Jurnal Bedah Ira

13
NEFROLITHIASIS DAN INFEKSI SALURAN KEMIH: DILEMA 'AYAM DAN TELUR'? Loris Borghi, Antonio Nouvenne and Tiziana Meschi Nephrol Dial Transplant (2012) 27: 3982–3985 doi: 10.1093/ndt/gfs395 Hubungan antara nefrolithiasis dengan infeksi saluran kemih (ISK) terbilang kompleks dan sulit untuk dianalisis baik pada sudut pandang fisiopatologis dan klinis. Hingga kini, sebagian besar penelitian berfokus pada kemampuan bakteri dalam mepengaruhi onset batu ginjal saja. Umumnya, nefrolithiasis secara tradisional dibagi menjadi dua kelompok besar: (i) batu ginjal kalsium yang diantaranya adalah batu kalsium oksalat dan/atau batu kalsium fosfat dan (ii) batu ginjal non kalsium yang terdiri dari asam urat, sistin, dan bentuk yang jarang (misalnya obat-obatan, dihidroksiadenin, dan amonium urat) serta batu infeksi. Jenis batu infeksi umumnya mengandung trifosfat amonium dan magnesium (struvit). Nefrolithiasis infektif secara tradisional dianggap sebagai konsekuensi dari ISK akibat bakteri, dimana pada sebagian besar kasus disebabkan oleh genus Proteus, yang dapat memproduksi urease, sebuah enzim yang dapat memisahkan urea pada urin, dan kemudian meningkatkan pH urin serta mencetuskan presipitasi dan agregasi dari kristal

description

NEFROLITHIASIS DAN INFEKSI SALURAN KEMIH: DILEMA 'AYAM DAN TELUR'?Loris Borghi, Antonio Nouvenne and Tiziana Meschi
Nephrol Dial Transplant (2012) 27: 3982–3985 doi: 10.1093/ndt/gfs395 Hubungan antara nefrolithiasis dengan infeksi saluran kemih (ISK) terbilang kompleks dan sulit untuk dianalisis baik pada sudut pandang fisiopatologis dan klinis. Hingga kini, sebagian besar penelitian berfokus pada kemampuan bakteri dalam mepengaruhi onset batu ginjal saja. Umumnya, nefrolithiasis secara tradisional dibagi menjadi dua kelompok besar: (i) batu ginjal kalsium yang diantaranya adalah batu kalsium oksalat dan/atau batu kalsium fosfat dan (ii) batu ginjal non kalsium yang terdiri dari asam urat, sistin, dan bentuk yang jarang (misalnya obat-obatan, dihidroksiadenin, dan amonium urat) serta batu infeksi. Jenis batu infeksi umumnya mengandung trifosfat amonium dan magnesium (struvit). Nefrolithiasis infektif secara tradisional dianggap sebagai konsekuensi dari ISK akibat bakteri, dimana pada sebagian besar kasus disebabkan oleh genus Proteus, yang dapat memproduksi urease, sebuah enzim yang dapat memisahkan urea pada urin, dan kemudian meningkatkan pH urin serta mencetuskan presipitasi dan agregasi dari kristal struvit. Proses ini kemudian diikuti oleh kaskade dari reaksi kimia yang akan berarkhir membentuk batu infeksi (gambar 1). Salah satu jenis lithiasis infektif yang paling umum adalah staghorn nephrolithiasis, yang ditandai dengan gambaran kalkulus dengan ujung yang besar yang secara komplit mengisi pelvis renalis. Sebuah penelitian yang dipublikasi oleh Tavichakorntrakool et al, melakukan sebuah eksperimen yang akurat, mengasumsikan perspektif berbeda dan mengkonfirmasi bahwa hubungan antara ISK dan nefrolitiasis jauh lebih kompleks dari yang diklasifikasikan secara historikal, dan sederhana seperti sebelumnya. Meskipun isu ini belum pernah secara menyeluruh dipelajari pada literatur-literatur yang tersedia hingga kini, kami dapat secara realistis menyatakan bahwa terdapat banyak kasus nefrolithiasis, yang secara tradisional kami definisikan sebagai batu yang disebabkan oleh ISK setelah dilakukan sejumlah pemeriksaan klinis dan laboratorium. Pernyataan ini juga dikonfirmasi dari sejumlah data penelitian lama, misalnya sebuah data yang dipublikasi pada tahun 1957 oleh Melick dan Henneman, yang menemukan bahwa 34 dari 207 batu terkait dengan infeksi konkuren (dengan kultur urin yang positif), namun hanya 3 dari 34 kasus yang menyatakan adanya nefrolithiasis struvit klasik. Pada kasus lainnya, kalkuli kalsium fosfar juga terdokumentasi pada penelitian ini. Penulis menginterpretasi bahwa infeksi tersebut merupakan konsekuensi dari nefrolithiasis, menjelaskan bahwa obstruksi uretra yang diinduksi oleh batu saluran kemih merupakan faktor risiko dari terjadinya infeksi. Gambar 1. Kaskade reaksi kimia yang menyebabkan pembentukan batu saluran kemih jenis infeksi. Pada studi retrospektif di tahun 1972, yang dilakukan pada 725 pasien dengan batu kalsium fosfat, ditemukan bahwa 70% nya diakibatkan oleh kuman patogen urin, dimana sebagian besarnya disebabkan oleh Escherichia coli atau Proteus spp. Namun, analisis dari komposisi batu menunjukkan adanya heterogenitas yang luas, dengan presentase besar kalkuli mengandung kalsium (96%) dan oksalat (52%). Meskipun terdapat keterbatasan analisis biokimia yang dilakukan pada waktu itu, kita dapat mengambil asumsi bahwa hanya sejumlah kecil pasien yang menderita batu struvit. Namun, manajemen infeksi sendiri telah dihubungkan dengan angka relaps nefrolithiasis yang rendah. Jika tidak ditangani dengan baik, maka hubungan antara batu ginjal dan ISK akan berakhir pada komplikasi yang berbahaya, yakni pyelonefritis kronik. Studi di tahun 1979 mempelajari 33 pasien dengan batu dan pyelonefritis kronis, yang kemudian dilakukan kultur urin, kultur bioptik pada parenkim ginjal, dan kultur pada permukaan kalkuli, dimana tampak adanya pertumbuhan bakteri secara berturut-turut pada 18, 3

Transcript of Jurnal Bedah Ira

NEFROLITHIASIS DAN INFEKSI SALURAN KEMIH: DILEMA 'AYAM DAN TELUR'?Loris Borghi, Antonio Nouvenne and Tiziana MeschiNephrol Dial Transplant (2012) 27: 39823985 doi: 10.1093/ndt/gfs395

Hubungan antara nefrolithiasis dengan infeksi saluran kemih (ISK) terbilang kompleks dan sulit untuk dianalisis baik pada sudut pandang fisiopatologis dan klinis. Hingga kini, sebagian besar penelitian berfokus pada kemampuan bakteri dalam mepengaruhi onset batu ginjal saja. Umumnya, nefrolithiasis secara tradisional dibagi menjadi dua kelompok besar: (i) batu ginjal kalsium yang diantaranya adalah batu kalsium oksalat dan/atau batu kalsium fosfat dan (ii) batu ginjal non kalsium yang terdiri dari asam urat, sistin, dan bentuk yang jarang (misalnya obat-obatan, dihidroksiadenin, dan amonium urat) serta batu infeksi. Jenis batu infeksi umumnya mengandung trifosfat amonium dan magnesium (struvit). Nefrolithiasis infektif secara tradisional dianggap sebagai konsekuensi dari ISK akibat bakteri, dimana pada sebagian besar kasus disebabkan oleh genus Proteus, yang dapat memproduksi urease, sebuah enzim yang dapat memisahkan urea pada urin, dan kemudian meningkatkan pH urin serta mencetuskan presipitasi dan agregasi dari kristal struvit. Proses ini kemudian diikuti oleh kaskade dari reaksi kimia yang akan berarkhir membentuk batu infeksi (gambar 1). Salah satu jenis lithiasis infektif yang paling umum adalah staghorn nephrolithiasis, yang ditandai dengan gambaran kalkulus dengan ujung yang besar yang secara komplit mengisi pelvis renalis.Sebuah penelitian yang dipublikasi oleh Tavichakorntrakool et al, melakukan sebuah eksperimen yang akurat, mengasumsikan perspektif berbeda dan mengkonfirmasi bahwa hubungan antara ISK dan nefrolitiasis jauh lebih kompleks dari yang diklasifikasikan secara historikal, dan sederhana seperti sebelumnya. Meskipun isu ini belum pernah secara menyeluruh dipelajari pada literatur-literatur yang tersedia hingga kini, kami dapat secara realistis menyatakan bahwa terdapat banyak kasus nefrolithiasis, yang secara tradisional kami definisikan sebagai batu yang disebabkan oleh ISK setelah dilakukan sejumlah pemeriksaan klinis dan laboratorium. Pernyataan ini juga dikonfirmasi dari sejumlah data penelitian lama, misalnya sebuah data yang dipublikasi pada tahun 1957 oleh Melick dan Henneman, yang menemukan bahwa 34 dari 207 batu terkait dengan infeksi konkuren (dengan kultur urin yang positif), namun hanya 3 dari 34 kasus yang menyatakan adanya nefrolithiasis struvit klasik. Pada kasus lainnya, kalkuli kalsium fosfar juga terdokumentasi pada penelitian ini. Penulis menginterpretasi bahwa infeksi tersebut merupakan konsekuensi dari nefrolithiasis, menjelaskan bahwa obstruksi uretra yang diinduksi oleh batu saluran kemih merupakan faktor risiko dari terjadinya infeksi.

Gambar 1. Kaskade reaksi kimia yang menyebabkan pembentukan batu saluran kemih jenis infeksi.

Pada studi retrospektif di tahun 1972, yang dilakukan pada 725 pasien dengan batu kalsium fosfat, ditemukan bahwa 70% nya diakibatkan oleh kuman patogen urin, dimana sebagian besarnya disebabkan oleh Escherichia coli atau Proteus spp. Namun, analisis dari komposisi batu menunjukkan adanya heterogenitas yang luas, dengan presentase besar kalkuli mengandung kalsium (96%) dan oksalat (52%). Meskipun terdapat keterbatasan analisis biokimia yang dilakukan pada waktu itu, kita dapat mengambil asumsi bahwa hanya sejumlah kecil pasien yang menderita batu struvit. Namun, manajemen infeksi sendiri telah dihubungkan dengan angka relaps nefrolithiasis yang rendah. Jika tidak ditangani dengan baik, maka hubungan antara batu ginjal dan ISK akan berakhir pada komplikasi yang berbahaya, yakni pyelonefritis kronik. Studi di tahun 1979 mempelajari 33 pasien dengan batu dan pyelonefritis kronis, yang kemudian dilakukan kultur urin, kultur bioptik pada parenkim ginjal, dan kultur pada permukaan kalkuli, dimana tampak adanya pertumbuhan bakteri secara berturut-turut pada 18, 33, dan 47% kasus. Bakteri yang diisolasi sifatnya heterogen (Proteus spp., Streptococcus spp., E. coli, Pseudomonas spp. and Klebsiella spp.). Fakta bahwa kultur pada permukaan kalkulus dinyatakan positif pada sejumlah kasus diperkirakan berhubungan dengan peran patogenik langsung dari infeksi terhadap pembentukan batu, dibandingkan sebagai komplikasi saja. Analisis biokimia pada komposisi batu tidak dilakukan pada studi ini, namun ditandai pada banyak pasien yang terinfeksi dengan bakteri yang tidak memproduksi urease sehingga tidak selalu dihibungkan dengan nefrolithiasis infekif. Hal ini telah didemonstrasikan pada tahun-tahun berikutnya bahwa 35% batu ginjal yang dihubungkan dengan infeksi adalah batu metabolik, yang terdiri dari kalsium fosfat dan kalsium oksalat. Bahkan pada kasus-kasus tersebut, kultur pada permukaan batu dinyatakan positif terhadap kuman uropathogenik; sehingga, terapi yang sesuai harus ditetapkan dalam rencana operatif terhadap batu.Studi yang dilakukan ditahun 1989 di Swedia menunjukkan bahwa 28% pasien yang masuk ke rumah sakit dengan keluhan kolik ginjal memiliki hasil kultur urin yang positif, dengan presentase yang secara signifikan lebih tinggi dibanding pada populasi yang sehat. Frekuensi kultur yang positif ditemukan lebih tinggi pada pasien dengan kalkuli struvit (88%), namun tetap signifikan pada pasien dengan batu kalsium oksalat (26%). Lebih jauh lagi, pasien dengan kultur urin positif terhadap E. coli, yang secara teori tidak begitu terlibat dalam pembentukan nefrolithiasis infektif, memiliki prevalensi tinggi pembentukan batu fosfat (struvit, dan/atau kalsium fosfat).Kelompok riset Jepang menyatakan kesimpulan yang sama beberapa tahun kemudian, namun mendokumentasikan prevalensi ISK yang lebih rendah pada episode kolik ginjal (7% saja). Pada penelitian ini, kultur pada seluruh bagian batu dilakukan, membuktikan bahwa metode ini merupakan sebuah pemeriksaan diagnostik yang lebih sensitif dibanding kultur urin sederhana dalam menetapkan adanya ISK pada kasus nefrolithiasis.Selain itu, prevalensi infeksi juga mungkin berbeda, bergantung pada mekanisme patogenik nefrolithiasis dan lingkungan geografis, sosial, dan ekonomi. Faktanya, telah didemonstrasikan bahwa 40% prevalensi pada pasien batu diasosiasikan dengan hiperparatiroidisme 18% pasien dengan hiperkalsiuria idiopatik, dan 31% pasien yang mengembangkan gejala batu ginjal, meskipun tidak adanya faktor risiko yang terdeteksi pada pasien dengan profil lithogenik urin. Studi terbaru dari Pakistan menunjukkan prevalensi infeksi sekitar 79% pada pasien dengan batu, serta mengisolasi sejumlah spesies bakteri gram negatif dari sampel urin pasien-pasien ini.Pada poin ini, dilema kemudian muncul. Sebagian besar studi berfokus pada interpertasi ISK pada pasien batu dengan nefrolithiasis metabolik sebagai komplikasi obstruksi dari aliran urin di Ureter. Infeksi ini kemudian dianggap sebagai proses yang mempercepat pembentukan batu ginjal. Namun, kami tidak dapat menyingkirkan begitu saja sebuah hipotesis bahwa ISK memiliki peran patogenik dalam pembentukan nefrolithiasis metabolik, sebagaimana yang terjadi pada batu struvit. Sesuai dengan studi oleh Tavichakorntrakool et al. yang menambah bukti kebenaran dari hipotesis ini.Hingga kini, E. coli merupakan bakteri yang paling sering dipelajari dibidang ini, kuman ini umumnya tidak mampu memproduksi urease sehingga tidak dapat meningkatkan pH urin yang dapat memacu presipitasi kristal struvit. Studi pertama yang dilakukan pada lingkup in vitro terhadap kemampuan E. coli dalam mencetuskan kristalisasi dan presipitasi sejumlah jenis garam pada urin memiliki hasil yang dianggap berkonflik, tidak mampu mendemonstrasi peran bakteri dalam proses lithogenesis, namun disatu sisi tidak mengekslusikan kemungkinan ini. Isu ini kemudian secara ekstensif dikembangkan oleh Sabinski dan Leusmann, yang menunjukkan bahwa dua pertiga bakteri yang diisolasi dari kultur urin pasien batu ternyata tidak memproduksi urease pada kondisi normal, namun memiliki kemampuan ini ketika terdapat beberapa kondisi seperti stasis urin pada traktur urinarius. Maka, penulis mengasumsikan bahwa proses ringan alkalinisasi dari urin pada awal pembentukan batu kalsium, disebabkan oleh infeksi saluran kencing laten yang diperkirakan berhubungan dengan kemampuan sejumlah kuman dalam memproduksi urease, yang menjadi tahap penting pada patogenesis nefrolithiasis jenis kalsium. Bakteri ini dapat pula memproduksi substansi yang memiliki peranan pada matriks kalkulus, atau matriks secara keseluruhan.Mekanisme lain menyatakan bahwa bakteri urease negatif dapat menginduksi atau mempromosikan onset batu metabolik melalui pemisahan sitrat urin, dengan hipositraturia dan mengurangi efek inhibisi pembentukan batu. namun, jalur ini belum secara ekstensif dipelajari, kecuali pada beberapa patogen urin spesifik seperti Ureaplasma urealyticum. Di sisi lain, studi oleh Tavichakorntrakool et al. menemukan presentase bakteri penghasil sitrat yang kurang dari 40% saja.Maka, sangatlah penting untuk menandai bahwa hubungan antara infeksi dan onset kalkuli renalis belum secara ekstensif dijelaskan bahkan untuk nefrolithiasis struvit. Faktanya, disatu sisi, terdapat data yang menunjukkan bahwa bahkan pada beberapa bakteri, sebagai tambahan terhadap bakteri produsen urease, memiliki peranan terhadap onset nefrolithiasis struvite; di sisi lain, data terkini menunjukkan bahwa kasus-kasus nefrolithiasis staghorn, secara tradisional dianggap sebagai jenis yang infektif, dimana asal metaboliknya dapat dideteksi dan peranan agen infektifnya masih belum jelas, namun semakin meningkat secara konstan. Isu ini semakin kompleks. Kami sendiri, berdasarkan hasil studi Tavichakorntrakool et al, melakukan reanalisis data dari 1000 pasien yang masuk ke klinik khusus batu saluran kemih kami dengan episode pertama nefrolithiasis kalsium idiopatik dan menemukan bahwa prevalensi terjadinya ISK hanya sekitar 19.5%, tidak begitu berbeda pada pria dan wanita. Bahkan, kami terkejut mendapatkan bahwa terdapat familiaritas dari nefrolithiasis yang lebih prevalen pada pasien dengan riwayat ISK sebelumnya dibanding mereka yang tidak memiliki riawat ISK (54 versus 44%). Data tersebut mempengaruhi kami untuk melewati teori dikotomi patogenik dari nefrolithiaasis, yang hanya berfokus pada mikrolingkungan dari traktur urinarius saja, dan membuka skenario baru. Tampaknya mungkin bahwa terdapat sebagian subjek yang secara imunogenetik memiliki predisposisi terhadap perkembangan nefrolithiasis juga terhadap interaksi inang-bakteri yang berbeda pada dasar genetiknya.Isu penting lainnya yang muncul dari studi Tavichakorntrakool et al. adalah tingginya prevalensi bakteri resisten antibiotik yang diisolasi (hingga 70%). Meskipun kami menganggap bahwa pasien yang dipelajari memiliki batu berukuran besar dan kemungkinan memiliki episode ISK sebelummya, presentase ini kami anggap sangat impresif. Resistensi antibiotik merupakan sebuah masalah kesehatan masyarakat yang sangat relevan dan berujung pada angka morbiditas, mortalitas, dan biaya kesehatan yang tinggi. Baik dokter dan pasien harus menggunakan antibiotik secara rasional dan sesuai dengan indikasi. Terutama pada ISK, terdapat sejumlah masalah under dan over treatment dan komplians rendah terhadap terapi sehingga memunculkan sejumlah bakteri yang resisten terhadap antibiotik.Sebagai kesimpulan, tulisan ini tidak dapat menuntaskan 'dilema 'telur dan ayam', misalnya apakah nefrolithiasis menyebabkan ISK, atau sebaliknya, apakah infeksi sistem urinarius mencetuskan pembentukan batu ginjal. Namun, studi ini memberikan perspektif baru terhadap peranan bakteri pada nefrolithiasis dan mewakili sebuah panggilan untuk para klinisi dan peneliti, nefrolog, urolog, dan mikrobiolog, untuk memikirkan sebuah peta dan pedoman baru pada studi dan pengobatan batu ginjal. BAGIAN BEDAH JUNI 2015FAKULTAS KEDOKTERAN DIVISI UROLOGYUNIVERSITAS HASANUDDIN

JOURNAL READINGNEFROLITHIASIS DAN INFEKSI SALURAN KEMIH: DILEMA 'AYAM DAN TELUR'?

DISUSUN OLEH :KHAIRANI UMMAHC111 09 817

PEMBIMBING :dr. Widiarsa

SUPERVISOR :dr. Asykar Palinrungi Sp.U

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIKBAGIAN BEDAHFAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS HASANUDDIN2015

HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertandatangan dibawah ini menyatakan bahwa :Nama:Khairani UmmahNIM:C111 09 817Fakultas: KedokteranUniversitas:Hasanuddin Judul Laporan Kasus :NEFROLITHIASIS DAN INFEKSI SALURAN KEMIH: DILEMA 'AYAM DAN TELUR'?

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.Makassar, Juni 2015 Pembimbing Supervisor Baca

Dr.Widiarsa dr. Asykar Palinrungi Sp.U