Jual Beli Gharar Pada Strata Title di Atas Tanah Hak...
Transcript of Jual Beli Gharar Pada Strata Title di Atas Tanah Hak...
Jual Beli Gharar Pada Pemilikan Strata Title di Atas Tanah
Hak Pengelolaan Lahan (HPL)
(Studi Kasus Analisis Putusan Nomor 205/Pdt.G/2007/PN.Jkt.Pst)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh :
Robbi Ahmadi
NIM. 1113043000048
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019M / 1440H
v
ABSTRAK
Robbi Ahmadi. NIM 1113043000048. Jual Beli Gharar pada Pemilikan Strata
Title di Atas Tanah Hak Pengelolaan Lahan (HPL) (Analisis Putusan Nomor
205/Pdt.G/2007/PN.Jkt.Pst). Program Studi Perbandingan Mazhab, Fakultas
Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1439
H/2019 M. X + 83 halaman + 3 halaman lampiran.
Studi ini bertujuan untuk membahas perkara pemegang Hak Milik Atas
Satuan Rumah Susun yang hak atas tanah bersamanya berada di atas tanah yang
berstatus Hak Guna Bangunan di atas Hak Pengelolaan, dengan menganalisa
putusan pengadilan No.205/Pdt.G/2007/PN.Jkt.Pst. Antara Penghuni apartemen
Mangga Dua Court dengan PT. Duta Pertiwi Tbk. Penelitian ini menggunakan
Metode Penelitian Hukum Normatif. Hasil penelitian menyarankan hendaknya
para pembeli lebih teliti sebelum membeli satuan rumah susun, yang pada
akhirnya terjadi masalah jual beli gharar yang mengakibatkan kerugian dari pihak
pembeli.
Kata Kunci :Rumah Susun, Apartemen, Strata Title, Hak Atas Tanah, Hak
Guna Bangunan, Hak Pengelolaan Lahan, Jual Beli Gharar,
Hukum Islam, Hukum Positif
Pembimbing : Drs. Umar Al-Haddad, M.Ag
Hj. Siti Hanna, S.Ag., Lc., MA
Daftar Pustaka : Tahun 1987 s.d Tahun 2015
Jumlah Buku : 39
Jumlah Jurnal : 4
Jumlah Tesis : 2
Surat Kabar : 4
vi
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, dengan izin Allah SWT saya dapat menyelesaikan tugas akhir
jurusan perbandingan mazhab dan hukum, fakultas syariah dan hukum, UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Saya senang dapat membuat karya tulis ini, walaupun hanya berupa tugas
akhir. Mudah-mudahan ini merupakan langkah awal saya untuk dapat menulis
berbagai disiplin ilmu agama, amin.
Saya sangat berterima kasih kepada pihak-pihak yang terus mendukung,
membantu serta memberikan masukan dalam menyelesaikan skripsi ini. Pada
kesempatan yang berharga ini, saya mengucapkan terima kasih dan penghargaan
sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A selaku Dekan
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, M. Si. selaku Ketua Program
Studi Perbandingan Mazhab. Bapak Hidayatullah S.H, M.H selaku
Sekretaris Program Studi Perbandingan Mazhab.
3. Bapak Dr. Umar Al-Haddad, M.Ag. dan Ibu Hj. Siti Hanna, S.Ag.,
Lc., MA selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan
selama penulisan skripsi ini.
4. Seluruh staf pengajar atau dosen program studi Perbandingan
Mazhab, yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu namun tidak
mengurangi rasa hormat saya. Tak lupa pula kepada pimpinan
perpustakaan yang telah menyediakan fasilitas untuk keperluan
studi kepustakaan.
5. Orang yang banyak berjasa dalam hidup saya, yakni guru tercinta
Bapak KH. Suherman Muchtar, MA,., ayahanda tercinta Bapak H.
Royadi, dan Ibunda tercinta HJ. Mastanah.
6. Keluarga yang selalu mensupport saya yakni Kak Maulana Hamdi,
Kak HJ. Annia Aprilia, dan Ahmad Kamaluddin.
vii
7. Kepada teman-teman angkatan 2013 program studi Perbandingan
Mazhab dan seluruh pihak yang membantu dalam penilisan skripsi
ini.
Saya memohon maaf atas segala kekurangan dan kesalahan dalam penulisan
skripsi ini. Pada dasarnya, kritik dan saran yang membangun dapat diberikan
untuk penyempurnaan skripsi ini. Saya berharap semoga skripsi ini dapat
bermanfaat bagi semua orang. Aamin.
Jakarta, 17 Mei 2019
Robbi Ahmadi
viii
HALAMAN JUDUL ........................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................. iii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................ iv
ABSTRAK ........................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ........................................................................................ vii
DAFTAR ISI ........................................................................................................ viii
PEDOMAN TRANSLITERASI ........................................................................ x
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .......................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ................................................................................ 4
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah ...................................................... 5
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................... 5
E. Review Kajian Terdahulu........................................................................ 6
F. Metode Penelitian Hukum ....................................................................... 8
G. Sistematika Penulisan .............................................................................. 11
BAB II : HAK-HAK ATAS TANAH DAN HAK ATAS SATUAN
RUMAH SUSUN (STRATA TITLE)
A. Pengertian Hak Atas Tanah .............................................................. 12
B. Pengaturan Hak Atas Tanah ............................................................. 14
C. Tinjauan umum mengenai Hak Guna Bangunan
1. Pengertian Hak Guna Bangunan ................................................. 21
2. Subyek Hak Guna Bangunan ...................................................... 22
3. Terjadinya Hak Guna Bangunan ................................................. 22
D. Tinjauan umum mengenai Hak Pengelolaah Lahan
1. Pengertian Hak Pengelolaan ........................................................ 24
2. Kewenangan Pemegang HPL ...................................................... 24
ix
E. Hak dan Kewajiban Konsumen Pembeli Strata Title Dan Hal-Hal
Terlarang Bagi Pelaku Usaha Penjual Strata Title
1. Hak dan Kewajiban Konsumen Atas Pembelian Strata Title ........ 25
2. Hal-Hal Terlarang Bagi Pelaku Usaha Penjual Strata Title .......... 30
BAB III : JUAL BELI GHARAR DALAM PERSPEKTIF ISLAM
A. Pengertian Jual Beli .............................................................................. 32
1. Rukun dan Syarat Jual Beli .............................................................. 33
2. Hukum Jual Beli ............................................................................... 35
3. Bentuk-Bentuk Jual Beli .................................................................. 37
B. Pengertian Jual Beli Gharar .................................................................. 40
C. Bentuk-Bentuk Jual Beli Gharar ........................................................... 41
D. Hukum Jual Beli Gharar ....................................................................... 44
BAB IV : STUDI KASUS ANALISIS PUTUSAN PERKARA NOMOR :
205/PDT.G/2007/PN.JKT.PST
A. Kronologi Permasalahan Yang Terjadi di Apartemen Mangga Dua
Court ..................................................................................................... 48
B. Analisis Pandangan Hukum Positif Terhadap Putusan Nomor
205/Pdt.G/2007/PN.Jkt.Pst ................................................................... 53
C. Analisis Pandangan Hukum Islam Terhadap Putusan Nomor
205/Pdt.G/2007/PN.Jkt.Pst ................................................................... 71
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................................... 74
B. Saran ..................................................................................................... 75
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
x
PEDOMAN TRANSLITERASI
Hal yang dimaksud dengan transliterasi adalah alih aksara dari tulisan asing
(terutama Arab) ke dalam tulisan Latin. Pedoman ini diperlukan terutama bagi
mereka yang dalam teks karya tulisnya ingin menggunakan beberapa istilah Arab
yang belum dapat diakui sebagai kata bahasa Indonesia atau lingkup masih
penggunaannya terbatas.
a. Padanan Aksara
Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara
Latin:
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
ا tidak dilambangkan
بB Be
تT Te
ثTs te dan es
جJ Je
حH ha dengan garis bawah
خKh ka dan ha
دD De
ذDz de dan zet
رR Er
زZ Zet
سS Es
شSy es dan ye
xi
صS es dengan garis bawah
ضD de dengan garis bawah
طT te dengan garis bawah
ظZ zet dengan garis bawah
ع
koma terbalik di atas hadap
kanan
غGh ge dan ha
فF Ef
قQ Qo
كK Ka
لL El
مM Em
نN En
وW We
هH Ha
ء Apostrop
يY Ya
b. Vokal
Dalam bahasa Arab, vokal sama seperti dalam bahasa Indonesia,
memiliki vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau
diftong. Untuk vokal tunggal atau monoftong, ketentuan alih
aksaranya sebagai berikut :
xii
Tanda Vokal
Arab
Tanda Vokal
Latin Keterangan
A Fathah ــــــــــ
I Kasrah ــــــــــ
U Dammah ــــــــــ
Sementara itu, untuk vokal rangkap atau diftong, ketentuan alih
aksaranya sebagai berikut:
Tanda Vokal
Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ي___ Ai a dan i
و___ Au a dan u
c. Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa
Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
Tanda Vokal
Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
 a dengan topi diatas ـــــا
Î i dengan topi atas ـــــى
Û u dengan topi diatas ـــــو
d. Kata Sandang
Kata sandang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan huruf
alif dan lam )ال(, dialihaksarakan menjadi huruf “l” (el), baik diikuti
huruf syamsiyyah atau huruf qamariyyah. Misalnya:
اإلجثهاد = al-ijtihâd
الرخصة = al-rukhsah, bukan ar-rukhsah
xiii
e. Tasydid (Syaddah)
Dalam alih aksara, syaddah atau tasydid dilambangkan dengan
huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah.
Tetapi hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah
ini terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf
syamsiyyah. Misalnya: الشفعة = al-syuî ‘ah, tidak ditulis asy-syuf ‘ah.
f. Ta Marbutah
Jika ta marbutah terdapat pada kata yang berdiri sendiri (lihat
contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2), maka
huruf ta marbutah tersebut dialihaksarakan menjadi huruf “h” (ha).
Jika huruf ta marbutah tersebut diikuti dengan kata benda (ism), maka
huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf “t” (te) (lihat contoh 3).
No Kata Arab Alih Aksara
syarî ‘ah شريعة 1
al- syarî ‘ah al-islâmiyyah الشريعة اإلسالمية 2
Muqâranat al-madzâhib مقارنة المذاهب 3
g. Huruf kapital
Walau dalam bahasa Arab tidak dikenal adanya huruf kapital,
namun dalam transliterasi, huruf kapital ini tetap digunakan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan
(EYD). Perlu diperhatikan bahwa jika nama diri didahului oleh kata
sandang, maka huruf yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf
awal nama diri tersebut, bukan huruf awal kata sandangnya.
Misalnya, البخاري = al-Bukhari.
Beberapa ketentuan lain dalam EYD juga dapat diterapkan dalam
alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring atau
cetak tebal. Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama
yang berasal dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak
dialihaksarakan meski akar kata nama tersebut berasal dari bahasa
xiv
Arab. Misalnya: Nuruddin al-Raniri, tidak ditulis Nur al-Din al-
Raniri.
h. Cara Penulisan Kata
Setiap kata, baik kata kerja (fi’il), kata benda (ism) atau huruf
(harf), ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih
aksara dengan berpedoman pada ketentuan-ketentuan di atas:
No Kata Arab Alih Aksara
al-darûrah tubîhu al-mahzûrât الضرورة تبيح احملظورات 1
al-iqtisâd al-islâmî اإلقتصاد اإلسالمي 2
usûl al-fiqh أصول الفقه 3
al-‘asl fi al-asyyâ’ al-ibâhah األصل يف األشياء اإلباحة 4
al-maslahah al-mursalah املصلحة املرسلة 5
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perumahan merupakan kebutuhan dasar manusia, baik untuk tempat tinggal,
tempat usaha, perkantoran dan lain sebagainya. Namun demikian, belum semua
anggota masyarakat dapat menikmati dan memiliki rumah yang layak, sehat, aman
dan serasi. Oleh karena itu upaya pembangunan perumahan dan pemukiman terus
ditingkatkan untuk menyediakan jumlah perumahan yang makin banyak dan dengan
harga terjangkau.1
Rumah susun sering kita jumpai di kota-kota yang padat penduduknya terutama
di Jakarta. Pembangunan perumahan yang dilakukan oleh pemerintah maupun
pengembang merupakan upaya untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia.
Pembangunan perumahan atau hunian yang berbentuk rumah susun atau apartemen
yang dapat mengurangi penggunaan tanah dan membuat ruang terbuka yang lebih
lega merupakan salah satu alternatifnya.2 Sebidang tanah dapat digunakan secara
optimal untuk menjadi tempat tinggal bertingkat yang dapat menampung sebanyak
mungkin orang melalui pembangunan rumah susun. Optimasi penggunaan tanah
secara vertical sampai beberapa tingkat akan lebih efektif daripada optimasi tanah
secara horizontal.3
Pembangunan rumah susun pada akhirnya dinilai merupakan solusi alternative
menyelesaikan masalah kebutuhan perumahan dan permukiman di daerah perkotaan
yang jumlah penduduknya terus meningkat, karena pembangunan rumah susun dapat
mengurangi penggunaan tanah, membuat ruang-ruang terbuka kota yang lebih lega
1 Andi Hamzah, Dasar-Dasar Hukum Perumahan (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), hal.27.
2 Urip Santoso, Pendaftaran Dan Peralihan Hak Atas Tanah, Kencana Prenada Media, 2010,
Jakarta, hlm. 77. 3 Arie S. Hutagalung, “Condominium dan permasalahannya” dalam Urip Santoso, 2010,
Pendaftaran Dan Peralihan Hak Atas Tanah, Kencana Prenada Media, Jakarta, hlm. 77
2
dan dapat digunakan sebagai suatu cara untuk peremajaan kota bagi daerah yang
kumuh. Pembangunan perumahan yang demikian itu sesuai dengan kebutuhan
masyarakat dewasa ini, terutama masyarakat perkotaan dengan mepergunakan sistem
condominium, yaitu suatu sistem pemilikan bangunan dimana pada bangunan tersebut
terdapat satuan yang dapat digunakan secara terpisah dan dimiliki secara individu,
tetapi terdapat pula pemilikan bersama atas bagian bersama, benda bersama, dan
tanah bersama.4
Konsep rumah susun yang sebelumnya sudah diatur dalam Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun merupakan konsep kondominium yang
diadopsi dan dituangkan dalam UU tersebut. Kondominium menunjuk pada suatu
bentuk pemilikan yang melibatkan lebih dari seorang pemilik bangunan.5
Condominium adalah istilah hukum yang digunakan di Amerika Serikat dan sebagian
Kanada. Australian dan British Columbia di Kanada menyebutnya dengan istilah
strata title.6 Strata title adalah suatu sistem yang memungkinkan pembagian tanah
dan bangunan dalam unit-unit yang disebut satuan (parcel) yang masing-masing
merupakan hak yang terpisah, namun di samping kepemilikan secara individual itu
dikenal pula adanya tanah, benda, serta bagian yang merupakan milik bersama
(common property).7 Strata title dalam terminologi Barat ialah suatu kepemilikan
terhadap sebagian ruang dalam suatu gedung bertingkat seperti apartemen dan rumah
susun, atau dapat dikatakan sebagai hak milik atas satuan rumah susun.8 Apartemen
adalah istilah lain dari salah satu bentuk rumah susun dimana terdapat pemisahan hak
atas bangunan dengan segala sesuatu yang menjadi bagiannya, hak atas tanah yang
4 A. Ridwan Halim, Hukum Pemukiman, Perumahan, dan Rumah Susun (Suatu Himpunan
Tanya Jawab), (Jakarta: Doa dan Karma, 2006), hlm.1. 5 Maria S.W. Sumardjono, Alternatif Kebijakan Pengaturan Hak atas Tanah Beserta
Bangunan bagi Warga Negara Asing dan Badan Hukum Asing, Kompas, 2008, Jakarta, hlm. 91. 6 Adrian Sutedi, Hukum Rumah Susun dan Apartemen, Sinar Grafika, 2010, Jakarta ,hlm.
138. 7 Maria S.W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi,
Kompas 2009, Jakarta, hlm. 136. 8 Adrian Sutedi, Op.Cit., hlm. 141-142.
3
bersangkutan serta bagian-bagiannya pula dan hak atas tanah yang khusus atas bagian
tertentu dari bangunan yang dipergunakan secara terpisah.9
Pembangunan rumah susun saat ini banyak dilakukan diatas tanah Hak
Pengelolaan Pemerintah Daerah. Hal ini merupakan hasil kerjasama pengembang
(developer) dengan pemerintah daerah yang ingin memanfaatkan tanahnya karena
pemerintah daerah tidak memiliki biaya yang cukup besar untuk dapat memanfaatkan
tanah tersebut. Namun, permasalahan timbul pada saat developer kurang memberi
informasi atau kurang transparan kepada calon pembeli mengenai status kepemilikan
satuan rumah susun mereka yang dibangun diatas tanah Hak Guna Bangunan atas
Hak Pengelolaan, terutama pada saat dilakukan pemasaran terhadap unit-unit rumah
susun tersebut salah satunya adalah Apartemen Mangga Dua Court (MDC).
Mengenai permasalahan yang ada di Apartemen Mangga Dua Court (MDC),
disana terdapat masalah antara pihak penyelenggara pembangunan rumah susun yaitu
developer PT. Duta Pertiwi Tbk (Sinar Mas Group) dengan para pemilik satuan
rumah susun. Adapun permasalahannya itu adalah dikarenakan tidak ada yang
namanya transparansi baik itu secara lisan maupun tulisan, antara pihak developer
dengan calon pembeli dalam hal mengenai bahwa status hak atas tanah bersamanya
berada di atas tanah Hak Pengelolaan milik Pemerintah Daerah, yang menyebabkan
kerugian terhadap pembelinya tersebut.
Mengingat perihal masalah ini, didalam Islam juga diatur masalah pembelian
dalam jual beli, dalam hal ini maka masuk literatur pembahasan fiqih muamalah yaitu
pada pembahasan jual beli gharar. Imam asy-Syairazi dari madzhab Syafi‟I
mengatakan bahwa gharar adalah jual beli yang tidak jelas barang dan akibatnya.10
Allah SWT dalam Q.S. An-Nisa (4) ayat 29 : Ayat tersebut dengan jelas
menerangkan halalnya jual beli, tetapi disamping itu, ayat diatas juga memberikan
9 Komar Andasasmita, Hukum Apartemen Rumah Susun, Ikatan Notaris Indonesia Komisariat
Daerah Jawa Barat, 1986, Bandung, hlm. 21. 10
Abu Ishaq Ibrahim asy-Syairazi, al-Muhadzdzab fii fiqh al-Imam asy-Syafi‟I (Dar al-Kutub
al-„ilmiyyah, Lebanon) Hal:12
4
batasan-batasan dalam bermuamalah, seperti halnya jual beli, yaitu Islam melarang
adanya unsur-unsur riba dan memakan harta sesamanya secara bathil, kemudian
Islam menganjurkan agar manusia menghindarkan diri dari pertengkaran dan
perselisihan dalam masalah jual beli dengan menghadirkan saksi. Ada juga hadits dari
Abu Hurairah: Bahwa sesungguhnya Nabi SAW melarang jual beli gharar (yang ada
unsur penipuan).11
Maka dengan melihat fenomena ini, terlihat kasus ini sangatlah menarik untuk
diteliti dan dibahas lebih lanjut, Oleh karena itu penulis tertarik untuk melakukan
kajian dan juga pembahasan skripsi dengan judul “Jual Beli Gharar pada
Pemilikan Strata Title di Atas Tanah Hak Pengelolaan Lahan (HPL) (Analisis
Putusan Nomor 205/Pdt.G/2007/PN.Jkt.Pst)”
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, beberapa masalah yang
dapat diidentifikasi ialah sebagai berikut:
1. Bagaimana pandangan hukum positif menangani kasus putusan Nomor
205/Pdt.G/2007/PN.Jkt.Pst ?
2. Bagaimana pandangan hukum Islam menangani kasus putusan Nomor
205/Pdt.G/2007/PN.Jkt.Pst ?
3. Apakah konsekuensi pemilikan strata title diatas tanah hak pengeloaan lahan
(HPL) ?
4. Apa yang dimaksud dengan jual beli gharar ?
5. Apa yang dimaksud dengan Hak Guna Bangunan diatas Hak Milik ?
6. Apa yang dimaksud dengan Hak Guna Bangunan diatas Hak Pengelolaan ?
7. Apakah perbedaan pembangunan rumah susun dengan tanah bersama Hak Guna
Bangunan diatas Hak Milik dengan Hak Guna Bangunan diatas Hak
Pengelolaan?
11
Abu Dawud, Sulaiman bin Al-Asy‟ats As-Sajstani, Sunan Abu Dawud (Dar al-Fikr, Beirut
1996) Juz 3, hlm. 432-433.
5
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Sehubungan banyaknya masalah yang ada, dan agar tidak terlalu melebar
terhadap pembahasan yang akan penulis bahas, maka penulis membatasi masalah
tersebut dalam hal mengenai betapa pentingnya mengetahui Hak Atas Tanah ketika
jual beli untuk memiliki suatu bidang tanah, dalam hal ini terkhususkan untuk
pemilikan strata title, yang akan dikaji dalam perspektif hukum islam dan hukum
positif.
Adapun rumusan masalahnya ialah sebagai berikut:
1. Bagaimana konsekuensi hukum pemilikan strata title di atas tanah HPL?
2. Bagaimana tinjauan hukum Islam dan Positif dalam perkara sengketa penjualan
strata title di atas tanah HPL No.205/Pdt.G/2007/PN.Jkt.Pst ?
D. Tujuan Penelitian
Suatu tujuan harus mempunyai tujuan yang jelas. Tujuan penelitian adalah suatu
cara untuk memecahkan suatu masalah agar suatu penelitian dalapat lebih terarah
dalam menyajikan data akurat dan dapat memberikan manfaat. Berdasarkan hal
tersebut maka penulisan karya ilmiah ini mempunyai tujuan sebagai berikut:
1. Tujuan Objektif
a. Untuk mengetahui pandangan hukum islam mengenai kasus putusan Nomor
205/Pdt.G/2007/PN.Jkt.Pst ?
b. Untuk mengetahui pandangan hukum positif mengenai kasus putusan Nomor
205/Pdt.G/2007/PN.Jkt.Pst ?
c. Untuk mengetahui konsekuensi pemilikan strata title diatas tanah hak
pengelolahan lahan (HPL) ?
2. Tujuan Subyektif
a. Untuk menambah pengetahuan dibidang ilmu hukum, khususnya dalam
hukum islam dan hukum positif yang ada di Indonesia.
b. Untuk menambah wawasan dan pengetahuan penulis dalam memahami
mata kuliah yang sudah penulis dapatkan. Sehingga dapat diterapkan dalam
6
sebuah karya tulis ilmiah maupun dapat menyelesaikan problematika yang
ada pada masyarakat.
c. Untuk menyelesaikan tugas akhir kuliah sebagai syarat mendapatkan gelar
sarjana pada Fakultas Syariah dan Hukum, khususnya dalam program
pendidikan Perbandingan Madzhab dan Hukum.
E. Manfaat Penelitian
Dalam suatu penelitian diharapkan akan memberikan manfaat yang berguna
khususnya bagi ilmu pengetahuan dibidang penelitian tersebut. Adapun manfaat yang
diharapkan dari penelitian ini diantaranya ialah :
1. Manfaat Teoritis
a. Diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan
Ilmu Hukum pada umumnya dan Hukum islam dan Hukum Positif di
Indonesia pada khususnya.
b. Diharapkan dapat menambah bahan referensi dibidang karya ilmiah serta
bahan masukkan bagi penelitian sejenis dimasa yang akan datang.
2. Manfaat Praktis
a. Memberikan dan menemukan jawaban atas permasalahan yang akan
diteliti.
b. Memberikan manfaat untuk berpikir lebih dinamis dan kritis terhadap
permasalahan yang ada sehingga dapat mengukur tolok ukur sejauh mana
penulis dapat memahami dan menyerap segala ilmu yang telah penulis
dapatkan.
c. Memberikan sumbangan pemikiran terhadap permasalahan yang sedang
penulis teliti untuk bahan rujukan atau sebagai bahan acuan awal dalam
menganalisis permasalahan yang ada.
F. Studi Kajian Terdahulu
Kajian ilmiah dalam masalah Konsekuensi Pemilikan Strata Title di Atas Tanah
Hak Pengeloaan Lahan nampaknya belum ada yang melakukan penelitian, akan tetapi
7
untuk kasus yang mendekati sudah ada yang membahas, dan juga pokok
permasalahannya berbeda. Adapun yang membahasnya itu ialah:
1. Jurnal berjudul “Analisis Bentuk Gharar Dalam Transaksi Ekonomi”
yang ditulis oleh Nadratuzzaman Hosen. Jurnal ini hanya membahas
sebatas jual-beli ghararnya saja, tidak adanya suatu objek
permasalahannya dan juga tidak adanya pembahasan dalam perpektif
hukum positif.12
2. Jurnal berjudul “Larangan Jual Beli Gharar: Telaah Terhadap Hadits
Dari Musnad Ahmad Bin Hanbal” yang ditulis oleh Purbayu Budi
Santoso. Jurnal ini hanya membahas sebatas larangan jual-beli ghararnya
saja dalam bentuk kajian hadits, tidak adanya suatu objek
permasalahannya dan juga tidak adanya pembahasan dalam perpektif
hukum positif.13
3. Tesis berjudul “Perlindungan Hukum Bagi Pemegang Hak Milik Atas
Satuan Rumah Susun Yang Hak Atas Tanah Bersamanya Berada Di Atas
Tanah Hak Pengelolaan” yang ditulis oleh Laksmi Hayundani. Tesis ini
membahas tentang perlindungan hukum bagi pemegang hak milik atas
satuan rumah susun, tidak adanya kajian dalam perspektif islam yaitu pada
pembahasan jual-beli gharar.14
4. Skripsi berjudul “Perlindungan Hukum Terhadap Para Pemilik Satuan
Unit Rumah Susun yang Berada Di Atas Tanah Berstatus Hak Guna
Bangunan Di Atas Hak Pengelolaan” yang ditulis oleh Harold Michael
Andrie Wotulo. Skripsi ini membahas tentang perlindungan hukum bagi
12
Nadratuzzaman Hosen, Analisis bentuk gharar dalam transaksi ekonomi, Jurnal Fakultas
Syariah dan hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 13
Purbayu Budi Santoso, Larangan jual beli Gharar: telaah terhadap hadits dari musnad
Ahmad Bin Hanbal” Universitas Diponegoro Semarang. 14
Laksmi hayundani, Perlindungan hukum bagi pemegang Hak Milik Atas Satuan Rumah
Susun yang Hak Atas Tanah Bersamanya Berada Di Atas Tanah Hak Pengelolaan, Tesis Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2009.
8
pemegang hak milik atas satuan rumah susun, tidak adanya kajian dalam
perspektif islam yaitu pada pembahasan jual-beli gharar.15
5. Skripsi berjudul ”Analisis Unsur-Unsur Gharar Pada Perkreditan Bank
Konvensional” yang ditulis oleh Handrianur. Skripsi ini hanya membahas
sebatas jual-beli ghararnya saja, arah skripsi ini juga menuju ke
permasalahan bank bukan permasalahan jual beli gharar pada pemilikan
rumah susun dan juga tidak adanya pembahasan dalam perpektif hukum
positif.16
Melihat diatas adanya perbedaan, maka penulis akan membahas tentang jual beli
gharar pada pemilikan rumah susun di atas hak pengelolaan lahan, tulisan ini
membahas suatu permasalahan yang berada di kawasan Mangga dua yang dimana
permasalahan ini sampai ke ruang persidangan dan penulis juga akan membahas
dalam perspektif islam.
G. Metode Penelitian Hukum
Untuk mengkaji permasalahan-permasalahan yang ada pada penelitian ini,
penulis menggunakan metode penulisan hukum normatif atau penelitian hukum
kepustakaan merupakan penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan
pustaka atau meneliti data sekunder. Pada penelitian hukum normatif, bahan pustaka
merupakan data dasar yang digolongkan sebagai data sekunder. Data sekunder
memiliki ciri-ciri antara lain: data sekunder pada umumnya ada dalam keadaan siap
terbuat, bentuk maupun isi data sekunder telah dibentuk dan diisi oleh peneliti-
peneliti terdahulu, serta data sekunder dapat diperoleh tanpa terikat atau dibatasi oleh
waktu dan tempat.
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji selanjutnya menyatakan bahwa penggunaan
data sekunder memiliki keuntungan dan kerugian. Keuntungan penggunaan data
15
Harold Michael Andrie Wotulo, Perlindungan hukum bagi pemegang Hak Milik Atas
Satuan Rumah Susun yang Hak Atas Tanah Bersamanya Berada Di Atas Tanah Hak Pengelolaan,
Skripsi Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara, Jakarta, 2010. 16
Handrianur, Analisis Unsur-Unsur Gharar Pada Perkreditan Bank Konvensional, Skripsi
Fakultas Syariah dan hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010.
9
sekunder yang pertama adalah penghematan tenaga dan biaya karena dengan
melakukan analisa terhadap data sekunder, maka penelitian dapat diadakan terhadap
ruang lingkup bidang yang seluas-luasnya, dengan biaya yang sehemat mungkin.
Keuntungan berikutnya adalah kemungkinan untuk memperkuat dan memperluas
dasar-dasar menarik generalisasi dari hasil-hasil penelitian. Keuntungan ketiga yaitu
data sekunder dapat digunakan sebagai bahan untuk mengadakan evaluasi terhadap
hasil-hasil penelitian terdahulu sebelum seorang peneliti melakukan penelitian
sesungguhnya. Dengan demikian, maka penelitian yang sesungguhnya akan dapat
dilakukan atas dasar yang lebih kuat lagi. Selain itu keuntungan penggunaan data
sekunder juga dapat menimbulkan gagasan-gagasan baru untuk lebih
mengembangkan data sekunder terdahulu yang tidak lengkap.
Adapun kerugian dari penggunaan data sekunder meliputi: pertama, data
sekunder umumnya tidak lengkap untuk ruang lingkup dan masalah yang diteliti.
Selanjutnya, data sekunder harus diolah secara sistematis sesuai dengan sistematika
atau kerangka penelitian yang sedang dilakukan. Kerugian lain penggunaan data
sekunder oleh peneliti sebelumnya. Di samping itu, kerugian penggunaan data
sekunder khususnya di Indonesia, seringkali sulit untuk mengetahui lokasi
terhimpunnya data sekunder tersebut secara tepat.
Pada penelitian ini, yang menjadi bahan-bahan hukum antara lain:
1. Bahan hukum primer, yaitu mengkaji putusan pengadilan Jakarta pusat atas
kasus sengketa Apartemen Mangga Dua Court kasus putusan Nomor
205/Pdt.G/2007/PN.Jkt.Pst.
2. Bahan hukum sekunder antara lain undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, peraturan perundang-undangan di
bidang pertanahan lainnya yang terkait seperti undang-undang Rumah Susun
No. 20 Tahun 2011. Peraturan pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak
Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah. Dan juga buku-
10
buku bacaan, bahan kuliah, serta artikel-artikel dari media massa yang pokok
bahasannya berkaitan dengan topik penelitian ini.
3. Bahan hukum tersier berupa kamus hukum, kamus bahasa Indonesia, dan
kamus bahasa Arab.
Sebagai salah satu cabang ilmu sosial, maka penelitian hukum juga dikenal
sebagai penelitian yang bersifat kualitatif. Menurut Strauss (dan Corbin), pada
pokoknya ada tiga komponen utama dalam setiap penelitian kualitatif. Komponen-
komponen tersebut antara lain: data, prosedur analitis dan interpretatifnya, serta
laporannya yang verbal. Data diperoleh melalui observasi dan wawancara yang
diproses dan dianalisis, yang kemudian disusun dan disajikan secara deskriptif dalam
bentuk laporan penelitian.
Oleh karena alasan-alasan tersebut, pelaksanaan penelitian ini terbagi menjadi
beberapa tahapan, yaitu:
Pertama, adalah tahapan penelitian kepustakaan (library research), yaitu
memperoleh data dalam penelitian ini dilakukan melalui penelitian kepustakaan, yaitu
mengumpulkan data sekunder, baik dari bahan hukum primer (yaitu peraturan
perundang-undangan yang berkenaan mengatur tanah dan rumah susun), bahan
hukum sekunder (yaitu buku-buku dan karya-karya akademis), maupun bahan hukum
tersier (yaitu majalah atau artikel surat kabar yang membahas kasus yang sedang
diteliti).
Kedua, adalah tahap wawancara , yaitu mencari data lain untuk dilengkapi data
kepustakaan. Wawancara ini dilakukan terhadap pihak yang terkait dengan masalah
yang diteliti.
Ketiga, tahap pengelolaan data-data yang terkumpul, analisis dan penyusunan
laporan penelitian. Data yang didapat dari penelitian tahap pertama dan tahap kedua
diolah dan dianalisis secara deskriptif. Hasil dari analisis data dituangkan dalam
bentuk laporan penelitian (skripsi).
Dalam penulisan skripsi ini penulis merujuk pada buku Pedoman Penulisan
Skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
11
Jakarta tahun 2017 dan menyesuaikan dengan Ejaan Bahasa Indonesia yang
disempurnakan (EYD).
H. Sistematika Penulisan
Dalam memudahkan penyusunan skripsi ini dan untuk memberikan gambaran
secara rinci mengenai pokok pembahasan, penulis menyusun skripsi ini dalam
beberapa bab dengan sistematika sebagai berikut.
BAB I merupakan Pendahuluan yang berisi latar belakang, identifikasi masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, review kajian
terdahulu, signifikansi masalah, metode dan teknik penelitian, dan sistematika
penulisan.
BAB II merupakan Pembahasan mengenai status yaitu berupa sub bab
pengertian, jenis Hak atas tanah, dan juga membahas tentang hak milik, hak
konsumen pada pemilikan strata title dan hal-hal yang terlarang bagi pelaku usaha
penjual strata title.
BAB III membahas tentang Konsep jual beli Gharar dalam Islam, didalam
memuat pengertian dan bentuk-bentuk jual beli gharar.
BAB VI berisi tentang pembahasan mengenai Analisis Putusan Pengadilan
Nomor 205/Pdt.G/2007/PN.Jkt.Pst.
BAB V merupakan Penutup yang berisikan tentang kesimpulan-kesimpulan dari
pembahasan yang telah diuraikan dan dipaparkan, juga berisi tentang saran bagi
penulisan skripsi atau karya ilmiah ini.
12
BAB II
HAK-HAK ATAS TANAH DAN HAK ATAS SATUAN RUMAH SUSUN
(STRATA TITLE)
A. Pengertian Hak Atas Tanah
Dalam hukum agraria di kenal konsep hak atas tanah, di dalamnya terdapat
pembagian antara hak tanah primer dan hak tanah sekunder, sedangkan hak tanah atas
primer ialah hak tanah yang dapat dimiliki atau dikuasai secara langsung oleh badan
hukum ataupun perorangan yang bersifat lama dan dapat diwariskan, adapun hak
tanah yang bersifat primer meliputi: hak milik atas tanah (HM), hak guna usaha
(HGU), hak guna bangunan (HGB) dan hak pakai (HP).1
Sedangkan yang dimaksud dengan hak atas tanah sekunder adalah hak atas tanah
yang memiliki sifat hanya sementara saja, seperti hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak
menumpang, dan hak menyewa atas tanah pertanian. Dalam hak atas tanah juga
diatur mengenai perlindungan dan kepastian hukum yang dimiliki yang memiliki
mekanisme tersendiri yang disebut dengan Recht Kadaster.2
Pengertian tanah menurut kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh
Balai Pustaka Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, menyebutkan bahwa yang
dimaksud dengan tanah adalah lapisan permukaan bumi yang diatas sekali. Lanjut
pengertian tanah.3
Dalam Hukum Tanah kata sebutan “tanah” dipakai dalam arti yuridis, sebagai
suatu pengertian yang telah diberi batasan resmi oleh Undang-Undang Pokok
Agraria. Dalam Pasal 4 dinyatakan bahwa:
1 Rahmat Kuncoro, Praktek Hukum Pertanahan di Indonesia, (Bandung: Kencana Perdana),
h.24. 2 Adrian Sutedi, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, (Jakarta: Sinar Grafika),
h.41. 3 Diakses dari http://Kamus Besar Bahasa Indonesia.org pada tanggal 8 Agustus 2015 pukul
06.00
13
“Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagaimana yang dimaksud dalam
Pasal 2, ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang
disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang,
baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-
badan hukum”.
Hukum tanah di Indonesia mengalami perombakan pada saat diberlakukannya
UUPA pada tanggal 24 September 1960, sehingga dapat dikatakan bahwa pada
tanggal tersebut muncul pembaharuan Hukum Tanah yang berlaku di Indonesia.4
Hukum agraria sebelumnya dikenal dengan istilah landreform (reformasi
pertanahan). Istilah landreform ini dikenal dan dilaksanakan di Indonesia hanya
dalam pengertian sempitnya saja, yaitu pembagian (redistribusi) tanah berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 224/1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan
Pemberian Ganti Kerugian sebagai pelaksanaan dari UU No.56 PRP/1960 tentang
Penetapan Luas Tanah Pertanian. Pada pengertian luas hukum agraria biasa disebut
dengan agrarian-reform (reformasi agraria).5 Latar belakang reformasi hukum agraria
yaitu menumpuknya penguasaan hak atas tanah pada golongan penguasa yang pada
waktu itu adalah raja, bangsawan, gereja dan tuan tanah sehingga tidak ada
keseimbangan kepemilikan tanah. Untuk memperbaikinya dilakukanlah program
reformasi agraria (landreform), yaitu dengan mengambil tanah-tanah yang berlebihan
dan mendistribusikannya kepada mereka yang tidak atau kurang memiliki tanah,
dengan harapan terjadi keseimbangan kepemilikan.
Hukum tanah yang berlaku di Indonesia sebelum UUPA adalah Hukum Tanah
Lama yang bersifat pluralistis karena terdiri dari Hukum Tanah Adat, Hukum Tanah
Barat, Hukum Tanah Antar Golongan, Hukum Tanah Swapraja dan Hukum Tanah
Administrasi. Yang merupakan ketentuan pokok dari berbagai macam Hukum Tanah
tersebut adalah Hukum Tanah Barat dan Hukum Tanah Adat, yang lainnya hanya
4 Aminuddin Salle, dkk. Hukum Agraria (AS Publishing, Makassar, 2010.), h.13.
5 Aminuddin Salle, Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum (Kreasi Total
Media, Yogyakarta, 2007.), h. 25.
14
merupakan pelengkap. Maka konsekuensinya ada dua macam tanah-tanah hak di
Indonesia, yaitu:
1. Tanah Hak Indonesia, yang diatur menurut Hukum Tanah Adat dalam arti luas,
dimana kaidah-kaidahnya sebagian besar tidak tertulis, yang diciptakan oleh
pemerintah Hindia Belanda dan pemerintah swapraja, yang semula berlaku bagi
orang-orang Indonesia.
2. Tanah Hak Barat konsepsinya adalah tanah milik masyarakat, maka norma atau
kaedah pengatur hak barat ini bersifat individualistis.
Hukum Tanah yang baru atau Hukum Tanah Nasional mulai berlaku sejak 24
September 1960, yaitu sejak diundangkannya Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau lebih
dikenal dengan sebutan UndangUndang Pokok Agraria (UUPA). UUPA mengakhiri
berlakunya peraturan-peraturan hukum tanah kolonial dan sekaligus mengakhiri
dualisme atau pluralisme hukum tanah di Indonesia serta menciptakan dasar-dasar
bagi pembangunan hukum tanah nasional yang tunggal, berdasarkan Hukum Adat
sebagai hukum nasional Indonesia yang asli. Dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA,
menyatakan adanya macam-macam hak atas tanah yang diberikan kepada
masyarakat, baik secara individu maupun secara bersama-sama yang didasarkan pada
hak menguasai Negara.
B. Pengaturan Hak Atas Tanah
Pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-pokok Agraria, atau lebih dikenal dengan sebutan Undang-Undang Pokok
Agraria (UUPA) menyebutkan bahwa: “Asas dasar ketentuan Pasal 33 Ayat (3)
Undang-undang Dasar 1945, bumi, air, ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai
organisasi kekuasaan seluruh rakyat.”6 Penguasaan atas bumi, air, ruang angkasa,
termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya oleh Negara dikenal dengan
6 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 33 ayat 3
15
sebutan Hak Menguasai Negara. Pasal 2 ayat (2) UUPA menetapkan bahwa hak
menguasai Negara memberi wewenang untuk:
a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan
pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa
b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang
dengan bumi, air, dan ruang angkasa
c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan
perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa.7
Tujuan hak menguasai Negara atas bumi, air, ruang angkasa adalah untuk
mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan,
dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka,
berdaulat, adil, dan makmur. Hak menguasai Negara atas bumi, air, dan ruang
angkasa dalam pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra
(pemerintah daerah) dan masyarakat-masyarakat hukum adat sekadar diperlukan dan
tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan
peraturan pemerintah.
Dasar hukum ketentuan hak-hak atas tanah diatur dalam pasal 4 ayat (1) UUPA,
yaitu “Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai dimaksud dalam Pasal 2,
ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah,
yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun
bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum.”
Menurut Soedikno Mertokusumo, wewenang yang dipunyai oleh pemegang ha
katas tanah terhadap tanahnya dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Wewenang umum
Wewenang yang bersifat umum yaitu pemegang hak atas tanah mempunyai
wewenang untuk menggunaka tanahnya, termasuk juga tubuh bumi dan air dan
7 Urip Santoso, Pendaftaran dan Peralihan Hak atas Tanah (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group: 2014), h. 47.
16
ruang lingkup yang ada diatasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang
langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut
UUPA dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi (Pasal 4 ayat (2)
UUPA.
b. Wewenang khusus
Wewenang yang bersifat khusus yaitu pemegang hak atas tanah mempunyai
wewenang untuk menggunakan tanahnya sesuai dengan macam hak atas
tanahnya, misalnya wewenang pada tanah Hak Milik adalah dapat untuk
kepentingan pertanian dan/atau mendirikan bangunan, wewenang pada tanah Hak
Guna Bangunan adalah menggunakan tanah hanya untuk mendirikan dan
memiliki bangunan di atas tanah yang bukan miliknya, wewenang pada tanah
Hak Guna Usaha adalah menggunakan tanah hanya untuk kepentingan
perusahaan di bidang pertanian, perikanan, perternakan, atau perkebunan.8
Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA ditentukan
dalam Pasal 16 ayat 1 UUPA, yang bunyinya sebagai berikut:
(a) Hak Milik
(b) Hak Guna Usaha
(c) Hak Guna Bangunan
(d) Hak Pakai
(e) Hak Sewa
(f) Hak Membuka Tanah
(g) Hak Memungut Hasil Hutan
(h) Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang
akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara
sebagai yang disebutkan dalam Pasal 53.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria Pasal 16 ayat 1 menyebutkan bahwa: Hak-hak atas tanah ialah:
a. Hak Milik
8 Sudikno Mertokusumo, Hukum dan Politik Agraria (Jakarta: Universitas Terbuka,
Karunika, 1988.), h. 445.
17
Ketentuan mengenai Hak Milik disebutkan dalam Pasal 16 ayat (1) huruf a
UUPA. Secara khusus diatur dalam Pasal 20 hingga 27 UUPA. Menurut Pasal 50 ayat
(1) UUPA, ketentuan lebih lanjut mengenai Hak Milik diatur dengan undang-undang.
Undang-undang yang diperintahkan disini sampai sekarang belum terbentuk. Untuk
itu diberlakukanlah Pasal 56 UUPA, yaitu selama undang-undang tentang Hak Milik
belum terbentuk, maka yang berlaku adalah ketentuan-ketentuan Hukum Adat
setempat dan peraturan-peraturan lainnya sepanjang tidak bertentangan dengan
UUPA.
Menurut Pasal 20 ayat (1) UUPA hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat, dan
terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah dengan mengingat ketentuan dalam
Pasal 6, yaitu semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.9 Hak milik atas tanah
dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Yang menjadi subjek hak milik adalah
yang terdapat dalam Pasal 21 UUPA, antara lain:
1. Warga Negara Indonesia
2. Oleh pemerintah ditetapkan badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak
milik dan syarat-syaratnya
3. Orang asing yang sesudah berlakunya undang-undang ini memperoleh hak milik
karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena perkawinan,
demikian pula warga Negara Indonesia yang mempunyai hak milik dan setelah
berlakunya undang-undang ini kehilangan kewarganegaraannya wajib
melepaskan hak itu di dalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak
tersebut atau hilangnya kewarganegaraan itu. Jika sesudah jangka waktu
tersebut lampau hak milik itu tidak dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena
hukum dan tanahnya jatuh pada negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak
lain uang membebaninya tetap berlangsung.
9 Urip Santoso, Hukum Agraria Kajian Komprehensif (Jakarta: Kencana, 2012), h. 92
18
4. Selama seseorang di samping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai
kewarganegaraan asing maka ia tidak dapat mempunyai tanah dengan hak
milik dan baginya berlaku ketentuan dalam ayat (3) Pasal ini.
Hak Milik atas tanah dapat terjadi melalui tiga cara sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 22 UUPA, yaitu:
1. Hak Milik atas tanah yang terjadi menurut Hukum Adat, Hak Milik terjadi
dengan jalan pembukaan tanah (pembakaran hutan) atau timbulnya lidah tanah
(aanslibbing).
2. Hak Milik atas tanah yang terjadi karena penetapan pemerintah yaitu karena
tanahnya berasal dari tanah Negara.
3. Hak Milik atas tanah yang terjadi karena ketentuan Undang-Undang diatur
dalam Ketentuan-ketentuan Konversi UUPA. Semua hak atas tanah yang ada
sebelum UUPA harus diubah (dikonversi) menjadi hak atas tanah yang diatur
dalam Pasal 16 UUPA.10
Subyek Hak Milik Atas Tanah ditentukan dalam Pasal 21 ayat (1) sampai dengan
ayat (4) UUPA. Hak Milik atas tanah, bukan saja diberikan kepada perseorangan
tetapi juga badan-badan hukum tertentu sebagaimana diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 tentang Penunjukan Badan-badan Hukum yang
Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah.11
Hapusnya hak milik lebih lanjut dijelaskan dalam Pasal 27 UUPA antara lain:
1. Tanahnya jatuh kepada Negara yang disebabkan pencabutan hak untuk
kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta
kepentingan bersama dari rakyat. Penyebab yang kedua adalah penyerahan
dengan sukarela oleh pemiliknya, sedangkan yang ketiga karena tanah
diterlantarkan. Penyebab yang terakhir adalah karena ketentuan Pasal 21 ayat
(3) dan Pasal 26 ayat (2).
2. Tanahnya musnah.
10
Urip Santoso, Hukum Agraria Kajian Komprehensif … h. 92. 11
Supriadi, Hukum Agraria (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h. 65.
19
b. Hak Guna Usaha12
Dalam Pasal 28 UUPA hak guna usaha didefinisikan sebagai hak untuk
mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, dalam jangka waktu
sebagaimana tersebut dalam Pasal 29, yang digunakan untuk usaha pertanian,
perikanan atau peternakan. Hak yang diberikan atas tanah yang luasnya paling sedikit
5 hektar, dengan ketentuan bahwa jika luasnya 25 hektar atau lebih harus memakai
investasi modal yang layak dan teknik perusahaan yang baik, sesuai dengan
perkembangan zaman. Mengenai peralihannya, hak ini dapat beralih dan dapat
dialihkan.
Di dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak
Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak Pakai atas tanah
menerangkan mengenai subjek HGU adalah warga Negara Indonesia dan badan
hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.
Lebih lanjut diatur dalam Pasal 4 PP Nomor 40 Tahun 1996 mengenai tanah
yang dapat diberikan HGU, yaitu:
1. Tanah yang dapat diberikan dengan Hak Guna Usaha adalah tanah Negara.
2. Dalam hal tanah yang akan diberikan dengan Hak Guna Usaha itu adalah tanah
Negara yang merupakan kawasan hutan, maka pemberian Hak Guna Usaha
dapat dilakukan setelah tanah yang bersangkutan dikeluarkan dari statusnya
dari kawasan hutan.
3. Pemberian Hak Guna Usaha atas tanah yang telah dikuasai dengan hak tertentu
sesuai ketentuan yang berlaku, pelaksanaan ketentuan Hak Guna Usaha
tersebut baru dapat dilaksanakan setelah terselesaikannya pelepasan hak
tersebut sesuai dengan tata cara yang diatur dalam peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
4. Dalam hal di atas tanah yang akan diberikan dengan Hak Guna Usaha itu
terdapat tanaman dan/atau bangunan milik pihak lain yang keberadaannya
12
Urip Santoso, Hukum Agraria & hak-hak Atas Tanah (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2008), h.161
20
berdasarkan atas hak yang sah, pemilik bangunan dan tanaman tersebut diberi
ganti kerugian yang dibebankan pada pemegang Hak Guna Usaha baru.
5. Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud
dalam ayat (4), ditetapkan dengan keputusan Presiden.
Aturan lebih lanjut mengenai terjadinya, jangka waktunya sampai hapusnya Hak
Guna Usaha dapat dilihat di PP Nomor 40 Tahun 1996 Pasal 5 sampai Pasal 18.
c. Hak Guna Bangunan13
Definisi Hak Guna Bangunan (HGB) dalam UUPA Pasal 35 adalah hak untuk
mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya
sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun. Subjek Hak Guna Bangunan
menurut Pasal 36 UUPA jo. Pasal 19 PP Nomor 40 Tahun 1996 adalah:
1. Warga Negara Indonesia
2. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan
di Indonesia (badan hukum Indonesia)
Aturan lebih lanjut mengenai jangka waktu, peralihan sampai pada hapusnya hak
ini diatur dalam PP Nomor 40 Tahun 1996 Pasal 19 sampai Pasal 38.
d. Hak Pakai
Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah
yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi
wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya atau
dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa
atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa
dan ketentuan-ketentuan UUPA (diatur dalam Pasal 41 sampai Pasal 43 UUPA dan
PP Nomor 40 Tahun 1996 Pasal 39 sampai Pasal 58).14
e. Hak Sewa Untuk Bangunan
Pasal 44 diterangkan bahwa hak sewa untuk bangunan adalah kondisi dimana
seseorang atau suatu badan hukum mempunyai hak sewa atas tanah yang apabila ia
13
Urip Santoso, Hukum Agraria & hak-hak Atas Tanah.. h.163. 14
Urip Santoso, Hukum Agraria Kajian Komprehensif … h. 118.
21
berhak mempergunakan tanah milik orang lain untuk keperluan bangunan dengan
membayar kepada pemiliknya sejumlah uang sebagai sewa. Pembayaran sewa
tersebut dapat melalui satu kali atau pada tiap-tiap waktu tertentu maupun sebelum
atau sesudah tanahnya dipergunakan. Subjek hukum dari hak ini diatur dalam Pasal
45 UUPA.
f. Hak Atas Tanah Yang Bersifat Sementara
Hak-hak atas tanah yang bersifat sementara disebutkan dalam Pasal 16 ayat (1)
huruf h UUPA. Macam-macam haknya disebutkan dalam pasal 53 UUPA, yang
meliputi Hak Gadai, Hak Usaha Bagi Hasil, menumpang, dan Hak Sewa Tanah
Pertanian. Hak-hak atas tanah ini diatur dalam UUPA dan diberi sifat sementara,
dalam waktu yang singkat diusahakan akan dihapus dikarenakan mengandung sifat-
sifat pemerasan dan bertentangan dengan jiwa UUPA. Kenyataannya sampai saat ini
tidak dapat dihapuskan dan yang dapat dilakukan adalah mengurangi sifat-sifat
pemerasan.15
C. Tinjauan Umum Mengenai Hak Guna Bangunan
1. Pengertian Hak Guna Bangunan
Hak guna bangunan (HGB) adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai
bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu
paling lama 30 tahun dan dapat diperpanjang dengan waktu 20 tahun lagi, dapat
beralih dan dialihkan kepada pihak lain, dapat dijadikan jaminan hutang dengan
dibebani Hak Tanggungan (menurut pasal 35 ayat (1) bersambung dengan pasal 39
UUPA).16
Dengan demikian, maka sifat-sifat dari Hak Guna Bangunan, adalah17
:
1. Hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan di atas tanah yang bukan
miliknya sendiri, pasal 21 No. 40 Tahun 1996 menyebutkan tanah yang dapat
diberikan dengan Hak Guna Bangunan adalah:
15
Urip Santoso, Hukum Agraria Kajian Komprehensif … h. 134. 16
Urip Santoso, Hukum Agraria Kajian Komprehensif… h.109. 17
H. Ali Achmad Chomzah, Hukum Pertanahan, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2002), h. 37.
22
a. Tanah Negara
b. Tanah Hak Pengelolaan
c. Tanah Hak Milik.
2. Jangka waktu paling lama 30 tahun dan dapat diperpanjang 20 tahun lagi.
3. Dapat beralih/dialihkan kepada pihak lain.
4. Dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani Hak Tanggungan.
2. Subyek Hak Guna Bangunan
Yang dapat mempunyai (subjek) Hal Guna Bangunan menurut Pasal 36
UUPA jo. Pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 40 tahun 1996, maka yang dapat
mempunyai Hak Guna Bangunan adalah:
1. Warga Negara Indonesia
2. Badan Hukum yang didirikan menurut Hukum Indonesia dan berkedudukan
di Indonesia.18
Dalam kaitannya dengan subyek Hak, Hak Guna bangunan sebagai tersebut
diatas, maka sesuai dengan pasal 20 ayat (1) ditentukan bahwa:
“Pemegang Hak Guna Bangunan yang tidak lagi memenuhi syarat sebgaimana
yang dimaksud dalam pasal 19 dalam jangka waktu satu tahun wajib melepaskan
atau mengalihkan hak itu kepada pihak lain yang memenuhi syarat.”
Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) haknya tidak
dilepaskan atau dialihkan, maka hak itu hapus karena hukum. (Pasal 20 ayat (2) PP
No40 Tahun 1996).
3. Terjadinya Hak Guna Bangunan
Terjadinya Hak Guna Bangunan berdasarkan asal tanahnya dapat dijelaskan
sebagai berikut:
1. Hak Guna Bangunan Atas Tanah Negara
Hak Guna Bangunan ini terjadi dengan keputusan pemberian hak yang
diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional berdasarkan Pasal 4, Pasal 9,
18
Urip Santoso, Hukum Agraria Kajian Komprehensif … h. 109.
23
Dan Pasal 14 Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN No.3 Tahun 1999 dan
prosedur terjadinya HGB ini diatur dalam Pasal 48 Peraturan Menteri
Agraria/Kepala BPN No.9 Tahun 1999.
HGB ini terjadi sejak keputusan pemberian hak tersebut didaftarkan
oleh pemohon kepada Kepala Pertanahan Kabupaten/kota setempat untuk
dicatat dalam Buku Tanah. Sebagai tanda bukti haknya diterbitkan sertipikat
(Pasal 22 dan Pasal 23 PP No.40 Tahun 1996)
2. Hal Guna Bangunan Atas Tanah Hak Pengelolaan
Hak Guna Bangunan ini terjadi dengan keputusan pemberian hak atas
usul pemegang Hak Pengelolaan, yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan
Nasional berdasarkan Pasal 4 Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN No.3
Tahun 1999 dan prosedur terjadinya HGB ini diatur dalam Peraturan
Menteri Agraria/Kepala BPN No.9 Tahun 1999.
HGB ini terjadi sejak keputusan pemberian hak tersebut didaftarkan
oleh pemohon kepada Kepala Pertanahan Kabupaten/kota setempat untuk
dicatat dalam Buku Tanah. Sebagai tanda bukti haknya diterbitkan sertipikat
(Pasal 22 dan Pasal 23 PP No.40 Tahun 1996)
3. Hak Guna Bangunan atas Tanah Hak Milik
Hak Guna Bangunan ini terjadi dengan pemberia oleh pemegang Hak
Milik dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanag (PPAT).
Akta PPAT ini wajib didaftarkan kepada Kepala Kantor Pertanahan
Kabupaten/kota setempat untuk dicatat dalam Buku Tanah (Pasal 24 PP
No.40 Tahun 1996).
Bentuk akta PPAT ini dimuat dalam Lampiran Peraturan Menteri
Agraria/Kepala BPN No.3 Tahun 1997.
24
D. Tinjauan Umum Mengenai Hak Pengelolaan
1. Pengertian Hak Pengelolaan
Hak Pengelolaan (HPL) adalah hak menguasai dari negara atas tanah yang
kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegangnya.19
HPL pada hakekatnya bukan hak atas tanah, tetapi mengambil istilah yang
digunakan Boerdi Harsono “gempilan” Hak Menguasai dari Negara. Artinya
pemegang HPL mempunyai kewenangan untuk mempergunakan hak yang dihaki
untuk keperluan pelaksanaan tugasnya, tujuan utama pemberian hak kepada
pemegang HPL adalah bahwa tanah yang bersangkutan disediakan bagi penggunaan
oleh pihak-pihak lain yang memerlukan. Dalam penyediaan dan pemberian tanah itu
pemegang haknya diberi kewenangan untuk melakukan kegiatan yang merupakan
sebagian dari kewenangan Negara yang diatur dalam pasal 2 UUPA.20
2. Kewenangan Pemegang HPL
Berdasarkan Pasal 3 Peraturan Menteri Dalam Negeri No.5 Tahun 1974,
pemegang HPL mempunyai kewenangan untuk:
a. Merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah yang bersangkutan, yang
dimaksud merencanakan adalah membuat dan menyusun suatu rencana tentang
peruntukan dan rencana penggunaan terhadap tanah yang bersangkutan, sehingga
secara optimalisasi pemanfaatan tanah dalam rangka untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.
b. Menggunakan tanah tersebut untuk keperluan pelaksanaan usahanya, sebagai
pemegang hak yang diatur dan dilindungi oleh hukum, maka sudah semestinya
pemegang HPL tersebut berwenang untuk menggunakan tanah itu untuk
keperluan pelaksanaan usahanya. Bahkan harus diberi makna, bahwa pemegang
HPL tersebut berwenang pula untuk menuntut agar pihak lain menghormati
19
Pasal 1 Angka 2 PP Nomor 40 Tahun 1996. Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah 20
Arie Sukanti Hutagalang, Jurnal “Kajian Hukum Mengenai Status HGB di atas HPL”,
h. 3.
25
haknya itu, sehingga ia dapat meminta perlindungan hukum terhadap gangguan
di dalam ia memanfaatkan haknya itu.
c. Menyerahkan bagian-bagian daripada tanah itu kepada pihak ketiga menurut
persyaratan yang ditentukan oleh perusahaan pemegang hak tersebut, yang
meliputi segi-segi peruntukan, pengguanaan, jangka waktu dan keuangannya,
dengan ketentuan bahwa pemberian hak atas tanah kepada pihak ketiga yang
bersangkutan dilakukan oleh pejabat-pejabat yang berwenang menurut Peraturan
Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1999 (PMA
3/1999), sesuai dengan peraturan perundangan agrarian yang berlaku. Dalam hal
ini pemegang HPL selain berwenang untuk menggunakan tanah HPL itu untuk
keperluan pelaksanaan usahanya, pemegang HPL berwenang pula untuk
menyerahkan bagian-bagian dari tanah HPL itu kepada pihak ketiga dengan
persyaratan-persyaratan tertentu, baik mengenai peruntukan, penggunaan
maupun mengenai jangka waktu dan keuangannya, dengan ketentuan bahwa
pemberian hak atas tanah kepada pihak ketiga yang bersangkutan dilakukan oleh
pejabat-pejabat. Bagian-bagian tanah HPL tersebut dapat diberikan kepada pihak
lain dengan Hak Milik, Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai.21
E. Hak dan Kewajiban Konsumen atas Pembelian Strata Title Dan Hal-Hal
Terlarang Bagi Pelaku Usaha Penjual Strata Title
1. Hak dan Kewajiban Konsumen Atas Pembelian Strata Title
Pada umumnya jual beli Rumah susun/Apartemen antara pelaku usaha
(Pengembang perumahan) dengan konsumen, didasarkan pada perjanjian yang telah
ditetapkan secara sepihak oleh pelaku usaha (perjanjian baku/standar). Perjanjian
tersebut mengandung ketentuan yang berlaku umum (massal) dan konsumen hanya
memiliki dua pilihan menyetujui atau menolak. Kekhawatiran yang muncul berkaitan
dengan perjanjian baku dalam jual beli Rumah Susun/Apartemen adalah karena
21
Arie Sukanti Hutagalung, Jurnal “kajian Hukum Mengenai Status HGB di atas HPL”,
h.3-4.
26
dicantumkannya klausul eksonerasi (exception clause).22
Dan kebanyakan investor
hanya mementingkan aspek keuntungan atau bonafit semata bagi perusahaan mereka
saja tanpa memperhatikan masalah yang terjadi dikemudian hari yang berdampak
bagi para investor maupun penghuni satuan rumah susun. dalam hal kepemilikan
terhadap satuan rumah susun diberikan kepastian hukum dengan diterbitkannya
sertifikat atas satuan rumah susun, hal ini ditujukan untuk mencegah adanya kelalaian
dikarenakan perjanjian klausula baku yang dibuat oleh developer.
Hak Milik Satuan Rumah Susun Sistem kepemilikan rumah susun diatur secara
terpisah dengan sistem kepemilikan rumah lainnya, dalam hal ini hunian satuan.
Karakter hak milik rumah susun merupakan hak kepemilikan yang dapat dimiliki
oleh perseorangan (individu) dan badan hukum yang ditunjuk oleh pemerintah, akan
tetapi pemilikannya tidak terpisah dari pemilikan bersama.
Sebagaimana UURS Pasal 46 menegaskan bahwa:
1. Hak kepemilikan atas sarusun merupakan hak milik atas sarusun yang bersifat
perseorangan yang terpisah dengan hak bersama atas bagian bersama, benda
bersama, dan tanah bersama.
2. Hak atas bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan atas NPP. Pasal 47 (1) Sebagai
tanda bukti kepemilikan atas sarusun di atas tanah hak milik, hak guna
bangunan, atau hak pakai di atas tanah negara, hak guna bangunan atau hak
pakai di atas tanah hak pengelolaan diterbitkan SHM sarusun. (2) SHM
sarusun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan bagi setiap orang
yang memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanah.
3. SHM sarusun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan satu kesatuan
yang tidak terpisahkan yang terdiri atas: a. salinan buku tanah dan surat ukur
atas hak tanah bersamasesuai dengan ketentuan peraturan perundang -
undangan; b. gambar denah lantai pada tingkat rumah susun bersangkutan
22
Arie S Hutagalung, Condominium dan Permasalahannya (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, 1998), h. 77
27
yang menunjukkan sarusun yang dimiliki; dan c. pertelaan mengenai besarnya
bagian hak atas bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama bagi yang
bersangkutan.
4. SHM sarusun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh kantor
pertanahan kabupaten/kota.
5. SHM sarusun dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan -undangan.
Hak kepemilikan perseorangan dalam Satuan Rumah Susun adalah Kepemilikan
untuk ruangnya. Pemilikan hak atas tanah pada satuan rumah susun tidak sepenuhnya
menganut asas pemisahan horisontal karena kepemilikan atas tanah pada satuan
rumah susun merupakan kepemilikan bersama dari seluruh pemegang hak milik atas
satuan bangunan rumah susun, bukan merupakan kepemilikan perorangan
sebagaimana yang dianut dalam asas pemisahan horisontal dalam UUPA. Dalam
pengaturan UUPA terdapat beberapa hak atas tanah yang bersifat tetap yaitu Hak
Milik (HM), Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Pakai (HP),
Hak Sewa untuk Bangunan (HSUB). Selain hak atas tanah yang bersifat tetap
terdapat pula hak atas tanah yang bersifat sementara.
Sertipikat hak milik atas satuan rumah susun mempunyai karakteristik khusus
bila dibandingkan dengan sertipikat hak atas tanah pada umumnya yang nama
sertipikatnya tergantung pada macam status hak atas tanahnya, misalnya sertipikat
hak milik, sertipikat hak guna usaha, sertipikat hak guna bangunan, sertipikat hak
pakai. Sertipikat untuk Satuan Rumah Susun adalah Selalu Sertipikat Hak Milik Atas
Satuan rumah Susun. Pada rumah susun terdapat bagian yang dapat dimiliki secara
perseorangan dan terpisah, dan terdapat pula bagian yang merupakan hak bersama.
Rumah susun merupakan bangunan bertingkat, yang mengandung sistem
pemilikan perseorangan dan hak bersama, yang penggunaannya untuk hunian dan non
hunian secara mandiri ataupun secara terpadu sebagai satu kesatuan sistem
pembangunan.
28
Sertipikat rumah susun memiliki keistimewaan karena apapun jenis tanah dimana
rumah susun dibangun sertipikat kepemilikan rumah susun tetaplah Sertipikat Hak
Milik satuan Rumah Susun (HMSRS). penjualan rumah susun sebelum pembangunan
rumah susun selesai, paling sedikit harus memiliki keterbangunan 20% (dua puluh
persen). Sebagaimana pasal UURS Pembangunan rumah susun dapat dilakukan diatas
tanah : Hak Milik, Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai atas tanah Negara, Hak Guna
Bangunan atau Hak Pakai diatas Hak Pengelolaan. Pemilikan Rumah Susun dapat
diterbitkan bagi setiap orang yang memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas
tanah.
Sebagai syarat kepemilikan satuan rumah susun dalam pasal 7 Undang-undang
Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun, menegaskan bahwa rumah susun
hanya dapat dibangun diatas tanah yang berstatus Hak Milik, Hak Guna Bangunan,
Hak Pakai atas Tanah Negara, atau Hak Pengelolaan, sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Prosedur dan persyaratan peralihan hak atas tanah
sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku bahwa dalam
setiap proses peralihan hak atas tanah, harus dilakukan dengan dibuat akta otentik di
pejabat pembuat akta tanah (selanjutnya disebut PPAT) sebagaimana tercantum
dalam Pasal 1 Nomor 7 Undang-undang Jabatan Notaris, dan didaftarkan di kantor
pertanahan kabupaten/kota wilayah tanah terletak.
Dua bentuk peralihan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun dapat dijelaskan
sebagai berikut:
1. Beralih Pengertian beralih menunjuk pada berpindahnya Hak Milik Atas
Satuan Rumah Susun dari pemiliknya kepada pihak lain dikarenakan
pemiliknya meninggal dunia atau berpindahnya Hak Miilik Atas Satuan
Rumah Susun karena suatu pewarisan. Dengan meninggalnya pemilik satuan
rumah susun, maka Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun secara yuridis
berpindah kepada ahli warisnya.
2. Pemindahan hak Pengertian pemindahan hak menunjuk pada berpindahnya
Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun dari pemiliknya kepada pihak lain
29
dikarenakan suatu perbuatan hukum yang sengaja dilakukan dengan tujuan
agar pihak lain tersebut mendapatkan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.
adapun perbuatan hukum tersebut dapat berupa jual beli, tukar menukar,
hibah, penyertaan dalam modal perusahaan, lelang.23
Sekarang ini semakin banyak kasus pengembang nakal yang membawa lari uang
muka konsumen dan lalai dalam membangun proyek yang sudah dijanjikan. Terdapat
dua cara untuk menyelesaikan kasus ini: jalur perdata dan pidana. Jika konsumen
ingin menggunakan jalur perdata, pertama konsumen bisa melakukan somasi kepada
pengembang. Caranya adalah dengan mengajukan kasus ke Pengadilan Negeri
setempat. Secara pidana, konsumen bisa melaporkan atau menuntut developer
nakal ke kepolisian dengan tuduhan penipuan dengan cara mengumpulkan bukti-bukti
tertulis yang akurat dan jadikan salah satu staf pengembang sebagai saksi dari kasus
ini. Sayangnya, penyelesaian hukum pidana sering mengalami kendala dan jarang
memberikan hasil memuaskan.24
Menurut Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor
09/KPTS/M/1995 tentang Pedoman Pengikatan Jual Beli Rumah, setiap konsumen
yang telah menyerahkan uang muka sebagai jaminan pembelian harusnya
mendapatkan pengembalian penuh jika terdapat penyelewengan dari pihak
pengembang. Aturan lebih lanjutnya diatur dalam Undang Undang No. 1 Tahun 2011
tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman (UU No.1/2011). Untuk mendapatkan
kembali uang DP tersebut, langkah pertama yang bisa dilakukan konsumen adalah
menyiapkan data dan bukti terkait perjanjian pembangunan properti oleh pengembang
yang terdapat dalam brosur atau surat perjanjian.
Berdasarkan Pasal 9 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, pelaku usaha dilarang menawarkan, memproduksi, dan mengiklankan
barang atau jasa secara tidak benar dan/atau nyata. Jadi, jika properti kenyataannya
23
Hamzah Andi, I Wayan Suandra dan B.A Manalu, Dasar-Dasar Hukum Perumahan
(Jakarta: Rineka Cipta, 2000), h. 42. 24
https://www.rukamen.com/blog/menurut-undang-undang-bisakah-konsumen-menuntut-
developer-nakal/ (01 November 2017)
30
tidak dibangun secara benar spesifikasi bangunan, fasilitas, kualitas, maka
pengembang sudah dianggap melakukan pelanggaran. Menurut pasal 9 UU
Perlindungan Konsumen tersebut, pengembang yang melakukan penyelewengan
tersebut diancan hukuman pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana
denda paling banyak Rp 2.000.000.000 (dua milyar rupiah). Ancaman pidana lain
bagi pengembang yang membangun proyek tidak sesuai dengan kriteria, spesifikasi,
dan persyaratan yang dijanjikan juga diatur dalam Pasal 134 jo pasal 151 Undang-
Undang Nomor 1 tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman UU
Perumahan, yaitu denda maksimal Rp 5 miliar. Selain berupa denda, sanksi bagi
developer adalah sanksi administratif seperti ditulis dalam Pasal 150 UU Perumahan.
Sanksinya mulai dari peringatan tertulis, pencabutan izin usaha, hingga penutupan
lokasi. Itu tadi penjelasan mengenai bisakah konsumen menuntut developer nakal.
Semoga dapat membantu.
2. Hal-Hal Terlarang Bagi Pelaku Usaha Penjual Strata Title
Sebuah perusahaan yang bergerak di bidang pembangunan properti atau
pengembang harus memenuhi beberapa syarat untuk membangun sebuah apartemen.
Sebagai calon pembeli, konsumen juga harus turut mengetahui apakah pengembang
sudah memenuhi syarat yang sudah ditentukan untuk membangun apartemen atau
belum. Tujuannya, agar konsumen tak dirugikan jika suatu saat pembangunan
apartemen tersebut ternyata bermasalah.
Berdasarkan UU No. 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun, terdapat dua tahapan
yang harus dilakukan pengembang sampai pada penjualan unit kepada konsumen atau
calon pembeli. Tahapan pertama adalah pemasaran. Pihak pengembang
diperbolehkan melakukan pemasaran atau mengumumkan rencana pembangunan
apartemen kepada publik kendati pembangunan belum masuk tahap pembangunan.
Dalam tahap pemasaran ini, bahwa pihak pengembang harus memenuhi lima syarat.
Jika tidak, maka pemasaran unit tak boleh dilakukan. Setidaknya, konsumen harus
mengetahui apakah pengembang sudah memenuhi lima syarat yang dimaksud. Lima
syarat tersebut adalah peruntukkan ruang, hak atas tanah, status penguasaan rusun
31
atau pertelaan, Izin Mendirikan Bangunan (IMB), dan adanya jaminan atas
pembangunan rumah susun dari penjamin.25
Dan bukan hanya itu saja, seorang pengembang harus transparan menjual
bangunannya kepada calon pembeli, terkhususkan transparan dalam hal menjelaskan
sertipikat yang akan dijual itu seperti apa, jangan sampai seorang pengembang tidak
menjelaskan sertipikat apa yang akan dijual yang bisa mengakibatkan kerugian
terhadap para calon pembeli.
25
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5992e4d3cca3e/konsumen-wajib-tahu-hal-ini-
sebelum-beli-apartemen (15 Agustus 2017)
32
BAB III
KONSEP JUAL BELI GHARAR DALAM ISLAM
A. Pengertian Jual Beli
Jual beli berasal dari kata ثبع (baa‟a). Jual beli (al-bai‟) berarti tukar-menukar
sesuatu. Dan juga didalam kamus al-Ta‟rifat jual beli (al-bai‟) adalah Suatu transaksi
pertukaran harta yang setara dengan nilainya.1 Sedangkan secara terminologi, bai‟
atau jual beli adalah transaksi tukar-menukar (mu‟awadlah) materi (maliyyah) yang
memberikan konsekuensi kepemilikan barang („ain) atau jasa (manfa‟ah) secara
permanen (mu‟abbad).2
Istilah jual-beli (bai‟), pada hakikatnya hanya berlaku dalam komoditi (ma‟qud
„alaih) berupa barang („ain), bukan jasa (manfa‟ah). Sebab jual-beli hanya berlaku
pada materi (maliyyah), sementara jasa (manfa‟ah) pada hakikatnya bukan termasuk
maliyyah. Kategorisasi jasa atau manfaat sebagai maliyyah, hanya sebatas majaz,
sebab eksistensinya bersifat abstrak (ma‟dumah), dan lebih dikarenakan demi
mentolerir keabsahan mengadakan transaksi jasa (manfa‟ah).3
Perkataan jual beli terdiri dari dua kata jual dan beli. Kata jual menunjukkan
adanya perbuatan menjual, sedangkan beli menunjukkan adanya perbuatan membeli.
Dengan demikian perkataan jual beli menunjukkan adanya dua perbuatan dalam satu
peristiwa, satu pihak penjual dan pihak lain membeli. Maka dalam hal ini terjadilah
peristiwa hukum jual beli.4
Aktivitas jual beli erat kaitannya dengan perikatan, yaitu suatu hubungan hukum
antara dua orang atau dua pihak, dimana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu
hak dari pihak lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.
1 Ali bin Muhammad bin Ali al-Jurjani, Kitab al-Ta‟rifat (Jakarta: Dar al-Kutub al-
Islamiyyah, 2012), h.58. 2 Ahmad bin Ahmad al-Qoliyubi, Hasyiata al-Qoliyubi wa „Umairoh (Beirut: Dar al-Fikr
2008), Jilid 2, hal. 191. 3 Syamsuddin Muhammad bin khatib asy-Syarbini, al-Mughni al-Muhtaj (Kairo: Dar al-
Hadits, 2003), jilid 2, hal. 407. 4 Suhrawadi. K Lubis, Hukum Ekonomi Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), h. 128
33
Pihak yang berhak menuntut sesuatu dinamakan kreditur atau orang yang berpiutang,
sedangkan pihak yang berkewajiban memenuhi tuntutan dinamakan debitur atau
orang yang berhutang.5
1. Rukun dan Syarat Jual Beli
Sebagai salah satu bentuk transaksi, dalam jual beli harus ada beberapa hal agar
akadnya dianggap sah dan mengikat. Beberapa hal tersebut disebut rukun. Ulama
Hanafiyah menegaskan bahwa rukun jual beli hanya satu, yaitu ijab. Menurut mereka
hal yang paling prinsip dalam jual beli adalah saling rela yang mewujudkan dengan
kerelaan untuk saling memberikan barang. Maka jika telah terjadi ijab, disitu jual beli
telah dianggap berlangsung. Tentunya dengan adanya ijab, pasti ditemukan hal-hal
yang terkait dengannya, seperti para pihak yang berakad, objek jual beli dan nilai
tukarnya.6
Jumhur ulama menetapkan empat rukun jual beli, yaitu;7
1. Para pihak yang bertransaksi (penjual dan pembeli)
2. Sighat (lafal ijab qabul)
3. Barang yang diperjual-belikan
4. Nilai tukar pengganti barang.
Menurut Sayyid Sabiq, objek akad jual beli harus mempunyai kriteria sebagai
berikut:8
1. Benda tersebut suci dan halal (tidak boleh menjual barang yang dharamkan,
seperti miras, bangkai babi dan patung).
2. Benda tersebut dapat dimanfaatkan (tidak boleh melakukan jual beli ular dan
anjing kecuali yang sudah terlatih yang digunakan untuk berburu).
5 Subekti, Hukum Perjanjian, cet.12 (Jakarta: PT.Intermasa, 1990), h. 1.
6 Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqih al-Islami wa Adillatuh (Beirut: Dar al-Fikr, 2005), Jilid.5
h.3309. 7 Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqih al-Islami wa Adillatuh... Jilid.5, h.3309.
8 Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah (Kairo: Fath Li al-I‟lam al-„Arabi, 2008), jilid 3, h. 91.
34
3. Benda tersebut milik yang melakukan akad jual beli (dilarang menjual barang
yang bukan miliknya walaupun itu milik istrinya sendiri. Dalam ilmu fiqih hal ini
disebut ba‟i al-fudhul.
4. Benda tersebut dapat diserahkan. (Tidak boleh menjual barang yang tidak dapat
diserahkan, seperti menjual ikan yang masih di air). Hal ini dilarang berdasarkan
Hadits Rasulullah SAW. berikut:
, أشبر إنرا أحذ فإ غرر ,ال تشترا انسك ف انبءرض هللا ع قبل: ع اث يسعد
9أ انصاة قف.
Artinya:“Dari Ibnu Mas‟ud ra. Rasulullah SAW. bersabda: Janganlah kalian
membeli ikan yang masih ada air, karena hal itu mengandung gharar,. Riwayat
Ahmad. Dia memberi isyarat yang benar hadits tersebut mauquf”
5. Benda tersebut diketahui bentuknya/keberadaannya/spesifikasinya dan harganya
juga sudah jelas.
6. Benda tersebut sudah diterima oleh pembeli.
Menurut Jumhur Ulama, bahwa syarat jual-beli sesuai dengan rukun jual-beli
yang disebutkan di atas adalah sebagai berikut:10
1. Syarat orang yang berakal
Ulama fiqih sepakat, bahwa orang yang melakukan akad jual beli harus
memenuhi syarat:
a. Berakal
Jumhur ulama berpendapat, bahwa orang yang melakukan akad jual-beli itu,
harus telah aqil baligh dan berakal. Namun apabila orang yang berakad itu masih
mumayyiz, maka akad jual-beli itu tidak sah, sekalipun mendapat izin walinya.
b. Orang yang melakukan akad itu adalah orang yang berbeda.
9 Ibnu Hajar al-Asqolani, Bulugh al-Maram (Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiyah, 2002), Bab
al-Buyu‟ No.701/41 h.151. 10
M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2003), h. 147-148.
35
Maksudnya, seseorang tidak dapat bertindak sebagai pembeli dan penjual
dalam waktu yang bersamaan.
2. Syarat yang terkait dengan ijab dan qobul
Ulama fiqih sepakat menyatakan, bahwa urusan utama dalam jual-beli adalah
kerelaan kedua belah pihak. Kerelaan ini dapat terlihat pada saat akad berlangsung.
Ijab qobul diungkapkan secara jelas dalam transaksi yang bersifat mengikat kedua
belah pihak, seperti akad jual-beli dan sewa-menyewa.
3. Syarat yang diperjual-belikan, adalah sebagai berikut:
a. Barang itu ada, atau tidak ada ditempat akan tetapi pihak penjual menyatakan
kesanggupannya untuk mengadakan barang itu.
b. Dapat dimanfaatkan dan bermanfaat bagi manusia.
c. Milik seseorang.
d. Dapat diserahkan pada saat akad berlangsung, atau pada waktu yang telah
disepakati bersama ketika akad berlangsung.
4. Syarat nilai tukar (harga barang)
Nilai tukar barang adalah termasuk unsur yang terpenting. Zaman sekarang
disebut uang.
2. Hukum Jual Beli
Jual beli merupakan akad yang diperbolehkan berdasarkan Al Qur‟an, Sunnah
dan Ijma‟ ulama‟. Jual beli sebagai saran tolong menolong anatar sesama manusian
mempunyai landasan yang amat kuat dalam Islam.11
Menurut kaidah fiqih, prinsip dasar dalam transaksi muamalah dan
persyaratannya yang terkait dengannya adalah boleh selama tidak dilarang oleh
syariah atau bertentangan dengan dalil (nash) syariah sesuai dengan kaidah.12
.13االصم ف انعبيهخ االثبحخ حت ذل انذنم عه انتحرى
11
M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam.. h. 115 12
Ali Muhammad Daud, Hukum Islam : Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di
Indonesia, h. 118.
36
Artinya: “Pada dasarnya hal yang berkenan dengan muamalat hukumnya adalah
boleh sampai ada dalil yang menyatakan keharamannya.”
Jual beli pada dasarnya ialah halal, dalam hal ini dijelaskan dalam firman Allah
SWT. Surat Al-Baqarah: 275:
Artinya: “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”
Dan juga didalam Surat Al-Baqarah ayat 282:
..
Artinya:“Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan
saksi saling sulit menyulitkan. jika kamu lakukan (yang demikian), Maka
Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. dan bertakwalah kepada
Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu”
Dan juga didalam surat an-Nisa ayat 29:
Artinya:“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku
dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu,
Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”
Ada juga hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah:
حذثب أث ثكر ث أث شجخ حذثب عجذ هللا ث إدرس ح ث سعذ أث أسبيخ ع عجذ هللا ح
حذث زر ث حرة انهفظ ن حذثب ح ث سعذ ع عجذ هللا حذث أث انسبد ع
13
Sa‟ad Bin Turky al-Khotslan, Fiqh al-Mu‟amalah al-Maliyah al-Mu‟ashirah, (Riyadh: Dar
al-Shomi‟iy, 2012), h.13.
37
رسل هللا صه هللا عه سهى ع ثع انحصبح ع ثع األعرج ع أث ررح قبل
14انغرر
Artinya:“Dan telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abi Syaibah telah
menceritakan kepada kami Abdullah bin Idris dan Yahya bin Sa‟id serta Abu Usamah
dari Ubaidillah. Dan diriwayatkan dari jalur lain, telah menceritakan kepadaku
Zuhair bin Harb sedangkan lafazh darinya, telah menceritakan kepada kami Yahya
bin Sa‟id dari „Ubaidillah telah menceritakan kepadaku Abu Az Zinad dari Al A‟raj
dari Abu Hurairah dia berkata; Rasulullah shallallahu „alaihi wasallam melarang
jual beli dengan cara hashah15
dan cara lain yang mengandung unsur gharar).”
سهى رسل هللا ع أث ررح رض هللا ع قبل: ع ع ثع انحصبح, صه هللا عه ث ع
)16را يسهى-( انغرر
Artinya:“Dari Abi Hurairah Dia berkata: Rasulullah SAW melarang jual-beli
dengan cara melempar batu, dan melarang jual beli gharar (yang ada unsur
penipuan).”
3. Bentuk-Bentuk Jual Beli
Madzhab Hanafi membagi jual beli dari segi sah atau tidaknya menjadi tiga
bentuk: 17
1. Jual beli yang shahih
Apabila jual beli itu disyariatkan, memenuhi rukun atau syarat yang
ditentukan, barang itu bukan milik orang lain, dan tidak terikat dengan khiyar,
maka jual beli itu shohih dan mengikat kedua belah pihak.
2. Jual beli yang bathil
14
Al-Imam Abi al-Husain Muslim Bin al-Hajaj al-Naysaburi, Shahih al-Muslim (Kairo: Dar
al-Hadits, 2010), Kitab al-Buyu‟: Bab Ibthol Bai‟ al-Mulamasah wa al-Munabadzah, No.1513, h. 4. 15
Menjual dengan lemparan batu: contohnya tiga macam, penjual atau pembeli berkata: 1)
Bila batu itu keluar untukmu maka akad jual beli jadi, 2) Saya akan jual barang yang akan kejatuhan
batu, 3) Saya jual tanah sejauh lemparanmu dengan harga sekian. 16
al-Imam Muhammad bin Ismail al-Kahlani al-Shon‟ani, Subul Al-Salam Sarh Bulugh Al-
Maram Minjami‟ Adilati Al Ahkam, (Beirut, Lebanon:, Dar al-Kutub al-„Ilmiyyah, 2014), Jilid 3, No.
758/17, h. 14. 17
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqih al-Islami wa Adillatuh… h.3398
38
Apabila pada jual beli itu salah satu atau seluruh rukunnya tidak terpenuhi,
atau jual beli itu pada dasarnya dan sifatnya tidak disyari‟atkan, maka jual beli
itu bathil.
Jual beli yang bathil itu sebagai berikut:
a. Jual beli sesuatu tidak ada (bai‟u al-ma‟dum)
Ulama fiqih telah sepakat menyatakan, bahwa jual beli barang yang tidak ada
tidak sah. Umpamanya, menjual buah-buahan yang baru berkembang (mungkin
jadi bauh atau tidak), atau menjual anak sapi yang masih dalam perut ibunya.
b. Menjual barang yang tidak dapat diserahkan.
Menjual barang yang tidak dapat diserahkan kepada pembeli, tidak sah
(bathil). Umpamanya, menjual barang yang hilang, atau burung peliharaan yang
lepas dari sangkarnya.
c. Jual beli yang mengandung unsur tipuan
Menjual barang yang ada mengandung unsur tipuan tidak sah (bathil).
Umpamanya, barang itu kelihatannya baik, sedangkan dibaliknya terlihat tidak
baik.
d. Jual beli benda najis
Jual beli benda najis hukumnya tidak sah, seperti menjual, bangkai, darah dan
khamar (semua benda yang memabukkan). Sebab, benda-benda tersebut tidak
mengandung makna dalam arti hakiki menurut syara‟.
e. Jual beli al-„Urbun
Jual beli al-„Urbun adalah jual beli yang bentuknya dilakukan melalui
perjanjian. Apabila barang yang sudah dibeli dikembalikan kepada penjual, maka
uang muka yang diberikan kepada penjual menjadi milik penjual itu (hibah). Di
dalam masyarakat kita dikenal uang itu uang hangus, atau uang hilang tidak
boleh ditagih lagi oleh pembeli.
f. Menjualbelikan air sungai, air danau, air laut dan air yang tidak boleh dimiliki
seseorang
39
Air yang disebutkan itu adalah milik bersama umat manusia dan tidak boleh
diperjualbelikan. Menurut Jumhur Ulama air sumur pribadi, boleh
diperjualbelikan, karena air sumur itu merupakan milik pribadi, berdasarkan hasil
usaha sendiri.
3. Jual beli yang fasid
Jual beli yang fasid adalah jual beli yang secara prinsip tidak bertentangan
dengan syara‟ namun terdapat sifat-sifat tertentu yang menghalangi
keabsahannya.18
Jual beli fasid antara lain, yaitu:
a. Jual beli dari orang yang masih dalam tawar-menawar
Apabila ada dua orang masih tawar-menawar atas sesuatu barang, maka
terlarang bagi orang lain membeli barang itu, sebelum penawar pertama
diputuskan.
b. Jual beli dengan menghadang dagangan diluar kota atau pasar
Maksudnya adalah menguasai barangsebelum sampai kepasar agar dapat
membelinya dengan harga murah, sehingga ia kemudian menjual dipasar
dengan harga yang juga lebih murah. Jual beli seperti ini dilarang
karenadapat mengganggu kegiatan pasar, meskipun akadnya sah.
c. Jual beli barang rampasan atau curian
Jika si pembeli telah tahu bahwa barang itu barang curian atau rampasan,
maka keduanya telah bekerja sama dalam perbuatan dosa. Oleh karena itu
jual beli semacam ini dilarang.
d. Jual beli dengan cara ditimbun (Ihtikar)
Membeli barang dengan memborong untuk ditimbun, kemudian akan
dijual ketika harga naik karena kelangkaan barang tersebut. Jual beli seperti
ini dilarang karena menyiksa pembeli disebabkan mereka tidak memperoleh
barang keperluannya saat harga masih standar.
18
Ghufron A.Mas‟adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, (Jakarta: Raja Grafindo Pustaka, 2002),
h. 131.
40
Sedangkan menurut Jumhur Ulama, pembagian bentuk-bentuk jual beli
terbagi dua, shohih dan ghairu shohih: 19
1. Shohih yaitu: Jual beli yang sudah terpenuhi syarat dan rukun-rukunnya
2. Ghairu Shohih yaitu: Jual beli yang belum terpenuhi syarat-syarat jual
beli atau rukun-rukunnya.
Ghairu shohih ini bisa juga dijuga bisa dikatakan bathil dan fasid disisi Ulama
Hanafiyah.
A. Pengertian Jual Beli Gharar
Pengertian gharar menurut para ulama fikih Imam al-Qarafi, Imam Sarakhsi,
Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Ibnu Hazam, sebagaimana dikutip oleh M.
Ali Hasan20
adalah sebagai berikut: Imam al-Qarafi mengemukakan gharar adalah
suatu akad yang tidak diketahui dengan tegas, apakah efek akad terlaksana atau tidak,
seperti melakukan jual beli ikan yang masih dalam air (tambak). Pendapat al-Qarafi
ini sejalan dengan pendapat Imam Sarakhsi dan Ibnu Taimiyah yang memandang
gharar dari ketidakpastian akibat yang timbul dari suatu akad. Ibnu Qayyim al-
Jauziyah mengatakan, bahwa gharar adalah suatu obyek akad yang tidak mampu
diserahkan, baik obyek itu ada maupun tidak ada, seperti menjual sapi yang sedang
lepas. Ibnu Hazm memandang gharar dari segi ketidak-tahuan salah satu pihak yang
berakad tentang apa yang menjadi akad tersebut.
Dari beberapa definisi di atas dapat diambil pengertian bahwa gharar yaitu jual
beli yang mengandung tipu daya yang merugikan salah satu pihak karena barang
yang diperjual-belikan tidak dapat dipastikan adanya, atau tidak dapat dipastikan
jumlah dan ukurannya, atau karena tidak mungkin dapat diserah-terimakan.21
Menurut terminologi Sayyid Sabiq mengartikan jual beli gharar adalah:
.22 جبنخ أ تض يخبطرح أ قبراتثع انغرر كم ثع اح
19
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqih al-Islami wa Adillatuh… h.3394 20
M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam... h. 147-148. 21
Ghufron A. Mas‟adi, Fiqh Muamalah Konstektual... h. 133. 22
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah… h. 102.
41
Artinya: “Bai‟ul gharar adalah setiap jual beli yang memuat ketidaktahuan atau
memuat pertaruhan dan perjudian.”
Dan juga menurut Syekh an-Nawawi di dalam kitabnya al-Majmu‟ menyebutkan jual
beli gharar itu adalah:
ان ع ثع انغرر أصم ي أصل انشرع ذخم تحت يسبئم كثرح جذا
Artinya: Larangan atas jual beli gharar termasuk salah satu prinsip agama yang
membawahi berbagai masalah yang sangat banyak.23
Hadits Riwayat Bazar dan Shohih Al-Khakim:
ع رفبعخ ث رافع, أ انج صه هللا عه سهى سئم أ انكست انطت؟ قبل: عم انرجم
ثذ, كم ثع يجرر.)را انجسار صحح انحبكى(.24
Artinya: “Dari Rifa‟ah bin Rofiq, Nabi pernah ditanya, apakah profesi yang paling
baik? Rasulullah menjawab usaha yang paling utama adalah hasil usaha seseorang
dengan tangannya sendiri dan hasil jual beli yang mabrur.” (HR. Bazar dan telah
menshahih oleh al-Hakim)
Maksud mabrur dalam hadis di atas adalah jual beli yang terhindar dari usaha tipu
menipu dan merugikan orang lain.
B. Bentuk-Bentuk Jual Beli Gharar
Bentuk pertama ini terdiri dari tiga macam sebagaimana disebutkan Ibnu
Taimiyah di dalam al-Fatawa al-Kubra:
ب انغرر، فإ أي ثق، : كب تسه عجز ع ان ، انهج عذو، كحجم انحجهخ، اع: ان ثلثخ أ
قذر س، أ جل ج ان ع ان طهق، أ جل ان ان .25
Artinya: “Adapun al-Gharar, dibagi menjadi tiga: (pertama) jual beli yang tidak
ada barangnya, seperti menjual anak binatang yang masih dalam kandungan, dan
23
Abu Zakaria Yahya Syaraf an-Nawawi, al-Majmu‟ Syarah al-Muhadzdzab (Kairo: Dar al-
Hadits 2010) Jilid 10, h.347. 24
al-Imam Muhammad bin Ismail al-Kahlani al-Shon‟ani, Subul Al-Salam Sarh Bulugh Al-
Maram Minjami‟ Adilati Al Ahkam, (Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-„Ilmiyyah, 2014), Kitabu al-
Buyu‟, Babu Syuruthihi wa Ma Nuhiya „anhu, No.742/1, h. 4. 25
Ibnu Taimiyah, al-Fatawa al-Kubro, (Bairut-Libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1987),
jilid 4, h.18.
42
susunya, (kedua): jual beli barang yang tidak bisa diserahterimakan, seperti budak
yang lari dari tuannya, (ketiga): jual beli barang yang tidak diketahui hakikatnya
sama sekali atau bisa diketahui tapi tidak jelas jenisnya atau kadarnya.”
Bentuk Gharar Ditinjau dari isi kandungannya menurut ulama fiqih, bentuk-
bentuk transaksi gharar yang dilarang adalah:26
1. Jual beli barang yang belum ada (Ma‟dum)
Tidak adanya kemampuan penjual untuk menyerahkan obyek akad pada
waktu terjadi akad, baik obyek akad tersebut sudah ada ataupun belum ada
(bai‟ al-ma‟dum).
2. Jual beli barang yang tidak jelas (Majhul)
a. Menjual sesuatu yang belum berada di bawah penguasaan penjual. Bila
suatu barang belum diserah-terimakan di saat jual beli, maka barang
tersebut tidak dapat dijual kepada yang lain. Sesuatu/ barang jika belum
diterima oleh si pembeli tidak boleh melakukan kesepakatan kepada yang
lain untuk bertransaksi atau jual beli, karena wujud dari barang tersebut
belum jelas, baik kriteria, bentuk dan sifatnya.
b. Tidak adanya kepastian tentang sifat tertentu dari benda yang dijual.
Umpamanya penjual berkata: „Saya jual sepeda yang ada di rumah saya
kepada anda”, tanpa menentukan ciri-ciri sepeda tersebut secara tegas.
Termasuk ke dalam bentuk ini adalah menjual buah-buahan yang masih di
pohon dan belum layak dikonsumsi.
c. Tidak adanya kepastian tentang waktu penyerahan obyek akad. Jual beli
yang dilakukan dengan tidak menyerahkan langsung barang sebagai obyek
akad. Misalnya, jual beli dengan menyerahkan barang setelah kematian
seseorang. Tampak bahwa jual beli seperti ini tidak diketahui secara pasti
kapan barang tersebut akan diserahterimakan, karena waktu yang
26
M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqih Muamalah)... h. 148-149
43
ditetapkan tidak jelas. Namun, jika waktunya ditentukan secara pasti dan
disepakati antara keduanya maka jual beli tersebut adalah sah.
d. Tidak adanya kepastian obyek akad. Yaitu adanya dua obyek akad yang
berbeda dalam satu transaksi. Misalnya, dalam suatu transaksi terdapat
dua barang yang berbeda kriteria dan kualitasnya, kemudian ditawarkan
tanpa menyebutkan barang yang mana yang akan di jual sebagai obyek
akad. Jual beli ini merupakan suatu bentuk penafsiran atas larangan
Rasulullah Saw untuk melakukan bai‟atain fi bai‟ah.27
e. Kondisi obyek akad tidak dapat dijamin kesesuaiannya dengan yang
ditentukan dalam transaksi. Misalnya, transaksi/ jual beli motor dalam
kondisi rusak. Jual beli seperti ini salah satu bentuk dari gharar karena di
dalamnya terkandung unsur spekulatif bagi penjual dan pembeli, sehingga
sama halnya dengan melakukan jual beli undian.
3. Jual beli barang yang tidak mampu diserah-terimakan.28
a. Tidak adanya kepastian tentang jenis pembayaran atau jenis benda yang
dijual. Wahbah az-Zuhaili berpendapat bahwa ketidakpastian tersebut
merupakan salah satu bentuk gharar yang terbesar larangannya.
b. Tidak adanya kepastian tentang jumlah harga yang harus dibayar.
Misalnya, penjual berkata: ”Saya jual beras kepada anda sesuai dengan
harga yang berlaku pada hari ini.” Ketidakpastian yang terdapat dalam jual
beli ini merupakan illat dari larangan melakukan jual beli terhadap buah-
buahan yang belum layak dikonsumsi.
c. Tidak adanya ketegasan bentuk transaksi, yaitu adanya dua macam atau
lebih transaksi yang berbeda dalam satu obyek akad tanpa menegaskan
bentuk transaksi mana yang dipilih sewaktu terjadi akad. Bentuk jual beli
27
Jual beli ini jenisnya yaitu satu transaksi dengan dua akad. Jenis ini bisa di contohkan
seperti MLM (Multi Level Marketing). Keterangan ini bisa dilihat di Website:
http://www.nu.or.id/post/read/8836/transaksi-dua-akad-dalam-praktik-mlm Diakses pada: Jumat, 17
April 2007 pukul 14:12 28
Nadratuzzaman Hosen, Analisis Bentuk Gharar dalam Transaksi Ekonomi. Jurnal UIN
Jakarta, Fakultas Syariah dan Hukum . al-Iqtishad: Vol.1, No.1, Januari 2009.
44
seperti ini merupakan larangan seperti halnya Rasulullah Saw melarang
terhadap terjadinya dua jual beli/ transaksi dengan satu akad (bai‟ataini fi
bai‟ah). Misalnya, melakukan jual beli motor dengan harga Rp. 13 juta
jika kontan/ tunai dan Rp. 20 juta jika pembeli melakukan pembayaran
dengan cara kredit, namun ketika akad berlangsung dan terjadi
kesepakatan tidak ditegaskan transaksi mana yang dipilih.
d. Adanya keterpaksaan, antara lain berbentuk:29
a. Jual beli lempar batu (bai‟ al hasah), yaitu seseorang melempar batu
pada sejumlah barang dan barang yang terkena batu tersebut wajib
untuk dibelinya. Jual beli tersebut mengandung.
b. Jual beli dengan saling melempar (bai‟ al-munabazah) seseorang
melemparkan bajunya kepada orang lain dan jika orang yang
dilemparkan tersebut melemparkan bajunya kepada yang
melemparnya maka diantara keduanya wajib untuk melakukan jual
beli, meskipun pembeli tidak tahu akan kualitas dari barang yang
dibelinya.
c. Jual beli dengan cara menyentuh (bai‟ al-mulamasah), yaitu jika
seseorang menyentuh suatu barang maka barang itu wajib dibelinya,
meskipun ia belum mengetahui dengan jelas barang apa yang akan
dibelinya.
C. Hukum Jual beli Gharar
Segala kegiatan yang berkaitan dengan aspek muamalah atau kemasyarakatan
diperlukan adanya suatu aturan yang jelas, agar dalam melakukannya tidak ada
kecurangan di antara pihak yang dapat merugikan orang lain. Dalam setiap transaksi
kegiatan jual beli, dapat dikatakan sah atau tidaknya tergantung dari terpenuhinya
rukun-rukun transaksi tertsebut. Rukun berarti tiang atau sandaran atau unsur yang
29
Nadratuzzaman Hosen, Analisis Bentuk Gharar dalam Transaksi Ekonomi. Jurnal UIN
Jakarta, Fakultas Syariah dan Hukum . al-Iqtishad: Vol.1, No.1, Januari 2009.
45
merupakan bagian yang tak terpisahkan dari suatu perbuatan yang menentukan sah
atau tidaknya perbuatan tersebut dan adanya atau tidak adanya sesuatu itu.
Dan juga segala sesuatu pengambilan dasar hukum atas dalam syariat Islam harus
jelas bentuk dan kriterianya, sehingga penetapannya akan mendapatkan suatu
kepastian untuk menempatkan pada tingkatan boleh atau tidaknya untuk dilakukan,
dan dapat dijadikan sandaran hukum.
Sudah jelas bahwa hukum terhadap sesuatu didasarkan atas hasil dari persepsi
tentang sesuatu tersebut. Sedetail apa pengetahuan kita terhadap berbagai hal yang
berkaitan dengan gharar, akan menentukan kedetailan kita dalam mendudukkan
masalah berbagai transaksi yang dianggap sebagai bentuk transaksi gharar dan
mampu untuk menjelaskan tentang hukum-hukumnya, serta menetapkan berbagai
alternatif pengganti dari transaksi-transaksi yang disyariatkan.
Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa pelarangan terhadap transaksi gharar
didasarkan kepada larangan Allah Swt atas pengambilan harta/ hak milik orang lain
dengan cara yang tidak dibenarkan (bathil). Menurut Ibnu Taimiyah di dalam gharar
terdapat unsur memakan harta orang lain dengan cara bathil. Dalam hal ini Ibnu
Taimiyah menyandarkan pada firman Allah Swt, yaitu:30
Artinya:”Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain diantara
kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu
kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang
lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. al-Baqarah:
188)
30
Nadratuzzaman Hosen, Analisis Bentuk Gharar dalam Transaksi Ekonomi. Jurnal UIN
Jakarta, Fakultas Syariah dan Hukum . al-Iqtishad: Vol.1, No.1, Januari 2009.
46
Artinya:“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku
dengan suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu;
sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. an-Nisa‟: 29)
Hukum jual beli gharar dilarang dalam Islam berdasarkan ayat al-Qur‟an diatas,
dan juga dalam ada hadits yang melarangnya, yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah:
هللا ث إدرس ح ث سعذ أث أسبيخ ع عجذ هللا ح حذثب أث ثكر ث أث شجخ حذثب عجذ
ظ ن حذثب ح ث سعذ ع عجذ هللا حذث أث انسبد ع حذث زر ث حرة انهف
األعرج ع أث ررح قبل رسل هللا صه هللا عه سهى ع ثع انحصبح ع ثع
.31انغرر
Artinya:“Dan telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abi Syaibah telah
menceritakan kepada kami Abdullah bin Idris dan Yahya bin Sa‟id serta Abu Usamah
dari Ubaidillah. Dan diriwayatkan dari jalur lain, telah menceritakan kepadaku
Zuhair bin Harb sedangkan lafazh darinya, telah menceritakan kepada kami Yahya
bin Sa‟id dari „Ubaidillah telah menceritakan kepadaku Abu Az Zinad dari Al A‟raj
dari Abu Hurairah dia berkata; Rasulullah shallallahu „alaihi wasallam melarang
jual beli dengan cara hashah (yaitu: jual beli dengan melempar kerikil) dan cara lain
yang mengandung unsur gharar).”
Begitu pun di dalam hadistnya, Rasulullah SAW telah melarang jual beli al-
hashah dan jual beli gharar. Jual beli gharar menurut Imam as-Sa‟adi termasuk dalam
kategori perjudian yang sudah jelas keharamannya dalam nash al-Qur‟an.32
31
Al-Imam Abi al-Husain Muslim Bin al-Hajaj al-Naysaburi, Shahih al-Muslim ... No.1513,
h. 4. 32
Nadratuzzaman Hosen, Analisis Bentuk Gharar dalam Transaksi Ekonomi. Jurnal UIN
Jakarta, Fakultas Syariah dan Hukum . al-Iqtishad: Vol.1, No.1, Januari 2009.
47
Ditegaskan oleh Nazar Bakry barang itu harus diketahui oleh penjual dan
pembeli dengan terang zatnya, bentuk, kadar dan sifat-sifatnya sehingga tidak terjadi
tipu daya.33
Tujuannya adalah agar tidak terjadi kesalah pahaman di antara keduanya.
Disamping barang tersebut harus diketahui wujudnya, harga barang tersebut juga
harus diketahui jual beli tersebut sah atau tidak sah, karena mengandung unsur
gharar.
Sebab dilarangnya jual beli gharar selain karena memakan harta orang lain
dengan cara batil, juga merupakan transaksi yang mengandung unsur judi, seperti
menjual burung di udara, onta dan budak yang kabur, buah-buahan sebelum tampak
buahnya dan jual beli dengan lemparan batu. Larangan jual beli gharar tersebut
karena mengandung ketidak-jelasan, seperti pertaruhan atau perjudian, tidak dapat
dipastikan jumlah dan ukurannya atau tidak mungkin diserah-terimakan.
33
Nazar Bakry, Problematika Pelaksanaan Fiqh Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
1994), h. 60.
48
BAB IV
Studi Kasus Analisis Putusan Perkara Nomor : 205/Pdt.G/2007/PN.Jkt.Pst
A. Analisis Pandangan Hukum Positif Terhadap Putusan Nomor
205/Pdt.G/2007/PN.Jkt.Pst
1. Kronologi Permasalahan Yang Terjadi di Apartemen Mangga Dua Court
Permasalahan yang terjadi di Apartemen Mangga Dua Court adalah permasalahan
perpanjangan Sertipikat Hak Guna Bangunan (selanjutnya disebut HGB) atas tanah
bersama di Apartemen Mangga Dua Court, dimana HGB murni berubah menjadi
HGB di atas Hak Pengelolaan (selanjutnya disebut dengan HPL) milik Pemerintah
Provinsi DKI Jakarta (selanjutnya disebut Pemprov DKI Jakarta).
Pada saat membeli unit Apartemen Mangga Dua Court, PT.Duta Pertiwi Tbk
selaku Pengembang Apartemen Mangga Dua Court tidak pernah menginformasikan
dan memberitahukan baik lisan maupun tulisan kepada calon pembeli saat itu bahwa
tanah bersama Apartemen Mangga Dua Court adalah milik Pemprov DKI Jakarta
(berstatus HGB diatas HPL milik Pemprov DKI Jakarta). Pada saat itu para pembeli
unit hanya mengetahui bahwa status tanah adalah HGB Murni, terbukti pada PPJB
(Perjanjian Pengikatan Jual Beli), AJB (Akta Jual Beli) dan Sertifikat Hak Milik yang
ada tidak pernah tertulis HGB diatas HPL. Pada saat perpanjangan HGB bulan Juli
2006 baru diketahui bahwa tanah tersebut adalah HGB diatas HPL milik Pemprov
DKI Jakarta. Kejadian ini mengakibatkan para pemilik unit merasa tertipu oleh
PT.Duta Pertiwi Tbk. Hal ini dapat kita lihat dalam kronologis perpanjangan HGB
atas tanah bersama Apartemen Mangga Dua Court, sebagai berikut:
- Tanggal 2 Maret 2006, Pengurus Perhimpunan Penghuni Mangga Dua Court
(selanjutnya disebut Pcrhimni MDC) membuat Surat Permohonan Perpanjangan
HGB (No.Ref.L-0l6/PPMDC/Lttr/III/06) atas bidang tanah seluas 9.003 m2 di
Apartemen Mangga Dua Court yang akan berakhir pada tanggal 19 Juli 2008
49
kepada Kepala Kantor Pertanahan Jakarta Pusat, Bapak Ir. Desrizal K. Gindow. Msc.
- Tanggal 13 April 2006, Surat dari BPN Jakarta Pusat No. 375/09.01-PT kepada
Perhimni MDC mengenai dokumen yang diperlukan dalam proses perpanjangan
Sertifikat HGB tanah bersama (induk) dari Sertifikat Hak Milik Atas Satuan
Rumah Susun.
Setelah dokumen yang diperlukan diberikan kepada BPN Jakarta Pusat, maka:
Tanggal 5 Juni 2006, BPN Jakarta Pusat mengirim berkas-berkas dokumen
kepada BPN Propinsi DKI Jakarta, meliputi:
1. Asli permohonan HGB April 2006 tertulis atas nama Perhimpunan Penghuni
Rumah Susun Hunian Apartemen MDC.
2. Asli Risalah Pemeriksaan Tanah tanggal 29-05-2006 No.330/2006.
3. thocopy Anggaran Dasar Perhimni MDC tanggal 28-08-1998 yang disahkan
oleh Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta tanggal 21-12-1998
No.7601/1998.
4. Fotocopy Gambar Situasi tanggal 25-01-1995 N0289/1995.
5. Fotocopy Sertipikat HGB No.2981/Mangga Dua Selatan atas nama PT.Duta
Pertiwi.
6. Surat Keterangan Status Tanah tanggal 24-05-2006.
- Semua dokumen tersebut di atas tidak ada yang menyatakan bahwa tanah di
Apartemen MDC adalah berstatus HGB diatas HPL. Oleh karena dokumen-
dokumen yang diperlukan telah dilengkapi dan memenuhi persyaratan, maka:
1. Tanggal 20 Juni 2006, BPN Propinsi DKI Jakarta mengeluarkan Surat
Keputusan (Nomor: 013/08-550.2-09.01-2006) tentang pemberian
perpanjangan HGB No.2981/Mangga Dua Selatan sebagai tanah bersama
kepada Perhimni MDC berkedudukan di Jakarta atas nama 147 unit Sertifikat
Hak Milik atas Satuan Rumah Susun, dimana Perhimni MDC diwajibkan
membayar uang pemasukan kepada Negara sebesar Rp.289.247.000,
2. Tanggal 23 Juni 2006, Perhimni MDC membayar uang pemasukan kepada
Negara sebesar Rp.289.247.000,
50
- Selain pembayaran tersebut diatas, Perhimni MDC juga membayar:
1. Tanggal 23 Mei 2006, biaya Konstatering Report dan biaya tmnsponasi
sebesar Rp.291.000,-;
2. Tanggal 27 Juni 2006, biaya Permohonan Perpanjangan Hak (Senifakat Induk)
Rp.25.000,-;
3. Tanggal 27 Juni 2006, biaya Permohonan Perpanjangan Hak atas Sarusun (147
Sertifikat) Rp.3.675.000,-.
- Setelah pembayaran tersebut di atas, Perhimni MDC menyerahkan Sertifikat Hak
Milik masing-masing unit apartemen MDC ke badan BPN Jakarta Pusat untuk
diberikan catatan dan pengesahan perpanjangan Hak Guna Bangunan pada
masing-masing sertipikat tersebut.
- Tanggal 7 Juli 2006, BPN Jakarta Pusat memberikan Surat No.758/09.01PT
kepada Perhimni MDC bahwa:
- Ternyata setelah melalui penelitian lebih lanjut, diketahui bahwa HGB
No.2981/Mangga Dua Selatan berada diatas Hak Pengelolaan No.I/Mangga Dua
Selatan atas nama Pemerintah Propinsi DKI Jakarta.
- Sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah No.40 tahun 1996 pasal 26 ayat (2),
Hak Guna Bangunan. di atas Hak Pengelolaan baru dapat
diperpanjang/diperbaharui setelah mendapat persetuj uan dari Pemegang Hak
Pengelolaan.
- Untuk dapat memproses perpanjangan/pembaharuan Hak Guna Bangunan
No.2981/Mangga Dua Selatan, diperlukan persetuj uan/rekomendasi dari
pemegang Hal Pengelolaan: No. 1/Mangga Dua selatan yaitu Pemerintah Daerah
Khusus Ibukota Jakarta cq Biro Perlengkapan sebagai unit kerja yang mengelola
aset Pemda DKI Jakarta.
Akibatnya, Sertipikat Apartemen MDC yang telah diberikan catatan
“Berdasarkan Keputusan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Daerah
Khusus Ibu kota Jakarta No.013/08-550.2-09.01-2006, tanggal 20-062006, Hak Guna
Bangunan No.2981/Mangga Dua Selatan diberikan perpanjangan jangka waktu
51
haknya selama 20 (duapuluh) tahun hingga berakhir haknya pada tanggal 18-07-2028
kepada pemegang hak yang telah berubah namanya menjadi Perhimpunan Penghuni
Rumah Susun Hunian Apartemen Mangga dua Court disingkat Perhimni MDC,
berkedudukan di Jakarta atas nama Pemilik 147 unit Scrtipikat Hak Milik atas Satuan
Rumah Susun” menjadi dicoret kembali dan tertulis “dibatalkan”.
Berdasarkan infomasi dari Biro Perlengkapan Pemerintah DKI Jakarta, untuk
persetujuan/rekomendasi dari Pemegang Hak Pengelolaan, ada uang pemasukan yang
harus disetor sebesar 5% x luas tanah x NJOP Tanah tahun 2006 (NJOP Tanah setiap
tahun akan meningkat) = 5% x 9.003 m2 x Rp. 9.650.000,-/m
2 = Rp.4.343.947.000,
(belum termasuk biaya lain-lain/administrasi/biaya urus permohonan rekomendasi
tersebut) perhimni MDC melakukan protes kepada BPN Jakarta Pusat terhadap surat
tanggal 7 Juli 2006 (No.758/09.01-PT) yang menyatakan bahwa HGB tanah bersama
Apartemen MDC berada diatas HPL, karena:
1. Dalam IMB (Izin Mendirikan Bangunan) Apartemen MDC tercantum bahwa status
tanah adalah Hak Guna Bangunan, tanpa embel-embel Hak Pengelolaan (HPL).
2. Dalam faktur pajak yang dibayar oleh para pemilik unit, tercantum pembayaran
angsuran atas tanah selain angsuran atas bangunan.
3. Dalam PPJB tidak pernah dijelaskan kepada calon pembeli (saat itu) oleh PT.Duta
Pertiwi bahwa tanah di Apartemen MDC adalah HGB diatas HPL
4. Dalam AJB tercantum objek jual beli meliputi benda bersama, bagian bersama, dan
tanah bersama.
5. Dalam sertipikat Hak Milik atas Satuan Rumah Susun dicantumkan bahwa tanah di
Apartemen MDC adalah Hak Guna Bangunan, tanpa adanya catatan “diatas HPL”
6. Semua dokumen dalam proses perpanjangan HGB sampai dengan dikeluarkannya
Surat Keputusan untuk perpanjangan HGB atas tanah bersama Apartemen MDC
tidak pernah dicantumkan HGB berada diatas HPL.
Akhirnya BPN Jakarta Pusat menunjukkan adanya Perjanjian Kerja-sama Akte
Nomor 6 oleh Notaris Winarti Lukman-Widjaja, S.H. di Jakarta (tertanggal 6 Juni
1984) antara PT.Duta Pertiwi dengan Gubernur DKI Jakarta pada saat itu, dimana
52
lahan di area Mangga Dua berada dibawah Hak Pengelolaan No.1/Mangga Dua
Selatan atas nama Pemprov DKI Jakarta.
Setelah itu Perhimni MDC membuat surat kepada PT.Duta Pertiwi Tbk mengenai
Status Tanah Bersama Apartemen MDC (Surat No.L057/PPMDC/Lttr/Vll/06
tertanggal 26 Juli 2006) dan dijawab oleh PT.Duta Pertiwi Tbk dengan surat
No.113/LGL/VIII/2006 bahwa:
1. Status hak atas tanah bersama Apartemen MDC adalah sesuai yang tercantum di
dalam sertipikat hak atas tanah tersebut;
2. Jika Peraturan Pemerintah yang berlaku mengenai perpanjangan jangka waktu
sertipikat dikenakan biaya-biaya oleh instansi yang berwenang, maka sudah
sepatutnya pihak-pihak yang memiliki dan menikmati unit hunian diatas sertifikat
tersebut wajib mematuhi dan memenuhi peraturan yang berlaku;
Dari item 2 penjelasan PT.Duta Pertiwi Tbk, Perhimni MDC beranggapan bahwa
PT. Duta Pertiwi Tbk ingin membodohi para pemilik unit dengan mengatakan bahwa
adanya Peraturan Pemerintah yang berlaku di dalam perpanjangan jangka waktu
sertipikat dan menyuruh para pemilik unit membayar biaya tersebut.
Pemilik unit akan bersedia membayar biaya tersebut jika dari awal pembelian unit
apartemen telah diinfomasikan/tertulis jelas bahwa tanah di apartemen MDC adalah
milik Pemprov DKl Jakarta yang berarti tanah berstatus HGB diatas Hak Pengelolaan
Pemprov DKI Jakarta.
Sangat disayangkan bahwa PT. Duta Pertiwi Tbk tidak menginformasikan (lisan
dan tulisan) kepada calon pembeli pada saat itu (karena jika calon pembeli
mengetahui bahwa tanah di Apartemen MDC adalah milik Pemprov. DKI Jakarta,
mungkin tidak akan ada pembeli unit apartemen MDC ini).
Permasalahan lain yang terjadi adalah bahwa PT. Duta Pertiwi Tbk.,
menyalahgunakan bagian bersama yang merupakan bagian yang dipergunakan
bersama antar pemilik apartemen, malah dcngan seenaknya saja telah
mensertipikatkan ruang serba guna serta lobby barat dan ruang lobby timur yang
53
terdapat dalam Apartemen Mangga Dua Court yang seharusnya menjadi fasum dan
fasos sesuai dengan Pasal 27 PP no.4 tahun 1988 tentang Rumah Susun.
Permasalahan lain lagi yang terjadi di dalam Apartemen Mangga Dua Court
adalah bahwa sampai saat kasus ini diajukan ke Pengadilan, Pembeli Apartemen
Mangga Dua Court masih belum menerima Pertelaan yang seharusnya diberikan
bersamaan pada saat penyerahaan sertipikat hak milik dan tidak terpisah oleh
PT.Duta Pertiwi Tbk., sebagai developer dan diberikan pada masing-masing pemilik
di Rumah Susun Hunian Mangga Dua Court (pasal 30, pasal 31, jo. Pasal 35, pasal 39
PP No. 4 tahun 1988 tentang Rumah Susun). Hal ini menyebabkan tidak jelasnya
mana yang merupakan batas pemilik (PT. Duta Pertiwi Tbk.), mana yang balas milik
bersama, dan mana yang merupakan batas para pemilik hunian.
Hal ini juga mengakibatkan tidak jelasnya berapa besar biaya yang harus
dibayarkan oleh pemilik hunian kepada PPRS dan PPRS kepada PEMDA DKI.
Disamping itu, karena tidak adanya pertelaan, maka setiap pemegang unit di
Apartemen Mangga Dua Court mengalami kerugian sehingga tidak mengetahui,
menikmati, memakai failitas bersama berupa: ruang serba guna, ruang lobby barat
dan timur, dan ruang lainnya yang merupakan milik bersama sesuai dengan Pasal 27
Peraturan Pemerintah Nomor 4 tahun 1988 tentang Rumah Susun. Pertelaan ini
sangat penting untuk menentukan secara pasti berapa besarnya Nilai Perbandingan
Proporsional (selanjutnya disebut NPP), NPP ini perlu untuk kepastian menentukan
berapa besar biaya perpanjangan HGB (sertipikat) dan juga berapa besarnya pajak
yang harus dibayar oleh masing-masing pemegang unit.
2. Analisis Hukum Positif
Sebelum menguraikan pembahasan kasus, terlebih dahulu penulis akan
menguraikan mengenai Hak Pengelolaan dan Hak Guna Bangunan diatas Hak
Pengelolaan. Hak Pengelolaan adalah hak menguasai dari negara yang kewenangan
54
pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegangnya.1
Hak Pengelolaan
berasal dari hak penguasaan sebagaimana yang dimaksud dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 8 Tahun 1953 tentang Penguasaan Tanah Negara oleh Instansi
Pemerintah.2 Karena hak penguasaan itu sudah ada sebelum berlakunya Undang-
Undang Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA)3, oleh karenanya eksistensi Hak
Pengelolaan diakui dan disesuaikan dengan UUPA.
Penyesuaiannya diatur dengan Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1965
yang menegaskan hak penguasaan atas tanah negara sebagai dimaksud dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1953 tentang Penguasaan Tanah Negara oleh
Instansi Pemerintah dikonversi menjadi Hak Pengelolaan. Esensi dari Hak
Pengelolaan adalah memberi wewenang kepada pemegang haknya untuk
menyerahkan bagian-bagian tanahnya kepada pihak ketiga dengan Hak Milik, Hak
Guna Bangunan, Hak Pakai, berikut lanjutan seperti Hak Milik atas satuan Rumah
Susun.4
Dalam perkembangannya Hak Pengelolaan mendapat tempat pada beberapa
peraturan salah satunya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988 tentang
Rumah Susun yang mengatur bahwa dalam hal Rumah Susun dibangun diatas Hak
Pengelolaan, penyelenggara pembangunan wajib menyelesaikan status Hak Guna
Bangunan diatas Hak Pengelolaan yang dilanjutkan dengan pemberian Hak Milik atas
Satuan Rumah Susun.
1 Pasal 1 Angka 2 PP Nomor 40 Tahun 1996. Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan
Dan Hak Pakai Atas Tanah. 2 Prof. Dr. A. P. Parlindungan, Hak Pengelolaan Menurut Sistem UUPA (Undang-Undang
Pokok Agraria), (Bandung: Mandar Maju, 2015), h.5. 3
Pengertian Hak Pengelolaan berdasarkan di dalam buku Hukum Agraria Kajian
Komprehensif buah karya DR. Urip Santoso, S.H., MA,. itu disebutkan juga dalam Pasal 1 angka 2 PP
No. 40 Tahun 1996, Pasal 1 angka 4 PP No. 24 Tahun 1997, Pasal 1 angka 2 PP No. 11 Tahun 2010
tentang penerbitan dan pendayagunaan Tanah Terlantar, Pasal 1 angka 3 Peraturan Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No.4 Tahun 1998 Tentang Pedoman Penetapan Uang
Pemasukan Dalam Pemberian Hak Atas Tanah Negara, Pasal 1 angka 3 Peraturan Kepala BPN RI No.
3 Tahun 2011. 4 Urip Santoso, Hukum Agraria (Kajian Komprehensif), (Jakarta: Kencana, 2012), h. 164.
55
Pengertian hak menguasai dari negara adalah kewenangan negara untuk
mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan
pemeliharaan tanah, menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang (badan hukum) dengan tanah. Dengan dilimpahkannya sebagian kewenangan
tersebut maka pemegang Hak Pengelolaan dapat memberikan Hak Guna Bangunan
atau Hak Pakai kepada pihak ketiga dengan suatu perjanjian tertulis.
Dalam kasus ini terdapat Perjanjian Kerja sama yakni Akte Nomor 6 yang dibuat
oleh Notaris Winarti Lukman-Widjaja, SH. di Jakarta tertanggal 6 Juni 1984 antara
PT.Duta Pertiwi dengan Gubemur DKI Jakarta pada saat itu, dimana lahan di area
Mangga Dua berada dibawah Hak Pengelolaan atas nama Pemprov DKI Jakarta.
Pemerintah Daerah sudah lama memanfaatkan lembaga Hak Pengelolaan ini
untuk mengelola tanah yang dimilikinya karena haknya bersifat permanen, yaitu tidak
dibatasi dengan jangka waktu, dan pemberian hak kepada pihak ketiga tersebut akan
memberikan kontribusi kepada pendapatan asli daerah secara berkesinambungan.
Sedangkan penerima Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Milik Satuan Rumah
Susun mendapat tanah di lokasi strategis dengan kegiatan Perdagangan, industri dan
jasa yang sudah mapan, seperti kawasan Mangga Dua dan beberapa kawasan lainnya.
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara maka Hak Pengelolaan atas nama kementerian lembaga-
lembaga satuan kerja perangkat daerah termasuk kedalam ruang lingkup barang milik
negara atau barang milik daerah. Penggunaannya harus dalam rangka
penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi kementerian Negara/lembaga/satuan kerja
perangkat daerah yang bersangkutan. Apabila barang dimaksud tidak digunakan
untuk penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi instansi yang bersangkutan maka
barang itu wajib diserahkan pemanfaatannya kepada pengelola barang yaitu Menteri
Keuangan, Gubernur, Bupati dan Walikota agar dapat dipergunakan oleh instansi lain
atau pemanfaatan lain.
Pengelolaan barang milik negara/daerah tersebut diatur berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 yang diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor
56
38 Tahun 2008, sedangkan tata cara pengelolaannya diatur dengan Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 96/PMK.06/2007. Pengaturan barang milik daerah berpcdoman
kepada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007. Peraturan tersebut
menjelaskan bahwa bentuk pemanfaatan barang milik negara/barang milik daerah
berupa tanah dan bangunan dilaksanakan dengan sewa, kerja sama pemanfaatan,
pinjam pakai, bangun guna serah dan bangun serah guna.
Secara spesifik pemberian Hak Guna Bangunan (selanjutnya disebut HGB) di
atas Hak Pengelolaan kepada pihak ketiga hanya dapat terjadi dalam hal perjanjian
bangun guna serah dan bangun serah guna, dimana pihak ketiga berkewajiban untuk
membangun, mengembangkan dan memberdayakannya tanah dan bangunan tersebut
selama jangka waktu tertentu, dan apabila jangka waktunya berakhir pihak ketiga
tersebut menyerahkan kembali tanah dan bangunan berikut fasilitasnya kepada
Pemerintah Daerah.5 Hal tersebut diatas yang dikhawatirkan oleh para penghuni
Satuan Rumah Susun Mangga Dua Court, yakni peruntukan lahan tempat bangunan
yang dimiliki oleh pemilik Satuan Rumah Susun tersebut bisa berubah sewaktu-
waktu jika Pemprov DKI Jakarta menghendaki adanya perubahan. Seperti yang telah
dijelaskan Hak Guna Bangunan diatas Hak Pengelolaan kepada pihak ketiga hanya
dapat terjadi dalam hal bangun serah guna dan bangun serah guna, namun pada
kenyataannya PT. Duta Pertiwi memperjual-belikan Rumah Susun Mangga Dua
Court yang dibangun diatas Hak Guna Bangunan diatas Hak Pengelolaan, dimana hal
tersebut dapat merugikan para pembeli Apartemen Mangga Dua Court.
Peraturan tersebut tidak mengatur bagaimana kedudukan Hak Guna Bangunan
atau tanah bekas Hak Guna Bangunan diatas Hak Pengelolaan yang sudah
diperjanjikan sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004. Keadaan
tersebut paling tidak menimbulkan permasalahan antara lain para pihak sudah terikat
dengan hak dan kewajiban sesuai perjanjian yang disepakati untuk jangka waktu yang
lama. Kemudian pihak ketiga tersebut sudah mengeluarkan investasi untuk membeli
5 Urip Santoso, Hukum Agraria (Kajian Komprehensif) … h. 113.
57
bangunan berikut fasilitas lainnya, dan menguasai dan menguasai tanah dan bangunan
tersebut secara pasif tanpa ada kejelasan atau kepastian hukum atas tanahnya.
Di lain pihak jika pemegang Hak Pengelolaan membiarkan masalah ini secara
berlarut-larut dapat menimbulkan penafsiran telah melakukan penyimpangan dalam
pengelolaan barang milik negara/daerah berupa tanah atau bangunan. Sedangkan
untuk menata kembali lokasi tersebut sesuai konsep bangun guna serah dan bangun
serah guna bukan pekerjaan mudah karena karena menyangkut banyak pihak, dan
membatalkan perjanjian yang sudah dibuat dapat menimbulkan gugatan perdata dari
pihak ketiga tersebut. Hal ini terjadi di Apartemen Mangga Dua Court dimana
Pemprov DKI Jakarta seakan membiarkan Apartemen Mangga Dua Court tersebut
berdiri diatas Hak Guna Bangunan diatas Hak Pengelolaan, dan untuk menata
kembali lokasi tersebut sesuai konsep bangun guna serah dan bangun serah guna
sangat amat sulit karena kawasan Apartemen Mangga Dua tersebut sudah menjadi
pusat perbelanjaan besar yang ada di Jakarta.
Berdasarkan Pasal 7 Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun disebutkan
bahwa Rumah Susun hanya dapat dibangun di atas tanah Hak Milik, Hak Guna
Bangunan, Hak Pakai atas tanah Negara atau Hak Pengelolaan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang dimaksudkan dengan Hak Milik,
Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai adalah hak-hak atas tanah sebagaimana
dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960. Hak pakai atas tanah Negara
untuk pembangunan rumah susun akan diberikan dengan jangka waktu yang cukup
lama menurut keperluannya. Jangka waktu tersebut atas permintaan para pemilik
satuan-satuan rumah susun yang bersangkutan dapat diperpanjang. Hak Pengelolaan
adalah hak sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1953
dan Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1965, Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 5 Tahun 1974, dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor l Tahun
1977. Hak Pengelolaan hanya dapat diberikan kepada badan-badan hukum yang
seluruh modalnya dimiliki oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah. Pasal 7
Ayat (2) disebutkan jika rumah susun yang bersangkutan dibangun di atas tanah Hak
58
Pengelolaan, maka penyelenggara pembangunan wajib menyelesaikan secara tuntas
Hak Guna Bangunan di atas Hak Pengelolaan tersebut sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, agar tanah bersama yang merupakan bagian dari
Hak Milik atas Satuan Rumah Susun yang bersangkutan memperoleh status Hak
Guna Bangunan. Pemberian status Hak Guna Bangunan tersebut harus sudah selesai
sebelum satuan-satuan rumah susun yang bersangkutan dijual. Ketentuan ini
dimaksudkan untuk melindungi para pembeli satuan-satuan Rumah Susun. Namun
pada kenyataannya PT. Duta Pertiwi selaku penyelenggara pembangunan Rumah
Susun Mangga Dua Court tidak menyelesaikan secara tuntas Hak Guna Bangunan
diatas Hak Pengelolaan sesuai peraturan perundangundangan yang berlaku. PT. Duta
Pertiwi menjual Rumah Susun Mangga Dua Court dengan status Hak Guna
Bangunan diatas Hak Pengelolaan dan hal tersebut tidak diketahui oleh para penghuni
Rumah Sususn Mangga Dua Court yang penghuni ketahui adalah Rumah Susun
tersebut berstatus Hak Guna Bangunan.
Atas kejadian tersebut berarti perlindungan tidak didapat oleh para penghuni
Rumah Susun Mangga Dua Court Atas Hak Guna Bangunan diatas Hak Pengelolaan
tersebut sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 Pasal
26 ayat (2) Hak Guna Bangunan di atas Hak Pengelolaan baru dapat diperpanjang
atau diperbaharui setelah mendapat persetujuan dari Pemegang Hak Pengelolaan
dalam hal ini Pemprov DKI Jakarta cq Biro Perlengkapan sebagai unit kerja yang
mengelola aset Pemda DKI Jakarta. Bedasarkan infomasi Biro Perlengkapan
Pemprov DKI Jakarta untuk persetujuan dari Pemegang Hak Pengelolaan ada uang
pemasukan yang harus disetor sebesar 5% x luas tanah x NJOP Tanah Tahun 2006 =
5% x 9.003 m2 x Rp.9.650.000,-/m
2 = Rp.4.343.947.000,-.
Perhimni keberatan atas biaya yang harus dikeluarkan tersebut diatas, karena
sebelumnya Perhimni MDC sudah mengeluarkan uang sebesar Rp.289.247.000,untuk
perpanjangan Hak Guna Bangunan No.2981/ Mangga Dua Selatan sebagai tanah
bersama kepada Perhimni MDC berkedudukan di Jakarta atas nama 147 unit
Sertifikat Hak Milik atas Satuan Rumah Susun, dan dapatkah uang sebesar
59
Rp.289.247.000,- dapat dikembalikan kepada Perhimni atas dibatalkannya
perpanjangan HGB tersebut.
Berdasarkan Pasal 7 ayat (I) dan (2) UU Nomor 16 Tahun 1985 tersebut dapat
dinyatakan bahwa PT Duta Pertiwi telah melanggar Undang-Undang yang berlaku
karena telah memperjualbelikan Rumah Susun dimana status tanahnya adalah Hak
Guna Bangunan diatas Hak Pengelolaan Pemprov DKI Jakarta.
Menyikapi permasalahan tersebut, penyelesaiannya dapat ditempuh dengan
mempedomani Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 dan Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 khususnya mengenai tata cara penghapusan dan
pemindah tanganan barang milik negara/daerah, yang menyatakan bahwa
penghapusan barang milik negara/daerah dari daftar barang pengguna dan/atau kuasa
pengguna dilakukan dalam hal barang milik/daerah dimaksud sudah tidak berada
dalam penguasaan pengguna barang dan/atau kuasa pengguna barang. Sebagai tindak
lanjut dari penghapusan tersebut, barang milik negara/daerah dapat dipindah
tangankan dengan cara penjualan, tukar menukar, hibah dan penyertaan modal
pemerintah /Pemerintah Daerah pada BUMN, BUMD dan Swasta.
Terkait dengan penyelesaian berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun
2006 dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 tersebut tidak
dilakukan oleh PT Duta Pertiwi ataupun Pemprov DKI Jakarta, sehingga sangat
merugikan para penghuni Apartemen tersebut. Bukan penyelesaian menurut undang-
undang yang berlaku yang dilakukan PT Duta Pertiwi, melainkan gugatan perdata
yang dilayangkan pada Perhimni MDC. Dasar gugatan, yang pertama adalah Surat
Pembaca ke harian Kompas dan dimuat tanggal 26 September 2006 dengan judul
“DUTA PERTIWI BOHONG” isinya kurang lebih menceritakan ketidak jujuran PT
Duta Pertiwi pada waktu menjual produk propertynya dan pertanyaan siapa yang
harus Perhimni gugat apakah Badan Pertanahan Nasional, Pemprov DKI Jakarta, atau
60
PT Duta Pertiwi Tbk.6
Selanjutnya kurang lebih selama dua bulan kemudian
Perhimni MDC juga mengirimkan surat pembaca ke harian Suara Pembaruan. Isinya
mengenai denda Rp. 100.000-, per hari yang dikenakan ke pembeli kios-kios ITC
Mangga Dua jika tidak mau membayar uang perpanjangan ke Pemprov DKI Jakarta
dan gugatan yang kedua adalah dasar laporan polisi Perhimni MDC yang di hentikan
peyidikannya (SP3) Surat oleh Polda Metro Jaya dimana Perhimni MDC melaporkan
kasus dugaan penipuan oleh Sinar Mas Group ini ke Polda Metro Jaya pada tanggal
15 November 2006 . Nilai Gugatan ini Rp 17 miliar. Dalam gugatan perdata tersebut
dimenangkan oleh PT. Duta Pertiwi dimana Putusannya menyatakan bahwa Perhimni
dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana pencemaran nama baik kepada PT Duta
Pertiwi dan Perhimni MDC . Sebelum gugatan dilayangkan oleh PT Data Pertiwi
kepada Perhimni MDC, terlebih dahulu Perhimni MDC mendaftarkan kasus ini di
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan Register Perkara Perdata No.
205/Pdt.G/2007/PN.JKT.PST tertanggal 7 Juni 2007 melalui Kantor Pengacara Prof.
MR. DR. S. Gautama & Associates selaku kuasa hukum Perhimpunan Penghuni,
Apartemen Mangga Dua Court (Perhimni MDC), melawan:
1. PT.Duta Pertiwi Thk. (Sinar Mas Group), selaku Tergugat I;
2. Muktar Widjaja, (Direktur Utama PT. Duta Pertiwi Tbk.), selaku Tergugat H ;
3. Notaris dan PPAT Arikantl Natakusumah, S.H., Jl. Mangga Besar Raya No.
IG, Jakarta Barat, selaku Tergugat III ;
4. Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik lndonesia c.q. Kepala Kantor
Pertanahan Wilayah Badan Pertanahan Nasional DKI Jakarta c.q. Kepala
Kantor Pertanahan Kotamadya Jakarta Pusat, selaku Tergugat IV
5. Gubernur DKI Jakarta c.q. Pemprov. DKI Jakarta c.q. Biro Perlengkapan
Provinsi DKI Jakarta, selaku Tergugat V.
Perhimni Mangga Dua Court selaku Para Penggugat dalam gugatannya
menyampaikan Gugatan Provisi yang pada pokoknya menguraikan sebagai berikut:
6
https://ekonomi.kompas.com/read/2008/11/17/12434599/pemilik.kios.dan.pengembang.itc.
mangga.dua.bertikai.di.pengadilan Di Akses pada; 17-11-2008, 12:43 WIB
61
- Bahwa Pengugat mohon agar diperintahkan penundaan pembayaran biaya
rekomendasi dari Pemegang Hak Pengelolaan untuk memperpanjang Sertipikat
Hak Guna Bangunan sampai perkara ini berkekuatan hukum tetap;
- Bahwa agar Tergugat I, Tergugat II memperlihatkan Pertelaan yang berkaitan
dengan objek perkara dipersidangan dan memerintahkan Tergugat I, Tergugat II,
Tcrgugat III, Tergugat IV, dan Tergugat V untuk tidak melakukan penagihan
pembayaran biaya rckomendasi Hak Guna Bangunan diatas Hak Pengelolaan
selama perkara ini belum berkekuatan hukum tetap.
Terkait dengan Gugatan Penggugat, Majelis Hakim mempertimbangkan bahwa
gugatan provisi yakni suatu tindakan hukum sementara yang harus dilaksanakan
sebelum perkara ini berkekuatan hukum tetap meskipun adanya upaya hukum
banding maupun kasasi, bahwa tindakan provisi merupakan tindakan mendesak yang
tidak berkaitan dengan gugatan pokok dari gugatan Penggugat.
Sebagaimana uraian dari gugatan Penggugat Majelis Hakim berpendapat bahwa
yang menjadi pokok sengketa perkara ini adalah berkaitan dengan apakah Para
Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum berkaitan dengan atas hak dari
objek perkara berupa Apartemen Mangga Dua Court.
Bahwa pertelaan yang dimaksud oleh Penggugat untuk diperlihatkan di
persidangan oleh Para Tergugat menurut Majelis Hakim berkaitan dengan
pembuktian dalam pemeriksaan perkara ini karenanya, tidak perlu dituangkan dalam
suatu bentuk putusan provisional. Berdasarkan pertimbangan tersebut maka Gugatan
Provisi Penggugat haruslah ditolak.
Selanjutnya Majelis Hakim juga memberi pertimbangan atas sahnya jual beli,
dimana terdapat cacat tersembunyi berkaitan dengan tidak diberitahukannya keadaan
objek jual beli berupa Apartemen Mangga Dua Court yang berdiri diatas Hak Guna
Bangunan diatas tanah Hak Pengelolaan milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, yang
mengakibatkan pembebanan kepada Pembeli (Penggugat) atas biaya rekomendasi
perpanjangan atas tanah tersebut, dengan demikian menurut Majelis Hakim perbuatan
62
tersebut termasuk kedalam perbuatan penipuan sehingga dapat dijadikan alasan
pembatalannya.
Penulis sangat menyayangkan, dalam gugatan Penggugat tidak mengajukan
pembatalan jual beli tersebut maka Majelis Hakim tidak mempertimbangkannya,
sehingga Tergugat I dan Tergugat II tidak dapat dinyatakan melakukan perbuatan
melawan hukum yakni “Penipuan”.
Bahwa Majelis Hakim mempertimbangkan mengenai kewajiban untuk
memberitahukan kepada Para Tergugat keberadaan Hak Guna Bangunan objek
sengketa diatas tanah Hak Pengelolaan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berada pada
Tergugat I, Tergugat II sebagai pihak penjual, namun hal tersebut dilanggar oleh Para
Tergugat berdasarkan Pasal 1491 KUHP yang berbunyi:
”Penanggungan yang menjadi kewajiban si penjual terhadap si pembeli, adalah
untuk menjamin dua hal, yaitu pertama penguasaan benda yang dijual secara aman
dan tenteram; kedua terhadap adanya cacat-cacat barang tersebut yang tersembunyi,
atau yang sedemikian rupa hingga menerbitkan alasan untuk pembatalan
pembeliannya”.
Terkait dengan pertimbangan tersebut Majelis Hakim menyatakan Tergugat I,
Tergugat II, dan Tergugat III melanggar unsur kepatutan, kehati-hatian dan ketelitian.
Penulis setuju dengan pertimbangan Majelis Hakim tersebut diatas.
Kemudian Majelis Hakim menolak Tergugat IV dan Tergugat V telah melakukan
perbuatan melanggar hukum oleh karena tidak berkaitan langsung dengan perjanjian
jual beli objek sengketa, namun menurut Penulis Tergugat IV memang tidak
berkaitan langsung tetapi Tergugat IV tersebut patut dipersalahkan mengapa bisa
mengeluarkan produk berupa Sertipikat Hak Guna Bangunan atas Apartemen
Mangga Dua Court dimana sertipikat tersebut yang membuat pembeli Apartemen
Mangga Dua Court yakin bahwa Apartemen Mangga Dua Court tersebut berdiri
diatas Hak Guna Bangunan Murni, yang pada nyatanya pada saat perpanjangan Hak
Guna Bangunan oleh Perhimni dikabulkan oleh Badan Penanahan Nasional.
Selanjutnya Majelis Hakmi membacakan Putusannya, yakni :
63
MENGADILI
DALAM KONVENSI :
DALAM EKSEPSI :
- Menolak Eksepsi Tergugat I, Tergugat II dan Tergugat V;
DALAM POKOK PERKARA :
- Mengabulkan Gugatan Penggugat sebagian;
- Menyatakan Tergugat I, Tergugat II, Tergugat III telah melakukan Perbuatan
Melanggar Hukum;
- Menghukum Tergugat I, Tergugat II, Tergugat III membayar biaya
Rekomendasi/Pemasukan untuk memperoleh Rekomendasi dari PEMDA DKI
Jakarta sebagai Pemegang Hak Pengelolaan No.1/Mangga Dua Selatan guna
memperpanjang Hak Guna Bangunan No.298I/Mangga Dua Selatan luas 9003
M2 diatasnya berdiri Apartemen Mangga Dua Selatan (Objek Sengketa)
secara bersama-sama sebesar jumlah yang ditetapkan oleh Pejabat yang
berwenang untuk itu;
- Menolak Gugatan Para Penggugat selebihnya;
DALAM REKONVENSI :
- Menyatakan Gugatan Para Penggugat Rekonvensi Tidak Dapat Diterima;
DALAM KONVENSl DAN REKONVENSl
- Menghukum Tergugat Penggugat Rekonvensi l, Tergugat 11/ Penggugat
Rekonvensi “, Tergugat … secara bersama-sama membayar biaya yang
timbul dalam perkara-ini sebesar Rp.3.259.000, (tiga juta dua ratus lima
puluh sembilan ribu rupiah)
Di Indonesia, untuk melindungi kepentingan konsumen dalam mengonsumsi
barang dan/atau jasa, maka pemerintah mengeluarkan kebijakan pengaturan hak-hak
konsumen melalui undang-undang. Pembentukan undang-undang tersebut merupakan
bagian dari implementasi sebagai Negara kesejahteraan, karena Undang-Undang
64
Dasar 1945 di samping sebagai konstitusi politik juga dapat disebut sebagai konstitusi
ekonomi yang mengandung ide Negara kesejahteraan.7
Berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen salah satunya yang menyatakan bahwa konsumen memiliki hak atas
informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang atau jasa
yang tidak dilakukan secara baik dan benar oleh PT Duta Pertiwi yang tidak
menginformasikan status tanah atas Apartemen Mangga Dua Court berstatus Hak
Guna Bangunan diatas Hak Pengelolaan yang mengakibatkan para pemilik membayar
biaya perpanjangan Hak Guna Bangunan diatas Hak Pengelolaan lebih besar dan
perpanjangan atas Hak Guna Bangunan murni, dan para pemilik Apatemen Mangga
Dua Court tidak mendapat hak untuk dapat didengar pendapat dan keluhannya. Atas
keluhannya terhadap PT Duta Pertiwi yang tidak menginformasikan secara jelas
mengenai status tanah apartemen Mangga Dua Court Perhimni justru dilaporkan ke
Mabes Polri karena dianggap mencemarkan nama baik PT Duta Pertiwi. Tambahkan
kelimat bahwa kasus ini malah dibawa ke pengadilan jakut. Adapun beberapa
Kewajiban pelaku usaha dalam hal ini PT Duta Pertiwi berdasarkan Pasal 7 UU No.8
Tahun 1999 tentang Perlindngan Konsumen adalah:
1. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
2. Memberikan informasi yang benar, jelas danjujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, ' perbaikan
dan pemeliharaan;
3. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
4. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang
berlaku;
7 Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen (Jakarta: Kencana Prenada Group, 2013), h.6.
65
5. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba
barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang
yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
6. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat
penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan;
7. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau
jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
Melalui Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen,
pemerintah Indonesia mengatur hak-hak konsumen yang harus dilindungi. Undang-
undang Perlindungan Konsumen bukanlah anti terhadap produsen, namun malah
sebaliknya merupakan apresiasi terhadap hak-hak konsumen secara universal.8
Terkait dengan kewajiban pelaku usaha yaitu PT Duta Pertiwi pada point (b)
yakni memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur, tidak dilakukan dengan baik
oleh PT Duta Pertiwi mengenai status tanah Apartemen Mangga Dua Court yang
seakan-akan ditutup-tutupi oleh PT Duta Pertiwi. PT Duta Pertiwi memberitahukan
kepada para calon pembeli Apartemen Mangga Dua Court bahwa Apartemen Mangga
Dua Court tersebut berstatus Hak Guna Bangunan.
Selain memperoleh hak tersebut diatas, sebagai keseimbangan konsumen juga
memiliki kewajiban-kewajiban yang harus ditaati (berdasarkan pasal 5 UU No. 8
Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen antara lain:
1. membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau
pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
2. beritikad baik dalam melakukan transaksi barang dan/atau jasa;
3. membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
4. mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen
secara patut.9
8 Yusuf Sofie, Pelaku Usaha, Konsumen, dan Tindak Pidana Korporasi (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 2002), h. 12.
66
Seperti halnya konsumen, pelaku usaha dalam hal in PT. Duta Pertiwi sebagai
pengembang juga memiliki hak dan kewajiban. Hak pelaku usaha sebagaimana diatur
dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen adalah:
1. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan
mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan;
2. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang
beritikad tidak baik;
3. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian
hukum sengketa konsumen;
4. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa
kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan;
5. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya.10
Sedangkan kewajiban pelaku usaha menurut ketentuan Pasal 7 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, berdasarkan ketentuan-
ketentuan tersebut, tampak bahwa hak dan kewajiban pelaku usaha bertimbal balik
dengan hak dan kewajiban konsumen, ini berarti hak bagi konsumen adalah
kewajiban yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha. Demikian pula dengan kewajiban
konsumen merupakan hak yang akan diterima pelaku usaha.
Kewajiban-kewajiban pelaku usaha juga sangat erat kaitannya dengan larangan
dan tanggung jawab pelaku usaha. Ketentuan mengenai perbuatan yang dilarang bagi
pelaku usaha diatur dalam Pasal 8-I7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun l999 Tentang
9 Titik Triwulan Tutik dan Shita Febriana, Perlindungan Hukum bagi Pasien, (Jakarta: PT.
Prestasi Pustakaraya 2010), h. 30. 10
Undang-Undang Tentang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999, I.N Tahun I999
Nomor 42. TLN Republik lndonesia Nomor 3821
67
Perlindungan Konsumen. Ketentuan-ketentuan ini kemudian dapat dibagi kedalam 3
(tiga) kelompok, yaitu:
1. larangan bagi pelaku usaha dalam kegiatan produksi (Pasal 8)
2. larangan bagi pelaku usaha dalam kegiatan pemasaran (Pasal 946)
3. larangan bagi pelaku usaha periklanan (Pasal l7). Pengaturan mengenai hak
dan kewajiban pelaku usaha tersebut hakikatnya merujuk pada upaya
perlindungan hukum terhadap konsumen. Pada hakikatnya terdapat dua
instrument hukum penting yang menjadi landasan kebijakan perlindungan hukum
bagi konsumen, yakni:
a. Pertama, Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) sebagai sumber dari segala
sumber hukum di Indonesia, menentukan bahwa pembangunan nasional
bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Tetapkan
pembangunan nasional diwujudkan melalui sistem pembangunan ekonomi yang
demokratis sehingga mampu menumbuhkan dan mengembangkan dunia yang
memproduksi barang dan jasa yang layak dikonsumsi oleh masyarakat.
b. Kedua, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen (UUPK). Lahirnya UUPK ini memberikan harapan bagi masyarakat
Indonesia untuk memperoleh perlindungan atas kerugian yang diderita atas
transaksi suatu barang dan jasa. UUPK menjamin adanya kepastian hukum bagi
konsumen.
Menurut Pasal 1 butir l UUPK menegaskan bahwa perlindungan hukum bagi
konsumen adalah “segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk
memberikan perlindungan kepada konsumen”. Kepastian hukum untuk memberikan
perlindungan kepada konsumen itu antara lain adalah dengan meningkatkan harkat
dan martabat konsumen serta membuka akses informasi tentang barang dan/atau jasa
baginya, dan menumbuhkembangkan sikap pelaku usaha yang jujur dan bertanggung
jawab. Adapun tujuan perlindungan konsumen sesuai dengan Pasal 3 UUPK adalah:
l. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk
melindungi diri;
68
2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya
dari ekses negative pemakaian barang dan/atau jasa;
3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih;
4. Menciptakan dan menuntut hak-hak sebagi konsumen yang mengandung unsur
kepastian hukum dan keterbukaan infomasi serta akses untuk mendapat informasi;
5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan
konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam
berusaha;
6. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan
usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan
keselamatan konsumen.
Perlindungan konsumen yang dijamin oleh UUPK adalah adanya kepastian
hukum terhadap segala perolehan kebutuhan konsumen, yang bermula dari “benih
hidup dalam rahim ibu sampai dengan tempat pemakaman, dan segala kebutuhan
diantarannya”. Kepastian hukum itu meliputi segala upaya berdasarkan hukum untuk
memberdayakan konsumen memperoleh atau menentukan pilihannya atas barang
dan/atau jasa kebutuhannya serta mempertahankan atau membela hak-haknya apabila
dirugikan oleh perilaku pelaku usaha penyedia kebutuhan konsumen tersebut.
Pemberdayaan konsumen adalah dengan meningkatkan kesadaran, kemampuan dan
kemandirian melindungi diri sendiri sehingga mampu mengangkat harkat dan
martabat konsumen dengan menghindari berbagai ekses negative pemakaian,
penggunaan dan pemanfaatan barang dan/atau kebutuhamya. Disamping itu, juga
kemudahan dalam proses menjalankan sengketa konsumen yang timbul karena
kerugian yang timbul karena kerugian harta bendanya, keselamatan/kesehatan
tubuhnya, penggunaan dan/atau pemanfaatan produk konsumen.
Kasus antara Perhimni Mangga Dua Court dan Perhimni ini juga pula melibatkan
Badan Pertanahan Nasional (selanjutnya disebut BPN) sebagai instansi yang
mengeluarkan produk berupa Seitirikat Apartemen MDC yang telah diberikan catatan
“Berdasarkan Keputusan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Daerah
69
Khusus Ibu Kota Jakarta No.013/08.550.2.09.012006, Hak Guna Bangunan
No.2981/Mangga Dua Selatan diberikan perpanjangan jangka waktu haknya selama
20 tahun hingga berakhir haknya pada tanggal 1807-2028 kepada pemegang hak yang
telah berubah namanya menjadi Perhimpunan Penghuni Rumah Sususn Hunian
Apartemen Mangga Dua Court berkedudukan di Jakarta atas nama Pemilik 147 unit
sertifikat Hak Milik atas Satuan Rumah Susun. Mengapa BPN dapat mengeluarkan
sertifikat tersebut tanpa tahu bahwa Apartemen Mangga Dua Court tersebut berstatus
Hak Guna Bangunan diatas Hak Pengelolaan Pemprov DKI Jakarta. Dan setelah BPN
mengetahui bahwa Apartemen Mangga Dua Court tersebut berstatus Hak Guna
Bangunan diatas Hak Pengelolaan Pemprov DKI Jakarta, BPN mencantumkan
disertifikat catatan yakni “Berdasarkan Keputusan Kepala Kantor Wilayah Badan
Pertanahan Nasional Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta No.0l3/08.550.2.09.0l2006,
Hak Guna Bangunan No.2981/Mangga Dua Selatan diberikan perpanjangan jangka
waktu haknya selama 20 tahun hingga berakhir haknya pada tanggal 1807-2028
kepada pemegang hak yang telah berubah namanya menjadi Perhimpunan Penghuni
Rumah Sususn Hunian Apartemen Mangga Dua Court berkedudukan di Jakarta atas
nama Pemilik 147 unit sertifikat Hak Milik atas Satuan Rumah Susun, dicoret
kembali dan tertulis “dibatalkan”. BPN seakan-akan tidak peduli atas biaya yang
sudah dikeluarkan oleh Perhimni untuk memperpanjang Hak Guna Bangunan
tersebut.
Keputusan pengadilan atas kasus ini kiranya memiliki beberapa catatan antara
lain:11
Majelis hakim dalam pertimbangannya menyebutkan bahwa pengertian
perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur dalam pasal 1365 KUHPerdata telah
mengalami perluasan pengertian dimana melanggar hukum tidak saja diartikan
sebagai perbuatan yang melanggar undang-undang saja akan tetapi juga termasuk
perbuatan yang melanggar unsur kepatutan, ketelitian, dan kehati-hatian; sehingga
11
Putusan Pengadilan Jakarta Pusat Nomor 205/Pdt.G/2007/PN.Jkt.Pst
70
menghukum tergugat I, II, dan III atas gugatan perbuatan melanggar hukum.
Sementara itu, Tergugat IV dan V tidak berkaitan langsung dengan objek sengketa,
maka gugatan perbuatan melanggar hukum terhadap mereka ditolak.
Majelis hakim dalam memberikan putusannya tidak mempertimbangkan kantor
pertanahan atau BPN, yang merupakan tergugat IV untuk berhati-hati dalam bekerja.
Pada kasus ini BPN juga berkaitan langsung dengan objek sengketa. Peran BPN
khususnya BPN Jakarta Pusat, dalam dilihat dalam hal:
1. Penerbitan sertipikat hak guna bangunan No.2981 tertanggal 21 Februari 1995
tidak mencantumkan keterangan “HGB di atas HPL”, yang seharusnya dimuat
dalam kotak;
2. Penerbitan Sertipikat Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun tertanggal 29
Desember 1995, tidak memuat keterangan “HGB di atas HPL”, yang
seharusnya dicantumkan dalam kotak;
3. Menanggapi permohonan perpanjangan sertipikat HGB, BPN mengeluarkan
surat keterangan status tanah tanggal 24 Mei 2006, tercantum status tanah
Apartemen Mangga Dua Court adalah HGB, bukan HGB di atas HPL.
4. Mengeluarkan risalah pemeriksaan tanag tanggal 29 Mei 2006 No.330/2006
tercantum status tanah apartemen mangga dua court adalah HGB, bukan HGB
di atas HPL.
5. Surat keputusan BPN No.013/08-550.2-09.01-2006 untuk pembayaran
perpanjangan sertipikat tanah apartemen mangga dua court dengan status
HGB, bukan HGB di atas HPL.
6. Pada tanggal 20 Juni 2006, BPN Provinsi DKI Jakarta atas dasar berkas-
berkas yang diberikan oleh BPN Jakarta Pusat mengeluarkan Surat keputusan
No. 013/08-550.2-09.01-2006 tentang pemberi perpanjangan SHGB
No.2981/Mangga dua selatan sebagai tanag bersama kepada Pehimni MDC.
7. Selanjutnya pada tanggal 7 Juli 2006 BPN Jakarta Pusat memberikan Surat
No.758/09.01-PT kepada Pehimni MDC yang menyatakan bahwa setelah
dilakukan penelitian lebih lanjut, ternyata SHGB No.2981/Mangga Dua
71
selatan berada di atas Hak Pengelolaan (HPL) No.1/Mangga Dua Selatan atas
nama Pemerintah DKI (Pemda DKI) Jakarta.
Berdasarkan pada penjabaran diatas, terlihat BPN bekerja dengan tidak cermat.
Penerbitan surat-surat tanah tercatat tidak lengkap dan baru dikoreksi setelah BPN
memberikan persetujuan perpanjangan HGB kepada Perhimni MDC. Penerbitan
surat-surat tanah yang tidak lengkap pada kelanjutannya menyebabkan pencatatan
dan penerbitan surat tanah yang berpotensi menimbulkan salah paham dan sengketa
hukum seperti yang terjadi saat ini. Seandainya saja sejak awal, yaitu sejak sertipikat
HGB No.2981 memuat keterangan “HGB di atas HPL”, sengketa antara Pehimni
MDC dan PT. Duta Pertiwi tidak perlu terjadi.
Semestinya majelis hakim mempertimbangkan kelalaian BPN dalam putusannya,
dan memberikan sanksi kepada BPN. Karena aktivitas kerja baik PT. Duta Petiwi
maupun Notaris yang saat itu membuat akta Jual Beli, didasarkan kepada surat-surat
tanah yang telah diterbitkan oleh BPN. Demikian juga para pemegang SHMSRS yang
terhimpun dalam Perhimni MDC meletakkan dasar argumentasinya pada surat-surat
tanah dan surat keterangan yang dibuat dan diterbitkan oleh BPN yang mereka miliki.
Kiranya dengan sanksi yang dijatuhkan oleh pengadilan, BPN bekerja dengan lebih
baik dikemudian hari sehingga sengketa tanah di masyarakat dapat diminimalisir.
3. Analisis Hukum Islam
Mengingat pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara penulis menganalisis
putusan terdahulu yang ditetapkan hakim dalam memutuskan suatu hukum yang
menjadikan bentuk kekurangan didalam hukum positif ini, namun putusan Majelis
Hakim Pengadilan Jakarta Pusat telah memberikan suatu putusan terhadap masalah
ini.
Melihat kasus disini yang telah dipaparkan sebelumnya, bahwasannya akad jual
beli ini mengandung unsur gharar yang dimana seorang penjual (PT. Duta Pertiwi)
tidak transparan terhadap seorang pembeli (PERHIMNI) yang menyebabkan ada
unsur gharar, sedangkan jual beli dengan adanya unsur gharar itu telah dilarang oleh
Rasulullah SAW. sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Abu Hurairah
72
bahwasanya Rasulullah shallallahu „alaihi wasallam telah melarang jual beli dengan
cara hashah (yaitu: jual beli dengan melempar kerikil) dan cara lain yang
mengandung unsur gharar).12
Dan juga Sayyid Sabiq menjelaskan perihal jual beli gharar, bahwasanya jual beli
gharar adalah setiap jual beli yang memuat ketidaktahuan atau memuat pertaruhan
dan perjudian.13
Mengenai hukuman bagi seseorang yang telah melakukan unsur jual beli gharar
dalam hukum islam itu pelakunya dijatuhi hukuman ta‟zir. Adapun pengertian ta‟zir
itu sendiri sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Wahbah az-Zuhaili: Ta‟zir
merupakan hukuman yang diberlakukan terhadap suatu bentuk kemaksiatan atau
kejahatan yang tidak ada ancaman hukuman had dan tidak pula kafarat, baik itu
kejahatan terhadap hak Allah SWT maupun kejahatan terhadap hak Adam. Adapun
dasar hukum ta‟zir itu adalah:
.14التعزير يدور مع المصلحة
Artinya: Hukum Ta‟zir didasarkan pada pertimbangan kemaslahatan (dengan tetap
mengacu kepada prinsip keadilan dalam masyarakat).
Oleh karena itu, seseorang yang melakukan jual beli gharar itu di jatuhi hukuman
ta‟zir, adapun hukumannya tersebut tergantung hakim tidak ada batasan, karena
hukuman ta‟zir tidak ditetapkan dengan ketentuan dari Allah dan Rasul-Nya dan
Qadhi diperkenankan untuk mempertimbangkan baik bentuk hukuman yang akan
dikenakan maupun kadarnya. Bentuk hukuman dengan kebijaksanaan ini di berikan
dengan pertimbangkan khusus tentang berbagai faktor yang memperngaruhi
perubahan sosial dalam peradaban manusia dan bervariasi berdasarkan pada
keanekaragaman metode yang dipergunakan pengadilan ataupun jenis tindak pidana
12
Al-Imam Abi al-Husain Muslim Bin al-Hajaj al-Naysaburi, Shohih al-Muslim (Kairo: Dar
al-Hadits 2010) No.1513, h. 4. 13
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Kairo: Fath Li al-I‟lam al-„Arabi, 2008), jilid 3, h. 102 14
Makhrus Munajat, Reaktualisasi Pemikiran Hukum Pidana Islam (Yogyakarta: Cakrawala,
2006). h. 14.
73
yang dapat ditunjukan dalam undang-undang.15
Didalam Hadits hanya dijelaskan
mengenai larangan jual beli gharar saja, tidak disebutkan ganjaran bagi pelaku yang
telah melakukan jual beli gharar tersebut sebagaimana yang penulis sebutkan diatas.
Oleh sebab itu seorang hakim diberi kebebasan untuk menghukumi pelakunya
tersebut dengan hukuman yang membuat jera bagi pelakunya. Adapun tujuan
pemberlakuan sanksi ta‟zir:16
1. Preventif: mencegah orang lain agar tidak melakukan jarimah.
2. Represif; membuat pelaku jera sehingga tidak mengulangi.
3. Kuratif; membawa perbaikan sikap bagi pelaku.
4. Edukatif; memberikan pengajaran dan pendidikan sehingga diharapkan dapat
memeperbaiki pola hidup pelaku.
Oleh sebab itu dari kasus ini jual beli rumah susun tersebut menjadi tidak sah,
karena mengandung unsur gharar didalam jual beli tersebut, dan juga Majelis Hakim
telah memberi pertimbangan atas ketidaksahnya jual beli tersebut, dimana terdapat
cacat tersembunyi berkaitan dengan tidak diberitahukannya keadaan objek jual beli
berupa Apartemen Mangga Dua Court yang berdiri diatas Hak Guna Bangunan diatas
tanah Hak Pengelolaan milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, dan juga bagi
pelakunya akan dikenakan hukuman ta‟zir yang nantinya akan ditentukan sendiri oleh
hakim seberapa berat hukuman tersebut.
15
Prof. Abdur Rahman I.Doi, Tindak Pidana Dalam Syariat Islam (Jakarta: PT. Rineka Cipta,
1992), h. 14. 16
Muhmmad Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2016), h. 93.
74
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan pada bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan beberapa
hal sebagai berikut:
1. Konsekuensi apabila memiliki apartemen yang berstatus tanahnya Hak Guna
Bangunan (HGB) di atas Hak Pengelolaan (HPL). Maka yang harus dilihat
pertama-tama adalah dapat memiliki apartemen tersebut selama jangka waktu
HGB nya belum berakhir, dan juga apabila ingin memperpanjang dan
memperbaharui HGB serta untuk melakukan perbuatan hukum terhadap
rumah susun dan tanah bersamanya maka para penghuni apartemen harus
mendapatkan persetujuan tertulis dari PEMDA DKI Jakarta selaku pemegang
HPL, agar dapat terus memiliki apartemen tersebut maka para penghuni
apartemen harus memenuhi persyaratan yg ditentukan. Salah satunya adalah
membayar uang rekomendasi pemegang HPL yaitu kepada PEMDA DKI.
2. Tinjauan hukum islam dan hukum positif dalam mengatasi perkara diatas:
a. Perkara diatas didalam islam termasuk dalam kategori jual beli gharar,
yang dimana hukuman orang yang telah melakukan jual beli gharar itu
dikenakan ta‟zir sesuai dengan ketentuan hakim, artinya tidak ada
ketentuan yang menjelaskan hukuman orang yang telah melakukan jual
beli gharar, baik itu di Al-Quran maupun di Hadits.
b. Majelis hakim dalam pertimbangannya menyebutkan bahwa pengertian
perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur dalam pasal 1365
KUHPerdata telah mengalami perluasan pengertian dimana melanggar
hukum tidak saja diartikan sebagai perbuatan yang melanggar undang-
undang saja akan tetapi juga termasuk perbuatan yang melanggar unsur
kepatutan, ketelitian, dan kehati-hatian; sehingga menghukum tergugat I,
II, dan III atas gugatan perbuatan melanggar hukum. Sementara itu,
75
Tergugat IV dan V tidak berkaitan langsung dengan objek sengketa, maka
gugatan perbuatan melanggar hukum terhadap mereka ditolak.
B. Saran
Kepada masyarakat lebih teliti sebelum membeli merupakan pedoman
yang baik bagi setiap pembeli. Tidak terkecuali bagi mereka yang juga
ingin membeli unit atau satuan rumah susun. Setiap calon pembeli harus
mempelajari dengan teliti bagaimana aturan-aturan tentang rumah susun
yang ada di Indonesia. Untuk memperolehnya sangat mudah karena
kumpulan peraturan di bidang rumah susun baik sendiri, maupun yang
dihimpun dengan peraturan lain yang terkait dan dijadikan buku juga
banyak di toko-toko buku. Ada juga buku-buku yang berisi panduan
membeli satuan rumah susun. Dengan mempelajari peraturan perundang-
undangan dan panduan yang ditulis oleh orang-orang yang berpengalaman
khususnya di bidang rumah susun. Selain itu juga dianjurkan untuk
bertanya kepada orang lain yang punya pengalaman membeli satuan
rumah susun, pembeli juga bisa mencari informasi dari media massa
seperti Koran dan majalah atau bisa membaca berita dari internet untuk
menambah wawasan sehingga dapat semakin memahami seluk beluk jual
beli dan kepemilikan satuan rumah susun. Pada akhirnya, saat melakukan
transaksi jual beli rumah susun, pembeli harus kritis mencermati proses
jual beli dan pengalihan hak atas satuan rumah susun.
76
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku Referensi
A. P. Parlindungan, Hak Pengelolaan Menurut Sistem UUPA (Undang-Undang
Pokok Agraria), (Bandung: Mandar Maju, 2015) al-Asqolani, Ibnu Hajar, Bulugh al-Maram, (Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiyah,
2002)
al-Jurjani, Ali bin Muhammad bin Ali, Kitab al-Ta‟rifat (Jakarta: Dar al-Kutub al-
Islamiyyah, 2012) al-Khotslan, Sa’ad Bin Turky, Fiqh al-Mu‟amalah al-Maliyah al-Mu‟ashirah,
(Riyadh: Dar al-Shomi’iy, 2012)
al-Nawawi, Abi Zakaria Yahya Syaraf, al-Majmu‟ Syarah al-Muhadzdzab (Kairo:
Dar al-Hadits 2010)
al-Naysaburi, Al-Imam Abi al-Husain Muslim Bin al-Hajaj, Shohih al-Muslim
(Kairo: Dar al-Hadits 2010)
al-Qoliyubi, Ahmad bin Ahmad, Hasyiata al-Qoliyubi wa „Umairoh (Beirut: Dar
al-Fikr 2008)
al-Shon’ani, al-Imam Muhammad bin Ismail al-Kahlani, Subul Al-Salam Sarh
Bulugh Al-Maram Minjami‟ Adilati Al Ahkam, (Beirut, Lebanon:, Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2014)
al-Zuhaili, Wahbah, al-Fiqih al-Islami wa Adillatuh, (Beirut: Dar al-Fikr, 2005)
As-Sajstani, Abu Dawud Sulaiman bin Al-Asy’ats, Sunan Abu Dawud (Beirut:
Dar al-Fikr, 1996)
Asy-Syairazi, Abu Ishaq Ibrahim, al-Muhadzdzab fii fiqh al-Imam asy-Syafi‟i
(Lebanon: Dar al-Kutub al-‘ilmiyyah, 2010)
Asy-Syarbini, Syamsuddin Muhammad bin khatib, al-Mughni al-Muhtaj (Kairo:
Dar al-Hadits 2003)
Bakry, Nazar, Problematika Pelaksanaan Fiqh Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 1994)
Chomzah, H. Ali Achmad, Hukum Pertanahan, (Jakarta : Prestasi Pustaka, 2002)
Halim, A. Ridwan, Hukum Pemukiman, Perumahan, dan Rumah Susun (Suatu
Himpunan Tanya Jawab), (Jakarta: Doa dan Karma, 2006)
Hamzah, Andi, Dasar-Dasar Hukum Perumahan (Jakarta: Rineka Cipta, 1990)
-----------, I Wayan Suandra dan B.A Manalu, Dasar-Dasar Hukum Perumahan
(Rineka Cipta, Jakarta, 2000)
Hasan, M. Ali, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2003)
Hutagalung, Arie S, Condominium dan Permasalahannya (Jakarta: Badan
Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1998)
Kuncoro, Rahmat, Praktek Hukum Pertanahan di Indonesia, (Bandung: Kencana
Perdana, tth)
77
Lubis, Suhrawadi. K, Hukum Ekonomi Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000)
Mas’adi, Ghufron A., Fiqh Muamalah Kontekstual, (Jakarta: Raja Grafindo
Pustaka, 2002)
Mertokusumo, Sudikno, Hukum dan Politik Agraria, (Universitas Terbuka,
Karunika, Jakarta, 1988)
Munajat, Makhrus, Reaktualisasi Pemikiran Hukum Pidana Islam (Yogyakarta:
Cakrawala, 2006) Nurul Irfan, Muhmmad, Hukum Pidana Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2016) Rahman I.Doi, Abdur, Tindak Pidana Dalam Syariat Islam (Jakarta: PT. Rineka
Cipta, 1992) Sabiq, Sayyid, Fiqh al-Sunnah, (Kairo: Fath Li al-I’lam al-‘Arabi, 2008)
Salle, Aminuddin, dkk. Hukum Agraria, (AS Publishing, Makassar, 2010)
Salle, Aminuddin, Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum (Kreasi
Total Media, Yogyakarta, 2007)
Santoso, Urip, Hukum Agraria Kajian Komprehensif (Kencana, Jakarta, 2012)
----------, Hukum Agraria & hak-hak Atas Tanah, (Kencana Prenada Media
Group, Jakarta, 2008)
----------, Pendaftaran dan Peralihan Hak atas Tanah (Jakarta: Kencana Prenada
Media Group: 2014)
Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: PT.Intermasa, 1990)
Supriadi, Hukum Agraria (Sinar Grafika, Jakarta 2007)
Sofie, Yusuf, Pelaku Usaha, Konsumen, dan Tindak Pidana Korporasi (Jakarta:
Ghalia Indonesia, 2002) Sutedi, Adrian, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, (Jakarta: Sinar
Grafika.)
Taimiyah, Ibnu, al-Fatawa al-Kubro (Bairut-Libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyah,
1987)
Tutik, Titik Triwulan dan Shita Febriana, Perlindungan Hukum bagi Pasien,
(Jakarta: PT. Prestasi Pustakaraya 2010)
Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen (Jakarta: Kencana Prenada Group,
2013)
B. Jurnal dan Tesis
Hayundani, Laksmi, Perlindungan hukum bagi pemegang Hak Milik Atas Satuan
Rumah Susun yang Hak Atas Tanah Bersamanya Berada Di Atas
Tanah Hak Pengelolaan, Tesis Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, Jakarta, 2009.
Hosen, Nadratuzzaman, Analisis Bentuk Gharar dalam Transaksi Ekonomi.
Jurnal UIN Jakarta, Fakultas Syariah dan Hukum . al-Iqtishad: Vol.1,
No.1, Januari 2009.
78
Hutagalang, Arie Sukanti, Jurnal “Kajian Hukum Mengenai Status HGB di atas
HPL”
Santoso, Purbayu Budi, Larangan jual beli Gharar: telaah terhadap hadits dari
musnad Ahmad Bin Hanbal” Universitas Diponegoro Semarang.
C. Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 33 ayat 3
Undang-Undang Tentang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999, I.N
Tahun I999 Nomor 42. TLN Republik lndonesia Nomor 3821
Pasal 1 Angka 2 PP Nomor 40 Tahun 1996. Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah.
D. Internet
https://www.rukamen.com/blog/menurut-undang-undang-bisakah-konsumen-
menuntut-developer-nakal/ (01 November 2017)
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5992e4d3cca3e/konsumen-wajib-
tahu-hal-ini-sebelum-beli-apartemen (15 Agustus 2017)
http://Kamusbesarbahasaindonesia.org pada tanggal 8 Agustus 2015 pukul 06.00
https://ekonomi.kompas.com/read/2008/11/17/12434599/pemilik.kios.dan.penge
m- bang.itc.mangga.dua.bertikai.di.pengadilan Di Akses pada; 17-11-2008, 12:43
WIB