Jurnal - Analisa Kekuatan Rantai Spread Mooring Akibat Motion Pada FPSO (Time Domain Basis)

16
ANALISA KEKUATAN RANTAI SPREAD MOORING AKIBAT MOTION PADA FPSO BERBASIS TIME DOMAIN Abdul Rozak (1) , Eko Budi Djatmiko (2) , Murdjito (3) 1 Mahasiswa Teknik Kelautan, 2,3 Staf Pengajar Teknik Kelautan Floating Production Storage and Offloading (FPSO) adalah fasilitas terapung untuk produksi dan penyimpanan sementara minyak dan gas bumi berbentuk kapal yang secara permanen ditambatkan di lokasi operasi. Sistem tambat menyebar (spread mooring system) merupakan salah satu mooring system yang digunakan untuk meredam gerakan dinamis pada FPSO akibat beban lingkungan. Tugas akhir ini melakukan analisa terhadap karakteristik gerakan FPSO dengan spread mooring system. Tension maksimum pada chain line dan excursion FPSO menggunakan software MOSES ver.6.0. Dari hasil penelitian yang dilakukan terhadap FPSO 140 KDWT kondisi moored, dapat diambil kesimpulan bahwa mooring system dengan konfigurasi 12 chain line (φ = 117 mm) merupakan mooring system yang paling sesuai untuk digunakan pada FPSO yang mengalami kondisi pembebanan ultimate limit state (ULS) paling ekstrem. Gerakan ekstrem yang paling mungkin terjadi untuk surge, sway dan yaw adalah sebesar 0.554 m, 1.898 m dan 0.840 deg. Masing-masing terjadi pada heading 45 o , 90 o dan 135 o . Excursion maksimum untuk kondisi transient pada heading 180 o sebesar 5.52 m arah X dan 0.02 m arah Y dan excursion maksimum untuk kondisi steady pada heading 180 o sebesar 4.57 m arah X dan 0.00 m arah Y. Excursion tersebut tidak melampaui persyaratan fungsionalnya, yaitu sebesar 20% kedalaman perairan. Pada kondisi transient, tension rata-rata terbesar adalah 75.5 ton dan tension signifikan terbesar adalah 123.5 ton yang terjadi pada chain line no 1 heading 180 o . Sedangkan untuk kondisi steady, tension rata-rata terbesar adalah 65.75 ton terjadi pada chain line no 12 untuk heading 45 o dan tension signifikan terbesar adalah 81.5 ton terjadi pada chain line no 8 untuk heading 135 o . Harga safety factor (SF) terkecil 1.86 untuk kondisi transient dan 7.80 untuk kondisi steady. Menurut API RP 2SK 2 nd edition, SF minimal untuk kondisi ULS adalah 1.67, sehingga dapat disimpulkan bahwa chain line (φ = 117 mm) aman untuk digunakan sebagai mooring system. Kata kunci: FPSO, mooring system, safety factor, excursion, ULS, transient, steady 1. Pendahuluan Kemajuan peradaban manusia saat ini diikuti pula dengan kebutuhan terhadap energi termasuk kebutuhan terhadap minyak dan gas bumi. Di Indonesia khususnya, produksi minyak dan gas bumi di daratan (onshore) dan di perairan dangkal (sekitar selat Madura, selat Sunda dan perairan Pantai Utara) diperkirakan makin menurun, sehingga usaha pencarian sumber baru mulai diarahkan ke perairan yang lebih dalam, seperti perairan di Kepulauan Natuna (melalui "Proyek Natuna") dan perairan Makassar. (Prastianto, 2003). Konsekuensi dari kecenderungan tersebut adalah kebutuhan akan jenis struktur anjungan lepas pantai, sebagai anjungan pembor atau produksi, yang sesuai untuk perairan dalam. Salah satu jenis struktur yang bisa menjadi alternatif adalah Floating Production Storage and Offloading (FPSO). FPSO adalah sebuah fasilitas terapung berbentuk sebuah kapal (bangunan baru atau dari modifikasi kapal tanker yang dialihfungsikan) yang secara permanen ditambatkan di tempatnya beroperasi. Konfigurasi sistem tambatnya bisa berupa jenis tambat menyebar (spread mooring type) dan sistem tambat titik tunggal (single point mooring/SPM). Gerakan (motion) yang terjadi pada FPSO saat melakukan operasinya (storage ataupun offloading) disebabkan oleh beban lingkungan (arus, gelombang dan angin) dimana FPSO beroperasi. Untuk menjaga kestabilan posisi FPSO saat beroperasi, maka dibutuhkan sistem tambat (mooring system) yang berguna sebagai pengikat FPSO agar tetap pada posisinya. Motion dari FPSO menyebabkan adanya gaya yang bekerja (tension force, restoring force dan damping) pada mooring system. Gaya-gaya yang terjadi pada mooring system sangatlah bergantung pada karakteristik motion FPSO, begitu pula sebaliknya. Ini merupakan suatu alasan mengapa analisa kekuatan mooring system perlu dilakukan, sehingga operabilitas dan keselamatan sistem dapat tetap terjaga. Untuk anjungan tipe ini yang utama adalah mobilitas dan kemampuannya mengantisipasi gerakan akibat gelombang dan arus laut (Djatmiko, 2003). Menurut Yilmaz dan Incecik (1994), dengan menghitung beban-beban lingkungan secara komprehensif akan diketahui respon dinamis FPSO. Tujuan perhitungan respon dinamis struktur adalah untuk mendapatkan respon ekstrem dari sistem (gerakan ekstrem, offset mooring ekstrem, tension mooring ekstrem). Salah satu cara untuk melakukan analisa adalah dengan menganalisa respon struktur untuk satu desain data lingkungan misalnya gelombang signifikan 100 tahun, kecepatan angin 100 tahun dan arus 100 tahun. Pada penelitian ini akan dianalisa karakteristik perilaku gerakan dinamis FPSO yang menggunakan

description

Analisa Kekuatan Rantai Spread Mooring Akibat Motion Pada FPSO (Time Domain Basis)

Transcript of Jurnal - Analisa Kekuatan Rantai Spread Mooring Akibat Motion Pada FPSO (Time Domain Basis)

Page 1: Jurnal - Analisa Kekuatan Rantai Spread Mooring Akibat Motion Pada FPSO (Time Domain Basis)

ANALISA KEKUATAN RANTAI SPREAD MOORING AKIBAT MOTION PADA FPSO BERBASIS TIME DOMAIN

Abdul Rozak(1), Eko Budi Djatmiko(2), Murdjito(3)

1Mahasiswa Teknik Kelautan, 2,3Staf Pengajar Teknik Kelautan

Floating Production Storage and Offloading (FPSO) adalah fasilitas terapung untuk produksi dan penyimpanan sementara minyak dan gas bumi berbentuk kapal yang secara permanen ditambatkan di lokasi operasi. Sistem tambat menyebar (spread mooring system) merupakan salah satu mooring system yang digunakan untuk meredam gerakan dinamis pada FPSO akibat beban lingkungan. Tugas akhir ini melakukan analisa terhadap karakteristik gerakan FPSO dengan spread mooring system. Tension maksimum pada chain line dan excursion FPSO menggunakan software MOSES ver.6.0. Dari hasil penelitian yang dilakukan terhadap FPSO 140 KDWT kondisi moored, dapat diambil kesimpulan bahwa mooring system dengan konfigurasi 12 chain line (φ = 117 mm) merupakan mooring system yang paling sesuai untuk digunakan pada FPSO yang mengalami kondisi pembebanan ultimate limit state (ULS) paling ekstrem. Gerakan ekstrem yang paling mungkin terjadi untuk surge, sway dan yaw adalah sebesar 0.554 m, 1.898 m dan 0.840 deg. Masing-masing terjadi pada heading 45o, 90o dan 135o. Excursion maksimum untuk kondisi transient pada heading 180o sebesar 5.52 m arah X dan 0.02 m arah Y dan excursion maksimum untuk kondisi steady pada heading 180o sebesar 4.57 m arah X dan 0.00 m arah Y. Excursion tersebut tidak melampaui persyaratan fungsionalnya, yaitu sebesar 20% kedalaman perairan. Pada kondisi transient, tension rata-rata terbesar adalah 75.5 ton dan tension signifikan terbesar adalah 123.5 ton yang terjadi pada chain line no 1 heading 180o. Sedangkan untuk kondisi steady, tension rata-rata terbesar adalah 65.75 ton terjadi pada chain line no 12 untuk heading 45o dan tension signifikan terbesar adalah 81.5 ton terjadi pada chain line no 8 untuk heading 135o. Harga safety factor (SF) terkecil 1.86 untuk kondisi transient dan 7.80 untuk kondisi steady. Menurut API RP 2SK 2nd edition, SF minimal untuk kondisi ULS adalah 1.67, sehingga dapat disimpulkan bahwa chain line (φ = 117 mm) aman untuk digunakan sebagai mooring system. Kata kunci: FPSO, mooring system, safety factor, excursion, ULS, transient, steady 1. Pendahuluan

Kemajuan peradaban manusia saat ini diikuti pula dengan kebutuhan terhadap energi termasuk kebutuhan terhadap minyak dan gas bumi. Di Indonesia khususnya, produksi minyak dan gas bumi di daratan (onshore) dan di perairan dangkal (sekitar selat Madura, selat Sunda dan perairan Pantai Utara) diperkirakan makin menurun, sehingga usaha pencarian sumber baru mulai diarahkan ke perairan yang lebih dalam, seperti perairan di Kepulauan Natuna (melalui "Proyek Natuna") dan perairan Makassar. (Prastianto, 2003). Konsekuensi dari kecenderungan tersebut adalah kebutuhan akan jenis struktur anjungan lepas pantai, sebagai anjungan pembor atau produksi, yang sesuai untuk perairan dalam. Salah satu jenis struktur yang bisa menjadi alternatif adalah Floating Production Storage and Offloading (FPSO). FPSO adalah sebuah fasilitas terapung berbentuk sebuah kapal (bangunan baru atau dari modifikasi kapal tanker yang dialihfungsikan) yang secara permanen ditambatkan di tempatnya beroperasi. Konfigurasi sistem tambatnya bisa berupa jenis tambat menyebar (spread mooring type) dan sistem tambat titik tunggal (single point mooring/SPM). Gerakan (motion) yang terjadi pada FPSO saat melakukan operasinya (storage ataupun offloading) disebabkan oleh beban lingkungan (arus, gelombang dan angin) dimana FPSO beroperasi. Untuk menjaga

kestabilan posisi FPSO saat beroperasi, maka dibutuhkan sistem tambat (mooring system) yang berguna sebagai pengikat FPSO agar tetap pada posisinya. Motion dari FPSO menyebabkan adanya gaya yang bekerja (tension force, restoring force dan damping) pada mooring system. Gaya-gaya yang terjadi pada mooring system sangatlah bergantung pada karakteristik motion FPSO, begitu pula sebaliknya. Ini merupakan suatu alasan mengapa analisa kekuatan mooring system perlu dilakukan, sehingga operabilitas dan keselamatan sistem dapat tetap terjaga. Untuk anjungan tipe ini yang utama adalah mobilitas dan kemampuannya mengantisipasi gerakan akibat gelombang dan arus laut (Djatmiko, 2003). Menurut Yilmaz dan Incecik (1994), dengan menghitung beban-beban lingkungan secara komprehensif akan diketahui respon dinamis FPSO. Tujuan perhitungan respon dinamis struktur adalah untuk mendapatkan respon ekstrem dari sistem (gerakan ekstrem, offset mooring ekstrem, tension mooring ekstrem). Salah satu cara untuk melakukan analisa adalah dengan menganalisa respon struktur untuk satu desain data lingkungan misalnya gelombang signifikan 100 tahun, kecepatan angin 100 tahun dan arus 100 tahun. Pada penelitian ini akan dianalisa karakteristik perilaku gerakan dinamis FPSO yang menggunakan

Page 2: Jurnal - Analisa Kekuatan Rantai Spread Mooring Akibat Motion Pada FPSO (Time Domain Basis)

spread mooring system, tension mooring dan excursion FPSO.

Gambar 1.1 FPSO dengan Spread Mooring System

2. DASAR TEORI

Pada suatu proses perancangan bangunan lepas pantai, kemampuan kerja suatu struktur dipengaruhi oleh beban yang terjadi pada bangunan tersebut, terutama beban-beban lingkungan, yaitu : 2.1. Gerak Kapal Akibat Eksitasi Gelombang

Gerakan kapal dalam enam derajat kebebasan dapat dijelaskan dengan gambar 3.2. Dengan memakai konversi sumbu tangan kanan tiga gerakan translasi pada arah sumbu x,y dan z, adalah masing-masing surge (ζ1), sway (ζ2) dan heave (ζ3), sedangkan untuk gerakan rotasi terhadap ketiga sumbu adalah roll (ζ4), pitch (ζ5) dan yaw (ζ6).

Gambar 2.1. Six Degree Of Freedom (SDOF) FPSO

Dengan asumsi bahwa gerakan-gerakan osilasi tersebut adalah linier dan harmonik, maka enam persamaan diferensial gerakan kopel dapat dituliskan sebagai berikut :

( )[ 1j,eFξCξBkξAM iwtj

6

1nkjkkjkjkjk ==+++∑

=

] (2.1)

dimana :

Mjk = komponen matriks massa kapal.

Ajk, BBjk = matriks koefisien massa tambah dan redaman.

Cjk = koefisien gaya hidrostatik pengembali.

Fj = amplitudo gaya eksitasi dalam besaran kompleks.

Dengan menyelesaikan persamaan gerak ini didapatkan hasil berupa karakteristik gerakan kapal. Informasi ini pada umumnya disajikan dalam bentuk grafik, di mana perbandingan gerakan pada mode tertentu ζj dengan parameter tinggi (atau amplitudo gelombang, ζa) diberikan sebagai fungsi frekuensi encounter ωe dari sumber eksitasi. Informasi gerakan ini dinamakan Response Amplitudo Operator (RAO). 2.2. Periode Alami Bangunan Lepas Pantai

Gambar 2.2 Analisa Periode Bangunan Apung

Bila bangunan apung ditekan ke bawah dengan simpangan z maka akan timbul gaya pengembali dari air. Dan bila bangunan apung diangkat sejauh z maka berat benda akan menjadi lebih besar dari gaya apung sebesar ρ g Aw z. Massa sistem gerakan terdiri atas massa benda (m) dan massa fluida yang mengalami percepatan akibat gerakan benda (mA atau massa tambah). Persamaan gerakan bebas benda apung adalah : ( ) 0ρgAwZZmρ A =++∇ && ................... (2.2)

ρgAwk = ................... (2.3)

2.3. Response Amplitude Operators (RAO)

RAO atau sering disebut sebagai transfer function adalah fungsi response yang terjadi akibat gelombang dalam rentang frekuensi yang mengenai struktur offshore. RAO disebut sebagai transfer function karena RAO merupakan alat untuk mentransfer beban luar (gelombang) dalam bentuk response pada suatu struktur. Menurut Chakrabarti (1987), persamaan RAO dapat dicari dengan rumus sebagai berikut :

( ) ( )( )ωη

ωω pX

RAO = ................... (2.4)

dimana :

( )ωpX = amplitudo struktur.

2

Page 3: Jurnal - Analisa Kekuatan Rantai Spread Mooring Akibat Motion Pada FPSO (Time Domain Basis)

( )ωη = amplitudo gelombang.

2.4. Wave Drift Force

Menurut Indiyono (2003) beban gelombang merupakan beban terbesar yang ditimbulkan oleh beban lingkungan pada bangunan lepas pantai (offshore structure). Perhitungan beban gelombang dapat direpresentasikan dengan perhitungan gaya gelombang. Teori perhitungan gaya gelombang yang tepat untuk analisa mooring pada FPSO adalah teori difraksi. Dalam teori ini bilamana suatu struktur mempunyai ukuran yang relatif besar, yakni memiliki ukuran yang kurang lebih sama dengan panjang gelombang, maka keberadaan struktur ini akan mempengaruhi timbulnya perubahan arah pada medan gelombang disekitarnya. Dalam hal ini difraksi gelombang dari permukaan struktur harus diperhitungkan dalam evaluasi gaya gelombang. Untuk gaya gelombang time series dapat dibangkitkan dari spektrum gelombang. Gaya gelombang first order :

( )( ) ( )( ) [ ] iii

N

1ii

1wv

1wv aεωcosωFtF += ∑

=

.................. (2.5)

dimana : ( ) ( )tFwv1 = gaya gelombang first order tergantung

waktu. ( ) ( )ω1

wvF = gaya exciting gelombang first order per-unit amplitudo gelombang tergantung waktu.

iε = sudut fase komponen gelombang first order.

ia = amplitudo komponen gelombang first

order ( ) ωω dS2 .

( )ωS = fungsi kepadatan spektra gelombang.

Gaya gelombang second order :

( ) ( ) [ )ε(εt)ω(ωcosDaatF jiji

N

1jijji

N

1i

1wv −+−= ∑∑

==

] ............ (2.6)

dimana :

ijD = drift force per-unit amplitudo gelombang.

2.5. Beban Angin

Formula untuk gaya angin time series dapat dibangkitkan dari spektrum gelombang menurut API RP 2 T adalah memakai rumus sebagai berikut :

( ) ( xVxVxACρ21tF CCaSaWD && −−=

dimana: Fw = gaya angin (N).

CS = koefisien bentuk.

aρ = massa jenis udara (kg/ m3).

x& = kecepatan dari platform (m/s).

ax = aerodinamic amittance.

A = luas area vertikal yang terkena angin (m2).

VC = kecepatan partikel air (m/s).

Sedangkan kecepatan angin dirumuskan sebagai berikut :

x

10W 10yVV ⎟

⎠⎞

⎜⎝⎛= ................... (2.8)

dimana : Vw = kecepatan angin, knots (m/s).

V10 = kecepatan angin pada ketinggian 10 m, knots (m/s).

y = ketinggian dimana kecepatan angin dihitung (m).

x = faktor eksponen.

2.6. Beban Arus

Kecepatan arus tersebut dirumuskan dalam formulasi matematis berikut : UT = UOT (y/h)1/7 ................. (2.9a)

UW = UOW (y/h) ................. (2.9b)

dimana : UT = kecepatan arus pasang surut (m/detik).

UOT = kecepatan arus pasang surut di permukaan (m/detik).

UW = kecepatan arus akibat angin (m/detik).

UOW = kecepatan arus akibat angin di permukaan (m/detik).

y = jarak dari dasar laut (meter).

h = kedalaman laut (meter).

Gaya arus yang bekerja pada struktur dapat dirumuskan sebagai berikut : Fcx = Ccx S Vc

2 ............... (2.10a)

Fcy = Ccy S Vc2 ............... (2.10b)

dimana : Fcx = Gaya arus pada bow.

Fcy = Gaya arus pada beam.

Ccx = Koefisient gaya arus pada bow. ) ............... (2.7)

3

Page 4: Jurnal - Analisa Kekuatan Rantai Spread Mooring Akibat Motion Pada FPSO (Time Domain Basis)

= 0.016 lb/ft2 (2.89 Nsec2/m4).

Ccy = Koefisient gaya arus pada bow.

= 0.4 lb/ft2 (72.37 Nsec2/m4).

S = Luas penampang pada lambung kapal yang terendam (m2).

Vc = Kecepatan arus desain (m/sec).

2.7. Spektrum Gelombang

Spektrum gelombang yang dipakai dalam tugas akhir ini adalah spektrum JONSWAP. Persamaan spektrum JONSWAP merupakan modifikasi dari persamaan spektrum Pierson-Morkowitz yang disesuaikan dengan kondisi laut yang ada. Persamaan spektrum JONSWAP dapat ditulis sebagai berikut :

( )( )

⎥⎥⎦

⎢⎢⎣

⎡ −−−

⎥⎥⎦

⎢⎢⎣

⎡⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

⎛−=

20

2

20

ω2τ

ωωEXP4

0

52 γωω1,25EXPωgαωS

..... (2.11)

( ) 0,330

ω0 X

Ug2πω −

⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

⎛= ................ (2.12)

ω0 U

XgX = ................ (2.13)

dimana : γ = parameter puncak (peakedness

parameter)

τ = parameter bentuk (shape parameter)

untuk 0ωω ≤ = 0,07 dan 0ωω ≥ = 0,09. Hargaα =

0,0076 (X0)-0,22, untuk X0 tidak diketahui α = 0,0081

2.8. Respon Struktur

Spektrum respons didefinisikan sebagai respons kerapatan energi pada struktur akibat gelombang. Spektrum respons merupakan perkalian antara spektrum gelombang dengan RAO kuadrat, secara matematis dapat ditulis sebagai berikut :

( )[ ] ( )ωSωRAOS 2R = ................ (2.14)

dimana :

RS = spektrum respons (m2-sec).

( )ωS = spektrum gelombang (m2-sec).

( )ωRAO = transfer function. ω = ferkuensi gelombang (rad/sec).

2.9. Gerak Kapal di Atas Gelombang Acak

Gerakan kapal di atas gelombang acak dapat dilakukan dengan mentransformasikan spektrum gelombang menjadi spektrum gerakan kapal. Hal ini dapat dilakukan dengan memperkalikan harga pangkat dua dari RAO dan mode gerakan tertentu dengan ordinat spektrum gelombang, pada frekuensi yang sama. Spektrum gerak kapal merupakan hasil perkalian antara RAO dengan spektrum gelombang. Persamaan spektrum gerakannya (contoh untuk heave) adalah :

( )2

2

1ξξ1 ξ

ξωSS ⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

⎛= ................. (2.15)

Dalam analisa gerakan kapal di atas gelombang acak, setelah spektrum gerakan diperoleh dengan prosedur di atas, maka besaran-besaran seperti amplitudo signifikan gerakan, kecepatan dan percepatan dapat ditentukan dengan menghitung momen-momen spektrum.

Dalam perancangan kapal seringkali diperlukan informasi kondisi ekstrem yang akan terjadi bila kapal berjalan di atas gelombang. Untuk masalah ini, Ochi (1973) telah memperkenalkan formulasi stokastik harga ekstrem. Untuk kapal yang bergerak di atas gelombang yang mempunyai karakteristik tertentu (spektrumnya tetap), maka gerakan terbesar yang paling mungkin terjadi dapat dirumuskan sebagai berikut :

0

21

0

22

n mmm

2πT602lnξ

⎥⎥⎦

⎢⎢⎣

⎡⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

⎛= ................. (2.16)

Dimana n adalah jumlah observasi depresi gerakan. Harga n dapat dihitung dengan mempertimbangkan lamanya (waktu) kapal di atas gelombang tersebut (misalnya T jam). Bila diinginkan untuk menghitung harga ekstrem dengan faktor keselamatan tertentu, maka prosedur berikut harus diikuti. Sebagai contoh, bila diinginkan untuk menghitung harga ekstrem di mana kemungkinan terjadinya hanya 1% (tingkat keyakinannya terlampaui adalah 99%). Harga 1 % tersebut dinamakan ekstrem kemudiàn dinamakan faktor keselamatan (α = 0,01). Harga ekstrem kemudian dapat dihitung dengan memasukkan faktor α ke dalam persamaan :

0

21

0

22

n mmm

2ππT602lnξ

⎥⎥⎦

⎢⎢⎣

⎡⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

⎛= ................. (2.17)

4

Page 5: Jurnal - Analisa Kekuatan Rantai Spread Mooring Akibat Motion Pada FPSO (Time Domain Basis)

2.10. Excursion

Excursion atau offset adalah perpindahan posisi pada FPSO dengan jarak sejauh x meter setelah terkena gelombang dan merupakan salah satu bentuk respon dari FPSO pada saat mendapat beban lingkungan. Offset maksimum dapat ditentukan dengan prosedur di bawah ini: 1. , maka : wfmaxlfmax SS > .......... (2.18a) wfsiglfmaxmeanmax SSSS ++=

2. , maka : lfmaxwfmax SS > ......... (2.18b) lfsigwfmaxmeanmax SSSS ++=

dimana: Smean = mean vessel offset.

Smax = maximum vessel offset.

Swfmax = maximum wave frequency motion.

Swfsig = significant wave frequency motion.

Slfmax = maximum low-frequency motion.

Slfsig = significant low-frequency motion.

Alternatif lain yang dapat digunakan dengan menggunakan time domain, frekuensi domain, kombinasi keduanya atau model testing. Mean offset yang diijinkan adalah 2% sampai 4% dari kedalaman perairan sedangkan untuk maximum offset dipengaruhi oleh banyak faktor seperti kedalaman perairan, lingkungan dan sistem riser. Tetapi pada umumnya pada range 8% sampai 12% dari kedalaman perairan. 2.11. Penentuan Panjang Mooring Line

Penentuan panjang chain line berfungsi agar FPSO pada penambatannya memiliki posisi yang tepat dan chain line sendiri memiliki panjang dan pretension yang sesuai.

Gambar 2.2 Minimum Length of Mooring Line

12+=

hpF

hl H ............... (2.19a)

atau

12−=

hpT

hl ............... (2.19b)

dimana: l = panjang minimum dari chain line.

h = hm + hc.

hm = kedalaman air.

hc = tinggi fairlead di atas permukaan air.

p = berat chain line didalam air persatuan panjang.

FH = gaya horizontal chain line pada fairlead.

T = tension dari chain line pada fairlead.

D = length resting on the seabed.

Harga D dapat diasumsikan berdasarkan tipe dari mooring line, yaitu: 1. 200 s/d 300 m untuk mooring line yang

memiliki konfigurasi wire rope anchor lines. 2. 50 s/d 100 m untuk mooring line yang memiliki

konfigurasi chain anchor lines. 2.12. Tension pada Mooring Line

Gerakan pada vessel dan pengaruh lingkungan menyebabkan adanya tarikan pada mooring line. Tarikan (tension) yang terjadi pada mooring line dapat dibedakan menjadi 2, yaitu: 1. Mean tension. Tension pada mooring line yang berkaitan dengan mean offset pada vessel. 2. Maximum tension. Mean tension yang mendapat pengaruh dari kombinasi frekuensi gelombang dan low-frequency tension. Menurut API RP 2SK 2nd edition, maximum tension dapat ditentukan dengan prosedur di bawah ini: 1. , maka: wfmaxlfmax TT >

wfsiglfmaxmeanmax TTTT ++= ............... (2.20a)

2. , maka: lfmaxwfmax TT >

lfsigwfmaxmeanmax TTTT ++= ............... (2.20b)

dimana: Tmean = mean tension Tmax = maximum tension Twfmax = maximum wave frequency tension Twfsig = significant wave frequency tension Tlfmax = maximum low-frequency tension Tlfsig = significant low-frequency tension

5

Page 6: Jurnal - Analisa Kekuatan Rantai Spread Mooring Akibat Motion Pada FPSO (Time Domain Basis)

Breaking strength merupakan batasan tegangan maksimum dari chain line yang tidak boleh dilampaui, artinya chain line tidak boleh memiliki tegangan lebih dari breaking strength.

)( Tt2DCBSBS ×Δ−= ................ (2.21)

dimana: BS = breaking strength CBS = catalog breaking strength D = diameter chain Δt = corrosion allowance T = service time Menurut API RP 2T untuk unity check tidak boleh melebihi nilai satu. Secara matematis persamaan unity check dapat dituliskan sebagai berikut.

SFσUCy

n <×

= ................ (2.22)

dimana: UC = unity check σn = tegangan nominal σyield = tegangan yield material Sedangkan kondisi batas tegangan ijin didapat dengan membagi yield strenght dengan safety factor.

BSσSF n= ................ (2.23)

SFσ

σ yijin = ................ (2.24)

Dengan sarat , dimana: ijinn σσ <σijin = tegangan ijin SF = safety factor Batas dari tension dan safety factor untuk kondisi analisa mooring adalah sebagai berikut (API RP 2SK 2nd edition): 1. Intact condition (ULS) = 1.67 2. Damage condition (ALS) = 1.25 2.13. Analisa Statistik

Analisa statistik dilakukan untuk mengetahui pendistribusian yang terjadi dari sebaran data hasil analisa berdasarkan time history dan fungsi frekuensi kejadian (fungsi kerapatan peluang). Jenis distribusi sebaran data yang sering digunakan dalam penelitian seperti ini adalah: 1. Distribusi Normal Berikut adalah persamaan fungsi kerapatan peluang untuk distribusi Normal.

⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

⎛ −−= 2

2

2σμ)(xexp

2πσ1f(x) .. (2.25)

dimana: μ = nilai rata-rata (mean) σ = simpangan baku (standard deviasi) 2. Distribusi Lognormal Suatu variabel x (variabel acak) terdistribusi dengan menggunakan distribusi Lognormal jika y = ln (x) mempunyai distribusi Normal.

( )( )( )

⎥⎥⎥⎥

⎢⎢⎢⎢

⎡⎟⎠⎞⎜

⎝⎛ −

−=2

σμxln

exp2πσx

1xf

2

............... (2.26)

dengan

⎟⎠⎞

⎜⎝⎛ +−= 2y x

CoV1ln21ln(x)μ ................. (2.27)

⎟⎠⎞

⎜⎝⎛ += 2y x

CoV1lnσ ................. (2.28)

3. Distribusi Weibull Persamaan fungsi kerapatan peluang untuk distribusi Weibull adalah sebagai berikut:

⎥⎦

⎤⎢⎣

⎡⎟⎠⎞⎜

⎝⎛−−

⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

⎛=

γ

μx1λ

expμx

μγf(x) ................. (2.29)

dimana: γ = parameter bentuk α = parameter skala Penentuan jenis sebaran data statistik dilakukan dengan menggunakan dua pendekatan yaitu Kolmogorov-Smirnov dan Chi Squared. Nilai statistik tidak boleh lebih kecil dari taraf keberartiannya (a) pada 1 %, 5%, 10 %, 15 % dan 20 %. Jika ada nilai a yang lebih kecil dari nilai statistiknya maka jenis sebaran tidak dapat diterima (reject). 1. Tes Kolmogorov-Smirno Tes statistik Kolmogorov-Smirnov (D) dilakukan berdasarkan pada perbedaan terbesar antara F(x) dan Fn(x) seperti berikut ini.

( )xF(x)FSupD nX

n −= ................. (2.30)

Hipotesa yang menganggap bentuk distribusi ditolak pada taraf keberartian yang ditentukan (α) jika tes statistic (D) lebih besar dari nilai kritis. 2. Tes Chi Squared Persamaan tes statistik Chi-Squared adalah sebagai berikut:

( )∑=

−=

k

1i i

2ii2

EEOx ................. (2.31)

6

Page 7: Jurnal - Analisa Kekuatan Rantai Spread Mooring Akibat Motion Pada FPSO (Time Domain Basis)

( ) ( )12i xFxFE −= ................ (2.32)

dimana: Oi = frekuensi yang diamati untuk bin i F = probability distribusi yang dites x1, x2 = batas untuk bin i 2.14. Analisa Dinamis

Tujuan dari rangkaian analisa dinamis penelitian ini adalah untuk mendapatkan frekuensi natural struktur tanpa redaman dan kemudian mencari respon struktur terhadap pembebanan dinamis yang dalam hal ini menggunakan beban gelombang. Analisa dinamis FPSO dapat dilakukan dengan analisa domain waktu (time domain). 3. METODOLOGI PENELITIAN

Pengerjaan tugas akhir ini dimulai dengan proses pengumpulan data struktur data lingkungan yang meliputi data gelombang yang berupa data gelombang acak untuk tiap-tiap sea state. Kemudian dilakukan pemodelan struktur dengan menggunakan software MOSES 6.0 dengan memasukkan data geometri dari hull FPSO. Analisa kemudian dilanjutkan dengan mencari RAO motion dan wave drift force struktur. Kemudian dilakukan analisa dinamis untuk arah surge, sway dan yaw. Dengan analisa dinamis ini akan didapatkan frekuensi natural dan perilaku gerakan FPSO untuk gelombang reguler dan gelombang acak. Selanjutnya dilakukan pemodelan struktur dengan menggunakan sofware Orcaflex. RAO dan wave drift force yang dihasilkan dari sofware MOSES 6.0 digunakan sebagai input beban untuk menganalisa tension yang terjadi pada mooring line dan excursion pada FPSO. Hasil dari analisa perilaku dinamis berupa tension dan excursion ini kemudian divalidasi dengan hasil penelitian sebelumnya. 3.1. Data

FPSO yang dipakai pada penelitian ini mempunyai principle dimmension dan data mooring chain sebagai berikut:

Tabel 3.1 Data FPSO Description Unit Quantity Vessel Size Kdwt 140

Displacement Ton 121090

LOA m 269.0

LPP m 260.6

Breadth m 44.5

Depth m 24.2

Description Unit Quantity Draft Design m 15.6

Draft Scantling m 16.6

CB 0.634

CP 0.64

CM 0.99

Tabel 3.2 Data Mooring Lines Description Unit Quantity

Chain type chain

Chain Length kN 1424

Chain Nominal Diameter (1) 8

Chain Nominal Diameter (2) deg 45

Catalog Breaking Strength (1) m 2653

Catalog Breaking Strength (2) cm 9.52

Weight (Dry) N/m 1856

Weight (Marine Growth) N/m 1615

Weight (In Water) kN 912120

Corrosion Allowance kN 7553

Service Time years 20

Marine Growth Density ton/m 0.0736

Marine Growth Thickness m 0.1

Tabel 3.3 Data Lingkungan 100 Tahun

Description Unit Quantity

Chain type Studless

Wave m 3.7

Wave Period secon 17.8

Water Depth m 30.0

Wind Speed m/s 12.87

Current Speed m/s 1.0

Gambar 3.1. Arah Pembebanan (Heading)

Berbeda dengan heading pada umumnya yang dimana beban lingkungan untuk heading 0o berarti beban tersebut datang dari arah 0o, tetapi untuk kasus floating structure (FPSO) beban lingkungan untuk heading 0o berarti beban tersebut datang menuju arah 0o (berlawanan arah dengan heading

7

Page 8: Jurnal - Analisa Kekuatan Rantai Spread Mooring Akibat Motion Pada FPSO (Time Domain Basis)

pada umumnya), begitu pula untuk heading 45o, 90o, 135o dan 180o. Pada penelitian ini, heading yang digunakan mulai dari heading 0o sampai dengan heading 180o, ini dikarenakan besar beban yang datang dari setiap heading adalah sama. Jadi pemakaian heading 0o sampai dengan heading 180o dianggap cukup dan telah mewakili beban yang datang dari heading yang lainnya (225o, 270o, 315o dan 360o). 3.2. Pemodelan Struktur

Struktur tertambat (moored structure) yang dikenai berbagai macam kondisi lingkungan dapat digambarkan sebagai sebuah sistem dinamik dengan eksitasi frekuensi tinggi dan rendah. Gaya eksitasi tersebut diakibatkan sebagai hasil dari beban angin, gelombang, dan arus yang mengenai sistem tersebut. Gaya reaksinya merupakan kombinasi dari gaya masa tambah (added mass force), gaya seret gelombang (wave drift force), gaya viscous, serta kombinasi gaya redaman (damping force) dan gaya pengembali (restoring force) pada interaksi dengan chain lin. Dengan menggunakan software MOSES 6.0, FPSO dimodelkan dalam 2 kondisi, yaitu kondisi FPSO tanpa mooring system (free floating), dan kondisi FPSO menggunakan mooring system (moored) dengan 12 chain lines. Berikut gambar konfigurasi dan hasil pemodelan FPSO kondisi moored dengan MOSES 6.0.

Gambar 3.2 Model FPSO Free Floating 140 KDWT

Isometric View

Gambar 3.3. Mooring System dengan Konfigurasi 12

Chain Line

Gambar 3.4 Model FPSO dengan Konfigurasi 12

Chain Line

Tabel 3.4. Kondisi ALS untuk Mooring System dengan Konfigurasi 12 Chain Line

ALS (Chain Line Released)

μ = 0O μ = 45O μ = 90O μ = 135O μ = 180O

No 3 No 3 No 1 No 1 No 1

No 4 No 4 No 2 No 2 No 2

No 5 No 5 No 3 No 7 No 7

No 6 No 6 No 4 No 8 No 8

Pembebanan yang dilakukan dalam MOSES 6.0 berupa pay load yang diwakili oleh sarat air (draught) FPSO, pretension pada setiap chain line dan beban lingkungan. Berikut adalah penjelasan dari beban-beban yang dilakukan pada penelitian ini: 1. Besar pay load sebanding dengan besar gaya

bouyancy, dimana besar gaya bouyancy tergantung dari besarnya volume lambung (hull) FPSO yang tercelup dalam air. Oleh karena itu draught pada FPSO diperhitungkan karena dapat mempengaruhi respon motion yang terjadi pada FPSO.

2. Besar pretension yang diberikan pada setiap chain line berbeda-beda tergantung dari properti chain line dan draught pada FPSO. Semakin besar diameter chain maka semakin besar pula pretension yang diperlukan oleh chain line. Sama halnya dengan draught FPSO, pretension yang diperlukan oleh chain line akan bertambah besar bila draught FPSO semakin kecil. Jadi pretension pada chain line untuk draught FPSO kondisi ballast memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan kondisi summer.

3. Parameter beban lingkungan yang dimasukkan dalam perhitungan menggunakan MOSES 6.0 adalah sebagai berikut: a. Tipe spektrum gelombang yang digunakan

adalah spektrum JONSWAP. b. Tinggi, periode dan arah datang

gelombang. c. Kecepatan arus dan angina. d. Kedalaman perairan.

8

Page 9: Jurnal - Analisa Kekuatan Rantai Spread Mooring Akibat Motion Pada FPSO (Time Domain Basis)

Tabel 3.5. Draught FPSO Draught Quantity Unit

Ballast 15.6 m

Summer 16.6 m

Tabel 3.6. Pretension pada Chain Line

Diameter Chain FPSO Draught 90 mm 117 mm Ballast 35.47 ton 60.04 ton Summer 31.04 ton 52.54 ton

Dari data pembebanan di atas, maka kondisi pembebanan yang dipakai adalah kondisi yang paling ekstrem, yaitu kondisi operasi FPSO draught ballast dengan mooring system 12 chain line (φ = 117 mm) pada beban lingkungan 100 tahunan. Analisa tension pada chain lines menggunakan software MOSES 6.0 dilakukan melalui dua fase, yaitu: 1. Fase pertama adalah analisa frequency domain,

yaitu pemodelan FPSO dengan spread mooring dan dianalisa dengan metode 3D difraction analysis untuk mendapatkan RAO motion (surge, sway dan yaw), wave drift force, matriks added mass dan matriks damping untuk setiap periode gelombang yang kita masukkan.

2. Fase kedua adalah analisa time domain untuk mendapatkan tension dari tiap chain lines pada FPSO dalam ranah waktu simulasi yang kita masukkan untuk kondisi ULS dan ALS.

4. PEMBAHASAN

4.1. Motion FPSO

Pada pemodelan dengan MOSES 6.0 akan dihasilkan RAO motion dan wave drift force dari FPSO untuk arah 0o, 45o, 90o, 135o dan 180o dalam gerak surge, heave, sway, roll, pitch dan yaw. Untuk penelitian tugas akhir ini hanya gerakan surge, sway dan yaw saja yang akan ditinjau, karena ketiga gerakan tersebut merupakan gerak yang berpengaruh dominan pada kekuatan mooring system FPSO kondisi moored akibat dari second order yang akan menentukan besar kecilnya tension yang terjadi pada chain line karena adanya drifting force pada FPSO. Dari analisa grafik RAO FPSO dengan dan tanpa mooring system diketahui bahwa secara umum karakteristik gerakannya tidak terlalu berbeda. Tetapi nilai RAO motion FPSO dengan mooring system relatif lebih kecil daripada nilai RAO motion FPSO tanpa mooring system. Dengan kata lain, semakin bertambahnya jumlah chain line dari suatu mooring system yang bekerja pada FPSO maka besar respon motion tertinggi akan semakin menurun. Hal ini dikarenakan pada FPSO dengan mooring system terdapat gaya pengembali (restoring force) dari

chain line. Karakteristik gerakan surge, sway dan yaw untuk masing-masing heading secara umum dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Following seas (μ = 1800) dan head seas (μ =

00). Pada arah gelombang 0o dan 180º gerakan dominan yang terjadi pada FPSO adalah gerakan surge. Gerakan sway dan yaw sangat kecil, dan dapat diabaikan. Bahkan secara teoritis seharusnya sway atau yaw akan sama dengan nol karena bentuk lambung yang simetris antara sisi kiri dan kanan (portside dan starboard). 2. Beam seas ((μ = 900) Pada arah gelombang 900 gerakan dominan yang terjadi adalah sway. Surge dan yaw sangat kecil, sesuai dengan bentuk asimtri pada proporsi yang kecil saja diujung-ujung lambung FPSO. Namun demikian yaw pada 90o masih mempunyai harga yang lebih besar dari yaw pada 0o ataupun 180º. 3. Quartering seas (μ = 450 dan 1350) Pada saat arah gelombang datang dengan sudut 45o dan 135o, ketiga gerak bidang horisontal (surge, sway dan yaw) mempunyai perubahan yang signifikan. Harga tertinggi gerakan surge, sway dan yaw terjadi pada FPSO draught ballast. Pada tabel 4.1 dapat dilihat harga tertinggi dari gerakan surge, sway dan yaw FPSO draught ballast kondisi free floating dan FPSO kondisi moored 7 dan 12 chain line dengan diameter chain 90 mm.

RAO Surge Motion Heading 0Degree

0

0.2

0.4

0.6

0.8

1

1.2

0 0.5 1 1.5 2

ω (rad/sec)

Z/

o (

m/m

)

Surge 12ML Ch90mm

Surge 12ML Ch117mm

Surge Free Floating

RAO Sway Motion Heading 0Degree

0

0.002

0.004

0.006

0.008

0.01

0.012

0.014

0.016

0.018

0.02

0 0.5 1 1.5 2 2.5 3

ω (rad/sec)

Z/

O (

m/m

)

Sway 12ML Ch90mm

Sway 12ML Ch117mm

Sway Free Floating

9

Page 10: Jurnal - Analisa Kekuatan Rantai Spread Mooring Akibat Motion Pada FPSO (Time Domain Basis)

RAO Yaw Motion Heading 0Degree

0

0.001

0.002

0.003

0.004

0.005

0.006

0 0.5 1 1.5

ω (rad/sec)

Z/

2

O (

deg/m

)Yaw 12ML Ch90mm

Yaw 12ML Ch117mm

Yaw Free Floating

Gambar 4.1. RAO FPSO Draught Ballast μ = 0O

RAO Surge Motion Heading 45Degree

0

0.1

0.2

0.3

0.4

0.5

0.6

0.7

0.8

0.9

0 0.5 1 1.5ω (rad/sec)

Z/

2

O (

m/m

)

Surge 12ML Ch90mm

Surge 12ML Ch117mm

Surge Free Floating

RAO Sway Motion Heading 45Degree

0

0.1

0.2

0.3

0.4

0.5

0.6

0.7

0.8

0.9

0 0.5 1 1.5ω (rad/sec)

Z/

2

O (

m/m

)

Sway 12ML Ch90mm

Sway 12ML Ch117mm

Sway Free Floating

RAO Yaw Motion Heading 45Degree

0

0.05

0.1

0.15

0.2

0.25

0.3

0.35

0 0.5 1 1.5

ω (rad/sec)

Z/

2

O (

deg/m

)

Yaw 12ML Ch90mm

Yaw 12ML Ch117mm

Yaw Free Floating

Gambar 4.2. RAO FPSO Draught Ballast μ = 45O

RAO Surge Motion Heading 90Degree

0

0.01

0.02

0.03

0.04

0.05

0.06

0.07

0.08

0.09

0 0.5 1 1.5

ω (rad/sec)

Z/

RAO Sway Motion Heading 90Degree

0

0.2

0.4

0.6

0.8

1

1.2

0 0.5 1 1.5 2

ω (rad/sec)

Z/

O (

m/m

)

Sway 12ML Ch90mm

Sway 12ML Ch117mm

Sway Free Floating

RAO Yaw Motion Heading 90Degree

0

0.01

0.02

0.03

0.04

0.05

0.06

0 0.5 1 1.5

ω (rad/sec)

Z/

2

O (

deg/m

)

Yaw 12ML Ch90mm

Yaw 12ML Ch117mm

Yaw Free Floating

Gambar 4.3. RAO FPSO Draught Ballast μ = 90O

RAO Surge Motion Heading 135Degree

0

0.1

0.2

0.3

0.4

0.5

0.6

0.7

0.8

0.9

0 0.5 1 1.5

ω (rad/sec)

Z/

2

O (

m/m

)

Surge 12ML Ch90mm

Surge 12ML Ch117mm

Surge Free FLoating

RAO Sway Motion Heading 135Degree

0

0.1

0.2

0.3

0.4

0.5

0.6

0.7

0.8

0.9

0 0.5 1 1.5 2 2

ω (rad/sec)

Z/

.5

O (

m/m

)

Sway 12ML Ch90mm

Sway 12ML Ch117mm

Sway Free Floating

RAO Yaw Motion Heading 135Degree

0

0.05

0.1

0.15

0.2

0.25

0.3

0.35

0 0.5 1 1.5

ω (rad/sec)

Z/

2

O (

deg/m

)

Yaw 12ML Ch90mm

Yaw 12ML Ch117mm

Yaw Free Floating

2

O (

m/m

)

Surge 12ML Ch90mm

Surge 12ML Ch117mm

Surge Free Floating

Gambar 4.4. RAO FPSO Draught Ballast μ = 135O

10

Page 11: Jurnal - Analisa Kekuatan Rantai Spread Mooring Akibat Motion Pada FPSO (Time Domain Basis)

RAO Surge Motion Heading 180Degree

0

0.2

0.4

0.6

0.8

1

1.2

0 0.5 1 1.5 2

ω (rad/sec)

Z/

O (

m/m

)Surge 12ML Ch90mm

Surge 12ML Ch117mm

Surge Free Floating

RAO Sway Motion Heading 180Degree

0

0.002

0.004

0.006

0.008

0.01

0.012

0.014

0.016

0.018

0.02

0 0.5 1 1.5 2 2.5 3ω (rad/sec)

Z/

O (

m/m

)

Sway 12ML Ch90mm

Sway 12ML Ch117mm

Sway Free Floating

RAO Yaw Motion Heading 180Degree

0

0.001

0.002

0.003

0.004

0.005

0.006

0.007

0 0.5 1 1.5

ω (rad/sec)

Z/

2

O (

deg/m

)

Yaw 12ML Ch90mm

Yaw 12ML Ch117mm

Yaw Free Floating

Gambar 4.5. RAO FPSO Draught Ballast μ = 180O

Dari analisa grafik RAO FPSO dengan dan tanpa mooring system diketahui bahwa secara umum karakteristik gerakannya tidak terlalu berbeda. Tetapi nilai RAO motion FPSO dengan mooring system relatif lebih kecil daripada nilai RAO motion FPSO tanpa mooring system. Dengan kata lain, semakin bertambahnya jumlah chain line dari suatu mooring system yang bekerja pada FPSO maka besar respon motion tertinggi akan semakin menurun. Hal ini dikarenakan pada FPSO dengan mooring system terdapat gaya pengembali (restoring force) dari chain line. Berikut adalah grafik spektrum JONSWAP.

SPEKTURM JONSWAP

0.0

0.5

1.0

1.5

2.0

2.5

3.0

3.5

4.0

4.5

5.0

0 0.5 1 1.5 2 2.5

ω (rad/sec)

S(w

)

Hs = 3.7m Ts = 17.8 s

Gambar 4.6. Grafik Spektrum JONSWAP

Berikut adalah grafik spektrum respon motion FPSO kondisi moored dengan konfigurasi 12 chain line (φ = 117 mm).

Spektra Respon Motion μ=0o

0.000

0.005

0.010

0.015

0.020

0.025

0.030

0.035

0.040

0.045

0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5

ω (rad/sec)

SR (

ω)

Surge

Sway

Yaw

Spektra Respon Motion μ=45o

0.00

0.01

0.02

0.03

0.04

0.05

0.06

0 0.5 1 1.5 2 2

ω (rad/sec)

SR (

ω)

.5

Surge

Sway

Yaw

Spektra Respon Motion μ=90o

0.00

0.05

0.10

0.15

0.20

0.25

0.30

0.35

0.40

0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2

ω (rad/sec)

SR (

ω)

.5

Surge

Sway

Yaw

11

Page 12: Jurnal - Analisa Kekuatan Rantai Spread Mooring Akibat Motion Pada FPSO (Time Domain Basis)

Spektra Respon Motion μ=135o

0.00

0.01

0.02

0.03

0.04

0.05

0.06

0.07

0.08

0.09

0.10

0 0.5 1 1.5 2 2

ω (rad/sec)

SR (

ω)

.5

Surge

Sway

Yaw

Spektrum Respon Motion μ=180o

0.000

0.005

0.010

0.015

0.020

0.025

0.030

0.035

0.040

0.045

0 0.5 1 1.5 2 2.5

ω (rad/sec)

SR (

ω)

Surge

Sway

Yaw

Gambar 4.7. Grafik Grafik Spektrum Respon Motion

untuk Surge, Sway dan Yaw

4.2. Chain Line Tension

Dari tabel tension maksimum dan SF di atas dapat dilihat bahwa mooring system pada kondisi ULS dengan konfigurasi 8, 10 (φ = 90 mm dan 117 mm) dan 12 chain line (φ = 90 mm) tidak dapat memenuhi fungsinya untuk tetap bertahan pada respon motion FPSO kondisi transient, karena SF yang dimiliki oleh chain line kurang dari SF yang diijinkan oleh API RP 2SK 2nd edition (1.67), kecuali mooring system dengan konfigurasi 12 chain line (φ = 117 mm). Sedangkan pada kondisi ALS, mooring system dengan konfigurasi 7, 9 dan 11 chain line (φ = 90 mm dan 117 mm) memiliki SF kurang dari SF yang diijinkan oleh API RP 2SK 2nd edition (1.25). Pembahasan hasil analisa untuk laporan ini difokuskan pada hasil simulasi mooring system dengan konfigurasi 12 chain line (φ = 117 mm), karena mooring system dengan konfigurasi 12 chain line (φ = 117 mm) merupakan mooring system yang paling aman untuk meredam motion FPSO 140 KDWT akibat beban ekstrem. Selain itu, tension yang terjadi pada chain line untuk heading quartering seas selalu memiliki nilai yang lebih besar daripada heading lainnya, ini dikarenakan quartering seas merupakan resultan dari following atau head seas dengan beam seas. Pada mooring system dengan konfigurasi 12 chain line ini, tension terbesar terjadi pada chain line no 6 untuk kondisi transient heading 45o dan chain line no 9 untuk kondisi steady heading 135o.

Berikut gambar grafik tension history dari chain line no 6.

Tension History Transient Condition

0

100

200

300

400

500

600

0 50 100 150 200 250 300 350

Event (sec)

Te

nsio

n (

To

ns)

Chain Tension

Mean Chain Tension

Significant Chain Tension

Gambar 4.8. Grafik Distribusi Tension Line No 6

untuk Kondisi Transient μ = 45o

Tension History Steady Condition

20

30

40

50

60

70

80

90

100

110

120

130

140

0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 1800 2000

Event (sec)

Te

nsio

n (

To

ns)

Chain Tension

Mean Chain Tension

Sifnificant Chain Tension

Tension History Steady Condition

20

40

60

80

100

120

140

1800 2000 2200 2400 2600 2800 3000 3200 3400 3600

Event (sec)

Te

nsio

n (

To

ns)

Chain Tension

Mean Chain Tension

Sifnificant Chain Tension

Gambar 4.9. Grafik Distribusi Tension Line No 9 untuk 1800 Detik Pertama dan Kedua μ = 135o

Hasil yang diperoleh dari software MOSES 6.0 untuk distribusi tension pada chain line no 9 pada kondisi steady dapat diplot dalam grafik histogram non-dimensi sebagai bentuk kepadatan peluang (probability density) dari tension dan time series-nya untuk menentukan jenis distribusi yang sesuai dengan pendekatan statistik. Berikut adalah grafik hitogram dari chain line no 9 kondisi steady dari mooring system dengan konfigurasi 12 chain line (φ = 117 mm) untuk heading 135o.

12

Page 13: Jurnal - Analisa Kekuatan Rantai Spread Mooring Akibat Motion Pada FPSO (Time Domain Basis)

Histogram Chain Line No 9 Steady Condition

0

100

200

300

400

500

600

60 65 55 70 50 75 80 85 90 45 95 100

105 40 11

511

012

012

5 35 130 30

More

Bin

Fre

qu

ency

0.00%

20.00%

40.00%

60.00%

80.00%

100.00%

120.00%Frequency

Cumulative %

Gambar 4.10. Histrogram Frekuensi Kejadian

Tension pada Chain Line No 9 μ = 135o

Jenis distribusi sebaran maksimum untuk tension yang terjadi pada chain line ditentukan dengan menggunakan software EasyFit. Dengan mengambil salah satu kondisi pembebanan berdasarkan time history dan fungsi frekuensi kejadian dan memasukkannya sebagai input ke dalam software EasyFit maka akan diperoleh jenis sebaran distribusi berdasarkan tingkat yang paling mendekati. Dimana jenis distribusi sebaran data yang paling mendekati adalah distribusi Weibull.

Gambar 4.11. Histrogram Probality Density

Distribusi Weibull 4.3. Excursion FPSO Excursion maksimum untuk kondisi transient pada heading 180o sebesar 5.52 m arah X dan 0.02 m arah Y dan excursion maksimum untuk kondisi steady pada heading 180o sebesar 4.57 m arah X dan 0.00 m arah Y. Berikut adalah grafik excursion FPSO kondisi transient dan kondisi steady untuk mooring system dengan 12 chain line (φ = 117 mm) pada kondisi pembebanan ekstrem heading 180o.

Excursion Arah Sumbu-X

-6

-4

-2

0

2

4

6

8

0 50 100 150 200 250 300 350

Event (Sec)

Ex

curs

ion

(m

)

Excursion Sb-X

Gambar 4.12. Grafik Excursion Kondisi Transient

Arah Sumbu-X

Excursion Arah Sumbu-Y

-0.03

-0.02

-0.01

0

0.01

0.02

0.03

0.04

0 50 100 150 200 250 300 350

Event (Sec)

Ex

curs

ion

(m

)

Excursion Sb-Y

Gambar 4.13. Grafik Excursion Kondisi Transient

Arah Sumbu-Y

Excursion Arah Sumbu-X

-4

-3

-2

-1

0

1

2

3

4

5

0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 4000

Event (Sec)

Excu

rsio

n (

m)

Excursion Sb-X

Gambar 4.14. Grafik Excursion Kondisi Steady Arah

Sumbu-X

Excursion Arah Sumbu-Y

-0.06

-0.04

-0.02

0

0.02

0.04

0.06

0.08

0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 4000

Event (Sec)

Ex

curs

ion

(m

)

Excursion Sb-Y

Gambar 4.15. Grafik Excursion Kondisi Steady Arah

Sumbu-Y Dari hasil analisa didapatkan excursion maksimum sebesar 7.47 m arah X dan 6.22 m arah Y.

13

Page 14: Jurnal - Analisa Kekuatan Rantai Spread Mooring Akibat Motion Pada FPSO (Time Domain Basis)

4.4. Trajectory FPSO

Berdasarkan hasil excursion FPSO kondisi moored, dapat kita lihat perpindahan atau perubahan posisi dari FPSO dan dari perubahan posisi tersebut dapat kita buat trajectory dari excursion yang terjadi pada FPSO untuk kondisi moored. Trajectory yang akan ditampilkan pada laporan ini adalah trajectory dari FPSO kondisi steady untuk mooring system dengan 12 chain line (φ = 117 mm) pada kondisi pembebanan ekstrem heading 180o. Trajectory dari FPSO akan digambarkan berdasarkan fungsi waktu (event) dalam satuan detik dengan memplot koordinat global posisi FPSO untuk setiap 600 detik. Gambar 4.22 di bawah ini menggambarkan trajectory dari FPSO kondisi steady untuk mooring system dengan 12 chain line (φ = 117 mm) pada kondisi pembebanan ekstrem heading 180o.

Gambar 4.16. Trajectory FPSO dengan Mooring

System 12 Chain Line μ = 180o

4.5. Validasi Hasil Hasil analisa penelitian tugas akhir ini divalidasikan dengan penelitian sebelumnya untuk membandingkan besar tension yang terjadi pada setiap chain line dengan tujuan bukan untuk mencari suatu pembenaran, akan tetapi untuk mengetahui karakteristik tension yang terjadi pada setiap chain line. Penelitian yang dijadikan validasi adalah penelitian yang telah dilakukan oleh Laboratorium Operasional Riset Jurusan Teknik Kelautan FTK-ITS, yaitu “Preliminary Design and Analysis of Aframax Tanker to FPSO Conversion for OLOWI Field Development, Gabon”. Nilai tension yang dibandingkan adalah tension yang terjadi pada chain line dari mooring system dengan konfigurasi 12 chain line (φ = 117 mm) untuk kondisi pembebanan ULS paling ekstrem, yaitu kondisi dimana FPSO beroperasi dengan draught ballast. Hasil analisa OrcaFlex 8.4a7 dan MOSES 6.0 memiliki selisih yang jauh dengan selisih terbesar 264.11%, dimana secara mayoritas tension hasil analisa dengan menggunakan software MOSES 6.0 memiliki harga yang lebih besar daripada tension yang dianalisa dengan menggunakan software OrcaFlex 8.4a7. Berikut merupakan faktor-faktor

yang dapat menyebabkan nilai tension tersebut di atas berbeda, yaitu: 1. Dekomposisi koefisien hidrodinamik pada

OrcaFlex 8.4a7 tidak sama dengan harga-harga yang dihitung pada MOSES 6.0. Karena proses numerik, formulasi, asumsi dan panelisasi model pada OrcaFlex 8.4a7 berbeda denga MOSES 6.0.

2. Definisi geometri dari FPSO yang dilakukan oleh kedua software sangatlah berbeda. Pada OrcaFlex, FPSO dimodelkan dengan metode striptheory dengan memperhitungkan panel-panel (2D per-station) yang dimodelkan bukan kulit luar dari model. Sedangkan pada MOSES, FPSO dimodelkan dengan metode difraksi (3D-difraktion), yang dimana kulit luar dari model (meshing) akan mempengaruhi motion dari FPSO yang dimodelkan (semakin banyak meshing maka perhitungan akan semakin detail).

Gambar 4.17. Model FPSO dengan Metode

Striptheory

Gambar 4.18. Model FPSO dengan Metode Difraksi 3. Pemodelan geometri FPSO yang dilakukan pada

OrcaFlex tidak akan berpengaruh signifikan terhadap hasil tension yang terjadi pada chain line. Karena untuk motion FPSO, OrcaFlex membaca inputan RAO free floating dari FPSO yang nantinya direpresentasikan sebagai FPSO beserta motion-nya. Berbeda dengan MOSES yang dimana model berpengaruh besar terhadap motion.

4. FPSO yang dimodelkan dengan MOSES mempunyai bentuk lebih streamline, ini menjadikan model FPSO memiliki gaya drag yang kecil sehingga FPSO lebih laju

14

Page 15: Jurnal - Analisa Kekuatan Rantai Spread Mooring Akibat Motion Pada FPSO (Time Domain Basis)

dibandingkan dengan FPSO yang dimodelkan melalui OrcaFlex. Karena FPSO yang dimodelkan dengan OrcaFlex mempunyai bentuk bargelike yang menjadikan model FPSO memiliki gaya drag yang besar.

5. KESIMPULAN

5.1 Kesimpulan

Berikut adalah kesimpulan yang dapat kita ambil dari hasil penelitian tugas akhir ini: 1. Pembebanan arah heading seas, respon

motion FPSO terbesar terjadi untuk gerakan surge pada saat frekuensi terkecil (ω = 0.2513 rad/sec). Perubahan RAO motion pada FPSO kondisi free floating menjadi kondisi moored secara signifikan terlihat pada gerakan sway. Untuk pembebanan arah beam seas, respon motion FPSO terbesar terjadi untuk gerakan sway pada saat frekuensi terkecil (ω = 0.2513 rad/sec). Perubahan RAO motion pada FPSO kondisi free floating menjadi kondisi moored secara signifikan terlihat pada gerakan surge. Sedangkan pembebanan arah quartering seas, gerak surge dan sway memperlihatkan trend yang hampir sama dan memiliki puncak respon yang terjadi pada frekuensi terkecil. Sedangkan untuk gerakan yaw, puncak respon terjadi pada frekuensi (ω = 0.4833 rad/sec) dan dengan bertambahnya jumlah chain line pada mooring system maka puncak respon gerakan yaw makin mengecil serta bergeser dari ω = 0.4833 rad/sec menjadi ω = 0.4654 rad/sec. Dan gerakan ekstrem dan tinggi gelombang ekstrem yang paling mungkin terjadi untuk surge, sway dan yaw adalah sebesar 0.554 m, 1.898 m, 0.840 deg, 1.108 m, 0.946 m dan 1.679 m. Masing-masing terjadi pada heading 45o, 90o dan 135o.

2. SF minimum yang diijinkan oleh API RP 2SK 2nd edition untuk kondisi ULS (1.67) dapat dipenuhi oleh mooring system dengan konfigurasi 12 chain line (φ = 117 mm) dimana SF minimum pada pembebanan ekstrem yang terjadi adalah sebesar 1.86 (tension = 529.57 ton) untuk kondisi transient dan 7.80 (tension = 126.28 ton) untuk kondisi steady. Oleh karena itu, maka mooring system dengan konfigurasi 12 chain line (φ = 117 mm) menjadi konfigurasi yang paling tepat untuk digunakan sebagai mooring system FPSO pada penelitian ini. Sedangkan untuk kondisi ALS (1.25) tidak dapat dipenuhi oleh mooring system dengan konfigurasi 7, 9 dan 11 chain line yang memiliki diameter chain 90 mm dan 117 mm. Karena SF yang dimiliki oleh chain line

kurang dari SF yang diijinkan oleh API RP 2SK 2nd edition.

3. Dari data statistik untuk respon motion FPSO kondisi moored dengan konfigurasi 12 chain line (φ = 117 mm) pada pembebanan ekstrem (FPSO dengan draught ballast) untuk kondisi transient, dapat kita simpulkan bahwa tension rata-rata dan signifikan terbesar terjadi pada chain line no 1, yaitu 75.5 ton dan 123.5 ton untuk heading 180o. Tension dengan rata-rata 10 terbesar dan maksimum terbesar terjadi pada chain line no 6, yaitu 181.13 ton dan 528.8 ton untuk heading 45o. Sedangkan saat kondisi steady, tension rata-rata terbesar terjadi pada chain line no 12, yaitu 65.75 ton untuk heading 45o. Tension signifikan terbesar terjadi pada chain line no 8, yaitu 81.5 ton untuk heading 135o. Tension dengan rata-rata 10 terbesar dan maksimum terjadi pada chain line no 9, yaitu 93.9 ton dan 126.3 ton untuk heading 135o.

4. Excursion maksimum untuk kondisi transient pada heading 180o sebesar 5.52 m arah X dan 0.02 m arah Y dan excursion maksimum untuk kondisi steady pada heading 180o sebesar 4.57 m arah X dan 0.00 m arah Y. Dari hasil di atas maka excursion yang terjadi tidak melampaui dari persyaratan fungsional yang harus dipenuhi FPSO dalam melakukan operasinya (20% kedalaman perairan).

5.2 Saran Saran yang dapat diberikan untuk penelitian lebih lanjut mengenai tugas akhir ini adalah sebagai berikut: 1. Perlunya penelitian lebih lanjut mengenai

diameter chain pada mooring system yang memiliki SF sesuai dengan kriteria API RP 2SK 2nd edition untuk kondisi ALS.

2. Perlu dilakukannya pemodelan riser, karena riser dapat menambah kekakuan atau meredam motion dari FPSO.

3. Mooring system merupakan bagian penting dalam operasi FPSO, sehingga untuk mendapatkan tingkat keamanan yang tinggi perlu dilakukan analisa fatigue life (FLS) dan keandalan dari chain line.

4. Melakukan penelitian lebih lanjut mengenai motion FPSO yang terjadi pada kondisi transient.

5. Penelitian ini dapat dilanjutkan dengan menganalisa kekuatan rantai spread mooring untuk kondisi offloading (side by side atau tandem).

15

Page 16: Jurnal - Analisa Kekuatan Rantai Spread Mooring Akibat Motion Pada FPSO (Time Domain Basis)

DAFTAR PUSTAKA API RP 2SK., 1996, “Recommended Practice for

Design and Analysis of Station Keeping Systems for Floating Structures”, Washington, DC.

API RP 2P., 1987, “Analysis of Spread Mooring

Systems for Floating Drilling Unit”s, Washington, DC.

Aryawan, I., 2005, “Hydrodynamics of Floating

Offshore Structures”, Lloyd's Register EMEA – Aberdeen

Baltrop N. D. P dan Adams A. J, (1991), “Dynamics

of Fixed Marine Structures”, Third edition, Atkins Oil and Gas Engineering Limited, Epsom, UK.

Chakrabarti, S.K., 1987, “Hydrodynamics of

Offshore Structures”, Computational Mechanics Publications Southampton. Boston, USA.

Djatmiko, E. B., 2003, “Seakeeping: Perilaku

Bangunan Apung di atas Gelombang”, Jurusan Teknik Kelautan ITS, Surabaya..

Indiyono, P., 2004, “Hidrodinamika Bangunan Lepas Pantai”, SIC, Surabaya.

Laboratorium Operasional Riset dan Perancangan,

2006, ” Preliminary Design and Analysis of Aframax Tanker to FPSO Conversion for OLOWI Field Development, Gabon”, Jurusan Teknik Kelautan FTK-ITS, Surabaya.

Ochi, M.K.1973. “On Prediction of Extreme

Value”, Journal of Ship Research, SNAME, vol.17, No. 1, pp. 29-37,

Pierson, W.J., Jr. and Denis, M., 1953, “On the

Motions of Ships in Confused Seas”, Trans. SNAME Vol. 61, pp. 280-357.

Prastianto, R. W., 2006, “Anjungan Lepas Pantai di

Indonesia”, www.beritaiptek.com Soedjono, J. J., 1998, “Diktat Mata kuliah

Konstruksi Bangunan Laut II”, Jurusan Teknik Kelautan ITS, Surabaya.

Yilmaz, O. dan Incecik, A., 1994, “Hydrodynamic

Design of Moored Floating Platforms”, Journal of Marine Structures, Great Britain,UK

16