Pengalihan Hak Atas Tanah Terlantar

42
PENGALIHAN HAK ATAS TANAH TERLANTAR DENGAN STUDI KASUS PT. WANAWISATA ALAM HAYATI MAKALAH Ditujukan Untuk Memenuhi Salah Satu Kriteria Penilaian Dalam Mata Kuliah Hukum Agraria KELOMPOK VIII: Rio Steva Christyardo 0910611037 Hari Pamungkas 0910611044 Sandy Muslim 0910611047 Hery Purnomo 0910611052 Alif Bam Al Ikhlas 0910611054 Strata Satu Ilmu Hukum

Transcript of Pengalihan Hak Atas Tanah Terlantar

Page 1: Pengalihan Hak Atas Tanah Terlantar

PENGALIHAN HAK ATAS TANAH TERLANTAR DENGAN STUDI KASUS

PT. WANAWISATA ALAM HAYATI

MAKALAH

Ditujukan Untuk Memenuhi Salah Satu Kriteria Penilaian Dalam Mata Kuliah

Hukum Agraria

KELOMPOK VIII:

Rio Steva Christyardo 0910611037

Hari Pamungkas 0910611044

Sandy Muslim 0910611047

Hery Purnomo 0910611052

Alif Bam Al Ikhlas 0910611054

Strata Satu Ilmu Hukum

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”

JAKARTA

2011

Page 2: Pengalihan Hak Atas Tanah Terlantar

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan karunia-Nya sehingga

penyusunan makalah ini dapat terselesaikan. Adapun judul dari makalah ini adalah

”Pengalihan Hak Atas Tanah Terlantar Dengan Studi Kasus PT. Wanawisata Alam

Hayati”. Penyusunan makalah ini ditujukan intuk memenuhi salah satu kriteria penilaian

dalam mata kuliah Hukum Agraria semester genap di Universitas Pembangunan

Nasional ”Veteran” Jakarta.

Makalah ini tidak mungkin dapat terselesaikan dengan baik tanpa adanya

dukungan moril dan materiil dari berbagai pihak. Karena itu, penyusun mengucapkan

terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Kedua orang tua, yang telah memberi dukungan dan membantu dalam

pembuatan makalah ini.

2. Hj. Devi Kantini Rolaswati, S.H, M.Kn, selaku dosen Hukum Agraria.

3. Serta semua pihak yang telah membantu penulis dalam penulisan makalah

ini, yang namanya tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu.

Penyusunan makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi para

pembaca. Namun, makalah ini mungkin memiliki kekurangan. Karena itu, sangat

diperlukannya kritik dan saran yang dapat membangun makalah ini sehingga menjadi

lebih baik lagi. Akhir kata, penyusun mengucapkan maaf yang sebesar-besarnya atas

segala kesalahan yang mungkin ada didalam makalah ini.

Jakarta, Mei 2011

Penyusun

Page 3: Pengalihan Hak Atas Tanah Terlantar

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................................... i

DAFTAR ISI.................................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang........................................................................................ 1

1.2. Rumusan Masalah.................................................................................. 2

1.3. Tujuan Penulisan..................................................................................... 4

1.4. Metode dan Teknik Penulisan................................................................. 5

BAB II PEMBAHASAN

2.1. Tinjauan Umum Mengenai Penguasaan

2.1.1 Hak Penguasaan Atas Tanah....................................................... 7

2.1.2. Macam Hak Penguasaan Atas Tanah.......................................... 10

2.2. Fungsi Sosial Tanah................................................................................ 12

2.3. Tinjauan Umum Mengenai Tanah Terlantar............................................ 12

2.3.1. Menurut UUPA (UU No. 5 Tahun 1960)....................................... 13

2.3.2. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996…………………….14

2.3.3. Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 2010………………………. 16

2.4. Sistematika Penetapan Tanah Terlantar…………………………………. 17

2.5. Akibat Hukum Tanah Yang Diterlantarkan………………………………. 21

Page 4: Pengalihan Hak Atas Tanah Terlantar

BAB III PENUTUP......................................................................................................... 24

Daftar Pustaka.............................................................................................................. 28

Lampiran....................................................................................................................... 29

Page 5: Pengalihan Hak Atas Tanah Terlantar

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Munculnya kasus dan sengketa tanah banyak yang berawal dari tanah

terlantar. Disisi lain pemerintah sulit melakukan kebijakan peralihan tanah

terlantar menjadi tanah Negara,karena pelaku tanah terlantar umumnya orang

yang bermodal besar, akibatnya.bidang tanah terlantar terus terjadi,sehingga

menyebabkan ketimpangan kepemilikan dan penguasaan tanah.

Pada akhirnya menambah problematika tanah sebagai kebutuhan pokok

manusia,padahal prinsip fungsi social, mewajibkan setiap individu atau badan

hukum wajib memelihara tanah,menambah kesuburan,mencegah terjadinya

kerusakan,sehingga tanah bermanfaat untuk kesejahteraan rakyat.akibatnya

banyak timbul slogan “banyak orang tidak memiliki tanah dan sedikit orang

menguasai banyak tanah”.

Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat 3 telah menyatakan bahwa

“bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh

Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Secara

filososfis pasal 1 ayat 3 Undang Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan

Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) menyatakan bahwa hubungan antara

bangsa Indonesia dan bumi, air serta ruang angkasa termaksud dalam ayat (2)

pasal ini adalah hubungan yang bersifat abadi. Hal itu berarti bahwa hubungan

antara bangsa Indonesia dengan bumi, air, dan kekayaan yang terkandung

didalamnya bukan hanya berhubungan dengan generasi saat ini saja, melainkan

juga untuk generasi yang akan datang.

Oleh karena itu sumber daya alam yang ada harus dijaga dan

dimanfaatkan sebaik mungkin, sebab jika suber daya tersebut dalam hal ini hak

atas tanah tidak dilaksanakan sesuai peruntukan dan tujuan dari hak atas tanah

tersebut. Maka hak atas tanah tersebut akan dicabut dan dikategorikan sebagai

tanah terlantar sehingga Negara akan mengambil alih hak atas tanah tersebut

Page 6: Pengalihan Hak Atas Tanah Terlantar

menjadi tanah Negara. Secara yuridis ketentuan mengenai tanah terlantar

ternyata dalam pasal 27, 34, dan 40 UUPA . hal inilah yang melatarbelakangi

pemilihan judul “Pengalihan Hak Atas Tanah Terlantar dengan Studi Kasus PT

Wanawisata Alam Hayati”

1.2. Rumusan Masalah

Penelantaran tanah di pedesaan dan perkotaan, selain merupakan

tindakan yang tidak bijaksana, tidak ekonomis (hilangnya peluang untuk

mewujudnyatakan potensi ekonomi tanah), dan tidak berkeadilan, serta juga

merupakan pelanggaran terhadap kewajiban yang harus dijalankan para

Pemegang Hak atau pihak yang telah memperoleh dasar penguasaan tanah.

Penelantaran tanah juga berdampak pada terhambatnya pencapaian berbagai

tujuan program pembangunan, rentannya ketahanan pangan dan ketahanan

ekonomi nasional, tertutupnya akses sosial-ekonomi masyarakat khususnya

petani pada tanah, serta terusiknya rasa keadilan dan harmoni sosial.

Negara memberikan hak atas tanah atau Hak Pengelolaan kepada

Pemegang Hak untuk diusahakan, dipergunakan, dan dimanfaatkan serta

dipelihara dengan baik selain untuk kesejahteraan bagi Pemegang Haknya juga

harus ditujukan untuk kesejahteraan masyarakat, bangsa dan negara. Ketika

Negara memberikan hak kepada orang atau badan hukum selalu diiringi

kewajiban-kewajiban yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan surat keputusan

pemberian haknya. Karena itu Pemegang Hak dilarang menelantarkan tanahnya,

dan jika Pemegang Hak menelantarkan tanahnya, Peraturan Dasar Pokok-Pokok

Agraria telah mengatur akibat hukumnya yaitu hapusnya hak atas tanah yang

bersangkutan dan pemutusan hubungan hukum serta ditegaskan sebagai tanah

yang dikuasai langsung oleh Negara.

Bagi tanah yang belum ada hak atas tanahnya, tetapi ada dasar

penguasaannya, penggunaan atas tanah tersebut harus dilandasi dengan

sesuatu hak atas tanah sesuai Pasal 4 juncto Pasal 16 Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Oleh karena itu

orang atau badan hukum yang telah memperoleh dasar penguasaan atas tanah,

Page 7: Pengalihan Hak Atas Tanah Terlantar

baik dengan pengadaan tanah itu dari hak orang lain, memperoleh penunjukan

dari pemegang Hak Pengelolaan, karena memperoleh izin lokasi, atau

memperoleh keputusan pelepasan kawasan hutan berkewajiban memelihara

tanahnya, mengusahakannya dengan baik, tidak menelantarkannya, serta

mengajukan permohonan untuk mendapatkan hak atas tanah. Meskipun yang

bersangkutan belum mendapat hak atas tanah, apabila menelantarkan tanahnya

maka hubungan hukum yang bersangkutan dengan tanahnya akan dihapuskan

dan ditegaskan sebagai tanah yang dikuasai langsung oleh Negara.

Permasalahan mengenai tanah terlantar ini merupakan problematika

mengenai peruntukan tanah maupun penguasaan atas tanah. Sebagaimana kita

ketahui bahwa UUPA belum menjelaskan secara rinci deskripsi mengenai

penelantaran tanah yang dimaksud, bahkan Peraturan Pemerintah No.36 Tahun

1998 Juncto Peraturan Pemerintah No.11 Tahun 2010 yang belum juga

memberikan batasan-batasan yang jelas mengenai penetapan suatu tanah yang

telah diberi hak penguasaan atas tanah kepada subyek hukum oleh pemerintah

sebagai regulator.

Dari uraian di atas, penyusun dapat mengemukakan beberapa

permasalahan sebagai berikut :

1. Apakah tanah terlantar itu, dan bagaimanakah sebidang tanah dapat

dikategorikan sebagai tanah terlantar?

2. Bagaimanakah sistematika peralihan hak penguasaan atas tanah menjadi

tanah terlantar yang dikuasai langsung oleh negara?

1.3. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui penyebab permasalahan terjadinya penelantaran tanah.

2. Untuk mengetahui cara peralihan hak penguasaan atas tanah terlantar.

3. Untuk memberi pemahaman terhadap hak penguasaan atas tanah beserta

batas-batas penetapan suatu hak penguasaan atas tanah.

1.4. Metode dan Teknik Penulisan

Page 8: Pengalihan Hak Atas Tanah Terlantar

Metode dan teknik penulisan yang digunakan dalam penulisan karya tulis

ini adalah metode studi pustaka. Studi pustaka dilakukan untuk mendapatkan

data dan informasi yang bersifat teoritis yang kemudian data tersebut akan

dijadikan dasar atau pedoman untuk melihat adanya ketidaksesuaian antara teori

dengan kenyataan sebagai penyebab dari permasalahan yang dibahas dalam

karya tulis ini. Sumber – sumber yang dijadikan sebagai rujukan untuk studi

pustaka diperoleh dari berbagai sumber bacaan. Baik itu buku maupun situs –

situs yang ada di internet.

Page 9: Pengalihan Hak Atas Tanah Terlantar

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Tinjauan Umum Mengenai Penguasaan

Secara etimologi penguasaan berasal dari kata “kuasa” yang

berarti kemampuan atau kesanggupan untuk berbuat sesuatu, kuatan

atau wewenang atas sesuatu untuk menentukan (memerintah, mewakili,

mengurus dan sebagainya) sesuatu itu, sedangkan “penguasaan” dapat

diartikan sebagai suatu proses, cara, perbuatan menguasai atau

kesanggupan untuk menggunakan sesuatu (Kamus Besar Bahasa

Indonesia). Jadi menurut bahasa, penguasaan atas tanah dapat diartikan

sebagai proses, cara atau perbuatan untuk menguasai sebidang tanah

yang berisikan wewenang dan kesanggupan dalam menggunakan dan

memanfaatkannya untuk kelangsungan hidup.

Pengertian penguasaan dan menguasai dapat dipakai dalam arti

fisik juga dalam arti yuridis. Dalam arti fisik secara nyata pemegang hak

menguasai tanah (tanah dalam penguasaan). Penguasaan dalam arti

yuridis, dilandasi oleh “hak” yang dilindungi oleh hukum dan umumnya

member kewenangan kepada pemegang hak untuk menguasai secara

fisik tanah yang menjadi haknya. Tetapi ada juga penguasaan yuridis

yang biarpun member kewenangan untuk menguasai tanah haknya

secara fisik, pada kenyataannya penguasaan fisiknya dilakukan pihak lain.

Dalam hal ini peran hukum menjadi sangat penting peranannya

untuk memutuskan, apakah penguasaan seseorang terhadap benda,

termasuk tanah, akan memperoleh perlindungan hukum atau tidak. Oleh

karena penguasaan bersifat faktual, maka ukuran untuk memberikan

perlindungan hukum pun bersifat faktual pula, nyata-nyata barang itu

berada di bawah kekuasaannya.

Page 10: Pengalihan Hak Atas Tanah Terlantar

2.1.1. Hak Penguasaan Atas Tanah

Hak penguasaan atas tanah adalah suatu hubungan hukum

yang memberi wewenang untuk berbuat sesuatu kepada subyek

hukum (orang / badan hukum) terhadap obyek hukumnya, yaitu

tanah yang dikuasainya.

Dalam konteks penguasaan hak atas tanah, penguasaan

yang telah memperoleh pengakuan dan perlindungan hukum

disebut sebagai penguasaan dalam arti yuridis, yaitu penguasaan

yang dilandasi hak, dilindungi oleh hukum dan umumnya

memberikan kewenangan kepada pemegang hak untuk menguasai

secara fisik tanah yang dihaki.

Penguasaan masyarakat terhadap tanah merupakan sebuah

keniscayaan, hal ini menjadi sangat penting artinya karena tanah

merupakan sumber hidup dan kehidupan manusia. Dari segi

kehidupan masyarakat Indonesia yang sampai sekarang masih

bercorak agraris, maka hubungan antara manusia dengan tanah

sampai saat ini masih menunjukan adanya pertalian yang erat. Hal

ini dirasa wajar, karena selama hayatnya manusia mempunyai

hubungan dengan tanah, baik sebagai tempat tinggal maupun

sebagai sumber makanan juga penghasilan untuk kelangsungan

hidupnya.

TabelHak dan Kewajiban Penerima (Pemegang) Hak Atas Tanah dalam Pengelolaan Pertanahan

Hak Kewajiban

1. Mempergunakan tanahnya sesuaidengan jenis hak atas tanah yang dimilikinya, yaitu:a) Hak milik : member kewenangan kepada pemegang hak secara turuntemurun mempergunakan tanahnya untuk berbagai jenis keperluan dengan jangka waktu yang tidak terbatas;b) Hak Guna Usaha : memberi

1. Hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Hak atas tanah tidak dibenarkan apabila hanya dipergunakan semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal tersebut merugikan masyarakat. Penggunaan dan pemanfaatan tanahharuslah disesuaikan dengan keadaan dan sifat haknya, sehingga bermanfaat bagi kesejahteraan

Page 11: Pengalihan Hak Atas Tanah Terlantar

kewenangan kepada pemegang hak untuk mempergunakan tanah negarauntuk keperluan pertanian, perikanan dan peternakan dalam jangka waktu tertentu;c) Hak Guna Bangunan : member kewenangan kepada pemegang hakuntuk mendirikan bangunan di atas tanah negara atau milik orang lain selama jangka waktu tertentu;d) Hak Pakai : member kewenangan kepada pemegang hak untuk menggunakan atau memungut hasil dari tanah negara atau tanah milik orang lain dalam jangka waktu tertentue) Hak Pengelolaan : memberi kewenangan yang lebih luas kepada pemegang daripada hak untuk mempergunakan sendiri tanah negara yang dikuasainya atau memberikannya kepada pihak lain atas dasar perjanjian antara pemegang hak dengan pihak ketiga2. hak atau kewenangan untuk mempergunakan tanah tersebut meliputi juga sebagian tubuh bumiyang ada di bawahnya dan sebagian ruang yang ada di atasnya, dalam batas-batas tertentu dan sepanjang hal tersebut dipergunakan untuk kegiatan yang berhubungan dengan jenis hak atas tanah yang dimilikinya.3. hak atau kewenangan lainnya:a) mengalihkan hak atas tanahnya kepada pihak lainb) membebani tanahnya dengan hak tanggunganc) mewariskan tanahnya kepada ahli warisnyad) membuat wasiat atas tanahnyae) menghibahkan tanahnya kepada pihak lainf) Mewakafkan tanahnya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

masyarakat dan negara. Namun demikian tidaklah berarti hak-hak individu dari pemegang hak atas tanah menjadi berkurang, akan tetapiantara hak dan kewajiban haruslah terjadi keseimbangan dalam pelaksanaannya.2. Kewajiban pemeliharaan tanah. Kewajiban yang diatur dalam Pasal 15 UUPA berkaitan dengan fungsi social hak atas tanah, yaitu bahwaberhubungan dengan fungsi sosialnya, adalah hal yang wajar suatu bidang tanah harus dipelihara dengan sebaik-baiknya, agar bertambah kesuburannya serta dicegah kerusakannya. Kewajiban initidak hanya dibebankan kepada pemiliknya, tetapi juga merupakan kewajiban bagi setiap orang, badan hukum atau instansi yang mempunyaihubungan hukum dengan tanah.3. Pembatasan luas maksimum penguasaan tanah. Penetapan maksimum dan minimum yang dapat dimiliki oleh perorangan dalam satukeluarga telah ditetapkan dalam Pasal 7 dan17 UUPA yang ditindaklanjuti dengan UU No. 56 Prp. Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian, sedangkan untuk badan hukum sementara mengacu pada Peraturan Menteri Negara graria/Kepala BPN Nomor 2 Tahun 1999 tentang Ijin Lokasi.4. Larangan penguasaan tanah secara absentee (guntai). Prinsipdasar yang melatarbelakangi pengaturan norma larangan penguasaan tanah secara absentee adalah bahwa tanah pertanian wajib dikerjakan sendiri oleh pemiliknyadan pengelolaan tanah pertanian tersebut hanya dapat didayagunakansecara maksimal apabila dikerjakan secara aktif oleh pemiliknya, sehingga

Page 12: Pengalihan Hak Atas Tanah Terlantar

ditetapkan suatu ketentuan bahwa pemilik tanah pertanian harus bertempat tinggal di wilayah kecamatan tempat lokasi tanah tersebut berada.5. Penggunaan tanah harus sesuai dengan RT/RW. Pemberian hak atas tanah pada dasarnya memberi wewenang kepada pemegang hak untuk mempergunakan tanahnyaSesuai dengan keadaan, sifat dan tujuan pemberiannya. Dalam memberikan hak atas tanah kepada perorangan atau badan hukum harus sesuai dengan kondisi dan tata ruangwilayah setempat, agar penggunaan dan pemanfaatan suatu bidang tanah tetap dilaksanakan dalam kerangkamenjaga keharmonisan dan kelestarian lingkungan.6. Larangan penelantaran tanah. Dalam UUPA telah diatur secara tegas bahwa pemegang hak atas tanah yang menelantarkan tanahnya,tanahnya hapus karena hukum dan tanahnya menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara. Tindak lanjut dari ketentuan tersebut telah dikeluarkan dengan terbitnya PP No. 36 tahun 1998 dan Keputusan Kepala BPN No. 24 tahun 2002 yang mengatur langkah penertiban dan pendayagunaantanah terlantar.

2.1.2. Macam Hak Penguasaan Atas Tanah

A. Hak penguasaan atas tanah yang mempunyai kewenangan

khusus yaitu kewenangan yang bersifat public dan perdata,

yang meliputi antara lain :

Hak Bangsa Indonesia (pasal 1 UUPA)

Hak Menguasai Negara (pasal 2 UUPA)

Hak Ulayat Pada Masyarakat Adat (pasal 3 UUPA)

Page 13: Pengalihan Hak Atas Tanah Terlantar

B. Hak penguasaan atas tanah yang member kewenangan yang

bersifat umum yaitu kewenangan di bidang perdata dalam

penguasaan dan penggunaan tanah sesuai dengan jenis-jenis

hak atas tanah yang diberikan (hak perorangan atas tanah)

yang terdiri dari :

Hak atas tanah orisinil atau primer, yaitu hak atas tanah

yang bersumber pada hak bangsa Indonesia dan yang

diberikan oleh Negara dengan cara memperolehnya melalui

permohonan hak. Hak atas tanah yang termasuk hak primer

adalah :

Hak Milik

Hak Guna Bangunan

Hak Guna Usaha

Hak Pakai

Hak Pengelolaan

Hak atas tanah derivative atau sekunder, yaitu hak atas

tanah yang tidak langsung bersumber kepada hak bangsa

Indonesia dan diberikan pemilik tanah dengan cara

memperolehnya melalui perjanjian pemberian hak antara

pemilik tanah dengan calon pemegang hak yang

bersangkutan. Hak atas tanah yang termasuk sekunder

adalah :

Hak Guna Bangunan

Hak Pakai

Hak Sewa

Hak Usaha Bagi Hasil

Hak Gadai

Hak Menumpang

Hak jaminan atas tanah, yaitu hak penguasaan atas tanah

yang tidak memberikan wewenang kepada pemegangnya

untuk menggunakan tanah yang dikuasainya tetapi

Page 14: Pengalihan Hak Atas Tanah Terlantar

memberikan wewenang untuk menjual lelang tanah tersebut

apabila pemilik tanah tersebut (debitur) melakukan

wanprestasi.

2.2. Fungsi Sosial Tanah

Ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Pokok Agraria menyebutkan

bahwa :

“Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial”. Hal tersebut

menjelaskan bahwa hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang,

tidaklah dapat dibenarkan bahwa tanahnya itu akan dipergunakan atau

tidak dipergunakan semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi

kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat luas. Dalam arti

bahwa tanah tidak hanya berfungsi bagi pemegang hak atas tanahnya

saja tetapi juga bagi bangsa Indonesia seluruhnya, dengan konsekuensi

bahwa penggunaan hak atas sebidang tanah juga harus meperhatikan

kepentingan masyarakat.

Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaan dan sifat

daripada haknya sehingga bermanfaat baik bagi kesejahteraan dan

kebahagian yang mempunyainya maupun bermanfaat pula bagi

masyarakat dan Negara. Namun hal tersebut bukan berarti kepentingan

seseorang terdesak oleh kepentingan masyarakat atau Negara, dan

diantara dua kepentingan tersebut haruslah seimbang.

2.3. Tinjauan Umum Mengenai Tanah Terlantar

Tanah terlantar adalah tanah yang diterlantarkan oleh pemegang

hak atas tanah, pemegang Hak Pengelolaan atau pihak yang telah

memperoleh dasar penguasaan atas tanah tetapi belum memperoleh hak

atas tanah sesuain ketentuan peraturan perundang-undangan yang

berlaku. (Pasal 1 ayat (5) PP No.36 Tahun 1998 tentang Penertiban dan

Pendayagunaan Tanah Terlantar).

Page 15: Pengalihan Hak Atas Tanah Terlantar

2.3.1. Menurut UUPA (UU NO.5 Tahun 1960)

Sebagaimana tercantum didalam fungsi UUPA yang

menghapuskan dualisme hukum tanah yang lama dan menciptakan

unifikasi serta kodifikasi teradap hukum tanah Nasional yang

didasarkan kepada hukum tanah adat yang bersifat komunalistik

religius, hal ini memiliki maksud bahwa penguasaan tanah bersama

memungkinkan penguasaan tanah secara individu dengan hak-hak

atas pribadi dengan memperhatikan unsur kebersamaan didalam

pelaksanaan daripada hak-hak individual tersebut. Hukum agrarian

nasional bercirikan pengelolaan sumber daya tanah untuk

kesejahteraan rakyat. Alasan filosofisnya bahwa tanah merupakan

karunia Tuhan kepada manusia untuk diusahakan dan dikelola

demi memenuhi kebutuhan hidupnya, agar tercapai kesejahteraan

dan kemakmuran bersama dengan berkeadilan.

Jadi dapat dikatakan bahwa adanya kewajiban bagi individu

untuk mengerjakan atau mengusahakan tanah dengan sebaik-

baiknya sesuai dengan apa yang telah ditentukan atau sesuai

dengan tujuan dari hukum Agraria Nasional itu. Berdasarkan

hakekat yang ada pada UUPA semua pihak sudah seharusnya

menjaga agar tanah tidak diterlantarkan. Beberapa ketentuan

UUPA yang berkaitan dengan hal ini, dapat dikemukakan sebagai

berikut:

1. Hak milik atas tanah hapus bila tanahnya jatuh kepada Negara

karena diterlantarkan. (Pasal 27 poin a. 3). Penjelasan Pasal 27

menyatakan, “Tanah diterlantarkan kalau dengan sengaja tidak

dipergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan

daripada haknya”.

2. Hak Guna Usaha hapus karena diterlantarkan (Pasal 34e).

3. Hak Guna Bangunan hapus karena diterlantarkan (Pasal 40e).

Dari ketentuan-ketentuan tersebut di atas, menunjukkan

bahwa setiap hak atas tanah yang diberikan atau diperoleh dari

Page 16: Pengalihan Hak Atas Tanah Terlantar

negara (HM; HGU; HGB) haknya hapus apabila diterlantarkan.

Artinya terdapat unsur kesengajaan melakukan perbuatan tidak

mempergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan

dari pada haknya.

2.3.2. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna

Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah Negara

Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak

Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas tanah.

Dalam ketentuan Menimbang poin b Peraturan Pemerintah ini

menyatakan:

“bahwa oleh karena itu pengakuan penguasaan pemilikan dan

penggunaan tanah perlu lebih diarahkan bagi semakin terjaminnya

tertib di bidang hukum pertanahan, administrasi pertanahan,

penggunaan tanah, ataupun pemeliharaan tanah dan lingkungan

hidup, sehingga adanya kepastian hukum di bidang pertanahan

pada umumnya dapat terwujud”.

Dari ketentuan di atas pemerintah menegaskan kembali

bahwa penguasaan tanah berdasarkan pada HGU, HGB, Hak

Pakai dalam rangka pembangunan nasional, diarahkan untuk

terjaminnya atau terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur.

Oleh karena itu Pasal-Pasal dalam PP No. 40 Tahun 1996 secara

rinci dan jelas mengatur mengenai pemberian hak (HGU, HGB dan

Hak Pakai), obyek hak, jangka waktu dan lamanya suatu hak,

diberikan oleh negara kepada subyek hak. Apabila kewajiban

pemegang hak tidak dilaksanakan maka berdasarkan ketentuan

dalam Pasal 17e bahwa Hak Guna Usaha hapus karena

diterlantarkan; Dalam penjelasannya dinyatakan sesuai dengan

penjelasan yang ada dalam UUPA. Demikian juga tentang

hapusnya HGB dalam Pasal 35e yang dinyatakan bahwa Hak

Guna Bangunan hapus karena diterlantarkan. Untuk pemberian

Hak Pakai, juga diikuti dengan ketentuan tentang hapusnya Hak

Page 17: Pengalihan Hak Atas Tanah Terlantar

Pakai. Dalam Pasal 55e dinyatakan bahwa, Hak Pakai hapus

karena diterlantarkan. Hapusnya hak pakai tidak diatur oleh UUPA.

Dari ketentuan-ketentuan yang telah disebutkan tentang hapusnya

hak atas tanah (HGU, HGB, Hak Pakai) dapat disimpulkan bahwa

PP No. 40 Tahun 1996 menggunakan istilah diterlantarkan,

pengertian diterlantarkan mengikuti penjelasan dari UUPA

tentang hapusnya HM, HGU, HGB. Sedangkan Hak Pakai tidak

diatur adanya tanah diterlantarkan Hal yang perlu diperhatikan

selanjutnya adalah ketentuan Pasal 14 Ayat (3), Pasal 35 Ayat (2)

PP No. 40 Tahun 1996 yang mengatakan, “Ketentuan lebih lanjut

mengenai hapusnya HGB sebagaimana dimaksud dalam ayat 1

diatur dengan Keputusan Presiden”.

2.3.3. Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 2010 tentang Penertiban

dan Pendayagunaan Tanah Terlantar

Berkaitan dengan tanah – tanah yang tidak difungsikan,

tidak diolah, tidak diusahakan, tidak dimanfaatkan sesuai dengan

keadaan atau sifat dan tujuan haknya atau dasar penguasaannya,

maka Pemerintah kemudian mengeluarkan Peraturan Pemerintah

Nomor 11 tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan

Tanah Terlantar (“PP Tanah Terlantar”). Peraturan ini diundangkan

di Jakarta pada tanggal 22 Januari 2010 mulai berlaku pada

tanggal diundangkannya. Maksud dari dikeluarkannya PP ini

adalah untuk memaksimalkan penggunaan tanah dan menjadi

acuan untuk penyelesaian penertiban dan pendayagunaan tanah

terlantar.

Obyek penertiban dari tanah terlantar meliputi tanah yang

sudah diberikan hak oleh Negara berupa Hak Milik, Hak Guna

Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dan Hak Pengelolaan,

atau dasar penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak

dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya

atau sifat serta tujuan dari pemberian hak atau dasar

Page 18: Pengalihan Hak Atas Tanah Terlantar

penguasaannya. (pasal 2 ) dengan ditetapkan ketentuan

pengecualian bahwa tidak termasuk sebagai obyek penertiban

tanah terlantar adalah (pasal 3) :

1. Tanah Hak Milik atau HGU yang secara tidak sengaja tidak

dipergunakan sesuai keadaan atau sifat dan tujuan pemberian

haknya.

2. Tanah yang dikuasai pemerintah, sudah berstatus maupun tidak

berstatus milik Negara atau daerah yang tidak sengaja tidak

dipergunakan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan

pemberian haknya.

Tanah Hak Milik atau HGU yang secara tidak sengaja tidak

dipergunakan sesuai keadaan atau sifat dan tujuan pemberian

haknya. Tanah yang dikuasai pemerintah, sudah berstatus maupun

tidak berstatus milik Negara atau daerah yang tidak sengaja tidak

dipergunakan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan

pemberian haknya.

2.4. Sistematika Penetapan Tanah Terlantar

Tahap Identifikasi dan Penelitian (pasal 4 sampai dengan pasal 7

PP No.11 Tahun 2010 Tentang Penertiban dan Pendayagunaan

tanah Terlantar)

Identifikasi dan penelitian atas tanah yang teridentifikasi

terlantar dilaksanakan oleh Panitia yang diatur oleh Kepala Badan

Pertanahan Nasional ( Kepala BPN).

Pengertian tanah yang teridentifikasi terlantar adalah tanah hak

atau dasar penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak

dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaan atau

sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya yang

belum dilakukan identifikasi dan penelitian. Identifikasi dan penelitian

dilaksanakan terhitung mulai 3 (tiga) bulan sejak diterbitkan Hak Milik,

Page 19: Pengalihan Hak Atas Tanah Terlantar

HGU, HGB, Hak Pakai atau sejak berakhirnya izin/keputusan/surat

dasar penguasaan atas tanah dari pejabat yang berwenang.

Kegiatan identifikasi dan penelitian tanah terlantar meliputi :

1. Nama dan alamat Pemegang Hak.

2. Letak, luas, status hak atau dasar penguasaan atas tanah dan

keadaan fisik tanah yang dikuasai pemegang hak.

3. Keadaan yang mengakibatkan tanah terlantar.

Tahap Peringatan Kepada Pemegang Hak Atas Tanah (pasal 8 PP

No.11 Tahun 2010 Tentang Penertiban dan Pendayagunaan tanah

Terlantar)

Apabila hasil dari laporan kegiatan identifikasi dan penelitian

menyimpulkan terdapat tanah terlantar, maka Kepala Kantor Wilayah

BPN akan memberitahukan dan sekaligus memberikan peringatan

tertulis pertama kepada pemegang hak atas tanah agar dalam jangka

waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkannya peringatan tertulis

pertama tersebut, menggunakan tanahnya sesuai keadaanya atau

menurut sifat dan tujuan pemberian haknya atau sesuai

izin/keputusan/surat sebagai dasar penguasaannya.

Apabila pemegang hak tidak melaksanakannya, maka akan

diberikan lagi peringatan tertulis kedua sampai peringatan tertulis

ketiga dengan jangka waktu yang sama seperti peringatan tertulis

pertama. Dalam surat peringatan pertama pertama, kedua dan ketiga

perlu disebutkan hal-hal yang secara konkret harus dilakukan oleh

pemegang hak dan sanksi yang dapat dijatuhkan apabila pemegang

hak tidak mengindahkan atau tidak melaksanakan peringatan tersebut.

Dan apabila tanah tersebut dibebani hak tanggungan, maka

surat peringatan tertulis tersebut juga diberitahukan kepada pemegang

hak tanggungan. Konsekuensi yang diterima dari pengabaian ketiga

surat peringatan tertulis ini adalah Kepala Kantor Wilayah BPN

Page 20: Pengalihan Hak Atas Tanah Terlantar

mengusulkan kepada Kepala BPN untuk menetapkan tanah yang

bersangkutan sebagai tanah terlantar.

Tahap Penetapan Tanah Terlantar

Kepala BPN akan menetapkan tanah terlantar berdasarkan

usulan Kepala Kantor Wilayah BPN dan menyatakan tanah terlantar

tersebut dalam keadaan status quo sejak tanggal pengusulan. Tanah

yang dinyatakan dalam keadaan status quo sebagaimana

dimaksudkan diatas tidak dapat dilakukan perbuatan hukum atas

bidang tanah tersebut sampai diterbitkan penetapan tanah terlantar

yang memuat juga penetapan hapusnya hak atas tanah, sekaligus

memutuskan hubungan hukum serta ditegaskan sebagai tanah yang

dikuasai oleh negara.

Dalam hal tanah yang akan ditetapkan sebagai tanah terlantar

merupakan tanah hak, penetapan tanah terlantar memuat juga

penetapan hapusnya hak atas tanah, sekaligus memutuskan

hubungan hukum serta ditegaskan sebagai tanah yang dikuasai

langsung oleh negara. Sedangkan dalam hal tanah yang akan

ditetapkan sebagai tanah terlantar adalah tanah yang telah diberikan

dasar penguasaan, penetapan tanah terlantar memuat juga

pemutusan hubungan hukum serta penegasan sebagai tanah yang

dikuasai langsung oleh negara.

Terhadap tanah yang ditetapkan sebagai tanah terlantar yang

merupakan keseluruhan hamparan, maka Kepala BPN memutuskan

penghapusan hak atas tanah dan pemutusan hubungan hukum dan

ditegaskan menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara.

Apabila tanah yang ditetapkan sebagai tanah terlantar merupakan

sebagian hamparan yang diterlantarkan, maka hak atas tanahnya

dihapuskan, diputuskan hubungan hukumnya dan ditegaskan menjadi

tanah yang dikuasai langsung oleh negara dan selanjutnya kepada

bekas pemegang hak atas tanah diberikan kembali atas bagian tanah

Page 21: Pengalihan Hak Atas Tanah Terlantar

yang benar-benar diusahakan, dipergunakan, dan dimanfaatkan

sesuai dengan keputusan pemberian haknya.

Bekas pemegang hak atas tanah wajib untuk mengosongkan

benda – benda di atas tanah yang ditetapkan sebagai tanah terlantar

dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak penetapan tersebut. Dan

dalam hal apabila bekas pemegang hak atas tanah tidak

melaksanakan kewajiban tersebut, maka benda-benda di atas tanah

tersebut tidak lagi menjadi miliknya dan dikuasai langsung oleh

negara.

2.5. Akibat Hukum Tanah Yang Diterlantarkan

Akibat hukum apapun yang ditimbulkan dari tanah yang

diterlantarkan oleh pemegang haknya, harus tetap memperhatikan hak-

hak pemegang hak atas tanah tersebut. untuk itu dalam menyelesaikan

permasalahan ini tidak boleh men-generalisasikan tanah-tanah yang

diterlantarkan tanpa melihat sebab-sebab tanah tersebut diterlantarkan.

Dalam hal ini PP. No. 36 Tahun 1998, pasal 11 ayat (2)

menentukan bahwa tanah yang dimiliki perorangan yang diterlantarkan

karena faktor ekonomi memiliki perbedaan akibat hukum dengan tanah

yang diterlantarkan karena memang tidak digunakan sesuai dengan

keadaannya atau menurut sifat dan tujuan pemberian haknya (pasal 11

ayat (3) huruf b), begitu juga dengan tanah yang diterlantarkan yang

dimiliki oleh suatu badan hukum.

Akibat hukum yang ditimbulkan dari tanah perorangan yang

diterlantarkan karena faktor ekonomi memberikan hak kepada pemegang

hak atas tanah terhadap pembinaan dalam mendayagunakan tanahnya,

sedangkan akibat hukum dari tanah yang dimiliki suatu badan hukum atau

perorangan yang diterlantarkan atau digunakan tidak sesuai dengan

keadaannya atau sifat pemberian haknya dapat menyebabkan hapusnya

atau beralihnya hak atas tanah kedalam penguasaan negara.

Page 22: Pengalihan Hak Atas Tanah Terlantar

Namun untuk sampai pada penetapan bahwa tanah diterlantarkan,

negara tidak serta merta menetapkan tanpa memberikan kesempatan

waktu kepada perorangan atau badan hukum untuk segera menggunakan

tanah sesuai dengan keadaannya atau menurut sifat dan tujuan

pemberian haknya. dalam hal ini badan hukum dan perorangan yang

bersangkutan diberikan kesempatan untuk hal tersebut diatas dengan

adanya peringatan 1 sampai dengan peringatan iii, dimana masing-

masing peringatan berlaku satu tahun.

Selain hal tersebut didalam PP No 36 tahun 1998 juga memberikan

perlindungan hukum lain bagi pemegang hak atas tanah, yaitu adanya

pemberian hak ganti rugi atas tanah yang telah dikuasai negara

denganganti rugi sebesar harga perolehan yang telah dibayar oleh yang

bersangkutan, harga yang diberikan juga dengan memperhatikan biaya

yang telah dikeluarkan untuk membuat prasarana fisik di atas tanah yang

diterlantarkan.

Namun dengan terbitnya PP No. 11 Tahun 2010 tentang

Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar yang tercantum dalam

klausula BAB VII Ketentuan Penutup pasal 19 yang mengatakan bahwa

“Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah

Nomor 36 Tahun 1998 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah

Terlantar dan peraturan pelaksanaannya dicabut dan dinyatakan tidak

berlaku”. Tentunya hal ini menjadi polemik tersendiri terhadap

perlindungan hukum kepada pemegang hak atas tanah tidak

sebagaimana tercantum didalam peraturan sebelumnya.

Berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap pemilik hak atas

tanah yang diterlantarkan, perlu kiranya dipertegas mengenai kriteria

tanah terlantar, sehingga jelas tanah-tanah mana yang termasuk tanah

terlantar yang pada akhirnya akan memberikan jaminan kepastian hukum

kepada pemiliknya. Kriteria tanah terlantar ini dapat ditemukan dengan

cara mensistematisasi unsur-unsur yang ada dalam tanah terlantar,

Page 23: Pengalihan Hak Atas Tanah Terlantar

kemudian menyusunnya dalam struktur hukum tanah nasional. Adapun

unsur-unsur yang ada pada tanah terlantar:

1. Adanya pemilik atau pemegang hak atas tanah (subyek)

2. Adanya tanah hak yang diusahakan/atau tidak (obyek)

3. Adanya tanah yang teridentifikasi telah menjadi hutan kembali atau

kesuburannya tidak terjaga.

4. Adanya jangka waktu tertentu dimana tanah menjadi tidak produktif.

5. Adanya perbuatan yang sengaja tidak menggunakan tanah.

6. Status tanah kembali kepada hak ulayat atau kepada negara.

.

BAB III

PENUTUP

Hak penguasaan atas tanah adalah suatu hubungan hukum yang memberi

wewenang untuk berbuat sesuatu kepada subyek hukum (orang / badan hukum)

terhadap obyek hukumnya, yaitu tanah yang dikuasainya. Di dalam penguasaan atas

tanah ada 2 macam yakni :

A. Hak penguasaan atas tanah yang bersifat khusus yaitu :

• Hak Bangsa Indonesia (pasal 1 UUPA)

Page 24: Pengalihan Hak Atas Tanah Terlantar

• Hak Menguasai Negara (pasal 2 UUPA)

• Hak Ulayat Pada Masyarakat Adat (pasal 3 UUPA)

B. Hak penguasaan atas tanah yang bersifat umum yaitu :

• Hak atas tanah orisinil atau primer, yaitu hak atas tanah yang bersumber pada

hak bangsa Indonesia dan yang diberikan oleh Negara dengan cara

memperolehnya melalui permohonan hak.

• Hak atas tanah derivative atau sekunder, yaitu hak atas tanah yang tidak

langsung bersumber kepada hak bangsa Indonesia dan diberikan pemilik tanah

dengan cara memperolehnya melalui perjanjian pemberian hak antara pemilik tanah

dengan calon pemegang hak yang bersangkutan

• Hak jaminan atas tanah, yaitu hak penguasaan atas tanah yang tidak

memberikan wewenang kepada pemegangnya untuk menggunakan tanah yang

dikuasainya tetapi memberikan wewenang untuk menjual lelang tanah tersebut

apabila pemilik tanah tersebut (debitur) melakukan wanprestasi.

Tanah tidak hanya untuk sebagai tempat hidup dan berkembangnya makhluk

hidup tetapi tanah juga memiliki peranan terpenting bagi kegunaan dan

pemanfaatannya, di dalam Undang-Undang Pokok Agraria pasal 6 menyebutkan bahwa

tanah memiliki fungsi sosial yang dimana tanah tersebut tidak hanya berguna bagi si

pemilik tanah saja tapi bagi sekitarnya.

Tanah yang tidak terurus atau tanah terlantar adalah tanah yang diterlantarkan

oleh pemegang hak atas tanah, pemegang Hak Pengelolaan atau pihak yang telah

memperoleh dasar penguasaan atas tanah tetapi belum memperoleh hak atas tanah

sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam hal ini Peraturan

Pemerintah No. 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah

Terlantar, obyek didalam penertiban tanah terlantar yakni tanah yang sudah diberikan

hak oleh Negara berupa :

1. Hak Milik (Hak milik atas tanah hapus bila tanahnya jatuh kepada Negara

karena diterlantarkan. (UUPA Pasal 27 poin a. 3)

2. Hak Guna Usaha (Hak Guna Usaha hapus karena diterlantarkan

(UUPA Pasal 34e)

3. Hak Guna Bangunan (Hak Guna Bangunan hapus karena diterlantarkan

Page 25: Pengalihan Hak Atas Tanah Terlantar

(UUPA Pasal 40e)

4. Hak Pakai, dan

5. Hak Pengelolaan

Kriteria tanah terlantar ini dapat ditemukan dengan cara mensistematisasi unsur-

unsur yang ada dalam tanah terlantar, kemudian menyusunnya dalam struktur hukum

tanah nasional. Adapun unsur-unsur yang ada pada tanah terlantar:

1. Adanya pemilik atau pemegang hak atas tanah (subyek)

2. Adanya tanah hak yang diusahakan/atau tidak (obyek)

3. Adanya tanah yang teridentifikasi telah menjadi hutan kembali atau

kesuburannya tidak terjaga.

4. Adanya jangka waktu tertentu dimana tanah menjadi tidak produktif.

5. Adanya perbuatan yang sengaja tidak menggunakan tanah.

6. Status tanah kembali kepada hak ulayat atau kepada negara.

Didalam kasus adanya perselisihan antara PT. WAH (Wanawisata Alam Hayati)

dengan Pansus Trawangan dan BPN Lombok Barat yang dimana PT. WAH tersebut

telah menelantarkan tanahnya, didalam klausula perjanjian pemberian hak atas tanah

dengan pemerintah PT. WAH memiliki jangka waktu membangun hotel melati dengan

35 kamar dalam 1 tahun. Tapi, adanya suatu kelalaian dalam menjalankan tugas dan

tujuannya PT. WAH tidak dapat menyelesaikan apa yang menjadi kehendak dan tujuan

diberikannya hak atas tanah oleh pemerintah dan telah menelantarkan (menyia-

nyiakan) tanahnya, Sehingga dengan sendirinya, HGB PT. WAH itu batal. Kata Ketua

Pansus Trawangan Jasman Hadi dan BPN Lombok Barat.

Temuan pada tahun 2003, di atas lahan itu ternyata ada perumahan seluas 40

are, dan 1,1 hektare sejenis bungalow. Di dalam lahan itu juga ditemukan 10 orang

warga yang tinggal. Temuan ini membuktikan bahawa adanya unsur pembagian tanah-

tanah, tanah HGB yang diberikan haknya oleh Negara saat pemberian haknya kepada

PT WAH telah diperjanjikan bahwa hak atas tanah tersebut tidak dapat dibagi-bagi . Di

dalam UUPA Hak Guna Bangunan memiliki jangka waktu paling lama 30 tahun dan

dapat diperpanjang selama 20 tahun. Tapi, HGB dapat di hapuskan karena adanya

suatu unsur yakni :

a. Jangka waktunya berakhir

Page 26: Pengalihan Hak Atas Tanah Terlantar

b. Dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak

dipenuhi

c. Dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir;

d. Dicabut untuk kepentingan umum

e. Diterlantarkan

f. Tanahnya musnah

Di dalam hal ini, point b dan point e yang memperkuat alasan kenapa panitia

khusus (Pansus) serta pihak BPN menetapkan lahan tersebut batal demi hukum serta

memutuskan Hak Guna Bangunan PT.WAH yang tidak berjalan sesuai dengan tujuan

dan kegiatannya. Walaupun di dalam ketentuan UUPA HGB memiliki jangka waktu

paling lama 30 tahun dan dapat diperpanjang selama 20 tahun, tapi, bisa kita lihat

dalam kasus PT. WAH ini memiliki izin membangun hotel dengan 35 kamar dalam

jangka waktu 1 tahun sejak diterbitkannya HGB tahun 1996 dan kenyataanya tujuan

dari pemberian hak atas tanah tersebut belum tercapai sampai waktu yang ditentukan

oleh pemerintah, melainkan pada tahun 2003 di temukannya 10 keluarga yang

bertempat tinggal di dalam lahan tersebut. Dengan demikian, PT.WAH telah membagi-

bagikan lahan tersebut dan dapat dikatakan bahwa PT. WAH wan prestasi terhadap

perjanjian dengan pemerintah. Tidak hanya itu saja lahan tersebut tidak dimanfaatkan,

digunakan, dan di olah sebaik mungkin melainkan ditelantarkan.

Sebagai pemegang hak atas tanah seyogyanya mengurus dan memperhatikan

tanahnya sesuai dengan tujuannya, di Indonesia banyak ketidak jelasan tanah/lahan

sehingga timbulnya sengketa antara pemerintah dan masyarakat. Banyak masyarakat

yang memiliki modal besar hanya menguasai lahan secara yuridis saja, namun

penguasaan lahan secara fisik tidak terlaksana sehingga tanah diterlantarkan.

Sebagaimana halnya tertera pada pasal 6 UUPA mengenai fungsi sosial tanah,

tentunya tanah yang terlantarkan tersebut mencederai rasa keadilan masyarakat yang

hingga saat ini banyak masyarakat belum memiliki tanah sehingga tujuan pelaksanaan

dari landreform tidak terlaksana yaitu redistribusi tanah kepada segenap bangsa

Page 27: Pengalihan Hak Atas Tanah Terlantar

Indonesia sehingga tercapainya tujuan Negara dalam konstitusi kita (pasal 33 ayat 3

UUD 1945)

Daftar Pustaka

Undang-undang Negara Republik Indonesia No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan

Dasar Pokok-pokok Agraria.

Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 1998 tentang Penertiban dan Pendayagunaan

Tanah Terlantar.

Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan

Tanah Terlantar.

Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna

Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah.

Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 4 Tahun 2010 tentang Tata Cara

Penertiban Tanah Terlantar.

Hutagalung.Arie.S, S.H. dkk. 2001. Asas-asas Hukum Agraria. Jakarta.

http://d5er.wordpress.com/2011/03/10/kebijakan-tanah-terlantar/

http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/17108153164.pdf

http://joeharry-serihukumbisnis.blogspot.com/2009/06/penyelesaian-masalah-tanah-

terlantar.html

http://lombokpost.co.id/index.php?option=com_k2&view=item&id=3472:mengarah-

pada-tanah-terlantar&Itemid=543

Page 28: Pengalihan Hak Atas Tanah Terlantar

Lampiran

Kamis, 12 May 2011 10:30

Mengarah Pada Tanah Terlantar

Hasil Pertemuan Pansus dengan BPN

TANJUNG—Panitia Khusus (Pansus) Trawangan terus mengumpulkan bukti dan keterangan-keterangan terkait sengketa yang terjadi di Trawangan. Kemarin siang, Pansus memanggil pihak Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk sharing informasi terkait persoalan di Trawangan. Dari pertemuan itu, kesimpulannya akan mengarah pada pemberian status terlantar atas tanah yang dikuasai PT Wanawisata Alam Hayati (WAH).Dalam pertemuan yang juga berjalan alot selama dua jam sejak pukul 12.00 hingga pukul 14.00 wita itu, Pansus Trawangan dan BPN Lombok

Barat (Lobar) yang diwakili oleh H Darman saling berbagi data. Kedua belah pihak ini sama-sama memaparkan berbagi dokumen, temuan lapangan dan bukti-bukti lainnya. ‘’Salah satu poin penting di sini, pihak PT WAH tidak mampu mengerjakan seperti apa yang diamanatkan pada izin mereka itu,’’ kata Ketua Pansus Trawangan Jasman Hadi.Dalam izin yang diberikan, PT WAH akan membangun hotel melati dengan 35 kamar. Namun hingga saat ini, PT WAH tidak mampu melakukan itu. Sehingga dengan sendirinya, HGB PT WAH itu batal. ‘’Satu tahun setelah mendapatkannya itu, PT WAH harus membangun sesuai dengan izinnya,’’ katanya.Pada kesempatan tersebut, Jasman juga mempertajam tentang klaim tanah seluas 75 hektare yang menjadi milik Pemerintah Provinsi NTB. Hak Pengelolaan Lahan (HPL) yang menjadi dasar pemprov itu patut dipertanyakan. Dari HPL itu pulah lah pemprov NTB melakukan perjanjian dengan investor dalam hal ini PT GTI untuk mengelola lahan. Namun faktanya lahan itu juga ditelantarkan.Sementara itu menyikapi tawaran PT WAH untuk membagi-bagi tanah yang ada di Trawangan itu dinilai Jasman sebagai sebuah pelanggaran. Sebagai pihak yang hanya memegang HGB, PT WAH hanya diperkenankan untuk mengerjakan sesuai dengan ketentuan di HGB itu, yaitu membangun hotel melati. ‘Tidak boleh membagi-bagi tanah,’’ kata politisi Hanura ini.Dari perwakilan BPN yang diwakili oleh Koordinator Pengaturan dan Penataan Pertanahan di KLU H Darman juga membenarkan jika tanah HGB itu tidak bisa dibagi-bagikan sebagai opsi yang selama ini diberikan PT WAH.‘’PT WAH mendapat izin untuk membangun hotel melati, bukan untuk membagi-bagi tanah,’’

Page 29: Pengalihan Hak Atas Tanah Terlantar

kata pria berjenggot ini.Dalam kesempatan tersebut, H Darman mengatakan tidak menyalahkan pihak siapa pun dalam persoalan tanah di Trawangan maupun di kawasan pariwisata lainnya di KLU. Persoalan di Trawangan khususnya PT WAH itu merupakan bagian kecil dari persoalan pertanahan yang ada.Menjawab pertanyaan terkait dengan dokumen-dokumen PT WAH, H Darman mengatakan perusahaan tersebut sudah melalui prosedur. Namun fakta di lapangan setelah berjalan beberapa tahun, ada temuan yang menjadi catatan BPN terkait realisasi izin yang pernah dikeluarkan itu.Dituturkan, pada tahun 2003 BPN Lobar turun untuk memantau kondisi dilahan yang diberikan izin pada PT WAH. Seperti diketahui, tahun 1996 PT WAH diberikan izin HGB untuk membangun hotel melati dengan 35 kamar. Temuan pada tahun 2003 itu, di atas lahan itu ternyata ada perumahan seluas 40 are, dan 1,1 hektare sejenis bungalow. Di dalam lahan itu juga ditemukan 10 orang warga yang tinggal.  ‘’Izinnya untuk membangun hotel melati,’’ katanya.Dalam temuan itu memang PT WAH tidak dapat menjalankan sebagaimana yang disebutkan dalam izin. Dengan kondisi seperti itu, dengan menggunakan PP Nomor 11 tahu 2010, maka tanah tersebut bisa diusulkan menjadi tanah terlantar.Anggota Pansus Trawangan Ardianto mengatakan, dalam fakta empirik di lapangan sejak awal PT WAH sudah menelantarkan lahan itu. Sudah jelas disebutkan bahwa PT WAH harus membangun dalam jangka waktu 1 tahun. ‘’Tanah itu ditelantarkan oleh PT WAH,’’ katanya. (fat)