Jurnal Ilmiah Pendidikan...
Transcript of Jurnal Ilmiah Pendidikan...
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan
Pembelajaran
Volume 15,
Nomor 3, Oktober 2018
Publish by
Program Pascasarjana
Universitas Pendidikan Ganesha
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Volume 15, Nomor 3, Oktober 2018
Pembelajaran
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran adalah Jurnal Ilmiah yang diterbitkan oleh Program
Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha. Penerbitan jurnal ini bertujuan untuk mewadahi
artikel-artikel hasil penelitian pada bidang pendidikan dan pembelajaran. Pada akhirnya, jurnal
ini dapat memberikan deskripsi tentang perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di
bidang pendidikan dan pembelajaran bagi masyarakat akademik. Jurnal ini terbit 3 kali setahun
(Maret, Juni, Oktober)
Executive Director
Prof. Dr. I Wayan Suastra, M.Pd. Direktur Program Pascasarjana Universitas Pendidikan
Ganesha
Responsibility Association Prof. Dr. I Nyomann Kanca, M.S. Universitas Pendidikan Ganesha
Prof Dr. Ida Bagus Putrayasa, M.Pd. Universitas Pendidikan Ganesha
Editor in Chief Dr. I Wayan Widiana, S.Pd., M.Pd Universitas Pendidikan Ganesha
Associate Editors Prof. Dr. Putu Budiadnyana, M.Si, Universitas Pendidikan Ganesha
Prof. Dr. Nyoman Dantes, Universitas Pendidikan Ganesha
Prof. Drs. Sariyasa, M.Sc., Ph.D, Universitas Pendidikan Ganesha
Prof. Dr. Made Candiasa, M.Ikom, Universitas Pendidikan Ganesha
Dr. Drs. Putu Sariartha, M.S, Universitas Pendidikan Ganesha
Dr. Made Gunamanta, S.T., MM, Universitas Pendidikan Ganesha
Prof. Dr. Drs. I Wayan Rasna, M.Pd, Universitas Pendidikan Ganesha
Dr. Gede Artawan, M. Pd, Universitas Pendidikan Ganesha
Prof. Dr. Ni Nyoman Padmadewi, M.A, Universitas Pendidikan Ganesha
Prof. Dr. Ni Nyoman Padmadewi, M.A, Universitas Pendidikan Ganesha
Dr. I Nyoman Tika, M.Si, Universitas Pendidikan Ganesha
Dr. Kadek Yota Ernanda Aryanto, S.Kom.,MT, Universitas Pendidikan Ganesha
Dr. rer.nat I Gusti Ngurah Agung Suryaputra, ST., M.Sc, Universitas Pendidikan Ganesha
Dra. Ni Luh Putu Artini, MA., Ph.D, Universitas Pendidikan Ganesha
I Wayan Mudianta, S.Pd, M.Phil.,Ph.D, Universitas Pendidikan Ganesha
I Ketut Arthana, S.T.,M.Kom, Universitas Pendidikan Ganesha
Nyoman Laba Jayanta, Universitas Pendidikan Ganesha
Admin and IT Suport
I Gede Putu Banu Astawa, S.T., M. Ak, Universitas Pendidikan Ganesha
Ni Putu Sri Ayuni, S.Si.,M.Si, Universitas Pendidikan Ganesha
Luh Budiastiti, S.E, Universitas Pendidikan Ganesha
I Ketut Wira Udayana, S.Kom, Universitas Pendidikan Ganesha
Editor address:
Udayana Street, Singaraja, Bali, Indonesia, 81116
Telp. (0362) 22928
Website: http://ejournal.undiksha.ac.id/index.php/JIPP
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Volume 15, Nomor 3, Oktober 2018
Pembelajaran
Discourse
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran diterbitkan oleh Program Pascasarjana
Universitas Pendidikan Ganesha pada tahun 2018. Kehadiran JIPP diharapkan dapat
mengoptimalkan kinerja penelitian di bidang Pendidikan dan Pembelajaran melalui publikasi
ilmiah. Penerbitan JIPP dilaksanakan tiga kali setahun, yaitu, Maret, Juni, dan Oktober. Pada
penerbitan edisi Oktober 2018 ini, ditampilkan sembilan artikel. Sembilan artikel bertuliskan
tentang efektivitas pembelajaran di dalam kelas. Efektivitas tersebut di uji dengan menerapkan
berbagai model pembelajaran yang inovatif untuk meningkatkan hasil belajar siswa. Inovasi
yang dilakukan ini menunjukkan bahwa secara umum beberapa model inovatif yang
dikembangkan ini menunjukkan adanya peningkatan hasil belajar yang signifikan. Oleh karena
itu, publikasi ini diharapkan dapat dijadikan referensi untuk melakukan pengelolaan kelas
secara baik. Secara detail efektifitas pembelajarn dikelas masing-masing temuan diuraikan
sebagai berikut.
Pertama, I Wayan Wijania dari Universitas Pendidikan Ganesha yang berjudul
Kontribusi Kepemimpinan Pelayan Kepala Sekolah, Motivasi Kerja Dan Disiplin Kerja
Terhadap Kinerja Guru. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) Kecenderungan
kepemimpinan pelayan kepala sekolah digugus PAUD Jempiring berada dalam kategori baik.
Terdapat kontribusi yang signifikan kepemimpinan pelayan kepala sekolah dengan kinerja guru
dengan koefisien kontribusi (rx1y) sebesar 0,572, determinasi sebesar 32,70%, dan sumbangan
efektif (SE) sebesar 16,50% (2) Kecenderungan motivasi kerja guru di Gugus PAUD Jempiring
berada dalam kategori baik. Terdapat kontribusi yang signifikan antara motivasi kerja dengan
kinerja guru, dengan koefisien kontribusi (rx2y) sebesar 0,460, determinasi sebesar 21,20%.dan
sumbangan efektif (SE) sebesar 11,60% 3) Kecenderungan disiplin kerja Guru di gugus PAUD
Jempiring berada dalam kategori baik. Terdapat kontribusi yang signifikan disiplin kerja
dengan kinerja guru, dengan koefisien kontribusi (rx3y) sebesar 0,855, determinasi sebesar
73,10% dan sumbangan efektif (SE) sebesar 53,80%. 4) Secara simultan terdapat kontribusi
yang signifikan antar kepemimpinan pelayan kepala sekolah , motivasi kerja dan disiplin kerja
terhadap kinerja guru di gugus PAUD Jempiring Kecamatan Denpasar Utara, dengan koefisien
kontribusi (ry123) sebesar 0,905 dan determinasi (R2) sebesar 81,90%.
Kedua, N.L.M.T. Pratiwi dari Universitas Pendidikan Ganesha yang berjudul
Pengembangan Buku Cerita Anak Dengan Menginsersi Budaya Lokal Dalam Tema
Kegemaranku Untuk Kelas I Sekolah Dasar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Hasil
pengembangan buku cerita anak berjudul “Luh Gendis Sang Penari” dapat memuat budaya lokal
berbasis muatan pelajaran yang terkait dengan kompetensi sikap spiritual seperti (berprilaku
syukur dan toleransi dalam beribadah), sikap sosial seperti (toleransi, kerja sama dan tanggung
jawab), membaca awal seperti (membaca nyaring dan lancar dengan kalimat sederhana) dan
menulis awal seperti (menulis kata sederhana). Setelah mengimplementasikan buku cerita
tersebut dalam pembelajaran, didapatkan hasil yang menunjukkan bahwa buku cerita anak
tersebut efektif digunakan sebagai buku pendamping pada Kurikulum 2013.
Ketiga, I Wy. Ariyastana dari Universitas Pendidikan Ganesha yang berjudul Insersi
Nilai-Nilai Karakter Bangsa Pada Materi dan Proses Pembelajaran Bahasa Indonesia. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa (1) insersi nilai-nilai karakter bangsa pada materi pembelajaran
bahasa Indonesia ditemukan 5 nilai-nilai karakter bangsa; (2) sementara pada proses
pembelajaran bahasa Indonesia ditemukan 9 nilai - nilai karakter bangsa dari 18 nilai-nilai
karakter bangsa; dan (3) berdasarkan hasil wawancara, guru yang diteliti atas nama Ni Nyoman
Mendri, S.Pd berkaitan dengan kendala yang dihadapi guru pada proses pembelajaran terletak
pada karakter setiap siswa. Siswa memiliki karakter yang berbeda-beda, sehingga menyulitkan
guru dalam menanamkan nilai-nilai karakter bangsa dalam kegiatan belajar mengajar.
Keempat, I Wayan Lasmawan dari Universitas Pendidikan Ganesha yang berjudul
Integrasi Budaya Lokal Dalam Muatan Sikap Pembelajaran Anak Kelas Tinggi Pada Tema
Daerah Tempat Tinggalku. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) muatan sikap spiritual yang
muncul yaitu berperilaku syukur dan toleransi dalam beribadah. (2) Muatan sikap sosial yang
muncul yaitu jujur, disiplin, tanggung jawab, santun, peduli, dan percaya diri. Nilai budaya lokal
yang dapat digunakan untuk mengembangkan sikap spiritual dan sosial berupa: (a) permainan
barong-barongan, poh-pohan, dan megoak-goakan. (b) Mendengarkan cerita Lubdaka, I
Durma, dan Cupak Teken Gerantang. Gending rare ratu anom dan merah putih bendera
titiange. (c) Salam budaya lokal berupa Om Suastiastu dan Om Santih, Santih, Santih Om. (d)
Kewajiban bersembahyang berupa mebanten saiban dan mebanten canang. Berdasarkan temuan
tersebut dihasilkan pemetaan aktivitas budaya lokal yang dapat digunakan untuk
mengembangkan sikap spiritual dan sosial pada pembelajaran tema daerah tempat tinggalku.
Kelima, N.L.P. Tiyani dari Universitas Pendidikan Ganesha yang berjudul Potensi
Dukungan Budaya Lokal Dalam Pembelajaran Kurikulum 2013 : Kasus Muatan Sikap Pada
Tema Berbagai Pekerjaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa muatan sikap spiritual yang
muncul yaitu ketaatan beribadah, berperilaku syukur dan toleransi dalam beribadah. Muatan
sikap sosial yang muncul yaitu jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli, dan percaya diri. Potensi
budaya lokal yang mendukung muatan sikap spiritual ketaatan beribadah adalah kegiatan
sembahyang seperti mebanten saiban dan mesegeh; berperilaku syukur didukung oleh
mendengarkan satua seperti Bawang Teken Kesuna; dan toleransi dalam beribadah didukung
oleh salam budaya lokal seperti Om Swastiastu dan Om Shanti, Shanti, Shanti Om. Potensi
budaya lokal yang mendukung muatan sikap sosial jujur adalah mendengarkan satua seperti I
Lutung Teken I Kekua; disiplin didukung oleh permainan tradisional seperti magoak-goakan dan
meong-meongan; tanggung jawab didukung oleh bernyanyi gending rare seperti Putri Cening
Ayu; peduli didukung oleh mendengarkan satua seperti Bawang Teken Kesuna; dan percaya diri
didukung oleh mendengarkan satua seperti Pan Balang Tamak.
Keenam, Putu Indra Kusuma dari Universitas Pendidikan Ganesha yang berjudul
Pengaruh Model Pembelajaran Resolusi Konflik Terhadap Hasil Belajar PKn Ditinjau Dari
Sikap Sosial Siswa Kelas V SD Gugus Kolonel I Gusti Ngura Rai Denpasar Utara. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa (1) terdapat perbedaan hasil belajar PKn antara siswa yang
mengikuti model pembelajaran resolusi konflik dan kelompok siswa yang mengikuti
pembelajaran konvensional. (2) terdapat pengaruh interaksi antara model pembelajaran dengan
sikap social terhadap hasil belajar PKn. (3) pada siswa yang memiliki sikap social tinggi
terdapat perbedaan hasil belajar PKn antara kelompok siswa yang mengikuti model
pembelajaran Resolusi Konflik dan kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran
konvensional. (4) pada siswa yang memiliki sikap social rendah terdapat perbedaan hasil belajar
PKn antara kelompok siswa yang mengikuti model pembelajaran Resolusi Konflik dan
kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran konvensional.
Ketujuh, I.W. Sudiarta dari Universitas Pendidikan Ganesha yang berjudul Pengaruh
Metode Jolly Phonics Terhadap Kemampuan Membaca Dan Menulis Permulaan Bahasa Inggris
Pada Anak Kelompok B TK Mahardika Denpasar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1)
terdapat perbedaan kemampuan membaca permulaan Bahasa Inggris antara anak yang belajar
menggunakan metode Jolly Phonics dengan anak yang belajar secara konvensional pada anak
kelompok B TK Mahardika (F = 4,871 dengan p < 0,05), (2) terdapat perbedaan kemampuan
menulis permulaan Bahasa Inggris antara anak yang belajar menggunakan metode Jolly Phonics
dengan anak yang belajar secara konvensional pada anak kelompok B TK Mahardika (F =
25,780 dengan p < 0,05), (3) secara simultan terdapat perbedaan kemampuan membaca
permulaan dan menulis permulaan bahasa Inggris antara anak yang belajar menggunakan
metode Jolly Phonics dengan anak yang belajar secara konvensional pada anak kelompok B TK
Mahardika.
Kedelapan, Ni Ketut Luh Megawati dari Universitas Pendidikan Ganesha yang
berjudul Pengaruh Penerapan Pendekatan Pembelajaran Whole Language Terhadap
Keterampilan Menulis Ditinjau dari Motivasi Berprestasi di Kelas IV SD Gugus I Kuta Utara.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 1) terdapat perbedaan keterampilan menulis antara siswa
yang mengikuti pendekatan pembelajaran whole language dan siswa yang mengikuti
pendekatan pembelajaran konvensional, 2) terdapat pengaruh interaksi antara pendekatan
pembelajaran dan motivasi berprestasi terhadap keterampilan menulis, 3) pada siswa yang
memiliki motivasi berprestasi tinggi, terdapat perbedaan keterampilan menulis antara siswa
yang mengikuti pendekatan pembelajaran whole language dansiswa yang mengikuti
pendekatan pembelajaran konvensional, 4) pada siswa yang memiliki motivasi berprestasi
rendah terdapat perbedaan keterampilan menulis antara siswa yang mengikuti pendekatan
pembelajaran whole language dan siswa yang mengikuti pendekatan pembelajaran
konvensional.
Kesembilan, I Gede Dungulan dari Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 Kubu yang
berjudul Pengaruh Model Pembelajaran Siklus Belajar Sabda-Pratyaksa-Anumana (Spa)
Terhadap Pemahaman Konsep Ipa Dan Sikap Ilmiah Siswa Kelas VIII SMP Negeri 4 Kubu
Tahun Pelajaran 2010/2011. Hasil penelitian menunjukkan 1) terdapat perbedaan
pemahaman konsep IPA dan sikap ilmiah antara siswa yang mengikuti model pembelajaran
siklus belajar SPA dan siswa yang mengikuti model pengajaran langsung (harga F untuk
Pillai’s Trace, Wilks’Lambda, Hotelling’s Trace dan Roy’s largest Root =12,884; p < 0,05),
2) terdapat perbedaan pemahaman konsep IPA antara siswa yang mengikuti model
pembelajaran siklus belajar SPA dan siswa yang mengikuti model pengajaran langsung
(harga Ftest of between-subjectts effects = 9,991;(p < 0,05), dan 3) terdapat perbedaan sikap
ilmiah antara siswa yang mengikuti model pembelajaran siklus belajar SPA dan siswa yang
mengikuti model pengajaran langsung (harga Ftest of between-subjectts effects = 15,371; p
< 0,05). Hasil deskripsi statistik dan uji lanjut LSD menyatakan bahwa untuk pemahaman
konsep IPA dan sikap ilmiah model pembelajaran siklus belajar SPA lebih unggul dari pada
model pengajaran langsung (LSDhit< |∆µ|).
Demikian wacana ini dikemukakan untuk dapat digunakan sebagai bahan renungan
ilmiah bagi para pembaca yang budiman. Selamat membaca.
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Volume 15, Nomor 3, Oktober 2018
Pembelajaran
Table of Contents
I Wayan Wijania. Kontribusi Kepemimpinan Pelayan Kepala Sekolah, Motivasi Kerja dan Disiplin
Kerja terhadap Kinerja Guru ............................................................................................................. 176-184
N.L.M.T. Pratiwi. Pengembangan Buku Cerita Anak dengan Menginsersi Budaya Lokal dalam Tema
Kegemaranku untuk Kelas I Sekolah Dasar ...................................................................................... 185-196
I Wy. Ariyastana. Insersi Nilai-Nilai Karakter Bangsa pada Materi dan Proses Pembelajaran Bahasa
Indonesia ........................................................................................................................................... 197-208
I Wayan Lasmawan. Integrasi Budaya Lokal dalam Muatan Sikap Pembelajaran Anak Kelas Tinggi
pada Tema Daerah Tempat Tinggalku.. ............................................................................................ 209-219
N.L.P. Tiyani. Potensi Dukungan Budaya Lokal dalam Pembelajaran Kurikulum 2013 : Kasus Muatan
Sikap pada Tema Berbagai Pekerjaan .............................................................................................. 220-229
Putu Indra Kusuma. Pengaruh Model Pembelajaran Resolusi Konflik terhadap Hasil Belajar PKn
Ditinjau dari Sikap Sosial Siswa Kelas V SD Gugus Kolonel I Gusti Ngura Rai Denpasar Utara. .. 230-240
I.W. Sudiarta. Pengaruh Metode Jolly Phonics terhadap Kemampuan Membaca dan Menulis Permulaan
Bahasa Inggris pada Anak Kelompok B TK Mahardika Denpasar ................................................... 241-252
Ni Ketut Luh Megawati. Pengaruh Penerapan Pendekatan Pembelajaran Whole Language terhadap
Keterampilan Menulis Ditinjau dari Motivasi Berprestasi di Kelas IV SD Gugus I Kuta Utara ....... 253-263
I Gede Dungulan. Pengaruh Model Pembelajaran Siklus Belajar Sabda-Pratyaksa-Anumana (SPA)
terhadap Pemahaman Konsep IPA dan Sikap Ilmiah Siswa Kelas VIII SMP Negeri 4 Kubu Tahun
Pelajaran 2010/2011. ......................................................................................................................... 264-272
Editor address:
Udayana Street, Singaraja, Bali, Indonesia, 81116
Telp. (0362) 22928
Website: http://ejournal.undiksha.ac.id/index.php/JIPP.
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543 PPs
Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 3 Oktober 2018 _____________________________________________________________ 176
KONTRIBUSI KEPEMIMPINAN PELAYAN KEPALA SEKOLAH, MOTIVASI KERJA DAN
DISIPLIN KERJA TERHADAP KINERJA GURU
I Wayan Wijania
Universitas Pendidikan Ganesha
Singaraja, Indonesia
e-mail :[email protected],
ABSTRAK
Kinerja guru di gugus PAUD Jempiring Kecamatan Denpasar Utara menunjukan
kecenderungan rendah yangmenyebabkan rendahnya mutu pendidikan.Rendahnya knerja
tersebut diduga dipengaruhi banyak faktor, baik faktor internal maupun faktor eksternal.
Faktor internal tersebut seperti: disiplin kerja, etos kerja, motivasi kerja, minat, dan lain-
lain. Sedangkan faktor eksternal seperti: kepemimpinan kepala sekolah, budaya sekolah,
komitmen organisasi, iklim kerja, dan lain-lain. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui kontribusi kepemimpinan pelayan kepala sekolah, motivasi kerja dan
disiplin kerja terhadap kinerja guru. Penelitian ini diadakan di Gugus PAUD Jempiring
Kecamatan Denpasar Utara, menggunakan pendekatan ex-post facto dengan populasi
subyek yaitu guru PAUD sejumlah 45 orang.Teknik pengambilan sampel menggunakan
teknik sampel jenuh.Dalam penelitian ini data dikumpulkan dengan menggunakan
kuisioner. dengan menggunakan model skala Likert. Data dianalisis dengan
menggunakan regresi sederhana, regresi ganda, dan analisis korelasi parsial.Hasil
penelitian menunjukkan bahwa (1) Kecenderungan kepemimpinan pelayan kepala
sekolah digugus PAUD Jempiring berada dalam kategori baik. Terdapat kontribusi yang
signifikan kepemimpinan pelayan kepala sekolah dengan kinerja guru dengan koefisien
kontribusi (rx1y) sebesar 0,572, determinasi sebesar 32,70%, dan sumbangan efektif (SE)
sebesar 16,50% (2) Kecenderungan motivasi kerja guru di Gugus PAUD Jempiring
berada dalam kategori baik. Terdapat kontribusi yang signifikan antara motivasi kerja
dengan kinerja guru, dengan koefisien kontribusi (rx2y) sebesar 0,460, determinasi
sebesar 21,20%.dan sumbangan efektif (SE) sebesar 11,60% 3) Kecenderungan
disiplin kerja Guru di gugus PAUD Jempiring berada dalam kategori baik. Terdapat
kontribusi yang signifikan disiplin kerja dengan kinerja guru, dengan koefisien
kontribusi (rx3y) sebesar 0,855, determinasi sebesar 73,10% dan sumbangan efektif (SE)
sebesar 53,80%. 4) Secara simultan terdapat kontribusi yang signifikan antar
kepemimpinan pelayan kepala sekolah , motivasi kerja dan disiplin kerja terhadap
kinerja guru di gugus PAUD Jempiring Kecamatan Denpasar Utara, dengan koefisien
kontribusi (ry123) sebesar 0,905 dan determinasi (R2) sebesar 81,90%.
Kata-kata kunci: kepemimpinan pelayan kepala sekolah, motivasi kerja, disiplin
kerja, kinerja guru
ABSTRACT
The performance of teachers’ in Pre-school Jempiring clusters North of Denpasar
showed a low tendency that caused the low quality of education. The low level of work
is answered by many factors, both internal and external factors. Internal factors such as:
work discipline, work ethic, work motivation, interests, etcetera. With external factors
such as: principal leadership, school culture, organizational commitment, work climate,
etcetera. Therefore this study aims at knowing whether or not (1) there is a significant
contribution of principal servant leadership (X1) on teachers’ performance (Y), (2)
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543 PPs
Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 3 Oktober 2018 _____________________________________________________________ 177
there is a significant contribution of work motivation (X2) on teachers’ performance
(Y), (3) there is a significant contribution of work discipline (X3) on teachers’
performance (Y) and (4) there is a significant contribution of principal servant leadership
(X1), work motivation (X2), and work discipline on teachers’ performance (Y). This
research is an ex-post facto research with the population of subject were the teachers’ in
Pre-school Jempiring clusters North of Denpasar, which consist of 45 people. In this
Study the data were collected by using questionnaires for all variables. The
questionnaires were constructed by using Likert scale model. The data were analyzed by
using simple regression, multiple regression, and partial correlation analysis. The result
of statistical analysis shows that (1) the tendency of principal servant leadership at
Jempiring clusters Pre-school North of Denpasar is in good category. There is a
significant contribution of principal servant leadership on teachers’ performance with
the contribution coefficient (rx1y) 0.572, the determination 32.70% and effective
contribution of 16,50%. (2) The tendency of workmotivation at Jempiring clusters Pre-
school North of Denpasar is in good category. There is a significant contribution of
work motivation on teachers’ performance, with contribution coefficient (rx2y) 0,460,
determination equal to 21,20% and effective contribution of 11,60%. (3) The tendency of
work discipline at Jempiring clusters Pre-school North of Denpasar is in good category.
There is a significant contribution of work discipline on teachers’ performance with a
contribution coefficient (rx3y) of 0.855, determination of 73.10% and effective
contribution of 53,80%. (4) Simultaneously, there is a significant contribution of
principal servant leadership, work motivation and work discipline on teachers’
performance at Jempiring clusters Pre-school North of Denpasar, with contribution
coefficient (ry123) 0,905 and determination (R2) equal to 81,90%
Keywords: servant leadership of principle, work motivation, work discipline,
teachers’ performance
PENDAHULUAN
Pendidikan yang baik merupakan
kebutuhan yang utama bagi setiap
orang.Dalam UUD 45 pasal 31 disebutkan
bahwa Setiap orang berhak mendapatkan
pendidikan, pendidikan itu adalah hak asasi
bagi setiap warga negara. Masa depan bangsa
sangat ditentukan oleh kualitas pendidikan
yang didapatkan oleh warga masyarakatnya.
Berbicara mengenai pendidikan kita
tidak bisa lepas dari yang namanya profesi
guru. Terkait dengan besarnya peran seorang
guru Sathya Sai Baba (dalam Sheela Sridhar,
2014) mengatakan “Jika seorang siswa
melakukan kesalahan maka hanya sisiwa
tersebut yang akan menderita karena
kesalahannya, tetapi bila seorang guru yang
melakukan kesalahan maka ribuan sisiwa
akan tercemari”, Profesi guru adalah profesi
yang sangat penting, bahkan lebih penting
dari profesi dokter. Kalau dokter salah
mendiagnosis akan membahayakan nyawa
satu orang, namun kalau seorang guru salah
mendiagnosis dan mendidik maka 1000
nyawa atau lebih dari 10 generasi akan
terbunuh potensinya, dan untuk menebus
semua ini tidak bisa dibayar dengan uang
karena waktu/usia yang telah lewat tidak akan
pernah kembali lagi.
Namun saat ini khususnya di
Indonesia masih sangat banyak guru yang
memiliki kinerja yang sangat rendah.Susanto
(2016) mengatakan “ kinerja guru berarti hasil
kerja atau prestasi kerja guru dalam mencapai
tujuan organisasi sekolah”. Tinggi rendahnya
kinerja seorang guru dipengaruhi oleh banyak
hal. Salah satu pihak yang berperan penting
dalam meningkatkan kinerja guru adalah
kepala sekolah.Seorang kepala sekolah adalah
sosok yang semestinya bisa menjadi tauladan
bagi guru sehingga guru bisa bercermin dari
sosok kepala sekolah.
Kepala sekolah semestinya tidak
sekedar hanya memerintah bawahannya tanpa
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543 PPs
Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 3 Oktober 2018 _____________________________________________________________ 178
ada sedikitpun keterlibatan langsung dari
didrinya sendiri terhadap pekerjaan yang
diperintahkan.Hal ini sesui dengan pendapat
Padmabhushan (2010) yang menyatakan
bawa“sebelum memerintahkan suatu hal
seorang pemimpin harus terlebih dahulu
menjadi (to be), kemudian mengerjakan (to
do), melihat (to see) setelah itu baru
memerintahkan/mengucapkan (to tell)”.
Dalam hal ini model kepemimpinan pelayan
kepala sekolah sanagt penting karena model
kepemimpinan ini diharapkan mampu
melayani orang lain dari pada meminta orang
lain untuk melayani dirinya sendiri.
Sebagaimana dikatakan Spears (dalam Lantu,
2007) bahawa, karakteristik utama yang
membedakan kepemimpinan pelayan dengan
model kepemimpinan lainnya adalah
keinginan untuk melayani hadir sebelum
adanya keinginan untuk memimpin.
Selanjutnya mereka yang memiliki kualitas
kepemimpinan akan menjadi pemimpin, sebab
itu cara yang paling efektif untuk melayani.
Larry Spear, Dr. Jim Laub dan Kathleen
Petterson (dalam Lantu, 2007) berpendapat
ada beberapa karakteristik kepemimpinan
pelayan, dan dari pendapat ke tiga ali tersebut
karakteristik kepemimpinan pelayan dapat
dirangkum menjadi beberapa dimensi yaitu :
(1) melayani dengan tulus, (2) renda hati, (3)
Pesuasif, (4) membangun komunitas, (5)
memberdayakan pihak lain.
Hal lain yang juga mungkin bisa
mempengaruhi kinerja seorang guru adalah
motivasi kerja.Uno (dalam Suyadnya, 2013)
mengatakan bahwa motivasi kerja merupakan
salah satu faktor yang turut menentukan
kinerja seseorang. Dorongan/motivasi yang
muncul melalui faktor internal dan eksternal
akan membuat guru memiliki kinerja yang
bagus dalam melaksanakan tugas dan
kewajibanya. Uno (dalam Jelantik, 2015)
mengatakan secara implisit motivasi kerja
kerja guru tampak melalui dimensi: (1)
tanggung jawab dalam melakukan kerja, (2)
prestasi yang dicapainya, (3) pengembangan
diri, serta (4) kemandirian dalam bertindak.
Motivasi yang ada pada diri seseorang
merupakan kekuatan pendorong yang
mewujudkan suatu perilaku guna mencapai
tujuan kepuasan dirinya.Seringkali orang
berpendapat bahwa motivasi kerja dapat
ditimbulkan apabila mendapatkan imbalan
yang baik dan adil, namun kenyataan
meskipun sudah diberi imbalan yang baik
tetapi pekerjaannya belum maksimal. Setiap
manusia tentu mempunyai dasar alasan
mengapa seseorang bersedia melakukan jenis
kegiatan atau pekerjaan tertentu, mengapa
orang yang satu bekerja dengan giat,
sedangkan yang lain biasa saja. Semua ini ada
dasar dan alasnya yang mendorong seseorang
bekerja seperti itu, atau dengan kata lain pasti
ada motivasinya.
Selain gayakepemimpinan pelayanan
kepala sekolah dan memotivasi kerjauntuk
meningkatkan kinerja guru, juga diperlukan
disiplin kerja yang tinggi. Disiplin kerja erat
kaitannya dengan aturan.Shofiyanti (2012)
mengatakan bahwa “ Disiplin adalah suatu
bentuk tingkah laku di mana seseorang
menaati suatu peraturan dan kebiasaan-
kebiasaan sesuai dengan waktu dan
tempatnya”. Disiplin yang baik
mencerminkan besarnya rasa tanggung jawab
seseorang terhadap tugas-tugas yang diberikan
kepadanya.Novitasari (dalam Saputra, 2016)
menyatakan bahwa dimensi disiplin kerja
adalah sebagai berikut. (1) penggunaan
waktu secara efektif, (2) ketaatan terhadap
peraturan yang telah ditetapkan, (3)
tanggungjawab dalam pekerjaan dan
tugas.Disiplin harus ditegakan dalam
lingkungan sekolah, sebab tanpa disiplin kerja
yang baik, maka apa yang menjadi tujuan
sekolah akan sulit dicapai. Disiplin yang
diterapkan di sekolah akan memberikan
pengaruh terhadap perubahan kinerja guru
yang semakin baik. Disiplin kerja adalah
sebuah semangat kerja yang dilandasi atas
ketaatan dan kepatuhan pada aturan yang telah
disepakti bersama dalam suatu organisasi
ataupun sebuah lembaga sekolah.
Kenyataan di lapangan sangat berbeda
dengan idealisme aturan-aturan, teori serta
harapan dari masyarakat tentang pendidikan
yang bermutu.Kenyataannya masih banyak
guru yang tidak disiplin, tidak memiliki
motivasi kerja, kepala sekolah tidak optimal
dalam memanajemen sekolah sehingga kinerja
guru menjadi sanagat rendah yang berakibat
pada redahnya mutu pendidikan.
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543 PPs
Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 3 Oktober 2018 _____________________________________________________________ 179
Fenomena ini terjadi di gugus PAUD
Jempiring kecamatan Denpasar Utara. Di sana
ada beberapa gejala yang terjadi diantaranya
kepala sekolah menjalankan tugasnya dengan
gaya kepemimpinannya masing-masing,
berusaha bekerja untuk kemajuan lembaga
yang mereka pimpin. Namun sering kepala
sekolah merasa bahwa diri mereka berada di
posisi yang lebih tinggi dari guru dan staf.
Kepala sekolah terkadang terlalu banyak
memerintah dan menyalahkan guru tanpa ada
keterlibatan langsung dan solusi nyata yang
diberikan, sehingga terjadi kesenjangan
diantara guru dan kepala sekolah.Hal ini
membuat guru merasa tidak nyaman dan
bekerja dibawah tekanan. Kalau situasi ini
terus dibiarkan maka akan berdampak pada
rendahnya kinerja guru. Situasi kerja seperti
yang digambarkan diatas memang perlu kita
carikan jalan keluar.
Sebenarnya ada beberapa kepala
sekolah yang sudah berusaha melakukan hal
yang terbaik yang mereka mampu, namun
tetap saja guru memiliki kinerja yang
rendah.Banyak guru yang kurang disiplin baik
disiplin kehadiran, disiplin mengajar sesuai
aturan yang ditetapkan, disiplin membuat
administrasi dan lain sebagainya.Tanpa
disiplin yang tinggi maka sangat sulit bagi
guru untuk memiliki kinerja yang bagus.
Selain itu juga masih banyak guru di
gugus PAUD Jempiring Denpasar yang
memiliki motivasi kerja yang sangt
rendah.Kurangnya kepekaan dan inisiatif
dalam mengambil pekerjaan yang mesti
diselesaikan. Kebiasaan menunggu perintah
dari kepala sekolah baru bekerja dan jarang
ada guru yang mau bekerja secara total untuk
kemajuan sekolah.
Kurangnya sarana dan prasarana
penunjang yang ada di Gugus PAUD
Jempiring Denpasar Utara juga bisa
mempengaruhi rendahnya kinerja guru.
Karena sekarang kita hidup di era digital, mau
tidak mau sekolah mestinya melengkapan
sarana dan prasarana penunjang khususnya
sarana penunjang Teknologi Informasi. Kala
seandainya suatu lembaga tidak mengikuti
perkembangan teknologi informasi maka
lembaga tersebut akan sangat banyak
ketingalan. Hal ini juuga bisa menyebakna
rendahnya kinerja guru dan perkembangan
dari suatu lembaga pendidikan PAUD.
Adapun Penelitian yang sejenis yaitu
penelitian dari Ismail (2017) yang
menyatakan bahwa Kepemimpinan Kepala
Sekolah memberikan pengaruh langsung
terhadap Kinerja Mengajar Guru Sebesar 11,4
% dan secara tidak langsung berpengaruh
terhadap Kinerja Mengajar Guru sebesar 57,9
%. Selain itu, terdapat penelitian dari Gutteres
(2016) dengan hasil penelitiannya yaitu Gaya
kepemimpinan mempengaruhi kinerja guru
SMUN 02 Baucau secara positif dan
signifikan. Hasiltersebut dapat diartikan
bahwa semakin tepat gaya kepemimpinan
yang diterapkan, maka kinerja para guru akan
semakin baik. Kinerjaguru dapat ditingkatkan
ketika para guru mempunyai motivasi kerja
yang lebih baik. Dari kedua penelitian
tersebut meneliti bagaiman kinerja guru,
namun dalam penelitian ini, peneliti mencoba
meneliti bagaimana kontribusi kepemimpinan
pelayan kepala sekolah, motivasi kerja dan
disiplin kerja terhadap kinerja guru .
Untuk membuktikan secara ilmiah yang
didukung oleh data empiris tentang
kesenjangan antara harapan dan kenyataan
dalam hal ini kinerja guru, maka dipandang
perlu mengadakan penelitian kontribusi
kepemimpinan pelayan kepala sekolah,
motivasi kerja dan disiplin kerja terhadap
kinerja guru di Gugus PAUD Jempiring
kecamatan Denpasar Utara.
Berdasarkan uraian dalam latar
belakang masala di atas, maka dapat
dirumuskan masalah dalam penelitian ini
sebagai berikut:
1. Apakah terdapat kontribusi yang
signifikan kepemimpian pelayan kepala
sekolah terhadap kinerja guru di gugus
PAUD Jempiring Kecamatan Denpasar
Utara?
2. Apakah terdapat kontribusi yang
signifikan motivasi kerja terhadap kinerja
guru di gugus PAUD Jempiring
Kecamatan Denpasar Utara?
3. Apakah terdapat kontribusi yang
signifikan disiplin kerja terhadap kinerja
guru di gugus PAUD Jempiring
Kecamatan Denpasar Utara?
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543 PPs
Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 3 Oktober 2018 _____________________________________________________________ 180
4. Apakah terdapat kontribusi yang
signifikan kepemimpinan pelayan,
motivasi kerja dan disiplin kerja secara
bersama-sama terhadap kinerja guru di
gugus PAUD Jempiring Kecamatan
Denpasar Utara?
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan jenis
penelitian kuantitatif dengan jumlah sampel
sebanyak 45 orang.Yang diambil secara
sampel jenuh.Penelitian ini termasuk
penelitian ex-post pacto karena tidak
melakukan manipulasi terhadap gejala yang
diteliti dan gejalanya secara wajar telah ada
dilapangan.Data diambil menggunakan pola
instrument tertutup berupa kuesioner tentang
Kinerja guru, kepemimpinan pelayan kepala
sekolah, motivasi kerja dan disiplin kerja.
Instrumen yang dipakaidalam penelitian ini
menggunakan skalaLikert dengan 5 (lima)
gradasi,yaitu setiap pernyataan dalam
kuisioner tersedia 5 alternatif jawaban.
Adapun ketentuan dari masing-masing pola
adalah sebagai berikut:
a) Bila responden memilih alternatif
Selalu (S), maka diberikan skor 5
untuk pernyataan positif.
b) Bila responden memilih alternatif
Sering (SR), maka diberikan skor 4
untuk pernyataan positif.
c) Bila responden memilih alternatif
Kadang-kadang (KK), maka diberikan
skor 3 untuk pernyataan positif.
d) Bila responden memilih Kurang
(KR), maka diberikan skor 2 untuk
pernyataan positif.
e) Bila responden memilih alternatif
Tidak Pernah (TP), maka diberikan
skor 1 untuk pernyataan positif.
Sebelum instrumen digunakan terlebih
dahulu diuji validitasnya.Validitas konstruk
diuji oleh dua orang pakar dibidangnya.
Validasi isi instrumen diuji dengan
mengkontribusikan semua butir item dengan
total skor dengan rumus product moment,
sedangkan reliabilitas instrumen dilakukan
dengan menggunakan rumus Alpha cronbach.
Teknik analisis datanya menggunakan teknik
analisis deskriptif, analisis kontribusi dan
analisis regresi serta perhitungannya
menggunakan bantuan komputer program
SPSS 17.0.
Kegiatan analisis data terdiri atas kegiatan
pengolahan data dan analisis statistik.
Kegiatan pengolahan data meliputi: (l)
menyunting data secara manual. Penyuntingan
data dilakukan untuk menghindari adanya
data yang tidak jelas atau kesalahan dalam
pengisian instrumen sehingga tidak memenuhi
syarat untuk dianalisis, (2) mentabulasi data,
dan (3) mengolah data dalam bentuk sesuai
kebutuhan.
Untuk menguji hipotesis, terlebih dahulu
dilakukan analisis data yang telah
dikumpulkan, Dalam melakukan analisis data
untuk penelitian ini ada tiga tahapan yang
dilalui yakni:(l) tahap deskripsi data (2) tahap
pengulangan persyaratan analisis, dan (3)
tahap pengujian hipotesis.
HASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL
Berdasarkan rumusan masalah
terdapat hasil penelitian berupa data
kuantitatif dengan empat jenis data yaitu,
kepemimpinan pelayan kepala sekolah,
motivasi kerja, disiplin kerja dan kinerja
guru..
Hasil analisis data menunjukkan
secara umum rata-rata skor kepemimpinan
pelayan kepala sekolah diperoleh sebesar
162,27dengan simpangan baku (standar
deviasi) sebesar 19,34. Hasil ini menunjukkan
bahwa kecenderungan kepemimpinan pelayan
kepala sekolah dapat dikategorikan sangat
baik
Hasil analisis data menunjukkan
Secara umum rata-rata skor variabel motivasi
kerja diperoleh sebesar 125,36, dengan
simpangan baku (standar deviasi) sebesar
15,043. Hasil ini menunjukkan bahwa
kecenderungan motivasi kerja guru di PAUD
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543 PPs
Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 3 Oktober 2018 _____________________________________________________________ 181
Gugus Jempiring dapat dikategorikan sangat
baik
Hasil analisis data secara umum skor
rata-rata disiplin kerja diperoleh sebesar 143
dengan simpangan baku (standar deviasi)
sebesar 15,39. Hasil ini menunjukkan bahwa
kecenderungan disiplin kerja dapat
dikategorikan sangat baik
Hasil analisis data Secara umum skor
rata-rata variabel kinerja guru PAUD
diperoleh sebesar 196,33 dengan simpangan
baku (standar deviasi) sebesar 22,57. Hasil ini
menunjukkan bahwa kecenderungan kinerja
guru di PAUD Gugus Jempiring Kecamatan
Denpasar Utara dapat dikategorikan sangat
baik
Tabel 1. Rangkuman Statistik dari Variabel Kepemimpinan Pelayan Kepala Sekolah, MotivasiKerja
dan Disiplin Kinerja Guru di Gugus PAUD Jempiring kecamatan Denpasar Utara.
Variabel
Statistik X1 X2 X3 Y
Jumlah Sampel 45 45 45 45
Rata-rata 162,56 129 146,06 197,44
Median 168 125 147 196
Modus 152 114 130 192
Standar Deviasi 19,74 15,04 15,39 22,57
Ragam/Variance 390,03 226, 28 236.95 509.409
Skor Minimum 113 88 103 136
Skor Maksimum 190 151 165 230
Rentangan 77 63 62 94
PEMBAHASAN
Hasil penelitian yang didapatkan dipakai
untuk mejawab permasalahan atau
kesenjangan yang ditemukan.Berdasarkan
Hasil analisis statistik menemukan bahwa
terdapat kontribusi yang signifikan antara
kepemimpinan pelayan dengan kinerja guru
di GugusPAUD Jempiring Kecamatan
Denpasar Utara dengan persamaan garis
regresi Ŷ = 60,570 + 0,842.X1 dengan thitung
sebesar 3,583. Hal ini berarti bahwa
kepemimpinan pelayan memberikan
kontribusi yang signifikan terhadap kinerja
guru di Gugus PAUD Jempiring Kecamatan
Denpasar Utara.Dalam penelitian ini juga
ditemukan hubungan antara kepemimpinan
pelayan kepala sekolah dengan kinerja guru
di Gugus PAUD Jempiring Kecamatan
Denpara Utara dengan koefisien kontribusi
sebesar 0,572 dan determinasi sebesar 32,70%
atau kepemimpinan pelayan kepala sekolah
memberikan kontribusi sebesar 32,7% dan
Sumbangan Efektif (SE) = 16,50% terhadap
kinerja guru. Besarnya koefisien kontribusi
yang sebesar 0,572 ini menunjukkan pengaruh
yang kuat antara kepemimpinan pelayan
kepala sekolah terhadap kinerja guru.
Kepemimpinan pelayan kepala
sekolah adalah kepemimpinan yang melayani
bawahan dengan dilandasi energi cinta kasih
sebagai pendorong semangat dan spirit
seorang guru untuk melakukan yang terbaik.
Hal ini sesui dengan pendapat Patterson
(dalam Lantu, 2007) seorang pemimpin
pelayan yaitu seorang pemimpin pelayan
mesti memiliki cinta kasih dan moral dimana
seorang pemimpin melakukan sesuatu secara
tepat sasaran yang didasari atas cintakasi yang
tulus atau dengan kata lain seorang
pemimpinmelakukan hal yang baik dengan
alasan yang benar pada saat yang tepat. Hal
tersebut juga sejalan dengan penelitian sejenis
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543 PPs
Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 3 Oktober 2018 _____________________________________________________________ 182
yaitu penelitian dari Ismail (2017) yang
menyatakan bahwa Kepemimpinan Kepala
Sekolah memberikan pengaruh langsung
terhadap kinerja mengajar guru. Selain itu,
juga penelitian dari Gutteres (2016) dengan
hasil penelitiannya yaitu Gaya kepemimpinan
mempengaruhi kinerja guru .Hasiltersebut
dapat diartikan bahwa semakin tepat gaya
kepemimpinan yang diterapkan, maka kinerja
para guru akan semakin baik.
Hasil analisis statistik menemukan
bahwa terdapat kontribusi yang signifikan
antara motivasi kerja dengan kinerja guru di
Gugus PAUD Jempiring Kecamatan Denpara
Utaradengan persamaan garis regresi Ŷ =
86,019+ 0,889X2 dengan thitung sebesar 0.161.
Hal ini berarti bahwa motivasi kerja memiliki
kontribusi yang signifikan terhadap kinerja
guru di Gugus PAUD Jempiring Kecamatan
Denpara Utara.
Dalam penelitian ini juga ditemukan
hubungan antara motivasi kerja dengan
kinerja guru di Gugus PAUD Jempiring
Kecamatan Denpara Utara dengan koefisien
kontribusi sebesar 0,460 dan determinasi
sebesar 21,20 % atau motivasi kerja
memberikan kontribusi sebesar 21,2% dan
sumbangan efektif (SE) = 11,60% terhadap
kinerja guru. Besarnya koefisien kontribusi
yang sebesar 0,460 ini menunjukan hubungan
yang kuat antara motivasi kerja dengan
kinerja guru. Menurut McClelland (dalam
Mangkunegara 2011) mengatakan bahwa
pegawai akan mampu mencapai kinerja
maksimal jika ia memiliki motivasi kerja yang
tinggi.
Hasil analisis statistik menemukan
bahwa terdapat kontribusi yang signifikan
antara disiplin kerja dengan kinerja guru
dengan persamaan garisY= 1,912 + 1,339 X 3
dengan t hitung sebesar 10,125 Hal ini berarti
bahwa disiplin kerja memberikan kontribusi
yang signifikan terhadap kinerja guru di
Gugus PAUD Jempiring Kecamatan Denpasar
Utara. Dalam penelitian ini juga ditemukan
hubungan antara disiplin kerja dengan kinerja
guru di Gugus PAUD Jempiring Kecamatan
Denpasar Utara dengan koefisien kontribusi
sebesar 0,855 dan determinasi sebesar 73,10%
dan sumbangan efektif (SE) = 53,90%.
Besarnya koefisien kontribusi yang sebesar
0,855 ini menunjukan kontribusi yang sangat
kuat antara disiplin kerja terhadap kinerja
guru di Gugus PAUD Jempiring Kecamatan
Denpasar Utara. Hasil analisis juga
menunjukan bahwa disiplin kerja memberi
kontribusi yang signifikan terhadap kinerja
guru di Gugus PAUD Jempiring Kecamatan
Denpasar Utara.
Temuan emperis ini didukung oleh
pendapat para ahli seperti pendapat
Susanto,(2016) “ Pembinaan disiplin kerja
merupakan upaya yang dilakukan oleh
seorang pimpinan kepada bawahannya untuk
menumbuhkan, memajukan sikap dan
kemampuannya agar kualitas pekerjaannya
semakin meningkat sehingga tujuan
organisasinya pun akan meningkat” .
Hasil analisis statistik menemukan
bahwa terdapat kontribusi yang signifikan
antara kepemimpinan pelayan kepala sekolah,
motivasi kerja dan disiplin kerja dengan
kinerja guru di Gugus PAUD Jempiring
Kecamatan Denpasar Utara dengan persamaan
garis regresi Ŷ=-48,245 + 0,302.X1+ 0,014.
X2 + 0,743. X3 dengan Fhitung sebesar 60,063.
Hal ini berarti bahwa kepemimpinan pelayan
kepala sekolah, motivasi kerja dan disiplin
kerja secara bersama-samamemiliki kontribusi
yang signifikan terhadap kinerja guru di
Gugus PAUD Jempiring Kecamatan Denpasar
Utara.Dalam penelitian ini juga ditemukan
hubungan antara kepemimpinan pelayan
kepala sekolah, motivasi kerja dan disiplin
kerja dengan kinerja gurudi Gugus PAUD
Jempiring Kecamatan Denpasar Utara dengan
koefisien kontribusi sebesar 0,905 dan
determinasi sebesar 81,9% atau
kepemimpinan pelayan kepala sekolah,
motivasi kerja dan disiplin kerja memberikan
kontribusi sebesar 81,90% terhadap kinerja
guru. Besarnya koefisien kontribusi yang
sebesar 0,905 ini menunjukan hubungan yang
sangat kuat antara kepemimpinan pelayan
kepala sekolah, motivasi kerja dan disiplin
kerja terhadap kinerja guru. Hasil penelitian
ini sejalan dengan pendapat menurut
McClelland (dalam Mangkunegara 2011)
mengatakan bahwa pegawai akan mampu
mencapai kinerja maksimal jika ia memiliki
motivasi kerja yang tinggi.
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543 PPs
Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 3 Oktober 2018 _____________________________________________________________ 183
PENUTUP
Berdasarkan hasil analisis data,
observasi, dan wawancara pada penelitian ini
dapat disimpulkan bahwa.(1) Terdapat
kontribusi yang signifikan antara
kepemimpinan pelayan dan kinerja guru di
Gugus PAUD Jempiring Kecamatan Denpasar
Utara (2) Terdapat kontribusi yang signifikan
antara motivasi kerja dan kinerja guru di
Gugus PAUD Jempiring Kecamatan Denpasar
Utara (3) Terdapat kontribusi yang signifikan
antara disiplin kerja dan kinerja guru di
Gugus PAUD Jempiring Kecamatan Denpasar
Utara (4) Terdapat kontribusi yang signifikan
kepemimpinan pelayan kepala sekolah,
motivasi kerja dan disiplin kerja bersama-
sama dengan kinerja guru di Gugus PAUD
Jempiring Kecamatan Denpasar Utara Dari kontribusi masing-masing variabel
tersebut berarti bahwa masing-masing
variabel saling menguatkan dalam
meningkatkan kinerja guru. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa semakin baik
kepemimpinan pelayan kepala sekolah,
semakin tinggi motivasi kerja dan semakin
bagus disiplin kerja, maka kinerja guru akan
semakin meningkat
DAFTAR RUJUKAN
Agung, Anak Agung Gede. 2016. Statistika
Dasar untuk Pendidikan.
Yogyakarta: Deepublish
Agustiningrum, Adri et al. 2012 “Gaya
Kepemimpinan dan Motivasi Kerja
Terhadap Kinerja
Pegawai”https://www.scribd.com/doc/
185133021/Jurnal-Gaya-
Kepemimpinan- dan-Motivasi-Kerja-
Terhadap-Kinerja-Pegawai.(dinduh
09 Pebruari 2017)
Arifah, Fita Nur. 2016. Menjadi Guru
Teladan, Kreatif, Inspiratif,
Motivatif &Profesional. Yogyakarta:
Araska
Bagus, Denny. 2009. “Jurnal Manajemen, Bahan
Kuliah Manajemen”.http:// jurnal-sdm.
blogspot.co.id/2009/07 /teori-
kepemimpinan-dari-
maxwell.(diunduh tanggal 12
Januari 2017)
Duha, Timotius. 2014. Perilaku Organisasi.
Yogyakarta : Deepublish
Guterres ,Luis Aparicio.2016.”Pengaruh Gaya
Kepemimpinan dan Motivasi Kerja
Terhadap Kinerja Guru”. Dalam E-
Jurnal Ekonomi dan Bisnis
Universitas Udayana 5.3(2016) :429-
454 ISSN : 2337-3067. Universitas
Udayana
Ismail, Taufik. 2017. “Kepemimpinan,
Kompensasi, Motivasi Kerja, dan
Kinerja Guru SD Negeri “. Dalam
Jurnal Administrasi Pendidikan
Vol.XXIV No.1 April 2017. Koperasi
KGKP GURUMINDA Cimahi Utara
Jelantik, Ketut A.A. 2015. Menjadi Kepala
Sekolah yang
Profesional.Yogyakarta :
Deepublish
Lantu, Donald et.al. 2007. Servant
Leadership. Yogyakarta: Gradien
Book
Mangkunegara, Arnawa Prabu. 2011.
Manajemen Sumberdaya Manusia
Perusahaan. Bandung : Remaja
Rosdakarya Offset
Mulianto, Sindu dkk. 2006. Panduan Lengkap
Supervisi Diperkaya Perspektif
Syariah Menuju Supervise Yang
Profesional, Beretos Kerja Tinggi
dan Amanah. Jakarta: PT Elex
Media komputindo
Nurfitriana, Wirda. 2015. “Penelitian Ex-Post
Facto Bidang Pendidikan”
http://wirdanurfitrian.blogspot.co.id/
2015/05/penelitian-ex-post-facto-
bidang.html
Padmabhusan. 2010. Sai Baba’s Mahavakya
onLeadhership Book for Youth,
Parents,and Teachers. Prashanti
Nilayam-515 134 Anantapur
Distric, Andrapradesh, India: Sri
Sathya Sai Sadhana Trust,
Publications Devision
Ranoh, Ayub. 2011. Kepemimpinan
Karismatis. Jakarta: PT BPK
Gunung Mulia
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543 PPs
Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 3 Oktober 2018 _____________________________________________________________ 184
Ratmini, Luh Komang. 2011.“Kontribusi
Motivasi Kerja, Etos Kerja, Dan
Pengalaman Mengajar Terhadap
Kinerja Guru Bahasa Inggris Pada
Sekolah Menengah Pertama (SMP)
di Kecamatan
Karangasem”.Terdapat pada http:
//pasca.undiksha.ac.id/e-journal
/index.php/jurnal_ap/article/view/14
2
Ridwansyah, Ardhi. 2012. Leadership 3.0
Seni Kepemimpinan Horisontal
Untuk Semua Orang. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama
Roof, Jonathan. 2013. Jalan Setapak Menuju
Tuhan. Jakarta : Yayasan Sri Sathya
Sai Baba Indonesia Devisi
Penerbitan dan Publikasi
Roscahyo, Agung. 2013. “Jurnal Ilmu &
Riset Manajemen Vol. 2 No. 12
(2013)” Sekolah Tinggi Ilmu
Ekonomi Indonesia (STIESIA)
Surabaya.
https://ejournal.stiesia.ac.id/jirm/arti
cle/viewFile/410/401
Diunduh tanggal 9 Pebruari 2017
Setiawan, Rony, dkk. 2015, Pengaruh
Kepemimpinan Pelayan terhadap
Kinerja Pelayanan Publik Pegawai
Negeri Sipil pada Pemerintah Kota
Bekasi. Tersedia pada http:
//mpsi.umm.ac.id /files/ file/ 323-
330%20 Rony%20S.pdf
Sofiyanti, Sri. 2012. Hidup Tertib. Jakarta :
PT Balai Pustaka (Persero)
Sridhar, Sheela. 2014. Good Teachers +
Good Sudents = Good Nation.
Nigeria: Central Coordinator Sri
Sathya Sai Organization, Africa,
Region 93 Chairman, The African
Institute of Sathya Sai Education.
Sugiyono. 2015. Metode Penelitian
Kuantitatif Kualitatif dan R&D.
Bandung: Alfabeta
Sugono, Dendy et.al. 2008. Kamus Bahasa
Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa
Departemen Pendidikan Nasional
Sulistyo, Joko. 2012. 6 Hari Jago SPSS 17.
Yogyakarta: Cakrawala
Susanto, Ahmand. 2016. Konsep, Strategi dan
Implementasi Manajemen
Peningkatan Kinerja Guru. Jakarta:
Prenadamadia Group
Suwuh, Meisy . 2015. “The Influence Of
Leadership Style, Motivation, and
Work Discipline on Employee
Performance at Bank Sulut Kcp
Likupang”Jurnal EMBA 611 Vol.3
No.4 Desember 2015, Hal. 611-619
Sam Ratulangi University
Manado.https://media.neliti.com/me
dia/ publications/2857-EN-the-
influence-of-leadership-style-
motivation-and-work-discipline-on-
employee-per.pdf (diakses 23 Maret
2107)
Suyadnya, I Gusti Pt. Ngurah. 2013. Korelasi
Kepemimpinan Situasional Kepala
Sekolah, Motivasi Kerja dan Iklim
Kerja Terhadap Kinerja Guru pada
Guru SMA Negeri 1 Tampaksiring.
Tesis (tidak diterbitkan). Pasca
Sarjana Program Studi Administrasi
Pendidikan, Universitas Pendidikan
Ganesha Singaraja.
Thaief, Ilham et.al. 2015. “Effect of Training,
Compensation and Work Discipline
against Employee Job Performance
(Studies in the Office of PT. PLN
(Persero) Service Area and Network
Malang)” Review of European
Studies; Vol. 7, No.11
URL:http://dx.doi.org/10.5539/resv
7n11p23( diakses 10 Maret 2017)
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543 PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 3 Oktober 2018 _______________________________________________________________ 185
PENGEMBANGAN BUKU CERITA ANAK DENGAN MENGINSERSI BUDAYA LOKAL DALAM TEMA KEGEMARANKU
UNTUK KELAS I SEKOLAH DASAR
N.L.M.T. Pratiwi
Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja, Indonesia
email: [email protected]
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan buku cerita berdasarkan muatan sikap dan literasi dini pada tema Kegemaranku serta mengetahui efektivitasnya dalam pembelajaran. Pengembangan buku cerita anak dilakukan dengan menginsersi budaya lokal. Jenis penelitian ini adalah penelitian dan pengembangan (Research and Development) dengan menggunakan Model ADDIE (Analysis, Design, Development, Implementation, Evaluation). Hasil pengembangan buku cerita anak berjudul “Luh Gendis Sang Penari” dapat memuat budaya lokal berbasis muatan pelajaran yang terkait dengan kompetensi sikap spiritual seperti (berprilaku syukur dan toleransi dalam beribadah), sikap sosial seperti (toleransi, kerja sama dan tanggung jawab), membaca awal seperti (membaca nyaring dan lancar dengan kalimat sederhana) dan menulis awal seperti (menulis kata sederhana). Setelah mengimplementasikan buku cerita tersebut dalam pembelajaran, didapatkan hasil yang menunjukkan bahwa buku cerita anak tersebut efektif digunakan sebagai buku pendamping pada Kurikulum 2013.
Kata kunci: literasi dini, budaya lokal, buku cerita anak, sikap
ABSTRACT
This research was purposed to develop storybooks based on the content of attitude and early literacy on the theme of My Passion, and to know its effectiveness in learning. The developing of children storybook was done by inserting the local culture. The type of this research is Research and Development by using ADDIE Model (Analysis, Design, Development, Implementation, and Evaluation). The result of the developing of children storybook titled “Luh Gendis Sang Penari” can contain local culture based on the content of the lesson related to the competence of spiritual attitudes (behave in gratitude and tolerance in worship), social attitudes (tolerance, collaboration and responsibility),early reading(reading aloud and fluently with simple sentences), and early writing (writing a simple word). After implementing the storybook in the learning, the result obtained indicating that the children storybook is effective to use as a companion book in the 2013 curriculum.
Keywords: earlyliteracy, local culture, children’s story books, attitude
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543 PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 3 Oktober 2018 _______________________________________________________________ 186
PENDAHULUAN
Pendidikan adalah proses membantu anak berkembang secara optimal dengan potensi dan sistem nilai yang diyakininya serta serasi dengan persyaratan dan tuntutan masyarakat (Dantes,2014).Dalam menghadapi perkembangan ipteks, tantangan masa depan, serta untuk mewujudkan tercapainya tujuan pendidikan nasional, seperti yang dirumuskan dalam pasal 3 UU No.20/2003 yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab, pemerintah melalui Kemdikbud, mengembangkan Kurikulum 2013 secara nasional.
Kurikulum 2013 merupakan rangkaian penyempurnaan terhadap kurikulum yang telah dirintis tahun 2004 yang berbasis kompetensi lalu diteruskan dengan kurikulum 2006 (Kurniasih, 2014).
Tujuan penggunaan kurikulum 2013 adalah untuk membentuk peserta didik yang memiliki kemampuan hidup sebagai pribadi dan warga Negara yang beriman, produktif, kreatif, inovatif, dan afektif serta mampu berkontribusi pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara dan peradaban dunia. Oleh karena itu, Kurikulum 2013 saat ini dibuat seiring dengan kemerosotan karakter bangsa Indonesia pada akhir-akhir ini. Selain itu, penyebab perlunya mengembangkan kurikulum 2013 adalah beberapa hasil dari riset internasional yang dilakukan oleh Global Institute dan Programme for International Student Assessment (PISA) merujuk pada suatu simpulan bahwa prestasi peserta didik Indonesia tertinggal dan terbelakang (Mulyasa, 2013). Oleh kerena itu, terbitnya Kurikulum 2013 untuk semua satuan pendidikan dasar dan menengah, merupakan salah satu langkah sentral dan strategis dalam kerangka penguatan karakter menuju bangsa Indonesia yang madani. Kurikulum 2013
mengedepankan sikap yaitu sikap sosial dan sikap spiritual. Sikap spiritual dipandang sebagai perwujudan dari bentuk interaksi vertikal dengan Tuhan Yang Maha Esa. Sementara itu sikap sosial adalah kesadaran individu yang menentukan perubahan yang nyata, yang berulang-ulang terhadap objek sosial.
Selain pembelajaran sikap sebagai proses untuk membantu peserta didik menjadi lebih baik, pembelajaran literasi juga tidak kalah pentingnya ditekankan kepada peserta didik. Hal ini disebabkan oleh kemampuan literasi atau membaca dan menulis anak di Indonesia masih tergolong rendah. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian PIRLS (Progress In International Reading Literacy Study) tahun 2006 yang menunjukkan bahwa rata – rata kemampuan memahami bacaan siswa SD dan Mi di Indonesia memperoleh skor 405 yang masih di bawah skor rata – rata 500 dan menduduki peringkat 41 dari 45 negara yang diteliti ( I. Mullis, Martin, Kennedy, & Fo, 2007). Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan literasi yang dilakukan di sekolah belum berhasil seperti yang diharapkan. Oleh karena itu, literasi dini hal yang penting untuk dikembangkan di sekolah dasar untuk membentuk perilaku dan kecakapan hidup yang diharapkan di dalam bermasyarakat.Secara sederhana, literasi dapat diartikan sebagai sebuah kemampuan membaca dan menulis. Sulhan (2006:91) menyatakan bahwa “kemampuan literasi (mendengar, berbicara, membaca, dan menulis) merupakan kemampuan dasar yang perlu dikuasai anak dalam meraih cita-citanya”. Penelitian menunjukkan dengan jelas bahwa kemampuan literasi yang baik membantu anak untuk lebih mudah belajar membaca dan meningkatkan tingkat kesuksesan anak di sekolah (Senechal & LeFevre, 2002). Kesulitan belajar maupun kesulitan dalam menerima informasi akan dialami oleh anak jika kemampuan dasar tersebut gagal dikuasainya. Oleh karena itu, literasi dini merupakan hal yang penting yang harus dikuasai oleh siswa di kelas rendah karena dalam cakupan keterampilan berbahasa Indonesia penguasaan literasi
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543 PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 3 Oktober 2018 _______________________________________________________________ 187
dini menyiapkan siswa agar mampu dan terampil menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar serta sebagai dasar untuk mengembangkan keterampilan berbahasa siswa di kelas selanjutnya. Sesuai dengan tujuan kurikulum 2013 yang bermuara pada pembentukan karakter maka kemampuan literasi dini sangat diperlukan untuk menunjang pembentukan karakter tersebut.
Karakteristik anak SD diantaranya adalah berpikir naratif, dan memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Salah satu kegiatan yang mereka senangi adalah mendengarkan berbagai cerita atau dongeng. Menurut Taro dalam Guna (2014) “dunia anak adalah dunia yang seharunya diisi dengan aktivitas bermain, mendengar cerita, dan juga bernyanyi”. Mendengarkan dongeng sangat diminati oleh anak-anak yang berimbas secara langsung pada diri sendiri.
Sehubungan dengan hal tersebut, penelitian yang dilakukan oleh Marhaeni, dkk (2006) menunjukkan bahwa buku pelajaran Kurikulum 2013 khususnya untuk kelas awal dalam pengemasannya masih lebih banyak berorientasi ekspositori. Sedangkan menurut Oktariyanti (2016) anak-anak usia dini memiliki proses berpikir yang lebih naratif bukan ekspositoris. Tentu saja pembelajaran yang bersifat ekspositoris ini tidak sesuai dengan karakter anak didik yang belum bisa memahami hal-hal yang abstrak. Penggunaan buku yang bersifat ekspositoris ini bukanlah suatu yang buruk karena siswa pun akan mendapatkan banyak pengetahuan dan pengalaman dari belajar dengan menggunakan buku ini. Namun, mengingat karakter peserta didik yang sangat tertarik dengan pembelajaran bersifat naratif, sangatlah logis apabila buku ajar yang telah disediakan didampingi juga dengan buku cerita bersifat naratif yang sejalan dengan tema-tema yang harus diajarakan dalam penerapan Kurikulum 2013.Selain itu cerita yang sesuai dengan Kurikulum 2013 dengan muatan materi pelajaran khususnya di kelas 1 juga sulit dicari. Oleh karena itu, perlu adanya penelitian mengenai muatan sikap dan
literasi yang bisa dimasukkan ke dalam cerita anak, yang nantinya bisa digunakan untuk membelajarkan anak tentang sikap dan kemampuan membaca menulis yang sesuai dengan Kurikulum 2013 khusunya di kelas 1 (Oktariyanti, 2016). Muatan sikap dan literasi yang dimasukkan juga haruslah yang terdapat muatan budaya lokal. Vygotsky menekankan pentingnya memanfaatkan lingkungan dalam pembelajaran. Menurut Taylor (1993) Orang lain merupakan bagian dari lingkungan.Pemerolehan pengetahuan siswa bermula dari lingkup sosial, antar orang, dan kemudian pada lingkup individu sebagai peristiwa internalisasi (Taylor, 1993). Vygotsky menekankan pada pentingnya hubungan antara individu dan lingkungan sosial dalam pembentukan pengetahuan yang menurut beliau, bahwa interaksi sosial yaitu interaksi individu tersebut dengan orang lain merupakan faktor terpenting yang dapat memicu perkembangan kognitif seseorang. Konstruktivisme menurut pandangan Vygotsky menekankan pada pengaruh budaya.
Berdasarkan asumsi itu bahwa penting adanya bahan buku pelajaran bersifat naratif dengan memasukkan unsur budaya lokal di dalamnya. Penelitian Marhaeni,dkk (2006) juga telah mengajukan buku cerita anak yang dapat menjadi buku pendamping tersebut dan telah menghasilkan prototipe yang akan mendampingi pelajaran.Prototipe tersebut harus dikembangkan menjadi sebuah buku cerita yang menarik untuk dapat dinimati siswa. Alasan mendasar pemilihan cerita anak sebagai pendamping buku pelajaran tersebut, berakar pada karakteristik anak usia SD kelas awal, yang bersifat operational konkrit, anak suka cerita, dan bepikir naratif. Anak-anak belum mampu berpikir secara abstrak untuk memahami konten mata pelajaran, mereka belajar melalui pendidikan yang konkrit. Sehingga, pembelajaran diharapkan berlangsung melalui cerita-cerita yang mudah dipahami oleh siswa.
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543 PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 3 Oktober 2018 _______________________________________________________________ 188
Melalui cerita atau dongeng yang baik, sesungguhnya anak tidak hanya memperoleh kesenangan atau hiburan saja, akan tetapi mendapatkan pendidikan yang jauh lebih luas dan juga dapat menyentuh berbagai aspek pembentukan sikap anak didik. Murtiningsih (2001) mengatakan bahwa kegiatan bercerita dapat mengembangkan kreativitas siswa, melatih siswa untuk berpikir kritis, kreatif dan bertanggung jawab, serta sikap menghargai.Cerita akan lebih mereka ingat daripada hafalan mata pelajaran tertentu (Mukhlason, 2015: 86). Cerita sangat efektif digunakan untuk meningkatkan kecerdasan moral anak (Ahyani, 2010). Penelitiannya membuktikan bahwa siswa yang diajar dengan teknik bercerita memiliki kecerdasan moral yang lebih tinggi dibandingkan anak yang tidak diajar dengan bercerita. Pengembangan karakter di dalam cerita yaitu pengembangan tokoh (characters) dan penokohan (characterization) mengkonstruk pemahaman dan meningkatkan kecerdasan moral dan emosional siswa sehingga lebih jujur, lebih peka, lebih disiplin dan bertanggung jawab. Proses pertumbuhan karakter ini bergantung pada proses pemahaman dan pembelajaran di masing-masing individu dan juga bergantung pada karakter peserta didik apakah mampu dan mau memahami karakter dan meningkatkan kualitas karakternya sendiri. Dari pembelajaran berbasis cerita ini, literasi dapat ditingkatkan dan karakter juga tertanam kuat sejak dini serta melalui pembelajaran berbasis cerita ini, pembelajaran dalam tema-tema itu akan lebih cepat diserap oleh anak. Jadi, agar hasil penelitian Marhaeni dkk (2006) berhasil, maka pengembangan buku cerita anak berdasarkan prototipe yang telah disusun harus direalisasikan. Sehingga, perlu adanya tindak lanjut berupa pembuatan buku cerita anak yang mencakup keseluruhan materi masing-masing tema pada anak-anak di kelas usia dini. Buku cerita anak yang telah jadi, nantinya mendampingi buku pelajaran Kurikulum 2013 yang telah ada
sebelumnya. Otomatis hal ini akan menuntut guru untuk mampu bercerita dengan baik saat proses pembelajaran berlangsung.
Mengacu pada permasalahan yang telah dikemukakan sebelumnya, tujuan penelitian ini adalah untuk mengembangkan buku cerita berdasarkan muatan sikap dan literasi dini dengan memasukkan budaya lokal pada tema Kegemaranku serta mengetahui efektivitasnya dalam pembelajaran. METODE
Pengembangan buku cerita ini mengadaptasi design prototipe teoritik buku cerita yang dikembangkan oleh Oktariyanti (2016) sehingga pengembangan buku cerita dalam penelitian ini melalui tahapan Development, Implementation, Evaluation).
Tahap 1 Development adalah tahap pengembangan cerita berdasarkan analisis dan desain yang telah dilakukan dalam penelitian sebelumnya.Pada tahap 2 Implementation, implementasi yang digunakan adalah implementasi terbatas. Setelah buku cerita “Luh Gendis Sang Penari” mengalami penyempurnaan atas masukan dari 2 ahli dan 2 guru, maka buku cerita tersebut dapat dicobakan sebagai buku pendamping buku pelajaran Kurikulum 2013 di kelas I. Setelah mengembangkan dan mengimplementasikan buku cerita tersebut, selanjutnya dilakukan tahap Evaluation. Tahap 3 Evaluation dilakukan untuk mengetahui efektivitas buku cerita yang telah dihasilkan untuk digunakan dalam proses pembelajaran mendampingi buku pelajaran Kurikulum 2013 dengan menggunakan rumus besaran efektivitas sebagai berikut.
Keterangan; M= Rata-rata sampel; Ʃx= Jumlah nilai; N= Banyaknya subjek yang dilibatkan / individu yang menjadi sampel.
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543 PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 3 Oktober 2018 _______________________________________________________________ 189
Keterangan; = Rata-rata populasi yang ditetapkan / mengacu pada KKM minimal; SMI = Standar Maksimal Ideal; N = Banyaknya subjek yang dilibatkan / individu yang menjadi sampel.
√
Keterangan; t = Koefisien t-test; M = Rata-rata sampel; = Rata-rata populasi yang ditetapkan / mengacu pada KKM minimal; Ʃx2 = Jumlah skor kuadrat; (Ʃx)2= Kuadrat dari jumlah jumlah skor; N=
Banyaknya subjek yang dilibatkan / individu yang menjadi sampel.
√
Keterangan; ES= Kemurnian efektivitas, t= Koefisien t-test; N= Banyaknya subjek yang dilibatkan / individu yang menjadi sampel. Setelah dilakukan perhitungan, kemudian dikategorikan berdasarkan tabel efektivitas sebagai berikut.
Tabel 01. Efek Size (ES)
Efek Size (ES) Keterangan
ES < 0,2 Kurang Efektif
Efektif
Sangat efektif
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini berhasil dilakukan dengan melalui tahapan Development, Implementation,dan Evaluation. Hasil penelitian pada tahapan Development yaitu
telah dikembangkan sebuah cerita anak berdasarkan pada aspek kajian sikap spiritual, sikap sosial, membaca awal dan menulis awal. Adapun tahap pengembangannya disajikan pada tabel berikut.
Tabel 02.Tahap Pengembangan Buku Cerita Berdasarkan Aspek Kajian Sikap dan Literasi Dini
No
.
Aspek
Kajian
Temuan
Muatan
Pembelajaran
Budaya Lokal yang Mendukung Halaman pada
Buku Cerita
1. Nilai –
nilai
sikap
spiritual
Berprilaku
Syukur
Kewajiban bersembahyang /
mebanten seperti : Yadnya sesa
/ mebanten saiban, Mebanten
canang, Sembahyang purnama
tilem.
3,16, 22
2. Nilai –
nilai
sikap
Toleransi Mengucapkan salam budaya
lokal seperti : Om swastyastu,
Om santi, santi, santi om,
4
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543 PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 3 Oktober 2018 _______________________________________________________________ 190
sosial Selamat pagi, Selamat siang.
Kerja sama Saling membantu dalam
aktivitas bermain seperti :
Metajogan, megangsingan,
megala – gala, meong – meong,
lelipi ngalih ikuh, engkeb –
engkeban, gobak sodor,
engklek, polo – poloan, curik –
curik, mecingklak.
10,12
Tanggung
jawab
Patuh pada aturan dan hukum
dalam aktivitas bermain seperti :
Metajogan, megangsingan,
megala – gala, meong – meong,
lelipi ngalih ikuh, engkeb –
engkeban, gobak sodor,
engklek, polo – poloan, curik –
curik, mecingklak.
8, 9
3. Membac
a awal
Membaca
Nyaring
- 1– 23
4. Menulis
awal
Menulis kata
sederhana
-
2
Cerita anak yang telah dikembangkan berjudul “Luh Gendis Sang Penari”. Tokoh dalam cerita tersebut yaitu Luh Gendis, Dek Rai, Mang Ayu dan Bu Dewi. Cerita ini menceritakan tentang seorang gadis yang bernama Luh Gendis yang memiliki dua orang teman yang bernama Dek Rai dan Mang Ayu. Mereka memiliki kegemaran yang sama yaitu gemar menari tarian Bali. Mereka mengikuti latihan menari disebuah sanggar tari. Guru tari mereka bernama Bu Dewi. Berkat kesabaran gurunya dalam melatih menari dan berkat ketekunan Luh Gendis dan dua orang temannya dalam latihan menari, akhirnya mereka dinobatkan menjadi sang juara dalam perlombaan menari. Selain itu, didalam buku cerita tersebut dilengkapi
dengan catatan guru dan orang tua siswa yang nantinya berguna dalam menggunakan buku cerita tersebut. Pada tahap Implementation, buku cerita yang dihasilkan tersebut kemudian diujicobakan sebagai buku pendamping buku pelajaran Kurikulum 2013 di kelas I SD. Buku cerita yang dihasilkan digunakan sebanyak 6 kali dalam 1 minggu. Dalam satu minggu terdapat 6 pembelajaran yang menggunakan buku cerita anak tersebut. Agar mempermudah guru menggunakan buku cerita dalam proses pembelajaran, maka dibuatkan sebuah skenario pembelajaran. Adapun skenario pembelajaran dengan menggunakan buku cerita sebagai pendamping buku kurikulum 2013 yaitu sebagai berikut.
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543 PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 3 Oktober 2018 _______________________________________________________________ 191
Tabel 03: Skenario Penggunaan Buku Cerita di Kelas I SDTema Kegemaranku
No Kegiatan Siswa di Buku Siswa Kegiatan Guru Saat Menggunakan Buku Cerita
1. Membuka Tema Buku Cerita dibacakan secara keseluruhan
2. Pembelajaran 1
Menyanyikan lagu Andaikan Aku Punya Sayap.
Selain menyanyikan lagu “Aku Punya Sayap”, guru mengajak siswa untuk menyanyikan lagu “Meong-Meong” yang ada pada (hal.10)
Mendiskusikan dan memperagakan gerakan cepat dan gerakan lambat.
Guru membacakan buku cerita (hal.6-7). Halaman tersebut memperlihatkan Luh Gendis dan teman – temannya sedang latihan menari. Setelah membacakan buku cerita pada halaman tersebut guru bisa mengajak siswa mendiskusikan gerakan cepat dan lambat pada tarian.
Mengenal hal – hal yang harus dilakukan dengan adik di rumah.
Guru membacakan buku cerita (hal.8-10). Halaman tersebut memperlihatkan kegiatan yang dapat dilakukan Luh Gendis bersama teman – temannya di sanggar tari.
3. Pembelajaran 2
Memahami dan memperagakan gerakan meliukkan tubuh.
Guru membacakan buku cerita (hal.13-15). Halaman tersebut memperlihatkan kegiatan latihan menari yang dilakukan oleh Luh Gendis dan teman – temannya.
Membaca puisi tentang persahabatan.
-
4. Pembelajaran 3
Mengenal dan menyanyikan lagu Ayo Makan Bersama
Guru mengajak siswa untuk menyanyikan lagu “Meong – Meong” dengan gembira.
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543 PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 3 Oktober 2018 _______________________________________________________________ 192
No Kegiatan Siswa di Buku Siswa Kegiatan Guru Saat Menggunakan Buku Cerita
Menunjukkan hal – hal baik yang harus dilakukan terhadap adik.
Guru membacakan buku cerita (hal.2-4). Halaman tersebut memperlihatkan hal – hal yang baik yang dilakukan oleh gendis seperti bertanggung jawab dalam menyiapkan perlengkapan menarinya sebelum latihan, berdoa sebelum berangkat latihan menari, berpamitan kepada kedua orang tuanya sebelum berangkat menari.
Belajar pengurangan dengan menghitung mundur.
-
5.
Pembelajaran 4
Mempraktikkan rangkaian gerakan meliukkan tubuh.
Guru membacakan buku cerita (hal.16-17). Halaman tersebut memperlihatkan Luh Gendis dan kedua orang temannya sedang lomba menari. Pada halaman tersebut guru dapat mengajak siswa untuk mempraktikkan gerakan meliukkan tubuh.
Bernyanyi dan menari lagu Kepala Pundak Lutut Kaki dengan gerakan lambat dan cepat.
Guru mengajak siswa untuk menyanyikan lagu “Meong – Meong” dengan gembira.
Mengenal dan menyanyikan lagu Terima Kasihku.
-
6. Pembelajaran 5
Mengenal dan menyanyikan lagu bunda piara.
Guru membacakan cerita (hal. 9-10) dan guru mengajak siswa untuk menyanyikan lagu “Meong – Meong”dengan gembira.
Melakukan operasi hitung bilangan.
-
7. Pembelajaran 6
Mengenal dan menyanyikan lagu Ruri Abangku.
Guru dapat membacakan cerita (hal.9-10) dan guru mengajak siswa untuk menyanyikan lagu “Meong – Meong”dengan gembira.
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543 PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 3 Oktober 2018 _______________________________________________________________ 193
No Kegiatan Siswa di Buku Siswa Kegiatan Guru Saat Menggunakan Buku Cerita
Mendiskusikan hal – hal yang harus dilakukan terhadap adik.
Guru membacakan cerita (hal.19-22). Pada halaman tersebut memperlihatkan hal – hal baik yang dilakukan oleh Luh Gendis seperti bersyukur dan mengucapkan terima kasih kepada gurunya karena berkat kesabaran gurunya dalam melatih menari, Luh Gendis dan kedua orang temannya berhasil mendapat juara.
Membedakan cerita pengurangan.
-
8. Menutup Tema
Guru membacakan sekali lagi buku cerita secara keseluruhan dan bersama siswa menyimpulkan pesan-pesan yang tersirat dalam buku cerita secara sederhana.
Guru membacakan sekali lagi buku cerita secara keseluruhan dan bersama siswa menyimpulkan pesan-pesan yang tersirat dalam buku cerita secara sederhana.
Tahap terakhir adalah Evaluation.
Tahap ini menjelaskan evaluasi dari pelaksanaan pembelajaran mengunakan buku cerita anak sebagai pendamping buku pelajaran Kurikulum 2013. Pada instrumen jenis kuesioner yang diberikan kepada guru , terdapat 16 indikator dari dimensi sikap dan keaktifan siswa. Hasil keenam belas indikator tersebut dibahas sebagai berikut(1) berperilaku syukur memiliki efektivitas sebesar 1,78 (Sangat Efektif); (2) bersikap toleransi dalam beribadah memiliki efektivitas sebesar 2,41 (Sangat Efektif); (3) sikap toleransi terhadap sesama memiliki efektivitas sebesar 1,95 (Sangat Efektif); (4) sikap kerjasama memiliki efektivitas sebesar 1,78 (Sangat Efektif); (5) berperilaku penuh tanggung jawab memiliki efektivitas sebesar 1,24 (Sangat Efektif); (6) aktif membaca nyaring memiliki efektivitas sebesar 0,91 (Sangat Efektif); (7) aktif membaca (bersuara lancar dengan kalimat sederhana dan membuat kalimat terdiri dari 3-5 kata) memiliki efektivitas sebesar 0,67 (Efektif); (8) aktif
membacakan pengalaman cerita dengan lafal dan intonasi yang benar memiliki efektivitas sebesar 0,78 (Efektif); (9) aktif menjiplak dan menebalkan memiliki efektivitas sebesar 1,17 (Sangat Efektif); (10) aktif menjiplak dan menebalkan memiliki efektivitas sebesar 0,93 (Efektif); (11) menulis huruf, kata, dan kalimat sederhana dengan huruf lepas memiliki efektivitas sebesar 0,54 (Efektif); (12) aktif menulis beberapa kalimat sederhana (terdiri atas 3-5 kata) dengan huruf seimbang memiliki efektivitas sebesar 0,48 (Efektif); (13) aktif menulis kalimat yang didiktekan oleh guru dengan huruf seimbang memiliki efektivitas sebesar 0,66 (Efektif); (14) menemukan makna atau nilai-nilai yang tersirat dalam cerita memiliki efektivitas sebesar 0,51 (Efektif); (15) mengikuti cerita sampai selesai memiliki efektivitas sebesar 0,99 (Sangat Efektif); dan (16) aktif tanya jawab mengenai cerita memiliki efektivitas sebesar 1,15 (Sangat Efektif).Data tersebut disajikan dalam bentuk grafik berikut.
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543 PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 3 Oktober 2018 _______________________________________________________________ 194
Gambar1:Grafik Efektivitas Buku Cerita “Luh Gendis Sang Penari” sebagai Pendamping Buku Pelajaran Kurikulum 2013
Pada grafik terlihat indikator kedua
yaitu sikap toleransi dalam beribadah
memiliki skor sangat tinggi karena sikap
toleransi siswa mengalami peningkatan dari
yang biasanya siswa masih sering
mengganggu temannya yang sedang
beribadah, kini siswa sudah bisa toleransi
dalam beribadah di kelas. Sedangkan pada
grafik terlihat indikator kedua belas yaitu
aktif menulis beberapa kalimat sederhana
terdiri atas 3-5 kata dengan huruf seimbang
memiliki skor sangat rendah karena
beberapa siswa kemampuannya masih
kurang dalam menulis kalimat sederhana
dan masih perlu latihan. Berdasarkan
gambar grafik efektivitas buku cerita “Luh
Gendis Sang Penari” sebagai pendamping
buku pelajaran Kurikulum 2013 terlihat
bahwa dari keenam belas indikator syarat
kualitas buku cerita anak yang baik, 10
indikator memiliki kategori “Sangat Efektif”
dan 6 indikator lainnya memiliki kategori
“Efektif”. Ini berarti buku cerita anak “Luh
Gendis Sang Penari” efektif dan layak
digunakan sebagai pendamping buku
pelajaran pada tema Kegemaranku dalam
rangka mengoptimalkan hasil belajar sikap
dan literasi dini peserta didik kelas 1
Sekolah Dasar. Hal tersebut didukung oleh
penelitian (Sri Astuti,2014) yang berjudul
“Penggunaan Metode Bercerita dengan
Media Gambar dalam Upaya Meningkatkan
Kemampuan Berbahasa dan Sikap Mandiri
Anak Kelompok A TK Negeri Pembina
Bangli Tahun Ajaran 2012/2013’’
menyatakan bahwa kegiatan pembelajaran
menggunakan metode bercerita dengan
media gambar secara signifikan dapat
meningkatkan kemampuan berbahasa dan
sikap mandiri anak sesuai indikator yang
diharapkan.Begitu juga dengan Izzaty (2014)
mengemukakan bahwa pada penelitian
tersebut produk yang dikeluarkan berupa buku
bacaan tematik yang dapat digunakan
pendidik TK dalam mengenalkan membaca
pada anak Taman Kanak-kanak.
PENUTUP
Berdasarkan temuan pencatatan dokumen dan hasil wawancara, maka dalam penelitian ini diperoleh simpulan bahwa buku cerita yang berjudul “Luh Gendis Sang Penari” telah dikembangkan berdasarkan aspek kajian sikap dan literasi
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
Ind
ikat
or
1
Ind
ikat
or
2
Ind
ikat
or
3
Ind
ikat
or
4
Ind
ikat
or
5
Ind
ikat
or
6
Ind
ikat
or
7
Ind
ikat
or
8
Ind
ikat
or
9
Indikator…
Indikator…
Indikator…
Indikator…
Indikator…
Indikator…
Indikator…
Efektivitas Buku Cerita "Luh Gendis Sang Penari"
Sebagai Pendamping Buku Pelajaran Kurikulum 2013
Efektivita
s Buku
Cerita
"Luh
Gendis
Sang
Penari"
Sebagai
Pendampi
ng Buku
Pelajara…
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543 PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 3 Oktober 2018 _______________________________________________________________ 195
dini dan buku cerita yang dihasilkan efektif digunakan sebagai buku pendamping buku Kurikulum 2013 yang digunakan dalam proses pembelajaran di kelas I Sekolah Dasar khususnya tema Kegemaranku dikarenakan siswa mengalami perubahan ke arah yang lebih baik dalam sikap maupun literasi dininya.Berdasarkan simpulan dan implikasi penelitian yang telah dipaparkan, maka dapat diajukan beberapa saran guna peningkatan kualitas pembelajaran dalam menerapkan kurikulum 2013 pada anak sekolah dasar sebagai berikut. (1) Bagi pendidik disarankan agar mampu meningkatkan ide-ide kreatifnya khususnya dalam membuat buku cerita anak sebagai pendamping buku Kurikulum 2013, (2) Bagi siswa disarankan agar lebih meningkatkan perhatian dan minat dalam mendengarkan cerita anak guna menumbuhkan motivasi belajar yang akan membantu siswa dalam pengembangan sikap maupun literasi dini, (3) Mengingat keterbatasan waktu dan pokok bahasan yang digunakan dalam penelitian ini, maka disarankan kepada peneliti lain untuk melakukan penelitian lanjutan guna menyempurnakan buku cerita anak yang diajukan dalam penelitian ini, serta untuk penyempurnaan penelitian ini perlu pula dilakukan penelitian lanjutan untuk melakukan evaluasi dari penggunaan buku cerita, sehingga tujuan akhir dalam penelitian ini tercapai yaitu menghasilkan buku cerita anak yang akan difungsikan sebagai formula pelajaran pada tema-tema di kelas awal.
DAFTAR PUSTAKA
Ahyani, L. N., 2010. “Metode Dongeng Dalam Meningkatkan Perkembangan. Yogyakarta: Madina.
Astuti, S., A.A.I.N. Marhaeni,&N.Tika. 2014. “Penggunaan Metode Bercerita dengan Media Gambar dalam Upaya Meningkatkan Kemampuan Berbahasa dan Sikap Mandiri Anak Kelompok A TK Negeri Pembina Bangli Tahun Ajaran 2012/2013”,
Vol 4 Tahun 2014. Denpasar: Universitas Pendidikan Ganesha.
Bruning, J L., 1977. Computational Hndbook of Statistic. United States ofAmerica: Library of Congress Cataloging in Publication
Dantes, N., 2014. Metode Penelitian. Yogyakarta: Andi.
Guna, I.G.M.D., 2014. Made Taro Mendongeng dan Bermain Sepanjang Waktu. Yogyakarta: Media Kreative.
Izzaty, Rita Eka, Nur Cholimah & Rina
Wulandari. 2014. Pengembangan
Buku Cerita Tematik Sebagai Media
Pembelajaran Pengenalan Membaca
Pada Anak Prasekolah. Jurnal
Pendidikan Anak. Volume 3, Nomor 2
(hlm. 489-500)
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2013. Kurikulum 2013. Kompetensi Dasar Sekolah Dasar Madrasah Ibtidaiyah.
Kurniasih, B., 2014. Sukses Mengimplementasikan Kurikulum 2013. Kata Pena.
Mukhlason, A., 2015. “Artikel Umum Bacaan Cerita Anak Usia SD, Karakteristik, dan Jenisnya”. Tersedia pada: http://akhmad_mukhlason-fib12.web.unair.ac.id (diakses pada tanggal 1 Juli 2016).
Mullis, I., Martin, M., Kennedy, A., & Foy, P. 2007. Progress in international reading literacy study. Pirls 2006 report. In: Lynch School of Education, Boston College, Chestnut Hill, MA: TIMMS & PIRLS International Study Centre. International Association for the Evaluation of Educational Achievement (IEA).
Mulyasa, E., (2013).Pengembangan dan Implementasi Kurikulum 2013; Perubahan dan Pengembangan
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543 PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 3 Oktober 2018 _______________________________________________________________ 196
Kurikulum 2013 Merupakan Persoalan Penting dan Genting, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung.
Murtiningsih. 2001. Pengembangan Kreativitas Siswa SD Melalui Kegiatan Bercerita, Jurnal Ilmiah Guru “COPE”. No 02. Vol 15.
Oktariyanti, A.A.I.N. Marhaeni, & N. Dantes. 2016. Pengembangan Prototipe Buku Cerita Anak Bermuatan Budaya Lokal melalui Analisis Muatan Sikap dan Literasi Dini pada Pemebelajaran Tema Kegemaranku Kurikulum 2013 Kelas I Sekolah Dasar. Denpasar: Universitas Pendidikan Ganesha
Sulhan, N., 2006. Pembangunan Karakter Pada Anak : Manejemen Pembelajaran Guru Menuju Sekolah Efektif. Surabaya: Intellectual Club.
Senechal, M., & LeFevre, J-A. (2002). Parental Involvement in the Development of Children’s Reading Skill: A Five-Year Longitudinal Study. Child Development, 73, 445-460.
Taylor, L. 1993. Vygotskian Influences in Mathematics Education, With Particular Reference to Atitude Development.Spring & Summer Edition, Vol. 15, Number 2&3. Center for Teaching/learning of Mathematics. University of Colorado-Denver.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. 2003. Jakarta.
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543
PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 3 Oktober 2018 _______________________________________________________________ 197
INSERSI NILAI-NILAI KARAKTER BANGSA PADA MATERI DAN
PROSES PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA
I Wy. Ariyastana
Universitas Pendidikan Ganesha
Singaraja, Indonesia
e-mail: [email protected]
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan (1)penginsersiannilai-nilai karakter bangsa
pada materi bahasa Indonesia (2) penginsersian nilai-nilai karakter bangsa pada proses
pembelajaran bahasa Indonesia, dan (3) kendala yang dihadapi guru bahasa Indonesia di
dalam menginsersikan nilai-nilai karakter bangsa pada proses pembelajaran bahasa
Indonesia. Subjek dalam penelitian ini adalah guru bahasa Indonesia SMP Negeri 2
Mengwi dan objek penelitian ini adalah nilai-nilai karakter bangsa pada materi dan proses
pembelajaran bahasa Indonesia kelas VIII semester II SMP Negeri 2 Mengwi. Metode
yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah dokumentasi (untuk memperoleh data
penginsersian nilai-nilai karakter bangsa pada materi pembelajaran bahasa Indonesia),
observasi (untuk memperoleh data penginsersian nilai-nilai karakter bangsa pada proses
pembelajaran bahasa Indonesia), dan wawancara (untuk memperoleh data kendala yang
dihadapi guru bahasa Indonesia dalam menanamkan nilai-nilai karakter bangsa pada
proses pembelajaran bahasa Indonesia). Data dianalisis secara deskriptif kualitatif. Hasil
penelitian ini menunjukan bahwa (1) insersi nilai-nilai karakter bangsa pada materi
pembelajaran bahasa Indonesia ditemukan 5 nilai-nilai karakter bangsa; (2) sementara
pada proses pembelajaran bahasa Indonesia ditemukan 9 nilai - nilai karakter bangsa dari
18 nilai-nilai karakter bangsa; dan (3) berdasarkan hasil wawancara, guru yang diteliti atas
nama Ni Nyoman Mendri, S.Pd berkaitan dengan kendala yang dihadapi guru pada proses
pembelajaran terletak pada karakter setiap siswa. Siswa memiliki karakter yang berbeda-
beda, sehingga menyulitkan guru dalam menanamkan nilai-nilai karakter bangsa dalam
kegiatan belajar mengajar. Berdasarkan hasil temuan ini dapat disimpulkan bahwa (1)
sudah terdapat insersi nilai-nilai karakter bangsa pada materi pembelajaran bahasa
Indonesia; (2) telah ditemukan nilai-nilai karakter bangsa pada proses pembelajaran
bahasa Indonesia; dan (3) kendala yang dihadapi guru terletak pada karakter setiap siswa
berbeda-beda. Berdasarkan temuan tersebut, penelitian ini dapat digunakan sebagai
referensi bagi perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan khususnya dalam
penginsersian nilai-nilai karakter pada proses pembelajaran bahasa Indonesia. Hendaknya
guru dapat menginsersikan nilai-nilai karakter bangsa dengan baik dalam proses
pelaksanaan pembelajaran bahasa Indonesia. Dari pihak sekolah dan dinas pendidikan
hendaknya memberikan pelatihan kembali terkait dengan Kurikulum 2013.
Kata Kunci : nilai-nilai karakter bangsa, pembelajaran bahasa Indonesia
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543
PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 3 Oktober 2018 _______________________________________________________________ 198
ABSTRACT
This study aimed at describing (1) inserted of character values nation in Indonesian
subject matters (2) Inserted of values nation character in Indonesian teaching and learning
process (3) the problems of teacher in inserted nation character values in Indonesian
learning material and process. The subjects of the study was an Indonesian teacher
education SMP Negeri 2 Mengwi and the object of this study was inserted of character
values Indonesian nation material and learning process Indonesian language in the second
semester of the Class VIII in SMP Negeri 2 Mengwi. The methods used to collecting data
were documentation ( to obtain data inserted of character values Indonesian nation on
Indoneisan learning), observations (to obtain data inserted of values nation character in
Indonesian teaching and learning process ), and interviews ( to obtain data problems of
teacher in inserted nation character values in Indonesian learning material and process ).
The data were analyzed descriptive qualitative. The finding showed (1) inserted of
character values nation in Indonesian subject matters had been found 5 character values
nation ; (2) while in Indonesian learning material and process had been found 9 values of
18 character values nation; and (3) based on interview results, the teacher who studied was
named Ni Nyoman Mendri, S.Pd relating to the problems of teacher in inserted nation
character values in Indonesian learning material and process based on each student.
Students have different characters; it made the teachers got difficulties to implant the
values of the national character in learning activities. Based on these findings it can be
concluded (1) that there have been inserted of character values nation in Indonesian
subject matters; (2) it has been found the values of national character in Indonesian
language learning process; and (3) the problem that faced by teachers lies on the character
of each student are different. Based on these findings, this study can be used as a reference
for the development and advancement of knowledge, especially inserted of character
values in the process of learning the Indonesian language. Teachers should be able giving
this inserted well in the implementation process of learning Indonesia. The schools and
education authorities should provide retraining relating to the curriculum in 2013.
Keywords: national character values, Indonesian language learning
PENDAHULUAN
Kurikulum merupakan salah satu unsur
yang memberikan kontribusi yang signifikan
dalam mewujudkan proses berkembangnya
kualitas potensi peserta didik. Tidak dapat
disangkal bahwa kurikulum yang
dikembangkan dengan berbasis pada
kompetensi sangat diperlukan sebagai
istrumen untuk mengarahkan peserta didik
menejadi (1) manusia berkualitas yang mampu
dan proaktif menjawab tantangan zaman yang
selalu berubah; (2) manusia terdidik yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat berilmu,
cakap, kreatif, mandiri; dan (3) warga negara
yang demokratis dan bertanggung jawab.
Pengembangan dan pelaksanaan kurikulum
berbasis kompetensi merupakan salah satu
strategi pembangunan pendidikan nasional
sebagaimana yang diamanatkan dalam
Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional.
Di dalam penjelasan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun tentang Sistem Pendidikan
Nasional pada bagian umum dijelaskan bahwa
pembaruan pendidikan memerlukan strategi
tertentu dan salah satu strategi tertentu dan
salah satu strategi pembangunan pendidikan
nasional ini adalah pengembangan dan
pelaksanaan kurikulum berbasis kompetensi.
Pasal 35 Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2003 juga mengatur bahwa standar nasional
pendidikan digunakan sebagai acuan
pengembangan kurikulum, tenaga
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543
PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 3 Oktober 2018 _______________________________________________________________ 199
kependidikan, sarana dan prasarana,
pengelolaan, dan pembiayaan. Selanjutnya di
dalam penjelasan pasal 35 dinyatakan bahwa
kompetensi lulusan merupakan kualifikasi
kemampuan lulusan yang mencakup sikap,
pengetahuan, dan keterampilan sesuai dengan
standar nasional yang telah disepakati.
Kurikulum 2013 secara terbatas mulai
dilaksanakan tahun 2013 pada sekolah-sekolah
yang memenuhi persyaratan dan ditetapkan
secara selektif.Kurikulum 2013 merupakan
pengembangan dari kurikulum sebelumnya
untuk merespons berbagai tantangan-
tantangan internal dan eksternal. Titik tekan
pengembangan kurikulum 2013 adalah
penyempurnaan pola pikir, penguatan tata
kelola kurikulum, pendalaman dan perluasan
materi, penguatan proses pembelajaran, dan
penyesuaian beban belajar agar dapat
menjamin kesesuaian antara apa yang
diinginkan dan apa yang dihasilakan.
Pengembangan kurikulum menjadi amat
penting sejalan dengan kontinuitas kemajuan
ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni budaya
serta perubahan masyarakat pada tataran lokal,
nasional, regional, dan global di masa depan.
Aneka kemajuan dan perubahan itu
melahirkan tantangan internal dan eksternal di
bidang pendidikan. Oleh karena itu,
implementasi kurikulum 2013 merupakan
langkah strategis dalam menghadapi
globalisasi dan tuntutan masyarakat Indonesia
di masa depan.
Pendidikan karakter adalah segala
sesuatu yang dilakukan guru, yang mampu
mempengaruhi karakter peserta didik. Guru
membantu membentuk watak peserta didik.
Hal ini mencakup keteladanan bagaimana
perilaku guru, cara guru berbicara atau
menyampaikan materi, bagaimana guru
bertoleransi, dan berbagai hal terkait lainnya.
Pendidikan adalah selalu berkaitan
dengan hubungan social manusia, manusia
sejak lahir tidak dapat hidup sendiri tetapi
membutuhkan orang lain, sedangkan karakter
bersifat lebih subjektif hal tersebut dikatakan
demikian karena berkaitan dengan struktur
antopologis manusia dan tindakannya dalam
memaknai kebebasan.
Pendidikan karakter harus diberikan
pada pendidikan formal khususnya lembaga
pendidikan TK/RA, SD/MI, SMP/MTs,
SMA/MA, SMK, MAK dan Perguruan Tinggi
melalui pembelajaran, dan ekstrakurikuler,
penciptaan budaya satuan pendidikan, dan
pembiasaan. Sasaran pada pendidikan formal
adalah peserta didik, pendidik, dan tenaga
kependidikan.
Pendidikan karakter memiliki esensi
dan makna yang sama dengan pendidikan
moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya
adalah membentuk pribadianak, supaya
menjadi manusia yang baik, warga
masyarakat, dan warga negara yang baik.
Adapun kriteria manusia yang baik, warga
masyarakat yang baik, dan warga negara yang
baik bagi suatu masyarakat atau bangsa,
secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentu,
yang banyak dipengaruhi oleh budaya
masyarakat dan bangsanya. Oleh karena itu,
hakikat dari pendidikan karakter dalam
konteks pendidikan di Indonesia adalah
pedidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai
luhur yang bersumber dari budaya bangsa
Indonesia sendiri, dalam rangka membina
kepribadian generasi muda.
Terkait dengan betapa pentingnya
peranan nilai-nilai karakter bangsa dalam
kegiatan pembelajaran, maka peneliti
mengambil penelitian yang memfokuskan
pada insersi nilai-nilai karakter bangsa pada
materi dan proses pembelajaran bahasa
Indonesia kelas VIII semester II SMP Negeri
2 Mengwi, yang dilihat dari segi materi
pembelajaran dan pelaksanaan pembelajaran
sertakendala-kendala guru di dalam
menanamkan nilai-nilai karakter bangsa dalam
pembelajaran.
Hasil penelitian tentang nilai-nilai
karakter bangsa pernah dilakukan oleh Sujud
(2014) menemukan bahwa banyak makna
pendidikan dari pembangunan karakter yang
dapat dieksplorasi melalui sejarah lokal. Hasil
penelitian ini dapat dimanfaatkan untuk acuan
upaya perbaikan karakter bangsa terutama
melalui sosialisasi di lingkungan sekolah.
Supardi (2014) juga menemukan bahwa
terdapat perbedaan nilai-nilai karakter bangsa
(kemandirian, kedisiplinan, tenggang rasa,
kegotongroyongan, ketahanmalangan, dan
kreativitas) ditinjau dari adanya organisasi dan
kegiatan ekstrakurikuler pramuka. Sehingga
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543
PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 3 Oktober 2018 _______________________________________________________________ 200
dapat diberikan saran bahwa dalam
pengembangan nilai-nilai karakter bangsa
(kemandirian, kedisiplinan, tenggang rasa,
kegotongroyongan, ketahanmalangan, dan
kreativitas) dapat melalui kegiatan
ekstrakurikuler pramuka.
METODE
Rancangan penelitian yang digunakan
dalam penelitian ini adalah rancangan
deskriptif kualitatif. Rancangan ini digunakan
sebagai prosedur mengidentifikasi fenomena
yang terjadi di lapangan dengan apa adanya,
tanpa unsur rekayasa dan secara alamiah.
Rancangan ini dipilih karena sesuai dengan
tujuan penelitian, yaitu untuk mendeskripsikan
tentang penerapan nilai-nilai karakter bangsa
dalam materi dan proses pembelajaran serta
kendala-kendala guru bahasa Indonesia dalam
menanamkan nilai-nilai karakter bangsa dalam
proses pembelajaran bahasa Indonesia kelas
VIII semester II SMP Negeri 2 Mengwi.
Sementara itu, Subjek dalam penelitian ini
adalah guru bahasa Indonesia SMP Negeri 2
Mengwi yang dianggap memiliki pengetahuan
dan pengalaman menginsersikan nilai-nilai
karakter bangsa pada materi bahasa Indonesia
dan proses pembelajaran bahasa Indonesia
berupa teks diskusi. Peneliti memilih satu guru
bahasa Indonesia yang mengajar di kelas VIII
SMP Negeri 2 Mengwi yaitu, Ni Nyoman
Mendri, S.Pd. Kelas VIII C dipilih sebagai
sampel karena kelas ini heterogen dengan
peserta didik yang memiliki kompetensi yang
beragam.
Objek penelitian ini adalah insersi
nilai-nilai karakter bangsa pada materi dan
proses pembelajaran bahasa Indonesia. Ada
tiga variable yang berhubungan dengan objek
penelitian ini, yaitu (1) insersi nilai-nilai
karakter bangsa pada materi bahasa Indonesia
kelas VIII semester II SMP Negeri 2 Mengwi,
(2) insersi nilai-nilai karakter bangsa pada
proses pembelajaran bahasa Indonesia kelas
VIII semester II SMP Negeri 2 Mengwi (3)
kendala yang dialami guru bahasa Indonesia
pada proses pembelajaran bahasa Indonesia
kelas VIII semester II SMP Negeri 2 Mengwi.
Pengumpulan data dalam penelitian
deskripsi ini adalah untuk menjawab
pertanyaan peneliti yang berkaitan dengan
keadaan yang terjadi sesuai dengan fakta yang
terjadi di lapangan. Metode pengumpulan data
tersebut yaitu, (a) metode dokumentasi,
digunakan untuk mencatat temuan pada materi
pelajaran bahasa Indonesia berdasarkan
Kurikulum 2013 di kelas VIII semester II
SMP Negeri 2 Mengwi. Sejumlah besar fakta
dan data tersimpan dalam bahan yang
berbentuk dokumentasi.Sebagian besar data
yang tersedia adalah berbentuk surat-surat,
catatan harian, cenderamata, laporan, artefak,
foto, dan sebagainya.Sifat utama data ini
terbatas pada ruang dan waktu sehingga
memberi peluang kepada peneliti untuk
mengetahui hal-hal yang pernah terjadi di
waktu silam (Darmadi, 2013).
Berdasarkan hal tersebut, persiapan
tertulis yang dikumpulkan peneliti berupa
materi pembelajaran bahasa Indonesia.Teknik
yang digunakan dalam penelitian ini adalah
dokumen dari petikan-petikan materi
pembelajaran. Materi pembelajaran bahasa
Indonesia yang digunakan dalam penelitian ini
adalah teks diskusi. Pengumpulan data dengan
metode dokumentasi dilakukan dengan
mengumpulkan perangkat pembelajaran
berupa rencana pelaksanaan pembelajaran
(RPP) semester genap yang dibuat guru
sebelum melaksanakan pembelajaran di
kelas.(b) metode observasi, digunakan untuk
mendapatkan data mengenai penginsersian
nilai-nilai karakter bangsa pada materi dan
proses pembelajaran bahasa Indonesia yang
diadakan oleh guru kelas VIII SMP Negeri 2
Mengwi. Penelitian ini menggunakan metode
observasi langsung, yakni peneliti
mengadakan pengamatan secara langsung
dalam situasi yang sebenarnya.Metode
observasi yang digunakan adalah metode
observasi partisipasi pasif karena peneliti
bukan merupakan bagian dari subjek yang
diteliti, namun ikut dalam kegiatan
penelitian.Hal ini peneliti lakukan agar tidak
terjadi bias terhadap data yang ingin
dikumpulkan. Dalam mengobservasi aktivitas
belajar, peneliti tidak hanya mengobservasi
kegiatan siswa dalam pembelajaran, tetapi
juga kegiatan kegiatan guru dan interaksi-
interaksi yang terjadi dalam pembelajaran
tersebut.
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543
PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 3 Oktober 2018 _______________________________________________________________ 201
Untuk mempermudah pelaksanaan
observasi, peneliti akan menggunakan
instrumen observasi. Instrumen observasi
yang digunakan adalah model cacatan
lapangan, yaitu alat observasi yang digunakan
untuk mencatat segala fenomena yang ada di
lapangan atau tempat penelitian berlangsung.
Dengan menggunakan instrument catatan
lapangan ini, peneliti dapat mencatat semua
peristiwa yang ada di lapangan ini, peneliti
dapat mencatat semua peristiwa yang ada di
lapangan dengan apa adanya.
Teknik observasi yang digunakan
adalah teknik observasi tanpa partisipasi.
Peneliti tidak ikut secara aktif dalam PBM,
tetapi mengamati penginsersian nilai-nilai
karakter bangsa dalam proses belajar mengajar
bahasa Indonesia dan (c) metode wawancara
ini peneliti gunakan untuk mengumpulkan
data mengenai kendala guru dalam
menanamkan nilai-nilai karakter bangsa pada
proses pembelajaran bahasa Indonesia kelas
VIII semester II SMP Negeri 2 Mengwi.
Dalam metode wawancara peneliti datang
berhadapan muka secara langsung dengan
responden atau subjek yang diteliti.Hasil
wawancara dicatat sebagai informasi penting
dalam penelitian. Pada wawancara ini
dimungkinkan peneliti dengan responden
melakukan tanya jawab secara interaktif.
Wawancara harus dilaksanakan
dengan efektif, artinya dalam waktu yang
sesingkat-singkatnya dapat diperoleh data
sebanyak-banyaknya.Bahasa harus jelas,
terarah. Suasana harus tetap rileks agar data
yang diperoleh adalah data yang objektif dan
dapat dipercaya (dalam Arikunto, 1993 : 198).
Data yang diperoleh melalui metode
wawancara ini juga untuk melengkapi data
yang didapat lewat metode observasi,
sehingga data yang diperoleh lengkap dan
mendalam.Dengan demikian, metode
wawancara ini merupakan triagulasi
pengumpulan data atas data observasi.Metode
wawancara yang digunakan dalam penelitian
ini adalah wawancara tidak terstuktur.
Wawancara tidak terstruktur adalah
wawancara bebas, yakni peneliti tidak
menggunakan pedoman wawancara yang telah
tersusun secara sistematis dan lengkap untuk
mengumpulkan data (Sugiyono,2009). Peneliti
memilih wawancara tidak terstruktur karena
kelebihannya yang tidak dimiliki oleh
wawancara terstruktur, yaitu pewawancara
dapat memperoleh gambaran yang lebih luas
tentang masala hang diteliti. Meski dalam
wawancara tidak terstruktur tidak
menggunakan pedoman wawancara yang telah
tersusun sitematis, namun ada baiknya bila
pewawancara mencatat pokok-pokok
pertanyaan yang penting yang sesuai dengan
tujuan wawancara.
Instrumen utama penelitian ini adalah
peneliti sendiri karena data itu harus
dikumpulkan, diseleksi, danb ditafsirkan oleh
peneliti sendiri.Peneliti kualitatif sebagai
human instrument berfungsi menetapkan
fokus penelitian, memilih informan sebagai
sumber data, melakukan pengumpulan data,
menilai kualitas data, analisis data,
menafsirkan data, dan membuat kesimpulan
atas temuannya.Untuk mengecek keabsahan
data maka peneliti menggunakan trigulasi data
dengan tujuan agar data ang diperoleh lebih
valid.Adapun trigulasi yang dipakai peneliti
meliputi trigulasi metode, trigulasi teori, dan
trigulasi dengan ahli atau teman sejawat.
Analisis data dilakukan dengan tiga
langkah. Ketiga langkah tersebut meliputi: (a)
tabulasi data, dinyatakan sebagai proses
pemanduan atau penyatupaduan sejumlah data
dan informasi yang diperoleh peneliti dari
setiap sasaran penelitian, menjadi mudah
dibaca atau dianalisis.
Tabulasi data merupakan proses
pengolahan data ang dilakukan dengan cara
memasukan data ke dalam tabel. Atau dapat
dikatakan bahwa tabulasi data adalah
penyajian data dalam bentuk tabel atau daftar
untuk memudahkan dalam pengamatan dan
evaluasi.Hasil tabulasi data ini dapat menjadi
gambaran tentang hasil penelitian, karena
data-data ang diperoleh dari lapangan sudah
tersusun dan terangkum dalam tabel-tabel
yang mudah dipahami maknanya.Selanjutnya
peneliti bertugas untuk memberi penjelasan
atau keterangan dengan menggunakan kalimat
atas data-data yang telah diperoleh.(b) reduksi
data, adalah proses membuat rangkuman,
memilih hal-hal pokok, memfokuskan pada
hal-hal pokok, memfokuskan pada hal-hal
penting, mencari tema dan pola, serta
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543
PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 3 Oktober 2018 _______________________________________________________________ 202
membuang data yang tidak perlu. Proses ini
akan berlangsung terus-menerus selama dan
setelah pengumpulan data dilakukan. Proses
reduksi data dalam penelitian ini diawali
dengan kegiatan pengumpulan data melalui
dokumentasi terhadap perencanaan
pembelajaran yang terdepat dalam RPP yang
dibuat guru. Dalam melakukan dokumentasi,
hanya data-data yang berkaitan dengan
pengintegrasian nilai-nilai karakter bangsa
dalam proses pembelajaran yang
dikumpulkan. Kemudian berlanjut pada data
yang peneliti peroleh dari hasil observasi,
yakni mengenai pelaksanaan pembelajaran
yang dilakukan guru di kelas.Temuan-temuan
yang didapat dihubungkan dengan
perencanaan pembelajaran yang telah dibuat
oleh guru. Sudah sesuaikah, adakah berlebihan
atau hal yang kurang akan penelitian catat apa
adanya seperti yang ada di lapangan.
Berikutnya data mengenai hambatan-
hambatan yang dihadapi oleh guru pada
menyusun perencanaan dan setelah kegitan
pembelajaran bahasa Indonesia berlangsung.
Data-data yang tidak berhubungan dengan hal-
hal yang sudah peneliti sebelumnya sebutkan
akandiabaikann. Selanjutnya data tersebut
akan diringkas kembali untuk memilih data-
data yang diperlukan dan menghilangkan data
yang tidak penting. Proses pemilihan ini
dilakukan untuk mencerminkan adanya
reduksi data terutama untuk data berupa
rekaman wawancara yang masih berupa dialog
dan catatan lapangan yang belum tersusun
rapi. (c) penyajian data/deskripsi data, setelah
data-data mengalami proses reduksi
sebelumnya, data-data tersebut akan
diklasifikasi sesuai dengan submasalah-
submasalah yang ada dalam rumusan masalah,
kemudian disusun secara sitematis agar data
tersebut mudah diinterpretasikan.
Setelah data yang peneliti peroleh
diklasifikasikan, data-data tersebut kemudian
dideskripsikan apa adanya menggunakan kata-
kata sebagaimana yang terjadi tanpa adanya
perhitungan statistik. Proses penyajian dapat
dilakukan dengan cara menampilkan dan
membuat hubungan antara fenomena untuk
memaknai bagaimana sebenarnya insersi nilai-
nilai karakter bangsa dalam materi dan
pelaksanaan pembelajaran serta cara guru
mengungkapkan insersi nilai-nilai karakter
bangsa dalam materi dan pelaksanaan
pembelajaran bahasa Indonesia kelas VIII
semester II SMP Negeri 2 Mengwi serta (d)
penarikan kesimpulan, langkah terakhir dalam
analisis data adalah penarikan simpulan yang
didasarkan pada hasil temuan proses pada
penyajian data. Pada tahap ini, peneliti
merumuskan kesimpulan berdasrkan data yang
diperoleh dan menyajikan secara deskriftif
kualitatif. Dalam proses ini disimpulkan
bagaimana insersi nilai-nilai karakter bangsa
pada materi dan pelaksanaan pembelajaran
serta kendala yang ditemukan guru di dalam
menginsersikan nilai-nilai karakter bangsa
pada pelaksanaan pembelajaran bahasa
Indonesia di kelas VIII semester II SMP
Negeri 2 Mengwi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Teks diskusi dalam materi bahasa
Indonsia kelas VIII semester II telah
mengandung berbagai nilai-nilai karakter.
Akan tetapi, insersi nilai-nilai karakter dalam
materi pembelajaran bahasa Indonesia hanya
terdapat 5 nilai-nilai karakter dari jumlah
keseluruhan sebanyak 18 nilai-nilai karakter
bangsa yang telah ditetapkan oleh
pemrintah.Nilai-nilai karakter bangsa yang
terkandung dalam teks diskusi dalam materi
bahasa Indonesia kelas VIII semester II adalah
(1) nilai karakter disiplin, adalah tindakan
yang menunjukan perilaku tertib dan patuh
pada berbagai ketentuan dan peraturan. Nilai
karakter disiplin dalam materi bahasa
Indonesia adalah sebagai berikut.
“Teks diskusi Bolehkah Siswa
Membawa Telepon Seluler ke Sekolah
(BSMTSKS). Banyak sekolah,
terutama sekolah dasar dan sekolah
menengah pertama, melarang
siswanya membawa telepon seluler,
tetapi banyak juga sekolah yang
memperbolehkan siswanya membawa
telepon seluler dengan berbagai
persyaratan.Sebagian orang
menganggap bahwa membawa telepon
seluler ke sekolah diperbolehkan,
tetapi banyak juga yang menganggap
bahwa membawa telepon seluler ke
sekolah diperbolehkan, tetapi banyak
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543
PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 3 Oktober 2018 _______________________________________________________________ 203
juga yang menganggap bahwa
membawa telepon seluler ke sekolah
tidak diperbolehkan.Dengan demikian,
pelanggaran siswa membawa telepon
seluler ke sekolah menuai
perdebatan.”
(BSMTSKS/117)
Disiplin adalah sikap mental seseorang
yang mengandung kerelaan mematuhi,
ketentuan, peraturan, dan norma yang berlaku
dalam menunaikan tugas dan tanggung jawab.
Tanggung jawab, baik yang berhubungan
dengan waktu maupun terhadap kewajiban
dan hak. Di dalam petikan BSMTSKS/117
dipaparkan sebuah isu yang berkaitan dengan
boleh tidaknya siswa membawa telepon ke
sekolah. Pada kutipan tersebut ada dua isu
yang berkaitan erat dengan tindakan disiplin
yang seharusnya di laksanakan di skolah yaitu,
yang pertama ternyata banyak sekolah
terutama sekolah dasar dan sekolah menengah
pertama, melarang siswanya membawa
telepon sekolah dan yang kedua yaitu, sekolah
memperbolehkan siswanya membawa telepon
seluler dengan berbagai pesyaratan. (2) nilai
karakter toleransi adalah sikap dan tindakan
yang menghargai perbedaan agama, suku,
etnis, pendapat, sikap, dan tindakan yang
berbeda dari dirinya. Nilai karakter toleransi
dalam teks diskusi materi bahasa Indonesia
adalah sebagai berikut.
“Masyarakat yang setuju siswa boleh
membawa telepon seluler ke sekolah
memiliki alasan, yaitu orang tua dapat
menghubungi anaknya baik secara
langsung maupun tidak
langsung.Dengan membawa telepon
seluler, setidaknya orang tua merasa
nyaman karena dapat berkomunikasi
dengan anaknya jika terjadi perubahan
jadwal, kondisi darurat, dan
sejenisnya. Jika siswa tidak membawa
telepon seluler sedangkan orang tua
perlu segera menghubungi, orang tua
harus menghubungi kantor sekolah.
Akibatnya, waktu yang berharga bisa
hilang. Apalagi, saluran telepon di
kantor sekolah sedang sibuk. Sekolah
juga harus mengirim seseorang untuk
menghubungi siswa yang
bersangkutan dan menyampaikan
pesan atau memanggilnya ke kantor
untuk menerima telepon. Di samping
itu, salah satu keuntungan dari
penggunaan telepon seluler di sekolah
adalah telepon seluler dapat digunakan
sebagai alat bantu, terutama telepon
seluler yang dilengkapi dengan
beberapa aksesoris, seperti kalkulator,
kamera, dan internet. Aplikasi ini
dapat dimanfaatkan untuk membantu
dalam bidang akademik.
Sementara itu, masyarakat
yang tidak setuju siswa membawa
telepon seluler ke sekolah mengatakan
bahwa aplikasi yang tersedia di
telepon seluler dapat memengaruhi
konsentrasi siswa dalam pembelajaran.
Ketika telepon seluler berdering di
kelas, meskipun hanya mode getar,
kegiatan pembelajaran akan
terganggu. Hal itu akan merugikan
seluruh kelas. Di samping itu, siswa
dapat menggunakan telepon seluler
untuk kegiatan melawan hukum
seperti pencurian, dan
sejenisnya.Aplikasi internet di telepon
seluler memberikan kesempatan untuk
melakukan kecurangan.Siswa dapat
pergi ke internet untuk mencari
jawaban pada saat ulangan.Siswa bisa
membawa teks contekan dalam
telepon seluler.Kadang-kadang, hanya
anak-anak dari keluarga mampu yang
memiliki telepon seluler.Hal ini dapat
menyebabkan banyak masalah sosial,
seperti kecemburuan, pencurian, dan
pelecehan.Proses penyesuaian di
sekolah menjadi agak sulit karena
adanya kesenjangan sosial.”
Salah satu sikap yang harus benar-
benar ditanamkan kepada generasi muda
bangsa saat ini, termasuk di dalamnya pelajar
dan mahasiswa adalah toleransi dan
penghormatan atas perbedaan
pendapat.Lingkungan pendidikan, terutama
sekolah, pondol pesantren, dan kampus,
merupakan lembaga yang memiliki peran
utama dalam pembentukan sikap dan karakter
bangsa. Baik atau buruknya karakter bangsa
ini, sangat ditentukan oleh bagaimana proses
pendidikan dijalankan. Toleransi adalah salah
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543
PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 3 Oktober 2018 _______________________________________________________________ 204
satu nilai dalam pendidikan karakter.Toleransi
berarti sikap dan tindakan menghargai,
menghormati, dan mengapreasiasi prestasi
yang diraih oleh orang lain serta berbagai
perbedaan yang ada. Sikap toleransi dan
penghormatan atas perbedaan pendapat ini
sangat penting untuk kita aplikasikan di dalam
kehidupan sehari-hari.
Dalam teks diskusi BSMTSKS/120,
terdapat dua argument mendukung dan
menentang yang membahas isu tentang boleh
tidaknya siswa khususnya sekolah dasar dan
sekolah menengah pertama membawa telepon
seluler ke sekolah.Jelas sekali terdapat
perbedaan sebuah pendapat.Jika saja setiap
insan manusia di dunia ini mampu menerima
yang namanya perbedaan sungguh indah dan
damainya hidup ini.(3) nilai karakter peduli
sosialadalah sikap dan tindakan yang selalu
ingin memberi bantuan pada orang lain dan
masyarakat yang membutuhkan. Nilai peduli
social dalam teks diskusi dalam materi bahasa
Indonsia adalah sebagai berikut.
“Kadang-kadang, hanya anak-anak dari
keluarga mampu yang memiliki telepon
seluler.Hal ini dapat menyebabkan banyak
masalah sosial, seperti kecemburuan,
pencurian, dan pelecehan.Proses penyesuaian
di sekolah menjadi agak sulit karena adanya
kesenjangan sosial.”
(BSMTSKS/120)
Kepedulian sosial yaitu sebuah sikap
keterhubungan dengan kemanusiaan pada
umumnya, sebuah empati bagi setiap anggota
komunitas manusia.Kepedulian sosial adalah
kondisi alamiah spesies manusia dan
perangkat yang mengikat masyarakat secara
bersama-sama. Oleh karena itu, kepedulian
sosial adalah minat atau ketertarikan kita
untuk membantu orang lain. Lingkungan
terdekat kita yang berpengaruh besar dalam
menentukan tingkat kepedulian sosial
kita.Lingkungan yang dimaksud di sini adalah
keluarga, teman-teman, dan lingkungan
masyarakat tempat kita tumbuh.Karena
merekalah kita mendapat nilai-nilai tentang
kepedulian sosial. Nilai-nilai yang tertanam
itulah yang nanti akan menjadi suara hati kita
untuk selalu membantu dan menjaga sesama.
Dalam teks diskusi, BSMTSKS/120 kutipan
pernyataan argumen menentang terdapat
kalimat yang menyatakan kepedulian terhadap
anak-anak yang berasal dari keluarga tidak
mampu. Kepedulian sosial yang di maksud
bukanlah untuk mencampuri urusan orang
lain, tetapi lebih pada membantu
menyelesaikan permasalahan yang di hadapi
orang lain dengan tujuan kebaikan dan
perdamaian.(4) nilai karakter jujur,adalah
perilaku yang didasarkan pada upaya
menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu
dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan,
dan pekerjaan. Nilai karakter jujur dalam teks
diskusi dalam materi bahasa Indonesia adalah
sebagai berikut.
“Aplikasi internet di telepon seluler
memberikan kesempatan untuk
melakukan kecurangan.Siswa dapat
pergi ke internet untuk mencari
jawaban pada saat ulangan.Siswa bisa
membawa teks contekan dalam
telepon seluler”.
(BSMTSKS/120)
Jujur adalah sikap atau sifat seseorang
yang menyatakan sesuatu dengan
sesungguhnya dan apa adanya, tidak
ditambahi ataupun tidak dikurangi serta
perilaku yang mencerminkan kesatuan antara
pengetahuan, perkataan, dan perbuatan
sehingga menjadikan orang yang bersangkutan
sebagai pribadi yang dapat dipercaya. Sifat
jujur ini harus dimiliki oleh setiap manusia,
karena sifat dan sikap ini merupakan prinsip
dasar dari cermin akhlak seseorang.Jujur juga
dapat menjadi cerminan dari kepribadian
seseorang bahkan kepribadian bangsa.Oleh
sebab itulah, kejujuran bernilai tinggi dalam
kehidupan manusia.dan (5) nilai karakter
tanggung jawab.Nilai karakter tanggung jawab
adalah sikap dan perilaku seseorang untuk
melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang
seharusnya dilakukan terhadap diri sendiri,
masyarakat, lingkungan (alam, social, dan
budaya) negara dan Tuhan yang Maha Esa.
Nilai karakter tanggung jawab dalam materi
bahasa Indonesia adalah sebagai berikut.
“Diharapkan semua pihak, baik
orangtua, guru, pemerintah maupun
siswa untuk bersama-sama mencegah
dampak-dampak negatif yang
ditimbulkan dari internet.Pemerintah
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543
PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 3 Oktober 2018 _______________________________________________________________ 205
diharapkan dapat memblokir situs-
situs yang tidak baik.Orang tua juga
diharapkan dapat lebih memperhatikan
anaknya agar anak dapat terus
terpantau dan tidak terjerumus ke
dalam hal-hal yang tidak baik.”
(DIBP/126)
Tanggung jawab bersifat kodrati, yang
artinya tanggung jawab itu sudah menjadi
bagian kehidupan manusia bahwa setiap
manusia dan yang pasti masing-masing orang
akan memikul suatu tanggung jawabnya
sendiri-sendiri. Apabila seorang tidak mau
bertanggung jawab, maka tentu ada pihak lain
yang memaksa untuk tindakan tanggung
jawab tersebut. Dalam teks dikusi DIBP/127,
dipaparkan dalam bagian simpulan orang tua
juga diharapakan dapat lebih memperhatiakn
anaknya agar anak dapat terus terpantau dan
tidak terjerumus ke dalam hal-hal yang tidak
baik.Artinya disini dijelaskan secara tidak
langsung bahwa sudah seharusnya sebagai
orang tua memiliki kewajiban dan tanggung
jawab untuk mengawasi dan memantau
perkembangan dari anak.
Berikut adalah paparan dari teks diskusi
“Bolehkah Siswa Membawa Telepon Seluler
ke Sekolah?dan Dampak Internet bagi Pelajar.
Berdasarkan hasil observasi yang
dilaksanakan pada hari Kamis tanggal 5
Januari 2017, guru atas nama Ni Nyoman
Mendri, S.Pd memulai pembelajaran dngan
tahap pendahuluan. Guru mengucapkan salam
kepada para siswa dan berdoa bersama
(religius). Siswa secara serentak menjawab
salam dari guru dan berdoa bersama (religius).
Setelah itu, guru mengabsen peserta didik,
sementara peserta didik mempersiapkan diri
untuk memulai kegiatan pembelajaran
(disiplin). Dilanjutkan dengan guru
menagajukan pertanyaan tentang keterkaitan
pengetahuan sebelumnya dengan materi yang
akan dipelajari (rasa ingin tahu), siswa
diharapkan dapat merespon atas pertanyaan
dari guru tentang keterkaitan pengetahuan
sebelumnya dengan materi yang akan
dipelajari (rasa ingin tahu) guru
menyampaikan informasi tentang Kompetensi
Dasar (KD), tujuan pembelajaran, dan manfaat
pembelajaran (disiplin). Peserta didik
menyimak dengan seksama penjelasan
cakupan materi dan penjelasan urain kegiatan
pembelajaran (disiplin).
Pada kegiatan inti tahap mengamti,
siswa mengamti teks diskusi dengan cermat
dan membaca buku teks (tanggung
jawab).Kemudian pada tahap menanya siswa
mengajukan pertanyaan.Selanjutnya pada
tahap menanya siswa mengajukan pertanyaan
sehubungan dengan masalah yang dihadapi
(rasa ingin tahu).Kemudian guru
mengarahkan peserta didik membentuk
kelompok dengan anggota 5-6 orang
(disiplin) siswa merespon arahan dari guru di
dalam kelas (disiplin). Guru memfasilitasi
terjadinya interaksi antara peserta didik
dengan guru dan atau peserta didik dengan
berbagai sumber dan siswa melakukan
kegiatan diskusi (demokratis). Selanjutnya
guru memonitor kegiatan diskusi serta
membimbing kelompok siswa yang
mengalami kesulitan (bertanggung jawab)
siswa aktif bersama anggota kelompok
menggali informasi melalui buku
pembelajaran (gemar membaca).
Pada tahapan mengolah data siswa
mendiskusikan informasi yang diperoleh
sehingga mendapatkan jawaban atas masala
hang diajukan (demokrasi) guru berperan
sebagai narasumber dan fasilitator dalam
menjawab pertanyaan peserta didik yang
mengalami kesulitan dengan bahasa yang baik
dan santun (bersahabat komunikatif)
sementara siswa menyimak setiap jawaban
dan penjelasan yang disampaikan guru
(bersahabat komunikatif).
Pada tahapan mengomunikasikan
masing-masing kelompok peserta didik
mempresentasikan pengertian diskusi, tujuan,
dan jenis-jenis dan struktur isi teks diskusi
(tanggung jawab) guru memberikan
konfirmasi melalui berbagai sumber untuk
memecahkan masala hang dihadpi peserta
didik, siswa menyimak penjelasan yang
disampaikan guru (tanggung jawab)
Pada tahapan terakhir yaitu kegiatan
penutup siswa menyampaikan hambatan-
hambatan yang dialami pada saat memahami
pembelajaran (jujur).Menyimpulkan kegiatan
pembelajaran yang telah dilakukan (tanggung
jawab). Guru menanggapi dan memberikan
saran atas hambatan-hambatan yang dialami
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543
PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 3 Oktober 2018 _______________________________________________________________ 206
peserta didik selama kegiatan pembelajaran,
sementara siswa menyimak saran yang di
sampaikan guru (komunikatif). Memberikan
informasi mengenai proses pembelajaran pada
pertemuan berikutnya (tanggung jawab) siswa
menyimak informasi mengenai proses
pembelajaran selanjutnya (disiplin) pada
tahapan paling akhir yaitu, guru menutup
pelajaran dengan mengucapkan salam dan
siswa merespon salam dari guru (religious).
Kutipan data di atas merupakan
gambaran pelaksanaan yang dilakukan oleh
guru. Pada proses pelaksanaan pembelajaran
bahasa Indonesia tersebut telah terinsersi nilai-
nilai karakter bangsa dengan baik, dan
penginsersian pndidikan karakter tersebut
berupa nilai religious, jujur, disiplin, kerja
keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin
tahu, menghargai prestasi,
bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar
membaca, dan tanggung jawab. Nilai karakter
tersebut tidak disampaikan secara tegas oleh
guru pada saat pembelajaran sehinga terkesan
penerapannya dilakukan tanpa di sadari.
Pelaksanaan pembelajaran idealnya
mengacu pada RPP.Namun dalam penelitian
ini, guru melakukan penyesuaian di lapangan
sesuai dengan situasi dan kondisi. Hal ini
sesuai dengan pendapat Sadirman (2014)
bahwa tidak dapat diingkari banyak peristiwa
atau bentuk interaksi di lapangan meskipun
tidak direncanakan, kadang-kadang akan
menimbulkan pengalaman baru sehingga
dijadikan pengetahuan dan pengalaman.
Dalam proses pelaksanaan
pembelajaran, nilai karakter yang paling
dominan muncul adalah nilai karakter
tanggung jawab dan displin. Sejalan dengan
yang diungkapkan Mulyasa (2014), dalam
rangka menyukseskan pendidikan karakter,
guru harus mampu menumbuhkan disiplin
peserta didik. Guru harus mampu membantu
peserta didik mengembangkan pola
perilakunya, meningkatkan standar
perilakunya, dan melaksanakan aturan sebagai
alat untuk menegakan disiplin. Disiplin yang
tinggi pula.
Penerapan pendidikan karakter bangsa
secara terintegrasi memang sudah tepat yaitu
sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh
Zubaedi (2011), bahwa format pembelajaran
pndidikan karakter secara terpadu dipandang
relevan dalam upaya mewujudkan karakter
bangsa yang sedang terpuruk. Hal ini sejalan
juga dngan konsep penerapan sikap dalam
kurikulum 2013, yaitu KI-1 (sikap spiritual)
dan KI-2 (sikap social) diajarkan secara tidak
langsung (indirect teaching) melalui KI-3
(pengetahuan) dan KI-4 (keterampilan).
Dalam pendidikan karakter, motivasi
merupakan sebuah hal yang baik dalam
membangun karakter dan menentukan
keberhasilan dari upaya pembangunan
karakter tesebut. Sebagai seorang guru wajib
memberikan motivasi yang lebih kepada siswa
dalam rangka menghadapi permasalahannya
bukan malah menakut-nakuti siswa dan
membuatnya down karena masa depan siswa
bukan hanya didasarkan pada nilai yang
tertera di laporan hasil belajar melainkan juga
pada sikap dan perilaku siswa di dalam dan di
luar sekolah. Motivasi yang membangun
karakter siswa dengan demikian maka akan
terlihat sejauh mana keberh asilan dalam
membentuk karakter siswa.
Oleh karena itu, untuk meningkatkan
kualitas pembelajaran, guru harus mampu
membangkitkan motivasi belajart peserta didik
sehingga dapat mencapai tujuan pembelajaran.
Sementara kendala dalam konteks penelitian
ini adalah faktor yank membatasi atau
menghalangi penginsersian nilai-nilai karakter
bangsa pada proses pembelajaran Bahasa
Indonesia kelas VIII Semester II SMP Negeri
2 Mengwi dalam pencapaian sasaran tujuan
pembelajaran. Hasil penelitian ini kendala
yang dihadapi guru bahasa Indonesia kelas
VIII SMP Negeri 2 Mengwi dalam
menginsersikan nilai-nilai karakter bangsa
pada proses pembelajaran bahasa Indonesia.
Kendala yang dihadapi guru dalam
menginsersikan nilai-nilai karakter bangsa
pada proses pembelajaran yaitu, kesulitan
dalam menghadapi karakter setiap siswa.
Setiap siswa memiliki karakter yang berbeda-
beda. Ada yang memiliki karakter baik, nakal,
pendiam, pemalu, penurut, susah diatur. Untuk
menumbuhkan ataupun menginsersikan nilai-
nilai karakter bangsa kepada siswa yang baik
dan penurut saat kegiatan pembelajaran, itu
tidak jadi masalah. Namun, untuk
menumbuhkan nilai-nilai karakter bangsa
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543
PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 3 Oktober 2018 _______________________________________________________________ 207
kepada siswa yang memiliki karakter nakal,
pendiam, bahkan pemalu, guru mengalamni
kesulitan untuk menginsersikan dalam proses
pembelajaran karena siswa yang demikian
sulit untuk diatur dan diberitahu agar bersedia
menunjukan sikap menghargai dan
mensyukuri keberadaan bahasa Indonesia
sebagai anugrah Tuhan Yang Maha Esa
dengan menggunakan bahasa Indonesia
dengan baik dan benar saat menyampaikan
informasi baik lisan maupun tulisan karena itu
sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa.
Hasil penelitian terkait pernah dilakukan
oleh Suwija (2012) telah menyimpulkan
bahwa bahwa pendidikan karakter bangsa
telah menjadi wacana nasional yang patut
direvitalisasi bersama-sama untuk dapat
disosialisasikan pada setiap kesempatan guna
menjaga stabilitas bangsa, sekaligusmencapai
tujuan pembangunannasional.Octavita (2017)
menyatakan bahwa dengan mengintregasikan
nilai-nilai karakter dalam proses belajar
mengajar, para siswa tidak hanya memiliki
kemampuan kognitif, tetapi mereka mampu
menerapkan semua nilai yang terkandung
dalam pendidikan karakter baik dalam
kehidupan di sekolah maupun di masyarakat
PENUTUP
Berdasarkan masalah yang diajukan,
hasil kajian penginsersian nilai-nilai kartakter
bangsa pada materi dan proses pembelajaran
bahasa Indonesia kelas VIII semester II SMP
Negeri 2 Mengwi dapat disimpulkan bahwa,
insersi nilai-nilai karakter bangsa pada materi
pembelajaran bahasa Indonesia kelas VIII
semester II SMP Negeri 2 Mengwi
menunjukan bahwa telah ditemukan nilai-nilai
karakter bangsa. Insersi nilai-nilai karakter
bangsa pada materi pembelajaran diinsersikan
walaupun tidak terlalu banyak dicantumkan
dan hanya beberapa nilai karakter saja.
Penginsersian nilai-nilai karakter pada
proses pelaksanaan pembelajaran bahasa
Indonesia di kelas VIII semester II SMP
Negeri 2 Mengwi menunjukan bahwa telah
ditemukan nilai-nilai karakter pada proses
pelaksanaan pembelajaran.
Kendala-kendala yang dihadapi oleh
guru bahasa Indonesia kelas VIII semester II
SMP Negeri 2 Mengwi yaitu dalam
pelaksanaan terletak pada karakter setiap
siswa. Siswa memiliki karakter yang berbeda-
beda, sehingga menyulitkan guru dalam
menginsersikan nilai-nilai karakter bangsa
dalam proses pembelajaran.
Berdasarkan dengan temuan dalam
penelitian ini, ada beberapa saran yang ingin
diberikan melalui penelitian ini yakni,
Siapapun yang akan memanfaatkan
pendidikan karakter, penelitian ini dapat
digunakan sebagai referensi bagi
perkembangan dan kemajuan ilmu
pengetahuan khususnya dalam penginsersian
nilai-nilai karakter pada proses pembelajaran
bahasa Indonesia.
Hendaknya guru dapat menginsersikan
nilai-nilai karakter bangsa dengan baik dalam
proses pelaksanaan pembelajaran bahasa
Indonesia agar tujuan pembelajaran dapat
dicapai secara maksimal. Dari pihak sekolah
dan dinas pendidikan hendaknya memberikan
pelatihan kembali terkait dengan Kurikulum
2013, agar penginsersian nilai-nilai karakter
bangsa dapat berjalan dengnan baik dalam
perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran.
Demikianlah seluruh proses penelitian
ini penulis akhiri dengan hasil tentu belum
mencapai kesempurnaan, walaupun harapan
yang terkandung sungguh tiada
batas.Akhirnya tulisan ini dipersembahkan
bagi keperluan perkembangan, pembinaan,
pelestarian bahasa, dan sastra Indonesia
khususnya dalam rangka peningkatan ilmu
pengetahuan bagi guru pengajar bahasa dan
sastra Indonesia.
DAFTAR RUJUKAN
Abidin, Yunus. 2012. Desain Sistem
Pembelajaran Dalam Konteks
Kurikulum 2013. Bandung:
Universitas Pendidikan Indonesia
Bandung.
Alwisol. 2006. Psikologi Kepribadian.
Malang: UMM.
Arikunto, Suharsimi. 1993. Prosedur
Penelitian Suatu Pendekatan
Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.
Battistich, Victor. 2007. Character Education,
Prevention, and Positif Youth
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543
PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 3 Oktober 2018 _______________________________________________________________ 208
Development. Illinois: University of
Missouri, St Louis
Damayanti, Deni 2014.Panduan Implementasi
Pendidikan Karakter Di Sekolah.
Yogyakarta: Araska.
Darmadi, Hamid. 2013. Dimensi-Dimensi
Metode Penelitian Pendidikan dan
Sosial. Pontianak: Alfabeta.
Depdiknas, 2003, Undang-undang No. 20
tahun 2003, Sistem Pendidikan
Nasional, http://www.depdiknas.go.id
Materi Pelatihan Guru Implementasi
Kurikulum 2013 SMP/MTS: Bahasa
Indonesia (2013). Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan
Mulyasa.2014 .Manajemen Pendidikan
Karakter. Jakarta: Bumi Aksara
Octavita, Rr. Astri Indriana & Ria Saraswati.
2017. Integrasi Pendidikan
BerkarakterDalam Pembelajaran
Bahasa Inggris. Jurnal Terapan
Abdimas. Volume 2 (hlm. 33-40)
Peraturan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia
Nomor 81a.Implementasi Kurikulum
2013. Jakarta: Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan
Sanjaya, Wina. 2009. Strategi Pembelajaran
Berorientasi Standar Proses
Pendidikan. Jakarta: Kencana
Prenanda Media Group
Setyosari, Puniji. 2013. Metode Penelitian
Pendidikan dan Pengembangan.
Jakarta: Kencana
Sugiyono. 2009. Metode Penelitian
Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan
R & D. Bandung. Alfa Beta.
Sujud P.J, Slamet, Blasius Suprapta &Sonny
Wedhanto. 2014. Eksplorasi Nilai-
Nilai Pendidikan Karakter BangsaDari
Sejarah Lokal MalangMulaiZaman
Prasejarah Sampai Masa Hindu-Budha
Abad XI.Jurnal Sejarah dan Budaya.
Volume 8, Nomor 1 (hlm. 83-95)
Supardi, Haryanto & Huri Suhendri. 2014.
Efektivitas Pengembangan Nilai-Nilai
Karakter Bangsa Melalui
Ekstrakurikuler Pramuka. Edutech.
Volume 1, Nomor 3 (hlm. 374-385)
Suwija, I Nyoman. 2012. Nilai –Nilai
Pendidikan Karakter Dalam
Pembelajaran Bahasa Bali. Jurnal
Pendidikan Karakter. Volume 2,
Nomor 2 (hlm. 67-80)
Zubaedi. 2011. Desain Pendidikan Karakter.
Jakarta: Kencana Prenanda Media
Group
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543 PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 3 Oktober 2018 __________________________________________________________ 209
INTEGRASI BUDAYA LOKAL DALAM MUATAN SIKAP PEMBELAJARAN ANAK
KELAS TINGGI PADA TEMA DAERAH TEMPAT TINGGALKU
I Wayan Lasmawan
Universitas Pendidikan Ganesha
Singaraja, Indonesia
e-mail: [email protected]
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan mendeskripsikan: (1) nilai sikap
spiritual dan sosial pada pembelajaran tema Daerah Tempat Tinggalku, (2) serta nilai
budaya lokal dalam aktivitas umum anak kelas tinggi yang dapat digunakan untuk
mengembangkan sikap spiritual dan sosial pada pembelajaran. Penelitian ini
merupakan penelitian deskriptif kualitatif dengan variabel nilai sikap, muatan
pembelajaran, dan nilai budaya lokal. Subjek penelitian terdiri dari 11 narasumber
yaitu budayawan,guru kelas dan orang tua siswa. Instrumen yang digunakan yaitu
lembar pencatatan dokumen dan pedoman wawancara. Temuan penelitian
menunjukkan: (1) muatan sikap spiritual yang muncul yaitu berperilaku syukur dan
toleransi dalam beribadah. (2) Muatan sikap sosial yang muncul yaitu jujur, disiplin,
tanggung jawab, santun, peduli, dan percaya diri. Nilai budaya lokal yang dapat
digunakan untuk mengembangkan sikap spiritual dan sosial berupa: (a) permainan
barong-barongan, poh-pohan, dan megoak-goakan. (b) Mendengarkan cerita Lubdaka,
I Durma, dan Cupak Teken Gerantang. Gending rare ratu anom dan merah putih
bendera titiange. (c) Salam budaya lokal berupa Om Suastiastu dan Om Santih, Santih,
Santih Om. (d) Kewajiban bersembahyang berupa mebanten saiban dan mebanten
canang. Berdasarkan temuan tersebut dihasilkan pemetaan aktivitas budaya lokal yang
dapat digunakan untuk mengembangkan sikap spiritual dan sosial pada pembelajaran
tema daerah tempat tinggalku.
Kata kunci: budaya lokal, muatan pembelajaran, muatan sikap
ABSTRACT
The purpose of this research aims to Analyze and describe (1) the spiritual and social
attitudes from theme Daerah Tempat Tinggalku (2) The value of local culture in the
general activities of high-class children that used to develop spiritual and social
attitudes on learning. This research use the descriptive qualitative survey method
.Variables of spiritual and social attitudes, the content of learning, and the local
culture. Subject of research is deep interview with experts culture, class teacher, and
parents of student. Instruments used recording documents and interview, The research
findings show: (1) spiritual attitudes that behave gratitude and tolerance of worship.
(2) social attitudes are honest, disciplined, responsible, polite, caring, and confident.
The value of local culture develop spiritual and social attitudes include: (a) barong-
barongan, poh-pohan, and megoak-goakan. (b) Listening story Lubdaka, I Durma, and
Cupak teken Gerantang. Gending rare ratu anom and merah putih bendera titiange.
(c) cultural local greetings Om Suastiastu and Om Santih, Santih, Santih Om (d)
Obligation to pray like mebanten saiban,mebanten canang. Based on the findings,
resulting mapping of local cultural activities content that can be used to develop
spiritual and social attitudes in learning theme daerah tempat tinggalku.
Keywords : Attitude content, local culture
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543 PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 3 Oktober 2018 ___________________________________________________________ 210
PENDAHULUAN
Pendidikan formal menjadi primadona
sebagai wadah untuk membentuk SDM yang
berkualitas. SDM yang berkualitas
dipandang tidak hanya terkait tingkat
kecerdasannya, melainkan seseorang yang
memiliki nilai-nilai kemanusiaan. Dantes
(2014:64) menyatakan, “kehidupan
masyarakat dewasa ini makin terobsesi
dengan kehidupan-kehidupan material yang
makin mendesak untuk dipenuhi, sehingga
pembangunan sains teknologi pun semakin
mengarah kepemenuhan aspek-aspek
kehidupan material, dan cenderung
mengarah pada memudarnya nilai-nilai
kemanusiaan sebagai dasar pengembangan”.
Permasalahan memudarnya nilai-nilai
kemanusiaan harus diatasi perlahan dengan
menanamkan nilai-nilai moral pada setiap
individu.
Suatu pedoman yang digunakan untuk
menjalankan penanaman moral pada dunia
pendidikan agar tidak menyimpang dari
tujuan pendidikan nasional adalah
kurikulum. Kurikulum adalah perangkat
mata pelajaran dan program pendidikan yang
diberikan oleh suatu lembaga penyelenggara
pendidikan yang berisi rancangan pelajaran
yang akan diberikan kepada peserta
pelajaran dalam satu periode jenjang
pendidikan. Kurikulum merupakan salah
satu unsur yang memberikan kontribusi
untuk mewujudkan proses berkembangnya
kualitas potensi peserta didik. Kurikulum
2013 dikembangkan berbasis pada
kompetensi sangat diperlukan sebagai
instrumen untuk mengarahkan peserta didik
menjadi: (1) manusia berkualitas yang
mampu dan proaktif menjawab tantangan
zaman yang selalu berubah; (2) manusia
terdidik yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri; dan
(3) warga negara yang demokratis,
bertanggung jawab (kemendikbud, 2014:2).
Dalam penerapannya, kurikulum 2013
tentu saja memiliki alasan atau tantangan
untuk dikembangkan dalam perbaikan
pendidikan. Tantangan tersebut datang dari
arah eksternal maupun internal. Tantangan
Internal yang dimaksud meliputi (a)
Pemenuhan 8 (delapan) Standar Nasional
Pendidikan yang meliputi standar isi, standar
proses, standar kompetensi lulusan, standar
pendidik dan tenaga kependidikan, standar
sarana dan prasarana, standar pengelolaan,
standar pembiayaan, dan standar penilaian
pendidikan. (b) Perkembangan penduduk
Indonesia dilihat dari pertumbuhan
penduduk usia produktif. Penduduk dengan
usia produktif merupakan modal besar bagi
suatu negara apabila penduduk tersebut
memiliki kompetensi dan keterampilan
untuk suatu proses pembangunan. Namun,
apabila sebaliknya penduduk dengan usia
produktif tersebut tidak memiliki kompetensi
dan keterampilan maka hanya akan
menambah beban negara dan memicu
tumbuhnya suatu negara tanpa SDM yang
berkualitas. Tantangan eksternal, yang
dihadapi dunia pendidikan antara lain
berkaitan dengan tantangan masa depan,
kompetensi yang diperlukan di masa depan,
persepsi masyarakat, perkembangan
pengetahuan dan pedagogi, serta berbagai
fenomena negatif yang mengemuka.
Dalam kaitannya dengan pencapaian
kurikulum tantangan tersebut perlu
ditindaklanjuti agar tidak semakin
menyimpang. Ciri khas pada kurikulum
2013 adalah adanya kompetensi inti yang
menyungsung proses pendidikan.
Kompetensi inti terdiri dari empat jenis
kompetensi yaitu; Kompetensi Inti 1 tentang
sikap spiritual, Kompetensi Inti 2 tentang
sikap sosial, Kompetensi Inti 3 tentang
pengetahuan, dan Kompetensi Inti 4 tentang
keterampilan. Keempat kompetensi ini
diimplementasikan pada proses
pembelajaran. KI 1 dan KI 2 dibelajarkan
secara tidak langsung sehingga sikap
spiritual dan sosial ini akan memberikan
dampak pengiring bagi KI 3 dan KI 4.
Segala tuntutan yang dikemas pada
kurikulum 2013 tidak terlepas dari suatu
pengantar makna yaitu “bahasa”. Bahasa
merupakan alat yang digunakan sebagai alat
penyampaian informasi atau maksud yang
ingin ditujukan secara lisan maupun tulisan.
(Abidin.2015:19) menyatakan “bahasa
secara hakiki memiliki keterhubungan
dengan kegiatan berpikir manusia, karena
selanjutnya bahasa berfungsi sebagai
penghela, pembawa, dan pengembang ilmu
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543 PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 3 Oktober 2018 ___________________________________________________________ 211
pengetahuan”. Siswa pada sekolah dasar
perlu ditananamkan kemampuan berbahasa
agar mampu memahami makna dari setiap
materi yang disajikan.
Berdasarkan tuntutan tersebut serta
untuk menjawab tantangan eksternal dan
internal yang telah dikemukakan,
pembelajaran pada siswa kelas tinggi harus
disesuaikan dengan tuntutan kurikulum
2013. Secara praktis untuk mencapai tujuan
pembentukan kurikulum 2013 tersebut selain
RPP, buku guru, dan buku siswa yang telah
dirancang sesuai kurikulum 2013, diperlukan
juga suatu penunjang yang dipandang dalam
pelaksanaanya lebih menanamkan nilai-nilai
luhur suatu bangsa. Penanaman nilai-nilai
budaya dan moral dapat dilakukan melalui
upaya komunikasi dan kebiasaan anak dalam
melakukan aktivitas. Hal ini sejalan dengan
penelitian Trisna (2013) yang menyatakan
melalui pembelajaran bahasa (alat
komunikasi) diharapkan realisasi pendidikan
karakter pada anak usia sekolah dasar dapat
dioptimalkan, mengingat bahasa disamping
sebagai salah satu unsur kebudayaan,
memungkinkan pula manusia memanfaatkan
pengalaman-pengalaman mereka,
mempelajari dan mengambil bagian dalam
pengalaman pengalaman itu, serta belajar
berkenalan dengan nilai-nilai dasar
berkehidupan yang sangat dibutuhkan dalam
bermasyarakat.
Atas dasar pemikiran tersebut, dapat
dipahami aktivitas anak dan pembentukan
karakter berwawasan kearifan lokal memiliki
tujuan yang sejalan yaitu membentuk
manusia yang mempunyai pemahaman,
sikap, dan perilaku yang berkarakter dan
memiliki nilai-nilai luhur. Kearifan lokal
yang dimaksud berupa budaya yang dimiliki
oleh suatu wilayah. Berkaitan dengang
budaya dalam penelitiannya Oduolowu
(2014) mengatakan “Culture is an important
aspect of background knowledge and it
influences all aspects of life. Culture has a
major impact on all components of learning
process.” Yang artinya (Budaya merupakan
aspek penting dari latar belakang
pengetahuan dan budaya mempengaruhi
semua aspek kehidupan. Selain itu budaya
memiliki dampak besar pada semua
komponen proses pembelajaran). Dalam
penelitiannya terkait pentingnya budaya
lokal Mulyaningsih (2013) juga menyatakan
pembelajaran berbasis budaya merupakan
strategi penciptaan lingkungan belajar dan
perancangan pengalaman belajar yang
mengintegrasikan budaya sebagai bagian
dari proses pembelajaran. Pembelajaran
berbasis budaya lokal berlandaskan pada
pengakuan terhadap budaya sebagai bagian
yang mendasar dan penting bagi pendidikan
dan perkembangan pengetahuan.
Salah satu komponen pembelajaran
yang dikembangkan melalui pembentukan
karakter berwawasan kearifan lokal adalah
sikap. Sikap yang maksud dalam penelitian
ini adalah sikap spiritual dan sikap sosial.
Berdasarkan hal tersebut, diperlukan
pembelajaran yang mampu mendukung
penanaman aspek sikap spiritual dan sosial
dalam pembelajaran berbasis budaya lokal.
Salah satu upaya dalam pembelajaran yang
mampu menarik minat siswa adalah
kegiatan/aktivitas berbudaya lokal. Dengan
aktivitas yang diselipkan pada muatan
pembelajaran, peserta didik akan memaknai
tiap aktivitas seperti bermain, bercerita/
mesatua, Bernyanyi/ gending rare,
kebiasaan memberi salam, dan kewajiban
bersembahyang sehingga aspek sikap yang
sengaja diselipkan melekat pada benak
peserta didik secara tidak langsung. Agar
berkaitan dengan tema pembelajaran yang
berlangsung, diperlukan adanya suatu
analisis sikap yang terkandung pada tema
pembelajaran tersebut.
Berdasarkan hal tersebut dilakukan
suatu penelitan yang bertujuan untuk
menganalisis muatan sikap siswa kelas tinggi
dalam pembelajaran. Agar berkaitan dengan
tema pembelajaran, analisis sikap dikaitkan
dengan pengembangan sikap berbasis
budaya lokal. Hal ini dilakukan untuk
menghasilkan sebuah pemetaan aktivitas
budaya lokal terkait muatan sikap yang bisa
dimasukkan kedalam aktivitas anak yang
berbasis budaya lokal, yang nantinya bisa
digunakan untuk membelajarkan anak
tentang sikap – sikap terkandung pada
muatan pembelajaran yang sesuai dengan
kurikulum 2013 untuk mendukung
pencapaian tema daerah tempat tinggalku di
kelas 4 SD.
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543 PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 3 Oktober 2018 ___________________________________________________________ 212
Tujuan dari penelitian ini antara lain
(1) Menganalisis dan mendeskripsikan nilai-
nilai sikap spiritual dan sikap sosial yang
termuat pada pembelajaran tema daerah
tempat tinggalku. (2) Menganalisis dan
mendeskripsikan nilai-nilai budaya lokal
yang muncul dalam aktivitas umum anak
kelas tinggi yang dapat digunakan untuk
mengembangkan nilai sikap spiritual dan
sosial pada pembelajaran tema daerah
tempat tinggalku.
METODE
Metode penelitian ini menggunakan
deskriptif kualitatif karena penelitian ini
ditujukan untuk mendeskripsikan nilai sikap
spiritual dan sosial, serta nilai budaya lokal
yang terkait dengan aktivitas anak kelas
tinggi. Pendeskripsian dilakukan secara
mendalam dan bermakna sehingga hasilnya
dapat digunakan sebagai bahan dalam
memetakan aktivitas anak kelas tinggi sesuai
muatan sikap dan pembelajaran sebagai
suplemen pada tema Daerah Tempat
Tinggalku kelas 4 Sekolah dasar.
Variabel-variabel dalam penelitian ini
adalah: (1) Nilai - nilai sikap spiritual dan,
sikap sosial, (2) budaya lokal dalam
kehidupan anak kelas tinggi sekolah dasar.
Analisis data yang dilakukan dalam
penelitian ini menggunakan metode analisis
deskriptif kualitatif.
Data tentang muatan nilai-nilai sikap
spiritual dan sosial pada kurikulum 2013
yang didukung oleh data tentang budaya
lokal dalam kehidupan anak kelas tinggi
berupa aktivitas anak kelas tinggi yang
dikumpulkan dengan metode pencatatan
dokumen dan wawancara. Dokumen yang
digunakan meliputi buku guru, buku siswa
tema Daerah Tempat Tinggalku kelas 4 SD.
Metode wawancara digunakan dengan
tujuan menggali informasi dari narasumber
(budayawan, guru kelas 4SD, dan orang tua
siswa kelas 4SD) tentang nilai-nilai budaya
lokal berupa aktivitas anak kelas tinggi yang
mendukung nilai spiritual dan sosial serta
muatan pembelajaran yang disesuaikan
dengan aktivitas budaya lokal anak kelas
tinggi sebagai suplemen pencapaian
kurikulum 2013 pada pembelajaran dengan
tema Daerah Tempat Tinggalku kelas 4
Sekolah Dasar.
Instrumen yang digunakan dalam
penelitian ini adalah lembar pencatatan
dokumen dan pedoman wawancara. Lembar
pencatatan dokumen digunakan untuk
mengkaji muatan pembelajaran pada buku
guru dan buku siswa tema Daerah Tempat
Tinggalku kelas 4 SD. Pedoman ini
menggunakan pola dikotomi dengan kategori
muncul dan tidak muncul. Pedoman
wawancara digunakan untuk menggali
informasi dari narasumber terkait nilai-nilai
budaya lokal yang muncul dalam aktivitas
umum anak kelas tinggi serta dikaji
relevansinya untuk mendukung pemetaan
budaya lokal dalam pembelajaran.
Sebelum instrumen digunakan perlu
dilakukan pengujian untuk mengetahui
tingkat validitas pedoman pencatatan
dokumen terkait dengan nilai-nilai sikap
spiritual dan sosial serta pedoman
wawancara. Validasi dilakukan dengan cara
melakukan expert judgment oleh ahli di
bidang kurikulum dan psikologi. Hasil
evaluasi kemudian diformulasikan dengan
menggunakan teknik analisis mengacu pada
formula yang dikembangkan oleh Robert
Gregory. Rentang nilai yang diperoleh dari
Hasil validasi instrumen pencatatan
dokumen dalam penelitian ini menunjukan
kriteria sangat tinggi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Undang-undang RI No. 20 tahun 2003
tentang sistem pendidikan nasional
mengamanahkan agar pendidikan tidak
hanya memberi kesempatan untuk
membentuk insan Indonesia yang cerdas
semata, tetapi juga berkarakter, sehingga
nantinya akan lahir generasi bangsa yang
tumbuh berkembang dengan karakter yang
bernafaskan nilai luhur dan agama. Terkait
hal tersebut pada kurikulum 2013
permendikbud nomor 67 tahun 2013
memaparkan, nilai sikap spiritual untuk
sekolah dasar yaitu menerima, menjalankan,
dan menghargai ajaran agama yang
dianutnya.
Berdasarkan hasil analisis data
ditemukan bahwa nilai-nilai sikap spiritual
yang muncul pada tema Daerah Tempat
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543 PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 3 Oktober 2018 ___________________________________________________________ 213
Tinggalku adalah berprilaku syukur dan
toleransi dalam beribadah. Berkaitan
dengan budaya lokal temuan pada aktivitas
kelas tinggi berupa aktivitas bermain yang
dapat mendukung sikap spiritual berupa
berprilaku syukur pada pembelajaran
contohnya permainan barong-barongan
barongan (permainan ini merupakan
permainan yang mengarahkan anak
mengakui kebesaran Tuhan dengan
mensyukuri manifestasinya dalam wujud
barong), bade-badean , megambel-
gambelan, siap sampian (permainan
tradisional terkait kepercayaan spiritual dari
Gianyar), perang tipat (permainan
tradisional terkait kepercayaan spiritual dari
Badung). Sedangkan terkait sikap spiritual
berupa toleransi dalam beribadah,
permainan budaya lokal yang mendukung
adalah main kepur (berkaitan dengan sikap
toleransi/ hidup rukun yang mengajak siswa
menerima kekalahan / kemenangan), curik-
curik (permainan yang melibatkan kelompok
sehingga anak bersyukur dengan menerima
karakteristik temannya), dan lain-lain.
Kegiatan yang mendukung pada aktivitas
mendengarkan satua / cerita untuk
memancing sikap spiritual berupa perilaku
bersyukur pada suplemen pembelajaran
contohnya satua I Pepet teken Busuan
(menanamkan pesan yang dapat
menumbuhkan rasa syukur dan sikap suka
menolong), I cupak ajak i gerantang
(menanamkan prilaku syukur dengan
mengakui kebesaran Tuhan yang bisa
menyebabkan hukum karmaphala terjadi),
Dalem balingkang (mengisahkan terjalinnya
suatu hubungan dalam 2 kultur “hindu dan
budha” tanpa membedakan agama yang
dianut/toleransi agama), Lubdaka, awatara
( ke dua kisah tersebut adalah cerita yang
berkaitan dengan kebesaran Tuhan sebagai
sang pencipta). Pada aktivitas megending
rare berupa perilaku bersyukur yang dapat
diselipkan dan mendukung penanaman sikap
spiritual pada suplemen pembelajaran
contohnya gending curik-curik (lagu "Curik-
curik" sesungguhnya sebuah gending yang
memesankan bahwa semua ciptaan Tuhan di
dunia ini sama saja, entah dia normal atau
dalam keadaan cacat fisik kita harus
menerimanya), bebeke putih jambul (makna
putih “suci” dan jambul “terletak diatas”
pada lirik lagu menunjukan kebesaran Tuhan
yang harus dihormati dan disyukuri), made
cenik (pada lirik “batu cina bais lantang
cunguh barak” mengartikan banyak tourist
yang berdatangan ke Bali khususnya badung
dan gianyar. Sebagai rakyat bali kita harus
mensyukuri hal tersebut namun dengan tetap
menjaga kelestarian alam dan budaya),
jenggot uban (bersyukur menerima
karakteristik individu yang dilihat dari
perbedaan usia). Temuan pada aktivitas
mengucapkan salam yang mendukung
pembelajaran berupa perilaku bersyukur
contohnya salam keagamaan Panganjali /
Om Swastiastu, Paramashanti / Om Santi
Santi Santi Om (salam ini dipergunakan
untuk pertemuan dan perpisahan dalam umat
hindu. Salam tersebut dapat menumbuhkan
sikap spiritual anak karena dengan
mengucapkan salam anak sudah belajar
untuk bersyukur), Salam sehubungan dengan
waktu Rahajeng semeng, rahajeng siang,
rahajeng wengi. Temuan pada Aktivitas
kewajiban bersembahyang yang dapat
mendukung sikap spiritual pada
pembelajaran contohnya kewajiban
sembahyang / mebanten canang dan
mesegeh dapat meningkatkan nilai spiritual
anak, terutama dalam hal bersyukur karena
anak dapat menerapkan mebanten sebagai
wujud terimakasih atas pemberian sang
pencipta.
Sikap spiritual sangat penting
ditanamkan pada anak kelas tinggi. Hal ini
ditujukan agar anak selalu bersyukur atas
rahmat yang diberikan oleh Tuhan. Dengan
adanya rasa syukur dan sikap toleransi pada
anak maka hal ini dapat menumbuhkan
karakter yang baik pada siswa khususnya
anak kelas tinggi. Sejalan dengan konsepsi
karakter, Dantes (2008) menyatakan pada
umumnya pendidikan karakter mempunyai
dua tujuan utama, yaitu membantu peserta
didik menjadi bijak (smart) dan membantu
mereka menjadi orang yang baik. Baik,
dalam arti nilai-nilai moral yang seimbang,
yakni nilai-nilai yang dapat memperkokoh
martabat manusia dan mengembangkan
kebaikan individu dan masyarakat.
Mengacu pada temuan penelitian
tentang pendidikan karakter, Dewi (2016)
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543 PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 3 Oktober 2018 ___________________________________________________________ 214
menegaskan bahwa peserta didik secara aktif
mengembangkan potensinya melalui
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian
diri, kepribadian, akhlak mulia, kecerdasan,
dan ketrampilan.
Temuan ini juga didukung oleh hasil
wawancara dengan budayawan Ida Pandita
Mpu Jaya Acharya Nanda yang
mengemukakan bahwa nilai spiritual sangat
penting ditanamkan kepada anak kelas tinggi
untuk menanamkan prilaku bersyukur,
sehingga akan membentuk karakter anak
untuk selalu bersyukur kepada Ida Sang
Hyang Widi atas segala karunia yang telah
diberikan, dan memahami rasa syukur
tersebut dipersembahkan untuk siapa saja
yang dalam hal ini menyangkut pada konsep
Tri Hitta Karana.
Pada kurikulum 2013 ditetapkannya
sikap sosial yang juga merupakan salah satu
kompetensi inti (KI-2) dalam permendikbud
nomor 67 tahun 2013. Sikap sosial dalam
KI-2 meliputi memiliki prilaku jujur,
disiplin, tanggung jawab, santun, peduli, dan
percaya diri dalam berinteraksi dengan
keluarga, teman, dan guru.
Nilai sikap sosial yang muncul pada
tema Daerah Tempat Tinggalku terdiri dari
enam dimensi yaitu jujur, disiplin,
tanggung jawab, santun, peduli, percaya
diri. Sikap sosial didukung oleh budaya
lokal permainan Bali seperti permainan
medagang-dagangan (menanamkan
kejujuran), ngejuk lindung (menanamkan
kejujuran), sepit-sepitan (menanamkan
kejujuran dan tanggung jawab), megale-
galean (tanggung jawab dan disiplin),
meong-meong (kepedulian), mepoh-pohan
(disiplin), dur, gemblung, dengkleng,
megoak-goakan, metek-tekan,engkeb-
engkeban, mekedeng-kedengan, bale
bunder, mekering-keringan (seluruh
permainan tersebut menanamkan sikap
disiplin menaati aturan, tanggung jawab,
percaya diri dan berani). Juga didukung oleh
aktivitas mendengarkan satua / cerita
yang dapat diselipkan untuk memancing
sikap sosial pada buku cerita anak contohnya
satua I Pepet teken Busuan (kejujuran), I
Cupak ajak i Gerantang (bertanggung
jawab), siap selem (peduli dan bertanggung
jawab), I kancil teken i kakua (percaya diri
dan disiplin), sapuh leger (peduli), men
sugih teken men tiwas (tanggung jawab,
peduli), I Durma (tanggung jawab dan
disiplin), I kakua teken I angsa (disiplin), I
puuh teken i lipi awan (kedisiplinan), pan
balan tamak (kedisiplinan). Temuan pada
aktivitas megending rare yang dapat
diselipkan untuk memancing dan
mendukung sikap sosial pada suplemen
kegiatan pembelajaran contohnya gending
putri cening ayu (peduli, tanggung jawab
dan disiplin), Goak maling (disiplin),
Bebeke putih jambul (disiplin), ratu anom
(peduli), juru pencar (peduli), made cenik
(tanggung jawab), jenggot uban (peduli),
merah putih bendera titiange (percaya diri).
Selain itu didukung oleh aktivitas
mengucapkan salam yang dapat diselipkan
untuk memancing sikap sosial pada
suplemen kegiatan pembelajaran contohnya
salam keagamaan Panganjali / Om
Swastiastu, Paramashanti / Om Santi Santi
Santi Om, (disiplin,santun) Salam
sehubungan dengan waktu Rahajeng
semeng, rahajeng siang, rahajeng wengi,
dan Astungkara (disiplin,santun). Serta
didukung oleh aktivitas kewajiban
bersembahyang yang dapat diselipkan
untuk memancing sikap sosial adalah
mebanten saiban dan mebanten canang
(aktivitas ini dapat menanamkan sikap sosial
berupa kedisiplinan, tanggung jawab, dan
kepercayaan diri apabila anak melalukannya
dengan baik).
Dengan menyelipkan aktivitas umum
tersebut, anak akan terbiasa melakukan sikap
sosial yang diterapkan secara langsung
dalam kesehariannya. Secara tidak langsung
lingkungan yang dihadapi anak akan
bermanfaat sebagai media pembentukan
karakter dengan sikap sosial yang anak
miliki. Temuan ini diperkuat dengan hasil
penelitian Cakra (2015) yang menyatakan
faktor-faktor yang mempengaruhi sikap
sosial adalah faktor indogen: faktor pada diri
anak itu sendiri seperti faktor imitasi,
sugesti, indentifikasi, simpati dan faktor
eksogen: faktor yang berasal dari luar seperti
lingkungan keluarga, lingkungan
masyarakat, dan lingkungan sekolah. Faktor
tersebut dapat dilihat dari kemampuan anak
bersosialisasi dalam lingkungannya. Sikap
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543 PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 3 Oktober 2018 ___________________________________________________________ 215
sosial terbentuk secara langsung dari
pengalaman pengalaman yang individu
alami semasa hidupnya. Diantara berbagai
aspek yang memengaruhi sikap sosial,
kebudayaan mempunyai pengaruh besar
terhadap pembentukan sikap, karena
kebudayaan telah mewarnai sikap anggota
masyarakat serta memberi corak pengalaman
individu yang menjadi anggota kelompok
masyarakat.
Aktivitas budaya lokal anak seperti
bermain, mendengarkan cerita, bernyanyi,
mengucapkan salam, dan kewajiban
sembahyang memiliki aspek nilai, norma,
aturan sebagai pengembang sikap sosial bagi
anak. Sejalan dengan hal tersebut
Oktariyanti (2016) menyebutkan
pengalaman interaksi sosial sangat berperan
dalam mengembangkan kemampuan berpikir
anak. Bentuk-bentuk aktivitas mental yang
tinggi diperoleh dari konteks sosial dan
budaya tempat anak berinteraksi dengan
teman-temannya atau orang lain juga sangat
membantu perkembangan sikap sosial anak.
Berkaitan dengang budaya dalam
penelitiannya Oduolowu (2014) juga
mengatakan “Culture is an important aspect
of background knowledge and it influences
all aspects of life. Culture has a major
impact on all components of learning
process.” Yang artinya (Budaya merupakan
aspek penting dari latar belakang
pengetahuan dan budaya mempengaruhi
semua aspek kehidupan. Selain itu budaya
memiliki dampak besar pada semua
komponen proses pembelajaran).
Komponen proses pembelajaran tidak
terlepas dari muatan dan materi disetiap
pembelajaran. Muatan pembelajaran yang
terdapat dalam tema Daerah Tempat
Tinggalku terdiri dari 5 muatan
pembelajaran. Ke-5 muatan pembelajaran ini
juga dianalisis untuk menemukan cakupan
materi yang muncul dan dikaitkan dengan
budaya lokal setempat. Hal ini ditujukan
untuk mengembangkan sikap dalam muatan
pembelajaran yang berbudaya lokal.
Pada muatan pembelajaran Bahasa
Indonesia tema 8 Daerah Tempat Tinggalku
muncul secara terfokus pada buku guru dan
buku siswa yaitu mengenai teks cerita
(narasi sederhana), konteks sosial yang
melatari jenis teks, paralinguistik, kalimat
sederhana, genre tanggapan, dan
kelompok kata. Berdasarkan wawancara
yang dilakukan kepada budayawan, guru
kelas 4 SD, dan orang tua siswa aktivitas
permainan yang mendukung kegiatan
pembelajaran dan berkaitan dengan muatan
sikap dalam pembelajaran B.I adalah
permainan sepit-sepitan (yang menunjukkan
permainan ini berkaitan dengan B.I adalah
pertanyaan yang ada pada kartu tanya
permainan sepit-sepitan ini). Sedangkan
tidak ditemukan aktivitas anak kelas tinggi
lainnya seperti satua, nyanyian / gending
rare, mengucapkan salam, dan kewajiban
sembahyang yang berkaitan dengan muatan
pembelajaran bahasa Indonesia.
Pada muatan pembelajaran PPKn tema
8 Daerah Tempat Tinggalku cakupan materi
yang muncul adalah materi mengenal
karakteristik individu, norma dalam
masyarakat, kandungan moral dalam
pancasila, persatuan dan kesatuan
bangsa. Budaya lokal pada aktivitas
bermain yang dapat diselipkan dan
mendukung nilai sikap pada materi PPKn
dalam pembelajaran contohnya permainan
megale-galean, mekedeng-kedengan/
mepaid-paidan, megoak-goakan, ninting
ogoh-ogoh ( permainan ini mengandung
nilai dalam pancasila sila ke-5 yaitu
bekerjasama). meong-meongan (permainan
yang mengajak siswa untuk saling menolong
dalam mengalahkan perbuatan buruk
“penerapan pancasila sila ke-2”), Poh-pohan
(permainan yang secara langsung mengajak
siswa untuk memahami lingkungan dan
menjaga kelestarian lingkungan “penerapan
sila ke 1 pancasila”), mekering-keringan
(mengajarkan anak untuk selalu bertanggung
jawab terhadap tugasnya), ngejuk lindung
(pemainan ini mengajarkan anak untuk
mampu membedakan mana yang baik dan
mana yang buruk dalam kehidupan, hal ini
berkaitan dengan materi norma dalam
masyarakat), siap sampian, perang tipat
(permainan dari beberapa daerah di Bali
yang berkaitan dengan materi
keanekaragaman budaya). Aktivitas
mendengarkan satua / cerita yang
mendukung munculnya budaya lokal dalam
materi PPKn adalah satua Siap selem
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543 PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 3 Oktober 2018 ___________________________________________________________ 216
(memahami karakteristik), I Pepet teken i
Busuan (norma dalam masyarakat), rare
Angon (nilai moral dalam pancasila), I
Cupak ajak Gerantang (nilai moral dalam
pancasila), men tiwas teken men sugih
(norma dalam masyarakat), lubdaka, I Puuh
teken i lipi awan, Pan Balang Tamak,
dalem balingkang, kakua teken lutung (ke
lima cerita tersebut menanamkan nilai moral
dalam pancasila dan norma dalam
masyarakat). Aktivitas megending rare
yang dapat mendukung materi PPKn pada
pembelajaran adalah gending curik-curik,
putri cening ayu, jenggot uban, ratu anom,
Merah putih bendera titiange,Juru pencar,
made cenik (lagu-lagu tersebut disetiap
liriknya menanamkan nilai-nilai yang
terkandung pada sila pancasila dan nilai
moral dalam pancasila). Aktivitas
kewajiban bersembahyang yang
mendukung muatan pembelajaran PPKn
adalah Banten saiban, Banten sehubungan
dengan hari suci “purnama/tilem” banten
canang, dan mesegeh (kewajiban mebanten
tersebut mengarahkan anak untuk
memahami dengan mebanten artinya anak
mensyukuri anugerah yang diberikan oleh
Tuhan. Bersyukur erat kaitannya dengan
materi nilai moral dalam pancasila yaitu
pengamalan sila pertama pancasila).
Pada muatan pembelajaran IPA tema 8
Daerah Tempat Tinggalku cakupan materi
yang muncul pada buku guru dan buku siswa
tema Daerah Tempat Tinggalku hanya satu
cakupan materi yaitu materi gaya dan
gerak. Budaya lokal dalam permainan yang
berkaitan dengan muatan pembelajaran IPA
pada materi gaya dan gerak yaitu permainan
mekedeng-kedengan dalam bahasa
Indonesia dinamakan tarik tambang.
Permainan ini berkaitan dengan gaya dan
gerak karena dalam melakukan permainan
ini diperlukan pemberian gaya tarik, gaya
dorong, dan pengaruh gaya terhadap gerak
benda. Permainan lainnya yang sama-sama
memerlukan gaya untuk mempengaruhi
gerak benda adalah permainan sepit-sepitan,
tek-tek, main gemblung, dur-duran, main
kepur. Budaya lokal pada aktivitas
mendengarkan satua / cerita yang dapat
mendukung materi IPA adalah I kancil
teken kakua. Budaya lokal pada aktivitas
megending rare yang mendukung muatan
pembelajaran IPA adalah gending made
cenik (pada lagu terdapat lirik; montor
Badung ke Gianyar jika diartikan montor
adalah sebuah kendaraan yang bergerak dari
Badung ke Gianyar. “proses perpindahan
gerak benda”). Gending bebeke putih
jambul (lirik lagu “mekeber ngaja-
nganginan” menjelaskan perpindahan gerak
benda).
Pada muatan pembelajaran IPS tema 8
Daerah Tempat Tinggalku materi yang
muncul pada muatan pembelajaran IPS
adalah mengenai wilayah geografis tempat
tinggal Indonesia, aktivitas ekonomi, dan
keragaman ekonomi masyarakat. Budaya
lokal pada aktivitas bermain yang
mendukung materi IPS pada pembelajaran
contohnya permainan sepit-sepitan
(permaianan ini dijadikan awal dimulainya
permaianan/ kuis menebak wilayah geografis
Indonesia, sepit-sepitan berguna sebagai
penentu regu yang berhak menjawab
pertanyaan pada kartu pertanyaan terkait
wilayah geografis Indonesia), dengkleng ,
megale-galean, melayangan (memahami
wilayah geografis dan batas wilayah),
medagang-dagangan (proses ekonomi).
Budaya lokal aktivitas mendengarkan
satua / cerita yang mendukung materi IPS
pada suplemen pembelajaran contohnya
Men sugih teken men tiwas, Dalem
Balingkang, I cupak ajak gerantang, Selat
Bali (terkait materi (memahami wilayah
geografis dan batas wilayah serta kehidupan
ekonomi). Budaya lokal aktivitas
megending rare yang mendukung materi
IPS pada suplemen pembelajaran contohnya
gending juru pencar (keadaan geografis
suatu wilayah seperti pada lagu yaitu “di laut
banyak ikan besar”), curik-curik (dalam
lagu terdapat lirik yang berkaitan dengan
unsur kegiatan ekonomi), made cenik
(diungkapkan pada lirik makna tersirat
berupa akibat pengaruh globalisasi banyak
tourist yang berdatangan ke Bali dan kita
diingatkan untuk selalu melestarikan dan
melindungi Budaya Bali), ketut garing
(mengenal berbagai wilayah dan
karakteristiknya yang ada di Bali). Pada
aktivitas kewajiban sembahyang Budaya
lokal yang mendukung muatan IPS adalah
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543 PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 3 Oktober 2018 ___________________________________________________________ 217
mebanten Banten saiban, Banten
sehubungan dengan hari suci
“purnama/tilem” banten canang, dan
mesegeh (mebanten dilakukan untuk
memperoleh pengetahuan letak geografis
lingkungan rumah terkait dimana banten
tersebut harus dihaturkan apapun jenisnya).
Pada muatan pembelajaran SBdP tema
8 Daerah Tempat Tinggalku cakupan materi
yang muncul yaitu apresiasi dan kreasi
karya seni rupa, seni tari, seni musik /
lagu daerah, apresiasi dan kreasi karya
seni rupa dua dimensi dan tiga dimensi.
Budaya lokal pada aktivitas bermain yang
mendukung materi SBdP contohnya
permainan poh-pohan, curik-curik , meong-
meong (ketiga lagu tersebut mengandung
materi karya seni musik/lagu daerah),
megambel-gambelan (karya seni musik),
merangde-rangdean (karya tiga dimensi),
gasing tradisional (karya bentuk tiga
dimensi) , Budaya lokal pada aktivitas
mendengarkan satua / cerita yang
mendukung materi SBdP pada pembelajaran
contohnya ratu anom dan janger. Budaya
lokal pada aktivitas kewajiban
sembahyang yang penting diselipkan pada
muatan pembelajaran SBdP adalah
mebanten canang (melalui mebanten
canang anak akan mulai mencari tahu cara
membuat canang yang nantinya akan
mengarahkan pada materi apresiasi karya
seni rupa dalam bentuk pembuatan canang
dalam mencipta karya seni 3D).
Berdasarkan hasil temuan di atas dapat
dilihat ternyata muatan sikap sangat banyak
dapat didukung oleh budaya lokal Bali.
Selain hal tersebut, pada umumnya muatan
pembelajaran secara tidak langsung juga
menanamkan muatan sikap sehingga dalam
penelitian ini muatan pembelajaran juga
dianalisis untuk memetakan budaya lokal
Bali dalam pembelajaran. Hal ini dilakukan
agar guru lebih mudah dalam menentukan
budaya lokal apa saja yang bisa ditanamkan
nilai sikap dan sekaligus dapat diselipkan
pada tiap pembelajaran. Hasil ini telah
dibuktikan atas temuan penelitian
Mulyaningsih (2013) yang menyatakan
pembelajaran berbasis budaya merupakan
strategi penciptaan lingkungan belajar dan
perancangan pengalaman belajar yang
mengintegrasikan budaya sebagai bagian
dari proses pembelajaran. Pembelajaran
berbasis budaya lokal berlandaskan pada
pengakuan terhadap budaya sebagai bagian
yang mendasar dan penting bagi pendidikan
karakter dan perkembangan pengetahuan.
Paparan mengenai aktivitas anak kelas
tinggi yang dikaitkan dengan budaya lokal
Bali tersebut akan sangat baik jika
dimanfaatkan sebagai suplemen anak dalam
belajar. Melalui pembelajaran yang
melibatkan aktivitas keseharian anak
berbasis budaya lokal dapat menciptakan
pembelajaran menjadi lebih menarik dan
siswa bisa diarahkan untuk memaknai
aktivitas yang disuguhkan melalui
penugasan yang berkaitan dengan tema. Hal
ini didukung oleh hasil penelitian Arnasih
(2015) yang menyatakan Peserta didik selalu
power full dalam belajar, karena mereka
dihadapkan pada siatuasi belajar yang dekat
dengan lingkungan, dipancing dengan cerita-
cerita menarik sesuai dengan kebutuhan dan
potensinya. Hasil penelitian yang dilakukan
Sudarmiani(2013) menyatakan revitalisasi
budaya lokal yang relevan diperlukan untuk
membangun pendidikan karakter. Hal ini
dikarenakan kearifan lokal di daerah pada
gilirannya akan mampu mengantarkan siswa
untuk mencintai daerahnya dan mampu
mewujudkan ketahanan daerah. Berkaitan
dengan hal tersebut budaya lokal juga
dipandang penting diterapkan pada
pendidikan. Dalam pendidikan formal
pembentukan sikap yang baik dapat
diterapkan. Pernyataan tersebut telah
dibuktikan pada penelitian Parsons and
Carlone (2013) yang menyatakan
“Maintaining culture as an explanatory
construct for educational settings. the
concept of culture its explanatory potential
for the injustice and inequity tied up with
science and science education's history and
for science education's potential to use its
power for the good of the people and the
environment, and to challenge inequitable
social structures. Science education, with
cultural lenses, can be used as a tool for
counter-hegemony”.
Berdasarkan hal tersebut aktivitas
budaya lokal yang diselipkan pada muatan
pembelajaran akan mengarahkan peserta
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543 PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 3 Oktober 2018 ___________________________________________________________ 218
didik memaknai tiap aktivitas pembelajaran
serta aspek sikap yang sengaja diselipkan
melekat pada benak siswa secara tidak
langsung dan bermanfaat dalam
pembentukan karakter dan sikap siswa.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis dan
pembahasan dalam penelitian ini dapat
ditarik suatu simpulan bahwa budaya lokal
Bali memiliki potensi yang besar bagi
pembentukan karakter yang mengarah pada
muatan sikap spiritual dan sikap sosial, serta
penanaman sikap pada muatan pembelajaran.
Nilai-nilai budaya lokal yang muncul dalam
aktivitas umum anak kelas tinggi yang
mendukung nilai sikap spiritual dan sosial
pada pembelajaran tema daerah tempat
tinggalku kelas 4 SD adalah: Permainan
tradisional seperti: megale-galean,
mekedeng-kedengan/ mepaid-paidan, Poh-
pohan, Ngejuk lindung, Mekering-
keringan, Siap sampian, Perang tipat, dan
lain-lain. Satua Bali seperti: Siap selem, I
Pepet teken i Busuan, Rare Angon, I Sapuh
leger ubdaka, , I Puuh teken i lipi awan,
Pan balang tamak, Dalem balingkang, dan
lain-lain. Gending rare seperti: putri cening
ayu, jenggot uban, ratu anom, Merah putih
bendera titiange, Juru pencar, made cenik,
dan lain-lain. Salam budaya lokal seperti:
Om swastiastu, Om Santih,
Santih,Santih,Santih, Om. Kebiasaan
sembahayang seperti: mebanten saiban dan
mebanten canang.
Berdasarkan hasil dan manfaat
penelitian yang diperoleh maka dapat
diajukan saran sebagai berikut; Kepada guru-
guru disarankan secara kreatif dalam
menggunakan budaya lokal untuk
dimanfaatkan dalam proses pembelajaran.
Selain itu perlu pengembangan pemetaan
aktivitas anak kelas tinggi ini menjadi
suplemen seperti pedoman guru untuk
melangsungkan proses pembelajaran tema
daerah tempat tinggalku kelas 4 SD. Hasil
penelitian ini juga dapat digunakan sebagai
salah satu alternatif yang bisa menanamkan
sikap spiritual, sosial, serta menarik minat
anak dalam proses pembelajaran di kelas.
DAFTAR RUJUKAN
Abidin,Y. 2015. Pembelajaran Multiliterasi
Sebuah Jawaban Tantangan
Pendidikan Abad Ke-21 Dalam
Konteks Ke Indonesiaan. Bandung :
PT. Refika Aditama.
Arnasih, N.W., A.A.I.N.,Marhaeni, I.B.P.,
Arnyana. 2015. “Pengaruh
Implementasi Pembelajaran Tematik
Berbantuan Cerita Terhadap Aktivitas
Dan Prestasi Belajar Calistung Siswa
Kelas Iii Sd Di Gugus V Kecamatan
Tegallalang Kabupaten Gianyar”. E-
Journal Program Pascasarjana
Universitas Pendidikan Ganesha.
Volume 4
Cakra,G., N.,Dantes , K.,Widartini. 2015.
“Pengaruh Penggunaan Metode
Pembelajaran Bermain Peran Terhadap
Sikap Sosial Dan Kemampuan
Berbicara Bahasa Indonesia Siswa
Kelas Vi Sd N 29 Dangin Puri Tahun
Pelajaran 2014/2016”. E-Journal
Program Pascasarjana Universitas
Pendidikan Ganesha. Volume 5 No.1
Dantes, N. 2008. “Pendidikan
Teknohumanistik (Suatu Rangkaian
Perspektif Dan Kebijakan Pendidikan
Menghadapi Tantangan Global)”.
Jurnal Penelitian Pendidikan dan
Humaniora. Singaraja: Lembaga
Penelitian Undiksha.
-------- 2014. Landasan Pendidikan Tinjauan
dari Dimensi
Makropedagogis.Singaraja:
Universitas Pendidikan Ganesha.
Dewi,W.K., N.Dantes, A.A.I.N., Marhaeni.
2016. “Pengembangan Prototipe Buku
Cerita Anak Berbasis Budaya Lokal
Melalui Analisis Muatan Sikap Dan
Literasi Dini Pada Pembelajaran Tema
Kegiatanku Kurikulum 2013 Kelas 1
Sekolah Dasar”. E-Journal Program
Pascasarjana Universitas Pendidikan
Ganesha. Volume 6 No.1
Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan.
2014. Implementasi Kurikulum 2013
Tahun 2014. Badan Pengembangan
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543 PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 3 Oktober 2018 ___________________________________________________________ 219
Sumber Daya Manusia Pendidikan dan
Kebudayaan
Mulyaningsih, S.S. W.,Lasmawan.
M.,Sutama. 2013. “Pengaruh Model
Problem Solving Berbasis Budaya
Lokal terhadap Motivasi Berprestasi
dan Prestasi Belajar IPS”. E-Journal
Program Pascasarjana Universitas
Pendidikan Ganesha. Volume 3
Oduolowu, E. 2014. “Effect of Storytelling
on Listening Skills of Primary One
Pupil in Ibadan North Local
Government Area of Oyo State,
Nigeria”. International Journal of
Humanities and Social Science. Vol.4,
No. 9
Oktariyanti, N.,Dantes, A.A.I.N.,Marhaeni.
2016. “Pengembangan Prototipe Buku
Cerita Anak Bermuatan Budaya Lokal
Melalui Analisis Muatan Sikap Dan
Literasi Dini Pada Pembelajaran Tema
Kegemaranku Kurikulum 2013 Kelas
1 Sekolah Dasar”. E-Journal Program
Pascasarjana Universitas Pendidikan
Ganesha. Volume 6 No.1
Parsons, E.C., and H.B. Carlone. 2013.
“Culture and science education in the
21st century: Extending and making
the cultural box more inclusive”.
Journal of Research in Science
Teaching. Volume 50. No.1.
Permendikbud. Nomor 67. 2013. Tentang
Kerangka Dasar Dan Struktur
Kurikulum Sekolah Dasar/Madrasah
Ibtidaiyah
Sudarmiani. 2013. “Membangun Karakter
Anak dengan Budaya Kearifan Lokal
dalam Proses Pembelajaran di
Sekolah”. E-Journal IKIP PGRI
Madiun. Volume 1 No.1.
Trisna, G.A.P.S., A.A.I.N.,Marhaeni,
N.,Sudiana. 2013. “Analisis Pokok-
Pokok Materi Pendidikan Karakter
Berbasis Folklor Bali dalam
Pembelajaran Bahasa Indonesia di
Sekolah Dasar”. E-Journal Program
Pascasarjana Universitas Pendidikan
Ganesha. Volume 3
Undang – Undang Republik Indonesia
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional. 2003. Jakarta :
Kementerian pendidikan dan
kebudayaan Republik Indonesia
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543
PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 3 Oktober 2018 ____________________________________________________________ 220
POTENSI DUKUNGAN BUDAYA LOKAL DALAM PEMBELAJARAN KURIKULUM
2013 : KASUS MUATAN SIKAP PADA TEMA BERBAGAI PEKERJAAN
N.L.P. Tiyani
Universitas Pendidikan Ganesha
Singaraja, Indonesia
e-mail: [email protected],
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk (1) menganalisis dan mendeskripsikan nilai sikap
spiritual, (2) menganalisis dan mendeskripsikan nilai sikap sosial, (3) menganalisis
dan mendeskripsikan nilai budaya lokal dalam aktivitas anak kelas tinggi yang
mendukung muatan sikap spiritual dan sikap sosial pada tema Berbagai Pekerjaan
Kelas IV Sekolah Dasar. Metode penelitian ini menggunakan rancangan deskriptif
kualitatif dengan variabel nilai sikap spiritual, nilai sikap sosial, dan nilai budaya
lokal. Subjek penelitian ini adalah: budayawan, guru kelas IV, dan orang tua siswa.
Instrumen yang digunakan adalah pencatatan dokumen dan pedoman wawancara,
kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatif. Hasil temuan menunjukkan muatan
sikap spiritual yang muncul yaitu ketaatan beribadah, berperilaku syukur dan
toleransi dalam beribadah. Muatan sikap sosial yang muncul yaitu jujur, disiplin,
tanggung jawab, peduli, dan percaya diri. Potensi budaya lokal yang mendukung
muatan sikap spiritual ketaatan beribadah adalah kegiatan sembahyang seperti
mebanten saiban dan mesegeh; berperilaku syukur didukung oleh mendengarkan
satua seperti Bawang Teken Kesuna; dan toleransi dalam beribadah didukung oleh
salam budaya lokal seperti Om Swastiastu dan Om Shanti, Shanti, Shanti Om. Potensi
budaya lokal yang mendukung muatan sikap sosial jujur adalah mendengarkan satua
seperti I Lutung Teken I Kekua; disiplin didukung oleh permainan tradisional seperti
magoak-goakan dan meong-meongan; tanggung jawab didukung oleh bernyanyi
gending rare seperti Putri Cening Ayu; peduli didukung oleh mendengarkan satua
seperti Bawang Teken Kesuna; dan percaya diri didukung oleh mendengarkan satua
seperti Pan Balang Tamak.
Kata kunci: budaya lokal, muatan sikap, muatan spiritual
ABSTRACT
This research aimed to (1) analyze and describe the values of spiritual attitudes, (2)
analyze and describe the values of social attitudes, (3) Analyze and describe local
cultural values in high-grade children activities that support the content of spiritual
attitudes and social attitudes on theme Berbagai Pekerjaan 4th grade elementary
school. This research method used descriptive qualitative design with the variable of
spiritual attitude value, social attitude value, and local culture value. The subjects of
this research were: humanist, 4th grade teacher, and parents of students. The
instruments used are document recording and interview guidance, then analyzed
descriptively qualitative. The findings show the contents of spiritual attitudes that
arise that is the obedience of worship, gratitude and tolerance in worship. The
contents of social attitudes that arise are honest, disciplined, responsible, caring, and
confident. The potential of local culture that supports the spiritual attitudes of
obedience is worship activities such as mebanten saiban and mesegeh; Gratitude is
supported by listening to satua like Bawang Teken Kesuna; And tolerance in worship
supported by local cultural greetings such as Om Swastiastu and Om Shanti, Shanti,
Shanti Om. The potential of a local culture that supports the content of honest social
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543
PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 3 Oktober 2018 ____________________________________________________________ 221
attitudes is to listen satua such as I Lutung Teken I Kekua; Discipline is supported by
traditional games such as magoak-goakan and meongan-meongan; Responsibility is
supported by singing gending rare such as Putri Cening Ayu; Caring is supported by
listening to satua like Bawang Teken Kesuna; And self-confidence is supported by
listening to satua like Pan Balang Tamak.
Keywords: local culture, social attitude, spiritual attitude.
PENDAHULUAN
Pendidikan adalah bagian hakiki dari
kehidupan masyarakat yang merupakan
upaya dalam mencerdaskan kehidupan
bangsa. Ilmu pengetahuan, teknologi, dan
globalisasi selalu memegang peranan
penting dalam perkembangan dan perubahan
yang terjadi dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Sementara itu, kemajuan ilmu pengetahuan,
teknologi, dan globalisasi tidak terlepas dari
pendidikan. Hal tersebut menjadi tantangan
eksternal bagi dunia pendidikan. Menurut
UU Nomor 20 Tahun 2003, “pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk
memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan
negara”, yang sekaligus merupakan
tantangan internal bagi pendidikan. Menurut
Marhaeni (2015:1), pendidikan yang relevan
harus bersandar pada empat pilar
pendidikan, yaitu (1) learning to know, yaitu
peserta didik mempelajari pengetahuan (2)
learning to do, yaitu peserta didik
menggunakan pengetahuannya untuk
mengembangkan keterampilan, (3) learning
to be, yaitu peserta didik belajar
menggunakan pengetahuan dan keterampilan
untuk hidup, (4) learning to live together,
yaitu peserta didik belajar untuk menyadari
bahwa adanya saling ketergantungan
sehingga diperlukan adanya saling
menghargai antara sesama manusia.
Pendidikan merupakan tanggung
jawab bersama antara keluarga, masyarakat
dan pemerintah baik dalam bentuk formal,
nonformal, maupun informal. Salah satu
upaya pemerintah bagi pendidikan di
Indonesia yaitu dengan mengembangkan
kurikulum pembelajaran. Kurikulum
menurut Undang-undang Nomor 20 Tahun
2003 Pasal 1 Ayat (19) adalah seperangkat
rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi,
dan bahan pelajaran serta cara yang
digunakan sebagai pedoman
penyelenggaraan kegiatan pembelajaran
untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
Kurikulum merupakan salah satu unsur yang
memberikan kontribusi untuk mewujudkan
proses berkembangnya kualitas potensi
peserta didik.
Pemerintah selalu mengupayakan
pengembangan kurikulum yang disesuaikan
dengan lingkungan serta perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Oleh karena itu,
pemerintah mengembangkan Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) menjadi
Kurikulum 2013. Kemendikbud (2014:2)
memaparkan bahwa “Kurikulum 2013
dikembangkan berbasis pada kompetensi
yang sangat diperlukan sebagai instrumen
untuk mengarahkan peserta didik menjadi
(1) manusia berkualitas yang mampu dan
proaktif menjawab tantangan zaman yang
selalu berubah, (2) manusia terdidik yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, dan (3) warga negara
yang demokratis, bertanggung jawab”.
Kurikulum 2013 telah dirancang untuk
menghadapi tantangan masa depan dan
fenomena negatif yang terjadi di masyarakat.
Tantangan masa depan dimaksudkan bahwa
siswa harus dipersiapkan dengan ilmu
pengetahuan dan teknologi, serta
keterampilan yang digunakan sebagai bekal
menggapai kesuksesan di masa depan.
“Sementara berbagai fenomena negatif di
masyarakat dimaknai sebagai perilaku yang
ditunjukkan siswa yang jauh dari akhlak
mulia, seperti perkelahian antar pelajar,
narkoba, kecurangan ujian, dan gejolak
masyarakat lainnya” sebagaimana
dinyatakan oleh Fadlillah (2014: 16).
Pelaksanaan kurikulum 2013 tidak hanya
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543
PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 3 Oktober 2018 ____________________________________________________________ 222
menekankan pada pengembangan
kemampuan kognitif saja, melainkan juga
mengembangkan sikap spiritual dan sikap
sosial siswa.
Dalam kurikulum 2013 menuntut
adanya keseimbangan pada aspek sikap,
pengetahuan, dan keterampilan sehingga
pendidikan mampu mencetak peserta didik
yang nantinya menjadi manusia yang
berakhlak mulia, berguna bagi nusa dan
bangsa, serta menjadi manusia yang unggul.
Hal ini dapat dibuktikan dengan
dikembangkannya Standar Kompetensi
Lulusan (SKL) yaitu, Standar Kompetensi
pada kurikulum KTSP menjadi Kompetensi
Inti pada kurikulum 2013. Terdapat empat
Kompetensi Inti (KI) yang dikembangkan
dalam Kurikulum 2013, yaitu KI 1 (sikap
spiritual), KI 2 (sikap sosial), KI 3
(pengetahuan), serta KI 4 (penerapan
pengetahuan/keterampilan).
Dengan diterapkannya kurikulum 2013
yang mengembangkan sikap spiritual dan
sosial, maka menimbulkan adanya
pembelajaran sikap yang terintegrasi disetiap
muatan pembelajaran. Kompetensi sikap
spiritual mengacu pada KI 1 yaitu menerima
dan menjalankan ajaran agama yang
dianutnya. Sikap spiritual atau sikap religius
mencakup menghayati dan mengamalkan
ajaran agama yang dianutnya sebagai bentuk
rasa syukur terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Sikap spiritual ditunjukkan dengan perilaku
beriman, bertaqwa, dan bersyukur terhadap
karunia yang telah diberikan oleh Tuhan
Yang Maha Esa. Berdasarkan Permendikbud
No 67 Tahun 2013, sikap spiritual ini
mencakup menerima dan menjalankan ajaran
agama yang dianutnya sebagai bentuk rasa
syukur terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Sejalan dengan pendapat Zubaedi (2011:85)
yang menyatakan bahwa nilai-nilai sikap
spiritual ada empat indikator yaitu: ketaatan
beribadah, berperilaku syukur, berdoa
sebelum dan sesudah melakukan kegiatan,
dan toleransi dalam beribadah.
Sikap sosial mengacu pada KI 2 sesuai
Permendikbud Nomor 67 Tahun 2013 yaitu
memiliki perilaku jujur, disiplin, tanggung
jawab, santun, peduli, dan percaya diri dalam
berinteraksi dengan keluarga, teman, guru
dan tetangganya. Sikap ditujukan pada suatu
objek, dan objek sikap itu ada bermacam-
macam, satu diantaranya adalah situasi
dalam aspek kehidupan di lingkungan
spiritual maupun lingkungan sosial. Sikap
spiritual dipandang sebagai perwujudan dari
bentuk interaksi vertikal dengan Tuhan Yang
Maha Esa. Pengertian sikap spiritual
menurut Agustian (2009:13), adalah
kemampuan untuk memberi makna spiritual
terhadap pemikiran, perilaku dan kegiatan
serta hanya berprinsip kepada Tuhan.
Sementara itu, sikap sosial adalah kesadaran
individu yang menentukan perubahan yang
nyata, yang berulang-ulang terhadap objek
sosial. Menurut Rakhmat (2008:39), “sikap
adalah kecenderungan bertindak,
berpersepsi, berpikir, dan merasa dalam
menghadapi objek, ide, situasi, atau nilai.
Dengan demikian, sikap dapat menentukan
cara seseorang dalam menghadapi individu
lain di kelompoknya dan individu di luar
kelompoknya yang disebut dengan sikap
sosial”.
Di dalam perkembangannya sikap
banyak dipengaruhi oleh lingkungan, norma-
norma atau kelompok masyarakat. Hal ini
akan mengakibatkan perbedaan sikap antara
individu satu dengan yang lain karena
perbedaan pengaruh atau lingkungan yang
diterima. Sikap tidak akan terbentuk tanpa
interaksi manusia, terhadap objek tertentu
atau suatu objek. Pembentukan dan
perubahan sikap tidak terjadi dengan
sendirinya. Sikap terbentuk dalam
hubungannya dengan suatu objek, orang,
kelompok, lembaga, nilai, melalui hubungan
antar individu, hubungan di dalam
kelompok, komunikasi surat kabar, buku,
poster, radio, televisi dan sebagainya.
Terdapat banyak kemungkinan yang
mempengaruhi timbulnya sikap. Lingkungan
yang terdekat dengan kehidupan sehari-hari
banyak memiliki peranan.
Selain aspek kehidupan dalam
lingkungan sosial, kebudayaan lokal juga
memberikan pengaruh besar terhadap
pembentukan sikap. Sebab, kebudayaan turut
serta dalam memberi dinamika pada sikap
anggota masyarakat serta memberi corak
pengalaman individu-individu yang menjadi
anggota kelompok masyarakat. Dalam
pembelajaran, nilai-nilai budaya
diintegrasikan sebagai alat bagi proses
belajar untuk memotivasi siswa dalam
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543
PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 3 Oktober 2018 ____________________________________________________________ 223
mengaplikasikan pengetahuan, bekerja
secara kooperatif (dalam tim), dan
mempersepsikan keterkaitan antara berbagai
bidang ilmu. Pembelajaran tersebut
mendorong terjadinya proses imaginatif,
metaforik, berpikir kreatif, dan juga sadar
budaya. Pembelajaran dengan budaya lokal
juga menjadikan budaya sebagai arena bagi
siswa untuk mentransformasikan hasil
observasi mereka ke dalam bentuk-bentuk
dan prinsip-prinsip yang kreatif tentang alam
dan kehidupannya. Melalui pembelajaran
tersebut, siswa tidak sekedar meniru dan atau
menerima saja informasi yang disampaikan,
melainkan bisa menciptakan makna,
pemahaman dan arti dari informasi yang
diperolehnya. Menurut Made Taro dalam
Dwi Guna (2014:47) “dunia siswa adalah
dunia yang seharusnya diisi dengan aktivitas
bermain, mendengar cerita, dan juga
bernyanyi”.
Ditemukan beberapa penelitian tentang
budaya lokal yang dapat mengembangkan
sikap siswa yaitu penelitian oleh Oka
Anggreni, Marhaeni, dan Dantes (2016)
yang mengatakan bahwa pengembangan
nilai-nilai sikap spiritual pada anak melalui
kebiasaan mebanten memberikan beberapa
manfaat yaitu membiasakan anak bersyukur,
mengingatkan anak untuk selalu berbuat
baik, dan membelajarkan anak untuk
bertanggung jawab. Selain itu, penelitian
oleh Handayani, Dantes, dan Lasmawan
(2013) yang mengatakan bahwa aspek
percaya diri mengalami peningkatan dengan
penerapan permainan tradisional meong-
meongan digunakan sebagai salah satu
alternatif strategi pembelajaran yang
menarik. Penelitian tersebut menguatkan arti
bahwa budaya lokal memiliki potensi
dukungan bagi pengembangan sikap pada
anak.
Salah satu tantangan internal bagi
dunia pendidikan adalah perkembangan
kognitif siswa, khususnya siswa di usia
sekolah dasar. Berdasarkan teori kognitif,
anak usia sekolah dasar, berada pada tahapan
operasional konkret. Konkret mengandung
makna proses belajar beranjak dari hal-hal
yang konkret, yakni yang dapat dilihat,
didengar, dibaui, diraba, dan diotak-atik,
dengan lingkungan sebagai sumber belajar.
Anak di usia sekolah dasar memiliki
karakteristik senang bermain, banyak
bergerak, dan mendengarkan cerita fantasi
yang membuatnya tertarik. Pemanfaatan
lingkungan dan aktivitas budaya lokal seperti
bermain permainan tradisional,
mendengarkan cerita rakyat, menyanyikan
lagu-lagu daerah akan menghasilkan proses
dan hasil belajar yang lebih bermakna dan
bernilai, sebab selain memberikan
pembelajaran tentang kehidupan, hal tersebut
juga dapat mengembangkan sikap siswa
dalam menjalani kehidupannya.
Namun saat ini kebiasaan atau
aktivitas yang mengandung budaya lokal
mulai berkurang. Pesatnya perkembangan
teknologi seperti saat ini, tanpa disadari telah
mengubah perilaku anak di dalam
kesehariannya. Aktivitas bermain,
mendengarkan cerita, bernyanyi, dan lain
sebagainya yang mengandung budaya lokla
yang dulunya biasa dilakukan oleh anak,
sekarang tidak lagi populer di kehidupan
anak-anak. Bahkan sebagian anggota
masyarakat beranggapan dengan pesatnya
kemajuan teknologi aktivitas yang
mengandung nilai budaya lokal tidak lagi
dibutuhkan dalam ranah pendidikan,
mengingat aktivitas anak melalui aktivitas
yang mengandung budaya lokal sudah cukup
digantikan dengan penggunaan teknologi
modern. Seiring dengan perkembangan
teknologi tersebut, masyarakat seolah
terpinggirkan dari budaya lokal sendiri.
Generasi muda yang dapat mengakses
informasi tanpa batas melalui teknologi
mulai mengenyampingkan kearifan lokal dan
bahkan mulai perlahan-lahan meninggalkan
budayanya. Padahal dalam pembelajaran
khususnya untuk mengembangkan sikap
pada anak, pemanfaatan budaya lokal dapat
digunakan untuk mengawali kegiatan
pembelajaran. Namun mengenai sikap
spiritual (KI1) dan sikap sosial (KI2), serta
aspek-aspek budaya lokal dalam
pembelajaran kurikulum 2013 belum
teridentifikasi secara jelas. Berdasarkan hal
tersebut, dilakukanlah penelitian untuk
mengetahui muatan sikap spiritual, muatan
sikap sosial, nilai budaya lokal serta potensi
dukungan budaya lokal dalam pembelajaran
kurikulum 2013 yang nantinya bisa
digunakan untuk membelajarkan anak
tentang sikap spiritual dan sikap sosial yang
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543
PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 3 Oktober 2018 ____________________________________________________________ 224
sesuai dengan kurikulum 2013 untuk
mendukung pencapaian tema Berbagai
Pekerjaan di kelas IV Sekolah Dasar.
Adapun tujuan dari penelitian ini
adalah: 1) menganalisis dan
mendeskripsikan nilai-nilai sikap spiritual
yang termuat pada pembelajaran tema
Berbagai Pekerjaan Kelas IV Sekolah
Dasar; 2) menganalisis dan mendeskripsikan
nilai-nilai sikap sosial yang termuat pada
pembelajaran tema Berbagai Pekerjaan
Kelas IV Sekolah Dasar; dan 3)
menganalisis dan mendeskripsikan nilai
budaya lokal dalam aktivitas anak kelas
tinggi yang mendukung muatan sikap
spiritual dan sikap sosial pada tema
Berbagai Pekerjaan Kelas IV Sekolah
Dasar.
METODE
Penelitian ini merupakan penelitian
deskriptif kualitatif karena penelitian ini
ditujukan untuk mendeskripsikan muatan
sikap spiritual, sikap sosial, dan nilai budaya
lokal yang terkait dengan aktivitas anak
kelas tinggi sekolah dasar.
Subjek yang terlibat dalam penelitian
ini adalah: 3 orang budayawan, 7 orang guru
kelas IV Sekolah Dasar, dan 3 orang tua
siswa kelas IV Sekolah Dasar.
Variabel dalam penelitian ini adalah:
(1) Nilai-nilai sikap spiritual, (2) Nilai-nilai
sikap sosial, dan (3) Budaya lokal dalam
kehidupan anak kelas tinggi sekolah dasar.
Data tentang muatan sikap spiritual
dan sikap sosial diperoleh dengan
menggunakan metode pencatatan dokumen.
Metode pencatatan dokumen digunakan
dalam mengkaji muatan sikap spiritual dan
muatan sikap sosial pada buku guru dan
buku siswa tema Berbagai Pekerjaan kelas
IV Sekolah Dasar. Sedangkan, data tentang
nilai-nilai budaya lokal dalam aktivitas anak
kelas tinggi sekolah dasar diperoleh dengan
menggunakan metode wawancara. Metode
wawancara digunakan dalam menggali
informasi dari narasumber (3 orang
budayawan, 7 orang guru kelas IV Sekolah
Dasar, dan 3 orang tua siswa kelas IV
Sekolah Dasar) tentang nilai-nilai budaya
lokal berupa aktivitas anak kelas tinggi yang
mendukung nilai-nilai sikap spiritual dan
sikap sosial pada tema Berbagai Pekerjaan
Kelas IV Sekolah Dasar.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dari 4 sikap spiritual yang tercantum
dalam Permendikbud Nomor 67 Tahun
2013, sikap spiritual yang muncul pada tema
Berbagai Pekerjaan Kelas IV Sekolah yaitu
ketaatan beribadah, berperilaku syukur,
dan toleransi dalam beribadah. Nilai sikap
spiritual pada kompetensi ketaatan
beribadah muncul pada indikator perilaku
patuh dalam melakasanakan ajaran agama
yang dianutnya dan indikator melaksanakan
ibadah sesuai ajaran agama yang muncul
pada buku guru dalam muatan pembelajaran
PPKn. Nilai sikap spiritual pada kompetensi
berperilaku syukur, muncul pada indikator
menjaga kelestarian alam, tidak merusak
tanaman yang muncul pada buku guru dan
buku siswa dalam muatan pembelajaran IPA.
Nilai sikap spiritual pada kompetensi
toleransi dalam beribadah, muncul pada
indikator tindakan yang menghargai
perbedaan dalam beribadah, menghormati
teman yang berbeda agama, berteman tanpa
membedakan agama, tidak mengganggu
teman yang sedang beribadah, menghormati
hari besar keagamaan lain, tidak
menjelekkan ajaran agama lain, dan hidup
rukun berdampingan dengan berbagai agama
yang muncul pada buku guru dalam muatan
pembelajaran PPKn.
Nilai sikap spiritual ketaatan
beribadah terintegrasi dalam muatan
pembelajaran PPKn (kandungan dan nilai
moral Pancasila). Dari hasil wawancara,
penanaman nilai sikap spiritual ketaatan
beribadah dapat didukung dengan budaya
lokal yang melekat pada aktivitas anak kelas
tinggi yaitu bermain permainan tradisional
seperti: barong-barongan, banten-
bantenan, magoak-goakan, dan mabubuh-
bubuhan; mendengarkan cerita/satua
seperti: Bawang Teken Kesuna; bernyanyi
gending rare seperti: Bebeke Putih Jambul;
mengucapkan salam seperti: Om Swastiastu
dan Om Santhi, Santhi, Santhi Om;
kegiatan sembahyang seperti: mebanten
saiban dan mesegeh. Nilai sikap spiritual
berperilaku syukur terintegrasi dalam
muatan pembelajaran IPA (sumber daya
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543
PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 3 Oktober 2018 ____________________________________________________________ 225
alam). Dari hasil wawancara, penanaman
nilai sikap spiritual berperilaku syukur
dapat didukung dengan budaya lokal yang
melekat pada aktivitas anak kelas tinggi
yaitu bermain permainan tradisional seperti:
barong-barongan, banten-bantenan, dan
mabubuh-bubuhan; mendengarkan
cerita/satua seperti: Bawang Teken Kesuna;
bernyanyi gending rare seperti: Bebeke
Putih Jambul dan Putri Cening Ayu;
mengucapkan salam seperti: Om Swastiastu
dan Om Santhi, Santhi, Santhi Om;
kegiatan sembahyang seperti: mebanten
saiban dan mesegeh. Nilai sikap spiritual
toleransi dalam beribadah terintegrasi
dalam muatan pembelajaran PPKn
(kandungan dan nilai moral Pancasila). Dari
hasil wawancara, penanaman nilai sikap
spiritual toleransi dalam beribadah dapat
didukung dengan budaya lokal yang melekat
pada aktivitas anak kelas tinggi yaitu
kegiatan sembahyang seperti: mebanten
saiban dan mesegeh. Hasil penelitian
tersebut, sejalan dengan penelitian Oka
Anggreni, Marhaeni, dan Dantes (2016)
yang mengatakan bahwa pengembangan
nilai-nilai sikap spiritual pada anak melalui
kebiasaan mebanten memberikan beberapa
manfaat yaitu membiasakan anak bersyukur,
mengingatkan anak untuk selalu berbuat
baik, dan membelajarkan anak untuk
bertanggung jawab. Temuan tersebut juga
didukung oleh pendapat budayawan yang
merupakan seorang dalang dengan karya dan
inovasinya yang terkenal dalam
pewayangan, yaitu I Wayan Nardayana,
S.Sn.,M.Fil.H. (dalang Wayang Cenk Blong)
yang mengemukakan bahwa rasa syukur
yang dirasakan dapat diungkapkan melalui
kebiasaan sembahyang seperti mebanten
saiban dan mesegeh yang merupakan wujud
ketaatan beribadah dan perilaku syukur
terhadap Tuhan Yang Maha Esa atas berkah
yang telah diterima dengan cara
menghaturkan sebagian dari makanan yang
dimiliki kepada Tuhan dan alam semesta.
Sikap spiritual yakni ketaatan beribadah,
berperilaku syukur, dan toleransi dalam
beribadah didukung dengan melakukan
kewajiban bersembahyang, seperti mebanten
saiban yaitu persembahan makanan setelah
selesai memasak dan mesegeh yaitu
persembahyangan yang dilakukan pada saat
kajeng kliwon (rerainan yang datangnya 15
hari sekali) dan purnama tilem (hari bulan
penuh dan bulan mati). Anak melakukan
kegiatan mebanten setiap pagi, sore hari,
atau hari-hari rainan tertentu seperti kajeng
kliwon dan purnama tilem. Dengan
menjalankan kewajiban mebanten anak akan
memperoleh manfaat berupa ketenangan
batin berkaitan dengan keyakinannya kepada
Tuhan Yang Maha Esa, menanamkan rasa
syukur, taat beribadah, rela berkorban
dengan tulus ikhlas, serta memunculkan
keyakinannya terhadap hal-hal yang
berhubungan dengan meta fisik atau yang
tidak terlihat. Taat beribadah akan
diwujudkan anak melalui disiplin dengan
waktu sembahyang, sehingga anak tumbuh
menjadi manusia yang bertanggung jawab.
Hal tersebut sebagai bentuk ketaatan
beribadah serta rasa syukur karena telah
diberi makanan, kesehatan dan kebahagiaan.
Sikap spiritual toleransi juga akan tumbuh
dengan mengucapkan salam budaya lokal
seperti Om Suastiastu dan Om Shanti,
Shanti, Shanti Om. Dari kebiasaan
mengucapkan salam budaya lokal anak
terbiasa untuk menghargai orang lain, yang
berarti pula anak memiliki sikap toleransi.
Selain itu, budayawan Made Taro juga
berpendapat bahwa penanaman nilai
berperilaku syukur dapat ditanamkan melalui
mendengarkan satua Bawang Teken Kesuna
yang menceritakan tentang kejahatan Kesuna
terhadap Bawang. Namun, meski pun
Kesuna selalu berbuat jahat kepada Bawang,
Bawang tidak pernah membalas perbuatan
Kesuna dengan kejahatan. Bawang tidak
memiliki rasa dendam dengan Kesuna dan
selalu berbuat baik hingga akhirnya Bawang
hidup berbahagia karena buah dari perbuatan
baiknya. Dari satua ini, anak akan belajar
untuk selalu berbuat baik, dan bersyukur.
Selain satua Bawang Teken Kesuna
tersebut, ada juga satua I Belog yang
diwarnai dengan kisah lucu I Belog yang
bodoh hingga melakukan hal-hal yang
merugikan dirinya sendiri. Melalui cerita ini,
anak memperoleh pelajaran bahwa agar tidak
mengalami kerugian seperti yang dialami I
Belog, maka dia harus rajin belajar, taat
beribadah, dan bersyukur karena
mendapatkan kesempatan bersekolah dan
menuntut ilmu. Selanjutnya, satua Siap
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543
PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 3 Oktober 2018 ____________________________________________________________ 226
Selem yang ceritanya hampir sama dengan I
Belog, hanya saja pada satua Siap Selem
tokoh utamanya pintar dan banyak akal
sehingga terbebas dari marabahaya.
Kemudian, satua Lutung Teken Kakua
yaitu Lutung memperdaya kakua yang
dianggap bodoh. Dengan niat jahatnya,
Lutung memperdaya Kekua untuk
keuntungannya sendiri hingga akhirnya
Lutung mengalami kerugian karena
kecurangannya dan keserakahannya tersebut.
Lutung mengalami kerugian karena sudah
menghianati kerjasama yang telah disepakati
bersama Kakua. Melalui cerita ini, anak
mendapat pendidikan karakter untuk selau
bersyukur dengan apa yang telah dimiliki
dan tidak boleh memiliki rasa iri pada orang
lain.
Ditemukan juga penelitian yang
berpendapat bahwa penggunaan dongeng
atau cerita dapat meningkatkan pemahaman
dan pembentukan sikap serta perkembangan
bahasa anak. Penelitian Nengah Sardi,
Marhaeni, dan Nyoman Jampel (2015)
tentang pengaruh pembelajaran dengan
teknik bercerita dongeng terhadap
kemampuan berbahasa dan motivasi anak
kelompok B TK Kunti II Dalung yang
menunjukkan hasil bahwa, terdapat
perbedaan secara simultan kemampuan
berbahasa dan motivasi berbahasa anak yang
mengikuti teknik bercerita dongeng dengan
kelompok siswa yang mengikuti
pembelajaran dengan strategi konvensional.
Sudah terbukti dongeng berbasis budaya
lokal dapat mengembangkan sikap sosial dan
mampu membentuk karakter, menciptakan
karakter baru, dan memasukkan nilai-nilai
karakter di dalam tokoh-tokoh cerita.
Hal tersebut menguatkan arti
pentingnya budaya lokal yang melekat dalam
aktivitas anak seperti kegiatan
bersembahyang (mebanten) dan mendengar
cerita (satua) dalam mengembangkan sikap
spiritual sehingga dapat dimanfaatkan secara
kreatif oleh guru pada pembelajaran tema
Berbagai Pekerjaan sesuai Kurikulum 2013.
Dari 6 sikap sosial yang tercantum
dalam Permendikbud Nomor 67 Tahun
2013, sikap sosial yang muncul pada tema
Berbagai Pekerjaan Kelas IV Sekolah yaitu
jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli,
dan percaya diri. Nilai sikap sosial pada
kompetensi jujur, muncul pada indikator
mengerjakan soal penilaian tanpa mencontek
dan indikator mengatakan dengan
sesungguhnya apa yang terjadi/yang
dialaminya dalam kehidupan sehari-hari
muncul pada buku guru maupun buku siswa
dalam muatan pembelajaran PPKn, Bahasa
Indonesia, Matematika, dan IPS. Nilai sikap
sosial pada kompetensi disiplin muncul pada
indikator tertib dalam melaksanakan tugas
yang muncul pada buku guru dalam muatan
pembelajaran PJOK. Nilai sikap sosial pada
kompetensi tanggung jawab, muncul pada
indikator menunjukkan prakarsa untuk
mengatasi masalah dalam kelompok yang
muncul pada buku guru dalam muatan
pembelajaran PPKn dan IPA. Nilai sikap
sosial pada kompetensi peduli, muncul pada
indikator menjaga keasrian, keindahan dan
kebersihan lingkungan sekolah yang muncul
pada buku guru dalam muatan pembelajaran
IPA. Nilai sikap sosial pada kompetensi
percaya diri, muncul pada indikator berani
mengemukakan pendapat dan indikator
mengemukakan pendapat terhadap suatu
topik atau masalah yang muncul pada buku
guru dalam muatan pembelajaran PPKn,
Bahasa Indonesia, IPA, dan IPS.
Nilai sikap sosial jujur terintegrasi
dalam muatan pembelajaran PPKn
(kandungan dan nilai moral Pancasila). Dari
hasil wawancara, penanaman nilai sikap
sosial jujur dapat didukung dengan budaya
lokal yang melekat pada aktivitas anak kelas
tinggi yaitu bermain permainan tradisional
seperti: makering-keringan; mendengarkan
cerita/satua seperti: I Lutung Teken I
Kekua; bernyanyi gending rare seperti:
Putri Cening Ayu; kegiatan sembahyang
seperti: mebanten saiban dan mesegeh.
Nilai sikap sosial disiplin terintegrasi dalam
muatan pembelajaran PJOK (bela diri
pencak silat). Dari hasil wawancara,
penanaman nilai sikap sosial disiplin dapat
didukung dengan budaya lokal yang
melekat pada aktivitas anak kelas tinggi
yaitu bermain permainan tradisional seperti:
makering-keringan dan meong-meongan;
mendengarkan cerita/satua seperti: Bawang
Teken Kesuna; kegiatan sembahyang
seperti: mebanten saiban dan mesegeh.
Nilai sikap sosial tanggung jawab
terintegrasi dalam muatan pembelajaran
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543
PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 3 Oktober 2018 ____________________________________________________________ 227
PPKn (kandungan dan nilai moral Pancasila)
dan IPA (menjaga dan melestarikan sumber
daya alam). Dari hasil wawancara,
penanaman nilai sikap sosial tanggung
jawab dapat didukung dengan budaya lokal
yang melekat pada aktivitas anak kelas
tinggi yaitu mendengarkan cerita/satua
seperti: Bawang Teken Kesuna; bernyanyi
gending rare seperti: Putri Cening Ayu;
kegiatan sembahyang seperti: mebanten
saiban dan mesegeh. Nilai sikap sosial
peduli, terintegrasi dalam muatan
pembelajaran IPA (menjaga dan
melestarikan sumber daya alam). Dari hasil
wawancara, penanaman nilai sikap sosial
peduli dapat didukung dengan budaya lokal
yang melekat pada aktivitas anak kelas
tinggi yaitu mendengarkan cerita/satua
seperti: Bawang Teken Kesuna; bernyanyi
gending rare seperti: Putri Cening Ayu.
Nilai sikap sosial percaya diri terintegrasi
dalam muatan pembelajaran PPKn
(kandungan dan nilai moral Pancasila),
Bahasa Indonesia (cerita narasi dan teks
dongeng), IPA (menjaga dan melestarikan
sumber daya alam), IPS (kelembagaan
sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat dan
bangsa Indonesia). Dari hasil wawancara,
penanaman nilai sikap sosial percaya diri
dapat didukung dengan budaya lokal yang
melekat pada aktivitas anak kelas tinggi
yaitu bermain permainan tradisional seperti:
ngejuk lindung dan makering-keringan;
mendengarkan cerita/satua seperti: Pan
Balang Tamak. Hasil penelitian tersebut,
sejalan dengan penelitian Handayani, dkk
(2013) yang mengatakan bahwa aspek
percaya diri mengalami peningkatan dengan
penerapan permainan tradisional meong-
meongan digunakan sebagai salah satu
alternatif strategi pembelajaran yang
menarik. Untuk menentukan siapa yang
bertugas sebagai kucing, tikus, dan jaring
ditentukan dengan undian. Permainan ini
juga wajib diiringi lagu yang harus mereka
nyanyikan (permainan tradisional banyak
yang sekaligus disertai dengan menyanyikan
lagu sekar rare). Lirik lagunya: “Meong-
meong alih je bikule, bikul gede-gede buin
mokoh-mokoh kereng pesan ngerusuhin. Juk
meong, juk bikul, juk meong, juk bikul”.
Permainan tradisional meong-meongan
dapat mengembangkan sikap sosial yang
terdiri dari kepercayaan diri, dislipin,
tanggung jawab, dan kerjasama.Temuan
tersebut juga didukung oleh pendapat
budayawan yang merupakan seorang pendiri
Sanggar Kukuruyuk, yaitu Made Taro yang
mengemukakan bahwa terdapat permainan
tradisional yang dapat mengembangkan
sikap sosial pada anak seperti permainan
tradisional makering-keringan dan ngejuk
lindung yang dapat menumbuhkan rasa
percaya diri dan kejujuran pada anak.
Permainan tradisional makering-keringan
yaitu bermain sembunyi-sembunyian
(mengkeb-mengkeban), dengan jumlah
pemain minimal 3 orang, satu orang sebagai
pencari dan yang lainnya bersembunyi, dan
anak yang ditemukan pertama kali akan
menjadi pencari pada sesi berikutnya.
Disamping pada aktivitas bermain, pada
aktivitas bernyanyi gending rare ditemukan
pula sikap sosial tanggung jawab yang
tersirat pada gending Putri Cening Ayu,
yaitu seorang anak perempuan yang
bertanggung jawab dalam melaksanakan
tugas menjaga rumah pada saat ditinggal
ibunya ke pasar. Selain itu, temuan
penelitian juga didukung oleh pendapat
budayawan Ida Pandita Mpu Jaya Acharya
Nanda juga yang mengemukakan bahwa
kewajiban bersembahyang seperti mebanten
saiban dan mesegeh juga merupakan bentuk
tanggung jawab anak kepada orang tua dan
Tuhan.
Kegiatan mebanten juga dapat
berdampak pada sikap sosial yakni jujur,
disiplin, dan peduli. Melalui kegiatan
mebanten, kejujuran, kedisiplinan, rasa
tanggung jawab dan kepedulian anak akan
tumbuh. Anak akan terbiasa jujur pada diri
sendiri dan orang lain bahwa mereka sudah
melaksanakan kegiatan mebanten dengan
benar. Anak akan disiplin pada waktu
contohnya dalam melaksanakan kegiatan
mebanten saiban yang harus dilaksanakan
setelah selesai memasak. Selanjutnya, anak
juga merasa memiliki kepedulian kepada
alam sekitar dengan memberikan
persembahan melalui kegiatan mebanten.
Untuk sikap sosial percaya diri dapat
tumbuh dengan melakukan aktivitas bermain
permainan tradisional seperti: makering-
keringan, meong-meongan, magala-
galaan, dan lain sebagainya. Selain itu, anak
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543
PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 3 Oktober 2018 ____________________________________________________________ 228
diwajibkan untuk patuh pada aturan
permainan yang menumbuhkan kedisiplinan
anak pada saat bermain.
Hal tersebut menguatkan arti
pentingnya nilai budaya lokal yang melekat
dalam aktivitas anak kelas tinggi seperti
bermain permainan tradisional misalnya
makering-keringan dan ngejuk lindung,
bernyanyi gending rare misalnya Putri
Cening Ayu, serta kegiatan bersembahyang
misalnya mebanten saiban dan mesegeh
dalam mengembangkan sikap sosial
sehingga dapat dimanfaatkan secara kreatif
oleh guru pada pembelajaran tema Berbagai
Pekerjaan sesuai Kurikulum 2013.
PENUTUP
Nilai-nilai sikap spiritual yang termuat
pada pembelajaran tema Berbagai
Pekerjaan Kelas IV Sekolah Dasar adalah
ketaatan beribadah, berperilaku syukur,
dan toleransi dalam beribadah. Nilai-nilai
sikap sosial yang termuat pada tema
Berbagai Pekerjaan kelas IV Sekolah
Dasar adalah jujur, disiplin, tanggung
jawab, peduli, dan percaya diri. Potensi
budaya lokal yang mendukung muatan sikap
spiritual kompetensi ketaatan beribadah
adalah kegiatan sembahyang seperti
mebanten saiban dan mesegeh; kompetensi
berperilaku syukur didukung oleh
mendengarkan satua seperti Bawang Teken
Kesuna; dan kompetensi toleransi dalam
beribadah didukung oleh salam budaya lokal
seperti Om Swastiastu dan Om Shanti,
Shanti, Shanti Om. Potensi budaya lokal
yang mendukung muatan sikap sosial
kompetensi jujur adalah mendengarkan
satua seperti I Lutung Teken I Kekua;
kompetensi disiplin didukung oleh
permainan tradisional seperti magoak-
goakan dan meong-meongan; kompetensi
tanggung jawab didukung oleh bernyanyi
gending rare seperti Putri Cening Ayu;
kompetensi peduli didukung oleh
mendengarkan satua seperti Bawang Teken
Kesuna; dan kompetensi percaya diri
didukung oleh mendengarkan satua seperti
Pan Balang Tamak.
Budaya lokal Bali yang termuat dalam
aktivitas anak seperti bermain permainan
tradisional Bali, mendengarkan cerita rakyat
Bali (satua), bernyanyi gending rare,
mengucapkan salam budaya lokal Bali, dan
kegiatan sembahyang (mebanten) memiliki
potensi yang besar dalam mendukung
muatan sikap spiritual dan sikap sosial pada
tema Berbagai Pekerjaan kurikulum 2013.
Berkenaan dengan hasil penelitian
yang diperoleh, maka beberapa saran yang
dapat diajukan adalah 1) bagi peneliti lain
perlu dilakukan penelitian lanjutan tentang
nilai budaya lokal yang dapat digunakan
untuk mengembangkan nilai sikap spiritual
siswa Sekolah Dasar; 2) bagi peneliti lain
perlu dilakukan penelitian lanjutan tentang
nilai budaya lokal yang dapat digunakan
untuk mengembangkan nilai sikap sosial
siswa Sekolah Dasar; 3) bagi guru
disarankan untuk secara kreatif dalam
memanfaatkan budaya lokal seperti aktivitas
bermain permainan tradisional,
mendengarkan cerita rakyat dalam hal ini
satua Bali, bernyanyi gending rare,
kebiasaan mengucapkan salam, dan kegiatan
sembahyang seperti mebanten untuk dimuat
dalam proses pembelajaran guna
mengembangkan nilai sikap spiritual dan
sikap sosial siswa Sekolah Dasar.
DAFTAR RUJUKAN
Agustian, A. G. 2009. Rahasia Sukses
Membangun Kecerdasan Emotional
dan Spiritual (ESQ). Jakarta: Arya.
Anggreni, N.L.O., A.A.I.N. Marhaeni, dan
N. Dantes. 2016. “Pengembangan
Prototipe Buku Cerita Anak
Bermuatan Budaya Lokal Melalui
Analisis Muatan Sikap dan Literasi
Dini pada Pembelajaran Tema Diriku
Kurikulum 2013 Kelas 1 Sekolah
Dasar”. Jurnal Pascasarjana
Universitas Pendidikan Ganesha. Vol.
6, No. 1.
Dwi, G. 2014. Made Taro Mendongeng dan
Bermain Sepanjang Waktu.
Yogyakarta: Media Kreativa.
Fadlillah, M. 2014. Implementasi Kurikulum
2013 Dalam Pembelajaran SD/MI,
SMP/MTs, & SMA/MA. Yogyakarta:
PT Ar-ruzz Media.
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543
PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 3 Oktober 2018 ____________________________________________________________ 229
Handayani, K.D., N. Dantes, dan W.
Lasmawan. 2013. ”Penerapan
Permainan Tradisional Meong-
Meongan untuk Perkembangan Sikap
Sosial Anak Kelompok B Taman
Kanak-Kanak Astiti Dharma Penatih
Denpasar”. Jurnal Pascasarjana
Universitas Pendidikan Ganesha. Vol.
3, No. 1.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
2013. Permendikbud No 67 Tahun
2013 tentang Kerangka Dasar dan
Struktur Kurikulum SD/MI. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Pendidikan dan Kebudayaan.Departemen. Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
2014. Materi Pelatihan Guru
Implementasi Kurikulum 2013 Tahun
2014. Jakarta: Badan Pengembangan
Sumber Daya Manusia Pendidikan
Dan Kebudayaan dan Penjaminan
Mutu Pendidikan.
Marhaeni, A.A.I.N. 2013. Landasan dan
Inovasi Pembelajaran. Singaraja:
Universitas Pendidikan Ganesha.
Rakhmat, J. 2008. Psikologi Komunikasi.
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Sardi, N.N., A.A.I.N. Marhaeni, dan N.
Jampel. 2014. ”Pengaruh
Pembelajaran dengan Teknik Bercerita
Dongeng Terhadap Kemampuan
Berbahasa dan Motivasi Anak
Kelompok B TK Kunti II Dalung”.
Jurnal Pascasarjana Universitas
Pendidikan Ganesha. Vol. 4, No. 1.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional. 2003. Jakarta:
Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia.
Zubaedi. 2011. Desain Pendidikan
Karakter: Konsepsi dan Aplikasinya
dalam Lembaga Pendidikan. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group.
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543 PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 3 Oktober 2018 ____________________________________________________ 230
PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN RESOLUSI KONFLIK TERHADAP HASIL
BELAJAR PKn DITINJAU DARI SIKAP SOSIAL SISWA KELAS V SD GUGUS
KOLONEL I GUSTI NGURA RAI DENPASAR UTARA
Putu Indra Kusuma
Universitas Pendidikan Ganesha
Singaraja, Indonesia
e-mail: [email protected]
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan hasil belajar PKn antara siswa
yang mengikuti Model Pembelajaran Resolusi Konflik dengan siswa yang mengikuti
pembelajaran konvensional pada siswa kelas V Gugus Kolonel I Gusti Ngutah Rai
Denpasar Utara. Penelitian ini menggunakan rancangan Faktorial Design 2x2.
Sampel penelitian diambil secara acak yang berjumlah 80 siswa. Pegumpulan data
menggunakan tes hasil belajar untuk data hasil belajar dan kuesioner untuk
memperoleh data sikap social siswa. Teknik analisis data menggunakan Anava Dua
Jalan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa : (1) terdapat perbedaan hasil belajar PKn
antara siswa yang mengikuti model pembelajaran resolusi konflik dan kelompok
siswa yang mengikuti pembelajaran konvensional. (2) terdapat pengaruh interaksi
antara model pembelajaran dengan sikap social terhadap hasil belajar PKn. (3) pada
siswa yang memiliki sikap social tinggi terdapat perbedaan hasil belajar PKn antara
kelompok siswa yang mengikuti model pembelajaran Resolusi Konflik dan kelompok
siswa yang mengikuti pembelajaran konvensional. (4) pada siswa yang memiliki
sikap social rendah terdapat perbedaan hasil belajar PKn antara kelompok siswa yang
mengikuti model pembelajaran Resolusi Konflik dan kelompok siswa yang mengikuti
pembelajaran konvensional.
Kata Kunci : hasil belajar PKn, model pembelajaran resolusi konflik, sikap sosial
ABSTRACT
This study aims to find out the significant difference of learning outcomes of Civics
between groups of students who follow the Conflict Resolution Learning Model with
groups of students who follow conventional learning in grade V students Colonel I
Gusti Ngutah Rai North Denpasar. This research uses 2x2 Design Factorial Design.
The population in this study is 143 students. The sample of research was taken
randomly, amounting to 80 students. Data collection uses learning result test for
learning result data and questionnaires to obtain students' social attitude data. Data
analysis technique using Anava Dua Lane. The results showed that: (1) there was a
difference in learning outcomes of Civics between groups of students who followed
conflict resolution learning models and groups of students following the conventional
learning. (2) there is an interaction effect between the learning model and the social
attitude toward the learning outcomes of Civics. (3) in groups of students who have
high social attitudes there are differences in learning outcomes of Civics between
groups of students who follow the Conflict Resolution learning model and groups of
students who follow conventional learning. (4) in groups of students who have low
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543 PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 3 Oktober 2018 ____________________________________________________ 231
social attitudes there are differences in learning outcomes of Civics between groups
of students following the Conflict Resolution learning model and groups of students
following conventional learning.
Keywords: civic learning outcomes, conflict resolution modeling model, social
attitude
PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan faktor utama
dalam peningkatan kualitas sumber daya
manusia. Mengingat pentingnya peranan
pendidikan dalam pembangunan nasional,
kebijakan pendidikan merupakan kebijakan
yang utama. Pendidikan dalam hal ini di
pandang sangat penting bagi sebagian besar
masyarakat Indonesia. Masyarakat yang
berpendidikan akan menjadi modal utama
bagi kemajuan suatu negara, karena itu
pendidikan di Indonesia mendapat perhatian
khusus dari pemerintah. Pemerintah
mengharapkan pendidikan di setiap jenjang
terlaksana dengan optimal dan mampu
membentuk peserta didik yang berkualitas.
Suatu pembelajaran tidak hanya
mempelajari konsep, teori dan fakta tetapi
juga aplikasinya dalam kehidupan sehari-
hari. Materi pembelajaran tidak hanya
tersusun atas hal-hal sederhana yang bersifat
hafalan dan pemahaman, tetapi juga tersusun
atas materi yang kompleks yang memerlukan
analisis, aplikasi dan sistesis (Trianto, 2007).
Pelaksanaan pendidikan di sekolah dasar,
peserta didik dibelajarkan dalam beberapa
mata pelajaran. Salah satunya adalah
Pendidikan Kewarganegaraan (PKn).
Pendidikan Kewarganegaraan (PKn)
merupakan mata pelajaran yang wajib
diajarkan kepada siswa kelas I sampai kelas
VI. Jadi guru sebagai pendidik mempunyai
kewajiban untuk mengajarkan Pendidikan
Kewarganegaraan (PKn) kepada peserta
didik. Melalui Pendidikan Kewarganegaraan
(PKn), kemampuan berpikir kritis siswa
diharapkan menjadi lebih baik, dan hasil
belajar Pendidikan Kewarganegaraan (PKn)
juga diharapkan di atas Kriteria Ketuntasan
Minimal (KKM) di sekolah.
Dengan mata pelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan (PKn), diharapkan mampu
membina peserta didik untuk memiliki
pengetahuan, nilai-nilai dan sikap yang baik
guna menjadikannya sebagai warga negara
yang baik. Lasmawan (2010) menyebutkan
melalui PKn siswa dapat belajar dan melatih
potensi dirinya secara optimal tentang tata
cara hidup, menghadapi masalah dan
menyelesaikan masalah berdasarkan
peraturan formal yang berlaku, sehingga
terwujudnya stabilitas nasional yang
kondusif. Pendidikan Kewarganegaraan
(PKn) di sekolah dasar secara umumnya
memiliki tujuan untuk mempersiapkan
peserta didik sebagai warga negara yang
memiliki pengetahuan, keterampilan, sikap
dan nilai-nilai yang menyangkut tentang
kehidupan bermasyarakat. Sejalan dengan
tujuan di atas, Sutoyo (2011:6) menyebutkan
bahwa “tujuan pendidikan kewarganegaraan
adalah untuk menumbuhkan wawasan dan
kesadaran bernegara, sikap serta perilaku
yang cinta tanah air, bersendikan
kebudayaan bangsa, wawasan nusantara dan
ketahanan nasional kepada peserta didik
yang menguasai ilmu pengetahuan dan seni
yang dijiwai nilai-nilai pancasila”.
Berdasarkan penjelasan tersebut,
Pendidikan Kewarganegaraan (PKn)
memiliki peran yang sangat penting dalam
pendidikan. Siswa diharapkan dapat
memahami materi Pendidikan
Kewarganegaraan (PKn) dengan baik,
sehingga kemampuan sikap sosialnya tinggi
dan hasil belajarnya di atas Kriteria
Ketuntasan Minimal (KKM). Tetapi harapan
tersebut sepertinya belum tercapai pada
kenyataan. Berdasarkan hasil observasi
tentang pelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan (PKn) di sekolah dasar,
ditemukan permasalahan bahwa sebagian
besar siswa memiliki sikap sosial yang
masih rendah dan hasil belajar Pendidikan
Kewarganegaraan (PKn) di bawah KKM.
Rendahnya sikap sosial siswa pada pelajaran
Pendidikan Kewarganegaraan (PKn)
dibuktikan dengan hasil observasi. Hasil
tersebut membuktikan bahwa sikap sosial
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543 PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 3 Oktober 2018 ____________________________________________________ 232
siswa pada pelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan (PKn) masih rendah.
Rendahnya hasil belajar siswa
diakibatkan cara mengajar guru yang masih
berpusat pada guru. Semua materi dijelaskan
oleh guru, siswa hanya sebagai pendengar
dan pencatat yang baik. Pembelajaran seperti
itu dikenal dengan model pembelajaran
konvensional. Pembelajaran konvensional
yang menekankan metode ceramah dapat
menyebabkan kurangnya kemampuan
peserta didik dalam mengeksplorasi materi
pelajaran secara mandiri.
Suasana belajar dengan model
pembelajaran konvensional akan semakin
menjauhkan peranan pendidikan
kewarganegaraan dalam upaya
mempersiapkan warga negara yang baik dan
mampu bermasyarakat. Karena kondisi
pembelajaran dengan model pembelajaran
konvensional yang didominasi oleh ceramah
akan menempatkan guru sebagai sumber
informasi (Teacher Center) sehingga siswa
hanya sebagai objek pembelajaran yang
menerima pengetahuan dari guru saja.
Dalam pembelajaran, seharusnya siswa
diberikan kebebasan untuk berlatih
mengemukakan pendapat dan
mengeksplorasi pengetahuan secara mandiri.
Kegiatan seperti itu akan melatih sikap
sosial. Sehingga siswa akan lebih berani
dalam mengemukakan pendapatnya untuk
memberikan solusi terhadap suatu
permasalahan yang menjadi topik
pembicaraan. Untuk merealisasikan
pembelajaran seperti itu, guru harus
merancang suatu pembelajaran yang tepat.
Karena dalam kegiatan pembelajaran di
sekolah selain hasil belajar yang perlu
ditingkatkan tetapi perlu dipantau oleh guru
juga yaitu sikap siswa, salah satunya sikap
sosial yang dimiliki oleh siswa, karena jika
hasil belajar siswa baik namun sikap sosial
siswa tidak baik di sekolah maka siswa
menjadi memiliki sifat yang individualis
karena tidak memiliki sikap sosial yang baik
di sekolah. Jika sikap sosial yang dimiliki
siswa baik maka sosialisasi siswa di sekolah
maupun dirumah akan baik juga sehingga
membuat siswa menjadi siswa yang
memiliki pengetahuan yang luas juga
memiliki sikap sosial yang baik pula
Berdasarkan pengamatan yang
dilakukan dilapangan proses pembelajaran
disekolah dasar pembelejaran dikelas
cenderung berpusat pada guru sehingga
membuat siswa kurang kreatif akibat kurang
kesempatan siswa dalam membentuk
pengetahuannya sendiri dalam pembelajaran
dikelas. Pada sekolah dasar guru di kelas
masih merasa nyaman dengan mengajar
menggunakan metode ceramah, di mana
pada metode tersebut guru sebagai pusat
informasi yang berfungsi sebagai pusat
informasi yang menerangkan materi
sedangkan siswa hanya melihat,
mendengarkan, dan mencatat materi yang
disampaikan oleh guru. Hal tersebut
mengakibatkan siswa menjadi kurang kreatif
dalam membentuk pengetahuannya sendiri
yang siswa menjadi pasif dalam setiap
pembelajaran dikelas karena tidak adanya
kesempatan bertanya maupun berdiskusi
baik antara siswa dengan guru atau siswa
dengan siswa.
Di gugus Kolonel I Gusti Ngurah
Rai, dominan guru dalam mengajar dikelas
masih sangat senang berada di zona nyaman
mengajar yaitu menggunakan metode
ceramah, yang mengakibatkan siswa menjadi
kurang termotivasi dalam belajar yang dapat
mengakibatkan rendahnya hasil belajar siswa
disekolah. Untuk meningkatkan hasil belajar
siswa dikelas, salah satunya adalah
memerlukan guru yang kreatif yang dapat
membuat pembelajarn di kelas menjadi lebih
menarik dan menyenangkan dan disukai oleh
siswa.
Guru berperan sebagai perancang
pembelajaran, pengelola pembelajaran,
penilai hasil pembelajaran peserta didik,
pengarah pembelajaran dan pembimbing
peserta didik. Dalam hal ini seorang guru
harus kreatif dalam merencanakan
pembelajaran agar siswa menjadi aktif dan
kreatif yang pada akhirnya adalah suatu
pemahaman siswa terhadap materi yang
dipelajarainya. Proses pembelajaran akan
berhasil dengan baik jika mengikut sertakan
siswa untuk memilih, menyusun dan ikut
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543 PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 3 Oktober 2018 ____________________________________________________ 233
terjun pada situasi pembelajaran. Dengan
melibatkan siswa dalam pembelajaran
mereka akan bertanggung jawab untuk
melakukan rencana yang telah mereka susun.
Terkait dengan itu, maka cara yang
dapat dilakukan oleh guru adalah memilih
model pembelajaran resolusi konflik. Model
pembelajaran resolusi konflik dipandang
mampu memberikan pemahaman terhadap
suatu masalah dan mampu melatih siswa
dalam menyelesaikan permasalahan. Selain
itu, model pembelajaran ini menawarkan
sejumlah solusi kepada guru untuk
menjadikan pembelajaran itu menarik.
Dengan demikian model resolusi konflik
merupakan suatu model pembelajaran yang
dipandang relevan untuk dikembangkan
dalam merealisasikan tujuan pembelajaran
pendidikan kewarganegaraan. Menurut
Lasmawan (2012:20) Model resolusi konflik
ialah kemampuan dan keterampilan siswa
dalam menyikapi dan memecahkan serta
mengambil tindakan terhadap berbagai
fenomena dan masalah-masalah sosial
budaya yang terjadi di lingkungan
masyarakatnya (lokal, regional, nasional, dan
internasional) dengan bersandar pada nilai-
nilai dan budaya masyarakat dimana mereka
hidup dan berkembang. Dalam pembelajaran
resolusi konflik, belajar dan membelajarkan
merupakan dua sisi yang saling melengkapi
satu sama lainnya. Artinya dalam proses
belajar mengajar, guru dapat membelajarkan
siswa dan siswa itu sendiri juga dapat belajar
dan sekaligus membelajarkan diri dengan
siswa yang lainnya. Dengan pola
pembelajaran seperti ini, maka pusat
pembelajaran bukan lagi pada guru,
melainkan pada siswa itu sendiri.
Montgomery (dalam Lasmawan,
2012:20) menyatakan bahwa Model resolusi
konflik (MRK) merupakan suatu model
pembelajaran yang didasari oleh suatu
pandangan bahwa ada hubungan kausalitas
antara fenomena sosial, budaya, dan
kemampuan serta tanggungjawab sosial
individu bagi kehidupan masyarakat secara
siklus yang pada akhirnya membuat
kehidupan manusia lebih baik dan mapan di
tengah-tengah keharmonian. Selain itu,
Lasmawan (2012:20) juga menyatakan
bahwa Model resolusi konflik (MRK) adalah
kemampuan dan keterampilan siswa dalam
menyikapi dan memecahkan serta
mengambil tindakan terhadap berbagai
fenomena dan masalah-masalah sosial
budaya yang terjadi di lingkungan
masyarakatnya (lokal, regional, nasional, dan
internasional) dengan bersandar pada nilai-
nilai sosial dan budaya masyarakat dimana
mereka hidup dan berkembang. Ciri-ciri
model pembelajaran resolusi konflik dalam
pembelajaran PKn Menurut Lasmawan
(2012:21) ciri – ciri model pembelajaran
resolusi konflik dalam pembelajaran PKn
adalah sebagai berikut : (1) Identifikasi, (2)
Eksplorasi, (3) Eksplanasi, (4) Negosiasi
Konflik, (5) Resolusi Konflik.
Hasil belajar merupakan tingkat
keberhasilan siswa setelah melalu
pengalaman – pengalam melalui
pembelajaran yang dilakukan siswa.
Menurut Suprihatiningrum (2012 : 37) hasil
belajar sangat erat kaitannya dengan belajar
atau poses belajar. Hasil belajar pada
sasarannya dikelompokkan dalam dua
kelompok, yaitu pengetahuan dan
keterampilan. Pengetahuan dibedakan
menjadi empat macam, yaitu pengetahuan
tentang fakta – fakta, pengetahuan tentang
prosedur, pengetahuan konsep, dan
keterampilan untuk berinteraksi. Sedangkan
pengertian hasil belajar menurut Bloom, et
al. dalam Kurniawan (2014 : 10)
dibagimenjadi tiga bagian yaitu kognitif,
afektif, dan psikomotor.
Kemudian selain hasil belajar sikap
sosial siswa juga merupakan peranan yang
sangat penting dalam proses pembelajaran.
Menurut Ahmadi (2009:149) sikap adalah
kesadaran individu yang menentukan
perbuatan yang nyata dalam kegiatan-
kegiatan sosial. Sedangkan Widoyoko
(2014:44) menyatakan sikap adalah
kesadaran individu untuk melakukan
perbuatan dalam kegiatan sosial.Sugiantari
(2013 : 4) Sikap social adalah kesadaran
individu yang menentukan perbuatan yang
nyata, yang berulang-ulang terhadap objek
sosial. Menurut Mudjijono (dalam Dewi,
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543 PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 3 Oktober 2018 ____________________________________________________ 234
2015:37) mengembangkan sikap sosial yang
terdiri dari toleransi, kerjasama,
bermusyawarah, dan tanggung jawab. Dalam
penelitian ini telah dibatasi hanya mengkaji
tentang hasil belajar pada aspek kognitif
saja.
Adapun tujuan pada penelitian ini
adalah sebagai berikut: (1) Untuk
mengetahui perbedaan hasil belajar PKn
antara kelompok siswa yang mengikuti
model pembelajaran resolusi konflik dan
kelompok siswa yang mengikuti
pembelajaran konvensional pada siswa Kelas
V SD Gugus Kolonel I Gusti Ngurah Rai
Denpasar Utara Tahun Pelajaran 2016/2017.
(2) Untuk mengetahui pengaruh interaksi
antara model pembelejaran dengan Sikap
Sosial terhadap hasil belajar PKn pada siswa
Kelas V SD Gugus Kolonel I Gusti Ngurah
Rai Denpasar Utara Tahun Pelajaran
2016/2017. (3) Untuk mengetahui perbedaan
hasil belajar PKn antara siswa yang
mengikuti model Resolusi Konflik dan siswa
yang mengikuti model pembelejaran
konvensional siswa Kelas V SD Gugus
Kolonel I Gusti Ngurah Rai Denpasar Utara
Tahun Pelajaran 2016/2017 pada siswa yang
memiliki sikap sosial tinggi. (4) Untuk
mengetahui perbedaan hasil belajar PKn
antara siswa yang mengikuti model Resolusi
Konflik dan siswa yang mengikuti model
pembelejaran konvensional siswa Kelas V
SD Gugus Kolonel I Gusti Ngurah Rai
Denpasar Utara Tahun Pelajaran 2016/2017
pada siswa yang memiliki sikap sosial
rendah.
Berdasarkan uraian yang terdapat
pada latarbelakang dan kajian pustaka maka
hipotesis penelitian ini adalah sebagai
berikut. (1) Terdapat perbedaan hasil belajar
PKn antara kelompok siswa yang mengikuti
model pembelajaran resolusi konflik dan
kelompok siswa yang mengikuti
pembelajaran konvensional pada siswa Kelas
V SD Gugus Kolonel I Gusti Ngurah Rai
Denpasar Utara Tahun Pelajaran 2016/2017.
(2) Terdapat pengaruh interaksi antara model
pembelejaran dengan Sikap Sosial terhadap
hasil belajar PKn pada siswa Kelas V SD
Gugus Kolonel I Gusti Ngurah Rai Denpasar
Utara Tahun Pelajaran 2016/2017. (3) Pada
kelompok siswa yang memiliki Sikap sosial
tinggi terdapat perbedaan hasil belajar PKn
antara kelompok siswa yang mengikuti
model pembelajaran Resolusi Konflik dan
kelompok siswa yang mengikuti
pembelajaran konvensioanal pada siswa
Kelas V SD Gugus Kolonel I Gusti Ngurah
Rai Denpasar Utara Tahun Pelajaran
2016/2017. (4) Pada kelompok siswa yang
memiliki sikap sosial rendah terdapat
perbedaan hasil belajar PKn antara
kelompok siswa yang mengikuti model
pembelajaran Resolusi Konflik dan
kelompok siswa yang mengikuti
pembelajaran konvensioanal pada siswa
Kelas V SD Gugus Kolonel I Gusti Ngurah
Rai Denpasar Utara Tahun Pelajaran
2016/2017.
METODE
Penelitian ini merupakan penelitina
eksperimen semu (quasi eksperiment)
dengan rancangan penelitian Faktorial
Design 2x2 yaitu desain yang terdiri dari dua
kelompok yakni kelompok eksperimen dan
kelompok control. Populasi dalam peelitian
ini adalam siswa kelas V SD Gugus Kolonel
I Gusti Ngurah Rai Denpasar Utara yang
terdiri dari 5 sekolah dengan banyak siswa
143 orang. Melalui teknik random samping,
terpilih SD N 2 Ubung dan SD N 3 Ubung
sebagai kelas eksperimen (Model
Pembelajaran Resolusi Konflik), SD N 4
Ubung dan SD N 6 Ubung sebagai kelas
control (dengan pembeleaaran
konvensional).
Data yang dikumpulkan dalam
penelitian ini adalah nilai hasil belajar PKn
dan sikap sosial siswa. Hasil belajar PKn
diukur dengan tes hasil belajar PKn yang
disusun dan dikembangkan dari materi pada
tema 7. Tes yang digunakan dalam penelitian
ini adalah tes pilihan ganda yang terdiri dari
25 butir soal.
Instrumen yang digunakan untuk
mengukur sikap sosial siswa adalah
kuesioner sikap sosial. Instrument sikap
sosial terdiri dari 30 butir pernyataan
negative dan positif. Instrument ini
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543 PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 3 Oktober 2018 ____________________________________________________ 235
menggunakan skala Likert yang teridiri dari
lima pilihan respon. Data yang diperloeh
berupa data pilah, yang digunakan sebagai
dasar untuk memilih siswa yang memiliki
sikap sosial tinggi dan sikap sosial rendah.
untuk analisis data penelitian,
pengujian yang dilakukan adalah uji
normalitas dan uji homogenitas varians. uji
normalitas menggunakan Teknik Kolmogrof
– Smirnov dan Saphiro – Wilk dengan
bantuan program SPSS Uji hipotesis dalam
penelitian ini dilakukan melalui metode
statistik dengan menggunakan formula
ANAVA dua jalan. Hasil perhitungannya
dilakukan dengan menggunakan program
SPSS.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini meneliti tentang
perbedaan hasil belajar PKn siswa sebagai
dampak dari implementasi Model
Pembelajaran Reolusi Konflik dan
pembelajaran konvensional ditinjau dari
sikap sosial siswa. Penelitian ini
menggunakan rancangan Faktorial Design
2x2, dengan analsis hipotesisnya
menggunakan Anava dua jalur. Ringkasan
analisis data dapat diperhatikan pada tabel
dibawah ini.
Data
Statistik A1 A2 A1B1 A1B2 A2B1 A2B2
Mean ( ̅) 84,72 80,75 88,70 80,75 75,85 85,65
Standar
Deviasi (SD) 6,50 6,74 4,97 5,35 4,97 4,22
Varians ( ) 42,25 45,37 24,75 28,72 24,77 17,82
Skor
Minimum 70 67 80 70 67 77
Skor
Maksimum 100 93 100 90 83 93
Jangkauan/Re
ntangan 30 26 20 20 16 16
Smirnov(sig.) 0,053 0,082 0,200 0,085 0,200 0,188
Hasil analisis menunjukkan bahwa
keseluruhan nilai signifikansi dari
perhitungan kolmogorov-smirnov lebih
tinggi dari 0,050. Ini berarti hasil belajar
PKn siswa dari semua kelompok berasal
dari populasi yang terdistribusi secara
normal. Uji hipotesis dalam penelitian ini
dilakukan melalui metode statistik dengan
menggunakan formula ANAVA dua jalur.
Selanjutnya bila diketahui ada interaksi
antara dengan sikap sosial siswa terhadap
hasil belajar PKn, maka dilanjutkan
dengan uji tukey untuk besaran pengaruh
interaksi model dengan sikapsosial
terhadap hasil belajar PKn.
Hasil perhitungan ANAVA dua
jalur dilakukan menggunakan program
SPSS dan kriteria dari pengujian hipotesis
dapat dilihat sebagai berikut.
Pengujian hipotesis pertama,
hipotesis nol ditolak dan hipotesis
alternatif diterima (nilai signifikansi
“Model” (sig.001<0.050)). Ini berarti
terdapat perbedaan yang signifikan pada
hasil belajar siswa yang mengikuti Model
pembelajaran Resolusi Konflikdengan
siswa yang mengikuti pembelajaran
konvensional dalam pembelajaran PKn.
Perbedaan hasil belajar yang
signifikan antara siswa yang mengikuti
Model pembelajaran Resolusi
Konflikdengan siswa yang mengikuti
pembelajaran konvensional, disebabkan
adanya perbedaan perlakuan pada Model
pembelajaran Resolisi Konflikyang
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543 PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 3 Oktober 2018 ____________________________________________________ 236
menekankan pembelajaran berpusat pada
aktifitas siswa, para siswa memperoleh
informasi melalui interaksi dengan
sumber – sumber belajar secara langsung
yang dirangkai apik dengan model
pembelajaran Resolusi Konflik. Dengan
menerapkan Model pembelajaran
Resolusi Konflik, siswa dapat belajar
secara langsung, berkelompok,
mengerjakan tugas bersama, dan
membuat hasil diskusi dengan keputusan
bersama, sehingga pembelajaran menjadi
menyenangkan dan bertanggung jawab
karena siswa berperan aktif dalam
pembelajaran. Model pembelajaran
Resolusi Konflik merupakan suatu model
pembelajaran yang berpusat kepada
siswa, bukan guru yang memiliki
tanggung jawab lebih besar dalam
pelaksanaan pembelajaran. Adapun
tujuan dari model pembelajaran Resolusi
Konflik ini mengembangkan kerja tim,
interaksi siswa, serta menguasai
pengetahuan secara mendalam yang tidak
mungkin diperoleh bila mereka mencoba
untuk mempelajari semua materi secara
sendirian.
Montgomery (dalam Lasmawan,
2012:20) menyatakan bahwa Model
resolusi konflik (MRK) merupakan suatu
model pembelajaran yang didasari oleh
suatu pandangan bahwa ada hubungan
kausalitas antara fenomena sosial,
budaya, dan kemampuan serta
tanggungjawab sosial individu bagi
kehidupan masyarakat secara siklus yang
pada akhirnya membuat kehidupan
manusia lebih baik dan mapan di tengah-
tengah keharmonian. Selain itu,
Lasmawan (2012:20) juga menyatakan
bahwa Model resolusi konflik (MRK)
adalah kemampuan dan keterampilan
siswa dalam menyikapi dan memecahkan
serta mengambil tindakan terhadap
berbagai fenomena dan masalah-masalah
sosial budaya yang terjadi di lingkungan
masyarakatnya (lokal, regional, nasional,
dan internasional) dengan bersandar pada
nilai-nilai sosial dan budaya masyarakat
dimana mereka hidup dan berkembang.
Pembelajaran Model pembelajaran
Resolusi Konflik ini memberikan
pengalaman langsung kepada siswa dan
siswa menjadi lebih bertanggung jawab
terhadap hal yang dipelajarinya.
Pembelajaran Resolusi Konflik adalah
model pembelajaran yang terdiri dari
beberapa anggota dalam satu kelompok
dan bertanggung jawab untuk mengkaji
suatu topik atau permasalahan. Dengan
menerapkan langkah-langkah
pembelajaran Resolusi Konflik yaitu ; (1)
indetifikasi. (2) Eksplorasi. (3)
Eksplanasi. (4) Negosiasi Konflik. (5)
Resolusi Konflik.
Hal tersebut diperkuat juga dengan
penelitian yang dilakukan oleh Penelitian
yang dilakukan oleh N’au (2015) yang
berjudul Pengaruh Model Pembelajaran
Resolusi Konflik Dan Kemampuan
Berpikir Kritis Terhadap Hasil belajar IPS
siswa kelas V SD Gugus II Kecamatan
Bajawa Kabupaten Ngada-NTT. Dalam
penelitian tersebut dinyatakan bahwa
model pembelajaran Resolusi Konflik
berdampak lebih baik secara signifikan
terhadap hasil belajar IPS dibandingkan
dengan hasil belajar dengan model
konvensional. Terjadinya interaksi antara
model pembelajaran dengan kemampuan
berpikir berpikir kritis dimana ditemukan
model pembelajaran Resolusi Konflik
lebih sesuai untuk siswa dengan
kemampuan berpikir kritis tinggi namun
sebaliknya kemampuan berpikir kritis
rendah lebih sesuai menggunakan model
konvensional. Hubungan dengan
penelitian dilakukan adalah penerapan
pembelajaran Resolusi Konflik terhadap
dan kemampuan berpikir kritis siswa serta
hasil belajar sehingga memiliki acuan
yang positif terhadap penelitian ini.
Hal ini berbanding terbalik dengan
pembelajaran konvensional yang sangat
jarang menggunakan sumber – sumber
belajar dalam menunjang aktifitas belajar
siswa.Ini disebabkan karena guru adalah
sumber belajar tunggal, informasi hanya
berasal dari guru hanya ditunjang buku
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543 PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 3 Oktober 2018 ____________________________________________________ 237
bacaan sehingga tidak ada aktifitas belajar
yang menyenangkan bagi siswa.
Jadi hasil penelitian ini
membuktikan bahwa terdapat perbedaan
yang signifikan pada hasil belajar PKn
siswa yang mengikuti Model
pembelajaran Resolusi Konflik dengan
siswa yang mengikuti pembelajaran
konvensional. Hasil belajar PKn siswa
yang mengikuti Model pembelajaran
Resolusi Konflik lebih tinggi dari pada
hasil belajar PKn siswa yang mengikuti
pembelajaran konvensional.
Pengujian hipotesis kedua,
hipotesis nol ditolak dan hipotesis
alternatif diterima (nilai signifikansi
“Model*SikapSosial” (sig.001<0.050).
Ini berarti terdapat pengaruh interaksi
yang signifikan antara model
pembelajaran dan sikap sosial siswa
terhadap hasil belajar PKn.
Diketahui bahwa hasil belajar PKn
siswa dipengaruhi oleh berbagai faktor,
faktor internal dan faktor eksternal.
Faktor internal yang mempengaruhi hasil
belajar siswa, salah satunya adalah
seberapa sikap sosial siswa dalam
mengikuti pembelajaran. Demikian pula
halnya dengan faktor eksternal,
kemampuan guru menggunakan berbagai
model serta media dan sumber – sumber
belajar dalam mendesain pembelajaran.
Sikap sosial memberikan peranan
penting dalam proses belajar siswa,
Menurut Ahmadi (2009:149) sikap adalah
kesadaran individu yang menentukan
perbuatan yang nyata dalam kegiatan-
kegiatan sosial. Sedangkan Widoyoko
(2014:44) menyatakan sikap adalah
kesadaran individu untuk melakukan
perbuatan dalam kegiatan sosial.
Sikap sosial memiliki peran penting
terhadap proses belajar siswa, karena
siswa dapat berinteraksi dengan siswa
lain dan menjadikan seseorang siswa
mengalami perubahan ke arah yang lebih
baik.
Sikap sosial dapat terbentuk salah
satunya melalui interaksi sosial. Interaksi
sosial merujuk pada hubungan yang
dinamis dalam masyarakat. Interaksi
sosial di masyarakat terjadi dalam
berbagai bentuk, misalnya kerjasama,
persaingan, dan konflik. Maka untuk
menumbuhkan sikap sosial pada siswa,
dapat dilakukan dengan membangun
interaksi sosial di sekolah. Sikap sosial
yang diharapkan muncul pada diri siswa.
Mulyasa (2005:21) menyatakan sikap
sosial merupakan harapan dari tujuan
pendidikan nasional yang menyangkut:
tertib, sadar hukum, kerjasama dan dapat
berkompetensi, toleransi, menghargai
orang lain, dan dapat berkompromi.
Kosasih (2014:15) menyebutkan bahwa
sikap sosial meliputi sikap toleransi,
gotong royong, kerja sama, dan kemauan
untuk selalu musyawarah dalam
menyelesaikan suatu permasalahan
bersama. Mudjijono (dalamDewi,
2015:37) mengembangkan sikap sosial
yang terdiri dari toleransi, kerjasama,
bermusyawarah, dan tanggung jawab.
Guru sejati adalah guru yang selalu
berinovasi agar hasil belajar siswanya
tercapai optimal. Untuk memperoleh hal
tersebut salah satu yang mempengaruhi
yaitu pemilihan pendekatan pembelajaran
yang dapat mendukung proses belajar
yang lebih baik. Pendekatan dan model
pembelajaran selalu berkembang sesuai
dengan kondisi dan situasi terutama
dengan memperhatikan perkembangan
siswa. Model Resolusi Konflik sangatlah
cocok diterapkan pada siswa yang
memiliki sikap sosial tinggi, sebab dapat
memberi kesempatan kepada siswa lebih
aktif menemukan dan mengkontruksi
potensi yang dimiliki untuk memperoleh
hasil belajar yang optimal. Disisi lain
dalam pembelajaran konvensional
terutama ceramah, lebih tepat diterapkan
pada siswa yang memiliki sikap sosial
rendah. Karena pada kondisi ini siswa
cenderung pasif, sehingga mereka lebih
nyaman dengan mendengarkan informasi
/bahan pelajaran dari guru.
Hasil analisis menunjukkan bahwa
nilai dari Qhitung adalah 11,78 dan nilai
dari Qtabel adalah 2,95. Oleh karena itu,
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543 PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 3 Oktober 2018 ____________________________________________________ 238
dapat dilihat bahwa nilai dari Qhitung lebih
besar dari Qtabel (Qhitung>Qtabel), hal ini
berarti hipotesis nol ditolak dan hipotesis
alternatif diterima, yang artinya terdapat
perbedaan yang signifikan hasil belajar
PKn pada siswa yang memiliki sikap
sosial tinggi ketika mereka diberikan
perlakuan menggunakan Model
pembelajaran Resolusi Konflik dan
pembelajaran konvensional.
Perbedaan hasil belajar yang
signifikan antara siswa yang mengikuti
Model pembelajaran Resolusi Konflik
dengan siswa yang mengikuti
pembelajaran konvensional, disebabkan
adanya perbedaan perlakuan pada Model
pembelajaran Resolusi Konflik yang
menekankan aktivitas belajar siswa lebih
banyak daripada aktivitas guru. Hal ini
terjadi karena proses dalam Model
pembelajaran Resolusi Konflik bersifat
student centered, siswa memperoleh
informasi melalui pembelajaran yang
inovatif dan menyenangkan sehingga
menumbuhkan sikap sosial siswa.
Segala kegiatan tersebut berperan
positif terhadap kontruksi pemahaman
siswa dalam mencapai hasil belajar yang
terbaik. Bagi siswa yang memiliki sikap
sosial tinggi sangat senang dengan
pembelajaran Resolusi Konflik, sehingga
dalam pembelajaran mereka lebih rajin,
tekun, tahan terhadap tantangan, dan tidak
mudah putus asa dalam mencapai tujuan
yang diharapkan. Sedangkan bagi siswa
yang memiliki sikap sosial rendah
cendrung pasif, tidak suka aktivitas
belajar yang ribet, sehingga hasil yang
diperoleh kurang maksimal.Ini berarti
bagi siswa yang memiliki sikap sosial
tinggi dapat memperoleh hasil belajar
yang lebih baik dari siswa yang memiliki
sikap sosial rendah. Tetapi dalam keadaan
siswa yang sama-sama punya sikap sosial
tinggi, bila diperlakukan dengan cara
berbeda maka hasil belajarnya pun akan
berbeda, siswa yang memiliki sikap sosial
tinggi dapat mencapai hasil belajar yang
lebih baik ketika mengikuti Model
pembelajaran Resolusi Konflik dari pada
pembelajaran konvensional.
Hasil analisis menunjukkan bahwa
nilai dari Qhitung adalah 4,49 dan nilai dari
Qtabel adalah 2,95. Oleh karena itu, dapat
dilihat bahwa nilai dari Qhitung lebih besar
dari Qtabel (Qhitung>Qtabel), hal ini berarti
hipotesis nol ditolak dan hipotesis
alternatif diterima atau terdapat
perbedaan yang signifikan hasil belajar
PKn pada siswa yang memiliki
sikapsosial rendah ketika mereka
diberikan perlakuan menggunakan Model
pembelajaran Resolusi Konflik dan
pembelajaran konvensional.
Perbedaan hasil belajar yang
signifikan antara siswa yang mengikuti
Model pembelajaran Resolusi dengan
seting saintifik dengan siswa yang
mengikuti pembelajaran konvensional,
disebabkan adanya perbedaan perlakuan
pada Model pembelajaran Resolusi
Konflik yang menekankan aktivitas
belajar siswa lebih banyak daripada
aktivitas interaksi guru dan siswa. Hal ini
terjadi karena proses dalam Model
Resolusi Konflik bernuansa student
centered, siswa memperoleh informasi
melalui interaksi dengan segala sumber
belajar yang ada disekitarnya tidak hanya
guru semata.
Seperti telah dijelaskan di atas,
bahwa bagi siswa yang punya sikap sosial
rendah dalam proses pembelajaran
cendrung lebih pasif, kurang adanya
kreatifitas di kelas, kurang bersemangat
dalam kerja kelompok, tidak inovatif,
selalu menunggu perintah, dan hanya
menerima stimulus dari guru. Akibat
kurangnya sikap sosial dan semangat
dalam mengikuti pembelajaran sudah
pasti kualitas hasil belajarnya pun akan
rendah.
Kondisi siswa yang kurang
keinginan dari dalam diri untuk
membangun pengetahuannya sendiri, jika
diberikan tugas mandiri untuk menjadi
kelompok ahli tertentu dalam
pembelajaran, cendrung kurang berhasil.
Bagi siswa yang punya sikap sosial
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543 PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 3 Oktober 2018 ____________________________________________________ 239
rendah lebih nyaman pada kondisi yang
tidak terlalu terikat dan hanya menerima
pesan dari guru tanpa dibebani tanggung
jawab yang terlalu berat, sehingga peran
guru lebih banyak mendominasi. Jadi
pada siswa yang memiliki sikap sosial
rendah lebih tepat menggunakan
pembelajaran konvensional, terutama
melalui ceramah.
PENUTUP
Simpulan
Berdasarkan permasalahan,
pembahasan dan ringkasan diatas dapat di
kemukakan beberapa temuan yaitu : (1)
Terdapat perbedaan hasil belajar PKn
antara kelompok siswa yang mengikuti
model pembelajaran resolusi konflik dan
kelompok siswa yang mengikuti
pembelajaran konvensional pada siswa
Kelas V SD Gugus Kolonel I Gusti
Ngurah Rai Denpasar Utara Tahun
Pelajaran 2016/2017. (2) Terdapat
pengaruh interaksi antara model
pembelejaran dengan Sikap Sosial
terhadap hasil belajar PKn pada siswa
Kelas V SD Gugus Kolonel I Gusti
Ngurah Rai Denpasar Utara Tahun
Pelajaran 2016/2017. (3) Pada kelompok
siswa yang memiliki Sikap sosial tinggi
terdapat perbedaan hasil belajar PKn
antara kelompok siswa yang mengikuti
model pembelajaran Resolusi Konflik dan
kelompok siswa yang mengikuti
pembelajaran konvensioanal pada siswa
Kelas V SD Gugus Kolonel I Gusti
Ngurah Rai Denpasar Utara Tahun
Pelajaran 2016/2017. (4) Pada kelompok
siswa yang memiliki sikap sosial rendah
terdapat perbedaan hasil belajar PKn
antara kelompok siswa yang mengikuti
model pembelajaran Resolusi Konflik dan
kelompok siswa yang mengikuti
pembelajaran konvensioanal pada siswa
Kelas V SD Gugus Kolonel I Gusti
Ngurah Rai Denpasar Utara Tahun
Pelajaran 2016/2017.
Saran
Diharapkan guru mampu
meningkatkan kemampuan
profesionalitas dalam mengelola
pembelajaran khususnya muatan materi
PKn, dengan menerapkan model
pembelajaran Resolusi Konflik. Melalui
penerapan pembelajaran model
pembelajaran Resolusi Konflik siswa
secara tidak langsung merasakan dan
memahami materi apa yang telah didapat
dengan belajar secara langsung dengan
berinraksi dengan siswa lainnya dan
menyebabkan sikap sosial siswa menjadi
lebih baik. Sehingga sangat relevan
diterpakan di Sekolah Dasar.
DAFTAR RUJUKAN
Ahmadi, A. 2009. Psikologi Sosial.
Jakarta : PT. Rineka Cipta
Dewi, I. U. 2015. Pengaruh Pendekatan
Saintifik Bermuatan Resolusi
Konflik Terhadap Sikap Sosial
Dan Hasil Belajar IPS Siswa
Kelas V SD Gugus Kolonel I
Gusti Ngurah Rai, Denpasar
Utara. Tesis (tidak diterbitkan).
Program Studi Pendidikan Dasar
Pasca Sarjana Universitas
Pendidikan Ganesha. Singaraja.
Kurniawan, D. 2014. Pembelajaran
TEMATIK (Teori, Praktik, dan
Penilaian). Bandung : Alfabeta.
Kosasih, E. 2014. Strategi Belajar dan
Pembelajaran Implementasi
Kurikulum 2013. Bandung:
Yrama Widya.
Lasmawan, W. 2010. Menelisik
Pendidikan IPS. Singaraja:
Mediakom Indonesia Press Bali
Lasmawan, W. 2012. Pembelajaran
Inovatif Dalam pendidikan IPS,
(makalah) disampakan pada
seminar pendidikan dan
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543 PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 3 Oktober 2018 ____________________________________________________ 240
pelatihan profesi guru (PLPG)
Singaraja. UNDIKSHA
Mulyasa, E. 2005. Kurikulum Berbasis
Kompetensi Konsep,
Karakteristik, Implementasi, dan
Inovasi. Bandung: Remaja
Rosdakarya Offset.
N’au, M. I. K. M. 2015. “Pengaruh Model
Pembelajaran Resolusi Konflik
Dan Kemampuan Berpikir Kritis
Terhadap Hasil belajar IPS
siswa kelas V SD Gugus II
Kecamatan Bajawa Kabupaten
Ngada-NTT”. e-Journal
Program Pascasarjana
Universitas Pendidikan Ganesha
Program Studi Pendidikan Dasar
Volume 5 Tahun 2015, hal 5-8..
Sugiantari, N. P. “Pengaruh Implementasi
Model Resolusi Konflik
Terhadap Sikap Sosial Dan
Prestasi Belajar IPS Pada Siswa
Kelas V SD Gugus 2 Sahadewa
Di Lelateng” e-Journal Program
Pascasarjana Universitas
Pendidikan Ganesha Jurusan
Pendidikan Dasar Volume 3
Tahun 2013, hal 4.
Suprihatiningrum, J. 2014. Strategi
Pembelajaran. Yogyakarta :
AR-RUZZ MEDIA.
Sutoyo. 2011. Pendidikan
Kewarganegaraan untuk
Perguruan Tinggi. Yogyakarta:
Graha Ilmu
Widoyoko, E. P. 2014. Penilaian Hasil
Pembelajaran Di Sekolah.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543 PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 3 Okotober 2018 _________________________________________________________ 241
PENGARUH METODE JOLLY PHONICS TERHADAP KEMAMPUAN MEMBACA
DAN MENULIS PERMULAAN BAHASA INGGRIS PADA ANAK KELOMPOK B TK
MAHARDIKA DENPASAR
I.W. Sudiarta
Universitas Pendidikan Ganesha
Singaraja, Indonesia
e-mail: [email protected]
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh metode jolly phonics
terhadap kemampuan membaca dan menulis permulaan bahasa inggris pada anak
kelompok B TK Mahardika. Populasi penelitian ini adalah siswa kelompok B TK
Mahardika dengan jumlah 43 orang. Sampel penelitian sebanyak 29 orang
ditentukan dengan teknik random sampling. Rancangan penelitian ini adalah
posttest only control group design. Data keterampilan membaca dan menulis
permulaan dikumpulkan dengan lembar observasi. Analisis data menggunakan
MANOVA. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) terdapat perbedaan
kemampuan membaca permulaan Bahasa Inggris antara anak yang belajar
menggunakan metode Jolly Phonics dengan anak yang belajar secara
konvensional pada anak kelompok B TK Mahardika (F = 4,871 dengan p < 0,05),
(2) terdapat perbedaan kemampuan menulis permulaan Bahasa Inggris antara
anak yang belajar menggunakan metode Jolly Phonics dengan anak yang belajar
secara konvensional pada anak kelompok B TK Mahardika (F = 25,780 dengan p
< 0,05), (3) secara simultan terdapat perbedaan kemampuan membaca permulaan
dan menulis permulaan bahasa Inggris antara anak yang belajar menggunakan
metode Jolly Phonics dengan anak yang belajar secara konvensional pada anak
kelompok B TK Mahardika.
Kata kunci : jolly phonics, membaca permulaan, menulis permulaan.
ABSTRACT
This research aims to investigate the effect of Jolly Phonics method towards
English basic reading and writing skills of students in group B TK Mahardika.
Population in this research was 43 students. 29 students were selected as sample
using random sampling technique. The design of this research was Posttest Only
Control Group design. English basic reading and writing skills data were
collected using observation sheets. Data were analyzed using MANOVA. Based
on this research, the results show that: First, there was a difference in English
basic reading skills between students who followed Jolly Phonics method and
students who followed conventional method in group B TK Mahardika (F =
4,871 with p < 0,05). Second, there was a difference in English basic writing
skills between students who followed Jolly Phonics and students who followed
conventional method in group B TK Mahardika (F = 25,780 dengan p < 0,05).
Third, there was a difference in English basic reading and writing skills between
students who followed Jolly Phonics method and students who followed
conventional method in group B TK Mahardika.
Keywords : english basic reading and basic writing skills, jolly phonics
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543 PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 3 Okotober 2018 _________________________________________________________ 242
.
PENDAHULUAN
Pendidikan anak usia dini merupakan
pendidikan yang paling mendasar dan
menempati posisi yang sangat strategis
dalam pengembangan sumber daya manusia.
Anak usia dini adalah anak yang berada
pada rentang usia lahir sampai enam tahun
yang merupakan rentang usia kritis dan
sekaligus strategis dalam posisi pendidikan,
pendidikan anak usia dini dapat
mempengaruhi hasil pendidikan tahap
selanjutnya (Depdiknas, 2005:2). Periode
usia ini merupakan periode kondusif untuk
menumbuh kembangkan berbagai
kemampuan fisiologis, kognitif, bahasa,
sosial emosional dan spiritual.
Semakin pesat arus globalisasi, maka
semakin tak terbataslah ruang dan waktu.
Seorang anak yang terlahir pada era seperti
ini dihadapkan dengan kondisi dimana
warga belajar harus menguasai bahasa
Inggris yang dalam politik bahasa nasional
kita sebut sebagai bahasa asing pertama.
Berdasarkan pada asumsi akan hilangnya
batasan antara satu negara dengan negara
lain, dapat kita pastikan bahwa bahasa
Inggris akan mengambil sebagian tempat
dari bahasa Indonesia dalam hal komunikasi.
Penguasaan bahasa Inggris ini menjadi salah
satu prioritas perencanaan pemerintah kita
khususnya di jalur pendidikan baik itu
formal, nonformal, maupun informal.
Jika melihat pada sistem pendidikan
formal, seorang murid mulai diajarkan
bahasa Inggris pada level sekolah lanjutan
tingkat pertama, (meskipun sudah ada
beberapa sekolah dasar dan taman kanak-
kanak yang mulai memasukan pelajaran
bahasa Inggris dalam kurikulum). Di sini
jelas muncul permasalahan yang sangat
kontradiktif dengan teori psikologi
perkembangan yang menyatakan bahwa usia
0-6 tahun adalah masa dimana anak
seharusnya mulai belajar bahasa.
Hal ini dapat dibuktikan dengan
menempatkan seorang anak pada sebuah
lingkungan yang menggunakan bahasa
tertentu, mereka dengan sendirinya ia akan
menguasai bahasa tersebut. Prinsip
pembelajaran bahasa Inggris menurut Brown
(2000: 55) salah satunya adalah
automaticity. Belajar bahasa Inggris
seharusnya bisa dimunculkan dengan
otomatis, tanpa terlalu menyulitkan dalam
menganalisis bahasa, berpikir terlalu
mendalam tentang struktur atau grammer,
dan secara sadar mengingatingat aturan
bahasa. Dengan latar belakang pada
kenyataan-kenyataan ini dapat kita katakan
bahwa semakin dini anak belajar bahasa baik
itu bahasa ibu, bahasa Indonesia, maupun
bahasa asing maka semakin mudah anak
tersebut menguasainya.
Selain kemampuan kognitif,
kemampuan bahasa juga menjadi
kemampuan dasar yang paling penting untuk
anak sekolah dan harus dikuasai pada masa
pra sekolah. Kemampuan membaca dan
menulis yang diperoleh anak juga akan
berpengaruh terhadap konsep diri di bidang
akademik (Ruhaena, 2008). Membaca dan
menulis merupakan dua aspek kemampuan
berbahasa yang saling berkaitan dan tidak
terpisahkan. Pada waktu guru mengajarkan
menulis, para siswa tentu akan membaca dan
menulis. Demikian pula halnya dengan
aspek-aspek kemampuan berbahasa yang
lain, yakni menyimak dan berbicara.
Keempat aspek kemampuan berbahasa
tersebut memang berkaitan erat, sehingga
merupakan satu kesatuan.
Proses belajar membaca dan menulis
permulaan menjadikan anak untuk dapat
membaca dan menulis adalah proses yang
sangat penting. Keterampilan literasi sejak
usia dini menjadi penentu keberhasilan
dalam kegiatan belajar anak. Pentingnya
literasi bukan hanya dilihat dari
keterampilannya saja, tetapi yang lebih
penting adalah bagaimana sikap siswa
terhadap literasi dan motivasi mereka
berpartisipasi aktif dalam kegiatan literasi.
Kemampuan literasi awal anak dapat
memberikan dampak signifikan untuk
keberlangsungan belajar anak di jenanjang
yang lebih tinggi. Zuchdi dan Budiasih
(1996) mengungkapkan bahwa kemampuan
membaca yang diperoleh pada membaca
awal akan sangat berpengaruh terhadap
kemampuan membaca lanjut.
Memperkenalkan pengetahuan baru kepada
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543 PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 3 Okotober 2018 _________________________________________________________ 243
anak bukanlah hal yang mudah sehingga
diperlukan keseriusan oleh pendidik dalam
menyajikannya. Kesabaran dan ketelitian
menjadi faktor penting dalam tercapainya
tujuan yang diharapkan oleh pendidik.
Aktivitas dalam melatih kemampuan
membaca tingkat awal yaitu mengenalkan
rangkaian huruf dengan bunyi-bunyi bahasa.
Zuchdi dan Budiasih (1996) menyatakan
bahwa membaca permulaan diberikan
secara bertahap, yakni pra-membaca, dan
membaca, Pada tahap pra-membaca siswa
diajarkan dan dibiasakan untuk melakukan
kegiatan sikap duduk yang baik waktu
membaca, cara meletakkan buku di meja,
cara memegang buku, cara membuka dan
membalik halaman buku, melihat dan
memperhatikan tulisan.
Kemampuan membaca adalah modal
utama anak dalam melanjutkan pendidikan
pada jenjang yang lebih tinggi, hal ini
dikarenakan sumber belajar yang tersedia
sebagian besar terdapat pada buku yang
mengharuskan anak untuk dapat
membacanya dengan baik untuk
memperoleh informasi yang dibutuhkan.
Tingkatan dalam proses membaca
merupakan tingkatan proses pembelajaran
membaca untuk menguasai sistem tulisan
sebagai representasi visual bahasa.
Tingkatan ini sering disebut dengan
tingkatan belajar membaca (learning to
read).
Menurut Suwaryantini (2014)
kemampuan membaca merupakan sesuatu
yang vital dalam masyarakat terpelajar.
Memperkenalkan pengetahuan baru kepada
anak bukanlah hal yang mudah sehingga
diperlukan keseriusan oleh pendidik dalam
menyajikannya. Kesabaran dan ketelitian
menjadi faktor penting dalam tercapainya
tujuan yang diharapkan oleh pendidik.
Membaca permulaan merupakan proses
mental untuk mengenal, mengingat
lambang-lambang tertulis, lambang-lambang
suara mengandung arti.
Keterampilan menulis permulaan juga
memegang peranan penting dalam
keberhasilan anak di dunia pendidikan
khususnya. Tujuan menulis permulaan
menurut Subana dan Sunarti (2009) adalah
mendidik anak-anak agar ia mampu menulis.
Penanaman keterampilan menulis permulaan
harus mulai dari tingkat awal yaitu dari
pengenalan lambang-lambang bunyi dan
latihan memegang alat tulis. Menulis
merupakan suatu kegiatan yang bersifat
rekursif, yakni kegiatan yang dilakukan
secara berulang-ulang.
Ilmu pengetahuan dalam setiap anak
dapat berkembang jika kemampuan menulis
dapat dikembangkan dengan baik. Menurut
Wassid dan Dadang (2008: 58), di dalam
aktivitas menulis terjadi suatu proses yang
rumit karena melibatkan berbagai modalitas,
mencakup gerakan tangan, lengan, jari,
mata, koordinasi, pengalaman belajar, dan
kognisi, semua modalitas itu bekerja secara
terintegrasi. Oleh karena itu pelajaran
menulis terasa begitu berat dan melelahkan.
Ada juga anak yang merasa kesulitan dan
malas belajar menulis. Hal ini sering kita
jumpai pada anak usia kelas rendah.
Early literacy is an emerging set of
relationships between reading and writing
These relationships are situated in a
broader communication network of speaking
and listening, whose components work
together to help the learner negotiate the
world and make sense of experience. Young
children need writing to help them learn
about reading, they need reading to help
them learn about writing; Kathleen,et.al
(2003 : 2). Kutipan tersebut dapat diartikan
literasi dini merupakan hubungan antara
menulis dan membaca, yang kemudian
secara meluas berhubungan dengan
berbicara dan mendengarkan yang
membantu siswa untuk memahami segala
sesuatu yang ada di dunia ini, serta
menemukan arti dari pengalaman siswa.
Siswa kelas awal biasanya memerlukan
keterampilan menulis agar bisa membaca,
dan mereka juga memerlukan keterampilan
membaca agar bisa menulis.
Keterkaitan kemampuan membaca dan
menulis memang tidak dapat dipisahkan.
Namun kehidupan masyarakat kita masih
belum mampu menjadikan membaca sebagai
sebuah budaya, hal ini berdampak pada
minimnya ilmuan yang terlahir dari Negeri
ini. Yulian dalam Nurdiyanti, dkk. (2010 :
115) mengemukakan bahwa literasi bangsa
Indonesia lebih rendah dari bangsa Barat,
bahkan dalam taraf membaca pun masih
rendah. Bagi masyarakat barat, membaca
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543 PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 3 Okotober 2018 _________________________________________________________ 244
buku di dalam bus atau di kereta itu
pemandangan biasa. Hal itu jarang
ditemukan di Indonesia. Sebab, sumber daya
manusia yang dihasilkan oleh persekolahan
di Indonesia masih merupakan masyarakat
aliterat, yakni sumber daya manusia yang
bisa membaca, namun lebih memilih untuk
tidak membaca.
Wachid dalam Nurdiyanti (2010 : 115)
mengemukakan bahwa faktor penyebab
rendahnya kemampuan membaca adalah
tradisi kelisanan yang masih mengakar di
masyarakat. Masyarakat tempo dulu lebih
memanjakan tradisi lisan (dengar) daripada
tradisi literasi (baca tulis), selain itu, sistem
persekolahan masih kurang memberi
peluang bagi tradisi literasi kepada peserta
didik.
Literasi dini memfokuskan
pembelajaran bahasa pada anak usia dini
(early childhood) khususnya kemampuan
membaca dan menulis permulaan. Anak usia
dini merupakan pribadi unik yang mampu
menarik perhatian orang dewasa.
Karakteristik anak usia dini seperti yang
disebutkan oleh NAEYC (National
Association For The Education Of Young
Children) memiliki rasa ingin tahu yang
besar, merupakan pribadi yang unik, suka
berfantasi dan berimajinasi. Merupakan
golden age ( masa emas) dalam tahap
pertumbuhan, memiliki rentang konsentrasi
yang pendek. Menyajikan berbagai
keterampilan berbahasa untuk anak usia dini
merupakan cara yang dinilai efektif untuk
melatihkan keterampilan berbahasa siswa.
Untuk ukuran anak usia dini yang
menempuh pendidikan di PAUD lebih
efektif rasanya jika memperkenalkan
keterampilan berbahasa dengan bantuan
gambar dan media pendukung yang dapat
manarik perhatian siswa.
Kegiatan dalam upaya melatihkan
keterampilan menulis untuk anak usia dini
dapat dilakukan dengan cara menuliskan
atau menggambar setiap huruf, tersendiri
berwujud kata/kalimat dengan melihat
tulisan yang ada atau dengan mendengar
bunyi tulisan huruf itu (dikte). Pokok dari
pengetahuan membaca (mengucapkan atau
menterjemahkan) huruf itu dalam wujud
bunyi (ucapan) harus diimbangi dengan
kebolehan anak menuliskan
(menggambarkan) huruf-huruf itu. Tarigan
(2009) menyatakan, menulis adalah
menurunkan atau melukiskan lambang-
lambang grafik yang menggambarkan suatu
bahasa yang dipakai oleh seseorang, sehinga
orang lain dapat membaca lambang-lambang
grafik tersebut kalau mereka memahami
bahasa dan gambaran grafik tersebut.
Permasalahan yang muncul kini adalah
rendahnya kemampuan membaca dan
menulis permulaan pada anak. Siswa
cenderung menerima begitu saja materi yang
diberikan oleh guru tanpa memberikan
respon berupa pendapat ataupun sanggahan.
Kesulitan menganalisis makna dari sebuah
kata atau bacaan. Siswa terkadang keliru
bahkan salah dalam memaknai sebuah kata
atau bacaan. Permasalahan serupa
ditemukan dalam jurnal penelitian Ruhaena
(2008) yang menyatakan bahwa anak
membutuhkan kebebasan untuk
mengekspresikan dirinya. Caranya dapat
melalui menulis dan melukis. Sayangnya
pengajaran menulis di Indonesia kurang
mengembangkan imajinasi anak sehingga
masih kesulitan untuk mengekspresikan ide-
idenya. Pada akhirnya rata-rata kemampuan
membaca dan menulis anak Indonesia
tergolong rendah.
Hal ini mendorong pendidik harus
mencari solusi dalam memecahkan masalah
tersebut. Pendidik memerlukan metode
pembelajaran yang efektif sebagai pengantar
anak mencapai keberhasilan belajar
membaca dan menulis. Kemampuan anak
untuk mengenali kata saat membaca
dipengaruhi oleh cara pengajaran atau
metode mengajar yang digunakan oleh guru.
Aktivitas belajar yang relevan dapat
memberikan pengaruh positif terhadap
kemampuan berbahasa siswa. Menyajikan
pembelajaran yang menyenangkan dan
sesusai dengan karakteristik anak usia dini
menjadi kunci keberhasilan tercapainya
tujuan yang ditetapkan pendidik.
Pemilihan model pembelajaran,
menentukan efektivitas proses belajar
membaca dan tingkat keberhasilan anak
(Petscher dkk, 2011). Dengan adanya
pengembangan kurikulum yang mengacu
pada kemampuan dasar peserta didik yang
diimplementasikan dalam pembelajaran
yang dilaksanakan di sekolah, maka perlu
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543 PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 3 Okotober 2018 _________________________________________________________ 245
dilakukan pembaharuan dalam pembelajaran
yang dilakukan dengan mengambil semua
hal yang baik dari pandangan
pengembangan kurikulum yang dikenal.
Untuk mencapai keberhasilan pendidikan,
maka pembelajaran di kelas hendaknya
mencerminkan sebuah pembelajaran dengan
menekankan pada pencapaian tujuan belajar
baik itu ranah afektif, kognitif, maupun
psikomotor, (Bloom dalam Arikunto,2006).
Kegiatan belajar bahasa di PAUD
guru masih cenderung menggunakan model
pembelajaran konvensional. Secara garis
besar kegiatan pembelajaran dengan model
pembelajaran konvensional meliputi 1)
kegiatan pendahuluan yang meliputi
apersepsi dan motivasi; 2) kegiatan inti yang
meliputi eksplorasi, elaborasi, dan
konfirmasi; 3) kegiatan penutup yang
meliputi kegiatan menyimpulkan hasil
pembelajaran,penilaian dan refleksi, umpan
balik dan tindak lanjut. Berdasarkan
langkah-langkah model pembelajaran
konvensional terlihat bahwa langkah
pembelajaran masih bersifat umum, aktivitas
belajar siswa dalam kegiatan pembelajaran
bahasa sangat minim yang berdampak pada
kemampuan membaca dan menulis
permulaan siswa akan informasi dapat
diterimanya sangat rendah. Penerapan model
pembelajaran konvensioal dalam suatu kelas
akan menjadi kelas pasif dan kegiatan
pembelajaran menjadi tidak bermakna. Hal
tersebut terjadi karena siswa tidak diberikan
kesempatan untuk mengungkapkan ide
ataupun mengaplikasikannya dalam bentuk
demonstrasi.
Pengembangan kemampuan membaca
dan menulis siswa dapat dilakukan dengan
mengembangkan model pembelajaran dalam
kegiatan pembelajaran dikelas. Metode Jolly
Phonics merupakan salah satu cara
mengajarkan anak membaca dan menulis
yang menggunakan pendekatan bottom up
process dan top-down secara seimbang,yaitu
mulai dengan mengajarkan unit terkecil
bunyi untuk dapat membaca dan
memberikan konteks cerita dalam
pengajaran huruf. Model ini adalah suatu
cara mengajarkan membaca dan menulis
dengan mengajarkan bunyi huruf-huruf
secara multisensori, kemudian menggunakan
cara sintesa bunyi untuk membaca kata. Hal
ini dapat dilakukan dalam metode Jolly
Phonics dengan selalu memperkenalkan
kosakata danmengajarkan kemampuan
mengeja yang tepat sehingga kesalahan
membacaditekan dan kelancaran membaca
tercapai. Dalam metode Jolly Phonics
pengajaran bunyi huruf, kata selalu diiringi
dengan latihan menulis sehingga anak
diajarkan cara penulisan huruf yang tepat.
Dengan latihan ini dapat diharapkan anak
terampil menulis untuk mendukung
penyelesaian tugas-tugasnya. Tujuan
dilaksanakannya penelitian ini adalah untuk
mengetahui perbedaan kemampuan
membaca dan menulis permulaan bahasa
Inggris antara anak yang belajar
menggunakan metode jolly phonics dengan
anak yang belajar secara konvensional pada
anak kelompok B TK Mahardika Denpasar.
METODE
Penelitian ini merupakan eksperimen
semu dengan desain eksperimen post test
only control group design. Populasi
penelitian ini adalah seluruh siswa kelompok
B TK Mahardika tahun pelajaran 2016-2017
dengan jumlah 43 orang, yang terdiri dari
tiga kelas. Teknik yang digunakan dalam
menentukan sampel penelitian adalah
random sampling, pengacakan dilakukan
terhadap kelas. Hasil pengacakan
menetapkan kelas B2 yang jumlah siswanya
16 orang sebagai kelas eksperimen
sedangkan untuk kelas kontrol adalah kelas
B1 yang jumlah siswanya 13 orang.
Penelitian ini menggunakan variabel
bebas (x) berupa metode jolly phonics yang
dilaksanakan pada kelompok eksperimen
dan pendekatan pembelajaran konvensional
yang dilaksanakan pada kelompok kontrol,
sedangkan variabel terikat pada penelitian
ini adalah kemampuan membaca permulaan
(Y1) dan kemampuan menulis permulaan
(Y2).
Pengumpulan data mengenai
kemampuan membaca dan menulis
permulaan menggunakan lembar observasi
berdasarkan rubrik penilaian kemampuan
membaca dan menulis permulaan. Aspek
yang diukur untuk kemampuan membaca
permulaan terdiri dari dua aspek yaitu
membiasakan diri bersikap dengan benar
saat membaca dan membaca nyaring.
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543 PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 3 Okotober 2018 _________________________________________________________ 246
Sedangkan untuk kemampuan menulis
permulaan terdapat empat aspek yang diukur
yaitu: (1) bersikap dengan benar saat
menulis, (2) menjiplak dan menebalkan, (3)
menyalin, serta (4) menulis huruf, kata, dan
kalimat sederhana dengan huruf lepas.
Hasil penelitian dianalisis secara
bertahap, yaitu: deskripsi data, uji prasyarat,
dan uji hipotesis. Uji prasyarat yang
dilakukan adalah uji normalitas sebaran data,
uji homogenitas varians, dan uji korelasi
antar variabel terikat.
Uji hipotesis pertama dan kedua
menggunakan anava satu jalan sedangkan
untuk hipotesis ketiga menggunakan
MANOVA dikarenakan penelitian ini
menyelediki pengaruh satu variabel bebas
terhadap dua variabel terikat.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengujian hipotesis dilakukan untuk
menjawab rumusan masalah dalam
penelitian ini.Tahap pengujian hipotesis
penelitian yang telah dilaksanakan
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan
kemampuan membaca dan menulis
permulaan antara dua kelompok perlakuan.
Hasil pengujian hipotesis disajikan sebagai
berikut.
Uji hipotesis pertama penelitian ini
menggunakan rumus Anava A, dengan
ringkasan yang disajikan sebagai berikut.
Tabel 01. Tabel Ringkasan Uji Hipotesis Pertama
Berdasarkan uji analisis hipotesis
penelitian ini ditemukan hasil sebesar Fhitung
= 4,871 sedangkan Ftabel(sign.=0,036) = 3,35. Ini
berarti Fhitung > Ftabel(sign.=0,036). Dengan
demikian hipotesis alternatif yang
menyatakan terdapat perbedaan kemampuan
membaca permulaan Bahasa Inggris antara
anak yang belajar menggunakan metode
Jolly Phonics dengan anak yang belajar
secara konvensional pada anak kelompok B
TK Mahardika dapat diterima. Berdasarkan hasil penelitian yang
diperoleh, maka terlihat bahwa penerapan
metode Jolly Phonics dapat memberikan
pengaruh yang lebih baik dibandingkan
dengan pembelajaran konvensional.
Perbedaan kemampuan membaca permulaan
Bahasa Inggris anak terjadi karena
perbedaan perlakuan yang diberikan kepada
kedua kelompok tersebut. Berdasarkan hasil
post test terhadap kemampuan membaca
permulaan Bahasa Inggris anak, kelompok
yang diberikan penerapan metode Jolly
Phonics memiliki nilai rata-rata yang lebih
tinggi yaitu 90,31 dibandingkan dengan nilai
rata-rata dari kelompok yang dibelajarkan
secara konvensional yaitu 85,04. Metode pembelajaran Jolly Phonics
merupakan metode pembelajaran yang
dirancang untuk membantu mengajarkan
anak membaca dengan mengenal suara
alfabet dan 42 suara Bahasa Inggris yang
dapat diproduksi dari 26 huruf yang ada.
Melalui metode ini anak belajar untuk
menguasai suara dengan cara yang
menyenangkan, sehingga cocok untuk
diterapkan pada anak usia dini. Penerapan
metode ini menggunakan teknik mensintesis
bunyi untuk mengajarkan bunyi-bunyi huruf
dan juga pendekatan multisensorik, yang
mana anak-anak belajar bagaimana
menggunakan bunyi huruf untuk membaca
suatu suku kata atau kata.
Melalui Jolly Phonics, anak-anak
mengenal 42 bunyi huruf, kemudian belajar
memadukan bunyi-bunyi tersebut menjadi
suatu kata yang bermakna, dan mengenal
kata-kata tidak beraturan dalam Bahasa
Inggris. Pengimplementasian metode Jolly
Phonics pada proses pembelajaran baca tulis
meliputi beberapa tahap yaitu: (1)
Sumber Variabel Terikat JK Df RJK F Sign
Antar Kemampuan
Membaca 203,893 1 203,893 4,871 ,036
Dalam Kemampuan
Membaca 1130,245 27 41,861
Total Kemampuan
Membaca 1334,138 28
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543 PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 3 Okotober 2018 _________________________________________________________ 247
pengenalan huruf dari bunyinya, (2) menulis
huruf secara benar, (3) mengeja suku kata
dan kata, mengidentifikasi bunyi huruf
dalam kata, (4) pengenalan kosa kata bahasa
Inggris, serta (5) cara membaca kata bahasa
Inggris yang sulit (tricky words). Tahapan-
tahapan dalam metode ini sangat
berpengaruh dalam perkembangan
kemampuan membaca Bahasa Inggris anak
usia dini yang mana dalam penelitian ini
meliputi dua aspek, yaitu (1) membiasakan
diri bersikap dengan benar saat membaca
dan (2) membaca nyaring.
Pada tahap pertama yaitu
mengajarkan bunyi huruf. Sebelum memulai
tahap ini anak diajak untuk membiasakan
diri bersikap dengan benar saat membaca
yang meliputi sikap duduk yang benar,
jarang pandang terhadap objek bacaan, cara
memegang dan membuka buku bacaan. Hal
ini dimaksudkan agar anak memiliki posisi
yang nyaman sehingga dapat belajar dengan
lebih baik. Setelah anak sudah dalam posisi
yang benar dan nyaman untuk belajar, maka
pengajaran bunyi huruf dapat mulai
dilakukan. Tahap ini dilakukan dengan cara
mengasosiasikan setiap bunyi huruf dengan
gerakan yang mudah diingat dalam konteks
cerita yang menarik. Gerakan ini membantu
anak untuk membuat asosiasi dengan bunyi
huruf sehingga mampu mengingat visual
huruf dan bunyinya dengan lebih cepat dan
bertahan lebih lama. Pendekatan
multisensori yang digunakan dalam metode
Jolly Phonics dengan kekhasannya dalam
mengasosiasikan setiap bunyi huruf dengan
gerakan yang mudah diingat, merupakan
cara belajar aktif secara sensoris
bereksplorasi dan berpartisipasi. Setelah
anak mengenal bunyi huruf dengan baik
maka anak sudah siap untuk belajar mengeja
suku kata dan kata-kata dalam Bahasa
Inggris.
Kelima tahapan pada metode Jolly
Phonics mengajak anak untuk belajar
membaca dari struktur terkecil sampai ke
satuan huruf yang bermakna (kata). Hal ini
sesuai dengan indikator-indikator pada aspek
membaca nyaring yang meliputi: (1)
mengenal huruf dan membacanya sebagai
suku kata, (2) mengenal huruf dan
membacanya sebagai kata, (3) membaca
nyaring (didengar siswa lain) kata
menggunakan lafal yang tepat sehingga
dapat dipahami orang lain, dan (4) membaca
nyaring (didengar siswa lain) kata dengan
lancar.
Metode Jolly Phonics selain efektif
mengembangkan kemampuan membaca
anak, juga mampu meningkatkan perhatian
anak dalam menerima materi, anak juga
menjadi menunjukkan sikap antusias dan
partisipasi mereka dalam kegiatan
pembelajaran. Anak yang awalnya pasif dan
tidak mau mengeluarkan suara menjadi
mulai aktif untuk mengucap bunyi. Hal ini
dapat terjadi karena metode Jolly Phonics
adalah metode belajar yang menyenangkan
bagi anak, khususnya bagi anak usia dini
yang masih senang bermain.
Hal tersebut sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Nasrawi &
Al-Jamal (2017) yang berjudul “The Effect
of Using Jolly Phonics on Jordanian First
Grade Pupils Reading” menyatakan bahwa
The Jolly Phonics strategy suited the pupils
under study more, which in turn, help them
in their reading achievement. Hal ini
diperkuat oleh penelitian yang dilakukan Evi
Faustina dan Masitha Achmad Syukri (2014)
yang berjudul ”The Effectiveness of Jolly
Phonics in Teaching a 4 Year Old
Indonesian Child to Read English Text”
menyatakan bahwa Jolly Phonics is
effective teach reading regular words by
sounding and blending. Dari hasil kedua
penelitian tersebut penerapan metode Jolly
Phonics efektif dalam mengembangkan
kemampuan membaca anak, terutama pada
anak usia dini. Anak diajak untuk belajar
membaca dari struktur terkecil yaitu bunyi
huruf. Mengingat pengetahuan tentang bunyi
huruf dan fonologis sangat penting dalam
pengembangan kemampuan membaca anak,
maka dapat dipahami bahwa penerapan
metode Jolly Phonics efektif dalam
meningkatkan kemampuan membaca
permulaan Bahasa Inggris anak.
Implementasi metode jolly phonics
yang memperkenalkan kata dari struktur
yang paling kecil berupa huruf dengan
memanfaatkan media pembelajaran yang
relevan juga memberi dampak positif
terhadap hasil belajar anak. Hal ini juga
diperkuat oleh hasil penelitian Jauhari,
Marhaeni, dan Sutama (2013) yang
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543 PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 3 Okotober 2018 _________________________________________________________ 248
menyimpulkan bahwa “terdapat perbedaan
hasil belajar membaca permulaan pada siswa
yang mengikuti penggunaan media audio
visual dan pada siswa tidak menggunakan
media audio visual.” Dampak positif dari
inovasi kegiatan pembelajaran dan
pemanfaatan media pembelajaran telah
terbukti dapat meningkatkan hasil belajar
anak.
Berdasarkan pemaparan tersebut,
dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan
kemampuan membaca permulaan Bahasa
Inggris antara anak yang belajar
menggunakan metode Jolly Phonics dengan
anak yang belajar secara konvensional pada
anak kelompok B TK Mahardika.
Uji hipotesis kedua penelitian ini
menggunakan rumus Anava A, dengan
ringkasan yang disajikan sebagai berikut.
Tabel 02. Tabel Ringkasan Uji Hipotesis Kedua
Sumber Variabel Terikat JK Df RJK F Sign
Antar Kemampuan
Menulis 324,934 1 324,934 25,78 ,000
Dalam Kemampuan
Menulis 340,308 27 12,604
Total Kemampuan
Menulis 665,241 28
Berdasarkan uji analisis hipotesis
penelitian ini ditemukan hasil sebesar Fhitung
= 25,780 sedangkan Ftabel(sign.=0,036) = 3,35. Ini
berarti Fhitung > Ftabel(sign.=0,036). Dengan
demikian hipotesis alternatif yang
menyatakan terdapat perbedaan kemampuan
menulis permulaan Bahasa Inggris antara
anak yang belajar menggunakan metode
Jolly Phonics dengan anak yang belajar
secara konvensional pada anak kelompok B
TK Mahardika dapat diterima. Hasil ini
menunjukkan bahwa penerapan model Jolly
Phonics lebih efektif digunakan dibanding
pembelajaran secara konvensional yang
biasa diterapkan di dalam kelas terhadap
kemampuan menulis permulaan Bahasa
Inggris. Perbedaan kemampuan menulis
permulaan Bahasa Inggris anak terjadi
karena perbedaan perlakuan yang diberikan
kepada kedua kelompok tersebut.
Berdasarkan hasil post test terhadap
kemampuan menulis permulaan Bahasa
Inggris anak, kelompok yang diberikan
penerapan metode Jolly Phonics memiliki
nilai rata-rata yang lebih tinggi yaitu 84,54
dibandingkan dengan nilai rata-rata dari
kelompok yang dibelajarkan secara
konvensional yaitu 77,72.
Dasar utama dalam menulis
diperkenalkan pertama kali di pendidikan
anak usia dini. Kegiatan menulis yang
dilakukan biasanya mulai dari mencoret-
coret hingga membuat bentuk huruf. Anak
usia dini memerlukan kegiatan yang
menyenangkan dan edukatif dalam
memperkenalkan kemampuan tersebut
kepada mereka.
Pada penelitian ini, aspek menulis
permulaan Bahasa Inggris yang diukur
meliputi (1) bersikap dengan benar dalam
menulis, (2) menjiplak dan menebalkan, (3)
menyalin, dan (4) menulis huruf, kata dan
kalimat sederhana dengan huruf lepas.
Keempat aspek ini dapat diajarkan pada
anak melalui metode Jolly Phonics. Pada
tahapan kedua Jolly Phonics anak dilatih
untuk menulis huruf dengan benar. Sebelum
mulai belajar menulis huruf, guru terlebih
dahulu mengenalkan siswa cara memegang
dan menggunakan alat tulis seperti pensil
dan kertas. Setelah anak dirasa siap, maka
kegiatan belajar menulis dapat mulai
dilakukan. Cara mengajarkan penulisan
huruf berdasarkan Jolly Phonics adalah
sebagai berikut: (1) Guru mencontohkan
bagaimana formasi huruf yang benar di
papan tulis; (2) Guru kemudian
menuliskannya di udara. Pada saat ini, anak-
anak memperhatikan dan kemudian
mengikuti gerakannya, sambil menyebutkan
bunyi huruf tersebut; (3) Anak- anak
kemudian diberikan Sound Sheet, yang
terdiri atas contoh dari huruf dengan
formasinya yang ditunjukkan melalui tanda
panah dan nomor. Agar pembelajaran lebih
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543 PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 3 Okotober 2018 _________________________________________________________ 249
menarik, guru juga mengajak anak untuk
mewarnai berbagai bentuk huruf yang
dipelajari, sehingga pembelajaran menjadi
lebih menyenangkan dan anak-anak dapat
lebih cepat dalam mengingat berbagai
bentuk huruf tersebut.
Metode Jolly Phonics memberikan
sebuah pengalaman belajar yang
menyenangkan bagi anak. Mengandalkan
berbagai kegiatan yang mampu
membangkitkan imajinasi dan minat belajar
anak. Metode ini melibatkan sumber belajar
yang beragam dalam implementasinya, dan
anak-anak juga diberikan rangsangan untuk
aktif dalam kegiatan pembelajaran. Kegiatan
belajar yang dilakukan pada metode ini
mengemas sebuah kegiatan belajar yang
berbeda dengan yang biasa diterapkan di
sekolah. Pembelajaran diatur agar anak tidak
menyadari bahwa kegiatan yang
dilakukannya adalah bagian dari belajar.
Pembelajaran konvensional cenderung
memberikan pengalaman belajar kepada
anak melalui kegiatan mencontohkan, dalam
artian guru hanya memberikan contoh
kepada siswa sehingga siswa hanya dapat
menirukan apa yang ditulis guru. Guru
menjadi satu-satunya sumber belajar,
sehingga besar dampaknya jika guru sampai
salah memberikan konsep pembelajaran.
Melalui kegiatan pembelajaran dengan
metode Jolly Phonics anak dapat dengan
leluasa melaksanakan kegiatan belajar sesuai
imajinasinya, peranan guru hanya
memberikan fasilitas dan memberikan
konfirmasi jika anak mengalami kekeliruan.
Kebanyakan kesulitan yang dialami
anak dalam hal keterampilan menulis adalah
karena kemampuan motorik halus anak
belum berkembang dengan baik, sehingga
anak perlu diberi banyak latihan dan
bimbingan. Mengingat anak masih dalam
usia dini, pemberian latihan diharapkan tidak
terlalu membebani anak, sehingga
dibutuhkan pembelajaran yang
menyenangkan dan terasa seperti bermain
bagi anak, oleh karenanya metode Jolly
Phonics tepat untuk diterapkan pada anak
usia dini. Selain faktor motorik anak,
kesulitan menulis anak dapat terjadi kar ena
anak belum mampu mengidentifikasi huruf
yang menyusun suatu kata yang diucapkan
seseorang, sehingga ketika anak diminta
untuk menuliskannya dalam bentuk tulisan
(dikte) mereka sering mengalami kesulitan
seperti ada huruf yang salah atau kurang,
terutama huruf atau kata berbahasa Inggris
yang memiliki pelafalan berbeda dengan
huruf atau kata berbahasa Indonesia. Melalui
Jolly Phonics, anak diajar untuk belajar
mengenal bunyi huruf sambil
memperhatikan lambang hurufnya. Dengan
teknik ini, anak mampu mengidentifkasi
huruf-huruf yang menyusun suatu kata yang
diucapkan melalui bunyi huruf-huruf
penyusunnya. Setelah mengenali huruf-huruf
tersebut, maka anak menjadi lebih mudah
menuliskan kata-kata tersebut dengan benar
dalam bentuk tulisan.
Hasil penelitian ini diperkuat oleh
penelitian yang dilakukan Ogbemudia dkk.
(2013) yang berjudul “The Efficacy of Jolly
Phonics Instructional Strategy on The
Writing Ability of Junior Primary Pupils in
Uyo Senatorial District of Akwa Ibom State
Nigeria” yang menyimpulkan bahwa “Jolly
Phonics Instructional Strategy has been
found to be effective in facilitating the
identification of letter sounds in words for
writing ability and blending of letter sounds
for reading ability". Penelitian ini
menunjukkan bahwa melalui penerapan
metode Jolly Phonics terbukti efektif dalam
mengembangkan kemampuan menulis anak.
Pengenalan bunyi huruf pada metode ini
dipercaya menjadi salah satu kemampuan
penting yang dapat membantu siswa dalam
menulis huruf. Selain itu, pembelajarannya
yang memanfaatkan flashcard atau kartu
huruf terbukti membantu siswa dalam
mengenal huruf-huruf ketika menulis.
Efektifitas pembaruan dalam kegiatan
pembelajaran dengan mengintegrasikan
media pembelajaran menarik di dalamnya
mampu mengoptimalkan hasil belajar siswa.
Hal ini didukung oleh penelitian yang
dilakukan oleh Janawati, Sudiana, dan
Dantes (2013) yang menyimpukan bahwa
“terdapat perbedaan secara signifikan
kemampuan menulis permulaan antara siswa
yang belajar dengan menggunakan
pembelajaran kartu kata dalam permainan
domino dan siswa yang belajar dengan
model pembelajaran konvensional.”
Penelitian tersebut mempertegas bahwa
kegiatan pembelajaran yang dikemas
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543 PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 3 Okotober 2018 _________________________________________________________ 250
bervariasi dengan melibatkan media yang
sesuai dengan karakteristik perkembangan
anak dapat mengoptimalkan capaian tujuan
pembelajaran tersebut.
Berdasarkan pemaparan tersebut,
dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan
kemampuan menulis permulaan Bahasa
Inggris antara anak yang belajar
menggunakan metode Jolly Phonics dengan
anak yang belajar secara konvensional pada
anak kelompok B TK Mahardika.
Uji hipotesis ketiga penelitian ini
menggunakan rumus Manova, dengan
ringkasan yang disajikan sebagai berikut.
Tabel 03. Tabel Ringkasan Uji Hipotesis Ketiga
Statistik Nilai F Nilai Signifikansi (sig.) Simpulan
Pillai’s Trace 19,412 0,000 Signifikan
Wilks’ Lambda 19,412 0,000 Signifikan
Hotelling’s Trace 19,412 0,000 Signifikan
Roy’s Largest Root 19,412 0,000 Signifikan
Hasil analisis menunjukan bahwa
harga F untuk Pillai’s Trace, Wilks’
Lambda, Hotelling’s Trace, dan Roy’s
Largest Root memiliki nilai signifikansi
lebih kecil dari pada 0,05. Maka dari itu,
harga F untuk Pillai’s Trace, Wilks’
Lambda, Hotelling’s Trace, dan Roy’s
Largest Root signifikan. Jadi H0 ditolak dan
H1 diterima, yang berarti secara simultan
terdapat perbedaan kemampuan membaca
permulaan dan menulis permulaan bahasa
Inggris antara anak yang belajar
menggunakan metode Jolly Phonics dengan
anak yang belajar secara konvensional pada
anak kelompok B TK Mahardika.
Melalui model pembelajaran Jolly
Phonic, pengajaran membaca dan menulis
yang diberikan meliputi pengenalan huruf
dari bunyinya, menulis huruf secara benar,
mengeja suku kata dan kata,
mengidentifikasi bunyi huruf dalam kata,
pengenalan kosa kata, serta cara membaca
kata yang sulit (tricky words).
Sebelum memulai kegiatan belajar
membaca dan menulis, terlebih dahulu anak
dibiasakan untuk bersikap dengan benar. Hal
ini dimaksudkan agar anak dapat mengikuti
kegiatan pembelajaran dengan baik. Apabila
anak pada posisi sikap belajar yang benar
maka kegiatan belajar akan berlangsung
dengan nyaman, yang secara tidak langsung
memberikan dampak positif dalam
pengembangan kemampuannya selama
proses pembelajaran. Melalui metode Jolly
Phonics, sesuai dengan tahapan-tahapannya,
kegiatan belajar membaca dan menulis
permulaan anak dimulai dari mengenalkan
struktur satuan bunyi terkecil hingga
mengenal frase atau kata. Hal ini sesuai
dengan aspek-aspek kemampuan membaca
dan menulis permulaan yang diukur dalam
penelitian ini, sehingga melalui penerapan
metode Jolly Phonics dapat berpengaruh
positif terhadap perkembangan kemampuan
membaca dan menulis permulaan Bahasa
Inggris anak usia dini.
Metode Jolly Phonics merupakan
suatu metode yang sudah terstruktur secara
hierarkis dan sistematis dalam proses
pengajaran baca tulis. Kondisi ini membuat
tugas belajar membaca dan menulis sebagai
suatu kegiatan yang tidak membebani anak,
tetapi lebih dirasakan sebagai kegiatan
bermain yang lebih menyenangkan dan
membuat anak bersemangat. Pengajaran
Bahasa Inggris bagi anak yang berbahasa ibu
bukan Bahasa Inggris perlu menekankan
pada kosa kata. Penerapan metode Jolly
Phonics ini tepat karena selalu
memperkenalkan kosakata dan mengajarkan
kemampuan mengeja pada anak. Selain itu,
teknik pengelompokan huruf yang
didasarkan pada tingkat kesulitan,
memudahkan anak menguasai dan membuat
anak percaya diri ia mampu, sehingga
penerapan metode ini secara efektif dapat
memberikan pengaruh positif bagi
perkembangan kemampuan membaca dan
menulis permulaan Bahasa Inggris anak.
Hasil penelitian ini diperkuat oleh
penelitian sebelumnya oleh Lisnawati
Ruhaena (2008) dalam penelitiannya yang
berjudul “Pengaruh Metode Pembelajaran
Jolly Phonics terhadap Kemampuan Baca-
Tulis Permulaan Bahasa Indonesia dan
Bahasa Inggris pada Anak Prasekolah”
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543 PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 3 Okotober 2018 _________________________________________________________ 251
membuktikan bahwa penggunaan metode
pengajaran Jolly Phonics efektif untuk
meningkatkan kemampuan membaca dan
menulis Bahasa Inggris pada anak
prasekolah. Penelitian lain juga memperkuat
pernyataan tersebut, di antaranya adalah
penelitian dari Farokhbakht (2015) yang
berjudul “The Effect Of Using Synthetic
Multisensory Phonics In Teaching Literacy
On EFL Young Learners Literacy Learning”
yang menyatakan bahwa ”the synthetic
multisensory method of Jolly Phonics
programme can be succesfully implemented
in EFL classrooms for teaching literacy to
young beginners”. Dari beberapa penelitian
tersebut, terbukti bahwa anak prasekolah
yang mendapat pembelajaran metode Jolly
Phonics menunjukkan peningkatan yang
lebih tinggi dibandingkan dengan pengajaran
yang menggunakan metode reguler. Hal ini
karena metode Jolly Phonics merupakan
suatu metode yang terstruktur secara
sistematis pada proses baca-tulis dan
disesuaikan dengan perkembangan anak usia
dini. Kondisi ini membuat suasana
pembelajaran menjadi hal yang tidak
membebani anak, tetapi dirasa sebagai
kegiatan bermain yang menyenangkan,
sehingga anak menjadi lebih bersemangat
dalam belajar.
Berdasarkan pemaparan tersebut,
dapat disimpulkan bahwa secara simultan
terdapat perbedaan kemampuan membaca
permulaan dan menulis permulaan bahasa
Inggris antara anak yang belajar
menggunakan metode Jolly Phonics dengan
anak yang belajar secara konvensional pada
anak kelompok B TK Mahardika.
PENUTUP Berdasarkan analisis hasil
penelitian dan pembahasan di atas maka
dapat disimpulkan dari seluruh hasil
penelitian ini yaitu: (a) Terdapat perbedaan
kemampuan membaca permulaan bahasa
Inggris antara anak yang belajar
menggunakan metode Jolly Phonics dengan
anak yang belajar secara konvensional pada
anak kelompok B TK Mahardika; (b)
Terdapat perbedaan kemampuan menulis
permulaan bahasa Inggris antara anak yang
belajar menggunakan metode Jolly Phonics
dengan anak yang belajar secara
konvensional pada anak kelompok B TK
Mahardika; (c) Secara simultan terdapat
perbedaan kemampuan membaca permulaan
dan menulis permulaan bahasa Inggris
antara anak yang belajar menggunakan
metode Jolly Phonics dengan anak yang
belajar secara konvensional pada anak
kelompok B TK Mahardika.
Sebagai pertimbangan dalam
peningkatan kualitas pembelajaran maka
dapat diajukan beberapa saran sebagai
berikut. Pertama, Bagi Siswa, Anak
diharapkan menjadi lebih aktif dalam
mengikuti pembelajaran sehingga
pembelajaran menjadi lebih bermakna dan
ilmu yang diperoleh lebih lama diingat;
Kedua, Bagi Guru, Para guru taman kanak-
kanak, khusunya guru di TK Mahardika
hendaknya dapat menjadikan hasil penelitian
ini sebagai masukan dan pertimbangan
untuk menerapkan metode pembelajaran
Jolly Phonics dalam membelajarkan
keterampilan membaca dan menulis
permulaan Bahasa Inggris pada anak
sehingga hasil yang diperoleh optimal;
Ketiga, Bagi Sekolah, Sekolah hendaknya
menyediakan sarana yang maksimal untuk
menunjang pembelajaran agar anak semakin
termotivasi untuk belajar sehingga dapat
membantu meningkatkan mutu sekolah;
Keempat, Bagi Pemangku Jabatan; Perlu
mempersiapkan fasilitas maupun workshop
bagi para guru agar dapat melakukan
sharing/diskusi dalam materi model-model
pembelajaran inovatif. Kelima, Bagi peneliti
lain yang tertarik metode pembelajaran
Jolly Phonics hendaknya dapat melanjutkan
penelitian ini dengan subjek yang lebih luas
baik dengan mengkombinasikannya dengan
model, metode ataupun strategi yang lainnya
pada subjek dan materi yang berbeda.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, S. 2006. Dasar-dasar Evaluasi
Pendidikan.Jakarta : Bumi
Aksara.
Brown, D. 2000. Teaching by Principle: An
Interactive Approch to Language
Pedagogy. New York: Longman.
Depdiknas. 2005. Pedoman Pengembangan
Fisik / Motorik di Taman Kanak-
kanak. Jakarta.
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543 PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 3 Okotober 2018 _________________________________________________________ 252
Duffy, K. et.al. 2003. Visual Literacy and
the Use of Images in the
Secondary Language Arts
Classroom. Running head Visual
Literacy. Maryland: St. Mary's
College.
Janawati, D.P.A., I.N. Sudiana., N. Dantes.
2013. Pengaruh Implementasi
Pembelajaran Kartu Kata Dalam
Permainan Domino Terhadap
Peningkatan Kemampuan
Membaca Menulis Permulaan
Siswa. e-Journal Program
Pascasarjana Universitas
Pendidikan Ganesha. Jurusan
Pendidikan Dasar. Volume 3
Tahun 2013.
Jauhari, S., A.A.I.N. Marhaeni., I.M.
Sutama. 2013. Pengaruh
Implementasi Strategi Dia
Tampan Berbantuan Media Audio
Visual Terhadap Hasil Belajar
Membaca Permulaan. e-Journal
Program Pascasarjana
Universitas Pendidikan Ganesha.
Program Studi Pendidikan Dasar.
Volume 3 Tahun 2013.
Nurdiyanti, E. dkk. 2010. “Pembelajaran
Literasi Mata Pelajaran Bahasa
Indonesia Pada Siswa Kelas V
Sekolah Dasar”,
http://download.portalgaruda.org
/article.php?article, 2010 diakses
tanggal 23 Desember 2016. Jilid
13: 115-128
Petscher, Y., Y.S. Kim., B.R. Foorman.
2011. The Importance of
Predictive Power in Early
Screening Assessments:
Implications for Placement in the
Response to Intervention
Framework. Assessment for
Effective Intervention. 36(3) 158–
166. DOI:
10.1177/1534508410396698
Ruhaena, L. 2008. “Pengaruh Metode
Pembelajaran Jolly Phonics
Terhadap Kemampuan Baca-
Tulis Permulaan Bahasa
Indonesia dan Bahasa Inggris
pada anak Prasekolah”. Jurnal
Penelitian Humaniora, Volume 9,
No.2, Agustus 2008:192-206.
Surakarta: Fakultas Psikologi
Universitas Muhammadiyah.
Subana, M., Sunarti. 2009. Strategi Belajar
Mengajar Bahasa Indonesia
berbagai Pendekatan, Metode
Teknik dan Media Pengajaran.
Bandung : CV. Pustaka Setia.
Suwaryantini, N. M., M. Sulastri., N.K.
Suarni. 2014. “Pengaruh Media
Kartu Berseri Melalui Model
Pembelajaran Terpadu Tipe
Webbed Terhadap Hasil Belajar
Membaca Permulaan”. Jurnal
Universitas Pendidikan Ganesha.
Volume 2(1).
Tarigan, H.G. 2009. Pengkajian Peragmatik.
Bandung: Angkasa.
Wassid, I., D. Sunendar. 2008. Strategi
Pembelajaran Bahasa. Bandung:
Rosdakarya.
Zuchdi, D., Budiasih.1996. Pendidikan
Sastra dan Bahasa Indonesia di
Kelas Rendah. Jakarta:
Depdikbud.
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543 PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 3 Oktober 2018 ____________________________________________________________ 252
PENGARUH PENERAPAN PENDEKATAN PEMBELAJARAN WHOLE LANGUAGE
TERHADAP KETERAMPILAN MENULIS DITINJAU DARI MOTIVASI
BERPRESTASI DI KELAS IV SD GUGUS I KUTA UTARA
Ni Ketut Luh Megawati
Program Studi Pendidikan Dasar, Program Pascasarjana
Universitas Pendidikan Ganesha
Singaraja, Indonesia
e-mail :[email protected]
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penerapan pendekatan
pembelajaran whole language terhadap keterampilan menulis ditinjau dari motivasi
berprestasi di kelas IV SD Gugus I Kuta Utara.Penelitian ini adalah penelitian
eksperimen dengan menggunakan rancangan faktorial 2 x 2.Populasi berjumlah 483
orang siswa, dan sampel berjumlah 100 orang siswa ditarik secara random. Data
motivasi berprestasi dikumpulkan dengan kuesioner dan data keterampilan menulis
dikumpulkan dengan tes kinerja.Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah Anava dua jalur (Anava AB) dan uji t-scheffee. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa: 1) terdapat perbedaan keterampilan menulis antara siswa yang mengikuti
pendekatan pembelajaran whole language dan siswa yang mengikuti pendekatan
pembelajaran konvensional, 2) terdapat pengaruh interaksi antara pendekatan
pembelajaran dan motivasi berprestasi terhadap keterampilan menulis, 3) pada siswa
yang memiliki motivasi berprestasi tinggi, terdapat perbedaan keterampilan menulis
antara siswa yang mengikuti pendekatan pembelajaran whole language dansiswa
yang mengikuti pendekatan pembelajaran konvensional, 4) pada siswa yang
memiliki motivasi berprestasi rendah terdapat perbedaan keterampilan menulis
antara siswa yang mengikuti pendekatan pembelajaran whole language dan siswa
yang mengikuti pendekatan pembelajaran konvensional.
Kata Kunci: keterampilan menulis, motivasi berprestasi, pendekatan whole language
ABSTRACT
This research aimed at investigating the effect of the implementation of Whole
Language learning approach on writing skill viewed from achievement motivation of
fourth grade students in elementary schools of Cluster I North Kuta. It was an
experimental research with 2x2 factorial design. The population was 483 students,
while the sample was 100 students taken randomly. The data of achievement
motivation were collected by using questionnaire and the data of writing skill were
collected by using performance test. The data were analyzed by using two-way
Anova and t-scheffee test. The research showed that: 1) there was a difference of
writing skill between students following whole language learning approach and those
following conventional learning approach, 2) there was an interaction between
learning approach and achievement motivation on writing skill, 3) for students with
high achievement motivation, there was a difference of writing skill between students
following whole language learning approach and those following conventional
learning approach, 4) for students with low achievement motivation, there was a
difference of writing skill between students following whole language learning
approach and those following conventional learning approach.
Keywords: achievement motivation, Whole Language learning approach, writing skill.
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543 PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 3 Oktober 2018 ____________________________________________________________ 253
PENDAHULUAN
Di era globalisasi persaingan dan
kompetisi semakin terbuka, pendidikan
sebagai transformasi pengembangan sumber
daya manusia harus diorientasikan dan
ditekankan agar terselenggaranya
pendidikan yang bermakna, sebab
pendidikan bermakna akan dapat memberi
kontribusi positif bagi kehidupan, dan dapat
memenuhi tuntutan kehidupan di masa
mendatang.Persaingan yang ketat
mengakibatkan tuntutan mutu pendidikan
merupakan suatu keharusan sehingga
pendekatan dalam pendidikan yang selama
ini berlangsung sudah tidak relevan.
Pendidikan hari ini harus memberi
kesempatan kepada setiap individu untuk
dapat belajar sepanjang hayat
mengembangkan pengetahuan, sikap dan
keterampilannya. Untuk itu Pendidikan
harus disandarkan pada empat pilar
pendidikan dari UNESCO yaitu, (1)
Language to know, yakni belajar untuk
mengetahui, (2) Language to do, yakni
belajar untuk melakukan, (3) Language to
be, yakni belajar untuk menjadikan sesuatu,
(4) Language to live together, yakni belajar
untuk hidup bersama (Dellors,1996 dalam
Dantes, 2014:38, dan Marhaeni, 2012:116).
Berdasarkan paparan di atas, dalam
proses pembelajaran guru harus berani
melakukan berbagai terobosan dan inovasi
pembelajaran, sehingga pembelajaran tidak
lagi menempatkan peserta didik sebagai
obyek belajar yang berperan sebagai
penerima informasi secara pasif, melainkan
sebagai subyek yang berperan aktif dalam
setiap proses pembelajaran dengan cara
menggali pengalamannya sendiri. Hal ini
sejalan dengan perspektif konstruktivisme
yang memandang bahwa pengetahuan tidak
dapat ditransfer begitu saja dari seseorang
kepada orang lain, tetapi harus
diintepretasikan sendiri oleh masing-masing
individu. Oleh sebab itu pembelajaran harus
ditekankan pada aktifitas peserta didik untuk
membangun sendiri pengetahuannya serta
dapat mengaitkan dengan kehidupan nyata
mereka sehari- hari.
Sebagai perancang dan pelaksana
dalam pembelajaran, Pemilihan pendekatan,
strategi, metode, serta teknik pembelajaran
yang merupakan satu kesatuan yang tak
terpisahkan dalam proses pembelajaran
merupakan prioritas utama bagi guru.
Pendekatan yang diterapkan akan
menentukan strategi, metode dan teknik
yang akan digunakan. Pendekatan yang akan
diterapkan hendaknya pendekatan yang
berpusat pada aktivitas siswa (students
centered aproach ) bukan yang berpusat
pada aktivitas guru (teacher centered
aproach).Pendekatan yang berpusat pada
siswa menuntut guru untuk
mengembangkan pembelajaran yang
memungkinkan dapat dijadikan wahana bagi
siswa untuk terlibat aktif dalam memahami
dunia yang begitu kompleks.
Menurut undang-undang Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional dan Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang
standar isi, secara garis besar pembelajaran
bahasa Indonesia di Sekolah Dasar
diarahkan untuk meningkatkan keterampilan
peserta didik untuk berkomunikasi dalam
bahasa Indonesia dengan baik dan benar,
baik secara lisan maupun tulis, serta
menumbuhkan apresiasi terhadap hasil karya
kesastraan manusia Indonesia.
Kenyataannya pembelajaran Bahasa
Indonesia di SD selama ini, tidak diarahkan
untuk mengembangkan keterampilan untuk
berkomunikasi, karena yang dipelajari lebih
banyak bahasa sebagai ilmu bukan sebagai
alat komunikasi.Siswa hafal langkah-
langkah berpidato, tetapi mereka bingung
ketika mereka disuruh berbicara di muka
umum. Demikian juga siswa hafal
bagaimana cara membuat karya tulis, tetapi
ketika harus menulis mereka bingung dari
mana harus memulai. Gejala-gejala
semacam ini merupakan gejala umum dari
hasil proses pendidikan kita. Pendidikan di
sekolah terlalu menjejali otak siswa dengan
berbagai bahan ajar yang harus dihafal.
Proses pendidikan kita tidak pernah
diarahkan membentuk manusia yang cerdas,
memiliki keterampilan memecahkan
masalah hidup, serta tidak diarahkan untuk
membentuk manusia yang kreatif dan
inovatif. Salah satu penyebabnya adalah
keterbatasan pengetahuan guru tentang
berbagai pendekatan pembelajaran yang
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543 PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 3 Oktober 2018 ____________________________________________________________ 254
inovatif. Implikasinya dalam pembelajaran,
guru sering kebingungan bila mengajarkan
materi Bahasa Indonesia. Bahkan beberapa
guru sering mengeluhkan betapa sulitnya
mengajar materi Bahasa Indonesia terutama
menulis. Dan akhirnya yang terjadi dalam
pembelajaran guru memutuskan
menggunakan pendekatan yang sama setiap
hari. Gejala ini akhirnya berdampak pada
hasil belajar siswa yang masih rendah, dan
juga dapat dilihat pada perolehan hasil ujian
nasional mata pelajaran Bahasa Indonesia
yang masih belum memenuhi target
pencapaian.
Pembelajaran bahasa yang seharusnya
menyenangkan ternyata jauh dari harapan.
Bahasa yang semula merupakan hal yang
mudah dan memgasyikkan berubah menjadi
hal yang sulit (Goodman, 1986 dalam Puji
Santosa 2010:2.2). Hal ini disebabkan,
karena di sekolah bahasa diajarkan secara
terpisah-pisah. Membaca diajarkan pada jam
yang berbeda dengan menulis. Dengan
sistem mengajar seperti ini siswa tidak
mendapatkankeempat
keterampilanberbahasa yang utuh seperti
yang mereka dapatkan sebelum memasuki
dunia pendidikan. Materi yang diajarkan
sering tidak relevan dengan kehidupan
nyata siswa sehari-hari, sehingga mereka
kurang termotivasi untuk belajar bahasa
(Puji Santosa, 2010). Untuk memperbaiki
pengajaran bahasa, di beberapa negara,
seperti Inggris, Australia, New Zaeland,
Kanada, dan Amerika Serikat sudah mulai
menerapkan pendekatan whole language
pada sekitar tahun 80-an (Routman, 1991,
dalam Puji Santosa). Namun di Indonesia
konsep tentang pendekatan pembelajaran
whole lamguage dalam pembelajaran bahasa
di SD masih sangat minim.
Pendekatan whole language adalah
salah satu pendekatan pembelajaran bahasa
yang menyajikan pembelajaran bahasa
secara utuh, tidak terpisah-pisah (Edelsky,
1991;Froese, 1990; Goodman, 1986;
Weaver, 1992, dalam Puji Santosa). Para
ahli whole language berkeyakinan bahwa
bahasa merupakan satu kesatuan (whole)
yang tidak dapat dipisah-pisahkan (Rigg,
1991, dalam Puji santosa, 2010). Oleh
karena itu pengajaran keempat keterampilan
berbahasa yang terdiri dari menyimak,
berbicara, membaca dan menulis disajikan
dalam waktu yang bersamaan, serta
komponen bahasa seperti tata bahasa dan
kosa kata disajikan secara utuh, terpadu,
bermakna dan dalam situasi nyata atau
autentik.
Pendekatan whole language didasari
oleh paham constructivism yang menyatakan
bahwa siswa membentuk sendiri
pengetahuannya melalui peran aktifnya
dalam belajar secara utuh (whole) dan
terpadu (integrated) (Roberts, 1996 dalam
Puji Santosa). Whole language adalah cara
untuk menyatukan pandangan tentang
bahasa, tentang pembelajaran dan tentang
orang-orang yang terlibat dalam
pembelajaran.
Menurut Routman (1991) dan
Froese (1991) komponen-komponen whole
language yaitu reading aloud, journal
writing, sustained silent reading, shared
reading, guided reading, guided writing,
independent reading, independent writing.
Komponen-komponen tersebut memberikan
kesempatan kepada siswa untuk
mendapatkan keempat keterampilan
berbahasa secara utuh terpadu dalam situasi
nyata atau autentik.Dan hal ini telah
dibuktikan melalui sebuah penelitian yang
dilakukan oleh Anderson dkk.(1988),
membaca bebas (independent reading) yang
diberikan 10 menit sehari dapat
meningkatkan keterampilan membaca.
Ciri-ciri kelaswhole
languagememberi gambaran bagaimana
pembelajaran berlangsung di kelas. Ciri-ciri
tersebut terdiri dari, (1) kelas whole
language penuh dengan barang cetakan.
Hasil karya siswa menghiasi dinding dan
bulletin board, Salah satu sudut kelas diubah
menjadi perpustakaan yang dilengkapi
dengan berbagai jenis buku seperti majalah,
koran, kamus, buku petunjuk dan berbagai
barang cetak lainnya.(2)di kelas whole
language siswa belajar melalui contoh atau
model. (3) di kelas whole language siswa
bekerja dan belajar sesuai dengan tingkat
keterampilannya. (4) peserta didik berbagi
tanggung jawab dalam pembelajaran. Guru
berperan sebagai fasilitator dan siswa
mengambil alih beberapa tanggung jawab
yang biasanya dilakukan oleh guru.(5)
peserta didik terlibat aktif dalam
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543 PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 3 Oktober 2018 ____________________________________________________________ 255
pembelajaran bermakna. Mereka secara aktif
terlibat dalam kegiatan pembelajaran yang
membantu mengembangkan rasa tanggung
jawab dan tidak tergantung. (6) peserta didik
berani mengambil resiko dan bebas
bereksperimen. Hasil tulisan mereka
dipajang tanpa koreksi. (7) peserta didik
mendapat balikan (feedback) positif baik
dari guru maupun temannya.
Pembelajaran bahasa tidak boleh
ditafsirkan sebagai mengajarkan memahami
dan menggunakan bahasa, tetapi harus
dipahami sebagai mengajak siswa berlatih
memahami dan menggunakan bahasa dalam
kehidupan sehari-hari. Untuk itu dalam
merancang pembelajaran Bahasa Indonesia
di SD, guruhendaknya mencermati fungsi
dari keempat aspek utama keterampilan
berbahasa tersebut. Sebab melalui keempat
aspek keterampilan berbahasa tersebut,
seseorang dapat menyerap berbagai
informasi, menyampaikan hasil pikiran, ide-
ide, penalarannya kepada orang lain secara
bebas tanpa beban instruksi. Keempat aspek
keterampilan berbahasa itu merupakan satu
kesatuan yang tak terpisahkan. Keterampilan
berbahasa tersebut harus diperoleh secara
autentik, holistik, dan bertujuan.
Keterampilan, menulis merupakan
keterampilan berbahasa yang paling
konpleks. Kegiatan menulis merupakan
kegiatan yang produktif dan ekspresif.
Karena dalam menuangkan ide-ide, pesan,
dan perasaan, sehingga menjadi sebuah
tulisan yang dapat dipahami oleh pembaca,
penulis harus memiliki keterampilan dalam
menggunakan grafologi, struktur bahasa, dan
kosa kata, serta memiliki pengetahuan
bahasa yang memadai (Morsey, 1986 : 122).
Lado (dalam Tarigan, 1998:2)
mengemukakan bahwa “menulis adalah
melukiskan lambang-lambang grafik yang
menggambarkan suatu bahasa yang
dipahami oleh seseorang.Menulis menurut
Marhaeni ( dalam Dantes, 2012) adalah
“suatu serial aktivitas yang berulang-ulang
dalam menuangkan pikiran dalam
tulisan”.Keterampilantersebut tidak didapat
dengan mudah dan dalam waktu yang
singkat, melainkan diperoleh melalui proses
panjang yang berulang-ulang menuju ke
tingkat yang lebih sempurna. Dan dalam
penelitian ini aspek-aspek keterampilan
menulis dapat dirinci menjadi lima aspek
yaitu: 1) isi tulisan yang merupakan tuangan
ide-ide pikiran, 2) organisasi, 3) struktur
kalimat, 4) kosakata dan gaya, 5)
penggunaan mekanik (Dantes, 2012: 182).
Begitu kompleksnya keterampilan
menulis bila dibandingkan dengan
keterampilan berbahasa lainnya sehingga
pendekatan yang selama ini digunakan
sudah tidak relevan.Pendekatan yang
diterapkan hendaknya pendekatan yang
memungkinkan siswa mendapatkan segala
yang mereka butuhkan.Dan keempat
keterampilan berbahasa harus diperoleh
siswa secara utuh, tepadu dalam situasi
nyata atau autentik.
Penelitian tentang pengembangan
bahasa tulis pada siswa menunjukkan hasil
yang relatif konsisten. Siswa belajar bahasa
tulis hanya apabila mereka benar-benar
tenggelam dalam lingkungan bahasa yang
mereka pelajari. Lingkungan yang kaya akan
bahan cetakan, alat peraga, buku-buku,
tanda-tanda, gambar-gambar, pajanan
bervariasi dan label-label merupakan cairan
yang mencelupkan dan menenggelamkan
anak-anak hingga mereka menghirup
komponen bahasa secara bawah sadar.
Dukungan yang tepat mampu
menciptakan atmosfer yang bebas untuk
menggunakan bahasa, yang dalam
kesempatan tersebut, memahami makna
lebih penting dari kesalahan yang dibuat.
Suasana yang kondusif, menyenangkan dan
berlangsung dalam situasi nyata atau
autentik, dapat menumbuhkan motivasi
siswa untuk terus berlatih agar keterampilan
siswa dalam memahami dan menggunakan
bahasa tulis mencapai prestasi tertinggi
(Musfiroh,2009).
Dalam belajar, motivasi berkaitan erat
dengan tujuan yang hendak dicapai oleh
individu yang sedang belajar. Bila seseorang
yang sedang belajar menyadari bahwa tujuan
yang hendak dicapai berguna atau
bermanfaat baginya, maka motivasi belajar
akan muncul dengan kuat. Motivasi yang
kuat akan mendorong sesorang untuk meraih
prestasi, dan terus berupaya untuk menjadi
yang terbaik.
Adalah tugas guru untuk merangsang
agar siswa memiliki motivasi dalam belajar.
Sebagai motivator guru memiliki tanggung
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543 PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 3 Oktober 2018 ____________________________________________________________ 256
jawab yang besar untuk membangkitkan
motivasi siswa. Sebab motivasi sebagai
daya penggerak dapat mendorong siswa
untuk terus bersaing secara sehat dalam
rangka mencapai prestasi tertinggi,
mengungguli dirinya sendiri dan orang lain.
Berdasarkan paparan diatas, dapat
diduga bahwa keterampilan menulis dan
motivasi siswa untuk berprestasi pada
pembelajaran bahasa Indonesia dengan
penerapan pendekatan pembelajaran whole
language akan berbeda dengan keterampilan
menulis dan motivasi siswa untuk
berprestasi pada pembelajaran yang
menggunakan pendekatan pembelajaran
konvensional. Hal ini dapat dilihat dari
perbedaan karakteristik atau ciri-ciri dari
kedua pendekatan pembelajaran tersebut.
Namun seberapa jauh pengaruh pendekatan
pembelajaran whole language berpengaruh
terhadap keterampilan menulis dan motvasi
siswa untuk berprestasi, khususnya siswa
kelas IV Sekolah Dasar Gugus 1 Kuta Utara,
belum dapat diungkapkan. Oleh karena itu,
peneliti ingin mengkaji lebih jauh masalah
ini melalui penelitian yang berjudul
“Pengaruh Penerapan Pendekatan
Pembelajaran Whole LanguageTerhadap
Keterampilan Menulis Ditinjau dari
Motivasi Berprestasi siswa di Kelas IV SD
Gugus 1 Kuta Utara”.
Adapun tujuan penelitian ini
adalah(1)mendeskripsikan dan mengetahui
perbedaan keterampilan menulis pada siswa
yang menggunakan pendekatan
pembelajaran whole language dengan siswa
yang menggunakan pendekatan
pembelajarankonvensional, (2)mengetahui
pengaruh interaksi antara pendekatan
pembelajaran dengan motivasi berprestasi
siswa terhadap keterampilan menulis, (3)
mendeskripsikan dan mengetahui perbedaan
keterampilan menulis antara siswa yang
mengikutii pendekatan pembelajaran whole
languagedan pendekatan pembelajaran
konvensional pada siswa yang memiliki
motivasi berprestasi tinggi, (4)
mendeskripsikan dan mengetahui perbedaan
keterampilan menulis antara siswa yang
mengikuti pendekatan pembelajaran whole
language dan pendekatan pembelajaran
konvensional pada siswa yang memiliki
motivasi berprestasi rendah.
METODE
Penelitian ini merupakan penelitian
eksperimen semuyang menggunakan
rancanganfaktorial 2x2.
Populasi dalam penelitian ini adalah
siswa kelas IV SD Gugus I Kuta Utara tahun
pelajaran 2016/2017 yang berjumlah 483
orang siswa, dan jumlah sampelpada
penelitian ini berjumlah 100 orang siswa
yang terdiri dari SD NO. 6 Dalung 54 orang
siswa dan SD.NO 2 Dalung 46 orang
siswa.Seluruh sampel berasal dari kelas-
kelas yang setaraDan pemilihan sampel
dilakukan dengan cararandom sampling..
Sebelum pengambilan sampel, terlebih
dahulu dilakukan uji kesetaraan kelas.Hal ini
dilakukan untuk memastikan kelas-kelas
yang dijadikan sampel adalah kelas-kelas
yang setara dan dapat digunakan untuk
penelitian.Uji kesetaraan dianalisa dengan
Anava satu jalur dan diproses menggunakan
aplikasi SPSS.
Data yang dikumpulkan dalam
penelitian ini adalah data motivasi
berprestasi dan data keterampilan menulis.
Data mengenai motivasi berprestasi siswa
dikumpulkan menggunakan kuesioner yang
penilaiannya menggunakan skala likert. Data
mengenai keterampilan menulis
dikumpulkan dengan instrumen berupa tes
kinerja yang dilengkapi dengan panduan
penskoran berupa rubrik analitik. Dalam
penyusunan instrumen terlebih dahulu dibuat
kisi-kisi dan untuk keterampilan menulis,
berpedoman pada landasan kurikulum KTSP
2006.
Sebelum tes digunakan untuk
mengambil data, terlebih dahulu dilakukan
expert judgment oleh dua orang pakar guna
mendapatkan kualitas tes yang baik. Setelah
itu dilakukan uji coba instrumen untuk
mengetahui kesahihan ( validitas ) dengan
bantuan Pearson's Product Moment, dan
keterandalan ( reliabilitas ) dengan
menggunakan Alfa crombach
Hasil validasi instrumen motivasi
berprestasi siswa, diperoleh 32 instrumen
yang dinyatakan valid dari 40 butir soal
sebelum divalidasi. Dan selanjutnya 32
instrumen yang dinyatakan valid dapat
digunakan dalam penelitian.Koefisien
reliabilitas tes motivasi berprestasi adalah
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543 PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 3 Oktober 2018 ____________________________________________________________ 257
0,883, menurut kriteria reliabilitas tes
motivasi berprestasi tergolong sangat tinggi.
Untuk reliabilitas instrumen keterampilan
menulis dibantu dengan menggunakan
SPSS(Intraclass Reliability Test). Koefisien
reliabilitas keterampilan menulis bernilai
0,917.Apabila dikonsultasikan menggunakan
kriteria yang dibuat oleh Guilford, maka
dapat disimpulkan bahwa instrumen
Keterampilan Menulis memiliki reliabilitas /
kekonsistenan yang sangat tinggi.
Uji prasyarat yang dilakukan dalam
penelitian ini adalah uji normalitas sebaran
data dan uji homogenitas varians.Analisis
statistik yang digunakan untuk menguji
hipotesis adalah menggunakan Anava dua
jalan (Anava AB).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil analisis uji normalitas sebaran
data menunjukkan bahwa keseluruhan nilai
signifikansi dari perhitungan Kolmogorov-
Smirnov lebih tinggi dari 0,050.Hal ini
berarti keterampilan menulis siswa dari
semua kelompok berasal dari populasi yang
terdistribusi secara normal.
Perhitungan uji homogenitas
menunjukkan bahwa nilai signifikansi dari
perhitungan Levene Statisticadalah sig. =
0,124 di atas 0,050. Hal ini berarti
keterampilan menulis siswa berasal dari
populasi yang homogen.
Berdasarkan hasil uji prasyarat, yaitu
uji normalitas dan uji homogenitas varians
dapat disimpulkan bahwa data dari semua
kelompok berasal dari populasi yang
berdistribusi normal dan mempunyai varians
yang sama atau homogen.Oleh karena itu uji
hipotesis dapat dilakukan.
Data dalam penelitian ini dapat
dikelompokkan menjadi: (1) data
keterampilan menulis siswa yang
menggunakan pendekatan pembelajaran
whole language, (2) data keterampilan
menulis yang menggunakan pendekatan
pembelajaran konvensional, (3) data
keterampilan menulis kelompok siswa yang
menggunakan pendekatan pembelajaran
whole language yang memiliki motivasi
berprestasi tinggi, (4) data keterampilan
menulis kelompok siswa yang menggunakan
pendekatan pembelajaran whole language
yang memiliki motivasi berprestasi rendah,
(5) data keterampilan menulis kelompok
siswa yang menggunakan pendekatan
pembelajaran konvensional yang memiliki
motivasi berprestasi tinggi, (6) data
keterampilan menulis kelompok siswa yang
menggunakan pendekatan pembelajaran
konvensional yang memiliki motivasi
berprestasi rendah.
Uji hipotesis dalam penelitian ini
dilakukan dengan analisis varians (Anava)
dua jalurdengan program SPSS 16.0dan
dilanjutkan dengan uji t-test.
Hasil ANAVA dua jalan disajikan
dalam tabel 0.1 di bawah ini.
Tabel 0.1.Ringksasan ANAVA Dua Jalan Keterampilan Menulis
Sumber Jumlah Kuadrat db Rerata Kuadrat F Sig,
Antar A 495.925 1 495.925 38.700 .000
Antar B 1197.778 1 1197.778 93.470 .000
Antar AB 106.898 1 106.898 8.342 .005
Dalam 1230.202 96 12.815
Total 3096.828 99
Hasiluji hipotesis pertama
menyatakan signifikansi antar A=0.000
(sig.<0,050). Ini berarti hipotesis nul (H0)
ditolak dan hipotesis alternatif diterima. Hal
ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan
yang signifikan keterampilan menulis siswa
yang mengikuti pendekatan pembelajaran
whole language dengan siswa yang
mengikuti pendekatan pembelajaran
konvensional.
Temuan penelitian ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Sumayasa
(2015)bahwa terdapat perbedaan hasil
belajar antara siswa yang mengikuti
pendekatan saintifik dan siswa yang
mengikuti pendekatan konvensional. Hasil
penelitian tersebut juga menemukakan
bahwa hasil belajar siswa yang mengikuti
pendekatan pembelajaran saintifik lebih baik
daripada hasil belajar siswa yang mengikuti
pendekatan konvensional.
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543 PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 3 Oktober 2018 ____________________________________________________________ 258
Berdasarkan analisis data dan teori
yang mendukung serta hasil penelitian yang
relevan, telah terbukti bahwa pendekatan
pembelajaran whole language lebih baik
daripada pendekatan pembelajaran
konvensional. Hal ini disebabkan karena
dalam pendekatan whole language siswa
memperoleh keempat keterampilan
berbahasa secara utuh dan terpadu dalam
situasi nyata atau autentik. Siswa tidak
dilatih bagaimana cara-cara menulis
melainkan diajak memahami dan
menggunakan bahasa dalam kehidupan
sehari-hari secara lisan maupun tertulis.
Delapan komponen dan ciri-ciri
pendekatan whole language memberikan
kesempatan kepada siswa untuk terlibat aktif
dalam berbagai kegiatan langsung. Siswa
bebas memilih bacaan yang disukainya,
siswa berbagi tanggung jawab dengan
temannya, dan siswa mengerjakan tugas
sesuai kemampuan dan keterampilannya,
bebas dari beban instruksi dari guru. Dan
hasil karya siswa di apresiasi dan dipajang di
kelas. Semua itu menunjukkan bahwa
pembelajaran berlangsung dalam suasana
yang kondusif, menyenangkan dan penuh
makna.
Sebaliknya pembelajaran dengan
pendekatan konvensional, keempat
keterampilan berbahasa disajikan secara
terpisah-pisah. Pelajaran membaca diajarkan
di jam yang berbeda dengan menulis.
Implikasinya siswa tidak mendapatkan
keempat keterampilan berbahasa secara
menyeluruh, terpadu dan dalam situasi nyata
atau autentik. Siswa tidak diajak memahami
dan menggunakan bahasa dalam kehidupan
sehari-hari melainkan siswa diajarkan cara-
cara menulis, dengan aturan-aturan tertentu.
Keadaan ini membuat siswa gamang
menulis. Sebagai sebuah proses, menulis
merupakan kegiatan yang berulang-ulang
dan tidak mengenal urutan tertentu.
Akibatnya Siswa hafal cara-cara menulis
ketika disuruh menulis mereka bingung
harus mulai dari mana. Semua tugas
dikerjakan atas instruksi guru. Siswa tidak
memiliki kesempatan untuk terlibat langsung
dalam berbagai kegiatan. Siswa tidak bebas
memilih bacaan yang disukainya, dan semua
tanggung jawab ada di tamgan guru
sehingga pembelajaran berpusat pada guru.
Akibatnya siswa tidak memiliki kesempatan
untuk berkembang sesuai kemampuan dan
keterampilannya.
Hasil analisis uji hipotesiskedua
menyatakan nilai signifikansi antar AB
=0,005 (p<0,05). Ini berarti hipotesis nul
ditolak dan hipotesis alternatif diterima atau
terdapat pengaruh interaksi yang signifikan
antara pendekatan pembelajaran dan
motivasi berprestasi siswa terhadap
keterampilan menulis.
Temuan penelitian ini sejalan dengan
hasil penelitian yang dilakukan oleh
Agetania (2014). Hasil penelitian tersebut
menunjukkan bahwa terdapat pengaruh
interaksi yang signifikan antara pendekatan
pembelajaran dengan motivasi belajar
terhadap kemampuan menulis siswa.
Hal ini tidak terlepas dari motivasi
siswa untuk berprestasi berbeda antara siswa
yang bermotivasi tinggi dan siswa yang
bermotivasi rendah. Begitu pula dalam
kemampuan menulis, siswa yang memiliki
motivasi berprestasi tinggi tentu kemampuan
menulisnya berbeda dengan siswa yang
memiliki motivasi berprestasi rendah, pada
penerapan pendekatan whole language
maupun pendekatan konvensional.
Siswa yang memiliki motivasi
berprestasi tinggi akan berusaha dengan
gigih untuk mencapai kberhasilan. namun
sebaliknya siswa dengan motivasi
berprestasi rendah memandang kesuksesan
adalah sesuatu keberuntungan tidak didapat
melalui usaha atau kegigihan. Lebih jauh
Suarni (2004:49) mengemukakan bahwa
individu yang memiliki motivasi berprestasi
tinggi lebih sensitive terhadap tanda-tanda
yang berkaitan dengan peningkatan prestasi
dan bertendensi sadar dan realitas terhadap
dirinya dan terhadap prestasi yang ingin
dicapai.
Hasil analisis data dan didukung oleh
teori serta hasil penelitian yang relevan telah
membuktikan bahwa terdapat interaksi yang
signifikan antara pendekatan pembelajaran
dan motivasi berprestasi terhadap
keterampilan menulis siswa di kelas IV SD
Gugus I Kuta Utara.
Ringkasan analisis t-Scheffe uji
hipotesis ketiga dapat dilihat pada tabel
0.2.di bawah ini
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543 PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 3 Oktober 2018 ____________________________________________________________ 259
Tabel 0.2.Analisis t-Scheffe Uji Hipotesis Ketiga
Grup
thit ttab (0.05) Keterangan A1B1 A2B1
Rerata 85,129 78,587
6,502 ttab(0.05,dk=99) = 1,962
Ho ditolak
HA diterima
N 27 23
RJKdal 12,574
Hasil analisis uji hipotesis ketiga
dengan t-scheffe menyatakan t hitung =
6.502 lebih besar daripada t tabel=1,962 (t
hitung>t tabel), ini berarti hipotesis nul
ditolak dan hipotesis alternatif diterima atau
terdapat perbedaan yang signifikan
keterampilan menulis siswa yang memiliki
motivasi berprestasi tinggi yang mengikuti
pendekatan pembelajaran whole language
dengan pendekatan pembelajaran
konvensional. Siswa yang memiliki motivasi
berprestasi tinggi keterampilan menulisnya
lebih tinggi ketika mengikuti pendekatan
whole language, daripada siswa yang
mengikuti pendekatan konvensional.
Temuan hasil penelitian di atas sejalan
dengan penelitian yang dilakukan oleh
Samiasih (2013)yang menyatakan bahwa
motivasi berprestasi memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap hasil belajar memahami
wacana.Siswa yang memiliki motivasi
berprestasi tinggi terdapat perbedaan hasil
belajar memahami wacana atara siswa yang
mengikuti metode SQ3R dengan metode
KWL.Teori yang mendukung temuan ini
adalah Veroff (dalam Suarni, 2004),
menyimpulkan bahwa individu yang
mempunyai motivasi berprestasi tinggi
dalam melakukan tugasnya hasilnya berbeda
dengan individu yang mempunyai motivasi
berprestasi rendah.
Paparan di atas telah membuktikan
bahwa siswa yang memiliki motivasi
breprestasi tinggi sangat tepat bila
mengikuti pembelajaran dengan pendekatan
whole language.Sebab delapan komponen
dan karakteristik pendekatan whole
language memberikan ruang kepada siswa
yang memiliki motivasi berprestasi tinggi
untuk membangun pengetahuan
danmengembangkanketerampilannya. Siswa
mendapatkan segala yang ia butuhkan dan
keempat keterampilan berbahasa didapatkan
secara terpadu dalam situasi nyata atau
autentik dan dalam suasana yang kondusif
dan penuh makna.
Berdasarkan analisis data dan teori
yang mendukung serta hasil penelitian yang
relevan telah membuktikan bahwa
keterampilan menulis siswa yang memiliki
motivasi berprestasi tinggi dengan
pendekatan pembelajaran whole language
lebih baik daripada siswa yang menikuti
pendekatan pembelajaran konvensioal di
kelas IV SD Gugus 1 Kuta Utara.
Ringkasan analisis t-Scheffe uji
hipotesis keempat dapat dilihat pada tabel
0.3 di bawah ini.
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543 PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 3 Oktober 2018 ____________________________________________________________ 260
Tabel 0.3. Analisis t-Scheffe Uji Hipotesis Keempat
GROUP thit ttab (0.05)
Keterangan
A1B2 A2B2
Rerata 76,111 79,587
3,454 ttab(0.05,dk=99) =
1,962
Ho ditolak
HA diterima
N 27 23
RJKdal 12,574
Hasil analisis uji hipotesis keempat
dengan t-scheffe menunjukkan Q hitung=
3,454 lebih besar daripada Q tabel =1,962
(Q hitung> Q tabel), ini berarti hipotesis nul
ditolak dan hipotesis alternatif diterima. atau
terdapat perbedaan yang signifikan
keterampilan menulis siswa yang memiliki
motivasii berprestasi rendah yang mengikuti
pendekatan pembelajaran whole language
dengan siswa yang mengikuti pendekatan
pembelajaran konvensional. Dan
keterampilan menulis kelompok siswa yang
menggunakan pendekatan pembelajaran
konvensional signifikan pada siswa yang
memiliki motivasi berprestasi rendah.
Temuan hasil penelitian ini sejalan
dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Tastra (2013) yang meneliti tentang
pengaruh penggunaan model pembelajaran
kooperatif tipe jigsaw terhadap hasil belajar
menulis ditinjau dari motivasi berprestasi
siswa,yang menemukan bahwa, pada siswa
yang memiliki motivasi berprestasi rendah
dengan model pembelajaran konvensional
hasil belajarnya lebih baik daripada siswa
yang mengikuti model pembelajaran
kooperatif tipe jigsaw.
Temuan tersebut didukung oleh Suarni
(2014) menyatakan individu yang memiliki
motivasi berprestasi tinggi adalah individu
yang bertendensi sadar dan realistis terhadap
dirinya dan terhadap prestasi yang ingin
dicapai. Individu juga menyadari bahwa
prestasi yang besar tidak dapat dicapai
dalam waktu yang singkat dan dengan cara
yang mudah, oleh karenanya secara mental
mereka lebih suka berusaha dengan gigih
daripada mengharapkan nasib semata-mata.
Pemikirannya lebih terarah ke masa depan,
dengan usaha dan antisipasi serta prediktif
yang logis, bila dibandingkan dengan orang-
orang yang mempunyai motivasi berprestasi
rendah.
Berdasarkan paparan di atas
pendekatan pembelajaran whole
languagekurang cocok bagi siswa yang
memiliki motivasi berprestasi rendah.Sebab
siswa yang memiliki motivasi berprestasi
rendah dalam pembelajaran cendrung pasif,
tidak menyukai tantangan, kesuksesan
adalah keberuntungan bukan didapat dari
kegigihan.Siswa dengan motivasi berprestasi
rendah lebih suka bekerja atas instruksi
bukan membangun dan menemukan
sendiri.Mereka berpandangan bahwa
pengetahuan tidak didapat melalui peran
aktifnya dalam belajar, melainkan hanya
ditransfer dari guru.Sehingga dalam
pembelajaran mereka kurang kreatif,
berfikiran linier dan lebih suka menerima
informasi yang sudah jadi.Bila diberi
tanggung jawab untuk menggali informasi,
menemukan masalah dan mencari solusinya,
cenderung kurang berhasil. Karakteristik
siswa dengan motivasi berprestasi rendah
lebih tepat dengan penerapan pendekatan
pembelajaran konvensional, dimana dalam
proses pembelajaran mempunyai ciri-ciri
sebagai berikut: 1) pemilihan informasi
ditentukan oleh guru, 2) Siswa secara pasif
menerima informasi, 3) pembelajaran
bersifat abstrak dan teoritis, 4) pemberian
tumpukan informasi kepada siswa sampai
saatnya diperlukan, 5) cenderung terfokus
pada satu bidang (disiplin ilmu tertentu), 6)
melatih siswa untuk berfikir linier.
Berdasarkan analisis data dan
didukung oleh teori, serta hasil penelitan
yang relevan telah membuktikan bahwa,
pada siswa yang memiliki motivasi
berprestasi rendah dengan mengikuti
pendekatan konvensional keterampilan
menulisnya lebih baik daripada siswa yang
mengikuti pendekatan whole language pada
siswa kelas IV SD Gugus 1. Kuta Utara
tahun pelajaran 2016/2017.
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543 PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 3 Oktober 2018 ____________________________________________________________ 261
Pendekatan pembelajaran whole
language adalah salah satu pendekatan
pembelajaran bahasa yang inovatif yang
menyajikan keempat keterampilan berbahasa
secara utuh, terpadu.Karakteristik dan
komponen-komponen whole language
memberikan ruang dan waktu bagi siswa
untuk terlibat aktif dalam berbagai kegiatan
langsung bebas dari beban instruksi.
Pendekatan pembelajaranwhole
languagemerupakan pendekatan
komprehensif, karena dapat membantu siswa
membangun hubungan yang bermakna
antara sekolah dengan kehidupan nyata
sehari-hari, sehingga dapat menumbuhkan
motivasi siswa untuk berprestasi. Sebab apa
yang dipelajari bermanfaat bagi dirinya.
Bahasa merupakan satu kesatuan yang
utuh (whole) yang tidak dapat dipisah-
pisahkan (Rigg, 1991, dalam Puji Santosa,
2010).Oleh karena itu keempat keterampilan
berbahasa yang terdiri dari menyimak,
berbicara, membaca, dan menulis disajikan
dalam waktu yang bersamaan secara utuh,
terpadu, bermakna dan dalam situasi nyata
atau autentik.
Berdasarkan paparan di atas,
penerapan pendekatan pembelajaran whole
language dalam pembelajaran bahasa
merupakan langkah tepat sebab keempat
keterampilan berbahasa diperoleh siswa
secara utuh, terpadu, bermakna dan dalam
situasi nyata atau autentik.
Selain pendekatan, motivasi siswa
untuk berprestasi merupakan faktor yang
tidak dapat diabaikan dalam
pembelajaran.Setap individu memiliki
motivasi yang berbeda dalam belajar.Veroff
(1969 dalam Suarni, 2004), menyimpulkan
bahwa individu yang mempunyai motivasi
berprestasi tinggi dalam melakukan tugasnya
hasilnya berbeda dengan individu yang
mempunyai motivasi berprestasi rendah.
Adalah tugas guru sebagai perancang
dan pelaksana pembelajaran di kelas, dapat
memilih pendekatan yang sesuai serta
memperhatikan karakteristik siswa. Salah
satunya adalah guru harus mampu
membangkitkan gairah serta mendorong
siswa agar memilikii motivasi untuk
berprestasi.Untuk itu pengetahuan guru
tentang berbagai pendekatan yang inovatif
harus ditingkatkan agar terwujud
pembelajaran yang optimal.
Pendekatan yang diterapkan
hendaknya pendekatan yang berpusat pada
aktivitas siswa (students centered aproach),
bukan yang berpusat pada aktivitas guru
(teacher centered aproach). Sebab
pendekatan yang berpusat pada aktivitas
siswa menuntut guru untuk mengembangkan
pembelajaran yang memungkinkan dapat
dijadikan wahana bagi siswa untuk terlibat
aktif dalam memahami dunia yang begitu
kompleks.
PENUTUP
Berdasarkan hasil penelitian dan
pembahasan yang telah diuraikan diatas
ditemukan bahwa (1) terdapat perbedaan
keterampilan menulis siswa yang mengikuti
pendekatan pembelajaran whole
languagedengan siswa yang mengikuti
pendekatan pembelajaran konvensional pada
siswa kelas IV SD. Gugus I Kuta Utara
Tahun Pelajaran 2016/2017, (2) terdapat
pengaruh interaksi antara pendekatan
pembelajaran dengan motivasi berprestasi
terhadap keterampilan menulis,(3)siswa
yang memiliki motivasi berprestasi tinggi,
terdapat perbedaan keterampilan menulis
antara siswa yang mengikuti pendekatan
pembelajaran whole language dengan siswa
yang mengikuti pendekatan pembelajaran
konvensional,(4)siswa yang memiliki
motivasi berprestasi rendah, terdapat
perbedaan keterampilan menulis siswa yang
mengikuti pendekatan pembelajaran whole
language dengan siswa yang mengikuti
pendekatan pembelajaran konvensional.
Berdasarkan simpulan di atas adapun
saran-saran yang dapat diajukan dalam
penelitian ini sebagai berikut.Pertama,
pendekatan pembelajaran whole language
sebagai salah satu pendekatan bahasa yang
inovatif perlu diperkenalkan kepada para
guru, siswa dan praktisi pendidikan sebagai
pendekatan alternatif karena telah terbukti
dapat meningkatkan kualitas pembelajaran
di kelas sehingga tercipta pembelajaran yang
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543 PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 3 Oktober 2018 ____________________________________________________________ 262
bermakna, di tengah dominasi penerapan
pendekatan konvensional.Kedua,dengan
menggunakan pendekatan pembelajaran
whole language, siswa yang memiliki
motivasi berprestasi tinggi akan terus
terpacu untuk mencapai prestasi, sehingga
mengarah kepada peningkatan keterampilan
menulis, akan tetapi sebaliknya siswa
dengan motivasi berprestasi rendah dapat
mengarah kepada penurunan keterampilan
menulis. Sehubungan dengan itu sebagai
pendidik yang profesional, guru hendaknya
terus berupaya menciptakan suasana
pembelajaran yang menyenangkan dan
kondusif serta memperhatikan karakteristik
siswa yang memiliki motivasi berprestasi
rendah, agar dapat memotivasi siswa untuk
mencapai prestasi tinggi.Ketiga,para kepala
sekolah hendaknya dapat memfasilitasi
kegiatan-kegiatan guru yang dapat
meningkatkan pengetahuan tentang berbagai
pendekatan inovatif sebagai alternatif dalam
pembelajaran, dalam rangka mewujudkan
pembelajaran yang optimal.
DAFTAR RUJUKAN
Agetania, N. L. P. Dantes, N. Marhaeni,
A.A.I.N. 2014 Pengaruh Pendekatan
Pembelajaran Berbantuan BET
(Buklet Edukatif tematik) Terhadap
Kemampuan Menulis Ditinjau dari
Motivasi Belajar Siswa Kelas II SD
di Gugus V Kecamatan Sukasada.e-
journal Program Pascasarjana
Universitas Pendidikan Ganesha
Program Studi Pendidikan Dasar
(Volume 4 Tahun 2014). Diakses
tanggal 22 Juli 2017.
Candiasa, 2011. Pengujian Instrumen
Penelitian Disertai Aplikasi
ITEMAN dan BIGSTEPS.Singaraja :
Undiksha Press.
Dantes,N. 2012. Metode Penelitian.
Yogjakarta : CV Andi Offset
Iskandarwassid. Dadang S. 2016. Strategi
Pembelajaran Bahasa. Bandung :
Sekolah Pascasarjana Universitas
Indonesia Dengan PT Remaja
Rosdakarya.
Meha, N. Adiyati, F.R. 2014. Implementasi
Whole Language Approach Sebagai
Pengembangan Model Pembelajaran
Berbahasa Awal Anak Usia 5-6
Tahun di Paud Non Formal.Jurnal
Pendidikan, Volume 15, Nomor 2,
September 2014, 68-82. Jakarta
:Universitas Muhammadiyah Jakarta.
Diakses tgl. 12 Juli 2017
Musfiroh, T. 2009. Menumbuhkembangkan
Baca Tulis Anak Usia Dini. Jakarta :
PT Grasindo.
Samiasih, G.A. Yudana, I.M. Marhaeni,
A.A.I.N. 2013.Pengaruh Metode
Membaca Terhadap hasil Belajar
Memahami Wacana ditinjau Dari
Motivasi Berprestasi Pada Siswa
Kelas XI IPA SMA Negeri I
Penebel.e-Journal Program
Pascasarjana Universitas Pendidikan
Ganesha Program Studi Administrasi
Pendidikan (volume 4 Tahun 2013).
Diakses tgl. 12 Juli 2017
Santosa, P. 2010. Materi Pembelajaran
Bahasa Indonesia SD. Jakarta :
Universitas Terbuka.
Sardiman, A.M. 2012. Interaksi Dan
Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta :
PT Raja Grafindo Persada.
Suarni, N.K. 2004.Meningkatkan Motivasi
Berorestasi Siswa Sekolah
Menengah Umum di Bali dengan
Strategi Pengelolaan Diri Model
Yates.Disertasi. (Tidak Diterbitkan).
Yogjakarta.PPS.UGM Yogjakarta.
Sukyadi. D. 2010. Approaches to Teaching
Early Reading : Whole Language or
Pho-nic Approach ? TEFLIN
Journal.
Sumayasa, I.N. Marhaeni, A.A.I.N. Dantes,
N. 2015. Pengaruh Implementasi
Pendekatan Saintifik Terhadap
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543 PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 3 Oktober 2018 ____________________________________________________________ 263
Motivasi Belajar Dan hasil Belajar
Bahasa Indonesia Pada Siswa Kelas
VI Di sekolah Dasar Se Gugus VI
Kecamatan Abang Karangasem. e-
journalProgram Pascasarjana
Universitas Pendidikan Ganesha
Program Studi Pendidikan Dasar
(volume 5 Tahun 2015),(diakses
tanggal 12 Juli 2017).
Tarigan, H.G. 2013.Menulis Sebagai Suatu
Keterampilan Berbahasa. Bandung :
Angkasa.
Tastra, K. Marhaeni, A.A.I.N.
Lasmawan,W. 2013. Pengaruh
model pembelajaran Kooperatif Tipe
Jigsaw Terhadap Hasil
BelajarMenulis Ditinjau dari
Motivasi Berprestasi Siswa Kelas
VII SMP Negeri 4 Mendoyo.e-
Journal Program Pascasarjana
Universitas Pendidikan Ganesha
Jurusan Pendidikan Dasar (volume 3
Tahun 2013).Diakses tanggal 12 Juli
2017.
.
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543
PPs Universitas Pendidikan Ganesha
PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN SIKLUS BELAJAR SABDA-PRATYAKSA-
ANUMANA (SPA) TERHADAP PEMAHAMAN KONSEP IPA DAN SIKAP ILMIAH
SISWA KELAS VIII SMP NEGERI 4 KUBU TAHUN PELAJARAN 2010/2011
I Gede Dungulan
Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 Kubu
Karangasem, Indonesia
e-mail : [email protected]
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis 1) perbedaan pemahaman konsep
IPA dan sikap ilmiah antara siswa yang mengikuti model pembelajaran siklus belajar
SPA dan siswa yang mengikuti model pengajaran langsung (direct instruction), 2)
perbedaan pemahaman konsep IPA antara siswa yang mengikuti model pembelajaran
siklus belajar SPA dan siswa yang mengikuti model pengajaran langsung (direct
instruction), dan 3) perbedaan sikap ilmiah antara siswa yang mengikuti model
pembelajaran siklus belajar SPA dan siswa yang mengikutipengajaran langsung
(direct instruction). Jenis penelitian ini adalah eksperimen semu dengan rancangan
The Posttest Only Control Group Design.Populasi penelitian ini adalah siswa kelas
VIII SMP Negeri 4 Kubu tahun pelajaran 2010/2011 yang berjumlah 118 orang.
Sampel berjumlah 80 orang diambil dengan cara random kelas. Data penelitian
berupa pemahaman konsep IPA dan sikap ilmiah. Data pemahaman konsep IPA
dikumpulkan dengan menggunakan metode instrumen tes, dan data sikap ilmiah
dikumpulkan dengan menggunakan metode instrumen angket. Data dianalisis dengan
teknik Multiple Analysis of Varian (MANOVA), dan dilanjutkan dengan uji Least
Significant Difference (LSD) dengan taraf signifikansi 5%. Hasil penelitian
menunjukkan 1) terdapat perbedaan pemahaman konsep IPA dan sikap ilmiah antara
siswa yang mengikuti model pembelajaran siklus belajar SPA dan siswa yang
mengikuti model pengajaran langsung (harga F untuk Pillai’s Trace, Wilks’Lambda,
Hotelling’s Trace dan Roy’s largest Root =12,884; p < 0,05), 2) terdapat perbedaan
pemahaman konsep IPA antara siswa yang mengikuti model pembelajaran siklus
belajar SPA dan siswa yang mengikuti model pengajaran langsung (harga Ftest of
between-subjectts effects = 9,991;(p < 0,05), dan 3) terdapat perbedaan sikap ilmiah
antara siswa yang mengikuti model pembelajaran siklus belajar SPA dan siswa yang
mengikuti model pengajaran langsung (harga Ftest of between-subjectts effects =
15,371; p < 0,05). Hasil deskripsi statistik dan uji lanjut LSD menyatakan bahwa
untuk pemahaman konsep IPA dan sikap ilmiah model pembelajaran siklus belajar
SPA lebih unggul dari pada model pengajaran langsung (LSDhit< |∆µ|).
Kata kunci : model siklus belajar SPA, pengajaran langsung, pemahaman konsep, sikap ilmiah.
ABSTRACT The purpose of this research were to analyze 1) the differrence of science concept
understanding and the scientific attitude between students who learnt by using the
SPA learning cycle model to those who followed the direct instruction model, 2) the
differrence of science concept understanding between the students who used the SPA
learning cycle model to those who used the direct instruction model, and 3) the
differrence of scientific attitude between students who followed the SPA learning
cycle model to those who used the direct instruction model. The type of the research
JIPP, Volume 15 Nomor 3 Oktober 2018 ____________________________________________________________ 264
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543 PPs Universitas Pendidikan Ganesha
was quasy experiment by using the post test only controll group design. The
population of the research was grade VIII of SMP Negeri 4 Kubu students, in the
academic year 2010/2011 with 118 people. The 80 samples were taken by classical
random sampling. The data of the research were science concept understanding and
the students’s scientific attitude. Science concept understanding data were taken by
the test instrument method and the students’s scientific attitude data were taken by the
questionnaire instrument method. The data were analized by Multiple Analysis of
Varian (MANOVA) technique, and continued by the Least Significant Difference
(LSD). Hypothesis control was done in 5% significant level. The result of the
research showed that 1) there was a differrence of science concept understanding and
the scientific attitude between students who learnt by using the SPA learning cycle
model to those who followed the direct instruction model (F value of Pillai’s Trace,
Wilks’ Lambda, Hotelling’s Trace and Roy’s largest Root= 12.884( p < 0.05), 2) there
was a differrence of science concept understanding between the students who used the
SPA learning cycle model to those who used the direct instruction model (F value of
test of between subjects effects = 9.991; p < 0.05), and 3) there was a differrence in
scientific attitude between students who followed the SPA learning cycle model to
those who used the direct instruction model (F value of test between subjects effects =
15.371; p<0.05). The result of descriptive statistic and the LSD examination showed
that the science concept understanding and student’s scientific attitude of SPA
learning cycle model was better than the direct instruction model (LSDhit< |∆µ|).
Keywords: SPA learning cycle model, direct instruction, concept understanding,
scientific attitude.
PENDAHULUAN Pengembangan kemampuan dalam
bidang sains merupakan salah satu kunci
keberhasilan peningkatan kemampuan dalam memasuki dunia teknologi. Kualitas
pendidikan sains merupakan salah satu
indikator yang sangat penting bagi kualitas
sumber daya manusia. Sains menurut Depdiknas (2004: 3) merupakan cara
mencari tahu tentang alam semesta secara
sistematis untuk menguasai pengetahuan,
fakta-fakta, konsep-konsep, prinsip-prinsip,
proses penemuan, dan memiliki sikap
ilmiah. Perkembangan sains bukan hanya ditunjukkan oleh kumpulan fakta (produkilmiah) tetapi juga oleh timbulnya metode ilmiah dan sikap ilmiah. Definisi di atas, membawa implikasi bahwa hakikat
sains menyangkut tiga hal pokok yaitu 1) produk ilmiah, 2) proses ilmiah, dan 3) sikap ilmiah. Menurut KTSP, pembelajaran sains
diarahkan pada pemberian pengalaman langsung untuk mengembangkan kompetensi dengan ”mencari tahu dan berbuat” agar siswa mampu menjelajahi dan memahami alam sekitar secara ilmiah. Artinya, model pembelajaran sains yang ideal dilakukan adalah memadukan antara
pengalaman proses sains dan pemahaman produk sains dalam bentuk hand on activity dengan memperhatikan tingkat perkembangan siswa SMP yang masih berada pada fase transisi dari operasional
konkrit ke operasional formal. Hakikat pembelajaran sains adalah suatu upaya pengembangan kompetensi sains yaitu mengembangkan sejumlah kompetensi
adaftif yang sesuai dengan perubahan kondisi saat ini menuju kondisi masa depan. Kompetensi merupakan pengetahuan,
ketrampilan, dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak. Belajar sains merupakan cara yang ideal untuk memperoleh kompetensi (ketrampilan, memelihara sikap-sikap, dan mengembangkan pemahaman konsep-konsep
yang berkaitan dengan pengalaman sehari-
hari). Ketrampilan, sikap, dan pemahaman
konsep tidak bias saling dipisahkan sehingga
terjadi suatu inter relasi. Jika pembelajaran sains dilakukan
dengan memberikan pengalaman langsung
untuk mengembangkan kompetensi siswa sudah dilakukan dengan benar, maka prestasi belajar sains siswa diyakini menjadi tinggi. Namun pada kenyataannya, hasil
JIPP, Volume 15 Nomor 3 Oktober 2018 ____________________________________________________________ 265
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran
PPs Universitas Pendidikan Ganesha
belajar sains (IPA) siswa masih tergolong
rendah. Rendahnya hasil belajar sains siswa
di Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut meliputi 1)
faktor guru, 2) faktor siswa, 3) faktor sarana,
alat dan media yang tersedia, dan 4) faktor
lingkungan (Wina Sanjaya, 2009). Guru berperan bukan hanya sebagai model dan
teladan bagi siswa, tetapi juga sebagai
pengelola pembelajaran (manager of learning). Faktor siswa meliputi asfek latar
belakang (pupil formative experiences) dan
sifat yang dimilikinya (pupil properties).
Faktor sarana, alat, dan media sangat membantu guru dalam penyelenggaraan
proses pembelajaran. Faktor lingkungan
meliputi organisasi kelas dan iklim sosial-
psikologis. Dalam pembelajaran sains guru harus berwawasan luas, memiliki kreativitas
tinggi, keterampilan metodologi yang
handal, rasa percaya diri yang tinggi dan
berani mengemas serta mengembangkan materi. Secara akademik guru dituntut untuk
terus menggali informasi ilmu pengetahuan
yang berkaitan dengan materi yang diajarkan
dan banyak membaca buku agar penguasaan bahan ajar tidak terfokus pada bidang kajian
tertentu saja. Salah satu keterampilan yang harus dikuasai oleh guru dalam pembelajaran adalah mendesain model pembelajaran yang kreatif, inovatif, bermakna dan menyenangkan serta berkelanjutan. Ada banyak model pembelajaran yang diterapkan oleh guru
yang disesuaikan dengan jenis dan karakter
materi ajar pada kurikulum. Kenyataan yang
ada sekarang adalah 1) sebagian besar guru
masih mengelola pembelajaran secara
konvensional sehingga kurang mampu
menumbuhkan sikap ilmiah dalam sains, 2) guru kurang variatif dalam menerapkan
model pembelajaran yang meyebabkan
siswa kurang tertarik untuk belajar sains, 3)
guru kurang cermat memilih model pembelajaran berdasarkan standar
kompetensi yang harus dibahas, dan 4)
penilaian yang dilakukan selama ini masih
bersifat konvensional artinya belum banyak guru melaksanakan penilaian autentik
sehingga penilaian yang dilakukan belum
mencerminkan kemampuan kinerja ilmiah
siswa. Fakta tersebut didukung oleh hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya.
ISSN 1858 – 4543
Faktor siswa meliputi latar belakang (pupil formative experiences) dan sifat yang dimilikinya (pupil properties). Dalam pembelajaran konvensional yang berlangsung selama ini, kemampuan awal (prior knowledge) siswa dan potensi dasar yang dimiliki siswa belum banyak mendapat perhatian. Padahal pengetahuan awal (prior knowledge) sebagai konstruksi personal mempunyai pengaruh yang penting dalam proses pembelajaran. Setiap siswa yang datang ke sekolah, sesungguhnya sudah membawa gagasan-gagasan tentang peristiwa-peristiwa (Sadia, 1996). Ditinjau dari potensi dasar yang dimiliki siswa, agama Hindu memandang ada tiga potensi dasar yang secara alamiah dimiliki oleh manusia (siswa) yang disebut tri premana (sabda, bayu, idep) (Subagia, 2007). Ketiga potensi dasar itu menjadi pijakan penting dalam pengembangan pembelajaran karena keberadaannya saling mendukung satu dengan yang lainnya.
Faktor lingkungan meliputi iklim
soisal-psikologis. Pendidikan sains tidak bisa
dilepaskan dari pengaruh sosial budaya
dimana sains itu dibelajarkan, bahkan potensi-
potensi kearifan lokal (local genius) yang ada
pada suatu daerah harus diberdayakan untuk
mendukung pendidikan itu sendiri. Subagia
dan Wiratma (2005), dalam penelitiannya
mendapatkan bahwa ada sejumlah potensi
kearifan lokal masyarakat Bali (Hindu) yang
mengandung nilai-nilai pembelajaran atau
pendidikan, baik yang ada dalam dokumen
tertulis maupun yang diterapkan masyarakat
dalam kehidupannya sehari-hari. Berdasarkan
hasil penelitian tersebut dinyatakan bahwa
model siklus belajar berdasarkan kearifan
lokal masyarakat Bali (Hindu) dapat
digunakan sebagai alternatif model
pembelajaran dengan mengembangkan potensi
dasar yang dimiliki pebelajar yaitu potensi
tenaga (bayu), potensi suara (sabda), dan
potensi akal pikiran (idep). Potensi dasar yang
dimiliki siswa apabila dikaitkan dengan proses
pembelajaran melahirkan model siklus belajar
yang diberi nama siklus belajar tri premana,
yang terdiri dari pratyaksa pramana, sabda
pramana, dan anumana pramana. Pratyaksa
pramana adalah cara belajar yang dilakukan
dengan cara melihat
JIPP, Volume 15 Nomor 3 Oktober 2018 ____________________________________________________________ 266
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran
PPs Universitas Pendidikan Ganesha
langsung materi pelajaran. Sabda pramana
adalah cara belajar yang dilakukan dengan
memperoleh informasi langsung dari sumber belajar yang dapat dipercaya. Anumana pramana adalahcara belajar yang dilakukan melalui penalaran terhadap materi pelajaran
yang tidak dapat dijangkau secara langsung. Penalaran materi pelajaran dilakukan berdasarkan pengetahuan dan pengalaman
yang dimiliki sebelumnya. Model SPA adalah model pembelajaran yang menggunakan guruatau buku teks sebagai sumber belajar untuk mengawali pelajaran
(sabda). Pengetahuan yang diperoleh dari informasi yang diberikan guru atau yang diperoleh dari buku-buku teks
digunakan sebagai pemandu untuk mengadakan observasi (pratyaksa).
Pengetahuan yang diperoleh dari kegiatan pertama dan kedua dipakai untuk membangun pemahaman terhadap obyek-obyek pelajaran lainnya yang sejenis.Model
siklus belajar SPA telah terbukti meningkatkan penguasaan konsep dan ketrampilan proses IPA (Sutrisna, 2009).
Namun demikian, keberhasilan model siklus belajar SPA dalam meningkatkan penguasaan konsep dan ketrampilan proses IPA belum menjamin bias meningkatkan pemahaman konsep dan sikap ilmiah siswa.
Karena kinerja ilmiah yang ada pada buku rapor SMP untuk mengukur proses sains tidak hanya terdiri dari ketrampilan proses
saja, tetapi juga sikap ilmiah. Untuk itu perlu dibuktikan lebih lanjut dalam suatu penelitian. Pemahaman konsep IPA adalah kemampuan untuk menjelaskan,
mengidentifikasi, dan menerapkan konsep-
konsep IPA yang dimiliki siswa sebagaire fleksi dari pencapaian standar kompetensi. Sikap ilmiah adalah suatu sikap pendirian yang tercermin dalam pola tindakan yang
selalu berorientasi pada ilmu pengetahuan dan metode ilmiah dalam memecahkan masalah terhadap stimulus tertentu yang dihadapinya. Peter C. Gega (1977)
mengemukakan ada empat kriteria pokok aspek yang termasuk dalam sikap ilmiah (scienctific attitude), yaitu rasa ingin tahu (coriousity), berpikir kritis (critical thinking), ketekunan, dan memiliki kemampuan menyelidiki. Harlen (1992) menjabarkan dimensi sikap ilmiah menjadi
ISSN 1858 – 4543
dimensi rasa ingintahu, dimensi resfek
terhadap bukti dan fakta, dimensi
kemampuan untuk mengubah pandangan, dimensi berpikir kritis. Tujuan penelitian ini
adalah untuk mendeskripsikan perbedaan
pemahaman konsep IPA dan sikap ilmiah
antara siswa yang mengikuti model pembelajaran siklus belajar SPA dan siswa
yang mengikuti model pengajaran langsung
(direct instruction) baik secara bersama-sama maupun secara terpisah. Penelitian ini
diharapkan dapat memberikan manfaat baik
secara teoretis maupun empiris. Secara
teoretis diharapkan bermanfaat bagi pengembangan khasanah ilmu kependidikan
khususnya model pembelajaran yang
berbasis kearifan lokal (local genius) dengan
tetap berorientasi pada pembelajaran konstruktivistik. Secara praktis hasil
penelitian ini diharapkan dapat digunakan
sebagai bahan pertimbangan dalam mencari
alternatif penyusunan program pembelajaran bagi para guru sains.
2. METODE PENELITIAN Design penelitian ini adalah eksperimen
semu (quasi experiment), karena tidak
mungkin lagi mengacak siswa yang sudah tersusun secara permanen dalam kurun
waktu satu semester hanya untuk melakukan
suatu eksperimen. Rancangan penelitian
yang digunakan adalah ”The Posttest Only Control Group Design”.Rancangan ini
digunakan karena semua kelas VIII yang ada
di SMP Negeri 4 Kubu dalam keadaan
setara setelah diuji dengan uji beda (t-test) terhadap nilai rapor mata pelajaran IPA
Semester Ganjil. Populasi penelitian ini adalah
seluruh siswa kelas VIII SMP Negeri 4
Kubu tahun pelajaran 2010/2011 yang
berjumlah 118 orang. Sampel ditentukan
dengan menggunakan sampel kelas. Kelas diundi untuk menentukan dua kelas sampel
dari tiga kelas populasi yang ada. Mengundi
kelas sampel untuk menentukan kelas
eksperimen dan kelas kontrol. Hasil undian menetapkan kelas VIII B sebagai kelas
eksperimen dan kelas VIII C sebagai kelas
kontrol. Prosedur penelitian yang menjadi
tahapan-tahapan pada penelitian ini adalah menyusun rancangan instrument tes,
melakukan
JIPP, Volume 15 Nomor 3 Oktober 2018 ____________________________________________________________ 267
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran
PPs Universitas Pendidikan Ganesha
validasi perangkat pembelajaran dan
instrument penelitian, melaksanakan revisi
perangkat pembelajaran dan rancangan instrument pengambilan data, melaksanakan pembelajaran pada kelas eksperimen dengan menerapkan model pembelajaran siklusbelajar SPA dan pada kelas control dengan menerapkan model pengajaran
langsung, mengadakan tes akhir pada pada
masing-masing kelas untuk mengetahui pemahaman konsep siswa, menyebarkan
angket untuk mengetahui sikap ilmiah siswa,
menganalisis data pemahaman konsep dan
sikap ilmiah siswa. Dalam penelitian ini ada dua data yang dikumpulkan, yaitu data
pemahaman konsep dan data sikap ilmiah.
Data pemahaman konsep diperoleh dengan
menggunakan instrumen tes, dan data sikap ilmiah dicari dengan metode angket.
Sebelum instrumen diujicobakan kepada
responden, indikator dan butir-butir tes yang disusun terlebih dahulu dikonsultasikan
kepada dua orang pakar (expert judges)
untuk dilakukan penilaian mengenai
validitas isi (content validity). Langkah
selanjutnya adalah uji coba instrumen. Data
yang diperoleh pada uji coba instrumen
kemudian dianalisis. Analisis uji coba
instrumen meliputi uji validitas butir, reliabilitas tes, daya beda, dan derajat kesukaran. Sebuah butir dikatakan valid apabila mempunyai dukungan yang besar terhadap skor total. Kesejajaran antara validitas butir dengan skor total dapat diartikan sebagai korelasi. Teknik korelasi yang dipakai menghitung validitas butir tes
adalah korelasi point-biserial (γpbi) dengan
rumus :
M P Mt p
(γpbi) = S
t q
(Candiasa, 2010: 32) Daya beda tes adalah kemampuan
suatu tes untuk membedakan kemampuan siswa yang tergolong mampu dengan siswa yang tergolong kurang mampu dalam suatu kelompok. Untuk mengetahui daya beda suatu tes yang berbentuk pilihan ganda digunakan rumus berikut.
d U L N
(Candiasa, 2010: 109)
ISSN 1858 – 4543
Taraf kesukaran butir yang
dinyatakan dengan indeks kesukaran butir
didefinisikan sebagai proporsi peserta tes yang menjawab butir tersebut dengan benar. Untuk soal pilih ganda dapat menggunakan rumus:
I NB
(Candiasa, 2010: 81).
Releabilitas menunjuk pada sebuah
pengertian bahwa suatu instrumen cukup
dapat dipercaya untuk digunakan sebagai
alat pengumpul data karena instrumen tersebut sudah baik. Instrumen yang
memiliki reliabilitas tinggi akan
memberikan hasil relatif sama, sekalipun instrumen tersebut digunakan dalam waktu
yang berbeda. Dalam penelitian ini soal
berbentuk pilihan ganda dengan skor 1 dan 0
(dikotomi) dengan asumsi tingkat kesukaran butir tes tidak homogen, sehingga
reliabilitasnya dihitung dengan rumus KR- 20. Rumus KR-20 yang digunakan adalah sebagai berikut.
n S 2 pq
r t n 1 S 2
11
t
(Candiasa, 2010: 105) Angket sikap ilmiah disusun berdasarkan kisi-kisi yang telah dibuat sebelumnya.
Sebelum instrumen sikap ilmiah digunakan sebagai instrumen penelitian, indikator dan butir-butir tes yang disusun terlebih dahulu dikonsultasikan kepada dua orang pakar
untuk menentukan validitas isi (content validity). Rumus yang digunakan sama dengan instrumen pemahaman konsep. Langkah selanjutnya adalah uji coba instrumen. Data yang diperoleh dari ujicoba instrumen sikap ilmiah tersebut kemudian dianalisis untuk mengetahui validitas butir, dan reliabilitas tes. Untuk mengukur validitas butir sikap ilmiah yang merupakan tes non dikotomi (politomi) ditentukan dengan korelasi Product Momment Carl Pearson dengan rumus :
rxy
N XY ( X )(Y )
N X 2 ( X 2 )N Y 2 (Y 2 )
(Candiasa, 2010: 38) Sesuai dengan anjuran Arikunto bahwa untuk tes prestasi belajar yang berbentuk uraian atau angket dan skala bertingkat
JIPP, Volume 15 Nomor 3 Oktober 2018 ____________________________________________________________ 268
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543 PPs Universitas Pendidikan Ganesha
(rating scale) reliabilitasnya diuji dengan rumus Alpha (Arikunto, 2006 :197).
r ( n )( 1 i 2 )
n 1 2
11 t
(Candiasa, 2010: 120). Untuk mendeskripsikan data pemahaman
konsep IPA digunakan statistik deskriptif
Penilaian Acuan Patokan (PAP). Untuk
mendeskripsikan data sikap. Uji hipotesis
dalam penelitian ini dilakukan melalui uji
multivariat yang bertujuan untuk meneliti
pengaruh variabel bebas terhadap variabel
terikat secara bersama-sama atau terpisah. Ada 3 hipotesis yang akan diuji dalam
penelitian ini.
Hipotesis I :
µ
PK1 µ
PK2
H0 : µ
SI1 = µ
SI2
melawan
µ
PK1 µ
PK2
Ha : µ
SI1 µ
SI2 Hipotesis II :
H0 :
µPK1 =
µPK2 melawan
Ha :
µPK1
µPK2
Hipotesis III :
H0 :
µSI1 =
µSI2 melawan
Ha :
µSI1 =
µSI2
3. HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
Pemahaman konsep IPA dalam penelitian ini merupakan nilai yang diperoleh siswa dalam mengerjakan soal
pemahaman konsep sebagai refleksi dari
pencapaian standar kompetensi menjelaskan, mengidentifikasi, dan menerapkan konsep IPA dengan skor tiap butir soal adalah 0 dan 1. Sikap ilmiah adalah skor yang diperoleh siswa sebagai cermin pola tindakan terhadap dimensi 1) rasa ingin tahu, 2) resfek terhadap bukti dan fakta, 3) kemampuan
untuk mengubah pandangan, dan 4) berpikir kritis dengan menggunakan skala Likert 1 sampai 5 setiap butir pernyataan.Secara
umum hasil penelitian ini disajikan dalam
Tabel 1.
Tabel 1 Deskripsi Umum Hasil Penelitian
Hasil Penelitian
Siklus Pengajaran
N Statis Belajar SPA Langsung
Pemah Sik Pemah Sik o. tik
aman ap aman ap
Konse Ilmi Konse Ilmi
p ah p ah
1 Jumla 40 40 40 40
h data
2 Mean 63,00 140, 56,40 131,
68 60
3 Medi 64,00 141, 56,00 132, an 50 00
4 Modu 64,00 134, 44,00 130, s 00 00
5 Stand 8,533 8,83 10,078 11,6
ar 0 8
Devia
si
6 Varia 72,821 77,9 101,57 136, ns 69 9 349
7 Mini 48,00 125, 40,00 105,
mum 00 00
8 Maksi 80,00 154, 76,00 154,
mum 00 00
9 Jumla 2520,0 562 2256,0 526
h 0 7,00 0 4,00
Berdasarkan Tabel 1 dapat diketahui
ada perbedaan hasil baik untuk pemahaman
konsep maupun sikap ilmiah antara
kelompok siswa yang mengikuti model pembelajaran siklus belajar SPA dengan
kelompok siswa yang mengikuti model
pengajaran langsung. Secara statistic
deskriptif, perbandingan pemahaman konsep dan sikap ilmiah antara siswa yang
mengikuti model pembelajaran siklus belajar
SPA dan model pengajaran langsung berturut-turut disajikan pada Tabel 2 dan
Tabel 3.
Tabel 2 Perbandingan Statistik Deskriptif Nilai Pemahaman Konsep antara SPA dan Pengajaran Langsung
No Nilai/kategori SPA Pengajaran
Langsung
1 Rata-rata 63,00 56,40
2 Minimum 48,00 40,00
3 Maksimum 80,00 76,00 JIPP, Volume 15 Nomor 3 Oktober 2018 ____________________________________________________________ 269
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543 PPs Universitas Pendidikan Ganesha
4 Sangat Baik 0 0
5 Baik 25,0% 10,0%
6 Cukup 57,5% 47,5%
7 Kurang 17,5% 22,5%
8 Sangat 0 20,0% Kurang
Tabel 3 Perbandingan Statistik Deskriptif
Sikap Ilmiah antara SPA dan Pengajaran
Langsung
N Skor/klasifika SPA Pengajara
o si n
Langsung
1 Rata-rata 140,6 131,60 8
2 Minimum 125,0 105,00
0
3 Maksimum 154,0 154,00 0
4 Sangat Baik 0 0
5 Baik 65,0% 40,0%
6 Sedang 35,0% 60,0%
7 Rendah 0 0
8 Sangat Rendah 0 0
Simpulan penelitian ini ditentukan berdasarkan hasil uji hipotesis yang dilakukan. Hipotesis diuji dengan menggunakan teknik Multiple Analysis of Varian (MANOVA). Setelah semua uji persyaratan yang meliputi uji normalitas sebaran data, uji homogenitas varian, uji homogenitas matrik varian/covarian, dan uji kolinieritas terpenuhi, kemudian dilanjutkan dengan uji hipotesis MANOVA. Uji MANOVA digunakan untuk menguji apakah terdapat perbedaan beberapa variabel terikat dengan beberapa kelompok yang berbeda. Hipotesis pertama keputusannya diambil dengan analisis Pillai’s Trace, Wilks’Lambda, Hotelling,s Trace dan Roy’s largest Root,yang memiliki signifikansi p < 0,05. Artinya harga F untuk Pillai’s Trace, Wilks’Lambda, Hotelling’s Trace dan Roy’s largest Root semuanya signifikan. Dengan demikian hipotesis nul (Ho) yang berbunyi “Tidak terdapat perbedaan pemahaman konsep IPA dan sikap ilmiah antara siswa yang mengikuti model pembelajaran siklus belajar SPA dan siswa yang mengikuti model pengajaran langsung (direct instruction)”, ditolak. Artinya, secara
bersama-sama pemahaman konsep IPA dan
sikap ilmiah siswa yang mengikuti model pembelajaran siklus belajar SPA berbeda
secara signifikan dengan pemahaman konsep IPA dan sikap ilmiah siswa yang mengikuti model pengajaran langsung.
Keputusan pada hipotesis kedua
diambil berdasarkan, test of between-subjectts
effects. Pemahaman konsep memiliki harga F
= 9,991 dengan angka signifikansi sebesar
0,002 (p < 0,05). Hal ini menunjukkan bahwa
perbedaan pemahaman konsep yang terjadi
benar-benar disebabkan oleh perbedaan model
belajar yang diterapkan. Dengan demikian
hipotesis nul (Ho) yang berbunyi ”Tidak
terdapat perbedaan pemahaman konsep IPA
antara siswa yang mengikuti model
pembelajaran siklus belajar SPA dan siswa
yang mengikuti model pengajaran langsung
(direct instruction)”,ditolak. Artinya,
pemahaman konsep IPA antara siswa yang
mengikuti model pembelajaran siklus belajar
SPA berbeda secara signifikan dengan
pemahaman konsep IPA siswa yang
mengikuti model pengajaran langsung. Keputusan pada hipotesis ketiga
diambil berdasarkan, test of between-
subjectts effects. Harga F = 15,371 dengan
angka signifikansi 0,001 (p <0,05). Hal ini
menunjukkan bahwa perbedaan sikap ilmiah yang terjadi benar-benar disebabkan oleh
perbedaan model belajar yang diterapkan.
Dengan demikian hipotesis nul (Ho)yang
berbunyi “Tidak terdapat perbedaan sikap ilmiah antara siswa yang mengikuti model
pembelajaran siklus belajar SPA dan siswa
yang mengikuti model pengajaran langsung
(direct instruction)”, ditolak. Artinya, sikap ilmiah siswa yang mengikuti model siklus
belajar SPA berbeda secara signifikan
dengan sikap ilmiah siswa yang mengikuti
model pengajaran langsung. Pengujian dilanjutkan dengan uji
Least Significant Difference (LSD) untuk mengetahui model belajar mana yang lebih unggul diantara keduanya. Harga mutlak
perbedaan nilai rata-rata pemahaman konsep |∆µ|adalah 6,600 dengan signifikansi 0,02 (p < 0,05), sedangkan dengan uji LSD diperoleh hasil 4,155. Harga mutlak perbedaan skor rata-rata sikap ilmiah antara siswa yang yang mengikuti model
JIPP, Volume 15 Nomor 3 Oktober 2018 ____________________________________________________________ 270
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran
PPs Universitas Pendidikan Ganesha
pembelajaran siklus belajar SPA dengan
siswa yang mengikuti model pengajaran
langsung adalah |∆µ|= 9,075 dengan signifikansi p < 0,05, sedangkan dengan uji LSD diperoleh hasil 4,606.Dengan demikian
LSDhit<|∆µ|, sehingga dapat disimpulkan
bahwa baik untuk pemahaman konsep
maupun sikap ilmiah, secara signifikan model pembelajaran siklus belajar SPA lebih unggul dari pada model pengajaran langsung. Jadi perbedaan pemahaman
konsep dan sikap ilmiah siswa dalam penelitian ini disebabkan oleh perbedaan
model pembelajaran yang diterapkan.
Pemahaman konsep IPA adalah kemampuan untuk menjelaskan, mengidentifikasi, dan menerapkan konsep-konsep IPA yang dimiliki siswa sebagai refleksi dari
pencapaian standar kompetensi (KTSP, 2006). Model siklus belajar SPA dalam kegiatan belajarnya mampu mencakup ketiga kompetensi pemahaman konsep IPA
tersebut. Dalam model pengajaran langsung (direct instruction) guru mendominasi jalannya pembelajaran (teacher centered),
siswa cenderung pasif hanya menerima informasi dari guru. Kegiatan belajar yang terjadi adalah mendengarkan, mencatat, latihan soal-soal, tanya jawab. Pembuktian
konsep oleh siswa tidak terlaksana dengan baik karena praktekum dilakukan oleh guru dalam bentuk demonstrasi. Pemaknaan
konsep dilakukan hanya dengan latihan soal-soal saja. Penguasaan konsep sains siswa sangat lemah dan sangat dangkal sehingga cepat hilang,karena yang terjadi adalah
proses transfer ilmu bukan menemukan
ilmu. Model siklus belajar SPA memberikan peluang kepada siswa untuk berkreasi,
mengeluarkan seluruh potensi dasar yang dimiliki dalam membuktikan kebenaran informasi yang dioperolehnya dari buku atau narasumber melalui praktek, dan menuliskan
kembali apa yang telah diperolehnya dalam bentuk laporan. Siswa bisa menunjukkan sikap ilmiahnya dalam membuktikan konsep
dan menulis laporan hasil praktekumnya. Secara teoretis, Harlen (1992) menjabarkan dimensi sikap ilmiah menjadi dimensi rasa ingin tahu, resfek terhadap bukti dan fakta,
kemampuan untuk mengubah pandangan, dan berpikir kritis. Model siklus belajar SPA (sabda-pratyaksa-
ISSN 1858 – 4543
anumana) bisa mencakup semua dimensi
sikap ilmiah di atas. Sedangkan pada
pengajaran langsung, dimensi sikap ilmiah
siswa yang meliputi rasa ingin tahu, resfek
terhadap bukti dan fakta, kemampuan untuk
mengubah pandangan, dan berpikir kritis tidak
bisa dilatih dengan baik. Model pengajaran
langsung membatasi siswa dalam berkreasi
karena lebih berorientasi pada hasil akhir
tanpa memperhatikan proses. Sikap ilmiah
yang dimiliki siswa sulit berkembang. Hal ini
terjadi karena pembelajaran sepenuhya diatur
oleh guru secara ketat (teacher centered),
siswa yang sejatinya sebagai subyek
pembelajaran justru difungsikan sebagai
pendengar dan pengamat yang baik. Belajar
dengan melakukan (learning by doing) dan
ketrampilan siswa tidak mendapat perhatian.
Sedangkan IPA sebagai proses sangat
menuntut adanya ketrampilan proses dalam
pembelajarannya. Sikap ilmiah sejatinya
bisa muncul saat siswa melakukan
ketrampilan proses tersebut.
4. PENUTUP Simpulan yang diperoleh dari hasil
penelitian ini meliputi 1) terdapat perbedaan pemahaman konsep IPA dan sikap ilmiah antara siswa yang mengikuti model pembelajaran siklus belajar SPA dan siswa yang mengikuti model pengajaran langsung, 2) terdapat perbedaan pemahaman konsep IPA antara siswa yang mengikuti model pembelajaran siklus belajar SPA dan siswa yang mengikuti model penajaran langsung, 3) terdapat perbedaan sikap ilmiah antara
siswa yang mengikuti model pembelajaran
siklus belajar SPA dan siswa yang mengikuti
model pengajaran langsung. Uji lanjut
Least Significant Difference (LSD) menyatakan bahwa baik untuk pemahaman konsep IPA maupun sikap ilmiah, model siklus belajar SPA lebih unggul daripada model pengajaran langsung.
Implikasi dalam pembelajaran yang muncul dalam penelitian ini adalah potensi dasar yang dimiliki siswa tidak sama dan perlu mendapat perhatian sebelum menentukan model belajar.Pemerintah
Daerah disarankan agar memotivasi para peneliti bidang pendidikan untuk menggali kearifan lokal yang lain dan mengemasnya
JIPP, Volume 15 Nomor 3 Oktober 2018 ____________________________________________________________ 271
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543 PPs Universitas Pendidikan Ganesha
dalam model pembelajaran berbasis konstruktivistik.
modern yang
SMP N 2 Tabanan. Tesis. Tidak dipublikasikan.
DAFTAR RUJUKAN
Arikounto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: PT. Asdi Mahasatya.
Candiasa. 2010. Pengujian Instrumen Penelitian disertai Aplikasi Iteman dan Bigsteps. Singaraja: Unit Penerbitan Universitas Pendidikan Ganesha.
Depdiknas. 2004. Kurikulum 2004 Standar Kompetensi Mata Pelajaran Sains Sekolah Menengha Pertama dan Madrasah Tsanawiyah. Jakarta: depdiknas.
Gega, Peter. 1977. Science in Elementery Education. Canada: John Wiley and sons.
Harlen, W. 1992. The Teaching of Science. London: David Fulton Publisher.
Sadia, I W. 1996. Model Konstruktivis dalam Belajar dan Mengajar. Makalah disajikan dalam seminar metode pembelajaran MIPA di
jurusan pendidikan MIPA STKIP Singaraja tanggal 1 Maret 1996.
Sanjaya, Wina. 2009. Kurikulum dan Pembelajaran Teori dan Praktik Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Jakarta: Kencana.
Subagia dan Wiratma. 2005. Model Siklus
Belajar Berbasis Kearifan Lokal Masyarakat Bali. Singaraja: Universitas Pendidikan Ganesha.
Subagia dan Wiratma. 2007. Potret
Pelaksanaan Pembelajaran Sains pada Berbagai Jenjang Sekolah di Bali. Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran UNM . 14(1), 0854- 8315.
Sutrisna. 2009. Pengaruh Penerapan Siklus
Belajar SPA Terhadap Ketrampilan
Proses Sains dan Penguasaan
Konsep Sains Siswa Kelas VIII di
JIPP, Volume 15 Nomor 3 Oktober 2018 ____________________________________________________________ 272