Jurnal Ilmu dan Ilmu Politik · 2020. 5. 1. · Jumal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik ISSN 1,410-4946...

17
Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Terbit tiga kali setahun pada bulan Maret, ]uli dan November. Berisi tulisan yang diangkat dari hasil penelitian, kajian analitis kritis dan tinjauan buku dalam bidang sosial dan politik. ISSN 1410-4946 Pelindung: Dekan FISIPOL UGM Ketua Penyunting: Purwo Santoso Wakil Ketua Penyunting: I Gusti Ngurah Putra Penyunting Pelaksana: Abdul Gaffar Karim (non akti$ Riza NoerArfani Arie Sujito S. Djuni Prihatin Subando Agus Margono PenyuntingAhli: Abdul Munir Mulkhan IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta) Abubakar Ebihara (Universitas Iember, fember) Ana Nadhya Abrar (Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta) Andre Hardjana (Universitas Atma Jaya, Jakarta) Ashadi Siregar (Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta) Cornelis Lay (Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta) Heru Nugroho (Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta) Hotman Siahaan (Universitas Airlangga, Surabaya) Muhajir Darwin (Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta) Mohtar Mas'oed (Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta) Rizal Mallarangeng (CSIS, Jakarta) Pratikno (Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta) Sunyoto Usman (Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta) Susetiawan (Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta) Pelaksana Thta Usaha: Novi Kumia, Subari, Mukhrobin Alamat Penyunting dan Thta Usaha: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Polifik, Universitas Gadjah Mada, fl. Sosio-Justisia, Bulaksumuq, Yogyakarta 55281. Telp./Fax: 0274 563362, e- mail: [email protected] atau [email protected] Penyunting menerima tulisan yang belum pemah diterbitkan dalam media lain. Naskah diketik di atas kertas HVS kuarto sekitar 3000-5000 kata dengan format seperti tercantum pada halaman kulit belakang (Persyaratan naskah untuk ISP). Naskah akan di'review' oleh penyunting ahli dengan sistem blind peer review. Hasil review bisa diketahui dalam jangka waktu 60 hari setelah naskah diterima.

Transcript of Jurnal Ilmu dan Ilmu Politik · 2020. 5. 1. · Jumal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik ISSN 1,410-4946...

  • JurnalIlmu Sosial dan Ilmu Politik

    Terbit tiga kali setahun pada bulan Maret, ]uli dan November. Berisi tulisan yang diangkatdari hasil penelitian, kajian analitis kritis dan tinjauan buku dalam bidang sosial danpolitik. ISSN 1410-4946

    Pelindung:Dekan FISIPOL UGM

    Ketua Penyunting:Purwo Santoso

    Wakil Ketua Penyunting:I Gusti Ngurah Putra

    Penyunting Pelaksana:Abdul Gaffar Karim (non akti$

    Riza NoerArfaniArie Sujito

    S. Djuni PrihatinSubando Agus Margono

    PenyuntingAhli:Abdul Munir Mulkhan IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta)

    Abubakar Ebihara (Universitas Iember, fember)Ana Nadhya Abrar (Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta)

    Andre Hardjana (Universitas Atma Jaya, Jakarta)Ashadi Siregar (Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta)Cornelis Lay (Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta)

    Heru Nugroho (Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta)Hotman Siahaan (Universitas Airlangga, Surabaya)

    Muhajir Darwin (Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta)Mohtar Mas'oed (Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta)

    Rizal Mallarangeng (CSIS, Jakarta)Pratikno (Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta)

    Sunyoto Usman (Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta)Susetiawan (Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta)

    Pelaksana Thta Usaha:Novi Kumia, Subari, Mukhrobin

    Alamat Penyunting dan Thta Usaha: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Polifik, UniversitasGadjah Mada, fl. Sosio-Justisia, Bulaksumuq, Yogyakarta 55281. Telp./Fax: 0274 563362, e-mail: [email protected] atau [email protected]

    Penyunting menerima tulisan yang belum pemah diterbitkan dalam media lain. Naskahdiketik di atas kertas HVS kuarto sekitar 3000-5000 kata dengan format seperti tercantumpada halaman kulit belakang (Persyaratan naskah untuk ISP). Naskah akan di'review' olehpenyunting ahli dengan sistem blind peer review. Hasil review bisa diketahui dalam jangkawaktu 60 hari setelah naskah diterima.

  • ]urnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik ISSN 1,410-4946Volume 8, Nomor L, ]uli 2004 (1 - 108)

    DAFTAR ISI

    Film Propaganda: Ikonografi KekuasaanBudi lrawanto 1' - 1'6

    Representasi Maskulinitas dalam Iklan. Noai Kurnia t7 - 36

    Terorisme dan Media Massa: Debat Keterlibatan MediaNunung Prajarto 37 - 52

    Interaksi Politik dan Media: Dari Komunikasi Politikke Politik KomunikasiEffendi Gazali 53 - 74

    ]urnalisme Politik: Keberpihakan Media dalam Pemilu 2004Masduki 75 - 90

    Kinerja TV Publik: Analisis Isi Berita TVRI tentang KampanyePernilu Legislatif 2004A. Darmanto 91 - 108

    Berdasarkan SK Dirjen Dikti Depdiknas No. Z3alDIKTTlKeplz}}4,tanggal 4 Juni 2004 tentang Hasil Akreditasi lurnal llmiah Dirjen DiktiPenilaian bulan luni 2004, lurnal Ilmu Sosial dan IImu Politik (ISP) telahterakreditasi sebagai ]urnal Ilmiah Nasional.

  • Jumal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik ISSN 1,410-4946

    Volume 8, Nomor L, ]uli 2004 (1 - 16)

    Film Propaganda: Ikonografi Kekuasaanl

    Budi lrawanto.)

    Abstract

    As a modern technological inaention cinema has numerouspotentialities such as economic, social and political power.Fascist regimes as well as film corporations haae employedcinema as a tool of propaganda to control and mobilize themasses for the sake of their power longeaity. Moreoaer, thecharacter of film itself is a perfect fascist medium which camefro^ the network of proto-fascism of the tarcntieth centuryciailization. By using aarious genres of lndonesian cinema

    fro* dffirent eras as a case study, this article argues thatlndonesian propaganda films haae monolithic representationwhich can be described as a cult of "bapakisme" (patronism),"kultur komando" (command culture), marginalisation ofu)omen' role in Indonesian reaolutionary mll)ement anddemonization of progressiae women organisation, andgloifcation of the role of Soeharto in Indonesian rwolationarymoaement.

    Kata-kata Kunti:film; propaganda; kekuasaan; rezim fasis; bapakisme; kultur komando

    Tulisan ini semula adalah makalah yang dipresentasikan dalam Seminar"Mendekonstruksi Film Propaganda" dalam Jakarta International Film Festival2001.,, Ruang Serba Guna PPHUI Jakarta, 10 November 2001 dan telah mengalamiperluasan seperlunya untuk kepentingan pemuatan di jurnal ini.

    Budi lrawanto adalah dosen Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial danIlmu Politik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, menyelesaikan pendidikan52 (MA) di Curtin Uniansity of Technology, Perth, Australia.

  • lurml IImu Sosial & Ilmu Polit*, VoI. 8, No. 1, IuIi 2M4

    ...What rs mortal in me will perish. But my spirit, which is immortal,will remain with you. And .. will show you the u)ay.

    - |oseph Goebbels

    Kekuasaan bisa saja bermula dari moncong senjat4 tetapi ia akanmenjadi agung lewat bidikan kamera. Melalui kamera kekuasaan takhanya punya daya paks+ tetapi sekaligus daya pukau. hri karen4 sepertididedahkan Bill Nichols (1982), menonton adalah mempercayai, tetapitak semua yang tampak diperlakukan sama di mata kamera. "Kameratak bisa berdusta. Tetapi ia mungkin bisa menjadi aksesori bagiketidakbenararL " ujar Harold Evans (Encarta Book of Quotations, 7999)seorang penerbit dan editor surat kabar terkemuka Amerika suatu kali.Sinema yang menuliskan realitas lewat mata kamera, tak luput darikebenaran proposisi ini. Joseph Goebbels, sang arsitek propagandaHitler, bahkan telah lama mempercayai sinerna tak hanya memilikifungsi hiburan semata, tetapi jtgu instrumen yang mamPumenggerakkan massa.

    Sejak kelahirannya film telah meledakkan kecemasan barulantaran kehadirannya menyihir perhatian orang kebanyakan. Tatkalafilm pertama kali dipertontonkan secara komersial pada 28 Desember1895 di Grand Cafd di Boulevard de Capucines No. 14 Perancis,penonton terkaget-kagef kagum dan riuh. Bagaimanapury terpaan filmpertama kali pada penonton telah mengundang beragam resPon,adonan antara kekaguman dan kecemasan. Luis Bunuel, sutradaraPerancis terkemuka, dalam otobiografinya My Sigh pernahmembandingkan film awal dengan taman hiburan:

    Saya tak pemah lupa, misalnya, teror pada setiap orang saatkita menonton zoomyang pertama. Di atas layar sebuah kepalakian mendekat dan kian membesar. Kita semata-mata tidakmengerti bahwa kameralah yang kian mendekat ke kepal4atau barangkali karena trik fotografi (sebagaimana dalam fitmMilles), kepala hanya tampak membesar. Semua yang kitasaksikan adalah kepala yffigmendekati kita, yang melampauiproporsirya (hal. 33).

  • Budi lrawanto, Film Propagandn: lkonografi lQkuasaan

    Seiak itu fitm melesat dari statusnya sebagai hiburan kaum pekerjakelas bawah perkotaan di saat senggang menjadi tontonan yang mampumerelatifkan batas-batas kelas. Akibatnya, film menjadi bisnis yanggampang menangguk keuntungan. Kemampuan film untuk menyedotperhatian massa dan sekaligus mendatangkan uang, tak pelak,mencuatkan potensi film yang lain: sebagai alat propaganda. Kita tentutak lupa pada ungkapan Lenin yang tersohor, "Di antara berbagaikesenian, bagi kita, sinema adalah yang terpentirrg." Begitu pulaGoebbels, yang telah disinggung di muka, menyebut film sebagai "salahsatu dari media modern dan berjangkauan luas yang mamPumempengaruhi massa" (seperti disitir Chapmary 2000, hat.683).

    Oleh karena itulah, tulisan ringkas ini hendak memaparkanargumen bahwa keberadaan film propaganda tidak hanya karenakekuasaan di luar film yairg hendak memperalatnya tetapi karakterfilm itu sendiri merupakan medium propaganda yang semPurna.Dengan kata lain, film bisa menjadi medium untuk membangunkekuasaan dan lewat film pula sesungguh.yu kekuasaan terukir denganjelas. Menggunakan istilah dari khasanah semiotika (ilmu tentang tandadan hubungan antartanda), film merupakan "ikonografi" kekuasaan.Ikonografi berasal dari kata "ikon" yang berarti penanda (signifier) ya gmempunyai kemiripan dengan yang ditandai (signified). Dalam praktikkeagamaary misahyu, ikonografi lazimnya berujud benda-benda yangdisakralkan atau disucikan yang mewakili keberadaan kekuatan Ilahiah..Sementara itu, kekuasaan dalam tulisan ini mengacu ada prosespengorganisasian wacana (discourse) dan kekuatan yang berperan dalampraktik pemaknaan (signifikasi) lewat beragam media reperesentasi,termasuk film.

    Tulisan ini dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama membahasmakna propaganda dan film propaganda. Bagian kedua melihat lebihjauh karakter medium film propaganda juga pertautannya denganrejim fasistik (Nazi Jerman). Bagian terakhir merupakan pembacaanterhadap tiga film propanganda Indonesia yang berasal dari dua rejimpolitik yang berbeda (rejim Soekamo dan Soeharto).

    Memaknai Propaganda

    Istilah "propaganda" semula tidak berasal dari kancah "politikpraktis" melainkan dari lingkungan gereja Katolik. Istilah ini berasal

    3

  • lurnal llmu Sosial & llmu Politik,Vol. 8, No. L,luli 2004

    dari Sacra Congregatio Christiano Nomini Propagando (Kongregasi SuciKatolik Roma untuk Penyebaran Iman), yakni bagian (department) danadministrasi gereja yang mengurusi penyebaran ajaran Katolik dandengan regulasi tertentu untuk negara-negara yang bukan penganutagama Katolik. Dalam perjalanannya, istilah propaganda mengalamipopularitas yang luar biasa selama berkecamuknya Perang DuniaPertama dan Kedua, kendatipun di Amerika punya konotasi miring.Sebagaimana dinyatakan Leonard Doob, penulis buku klasik Propa-ganda: Its Psychology and Technique (1,940), "Di Amerika kata propa-ganda mempunyai aroma yang tak sedap. Propaganda memiliki asosiasidengan perang dan praktik-praktik jahat" (seperti disitir oleh Chapmary2000, hal. 681).

    Dalam pengertian yang paling longgar, propaganda acapkalidimaknai sebagai informasi - baik benar maupun palsu - yangmengabdi pada tujuan tertentu. |ika informasi itu mengadungkebenaran, maka ia acapkali hanya bersifat sepihak dan gagalmemberikan gambaran yang menyeluruh. Umpam anya, informasiyang disampaikan oleh korporasi besar atau dalam pengajaran sejarahnasional di sekolah. Dalam pengertian yang sempit dan lazim dipakai,propaganda berarti penyampaian secara sengaja informasi yang palsuatau menyesatkan untuk mendukung maksud politik atau kepentinganmereka yang mempunyai kuasa. Di titik ini, propaganda mempunyaitujuan yang nyaris serupa dengan sensor. Tujuan yang hendakdirengkuh bukaniah mengisi tempurung kepala orang dengan informasiyang salatu tetapi mencegah orang untuk mengetahui informasi yangbenar. Apu yang membedakan propaganda dengan bentuk advokasiadalah niatan sang propagandis untuk mengubah pemahamanseseorang melalui pengelabuan ketimbang persuasi.

    Meski demikiary dalam pengertian yang jauh lebih sempit lagipropaganda acapkali hanya dimaknai secara terbatas sebagai informasipalsu yang dimaksudkan untuk memantapkan apa yang telah diyakiniorang kebanyakan. Asumsinya, jika orang mempercayai sesuafu itusalatr, maka mereka senantiasa didera keraguan. Karena keraguan ifumenggelisahkary orang lantas bersemangat unfuk membuangnya, dankarena itu mereka menjadi terbuka terhadap apa yang disampaikanoleh mereka yang memiliki otoritas. Tak aneh, jika propagandamenggunakan teknik-teknik penyampaian pesan yang meyakinkan

    4

  • Budi lrawanto, Film Propaganda: Ikonografi Kekuasaan

    meski palsu. Lazimnya pesan-pesan itu mengdap sesat logika karenasang propagandis hanya berusaha meyakinkaru tanpa mempedulikankesahihan pesannya.

    Sederet pertanyaan penting layak diajukan di sini ihwal pertautanantara propaganda dan film. Mengapa film bisa menjadi alat yang pasbagi propaganda? Potensi apa gerangan yang melekat dalam filmsehingga ia menjadi alat propaganda yang ampuh? Apu yangmembedakan film dengan medium lain sebagai alat propaganda?Sebagai sebuah medium memang "dari sononya" film mempunyaikelebihan dibandingkan dengan medium lain. Richard Tayloq, penulisbuku Film Propaganda: Soaiet Russia and Nazi Germany (7998),menyebut film sebagai " the only truly mass medium" (sebagaimana disitirChapmary 2000, hal. 683). Karakter film sebagai medium audio visualnyaris tak menemui rintangan bahasa dan keberaksaraan. Malahan filmmempunyai pengaruh pada media massa yang telah ada sebelumnyaseperti pers dan radio. Film memiliki daya tarik sebagai medium yangpopuler. Lagi pula, pengalaman pergi ke luar nonton film mamPumenciptakan audience en masse penonton merupakan bagiankerumunan yang tak hanya dipengaruhi oleh apa yang ditontonnyatetapi jrgu interaksinya dengan penonton lain. Bahkan, yang banyakdilupakan, montage sebagai teknik dalam sinematografi yang ditemukanoleh Eissentein dan kemudian diperbarui oleh Vsevolod Pudovkin danDziga Vertov itu, semula dikembangkan dalam konteks kebijakan pro-paganda.

    Deretan pertanyaan di atas, apa boleh buat, jtgu menyeret kitapada perdebatan tentang relasi sinema dan realitas. Ihwal pertautansinema dengan realitas ini menarik menyimak baris-baris kalimat dalamnovel Salman Rushdie Midnight's Children :

    Realitas hanyalah pertanyaan tentang perspektif; kian jauh andamerengkuhnya dari masa lalu, kian tampak konkret dan meyakinkan- tapi begitu anda mendekati.yu dari masa kini, ia tak pelak tampaksulit dipercaya. Anggaplah anda ada di sebuah gedung bioskop yangluas, duduk di deretan pertama kursi paling belakang, dan perlahan-lahan bergerak ke depan, deret demi deret, hingga hidung andamenyentuh layar. Perlahan-lahan wajah sang bintang film menghilangke dalam titik-titik yang bergerak-gerak; detail lembut yang

  • lurnal ltmu Sosial & Ilmu Politik, Vol. 8, No. 1, luli 2M4

    mengandaikan proporsi yang buruk; ilusi melenyaP - atau malah,ilusi itu sendiri adalah kenyataan .. (hal. 79n'

    Metafora yang yang ditukiskan Rushdie setidaknya menyugesti

    kita untuk menyout r"buiupu jauh film memberi kita distansi denganrealitas. persoalarmya kini tak lagi apakah film mencerminkan secara

    persis realitas atau tidak, melaintan seberapa iauh k]t1 dibawa film

    *"r.,g"rrali realitas. Meski kita tahu bahwa film hanyalah ilusi realitas

    yan; bertumpu pada nalar kuntinuitas ge_rak,.agaknya itu hanya,"Urtiut alasan yang memungkinkan film iebagaisarErna propaganda'Adaiaik yu tita titit lebih pun karakter generik film yang dinisbatkansebagai film propaganda.

    Menguak Karakter Film ProPaganda

    Dalam kanon sejarah sinema dunia lazimnya kita kenal beberapa

    fitm yang dicatat sebagai tonggak penting film ProPagald+ Birth ofNatiins (tgt1) karya O.W Criifitn, Battleship Potemkin (1926) karyasergei Eisenstein, Triumph of the witt (1994) karya Leni Reifenstahl dan

    Wai Games (1965) karya Peier Watkin. Fitm-film ini secara gamblangmenunjukkan model ptopugunda sederhana yang bersifat hitam-putih'

    Yang hitam didefinisikan sebagai "masalah, kebingungan dan teror",

    sedJngkan yang putih didefinisikan sebagai "kesederhanaan, kejelasan

    dan repetisi."'Film propaganda memang lazimnya mengambil bentuk doku-

    menter untuk melyakinkan penonton terhadap sudut,pandang poliliktertentu. Tentu

    "ulu, film piopugunda tak hanya terbatas pada film

    non fiksional. Beberapa film drima perang pada erc1940-an di Amerika

    diproduksi untuk mlnggalang kondensus siapa lu.g disebut'musuh.'Saiah satu konvensi penting genre film pada periode itu adalah pelbagaibagian terpisah-pisah yu"g berhimpun bersama menyumbang bagikeiajikar,

    ^"gutu. f* anet! jitu fn* ProPaganda pertu*1 pada periode

    itu adalah The Birth of Nations (1915) karya D.W Griffith.pada era pemerintahan Hitler, peran |oseph Goebbels sebagai

    menteri propugunda sangat menentukan. Di tangan Goebbles partaiNazi danHitler disulap dalam citra yang gemilang. Belajar dari pelbagai

    genre film-film Hollywood yang sukse+ lea]

  • Budi lrawanto, FiIm Propaganda: Ikonografi Kekuasaan

    Karena itu, seluruh bakat terbaik dengan tingkat keterampilan yangti^gg dalam sinema |erman dihimpun untuk menghasilkan karya yangmampu memanipulasi dan memasung kesadaran penontonnya.Uniknya tatkala sejumlah imigran dari ]erman mulai mempengaruhiHollywood deng€ul semangat yang muram lewat tradisi sinema Weimar,rezim Nazi tetap meniru gayaHollywood yang optimistik. SinemagayaWeimaq, umpamanya Caligari dan Nosferatu, lebih menekankan padakekuatan aneh dan ancaman tersembunyi dalam hidup sehari-hari.Sebaliknya, sinema pada era Goebbels berpretensi seakan-akan hidupsehari-hari di bawah rezim Hitler normal-normal saja. |ika ada ancaman,maka selalu bisa dikenali dan diatasi dengan "kekuatan kehendak."

    Akan tetapi, film propaganda tidak hanya tumbuh subur ditengah ketidakmenentuan politik seperti halnya ferman pada era PerangDunia Kedua. Pada era pemerintahan Ronald Reagan dalam dekade1980-an, di Amerika tak kurang muncul genre film propaganda yangmenyokong politik Reaganisme. Film-film yang mencuat pada periodeini umumnya menekankan nilai-nilai konservatif tentang keluarga,penggelembungan harga diri Amerika yang terluka akibat perang Viet-nam serta pamer kecanggihan teknologi dalam konteks Perang Dingindengan Uni Sovyet.

    Pertanyaan yang tetap mengusik, mengapa film propaganda bisamuncul dari setting politik yang berbeda? Tidakkah ada sesuatu yangintrinsik sifatnya dalam medium film sehingga ia cocok sebagai alatpropaganda? Melissa Goldman dalam tulisannya Entrapped Agency :An Exploration of the Link Between Cinema and Facism (SEHF., 1996)mengemukakan tesis yang ganiil dan provokatif. Menuruhrya mediumfilm melakukan proses internalisasi dan simbolisasi yang luar biasaterhadap ideologi fasisme yang muncul pada awal abad kedua puluh.Proliferasi ideologi fasisme ke seluruh daratan Erop+ bagi Goldman,sejatinya berpusat dan bersandar pada bidang teoritis yang lebih luas,seperti kesehatan, efisiensi, ritme, gerak dan kecepatan. Goldmanmengasumsikan bahwa sebelum ideologi fasisme mengalamikristalisasi, terjadi proses saling pengaruh antara budaya, sains danteknologi yang memuncak pada penemuan film. Karena itu, tatkalarezirn fasis menggunakan film untuk tujuan-tujuan yang bersifatpropagandistik, mereka sekadar menggunakan jaringan proto-fasidmeyang telah terbentuk. '

  • lurnal IImu Sosinl & llmu Politik, Vol. 8, N0.7,luli 2004

    Praktik-praktik yang fasistis, kita tahu, memang bersandarsepenuhnya pada ritual-ritual, simbol-simbol dan mitos-mitosnasionalistik. Dalam jagat simbolik fasisme, bentuk representasi tubuhyang diidealkan atau yang ditampik dideterminasi secara rasial, misalnyaras Aria dan Yahudi dalam fasisme ]erman. Kode-kode film me-mungkinkan kohesi sosial yang semu yal.lg didasarkan pada citraantubuh dan stereotip yang diterima secara umum.

    Penemuan film memungkinkan penyimPanan gerak secaramekanis serta lahirnya kemampuan mereproduksi tubuh dan objekke dalam gerak. Melalui modus baru representasi inilah, terjadiperkemb"nlut dalam pendisiplinan tubutldan peragaan kekuasaan.Di satu sisi, pengungkapan tubuh bersama-sama dengan bahasarepresentasi filmis memberikan kemungkinan terciptanya maknabentuk dan gestur. Tubuh yang sejatinya bersifat material lantas bisadimanipulasi secara mekanis, bahkan bisa didistorsi. Maka lahirlahtubuh yang telah mengalami penyuntingan demi kenikmatan visual

    -atau barangkali - demi eksperimentasi ilmiah. Di sisi lain, melaluikerja sains, keunggulan manusia diberdayakan untuk memastikanmobilitas dan hidup yang semula menjadi objek tersembunyi menjadigerakan yang dinamis.

    Menyadari bahwa film bisa menjadi medium yang terbuka bagipropaganda fasisme, Hitler menunjuk Leni Reinfenstahl memfilmkanparade Partai Nazi di Nuremberg pada 7934 dalam kiumph of theWill.Ini agaknya menegaskan tesis Hugo Munsterberg dalam bukunyaPhotoplay: A Psychological Study (1916) bahwa film bisa merengkuhtujuan-tujuan politik dengan melakukan perubahan sosial. Dalampandangan yang tak jauh bebeda, Sergei Eisentein dan Walter Benjaminmengimajinasikan reformasi sosial melalui film. Melalui reproduksimekanis (Benjamin) dan montage (Eisentein), aparatus filmis karenabentuknya yang unik memungkinkan praktik artistik baru yangberdekatan dengan agenda politik tertentu.

    Munsterberg memberikan perhatian pada kekuatan film melaluikonstruksi formalnya, tertutama cara film berinteraksi dengan danmencerminkan kerja pikiran manusia. Dalam bahasa Munsterberg,teknik tertentu dalam film seperti close-up, flashback, parallel editingmemungkinkan film melakukan peniruan terhadap cara kerja pikiran.

    8

  • Budi lrawanto, Film Propaganda: lkonografi Kekuasann

    Munsterberg meny ebut flasb ack (kilas balik) sebagai "objektivasi fungsimemori" yung dibimbing oleh pikiran sendiri, bukan oleh kekuatanluar. Mak4 film memungkinkan citraan propagandistik berdasarkankode kultural yang diproyeksikan di atas layar serta dikonshuksi olehpenonton sendiri. Ringkasnya, pandangan dunia yang bersifat eksteriortak hanya diimposisikan ke dalam pikiran publi( tetapi jrgu citraannyadibentuk oleh pikiran publik sendiri.

    Membaca Film Propaganda Kita

    Untuk mengenali corak film propaganda negeri sendiri, tiga filmImages of Soekarno (L950-an dan 1960-an) dari Produksi Film Negara,Serangan Fajar (1981) karya Arifin C. Noer dan Pengkianatan G30S PKI(1984) karya Arifin C. Noer dipilih sebagai eksemplar. Pilihan atas tigafilm itu, tentu saja, dapat dipertanyakan kesahihan dan keter-wakilannya. Alasan yang kira-kira bisa dikemukakan adalah ketiga filmitu merekam tiga kurun sejarah Indonesia yang berbeda serta diproduksidi bawah dua rezim kekuasaan yang berbeda (Era Soekarno

  • lurnal llmu Sosial & llmu Politk, Vol. 8, No. 1,luli 2004

    The Images of Soekarno, Serangan Fajar dan Pengkhianatan G30S PKI,umpamanya, tampak representasi "bapak" sebagai sosok yang beradadi pucuk hirarki kekuasaan. Soekarno dalam lmages of Soekarno,umpamanya, secara eksplisit mengklaim dirinya sebagai "BapakRakyat." Pada pidato pembebasan Irian Barat di Yogyakarta pada L9Desemb er 1963, ia dengan lantang menyatakan bahwa pembebasanIrian Barat dari kekuasaan Belanda bukan karena kepentinganpribadilya', melainkan kepentingan seluruh rakyat Indonesia.Menuruh,rya ia sekadar menyuarakan aPa yang menjadi gejolak di hatirakyat: Irian musti dibebaskan dari kaum imperialis dan kolonialisBelanda.

    Sementara itu, bagian narasi penting dalam Serangan Faiar adalahpencarian sosok "Bapak" oleh tokoh Temon. Dalam film ini, kita tahu,tokoh Temon menjadi personifikasi "revolusi Lrdonesia" yang tengahmencari pemimpin dan pelindungnya. Pencarian sosok Bapakmencapai puncaknya dalam adegan ketika ia berlari-lari membawabambu runcing dan topi baja yang kebesaran yang dirangkai denganadegan pemuda Soeharto dan pasukannya tengah naik truk terbukamelintas di depannya. Saat Temon berteriak 'Pak-e (Bapak),' Soehartomenoleh setengah detik sebelum tmk itu lenyap dari pandangan. Inimerupakan adegan terakhir Temon berteriak keras memanggilbapaknya. Soeharto pun dikukuhkan menjadi bapak bagi bocah miskin

    - metafora bagi "revolusi Indone sia."Sosok "Bapak" dalam film Pengkhianatan G30S PKI merupakan

    representasi otoritas politik penting di kalangan militer. Bagi angkatandarat, Soeharto agaknya merupakan sosok bapak yang mamPu menjadisang pemandu dan penegak "ketertiban" di tengah galau politik akibatterbunuhnya para jenderal. Dalam salah satu adegan Leo Watimenabertanya pada Soeharto perihal latar belakang pristiwa 30 September.Lewat sikap dan penuturan yang penuh kewibawaan sang Bapak(Soeharto) menjelaskan otak kekacauan politik saat itu adalah PartaiKomunis Indonesia. Akan tetapi, pada momen yang berbeda sangBapak ini tenyata musti berhadapan sosok "Bapak" yarrglain (Soekarno).Sosok bapak yang terakhir ini agaknya telah merosot legitimasikekuasaannya, sebagaimana tampak dalam adegan dialog antaraSoeharto dan Soekarno, sehingga dengan mudah takluk dalampengaruh sang Bapak pertama.

    10

  • Budi lrawanto, Film Propaganda: Ilconografi Kekuasaan

    Images of Soeknrno, Serangan Fajar dan Pengl&ianatan G30S PKIdengan jelas membentangkan corak representasi yang partiarkis.Dalam Images of Soekarno, istri Soekarno (Fatmawati) hanya menjadipenonton pasif yang duduk di deretan kursi kehormatan menyaksikansang suami (Soekarno) tengah berpidato ihwal Pembebasan Irian Barat.Di atas podium Soekarno menjadi sumber kekaguman dan pemujaan.Peran perempuan yang lain dala m Images of Soekarno p ahng jauh hanyamenjadi bagian dari kelompok yang mengelu-elukan kedatanganSoekarno. Ringkasnya, perempuan secara marginal direpresentasikandalam peran domestikryu sebagai istri yang setia menyertai sang suamidi kancah pubtik.

    Representasi serupa bisa kita temukan dalam Serangan Fajaryang memposisikan perempuan sekadar menjadi pemeran pembantudalam kemelut perang kemerdekaan. Sebagaimana lazimnya dalarnfilm-film dengan genre sejenis di Indonesia, perempuan tidak memilikiperan yang menentukan selain sebagai anggota palang meratr, bekerjadi dapur umum, menjadi kekasih pejuang atau menjadi "umpan" unfukmengorek informasi rahasia dari musuh. Dalam Serangan Fajarrepresentasi perempuan muncul dari kalangan ningrat (Darury istriHandoyodiningrat) dan rakyat kebanyakan (Simbok dan Sibu) yangterkungkung dalam ruang domestik.

    Di samping representasi perempuan dalam peran domestiknyasebagai istri para jenderal yang terbunuh, kita temukan dalamPengWtianatan G30S PKI representasi perempuan dalam orgi kekerasansebagai anggota Gerwani. Tentu, representasi ini tak hanya bagian dariupaya Orde Baru mengkonstruksi peran PKI dalam Peristiwa 30 Sep-tember 1965. Yang jurh lebih penting adalah upaya demonisasi yangdilakukan orde Baru terhadap organisasi perempuan progresif yangpemah muncul dalam lanskap perpolitikan Indonesia.

    Watak paternalistik dari tiga film kian kental tatkala kita iugamenemukan betapa kuat kultur "komando" yang hakikatnyamiliteristik dan fasistik itu dalam masyarakat Indonesia. Dari Images ofSoelcnrno kita bisa menyimak bagaimana Soekarno mengangkat dirinyasebagai pemberi Komando pembebasan Irian Barat. Dalam pandanganSoekarno, rakyat tak lebih dari gerombolan massa yang tengahmenunggu titahnya. Begitu pula, dalam footage-footage dokumenter

    11

  • lurnal Ilmu Sosial & llmu Politik, Vol. 8, No. 7, luli 2004

    dalam lmages of Soelurno, Soekarno seakan ada di barisan terdepan yangmengomando rakyat dengan gagasan-gagasannya. Apalagi denganpolitik Manipol Usdek- yang sejatinya bersumber pada pemikiranSoekarno sendiri-watak "komando" dalam perpolitikan Indonesiaterlihat. Dalam pidato tentang Pancasila, Soekarno menegaskanpentingnya tetap berpegang pada Manipol Usdek untuk mengatasi"subversi mental."

    Dalam Serangan Fajar tampak bagaimana seluruh inisiatifpenyerangan terhadap Belanda ada sepenuhnya di bawah komandopemuda Soeharto. Nyaris tak ada debat, diskusi yang menimbang risikodari aksi militer yang dikomando Soeharto. Bagaimanapun, tabiatkomando memang meniadakan dialog dan hanya menuntut kesetiaanpenuh untuk melakukan apa yang dikatakan pemimpin. Ini tampakjelas jika kita lihat dalam Pengkhianatan G30S PKI tampak kekuatankomando Soeharto dalam mengendalikan situasi politik saat itu dangerakan penumpasan PKI. Maka, jelas bukan kebetulan semata jikadalam tiga film propaganda itu bertaburan pidato atau briefing daripara pemimpin. Ini karena hanya pada pidato terjadi pemusatan danpengendalian wacana.

    Tak pelak, aroma heroisme juga merebak dari lmages of Soekarno,Serangan Fajar dan Pengkhianatan G30S PKI. Kita tahu, heroisme taklebih dari fantasi maskulinitas. Dalam Images of Soekarno heroismedibangun dengan penegasan sikap anti imperialisme, kolonialisme danBarat. Sementara dalam Serangan Fajar, heroisme dibangun lewatpatriotisme pemuda yang mengangkat senjata melawan Belanda.Heroisme dalam Pengkhianatan G30S PKI dibangun lewat ketegasansikap Soeharto dan Kostrad (Komando Strategis Angkatan Darat) untukmenumpas kelompok "kontra-revolusioner" yang didalangi PKI danhendak menggulingkan Soekarno.

    Di titik inilalu tak aneh jika film propaganda senantiasa meng-ambil bentuk "film perang." Hanya dalam film peranglah maskulinitasterepresentasikan secara nyata dan melaluinya patriotisme terukirdengan jelas. Dalam film perang siapa yang disebut musuh ataupengkhianat dan pahlawan bisa ditarik jelas batasnya. Sementara itu,rangkaian adegan kekerasan yang mengiringi film perang, sepertiledakan, penyiksaan dan meloloskan diri dari kamp tawanan musuh,

    L2

  • Budi lrawanto, FiIm Propaganda: Ilconografi Kekuasaan

    tak hanya penting untuk membangun narasi cerita tetapi jrgumembangun subjek yang maskulin.

    Penutup: Akhir Film Propaganda?Apu yang bisa kita timbang dari tiga film propaganda negeri

    sendiri? Pertama, rekonstruksi historis melalui sinema - di bawahpengaruh otoritas kekuasaan - senantiasa membuka peluang bagipropaganda kekuasaan. Ketika sejarah hanya ditulis oleh mereka yangtelah menghabisi sang pecundang, maka ia tak lebih dari glorifikasidan puja-puji pada sang pemenang. Film pun terbukti menjadiinstrumen yang menjadikan sejarah bak "lubang hitam" yangmencegah orErng untuk menemukan kejelasan fakta-fakta historis yangmasih diselimuti misteri. Sutradara Perancis Jean Luc Godard pernahberujar, "Fotografi adalah kebenaran dan film adalah kebenaran duapuluh empat kali dalam satu detik" (Encarta Book of Quotations,1999).Agaknya kita mesti berhati-hati dengan kata "kebenaran" itu. Ini karenakebenaran bisa berarti informasi sepihak yang menyesatkan kita untukmerengkuh pemahaman sejati. Ringkasnyq kita tak pernah bisa berolehhikmah masa lalu dari film propagand+ betapapun ia melakukan klaimhistoris.

    Kedua, film propaganda dengan mudah bisa dikenali dari modusrepresentasinya yang kontras dan cenderung hitam-putih. Film non-propaganda senantiasa memberi kita multiplisitas representasi.Representasi yang monolitik, seperti representasi yang patriarkis danmaskulin cenderung melakukan distorsi yang kelewatan. Barangkaliini tidak hanya berlaku pada film yang disponsori oleh penguasa tetapijtgu film yang dibuat oleh kalangan .yang justru ingin melawanpenguasa. Godaan untuk menciptaan representasi yang gampangandan kelewat menyederhanakan akan mudah terjatuh pada bentuk pro-paganda baru.

    Ketiga, sebuah film menjadi sebentuk propaganda tak hanyabersumber dari kekuasaan yang ada di baliknya melainkan sebagaimedium ia memiliki tendensi untuk menjadi fasistis. Ini agaknyabertautan dengan watak budaya abad keduapuluh yang ditandaipemujaan nilai kecepatan, efisiensi dan seterusnya yangiuga dimuliakanoleh rezim Orde Baru. Kini nilai-nilai itu tengah memperoleh tantangan

    T3

  • Jurnal llmu Sosial & Ilmu Politik, VoL 8, No. 1, luli 2004

    karena terbukti jrgu menciptakan piramida korban manusia. Akantetapi, apakah ini berarti alamat tamatnya film ProPaganda? Sepanjangrelaii potitit ditandai oleh upaya penaklukan dan pengelabuan massa,film tetap terbuka sebagai alat propaganda. Bahkan, ketika praktikekonomi kian kental diwarnai nilai neoliberalisme, bukan mustahil filmkian mengabdi pada kepentingan korporasi besar sebagai jantung dari

    industri hib.ttut. Era baru ProPaganda melalui film sesungguhny,atengah dimulai. Karena itu, studi akademis tentang ProPaganda takperirah kehitangan relevansinya, seperti ditulis oleh Robert Taylor(1ee8):

    Sebagaimana Goebbels sendiri mengetahuinya, penangkal terbaik

    dari pengaruh propaganda adalah kesadaran: kesadaran terhadapdiri iita sendiii, kesadaran terhadap kekuatan dan keterbatasankita serta kesadaran terhadap metode dan tujuan pihak lain yangmungkin memanipulasi opini kita demi tujuan mereka. Kesadaranini bihkan kian penting dalam masyarakat liberal ketimbang dalam

    sistem politik yang otoritarian, di mana pada ITg pertama(masyaiakat liberal) peran propaganda kurang terlihat dominandan tlknik-tekniknya tak terlampau kentara, karena iftr, setidaknyasecara potensiaf jauh lebih efektif (seperti disitir dalam Chapman,2000, hal.688).+**

    Daftar Pustaka

    Bunuel, Luis ( 1983). My Last Sigh.Alihbahasa Abigail lsrael. New York:Alfred Knopf.

    Chapmary |ames (2000). 'Review Article: The Power of Propaganda.'

    lournal of Contemporary History, Vot 35(4), hal. 679-688.

    Encarta Book of Quotations (1999). Manual Disk. Bloomsbury: Microsoftand Bloomsbury Publishing.

    L4

  • Budi lrawanto, Film Propaganda: Ilanografi Kekuasaan

    Goldman, Melissa (L995).'Entrapped Agency: An Exploration of theLink Between Cinema and Fascism.' SEHR. SuVplement: Culturaland Technological Incubations of Facism. Volume 5. Desember.

    Mustenberg, Hugo (1915) . Photoplay: A Psychological Study. New York:Appleton and Company.

    Nichols, Bill (198 2). Ideology and the lmage: Social Representation in theCinema and Other Media. Bloomington: Indiana University Press.

    Rushdie, Salman (1991). Midnight's Children New York: PenguinBooks.

    Seru Krishna (1994). Indonesian Cinema: Framing the NetD Ordr. London:Zed Books.

    15