Journal Reading Mata Fix

36
JOURNAL READING PERBANDINGAN INFLAMASI KONJUNGTIVA POSTOPERATIF SETELAH OPERASI PTERYGIUM DENGAN TRANSPLANTASI SELAPUT AMNION DAN AUTOGRAFT KONJUNGTIVA Pembimbing : Kol. (Purn) dr. Dasril Dahar, Sp. M Disusun Oleh : Riana Andardewi 122.0221.088 1

description

jurnal reading mata

Transcript of Journal Reading Mata Fix

Page 1: Journal Reading Mata Fix

JOURNAL READING

PERBANDINGAN INFLAMASI KONJUNGTIVA POSTOPERATIF SETELAH

OPERASI PTERYGIUM DENGAN TRANSPLANTASI SELAPUT AMNION DAN

AUTOGRAFT KONJUNGTIVA

Pembimbing :

Kol. (Purn) dr. Dasril Dahar, Sp. M

Disusun Oleh :

Riana Andardewi

122.0221.088

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA

RUMAH SAKIT TK II MOH RIDWAN MEURAKSA

FAKULTAS KEDOKTERAN UPN “VETERAN”JAKARTA

PERIODE 16 MARET– 17 APRIL 2015

1

Page 2: Journal Reading Mata Fix

BAB I

PENDAHULUAN

Problem : Mengetahui perbandingan antara tehnik operasi pterygium yaitu transplantasi

selaput amnion (AMT) dan free Autograft konjungtiva terhadap angka kejadian inflmasi

konjungtiva postoperatif dan angka kekambuhan pterygium.

Intervensi : Membahas demografti pasien, tehnik operasi pterygium yang digunakan,

penggunaan MMC selama intraoperatif, dan pemberian terapi saat terjadi kekambuhan

pterygium.

Compare : Membandingkan angka kejadian inflmasi konjungtiva postoperatif dan angka

kekambuhan pterygium selama 1 tahun terakhir pasca operasi.

Outcome : Pemilihan tehnik operasi yang tepat untuk mengurangi kemungkinan munculnya

kejadian inflmasi konjungtiva postoperatif dan kekambuhan pterygium.

Pencarian Bukti Ilmiah

Kata Kunci : pterygium, tehnik operasi

Limitasi : 2010

Dipilih jurnal berjudul :

“Postoperative conjungtival Inflamation After Pterygium Surgery With Amniotic Selapute

Transplantation Versus Conjungtival Autograft”

Oleh :

Ahmad Kheirhan, Rahman nazari, Mojgan Nikdel, Hamed Ghassemi, Hassan Hashemi, dan

Mahmoud Jabbarvand Behrouz

Dimuat dalam :

American Journal of Ophthalmology Vol 152 N0. 5 page 733-738 November 2011

2

Page 3: Journal Reading Mata Fix

PERBANDINGAN INFLAMASI KONJUNGTIVA POSTOPERATIF SETELAH

OPERASI PTERYGIUM DENGAN TRANSPLANTASI SELAPUT AMNION DAN FREE

AUTOGRAFT KONJUNGTIVA

Tujuan : untuk membandingkan inflamasi konjungtiva postoperatif pada daerah operasi

setelah operasi pterygium dengan menggunakan transplantasi selaput amnion dan free Autograft

konjungtiva

Desain : penelitian retrospektif, random, intervensi.

Metode : empat puluh dua mata dari 42 pasien dengan pterygium primer menjalani operasi

eksisi diikuti pengangkatan jaringan fibrovaskular subkonjungtiva dan penggunaan mitomicin C

0.02%. Kemudian pasien secara acak mendapatkan AMT (21 mata) atau free Autograft

konjungtiva (21 mata), dengan menggunakan jahitan pada kedua kelompok. Hasil akhir yang

diukur meliputi kemunculan inflamasi konjungtiva pada daerah operasi setelah 1 bulan pasca

operasi dan kekambuhan dari pterygium.

Hasil : Follow up selama 12 bulan dilakukan pada 39 mata dari 39 pasien (19 dari

kelompok AMT dan 20 dari kelompok free Autograft konjungtiva). Pada 1 bulan pertama setelah

operasi,derajat inflamasi konjungtiva ditemukan pada 16 (84.2%) mata di Kelompok AMT. Dan

3 mat a (15%) kelompok Autograftkonjungtiva(P= 0.02). Injekesisubkonjungtivq triamcinolone

ditemukan pada matainflamasi sedang-berat,yaitu 12 mata (63.1%) padakelompok AMT dan 2

mata (10%) pada kelompok free Autograft konjungtiva(p=0.01)Kekambuhan pterygium

Konjungtiva ditemurkan pada 2 mata (10.5%) di kelompok AMT dan 2 mata (10%) pada

kelompok free Autograft konjungtiva (P=0.92%) . Setelah operasi, piyogenik granuloma

ditemukan pada 3 mata di kelompok AMT (15.8%) dan 1 mata (5%) pada kelompok free

Autograft Konjungtiva (P=0.31).

Kesimpulan : setelah operasi pterygium, inflamasi konjungtiva Secara signifikan ditemukan

lebih sering pada AMT dibandingkan apadada Autograft konjungtiva. Walaupun demikian

dengan kontrol inflamasi dan penggunaan mitomicyn C intraoperasi, hasil akhir yang sama

ditemukanpada keduatehnik tersebut.

Pterygium adalah keadaan dimana jaringan fibrovaskular Konjungtiva bulbar hingga ke

kornea.Sebelumnya, pterygium dikenal sebagaipenyakit kronis; walau ternyata didapatkan bukti

3

Page 4: Journal Reading Mata Fix

yang menunjukkan pterygium merupakan lesi proliferasi dan infIamasi.Sebagai contoh, terdapat

sel proliferasi pada kepala pterygium, dan hyperplasia epitel dan peningkatan jaringan

fibrovaskular pada pemeriksaan histopatologi. Juga didapatkan peningkatan angka marker

inflamasi pada pterygium. Sebagai tambahan, secara klinis ditemukan bahwa mitomycin C

(MMC) yang memiliki efek menghambat proliferasi dapat mengurangi kekambuhan pterygium

setelah insisi dan steroid juga berguna untuk mengurangi kekambuhan pterygium.

Banyak tehnik yang dikembangkan untuk operasi pterygium.Meliputi bare sclera, rotasi

flap konjungtiva, free Autograft konjungtiva, transplantasi selaput amnion (AMT). Sehingga,

untuk mengurangi angka kekambuhan pterygium, berbagai metode tambahan dilakukan, seperti

radiasi B dan agen lainnya, termasuk MMC, 5-fluorouracil dan Thiotepa. Angka keberhasilan

yang beragam dilaporkanuntuk metode operasi yang berbeda. Walau demikian masih belum jelas

mengapa metocle yang satu lebih baik daripada metode yang lain.

Salah satu faktor yang berperan dalam keberhasilan operasi pterygium adalah inflamasi

konjungtiva postoperatif. Dikatakan bahwa infeksi konjungtiva pada sekitar daerah operasi

ditemukan hingga 31% sampai 40% pada kasus pasca operasi pterygium dengan AMT. dan

ditunjukkan bahwa tatalaksana inflamasi tersebut mempengaruhi hasil akhir keberhasilan

postoperatif. Namun idak diketahui apakah inflamasi konjungtiva postoperatif ini juga muncul

setelah operasi pterygium dengan tehnik selain AMT dan pengaruhnya terhadap hasil akhir

operasi. Untuk menjawab pertanyan tersebut, penelitian ini dilakukan untuk membandingkan

kemunculan inflamasi konjungtiva di sekitar daerah operasi setelah operasi pterygium dengan

AMT dan free Autograft kongungtiva dan untuk mengetahui kemungkinan munculnya inflamasi

sebagaihasil akhir operasi pterygium dari kedua tehnik tersebut.

Dalam penelitian prospektif ini, 42 mata dari 42 pasien dengan pterygium nasal primer

menjalani operasi eksisi kemudian secara acak dipilih. 21 mata dari 21 pasien mendapatkan free

Autograft konjungtiva dan 21 mata dari 21 pasien mendapatkan tehnik AMT. Kemudian

dipilihkan secara acak bentuk murfologi pterygium pada tiap kelompok.

Sebelum operasi dan pada kunjungan setelah operasi, setiap pasien menjalani pemeriksaan

okular lengkap, meliputi fotografti slit lamp, pengukuran virus koreksi terbaik secara akurat, dan

penilalian tekanan intra ocular. Sebelum Operasi, bentuk morfologi pterygium dikelompokkan

berdasarkan penilaian Tan dkk. Dalam penilaian ini, pterygium dikelompokkan sebagai grade T1

(pterygium atrofi), yaitu pembuluh darah episklera tidak tanpak jelas pada badan pterygium,

4

Page 5: Journal Reading Mata Fix

grade T3 (pterygium jaringan), dimana pembuluh darah episkleral terlihat jelas, dan grade T2

(diantara grade T1 dan T3) yaitu keadaan dimana pembuluh darah episkleral hanyaterlihat jelas

sebagian.

Sebeluin Operasi, dilakukan informed consent kepada setiap pasien. Semua operasi

dilakukan oleh satu ahli bedah (R.N.) dibawah pengaruh anestesi retrobulbar. Saat operasi,

kepala dan badan pterygium dilepaskan terlebih dahulu dengun tehnik yang sama pada setiap

pasien, yaitu dengan reseksi badan 2 mm didepan plica Somilunaris. Kemudian diikuti

pengangkatan jaringan fibrovascular subkonjungtiva 2mm dari tepi konjungtiva dan pertemuan

kornea setelah kateterisasi minimal perdarahan pembuluh darah, diberikan 0,02% MMC pada

sclera dan dibawah tepi konjungtiva dengan menggunakan WecK-Cel surgical sponge yang

diregam dalam larutan 0,02% MMC.

Durasi pemberian MMC bedasarkan grade bertuk morfologi Pterygium preoperatif, yaitu

penggunaan 1 menit untuk grade 1, 3 menit untuk grade 2, dan 5 menit untuk grade 3.setelah itu

permukaan mata dibasuh dengan 100 ml larutan garam fisologis, pasien secara acak

mendapatkan selaput amnion (Kelompok AMT) atau Free graft Konjungtiva (kelompok free

autograft konjungtiva). Untuk menutupi permukaan selaput amion sklera (homapeyvand, inc,

Tehran, iran) yang digunakan adalah satu lapisan dengan stromal terbalik disambung dengan

nylon 10-0 dengan jahitan interuptus. Autograph konjungtiva free didapatkan dari supero-

temporal konjungtiva bulbar yang diambil secara hati hati untuk menghindari terambilnya

jaringan tenon. Graft disambung dengan jahitan interuptus dengan nylon 10-0 dengan

mempertahankan orientasi limbal – fornicel.

Setelah operasi, semua pasien mendapatkan regimen antibiotic yang sama selama 2

minggu dan tapering topical steroid selama 3 minggu. Meliputi 0,1% betametasol 4 kali sehari

untuk satu bulan diikuti denga 0,1% fluorometolon 4 kali sehari selama 2 minggu, 3 kali sehari

untuk 2 minggu, 2 kali sehari untuk 2 minggu, dan 1 kali sehari untuk 2 minggu. Pemerikasaan

follow postoperatif dilakukan pada satu hari, 1 minggu, 2 minggu, 1 bulan, dan 3, 6,9, dan 12

bulan setelah operasi. Jahitan dilepas setelah 1 minggu pada kelompok autograph konjungtiva

dan setelah 2 minggu pada kelompok AMT.

Timbulnya inflamasi konjungtiva postoperatif pada sekitar daerah operasi dalam 1 bulan

setelah operasi menggunkan grade 0 ( tidak ada, I (ringan), II (sedang), dan III (berat), seperti

5

Page 6: Journal Reading Mata Fix

yang djelaskan sebelumnya). Mata dengan imflamsi dengan grade II dan III mendapatkan injeksi

subkonjungtiva 8 mg triamcinole acentonide disekeliling daerah operasi.

Temuan klinis pasien dengan pterigium primer dan temuan postoperatif setelah pembedahan dengan transplantasi membran amnion atau free autograft konjungtiva

Kelompok Transplantasi membran

amnion

Kelompok autograft konjungtiva

Nilai P

Jumlah mata 19 20

Umur 42.8 ±13.2 47.7 ±15.7 0.33

Jenis kelamin (laki laki/perempuan)

10/9 12/8 0.76

Bentuk morfologi pterigium

0.89

T1 4 5

T2 8 9

T3 7 6

Grade inflamasi konjungtiva postoperasi

0 3 (15.8%) 17 (85%) 0.02

I 4 (21.1%) 1 (5%)

II 7 36.8%) 2 (10%)

III 5 (26.3%) 0

Kekambuhan pterigium 0.92

Kekambuhan konjungtiva

2 (10.5%) 2 (10%)

Kekambuhan kornea 0 0

Piogenik granuloma 3 (15.8%) 1 (5%) 0.31

Kekambuhan peteregium postoperatif dilaporkan dengan mengunakan dengan system

grading yang dijelaskan sebelumnya. Grading ini meliputi grade I yaitu tidak ada kekambuhan,

6

Page 7: Journal Reading Mata Fix

grade II munculnya pembuluh darah episkelera tanpa jaringan fibrovaskular pada daerah operasi,

grade III adalah munculnya jaringan fibrovascular pada daerah operasi namun tanpa adanya

infasi pada kornea dan grade IV kekambuhan sebenarnya yaitu jaringan fibro vascular

menginfasi hingga ke kornea (kekambuhan kornea) mata dengan kekambuhan pterygium

konjungtiva (grade III) mendapatkan satu injeksi subkonjungtiva 8 mg triamcinole acentonide

tunggal atau injeksi intralesi 5– fluorouracil selama dua minggu.

Analisa statistik dilakukan dengan menggunakan software SPSS versi 15 ( Spss, Inc,

Chichago, Ilinois, USA) test cis squre dan test t digunakan untuk membandingkan secara

kualitatif dan variable kuantitatif antara AMT dan kelompok Autograft Konjungtiva bila nilai p

0.05 atau kurang maka dianggap signifikan secara statistik.

HASIL

Dari 42 mata dalam penelitian ini, dengan 12 bulan follow up lengkap didapat 39 mata

dari 39 pasien ( 22 laki laki dan 17 perempuan dengan usia rata rata 45,6 +- 13,19 tahun (Range

19 samai 83 tahun) meliputi 19 mata di kelompok AMT dan 20 di kelompok Autograft

konjungtiva.Secara statistik Tidak ada perbedaan secara siknifikan mengenai umur, jenis

kelamin, dan grede bentuk morfologi pterygium sebelum operasi antara dua kelompok. Operasi

dilakukan pada setiap kasus menggunakan metode amniotic selapute atau autograph konjungtiva.

Setelah 1 setelah operasi, pada pemeriksaan ditemukan inflamasi konjungtiva disekitar

daerah operasi pada 16 mata (84,2%)dalam kelompok AMT dan 3 mata (15%) dalam kelompok

autograftkonjungtiva, (P=0,02) Pada kelompok AMT grade inflamasi postoperatif berupa grade I

(ringan ditemukan 4 mata (21,1% grade II (sedang 7 mata (36,8%, dan grade III (berat) 5 Mata

(26,3%) sedangkan pada kelompok autograftkonjungtiva ditemukan inflamasi grade I (ringan) di

1 mata (5%), grade II (sedang) 2 mata (10%). Injeksi subkonjungtiva triamcinolone acetonide

dilakukan pada 12 mata (63,21%) dan 2 mata (10%) pada kelompok autograph

konjungtiva(P<0,001). Pemberian injeksi menunjukan pebaikan inflamasi pada mata tersebut.

Kekambuhan pepterygium grade III ditemukan pada 2 mata (10,5%) pada kelompok AMT

( di 3 dan 6 bulan setelah Operasi) dan pada 2 mata (10%) autograph konjungtiva (di 3 dan 12

bulan setelah operasi), tanpa adanya, perbedaan yang signifikan secara statistic antar 2 kelompok

(P=9,2) kekambuhan pada 2 mata kelompok AMT mengalami inflamasi konjungtival (1 mata)

7

Page 8: Journal Reading Mata Fix

dan berat (1 mata) pada 1 bulan setelah operasi.kekambuhan pada kelompok autograph

konjungtiva tidak mengalami inflamasi ( 1mata) dan mengalami inflamasi sedang (1 mata) pada

Kunjungan 1 bulan. Mata dengan kekambuhan konjungtiva mendapatkan 1 injeksi

subkonjungtival 8mg triamcinolone acetonide tunggal (2mata), 1 dimasing masing kelompok dan

injeksi intarlesi fluorouracil selama 2 minggu (2 mata 1 dimasing masing kelompok), tidak

ditemukan perkembangan ke kambuhan kornea primer selama follow up. Perkembangan

pyogenic granuloma pada daerah operai ditemukan pada 3 mata (15,8%) di kelompok AMT dan

1 mata (5%) di kelompok autograph konjungtiva (P=0,31) seluruh pyogenic granulomata

berkembang di tepi graft. Pada gruautograft konjungtiva di daerah subperotemporal dimana graft

konjungtiva diambil berhasil sembuh tanpa ada komplikasi pada seluruh mata. Tidak ada

komplikasi yang berhubungan graft selapute amnion atau graft konjungtiva pada mata selama

follow up postoperatif. Setelah injeksi triapsinolon asetonik tekanan intra ocular ditemukan

meningkat pada dua mata dan berhasil di control dengan pengobatan. Tidak ditemukan

komplikasi yang berhubungan dengan pemberian steroid pada seluruh mata.

DISKUSI

Penelitian restopektif acak ini menunjukan bahwa setelah operasi pterygium, infeksi

konjungtiva ditemukan secara siknifikan secara lebih sering pada AMT disbanding pada

Autokelompok konjungtiva. Walaupun dengan pengontrolan inflamasi dan penggunaan MMC

introperatif, hasil akhir yang sama ditemukan pada kedua teknik. Penelitian selanjutnya

dibutuhkan untuk mengevaluasi infeksi konjungtival postoperatif dengan berbagai teknik operasi

pterygium

Pada satu bulan setelan operasi pterygium, ketika respon inflamasi postoperatif disekitar

daerah operasi muncul 84,2% pada mata di kelompok AMT dan 15 % pada mata Autograft

Konjungtival. Inflamasi secara siqnifikan lebih sering dibaandingkan autograph konjungtival

(p=0,02). Sumber sebelumnya melaporkan infeksi konjungtival muncul setelah operasi

prepterygium dengtan AMT dan setelah eksisi konjungtivo aklasi konjungtivo Chlasi dan

rekontruksi fornik. Walaupun inflamasi yang berhubungan denga penjahitan ditemukan pada

operasi prepterygium dengan autograph konjungtival teknik operasi lainya sangat jarang

dijelaskan

8

Page 9: Journal Reading Mata Fix

Solomon dkk melaporkan angka kejadian sebesar 31, 5% persisten inflamasi setelah

operasi pterygium, AMT yang mengunkan benang dan injeksi subkonjungtival triamcinolon

introperatif. Penelitian kami sebelumnya menunjukan 27 mata yang mendapatkan eksisi

pterygium, penggunaan MMC, dan AMT mengunakan benaang ataung lem fibrin dengan

pemberian injeksi triamsinolon intraoperatif pata 11 mata menunjukan angka inflamasi sebesar

40,7%. Dengan penggunaan MMC tanpa pemberian injeksi triamsinolon introperatif pada

penelitian ini, inflamasi muncul pada 84,2 mata setelah AMT, halini menunjukan. Angka yang

lebih tinggi, dibandingkan penelitian sebelumnya. Hal tersebut hasil adanya pemberian injeksi

triamsinolon intraoperatif berdampak pada tingginya angka kejadian inflamasi pada penelitian ini

dibandingkan penelitian sebelumnya. Namun penelitian control dibutuhkan untuk mengevaluasi

pemberian steroid introperatif untuk mencegah terjadinya inflamasi

Pathogenesis dari inflamasi konjungtiva postoperatif persisten dan kemungkinan alasan

tingginya angka kejadian setelah AMT, yang diketahui memiliki efek anti inflamsi masih sulit

dijelaskan. Sebagai tambahan factor lain yang mungkin berperan dalam inflamasi postoperatif

masih banyak yang belum diketahui. Sebelumnya, dilaporkan bahwa setelah operasi pteregium

dengan AMT ditemukan angka kejadian inflamasi yang lebih tinggi pada penggunaan benang

dibandingkan dengan penngunaan lem fibrin (61,5% disbanding 21,4%) dalam penelitian ini,

benang dilepaskan setelah satu minggu pada kelompok autograftkonjungtival dan setelah 2

minggu pada kelompok AMT. walaupun kemunculan inflamasi di evaluasi pada satu bulan

setelah operasi, durasi benang yang lebih lama tinggal pada kelompok AMT mungkin

merupakan penyebab dari inflamasi bahkan setelah benang dilepaskan. Namun inflamasi yang

tetap muncul pada penggunaan fibrin menunjukan ada nya kemungkinan factor lain.

Mistosin C, yang diketahui memiliki efek anti proliperatif digunakan pada seluruh mata

dalam penelitin ini. Walaupun MMC menurunkan inflamasi konjungtival pada mata dengan

konjungtivitis alergi, masih belum diketahui apakah penggunaan MMC dapat menurunkan

angka kejadian inflamasi konjungtiva inframatif operasi pterygium. Sehingga penelitian

selanjutnya menggunakan sampel yang lebih besar untuk mengevaluasi factor lain seperti umur,

jenis kelamin, bentuk morfologi pterygium, dan perbedaan teknik operasi yang dapat menujukan

kemungkinan muncul nya inflasmasi postoperatif

Pada operasi pterygium dengan penggunaan MMC kekambuhan pterygium konjungtiva

berkembang dengan rasio yang sama sebsar 10% pada kedua kelompok selama 12 bulan follow

9

Page 10: Journal Reading Mata Fix

up posoperatif. Beberapa penelitian debelumnya membangdingkan hasil operasi pterygium

dengan autograftkonjungtiva atau AMT. disebutkan bahwa untuk operasi pterygium,

kekambuhan pada AMT sama atau lebih tinggi dibandingkan Autograft konjungtiva. Namun

tidak ada satu pun penelitian menggunakan MMC yang terbukti menurunkan angka

kekambuhan. Sehingga angka kekambuhan yang sama ditemukan pada kelompok AMT dan

kelompok autograftkonjungtiva pada penelitian ini berhubungan dengan penggunangan MMC

yang diberikan pada kedua kelompok. Namun factor lain masih mungkin berperann dalam

munculnya angka kekambuhan yang sama pada kedua kelompok sebagai control inflamasi

konjungtiva post operativ

Peneletian retrokspektif kami sebelumnya, menunjukan bahwa setelah operasi pterygium

dengan pemberian MMC dan AMT, mata dengan inflamasi konjungtiva pada satu bulan setelah

operasi tidak menunjukan kekambuhan bila diberikan injeksi subkonjungtiva triamsinolon.

Namun mata yang tidak mendapatkan pengobatan memiliki kekambuhan yang lebih tinggi.

Meskipun dengan autograftkonjungtival, tetap menunjukan angka kekambuhan yang lebih tinggi

pada pasien yang mendapat tropical steroid postoperatif in adekuat. Sehingga ini mungkin

menjadi alas an bahawa angka kekambuhan pterygium setelah eksisi dengan AMT lebih tinggi

dibandingkan autographkonjungtival seperti yang dilaporkan sebelum nya bahwa angka kejadian

inflama si konjungtiva postoperatif setelah AMT lebih tinggi , yang dibiarkan tidak diobati.

Pengobatan inflamasi seperti yang dilakukan pada penelitian ini, mungkin yang menjadikan hasil

angka kembuha yang sama antara pengguanaan AMT atau Autograftkonjungtiva penelitian

selanjutnya diharapkan diharapkkan menbahas mekanisme kemungkinan lain dari hasil akhir

yang berbeda dari berbagai tehnik pembedahan untuk operasi pterygium.walaupun pemberian

injeksi konjungtival triamcinolon pada penelitian ini menunjukan resolusi dari inflamasi, metode

postoperatif terbaik untuk menangani inflamasi dan untuk mencegah kekambuhan masih belum

diketahui pada penelitian ini 3 dari 4 mata denga kekambuhan konjungtiva pterygium memiliki

inflamasi konjungtiva pada satu bulan setelah operasi walaupun telah diberikan injeksi

triamsinolon. Walaupun faktorlain berperan. Inflamasi yang muncul setelah injeksi triamsinolon

mungkin berakibat sebgai penyebab kekambuhan. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya,

subkonjungtiva 5-fluoroulacil atau triamcinolon pada penelitian ini berhasi untuk mencegah

pertumbuhan konjungtiva menjadi kekambuhan kornea pterygium. Sehingga fungsi agen anti

10

Page 11: Journal Reading Mata Fix

inflamasi lain dan agen anti faskular endothelial growth faktor untuk terapi inflamasi postoperatif

membutuhkan penelitian yang lebih lanjut

Berhubungan dengan tingginya angka kejadian inflamasi konjungtiva postoperasi

berbanding lurus dengan angka kejadian piogenik granuloma setelah AMT dibandingkan

autograft konjungtiva (15.8% banding 5%), walaupun perbedaan ini secara statitik tidak

bermakna secara signifikan. Kejadian tersebut, yang merupakan proses inflamasi, mungkin

terjadi akibat proses penyembuhan proliferasi fibrovaskular yang berlebihan. Walaupun angka

kejadian yang tinggi mungkin diakibatkan karena penggunaan benang yang lebih lama, namun

belum ada satupun penelitian yang membahas mengenai hubungan antara terjadinya Iuka dengan

penggunaan benang.

Kekurangan utama dalam penelitian ini adalah terbatasnya jumlah sampel. Namun follow

up postoperatif selama 1 tahun dinilai cukup untuk menilai kekambuhan pterygium. Serta tidak

hanya tehnik AMT dan tehnik Autograft konjungtiva yang telah dilakukan, grade bentuk

morfologi pterygium juga mempengaruhi hasil akhir pembedahan. Walaupun dengan sampel

yang terbatas, data kami menunjukkan bahwa inflamasi konjungtiva postoperatif lebih sering

muncul secara signifikan pada operasi pterygium dengan tehnik AMT dibandingkan tehnik

Autograft konjungtiva. Serta penggunaan MMC intraoperatif menimbulkan hasil yang sama pada

kedua kelompok terhadap angka kekambuhan pterygium.

11

Page 12: Journal Reading Mata Fix

BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

DEFINISI

Pterygium adalah pertumbuhan jaringan fibrovaskular berbentuk segitiga yang tumbuh

dari arah konjungtiva menuju kornea pada daerah interpalpebra. Pterygium tumbuh berbentuk

sayap pada konjungtiva bulbi. Asal kata pterygium adalah dari bahasa Yunani, yaitu pteron yang

artinya sayap.

EPIDEMIOLOGI

Pterygium tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih banyak di daerah iklim panas dan kering.

Prevalensi juga tinggi di daerah berdebu dan kering. Faktor yang sering mempengaruhi adalah

daerah dekat ekuator, yakni daerah yang terletak kurang 370 Lintang Utara dan Selatan dari

ekuator. Prevalensi tinggi sampai 22% di daerah dekat ekuator dan kurang dari 2% pada daerah

yang terletak di atas 400 Lintang. Insiden pterygium cukup tinggi di Indonesia yang terletak di

daerah ekuator, yaitu 13,1%.4

Pasien di bawah umur 15 tahun jarang terjadi pterygium. Prevalensi pterygium meningkat

dengan umur, terutama dekade ke-2 dan ke-3 dari kehidupan. Insiden tinggi pada umur antara 20

dan 49. Kejadian berulang (rekuren) lebih sering pada umur muda daripada umur tua. Laki-laki 4

kali lebih resiko dari perempuan dan berhubungan dengan merokok, pendidikan rendah, riwayat

terpapar lingkungan di luar rumah.

FAKTOR RISIKO

Faktor resiko yang mempengaruhi pterygium adalah lingkungan yakni radiasi ultraviolet

sinar matahari, iritasi kronik dari bahan tertentu di udara dan faktor herediter.

Radiasi ultraviolet

Faktor resiko lingkungan yang utama sebagai penyebab timbulnya pterygium

adalah terpapar sinar matahari. Sinar ultraviolet diabsorbsi kornea dan konjungtiva

menghasilkan kerusakan sel dan proliferasi sel. Letak lintang, waktu di luar rumah,

penggunaan kacamata dan topi juga merupakan faktor penting.

12

Page 13: Journal Reading Mata Fix

Faktor Genetik

Beberapa kasus dilaporkan sekelompok anggota keluarga dengan pterygium dan

berdasarkan penelitian case control menunjukkan riwayat keluarga dengan pterygium,

kemungkinan diturunkan autosom dominan.

Faktor lain

Iritasi kronik atau inflamasi terjadi pada area limbus atau perifer kornea

merupakan pendukung terjadinya teori keratitis kronik dan terjadinya limbal defisiensi, dan

saat ini merupakan teori baru patogenesis dari pterygium. Wong juga menunjukkan adanya

pterygium angiogenesis factor dan penggunaan pharmacotherapy antiangiogenesis sebagai

terapi. Debu, kelembaban yang rendah, dan trauma kecil dari bahan partikel tertentu, dry

eye dan virus papilloma juga penyebab dari pterygium.

PATOGENESIS

Etiologi pterygium tidak diketahui dengan jelas. Tetapi penyakit ini lebih sering pada

orang yang tinggal di daerah iklim panas. Oleh karena itu gambaran yang paling diterima tentang

hal tersebut adalah respon terhadap faktor-faktor lingkungan seperti paparan terhadap matahari

(ultraviolet), daerah kering, inflamasi, daerah angin kencang dan debu atau faktor iritan lainnya.

Pengeringan lokal dari kornea dan konjungtiva yang disebabkan kelainan tear film menimbulkan

pertumbuhan fibroplastik baru merupakan salah satu teori. Tingginya insiden pterygium pada

daerah dingin, iklim kering mendukung teori ini.

Ultraviolet adalah mutagen untuk p53 tumor supresor gene pada limbal basal stem cell.

Tanpa apoptosis, transforming growth factor-beta diproduksi dalam jumlah berlebihan dan

menimbulkan proses kolagenase meningkat. Sel-sel bermigrasi dan angiogenesis. Akibatnya

terjadi perubahan degenerasi kolagen dan terlihat jaringan subepitelial fibrovaskular. Jaringan

subkonjungtiva terjadi degenerasi elastoik proliferasi jaringan vaskular bawah epithelium dan

kemudian menembus kornea. Kerusakan pada kornea terdapat pada lapisan selaput bowman oleh

pertumbuhan jaringan fibrovaskular, sering disertai dengan inflamasi ringan. Epitel dapat

normal, tebal atau tipis dan kadang terjadi displasia.

13

Page 14: Journal Reading Mata Fix

Limbal stem cell adalah sumber regenerasi epitel kornea. Pada keadaan defisiensi limbal

stem cell, terjadi pembentukan jaringan konjungtiva pada permukaan kornea. Gejala dari

defisiensi limbal adalah pertumbuhan konjungtiva ke kornea, vaskularisasi, inflamasi kronis,

kerusakan selaput basement dan pertumbuhan jaringan fibrotik. Tanda ini juga ditemukan pada

pterygium dan karena itu banyak penelitian menunjukkan bahwa pterygium merupakan

manifestasi dari defisiensi atau disfungsi limbal stem cell. Kemungkinan akibat sinar ultraviolet

terjadi kerusakan limbal stem cell di daerah interpalpebra

Pemisahan fibroblast dari jaringan pterygium menunjukkan perubahan phenotype,

pertumbuhan banyak lebih baik pada media mengandung serum dengan konsentrasi rendah

dibanding dengan fibroblast konjungtiva normal. Lapisan fibroblast pada bagian pterygiun

menunjukkan proliferasi sel yang berlebihan. Pada fibroblast pterygium menunjukkan matrix

metalloproteinase, dimana matriks ekstraselluler berfungsi untuk jaringan yang rusak,

penyembuhan luka, mengubah bentuk. Hal ini menjelaskan kenapa pterygium cenderung terus

tumbuh, invasi ke stroma kornea dan terjadi reaksi fibrovaskular dan inflamasi

GAMBARAN KLINIS DAN PEMBAGIAN PTERIGIUM

Pterygium lebih sering dijumpai pada laki-laki yang bekerja di luar rumah. Bisa unilateral

atau bilateral. Kira-kira 90% terletak di daerah nasal. Pterygium yang terletak di nasal dan

temporal dapat terjadi secara bersamaan walaupun pterygium di daerah temporal jarang

ditemukan. Kedua mata sering terlibat, tetapi jarang simetris. Perluasan pterygium dapat sampai

ke medial dan lateral limbus sehingga menutupi sumbu penglihatan, menyebabkan penglihatan

kabur.

Secara klinis pterygium muncul sebagai lipatan berbentuk segitiga pada konjungtiva yang

meluas ke kornea pada daerah fissura interpalpebra. Biasanya pada bagian nasal tetapi dapat juga

terjadi pada bagian temporal. Deposit besi dapat dijumpai pada bagian epitel kornea anterior dari

kepala pterygium (stoker's line).

Pterygium dibagi menjadi tiga bagian yaitu : body, apex (head) dan cap. Bagian segitiga

yang meninggi pada pterygium dengan dasarnya kearah kantus disebut body, sedangkan bagian

atasnya disebut apex dan ke belakang disebut cap. A subepithelial cap atau halo timbul pada

tengah apex dan membentuk batas pinggir pterygium.

Pembagian pterygium berdasarkan perjalanan penyakit dibagi atas 2 tipe, yaitu :

14

Page 15: Journal Reading Mata Fix

- Progresif pterygium : tebal dan vaskular dengan beberapa infiltrat di depan kepala

pterygium (disebut cap pterygium).

- Regresif pterygium : tipis, atrofi, sedikit vaskular. Akhirnya menjadi membentuk selaput

tetapi tidak pernah hilang.4

Pada fase awal pterygium tanpa gejala, hanya keluhan kosmetik. Gangguan terjadi ketika

pterygium mencapai daerah pupil atau menyebabkan astigatisme karena pertumbuhan fibrosis

pada tahap regresi. Kadang terjadi diplopia sehingga menyebabkan terbatasnya pergerakan mata.

Pembagian lain pterygium yaitu :

1. Tipe I : meluas kurang 2 mm dari kornea. Stoker's line atau deposit besi dapat dijumpai

pada epitel kornea dan kepala pterygium. Lesi sering asimptomatis meskipun sering

mengalami inflamasi ringan. Pasien dengan pemakaian lensa kontak dapat mengalami

keluhan lebih cepat.

2. Type II : menutupi kornea sampai 4 mm, bias primer atau rekuren setelah operasi,

berpengaruh dengan tear film dan menimbulkan astigmatisma.

3. Type III : mengenai kornea lebih 4 mm dan mengganggu aksis visual. Lesi yang luas

terutama yang rekuren dapat berhubungan dengan fibrosis subkonjungtiva yang meluas

ke fornik dan biasanya menyebabkan gangguan pergerakan bola mata.

Pterygium juga dapat dibagi ke dalam 4 derajat yaitu :

1. Derajat 1 : jika pterygium hanya terbatas pada limbus kornea.

2. Derajat 2 : jika sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih dari 2 mm melewati

kornea.

3. Derajat 3 : sudah melebihi derajat 2 tetapi tidak melebihi pinggiran pupil mata dalam

keadaan cahaya normal (pupil dalam keadaan normal sekitar 3 – 4 mm)

4. Derajat 4 : pertumbuhan pterygium melewati pupil sehingga mengganggu penglihatan.

DIAGNOSA BANDING

Secara klinis pterygium dapat dibedakan dengan dua keadaan yang sama yaitu pinguekula

dan pseudopterygium. Bentuknya kecil, meninggi, masa kekuningan berbatasan

.

15

Page 16: Journal Reading Mata Fix

dengan limbus pada konjungtiva bulbi di fissura interpalpebra dan kadang-kadang

mengalami inflamasi. Tindakan eksisi tidak diindikasikan. Prevalensi dan insiden meningkat

dengan meningkatnya umur. Pinguekula sering pada iklim sedang dan iklim tropis dan angka

kejadian sama pada laki-laki dan perempuan. Paparan sinar ultraviolet bukan faktor resiko

penyebab pinguekula.

Pertumbuhan yang mirip dengan pterygium, pertumbuhannya membentuk sudut miring

seperti pseudopterygium atau Terrien's marginal degeneration. Pseudopterygium mirip dengan

pterygium, dimana adanya jaringan parut fibrovaskular yang timbul pada konjungtiva bulbi

menuju kornea. Berbeda dengan pterygium, pseudopterygium adalah akibat inflamasi permukaan

okular sebelumnya seperti trauma, trauma kimia, konjungtivitis sikatrikal, trauma bedah atau

ulkus perifer kornea. Untuk mengidentifikasi pseudopterygium, cirinya tidak melekat pada

limbus kornea. Probing dengan muscle hook dapat dengan mudah melewati bagian bawah

pseudopterygium pada limbus, dimana hal ini tidak dapat dilakukan pada pterygium. Pada

pseudopterygium tidak dapat dibedakan antara head, cap dan body dan pseudopterygium

cenderung keluar dari ruang fissura interpalpebra yang berbeda dengan true pterygium.

PENATALAKSANAAN

Keluhan fotofobia dan mata merah dari pterygium ringan sering ditangani dengan

menghindari asap dan debu. Beberapa obat topikal seperti lubrikans, vasokonstriktor dan

kortikosteroid digunakan untuk menghilangkan gejala terutama pada derajat 1 dan derajat 2.

Untuk mencegah progresifitas, beberapa peneliti menganjurkan penggunaan kacamata pelindung

ultraviolet.

Indikasi eksisi pterygium sangat bervariasi. Eksisi dilakukan pada kondisi adanya

ketidaknyamanan yang menetap, gangguan penglihatan bila ukuran 3-4 mm dan pertumbuhan

yang progresif ke tengah kornea atau aksis visual, adanya gangguan pergerakan bola mata.

Eksisi pterygium bertujuan untuk mencapai gambaran permukaan mata yang licin. Suatu

tehnik yang sering digunakan untuk mengangkat pterygium dengan menggunakan pisau yang

datar untuk mendiseksi pterygium kearah limbus. Memisahkan pterygium kearah bawah pada

limbus lebih disukai, kadang-kadang dapat timbul perdarahan oleh karena trauma jaringan

sekitar otot. Setelah eksisi, kauter sering digunakan untuk mengontrol perdarahan. Beberapa

tehnik operasi yang dapat menjadi pilihan yaitu :

16

Page 17: Journal Reading Mata Fix

1. Bare sclera : tidak ada jahitan atau jahitan, benang absorbable digunakan untuk

melekatkan konjungtiva ke sklera di depan insersi tendon rektus. Meninggalkan suatu

daerah sklera yang terbuka.

2. Simple closure : tepi konjungtiva yang free dijahit bersama (efektif jika hanya defek

konjungtiva sangat kecil).

3. Sliding flaps : suatu insisi bentuk L dibuat sekitar luka kemudian flap konjungtiva

digeser untuk menutupi defek.

4. Rotational flap : insisi bentuk U dibuat sekitar luka untuk membentuk lidah konjungtiva

yang dirotasi pada tempatnya.

5. Conjunctival graftt : suatu free graftt biasanya dari konjungtiva superior, dieksisi sesuai

dengan besar luka dan kemudian dipindahkan dan dijahit.

6. Amnion selapute transplantation : mengurangi frekuensi rekuren pterygium, mengurangi

fibrosis atau skar pada permukaan bola mata dan penelitian baru mengungkapkan

menekan TGF-β pada konjungtiva dan fibroblast pterygium. Pemberian mytomicin C dan

beta irradiation dapat diberikan untuk mengurangi rekuren tetapi jarang digunakan.

7. Lamellar keratoplasty, excimer laser phototherapeutic keratectomy dan terapi baru

dengan menggunakan gabungan angiostatik dan steroid.1

KOMPLIKASI

Komplikasi pterygium termasuk ; merah, iritasi, skar kronis pada konjungtiva dan kornea,

pada pasien yang belum eksisi, distorsi dan penglihatan sentral berkurang, skar pada otot rektus

medial yang dapat menyebabkan diplopia. Komplikasi yang jarang adalah malignan degenerasi

pada jaringan epitel di atas pterygium yang ada.

Komplikasi sewaktu operasi antara lain perforasi korneosklera, graftt oedem, graftt

hemorrhage, graftt retraksi, jahitan longgar, korneoskleral dellen, granuloma konjungtiva,

epithelial inclusion cysts, skar konjungtiva, skar kornea dan astigmatisma, disinsersi otot rektus.

Komplikasi yang terbanyak adalah rekuren pterygium post operasi

17

Page 18: Journal Reading Mata Fix

PROGNOSIS

Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik, rasa tidak nyaman pada hari

pertama postoperasi dapat ditoleransi, kebanyakan pasien setelah 48 jam post operasi dapat

beraktivitas kembali.

Rekurensi pterygium setelah operasi masih merupakan suatu masalah sehingga untuk

mengatasinya berbagai metode dilakukan termasuk pengobatan dengan antimetabolit atau

antineoplasia ataupun transplantasi dengan konjungtiva. Pasien dengan rekuren pterygium dapat

dilakukan eksisi ulang dan graftt dengan konjungtiva Autograft atau transplantasi selaput

amnion. Umumnya rekurensi terjadi pada 3 – 6 bulan pertama setelah operasi .

Pasien dengan resiko tinggi timbulnya pterygium seperti riwayat keluarga atau karena

terpapar sinar matahari yang lama dianjurkan memakai kacamata sunblock dan mengurangi

terpapar sinar matahari.

TEKNIK BARE SCLERA

- Operasi dengan menggunakan mikroskop dilakukan dibawah anastesi lokal.

- Setelah pemberian anastesi topikal, desinfeksi, dipasang eye spekulum.

- Lidokain 0,5 ml disuntikkan dibawah badan pterygium dengan spuit 1cc.

- Dilakukan eksisi badan pterygium mulai dari puncaknya di kornea sampai pinggir limbus.

Kemudian pterygium diekstirpasi bersama dengan jaringan tenon dibawah badannya

dengan menggunakan gunting.

TEKNIK CONJUNCTIVAL AUTOGRAFT

- Setelah pterygium diekstirpasi, ukuran dari bare sclera yang tinggal diukur.

- Diambil konjungtiva dari bagian superior dari mata yang sama, diperkirakan lebih besar

1mm dari bare sclera yang diukur, kemudian diberi tanda.

- Area yang sudah ditandai diinjeksikan dengan lidokain, agar mudah mendiseksi

konjungtiva dari tenon selama pengambilan Autograft.

- Bagian limbal dari Autograft ditempatkan pada area limbal dari area yang akan digraftt.

- Autograft kemudian dijahit ke konjungtiva disekitarnya dengan menggunakan vicryl 8.0

18

Page 19: Journal Reading Mata Fix

DISKUSI

Telah dilakukan presentasi journal reading pada 9 April 2015 pukul 11.30 WIB dan

didapatkan pertanyaan diskusi:

1. Bagaimana grading morfologi pterygium dalam penelitian ini dan apakah grading

pterygium mempengaruhi dalah pemilihan sampel?

Jawab : bentuk morfologi pterygium dikelompokkan berdasarkan penilaian Tan dkk.

Dalam penilaian ini, pterygium dikelompokkan sebagai grade T1 (pterygium atrofi), yaitu

pembuluh darah episklera tidak tanpak jelas pada badan pterygium, grade T3 (pterygium

jaringan), dimana pembuluh darah episkleral terlihat jelas, dan grade T2 (diantara grade

T1 dan T3) yaitu keadaan dimana pembuluh darah episkleral hanya terlihat jelas

sebagian. Namun grading morfologi pterygium ini tidak mempengaruhi dalam pemilihan

sampel. Dari keseluruhan sampel yang kemudian dibagi secara acak ke dalam dua

kelompok, barulah sampel pada kedua kelompok tersebut dibagi berdasarkan grading

morfologinya dan mendapatkan perlakuan yang berbeda.

2. Faktor apakah yang kira kira menyebabkan pada jurnal ini tehnik AMT lebih baik

daripada tehnik free autograft konjungtiva?

Jawab : Pathogenesis dari inflamasi konjungtiva postoperatif persisten dan kemungkinan

alasan tingginya angka kejadian setelah AMT, yang diketahui memiliki efek anti inflamsi

masih sulit dijelaskan. Sebagai tambahan factor lain yang mungkin berperan dalam

inflamasi postoperatif masih banyak yang belum diketahui. Dalam penelitian ini, benang

dilepaskan setelah satu minggu pada kelompok autograftkonjungtival dan setelah 2

minggu pada kelompok AMT, serta kemunculan inflamasi di evaluasi pada satu bulan

setelah operasi. Sehingga dapat disimpulkan durasi benang yang lebih lama tinggal pada

kelompok AMT mungkin merupakan penyebab dari inflamasi bahkan setelah benang

dilepaskan.

3. Apakah pembedahan pada jurnal ini dilakukan oleh satu orang?

19

Page 20: Journal Reading Mata Fix

Jawab : semua operasi pada penelitian ini dilakukan oleh orang yang sama sehingga

meminimalisir kemungkinan sampel mendapatkan perlakukan yang berbeda bila operasi

dilakukan oleh beberapa orang.

4. Apakah pada journal ini dijelaskan pada kelompok usia manakah inflamasi pasca operasi

dan kekambuhan pterygium lebih banyak muncul?

Jawab : pada journal ini tidak dijelaskan pada kelompok usia manakah inflamasi pasca

operasi dan kekambuhan pterygium lebih banyak muncul. Hal ini mungkin diakibatkan

karena terlalu sedikitnya jumlah sampel sehingga rentang usia sampel yang didapatkan

tidak terlalu bervariasi. Usia rata rata pada kelompok AMT 42.8 ± 13.2 tahun sedangkan

rata rata usia pada kelompok free autograft konjungtiva 47.7 ± 15.7 tahun.

5. Apakah yang dimaksud dengan mitomycin C? Apakah pemberian tetes mata tersebut

masih dinilai aman pada penderita pterygium?

Jawab : mitimycin C adalah anti mioplastik dengan mekanisme kerja menghambat

sintesisn protein RNA seluler. Efek samping yang mungkin timbul pada penderita

perygium yang mendapatkan tetes mata mitomycin C adalah perubahan densitas keratosit

pada kornea. Penurunan densitas kerosit pada bagian stroma anterior kornea

mengakibatkan ketidakstabilan biomekanik, astasia iatrogenic, hingga kornea dapat

hancur/meleleh. Efek samping lain yang timbul akibat penggunaan mitomycin C adalah

iflamasi, photofobia, pengeluaran air mata yang berlebihan, dan iritasi.

6. Apa yang dimaksud dengan kekambuhan konjungtiva dan kekambuhan kornea pada

kriteria kekambuhan pterygium pada jurnal ini?

Jawab : yang disebut kekambuhan konjungtiva adapah kekambuhan pterygium grade II

dan grade III. Grade II adalah munculnya pembuluh darah episkelera tanpa jaringan

fibrovaskular pada daerah operasi, grade III adalah munculnya jaringan fibrovascular

pada daerah operasi namun tanpa adanya infasi pada kornea. Sedangkan kekambuhan

korna adalah kekambuhan pterygium grade IV, yaitu kekambuhan sebenarnya berupa

jaringan fibro vascular menginfasi hingga ke kornea.

20

Page 21: Journal Reading Mata Fix

7. Apakah kekurangan journal ini menurut presentan?

Jawab : Kekurangan utama dalam penelitian ini adalah terbatasnya jumlah sampel.

sampel yang digunakan 42 mata dari 42 pasien, dan hanya 39 sampel (19 sampel pada

kelompok AMT dan 20 sampel pada kelompok free autograft konjungtiva) yang

memenuhi kriteria penelitian. Minimnya sampel mungkin menjadi penyebab data

epidemiologi yang diteliti pada jurnal ini, yaitu usia dan jenis kelamin memberikan hasil

yang tidak signifikan. Serta sampel yang digunakan tidak dipilih dari grade pterigium

yang sama. Grade pterygium pada kedua kelompok dibagi secara acak, yang

mengakibatkan pada masing masing grade mendapat perlakuan yang berbeda.

8. Apakah saran dari presentan bila di kemudian hari akan dilakukan penelitian yang sama

dengan penelitian yang ada pada jurnal ini?

Jawab : diperlukan jumlah sampel yang lebih besar agar bias didapatkan data

epidemiologi seperti umur dan jenis kelamin yang lebih beragam sehingga hasil yang

dibeikan lebih signifikan.

21

Page 22: Journal Reading Mata Fix

KESIMPULAN

Pterygium merupakan pertumbuhan fibrovaskuler konjungtiva yang bersifat degeneratif

dan Invasif. Saat ini banyak tehnik pembedahan sebagai pilihan untuk penatalaksanaan

pterygium. Salah satu tehnik yang banyak digunakan adalah transplantasi selaput amnion (AMT)

dan free Autograft konjungtiva .

Untuk mengetahui pilihan tehnik operasi yang tepat untuk mengurangi kemungkinan

munculnya kejadian inflmasi konjungtiva postoperatif dan kekambuhan pterygium dilakukan

penelitian untuk membandingkan antara tehnik operasi pterygium yaitu transplantasi selaput

amnion (AMT) dan free Autograft konjungtiva terhadap angka kejadian inflmasi konjungtiva

postoperatif dan angka kekambuhan pterygium selama 1 tahun terakhir pasca operasi.

Dari penelitian tersebut didapatkan hasil setelah operasi pterygium, inflamasi konjungtiva

Secara signifikan ditemukan lebih sering pada AMT dibandingkan apadada Autograft

konjungtiva. Walaupun demikian dengan kontrol inflamasi dan penggunaan mitomicyn C

intraoperasi, hasil akhir yang sama ditemukanpada kedua tehnik tersebut.

22

Page 23: Journal Reading Mata Fix

DAFTAR PUSTAKA

1. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata, edisi kedua. Jakarta: Balai Penelitian FKUI,2003. 119-120

2. Hamurwono GD, Nainggolan SH, Soekraningsih. Buku Pedoman Kesehatan Mata dan

Pencegahan Kebutaan Untuk Puskesmas. Jakarta: Direktorat Bina Upaya Kesehatan Puskesmas

Ditjen Pembinaan Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan, 1984. 14-17

3. Perhimpunan Dokter Spesialis Mata Indonesia (PERDAMI), Editor Tahjono. Dalam panduan

manajermen klinik PERDAMI. CV Ondo Jakarta; 2006. 56 – 58

4. Tan D T.H Ocular Surface Diseases Medical and Surgical Management. New York: Springer,

2002. 65 – 83

5. Putra AK. Penatalaksanaan pterygium Atmajaya. 2003 : 2 : 137 – 147S

23