Jurnal

14
ISOLASI ZAT WARNA DARI EKSTRAK ETIL ASETAT DAUN JATI (Tectona grandis Linn. f.) Herlinda Maya Sari, Yohannes Alen, Meri Susanti Faculty of Pharmacy, Andalas University,Padang 25163, Indonesia E-mail address: [email protected] ABSTRAK Telah berhasil dipisahkan tiga zat warna dari ekstrak etil asetat daun jati (Tectona grandis Linn. f.) HMS-09-24-05 berupa kristal jarum merah, HMS-09-36-01 dan HMS-09-32-03 berbentuk amorf merah. Berdasarkan data reaksi kimia dan spektroskopi zat warna ini merupakan golongan kuinon. Hasil penambahan logam pada zat warna HMS-09-24-05 menunjukkan bahwa pada penambahan dengan logam CuSO4 (1250 ppm) menunjukkan perubahan warna menjadi warna ungu dan terdapat endapan, logam ZnCl 3 (1250 ppm) menunjukkan perubahan warna menjadi warna merah muda, logam FeCl 3 (1250 ppm) menunjukkan perubahan warna menjadi warna ungu, dan logam FeSO4 (1250 ppm) menunjukkan perubahan warna menjadi warna ungu dan terdapat endapan. ABSTRACT Three dye stuffs were HMS-09-24-05 crystalline red needles, HMS-09-36-01 and HMS-09-32-03 red amorf, have been successfully separated from the ethyl acetate extract Teak’s leaf (Tectona grandis Linn. f.). Based on their chemical and spectroscopic data the stuff were quinone group. The results by increasing CuSO4 (1250 ppm) metallic to the stuff HMS-09-24-05 showed a purple discoloration and there were precipitated, metallic ZnCl3 (1250 ppm) showed a pink discoloration, metallic FeCl3 (1250 ppm) showed a purple discoloration, and metallic FeSO4 (1250 ppm) showed a purple discoloration and there were precipitated. PENDAHULUAN Kebutuhan akan zat warna semakin meningkat seiring dengan semakin berkembangnya dunia industri. Industri pangan, kosmetik, farmasi dan lainnya menggunakan zat warna untuk membuat tampilan produk mereka menjadi menarik. Menurut Downham dan Collins (2000), secara global penggunaan zat warna pangan diperkirakan mencapai $950 juta dengan jenis sebagai berikut: zat warna sintetis $400 juta, zat warna alami $250 juta (dengan $100 juta di Amerika Serikat), zat warna alami identik $189 juta, dan zat warna karamel $100 juta. Tuntutan konsumen, perubahan sosial dan kemajuan teknologi pada industri olahan pangan meningkatkan pasar zat warna. Perkembangan paling signifikan terjadi pada derivat zat warna alami disebabkan oleh perbaikan kestabilan, serta kecenderungan industri pangan yang bertujuan memenuhi peningkatan pandangan konsumen bahwa yang alami adalah yang terbaik. Ke depannya, diperkirakan zat warna yang berasal dari alam mengalami pertumbuhan terbesar dengan perkiraan nilai pertumbuhan tahunan 5-10%. Zat warna sintetis masih diramalkan meningkat tetapi dengan nilai yang lebih rendah yakni diantara 3-5%. Pencelupan benang dengan tanaman adalah seni kuno yang dipraktekkan sejak zaman dulu. Ada banyak bagian dari tanaman yang dapat digunakan untuk pencelupan benang : akar, kulit kayu, daun, buah, biji, ranting, cabang, dan umbi-umbian, masing- masing mampu memproduksi berbagai warna dengan berbagai mordant dan benang. Meskipun ada banyak cara untuk pewarnaan secara alami, namun percobaan dengan mordant digunakan untuk memberikan variasi pada warna. Mordant dapat berasal dari zat alam organik atau anorganik yang dapat digabungkan dengan bahan pewarna dan digunakan untuk memperbaiki warna dalam produksi warna (Katz, 2011). Tumbuh-tumbuhan, hewan dan mikroorganisme merupakan sumber dari pigmen alami namun hanya sedikit yang tersedia dalam jumlah yang cukup untuk digunakan secara komersial. Tumbuh- tumbuhan dan mikroorganisme merupakan sumber pigmen alami yang dapat diproduksi secara bioteknologi (Chattopadhyay, et al., 2008). Selain itu tumbuhan juga merupakan gudang kimia terkaya, karena banyak komponen kimia yang bermanfaat secara kefarmasian terkandung di dalamnya (Rivai, 2002). Disisi lain, fungsi dan peran setiap komponen kimia tumbuhan belum terungkap seluruhnya. Sementara bukti khasiat dari

description

Jurnal

Transcript of Jurnal

Page 1: Jurnal

ISOLASI ZAT WARNA DARI EKSTRAK ETIL ASETAT

DAUN JATI (Tectona grandis Linn. f.)

Herlinda Maya Sari, Yohannes Alen, Meri Susanti

Faculty of Pharmacy, Andalas University,Padang 25163, Indonesia

E-mail address: [email protected]

ABSTRAK

Telah berhasil dipisahkan tiga zat warna dari ekstrak etil asetat daun jati (Tectona grandis Linn. f.)

HMS-09-24-05 berupa kristal jarum merah, HMS-09-36-01 dan HMS-09-32-03 berbentuk amorf merah.

Berdasarkan data reaksi kimia dan spektroskopi zat warna ini merupakan golongan kuinon. Hasil penambahan

logam pada zat warna HMS-09-24-05 menunjukkan bahwa pada penambahan dengan logam CuSO4 (1250 ppm)

menunjukkan perubahan warna menjadi warna ungu dan terdapat endapan, logam ZnCl3 (1250 ppm)

menunjukkan perubahan warna menjadi warna merah muda, logam FeCl3 (1250 ppm) menunjukkan perubahan

warna menjadi warna ungu, dan logam FeSO4 (1250 ppm) menunjukkan perubahan warna menjadi warna ungu

dan terdapat endapan.

ABSTRACT

Three dye stuffs were HMS-09-24-05 crystalline red needles, HMS-09-36-01 and HMS-09-32-03 red

amorf, have been successfully separated from the ethyl acetate extract Teak’s leaf (Tectona grandis Linn. f.).

Based on their chemical and spectroscopic data the stuff were quinone group. The results by increasing CuSO4

(1250 ppm) metallic to the stuff HMS-09-24-05 showed a purple discoloration and there were precipitated,

metallic ZnCl3 (1250 ppm) showed a pink discoloration, metallic FeCl3 (1250 ppm) showed a purple

discoloration, and metallic FeSO4 (1250 ppm) showed a purple discoloration and there were precipitated.

PENDAHULUAN

Kebutuhan akan zat warna semakin

meningkat seiring dengan semakin

berkembangnya dunia industri. Industri

pangan, kosmetik, farmasi dan lainnya

menggunakan zat warna untuk membuat

tampilan produk mereka menjadi menarik.

Menurut Downham dan Collins (2000), secara

global penggunaan zat warna pangan

diperkirakan mencapai $950 juta dengan jenis

sebagai berikut: zat warna sintetis $400 juta,

zat warna alami $250 juta (dengan $100 juta di

Amerika Serikat), zat warna alami identik

$189 juta, dan zat warna karamel $100 juta.

Tuntutan konsumen, perubahan sosial dan

kemajuan teknologi pada industri olahan

pangan meningkatkan pasar zat warna.

Perkembangan paling signifikan terjadi pada

derivat zat warna alami disebabkan oleh

perbaikan kestabilan, serta kecenderungan

industri pangan yang bertujuan memenuhi

peningkatan pandangan konsumen bahwa yang

alami adalah yang terbaik. Ke depannya,

diperkirakan zat warna yang berasal dari alam

mengalami pertumbuhan terbesar dengan

perkiraan nilai pertumbuhan tahunan 5-10%.

Zat warna sintetis masih diramalkan

meningkat tetapi dengan nilai yang lebih

rendah yakni diantara 3-5%.

Pencelupan benang dengan tanaman

adalah seni kuno yang dipraktekkan sejak

zaman dulu. Ada banyak bagian dari tanaman

yang dapat digunakan untuk pencelupan

benang : akar, kulit kayu, daun, buah, biji,

ranting, cabang, dan umbi-umbian, masing-

masing mampu memproduksi berbagai warna

dengan berbagai mordant dan benang.

Meskipun ada banyak cara untuk pewarnaan

secara alami, namun percobaan dengan

mordant digunakan untuk memberikan variasi

pada warna. Mordant dapat berasal dari zat

alam organik atau anorganik yang dapat

digabungkan dengan bahan pewarna dan

digunakan untuk memperbaiki warna dalam

produksi warna (Katz, 2011).

Tumbuh-tumbuhan, hewan dan

mikroorganisme merupakan sumber dari

pigmen alami namun hanya sedikit yang

tersedia dalam jumlah yang cukup untuk

digunakan secara komersial. Tumbuh-

tumbuhan dan mikroorganisme merupakan

sumber pigmen alami yang dapat diproduksi

secara bioteknologi (Chattopadhyay, et al.,

2008). Selain itu tumbuhan juga merupakan

gudang kimia terkaya, karena banyak

komponen kimia yang bermanfaat secara

kefarmasian terkandung di dalamnya (Rivai,

2002). Disisi lain, fungsi dan peran setiap

komponen kimia tumbuhan belum terungkap

seluruhnya. Sementara bukti khasiat dari

Page 2: Jurnal

komponen kimia tersebut banyak terlihat

seperti pemanfaatannya secara empiris sebagai

obat tradisional (Kardinan dan Taryono,

2003).

Penelitian tentang pigmen alami telah

banyak dilakukan. Diantaranya pigmen alami

yang berasal dari alga hijau (Muntean, et al.,

2007), bunga rosella (Duangmal, et al., 2004),

bunga turi (Saati, et al., 2008), biji kesumba

(Suparmi, et al., 2008) dan daun singkong

(Titihalawa, et al., 2008). Tanaman lain

sebagai penghasil zat warna yang telah dikenal

masyarakat adalah jati (Tectona grandis

Linn.f.). Tanaman Jati (Tectona grandis Linn.

f.) salah satu tanaman penghasil zat warna

yang telah dikenal masyarakat yaitu penghasil

warna kuning alami (Vankar, 2000). Tectona

grandis Linn. f. (Verbenaceae) merupakan

salah satu jenis pohon yang kayunya terkenal

di dunia. Dalam Bahasa Inggris tanaman ini

disebut Teak. Jati biasa ditemukan di daerah

tropis. Keunggulannya yaitu mempunyai

stabilitas dimensi, daya tahan terhadap rayap

dan soliditas tekstur yang tidak gampang

membusuk (Krishna dan Nair, 2010).

Daun jati secara tradisional telah

digunakan oleh masyarakat di daerah Solok

(Sumbar) sebagai pewarna makanan, dengan

cara memasukkan daun jati bersama rebusan

pisang, sehingga rebusan pisang yang biasanya

berwarna kuning menjadi berwarna merah

kecoklatan. Daun jati juga digunakan oleh

masyarakat Yogyakarta dalam pembuatan

gudeg dan sayur asem, sebagai penghasil

warna coklat yang dimasak bersamaan dengan

santan. Daun jati juga digunakan untuk

pembungkus berbagai makanan seperti

pembungkus nasi oleh masyarakat Jamblang,

pembungkus tempe oleh masyarakat

Yogyakarta, Jawa Timur, dan Jawa Tengah,

dan pembungkus daging oleh masyarakat

Sukabumi. Masyarakat Pekalongan, Cirebon

menggunakan akar, kulit dan batang jati

sebagai pewarna batik dan kain tenun

(Mulyani, 2012).

Erinda dan Nonie (2011) telah berhasil

memformulasikan sediaan lipstik dari ekstrak

daun jati. Selanjutnya sekelompok mahasiswa

Institut Pertanian Bogor (IPB) dalam Program

Kreativitas Mahasiswa (PKM) tahun 2010

menggunakan sari daun jati sebagai pewarna

alami gulali (permen) dan ekstrak belimbing

wuluh sebagai jajanan sehat untuk anak.

Pemeriksaan fitokimia ekstrak etanol

daun jati (Tectona grandis Linn. f.)

menunjukkan adanya golongan senyawa

flavonoid, saponin, tanin galat, tanin katekat,

kuinon, dan steroid/triterpenoid (Hartati,

2005). Senyawa fenolik yaitu tanin dan

flavonoid mempunyai potensi sebagai

sitotoksik (Peteros and Myelene, 2010). Uji

stabilitas zat warna daun jati terhadap

pengaruh suhu, cahaya dan pH menunjukkan

bahwa zat warna ini tidak stabil pada

pemanasan, paparan cahaya dan perubahan pH

pada batas pH 11 ( Mulyani, 2012).

Beberapa penelitian aktivitas

farmakologi telah melaporkan bahwa daun jati

mempunyai efek farmakologi sebagai anti

anemia dan penyembuh luka (Goswami, et al.,

2009). Penelitian lain juga melaporkan

penggunaan daun jati untuk pengobatan secara

tradisional yaitu sebagai anti pendarahan

(hemostatik), penyakit kulit, batuk darah

(hemoptisis), anti inflamasi, dan pengobatan

luka (Aradhana, et al., 2010).

Mengingat pemanfaatan daun jati yang

beragam dalam masyarakat yang masih

berdasarkan pengalaman yang turun temurun,

maka diperlukan konfirmasi mengenai masing

– masing zat yang berpotensi dibidang

farmasi, salah satunya adalah zat warna yang

terkandung dalam daun jati sehingga perlu

dilakukan isolasi dan karakterisasi zat warna

dari ekstrak etil asetat daun jati. Metoda isolasi

dilakukan dengan ekstraksi, fraksinasi,

kromatografi kolom dan spektrofotometri.

METODOLOGI PENELITIAN

Alat

Alat-alat yang digunakan untuk

pengerjaan isolasi adalah seperangkat alat

destilasi, seperangkat alat Rotary evaporator

(KWF RE-3000C), corong pisah, kolom

kromatografi, bejana kromatografi lapis tipis,

gelas ukur, tabung reaksi, erlemeyer, pipet

mikro, pipa kapiler, pipet tetes, vial, kertas

saring, corong, pinset, spatel kapas, kertas

kalkir, alumunium foil, timbangan, timbangan

analitik (Mettler PM-200), lampu UV λ366 nm

dan λ254 nm, spektrofotometer Infrared FT IR-

Thermo Scientific® Nicolet iS10.

Bahan

Bahan-bahan yang digunakan: daun

Tectona grandis Linn. f., air suling, n-

heksana, etil asetat, diklorometan, kloroforom,

metanol, aseton, asam asetat 2N, vanilin asam

sulfat, dragendorff, norit, FeSO4, FeCl3, CuSO4,

Page 3: Jurnal

ZnCl3., silika gel 60 (Merck, 0,040-0,063 µm

), dan plat KLT (Merck, Silica gel 60 F 254).

Ekstraksi dan Fraksinasi

Sebanyak 300 gram daun Tectona

grandis Linn. f. segar dipisahkan dari

pengotornya kemudian dirajang dengan pisau

sehingga menjadi potongan kecil. Kemudian

sampel dimaserasi dengan pelarut metanol

sambil sesekali dikocok. Setelah proses

perendaman, keesokan harinya diambil

maseratnya dengan cara disaring dan

perendaman dilakukan sampai empat kali.

Maserat yang didapat diuapkan pelarutnya

secara in vacuo sehingga didapatkan ekstrak

kental.

Fraksinasi dilakukan dengan

penambahan air suling pada ekstrak kental.

Kemudian fraksinasi dilakukan secara

bertingkat menggunakan pelarut dengan

tingkat kepolaran yang berbeda, dan

dipisahkan menggunakan corong pisah.

Fraksinasi diawali dengan pelarut nonpolar (n-

heksana) tiap kalinya sebanyak 500 ml. Proses

ini dilakukan sampai fraksi n-heksana hampir

tidak berwarna, sehingga diperoleh fraksi n-

heksana dan fraksi air. Fraksi n-heksana

digabung dan kemudian diuapkan secara in

vacuo sehingga diperoleh fraksi kental n-

heksana. Fraksinasi dilanjutkan dengan pelarut

semi polar (etil asetat). Proses yang sama

diulangi seperti pada pengerjaan fraksi n-

heksana, sehingga diperoleh fraksi kental etil

asetat dan fraksi sisa.

Dari sampel peneliti sebelumnya telah

dilakukan maserasi sebanyak 250 gram daun

Tectona grandis Linn. f. segar dipisahkan dari

pengotornya kemudian dirajang dengan pisau

sehingga menjadi potongan kecil. Kemudian

sampel dimaserasi dengan pelarut etil asetat

selama lima hari sambil sesekali dikocok.

Setelah lima hari proses perendaman, diambil

maseratnya dengan cara disaring dan

perendaman dilakukan sampai dua kali.

Maserat yang didapat diuapkan pelarutnya

secara in vacuo sehingga didapatkan ekstrak

kental.

Pemisahan dan Pemurnian Zat Warna

Alami dari Daun Tectona grandis Linn. f.

Komponen yang terdapat di dalam

masing-masing fraksi dibandingkan pola KLT

nya, mulai dari maserat etil asetat, fraksi n-

heksana, dan fraksi etil asetat. Dari hasil

penampakan noda di bawah lampu UV,

maserat etil asetat memperlihatkan profil

warna yang berbeda dengan fraksi n-heksana

dan fraksi etil asetat. Berdasarkan analisis

KLT, ekstrak etil asetat memperlihatkan profil

noda yang cukup terpisah dibanding dengan

sistem fraksinasi, maka pengujian selanjutnya

difokuskan pada maserat etil asetat.

Komponen warna pada maserat etil asetat

setelah dipisahkan menggunakan eluen

diklorometan memperlihatkan pemisahan yang

bagus. Kemudian dilakukan pemisahan dengan

menggunakan kolom kromatografi dengan fasa

diam silika gel 60 yang dielusi secara isokratik

dengan eluen diklorometan. Sebanyak 1 gram

maserat etil asetat dibuat preabsorpsi, maserat

etil asetat dilarutkan terlebih dahulu dengan

diklorometan kemudian ditambahkan silika gel

sama banyak dengan berat sampel. Selanjutnya

pelarut diuapkan secara in vacuo sehingga

diperoleh campuran sampel dan silika gel

dalam bentuk kering.

Kromatografi kolom dipersiapkan

dengan cara membuat suspensi silika gel

dengan menggunakan pelarut diklorometan,

kemudian suspensi tersebut dimasukkan ke

dalam kromatografi kolom sambil diketok

perlahan agar silika gel memadat. Kemudian

sampel ditaburkan merata di atas suspensi

silika gel dan dielusi dengan eluen

Diklorometan 2000 ml, Metanol 500 ml.

Fraksi yang keluar ditampung dengan

vial volume + 10 ml. Masing- masing fraksi

hasil kromatografi kolom dimonitor dengan

KLT. Noda yang memberikan Rf sama

digabung. Dari hasil monitor dengan pola

KLT didapatkan 10 subfraksi (HMS-09-17-01

s/d HMS-09-17-10). Setelah ditimbang dan

dimonitor dengan KLT, subfraksi HMS-09-17-

04, HMS-09-17-05, dan HMS-09-17-06

memperlihatkan noda target sehingga perlu di

kromatografi kolom kembali untuk

memisahkan noda yang terdapat pada masing

– masing subfraksi. Subfraksi HMS-09-17-04

dikromatografi kolom dengan cara yang sama

dengan sebelumnya dan dielusi dengan eluen

n-heksana : diklorometan : metanol

3:7:0,2 1000ml, Metanol 200ml.

Fraksi yang keluar ditampung dengan

vial volume + 10 ml. Masing- masing fraksi

hasil kromatografi kolom dimonitor dengan

KLT. Noda yang memberikan Rf sama

digabung. Dari hasil monitor dengan pola

KLT didapatkan 5 subfraksi (HMS-09-18-01

s/d HMS-09-18-05). Proses yang sama

dilakukan terhadap subfraksi HMS-09-17-05

Page 4: Jurnal

dan HMS-09-17-06. Dari hasil monitor dengan

pola KLT subfraksi HMS-09-17-05 didapatkan

3 subfraksi (HMS-09-19-01 s/d HMS-09-19-

03). Dari subfraksi HMS-09-17-06 didapatkan

2 subfraksi (HMS-09-20-01 dan HMS-09-20-

02). Setelah ditimbang dan dimonitor dengan

KLT, subfraksi HMS-09-18-02, HMS-09-19-

01 dan HMS-09-20-01 memperlihatkan noda

target tetapi jumlahnya sangat sedikit, maka

dikromatografi kolom lagi sebanyak 15 gram

maserat etil asetat yang telah dipreabsorpsi.

Pada kromatografi kolom dimasukkan

190 gram silika yang telah di jenuhkan

kemudian ditutup menggunakan kertas saring

dan dipadatkan, dielusi secara SGP ( Step

Gradient Polarity) dengan eluen sebagai

berikut:

n-heksana 100% 1000 ml

n-heksana:diklorometan 50: 50 5500 ml

Diklorometan 100% 2800 ml

Diklorometan : metanol 5 : 95 500 ml

Metanol 100% 500 ml

Fraksi-fraksi yang keluar ditampung

dengan volume + 100 ml. Hasil kromatografi

kolom dimonitor dengan KLT, noda diamati

dengan lampu UV. Noda yang memberikan Rf

sama digabung dan diuapkan. Hasil gabungan

dimonitor pola KLT dan didapat 10 subfraksi

(HMS-09-24-01 s/d HMS-09-24-10). Setelah

dimonitor dengan KLT, subfraksi HMS-09-24-

05, HMS-09-24-07 dan HMS-09-24-08

memperlihatkan noda target. Subfraksi HMS-

09-24-05 telah menunjukkan noda yang murni

secara KLT tetapi subfraksi HMS-09-24-07

dan HMS-09-24-08 perlu dimurnikan kembali

untuk memisahkan noda yang terdapat pada

masing – masing subfraksi. Sebanyak 350 mg

subfraksi HMS-09-24-07 dikromatografi

kolom dengan eluen n-heksana : diklorometan

: metanol, 4 : 6 : 0,1 1000ml, Diklorometan

100% 200ml.

Proses yang sama juga dilakukan

terhadap 320 mg subfraksi HMS-09-24-08

yang dielusi dengan kombinasi eluen yang

sama. Fraksi-fraksi yang keluar ditampung

dengan vial volume + 5 ml. Hasil kromatografi

kolom dimonitor dengan KLT, noda diamati

dengan lampu UV. Noda yang memberikan Rf

sama digabung dan diuapkan.

Dari hasil monitor dengan KLT

subfraksi HMS-09-24-07 diperoleh 10

subfraksi (HMS-09-26-01 s/d HMS-09-26-10)

dan yang menjadi noda target subfraksi HMS-

09-26-05 dan HMS-09-26-06. Dari subfraksi

HMS-09-24-08 didapatkan 6 subfraksi (HMS-

09-27-01 s/d HMS-09-27-06). Dari subfraksi

HMS-09-24-08 diperoleh noda target baru

yaitu subfraksi HMS-09-27-02 dan perlu

dilakukan pengecekan KLT untuk mencari

kombinasi pelarut yang cocok. Setelah

diperoleh kombinasi pelarut yang cocok maka

dilakukan kromatografi kolom kembali

terhadap 24 mg subfraksi HMS-09-27-02

dengan eluen n-heksana : etil asetat : metanol

6 : 4 : 0,1 1000 ml, Diklorometan

100 % 200 ml.

Fraksi yang keluar ditampung dengan

vial volume + 5 ml. Masing- masing fraksi

hasil kromatografi kolom dimonitor dengan

KLT. Noda yang memberikan Rf sama

digabung dan diuapkan. Dari hasil monitor

dengan pola KLT didapatkan 4 subfraksi

(HMS-09-32-01 s/d HMS-09-32-04), dan yang

menjadi noda target adalah subfraksi HMS-09-

32-03.

Pengecekan KLT terhadap subfraksi

HMS-09-32-03, noda diamati dengan lampu

UV. Dari pengamatan dibawah lampu UV

memperlihatkan bahwa subfraksi HMS-09-32-

03 belum murni karena masih terdapat 2 noda,

1 noda menempel di atas dan 1 bawah noda

target, serta masih terdapat ekor pada bagian

bawahnya. Setelah itu dilakukan pengecekan

KLT secara Multiple Developping

System(MDS) dengan kombinasi pelarut yang

sama. Senyawa dielusi sebanyak 5 kali. Setiap

pengelusian noda diamati dan ditandai apakah

noda tersebut dapat dipisahkan atau tidak,

hasilnya belum menunjukkan perubahan

secara signifikan. Kemudian dilakukan

pengecekan KLT dengan kombinasi pelarut

yang sama dengan ditambah 3 tetes asam

asetat 2N. Hasil KLT dimonitor dibawah

lampu UV. Dari hasil monitor terlihat 1 noda

yang masih menempel di atas noda target dan

terdapat 3 noda dibawah noda target dan masih

berekor dan dilakukan pengecekan kembali

secara multiple developping system dan

hasilnya masih sama.

Kromatografi kolom dilanjutkan

terhadap subfraksi HMS-09-26-05 dan HMS-

09-26-06. Sebanyak 20 mg subfraksi HMS-09-

26-05 dikolom dengan eluen n-heksana :

diklorometan : metanol 3 : 7 : 0,2 1000 ml,

Diklorometan 100% 200 ml.

Fraksi yang keluar ditampung dengan

vial volume + 5 ml. Masing- masing fraksi

hasil kromatografi kolom dimonitor dengan

KLT. Noda yang memberikan Rf sama

digabung dan diuapkan. Dari hasil monitor

Page 5: Jurnal

dengan pola KLT didapatkan 6 subfraksi

(HMS-09-34-01 s/d HMS-09-34-06), dan yang

menjadi noda target adalah subfraksi HMS-09-

34-01. Kemudian dilakukan kembali

pengecekan KLT terhadap subfraksi HMS-09-

34-01 tetapi hasilnya masih berekor (tailing).

Kromatografi kolom dilanjutkan

kembali terhadap subfraksi HMS-09-26-06

dengan cara menggunakan silika dari subfraksi

sebelumnya dengan kombinasi pelarut yang

sama. Fraksi – fraksi ditampung dengan vial

volume + 5 ml. Masing- masing fraksi hasil

kromatografi kolom dimonitor dengan KLT.

Noda yang memberikan Rf sama digabung.

Dari hasil monitor dengan pola KLT

didapatkan 5 subfraksi (HMS-09-35-01 s/d

HMS-09-35-05), dan yang menjadi noda target

adalah subfraksi HMS-09-35-01 tetapi

hasilnya masih berekor (tailing). Karena noda

pada HMS-09-34-01 dan HMS-09-35-01 sama

maka hasilnya digabung dan diberi kode

HMS-09-36-01.

Selanjutnya dilakukan pengecekan

terhadap subfraksi HMS-09-20-01 untuk

mendapatkan noda yang berwarna hijau.

Setelah dilakukan pengecekan dengan lampu

UV dengan panjang gelombang panjang

menunjukkan bahwa noda yang berwarna

hijau tersebut berwarna orange kemerah -

merahan dan tidak berfluoresiensi. Selanjutnya

dilakukan pengujian menggunakan norit

dengan cara memasukkan kapas sedikit ke

dalam pipet tetes sampai memadat lalu

dimasukkan norit yang telah diaktifkan

terlebih dahulu, kemudian dimasukkan sedikit

subfraksi yang telah dilarutkan dengan etil

asetat. Larutan yang turun berwarna bening.

Hal ini menunjukkan bahwa noda hijau yang

terdapat pada subfraksi tersebut adalah klorofil

sehingga pengujian terhadap subfraksi HMS-

09-20-01 tidak dapat dilanjutkan.

Dari hasil pemisahan zat warna yang

telah dilakukan, ketiga zat warna yang

diperoleh dibandingkan pola KLT nya dengan

maserat etil asetat untuk mengetahui apakah

ketiga zat warna tersebut merupakan senyawa

artefak atau tidak. Selain itu ketiga zat warna

yang diperoleh juga dibandingkan pola KLT

nya dengan maserat wortel untuk memastikan

apakah zat warna merah yang diperoleh

merupakan kuinon atau β-karoten.

Karakterisasi Senyawa Hasil Pemisahan

Karakterisasi senyawa hasil

pemisahan meliputi pemeriksaan organoleptis,

pemeriksaan kimia, pemeriksaan kromatografi

lapis tipis, spektrofotometer UV-Vis dan

spektrofotometer inframerah.

a. Pemeriksaan organoleptis

Pemeriksaan ini meliputi bentuk dan

warna senyawa hasil pemisahan.

b. Pemeriksaan kimia

Pemeriksaan ini dilakukan dengan

mereaksikan senyawa hasil pemisahan

dengan pereaksi tertentu yang

menunjukkan golongan senyawa kimia

utama.

c. Pemeriksaan Kromatografi Lapis Tipis

(KLT)

Pemeriksaan KLT dilakukan untuk

menunjukkan kemurnian dan penentuan

Rf dari senyawa hasil pemisahan dengan

fasa gerak yang sesuai. Sebagai penampak

noda digunakan lampu UV λ 254 nm.

Noda yang terlihat di bawah UV diukur Rf

nya.

d. Penentuan spektrum UV-Vis

Pemeriksaan spektrum UV-Vis dilakukan

dengan menggunakan alat

spektrofotometer Shimadzu® senyawa

hasil pemisahan dilarutkan dalam metanol

kemudian diukur serapannya.

e. Spektrofotometer Inframerah

Spektrofotometer Inframerah diukur

dengan alat FT-IR-Thermo Scientific®

Nicolet iS10 sampel dilarutkan dalam

metanol kemudian diteteskan pada plat

dan ratakan, kemudian diukur.

Penambahan Logam pada Zat Warna

HMS-09-24-05

Penambahan logam pada zat warna

HMS-09-24-05 ini dilakukan menggunakan

berbagai macam logam dalam bentuk garam,

diantaranya : FeSO4, FeCl3, CuSO4, ZnCl3.

Masing – masing logam dilarutkan dengan

beberapa jenis pelarut. Logam – logam

tersebut larut dengan metanol.

Sebanyak 30 mg zat warna ditimbang

dan dilarutkan ke dalam 12 ml metanol

sehingga diperoleh konsentrasi 2500 ppm.

Dari 12 ml larutan induk diambil 6 ml untuk

diencerkan kembali dengan metanol sehingga

diperoleh konsentrasi 1250 ppm. Pengenceran

dilakukan sampai diperoleh konsentrasi 156.25

ppm. Larutan ini dijadikan sebagai control.

Selanjutnya dibuat kembali larutan induk dan

diencerkan dengan konsentrasi yang sama

dengan larutan induk sebelumnya dan pada

masing – masing tabung reaksi ditambahkan 5

Page 6: Jurnal

mg logam CuSO4 sehingga warnanya berubah

menjadi warna ungu dan terdapat endapan.

Begitu juga terhadap logam ZnCl3,

FeCl3, dan FeSO4 dibuat larutan induk dan

diencerkan dengan konsentrasi yang sama

dengan larutan sebelumnya. Pada masing –

masing tabung reaksi ditambahkan 4 mg

logam ZnCl3 sehingga warnanya berubah

menjadi merah muda. Selanjutnya pada

masing – masing tabung reaksi ditambahkan

pula 2 mg FeCl3 sehingga warnanya berubah

menjadi ungu. Untuk logam FeSO4 dilakukan

pengerjaan yang berbeda dengan logam –

logam sebelumnya, dimana sebanyak 3 mg

logam FeSO4 dilarutkan ke dalam 3 ml

metanol kemudian tambahkan 1 tetes ke dalam

larutan. Warna larutan berubah menjadi ungu

dan terdapat endapan di dalam larutan

tersebut.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

1. Dari 300 gram daun Tectona grandis Linn.

f didapatkan ekstrak kental metanol 89

gram (29,68%). Dari 89 gram ekstrak

kental yang difraksinasi didapatkan fraksi

kental n-heksana 37 gram (41,57%), fraksi

kental etil asetat 29 gram (32,58%) dan

fraksi sisa 23 gram (25,84%).

2. Dari 15 gram maserat kental etil asetat

dapat dipisahkan 3 senyawa yang diberi

kode

a. HMS-09-24-05 dengan pola KLT

memakai eluen n-heksana: DCM:

Metanol 3:7:0,2 yang menunjukkan

Rf 0,72

b. HMS-09-36-01 dengan pola KLT

memakai eluen n-heksana: DCM:

Metanol 3:7:0,2 yang menunjukkan

Rf 0,56

c. HMS-09-32-03 dengan pola KLT

memakai eluen n-heksana: DCM:

Metanol 3:7:0,2 yang menunjukkan

Rf 0,22

3. Senyawa HMS-09-24-05 berupa kristal

merah sebanyak 0,285 gram.

4. Senyawa HMS-09-36-01 berupa amorf

merah sebanyak 0,009 gram.

5. Senyawa HMS-09-32-03 berupa amorf

merah sebanyak 0,012 gram.

6. Hasil pemeriksaan spektrofotometri UV-

Vis dalam pelarut metanol :

Senyawa HMS-09-24-05 menunjukkan

serapan maksimum pada panjang

gelombang 440 nm (Lampiran 15).

7. Hasil pemeriksaan spektrum inframerah

menunjukkan:

Senyawa HMS-09-24-05 memiliki adanya

serapan pada bilangan gelombang (cm-1) :

3343,96 cm-1; 2922,59 cm-1; 1728,87 cm-1;

1599,66 cm-1; 1296,89 cm-1 (Lampiran

16).

8. Hasil penambahan logam pada zat warna

HMS-09-24-05

a. Penambahan dengan logam CuSO4

menunjukkan perubahan warna

menjadi warna ungu dan terdapat

endapan (Lampiran 18).

b. Penambahan dengan logam ZnCl3

menunjukkan perubahan warna

menjadi warna merah muda (Lampiran

19).

c. Penambahan dengan logam FeCl3

menunjukkan perubahan warna

menjadi warna ungu (Lampiran 20).

d. Penambahan dengan logam FeSO4

menunjukkan perubahan warna

menjadi warna ungu dan terdapat

endapan (Lampiran 21).

Pembahasan

Pemisahan zat warna dimulai dari

ekstraksi kandungan kimia utama daun segar

Tectona grandis Linn. f dengan cara maserasi.

Sebelumnya sampel disortir dari pengotor lalu

dirajang halus. Tujuan penghalusan sampel

adalah untuk memperluas permukaan sampel,

sehingga saat direndam dengan metanol

kontak antara pelarut dengan sampel menjadi

lebih besar dan mempermudah pelarutan

senyawa-senyawa yang terkandung di dalam

sampel. Maserasi merupakan metode ekstraksi

yang tergolong mudah dengan alat yang

sederhana dan cocok untuk mengekstrak suatu

komponen kimia yang tidak tahan panas

(Djamal, 1990).

Ekstraksi zat warna dilakukan dengan

cara maserasi menggunakan pelarut metanol

dimana sampel direndam dalam metanol di

dalam botol gelap dan tertutup selama 3 hari

sambil sesekali dikocok. Maserasi juga

dilakukan di tempat yang terlindung dari

cahaya agar terhindar dari kemungkinan

proses degradasi struktur terutama untuk

senyawa bewarna yang memiliki gugus

kromofor yang kurang stabil terhadap paparan

cahaya (Depkes RI, 2000). Proses maserasi

Page 7: Jurnal

diikuti dengan pengocokan untuk meratakan

difusi pelarut. Senyawa metabolit akan larut

karena adanya perbedaan konsentrasi antara

larutan senyawa metabolit yang ada dalam sel

dengan yang di luar sel, larutan yang

konsentrasinya lebih tinggi akan ke luar

(difusi). Setelah tercapai kesetimbangan proses

maserasi diulangi 3 kali atau sampai maserat

yang didapatkan relatif bening atau tidak

berwarna lagi (Harborne, 2006). Maserasi

menggunakan pelarut metanol karena pelarut

ini dapat melarutkan hampir semua senyawa

organik yang ada pada sampel, baik senyawa

polar, semi polar ataupun senyawa nonpolar.

Di samping itu metanol memiliki titik didih

yang relatif rendah (67°C) sehingga mudah

diuapkan dan mengurangi resiko terurainya zat

yang terkandung di dalam maserat saat

penguapan pelarut dan harga pelarut ini pun

relatif lebih murah.

Untuk mengetahui berat total ekstrak

metanol, dilakukan dengan menguapkan

ekstrak sampai masa yang agak kental

kemudian dihitung beratnya, proses penguapan

ini dilakukan dengan cara in vacuo.

Penggunaan alat vakum ini adalah untuk

mengurangi tekanan uap pelarut, sehingga

mengurangi titik didihnya, sehingga pelarut

dapat cepat menguap pada suhu yang relatif

rendah (Harborne, 1987). Dengan demikian

dapat mengurangi resiko terjadinya termolisis

dari sampel karena daun Jati mengandung zat

warna yang kemungkinan bersifat tidak stabil

terhadap pemanasan (Mulyani, 2012).

Fraksinasi dilakukan dengan metoda

fraksinasi cair-cair menggunakan corong

pisah. Metoda ini merupakan metoda

pemisahan komponen kimia di antara dua fase

pelarut yang tidak saling bercampur di mana

sebagian komponen larut pada fase pertama

dan sebagian larut pada fase kedua, lalu kedua

fase yang mengandung zat terdispersi

difraksinasi, didiamkan sampai terjadi

pemisahan sempurna dan terbentuk dua

lapisan fase cair, dan komponen kimia akan

terpisah ke dalam kedua fase tersebut sesuai

dengan tingkat kepolarannya (Hougton and

Amala, 1998).

Sebanyak 89 gram ekstrak kental

metanol daun jati difraksinasi. Fraksinasi

dimulai dari pelarut nonpolar dan diikuti semi

polar. Fraksinasi ini bertujuan untuk

memisahkan senyawa-senyawa yang ada

berdasarkan sifat kepolarannya dimana

senyawa tersebut akan mudah larut di dalam

pelarut yang mempunyai tingkat kepolaran

yang sama atau hampir sama. Penarikan

senyawa non polar digunakan pelarut n-

heksana. Pelarut n-heksana tidak memiliki

gugus yang kaya elektron dan terdiri dari

karbon alifatik yang cukup panjang sehingga

bersifat non polar. Etil asetat akan menarik

senyawa semipolar. Etil asetat terdiri atas

gabungan gugus kaya elektron yaitu gugus

karboksilat sebagai asetat dan gugus etil

sebagai penolak elektron tergabung sebagai

ester pada asetat sehingga bersifat semipolar.

Sementara senyawa polar akan berada difraksi

sisa (fraksi air) yang bersifat polar. Fraksi

yang diperoleh dipekatkan dengan

menggunakan rotary evaporator. Penggunaan

rotary evaporator akan menurunkan titik didih

sehingga dapat mempercepat penguapan

pelarut, sedangkan rotari menyebabkan labu

berputar sehingga tidak terjadi bumping.

Pelarut dapat menguap 30 - 40º C di bawah

titik didih pelarut disebabkan adanya

penurunan tekanan. Dengan bantuan pompa

vakum, uap larutan penyari akan menguap

naik ke kondensor dan mengalami kondensasi

menjadi molekul-molekul cairan yang

ditampung dalam labu penampung (Harborne,

2006). Masing-masing fraksi yang diuapkan

menghasilkan massa kental sehingga

didapatkan berat dari masing-masing fraksi.

Hal ini dilakukan untuk mengetahui berat dan

menghitung rendemen dari masing-masing

fraksi. Setelah dipekatkan dengan rotary

evaporator didapatkan hasil fraksinasi n-

heksana yang berwarna hijau sebanyak 37

gram (41,57%), sedangkan hasil fraksinasi etil

asetat daun Jati berwarna hijau sebanyak 29

gram (32,58%), dan fraksi sisa berwarna

merah kecoklatan sebanyak 23 gram (25,84%).

Berdasarkan rendemen fraksi di atas diketahui

bahwa nilai rendemen paling tinggi terdapat

pada fraksi sisa. Ini berarti komponen kimia

daun Jati kebanyakan merupakan senyawa

golongan polar, seperti protein, karbohidrat

dan enzim (Bruneton, 1999).

Maserat etil asetat, fraksi n-heksana,

dan fraksi etil asetat dikromatografi lapis tipis

untuk mengetahui komposisi kandungan

kimianya. Pemisahan komponen kimia

berdasarkan prinsip adsorbsi dan partisi, yang

ditentukan oleh fase diam (adsorben) dan fase

gerak (eluen). Komponen kimia bergerak naik

mengikuti fase gerak karena daya serap

adsorben terhadap komponen-komponen kimia

tidak sama sehingga komponen kimia dapat

Page 8: Jurnal

bergerak dengan kecepatan yang berbeda

berdasarkan tingkat kepolarannya

(Padmawinata, 1997). Hal inilah yang

menyebabkan terjadinya pemisahan.

Kromatografi lapis tipis dilakukan beberapa

kali menggunakan bermacam eluen dengan

tingkat kepolaran yang berbeda untuk

mendapatkan pelarut yang mampu

memberikan pemisahan yang baik serta noda

zat warna yang bagus. Bercak pada plat KLT

dimonitor di bawah lampu UV 254 nm dan UV

366 nm. Oleh karena fraksi n-heksana dan fraksi

etil asetat hanya memperlihatkan zat warna

kuning dan merah yang diduga senyawa

golongan kuinon sedikit dibandingkan dengan

maserat etil asetat, maka diputuskan pengujian

fokus pada maserat etil asetat.

Setelah diamati di bawah lampu UV254

dan UV366 nm serta diberi reagen penampak

noda diketahui bahwa maserat etil asetat

mengandung kuinon (ditandai dengan noda

berwarna di bawah lampu UV366 nm dan

perubahan warna menjadi ungu setelah

penyemprotan NaOH 1 N), fenol (noda

berwarna biru hitam dengan penambahan

FeCl3), dan terpen ditandai dengan noda

berwarna pink keunguan dengan penambahan

vanilin asam sulfat (Djamal, 1990).

Pemisahan dan pemurnian zat warna

pada maserat etil asetat dilakukan dengan

teknik kromatografi kolom. Sebelum

dilakukan pemisahan menggunakan

kromatografi kolom, terlebih dahulu dilakukan

pemilihan eluen yang cocok untuk

memisahkan senyawa yang terdapat dalam

maserat etil asetat menggunakan KLT. Prinsip

yang sama pada kromatografi lapis tipis dapat

diterapkan pada skala besar untuk pemisahan

campuran dalam kromatografi kolom.

Sebanyak 1 gram ekstrak etil asetat

dipisahkan dengan kromatografi kolom dengan

fase diam silika gel 60 dan dielusi secara

isokatrik. Sistem elusi isokratik merupakan

suatu teknik elusi dimana komposisi fasa

geraknya (eluen) tidak berubah selama analisis

dilakukan sampai sampel terelusi dari

kromatografi kolom. Pengisian fasa diam ke

dalam kromatografi kolom dilakukan dengan

cara basah. Pada cara basah, fasa diam dibuat

bubur terlebih dahulu dengan pelarut yang

akan digunakan yaitu diklorometan untuk fasa

gerak,. Sampel dibuat menjadi serbuk

preabsorbsi dengan menambah silika gel 60

sama banyak dengan berat sampel. Terlebih

dahulu sampel dilarutkan dengan diklorometan

setelah itu baru ditambahkan silika gel 60,

kemudian pelarut diuapkan secara in vacuo

sehingga diperoleh campuran silika gel 60 dan

sampel berupa serbuk kering. Proses

kromatografi kolom dibuat dengan

memasukkan 250 gram silika gel yang telah

disuspensikan dengan cairan pengelusi yaitu

diklorometan 100%, ke dalam kromatografi

kolom kaca sambil diketok-ketok hingga

memadat dan homogen. Sampel yang sudah

jadi serbuk preabsorbsi dituang ke dalam

kromatografi kolom secara hati-hati dan

merata. Sampel dielusi dengan fase gerak

pelarut diklorometan 100% melalui dinding

kromatografi kolom sedikit demi sedikit

hingga masuk semua, dan kran dibuka dan

diatur tetesannya, serta cairan pengelusi

ditambahkan. Eluen yang keluar ditampung

dalam vial sebagai fraksi-fraksi, setiap fraksi

diuapkan pelarutnya sehingga diperoleh fraksi

kental, kemudian dimonitor dengan plat KLT.

Fraksi yang memiliki Rf yang sama digabung.

Dari fraksi – fraksi didapatkan hasil gabungan

sebanyak 10 subfraksi yaitu: HMS-09-17-01

s/d HMS-09-17-10). Setelah dimonitor

menggunakan KLT subfraksi HMS-09-17-04,

HMS-09-17-05, dan HMS-09-17-06

memperlihatkan noda target sehingga perlu

dikromatografi kolom kembali untuk

memisahkan noda yang terdapat pada masing

– masing subfraksi.

Subfraksi HMS-09-17-04 dipisahkan

dengan kromatografi kolom dengan fase diam

silika gel 60 dan dielusi secara isokratik.

Kromatografi kolom dilakukan dengan

memasukkan 50 gram silika gel yang telah

disuspensikan dengan cairan pengelusi yaitu n-

heksana: diklorometan: metanol 3 : 7 : 0,2 ke

dalam kromatografi kolom kaca sambil

diketok-ketok hingga memadat dan homogen.

Sampel yang sudah jadi serbuk preabsorbsi

dituang ke dalam kromatografi kolom secara

hati-hati dan merata. Sampel dielusi dengan

fase gerak pelarut n-heksana: diklorometan:

metanol 3 : 7 : 0,2 melalui dinding

kromatografi kolom sedikit demi sedikit

hingga masuk semua, dan kran dibuka dan

diatur tetesannya, serta cairan pengelusi

ditambahkan. Fraksi – fraksi yang keluar

ditampung dengan vial selanjutnya untuk

fraksi yang lebih polar dielusi dengan eluen

metanol 100%. Setiap fraksi diuapkan

pelarutnya sehingga diperoleh fraksi kental,

kemudian dimonitor dengan plat KLT. Fraksi

yang memiliki Rf yang sama digabung. Dari

Page 9: Jurnal

fraksi – fraksi didapatkan hasil gabungan

sebanyak 5 subfraksi yaitu (HMS-09-18-01 s/d

HMS-09-18-05). Proses pengoloman yang

sama dilakukan terhadap subfraksi HMS-09-

17-05 dan HMS-09-17-06. Dari hasil monitor

dengan pola KLT subfraksi HMS-09-17-05

didapatkan 3 subfraksi (HMS-09-19-01 s/d

HMS-09-19-03) dan dari subfraksi HMS-09-

17-06 didapatkan 2 subfraksi (HMS-09-20-01

dan HMS-09-20-02). Setelah ditimbang dan

dimonitor dengan KLT, subfraksi HMS-09-18-

01, HMS-09-18-02, HMS-09-19-01, dan

HMS-09-20-01 memperlihatkan noda target

tetapi jumlahnya sedikit, maka dilakukan

proses kromatografi kolom lagi dengan sampel

sebanyak 15 gram dengan proses yang berbeda

dengan proses sebelumnya yaitu dengan cara

SGP (Step Gradient Polarity) yakni

menggunakan pelarut dengan kombinasi yang

yang berbeda – beda dan dengan tingkat

kepolaran yang semakin meningkat. Pada

kromatografi kolom dengan cara SGP ini

digunakan sejumlah silika yang dimasukkan

kedalam kromatografi kolom dan dipadatkan

dengan kertas saring. Sampel yang sudah jadi

serbuk preabsorbsi dituang secara hati-hati dan

merata. Kemudian sampel dielusi dengan fase

gerak n-heksana 100 %, n-heksana :

diklorometan 50 : 50, diklorometan 100%,

diklorometan : metanol 5 : 95 dan metanol

100%. Eluen yang keluar ditampung dalam

vial, diuapkan pelarutnya sehingga diperoleh

fraksi kental, kemudian dimonitor dengan plat

KLT. Fraksi yang memiliki Rf yang sama

digabung. Hasil gabungan dimonitor pola KLT

dan didapat 10 subfraksi (HMS-09-24-01 s/d

HMS-09-24-10). Setelah ditimbang dan

dimonitor dengan KLT, subfraksi HMS-09-24-

05, HMS-09-24-07 dan HMS-09-24-08

memperlihatkan noda target. Subfraksi HMS-

09-24-05 telah menunjukkan noda yang murni

secara KLT tetapi subfraksi HMS-09-24-07

dan HMS-09-24-08 perlu dimurnikan kembali

untuk memisahkan noda yang terdapat pada

masing – masing subfraksi.

Subfraksi HMS-09-24-07 dipisahkan

dengan kromatografi kolom dengan fase diam

silika gel 60 dan dielusi secara isokratik.

Kolom dibuat dengan memasukkan 97 gram

silika gel yang telah disuspensikan dengan

cairan pengelusi yaitu n-heksana:

diklorometan: metanol 4 : 6 : 0,1 ke dalam

kromatografi kolom kaca sambil diketok-ketok

hingga memadat dan homogen. Sampel yang

sudah menjadi serbuk preabsorbsi dituang ke

dalam kromatografi kolom secara hati-hati dan

merata. Sampel dielusi dengan fase gerak

pelarut n-heksana: diklorometan: metanol 4 : 6

: 0,1 melalui dinding kromatografi kolom

sedikit demi sedikit hingga masuk semua, kran

dibuka dan diatur tetesannya, serta cairan

pengelusi ditambahkan. Fraksi – fraksi yang

keluar ditampung dengan vial selanjutnya

untuk fraksi yang lebih polar dielusi dengan

eluen diklorometan 100%. Setiap fraksi

diuapkan pelarutnya sehingga diperoleh fraksi

kental, kemudian dimonitor dengan plat KLT.

Fraksi yang memiliki Rf yang sama digabung.

Proses kromatografi kolom yang sama

juga dilakukan terhadap 320 mg subfraksi

HMS-09-24-08 yang dielusi dengan kombinasi

eluen yang sama. Hasil kromatografi kolom

dimonitor dengan KLT, noda diamati dengan

lampu UV. Noda yang memberikan Rf sama

digabung dan diuapkan.

Dari hasil monitor dengan pola KLT

subfraksi HMS-09-24-07 menghasilkan 10

subfraksi (HMS-09-26-01 s/d HMS-09-26-10)

dan yang menjadi noda target adalah subfraksi

HMS-09-26-05 dan HMS-09-26-06. Dari

subfraksi HMS-09-24-08 didapatkan 6

subfraksi (HMS-09-27-01 s/d HMS-09-27-06).

Dari penggabungan subfraksi HMS-

09-24-08 diperoleh noda target baru yaitu

subfraksi HMS-09-27-02 sehingga perlu

dilakukan pengecekan KLT untuk mencari

kombinasi pelarut yang cocok untuk

dikromatografi kolom. Setelah diperoleh

kombinasi pelarut yang cocok maka dilakukan

kromatografi kolom kembali terhadap 24 mg

subfraksi HMS-09-27-02.

Subfraksi HMS-09-27-02 dipisahkan

dengan kromatografi kolom dengan fase diam

silika gel 60 dan dielusi secara isokratik.

Kolom dibuat dengan memasukkan 50 gram

silika gel yang telah disuspensikan dengan

cairan pengelusi yaitu n-heksana : etil asetat :

metanol 6 : 4 : 0,1 ke dalam kromatografi

kolom kaca sambil diketok-ketok hingga

memadat dan homogen. Sampel yang sudah

menjadi serbuk preabsorbsi dituang ke dalam

kolom secara hati-hati dan merata. Sampel

dielusi dengan fase gerak pelarut n-heksana:

etil asetat : metanol 6 : 4 : 0,1 melalui dinding

kromatografi kolom sedikit demi sedikit

hingga masuk semua, kran dibuka dan diatur

tetesannya, serta cairan pengelusi

ditambahkan. Fraksi – fraksi yang keluar

ditampung dengan vial selanjutnya untuk

fraksi yang lebih polar dielusi dengan eluen

Page 10: Jurnal

metanol 100%. Setiap fraksi diuapkan

pelarutnya sehingga diperoleh fraksi kental,

kemudian dimonitor dengan plat KLT. Fraksi

yang memiliki Rf yang sama digabung. Dari

hasil monitor dengan pola KLT didapatkan 4

subfraksi (HMS-09-32-01 s/d HMS-09-32-04),

dan yang menjadi noda target adalah subfraksi

HMS-09-32-03.

Setelah dilakukan pengecekan KLT

terhadap subfraksi HMS-09-32-03, noda

diamati dengan lampu UV. Dari hasil

pengamatan dibawah lampu UV

memperlihatkan bahwa subfraksi HMS-09-32-

03 belum murni karena masih terdapat 2 noda

diatas noda target dengan 1 noda menempel

pada bagian atas dan bawah noda target, serta

masih terdapat ekor pada bagian bawahnya.

Setelah itu dilakukan pengecekan KLT secara

Multiple Developping System (MDS) dengan

kombinasi pelarut yang sama, namun belum

menunjukkan perubahan secara signifikan.

Kemudian dilakukan pengecekan KLT

kembali dengan kombinasi pelarut yang sama

dengan ditambah 3 tetes asam asetat 2N. Hasil

KLT dimonitor dibawah lampu UV. Dari hasil

monitor tersebut didapatkan 1 noda yang

masih menempel pada noda target dan terdapat

3 noda dibawah noda target dan masih

berekor. Selanjutnya dilakukan pengecekan

kembali secara multiple developping system

dan hasilnya masih sama.

Proses kromatografi kolom

dilanjutkan terhadap subfraksi HMS-09-26-05

dan HMS-09-26-06. Sebanyak 20 mg

subfraksi HMS-09-26-05 dikromatografi

kolom dengan eluen n-heksana : diklorometan

: metanol 3 : 7 : 0,2 dan diklorometan 100 %.

Fraksi hasil kromatografi kolom dimonitor

dengan KLT. Noda yang memberikan Rf sama

digabung dan diuapkan. Dari hasil monitor

dengan pola KLT didapatkan 6 subfraksi

(HMS-09-34-01 s/d HMS-09-34-06), dan yang

menjadi noda target adalah subfraksi HMS-09-

34-01. Kemudian dilakukan kembali

pengecekan KLT terhadap subfraksi HMS-09-

34-01 tetapi hasilnya masih berekor (tailing).

Proses kromatografi kolom

dilanjutkan kembali terhadap subfraksi HMS-

09-26-06 dengan menggunakan silika dari

subfraksi sebelumnya dengan kombinasi

pelarut yang sama. Masing- masing fraksi

hasil kromatografi kolom dimonitor dengan

KLT. Noda yang memberikan Rf sama

digabung. Dari hasil KLT didapatkan 5

subfraksi (HMS-09-35-01 s/d HMS-09-35-05),

dan yang menjadi noda target adalah subfraksi

HMS-09-35-01 tetapi hasilnya masih berekor

(tailing). Karena Rf noda pada subfraksi

HMS-09-34-01 dan subfraksi HMS-09-35-01

sama, maka noda digabung dan diberi kode

HMS-09-36-01.

Selanjutnya dikromatografi kolom

subfraksi HMS-09-20-01 untuk mendapatkan

noda yang berwarna hijau. Sebelumnya

dilakukan pengecekan menggunakan lampu

UV dengan panjang gelombang panjang dan

filtrasi menggunakan norit. Dari pengecekan

dengan lampu UV dengan panjang gelombang

panjang menunjukkan noda yang berwarna

hijau tersebut berwarna orange kemerah-

merahan dan tidak berfluoresiensi. Selanjutnya

dilakukan pengujian menggunakan norit

dengan cara memasukkan kapas sedikit ke

dalam pipet tetes sampai memadat lalu

dimasukkan norit dan subfraksi yang telah

dilarutkan dengan etil asetat. Larutan yang

turun berwarna bening. Hal ini menunjukkan

bahwa noda hijau pada subfraksi tersebut

adalah klorofil sehingga pengujian terhadap

subfraksi HMS-09-20-01 tidak dapat

dilanjutkan.

Dari pemisahan zat warna yang telah

dilakukan, hasilnya dibandingkan dengan

maserat etil asetat untuk mengetahui apakah

ketiga zat warna tersebut merupakan senyawa

artefak atau tidak. Selain itu ketiga noda target

yang diperoleh juga dibandingkan pola KLT

nya dengan maserat wortel untuk memastikan

apakah zat warna yang diperoleh merupakan

kuinon atau β-karoten.

Dari subfraksi – subfraksi diatas

diperoleh 3 zat warna. Senyawa pertama

(HMS-09-24-05) berupa cairan bewarna merah

dengan berat 0,285 gram, senyawa kedua

(HMS-09-36-01) cairan bewarna merah

dengan berat 0,009 gram dan senyawa ketiga

(HMS-09-32-03) berupa cairan berwarna

merah sebanyak 0,012 gram. Masing-masing

subfraksi larut dalam etil asetat, kloroform,

diklorometan agak sukar larut dalam n-heksan

dan metanol dan tidak larut dalam air.

Penelitian selanjutnya dilakukan

penambahan logam pada zat warna HMS-09-

24-05. Logam yang digunakan FeSO4, FeCl3, CuSO4, ZnCl3. Dari uji kelarutan yang

dilakukan, logam – logam tersebut larut

dengan metanol.

Sebanyak 30 mg zat warna ditimbang

dan dilarutkan ke dalam 12 ml metanol

sehingga diperoleh konsentrasi 2500 ppm.

Page 11: Jurnal

Dari 12 ml larutan induk diambil 6 ml untuk

diencerkan kembali dengan metanol sehingga

diperoleh konsentrasi 1250 ppm. Pengenceran

dilakukan sampai diperoleh konsentrasi 156.25

ppm. Larutan ini dijadikan sebagai control.

Selanjutnya dibuat kembali larutan induk dan

diencerkan dengan konsentrasi yang sama

dengan larutan induk sebelumnya dan pada

masing – masing tabung reaksi ditambahkan 5

mg logam CuSO4 sehingga warnanya berubah

menjadi warna ungu dan terdapat endapan.

Begitu juga terhadap logam ZnCl3,

FeCl3, dan FeSO4 dibuat larutan induk dan

diencerkan dengan konsentrasi yang sama

dengan larutan sebelumnya. Pada masing –

masing tabung reaksi ditambahkan 4 mg

logam ZnCl3 sehingga warnanya berubah

menjadi merah muda. Selanjutnya pada

masing – masing tabung reaksi ditambahkan

pula 2 mg FeCl3 sehingga warnanya berubah

menjadi ungu. Untuk logam FeSO4 dilakukan

pengerjaan yang berbeda dengan logam –

logam sebelumnya, dimana sebanyak 3 mg

logam FeSO4 dilarutkan ke dalam 3 ml

metanol kemudian tambahkan 1 tetes ke dalam

larutan. Warna larutan berubah menjadi ungu

dan terdapat endapan di dalam larutan

tersebut.

Pewarna mordant memiliki afinitas

untuk serat tekstil. Mereka melekat pada serat

dengan bantuan mordant. Mordant bergabung

dengan oksida logam untuk membentuk warna

larut. Pewarna mordant mungkin alami atau

sintetis. Pewarna mordant alam diperoleh dari

madder, cochineal, kayu bulat. Mordant

sintetis dipasarkan sebagai pasta atau bubuk.

Mordant sebagian besar diterapkan pada serat

alami protein, nilon, dan serat modakrilik

kebanyakan pewarna mordant larut dalam air

dingin. Beberapa mordant yang umum

digunakan diantaranya Al dengan krim dari

tartar biasanya dikombinasikan dengan

perbandingan 3 bagian alumunium pada 1

bagian krim tartar, K2Cr2O7 digunakan untuk

memperdalam warna dan membuat warna

menjadi lebih tahan, FeSO4 dapat membuat

warna menjadi gelap atau tidak tajam, SnCl2

membuat warna menjadi lebih tajam atau lebih

terang dan CuSO4 digunakan untuk membuat

warna hijau menjadi hijau kebiru-biruan pada

pewarnaan serat (Katz, 2011).

Pemeriksaan spektrofotometri UV-Vis

digunakan untuk mengukur panjang

gelombang dan intensitas sinar ultraviolet dan

cahaya tampak yang diabsorbsi oleh sampel

(Sastrohamidjojo, 1992). Senyawa HMS-09-

24-05 dari hasil pemeriksaan spektrofotometri

UV-Vis dalam pelarut metanol menunjukkan

serapan maksimum pada panjang gelombang

493 nm. Dari hasil pengujian menggunakan

spektrum inframerah menunjukkan adanya

serapan pada bilangan gelombang (cm-1 )

3343,96 cm-1 menunjukkan adanya gugus O-

H, pada bilangan gelombang 2922,59 cm-1

menunjukkan adanya gugus C-H, pada

bilangan gelombang 1728,87 cm-1

menunjukkan adanya gugus C=O, pada

bilangan gelombang 1599,66 cm-1

menunjukkan adanya gugus C=C, dan pada

bilangan gelombang 1296,89 cm-1

menunjukkan adanya gugus C-O (Fassenden,

1997).

Dari data di atas diketahui senyawa

tersebut mengandung gugus aromatik, gugus

karbonil dan OH alifatik (Silverstein, et al.,

1986). Senyawa ini merupakan golongan

kuinon yang mempunyai karakteristik gugus

fungsi aromatik dan gugus karbonil (C=O).

Pengujian menggunakan spektrum inframerah

bertujuan untuk mengetahui gugus fungsi

senyawa organik dengan membandingkan

daerah sidik jarinya (Sastroamidjojo, 1991;

Silverstein, et al., 1986).

Dari beberapa penelitian sebelumnya

dengan sampel kayu Jati, telah banyak

diisolasi subfraksi golongan kuinon yang

memiliki karakteristik berupa subfraksi

berwarna. Penelitian lain mengenai stabilitas

zat warna daun Jati juga telah dilakukan dan

berhasil mendapat subfraksi dari fraksi etil

asetat yang relatif murni secara KLT dengan

Rf 0,5 dengan absorpsi pada λmax 498 nm

yang merupakan golongan kuinon. Selain itu

zat warna tersebut tidak stabil pada

pemanasan, paparan cahaya dan perubahan pH

(Mulyani, 2012).

Sumthong (2007) telah berhasil

mengisolasi ekstrak kloroforom-metanol (1:1)

kayu Jati yang berwarna oranye di bawah

lampu UV 366 nm dengan Rf 0,72 eluen

CDCl3-MeOH (19:1) dan Rf 0,44 eluen

petroleum eter-aseton-asam asetat (75:25:1,5).

Spektrum UV memperlihatkan absorpsi pada

λmax (MeOH + 0,1 Asam format): 205, 250 dan

335 nm. Data 1H NMR dan LC/MS

mengidentifikasi subfraksi tersebut adalah

deoxylapachol. Selain itu juga diisolasi

subfraksi yang berwarna oranye kemerahan di

bawah lampu UV 366 nm dengan Rf 0,72

eluen CDCl3-MeOH (19:1) dan Rf 0,37 eluen

Page 12: Jurnal

petroleum eter-aseton-asam asetat (75:25:1,5).

Spektrum UV memperlihatkan absorpsi pada

λmax (MeOH + 0,1 Asam format): 205, 255 dan

330 nm. Data 1H NMR dan LC/MS

mengidentifikasi subfraksi ini adalah

tectoquinone. Subfraksi berwarna kuning

terang juga telah mereka isolasi adalah 2-

hidroksimetil antrakuinon dan 3-OH-

deoxyiisolaphacol.

Lukmandaru dan Ogiyama (2005) juga

telah mengisolasi subfraksi murni dari fraksi

etil asetat kayu Jati yang berupa kristal oranye,

memperlihatkan Rf 0,72 dengan eluen benzen,

titik leleh 1420-1440C. Subfraksi tersebut

adalah dehydro-α-lapachone. Hasil pemisahan

subfraksi yang terdapat pada fraksi etil asetat

kayu Jati memperlihatkan komponen-

komponen dengan karakteristik warna

subfraksi yang hampir mirip dengan

komponen maserat etil asetat daun Jati.

Berdasarkan hasil penelitian di atas, diduga

senyawa-senyawa yang didapat pada maserat

etil asetat ini juga merupakan senyawa

golongan kuinon.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Dari 15 gram ekstrak kental etil asetat

telah dipisahkan 3 subfraksi zat warna yang

diberi kode HMS-09-24-05 berupa kristal

jarum merah, HMS-09-36-01 dan HMS-09-32-

03 berupa amorf merah. Berdasarkan data

reaksi kimia dan spektroskopi zat warna

tersebut merupakan golongan kuinon.

Penambahan logam CuSO4 pada zat

warna HMS-09-24-05 menunjukkan

perubahan warna menjadi warna ungu dan

terdapat endapan, logam ZnCl3 menunjukkan

perubahan warna menjadi warna merah muda,

logam FeCl3 menunjukkan perubahan warna

menjadi warna ungu, dan logam FeSO4

menunjukkan perubahan warna menjadi warna

ungu dan terdapat endapan.

Saran

Disarankan kepada peneliti

selanjutnya untuk melakukan isolasi lanjutan

subfraksi warna dan elusidasi struktur senyawa

hasil isolasi serta uji toksik dari fraksi dan

senyawa hasil isolasi.

DAFTAR PUSTAKA

Abdelmigid, H.M., 2009. Risk Assessment of

Food Coloring Agents on DNA Damage

Using RAPD Markers, The Open

Biotechnology Journal, 3, 96-102.

Adamovics, J.A., 1990. Chromatographic

Analysis of Pharmaceuticals, New York :

Marcell Dekker.

Alen, Y., E. V. Ningrum., dan Rustini., 2004.

Isolasi Senyawa Antimikroba dari Fraksi

Semi-polar Ekstrak Metanol Limbah

Kulit Kayu Jati (Tectona grandis Linn. f.)

II, Jurnal Matematika dan Pengetahuan

Alam (J. JUMPA), Vol 13 (2), pp 136-

138

Aradhana, R., K. N. V. Rao., D. Banji., and R.

K. Chaithanya., 2010. A Review on

Tectona grandis Linn. f. : Chemistry and

Medicinal Uses (Family: Verbenaceae),

Journal of Herbal Tech Industry, 6-9.

Bruneton, J., 1999. Pharmacognosy

Phytochemistry Medicinal Plants, 2 Ed,

translated by Caroline K. Hatton, Paris:

Lavoiser Publishing.

Chattopadhyay, P., S. Chatterjee., and K. S.

Sen., 2008. Biotechnological Potential of

natural food grade biocolorants, African

Journal of Biotechnology, 7 (17), 2972-

2985.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia.,

1974. Farmakope Indonesia, Edisi 3,

Jakarta : Departemen Kesehatan Republik

Indonesia.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia.,

2000. Parameter Standar Umum Ekstrak

Tumbuhan Obat, Jakarta: Direktorat

Jendral Pengawasan Obat dan Makanan,

Direktorat Pengawasan Tradisional.

Departemen Pertanian Republik Indonesia.,

2006. Panduan Pengujian Individual

Kebaruan, Keunikan, Keseragaman, dan

Kestabilan, Pusat Perlindungan Varietas

Tanaman: Departemen Pertanian

Republik Indonesia.

Determan, H., 1969. Gel Chromatography,

Edisi 2, New York : Spinger-Vering,

Berlin – Heidelberg.

Djamal, R., 1990. Prinsip-prinsip Dasar

Bekerja Dalam Bidang Kimia Bahan

Alam, Padang: Universitas Andalas, 29-

56.

Downham, A., and P. Collins., 2000.

Colouring ourfood in the last and next

millennium. International Journal Of

Food Science and Technology, 35, 5-22.

Page 13: Jurnal

Duangmal, K., B. Saicheua., and S.

Sueeprasan., 2004. Proceedings AIC

2004 Color and Paints, Interim Meeting

of The International Color Association.

Erinda dan Nonie., 2011. Formulasi Sediaan

Lipstik Menggunakan Ekstrak Daun Jati

(Tectona grandis L.f.) Sebagai Pewarna,

Abstrak skripsi, Medan: Universitas

Sumatera Utara.

Fessenden, R. J., dan J. S. Fessenden., 1997.

Kimia Organik Jilid 1, Edisi III,

Penerjemah A. H. Pudjaatmaka, Jakarta:

Erlangga, 436-439.

Goswami, D. V., S. A. Nirmal., M. J. Patil., N.

S. Dighe., R. B. Laware., and S. R.

Pattan., 2009. PHCOG REV: An

Overview of Tectona grandis: Chemistry

and Pharmacological Profile, Phcog Rev,

3 (5), 181-185.

Harborne, J. B., 1987. Phytochemical Methods

(Metode Fitokimia), Terjemahan Kokasih

Padmawinata dan Iwang Sudiro,

Bandung: ITB.

Harborne, J. B., 2006. Metoda Fitokimia,

Penuntun Cara Modern Menganalisa

Tumbuhan. Terbitan ke-2, Terjemahan

Kokasih Padmawinata dan Iwang Sudiro,

Bandung: ITB, 109-118.

Hartati, R., S. A. Gana., dan K. Ruslan., 2005.

Telaah flavonoid dan Asam Fenolat

Daun Jati (Tectona grandis L. f.,

verbenaceae), Bandung: Institut

Teknologi Bandung.

Heyne, K., 1987. Tumbuhan Berguna

Indonesia III, Badan Penelitian dan

Pengembangan kehutanan, Departemen

kehutanan.

Hougton, P. J., and R. Amala., 1998.

Laboratorium Handbook for The

Fraktionation of Natural Extracts,

London: Chapman and Hall.

Kardinan, A., dan Taryono., 2003. Mengenal

Lebih Dekat Tanaman Obat Penggempur

Kanker, Jakarta : Agromedia Pustaka.

Katz, D.A., 2011. Natural Plant Dyes, USA :

Department of Chemistry.

Krishna, M., J. Nair., 2010. Antibacterial,

Cytotoxic and Antioxidant Potential of

Different Extracts from Leaf, Bark and

Wood of Tectona grandis, International

Journal of Pharmaceutical Sciences and

Drug Research, 2 (2), 155-158.

Lacret, R., R.M. Varela., J.M.G. Molinillo.,

2011. Anthratectone and Naphthotectone,

Two Quinones from Bioactive Extracts of

Tectona grandis, J. Chem. Ecol., 37,

1341-1348.

Lemmens, R.H.M.J., and N.W Soetjipto.,

1992. Plant Resources of South-East Asia

No. 3, Dye and Tannin-Producing Plants,

Bogor: Prosea.

Mulyani, I., 2012. Ekstraksi, Fraksinasi, dan

Uji Stabilitas Zat Warna Alami Daun Jati

(Tectona grandis L.f.), Padang : Fakultas

Farmasi, Universitas Andalas.

Lukmandaru, G., and K. Ogiyama., 2005.

Bioactive Compounds from ethyl acetat

extract of teakwood (Tectona grandis L.

f).

Muntean, E., V. Bercea., and N. Muntean.,

2007. Small-scale Batch Technology for

Production of Anatural Food Dye from

Green Algae, The Annals of the

University Dunarea de Jos of Galati.

Nayeem, N., and M. D. Karverkar., 2010.

Analgesic and Anti Inflammatory

Activity of The Methanolic Extract of

Frontal Leaves of Tectona grandis,

Internet Journal Pharmacol, 8.

Nayeem, N., and M. D. Karverkar., 2010.

Isolation of Phenolic Compounds from

the methanolic Extract of Tectona

grandis, Research Journal of

Pharmaceutical, Biological and

Chemical Sciences, Vol. 1 (2), 221-225.

Nielsen, S.R., S. Holst., C. Hansen., 2002.

Development in Natural Colourings,

Washington : CRC Press.

Padmawinata, K., 1997. Isolasi (Ekstraksi

Cair-Padat, Fraksinasi Cair-Cair).

Prosiding: Temu Ilmiah Nasional Bidang

Farmasi 7-8 Juli 1997, Vol: 1, Bandung :

ITB.

Pathak., N.K.R. Neogi., P. Biswas., M.

Tripathi., 1988. Journal Indian, Vol 50

(2), J. Pharm. Sci. Inst. Med. Sci, India :

Banaras Hindu University.

Peteros, N. P., and M. U. Myelene., 2010.

Antioxidant and Cytotoxic Activities and

phytochemical Screening of Four

Philippine Medicinal Plants, Journal of

Medicinal Plants Research, Vol. 4 (5),

407-414.

Rachmawati, H., D. Iriantono., C.P. Hansen.,

2002. Informasi Singkat Benih Tectona

grandis. Linn. f, Bandung: Direktorat

Perbenihan Tanaman Hutan.

Rivai, H., 2002. Pengembangan Fitofarmaka

sebagai Salah Satu Komoditas

Agromedisin untuk Pengobatan

Page 14: Jurnal

Alternatif, Makalah Seminar Ilmiah

Nasional PIN VIII dan Munas IX

ISMAFARSI, Padang: Universitas

Andalas.

Saati, E.A., Mujianto, N. Hastuti., 2008.

Pengaruh jenis pelarut pada proses

ekstraksi terhadap kualitas pigmen bunga

turi, Prosiding Seminar Nasional

Pengembangan Agroindustri Berbasis

Sumberdaya Lokal Untuk Mendukung

Ketahanan Nasional, ISBN 978-979-

1366-28-1, 14-25.

Sastroamidjojo, H. 1991. Dasar-dasar

Spektroskopi, Edisi II, Yogyakarta:

Liberti, Universitas Gadjah Mada.

Sastrohamidjojo, H., 1992. Spektroskopi.

Yogyakarta: Penerbit Liberty.

Silverstein, R.M., G.C. Bassier, and T.C.

Morril., 1991. Spectrometric

Identification of Organic Compounds,

Edisi V, Canada: Jhon Wiley and Sons,

INC, 93-96.

Silverstein, R.M., G.C. Bassier, and T.C.

Morril. 1986. Penyidikan Spektrometrik

Senyawa Organik, Edisi IV, Penerjemah:

Hartono, A.J, et al., Bogor : Pertanian

Bogor.

Stahl, E., 1969. Thin Layer Chromatography,

Edisi II, New York : Academic Press Inc.

Stahl, E., 1985. Analisis Obat secara

Kromatografi dan Mikroskopis,

diterjemahkan oleh Kosasih Padmawinata

dan Iwang Sudiro, Bandung: ITB.

Suganda., 1997. Kromatografi Lapis Tipis.

Prosiding: Temu Ilmiah Nasional Bidang

Farmasi, Vol. 1, Bandung 7-8 Juli 1997,

Bandung: ITB.

Sumarna,Y., 2004. Budidaya Jati, Jakarta:

Penebar Swadaya.

Sumthong, P., R.Gonzales, and R. Verpoorte.,

2007. Antimicrobial compounds as side

products from the agricultural processing

industry, Capter 4- Isolation and

Elucidation of quinines in Tectona

grandis- PhD thesis, Faculty of

Pharmacology, University of Leiden.

Suparmi, B. Prasetyo, L. Limantara, 2008,

Kandungan dan isolasi pigmen pada

selaput biji kesumba (Bixa Orellana L.) :

Potensinya sebagai pewarna alami

makanan, Prosiding Seminar Nasional

Pengembangan Agroindustri Berbasis

Sumberdaya Lokal Untuk Mendukung

Ketahanan Nasional, ISBN 978-979-

1366-28-1, 55-69

Sutara, P.K. 2009. Jenis Tumbuhan sebagai

Pewarna Alam pada Beberapa

Perusahaan Tenun di Gianyar, Jurnal

Bumi Lestari Vol. 9 (2), Bali: Universitas

Udayana.

Titihalawa, S., F. S., Rondonuwu., dan H.

Semangun., 2008. Efek penambahan

kapur sirih terhadap kandungan klorofil

dalam daun singkong ( Manihot

Esculenta Crantz), Prosiding Seminar

Nasional Pengembangan Agroindustri

Berbasis Sumberdaya Lokal Untuk

Mendukung Ketahanan Nasional, ISBN

978-979-1366-28-1, 89-98.

Thomson, R.H. 1971. Naturally Occurring

Quinones, Edisi II, New York: Academic

Press, 43-89.

Vankar, P.S., 2000. In charge facility for

ecological and analytical testing (FEAT),

Journal Chemistry of natural dyes, 208,

73-80.

Voigt, R. 1994. Pelajaran Teknologi Farmasi,

Edisi V, diterjemahkan oleh N. Suedana,

Yogyakarta: Gadjah Mada University

Press.

Winarno, F.G., 1997. Keamanan pangan,

Bogor: Naskah Akademis Institut

Pertanian Bogor.

Wirasto., 2008. Analisis Rhodamin B dan

Metanil Yellow dalam Minuman Jajanan

Anak SD di Kecamatan Laweyan

Kotamadya Surakarta dengan Metode

Kromatografi Lapis Tipis, Surakarta:

Universitas Muhammadiyah.

Woodroof, J.G., G.F. Philips., 1975,

Beverages: Carbonated and Non

Carbonated, Connecticut : AVI

Publishing Co. Inc.