45 %, dan letak ketinggian antara
110 meter di atas permukaan laut (DPL).
Daerah ini merupakan tangkapan air
yang berfungsi menjaga keseimbangan
hidrogis cekungan Bandung.
Daratan Kabupaten Bandung
terdampar luas di bagian tengah
cekungan Bandung dengan kemiringan
0% - 2 % dan 2 % - 8 % ke arah barat
dan kearah sungai Citarum yang
membelah wilayah dari timur ke barat.
Wilayah ini merupakan kawasan
pesawahan yang subur dan sebagian
diantaranya rawan banjir. Kota-kota yang
merupakan satelit dan counter magnet
dari Kota Bandung terdapat di wilayah
ini.
Daratan Bandung yang luas dan
subur merupakan bagian kawasan
andalan Tatar Bandung yang diarahkan
untuk perkembangan kegiatan agrobisnis,
industri manufaktur, pariwisata, industri
jasa, dan pendidikan. Kota Bandung
sendiri merupakan Pusat Kegiatan
Nasional (PKN).
Secara umum perkembangan dan
hasil pembangunan di Kabupaten
Bandung dapat dilihat beberapa
indicator, yaitu indicator makro ekonomi
dan indicator makro sosial, yang pada
akhirnya akaan bermuara pada Indeks
Pembangunan Manusia (IPM). Pada
tahun 1999 IPM Kabupaten Bandung
sebesar 64,6 meningkat menjadi 676,5
pada tahun 2013.
Sesuai dengan pendapat responden
di atas, hasil penelitian menunjukkan
bahwa rata-rata skor masing-masing
variabel sebagai berikut:
Edisi April 2018
Hidayat dan Kartiwa
26
Tabel 3
Rata-Rata Skor Variabel
Variabel N Rata -
Rata
Kepemimpinan
Kepala Sekolah (X1)
63 3,94
Motivasi Kerja (X2) 63 3,26
Disiplin Kerja (X3) 63 3,18
Kinerja Guru (Y) 63 3.31
Tabel rata-rata skor variabel
tersebut menunjukkan skor rata-rata
variabel kepemimpinan kepala sekolah
lebih tinggi dibandingkan tiga variabel
lainnya. Juga terlihat bahwa skor rata-
rata untuk variabel disiplin kerja lebih
kecil dibandingkan tiga variabel lainnya.
Guna memberikan gambaran yang
lebih jelas mengenai makna hasil
perhitungan statistik deskriptif di atas,
selanjutnya dibandingkan dengan tabel
kriteria penafsiran kondisi variabel
penelitian pada masing-masing variabel
yang diteliti. Model yang dipakai
mengadaptasi model tentang
pengontrolan kualitas (Supranto : 2000)
sebagai berikut:
Tabel 4
Kriteria Penafsiran Kondisi Variabel
Penelitian
Rata-Rata Skor Penafsiran
4,2 – 5,0 Sangat baik
3,4 – 4,1 Baik
2,6 – 3,3 Cukup Baik
1,8 – 2,5 Kurang baik
1,0 – 1,7 Sangat kurang baik
Sesuai dengan kriteria di atas,
maka diperoleh hasil sebagai berikut:
Tabel 5
Kriteria Ketercapaian Skor Tiap
Variabel
Variabel Rata-
Rata Kriteria
Kepemimpinan Kepala
Sekolah (X1) 3.94 Baik
Motivasi Kerja (X2) 3.26 Cukup
Baik
Disiplin Kerja (X3) 3.18 Cukup
Baik
Kinerja Guru (Y) 3.31 Cukup
Baik
Sumber : Hasil Pengolahan Data
B. Kepemimpinan Kepala Sekolah
(X1)
Berdasarkan tanggapan hasil
responden tentang kepemimpinan kepala
sekolah (X1), diperoleh skor rata-rata
sebesar 3,94 (tabel 4.81) sesuai dengan
kriteria penafsiran (tabel 4.82) yang
dikemukakan Sugiyono (2004 : 66)
berada diantara hubungan 3,4 – 4,1 maka
gambaran kepemimpinan kepala sekolah
di UPT TK SD dan Non Formal
Kecamatan Margaasih termasuk kategori
baik.
Hal ini berarti pola kepemimpinan
kepala sekolah yang ditampilkan sudah
baik dan pemahaman terhadap tugas dan
peranannya sebagai seorang pemimpin
cukup memadai. Tanpa adanya
pemahaman tentang kepemimpinan maka
tujuan yang diharapkan sulit dicapai.
Peran dan fungsi yang harus
dilaksanakan oleh kepala sekolah sebagai
seorang pemimpin seperti yang
dijelaskan oleh Mulyasa (2009 : 98)
diantaranya sebagai edukator, manajer,
administrator, supervisor, leader,
inovator dan motivator.
Edisi April 2018
Hidayat dan Kartiwa
27
C. Motivasi Kerja (X2)
Berdasarkan tanggapan hasil
responden tentang motivasi kerja (X2),
diperoleh skor rata-rata sebesar 3,26
(tabel 4.81) sesuai dengan kriteria
penafsiran (tabel 4.82) yang
dikemukakan Sugiyono (2004 : 66)
berada diantara hubungan 2,6 – 3,3 maka
gambaran motivasi kerja termasuk
kategori cukup baik.
Hal ini berarti motivasi kerja guru
di UPT TK SD dan Non Formal
Kecamatan Margaasih belum optimal.
Masih harus diupayakan langkah untuk
meningkatkan baik motivasi instrinsik
maupun motivasi ekstrinsiknya.
D. Disiplin Kerja (X3)
Berdasarkan tanggapan hasil
responden tentang disiplin kerja (X3),
diperoleh skor rata-rata sebesar 3,18
(tabel 4.81) sesuai dengan kriteria
penafsiran (tabel 4.82) yang
dikemukakan Sugiyono (2004 : 66)
berada diantara hubungan 2,6 – 3,3 maka
gambaran disiplin kerja termasuk
kategori cukup baik.
Hal ini berarti disiplin kerja guru
di UPT TK SD dan Non Formal
Kecamatan Margaasih belum optimal.
Masih harus diupayakan langkah untuk
meningkatkan disiplin kerja menyangkut
ketepatan waktu, kesadaran dalam
bekerja dan kepatuhan pada peraturan
yang berlaku.
E. Kinerja Guru (Y)
Berdasarkan tanggapan hasil
responden tentang kinerja guru (Y),
diperoleh skor rata-rata sebesar 3,31
(tabel 4.81) sesuai dengan kriteria
penafsiran (tabel 4.82) yang
dikemukakan Sugiyono (2004 : 66)
berada diantara hubungan 2,6 – 3,3 maka
gambaran kinerja guru termasuk kategori
cukup baik.
Tenaga pendidik atau guru
merupakan tulang punggng sekolah
dalam menjalankan proses kegiatan
pembelajaran. Oleh karena itu tinggi
rendahnya prestasi siswa tidak terlepas
dari kinerja gurunya.
Kinerja guru dapat diukur dari cara
guru tersebut mendidik, mengajar,
membimbing, mengarahkan, melatih,
menilai dan ,mengevaluasi siswa. Selain
itu kinerja gurupun diakibatkan oleh
faktor lain diantaranya kepemimpinan
kepala sekolah, motivasi kerja dan
disiplin kerja.
Guru hendaknya selalu berusaha
mencari cara untuk meningkatkan
prestasi siswa. Guru dapat meningkatkan
wawasan pengetahuannya dengan
membaca beberapa buku pegangan.
Untuk meningkatkan kinerjanya, guru
harus selalu berusaha tepat waktu,
menggunakan metode dan strategi
pembelajaran dengan tepat, mengikuti
pelatihan dan sebagainya sehingga dapat
meningkatkan kualitas kegiatan
pembelajaran
Hasil penelitian yang berkaitan
dengan pengaruh kepemimpinan kepala
sekolah, motivasi kerja dan disiplin kerja
terhadap kinerja guru secara bersama-
sama memperlihatkan bahwa :
1. Pengaruh total kepemimpinan kepala
sekolah (X1) terhadap kinerja guru
(Y) sebesar 45,2 %.
2. Pengaruh total motivasi kerja (X2)
terhadap kinerja guru (Y) sebesar
21,3 %.
3. Pengaruh total disiplin kerja (X3)
terhadap kinerja guru (Y) sebesar 10,4
%.
4. Pengaruh total kepemimpinan kepala
sekolah (X1), motivasi kerja (X2) dan
Edisi April 2018
Hidayat dan Kartiwa
28
disiplin kerja (X3) terhadap kinerja
guru sebesar 76,9 %.
Dari hasil tersebut dapat dikatakan
bahwa variabel-variabel yang
mempengaruhi kinerja guru tidak dapat
berjalan sendiri-sendiri namun harus
selalu bersinergi dalam pelaksanaannya
sehingga memberikan kontribusi yang
tinggi.
F. Pengujian Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam
penelitian ini sebagai berikut :
H1 : ≠ ≠ 0
Terdapat pengaruh kepemimpinan
kepala sekolah, motivasi kerja dan
disiplin kerja terhadap kinerja guru SD di
Lingkungan UPT TK,SD dan Non
Formal Kecamatan Margaasih
Kabupaten Bandung.
Pengaruh terhadap Y
Hi : ≠ 0 : kepemimpinan kepala
sekolah berpengaruh terhadap kinerja
guru SD di Lingkungan UPT TK,SD dan
Non Formal Kecamatan Margaasih
Kabupaten Bandung
Pengaruh terhadap Y
Hi : ≠ 0 : motivasi kerja
berpengaruh terhadap kinerja guru SD di
Lingkungan UPT TK,SD dan Non
Formal Kecamatan Margaasih
Kabupaten Bandung.
Pengaruh terhadap Y
Hi : ≠ 0 : disiplin kerja
berpengaruh terhadap kinerja guru SD di
Lingkungan UPT TK,SD dan Non
Formal Kecamatan Margaasih
Kabupaten Bandung.
Pengujian hipotesis tidak
dilakukan secara statistik dengan uji F
dan uji t karena penelitian yang
dilakukan melibatkan seluruh anggota
populasi atau bersifat sensus. Hipotesis
yang diajukan dijawab dari hasil
perhitungan koefisien jalur yang
diperoleh.
Jika hasil perhitungan koefisien
jalur dari kepemimpinan kepala sekolah
ke kinerja guru, motivasi kerja ke kinerja
guru dan disiplin kerja ke kinerja guru
tidak sama dengan nol, maka hipotesis
yang diajukan semuanya diterima, dan
sebalikya.
5. KESIMPULAN
Sesuai dengan penelitian yang
telah dilakukan dan pembahasannya
mengenai pengaruh kepemimpinan
kepala sekolah, motivasi kerja dan
disiplin kerja terhadap kinerja guru di
UPT TK SD dan Non Formal Kecamatan
Margaasih, penulis memperoleh
kesimpulan sebagai berikut :
1. Kepemimpinan kepala sekolah yang
meliputi kepala sekolah sebagai
edukator, manajer, administrator,
supervisor, leader, inovator dan
motivator sesuai dengan hasil
pengolahan data termasuk dalam
kategori baik.
2. Motivasi kerja yang meliputi motivasi
intrinsik dan ekstrinsik sesuai dengan
hasil pengolahan data termasuk
kategori cukup baik.
3. Disiplin kerja yang meliputi ketepatan
waktu, kesadaran dalam bekerja dan
kepatuhan pada peraturan sesuai
dengan hasil pengolahan data
termasuk kategori cukup baik.
4. Kinerja guru di UPT TK SD dan Non
Formal Kecamatan Margaasih yang
Edisi April 2018
Hidayat dan Kartiwa
29
meliputi mendidik, mengajar,
membimbing, mengarahkan, melatih,
menilai, dan mengevaluasi sesuai
dengan pengolahan data berada pada
kategori cukup baik.
5. Pengaruh kepemimpinan kepala
sekolah terhadap kinerja guru secara
langsung maupun tidak langsung
termasuk besar
6. Pengaruh motivasi kerja terhadap
kinerja guru secara langsung maupun
tidak langsung cukup besar.
7. Pengaruh disiplin kerja terhadap
kinerja guru secara langsung maupun
tidak langsung cukup besar.
8. Pengaruh kepemimpinan kepala
sekolah, motivasi kerja dan disiplin
kerja terhadap kinerja guru sangat
besar.
Dengan mengetahui adanya
pengaruh yang positif antara
kepemimpinan kepala sekolah, motivasi
kerja dan disiplin kerja terhadap kinerja
guru baik secara bersama-sama maupun
secara parsial serta mengetahui
karakteristik yang memberi pengaruh
paling besar terhadap kinerja guru di
UPT TK SD dan Non Formal Kecamatan
Margaasih, maka:
1. Kepemimpinan kepala sekolah di Di
UPT TK SD dan Non Formal
Kecamatan Margaasih berada pada
kategori baik. Sejalan dengan
semakin meningkatnya tuntutan
masyarakat terhadap kualitas lulusan,
maka untuk meningkatkan kinerja
guru kepemimpinan kepala sekolah
harus lebih efektif. Untuk itu kepala
sekolah perlu mengikuti workshop
manajemen serta lebih terbuka pada
saran dan kritik yang sifatnya
membangun.
2. Berdasarkan pengolahan data,
motivasi kerja guru di UPT TK SD
dan Non Formal Kecamatan
Margaasih termasuk pada kategori
cukup baik. Motivasi kerja guru perlu
ditingkatkan terutama motivasi
eksternal. Hal ini dapat dilakukan
oleh kepala sekolah dengan cara
peningkatan kesejahteraan guru,
menjalin hubungan interpersonal yang
lebih harmonis dan peningkatan
lingkungan kerja yang aman dan
nyaman sehingga para guru dapat
meraih prestasi kerja yang lebih baik
pada waktu mendatang.
3. Berdasarkan pengolahan data, disiplin
kerja guru di UPT TK SD dan Non
Formal Kecamatan Margaasih
termasuk pada kategori cukup baik.
Sejalan dengan tuntutan masyarakat
terhadap peningkatan kualitas
sekolah, perlu ditingkatkan
kedisiplinan kerja guru dengan
pembinaan dan pengawasan yang
lebih intensif.
4. Kinerja guru di UPT TK SD dan Non
Formal Kecamatan Margaasih berada
pada kategori cukup baik. Perlu
diperhatikan hal-hal yang
memberikan kontribusi terhadap
peningkatan kinerja guru. Untuk
peningkatan kinerja guru kepala
sekolah harus dapat menentukan
strategi yang efektif dan apabila
terjadi penurunan kualitas kinerja
dapat mengidentifikasi penyebabnya.
5. Kepemimpinan kepala sekolah di
UPT TK SD dan Non Formal
Kecamatan Margaasih pada umumnya
sudah baik. Agar lebih baik lagi perlu
mengoptimalkan manajemen dan
supervisi terhadap kinerja guru dalam
pelaksanaan proses pembelajaran di
Edisi April 2018
Hidayat dan Kartiwa
30
kelas. Hal ini dapat meningkatkan
kinerja guru dan mutu pendidikan.
6. Untuk meningkatkan motivasi kerja
guru sebaiknya kepala sekolah
memberikan kebijakan yang dapat
memotivasi guru agar melakukan
kinerja terbaik, seperti memberikan
apresiasi terhadap guru berprestasi
dan memberikan kesempatan kepada
guru seluas-luasnya untuk lebih
mengembangkan potensi yang ia
miliki.
7. Untuk meningkatkan disiplin kerja
guru sebaiknya kepala sekolah
meningkatkan sistem pembinaan dan
pengawasan. Sistem pembinaan yang
dilaksanakan hendaknya bervariasi
misalnya dengan menggunakan
metode ESQ. Sistem pengawasan
dapat ditingkatkan dengan
menggunakan kemajuan sistem
informasi untuk memantau kehadiran
guru di sekolah maupun di kelas.
6. REFERENSI
A. Buku-Buku
Ambar Teguh Sulistiani Rosidah, (2009),
Manajemen Sumber Daya
Manusia, Yogyakarta: Graha Ilmu.
A. Tabrani R, (2000), Upaya
Meningkatkan Budaya Kinerja
Guru, Cianjur: CV Dinamika
Karya.
Arikunto Suharsimi, (1997), Prosedur
Penelitian Suatu Pendekatan
Praktek, Jakarta: PT Rineka Cipta.
Danim, Sudarwan, (2004), Motivasi
Kepemimpinan & Efektivitas
Kelompok, Jakarta: Rineka Cipta.
Davis, Keith dan John W. Newstrom,
(1995), Perilaku dalam Organisasi,
(Terjemahan Agus Darma),
Jakarta: Erlangga.
E. Mulyasa, (2009), Menjadi Kepala
Sekolah Profesional, Bandung: PT
Remaja Rosdakarya.
E. Mulyasa, (2007), Menjadi Guru
Profesional, Bandung : PT Remaja
Rosdakarya.
Fathoni Abdurrahmat, (2006), Organisasi
dan Manajemen Sumber Daya
Manusia, Jakarta : PT Rineka
Cipta.
Gomez Meija, D.B. Balkin dan R.L.
Cardy, (2001) Manajing Human
Resources, USA: Prentice Hall.
Husen, Umar, (2004), Riset Sumber
Daya Manusia, Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Istijanto, (2005), Riset Sumber Daya
Manusia, Yogyakarta : STIE
YPKN
Kerlinger, Fred. N. ( 2004), Asas-Asas
Penelitian Behavioral, Yogyakarta
: Gajah Mada University Press.
Luthan, Fred, (2006), Organization
Behavior (Prilaku Organisasi),
Yogyakarta: ANDI.
Mangkunegara, Anwar Prabu, (2005),
Manajemen Sumber Daya
Manusia, Bandung : PT Remaja
Rosdakarya.
Miftah Toha, (2003), Kepemimpinan
dalam Manajemen, Jakarta: PT
Raja Grapindo.
Nawawi, Hadari, (2005), Manajemen
Sumber Daya Manusia,
Yogyakarta: Gajah Mada
University Press.
Peraturan Pemerintah RI, 2005, Standar
Nasional Pendidikan, Jakarta : CV
Eko Jaya.
Rahman at all, (2006), Peran Strategis
Kepala Sekolah dalam
Meningkatkan Mutu Pendidikan,
Jatinangor: Alqaprint.
Edisi April 2018
Hidayat dan Kartiwa
31
Rivai, Veithzal, (2004), Kepemimpinan
dan Prilaku Organisasi, Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada.
Robbin Stephen P, (2001),
Organizational Behavior, New
Jersey: Prentice Hall International.
Sedarmayanti, (2009), Sumber Daya
Manusia dan Produktivitas Kerja,
Bandung: CV Mandar Maju.
STIA Bandung, (2015), Pedoman
Penulisan Karya Ilmiah Program
Studi Magister Ilmu
Administarasi.
Siagian, Sondang P. (2002), Kiat
Meningkatkan Produktivitas Kerja,
Jakarta: Rineka Jaya.
Siswanto, Bedjo, (2005), Manajemen
Tenaga Kerja, Bandung: Sinar
Baru.
Sugiyono, (2001), Metode Penelitian
Administrasi, Bandung : Alfabeta.
Sujana, (2005), Metode Statistika,
bandung : CV Tarsito.
Sujana, (2003), Teknik Analisis Regresi
dan Korelasi, Bandung: CV
Tarsito
Sukardi, (2007), Metodologi Penelitian
Pendidikan, Jakarta: PT Bumi
Aksara.
Supranto J. (2000), Statistik Teori dan
Aplikasi, Bandung : PT Gelora
Aksara.
Timple, Dale A, (2000), Seri
Kepemimpinan Manajemen
Sumber Daya Manusia, Jakarta:
PT Elex Media Komputindo.
Yulk Garry, (2005), Kepemimpinan
dalam Organisasi, Jakarta: PT
Yudeks.
Wahjosumijo, (2002), Kepemimpinan
Kepala Sekolah, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada
Wibowo, (2007), Manajemen Kinerja,
Jakarta: PT Raja Grapindo
Persada.
Winardi, J. (2001), Pemotivasian dalam
Manajemen, Jakarta: PT Raja
Grapindo Persada.
B. Sumber Lainnya
UUD Republik Indonesia 1945.
Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 20 Tahun 2003 edisi 2009,
Sistem Pendidikan Nasional,
Bandung, Depdiknas, Citra
Umbara.
Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 14 Tahun 2005 edisi 2009,
Tentang Guru dan Dosen,
Bandung, Depdiknas, Citra
Umbara.
Hernowo Narmodo, 2005, Pengaruh
Motivasi dan Disiplin Terhadap
Kinerja Pegawai Badan
Kepegawaian Daerah,
http.etd.eprins, ums.ac.id/6864/.
Rizal Aminudin, 2008, Pengaruh
Kompetensi dan Motivasi Kerja
Terhadap Kinerja Pegawai Dinas
Pendidikan Semarang,
http//etd.eprins,ums.ac.id/6816/.
Edisi April 2018
Sumantri
hal. 32 - 43
32
1. PENDAHULUAN
Bukan sekedar isu-isu belakangan
ini, akan tetapi disajikan banyak
peristiwa kejadian yang bahkan fakta dan
data-data serta dinamisasi politik dalam
Pemilihan Kepala Daerah Tahun 2018
sudah terasa. Pemungutan suara pada 27
Juni mendatang banyak dinilai sebagai
pemilu kecil, menuju persiapan Pemilu
besar 2019. Hal itu tidak berlebihan
pasalnya, menurut perhitungan
Kementerian Dalam Negeri, jumlah
pemilih pada pemilihan Kepala Daerah
2018 sekitar 85 persen dari pemilih yang
akan memberikan suaranya pada Pemilu
2019.
Menurut perhitungan Kementerian
Dalam Negeri (Kemendagri) tadi
memberikan gambaran pemilih Pilkada
serentak 2018 dan 2019. 85 Persen
pemilih Pemilu 2019 nanti merupakan
pemilih dari Pilkada serentak tahun ini.
Dirjen Otonomi Daerah (Otda)
Sumarsono mengatakan bahwa Pilkada
KETIDAKKONSISTENAN BERAGAMA DENGAN POLITIK
MEMILIH PEMIMPIN DI DAERAH
Sumantri
Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Dalam Negeri
Regional Yogyakarta
Abstract
Islamic political party as the object of discussion is a political party that
explicitly embodies the principle is Islam. However, in every Election it is
surprising that Islamic parties are incentive to vote for a faithful leader,
calling for symbols to Islamization. Even the issue of non-Islamic candidate's
rejection is called for supporters of political parties carrying an Islamic
platform or based on the mass of Islam. In Islam, all matters of mankind have
been poured and clear even the lawful and harampun though. As the guidance
of the ummah of Islam that Al-Quran and Hadits clearly guide the prohibition
of choosing non-Islamic leaders for both Muslim-majority and Muslim-
minority areas. This hadith shows how in a minority Islamic group, the
Prophet ordered a Muslim to choose and to appoint one of them as a leader.
Not because the party or nominated figure is not less close to the people, and
the lack of programs that touch the people and the pro-people policies. But
simply because it chooses not merely the affairs of the world but merely the
eyes due to the faith.
Keyword: religion, politic, faith
Edisi April 2018
Sumantri
33
serentak 2018 akan diselenggarakan di
171 daerah yang terdiri atas 17 provinsi,
115 kabupaten, dan 39 kota. "Bila
ditinjau dari persebaran kabupaten
kotanya, Pilkada serentak ini meliputi
penyelenggaraan di 31 provinsi. Dari
jumlah penduduk yang mengikuti
Pilkada serentak mengacu DP4 Pilkada
sebesar 160.756.143 pemilih atau
merupaan 85 persen dari prediksi jumlah
pemilih dalam pemilu 2019 mendatang,"
kata Sumarsono di Rakernas Pilkada
Serentak 2018, di Hotel Grand Sahid,
Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Pusat,
Selasa (20/2/2018).
Berdasarkan data Daftar Penduduk
Potensial Pemilih Pemilu (DP4), yang
diserahkan oleh Kemendagri, terdapat
160.756.143 penduduk Indonesia yang
saat ini memenuhi syarat sebagai calon
pemilih. KPU telah melakukan
sinkronisasi dengan data pemilih tetap
dari pemilu terakhir dan hasilnya
terdapat 163.346.802 pemilih. "Dari data
DP4 yang diserahkan Kemendagri itu
tidak ada keterangan berapa jumlah
penduduk yang datanya belum terekam
secara elektronik," ujar Viryan. Ketua
KPU RI Arief Budiman menyatakan
gerakan Coklit Serentak, yang dimulai
pada 20 Januari 2018, akan melibatkan
tenaga sebanyak 600 ribu orang lebih.
“KPU menargetkan 1.928.955 rumah
yang dicoklit serentak pada tanggal 20
Januari 2018 (hari pertama),” kata Arief
sebagaimana dilansir laman resmi KPU.
“Target minimal kita harus mampu
melampaui satu juta rumah, sehingga
mendapatkan lebih dari satu juta orang.”
Arief mencatat gerakan coklit serentak
tersebut dilaksanakan di 31 provinsi, 381
kabupaten/kota, 5.564 kecamatan dan
64.534 desa/kelurahan. KPU akan
menggerakkan 385.791 Petugas
Pemutakhiran Data Pemilih (PPDP) di
semua daerah yang menggelar Pilkada
Serentak 2018. Mereka akan dibantu oleh
223.482 orang dari KPU, KPU Provinsi,
KPU Kabupaten/Kota, Panitia Pemilih
Kecamatan (PPK) dan Panitia
Pemungutan Suara (PPS). Totalnya,
Coklit serentak ini melibatkan 609.273
petugas KPU. “KPU juga berkoordinasi
dengan tokoh-tokoh agama, organisasi,
dan budayawan. Mulai tanggal 20
Januari 2018 hingga berakhirnya masa
coklit, semua bergerak,” ujarnya.
Komisioner KPU RI Wahyu Setiawan
menambahkan para PPDP juga
mendapatkan tugas memberikan
sosialisasi dan pendidikan pemilih yang
berbasis keluarga. Metode sosialisasi itu
dilakukan oleh PPDP secara “door to
door” bersamaan dengan proses coklit.
Ditengah kondisi ini, pernyataan
Ketua KPK Agus Rahardjo tentang
banyak calon kepala daerah yang akan
ditetapkan sebagai tersangka korupsi
memunculkan fenomena baru. Apalagi,
pernyataan itu muncul di tengah ada
sejumlah kepala daerah yang juga peserta
Pilkada 2018 ditangkap KPK (Kompas,
Rabu 21 Maret 2018). Korupsi kolektif
yang melibatkan eksekutif dan legislative
di daerah sudah menjadi persoalan
berulang-ulang yang berdampak
terganggunya efektivitas
penyelenggaraan pemerintah daerah
kondisi ini membuat public menjadi
antipati. Seperti yang diberitakan baru-
baru ini komisi pemberantasan korupsi
(KPK), menetapkan 18 anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota
Malang dan Wali Kota Malang nonaktif
sebagai tersangka baru perkara dugaan
suap APBD Tahun 2015 Kota Malang.
Dua tersangka di antaranya calon wali
Edisi April 2018
Sumantri
34
kota dalam pemilihan Kepala Daerah
Kota Malang.
Dua Wakil Ketua DPRD Kota
Malang juga menjadi tersangka dalam
perkara ini, Dalam perkara ini dari 50
anggota DPRD Kota Malang, 18
diantaranya menjadi tersangka. Bukan
kali ini saja KPK menemukan korupsi di
dalam pembahasan APBD. Akhir
November 2017, KPK menetapkan
empat tersangka dalam dugaan suap
pembahasan APBD Propinsi Jambi. Satu
tersangka di antaranya anggota DPRD
Jambi. Kasus ini juga menyeret Gubernur
Jambi karena diduga menerima
gratifikasi sebesar Rp. 6 miliar terkait
dengan sejumlah proyek di Jambi.
Sebagaimana yang disampaikan Menteri
Dalam Negeri selama tiga tahun masa
pemerintahan Presiden Jokowi ini sudah
33 kepala daerah yang terjerat korupsi,
selama KPK ada sudah 351 kepala
daerah yang tertangkap belum lagi anak
dan istrinya memaparkan area rawan
korupsi meliputi belanja perjalanan
dinas, penyusunan anggaran, penerimaan
pajak dan retribusi daerah, pengadaan
barang dan jasa, jual beli jabatan dan
belanja hibah dan bansos.
Revisi Undang Undang Nomor 8
Tahun 2015 tentang Pilkada telah
disetujui DPR menjadi UU, yang
diharapkan bisa menjadikan pesta
demokrasi di daerah lebih baik. Namun
masih ada persoalan krusial yaitu
diperbolehkannya seorang tersangka
maju dalam Pilkada serentak. Aturan
boleh atau tidak seorang tersangka maju
dalam Pilkada tidak disebutkan secara
khusus dalam UU Pilkada, namun dalam
Pasal 7 ayat (2) huruf i hanya disebutkan
bahwa seseorang yang mencalonkan atau
dicalonkan sebagai kepala daerah tidak
pernah berbuat tercela yang dibuktikan
dengan surat keterangan catatan
kepolisian. Dalam penjelasan Pasal 7
ayat (2) huruf i disebutkan bahwa yang
dimaksud dengan melakukan perbuatan
tercela antara lain judi, mabuk,
pemakai/pengedar narkoba, berzina, dan
perbuatan melanggar kesusilaan.
Sementara itu dalam UU Pilkada itu
hanya melarang seorang terpidana yang
telah memiliki kekuatan hukum tetap,
maju dalam Pilkada. Aturan itu
disebutkan dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g
yang menyebutkan tidak pernah sebagai
terpidana berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap atau bagi mantan
terpidana telah secara terbuka dan jujur
mengemukakan kepada publik bahwa
yang bersangkutan mantan terpidana.
Revisi UU Pilkada ini merupakan usul
inisiatif pemerintah, namun dalam
drafnya tidak diubah terkait ketentuan
tersangka maju dalam Pilkada. Dalam
pembahasannya antara DPR-Pemerintah
ketentuan ini tidak diubah sehingga calon
kepala daerah berstatus tersangka
memungkinkan maju.
Menteri Dalam Negeri Tjahjo
Kumolo belum merencanakan mengubah
Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016
tentang Pemilihan Kepala Daerah
(Pilkada). Beberapa partai politik
mendesak pemerintah mengubah aturan
pencalonan terkait kasus calon kepala
daerah yang terjerat operasi tangkap
tangan (OTT) oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK).
Sejumlah lembaga survei menilai
tingkat kepercayaan masyarakat terhadap
partai politik di masa pemerintahan
Presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla
semakin buruk. Akibatnya, masyarakat
akan ogah memilih partai politik tanpa
figur tepercaya serta antikorupsi untuk
Edisi April 2018
Sumantri
35
membawa perubahan bagi daerah atau
negara. “Sebanyak 51,3 persen
masyarakat menilai politik buruk,” ujar
Direktur Eksekutif Indobarometer
Muhammad Qodari di Jakarta, Rabu, 22
Maret 2017. Survei dilakukan
menyambut 2,5 tahun pemerintahan
Jokowi-Kalla. Metode yang digunakan
adalah acak untuk menghitung 1.200
responden di 34 provinsi dengan angka
margin of error sekitar 3 persen. Selain
masalah politik, hasil sigi menyatakan
masyarakat puas atas kinerja Jokowi-
Kalla, tapi meminta perbaikan di sisi
ekonomi, terutama lapangan pekerjaan.
Qodari melanjutkan, masifnya
ketidakpercayaan itu juga berdampak
terhadap tingkat kedekatan masyarakat
kepada partai. Sebanyak 62,9 persen
masyarakat merasa tidak dekat dengan
partai. “Efeknya, masyarakat juga tidak
percaya kepada lembaga DPR,” ujarnya.
Peneliti dari Indobarometer, Hadi
Suprapto, menjelaskan, masyarakat
semakin tidak percaya kepada partai
karena banyak kader partai yang terjerat
kasus hukum, termasuk korupsi.
Direktur Program Saiful Mujani
Research and Consulting (SMRC)
Sirajuddin Abbas mengatakan
lembaganya juga pernah mengeluarkan
hasil serupa pada Oktober tahun lalu,
saat dua tahun pemerintahan Jokowi-
Kalla. Salah satu hasilnya, ucap dia,
tingkat kedekatan partai juga menurun.
“Dari di atas 10 persen menjadi tinggal 9
persen,” ucapnya. Akibatnya, kata
Sirajuddin, masyarakat ogah memilih
partai ataupun legislator jika kondisi
ketidakpercayaan tetap berlangsung
hingga pemilu legislatif 2019. Apalagi,
kata dia, ada gejala terbalik dari
masyarakat akibat pemilihan kepala
daerah yang menampilkan figur serta
ketokohan. Sirajuddin memprediksi
gejala ini akan menjalar ke pilpres karena
partai berimplikasi langsung kepada
setiap calon.
Ketua Dewan Pakar Partai Golkar
Agung Laksono membenarkan bahwa
tingkat kepercayaan terhadap partai
semakin buruk. Alasannya, ucap dia,
partai tidak bisa menampilkan
transparansi keuangan kepada
masyarakat. Partai, menurut dia, juga
masih lebih fokus mencari kekuasaan
dan kurang mempedulikan kepentingan
masyarakat, seperti meningkatkan
kesejahteraan dan pendidikan serta
menjamin kesehatan. “Kami akui ini,”
tuturnya. Begitu juga dengan DPR.
Menurut Agung, banyak faktor yang
menyebabkan masyarakat tidak percaya
kepada DPR, yang merupakan cerminan
partai. Selain karena ada kader yang
terseret kasus hukum, seperti korupsi,
ucap dia, produk undang-undang yang
merupakan pekerjaan DPR pun semakin
berkurang. Wakil Sekretaris Jenderal
Partai Demokrat Rachland Nashidik
mengatakan masalah ketidakpercayaan
masyarakat terhadap partai dari dulu
tidak pernah berubah. “Anggota Dewan
perlu ditingkatkan kualitasnya agar
kepercayaan publik lebih tinggi,” kata
dia. Politikus PDI Perjuangan, Maruarar
Sirait, mengatakan masalah ini terjadi
karena partai kurang memperhatikan
figur kader yang dicalonkan, kurang
dekat dengan rakyat, dan kurangnya
program yang menyentuh rakyat serta
kebijakan yang pro-masyarakat. “Ini
masalahnya dan harus diperbaiki,” ujar
anggota DPR ini. Ihwal lembaga DPR
yang buruk, kata dia, hal itu tidak
berubah dan konsisten ketidakbaikannya.
“Rakyat percaya figur dan kebijakan.”
Edisi April 2018
Sumantri
36
Tren menguatnya sentimen
keagamaan ini ternyata tak berlaku di
semua daerah. Pada Pilkada Serentak kali
ini, di Papua partai-partai Islam
mendukung calon nonmuslim di Pilkada
lebih menitikberatkan kepada semangat
Pancasila dan semangat Kebhinekaan.
Mengutip dari Wakil Ketua Majelis
Syuro Partai Keadilan Sejahtera (PKS)
Hidayat Nur Wahid menilai keberadaan
partai politik berbasis agama tak perlu
dipandang sebagai ancaman dalam
negara demokrasi, khususnya di
Indonesia. Apalagi, masyarakat
Indonesia juga dikenal sebagai
masyarakat yang menjunjung tinggi
nilai-nilai agama dalam kesehariannya.
"Seluruh kondisi ini menunjukan Islam
dan agama lainnya sesungguhnya tidak
menghadirkan hambatan apapun. Dan
secara konkrit mampu menghadirkan
kerja bersama komponen bangsa yang
lain," kata Hidayat dalam pidatonya di
Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas)
PKS di Hotel Bumiwiyata, Depok,
Selasa (7/3/2017). Hidayat
menambahkan, saat ini semua partai
politik (parpol) tunduk pada undang-
undang yang sama, yakni Undang-
undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang
Parpol. Oleh karena itu, ia menilai
semestinya masyarakat tidak lagi
mendikotomikan berdasarkan agama,
tetapi berdasarkan kinerja. "Maka dari
itu, kita semua wajib mengembangkan
Islam yang moderat. Kalau kata
Muhammadiyah ya Islam berkemajuan,
kalau kata Nahdlatul Ulama ya Islam
Nusantara.
Azyumardi Azra (2014 : 6)
mengemukakan bahwa dalam konteks
penggunaan simbol-simbol keagamaan,
orang dapat menyaksikan perbedaan di
antara kedua pasangan calon Presiden
dan calon Wakil Presiden dalam
deklarasi resmi masing-masing pada 19
Mei 2014. Deklarasi pasangan Jokowi –
JK terlihat tidak menampilkan nuansa
Islam secara spesial kecuali dengan
penggunaan salam khas
“assalamualaikum” ketika Jokwi
memberikan sambutan singkat.
Sebaliknya, deklarasi pasangan Prabowo
– Hatta dimulai dengan bacaan ayat-ayat
Al-Qur’an tentang umat Islam agar tidak
bercerai berai atau bersatu. Selain itu,
hampir sepanjang acara deklarasi
pasangan ini diwarnai teriakan takbir
Allahu Akbar. Dengan demikian,
simbolisme Islam terlihat begitu
menonjol dalam deklarasi pasangan
Prabowo – Hatta.
Berdasarkan latar belakang,
kondisi ideal yang ingin dicapai serta
data dan fakta yang sedang dihadapi
diatas, maka dapat ditarik beberapa
identifikasi permasalahan:
Tabel 1
Identifikasi Masalah NO PERMASA-
LAHAN
KONDISI
SAAT INI
KONDISI
YANG
DIINGIN-
KAN
SOLU-
SI
1 Ketidak
konsistenan partai
berbasis
Agama pengusung
Kepala
Daerah
Operasi
Tangkap Tangan
(OTT)
Kepala Daerah,
KKN
Kepala
Daerah yang
Amanah
Konsis
-tensi beraga-
ma
dengan sema-
ngat
Al-Quran
dan Al-
Hadits
2
Pemangku Agama
direkrut
sebagai agen politik
hanya
sesaat keampanye
Adanya peraturan
yang tetap
membolehkan seorang
tersangka
maju PILKADA,
Kepala Daerah
Ummat yang
paham
akan aturan
dan
petun-juk
agama
Edisi April 2018
Sumantri
37
NO PERMASA-
LAHAN
KONDISI
SAAT INI
KONDISI
YANG
DIINGIN-
KAN
SOLU-
SI
terpilih menjadi
tersangka
3 Dalam
kehidupan
politik sistem
Demokrasi
banyak disalahguna
kan
Ketidakper-
cayaan
rakyat kepada
Kepala
Daerahnya (khususnya
yang
berasal dari Parpol}
Dari
rakyat
oleh rakyat
dan
untuk rakyat
Sumber : Analisis, 2017.
Untuk menentukan masalah
prioritas dengan menggunakan kriteria
yang dapat digunakan untuk menyaring
prioritas masalah, maka penentuan
prioritas masalah dapat menggunakan
teori Kepner Tregoe dengan metode
USG, yaitu:
- U (Urgency): Kegawatan yaitu
besarnya dampak yang timbul
terhadap keselamatan jiwa
manusia/uang/produksi/harta
benda/reputasi baik individu maupun
organisasi
- S (Seriousness): mendesaknya yaitu
banyaknya waktu tersedia untuk
penanganan suatu masalah
- G (Growth): pertumbuhan yaitu
perkiraan bertambah buruknya suatu
keadaan dibandingkan dengan
sebelumnya/keadaan sekarang
Berdasarkan kriteria tersebut,
dapat digunakan untuk menyaring
prioritas masalah dengan membuat
matrik yang akan dibuat nilai/score pada
masing-masing masalah. Penilaian
terhadap kriteria ditentukan dengan
menggunakan skala 1 (satu) sampai
dengan angka 5 (lima) yang
menunjukkan besarnya pengaruh, yang
tiap angka tersebut memiliki pengertian :
1 = sangat kecil, 2 = kecil, 3 =
sedang/cukup, 4 = besar/tinggi, dan 5 =
sangat besar/tinggi. Penentuan skala pada
masing-masing kriteria untuk penentuan
diprioritaskan pada masalah tersebut
diangkat.
Tabel 2
Penentuan Kriteria Prioritas Masalah
No Situasi
Kriteria
Total
U S G
1 Dalam kehidupan
politik sistem
Demokrasi banyak
disalahgunakan
4 4 5 13
2 Pemangku Agama
direkrut sebagai agen
politik hanya sesaat
kampanye
4 3 4 11
3 Ketidak konsistenan
partai berbasis Agama
pengusung Kepala
Daerah
5 5 4 14
Sumber : Analisis, 2017.
Berdasarkan proses pentapisan
diatas yang didasarkan pada nilai total
tertinggi yaitu ketidakkonsistenan partai
berbasis Agama ataupun tidak pengusung
Kepala Daerah.
2. METODE PENELITIAN
Metodologi yang digunakan dalam
penulisan makalah ini adalah pendekatan
kualitatif. Dengan pendekatan ini penulis
ingin mengetahui realitas sosial, yaitu
melihat dunia dari apa adanya, bukan
dunia yang seharusnya. Oleh sebab itu,
dalam kaitannya dengan metode yang
digunakan, penulis berupaya untuk
bersikap open minded, artinya penulis
berpendapat bahwa apa yang menjadi
tulisannya adalah benar, namun penulis
Edisi April 2018
Sumantri
38
juga menyadari mungkin saja salah.
Maka, penulis akan menerima pendapat
atau opini dari para pembaca yang
berbeda pemikiran. Untuk ini penulis
mencoba mengutip pendapat tentang
penelitian kualitatif dari beberapa ahli.
1. Meleong
Mendefinisikan bahwa penelitian
kualitatif adalah suatu penelitian ilmian
yang bertujuan untuk memahami suatu
fenomena dalam kontek sosial secara
alamiah dengan mengedepankan proses
interaksi komunikasi yang mendalam
antara peneliti dengan fenomena yang
diteliti. (Herdiansyah, 2010:9).
2. Saryono
Penelitian kualitatif merupakan
penelitian yang digunakan untuk
menyelidiki, menemukan,
menggambarkan, dan menjelaskan
kualitas atau keistimewaan dari pengaruh
social yang tidak dapat dijelaskan,
diukur, atau digambarkan melalui
pendekatan kuantitatif. (Saryono, 2010:
1).
3. Sugiyono (2011: 15)
Penelitian kualitatif adalah metode
penelitian yang berlandaskan paa filsafat
pospositivisme, digunakan untuk
meneliti pada kondisi obyek yang
alamiah, (sebagai lawannya eksperimen)
dimana peneliti adalah sebagai
instrument kunci, pengambilan sampel,
sumber data dilakukan secara purposive
dan snowbaal, teknik pengu,pulamn
dengan trianggulasi (gabungan), analisis
data bersifat induktif/ kualitatif, dan hasil
penelitian kualitatif lebih menekankan
makna daripada generalisasi.
Teknik Pengumpulan Data:
1. Wawancara
2. Observasi
3. Dokumentasi
3. PEMBAHASAN
Dari Wikipedia bahasa Indonesia,
ensiklopedia bebas Pemerintah adalah
organisasi yang memiliki kekuasaan
untuk membuat dan menerapkan hukum
serta undang-undang di wilayah tertentu.
Daerah, dalam konteks pembagian
administratif di Indonesia, adalah
kesatuan masyarakat hukum yang
mempunyai batas-batas wilayah yang
berwenang mengatur dan mengurus
urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat menurut prakarsa
sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.
Daerah terdiri atas Provinsi, Kabupaten,
atau Kota. Sedangkan kecamatan, desa,
dan kelurahan tidaklah dianggap sebagai
suatu Daerah (daerah otonom). Daerah
dipimpin oleh Kepala Daerah
(gubernur/bupati/wali kota), dan
memiliki Pemerintahan Daerah serta
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Menurut Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah. Pemerintah Daerah adalah unsur
penyelenggara Pemerintahan Daerah
yang terdiri dari Gubernur, Bupati, atau
Wali Kota, dan perangkat daerah.
Pemerintah Daerah dapat berupa:
1. Pemerintah Daerah Provinsi
(Pemprov), yang terdiri atas Gubernur
dan Perangkat Daerah, yang meliputi
Sekretariat Daerah, Dinas Daerah, dan
Lembaga Teknis Daerah.
2. Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
(Pemkab/Pemkot) yang terdiri atas
Bupati/Walikota dan Perangkat
Daerah, yang meliputi Sekretariat
Daerah, Dinas Daerah, Lembaga
Edisi April 2018
Sumantri
39
Teknis Daerah, Kecamatan, dan
Kelurahan.
Gambar 1
Struktur Pemerintahan Daerah
Setiap daerah dipimpin oleh kepala
pemerintah daerah yang disebut kepala
daerah. Kepala daerah untuk provinsi
disebut gubernur, untuk kabupaten
disebut bupati dan untuk kota adalah wali
kota. Kepala daerah dibantu oleh satu
orang wakil kepala daerah, untuk
provinsi disebut wakil Gubernur, untuk
kabupaten disebut wakil bupati dan
untuk kota disebut wakil wali kota.
Kepala dan wakil kepala daerah memiliki
tugas, wewenang dan kewajiban serta
larangan. Kepala daerah juga mempunyai
kewajiban untuk memberikan laporan
penyelenggaraan pemerintahan daerah
kepada Pemerintah, dan memberikan
laporan keterangan pertanggungjawaban
kepada DPRD, serta menginformasikan
laporan penyelenggaraan pemerintahan
daerah kepada masyarakat.
Apabila kepala daerah berhenti
dalam masa jabatannya maka kepala
daerah diganti oleh wakil kepala daerah
sampai berakhir masa jabatannya dan
proses pelaksanaannya dilakukan
berdasarkan keputusan Rapat Paripurna
DPRD dan disahkan oleh Presiden.
Apabila terjadi kekosongan jabatan wakil
kepala daerah dalam masa jabatannya
dan sisa masa jabatannya lebih dari 18
(delapan belas) bulan, kepala daerah
mengusulkan 2 (dua) orang calon wakil
kepala daerah untuk dipilih oleh Rapat
Paripurna DPRD berdasarkan usul partai
politik atau gabungan partai politik yang
pasangan calonnya terpilih dalam
pemilihan kepala daerah dan wakil
kepala daerah. Dalam hal kepala daerah
dan wakil kepala daerah berhenti atau
diberhentikan secara bersamaan dalam
masa jabatannya, Rapat Paripurna DPRD
memutuskan dan menugaskan KPUD
untuk menyelenggarakan pemilihan
kepala daerah dan wakil kepala daerah
paling lambat 6 (enam) bulan terhitung
sejak ditetapkannya penjabat kepala
daerah. Secara sederhana kerangka pikir
makalah ini dapat di gambarkan sbb:
KONDISI SAAT INI
OTT Kepala Daerah, KKN
Calon Kepala Daerah
terpilih berstatus sebagai
tersangka
Adanya peraturan yang
tetap membolehkan seorang
tersangka maju PILKADA
Ketidakpercayaan rakyat
kepada Kepala Daerahnya
(khususnya yang berasal
dari Parpol}
GAP/ MASALAH
Ketidak konsistenan partai
berbasis Agama pengusung Kepala
Daerah
Pemangku Agama direkrut sebagai
agen politik hanya sesaat
kampanye
Dalam kehidupan politik sistem
Demokrasi banyak disalahgunakan
Edisi April 2018
Sumantri
40
Gambar 2
Kerangka Pemikiran
Partai politik berbasis Islam
sebagai objek pembahasan adalah partai
politik yang secara tegas mencatumkan
berbasis Islam. Sebagai ilustrasi dapat
pembaca lihat pada putaran pertama
pemilihan gubernur DKI Jakarta,
dimana sentimen keagamaan menyengat
kuat dalam hajatan Pemilihan Kepala
Daerah (Pilkada) Serentak 2017 di DKI
Jakarta. Isu penolakan kandidat
nonmuslim santer diserukan para
pendukung partai-partai politik yang
mengusung platform Islam atau berbasis
massa Islam. Partai-partai Islam gencar
menyerukan agar memilih pemimpin
yang seiman. Hal ini bisa dilihat dari
begitu banyaknya ayat dan hadits Nabi
Shalallahu „Alaihi Wassallam yang
membahas tentang ini. Hal ini bisa
dimengerti. Karena pemimpin
merupakan salah satu faktor yang sangat
besar pengaruhnya terhadap kehidupan
suatu masyarakat. Dalam agama Islam,
semua persoalan ummat manusia sudah
tertuang dan jelas bahkan yang halal dan
harampun sekalipun. Sebagai pegangan
ummat islam yaitu Al-Quran
Berikut ini ayat- ayat al-Quran
yang menunjukkan dengan jelas
larangan memilih pemimpin non islam
bagi wilayah yang mayoritas
penduduknya Muslim. Allah Subhanahu
Wata‟ala berfirman yang artinya:
“Janganlah orang-orang
mukmin mengambil orang-orang kafir
menjadi WALI (waly) pemimpin, teman
setia, pelindung) dengan meninggalkan
orang-orang mukmin. Barang siapa
berbuat demikian, niscaya lepaslah ia
dari pertolongan Allah, kecuali karena
(siasat) memelihara diri dari sesuatu
yang ditakuti dari mereka. Dan Allah
memperingatkan kamu terhadap diri
(siksa)-Nya, dan hanya kepada Allah
kamu kembali.” (QS: Ali Imron [3]: 28)
“Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu mengambil orang-orang
kafir menjadi WALI (pemimpin) dengan
meninggalkan orang-orang mukmin.
Apakah kami ingin mengadakan alasan
yang nyata bagi Allah (untuk
menyiksamu)?” (QS: An Nisa‟ [4]: 144)
“Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu mengambil
orang-orang yang membuat agamamu
jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu)
di antara orang-orang yang telah diberi
kitab sebelummu, dan orang-orang yang
kafir (orang-orang musyrik) sebagai
WALI (pemimpinmu). Dan bertakwalah
kepada Allah jika kamu betul-betul
orang-orang yang beriman.” (QS: Al-
Ma‟aidah [5]: 57)
“Hai orang-orang beriman,
janganlah kamu jadikan bapak-bapak
KONDISI YANG DIHARAPKAN
Kepala Daerah yang AMANAH
Edisi April 2018
Sumantri
41
dan saudara- saudaramu menjadi
WALI (pemimpin/pelindung) jika
mereka lebih mengutamakan kekafiran
atas keimanan, dan siapa di antara kamu
yang menjadikan mereka WALI, maka
mereka itulah orang-orang yang
zalim.” (QS: At-Taubah [9]: 23)
“Kamu tak akan mendapati kaum
yang beriman pada Allah dan hari
akhirat, saling berkasih-sayang dengan
orang-orang yang menentang Allah dan
rasul-Nya, sekali pun orang-orang itu
bapak-bapak, atau anak-anak atau
saudara-saudara atau pun keluarga
mereka. Mereka itulah orang-orang yang
telah menanamkan keimanan dalam hati
mereka dan menguatkan mereka dengan
pertolongan yang datang daripada- nya.
dan dimasukan-nya mereka ke dalam
surga yang mengalir di bawahnya
sungai-sungai, mereka kekal di
dalamnya. allah ridha terhadap mereka,
dan mereka pun merasa puas terhadap
(limpahan rahmat)-nya. mereka itulah
golongan allah. ketahuilah, bahwa
sesungguhnya hizbullah itu adalah
golongan yang beruntung.” (QS: Al
Mujaadalah [58] : 22)
“Kabarkanlah kepada orang-
orang MUNAFIQ bahwa mereka akan
mendapat siksaan yang pedih. (Yaitu)
orang-orang yang mengambil orang-
orang kafir menjadi WALI
(pemimpin/teman penolong) dengan
meninggalkan orang-orang mukmin.
Apakah mereka mencari kekuatan di sisi
orang kafir itu ? Maka sesungguhnya
semua kekuatan kepunyaan Allah.” (QS:
An-Nisa‟ [4]: 138-139) Lihat juga di
surat : QS. Al Maidah: 51, QS Al-
Maidah: 80-81, QS Al-Mumtahanah: 1
Begitu pula dengan Hadits, Nabi
Shalallahu „Alaihi Wassallam bersabda:
“Jika ada tiga orang bepergian,
hendaknya mereka mengangkat salah
seorang di antara mereka menjadi
pemimpinnya.” (HR Abu Dawud dari
Abu Hurairah).
Hadits sangat jelas memberikan
gambaran betapa Islam sangat
memandang penting persoalan memilih
pemimpin. Hadits ini memperlihatkan
bagaimana dalam sebuah kelompok
Muslim yang minoritaspun, Nabi
memerintahkan seorang Muslim agar
memilih dan mengangkat salah seorang
di antara mereka sebagai pemimpin.
Kembali pada pembahasan yang penulis
sajikan memilih pemimpin non islam
bagi ummat islam. Al-Quran telah
memberikan begitu banyak referensi dan
petunjuk bagi ummat islam agar
melarang memilih pemimpin yang non
islam ini. Memilih disini tidak sekedar
memberikan anjuran, ayat-ayat al-quran
disini disampaikan dengan bahasa
perintah dan larangan bahkan dengan
sanksi bagi yang melanggarnya. Ulama
salaf sepakat derajat ayat-ayat tentang
memilih pemimpin ini mutawattir
(disepakati), sehingga tidak muncul
pendapat yang berbeda jika ada yang
membolehkan memilih pemimpin non
Islam, sebagaimana yang terjadi saat ini
Edisi April 2018
Sumantri
42
oleh generasi muta‟akhirin, bukan dari
kalangan ulama salaf. Karena itu,
pemahaman demikian biasanya hanya
dipandang sebagai pemahaman
yang sontoloyo alias tidak konsisten
dan batil.
Dari pembahasan ini maka penulis
memandang perlu menerapkan amar
ma’ruf nahi munkar terkait dengan
konteks memilih pemimpin. Amar
ma’ruf nahi munkar upaya menegakkan
agama dan kemaslahatan di tengah-
tengah umat. Secara spesifik lebih
dititikberatkan pada antisipasi bencana
kemunkaran ummat yang lebih meluas.
Oleh itu partai-partai berasas Islam dan
berbasis ummat Islam di dalam memilih
calon pemimpin hendaknya sesuai yang
disyariatkan dalam al-quran dan hadits,
dan jangan membodohi ummat. Karena
memilih pemimpin itu tidak hanya
menyangkut persoalan duniawi saja,
akan tetapi menyangkut persoalan akidah
(ukhrowi). Karenanya, partai yang
berbasis asas islam dan memiliki basis
ummat islam harus tegas tidak semata-
mata hanya untuk kepentingan koalisi
partai yang bertujuan menang di
pemilihan, jika mereka benar-benar
mengaku orang yang beriman.
4. KESIMPULAN
Penulis memandang saatnya
partai-partai berbasis asas Islam
konsisten dengan asasnya dan tidak
membodohi ummat dengan symbol-
simbol Islam seyogyanya dalam memilih
pemimpin sesuai yang disyariatkan
dalam al-quran dan hadits. Karena
memilih pemimpin itu tidak hanya
menyangkut persoalan duniawi saja,
akan tetapi menyangkut persoalan akidah
(ukhrowi). Karenanya, partai yang
berbasis asas islam dan memiliki basis
ummat islam harus dengan tegas memilih
calon pemimpin yang Islam dan Islami,
tidak untuk kepentingan duniawi semata,
kepentingan koalisi partai yang bertujuan
menang di pemilihan, jika mereka benar-
benar mengaku orang yang beriman.
Agar memproleh pilihan kepala
daerah yang terbaik (Pilkada) yang
bersih, yang tidak ternodai dengan calon
kepala daerah dan partai politik
pengusung yang terlibat korupsi, yang
tertangkap karena operasi tangkap tangan
(OTT), maka diperlukan keberanian
merevisi ulang Undang-Undang (UU)
Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada
yang mengatakan meski telah berstatus
tersangka, para calon masih bebas
berlaga di bursa pilkada, dan
mendiskualifikasi.
5. REFERENSI
Al-Quran dan Hadits
Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang
perubahan Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintah Daerah
Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015
tetang penetapan peraturan
pemerintah pengganti undang-
undang nomor 1 tahun 2014
tentang pemilihan gubernur,
bupati, dan walikota menjadi
undang-undang.
Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016
tentang perubahan kedua atas UU
Nomor 1 Tahun 2015 tentang
penetapan peraturan pemerintah
pengganti UU Nomor 1 Tahun
2014 tentang pemilihan gubernur,
bupati, dan walikota menjadi
Undang-Undang.
Edisi April 2018
Sumantri
43
Undang-undang Nomor 2 Tahun 2011
tentang Parpol.
Syekh an-Nawawi al-Jawi, Tafsir Munir,
Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah,
2005, cetakan ketiga, jilid II,
halaman 59)
Herdiansyah, Haris. 2010. Metodologi
Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-
Ilmu Sosial.Jakarta: Salemba
Humanika
Saryono. 2010. Metodologi Penelitian
Kualitatif dalam Bidang
Kesehatan. Yogyakarta: Nuha
Medika.
Sugiyono. 2010. Metode Penelitian
Pendidikan Pendekatan Kuatitatif,
Kualitatif, dan R&D. Bandung:
Alfabeta.
Edisi April 2018
Irawati
hal. 44 - 56
44
1. PENDAHULUAN
Undang Undang Nomor 23 Tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah telah
mengamanatkan bahwa untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat
ditempuh melalui 3 (tiga) jalur, meliputi :
peningkatan pelayanan publik,
peningkatan peran serta dan
pemberdayaan masyarakat dan
peningkatan daya saing daerah. Uuntuk
mengemban misi dimaksud desa
memiliki kedudukan dan peranan yang
strategis sebagai unit organisasi
pemerintah yang langsung berhadapan
dengan masyarakat dengan segala latar
belakang kebutuhan dan kepentingannya.
Ada sebuah adagium yang mengatakan
bahwa: “Rule The Village and You Rule
The Country“, secara bebas
diterjemahkan bahwa Siapa dapat
menguasai atau memerintah desa, maka
dia akan dapat menguasai dan
memerintah negara.
Karena itu, Pemerintah Desa perlu
diberikan kewenangan yang memadai
untuk mengatur dan mengurus rumah
tangganya sendiri menuju terwujudnya
“Kemandirian Desa“. Konsep
kemandirian dalam konteks
EKSISTENSI BADAN USAHA MILIK DESA (BUMDes) DALAM
MEMBANGUN KEMANDIRIAN DESA
(Studi di Kabupaten Cilacap)
Erni Irawati
Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Daerah Provinsi Jawa Tengah
Abstract
This research is aimed to identify the existence of Village Owner Enterprise
(BUMDes) and analyze the implication of BUMDes in improving of village
independence in Cilacap regency. Qualitative descriptive methode was applied in this
research. The collection of data has conducted through out structured interviews,
observation and documentation.
The participation of village communities in economic development is one of factors
that contribute to resurrection and independence of rural economic. Rural
communities participation has already stipulated in the Village Law in the form of
BUMDes management. Based on research, BUMDes in Cilacap have not been
implemented significantly and need more communication and socialization to the
community in order to improve the understanding of existence of BUMDes in Cilacap
regency and improve village economic independency.
Keyword: participation, independence, village
Edisi April 2018
Irawati
45
pembangunan pedesaan bukan hanya
dilihat dari aspek kemauan dan
kemampuan rakyat pedesaan untuk
menggali dana dan potensinya sendiri
dalam membiayai kegiatan pemerintahan
dan pembangunan yang dibutuhkan oleh
masyarakat desa sendiri, namun juga
bagaimana desa mampu membangun
lembaga-lembaga ekonomi yang mandiri,
terstruktur dan berdaya saing.
Disahkannya Undang-undang
Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU
Desa) menjadi momentum penting bagi
desa. Melalui UU Desa, negara
memberikan pengakuan dan kepastian
hukum bagi keberadaan desa. Ada lima
perubahan mendasar dalam kepengaturan
desa pasca disahkannya UU desa antara
lain pengakuan terhadap keberagaman,
kewenangan desa, konsolidasi keuangan
dan aset, perencanaan yang terintegrasi,
serta demokratisasi di desa.
Pemerintahan Desa diharapkan dapat
menjadi mandiri secara sosial, budaya,
ekonomi dan politik. Sebagai satuan
politik terkecil pemerintahan, desa
memiliki posisi stategis sebagai pilar
pembangunan nasional.
Pada dasarnya desa memiliki
banyak potensi tidak hanya dari segi
jumlah penduduk, tetapi juga
ketersediaan sumber daya alam yang
melimpah. Jika kedua potensi ini bisa
dikelola dengan maksimal maka akan
memberikan kesejahteraan bagi
penduduk desa. Akan tetapi, disadari
bahwa selama ini pembangunan pada
tingkat desa masih memiliki banyak
kelemahan.
Diharapkan bahwa UU Desa dapat
menjadi perangkat regulasi yang legal
formal yang mengakui dan memberi
kewenangan kepada desa untuk mengatur
dan mengurus rumah tangganya
berdasarkan hak asal usul desanya, serta
mengakomodir potensi lokalnya yang
sangat multikulturalis. UU ini dapat
memberikan aura baru bagi
pembangunan desa yang lebih partisipatif
dan akomodatif dalam pencapaian
kemandirian dan kesejahteraan
masyarakat di tengah pengalaman
ketidakadilan, ketidakmerataan serta
kesenjangan dalam sejarah pembangunan
bangsa, khususnya dalam hubungan
antara desa dengan pemerintahan supra
desa, antara desa dengn masyarakat desa.
Kelemahan pembangunan pada
tingkat desa selama ini antara lain
disebabkan tidak hanya karena persoalan
sumber daya manusia yang kurang
berkualitas tetapi juga disebabkan karena
persoalan keuangan. Upaya pemerintah
terkait hal ini dilakukan melalui program
pembangunan desa yang salah satunya
adalah melalui Badan Usaha Milik Desa
(BUMDes), suatu upaya untuk
mendorong gerak ekonomi desa melalui
kewirausahaan desa, dimana
kewirausahaan desa menjadi strategi
dalam pengembangandan pertumbuhan
kesejahteraan.
Kewirausahaan desa ini dapat
diwadahi dalam Badan Usaha Milik Desa
(BUMDes) yang dikembangkan oleh
pemerintah maupun masyarakat desa.
BUMDes adalah badan usaha yang
seluruh atau sebagian besar modalnya
dimiliki oleh desa melalui penyertaan
langsung yang berasal dari kekayaan
desa yang dipisahkan guna mengelola
aset, jasa pelayanan, dan usaha lain untuk
sebesar-besarnya kesejahteraan
masyarakat desa (UU Nomor 32 Tahun
2004). Peluang ini semakin mendapatkan
angin segar menyusul keluarnya PP
Nomor 47 Tahun 2015 yang
menyebutkan bahwa desa mempunyai
Edisi April 2018
Irawati
46
wewenang untuk mengatur sumber daya
dan arah pembangunan. Ini sekaligus
membuka peluang desa untuk otonom
dalam pengelolaan baik kepemerintahan
maupun sumberdaya ekonominya.
Keberadaan kedua regulasi ini
penting mengingat meski telah ada UU
Nomor 6 Tahun 2014, implementasi
BUMDes belum sepenuhnya
dilaksanakan oleh seluruh desa yang ada
di Indonesia. Bahkan dalam
pelaksanaannya di beberapa daerah,
keberadaan BUMDes masih belum bisa
berjalan efektif dan mampu memberi
kontribusi bagi pembangunan dan
pemberdayaan masyarakat di desa
tersebut.
Gambar 1
Peta Problem Pengembagan BUMDesa
Hambatan lain adalah paradigm
dan restrukturisasi model hubungan
pembangunan ekonomi pada tingkat
pemerintahan local (kabupaten).
Pemerintah kabupaten sebagai daerah
yang diberi otonomi yang semakin
diperluas harus melakukan perubahan
mendasar pada pembagian fungsi dan
kewenangan, terutama dalam penataan
perimbangan keuangan atau
desentralisasi fiskal antara pemerintah
Kabupaten dan pemerintah desa. Desa
sebagai organisasi pemerintahan yang
terendah harus diberi kewenangan untuk
mengelola keuangannya sendiri, mulai
dari tahap perencanaan sampai
pengawasan dengan melibatkan
stakeholders di tingkat Desa, khususnya
Badan Permusyawaratan Desa (BPD)
dan organisasi masyarakat lainnya.
Transfer pengelolaan keuangan
yang lebih mandiri ini diharapkan dapat
memberikan keleluasaan kepada desa
untuk mengembangkan segala potensi
yang dimiliki, sekaligus membelajarkan
mereka untuk lebih mandiri dan belajar
mengelola sendiri keuangannya, yang
akan menghilangkan ketergantungan.
Selama ini BUMdes dihadapi
permasalahan dalam pengembangan
lembaga BUMDes itu sendiri, diantara
permasalahan yang sering muncul adalah
adanya iklim usaha belum kondusif;
keterbatasan informasi dan akses pasar;
rendahnya produktivitas (teknologi
rendah); keterbatasan modal; dan
rendahnya jiwa dan semangat
kewirausahaan masyarakat.
Menurut Permendes No 22/ 2016
tentang Penetapan Prioritas Penggunaan
Dana Desa Tahun 2017, disebutkan
bahwa penggunaan dana desa dalam
mendukung pengembangan usaha
ekonomi desa, terdapat tiga aspek
penting penggunaan dana desauntuk
pengembangan BUMDes tersebut, yaitu:
Permodalan; Pelatihan Keterampilan dan
Kewirausahaan; dan Pengembangan
Alat dan Sarana Produksi.
Salah satu strategi untuk
menanggulangi keterbatasan dalam
Edisi April 2018
Irawati
47
perekonomian pedesaan adalah
mewujudkan kewirausahaan desa dimana
sumber daya dan fasilitas yang
disediakan secara spontan oleh
komunitas masyarakat desa untuk
merubah kondisi sosial pedesaan.
Terbitnya UU Nomor 6 Tahun 2014 dan
terbitnya PP Nomor 47 Tahun 2015
menghendaki adanya desa yang mandiri
dan otonom dalam pengelolaan sumber
daya yang dimilikinya dimana BUMDes
diharapkan berperan dalam peningkatan
perekonomian pedesaan. Di sisi lain,
desa memiliki keterbatasan. Dalam hal
ini, modal sosial desa lebih besar
daripada modal ekonomi. Berdasarkan
hal tersebut, perlu kiranya pengkajian
mengenai eksistensi BUMDes dalam
membangun kemandirian desa.dimana
BUMDes sebagai lembaga legal dalam
mengembangkan usaha dan
perekonomian masyarakat lokal (desa),
diharapkan dapat meningkatkan
kemandirian dan kapasitas desa beserta
masyarakatnya dalam penguatan
perekonomian masyarakat desa.
2. KAJIAN LITERATUR
Desa adalah desa dan desa adat
atau yang disebut dengan nama lain,
selanjutnya disebut Desa, adalah
kesatuan masyarakat hukum yang
memiliki batas wilayah yang berwenang
untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan, kepentingan masyarakat
berdasarkan prakarsa masyarakat, hak
asal usul, dan/atau hak tradisional yang
diakui dan dihormati dalam system
pemerintahan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Sebagai satuan politik terkecil
pemerintahan, desa memiliki posisi
stategis sebagai pilar pembangunan
nasional. Desa memiliki banyak potensi
tidak hanya dari segi jumlah penduduk,
tetapi juga ketersediaan sumber daya
alam yang melimpah. Jika kedua potensi
ini bisa dikelola dengan maksimal maka
akan memberikan kesejahteraan bagi
penduduk desa. Akan tetapi, disadari
bahwa selama ini pembangunan pada
tingkat desa masih memiliki banyak
kelemahan.
Kelemahan pembangunan pada
tingkat desa antara lain disebabkan tidak
hanya karena persoalan sumber daya
manusia yang kurang berkualitas tetapi
juga disebabkan karena persoalan
keuangan. Berbagai upaya telah
dilakukan pemerintah dengan
menggelontorkan berbagai dana untuk
program pembangunan desa yang salah
satunya adalah melalui Badan Usaha
Milik Desa (BUMDes).
BUMDes merupakan Institusi
ekonomi di tingkat desa yang dimiliki
oleh pemerintah (masyarakat) desa
sebagai sarana peningkatan kesejahteraan
masyarakat. Permendagri Nomor 7 tahun
2010 meniscayakan kehadiran
BUMDES sebagai sentra pengembangan
program ekonomi masyarakat dengan
mengedepankan prinsip keterbukaan,
partisipasi dan bertanggung-gugat
terhadap masyarakat.
BUMDES sendiri jika ditelisik
dalam sudut pandang yang artifisial
boleh jadi dianggap sebagai turunan
konsep perusahaan Negara (stated
corporate) yang berfungsi
mengakumulasikan keuntungan progresif
bagi pemasukan pos pendapatan Negara.
BUMN sebagai perusahaan Negara
selama puluhan tahun memegang hak
monopoli dan konsesi ekonomi sesuai
kavling ekonomi yang dijalankan.
Edisi April 2018
Irawati
48
Namun akankah BUMDES secara
positioning dan politik akan berfungsi
seolah sebagai “BUMN”-nya
Pemerintah Desa? Ataukah BUMDES
sekadar sebagai lembaga ekonomi baru
ditingkat desa yang memiliki akses dan
asset atas modal berlimpah, yang
menjadi pesaing unit usaha ekonomi
rakyat yang telah lebih dahulu eksis?
Menyoal BUMDES, tidaklah bisa
hanya dibaca dari pemahaman legal
formal seperti “dasar hukum” semacam
Permendagri semata, namun haruslah
dibedah dalam kajian teori ekonomi
politik konstitusi. Teori ekonomi politik
konstitusi dalam konsepsi Ichsanudin
Noersy, adalah teori ekonomi yang
berpijak kepada amanat pasal 33 UUD
45 dan sila keadilan sosial. Teori
ekonomi konstitusi selama puluhan tahun
diabaikan dan sekadar dijadikan bahan
hafalan pelajaran di sekolah dan bangku
kuliah. Namun praktek operatif ekonomi
negara bercorak kapitalistik dan kini
semakin built-in dengan arus globalisasi
neoliberal. Globalisasi yang mendasari
pada filosofi ekonomi yang berpihak
kepada kepentingan pasar dengan
dogmanya adalah: privatisasi, liberalisasi
dan eliminasi intervensi negara.
Dengan fenomena di atas
dibutuhkan dua pendekatan antara lain
adalah bahwa kebutuhan masyarakat
dalam melakukan upaya perubahan dan
mencegah hal-hal yang tidak diinginkan,
serta political will dan kemampuan
pemerintah desa bersama masyarakat
dalam mengimplementasikan
perencanaan pembangunan yang sudah
disusun. Salah satu upaya yang bisa
dilakukan adalah dengan mendorong
gerak ekonomi desa melalu
kewirausahaan desa, dimana
kewirausahaan desa menjadi strategi
dalam pengembangan dan pertumbuhan
kesejahteraan. Kewirausahaan desa ini
dapat diwadahi dalam BUMDes yang
dikembangkan oleh pemerintah maupun
masyarakat desa.
BUMDes adalah badan usaha yang
seluruh atau sebagian besar modalnya
dimiliki oleh desa melalui penyertaan
langsung yang berasal dari kekayaan
desa yang dipisahkan guna mengelola
aset, jasa pelayanan, dan usaha lain untuk
sebesar-besarnya kesejahteraan
masyarakat desa (UU Nomor 32 Tahun
2004). Hal tersebut semakin didukung
oleh pemerintah dengan keluarnya PP
Nomor 47 Tahun 2015 yang
menyebutkan bahwa desa mempunya
wewenang untuk mengatur sumber daya
dan arah pembangunan. Hal tersebut
membuka peluang desa untuk otonom
dalam pengelolaan baik kepemerintahan
maupun sumber daya ekonominya.
Namun ada tiga posisi dan fungsi
BUMDes yang boleh jadi nanti akan
“termengejawantahkan” dalam praktik di
lapangan, jika hal tersebut tidak diatur
dengan tegas dalam produk regulasi di
daerah: Pertama, BUMDes menjadi
seperti States Trading Enterprises (STE),
yakni perusahaan negara—-perusahaan
milik pemerintah daerah//desa—-yang
memegang hak monopoli atas produksi,
distribusi produk yang dihasilkan dari
usaha ekonomi rakyat. BUMDes boleh
jadi dengan modal yang disuntik secara
revgulee akan mematikan potensi
ekonomi masyarakat.
Kedua, BUMDes menjadi sekadar
sebagai Corporated Beaurecratic atau
sebagai Lembaga ekonomi yang
berfungsi menjadi kanal masuk-
keluarnya dana bantuan dari pemerintah
pusat/provinsi/kota/kabupaten untuk
dikelola menjadi proyek “pembangunan”
Edisi April 2018
Irawati
49
ditingkat desa. BUMDes menjadi
eksekutor dari proyek pembangunan
yang bersifat top down. Dalam hal ini
BUMDes akan memiliki otoritas, untuk
mengakuisisi berbagai unit usaha
ekonomi yang semula telah established.
Atau menjadi lembaga payung bagi
implementasi program-program ekonomi
pemerintah di lingkup desa.
Ketiga, BUMDes menjadi
lokomotif ekonomi masyarakat yang
partisipatif. BUMDes yang dikelola
secara professional dan diletakkan
sebagai unit ekonomi desa multisektor
akan mendorong laju progresifitas
ekonomi masyarakat. BUMDes akan
mendesakkan prinsip kemandirian
ekonomi masyarakat. Dengan catatan
kaki, BUMDes berhasil menjadi
perusahaan “rakyat” yang professional,
akuntabel dan tidak memprivatisasi diri
untuk kepentingan sekelompok
pemegang kekuasaan.
Sebagai unit terkecil dari negara,
desa secara riil langsung menyentuh
kebutuhan masyarakat. Indonesia
memiliki 74.093 desa (BPS, 2013),
dimana lebih dari 32 ribu desa masuk
dalam kategori desa tertinggal
(Susetiawan, 2011). Salah satu strategi
untuk menanggulangi halini adalah
mewujudkan kewirausahaan desa dimana
sumber daya dan fasilitas yang
disediakan secara spontan oleh
komunitas masyarakat desa untuk
merubah kondisi sosisal pedesaan
(Ansari, 2013).
Terbitnya UU Nomor 6 Tahun
2014 dan terbitnya PP Nomor 47 Tahun
2015 menghendaki adanya desa yang
mandiri dan otonom dalam pengelolaan
sumber daya yang dimilikinya dimana
BUMDes diharapkan berperan dalam
peningkatan perekonomian pedesaan
(Prabowo, 2014). Di sisi lain, desa
memiliki keterbatasan. Dalam hal ini,
modal social desa lebih besar daripada
modal ekonomi. Modal sosial yang
dimaksud adalah ikatan sosial, jembatan
sosial, dan jaringan sosial. Modal sosial
ini bersifat parokial (terbatas) menjadi
modal sosial yang paling dangkal dan
tidak mampu memfasilitasi
pembangunan ekonomi (Eko et al. 2014).
Menurut Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 39 Tahun 2010, BUMDes
merupakan usaha desa yang
dibentuk/didirikan oleh pemerintah desa
dimana kepemilikan modal dan
pengelolaannya dilaksanakan oleh
pemerintah desa dan masyarakat. Tujuan
dari dibentuknya BUMDes merupakan
upaya pemerintah untuk meningkatkan
kemampuan keuangan pemerintah desa
dalam penyelenggaraan pemerintahan
dan meningkatkan pendapatan
masyarakat melalui berbagai kegiatan
usaha ekonomi masyarakat perdesaan.
Keberadaan BUMDes ini juga
diperkuat oleh UU Nomor 6 Tahun 2014
yang dibahas dalam BAB X pasal 87-90
antara lain menyebutkan bahwa
pendirian BUMDes disepakati melalui
musyawarah desa dan dikelola dengan
semangat kekeluargaan dan
kegotongroyongan. Badan Usaha Milik
Desa (BUMDes) sebagai lembaga usaha
desa yang dikelola oleh masyarakat dan
pemerintahan desa dalam upaya
memperkuat perekonomian desa dan
dibentuk berdasarkan kebutuhan dan
potensi desa.
BUMDes menurut Undang-undang
nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah didirikan antara
lain dalam rangka peningkatan
Pendapatan Asli Desa (PADesa). Lebih
lanjut, sebagai salah satu lembaga
Edisi April 2018
Irawati
50
ekonomi yang beroperasi dipedesaan,
BUMDes harus memiliki perbedaan
dengan lembaga ekonomi pada
umumnya. Ini dimaksudkan agar
keberadaan dan kinerja BUMDes mampu
memberikan kontribusi yang signifikan
terhadap peningkatan kesejahteraan
warga desa. Disamping itu, supaya tidak
berkembang sistem usaha kapitalistis di
pedesaan yang dapat mengakibatkan
terganggunya nilai-nilai kehidupan
bermasyarakat.
Jenis usaha yang dikelola oleh
BUMDes telah diatur di dalam peraturan
menteri meliputi jasa, penyaluran
sembilan bahan pokok, perdagangan
hasil pertanian, dan atau industri kecil
dan rumah tangga dan dapat
dikembangkan sesuai dengan kebutuhan
potensi desa. Dari berbagai usaha yang
dilakukan oleh BUMDes ini diharapkan
nantinya dapat dimanfaatkan untuk
pengembangan usaha, pembangunan
desa, pemberdayaan masyarakat desa,
dan pemberian bantuan untuk masyarakat
miskin melalui hibah, bantuan sosial, dan
kegiatan dana bergulir yang ditetapkan
dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja
Desa.
Dalam melakukan pemilihan jenis
usaha BUMDes ada 3 (tiga) aspek yang
menjadi pertimbangan yaitu; pertama,
adanya sumberdaya yang mempunyai
potensi prospektif secara ekonomi.
Keberadaan BUMDes setidaknya mampu
menyerap tenaga kerja produktif dan
potensial yang ada di desa. Jika dirasa
perlu BUMDes dapat mengadakan
pelatihan dan pembinaan yang bertujuan
memberikan pembekalan keterampilan
dan pengetahuan kepada penduduk desa.
Kegiatan ini selain bermafaat bagi
pengembangan BUMDes juga menjadi
upaya peningkatan kualitas sumber daya
masyarakat desa yang umumnya masih
terbelakang. Daya dukung sumber daya
manusia pada pengembangan usaha
BUMDes menjadi tolok ukur
keberhasilan BUMDes itu sendiri, sebab
keberadaan BUMDes dan
keberhasilannya diukur dari seberapa
perubahan yang mampu dihadirkannya
dalam kegiatan pengelolaan ekonomi di
desa.
Kedua, usaha yang dikembangkan
memenuhi kualifikasi
kelayakan.Kelayakan usaha yang akan
dilaksanakan menjadi tolok ukur yang
harus menjadi pertimbangan bagi
BUMDes dalam memilih jenis usaha
yang akan dikembangkan. Kelayakan ini
terkait dengan peluang pasar dari usaha
yang akan dikembangkan, adanya
kebutuhan pasar yang besar merupakan
indikator seberapa menjanjikannya usaha
yang akan dikembangkan oleh BUMDes.
Meski BUMDes memiliki fungsi sosial
namun tingkat perolehan pendapatan
yang diperoleh dari usaha yang
dilakukan merupakan komponen
pendukung peningkatan kesejahteraan
masyarakat desa dimana BUMDes itu
berdiri.
Ketiga, usaha ekonomi yang
mememenuhi kepentingan hajat hidup
orang banyak.BUMDes bukan
merupakan kapitalisasi usaha yang ada di
desa, oleh sebab itu peran BUMDes
adalah mencegah hal tersebut terjadi.
Dengan penguasaan sector ekonomi yang
menguasai hajat hidup orang banyak
menjadi upaya perlindungan dan
keterjaminan social masyarakat desa itu
sendiri. Lebih bagus, adalah
mengembangkan usaha ekonomi yang
telah ada yang dikelola oleh pemerintah
desa atau masyarakat berasal dari
program pemerintah.
Edisi April 2018
Irawati
51
BUMDes merupakan pilar
kegiatan ekonomi di desa yang berfungsi
sebagai lembaga sosial (social
institution) dan komersial (commercial
institution). BUMDes sebagai lembaga
sosial berpihak kepada kepentingan
masyarakat melalui kontribusinya dalam
penyediaan pelayanan sosial. Sedangkan
sebagai lembaga komersial bertujuan
mencari keuntungan melalui penawaran
sumberdaya lokal (barang dan jasa) ke
pasar.
Dalam menjalankan usahanya
prinsip efisiensi dan efektifitas harus
selalu ditekankan. BUMDes sebagai
badan hukum, dibentuk berdasarkan tata
perundang-undangan yang berlaku, dan
sesuai dengan kesepakatan yang
terbangun di masyarakat desa. Bentuk
BUMDes dapat beragam di setiap desa di
Indonesia. Ragam bentuk ini sesuai
dengan karakteristik lokal, potensi, dan
sumberdaya yang dimiliki masing-
masing desa.
Pendirian BUMDes antara lain
dalam rangka peningkatan Pendapatan
Asli Desa (PADesa). Oleh karena itu,
setiap Pemerintah Desa dapat mendirikan
Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).
Namun penting disadari bahwa BUMDes
didirikan atas prakarsa masyarakat
didasarkan pada potensi yang dapat
dikembangkan dengan menggunakan
sumberdaya lokal dan terdapat
permintaan pasar.
Pengembangan BUMDesa harus
didorong dengan menggunakan konsep
atau pendekatan ekonomi kreatif, berarti
mampu menghasilkan atau menciptakan
sesuatu yang unik, thinking out of the
box, invention dan innovation. Ekonomi
kreatif merupakan era baru yang
mengintensifkan informasi dan
kreativitas dengan mengandalkan ide dan
stock of knowledge dari sumber daya
manusia sebagai faktor produksi utama
dalam kegiatan ekonominya.
Dengan Ekonomi kreatif akan
menciptakan nilai tambah secara
ekonomi dan nilai tambah sosial dan
budaya.Tugas dan peran Pemerintah
adalah melakukan sosialisasi dan
penyadaran kepada masyarakat desa
melalui pemerintah provinsi dan/atau
pemerintah kabupaten tentang arti
penting BUMDes bagi peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Melalui
pemerintah desa masyarakat dimotivasi,
disadarkan dan dipersiapkan untuk
membangun kehidupannya sendiri.
Pemerintah memfasilitasi dalam bentuk
pendidikan dan pelatihan dan pemenuhan
lainnya yang dapat memperlancar
pendirian BUMDes.
Mekanisme operasionalisasi
diserahkan sepenuhnya kepada
masyarakat desa. Masyarakat desa perlu
dipersiapkan terlebih dahulu agar dapat
menerima gagasan baru tentang lembaga
ekonomi yang memiliki dua fungsi yakni
bersifat sosial dan komersial. Dengan
tetap berpegang teguh pada karakteristik
desa dan nilai-nilai yang hidup dan
dihormati. Persiapan yang dimaksud
adalah sosialisasi, pendidikan, dan
pelatihan kepada pihak yang
berkepentingan terhadap standar hidup
masyarakat desa.
Melalui cara demikian diharapkan
keberadaan BUMDes mampu
mendorong dinamisasi kehidupan
ekonomi di pedesaan. Peran pemerintah
desa adalah membangun relasi dengan
masyarakat untuk mewujudkan
pemenuhan standar pelayanan minimal
(SPM), sebagai bagian dari upaya
pengembangan komunitas (community
development) desa yang lebih baik.
Edisi April 2018
Irawati
52
3. METODE PENELITIAN
Pendekatan penelitian yang
digunakan adalah deskriptif kualitatif.
Menurut Moleong (2009) mendefinisikan
bahwa penelitian kualitatif sebagai
penelitian yang berusaha memahami
fenomena yang dialami subyek penelitian
secara holistic dan deskripsi dalam
bentuk kata-kata serta bahasa pada suatu
konteks khusus yang alamiah dan dengan
memanfaatkan berbagai metode ilmiah.
Menurut Nana Syaodih
Sukmadinata (2011: 73), penelitian
deskriptif kualitatif ditujukan untuk
mendeskripsikan dan menggambarkan
fenomena-fenomena yang ada, baik
bersifat alamiah maupun rekayasa
manusia, yang lebih memperhatikan
mengenai karakteristik, kualitas,
keterkaitan antar kegiatan. Metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah
study kasus dengan terkonsentrasi pada
satu kasus tertentu dan mendalami apa
yang menarik pada kasus tersebut.
A. Metode Pengumpulan Data
Data yang akan digunakan dalam
penelitian kualitatif ini dikumpulkan
dengan menggunakan metode
wawancara tidak berstruktur. Wawancara
di maksudkan agar bisa mengungkapkan
secara mendalam dan detiail tentang apa
di balik fenomena yang ada dan
mengeksplorasi isu kompleks secara
mendalam. Observasi Lapangan dengan
cara mengamati dan mengecek
kebenaran informasi yang diberikan oleh
informan. Dokumentasi merupakan
catatan yangtelah lalu berupa gambar,
tulisan, karya monumental dari seseorang
Sugiyono (2013:240) Lokasi penelitian
dilaksanakan di Kabupaten Cilacap
dengan jumlah BUMDes keseluruhan
terdata 46 ( empat puluh enam)
BUMDes, 24 aktif, 22 kurang dan atau
tidak aktif (Dispermades, 2017).
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Kabupaten Cilacap merupakan
daerah terluas di Jawa Tengah, dengan
batas wilayah sebelah selatan Samudra
Indonesia, sebelah utara berbatasan
dengan Kabupaten Banyumas,
Kabupaten Brebes dan Kabupaten
Kuningan Propinsi Jawa Barat sebelah
timur berbatasan dengan Kabupaten
Kebumen dan sebelah barat berbatasan
dengan Kabupaten Ciamis Ciamis dan
Kota Banjar Propinsi Jawa Barat.
Terletak diantara 10804-300 -
1090 300 300 garis Bujur Timur dan
70300 - 70450200 garis Lintang Selatan,
mempunyai luas wilayah 225.360,840
Ha, yang terbagi menjadi 24 Kecamatan
269 desa dan 15 Kelurahan.
Wilayah tertinggi adalah
Kecamatan Dayeuhluhur dengan
ketinggian 198 m dari permukaan laut
dan wilayah terendah adalah Kecamatan
Cilacap Tengah dengan ketinggian 6 m
dari permukaan laut. Jarak terjauh dari
barat ke timur 152 km dari Kecamatan
Dayeuhluhur ke Kecamatan Nusawungu
dan dari utara ke selatan sepanjang 35
km yaitu dari Kecamatan Cilacap Selatan
ke Kecamatan Sampang.
Visi Pemerintah Kabupaten
Cilacap sesuai RPJMD (Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah)
Kabupaten Cilacap Tahun 2012-2017
adalah "Menjadi Kabupaten Cilacap yang
Sejahtera secara Merata”. Untuk
mewujudkan visi tersebut, Pemerintah
Kabupaten Cilacap merumuskan 6
(enam) misi, sebagai berikut:
Edisi April 2018
Irawati
53
1. Pengembangan Sumber Daya
Manusia Berkualitas dan Bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa
2. Perwujudan Demokratisasi dan
Peningkatan Kualitas Penyelenggara
Pemerintahan yang Bersifat
Entrepreneur, Profesionaldan
Dinamis Mengedepankan Prinsip
Good Governance dan Clean
Government
3. Peningkatan dan Perbaikan Layanan
Pendidikan dan Pelatihan,
Peningkatan Derajat Kesehatan
Individu dan Masyarakat
4. Pengembangan Perekonomian yang
Bertumpu pada Pengembangan
Potensi Lokal dan Regional Melalui
Sinergi Fungsi-Fungsi Pertanian,
Kelautan dan Perikanan, Pariwisata,
Perdagangan, Industri dan dengan
Penekanan pada Peningkatan
Pendapatan Masyarakat dan
Penciptaan Lapangan Kerja
5. Pemberdayaan Masyarakat dan
Seluruh Kekuatan Ekonomi Daerah,
Terutama Usaha Mikro Kecil dan
Menengah (UMKM) serta Koperasi,
Membangun dan Mengembangkan
Pasar bagi Produk Lokal
6. Pemerataan dan Keseimbangan
Pembangunan Secara Berkelanjutan
Untuk Mengurangi Kesenjangan
Antar Wilayah dengan Tetap
Memperhatikan Aspek Lingkungan
Hidup dalam Pemanfaatan
Sumberdaya Alam Secara Rasional,
Efektif dan Efisien
Untuk meningkatkan
perekonomian, Pemerintah Kabupaten
Cilacap melalui Dinas Pemberdayaan
Masyarakat Desa (Dispermades)
Kabupaten Cilacap khususnya gencar
mendorong kepada pemerintah desa
untuk membentuk badan usaha milik
desa (BUMDes). Saat ini geliat
pembentukan BUMDes sudah muncul.
Hal itu terlihat dari banyaknya badan
usaha tersebut di sejumlah desa. Namun
jumlahnya belum sebanding dengan
banyaknya desa di Kabupaten
Cilacap.Pemkab Cilacap melalui Dinas
Pemberdayaan Masyarakat
Desa(Dispermades) mendorong kepada
masing-masing desa untuk membentuk
Badan Usaha Milik Desa (BUMDes)
guna mengembangkan potensi dimasing-
masing wilayah.
Pada tahun 2017 ditargetkan ada
100 desa yang memiliki BUMDes dari
269 desa yang ada di Cilacap. Namun
hingga saat ini baru ada sebanyak 46
desa yang memiliki BUMDes.
Berdasarkan informasi dari hasil
wawancara beberapa pejabat dan
pelaksana pada Dispermades maupun
informan di desa tempat
penyelenggaraan BUMDes, beberapa
Desa yang telah memiliki BUMDes
belum membuat Peraturan Desa
mengenai BUMDesa tersebut. Padahal
Dalam pasal 88 ayat (1) dan (2) Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang
Desa disebutkan bahwa pendirian BUM
Desa disepakati melalui Musyawarah
Desa dan ditetapkan dengan Peraturan
Desa.
Ketentuan ini menegaskan bahwa
satu-satunya landasan hukum yang
mengikat dan berlaku dalam pendirian
BUM Desa adalah melalui penerbitan
Peraturan Desa, sehingga pembuatan
Perdes tersebut penting dilakukan.
Banyak manfaat yang diperoleh dari
pembuatan badan usaha di tingkat desa
tersebut. Salah satu di antaranya adalah
meningkatkan potensi-potensi ekonomi
wilayah. Setiap desa memiliki potensi-
Edisi April 2018
Irawati
54
potensi yang beragam. Karena itu setiap
desa dapat mendirikan BUMDes.
Banyaknya potensi ekonomi di masing-
masing wilayah terlihat dari desa-desa
yang sudah membentuk badan usaha
tersebut.
Keberadaan BUMDes di
Kabupaten Cilacap cukup kuat di
beberapa desa dengan adanya dukungan
dari masyarakat, pengelola dan
pemerintah di tingkat desa maupun
pemerintah kabupaten pada umumnya.
Pembentukan BUMDes memang tidak
mudah, karena mereka harus mulai dari
perencanaan, pembuatan aturan
BUMDes. Selain itu juga sistem
manajemennya akan dikelola oleh
masyarakat desa sendiri.
Contoh keberhasilan BUMDes di
Kabupaten Cilacap diantaranya adalah:
1. BUMDes Karangkandri Sejahtera
Desa Karangkandri, Kecamatan
Kesugihan Cilacap memanfaatkan
keberadaan Pembangkit Listrik
Tenaga Uap sebagai peluang usaha.
Desa ini lalu mendirikan BUMDes
dengan unit usaha suplier berbagai
kebutuhan untuk PLTU. BUMDes
Karangkandri Sejahtera menyuplai
batu bolder yang dibutuhkan PLTU.
Hasilnya, dana yang sudah masuk ke
BUMDes ini mencapai Rp. 7 milyar.
Besarnya profit yang diciptakan
BUMDes ini membuat BUMDes ini
mendapatkan sebutan BUMDes
terbaik di Jawa.
2. BUMDes Cipta Mandiri adalah salah
satu BUMDes di Desa Hanum,
Kecamatan Dayeuhluhur, Kabupaten
Cilacap. BUMDes ini memiliki
prestasi yang patut dibanggakan dan
dijadikan inspirasi bagi BUMDes
lain. BUMDes yang resmi berdiri
pada Maret 2017 ini menjalankan
berbagai usaha, mulai dari
perdagangan, penyewaan (tratag, alat
pesta dan pernikahan, stemper molen,
mesin kontruksi, hingga traktor dan
alat pertanian), pertanian, hingga
pelayanan jasa pembayaran fotocopy.
Tidak berhenti sampai disitu, tahun
ini BUMDes Cipta Mandiri juga akan
membuka unit usaha baru berupa
Bumdesamart dan Wisata Edukasi
Pertanian.
Salah satu usaha yang membawa
manfaat besar adalah usaha bidang
pertanian, dengan produk-produk
unggulan hasil pertanian seperti gula
aren dan cabe merah. Keberhasilan
BUMDes dirasakan warga desa sebagai
perbaikan dalam perekonomian
masyarakat. Dalam menjalankan bisnis
pertanian BUMDes Cipta Mandiri
bekerjasama dengan kelompok tani yang
sudah lebih dulu ada di desa.
Saat kelompok tani melakukan
pengolahan lahan dan penanaman,
BUMDes Cipta Mandiri mengambil
peran dalam pengadaan pupuk benih, dan
promosi serta pengelolaan kawasan.
Dengan demikian, BUMDes tidak
mengambil alih usaha warga, tetapi
justru memaksimalkan hasilnya. Melalui
wawancara singkat bendahara BUMDes
Cipta Mandiri, dikemukakan bahwa
keberhasilan ini dapat dicapai karena
adanya keseriusan pendamping desa,
kepala desa, dan pengurus BUMDes
dalam melakukan upaya meningkatkan
perekonomian desa.
3. Desa Cijati terletak di wilayah
Kecamatan Cimanggu, Kabupaten
Cilacap. Sebagian besar wilayah Desa
Cijati berkontur perbukitan dengan
tutupan hutan tropis yang masih baik.
Edisi April 2018
Irawati
55
Pohon pandan tumbuh subur di hutan.
Tanaman hutan ini diolah dan
dikembangkan oleh Badan Usaha
Milik Desa (BUMDes) Wahana
Sejahtera, Desa Cijati menjadi aneka
produk kerajinan yang sangat
menarik. Peran BUMDes Wahana
Sejahtera sangat besar dalam
mengangkat potensi lokal.
Awalnya, banyak warga yang
mengalami kesulitan ekonomi akibat
minimnya lapangan pekerjaan dan
sumberdaya desa. Para pengelola
BUMDes Wahana Sejahtera melatih
warga, terutama perempuan, untuk
membuat aneka kerajinan dan tikar dari
daun pandan. Hasilnya, kini produk
kerajinan olahan pandan itu telah
menjadi icon produk unggulan Desa
Cijati.
Dusun Cijati merupakan salah satu
dusun di Desa Karangpucung,
Kecamatan Karangpucung, Kabupaten
Cilacap. Lokasi dusun cukup strategis
karena terletak di pusat kota kecamatan.
Setiap hari Sabtu sore, masyarakat dapat
menikmati aneka kuliner tradisional di
ruas jalan desa yang berubah menjadi
pasar tiban. Inovasi ini tak sekadar
mampu menggerakan ekonomi
masyarakat, masyarakat Dusun Cijati
terus berhias mempercantik jalan desa.
Gagasan Pasar Setu Sore (baca: Sabtu
Sore) lahir dalam obrolan santai
sejumlah pemuda dusun di warung kopi.
4. Beberapa contoh lain adalah Desa
Karangpucung mengelola Pasar
Desa/Hewan, Desa Wringinharjo dan
Gandrungmanis mengelola simpan
pinjam, dan Desa Widarapayung
Wetan yang mengelola pasar
kawasan.
Pembentukan BUMDes memang
tidak mudah, karena mereka harus mulai
dari perencanaan, pembuatan aturan
BUMDes, serta sistem manajemennya
akan dikelola oleh masyarakat desa
sendiri.
Dari penjabaran di atas diketahui
bahwa eksistensi BUMDes dapat ditinjau
dari layanan, keuntungan dan
keberlangsungannya. Kualitas layanan
yang diberikan pada masyarakat
mempengaruhi aspek-aspek produktivitas
masyarakat desa. Keberadaan BUMDes
tidak dipungkiri membawa perubahan di
bidang ekonomi dan sosial. Kontribusi
BUMDes terutama dalam bentuk
Pendapatan Asli Desa, dimana
keuntungan bersih BUMDes
dialokasikan untuk pemasukan Desa.
Keuntungan BUMDes dialokasikan
untuk beberapa pihak dengan prosentase
yang berbeda. Bagi masyarakat desa
keberadaan BUMDes bermanfaat bagi
peningkatan kesejahteraan yang
berdampak pada kemandirian ekonomi.
Masyarakat desa yang berada di
sekitar BUMDes merasakan secara
langsung manfaat ekonomis dari
keberadaan BUMDes. Beberapa desa di
Kabupaten Cilacap yang
menyelenggarakan BUMDes namun
belum bisa berjalan secara efektif
disebabkan beberapa permasalahan
diantaranya adalah kondisi masyarakat
yang belum bisa memahami potensi desa
masing-masing serta belum memahami
manfaat BUMDes dalam membangun
kemandirian desa.
Perlu adanya komunikasi dan
sosialisasi kepada masyarakat agar
masyarakat memahami potensi desa dan
upaya pemanfaatan potensi tersebut
untuk membangun kemandirian ekonomi
desa. Dari potret keberhasilan
Edisi April 2018
Irawati
56
penyelenggaraan BUMDes di Kabupaten
Cilacap telah mencerminkan adanya
aspek-aspek kinerja yang mendukung
kemandirian desa antara lain adalah
pelayanan, keuntungan dan keberlanjutan
program, peningkatan kesejahteraan dan
ketaatan peraturan hukum atau
perundang-undangan.
BUMDes yang sudah berjalan
memiliki legal standing, baik dalam
bentuk akta notaris maupun peraturan
desa yang memperkuat keberadaannya.
Keberadaan BUMDes di Kabupaten
Cilacap membawa manfaat signifikan
dalam membangun kemandirian Desa.
5. KESIMPULAN
Sebagai program strategis dalam
pembangunan dan pemberdayaan
masyarakat desa, keberadaan BUMDes
di Kabupaten Cilacap membawa
perubahan yang signifikan di bidang
ekonomi dan sosial. BUMDes
menumbuhkembangkan perekonomian
desa melalui dukungan riil masyarakat
desa. Dengan meningkatnya Pendapatan
Asli Daerah sangat mendukung terhadap
Kemandirian Ekonomi Desa.
Penyelenggaraan BUMDes di
Kabupaten Cilacap dimaksudkan untuk
meningkatkan pelayanan kepada
masyarakat, agar usaha masyarakat di
desa berkembang; memberdayakan desa
sebagai wilayah yang otonom dalam
meningkatkan usaha-usaha produktif
bagi pengentasan kemiskinan,
pengangguran dan peningkatan PADes;
serta meningkatkan kemandirian dan
kapasitas desa beserta masyarakatnya
dalam penguatan perekonomian
masyarakat desa.
Eksistensi atau penguatan peran
BUMDes dalam mengembangkan usaha
dan perekonomian masyarakat desa
memerlukan penanganan yang
komprehensif. BUMDes di Kabupaten
Cilacap ditinjau dari aspek pelayanan,
keuntungan dan keberlanjutan
menunjukkan bahwa BUMDes dapat
melayani masyarakat dan masyarakat
menerima manfaat dengan adanya
program-program yang dijalankan.
Diperlukan profesionalisme
pengelola BUMDes dalam
penyelenggaraan, agar eksistensi
BUMDes dalam fungsinya membangun
kemandirian ekonomi masyarakat desa
dapat terwujud. Pengelola BUMDes
perlu meningkatkan kualitas pelayanan
dan kemampuan secara berkelanjutan
dalam mengelola organisasi.
6. REFERENSI
Permendesa No. 21/2015 tentang
Penetapan Prioritas Penggunaan
Dana Desa Tahun 2016.
Permendesa No. 4/2015 tentang
Pendirian, Pengurusan, dan
Pengelolaan dan Pembubaran
Badan Usaha Milik Desa.
Sugiyono. (2013). Metode Penelitian
Kuantitatif, Kualitatif dan R&D.
Bandung: Alfabeta.
Moleong, Lexy J. 2009. Metode
Penelitian Kualitatif. Bandung:
Remaja Rosdakarya.
Peraturan Menteri Dalam Negeri
Republik Indonesia Nomor 1
Tahun 2017 tentang Penataan
Desa.
Edisi April 2018
Nugraha
hal. 57 - 88
57
1. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Banyak Negara saat ini mampu
dan berkembang pesat karena didasari
oleh pembangunan Sumber Daya
Manusia (SDM) yang kuat, terencana
dan terarah. Padahal Negara-negara
tersebut hanya mempunyai Sumber Daya
Alam (SDA) yang terbatas.
Jepang dan Singapura adalah
contoh dari Negara dengan SDM yang
berkualitas tinggi dan tanpa SDA, yang
telah dapat menikmati kemakmuran
dengan standar hidup yang tinggi. Sangat
jelas, kesuksesan tersebut dikarenakan
oleh pengembangan SDM yang terarah,
IMPLEMENTASI PASCA DIKLAT KEPEMIMPINAN TINGKAT III
(POLA BARU) DALAM RANGKA PENINGKATAN KINERJA
ALUMNI PESERTA DIKLAT DI LINGKUNGAN PEMERINTAH
DAERAH KABUPATEN PURWAKARTA
Nanang Nugraha
Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kabupaten Purwakarta
Abstract
The material given is generally good enough in the needs of the echelon III
employee in the instructions. However, material development needs to be done
to change the work environment. Need to do, because in addition to the use of
legislation, but also the global key to the times. Widyaiswara's ability to be
safe enough is enough. In the implementation of Diklatpim, in addition to
having competence in teaching materials, Widyaiswara also able to
accommodate motivation and improve the competence of Training
participants. From the aspect of conformity of training goals or targets, the
purpose of organizing leadership training in this new pattern of change
process has been achieved well, this is reflected in the level of achievement of
the assessment of leadership leadership training participants which increases,
indicating the price of good organizers. Relating to the ability of Diklatpim
Level III with the performance of officials after following it, the
implementation of leadership training The new pattern on alumni performance
has been running effectively.
Keywords: implementation, Diklatpim Level III, Alumni Performance.
Edisi April 2018
Nugraha
58
optimisme pemakaian teknologi canggih,
dan organisasi yang efektif. Tidak ada
keraguan, bahwa salah satu yang
mendasarinya adalah pembangunan
sosial yang terintekrasi dengan
pembangunan SDM, dan diimbangi
dengan pembangunan industri. Sektor
intruksi besar perannya dalam
menciptakan Lapangan kerja,
keterampilan/skill, menyebarluaskan
informasi dan ilmu pengetahuan, serta
menerapkan hasil-hasil penelitian.
Peningkatan dan pengembangan SDM
dapat dilakukan melalui pendidikan.
Bab IV Pasal 10, 11 dan 12
Undang Undang No. 5 Tahun 2014
tentang Aparatur Sipil Negara ditegaskan
bawa Pegawai ASN berfungsi sebagai
Pelaksana Kebijakan Publik, Pelayan
Publik, Perekat dan Pemersatu Bangsa
dengan tugas melaksanakan kebijakan
publik yang dibuat oleh Pejabat Pembina
Kepegawaian sesuai dengan ketentuan
peraturan perundangg-undangan,
memberikan pelayanan publik yang
profesional dan berkualitas serta
mempererat persatuan dan kesatuan
NKRI, oleh karena itu Pegawai ASN
berperan sebagai perencana, pelaksana,
dan pengawas penyelenggaraan tugas
umum pemerintahan dan pembangunan
nasional melalui pelaksanaan kebijakan
dan pelayanan publik yang profesional,
bebas dari intervensi politik, serta bersih
dari praktik korupsi, kolusi, dan
nepotisme. Sejalan dengan
perkembangan otonomi daerah dan era
globalisasi dewasa ini, tuntutan
peningkatan kapasitas dan kapabilitas
Pemerintah Daerah telah menjadi sebuah
kebutuhan yang tidak terelakan. Salah
satu syarat dalam menghadapi tantangan
tersebut, dibutuhkan adanya dukungan
sumberdaya aparatur yang lebih
berkualitas, unggul, berdaya saing dan
produktif, serta memiliki kapasitas
moral, intelektual, keterampilan dan
penguasaan teknologi informasi yang
memadai terhadap bidang tugas yang
digeluti, guna mendorong peningkatan
kinerja menuju tercapainya sasaran-
sasaran program pembangunan daerah
secara lebih optimal dan
berkesinambungan.
Menyadari pentingnya fungsi,
tugas dan peran pegawai ASN,
diperlukan upaya pengelolaan dan
pembagunan sumber daya pegawai ASN
secara lebih porposional dan profesional,
guna membangun aparatur birokrasi yang
efisien, produktif, kapabel, berdaya saing
dan berorientasi pada pelayanan publik.
Pada sisi yang lain tidak dapat kita
pungkiri bahwa aspek kapabilitas,
dedikasi, loyalitas, netralitas, ketaatan,
prakarsa, kepatuhan dan skill, bukanlah
suatu yang secara otomatis sudah ada dan
lekat pada diri setiap pegawai ASN,
dalam kaitan itulah pengembangan
kapabilitas aparatur, khususnya melalui
diklat aparatur senantiasa menjadi
concern pemerintah dan pemerintah
daerah. Menyikapi hal tersebut, tentunya
penyelenggaraan diklat aparatur sebagai
ruang bagi pengelolaan dan peningkatan
kapasitas dan kapabilitas aparatur harus
semakin dioptimalkan dan juga
diimbangi oleh manajemen pelayanan
diklat aparatur yang berkualitas, efektif
dan efisien, mampu memberi warna
perubahan baru terhadap iklim dan kultur
birokrasi yang cenderung masih negatif,
kearah kultur birokrasi yang berdaya
saing dan produktif yang terlefleksi pada
terbentuknya perilaku dan etos kerja
yang tinggi dengan berlandaskan
akuntabilitas, transparansi, partsisipatif,
visioner dan profesionalitas. Dalam
Edisi April 2018
Nugraha
59
sistem manajemen kepegawaian,
pejabat struktural eselon III memainkan
peranan yang menentukan dalam
menangani isu-isu nasional strategis
yang memerlukan penanganan lintas
kementerian, lembaga atau wilayah
bahkan antar negara. Di samping itu,
sudah menjadi tugas pejabat
struktural eselon lll untuk
meningkatkan kinerja sektor atau
wilayah yang dipimpinnya melalui
penetapan visi atau arah kebijakan
sektor dan wilayah yang tepat.
Tugas ini menuntutnya memiliki
kemampuan yang tinggi dalam
memimpin pejabat struktural dan
fungsional di bawahnya termasuk
pemangku kepentingan lainnya agar
dapat lebih termotivasi dalam
rnengoptimalkan pemanfaatan sumber
daya pembangunan untuk mewujudkan
visi sektor atau wilayah yang telah
ditetapkannya, termasuk mewujudkan
sinergi antar kementerian dan lembaga
serta daerah dalam menangani berbagai
isu nasional strategis. Untuk dapat
membentuk sosok pejabat struktural
eselon III dengan kompetensi seperti
tersebut di atas, melalui Peraturan
Kepala Lembaga Administrasi Negara
Republik Indonesia Nomor 12 Tahun
2013 yang telah dirubah dengan
Peraturan Kepala Lembaga Administrasi
Negara Republik Indonesia Nomor 19
Tahun 2015 Tentang Pedoman
Penyelenggaraan Pendidikan dan
Pelatihan Kepemimpinan Tingkat III.
Para penyelenggara Pendidikan dan
Pelatihan Aparatur mulai tahun 2014
Lembaga Diklat Pemerintah
terakreditasi, telah menyelenggarakan
Diklatpim Tingkat III dengan Pola Baru
sebagai bagian dari upaya penataan
sistem pengembangan sumber daya
aparatur guna mewujudkan sumber daya
manusia yang profesional dalam rangka
mempercepat terwujudnya tujuan
reformasi birokrasi. Dalam
penyelenggaraan Diklatpim Tingkat III
seperti ini, peserta dituntut untuk
menunjukan kinerjanya dalam
merancang suatu perubahan yang terkait
dengan arah kebijakan sektor, wilayah
dan isu strategis nasional, dan
selanjutnya memimpin perubahan
tersebut hingga menimbulkan hasil yang
signifikan. Kemempuan memimpin
perubahan inilah yang kemudian menjadi
tolak ukur dalam menentukan
keberhasilan peserta Diklatpim Tingkat
III. Dengan demikian pembaharuan
Diklatpim Tingkat III ini diharapkan
dapat menghasilkan alumni yang tidak
hanya memiliki kompetensi, tetapi juuga
menunjukan kinerjanya dalam
memimpin perubahan.
Untuk keberhasilan
penyelenggaraan Diklatpim Tingkat III
tidak hanya kurikulum, peserta dan
penyelenggara saja yang terpinting
sebagaimana Bab IV Perkalan 19 tahun
2015 tersedianya tenaga kediklatan yang
kompeten dibidangnya antara lain :
Penceramah dan Pengajar, dimana
Penceramah merupakan Pejabat
Negara, Praktisi dan pegawai
Aparatur Sipil Negara/TNI/POLRI
yang menduduki jabatan eselon ll ke
atas/setara dan merniliki
keahlian/kepakaran pada bidang
tertentu, sedangkan Pengajar adalah
pengampu materi /Widyaiswara.
Dalam Permen Pan nomor 22
Tahun 2014 tentang Jabatan Fungsional
Widyaiswara dan Angka Kreditnya
ditegaskan bahwa Widyaiswara adalah
PNS yang diangkat sebagai pejabat
fungsional dengan tugas, tanggung
Edisi April 2018
Nugraha
60
jawab, wewenang dan hak untuk
melakukan kegiatan Dikjartih PNS,
Evaluasi dan Pengembangan Diklat pada
Lembaga Diklat Pemerintah.
Widyaiswara harus memiliki
sertifikat kompetensi untuk mengajar
pada Diklatpim Tingkat lll, sedangkan
pegawai lainnya memiliki kemampuan
dalam pengelolaan pembelajaran
yang diindikasikan dengan kualifikasi,
pengalaman dan keahlian yang sesuai
program Diklatpim Tingkat lll dan
kemampuan dalam penguasaan
substansi mata Diklat yang diajarkan,
diindikasikan dengan kualifikasi,
pengalaman dan keahlian untuk
mengajar pada jenjang Diklatpim
Tingkat lll.
Banyaknya permasalahan yang
menyangkut rendahnya kinerja PNS
tidak serta merta dapat diselesaikan
dalam waktu singkat, karena berkaitan
dengan stigma masyarakat luas serta
kualitas sumberdaya manusia (SDM)
yang kurang berkompeten di bidangnya.
Pendidikan dan pelatihan (Diklat)
sebagai upaya untuk meningkatkan
kompetensi yang diberikan kepada para
PNS bertujuan untuk meningkatkan
kompetensi dan profesionalisme PNS
dalam rangka peningkatan fungsinya
dalam pelayanan kepada masyarakat,
pelaksanaan diklat bagi PNS didasarkan
pada Peraturan Pemerintah nomor 101
tahun 2000 tentang Pendidikan dan
Pelatihan Jabatan Pegawai Negri Sipil,
disebutkan bahwa upaya peningkatan
profesionalisme dalam rangka
meningkatkan kompetensi SDM
aparatur, dapat dilakukan melalui
Pendidikan dan Pelatihan.
Hasil Penelitian (Sutrisno:2015)
Proyek Perubahan Pada Diklat PIM III
Pola Baru, Penyelenggaraan Diklat PIM
III pada mulai tahun ini sesuai Peraturan
Kepala Lembaga Administrasi Negara
Nomor 12 Tahun 2013 Tentang Pedoman
Penyelenggaraan Pendidikan dan
Pelatihan Kepemimpinan Tingkat III,
merupakan pola diklat yang sangat
berbeda dari pada tahun tahun
sebelumnya. Untuk menghasilkan Proyek
Perubahan, setiap peserta akan melalui
serangkaian pengalaman belajar,
mensintesakan materi-materi diklat,
mendapatkan bimbingan, sampai pada
menulis kertas kerja secara mandiri. Di
akhir pembelajaran, peserta
menunjukkan kompetensinya melalui
Laporan Proyek Perubahan. Kendala
yang akan ada didalam implementasi
dilapangan terkait kesiapan perencanaan,
anggaran infrastruktur, dan peserta harus
diantisipasi secara dini oleh masing
masing lembaga diklat. Implikasinya,
setiap orang harus diyakinkan akan
pentingnya arti sebuah perubahan
sehingga secara individual mereka
memahami dan pada akhirnya
mendukung program perubahan yang
akan dirancang.
Fenomena yang terjadi di
Kabupaten Purwakarta adalah
kekhawatiran kalangan masyarakat yang
mempertanyakan, apakah keikutsertaan
pejabat struktural eselon III dalam
penyelenggaraan Diklat Kepemimpinan
Tingkat III (Pola Baru) dengan
pembiayaan yang semakin tinggi
memiliki pengaruh yang signifikan
terhadap peningkatan kinerjanya,
pertanyaan tersebut dapat
diargumentasikan secara logika formal,
tetapi belum dapat dibuktikan sacara
empirik, serta tumbuhnya pemikiran
dikalangan peserta Diklat Kepemimpinan
Tingkat III (Pola Baru), bahwa orientasi
sertifikat lebih penting dari pada
Edisi April 2018
Nugraha
61
orientasi kompetensi, memiliki sertifikat
berarti dapat memenuhi persyaratan
jabatan struktural.
Dalam kurun waktu tiga tahun
terakhir (2014-2017) Pemerintah Daerah
Kabupaten Purwakarta telah
mengikutsertakan sebanyak 78 orang
Pejabat Stuktural Eselon III mengikuti
Pendidikan dan Pelatihan Kepemimpinan
Tingkat III Pola Baru tersebut ke
berbagai Lembaga Diklat Pemerintah
terakreditasi ( Pusdiklat Kementerian
Dalam Negeri Regional Bandung dan
Yogjakarta, Pusdiklat Administrasi Polri,
Pusdiklat BKN dan BPSDM Provinsi
Jawa Barat) , dengan menyerap anggaran
belanja pegawai dari APBD Kabupaten
Purwakarta sebesar kurang lebih
Rp.2.340.000.000.- ( Dua Milyard Tiga
Ratus Empat Puluh Juta Rupiah). Salah
satu output dari pelaksanaan Diklatpim
Tk.III Pola Baru tersebut adalah para
peserta diwajibkan untuk membuat
inovasi guna mempercepat dan
mempermudah pelaksanaan tugas dan
fungsinya selaku pejabatan struktural
eselon III, inovasi menghasilkan proyek
perubahan dan proyek perubahan
menghasilkan pemimpin perubahan.
Secara kuantitatif dapat
diilustrasikan bawa Pemerintah Daerah
Kabupaten Purwakarta ditataran jabatan
setingkat eselon III telah terwujud 78
proyek perubahan dari 78 pemimpin
perubahan alumni peserta Diklatpim
Tingkat III Pola Baru, namun demikian
pertanyaan utama yang menjadi fokus
penelitian adalah apakah secara kualitatif
kinerja 78 orang alumni Pendidikan dan
Pelatihan Kepemimpinan Tingkat III
(Pola Baru) terjadi peningkatan.
Dari yang telah diuraikan di atas,
maka penulis selaku Widyaiswara dalam
rangka memenuhi tanggungjawab pada
evaluasi dan pengembangan Diklat
tertarik untuk melakukan penelitian
sebagai bahan penulisan Karya Tulis
Ilmiah Orasi dengan judul Implementasi
Pasca Diklat Kepemimpinan Tingkat III
(Pola Baru) Dalam Rangka Peningkatan
Kinerja Alumni Peserta Diklat Di
Lingkungan Pemerintah
DaerahKabupaten Purwakarta
B. Identifikasi Masalah
Dengan latar belakang tersebut,
penulis mengidentifikasikan masalah
penelitisan pada hal sebagai berikut :
1. Faktor-faktor Apakah yang dapat
menentukan keberhasilan
implementasi Pasca Diklatpim
Tingkat III (Pola Baru) dalam
meningkatkan kinerja Alumni Diklat.
2. Strategi apakah yang perlu digunakan
dalam menentukan keberhasilan
implementasi Pasca Diklatpim
Tingkat III (Pola Baru) dalam
meningkatkan kinerja Alumni Diklat.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan kondisi-kondisi
tersebut, pokok permasalahan dalam
penelitian ini, yakni : Sejauhmana
implementasi Pasca Diklatpim Tingkat
III (Pola Baru) pada peningkatkan
kinerja Alumni Diklat di Lingkungan
Pemerintah Daerah Kabupaten
Purwakarta.
D. Tujuan penelitian
a. Untuk mengetahui Faktor-faktor yang
menentukan keberhasilan
implementasi Pasca Diklatpim
Tingkat III (Pola Baru) dalam
meningkatkan kinerja Alumni Diklat.
b. Untuk mengetahui Strategi yang perlu
digunakan dalam . menentukan
keberhasilan implementasi Pasca
Edisi April 2018
Nugraha
62
Diklatpim Tingkat III (Pola Baru)
dalam meningkatkan kinerja Alumni
Diklat.
E. Manfaat Penelitian
a. Hasil-hasil penelitian ini dapat
memberikan sumbangan kepada dunia
ilmu pengetahuan yang berkenaan
dengan Implementasi Diklat
kepemimpinan Tingkat III (Pola
Baru) dan Peningkatan Kinerja
Alumninya.
b. Hasil-hasil penelitian ini diharapakan
dapat menjadi salah satu bahan
pertimbangan dalam melakukan
evaluasi, masukan dan dapat
merumuskan rekomendasi yang
digunakan oleh para pembuat
kebijakan dibidang diklat aparatur dan
pimpinan institusi di lingkungan
Pemerintah Kabupaten Purwakarta.
c. Hasil-hasil penelitian ini dapat
dipergunakan bagi pencapaian
efektivitas penyelenggaraan Diklat
Kepemimpinan Tingkat III (Pola
Baru).
2. KAJIAN LITERATUR
A. Pendidikan dan Pelatihan Istilah pendidikan mempunyai
banyak makna. Dalam ”Dictionary of
Education” dinyatakan bahwa
pendidikan adalah:
1) Proses seseorang mengembangkan
kemampuan, sikap dan tingkah laku
lainnya di dalam masyarakat dan
tempat hidup mereka.
2) Proses sosial terjadi pada orang yang
dihadapkan pada pengaruh
lingkungan yang terpilih dan
terkontrol (khususnya yang datang
dari sekolah), sehingga mereka dapat
memperoleh perkembangan
kemampuan sosial dan kemampuan
individual optimum.
Pendidikan dapat berlangsung
dimana saja tempat manusia berada, baik
di dalam lingkungan sekolah maupun
luar sekolah yang dapat memberi
kontribusi dalam pembentukan
keterampilan, sikap dan tingkah laku
seseorang. Kegiatan pendidikan
membutuhkan waktu yang tidak sedikit,
karena kegiatannya adalah
mengembangkan kemampuan secara
jasmani maupun rohani, intelektual
ataupun emosional yang mengacu kearah
perubahan positif.
Pendidikan sebagai persiapan atau
bekal bagi kehidupan yang akan datang
dalam masyarakat. Pendidikan
merupakan kebutuhan mutlak yang harus
dipenuhi sepanjang hayat, karena tanpa
pendidikan mustahil manusia atau suatu
kelompok dapat hidup berkembang
sejalan dengan cita-cita untuk maju,
sejahtera dan bahagia. Seperti
diungkapkan oleh Burhanuddin Salam (
2006 ), tentang Pendidikan:
1) Pendidikan berlangsung seumur hidup
(lifelong education), ini berarti usaha
pendidikan sudah dimulai sejak
manusia lahir sampai tutup usia,
sepanjang manusia mampu untuk
menerima pengaruh dan dapat
mengembangkan dirinya.
2) Tanggung jawab pendidikan
merupakan tanggung jawab bersama
antara keluarga, masyarakat dan
pemerintah.
3) Pendidikan merupakan suatu
keharusan, karena dengan pendidikan
manusia akan memiliki kemampuan
dan kepribadian yang berkembang.
Edisi April 2018
Nugraha
63
Menurut Faiz Manshur dalam
artikelnya yang berjudul: “Pendidikan”,
mendefinisikan pendidikan sebagai
”sarana manusia memperoleh ilmu
pengetahuan, dengan tujuan agar
manusia terbebas dari kebodohan”.
Sedangkan Johanes Papu dalam
artikelnya yang berjudul: “Analisis
Kebutuhan Pelatihan” menyatakan
bahwa ”pelatihan pada dasarnya
diselenggarakan sebagai sarana untuk
menghilangkan atau setidaknya
mengurangi gap (kesenjangan) antara
kinerja yang ada pada saat ini dengan
kinerja standar atau yang diharapkan
untuk dilakukan oleh si pegawai”.
Menurut Simamora (2004)
Pendidikan dan Pelatihan pegawai adalah
suatu persyaratan pekerjaan yang dapat
ditentukan dalam hubungannya dengan
keahlian dan pengetahuan berdasarkan
aktivitas yang sesungguhnya
dilaksanakan pada pekerjaan. Menurut
Soekidjo (2003) pendidikan di dalam
suatu organisasi adalah suatu proses
pengembangan kemampuan ke arah yang
diinginkan oleh organisasi yang
bersangkutan. Sedang pelatihan
merupakan bagian dari suatu proses
pendidikan, yang tujuannya untuk
meningkatkan kemampuan atau
keterampilan khusus seseorang atau
kelompok orang.
B. Pengertian Diklat
Pendidikan adalah segala usaha
untuk membina kepribadian dan
mengembangkan kemampuan manusia
Indonesia, jasmaniah dan rohaniah, yang
berlangsung seumur hidup, baik di dalam
maupun di luar sekolah, dalam rangka
pembangunan persatuan Indonesia dan
masyarakat adil dan makmur berdasarkan
Pancasila. Sedangkan latihan adalah
bagian pendidikan yang menyangkut
proses belajar untuk memperoleh dan
meningkatkan keterampilan di luar
sistem pendidikan yang berlaku, dalam
waktu yang relative singkat dan metode
yang lebih mengutamakan praktik
daripada teori.
Menurut Edwin B. Flippo (dalam
Hasibuan, 2006:69-70) mengenai
pendidikan adalah “berhubungan dengan
peningkatan pengetahuan umum dan
pemahaman atas lingkungan kita secara
menyeluruh”. Sedangkan latihan
merupakan suatu usaha peningkatan
pengetahuan dan keahlian seorang
karyawan untuk mengerjakan suatu
pekerjaan tertentu. Pendapat lain
dikemukakan oleh Drs. Jan Bella (dalam
Hasibuan, 2006:70) bahwa pendidikan
dan latihan sama dengan pengembangan
yaitu merupakan proses peningkatan
keterampilan kerja baik teknis maupun
manajerial. Pendidikan berorientasi pada
teori, dilakukan dalam kelas, berlangsung
lama, dan biasanya menjawab why.
Latihan berorientasi pada praktek,
dilakukan di lapangan, berlangsung
singkat dan biasanya menjawab how.
Menurut Andrew F. Sikula (dalam
Hasibuan, 2006:70) “latihan adalah suatu
proses pendidikan jangka pendek dengan
menggunakan prosedur yang sistematis
dan terorganisir, sehingga karyawan
operasional belajar pengetahuan teknik
pengerjaan dan keahlian untuk tujuan
tertentu”.
Ivancevich J.M (dalam
Marwansyah, 2010:154) mengemukakan
pengertiannya mengenai pelatihan dan
pengembangan (diklat) sebagai “proses
sistematis untuk mengubah perilaku
karyawan yang diarahkan untuk
mencapai tujuan-tujuan organisasi”.
Pelatihan terkait dengan keterampilan
Edisi April 2018
Nugraha
64
dan kemampuan pekerjaan saat ini.
Orientasinya adalah saat ini dan
membantu karyawan menguasai
keterampilan dan kemampuan spesifik
agar berhasil dalam pekerjaan.
Mengacu pada beberapa konsep di
atas, dapat disimpulkan bahwa
pendidikan dan latihan adalah suatu
proses kegiatan yang diikuti
pegawai/karyawan dalam rangka
meningkatkan pengetahuan, kecakapan,
keterampilan dan perilaku kerja demi
tuntutan produktivitas kerja pada jabatan
yang diembannya. Sehingga jelaslah
bahwa kebutuhan akan pendidikan dan
latihan bersifat urgensi dan penting pada
organisasi dalam mengatasi masalah
kesenjangan yang terjadi antara
pengetahuan, keterampilan, dan sikap
kerja pada diri pegawai.
C. Tujuan Diklat
Setiap pendidikan dan pelatihan
memiliki tujuan yang berbeda-beda
menurut Wursanto (1996) bahwa
pendidikan dan latihan memiliki tujuan
sebagai berikut:
a. Menambah pengetahuan pegawai
b. Menambah keterampilan pegawai
c. Mengubah dan membentuk sikap
pegawai
d. Mengembangkan keahlian pegawai,
sehingga pekerjaan dapat diselesaikan
dengan cepat dan efektif
e. Mengembangkan semangat, kemauan
dan kesenangan kerja pegawai
f. Mempermudah pengawasan terhadap
pegawai
g. Mempertinggi stabilitas pegawai
Tujuan utama program latihan dan
pengembangan karyawan menurut Hani
Handoko (2002) yaitu : “Untuk penutup
gap antara kecakapan atau kemampuan
karyawan dengan permintaan jabatan
serta untuk meningkatkan efesiensi dan
efektifitas kerja karyawan dalam
mencapai sasaran-sasaran kerja yang
ditetapkan”.
Manfaat Pendidikan dan Pelatihan;
Simamora (2004) menyebutkan
manfaat-manfaat yang diperoleh dari
diadakannya pendidikan dan pelatihan
(Diklat) yaitu :
a. Meningkatkan kualitas dan kuantitas
produktivitas
b. Mengurangi waktu belajar yang
diperlukan karyawan untuk mencapai
standar-standar kinerja yang
ditentukan
c. Menciptakan sikap, loyalitas dan
kerjasama yang lebih menguntungkan
d. Memenuhi persyaratan perencanaan
sumber daya manusia
e. Mengurangi jumlah dan biaya
kecelakaan kerja
f. Membantu karyawan dalam
peningkatan dan pengembangan
pribadi mereka.
Siagian (1996) menyebutkan
manfaat diadakannya program Diklat
menjadi dua, yaitu :
a. Manfaat bagi perusahaan atau instansi
meliputi : Peningkatan produktivitas
kerja organisasi sebagai keseluruhan
antara lain karena tidak terjadinya
pemborosan, karena kecermatan
melaksanakan tugas, tumbuh
suburnya kerjasama antara berbagai
satuan kerja yang melaksanakan
kegiatan yang berbeda dan bukan
spesialistik, meningkatkan tekad
mencapai sasaran yang telah
ditetapkan serta lancarnya koordinasi
sehingga organisasai bergerak sebagai
satu kesatuan yang utuh;
Terwujudnya hubungan yang serasi
Edisi April 2018
Nugraha
65
antara atasan dan bawahan antara lain
karena adanya pendelegasian
wewenang, interaksi yang didasarkan
pada sikap dewasa baik secara teknik
maupun intelektual, saling
menghargai, dan adanya kesepatan
bagi bawahan untuk berpikir dan
bertindak secara inovatif; Terjadinya
proses pengambilan keputusan yang
lebih cepat dan tepat karena
melibatkan seluruh pegawai yang
bertanggungjawab menyelenggarakan
kegiatan-kegiatan operasional dan
tidak sekedar diperintahkan oleh para
manajer; Meningkatkan kesempatan
kerja seluruh tenaga kerja dalam
organisasi dalam komitmen
organisasional yang lebih tinggi;
Mendorong sikap keterbukaan
manajemen melalui penerapan gaya
manajerial partisipatif; Memperlancar
jalannya komunikasi yang efektif
yang pada gilirannya memperlancar
proses perumusan kebijaksanaan
organisasi dan
operasionalnya; Penyelesaian konflik
secara fungsional yang dampaknya
adalah tumbuh suburnya rasa
persatuan dan suasana kekeluargaan
dikalangan anggota organisasi.
b. Manfaat bagi para pegawai seperti:
Membantu pegawai membuat
keputusan lebih baik; Meningkatkan
kemampuan para pekerja
menyelesaikan berbagai masalah yang
dihadapi; Terjadinya internalisasi dan
operasionalisasi faktor-faktor
motivasi; Timbulnya dorongan dalam
diri para pekerja untuk terus
meningkatkan kemampuan
kerjanya; Peningkatan kemampuan
pegawai untuk mengatasi stres,
prustrasi dan konflik yang nantinya
bisa memperbesar rasa percaya pada
diri sendiri; Tersedianya informasi
tentang berbagai program yang dapat
dimanfaatkan oleh para pegawai
dalam rangka pertumbuhan masing-
masing secara teknik maupun
intelektual; Meningkatnya kepuasan
kerja; Semakin besarnya pengakuan
atas kemampuan seseorang; Semakin
besarnya tekad pekerja untuk lebih
mandiri; Mengurangi ketakutan
menghadapi tugas baru dimasa depan.
D. Jenis dan Jenjang Diklat
Jenis pendidikan dan pelatihan
Pegawai Negeri Sipil (PNS) terdiri dari
Pendidikan dan Pelatihan Pra Jabatan
yang diperuntukkan bagi seluruh Calon
Pegawai Negeri Sipil (CPNS),
Pendidikan dan Pelatihan dalam jabatan,
yang terdiri dari: Pendidikan dan
pelatihan Kepemimpinan (Diklat Pim),
Pendidikan dan pelatihan Fungsional dan
Pendidikan dan pelatihan Teknis.
Diklat Prajabatan: Pendidikan dan
pelatihan ini diberikan kepada seluruh
CPNS yang dinyatakan lulus, dan
diterima sebagai pegawai baru yang
memenuhi persyaratan pada masa
percobaan (selama satu tahun). Materi
yang diberikan pada pendidikan dan
pelatihan prajabatan bersifat umum yakni
mengenai hal-hal yang berkaitan dengan
pekerjaan, peraturan, dan kebijaksanaan
yang berlaku dalam organisasi.
Pendidikan dan pelatihan (Diklat)
prajabatan terdiri dari: Diklat Prajabatan
Golongan I untuk mejadi PNS golongan
I, Diklat Prajabatan Golongan II untuk
diangkat menjadi PNS golongan II dan
Diklat Prajabatan Golongan III untuk
diangkat menjadi PNS golongan III.
Diklat dalam jabatan terdiri dari:
Diklat Kepemimpinan; yang selanjutnya
disebut Diklat Pim, dilaksanakan untuk
Edisi April 2018
Nugraha
66
mencapai persyaratan kompetensi
kepemimpinan aparatur pemerintah yang
sesuai dengan jenjangnya. Peserta Diklat
Pim adalah Pegawai Negeri Sipil yang
akan atau telah menduduki jabatan
struktural dan atau memenuhi
persyaratan dan dipersiapkan untuk
menjadi pejabat struktural.
Diklat Pim terdiri dari: Diklat Pim
Tk IV untuk jabatan struktural eselon IV,
Diklat Pim Tk III untuk jabatan
struktural eselon III, Diklat Pim Tkt II
untuk jabatan struktural eselon II dan
Diklat Pim Tkt I untuk jabatan struktural
eselon I.
Diklat Fungsional; adalah
Pendidikan dan Pelatihan Pegawai
Negeri Sipil yang diperuntukkan bagi
pejabat atau calon pejabat fungsional.
Diklat ini dilaksanakan untuk mencapai
persyaratan kompetensi yang sesuai
dengan jenis dan jenjang jabatan
fungsional masing-masing yang
ditetapkan oleh instansi pembina jabatan
fungsional yang bersangkutan.
Diklat Teknis; Pendidikan dan
Pelatihan teknis dilaksanakan untuk
mencapai persyaratan kompetensi teknis
yang diperlukan untuk pelaksanaan
tugas-tugas Pegawai Negeri Sipil. Diklat
ini dapat pula dilaksanakan secara
berjenjang yang ditetapkan oleh instansi
yang bersangkutan. Kajian normatifnya
adalah: Peraturan Pemerintah Nomor 101
Tahun 2000.
Tujuan nasional sebagaimana
tercantum dalam Pembukaan UUD 1945
adalah untuk melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia, dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan
perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Untuk membentuk sosok tersebut
diperlukan Diklat yang mengarah
kepada: Peningkatan sikap dan semangat
pengabdian yang berorientasi pada
kepentingan masyarakat, bangsa dan
negara serta tanah air, Peningkatan
kompetensi teknis, manajerial, dan/atau
kepemimpinannya dan Peningkatan
dengan semangat kerja sama dan
tanggung jawab sesuai dengan
lingkungan kerja dan organisasinya.
Dasar pemikiran kebijaksanaan
Diklat yang ditetapkan dalam Peraturan
Pemerintah ini adalah: Diklat merupakan
bagian integral dari sistem pembinaan
PNS, Diklat memiliki keterkaitan dengan
pengembangan karier PNS, Sistem
Diklat meliputi proses identifikasi
kebutuhan, perencanaan,
penyelenggaraan, dan evaluasi diklat
serta Diklat diarahkan untuk
mempersiapkan PNS agar memenuhi
persyaratan jabatan yang ditentukan dan
kebutuhan organisasi, termasuk
pengadaan kader pimpinan dan staf.
Dalam mengembangkan kemampuan,
kecekatan dan keahlian para pegawai,
pekerja atau karyawan baru diperlukan
pemberian pendidikan dan pelatihan /
diklat yang disuaikan dengan bidang
kerjanya.
E. Kompetensi Diklatpim Tingkat III
Kompetensi yang dibangun pada
Diklatpim Tingkat III adalah kompetensi
kepemimpinan taktikal, yaitu
kemampuan menjabarkan visi dan misi
instansi ke dalam program instansi dan
memimpin keberhasilan pelaksanaan
program tersebut, yang diindikasikan
dengan kemampuan
1. Mengembangkan karakter dan sikap
perilaku integritas sesuai dengan
peraturan perundang-undangan dan
Edisi April 2018
Nugraha
67
kemampuan menunjang tinggi etika
publik, taat pada nilai-nilai, norma,
moralitas dan bertangggung jawab
dalam memimpin unit instansinya;
2. Menjabarkan visi dan misi
instansinya ke dalam program-
program instansi;
3. Melakukan kolaborasi secara internal
dan eksternal dalam mengelola
program-program instansi ke arah
efektivitas dan efesiensi pelaksanaan
program;
4. Melakukan inovasi sesuai bidang
tugasnya guna mewujudkan
program-program instansi yang lebih
efektif dan efesien;
5. Mengoptimalkan seluruh potensi
sumber daya internal dan eksternal
organisasi dalam implementasi
program unit instansinya.
F. Proyek Perubahan Sesuai dengan tujuan, ketentuan
dan kurikulum bahwa Diklat
Kepemimpinan Tingkat III pola baru
bertujuan untuk menciptakan pemimpin-
pemimpin perubahan di Instansi
Pemerintah. Untuk mewujudkan tujuan
tersebut, setiap peserta Diklat
Kepemimpinan Tingkat III pola baru
wajib membuat proyek perubahan di
masing-masing unit kerja yang dapat
dilaksanakan dan dapat diukur capaian
perubahan yang dilakukan pada akhir
pelaksanaan Diklat Kepemimpinan
Tingkat III pola baru. Pelaksanaan
proyek perubahan bagi peserta Diklat
Kepemimpinan Tingkat III pola baru
juga selaras dengan budaya Inovasi bagi
Aparatur Sipil Negara.
Dengan kapasitas dan potensi yang
dimiliki ASN, mewujudkan budaya
inovatif di intansi Pemerintah Daerah
bukanlah hal yang sulit untuk
diwujudkan jika semua unsur dalam
organisasi memiliki komitmen yang kuat
dalam melakukan inovasi. Setiap orang
pada dasarnya adalah kreatif dengan gaya
kreativitasnya masing-masing. Setiap
mentor diharapkan dapat membimbing
peserta Diklat Kepemimpinan Tingkat III
pola baru dalam menyusun dan
melaksanakan proyek perubahan dengan
cara berkolaborasi antara mentor dengan
peserta untuk memaksimalkan
kompetensi dan potensi yang dimiliki
peserta dalam menyusun dan
melaksanakan proyek perubahan.
Sejalan dengan hal tersebut,
diharapkan proyek perubahan yang
disusun memenuhi kriteria sebagai
berikut:
1. Proyek Perubahan disusun sesuai
dengan visi, misi dan rencana
strategis organisasi perangkat daerah.
Proyek perubahan juga harus
mendukung peningkatan kinerja OPD.
2. Proyek Perubahan merupakan hasil
inovasi dan ide baru/terobosan dari
peserta diklat, bukan hasil plagiat dari
hasil karya orang lain.
3. Proyek Perubahan merupakan hasil
proses diagnosis pada unit kerja
peserta yang dilakukan pada saat ini
dan mengangkat isu-isu yang up to
date.
4. Proyek Perubahan harus mendapat
dukungan dari mentor dan pimpinan
unit kerja.
5. Proyek perubahan harus dapat
diimplementasikan di unit kerja
dan/atau organisasi perangkat daerah.
Selain hal tersebut, setiap usulan
judul proyek perubahan peserta Diklat
Kepemimpinan Tingkat III pola baru
agar dilengkapi dengan latar belakang,
target output, outcome dan dampak yang
Edisi April 2018
Nugraha
68
ingin diwujudkan melalui proyek
perubahan.
Suatu perubahan terjadi melalui
tahapan. Pertama-tama adanya dorongan
dari dalam (dorongan internal), kemudian
ada dorongan dari luar (dorongan
eksternal). Manajemen Perubahan
adalah suatu upaya yang dilakukan
untuk mengelola akibat-akibat yang
ditimbulkan karena terjadinya perubahan
dalam organisasi. Perubahan dapat terjadi
karena sebab- sebab yang berasal dari
dalam maupun dari luar organisasi
tersebut. Sebuah perubahan kadang
sangat diperlukan didalam sebuah
organisasi. Diperlukan strategi dan
perencanaan bagaimana perubahan itu
dapat dicapai dan juga implementasinya.
Setiap perubahan memiliki tujuan
tertentu yang dapat berupa upaya
penyesuaian terhadap perubahan
lingkungan upaya peningkatan efisiensi
organisasi dalam rangka mencapai
kondisi yang lebih baik.
Apa pun jenis tujuan yang hendak
dicapai, setiap perubahan harus disiapkan
dengan baik mengikuti langkah-langkah
tertentu. Tujuan perubahan disatusisi
untuk memperbaiki kemampuan
organisasi dalam menyesuaikan diri
dengan perubahan lingkungan dan disisi
lain, mengupayakan perubahan perilaku
pegawai untuk meningkatkan
produktivitasnya.
Perubahan harus dilakukan secara
hati- hati dengan mempertimbangkan
berbagai hal, agar manfaat yang
ditimbulkan oleh perubahan harus lebih
besar daripada beban kerugian yang
harus ditanggung. Tujuan suatu
perubahan pada umumnya masih bersifat
makro dengan jangka waktu relative
panjang.
Untuk itu, tujuan dijabarkan dalam
jangka waktu lebih pendek dengan
ukuran yang lebih spesifik, dan konkret
dengan menetapkan sasaran perubahan.
Sasaran perubahan dapat diarahkan pada
struktur organisasi, teknologi, pengaturan
fisik, SDM, proses mekanisme kerja
dan budaya organisasi.
Banyak masalah yang bisa terjadi
ketika perubahan akan dilakukan.
Masalah yang paling sering dan
menonjola dalah “penolakan atas
perubahan itu sendiri”. Istilah yang
sangat populer dalam manajemen adalah
resistensi perubahan (resistanceto
change). Penolakan atas perubahan tidak
selalu negatif karena justru adanya
penolakan tersebut maka perubahan
dilakukan secara matang.
Penolakan atas perubahan tidak
selalu muncul dipermukaan dalam bentuk
yang standar.Penolakan bisajelas
kelihatan (eksplisit) dan segera, misalnya
mengajukan protes, mengancam mogok,
demonstrasi, dan sejenisnya; atau bisa
juga tersirat (implisit), dan lambat laun,
misalnya loyalitas pada organisasi
berkurang, motivasi kerja menurun,
kesalahan kerja meningkat, tingkat
absensi meningkat, dan lain sebagainya.
Proyek Perubahan merupakan
suatu kegiatan pembelajaran dengan
bimbingan para coach dan concelor/
mentor serta teamwork yang ada di
instansinya mulai dengan kegiatan:
1. Diagnose organisasi.
2. Mengkomunikasikan permasalahan
dengan stakeholder.
3. Merancang Proyek Perubahan dan
membangunTim.
4. Melaksanakan Proyek Perubahan.
5. Menyajikan hasil pelaksanaan dalam
seminar kepemimpinan.
Edisi April 2018
Nugraha
69
G. Kepemimpinan Sejumlah literatur kepemimpinan
mendefinisikan bahwa kepemimpinan
adalah kemampuan mempengaruhi orang
untuk mencapai suatu tujuan. Pengertian
kepemimpinan ini mengharuskan
pemimpin terlebih dahulu menetapkan
suatu tujuan, lalu kemudian bergerak
mempengaruhi dan memobilisasi
stakeholdernya untuk mendukung dan
melaksanakan perubahan itu. Tujuan
seorang pemimpin kemudian menjadi
suatu dimensi yang sangat menentukan.
Tidak semua pemimpin mampu
menetapkan tujuan yang tepat.
Terkadang cara menetapkan tujuanlah
yang membawa kegagalan seorang
pemimpin. Misalnya, tujuan dimaksud
terlalu ambisius sehingga sulit
diwujudkan oleh stakeholder dan
sumberdaya yang dimilikinya. Atau
tujuannya bersifat business as usual
sehingga tidak mampu membawa
perubahan yang signifikan bagi
organisasi.
Begitupula, tujuan-tujuan
organisasi yang jauh dari prinsip standar
etika publik, dimana dalam menetapkan
tujuannya, pemimpin memiliki maksud
tertentu seperti korupsi, kolusi dan
nepotisme. Setelah menetapkan tujuan
yang tepat, barulah pemimpin
menerapkan kemampuan
mempengaruhinya, agar seluruh
stakeholdernya mendukungnya untuk
mencapai tujuan tersebut.
Keberhasilannya dalam mempengaruhi
stakeholder inilah yang akan menentukan
apakah pemimpin tersebut berhasil
membawa perubahan, karena mustahil
perubahan itu dilaksanakan sendiri.
Pemimpin membutuhkan orang lain
untuk mewujudkan perubahan yang
dikehendaki. Stakeholder yang dulunya
menentang kemudian berbalik menjadi
mendukung; stakeholder yang dulunya
pasif, kemudian berubah menjadi aktif.
Jika efektif memobilisasi stakeholder,
maka perubahan yang direncanakan akan
terwujud tanpa menemui kendala yang
berarti.
Setiap peserta Diklat
Kepemimpinan Tingkat III pola baru
setelah melaksanakan Laboratorium
Kepemimpinan (Breaktrough II) akan
melakukan Seminar Laboratorium
Kepemimpinan.Seminar Laboratorium
Kepemimpinan pada dasarnya adalah
media yang diperuntukan bagi peserta
untuk menunjukkan kinerjanya sebagai
pemimpin perubahan. Oleh karena itu,
setiap capaian yang mereka ungkapkan
perlu dibuktikan dengan bukti atau
evidence yang mereka kumpulkan.Tugas
nara sumber, mentor dan coach adalah
memferivikasi dan memvalidasi bukti-
bukti tersebut. Di samping itu, bagi
peserta yang lain, Seminar Laboratorium
Kepemimpinan ini adalah ajang untuk
berbagai pengetahuan. Dalam forum
inilah, peserta diharapkan dapat
mengadopsi dan mengadaptasi cara
terbaik dalam memimpin suatu
perubahan. Hasil pembelajaran peserta
dalam seminar ini akan menjadi input
dalam tahap evaluasi kepemimpinan.
Ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan menjelang seminar dan
sesudah seminar :
1. Persiapan peserta untuk presentasi
penyajian.
2. Persiapan dan pelaksanaan seminar
oleh Panitia Penyelenggara.
3. Perbaikan atau Penyempurnaan
Laporan Proyek Perubahan setelah
diseminarkan.
Edisi April 2018
Nugraha
70
4. Tindak lanjut dari Proyek Perubahan
setelah peserta kembali ke unit kerja
masing-masing.
H. Pemimpin Perubahan
Filosofi dasar Diklat
Kepemimpinan Tingkat III Pola Baru
adalah dapat menciptakan pemimpin
perubahan. Seorang Pemimpin perlu
terus belajar untuk selalu meningkatkan
kemampuan kepemimpinannya. Salah
satu sumber pembelajaran yang baik dari
diri sendiri, yaitu menilai sejauh mana
keberhasilannya dalam memimpin
perubahan. Di samping itu, sumber
pembelajaran yang juga signifkan
manfaatnya adalah dari orang lain,
terutama dari mereka yang sudah
menunjukkan keberhasilan dalam
memimpin perubahan. Tujuannya adalah
belajar dari diri sendiri dan orang lain.
Dari hasil pembelajaran ini, setiap
peserta diharapkan dapat menyusun
langkah langkah perbaikan dalam
memimpin perubahan.
Dari hasil seminar laboratorium
perubahan harus mempertimbangkan
perasaan dan emosi orang-orang yang
terlibat di dalamnya. Jika hal ini
diabaikan atau tim efektif perubahan
tidak sensitif terhadap hal ini,perubahan
tidak akan dapat terjadi sesuai rencana
yang telah dibuat.
Sumber daya manusia sebagai sumber
daya pengetahuan, keterampilan dan
sikap yang dimiliki oleh organisasi
merupakan sumber kekuatan untuk
keberhasilan perubahan, namun
sebaliknya, sumber daya manusia dapat
berbalik menjadi tantangan bagi
keberhasilan organisasi jika
kombinasinya tidak dapat dikelola
dengan baik.
Persoalan bagi pemimpin adalah
pemimpinan maka peserta akan dapat
dikelompokkan kedalam tiga kategori: 1. Pemimpin perubahan yang hebat;
2. Pemimpin perubahan yang berhasil;
3. Bukan pemimpin perubahan.
Pemimpin perubahan yang hebat
adalah mereka surplus dalam
menghadirkan milestone. Pemimpin
perubahan yang berhasil adalah mereka
yang berhasil mewujudkan milestone
yang telah direncanakan dalam Proyek
Perubahan. Sedangkan mereka yang
bukan pemimpin perubahan adalah
mereka yang tidak berhasil mewujudkan
milestone yang telah direncanakannya.
Komitmen terhadap perubahan
akan lebih besar jika mereka yang
dipengaruhi oleh perubahan tersebut
diizinkan untuk ikut serta sebanyak
mungkin dalam perencanaan dan
pelaksanaannya. Sasarannya adalah
membuat mereka memiliki perubahan
tersebut sebagai sesuatu yang mereka
inginkan dan senang untuk hidup
dengannya. Untuk memperoleh
komitmen terhadap perubahan
merupakan bagian penting dari sebuah
program manajemen perubahan.
Tanggung jawab terhadap pengelolaan
bagaimana mengubah sumberdaya
manusia dari sifatnya sebagai beban
menjadi kekuatan organisasi.
Perubahan dapat menjadi sangat
resisten dan defensif. Seseorang yang
memimpin perubahan mungkin harus
merubah kinerja perubahan tersebut
dengan maksud untuk memberikan
dukungan yang lebih efektif.
Dalamproses perubahan, seorang
pemimpin/ atasan/ mentor harus
berupaya untuk ikut melatih perubahan
pada dirinya sendiri sehingga terjadi
Edisi April 2018
Nugraha
71
suatu integritas pada dirinyadan
perubahan ini akan mempengaruhi
terjadinya perubahan kinerja dalam
organisasi yang dipimpinnya. Diklat
Kepemimpinan Tingkat III Pola Baru
akan dilaksanakan akan melibatkan
pimpinan masing-masing instansi
pengirim dalam proses pembelajaran,
apreasiasi dan kepemilikan; sehingga
peran pemimpin instansi untuk ikut
bertanggung jawab menyiapkan calon
pemimpin. Untuk dapat membentuk
pemimpin perubahan sebagai mentor.
Sebagai mentor, atasan
langsung/pemimpin peserta diklat
kepemimpinan diberbagai jenjang
diharapkan mampu berperan memberikan
bimbingan, memotivasi, menjadi mitra,
menularkan pengalaman-pengalaman
terbaiknya, dengan tetap menjalin
hubunganinterpersonal yang efektif.
Karena proyek perubahan yang akan
dibuat oleh peserta diklat selaku bawahan
semata-mata untuk pencapaian tujuan
organisasinya yang menjadi tangung
jawab bersama.
Adapun peran mentor atasan
langsung/pemimpin dalam proses diklat
kepemimpinan adalah ikut membimbing
pada Tahap ke II (Tahap Taking
Ownership), yaitu tahap membangun
kesadaran bersama (peserta dengan
atasan, kolega,bawahan dan stakeholder
terkait) akan pentingnya melakukan
reformasi pada area
strategi/program/kegiatan yang
bermasalah sesuai level jabatan.
Selanjutnya pada tahap ke IV (Tahap
Laboratorium Kepemimpinan), yaitu
tahap melakukan Implementasi Proyek
Perubahan yang telah dirancang di
tempat kerja peserta diklat dibawah
bimbingan mentor.
Pada saat tahap laboratorium
kepemimpinan, juga diharapkan mampu
membentuk tim perubahan dibawah
bimbingan mentor, sehingga
implementasi manajemen perubahan
meliputi perubahan individu, kelompok
maupun bersifat sistemik. Sebagai
Pemimpin instansi dari peserta juga
diharapkan memberiotorisasi kepada
peserta untuk menawarkan gagasan
perubahan kepada stakeholder yang ada
di instansinya.
Pada tahap evaluasi terakhir akan
dihadiri stekholder dari LAN. Mentor
dan Pembimbing bagi perta Diklat
Kepemimpinan Tingkat III pola baruakan
diuji kompetensinya mampu atau
tidaknya bagi peserta membangun proyek
perubahan yang telah dibuat dengan
melalui beberapa proses pembelajaran
yang telah dilalui. Kalau yang
bersangkutan dapat dan bisa meyakinkan
stakeholder, maka peserta diklatakan
diberikan Certificate Of Competence
(STTPP)dan apabila peserta Diklat
Kepemimpinan Tingkat III pola
barutidak bisa meyakinkan kepada
stekholder tentang hasil proyek
perubahan maka bagi peserta Diklat
Kepemimpinan Tingkat III pola baruakan
diberikan certificate of attendance (surat
keterangan mengikuti diklat).
I. Kinerja Pegawai Kinerja dapat dipandang sebagai
proses maupun hasil pekerjaan.
Kinerjamerupakan suatu proses tentang
bagaimana pekerjaan berlangsung
untukmencapai hasil kerja. Namun, hasil
pekerjaan itu sendiri juga menunjukkan
kinerja (Wibowo, 2011). Kinerja pada
dasarnya adalah apa yang dilakukan atau
tidak dilakukan karyawan (Robert L.
Mathis dan John H. Jackson, dalam
Edisi April 2018
Nugraha
72
Mawar,2012). Kinerja karyawan
mempengaruhi seberapa banyak
kontribusi karyawan kepada organisasi
yang antara lain termasuk: kuantitas
output, kualitas output, jangka waktu
output, kehadiran di tempat kerja, sikap
kooperatif. Kinerja (performance) adalah
hasil kerja yang dapat dicapai seseorang
atau sekelompok orang dalam suatu
organisasi, sesuai dengan wewenang dan
tanggung jawab masing-masing, dalam
rangka mencapai tujuan organisasi
bersangkutan secara legal, tidak
melanggar hukum dan sesuai dengan
moral maupun etika (Suyadi, 1999).
Pengaruh pendidikan dan pelatihan
dalam meningkatkan kinerja pegawai
dapat dilihat berdasarkan faktor-faktor
efektifitas kerja yang dapat ditingkatkan
melalui 3 jalur yaitu : pendidikan,
pelatihan dan pengalaman. Pendidikan
dan Pelatihan dapat meningkatkan
kinerja seorang pegawai baik dalam
penanganan pekerjaan yang ada saat ini
maupun pekerjaan yang ada pada masa
yang akan datang sesuai bidang tugas
yang diemban dalam organisasi. Di
samping itu, harus dibekali dengan
pengalaman, yang memiliki peranan
besar dalam menyelesaikan masalah
maupun kendala yang dialami pegawai
dalam menjalankan roda organisasi agar
dapat lebih berdaya guna dan berhasil
guna dalam rangka pencapaian tujuan
organisasi dengan maksimal.
Pengaruh pendidikandan Kinerja
berasal dari istilah Job performance atau
actual performance (prestasi kerja atau
prestasi sesungguhnya), atau juga hasil
kerja secara kualitas atau kuantitas yang
ingin dicapai oleh seorang pegawai
dalam melaksanakan tugasnya sesuai
dengan tanggung jawab yang
diberikan kepadanya (Mangkunegara,
2007:67). Menurut Amstrong dan Baron
(1998) dalam Wibowo (2011:2) Kinerja
merupakan hasil pekerjaan yang
mempunyai hubungan kuat dengan
tujuan Strategi Organisasi kepuasan
konsumen dan memberikan
kontribusiekonomi. Sedangkan menurut
Sedarmayanti (2007:260) Kinerja adalah
hasil kerja yang dapat dicapai seseorang
atau sekelompok orang dalam suatu
organisasi, sesuai dengan wewenang dan
tanggung jawab masing-masing dalam
upaya menca paitujuan organisasi
bersangkutan secara legal, tidak
melangggar hukum dan sesuai dengan
moral maupun etika.
Berdasarkan pengertian-pengertian
kinerja dari beberapa pendapat diatas,
dapat disimpulkan bahwa kinerja
merupakan hasil kerja baik itu secara
kualitas maupun kuantitas yang telah
dicapai pegawai, dalam menjalankan
tugas-tugasnya sesuai dengan tanggung
jawab yang diberikan organisasi,dan
hasil kerjanya tersebut disesuaikan
dengan hasil kerja yang diharapkan
organisasi, melalui kriteria-kriteria atau
standar kinerja pegawai yang berlaku
dalam organisasi. Berhasil tidaknya
kinerja yang telah dicapai oleh organisasi
tersebut dipengaruhi oleh tingkat kinerja
pegawai secara individual maupun secara
kelompok. Dengan asumsi semakin baik
kinerja pegawai maka semakin baik pula
kinerja organisasi. Dengan demikian
organisasi perlu menetapkan tujuan
kinerja pegawai.
Adapun tujuan kinerja pegawai
menurut Basri dan Rivai (2005:17):
1) Untuk perbaikan hasil kinerja
pegawai, baik secara kualitas
ataupun kuantitas.
2) Memberikan pengetahuan baru
dimana akan membantu pegawai
Edisi April 2018
Nugraha
73
dalam memecahan masalah yang
kompleks, dengan serangkaian
aktifitas yang terbatas dan teratur,
melalui tugas sesuai tanggung jawab
yang diberikan organisasi.
3) Memperbaiki hubungan antar
personal pegawai dalam aktivitas
kerja dalam organisasi.
J. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Kinerja
Menurut Mangkunegara (2007:67)
Faktor-faktor yang mempengaruhi
pencapaian kinerja adalah faktor
kemampuan (ability) dan faktor motivasi
(motivation).
1) Faktor Kemampuan
Secara psikologis, kemampuan
terdiri dari kemampuan potensi (IQ)
dan kemampuan realita, artinya
karyawan yang memiliki IQ yang
rata-rata (IQ 110-120 ) dengan
memadai untuk jabatannya dan
terampil dalam mengerjakan
pekerjaannya sehari-hari, maka ia
akan lebih mudah mencapai kinerja
yang diharapkan oleh karena itu
pegawai perlu ditempatkan pada
pekerjaan yang sesuai dengan
keahliannya.
2) Faktor Motivasi
Motivasi terbentuk dari
sikap(Attitude) seseorang karyawan
dalam menghadapi situasi kerja.
Motivasi merupakan kondisi yang
menggerakan diri karyawan yang
terarah untuk mencapai tujuan
organisasi (tujuan kerja). Sikap
mental merupakan kondisi mental
yang mendorong pegawai untuk
berusaha mencapai prestasi kerja
secara maksimal.(Sikap mental yang
siap secara psikofik) artinya,
seorang karyawan harus siap
mental, mampu secara fisik,
memahami tujuan utama dan target
kerja yang akan dicapai, mampu
memanfaatkan dalam mencapai
situasi kerja.
Kemampuan sendiri dapat
dibentuk melalui Pendidikan dan
Pelatihan seperti yang dikemukakan oleh
Simanjuntak ( 2005 ) pelatihan
merupakan bagian dari investasi SDM
(human investmen) untuk meningkatkan
kemampuan dan keterampilan kerja,
dan dengan demikian meningkatkan
kinerja pegawai. Maka dari itu
pendidikan dan pelatihan juga
merupakan salah satu faktor yang dapat
mempengaruhi kinerja pegawai. Dalam
era globalisasi ini perkembangan industri
dan perekonomian dunia harus diimbangi
oleh kinerja karyawan yang baik
sehingga terciptanya dan tercapainya
target target yang hendak dicapai.
Salah satu persoalan penting dalam
pengelolaan sumber daya manusia
(dalam tulisan ini disebut juga dengan
istilah pegawai) dalam organisasi adalah
menilai kinerja pegawai. Penilaian
kinerja dikatakan penting mengingat
melalui penilaian kinerja dapat diketahui
seberapa tepat pegawai telah
menjalankan fungsinya. Ketepatan
pegawai dalam menjalankan fungsinya
akan sangat berpengaruh terhadap
pencapaian kinerja organisasi secara
keseluruhan. Selain itu, hasil penilaian
kinerja pegawai akan memberikan
informasi penting dalam proses
pengembangan pegawai.
Namun demikian, sering terjadi,
penilaian dilakukan tidak tepat.
Ketidaktepatan ini dapat disebabkan oleh
banyak faktor. Beberapa faktor yang
Edisi April 2018
Nugraha
74
menyebabkan ketidaktepatan penilaian
kinerja diantaranya adalah ketidakjelasan
makna kinerja yang diimplementasikan,
ketidakpahaman pegawai mengenai
kinerja yang diharapkan, ketidakakuratan
instrumen penilaian kinerja, dan
ketidakpedulian pimpinan organisasi
dalam pengelolaan kinerja.
K. Penilaian Kinerja Pegawai
Untuk mengukur kinerja, dapat
digunakan beberapa ukuran kinerja.
Beberapa ukuran kinerja yang meliputi;
kuantitas kerja, kualitas kerja,
pengetahuan tentang pekerjaan,
kemampuan mengemukakan pendapat,
pengambilan keputusan, perencanaan
kerja dan daerah organisasi kerja. Ukuran
prestasi yang lebih disederhana terdapat
tiga kreteria untuk mengukur kinerja,
pertama; kuantitas kerja, yaitu jumlah
yang harus dikerjakan, kedua, kualitas
kerja, yaitu mutu yang dihasilkan, dan
ketiga, ketepatan waktu, yaitu
kesesuaiannya dengan waktu yang telah
ditetapkan.
Menurut Dessler (2006:377) ada
lima faktor dalam penilaian kinerja:
1) Kualitas pekerjaan,meliputi: akuisi,
ketelitian, penampilan dan
penerimaan keluaran
2) Kuantitas Pekerjaan, meliputi:
volume keluaran dan kontribusi
3) Supervisi yang diperlukan, meliputi:
membutuhkan saran, arahan atau
perbaikan.
4) Kehadiran, meliputi : regularitas,
dapat dipercaya/ diandalkan dan
ketepatan waktu
5) Konservasi, meliputi: pencegahan,
pemborosan, kerusakan dan
pemeliharaan.
Dalam melakukan penilaian
kinerja pegawai diperlukan langkah-
langkah, berikut langkah-langkah
penilaian kinerja ( Dessler, 2006 ):
1) Mendefinisikan pekerjaan, yang
berarti memastikan bahwa atasan
dan bawahan sepakat tentang tugas-
tugasnya dan standar jabatan.
2) Menilai kinerja, berarti
membandingkan kinerja aktual
bawahan dengan standar yang telah
ditetapkan dan ini mencakup
beberapa jenis tingkat penilaian.
3) Sesi umpan balik, berarti kinerja dan
kemajuan bawahan dibahas dan
rencana-rencana dibuat untuk
perkembangan apa saja yang
dituntut.
3. METODE PENELITIAN
Penelitian Implementasi Pasca
Diklat Kepemimpinan Tingkat III (Pola
Baru) Dalam Rangka Peningkatan
Kinerja Alumni Peserta Diklat di
Lingkungan Pemerintah Daerah
Kabupaten Purwakarta, ini menggunakan
desain penelitian kualitatif. Moleong
(2012:7) yang mengemukakan bahwa
metode kualitatif memberikan makna
yang luas dan holistik terhadap variabel
yang diteliti. Fokus penelitian tidak
hanya pada hasil dan proses pencapaian
hasil dari pasca Diklat Kepemimpinan
Tingkat III (Pola Baru), namun termasuk
juga aspek lain yang juga turut
memberikan kontribusi terhadap
pencapaian hasil tersebut. Aspek lain
yang dilihat diantaranya tenaga
kediklatan, kurikulum diklat, sistem dan
prosedur diklat serta sarana dan
prasarana diklat. Sebagaimana yang
diungkapkan oleh Bogdan dan Taylor
(Moleong, 2012:4) bahwa seorang
Edisi April 2018
Nugraha
75
peneliti harus berusaha mengkaji tidak
hanya dari sisi aspek variabel saja,
namun juga mengkaji lingkungan yang
ada dari variabel tersebut termasuk
orang-orang yang ada didalamnya.
Pendekatan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah pendekatan studi
kasus. Pendekatan studi kasus dipilih
dengan melihat jenis pertanyaan dalam
pertanyaan penelitian yang telah
diungkapkan sebelumnya. Pertanyaan
penelitian yang menggunakan kata
“bagaimana” mengarah pada pendekatan
studi kasus. Hal ini sejalan dengan yang
diungkapkan oleh Yin (2013:1) bahwa
pendekatan studi kasus lebih tepat
diterapkan dalam pokok pertanyaan
bagaimana atau mengapa. Di sisi lain,
Cresswel (2007:73) berpendapat bahwa
pendekatan studi kasus digunakan bagi
peneliti yang mengeksplorasi satu kasus
atau beberapa kasus dalam jangka waktu
tertentu. Penelitian ini berupaya
mengeksplorasi implementasi pasca
Diklat Kepemimpinan Tingkat III (Pola
Baru) dalam rangka peningkatan kinerja
llumni peserta diklat di lingkungan
Pemerintah Daerah Kabupaten
Purwakarta sejak tahun 2014-2017.
A. Informan Penelitian
Dalam penelitian kualitatif,
kualitas data yang dihasilkan sangat
bergantung pada ketepatan penentuan
informan penelitian. Penentuan informan
menggunakan teknik sampling berupa
purposive sampling. Sugiyono
(2008:219) purposive sampling adalah
“teknik penentuan sampel dimana
informan diambil berdasarkan
pertimbangan tertentu”. Artinya peneliti
memilih orang tertentu yang kiranya
dapat memberikan data atau informasi
yang diperlukan sehingga dari data atau
informasi yang didapatkan peneliti dapat
menentukan informan lain yang
dipertimbangkan akan memberikan data
yang lebih lengkap. Kriteria yang harus
dimiliki oleh informan sebagaimana
pendapat Sanafiah (Sugiyono, 2008:220)
adalah penguasaan sesuatu melalui
proses enkulturasi, terlibat secara
langsung dari kegiatan yang diteliti,
memiliki waktu yang memadai untuk
dimintai informasi, tidak memiliki
kecenderungan menyampaikan informasi
hasil pemikirannya sendiri, memiliki
semangat untuk menjadi narasumber
penelitian.
Dengan pertimbangan kriteria di
atas, pemilihan informan didasarkan
pada penguasaan secara substansi
mengenai implementasi pasca Diklat
Kepemimpinan Tingkat III (Pola Baru).
Dari informan tersebut, diperoleh
informasi yang mendukung tujuan
penelitian. Adapun jumlah informan
adalah 78 ( tujuh pulu delapan ) orang.
B. Teknik dan Instrumen
Pengumpulan Data
Dalam melakukan penelitian ini,
teknik pengumpulan data yang telah
penulis lakukan diantaranya adalah
observasi, wawancara dan dokumentasi.
Berikut ini akan diuraikan satu persatu
ketiga teknik yang telah dilakukan:
C. Observasi
Observasi merupakan teknik
mengumpulkan data dengan cara
langsung mendatangi obyek penelitian
dan mengamati yang terjadi sebenarnya.
Dalam penelitian ini penulis mengadakan
observasi pada Pusat Diklat
Kementerian Dalam Negeri Regional
Bandung dan Yogjakarta, Pusdikmin
Polri, Pusdiklat BKN dan BPSDM Jawa
Edisi April 2018
Nugraha
76
Barat sebagai pelaksana kegiatan diklat.
Penulis melakukan observasi non
partisipasi dimana dalam hal ini penulis
datang ke tempat objek penelitian yang
diamati namun tidak ikut terlibat dalam
kegiatan yang ada didalamnya. penulis
lakukan dengan kegiatan wawancara dan
alumni peserta diklat serta atasan
langsung alumni Diklatpim Tk.III pola
baru.
D. Wawancara
Wawancara merupakan merupakan
percakapan dengan maksud tertentu oleh
dua pihak yaitu pewawancara
(interviewer) sebagai pengaju/pemberi
pertanyaan dan yang diwawancarai
(interviewee) sebagai pemberi jawaban
atas pertanyaan itu. Jenis wawancara
yang dilakukan adalah wawancara
mendalam. Sebagaimana diungkapkan
oleh Bungin (2007:108-111) bahwa
wawancara mendalam adalah proses
tanya jawab antara pewawancara dengan
informan dalam memperoleh keterangan
untuk tujuan penelitian. Wawancara
mendalam telah dilakukan dengan
mengacu pada pedoman wawancara. Hal
ini ditujukan untuk membuat proses
wawancara lebih terarah dan terfokus
pada topik penelitian. Informasi yang
diperoleh dibandingkan antar satu
dengan lainnya untuk mendapatkan
jawaban atas pertanyaan penelitian.
E. Dokumentasi
Metode ini merupakan suatu cara
pengumpulan data yang menghasilkan
catatan-catatan penting yang
berhubungan dengan masalah yang
diteliti sehingga diperoleh data yang
lengkap, sah dan bukan berdasarkan
perkiraan. Dalam kegiatan dokumentasi
ini penulis mencari data awal dari
beberapa peraturan perundang-undangan
serta dokumen-dokumen lain yang terkait
seperti:
a. Undang Undang Nomor 5 Tahun
2014 Tentang ASN
b. Peraturan pemerintah No. 11 Tahun
2017 Tentang Manajemen ASN
c. Peraturan Pemerintah Nomor 101
Tahun 2000 tentang Diklat Jabatan
Pegawai Negeri Sipil
d. Peraturan Menteri Pendayagunaan
Aparatur Negara No. 22 Tahun 2014
tentang Jabatan Fungsional
Widyaiswara dan anka Kreditnya
e. Peraturan Kepala LAN No. 12
Tahun 2013 Tentang Pedoman
Penyelenggaraan Diklat
Kepemimpinan Tingkat III.
f. Peraturan Kepala LAN No. 19
Tahun 2015 Tentang Pedoman
Penyelenggaraan Diklat
Kepemimpinan Tingkat III.
Penulis memperoleh dokumen-
dokumen yang diperlukan tersebut
dengan mengunduh dari internet.
F. Teknik Verifikasi Data
Teknik verifikasi data yang
dilakukan dalam penelitian ini adalah uji
validitas dan uji realibilitas. Penggunaan
uji validitas data ini berguna untukuntuk
meningkatkan kemampuan peneliti
dalam menilai ketepatan hasil penelitian
serta meyakinkan pembaca terhadap
akurasi dari penulisan ini, Cresswell
(2009:191-192). Dalam penelitian ini
penulis melakukan uji validitas data
dengan cara triangulasi, usemember
checking (menggunakan member
checking), use peer debriefing
(melakukan tanya jawab dengan sesama
rekan peneliti) dan use an external
auditor (mengajak seorang auditor).
Edisi April 2018
Nugraha
77
a. Triangulasi. Uji validitas dengan
triangulasi akan menghilangkan
perbedaan-perbedaan data yang
ada, melakukan pengecekan kembali
dan menajamkan data yang
diperoleh dengan membandingkan
dengan sumber lain. Adapun
triangulasi yang digunakan penulis
adalah:
1) Triangulasi dengan sumber. Hal
yang akan dilakukan mengacu
diantaranya adalah
membandingkan data hasil
pengamatan dengan hasil
wawancara, membandingkan apa
yang dikatakan orang di depan
umum dengan apa yang
dikatakannya secara pribadi,
membandingkan apa yang akan
dikatakan orang tentang situasi
penelitian dengan apa yang
dikatakannya sepanjang waktu,
membandingkankeadaan dan
perspektif seseorang dengan
berbagai pendapat dan
pandangan orang serta
membandingkan hasil
wawancara dengan isi dokumen
yang berkaitan.
2) Triangulasi dengan metode,
meliputi dua strategi
sebagaimana diungkapkan oleh
Patton (Moleong, 2012:331)
yaitu mengecek derajat
kepercayaan penemuan hasil
penelitian beberapa teknik
pengumpulan data dan
pengecekan derajat kepercayaan
beberapa sumber data dengan
metode yang sama.
b. Use member checking. Klarifikasi
hasil penelitian dan mengidentifikasi
hasil penelitian dengan para
informan adalah dilakukan sesegera
mungkin setelah proses wawancara
dilakukan. Hal ini dilakukan untuk
penyamaan persepsi antara penulis
dengan informan. Termasuk untuk
tidak memunculkan pembicaraan-
pembicaraan tertentu dalam
penyajian data dengan pertimbangan
khusus, seperti terkait dengan
anggaran.
c. Use peer debriefing. Berdasarkan
pada Moleong (2012:333) penulis
menggunakan teknik ini kepada
rekan sejawat. Penulis melakukan
pembicaraan mengenai penelitian
yang dilakukan terhadap beberapa
rekan sejawat penulis yaitu rekan
yang mengetahui kegiatan diklat
kepemimpinan tingakat III dan
rekan penulis yang merupakan pakar
dalam administrasi pendidikan.
d. Use an external auditor. Auditor
yang dilibatkan atasan langsung
alumni peserta Diklatpim Tk.III
yang mengetahui secara jelas kinerja
alumni.
Reliabilitas dalam penelitian
kuantitatif sangat berbeda dengan
reliabilitas dalam penelitian kualitatif.
Dalam penelitian kualitatif suatu realitas
itu majemuk, dinamis sehingga tidak ada
yang konsisten. Hal ini terjadi karena
terdapat perbedaan setiap individu dalam
melihat realitas. Sehingga reliabilitas
suatu penelitian tergantung dari sudut
pandang mana orang melihatnya dan
bagaimana latar belakang individu
tersebut sehingga mempengaruhi cara
pandangnya dalam melihat realita.
Lalu bagaimana peneliti kualitatif
dapat menentukan penelitian mereka
Edisi April 2018
Nugraha
78
konsisten atau dapat diandalkan dan
dapat dipertanggungjawabkan Yin
(Creswell, 2009:190)
menyarankan:Peneliti kualitatif perlu
untuk mendokumentasikan prosedur
studi kasus mereka dan
mendokumentasikan langkah-langkah
dalam prosedur sebanyak mungkin. Dia
juga menyarankan menyiapkan tahap-
tahap studi kasus secara rinci dan data
basenya.
G. Prosedur Pengolahan dan Analisis
Data
Analisa Data berdasarkan
pendapat dari Patton dalam Moleong
(Moleong, 2012:280) adalah “proses
mengatur urutan data,
mengorganisasikannya ke dalam suatu
pola, kategori, dan satuan uraian dasar”.
Menurut Miles dan Huberman
dalam Denzin (1994:429) aktifitas dalam
analisis data kualitatif dilakukan secara
interaktif dan berlangsung secara terus
menerus pada setiap tahapan penelitian
sehingga sampai tuntas dan datanya
sampai jenuh..
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Karakteristik Informan
Gambaran mengenai karateristik
informan penelitian, berdasarkan hasil
pengumpulan jawaban atas kuesioner
yang dilakukan di lingkungan Pemda
Kabupaten Purwakarta meliputi: jenis
kelamin. Karakteristik informan
didasarkan pada jenis kelamin
Dari jumlah informan sebanyak
78 orang, distribusi frekuensi informan
berdasarkan jenis kelamin nampak
sebagian besar responden penelitian ini
adalah jenis kelamin laki-laki yaitu
sebanyak 68% responden dan
jeniskelamin wanita sebanyak 32%.
Gambaran ini menunjukan bahwa Laki-
laki masih menjadi gender terbesar
pegawai alumni Diklat Pim Tingkat III
Pola Baru Pemda Kab. Purwakarta.
Karakteristik informan
berdasarkan tingkat pendidikan dari
informan sebanyak 78 orang, distribusi
frekuensi informan berdasarkan tingkat
pendidikan, responden terbanyak berada
pada kelompok pendidikan Sarjana (S1)
yaitu sebanyak 49%. Kelompok
informan dengan pendidikanS2
sebanyak 51 % dan
SMA/Sederajat/Diploma 0%. Hal ini
menunjukkan bahwa peserta diklat yang
menjadi responden penelitian ini
didominasi oleh pegawai alumni Diklat
Pim Tingkat III Pola Baru di OPD
dengan tingkat pendidikan tinggi.
B. Implementasi Pasca Diklatpim III
Pola Baru terhadap Kinerja
Alumni
Menentukan tingkat efektivitas
pelaksanaan Diklatpim Tk.III pola baru
berdasarkan teknik analisis deskripsi,
dengan memberikan skala angka interval
1 dan maksimal 5, kemudian dilakukan
perhitungan interval jawaban
informan.Pada analisis ini setiap nilai
item pertanyaan kuesioner penentuan
interval dengan rumus sebagai berikut :
80.05
15
KelasJumlah
terendahNilai- tertinggiNilaiInterval
Kategori interval jawaban pada
masing-masing dimensi ditentukan
sebagai berikut :
Interval 1,00– 1,80 = rendah
Interval 1,81– 2,60 = kurang
Interval 2,61– 3,40 = cukup
Interval 3,41– 4,20 = tinggi/ baik
Interval 4,21– 5,00 = sangat tinggi
Edisi April 2018
Nugraha
79
1. Materi Pendidikan dan Latihan
Berdasarkan hasil tanggapan
informan diperoleh hasil sejauh mana
penerapan metode pendidikan dan
pelatihan yang telah dilaksanakan.
Mnunjukkan bahwa materi pada
penyelenggaraan Diklat Kepemimpinan
Tingkat III pola baru, menunjukkan
bahwa skor terendah adalah 3,76 yaitu
pada kategori baik. Skor terendah
ada pada masalah perlunya
pengembangan materi Diklatpim. Hasil
ini memperlihatkan kondisi riil bahwa
ketidak sesuaian materi dengan
pelaksanaan pekerjaan di lapangan.
Setelah selesai Diklatpim, proyek
perubahan yang dibuat pada saat diklat
tidak relevan lagi untuk diterapkan
karena perbedaan masalah di tempat
kerja baru.
Materi Diklat Kepemimpinan
Tingkat III pola baru pada dasarnya
berdasarkan hasil penelitian perlu untuk
dikembangkan lebih lanjut, oleh karena
Pendidikan dan Pelatihan Pegawai
Negeri Sipil bertujuan mewujudkan
proses penyelenggaraan belajar mengajar
dalam rangka meningkatkan kemampuan
Pegawai Negeri Sipil. Untuk mencapai
daya guna dan hasil guna yang sebesar-
besarnya diadakan pengaturan dan
penyelenggaraan pendidikan dan
pelatihan jabatan Pegawai Negeri Sipil
yang bertujuan untuk meningkatkan
pengabdian, mutu, keahlian,
kemampuan, dan keterampilan.
2. Kurikulum Pendidikan dan Pelatihan
Kurikulum pada penyelenggaraan
Diklat Kepemimpinan Tingkat III pola
baru pada diukur menggunakan 6 (enam)
item pernyataan. Berdasarkan hasil
penelitian di atas, yang masih menjadi
kendala adalah kesesuaian bahan ajar
untuk memecahkan masalah dan
kurikulum yang sesuai kebutuhan para
peserta. Sementara secara umum
kurikulum Diklat Kepemimpinan
Tingkat III pola baru telah dapat dinilai
pada taraf yang baik (skor 3,52).
Berdasarkan hasil penelitian ini, perlu
adanya pengembangan kurikulum Diklat
Kepemimpinan Tingkat III pola baru ke
arah yang lebih baik, sesuai dengan
kebutuhan peserta dan masalah riil di
lapangan pekerjaan. Sebagaimana
dipahami secara umum bahwa
pendidikan dan pelatihan PNS bertujuan
untuk meningkatkan kompetensi PNS
sesuai dengan bidang tugasnya. Hal ini
sesuai dengan konsepsi tentang
Pendidikan dan Pelatihan Jabatan PNS,
bahwa orientasi pendidikan dan pelatihan
PNS adalah pada pengembangan
kompetensi. Konsepsi ini menuntut
bahwa yang menjadi ultimate goal dari
pendidikan dan pelatihan adalah
peningkatan kompetensi PNS
Keberhasilan suatu program Diklat
Kepemimpinan Tingkat III pola baru
tidak hanya berdasarkan dan berhenti
pada aktivitas perencanaan yang telah
menetapkan target dan capaian serta
tujuan tertentu, dan sudah
dilaksanakannya program diklat tersebut.
Namun, perlu upaya-upaya lanjutan
berupa kajian dan evaluasi agar pada
masa yang akan datang kualitas
penyelenggaraan suatu pendidikan dan
pelatihan akan dapat dilaksanakan
dengan lebih baik.
Produk suatu proses pendidikan
dan pelatihan adalah berupa output atau
alumni peserta pelatihan, sedangkan
manfaat produk lebih lanjut adalah
berupa outcome, yaitu bagaimana
pengaruh pelatihan terhadap kinerja
nyata seorang peserta diklat. Sebagai
Edisi April 2018
Nugraha
80
upaya mengetahui hasil atau manfaat
nyata suatu program pendidikan dan
pelatihan maka perlu dilakukan evaluasi
pascadiklat, yaitu suatu upaya untuk
mengungkap bagaimana kualitas
outcome suatu pendidikan dan pelatihan.
Dalam suatu proses manajemen, siklus
perencanaan, pengorganisasian,
pelaksanaan serta kontrol terhadap suatu
program/kegiatan haruslah dilakukan
secara komprehensif. Evaluasi
pascadiklat adalah salah satu fungsi
dalam tahapan kontrol dalam suatu
proses manajemen penyelenggaraan
diklat.
Tindak lanjut dari masalah
pengembangan kurikulum berdasarkan
hasil penelitian ini adalah perlunya
evaluasi kesesuaian Diklat
Kepemimpinan Tingkat III pola baru
dengan kebutuhan, dapat dilakukan
dengan penyusunan kuesioner evaluasi
pasca diklat atau dalam bentuk Focus
Group Discussion dalam upaya
menyusun hasil evaluasi pasca Diklat
Kepemimpinan Tingkat III pola baru.
Dengan demikian harapan akan
terwujudnya hasil evaluasi pasca diklat
yang valid dan inspiratif dapat dicapai
yang selanjutnya akan mendukung upaya
peningkatan kualitas dan profesional
aparatur pemerintah. Dengan
terlaksananya FGD dan ekspose
pengembangan evaluasi pasca diklat,
maka hasilnya disempurnakan lagi dan
diharapkan bahwa ke depannya
penyelenggaraan Diklat Kepemimpinan
Tingkat III pola baru tersebut dapat
berjalan secara efektif, efisien, reliabel,
berdaya guna dan berhasil guna bagi para
peserta diklat dan organisasi.
3. Kompetensi Pemateri (Widyaiswara)
Widyaiswara mempunyai peranan
yang cukup besar dalam
mengembangkan Kompetensi Aparatur
Sipil Negara, dalam pendidikan dan
latihan. Jumlah Aparatur Sipil Negara
saat ini kurang lebih 4,5 Juta, maka
tentunya Peranan ASN menjadi Leading
dalam memajukan Birokrasi. Karena itu
peningkatan Kompetensi ASN tid bisa
dilepaskan dari metode pengembangan
dan pelatihan yang diikutinya sesuai
dengan kompetensi widyaiswaranya.
Berdasarkan hasil penelitian di atas, pada
dasarnya Widyaiswara sebagai pengajar
pada Diklat Kepemimpinan Tingkat III
pola baru, dapat dinilai sudah memiliki
kompetensi yang cukup (Skor 3.51).
Untuk mencetak ASN yang kompeten
maka Peranan Widyaiswara memiliki
posisi yang strategis. Widyaiswara yang
memiliki Tugas, tanggung jawab,
wewenang, dan hak untuk melakukan
mendidik, mengajar, melatih Aparatur
Sipil Negara untuk memiliki Value
added (nilai tambah). Ditambah lagi
dengan Tugas untuk melakukan evaluasi
pada lembaga Diklat, Peranan
Widyaiswara cukup besar dalam
mewujudkan Birokrasi yang terbaik.
Pada penelitian ini, widyaiswara
pada Diklat Kepemimpinan Tingkat III
pola baru memiliki kemampuan subtansi
terhadap materi yang diampunya dalam
melaksanakan kegiatan pendidikan,
pengajaran, serta pelatihan kepada
peserta, tak bisa dipungkiri untuk
mencapai Birokrasi terbaik maka
tentunya Aparatur sipil Negara memIliki
peranan penting , dan mencetak ASN
yang Smart ASN maka ujung tombaknya
ada pada widyaiswara yang
melaksanakan Tugas sebagai pengajar di
pusat kediklatan.
Edisi April 2018
Nugraha
81
Widyaiswara sebagai salah satu
ujung tombak dalam peningkatan
kualitas Sumber Daya Aparatur memiliki
peran yang strategis dalam memainkan
perannya dalam reformasi birokrasi.
Gelombang demokratisasi berupa
tuntutan agar birokrasi pemerintah lebih
akuntabel (secara hukum, politik dan
manajerial) merupakan salah satu sumber
pendorong Reformasi Birokrasi.
Widyaiswara sebagai agent of change
diharapkan mampu mentransformasi
ilmu yang dimiliki serta sebagai
Inspirator dan Motivator dalam rangka
meningkatkan kualitas Sumber Daya
Aparatur PNS. Tidak hanya kemampuan
intelektualnya tapi juga kematangan
emosionalnya agar nantinya dapat
dihasilkan SDM yang berkualitas.
Widyaiswara juga diharapkan
memiliki pengetahuan dan memahami
mengenai Reformasi Birokrasi, Revolusi
Mental serta memiliki kemauan dan
kemampuan untuk meningkatkan
kualitas diri sebagai seorang agen
perubahan. Faktor kunci keberhasilan
reformasi birokrasi adalah
profesionalisme para aparaturnya, yaitu
dalam hal penguasaan kompetensi untuk
melaksanakan tugas, komitmen untuk
mengembangkan kompetensi, komitmen
dan orientasi terhadap pelayanan,
menjunjung tinggi etika profesi.
Karenanya peran Widyaiswara sangat
penting sebagai agent of change yang
mampu memainkan perannya sebagai
model dengan menunjukkan kemauan
untuk belajar dan berubah, Widyaiswara
yang mampu menerapkan konsep
kualitas dalam proses pembelajaran
untuk perbaikan secara terus menerus,
mampu mendorong peserta diklat untuk
mengenali tuntutan/kebutuhan akan
perubahan di lingkungannya.
4. Evaluasi Pendidikan dan Pelatihan.
Diklat Kepemimpinan Tingkat III
pola baru merupakan suatu unsur yang
penting dalam meningkatkan kompetensi
pegawai dalam melaksanakan tugas-
tugasnya. Untuk mencapai tujuan
pelatihan yang tepat guna, perlu
dilakukan suatu evaluasi untuk melihat
apakah pelatihan yang diberikan sudah
mencapai sasaran, dengan demikian
dapat dilakukan penyempurnaan dalam
fasilitas belajar mengajar, materi
pembelajaran dan hal-hal yang
menunjang pelatihan tersebut. Evaluasi
program pendidikan dan pelatihan adalah
upaya mendapatkan informasi untuk
menilai keberhasilan suatu program
pendidikan dan pelatihan yang pada
gilirannya digunakan untuk menentukan
kebijakan atau tindak lanjut terhadap
keberadaan program pendidikan dan
pelatihan tersebut.
Hasil penelitian mengenai evaluasi
atas Diklat Kepemimpinan Tingkat III
pola baru yang telah dilakukan,
pelaksanaan Diklat Kepemimpinan
Tingkat III pola baru telah sesuai dengan
kebutuhan para peserta, baik itu dari
materi, media pembelajaran, kesigapan
panitia, penjadwalan dan jam belajar
yang cukup. Perolehan skor dapat dinilai
baik atas evaluasi Diklat Kepemimpinan
Tingkat III pola baru ini Pada masalah
pengembangan sumber daya manusia,
aspek kualitas pegawai menyangkut
kemampuannya, seperti keterampilan.
Untuk mencapai hal tersebut perlu
diadakannya pendidikan tambahan yang
mengacu pada beban tugas pegawai yaitu
pendidikan dan latihan. Salah satu usaha
yang dilakukan oleh pemerintah dalam
meningkatkan kualitas sumber daya
aparaturnya adalah senantiasa melakukan
berbagai upaya peningkatan kemampuan,
Edisi April 2018
Nugraha
82
pengetahuan, dan ketrampilannya secara
kontinyu dan berkesinambungan. Hal ini
dimaksudkan agar Birokrasi senantiasa
mampu memberikan pelayanan yang
terbaik bagi masyarakat serta dapat
menyesuaikan diri dengan berbagai
perubahan yang terjadi dalam
masyarakat. Program yang perlu
dilakukan dalam upaya peningkatan
pengetahuan, kemampuan dan
ketrampilan aparatur birokrasi di
lingkungan pemerintah, dilakukan
melalui berbagai pendidikan dan
pelatihan baik di bidang teknis
fungsional maupun struktural.
Berbagai jenis diklat tersebut apabila
benar-benar diikuti dan dipedomani oleh
setiap Pegawai Negeri Sipil akan
menjadi bekal yang baik dalam
pelaksanaan tugas sehari-hari, karena
pendidikan dan pelatihan memang sudah
dipersiapkan untuk meningkatkan
kompetensi bagi Pegawai Negeri Sipil.
Penting dalam hal pendidikan dan latihan
ini adalah kesesuaian materi dengan
jabatan dan kesempatan yang sama
kepada seluruh pegawai.
Tujuan diklat telah dipahami
dengan baik oleh pegawai yaitu untuk
meningkatkan kemampuan pegawai dan
meningkatkan kinerja institusi. Di dalam
lingkungan pemerintah untuk
membangun dan mengembangkan
potensi sumber daya aparatur atau
birokrat yang ada, sehingga dapat
menjadi aparatur yang berkemampuan
tinggi dalam mendukung pelaksanaan
tugas.
Mengikut sertakan Pegawai Negeri
Sipil dalam program Diklat
Kepemimpinan Tingkat III pola baru
pada dasarnya merupakan upaya
pengembangan Pegawai Negeri Sipil
dalam rangka meningkatkan dan
menambah pengetahuan, kecakapan, dan
pembentukan pola perilaku Birokrat
sesuai bidang tugasnya dan
kedudukannya selaku aparatur pemangku
jabatan struktural setingkat eselon III.
5. Efektivitas Pendidikan dan Pelatihan
Pelaksanaan Diklat
Kepemimpinan Tingkat III pola baru
dapat dinilai memiliki efektivitas, yaitu
ketika adanya perilau dan hasil dimana
hubungan tersebut dapat dilihat dari
adanya kesesuaian dari proses belajar
yang responsif, perilaku positif dan
peningkatan etos kerja peserta pelatihan
menunjukkan adanya peningkatan
efektivitas pelatihan. Efektivitas dapat
dicapai dengan membandingkan antara
kinerja dan kemampuan alumni Diklat
Kepemimpinan Tingkat III pola baru,
baik sebelum maupun sesudah mengikuti
diklat menunjukkan perubahan
kemampuan ke arah yang lebih baik dan
menunjukkan kinerja yang meningkat.
Begitu pula halnya dengan perubahan
sikap sebelum dan sesudah mengikuti
Diklat Kepemimpinan Tingkat III pola
baru menunjukkan perubahan sikap yang
lebih baik pula. Penyelesaian pekerjaan
yang tepat waktu, disiplin dan dedikasi
yang tinggi sebagai hasil mengikuti
Diklat Kepemimpinan Tingkat III pola
baru. Berdasarkan hasil penelitian di atas
nilai rata rata jawaban responden
terhadap efektivitas hasil Diklat
Kepemimpinan Tingkat III pola baru
terhadap kinerja alumni adalah pada
kategori baik, rata-rata keseluruhan
sebesar 3.65. Peningkatan kualitas dan
kemampuan (capacity building) alumni
Diklat Kepemimpinan Tingkat III pola
baru, harus didukung dengan konsep
pengangkatan PNS dalam jabatan
berbasis kompetensi. Implementasi
Edisi April 2018
Nugraha
83
konsep pengangkatan berbasis
kompetensi ini akan lebih efektif,
manakala didukung dengan konsep
pengukuran kompetensi individu
(pemegang jabatan), sehingga
pendekatan the right man on the right
place akan terwujud. Oleh karena itu
agar instansi dapat
mengimplementasikan konsep ini, maka
dipandang perlu melakukan kajian
mengenai pengukuran kompetensi PNS
guna memperoleh informasi yang
komprehensif dalam rangka penyusunan
pedoman pengukuran kompetensi PNS
dalam jabatan struktural.Kompetensi
pegawai yang dimaksud, antara lain,
kompetensi manajerial, kompetensi
teknis, kompetensi sosio kultural dan
kompetensi pemerintahan. sebagai
aparatur yang berkualitas dan siap untuk
menjadi pemimpin perubahan yang
mumpuni, aparatur harus benar-benar
dapat menguasai dan memahami empat
kompetensi itu dalam menghadapi
tantangan global yang tidak ringan.
Karakteristik sumber daya manusia
pejabat eseolon III adalah orang-orang
yang merancang program pelayanan
kepada masyarakat, tanpa memiliki
keahlian atau kompeten maka mustahil
untuk mencapai tujuannya. Potensi inilah
yang membuat sumber daya lainnya
dapat berjalan. Banyak keunggulan yang
dimiliki organisasi perangkat daerah,
tidak akan memaksimalkan produktivitas
tanpa komunitas pegawai yang
berkeahlian, kompeten dan berdedikasi
tinggi terhadap organisasi. Masing-
masing instansi baik di pusat maupun
daerah membuat model kompetensi yang
kemudian disebut dengan standar
kompetensi jabatan struktural untuk
eselon I, II, III, dan eselon IV. Standar
Kompetensi Jabatan sebagai salah satu
bahan pertimbangan dalam pengambilan
keputusan di bidang pengangkatan PNS
dalam jabatan struktural. Persyaratan
untuk dapat diangkat dalam jabatan
struktural antara lain adalah memiliki
kompetensi jabatan yang diperlukan.
Untuk menindaklanjuti ketentuan
tersebut perlu standarisasi kompetensi
untuk setiap jabatan. Standar Kompetensi
Jabatan Struktural Pegawai Negeri Sipil,
bahwa kualitas kepribadian yang
memiliki integritas adalah salah satu
kompetensi pegawai negeri. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa
tingkat kualitas kepribadian pegawai
telah cukup memenuhi.
Kepribadian dengan integritas
terutama untuk menanggulangi
permasalahan KKN seperti tanggung
jawab terhadap keuangan negara.
Masalah sumber daya keuangan dalam
program lingkungan kerja kantor
pemerintahan, merupakan hal yang harus
dapat dipertanggungjawabkan.
Berdasarkan hasil penelitian
terlihat bahwa Kebijakan Diklat
Kepemimpinan Tingkat III pola baru
telah optimal. Sebagaimana hasil dalam
penelitian di atas, pendidikan dan latihan
dinyatakan pejabat eselon III adalah hal
yang perlu dilakukan untuk
meningkatkan kemampuan pegawai
alumni Diklat Kepemimpinan Tingkat III
pola baru dalam melaksanakan tugas
yang lebih spefisik. Kemampuan
pegawai alumni Diklat Kepemimpinan
Tingkat III pola baru akan tercapai untuk
masalah kerja tertentu yang tidak hanya
dapat dicapai dengan latar belakang
pendidikan pegawai yang dimaksud.
Diklat Kepemimpinan Tingkat III pola
baru adalah suatu kegiatan untuk
meningkatkan pengetahuan umum
pegawai termasuk di dalamnya
Edisi April 2018
Nugraha
84
peningkatan penguasaan teori dan
ketrampilan memutuskan terhadap
persoalan-persoalan mencapai tujuan.
Pelatihan adalah suatu kegiatan untuk
memperbaiki kemampuan seseorang
dalam kaitannya dengan aktifitas
ekonomi. Pelatihan membantu Pegawai
dalam memahami suatu pengetahuan
praktis dan penerapannya guna
meningkatkan ketrampilan, kecakapan,
dan sikap yang diperlukan organisasi
dalam usaha pencapaian tujuan. Pada
dasarnya kinerja pegawai ditentukan oleh
tiga faktor, yaitu yang bersumber dari
dalam diri pegawai, organisasi, dan
lingkungan. Faktor dari dalam diri
pegawai misalnya adalah kepuasan
pegawai untuk melakukan pekerjaan
secara maksimal. Kepuasan kerja
meliputi berbagai aspek pemenuhan
kebutuhan fisiologis, keselamatan dan
keamanan kerja, sosial, penghargaan
serta aktualisasi diri. Semua aspek ini
sangat menentukan tingkat kepuasan
pegawai. Faktor-faktor tersebut
merupakan aspek yang dapat dipenuhi
melalui pelatihan.
Kinerja melalui aspek yang
dirasakan oleh pegawai alumni Diklat
Kepemimpinan Tingkat III pola baru
cukup menentukan setelah adanya
mengikuti Diklat Kepemimpinan Tingkat
III pola baru. Dalam tataran normatif dan
konseptual upaya peningkatan kinerja
aparat oleh pemerintah sepatutnya harus
menyesuaikan diri dengan kondisi atau
tuntutan lingkungan. Karena itu jika
ditarik ke dalam pola hubungan
pemerintahan, dalam kaitannya dalam
fungsi pelayanan publik, maka
pemerintah sebagai provider dan publik
sebagai konsumen, demikian pula posisi
keduanya dapat menjadi sebaliknya,
artinya publik sebagai provider
memberikan penilaian atas kinerja
aparaturnya. Namun demikian konsep
yang telah diuraikan di atas menjadi
tidak bermakna apabila fasilitas yang
menjadi pegangan aparat untuk
melakukan pelayanan tidak menyokong.
Diklat Kepemimpinan Tingkat III
pola baru dimulai dari upaya untuk
mendapatkan pegawai alumni Diklat
Kepemimpinan Tingkat III pola baru
yang siap, dimulai dari proses analisis
pekerjaan yang menggambarkan tentang
kebutuhan atau diperlukannya pelatihan.
Setelah dianalisis yang, dibuatlah materi
sesuai dengan jabatan dan sesuai dengan
kebutuhan, determinan adalah kebutuhan
kemampuan pegawai alumni Diklat
Kepemimpinan Tingkat III pola baru
sesuai dengan tupoksi, sehingga Diklat
Kepemimpinan Tingkat III pola baru
akan sesuai dengan hasil kinerja yang
dicapai.
Kinerja adalah hasil kerja secara
kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh
seseorang pegawai alumni Diklat
Kepemimpinan Tingkat III pola baru
dalam melaksanakan tugasnya sesuai
dengan tanggung jawab yang diberikan
kepadanya. Hal ini meliputi bagaimana
kedisiplinan pegawai alumni Diklat
Kepemimpinan Tingkat III pola baru
terhadap aturan-aturan yang ada di
instansi. Pencapaian kinerja yang baik
melalui Diklat Kepemimpinan Tingkat
III pola baru pada taraf yang cukup.
Kompetensi diartikan sebagai
karakteristik pokok dari pegawai alumni
Diklat Kepemimpinan Tingkat III pola
baru yang mampu
memberikan/menghasilkan kinerja
terbaik, dimana karakteristik pokok
individu ini bisa berupa pengetahuan,
keahlian dan kemampuan yang sesuai
dengan kebutuhan organisasi. Pada
Edisi April 2018
Nugraha
85
tataran ini inisiatif, yaitu suatu
kecenderungan dari pegawai alumni
Diklat Kepemimpinan Tingkat III pola
baru untuk mengambil tindakan untuk
mencapai kinerja yang diharapkan.
Peningkatan kinerja salah satunya dapat
distimulasi dengan pembinaan karir
pegawai yang baik. Semakin baik
pembinaan karir, peningkatan kinerja
aparat juga akan semakin baik.
5. KESIMPULAN
Adapun kesimpulan dari penelitian
ini diantaranya adalah : Faktor-faktor
yang menentukan keberhasilan
implementasi Pasca Diklatpim Tingkat
III (Pola Baru) dalam meningkatkan
kinerja Alumni Diklat adalah hasil
evaluasi, pelaksanaan Diklat
Kepemimpinan Tingkat III pola baru
sudah sesuai dengan tahapan-tahapan
yang telah ditetapkan serta alokasi
pembiayaan pun sudah dianggarkan
dengan baik meskipun besaran dirasa
kurang efisien karena mengalami
peningkatan tetapi itu menjadi sebuah
investasi untuk menciptakan program
diklat yang sesuai dengan kebutuhan.
Dari aspek kesesuaian tujuan atau
sasaran diklat, tujuan penyelenggaraan
diklat kepemimpinan pola baru proyek
perubahan ini telah dicapai dengan baik,
hal itu tercermin dari tingkat
ketercapaian pegawai alaumni Diklat
Kepemimpinan Tingkat III pola baru
kepemimpinan yang meningkat, hal ini
menunjukkan kompetensi penyelenggara
yang baik.Berkaitan dengan efektivitas
Diklat Kepemimpinan Tingkat III pola
baru dengan kinerja pejabat setelah
mengikutinya, Penyelenggaraan diklat
kepemimpinan Pola baru terhadap
kinerja alumni telah berjalan dengan
efektif. Hal tersebut dibuktikan dengan
sudah jelasnya tujuan dan sasaran Diklat
Kepemimpinan Tingkat III pola baru,
rencana program pun telah didesain
dengan baik dan mekanismenya telah
diatur dengan jelas. Dilihat dari aspek
ketepatan pengukuran dan ketercapaian
tujuan Diklat Kepemimpinan Tingkat III
pola baru. Pengukuran keberhasilan
program Diklat Kepemimpinan Tingkat
III pola baru telah sesuai dengan tujuan
dan kompetensi yang dibangun dalam
Diklat Kepemimpinan Tingkat III pola
baru dengan proyek perubahan yaitu
dengan tes performansi dari
implementasi proyek perubahan. Strategi
yang perlu digunakan dalam menentukan
keberhasilan implementasi Pasca
Diklatpim Tingkat III (Pola Baru) dalam
meningkatkan kinerja Alumni Diklat
adalah Pelaksanaan Diklat
Kepemimpinan Tingkat III pola baru
secara umum sesuai dengan kebutuhan.
Pengembangan kurikulum pada
diklatpim mutlak perlu dilakukan, karena
selain implementasi undang-undang,
namun juga tuntutan global pada
perkembangan zaman. Maka dari itu,
pola baru sudah semestinya dilakukan
dalam pelaksanaan diklat, karena
berpengaruh pada kinerja alumni, selain
ilmu baru namun etos kerja yang baru
dapat dilaksanakan sesuai dengan
pelaksanaan undang-undang dan tuntutan
global. Kemampuan Widyaiswara yang
bertugas dapat dinilai sudah cukup baik.
Dalam pelaksanaan Diklat
Kepemimpinan Tingkat III pola baru,
selain memiliki kompetensi dalam bahan
pengajaran, Widyaiswara juga mampu
memelihara motivasi dan
meningkatkankompetensi peserta Diklat
Kepemimpinan Tingkat III pola baru.
Materi Diklat Kepemimpinan Tingkat III
Edisi April 2018
Nugraha
86
pola baru pada dasarnya perlu untuk
dikembangkan lebih lanjut, oleh karena
Pendidikan dan Pelatihan Pegawai
Negeri Sipil bertujuan mewujudkan
proses penyelenggaraan belajar mengajar
dalam rangka meningkatkan kemampuan
Pegawai Negeri Sipil. Untuk mencapai
daya guna dan hasil guna yang sebesar-
besarnya diadakan pengaturan dan
penyelenggaraan pendidikan dan
pelatihan jabatan Pegawai Negeri Sipil
yang bertujuan untuk meningkatkan
pengabdian, mutu, keahlian,
kemampuan, dan keterampilan.Materi
yang diajarkan dalam Diklat
Kepemimpinan Tingkat III pola baru
adalah hal penting dalam pelaksanaan
diklat perubahan pola baru, karena
menjadi salah satu tolak ukur yang
menjadi tujuan dalam pelaksanaan diklat
kepemimpinan, bahan ajar yang
disampaikan berpengaruh sekali dalam
kinerja alumni, terlihat pada semakin
jelas pemahaman alumni pada tujuan
organisasi dan peningkatan kinerja.
Materi yang diberikan pada umumnya
sudah cukup baik dalam mengantisipasi
kebutuhan pejabat eselon III dalam
menjabat. Namun demikian
pengembangan materi perlu dilakukan
untuk mengantisipasi perubahan
lingkungan kerja.Hasil evaluasi,
pelaksanaan Diklat Kepemimpinan
Tingkat III pola baru sudah sesuai
dengan tahapan-tahapan yang telah
ditetapkan serta alokasi pembiayaan pun
sudah dianggarkan dengan baik
meskipun besaran dirasa kurang efisien
karena mengalami peningkatan tetapi itu
menjadi sebuah investasi untuk
menciptakan program diklat yang sesuai
dengan kebutuhan. Dari aspek
kesesuaian tujuan atau sasaran diklat,
tujuan penyelenggaraan diklat
kepemimpinan pola baru proyek
perubahan ini telah dicapai dengan baik,
hal itu tercermin dari tingkat
ketercapaian pegawai alaumni Diklat
Kepemimpinan Tingkat III pola baru
kepemimpinan yang meningkat, hal ini
menunjukkan kompetensi penyelenggara
yang baik. Berkaitan dengan
efektivitas Diklat Kepemimpinan
Tingkat III pola baru dengan kinerja
pejabat setelah mengikutinya,
Penyelenggaraan diklat kepemimpinan
Pola baru terhadap kinerja alumni telah
berjalan dengan efektif. Hal tersebut
dibuktikan dengan sudah jelasnya tujuan
dan sasaran Diklat Kepemimpinan
Tingkat III pola baru, rencana program
pun telah didesain dengan baik dan
mekanismenya telah diatur dengan jelas.
Dilihat dari aspek ketepatan pengukuran
dan ketercapaian tujuan Diklat
Kepemimpinan Tingkat III pola baru.
Pengukuran keberhasilan program Diklat
Kepemimpinan Tingkat III pola baru
telah sesuai dengan tujuan dan
kompetensi yang dibangun dalam Diklat
Kepemimpinan Tingkat III pola baru
dengan proyek perubahan yaitu dengan
tes performansi dari implementasi proyek
perubahan.
Berdasarkan hasil analisis dalam
penelitian ini, peneiti merekomendasikan
hal-hal sebagai berikut : Diharapkan
adanya perubahan dalam pematerian oleh
Lembaga Diklat Pemerintah agar
penyelenggaraan Diklat Kepemimpinan
Tingkat III pola baru dari segi
penyelenggaraan akan lebih efektif dan
efisien dengan standarisasi diklat.
Efektivitas Diklat Kepemimpinan
Tingkat III pola baru terutama
bergantung kepada para peserta itu
sendiri, oleh karenanya tiap peserta
diharapkan terus menambah pengetahuan
Edisi April 2018
Nugraha
87
baik dari modul materi yang diberikan
ataupun sumber lain. Diklat
Kepemimpinan Tingkat III pola baru
diharapkan dapat menghasilkan
pemimpin yang sesuai dengan kebutuhan
birokrasi dan perubahan di lingkungan
masyarakat.Dalam tahap pembelajaran
pada Penyelenggaraan Diklat
Kepemimpinan Tingkat III pola baru,
perlu penguatan secara khusus pada
agenda Diagnosa Organisasi, agenda
Inovasi dan agenda Tim Efektif. Bahwa
faktor terpenting dalam hubungannya
dengan keberhasilan penyelenggaraan
Diklat Kepemimpinan Tingkat III pola
baru adalah aspek kurikulum, Isu
strategis instansi, merancang inovasi,
pemecahan isu dan upaya
mengimplementasikan pemecahan isu
instansional, yang pada akhirnya
dibutuhkan dalam meningkatkan kinerja
instansi.Aspek widyaiswara, upaya untuk
mengembangkan dan meningkatkan
kompetensi widyaiswara melalui
bimbingan teknis yang terkait dengan
Diklat Kepemimpinan Tingkat III pola
baru, serta memperbanyak kesempatan
pada widyaiswara untuk lebih tahu
tentang pengalaman praktek
penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan di daerah, isu-isu strategis
terkini yang berkembang di daerah, maka
akan memperlancar proses
pembimbingan dan konsultasi peserta
dalam menyelesaikan tugas-tugas
kediklatan.
6. REFERESI
A. Buku
Abidin, Said Zainal. 2002.Kebijakan
Publik. Jakarta:Yayasan Pancur
Siwah.
Birkland, Thomas A. 2005. An
Introduction Policy Process,
Theories, Concept, and Models of
Public Policy Making. New
York:M.E. Sharpe, Inc.
Bungin, Burhan.2007. Penelitian
Kualitatif, Komunikasi, Ekonomi,
Kebijakan Publik dan Ilmu Sosial
Lainnya. Jakarta: Prenada Media
Group.
Creswell, John W. 2009.Research
Design, Qualitative, Quantitative,
and Mixed Methods Approach.
USA:SAGE.
Denzin, Norman K. and Yvonna s.
Lincoln, Ed. 1994. Handbook of
Qualitative Research. Sage
Publication.
Dunn, William N. 2003.Pengantar
Analisis Kebijakan Publik Edisi
Kedua. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Dye, Thomas. 1987.Understanding
Public Policy. Florida State
University.
Islamy, Irfan.2009. Prinsip-prinsip
Perumusan Kebijaksanaan
Negara. Jakarta:Buki Aksara
Kartiwa, A dan Nugraha.2012.
Mengelola Kewenangan
Pemerintahan.Bandung:Lepsindo
Moleong, Lexy J. 2012.Metode
Penelitian Kualitatif.Bandung:
Remaja Rosdakarya
Nugroho, Riant.2004. Kebijakan Publik.
Formulasi, Implementasi dan
Evaluasi. Jakarta: Elex Media
Komputerindo.
B. Peraturan dan Perundang-
Undangan
Undang Undang RI No 5 Tahun 2014
tentang Aparatur Sipil Negara
Edisi April 2018
Nugraha
88
Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang
Pemerintahan.
Peraturan Pemerintah No. 101 Tahun
2000 tentang Pendidikan dan
Pelatihan Jabatan Pegawai Negeri
Sipil.
Peraturan Presiden Republik Indonesia
Nomor 81 Tahun 2010 tentang
Grand Design Reformasi Birokrasi
2010 – 2025.
Peraturan Kepala Lembaga Administrasi
Negara Republik Indonesia Nomor
12 Tahun 2013 yang telah dirubah
dengan Peraturan Kepala Lembaga
Administrasi Negara Republik
Indonesia Nomor 19 Tahun 2015
Tentang Pedoman
Penyelenggaraan Pendidikan dan
Pelatihan Kepemimpinan Tingkat
III.
Edisi April 2018
Fahri
hal. 89 - 111
89
1. PENDAHULUAN
Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2014 Tentang Desa menjelaskan bahwa
Desa pada Tahun 2015 akan
mendapatkan kucuran dana sebesar 10%
dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN). Dana yang masuk ke
Desa tersebut dinamakan Dana Desa.
Sesuai dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 60 Tahun 2014 Tentang Dana
Desa yang Bersumber dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara
sebagaimana telah beberapa kali diubah,
terakhir dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Perubahan
Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor
60 Tahun 2014 Tentang Dana Desa yang
𝐋𝐮𝐭𝐟𝐡𝐢 𝐍. 𝐅𝐚𝐡𝐫𝐢𝟏
IMPLEMENTASI DANA DESA TERHADAP MANAJEMEN
KEUANGAN DESA DALAM MEWUJUDKAN EFEKTIVITAS
PEMBANGUNAN DESA
DI KABUPATEN GARUT
Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Dalam Negeri Regional
Bandung
Abstract
With the issuance of Law Number 6 Year 2014 on the Village, the position of the
Village Government becomes stronger because it is no longer governed by the Law on
Regional Government, but is regulated by a separate law. The presence of Law
Number 6 Year 2014 on the Village is in addition to strengthening the status of the
village as a government of the community, while also making the village as a basis for
promoting the community and empowering the village community. Through this law
also mandates that every village will get funding allocation of 10% every year from
the State Budget (APBN). This study aims to analyze the implementation of Village
Funds to village financial management in realizing the effectiveness of village
development. The method used in this research is descriptive analysis method with
survey technique. Based on the results of the test, it is known that the implementation
of the Village Fund directly affect the effectiveness of village development of 5.78%,
while the influence of Village Fund implementation to the effectiveness of village
development through village financial management is 5.81%.
Keywords: implementation, management, effectiveness, village, fund.
1 Penulis adalah Pelaksana, Alumni Diploma IV Pembangunan dan Pemberdayaan Institut Pemerintahan
Dalam Negeri dan Magister Ilmu Administrasi Konsentrasi Administrasi Negara Universitas Garut.
Sedang menempuh Doktor Ilmu Pendidikan/ Manajemen Pendidikan Universitas Islam Nusantara.
Edisi April 2018
Fahri
90
Bersumber dari Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara pada Pasal 1 angka
(2) disebutkan bahwa Dana Desa adalah
dana yang bersumber dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara yang
diperuntukan bagi Desa yang ditransfer
melalui Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah kabupaten/ kota dan
digunakan untuk membiayai
penyelenggaraan pemerintahan,
pelaksanaan pembangunan, pembinaan
kemasyarakatan, dan pemberdayaan
masyarakat.
Pengelolaan keuangan Desa
tentunya harus dilakukan dengan
manajemen yang baik dan akuntabel
karena dana yang masuk ke Desa
bukanlah dana yang kecil, melainkan
sangat besar untuk dikelola oleh sebuah
Pemerintahan Desa. Dengan adanya
Dana Desa tersebut, maka dimensi
manajemen pada implementasi Dana
Desa tersebut perlu untuk diterapkan
dengan baik karena menurut Nugroho
(2014:98) kebijakan publik di dalamnya
terjadi proses perancangan dan
perencanaan; pelaksanaan melalui
berbagai organisasi dan kelembagaan;
serta untuk mencapai hasil yang optimal,
maka implementasi kebijakan publik
harus dikendalikan. Dari pemaparan ahli
tersebut jelas bahwa implementasi yang
baik di dalamnya dipengaruhi oleh
proses manajemen yang baik pula untuk
mencapai sesuatu yang diharapkan ketika
implementasi kebijakan sudah berjalan.
Dana Desa merupakan kebijakan yang
baru bagi Desa itu sendiri, banyak
kalangan yang meragukan keberhasilan
dari kebijakan ini karena ketidaksiapan
dari Aparatur Pemerintah Desa itu
sendiri, terutama dalam pengelolaan
keuangan yang bussiness process-nya
hampir sama dengan tingkat Pemerintah
Daerah. Padahal menurut Edward III
(dalam Nugroho, 2014:673) bahwa
ketersediaan sumberdaya pendukung,
khususnya Sumber Daya Manusia
(SDM) yang cakap menjadi faktor untuk
carry out kebijakan publik yang efektif.
Menurut John P. (2015:1) pun
berpendapat bahwa lemahnya
sumberdaya menjadi salah satu faktor
implementasi kebijakan tidak efektif dan
tidak tepat sasaran yang mengakibatkan
pelaksanaan pembangunan tidak berjalan
dengan semestinya. Dapat dilihat tingkat
pendidikan para Aparat Desa di wilayah
Kabupaten Garut, yaitu sebagai berikut:
Tabel 1
Tingkat Pendidikan Aparat Desa di
Seluruh Wilayah Kabupaten Garut
Tahun 2017
No. Tingkat
Pendidikan
Jumlah
Aparat
Desa
%
1. Tidak Sekolah atau
Belum Tamat
Sekolah Dasar (SD)
- -
2. Tamat SD atau
Sederajat
980 24,17
3. Sekolah Menengah
Pertama (SMP) atau
Sederajat
1.270 31,32
4. Sekolah Menengah
Atas (SMA) atau
Sederajat
1.625 40,07
5. Akademi (Diploma
I, Diploma II atau
Diploma III)
68 1,68
6. Sarjana (Strata 1) 112 2,76
Total 4.055
Sumber: Dinas Pemberdayaan
Masyarakat dan Desa
Kabupaten Garut, 2018.
Bila melihat tabel di atas, maka
dapat dilihat bahwa sebagian besar
Aparat Desa hanya mengenyam tingkat
pendidikan sampai SMA saja, yaitu
Edisi April 2018
Fahri
91
sebesar 40,07%-nya dari total seluruh
Aparat Desa yang tersebar di seluruh
wilayah Kabupaten Garut sebanyak
4.055 orang. Seperti sudah dijelaskan di
atas sebelumnya menurut para ahli
bahwa faktor SDM yang cakap menjadi
salah satu faktor kunci dalam
keberhasilan suatu kebijakan. SDM yang
cakap tersebut salah satunya, yaitu dapat
diukur dari tingkat pendidikannya.
Efektivitas pada dasarnya
menunjukan kepada suatu ukuran tingkat
kesesuaian antara hasil yang dicapai
dengan hasil yang diharapkan
sebagaimana telah terlebih dahulu
ditetapkan melalui dokumen perencanaan
pembangunan Desa (Iskandar, 2016).
Dapat dipahami bahwa tugas utama
manajemen adalah suatu efektivitas itu
sendiri sehingga penyusunan Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Desa
(RPJMDesa) dan Rencana Kerja
Pemerintah Desa (RKPDesa) akan
mempengaruhi efektif tidaknya program
pembangunan Desa (Iskandar, 2016).
Berdasarkan hasil pengamatan
melalui studi pendahuluan yang
dilakukan, Penulis menarik kesimpulan
bahwa pembangunan Desa di Kabupaten
Garut masih belum efektif, hal ini dapat
dilihat dari belum maksimalnya
manajemen keuangan Desa dan belum
optimalnya implementasi Dana Desa, hal
ini diduga disebabkan antara lain:
1. Implementasi Dana Desa masih
belum dilaksanakan secara maksimal
dan menyeluruh oleh Pemerintah
Kabupaten Garut. Hal itu dapat
terlihat dari belum lengkapnya
peraturan teknis lebih lanjut yang
diatur oleh regulasi setingkat
Peraturan Bupati Garut. Penulis
sajikan data sebagai berikut:
Tabel 2
Data Kelengkapan
Peraturan Bupati Garut sebagai
Turunan dari Tiga
Peraturan Menteri Terkait
No. Peraturan Tiga
Menteri Terkait
Peraturan
Bupati
1. Peraturan Menteri
Dalam Negeri
Nomor 113 Tahun
2014 Tentang
Pengelolaan
Keuangan Desa
Belum ada
2. Peraturan Menteri
Dalam Negeri
Nomor 114 Tahun
2014 Tentang
Pedoman
Pembangunan Desa
Ada, tetapi hanya
mengatur
sebagian saja.
Diatur oleh
Peraturan Bupati
Garut Nomor
1080 Tahun 2015
Tentang Rencana
Pembangunan
Jangka Menengah
Desa
3. Peraturan Menteri
Desa, Pembangunan
Daerah Tertinggal
dan Transmigrasi
Nomor 1 Tahun
2015 Tentang
Pedoman
Kewenangan
Berdasarkan Hak
Asal-Usul dan
Kewenangan Lokal
Berskala Desa
Belum ada
4. Peraturan Menteri
Desa, Pembangunan
Daerah Tertinggal
dan Transmigrasi
Nomor 3 Tahun
2015 Tentang
Pendampingan Desa
Belum ada
5. Peraturan Menteri
Desa, Pembangunan
Daerah Tertinggal
dan Transmigrasi
Nomor 5 Tahun
2015 Tentang
Penetapan Prioritas
Penggunaan Dana
Desa Tahun 2015
Tidak ada
Edisi April 2018
Fahri
92
Sumber: Dinas Pemberdayaan
Masyarakat dan Desa
Kabupaten Garut, 2018.
Dijelaskan bahwa masih banyak
pekerjaan bagi Pemerintah Kabupaten
Garut dalam membuat regulasi yang
mengatur menganai Desa sebagai
wujud keseriusan Pemerintah
Kabupaten Garut dalam melakukan
pembinaan bagi Pemerintah Desa dan
merupakan amanat dari Peraturan
Menteri terkait, seperti Kementerian
Dalam Negeri Republik Indonesia,
Kementerian Desa, Pembangunan
Daerah Tertinggal dan Transmigrasi
Republik Indonesia serta Kementerian
Keuangan Republik Indonesia. Selain
itu standar harga bagi pengadaan
barang dan jasa untuk Pemerintah
Desa belum ditetapkan khusus oleh
Peraturan Bupati Garut, sehingga
Desa-Desa di Kabupaten Garut
mengacu pada standar harga yang
digunakan oleh Satuan Kerja
Perangkat Daerah (SKPD) lingkup
Pemerintah Kabupaten Garut yang hal
ini dirasa kurang begitu representatif
dengan tingkat kemahalan bagi Desa-
Desa yang jauh dengan pusat
perkotaan. Seperti diketahui bahwa
kebijakan publik di Indonesia harus
dibuat berjenjang sesuai dengan
hierarki implementasinya (Nugroho,
2014). Kebijakan publik seperti
diketahui ada yang bersifat makro
atau umum atau mendasar (Undang-
Undang Dasar 1945, Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat dan
Undang-Undang/ Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-
Undang), bersifat messo atau
menengah atau penjelas pelaksanaan
(Peraturan Pemerintah dan Peraturan
Presiden) serta bersifat mikro.
Kebijakan publik yang bersifat mikro
adalah kebijakan yang mengatur
pelaksanaan atau implementasi dari
kebijakan di atasnya yang lazim
diterima mencakup Peraturan Daerah
(Nugroho, 2013:10). Maka jelas
bahwa permasalahan yang ditemukan
Penulis berupa belum lengkapnya
peraturan lebih teknis yang diatur
oleh Pemerintah Kabupaten Garut
mengenai pengaturan Dana Desa ini
menjadi salah satu fenomena masalah
dalam implementasi Dana Desa di
Kabupaten Garut ini. Selain itu
rendahnya tingkat pendidikan para
Aparat Desa di wilayah Kabupaten
Garut menjadi fenomena masalah
juga pada implementasi Dana Desa
itu sendiri di Kabupaten Garut.
2. Manajemen keuangan Desa masih
belum dilaksanakan secara optimal.
Hal itu dapat terlihat dari
keterlambatan pelaporan realisasi
penggunaan Dana Desa dan dokumen
perencanaan pembangunan Desa
kepada Bupati melalui Camat. Penulis
sajikan data sebagai berikut:
Tabel 3
Data Kecamatan yang Desa-nya Tepat
Waktu dan Terlambat Melaporkan
Realisasi Penggunaan Dana Desa dan
Dokumen Perencanaan
Tahun 2017
No. Kecamatan Tepat
Waktu Terlambat
1. Cisewu
2. Caringin
3. Talegong
4. Bungbulang
5. Mekarmukti
6. Pamulihan
7. Pakenjeng
8. Cikelet
Edisi April 2018
Fahri
93
No. Kecamatan Tepat
Waktu Terlambat
9. Pameungpeuk
10. Cibalong
11. Cisompet
12. Peundeuy
13. Singajaya
14. Cihurip
15. Cikajang
16. Banjarwangi
17. Cilawu
18. Bayongbong
19. Cigedug
20. Cisurupan
21. Sukaresmi
22. Samarang
23. Pasirwangi
24. Tarogong Kidul
25. Tarogong Kaler
26. Karangpawitan
27. Wanaraja
28. Sucinaraja
29. Pangatikan
30. Sukawening
31. Karangtengah
32. Banyuresmi
33. Leles
34. Leuwigoong
35. Cibatu
36. Kersamanah
37. Cibiuk
38. Kadungora
39. Bl. Limbangan
40. Selaawi
41. Malangbong
Jumlah 22 19
Sumber: Dinas Pemberdayaan
Masyarakat dan Desa
Kabupaten Garut, 2018.
Dijelaskan bahwa dari 41 Kecamatan
di Kabupaten Garut yang menerima
Dana Desa, sekitar 19 Kecamatan
atau 46,34%-nya terlambat
menyampaikan pelaporan realisasi
Dana Desa tahun sebelumnya dan
penyerahan dokumen perencanaan
yang terdiri dari RPJMDesa dan
RKPDesa. Pelaporan sebagai proses
pemantauan efektif melalui prosedur
pengumpulan informasi menjadi hal
yang penting karena menjadi suatu
umpan balik dan umpan ke depan
(Sedarmayanti, 2014:156) bagi proses
manajemen di Desa. Sebenarnya,
Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan Republik Indonesia
(BPKP RI) telah membuat suatu
aplikasi sistem tata kelola keuangan
Desa yang disebut SIMDA Desa yang
memudahkan Desa dalam proses
pertanggungjawaban dan pelaporan
penggunaan Dana Desa, tetapi masih
banyak Pemerintah Desa di
Kabupaten Garut yang belum
mempergunakannya karena
keterbatasan kemampuan Aparat Desa
itu sendiri. Fungsi manajemen
informasi memang masih dianggap
sebelah mata oleh para birokrat di
sektor publik. Padalah, semua
keputusan seorang manajer yang
berkenaan dengan perencanaan,
budgeting, pengambilan keputusan,
pengendalian dan koordinasi, sangat
membutuhkan data dan informasi
(Keban, 2014) sehingga dengan
adanya aplikasi SIMDA Desa
seyogyanya dapat menjadi perhatian
para Kepala Desa beserta pemangku
kepentingan lainnya dalam penyajian
informasi terkait Dana Desa.
3. Masih belum efektifnya
pembangunan Desa di Kabupaten
Garut. Hal ini disebabkan karena
masih adanya Desa yang
mengalokasikan penggunaan Dana
Desa tidak sejalan dengan prioritas
yang diamanatkan pada Peraturan
Menteri Desa, Pembangunan Daerah
Tertinggal dan Transmigrasi
Republik Indonesia dan juga masih
Edisi April 2018
Fahri
94
belum adanya Peraturan Bupati Garut
yang mengatur prioritas penggunaan
Dana Desa. Penulis sajikan data
mengenai kegiatan pembangunan
yang bersumber dari Dana Desa yang
tidak efektif dan bukan menjadi
prioritas bagi kebutuhan dasar
masyarakat di Desa, yaitu sebagai
berikut:
Tabel 4
Kegiatan Bidang Pembangunan Desa
yang Bersumber dari Dana Desa di
Wilayah Kabupaten Garut yang Tidak
Efektif Tahun Anggaran 2017 Pagu Anggaran
Kegiatan Bidang
Pembangunan di
Seluruh Desa Wilayah
Kabupaten Garut
Rp 51.010.779.889
No. Kegiatan Anggaran
1. Kegiatan
Pembangunan/
Rehab Kantor
Desa
Rp 14.478.499.891
2. Kegiatan
Pembangunan
Aula Kantor Desa
Rp 1.152.620.000
3. Kegiatan
Pembangunan
Gapura
Rp 236.520.269
4. Kegiatan
Penataan Kantor
Desa
Rp 71.230.000
5. Kegiatan
Pembangunan
Kantor Halaman
Desa
Rp 95.133.000
Jumlah Rp 16.034.003.160
Prosentase Anggaran
Kegiatan Tidak
Produktif Terhadap
Pagu Anggaran
Kegiatan Bidang
Pembangunan di
Seluruh Desa Wilayah
Kabupaten Garut
31,43%
Sumber: Diolah dari Laporan Realisasi
dan Konsolidasi Penggunaan
Dana Desa Tahun Anggaran
2017, Dinas Pemberdayaan
Masyarakat dan Desa
Kabupaten Garut, 2018.
Diketahui bahwa Belanja
Pembangunan pada Desa melalui
Dana Desa di wilayah Kabupaten
Garut 31,43%-nya tidak produktif
atau tidak menyentuh pada kebutuhan
dasar langsung masyarakat Desa.
Padahal bila anggaran sekitar 16
Milyar tersebut digunakan pada
kebutuhan dasar masyarakat Desa
tentu akan sangat bermanfaat sekali,
seperti pembangunan kamar mandi
umum, jalan desa, irigasi dan lain
sebagainya yang dapat meningkatkan
kualitas hidup masyarakat di Desa itu
sendiri. Permasalahan disini bahwa
terjadi konflik antara kebijakan
Pemerintah Pusat dengan Pemerintah
Desa yang berada di Kabupaten
Garut, padahal salah satu
implementasi strategi kebijakan
publik yang efektif sendiri adalah
perlu kesesuaian antara target dengan
target dalam kebijakan yang
direncanakan, tidak ada tumpang
tindih target dan konflik target
kebijakan satu dengan kebijakan
lainnya (Nugroho, 2015:240).
Menurut Abidin (2015:71) pun
menyebutkan bahwa prioritas
program/ kegiatan dan kebutuhan
pembangunan Desa dirumuskan
berdasarkan penilaian terhadap
kebutuhan masyarakat Desa yang
meliputi:
a. Peningkatan kualitas dan akses
terhadap pelayanan dasar;
b. Pembangunan dan pemeliharaan
infrastruktur dan lingkungan
berdasarkan kemampuan teknis dan
sumber daya lokal yang tersedia;
Edisi April 2018
Fahri
95
c. Pengembangan ekonomi pertanian
berskala produktif;
d. Pengembangan dan pemanfaatan
teknologi tepat guna untuk kemajuan
ekonomi; dan
e. Peningkatan kualitas ketertiban dan
ketenteraman masyarakat Desa
berdasarkan kebutuhan masyarakat
Desa.
Adapun hipotesis utama yang
dirumuskan oleh Penulis, yaitu sebagai
berikut:
H0: Tidak terdapat pengaruh
implementasi Dana Desa terhadap
manajemen keuangan Desa dalam
mewujudkan efektivitas
pembangunan Desa.
H1: Terdapat pengaruh implementasi
Dana Desa terhadap manajemen
keuangan Desa dalam mewujudkan
efektivitas pembangunan Desa.
Selanjutnya dari rumusan hipotesis
utama yang akan diajukan dalam
penelitian ini, dapat dijabarkan dalam
sub-sub hipotesis sebagai berikut:
a. H0: Tidak terdapat pengaruh
implementasi Dana Desa
terhadap manajemen keuangan
Desa.
H1: Terdapat pengaruh implementasi
Dana Desa terhadap manajemen
keuangan Desa.
b. H0: Tidak terdapat pengaruh
manajemen keuangan Desa
terhadap efektivitas
pembangunan Desa.
H1: Terdapat pengaruh manajemen
keuangan Desa terhadap
efektivitas pembangunan Desa.
c. H0: Tidak terdapat pengaruh
implementasi Dana Desa
terhadap efektivitas
pembangunan Desa.
H1: Terdapat pengaruh implementasi
Dana Desa terhadap efektivitas
pembangunan Desa.
2. KAJIAN LITERATUR DAN
PENGEMBANGAN HIPOTESIS
Berkaitan dengan hal tersebut di
atas, penelitian ini akan mengkaji
implementasi Dana Desa terhadap
manajemen keuangan Desa dalam
mewujudkan efektivitas pembangunan
Desa. Selanjutnya uraian tentang
variabel-variabel di atas dapat dijelaskan
sebagai berikut:
1. Implementasi Dana Desa
Menurut Edward III (dalam
Agustino, 2014:149-154) bahwa terdapat
4 (empat) variabel yang sangat
menentukan keberhasilan implementasi
suatu kebijakan, yaitu komunikasi,
sumberdaya, disposisi dan struktur
birokrasi. Faktor-faktor tersebut
dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut:
1. Komunikasi
Komunikasi sangat menentukan
keberhasilan pencapaian tujuan.
Implementasi yang efektif terjadi
apabila para pembuat keputusan
sudah mengetahui apa yang akan
mereka kerjakan. Keputusan
kebijakan dan peraturan implementasi
harus ditransmisikan (atau
dikomunikasikan) kepada bagian
personalia yang tepat. Selain itu,
kebijakan yang dikomunikasikan pun
harus tepat, akurat dan konsisten.
Komunikasi diperlukan agar para
pembuat keputusan dan para
implementor akan semakin konsisten
Edisi April 2018
Fahri
96
dalam melaksanakan setiap kebijakan
yang akan diterapkan dalam
masyarakat.
Terdapat 3 (tiga) indikator yang dapat
dipakai dalam mengukur keberhasilan
variabel komunikasi tersebut di atas,
yaitu:
a. Transmisi, penyaluran komunikasi
yang baik akan dapat
menghasilkan suatu implementasi
yang baik pula. Seringkali
penyaluran komunikasi terjadi
salah pengertian (miskomunikasi)
karena penyaluran komunikasi
tersebut telah melalui beberapa
tingkatan birokrasi.
b. Kejelasan, komunikasi yang
diterima oleh para pelaksana
kebijakan haruslah jelas dan tidak
membingungkan (tidak ambigu).
Walaupun pada tataran tertentu
pesan kebijakan tidak selalu
menghalangi implementasi karena
ada kalanya pelaksana kebijakan
membutuhkan fleksibilitas, tapi
pada tataran tertentu fleksibilitas
justru dapat menyelewengkan
tujuan yang hendak dicapai dari
yang telah ditetapkan.
c. Konsistensi, perintah yang
diberikan dalam pelaksanaan
haruslah konsisten dan jelas karena
bila perintah yang diberikan
berubah-ubah, maka dapat
menimbulkan kebingungan bagi
pelaksana di lapangan.
2. Sumberdaya
Sumberdaya merupakan hal penting
lainnya dalam mengimplementasikan
kebijakan. Indikator sumberdaya
terdiri dari beberapa elemen, yaitu:
a. Staf, kegagalan yang sering terjadi
dalam implementasi kebijakan
salah satunya adalah staf yang
tidak mencukupi, memadai
ataupun tidak kompeten di
bidangnya. Penambahan jumlah
staf saja tidak cukup, perlu
dibarengi dengan kecukupan
dalam kompetensi dan kapabilitas.
b. Informasi, dalam implementasi
kebijakan, informasi mempunyai 2
(dua) bentuk, yaitu pertama
informasi yang berhubungan
dengan cara melaksanakan
kebijakan. Implementor harus
mengetahui apa yang akan mereka
kerjakan saat diberi perintah.
Kedua informasi mengenai data
kepatuhan dari para pelaksana
terhadap peraturan dan regulasi
Pemerintah yang telah ditetapkan.
Implementor harus tahu apakah
orang lain yang terlibat dalam
pelaksanaan kebijakan taat pada
hukum.
c. Fasilitas, fasilitas juga merupakan
faktor penting dalam implementasi
kebijakan. Akan menjadi percuma
bila faktor-faktor di atas telah baik,
tetapi sarana prasarana kurang
mendukung bagi staf.
3. Disposisi
Disposisi artinya adalah sikap dari
pelaksana kebijakan. Jika pelaksanaan
kebijakan ingin efektif, maka
pelaksana kebijakan tidak cukup
hanya dengan mengetahui apa yang
akan dilakukannya, tetapi memiliki
kemampuan juga dalam
melaksanakannya. Hal yang perlu
diperhatikan salah satunya adalah
mengenai pengangkatan birokrat.
Pemilihan dan pengangkatan personil
pelaksana kebijakan haruslah orang-
orang yang memiliki dedikasi pada
Edisi April 2018
Fahri
97
kebijakan, lebih khusus lagi pada
kepentingan warga agar kebijakan-
kebijakan yang diinginkan oleh
Pejabat-Pejabat Tinggi dapat
terlaksana.
4. Struktur Birokrasi
Walaupun variabel-variabel yang
telah dijelaskan di atas telah tersedia
dengan baik, tetapi pelaksanaan
kebijakan akan kurang maksimal bila
terdapat kelemahan dalam struktur
birokrasi-nya. Ketika struktur
birokrasi kurang kondusif, maka akan
menyebabkan sumberdaya-
sumberdaya yang lain menjadi tidak
efektif. Birokrasi harus dapat
mendukung kebijakan yang telah
ditetapkan secara politik dengan cara
melakukan koordinasi yang baik. Hal
yang dapat mendongkrak kinerja
struktur birokrasi ke arah yang lebih
baik, antara lain:
a. Standar Operasional Prosedur
(SOP), adalah suatu kegiatan rutin
yang memungkinkan para birokrat
untuk melaksanakan kegiatan-
kegiatan kesehariannya sesuai
dengan standar yang ditetapkan
(atau standar minimum yang
dibutuhkan warga).
b. Fragmentasi, adalah upaya
penyebaran tanggungjawab
kegiatan-kegiatan atau aktivitas
pegawai diantara beberapa unit
kerja.
Dari uraian di atas, Penulis
berkesimpulan bahwa dimensi
implementasi Dana Desa meliputi
komunikasi, sumberdaya, disposisi dan
struktur birokrasi, dimana dimensi-
dimensi tersebut akan diukur pula
pengaruhnya terhadap manajemen
keuangan Desa dan efektivitas
pembangunan Desa.
2. Manajemen Keuangan Desa
Menurut Sumarsono (2010:269-271)
bahwa manajemen anggaran terdiri
dari:
1. Perencanaan (Planning)
Perencanaan sebagai salah satu fungsi
manajemen mempunyai beberapa
pengertian adalah sebagai berikut:
a. Pemilihan dan penetapan tujuan
organisasi dan penentuan strategi,
langkah, kebijaksanaan, program,
proyek, metode dan standar yang
dibutuhkan untuk mencapai tujuan.
b. Kegiatan persiapan yang dilakukan
melalui perumusan dan penetapan
keputusan, yang berisi langkah-
langkah penyelesaian suatu
masalah atau pelaksanaan suatu
pekerjaan yang terarah pada
pencapaian tujuan tertentu.
2. Pengorganisasian (Organizing)
Merupakan sistem kerjasama
sekelompok orang pengelola
anggaran, yang dilakukan dengan
pembidangan dan pembagian seluruh
pekerjaan atau tugas dengan
membentuk sejumlah satuan atau unit
kerja, yang menghimpun pekerjaan
sejenis dalam satuan-satuan kerja.
Kemudian dilanjutkan dengan
menetapkan wewenang dan
tanggungjawab masing-masing diikuti
dengan mengatur hubungan kerja,
baik secara vertikal maupun
horizontal. Penulis menyimpulkan
bahwa organisasi publik perlu
membentuk struktur organisasi yang
jelas, kemudian tiap-tiap struktur
yang berada di dalamnya tersebut
Edisi April 2018
Fahri
98
haruslah mempunyai uraian tugas
yang jelas pula.
3. Pelaksanaan (Actuating)
Pelaksanaan atau penggerakan yang
berkaitan dengan pengelola anggaran
dilakukan organisasi setelah sebuah
organisasi memiliki perencanaan dan
melakukan pengorganisasian dengan
memiliki struktur organisasi termasuk
tersedianya personil sebagai
pelaksana sesuai dengan kebutuhan
unit atau satuan kerja yang dibentuk.
Dengan begitu organisasi menurut
Penulis setelah tersedianya personil,
maka yang yang perlu dilakukan
adalah pembagian tugas kepada
personil-personil tersebut, kemudian
antarsatuan kerja tersebut harus terus
terjalin suatu koordinasi.
4. Penganggaran (Budgeting)
Merupakan salah satu fungsi
manajemen yang sangat penting
perannya. Karena fungsi ini berkaitan
tidak saja dengan penerimaan,
pengeluaran, penyimpanan,
penggunaan dan pertanggungjawaban
namun lebih luas lagi berhubungan
dengan kegiatan tatalaksana
keuangan. Kegiatan fungsi anggaran
dalam organisasi sektor publik
menekankan pada
pertanggungjawaban dan penggunaan
sejumlah dana secara efektif dan
efisien. Hal ini disebabkan karena
dana yang dikelola tersebut
merupakan dana masyarakat yang
dipercayakan kepada organisasi
sektor publik.
5. Pengawasan (Controlling)
Pengawasan atau kontrol harus selalu
dilaksanakan pada organisasi sektor
publik. Fungsi ini dilakukan oleh
manajer sektor publik terhadap
pekerjaan yang dilakukan dalam
satuan atau unit kerjanya. Hal ini
menurut Penulis merupakan
pengawasan yang ruang lingkupnya,
yaitu pengawasan internal. Adapun
menurut Soleh dan Rochmansjah
(2010:136) pengawasan adalah suatu
bentuk pengawasan yang dilakukan
oleh suatu unit pengawasan yang
sama sekali berasal dari luar
lingkungan organisasi Pemerintah. Ini
yang menurut Penulis disebut sebagai
pengawasan eksternal.
Dari uraian di atas, Penulis
berkesimpulan bahwa dimensi
manajemen keuangan Desa meliputi
pelaksanaan (planning),
pengorganisasian (organizing),
pelaksanaan (actuating), penganggaran
(budgeting) dan pengawasan
(controlling), dimana dimensi-dimensi
tersebut akan diukur pula pengaruhnya
terhadap efektivitas pembangunan Desa.
3. Efektivitas Pembangunan Desa
Menurut Indrawidjaja (dalam
Iskandar, 2016:339) memberikan kriteria
suatu kegiatan dapat dikatakan mencapai
efektivitas apabila:
a. Kebijakan dasar, tujuan dan rencana
diketahui secara terbuka oleh seluruh
pihak.
b. Kejelasan strategi kegiatan untuk
mencapai tujuan.
c. Pengorganisasian sumber daya
organisasi yang jelas.
d. Dilaksanakannya kegiatan sesuai
dengan perencanaan disertai
pengorganisasian dan pengawasan.
Edisi April 2018
Fahri
99
e. Hasilnya dapat mencapai tujuan dan
mendatangkan keuntungan atau
kepuasan masyarakat.
Dari uraian di atas, Penulis
berkesimpulan bahwa dimensi efektivitas
pembangunan Desa meliputi keterbukaan
kebijakan dasar, tujuan dan rencana;
strategi; pengorganisasian; pelaksanaan;
dan target hasil.
Berdasarkan konsep teori yang
Penulis uraikan di atas dan
memperhatikan hipotesis penelitian yang
telah Penulis sajikan pula pada
Pendahuluan di atas, maka Penulis
membangun model hipotesis penelitian
sebagai berikut:
Gambar 1
Hipotesis Penelitian
Sumber: Penulis, 2018.
Adapun Penulis uraikan hasil
penelitian terdahulu yang sejenis dimana
hal tersebut mendukung terhadap
hipotesis penelitian yang dibangun oleh
Penulis berdasarkan konsep teori, yaitu
sebagai berikut:
Pertama, tesis yang disusun oleh
Daru Wisakti, Program Pascasarjana
Ilmu Administrasi Konsentrasi
Administrasi Publik Universitas
Diponegoro Semarang (2010). Tesis
tersebut berjudul Implementasi
Kebijakan Alokasi Dana Desa di
Wilayah Kecamatan Geyer Kabupaten
Grobogan. Latar belakang penelitian ini
bertujuan untuk memberikan gambaran
pelaksanaan Alokasi Dana Desa di
Kecamatan Geyer, Kabupaten Grobogan
serta melihat faktor-faktor penunjang dan
penghambat yang mempengaruhi
implementasi. Hasil penelitian tersebut
menyimpulkan bahwa:
1. Sosialisasi terhadap kebijakan
Alokasi Dana Desa yang diberikan
kepada masyarakat luas dapat
meningkatkan pemahaman terhadap
kebijakan Alokasi Dana Desa.
Dengan adanya sosialisasi, maka
masyarakat akan lebih mudah untuk
diajak berpartisipasi dalam
pelaksanaan Alokasi Dana Desa, lalu
dapat pula ikut serta melestarikan
hasil pelaksanaan Alokasi Dana Desa
serta ikut pula mengawasi jalannya
Alokasi Dana Desa sesuai dengan
ketentuan yang ada.
2. Beberapa faktor yang mempengaruhi
pelaksanaan Alokasi Dana Desa di
Kecamatan Geyer, Kabupaten
Grobogan adalah komunikasi,
kemampuan sumberdaya, sikap
pelaksana, struktur birokrasi,
lingkungan serta ukuran dan tujuan
kebijakan.
3. Implementasi kebijakan Alokasi Dana
Desa berpengaruh sangat nyata
terhadap pembangunan pada Desa-
Desa di Kecamatan Geyer, Kabupaten
Grobogan.
Edisi April 2018
Fahri
100
Kedua, tesis yang disusun oleh Siti
Zenab, Program Pascasarjana Ilmu
Administrasi Konsentrasi Administrasi
Negara Universitas Garut (2015). Tesis
tersebut berjudul Pengaruh Pelaksanaan
Kebijakan Pola Pengelolaan Keuangan
BLUD Terhadap Manajemen Rumah
Sakit dalam Mewujudkan Efektivitas
Penggunaan Anggaran di RSUD dr.
Slamet Garut. Latar belakang penelitian
ini adalah bertujuan untuk menganalisis
pengaruh pelaksanaan kebijakan pola
pengelolaan keuangan Badan Layanan
Umum Daerah terhadap manajemen
Rumah Sakit dalam mewujudkan
efektifitas penggunaan anggaran di
Rumah Sakit Umum Daerah dr. Slamet
Garut.
Hasil penelitian tersebut
menyimpulkan bahwa:
1. Pelaksanaan kebijakan pola
pengelolaan keuangan dapat
memberikan pengaruh secara
signifikan tehadap manajemen
keuangan dalam mewujudkan
efektivitas penggunaan anggaran.
2. Pelaksanaan kebijakan pola
pengelolaan keuangan berpengaruh
secara tidak signifikan terhadap
manajemen keuangan.
3. Pelaksanaan kebijakan pola
pengelolaan keuangan berpengaruh
secara signifikan terhadap efektivitas
penggunaan anggaran.
4. Manejemen keuangan berpengaruh
signifikan terhadap efektivitas
penggunaan anggaran.
Ketiga, tesis yang disusun oleh
Nono Noviana Rachman, Program
Pascasarjana Ilmu Administrasi
Konsentrasi Administrasi Negara
Universitas Garut (2015). Tesis tersebut
berjudul Pengaruh Pelaksanaan
Kebijakan Kepegawaian Terhadap
Manajemen Pelayanan Kepegawaian
dalam Mewujudkan Efektivitas Unit
Kerja Kepegawaian Satuan Kerja
Perangkat Daerah di Kabupaten Garut.
Latar belakang penelitian ini adalah
bertujuan untuk menganalisis pengaruh
pelaksanaan kebijakan kepegawaian
terhadap manajemen pelayanan
kepegawaian dalam mewujudkan
efektivitas unit kerja kepegawaian
SKPD.
Hasil penelitian tersebut
menyimpulkan bahwa:
1. Koordinasi secara horizontal maupun
vertikal dengan stakeholder lainnya
menjadi salah satu keberhasilan dalam
pelaksanaan suatu kebijakan.
2. Peningkatan intensitas kegiatan
evaluasi, pengendalian dan
pembinaan secara berkala dapat
meningkatkan manajemen pelayanan
kepegawaian sehingga dapat pula
menjalankan peran dan fungsinya
dengan optimal.
3. Peningkatan fasilitas sarana dan
prasarana Unit Kerja Kepegawaian
SKPD dapat meningkatkan pelayanan
sesuai SOP pelayanan kepegawaian
sehingga kualitas dan akurasi hasil
pekerjaan menjadi efektif serta
efisien.
4. Hasil penelitian menyimpulkan
bahwa pelaksanaan kebijakan
kepegawaian secara simultan
berpengaruh nyata dan positif
terhadap manajemen pelayanan
kepegawaian dalam upaya
mewujudkan efektivitas unit kerja
kepegawaian SKPD.
Edisi April 2018
Fahri
101
3. METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode deskriptif.
Penelitian deskriptif ada hubungannya
dengan pemaparan suatu fenomena atau
hubungan antara dua atau lebih
fenomena (Iskandar, 2016:174). Teknik
penelitian ini menggunakan teknik
survey. Penelitian survey adalah
penelitian yang dilakukan dengan atau
terhadap populasi besar maupun kecil,
tetapi data yang dipelajari adalah data
dari sampel yang diambil dari populasi,
sehingga ditemukan kejadian-kejadian
relatif, distribusi dan hubungan-
hubungan antarvariabel, sosiologis
maupun psikologis (Pasolong, 2013:72-
73). Lebih lanjut Pasolong (2013:73)
menjelaskan bahwa penelitian survey
adalah penyelidikan yang menggunakan
sampel representatif untuk
mendeskripsikan populasi. Adapun
dalam proses penelitian ini, Penulis
menggunakan teknik pengumpulan data
lainnya untuk memperkuat hasil
penelitian, seperti studi dokumentasi dan
studi lapangan yang terdiri dari
wawancara serta observasi.
Untuk melihat kondisi objektif
pada objek penelitian, Penulis
menetapkan operasionalisasi variabel
penelitian yang disusun untuk
memudahkan langkah-langkah dalam
menjaring dan mengumpulkan data yang
diperoleh dari responden sesuai dengan
teori-teori, konsep-konsep, proposisi-
proposisi dan asumsi-asumsi dari
variabel-variabel penelitian yang
ditetapkan. Adapun operasionalisasi
variabel penelitian ini adalah sebagai
berikut:
Tabel 5
Operasionalisasi Variabel Penelitian No. Variabel Dimensi Indikator
1. Imple-
mentasi
Dana
Desa
(Edward
III dalam
Agustino,
2014:149-
154)
Komunikasi Transmisi
Kejelasan
Kebijakan
Konsistensi
Kebijakan
Sumberdaya Staf atau
SDM
Informasi
Pemenuhan
Fasilitas Staf
atau SDM
Disposisi Kesepakatan
di Kalangan
Pelaksana
atau Birokrat
yang Telah
Diangkat
untuk
Melaksanakan
Kebijakan
Kemampuan
Pelaksana
Struktur
Birokrasi
Penggunaan
SOP
Fragmentasi
dalam
Pertanggung-
jawaban
2. Manaje-
men
Keuangan
Desa
(Sumar-
sono,
2010:269-
271)
Perencanaan
(Planning)
Pemilihan dan
Penetepan
Tujuan
Organisasi
Kegiatan
Persiapan
Melalui
Perumusan
dan Penetapan
Keputusan
Pengorgani-
sasian (Organizing)
Struktur
Organisasi
Uraian Tugas
Pelaksanaan
(Actuating)
Pembagian
Tugas
Koordinasi
Pengangga-
ran
(Budgeting)
Tatalaksana
Keuangan
Penggunaan
Anggaran
yang Efektif
dan Efisien
Edisi April 2018
Fahri
102
No. Variabel Dimensi Indikator
Pertanggung-
jawaban
Pengawasan (Controlling)
Pengawasan
Internal
Pengawasan
Eksternal
3. Efektivi-
tas
Pemba-
ngunan
Desa
(Indrawi-
djaja
dalam
Iskandar,
2016:339)
Keterbuka-
an
Kebijakan
Dasar,
Tujuan dan
Rencana
Keterbukaan
Kebijakan
Dasar
Keterbukaan
Tujuan
Keterbukaan
Rencana
Strategi Kejelasan
Program
Kejelasan
Sasaran
Kejelasan
Tujuan
Pengorgani-
sasian
Pengorgani-
sasian SDM
Pengorgani-
sasian Sumber
Daya Material
Pelaksanaan Kesesuaian
Perencanaan
Kesesuaian
Pengorgani-
sasian
Pengawasan
Target Hasil Pencapaian
Tujuan
Kepuasan/
Keuntungan
Sumber: Penulis, 2018.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
a. Hasil Penelitian
1. Deskripsi Hasil Penelitian
Implementasi Dana Desa
Pada variabel implementasi Dana
Desa menunjukkan kriteria Baik, hal ini
dibuktikan dengan rata-rata jawaban
responden mengenai variabel tersebut,
yaitu sebesar 78,59%. Nilai tertinggi
terdapat pada dimensi komunikasi, yaitu
tentang informasi kebijakan Dana Desa
yang mengacu pada Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa
beserta turunannya telah disosialisasikan
kepada seluruh Kepala Desa di seluruh
wilayah Kabupaten Garut. Nilai terendah
terdapat juga pada dimensi komunikasi,
yaitu tentang kebijakan Dana Desa yang
mengacu pada Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2014 Tentang Desa beserta
turunannya sudah disertai petunjuk-
petunjuk yang jelas sehingga mudah
dilaksanakan.
Adapun temuan permasalahan
yang ditemukan, yaitu Pemerintah
Kabupaten Garut dimana dalam hal ini
Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan
Desa Kabupaten Garut belum secara
penuh menyusun peraturan yang
mengatur lebih teknis kebijakan Dana
Desa, kualitas staf masih belum memadai
dan kuantitas staf belum seluruhnya
mencukupi untuk melaksanakan
kebijakan Dana Desa.
2. Deskripsi Hasil Penelitian Variabel
Manajemen Keuangan Desa
Pada variabel manajemen
keuangan Desa menunjukkan kriteria
Baik, hal ini dibuktikan dengan rata-rata
jawaban responden mengenai variabel
tersebut, yaitu sebesar 82,82%. Nilai
tertinggi terdapat pada dimensi
penganggaran (budgeting), yaitu tentang
alokasi belanja anggaran yang sudah
disusun berdasarkan program/ kegiatan.
Nilai terendah terdapat pada dimensi
pengawasan (controlling), yaitu tentang
ketepatan waktu penyampaian laporan
kegiatan oleh Desa kepada Instansi
terkait di atasnya yang anggarannya
didapat melalui Dana Desa.
Adapun temuan permasalahan
yang ditemukan, yaitu kurangnya
ketepatan waktu penyampaian laporan
Edisi April 2018
Fahri
103
kegiatan, belum adanya alternatif-
alternatif terhadap kebijakan keuangan
bilamana kebijakan awal tidak berjalan
efektif dan belum disusunnya langkah-
langkah terhadap penyelesaian masalah
keuangan.
3. Deskripsi Hasil Penelitian Variabel
Efektivitas Pembangunan Desa
Pada variabel efektivitas
pembangunan Desa menunjukkan
kriteria Baik, hal ini dibuktikan dengan
rata-rata jawaban responden mengenai
variabel tersebut, yaitu sebesar 79,21%.
Nilai tertinggi terdapat pada dimensi
pelaksanaan, yaitu tentang pengawasan
program pembangunan Desa terhadap
tingkat kesesuaian antara realisasi
dengan perencanaan program
pembangunan Desa. Nilai terendah
terdapat juga pada dimensi pelaksanaan,
yaitu tentang tingkat kesesuaian program
pembangunan yang ditetapkan oleh
Pemerintah Desa terhadap ketentuan
yang berlaku mengenai prioritas
penggunaan Dana Desa.
Adapun temuan permasalahan
yang ditemukan, yaitu tingkat kesesuaian
program pembangunan melalui Dana
Desa yang dilaksanakan oleh Pemerintah
Desa di wilayah Kabupaten Garut masih
belum seluruhnya mematuhi prioritas
penggunaan Dana Desa, Aparat Desa
belum sepenuhnya memahami mengenai
proses pengadaan barang/ jasa
Pemerintah di Desa dan keterbukaan
terhadap perencanaan program masih
sulit untuk dipahami secara sederhana
oleh yang mengaksesnya.
b. Hasil Pengujian Hipotesis
Penelitian ini menguji fakta
empiris tentang pengaruh implementasi
Dana Desa terhadap manajemen
keuangan Desa dalam mewujudkan
efektivitas pembangunan Desa. Hasil
penelitian menyajikan penghitungan
statistika yang dapat diwakili dalam
bentuk tabel sebagaimana tersaji pada
Tabel 6 sebagai berikut:
Tabel 6
Hasil Perhitungan Analisa Statistika
Hipotesis
Utama
Koe-
fisien
Jalur
Deter-
minan
Makna
Hubu-
ngan
Pengaruh
Implemen-tasi Dana
Desa Terhadap
Manajemen
Keuangan Desa dalam
Mewujud-
kan Efektivitas
Pembangu-
nan Desa
0,58
42
13,1
265
3,11
7
0,341
3
Signifi-
kan
Sub
Hipotesis
Koe-
fisien
Jalur
Deter-
minan
Makna
Hubu-
ngan
Pengaruh Implemen-
tasi Dana
Desa Terhadap
Manajemen
Keuangan Desa
0,59
14
6,47
74
1,99
2
0,349
8
Signifi-kan
Pengaruh
Manajemen
Keuangan Desa
Terhadap
Efektivitas Pembangu-
nan Desa
0,40
89
2,08
27
1,99
2
0,225
3
Signifi-
kan
Pengaruh Implemen-
tasi Dana
Desa Terhadap
Efektivitas
Pembangu-
nan Desa
0,24
04
3,66
50
1,99
2
0,116
0
Signifi-kan
Sumber: Penulis, 2018.
Berdasarkan hasil penelitian
sebagaimana tersaji pada Tabel 6, maka
Edisi April 2018
Fahri
104
diperoleh hasil penelitian bahwa secara
simultan maupun parsial implementasi
Dana Desa berpengaruh secara positif
dan signifikan terhadap terhadap
manajemen keuangan Desa dalam
mewujudkan efektivitas pembangunan
Desa.
c. Pembahasan
1. Pengaruh Implementasi Dana Desa
Terhadap Manajemen Keuangan Desa
dalam Mewujudkan Efektivitas
Pembangunan Desa
Besarnya pengaruh implementasi
Dana Desa terhadap manajemen
keuangan Desa dan efektivitas
pembangunan Desa sebesar 34,13%,
sedangkan sisanya sebesar 65,87%
dipengaruhi oleh variabel lain di luar
variabel implementasi Dana Desa yang
tidak dimasukkan ke dalam model. Hasil
pengujian ini menunjukkan bahwa faktor
komunikasi, sumberdaya, disposisi dan
struktur birokrasi menentukan
manajemen keuangan Desa yang pada
akhirnya akan berdampak pada
efektivitas pembangunan Desa di
Kabupaten Garut. Berdasarkan hasil
pengamatan di lapangan diketahui bahwa
dalam melaksanakan kebijakan Dana
Desa, Pemerintah Kabupaten Garut yang
dalam hal ini Dinas Pemberdayaan
Masyarakat dan Desa Kabupaten Garut
sebagai Perangkat Daerah terkait telah
melaksanakan komunikasi kebijakan
berupa sosialisasi mengenai kebijakan
Dana Desa sesuai dengan Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang
Desa beserta turunannya kepada para
Kepala Desa di seluruh wilayah
Kabupaten Garut. Komunikasi kebijakan
pun dilakukan oleh Dinas Pemberdayaan
Masyarakat dan Desa Kabupaten Garut
dengan cara memberikan dokumen-
dokumen cetak berupa himpunan
peraturan perundang-undangan terkait
kebijakan Dana Desa dari mulai tingkat
Undang-Undang, Peraturan Pemerintah,
Peraturan Menteri terkait sampai kepada
Peraturan Daerah Kabupaten Garut dan
Peraturan Bupati Garut yang mengikat di
dalamnya.
Adapun dalam faktor sumberdaya
bahwa hampir sebagian besar Pemerintah
Desa di Kabupaten Garut telah berusaha
mematuhi data informasi kepatuhan
terhadap peraturan perundang-undangan
yang mengikat dalam pelaksanaan
kebijakan Dana Desa sehingga dengan
anggaran yang besar ini diharapkan para
Kepala Desa maupun perangkatnya dapat
meminimalisir pelanggaran yang esensi
terhadap aturan dalam kebijakan Dana
Desa tersebut. Data informasi kepatuhan
terhadap kebijakan Dana Desa tersebut
selalu dijadikan pedoman kerja dalam
pelaksanaan program/ kegiatan yang
didanai oleh Dana Desa tersebut. Untuk
faktor disposisi bahwa para Pelaksana
Kebijakan Dana Desa di Kabupaten
Garut telah memiliki sikap untuk
berkomitmen dalam pelaksanaan
kebijakan Dana Desa tersebut karena hal
tersebut adalah penting untuk
dilaksanakan. Para Kepala Desa pun
telah menandatangani pakta integritas
yang didalamnya memuat untuk
berkomitmen dalam pelaksanaan
kebijakan Dana Desa sesuai peraturan
perundang-undangan yang mengikatnya.
Selain itu dalam faktor struktur
birokrasi diketahui bahwa para Pelaksana
Kebijakan Dana Desa telah berusaha
untuk mewujudkan akuntabilitas. Hal
tersebut diwujudkan melalui
pertanggungjawaban administratif, teknis
maupun keuangan yang dibuat oleh para
Pelaksana Kebijakan pada Pemerintah
Edisi April 2018
Fahri
105
Desa sebagai dokumentasi bilamana
pertanggungjawaban-
pertanggungjawaban tersebut diminta
untuk pemeriksaan atau tujuan tertentu
karena anggaran yang dikelola adalah
anggaran Negara. Hasil penelitian di
lapangan menunjukkan bahwa efektivitas
program pembangunan Desa ternyata
tidak hanya dipengaruhi oleh
pelaksanaan kebijakan Dana Desa,
namun juga dipengaruhi oleh manajemen
keuangan Desa. Dimana manajemen
keuangan dapat dilaksanakan jika
perencanaan dalam menyusun tujuan
organisasi dirumuskan secara berkualitas,
pengorganisasian struktur dan tata kerja
organisasi disusun secara baik sehingga
pelaksanaan tugas sesuai dengan susunan
organisasi yang telah ditetapkan, para
Pelaksana Kebijakan menjalankan
tugasnya sesuai dengan tugas dan
fungsinya masing-masing yang telah
disusun sebelumnya, penganggaran pada
belanja barang/ jasa sesuai dengan
program/ kegiatan yang direncanakan
serta program kerja yang tersaji pada
laporan kegiatan sesuai dengan program
kerja pada perencanaan.
Selain faktor pelaksanaan
kebijakan dan manajemen, variabel
efektivitas pembangunan Desa juga
dipengaruhi faktor lain (epsilon). Hasil
pengujian menunjukkan bahwa pengaruh
faktor lain yang tidak diteliti sebesar
65,87%. Faktor lain yang tidak diteliti ini
cukup besar. Epsilon yang diduga turut
mempengaruhi efektivitas pembangunan
adalah kepemimpinan. Salah satu fungsi
kepemimpinan adalah fungsi
pengambilan keputusan. Adapun
pengambilan keputusan pun memiliki
beberapa cara-cara tertentu, seperti: 1.
Jangan mengambil keputusan terlalu
cepat; 2. Jangan mengambil keputusan
mengenai masalah-masalah yang belum
saatnya diambil keputusan karena
kondisi dapat saja berubah; 3. Jangan
mengambil keputusan yang sulit atau
tidak dapat dilaksanakan nantinya; 4.
Jangan membuat keputusan di luar ranah
kewenangan; 5. Keputusan harus dapat
dimengerti oleh pelaksana; dan 6.
Keputusan jangan cepat berubah-ubah.
Dengan adanya pengambilan keputusan
yang baik melalui cara-cara di atas
dimana hal tersebut merupakan salah
satu fungsi kepemimpinan, maka akan
menghasilkan efektivitas suatu program
atau penyelenggaraan suatu
Pemerintahan dapat lebih efektif
(Djaenuri, 2015:32-36).
Faktor lain yang mempengaruhi
efektivitas pembangunan diduga juga
adalah faktor efisiensi. Hal ini senada
seperti yang diutarakan oleh Flippo
(dalam Iskandar, 2016:334) bahwa untuk
mengukur efektivitas juga digunakan
indikator efisiensi yang sering diartikan
sebagai melaksanakan pekerjaan lebih
banyak dengan tenaga kerja yang sama
atau melaksanakan pekerjaan yang tetap
dengan tenaga kerja kurang dari
biasanya. Kemudian hal sependapat
dinyatakan oleh Makmur (2015:7)
kriteria lainnya dalam melihat efektivitas
salah satunya, yaitu efisiensi.
Mengomentari faktor efisiensi dimana
merupakan variabel lain yang
mempengaruhi efektivitas pembangunan
Desa, yaitu bahwa Pemerintah Desa
seyogyanya dalam menggunakan
anggaran program pembangunan Desa
harus sebanding bahkan lebih dengan
anggaran yang sudah dikeluarkan.
Dengan adanya efisiensi, maka
efektivitas pembangunan pun dapat
terwujud.
Edisi April 2018
Fahri
106
2. Pengaruh Implementasi Dana Desa
Terhadap Manajemen Keuangan Desa
Dari hasil pengujian diperoleh
keputusan H0 ditolak, sehingga variabel
implementasi Dana Desa berpengaruh
terhadap manajemen keuangan Desa.
Adapun besar pengaruh implementasi
Dana Desa berpengaruh terhadap
manajemen keuangan Desa adalah
sebesar 34,98%, sedangkan sisanya
sebesar 65,02% dipengaruhi oleh
variabel lain di luar variabel
implementasi Dana Desa yang tidak
dimasukan ke dalam model.
Pada dasarnya implementasi
kebijakan dimana salah satu dimensinya,
yaitu komunikasi sudah berjalan dengan
baik. Hal tersebut dilakukan melalui
sosialisasi kebijakan Dana Desa oleh
Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan
Desa Kabupaten Garut kepada seluruh
Kepala Desa, walaupun hasil dari
sosialisasi kebijakan tersebut bukan
menjadi satu-satunya keberhasilan yang
akan berdampak pada manajemen
keuangan yang baik. Seperti sudah
diutarakan di atas bahwa pengaruh
implementasi terhadap manajemen, yaitu
sebesar 34,98% dan hal tersebut
merupakan pengaruh yang cukup besar
sehingga proses implementasi kebijakan
perlu terus dilaksanakan dengan
memperhatikan faktor-faktor lainnya
agar manajemen keuangan dapat
terlaksana dengan lebih baik.
Selain faktor implementasi,
variabel manajemen juga dipengaruhi
faktor lain (epsilon). Hasil pengujian
menunjukkan bahwa pengaruh faktor lain
yang tidak diteliti sebesar 65,02%.
Faktor lain yang tidak diteliti ini cukup
besar. Epsilon yang diduga turut
mempengaruhi manajemen adalah
koordinasi. Hal tersebut sesuai dengan
yang disampaikan oleh Lee (dalam
Nawawi, 2015:14) bahwa manajemen
merupakan koordinasi semua sumber
daya melalui proses perencanaan,
pengorganisasian, penetapan tenaga
kerja, pengarahan dan pengawasan untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan
terlebih dahulu. Membahas pendapat ahli
di atas menurut Penulis bahwa dengan
adanya koordinasi, maka proses
manajemen keuangan di Desa dapat
berjalan sebagaimana mestinya sesuai
dengan harapan. Pemerintah Desa perlu
untuk terus melakukan koordinasi dalam
pengelolaan keuangan, baik secara
horizontal maupun secara vertikal agar
pengeloaan atau manajemen keuangan
dapat berjalan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan maupun proses-
proses manajemen secara ilmiah.
Epsilon lain yang diduga
mempengaruhi variabel manajemen
keuangan, yaitu motivasi. Seperti yang
diutarakan oleh Terry (2014:130)
menyatakan bahwa motivasi menyangkut
soal perilaku manusia dan merupakan
elemen vital di dalam manajemen.
Motivasi dapat diartikan sebagai
mengusahakan supaya seseorang dapat
menyelesaikan pekerjaan dengan
semangat karena ia ingin
melaksanakannya. Pendapat tersebut
menurut Penulis sangat relevan bahwa
implementasi kebijakan bukan satu-
satunya yang dapat mempengaruhi
manajemen. Motivasi dari para
Pelaksana Kebijakan akan dapat
berpengaruh juga terhadap jalannya
proses manajemen. Adapun faktor
lainnya yang mempengaruhi manajemen
keuangan diduga, yaitu kepemimpinan.
Terry (2014:153) berpendapat bahwa
pemimpin mengalihkan rencana-rencana
menjadi kegiatan dan membuat rencana-
Edisi April 2018
Fahri
107
rencana menjadi kenyataan. Pendapat
pakar tersebut sependapat dengan
Penulis, dimana rencana disusun dalam
proses manajemen sehingga
kepemimpinan menjadi faktor kunci
lainnya dalam proses manajemen.
3. Pengaruh Manajemen Keuangan Desa
Terhadap Efektivitas Pembangunan
Desa
Dari hasil pengujian diperoleh
keputusan H0 ditolak. Besar pengaruh
variabel manajemen keuangan Desa
terhadap efektivitas pembangunan Desa
secara langsung adalah sebesar 22,53%
sedangkan sisanya sebesar 77,47%
dipengaruhi oleh variabel lain diluar
variabel manajemen keuangan Desa yang
tidak dimasukan ke dalam model. Dari
hasil pengujian dan wawancara diketahui
walaupun manajemen keuangan yang
dilaksanakan oleh Pemerintah Desa telah
dilaksanakan dengan baik, terutama
dalam pengalokasian anggaran belanja
yang disusun berdasarkan program/
kegiatan dengan tepat dimana hal ini
hanya berupa masalah teknis saja,
ternyata hal tersebut bukan menjadi
faktor satu-satunya saja untuk
meningkatkan efektivitas pembangunan
Desa. Perlu diketahui sebelumnya bahwa
pengalokasian anggaran belanja yang
disusun berdasarkan program/ kegiatan
tersebut terdapat pada dimensi
penganggaran (budgeting), khususnya
pada indikator penggunaan anggaran
yang efektif dan efisien.
Adapun faktor lain yang dapat
mempengaruhi efektivitas pembangunan
Desa selain manajemen keuangan
diduga, yaitu integrasi. Indrawidjaja
(dalam Iskandar, 2016:336)
menyebutkan bahwa pengukuran
efektivitas sesungguhnya harus
mencakup berbagai kriteria salah
satunya, yaitu integrasi. Selanjutnya
Tyson dan Jackson (dalam Iskandar,
2016:340) mengembangkan bahwa
integrasi berhubungan dengan 5 (lima)
elemen utama kinerja kerja, yaitu
pengetahuan, sumberdaya bukan
manusia, proses-proses manusiawi,
pemosisian yang strategik dan struktur.
Elemen proses-proses manusiawi inilah
yang tidak dimasukan ke dalam
penelitian. Epsilon lainnya yang diduga
turut mempengaruhi efektivitas
pembangunan Desa, yaitu sistem sosial
dan harapan seseorang. Hal tersebut
seperti yang disampaikan oleh Tyson dan
Jackson (dalam Iskandar, 2016:340-341),
yaitu jenis kriteria efektivitas yang
banyak dipergunakan salah satunya
meliputi sistem sosial dan harapan
seseorang yang diukur dengan laporan
penilaian kerja, survei perilaku, tingkat
ketidakhadiran, pergantian staf dan
seterusnya.
4. Pengaruh Implementasi Dana Desa
Terhadap Efektivitas Pembangunan
Desa
Dari hasil pengujian diketahui
bahwa implementasi Dana Desa
memberikan pengaruh nyata dan positif
terhadap efektivitas pembangunan Desa.
Besar pengaruh secara langsung
implementasi Dana Desa terhadap
efektivitas pembangunan Desa adalah
sebesar 5,78%, sedangkan pengaruh
implementasi Dana Desa terhadap
efektivitas pembangunan Desa melalui
manajemen keuangan Desa adalah
sebesar 5,81%. Sehingga jumlah
pengaruh langsung dan tidak langsung
variabel implementasi Dana Desa
terhadap efektivitas pembangunan Desa
sebesar 11,60%, sedangkan sisanya
Edisi April 2018
Fahri
108
sebesar 88,40% dipengaruhi oleh
variabel lain diluar variabel implementasi
Dana Desa yang tidak dimasukan ke
dalam model.
Berdasarkan hasil pengamatan di
lapangan, rendahnya pengaruh variabel
implementasi terhadap variabel
efektivitas pembangunan Desa tersebut
terjadi dikarenakan walaupun
implementasi kebijakan berupa
sosialisasi telah diwujudkan dengan baik,
adanya komitmen yang kuat dari para
Pelaksana Kebijakan untuk
mengimplementasikan kebijakan dan
manajemen keuangan telah diupayakan
maksimal, namun hal tersebut bukanlah
faktor dominan yang berpengaruh
terhadap efektivitas pembangunan Desa.
Epsilon yang diduga
mempengaruhi efektivitas pembangunan
adalah adaptasi terhadap perubahan
lingkungan. Hal ini seperti yang
diutarakan oleh Tyson dan Jackson
(dalam Iskandar, 2016:340-341), yaitu
efektivitas didefinisikan sebagai
kecakapan untuk menyesuaikan diri
terhadap lingkungan yang berubah.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa adaptasi
diukur dengan perubahan-perubahan
dalam pangsa pasar dan laju
perkembangan produk baru yang
berhasil.
Membahas mengenai epsilon
adaptasi yang diduga mempengaruhi
efektivitas pembangunan Desa, yaitu
bahwa pembangunan Desa saat ini
mengalami perubahan yang cukup
substantif melalui perubahan kebijakan
terhadap Desa yang diatur dengan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014
Tentang Desa beserta turunannya.
Dengan perubahan tersebut, maka
Pemerintah Desa perlu secepatnya
beradaptasi terhadap perubahan-
perubahan tersebut yang dapat dikatakan
substantif agar pembangunan di Desa
dapat terlaksana dengan efektif.
5. KESIMPULAN
Terdapat pengaruh yang positif
dan signifikan dari implementasi Dana
Desa terhadap manajemen keuangan
Desa dalam mewujudkan efektivitas
pembangunan Desa.
Adapun saran dari hasil penelitian
dan pembahasan, yaitu sebagai berikut:
1. Karena adanya latar belakang
permasalahan pada implementasi
Dana Desa, maka disarankan kepada
Dinas Pemberdayaan Masyarakat
dan Desa Kabupaten Garut maupun
stakeholder lainnya untuk menyusun
berbagai produk hukum daerah yang
mengatur mengenai kebijakan Dana
Desa maupun produk hukum daerah
lainnya yang menunjang untuk
implementasi Dana Desa agar
petunjuk-petunjuk bagi
Pemerintahan Desa di Kabupaten
Garut dapat lebih rinci dan jelas,
mendorong para Kepala Desa di
wilayah Kabupaten Garut untuk
mengangkat Pejabat Desa dalam
jabatan yang masih kosong dan
mengangkat pula unsur Staf untuk
membantu para Perangkat Desa
dalam implementasi Dana Desa
serta meningkatkan intensitas
kegiatan peningkatan kapasitas
Kepala Desa, Sekretaris Desa
maupun Perangkatnya agar kualitas
seluruh Aparat Desa dapat lebih
baik.
2. Karena adanya latar belakang
permasalahan pada manajemen
keuangan Desa, maka disarankan
kepada Dinas Pemberdayaan
Edisi April 2018
Fahri
109
Masyarakat dan Desa Kabupaten
Garut maupun stakeholder lainnya
untuk menyusun langkah-langkah
penyelesaian masalah keuangan
yang mempunyai resiko tinggi bagi
Pemerintah Desa agar pencapaian
tujuan dapat tetap optimal,
menyusun berbagai alternatif
kebijakan keuangan bilamana
kebijakan awal tidak efektif serta
mendorong Pemerintah Desa di
wilayah Kabupaten Garut agar
selalu tepat dalam menyampaikan
laporan realisasi keuangan sebagai
prasyarat dalam pencairan Dana
Desa termin selanjutnya.
3. Karena adanya latar belakang
permasalahan pada efektivitas
pembangunan Desa, maka
disarankan kepada Dinas
Pemberdayaan Masyarakat dan Desa
Kabupaten Garut maupun
stakeholder lainnya untuk
memberikan pemahaman terkait
proses pengadaan barang/ jasa
Pemerintah lingkup Desa, membuat
pengumuman yang mudah dipahami
bagi yang mengaksesnya terkait
perencanaan program di Desa untuk
tahun anggaran selanjutnya sebagai
wujud transparansi serta selalu
mengawasi proses perencanaan
program yang didanai melalui Dana
Desa agar selalu sesuai dengan
aturan mengenai prioritas
penggunaan Dana Desa.
Adapun saran untuk penelitian
lebih lanjut, mengingat terdapat beberapa
temuan penting pada penelitian serta
keterbatasan dalam penelitian ini, maka
diharapkan pada masa yang akan datang
berbagai pihak dapat melakukan
penelitian lebih lanjut diluar faktor dari
variabel-variabel penelitian ini.
Penelitian lanjutan lain yang disarankan,
diantaranya mengenai kepemimpinan,
faktor efisiensi, koordinasi, motivasi,
integrasi, sistem sosial dan harapan
seseorang serta adaptasi terhadap
perubahan lingkungan.
6. REFERENSI
Agustino, Leo. 2014. Dasar-Dasar
Kebijakan Publik, Alfabeta,
Bandung.
Djaenuri, M. Aries. 2015.
Kepemimpinan, Etika dan
Kebijakan Pemerintahan, Ghalia
Indonesia, Bogor.
Hadi, Sutrisno. 2015. Statistik, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta.
Iskandar, Jusman. 2016 a. Indek dan
Skala dalam Penelitian, Puspaga,
Bandung.
______________. 2016 b. Kapita Selekta
Administrasi Negara, Puspaga,
Bandung.
______________. 2016 c. Manajemen
Publik, Puspaga, Bandung.
______________. 2016 d. Metoda
Penelitian Administrasi, Puspaga,
Bandung.
______________. 2016 e. Perilaku
Manusia dalam Kelompok dan
Organisasi, Puspaga, Bandung.
______________. 2016 f. Membangun
Kekuatan Masyarakat, Puspaga,
Bandung.
Jurusan Administrasi Publik Fakultas
Ilmu Administrasi Universitas
Brawijaya. Volume 1 Nomor 3,
2013. Jurnal Administrasi Publik,
Malang.
Keban, Yeremias T. 2014. Enam
Dimensi Strategi Administrasi
Edisi April 2018
Fahri
110
Publik: Konsep, Teori dan Isu,
Gava Media, Yogyakarta.
Kementerian Keuangan Republik
Indonesia. Volume 6 Nomor 1,
2015. Jurnal Ekonomi dan
Kebijakan Publik, Jakarta.
Makmur. 2015. Efektivitas Kebijakan
Kelembagaan Pengawasan, Refika
Aditama, Bandung.
Nawawi, Zaidan. 2015. Manajemen
Pemerintahan, Rajagrafindo
Persada, Jakarta.
Nugroho, Riant. 2013. Metode Penelitian
Kebijakan, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta.
______________. 2014. Public Policy:
Teori, Manajemen, Dinamika,
Analisis, Konvergensi dan Kimia
Kebijakan, Elex Media
Komputindo, Jakarta.
______________. 2015. Kebijakan
Publik di Negara-Negara
Berkembang, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta.
Pasolong, Harbani. 2013. Metode
Penelitian Administrasi Publik,
Alfabeta, Bandung.
Program Studi Ilmu Pemerintahan
Kerjasama Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik Universitas
Tanjungpura dengan Provinsi
Kalimantan Barat. Volume 4
Nomor 1, 2015. Jurnal S1 Ilmu
Pemerintahan, Pontianak.
Rachman, Nono Noviana, 2015.
Pengaruh Pelaksanaan Kebijakan
Kepegawaian Terhadap
Manajemen Pelayanan
Kepegawaian dalam Mewujudkan
Efektivitas Unit Kerja
Kepegawaian Satuan Kerja
Perangkat Daerah di Kabupaten
Garut, Universitas Garut.
Sedarmayanti. 2014. Manajemen
Strategi, Refika Aditama,
Bandung.
Soleh, Chabib dan Rochmansjah, Heru.
2010. Pengelolaan Keuangan dan
Aset Daerah, Gaza Publishing,
Bandung.
Sumarsono, Sonny. 2010. Manajemen
Keuangan Pemerintahan, Graha
Ilmu, Yogyakarta.
Terry, George R. 2014. Prinsip-Prinsip
Manajemen, Bumi Aksara, Jakarta.
Wisakti, Daru, 2010. Implementasi
Kebijakan Alokasi Dana Desa di
Wilayah Kecamatan Geyer
Kabupaten Grobogan, Universitas
Diponegoro.
Zenab, Siti, 2015. Pengaruh Pelaksanaan
Kebijakan Pola Pengelolaan
Keuangan BLUD Terhadap
Manajemen Rumah Sakit dalam
Mewujudkan Efektivitas
Penggunaan Anggaran di RSUD
dr. Slamet Garut, Universitas
Garut.
Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014
Tentang Desa.
Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun
2014 Tentang Dana Desa yang
Bersumber dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara
sebagaimana telah beberapa kali
diubah, terakhir dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 8 Tahun 2016
Tentang Perubahan Kedua Atas
Peraturan Pemerintah Nomor 60
Tahun 2014 Tentang Dana Desa
yang Bersumber dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor
113 Tahun 2014 Tentang
Pengelolaan Keuangan Desa.
Edisi April 2018
Fahri
111
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor
114 Tahun 2014 Tentang Pedoman
Pembangunan Desa.
Peraturan Menteri Desa, Pembangunan
Daerah Tertinggal dan
Transmigrasi Nomor 1 Tahun
2015 Tentang Pedoman
Kewenangan Berdasarkan Hak
Asal-Usul dan Kewenangan Lokal
Berskala Desa.
Peraturan Menteri Desa, Pembangunan
Daerah Tertinggal dan
Transmigrasi Nomor 3 Tahun
2015 Tentang Pendampingan
Desa.
Peraturan Menteri Desa, Pembangunan
Daerah Tertinggal dan
Transmigrasi Nomor 5 Tahun
2016 Tentang Pembangunan
Kawasan Perdesaan.
Peraturan Kepala Lembaga Kebijakan
Pengadaan Barang/ Jasa
Pemerintah Nomor 13 Tahun 2013
Tentang Pedoman Tata Cara
Pengadaan Barang/ Jasa di Desa
sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Kepala Lembaga
Kebijakan Pengadaan Barang/ Jasa
Pemerintah Nomor 22 Tahun 2015
Tentang Perubahan Peraturan
Kepala Lembaga Kebijakan
Pengadaan Barang/ Jasa
Pemerintah Nomor 13 Tahun 2013
Tentang Pedoman Tata Cara
Pengadaan Barang/ Jasa di Desa.
Peraturan Bupati Garut Nomor 1080
Tahun 2015 Tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah
Desa.
Laporan Realisasi dan Konsolidasi
Penggunaan Dana Desa Tahun
Anggaran 2015, Badan
Pemberdayaan Masyarakat dan
Pemerintahan Desa Kabupaten
Garut, 2016.
Peraturan untuk Pengadaan dengan Dana
Desa.
Edisi April 2018
Wibowo
hal. 112 - 117
112
1. HISTORICAL BACKGROUND
After the Korean War (1950-1953)
South Korea is a poor country with the
second lowest gross domestic product
(GDP) in the world and only slightly
better than India. The total area of South
Korea is 9.9 million hectares which g
enerally hilly with poor- nutrient-soil.
Some experts said that the characteristics
of poverty of South Korea can be seen
from the roof of residents’ houses which
LOCALIZING SAEMAUL UNDONG, A RURAL
DEVELOPMENT MOVEMENT IN SOUTH KOREA: IS IT
POSSIBLE?
Teguh Solih Setiyo Wibowo
1
Abstrak
Republik Korea (Korea Selatan), negara yang merdeka hanya berselisih 2 hari dari
Republik Indonesia, telah dikenal sebagai salah satu negara yang berhasil
membangun desa setara dengan kotanya. Di negara ini kesenjangan pembangunan
antara desa dengan kota tidaklah terlihat terlampau nyata. Hal yang kontradiktif
ketika tahun 1950-1960an kita bisa menjadi sentral pembangunan di Asia dengan
Gelora Bung Karno sebagai ikon Asian Games kala itu, sementara rakyat Korea
Selatan masih terbelenggu oleh kemiskinan terstruktur di penjuru negerinya.
Adalah Presiden Park Chung Hee yang pada tahun 1970an menggagas Program
Saemaul Undong, yang menjadi katalis bagi masifnya pembangunan desa di Korea
Selatan. Semaul Undong telah diklaim oleh segenap rakyat Korea Selatan sebagai
inspirasi bagi modernisasi pedesaan dalam pembangunan. Namun tidak hanya itu,
pengakuan Saemaul Undong sebagai warisan dunia dari UNESCO, demikian pula
Bank Dunia dan UNDP telah menahbiskan Saemaul Undong sebagai model baru
gerakan pembangunan desa di dunia. Saemaul Undong telah terbukti berhasil di
Korea Selatan, Apakah faktor kunci kebehasilan program ini? Bagaimana
implementasinya di tataran bawah? Serta mungkinkah program serupa di adopsi di
Indonesia?
Kata Kunci: Saemaul Undong, pembangunan desa.
1)Teguh Solih Setiyo Wibowo, S.Pd., MPA
Master of Public Administration in Saemaul Undong and Community Development, Park Chung Hee
School of Policy and Saemaul (PSPS) of Yeungnam University, Rep. Of Korea
Pelaksana pada Bidang Pengembangan Kompetensi Jabatan Pimpinan Tinggi Pratama, Administrator
dan Pengawas pada Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Dalam Negeri Regional
Bandung
Edisi April 2018
Wibowo
113
still in the form of straw and walls of
houses made of soil. People could only
work in the spring, summer and fall, to
prepare food for the winter. At that time,
during the winter what Koreans did is
just killing the time with drinking and
gambling so that when the seasons
change they had nothing. It keeps
repeating so that they are hard to get out
of poverty trap. On May 16, 1961, as
history progressed, General Park Chung
Hee made a coup to take over against a
legitimate government and then made
him the President of Republic of Korea.
President Park Chung Hee is known as a
tough and authoritarian president. Seeing
the condition of people in poverty, then
President Park Chung Hee devised an
effective way to improve the living
standards of South Korean people. To do
this so, on April 22, 1970, He introduced
a program called Saemaul Undong.
(새마을 운동).
2. DEFENITION
Saemaul Undong (새마을 운동) is
literally derived from the word 새 (se)
means new, and 마을 (maeul) means
village or community, also 운동
(undong) means movement. Saemaul
undong is a movement of change and
reform rural villagers for a better life.
According to the Korea Saemaul Undong
Center,
Saemaul Undong refers to any
community development
movement, which builds a village
or community to improve
villagers’ quality of life based on
the spirits of diligence, self-help
and cooperation, and approaches
by the villagers, of the villagers
and for the villagers. Saemaul
Undong is also based on self-
reliant decision-making through
the process of planning,
implementation, evaluation, and
feedback to the next phase.1
There are at least five significance
values of Saemaul Undong related with
the program of rural development.
Firstly, Saemaul undong is a movement
for national development to get out of the
poverty trap and secondly, Saemaul
undong is a spiritual reform movement
that contributes to the modernization of
Korean society. Saemaul undong is also
a movement for the development of local
communities started and centered around
rural communities. Furthermore,
Saemaul undong is a movement for the
unity of the people contributing to
overcome the divisions and conflicts
among the social classes that have been
brought in since the founding of the state.
As a result, Saemaul undong is also
considered as a movement for the
community to inherit and pass on the
traditions of society.
To understand Saemaul Undong
we have to know the 3 fundamental
spirits in cultivating Saemaul Undong;
1. 근면 (geun myeon) which means
perseverance, as we know that South
Korean society is a diligent and
persistent society. Naturally, given the
limited nature of natural resources
force them to work harder, because of
lazyness and easily despair would not
make them to survive. This spirit is
very valuable for them to overcome
1 Korea Saemaul Undong Center. Definition of
Saemaul Undong. Available at
https://saemaul.or.kr/eng/sub/whatSMU/definiti
on.php accesed February 28, 2018
Edisi April 2018
Wibowo
114
all the problems they face to get out
of poverty.
2. 자조 (jajo) which means self-help.
This spirit is an action spirit, as for
example, during the implementation
of Saemaul Undong projects, South
Korean community willingly donates
their property and energy for the
success of the program Saemaul
Undong. Also, one more thing to note
is that South Koreans have
unbalanced traits and are "jealousy"
of course with positive connotations,
for example when one village is able
to voluntarily build roads and bridges
as part of the Saemaul program other
villages will do the same things for
better result. Thus, every village
“competes” each other to beautify
their villages.
3. 협동 (hyeom dong) which means
cooperation. This spirit becomes the
basis for the population to work
together and cooperate to complete
the Saemaul Undong projects because
everybody understands that the
success of the project will be benefit a
better life for them.
A. The Implementation of Saemaul
Undong
Saemaul Undong program is
planned and implemented by villagers in
accordance with the available capabilities
and resources. The forms of the Saemaul
Undong program could be roofing, road
building, bridge construction, widening
of agricultural roads, construction of
village meeting halls, construction of
clean water installations, drainage
improvements and increased incomes
through the quick planting of crops. The
Saemaul Undong project started in
August 1970, at that time, The South
Korea government received assistance
from the World Bank to finance Saemaul
Undong program which President Park
Chung Hee later used to buy 11.17
million sacks of cement which were then
distributed equally to 33,267 villages so
that each village received 335 sacks. In
the early stages of Saemaul Undong
more directed to infrastructure
development in the form of repair roads
and bridges and replacement of roofs of
residents who originally made of straw
with tiles or zinc. As Jin mentioned that
the early stages of Saemaul Undong
consisted of 3 stages, stage of
Foundation and Groundwork from 1970
to 1973, Stage of Self-Help and
Development from 1974 to 1976, and the
Stage of Accomplishment of Self-
Reliance started from 1977 to 1981 (Jin,
2009). In the following years, the
Saemaul program is increasingly diverse
depending on the needs of the villagers.
B. Success Factors of Saemaul Undong
The community, together with the
heads of the sculptures and village heads,
formulated the programs that the people
needed. By using the funds obtained
from the government, if the funds are
insufficient then the people voluntarily
donate their possessions (though by
installment) to the sustainability of the
Saemaul program. Furthermore, in the
implementation of Saemaul program, the
community worked together for the
success of the program such as dividing
working hours each week to adjust to the
ability and time available. Moreover, The
existence of the leaders of Saemaul
(Saemaul leaders) is very influential on
the success of the program Saemaul
Undong. Saemaul leader is a person
appointed and given education and
Edisi April 2018
Wibowo
115
training by the South Korean government
to ensure the success of Saemaul
Undong. Saemaul leader is a volunteer
(unpaid) who works with the village head
to make the Saemaul Undong program
well implemented, he always persuaded
the villagers to participate in the
program, for example, to sacrifice the
land to be used as a village road as a
result of widening the village road.
According to Korea Saemaul
Undong Center the success factors of
Saemaul Undong projects may be
summarized into 5 factors. First, The
government supported the residents at
the appropriate time to lead their
voluntary participation. Also, The
government did not interfere in but
defined the guideline for skills so it
caused the residents voluntarily
participated in the project and elect their
leader by themselves as well as to decide
their own project. And, there was a
dedicated leader and the government
cultivated a leader with strong leadership
through Saemaul Undong training. The
leader served his or her duty without pay
and took a role as a leader through
concentrated training in the Saemaul
Undong Central Training Institute. In
addition, the government chose an
effective way to support by inducing
competitiveness based on self-help spirit
with the principle of 'supporting the
predominant village first'. It graded
villages into 3 classes such as basic, self-
help and self-reliance village. Therefore,
the people worked harder and harder to
get more resources. At last, It was
implemented in a village unit. An
optimal condition to expand this
movement was an old and traditional
town which is interested in community
consciousness and public interest of the
residents. (Korea Saemaul Undong
Center, March 2018)
C. Strategy
There are at least five factors to be
considered in implementing Saemaul
Undong. The first is the government’s
systematic support. President Park
Chung Hee is one of the decisive
successes of the Saemaul Undong
program because he is a very determined
leader (even authoritarian). He did not
hesitate to give a reprimand if the
program is not running properly but on
the other hand, also give awards to the
village who successfully implement the
program Saemaul Undong by increasing
the fund for activities Saemaul Undong
next year. The second thing to consider is
voluntary participation of villagers. One
man and one woman were elected as
Saemaul leaders in each village. The
leaders were elected or nominated by a
village council. There was no fixed term
of service and it varied depending on a
village. The difference between Saemaul
leaders and heads of villages lay in the
fact that the Saemaul leaders voluntarily
devoted themselves to the development
of their own villages without
compensation while the heads of ri were
in charge of administrative work of ri
and were paid for their services. Saemaul
leaders played the role of a project
commissioner, a village organizer, and a
project manager.
The third is nurturing Saemaul
leaders. In this case Korea can identify,
train and support civil society leaders
who are passionate about improving rural
communities in their country and who
can inspire a growing movement. The
SMU Center has already trained
hundreds of such potential leaders. Initial
Edisi April 2018
Wibowo
116
results may be limited to a few target
communities and sustainability may be a
challenge. Programs are needed to
provide follow-up support to assist these
leaders in creating self-reliant national
movements that can apply the lessons of
Korea’s experience to nationwide rural
development.
The forth essential strategy is the
preferential support for outstanding
village. The government concretized its
support policy by classifying villages
into 3 categories of basic, self-
sufficiency, and self-reliant and then
providing differentiated support
accordingly. On top of that, the
government provided full support to
those villages in the category of self-
reliant in order to make leading examples
of rural community development. The
last considering factor is that to put
villages as a basic of development. An
additional point that needs emphasis is
that Saemaul Undong’s success was built
on the ironic combination of cooperation
at the village level with mobilization and
direction from an authoritarian
government. (Reed, 2010)
D. Conclusion
In summary, most of the Korean
government’s initiatives for improving
agricultural productivity and increasing
rural incomes could have been
implemented without a Saemaul Undong.
But would they have achieved the
success and rapid impact that actually
occurred in rural Korea? Probably not.
Saemaul Undong wrapped the entire
effort to transform the rural areas
economically and socially in an
ubiquitous national movement under the
personal leadership of President Park.
Without the massive investments in rural
development, Saemaul Undong would
have remained an interesting but not a
transformative program; but without
Saemaul Undong Korea’s investments in
agriculture would not have yielded the
spectacular results that were actually
achieved.
In conclusion, while Saemaul
Undong helped to alleviate absolute
poverty in rural villages by providing
better access and opportunities, it was
not sufficient to address the structural
problems of agriculture, which required
much more physical and financial
investment and drastic changes in
agricultural policies rather than the
massive mobilization of human labour.
(Park, 2009)
The question that arises now
"Could Saemaul Undong program be
implemented in Indonesia?"
3. RECOMMENDATION
For today’s developing countries,
there are some lessons to be counted to
adopt Saemaul Undong as rural
development model. First, Saemaul
Undong cannot be considered a model
for other countries, if by model we mean
a package that can be transferred more or
less intact to a different context with the
expectation of similar results.
Nevertheless, other countries can learn
important lessons from the early Saemaul
Undong experience. Nevertheless, there
are some clear lessons that emerge from
Korea’s extraordinary rural
transformation and the Saemaul Undong.
I would offer a few general principles for
consideration based on Korea’s
experience:
1. Create the foundations for rural
development, by investing early and
Edisi April 2018
Wibowo
117
consistently in rural education and
health programs that help create the
human capital that will be capable of
taking advantage of new economic
opportunities,, and by strengthening
the capacity of local governance
institutions to plan and administer
national policies at the local level.
2. Create institutions and infrastructure
to support the rural economy,
including finance, processing, storage,
transport, communication, etc.
3. Cultivate strong leadership skills: by
encouraging and supporting strong
national-level leadership with a
commitment to sustained
improvements in the rural sector. Not
every country can expect a Park
Chung Hee to emerge, but champions
within the government can be
identified and supported, and by
supporting the empowerment of rural
women to play leadership roles in the
local economy.
4. Actively engage villagers in planning
and implementing community
projects by starting with their
priorities and supporting them with
needed resources., by giving rewards
to rural communities that are
successful with more resources and
investment; raise them up as models
for the country., and giving rewards to
local officials and bureaucrats based
on the evaluation by villages in their
jurisdiction.
4. REFERENCES
Reed, P. Edward. 2010. Is Saemaul
Undong a Model for Developing
Countries Today? Paper prepared
for International Symposium in
Commemoration of the 40th
Anniversary of Saemaul Undong.
Hosted by the Korea Saemaul
Undong Center September 30,
2010
Jin, Chung Kap. 2009. Experiences and
Lessons from Korea's Saemaul
Undong in the 1970s. Research
Report on Saemaul Undong. Korea
Development Institute
Park, Sooyoung. 2009. Analysis of
Saemaul Undong: A Korean Rural
Development Programme in the
1970s. Asia-Pacific Development
Journal Vol. 16, No. 2, December
2009
Douglass, Mike. 2013. The Saemaul
Undong : South Korea’s Rural
Development Miracle in Historical
Perspective. Asia Research
Institute Working Papers Series
No. 197. Asia Research Institute
and Department of Sociology,
National University of Singapore.
February 2013
Korea Saemaul Undong Center.
Definition of Saemaul Undong.
Available at
https://saemaul.or.kr/eng/sub/what
SMU/definition.php accesed
February 28, 2018
Edisi April 2018
Firseta
hal. 118 - 136
118
1. PENDAHULUAN
Penyelenggaraan sistem
pemerintahan yang menganut
kebijakan desentralisasi dan
otonomi daerah semakin
mendorong upaya
penyelenggaraan manajemen
pemerintahan daerah yang lebih
transparan, efektif dan efisien.
Penyelenggaraan pemerintah yang
demikian, tidak lepas dari
optimalisasi kinerja aparatur sipil
negara pada daerah setempat.
Dalam hal ini sebagaimana
dikemukakan dalam Undang-
undang Nomor 5 Tahun 2014
tentang Aparatur Sipil Negara,
ditegaskan bahwa untuk
mewujudkan aparatur sipil negara
sebagai bagian dari reformasi
birokrasi, perlu ditetapkan aparatur
sipil negara sebagai profesi yang
memiliki kewajiban mengelola dan
mengembangkan dirinya dan wajib
mempertanggungjawabkan
kinerjanya dan menerapkan prinsip
merit dalam pelaksanaan
manajemen aparatur sipil negara.
Sistem Merit adalah kebijakan dan
Manajemen ASN yang
berdasarkan pada kualifikasi,
kompetensi, dan kinerja secara adil
dan wajar dengan tanpa
ANALISIS FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KINERJA
APARATUR DI SEKRETARIAT KOTA JAKARTA TIMUR
Minesally Mahedo Dyan Firseta
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta
Abstract
The paper deals with the factors which hypothesized influence the
individual performance in East Jakarta Province. A Quantitative
approach was used through regression and path analysis. Data collected
by closed questionnaire and a total number of respondent was 167
persons who work in secretariate division. The study had found that
individual performance as the dependent variable was influenced positive
and significant by individual competence and culture set which was put
as independent variables. Result also reveals that organization culture set
is more influencing rather than individual competence to performance.
The framework developed by this study can be developed with other
independent variables in other public sector organization to measure
individual performance
Keywords: Technical competence, behavioral competence, culture set,
bureaucracy, local
government-bureaucrat
Edisi April 2018
Firseta
119
membedakan latar belakang
politik, ras, warna kulit, agama,
asal usul, jenis kelamin, status
pernikahan, umur, atau kondisi
kecacatan. Dalam hal ini, aparatur
sipil negara dituntut untuk mampu
mempertanggungjawabkan
tindakan dan kinerjanya kepada
publik, termasuk aparatur sipil
negara di Sekretariat Kota
Administrasi Jakarta Timur.
Mengingat Kota
Administrasi Jakarta Timur
sebagai salah satu daerah di
Provinsi DKI Jakarta yang
memiliki sejumlah kawasan-
kawasan potensial atau unggulan
untuk dapat dikembangkan. dalam
konteks pembangunan nilai
kawasan strategis Kota
Administrasi Jakarta Timur
sebagaimana yang dimaksud,
maka pelaksanaan tugas pokok dan
fungsi Sekretariat Kota
Administrasi Jakarta Timur
tampak menjadi penting untuk
mengembangkan berbagai upaya
strategis dalam rangka
mewujudkan tujuan
penyelenggaraan pemerintahan
sebagaimana dimanatkan
konstitusi. Pelaksanaan tugas
pokok dan fungsi dimaksud antara
lain dapat dilakukan dengan
mengembangkan berbagai
kebijakan, program dan kegiatan
yang mendukung upaya
peningkatan efektivitas pimpinan
organisasi perangkat daerah dalam
penyelenggaraan sistem
manajemen pemerintahan daerah.
Dengan demikian dapat
diharapkan berkembangnya
sinergitas kinerja yang saling
memperkuat di antara pimpinan
dan pegawai, begitu juga dengan
pemerintah pusat dan daerah
dalam mengoptimalisasikan
penyelenggaraan kebijakan
desentralisasi dan otonomi daerah.
Untuk mengefektifkan
pelaksanaan tugas pokok dan
fungsi Sekretariat Kota
Administrasi Jakarta Timur jelas
sangat diperlukan dukungan
kinerja aparatur yang professional
dan akuntabel dalam
melaksanakan berbagai kebijakan
dan kegiatan yang terarah untuk
mendukung upaya optimalisasi
kebijakan pemerintah daerah.
Profesional dalam pengertian
bahwa setiap aparatur mampu
menjabarkan setiap kebijakan
secara cermat dan tepat sasaran
dalam menyikapi, mengatasi dan
mengantisipasi berbagai masalah
yang timbul sebagai akibat
lemahnya pimpinan (kepala
daerah) dan manajemen
pemerintahan daerah. Akuntabel
dalam pengertian setiap aparatur
dapat bekerja secara transparan
serta mampu
mempertanggungjawabkan pula
penggunaan seluruh sumber daya
administrasi untuk pelaksanaan
berbagai kebijakan dan kegiatan
pemerintah di daerah. Namun pada
kenyataanya kinerja aparatur yang
diperlukan untuk mengefektifkan
pelaksanaan tugas pokok dan
fungsi Sekretariat Kota
Administrasi Jakarta Timur masih
belum optimal. (LAKIP
Edisi April 2018
Firseta
120
Sekretariat Kota Administrasi
Jakarta Timur 2015).
Beberapa literature
menunjukan bahwa terdapat
beberapa faktor yang
mempengaruhi kinerja aparatur,
diantaranya: kompetensi (Suparno
& Sudarwati, 2014) (P, S, &
Sendow. Grels M, 2016; Suparno
& Sudarwati, 2014; Putu, Saputra,
Bagia, Suwendra, & Manajemen,
2016; Sudibya & Utama, 2012).
Faktor lain yang disebutkan
mempengaruhi kinerja adalah
budaya kerja (Arianto, 2013 :
Kurniawan, 2013) . Dalam
konteks keterpengaruhan yang
demikian itu, apabila kinerja
aparatur Sekretariat Kota
Administrasi Jakarta Timur
dipandang sebagai variabel terikat
yang terbentuk dari kompetensi
dan budaya kerja yang dipandang
sebagai variabel bebas, maka
dugaan peneliti adalah bahwa di
antara kompetensi dan budaya
kerja dengan kinerja aparatur
Sekretariat Kota Administrasi
Jakarta Timur terjalin suatu
mekanisme hubungan kausalitas.
Dengan dalil-dalil yang telah
dikemukakan, maka dugaan
terhadap fenomena kinerja
aparatur yang menarik untuk
dikritisi seperti layak
dikembangkan untuk menjadi
suatu konsep gagasan penelitian.
2. KAJIAN LITERATUR
Konsep kompetensi
merupakan konsep ambigu yang
terkadang dipertukarkan dengan
konsep keahlian. Ruang lingkup
kompetensi dalam manajemen
SDM dikatakan sebagai dua hal
yang penting yang selalu
disebutkan, yaitu kompetensi
individu dan kompetensi
organisasi. (Yaşar, Ünal, & Zaim,
2013) mengatakan bahwa
kompetensi adalah sifat sesorang
yang berhubungan dengan
pencapaian kinerja yang luar biasa
dan memperlihatkan bakat serta
menggunakan pengetahuan ketika
melakukan sebuah pekerjaan.
competence is a characteristic
trait of a person that is related to
superior performance and a
demonstration of particular talents
in practice and application of
knowledge required to perform a
job.
Terminologi kompetensi
sendiri muncul dalam literature
psikologi pada tahun 1973 ketika
David McLelland membuat tulisan
dengan judul„Testing for
competence rather than for
intelligence’(McClelland, 1973).
Sebuah pengujian yang
menunjukan bahwa kemampuan
akademik maupun pengetahun
tidak berkorelasi dengan kinerja
maupun dalam kehidupan. Dari
sinilah kemudian berkembang
penelitian yang mecari faktor-
faktor yag mempengaruhi kineja
individu. Pada tahun 1982
dilakukan penelitian yang lebih
komprehensif mengenai metode
„penilaian kompetensi pekerjaan‟
(Boyatzis, 1982). Selanjutnya
konsep kompetensi menjadi
Edisi April 2018
Firseta
121
sebuah kajian yang penting dalam
manajemen sumber daya manusia.
Konsep kompetensi
diartikan sebagai “an underlying
characteristic of a person which
results in effective and/or superior
performance in a job” (Boyatzis,
1982. p. 97). Kompetensi adalah
sifat seseorang yang menghasilkan
kinerja yang efektif. Lebih jauh,
dikatakan bahwa kompetensi
diwujudkan sebagai kemampuan
„a set of competencies reflect their
capability or what they can do.
Kompetensi juga diartikan sebagai
“an underlying characteristic of an
individual that is causally related
to criterion-referenced effective
and/or superior performance in a
job or situation” . Kompetensi
adalah sifat seseorang yang
berhubungan sebab akibat denga
sifat efektif dana atau kinerja yang
sangat baik dalam sebuah
pekerjaan (Spencer & Spencer,
1993 p. 9). Kompetensi kemudian
diartikulasikan ke dalam lima
komponen yang terdiri dari: motif,
sifat, konsep-pribadi, pengetahuan
dan keterampilan. Hubungan antar
ke lima komponen kompetensi
digambarkan sebagai berikut:
Gambar 1
Sumber: Spencer & Spencer,
1993).
Pengetahuan dan
keterampilan merupakan
kompetensi yang dapat dilihat
secara kasat mata dan disebut
sebagai surface characteristics,
sementara konsep-pribadi, motif,
dan sikap dikatakan sebagai
kompetensi yang lebih
tersembunyi, tersimpan lebih
dalam dan lebih dekat dengan
kepribadian. Oleh karena itu
pengetahuan dan keterampilan
adalah kompetensi yang relative
mudah ditingkatkan melalui
pendidikan maupun pelatihan
sebagai jalan yang paling efektif
untuk meningkatkan kompetensi
seseorang.(Spencer & Spencer,
1993). Oleh karena itu dikatakan
bahwa kompetensi terdiri dari
pengetahuan dan keterampilan
disebut sebagai kompetensi teknis/
technical competencies, sementara
sikap, konsep-diri dan motif
digolongkan sebagai kompetensi
perilaku/ behavioral competencies.
Edisi April 2018
Firseta
122
Budaya kerja secara
normative termaktub dalam
Permenpan RB nomor 39 tahun
2012 yang bahwa sasaran dari
Budaya Kerja (culturset) adalah
birokrasi dengan integritas dan
kinerja yang tinggi. Aparatur yang
berintegritas dapat diartikan
sebagai aparatur sipil Negara yang
berkarakter baik yang ditunjukkan
dengan perilakunya yang konsiten
dapat dipercaya. Pemahaman
budaya kerja sebagai perilaku
para pegawai dalam bekerja baru
dapat difahami.Budaya kerja
menurut Triguno (2004) adalah
suatu falsafah yang didasari oleh
pandangan hidup sebagai nilai-
nilai yang menjadi sifat, kebiasaan
dan kekuatan pendorong,
membudaya dalam kehidupan
suatu kelompok masyarakat atau
organisasi. Kemudian tercemin
dari sikap menjadi perilaku,
kepercayaan, citacita, pendapat
dan tindakan yang terwujud
sebagai kerja atau bekerja
(Yulianingsih, 2014).
Beranjak dari konsep
pemahaman yang demikian itu,
maka yang menjadi persoalan
dalam menilai budaya kerja di
suatu lingkungan kerja atau
katakanlah di Sekretariat Kota
Administrasi Jakarta Timur adalah
apa saja yang menjadi indikator-
indikator budaya kerja tersebut?
Mengacu pada pertanyaan di atas,
Triguno (1999:4) mengatakan
“Warna Budaya Kerja adalah
produktivitas, yang berupa
perilaku kerja yang dapat diukur
antara lain: kerja keras, ulet,
produktif, tanggungjawab,
motivasi, manfaat, kreatif,
responsif, mandiri, dan lain-lain.”
Kerja keras adalah perilaku
kerja yang tak kenal lelah. Ulet
merupakan suatu kondisi sikap
mental yang pantang menyerah.
Produktif dapat diartikan sebagai
suatu proses kerja yang banyak
menghasilkan barang atau jasa.
Tanggungjawab merupakan
cerminan sikap mental yang
konsekuen dan konsisten. Motivasi
adalah dorongan internal pekerja.
Manfaat dapat diartikan sebagai
nilai guna yang dicapai. Kreatif
menunjukan adanya proses
penciptaan. Responsif merupakan
sikap yang tanggap. Mandiri
merupakan suatu karakter
kepribadian yang mencerminkan
kepercayaan dan kemampuan diri
yang kuat.
Mengenai kinerja ini,
Siswanto, (2002: 235) menyatakan
bahwa kinerja adalah hasil kerja
secara kualitas dan kuantitas yang
dicapai seseorang dalam
melaksanakan tugas dan pekerjaan
yang diberikan kepadanya.
Sedangkan menurut Rivai, (2004:
309) mengatakan bahwa kinerja
merupakan perilaku nyata yang
ditampilkan setiap orang sebagai
prestasi kerja yang dihasilkan oleh
karyawan sesuai dengan perannya
dalam perusahaan. Pengertian
kinerja juga dikemukakan oleh
beberapa ahli manajemen seperti
yang dikemukakan oleh Tika,
(2006: 121) antara lain sebagai
berikut:
Edisi April 2018
Firseta
123
a) Prawiro Suntoro
mengemukakan bahwa kinerja
adalah hasil kerja yang dicapai
seseorang atau sekelompok
orang dalam suatu organisasi
dalam rangka mencapai tujuan
organisasi dalam periode
tertentu.
b) Handoko mendefinisikan
kinerja sebagai proses dimana
organisasi mengevaluasi atau
menilai prestasi kerja
karyawan.
Untuk dapat mengetahui
kinerja individu, kelompok atau
organisasi diperlukan suatu
pendekatan penilaian kinerja.
Penilaian kinerja adalah
proses menilai hasil karya personel
dalam suatu organisasi melalui
instrumen penilaian kinerja. Pada
hakikatnya, penilaian kinerja
merupakan suatu evaluasi terhadap
penampilan kerja personel dengan
membandingkannya dengan
standar baku penampilan. Kegiatan
penilaian kinerja ini membantu
pengambilan keputusan bagian
personalia dan memberikan umpan
balik kepada para personel
tentang pelaksanaan kerja mereka.
(Yaslis, 2002: 87)
Untuk menerapkan langkah-
langkah penilaian kinerja yang
demikian itu, diperlukan ukuran
standar kinerja dan indikator-
indikator kerja yang jelas.
Berdasarkan ukuran dan indikator
tersebut baru dapat dilaksanakan
penilaian kinerja secara obyektif
dan transparan. Bila ditemukan
kelemahan kinerja, baik pada
individu, kelompok maupun
organisasi, maka upaya
peningkatan kinerja dapat
dilakukan dengan peningkatan
kompetensi dan reposisi aparatur.
Berdasarkan pendapat
Schermerhon, et al. (1991: 59)
yang mendefinisikan kinerja
sebagai kuantitas dan kualitas
pencapaian tugas-tugas, baik yang
dilakukan oleh individu, kelompok
maupun organisasi; kinerja juga
dapat diukur baik secara individu,
kelompok ataupun organisasi.
Berangkat dari pendapat tersebut,
disusun definisi konseptual
variabel Kinerja Aparatur
Sekretariat Sekretariat Kota
Administrasi Jakarta Timur adalah
kuantitas dan kualitas pelaksanaan
pekerjaan pegawai dalam
melaksanakan tugas dan fungsi
penyusunan perumusan kebijakan
daerah dan penyelenggaraan
Administrasi Pemerintah Daerah.
Edisi April 2018
Firseta
124
VARIABEL BEBAS
KOMPETENSI(1) Motives, (2) Traits,(3)
Self-Concept, (4)
Knowledge, dan (5)
Skills.[Spencer and
Spencer,1993:9-11]
VARIABEL BEBAS
BUDAYA KERJA(1) Sikap Kerja terhadap
pekerjaan; dan (2)
Perilaku kerja dalam
melaksanakan pekerjaan.
[Paramita, dalam
Ndraha 2005:208]
VARIABEL TERIKAT
KINERJA APARATUR SEKRETARIAT
KOTA ADMINISTRATIF JAKARTA TIMUR(1) Kuantitas Pelaksanaan Pekerjaan; dan (2)
Kuantitas Pelaksanaan Pekerjaan. [Schemerhorn,
et.al., 1991:59]
Gambar 2
Kerangka Penelitian
Sumber: Penulis, 2018.
Kerangka pemikiran yang
tergambar menunjukkan konsep
gagasan kajian hubungan
kausalitas di antara Kompetensi
dan Budaya Kerja yang
diposisikan sebagai variabel-
variabel antecedent (yang
mendahului, sebab) dengan
Kinerja Aparatur yang
diposisikan sebagai variabel
konsekuensi
Hipotesis yang dibangun
dalam penelitian ini adalah:
Terdapat pengaruh Kompetensi
terhadap Kinerja Aparatur
Sekretatirat Daerah Kota
Administrasi Jakarta Timur.
Terdapat pengaruh Budaya
Kerja terhadap Kinerja
Aparatur Sekretatirat Daerah
Kota Administrasi Jakarta
Timur.
Terdapat pengaruh Kompetensi
terhadap Kinerja Aparatur
Sekretatirat Daerah Kota
Administrasi Jakarta Timur
melalui Budaya Kerja.
Terdapat pengaruh Budaya
Kerja terhadap Kinerja
Aparatur Sekretatirat Daerah
Kota Administrasi Jakarta
Timur melaui Kompetensi
Aparatur.
3. METODE PENELITIAN
Pendekatan penelitian yang
digunakan untuk mengungkap
pengaruh kompetensi dan budaya
kerja terhadap kinerja aparatur
Sekretariat Kota Administrasi
Jakarta Timur adalah penelitian
kuantitatif. Alasan pemilihan
pendekatan penelitian kuantitatif
adalah bahwa konsep gagasan
yang dikembangkan tentang kajian
hubungan kausalitas di antara
variabel-variabel yang
dikorelasikan, dan konsep gagasan
tersebut hanya bisa diaplikasikan
dengan pendekatan penelitian
kuantitatif yang berbasis pada
analisis statistik.
Berdasarkan pengajuan
hipotesis penelitian yang telah
ditetapkan maka dirancang desain
penelitian sebagai dasar
pengukuran statistik dan pengujian
hipotesis, sehingga dapat diketahui
arah pengukuran dan pengujian
hipotesis pengaruh kompetensi dan
budaya kerja terhadap kinerja
aparatur, sebagai berikut:
Edisi April 2018
Firseta
125
ε
ryx1
ryx2
Ryx1x2
X1
X2
Y
Gambar 3
Model Penelitian
Sumber: Penulis, 2018.
Operasionalisasi variabel
Kompetensi adalah berikut :
Dimensi motive meliputi indikator-
indikator: (1) Dorongan kebutuhan
ekonomi, (2) Dorongan kebutuhan
sosial, dan (3) Dorongan
kebutuhan psikologis. Dimensi
Traits meliputi indikator-indikator
: (4) Watak, (5) Sifat, dan (6)
Sikap. Dimensi Self-Concept
meliputi (7) Penampilan, (8) Tutur
bahasa dan (9) Perilaku. Dimensi
Knowledge meliputi indikator-
indikator: (10) Pengetahuan
administratif dan (11) Pengetahuan
manajerial. Dimensi Skills meliputi
(12) Keterampilan administratif,
(13) Keterampilan manajerial, (14)
Keterampilan teknis, dan (15)
Keterampilan
Operasionalisasi variabel
Budaya Kerja adalah berikut :
Dimensi Sikap kerja meliputi
indikator-indikator: (1) Sikap
pegawai dalam menerima
penugasan, (2) Sikap pegawai
dalam merencanakan pekerjaan,
(3) Sikap pegawai dalam
melaksanakan pekerjaan, (4) Sikap
pegawai dalam mengfhadapi
kendala pekerjaan, (5) Sikap
pegawai dalam menyelesaikan
pekerjaan, dan (6) Sikap pegawai
dalam menyusun laporan
pekerjaan. Dimensi Perilaku kerja
meliputi indikator-indikator : (7)
Norma kerja, (8) Etika kerja, (9)
Aturan kerja, (10) Komunikasi
kerja, (11) Koordinasi kerja, dan
(12) Orientasi kerja.
Operasionalisasi variabel
kinerja aparatur Sekretariat Kota
Administratif Jakarta Timur adalah
berikut: Dimensi kuantitas
pelaksanaan pekerjaan, meliputi
indikator-indikator : (1) Cakupan
kerja, (2) Waktu kerja, (3)
Frekuensi kerja, (4) Ruang lingkup
kegiatan, dan (5) Pengembangan
kegiatan. Dimensi kualitas
pelaksanaan pekerjaan, meliputi
indikator-indikator : (6) Mutu hasil
kerja, (7) Manfaat hasil kerja, (8)
Tingkat keberhasilan, (9) Manfaat
kegiatan, dan (10) Dampak hasil
kegiatan.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Uji Hipotesis Parsial Variabel
Kompetensi dengan Kinerja
Pengukuran statistik yang
dilakukan dalam mengukur
pengaruh parsial Kompetensi
dengan Kinerja Aparatur
Sekretariat Kota Administrasi
Jakarta Timur dilakukan dengan
menggunakan pengukuran
Edisi April 2018
Firseta
126
koefisien korelasi, koefisien
determinasi dan uji t. Dalam hal
ini koefisien korelasi bertujuan
untuk mengukur kekuatan asosiasi
(hubungan) linier antara dua
variabel serta menyatakan derajat
keeratan hubungan antar variabel
bebas dan variabel terkait. Hasil
pengukuran koefisien korelasi juga
dapat dinyatakan dengan nilai
beta, sebagaimana dijelaskan
dalam hasil pengukuran dengan
SPSS 21.0 berikut:
Koefisien korelasi antara
variabel kompetensi dengan
kinerja aparatur Sekretariat Kota
Administrasi Jakarta Timur adalah
sebesar 0,267. Sedangkan angka r
square (koefisien determinasi)
yang diperoleh adalah 0,071, yang
dalam hal ini berarti 7,1 persen
dari keragaman kinerja aparatur
Sekretariat Kota Administrasi
Jakarta Timur dapat dijelaskan
oleh kompetensi aparatur.
Sedangkan sisanya sebesar 92,9
persen merupakan kontribusi
hubungan faktor-faktor lain yang
tidak diteliti (epsilon). Faktor-
faktor lain yang dimaksud adalah
faktor-faktor yang didesekripsikan
dalam penyusun Sub Bab
Identifikasi Masalah. Dari sudut
pandang internal Sekretariat Kota
Administrasi Jakarta Timur,
teridentifikasi beberapa variabel
yang mempengaruhi belum
optimalnya kinerja aparatur Kota
Administrasi Jakarta Timur.
Beberapa variabel yang dimaksud
adalah berikut : kurang disiplinnya
Pegawai Sekretariat Kota
Administrasi Jakarta Timur dalam
menjalankan tugas dan
tanggungjawabnya,
mengakibatkan kinerja pegawai
menjadi tidak optimal, pimpinan
yang kurang memberikan motivasi
kepada pegawai Sekretariat Kota
Administrasi Jakarta Timur berupa
dorongan kebutuhan pegawai dan
komunikasi secara vertikal,
sehingga berdampak pada
lemahnya pengawasan dalam
meningkatkan kinerja pegawai,
budaya kerja pegawai yang tidak
sesuai dengan prosedur kerja yang
telah ditetapkan Sekretariat Kota
Administrasi Jakarta Timur
mengakibatkan kinerja pegawai
tidak optimal, dukungan anggaran
yang terbatas dalam pelaksanaan
kegiatan berupa sarana
komunikasi, anggaran operasional
kegiatan pelayanan, dapat
menghambat pencapain tujuan dan
sasaran program kerja dalam
meningkatkan kinerja pegawai,
dan rendahnya kompetensi
pegawai Sekretariat Kota
Administrasi Jakarta Timur, dapat
berdampak pada tidak optimalnya
kinerja pegawai.
Selanjutnya uji hipotesis
pengaruh kompetensi (X1)
terhadap variabel kinerja aparatur
Sekretariat Kota Administrasi
Jakarta Timur (Y) adalah dengan
membandingkan thitung dengan ttabel.
Kriteria pengujiannya adalah
apabila thitung > ttabel, maka H0
ditolak dan H1 diterima.
Sebaliknya apabila thitung < ttabel,
maka H0 diterima dan H1 ditolak.
Nilai thitung yang diperoleh dari
analisa data pengaruh kompetensi
Edisi April 2018
Firseta
127
terhadap kinerja aparatur
Sekretariat Kota Administrasi
Jakarta Timur adalah 3,554.
Sedangkan ttabel 1,960 dengan
Tingkat signifikansi (α = 0,05) dan
df (derajat kebebasan) = n-2 = 164
- 2 = 162. Karena thitung > ttabel
(3,554 > 1,960), maka H0 ditolak
dan H1 diterima. Dengan demikian
teruji terdapat pengaruh yang
positif dan signifikan kompetensi
terhadap kinerja aparatur
secretariat Kota Administrasi
Jakarta Timur. Pengaruh tersebut
bermakna bahwa apabila
kompetensi ditingkatkan atau
meningkat maka peningkatan
tersebut diikuti pula dengan
peningkatan kinerja aparatur
Sekretariat Kota Administrasi
Jakarta Timur. Implikasi
manajerial dari pengujian hipotesis
tersebut adalah bahwa peningkatan
kinerja aparatur Sekretariat Kota
Administrasi Jakarta Timur dapat
ditingkatkan dengan meningkatkan
Kompetensi. Hal ini terjadi karena
di antara kompetensi dengan
kinerja aparatur Sekretariat Kota
Administrasi Jakarta Timur terjalin
suatu mekanisme hubungan
kasaulitas.
Terbukti kompetensi
berpengaruh positif terhadap
kinerja aparatur Sekretariat Kota
Administrasi Jakarta Timur.
Koefisien pengaruh ini terbilang
signifikan dan menunjukkan
bahwa di antara kompetensi
dengan kinerja aparatur Sekretariat
Kota Administrasi Jakarta Timur
terjalin suatu mekanisme
hubungan kausalitas. Hubunga
kausalitas ini bermakna : Apabila
kompetensi ditingkatkan atau
meningkat maka peningkatan
tersebut secara stimulan diikuti
dengan peningkatan kinerja
aparatur Sekretariat Kota
Administrasi Jakarta Timur.
Pemaknaan ini menyatakan bahwa
kompetensi merupakan salah satu
faktor penyebab tinggi rendahnya
kinerja aparatur Sekretariat Kota
Administrasi Jakarta Timur
Uji Hipotesis Parsial Variabel
Budaya Kerja dengan Kinerja
Aparatur
Pengukuran statistik yang
dilakukan dalam mengukur
pengaruh parsial budaya kerja
dengan kinerja aparatur Sekretariat
Kota Administrasi Jakarta Timur
dilakukan dengan menggunakan
pengukuran koefisien korelasi,
koefisien determinasi dan uji t.
Dalam hal ini koefisien korelasi
bertujuan untuk mengukur
kekuatan asosiasi (hubungan)
linier antara dua variabel serta
menyatakan derajat keeratan
hubungan antar variabel bebas dan
variabel terkait. Hasil pengukuran
koefisien korelasi juga dapat
dinyatakan dengan nilai beta,
sebagaimana dijelaskan pada tabel
4.26 Standarized Coeficient yang
menyatakan bahwa besarnya
koefisien korelasi antara variabel
budaya kerja dengan kinerja
Sekretariat Kota Administrasi
Jakarta Timur adalah 0,653.
Sedangkan angka r square
(koefisien determinasi) yang
diperoleh adalah 0,426 yang dalam
Edisi April 2018
Firseta
128
hal ini berarti 42,6 persen dari
keragaman kinerja aparatur
Sekretariat Kota Administrasi
Jakarta Timur dapat dijelaskan
oleh budaya kerja. Sisanya sebesar
57,4 persen dapat dijelaskan oleh
variabel atau faktor-faktor lain
yang juga berkorelasi dengan
kinerja aparatur Sekretariat Kota
Administrasi Jakarta Timur
tersebut. Variabel atau faktor-
faktor lain yang dimaksud adalah
faktor-faktor yang didesekripsikan
dalam penyusun Sub Bab
Identifikasi Masalah. Dari sudut
pandang internal Sekretariat Kota
Administrasi Jakarta Timur,
teridentifikasi beberapa variabel
yang mempengaruhi belum
optimalnya kinerja aparatur
Sekretariat Kota Administrasi
Jakarta Timur. Beberapa variabel
yang dimaksud adalah berikut :
kurang disiplinnya Pegawai
Sekretariat Kota Administrasi
Jakarta Timur dalam menjalankan
tugas dan tanggungjawabnya,
mengakibatkan kinerja pegawai
menjadi tidak optimal, pimpinan
yang kurang memberikan motivasi
kepada pegawai Sekretariat Kota
Administrasi Jakarta Timur berupa
dorongan kebutuhan pegawai dan
komunikasi secara vertikal,
sehingga berdampak pada
lemahnya pengawasan dalam
meningkatkan kinerja pegawai,
budaya kerja pegawai yang tidak
sesuai dengan prosedur kerja yang
telah ditetapkan Sekretariat Kota
Administrasi Jakarta Timur
mengakibatkan kinerja pegawai
tidak optimal, dukungan anggaran
yang terbatas dalam pelaksanaan
kegiatan berupa sarana
komunikasi, anggaran operasional
kegiatan pelayanan, dapat
menghambat pencapain tujuan dan
sasaran program kerja dalam
meningkatkan kinerja pegawai,
dan rendahnya kompetensi
pegawai Sekretariat Kota
Administrasi Jakarta Timur, dapat
berdampak pada tidak optimalnya
kinerja pegawai.
Selanjutnya uji hipotesis
pengaruh variabel budaya kerja
(X2) terhadap variabel kinerja
aparatur Sekretariat Kota
Administrasi Jakarta Timur (Y)
adalah dengan membandingkan
thitung dengan ttabel. Kriteria
pengujiannya adalah apabila thitung
> ttabel, maka H0 ditolak dan H1
diterima. Sebaliknya apabila thitung
< ttabel, maka H0 diterima dan H1
ditolak. Nilai thitung yang diperoleh
dari analisa data pengaruh budaya
kerja terhadap kinerja aparatur
Sekretariat Kota Administrasi
Jakarta Timur adalah 8,702.
Sedangkan ttabel 1,960 dengan
Tingkat signifikansi (α = 0,05) dan
df (derajat kebebasan) = n-2 = 164
- 2 = 162.
Karena thitung > ttabel (8,702 >
1,960), maka H0 ditolak dan H1
diterima. Dengan demikian teruji
terdapat pengaruh yang positif dan
signifikan budaya kerja terhadap
kinerja aparatur Sekretariat Kota
Administrasi Jakarta Timur.
Pengaruh tersebut bermakna
bahwa apabila budaya kerja
ditingkatkan atau meningkat maka
peningkatan tersebut diikuti pula
Edisi April 2018
Firseta
129
dengan peningkatan kinerja
aparatur Sekretariat Kota
Administrasi Jakarta Timur.
Implikasi manajerial dalam
peningkatan kinerja aparatur
Sekretariat Kota Administrasi
Jakarta Timur dapat ditingkatkan
dengan meningkatkan budaya
kerja.
Terbukti budaya kerja
berpengaruh positif terhadap
kinerja Sekretariat Kota
Administrasi Jakarta Timur.
pengaruh ini terbilang signifikan
dan menunjukan adanya hubungan
kausalitas antara di antara budaya
kerja yang diposisikan sebagai
variabel bebas dengan kinerja
aparatur Sekretariat Kota
Administrasi Jakarta Timur yang
diposisikan sebagai variabel
terikat. Hubunga kausalitas ini
bermakna : Apabila budaya kerja
ditingkatkan atau meningkat maka
peningkatan tersebut secara
stimulan diikuti dengan
peningkatan kinerja aparatur
Sekretariat Kota Administrasi
Jakarta Timur. Pemaknaan ini
menyatakan bahwa budaya kerja
merupakan salah satu faktor
penyebab tinggi rendahnya kinerja
aparatur Sekretariat Kota
Administrasi Jakarta Timur
Uji Hipotesis Pengaruh Variabel
Kompetensi melalui Budaya
Kerja terhadap Kinerja
Aparatur
Pengukuran dan pengujian
hipotesis pengaruh kompetensi
melalui budaya kerja terhadap
kinerja aparatur Sekretariat Kota
Administrasi Jakarta Timur
merupakan hipotesis path analysis.
Berdasarkan hipotesis yang
diajukan, maka model persamaan
struktural adalah Y = ρ Yx1X1+
ρyx1X2 + . Dengan demikian
terdapat tiga koefisien jalur, yaitu
koefisien jalur kompetensi ke
budaya kerja (ρYx1X2), budaya
kerja ke kinerja aparatur
Sekretariat Kota Administrasi
Jakarta Timur (ρyx1X1) dan
koefisien jalur variabel lain yang
mempengaruhi kinerja aparatur
Sekretariat Kota Administrasi
Jakarta Timur (ρyε).
Berdasarkan perhitungan
diketahui kefisien korelasi antara
kompetensi dengan budaya kerja
adalah sebesar 0,886. Sedangkan
Besarnya koefisien determinasi
Rsquare atau R2
yx2x1 = 0,785. Hal
ini berarti bahwa 0,785 variasi
budaya kerja dapat dijelaskan oleh
kompetensi. Dengan kata lain
pengaruh kompetensi terhadap
budaya kerja yaitu sebesar 0,785.
Sedangkan besarnya pengaruh
variabel lain yang tidak diteliti
(ǷYɛ) adalah sebagai berikut:
ǷYɛ = 2121 xyxR
ƿ Yɛ = 785,01
ƿ Yɛ = 215,0
ƿ Yɛ = 0,463
Hasil perhitungan tersebut
menunjukkan bahwa pengaruh
variabel lain terhadap variabel
kinerja aparatur Sekretariat Kota
Administrasi Jakarta Timur (ƿYɛ)
adalah sebesar 0,463. Sedangkan
Edisi April 2018
Firseta
130
hubungan antara variabel
kompetensi dengan budaya kerja
yaitu sebesar 0,886. Dengan
demikian maka persamaan
struktural nilai koefisien jalur yang
diperoleh adalah Y = 0,267 X1 +
0,886 + 0,463. Persamaan tersebut
bermakna bahwa koefisien jalur
kompetensi dengan kinerja
aparatur Sekretariat Kota
Administrasi Jakarta Timur adalah
sebesar 0,267, sedangkan koefisien
jalur kompetensi melalui budaya
kerja terhadap kinerja aparatur
Sekretariat Kota Administrasi
Jakarta Timur adalah sebesar
0,886. Adapun 0,463 merupakan
kontribusi factor lain dalam
persamaan model analisis jalur
kompetensi terhadap kinerja
aparatur Sekretariat Kota
Administrasi Jakarta Timur
melalui Budaya Kerja.
Selanjutnya untuk
mengetahui apakah model strutural
sudah signifikan atau tidak
signifikan, maka dilakukan
pengujian signifikansi atau
pengujian hipotesis.
Pengujian hipotesis
dilakukan dengan membandingkan
hasil penghitungan thitung dengan
ttabel pada pengukuran pengaruh
kompetensi terhadap kinerja
aparatur melalui budaya kerja.
Kriteria hasil pengujian adalah
bahwa apabila thitung > ttabel, maka
H0 ditolak dan H1 diterima. H1
diterima, artinya : terdapat
pengaruh yang positif dan
signifikan kompetensi melalui
budaya kerja terhadap kinerja
aparatur Sekretariat Kota
Administrasi Jakarta Timur.
Sebaliknya apabila thitung < ttabel,
maka H0 diterima dan H1 ditolak.
H1 ditolak, artinya : tidak terdapat
pengaruh yang positif dan
signifikan kompetensi melalui
budaya kerja terhadap kinerja
aparatur Sekretariat Kota
Administrasi Jakarta Timur. Hasil
pengujian hipotesis dapat
dijelaskan bahwa Nilai thitung yang
diperoleh dari analisa data
pengaruh kompetensi melalui
budaya kerja terhadap kinerja
aparatur Sekretariat Kota
Administrasi Jakarta Timur adalah
24,342. Sedangkan ttabel 1,960
dengan Tingkat signifikansi (α =
0,05) dan df (derajat kebebasan) =
n-2 = 164 - 2 = 162.
Karena thitung > ttabel (24,342
> 1,960), maka H0 ditolak dan H1
diterima. Dengan demikian teruji
terdapat pengaruh yang positif dan
signifikan kompetensi melalui
budaya kerja terhadap kinerja
aparatur Sekretariat Kota
Administrasi Jakarta Timur.
Selanjutnya untuk mengetahui
pengaruh langsung, pengaruh tidak
langsung dan pengaruh total
kompetensi, budaya kerja dengan
kinerja aparatur Sekretariat Kota
Administrasi Jakarta Timur dapat
dilakukan dengan perhitungan
sebagai berikut:
a. Besarnya Pengaruh langsung
kompetensi (X1) terhadap
kinerja aparatur Sekretariat
Kota Administrasi Jakarta
Timur (Y) = (0,267) x (0,267)
= 0,071 = 7,1 %.
Edisi April 2018
Firseta
131
b. Besarnya Pengaruh Tidak
langsung kompetensi (X1)
terhadap kinerja aparatur
Sekretariat Kota Administrasi
Jakarta Timur (Y), melalui
budaya kerja (X2):
= (0,267) x (0,653) x (0,886) =
0,154 = 15,4%
c. Besarnya Pengaruh Total
kompetensi (X1) terhadap
kinerja aparatur Sekretariat
Kota Administrasi Jakarta
Timur (Y)
= 7,1 % + 15,4% = 22,5%
Dengan demikian maka
besarnya pengaruh total
kompetensi (X1) terhadap kinerja
aparatur Sekretariat Kota
Administrasi Jakarta Timur (Y)
adalah 22,5 persen, atau
peningkatan kinerja aparatur
Sekretariat Kota Administrasi
Jakarta Timur dapat ditentukan
oleh kompetensi sebesar 22,5
persen.
Hasil penelitian
menunjukkan terdapat pengaruh
Kompetensi melalui Budaya Kerja
terhadap Kinerja Aparatur
Sekretariat Kota Administrasi
Jakarta Timur sebesar 0,886. Hasil
pengujian hipotesis menunjukkan
bahwa pengaruh Kompetensi
melalui Budaya Kerja terhadap
Kinerja Aparatur Sekretariat Kota
Administrasi Jakarta Timur positif
dan signikan. Sedangkan dari hasil
pengukuran direct effect, indirect
effect, dan total effect menyatakan
bahwa secara langsung pengaruh
kompetensi terhadap kinerja
aparatur Sekretariat Kota
Administrasi Jakarta Timur
sebesar 7,1 persen, pengaruh tidak
langsung sebesar 15,4 persen dan
pengaruh total sebesar 22,5 persen.
Dengan demikian maka analisis
jalur yang mengukur pengaruh
kompetensi melalui budaya kerja
terhadap kinerja aparatur
Sekretariat Kota Administrasi
Jakarta Timur adalah sebesar 22,5
persen.
Uji Hipotesis Pengaruh Variabel
Budaya Kerja melalui
Kompetensi terhadap Kinerja
Aparatur
Pengukuran dan pengujian
hipotesis pengaruh budaya kerja
melalui kompetensi terhadap
kinerja aparatur Sekretariat Kota
Administrasi Jakarta Timur
merupakan hipotesis path analisis.
Berdasarkan hipotesis yang
diajukan, maka model persamaan
struktural adalah Y = ρ Yx2X2+
ρyx1X2 + . Dengan demikian
terdapat tiga koefisien jalur, yaitu
koefisien jalur budaya kerja ke
kompetensi (ρYx2X1), kompetensi
ke kinerja aparatur Sekretariat
Kota Administrasi Jakarta Timur
(ρyx2X2) dan koefisien jalur
variabel lain yang mempengaruhi
kinerja aparatur Sekretariat Kota
Administrasi Jakarta Timur (ρyε).
Berdasarkan hasil
perhitungan tabel di atas diketahui
kefisien korelasi antara budaya
kerja dengan kompetensi adalah
sebesar 0,886. Sedangkan
Besarnya koefisien determinasi
Rsquare atau R2
yx2x1 = 0,785. Hal
ini berarti bahwa 0,785 variasi
Edisi April 2018
Firseta
132
kompetensi dapat dijelaskan oleh
budaya kerja. Dengan kata lain
pengaruh budaya kerja terhadap
kompetensi sebesar 0,785.
Sedangkan besarnya pengaruh
variabel lain yang tidak diteliti
(ǷYɛ) adalah sebagai berikut:
ǷYɛ = 2121 xyxR
ƿ Yɛ = 785,01
ƿ Yɛ = 215,0
ƿ Yɛ = 0,463
Hasil perhitungan tersebut
menunjukkan bahwa pengaruh
variabel lain terhadap variabel
kinerja aparatur Sekretariat Kota
Administrasi Jakarta Timur (ƿYɛ)
adalah sebesar 0,463. Sedangkan
hubungan antara variabel budaya
kerja dengan kompetensi aparatur
yaitu sebesar 0,886. Dengan
demikian maka persamaan
struktural nilai koefisien jalur yang
diperoleh adalah Y = 0,653 X2 +
0,886 + 0,463. Persamaan tersebut
bermakna bahwa koefisien jalur
budaya kerja dengan kompetensi
adalah sebesar 0,653, sedangkan
koefisien jalur budaya kerja
melalui kompetensi terhadap
kinerja aparatur Sekretariat Kota
Administrasi Jakarta Timur adalah
sebesar 0,886. Adapun 0,463
merupakan kontribusi factor lain
dalam persamaan model analisis
jalur budaya kerja terhadap kinerja
aparatur melalui kompetensi.
Hasil penelitian
menunjukkan terdapat pengaruh
Budaya Kerja melalui Kompetensi
terhadap Kinerja Aparatur
Sekretariat Kota Administrasi
Jakarta Timur sebesar 0,886. Hasil
pengujian hipotesis menunjukkan
bahwa pengaruh Budaya Kerja
melalui Kompetensi terhadap
Kinerja Aparatur Sekretariat Kota
Administrasi Jakarta Timur positif
dan signikan. Sedangkan dari hasil
pengukuran direct effect, indirect
effect, dan total effect menyatakan
bahwa secara langsung pengaruh
budaya kerja terhadap kinerja
aparatur Sekretariat Kota
Administrasi Jakarta Timur
sebesar 42,6 persen, pengaruh
tidak langsung sebesar 15,4 persen
dan pengaruh total sebesar 58
persen. Dengan demikian maka
pengaruh budaya kerja melalui
kompetensi terhadap kinerja
aparatur Sekretariat Kota
Administrasi Jakarta Timur yang
mencapai 58 persen ternyata lebih
besar dari pengaruh kompetensi
melalui budaya kerja terhadap
kinerja aparatur Sekretariat Kota
Administrasi Jakarta Timur yang
hanya mencapai 22,5 persen.
Uji Model Struktural
Selanjutnya untuk
mengetahui apakah model strutural
sudah signifikan atau tidak
signifikan, maka dilakukan
pengujian signifikansi atau
pengujian hipotesis. Pengujian
hipotesis dilakukan dengan
membandingkan hasil
penghitungan thitung dengan ttabel
pada pengukuran pengaruh budaya
kerja terhadap kinerja aparatur
Sekretariat Kota Administrasi
Jakarta Timur melalui kompetensi.
Edisi April 2018
Firseta
133
Kriteria hasil pengujian adalah
bahwa apabila thitung > ttabel, maka
H0 ditolak dan H1 diterima. H1
diterima, artinya : terdapat
pengaruh yang positif dan
signifikan budaya kerja melalui
kompetensi terhadap kinerja
aparatur Sekretariat Kota
Administrasi Jakarta Timur.
Sebaliknya apabila thitung < ttabel,
maka H0 diterima dan H1 ditolak.
H1 ditolak, artinya : tidak terdapat
pengaruh yang positif dan
signifikan budaya kerja melalui
kompetensi terhadap kinerja
aparatur Sekretariat Kota
Administrasi Jakarta Timur.
Berdasarkan hasil
perhitungan, dapat dijelaskan
bahwa Nilai thitung yang diperoleh
dari analisa data pengaruh budaya
kerja melalui kompetensi terhadap
kinerja aparatur Sekretariat Kota
Administrasi Jakarta Timur adalah
24,342. Sedangkan ttabel 1,960
dengan Tingkat signifikansi (α =
0,05) dan df (derajat kebebasan) =
n-2 = 164 - 2 = 162.
Karena thitung > ttabel (24,342
> 1,960), maka H0 ditolak dan H1
diterima. Dengan demikian teruji
terdapat pengaruh yang positif dan
signifikan budaya kerja terhadap
kinerja aparatur Sekretariat Kota
Administrasi Jakarta Timur
melalui kompetensi. Selanjutnya
untuk mengetahui pengaruh
langsung, pengaruh tidak langsung
dan pengaruh total budaya kerja,
kompetensi dengan kinerja
aparatur Sekretariat Kota
Administrasi Jakarta Timur dapat
dilakukan dengan perhitungan
sebagai berikut:
a. Besarnya Pengaruh langsung
budaya kerja (X2) terhadap
kinerja aparatur Sekretariat
Kota Administrasi Jakarta
Timur (Y) = (0,653) x (0,653)
= 0,426 = 42,6 %.
b. Besarnya Pengaruh Tidak
langsung budaya kerja (X2)
terhadap kinerja aparatur
Sekretariat Kota Administrasi
Jakarta Timur (Y), melalui
kompetensi (X1) = (0,653) x
(0,267) x (0,886) = 0,154 =
15,4%.
c. Besarnya Pengaruh Total
budaya kerja (X2) terhadap
kinerja aparatur Sekretariat
Kota Administrasi Jakarta
Timur (Y) = 42,6% + 15,4% =
58%
Dengan demikian maka
besarnya pengaruh total budaya
kerja (X2) terhadap kinerja
aparatur Sekretariat Kota
Administrasi Jakarta Timur (Y)
adalah 58 persen, atau peningkatan
kinerja aparatur Sekretariat Kota
Administrasi Jakarta Timur dapat
ditentukan oleh budaya kerja
sebesar 58 persen.
Adapun dari hasil
pengukuran pengaruh antar
variabel bebas dengan variabel
terikat tersebut diatas, maka
analisis jalur yang menunjukan
masing-masing koefisien jalur
pada variabel bebas dan veriabel
terikat dapat digambarkan sebagai
berikut:
Edisi April 2018
Firseta
134
Gambar 4
Hasil Penelitian
Kompetensi (X1)
Budaya Kerja (X2)
Kinerja Aparatur Sekretariat Kota
Administrasi Jakarta Timur (Y) 0,886 0,886
0,267
0,653
0,463
Gambar 4
Hasil Struktur Model Diagram
Jalur Pengaruh Kompetensi dan
Budaya Kerja terhadap Kinerja
Aparatur Sekretariat Kota
Administrasi Jakarta Timur
Sumber: Penulis, 2018.
Gambar struktur model
diagram jalur diatas dapat
dijelaskan bahwa koefisien jalur
kompetensi dengan kinerja
aparatur Sekretariat Kota
Administrasi Jakarta Timur adalah
0,267, koefisien jalur budaya kerja
dengan kinerja aparatur Sekretariat
Kota Administrasi Jakarta Timur
adalah 0,653, koefisien jalur
kompetensi dengan budaya kerja
maupun koefisien jalur budaya
kerja dengan kompetensi adalah
0,886. Selanjutnya, hasil koefisien
jalur tersebut, maupun hasil
pengukuran pengaruh langsung,
pengaruh tidak langsung, dan
pengaruh total dapat dirangkum
seperti pada tabel berikut:
Rangkuman Hasil Uji Analaisis
jalur, pengukuran
Pengaruh Langsung, Tidak
Langsung, dan Pengaruh Total
Tabel 1
Ringkasan Hasil Penelitian
Sumber: Penulis, 2018.
Dari table rangkuman hasil
uji analaisis jalur, pengukuran
pengaruh langsung, tidak
langsung, dan pengaruh total
diatas dapat dijelaskan bahwa
masing-masing pengujian
hipotesis koefisien jalur
dinyatakan signifikan atau terdapat
pengaruh yang positif dan
signifikan antara variabel eksogen
dengan variabel endogen. Hal ini
diketahui dari hasil uji t yang
menyatakan thitung lebih besar dari
ttabel. Sedangkan dalam pengukuran
pengaruh total, diketahui bahwa
total pengaruh budaya kerja (X2)
terhadap kinerja aparatur
Sekretariat Kota Administrasi
Jakarta Timur (Y) sebesar 58
persen lebih besar dari pengaruh
total pengaruh kompetensi (X1)
terhadap kinerja aparatur
Sekretariat Kota Administrasi
Jakarta Timur (Y) sebesar 22,5
persen.
Pengaruh
Variabel
Hasil
Pengujia
n
Pengaruh Kausal (%)
Langsung
Tidak Langsung
Total Melalui
X1
Melalui
X2
X1 Y H1
diterima
7,1% - 15,4% 22,5
%
X2 Y H1
diterima
42,6% 15,4% - 58 %
X1 X2 H1
diterima
- - - -
X2 X1 H1
diterima
- - - -
Edisi April 2018
Firseta
135
5. KESIMPULAN
Terdapat pengaruh kompetensi
terhadap kinerja aparatur
Sekretariat Kota Administrasi
Jakarta Timur. Pengaruh
tersebut terbilang signifikan
dan menandakan bahwa di
antara kompetensi dengan
kinerja aparatur Sekretariat
Kota Administrasi Jakarta
Timur terjalin hubungan
kausalitas (sebab-akibat).
Terdapat pengaruh budaya
kerja terhadap kinerja aparatur
Sekretariat Kota Administrasi
Jakarta Timur. Pengaruh
tersebut terbilang signifikan
dan menandakan bahwa di
antara budaya kerja dengan
kinerja aparatur Sekretariat
Kota Administrasi Jakarta
Timur terjalin hubungan
kausalitas (sebab-akibat).
Terdapat pengaruh yang
signifikan antara kompetensi
dengan kinerja aparatur
Sekretariat Kota Administrasi
Jakarta Timur melalui budaya
kerja.
Terdapat pengaruh yang
signifikan antara budaya kerja
dengan kinerja aparatur
Sekretariat Kota Administrasi
Jakarta Timur melalui
kompetensi.
6. REFERENSI
Arianto, D. A. N. (2013).
Pengaruh Kedisiplinan,
Lingkungan Kerja dan
Budaya Kerja Terhadap
Kinerja Tenaga Pengajar.
Jurnal Economia, 9(2),
191–200.
Boyatzis, R. E. (1982).
Competence and job
performance. Competence
and Performance, 10–39.
https://doi.org/Samsung/Aca
demico/Material Didatico
MKZ/GC
Kurniawan, M. (2013). Pengaruh
Komitmen Organisasi,
Budaya Organisasi dan
Kepuasan Kerja Terhadap
Kinerja Organisasi Publik
(Studi Empiris pada SKPD
Pemerintah Kabupaten
Kerinci). Skripsi FE
Universitas Negeri Padang.
https://doi.org/10.1073/pnas.
0703993104
McClelland, D. C. (1973). Testing
for competence rather than
for “intelligence”. The
American Psychologist,
28(1), 1–14.
https://doi.org/10.1037/h003
4092
Ndraha, Taliziduhu, 1999.
Pengantar Teori
Pengembangan Sumber
daya Manusia, Rineka
Cipta, Jakarta.
________. 1997. Metodologi Ilmu
Pemerintahan, Jakarta :
Rineka Cipta.
Paramita, Triguno, 1999, Budaya
Kerja - Menciptakan
Lingkungan Yang
Kondusive Untuk
Meningkatkan Produktivitas
Edisi April 2018
Firseta
136
Kerja, Jakarta : PT. Golden
Terayon Press
Prasetya, Triguno. 2001.
Manajemen Sumber Daya
Manusia. Jakarta: Bumi
Aksara.
Prawirosentono, Suyadi ,1999,
Kebijakan Kinerja
Karyawan, Yogyakarta :
BPFE.
P, B. N., S, S. I., & Sendow. Grels
M. (2016). Pengaruh
Kompetensi, Motivasi, Dan
Disiplin Kerja Terhadap
Kinerja Karyawan (Studi
Pada Pt. Hasjrat Abadi
Tendean Manado). Jurnal
EMBA, 4(4), 321–332.
Putu, I., Saputra, A., Bagia, W.,
Suwendra, W., &
Manajemen, J. (2016).
Pengaruh Kompetensi Dan
Disiplin Kerja Terhadap
Kinerja Karyawan. Journal
Bisma Universitas
Pendidikan Ganesha
Jurusan Manajemen, 4(2),
33–39.
Schermerhorn, Jhon R., James
G.Hunt, & Richard N.
Osborn, 1991, Managing
Organizational Behavior,
(Penerjemah: Putranta, P.,
Surya Dharma G, Sheelyana
Junaedi dan Diah
Wudiastuti). Yogyakarta:
Manajemen Andi.
Spencer, L. M., & Spencer, S. M.
(1993). Competence at
Work : Models for Superior
Performance. John Wiley &
Sons, 1–372.
Sudibya, I. G. A., & Utama, I. W.
M. (2012). Pengaruh
Motivasi, Lingkungan
Kerja, Kompetensi, dan
Kompensasi Terhadap
Kepuasan Kerja dan Kinerja
Pegawai di Lingkungan
Kantor Dinas Pekerjaan
Umum Provinsi Bali.
Manajemen, Strategi Bisnis,
Dan Kewirausahaan, 6(2),
173–184.
Suparno, & Sudarwati. (2014).
Pengaruh Motivasi, Disiplin
Kerja Dan Kompetensi
Terhadap Kinerja Pegawai
Dinas Pendidikan
Kabupaten Sragen. Jurnal
Paradigma, 12(1), 12–25.
Yaşar, M. F., Ünal, Ö. F., & Zaim,
H. (2013). Analyzing the
effects of individual
competencies on
performance : A fiels study
in services indutries in
Tukey. Journal of Global
Strategic Management, 2(7),
67–67.
https://doi.org/10.20460/JG
SM.2013715668
Yaslis, Ilyas, 2002. Kinerja: Teori,
Penilaian, Dan Penelitian.
Depok: Penerbit Pusat
Kajian Ekonomi Kesehatan
FKMUI.
Yulianingsing, 2014, Penerapan
budaya kerja profesional di
Bada kesatuan bangsa dan
Politik Provinsi Riau, Jom
FISIP vol 3 No. 2 Oktober
2016.
Untuk bagian isi ditulis dalam 2
(dua) kolom
1. PENDAHULUAN (Cetak
tebal)
Pendahuluan mencakup
latar belakang atau isu atas
permasalahan serta urgensi dan
rasionalisasi kegiatan (penelitian
atau pengabdian). Tujuan kegiatan
dan rencana pemecahan masalah
disajikan dalam bagian ini.
1. Template Artikel Jurnal Kediklatan (Riset)
JUDUL
(Jenis tulisan Times New Roman, ukuran 12, cetak tebal, posisi tulisan
rata tengah, huruf kapital semua dan maksimal 12 kata)
Penulis1
Penulis2
dst.
(Jenis tulisan Times New Roman, ukuran 10, cetak tebal, nama tidak
boleh disingkat, posisi tulisan rata tengah, huruf besar di awal kata saja
dan penulisan nama tanpa
menggunakan gelar) Nama Instansi (Penulis
1)
e-mail Penulis1
Nama Instansi (Penulis2)
e-mail Penulis1
(Jenis tulisan Times New Roman, ukuran 10, huruf besar di awal kata saja
untuk nama instansi, posisi tulisan rata tengah dan nama instansi tidak
boleh disingkat)
Abstract/ Abstrak
(Jenis tulisan Times New Roman, ukuran 11, cetak tebal, posisi tulisan
rata tengah dan maksimal 12 kata)
Abstract/ Abstrak ditulis dalam Bahasa Inggris bagi Penulis yang
tulisannya menggunakan Bahasa Indonesia, sedangkan bagi Penulis yang
menggunakan Bahasa Inggris dalam tulisannya, maka Abstrak ditulis
dalam Bahasa Indonesia. Abstract/ Abstrak berisikan isu-isu pokok,
tujuan penelitian, metoda/ pendekatan dan hasil penelitian. Abstract/
Abstrak ditulis dalam 1 (satu) alinea, tidak lebih dari 200 kata.
(Jenis tulisan Times New Roman, ukuran 11, cetak miring, posisi tulisan
rata kiri-kanan dan spasi tunggal)
Keywords/ Kata kunci: Maksimal 5 (lima) kata kunci, dipisahkan dengan
tanda koma.
(Jenis tulisan Times New Roman, ukuran 11, posisi tulisan rata kiri-kanan
dan cetak miring)
Tinjauan pustaka yang relevan dan
pengembangan hipotesis (jika ada)
dimasukan di dalam bagian ini.
(Jenis tulisan Times New Roman,
ukuran 11, posisi tulisan rata kiri-
kanan, spasi tunggal dan alinea
pertama menjorok ke dalam 4
(empat) ketukan).
2. KAJIAN LITERATUR
DAN PENGEMBANGAN
HIPOTESIS (JIKA ADA) (Cetak
tebal)
Bagian ini berisi kajian
literatur yang dijadikan sebagai
penunjang konsep penelitian.
Kajian literatur tidak terbatas pada
teori saja, tetapi juga bukti-bukti
empiris. Hipotesis penelitian (jika
ada) harus dibangun dari konsep
teori dan didukung oleh kajian
empiris (penelitian sebelumnya).
(Jenis tulisan Times New Roman,
ukuran 11, posisi tulisan rata kiri-
kanan, spasi tunggal dan alinea
pertama menjorok ke dalam 4
(empat) ketukan).
3. METODE PENELITIAN
(Cetak tebal)
Metode penelitian
menjelaskan rancangan kegiatan,
ruang lingkup atau objek, bahan
dan alat utama, tempat, teknik
pengumpulan data, definisi
operasional variabel penelitian dan
teknik analisis. (Jenis tulisan
Times New Roman, ukuran 11,
posisi tulisan rata kiri-kanan, spasi
tunggal dan alinea pertama
menjorok ke dalam 4 (empat)
ketukan).
4. HASIL DAN
PEMBAHASAN (Cetak tebal)
Bagian ini menyajikan hasil
penelitian. Di dalam ini dapat
dilengkapi dengan tabel, grafik
(gambar) dan/ atau bagan. Bagian
pembahasan memaparkan hasil
pengolahan data,
menginterpretasikan penemuan
secara logis, mengaitkan dengan
sumber rujukan yang relevan.
(Jenis tulisan Times New Roman,
ukuran 11, posisi tulisan rata kiri-
kanan, spasi tunggal dan alinea
pertama menjorok ke dalam 4
(empat) ketukan).
5. KESIMPULAN (Cetak tebal)
Kesimpulan berisi
rangkuman singkat atas hasil
penelitian dan pembahasan serta
dapat pula diberikan suatu
rekomendasi atau saran. (Jenis
tulisan Times New Roman, ukuran
11, posisi tulisan rata kiri-kanan,
spasi tunggal dan alinea pertama
menjorok ke dalam 4 (empat)
ketukan).
6. REFERENSI (Cetak tebal)
Penulisan naskah dan sitasi
yang diacu dalam naskah ini
disarankan menngunakan aplikasi
referensi (reference manager),
seperti Mendeley, Zotero,
Reffwork, Endnote dan lain-lain.
(Jenis tulisan Times New Roman,
ukuran 11, posisi tulisan rata kiri-
kanan, spasi tunggal dan alinea
pertama menjorok ke dalam 4
(empat) ketukan).
Untuk bagian isi ditulis dalam 2
(dua) kolom
1. PENDAHULUAN (Cetak
tebal)
Pendahuluan memuat hal
pokok, yaitu: 1) Latar belakang
atau acuan permasalahan; 2) Hal-
hal menarik yang belum tuntas; 3)
Perkembangan baru; dan 4) Tujuan
2. Template Artikel Jurnal Kediklatan (Non-Riset)
JUDUL
(Jenis tulisan Times New Roman, ukuran 12, cetak tebal, posisi tulisan
rata tengah, huruf kapital semua dan maksimal 12 kata)
Penulis1
Penulis2
dst.
(Jenis tulisan Times New Roman, ukuran 10, cetak tebal, nama tidak
boleh disingkat, posisi tulisan rata tengah, huruf besar di awal kata saja
dan penulisan nama tanpa
menggunakan gelar) Nama Instansi (Penulis
1)
e-mail Penulis1
Nama Instansi (Penulis2)
e-mail Penulis1
(Jenis tulisan Times New Roman, ukuran 10, huruf besar di awal kata saja
untuk nama instansi, posisi tulisan rata tengah dan nama instansi tidak
boleh disingkat)
Abstract/ Abstrak
(Jenis tulisan Times New Roman, ukuran 11, cetak tebal, posisi tulisan
rata tengah dan maksimal 12 kata)
Abstract/ Abstrak ditulis dalam Bahasa Inggris bagi Penulis yang
tulisannya menggunakan Bahasa Indonesia, sedangkan bagi Penulis yang
menggunakan Bahasa Inggris dalam tulisannya, maka Abstrak ditulis
dalam Bahasa Indonesia. Abstract/ Abstrak memuat: (a) Tujuan
penelitian; (b) Isu-isu pokok; dan (c) Alternatif pemecahan. Abstract/
Abstrak ditulis dalam 1 (satu) alinea, tidak lebih dari 200 kata.
(Jenis tulisan Times New Roman, ukuran 11, cetak miring, posisi tulisan
rata kiri-kanan dan spasi tunggal)
Keywords/ Kata kunci: Antara 3 (tiga) sampai 5 (lima) kata kunci,
dipisahkan dengan tanda koma.
(Jenis tulisan Times New Roman, ukuran 11, posisi tulisan rata kiri-kanan
dan cetak miring)
penelitian. Semua referensi yang
dirujuk secara tidak langsung
ditulis dengan cara (Nama,
Tahun), sedangkan yang dikutip
secara langsung ditulis dengan
cara (Nama, Tahun:Halaman).
Pendahuluan diharapkan maksimal
20% dari keseluruhan artikel.
(Jenis tulisan Times New Roman,
ukuran 11, posisi tulisan rata kiri-
kanan, spasi tunggal dan alinea
pertama menjorok ke dalam 4
(empat) ketukan).
2. PEMBAHASAN (Cetak tebal)
Paparan pada pembahasan
dapat dibagi menjadi beberapa sub
judul. Pembahasan berupa kupasan
yang sifatnya analitik,
argumentatif, logis dan kritis. Isi
pembahasan adalah cermin dari
pendirian/ sikap Penulis terhadap
permasalahan yang menjadi fokus
tulisan. Semua referensi yang
dirujuk secara tidak langsung
ditulis dengan cara (Nama,
Tahun), sedangkan yang dikutip
secara langsung ditulis dengan
cara (Nama, Tahun:Halaman).
(Jenis tulisan Times New Roman,
ukuran 11, posisi tulisan rata kiri-
kanan, spasi tunggal dan alinea
pertama menjorok ke dalam 4
(empat) ketukan).
3. KESIMPULAN (Cetak tebal)
Kesimpulan dibuat dalam
paragraf pendek yang memuat
tentang penegasan pendirian
Penulis dan saran-saran.
Kesimpulan ditulis maksimal 10%
dari keseluruhan isi artikel. (Jenis
tulisan Times New Roman, ukuran
11, posisi tulisan rata kiri-kanan,
spasi tunggal dan alinea pertama
menjorok ke dalam 4 (empat)
ketukan).
4. DAFTAR RUJUKAN (Cetak
tebal)
Semua rujukan yang dimuat
dalam paparan artikel harus
dicantumkan pada daftar rujukan.
Sumber yang dirujuk sedapat
mungkin (minimal 80%)
merupakan rujukan-rujukan
terbitan 10 tahun terakhir. Rujukan
yang diutamakan adalah sumber-
sumber primer berupa laporan
penelitian (termasuk skripsi, tesis
dan disertasi) atau artikel-artikel
penelitian dalam jurnal atau
majalah ilmiah. Penulisan naskah
dan sitasi yang diacu dalam naskah
ini disarankan menngunakan
aplikasi referensi (reference
manager), seperti Mendeley,
Zotero, Reffwork, Endnote dan
lain-lain. (Jenis tulisan Times New
Roman, ukuran 11, posisi tulisan
rata kiri-kanan, spasi tunggal dan
alinea pertama menjorok ke dalam
4 (empat) ketukan).
Redaksi: KEMENTERIAN DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA
PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA REGIONAL BANDUNG Jalan Kiara Payung Km. 4,5 Jatinangor-Sumedang, Telepon (022) 87835007, Fax (022) 87835008
Jalan Sukajadi Nomor 185 Bandung 40162, Telepon/ Fax (022) 2031435 Website www.ppsdmregbandung.kemendagri.go.id, E mail [email protected]
E mail Jurnal: [email protected]