jurnal

148

description

Peran Pendidikan Seni

Transcript of jurnal

iii

ii

SALAM REDAKSI

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Alhamdulillahi Robbil A’lamiin, puji syukur kehadirat Allah SWT,

kali ini Jurnah Ilmiah “MADANIYAH” STIT Pemalang dapat hadir

kembali di hadapan sidang Pembaca.

Setelah banyak melalui kendala, terutama bagaimana redaksi

bersusah payah berburu artikel untuk penerbitan kali ini. Akhirnya

dengan segala keterbatasannya, jurnal Ilmiah “MADANIYAH” edisi

Januari 2012 dapat terbit.

Penerbitan Jurnal Ilmiah “MADANIYAH” STIT periode ini

merupakan akumulasi dari berbagai perenungan akan suatu kebutuhan

terbitnya sebuah Jurnal yang mampu mewadahi berbagai pemikiran

bukan hanya sebatas pendidikan Islam melainkan juga aspek lain yang

punya pengaruh dalam kehidupan bermasyarakat menuju terbentuknya

suatu karakter manusia yang seutuhnya.

Kajian jurnal ilmiah “MADANIYAH” akan mengangkat masalah

dan isue strategis yang dibingkai dengan tema tentang bagaimana peran

pendidikan Islam, Seni dan Sosial Budaya melalui pemikiran dan sudut

pandang dari berbagai disiplin ilmu sehingga menghasilkan ketuntasan

jawaban setiap permasalahan yang muncul.

Kami sampaikan terimakasih kepada Editor dan Konsultan Redaksi

yang telah bersusah payah melakukan telaah atas berbagai tulisan yang

masuk, rasa terimakasih juga kami sampaikan kepada para penulis yang

merelakan waktunya dan menyumbangkan karyanya kepada kami.

Semoga Jurnal Ilmiah STIT Pemalang ke depan mampu mewadahi

dengan adanya wacana penulisan karya ilmiah bagi mahasiswa yang

hendak menyelesaikan studinya di penghujung tahun ini. Akhirnya kami

berharap kritik dan saran guna perbaikan penerbitan-penerbitan yang

akan datang.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

Pemalang, Januari 2012

Redaksi

ii

1

Laporan Hasil Penelitian EKSISTENSI ISLAM DAN ALIRAN KEPERCAYAAN MASYARAKAT DIENG Oleh : Bani Sudardi

1

ABSTRAK Penelitian ini mencoba mendeskripsikan tentang kedudukan Islam dan

aliran kepercayaan masyarakat Dieng yang terletak di Dataran Tinggi Dieng

yang secara administratif masuk wilayah Kabupaten Banjarnegara dan

Wonosobo, Jawa Tengah. Pengertian aliran kepercayaan dalam penelitian ini

cukup longgar yang mencakup semua aspek kepercayaan, ritual, dan tradisi-

tradisi sehingga beberapa kegiatan yang tidak secara eksplisit menyatakan

sebagai aliran kepercayaan kami rangkum sebagai aliran kepercayaan.

Dieng sebagai pusat kegiatan spiritual paling tidak sudah berlangsung

sejak abad ke7-8. Di dalam prasasti tembaga Jawa Tengah dari tahun 800

Saka, nama Dieng disebut sebagai Dihyang. Di dalam prasasti itu juga

disebutkan suatu tempat yang bernama Kailasa Jawa (tempat bermukim

Dewa Siwa). Kailasa Jawa ini tidak lain adalah sebutan Dieng di masa itu

yang berupa candi Siwa (Poerbatjaraka, 1956:97). Candi tersebut sebagai

mandala kegiatan spiritual Hindu.

Di dalam masyarakat yang 98% memeluk Islam, ternyata secara

substansial mereka tidaklah Islam dalam arti sepenuhnya. Tradisi dan riatul

mereka masih bercampur dengan aliran kepercayaan. Islam dan aliran

kepercayaan membentuk suatu harmoni dalam ajaran-ajaran dan olah ritual

mereka. Penelitian ini menemukan bahwa aliran kepercayaan di Dieng sangat

menjunjung ajaran Islam dengan meletakan penghayatan spiritual puncak

dalam tataran wali agung. Hal ini juga dimunculkan dengan adanya leluhur

bernama Embah Salingsing Walisolah. Aliran kepercayaan di Dieng juga

mengakui bahwa saat ini adalah zaman Islam dengan dianggapnya Dieng

sebagai masa terajhir masa dewa (napak tilas pungkasane zaman kadewan).

Artinya, Dieng merupakan garis terakhir berlangsungnya zaman para dewa di

Pulau Jawa.

Keyword: Aliran Kepercayaan, Islam, Ritual

1. Bani Sudardi , Prof. Dr. adalah Guru Besar Universitas Sebelas Maret (UNS)

Surakarta pada Prodi Kajian Budaya

2

A. Latar Belakang Dieng adalah adalah dataran tinggi di Jawa Tengah yang selama ini

dikenal sebagai tujuan wisata utama kedua di Jawa Tengah setelah

Borobudur. Di samping sebagai tempat tujuan wisata, Dieng ternyata juga

menjadi pusat kegiatan ritual berbagai kelompok aliran kepercayaan sehingga

bagi penghayat aliran kepercayaan, Dieng dapat disebut mecca of Java.

Sampai saat ini aliran kepercayaan di Dieng masih berkembang secara

dinamis. Bukti kontemporer menunjukkan bahwa Dieng juga dianggap

sebagai tempat suci baru bagi aliran kepercayaan Kaki Tunggul Sabdo Jati

yang memuja sesepuh Nusantara yang disebut Semar. Dieng dianggap

sebagai tempat tinggal leluhur mistis Semar. Dieng kemudian disebut

Pertapan Mandolo Sari. Peresmian tempat suci tersebut dilaksanakan pada 7

April 2000. Penelitian ini berusaha mengungkap eksistensi aliran

kepercayaan masyarakat Dieng dan Islam yang bisa hidup berdampingan

secara harmonis dan saling melengkapi serta berfungsi untuk menjaga

keseimbangan pada saat terjadi ketidakseimbangan sosial (social disorder).

Aliran kepercayaan muncul sebagai alternatif solusi keresahan di masyarakat.

Konsep harmoni tersebut ternyata mempunyai fungsi di dalam pengendalian

sosial masyarakat dalam menghadapi konflik-konflik internal dan eksternal.

Kemudian maksud aliran kepercayaan masyarakat Dieng dalam penelitian ini

ialah aliran kepercayaan yang menjadikan Dieng sebagai pusat kegiatan

ritualnya. Aliran ini terbagi dua, yaitu yang berada di Dieng, misalnya aliran

Kaki Tunggul Sabdojati Doyo Amongrogo dan yang berada luar wilayah

Dieng, khususnya wilayah Wonosobo, misalnya Padepokan Ki Tunggul Sela

di Selomerto, Wonosobo. B. Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana pemahaman masyarakat Dieng Jawa Tengah tentang ajaran

islam ?

2. Bagaimana pemahaman masyarakat Dieng Jawa Tengah tentang aliran

kepercayaan dan implementasi ajaran Islam? C. Tujuan Penelitian Adapun rumusan masalah adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui bagaimana pemahaman masyarakat Dieng Jawa

Tengah tentang ajaran islam ?

3

3

2. Untuk mengetahui bagaimana pemahaman masyarakat Dieng Jawa

Tengah tentang aliran kepercayaan dan implementasi ajaran Islam? D. Kajian Teori Pembicaraan mengenai aliran kepercayaan dapat dikategorikan

sebagai kajian dari agama-agama primitif atau sistem religi karena di dalam

aliran kepercayaan terkandung unsur-unsur asli kebudayaan setempat.2

Sistem religi termasuk salah satu unsur kebudayaan universal yang berarti

hampir selalu ada pada semua kebudayaan suatu bangsa3.

Religi terdiri dari 4 unsur pokok, yaitu: (1) emosi keagamaan (2)

sistem kepercayaan (3) sistem upacara keagamaan (4) kesatuan sosial yang

mengkonsepsi dan mengaktifkan religi beserta sistem upacaranya4. Ernst

Cassirer berpandangan bahwa mitos dan religi adalah fakta kebudayaan yang

paling sulit dikaji. Religi sarat dengan berbagai antinomi teoretis dan

kontradiksi etis. Religi menjanjikan kepada kita hubungan erat dengan alam,

sesama, dengan daya-daya adiduniawi dan bahkan dengan yang ilahi sendiri5.

Pandangan ini dapat diterapkan pada sistem aliran kepercayaan di Dieng.

Observasi sementara meperlihatkan bahwa di dalam sistem aliran

kepercayaan Dieng terdapat fenomena yang kontradiktif, tetapi selalu dalam

harmoni. Fenomena tersebut tampak pada pelaksanaan ruwatan pencukuran

rambut gembel yang dilakukan di masjid atau mushola, rasulan6 yang

dilaksanakan dengan ritual mistis dan sesajian, pencampuran antara konsep

islam (basmalah, syahadat) dengan konsep animisme dan dinamisme

(danyang, sing baureksa, dan sebagainya).

2 Di Indonesia agama dan aliran kepercayaan dibedakan. Agama di bawah pengawasan

Departemen Agama sedangkan aliran kepercayaan di bawah pengawasan Dinas Kebudayaan

dan Kejaksaan. Penganut aliran kepercayaan tetap diwajibkan memilih salah satu dari lima

agama yang diakui di Indonesia (Islam. Kristen, Katolik, Hindu, dan Budhha). Badan ini

disebut Pengawas Kepercayaan Masyarakat (PAKEM) (Romdon, 1996:116 3 Koentjaraningrat. 1983. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru hal. 339 4 Koentjaraningrat. 1981. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat

hal. 228 5 Cassirer, Ernst. 1990. An Essay on Man (Manusia dan Kebudayaan: Sebuah esei

tentang Manusia. Terjemahan A. Nugroho. Jakarta: Gramedia. hal.110 6 Rasulan dari kata rasul yang dapat diartikan kegiatan menghormati nabi Muhammad.

Namun, di Dieng kegaiatan ini berati memasang sesaji untuk singbaureksa tempat-tempat

mistis, hal mana merupakan pelanggaran tuntunan Nabi Muhammad.

4

4

Pendekatan religi, pada awalnya menjadi polemik di antara dua kutub

pendekatan (psikologi dan sosiologi). Kedua pendekatan tersebut berhasil

dipadukan oleh Pritchard dalam bukunya berjudul Theories of Primitive

Religions (1984). Pendekatan sistem religi Pritchard berpijak pada tiga hal

pokok yaitu struktur manusia, jiwa, dan sistem sosial. Agama suatu

masyarakat selalu berkaitan dengan ketiga hal tersebut.

Menurut Pritchard, asal usul agama primitif lebih relevan dipandang

dari kacamata antropologi..Ajaran agama selalu muncul bagi struktur

manusia secara psikologis maupun sosiologis. Dengan dalil ini, maka

pendekatan sistem religi menemukan desain baru dengan cara pandang yang

lebih luas7.

Tentang pendekatan terhadap ritual dalam aliran kepercayaan dalam

masyarakat Dieng akan digunakan model yang dikembangkan oleh Mircea

Eliade. Menurut konsep Mircea Eliade, manusia memiliki konsep tentang

ruang yang chaos (tidak teratur) untuk menjadi ruang kosmos (teratur)

dengan suatu ritus. Tatanan religi tersebut meliputi ruang, waktu, ritus,

simbol, dan sejarah8. Yang dimaksud ruang bahwa dalam kepercayaan setiap

tempat tidaklah sama dengan yang lain. Ruang terbagi menjadi ruang kudus

dan ruang tidak kudus. Ruang kudus adalah ruang yang berhubungan dengan

ilahiah, tempat ilahi muncul dan berkomunikasi (peristiwa hierofani)9.

Waktu berhubungan juga dengan ritual. Dalam setiap religi, unsur

waktu memegang hal penting. Waktu dibagi menajdi waktu priofan dan

waktu kudus. waktu kudus ialah waktu para dewa yang merupakan origo

(asal-usul) segala sesuatu dari masa lalu (in illo tempore).Untuk dapat

memasuki waktu kudus, maka diperlukan ritus. Di dalam ritus, manusia

mengatasi manusiawinya memasuki alam kudus. Untuk memasuki waktu

kudus diperlukan sarana yang berupa simbol-simbol. Karena itu, salah satu

unsur ritus adalah simbol-simbol. Bagi kebudayaan tahap arkais, yang nyata

(simbol) itu ekuivalen dengan Yang Kudus (yang disimbolkan). Ritus-ritus

7 Pritchard, Evans. 1984. Theories of Primitive Religions (Teori-teori tentang Agama

Primitif). Terjemahan Ludjito. Yogyakarta:PLP2M. hal. 1984:1 8 Susanto, Budi. 1987. Mitos Menurut Pemikiran Mircea Eliade. Yogyakarta: Kanisius

hal. 42-64 9 Susanto, Budi. 1987. Mitos Menurut Pemikiran Mircea Eliade. Yogyakarta: Kanisius

hal. 50

5

5

sebernarnya juga berdasar pada konsep historis, bahwa kehidupan saat ini

adalah rentetan dari sejarah kudus10

. E. Hasil Penelitian 1. Pemahaman Masyarakat Dieng Tentang Ajaran Islam Kondisi masyarakat 98% penduduk Dieng beragama Islam, namun

Dataran Tinggi Dieng ternyata juga menjadi salah satu kiblat bagi penghayat

aliran kepercayaan di nusantara. Ritual-ritual rutin para penghayat

kepercayaan dari berbagai tempat di nusantara seringkali dilakukan. Di antara

ritual-ritual tersebut, antara lain: (1) Muspe mabakti yang dilakukan oleh

penganut Hindu Darma, Bali, khususnya dari kasta brahmana11. (2) Olah

anuraga yang dilakukan oleh suatu tarikat dari Bangkalan, Madura untuk

menguji kadigjayaan pengikutnya (ujian puncak penghayatan ilmu) dengan

mandi di sumber air panas Kawah Candradimuka. (3) Ritual Malem Satu

Sura di Sumur Jalatunda yang dilakukan oleh penghayat aliran kepercayaan

yang menganggap air tersebut air tuah bagi kesuksesan hidup. (4) Napak

tilas Kyai Lurah Semar yang dilakukan oleh Aliran Kepercayaan Sapta

Darma karena Kyai Lurah Semar termasuk simbol religius aliran tersebut12.

(5) Dieng juga dianggap sebagai tempat suci aliran kepercayaan Kaki

Tunggul Sabdo Jati yang memuja sesepuh Nusantara yang disebut Semar.

Dieng dianggap sebagai tempat tinggal leluhur mistis Semar. Dieng

kemudian disebut Pertapan Mandolo Sari. Peresmian tempat tersebut

dilaksanakan pada 7 April 2000. Para penghayat aliran kepercayaan tersebut

menyusun konsep leluhur mistis yang mendiami Dieng13

. Setiap tahunnnya

pengikut aliran kepercayaan tersebut dari berbagai penjuru nusantara

berkumpul untuk melakukan olah batin memahami sangkan paraning dumadi.

Dewasa ini, di Dieng juga berkembang aliran kepercayaan. Data dari

Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, Wonosobo 2005 menyebutkan bahwa di

Wonosobo berkembang 58 aliran kepercayaan dan kesemua aliran tersebut

10 Susanto, Budi. 1987. Mitos Menurut Pemikiran Mircea Eliade. Yogyakarta:

Kanisius. hal. 63-65 11 Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Wonosobo .2005. “Pesona Wisata dan

Budaya Wonosobo” Leaflet. hal. 3 12 Mulyono, Sri . 1978. Apa Siapa Semar . Jakarta: Gramedia.hal . 37 13 Sukatno, Otto. 2004. Dieng Poros Dunia. Yogyakata: IRCISOD. hal. 197-198

6

6

menganggap Dieng sebagai kiblat spiritual. Secara mistis, mereka mengaku

sebagai penerus leluhur mistis mereka yang bernama Ki Kala Dete yang

mendiami Dieng, khususnya sekitar Kawah Sikidang (Dinas Pariwisata dan

Kebudayaan Kabupaten Wonosobo, 2005). Jadi, selain kaya akan objek

wisata, Dieng juga menyimpan local wisdom dalam aliran-aliran

kepercayaan.

Hal di atas berkaitan dengan sejarah lokal Kabupaten Wonosobo.

Menurut Sejarah Wonosobo (Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, 2004:1),

kota Wonosoboo diperkirakan terbentuk pada tahun 1600-an dengan

datangnya tiga orang yang bernama Ki Kaladete, Ki Walik, dan Ki Karim.

Mereka datang bersama keluargannya lalu membabat alas. Karena alas wana,

Jawa) sudah dimasuki (disaba, Jawa), maka tempat itu dinamakan

Wonosobo.

Mereka berbagi kekuasaan. Ki Karim sebagai penguasa kota, Ki Walik

sebagai perancang perkembangan kota, sementara Ki Kaladete memilih

menyepi di Dieng (sekitar Kawah Sikidang) sebagai spiritualis. Ki Kaladete

melakukan tapa brata tidak memotong rambutnya sehingga menjadi gembel.

Karena itu, anak-anak Dieng yang berambut gembel dinyatakan sebagai

keturunan Ki Kaladete.

Dieng sebagai pusat kegiatan spiritual paling tidak sudah berlangsung

sejak abad ke7-8. Di dalam prasasti tembaga Jawa Tengah dari tahun 800

Saka, nama Dieng disebut sebagai Dihyang. Di dalam prasasti itu juga

disebutkan suatu tempat yang bernama Kailasa Jawa (tempat bermukim

Dewa Siwa). Kailasa Jawa ini tidak lain adalah sebutan Dieng di masa itu

yang berupa candi Siwa14

. Candi tersebut sebagai mandala kegiatan spiritual

Hindu. Kemudian kearifan lokal tersebut ternyata justru dapat meredam

konflik internal di masyarakat. Ketika terjadi gejolak reformasi, maka Dieng

terkena imbasnya. Dengan dalih reformasi, terjadi suatu pengurasan habis-

habislan lahan pemerintah yang berupa hutan-hutan lindung dan peninggalan

purbakala. Penjarahan tersebut sampai pada titik yang sangat

mengkhawatirkan karena gunung-gunung di Dieng digunduli habis-habisan.

14 Poerbatjaraka. 1956. “Criwijaya, de Cailendra en de Sanjayavamca” dalam

Bijdragen van Het Koninklijk Instituut voor Taal-, Land-en Volkenkunde. 114. (Merupakan

polemik dengan Bosch), hal. 97.

7

7

Puncak peristiwa itu terjadi tahun 2001 ketika hanya tersisa satu petak (petak

27) di Dieng yang tidak dijarah15

.

Gejolak tersebut menjadi reda berkat berbagai pendekatan. Salah satu

pendekatan yang yang efektif ialah melalui himbauan para sesepuh Dieng

melalui berbagai acara ritual ruwat. Tatanan spiritual tersebut juga

dikembangkan lokasi geografisnya, di antaranya melalui identifikasi spiritual

Dieng ke Gunung Lawu yang diceritakan bahwa ziarah ke Gunung Lawu

termasuk hal yang dapat menjernihkan jiwa melalui penghayatan spiritual16

.

Uraian menarik bahwa di Dieng konsep aliran kepercayaan yang ada selalu

menekankan konsep harmoni dengan lingkungan seperti agama Islam,

pemerintah, dan masyarakat. Sebagai misal, agar tidak terjadi konflik dengan

dengan agama Islam, maka puncak penghayatan spiritual disebut tataran

santri agung17

. Kondisi ini sesuai dengan sifat dialektik budaya Jawa yang

dapat momot hal-hal yang kontradiktif18

. Karena itu, konsep harmoni aliran

kepercayaan Dieng tersebut perlu diungkap.

Di Dieng hal tersebut tampak dalam Aliran Hastha Brata yang

menggariskan 8 jalan jalan hidup yang harmonis, yaitu: (1) Urip kudu biso hayom hangayomi. (2) Urip kudu Biso Hayem Hangayemi. (3) Urip Kudu Biso Mong Kinemong. (4) Urip Kudu Biso hamot momot. (5) Urip Kudu Biso Hamengku Winengku. (6) Urip Kudu Biso Hayu Memayu Hayu. (7) Urip Kudu Biso Hasah Hasih Hasuh. (8) Urip Kudu Biso Hangkat Hamemangkat 19

.

Adanya konsep-konsep harmoni tersebut, maka penganut aliran

kepercayaan di Dieng tidak terjadi konflik internal, bahkan terjadi sinergis

yang positif. Penganut aliran kepercayaan tetap diterima di lingkungan agama

Islam (mayoritas penduduk Dieng), bahkan juga berperan dalam ritual-ritual

Islami khas Jawa, seperti kenduri, selamatan, sunatan, dan sebagainya.

15 Arif, Ahmad S. 2006. Penguatan Klaster Pariwisata Dieng. Dieng: Yayasan

Kembang Emas, hal. 3 16 Loekito, H.D. 2003. Tuntunan Lakune Wong Urip: Kaki Tunggul Sabdo Jati Doyo

Among Rogo. Wonosobo: Himpunan Penganut Kepercayaan (HPK)., hal. 34. 17 Loekito, H.D. 2003. Tuntunan Lakune Wong Urip: Kaki Tunggul Sabdo Jati Doyo

Among Rogo. Wonosobo: Himpunan Penganut Kepercayaan (HPK). 18 Pracoyo. 2002. “Semar: Simbol Proses Dialektika Budaya Jawa” dalam SENI: Jurnal

Pengetahuan dan Penciptaan Seni, ISI Yogya., hal. 107 19 Ajaran Hastha Brata. 2003. Paranporo HPK. Wonosobo (naskah ketikan tangan)

8

8

Di Indonesia, pengertian aliran kepercayaan ini bermacam-macam

seperti aliran kebatinan, penghayat kepercayaan kepada Tuhan Yang

Mahaesa, khusus di Jawa sering disebut kejawen. Perwujudan aliran

kepercayaan ini sangat variatif. Aliran kepercayaan dapat perseorangan dapat

pula merupakan kelompok yang terorganisir rapi. Aliran kepercayaand apat

bersifat lokal, tetapi dapat juga menyebar ke berbagai wilayah20

.

Untuk mengklasifikasi aliran kepercayaan memang sulit, tetapi dapat

dideskripsikan berdasarkan sifat-sifat umum berdasarkan karakternya yang

menonjol. Adapun sifat-sifat umum aliran kepercayaan adalah sebagai

berikut: (1) Aliran kepercayaan pada umumnya bersifat panteistik dengan

menggambarkan persamaan hakikat antara ruh manusia dengan Tuhan. (2)

Aliran kepercayaan memiliki kecenderungan animistis. Mereka percaya

kepada ruh nenek moyang yang dapat memberikan pertolongan, meskipunm

ereka juga mengaku percayakepada Tuhan YME. (3) Aliran kepercayaan

menekankan aspek kekinian dan keduniaan disertai konsep ketuhahan dan

eskatologis yang tidak jelas21

.

Pembicaraan mengenai aliran kepercayaan dapat dikategorikan sebagai

kajian dari agama-agama primitif atau sistem religi karena di dalam aliran

kepercayaan terkandung unsur-unsur asli kebudayaan setempat. Sistem religi

termasuk salah satu unsur kebudayaan universal yang berarti hampir selalu

ada pada semua kebudayaan suatu bangsa (Koentjaraningrat, 1983: 339).

Religi terdiri dari 4 unsur pokok, yaitu: (a) emosi keagamaan (b) sistem

kepercayaan (c)) sistem upacara keagamaan (d) kesatuan sosial yang

mengkonsepsi dan mengaktifkan religi beserta sistem upacaranya22

.

Ernst Cassirer berpandangan bahwa mitos dan religi adalah fakta

kebudayaan yang paling sulit dikaji. Religi sarat dengan berbagai antinomi

teoretis dan kontradiksi etis. Religi menjanjikan kepada kita hubungan erat

dengan alam, sesama, dengan daya-daya adiduniawi dan bahkan dengan yang

ilahi sendiri23

. Pandangan ini dapat diterapkan pada sistem aliran

20 Romdon. 1996. Ajaran Ontologi Aliran Kebatinan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.,

hal 117 21 Romdon. 1996. Ajaran Ontologi Aliran Kebatinan. Jakarta: Raja Grafindo Persada

hal. 18-20 22 Koentjaraningrat. 1981. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat.

Hal . 228 23 Cassirer, Ernst. 1990. An Essay on Man (Manusia dan Kebudayaan: Sebuah esei

tentang Manusia. Terjemahan A. Nugroho. Jakarta: Gramedia. Hal. 110

9

9

kepercayaan di Dieng. Observasi sementara meperlihatkan bahwa di dalam

sistem aliran kepercayaan Dieng terdapat fenomena yang kontradiktif, tetapi

selalu dalam harmoni. Fenomena tersebut tampak pada pelaksanaan ruwatan

pencukuran rambut gembel yang dilakukan di masjid/ mushola, rasulan yang

dilaksanakan dengan ritual mistis dan sesajian, pencampuran antara konsep

islam (basmalah, syahadat) dengan konsep animisme dan dinamisme

(danyang, sing baureksa, dan sebagainya).

Pendekatan religi, pada awalnya menjadi polemik di antara dua kutub

pendekatan (psikologi dan sosiologi). Kedua pendekatan tersebut berhasil

dipadukan oleh Pritchard dalam bukunya berjudul Theories of Primitive

Religions (1984). Pendekatan sistem religi Pritchard berpijak pada tiga hal

pokok yaitu struktur manusia, jiwa, dan sistem sosial. Agama suatu

masyarakat selalu berkaitan dengan ketiga hal tersebut.

Menurut Pritchard, asal usul agama primitif lebih relevan dipandang

dari kacamata antropologi..Ajaran agama selalu muncul bagi struktur

manusia secara psikologis maupun sosiologis. Dengan dalil ini, maka

pendekatan sistem religi menemukan desain baru dengan cara pandang yang

lebih luas 24

.

Tentang pendekatan terhadap ritual dalam aliran kepercayaan dalam

masyarakat Dieng akan digunakan model yang dikembangkan oleh Mircea

Eliade. Menurut konsep Mircea Eliade, manusia memiliki konsep tentang

ruang yang chaos (tidak teratur) untuk menjadi ruang kosmos (teratur)

dengan suatu ritus. Tatanan religi tersebut meliputi ruang, waktu, ritus,

simbol, dan sejarah25

. Makna ruang bahwa dalam kepercayaan setiap tempat

tidaklah sama dengan yang lain. Ruang terbagi menjadi ruang kudus dan

ruang tidak kudus. Ruang kudus adalah ruang yang berhubungan dengan

ilahiah, tempat ilahi muncul dan berkomunikasi (peristiwa hierofani)26

.

berhubungan juga dengan ritual. Dalam setiap religi, unsur waktu

memegang hal penting. Waktu dibagi menajdi waktu priofan dan waktu

kudus. waktu kudus ialah waktu para dewa yang merupakan origo (asal-

24 Pritchard, Evans. 1984. Theories of Primitive Religions (Teori-teori tentang Agama

Primitif). Terjemahan Ludjito. Yogyakarta:PLP2M. hal. 1984:1 25 Susanto, Budi. 1987. Mitos Menurut Pemikiran Mircea Eliade. Yogyakarta: Kanisius

hal 42-64 26 Susanto, Budi. 1987. Mitos Menurut Pemikiran Mircea Eliade. Yogyakarta: Kanisius

hal 50

10

10

usul) segala sesuatu dari masa lalu (in illo tempore).Untuk dapat memasuki

waktu kudus, maka diperlukan ritus. Di dalam ritus, manusia mengatasi

manusiawinya memasuki alam kudus. Untuk memasuki waktu kudus

diperlukan sarana yang berupa simbol-simbol.Karena itu, salah satu unsur

ritus adalah simbol-simbol. Bagi kebudayaan tahap arkais, yang nyata

(simbol) itu ekuivalen dengan Yang Kudus (yang disimbolkan). Ritus-ritus

sebernarnya juga berdasar pada konsep historis, bahwa kehidupan saat ini

adalah rentetan dari sejarah kudus27

.

Sejak awal, orang Barat telah tertarik pada kajian tentang sistem religi

Jawa. Kajian tentang sitem religi Jawa berdasarkan serat-serat suluk dirintis

oleh Zoetmulder dalam disertasinya berjudul Pantheisme en Monisme

(Zoetmulder, 1935). Karya ini bersumber pada teks-teks tertulis dan berusaha

mendudukan konsep ajaran kebatinan Jawa melalui kacamata tasauf. dengan

pendekatan etnografik telah dirintis oleh Clifford Geertz lewat penelitiannya

di Mojokutho, Kediri yang tertuang dalam bukunya berjudul The Religion of

Java. Kajian ini membahas kepercayaan Jawa secara khusus di wilayah

Kediri. Penelitian etnografis khusus tentang tradisi pesantren dilakukan oleh

Dhofier (1994) yang meneliti tentang pandangan hidup kyai, elemen

pesantren, hubungan intelektual dan kekerabatan kyai, serta kedudukan kyai

dalam tarekat.

Kajian tentang aliran kebatinan Jawa pernah dilakukan oleh Romdon

(1996) yang mengkhususkan pengkajian mengenai kedudukan Tuhan dan

manusia (ontologi). Kajian ini berlandaskan pada naskah-naskah klasik, yaitu Serat Dewaruci, Suluk Gatoloco, Suluk Darmogandhul, Wirid Hidayat Jati, dan Suluk Seh Siti Jenar.

Kajian tentang sistem religi masyarakat Dieng, khususnya yang

tergabung dalam aliran kepercayaan sepanjang pengetahuan kami belum

banyak dilakukan orang. Sukatno (2004) pernah menyinggung aliran

kepercayaan Dieng yang bernama Kaki Tunggul Sabdojati Doyo

Amongrogo. Ia membuat silsilah mistis aliran tersebut yang berasal dari

Semar, Jayabaya, Harihara, Herucokro yang menjadi figur of identification

kaum spiritualis Jawa. Mengenai konsep harmoni dalam aliran kepercayaan

tersebut belum diungkap. Sistem religi Jawa, khususnya yang berkaitan

dengan penyembelihan bekakak (korban manusia) pernah diteliti oleh Bani

27 Susanto, Budi. 1987. Mitos Menurut Pemikiran Mircea Eliade. Yogyakarta: Kanisius

hal 63-65

11

11

Sudardi (2006) yang membahasa tentang aspek ritual, simbolis, dan historis

ritual tersebut. Namun, konsep harmoni yang mendasari ritual juga belum

dibahas.

Dalam kaitan dengan pariwisata khusus, Diyah Bekti Ernawati dan

Bani Sudardi (2006) pernah membahas tentang kemugkinan pengemangan

pariwisata Dieng melalui pariwisata minat khusus pada objek-objek yang

dianggap sakral. Dibanding penelitian terdahulu, posisi penelitian ini ialah

berusaha mengungkapkan secara mendalam kekhasan sistem religi aliran

kepercayaan masyarakat Dieng dan menggali nilai-nilai harmoni yang ada di

dalammnya.

2. Eksistensi Islam dan Aliran Kepercayaan di Dieng a. Ritual Ki Tunggul Sela Salah satu bentuk eksistensi aliran kepercayaan adalah adanya

ritual-ritual-ritual yang di dalam ritual tersebut tampak adanya

sinkretisme. Aliran ini berada 35 kilometer dari Dieng, di Kecamatan

Selamerta. Unsur sinkretisme dapat dilihat dalam deskripsi tentang ritual

ruwatan di Kawah Candradimuka yang dipimpin Ki Tunggul Sela. Para

penganut ajaran Ki Tunggul Sela setiap tanggal 1 Sura mendatangangi

rumah Ki Tunggul Sela untuk melakukan ruwatan.

Meskipun Islam tidak mengenal ruwatan, ritual Ki Tunggul Seta

ini dikemas dalam suasana Islami. Di samping dimulai dengan pengajian

dan bacaan Alquran, penganut aliran ini juga berpakaian seperti pakaian

ihram pada waktu haji dengan kain putih. Namun Ki Tunggul Sela

sendiri berpakaian adat Jawa dengan aneka sesaji serta doa-doa Jawa

yang dikaitkan dengan doa-doa kepada nenek moyang serta diwarnai

adegan-adegan mistis dan puncaknya mandi air panas dari Kawah

Candradimuka tanpa terluka sedikit pun.

b. Ritual Ki Tunggul Sabdo Jati Salah satu aliran kepercayaan yang menonjol yang bernama Aliran

Ki Tunggul Sabdojati Doyo Amongrogo juga sering melakukan ritual

ketika bulan Sura. Aliran ini berpusat di Dieng dengan tokoh Rusmanto

sebagai sesepuh aliran ini. Ajaran aliran ini adalah ajaran harmoni

12

dengan alam gaib, alam nyata, roh leluhur, serta menjaga hubungan baik

dengan siapa pun (agama lain, pemerintah, sesama).

Bulan Sura sebenarnya bulan Islam, karena itu aliran ini

sebenarnya juga mengakui eksistensi Islam. Di dalam doa-doa sesaji,

aliran ini juga menggunakan simbol-simbol Islam seperti bacaan

bismillah dan syahadat. Mereka jga menyebut Allah sebagai tempat

meminta, sekaligus serng juga nyenyuwun kepada nenek moyang untuk

melindungi dan mengabulkan permohonannya. c. Ritual Rambut Gembel Ritual yang paling umum dikenal di Dieng adalah ritual

pemotongan rambut gembel. Ritual ini adalah salah satu bentuk

aktualisasi tentang kepercayaan masyarakat Dieng terhadap kekuatan

gaib. Tradisi ritual ini mampu menembus batas-batas kepercayaan

karena hampir semua golongan masyarakat di Dieng melaksanakan ritual

ini.

Ritual ruwat rambut gembel adalah salah satu bentuk ruwatan yang

khas Dieng. Ruwatan sendiri sebenarnya suatu ritual khas Jawa, tetapi di

beberapa tempat terdapat perbedaan-perbedaan. Tujuan utama ruwatan

adalah membebaskan manusia dari kutukan buruk yang dideritanya.

Ruwatan rambut gembel di Dieng dilakukan pada anak-anal di

Dieng yang memiliki rambut gembel. Rambut ini muncul pada anak-

anak balita. Tidak semua anak berambut gembel. Rambut gembel

muncul pada anak tertentu yang didahului dengan panas yang tingi

selama berhari-hari. Setelah panas reda, maka muncul bintik merah yang

kemudian tumbuh rambut gembel. Anak-anak berambut gembel ini

dianggap sebagai anak istimewa di Dieng. Rambut gembel ini dianggap

sebagai titipan atau pertanda adanya titipan dari leluhur orang Dieng

yang bernama Ki Kala Dete. Cerita ini didasarkan pada cerita rakyat di

Dieng bahwa dahulu kala di sekitar Kawah Sikidang di Dieng terdapat

seorang pertapa sakti bernama Ki Kala Dete. Karena bertapa sangat

lama, maka Ki Kala Dete memiliki rambut gembel. Tokoh ini dianggap

sebagai leluhur orang Dieng. Ki Kala Dete muksa di sekitar Kawah

Sikidang. Sebagai pertanda eksistensinya kepada anak cucu, ia berpesan

akan menitipkan rambut gembel kepada anak cucu. Karena itu, anak-

anak Dieng yang berambut gembel dianggap memiliki titipan dari nenek

13

13

moyang. Titipan tersebut dapat dikembalikan ke pemiliknya dengan cara

diruwat.

Proses ritual ruwatan tersebut menjadi salah satu ritual masyarakat

Dieng. Tata cara peruwatan tersebut beragam, tetapi intinya

mengembalikan titipa kepada pemiliknya. Tradisi potong rambut gembel

dapat dilakukan sederhana, di mushola, dan dicukur sendiri oleh

keluarganya (biasanya yang dianggap tua). Namun, acara tersebut dapat

pula dilakukan dengan hajat yang besar dengen menelan biaya puluhan

juta rupiah dengan pentas wayang besar-besaran. Tradisi potong rambut

gembel tersebut dilakukan ketika anak sudah mulai dapat meminta

sesuatu (3-5 tahun). Sudah menjadi tradisi, orang tua akan menanyakan:

”Gembelnya jaluq apa?”. Artinya, rambut gembelnya meminta apa. Pada

umumnya, sesuai jiwa anak-anak, anak berambut gembel akan meminta

sesuatu seperti mainan, makanan, pentas ebleq, sepeda, dan lain-lain

sesuai hasratnya.Apabila hal itu sudah dikatakan, maka segera dipenuhi

dan dilakukan pemotongan rambut gembel. Apabila setelah pemotongan

rambut gembel tumbuh lagi, mereka percaya ada sesuatu yang salah

dalam menjalankan tradisi.

d. Konsep Ajaran dalam Aliran Kepercayaan Dieng Dieng merupakan wilayah yang mayoritas penduduknya, hampir

98% beragama Islam. Namun, sebagaimana kondisi pada umumnya

masyarakat muslim di Jawa, tidak sepenuhnya masyarakat menjalankan

syariat Islam secara penuh. Rukun Islam yang yang lima (syahadat, salat,

puasa, zakat, dan haji), pada umumnya tidak dijalankan secara penuh.

Tradisi-tradisi yang bersifat keislaman berjalan dengan baik seperti

pengajian, zikir, mujahadah, perkawinan secara Islam, sunatan, dan lain-

lain. Tradisi Islam yang berjalan lebih condong ke tradisi-tradisi yang

berlaku di lingkungan masyarakat nahdiyin (bernisbat pada organisasi

Nahdatul Ulama/ NU) seperti tradisi membaca Surat Yasin, dzikir dan

tahlil untuk kematian, istighosah akbar, dan sebagainya. Dalam acara-

acara keagamaan yang besar tersebut, masyarakat Dieng condong

mengikuti ke arus besar di Wonosobo dan Banjarnegara. Beberapa

daerah muncul pula kelompok yang bernisbat pada organisasi

Muhammadiyah seperti di Pathak Banteng, tetapi dalam tradisi mereka

juga tidak sepenuhnya mengikuti paham Muhammadiyah yang puritan.

14

14

Mereka tetap bertradisi NU seperti masih yasinan, dikir tahlil, dan lain-

lain. Dewasa ini tampaknya di kalangan grass root Muhammadiyah

sendiri terjadi perubahan paradigma dengan tidak menonjolkan aspek

khilafiyah di dalam dakwah. Mereka menonjolkan aspek fastabikhul

khoirot, yakni berusaha berbuat kebaikan sebanyak-banyaknya kepada

sesama umat dengan gerakan pendidikan, kesehatan, dakwah bilhal, dan

silaturahmi.

Pengikut aliran kepercayaan di Dieng pada umumnya masih

mengakui agama Islam sebagai agama mereka, tetapi mereka tidak

menjalankan syariat. Paham yang dianut mirip seperti paham dalam

Pangestu, yaitu sebagai penghayat kepercayaan sekaligus sebagai

pemeluk agama Islam. Pada acara-acara Islam tertentu seperti lebaran

Idul Fitri, Idul Adha, salat Jumat, akad nikah, sunatan, penguburan

mayat, mereka masih ikuti dengan tradisi Islam. Ritual-ritual yang

berhubungan dengan aliran kepercayaan seperti memasang sesaji, mohon

doa restu di tempat yang dianggap dihuni roh-roh leluhur, rasulan

(selamatan), pada umumnya juga didahului dengan doa-doa islami

seperti bismilah, hamdalah, dan tahlil (la ilaha illallah

muhammadarasulullah). Kadar unsur Islam tersebut berbeda-beda

antara aliran yang satu dengan yang lain. Aliran Ki Tunggul Seta

menjadikan unsur Islam sebagai ikon utama dengan adanya pengajian

mujahadah, dzikir tahlih, dan membaca Al-Quran sebelum melakukan

ritual ruwatan. Pakaian orang yang akan diruwat pun mengikuti mode

pakaian ihram (pakaian dalam ritual haji). Acara-acarayang digelar pun

mengikuti tradisi Islam debus dengan unjuk kekebalan diri. Di pihak

lain, aliran Ki Rusmanto dengan aliran Kaki Tunggul Doyo Among

Rogo condong kepada tradisi Jawa yang kenthal. Ki Rusmanto

melanjutkan kepercayaan Jawa yang terkait dengan cerita-cerita wayang.

Ia masih percaya bahwa tokoh-tokoh wayang adalah tokoh riil yang

pernah hidup di Dieng. Sebagai misal, ia pernah menyebut bahwa Kali

Tulis yang ada di Dieng dibangun oleh Bima. Secara rutin ia

mengunjungi petilasan-petilasan tokoh wayang dan nenek moyang lain

dalam rangka mencari kekuatan batin tersebut.

Oleh karena itu, penganut aliran kepercayaan di Dieng menganut

paham double religion. Antara kepercayaan Islam dan paham

kepercayaan mengalami suatu sinkretisme sehingga bentuk yang muncul

15

15

menjadi “seolah-olah Islam” atau diwarnai dengan ajaran-ajaran Islam.

Suatu ritual tradisi Jawa yang masih menjadi ciri khas aliran kepercayaan

Dieng adalah adanya ruwatan. Ki Rusmanto sebagai sesepuh aliran Kaki

Tunggul Sabdo Jati memiliki spesialisasi ruwatan pemotongan rambut

gembel sementara Ki Tunggul Sela memiliki spesialisasi ruwatan di

Kawah Candradimuka pada setiap bulan Sura.

Mengenai inti ajaran pada dasarnya tidak ada konsepsi tegas

tentang ajaran tidak cukup jelas. Sifat ajaran tersebut bersifat lokal, tetapi

tampak bahwa ajaran tersebut memang merupakan kompilasi dari

berbagai ajaran yang berkembang di daerah tersebut. Kompilasi tersebut

bersumber dari ajaran Hindu (khususnya dari dunia pewayangan), ajaran

Islam, dan local wisdom. Beberapa prinsip dasar ajaran aliran

kepercayan Dieng dapat diuraikan sebagai berikut.

Konsep Tuhan dalam aliran kepercayaan tidak jelas. Tuhan dalam

ajaran aliran kepercayaan ini sering mengadopsi dari konsep-konsep

yang telah ada dalam agama, khususnya Islam dan Hindu sehingga

Tuhan sering disebut Batara, Dewa, Gusti Allah, Pangeran, Gusti Kang

Maha Kuasa, dan lain-lain. Namun, mengenai kedudukan, peran, dzat,

bentuk, wujud Tuhan itu sendiri tidaklah diajarkan secara jelas. Terdapat

konsep-konsep yang masih berhubungan dengan Tuhan. Konsep tersebut

ialah konsep yang disebut Gusti Agung Heru Cokro. Dalam kepercayaan

di Dieng, Gusti Agung Heru Cokro merupakan rasa jati yang dianggap

sebagai utusan Tuhan yang mengantar kepada hidup yang baik dengan

konsep “apa sing diucapake yaiku sing dilakoni”. Apa yang diucapkan

itulah yang dijalankan yang menjadikan bersatunya “cipta, rasa, dan

karsa”.

Anasir lain yang diperhatikan ialah Suksma Sejati. Sukma sejati

adalah keadaan hidup yang sesungguhnya. Inilah anasir yang akan

membawa kepada kehidupan yang sejati yang digambarkan sebagai

“sarining urip”, yakni hidup sejati yang tentram dalam segala keadaan

“kang nguasani marang dununing urip kang sejati, kang bakal amujudake

urip iki tata titi tentrem, kang ana panas ora angrasake panas, ana udan

ora angrasakake adhem”.

Konsep Tuhan dalam aliran kepercayaan di Dieng tidak memiliki

konsep yang jelas. Konsep ini cenderung kepada common concept

(konsep umum) yang berlaku di masyarakat serta tidak memiliki makna

16

kritis sebagai konsep. Konsep Tuhan dalam aliran kepercayaan Dieng

cenderung menerima konsep yang sudah ada (khususnya dari ajaran

Hindu dan Islam). Yang berbaur dengan ajaran-ajaran lokal. Karena itu,

sebutan utama tentang Tuhan ini tidak pernah diperdebatkan, boleh

Tuhan, Allah, Dewa, Sang Maha Agung, Kang Maha Kuasa, Pangeran.

Padahal sebutan-sebutan tersebut sebenarnya berangkat dari konsep-

konsep yang berbeda.

Kedudukan Tuhan di sini juga sebagai sembahan saja, sementara

penentuan kejadian kadang-kadang tidak dihubungkan dengan Tuhan,

tetapi dengan konsep lain seperti danyang, bahureksa, leluhur, Kyai

Semar, Ki Kala Dete, sedulur papat kalima pancer, Embah Salingsing

Walisolah, Lengkung Suwiri, Nini Dewi Retno Ayu Loro Dumilah, dan

lain-lain yang sering dipercaya dapat mengantarkan hajat keperluan

sehingga berhasil.

Tujuan hidup aliran kepercayaan pada umumnya sama, yaitu

mencapai kehidupan yang baik berguna bagi lingkungannya yang

dinyatakan dengan slogan: “ora butuh mungsuh, ora butuh rewang,

butuhe mung kabecikan”, maknanya “tidak membutuhkanmusuh dan

kawan, butuhnya hanyalah kebaikan”. Tujuan tersebut kemudian dijabar

dengan perilaku yang disebut ambeg, yakni: (1) Ambeg mangeran dalam

pengertian selalu berusaha menyembah Tuhan agar bisa memasuki alam

awang uwung, alam kelanggengan. (2) Ambeg makarya berusaha untuk

bekerja menckupi kehidupan rumah tangga (sandang pangan) sampaik

epada keturunannya sehingga mendapatkan drajat dan pangkat. (3)

Ambeg Mardawa Laras yang berarti “ pemaaf, baik hati, hidup teratur

dan tentram, menepatijanji, lugu). (4) Ambeg Masesa dhiri yang

bermakna mampu mengendalikanh awa nafsu, panca indranya mampu

dikuasai, mengerti dan merasa pribadinya, lahir danbatin mawar dhiri,

mulat sarira hangrasa wani, mengikuti garis nasib. (5) Ambeg mardhika

yang bermakna tidak mau berbuat dhalim kepada orang lain dengan

kesadaran orang lain itu juga “Aku”, tidak mau dijajah dan menjajah

baik lahir maupun batin, tidak mau mencampuri urusan orang lan kecuali

bil diajak musyawarah, suka menolong tanpa pamrih, dan mandiri.

Dalam mencapai tujuan hidup tersebut, penganut aliran

kepercayaan Dieng memiliki aturan-aturan yang menurut ajaran Kaki

Tunggul Sabdo Jati Doyo Amongrogo dibagi menjadi 12 aturan

17

(Paugeran Rolas Perkara), yaitu: (1) Wong eling ngelmu gaib, sakabehing dhawuh-dhawuh saka kaki lan para embah-embah kudu den gatekake. Orang hendaknya ingat pada ilmu gaib sehingga perintah-

perintah nenek moyang selalu diperhatikan. (2) Wong Amrih rahayuning

sasaminiro, sinung hayating gusti. Agar selalu berusaha membuat

selamat sesamanya dengan cara mendekatkan diri kepada Tuhan. (3)

Ngawruhana ngelmu gaib, iku praboting urip kang utomo. Mengetahui

ilmu gaib karena ilmu gaib itu pelengkap hidup yang utama. (4) Aja

kurang ing pamirsanira, lan den agung pangapuranira. Janganlah

kurang dalam meneliti dan besarkanlah rasa maaf. (5) Agawea kabecikan marang ing sasaminira kang tumitah, agawe sukaning manahira lan sasamining jalma. Berbuat baik kepada sesama,membuat suka hati

sendiri dan sesama manusia. (6) Aja duwe rumangsa bener lan becik dhewe, ala sarta luput lan den agung panalangsanira marang Gusti

Kang Maha Mulya. Jangan memiliki rasa bena dan baik sendiri,

merasalah buruk dan bersalah yang besar kepada Tuhan. (7) Angenakna sarira, angayem-ayem nalariro, aja murka samubarang kang den seja,

den prayitna samubarang karya. Merasalah tubuh enak, pikiran

tenteram, jangan murka paa hal-hal yang dicita-citakan, dan berhati-hati

dalam semua pekerjaan. (8) Elinga marang kang akarya jagat, aja pegat

rino lan wengi . Ingat kepada Sang Maha Pencipta, jangan lupakan siang

malam. (9) Atapaa geni ara, den teguh lamun krungu ujar ala. Bertapa

api, yakni tetap berpendirian apabila mendengar kata-kata buruk. (10)

Atapaa banyu ara, tegese nurut saujaring liyan datan nyulayani. Bertapa

air, yaitu ikut kata-kata orang lain dan tidak membantah. (11) Atapa nglukat, tegese mendhem atine, yaiku aja ngatonake bener lan becike dhewe. Bertapa nglukat (pendam), yaitu memendam hatinya, tidak

memperlihatkan baik dan benarnya diri sendiri. (12) Aperang sabilillah, tegese perang sabilillah iku sajroning badanira ana perang bratayudha, perang ati ala kalawan ati becik. Sakmangsa sira bisa nyegah sabarang

cipta kang ala, ateges sira menang anggonira perang. Perang Sabilillah,

yaitu perang di dalam badan antara hati baik dan buruk

Aliran kepercayaan di Dieng, khususnya Aliran Kaki Tunggul

Sabdo Jati Doyo Among Raga tampaknya merupakan bagian dari Aliran

Aliran Paguyupan Kebudayaan Jawa (PKD). Aliran PKD memiliki

kecenderungan animistis dengan adanya kepercayaan terhadap roh nenek

18

18

moyang yang dipercaya dapat memberikan pertolongan atau

mendatangkan bahaya, walaupun masih tegas memiliki kepercayaan

terhadap Tuhan Yang Mahaesa. Tuhan disebut dengan Pangreh (Yang

Memerintah)28

. Ajaran Jawa lainnya seperti tapa geni, tapa banyu, tapa

nglukat diberi makna baru yang bersifat esoterik dalam kaitan dengan

tingkah laku kebatinan. Aliran ini tampak juga mengambil ajaran-ajaran

Islam seperti perang sabilillah, tetapi perang tersebut dimaknai berbeda,

bukan perang jasmani, tetapi perang rohani, yakni memerangi hawa

nafsu.

F. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian, kesimpulan penelitian tersebut dapat

disimpulkan bahwa eksistesi Islam dan aliran kepercayaan di Dieng dapat

berada dalam posisi saling membangun harmoni. Islam dan aliran

kepercayaan tidak saling beroposisi, tetapi saling menyatu dan mengisi.

Meskipun Islam dalam posisi dominan karena hampir 98% masyarakat Dieng

memeluk Islam, namun aliran kebatinan yang bersifat anisme dan dinamisme

mengambil unsur-unsur Islam untuk menetapkan diri bahwa aliran kebatinan

dalam ranah keislaman.

Sinkretisme merupakan salah satu cara untuk tetap memposisikan

sesuatu yang anagonis tetap dalam situasi harmoni. Karena itu, dari segi

ajaran, aliran kepercayaan di Dieng condong kepada ajaran sinkretisme yang

memadukan antara agama dan kepercayaan lokal. Hal ini menjadikan aliran

tersebut dapat hidup secara harmonis dengan tata kehidupan masyarakat

Dieng pada umumnya.

Ajaran menekankan pada harmani dengan Tuhan, sesama, dan alam.

Harmoni diaktualisasikan dengan berbagai ritual yang menyatukan manusia

dengan alam serta leluhur. Di samping itu, aliran ini juga sangat menjunjung

ajaran Islam dengan meletakan penghayatan spiritual puncak dalam tataran

wali agung. Hal ini juga dimunculkan dengan adanya leluhur bernama

Embah Salingsing Walisolah..

28 Romdon. 1996. Ajaran Ontologi Aliran Kebatinan. Jakarta: Raja Grafindo Persada

hal. 119

19

DAFTAR PUSTAKA Ajaran Hastha Brata. 2003. Paranporo HPK. Wonosobo (naskah ketikan

tangan)

Arif, Ahmad S. 2006. Penguatan Klaster Pariwisata Dieng. Dieng: Yayasan

Kembang Emas.

Bambang Sutejo. 2005. Laporan Tahunan Kegiatan Budaya Kabupaten

Wonosobo. Wonosobo: Dinas Pariwisata dan Kebuadayaan.

Cassirer, Ernst. 1990. An Essay on Man (Manusia dan Kebudayaan: Sebuah

esei tentang Manusia. Terjemahan A. Nugroho. Jakarta: Gramedia.

Danandjaja, James. 1986. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain-

lain. Jakarta: Grafitipers

Dhofier, Zamakhsyari. 1994. Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan

Hidup Kyai. Jakarta: LP3ES.

Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Wonosobo .2005. “Pesona

Wisata dan Budaya Wonosobo” Leaflet.

Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Wonosobo. 2004. Sejarah

Wonosobo.

Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Wonosobo.2004. Profil

Pariwisata Kab. Wonosobo 2003. Film VCD.

Dinas Pariwisata Propinsi Jawa Tengah. 2005. Draft Final Mapping dan Telaah Potensi Kawasan RIPP Jawa Tengah 2004-2009 (Kawasan

Wisata Dieng). Semarang: Diparda Jateng.

Ernawati, Diyah Bekti dan Bani Sudardi. 2006. Pemberdayaan Masyarakat

Dieng Melalui Sektor Wisata. Surakarta: Laporan penelitian LPPM.

Geertz, Clifford. 1960. The Religion of Java. Illionis: The Free Press of

Glencoe.

Koentjaraningrat. 1981. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian

Rakyat.

Koentjaraningrat. 1983. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru

Komunitas Masyarakat Peduli Bangsa Kabupaten Wonosobo, 2005. Strategi Pengembangan Komunitas Budaya Kabupaten Wonosobo 2006-2010”. Wonosobo: Dinas Kebudayaan Wonosobo.

20

20

Loekito, H.D. 2003. Tuntunan Lakune Wong Urip: Kaki Tunggul Sabdo Jati

Doyo Among Rogo. Wonosobo: Himpunan Penganut Kepercayaan

(HPK).

Miles, Matthew B. dan Huberman, A. Michael. 1992. Qualitative Data

Analysis (Analisis Data Kualitatif) Terjemahan Tjetjep Rohendi

Rohidi. Jakarta: UI-Press

Mulyono, Sri. 1978. Apa Siapa Semar . Jakarta: Gramedia.

Nasution. 1992. Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung: Tarsito.

Noviana, Dini, 2008.Kerohakhanian Sapta Darma: Studi tentang

Perkembangan Aliran Kepercayaan di Pare Kediri Tahun 1952-

1967. Tesis Unair, Surabaya

Pitana, I Gde dan Gayatri, Putu G. 2005. Sosiologi Pariwisata. Yogyakarta:

Penerbit Andi

Poerbatjaraka, R.M.Ng. 1952. Kapustakan Djawi. Jakarta: Djambatan

Poerbatjaraka. 1956. “Criwijaya, de Cailendra en de Sanjayavamca” dalam Bijdragen van Het Koninklijk Instituut voor Taal-, Land-en Volkenkunde. 114. (Merupakan polemik dengan Bosch).

Popular. “Pimpinan Aliran Madi Di Salena Tewas Ditembak Polisi”. Minggu6

April 2008.

Pracoyo. 2002. “Semar: Simbol Proses Dialektika Budaya Jawa” dalam

SENI: Jurnal Pengetahuan dan Penciptaan Seni, ISI Yogya

Pritchard, Evans. 1984. Theories of Primitive Religions (Teori-teori tentang

Agama Primitif). Terjemahan Ludjito. Yogyakarta:PLP2M. Romdon. 1996. Ajaran Ontologi Aliran Kebatinan. Jakarta: Raja Grafindo

Persada

Spradley, James P. 1997. Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Sudardi, B. 2004. “Sastra Lisan di Dieng”. Laporan Observasi Lapangan,

Maret 2004. (Tidak diterbitkan).

Sudardi, Bani 2004. “Dieng: Persemayaman Para Dewa”. Makalah dalam

Seminar Internasional Bahasa dan Sastra, 3-4 Desember, di

Yogyakarta.

Sudardi, Bani. 2005. Aspek Ritual, Simbolis, dan Historis dalam Tradisi

Penyembelihan Bekakak di Gamping Sleman Yogyakarta.

Surakarta: Laporan Penelitian Dana DIKS FSSR.

21

21

Sudardi, Bani. 2006. Potensi Tradisi Lisan Sebagai Sarana Meningkatkan

Pariwisata Dataran Tinggi Dieng Surakarta: Laporan Penelitian

Dana DIKS FSSR.

Sukatno, Otto. 2004. Dieng Poros Dunia. Yogyakata: IRCISOD

Susanto, Budi. 1987. Mitos Menurut Pemikiran Mircea Eliade. Yogyakarta:

Kanisius.

Sutopo, H.B. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif: Dasar teori dan

terapannya dalam penelitian. Surakarta: UNS Press.

Tarigan, R. Josep dan Suparmoko. 1995. Metode Pengumpulan Data.

Yogyakarta:BPFE.

Tarwotjo. 1994. Etnografi:Suatu Tantangan Penelitian Kualitatif. Jakarta:

Balai Pustaka.

Zoetmulder. 1935. Pantheisme en Monisme in de Javaansche Soeloek

Literature. Den Haag: KITLV.

Sanggar kepercayaan Sapta Dharma disegel” dalam WAWASSA`Jumat, 09

November 2007

22

22

PERAN PENDIDIKAN SENI DALAM MEMBENTUK KARAKTER BANGSA

Oleh Puji Dwi Darmoko1

ABSTRAK Pendidikan merupakan upaya terencana dalam mengembangkan

potensi peserta didik, sehingga mereka memiliki sistem berpikir, nilai,

moral, dan keyakinan yang diwariskan masyarakatnya dan

mengembangkan warisan tersebut ke arah yang sesuai untuk kehidupan

masa kini dan masa mendatang.

Problematika pendidikan di Indonesia yang kini timbul disebabkan

oleh globalisasi diantaranya dapat dilihat dalam bidang bahasa, kesenian

dan kehidupan sosial. Seni merupakan salah satu pemanfaatan budi dan

akal untuk menghasilkan karya yang dapat menyentuh jiwa spiritual

manusia. Karya seni merupakan suatu wujud ekspresi yang bernilai dan

dapat dirasakan secara visual maupun audio. Namun demikian pada

kenyataannya kemampuan bidang estetika dan budaya seakan

dikesampingkan pada kondisi sistem Pendidikan Nasional saat ini, karena

lebih mengutamakan pengembangan kemampuan dibidang ilmu

pengetahuan, teknologi, dan matematika. Hal ini kurang mendukung upaya

pembentukan kualitas kepribadian manusia Indonesia yang diharapkan.

Harus diakui bahwa peran pendidikan seni merupakan salah satu

kemampuan dibidang estetika yang dapat mewujudkan manusia seutuhnya.

Kehadiran seni memberi peran dan pengaruh cukup kuat dalam

kehidupan manusia, masyarakat dan bangsa. Seni yang didalamnya

mengandung butiran-butiran keindahan dan keselarasan harmoni banyak

mengutamakan pesan kebajikan dan mengajarkan kearifan-kearifan pada

hidup manusia. Sebagai refleksi ilmu pengetahuan, seni juga tak luput dari

pemahaman-pemahaman yang menyangkut ungkapan perasaan, alam

pikiran dan kesadaran manusia akan realitas sosial dan nilai-nilai

kehidupan. Ketika kehidupan manusia terus berkembang, maka yang

berkembang sesungguhnya adalah sistem sosial, sistem ekonomi, sistem

kepercayaan, ilmu, teknologi, serta seni. Fungsi seni adalah membantu

perkembangan kesadaran manusia dan membantu memajukan sistem social.

Transformasi nilai-nilai seni ke dalam masyarakat luas bisa menjadi

penyejuk bagi kepesatan kemajuan sains dan teknologi yang tidak jarang

mengabaikan kehalusan rasa seni. Pendidikan seni berperan sebagai filter

1 Puji Dwi Darmoko adalah Mahasiswa Pascasarjana Universitas Sebelas Maret

(UNS) Surakarta Program studi Kajian Budaya

23

23

bagi peradaban pembentuk karakter bangsa. Terlepas dari motivasi maupun

tujuan penciptaannya, kehadiran seni selama ini telah dianggap

memberikan kontribusi bagi pembentukan karakter manusia yang

berbudaya karena sifat dan keunikannya.

Kata Kunci: Pendidikan Seni, Estetika, Karakter A. Pendahuluan

Dalam Undang-undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003

tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) merumuskan fungsi

dan tujuan pendidikan nasional yang harus digunakan dalam

mengembangkan upaya pendidikan di Indonesia. Pasal 3 UU Sisdiknas

menyebutkan, “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan

membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi

peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada

Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,

mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung

jawab”. Tujuan pendidikan nasional itu merupakan rumusan mengenai

kualitas manusia Indonesia yang harus dikembangkan oleh setiap satuan

pendidikan. Oleh karena itu, rumusan tujuan pendidikan nasional menjadi

dasar dalam pengembangan pendidikan seni dan budaya2.

Pendidikan adalah suatu upaya sadar untuk mengembangkan potensi

peserta didik secara optimal. Usaha sadar itu tidak boleh dilepaskan dari

lingkungan peserta didik berada, terutama dari lingkungan budayanya,

karena peserta didik hidup tak terpishkan dalam lingkungannya dan

bertindak sesuai dengan kaidah-kaidah budayanya. Kebudayaan bersifat

dinamis, oleh sebab itu ia dapat mengalami perubahan atau pergeseran.

Pendidikan yang tidak dilandasi oleh prinsip itu akan menyebabkan peserta

didik tercerabut dari akar budayanya. Ketika hal ini terjadi, maka mereka

tidak akan mengenal budayanya dengan baik sehingga ia menjadi orang

“asing” dalam lingkungan budayanya. Selain menjadi orang asing, yang

lebih mengkhawatirkan adalah dia menjadi orang yang tidak menyukai

budayanya3.

2 Kementerian Pendidikan Nasional Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat

Kurikulum. 2010. Bahan Pelatihan: Penguatan Metodologi Pebelajaran Berdasarkan

Nilai-nilai Budaya Untuk Membentuk Dasa Saing dan Karakter Bangsa, hal. 2 3 Ibid., hal 4,

24

24

Koentjoroningrat mengemukakan bahwa Kebudayaan Nasional

Indonesia adalah hasil karya putera Indonesia dari suku bangsa manapun

asalnya, yang penting khas dan bermutu sehingga sebagian besar orang

Indonesia bisa mengidentifikasikan diri dan merasa bangga dengan

karyanya. Kebudayaan Indonesia adalah satu kondisi majemuk karena ia

bermodalkan berbagai kebudayaan, yang berkembang menurut tuntutan

sejarahnya sendiri-sendiri. Pengalaman serta kemampuan daerah itu

memberikan jawaban terhadap masing-masing tantangan yang member

bentuk kesenian, yang merupakan bagian dari kebudayaan.4

Berdasarkan konteks budaya, ragam kesenian terjadi disebabkan pada

adanya sejarah dari zaman ke zaman. Jenis-jenis kesenian tertentu

mempunyai kelompok pendukung yang memiliki fungsi berbeda. Adanya

perubahan fungsi dapat menimbulkan perubahan yang hasil-hasil seninya

disebabkan oleh dinamika masyarakat, kreativitas, dan pola tingkah laku

dalam konteks kemasyarakatan.

Dalam kecenderungan perkembangan seni dewasa ini, keindahan

positif tidak lagi menjadi tujuan yang paling penting dalam berkesenian.

Sebagian seniman beranggapan lebih penting menggoncang publik dengan

nilai estetis legatif (ugliness) daripada menyenangkan atau memuaskan

mereka. Fenomena semacam ini akan kita jumpai pada karya-karya seni

primitive atau karya seni lainnya yang tidak mementingkan keidahan

tampilan visual namun lebih mementingkan makna simboliknya.

“Ugliness” dalam karya seni termasuk nilai estetis yang negatif. Jadi

sesungguhnya dalam karya seni terdapat nilai estetis yang positif dan

negatif.

B. Pembahasan Istilah kata "seni" berasal dari "sani" yang artinya "Jiwa Yang Luhur/

Ketulusan jiwa diartikan sebagai kata seni ". sedangkan dalam bahasa

Inggris dengan istilah "Art" (artivisial) yang artinya adalah barang atau

karya dari sebuah kegiatan.

The Liang Gie (1976) menjelaskan bahwa dalam semua jenis

kesenian terdapat unsur-unsur yang membangun karya seni sebagai berikut:

(1) Struktur seni merupakan tata hubungan sejumlah unsur-unsur seni yang

membentuk suatu kesatuan karya seni yang utuh. Contoh struktur seni

dalam bidang seni rupa adalah garis, warna, bentuk, bidang dan tekstur.

Bidang seni musik adalah irama dan melodi. Bidang seni tari adalah

wirama, wirasa dan wiraga. Bidang seni teater adalah gerak, suara dan

4 Koentjaraningrat.1985. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru., hal. 5

25

25

lakon. (2) Tema merupakan ide pokok yang dipersoalkan dalam karya seni.

Ide pokok suatu karya seni dapat dipahami atau dikenal melalui pemilihan

subject matter (pokok soal) dan judul karya. Pokok soal dapat berhubungan

dengan niat estetis atau nilai kehidupan, yakni berupa: objek alam, alam

kebendaan, suasana atau peristiwa yang metafora atau alegori. Namun tidak

semua karya memiliki tema melainkan kritik. (3) Medium adalah sarana

yang digunakan dalam mewujudkan gagasan menjadi suatu karya seni

melalui pemanfaatan material atau bahan dan alat serta penguasaan teknik

berkarya. Tanpa medium tak ada karya seni. (4) Gaya atau style dalam

karya seni merupakan ciri ekspresi personal yang khas dari siseniman

dalam menyajikan karyanya. Gaya adalah ciri bentuk luar yang melekat

pada wujud karya seni, sedangkan aliran berkaitan dengan isi karya seni

yang merefleksikan pandangan atau prinsip si seniman dalam menanggapai

sesuatu5.

1. Menumbuhkan Apresiasi dalam Pendidikan Seni Sebagai medium estetis yang „mencerahkan‟ kehidupan manusia-

manusia lainnya yang dapat menikmatinya tanpa harus langsung terlibat

dalam proses menciptanya, kehadiran karya seni juga mampu menstimuli

lingkungan penikmatnya. Jadi tidak hanya berguna bagi si penciptanya

sebagai ‘aesthetic catalyst’ tetapi juga bagi lingkungan penikmatnya yang

lain. Entitas karya-karya seni yang beragam bentuk dan keunikan nilai

keindahannya tadi telah secara nyata memberikan manfaat tidak saja

bersifat bathiniah tetapi juga dampak kehadiran secara fisiknya yang

memiliki nilai materi, fungsi dan nilai khusus komoditas ekonomisnya.

Oleh karena itu apresiasi menjadi aspek yang cukup penting dalam

pembelajaran pendidikan seni. Dalam bahasa sederhana, apresiasi berarti

menerima, menghargai melalui proses yang melibatakan rasa dan fikir.

Kegiatan apresiasi seni di masyarakat, begitu juga dalam penyelenggaraan

pendidikan seni di kelas, sampai saat ini masih terbatas sekali dalam arti

belum banyak dikembangkan. Sesungguhnya pada masa sekarang, anak-

anak memiliki lebih banyak peluang untuk meningkatkan apresiasi

dibandingkan dengan zaman dahulu.

Apresiasi Seni adalah menikmati, menghayati dan merasakan suatu

objek atau karya seni lebih tepat lagi dengan mencermati karya seni dengan

mengerti dan peka terhadap segi-segi estetiknya, sehingga mampu

menikmati dan memaknai karya-karya tersebut dengan semestinya. S.E.

5 Soedarso, Sp., 2006. Trilogi Seni: Penciptaan, Eksistensi, dan Kegunaan Seni.

Yogyakarta: BP.ISI Yogyakarta., hal 105

26

26

Effendi mengungkapkan bahwa apresiasi adalah mengenali karya sehingga

menumbuhkan pengertian, penghargaan, kepekaan untuk mencermati

kelebihan dan kekurangan terhadap karya.

Secara lebih luas, apresiasi dilakukan bukan hanya terhadap karya

seni tetapi juga terhadap keindahan di alam. Siswa diajak “melihat”

keindahan yang ada di mana-mana. Keindahan atau kemenarikan hasil

karya ditunjukkan guru (lebih tepat: disarankan), dengan catatan bukan

mutlak harus diterima siswa. Dengan banyaknya melihat unsur-unsur yang

indah/artistik, maka terciptalah pola gambaran mental pada dirinya tentang

apa-apa yang dianggap kebanyakan orang sebagai hal yang indah/seni.

Diskusi tentang aspek-aspek desain (harmoni, keseimbangan, ritme,

kesatuan, pusat perhatian, dsb) akan membentuk kesadaran anak terhadap

kualitas baik-buruk karya seni dan dengan demikian apresiasi seni akan

terbentuk6. Hal-hal yang dibicarakan dalam diskusi tersebut meliputi antara

lain : (1) Judul-judul atau objek yang digambarkan: apa yang tampak, apa

yang aneh, apa yang menarik. Pada tahap usia SD, yang disukai anak

umumnya penggambaran secara visual yang “hidup”, bukan karya-karya

abstrak atau yang memerlukan renungan mendalam. (2) Warna.

Dipertanyakan mana yang disukai, mana warna yang kurang kuat (kabur),

mana yang menurut mereka aneh atau ganjil. (3) Penempatan.

Dipertanyakan, bagaimana kesesuaian ukuran gambar dengan bidang

gambar, distimulasi perlunya keseimbangan, untuk meningkatkan kepekaan

komposisi. (4) Pemanfaatan media. Dipertanyakan kemungkinan-

kemungkinan teknik penggunaan media, sifat khas media serta cara-cara

orang lain yang berhasil menggunakannya.

Dalam rangka proses pembelajaran siswa, seorang pendidik memiliki

peranan sebagai pekritik karya-karya siswa sebagai motivasi, responsi,

evaluasi, reinforcement. Peranan pendidik tersebut sangat berfungsi untuk

membina kemandirian kreasi dan ekspresi diri anakdidik (Siswa). Tidak

menghakimi siswa dengan putusan nilai yang kuantitatif, namun lebih

mengarah kepada penguatan the student’s artistic personality.

Ada tiga pendekatan dalam melakukan apresiasi yakni : 1)

pendekatan aplikatif, 2) pendekatan kesejarahan, 3) Pendekatan

problematik. Pendekatan aplikatif, adalah pendekatan dengan cara

melakukan sendiri macam-macam kegiatan seni. Pendekatan kesejarahan

adalah, dengan cara menganalisis dari sisi periodisasi dan asal usulnya.

6 Lowenfeld, Victor, (1982), Creative and Mental Growth, New York: McMillan.

27

27

Sedangkan pendekatan problematik, dengan cara memahami permasalahan

di dalam seni7.

Pembelajaran apresiasi dalam seni tidak saja berfungsi bagi

pembelajaran seni tetapi dapat juga diimplementasikan untuk pembelajaran

lainnya. Implementasi apresiasi menumbuhkan sikap yang mendukung

anak dalam: (1) pembelajaran sosial, (2) membangun kemitraan dengan

komunitas, (3) menjadi peneliti yang aktif, (4) menjadi komunikator yang

efektif dan (5) partisipasi dalam kehidupan yang saling berketergantungan. a) Pembelajaran Sosial Kompetensi untuk menilai dan menghargai karya seni

menumbuhkan sikap untuk menghargai fenomena sosial lainnya.

Ketika para siswa mengambil bagian dalam apresiasi praktek seni yang

ada di masyarakat, mereka mengembangkan suatu pemahaman tentang

dinamika masyarakat dalam konteks budaya, sosial, ekonomi dan

historis tertentu dan berbagi makna sosial yang diproduksi dan dihargai

oleh kelompok masyarakat tersebut. Melalui kegiatan dan pengalaman

ini, para siswa mengembangkan keterampilan interaktif, kepercayaan

sosial, pemahaman dinamika kelompok dan kemampuan untuk

merundingkan dalam kelompok ketika mereka bekerja ke arah suatu

tujuan bersama. Hal ini akan mendidik mereka untuk memahami

perasaan mereka sendiri, tanggapan secara emosional dan orang lain

seperti halnya ketika mereka terlibat dalam, dan merefleksikan, sebuah

pengalaman seni. Kondisi ini membawa mereka ada dalam situasi yang

memungkinkan untuk berempati dengan yang lain, berbagi

kegembiraan, mengatur frustrasi dan menghadirkan perasaan ketika

menciptakan produk seni.

Tujuan dan fungsi kehadiran karya seni tentunya dalam tahapan

penciptaan karya (creative process) menjadi tumpuan utama yang

memberikan arah sasaran kemana sebuah karya seni nantinya akan

dibawa. Didukung oleh „niat‟ (rasa & karsa) maka tujuan dan fungsi

karya seni menjadi „pengawal‟ proses kreatif penciptaan karya seni

sampai jadi dan berfungsi optimal sesuai dengan tujuan utama

penciptaannya. Sedangkan ide dan konsep merupakan pemicu dan

pemikiran kerja bagaimana „tujuan‟ harus diciptakan. Sebagai unsur

pemicu, ide seorang seniman merupakan hasil dari banyak hal.

Diantaranya dapat berupa observasi secara mendalam tentang karya

7 Soedarso, Sp., 2006. Trilogi Seni: Penciptaan, Eksistensi, dan Kegunaan Seni.

Yogyakarta: BP.ISI Yogyakarta., hal. 145

28

28

dan fungsinya sehingga diperlukan suatu upaya eksploratif berbekal

pengetahuan, ketrampilan, dan rasa. b) Membangun kemitraan dengan komunitas Apresiasi seni dapat menciptakan kebersamaan di antara para

siswa dan anggota sekolah, masyarakat sekitar dan komunitas seni.

Kemitraan ini melibatkan siswa dalam pendekatan dengan banyak

orang, pengalaman dan konteks. Beberapa siswa dapat mengakses

manfaat pribadi melalui pengalaman seni yang ada di masyarakat ini

seperti halnya pengalaman belajar yang diciptakan di sekolah.

Mengembangkan kemitraan dengan pihak yang menawarkan

keikutsertaan dalam berbagai program seni memungkinkan untuk

menghubungkan pelajaran di dalam sekolah dengan realitas yang ada

dimasyarakat. Kemitraan juga menyediakan peluang untuk

menginformasikan masyarakat tentang pendidikan di dalam dan

melalui aktivitas seni. Asumsi sumber daya masyarakat dan sekolah

berbeda, aktivitas belajar dapat diperkaya dengan membangun

kemitraan dengan orang lain pihak yang terlibat dalam seni. Orang tua,

anggota masyarakat, pengurus seni (arts administrators), seniman lokal,

para guru dan para pekerja industri seni dapat memberi dukungan

dengan berbagi kegiatan, pengalaman, keahlian, keterampilan dan cara

kerja mereka menggunakan material serta praktek.

Kemitraan dengan komunitas dapat juga memperkaya aktivitas

pelajaran yang ditawarkan ke para siswa dengan menyediakan akses ke

peralatan, fasilitas, musium, dan kegiatan seni di masyarakat.

Pengertian yang mendalam terhadap praktek seni dapat disajikan

melalui pengalaman seniman dalam program sekolah, karya seni yang

asli dan “ruang” aktivitas seni di luar kelas, “ruang” publik dan

“ruang” virtual. Kegiatan ini berharga bagi para siswa dan anggota

masyarakat karena memiliki peluang untuk berinteraksi dan

berkolaborasi pada proyek seni dalam situasi belajar di kehidupan

nyata.

Penghargaan dan pemahaman tentang keaneka ragaman budaya

dan sifat alami saling berhubungan antara seni dan budaya mungkin

dapat dieksplorasi dengan jalan yang penuh makna. Hal ini dapat

ditingkatkan melalui representasi praktek seni dan seniman-seniman

tradisi yang lahir dari budaya asli yang ada di masyarakat ke dalam

lingkungan sekolah. Kemitraan dengan masyarakat pedalaman dan

penduduk asli, misalnya, menyediakan peluang belajar yang cukup

esensial bagi siswa. Masyarakat semacam ini sering mempunyai kultur

dengan suatu orientasi lisan dan pendekatan holistik kepada transmisi

29

29

pengetahuan budaya. Ekspresi dari identitas budaya, sejarah, hukum,

hubungan dengan alam dan sistem kekerabatan melalui suatu variasi

makna artistik menyediakan pengalaman belajar yang kaya bagi para

siswa. Untuk menciptakan dan memelihara kemitraan dengan

masyarakat pedalaman atau penduduk asli, peserta belajar harus

menghormati protokol dan prosedur yang berlaku dalam masyarakat

tersebut. Efektivitas dari proses pembelajaran melalui program

kemitraan ini, dapat dilakukan dengan mencari pembimbing (guidance)

dari kelompok pribumi, organisasi dan anggota masyarakat yang

relevan. c) Menjadi peneliti yang aktif Melalui kegiatan apresiasi pada dasarnya siswa melakukan

kegiatan penelitian. Sebagai peneliti yang aktif, para siswa membangun

makna melalui apresiasi apa yang mereka selidiki, uraikan dan

prediksi. Mereka mempelajari dan menemukan sendiri jalan yang

efektif untuk mengakui adanya berbagai perspektif dan untuk

menghadapi tantangan perbedaan pandangan, metoda dan kesimpulan.

Para siswa menggunakan berbagai teknik dan teknologi dan

menerapkannya dalam apresiasi untuk menyelidiki dan menganalisa

secara tekstual maupun kontekstual. Sikap ini akan membantu

kepekaan siswa terhadap aspek gagasan yang bersifat intuitif dan

berlangsung sesaat dari banyak proses dan produk seni sehingga

peluang terhadap penemuan dapat segera dikenali dan dikaji. d) Menjadi komunikator yang efektif Mempresentasikan tanggapan dalam pembelajaran apresiasi

dapat mendorong siswa menjadi komunikator yang efektif. Kompetensi

ini menuntut para siswa mengembangkan kemampuan untuk

berkomunikasi secara efektif dan dengan penuh percaya diri di dalam

berbagai konteks dan untuk komunikan yang berbeda. Mereka belajar

untuk menggunakan berbagai sistem simbol, bahasa, bentuk dan proses

seni ketika merumuskan, mengkomunikasikan serta membenarkan

pendapat dan gagasan. Para siswa memahami bahwa karya seni

berfungsi juga sebagai media komunikasi yang membawa nilai-nilai

didalamnya sebagai konstruksi kenyataan dan imajinasi, serta

mempunyai kapasitas untuk menimbulkan tanggapan.

e) Partisipan dalam kehidupan yang saling berketergantungan.

Dengan mengambil bagian, mengapresiasi dan mengkritisi

pengalaman, produk dan capaian seni, para siswa mulai untuk

mencerminkan, bereaksi dan mengevaluasi peran seni di dalam

masyarakat yang berbeda. Para siswa mengembangkan suatu

30

30

pemahaman yang meningkatkan kualitas diri mereka sebagai anggota

budaya dan masyarakat masa lampau, hari ini dan masa depan di mana

mereka dapat berkontribusi didalamnya.

Melalui negosiasi dan bekerja sama dalam pengambilan

keputusan, serta aktif secara efektif di dalam kelompok untuk

mencapai tujuan bersama, para siswa belajar mengidentifikasi dan

menerapkan keterampilan antar budaya dan antar pribadi yang berbeda.

Kemampuan ini dapat mengembangkan suatu kapasitas. 2. Pendidikan Seni membentuk Karakter dan Ruang Kesadaran Kehadiran karya seni dianggap memiliki „karakter‟ secara umum

karena varian yang unik tentang kondisi bentuk serta intrinsic and extrinsic

properties yang teraplikasikan dalam proses penciptaannya. Sedangkan

secara khusus „karakter‟ karya seni tercermin bila itu menyangkut pada

aspek tujuan, fungsi, ide & konsep serta nilai filosofis yang terkandung

pada kehadiran karya seni. Khususnya yang menyangkut makna yang

tersirat atau significant idea pada karya tersebut8.

Lebih lanjut Soedjono mengemukakan bahwa sejak awal mula

kehadirannya apa yang kita kenal sekarang sebagai karya seni, hasil ciptaan

manusia tersebut sudah memiliki karakter hakikinya sebagai salah satu

„solusi‟ pemenuhan kebutuhan manusia. Terutama dalam mengekspresikan

kebesaran pemberian Tuhan bagi mereka yang dikaruniai bakat dan minat

dalam bidang kesenian. Suatu kemampuan yang harus disyukuri karena

tidak semua manusia mendapatkan kemampuan bakat dan minat

berkesenian tersebut. Hanya mereka yang terpilih dan diarahkan untuk

dapat berkreasi karya seni secara kreatif sajalah yang diharapkan mampu

dan bisa berbagi kehadiran bentuk dan nilai keindahan karya seninya

dengan sesama. Terlepas dari motivasi maupun tujuan penciptaannya,

kehadiran karya seni selama ini telah dianggap memberikan kontribusi bagi

pembentukan karakter manusia yang berbudaya karena sifat dan

keunikannya. Karya seni mampu menawarkan dirinya sebagai medium

untuk mencapai berbagai kebutuhan dan tujuan hidup manusia9.

Sebagaimana dikemukakan oleh banyak tokoh pemikir kebudayaan,

bahwa dunia kesenian merupakan bagian dari kebudayaan yang tak

terpisahkan dari peradaban manusia, masyarakat atau suatu bangsa. Bahkan

indikasi tinggi-rendahnya peradaban suatu masyarakat atau sebuah bangsa

8 Soedjono, Soeprapto. 2011. Kesenian Berkarakter dalam Wahana Multidisiplin.

Makalah Kuliah Umum Mahasiswa Baru Tahun Akademik 2011/2012 Institut Seni

Indonesia Yogyakarta.., hal. 1 9 Ibid., hal. 2

31

31

dapat ditelusuri dari nilai-nilai yang terkandung didalamnya, termasuk dari

watak-watak karya keseniannya. Karena pada dasarnya karya seni

merupakan refleksi perasaan, pikiran, atau cerminan realitas sosial dari

nilai-nilai kehidupan yang ada dalam masyarakat tersebut.

Karya seni tidak akan mempunyai arti tanpa pertaliannya dengan

hidup, manusia dan masyarakat. Karena tujuan seni adalah hidup itu

sendiri. Oleh karena itu seni harus menciptakan kerinduan kepada hidup

yang sublim. Obyek yang ada pada karya seni harus membawakan pesan

tentang kehidupan abadi meneruskan tujuan Tuhan.

Seperti setiapkali memanjatkan doa tahlil selalu disebutkan bahwa

seniman tak bedanya ulama adalah orang-orang yang diridhoi dan

mendapat anugerah nikmat untuk mengamalkan, mewartakan ilmunya ke

jalan yang benar, demi kebaikan dan kebajikan umat manusia, bukan

kesesatan. Jadi di sini menunjukkan bahwa peran dan tanggungjawab

seniman tak bedanya dengan ulama, pewarta kabar bagi kebajikan umat

manusia. Seni menjadi sesuatu yang “rahmatan lil alamin”.

Dalam kesenian, seorang seniman yang ingin berkarya sudah

seyogjanya tidak hanya menuangkan kebebasannya dalam berekspresi

semata, tapi juga bagaimana mampu membangkitkan kesadaran akan nilai

humanisme (kemanusiaan) dengan cara memahami realitas sosialnya,

sekaligus bagaimana memberi makna pada kehidupan. Tahapan

pendewasaan dalam menyerap dan memahami karya seni yang berpijak

pada realitas sosial inilah yang akan membawa manusia pada transformasi

kesadaran, yang pada akhirnya berkembang sebagai sebuah gerak

dialektika. Bagi seorang perupa, misalnya, karya seni akan dilihat dari sisi

kaidah kesenirupaannya dengan segala aspek bentuk estetisnya. Telaah

teknis dan upaya apresiatifnya terhadap daya tampil lukisan akan

memperkaya vokabulari estetika kesenirupaan yang diperlukan bagi

pengembangan dan pemantapan karirnya sebagai seorang senirupawan.

Tidak tertutup kemungkinan bahwa tampilan karya seni tersebut dapat

memberikan masukan yang dapat menstimulir ide penciptaan karya seninya

sendiri.

Karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang

yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang

diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir,

bersikap, dan bertindak. Kebajikan terdiri atas sejumlah nilai, moral, dan

norma, seperti jujur, berani bertindak, dapat dipercaya, dan hormat kepada

orang lain. Interaksi seseorang dengan orang lain menumbuhkan karakter

masyarakat dan karakter bangsa. Oleh karena itu, pengembangan karakter

bangsa hanya dapat dilakukan melalui pengembangan karakter individu

32

32

seseorang. Akan tetapi, karena manusia hidup dalam ligkungan sosial dan

budaya tertentu, maka pengembangan karakter individu seseorang hanya

dapat dilakukan dalam lingkungan sosial dan budaya yang bersangkutan10.

Nilai karakter sebuah karya seni dapat dilihat dari faktor tampil eksistensi

fisiknya baik itu yang bersifat karya seni yang diciptakan untuk „meruang‟

(spatial arts) maupun yang „mewaktu‟ (timely arts). Ataupun karya seni

yang merupakan kombinasi keduanya yang dalam kehadirannya

memerlukan ruang dan waktu. Dalam hal ini karakter karya seninya

terindikasikan dari sisi bentuk (physical forms) yang terukur karena standar

ukuran yang digunakan (sizes, volumes) maupun kondisi dan durasi waktu

tampil yang diperlukan. Dengan demikian dapat juga diamati karakter

karya seni yang berbeda tidak saja karena ruang yang diperlukan untuk

mengada itu berbeda, tetapi juga karena waktu yang diperlukannya juga

berbeda durasinya. Maka secara kontekstual seni akan memberikan ruang

kesadaran baru tentang idealisme kehidupan, baik bagi penciptanya

maupun penikmat seni, baik bagi individual maupun kelompok, baik bagi

rakyat maupun penguasa. Semakin kuat seseorang memiliki dasar

pertimbangan, semakin kuat pula kecenderungan untuk tumbuh dan

berkembang menjadi warga negara yang baik. Pada titik kulminasinya,

norma dan nilai seni secara kolektif pada tingkat makro akan menjadi

norma dan nilai budaya bangsa.

C. Kesimpulan Dari yang uraian di atas setidaknya menunjukkan bahwa kehadiran

seni memberi peran dan pengaruh cukup kuat dalam kehidupan manusia,

masyarakat dan bangsa. Seni yang didalamnya mengandung butiran-butiran

keindahan dan keselarasan harmoni haruslah mengutamakan pesan

kebajikan dan mengajarkan kearifan-kearifan pada hidup manusia. Di sini

sebagai refleksi ilmu pengetahuan seni juga tak luput dari pemahaman-

pemahaman yang menyangkut ungkapan perasaan, alam pikiran dan

kesadaran manusia akan realitas sosial dan nilai-nilai kehidupan.

Jadi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi harus pula

diimbangi dengan pendidikan seni secara dini sebagai pembentuk pribadi

anak didik yang “berkarakter”. Ilmu Pengetahuan tanpa seni akan mudah

tergelincir kedalam kehidupan duniawi semata yang mengabaikan nilai-

nilai estetika dan moral.

10 Kementerian Pendidikan Nasional Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat

Kurikulum. 2010. Bahan Pelatihan: Penguatan Metodologi Pebelajaran Berdasarkan

Nilai-nilai Budaya Untuk Membentuk Dasa Saing dan Karakter Bangsa, hal. 3-4

33

33

Tetapi sebagai media pendidikan seni harus dijauhkan dari karya seni

yang melemahkan jiwa serta mudah menimbulkan hasrat nafsu buruk. Seni

adalah sarana yang berharga bagi prestasi kehidupan dan pembinaan

martabat manusia. Keberadaan seni justru harus ditempatkan sebagai nurani

terdalam bangsa. Di sini posisi seniman dan aktivis dunia seni memiliki

kekuatan sangatlah besar yang dapat mengangkat derajat bangsanya, dan

mengantarkan ke arah kebesaran demi kebesaran yang lebih tinggi. Untuk

itu, seorang seniman dan aktivis dunia seni seharusnya menjadi pelopor

suatu fajar kebangkitan, dan menjadi rahmat bagi kemanusiaan dan alam.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Usman. 2006. Kebebasan Dalam Perbincangan Filsafat, Pendidikan

dan Agama. Yogyakarta.Pilar Media.

Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek.

Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Arini, Sri Hermawati Dwi,Dkk. 2008. Seni Budaya SMK. Diterbitkan oleh

Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Departemen

Pendidikan Nasional.

Bangun, Sem.C. 1997. Aplikasi Estetika Dalam Seni Rupa. Jakarta: Fakulas

Pendidikan Bahasa dan Seni Institut Keguruan dan Ilmu

Pendidikan.

Bungin, Burhan. 2006. Analisis Data Penelitian Kualitatif: Pemahaman Filosofis dan Metodelogis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.

Cavallaro, Dani. 2004. Teori Kritis dan Teori Budaya. Yogyakarta.

Niagara.

CHUA, Y. P. 1988. Penilaian guru pendidikan seni terhadap kreativiti

catan pelajar. Thesis Master, Universiti Putra Malaysia, Serdang.

Dwi Kusumawardani. 2005. Metode Pengembangan Seni.

Jakarta:Universitas Terbuka.

Ganda, Prawira, N., (ed.), 2005, Seni Rupa dan Kerajinan, Buku Ajar

mahasiswa PGSD/PGTK, Guru SD/TK, Bandung, Jurusan

Pendidikan Seni Rupa Universitas Pendidikan Indonesia.

Jacob Sumarjo. 2000. Filsafat Seni. Bandung : IBT Bandung.

Kementerian Pendidikan Nasional Badan Penelitian dan Pengembangan

Pusat Kurikulum. 2010. Bahan Pelatihan: Penguatan Metodologi Pebelajaran Berdasarkan Nilai-nilai Budaya Untuk Membentuk Dasa Saing dan Karakter Bangsa.

34

34

Koentjaraningrat. 1974. Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan.

Jakarta: Gramedia.

Koentjaraningrat.1985. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru.

Langer, Zussane. 1988. Problematika seni. Terjemahan FX Widaryanto.

Bandung; ISI Bandung.

Lowenfeld, Victor, (1982), Creative and Mental Growth, New York:

McMillan.

Masinambouw. EKM. 2010. Koentjaraningrat Dan Antropologi Di

Indonesia . Jakarta. Yayasan Obor.

Munandar, Utami. 1996. Mengembangkan bakat dan kreativitas anak

sekolah. Petunjuk bagi para guru dan orang tua. Jakarta : Gramedia

Widiasarana Indonesia Jakarta.

Ratna, Kutha. N. 2007. Estetika Sastra dan Budaya. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar.

Ratna, Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra: dari Strukturalisme hingga Potstrukturalisme, Perspektif Wacana NAratif. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.

________, 2005. Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan

Fakta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Rizali, Nanang. 2000. Perwujudan Tekstil Tradisional Indonesia; Kajian Makna Simbolik Ragam Hias Bati yang Bernafaskan Islam pada

Etnik Melayu, Sunda, Jawa dan Madura. Abstrak Disertasi. ITB

Bandung.

Sachari, Agus. 2004. Seni rupa dan desain : membangun kreativitas

dankompetensi. Jakarta : Erlangga Penerbit.

Sahman, Humar.1993.Mengenali Dunia Seni Rupa, Tentang Seni, Karya

Seni, Aktivitas Kreatif, Apresiasi, Kritik dan Estetika, IKIP

Semarang Press, Semarang,

Soedjono, Soeprapto. 2011. Kesenian Berkarakter dalam Wahana

Multidisiplin. Makalah Kuliah Umum Mahasiswa Baru Tahun

Akademik 2011/2012 Institut Seni Indonesia Yogyakarta.

Soedarso, Sp., 2006. Trilogi Seni: Penciptaan, Eksistensi, dan Kegunaan

Seni. Yogyakarta: BP.ISI Yogyakarta.

Subiyantoro, Slamet. 2010. Antropologi Seni Rupa. Teori, Metode &

Contoh Telaah Kritis. Surakarta:UNS Press.

Tabrani, Primadi. 1995.belajar dari Sejarah dan Lingkungan. Sebuah Renungan mengenai wawasan Kebangsaan dan dampak

Globalisasi. Bandung: ITB.

Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem

Pendidikan Nasional. Pemerintah Republik Indonesia.

35

35

IMPLEMENTASI DESAIN TOTAL QUALITY MANAGEMENT

(TQM) PENDIDIKAN TINGGI

Oleh : Ahmad Hamid1

ABSTRAK

Dalam rangka peningkatan pelayanan terhadap kepuasan pelanggan di

perguruan tinggi (mahasiswa). Total Quality Management (TQM) sebagai

suatu pendekatan dalam menjalankan usaha untuk mencoba

memaksimalkan daya saing organisasi melalui perbaikan terus-menerus

atas produk jasa, manusia, proses dan lingkungannya. Karena itu, Total

Quality Management (TQM) memiliki beberapa karakteristik : (1) fokus

pada pelanggan, baik pelanggan internal maupun eksternal, memiliki obsesi

yang tinggi terhadap kualitas, mengggunakan pendekatan ilmiah dalam

pengambilan keputusan dan pemecahan masalah, memiliki komitmen

jangka panjang, membutuhkan kerja sama tim (teamwork), memperbaiki

proses secara berkesinambungan, menyelenggarakan pendidikan dan

pelatihan, memberikan kebebasan yang terkendali, memiliki kesatuan

tujuan, (2) adanya keterlibatan dan pemberdayaan karyawan.

Inti dari Total Quality Management (TQM), sebagai berikut: (1),

Fokus untuk memberikan kepuasan pelanggan, dengan jaminan kualitas

tidak hanya bermakna kesesuaian dengan spesifikasi-spesifikasi tertentu,

tetapi kualitas itu ditentukan oleh pelanggan (internal maupun eksternal).

Kepuasan pelanggan harus dipenuhi dalam segala aspek, termasuk harga,

keamanan, dan ketepatan waktu. (2), respek terhadap setiap orang, setiap

karyawan dipandang sebagai individu yang memiliki talenta dan kreatifitas

tersendiri yang unik, dengan begitu, setiap karyawan dipandang sebagai

sumber daya organisasi yang paling bernilai. Karena itu, setiap karyawan

dalam organisasi diperlakukan secara baik dan diberi kesempatan untuk

mengembangkan diri, berbartisipasi dalam tim pengambilan keputusan. (3),

Manajemen berdasarkan fakta. Organisasi berorientasi pada fakta. Artinya

bahwa setiap keputusan organisasi harus didasarkan pada data, bukan pada

perasaan (feeling) Kata Kunci : TQM, Pendidikan Tinggi A. Pendahuluan

1 Ahmad Hamid adalah Alumnus Pascasarjana Program Manajemen Pendidikan

Tinggi Universitas Negeri Jakarta (PPs UNJ) lulus tahun 2010 dan Ketua Yayasan

Lembaga Pendidikan dan Pengembangan Sumber Daya Keluarga Indonesia (LP2SDKI)

36

Pendidikan Tinggi di Era Perdagangan babas semakin perlu di fahami

oleh karena negara-negara yang tergabung dalam anggota World Trade

Organization (WTO), yaitu Organisasi Perdagangan Dunia yang telah

menandatangani, General Agreement on Trade Services (GATS) semua

anggota berkewajiban menghormati dan tunduk pada perjanjian

internasional. Indonesia sejak 1994 telah menjadi anggota WTO, dengan

diratifikasinya semua perjanjian-perjanjian perdagangan multilateral

menjadi UU No. 7 tahun 1994, perjanjian tersebut mengatur tata

perdaganagn barang, jasa dan trade related intellectual property rights

(TRIPS) atau hak atas kepemilikan intelektual yang terkait dalam

perdagangan dalam bidang jasa yang masuk sebagai obyek pengaturan

adalah semua jasa kecuali jasa non komersial atau tidak bersaing dengan

penyedia perdagangan jasa lainnya. liberalisasi perdagangan 12 sektor jasa,

yang mengharuskan dibukanya jasa pelayanan publik termasuk jasa, antara

lain layanan kesehatan, teknologi informasi dan komunikasi, jasa

akuntansi, serta jasa pendidikan khususnya pendidikan tinggi. Ruang

lingkup standar perdagangan jasa di bidang pendidikan tinggi menurut

kerangka WTO, adalah salah satunya penerapkan, ISO 9000- 2001),

sebagai dasar standar kualitas manajemen dalam sistem Total Quality

Management (TQM), yang paling diakui oleh dunia internasional, terbukti

memiliki pengaruh yang baik untuk lebih berkembang kearah lebih positif

terhadap implementasi faktor-faktor pendukung menejemen pendidikan

tinggi. Dalam kaitannya dengan hal itu menurut perjanjian World Trade

Organization (WTO), jasa pendidikan tinggi, telah mengidentifikasi empat

mode sebagai berikut: (1) Cross-border supply, institusi pendidikan tinggi

luar negeri menawarkan kuliah-kuliah melalui internet dan online degree

program. (2) Consumtion abroad, adalah bentuk penyediaan jasa

pendidikan tinggi yang paling dominan, mahasiswa belajar di perguruan

tinggi laur negeri, (3) Commercial presence, atau kehadiran perguruan

tinggi luar negeri dengan membentuk partnership, subsidiary, twinning

arrangement dengan perguruan tinggi lokal, (4) Presence of natural

persons, dosen atau pengajar asing mengajar pada lembaga pendidikan

tinggi lokal.

B. Pembahasan 1. Makna Total Quality Management (TQM) Pengertian kulitas terpadu seperti di atas, memberikan kerangka yang

jelas bahwa hakekat Total Quality Management (TQM) atau manajemen

kualitas terpadu sebenarnya adalah filosofi dan budaya (kerja) organisasi

(phylosopy of management) yang berorentasi pada kualitas. Tujuan (goal)

37

yang akan dicapai dalam organisasi dengan budaya TQM adalah memenuhi

atau bahkan melebihi apa yang dibutuhkan (needs) dan yang diharapkan

atau diinginkan (desire) oleh pelanggan. TQM dapat diartikan sebagai

pengelolaan kualitas semua komponen (stakehorder) yang berkepentingan

dengan visi dan misi organisasi. Jadi, pada dasarnya TQM itu bukanlah

pembebanan ataupun pemeriksaan. Tetapi, TQM adalah lebih dari usaha

untuk melakukan sesuatu yang benar setiap waktu, daripada melakukan

pemeriksaan (cheking) pada waktu tertentu ketika terjadi kesalahan. TQM

bukan bekerja untuk agenda orang lain, walaupun agenda itu dikhususkan

untuk pelanggan (customer) dan klien. Demikian juga, TQM bukan

sesuatu yang diperuntukkan bagi menajer senior dan kemudian

melewatkan tujuan yang telah dirumuskan ”Total” dalam TQM adalah

pelibatan semua komponen organisasi yang berlangsung secara terus-

menerus.2Sementara “manajemen” di dalam TQM berarti pengelolaan

setiap orang yang berada di dalam organisasi, apapun status, posisi atau

perannya. Mereka semua adalah manajer dari tanggung jawab yang

dimilikinya. Senada dengan pengertian ini, Lesley dan Malcolm menyatakan

bahwa dalam Total Quallity Management (TQM), maka semua fungsionaris

organisasi, tanpa kecuali dituntut memiliki tiga kemampuan, yaitu :

Pertama, mengerjakan hal-hal yang benar. Ini berarti bahwa hanya kegiatan

yang menunjang bisnis demi memuaskan kebutuhan pelanggan yang dapat

diterima. Kegiatan yang tidak perlu maka jangan dilanjutkan lagi. Kedua,

mengerjakan hal-hal dengan benar. Ini berarti bahwa semua kegiatan harus

dijalankan dengan benar, sehingga hasil kegiatan tersebut sesuai dengan

kebutuhan pelanggan. Ketiga, mengerjakan hal-hal dengan benar sejak

pertama kali setiap waktu.

Singapore Airlines, mendefinisikan bahwa Total Quality

Management (TQM), adalah pendekatan manajemen sebuah organisasi,

yang berpusat pada mutu, berdasarkan pada partisipasi semua anggotanya

dan bertujuan sukses jangka panjang melelui keputusan pelanggan, serta

keuntungan bagi anggota organisasi dan masyarakat.3 Dalam Buku Total

Quality Management in Government (1993), Cohen, berpendapat TQM

sebagai berikut : (1).Total menunjukkan pengertian mutu untuk setiap aspek

kerja, mulai dari mengidentifikasi apakah pelanggan itu puas. (2)Quality

berarti memenuhi dan melempui harapan pelanggan.(3). Management

berarti mengembangkan dan memelihara kemampuan organisasi untuk

2 Sarah Cook Customer care Excellence, terjemahan Kemas Ahmad (Jakarta: PPM

2004), hlm. 27 3 Hang Zeph , Yun, The Quest Global Quality Singapure Airlines(Jarkata, Pustaka

1998), hlm. 2

38

terus-menerus meningkatkan mutu 8402 (Quality Vocabulary)

mendefenisikan Total Quality Management (TQM), sebagai semua

aktivitas dari fungsi menejemen secara keseluruhan yang menentukan

kebijaksanaan kualitas, tujuan-tujuan dan tanggung jawab, serta

mengimplementasikannya melalui alat-alat seperti (1). Perencanaan kualitas

(qulity Plenning), (2). Pengendalian kualitas (Quality Control),(3). Jaminan

kualitas (Quality Assurance), dan (4). peningkatan kualitas (Quality

Improvement).

Selanjutnya Total Qualiti Menagement (TQM) yang diterapkan pada

Departemen Pertahanan Amerika Serikat (The. U.S. Departement of

Defense), di jelaskan bahwa, sekumpulan petunjuk prinsip –prinsip yang

menjadi landasan untuk perbaikan terus- menerus dari suatu organisasi

penerapan metode-metode kuantitatif dan sumber daya manusia untuk

meningkatkan kualitas material dan pelayanan yang dipasok pada suatu

organisasi. Goetsch dan Davis memberikan beberapa karakteristik

manajemen kualitas : 1) komitmen total pada peningkatan nilai secara

kontinyu terhadap customer, investor dan tenaga (staf), 2)lembaga

memahami dorongan pasar yang mengartikan kualitas bukan atas dasar

kepentingan organisasi tetapi kepentingan customer, dan 3) komitmen untuk

memimpin orang dengan perbaikan dan komunikasi terus-menerus.4

Prinsipnya, Total Quality Management (TQM) adalah suatu

pendekatan dalam menjalankan usaha untuk mencoba memaksimalkan

daya saing organisasi melalui perbaikan terus-menerus atas produk jasa,

manusia, proses dan lingkungannya. Karena itu, Total Quality Management

(TQM) memiliki beberapa karakteristik : (1) fokus pada pelanggan, baik

pelanggan internal maupun eksternal, memiliki obsesi yang tinggi terhadap

kualitas, mengggunakan pendekatan ilmiah dalam pengambilan keputusan

dan pemecahan masalah, memiliki komitmen jangka panjang,

membutuhkan kerja sama tim (teamwork), memperbaiki proses secara

berkesinambungan, menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan,

memberikan kebebasan yang terkendali, memiliki kesatuan tujuan, (2)

adanya keterlibatan dan pemberdayaan karyawan.5

Prinsip dan unsur pokok ini dalam Total Quality Management (TQM),

sebagai berikut: (1), Fokus untuk memberikan kepuasan pelanggan, dengan

jaminan kualitas tidak hanya bermakna kesesuaian dengan spesifikasi-

spesifikasi tertentu, tetapi kualitas itu ditentukan oleh pelanggan (internal

4 Soewarso Hardjosoedarmo, Total Quality management, (Yogyakarta: Andi 2004),

hlm. 17 5 TheTom Peter, Crazy Time Call For Crazy Organizations(Jakarta, Delapratasa

19996), hlm.209

39

39

maupun eksternal). Kepuasan pelanggan harus dipenuhi dalam segala aspek,

termasuk harga, keamanan, dan ketepatan waktu. (2), respek terhadap setiap

orang, setiap karyawan dipandang sebagai individu yang memiliki talenta

dan kreatifitas tersendiri yang unik, dengan begitu, setiap karyawan

dipandang sebagai sumber daya organisasi yang paling bernilai. Karena itu,

setiap karyawan dalam organisasi diperlakukan secara baik dan diberi

kesempatan untuk mengembangkan diri, berbartisipasi dalam tim

pengambilan keputusan. (3), Manajemen berdasarkan fakta. Organisasi

berorientasi pada fakta. Artinya bahwa setiap keputusan organisasi harus

didasarkan pada data, bukan pada perasaan (feeling) 2. Total Quality Management (TQM) Pendidikan Tinggi

Bersamaan dengan perkembangan masyarakat yang kian

kompetitif, organisasi pendidikan tinggi harus mampu memberikan hasil

pruduk yang berkualitas. Pruduk organisasi pendidikan tinggi utamanya

berbentuk jasa. Dalam konteks ini, jasa sebagai produk layanan dalam

organisasi pendidikan tinggi yang memenuhi kualitas dapat dilihat dari

beberapa aspek berikut :

a) komunikasi (communication, yaitu komunikasi antara penerima jasa

dengan pemberi jasa, kredibilitas (credibility), yaitu kepercayaan pihak

penerima jasa terhadap pemberi jasa, keamanan (security), yaitu

keamanan terhadap jasa yang ditawarkan, pengetahuan kustomer

(knowing the customer), yaitu pengertian dari pihak pemberi jasa pada

penerima jasa atau pemahaman pemberi jasa terhadap kebutuhan dan

harapan pemakai jasa.

b) standar (tangibles), yaitu bahwa dalam memberikan pelayanan kepada

kustomer harus dapat diukur atau dibuat standarnya, reliabilitas

(realiability), yaitu konsistensi kerja pemberi jasa dan kemampuan

pemberi jasa dalam memenuhi janji para penerima jasa, tanggapan

(responsivenerss), yaitu tanggapan pemberi jasa terhadap kebutuhan

dan harapan penerima jasa, kompetensi (competence), yaitu

kemampuan atau keterampilan pemberi jasa yang dibutuhkan setiap

orang dalam organisasi untuk memberikan jasanya kepada penerima

jasa.

c) akses (access), yaitu kemudahan pemberi jasa untuk dihubungi oleh

pihak penerima jasa, tata krama (courtesy), yaitu kesopanan, espek,

perhatian, dan kesamaan dalam hubungan personel.

Sementara itu, kualitas jasa juga memiliki beberapa sifat atau

karakteristik, antara lain; 1) subyektif, 2) umumnya berukuran afektif, 3)

40

40

mengutamakan kepemerhatian, 4) terdiri dari non-materi – bisa berupa

reputasi, sikap, tata krama, dan lain-lain, 5) tidak dapat dihitung secara

kuantitatif, tetapi hanya bisa diyakini, dipercaya dan sebagainya.

Menejemen Pendidikan tinggi seyogianya memahami pula perkembangan

manajemen sistem industri modern, sehingga mampu mendesain,

menerapkan, mengendalikan, dan meningkatkan kinerja sistem pendidikan

tinggi untuk memenuhi kebutuhan manajemen sistem industri modern.

Hal ini dimaksudkan agar setiap lulusan dari perguruan tinggi mampu dan

cepat beradaptasi dengan kebutuhan sistem industri modern. Dengan

demikian sebelum membahas tentang sistem pendidikan tinggi, perlu

diketahui tentang konsep dasar sistem industri modern yang akan

dipergunakan sebagai landasan utama untuk membahas penerapan TQM

pada sistem pendidikan tinggi modern. Ada dasarnya proses industri harus

dipandang sebagai suatu peningkatan terus-menerus (continuous industrial

process improvement), yang dimulai dari sederet siklus sejak adanya ide-ide

untuk menghasilkan suatu produk, pengembangan produk, proses produksi,

sampai distribusi kepada konsumen. Seterusnya, berdasarkan informasi

sebagai umpan-balik yang dikumpulkan dari pengguna produk (pelanggan)

itu dapat dikembangkan ide-ide kreatif untuk menciptakan produk baru atau

memperbaiki produk lama beserta proses produksi yang ada saat ini.

Demikian pula pendidikan tinggi mampu mengembangkan kreativitas ilmu

pengetahuan yang dimiliki agar lulusannya dapat di serap oleh pemakai

lulusan perguruan tinggi. Institusi yang efektif memerlukan strategi yang

kuat dengan maksud untuk menghadapi suasana kompetitif dan orientasi

dimasa depan. Untuk menjadi efektif didalam masa sekarang, intitusi

memerlukan proses pengembangan strategi kualitas, antara lain : Yang di

maksuadkan oleh Sallis: bahwa Total Quality Management (TQM)

education, adalah suatu makna dan standar kualitas dalam pendidikan

tinggi, ia memberikan suatu filosofi perangkat alat untuk memperbaiki

kualitas. Ia dicapai dangan ide sentral yang diwujudkan dalam bentuk

pelaksanaan,6. Maksudnya bahwa bentuk pelaksanaan dalam prinsip dasar

TQM, adalah pelanggan mempunyai kepentingan harus diutamakan

dengan komitmen yang tinggi. Kepemimpinan pendidikan tinggi (Rektor)

dan komitmen terhadap kualitas harus datang dari atas “Hukum besi” dari

kualitas. Semua model kualitas menekankan bahwa tanpa dorongan dari

pimpinan pendidikan tinggi inisiatif kualitas tidak akan berlangsung lama.

Pendidikan tinggi tidak terkecuali belaku juga hukum besi harus

menunjukkan komitmen yang kuat dan terus-menerus dan memimpin jalan

6 Vincent Gaspersz, Organizational Excellence, (Jakarta, Gramedia 2007), hlm. 25

41

41

sambil mendorong , staf pimpinan, karyawan dan dosen untuk melakukan

usaha secara serius. Menyenangkan kustomer Ini dicapai dengan kerja

keras secara kontinyu untuk memenuhi kebutuhan dan harapan kustomer. 7

Berdasarkan pada Implementasi Total Quality Management (TQM)

dapat diartikan sebagai suatu pendekatan dalam menjalankan usaha di

bidang produksi maupun jasa pendidikan khususnya pendidikan tinggi yang

mencoba untuk memaksimalkan daya saing organisasi melalui perbaikan

terus-menerus yaitu : (1). Fokus pada pelanggan, (2), Obsesi terhadap

kualitas, (3), Pendekatan ilmiah, (4). Komitmen Jangka panjang, (5), Kerja

sama Tim (Team work) (6), Perbaikan sistem secara berkesenambungan (7),

Pendidikan dan Pelatihan (8), Kebabasan yang Terkendali, (9), Kesatuan

tujuan, (10). Adanya keterlibatan dan pemberdayaan karyawan.8

Pada

konsep manajemen sistem industri modern, maka setiap lulusan perguruan

tinggi yang akan bekerja dalam sistem industri harus memiliki kemampuan

solusi masalah-masalah industri yang berkaitan dengan bidang ilmu yang

dikuasainya berdasarkan informasi yang relevan agar menghasilkan

keputusan dan tindakan untuk meningkatkan kinerja, mengidentifikasi

delapan kategori yang dibutuhkan dari lulusan perguruan tinggi sehingga

dapat memenuhi permintaan bisnis dan industri, yaitu:

(1). berorientasi pada pelanggan, (2) memiliki pengetahuan praktis dan

aplikasi alat-alat total quality management (TQM), (3) mampu membuat

keputusan berdasarkan fakta, (4) memiliki pemahaman bahwa bekerja

adalah suatu proses, (5) berorientasi pada kelompok (teamwork), (6)

memiliki komitmen untuk peningkatan terus-menerus, (7) pembelajaran

aktif (active learning), dan (8) memiliki perspektif sistem.

Berdasarkan kenyataan itu Kondisi suatu negara dimasa akan datang,

sebenarnya dapat diukur dari bagaimana wajah pendidikan tingginya saat

ini. Karena tidak akan mungkin kita berharap kepada orang-orang yang

tidak berpendidikan tinggi mengelola sebuah perubahan kearah kemajuan

bangsa, tetapi tentunya berharap pada orang-orang yang telah ditempa

dalam sebuah labolatorium pendidikan (Perguruan Tinggi) dan memiliki

karakter pembaharu, berbudaya intelektual,. Tabel 1

7 Sarah Cook Customer care Excellence, op. cit. hlm. 45 8 Dewan Produktivetas Nasional, KeberhasilanPerusahaan, Bank&Manajemen,

(Mendiknas, 2001, hlm. 287

42

42

Kesenjangan Lulusan Perguruan Tinggi dengan Kebutuhan Industri

Lulusan Perguruan Tinggi Kebutuhan Industri Hanya memahami teori

Memiliki keterampilan

individual

Motivasi belajar hanya

untuk lulus ujian

Hanya berorientasi pada

pencapaian grade atau

nilai tertentu (pembatasan

target)

Orientasi belajar hanya

pada mata kuliah

individual secara terpisah

Proses belajar bersifat

pasif, hanya menerima

informasi dari dosen

Kemampuan solusi masalah

berdasarkan konsep ilmiah

Memiliki keterampilan kelompok

(teamwork)

Mempelajari bagaimana belajar

yang efektif

Berorientasi pada peningkatan

terus-menerus dengan tidak

dibatasi pada target tertentu saja.

Setiap target yang tercapai akan

terus-menerus ditingkatkan

Membutuhkan pengetahuan

terintegrasi antardisiplin ilmu

untuk solusi masalah industri

yang kompleks

Bekerja adalah suatu proses

berinteraksi dengan orang lain

dan memproses informasi secara

aktif

Pemenggunaan teknologi

merupakan bagian intintegral dari

proses belajar untuk solusi

masalah industri

Sumber: Spanbauer, 1992

Meminjam konsep berpikir manajemen sistem industri modern, maka

manajemen perguruan tinggi memandang bahwa Proses Pendidikan Tinggi adalah suatu peningkatan kiualitas secara terus-menerus (continuous

educational process improvement), untuk menghasilkan lulusan (output)

yang berkualitas, pengembangan kurikulum, proses pembelajaran, dan ikut

bertanggung jawab untuk memuaskan pengguna lulusan perguruan tinggi

itu.

3. Desain TQM Pendidikan Tinggi

43

43

Dalam menerapkan Total Quality Management Pendidikan Tinggi

dipersepsikan sebagai industri jasa atau industri pelayanan, bukan sebagai

proses produksi. Setiap industri jasa/pelayanan pasti memiliki pelanggan

(customers). Pelanggan Pendidikan Tinggi adalah : a. Pelanggan

eksternal : Primer : Kelompok Sasaran Utama: Mahasiswa. Sekunder

: Masyarakat, Pemerintah, Orangtua mahasiswa Tersiar : Fihak lain yang

memanfaatkan hasil pendidikan tinggi. b. Pelanggan Internal :

Para dosen, Unsur-unsur Pimpinan, Pegawai Administrasi Pegawai

teknis. Total Quality Management (TQM) didesain untuk perguruan tinggi,

maka stakeholders dari perguruan tinggi harus memiliki kesamaan persepsi

tentang manajemen kualitas. Dalam konsep manajemen kualitas modern,

kualitas suatu perguruan tinggi antara lain ditentukan oleh kelengkapan

fasilitas atau reputasi institusional.

Agar pemahaman dan adopsi paradigma baru pada tabel 2 dapat

berhasil, maka dibutuhkan suatu sistem pelatihan kepada pengelola

perguruan tinggi. Pelatihan Total Quality Management (TQM), yang

penting bagi pengelola perguruan tinggi ditunjukkan. Tabel 3 Desain Sistem Pelatihan TQMPT bagi Pengelola Perguruan Tinggi

Jenis

Pelatihan

Waktu

Minim

um

Materi Pelatihan Peserta

1. Pelatihan

Manajemen

Puncak

36 jam Manajemen Proses, Statistical Thinking, Pelayanan Pelanggan,

Pembentukan

Kelompok, dan Solusi

Masalah

Rektor, Pembantu

Rektor, Dekan,

Pembantu Dekan,

dan Ketua Jurusan/

Departemen

2. Pelatihan

Dosen

36 jam Efektivitas dan Metode

Pengajaran, Statistical

Thinking, Pelayanan

Pelanggan,

Pembentukan

Kelompok, dan Solusi

Masalah

Dosen Tetap, Dosen

Tidak Tetap, dan

Asisten Dosen

44

44

3. Pelatihan

Staf

Pendukung

36 jam Pelayanan Pelanggan,

Pembentukan

Kelompok, Solusi

Masalah, Manajemen

Waktu, Keterampilan

Bertelepon, dan

Pengendalian Diri

Semua Staf

Pendukung

Setelah memperoleh pelatihan dan siap menerima paradigma baru

tentang manajemen perguruan tinggi yang berorientasi pada peningkatan

kualitas dan kepuasan pelanggan, maka sistem TQM secara lengkap dapat

didesain, diimplementasikan, dan ditingkatkan terus-menerus pada

perguruan tinggi.

Penerapan total quality management in education (TQME) pada

pendidikan tinggi harus dijalankan atas dasar pengertian dan tanggung

jawab bersama untuk mengutamakan efisiensi pendidikan tinggi dan

peningkatan kualitas dari proses pendidikan tinggi. Melalui penerapan TQM

dalam sistem pendidikan tinggi yang dijalankan secara terus-menerus dan

konsisten, maka perguruan tinggi akan mampu memenangkan persaingan

global yang amat sangat kompetitif dan memperoleh manfaat (ekonomis

maupun nonekonomis) yang dapat dipergunakan untuk pengembangan

perguruan tinggi dan peningkatan kesejahteraan personel yang terlibat di

perguruan tinggi itu. Upaya ini juga akan mengurangi kesenjangan persepsi

yang terjadi antara perguruan tinggi dan industri. Untuk itu, perlu

direnungkan secara mendalam, mengapa Setelah memperoleh pelatihan

dan siap menerima paradigma baru tentang manajemen pendidikan tinggi

yang berorientasi pada peningkatan kualitas dan kepuasan pelanggan, maka

sistem TQM Pendidikan tinggi secara lengkap dapat didesain,

diimplementasikan dan ditingkatkan terus-menerus pada perguruan tinggi.

4. Pelayanan Pelanggan (Customer Service) Pelanggan adalah semua orang yang berada dalam sebuah organisasi

kelembagaan baik dalam dunia bisnis maupun di lingkungan pendidikan.

Sesuai dengan bahasan ini adalah berfokus pada dunia pendidikan

khususnya di perguruan tinggi. Pelanggan akan memberikan pengaruh pada

perfomasi untuk meningkatkan kualitas sehingga pada akhirnya adanya

kepuasan yang dimiliki oleh mereka (pelanggan). Pelanggan dapat

dibedakan menjadi pelanggan dalam (internal customer), dan pelanggan

luar (external customer), pelanggan dalam adalah pengelola institusi

45

45

pendidikan itu sendiri, misalnya , pimpinan, staf pimpinan, karyawan dan

penyelenggara institusi pendidikan. Sedangkan yang termasuk pelanggan

luar adalah mahasiswa, masyarakat, pemerintah dan dunia industri. Jadi

suatu institusi pendidikan tinggi disebut berkualitas apabila terjalin

hubungan yang baik antara pelanggan internal dengan pelanggan external

dengan baik dengan menggunakan konsep Total Quality Management.

(TQM).

Menurut Bean, Freeport dan Maine, yang dikutip oleh Nasution,

memberikan pengertian pelanggan adalah: pertama, orang yang tidak

tergantung pada kita, tetapi kita yang bergantung padanya. Kedua,

pelanggan adalah orang yang membawa kita kepada apa keinginannya.

Ketiga, tidak ada seorangpun yang pernah menang beradu argumentasi

dengan pelanggan. Dan keempat, pelanggan adalah orang yang teramat

penting yang harus dipuaskan.9 Menurut Christopher, sistem manajemen

diorganisir untuk menyediakan hubungan pelayanan yang

berkesenambungan antara waktu pemesanan dan waktu barang atau jasa itu

diterima dan digunakan, dengan tujuan memuaskan kebutuhan pelanggan

dalam jangka panjang. Lebih lanjut dikatakan oleh Yun, Yong dan Loh,

bahwa dalam critical quality factor dari pelayanan pelanggan meliputi

pertama, apa yang perlu dilakukan untuk bersaing dalam menawarkan

pelayanan bermutu, critical quality factor dari komponen pelayanan

perioritas yang membawa keberhasilan usaha.

Pelayanan pelanggan merupakan salah satu penghubung aktivitas

dalam manajemen mutu tepadu. Pelayanan pelanggan adalah penghubung

pertama dalam rantai aktivitas untuk manajemen mutu terpadu yang akan

datang pada tingkat yang lebih tinggi. Kemudian menurut Drucker bahwa

hanya ada satu pengertian, yang sahih dari tujuan bisnis, ”yaitu

menciptakan pelanggan.” lebih lanjut ia mengatakan bahwa kemampuan

sebuah organisasi untuk tetap berada dalam bisnis merupakan sebuah fungsi

daya saing dan kemampuan organisasi untuk mendapatkan pelanggang.

Pelanggan merupakan fondasi bisnis dan merekalah yang membuat bisnis

tetap ada. :

Dari gambar di atas dapat dipahami bahwa persepsi atas pelayanan

dan harapan yang diterima oleh pelanggan tergantung pada harapan-harapan

mereka. Jika perlakuan yang diterima pelanggan baik ketimbang yang

diharapkan maka hal tersebut dianggap merupakan yang bermutu tinggi.

Jika perlakuan yang diterima pelanggan kurang yang diharapkannya maka

9 Dodi Nandila, Soekartawi, Ronyrahman Noor, Komang G, Universitas, Riset dan

Daya Saing Bangsa,(Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 6.

46

akan disebut sebagai pelanggan yang buruk. Untuk memberikan pelayanan

yang bermutu tinggi, sebuah organisasi harus memberikan sesuatu yang

melebihi apa yang diharapkan pelanggan. Berbagai studi menunjukkan

bahwa harapan pelanggan sering kali dapat dikondisikan oleh pemberi

layanan itu sendiri. Faktor penting dalam memberikan pelayanan yang baik

adalah selalu menjaga janji dan tidak memberikan jaminan untuk sesuatu

yang tidak dapat diberikan. Untuk memberikan pelayanan yang prima,

sebuah organisasi perlu ’sedikit janji, banyak bukti. Dari uraian di atas

dapat disimpulkan bahwa bahwa pelayanan pelanggan adalah penyediaan

tenaga kerja untuk meningkatkan sumber daya manusia, manfaat, harapan,

kualitas, kepuasan , mempunyai jangka waktu panjang yang diterima oleh

pelanggan sebagai akibat dari adanya pembelian yang dilakukan dan dari

proses yang menuju tercapainya tujuan.

Kualitas di rancang atau didesain melelui pencegahan (Prevention ) :

(1) mengintegrasikan rantai pemasok-pelanggan (customer-supplier chain).

(2) Meningkatkan kualitas melalui system. (3) Proses Informasi Pelanggan

(Customer Information Pro csses). (4) Proses Kerja (Work Processes). (5)

Proses orang( People processes) Kualitas merupakan tanggung jawab setiap

orang dan merupakan sikap hidup (way of life )

Daftar Pustaka

Dewan Produktivetas Nasional, KeberhasilanPerusahaan,

Bank&Manajemen , Mendiknas, 2001

Dodi Nandila, Soekartawi, RonyrahmanNoor, Komang G, Universitas,

Riset dan Daya Saing Bangsa. Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2006

Hang Zeph , Yun, The Quest Global Quality Singapure Airlines. Jarkata,

Pustaka 1998.

Marshal Sashkin dan Kisser, Putting. england. 2003

Sarah Cook Customer care Excellence, terjemahan Kemas Ahmad . Jakarta:

PPM 2004,

Soewarso Hardjosoedarmo, Total Quality management, Yogyakarta: 2004

TheTom Peter, Crazy Time Call For Crazy Organizations. Jakarta,

Delapratasa 19996.

Vincent Gaspersz, Organizational Excellence, Jakarta, Gramedia 2007.

47

ヴΑ

KEDUDUKAN SENI DALAM ISLAM

Oleh : Nanang Rizaliヱ

ABSTRAK

Pada dasarnya Islam adalah agama yang mengatur hubungan

manusia dengan Tuhan, dengan sesama manusia dan alam. Landasan

hukum yang dipakai adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah disamping

Ijtihad. Sepanjang yang menyangkut kebudayaan dan kesenian dapat

berubah-ubah, sehingga kendala yang dihadapi pada umumnya dapat

diatasi setelah timbul permasalahan. Meskipun pada akhirnya antara

agama Islam dengan kebudayaan atau kesenian terjadi saling

berhubungan dalam berbagai kegiatan manusia. Dari hubungan tersebut

telah melahirkan semacam kebudayaan atau kesenian yang dijiwai dan

diwarnai oleh ajaran Islam. Kesenian atau seni adalah manifestasi dari

kebudayaan yang merupakan hasil karya cipta manusia. Secara garis

besar seni dapat dibedakan menjadi seni tari, seni musik, seni drama,

seni rupa, dan lain-lain. Pada awalnya bentuk kesenian Islam tidak

begitu jelas, tetapi akibat perpaduan beberapa kebudayaan Timur Tengah

di bawah naungan Islam. Selain adanya sikap toleransi kaum muslimin

terhadap karya seni pra Islam telah lahir karya seni hasil penyempurnaan

seni sebelumnya dengan konsepsi Islami. Adapun seni yang murni lahir

dari ajaran Islam adalah seni bangunan (masjid) dan seni tulis indah

(kaligrafi). Pada dasarnya Islam merestui setiap karya yang sejalan

dengan ajarannya, namun melarangnya jika menyimpang. Karya-karya

tersebut merupakan perantara pengungkapan pandangan hidup yang khas

sesuai dengan prespektif akan norma dan nilai-nilai keislaman.

Kata kunci : Seni, Islam, Nilai keislaman, Estetika, dan Kreatifitas. A. Pendahuluan

Seni, sering ditafsirkan dengan arti yang berbeda-beda sehingga

mempunyai pengertian yang beragam dan berbagai pendapat. Pengertian

1 Nanang Rizali, Prof. Dr MSD. Lahir di Garut 9 Juli 1950, Guru Besar Seni Rupa

pada FSSR UNS, lulusan S1 Studio Desain Tekstil FTSP ITB, S2 Program Magister

Seni Rupa dan Desain PPs bidang Desain FSRD ITB, S3 Program Doktor PPs Ilmu

Seni Rupa FSRD ITB. Di samping sebagai dosen luar biasa, pembimbing Tesis

Program Magister Desain PPs USAKTI Jakarta, aktif meneliti dan menulis tentang

masalah-masalah kesenirupaan.

48

ヴΒ

pokok yang umum dipakai dalam mengartikan seni di antaranya adalah

keindahan, ungkapan perasaan, imajinasi, estetis dan lain sebagainya.

Menurut American Heritage yang yang dikutip oleh Sudjoko (1988)

dijelaskan bahwa yang mutlak harus ada dalam seni adalah kecakapan,

kepandaian, keterampilan, keahlian, ketangkasan dan kemahiran. Di

samping perilaku yang indah, yaitu berarti elok, bagus, benar, mahal

harganya, oleh karena itu seni sangat sulit untuk dimasukkan kedalam

suatu batasan sebagaimana ilmu dan Agama tidak mudah didefinisikan

pada pengertian yang sederhana.

Sebagai salah satu unsur kebudayaan, seni merupakan fitrah

manusia yang di anugerahkan Allah SWT untuk suatu kegiatan yang

melibatkan kemampuan kreatif dalam mengungkapkan keindahan,

kebenaran dan kebaikan. Seni sebagai proses kreatif adalah ungkapan

(expression) dari suasana hati, perasaan dan jiwa2 Suatu ungkapan yang

mempunyai arti dalam seni adalah ungkapan artistik yang berasal dari

kualitas ‘citra jiwa atau intisari’ terdalam dari perasaan. Sebagai

kegiatan kreatif, seni sangat terbuka bagi berbagai penafsiran atau

kesalahpahaman, sehingga hampir tidak ada batasan yang cukup dapat

untuk memagnainya.

Salah satu pendapat menyatakan bahwa seni adalah keindahan, Ia

merupakan ekspresi ruh dan budaya manusia yang mengandung dan

megungkapkan keindahan. Ia lahir dari sisi terdalam manusia didorong

oleh kecenderungan seniman kepada yang indah apapun jenis keindahan

itu3. Pada dasarnya setiap karya seni merupakan perpaduan berbagai

unsur dan dibentuk oleh karakteristik-karakteristik tertentu. Suatu bentuk

seni yang dilandasi oleh hikmah atau kearifan dan sebuah spiritual tidak

hanya berkaitan dengan penampakan lahir semata (wujud), tetapi juga

relitas batinnya (makna).

Dalam kenyataannya seni adalah suatu kesatuan integral yang

terdiri dari empat komponen esensialnya, yaitu ; (1) dasar tujuan seni

(estetis, logis, etis, manfaat, ibadah), (2) cita cipta seni (konsep, gagasan,

wawasan, pndangan), (3) kerja cipta seni (proses kreatif, teknis

penciptaan), (4) karya seni (visualisasi, wujud, benda). Keempat

komponen tersebut berkesusaian dengan kategori-kategori integralis

seperti nilai-nilai, informasi, energi, dan materi. Pada hakekatnya seni

2 Rader, Melvin ; 1986, Art Modern Book of Esthetic, (diterjemahkan oleh

Yustiono). Bandung : Perpustakaan FSRD-ITB 3 Shihab, Quraish ; 1996, Wawasan Al-Qur’an, Bandung : Mizan

49

ヴΓ

adalah dialog intersubjektif dan kosubjektif yang mewujud dalam

komponen seni. Hal tersebut mengisyaratkan adanya hubungan vertikal

dan horizontal, sedangkan dalam perspektif Islam dikenal dengan istilah

hablumminallah dan hablumminannas. B. Seni dan Islam Agama Islam tidak memberikan atau maenggariskan teori dan

ajaran yang rinci tentang seni dengan bentuk-bentuknya, sehingga belum

memiliki ‘batasan’ tentang seni Islam yang diterima semua fihak.

Meskipun demikian Seyyed H. Nasr telah memberikan ciri-cirinya, yaitu

bahwa :

Seni Islam merupakan hasil dari pengejawantahan Keesaan pada

bidang keaneragaman yang merefleksikan Keesaan Illahi,

kebergantungan keanekaragaman kepada Tuhan YangMaha Esa,

kesementaraan dunia dan kualitas-kualitas positif dari eksistensi

kosmos atau makhlik sebagaiman difirmankan oleh Allah SWT

dalam Al-Qur’an (Nasr, 1993:18).

Pendapat tersebut hampir sama dengan toeri dari Ernst Diez yang

menyatakan tentang seni Islam atau seni yang Islami adalah seni yang

mengungkapkan sikap pengabdian kepada Allah. Kemudian M. Abdul

Jabbar Beg melengkapi pernyataan-pernyataan di atas dengan

pendapatnya bahwa suatu seni menjadi Islami, jika hasil seni itu

mengungkapkan pandangan hidup kaum Muslimin, yaitu konsep tauhid,

sedangkan seniman yang membuat obyek seninya tidak mesti seorang

Muslim4.

Di samping beberapa pendapat yang mencoba menggambarkan

tentang seni Islam, berikut akan dikemukakan pandangan dari M.

Quraish Shihab sebagai berikut:

Kesenian kesenian Islam tidak harus berbicara tentang Islam, ia

tidak harus berupa nasihat langsung, atau anjuran berbuat

kebajikan, bukan juga penampilan abstrak tentang akidah. Seni

yang Islami adalah seni yang dapat menggambarkan wujud ini,

dengan ‘bahasa’ yang indah serta sesuai dengan cetusan fitrah.

Seni Islam adalah ekspresi tentang keindahan wujud dari sisi

pandngan Islam tentang Islam, hidup dan manusia yang mengantar

4 Beg. M. Abdul Jabbar (ed) ; 1981 (diterjemahkan oleh Yustiono dan Edi

Sutriyono), Seni dalam Peradaban Islam, Bandung: Pustaka.

50

ヵヰ

menuju pertemuan sempurna antara kebenaran dan keindahan

(Shihab, 1996: 398).

Menurutnya, obyek dan cara penampilan seni dapat bebas, artinya

boleh menggambarkan kenyataan yang hidup dalam masyarakat dan

memadukannya dengan apa saja. Lapangan seni Islami adalah semua

wujud, tetapi seni yang ditampilkan tidak bertentangan dengan ’fitrah’

atau pandangan Islam tentang wujud itu sendiri. Pada saat seni telah

berfungsi sebagai sarana dakwah Islamiyah dan bertujuan untuk

memperhalus budi, mengingatkan tentang jati diri manusia serta

menggambarkan baik atau buruknya suatu pengalaman, maka seni

tersebut merupakan seni yang bernafaskan Islam (Islami).

Seni Islam adalah seni yang dapat mengungkapkan keindahan dan

konsep tauhid sebagai esensi aqidah, tata nilai dan norma Islam, yaitu

menyampaikan pesan Keesaan Tuhan. Seni Islam diilhami oleh

spiritualitas Islam secara langsung, sedangkan wujudnya dibentuk

karakteristui-karakteristik tertentu. Seuatu bentuk seni yang dilandasi

oleh hikmah5 atau kearifan dari spiritualitas atau kearifan dari

spiritualitas Islam tidak hanya berkaitan dengan penampakan lahir

semata (wujud), akan tetapi juga realitas batinnya (makna)6.

Hasil perwujudan seni Islam dibentuk oleh karakteristik tertentu,

di antaranya adalah estetika dan kreatifitas. Menurut penilaian Islam

bahwa segala bentuk seni selain merupakan karya Ibadah (pengabdian

kepada Allah) juga mengandung dan mengungkapkan keindahan.

Mengenai bagaimana tentang estetika Islami, Ismail R. Al-Faruqi dalam

bukunya ‘The Cultural Atlas of Islam’ berpendapat :

5 hikmah bisanya diartikan sebagai ‘kebijaksanaan’ dalam kaitan ini hikmah

berhubungan dengan kata haqq(hak)berarti penilaian yang benar atau hukm(hukum)

yang sesuai dengan hakikat atau situasi yang sebenarnya. (Ensiklopedi Islam, hal 113)

6 Islam yang berlandaskan hukum Illahi sangat berperan dalam menciptakan

lingkungan dan pengembangan seni atau kesenian. Pengaruh Islam dalam seni adalah

memberi latarbelakang sosial dalam membentuk jiwa seniman dengan mengilhaminya

sikap-sikap dan kebijakan-kebijakan yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.

51

ヵヱ

This orientation and goal of islamic aesthetics could not be achieved through depction of man and nature. It could be realized only through the contemplation of artistic creations that would lead the partisipient to an intuition of the truth itself that Allah is so other than His creation as to be unrepresentable and

inexpressible (Al-Faruqi, 1986: 163).

Estetika Islam tidak dapat dicapai melalui penggambaran manusia

dan alam. Hal itu hanya bisa disadari melalui perenungan terhadap kreasi

artistik yang akan mengarahkan pemerhati kepada suatu intuisi

kebenaran yang hakiki, bahwa Allah juga seluruh ciptaanNya sebagai

yang tidak tergambarkan dan terkatakan. Estetika yang islami merujuk

pada penilaian dan norma abadi dalam Al-Qur’an dan As-sunnah, karena

seni Islam pada satu segi dibatasi oleh nilai-nilai azasi, etis dan norma-

norma Illahi yang umum serta pada segi lain dibatasi oleh kedudukan

manusia sendiri sebagai abdi Allah.

Berbagai tantangan terhadap kreatifitas estetis telah dialami sejak

sejak awal perkembangan kesenian Islam. Pada mulanya seniman

muslim mengenal bahan, teknik dan motif dari para pendahulunya

seperti seni Byzantium atau Sassanide. Kemudian mereka

mengembangkannya sesuai dengan inspirasi yang tumbuh dari nilai-nilai

dan norma Islam. Mereka telah menemukan model baru yang diambil

dari budaya lokalnya yang disesuaikan dengan ajaran Islam dan

kesadarannya sebagai pribadi-pribadi muslim. Model ini telah ditetapkan

sebagai dasar kesatuan estetika dalam dunia Islam tanpa mengabaikan

keberagaman budaya lokal. Dalam kaitan ini pengertian estetika

nampaknya lebih ditekankan pada penghayatan kreasi budaya lokal

(local genius) yang bertentangan dengan nilai tauhid. Bukan berarti akal

pikirannya sudah lepas sama sekali, tetapi peranan hati nurani dan rohani

sebagai pangkal akhlaq agama lebih diutamakan. Menurut pandangan

Al-Ghazali mengenai keindahan Islami 7 dibedakan atas: Keindahan

bentuk luar yang dapat dilihat oleh mata lahir, sedangkan ‘keindahan

bentuk dalam’ yang hanya dapat diterima oleh mata batin8. Hal ini

7 Selain adanya lima indera yang dapat menerima nilai-nilai keindahan terdapat

indera keenam, yaitu ‘jiwa’ atau ‘roh’ , ‘hati’ dan ‘cahaya’. Indera tersebut meneriama

keindahan ‘dunia dalam’ yang bersifat rohani, moral, dan nilai keagamaan. Dengan

demikian keindahan bentuk luar dapat dilihat oleh mata telanjang dan dialami oleh

semua orang, sedangkan keindahan bentuk dalam hanya dapat ditangkap oleh’mata

hati’ dari batin manusia yang lebih kuat dan peka dari pada pandangan luarnya. 8 Beg. M. Abdul Jabbar (ed) ; 1981 (diterjemahkan oleh Yustiono dan Edi

Sutriyono), Seni dalam Peradaban Islam, Bandung: Pustaka., hal. 26.

52

ヵヲ

menunjukkan bahwa Islam memberikan penilaian dan penghargaan yang

begitu tinggi terhadap pengalaman estetis.

Pada seni Islam menurut Al-Faruqi terdapat enam karakteristik

estetis dalam mengungkapkan tauhid, yaitu Abstraction; Modular

Structure; Succesive combinations; Reptition; Dynamism Intricacy9.

Meskipun nampaknya bersifat umum, namun ciri-ciri tersebut cukup

memberikan gambaran tentang karya seni Islam berupa abstraksi dari

fenomena alam melalui tekhnik stilasi obyeknya. Kedua, karyanya

tersusun dari sejumlah bagian atau modul-modul yang digabungkan,

sehingga menghasilkan suatu desain yang utuh. Oleh karena itu ciri

ketiganya adalah dalam pola-pola seni Islam menunjukkan adanya

gabungan yang berurutan dari berbagai modul untuk menghasilkan

beberapa pusat perhatian estetis. Keempat, adanya pengulangan dari

modul atau motif yang akan memberikan kesan irama yang ritmis dan

memperlihatkan rangkaian kesatuan dalam karyanya. Dengan demikian

cirinya yang kelima adalah dalam setiap desain seni Islam mempunyai

gerak dianamis dan tidak monoton akibat adanya teknik penggabungan

modul dan pengulangannya. Keenam, hadirnya detail yang rumit dalam

penggambaran susunannya, sehingga meningkatkan kualitas pola dan

menjadikannaya corak yang Islami.

Salah satu karakeristik yang lain dalam bentuk seni Islam adalah

kreatifitas yang berkaitain erat dengan estetika, dan sangat tergantung

pada kesadaran pribadi seniman. Estetis dan kreatifitas merupakan syarat

yang harus dipenuhi sebuah karya seni, sehingga bagi seorang seniman

Muslim selain telah menciptakan karya seni yang bermanfaat dan indah

sekaligus dia telah menjalankan ibadahnya. Sebagai satu kesatuan

integral seni terdiri dari empat komponen esensial, yaitu karya seni (

wujud, benda) kerja cipta seni (proses penciptaan), cita cipta seni

(pandangan, konsep, gagasan) dan dasar tujuan seni (ibadah, manfaat,

etis, logis, estetis). Keempat komponen tersebut berkesusaian dengan

kategori-kategori integralis seperti materi, energi, informasi dan nilai-

nilai Dengan demikian pada hakekatnya seni adalah dialog

intersubyektif (hablumminallah) dan kosubyektif (hablumminannas)

yang mencerminkan hubugan vertikal an horizontal10. Dalam bahasa

yang khas pada hubungan vertikal tersirat dimensi kalimat syahadat

9 Al-Faruqi, Ismail, R ; 1986 The Cultural Atlas of Islam, New York : Macmillan

publishing company., hal 165-168 10 Mahzar, Armahedi ; 1993, Islam Masa Depan, Bandug : Pustaka., hal 16.

53

ヵン

yang pertama dan hubungan horizontal tersirat syahadat yang kedua11

.

Kedua kalimat syahadat dalam bentuk aktifnya tasyahud, yaitu ibadah

kepada Allah SWT dan pelaksanaanya merupakan rahmatan lil alamien

sebagai esensi seni Islam.

Skema Seni dalam Pandangan Islam

Unsur-unsur Esensi Seni dalam mencapai

Nilai Islami

1

Dasar

Tujuan

Seni

Ibadah,

Manfaat,

Etis,

Estetis,

Logis

Nilai-

nilai Tasyahud

2

Cita

Cipta

Seni

Pandangan,

Konsep,

Gagasan

Informasi Qira’ah

3

Karja

Cipta

Seni

Proses

Penciptaan,

Tekhnis

Energi Tazkiyah

4 Karya

Seni

Benda,

Wujud,

Zahir

Materi Dzikir

C. Penutup

Seni sebagai bahasa universal diharapkan mampu dijadikan sarana

untuk mengajak berbuat baik (ma’ruf), dan mencegah perbuatan tercela

(munkar) serta membangun kehidupan yang berkeadaban dan bermoral.

Di samping itu diharapkan dapat mengembangkan dan menumbuhkan

perasaan halus, keindahan dan kebenaran menuju keseimbangan

‘material-spiritual’. Dengan demikian seni mampu berperan dalam

memenuhi kebutuhan manusia baik jasmani maupun rohani, serta dapat

memberi kepuasan secara fisik dan psikis. Secara khusus seni yang

bernafaskan Islam dasar pemikirannya adalah niat beribadah dan

keikhlasan pengabdian kepada Allah, dengan mengakomodasi nilai

tradisi budaya lokal. Setelah mamahami alam semesta dan qira’ah

11 Dalam bahasa yang lebih membumi hubungan vertikal adalah hubungan aku-

Kau dan hubungan horizontal adalah hubungan aku-Kau. Kedua hubungan itu selalu

bersatu dalam setiap langkah kehidupan seorang muslim. Salah satu Kau akan menjadi

dia, sehingga intersubyektif muslim adalah kita. Aku-Kau-dia adalah dimensi vertikal,

sedangkan aku-Kau-Dia adalah dimensi horizontalnya.

54

ヵヴ

Alqur-an, penciptaan karya seni dilandasi oleh kretifitas dan rasa estetis,

logis, etis, serta azas manfaat. Kemudian dirumuskan konsep dan

gagasan serta dipertimbangkan tekhnis pelaksanaanya hingga

terwujudnya sebuah karya. Demikian seni yang dihasilkan merupakan

ekspresi syukur dan dzikir sebagai rahmatan lil’alamin.

Karya seni yang bernafaskan Islam mengandung makna simbolik

kesaksian La illaha ilallah, muhammadarusullullah, dengan muatan

kebenaran, kebaikan dan keindahan. Konsepsi tauhid, aqidah dan akhlaq

telah menjadi penyempurnaan dan pengarah nilai-nilai positif bagi

proses berkarya seni. Oleh karena itu diperlukan upaya terpadu yang

lebih terbuka dengan wawasan yang tidak terbatas pada kajian kasat

mata, namun juga pada sesuatu spiritualitas transenden. Dengan tujuan

untuk mencapai kreatifitas dan kesadaran akan Yang Maha Benar, Yang

Maha Baik, dan Yang Maha Indah. Wallahu ‘alam bish-shawab. Daftar Pustaka Al-Faruqi, Ismail, R ; 1986 The Cultural Atlas of Islam, New York :

Macmillan publishing company.

Beg. M. Abdul Jabbar (ed) ; 1981 (diterjemahkan oleh Yustiono dan Edi

Sutriyono), Seni dalam Peradaban Islam, Bandung: Pustaka.

Gazalba, Sidi ; 1977, Pandangan Islam tentang Kesenian, Jakarta :

Bulan Bintang.

Mahzar, Armahedi ; 1993, Islam Masa Depan, Bandug : Pustaka

Nasr, Sayyed Hossein ; 1933 (diterjemahkan oleh Afif Muhammad),

Spiritualitas dan Seni Islam, Bandung : Mizan.

Rader, Melvin ; 1986, Art Modern Book of Esthetic, (diterjemahkan oleh

Yustiono). Bandung : Perpustakaan FSRD-ITB

Shihab, Quraish ; 1996, Wawasan Al-Qur’an, Bandung : Mizan

Sudjoko, 1988 ; ”Ulas Seni”, Majalah Pespektif, Bandung : C.V. Rama.

5555

STRATEGI PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI SEKOLAH

Oleh : Imam Subqi1

ABSTRAK Artikel ini secara sederhana akan menguraikan tentang

pentingnya strategi pembelajaran untuk meningkatkan hasil belajar PAI.

Dalam menggunakan strategi pembelajaran, guru hendaknya mampu

mengelola semua komponen yang ada dalam kegiatan proses

pembelajaran hendaknya disusun secara sistematis untuk membantu

memudahkan siswa belajar. Komponen-komponen tersebut adalah guru,

siswa, materi, metode, alat atau media, dan waktu. Tugas untuk

menyusun rencana dan melaksanakan strategi pembelajaran memerlukan

suatu kemampuan dari guru. Untuk itu guru harus memiliki pengetahuan

tentang strategi pembelajaran akan memberikan landasan ilmiah tentang

bagaimana menyusun dan menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar

yang dapat memudahkan siswa belajar sehingga tercapainya tujuan

pembelajaran sesuai dengan harapan atau tujuan pendidikan nasional.

Peran Guru PAI sebagai guru mata pelajaran hendaknya mampu

menguasai pengetahuan yang luas mengenai pendidikan Agama dan

sejumlah besar keterampilan professional dalam pembelajaran.

Menghadapi tantangan tersebut di atas khususnya guru sekolah

menengah pertama harus memahami tujuan pendidikan dasar itu sendiri,

yaitu memotivasi anak agar ia senang dan ingin belajar untuk dapat

melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa

mengajar di sekolah menengah pertama khususnya dalam pendekatan

pembelajaran hendaknya mengutamakan prinsip siswa agar ia senang

belajar. Untuk mengajarkan pendidikan Agama Islam dikenal beberapa

strategi pembelajaran. Salah satu strategi pembelajaran yang memberi

tekanan kepada realitas adalah pembelajaran berbasis masalah. Strategi

ini telah menjadi bagian dari dinamika proses pembelajaran karena

beberapa faktor; adanya peningkatan tuntutan untuk menjembatani

kesenjangan antara teori dan praktik, akses informasi dan pesatnya

pengetahuan, penekanan kompetensi dunia nyata dalam belajar, dan

perkembangan bidang pembelajaran, psikologi dan pedagogi.

Karakteristik pembelajaran ini akan menekankan pada proses

1 Imam Subqi adalah alumni Program Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang

Kosentrasi Pendidikan Islam Lulus Tahun 2008 dan Mahasiswa Pascasarjana Program

Teknologi Pendidikan Universitas Negeri Jakarta sejak Tahun 2010- sekarang

5656

penyelesaian masalah yang dihadapi secara ilmiah. Reigeluth dan Merrill

dalam Miarso menjelaskan bahwa pembelajaran sebaiknya didasarkan

pada teori pembelajaran yang bersifat preskiptif artinya teori yang

memberikan resep untuk megatasi masalah belajar dalam hal ini harus

memperhatikan tiga variabel yaitu kondisi, metode dan hasil.

Kata Kunci: Strategi Pembelajaran, Hasil Belajar dan Pendidikan Agama Islam

A. PENDAHULUAN Pendidikan yang berkualitas akan mampu menciptakan sumber

daya manusia yang berkualitas pula, sehingga mampu bersaing pada era

globalisasi seperti yang terjadi saat ini. Sasaran pendidikan adalah

manusia untuk membantu peserta didik dalam menumbuhkembangkan

potensi-potensi kemanusiaannya.2 Sebagaimana pendidikan Agama

Islam bertujuan mengembangkan fitrah keberagaman peserta didik agar

lebih mampu memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran Islam.

Pendidikan Agama Islam di pendidikan dasar bertujuan untuk

menumbuhkembangkan aqidah/keimanan, melalui pemberian,

pemupukan dan pengembangan pengetahuan, penghayatan, pengalaman

tentang Agama Islam, agar menjadi manusia muslim yang terus

berkembang dalam hal keimanan, ketaqwaannya kepada Allah SWT,

serta mewujudkan manusia Indonesia yang taat beragama dan berakhlak

mulia, yakni manusia yang berpengetahuan, rajin beribadah, cerdas,

produktif, jujur, adil, etis, berdisiplin, bertoleransi, menjaga

keharmonisan secara personal dan sosial serta mengembangkan budaya

agama dalam komunitas sekolah.3 Pendidikan Agama Islam sangat

penting peranannya dalam pembentukan sikap anak. Namun dalam

kenyataannya menunjukkan bahwa mata pelajaran pendidikan Agama

Islam kurang memberikan kontribusi kearah tersebut. Hal ini disebabkan

oleh beberapa kendala, antara lain: terkait alokasi waktu sebagaimana

tertuang dalam kurikulum pendidikan Agama Islam (PAI) dari

Departemen Pendidiakan Nasional hanya dua-tiga jam pelajaran dengan

muatan materi yang begitu padat. Kendala lain yaitu kurangnya

keikutsertaan guru mata pelajaran yang bukan pendidikan Agama Islam

2 Umar Tirta Raharja, Pengantar Pendidikan (Jakarta : Rineka Cipta 2005), hlm.

1 3 Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta : Bumi Aksara 2009),

hlm.17.

5757

dalam memberi motivasi kepada peserta didik untuk mempraktekkan

nilai-nilai pendidikan Agama dalam kehidupan sehari-hari.

Selama ini banyak pemikiran dan kebijakan dalam rangka

peningkatan kualitas pendidikan Agama Islam yang diharapkan mampu

memberikan nuansa baru bagi pengembangan sistem pendidikan di

Indonesia. Namun, dalam beberapa hal agaknya pemikiran konseptual

tersebut terkesan idealis romantis dan kurang realistis sehingga para

pelaksana dilapangan sering mengalami hambatan untuk

merealisasikannya.4 Rendahnya kualitas guru untuk menjalankan

profesinya dalam tiga dasawarsa terahir telah mendapatkan perhatian

dari masyarakat.5 Bahwa faktor kemampuan atau kompetensi guru

sangat mempengaruhi rendahnya mutu pendidikan yang tengah dialami

oleh bangsa Indonesia. Oleh karena itu peningkatan kemampuan guru

khususnya dalam pelaksanaan proses pembelajaran menjadi fokus untuk

meningkatkan kualitas guru.

Dalam menggunakan strategi pembelajaran, guru hendaknya

mampu mengelola semua komponen yang ada dalam kegiatan proses

pembelajaran hendaknya disusun secara sistematis untuk membantu

memudahkan siswa belajar. Komponen-komponen tersebut adalah guru,

siswa, materi, metode, alat atau media, dan waktu. Tugas untuk

menyusun rencana dan melaksanakan strategi pembelajaran memerlukan

suatu kemampuan dari guru. Untuk itu guru harus memiliki pengetahuan

tentang strategi pembelajaran akan memberikan landasan ilmiah tentang

bagaimana menyusun dan menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar

yang dapat memudahkan siswa belajar sehingga tercapainya tujuan

pembelajaran sesuai dengan harapan atau tujuan pendidikan nasional.

Guru pendidikan Agama Islam sebagai guru mata pelajaran

dituntut untuk menguasai pengetahuan yang luas mengenai pendidikan

Agama dan sejumlah besar keterampilan professional dalam

pembelajaran. Menghadapi tantangan tersebut di atas khususnya guru

sekolah menengah pertama harus memahami tujuan pendidikan dasar itu

sendiri, yaitu memotivasi anak agar ia senang dan ingin belajar untuk

dapat melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi.6 Hal ini menunjukkan

bahwa mengajar di sekolah menengah pertama khususnya dalam

pendekatan pembelajaran hendaknya mengutamakan prinsip siswa agar

ia senang belajar.

4Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah,

Madrasah dan Perguruan Tinggi (Jakarta: Raja Grafindo Persada 2010), hlm. 16-17. 5 Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional (Bandung: Remaja Rosda Karya

2010), hlm. 1-3. 6 Ibid, hlm. 6 - 9.

58

58

B. PEMBAHASAN 1. Pentingnya Strategi Pembelajaran

Dalam proses pembelajaran peran aktif guru dan siswa untuk

pencapaian maksimal sangat berpengaruh terhadap hasil belajar. Guru

dan siswa merupakan variabel penting dalam pelaksanaan proses tersebut

yang berupaya untuk mengkomunikasikan permasalahan transfer of

knowlegde dan transfer of value. Guru dan siswa merupakan satu

kesatuan yang tak dapat dipisahkan untuk saling melengkapi. Guru

merupakan komponen manusiawi dalam proses pembelajaran yang

sangat berperan dalam mengantarkan anak (siswa) pada tujuan

pendidikan yang telah ditentukan. Guru mempunyai tanggung jawab atas

keberhasilan atau tidak dalam program pembelajaran sehingga tugas

guru adalah profesi. Oleh karena itu mengajar adalah sebuah pekerjaan

profesional, dengan menggunakan teknik atau metode pembelajaran serta

prosedur yang berpijak pada landasan intelektual yang harus dipelajari

secara sengaja, terencana dan kemudian dipergunakan demi

kemaslahatan umat manusia (siswa).7 Strategi pembelajaran merupakan

salah satu komponen dalam sistem pembelajaran yang berperan penting

untuk mencapai tujuan instruksional yang telah ditetapkan. Hal ini

dimungkinkan mengingat strategi pembelajaran merupakan blue print

yang terdiri atas berbagai sub komponen yang menuntun jalannya

aktivitas pembelajaran.

Strategi pembelajaran adalah seperangkat rencana aksi untuk

mencapai tujuan pembelajaran dimana eksistensi sebuah strategi dalam

pembelajaran sebagai suatu pendekatan yang dilakukan oleh guru yang

mengoptimalkan berbagai komponen dalam sistem pembelajaran guna

mencapai tujuan pembelajaran yang ditetapkan. Miarso menjelaskan

bahwa makna strategi pembelajaran adalah sebuah pendekatan

menyeluruh pembelajaran dalam suatu sistem pembelajaran, yang berupa

pedoman umum dan kerangka kegiatan untuk mencapai tujuan umum

pembelajaran, yang dijabarkan dari pandangan falsafah dan atau teori

belajar tertentu.8 Selanjutnya. J.R David dalam Sanjaya memberikan

pengertian strategi pembelajaran sebagai “a plan, method, or series of

7 Rasimin, Imam Subqi, Belajar Pe De; Kontekstualisasi Reward dan

Punishment dalam Pembelajaran (Yogyakarta: Mitra Cendekia 2009), hlm. 41 8 Yusufhadi Miarso, Menyemai Benih Teknologi Pendidikan (Jakarta: Kencana,

2009), hlm. 530.

5959

activities designed to achieves a particular educational goal”.9 Jadi

dengan demikan strategi pembelajaran dapat diartikan sebagai suatu

perencanaan yang berisi tentang rangkaian kegiatan yang didesain untuk

mencapai tujuan pembelajaran tertentu. Jika dicermati beberapa

pandangan di atas nampak jelas bahwa strategi pembelajaran merupakan

perencanaan kegiatan pembelajaran yang mengelaborasi berbagai

komponen utama sistem pembelajaran seperti ruang lingkup materi,

urutan penyajian materi, metode pembelajaran, media maupun alokasi

waktu.

Penataan berbagai komponen ini memungkinkan suatu proses

pembelajaran berjalan secara efektif dan efisien. Oleh sebab itu

kedudukan strategi pembelajaran menjadi sangat menentukan

keberhasilan proses pembelajaran. Setidaknya ada tiga jenis strategi yang

berkaitan dengan pembelajaran yakni, (1) strategi pengorganisasian

pembelajaran, (2) strategi penyampaian pembelajaran, (3) strategi

pengelolaan pembelajaran. Strategi pengorganisasian antara lain meliputi

bagaimana merancang bahan untuk keperluan belajar mandiri. Strategi

penyampaian pengajaran menekankan pada media apa yang dipakai

untuk menyampaikan pengajaran, kegiatan belajar apa yang dilakukan

siswa, dan dalam struktur belajar mengajar yang bagaimana. Strategi

pengelolaan menekankan pada penjadwalan penggunaan setiap

komponen strategi pengorganisasian dan strategi penyampaian

pengajaran, termasuk pula pembuatan catatan tentang kemajuan belajar

siswa. Dari kedua pandangan tersebut dapat ditelusuri lebih jauh bahwa

strategi pembelajaran meliputi urutan (sequence) penyajian materi

pelajaran, metode pembelajaran, penggunaan media pembelajaran dan

efisiensi pemanfaatan waktu.

Satu hal yang menjadi penekanan dalam penggunaan startegi

pembelajaran adalah setiap strategi pembelajaran yang digunakan

bertalian dengan tujuan belajar yang ingin dicapai. Hal ini berarti setiap

strategi pembelajaran yang akan digunakan selayaknya disesuaikan

dengan tujuan yang hendak dicapai.

Dalam setiap proses pembelajaran, kedudukan strategi

memainkan peran penting dalam upaya menciptakan kondisi

pembelajaran yang efektif dan efisien. Perwujudan efektivitas dan

efisiensi pembelajaran menunjukkan efektifitas dan efisiensi strategi

pembelajaran yang digunakan. Proses pembelajaran dikatakan efektif

dan efisien manakala kegiatan pembelajaran itu sendiri mampu

melibatkan siswa secara aktif dalam kegiatan-kegiatan nyata. Disinilah

9 Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar proses Pendidikan

(Jakarta: Kencana Pernada Media Group, 2006).hlm 294.

6060

peranan strategi pembelajaran sebagai suatu proses yang

mendayagunakan siswa sebagai subyek pembelajaran.

Dalam dunia pendidikan, strategi pembelajaran telah dikenal luas

khususnya bagi para pendidik. Berbagai ragam strategi pembelajaran

yang dikenal baik strategi pembelajaran konvensional maupun strategi

pembelajaran yang lahir dari hasil kajian penelitian dan pengembangan

pendidikan telah memberikan kontribusi yang berarti bagi peningkatan

kualitas pembelajaran. Oleh karena itu yang dimaksud dengan

pendekatan pembelajaran adalah sebagai tindakan oleh guru dalam

menciptakan suatu sistem lingkungan yang memungkinkan terjadinya

proses belajar mengajar dengan menggunakan beberapa variabel

pengajaran agar tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan dapat

tercapai dan berhasil guna. 2. Hasil Belajar Pendidikan Agama Islam di Sekolah Secara sederhana belajar dapat dimengerti sebagai hasil asosiasi

pengalaman-pengalaman, bukan merupakan penghafalan kata-kata

bermakna. Lebih jauh, belajar pada umumnya selalu dihubungkan

dengan bidang ilmu pengetahuan khusus yang diminati, misalnya ilmu

sosial, Agama, komputer, fisika dan lain-lain. Melalui belajar diharapkan

siswa atau peserta didik dapat memperluas dan mengembangkan

inteligensi atau kecerdasannya. Oleh sebab itu, tugas pendidik adalah

bagaimana menciptakan suasana belajar yang dapat mengembangkan

semua kecerdasan yang ada pada setiap individu siswa.

Belajar merupakan perubahan dalam disposisi manusia atau

kapabilitas yang berlangsung selama satu masa waktu dan yang tidak

semata-mata disebabkan oleh proses pertumbuhan.10

Sedangkan Wina

Sanjaya mengemukakan bahwa belajar adalah suatu proses mencoba

berbagai kemungkinan. Belajar bukan hanya mengingat sejumlah fakta

akan tetapi belajar adalah proses berpikir (learning how to think), yakni

proses mengembangkan potensi seluruh otak, baik otak kanan maupun

otak kiri.11

Ini berarti bahwa tujuan kegiatan belajar ialah perubahan

tingkah laku, baik yang menyangkut pengetahuan, keterampilan, sikap,

bahkan meliputi segenap aspek pribadi. Kegiatan belajar mengajar

seperti mengorganisasi pengalaman belajar, menilai proses dan hasil

belajar, termasuk dalam cakupan tanggung jawab guru.

10 Robert M. Gagne, Kondisi belajar dan Teori pembelajaran, terjemahan

Munandir (Holt, Rinehart and Winston digandakan oleh PAU-PPAI Universitas

Terbuka,1990 ), hlm, 3. 11 Wina Sanjaya, op cit, hlm. 200-201.

6161

Menurut Morgan dalam Syaiful Sagala, belajar adalah suatu

proses yang dilakukan oleh seseorang untuk memperoleh bentuk prilaku

baru yang relatif menetap. Bentuk perilaku baru sering juga disebut hasil

belajar.12 Masih dalam kaitan dengan belajar, Rober dalam Muhibbin

Syah membatasi belajar dengan dua macam definisi. Pertama, belajar

adalah The process of acquiring knowledge, yakni proses memperoleh

pengetahuan. Kedua, belajar adalah A relatively permanent change in

respons potentiality which occurs as a result of reinforced practise,

yaitu suatu perubahan kemampuan bereaksi yang relatif langgeng

sebagai hasil latihan yang diperkuat.13

Artinya belajar pada hakekatnya

adalah real-word learning, yaitu belajar dari kenyataan yang bisa

diamati, dipraktekkan, dirasakan, dan diujicoba. Belajar akan

mengutamakan pengalaman nyata buka pengalaman yang hanya

diangan-angankan saja, yang tidak bisa dibuktikan secara empiris.

Dalam hubungannnya dengan belajar, Bruner dalam Muhibbin

Syah membedakan proses belajar dalam tiga fase atau episode, yakni, 1).

Informasi. Informasi yang diperoleh dalam tiap mata pelajaran, ada

yang menambah pengetahuan yang telah kita miliki, ada yang

memperhalus dan memperdalamnya, ada pula informasi yang

bertentangan dengan apa yang telah kita ketahui sebelumnya. 2)

Transformasi.; informasi ini harus dianalisis, diubah atau

ditransformasikan ke dalam bentuk yang lebih abstrak atau konseptual

agar dapat digunakan untuk hal-hal yang lebih luas dan 3). Evaluasi.

Kemudian kita kita nilai hingga manakah pengetahuan yang kita peroleh

dan transformasi itu dapat dimanfaatkan untuk memahami gejala-gejala

lain.14

Dalam hubungannnya dengan perubahan pada diri seseorang

akibat proses belajar, Gagne membagi perubahan ada lima kategori

pokok kapabilitas hasil belajar yaitu: (1) Keterampilan intelek, yaitu

seorang individu belajar berinteraksi pada lingkungan dengan

menggunakan lambang. (2) Informasi Verbal, merupakan orang bisa

belajar menyatakan atau mengatakan fakta atau serangkaian peristiwa

menggunakan wicara lisan atau menggunakan tulian, ketikan atau

bahkan menggambarnya. (3) Siasat Kognitif, yaitu seseorang telah

belajar menguasai keterampilan mengelola belajarnya sendiri,

mengingatnya dan berfikirnya, misalnya dia telah belajar menggunakan

12 Syaiful Sagala, Konsep dan Makna Pembelajaran (Bandung : Alfabeta 2010),

hlm.13. 13 Muhibbin Syah, Psikologi Belajar, (Jakarta: Raja Grafindo Persada 2005) hlm.

66. 14 ibid, hlm. 110

6262

cara tertentu dalam membaca bagian-bagian yang berlainan dari buku

yang dibacanya. (4) Keterampilan motoris, yaitu si belajar melakukan

gerakan dalam sejumlah tindak motorik yang terorganisasi, misalnya

melemparkan bola. (5) Sikap, yaitu seorang pelajar memperoleh atau

mencapai keadaan mental yang mempengaruhi pilihan atas tindakan

pribadi.15

Berdasarkan teori-teori itu, penulis dapat mengambil suatu

kesimpulan bahwa belajar adalah suatu proses atau kegiatan yang

dilakukan oleh seseorang atau peserta didik yang dimulai dan berakhir

dari suatu pengalaman, dan diharapkan dari belajar tersebut seseorang

atau peserta didik mengalamai perubahan tingkah laku, baik yang

menyangkut pengetahuan, keterampilan, sikap, bahkan meliputi segenap

aspek pribadi.

Selanjutnya pendidikan agama Islam merupakan sebutan yang

diberikan pada salah satu subyek pelajaran yang harus dipelajari oleh

siswa muslim dalam menyelesaikan pendidikannya pada tingkat tertentu.

Ia merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kurikulum suatu sekolah

sehingga menjadi alat untuk mencapai tujuan sekolah yang

bersangkutan. Karena itu, subyek ini diharapkan dapat memberikan

keseimbangan dalam kehidupan anak kelak, yakni manusia yang

memiliki kualifikasi tertentu tetapi tidak terlepas dari nilai-nilai ajaran

Islam.

Dalam sistem pendidikan nasional, pendidikan agama Islam

sebagai salah satu jenis pendidikan yang didesain dan diberikan kepada

siswa yang beragama Islam dalam rangka mengembangkan

keberagamaan Islam mereka. Ia merupakan subyek pelajaran pilihan

yang sejajar dengan pendidikan agama lain seperti pendidikan agama

Katholik, pendidikan agama Budha, pendidikan agama Hindu, dan lain-

lain.

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan

suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif

mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual

keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia

serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan

negara.16 Dari definisi tersebut tergambar adanya proses pembelajaran

terhadap peserta didik agar mengembangkan potensi dirinya untuk

memiliki kekuatan spiritual keagamaan. Hal ini mengindikasikan betapa

15 Robert M. Gagne, op. cit. hlm. 63-64. 16 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003, Sistem

Pendidikan Nasional, (Jakarta : Sinar Grafika 2003), hlm. 2

6363

pentingnya pendidikan agama untuk mendukung siswa memiliki

kekuatan spiritual tersebut.

Pendidikan agama Islam adalah bagian yang tak terpisahkan dari

sistem pendidikan di Indonesia, sebagaimana yang tercantum dalam

Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasional pasal 12 ayat 1 butir a. "Setiap peserta didik pada setiap satuan

pendidikan berhak mendapatkan pendidikan Agama sesuai dengan

Agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama".17

Sedangkan pendidikan Agama diartikan sebagai suatu kegiatan yang

bertujuan untuk membentuk manusia agamis dengan menanamkan

aqidah keimanan, amaliah dan budi pekerti atau akhlak yang terpuji

untuk menjadi manusia yang taqwa kepada Allah SWT.18

Menurut Arifin pendidikan Islam merupakan suatu sistem

kependidikan yang mencakup seluruh aspek kehidupan yang dibutuhkan

oleh hamba Allah, sebagaimana Islam telah menjadi pedoman bagi

seluruh aspek kehidupan manusia, baik duniawi maupun ukhrawi.19

Pendidikan Islam adalah pendidikan manusia seutuhnya; akal dan

hatinya; rohani dan jasmaninya; akhlak dan keterampilannya. Karena itu

pendidikan Islam menyiapkan manusia untuk hidup baik dalam keadaan

damai, dan menyiapkan untuk menghadapi masyarakat dengan segala

kebaikan dan kejahatannya, manis dan pahitnya. Pendidikan Islam

sebagai suatu proses penyiapan generasi muda untuk mengisi peranan,

memindahkan pengetahuan dan nilai-nilai Islam yang diselaraskan

dengan fungsi manusia untuk bermamal di dunia dan diakhirat.

Pendidikan Islam merupakan suatu proses pembentukan individu

berdasarkan ajaran-ajaran Islam yang diwahyukan Allah Swt kepada

Nabi Muhammad SAW.

Tegasnya pendidikan Islam adalah bimbingan jasmani dan rohani

menuju kepada terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran

Islam. Pendidikan Islam merupakan salah satu aspek saja dari ajaran

Islam secara keseluruhan. Karenanya tujuan pendidikan Islam tidak

terlepas dari tujuan hidup manusia dalam Islam; yaitu untuk

menciptakan pribadi-pribadi hamba Allah yang selalu bertaqwa

kepadaNya, dan dapat menciptakan kehidupan yang berbahagia di dunia

dan akhirat. Dalam konteks sosial masyarakat, bangsa dan negara, maka

pribadi yang bertaqwa ini menjadi rahmatan lil’alamiin, baik dalam

17 ibid, hlm. 8. 18 Muhaimin dan Abdul Ghofir, Strategi Belajar Mengajar; Penerapan dalam

Pembelajaran Agama Islam (Surabaya: Citra Media Karya Anak Bangsa 1996), hlm.2. 19 Arifin, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta : Bumi Aksara 2006), hlm. 8

6464

skala kecil maupun skala besar. Tujuan hidup manusia dalam Islam

inilah yang disebut sebagai tujuan akhir pendidikan.

Tafsir dalam Muhaimin menjelaskan ada perbedaan antara

pendidikan Islam dan pendidikan agama Islam (PAI). Penddikan Agama

Islam (PAI) dibakukan sebagai kegiatan mendidikan agama Islam,

seharusnya dinamakan “Agama Islam” karena yang diajarkan adalah

agama Islam bukan pendidikan agama Islam. Nama kegiatannya atau

usaha-usaha dalam mendidikkan agama Islam disebut sebagai

pendidikan agama Islam.20

Dilihat dari segi cakupannya pendidikan

agama Islam berbeda dengan pendidikan Islam. Pendidikan Islam

cakupannya lebih dari Pendidikan Agama Islam, yaitu mencakup

pendidikan yang berkaitan hubungan antara manusia dengan Tuhan dan

hubungan manusia dengan manusia, atau pendidikan yang mencakup

ajaran dunia dan akhirat yang didasarkan pada Al-Qur’an dan Sunnah

sebagai sumber acuannya. Atau dengan kata lain, Pendidikan Islam

adalah usaha sadar untuk mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan

anak dengan segala potensi yang dianugerahi Allah kepadanya agar

mampu mengemban amanah dan tanggung jawab sebagia khalifah Allah

di bumi dalam pengabdiannya kepada Allah SWT.

Pendidikan Agama Islam sebagai mata pelajaran wajib diikuti

seluruh siswa yang beragama Islam pada semua satuan jenis, dan jenjang

sekolah. Hal ini sesuai dengan UUD 1945 yang menjamin warga negara

untuk beribadah menurut agamanya masing-masing. Sebagaimana yang

tertuang dalam undang-undang sistem pendidikan nasional No 20 Tahun

2003 terutama pada pasal 37 ayat (1) bahwa pendidikan Agama

dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang

beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak

mulia.21 Artinya pendidikan Agama Islam merupakan usaha sadar untuk

menyiapkan peserta didik meyakini, memahami, menghayati, dan

mengamalkan agama Islam melalui kegiatan bimbingan, pengajaran atau

latihan untuk mewujudkan pribadi muslim yang beriman, bertakwa

kepada Allah SWT dan berakhlak mulia. Sementara itu, dalam

kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara serta

memiliki bekal untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi.

Pendidikan Agama Islam di sekolah harus berperan sebagai

pendukung tujuan umum pendidikan nasional yang tidak lain bahwa

tujuan umum pendidikan nasional eksplisit disebutkan bahwa rumusan

UUSPN No. 20 Tahun 2003 bab II Pasal 3 tentang Fungsi dan Tujuan

20 Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah

Madrasah dan Perguruan Tinggi (Jakarta : Raja Grafindo 2010), hlm. 6 21 ibid, hlm. VII

6565

Pendidikan Nasional sebagai disebutkan dalam bab terdahulu. Adapun

penjabaran rumusan fungsi pendidikan nasional yang juga merupakan

tujuan Pendidikan Agama Islam,

Selanjutnya secara sederhana hasil belajar dapat dimengerti

sebagai perubahan tingkah laku yang terjadi akibat proses belajar

mengajar. Hasil belajar diharapkan dapat membawa manfaat yang bai

bagi peserta didik dan masyarakat disekitarnya. Untuk mencapai harapan

itu banyak faktor yang menentukan proses dan hasil belajar seperti

kemampuan dasar, sikap dan penilaian siswa terhadap kualitas mengajar

guru. Faktor-faktor ini harus menunjang supaya proses dan hasil belajar

lebih memadai.

Pentingnya mengetahui hasil belajar agar guru memahami

tentang sejauh mana tujuan belajar yang telah dicapai siswa dengan

mengumpulkan keterangan-keterangan secara sistematis tentang

pengaruh usaha guru untuk dianalisis, dengan demikian guru akan

mengetahui kebaikan dan kekurangan usaha guru untuk memperkaya

pengalaman guru sebagai pengajar yang dapat digunakan pada proses

pembelajaran berikutnya.22Hasil belajar merupakan proses yang

menentukan nilai belajar siswa melalui kegiatan penilaian atau

pengukuran hasil belajar. Oleh karena itu guru hendaknya mampu

mengetahui tingkat keberhasilan yang dicapai oleh siswa setelah

mengikuti suatu kegiatan pembelajaran, dimana tingkat keberhasilan

tersebut kemudian ditandai dengan skala nilai berupa huruf atau kata

serta simbol.23

Artinya hasil belajar tersebut adalah tingkat penguasaan

yang dicapai siswa dalam mengikuti program belajar mengajar sesuai

dengan tujuan pendidikan yang telah ditetapkan, atau dapat juga

dikatakan bahwa hasil belajar adalah seluruh kecakapan dan hasil yang

dicapai melalui proses belajar-mengajar di sekolah yang dinyatakan

dengan angka-angka atau nilai-nilai yang diukur dengan tes hasil belajar.

Belajar sebagai proses perubahan tingkah laku akan dapat

diketahui, oleh karenanya perubahan tingkah laku syarat berhubungan

dengan perubahan sistem syaraf dan perubahan energi yang sulit dilihat

dan diraba para ahli psikologi menamakan kotak hitam (black box),

namun perubahan tingkah laku tersebut akan dapat diketahui dengan

membandingkan kondisi sebelum dan sesudah proses pembelajaran

berlangsung.24

22 Nasution, Teknologi Pendidikan ( Jakarta : Bumi Aksara 2008), hlm. 73 23 Dimyati dan Mudjiono, Belajar dan Pembelajaran (Jakarta : Rineka Cipta

2009), hlm. 200-201 24 Wina Sanjaya, op cit, hlm. 57-58

6666

Definisi yang diajukan oleh Nana Sudjana adalah bahwa hasil

belajar merupakan kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah

dia menerima pengalaman belajarnya.25 Dalam hubungan hasil belajar,

menurut Bloom dalam Syaiful Sagala, hasil belajar dapat dikelompokan

ke dalam tiga ranah, yaitu ranah kognitif, efektif dan

psikomotor.26

Ranah kognitif adalah meliputi pengenalan pengetahuan

dan pengembangan kemampuan intelek dan keahlian (skill). Ranah ini

merupakan ranah paling sentral bagi pengembangan tes dan

pengembangan kurikulum. Ranah afektif menyangkut tujuan yang

menggambarkan perubahan dalam minat, sikap, dan nilai-nilai serta

pengembangan penghargaan, serta penyesuaian yang cukup. Ranah

psikomotor adalah keahlian dalam gerakan (motor-skill area).

Pendapat lain mengemukakan bahwa terdapat lima kemampuan

yang didapat seseorang dalam belajar yaitu : keterampilan, intelektual,

strategi kognitif, informasi verbal, sikap, dan keterampilan motorik.27

,

Keterampilan intelektual adalah suatu kemampuan yang membuat

seseorang menjadi kompeten terhadap suatu subjek, sehingga dapat

mengklasifikasi, mengidentifikasi, mendemonstrasikan, serta

menggeneralisasikan suatu gejala. Strategi kognitif adalah kemampuan

seseorang untuk dapat mengontrol aktivitas intelektualnya dalam

mengatasi masalah yang dihadapi. Informasi verbal adalah kemampuan

seseorang untuk dapat menggunakan bahasa lisan maupun tulisan dalam

mengungkapkan suatumasalah atau gagasan. Sikap adalah suatu

kecenderungan pada diri seseorang dalam menerima atau menolak objek

sikap, sedang keterampilan motorik adalah kemampuan seseorang untuk

mengkoordinasikan semua gerakan secara teratur dan lancar.

Menurut Gagne, bahwa belajar merupakan proses untuk

memperoleh motivasi dalam pengetahuan, kebiasaan, dan tingkah laku.

Belajar adalah pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh dari

instruksi. Dikemukakan juga bahwa hasil belajar dapat dihubungkan

dengan terjadinya suatu perubahan dalam kepandaian seseorang dalam

yang dalam proses perkembangannya cukup rumit dan terjadi antara

sebelum dan sesudah situasi belajar, dengan suatu latihan atau perlakuan

tertentu.28 Perubahan tingkah laku yang parmanen dapat diperoleh dari

hasil pembiasaan, contoh-contoh, peniruan, dan latihan yang berulang-

ulang. Oleh sebab itu Gagne, mengemukakan bahwa hasil belajar dapat

25 Sudjana Nana, Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar (Bandung : Rosda

Karya 2005). hlm. 22 26 Syaiful Sagala, op.,cit, hlm. 33. 27 Robert M Gagne, op cit, hlm. 63-64. 28 Robert M Gagne, op cit, hlm. 3

6767

diklasifikasikan menjadi lima macam, yakni : (1). Keterampilan

intelektual, (2). Strategi kognitif, (3). Informasi verbal, (4).

Keterampilan motorik, dan (5). Sikap.29 Selanjutnya Benyamin Bloom

dalam Syaiful Sagala mengklasifikasikan hasil belajar dalam tiga ranah,

yaitu : ranah kognitif (cognitive domain), ranah afektif (affective

domain), dan ranah psikomotor (psychomotor domain).30

1. Tujuan Pendidikan Agama Islam di Sekolah Makna tujuan pendidikan agama Islam akan memberikan arah,

Tujuan Pendidikan agama Islam dimaksudkan agar manusia mampu

mengolah dan menggunakan segala kekayaan yang ada di langit dan di

bumi untuk kesejahteraan dan kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat

kelak. Dengan demikian, manusia melalui proses pendidikan Islam

diharapkan adalah seorang muslim yang beriman dan bertakwa kepada

Allah, berakhlak mulia, beramal kebaikan (amal shaleh), menguasai ilmu

(untuk dunia dan akhirat), menguasai keterampilan dan keahlian agar

memikul amanah dan tanggung jawab yang dibebankan kepadanya

sesuai dengan kemampuan masing-masing. Kedudukan agama Islam

sebagai mata pelajaran yang diajarkan di sekolah umum adalah segala

upaya penyampaian ilmu pengetahuan agama Islam tidak hanya untuk

dipahami dan dihayati, tetapi juga diamalkan dalam kehidupan sehari-

hari, misalnya kemampuan siswa dalam melaksanakan wudhu, sholat,

puasa, dan ibadah-ibadah lain yang sifatnya hubungan dengan Allah

(ibadah mahdhah), dan juga kemampuan siswa dalam beribadah yang

sifatnya hubungan antara sesama manusia, misalnya siswa bisa

melakukan zakat, sadaqah, jual beli, dan lain-lain yang termasuk ibadah

dalam arti luas (ibadah ghaira mahdhah).

Tujuan pendidikan agama Islam merupakan penggambaran nilai-

nilai islami yang ingin diwujudkan dalam pribadi anak didik pada akhir

dari proses pendidikan. Selanjutnya tujuan pendidikan oleh pendidik

muslim melalui proses yang berakhir pada hasil (produk) yang

berkepribadian Islam yang beriman, bertaqwa, dan berilmu pengetahuan

yang sanggup mengembangkan dirinya menjadi hamba Allah yang taat.

Menurut Armai Arief, bahwa tujuan pendidikan Islam untuk membentuk

kepribadian sebagai khalifah Allah SWT, atau sekurang-kurangnya

mempersiapkan ke jalan yang mengacu kepada tujuan akhir.31 Kemudian

tujuan pendidikan Islam tersebut dibangun atas tiga komponen sifat

dasar manusia, yaitu tubuh, ruh dan akal yang masing-masing harus

29 Robert M Gagne, op cit, hlm. 62-64. 30 Syaiful Sagala, op cit. hlm. 33-34. 31 Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta:

Ciputat Pers 2002), hlm. 19

6868

dijaga. Berdasarkan hal tersebut maka tujuan pendidikan Islam dapat di

kualifikasikan kepada: (1) Tujuan Pendidikan Jasmani (ahdaf al-

jismiyah) Kekuatan fisik meruapakan bagian pokok dari tujuan

pendidikan. Maka pendidikan harus mempunyai tujuan kearah

keterampilanketerampilan fisik yang dianggap perlu bagi tumbuhnya

keperkasaan tubuh yang sehat. Pendidikan Islam dalam hal ini mengacu

pada pembicaraan fakta-fakta terhadap jasmani yang relevan bagi para

pelajar. (2) Tujuan Pendidikan Rohani (ahdaf al-ruhaniyyah) Orang

yang betul-betul menerima ajaran Islam tentu akan menerima seluruh

cita-cita ideal yang terdapat dalam Al-Qur.an, peningkatan jiwa dan

kesetiaannya yang hanya kepada Allah semata dan melaksanakan

moralitas Islami yang diteladani dari tingkah laku kehidupan Nabi

Muhammad SAW merupakan bagian pokok dalam tujuan pendidikan

Islam. Tujuan pendidikan Islam harus mampu membawa dan

mengembalikan ruh kepada kebenaran dan kesucian. (3) Tujuan

Pendidikan Akal (al-ahdaf al-.aqliyah) Tujuan ini mengarah kepada

perkembangan intelegensi yang mengarahkan setiap manusia sebagai

individu untuk dapat menemukan kebenaran yang sebenar-benarnya.

Pendidikan yang dapat membantu tercapainya tujuan akal, seharusnya

dengan bukti-bukti yang memadai dan relevan dengan apa yang mereka

pelajari. Di samping itu pendidikan Islam mengacu kepada tujuan

memberi daya dorong menuju peningkatan kecerdasan manusia.

Pendidikan yang lebih berorientasi kepada hafalan, tidak tepat menurut

teori pendidikan Islam. Karena pada dasarnya pendidikan Islam bukan

hanya memberi titik tekan pada hafalan, sementara proses intelektualitas

dan pemahaman dikesampingkan. (4) Tujuan Sosial (al-ahdaf al-

ijtima.iyah) Seorang khalifah mempunyai kepribadian utama dan

seimbang, sehingga khalifah tidak akan hidup dalam keterasingan dan

ketersendirian. Oleh karena itu, aspek social dari khalifah harus

dipelihara.

Fungsi pendidikan dalam mewujudkan tujuan sosial adalah

menitikberatkan pada perkembangan karakter-karakter manusia yang

unik, agar manusia mampu beradaptasi dangan standar-standar

masyarakat bersama-sama dengan cita-cita yang ada padanya.

Keharmonisan menjadi karakteristik utama yang ingin dicapai dalam

tujuan pendidikan Islam.

Pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan

agama Islam adalah untuk mewujudkan insan kamil yang berpredikat

iman, taqwa dan berakhlakul karimah, sanggup berdiri diatas haknya

sendiri, mengabdi kepada Allah dan dapat menselaraskan antara

kepentingan dunia dan kepentingan akhirat. Maka pendidikan agama

6969

Islam pada anak tingkat SMP sangat penting karena pada usia ini diberi

pendidikan agama dengan tujuan membimbing, menuntun siswa dengan

berbagai pengetahuan agama sesuai dengan berbagai pengetahuan agama

sesuai dengan perkembangannya, baik tentang dasar-dasar atau hikmah

hukum Islam maupun tentang bacaan dan hafalan Al-Qur’an, praktek

ibadah baik di sekolah maupun di luar sekolah untuk meningkatkan

aqidah dan pengetahuan agama agar menjauhkan diri dari berbagai

kepercayaan yang salah yang dapat merusak kemurnian Agama. 2. Karakteristik Pendidikan Agama Islam di Sekolah Karakteristik Pendidikan Agama Islam sebagai gambaran

sejauhmana nilai-nilai utama (karakter) yang terkandung dalam mata

pelajaran ini. Adapun 7 karakteristik mata pelajaran PAI di SMP adalah

sebagai berikut:32 (1) PAI merupakan mata pelajaran yang

dikembangkan dari ajaran-ajaran pokok (dasar) yang terdapat dalam

agama Islam, sehingga PAI merupakan bagian yang tidak dapat

dipisahkan dari ajaran Islam. (2) Ditinjau dari segi muatan

pendidikannya, PAI merupakan mata pelajaran pokok yang menjadi

salah satu bagian yang tidak dapat dipisahkan dengan mata pelajaran lain

yang bertujuan untuk mengembangkan kepribadian dan moral (karakter)

peserta didik. Oleh karena itu, semua mata pelajaran yang memiliki

tujuan tersebut harus seiring dan sejalan dengan tujuan yang ingin

dicapai oleh mata pelajaran PAI. (3) Diberikannya mata pelajaran PAI,

khususnya di SMP, bertujuan untuk terbentuknya peserta didik yang

beriman dan bertakwa kepada Allah SWT berbudi pekerti yang luhur

(berkarakter atau berakhlak mulia), dan memiliki pengetahuan yang

cukup tentang Islam, terutama sumber ajaran dan sendi-sendi Islam

lainnya. Pada saat bersamaan, mata pelajaran PAI dapat dijadikan bekal

untuk mempelajari berbagai bidang ilmu atau mata pelajaran lain,

sehingga akan semakin memperkuat pembentukan karakter dan

keilmuannya. (4) PAI adalah mata pelajaran yang tidak hanya

mengantarkan peserta didik dapat menguasai berbagai kajian keislaman,

tetapi PAI lebih menekankan bagaimana peserta didik mampu

menguasai kajian keislaman tersebut sekaligus dapat mengamalkannya

dalam kehidupan sehari-hari di tengah-tengah masyarakat. Oleh karena

itu, PAI tidak hanya menekankan pada aspek kognitif saja, tetapi yang

lebih penting adalah pada aspek afektif (sikap) dan psikomotornya

(perilaku). Hasil dari PAI adalah sikap perilaku (karakter) peserta didik

sehari-hari yang sejalan dengan ajaran Islam. (5) Secara umum mata

pelajaran PAI didasarkan pada ketentuan-ketentuan yang ada pada dua

32 Kementerian Pendidikan Nasional, Panduan Guru PAI ; Pendidikan Karakter

Terintegrasi dalam Pembelajaran di SMP (Jakarta: 2010), hlm. 18-19

7070

sumber pokok ajaran Islam, yaitu al-Quran dan Sunnah/hadis Nabi

Muhammad saw. (dalil naqli). Dengan melalui metode Ijtihad (dalil

aqli) para ulama mengembangkan prinsip-prinsip PAI tersebut dengan

lebih rinci dan mendetail dalam bentuk fiqih dan hasil-hasil ijtihad

lainnya. (6) Prinsip-prinsip dasar PAI tertuang dalam tiga kerangka dasar

ajaran Islam, yaitu aqidah, syariah, dan akhlak. Dari ketiga prinsip dasar

itulah berkembang berbagai kajian keislaman (ilmu-ilmu agama) seperti

Ilmu Kalam (Theologi Islam, Ushuluddin, Ilmu Tauhid) yang

merupakan pengembangan dari aqidah; Ilmu Fiqih yang merupakan

pengembangan dari syariah; dan Ilmu Akhlak (Etika Islam, Moralitas

Islam) yang merupakan pengembangan dari akhlak, termasuk kajian-

kajian yang terkait dengan ilmu dan teknologi serta seni dan budaya

yang dapat dituangkan dalam berbagai mata pelajaran di SMP.

Jika hal ini diimplementasikan di sekolah (SMP), yakni dengan

mendasari peserta didik aqidah (fondasi) yang kokoh lalu mendorong

untuk melaksanakan semua ketentuan Allah dan Rasul-Nya (syariah)

secara utuh, maka akan terbentuk peserta didik yang memiliki akhlak

(karakter) mulia yang utuh baik dalam hubungan vertikal (hablun

minallah) maupun horisontal (hablun minannas), serta memiliki ilmu

pengetahuan dan kreativitas yang memadai. (7) Tujuan akhir dari mata

pelajaran PAI di SMP adalah terbentuknya peserta didik yang memiliki

akhlak yang mulia (manusia berkarakter). Tujuan ini yang sebenarnya

merupakan misi utama diutusnya Nabi Muhammad saw. di dunia. Oleh

karena itu, pendidikan akhlak (pendidikan karakter) adalah jiwa

Pendidikan Agama Islam (PAI). Mencapai akhlak yang karimah

(karakter mulia) adalah tujuan sebenarnya dari pendidikan Islam. Peserta

didik membutuhkan kekuatan dalam hal jasmani, akal, dan ilmu, tetapi

ia juga membutuhkan pendidikan budi pekerti, perasaan, kemauan, cita

rasa, dan kepribadian. Sejalan dengan konsep ini maka semua mata

pelajaran atau bidang studi yang diajarkan kepada peserta didik haruslah

mengandung muatan pendidikan akhlak (pendidikan karakter) dan setiap

guru haruslah memerhatikan akhlak atau karakter peserta didiknya.

C. KESIMPULAN Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa suatu

proses pembelajaran pada akhirnya akan menghasilkan kemampuan

seseorang yang mencakup: pengetahuan, sikap, dan keterampilan.

Perubahan kemampuan itu merupakan indikator untuk mengetahui hasil

belajar. Teori belajar dan hasil belajar yang dikemukakan di atas,

menjadi acuan untuk menentukan jenis hasil belajar yang diasumsikan

paling memadai dalam penelitian ini. Hasil belajar yang diidentifikasi

7171

dalam penelitian ini menitikberatkan pada hasil belajar menurut Bloom

yang dijabarkan menurut Kemp, meliputi : pengetahuan, pemahaman,

dan penerapan.

Adapun yang dimaksud dengan hasil belajar mata pelajaran

agama Islam adalah kemampuan yang dimiliki siswa sekolah dasar

meliputi : pengetahuan, pemahaman, dan penerapan, terhadap materi

pelajaran Agama Islam, mencakup penguasaan fakta, prinsip-prinsip,

konsep, generalisasi, sikap, norma, dan hukum, yang dinyatakan dalam

skor tertentu pada bidang Agama Islam, dan diukur dengan tes. Tes

adalah suatu alat atau prosedur yang sistematis dalam rangka

pengukuran dan penilaian dalam bidang pendidikan yang berbentuk

pemberian tugas atau serangkaian tugas untuk mengukur tingkat

perkembangan atau kemajuan yang telah dicapai peserta didik setelah

mereka menempuh proses pembelajaran dalam waktu tertentu. Hasil tes

dapat memberi informasi tentang apa dan seberapa jauh penyerapan

materi yang telah dikuasai siswa setelah mengikuti proses belajar

mengajar pelajaran Agama Islam. Hasil belajar Agama Islam tersebut

merupakan gambaran belajar yang sangat penting bagi siswa, guru,

orang tua, serta pihak-pihak yang terkait demi kemajuan proses

pembelajaran.

DAFTAR PUSTAKA Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam,

(Jakarta: Ciputat Pers 2002)

Arifin, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta : Bumi Aksara 2006)

Dimyati dan Mudjiono, Belajar dan Pembelajaran (Jakarta : Rineka

Cipta 2009)

Kementerian Pendidikan Nasional, Panduan Guru PAI ; Pendidikan

Karakter Terintegrasi dalam Pembelajaran di SMP (Jakarta:

2010)

Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta : Bumi Aksara

2009)

Muhibbin Syah, Psikologi Belajar, (Jakarta: Raja Grafindo Persada

2005)

Muhaimin dan Abdul Ghofir, Strategi Belajar Mengajar; Penerapan

dalam Pembelajaran Agama Islam (Surabaya: Citra Media Karya

Anak Bangsa 1996)

7272

Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di

Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi (Jakarta: Raja Grafindo

Persada 2010)

Nasution, Teknologi Pendidikan ( Jakarta : Bumi Aksara 2008)

Yusufhadi Miarso, Menyemai Benih Teknologi Pendidikan (Jakarta:

Kencana, 2009)

Rasimin, Imam Subqi, Belajar Pe De; Kontekstualisasi Reward dan

Punishment dalam Pembelajaran (Yogyakarta: Mitra Cendekia

2009)

Robert M. Gagne, Kondisi belajar dan Teori pembelajaran, terjemahan

Munandir (Holt, Rinehart and Winston digandakan oleh PAU-

PPAI Universitas Terbuka,1990 )

Syaiful Sagala, Konsep dan Makna Pembelajaran (Bandung : Alfabeta

2010)

Sudjana Nana, Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar (Bandung :

Rosda Karya 2005)

Umar Tirta Raharja, Pengantar Pendidikan (Jakarta : Rineka Cipta

2005)

Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional (Bandung: Remaja Rosda

Karya 2010)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003, Sistem

Pendidikan Nasional, (Jakarta : Sinar Grafika 2003)

Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar proses

Pendidikan (Jakarta: Kencana Pernada Media Group, 2006)

73

Αン

EVALUASI PEMBELAJARAN DALAM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM Oleh : Khaerudin

1 Abstrak

Evaluasi pembelajaran merupakan suatu usaha untuk memperbaiki

mutu proses belajar mengajar. Informasi-informasi yang diperoleh dari

pelaksanaan evaluasi pembelajaran pada gilirannya digunakan untuk

memperbaiki kualitas proses belajar mengajar. Seringkali dalam proses

belajar mengajar, aspek evaluasi pembelajaran ini diabaikan. Dimana guru

terlalu memperhatikan saat yang bersangkutan memberi pelajaran saja.

Namun, pada saat guru membuat soal ujian atau tes (formatif), soal tes

disusun seadanya atau seingatnya saja tanpa harus memenuhi penyusunan

soal yang baik dan benar serta pengolahan evaluasi pembelajaran yaitu

pada pelaksanaan evaluasi formatif. Kedudukan Pendidikan Agama Islam

di sekolah umum hanya merupakan salah satu program atau mata pelajaran

atau bidang studi yang kedudukannya sama dengan bidang studi atau mata

pelajaran lainnya. Sehingga pelaksanaan evaluasi pembelajarannya pun

sama dengan mata pelajaran lainnya.

Melakukan evaluasi tentang hasil Pendidikan Agama Islam kepada

murid-murid dapat berlangsung secara terulis atau lisan, pada periode

waktu-waktu tertentu dan yang bersifat rutin sehari-hari pula. Mengenai

pelajaran Pendidikan Agama Islam ini adalah lebih baik para guru

mengevaluasinya secara harian karena hal demikian lebih obyektif, efektif

dan membawa kepada naturalistik pengalaman dan penghayatannya kepada

kepribadian anak, disamping evaluasi secara periodik yang memang wajar

dilakukan pada waktu-waktu yang tepat Sekurang-kurangnya ada 3 faktor

tentang agama yang harus dievaluasi pada diri seorang anak: 1)

Pengetahuan para siswa tentang agama Islam, 2) Pelaksanaan praktik

ibadah dan amaliyahnya, 3) Penghayatan jiwa agama atau akhlak yang baik

sehari-hari atau kepribadian mereka. Kemampuan dan keahlian para guru

pada saat melaksanakan evaluasi pembelajaran dengan sudah

memperhatikan dan memahami prosedur dan teknik-teknik evaluasi

pendidikan dan juga dapat menafsirkan hasil dari evaluasi yang telah

dilaksanakan yang kemudian ditindaklanjuti untuk memperoleh

pembelajaran yang lebih optimal. Pada dasarnya evaluasi pembelajaran

bertujuan untuk mengetahui informasi - informasi yang dibutuhkan untuk

1 Khaerudin adalah Mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta Prodi

Penelitian dan Evaluasi Pendidikan sejak Tahun 2010.

74

Αヴ

memperbaiki proses pembelajaran. Akan tetapi proses pelaksanaannya

tetap mengacu kepada langakah-langkah evaluasi pendidikan, pelaksanaan

evaluasi pembelajaran tersebut dimulai dari merumuskan perencanaan

evaluasi, menyusun soal tes, mengolah dan menganalisis hasil tes yang

kemudian dilanjutkan dengan menginterpretasi serta menindaklanjuti hasil

evaluasi.

Kata Kunci: Evaluasi Pembelajaran dan Pendidikan Agama Islam A. Pendahuluan

Guru agama, disamping melaksanakan tugas keagamaan, ia juga

melaksanakan tugas pendidikan dan pembinaan bagi peserta didik, ia

membantu pembentukan kepribadian, pembinaan akhlak disamping

menumbuhkan dan mengembangkan keimanan dan ketaqwaan para

siswa. Dengan tugas yang cukup berat tersebut, guru Pendidikan

Agama Islam dituntut untuk memiliki keterampilan profesional dalam

menjalankan tugas pembelajaran.

Kemampuan guru dalam melakukan evaluasi merupakan

kompetensi guru yang sangat penting. Evaluasi dipandang sebagai

masukan yang diperoleh dari proses pembelajaran yang dapat

dipergunakan untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan berbagai

komponen yang terdapat dalam suatu proses belajar mengajar.2

Sedemikian pentingnya evaluasi ini sehingga kelas yang baik tidak

cukup hanya didukung oleh perencanaan pembelajaran, kemampuan

guru mengembangkan proses pembelajaran serta penguasaannya

terhadap bahan ajar, dan juga tidak cukup dengan kemampuan guru

dalam menguasai kelas, tanpa diimbangi dengan kemampuan

melakukan evaluasi terhadap perencanaan kompetensi siswa yang

sangat menentukan dalam konteks perencanaan berikutnya, atau

kebijakan perlakuan terhadap siswa terkait dengan konsep belajar

tuntas.3 Atau dengan kata lain tidak ada satupun usaha untuk

memperbaiki mutu proses belajar mengajar yang dapat dilakukan

dengan baik tanpa disertai langkah evaluasi.

Dalam arti luas evaluasi adalah suatu proses merencanakan,

memperoleh dan menyediakan informasi, dan yang sangat diperlukan

2Prasetya Irawan, Evaluasi Proses Belajar Mengajar, (Jakarta: PAU-PAI, Universitas

Terbuka, 2001), Cet Ke 1, hlm.1 3 Ngalim Purwanto, Prinsip-Prinsip dan Teknik Evaluasi Pengajaran, (Bandung: PT.

Remaja Rosdakarya, 2004), hlm.3

75

Αヵ

untuk membuat alternatif-alternatif keputusan.4 Dalam hal memperoleh

dan menyediakan informasi, evaluasi menempati posisi yang sangat

strategis dalam proses pembelajaran, hal ini dikarenakan seorang guru

akan mendapatkan informasiinformasi sejauh mana tujuan pengajaran

yang telah dicapai siswa.

Evaluasi pembelajaran merupakan suatu usaha untuk memperbaiki

mutu proses belajar mengajar. Informasi-informasi yang diperoleh dari

pelaksanaan evaluasi pembelajaran pada gilirannya digunakan untuk

memperbaiki kualitas proses belajar mengajar.

Seringkali dalam proses belajar mengajar, aspek evaluasi

pembelajaran ini diabaikan. Dimana guru terlalu memperhatikan saat

yang bersangkutan memberi pelajaran saja. Namun, pada saat guru

membuat soal ujian atau tes (formatif), soal tes disusun seadanya atau

seingatnya saja tanpa harus memenuhi penyusunan soal yang baik dan

benar serta pengolahan evaluasi pembelajaran yaitu pada pelaksanaan

evaluasi formatif.

B. Evaluasi Pembelajaran 1. Pengertian, Tujuan, Fungsi Evaluasi Dalam pendidikan terjadi proses belajar mengajar yang sistematis,

yang terdiri dari banyak komponen. Masing-masing komponen

pengajaran tidak bersifat terpisah atau berjalan sendiri-sendiri, tetapi

harus berjalan secara teratur, saling bergantung dan berkesinambungan.

Proses belajar mengajar pada dasarnya adalah interaksi yang terjadi

antara guru dan siswa untuk mencapai tujuan pendidikan. Guru sebagai

pengarah dan pembimbing, sedang siswa sebagai orang yang

mengalami dan terlibat aktif untuk memperoleh perubahan yang terjadi

pada diri siswa setelah mengikuti proses belajar mengajar, maka guru

bertugas melakukan suatu kegiatan yaitu penilaian atau evaluasi atas

ketercapaian siswa dalam belajar. Selain memiliki kemampuan untuk

menyusun bahan pelajaran dan keterampilan menyajikan bahan untuk

mengkondisikan keaktifan belajar siswa, guru diharuskan memiliki

kemampuan mengevaluasi ketercapaian belajar siswa, karena evaluasi

merupakan salah satu komponen penting dari kegiatan belajar

mengajar.

Evaluasi berasal dari bahasa Inggris yaitu evaluation. Menurut

Mehrens dan Lehmann yang dikutip oleh Ngalim Purwanto, evaluasi

dalam arti luas adalah suatu proses merencanakan, memperoleh dan

4 Subari, Supervisi Pendidikan, (Jogjakarta: Bumi Aksara, 1994), hlm. 174

76

Αヶ

menyediakan informasi yang sangat diperlukan untuk membuat

alternatif alternatif keputusan.5Dalam hubungan dengan kegiatan

pengajaran, evaluasi mengandung beberapa pengertian, diantaranya

adalah: 1) Menurut Norman Gronlund, yang dikutip oleh Ngalim

Purwanto dalam buku Prinsip-Prinsip dan Teknik Evaluasi Pengajaran,

evaluasi adalah suatu proses yang sistematis untuk menentukan

keputusan sampai sejauh mana tujuan dicapai oleh siswa. 2)

Wrightstone dan kawan-kawan, evaluasi pendidikan adalah penaksiran

terhadap pertumbuhan dan kemajuan siswa kearah tujuan-tujuan atau

nilainilai yang telah ditetapkan di dalam kurikulum.6

Selanjutnya, Roestiyah dalam bukunya Masalah-masalah ilmu

keguruan yang kemudian dikutip oleh Slameto, mendeskripsikan

pengertian evaluasi sebagai berikut:7 1) Evaluasi adalah proses

memahami atau memberi arti, mendapatkan dan mengkomunikasikan

suatu informasi bagi petunjuk pihak-pihak pengambil keputusan: 2)

Evaluasi ialah kegiatan mengumpulkan data seluas-luasnya,

sedalamdalamnya, yang bersangkutan dengan kapabilitas siswa, guna

mengetahui sebab akibat dan hasil belajar siswa yang dapat mendorong

dan mengembangkan kemampuan belajar: 3) Dalam rangka

pengembangan sistem instruksional, evaluasi merupakan suatu

kegiatan untuk menilai seberapa jauh program telah berjalan seperti

yang telah direncanakan: 4) Evaluasi adalah suatu alat untuk

menentukan apakah tujuan pendidikan dan apakah proses dalam

pengembangan ilmu telah berada di jalan yang diharapkan.

Seorang pendidik harus mengetahui sejauh mana keberhasilan

pengajarannya tercapai dengan baik dan untuk memperbaiki serta

mengarahkan pelaksanaan proses belajar mengajar, dan untuk

memperoleh keputusan tersebut maka diperlukanlah sebuah proses

evaluasi dalam pembelajaran atau yang disebut juga dengan evaluasi

pembelajaran. Evaluasi pembelajaran adalah evaluasi terhadap proses

belajar mengajar. Secara sistemik, evaluasi pembelajaran diarahkan

pada komponen-komponen sistem pembelajaran yang mencakup

komponen raw input, yakni perilaku awal (entry behavior) siswa,

komponen input instrumental yakni kemampuan profesional guru atau

tenaga kependidikan, komponen kurikulum (program studi, metode,

media), komponen administratif (alat, waktu, dana); komponen proses

5 Ngalim Purwanto, Prinsip-Prinsip dan Teknik Evaluasi Pengajaran, (Bandung: PT.

Remaja Rosdakarya, 2004, hlm.3 6 Ibid., 7 Slameto, Evaluasi Pendidkan, (Jakarta: Bumi Aksara,2001), hlm. 6

77

ΑΑ

ialah prosedur pelaksanaan pembelajaran; komponen output ialah hasil

pembelajaran yang menandai ketercapaian tujuan pembelajaran.8

Dilihat dari fungsinya yaitu dapat memperbaiki program

pengajaran, maka evaluasi pembelajaran dikategorikan ke dalam

penilaian formatif atau evaluasi formatif, yaitu evaluasi yang

dilaksanakan pada akhir program belajar mengajar untuk melihat

tingkat keberhasilan proses belajar mengajar itu sendiri.9 Menurut

Anas Sudijono, evaluasi formatif ialah evaluasi yang dilaksankan

ditengah-tengah atau pada saat berlangsungnya proses pembelajaran,

yaitu dilaksanakan pada setiap kali satuan program pelajaran atau

subpokok bahasan dapat diselesaikan, dengan tujuan untuk mengetahui

sejauh mana peserta didik .telah terbentuk. sesuai dengan tujuan

pengajaran yang telah ditentukan.10

Secara umum, dalam bidang penidikan, evaluasi bertujuan untuk11

;

1) Memperoleh data pembuktian yang akan menjadi petunjuk sampai

dimana tingkat kemampuan dan tingkat keberhasilan peserta didik

dalam pencapaian tujuan-tujuan kurikuler setelah menempuh proses

pembelajaran dalam jangka waktu yang telah ditentukan; 2) Mengukur

dan menilai sampai di manakah efektifitas mengajar dan metode-

metode mengajar yang telah diterapkan atau dilaksanakan oleh

pendidik, serta kegiatan belajar yang dilaksanakan oleh peserta.

Adapun yang menjadi tujuan khusus dari kegiatan evluasi dalam

bidang pendidikan adalah: 1) Untuk merangsang kegiatan peserta didik

dalam menempuh program pendidikan; 2) Untuk mencari dan

menemukan faktor-faktor penyebab keberhasilan peserta didik dalam

mengikuti program pendidikan, sehingga dapat dicari dan ditemukan

jalan keluar atau cara-cara perbaikannya.12

Evaluasi dalam pembelajaran dilakukan untuk kepentingan

pengambilan keputusan, misalnya tentang akan digunakan atau

tidaknya suatu pendekatan, metode, atau teknik. Tujuan utama

dilakukan evaluasi proses pembelajaran adalah sebagai berikut: 1)

Menyiapkan informasi untuk keperluan pengambilan keputusan dalam

8 Oemar Hamalik, Kurikulum dan Pembelajar, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995, hlm.

171 9 Nana Sudjana, Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar,(Bandung: PT. Remaja

Rosdakarya, 1991), hlm. 5 10 Anas Sudijono, Pengantar Evaluasi Pendidikan, (Jakarta: PT. RajaGrafindo

Persada,2006), hlm. 23 11 Ibid., hlm.16 12 Ibid., hlm. 17

78

ΑΒ

proses pembelajaran; 2) Mengidentifikasi bagian yang belum dapat

terlaksana sesuai dengan tujuan; 3) Mencari alternatif tindak lanjut,

diteruskan, diubah atau dihentikan.13

Dalam keadaan pengambilan keputusan proses pembelajaran,

evaluasi sangat penting karena telah memberikan informasi mengenai

keterlaksanaan proses belajar mengajar, sehingga dapat berfungsi

sebagai pembantu dan pengontrol pelaksanaan proses belajar mengajar.

Di samping itu, fungsi evaluasi proses adalah memberikan informasi

tentang hasil yang dicapai, maupun kelemahan-kelemahan dan

kebutuhan tehadap perbaikan program lebih lanjut yang selanjutnya

informasi ini sebagai umpan balik (feedback) bagi guru dalam

mengarahkan kembali penyimpangan-penyimpangan dalam

pelaksanaan rencana dari rencana semula menuju tujuan yang akan

dicapai.14

Dengan demikian, betapa penting fungsi evaluasi itu dalam proses

belajar mengajar. Dalam keseluruhan proses pendidikan, secara garis

besar evaluasi berfungsi untuk:15

(1) Mengetahui kemajuan kemampuan

belajar murid. Dalam evaluasi formatif, hasil dari evaluasi selanjutnya

digunakan untuk memperbaiki cara belajar siswa. (2) Mengetahui

status akademis seseorang siswa dalam kelasnya. (3) Mengetahui

penguasaan, kekuatan dalam kelemahan seseorang siswa atas suatu

unit pelajaran. (4) Menegtahui efisiensi metode mengajar yang

digunakan guru. (5) Menunjang pelaksanaan B.K di sekolah.

(6)Memberi laporan kepada siswa dan orang tua (7) Hasil evaluasi

dapat digunakan untuk keperluan promosi siswa. (8) Hasil evaluasi

dapat digunakan untuk keperluan pengurusan (streaming) (9) Hasil

evaluasi dapat digunakan untuk keperluan perencanaan pendidikan,

serta (10) Memberi informasi kepada masyarakat yang memerlukan,

dan Merupakan feedback bagi siswa, guru dan program pengajaran.

(11) Sebagai alat motivasi belajar mengajar (12) Untuk keperluan

pengembangan dan perbaikan kurikulum sekolah yang bersangkutan.16

Bagi guru fungsi evaluasi perlu diperhatikan dengan sungguh-

sungguh agar evaluasi yang diberikan benar-benar mengenai sasaran.

Hal ini didasarkan karena hampir setiap saat guru melaksanakan

13 Ahmad Sofyan, dkk, Evaluasi Pembelajaran IPA Berbasis Kompetensi,(Jakarta:

UIN Jakarta Press,2006), hlm. 31-32 14 Ibid., hlm. 32 15 Slameto, op., cit., hlm. 15-16 16 M. Ngalim Purwanto, op., cit., hlm. 7

79

ΑΓ

kegiatan evaluasi untuk menilai keberhasilan belajar siswa serta

program pengajaran. 2. Prinsip-Prinsip Evaluasi Prinsip diperlukan sebagai pemandu dalam kegiatan evaluasi. Oleh

karena itu evaluasi dapat dikatakan terlaksana dengan baik apabila

dalam pelaksanaannya senantiasa berpegang pada prinsip-prinsip

berikut ini17

: (a) Prinsip Kontinuitas (terus menerus/

berkesinambungan) Artinya bahwa evaluasi itu tidak hanya merupakan

kegiatan ujian semester atau kenaikan saja, tetapi harus dilaksanakan

secara terus menerus untuk mendapatkan kepastian terhadap sesuatu

yang diukur dalam kegiatan belajar mengajar dan mendorong siswa

untuk belajar mempersiapkan dirinya bagi kegiatan pendidikan

selanjutnya. (b) Prinsip Comprehensive (keseluruhan) Seluruh segi

kepribadian murid, semua aspek tingkah laku, keterampilan, kerajinan

adalah bagian-bagian yang ikut ditest, karena itu maka item-item test

harus disusun sedemikian rupa sesuai dengan aspek tersebut (kognitif,

afektif, psikomotorik) (c) Prinsip Objektivitas. Objektif di sini

menyangkut bentuk dan penilaian hasil yaitu bahwa pada penilaian

hasil tidak boleh memasukkan faktor-faktor subyektif, faktor perasaan,

faktor hubungan antara pendidik dengan anak didik. (d) Evaluasi harus

menggunakan alat pengukur yang baik evaluasi yang baik tentunya

menggunakan alat pengukur yang baik pula, alat pengukur yang valid.

(e) Evaluasi harus dilaksanakan dengan sungguh-sungguh

kesungguhan itu akan kelihatan dari niat guru, minat yang diberikan

dalam penyelenggaraan test, bahwa pelaksanaan evaluasi semata-mata

untuk kemajuan si anak didik, dan juga kesungguhan itu diharapkan

dari semua pihak yang terlibat dalam kegiatan belajar mengajar itu,

bukan sebaliknya. 3. Teknik Evaluasi Istilah teknik dapat diartikan sebagai alat. Jadi teknik evaluasi

berarti alat yang digunakan dalam rangka melakukan kegiatan evaluasi.

Berbagai macam teknik penilaian dapat dilakukan secara

komplementer (saling melengkapi) sesuai dengan kompetensi yang

dinilai, teknik penilaian yang dimaksud antara lain melaui tes,

observasi, penugasan, inventori, jurnal, penilaian diri dan penilaian

17 Tayar Yusuf dan Jurnalis Etek, Keragaman Teknik Evaluasi dan Metode

Penerapan Jiwa Agama, (Jakarta: IND-HILL-CO,1987), hlm. 48-51

80

antar teman yang sesuai dengan karakteristik kompetensi dan tingkat

perkembangan peserta didik.18

Dalam konteks evaluasi hasil proses pembelajaran di sekolah

dikenal adanya 2 macam teknik, yaitu teknik tes, maka evaluasi

dilakukan dengan jalan menguji peserta didik, sedangkan teknik non

test, maka evaluasi dilakukan dengan tanpa menguji peserta didik.

a. Teknik tes

Tes adalah alat atau prosedur yang dipergunakan dalam rangka

pengukuran dan penilaian dibidang pendidikan yang berbentuk

pemberian tugas atau serangkaian tugas baik berupa pertanyaan-

pertanyaan atau perintah-perintah oleh testee sehingga dapat

dihasilkan nilai yang melambangkan tingkah laku dengan nilai-nilai

yang dicapai oleh testee lainnya atau dibandingkan dengan nilai

standar tertentu.19

Ditinjau dari segi fungsi yang dimiliki oleh tes sebagai alat

pengukur perkembangan belajar peserta didik, tes dibedakan

menjadi tiga golongan: (1) Tes diagnostik adalah tes yang

digunakan untuk mengetahui kelemahankelemahan siswa sehingga

berdasarkan kelemahan-kelemahan siswa tersebut dapat dilakukan

pemberian perlakuan yang tepat.20

(2) Tes formatif, adalah tes yang

bertujuan untuk mengetahui sudah sejauhmanakah peserta didik

telah terbentuk sesuai dengan tujuan pengajaran yang telah

ditentukan setelah mereka mengikuti proses pembelajaran dalam

jangka waktu tertentu. Di sekolah.sekolah tes formatif ini dikenal

dengan istilah .ulangan harian.(3) Tes sumatif adalah tes hasil

belajar yang dilaksanakan setelah sekumpulan satuan program

pengajaran selesai diberikan, di sekolah tes ini dikenal dengan

.ulangan umum., dimana hasilnya digunakan untuk mengisi nilai

raport atau mengisi Surat Tanda Tamat Belajar (STTB) atau

Ijazah.21

(4) Apabila ditinjau dari segi cara mengajukan pertanyaan

dan cara memberikan jawabannya, tes dapat dibedakan menjadi dua

golongan, yaitu, tes tertulis dan tes lisan.22

b. Teknik non tes

18 www. dikmenum.go.id, Perangkat Penilaian KTSP SMA/ Rancangan Penilaian

Hasil Belajar, (di unduh 20 Pebruari 2012) hlm. 3 19 Anas Sudijono, op., cit., hlm. 67 20 Suharsimi Arikunto, Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan, (Jakarta: PT. Bumi

Aksara, 2002), hlm. 34 21 Anas Sudijono, op., cit., hlm. 71-72 22 ibid., p. 75

Βヱ

Melalui teknik non tes, maka penilaian atau evaluasi hasil

belajar peserta didik dilakukan dengan tanpa menguji peserta didik,

melainkan dilakukan dengan:23

(1) Skala bertingkat (Rating scale)

(2) Skala menggambarkan suatu nilai yang berbentuk angka

terhadap sesuatu hasil pertimbangan. (3) Quesioner (Angket) Yaitu

sebuah daftar pertanyaan yang harus diisi oleh orang yang akan

diukur (responden) (4) Daftar cocok (Check list) Yaitu deretan

pernyataan dimana responden yang dievaluasi tinggal

membubuhkan tanda cocok (ヂ) ditempat yang sudah disediakan. (5)

Wawancara (Interview) (6)Suatu metode atau cara yang digunakan

untuk mendapatkan jawaban dari responden dengan jalan tanya

jawab sepihak. (7) Pengamatan (observation) (8) Suatu tehnik yang

dilakukan dengan cara mengadakan pengamatan secara teliti serta

pencatatan secara sistematis. (10) Riwayat hidup; Gambaran tentang

keadaan seseorang selama dalam masa kehidupannya.

4. Langkah-langkah Evaluasi Evaluasi merupakan bagian integral dari pendidikan atau

pengajaran sehinggaperencanaan atau penyusunan, pelaksanaan dan

pendayagunaannyapun tidak dapat dipisahkan dari keseluruhan

program pendidikan atau pengajaran.24

Hasil dari evaluasi yang diperoleh selanjutnya dapat digunakan

untuk memperbaiki cara belajar siswa (fungsi formatif). Agar evaluasi

dapat dilaksanakan tepat pada waktu yang diharapkan dan hasilnya

tepat guna dan tepat arah, perlu mengikuti langkah-langkah berikut

ini:25

a. Menyusun rencana evaluasi hasil belajar

Perencanaan evaluasi hasil belajar itu umumnya mencakup:

(1) Merumuskan tujuan dilaksanakannya evaluasi. Hal ini

disebabkan evaluasi tanpa tujuan maka akan berjalan tanpa arah dan

mengakibatkan evaluasi menjadi kehilangan arti dan fungsinya. (2)

Menetapkan aspek-aspek yang akan dievaluasi, misalnya aspek

kognitif, afektif atau psikomotorik (3) Memilih dan menentukan

teknik yang akan dipergunakan didalam pelaksanaan evaluasi

misalnya apakah menggunakan teknik tes atau non tes (4)

Menyusun alat-alat pengukur yang dipergunakan dalam pengukuran

23 Suharsimi Arikunto, op., cit.,hlm. 27-31 24 Slameto, op., cit., p. 45 25 Anas Sudijono, op., cit., hlm. 93-97

81

82

Βヲ

dan penilaian hasil belajar peserta didik, seperti butirbutir soal tes

(5) Menentukan tolok ukur, norma atau kriteria yang akan dijadikan

pegangan atau patokan dalam memberikan interpretasi terhadap

data hasil evaluasi. (6) Menentukan frekuensi dari kegiatan evaluasi

hasil belajar itu sendiri.

b. Menghimpun data

Dalam evaluasi pembelajaran, wujud nyata dari kegiatan

menghimpun data adalah melaksanakan pengukuran, misalnya

dengan menyelenggarakan tes pembelajaran

c. Melakukan verifikasi data

Verifikasi data dimaksudkan untuk memisahkan data yang

baik (yang dapat memperjelas gambaran yang akan diperoleh

mengenai diri individu atau sekelompok individu yang sedang

dievaluasi dari data yang kurang baik (yang akan mengaburkan

gambaran yang akan diperoleh apabila data itu ikut serta diolah)

d. Mengolah dan menganalisis data

Mengolah dan menganalisis hasil evaluasi dilakukan dengan

memberikan makna terhadap data yang telah berhasil dihimpun

dalam kegiatan evaluasi.

e. Memberikan interpretasi dan menarik kesimpulan

Interpretasi terhadap data hasil evaluasi belajar pada

hakikatnya adalah merupakan verbalisasi dari makna yang

terkandung dalam data yang telah mengalami pengolahan dan

penganalisaan

f. Tindak lanjut hasil evaluasi

Bertitik tolak dari data hasil evaluasi yang telah disusun,

diatur, diolah, dianalisis dan disimpulkan sehingga dapat diketahui

apa makna yang terkandung didalamya, maka pada akhirnya

evaluasi akan dapat mengambil keputusan atau merumuskan

kebijakan-kebijakan yang akan dipandang perlu sebagai tindak

lanjut dari kegiatan evaluasi tersebut.

Adapun langkah-langkah evaluasi (penilaian) berdasarkan

penilaian KTSP adalah sebagai berikut :26

(1) Perencanaan

Penilaian; Perencanaan penilaian mencakup penyusunan kisi-kisi

yang memuat indikator dan strategi penilaian. Strategi penilaian

meliputi pemilihan metode dan teknik penilaian, serta pemilihan

bentuk instrumen penilaian.(2) Secara teknis kegiatan pada tahap

26 www. dikmenum.go.id, Perangkat Penilaian KTSP SMA/ Rancangan Penilaian

Hasil Belajar, hlm. 18

83

Βン

perencanaan penilaian oleh pendidik sebagai berikut: Menjelang

awal tahun pelajaran, guru mata pelajaran sejenis pada satuan

pendidikan (MGMP sekolah) melakukan : Pada awal semester

pendidik menginformasikan KKM dan silabus mata pelajaran yang

di dalamnya memuat rancangan dan kriteria penilaian kepada

peserta didik. Pendidik mengembangkan indikator penilaian, kisi-

kisi, instrumen penilaian (berupa tes, pengamatan, penugasan, dan

sebagainya) dan pedoman penskoran. (3) Pelaksanaan penilaian ;

Pelaksanaan penilaian adalah penyajian penilaian kepada peserta

didik. Penilaian dilaksanakan dalam suasana kondusif, tenang dan

nyaman dengan menerapkan prinsip valid, objektif, adil, terpadu,

terbuka, menyeluruh, menggunakan acuan criteria, dan akuntabel.

Kegiatan yang dilakukan oleh pendidik pada tahap ini meliputi:

Melaksanakan penilaian menggunakan instrumen yang telah

dikembangkan; Memeriksa hasil pekerjaan peserta didik mengacu

pada pedoman penskoran, untuk mengetahui kemajuan hasil belajar

dan kesulitan belajar peserta didik; (4) Hasil pekerjaan peserta didik

untuk setiap penilaian dikembalikan kepada masing-masing peserta

didik disertai balikan/komentar yang mendidik misalnya, mengenai

kekuatan dan kelemahannya. Ini merupakan informasi yang dapat

dimanfaatkan oleh peserta didik untuk (a) mengetahui kemajuan

hasil belajarnya, (b) mengetahui kompetensi yang belum dan yang

sudah dicapainya, (c) memotivasi diri untuk belajar lebih baik, dan

(d) memperbaiki strategi belajarnya. (5) Analisis hasil penilaian;

Kegiatan yang dilakukan oleh pendidik pada tahap analisis adalah

menganalisis hasil penilaian menggunakan acuan kriteria yaitu

membandingkan hasil penilaian masing-masing peserta didik

dengan standar yang telah ditetapkan. Untuk penilaian yang

dilakukan oleh pendidik hasil penilaian masing-masing peserta

didik dibandingkan dengan KKM. Analisis ini bermanfaat untuk

mengetahui kemajuan hasil belajar dan kesulitan belajar peserta

didik, serta untuk memperbaiki pembelajaran. (6) Tindak lanjut

hasil analisis; Analisis hasil penilaian telah dilakukan perlu ditindak

lanjuti. Kegiatan yang dilakukan oleh pendidik sebagai tindak lanjut

hasil analisis meliputi: Pelaksanaan program remedial untuk peserta

didik yang belum tuntas (belum mencapai KKM) untuk hasil

ulangan harian dan memberikan kegiatan pengayaan bagi peserta

didik yang telah tuntas; Pengadministrasian semua hasil penilaian

yang telah dilaksanakan. (7) Pelaporan hasil penilaian ; Pelaporan

hasil penilaian disajikan dalam bentuk profil hasil belajar peserta

84

Βヴ

didik. Pada tahap pelaporan hasil penilaian, pendidik melakukan

kegiatan sebagai berikut: (a) Menghitung/menetapkan nilai mata

pelajaran dari berbagai macam penilaian (hasil ulangan harian,

tugas-tugas, ulangan tengah semester, dan ulangan akhir semester

atau ulangan kenaikan kelas);(b) Melaporkan hasil penilaian mata

pelajaran dari setiap peserta didik pada setiap akhir semester kepada

pimpinan satuan pendidikan melalui wali kelas atau wakil bidang

akademik dalam bentuk nilai prestasi belajar (meliputi aspek

pengetahuan, praktik, dan sikap) disertai deskripsi singkat sebagai

cerminan kompetensi yang utuh; (c) Memberi masukan hasil

penilaian akhlak kepada guru Pendidikan Agama dan hasil penilaian

kepribadian kepada guru Pendidikan Kewarganegaraan sebagai

informasi untuk menentukan nilai akhir semester akhlak dan

kepribadian peserta didik; (c) Pendidik yang menilai ujian praktik

melaporkan hasil penilaiannya kepada pimpinan satuan pendidikan

melalui wakil pimpinan bidang akademik (kurikulum).

Dalam KTSP, Penilaian menggunakan acuan kriteria,

maksudnya hasil yang dicapai peserta didik dibandingkan dengan

kriteria atau standar yang ditetapkan. Apabila peserta didik telah

mencapai standar kompetensi yang telah ditetapkan, ia dinyatakan

lulus pada mata pelajaran tertentu. Apabila peserta didik belum

mencapai standar, ia harus mengikuti program remedial atau

perbaikan sehingga ia mencapai kompetensi minimal yang

ditetapkan.

Baik tidaknya suatu evaluasi dapat ditentukan berdasarkan

keadaan tes itu seluruhnya atatu berdasarkan kebaikan setiap soal

dalam tes itu, tetapi dalam pada itu ada beberapa syarat yang harus

diperhatikan pada penyusunan setiap soal dan juga pada penyusunan

seluruh tes.(1) Validitas n: Suatu tes dikatakan valid atau sah, kalau

tes itu betul-betul mengukur apa yang hendak diukurnya, harus

dapat mengukur tingkat hasil belajar yang tercapai dalam

pelaksanaan suatu tujuan yang dikehendaki.27

(2) Reliabilitas; Suatu

tes dikatakan reliabel apabila skor-skor atau nilai-nilai yang

diperoleh peserta ujian untuk pekerjaan ujiannya adalah stabil,

kapan saja, dimana saja, dan oleh siap saja ujian itu dilaksanakn,

diperiksa dan dinilai.(3) Obyektifitas; Suatu tes dapat dikatakan

sebagai tes belajar yang obyektif apabila tes tersebut disusun dan

27 H.C Witherington, W.H. Bruto,dkk, Tehnik-Tehnik Belajar dan Mengajar,

(Bandung: Jemmars, 1986), Ed-3, hlm-156-157

85

Βヵ

dilaksanakan .menurut apa adanya., yang mengandung pengertian

bahwa pekerjaan mengoreksi, pemberian skor dan penentuan

nilainya terhindar dari unsur-unsur subyektivitas yang melekat pada

diri penyusunan tes. (4) Praktis; Tes belajar tersebut dilaksanakan

dengan mudah, sederhana, lengkap.28

Pada pelaksanaan evaluasi khususnya evaluasi formatif

(penilaian formatif), penilaian lebih diarahkan kepada pertanyaan,

sampai dimanakah guru telah berhasil menyampaikan bahan

pelajaran kepada siswanya. Hal ini akan digunakan oleh guru untuk

memperbaiki proses belajar mengajar. Evaluasi formatif ditujukan

untuk memperoleh umpan balik dari upaya pengajaran yang telah

dilakukan oleh guru, meskipun dalam evaluasi formatif ini

keberhasilan guru yang dinilai, yang langsung dikenai penilaiannya

tetap siswa. Jadi dengan kata lain dengan melihat hasil yang

diperoleh siswa dapat diketahui keberhasilan atau ketidakberhasilan

guru mengajar.

C. Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Menurut Zakiyah Daradjat, Pendidikan agama Islam adalah suatu

usaha untuk mengasuh peserta didik agar senantiasa dapat memahami

ajaran Islam secara menyeluruh. Pendidikan Agama Islam merupakan

usaha sadar yang dilakukan pendidik dalam rangka mempersiapkan

peserta didik untuk meyakini, memahami dan mengamalkan ajaran

Islam melalui kegiatan bimbingan pengajaran atau pelatihan yang telah

ditentukan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.29

Untuk penilaian kelompok mata pelajaran Agama dan Akhlak

mulia, kompetensi yang dikembangkan terfokus pada aspek kognitif

dan pengetahuan dan aspek afektif atau perilaku. Penilaian hasil belajar

untuk kelompok mata pelajaran Agama dilakukan melalui30

: (1)

Pengamatan terhadap perubahan perilaku dan sikap untuk menilai

perkembangan afeksi dan kepribadian peserta didik. (2) Ujian, ulangan

dan atau penugasan untuk mengukur aspek kognitif peserta didik.

Di sekolah.sekolah umum, alokasi waktu untuk mengajarkan

Pendidikan Agama Islam disediakan waktu 2 jam pelajaran

28 Anas Sudijono, loc., cit., hlm. 93-97 29 Abdul Madjid dan Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi

Konsep dan Implementasi, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004), hlm. 130-132 30 www. dikmenum.go.id, Perangkat Penilaian KTSP SMA/ Rancangan Penilaian

Hasil Belajar, hlm. 7

86

Βヶ

perminggu31

, dimana secara keseluruhan mata pelajaran Pendidikan

Agama Islam melingkupi Al Qur.an dan Al Hadits, keimanan, akhlak,

fiqh atau ibadah, dan sejarah sekaligus menggambarkan bahwa ruang

lingkup Pendidikan Agama Islam mencakup perwujudan keserasian,

keselarasan dan keseimbangan hubungan manusia dengan Allah SWT,

diri sendiri, sesama manusia, makhluk lainnya maupun lingkungan.

Kedudukan Pendidikan Agama Islam di sekolah umum hanya

merupakan salah satu program atau mata pelajaran atau bidang studi

yang kedudukannya sama dengan bidang studi atau mata pelajaran

lainnya.32

Sehingga pelaksanaan evaluasi pembelajarannya pun sama

dengan mata pelajaran lainnya.

D. Kesimpulan. Melakukan evaluasi tentang hasil Pendidikan Agama Islam

kepada murid-murid dapat berlangsung secara terulis atau lisan, pada

periode waktu-waktu tertentu dan yang bersifat rutin sehari-hari pula.

Mengenai pelajaran Pendidikan Agama Islam ini adalah lebih baik para

guru mengevaluasinya secara harian karena hal demikian lebih

obyektif, efektif dan membawa kepada naturalistik pengalaman dan

penghayatannya kepada kepribadian anak, disamping evaluasi secara

periodik yang memang wajar dilakukan pada waktu-waktu yang tepat.

Sekurang-kurangnya ada 3 faktor tentang agama yang harus dievaluasi

pada diri seorang anak: 1) Pengetahuan para siswa tentang agama

Islam, 2) Pelaksanaan praktik ibadah dan amaliyahnya, 3) Penghayatan

jiwa agama atau akhlak yang baik sehari-hari atau kepribadian

mereka.33

Kemampuan dan keahlian para guru pada saat melaksanakan

evaluasi pembelajaran dengan sudah memperhatikan dan memahami

prosedur dan teknik-teknik evaluasi pendidikan dan juga dapat

menafsirkan hasil dari evaluasi yang telah dilaksanakan yang

kemudian ditindaklanjuti untuk memperoleh pembelajaran yang lebih

optimal.

31 H. M Alisuf Sabri ,Pengantar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005),

hlm. 118 32 Ibid., hlm. 119 33 Tayar Yusuf dan Jurnalis Etek, Keragaman Teknik Evaluasi dan Metode

Penerapan Jiwa Agama, (Jakarta: IND-HILL-CO,1987), hlm. 24

87

ΒΑ

DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsimi. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT. Bumi

Aksara, 2002.

H.C Witherington, W.H. Bruto,dkk, Tehnik-Tehnik Belajar dan Mengajar.

Bandung: Jemmars, 1986.

Hamalik, Oemar. Kurikulum dan Pembelajar. Jakarta: Bumi Aksara, 1995.

Irawan, Prasetya. Evaluasi Proses Belajar Mengajar. Jakarta: PAU-PAI,

Universitas Terbuka, 2001.

Madjid, Abdul dan Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam Berbasis

Kompetensi Konsep dan Implementasi. Bandung: PT. Remaja

Rosdakarya, 2004.

Purwanto, Ngalim. Prinsip-Prinsip dan Teknik Evaluasi Pengajaran.

Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004.

Sabri, H. M Alisuf. Pengantar Ilmu Pendidikan. Jakarta: UIN Jakarta Press,

2005.

Slameto. Evaluasi Pendidkan. Jakarta: Bumi Aksara,2001.

Sofyan, Ahmad, dkk, Evaluasi Pembelajaran IPA Berbasis Kompetensi.

Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006.

Subari. Supervisi Pendidikan. Jogjakarta: Bumi Aksara, 1994.

Sudijono, Anas. Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT. RajaGrafindo

Persada, 2006.

Sudjana, Nana. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: PT.

Remaja Rosdakarya, 1991.

www. dikmenum.go.id, Perangkat Penilaian KTSP SMA/ Rancangan

Penilaian Hasil Belajar.

Yusuf, Tayar dan Jurnalis Etek, Keragaman Teknik Evaluasi dan Metode

Penerapan Jiwa Agama. Jakarta: IND-HILL-CO,1987.

88

88

PERANAN PENDIDIKAN DALAM KEHIDUPAN MANUSIA

Oleh : AidaYunirahmawati,1

ABSTRAK

Dalam hubungan dengan lingkungan dan kehidupan masyarakat,

pendidikan mengemban tiga sifat penting. Ketiga sifat tersebut, dirinci

antara lain oleh Nana Syaodih Sukmadinata, sebagai berikut: pertama, pendidikan mengandung dan memberikan pertimbangan nilai, yang

diarahkan pada pengembangan pribadi anak, agar sesuai dengan nilai-

nilai yang ada dan diharapkan masyarakat. Kedua, pendidikan diarahkan

pada kehidupan dalam masyarakat, menyiapkan anak untuk kehidupan

dalam masyarakat. Ketiga, pelaksanaan pendidikan dipengaruhi dan

didukung oleh lingkungan masyarakat tempat pendidikan berlangsung2.

Dari sudut pandang Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional,

ketiga sifat penting pendidikan itu harus diwujudkan dalam bentuk

kualifikasi keluaran pendidikan sebagaimana yang dirangkum dalam

istilah manusia Indonesia seutuhnya, yaitu “berkembangnya potensi

peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada

Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,

mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta

bertanggungjawab” (Pasal 3 UU No.20 tahun 2003).

Dari perspektif pendidikan umum, manusia yang dicita-citakan

sejalan dengan hal tersebut di atas, Sikun Pribadi (1971: 41) menyatakan

bahwa: “Pendidikan umum berawal dari pandangan adanya dalil

kesatuan dunia, keteraturan dalam kehidupan, dan realitas kompleks

yang multi dimensionalitas”. Hal demikian kita pahami pada kepribadian

manusia secara umum, yakni sebagai satu kesatuan yang utuh, sebagai

suatu sistem yang di dalamnya terjadi proses-proses kontradiktif, seperti:

organisasi dan disorganisasi, integrasi dan disintegrasi. Melalui

pendidikan umum, keanekaragaman potensi dasar manusia yang

mungkin berkembang kurang terarah akan dapat diintegrasikan ke dalam

satu tujuan umum pendidikan dengan penyatuan elemen budaya,

meluruskan pengembangan kepribadian secara proporsional. Kata kunci : Pendidikan dan Manusia

1 AidaYunirahmawati adalah Mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri

Semarang Program Bimbingan Konseling (UNNES) sejak tahun 2011 – sekarang 2 Nana Syaodih Sukmadinata. 2009. Landasan Psikologi Proses Pendidikan.

Bandung: PT Remaja Rosdakarya., hal. 30

89

89

A. Pendahuluan Mengikuti perkembangan peristiwa kehidupan dari media massa

yang terjadi sekarang ini menunjukkan betapa bangsa ini tengah

mengalami kemunduran dari berbagai aspek kehidupan. Tindak

kejahatan semakin meningkat baik kuantitas maupun kualitasnya. Kasus

pemerkosaan di angkutan umum yang belum lama ini terjadi semakin

membuka mata kita betapa rusaknya moral manusia bangsa ini. Kasus

korupsi yang dilakukan beberapa pejabat pemerintahan pusat dan daerah

semakin banyak terungkap, walaupun penanganannya tidak sampai

tuntas bahkan nyaris tak terdengar manakala proses penyelidikan yang

dilakukan memakan cukup waktu. Tawuran antarwarga bahkan

antarpelajar layaknya pekerjaan rumah yang tak ada habisnya. Hal ini

menjadi ironis manakala pelajar yang notabene adalah generasi terdidik

yang seharusnya dapat menyelesaikan permasalahannya dengan cerdas

akan tetapi terlibat didalamnya. Budaya malu semakin menipis.

Disintegrasi bangsa semakin menguat. Terorisme dan kerusuhan SARA

belum terentaskan. Jelas bagi kita bahwa “Budaya Adiluhung” yang dulu

kita elu-elukan semakin hilang.

Karakter bangsa kita semakin terkikis oleh pengaruh budaya bangsa

dalam dunia yang semakin mengglobal. Budaya gotong royong “tepo

seliro” terkikis oleh individualitas. Hal inilah yang menandai adanya

kemunduran budaya bangsa Indonesia. Adanya berbagai macam

kekacauan yang terjadi di negeri ini merupakan indikasi yang harus kita

akui sebagai sebuah proses pendidikan yang gagal. Berkaca dari hal ini

membuat kita berpikir pasti ada yang salah dalam proses pendidikan kita

apabila hasilnya tidak bisa membuat bangsa ini semakin maju secara

utuh dan menyeluruh.

Pendidikan adalah tanggung jawab kita bersama. Orang tua, sekolah

dan masyarakat mempunyai tanggung jawab yang berbeda namun saling

melengkapi dalam mendidik anak-anak bangsa. Untuk itu, semua pihak

harus bisa bekerjasama agar produk pendidikan sesuai dengan yang

diharapkan. Untuk mengatasi masalah-masalah tersebut, perlu dipahami

dan direnungkan kembali hakikat manusia, hakikat pendidikan dan

tujuan pendidikan yang sebenarnya. Pemahaman hakikat manusia dalam

rangka upaya pendidikan, tidak bisa dilepaskan dari masalah-masalah

yang berkaitan dengan masalah ontologis, epistemologis dan aksiologis

yang akan menentukan kebijakan, konsep dan tujuan pendidikan.

Pendidikan merupakan sesuatu yang tidak asing bagi kita, terlebih

lagi karena kita bergerak di bidang pendidikan. Pendidikan diperlukan

oleh semua orang bahkan dapat dikatakan bahwa pendidikan dialami

90

90

oleh manusia dari semua golongan. Tetapi seringkali orang melupakan

makna dan hakikat pendidikan itu sendiri. Layaknya hal yang sudah

menjadi rutinitas, cenderung terlupakan makna dasar dan hakikatnya.

Karena itu benarlah kalau dikatakan bahwa setiap orang yang

terlihat dalam dunia pendidikan sepatutnyalah selalu merenungkan dan

merenungkan kembali makna dan hakikat pendidikan, merefleksikannya

di tengah-tengah tindakan/aksi sebagai buah refleksinya serta

memperkokoh landasan pendidikannya agar pendidikan akan dapat

dilaksanakan secara mantap, jelas arah tujuannya, relevan isi

kurikulumnya, serta efektif dan efisien metode atau cara-cara

pelaksanaannya.

Mengingat hakikat pendidikan adalah humanisasi, yaitu upaya

memanusiakan manusia, maka para pendidik perlu memahami hakikat

manusia sebagai salah satu landasannya. Konsep hakikat manusia yang

dianut pendidik akan berimplikasi terhadap konsep dan praktek

pendidikannya.

Hakikat manusia perlu dibahas lebih dahulu karena pendidikan yang

kita dambakan adalah untuk manusia itu sendiri. Mengingat proses

kependidikan yang kita dambakan adalah suatu proses pengembangan

terhadap kemampuan dasar manusia, maka dengan sendirinya proses

tersebut akan berjalan sesuai dengan hukum-hukum perkembangan yaitu

hukum kesatuan organis, yang didalam hukum itu menyatakan bahwa

perkembangan manusia berjalan secara menyeluruh dalam seluruh

organ-organnya, baik itu organ tubuhnya maupun organ rohaniahnya.

B. Pembahasan 1. Hakikat Manusia Proses pendidikan erat kaitannya dengan manusia. Subyek

pendidikan adalah manusia. Oleh karena itu, pendidik harus memahami

hakikat manusia agar proses pendidikan yang dilakukan menjadi terarah

sesuai dengan tujuanya.

Pendidikan yang dilakukan bermaksud membantu peserta didik

untuk menumbuhkembangkan potensi-potensi kemanusiaanya. Potensi

kemanusiaan merupakan benih kemungkinan untuk menjadi manusia.

Tugas mendidik hanya mungkin dilakukan dengan benar dan tepat

tujuan jika pendidik memiliki gambaran yang jelas tentang siapa

manusia itu sebenarnya. Manusia memiliki ciri khas yang secara

prinsipil berbeda dari makhluk Tuhan lainnya. Manusia adalah makhluk

ciptaan Tuhan yang paling sempurna, karena memiliki kemampuan

intelegesi dan daya nalar sehingga manusia mampu berfikir, berbuat dan

91

91

bertindak untuk membuat perubahan dengan maksud pengembangan

sebagai manusia yang utuh. Kemampuan seperti itulah yang tidak

dimiliki oleh makhluk Tuhan lainnya. Ciri khas manusia yang

membedakannya terbentuk dari kumpulan terpadu dari apa yang disebut

sifat hakikat manusia. Disebut sifat hakikat manusia karena secara hakiki

sifat tersebut hanya dimiliki oleh manusia dan tidak terdapat pada

hewan.

Pemahaman pendidik terhadap sifat hakikat akan membentuk peta

tentang karakteristik manusia. Peta ini akan menjadi landasan serta

memberikan acuan baginya dalam bersikap, menyusun strategi, metode

dan teknik serta memilih pendekatan dan orientasi dalam merancang dan

melaksanakan komunikasi transaksional di dalam interaksi edukatif.

Dengan kata lain, bahwa dengan menggunakan peta tersebut sebagai

acuan seorang pendidik tidak mudah terkecoh ke dalam bentuk-bentuk

transaksional yang patologis dan berakibat merugikan subjek didik.

Alasan kedua mengapa gambaran yang benar dan jelas tentang

manusia itu perlu dimiliki oleh pendidik adalah karena adanya

perkembangan sains dan teknologi yang sangat pesat dewasa ini, lebih-

lebih pada masa mendatang. Memang banyak manfaat yang dapat diraih

bagi kehidupan manusia darinya. Namun, di sisi lain tidak dapat

dielakkan akan adanya dampak negatif yang terkadang tanpa disadari

sangat merugikan bahkan mungkin mengancam keutuhan eksistensi

manusia.

Dalam kaitannya dengan perkembangan individu, manusia dapat

tumbuh dan berkembang melalui suatu proses alami menuju kedewasaan

baik itu bersifat jasmani maupun bersifat rohani. Oleh karena itulah

manusia pasti memerlukan pendidikan demi mendapatkan perkembang

an yang optimal sebagai manusia. 1) Manusia sebagai Makhluk Tuhan yang Maha Esa

Dalam perjalanan hidupnya manusia mempertanyakan tentang

asal-usul alam semesta dan asal-usul keberadaan dirinya sendiri.

Dua aliran filsafat yang memberikan jawaban atas pertanyaan

tersebut yaitu evolusionisme dan kreasionisme. Menurut

evolusionisme manusia adalah hasil puncak dari mata rantai evolusi

yang terjadi di alam semesta. Manusia sebagaimana halnya alam

semesta ada dengan sendirinya berkembang dari alam itu sendiri

tanpa pencipta. Sebaliknya filsafat kreasionisme menyatakan bahwa

92

92

asal-usul manusia sebagaimana halnya alam semesta adalah ciptaan

suatu creative cause atau personality yaitu Tuhan YME3.

Kita dapat mengakui kebenaran tentang adanya proses evolusi

di alam semesta termasuk pada diri manusia, tetapi tentunya kita

menolak pandangan yang menyatakan adanya manusia di alam

semesta semata-mata sebagai hasil evolusi dari alam itu sendiri,

tanpa Pencipta. Penolakan ini terutama di dasarkan atas keimanan

kita kepada Tuhan YME sebagai Maha Pencipta. Adapun secara

filosofis, penolakan tersebut antara lain didasarkan kepada empat

argument berikut,4: (1) Argumen ontologis: semua manusia

memiliki ide tentang Tuhan. (2) Argumen kosmologis: segala

sesuatu yang ada mesti mempunyai suatu sebab. (3) Argumen

teleologis: segala sesuatu memiliki tujuan. (4) Argumen moral:

manusia itu bermoral, ia dapat membedakan perbuatan yang baik

dan yang jahat. 2) Manusia sebagai Kesatuan Badani-Rohani (Dualisme) Menurut Julien de La Mettrie, salah seorang penganut aliran

Materialisme bahwa esensi manusia semata-mata bersifat badani, esensi manusia adalah tubuh/fisiknya. Sebab itu, segala hal yang

bersifat kejiwaan, spiritual atau rohaniah dipandang hanya sebagai

resonansi dari berfungsinya badan atau organ tubuh. Tubuhlah yang

mempengaruhi jiwa. Contoh: Jika ada organ tubuh luka muncullah

rasa sakit. Pandangan hubungan antara badan dan jiwa seperti itu

dikenal sebagai Epiphenomenalisme (J.D. Butler, 1968).

Sebaliknya, menurut Plato, salah seorang penganut aliran

Idealisme bahwa esensi manusia bersifat kejiwaan / spiritual / rohaniah. Memang Plato tidak mengingkari adanya aspek badan,

namun menurut dia jiwa mempunyai kedudukan lebih tinggi

daripada badan. Jiwa berperan sebagai pemimpin badan jiwalah

yang mempengaruhi badan, karena itu badan mempunyai

ketergantungan kepada jiwa. Contoh: Pada saat berpuasa, jiwa

mengendalikan badan untuk tidak minum dan tidak makan,

sekalipun kerongkongan sudah kering dan perut keroncongan.

Pandangan tentang hubungan badan dan jiwa seperti itu dikenal

sebagai Spiritualisme (J.D.Butler, 1968).

3 Tatang Syaripudin. 2007. Landasan Pendidikan. Bandung: Percikan Ilmu. 4 Jallaluddin dan Abdullah Idi. 2010. Filsafat Pendidikan: Manusia, Filsafat dan

Pendidikan. Yogyakarta: Ar-Ruz Media.

93

93

Rene Descartes mengemukakan pandangan lain yang secara

tegas bersifat dualistik. Menurut Descartes esensi manusia terdiri

atas dua substansi, yaitu badan dan jiwa. Karena manusia terdiri

atas dua substansi yang berbeda (badan dan jiwa), maka antara

keduanya tidak terdapat hubungan saling mempengaruhi (S.E. Frost

Jr., 1957). Namun demikian setiap peristiwa kejiwaan selalu parallel

dengan peristiwa badaniah, atau sebaliknya. Contoh: apabila jiwa

seseorang sedih, maka secara paralel badannya pun tampak murung

atau menangis. Pandangan hubungan antara badan dan jiwa seperti

itu dikenal sebagai Paralelisme (J.D. Butler, 1968).

Semua pandangan di atas dibantah oleh E.F. Schumacher5,

manusia adalah kesatuan dari yang bersifat badani dan rohani yang

secara prinsipal berbeda dari pada benda, tumbuhan, hewan maupun

Tuhan. Sejalan dengan peryataan tersebut, Abdurahman Sholih

Abdullah dalam Umar Tirtarahardja (2005) menegaskan “meski

manusia merupakan perpaduan dua unsur yang berbeda, ruh dan

badan, namun ia merupakan pribadi yang integral”6 menandaskan

bahwa manusia merupakan mahluk monodualisme antara jiwa dan

raga tidak dapat dipisahkan. Sebagai kesatuan badani-rohani

manusia hidup dalam ruang dan waktu, memiliki kesadaran

(consciousnesss), memiliki penyadaran diri (selfawareness), mempunyai berbagai kebutuhan, instink, nafsu, serta mempunyai

tujuan. Manusia memiliki potensi untuk beriman dan bertaqwa

kepada Tuhan YME dan potensi untuk berbuat baik. Namun di

samping itu karena hawa nafsunya ia memiliki potensi untuk

berbuat jahat. Selain itu manusia memiliki potensi untuk mampu

berpikir (cipta), potensi berperasaan (rasa) dan potensi berkehendak

(karsa) serta memiliki potensi untuk berkarya.

Adapun eksistensi manusia memiliki dimensi kemanusiaan

seperti individualitas/personalitas, sosialitas, moralitas,

keberbudayaan dan keberagamaan. Implikasi dari semua itu,

manusia memiliki historisitas, berinteraksi/berkomunikasi dan

memiliki dinamika.

Umar Tirtaraharja (2005); Tatang Syaripudin (2007); Prayitno

(2009) menyebutkan ada empat dimensi kemanusiaan, yakni

dimensi keindividualan (individualitas), dimensi kesosialan

5 Tatang Syaripudin. 2007. Landasan Pendidikan. Bandung: Percikan Ilmu 6 Jallaluddin dan Abdullah Idi. 2010. Filsafat Pendidikan: Manusia, Filsafat dan

Pendidikan. Yogyakarta: Ar-Ruz Media

94

94

(sosialitas), dimensi kesusilaan (moralitas) dan dimensi

keberagamaan (religiusitas). Berikut penjelasan dari ke-4 dimensi

tersebut:

a) KeIndividualan (Individualitas) Kata kunci yang terkandung di dalam dimensi

keindividualan adalah potensi dan perbedaan. Manusia bukan

hanya sebagai anggota di dalam lingkungannya tetapi juga

bersifat individual. Sebagai individu manusia memiliki kesatuan

yang memiliki perbedaan dengan yang lain sehingga setiap

manusia hakikatnya bersifat unik. Perbedaan ini berkenaan

dengan postur tubuhnya, kemampuan berpikirnya, minat, dsb.

Bahkan manusia kembar siam-pun tidak memiliki kesamaan di

dalam keseluruhannya. Setiap manusia juga memiliki

subyektivitas, oleh karena itu manusia hakikatnya adalah pribadi,

manusia adalah subyek bukan obyek. Sebagai pribadi/subyek

setiap manusia bebas menggambil tindakan atas pilihan serta

tanggung jawabnya sendiri untuk menandaskan keberadaannya di

dalam lingkungan. Pengembangan dimensi keindividualan

memungkinkan manusia memperkembangkan segenap potensi

yang ada pada dirinya secara optimal mengarah kepada aspek-

aspek kehidupan yang positif. b) Kesosialan (Sosialitas) Kata kunci kandungan dimensi kesosialan adalah

komunikasi dan kebersamaan. Sekalipun setiap manusia adalah

individual/personal tetapi ia tidak bisa hidup sendirian, tidak

mungkin hidup sendirian dan tidak mungkin hidup untuk dirinya

sendiri melainkan ia juga hidup dalam keterpautan dengan

sesamanya. Dalam hidup bermasyarakat setiap individu

menempati kedudukan tertentu, mempunyai dunia dan tujuan

hidupnya masing-masing, sekaligus mempunyai dunia bersama

dan tujuan bersama dengan sesamanya. Melalui hidup dengan

sesamanya manusia akan dapat menentukan eksistensinya. c) Kesusilaan (Moralitas) Kata kunci kandungan dimensi kesusilaan adalah nilai dan

moral. Eksistensi manusia memiliki dimensi moralitas karena ia

memiliki kata hati yang dapat membedakan antara baik dan jahat.

Sebagai subyek yang memiliki kebebasan manusia selalu

diharapkan pada suatu alternatif tindakan atau perbuatan yang

harus dipilihnya. Adapun kebebasan untuk bertindak/berbuat itu

selalu berhubungan dengan norma-norma moral dan nilai-nilai

95

95

moral yang juga harus dipilihnya. Karena manusia memiliki

kebebasan memilih untuk bertindak/berbuat maka selalu ada

penilaian moral/tuntutan pertanggungjawaban atas setiap

perbuatannya. Drijakara7 mengartikan manusia “susila” sebagai

manusia yang memiliki nilai-nilai, menghayati dan melaksanakan

nilai-nilai tersebut dalam perbuatan. Nilai-nilai merupakan

sesuatu yang dijunjung tinggi oleh manusia karena mengandung

makna kebaikan, keluhuran, kemuliaan. d) Keberagamaan (Religiusitas) Kata kunci kandungan dimensi keberagamaan adalah iman

dan takwa. Keberagaman merupakan salah satu karakteristik

esensial eksistensi manusia yang terungkap dalam bentuk

pengakuan atau keyakinan akan kebenaran suatu agama yang

diwujudkan dalam sikap dan perilakunya. Hal ini terjadi pada

manusia manapun, baik dalam rentang waktu maupun dalam

rentang geografis dimana manusia berada. Dalam dimensi ini

manusia menghubungkan diri dalam kaitannya dengan Tuhan

YME. Manusia tidak terpukau dan terpaku pada kehidupan di

dunia saja, melainkan mengaitkan secara serasi, selaras dan

seimbang kehidupan dunianya itu dengan kehidupan di akhirat. 3) Manusia sebagai Makhluk yang Perlu Dididik dan Perlu Mendidik Diri Berbagai kemampuan yang seharusnya dimiliki manusia tidak

dibawa sejak kelahirannya, melainkan harus diperoleh setelah

kelahirannya dalam perkembangan menuju kedewasaan. Di satu

pihak, berbagai kemampuan tersebut diperoleh manusia melalui

upaya bantuan dari pihak lain. Mungkin dalam bentuk pengasuhan,

pengajaran, latihan, bimbingan dan berbagai bentuk kegiatan

lainnya yang dapat dirangkum dengan istilah pendidikan. Di lain

pihak manusia yang bersangkutan juga harus belajar atau harus

mendidik diri. Sebab dalam bereksistensi yang harus menjadikan

diri itu hakikatnya adalah manusia itu sendiri. Sebaik dan sekuat

apapun upaya yang diberiakan pihak lain (pendidik) kepada

seseorang (peserta didik) untuk membantunya menjadi manusia,

tetapi apabila seseorang tersebut (peserta didik) tidak mau mendidik

diri amak upaya bantuan tersebut tidak akan memberikan kontribusi

bagi kemungkinan seseorang tadi untuk menjadi manusia.

7 Umar Tirtarahardja & La Sulo. 2005. Pengantar Pendidikan. Jakarta: PT

Rineka Cipta.

96

96

Lebih dari itu, jika sejak kelahirannya perkembangan dan

pengembangan kehidupan manusia diserahkan kepada dirinya

masing-masing tanpa dididik oleh orang lain dan tanpa upaya

mendidik diri dari pihak manusia yang bersangkutan,

kemungkinannya dia hanya akan hidup berdasarkan dorongan

instingnya saja. Manusia belum selesai menjadi manusia, ia

dibebani keharusan untuk menjadi manusia, tetapi ia tidak dengan

sendirinya menjadi manusia, untuk menjadi manusia ia perlu dididik

dan mendidik diri. Manusia dapat menjadi manusia hanya melalui

pendidikan. Pernyataan tersebut sejalan dengan hasil individu M. J.

Langeveld8 yang memberikan identitas kepada manusia dengan

sebutan “animal educandum” atau hewan yang perlu dididik dan

mendidik diri.

Hakikat manusia seperti itulah yang harus dijadikan sebagai

landasan untuk menentukan kebijakan dunia pendidikan di Negara

Indonesia, yaitu manusia yang berkepribadian utuh untuk

menyelaraskan, menyeimbangkan dan menyerasikan aspek manusia

sebagai makhluk individu, social, religious, bagian dari alam, bagian

dari bangsa-bangsa lain dan kebutuhan untuk mengejar kemajuan

lahir maupun kebahagiaan batin.

2. Hakikat Pendidikan Pendidikan seperti sifat sasarannya yaitu manusia

mengandung banyak aspek dan sifatnya sangat kompleks. Karena

sifatnya yang kompleks itu, maka tidak ada sebuah batasan-pun

yang cukup memadahi untuk menjelaskan arti pendidikan secara

lengkap. Batasan tentang pendidikan yang dibuat oleh para ahli

beraneka ragam dan kandungannya berbeda yang satu dari yang

lain. Perbedaan tersebut mungkin karena orientasinya, konsep dasar

yang digunakannya, aspek yang menjadi tekanan atau karena

falsafah yang melandasinya.

Pendidikan merupakan transfer of knowledge, transfer of

value dan transfer of culture and transfer of religius yang semoga

diarahkan pada upaya untuk memanusiakan manusia. Hakikat

proses pendidikan ini sebagai upaya untuk mengubah perilaku

individu atau kelompok agar memiliki nilai-nilai yang disepakati

berdasarkan agama, filsafat, ideologi, politik, ekonomi, sosial,

budaya dan pertahanan keamanan.

8 Tatang Syaripudin. 2007. Landasan Pendidikan. Bandung: Percikan Ilmu

97

97

Makna pendidikan secara sederhana dapat diartikan sebagai

usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-

nilai di dalam masyarakat dan kebudayaannya. Dengan demikian,

bagaimanapun sederhananya peradaban suatu masyarakat, di

dalamnya terjadi atau berlangsung suatu proses pendidikan. Karena

itulah sering dinyatakan pendidikan telah ada sepanjang peradaban

umat manusia.

Pendidikan pada hakikatnya merupakan usaha manusia

melestarikan hidupnya. Pendidikan menurut pengertian Yunani

“pedagogik” yaitu ilmu menuntun anak, orang Romawi memandang

pendidikan sebagai “educare”, yaitu mengeluarkan dan menuntun,

tindakan merealisasikan potensi anak yang dibawa dilahirkan di

dunia. Bangsa Jerman melihat pendidikan sebagai “Erzichung” yang

setara dengan educare, yakni membangkitkan kekuatan terpendam

atau mengaktifkan kekuatan/potensi anak.

Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, pendidikan berasal dari

kata dasar “didik” (mendidik), yaitu memelihara dan memberi

latihan (ajaran pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan

pikiran.Sedangkan pendidikan mempunyai pengertian proses

pengubahan dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam

usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan

latihan, proses perluasan, dan cara mendidik.

Jalaluddin & Abdullah Idi (2010) mendefinisikan pendidikan

adalah bimbingan secara sadar dari pendidik terhadap

perkembangan jasmani dan ruhani anak didik menuju terbentuknya

manusia yang memiliki kepribadian yang utama atau ideal. Yang

dimaksud kepribadian yang utama atau ideal adalah kepribadian

yang memiliki kesadaran moral dan sikap mental secara teguh dan

sungguh-sungguh memegang dan melaksanakan ajaran atau prinsip-

prinsip nilai yang menjadi pandangan hidup secara individu aupun

masyarakat. Langeveld (Made Pidarta, 2009) mengatakan bahwa

mendidik adalah memberi pertolongan secara sadar dan sengaja

kepada seorang anak yang belum dewasa dalam pertumbuhannya

menuju ke arah kedewasaan dalam arti dapat berdiri sendiri dan

bertanggung jawab susila atas segala tindakannya menurut

pilihannya sendiri.

98

98

Definisi yang lain adalah dari Ki Hajar Dewantara9 yang

mengartikan pendidikan adalah menuntun segala kekuatan kodrat

yang ada pada anak-anak, agar mereka sebagai manusia dan sebagai

anggota masyarakat mendapat keselamatan dan kebahagiaan yang

setinggi-tingginya. Sementara itu Undang-Undang RI Nomor 20

Tahun 2003 mendefinisikan pendidikan sebagai usaha sadar dan

terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses

pembelajaran sehingga peserta didik secara aktif mengembangkan

potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,

pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta

ketrampilan yang diperlukan masyarakat, bangsa dan negara.

Dalam konteks ajaran Islam hakikat pendidikan adalah

mengembalikan nilai-nilai ilahiyah pada manusia (fitrah) dengan

bimbingan Alquran dan asSunnah (Hadits) sehingga menjadi

manusia berakhlakul karimah (insan kamil).

Dengan demikian hakikat pendidikan adalah sangat ditentukan oleh

nilai-nilai, motivasi dan tujuan dari pendidikan itu sendiri.

3. Tujuan Pendidikan Tujuan pendidikan sejatinya tidaklah hanya mengisi ruang

imajinasi dan intelektual anak, mengasah kepekaan sosialnya,

ataupun memperkenalkan mereka pada kecerdasan emosi tetapi

lebih kepada mempersiapkan anak untuk mengenal Tuhan melalui

kecerdasan spiritual dan mengenal sesama serta lingkungannya

untuk pencapaian yang lebih optimal.

Memanusiakan manusia muda, itulah yang merupakan gambaran

dasar dari setiap perbuatan mendidik. Arti dan perbuatan mendidik

ialah bahwa dengan tindakannya itu pendidikan (hendak)

memanusiakan manusia muda. Pengangkatan manusia ke taraf

insani, itulah yang menjelma dalam semua perbuatan mendidik,

yang jumlah dan macamnya tak terhitung. Dengan istilah yang

sangat singkat, kita bisa berkata bahwa inti sari dari pendidikan

ialah pemanusiaan manusia muda. Pendek kata, itulah inti sari

mendidik. Ilmu pendidikan, tidak hanya dalam arti praktis, tetapi

juga teorisasi dan universalisasi10. RM. Hutchins

11 pernah

9 Nana Syaodih Sukmadinata. 2009. Landasan Psikologi Proses Pendidikan.

Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 10 Driyarkara. 2006. Karya Lengkap Driyarkara. A. Sudiarja dkk. (ed). Jakarta:

PT. Gramedia Pustaka Utama

99

99

menyatakan pula bahwa sistem pendidikan bertujuan “to improve man as a man”, agar menjadi sebenar-benar manusia. Humanisasi

penting karena sebagian kita masih pada tingkat peradaban yang

rendah, yang dapat dilihat dalam sikap perikemusiaan. Teknologi,

penjejalan demografis serta perubahan-perubahan alam yang besar

dan tiba-tiba dapat menimbulkan dehumanisasi, sehingga usaha

rehumanisasi tak dapat diabaikan. Kita harus berusaha pula agar

manusia makin sempurna, lebih baik daripada manusia kemarin12

.

Menurut Ki Hajar Dewantoro13

: “Pendidikan nasional adalah

pendidikan yang beralaskan garis hidup dari bangsanya (cultureel nasional) dan ditujukan untuk keperluan peri-kehidupan (maatschap pelijk) yang dapat mengangkat derajat negara dan rakyatnya, agar

dapat bekerja bersama-sama dengan lain-lain bangsa untuk

kemulian segenap manusia di seluruh dunia.” Dari pendapat tersebut

sebenarnya pendidikan sudah memiliki tujuan yang luas untuk

kemuliaan segenap manusia di seluruh dunia dengan

mengedepankan nilai-nilai peri-kemanusiaan, namun definisi

tersebut masih perlu dijabarkan secara lebih rinci sehingga mudah

dimengerti dan dipahami untuk dilaksanakan.

Tatang Syaripudin (2007) menjelaskan bahwa pendidikan

diupayakan dengan berawal dari manusia apa adanya (aktualitas)

dengan mempertimbangkan berbagai kemungkinan yang ada

padanya (potensialitas) dan diarahkan menuju terwujudnya manusia

yang seharusnya/dicita-citakan. Mengacu pada konsep hakikat

manusia, maka sosok manusia yang dicita-citakan atau yang

menjadi tujuan pendidikan itu tiada lain adalah manusia yang

beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat,

cerdas, berperasaan, berkemauan dan mampu berkarya, mampu

memenuhi berbagai kebutuhannya secara wajar, mampu

mengendalikan hawa nafsunya, berkepribadian, bermasyarakat dan

berbudaya.

Tujuan pendidikan di Indonesia tertulis dalam Undang-

Undang Republik Indonesia (UURI) Nomor 20 Tahun 2003 tentang

11 Dwi Siswoyo. 2008. Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Tinjauan

Filosofis. Yogyakarta: FIP UNY. Makalah [tidak diterbitkan]. 12 T. Jacob. 2007. Beberapa Prinsip Tentang Pendidikan. Yogyakarta: Kerjasama

UGM dan LPMP DIY 13 Umar Tirtarahardja & La Sulo. 2005. Pengantar Pendidikan. Jakarta: PT

Rineka Cipta.

100

100

Sistem Pendidikan Nasional Pasal 3, yaitu mengembangkan potensi

peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa

kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,

cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis

serta bertanggung jawab, beserta peraturan-peraturan yang bertalian

dengan pendidikan. Dalam Peraturan Pemerintah Repubik Indonesia

Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal

26 Ayat 1, 2, 3 dan 4, membahas beberapa tujuan pendidikan sesuai

dengan jenjang pendidikannya. (1) Tujuan Pendidikan Dasar (SD

dan SMP; PP No 19 Tahun 2005 pasal 26 ayat 1, Pendidikan dasar

bertujuan untuk meletakkan dasar Kecerdasan, Pengetahuan,

Kepribadian, Keterampilan untuk hidup mandiri, Mengikuti

pendidikan lebih lanjut. (2) Tujuan Pendidikan Menengah (SMA) ;

PP No. 19 Tahun 2005 pasal 26 ayat 2, Pendidikan menengah

umum bertujuan untuk meningkatkan Kecerdasan, Pengetahuan,

Kepribadian, Akhlak Mulia, Keterampilan untuk hidup mandiri,

Mengikuti pendidikan lebih lanjut. (3) Tujuan Pendidikan Kejuruan

(SMK) ; PP No 19. Tahun 2005 pasal 26 ayat 3, Pendidikan

menengah kejuruan bertujuan untuk meningkatkan Kecerdasan,

Pengetahuan, Kepribadian, Akhlak Mulia,Keterampilan untuk hidup

mandiri, Mengikuti pendidikan lebih lanjut sesuai dengan

kejuruannya. (4) Tujuan Pendidikan Tinggi ; PP No 19 Tahun 2005

pasal 26 ayat 3, Pendidikan tinggi bertujuan untuk mempersiapkan

peserta didik menjadi anggota masyarakat yang Berakhlak mulia,

Memiliki pengetahuan, Terampil, Mandiri, Mampu menemukan,

mengembangkan dan menerapkan ilmu, teknologi dan seni yang

bermanfaat bagi kemanusiaan.

Pada dasarnya pendidikan di semua institusi dan tingkat

pendidikan mempunyai muara tujuan yang sama yaitu

mengantarkan anak manusia menjadi manusia paripurna yang

mandiri dan dapat bertanggung jawab atas diri sendiri dan

lingkungannya

Dari tujuan-tujuan pendidikan yang didasarkan pada jenjang

pendidikan kiranya dapat dipahami bahwa tujuan-tujuan tersebut

sudah mencakup ketiga ranah perkembangan manusia yaitu

perkembangan afektif, kognitif dan psikomotor. Ketiga ranah itu

harus dikembangkan secara seimbang, optimal dan integratif.

Berimbang maksudnya ketiga ranah tersebut dikembangkan dengan

intensitas yang sama, proporsional dan tidak berat sebelah. Optimal

maksudnya dikembangkan secara maksimal sesuai dengan

101

101

potensinya. Integratif artinya pengembangan keta ranah tersebut

dilakukan secara terpadu. C. Kesimpulan Manusia dan pendidikan adalah dua hal yang tidak bisa

dipisahkan. Manusia dimana-pun berada dipastikan akan butuh

dengan pendidikan, hal ini disebabkan karena fungsi utama

pendidikan adalah memanusiakan manusia, yaitu mengembangkan

seluruh potensi manusia yang ada ke arah lebih baik. Pendidikan

tidak akan berjalan kalau tidak ada manusia, baik orang yang

menjalankan pendidikan itu sendiri maupun manusia yang akan

dididik.

Pembahasan tentang pendidikan tidak mungkin terbebas dari

objek yang menjadi sasarannya yaitu manusia. Maka secara filosofis

kajian ini harus mengikutsertakan objek utamanya yaitu manusia

dalam pendidikan dan tujuan pendidikan. Orang yang (akan)

berkecimpung dalam wilayah pendidikan perlu mengkaji tentang

hakekat manusia, hakekat pendidikan dan tujuan pendidikan. Karena

bahasan tersebut mengantar pengkajinya untuk memiliki hikmah

mengenai manusia, pendidikan dan tujuan pendidikan yang

melahirkan tenaga kependidikan dan menentukan bagaimana

memperlakukan manusia lain dan kemana manusia tersebut akan

dibawa. Implikasinya, pendidikan harus berfungsi untuk

mewujudkan (mengembangkan) berbagai potensi yang ada pada

manusia dalam konteks dimensi individualitas, sosialitas,

keberbudayaan serta keberagamaan secara menyeluruh dan

terintegrasi. Oleh karena itu, pendidikan akan dapat berfungsi dalam

tataran “ideal” yakni usaha untuk memanusiakan manusia.

DAFTAR PUSTAKA Driyarkara. 2006. Karya Lengkap Driyarkara. A. Sudiarja dkk. (ed).

Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Dwi Siswoyo. 2008. Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Tinjauan Filosofis. Yogyakarta: FIP UNY. Makalah [tidak diterbitkan].

Farida Hanum. 2008. Implementasi Pendidikan Multikultural dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Yogyakarta. FIP

UNY. Makalah [tidak diterbitkan].

102

102

Jallaluddin dan Abdullah Idi. 2010. Filsafat Pendidikan: Manusia, Filsafat dan Pendidikan. Yogyakarta: Ar-Ruz Media.

Made Pidarta. 2009. Landasan Kependidikan: Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.

Nana Syaodih Sukmadinata. 2009. Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Noeng Muhadjir. 2003. Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial. Yogyakarta: Rake Sarasin.

Prayitno. 2009. Dasar Teori dan Praksis Pendidikan. Jakarta: Grasindo,

PT Gramedia Widiasarana Indonesia.

Tatang Syaripudin. 2007. Landasan Pendidikan. Bandung: Percikan

Ilmu.

Umar Tirtarahardja & La Sulo. 2005. Pengantar Pendidikan. Jakarta: PT

Rineka Cipta.

T. Jacob. 2007. Beberapa Prinsip Tentang Pendidikan. Yogyakarta:

Kerjasama UGM dan LPMP DIY.

103103

Laporan Hasil Penelitian EFEKTIVITAS PENGGUNAAN MEDIA KOMPUTER DAN MEDIA AUDIO

CASSETTE RECORDER DALAM PEMBELAJARAN MENYIMAK CERITA

BAHASA INDONESIA SISWA KELAS V DI SDN 02 PEMALANG.

Oleh : Rini Afiyati1

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui: (1) keefektifan media

audio cassette recorder, (2) media komputer, dan (3) media

konvensional dalam pembelajaran menyimak cerita bahasa Indonesia.

Jenis penelitian ini adalah eksperimental dengan desain randomized

pretest-posttest control group design. Dalam proses eksperimen

dilakukan pengamatan pada tiga kelompok pembelajaran yaitu

kelompok eksperimen satu yang diberi treatment/perlakuan dengan

media komputer, kelompok eksperimen dua dengan media audio

cassette recorder dan kelompok kontrol dengan media konvensional.

Populasi penelitian adalah semua peserta didik kelas V SD Negeri 02

Kebondalem Kabupaten Pemalang. Instrumen penelitian adalah tes

menyimak cerita dengan Alpha 0,826. Teknik analisis data

menggunakan Anava yang dilanjutkan dengan uji Scheffe.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Ada perbedaan

keefektifan media komputer melalui laboratorium bahasa dan media

konvensioanl dalam pembelajaran menyimak cerita bahasa Indonesia, [

(p) = 0,005, α = 0,05 ]; (2) tidak ada perbedaan keefektifan media audio

cassette recorder dan media konvensional dalam pembelajaran

menyimak cerita bahasa Indonesia, (sig.(p) = 0,028, α = 0,05); (3) Ada

perbedaan keefektifan media komputer melalui laboratorium bahasa dan

media audio cassette recorder dalam pembelajaran menyimak cerita

bahasa Indonesia siswa, [ (p) = 0,028, α = 0,05 ]; dan (4) Ada

perbedaan keefektifan penggunaan media komputer melalui

laboratorium bahasa, media audio cassette recorder, media konvensional

dalam pembelajaran menyimak cerita bahasa Indonesia, (F cos = 20.809 >

F tabel = 3,15, α = 0,05). Hal ini menunjukan bahwa media komputer

melalui laboratorium bahasa lebih baik daripada media audio cassette

recorder, dan media konvensional dalam pembelajaran menyimak cerita

bahasa Indonesia siswa kelas V SD Negeri 02 Kebondalem Kabupaten

Pemalang. 1 Rini Afiyati, M.Pd adalah Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Pemalang

104104

Keyword : Media audio cassette recorder, pembelajaran bahasa Indonesia A. Latar Belakang Masalah Pada Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar

Nasional Pendidikan Bab 1 ayat 2 disebutkan “Standar Kompetensi

lulusan adalah kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap,

pengetahuan dan keterampilan”. Praktisi pendidikan terutama para

pendidik dituntut untuk kerja keras untuk mewujudkan apa yang

disebutkan dalam Bab I Ketentuan Umum pasal 1 ayat 2 tersebut. Proses

pembelajaran di kelas menjadi salah satu tumpuan diperolehnya lulusan

(out put) yang tidak hanya mahir dalam penguasaan pengetahuan, namun

juga diharapkan mampu memiliki sikap dan keterampilan yang

memadai. Untuk mencapai lulusan yang berkualitas dalam hal sikap,

pengetahuan, dan keterampilan, disusun kurikulum untuk setiap jenjang

pendidikan terdiri dari beberapa mata pembelajaran yang diharapkan

dapat menunjang kompetensi lulusan.

Bahasa Indonesia merupakan salah satu dari sekian banyak mata

pembelajaran yang diajarkan di sekolah dasar/madrasah ibtidaiyah.

Tujuan pembelajaran bahasa Indonesia secara umum adalah

mengembangkan keterampilan siswa dalam menggunakan bahasa, baik

untuk kemampuan menyimak, berbicara, membaca maupun menulis.

Tujuan tersebut mengisyaratkan agar guru mengarahkan kegiatan belajar

mengajar di kelas dalam bentuk kegiatan berbahasa.

Salah satu kegiatan berbahasa adalah bercerita. Bercerita adalah

salah satu bagian dari aktivitas menyimak dan berbicara. Bercerita dapat

menjadi contoh dalam kehidupan siswa, di samping itu bercerita juga

dapat merangsang imajinasi mereka dalam meningkatkan kemampuan

berbahasa.

Kenyataan di berbagai sekolah dasar kondisi pembelajaran

menyimak cerita masih terkesan monoton, sehingga kualitas ke-

terampilan berbahasa siswa masih kurang. Hal ini terlihat dari keaktifan

siswa di kelas, tidak semua siswa dapat aktif selama kegiatan

pembelajaran bercerita. Apabila anak sudah mengetahui isi dan jalan

ceritanya, ditambah guru dalam bercerita kurang menarik akan

mengakibatkan suasana kelas terkesan hanya diikuti oleh sebagian kecil

siswa dan didominasi oleh siswa tertentu. Selain itu tugas-tugas dan

materi bercerita yang diberikan masih terpaku cerita yang ada dalam

buku. Hal ini berdampak pada produksi bahasa mereka. Kemampuan

dalam menuangkan ide atau gagasan melalui tulisan masih kurang, hal

ini bisa dilihat dari pendeknya tulisan siswa kalau siswa disuruh

menceritakan kembali isi cerita.

105105

Untuk mencapai tujuan pembelajaran menyimak cerita siswa

supaya lebih efektif perlu adanya media pembelajaran yang baik. Di

kalangan pendidik tradisional kata media selama ini sering terkesan

sesuatu yang mahal, rumit dan berteknologi tinggi. Akibatnya terjadi

keengganan berhubungan dengan media meskipun bahkan sebenarnya di

sekolah sudah terdapat sarana pembelajaran bahasa yang memadai akan

tetapi tidak dimanfaatkan dengan baik dan maksimal.

Menurut Hujair AH. Sanaky (2009: 3) media pembelajaran adalah

sebuah alat yang berfungsi dan digunakan untuk menyampaikan proses

pembelajaran. Yusuf Miarso seperti yang dikutip oleh Mukminan

(2002:24) mengatakan bahwa media pembelajaran adalah segala sesuatu

yang dapat digunakan untuk merangsang pikiran, perasaan, perhatian

dan kemauan siswa sehingga dapat mendorong terjadinya proses belajar

pada diri siswa. Dari pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa

penggunaan media akan mampu memotivasi siswa untuk terlibat secara

aktif dalam proses pembelajaran itu sendiri.

Perubahan paradigma dalam proses pembelajaran dari teacher

centered ke student centered, dari passive learning ke active learning,

penggunaan media juga merupakan alat bantu bagi guru sehingga siswa

lebih mudah dalam memahami isi atau pesan yang terkandung dalam

suatu mata pembelajaran, apalagi bagi anak usia sekolah dasar yang

dalam perkembangannya masih berada dalam tahap operasional

kongkrit. Keberadaan media pembelajaran akan sangat membantu

belajar anak-anak di usia tersebut.

Memperhatikan pembelajaran bahasa Indonesia tersebut sebaiknya

penyelenggara pembelajaran bahasa Indonesia mampu mempersiapkan,

membina, dan membentuk kemampuan peserta didik agar menguasai

pengetahuan, sikap, nilai dan kecakapan dasar yang diperlukan bagi

kehidupan di masyarakat serta pengembangan diri siswa sebagai pribadi.

Hal ini berimplikasi pada bagaimana seorang pendidik mendesain

pembelajaran bahasa Indonesia di kelas. Pemilihan media dan metode

yang sesuai dengan kurikulum dan potensi siswa adalah bagian lain yang

harus diperhatikan oleh pendidik.

Penggunaan media komputer dalam pembelajaran sangat

memungkinkan untuk meningkatkan kemampuan berpikir yang

diharapkan. Kelebihan yang dimiliki oleh media komputer melalui

laboratorium, adalah dapat mempersiapkan sumber daya manusia

melalui pendidikan yang berkualitas. Melalui media komputer yaitu

laboratorium bahasa diharapkan ada peningkatan dalam proses

pembelajaran bahasa Indonesia, terutama dalam hal peningkatan

pembelajaran menyimak cerita dan peningkatan prestasi siswa. Atas

106106

dasar tersebut peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian tentang “

Efektifitas Media Komputer dan Audio Cassette Recorder dalam

menyimak cerita Siswa Kelas V Sekolah Dasar Negeri 02 kebondalem

Kabupaten Pemalang”. B. Pembatasan Masalah

Penelitian ini dibatasi pada penggunaan media komputer dan

media audio cassette recorder dalam pembelajaran menyimak cerita

siswa kelas V SDN 02 Kebondalem Kabupaten Pemalang. Untuk

memperoleh hasil yang optimal pada penelitian ini masalah dibatasi

pada (1) efektifitas pembelajaran menyimak cerita dengan

menggunakan media komputer dan audio cassette recorder, (2)

penggunaan media audio cassette recorder dan media komputer melalui

sarana laboratorium bahasa. C. Rumusan Masalah Dalam penelitian ini rumusan masalah adalah sebagai berikut: (1)

Adakah perbedaan keefektifan media komputer melalui laboratorium

bahasa dan media konvensional dalam pembelajaran menyimak cerita

bahasa Indonesia siswa kelas V SDN 02 Kebondalem Kabupaten

Pemalang. (2) Adakah perbedaan keefektifan penggunaan media audio

cassette recorder dan media konvensional dalam pembelajaran

menyimak cerita pada mata pembelajaran bahasa Indonesia siswa kelas

V SDN 02 Kebondalem Kabupaten Pemalang . (3) Adakah perbedaan

keefektifan penggunaan media komputer melalui laboratorium bahasa

dan media audio cassette recorder dalam permbelajaran menyimak

cerita bahasa Indonesia siswa kelas V SDN 02 Kebondalem Kabupaten

Pemalang. (4) Adakah perbedaan keefektifan penggunaan media

komputer, media audio cassette recorder, dan media konvensional

dalam pembelajaran menyimak cerita bahasa Indonesia siswa kelas V

SDN 02 Kebondalem Kabupaten Pemalang. D. Metodologi Penelitian

Jenis penelitian ini berupa penelitian kuantitatif dengan

menggunakan metode eksperimen quasi (quasi experiment research).

Tujuan penelitian eksperimen quasi adalah untuk memperoleh informasi

yang merupakan perkiraan bagi informasi yang dapat diperoleh dengan

eksperimen yang sebenarnya dalam keadaan yang tidak memungkinkan

untuk mengontrolnya dan/atau memanipulasikan semua variabel yang

relevan. Melalui eksperimen dapat diungkapkan perbedaan penggunaan

media pembelajaran media komputer, audio cassette recorder, dan

107107

pembelajaran konvensional terhadap kemampuan menyimak cerita

akibat adanya perlakuan.

Dalam penelitian ini ada tiga kelompok pembelajaran yang akan

dibandingkan sebagai subjek penelitian yaitu kelompok pembelajaran

yang menggunakan media komputer dengan kelompok pembelajaran

yang menggunakan media audio cassette recorder dan kelompok yang

menggunakan metode konvensional pembelajaran menyimak cerita

pada mata pelajaran bahasa Indonesia. Dua kelompok dari kelompok

tersebut dijadikan sebagai kelompok eksperimen (mendapatkan

perlakuan) dan yang satunya dijadikan sebagai kelompok kontrol dan

dijadikan sebagai pembanding (tidak diberikan perlakuan khusus).

Ketiga kelompok tersebut diberi materi pembelajaran yang sama. Agar

penelitian ini berjalan dengan efektif maka ketiga kelompok, baik dua

kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol terlebih dahulu

diupayakan supaya sama dan sepadan berdasarkan rata-rata skor yang

diperoleh ketiga kelompok tersebut. Oleh karena itu sebelum melakukan

penelitian perlu diperhatikan dahulu rata-rata hasil hasil pembelajaran

menyimak pada mata pelajaran bahasa Indonesia ketiga kelompok.

Penelitian ini dilaksanakan pada kelas V Sekolah Dasar Negeri

02 Kebondalem Kecamatan Pemalang Kabupaten Pemalang Jawa

Tengah. Sekolah Dasar Negeri 02 Kebondalem kabupaten Pemalang

adalah salah satu dari dua Sekolah Dasar yang mempunyai laboratorium

bahasa. E. Kajian Teori 1. Pengertian Belajar dan Pembelajaran

Belajar merupakan satu kegiatan menghafal sejumlah fakta-fakta.

Sejalan dengan pendapat tersebut maka seseorang yang telah belajar

akan ditandai dengan banyaknya fakta-fakta yang dihafalkan. Guru yang

berpendapat demikian akan merasa puas jika siswa-siswanya telah

sanggup menghafal sejumlah fakta di luar kepala. Pendapat lain

mengatakan bahwa belajar sama saja dengan latihan, sehingga hasil-hasil

belajar akan tampak dalam keterampilan-keterampilan tertentu sebagai

hasil latihan. Untuk banyak memperoleh kemajuan seseorang harus

dilatih dalam berbagai aspek tingkah laku sehingga diperoleh suatu pola

tingkah laku yang otomatis.

Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni (2008:13), belajar (to learn)

memiliki arti : (1) to gain knowledge, comprehension, or mastery of trought experience or study; (2) to fix in the mind or memory; memorize; (3) to acquire trough experience; (4) to become in forme of the find out.

Menurut definisi tersebut, belajar memiliki pengertian memperoleh

108108

pengetahuan atau menguasai pengetahuan melalui pengalaman,

mengingat, menguasai pengalaman, dan mendapatkan informasi atau

menemukan.

Secara garis besar faktor yang mempengaruhi belajar siswa dapat

dibedakan menjadi tiga yaitu : (1) Faktor internal (faktor dari dalam diri

siswa), yakni keadaan atau kondisi jasmani dan rohani siswa. (2) Faktor

eksternal (faktor dari luar siswa), yakni kondisi lingkungan di sekitar

siswa baik lingkungan keluarga maupun lingkungan sekitarnya. (3)

Faktor pendekatan belajar (approach to learning), yakni jenis upaya

belajar yang meliputi strategi dan metode yang digunakan siswa untuk

melakukan kegiatan pembelajaran materi-materi pembelajaran.

Pembelajaran sebagai sebuah peningkatan pengetahuan kuantitatif,

mendapatkan informasi, proses mengingat, menyimpan informasi yang

biasa direproduksi, proses mendapatkan fakta-fakta, keterampilan,

metode-metode yang bisa dikuasai dan digunakan sesuai dengan

kebutuhan, proses memahami atau mengabsraksikan makna, proses

penafsiran dan pemahaman akan realitas dalam sebuah cara yang

berbeda. (Mark K. Smith, dkk 2009: 31-32). Pendapat ini sejalan

dengan yang dikemukan oleh Hamzah Uno, dkk. (2004: 141-142) yang

melukiskan pembelajaran sebagai upaya untuk membelajarkan siswa.

Dalam pengertian ini secara implisit dalam pembelajaran terdapat

kegiatan memilih, menetapkan, mengembangkan metode untuk

mencapai hasil pembelajaran yang diinginkan.

Proses pembelajaran pada hakekatnya untuk mengembangkan

aktivitas dan kreatifitas peserta didik, melalui berbagai interaksi dan

pengalaman belajar. Tidak dipungkiri lagi bahwa proses belajar

mengajar sering kali tidak berjalan sesuai tujuan yang telah dirumuskan.

Hal ini menjadikan permasalahan tersendiri bagi pembelajaran siswa

dengan kata lain proses belajar mengajar seringkali tidak dilaksanakan

akan menghambat aktivitas dan kreatifitas siswa. Proses pembelajaran

yang masih menekankan pada perkembangan aspek kognitif, di mana

kemampuan mental yang dipelajari sebagian besar berpusat pada

pemahaman pada bahan pengetahuan dan ingatan 2. Hakekat Pembelajaran Bahasa Indonesia Pembelajaran dilukiskan sebagai upaya orang yang tujuannya

untuk membantu orang belajar, artinya pembelajaran bukannya hal

mengajar sebab titik beratnya adalah pada semua kejadian yang bisa

berpengaruh secara langsung pada belajar setiap orang. Di samping

dengan cara mengajar, pembelajaran bisa disampaikan dengan bantuan

media cetak, gambar, komputer, dan media lain

109109

Menurut Nana Sudjana (1991:2) menyatakan bahwa pem-

belajaran adalah proses membantu dan memfasilitasi belajar,

memberikan bimbingan seseorang untuk belajar, mengatur kondisi

belajar. Pemahaman pengajar tentang bagaimana siswa belajar akan

menentukan filosofi pendidikan pengajar, pendekatan, metode dan

tehnik kelas. Belajar dan mengajar merupakan dua hal yang tidak dapat

dipisahkan dalam pembelajaran

Pembelajaran bahasa dimaksudkan untuk meningkatkan

kemampuan pemahaman dan penggunaan bahasa. Di samping itu, juga

untuk mempertajam kepekaan perasaan siswa dan meningkatkan

kemampuan berpikir dan bernalar serta kemampuan untuk memperluas

wawasan. Siswa tidak hanya diharapkan mampu memahami informasi

yang disampaikan secara lugas atau langsung, melainkan juga informasi

yang disampaikan secara terselubung atau secara tidak langsung (St. Y.

Slamet 2007: 80). 3. Hakekat Media Pembelajaran

Media pembelajaran merupakan aspek penting dalam proses

pembelajaran di samping metode atau pendekatan yang digunakan oleh

pendidik. Bahkan dapat dikatakan bahwa media akan menunjang pilihan

metode atau pendekatan yang telah didesain oleh guru dalam skenario

pembelajarannya.

Kata media berasal dari kata latin medius yang artinya tengah,

perantara atau pengantar. Secara umum, media adalah semua bentuk

perantara untuk menyebarkan atau menyampaikan sesuatu pesan

(message) dan gagasan kepada penerima. National Education

Association (NEA) mendifinisikan media sebagai suatu benda yang

dapat dimanipulasi, dilihat, didengar, dibaca atau dibicarakan beserta

instrumen yang dipergunakan untuk kegiatan tersebut (Mukminan,

2002:97). Heinich (1996: 8) menyatakan : “A medium (plural media) is channel of communication. Derived from the Latin word meaning “between”, the refers to anything that carries information between a source and receiver. Examples include film,television, diagrams, printed materials, computers, and inctructors. These are considered instructional media hen they carry message with in instructional purpose. The purpose of media is to facilitate communication”.

Pernyataan tersebut mengandung makna bahwa media merupakan

segala sesuatu yang membantu atau memfasilitasi sampainya sebuah

pesan dari pengirim atau penyampai pesan kepada penerima pesan.

Termasuk dalam media ini adalah film, televisi, diagram, dan lain-lain.

110110

Pada konteks pembelajaran, media media pembelajaran adalah sebuah

alat yang berfungsi dan digunakan untuk menyampaikan pesan

pembelajaran. Pembelajaran adalah proses komunikasi antara

pembelajar, pengajar, dan bahan ajar. Bentuk komunikasi tidak akan

berjalan tanpa adanya bantuan sarana untuk menyampaikan pesan.

Bentuk-bentuk stimulus dapat dipergunakan sebagai media, diantaranya

adalah hubungan atau interaksi manusia, realitas, gambar bergerak atau

tidak, tulisan dan suara yang direkam. (Hujair AH Sanaky, 2009:3).

Dewasa ini media tidak lagi dipandang sebagai alat bantu yang

digunakan jika perlu atau sekedar selingan semata, melainkan dipandang

sebagai komponen dari sistem instruksional. Oleh karenanya

penggunaan media harus dipilih dan direncanakan sesuai dengan tujuan

pembelajaran yang hendak dicapai. Menurut Yudhi Munadi (2008: 37-

48) fungsi media pembelajaran antara lain: (1) fungsi media

pembelajaran sebagai sumber belajar, (2) fungsi semantik, (3) fungsi

manipulatif, (4) fungsi psikologis yang terdiri dari fungsi atensi

(attention), fungsi afektif, fungsi kognitif, fungsi imaginatif, fungsi

motivasi, dan (5) fungsi sosio-kultural. Dalam proses pembelajaran

banyak sekali media yang dapat digunakan oleh guru, beberapa di

antaranya dapat dibeli atau tersedia di pasaran dan ada juga yang

dirancang sendiri oleh guru. Media-media tersebut baik yang dirancang

guru atau yang tersedia di pasaran bisa berupa hasil cetak biasa atau

berupa sofware yang berbasis komputer. Dengan keanekaragaman

media ini terdapat berbagai cara yang dapat digunakan untuk

mengklasifisikan media atas kategori-kategori tertentu. Misalnya saja

media itu dapat diklasifikasikan menjadi: (1) Media cetak dan non cetak.

(2) Media elektronik dan non elektronik. (3) Media proyeksi dan non

proyeksi. (4) Media audio, visual dan audio-visual. (5) Media yang

sengaja dirancang (by design) dan media yang dimanfaatkan (by

utilization) (Mukminan, 2002: 83).

Media cassette tape recorder merupakan bentuk media

pembelajaran yang murah dan terjangkau. Sekali kita membeli tape dan

peralatan seperti tape recorder dan cassette, hampir tidak lagi diperlukan

biaya tambahan karena tape bisa dihapus setelah digunakan dan dapat

disesuaikan dengan tingkat kemampuan siswa. Audio dapat

menampilkan pesan yang memotivasi. Audio tape recorder juga dapat

dibawa ke mana-mana, dan karena dapat menggunakan baterai, maka ia

dapat digunakan di manapun yang tidak terjangkau oleh listrik. Cassette

tape recorder dapat pula dimanfaatkan untuk pembelajaran dan tugas di

rumah

111111

Menurut Azhar Arsyad (2007: 68) media audio tape recorder di

samping menarik dan memotivasi siswa untuk mempelajari materi yang

lebih banyak juga dapat digunakan untuk: (1) mengembangkan

keterampilan mendengar dan mengevaluasi apa yang telah didengar, (2)

mengatur dan mempersiapkan diskusi atau debat dengan

mengungkapkan pendapat-pendapat para ahli yang berada jauh dari

lokasi, (3) menjadikan model yang akan ditiru oleh siswa, (4)

menyiapkan variasi yang menarik dan perubahan-perubahan tingkat

kecepatan belajar mengenai suatu pokok bahasan atau suatu masalah

Penggunaan media audio dalam pembelajaran dibatasi hanya oleh

imajinasi guru dan siswa. Media audio dapat digunakan dalam semua

fase pembelajaran mulai dari pengantar atau pembukaan ketika

memperkenalkan topik bahasan sampai kepada evaluasi hasil belajar

siswa. Penggunaan media audio sangat mendukung sistem pembelajaran

tuntas (mastery learning). Siswa yang belajarnya lamban dapat memutar

kembali dan mengulangi bagian-bagian yang belum dikuasai. Selain itu

siswa juga dapat belajar dengan cepat bisa maju terus sesuai dengan

tingkat kecepatan belajarnya.

Bahan-bahan pembelajaran yang telah direkam telah banyak

tersedia untuk berbagai bidang ilmu. Misalnya, rekaman suara berbagai

jenis alat musik dapat digunakan untuk bercerita kepada anak-anak,

bermain, melakonkan cerita, nyanyian, dan lain-lain. Meskipun tidak ada

prosedur baku tentang penggunaan bahan-bahan audio, sebaiknya materi

audio itu disajikan dengan mengikuti langkah-langkah yang biasa diikuti

ketika menggunakan materi pembelajaran dalam bentuk lain. Menurut

Azhar Arsyad (2007: 70-72) langkah-langkah tersebut adalah sebagai

berikut:

Mempersiapkan diri. Guru merencanakan dan menyiapkan diri

sebelum penyajian materi. Salah satu cara mempersiapkan diri

sebelumnya adalah dengan memeriksa dan mencobakan materi itu,

membuat catatan tentang hal-hal penting yang tercakup dalam materi

audio itu, dan menentukan apa yang akan digunakan untuk

membangkitkan minat, perhatian, dan motivasi siswa, bagian mana yang

akan menjadi bahan utama diskusi dan yang mana dijadikan penilaian

pemahaman siswa.

Membangkitkan kesiapan siswa. Siswa dituntun agar memiliki

kesiapan untuk mendengar, misalnya dengan cara memberikan komentar

awal dan petanyaan-pertanyaan. Variasi lain dalam mempersiapkan

murid untuk mendengar adalah (1) mengidentifkasi materi-judul peserta,

atau keadaan yang terjadi pada saat produksi. (2) memberikan informasi

latar belakang yang menarik tentang program itu, (3) membahas secara

112112

singkat bersama siswa mengenai topik dan memunculkan beberapa

pertanyaan kunci di mana jawabannya diharapkan dapat diperoleh dari

materi audio itu, (4) membuat di papan tulis daftar kata-kata kunci atau

frase kunci yang terkandung dalam bahan audio itu, (5) menjelaskan

mengapa siswa harus mendengarkan materi audio itu, bagaimana materi

itu berkaitan dengan pengetahuan dan tugas siswa saat ini, apa yang

dilakukan siswa selama dan setelah mendengarkan materi audio itu, dan

bagaimana siswa diharapkan dapat memperoleh keuntungan dari materi

itu.

Mendengarkan materi audio. Tuntun siswa untuk menjalani

pengalaman mendengar dengan waktu yang tepat atau dengan sedikit

penundaan antara pengantar dan mulainya proses mendengar. Dorong

siswa untuk mendengarkan dengan tenang, pusatkan perhatian kepada

materi audio, mendengarkan dengan pikiran terbuka dan dengan

kemauan, dan dengan sadar menghubungkan apa yang didengar dengan

pertanyaan-pertanyaan yang dibahas sebelum program ini dimulai.

Diskusi (membahas) materi program audio. Sebaiknya setelah

selesai mendengar program itu, diskusi dimulai secara informal dengan

mengajukan pertanyaan yang bersifat umum, seperti “Bagian mana

(gagasan mana) yang paling berkesan/menonjol dari program itu?”.

Setelah itu, barulah pindah ke pertanyaan-pertanyaan yang

dipersiapakan, seperti “Pertanyaan mana yang terjawab seluruhnya atau

sebagian?”, “Apakah siswa setuju dengan pandangan yang disajikan

dalam program itu?”, “Dari sisi mana pandangan itu sama atau

berbeda?”, dan lain-lain. Diskusi ini selayaknya diakhiri dengan

meminta satu atau dua orang siswa memberikan rangkuman (inti sari dan

gagasan-gagasan utama) program audio itu. F. Hasil Penelitian

Hasil penelitian adalah sebagai berikut.: (1) ada perbedaan

keefektifan media komputer melalui laboratorium bahasa dan media

konvensioanl dalam pembelajaran menyimak cerita bahasa Indonesia

siswa kelas V SD Negeri 02 Kebondalem Kabupaten Pemalang, (2)

tidak ada perbedaan keefektifan media audio cassette recorder dan

media konvensional dalam pembelajaran menyimak cerita bahasa

Indonesia siswa kelas V SD Negeri 02 Kebondalem Kabupaten

Pemalang, (3) ada perbedaan keefektifan media komputer melalui

laboratorium bahasa dan media audio cassette recorder dalam

pembelajaran menyimak cerita bahasa Indonesia siswa kelas V SD

Negeri 02 Kebondalem Kabupaten Pemalang, (4) ada perbedaan

keefektifan penggunaan media komputer melalui laboratorium bahasa,

113113

media audio cassette recorder, media konvensional dalam pembelajaran

menyimak cerita bahasa Indonesia siswa kelas V SD Negeri 02

Kebondalem Kabupaten Pemalang.

1. Media komputer lebih efektif dibandingkan media konvensional

dalam pembelajaran menyimak cerita dalam mata pembelajaran

bahasa Indonesia kelas V Sekolah Dasar Negeri 02 Kebondalem

Kabupaten Pemalang

Berdasarkan analisis data, terbukti bahwa terdapat perbedaan

keefektifan media komputer melalui laboratorium bahasa dan media

konvensioanl dalam pembelajaran menyimak cerita bahasa Indonesia

siswa kelas V SD Negeri 02 Kebondalem Kabupaten Pemalang”.

Secara keseluruhan hasil perhitungan dengan uji scheffe tentang

perbedaan keefektifan media komputer melalui laboratorium bahasa

dan media konvensional dalam pembelajaran menyimak cerita bahasa

Indonesia siswa kelas V SD Negeri 02 Kebondalem Kabupaten

Pemalang diperoleh probabilitas sebesar 0,002 lebih kecil dari taraf

signifikan yang ditetapkan yaitu 0,05, maka Ho ditolak dan Hi

diterima, sehingga dapat disimpulkan bahwa Media komputer lebih

efektif dibandingkan media konvensional dalam pembelajaran

menyimak cerita dalam mata pembelajaran bahasa Indonesia kelas V

Sekolah Dasar Negeri 02 Kebondalem Kabupaten Pemalang.

Batas bawah interval konfidensi bernilai positif sebesar 1,2282

dan batas atas bernilai positif sebesar 6,5318 sehingga dapat

disimpulkan bahwa media komputer melalui laboratorium bahasa

lebih efektif dibanding media konvensional. Perbedaan keefektifan

antara media komputer dan media konvensional disebabkan

penggunaan media komputer terutama dalam pembelajaran bercerita,

antara lain: (1) Komputer memungkinkan pembelajaran dapat belajar

sesuai dengan kemampuan dan kecepatannya dalam memahami

pengetahuan dan informasi yang ditayangkan.(2) Penggunaan

komputer dalam proses belajar membuat pembelajar dapat melakukan

kontrol terhadap aktivitas belajarnya.(3) Kemampuan komputer untuk

menayangkan kembali informasi yang diperlukan oleh pemakainya,

dengan istilah lain komputer dapat membantu pembelajar yang

memiliki kecepatan belajar lambat. (4) Komputer dapat menciptakan

iklim belajar yang efektif bagi pembelajar yang lambat (slow leaner),

tetapi juga dapat membantu dan memacu efektivitas belajar bagi

pembelajar yang lebih cepat (fast leaner).(5) Komputer dapat

diprogram agar mampu memberikan umpan balik terhadap hasil

belajar dan memberikan pengukuhan (reinforcement) terhadap

114114

prestasi belajar pembelajar dan kemampuan komputer untuk

merekam hasil belajar.

2. Media audio cassette recorder lebih efektif dibandingkan media

konvensional dalam pembelajaran menyimak cerita mata

pembelajaran bahasa Indonesia siswa kelas V Sekolah Dasar Negeri

02 Kebondalem Kabupaten Pemalang.

Dari analisis data terbukti bahwa tidak terdapat perbedaan

keefektifan media audio cassette recorder dan media konvensional

dalam pembelajaran menyimak cerita bahasa Indonesia siswa kelas V

SD Negeri 02 Kebondalem Kabupaten Pemalang”. Secara

keseluruhan hasil perhitungan dengan uji schefte tentang perbedaan

keefektifan media audio cassette recorder dan media konvensional

dalam pembelajaran menyimak cerita bahasa Indonesia siswa kelas V

SD Negeri 02 Kebondalem Kabupaten Pemalang diperoleh

probabilitas sebesar 0,021 lebih besar dari taraf signifikansi yang

ditetapkan yaitu 0,05, maka Ho diterima sedangkan Hi ditolak,

sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan

keefektifan media audio cassette recorder dan media konvensional

dalam pembelajaran menyimak cerita bahasa Indonesia siswa kelas V

SD Negeri 02 Kebondalem Kabupaten Pemalang.

Batas bawah interval konfidensi bernilai negative sebesar -

5,6718 dan batas atas bernilai positif sebesar 3,682, sehingga dapat

disimpulkan bahwa media audio cassette recorder tidak lebih efektif

dibanding media konvensional. Hal tersebut disebabkan dalam

proses pembalajaran bercerita seorang guru yang menguasai materi

cerita dari awal sampai akhir cerita yang disampaikan secara runtut

dan gamblang, penuh improvisasi, humor, dan contoh-contoh nyata di

sekitar kehidupan peserta didik, guru akan tampak sangat pandai di

dalam menyampaikan cerita kepada anak didiknya sehingga siswa

begitu antusias di dalam mendengarkan cerita.

3. Media komputer lebih efektif dibandingkan media audio cassette

recorder dalam pembelajaran menyimak cerita mata pembelajaran

bahasa Indonesia siswa kelas V Sekolah Dasar Negeri 02

Kebondalem Kabupaten Pemalang.

Berdasarkan analisis data terbukti bahwa terdapat perbedaan

keefektifan media komputer melalui laboratorium bahasa dan media

audio cassette recorder dalam pembelajaran menyimak cerita bahasa

Indonesia siswa kelas V SD Negeri 02 Kebondalem Kabupaten

Pemalang. Secara keseluruhan hasil perhitungan dengan uji scheffe

tentang perbedaan keefektifan media komputer melalui laboratorium

bahasa dan media audio cassette recorder dalam pembelajaran

115115

menyimak cerita bahasa Indonesia siswa kelas V SD Negeri 02

Kebondalem Kabupaten Pemalang diperoleh probabilitas sebesar

0,000 lebih kecil dari taraf signifikansi yang ditetapkan yaitu 0,05,

maka Ho ditolak dan Hi diterima, sehingga dapat disimpulkan bahwa

Media komputer lebih efektif dibandingkan media audio cassette

recorder dalam pembelajaran menyimak cerita mata pembelajaran

bahasa Indonesia siswa kelas V Sekolah Dasar Negeri 02

Kebondalem Kabupaten Pemalang. Batas bawah interval konfidensi

bernilai positif sebesar 4,2482 dan batas atas bernilai positif sebesar

9,5518, sehingga dapat disimpulkan bahwa media komputer melalui

laboratorium bahasa lebih efektif dibandingkan media audio cassette

recorder.

Pembelajaran bercerita dengan menggunakan media audio

cassette recorder hanya dapat diperdengarkan tidak dapat

menampilkan gambar secara visual, sehingga anak tidak dapat

melihat secara langsung kejadian-kejadian yang ada di dalam cerita.

Anak didik masih dituntut untuk lebih menggali potensi dirinya

dalam memahami isi cerita yang didengarkan melalui audio cassette

recorder, anak akan cenderung meraba-raba bahan cerita yang

didengar apalagi apabila belum pernah mengalami atau mengetahui

kejadian sebenarnya, anak akan kesulitan menyerap informasi yang

asing ditelinganya.

Pembelajaran cerita dengan menggunakan media komputer

melalui laboratorium bahasa di samping dapat didengar juga dapat

dilihat secara visual sehingga siswa lebih memahami jalannya cerita.

Dalam pembelajaran bercerita dengan media komputer terjadi

interaksi langsung antara siswa dengan materi pembelajaran. Selain

itu, proses pembelajaran dapat berlangsung secara individual dan

disesuaikan dengan kemampuan masing-masing siswa sehingga

potensi siswa dapat lebih tergali. Media komputer juga mampu

menampilkan unsur audio visual yang bermanfaat untuk

meningkatkan minat belajar siswa, atau yang dikenal dengan program

multi media. Media komputer pun dapat memberi umpan balik bagi

respon siswa dengan segera setelah diberi materi. Sehingga lebih

membantu guru untuk memudahkan tercapainya pemahaman materi

ajar oleh siswa, serta dapat memperkaya wawasan siswa.

4. Media komputer lebih efektif dibandingkan media audio cassette

recorder dan media konvensional dalam pembelajaran menyimak

cerita mata pembelajaran bahasa Indonesia siswa kelas V Sekolah

Dasar Negeri 02 Kebondalem Kabupaten Pemalang.

116116

Berdasarkan analisis data terbukti bahwa terdapat perbedaan

keefektifan penggunaan media komputer melalui laboratorium

bahasa, media audio cassette recorder, media konvensional dalam

pembelajaran menyimak cerita bahasa Indonesia siswa kelas V SD

Negeri 02 Kebondalem Kabupaten Pemalang”. Criteria pengujian

adalah tolak Ho jika peluang kesalahan < 0,05 dan diterima Ho jika

peluang kesalahan > 0,05.

Secara keseluruhan hasil perhitungan Analisis Variansi tentang

perbedaan keefektifan media komputer melalui laboratorium bahasa,

media audio cassette recorder, dan media konvensional dalam

pembelajaran menyimak cerita bahasa Indonesia siswa kelas V SD

Negeri 02 Kebondalem Kabupaten Pemalang menghasilkan F hitung

sebesar 20.809 dengan peluang kesalahan 0,000. Bila F hitung

dikonfirmasikan dengan F tabel dengan taraf signifikan 0,05 (5%) di

mana dk nya 2 untuk pembilang dan 147 untuk penyebut, diperoleh

angka 3,15 yang berarti lebih kecil dari F hitung dan peluang

kesalahan lebih kecil dari taraf signifikansi yang ditetapkan yaitu

0,05, maka Ho ditolak dan Hi diterima, sehingga dapat disimpulkan

bahwa Media komputer lebih efektif dibandingkan media audio

cassette recorder dan media konvensional dalam pembelajaran

menyimak cerita mata pembelajaran bahasa Indonesia siswa kelas V

Sekolah Dasar Negeri 02 Kebondalem Kabupaten Pemalang.

Setiap materi ajar memiliki tingkat kesukaran yang bervariasi.

Pada satu sisi ada materi ajar yang tidak memerlukan alat bantu,

tetapi di lain pihak ada materi ajar yang sangat memerlukan alat bantu

berupa media pembelajaran. Media pembelajaran yang dimaksud

yaitu media komputer. Materi ajar dengan tingkat kesukaran yang

tinggi tentu sukar dipahami oleh siswa. Tanpa bantuan media, maka

materi ajar menjadi sukar dicerna dan dipahami oleh setiap siswa. Hal

ini akan semakin terasa apabila materi ajar tersebut abstrak dan

rumit/kompleks. Sebagai alat bantu, media komputer mempunyai

keunggulan fungsi melicinkan jalan menuju tercapainya tujuan

pembelajaran. Hal ini dilandasi keyakinan bahwa kegiatan

pembelajaran dengan bantuan media mempertinggi kualitas kegiatan

belajar siswa dalam tenggang waktu yang cukup lama. Itu berarti,

kegiatan belajar siswa dengan bantuan media komputer akan

menghasilkan proses dan hasil belajar yang lebih baik daripada media

lainya.

Proses pembelajaran bahasa Indonesia dengan menggunakan

media komputer mengutamakan konstruksi pengetahuan dan

informasi dari siswa, selain itu keaktifan dan kerjasama siswa

117117

dinomorsatukan. Dengan demikian proses pembelajaran bahasa

Indonesia dengan menggunakan media komputer ini lebih berpusat

kepada siswa, sedangkan peran guru membantu, mengarahkan,

memfasilitasi dan memberi bimbingan belajar dalam membentuk

pengetahuan secara mandiri serta melakukan evaluasi dengan baik.

Materi pembelajaran dapat dirancang, baik dari sisi pengorganisasian

materi maupun cara penyajiannya yang melibatkan siswa, sehingga

siswa menjadi lebih aktif di dalam kelas. Media computer dapat

mempersingkat penyajian materi pembelajaran yang kompleks.

Dengan demikian, informasi dapat disampaikan secara menyeluruh

dan sistematis kepada siswa. Sehingga kualitas belajar siswa dapat

ditingkatkan.

Penyajian pembelajaran dengan menggunakan media komputer

yang mengintegrasikan visualisasi dengan teks atau suara akan

mampu mengkomunikasikan materi pembelajaran secara

terorganisasi. Dengan menggunakan media komputer yang lebih

bervariasi disbanding media lainnya, maka siswa akan mampu belajar

dengan lebih optimal. Hal ini dapat dilihat dari pengunaan media

komputer khususnya dalam pembelajaran menyimak cerita siswa

kelas V SD Kebondalem 02 Kabupaten Pemalang. Secara signifikan

terbukti bahwa pemberian materi melalui pembelajaran menyimak

cerita dengan media komputer menunjukkan adanya peningkatan

prestasi hasil belajar. G. Kesimpulan

Berdasarkan data yang diperoleh, hasil pengujian hipotesis, dan

pembahasan hasil penelitian ditemukan beberapa hal sebagai berikut: (1)

Media komputer melalui laboratorium bahasa lebih efektif dari media

konvensioanl dalam pembelajaran menyimak cerita bahasa Indonesia

siswa kelas V SD Negeri 02 Kebondalem Kabupaten Pemalang. (2)

Media audio cassette recorder tidak lebih efektif dibandingkan media

konvensional dalam pembelajaran menyimak cerita mata pembelajaran

bahasa Indonesia siswa kelas V Sekolah Dasar Negeri 02 Kebondalem

Kabupaten Pemalang. (3) Media komputer lebih efektif dibandingkan

media audio cassette recorder dalam pembelajaran menyimak cerita

mata pembelajaran bahasa Indonesia siswa kelas V Sekolah Dasar

Negeri 02 Kebondalem Kabupaten Pemalang. (4) Media komputer lebih

efektif dibandingkan media audio cassette recorder dan media

konvensional dalam pembelajaran menyimak cerita mata pembelajaran

bahasa Indonesia siswa kelas V Sekolah Dasar Negeri 02 Kebondalem

Kabupaten Pemalang.

118

118

Daftar Pustaka Abdul Aziz Abdul Majid (2005). Perencanaan pembelajaran. Bandung:

Penerbit PT. Remaja Rosdakarya.

Abu Ahmadi dan Widodo Supriyono (2004). Psikologi belajar. Jakarta: PT.

Rineka Karya.

Alexander Sutherland Neil. (1993). Assesing and correcting classroom reading

problems,Glenview,EL; Scott Foresman.

Arief S. Sadiman dkk. (2008). Media pendidikan, pengertian,pengembangan

dan pemanfaatanya. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Asep Jihad dkk. (2008). Evaluasi pembelajaran. Yogyakarta: Multi Pressindo.

Asnawir dan Basyiruddin Usman (2002). Media pembelajaran. Jakarta: Delia

Citra Utama.

Azhar Arsyad.(1996). Media pembelajaran. Jakarta: PT Raja Grafindo

____________(1997). Media pembelajaran. Jakarta; Rajawali Pres.

Azwar, Saefuddin, (2007). Realibilitas dan validitas; Edisi ketiga. Yogyakrta;

Pustaka Pelajar.

Baharuddin & Esa N. Wahyuni. (2008). Teori belajar dan pembelajaran.

Yogyakarta: Penerbit Ar-Ruzz Media.

Bower & Hilgard. (1981).Theoris of Learning; London Pretince Hall, Inc

Englewood Chiff

BNSP. (2006). Peraturan Pemerintah No.19/2005. tentang Standar Nasional

Pendidikan. Jakarta. BNSP.2006. Standar Isi. Jakarta.

Burhan Nurgiantoro. (2001). Penilaian dalam pengajaran bahasa dan sastra.

Yogyakarta: BPFE. Yogyakarta.

Campbell, Donald T., & Stanley, Julian C. (1966). Experimental and quasi-

experimental designs for research. Rand Menally & Company

Chicago.

Cronbach. (1984). Essentials of psychological testing. New york; Harper

Publishers

Depdikbud (2003). Kurikulum KBK, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Departeman Agama RI, (tanpa tahun), Al Quran tajwid dan terjemahannya,

Bandung, PT. Syamil Cipta Media.

Desmita (2008). Psikologi Perkembangan. Bandung: Remaja Rosdakarya

Djemari Mardapi. (2004). Penyusunan tes hasil belajar. Yogyakarta; Program

Pasca Sarjana UNY.

Hamzah B. Uno, Herminanto Sofyan & Sutarji Atmowidjoyo. (2004).

Landasan pembelajaran teori dan praktek. Gorontalo. Nurul Jannah

Gorontalo.

Hartono. (2008).SPSS 16.0 Analisis data statistika dan penelitian. Yogyakarta.

Pustaka Pelajar.

Hesti Kusumaningrum. (2007). Pengembangan multimedia komputer untuk

pembelajaran bahasa Inggris di SD. Tesis Magister. Yogyakarta.

Tidak Dterbitkan. Universitas Negeri Yogyakarta.

119119

Heinich. 1996. Introductional Media and Tehnologies for Learning. New

Jersey Asimon & Schuster Company

Hujair AH.Sanaky (2009). Media Pembelajaran. Yogyakarta, Satria Insania

Press.

Imelda ( 2005). Pengembangan media pembelajaran berbasis komputer pada pembelajaran kosa kata bahasa Inggris di SDN 023 Maskom Bengkulu. Tesis Magister, tidak diterbitkan, Yogyakarta. Universitas

Negeri Yogyakarta.

Iskandarwassid dan Dadang Sunendar. (2008). Strategi pembelajaran bahasa,

Bandung. PT. Remaja Rosdakarya.

Kathlen Mckinney (2008). Aditional Tips., diambil kamis tanggal 08 Agustus

2009 di www.cat.ilstu.adu/aditional tips / new Active.phd.

Mark. K. Smith dkk. (2009). Teori pembelajaran & pengajaran. (Terjemahan

Abdul Qodir Shaleh. Yogyakarta. Mirza Media Pustaka.

Melvin L. Siberman. (2006). Active Learning, (Terjemahan Raisul Muttaqien).

Bandung. Nusamedia.

Muhibin Syah. (2003). Psikologi belajar. Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada.

___________ (2008). Psikologi belajar. Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada.

Mukminan. (2002). Desain pembelajaran. Yogyakarta. Universitas Terbuka.

Murssell, James L, 1954, Successful teaching its psychological principles, New

york: MC Graw-Hill.

Nana Sujdana. (1989). Teknologi pengajaran. Bandung. PT. Sinar Baru.

___________. (1991). Teori-teori belajar dan pembelajaran. Jakarta. Lembaga

Penerbitan F.E Universitas Terbuka.

___________. (2008), Penelitian hasil proses belajar mengajara, Bandung:

PT. Remaja Rosdakarya.

Nana Sujdana & Ahmad Rifai.(1989). Media Pengajaran. Bandung. Sinar

Baru.

Ngalim Purwanto, (1997). Metodologi Pengajaran Bahasa Indonesia Di

Sekolah Dasar. Jakarta, PT. Rosda Jayapra.

Panan. (2002). Belajar dan pembelajaran. Jakarta. Universitas Terbuka.

Rahayu Setyaningsih (2006). Pengembangan Multi Media Pembelajaran IPA

berbasis komputer Kelas V SD. Tesis Magister, tidak diterbitkan,

Universitas Yogyakarta. Yogyakarta.

Robbins,Stephen P, (1993). Organizations bahavior: concepts controvories

and aplication , Sixth edition san diego: prentice hall inc.

Santrok. John. W. (2007). Psikologi pendidikan. (terjemahan ). Jakarta.

Kencana.

Smaldino, S. E, Lowther, D.L, & Russel, J. D. Introductional tehnology and

media for learning. Person Merril Prentice Hall. Upper Saddle River,

New Jersey Colombus. Ohio.

Soenardi Djiwandono. (2008). Tes bahasa pegangan bagi pengajar bahasa.

Jakarta. PT. Indeks.

Sri Hastuti, PH. (1997). Strategi belajar mengajar Bahasa Indonesia. Jakarta.

Depdikbud Dikdasmen.

120120

Stricklan, S.Dorothy. at.all. (2007). Language arts: Learning and Teaching.

Thomson Walsworth. Printed in the United State of America.

St. Y. Slamet. (2007). Dasar-dasar pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia

di sekolah dasar. Surakarta. LPP dan UNS.

Suharsimi Arikunto, (1991), Prosedur penelitian suatu pendekatan praktik,

Jakarta; Rineka Karya.

___________, (1997), Dasar-dasar evaluasi pendidikan, Jakarta, Bumi Aksara.

Sukmadinata. (2008). Metode penelitian pendidikan. Bandung. P.T. Remaja

Rosdakarya.

Sumadi Suryabrata. (2008). Psikologi pendidikan. Jakarta. PT. Raja Grafindo

Persada.

Suray. (2007). Ancaman pembelajaran konvensonal. Diakses pada tanggal 15

juni 2009 dari http://suray. Wordpress.com.

Tadzkiroatun.Musfiroh. (2008). Memilih, menyusun dan menyajikan cerita

untuk anak usia dini. Yogyakarta. Tiara Wacana.

Uzer Usman. (2004). Menjadi guru profesional. Bandung. Penerbit PT Remaja

Rosdakarya.

Winkel, W.S. (2007). Psikologi Pengajaran. Jakarta: Gramedia.

Yudhi Munadi. (2008). Media pembelajaran. Sebuah pendekatan baru.

Ciputat. Gaung Persada Press.

121

SUMBANGAN ISLAM TERHADAP KEBUDAYAAN INDONESIA

(Telaah Kritis Atas Keberagaman dan Keunikan Budaya Jawa)

Oleh : Mustofa Kamal1

ABSTRAK

Artiel ini mencoba menguraikan pandangan budaya jawa dan Islam

sebagai keseluruhan kompleks yang meliputi ilmu pengetahuan,

kepercayaan, seni, hukum, moral, adat-istiadat dan berbagai kemampuan

serta kebiasaan yang diterima manusia sebagai anggota masyarakat.

Salah satu kesuksesan Islamisasi di Jawa adalah Islam tidak saja harus

menjinakkan sasarannya, tetapi juga menjinakkan diri. Benturan dengan

kebudayaan-kebudayaan setempat memaksa Islam untuk mendapatkan

simbol-simbol yang selaras dengan kemampuan penangkapan kultural

dari masyarakat yang ingin dimasukkan ke dalam pangkuan dunia Islam.

Ajaran Islam datang dan menyebar ke tanah Jawa kepada golongan

bangsawan dan rakyat umum secara damai. Bila situasi politik suatu

kerajaan mengalami kekacauan dan kelemahan disebabkan perebutan

kekuasaan di kalangan keluarga istana, maka Islam dijadikan alat politik

bagi golongan bangsawan atau pihak-pihak yang menghendaki

kekuasaan. Mereka berhubungan dengan pedagang-pedagang muslim

yang posisi ekonominya kuat karena menguasai pelayaran dan

perdagangan. Bila kerajaan Islam sudah berdiri, maka penguasanya

melancarkan perang terhadap kerajan non-Islam. Hal ini bukan karena

persoalan agama, tetapi karena didorong politis untuk menguasai

kerajaan di sekitarnya

Kata Kunci : Islam dan Budaya Jawa A. Pendahuluan

Meskipun Islam datang ke kepulauan Nusantara termasuk relatif

lebih lambat daripada kawasan-kawasan lain, tetapi dengan tanpa

goncangan yang berarti agama tersebut diterima dengan baik oleh

penduduknya. Terbukti 87,2 % dari penduduknya beragama Islam

( sensus penduduk tahun 1990 ). Dengan demikian, negeri ini dihuni

komunitas muslim terbesar bila dibandingkan negara-negara Islam

lainnya, yang lebih dahulu menerima Islam dan berlokasi lebih dekat

dengan sumber Islam, yaitu Mekah dan Madinah.

1 Mustofa Kamal, S.S, M.Ag Adalah Dosen Sekolah TinggI Ilmu Tarbiyah (STIT)

Pemalang

122

Para mubaligh dari zaman awal proses Islamisasi tidaklah

memaksakan ajaran dan kaidah serta hukum dalam totalitas. Dalam

proses seperti ini, Islam tidak saja harus menjinakkan sasarannya, tetapi

juga menjinakkan diri. Benturan dengan kebudayaan-kebudayaan

setempat memaksa Islam untuk mendapatkan simbol-simbol yang selaras

dengan kemampuan penangkapan kultural dari masyarakat yang ingin

dimasukkan ke dalam pangkuan dunia Islam, dan dalam keadaan tertentu

membiarkan penafsiran yang mungkin agak terpisah dari wahyu yang

utuh dan abadi. Dengan begini terjadilah keragaman dalam manifestasi

Islam, meskipun semula bertolak dari suatu konsep keutuhan dan

keabadian ajaran.2

Ada dua hal yang perlu dicatat sehubungan dengan adanya

Islamisasi di Jawa. Pertama, agama Hindu, Budha, dan kepercayaan lama

telah berkembang lebih dahulu jika dibandingkan agama Islam. Agama

Hindu dan Budha dipeluk oleh elit kerajaan, sedangkan kepercayaan asli

yang bertumpu pada animisme di peluk oleh kalangan awam. Walaupun

ketiganya berbeda, tetapi semuanya bertumpu pada suatu titik. Semuanya

kental dengan nuansa mistik dan berusaha mencari sangkan paraning

dumadi dan mendambakan manunggaling kawula gusti . Kedua,

meskipun masih diperdebatkan kapan Islam masuk ke Jawa, tetapi

Islamisasi besar-besaran baru terjadi pada abad ke-15 dan ke-16 dengan

ditandai jatuhnya Majapahit, kerajaan Hindu Jawa pada tahun 1478 M,

dan berdirinya Demak, kerajaan Islam Jawa pertama. Dengan demikian,

Islamisasi besar-besaran di Jawa terjadi justru pada saat dunia Islam

mengalami kemunduran dalam banyak hal.3

Islam datang dan menyebar kepada golongan bangsawan dan

rakyat umum secara damai. Bila situasi politik suatu kerajaan mengalami

kekacauan dan kelemahan disebabkan perebutan kekuasaan di kalangan

keluarga istana, maka Islam dijadikan alat politik bagi golongan

bangsawan atau pihak-pihak yang menghendaki kekuasaan. Mereka

berhubungan dengan pedagang-pedagang muslim yang posisi

ekonominya kuat karena menguasai pelayaran dan perdagangan. Bila

kerajaan Islam sudah berdiri, maka penguasanya melancarkan perang

terhadap kerajan non-Islam. Hal ini bukan karena persoalan agama, tetapi

karena didorong politis untuk menguasai kerajaan disekitarnya.

Menurut Uka Tjandrasasmita, saluran-saluran Islamisasi yang

berkembang ada enam yaitu lewat saluran perdagangan, saluran

2 Abdullah Taufik, Sejarah dan Masyarakat, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1987), hal.3 3 Jamil.Abdul dkk, Islam dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta : Gama Media, 2000

hal. VI

123

perkawinan, saluran tasawuf, saluran pendidikan, saluran kesenian dan

saluran politik.4 B. Pengertian Kebudayaan

Kebudayaan adalah semua produk aktifitas intelektual manusia

untuk memperoleh kesejahteraan dan kebahagiaan dunia.5 Taylor

menegaskan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan kompleks yang

meliputi ilmu pengetahuan, kepercayaan, seni, hukum, moral, adat-

istiadat dan berbagai kemampuan serta kebiasaan yang diterima manusia

sebagai anggota masyarakat.6

Paling tidak kebudayaan dapat dilihat dari dua tahap yaitu

kebudayaan sebagai proses dan kebudayaan sebagai suatu produk. Dalam

tahap produk kebudayaan dapat berwujud sebagai (1) gagasan, konsep

atau pikiran, (2) aktifitas dan (3) benda-benda. Kebudayaan dapat pula

merupakan penjelmaan dari nilai-nilai, yaitu nilai teori ( ilmu ), ekonomi,

agama, seni, kuasa ( politik ) dan solidaritas ( sosial ).

Kebudayaan dalam tahap proses tidak lain adalah proses eksistensi.

Kebudayaan adalah proses hominisasi atau penjadian manusia. Dengan

kebudayaan manusia menghayati, menyadari, menyelami dan mengalami

diri sendiri. Cara kita berada yang kita sebut eksistensi itu jangan

dipandang sebagai sesuatu yang statis. Eksistensi selalu kita laksanakan

dengan perbuatan, tetapi tidak ada perbuatan yang terakhir karena sambil

kita berbuat ini, kita sudah meluncur ke perbuatan yang lain. Oleh karena

kehidupan masyarakat adalah berubah terus-menerus, maka kebudayaan

sebagai proses eksistensi diri juga akan mengalami perubahan sejalan

dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat.

Jatuh bangun suatu masyarakat adalah jatuh bangunnya suatu

kebudayaan. 7 C. Sinkretisme dalam Masyarakat Jawa Salah satu sifat masyarakat Jawa adalah bahwa mereka religius

dan bertuhan. Sebelum agama-agama besar datang ke Indonesia,

khususnya Jawa, mereka sudah mempunyai kepercayaan adanya Tuhan

yang melindungi dan mengayomi mereka. Dan, keberagamaan ini

semakin berkualitas dengan masuknya agama-agama besar seperti Hindu,

4 Basuki dkk, Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta : Departemen Agama RI, 1999 hal.

45a 5 Shiddiqi. Nourouzzaman, Jeram-jeram Peradaban Muslim , (Yogyakarta : Pustaka

Pelajar, 1996), hal. 258. 6 A.L. Kroeber dan Clyde Kluckhohn, Cultural ; A Critical Review of Concepts an

Definitions, (Masschusset : The Museum, 1952), hal. .43 7 Asy’arie. Musa, Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al-Quran, (Yogyakarta :

LESFI, 1992), hal. 98

124

Budha, Islam, Katolik, dan Protestan ke Jawa. Namun, dengan

pengamatan selintas dapat diketahui bahwa dalam keberagamaan rata-

rata masyarakat Jawa adalah nominalis, dalam arti mereka tidak

bersungguh-sungguh dalam melaksanakan ajaran agamanya. 8 Dalam hal

ini bisa saja mereka mengaku sebagai orang muslim, yang untuk itu

mereka bersedia dikhitan, membaca syahadat ketika akan melaksanakan

aqad nikah, melakukan sholat Idul Fithri dan sebagainya. Namun, untuk

benar-benar serius dan sugguh-sungguh dalam menjalankan syariat

Islam, seperti sholat lima waktu dengan berjamaah, puasa sebulan penuh

dalam bulan Ramadhan dan amalan-amalan agama lainnya yang relatif

sulit dilakukan dan membutuhkan keseriusan, mereka enggan

mengerjakannya.

Karena kurangnya keseriusan dalam memahami dan

mengamalkan agamanya, berakibat pada beberapa hal, yang antara lain

mudahnya mereka untuk tergiur dalam mengadopsi kepercayaan ritual

dan tradisi agama lain, termasuk tradisi asli pra Hindu- Budha yang

dianggap sesuai dengan alur pemikiran mereka. Oleh karena itu,

meskipun mengaku sebagai seorang muslim, mereka juga meletakkan

kembang setaman dan sesaji lainnya di tempat-tempat khusus pada hari-

hari tertentu, mengadakan ruwatan untuk anak-anaknya yang perlu

diruwat, melakukan laku khusus pada malam satu suro, dan

mengeramatkan keris serta benda-benda pusaka lainnya. Selain itu ketika

anaknya akan menghadapi ujian, ia melakukan tirakat berupa puasa

mutih ziarah dan nyepi di makam leluhurnya yang dulu dikenal

mempunyai kekuatan linuwih serta laku-laku tirakat lainnya. Hal ini

mereka lakukan dalam rangka mencari kedamaian dan ketenangan dalam

menghadapi ketegangan akibat munculnya seribu satu problematika

kehidupan yang menumpuk. Dengan demikian, secara sadar atau tidak,

mereka telah melakukan sinkretisme antara ajaran Islam dengan ajaran-

ajaran dari luar Islam.9 D. Pengaruh Islam terhadap Upacara-upacara Kerajaan dan Karya Sastra Jawa Upacara-upacara Kraton Yogyakarta telah diusahakan

mencerminkan budaya Islam. Kalau kita memahami bahwa budaya

adalah sistem simbol, maka banyak simbol-simbol Islam tersebar dalam

seluruh kehidupan kraton. Upacara besar bagi Kraton Yogyakarta adalah

8 Lihat, Hardjowiraga. Marbangun, Manusia Jawa, (Jakarta : Intidayu Press, 1984),

hal.17 dan lihat juga Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, (Jakarta : Balai Pustaka, 1984),

hal. 310 9 Jamil.Abdul dkk, Islam dan Kebudayaan Jawa, (Yogyakarta : Gama Media, 2000),

hal.85-87

125

Garebeg. Ada tiga macam upacara yaitu Garebeg Pasa untuk merayakan

Idul Fithri, Garebeg Besar untuk merayakan Idul Qurban. Sedangkan

Garebeg Mulud untuk merayakan Maulud Nabi. Khusus yang terakhir,

upacara itu disebut Sekaten, yang konon berasal dari sahadatain atau dua

kalimah syahadat. Upacara ini juga merupakan bagian budaya, artinya

simbol budaya yang diperagakan dalam bentuk upacara. Dalam upacara

ini semua berkumpul, ada ulama ada orang awam, ada pembesar dan

melibatkan orang banyak. Dalam upacara inilah dakwah Islamiyah

dikerjakan, sebab mereka yang belum mengenal Islam pun akan tertarik

dengan adanya keramaian itu.10

Dalam mendekati dan menilai hasil-hasil sastra Islam Kejawen

seperti Serat Ambiya Tapel Adam, Tajussalatin, Babad Demak,

Mingsiling Kitab, naskah Kadis Ngabdul Kadir Jaelani, kitab-kitab sastra

kejawen pada umumnya, bahwa kitab-kitab sastra itu diilhami oleh

unsur-unsur atau pokok-pokok ajaran Islam atau Al-Quran. Namun

unsur-unsur Islam tadi dipahami dengan kacamata alam pikiran kejawen .

Dan pokok-pokok ajaran Islam tadi lalu mengilhami kreasi-kreasi sastra

baru dan dikembangkan menurut alur alam pikiran kejawen. Yakni ajaran

Islam dipahami dan dikembangkan dengan kacamata tradisi kejawen.

Walaupun Islamnya tidak sekental Islam di pesantren, namun sastra dan

budaya Islam kejawen amat berjasa sebagai pengantar bagi para pecinta

budaya dan sastra Jawa untuk mengenal ajaran Islam yang cukup halus.

Maka orang-orang Jawa Islam Kejawen adalah jembatan atau perantara

bagi orang-orang Jawa Kejawen untuk merambat ke Islam yang lebih

kental ke-Islamannya setelah nanti mereka sempat mengaji atau

mempelajari terjemahan kitab-kitab agama.11

E. Peninggalan Arkeologi Islam Sebagian besar peninggalan-peninggalan arkeologi Islam yang

jumlahnya ribuan, termasuk tinggalan arkeologi Islam Nusantara,

merupakan monumen-monumen yang masih berada dalam konteks

sistem perilaku para pendukungnya seperti Masjid dan produk seni

kaligrafi.

10 Sambutan Sri Sultan Hamengku Buwono X dalam buku Islam dan Khazanah

Budaya Kraton Yogyakarta, (Yogyakarta : YKII, 1998) 11 Ibrahim Alfian.Teuku dkk, Islam dan Khazanah Budaya Kraton Yogyakarta,

(Yogyakarta : YKII, 1998), hal.5

126

126

a. Masjid Masjid, yang kerap disebut “ rumah Tuhan “, adalah tempat

umat Islam berhubungan dengan Tuhan, yang sekaligus berfungsi

sebagai tempat menyerahkan atau berserah diri kepada Tuhan. Dalam

konsep Islam, setiap jengkal tanah adalah Masjid, dalam arti bahwa

dimana pun setiap muslim dapat beribadah sholat, baik secara

individual maupun kolektif, berjama’ah. Bentuk arsitektur masjid

umumnya didasarkan prototype Masjid Quba dan Nabawi di Madinah;

sebuah ruangan berdenah bujur sangkar di mana bagian barat biasanya

terdapat satu atau dua buah ceruk, yang biasa digunakan sebagai

tempat untuk imam ketika memimpin shalat, disamping tempat

khutbah. Namun demikian, masjid pada saat yang sama juga

merupakan produk rancang-bangun, dimana struktur dan konstruksi

serta tata letaknya diadaptasikan dengan lingkungan alam dan budaya

masyarakat setempat. Oleh karena itulah di Nusantara tampak masjid-

masjid dengan rancang-bangun bersifat lokal tradisional, seperti

berdiri diatas batu tebal dan berdenah bujur sangkar, berundak-undak,

memiliki pagar keliling, berasitektur rumah joglo, dan bahkan banyak

diantaranya yang beratap tumpang dua tingkat ( Masjid Agung

Cirebon ), lima tingkat ( Masjid Agung Banten ).

Bentuk tiang utama pada dasarnya merupakan penyangga atap

utama dengan empat tiang pokok, yang kemudian dapat pula ditambah

dengan tiang-tiang penyangga lain, termasuk jika dilakukan perluasan

masjid.Dalam Islam, masjid dianggap lebih baik jika dibuat

sesederhana mungkin, terutama dibagian dalam, supaya setiap orang

dapat beribadat dengan khusuk. Tentang hal ini boleh jadi memang

terdapat perbedaan, khususnya masjid-masjid awal di Nusantara.

Masjid Giri, Gresik, dan Sendang Duwur di Lamongan, misalnya,

kaya akan ragam hias floralistik, dan bahkan hadir sejumlah anasir

seni hias yang bercorak Hindu – Budhis, seperti makara, ragam hias

ikal-mursal, gerbang bersayap dan sebagainya.12 b. Kaligrafi Islam Al-Quran adalah kitab suci yang mewujudkan keunikan dan

keluhuran sastra ilahiyyah yang dikandungnya. Al- Quran arenanya

ikut membangun dan mempengaruhi kesadaran estetis setiap muslim.

Pengaruh seni Islam ini melimpah ke dalam seni rupa ( representative

art ), seperti seni dekoratif dan seni kaligrafi, sebagaimana tampak

pada halaman-halaman dan rak-rak buku, sajadah, mimbar masjid,

12 Muarif Ambari.Hasan, Menemukan Peradaban, (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu,

1998), hal.39

127

dinding, lampu serta perabotan lain. Salah satu ciri khusus yang sangat

unik dalam Al-Quran ialah bahwa kitab tersebut dianggap sebagai

identifikasi literal dari eksistensi Alloh Yang Maha Besar. Sehingga,

bahkan sampai sekarang perdebatan terus berlangsung mengenai

apakah Muhammad Rasulullah pernah melarang membuat lukisan

secara besar-besaran yang tidak berada dengan konteks akidah

Keislaman.

Seni kaligrafi pada dasarnya merupakan produk goresan pena

atau tatahan pahat dari seorang seniman, dimana huruf atau aksara

Arab menjadi obyek artistik dan estetik dalam mengekspresikan

gagasan, inspirasi serta kepekaan ekspresi seni yang dimilikinya.

Kaligrafi Islam Indonesia, sebagai elemen eprigrafi , telah menjadi

alat para seniman Nusantara untuk memperlihatkan keindahan huruf

Perso- Arabic, yang dimanifestasikan di berbagai media. Pada

umumnya kaligrafi Islam berisi kutipan dari ayat-ayat suci Al-Quran

seperti basmalah, shalawat Nabi dan sebagainya- yang di wujudkan

dalam berbagai media arsitektur dan dekoratif. Salah satu gaya atau

bentuk paling arkais ialah kaligrafi kufi ( kufique ) yang pusat

perkembangannya di Kufa, Irak pada abad ke-7 M.

Sementara bila dilihat dari wujud seni kaligrafinya, terdapat

setidaknya dua ciri menonjol berikut : bukti-bukti epigrafi yang

menyerap pengaruh unsur-unsur kebudayaan asing, seperti pada nisan

makam Fatimah binti Maemun ( 1082 M ), makam Maulana Malik

Ibrahim, Gresik ( 1419 M), dan lain-lain ; dan bukti epigrafis dan

bentuk nisan sebagai wujud kreatifitas lokal, seperti terlihat pada nisan

makam Zainuddin, Troloyo ( 874 M ).13

F. Kesimpulan Kebudayaan adalah keseluruhan kompleks yang meliputi ilmu

pengetahuan, kepercayaan, seni, hukum, moral, adat-istiadat dan

berbagai kemampuan serta kebiasaan yang diterima manusia sebagai

anggota masyarakat. Salah satu kesuksesan Islamisasi di Jawa adalah

Islam tidak saja harus menjinakkan sasarannya, tetapi juga menjinakkan

diri. Benturan dengan kebudayaan-kebudayaan setempat memaksa Islam

untuk mendapatkan simbol-simbol yang selaras dengan kemampuan

penangkapan kultural dari masyarakat yang ingin dimasukkan ke dalam

pangkuan dunia Islam.

Kebudayaan Jawa telah dipengaruhi oleh Islam dalam berbagai

bidang diantaranya upacara-upacara kraton, karya sastra Jawa,

peninggalan-peninggalan arkeologi Nusantara dan sebagainya. Akan

13 Ibid, hal. 44-45

128

tetapi kebudayaan Jawa telah lebih dulu bercampur dengan kepercayan

animisme, Hindu dan Budha, sehingga terjadilah sinkretisme antara

agama Islam dan kepercayaan-kepercayaan tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

A.L, Kroeber dan Clyde Kluckhohn, Cultural ; A Critical Review of

Concepts an Definitions, Masschusset : The Museum, 1952.

Asy’arie, Musa, Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al-Quran,

Yogyakarta : LESFI, 1992.

Basuki dkk, Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta : Departemen Agama RI,

1999.

Hardjowiraga, Marbangun, Manusia Jawa, Jakarta : Intidayu Press, 1984.

Ibrahim Alfian, Teuku dkk, Islam dan Khazanah Budaya Kraton

Yogyakarta, Yogyakarta : YKII, 1998.

Jamil, Abdul dkk, Islam dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta : Gama Media,

2000.

Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, Jakarta : Balai Pustaka, 1984.

Muarif Ambari, Hasan, Menemukan Peradaban, Jakarta: PT. Logos Wacana

Ilmu, 1998.

Shiddiqi, Nourouzzaman, Jeram-jeram Peradaban Muslim , Yogyakarta :

Pustaka Pelajar, 1996.

Taufik, Abdullah, Sejarah dan Masyarakat, Jakarta : Pustaka Firdaus,

1987.

129

ヱヲヶ

KOMIK SEBAGAI MEDIA PEMBELAJARAN

Oleh : Jubaedahヱ

ABSTRAK

Metode merupakan cara yang digunakan atau ditempuh oleh guru

untuk menciptakan situasi pembelajaran yang benar-benar

menyenangkan dan mendukung bagi kelancaran proses pembelajaran

dan tercapainyainya hasil belajar atau prestasi belajar anak didik yang

berkualitas / bermutu. Kondisi tersebut sebagai bentuk upaya guru untuk

mencapai tujuan pembelajaran. Adapun tujuan pembelajaran dimaksud

antara lain, situasi pembelajaran yang menyenangkan sehingga dapat

mendukung tercapainya belajar siwa. Ada beberapa metode yang dapat

membantu tujuan pembelajaran yang antara lain: metode ceramah,

metode tanya jawab, metode kerja kelompok, metode pemberian tugas,

metode eksperimen, metode demonstrasi dll. Selain metode, alat peraga

pembelajaran juga merupakan komponen-komponen pembelajaran yang

harus diperhatikan dalam proses belajar mengajar. Pentingnya alat

peraga mempunyai arti untuk perantara yang dipakai dalam pengantar

pesan dari pengirim ke penerima pesan. Alat peraga adalah segala alat

fisik yang dapat menjanjikan peran serta perangsang peserta didik untuk

belajar, buku, film, kaset, film, bingkai adalah contoh-contohnya.

Demikian alat peraga tersebut dapat diartikan sebagai perantara atau

pengantar pesan dari pengirim ke penerima pesan. Dalam hal imi

sebagai pengantar pengirim pesan adalah guru, sedangkan pihak yang

menerima adalah siswa. Perantara atau pengantar tersebut berupa alat

fisik misalnya: papan tulis, gambar, lukisan, poster dan lain sebagainya,

yang penting alat fisik tersebut dapat membantu terlaksananya proses

pembelajaran sesuai yang diharapkan.

Media komik sebagai bagaian inovasi proses pembelajaran telah

banyak menjadi alat untuk mencapai tujuan pembelajaran tersebut.

Komik adalah rangkaian gambar-gambar atau foto-foto dan kata-kata

untuk menceritakan atau mengambarkan cerita atau suatu kejadian.

Komik dikategorikan sebagai sastra anak. Genre sastra anak dalam

berbagai hal berbeda dengan sastra dewasa, dan salah satunya adalah

masih dominannya unsur gambar dalam sastra anak. Hal itu terutama

terlihat pada buku-buku “bacaan” sastra anak di usia awal seperti buku

1 Jubaedah, M.Pd adalah Alumnus Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta

Program Pendidikan Dasar Lulus Tahun 2010 kini aktif menjadi Guru MTs Krapyak

Yogyakarta

130

ヱヲΑ

alphabet, buku berhitung, buku konsep, dan buku cerita-bergambar.

Gambar-gambar tersebut juga dominan dalam komik, tetapi gambar-

gambar dan tulisan pada komik berbeda karakteristiknya dengan buku-

buku tersebut.

Kata Kunci : Media, Pembelajaran dan Komik A. Pendahuluan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem

Pendidikan Nasional pada Pasal 3 menyebutkan bahwa pendidikan

nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak

serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan

kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik

agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang

maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan

menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Selanjutnya dalam PP No.19 Tahun 2005 Standar Nasional Pendidikan

(pasal 19 ayat 1) disebutkan bahwa proses pembelajaran pada satuan

pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan,

menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta

memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas dan

kemandirian sesuai bakat, minat dan perkembangan fisik serta psikologis

peserta didik.

Peserta didik pada tingkat sekolah dasar sangat gemar bacaan

yang bergambar seperti halnya komik. Komik merupakan salah satu

bacaan yang paling diminati bukan saja oleh pembaca anak-anak, tetapi

juga orang dewasa. Bacaan komik memotivasi anak dalam membaca

bahkan dapat memberikan inspirasi imajinasi anak sesuai dengan masa

perkembangan anak, perkembangan sekolah dasar adalah masa

perkembangan konkrit.

Bacaan komik hadir dengan keunikannya sendiri, tampil dengan

deretan gambar panel-panel dengan sedikit tulisan tangan yang

ditempatkan dalam balon-balon. Gambar-gambar komik itu sendiri pada

umumnya sudah “berbicara”, dan dibuat menjadi deretan gambar yang

menampilkan alur cerita. Komik dikategorikan sebagai sastra anak.

Genre sastra anak dalam berbagai hal berbeda dengan sastra dewasa, dan

salah satunya adalah masih dominannya unsur gambar dalam sastra

131

ヱヲΒ

anak. Sastra anak terdiri atas berbagai genre dan dapat berwujud lisan

dan tertulis2.

Menurut Asri Budiningsih (2005) menyatakan peranan guru

dalam interaksi pendidikan adalah pengendalian yang meliputi: (1)

menumbuhkan kemandirian dengan menyediakan kesempatan untuk

mengambil keputusan dan bertindak; (2) menumbuhkan kemempuan

mengambil keputusan dan bertindak, dengan meningkatkan pengetahuan

dan keterampilan; (3) menyediakan sistem dukungan yang memberikan

kemudahan belajar agar siswa mempunyai peluang optimal untuk

berlatih.

Keberhasilan pembelajaran sastra pada mata pelajaran bahasa

Indonesia dibentuk oleh banyak faktor, tetapi faktor guru adalah salah

satu yang paling menentukan. Tugas guru di sekolah adalah

mengembangkan potensi peserta didik dengan memberikan stimulus

berupa bahan-bahan yang dirancang dan diperoleh dari lingkungan anak

melalui proses pembelajaran. Pembelajaran sendiri merupakan kegiatan

membimbing kegiatan belajar peserta didik sehingga mampu belajar.

Hal ini senada dengan pernyataan William Burton (Uzer Usman, 2004:

21) “teaching is the guidance of learning activities, teaching is the

purpose of aiding the pupil learn”. Guru merupakan unsur manusiawi

yang sangat dekat hubungannya dengan peserta didik dalam upaya

pendidikan sehari-hari dan merupakan unsur manusiawi yang sangat

menentukan keberhasilan pendidikan. Menurut Rice, guru profesional

adalah guru yang mampu mengelola dirinya dalam melaksanakan tugas-

tugasnya sehari-hari3.

Proses belajar mengajar ditinjau dari ruang lingkupnya terdiri

atas beberapa komponen. Komponen tersebut meliputi tujuan atau

kompetensi, materi, metode dan evaluasi (Rusman, 2007). Komponen-

komponen tersebut harus saling terkait untuk mencapai keberhasilan

sesuai dengan tujuan yang ditetapkan. Keberhasilan dalam mencapai

kompetensi juga tidak lepas dari berbagai hal yang berkaitan dengan

lingkungan, waktu yang dipergunakan untuk belajar sastra, metode dan

media yang dipergunakan, dan lain sebagainya.

Kenyataan yang cukup memprihatinkan mengenai pembelajaran

sastra di sekolah, bukan karena porsinya yang hanya seperenam dari

seluruh materi bidang studi Bahasa Indonesia atau alokasi waktu yang

2 Burhan Nurgiyantoro. (2001). Penilaian dalam pengajaran bahasa dan sastra.

Yogyakarta: BPFE Yogyakarta. Hlm. 407 3 Ibrahim Bafadal, (2006). Manajemen peningkatan mutu sekolah dasar dari

sentralisasi menuju desentralisasi. Jakarta: PT. Bumi Aksara, hal. 5

132

ヱヲΓ

sangat minimal itu, melainkan strategi pembelajara yang dilakukan guru

masih kurang optimal. Metode menghafal misalnya, berupa menghafal

nama-nama para sastrawan, menghafal peristiwa atau kejadian yang

berhubungan dengan kegiatan sastra atau peristiwa sastra, ataupun

menghafal contoh-contoh soal terdahulu dengan jawaban yang tersedia,

yang semata-mata hanya untuk memperoleh nilai bagus pada ujian akhir

ataupun pada kuis-kuis yang diadakan, sungguh-sungguh telah

mengingkari dan sekaligus mengkhianati hakikat sastra, juga pada

perkembangan bahasa anak, kebanyakan anak dapat mengaplikasikan

aturan tata bahasa yang benar.

Essensi pembelajaran sastra bahasa Indonesia adalah

menggembangkan daya kretifitas dan imajinasi anak dalam

perkembangan bahasa. Penggunaan media komik merupakan metode

pendobrak semangat anak dalam membaca sehingga meningkatkan segi

kebahasaan anak. Juga anak dapat mengambil intisari yang terkandung

dalam pembelajaran yang disampaikan. Apresiasi sastra bahasa

indonesia mudah diterima anak dengan menggunakan Media komik.

B. Media Pembelajaran 1. Pengertian Media Pembelajaran Media pembelajaran dapat didefinisikan menjadi beberapa

pengertian yaitu teknologi pembawa pesan (informasi) yang dapat

dimanfaatkan untuk keperluan pembelajaran, sarana fisik

menyampaikan isi/materi pembelajaran, segala sesuatu yang dapat

digunakan untuk menyalurkan pesan dari pengirim ke penerima,

sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan minat

siswa, terjadilah proses belajar.

Media jamak dari kata medium yang artinya komunikasi

(Smoldino, Sharon E, 2008: 6). Kata media berasal dari bahasa

Latin medium yang secara harfiah berarti “tengah” “perantara”

atau “pengantar”. Dalam bahasa Arab, media adalah wasail, yaitu

perantara atau pengantar pesan dari pengirim kepada penerima

pesan (Azhar Arsyad, 2009: 3). Menurut Smoldino (2008: 6)

bahwa media memiliki 6 kategori dasar yaitu: teks, audio, visual,

video, patung, dan orang. Secara khusus, pengertian media dalam

pembelajaran cenderung diartikan sebagai alat grafis, photografis,

atau elektronis untuk menangkap, memproses dan menyusun

kembali informasi visual atau verbal.

Heinich dalam Azhar Arsyad mengemukakan istilah

medium sebagai perantara yang mengantarkan informasi antara

133

ヱンヰ

sumber dan penerima4. Apabila membawa pesan-pesan atau

informasi yang bertujuan instruksional atau mengandung maksud-

maksud pengajaran maka media itu disebut media pembelajaran.

Sedangkan pengertian media menurut Heinich, adalah “a channel

of communication”. Dijelaskan lebih lanjut oleh Heinich, dkk

kalau dalam bahasa Latin media adalah “between” yang sama

halnya dengan “anything that carries information between a

source and receiver”, yaitu bahwa media merupakan pembawa

informasi dari sumber ke penerima. Pembawa informasi ini dapat

berupa manusia dan benda yang mampu memperjelas informasi

sehingga tidak terjadi kesalahan informasi dan diharapkan

informasi yang diterima receiver (penerima) sesuai dengan sumber

(source)5

Menurut Gerlach dalam Wina Sanjaya menyatakan bahwa

secara umum media itu meliputi orang, bahan, peralatan atau

kegiatan yang menciptakan kondisi yang memungkinkan siswa

memperoleh pengetahuan, keterampilan dan sikap. media

pembelajaran adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk

menyalurkan pesan dari pengirim kepada penerima sehingga dapat

merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan minat serta perhatian

siswa sedemikian rupa, sehingga proses belajar mengajar dapat

terjadi6.

Menurut Thiagarajan, Sivasailam (1974: 67) Media

memainkan peran yang sangat penting bagi guru-guru dalam

menangani anak-anak. Media pembelajaran tidak bisa dipisahkan

dari kegiatan belajar mengajar dikarenakan keefektifan

pembelajaran dan tercapainya tujuan dari pembelajaran salah

satunya terkait dengan media pembelajaran. Oleh karena itu, guru

dituntut mampu menguasai dan menggunakannya dalam

pembelajaran dengan menyesuaikan tujuan dan isi pembelajaran

agar mutu dan kualitas pembelajaran tercapai. Namun, peranan

media pembelajaran tidak akan terlihat apabila penggunaannya

tidak sejalan dengan isi dan tujuan pembelajaran yang telah

dirumuskan. Secanggih apapun media tersebut, tidak dapat

4 Azhar Arsyad. (2009). Media pembelajaran. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,

hal. 4 5 Heinich, R. (et al). (1996). Instructional media and technologies for learning

(5th ed.). Englewood cliffs, New Jersey: A Simon & Schuster Company, hal. 54 6 Wina Sanjaya. (2007). Strategi pembelajaran berorientasi standar proses

pendidikan. Jakarta: Kencana, hal. 204

134

ヱンヱ

dikatakan menunjang pembelajaran apabila keberadaannya

menyimpang dari isi dan tujuan pembelajarannya.

2. Landasan Teoretis Penggunaan Media Media diartikan sebagai segala sesuatu yang dapat

digunakan untuk menyalurkan pesan (massage), merangsang

pikiran, perasaan, perhatian dan kemauan sehingga dapat

mendorong proses belajar. Bentuk-bentuk media digunakan untuk

meningkatkan pengalaman belajar agar lebih konkrit.

Pembelajaran dengan menggunakan media tidak hanya sekedar

kata-kata (symbol verbal). Dengan demikian, dapat diharapkan

hasil pengalaman belajar lebih berarti bagi siswa7. Menurut

Smaldino, Sharon E. dkk. (2008: 6) Mengatakan bahwa tujuan

media adalah sebagai fasilitas komunikasi dan belajar. Ada tiga

tingkatan utama modus belajar, yaitu pengalaman langsung

(enactive), pengalaman gambar/piktorial (iconic), dan pengalaman

abstrak (symbolic). Pengalaman langsung adalah mengerjakan,

misalnya arti kata “simpul” dipahami dengan langsung membuat

“simpul”. Pada tingkatan kedua yang diberi label iconic, kata

“simpul” dipelajari dari gambar. Pada tingkatan simbol (tingkatan

ketiga), siswa membaca atau mendengar kata “simpul” dan

mencoba mencocokkannya dengan “simpul” pada image mental

atau mencocokkannya dengan pengalamannya membuat “simpul”.

Ketiga tingkatan ini berinteraksi dalam upaya memperoleh

pengalaman (pengetahuan, keterampilan, sikap) yang baru.

Tingkat pengalaman pemerolehan hasil belajar seperti itu

digambarkan sebagai suatu proses komunikasi. Materi yang ingin

disampaikan dan dapat dikuasai siswa disebut pesan. Guru sebagai

sumber pesan menuangkannya ke dalam simbol-simbol tertentu

(encoding), dan siswa sebagai penerima menafsirkan simbol-

simbol tersebut sehingga dipahami sebagai pesan (decoding). Cara

pengolahan pesan oleh guru dan siswa dapat digambarkan sebagai

berikut:

Pesan diproduksi dengan Pesan dicerna dan

diinterpretasikan

Berbicara, menyanyi, Mendengarkan

7 Sumiati dan Asra. (2008). Metode pembelajaran (cet.ke2). Bandung: CV.

Wahana Prima., hal. 160.

135

ヱンヲ

memainkan alat musik, dsb.

Memvisualisasikan melalui

film, foto, gambar, dsb.

Mengamati

Menulis dan mengarang. Membaca.

Gambar 1 Pesan Dalam Komunikasi8.

Stimulus visual membuahkan hasil belajar yang lebih baik

untuk tugas-tugas mengingat, mengenali, dan menghubungkan

fakta-fakta dan konsep. Di lain pihak, stimulus verbal memberi

hasil belajar yang lebih baik apabila pembelajaran itu melibatkan

ingatan yang berurutan (sekuensial). Ini salah satu bukti dukungan

atas konsep dual codirig hypothesis (hipotesis kodirig ganda).

Konsep itu menyatakan bahwa ada dua sistem ingatan manusia,

satu untuk mengolah simbol-simbol verbal kemudian

menyimpannya dalam bentuk proposisi image, dan yang lainnya

untuk mengolah image nonverbal yang kemudian disimpan dalam

bentuk proposisi verbal. Hal ini belajar menggunakan indra

pandang dan dengan melibatkan indra lainya akan memberikan

keuntungan yang lebih optimal dalam proses pembelajaran9.

Belajar dengan menggunakan indra ganda, yaitu pandang

dan dengar berdasarkan konsep di atas akan memberikan

keuntungan besar bagi siswa. Siswa akan belajar lebih banyak

daripada jika materi pelajaran disajikan hanya dengan stimulus

pandang atau hanya dengan stimulus dengar. Kurang lebih 90%

hasil belajar seseorang diperoleh melalui indra pandang, dan hanya

sekitar 5% diperoleh melalui indra dengar, dan 5% lagi indra

lainnya10

. Sedangkan menurut Dale (1969) memperkirakan

pemerolehan hasil belajar melalui indra pandang berkisar 75%;

indra dengar 13%, dan indra lainnya 12%.

Salah satu gambaran paling banyak dijadikan acuan sebagai

landasan teori penggunaan media dalam proses pembelajaran

adalah Dale's Cone of Experience (Kerucut Pengalaman Dale).

Kerucut ini merupakan elaborasi yang rinci dari konsep tiga

tingkatan pengalaman yang dikemukakan oleh Bruner

sebagaimana diuraikan di atas. Hasil belajar seseorang diperoleh

dimulai dari pengalaman langsung (kongkret) sampai kepada

8 Azhar Arsyad. Op.cit , hal. 8 9 Azhar Arsyad. Op.cit , hal. 9 10 Azhar Arsyad. Op.cit. hal. 10

136

ヱンン

lambang verbal (abstrak). Semakin ke atas di puncak kerucut

semakin abstrak media penyampaian pesan itu. Untuk lebih

jelasnya Dale's Cone of Experience seperti di bawah ini.

Gambar 2. Kerucut Pengalaman Edgar Dale

3. Fungsi dan Manfaat Media Pembelajaran Salah satu fungsi utama media pembelajaran sebagaimana

dikatakan oleh Azhar Arsyad adalah sebagai alat bantu mengajar

yang turut mempengaruhi iklim, kondisi, dan lingkungan belajar

yang ditata dan diciptakan oleh guru11. Selanjutnya Levie & Lentz

dalam Azhar Arsyad mengemukakan empat fungsi media

pembelajaran, khususnya media visual, yaitu: (1) fungsi atensi;

(2) fungsi afektif; (3) fungsi kognitif; dan (4) fungsi

kompensatoris12.

Fungsi atensi media visual merupakan inti, yaitu menarik

dan mengarahkan perhatian siswa untuk berkonsentrasi kepada

isi pelajaran. Seringkali pada awal pelajaran siswa tidak tertarik

11 Azhar Arsyad. Op.cit, hal. 15 12 Azhar Arsyad. Op.cit hal. 16-17

Abstrak

Konkrit

kret

Laマbaミg kata

Laマbaミg ┗isual

Gaマbar Diaマ, Rekaマaミ Radio

Gaマbar Hidup Paマeraミ

Tele┗isi

Karya┘isata

Draマatisasi

Beミda Tiruaミ/Peミgaマataミ

Peミgalaマaミ Laミgsuミg

137

ヱンヴ

dengan materi pelajaran, atau mata pelajaran itu salah satu

pelajaran yang tidak disenangi. Media gambar dapat

menenangkan dan mengarahkan perhatian siswa kepada pelajaran

yang akan diterima.

Fungsi afektik media visual dapat terlihat dari tingkat

kenikmatan siswa ketika belajar atau membaca teks yang

bergambar. Gambar atau lambang visual dapat menggugah emosi

dan sikap siswa.

Fungsi kognitif media visual terlihat dari temuan-temuan

penelitian yang mengungkapkan bahwa lambang visual atau

gambar memperlancar pencapaian tujuan untuk memahami dan

mengingat informasi atau pesan yang terkandung dalam gambar.

Menurut Piaget (1967) dalam Santrock menyatakan bahwa

perkembangan kognisi pada anak usia sekolah dasar berada dalam

tahapan dua masa transisi, yaitu masa transisi dari tahap pra

operasional ke masa operasional konkrit dan masa transisi dari

tahap operasional konkrit ke tahap operasional formal. Skema

perkembangan kognitif pada tahap ini berkaitan dengan

keterampilan berfikir dan pemecahan masalah, seperti

mengklasifikasi, memahami keadaan sesuatu yang tetap atau tidak

berubah, mengurutkan. Juga pada tahap anak sekolah dasar ini,

perkembangan kognisinya memperlihatkan ke arah kemampuan

atau kecakapan berfikir secara simbolik, yaitu berpikir yang lebih

logis, abstrak dan imajinatif. Namun demikian, karena dalam

keadaan transisi perkembangan antara tahap operasional formal ke

tahap operasional konkrit, anak usia sekolah dasar ini masih

memerlukan bantuan objek nyata untuk berpikir tersebut13

.

Fungsi kompensatoris media pembelajaran terlihat dari

media visual yang berfungsi untuk mengakomodasikan siswa yang

lemah dan lamban menerima dan memahami isi pelajaran yang

disajikan dengan teks atau secara verbal.

Manfaat media pembelajaran dikemukakan oleh Nana

Sudjana & Rivai sebagai alasan mengapa media pembelajaran

dapat mempertinggi proses belajar siswa. Manfaatnya antara lain:

(1) pembelajaran akan lebih menarik perhatian siswa sehingga

dapat menumbuhkan motivasi belajar; (2) bahan pembelajaran

13 Santrock, W., J., (2008). Educational psychology (3

rd). New York: McGraw-

Hill, hal. 228

138

ヱンヵ

akan lebih jelas maknanya sehingga dapat lebih dipahami oleh

para siswa, dan memungkinkan siswa menguasai tujuan

pembelajaran lebih baik; (3) metode pembelajaran akan lebih

bervariasi, tidak semata-mata komunikasi verbal melalui

penuturan kata-kata oleh guru sehingga siswa tidak bosan dan

guru tidak kehabisan tenaga apalagi bila guru mengajar untuk

setiap jam pelajaran; dan (4) bisa lebih banyak melakukan

kegiatan belajar, sebab tidak hanya mendengarkan uraian guru

tetapi juga aktivitas lain, seperti mengamati, melakukan,

mendemonstrasikan, dan lain-lain14

.

Kemp dan Dauton mengemukakan bahwa manfaat media

pembelajaran, yaitu: (1) penyampaian pelajaran menjadi lebih

baku; (2) pembelajaran bisa lebih menarik; (3) pembelajaran

menjadi lebih interaktif; (4) lama waktu pembelajaran yang

diperlukan dapat dipersingkat; (5) kualitas hasil belajar dapat

ditingkatkan; (6) pembelajaran dapat diberikan kapan dan dimana

diperlukan terutama jika pembelajaran dirancang untuk

penggunaan secara individu; (7) sikap positif siswa dalam

pembelajaran dapat ditingkatkan; dan (8) Beban guru berubah ke

arah yang positif, artinya guru tidak menempatkan diri sebagai

satu-satunya sumber belajar15

. Media pembelajaran

mempermudah siswa untuk mengomentari cerita, yang bertujuan

agar siswa dapat mengembangakan wawasan berpikir dalam

memahami isi sebuah cerita dan membantu siswa menulis cerita

singkat, bertujuan agar siswa dapat membuat sebuah cerita

dengan cepat berdasarkan gagasan yang ada dalam pikiran16

.

Dari uraian dan pendapat beberapa ahli di atas, dapat

disimpulkan beberapa manfaat praktis dari penggunaan media

pembelajaran di dalam proses pembelajaran, antara lain: (1)

media pembelajaran dapat memperjelas penyajian pesan dan

informasi seiungga dapat memperlancar dan meningkatkan

proses dan hasii belajar siswa; (2) media pembelajaran dapat

meniagkatkan dan mengarahkan perhatian anak sehingga dapat

menumbuhkan motivasi belajar interaksi yang lebih langsung

14 Nana Sudjana & Ahmad Rivai. (2002). Media pengajaran. Jakarta: Sinar Baru

Algensindo, hal. 2 15 Wina Sanjaya. Op.cit. , hal. 210-211 16 Suyatno. (2004). Teknik Pembelajaran Bahasa dan Sastra Berdasarkan

Kurikulum Berbasis Kompetensi. Surabaya: SIC, hal. 140-141

139

ヱンヶ

antara siswa dan lingkungannya, dan kemungkinan siswa untuk

belajar sendiri-sendiri sesuai dengan kemampuan dan minatnya;

dan (3) media pembelajaran dapat memberikan kesamaan

pengalaman kepada siswa tentang peristiwa-peristiwa

dilingkungannya, serta memungkinkan terjadi interaksi langsung

dengan guru.

4. Kriteria Pemilihan Media Pembelajaran Media dipilih untuk kepentingan pembelajaran sebaiknya

memperhatikan kriteria, seperti yang dikemukakan oleh Wina

Sanjaya, yaitu: (1) pemilihan media harus sesuai dengan tujuan

yang ingin dicapai. Apakah tujuan tersebut bersifat kognitif,

afektif, atau psikomotorik. Sertaip media memiliki karakteristik

tertentu yang harus dijadikan sebahai bahan pertimbangan dalam

pemakaiannya; (2) media harus berdasarkan konsep yang jelas;

(3) kemudahan memperoleh media, artinya media yang

diperlukan mudah diperoleh. Media grafis umumnya mudah

dibuat guru tanpa biaya mahal, sederhana, dan praktis

penggunaannya; (4) media harus sesuai dengan gaya belajar

siswa serta gaya kemampuan; dan (5) sesuai dengan karakteristik

siswa, memilih media untuk pendidikan dan pembelajaran harus

sesuai dengan tarap berpikir siswa sehingga makna yang

terkandung di dalamnya dapat dipahami para siswa17.

Pemilihan media pembelajaran yang beraneka ragam itu

dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya dalam pembelajaran.

Berdasarkan kriteria yang telah disebutkan, terdapat beberapa

faktor yang harus dipertimbangkan dalam memilih media

pembelajaran adalah: (1) jenis kemampuan yang akan dicapai

sesuai dengan tujuan; (2) kegunaan dari bebagai jenis media

pembelajarn itu sendiri; (3) kemampuan guru menggunakan suatu

jenis media pembelajaran; (4) fleksibilitas (lentur), tahan lama

dan kenyamanan media pembelajaran; (5) keefektifan suatu

media pembelajaran dibandingkan dengan jenis media

pembelajaran yang lain untuk digunakan dalam pembelajaran

suatu materi pembelajaran tertentu.

5. Media Grafis Komik Sebagai Media Pembelajaran

17 Wina Sanjaya. Op. cit. , hal. 224

140

ヱンΑ

Ada beberapa jenis media pembelajaran yang biasa

digunakan dalam proses pembelajaran bahasa Indonesia. Jenis-

jenis media pembelajaran menurut Suwarna (2005: 133-134),

yaitu: (1) media grafis (dua dimensi), seperti gambar, foto,

grafik, bagan atau diagram, poster, kartun, komik, dan lain-lain;

(2) media tiga dimensi, yaitu dalam bentuk model, seperti model

padat (solid model), model penampang, model susun, model

kerja, diorama, dan lain-lain; (3) media proyeksi seperti slide,

filmstrip, film, OHP, dan lain-lain; dan (4) penggunaan

lingkungan sebagai media pembelajaran.

Abram, Stephen (2008: 25) mengatakan bahwa komik

merupakan storyboarding, salah satu kemampuan yang baik

untuk pembelajaran. Komik merupakan pengaturan grafisyang

mengunakan gambar-gamabr atau ilustrasi. Dalam penelitian ini

adalah media grafis yang menjadi pusat perhatian peneliti,

sedangkan komik merupakan bagian dari grafis. Komik sangat

erat hubungannya dengan kartun. Oleh karena itu, akan

dijelaskan secara berurutan tentang media grafis, kartun dan

komik. a. Grafis Grafis tidak seperti gambar-gambar, grafis menyajikan

dunia secara dekat. Grafis itu gambar-gambar dan kata-kata,

namun dibedakan berdasarkan simbol-simbol yang

mengambarkan fenomena, grafis terdiri dari beberapa bentuk

yaitu: peta, diagram, grafik, table, poster dan kartun (Hackbarth,

Steven., 1996: 105). Media grafis termasuk media visual yang

berfungsi menyalurkan pesan dari sumber pesan ke penerima

pesan. Saluran yang digunakan mengutamakan indera

penglihatan (visual). Agar proses penyampaian pesan dapat

berhasil dan efisien, pesan yang disampaikan dituangkan ke

dalam simbol komunikasi yang digunakan adalah simbol visual.

Simbol-simbol pesan yang dituangkan perlu dipahami terlebih

dahulu (Hujair AH. Sanaky, 2009: 69). b. Kartun Kartun menurut Arief S. Sadiman, sebagai salah satu

bentuk komunikasi grafis adalah suatu gambar interpretatif yang

menggunakan simbol-simbol untuk menyampaikan sesuatu pesan

secara cepat dan ringkas atau sesuatu sikap terhadap orang,

141

ヱンΒ

situasi, dan kejadian-kejadian tertentu18

. Ciri khas kartun

memakai karikatur, perlambang dan humor pilihan. Kekuatan

kartun terletak kekompakannya, penyerderhanaan isinya, dan

perhatian yang sungguh-sungguh yang dapat dibangkitkan secara

tajam melalui gambar-gambar yang mengandung humor. c. Komik Tilley, Carol L. (2008: 24) mengatakan bahwa “comics are

the arrangement of pictures or images and words to narrate a story or dramatize an idea” Komik adalah rangkaian gambar-

gambar atau foto-foto dan kata-kata untuk menceritakan atau

mengambarkan cerita atau suatu kejadian. Komik dikategorikan

sebagai sastra anak. Genre sastra anak dalam berbagai hal berbeda

dengan sastra dewasa, dan salah satunya adalah masih dominannya

unsur gambar dalam sastra anak. Hal itu terutama terlihat pada

buku-buku “bacaan” sastra anak di usia awal seperti buku

alphabet, buku berhitung, buku konsep, dan buku cerita-

bergambar. Gambar-gambar tersebut juga dominan dalam komik,

tetapi gambar-gambar dan tulisan pada komik berbeda

karakteristiknya dengan buku-buku tersebut. Mengingat buku-

buku yang “penuh” gambar tersebut pada umumnya bertujuan

anak untuk merangsang membaca, mengembangkan daya

imajinasi, dan mengembangkan rasa keindahan, sedangkan hal

yang kurang lebih sama juga terjadi pada komik, maka komik pun

dapat dikategorikan sebagai salah satu genre sastra anak19 (Burhan

Nurgiyantoro, 2005: 408).

Penyajian komik mengandung unsur visual dan cerita yang

kuat. Ekspresi yang divisualisasikan membuat pembaca terlibat

secara emosional sehingga membuat pembaca untuk terus

membacanya hingga selesai20

. Selanjutnya dikatakan bahwa

komik, cerita-ceritanya ringkas dan menarik perhatian dilengkapi

dengan aksi, bahkan dalam lembaran surat kabar dan buku-buku,

komik dibuat lebih hidup, serta diolah dengan pemakaian warna-

warna utama secara bebas.

18 Arief S. Sadiman dkk. 2008. Media pendidikan, pengertian, pengembangan

dan pemanfaatannya. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada., hal.. 45. 19 Nurgiyantoro, Burhan. (2005). Sastra anak. Yogyakarta: Gadjah Mada

University Press., hal. 408. 20 Rudi Susilana dan Cepi Riyana..2008. Media pembelajaran hakikat,

pengembangan, pemanfaatan, dan penilaian (cet.ke-2). Bandung: CV. Wacana Prima.,

hal. 187.

142

ヱンΓ

6. Penggunaan Komik dalam Pembelajaran Media pembelajaran dikatakan baik dan berperan apabila

memenuhi syarat keefektifan (penggunaannya mudah, waktu

singkat, mencakup isi dan tempat yang diperlukan tidak terlalu

luas), efesien (optimal dalam penggunaan waktu dan tempat), serta

komunikatif (menimbulkan interaksi aktif siswa dalam belajar

berbahasa baik lisan maupun tulisan). Mengefektifkan penggunaan

media pembelajaran bukanlah hal yang mudah, guru harus mampu

membantu pemahaman konsep peserta didik. Sebagaimana yang

dikatakan oleh Russel : “effective use of media for learning is not

easy. It requires considerable effort with the involved assistance of teachers helping to tune procedures and one's conceptual understanding”21

.

Media pendidikan merupakan suatu bagian integral yang

tidak dapat dipisahkan dari pendidikan di sekolah, oleh karena itu

setiap guru harus memiliki pengetahuan dan pemahaman yang

cukup tentang media pendidikan. Pengetahuan dan pemahaman

tersebut meliputi: (1) media sebagai alat komunikasi guna lebih

mengefektifkan proses pembelajaran; (2) fungsi media dalam

rangka mencapai kompetensi pembelajaran; (3) seluk beluk proses

belajar; (4) hubungan antara metode pembelajaran dan media

pendidikan; (5) nilai atau manfaat media pendidikan dalam

pembelajaran; (6) pemilihan dan penggunaan media pendidikan;

(7) berbagai jenis alat dan teknik media pendidikan; (8) media

pendidikan dalam setiap mata pelajaran; dan (9) usaha inovasi

dalam media pendidikan22.

Luasnya popularitas komik telah mendorong banyak guru

bereksperimen dengan media ini untuk maksud pembelajaran.

Banyak percobaan telah dibuat dalam seni bahasa pada tingkat

SMP dan SMA. Suatu analisis terhadap bahasa komik oleh

Thorndike menunjukkan ada segi yang menarik23

. Dapat

diketahui bahwa anak yang membaca sebuah buku komik setiap

bulan, hampir dua kali banyaknya kata-kata yang dapat dibaca

sama dengan yang terdapat pada buku-buku bacaan yang

21 Russel. (1999). A consideration of multimedia instruction. Diambil

tanggal24Juli2008darihttp://www.education.gsu.edu?spehar/FOCUS?EdPsy/misc/Cons

ider1.htm. 22 Azhar Arsyad, op.cit. 2. 23 Sudjana dan Rivai. Op.cit. hal. 65-68

143

ヱヴヰ

dibacanya setiap tahun terus-menerus. Dapat disimpulkan bahwa

baik jumlah maupun perwatakan dari segi perbendaharaan kata

melengkapi secara praktis dalam membaca untuk para pembaca

muda.

Peranan pokok dari buku komik dalam pembelajaran

adalah kemampuannya dalam menciptakan minat para siswa.

Pengunaan komik dalam pembelajaran sebaiknya dipadu dengan

metode pembelajaran sehingga komik akan dapat menjadi alat

pembelajaran yang efektif. Diharapkan guru bisa membimbing

selera anak-anak, sehingga anak-anak membaca tanpa harus

dibujuk. Melalui bimbingan guru, komik dapat berfungsi sebagai

jembatan untuk menumbuhkan minat baca sesuai dengan taraf

berpikirnya.

Dapat disimpulkan bahwa media grafis komik adalah

media berbasis visual yang mengkombinasikan fakta dan gagasan

secara jelas dan kuat melalui suatu kombinasi atau perpaduan

ungkapan kata-kata dan gambar-gambar yang moderat (gambar

yang berada dalam rentangan abstrak, dan realistis) penuh dengan

humor, dan lucu, dilengkapi dengan aksi, dibuat lebih hidup serta

diolah dengan pemakaian wama-warna utama secara bebas.

7. Model Perencanaan Penggunaan Media Kegiatan utama dalam perencanaan penggunaan media

pembelajaran sebagaimana dikemukakan Heinich adalah: Analyze Learner Characteristic, State Objective, Select or modify media,

Utilize, Require learner response, and Evaluate (ASSURE),

yaitu: (A) menganalisis karakteristik umum kelompok sasaran

yaitu siswa sekolah, anggota organisasi pemuda, perusahaan,

usia, jenis kelamin, latar belakang budaya dan sosial ekonomi,

serta menganalisis karakteristik khusus yang meliputi antara lain

pengetahuan, keterampilan dan sikap awal; (S) menyatakan atau

merumuskan tujuan pembelajaran, yaitu perilaku atau

kemampuan baru (pengetahuan, keterampilan, atau sikap) yang

diharapkan siswa miliki dan kuasai setelah proses pembelajaran

selesai; (S) memilih, memodifikasi, atau merancang dan

mengembangkan materi dan media yang tepat24

. Apabila materi

dan media pembelajaran yang telah tersedia akan dapat

24 Azhar Arsyad. Op. cit., hal. 67-69

144

ヱヴヱ

mencapai tujuan, materi dan media itu sebaiknya digunakan

untuk menghemat waktu, tenaga dan biaya. Selain itu perlu juga

diperhatikan apakah materi dan media itu mampu

membangkitkan minat siswa, memiliki ketepatan informasi,

memiliki kualitas yang baik, memberikan kesempatan bagi

siswa untuk berpartisipasi; (U) menggunakan materi dan media.

Setelah memilih materi dan media yang tepat, diperlukan

persiapan bagaimana dan berapa banyak waktu diperlukannya;

(R) meminta tanggapan dari siswa. Guru sebaiknya mendorong

siswa untuk memberikan respon dan umpan balik mengenai

keefektifan proses pembelajaran. Respon siswa dapat

bermacam-macam seperti mengulangi fakta-fakta,

mengemukakan ikhtisar atau rangkuman pelajaran informasi,

atau menganalisis alternatif pemecahan masalah. Dengan

demikian, siswa akan menampakkan partisipasi yang lebih

besar; (E) mengevaluasi proses belajar. Tujuan utama evaluasi

disini adalah untuk mengetahui tingkat pencapaian siswa

mengenai tujuan pembelajaran, keefektifan media dan lain-lain.

DAFTAR PUSTAKA Ahmad Rohani. (2008). Media instruksional edukatif. Jakarta: Penerbit

Rineka Cipta.

Allyn, Bacon. (1996). Multimedia in the classroom. Massachusetts: A

Simon and Schuster Company.

Amir, H. Suleiman. (1985). Media audiovisual untuk pengajaran,

penerangan, dan penyuluhan. Jakarta: Penerbit PT Gramedia.

Anas Sudijono. (2007). Pengantar evaluasi pendidikan. Jakarta:

RajaGrafindo persada.

Arief S. Sadiman dkk. (2008). Media pendidikan, pengertian,

pengembangan dan pemanfaatannya. Jakarta: PT RajaGrafindo

Persada.

145

ヱヴヲ

____________ (1994). Pengembangan program media instruksional.

Jakarta.: Pustekkom Depdiknas.

.

Azhar Arsyad. (2008). Media pembelajaran. Jakarta: PT Raja Grafindo

Persada.

Budiningsih, Asri. (2005). Belajar dan pembelajaran. Jakarta: Rineka

Cipta

Depdiknas. (2003). Pedoman umum pengembangan sistem penilaian hasil belajar berbasis kompetensi siswa sekolah menengah

pertama (SMP). Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Dasar

dan Menengah: Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama.

____________ (2007). Panduan pengembangan silabus KTSP untuk

mata pelajaran SD/MI.

Harmer, Jeremy. (2001). The practice of English language teaching.

Harlow: Pearon limited edition.

Mahmud Yunus. (2009). Pengendalian mutu pendidikan dasar pada era

otonomi daerah. Diambil tanggal 16 Juli 2009 dari

http://sman1banjar.sch.id/html/index.php?id=artikel&kode=42

Nana Sudjana & Ahmad Rivai. (2002). Media pengajaran. Jakarta: Sinar

Baru Algensindo.

Nana S. Sukmadinata. (2008). Metode penelitian pendidikan. Bandung:

PT Remaja Rosdakarya.

Nurgiyantoro, Burhan. (2001). Penilaian dalam pengajaran bahasa dan

sastra. Yogyakarta: BPFE Yogyakarta.

___________________. (2005). Sastra anak. Yogyakarta: Gadjah Mada

University Press.

Oemar Hamalik. (1989). Media pendidikan. Bandung: Aditya Bakti.

Prayitno. I. An. (1990). Identifikasi penggunaan kamus dalam pengembangan penguasaan kosakata bahasa Inggris mahasiswa jurusan pendidikan bahasa Inggris FPBS IKIP Yogyakarta.

Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni. Institut Keguruan dan

Ilmu Pendidikan.

Richards, J.C., & Willy, A.R. (2003). Methodology in language

teaching: an anthology of current practice. Cambridge:

University Press.

Rudi Susilana dan Cepi Riyana. (2008). Media pembelajaran hakikat,

pengembangan, pemanfaatan, dan penilaian (cet.ke-2). Bandung:

CV. Wacana Prima.

146

ヱヴン

Russel. (1999). A consideration of multimedia instruction. Diambil

tanggal24Juli2008darihttp://www.education.gsu.edu?spehar/FOC

US?EdPsy/misc/Consider1.htm.

Sumiati dan Asra. (2008). Metode pembelajaran (cet.ke2). Bandung:

CV. Wahana Prima. Sugiyono. (2008). Metode penelitian kuantitatif kualitatif dan R & D.

Bandung: Penerbit ALFABETA.

Suyanto. (2003). Perbedaan pengaruh metode pembelajaran discovery dan demonstrasi terhadap hasil belajar IPA ditinjau dari

motivasi belajar siswa, Tesis Magister, tidak diterbitkan,

Universitas Sebelas Maret, Surakarta

Tarigan, H. G. (1986). Pengajaran kosakata. Bandung: Penerbit

Angkasa.

____________ (1993). Strategi pengajaran dan pembelajaran bahasa.

Bandung: Penerbit Angkasa.

Tompkins, Gail E.,& Kenneth, H. (1991). Language arts: contents and

teaching strategies. Merrill: Prentice Hall.

Wina Sanjaya. (2007). Strategi pembelajaran berorientasi standar proses

pendidikan. Jakarta: Kencana