Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

228

description

Buku ini lebih merupakan catatan yang dirasakan penulis dalam setiap perjalanan dalam menjalani tugas sebagai seorang peneliti...Rasa keprihatinan, trenyuh, empati... semuanya bercampur baur dalam buku ini, seiring realitas masih lebarnya rentang variabilitas ketersediaan pelayanan kesehatan di setiap penjuru negeri. Meski juga kebanggaan membersit kuat saat kearifan lokal begitu kental mewarnai langkah dalam menyikapi setiap permasalahan yang ada. Cerita tentang setiap sudut negeri di wilayah-wilayah terpencil, pulau-pulau terluar, ataupun wilayah yang jauh lebih dekat ke Negara tetangga daripada ke wilayah lain di Republik ini.

Transcript of Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

Page 1: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan
Page 2: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

i

Jelajah Nusantara 2 Catatan Perjalanan Sebelas Orang Peneliti Kesehatan

Penulis

Agung Dwi Laksono Elia Nur Ayunin

Ade Aryanti Fahriani Ummu Nafisah

Nor Efendi Astutik Supraptini Sutamin Hamzah

Izzah Dienillah Saragih Harus Alrasyid

Lafi Munira Siti Khodijah Parinduri

Editor Prof. Lestari Handayani

Tri Juni Angkasawati

PUSAT HUMANIORA, KEBIJAKAN KESEHATAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEHATAN

KEMENTERIAN KESEHATAN RI

Page 3: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

ii

Jelajah Nusantara 2. Catatan Perjalanan Sebelas Orang Peneliti Kesehatan ©2015. Pusat Humaniora Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Penulis: Agung Dwi Laksono, Elia Nur Ayunin, Ade Aryanti Fahriani, Ummu Nafisah, Nor Efendi, Astutik Supraptini, Sutamin Hamzah, Izzah Dienillah Saragih, Harus Alrasyid, Lafi Munira, Siti Khodijah Parinduri Editor: Prof. Lestari Handayani Tri juni Angkasawati

Penata Letak – ADdesign Desain Sampul – ADdesign Cetakan Pertama – Agustus 2015 Buku ini diterbitkan oleh:

PUSAT HUMANIORA, KEBIJAKAN KESEHATAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN RI Jl. Indrapura 17 Surabaya 60176 Telp. +6231-3528748, Fax. +6231-3528749 ISBN: 978-602-235-876-3 Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Pemegang Hak Cipta.

Page 4: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

iii

Pengantar

Buku ‘Jelajah Nusantara 2, Catatan Sebelas Orang Peneliti Kesehatan’ ini merupakan edisi ke-dua sebagai kelanjutan buku dengan tema catatan perjalanan yang sama pada edisi pertama. Pada edisi ke-dua ini yang membedakan adalah bahwa catatan perjalanan ini ditulis oleh sebelas orang peneliti.

Buku ini lebih merupakan catatan yang dirasakan penulis dalam setiap perjalanan dalam menjalani tugas sebagai seorang peneliti. Sebuah catatan yang sebetulnya bukan sebuah tugas pokok yang harus diemban. Rasa keprihatinan, trenyuh, empati... semuanya bercampur baur dalam buku ini, seiring realitas masih lebarnya rentang variabilitas ketersediaan pelayanan kesehatan di setiap penjuru negeri. Meski juga kebanggaan membersit kuat saat kearifan lokal begitu kental mewarnai langkah dalam menyikapi setiap permasalahan yang ada. Cerita tentang setiap sudut negeri di wilayah-wilayah terpencil, pulau-pulau terluar, ataupun wilayah yang jauh lebih dekat ke Negara tetangga daripada ke wilayah lain di Republik ini. Kami berharap banyak, bahwa tulisan dalam buku ini mampu membawa setiap pembaca ikut merasakan perjalanan dan realitas kondisi wajah negeri ini. Tidak hanya nama-nama kota yang sudah biasa terdengar di telinga kita, tetapi juga pegunungan, pulau-pulau terluar, dan sampai wilayah-wilayah perbatasan negeri.

Page 5: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

iv

Pada akhirnya buku ini menyisakan harapan untuk bisa memberi kesadaran dan kecintaan pada Republik ini. Sungguh kami berharap banyak untuk itu! Saran dan kritik membangun tetap ditunggu. Salam!

Surabaya, Agustus 2015

- Pusat Humaniora -

Page 6: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

v

Daftar Isi

Pengantar iii Daftar Isi v 1. Terlalu Dini Bokondini; Catatan Perjalanan 1

ke Kabupaten Tolikara Agung Dwi Laksono

2. Pengobatan SUANGGI dalam Harmonisasi 17 Dokter Adat dan Layanan Medis di Kampung Tomer, Merauke Elia Nur Ayunin

3. Kesikut Talaud 27 Agung Dwi Laksono

4. Menilik Sudut Utara Indonesia; Sebuah 33 Catatan Perjalanan Etnografi di Miangas Ade Aryanti Fahriani

5. Tour de Nenas; Catatan Perjalanan ke Kab. 49 Timor Tengah Selatan Agung Dwi Laksono

6. Surga Kecil Raijua; Catatan Perjalanan ke Pulau 69 Raijua Agung Dwi Laksono

Page 7: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

vi

7. Sambujan, Desa dengan Penduduk Bermata 91 Pencaharian Ganda Ummu Nafisah

8. Malaikat Tanpa Sayap di Sei Antu 103 Nor Efendi

9. Apakah Ini Bukan Masalah Kesehatan 119 Masyarakat??! Catatan Perjalanan ke Kota Banjarmasin Agung Dwi Laksono

10. Tradisi Betimung, Sekilas Potret Perkawinan 129 Anak di Suku Banjar Bakumpai Muara Sungai Barito Astutik Supraptini

11. Mengenal Banjar Lebih dekat, Catatan 143 Perjalanan Di Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan

Sutamin Hamzah

12. Cerita dari Pulau Sapudi 165 Izzah Dienillah Saragih

13. Romantisme Kebun Sayur; Catatan Perjalanan 179 ke Suku Tengger di Desa Ngadiwana Agung Dwi Laksono

14. Menapak Mesuji; Feminisme Bioepik 185 Daerah konflik Harun Alrasyid

Page 8: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

vii

15. Bidan Desa Tumpuan Harapan; Catatan 195 Perjalanan ke Kabupaten Aceh Timur Lafi Munira

16. Aceh yang Mempesona Tak Habis oleh 203 Tsunami; Catatan Perjalanan ke Kabupaten Aceh Utara Siti Khodijah Parinduri

Page 9: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

viii

“Ini tugas berat, tentu saja! karena itulah kita ada”

-ADL-

Page 10: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

1

Terlalu Dini Bokondini; Catatan Perjalanan ke Kabupaten Tolikara Agung Dwi Laksono Distrik Bokondini, Tolikara, 14 Mei 2015

Perjalanan kali ini masih dalam rangkaian supervisi kegiatan Riset Ethnografi Kesehatan Tahun 2015. Kali ini saya harus kembali menempuh perjalanan ke wilayah Pegunungan Tengah Papua, tepatnya di Distrik Bokondini Kabupaten Tolikara.

Kabupaten Tolikarapada tahun 2014 memiliki luas wilayah daratan yang mencapai 14.263 km2. Kabupaten yang beribukota di Karubaga ini terbagi menjadi 46 kecamatan atau distrik, 541 desa dan empat kelurahan. Kabupaten yang memiliki jumlah penduduk sebanyak 292.009 jiwa (data tahun 2013) ini berbatasan dengan Kabupaten Mamberamo Raya di sebelah Utara, Kabupaten Jayawijaya dan Kabupaten Lany Jaya di sebelah Selatan, Kabupaten Puncak Jaya di sebelah Barat dan Kabupaten Mamberamo Tengah di sebelah Timur (Profil Kabupaten Tolikara Tahun 2014).

Page 11: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

2

Gambar 1.

Posisi Kabupaten Tolikara dalam Peta Papua Sumber: Pemerintah Provinsi Papua

Kabupaten Tolikara merupakan kabupaten peringkat 497 dari 497 kabupaten/kota dalam pemeringkatan Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) yang didasarkan pada hasil survei Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang dilaksanakan pada tahun yang sama. Survei Riskesdas ini dilaksanakan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. IPKM terdiri dari 30 indikator pembangun dan di hampir semua indikator Tolikara mempunyai angka yang kurang bagus, kalau saya tidak boleh mengatakan jelek. Kami me’nanam’ dua peneliti riset etnografi kesehatan untuk grounded di sana, seorang Sarjana Kesehatan Masyarakat, dan seorang lagi antropolog.

Page 12: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

3

Setidaknya sampai 40 hari mereka menetap dan berbaur dengan masyarakat setempat di Distrik Bokondini. Perjalanan menuju Distrik Bokondinidari Wamena ditempuh dengan menggunakan mobil double gardan, karena mobil carteran biasa macam avanza atau xenia tak akan mampu menembus sampai ke sana. Semacam off road yang sebentar saja, tiga jam, tidak selama perjalanan off road tahun lalu saat saya harus grounded di Boven Digoel selama dua bulan. Selain jalur darat, Distrik Bokondini juga bisa ditembus melalui jalur udara. Sudah ada bandara dengan landasan yang cukup bagus, hot mix! Hanya saja tidak tersedia pesawat reguler yang mendarat di bandara yang berkode penerbangan BOE ini. Pesawat yang sering mendarat di bandara ini adalah jenis pesawat carter dari maskapai MAF (Mission Aviation Fellowship) dan Susi Air. Harga sekali carter pesawat rata-rata mencapai Rp. 25 juta.

Gambar 2.

Landasan Pacu Bandara Bokondini Sumber: Dokumentasi Peneliti

Page 13: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

4

Tentang Bokondini

Distrik Bokondini dihuni masyarakat asli yang didominasi oleh suku Lany. Hanya sebagian kecil saja masyarakat yang bersuku lain, yang pada umumnya adalah para pendatang. Distrik Bokondini sebelumnya bernama Bogondini sejak sebelum zaman kolonial. Sebuah nama yang merujuk pada sungai deras yang melintasi wilayah Pegunungan Tengah berhawa dingin ini, Sungai Bogo. ` Memasuki wilayah Distrik Bokondini saat pagi seperti mendatangi suatu lokasi yang penuh dengan aura magis. Bagaimana tidak? Halimun tebal tak pernah absen menyelimuti wilayah ini di saat pagi hari. Bahkan matahari pun seperti tak bernyali. Setidaknya sampai menjelang siang, sekitar jam 10 pagi.

Gambar 3.

Sungai Bogo Sumber: Dokumentasi Peneliti

Page 14: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

5

Gambar 4.

Suatu Pagi di Kota Bokondini. Sumber: Dokumentasi Peneliti

Gambar 5.

Berjalan-jalan di Tengah Kota Bokondini Sumber: Dokumentasi Peneliti

Distrik Bokondini mempunyai kondisi yang hampir sama dengan distrik-distrik lain di wilayah Pegunungan Tengah yang sepi dan minim fasilitas. “Kota Bokondini”, demikian warga yang tinggal di wilayah ini menyebut

Page 15: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

6

wilayahnya. Sebuah harapan yang sangat tinggi digantungkan untuk masa depan dengan menyebutnya sebagai “kota”.

Gambar 6.

Sudut Lain Kota Bokondini Sumber: Dokumentasi Peneliti

Suku Lany di Bokondini saat ini sudah mulai meninggalkan honai sebagai model rumah tinggal. Mereka memodifikasi bentuk honai dengan bahan-bahan yang lebih modern produksi pabrik. Mereka menyebut honai modifikasi ini sebagai “honai semi modern”. Beberapa honai yang masih tersisa rata-rata sudah berumur cukup tua. Sementara generasi yang lahir belakangan lebih memilih rumah papan sebagai pilihan model rumah tinggal yang baru.

Page 16: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

7

Gambar 7.

Honai (Kiri); Honai Semi Modern (Kanan Atas); dan Rumah Papan (Kanan Bawah)

Sumber: Dokumentasi Peneliti

Kondisi Perekonomian

Hampir seluruh masyarakat asli bermata pencaharian menjadi petani kebun. Nanas Bokondini merupakan salah satu buah ikonik wilayah ini yang terkenal sangat manis. Buah manis lainnya, Markisa, juga tersedia melimpah. Markisa dijual seharga Rp. 5.000,- per ikat, yang berisi sekitar 5 biji. Sementara nanas yang berukuran besar dijual seharga Rp. 10.000,- per bijinya. Komoditas hasil kebun lain hampir sama dengan hasil di wilayah Pegunungan Tengah lainnya, yang terdiri dari singkong atau kasbi, ketela atau ipere atau batatas, talas, jahe, pisang, dan buah merah.

Page 17: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

8

Gambar 8.

Menawar Markisa Sumber: Dokumentasi Peneliti

Masyarakat Bokondini membuka lahan baru yang akan dijadikan kebun dengan cara yang masih sangat tradisional, dibakar. Mereka membakar perdu dan rumput liar di beberapa lokasi yang cenderung tidak terlalu rapat dengan tanaman keras, hanya. Meski lokasi telah dipilih, tetap juga terkadang masih terselip ketakutan, api akan merambat menjilat pepohonan yang lebih luas dari yang direncanakan.

Page 18: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

9

Gambar 9.

Pembukaan Lahan Baru dengan Membakar Sumber: Dokumentasi Peneliti

Di pasar Kota Bokondini, pedagang hasil kebun dan sayur mayur seratus persen dikuasai oleh warga asli. Masyarakat pendatang dilarang berjualan komoditas tersebut. Para pendatang, yang umumnya dari Toraja dan Bugis, boleh berjualan komoditas lainnya di kios-kios di sekeliling pasar, kebanyakan adalah komoditas hasil pabrikan. Pasar Bokondini dibuka tiga kali dalam seminggu, yaitu Selasa, Kamis dan Sabtu. Pasar biasa ramai pada pagi hari sampai dengan sekitar pukul 10.00 WIT.

Sebagai gambaran kondisi perekonomian di wilayah ini, harga bensin, solar dan minyak tanah cenderung sama di wilayah ini, sebesar Rp. 25.000,- per liter. Harga air mineral 600 ml merek Aqua Rp. 15.000,-, sementara air mineral merek lain Rp. 10.000,-. Sebagai pembanding, pada tahun 2012 di Oksibil (ibukota Kabupaten Pegunungan Bintang,

Page 19: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

10

salah satu kabupaten di wilayah Pegunungan Tengah yang berbatasan langsung dengan Papua Nugini), harga air mineral 600 ml merek Aqua sudah mencapai harga Rp. 15.000,- per botol. Sementara kemasan botol yang 1,5 liter dijual seharga Rp. 45.000,-, jauh lebih mahal daripada harga solar per liter yang hanya seharga Rp. 35.000,-.

Gambar 10.

Pasar Bokondini Sumber: Dokumentasi Peneliti

Berita Pemekaran

Para tokoh masyarakat Bokondini saat ini sedang mempersiapkan pemekaran wilayah. Bokondini akan melepaskan diri dari Kabupaten Tolikara, berdiri sendiri menjadi sebuah kabupaten terpisah, Kabupaten Bogoga, dengan ibukota Kota Bokondini.

Page 20: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

11

Gambar 11.

Kantor Bupati Persiapan Kabupaten Bogoga Sumber: Dokumentasi Peneliti

Euforia pemekaran ini sangat terasa di Bokondini. Para pemuda berlomba-lomba ikut kursus komputer, “…nanti saya bisa jadi anggota DPR to!” celetuk salah seorang di antaranya. Sementara beberapa yang dewasa lainnya menjamu mewah saat tim yang mengupayakan pemekaran datang berkunjung ke Bokondini. Menyembelih babi seperti menjadi sebuah keharusan saat menjamu tim ini, “Saya dijanjikan menjadi kepala desa pak…” Aksesibilitas Pelayanan Kesehatan

Ada satu Puskesmas yang berdiri di Distrik Bokondini, Puskesmas Bokondini. Puskesmas yang dikepalai oleh seorang putri daerah ini merupakan Puskesmas perawatan dengan kapasitas tiga tempat tidur. Menurut keterangan dokter Poby Karmendra (27 tahun), Puskesmas Bokondini

Page 21: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

12

merupakan salah satu Puskesmas percontohan di Kabupaten Tolikara. Lebih lanjut dokter PTT asal Padang Minangkabau yang masa baktinya habis pada tahun 2015 ini menjelaskan bahwa pada saat ini kondisi pelayanan kesehatan di Distrik Bokondini sudah jauh lebih bagus daripada sebelumnya. “Sejak dipimpin oleh Ona Pagawak, SKM ada perubahan pak. Mama Ona lebih transparan, membuat suasana kerja di Puskesmas lebih kondusif, semua dibicarakan secara terbuka…” jelas dokter Poby.

Gambar 12.

Puskesmas Bokondini Sumber: Dokumentasi Peneliti

Puskesmas yang baru pindah ke gedung baru pada tahun 2014 ini menurut pengakuan para petugas setidaknya melayani empat distrik. “Iya pak, kami melayani empat distrik. Bokondini, Bewani, Kanero dan Kamboneri. Meski kadang masyarakat di Kamboneri lebih memilih berobat di Puskesmas Mamberamo Tengah…,” kilah Habibi Mahmud (23

Page 22: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

13

tahun), perawat kontrak asal Palopo yang bertugas di Puskesmas Bokondini. Empat distrik! Suatu hal yang mustahil! Distrik adalah sebutan lain dari “kecamatan” di pemerintahan daerah di Jawa, tentu saja dengan paparan wilayah yang lebih luas dan lebih ektrem di Papua. Masyarakat seringkali sulit untuk mencapai Puskesmas dalam satu distrik sebagai akibat topografi wilayah Bokondini yang bergunung-gunung. Empat distrik???

Ada dua Puskemas Pembantu (Pustu) yang menjadi kepanjangan Puskesmas Bokondini. “Ooo… Pustu ya pak? Ada dua Pustu, tapi… petugasnya gak pernah ada pak…,” terang Habibi. Puskesmas Bokondini menurut catatan kepegawaian memiliki 26 petugas, tetapi pada hari Rabu, tanggal 13 Mei 2015 saya mendapati hanya 9 orang petugas saja yang ada di Puskesmas. Semoga mereka sedang dinas luar atau kunjungan lapangan. Semoga. Puskesmas Bokondini menyelenggarakan satu Posyandu saja untuk pelayanan balita di seluruh wilayah kerjanya pada setiap bulan. Posyandu yang diselenggarakan di Puskesmas Bokondini ini dilaksanakan pada minggu ke-dua yang dibuka menyesuaikan dengan hari pasaran. Posyandu terakhir minggu lalu setidaknya ada 30 balita yang datang dan berkunjung.

Pelayanan Posyandu mencakup timbang badan dan pemberian vaksin. Tidak ada Pemberian Makanan Tambahan (PMT) seperti pelaksanaan Posyandu di tempat lain. Menurut pengamatan saya, balita di Bokondini cenderung stunting (pendek), meski saya tidak bisa mengkonfirmasi hal ini

Page 23: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

14

karena pencatatan pada KMS yang kurang baik. Tidak ada pengukuran tinggi badan, dan seringkali kolom tanggal lahir dibiarkan kosong tak berisi.

Pelaksanaan Posyandu dimotori oleh kader kesehatan untuk menggerakkan masyarakat yang mempunyai balita. Seluruh kegiatan pelaksanaan Posyandu dilayani oleh petugas kesehatan. Para kader kesehatan ini setiap bulan mendapatkan honor, Rp. 500.000,- setiap bulan. Angka ini cukup fantastis dibandingkan dengan rekan-rekannya di Jawa yang setahu saya berada pada kisaran Rp. 15.000,- sampai dengan Rp. 50.000,- setiap bulan.

Menurut dokter Poby, untuk memperluas jangkauan pelayanan Puskesmas juga melatih para kader untuk dapat memberikan terapi pengobatan. Perawat Puskesmas, Habibi, menambahkan bahwa hanya dipilih beberapa kader yang dinilai cakap dan pintar untuk dapat memberikan layanan pengobatan tersebut. Ahh… kita tidak sedang membahas UU Praktek Kedokteran dalam diskusi kali ini. Kondisi yang sangat memprihatinkan pada saat ini adalah kenyataan bahwa pada tahun 2015 ini, sejak Januari sampai dengan saat ini ada 46 orang penderita baru HIV/AIDS yang diketemukan lewat skrining di Puskesmas Bokondini. Jenis penyakit menular seksual lainnya juga diketemukan berbanding lurus dengan penderita HIV/AIDS tersebut.

Rupanya praktek seks bebas di masyarakat turut mempercepat persebaran penyakit yang lekat dengan stigma ini. “Itu pak… masyarakat di sini itu suka itu… apa… ‘tukar gelang’…”. Tukar gelang adalah tradisi orang Lany saat ada

Page 24: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

15

perayaan pesta, yang artinya apabila tukar gelang sudah dilakukan, maka mereka bebas untuk melakukan “hubungan”. Hal ini masih belum ditambah dengan tradisi lain yang di’import’ dari Wamena, “goyang oles”, bergoyang dansa saat pesta-pesta, berpasangan sambil merapatkan badan, oles-oles, yang berlanjut pada tingkatan yang lebih intim.

Banyak hal yang masih harus dibenahi sebelum pemekaran benar-benar dilanjutkan. Banyak PR yang seharusnya diselesaikan. Terlalu dini Bokondini. Terlalu dini…

Page 25: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

16

Page 26: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

17

Pengobatan SUANGGI dalam Harmonisasi Dokter Adat dan Layanan Medis di Kampung Tomer, Merauke

Elia Nur Ayunin

Merauke, 25 Mei 2015

Letak Kabupaten Merauke secara greorgrafis berada antara pada 1370 - 1410 BT dan 50 00’9 00’ LS. Kabupaten Merauke merupakan kabupaten terluas diantara provinsi Papua yang juga berada di bagian paling selatan Provinsi Papua. Keadaan Topografi Kabupaten Merauke umumnya datar dan berawa disepanjang pantai dengan kemiringan 0-3% dan kearah utara yakni mulai dari Distrik Tanah Miring, Jagebob, Elikobel, Muting dan Ulilin keadaan Topografinya bergelombang dengan kemiringan 0 – 8%. Batas wilayah Kabupaten Merauke ini terdiri dari, Sebelah Utara dengan Kabupaten Boven Digoel dan

Kabupaten Mappi Sebelah Timur dengan Negara Papua New Guinea Sebelah Selatan berbatasan dengan Laut Arafura

Page 27: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

18

Barat berbatasan dengan Laut Arafura

Gambar 1.

Peta Kabupaten Merauke Sumber: Pemerintah Kabupaten Merauke

Kabupaten Merauke terkenal sebagai wilayah ujung tertimur Indonesia, disanalah terletak titik nol NKRI, tepatnya terletak di Distrik Soeta, yang ditandai dengan adanya tugu merauke sebagai lambang batas ujung timur Indonesia. Penelitian kami (yaa, karena saya tak sendiri, saya bermitra dengan Alfarabi selaku Sosiolog) untuk mengemban misi khusus, yakni untuk membahas alkulturasi budaya kesehatan di ‘kota rusa’. Dengan demikian pemilihan lokasi penelitian tentu dengan memperhatikan keberadaan interaksi antara suku asli dan suku pendatang. Hasil diskusi dengan pengampu kesehatan di Kabupaten merauke terpilihlah Kampung Tomer, Distrik Naukenjerai sebagai lokasi penelian kami. Lokasi Distrik Naukenjerai relatif dekat dengan pusat kota Merauke. Kurang lebih membutuhkan waktu 2 jam untuk dapat sampai ke pusat kota, itu pun hanya pada musim

Kampung Tomer, Distrik Naukenjerai

Page 28: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

19

kemarau, dengan menggunakan kendaraan roda empat ber-double-gardan. Sebenarnya bukan jarak yang jauh yang menjadikan perjalanan terasa lama, namun jalanan yang berlubang-lubang lah yang menghambat kelancaran perjalanan. Tentu bukan tanpa alasan, jalanan tersebut dibiarkan rusak oleh pemerintah, penambangan pasir ilegal di sepanjang pantai, yang menjadikan pemerintah bersikap enggan melakukan perbaikan jalan.

Gambar 2

Kondisi jalanan menuju ke Kampung Tomer, foto diambil ketika tanah kering

Sumber: Dokumentasi Peneliti

Kedekatannya dengan pusat kota menjadikan kebanyakan kampung di Distrik Naukenjerai tidak hanya ditinggali oleh masyarakat suku asli, namun juga para pendatang dari suku Jawa, Maluku, dan Makassar Jenneponto. Kampung-kampung tersebut adalah Kampung Kuler, Onggaya dan, Tomer. Sementara kampung Tomerau dan Kondo tidak banyak ditinggali oleh orang-orang di luar

Page 29: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

20

suku asli, mayoritas penduduknya adalah orang pribumi. Hal tersebut dikarenakan, akses jalan menuju 2 kampung tersebut lebih sulit dibandingkan 3 kampung sebelumnya, bahkan kesulitan bertambah ketika musih penghujan.

Gambar 3

Truk pengangkut pasir yang sedang menunggu giliran muatan pasir Sumber: Dokumentasi Peneliti

Pada musim penghujan, sangat dibutuhkan alat transpormasi zonder (alat pembajak sawah) untuk membelah jalanan yang berubah menjadi rawa. Zonder biasa diperoleh dari peminjaman kepada UPT pertanian setempat. Transportasi yang dapat digunakan untuk sampai ke kampung Tomerau dan Kondo selain menggunakan zonder, dapat juga menggunakan spit dari Kampung Tomer. Untuk menggunakan speed boat, dalam bahasa lokal masyarakat menyebutnya dengan Jonshon. Untuk menggunakan moda transportasi tersebut masyarakat harus merogoh kocek lebih dalam. Pengoperasian Jonshon ini hanya dilakukan setelah

Page 30: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

21

matahari tenggelam, dimana saat air laut sudah terjadi pasang dan menyentuh bibir pantai.

Kampung Tomer sendiri terletak di tengah luasnya Distrik Naukenjerai, yang cukup banyak ditempati oleh para pendatang, komposisi antara penduduk asli dan penduduk pendatangnya adalah 50:50. Sebagian besar penduduk pendatang beralasan pindah dan menempati kampung Tomer ini dikarenakan untuk menyambung kehidupan. Seperti pendatang suku jawa yang berasal dari daerah transmigrasi, mereka yang merasa tanah di tempat tinggal dahulu tandus dan tidak bisa digunakan bersawah, hingga akhirnya menemukan Kampung Tomer yang mana memiliki tanah yang cukup subur, walaupun hanya dapat memanen satu kali satu tahun. Suku Jawa ini mulai menempati Kampung Tomer sekitar tahun 1986. Sehingga tak heran Merauke disebut-sebut sebagai miniatur Indonesia di tanah Papua. Hal ini tidak terlepas dari dampak program transmigrasi pada sekitar tahun 1960-an .

Keunikan lain dari Kampung Tomer adalah terdapatnya kelompok keluarga yang merupakan masyarakat eks pelintas batas PNG yang dipulangkan oleh Pemerintah tahun 2005, yang mulai diterima masuk kampung pada tahun 2006. Kampung Tomer dipilih menjadi lokasi pemulangan karena kakek atau dalam bahasa lokal disebut tete dari kelompok tersebut berasal dari suku Kanume yang menempati tanah kampung Tomer. Mereka dipulangkan dari PNG melalui program pemerintah pada zaman masa bakti Bupati Jhon Gubla Gebze pada tahun 2005. Kelompok keluarga tersebut

Page 31: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

22

ditempatkan pada satu rukun tangga (RT) tersendiri yaitu RT 03.

Kurang lebih 48 tahun lamanya mereka meninggalkan tanah kelahirannya, namun adat dan budaya moyang tetap masih banyak yang melekat dan dijalankan hingga saat ini. Kelompok masyarakat RT 03 memiliki beberapa keunikan tersendiri, berbeda dengan kelompok masyarakat Kampung Tomer umumnya. Salah satunya kelompok masyarakat RT 03 masih memiliki kepercayaan yang tinggi terhadap praktek suanggi, dimana sebagian besar masyarakat lainnya sudah meyakini bahwa praktek dan penggunaan suanggi sudah berkurang di tengah masyarakat khususnya di wilayah kampung Tomer, walaupun tetap mengakui akan keberadaan suanggi tersebut.

Suanggi adalah salah satu praktek ilmu kebatinan yang dikenal di tanah Merauke. Praktek ini sesungguhnya sudah banyak ditinggalkan oleh kebanyaan suku di Merauke, namun tak sedikit juga suku yang masih mengakui ke-eksis-an dari praktek tersebut, seperti halnya pada kelompok masyarakat RT 03. Suanggi di masyarakat dipercayai sebagai sebuah ilmu hitam atau black magic. Suanggi merupakan suatu ilmu dan kemampuan diluar batas nalar manusia. Masyarakat yang masih mempercayai sunggai, percaya bahwa suanggi dapat menjadi sumber kesakitan dan kematian. Kepercayaan di masyarakat bahwa kesakitan yang dihasilkan dari suanggi ini tidak ditunjukkan secara kasat mata, namun akan memberikan rasa kesakitan yang luar biasa atau dapat berupa kesakitan yang muncul secara tiba-tiba bahkan hingga dapat menyebabkan kematian. Dengan

Page 32: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

23

demikian masyarakat tersebut ketika berhadapan dengan kesakitan atau kematian, sering kali langsung berspekulasi bahwa hal tersebut diakibatkan oleh serangan suanggi. Hal tersebut dapat memicu konflik atau mengakibatkan saling tuduh menuduh. Terlebih lagi praktek suanggi ini erat kaitannya dengan konflik atau bahkan dendam antar orang, keluarga atau masyarakat kampung. Dengan begitu tidak dapat dipungkiri kemungkinan konflik dan gesekan yang lebih besar.

Suanggi ini dipercaya dapat dilancarkan oleh orang-orang tertentu berdasarkan permintaan. Sedangkan untuk upaya penyembuhannya dipercayakan kepada dokter adat. Dokter adat adalah orang-orang pilihan yang memiliki kemampuan dan kekuatan khusus. Orang-orang tersebut haruslah telah ditetapkan melalui forum adat. Mereka adalah orang-orang yang bersih dari perbuatan kejahatan serta tidak menyalahgunakan ilmunya untuk membuat sakit atau mengambil nyawa orang lain. Dokter adat dipercaya tidak hanya dapat mengobati serangan suanggi, namun juga dapat mengobati gangguan dema (bahasa etnik marind) atau deme (bahasa etnik kanume). Selain suanggi, sumber kesakitan lainnya yang dipercaya oleh masyarakat menyebabkan kesakitan ialah gangguan dari deme.

Deme menurut kepercayaan masyarakat merupakan tuan tanah, yang memiliki kuasa atas suatu tempat atau barang, juga sebagai penjaga. Gangguan deme ini biasa muncul ketika masyarakat melanggar atau mengganggu tanah atau barang yang dijaga oleh deme. Terdapat juga gangguan deme pada ibu hamil. Diyakini bahwa gangguan

Page 33: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

24

tersebut terjadi karena sang deme menginginkan bayi yang dikandung ketika lahir menggunakan nama deme tersebut.

Sang dokter adat tersebut akan dengan sigap mengetahui penyebab dari kesakitan yang dialami pasiennya, apakah disebabkan suanggi atau gangguan deme, kemudian akan menghilangkan pengaruh suanggi atau gangguan deme yang diterima pasiennya. Dokter adat dipercaya juga memiliki kemampuan untuk melihat seberapa parah kesakitan dan kondisi tubuh pasiennya. Setelah dokter adat dapat menghilangkan pengaruh suanggi atau gangguan deme, dokter adat akan memeriksa kembali kondisi tubuh pasien tersebut. Apabila pasien tersebut memerlukan pengobatan lebih lanjut, yang dikarenakan terjadi kerusakan di organ tubuhnya, dokter adat akan menyuruh pasiennya untuk melakukan pengobatan ke layanan medis.

Sebagai contoh kasus, terdapat seseorang yang sakit dikarena serangan suanggi. Secara kasat mata tubuh orang tersebut utuh, hanya perasaan sakit tiada tara yang dirasa disekujur tubuh. Setelah dilakukan pemeriksaan oleh dokter adat diketahui bahwa tubuh orang tersebut sudah tidak utuh lagi, tulang-tulang tubuhnya patah dan remuk, kondisi tersebut diyakini oleh dukun adat sebagai akibat dari serangan suanggi. Setelah mendapatkan perlakuan dari dokter kampung, yaitu penyambungan kembali tulang-tulang yang patah dan remuk akibat serangan suanggi, pasien kemudian diminta juga melakukan pengobatan ke layanan medis untuk mendapatkan pemulihan pada tulang dan penyembuhan lainnya yang diperlukan pada kerusakan organ yang mendapat dampak dari serangan suanggi.

Page 34: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

25

Dengan demikian fungsi dari dokter adat adalah sebagai penghilang serangan suanggi atau gangguan deme saja, dan diperlukan juga pengobatan pada layanan medis untuk mengobati organ yang rusak dan atau pemulihan. Praktek pengobatan suanggi dan gangguan deme saat ini sudah jauh berbeda dengan zaman dahulu. Saat ini pengobatan tidak terbatas hanya dilakukan secara adat, tetapi juga melibatkan dan dilakukan secara medis. Hal tersebut menunjukkan adanya penerimaan adat terhadap pelayanan pengobatan medis serta kepercayaan masyarakat terhadap layanan medis sudah sejajar dan dapat beriringan dengan kepercayaan, adat dan tradisi yang ada di masyarakat. Hal ini dapat disebabkan dari perkembangan pengetahuan dan informasi kesehatan di masyarakat, yang menjadikan penerimaan terhadap layana kesehatan medik juga meningkat.

Hal ini merupakan kondisi yang positif bagi perkembangan layanan kesehatan di tanah Papua, dimana masyarakat mulai melibatkan layanan kesehatan untuk mengobati kesakitan yang mereka alami, tidak lagi hanya mengandalkan pengobatan adat. Perkembangan ini tentu dapat berdampak pada penurunan angka kesakitan dan angka kematian yang diakibatkan karena tidak mendapatkan pelayanan medis, walaupun layanan medis belum menjadi prioritas dalam pencarian pengobatan. Memang sudah seharusnya layanan pengobatan medis dan upaya kesehatan lainnya berjalan beriringan dengan adat dan budaya di masyarakat, seperti halnya selama ini yang telah diusaha masyarakat Papua yaitu menyelaraskan antara adat, agama

Page 35: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

26

dan pemerintah, yang kemudian di Papua dikenal dengan istilah “Tiga Tungku”. Istilah itu merepresentasi tungku pemerintahan, tungku agama (gereja), dan tungku adat.

Page 36: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

27

Kesikut Talaud Agung Dwi Laksono Melonguane, Selasa, 22 April 2014

Siang itu kami mendarat di Bandara Melonguane dengan hentakan roda pesawat keluaran Prancis, ATR72, yang cukup keras menghantam bumi. Pesawat berpenumpang 72 seat itu terbang tiga kali seminggu melayani rute Bandara Sam Ratulangi Manado ke Bandara Melonguane Talaud pulang pergi. Kami datang disambut dengan rinai hujan yang ringan, seakan sebuah keramahan menyambut kedatangan tamu agung! Hahaha… Eh… tapi benar-benar tamu agung lho! Bersama kami ada rombongan dari Polda Sulawesi Utara. Juga ada Konsulat Jenderal (Konjen) dari Negara seberang Philipina. Kami… maksud saya Konjen Philipina! disambut dengan tiga tetua adat, yang disertai dengan suara pukulan tambur yang mengiringi sembilan pemuda Talaud meliuk-liuk dengan gerakan maskulin dan tegas membawakan tarian

Page 37: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

28

dengan menggunakan pedang dan tameng. Benar-benar menyambut tamu agung! Kedatangan tamu agung ini pulalah yang membuat kami harus berkeliling Kota Talaud, untuk mencari penginapan yang sudah penuh dibooking para tamu agung tersebut.

Kota Talaud??! Jangan dibayangkan sebagai kota yang indah gemerlap! Diperlukan tidak sampai setengah jam saja kami diantar Regina, dokter wanita asli putri daerah Talaud, untuk mengunjungi dari sudut ke sudut ibu kota kabupaten paling Utara Republik ini.

Gambar 1.

Peta Posisi Talaud di Indonesia Sumber: Diolah Peneliti dari Peta Wiki

Perhatian dan Rasa Iri

Sungguh iri melihat fakta empiris di depan mata. Pemerintah Philipina yang diwakili oleh Konjennya begitu perhatian terhadap warga negaranya. Mereka mau

Page 38: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

29

menyempatkan diri datang berkunjung ke wilayah Daerah Terpencil, Perbatasan dan Kepulauan (DTPK) republik ini untuk melihat kondisi warga negaranya yang menyeberang dan tinggal di wilayah ini. Jarak yang teramat dekat antara wilayah Kabupaten Talaud dengan Philipina yang hanya sekitar beberapa jam saja dengan kapal laut membuat terjadi banyak pertukaran penduduk di wilayah ini. Hanya dibutuhkan KTP saja bagi penduduk beberapa wilayah di perbatasan laut ini untuk dapat menyeberang dan berkunjung di Negara tetangga ini. Tanpa paspor. Apakah saya pantas iri dengan Warga Negara Philipina itu? Entahlah… tapi nyatanya saat saya menekan keyboard di lappy saya untuk tulisan ini saya benar-benar merasakan iri yang teramat sangat atas perhatian pemerintah Philipina. Seandainya… Jaminan Kesehatan Nasional dan Keadilan Pelayanan

Sejatinya kedatangan kami ke wilayah ini untuk melihat upaya implementasi Jaminan Kesehatan Nasional dari sisi regulasi. Seperti wilayah-wilayah DTPK lain yang pernah saya saksikan di negeri ini, banyak hal yang seharusnya benar-benar kita perbaiki sebelum kita menjalankan kebijakan JKN. Seharusnya… Upaya implementasi JKN secara serentak untuk seluruh wilayah republik ini harusnya disertai dengan upaya

Page 39: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

30

pemerataan pelayanan kesehatan terlebih dahulu. Atau bahkan untuk beberapa wilayah terluar dan wilayah Timur Indonesia disertai dengan upaya ketersediaan pelayanan kesehatan terlebih dahulu. Jangan berteriak-teriak tentang pemerataan pelayanan bila tersedia pelayanan saja tidak! Sebagai sebuah kabupaten, Talaud termasuk salah satu daerah miskin yang mempunyai Pendapatan Asli Daerah kurang. Meski demikian, kemauannya untuk memenuhi hak rakyatnya dalam pelayanan kesehatan sangat kuat. Pemerintah setempat mengalokasikan 2,5 juta bagi bidan yang mau dan bersedia ditempatkan di wilayah tersebut. Pemda menyediakan insentif tambahan 2 juta selain gaji 7,5 juta untuk tenaga dokter, bahkan untuk wilayah Miangas disediakan take home pay rutin sebesar 11 juta per bulannya.

Apa mau di kata? Gaji dan insentif yang cukup besar tak bisa membuat para tenaga kesehatan betah dan tinggal di wilayah terluar paling Utara ini. Meyke Maatuil, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Talaud, menyatakan bahwa banyak tenaga kesehatan yang ‘hilang’ di wilayah ini. Semacam jaelangkung, mereka datang dan pergi tak berjejak, sementara gaji dan insentif jalan terus (transfer melalui rekening bank). Mekanisme kontrol sangat lemah, hanya mengandalkan niat baik dan nurani dari tenaga kesehatan yang telah berani tanda tangan kontrak dan terima uang insentifnya. Keterbatasan dan minimnya fasilitas memang menjadi kendala utama untuk penempatan tenaga kesehatan di wilayah ini. Menuju Miangas misalnya, hanya tersedia kapal perintis yang datang 2 kali sebulan menyambangi

Page 40: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

31

wilayah terluar tersebut. Kita bisa sewa kapal tongkang dari kayu untuk mencapai Miangas, tapi harus merogoh kocek cukup dalam. Sangat dalam! 50 juta sekali pergi.

Ada Telkomsel provider komunikasi yang bersedia merambah wilayah ini, meski seringkali sinyalnya pergi tanpa pamit. Tapi setidaknya cukup untuk menebus rasa kangen. Cerita tentang Verifikasi Data

Ada cerita yang… entah lucu… entah membikin trenyuh… Adalah Bapak BPT Timpua, Kepala Bidang Promosi Kesehatan, yang membawahi masalah Jaminan Kesehatan Nasional di Dinas Kesehatan, yang menceriterakan soalan verifikasi data kepesertaan.

Dahulu… pada saat pelaksanaan Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), yang menanggung jaminan pelayanan kesehatan pada masyarakat miskin, Pemerintah Daerah setempat juga menanggung masyarakat miskin yang tidak tercover Jamkesmas. Saat itu istilahnya adalah masyarakat miskin non kuota.

Masyarakat miskin non kuota inilah yang diwadahi dalam Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda). Jamkesda menanggung masyarakat miskin yang jumlahnya tidak tanggung-tanggung, mencapai 23 ribu penduduk (total jumlah penduduk sekitar 105 ribu menurut Dinas Kependudukan, atau 97 ribu menurut BPS. Jumlah penduduk pastinya hanya Tuhan yang tahu).

Data kepesertaan Jaminan Kesehatan Nasional harus detail ‘by name, by address’, maka dilakukan verifikasi ulang

Page 41: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

32

untuk memutakhirkan data masyarakat miskin tersebut. Hingga akhirnya didapatkan angka 8 ribu penduduk yang terverifikasi. Nah lhoo! Artinya selama ini ada 15 ribu penduduk ‘siluman’ yang dibiayai oleh Pemerintah Daerah.

Entahlah… banyak mahluk jejadian di negeri ini. Bukan hanya sekedar jelangkung atau siluman. Mungkin juga termasuk para dedhemit yang membaca tulisan ini. Hihihi…

Page 42: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

33

Menilik Sudut Utara Indonesia Sebuah Catatan Perjalanan Etnografi di Miangas Ade Aryanti Fahriani Miangas, 4 Juni 2015

Bercerita tentang Miangas, maka kita akan teringat akan sebuah jingle mie instan, “.. dari sabang sampai merauke, dari miangas hingga pulau rote.. Indonesia Tanah air ku... Ind**ie selera ku...”. Ya, Miangas memang merupakan sebuah pulau perbatasan Indonesia yang paling utara, berbatasan dengan negara Philipina yang berada di Kabupaten Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara. Luas pulau ini kurang lebih luas sekitar 3,15 km² dengan keliling pulau kurang lebih 7 km. Sebenarnya pulau ini kalau dilihat dari google maps hanyalah sebuah titik di tengah Samudra Pasifik. Sebuah pulau yang menyendiri dan tak ada pulau terdekat yang mengelilinginya. Meskipun luasnya hanya 1 pixel di Google maps, tapi pulau ini sangat penting bagi Indonesia, pasalnya pulau ini yang menjadi batas yang akan mempengaruhi luas teritorial NKRI. Jarak antara Pulau Miangas ke pulau terdekat Indonesia yaitu Kecamatan

Page 43: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

34

Nanusa kurang lebih 148 mil, sedangkan jaraknya dengan Philipina hanya sekitar 48 mil. Maka tak heran pulau ini menjadi sebuah wilayah yang sensitif dengan isu kesetiaan nasionalisme-nya.

Gambar 1.

Peta Miangas Sumber: Google

Perjalanan untuk menuju Miangas dari kota Manado

setidaknya dapat ditempuh dengan 2 rute. Rute pertama full menggunakan kapal Perintis Meliku Nusa atau Sabuk Nusantara, dari Pelabuhan Bitung-Lirung-Melonguane-Esang-Kakorotan-Karatung-Miangas yang akan memakan waktu 3 hari 2 malam di lautan. Rute kedua dengan pesawat dan juga kapal laut, yaitu naik pesawat dari Manado menuju Melonguane. Kemudian dari Melonguane naik kapal Perintis menuju Esang-Kakorotan-Karatung-Miangas dengan kurang lebih melewati 30 jam perjalanan di laut.

Page 44: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

35

Kapal yang menuju Miangas biasanya beroperasi 2 minggu sekali, hal ini dikarenakan kapal perintis yang ada selalu berkeliling dari pulau ke pulau, sehingga memakan waktu 2 minggu untuk sekali putarannya. Namun, dengan banyaknya kapal yang beroperasi, setidaknya setiap seminggu sekali di cuaca yang teduh kapal perintis dapat berlabuh di Miangas. Selain menaiki kapal reguler perintis, bisa juga menyewa kapal boat. Kapal boat dari Melonguane sampai Miangas dapat ditempuh dengan waktu paling cepat 6 jam. Untuk sewanya bisa dikenakan tarif 18 juta, selain dapat memangkas waktu perjalanan juga dapat memangkas habis-habisan isi dompet.

Gambar 2.

Salah Satu Kapal Perintis yang menuju Miangas, Meliku Nusa Sumber: Dokumentasi Peneliti

Page 45: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

36

Saatnya Berpetualang!!!

Sejak siang hingga menjelang dini hari, Pelabuhan Melonguane dipadati oleh masyarakat, baik calon penumpang kapal, para pedagang yang menunggu kiriman dagangan, hingga masyarakat yang sekedar mencuci mata melihat-lihat kedatangan Kapal Perintis Meliku Nusa. Pekatnya malam di Pelabuhan Melonguane ternyata tak menyurutkan Kapal untuk segera melayarkan diri ke pulau-pulau sebelah utara Indonesia. Tepat jam 00.00 dini hari, terdengar jelas peluit kapal memanggil para penumpangnya untuk segera menaiki kapal. Rencanyanya saya bersama satu rekan peneliti akan melayarkan diri menuju Pulau Miangas dalam rangka penelitian Riset Etnografi Kesehatan disana. Jadi, selama kurang lebih 40 hari, kami akan berbaur dan menjadi bagian dari masyarakat Miangas.

Kapal pun mulai berlayar dengan santainya, meskipun deru ombak sangat tenang, tetap saja mampu untuk membuat kepala saya terasa pusing. Ini adalah pertama kalinya saya naik kapal laut, meskipun saya telah terbiasa “tegar” dengan semua transportasi yang ada, baru pertama kali ini saya “tumbang”, mabok perjalanan oleh kapal laut. Saya pun berharap perjalanan ini segera berakhir atau minimal segera menemukan daratan untuk menstabilkan tubuh yang mulai sempoyongan. Meskipun tengah malam, masih terlihat beberapa para penumpang sedang asik bercengkrama dan ngobrol-ngobrol dengan sesama penumpang lainnya di anjungan kapal. Saya pun mencoba untuk ikut membaur, sembari berharap bisa menghilangkan

Page 46: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

37

pusing yang terasa, yaa hitung-hitung latihan bersosialisasi sebelum membaur di masyarakat nanti.

Jam menunjukan pukul 10.00 pagi, hari pun semakin siang, terik matahari pun semakin mengganyang, demikian pula dengan rasa mabok laut yang saya rasakan. Puncaknya, semua isi perut ini pun akhirnya termuntahkan. Saya pun kemudian berusaha menstabilkan tubuh dengan meminum beberapa pil anti mabok, dan berharap Miangas segera tiba dipelupuk mata. Tepat jam 12 Siang, kapal pun mulai melabuhkan diri di pelabuhan pulau Kakorotan. Saya pun segera beranjak dari kamar ABK menuju bagian atas kapal, dan saya pun langsung speechless. Saya tak bisa berkata-kata, sungguh betapa indahnya Pulau Kakorotan ini, Subhanallah... Wajar saja tempat ini dijadikan spot festival adat berskala nasional, yaitu festival Mene’e. Rasa mual dan mabok yang saya rasakan pun seakan terbayarkan setelah saya melihat betapa indahnya karya Allah, sebaik-baiknya Maha Pencipta.

Gambar 3. Eksotisme Pulau Kakorotan

Sumber: Dokumentasi Peneliti

Page 47: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

38

Subuh pun mulai menggantikan malam, samar-sama dibalik pekatnya langit subuh, terlihat sebuah pulau dari kejauhan, ya itulah Miangas. Saya pun segera mengambil beberapa shot foto dan video meskipun masih amatiran. Akhirnya, sesampainya di pelabuhan, kami pun disambut oleh warga-warga Miangas yang berdatangan. Tapi sayangnya mereka bukan untuk menyambut kami, tetapi menyambut barang-barang kebutuhan pokok yang satu-satunya diangkut oleh kapal perintis ini. Akhirnya sayapun bisa berujar, Assalamu’alaikum Miangas...

Gambar 4.

Pulau Miangas dari Kejauhan Sumber: Dokumentasi Peneliti

Miangas, Sebuah Tanah Adat yang Kini Mulai Dimanjakan

Selain karena kedekatan secara geografis, ternyata hubungan antara Miangas dan Philipina sangat erat kaitannya sejak dahulu kala. Jika kita merunut sejarah

Page 48: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

39

terbentuknya kehidupan masyarakat di Miangas, maka kita akan menemukan fakta bahwa leluhur masyarakat Miangas merupakan orang Bangsa Phillipina. Namun, dikarenakan mereka sering berhubungan dengan orang-orang dari Kepulauan Talaud, akulturasi dan perkawinan antar suku di nusantara pun tak bisa dihindarkan.

Tak dapat dipungkiri, Philipina pernah membawa sengketa kepemilikan Pulau Miangas ke kancah Internasional. Namun, ketika dilakukan penyidikan oleh PBB, ternyata identitas kebangsaan masyarakat Miangas mengacu pada suku Talaud yang ada di Indonesia. Mereka berbahasa daerah Talaud bukan Tagalog, menggunakan mata uang rupiah bukan peso, serta yang paling penting bahasa nasional yang mereka gunakan adalah Bahasa Indonesia. Jadi,dengan identitas kebangsaan itu, maka PBB memutuskan bahwa pualu Miangas merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Republik Indonesia.

Masyarakat Miangas pada umumnya memeluk agama kristen protestan dengan berprofesi sebagai nelayan dan petani. Setidaknya ada 3 hal yang menopang sendi kehidupan masyarakat Miangas, yaitu adat, rohani, dan pemerintah. Adat memang sangat berperan penting dalam mengatur hubungan kemasyarakatan di Miangas disamping aspek rohani. Maka tak jarang para pemangku adat lebih sering dipercaya masyarakat dalam memutuskan sengketa kemasyarakatan dibandingkan dengan aparat pemerintahan. Para Mangkubumi dan 12 kepala suku di Miangas, menjadi sentra lahirnya peraturan-peraturan adat yang 90% mengatur jalannya kehidupan kemasyarakatan.

Page 49: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

40

Sebagai sebuah pulau adat yang terdepan di utara Indonesia, membuat Miangas mendapat perhatian lebih dari pemerintah. Pertama, Pulau Miangas berdiri sebagai sebuah kecamatan khusus, meski secara administratif tidak memenuhi persyaratan berdiri sebagai kecamatan biasanya. Kedua, untuk mendukung Pulau Miangas sebagai pulau pertahanan Indonesia, maka sekarang di Miangas telah mulai dibangun sebuah bandara udara. Ketiga, untuk menjamin kelayakan hidup masyarakat di Miangas, bantuan-bantuan dari pemerintah khususnya dari pusatpun banyak diberikan di Miangas, terutama untuk pembangunan infrastruktur dan beras pra-sejahtera.

Gambar 5.

Salah Satu Sumber Pembangkit Tenaga Listrik di Miangas Sumber: Dokumentasi Peneliti

Ketersediaan fasilitas publik di Miangas setidaknya dapat dikatakan lebih bagus daripada kebanyakan pulau-pulau kecil lainnya yang berada di Kepulauan Talaud.

Page 50: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

41

Bangunan fisik pelayanan pemerintahan sudah berdiri dengan layak, listrik dapat beroperasi selama 7 x 24 jam dalam seminggu dengan menggukan PLTS dan PLTD, fasilitas komunikasi dapat berjalan lancar, akses air bersih dapat terjangkau, serta terdapat rumah pintar bagi anak-anak di Miangas.

Ketersediaan sarana dan prasarana tersebut ternyata tak sepenuhnya termanfaatkan oleh pemerintah. Contohnya saja kantor kepala desa yang meski dibangun permanen hingga sampai ini tak dipakai bahkan sampai dibiarkan rusak, padahal tak sedikit dana yang dikucurkan oleh pemerintah untuk membangunnya. Fasilitas Puskesmas pun jarang dikunjungi oleh masyarakat, keberadaan rumah pintar yang selama beberapa tahun hingga sekarang hanya pernah 1 kali digunakan. Banyaknya bantuan-bantuan dari pemerintah ternyata tak selamanya membawa dampak yang positif bagi masyarakat. Mental “manja” yang hanya berharap dari bantuan-bantuan pun tak dapat dielakkan, sehingga inisiatif untuk memberdayakan desa sendiri kurang terlihat di Miangas.

Page 51: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

42

Gambar 6.

Salah Satu Fasilitas Publik yang Terabaikan dan Tak Difungsikan Sumber: Dokumentasi Peneliti

Bertahan di Tengah Keterbatasan

Karakteristik pulau yang “menyendiri” tak jarang menyebabkan keterbatasan akses di Miangas, salah satunya akses transportasi dari pusat ibukota dan pemerintahan. Cuaca yang ekstrim di Samudra Pasifik yang lepas terkadang menghambat distribusi kebutuhan pokok yang ada. Biasanya pada bulan Desember sampai Februari cuaca di Miangas sangat tidak bersahabat. Angin yang kencang dan ombak yang tinggi tak jarang membuat ciut kapal-kapal untuk melabuhkan diri di Miangas. Bahkan, salah satu kejadian sebuah kapal tongkang yang mengangkut meterial pembangunan bandara “tepar” tak berdaya di pelabuhan akibat rusak parah diterjang ombak besar Samudra Pasifik.

Page 52: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

43

Gambar 7.

Kapal Tongkang yang “tepar” Akibat Gelombang Besar Sumber: Dokumentasi Peneliti

Ektrimnya cuaca di Miangas tersebut tak jarang membuat masyarakat Miangas tak dapat melaut mencari ikan serta mendapatkan pemasukan bahan pokok bahkan sampai berbulan-bulan. Akibatnya, mereka harus bertahan bersama alam untuk melanjutkan kehidupan. Untuk memenuhi bahan pokok mereka mengkonsumsi umbi-umbian seperti laluga (sebuah tanaman talas raksasa yang hanya tumbuh di Miangas), sagu, maupun ubi jalar. Sedangkan untuk lauk pauk, mereka mencari ketam kenari (kepiting) atau bahkan hanya memakan sayur-sayur yang ada tumbuh di Miangas.

Page 53: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

44

Gambar 8.

Laluga, Sejenis Tanaman Talas Raksasa Sumber: Dokumentasi Peneliti

Selain keterbatasan dalam hal kebutuhan pokok, Miangas juga terbelenggu dengan keterbatasan akses kesehatan medis. Meskipun Puskesmas Miangas sudah berdiri sebagai Puskesmas setingkat kecamatan, tetapi keadaan dan kelengkapannya masih belum mumpuni. Contoh kecilnya saja, Puskesmas sendiri tidak memiliki tensimeter dan termometer. Jadi para petugas yang ada terpaksa merogoh kocek sendiri untuk membeli tensimeter. Contoh lain lagi, untuk peralatan pertolongan persalinan sudah mulai rusak, hilang, dan tumpul. Tak jarang para petugas meminjam peralatan pada bidan kampung. Itu hanya secuil contoh kecil keterbatasan Puskesmas, apalagi jika ditinjau dari standar fasilitas pemeriksaan seperti Puskesmas-Puskesmas di ibukota, sungguh tak adapat dibandingkan.

Page 54: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

45

Gambar 9.

Peralatan Persalinan yang terdapat di Miangas Sumber: Dokumentasi Peneliti

Selain itu, Puskesmas Miangas hanya memiliki 8

petugas kesehatan. Empat orang pegawai tetap dan 4 orang pegawai tidak tetap alias PTT. Kualifikasi tenaga kesehatan yang ada terdiri dari 4 orang perawat tetap, 1 perawat kontrak, 2 bidan PTT, dan 1 dokter kontrak daerah. Sebenarnya dulu ada beberapa pegawai tetap di Miangas, tetapi setelah mereka bertugas beberapa bulan mereka meminta pindah untuk ditempatkan di ibukota kabupaten. Miangas dalam Kacamata Kesehatan

Secara umum status kesehatan di Kabupaten Kepulauan Talaud menurut IPKM (Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat) menduduki peringkat 326 dari 497

Page 55: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

46

Kabupaten di Indonesia. Secara khusus, kabupaten ini berada di peringkat 12 dari 15 kabupaten yang ada di Sulawesi Utara. Adapun aspek kesehatan yang menjadi lampu kuning di Kabupaten ini adalah aspek pelayanan kesehatan, perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), serta kesehatan lingkungan yang belum memadai. Selain itu, Kabupaten Kepulauan Talaud juga termasuk dalam daerah DTPK (Daerah Tertinggal Perbatasan Kepulauan) yang berbatasan langsung dengan negara tetangga Philipina khususnya di Kecamatan Miangas dan Kecamatan Nanusa (buku daerah perbatasan sulut).

Miangas memiliki 1 kecamatan induk dan 1 Puskesmas pembantu (Pustu) yang kini menjadi rumah dinas bagi tenaga kesehatan yang berasal dari luar Miangas. Lokasi Puskesmas induk berada di daerah perkebunan warga dengan jarak 300 meter dari pusat pemukiman warga. Untuk pustu sendiri memang berada di tengah-tengah pemukiman warga, tetapi dikarenakan luas lokasi yang dianggap sempit, maka pustu ini jarang digunakan untuk melayani pasien terkecuali ketika diadakan posyandu.

Jam telah menunjukan pukul 9 pagi, rencananya pagi ini saya akan berkunjung melihat Puskesmas Miangas. Untuk mencapai Puskesmas saya harus terlebih dahulu melewati jalur perkebunan warga. Meskipun masih pagi, nuansa kebun yang sunyi dan lembab, terkadang mampu untuk membuat bulu kuduk berdiri. Meskipun jam masih menunjukan pukul 9 pagi pintu Puskesmas masih terkunci, padahal hari ini adalah hari kerja. Setelah hampir satu jam menunggu, datanglah beberapa petugas Puskesmas. Awalnya saya menyangka pasien dikarenakan mereka hanya memakai baju biasa

Page 56: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

47

seperti warga biasanya, tetapi semuanya tampak jelas ketika mereka mulai mengeluarkan tensimeter dan mulai memeriksa 1-2 pasien yang datang. Akhirnya Jam menunjukan pukul 12 siang, tak terlihat ada pasien yang datang, maka merekapun memutuskan untuk pulang dan menutup Puskesmas.

Gambar 10.

Jalan Menuju Puskesmas Induk Miangas Sumber: Dokumentasi Peneliti

Menurut petugas Puskesmas yang saya temui, memang animo masyarakat untuk memeriksa diri sangat kurang. Mereka lebih suka menitip obat-obatan kepada bidan atau petugas Puskesmas ketika mereka kembali. Selain itu, masyarakat juga lebih suka didatangi daripada mendatangi petugas kesehatan jika sakit. Alasannya?? Ya bermacam-macam, ada yang bilang tidak sempat, ada yang bilang sibuk ke Puskesmas, dan segala macam alasan lainnya.

Page 57: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

48

Ditengah keterbatasannya, setidaknya di Miangas terdapat 4 metode penyembuhan yang biasa dimanfaatkan masyarakat. Pertama metode penyembuhan medis yaitu memeriksakan diri pada petugas Puskesmas atau sekedar membeli obat-obat bebas di warung. Kedua, metode pengobatan makatana. Makatana sendiri merupakan sebutan masyarakat untuk ramuan-ramuan herbal tradisional yang telah diajarkan secara turun temurun. Ketiga, metode penyembuhan dengan kuasa dunia ataupun kuasa kegelapan. Dan terakhir menggunakan metode penyembuhan dengan kuasa Tuhan.

Page 58: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

49

Tour de Nenas; Catatan Perjalanan ke Kab. Timor Tengah Selatan Agung Dwi Laksono Soe-Timor Tengah Selatan, 29 Mei 2015

Timor Tengah Selatan, demikian nama salah satu kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Timur yang kali ini menjadi sasaran tujuan kunjungan lapangan kami. Kami berempat berangkat dari Surabaya, yaitu saya sendiri, kang Pranata (seorang antropolog), dan dua rekan dari tim videografi (seorang sutradara dan seorang lagi kameramen). Bukanlah perjalanan yang terlampau sulit. Perjalanan supervisi dan pengambilan gambar visual audio Riset Ethnografi Kesehatan kali ini harus kami lalui.

Kabupaten Timor Tengah Selatan terletak satu daratan di Pulau Timor dengan negara pecahan republik ini, Timor Leste. Di sebelah Timur Kabupaten Timor Tengah Selatan hanya dibatasi oleh Kabupaten Belu sebelum mencapai tanah Timor Leste. Pada bagian Utara Kabupaten Timor Tengah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Timor Tengah Utara, sementara di bagian Barat berbatasan dengan

Page 59: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

50

Kabupaten Kupang, dan pada sisi Selatan Kabupaten Timor Tengah Selatan secara langsung berhubungan dengan Samudera Hindia.

Gambar 1.

Lokasi Kabupaten Timor Tengah Selatan Sumber: Provinsi Nusa Tenggara Timur

Menurut Kabupaten Timor Tengah Selatan dalam Angka Tahun 2014, kabupaten yang beribukota di SoE ini mempunyai luas daratan mencapai 3.995,36 Km2, dengan tingkat kepadatan 114,26 jiwa per Km2 pada tahun 2013. Jumlah seluruh penduduk pada tahun yang sama mencapai 451.922 jiwa dengan rumah tangga sejumlah 112.446 rumah tangga (Badan Pusat Statistik Kabupaten Timor Tengah Selatan, 2014). Berdasarkan angka jumlah penduduk dan jumlah rumah tangga, maka proporsi dalam setiap rumah tangga terdiri dari 4,02 jiwa, artinya bahwa dalam satu

Page 60: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

51

rumah tangga terdiri dari rata-rata empat anggota keluarga, dan beberapa rumah tangga saja yang berisi lima anggota keluarga. Secara kasar bisa kita tarik kesimpulan bahwa Kabupaten Timor Tengah Selatan merupakan salah satu kabupaten yang berhasil dalam program Keluarga Berencana-nya, atau jangan-jangan…? Ahh… biarkan saja menggantung tanpa jawab, agar bisa dijadikan bahan refleksi. Lingkaran Setan

Derajat kesehatan yang buruk, tingkat pendidikan yang rendah, serta kemiskinan, merupakan tiga kondisi yang bila kita cermati seperti membentuk lingkaran setan. Ketiganya secara siklis saling mempengaruhi, kejatuhan dalam satu kondisi menjadi penyebab kejatuhan kondisi yang lainnya. Hal inilah yang sepertinya tengah terjadi di Kabupaten Timor Tengah Selatan.

Menurut hasil pemeringkatan Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) tahun 2013 yang didasarkan pada hasil survei Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun yang sama, menempatkan Kabupaten Timor Tengah Selatan pada ranking 474 dari 497 kabupaten/kota di seluruh Indonesia. IPKM sebelumnya, tahun 2007, Kabupaten Timor Tengah Selatan berada pada posisi ranking 399 dari 440 kabupaten/kota yang ada pada saat itu. Menilik posisi peringkat Kabupaten Timor Tengah Selatan pada IPKM tahun 2007 dan 2013, terlihat bahwa tidak terjadi peningkatan derajat kesehatan masyarakat sebagai hasil dari

Page 61: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

52

pembangunan kesehatan yang telah dilakukan. Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2013 yang dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan bahwa ada sekitar 31,71% penduduk berumur 10 tahun ke atas di Kabupaten Timor Tengah Selatan yang tidak memiliki ijazah sama sekali, artinya angka tersebut merupakan gabungan antara yang tidak bersekolah sama sekali dan yang tidak lulus Sekolah Dasar. Sementara hasil survei yang sama menyebutkan bahwa sejumlah 34,81% penduduk di atas 10 tahun yang memiliki ijazah Sekolah Dasar. Hanya 2,91% penduduk saja yang tercatat memiliki ijazah di atas SLTA.

Berdasarkan catatan BPS Kabupaten Timor Tengah Selatan dalam “Kabupaten Timor Tengah Selatan dalam Angka Tahun 2014”, tercatat terjadi penurunan jumlah penduduk miskin di kabupaten tersebut. Hal ini terjadi dalam kurun waktu lima tahun, antara tahun 2006-2011. Tetapi antara tahun 2011-2012 kembali terjadi peningkatan tipis persentase penduduk miskin sebesar 0,57%, menjadi 27,53% (lihat Gambar 2). BPS mengukur kemiskinan menggunakan pendekatan kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). BPS memandang kemiskinan sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran.

Page 62: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

53

Gambar 2. Tren Persentase Penduduk Miskin

di Kabupaten Timor Tengah Selatan Tahun 2006-2012 Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupetan Timor Tengah Selatan, 2014

Status Gizi Balita

Kita mencermati status gizi balita di Kabupaten Timor Tengah Selatan pada tahun 2013, maka kita akan mendapati kenyataan yang sungguh memprihatinkan. Hampir separuh balita (46,48%), merupakan balita dengan status gizi buruk dan kurang. Angka ini jauh di atas angka Provinsi Nusa Tenggara Timur yang berada pada kisaran 33,07%, dan rentangnya semakin jauh lagi bila dibandingkan dengan angka nasional yang hanya berkisar 19,63%.

Status gizi balita ini menjadi lebih memprihatinkan lagi bila kita cermati dari indikator tinggi badan per umur. Lebih dari 70% balita di Kabupaten Timor Tengah Selatan

Page 63: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

54

merupakan balita stunting atau pendek. Angka ini jauh di atas prevalensi provinsi maupun nasional.

Cakupan angka penimbangan balita di Kabupaten Timor Tengah Selatan sedikit lebih tinggi dibanding angka provinsi maupun nasional. Artinya bahwa kepedulian masyarakat terhadap anak-anak sudah cukup baik, hanya saja kemiskinan bisa menjadi salah satu kendala yang cukup serius untuk faktor pertumbuhan balita.

Perjalanan Menuju Desa

Perjalanan kami kali ini hanya membutuhkan waktu sekitar empat jam saja dari ibu kota Provinsi Nusa Tenggara Timur, Kota Kupang, untuk mencapai ibu kota Kabupaten Timor Tengah Selatan di SoE. Kami masih harus menambah lagi dengan enam jam perjalanan untuk mencapai Desa Nenas-Kecamatan Fatumnasi, desa tempat tinggal dua ethnografer kami yang sedang grounded di sana. Enam jam tambahan yang sungguh menyebalkan karena kami salah memilih kendaraan untuk menempuh jalanan yang rusak, longsor dan berbatu.

Page 64: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

55

Gambar 3. Jalanan Menuju Desa Nenas

Sumber: Dokumentasi Peneliti

Page 65: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

56

Pengalaman menyebalkan menempuh sisa perjalanan menuju Desa Nenas seakan terbayarkan dengan pemandangan lanskap saat memasuki cagar alam Mutis di lereng Gunung Mutis. Lanskap yang sungguh membuat kami tak pernah berhenti berdecak mengucap syukur diberi kesempatan melihat pemandangan seindah ini.

Gambar 4.

Lanskap dalam Cagar Alam Gunung Mutis Sumber: Dokumentasi Peneliti

Page 66: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

57

Desa Nenas di Kecamatan Fatumnasi

Desa Nenas merupakan salah satu desa yang terletak di lereng Gung Mutis. Topografinya berupa lereng-lereng dengan variasi ketinggian yang beragam, naik-turun perbukitan. Letaknya yang tersembunyi di lereng gunung dan di balik hutan membuat Desa Nenas selalu berhawa dingin dengan angin yang bertiup kencang yang seakan tak pernah berhenti untuk membuat badan menggigil sepanjang hari. Tubuh letih kami benar-benar tak kuat menahan gempuran seperti ini, yang membuat kami ber-empat hampir tumbang pada akhir perjalanan.

Mutis, demikian nama gunung itu, yang dalam bahasa Dawam artinya adalah“lengkap”. Menurut kepercayaan orang Molo Gunung Mutis merupakan asal atau cikal bakal orang Timor secara keseluruhan, mereka secara lengkap hadir di dunia melalui Gunung Mutis. Oleh karena itu masyarakat Desa Nenas sangat terbuka dengan kedatangan orang luar, karena mereka menganggap demikianlah memang seharusnya mereka bersikap untuk menyikapi “lengkap”nya Mutis.

Desa Nenas dalam pandangan kami merupakan salah satu desa yang sangat jauh tertinggal dibandingkan dengan desa lain di Indonesia. Desa Nenas lebih merupakan desa auto pilot, karena kepala desa terpilih mengajukan diri menjadi anggota DPRD, dan akhirnya benar-benar terpilih menjadi anggota dewan. Nasib Desa Nenas tak juga beranjak naik.

Page 67: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

58

Masyarakat di Desa Nenas termasuk dalam sub suku Molo, yang merupakan salah satu bagian dari suku Timor. Oleh sebab itu mereka dikenal sebagai orang Molo. Dalam keseharian mereka masih menggunakan bahasa Dawam sebagai salah satu media komunikasi antar orang Molo. Nenas sendiri dalam bahasa Dawam diartikan sebagai “terkenal”.

Orang Molo di Desa Nenas kebanyakan sudah tinggal di ‘rumah sehat’, sebutan untuk rumah yang dibangun untuk menggantikan ‘rumah bulat’, rumah asli warga suku Molo. Malam hari mereka lebih sering berada di rumah bulat karena kondisinya yang hangat, cukup untuk menahan dari gempuran hawa dingin di luar.

Gambar 5. Proses Shooting Tari Giring-giring

yang Mengambil Latar Belakang Rumah Bulat Sumber: Dokumentasi Peneliti

Page 68: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

59

Kami sendiri tinggal di rumah sehat bersama keluarga bapak Anderias Tambelab (58 tahun), sekretaris Desa Nenas. Rumah yang kami diami adalah milik salah seorang pejabat desa. Jangan pernah membayangkan kemewahan yang akan kami terima. Kondisinya sama saja dengan rumah penduduk lainnya. Kami tidur hanya beralaskan karpet plastik tipis di atas plesteran semen.

Gambar 6.

Rumah Sehat Sekretaris Desa Nenas Sumber: Dokumentasi Peneliti

Hampir mirip dengan desa-desa lain di pelosok republik ini, kehidupan di Desa Nenas berjalan sangat lambat. Hampir seluruh penduduk bermata pencaharian sebagai petani. Beberapa menjadi tukang ojek, guru, dan berdagang kelontong kecil-kecilan. Ada juga seorang pendatang dari Madura yang berprofesi menjadi tukang kayu.

Hampir seluruh jalanan yang ada di desa ini merupakan jalan berbatu yang cukup terjal, menyisakan

Page 69: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

60

sedikit saja jalan tanah. Kondisi ini membuat hanya kendaraan-kendaraan tertentu saja yang bisa menempuh jalur ini, termasuk beberapa motor tulang ojek yang sudah mengalami modifikasi pada rantai-gir dan roda ban yang menjadi lebih bergigi.

Kami observasi dan terlihat balita-balita di Desa Nenas mempunyai kecenderungan stunting, sebagaimana penampakan orang-orang dewasa di desa ini yang juga cenderung pendek. Sekali lagi saya tidak bisa mengkonfirmasi hal ini dengan data riil, karena pencatatan di Posyandu sama sekali tidak mencantumkan angka tinggi badan, dan tanggal kelahiran pun seringkali dibiarkan kosong melompong.

Kebanyakan balita di Desa Nenas mengkonsumsi bubur nasi tanpa tambahan apapun. “Balita sekarang makannya bubur nasi pak. Iya nasi saja… tanpa tambahan apapun. Kalo dulu ya bubur jagung. Kan belum ada beras… ada beras baru sekitar mulai tahun 70-80-an…,” jelas pak Nuel, nama panggilan Imanuel Anin (50 tahun), seorang mantri tani yang tinggal di Desa Nenas.

Hampir tidak ada variasi makanan lain yang menjadi asupan balita di desa ini, kecuali ASI. Pengakuan masyarakat, ASI diberikan sampai mereka berumur dua tahun lebih, kecuali beberapa balita yang sudah “kesundulan”, kedahuluan adiknya lahir, dan juga beberpa balita lain yang disebabkan ibunya sakit atau tidak keluar air susunya.

Ada fenomena menarik yang ditunjukkan balita Darfa Tambelab (20 bulan). Sejak berumur 12 bulan, Darfa mengkonsumsi kopi yang dimasukkan ke dalam botol dot. Dua kali sehari, secara rutin pagi dan sore, cucu ke-dua

Page 70: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

61

sekretaris desa tersebut meminta dibuatkan minuman kesukaan saya ini. Diker Tambelab (33 tahun), ayah si Darfa, cuek saja dan membiarkan anak balitanya dengan lahab menyeruput kopi lewat botol dotnya.

Gambar 7. Darfa Tambelab dan

Ayahnya Sumber: Dokumentasi

Peneliti

Ketersediaan Pelayanan Kesehatan

Desa Nenas masuk sebagai salah satu wilayah kerja Puskesmas Fatumnasi yang terletak di Desa Fatumnasi. Puskemas Fatumnasi sendiri memiliki tenaga sejumlah 18 orang dengan lima bidan dan satu tenaga dokter umum PTT. Ada lima desa yang harus di-cover Puskesmas Fatumnasi, yaitu Nenas, Fatumnasi, Kuanoal, Nuapin dan Mutis.

Pada masing-masing desa ‘ada’ fasilitas pelayanan kesehatan. Desa Nuapin misalnya, ada Polindes dengan bidan

Page 71: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

62

yang stand by di sana. Sedang di Desa Mutis ada Polindes yang jadwal bukanya seminggu sekali menunggu bidan penanggung jawab wilayah datang dari Puskesmas. Kondisi ini sama dengan Polindes di Kuanoal yang buka pelayanan empat kali dalam sebulan sesuai dengan kedatangan bidan dari Puskesmas Fatumnasi. Ada Puskesmas Pembantu (Pustu) permanen di Desa Nenas yang dijaga oleh seorang perawat. Hanya saja posisi rumah perawat yang berada di SoE dan adanya keperluan-keperluan lain membuat kondisinya seperti kurang terurus.

Masalah akses yang cukup jauh dari desa ke Puskesmas, masyarakat di lima desa ‘urunan’ secara tanggung renteng untuk membangun rumah tunggu persalinan di samping gedung Puskesmas. “Kondisinya sudah sangat memprihatinkan pak. Ini sedang kami upayakan untuk setiap desa urunan kembali untuk membangun yang semi permanen…,” jelas Alfred Duka, SKM Kepala Puskesmas Fatumnasi. Rumah tunggu persalinan yang dibangun berbahan kayu lokal ini sejak tahun 2011 ini memang terlihat miring seperti mau roboh.

Ada kebijakan menarik yang dikeluarkan oleh Kabupaten Timor Tengah Selatan berupa Peraturan Daerah (Perda) Nomor 6 tahun 2013 tentang Pelayanan Kesehatan Ibu, Bayi Baru Lahir, Bayi dan Anak Bawah Lima Tahun. Kebijakan ini lebih merupakan terjemahan dari kebijakan Revolusi KIA yang digagas di tingkat provinsi.

Page 72: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

63

Gambar 8.

Rumah Tunggu Persalinan Sumber: Dokumentasi Peneliti

Secara garis besar kebijakan ini mengatur tentang pembagian peran antar komponen di wilayah tersebut, termasuk di dalamnya mengatur secara rinci tentang denda terhadap masing-masing pihak yang tidak melaksanakan perannya. Satu contoh misalnya pada saat ibu melahirkan di rumah bulat ditolong oleh dukun, padahal menurut regulasi tersebut seharusnya melahirkan di fasilitas pelayanan kesehatan ditolong oleh tenaga kesehatan. Denda yang diatur adalah si ibu didenda Rp. 200.000,- karena tidak melahirkan di fasilitas kesehatan, si dukun didenda Rp. 200.000,- karena berani menolong persalinan, si suami ibu didenda Rp. 200.000,- karena tidak SIAGA, tidak mau mengantar istri melahirkan ke fasilitas kesehatan. Pada saat si ibu nifas melakukan sei (dipanggang), sebagai salah satu adat kebiasaan orang Timor, maka juga akan dikenakan denda Rp. 200.000,-. Dan apabila ibu hamil tidak melakukan memeriksakan kehamilan di tenaga kesehatan atau ibu nifas

Page 73: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

64

tidak memeriksakan diri pasca nifas maka akan dikenakan denda sebesar Rp. 100.000,-.

Mekanisme atau standar operasional prosedur (SOP) tentang pembayaran atau penarikan denda ini diatur dalam regulasi tersendiri. Hal ini diatur dalam Peraturan Bupati Timor Tengah Selatan nomor 51 tahun 2014 tentang Tata Cara Pembayaran Denda Administrasi dan Pengurangan/ Keringanan.

Sepertinya tujuan dikeluarkannya kebijakan tentang pelayanan kesehatan ibu dan anak ini baik… sangat baik! tetapi menurut pandangan saya, sekali lagi menurut pandangan saya, kebijakan ini menjadi tidak tepat saat pemerintah Kabupaten Timor Tengah Selatan tidak memenuhi sarana dan prasarana yang menjadi kendala akses selama ini. Bukankah fasilitas pelayanan kesehatan sangat minim? Tidakkah tenaga kesehatan belum benar-benar eksis hadir di wilayah? Bagaimana dengan kondisi jalan berbatu yang terjal? Kami yang sehat saja berasa remuk redam menempuh jalur tersebut, bagaimana dengan ibu hamil? Potensi Sumber Daya

Desa Nenas merupakan desa hortikultura yang sangat dikenal sebagai penyuplai sayuran sampai ke Kota Kupang. Beragam jenis sayur-mayur menjadi andalan pendapatan masyarakat Desa Nenas yang didominasi oleh petani. Sayuran semacam wortel, labu siam, daun bawang, kentang dan bawang preh merupakan produk sayuran andalan. Jadi

Page 74: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

65

kebutuhan sayuran bukanlah masalah bagi penduduk yang hidup di lereng Gunung Mutis ini.

Karbohidrat utama seringkali didapatkan dari jagung, ubi jalar, singkong dan beras. Ada sedikit hamparan sawah di wilayah Desa Nenas yang dapat membantu suplai kebutuhan beras di daerah berhawa dingin ini, meski seringkali beras yang dikonsumsi adalah beras Raskin. Tercatat ada sekitar 147 keluarga miskin dari 287 keluarga, atau 51,22%, yang mendapatkan jatah beras Raskin dari pemerintah setiap bulannya.

Protein hewani bisa didapatkan dari telur ayam, ayam, babi, kambing maupun sapi. Tetapi sayangnya perekonomian masyarakat membuat konsumsi protein hewani semacam itu merupakan barang mewah bagi mereka, hanya telur ayam yang disajikan beberapa kali dalam sebulan. “Sebenarnya ada juga pak itu apa… daging dan ikan di Pasar Kapan (di Kecamatan Kapan), tetapi ada (kendala) faktor ekonomi pak…” jelas Imanuel Anin (50 tahun), seorang Mantri Tani yang menjadi guide dadakan kami. Lebih lanjut pria suku Timor bermarga Anin ini menjelaskan bahwa ada protein hewani yang cukup populer bagi Masyarakat di Desa Nenas, yaitu “Ikan Blek”, sebutan masyararakat setempat untuk ikan kalengan atau sarden.

Kesempatan mendapat protein hewani lainnya adalah pada saat ada kematian. Apabila ada seorang suku Molo meninggal dunia, maka berbondong-bondong kerabatnya menyumbang ternak berupa sapi, babi, kambing ataupun ayam. Mereka menyisakan satu-dua ekor saat menjual ternaknya, karena memang dimaksudkan untuk hal yang

Page 75: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

66

demikian. Pada saat-saat tersebut daging yang tersedia sangat melimpah. Masyarakat bisa sampai berhari-hari mengkonsumsi daging, bahkan menurut pak Nuel sampai (maaf) busuk pun akan dikonsumsi.

Sumber protein lain berupa protein nabati bisa didapat dari kacang merah dan kacang tanah. Konsumsi kacang merah seringkali hanya lewat sayur sup saja. Tidak ada kemampuan untuk membuat kreasi lain agar tumbuhan kaya protein ini menjadi lebih sering dikonsumsi. Sedang kacang tanah lebih sering diolah menjadi campuran sambal goreng. Mampir ke Surga

Pada kesempatan lain saya bersama mas Zaldi (kameramen) berkesempatan mengambil gambar lanskap di lereng Gunung Mutis yang agak tinggi. Lelofui, demikian lereng tersebut diberi nama oleh orang Molo. Saat datang menginjakkan kaki pertama kali di lereng itu saya seperti tersentak. Terpaku tidak bergeming. Hanya mampu berdiri tanpa sanggup berkata apapun, hanya berdesis… “Ini surga…”. …dan lalu bagaimana saya bisa berhenti bersyukur?

Page 76: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

67

Gambar 9.

“Surga” Lelofui Sumber: Dokumentasi Peneliti

Pada akhirnya kami harus pulang. Terbersit keengganan di antara kami dan orang Nenas, seakan tidak ikhlas meninggalkan dan ditinggalkan. Seperti ada tali yang mengikat kami untuk kebersamaan kami selama seminggu

Page 77: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

68

terakhir. Seutas selendang hasil tenunan mama inang dikalungkan di setiap leher kami oleh nona manis Molo Evi Tambelab, seakan kembali menegaskan bahwa ada sesuatu yang tinggi telah mengikat kami.

Gambar 10. Pengalungan Selendang saat Berpamitan Pulang

Sumber: Dokumentasi Peneliti

Page 78: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

69

Surga Kecil Raijua; Sebuah Catatan Perjalanan Agung Dwi Laksono Raijua, 1 Mei 2015

Perjalanan kali ini, mulai 27 April hingga setidaknya satu minggu ke depan, saya memulai kembali perjalanan eksplorasi Nusa Tenggara Timur. Kali ini salah satu kabupaten dengan pulau-pulau yang ada di wilayahnya merupakan salah satu pulau terluar di republik ini, Sabu Raijua, akan menjadi sasaran eksplorasi.

Kabupaten Sabu Raijua, kabupaten termuda di Provinsi Nusa Tenggara Timur yang merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Kupang. Pendirian kabupaten baru ini dimulai per tanggal 29 Oktober 2008. Kabupaten seluas 460,8 km2 ini beribukota di Sabu Barat, yang letaknya berada di Pulau Sabu (lihat peta). Meski demikian, ibukota kabupaten ini bukanlah tujuan saya, Pulau Raijua, pulau yang jauh lebih kecil di sebelah Barat Pulau Sabu, menjadi tujuan akhir perjalanan kali ini.

Page 79: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

70

Gambar 1.

Peta Lokasi Kabupaten Sabu Raijua Sumber: Kabupaten Sabu Raijua

Dalam pemeringkatan Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) tahun 2013 yang dilakukan oleh Badan Litbang Kesehatan Kementerian Kesehat RI., Kabupaten Sabu Raijua menempati urutan 481 dari 497 kabupaten/kota di Indonesia. Pada level Provinsi Nusa Tenggara Timur, Kabupaten Sabu Raijua menempati urutan 18 dari 21 kabupaten/kota. Hal ini menunjukkan bahwa status kesehatan masyarakat di wilayah Sabu Raijua masih pada tingkat yang memprihatinkan, untuk itulah Kabupaten Sabu Raijua dimasukkan sebagai salah satu sasaran Riset Ethnografi Kesehatan yang dilakukan pada 30 kabupaten di Indonesia pada tahun 2015 ini. Kementerian Kesehatan berharap bahwa dengan riset ini akan didapat faktor-faktor

Page 80: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

71

beyond health yang kemungkinan bisa menjadi penghambat pembangunan kesehatan, atau justru akan ditemukan budaya-budaya yang bisa kita pakai untuk menjadi alat akselerasi pembangunan di wilayah setempat.

Menuju Sabu Raijua saya setidaknya harus melalui dua kali transit, di Kota Kupang dan di Pulau Sabu. Saya tidaklah terlalu sulit untuk menuju Kupang (SUB-KOE) dari home base, karena tercatat ada tiga maskapai yang mengoperasikan jalur ini. Berbeda dengan jalur Kupang-Sabu, tercatat hanya terdapat satu maskapai perintis milik seorang menteri nyentrik, ibu Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Air. Maskapai ini setidaknya dua kali dalam sehari melayani rute Kupang-Sabu (KOE-SAU) setiap hari, kecuali hari Minggu. Perjalanan ke-tiga yang harus saya lalui adalah Sabu-Raijua. Kali ini tidak dengan jalur udara, saya harus menempuh jalur satu-satunya yang tersedia, jalur laut.

Perjalanan kali ini saya lakukan dalam rangka supervisi dua rekan peneliti Riset Ethnografi Kesehatan Tahun 2015, seorang Sarjana Kesehatan Masyarakat dan seorang lagi seorang psikolog. Mereka di’tanam’ di sana tak terlalu lama, sebentar saja, 40 hari, untuk hidup berbaur dengan orang Raijua. Mereka terlihat sudah seperti pribumi saat saya datangi.

***

Memulai Perjalanan

Perjalanan hari pertama yang saya tempuh, Surabaya-Kupang, bukanlah perjalanan yang istimewa. Tidak ada yang

Page 81: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

72

terlalu menarik untuk diceriterakan. Saya menginap di Hotel La Hasienda, sebuah hotel bergaya mexican yang berlokasi di dekat bandara, membuat saya surprised, karena saya satu-satunya pribumi yang menginap di hotel itu. Bule-bule bersliweran keluar-masuk di hotel bertarif rata-rata 380 ribu per malam itu. Dua-tiga bule nampak asyik bekerja di lobby hotel dengan menatap serius layar 14 inchi, sambil membuka lembaran-lembaran dokumen yang ada di genggaman tangan, dan sesekali mengayunkan jemari memijat tuts-tuts keyboard di depannya.

Perjalanan hari ke-dua adalah saatnya untuk menempuh jalur Kupang-Sabu dengan pesawat Cessna Grand Caravan Commuter Susi Air yang berkapasitas penumpang 12 orang. Pesawat hanya berisi 10 penumpang saat saya menaikinya. Lebih berasa seperti naik layang-layang dari pada naik sebuah pesawat, meski menurut saya masih jauh lebih nyaman naik Cessna Caravan ini ketimbang naik Twin Otter saat menuju Kabupaten Belu pada lain kesempatan, meski kedua-duanya disopiri oleh pilot-co pilot bule dari Australia.

Pesawat landing di Pulau Sabu tepat setelah 50 menit melayang-layang di udara. Bandara tampak tidak terlalu ramai, karena Susi Air adalah satu-satunya maskapai yang mengoperasikan pesawatnya menuju pulau ini.

Page 82: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

73

Gambar 2.

Pesawat Cessna Grand Caravan Commuter Susi Air di Bandara El Tari yang akan menuju ke Seba, Pulau Sabu

Sumber: Dokumentasi Peneliti

Bukan kebetulan saya bertemu dengan Sofyan, seorang pedagang yang rumahnya di dekat dermaga penyeberangan ke Pulau Raijua. Saya percaya dengan rencana-Nya, tidak ada yang kebetulan, sungguh masih banyak orang baik di republik ini. Saya diajak nebeng mobil yang menjemput Sofyan, diantar melihat barangkali masih ada kapal yang menuju Raijua, sampai kemudian diantar ke penginapan Makarim, tempat saya bermalam di Seba pada akhirnya.

Seba, ibukota Kabupaten Sabu Raijua, merupakan kota kecil yang tak lebih ramai dari sebuah kota kecamatan di pinggiran Pulau Jawa. Keramaian kota terpusat di satu jalan menjelang dermaga. Sepanjang jalan tersebut, di kiri dan kanan, dipenuhi para pedagang, di sinilah perputaran uang

Page 83: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

74

paling banyak terjadi di wilayah kepulauan ini, meski para pedagangnya lebih banyak para pendatang dari luar. Hari ke-tiga. Saatnya menuju Raijua

Ini bukanlah kali pertama saya menuju sebuah pulau kecil di wilayah perifer terluar, tapi tetap saja rasanya berdebar-debar, semacam anak SMA yang sedang menunggu kekasihnya datang, penuh emosi. Ada semacam ekspresi ketakutan dan gairah untuk menaklukkan tantangan. Ahh… saya sungguh merasa sangat keren dalam situasi ini.

Tidak ada jadwal pasti untuk kapal yang menuju ke Pulau Raijua, saya yang diberitahu untuk standby jam 9.00 pagi di dermaga sudah bersiap dengan seluruh barang bawaan jam 8.30, ternyata kapal belum ada, menurut informasi seorang teman dari Raijua, kapal akan datang jam 11.00. “Aaa… sebentar saja, jam 9.00 kapal baru berangkat dari Raijua, akan tiba di Seba sekitar dua jam lagi. Jadi sekitar jam 11.00 yaa…”. Akhirnya saya memilih kembali dulu ke penginapan.

Jam 11.00 saya kembali ke dermaga, kapal belum nampak batang hidungnya. Jam 12 cek lagi, ahh… masih saja ternyata. Baru sekitar jam 12.15 akhirnya ada kabar kapal sandar di dermaga. “Kakak… kapal datang sudah, tapi baru akan berangkat nanti sekitar jam 2.00. Kakak nunggu sini sa…,” tukas Sofi, penanggung jawab penginapan Makarim.

Jam 13.30 saya sudah berada di atas kapal, hanya ada beberapa penumpang dan barang-barang pesanan dari penduduk Raijua, ada motor, kasur, ayam, seng dan sopi

Page 84: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

75

(minuman keras khas penduduk NTT dan Maluku). Tepat jam 14.10 kapal bergerak pelahan, dengan penumpang yang sarat, 37 orang termasuk awak kapalnya, penuh sesak untuk ukuran kapal sekecil ini.

Gambar 3.

Kapal Kayu yang Penuh Sesak Sumber: Dokumentasi Peneliti

Ombak cukup bersahabat, laut sedang teduh, hanya sedikit bergelombang saat melewati selat antara Pulau Sabu dan Pulau Raijua. Bisa dimaklumi bila gelombang ini sedikit lebih besar, karena langsung berhubungan dengan Samudera Hindia. Tapi tetap tidak seberapa, karena saya pernah menaiki kapal kayu sejenis dengan ombak yang jauh lebih memabukkan, mencapai empat meter, saat menuju Pulau Telo dari Pulau Nias, nyawa seakan hanya sebuah permainan.

Page 85: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

76

Gambar 4. Proses “Transfer” di Dermaga Raijua

Sumber: Dokumentasi Peneliti

Setelah dua jam perjalanan, kapal tiba di dermaga Raijua, dan saya agak terbengong, karena dermaga jauh lebih tinggi dari permukaan kapal, ada selisih sekitar 1,5 meter. Saya sedikit trauma dengan pola ‘transfer’ model begini, pengalaman di dermaga Waisai-Raja Ampat memberkaskan memori kurang menyenangkan dengan kondisi tubuh saya yang montok ini. Ternyata ada tangga kecil yang bisa dinaiki untuk ke

permukaan dermaga. Syukurlah… Tuhan sungguh Maha Baik. Ke-Maha Baikan-Nya kembali ditunjuk-kan saat saya disapa dua orang yang ternyata adalah petugas gizi dan dokter gigi dari Puskes-mas Ledeunu, satu-sa-tunya Puskesmas yang ada di Pulau Raijua. Saya diajak bareng dengan mobil ambulan menuju Desa Kolorae, tempat dua rekan peneliti se-dang grounded di sana. Belum selesai

percakapan, ada seorang sopir truk yang datang dan mengajak menumpang bersama dengan dia, karena kebetulan arah tujuannya membawa barang dari kapal dan

Page 86: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

77

melewati Desa Kolorae. Akhirnya orang Puskesmas dan Simon berunding, dan memutuskan saya akan bersama Simon menuju desa. Simon sang sopir truk yang sekaligus juga pemilik truk tersebut. Sungguh Tuhan Maha Baik, sungguh saya tak tahu nikmat Tuhan mana lagi yang bisa saya dustakan? Truk berjalan menyusuri jalanan keras berbatu, yang terkadang penuh pasir, menyisir jalanan pantai dengan pemandangan yang cukup menghibur. Terlihat beberapa rumah tradisional yang beratapkan daun lontar dengan pagar batu yang ditumpuk bersusun mengelilingi rumah sebagai pagar.

Gambar 5.

Rumah Tradisional Suku Sabu di Pulau Raijua Sumber: Dokumentasi Peneliti

Rumah tradisional model ini masih mendominasi di wilayah ini, meski juga sudah ada yang memodifikasi dan bahkan sudah memilih bentuk rumah modern sebagai tempat tinggalnya. Dinding rumah tradisional yang biasanya

Page 87: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

78

terbuat dari pelepah batang lontar yang disusun rapi, beberapa sudah berganti dengan tembok.

Gambar 6.

Rumah Daun Modifikasi (kiri) dan Rumah Modern (kanan) Suku Sabu di Pulau Raijua

Sumber: Dokumentasi Peneliti

Ada dua jenis rumah tradisional bagi suku Sabu di Pulau Raijua, yaitu rumah adat dan rumah daun. Kalau kita tidak memperhatikan dengan seksama, maka kita akan sulit untuk membedakannya, karena bahan dan bentuknya yang sama. Secara fisik rumah adat mempunyai bentuk atap yang menyerupai “konde”, sedang rumah daun mempunyai bentuk bulat biasa. Selain itu bahan atap yang terbuat dari daun lontar menjuntai sampai ke bawah hingga tidak kelihatan bentuk dindingnya, sedang rumah daun tidak. Secara fungsi rumah daun dipergunakan sebagai tempat tinggal bagi orang Raijua, sedang rumah adat lebih dipergunakan sebagai media upacara dan juga menyimpan benda-benda pusaka peninggalan leluhur. Kita bisa bebas

Page 88: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

79

bertamu dan memasuki rumah daun, sedang rumah adat tidak diperbolehkan sama sekali orang luar untuk memasukinya. Rumah-rumah adat tertentu ada bebatuan di bagian luar yang sama sekali tidak boleh kita injak.

Gambar 7.

Rumah Adat (Tengah) dan Rumah Daun di Sekelilingnya. Sumber: Dokumentasi Peneliti

Perjalanan menuju Desa Kolorae juga menyuguhkan beberapa kebun aren yang merupakan sumber mata pencaharian utama penduduk Raijua sejak jaman dahulu. Mereka dikenal sebagai penghasil “gula Sabu”, atau orang Jawa biasa menyebut sebagai gula aren karena dihasilkan dari pohon aren. Meski saat ini menyisakan sedikit saja penduduk yang menekuni pekerjaan tersebut, sejak tahun 2013 beberapa dari mereka sudah beralih untuk melakukan budidaya rumput laut yang lebih menjanjikan secara ekonomi. Hal ini merupakan salah satu keberhasilan proses pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh Pemerintah

Page 89: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

80

Kabupaten Sabu Raijua melalui pelatihan budidaya rumput laut. Pada sisi lain Pulau Raijua kami mendapati hamparan kebun sorgum, salah satu tanaman yang dijadikan orang Raijua untuk memenuhi kebutuhan karbohidratnya. Kali ini sepertinya mereka akan gagal panen, karena terlihat tanaman yang batangnya mirip batang jagung ini mulai mengering. “Sepertinya memang kami gagal panen kali ini pak, karena air kurang, sonde (tidak) ada hujan… padahal itu sorgum bagus bapa… enak… tak kalah dengan beras pulau…,” keluh Simon di sela-sela tangannya memegang setir mengendalikan truk di jalanan berbatu yang terjal.

Gambar 8.

Kebun Sorgum yang Tengah Mengering Sumber: Dokumentasi Peneliti

Dalam perjalanan Simon juga menunjukkan sebuah embung. Embung adalah istilah setempat untuk cerukan tanah yang sengaja digali untuk menampung air hujan. Pada

Page 90: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

81

saat seperti ini air di dalam embung tidak cukup banyak, air cenderung keruh berwarna coklat. Air embung biasa dipergunakan masyarakat untuk mengairi tanaman serta untuk air minum ternak, meski juga tak menutup hasrat anak-anak untuk terkadang berenang di dalamnya. Tak sampai 40 menit kami sudah sampai di rumah Pak (Kepala) Desa. Saya menginap di rumah Ama (Bapak) Manona, adik Pak Desa, bersama dua peneliti saya yang telah lebih dulu datang. Malam itu kami bercakap banyak hal dengan tuan rumah, yang kembali menunjukkan pada saya, meneguhkan keyakinan bahwa masih banyak orang baik di republik ini. Hari ke-Empat; Memulai Pagi di Raijua

Pagi sudah terang, saat jarum jam belum penuh menuju angka enam, saat riuh suara ina (ibu) bercengkerama di sumur sambil menimba air. Menimba air dan membawanya ke penampungan di dalam rumah merupakan salah satu urusan ‘domestik’, urusan ibu-ibu suku Sabu (seluruh penghuni Kabupaten Sabu Raijua adalah suku Sabu, selain para pendatang tentu saja, red), selain memasak, membersihkan rumah dan mengasuh anak.

Pagi itu matahari menampakkan dirinya dengan gagah, hampir tidak ada awan yang menghalangi penampakannya. Perputaran kehidupan dalam keseharian dimulai. Para ina mulai sibuk di dapur setelah urusan menimba air selesai, anak-anak yang harus bersekolah sudah bergantian masuk kamar mandi untuk bersiap, sementara

Page 91: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

82

ama (ayah) masih belum beranjak dari peraduannya. Yak, ama bertanggung jawab pada urusan mencari nafkah, sementara semua urusan domestik menjadi tanggung jawab ina untuk menyelesaikan.

Gambar 9.

Matahari Terbit di Raijua Sumber: Dokumentasi Peneliti

Saya mengamati, anak-anak Raijua tumbuh normal sesuai dengan usianya, meski angka di tingkat Kabupaten Sabu Raijua menunjukkan angka status gizi yang memprihatinkan, jauh lebih buruk dari angka provinsi maupun nasional. Hal ini berdasarkan hasil pengukuran anthropometri dalam Riset Kesehatan Dasar yang dilaksanakan tahun 2013. Dalam pengamatan saya banyak sekali potensi sumber bahan makanan lokal yang bisa dijadikan sumber nutrisi yang cukup mumpuni. Kebutuhan karbohidrat biasa didapatkan melalui beras yang didatangkan dari luar,

Page 92: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

83

sementara bahan makanan lokal yang tersedia adalah sorgum, meski keberadaannya sangat dipengaruhi oleh curah hujan.

Tabel 1. Komparasi Status Gizi Balita di Kabupaten Sabu Raijua, Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Indonesia berdasarkan Hasil Riskesdas Tahun 2013

Status Gizi Kabupaten Sabu Raijua

Provinsi Nusa Tenggara

Timur Indonesia

Underweight 39,05% 33,07% 19,21%

Stunting 62,49% 51,73% 37,215

Sumber: Badan Litbangkes, 2013

Sumber bahan makanan yang mengandung protein cukup banyak tersedia, baik hewani maupun nabati. Sebagai wilayah kepulauan ketersediaan ikan di Raijua cukup melimpah, sementara masyarakat juga terbiasa memelihara ayam, babi, kambing maupun kerbau. Sementara sumber protein hayati banyak tersedia dari produk kacang-kacangan.

Masyarakat Raijua biasa memasak “nasi kacang merah” (memasak nasi yang dicampur dengan kacang merah), yang menjadikan rasa nasi menjadi terasa lebih gurih. Selain itu masyarakat juga terbiasa membuat kolak kacang hijau, karena bahan-bahannya sangat mudah didapatkan. Selain kacang hijau yang merupakan salah satu hasil kebun sendiri, masyarakat Raijua juga merupakan salah satu penghasil gula sabu yang cukup terkenal.

Page 93: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

84

Jam 16.00, matahari masih sangat terik, di saat Ama Manona (tuan rumah yang menampung kami) mengajak browsing ke mercusuar di wilayah Halla Wuimahi. Keberadaannya masih di wilayah Kolorae, hanya saja jalanan yang berbatu cukup membuat badan serasa remuk saat terguncang di atas bak terbuka mobil pick up. Bukan perjalanan yang mudah untuk mencapainya. Tapi indahnya pemandangan yang kami dapat cukup sepadan, lanscape view yang kami dapat sungguh mengingatkan kembali pada ke-Maha-an-Nya. Sementara di sisi lainnya menampakkan siluet yang menambah decak kagum. Aku padaMu ya Rabb.

Gambar 10.

“Gerbang Surga Kecil” Sumber: Dokumentasi Peneliti

Page 94: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

85

Gambar 11. Penampakan Siluet di Sisi Kanan Sabana

Sumber: Dokumentasi Peneliti

Kedatangan kami disambut dengan koloni kambing dan domba dalam hamparan sabana yang sangat luas. Negeriku kah ini? Seakan tak percaya, tangan tak henti-henti memencet shutter kamera sambil berdiri di atas pick up yang terguncang.

Gambar 12.

Barisan Kawanan Kambing Sumber: Dokumentasi peneliti

Page 95: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

86

Hamparan rumput yang demikian luas dengan beragam koloni hewan yang berlompatan dengan lincah. Kuda, kambing, domba berlarian kian kemari, sementara beberapa kerbau digiring gembalanya berjalan dengan perlahan di sela suara debur ombak. Yak, debur ombak! Sabana luas ini membentang bersisian dengan pantai yang ombaknya mampu mengundang para bule untuk surfing di atasnya.

Gambar 13.

Sabana dan Pantai yang Bersisian Sumber: Dokumentasi Peneliti

Di sisi lain nampak kumpulan beberapa rumah daun yang dibangun untuk tempat beristirahat para petani budidaya rumput laut. Sisi pantai yang kami datangi memang merupakan salah satu spot budidaya tanaman idola di Raijua saat ini. Ahh… kami tak boleh terlalu lama terlena menikmati surga kecil ini. Kami harus bergegas bila tidak ingin kehilangan moment terbenamnya matahari sebentar lagi.

Page 96: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

87

Gambar 14.

Rumah Daun dan Kawanan Kuda di Sabana Sumber: Dokumentasi Peneliti

Kami bergegas menu-ju mercusuar yang banyak sekali anak tangganya telah rusak. Sepertinya memang bukan saatnya keberuntu-ngan bagi saya untuk bisa menaikinya, body montok ini terlalu berat untuk ditang-gung anak-anak tangga tak bersalah itu. Saya cukup puas memandanginya dari bawah saja. Tak jauh dari mercu-suar itu nampak beberapa “kotak-kotak” kecil yang se-

ngaja dibuat untuk membuat Gambar 15. Mercusuar Halla Wuimahi

Sumber: Dokumentasi Peneliti

Page 97: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

88

garam. Penduduk memikul air laut yang dimasukkan dalam kotak-kotak tersebut, dan membiarkannya menguap untuk mendapatkan kristal putih garam yang tertinggal.

Gambar 16.

Kotak untuk Mendapatkan Garam Sumber: Dokumentasi Peneliti

Di sisi luar mercusuar, belukar perdu dan bakau nampak menghijau di sela-sela karang pantai yang sungguh tajam. Terpeleset sedikit saja, dapat dipastikan lecet-lecet plus bonus celana sobek. Upaya kami menyusuri barisan bebatuan karang bukanlah upaya yang sia-sia. Gagahnya sang bagaskara yang hendak kembali ke peraduan sungguh selalu membuat saya berdecak kagum. Hari sudah hampir malam saat kami harus bergegas untuk menangkap moment lainnya, Pasar Padalabba. Pasar Padalabba merupakan satu-satunya pasar di Desa Kolorae. Pasar Padalabba sengaja digelar pada malam hari, antara pukul 05.00 sampai dengan pukul 08.00. “Yaa… karena kalo

Page 98: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

89

pagi masyarakat harus ke pantai dulu pak… bekerja di laut,” jelas Pak Desa saat saya bertanya tentang hal tersebut. Hari pasaran bagi Desa Kolorai adalah setiap Kamis, seminggu sekali.

Gambar 17.

Sunset di Pantai Halla Wuimahi Sumber: Dokumentasi Peneliti

Beragam barang diperjualbelikan di pasar tradisional ini, kebanyakan adalah barang kelontong produksi pabrik. Sangat sedikit sekali barang yang dijual merupakan produk lokal, hanya beberapa kue, ayam dan beberapa kelengkapan untuk menginang. Malam semakin larut. Kami harus segera kembali. Menyusuri kembali jalanan berbatu, untuk bersegera bersih-bersih tubuh sebelum kembali ke peraduan dengan membawa mimpi indah tentang surga kecil hari ini.

*** Ahh… akhirnya saya harus pulang juga.

Mempersiapkan diri untuk destinasi lainnya Senin depan. Semoga bisa memanjakan diri dengan surga kecil lainnya.

Page 99: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

90

Gambar 18.

Pasar Padalabba di Desa Kolorae Sumber: Dokumentasi Peneliti

*** Beta pulang dulu Kolorae. Beta sonde tau apakah bisa kembali lai? tapi beta pung memori sonde pernah lupa

dengan surga kecilmu.

Page 100: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

91

Sambujan, Desa dengan Penduduk Bermata Pencaharian Ganda Ummu Nafisah

Tolitoli, 30 Mei 2015

Kabupaten Tolitoli, merupakan sebuah kabupaten yang terletak di Provinsi Sulawesi Tengah, tepatnya pada koordinat 0,35- 1,20 lintang utara dan 120,12- 122,09 bujur timur dengan luas wilayah ±4.079,76 km² (BPS Kabupaten Tolitoli, 2015). Bentuk topografis wilayahnya berupa dataran hingga pegunungan dengan ketinggian 0 – 2.500 m dari permukaan laut. Kabupaten Tolitoli dipilih sebagai salah satu lokasi Riset Ethnografi Kesehatan (REK) tahun 2015 (REK 2015) yang saya ikuti pada perjalanan kali ini karena menempati posisi urutan 450 dari total 496 kabupaten pada Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) tahun 2013.

Ibukota kabupaten dapat ditempuh dengan moda transportasi darat berupa mobil dengan waktu tempuh 10

Page 101: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

92

hingga 14 jam dari Palu, atau dengan menggunakan moda transportasi udara cukup ditempuh kurang lebih satu jam. Penerbangan ke Tolitoli terbatas hanya 3 hari dalam seminggu, yaitu Senin, Rabu dan Jum’at. Perjalanan kami ini, kami memilih menggunakan jasa travel via jalur darat.

Perjalanan dimulai sekitar pukul 13.00 WITA dan kami sampai di ibukota kabupaten sekitar pukul 02.00 WITA setelah melewati jalan aspal berliuk-liuk, seribu jembatan (yang beberapa rusak dan berlubang sana-sini) dengan pemandangan laut, kebun serta rumah penduduk yang beberapa masih menggunakan rumah panggung. Wilayah Kabupaten Tolitoli yang terkenal sebagai Kota Cengkeh ini luas, bahkan beberapa kecamatan memiliki desa yang berada di kepulauan. Desa Sambujan adalah salah satu desa di Kecamatan Ogodeide, desa tempat kami grounded selama sebulan dalam misi REK kali ini. Wilayah desa Sambujan secara garis besar terbagi menjadi dua wilayah, yaitu dusun I di Sambujan Pulau, dan dusun II di Sambujan darat atau biasa disebut orang sebagai Siomang. Keterbatasan waktu dan sumber daya (peneliti), menyebabkan kami akhirnya memutuskan untuk tinggal di Sambujan Pulau, agar lebih fokus dalam kegiatan pengamatan, Siomang hanya kami kunjungi beberapa kali saja selama kegiatan riset ini. Sambujan Pulau dapat ditempuh via perjalanan darat menggunakan motor kurang lebih 1 hingga 2 jam dari kota (Tolitoli). Kondisi jalan berbukit-bukit, beberapa belum beraspal dan hanya tanah merah yang tidak bisa dilewati ketika diguyur hujan. Terdapat sebuah tembusan jalan yang menghubungkan antara pulau utama dengan Sambujan

Page 102: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

93

Pulau, yang dibangun sekitar tahun 2010. Sedang untuk menghubungkan antara pulau utama dengan Sambujan pulau, sebuah jembatan kayu yang selesai dibangun tahun 2013.

Gambar 1.

Jembatan kayu yang menghubungkan Sambujan Pulau dengan Pulau Utama.

Sumber: Dokumentasi Peneliti

Transportasi laut menjadi alternatif lain yang bisa dimanfaatkan. Sebuah perahu perintis yang mengantar penumpang ke pulau-pulau pada jam tertentu saja menyesuaikan dengan pasang surut air laut. Kapal perintis yang menuju ke Sambujan Pulau berangkat pada pukul 10.00 WITA dengan waktu tempuh sekitar 1 jam, lebih cepat daripada menggunakan transportasi darat. Transportasi ini kadang tidak bisa beroperasi apabila gelombang air laut sedang besar.

Page 103: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

94

Gambar 2. Perahu Perintis sebagai salah satu Transportasi

Laut Sumber: Dokumentasi

Peneliti

Transportasi ini yang sering kami manfaatkan untuk mengunjungi Siomang atau ke kota saat membutuhkan keperluan logistik. Hmm... seru! Setelah terombang-ambing air laut hingga 1 jam lebih perjalanan dari kota, akhirnya kami melihat deretan rumah kayu di Sambujan Pulau.

Saat kali pertama melihat Sambujan pulau, sungguh excited karena pemandangannya sungguh luar biasa. Sebuah kelebihan yang dianugerahkan oleh Tuhan. saya membayangkan bahwa mata pencaharian sebagian penduduk pastilah mencari ikan ke laut karena keanekaragaman laut pasti melimpah ruah di lautan seperti ini. Ternyata benar, mata pencaharian sebagian besar penduduk adalah mencari ikan di laut, namun mata pencaharian tersebut bukanlah mata pencaharian satu-

Page 104: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

95

satunya. Ada sumber mata pencaharian lain, yaitu sebagai petani cengkeh, pemetik cengkeh, atau pencudik cengkeh. Satu lagi kelebihan yang dianugerahkan oleh Tuhan kepada mereka, selain isi laut, mereka juga disediakan lahan yang cocok untuk ditanami cengkeh.

Gambar 3.

Deretan rumah kayu di Sambujan Pulau Sumber: Dokumentasi Peneliti

Suku pertama yang mendiami pulau ini adalah Suku Bajo, namun kini sudah banyak pendatang yang mendiami pulau tersebut, antara lain adalah Suku Bugis. Jumlah suku Tolitoli sendiri hanya sedikit, dan pada umumnya sudah terjadi campuran. Bahasa yang dipakai dalam keseharian adalah bahasa Bajo dan Bugis, namun anak-anak dan remaja berbahasa Indonesia. Sebagian besar penduduk memeluk agama Islam. Banyak pernyataan informan mengatakan bahwa kebudayaan asli di Sambujan Pulau sudah mulai memudar dan mereka sudah mulai ‘realistis’.

Page 105: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

96

Saat musim cengkeh tiba, masyarakat beramai-ramai memanen hasil cengkeh dan bahkan berhenti mencari ikan di laut. Selain penduduk asli, banyak sekali pendatang yang datang ke pulau saat musim cengkeh ini tiba, hanya sekedar untuk mencari rupiah dari hasil memetik cengkeh. Bayangkan, satu liter hasil petikan cengkeh dihargai Rp 10.000,00. Jika sehari saja pemetik cengkeh berhasil mengumpulkan 10 liter cengkeh, sudah Rp 100.000 yang dikantonginya sebagai upah. Kalikan dalam waktu 1 bulan, hmmm... Rp 3.000.000 sudah yang akan dibawa pulang. Padahal, musim panen cengkeh bisa berlangsung hingga 3 sampai 4 bulan. Belum lagi upah untuk bacudik cengkeh, yaitu kegiatan memisahkan cengkeh dari tangkainya, yang dihargai Rp 500,00 per liter, hasil penjualan tangkai dan daun cengkeh yang juga masih laku untuk dipakai sebagai bahan dasar minyak cengkeh. Hasil terbanyak jelas pemilik pohon. Satu kg cengkeh kering biasa dihargai minimal Rp 100.000, bahkan jika sedang mahal berkisar antara Rp 125.000,00 hingga Rp 150.000,00. Satu pohon saja paling sedikit bisa menghasilkan 20 liter cengkeh, sedang 1 kilogram setara dengan 4 liter lebih sedikit. Bagaimana jika mereka punya 1.000 pohon? Wah, betapa kayanya mereka, seharusnya...

Sayangnya, dibalik kelebihan itu Sambujan juga di-‘anugerahi’ kekurangan. Melihat begitu besarnya hasil alam mereka, tidak berbanding lurus dengan tingkat pendidikan... Sebagian besar penduduk ternyata hanya mengenyam pendidikan hingga bangku sekolah dasar saja. Ada yang sekolah hingga sampai ke perguruan tinggi, namun jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Salah satu staff BKKBN

Page 106: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

97

Kecamatan Ogodeide mengatakan bahwa angka putus sekolah pada laki-laki usia 7-15 tahun di Ogodeide merupakan angka tertinggi se-Kabupaten Tolitoli. Termasuk salah satunya adalah di Sambujan. Penyebabnya? Multifaktor, tentu saja. Selain memang fasilitas pendidikan yang kurang, infrastruktur jalan yang masih buruk, ternyata motivasi untuk terus belajar pada remaja juga kurang. Di Pulau Sambujan sendiri, hanya ada 1 bangunan SD. Dengan demikian, anak-anak usia SD yang berasal dari pulau di sekitar Sambujan akan datang ke Sambujan pulau dengan menggunakan perahu bercadik. Tak jarang, apabila gelombang laut sedang tinggi, mereka tidak datang untuk belajar di sekolah.

Gambar 4. Anak Sekolah dari Pulau

Kecil di Sebelah Sumber: Dokumentasi

Peneliti

Page 107: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

98

Jika ada yang melanjutkan ke jenjang SMP atau SMA, maka mereka harus pergi ke kota Tolitoli. Sebab, meski SMP dan SMA ada pula di ibukota kecamatan, namun jarak Sambujan Pulau ke kota Tolitoli jauh lebih dekat.

Bagi yang merasa tidak tahan hidup mandiri, di rantau seringkali beberapa bulan melanjutkan sekolah ke kota, mereka kembali pulang dan putus sekolah. Belajar dari pengalaman orangtua yang dulunya juga lulusan SD, ternyata mereka mampu menghidupi anak-anaknya. Mengapa mereka tidak? Jika orangtuanya ‘mampu’, maka tentunya mereka juga ‘mampu’. Begitu seterusnya, sehingga terbentuk pola pikir bah pendidikan tidak berpengaruh dalam kehidupan

masa depan. Faktor pendidikan

merupakan salah satu fak-tor yang penting untuk menunjang aspek kehidup-an yang lain, seperti kese-hatan maupun ekonomi. Semakin tinggi pengetahu-an, akan memungkinkan se-seorang untuk semakin ‘sa-dar’ menjaga kesehatan, lingkungan, dan mampu mengatur manajemen keu-angan keluarga hingga bisa

jadi mengangkat ekonomi keluarga.

Gambar 6. Seorang Bayi dalam Gendongan

Ibunya Sumber: Dokumentasi Peneliti

Page 108: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

99

Selain angka putus sekolah yang tinggi, angka pernikahan dini juga cukup tinggi dengan ditemukannya pasangan yang menikah di usia belasan. Remaja perempuan biasa menikah di usia belasan, dibanding laki-laki. Tidak ada ketentuan untuk pemilihan jodoh bagi anak perempuan, asal ada yang melamar dan mau, maka ia akan dinikahkan oleh orangtuanya. Alasannya, selain karena sudah bertemu dengan jodoh di usia tersebut, bila anak sudah menikah, itu berarti orangtua sudah ‘lepas’ tanggung jawabnya. Masih cukup banyak laki-laki yang ditemukan belum menikah hingga usia 20-an. Hal ini menurut salah satu informan, dikarenakan orangtua anak perempuan takut menikahkan anaknya dengan suami yang akan bekerja di laut.

Di sini, di desa yang melimpah hasil lautnya, melimpah pula anak usia remaja yang putus sekolah. Di sini, di desa yang melimpah hasil cengkehnya, melimpah pula bayi-bayi mungil terlahir dari rahim ibu yang berusia belasan tahun... Aspek kesehatan yang ‘menonjol’ adalah pola pemilihan pengobatan. Masyarakat sudah mengenal pengobatan modern atau pengobatan medis. Hal ini dikarenakan di desa tersebut sudah dibangun sebuah Poskesdes pada tahun 2010 dan terdapat tenaga kesehatan yang menempatinya. Namun demikian, pola pencarian obat pertama pada sebagian besar masyarakat adalah mengobati sendiri terlebih dahulu, baik dengan cara membeli obat yang dijual di warung atau mencari pertolongan ke dukun kampung dengan pengobatan ‘tiup-tiup’ terlebih dahulu. Apabila dua hingga tiga hari kemudian sakitnya tidak

Page 109: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

100

sembuh, barulah ia mencari pengobatan ke tenaga kesehatan.

Gambar 7.

Pengobatan Tiup-tiup Sumber: Dokumentasi Peneliti

Saya juga sedikit terperangah ketika mengetahui anak-anak datang ke Poskesdes untuk ‘membeli’ obat. Tidak hanya sekali dua kali, tetapi ‘banyak kali’ yang memakai pola demikian. Ternyata, mereka diminta oleh orangtuanya datang ke Poskesdes untuk membeli obat karena orangtua, adik, atau saudaranya yang lain ada yang sakit. Mereka ‘membeli’ tanpa ‘memeriksakan diri’ terlebih dahulu. Menurut keterangan dari bidan desa setempat, hal ini memang sudah biasa. Bidan desa sendiri sebenarnya takut memberikan obat tanpa melakukan pemeriksaan terlebih dahulu. “Jika obat yang dikonsumsi benar, ia berfungsi sebagai penawar, namun jika tidak, bisa jadi ia justru berfungsi sebagai racun”, demikian katanya. Hanya saja,

Page 110: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

101

pada akhirnya ia meng-ikuti ‘pola pengo-batan’ masyarakat tersebut de-ngan memberikan obat-obatan berdosis rendah, kemudian keesokan hari-nya apabila keluar dari Poskesdes dan bertemu dengan orang yang ber-sangkutan (red: orang yang sakit), akan mena-nyakan gejala sakit yang diderita. Selanjutnya ia menuliskannya di buku data pengunjung Poskes-des. Selain itu, tak jarang, ia dipanggil untuk datang memeriksa orang yang sakit di rumahnya, sehingga, tentu saja, data kunjungan ke Poskesdes bisa jadi bukanlah data ‘kunjungan’ yang sebenarnya.

Gambar 8. Pola Pemeriksaan ‘Panggil-panggil’

Sumber: Dokumentasi Peneliti

Page 111: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

102

Page 112: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

103

Malaikat Tanpa Sayap di Sei Antu Catatan Peneliti Etnografi Kesehatan 2015 Nor Efendi

Sekadau, 15 mei 2015

Kalimantan Barat, provinsi ini sejatinya bagi saya yang lahir di Kalimantan Selatan adalah tetangga dekat. Sebagai tetangga seharusnya daerah ini telah terlebih dahulu saya kunjungi sebelum daerah-daerah lainnya, baik dalam rangkaian perjalanan terkait tugas keprofesian bidang kesehatan maupun destinasi travelling ala backpacker yang sesekali juga saya lakoni. Namun mirisnya, Kalimantan Barat seperti provinsi terasing jika dibanding dua provinsi tetangga lainnya, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur. Salah satu penyebabnya mungkin karena akses via darat ke provinsi berjuluk Bumi Katulistiwa ini tidak seterjangkau seperti ke kedua provinsi tersebut. Maskapai pun hanya menyediakan penerbangan jalur transit di bandara pulau Jawa untuk bisa sampai ke provinsi ini dari tanah kelahiran saya, Kalimantan

Page 113: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

104

Selatan. Dan saya harus bersyukur karena Riset Etnografi Kesehatan 2015 lah yang akhirnya menakdirkan saya berkesempatan menjejakkan kaki di Kalimantan Barat, tepatnya di Desa Sei Antu, Kecamatan Belitang Hulu, Kabupaten Sekadau untuk masa penugasan selama 35 hari.

Gambar 1

Rute perjalanan Jakarta-Desa Sei Antu, Kalimantan Barat Sumber: Dimodifikasi dari Google Maps

Imajinasi akan spontan tergiring ke nuansa sebuah desa yang terkesan mistis ketika nama Desa Sei Antu disebut. Antu dalam Bahasa Dayak yang menjadi etnis mayoritas penghuni desa berpenduduk 1.404 jiwa ini memang berarti Hantu. Sehingga terjemahan bebas dari nama Sei Antu merujuk pada sebuah desa yang sungainya dipenuhi hantu-hantu, seram bukan? Kalaupun nanti pembaca belum bisa mendapatkan kesan seramnya, semata-mata karena keterbatasan saya mengolah kata-kata untuk mendeskripsikannya, hehehe... Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Sekadau yang merekomendasikan penempatan lokasi penelitian kami di sana pun menegaskan bahwa desa itu kondisinya memang sesuai namanya. Ketika saya ingin mengorek keterangan lebih lanjut, beliau menantang kami

Page 114: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

105

dengan mempersilahkan membuktikannya sendiri selama bertugas disana nanti. Hmm...jiwa petualang saya semakin meronta-ronta untuk menjajalnya.

Nama desa Sei Antu tercipta berdasarkan legenda yang dituturkan oleh nenek moyang kepada anak cucunya. Semula desa ini bernama Semelagau dimana konon dahulu kala terjadi wabah penyakit menular yang menyerang hampir seluruh warga desa, hingga korban pun berjatuhan. Berbagai upaya untuk mengatasi penyakit tersebut dilakukan oleh warga desa, namun tak satupun yang membuahkan hasil. Hingga tiba suatu masa dimana seorang pemuda Melayu yang disebut Bujang berburu sampai ke Desa Semelagau melalui jalur sungai. Setibanya di Semelagau, Bujang yang tidak disebutkan namanya dalam legenda, melihat sejenis binatang mirip rusa yang sedang minum dipinggiran sungai. Sebagai pemburu ia berusaha mendekat untuk menangkapnya. Namun ketika di dekati, betapa terkejutnya si Bujang mendapati ternyata hewan tersebut adalah makhluk jejadian menyerupai manusia dengan badan tinggi besar namun berkepala kecil seperti rusa. Setelah melalui perkelahian sengit, Bujang yang memang seorang pemburu handal akhirnya berhasil melumpuhkan makhluk tersebut yang kemudian ambruk ke sungai. Warga Desa Semelagau pun berdatangan menyaksikan peristiwa tersebut, dan ajaib, penyakit-penyakit yang mereka derita berangsur sembuh. Bujang di anggap pahlawan yang membebaskan mereka dari serangan penyakit menular yang diyakini akibat ulah makhluk jejadian yang mereka sebut sebagai Antu. Dan sungai tempat

Page 115: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

106

tumbangnya Antu tersebut diabadikan sebagai pengganti nama Desa Semelagau menjadi Desa Sei (Sungai) Antu.

Keseraman desa Sei Antu bukan hanya bergema dari sejarah namanya. Akses jalan menuju desa yang dihuni penganut Kristen Katolik dan Protestan ini juga menciptakan kesan ngeri tersendiri. Bagaimana tidak, dari Jakarta perlu waktu 5 hari buat kami untuk benar-benar sampai di desa ini. Perjalanan udara yang berakhir saat mendarat di Bandara Supadio Kota Pontianak, harus dilanjutkan perjalanan darat selama 6-7 jam menggunakan armada mobil travel jenis minibus menuju ibukota kabupaten Sekadau tempat transit pertama.

Keesokan harinya kami melanjutkan perjalanan menggunakan motor dinas pinjaman dari Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Sekadau dan diantar oleh salah seorang stafnya sebagai penunjuk jalan menuju Balai Sepuak, ibukota Kecamatan Belitang Hulu. Perjalanan dari kota kabupaten menuju ibukota kecamatan paling ujung utara Sekadau ini kami tempuh dalam waktu 3 jam, salah satunya dengan menyeberangi sungai terpanjang di Indonesia yaitu Sungai Kapuas dimana motor yang kami tumpangi juga ikut dinaikkan ke perahu penyeberangan.

Alat transportasi untuk mencapai Desa Sei Antu dapat menggunakan roda empat jenis double gardan atau roda dua dengan melintasi jalanan tanah bergelombang, berlumpur, menanjak dan menurun lewat hutan serta perkebunan sawit. Kondisi jalan akan kering dan berdebu saat musim kemarau dan berubah menjadi ekstrim karena licin dan berlumpur pada musim hujan. Jalanan yang sebagian besar sepi dari

Page 116: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

107

pemukiman penduduk juga menuntut kesabaran, ketahanan mental yang prima serta nyali ekstra bagi pelintasnya.

Gambar 2

Akses jalur transportasi menuju Desa Sei Antu Sumber : Dokumentasi Peneliti

Guyuran hujan deras dan cuaca tidak bersahabat yang menyambut kedatangan kami, membuat kami harus bermalam lagi 2 malam di Balai Sepuak, menunggu jalan dikeringkan oleh alam. Seramnya akses jalan menuju Desa Antu salah satunya karena tidak direkomendasikan (lebih tegasnya dilarang) di lalui setelah dan atau saat hujan. Desa Sei Antu sendiri letaknya paling ujung sebelah utara wilayah Kecamatan Belitang Hulu. Perlu 2 jam waktu tempuh dari Balai Sepuak untuk sampai di desa tanpa jangkauan sinyal telekomunikasi seluler ini. Beberapa masyarakat pemilik handphone mencoba mengakses sinyal telekomunikasi seluler dengan bantuan antena rakitan (seperti antena penangkap siaran televisi) yang harus dipasang dengan tonggak berketinggian antara 30-50 meter, meski dengan cara ini pun hanya beberapa saja yang akhirnya berhasil mendapatkan sinyal dari provider Telkomsel atau Indosat

Page 117: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

108

yang kualitasnya juga tidak bisa dibilang bagus dan stabil. Sumber penerangan listrik pada malam hari di Desa Sei Antu hanya menggunakan mesin genset milik desa yang merupakan proyek bantuan pemerintah serta sebagian milik pribadi dengan kapasitas lebih kecil. Sebagian masyarakat juga menggunakan listrik yang bersumber dari tenaga surya. Aliran listrik dari genset milik desa terbatas menyala mulai sekitar pukul 18.00 sampai 20.30 WIB.

Desa Sei Antu yang luasnya 80 Km2 dan sebagian besar wilayahnya berupa hutan hujan tropis, terbagi menjadi 3 dusun yang terpisah dan dipimpin oleh masing-masing kepala dusun yaitu Dusun Sei Antu Hulu, Dusun Sei Antu Pulau dan Dusun Sebelantau dibawah kepemimpinan administratif seorang kepala desa yang dipilih masyarakat. Kantor pemerintahan administrasi desa berada di Dusun Sei Antu Hulu, walaupun dusun dengan jumlah penduduk terbanyak dan tempat tinggal kepala desanya berada di Dusun Sebelantau. Selain kepala dusun, juga ditunjuk seorang ketua adat di masing-masing dusun yang diberikan wewenang untuk mengatur hukum dan peraturan adat. Desa Sei Antu dikenal masih kuat memegang adat istiadat dan budaya etnis Dayak, salah satu buktinya dengan masih berdirinya Rumah Betang Panjang yang mereka sebut Rumah Panyai, tersisa satu-satunya di wilayah Kabupaten Sekadau. Rumah Panyai yang menurut penuturan penanggung jawab tersebut bisa dihuni sampai 17 kepala keluarga dalam satu atap, telah dibangun sejak tahun 1966. Desain Rumah Panyai seperti rumah-rumah panjang milik etnis dayak lainnya, berupa bilik-bilik untuk masing-masing kepala keluarga

Page 118: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

109

bertempat tinggal yang hanya dipisahkan oleh dinding. Konstruksinya berbentuk rumah panggung tinggi sekitar 3-4 meter dari atas permukaan tanah dengan kayu Tebelian sebagai bahan utamanya. Tebelian di daerah lain dikenal dengan sebutan kayu Ulin atau kayu Besi merupakan kayu unggul yang tidak akan mudah lapuk meskipun termakan usia ratusan tahun. Kayu Tebelian banyak terdapat di hutan-hutan Kalimantan di mana etnis Dayak bermukim.

Gambar 3

Rumah Adat Panyai Etnis Dayak Mualang Di Desa Sei Antu Sumber : Dokumentasi Peneliti

Di desa penghasil lada dan karet ini saya berkenalan dengan IP (25 tahun), seorang perawat berdarah blasteran dari ibu Dayak dan ayah Cina, yang bertugas di Puskesmas Pembantu (Pustu) Dusun Sebelantau. IP lah yang kemudian kami rekrut menjadi asisten peneliti Kedekatan langsung terjalin antara saya dan IP karena kesamaan latar belakang profesi dan tentu saja karena selama di Sei Antu kami akan

Page 119: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

110

sangat membutuhkannya untuk mengguiding perburuan informan yang akan diwawancarai dalam riset kali ini.

IP berstatus pegawai tidak tetap yang dikontrak oleh pemerintah daerah setempat untuk mengisi kekosongan petugas kesehatan di desa terpencil. Meskipun seorang putera daerah yang berasal dari desa lain di kecamatan yang sama, namun masa pendidikan akademi keperawatannya dihabiskan di salah satu institusi swasta di Jakarta. Godaan hiruk pikuknya keramaian ibukota tak menyurutkan niat dan tekadnya untuk kembali dan mengabdikan diri di daerah asal. Walaupun belum terlalu langka, namun pengabdi kesehatan yang berjiwa seperti IP jumlahnya semakin terbatas di negeri ini. Manusiawi memang jika umumnya petugas kesehatan seperti perawat, bidan, maupun dokter akan lebih memilih mengabdi (bekerja) di daerah yang enak dan nyaman bagi mereka, di banding harus bersusah-susah mendekam di daerah terpencil, perbatasan atau kepulauan dengan gaji yang terkadang juga hanya pas-pasan sesuai standar biaya hidup yang tinggi di zona luar biasa tersebut.

“...sejak dikirim orang tua ke Jakarta untuk melanjutkan pendidikan, saya memang sudah berniat untuk mengabdi di kampung. Mungkin karena saya anak kampung, lahir dan besar di kampung, jadi hati dan jiwa saya sudah terikat dengan kampung. Dan ilmu saya tentu saja lebih dibutuhkan di kampung seperti ini daripada di kota besar sana. Lagipula saya memang lebih suka hidup tenang dengan suasana kampung yang sepi seperti disini, daripada di Jakarta yang kemana-mana di hadang macet...”.

Page 120: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

111

Penuturan IP sedikit menyentil saya yang 2 tahun terakhir merasa begitu menikmati hidup sebagai kaum urban ibukota. Terkadang saya merasa bangga sendiri bisa menikmati keramaian dan segala fasilitas yang tersedia di Jakarta. Bangga bisa melanjutkan pendidikan magister di universitas paling ternama negeri ini walaupun dengan topangan beasiswa pemerintah. Bangga bisa terlibat sebagai peneliti freelance seperti sekarang ini. Astagfirullah... kebanggaan saya yang mungkin berselimut takabur dan sombong melipir. IP mengingatkan saya bahwa saya juga anak kampung dan saya juga harus kembali ke kampung, membangun kampung dengan ilmu dan karya saya.

Gambar 4

Pustu Dusun Sebelantau Desa Sei Antu Tempat IP Bertugas Sumber : Dokumentasi Peneliti

IP baru sekitar 3 bulan bertugas di Pustu yang mengalami kekosongan selama 3 tahun setelah ditinggal

Page 121: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

112

minggat oleh pendahulunya. Kiprah IP yang masih tergolong singkat telah mulai dirasakan oleh masyarakat Dusun Sebelantau khususnya dan Desa Sei Antu umumnya. Beberapa masyarakat yang saya temui secara terpisah banyak yang mengungkapkan kehadiran IP bak pelepas dahaga di tengah kehausan akan layanan petugas kesehatan. Masyarakat Desa Sei Antu meskipun masih kuat memegang adat dan tradisi, namun untuk urusan pelayanan kesehatan terutama pengobatan, mereka sudah sangat terbuka dan menerima layanan modern. Sepenggal pengakuan masyarakat yang menggambarkan betapa berartinya kehadiran petugas kesehatan di daerah terpencil yang jauh dari jangkauan layanan kesehatan tergambar dari hasil wawancara saya dengan salah seorang informan berikut ini :

“...semenjak pak IP ada disini, kami tidak perlu lagi jauh-jauh berjalan kaki ke desa lain di kabupaten tetangga untuk mengimunisasi anak ke Posyandu setiap bulan. Dulu kami berjalan puluhan kilo dengan waktu bisa sampai dua jam. Itupun terkadang kami harus bersabar menunggu anak-anak penduduk asli sana yang didahulukan semua mendapatkan imunisasiny. Baru jika imunisasinya ada sisa,bisa diberikan kepada kami yang istilahnya sebagai orang luar, di sana. Terkadang lelah perjalanan jauh kami dan waktu yang kami sempatkan untuk kesana, terbuang sia-sia jika imunisasinya sudah keburu habis digunakan anak-anak penduduk asli sana...” (Ibu S,38 tahun).

Ahh..ini kan Indonesia. Ini kan masih satu pulau, satu provinsi, satu suku. Tapi hak-hak generasi penerus bangsa

Page 122: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

113

untuk mendapatkan sehat melalui layanan imunisasi dasar, ternyata masih terkesan diskriminatif karena keterbatasan sumber daya yang disediakan pemerintah. Semoga jika masih ada kasus-kasus seperti ini di belahan Indonesia lainnya, saya berharap para orangtua yang sudah memiliki kesadaran tinggi akan pentingnya imunisasi sebagai salah satu prasyarat hidup sehat, dapat tetap sabar menunggu malaikat-malaikat tanpa sayap seperti IP didatangkan pemerintah bertugas di daerah mereka.

Gambar 5

Kegiatan Posyandu Mekar Dusun Sebelantau Sumber : Dokumentasi Peneliti

Di kesempatan lain saya juga mendapat curhatan seorang suami yang merasa sangat berhutang nyawa karena isterinya yang mengalami luka parah akibat sabetan parang

Page 123: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

114

ketika meladang, berhasil diselamatkan oleh perawatan tangan IP.

“...lukanya besar dan mengeluarkan darah yang banyak. Seharusnya waktu itu isteri saya dirujuk ke kota. Tapi tau sendiri lah dengan kondisi jalan dan desa kami yang terpencil disini. Kalau menunggu sampai ke kota, bisa-bisa isteri saya meninggal di tengah jalan. Untung sudah ada pak IP yang bisa menginfus dan menjahit luka lalu merawatnya sampai sembuh...”.

Ketika saya konfirmasi ke IP tentang peristiwa ini, IP merendah dengan menjawab bahwa ia hanya melakukan sebisanya untuk menolong masyarakat yang diamanahkan kepadanya. Padahal alat kesehatan dan obat-obatan yang disediakan pemerintah sebagai modal IP bertugas menurut saya masih sangat terbatas. Beberapa alat dan obat-obatan di Pustu Sebelantau bahkan dibeli dan diusahakan sendiri oleh IP secara swadaya, demi bisa memberikan pelayanan terbaik sesuai kebutuhan penugasannya. Terkadang kita merasa hanya melakukan hal-hal kecil menurut kapasitas keilmuan kita. Namun bisa jadi justeru terasa teramat bernilai bak seorang malaikat dimata orang-orang yang menerimanya. Jadi, jangan pernah berhenti memberi, sekecil apapun itu, dalam keterbatasan kita

Selama melakukan riset dan bekerjasama dengan IP, saya berkesempatan kembali bernostalgia mengasah kemampuan klinis dengan ikut membantu menangani pasien-pasien yang datang ke Pustu atau memanggil IP ke rumah untuk mendapatkan homecare. Kerinduan akan hubungan interpersonal dengan pasien-pasien yang beberapa tahun lalu

Page 124: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

115

pernah saya nikmati sedikit terobati dengan memberikan pelayanan berduet dengan IP. Sambutan masyarakat pun semakin menambah semangat saya untuk bukan hanya sebatas menyelesaikan misi penelitian, tetapi sambil menapaktilasi masa lalu saat berjuang menjalankan tugas di sebuah pedalaman pemukiman transmigrasi di Kalimantan Selatan.

Pengabdian IP sebagai perawat kesehatan yang mengabdi di desa terpencil tidak hanya bertabur puja puji dan gelimang terimakasih. Tantangan pengabdian juga cukup besar menghadang. Sebagai desa yang telah lama ditinggalkan petugas kesehatan sebelumnya yang seorang bidan desa, masyarakat desa ini nyaris kehilangan sentuhan terhadap pertolongan persalinan tenaga kesehatan. Dukun kampung laki-laki yang telah berusia 65 tahun versi KTP beliau yang ditunjukkan kepada saya saat wawancara, adalah satu-satunya penolong persalinan yang telah dipercaya dan diandalkan masyarakat. Hampir semua ibu hamil, bersalin dan nifas di desa ini mempercayakan layanan kesehatan reproduksinya ke kakek tua yang mereka sebut sebagai bidan kampung tersebut.

Bidan kampung yang mengaku telah berpraktik sejak usia 40 tahunan ini masih tampak gagah di usianya yang terbilang sudah cukup sepuh. Jangkauan pelayanannya pun ternyata juga cukup luas, bahkan beberapa kali pernah dipanggil pasiennya sampai ke kota Pontianak, selain tentu saja ke desa-desa, kecamatan dan kabupaten tetangga. Popularitasnya mungkin mengalahkan para bidan senior bahkan spesialis kebidanan dan kandungan sekalipun.

Page 125: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

116

Gambar 6

Sulitnya akses rujukan membuat IP terkadang harus menginfus pasiennya di rumah Sumber : Dokumentasi Peneliti

Pelayanan yang diberikan bidan kampung yang namanya cukup unik ini (sama persis dengan nama salah satu jenis tanaman serbuk terlarang) sebenarnya cukup sederhana, hanya mengandalkan keterampilan pijat dan urut dari tangannya. Apalagi jenis kelamin beliau yang seorang laki-laki mungkin memang sedikit membatasi gerak untuk melakukan tindakan yang lebih dari itu, termasuk dalam menolong persalinan. Satu hal yang membuat saya terhenyak ketika mengetahui bahwa bidan kampung ini masih menggunakan sembilu bambu untuk memotong tali pusat bayi baru lahir. Keterhenyakan saya berlanjut ketika mewawancarai ibu-ibu yang pernah melahirkan menyebutkan bahwa budaya perawatan tali pusat neonatus

Page 126: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

117

dengan cara diludah menggunakan hasil kunyahan sirih pinang dari nenek atau keluarga bayi lainnya, masih dipraktikkan. Hmm...kombinasi yang sudah sangat bagus untuk memicu kejadian Tetanus Neonaturum. Namun kenyataan di lapangan mementahkan semua faktor risiko ini. Kompilasi data baik dari Dinas Kesehatan, Puskesmas Sebetung yang menjadi Puskesmas Induk Pustu Sebelantau Desa Sei Antu, bahkan hasil wawancara mendalam dengan sedikit teknik bergerilya agar bisa menelusuri fakta sebenarnya, memberikan hasil yang sama. Tidak ada kematian bayi di seluruh wilayah desa ini setidaknya dalam 3 tahun terakhir. Saya kemudian berhusnuzon bahwa Clostridium tetani memang tidak ada yang hidup di desa ini, walaupun ini pemikiran dangkal yang hanya berbasis data kasat mata.

Rendahnya cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan (nakes) sungguh menjadi tantangan tersendiri bagi IP dalam melaksanakan tugas di desa ini. Namun dibalik itu saya melihat sebuah peluang, bahwa ketidakrisihan para ibu bersalin mempercayakan perangkat dapurnya kepada penolong berjenis kelamin laki-laki bisa jadi entry point bagi IP untuk setidaknya menjalin kemitraan dengan sang bidan kampung. IP sempat ragu tentang hal ini dengan alasan tidak terlalu terampil dalam urusan menolong partus (parsalinan), karena dia hanya seorang perawat, bukan bidan. Namun setelah saya menceritakan pengalaman betapa dahulu ketika bertugas di desa terpencil, dimana kita adalah satu-satunya petugas kesehatan yang menjadi ujung tombak dalam mendongkrak cakupan persalinan nakes, menolong partus

Page 127: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

118

adalah suatu keniscayaan yang harus saya lakukan, IP pun tergugah. Dan saya harus mensupport dia dengan membagikan file-file serta video langkah-langkah pertolongan partus terkini. Dalam kesempatan lain berakrab-akrab dengan sang bidan kampung saya manfaatkan untuk menginisiasi kemungkinan kemitraan tersebut, dengan bahasa bahwa IP adalah adik saya yang baru lulus dan bertugas di desa tersebut, membutuhkan banyak bimbingan dan sharing pengalaman serta keterampilan dalam menolong persalinan. Alhamdulillah, bidan kampung kakek G memberikan respon yang positif. Semoga sepeninggal saya nanti, upaya ini membuahkan hasil di kemudian hari. Tidak muluk-muluk, cukup dengan dimulainya kerjasama dua lelaki ini dalam menolong persalinan dan mengganti alat pemotong tali pusat dari sembilu menjadi gunting steril.

Tak terasa waktu 35 hari masa riset akan segera berakhir. Selama itu pula saya terus menikmati hari-hari, menyaksikan sebuah pengabdian besar yang mungkin terlihat kecil atau bahkan tersembunyi di tengah luasnya nusantara ini. Pengabdian seorang insan kesehatan yang terlihat tulus, walaupun tarif yang diterima atas jasanya masih harus dihutang, atau bahkan diganti dengan berbagai sayuran dan pangan yang saat itu ada dan dimiliki pasien-pasiennya, serta tidak sedikit pula yang hanya mampu mengucapkan terimakasih dan untaian doa. Tapi saya yakin IP akan terus bahagia dengan darmabaktinya. Saya tahu itu karena kami sudah begitu dekat selama 35 hari ini. Terus semangat IP, terus berjuang menjadi salah satu pahlawan kesehatan bangsa ini. Salam sejawat!

Page 128: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

119

Apakah Ini Bukan Masalah Kesehatan Masyarakat??! Catatan Perjalanan ke Kota Banjarmasin Agung Dwi Laksono Banjarmasin, 06 Mei 2015

Pagi itu, jam 04.45 WITA sebelum adzan subuh berkumandang, mobil jemputan kami sudah datang. Pak Yan, sopir yang menjemput kami, sudah stand by di lobby Hotel Palm dengan mengenakan jaket kulitnya. Harus bersabar sebentar untuk menunaikan sholah subuh sebelum cap cus menyusuri Sungai Barito.

Jam 5.15 kami sudah siap meluncur, menuju demaga wisata pasar terapung. Yak, kami memang hendak browsing destinasi wisata legendaris di Kota Banjarmasin ini. Jalanan sudah cukup ramai dengan lalu-lalang masyarakat yang mulai bertebaran.

Dermaga wisata terletak persis di seberang sebuah masjid bersejarah, Masjid Sultan Nuriansyah. Masjid klasik dengan gaya arsitektur tempo dulu khas Banjar, dibangun

Page 129: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

120

dengan bahan yang sebagian besar atau bahkan mungkin secara keseluruhan terbuat dari kayu atau papan kayu. Terlihat jama’ah sholat subuh baru bubar di masjid ikonik tersebut.

Gambar 1.

Masjid Sultan Suriansyah, Kuin Utara Banjarmasin (gambar diambil saat menjelang siang)

Sumber: Dokumentasi Peneliti

Kami menyewa perahu motor berpatungan dengan tiga orang gadis yang secara kebetulan kami temui di depan halaman masjid. Kesepakatan dengan si empunya perahu tercapai. Kami mendapat harga Rp. 250.000,- untuk menyusuri Sungai Barito sampai dengan nanti sekitar pukul 07.00 WITA.

Page 130: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

121

Langit masih gelap saat kami memulai perjalanan, kamera prosumer kacangan kesayangan saya tak mampu menangkap gambar apapun yang nampak dengan cukup baik. Ahh… lebih baik naik ke atap perahu, berdiam diri, melipat tangan, bersila, dan menikmati kesunyian pagi yang mulai beranjak pergi.

Pagi tenang mulai terganggu dengan deru berisik mesin tempel perahu yang mulai lalu lalang. Sisi kiri dan kanan sepanjang sungai tampak rumah penduduk bak panggung sandiwara yang berdiri di atas aliran sungai. Tak seberapa lama di sisi kiri nampak Dermaga Penumpang Trisakti, sementara berjarak tak seberapa jauh mulai nampak kapal pengangkut batubara.

Gambar 2.

Matahari Terbit di Pasar Terapung Sungai Barito Sumber: Dokumentasi Peneliti

Kami tiba di lokasi Pasar Terapung. Belum banyak perahu para pedagang yang terlihat biasa berjualan di sungai ini, hanya ada beberapa saja yang sudah mulai melakukan

Page 131: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

122

‘barter’ barang dagangan antar mereka. Sistem barter memang biasa dilakukan para pedagang untuk melengkapi jenis barang dagangannya. Terlihat eksotik, saat perahu para pedagang itu hilir mudik dengan background matahari yang mulai menampakkan hidungnya.

Gambar 3.

Aktivitas Pagi Pasar Terapung Sumber: Dokumentasi Peneliti

Satu-persatu para pedagang mulai menghampiri kami, menawarkan buah pisang emas, limau (jeruk), mentega (Apokat), dan beberapa dagangan lainnya. Kami membeli pisang emas sekedarnya, tiga cengkeh pisang emas kecil-kecil kami tebus dengan harga Rp. 10.000,-.

Page 132: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

123

Gambar 4.

Wisatawan Nusantara sedang Menawar Pisang Sumber: Dokumentasi Peneliti

Gambar 5.

Kartini Masa Kini Sumber: Dokumentasi Peneliti

Selang sebentar nampak perahu yang dikemudikan seorang laki-laki paruh baya mendekat ke arah kami.

Page 133: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

124

Woww… surprised! Dia berjualan nasi bungkus, gorengan dan kopi! Hahaha… warung kopi terapung bok!

Cara mengambil gorengan yang tersedia di atas perahu pun terlihat sangat unik. Bagi penumpang perahu yang tidak bisa mendekat disediakan galah panjang yang di ujungnya diikatkan sebatang kawat dari jari-jari roda sepeda. Panjang galah lak lebih dari 1,5 meter. Pembeli tinggal mencocok kue atau gorengan dengan galah kawat tersebut. Sederhana dan terlihat gampang, meski pada kenyataannya perlu ketenangan untuk dapat menusuk dengan tepat. Apalagi saat ada perahu motor yang lewat, yang membuat gelombang sehingga perahu pun turut bergoyang, lebih terasa seperti mancing.

Gambar 6.

Pembeli yang Sedang ‘Mancing’ Gorengan Sumber: Dokumentasi Peneliti

Kami pun asyik menyantap gorengan yang ditawarkan. Saya menghabiskan dua potong bakwan dan

Page 134: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

125

satu potong pisang goreng. Lumayan mengenyangkan untuk sarapan pagi.

Mulut terasa penuh, tenggorokan terasa mengering, sepertinya saya harus pesan minum, mungkin bisa segelas kopi tubruk kegemaran saya. Tapi kami terdiam, saya dan rekan saling pandang, kami melihat mamang penjual gorengan mencuci gelas bekas kopi dengan air sungai. Menggunakan sabun juga memang, tapii…

Saat ini bulan Mei, meski seharusnya sudah mulai musim kemarau, tetapi pada kenyataannya semalam masih turun hujan dengan sangat deras. Air sungai terlihat keruh, coklat.

Hari semakin terang, saat kami mulai bisa melihat aktivitas pagi penduduk yang mendiami sepanjang daerah aliran Sungai Barito. Hampir seluruh aktivitas bersih-bersih dilakukan di sungai. Mencuci baju, manci, gosok gigi, dan bahkan (maaf) buang air besar. Hampir tidak ada jarak, atau katakanlah cuman berjarak 1 meter, antara aktivitas mandi dan gosok gigi dengan aktivitas buang air besar. Kami tidak hanya menemui satu atau beberapa penduduk saja yang beraktivitas seperti itu, tapi kami melihat banyak sekali. Meski aktivitas buang air ini di tempat yang lebih tertutup, tapi…

Saya jadi berpikir, apakah mereka nyaman dengan kondisi tersebut? Apakah mereka tidak merasa hal itu sebuah masalah? Bukankah ada Universitas Lambung Mangkurat di daerah ini? Saya lihat ada Fakultas Kedokteran di sini, atau jangan-jangan para akademisi tersebut juga merasakan hal

Page 135: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

126

ini biasa saja, bukan sebuah masalah? Ahh… jangan-jangan hanya saya saja yang terlalu lebay.

Gambar 7.

Sarana Cuci, Mandi, Gosok Gigi dan Buang Air Besar Sumber: Dokumentasi Peneliti

Menurut informasi pak Yan, sopir kami, di daerah tersabut air bersih sudah ada, sudah masuk sampai ke rumah-rumah penduduk. “Iya pak, air bersihnya sudah ada, sudah sampai ke rumah-rumah… hanya saja masyarakat sini sudah merasa terbiasa, sudah merasa nyaman melakukan aktivitasnya di sungai… MCK juga sudah disediakan pak.”

Menurut data Riset Kesehatan Dasar yang dilakukan oleh Badan Litbang Kesehatan Kementerian Kesehatan RI pada tahun 2013, angka cakupan akses dan sumber air bersih masyarakat di Kota Banjarmasin mencapai kisaran 82,58%. Angka capaian ini jauh lebih baik dan bahkan hampir dua kali lipat bila dibanding angka Provinsi Kalimantan Selatan sebesar 43,75%, dan angka Indonesia pada kisaran 40,51%.

Page 136: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

127

Artinya bahwa secara akses masyarakat mempunyai akses tersebut, hanya saja hal ini kemungkinan berbeda dengan perilaku yang tampak.

Angka cakupan “PENGAKUAN” perilaku buang air besar dengan benar pun tercatat sangat tinggi, mencapai angka 93,31%. Capaian cakupan ini cukup jauh di atas angka provinsi yang hanya pada kisaran 75,52% dan angka nasional sebesar 82,59%. Masih menyisakan pertanyaan besar di kepala saya, benarkah PENGAKUAN mereka tersebut? Mungkin ini juga merupakan salah satu kelemahan survei yang dilakukan secara cross sectional. Ahh… jangan-jangan memang benar cuman karena saya yang lebay.

Page 137: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

128

Page 138: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

129

Tradisi Betimung Sekilas Potret Perkawinan Anak di Suku Banjar Bakumpai Muara Sungai Barito Astutik Supraptini

Banjar, 25 Mei 2015

Proses riset etnografi kesehatan yang pengumpulan datanya dilakukan selama sebulan, banyak meninggalkan kesan bagi peneliti. Perjalanan ini bagi peneliti telah melahirkan sensitivitas, pemahaman dan apresiasi pada ragamnya kehidupan ini. Perjalanan untuk mengungkap makna.

Suku Banjar dikenal sebagai pemeluk agama Islam yang taat dan ritual keagamaan yang cukup padat dalam kehidupan masyarakatnya. Martapura sebagai ibukota Kabupaten menjadi pusat aktivitas keagamaan di Provinsi Kalimantan Selatan.

Desa yang menjadi lokasi Riset Etnografi Kesehatan di Kabupaten Banjar adalah desa Podok yang terletak di kecamatan Aluh-Aluh, yang jaraknya sekitar 1,5 jam dari kota

Page 139: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

130

Martapura. Untuk mencapainya ditempuh dengan perjalanan darat, dan dilanjutkan dengan perjalanan menyeberang sungai selama 40 menit.

Gambar 1

Dermaga penyeberangan di Aluh-Aluh. Sumber: Dokumentasi peneliti, April 2015

Pada saat tim peneliti menyeberang dari dermaga Aluh-Aluh, saat itu air sedang pasang tinggi. Kami yang baru pertama menyeberangi sungai dengan kapal kelotok (perahu kayu bermesin) cukup tegang, apalagi ketika kapal kelotok oleng beberapa kali karena tingginya dan derasnya arus air. Pada saat persiapan daerah, kami memang mengunjungi desa ini dengan naik speedboat Puskesmas, yang tentu saja perjalanan dengan speedboat lebih cepat 2 kali lipat daripada naik kapal kelotok dan ketinggian air tidak setinggi ini.

Page 140: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

131

Perasaan menjadi tenang ketika perjalanan sudah melewati Pulau Kaget, pulau yang hanya dihuni oleh bekantan, monyet kecil dan kawanan burung-burung. Hal ini berarti tidak lama lagi kami akan sampai. Kami menjadi lega ketika melihat kembali deretan rumah panggung di tepi sungai, beberapa orang yang beraktivitas di sungai, dan ucapan selamat datang di desa Podok yang dipasang di salah satu WC warga yang terletak di pinggir sungai. Perahu kami segera mendarat di dermaga yang ternyata berada di belakang toko pemilik rumah yang akan kami sewa. Begitu kami turun dari kapal, terlihat beberapa orang yang secara sukarela membantu mengangkat barang-barang kami. Ternyata mereka semua sebagian besar adalah kerabat pemilik rumah. Segera kami berjalan menuju rumah yang akan kami tempati selama 33 hari untuk pengumpulan data kajian ini.

Di rumah yang akan ditempati tim peneliti, pemilik rumah sudah menunggu kedatangan kami. Cukup banyak orang yang menemui tim di hari kedatangan, termasuk Pembakal (Kepala) desa ini. Sambutan yang hangat dan keceriaan membuat kami optimis untuk proses selama sebulan lebih beberapa hari di tempat ini.

Bagi penduduk desa ini, sungai adalah urat nadi kehidupan. Penduduk desa ini meskipun dikatakan orang Banjar, namun secara Sukuitas masih berakar pada Dayak Bakumpai atau menyebut dirinya sebagai Dayak Bahari/Dayak Pantai. Masyarakat berinteraksi dan beradaptasi dengan sungainya yang membentuk pola budaya kehidupan masyarakat sungai. Keterkaitan penghuni

Page 141: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

132

permukiman pinggir sungai dengan sungai yaitu (1) sungai memenuhi kebutuhan dan aktivitas transportasi, (2) aktivitas ekonomi sungai dan termasuk di dalamnya sebagai sumber ekonomi, (3) aktivitas mandi, cuci, kakus, dan persampahan yang berlangsung di sungai, dan (4) kebutuhan akan pemenuhan air bersih. Bagi masyarakat Podok yang wilayah geografisnya dipisahkan oleh 4 aliran sungai, maka fungsi sungai menjadi hal yang sangat penting dalam kehidupan mereka.

Gambar 2

Kondisi Desa, Infrastruktur Jembatan serta Sungai Sumber: Dokumentasi peneliti, Mei 2015

Salah satu hal yang berkesan bagi peneliti adalah ketersediaan alat transportasi untuk memudahkan mobilitas warga. Kapal kelotok yang memberikan jasa antar dan jemput hanya 1 kapal saja, yang hanya beroperasi untu mengantar anak sekolah di tingkat Aliyah di Aluh-Aluh di pagi

Page 142: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

133

hari dan menjemput di siang hari di Kecamatan Aluh-Aluh. Jadi, bagi yang ingin bepergian ke kecamatan, mesti menyesuaikan dengan jadwal anak sekolah.

Selama mengikuti penyeberangan dari Podok ke Aluh-Aluh pulang pergi, peneliti melihat tidak cukup banyak anak yang melanjutkan ke jenjang SMA. Padahal, jika melihat yang masih duduk di SD dan MTs cukup banyak. Menurut beberapa warga, kebanyakan warga memang sekolah sampai SD atau SMP. Jikapun melanjutkan sekolah tinggi dan belum mendapatkan pekerjaan, maka akan menjadi perbincangan warga. Mengenyam pendidikan tidak dirasa terlalu penting, apalagi untuk anak perempuan. Banyak anak perempuan ketika lulus SD dan masih di bangku MTs keluar sekolah karena dikawinkan. Salah satunya adalah Julaiha, yang masih ingin sekolah tapi harus memendam keinginan itu karena dikawinkan.

Peneliti mengetahui kisahnya berdasarkan tuturan keponakan pemilik rumah, yang memang satu sekolah dengannya di MTs. Perkawinan akan segera dilakukan, salah satu ritual persiapan pernikahan adalah Betimung. Ritual tersebut biasanya dilakukan malam hari selepas sholat Isya. Kami akan menghadiri ritual tersebut dengan naik kapal kelotok. Jarak rumah peneliti dengan rumah informan cukup jauh, apalagi tidak ada penerangan jalan di malam hari.

Setelah Isya kira-kira pukul 19.45, tim peneliti ditemani oleh Idah, Sanah dan Qiah yang merupakan teman-teman sekolah informan, kami menuju Podok Darat dengan menyewa kapal kelotok untuk mengambil video tentang tradisi Betimung. Tradisi Betimung ini dalam istilah popular

Page 143: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

134

dikenal dengan meratus. Dalam ritual ini, pengantin baik perempuan maupun laki-laki diuapi dengan air rebusan daun pandan, serai, daun kayu manis, daun lengkuas agar tubuh menjadi wangi. Menurut Amang Rahman yang menyopir kapal kelotok, aroma Betimung ini bisa bertahan selama 3 hari.

Calon pengantin perempuan adalah teman sekolah Sanah dan Qiah yang baru berumur 15 tahun. Sepanjang perjalanan menyusuri sungai di tengah malam yang pekat dan yang terdengar hanyalah suara mesin kelotok serta suara arus air, peneliti berbincang dengan Sanah dan Qiah. Menurut mereka, teman sekolahnya tersebut– sebetulnya masih ingin meneruskan sekolah dan mempunyai pacar. Namun keluarganya terpaksa menjodohkan dia karena merasa berat untuk membiayai pendidikan yang dirasa mahal. Menurut orangtua Julaiha dan kebanyakan masyarakat disini, pendidikan tinggi tidak terlalu bermanfaat baginya, sebab tugas perempuan adalah mengurus rumah tangga.

Lokasi rumah informan yang akan dikunjungi hampir di perbatasan desa Podok dan desa Terapu. Suasana sangat sepi dan gelap. Tidak terlihat penerangan sedikitpun di sepanjang jalan. Jejeran pohon nipah di pinggir sungai hanya nampak seperti bayangan hitam yang bergerak-gerak karena ditiup angin. Angin malam cukup dingin terasa menerpa pori-pori kulit. Dari kejauhan terlihat sinar lampu yang cukup terang, dan disanalah kiranya rumah si empunya hajatan dan tempat hajatan itu akan dilakukan.

Page 144: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

135

Kapal segera berlabuh di dermaga. Sayangnya di dermaga tersebut sudah ada kapal kelotok yang cukup besar yang juga ditambatkan. Amang Rahman, mencoba mencari jalan masuk di sela kapal yang tertambat tersebut. Kapal berhasil menepi, meskipun kami harus berpegangan pada pelepah nipah untuk turun ke titian dan naik ke daratan. Sepanjang jalan yang dipijak, banyak sekali pelepah nipah dan daun nipah yang dipotong. Menurut Idah, pelepah tersebut diambil daunnya untuk membuat ketupat sebagai pelengkap soto Banjar. Soto Banjar dikatakan sebagai soto karena dimakan bersama ketupat yang biasanya terbuat dari beras dibungkus daun nipah. Jika kuah dimakan dengan nasi, maka namanya bukan soto Banjar, tetapi sop ayam. Dari hasil observasi peneliti, ukuran ketupat yang dibungkus daun nipah hampir seukuran buku tulis, yang merebusnya memerlukan waktu sekitar 5 jam dengan kayu bakar.

Peneliti mengamati bahwa rumah tempat tinggal yang terletak tidak jauh dari pinggir sungai dijadikan tempat untuk resepsi. Asumsi ini diambil oleh peneliti karena melihat beberapa orang menyiapkan pelaminan dan di muka rumah terdapat kain sebagai dekorasi penyambutan. Peneliti menanyakan pada Idah, dimana tempat Betimungnya. Ternyata ruangan tempat Betimung di rumah panggung kayu. Kami melewati jembatan kayu kelapa dan tanah yang cukup becek karena hujan. Suasana gelap, karena penerangan hanya ada di sekitar rumah. Saat kami melewati jembatan kayu kelapa untuk masuk ke rumah panggung kayu, banyak laki-laki muda yang sedang menikmati musik dangdut yang cukup keras dan berusaha menarik perhatian kami dengan

Page 145: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

136

kata-kata yang dilontarkannya. Peneliti sendiri tidak paham secara detil artinya karena diucapkan dengan cepat, tetapi paham bahwa tujuannya untuk mencari perhatian dari kami. Idah menyarankan agar kami tidak terlalu menghiraukan hal itu. Selama perjalanan di kapal kelotok, peneliti sempat mendengar Amang Rahman mengatakan bahwa menjelang resepsi pengantin, selain Betimung, banyak laki-laki yang akan main kartu domino (istilah lokalnya dum) sebagai selingan kegiatan ikut berjaga sampai pagi hari (istilah populer di Jawa adalah melekan). Tidak jarang juga diselingi minuman keras dan musik dangdut. Dalam permainan dum ini ada hadiah yang diperebutkan, dan yang kalah mukanya akan dicoret dengan pupur dingin.

Di luar rumah panggung terlihat ibu yang sedang menjerang air rebusan ramuan Betimung dengan tungku kayu. Api menyala berkobar dibawah panci besar yang warna luarnya menghitam. Menurut ibu tersebut, ramuan yang direbus malam ini tidak komplit, karena hanya menggunakan daun pandan, daun serai, dan daun lengkuas. Daun kayu manis menurutnya cukup sulit didapat. Di dalam ruang tengah rumah panggung yang ternyata cukup sempit tersebut penuh dengan orang yang merupakan teman pengantin perempuan. Tampak pengantin perempuan berwajah muram dan menangis dihadapan teman- temannya yang hadir malam itu. Pertanda dia tidak menginginkan perkawinan dengan laki-laki asal Keliling Benteng, Sungai Rangas. Peneliti merasakan kondisi yang sulit untuknya dan bagaimana jalan hidup dipilihkan baginya.

Page 146: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

137

Melihat mempelai perempuan yang kurang bersemangat dan sedih, teman-temannya yang hadir disitu berusaha menghibur dengan membuat candaan seputar perkawinan. Beberapa dari mereka yang usianya sebaya tersebut juga sudah menikah, bahkan ada yang sejak lulus SD dikawinkan. Yang hadir dalam acara Betimung pengantin perempuan adalah para perempuan, sehingga yang akan mendokumentasikan proses Betimung adalah peneliti dan asisten peneliti. Sedangkan rekan peneliti yang laki-laki menunggu diluar dengan Amang Rahman. Dalam amatan peneliti, suasana Betimung mirip malam melepas masa bujang, dimana teman-teman sebaya hadir dalam acara tersebut, dan saling bercanda – yang mungkin suasana akan berbeda jika bertemu dengan status baru setelah menikah.

Prosesi ritual masih menunggu ramuan Betimung mendidih. Di luar ruangan rumah panggung terlihat api terus membesar menjilat panci seakan berkejaran dengan waktu agar ritual tersebut segera dilakukan. Ibu informan menyiapkan kotak kayu berlubang yang digunakan tempat duduk informan selama ritual Betimung. Kotak kayu tersebut berasal dari pengeras suara yang sudah tidak terpakai. Selain kotak tersebut, disiapkan tikar yang terbuat dari rumput dan kain-kain ukuran lebar untuk membungkus mempelai perempuan agar uap tersebut benar-benar meresap dalam pori-pori kulit. Luluran bedak dingin sebagai perawatan pasca diuapi juga disiapkan dalam 2 wadah cawan. Lulur dingin yang digunakan berbeda dengan bedak dingin biasanya. Menurut Idah, saat Betimung yang digunakan, yaitu lulur

Page 147: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

138

berwarna kuning yang memang biasanya digunakan sebagai perawatan menjelang perkawinan.

Ibu yang menjaga api mengatakan bahwa panci sudah mendidih, dan segera mengangkat panci tersebut ke ruang tempat Betimung. Mempelai perempuan yang hanya menggunakan kemben duduk di atas kotak kayu dengan panci diletakkan di depan dia duduk. Informan kemudian dibungkus dengan tikar, mengelilingi tubuhnya. Setelah itu, kain panjang tiga lapis dibungkuskan diatas tikar yang membungkus tubuh informan, sehingga yang terlihat adalah kepala informan yang terlihat berkeringat. Ekspresi wajah informan saat diuapi menahan panas uap ramuan dengan ekspresi datar, meskipun yang hadir melemparkan candaan dalam bahasa Banjar. Proses penguapan sekitar 30 menit, kain pembungkus dilepas satu persatu, demikian pula tikar. Semua alat-alat dibereskan, tubuh informan yang bermandikan keringat dilap dengan handuk. Lulur warna kuning mulai dibalurkan ke tubuh pengantin agar kulitnya bersih dan menambah pesona pada saat resepsi perkawinan. Kami mohon pamit dengan mengucapkan selamat menempuh hidup baru, dan permohonan maaf tidak bisa hadir saat resepsi. Informan hanya tersenyum simpul dan mengucapkan terimakasih.

Peneliti kemudian keluar ruangan acara Betimung yang sesak oleh banyaknya orang, debu statis yang menempel pada atap rumah yang terbuat dari anyaman daun nipah kering yang rontok karena banyaknya orang yang hadir di ruangan, dan aroma kesedihan pengantin perempuan. Di luar ruangan, udara terasa lapang dan segar memenuhi

Page 148: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

139

ruang bernapas peneliti. Diluar terdengar pula suara musik dangdut dan suara beberapa orang yang sedang bermain dum. Kami ingin melihat pelaminan yang akan digunakan oleh kedua mempelai. Di pintu masuk ruangan tersebut terdapat kain yang dipasang diatas pintu dan didesain untuk penyambutan tamu-tamu yang akan hadir.

Gambar 3

Prosesi Betimung Pengantin Perempuan (Kiri), dan Lulur dalam Acara Ritual Betimung (Kanan)

Sumber: Dokumentasi Peneliti, Mei 2015

Di dalam ruangan tersebut, terdapat dua pelaminan berwarna hijau dan merah yang akan digunakan pada saat resepsi dengan baju yang berbeda, baju pengantin kebaya biasa dan baju adat Banjar yang berwarna putih. Peneliti melihat bahwa di bawah pelaminan terdapat sesajen beras. Sesajen masih digunakan agar pengantin terhindar dari gangguan roh jahat karena pengantin perempuan memakai pakaian seperti putri-putri kerajaan. Disamping pelaminan juga terdapat kamar pengantin yang bernuansa merah. Peletakan kamar pengantin di dekat pelaminan ini tidak bermakna apa-apa, menurut salah satu ibu yang ada di

Page 149: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

140

ruangan tersebut, lebih disebabkan terbatasnya ruangan yang ada di dalam rumah ini. Di sekitar pelaminan banyak orang bermain dum, dan beberapa orang yang mukanya dicoret serta menggunakan kalung dari batang daun nipah yang dipotong dan diikat dengan rafia. Orang yang dicoret dan berkalung batang nipah tersebut, ternyata orang yang kalah taruhan. Kami berpamitan pada tuan rumah dan mengucapkan terimakasih atas kesediaan menerima kami. Waktu telah menunjukkan pukul 21.30.

Kami meninggalkan tempat yang terang benderang oleh lampu persiapan pesta pernikahan dan kembali ke kapal kelotok yang bersandar di pinggir sungai yang gelap. Sepanjang jalan menyusuri kembali sungai yang semakin pekat oleh malam, peneliti memikirkan tersanderanya perempuan di desa ini untuk mengembangkan potensi dirinya. Pernikahan anak di satu sisi merupakan jalan keluar instan atas kondisi ekonomi yang dirasa kian berat. Namun disisi lain, akan menimbulkan akibat dengan rentetan cukup panjang, mulai fisik, psikologis, hingga potensi kematian. Kehamilan pada usia remaja beresiko tiga hingga tujuh kali lipat berujung pada kematian ibu dibandingkan kehamilan pada rentang usia 20-35 tahun. Kehamilan pada usia remaja memiliki dampak negatif terhadap tumbuh kembang remaja tersebut dan janin yang dikandungnya. Secara psikologis, seorang anak tidak seharusnya membesarkan seorang anak. Anak perempuan yang menikah dan hamil pada usia remaja justru sedang mengalami transisi menjadi dewasa dan sedang membutuhkan berbagai penyesuaian diri terhadap perubahan-perubahan yang sedang ia alami. Memberi

Page 150: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

141

tekanan kepada mereka dalam bentuk tanggungjawab pengasuhan dan kewajiban-kewajiban pengelolaan rumah tangga memiliki konsekuensi terhadap kesehatan jiwa.

Hak pendidikan anak juga terenggut. Pendidikan yang cukup adalah salah satu sumber terang kehidupan ini. Sumber terang tersebut kian meredup dengan pembenar ketiadaan biaya, kurang pentingnya pendidikan bagi perempuan, dan sudah adanya orang yang melamar. Menerima lamaran bukanlah suatu yang menyalahi nilai sosial budaya yang disepakati dan ayat-ayat dalam ajaran agama.

Page 151: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

142

Page 152: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

143

Mengenal Banjar Lebih Dekat Catatan Perjalanan di Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan Sutamin Hamzah

Banjar, 18 Mei 2015,

Awal Langkah, menuju muara di Desa Podok, Kabupaten Banjar

Fenomena masyarakat Indonesia akan hadirnya batu akik yang masih menjadi buah bibir dimana-mana dapat tersaji di Kabupaten Banjar, salah satu dari 11 kabupaten di propinsi Kalimantan Selatan yang terkenal dengan pusat intan dan batu alam lainnya. Mayoritas orang Banjar memeluk agama Islam, mereka menjadikan Kabupaten Banjar sebagai serambi Mekah Provinsi Kalimantan Selatan. Perjalanan dari Bandara Samsudin Noor yang terletak di Banjarbaru menuju ke kabupaten ini bisa ditempuh dengan waktu 30-40 menit untuk bisa sampai dipusat kabupaten dengan luas wilayahnya mencapai 4.688 km2 dan jumlah penduduk kurang lebih 506.204 jiwa.

Page 153: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

144

Secuplik gambaran Kabupaten Banjar yang diperoleh peneliti pada saat membaca isi informasi dari jendela Wikipedia, di sela-sela perjalanan. Tepat pukul 07.30 tim peneliti menuju ke lokasi penelitian di kecamatan. Aluh-Aluh, Desa Podok sebagai lokasi Riset Etnografi Kesehatan 2015 yang menjadi berkah kesempatan peneliti untuk melihat Indonesia dari Pulau Borneo bagian selatan. Menggunakan mobil sewa dengan perjalanan kurang lebih memakan waktu 90 menit. Sesampainya di lokasi, tim peneliti mengunjungi Puskesmas setempat dan Kantor Camat Aluh-Aluh untuk mengurus perijinan dan berkoordinasi tentang pelaksanaan pengumpulan data di lapangan.

Mengenal Kecamatan Aluh-aluh lebih dekat di peroleh dari Camat Aluh-Aluh Bapak SHT yang berada diruangan kerjanya. Beliau mengatakan, Kabupaten Banjar sudah ada sejak tahun 1950 dan Kecamatan Aluh-Aluh merupakan salah satu Kecamatan dari 6 Kecamatan, sehingga terbentuknya Kabupaten Banjar. Menurut orang tua disini, bahwa sejarah dari nama kecamatan Aluh-Aluh, pernah ada pahlawan wanita di sebut Aluh, yang seperti di Banda Aceh ada pahlawan Cut Nyak Dien.

Lanjut cerita, beliau menginformasikan keadaan Masyarakat Aluh-Aluh yang memanfaatkan sungai sebagai sumber kehidupan. Mata pencaharian rata-rata nelayan di laut dan di sungai, selain itu juga sebagai petani padi di pehumaan (sawah). Hasil perikanan yang terkenal di Kecamatan Aluh-Aluh meliputi udang, cumi, dan kepiting. Angka kemiskinan Aluh-Aluh masih tertinggi di bawah angka rata-rata Kecamatan Gambut. Secara geografis Kecamatan

Page 154: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

145

Aluh-Aluh terbagi atas 19 Desa 13 Desa diantaranya berada di pinggiran Sungai Barito dan pesisir pantai. Masyarakat disini masih menaruh harapan besar untuk perbaikan infrastruktur seperti jalan dan jembatan sebagai akses dan mobilitas penduduk. Untuk sarana pendidikan di Kecamatan Aluh-Aluh terdapat SD dan Paud, SMP persiapan kurang lebih sudah ada 9 buah. Kalau di Podok sudah ada SMP Seatap. Untuk transportasi di pesisir menggunakan kelotok (perahu bermesin). Luas wilayah Kecamatan Aluh-Aluh kurang lebih 82,48 km2 (sambil mengambil data dan memperlihatkannya) kepada tim peneliti.

Kegiatan tim peneliti dilanjutkan dengan berangkat ke Desa Podok dengan menggunakan kelotok milik dari Bapak SRB. Sangat menantang dengan suara mesin di kelotok yang terdengar merdu bersisik. sepanjang perjalanan kami di suguhi dengan pemandangan perbatasan laut dan sungai yang indah di pandang mata mengobati terik panas matahari yang menusuk ke pori-pori kulit.

Wilayah Desa podok secara geografis terbagi atas 3 RT. Yang dikelilingi oleh aliran Sungai Barito. Terlihat aktifitas masyarakat sehari-hari dengan beraneka ragam kegiatannya masing-masing. Perjalanan kurang lebih 30 menit dari Aluh-Aluh Besar (Pusat Kecamatan). Akhirnya tim peneliti sampai juga di tempat tinggal dan disambut dengan hangatnya oleh masyarakat setempat. Membawa barang bawaan yang di bantu oleh beberapa warga, sangat membuat suasana disaat itu bagaikan kegotong-royongan pendatang dan tuan rumah yang baik.

Page 155: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

146

Gambar 1

Muara Desa Podok, Aliran Sungai Barito Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015

Di tempat tinggal kami berbincang dengan ibu hj. RML selaku pemilik rumah yang kami tempati. Ada beberapa warga yang datang melihat kami bersamaan juga dengan datangnya pak Pembakal (kepala desa) yang menambah suasana semakin nyaman dan tentram. Sambil berbincang kami membangun raport dengan beberapa warga (ibu-ibu) yang ada dan memperkenalkan diri dan maksud kedatangan tim peneliti ke Desa Podok. Dengan rasa syukur yang tak terhingga kami diterima dengan senang hati oleh Pak Pembakal dan masyarakat setempat.

Hidup bersama mereka (Orang Bahari) di Desa Podok

Pengalaman yang tak terlupakan, menyatu dengan alam, belajar budaya dan kesehatan bersama mereka, masyarakat Suku Banjar yang menghuni Desa Podok, Kecamatan Aluh-Aluh, Kabupaten Banjar. Setiap pertemuan pasti ada perpisahan, tak terasa 33 hari berada di Negeri

Page 156: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

147

Borneo bagian selatan dengan julukan khasnya yakni kota seribu sungai, hal ini pula yang dapat tergambarkan di sebuah Desa bagian selatan dari kabupaten Banjar. Mereka menamakan dirinya adalah orang bahari atau orang sungai yang sudah hidup berpuluh-puluh tahun lamanya, menyatu dengan kehidupan sungai sebagai nyawa mereka.

Gambar 2

Kebersamaan tim peneliti bersama masyarakat Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015

Tak pelak hal ini menjadikan kami, hidup bersama mereka, sembari bercengkrama, belajar bahasa daerah setempat, sampai mereka tertawa melihat geliat kami yang sedang membahasakan bahasa Banjar. Tetapi suasana yang demikian mulai membangun keakraban yang hangat dengan masyarakat setempat yang akhirnya kami diterima dengan senyum dan sebuah pengharapan untuk desa mereka. Tali silaturahmi pun terjalin, seminggu kami di desa ini sudah dianggap bagian dari keluarga kecil mereka.

Page 157: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

148

Berobat pada Keluarga, itulah pilihan kami

Masyarakat Banjar, Desa Podok memilih untuk berobat ke sarana fasilitas kesehatan yakni Puskesmas dan Puskesmas Pembantu yang sudah tersedia. Di Desa Podok sendiri hanya ada satu-satunya sarana fasilitas kesehatan yakni Pustu yang sudah lama berdiri sejak tahun 2004. Pelayanan kesehatan yang diberikan kepada masyarakat tak luput dari pelayanan kesehatan ibu dan anak, dan pengobatan bagi mereka yang sakit. Tenaga kesehatan yang ditempatkan sejak tahun 2011 seorang bidan bernama Nahwati, usia 28 tahun, sudah berkeluarga dan dikaruniayi 2 putra kembarnya. Ibu NHW yang merupakan bidan desa Podok, menyampaikan kepada kami bahwa rata-rata masyarakat di Desa ini, berobat ke fasilitas kesehatan terkadang nanti pada saat kondisi sudah parah, tak berdaya, tak bisa apa-apa. Akhirnya proses rujukan yang dibantu oleh beberapa orang TKS atau tenaga kesehatan sukarela yang juga orang asli desa setempat harus diampuh untuk segera memperoleh pengobatan. Desa Podok, memiliki sumber daya manusia dibidang kesehatan, ada beberapa dari mereka sudah bekerja di luar dari wilayah Desa atau Kecamatan dan sebahagian lagi memilih untuk mengabdikan diri di kampung sendiri. Terhitung kurang lebih ada sekitar 7 orang dengan bidang keahlian yang berbeda seperti tenaga perawat, bidan dan gizi.

Page 158: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

149

Ikatan kekeluargaan yang kuat membuat masyarakat Banjar di Desa Podok memilih untuk berobat kepada mereka, dengan alasan bahwa selain sebagai keluarga, akses kesehatanpun secepatnya bisa dijangkau dengan biaya yang murah dan mampu dijangkau oleh masyarakat. Memilih untuk berobat kepada keluarga sendiri sudah menjadi budaya bagi masyarakat setempat selain mencari obat di warung, pasar dan pengobatan alternatif lainnya.

Gambar 2

Pelayanan kesehatan oleh TKS di rumah praktek Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015

Sebut saja matri IJ (tenaga perawat) dan bidan ID (tenaga bidan) yang sering kali dikunjungi masyarakat untuk memberikan pelayanan kesehatan. Melayani masyarakat dirumah dengan membuka tempat praktek seadanya, pelayanan kesehatanpun dijalankan oleh mereka. Menolong sesama keluarga dan tanpa mengharapkan imbalan yang lebih hanya sekambarinya atau seikhlasnya sudah cukup bagi mereka yang terpenting adalah kami bisa membantu masyarakat setempat agar lekas sembuh.

Page 159: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

150

Maulid Burdah, Kesehatan Religi Masyarakat

Kekeluargaan yang terjalin erat membuat mayoritas masyarakat yang bekerja sebagai petani dan nelayan, di Desa ini mengisi kegiatan rutin di setiap minggunya dengan melaksanakan acara maulid burdah. Sudah mentradisi sejak dahulu kala di desa ini, dan masih terpelihara sampai sekarang. Semua golongan umur ikut terlibat mulai dari anak-anak, remaja, dewasa sampai orang tua. Dilaksanakan di waktu yang berbeda setiap minggunya. Masyarakat Banjar di Desa Podok mempercayai bahwa dengan diadakannya kegiatan seperti ini akan membawa rahmat bagi mereka. Baik untuk kesehatan warganya, menjaga kampung dan pendidikan agama kepada anak-anak mereka yang sudah ditanamkan sejak dini.

Gambar 3

Maulid Burdah, Kesehatan Religi Masyarakat Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015

Maulid Burdah, diisi dengan membacakan kitab kuning yang sudah disediakan oleh pelaksana acara, sembari melantunkan salawat nabi, zikir dan tahlilan dengan irama yang sama nan syahdu menjadikan setiap suasananya

Page 160: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

151

nyaman dan tentram. Setelah menjalani proses ini manfaat yang diperoleh yakni ketenangan hati dan juga sebagai penyejuk jiwa bagi masyarakat setempat. Sisi positif yang ikut terbentuk yakni ikatan silaturahmi antar sesama warga selalu dan senantiasa terjalin. Di sesi akhir kegiatan ini. Hal kecil yang terlihat adalah ketika orang muda menghormati orang tua dengan menyalami dan berjabatan tangan pada saat sampai hingga pada waktu pulang.

Kami Orang Sungai, dari Dulu Hingga Sekarang

Secara kasat mata, kehidupan masyarakat Banjar di Desa Podok bisa dikatakan 100% menggunakan air sungai untuk kehidupan sehari-harinya. Mulai dari aktifitas mandi, mencuci, memasak, dan buang hajat kesemuanya di sungai. Tak ada tempat lain selain memanfaatkan sungai sebagai sumber kehidupan mereka. Rumah-rumah penduduk yang bertebaran di pinggiran sungai dan terbagi diantara tiga wilayah Desa Podok yakni, Podok Darat atau RT 1, Podok Tengah atau RT 2 dan Sakajarak/Sakamangkok atau RT 3.

Kurang lebih 2.500 jiwa penduduk yang menghuni dan mendiami Desa ini, mengharuskan mereka untuk setiap hari menyatu dengan alam. Air sungai yang setiap harinya mengalami proses pasang-surut tak membuat masyarakat enggan untuk tetap menggunakan dan memanfaatkan air tersebut sebagai kebutuhan. Menyediakan tempat penampungan air sederhana dengan tawas penjernih yang dibeli perbungkusnya, dirasa sudah cukup bagi masyarakat untuk memperoleh air bersih dan jernih. Tak memandang

Page 161: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

152

syarat akan kesehatan atau telah menghilangkan kuman-kuman penyakit air bersih yang sudah tersediapun bisa langsung dikonsumsi. Baik dimasak maupun tak dimasak.

Dalam wawancara peneliti dengan beberapa orang bapak-bapak Banjar yang sedang asyik duduk di selasar rumah mengatakan bahwa,

“Kami orang sungai, dari dulu hingga sekarang. Kalau bukan di sungai dimana lagi? Bahkan waktu dulu orang sini bisa langsung mengkonsumsi airnya. atau air yang dari sawah tanpa melihat bersih tidaknya air tersebut tidak ada juga kena sakit. Buktinya masyarakat disini sehat semua sampai umur 100 tahun masih ada yang hidup. Kami sudah kebal dengan air disini beda dengan orang yang dikota, semuanya harus bersih. Sakit itu hanya datang dari sang maha pencipta dan kami percaya bahwa air yang kami konsumsi sudah baik untuk kami tanpa mengakibatkan sakit”.

Terdiam, terkejut itulah ekspresi saya ketika mendengarkan curahan hati dari masyarakat setempat akan kebiasaan mereka pada saat mengkonsumsi air sungai yang di ceritrakan informan. Bahkan untuk membuktikan hal tersebut tim peneliti ditantang untuk mencoba mengkonsumsi air yang dikonsumsi pula oleh warga setempat. Kepercayaan bahwa ketika orang yang meminum air ditempat ini akan selalu ingat dengan tempat ini disampaikan pula oleh informan. Atas dasar ingin hidup bersama masyarakat tim penelitipun membuktikan tantangan tersebut. Beragam kebiasaan masyarakat yang sering kali dilakukan pula oleh tim peneliti. Tak pelak

Page 162: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

153

menjadikan kami semakin menyatu dengan kehidupan warga setempat. Benar-benar pengalaman tak terlupakan…

Kami orang sungai, dari dulu hingga sekarang, suatu pengutaraan yang mendebarkan hati. Melihat Indonesia dari sudut selatan pulau Kalimantan merupakan gambaran kecil masyarakat yang menamakan diri mereka seperti itu dan tak memandang sisi dampak negatif yang akan di timbulkan. Baik sakit karena konsumsi air sungai atau kebiasaan mereka yang setiap harinya berada di sungai. Yang terpenting adalah mereka hidup dan menyatu dengan alamnya.

Gambar 4

Sungai, Sumber Kehidupan Masyarakat Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015

Informasi yang diperoleh dari Puskesmas bahwa setiap tahun angka kesakitan diare meningkat di Desa ini, hal ini disebabkan oleh karena musim pergantian air dimana pada bulan 7-9 air sungai yang tadinya berasa tawar menjadi payau dengan rasa asinnya. Membuat masyarakat tetap

Page 163: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

154

mengkonsumsi air dan tetap bertahan hidup di sungai walaupun dengan konsekuensi menderita diare tanpa mengenal usia. Situasi seperti ini tak bisa hanya dengan cara yang instan untuk mengantisipasinya. Puskesmas dan petugas kesehatan setempat berjibaku untuk meminimalisir dampak negatif bagi kesehatan mayarakat di Desa ini. Tak pelang, upaya-upaya kesehatanpun dilakukan walau dengan serba keterbatasan.

Kepala Puskesmas mengatakan bahwa masyarakat di Desa Podok masih menggunakan air sungai yang sering diberi kaporit ataupun tawas dengan hasil penyaringan air yang serupa tapi tak sama masih dikonsumsi dan menjadi suatu kebutuhan yang selalu terpenuhi bagi masyarakat setempat. Tak jarang juga masyarakat yang sudah sekian lama mengkonsumsi air tersebut yang kadangkala sudah tidak dimasak lagi harus mengalami sakit seperti diantaranya diare. Apalagi pada saat musim air payau yaitu suatu musim dimana ada pergantian antara air laut dan air sungai. Biasanya terjadi pada bulan juli di setiap tahunnya. Pada saat itulah masyarakat Podok datang ke Puskesmas dengan keluhan prioritas adalah diare. Dengan keadaan ini penyakit diare bisa saja meningkat kalau tidak dengan cepat dan tanggap di minimalisir untuk meningkatkan kewaspadaan dini atas penyakit diare yang ada di Desa Podok. Tapi rata-rata di hampir seluruh wilayah pesisir PKM Aluh-Aluh kondisinya hampir sama.

Keberadaan air sungai pun dirasa relatif mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat terlebih pada angka kejadian penyakit yang disebabkan oleh bawaan air

Page 164: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

155

diantaranya diare tadi. Sangat sulit dan butuh waktu untuk mensosialisasikan akan ketersediaan air bersih dan juga bahaya akan pencemaran air yang ada, karena rata-rata masyarakat tinggal bertahun-tahun dan sudah terbiasa dengan lingkungan setempat. Kepercayaan inilah yang sulit untuk dihilangkan. Sungai sudah menjadi sebuah kebutuhan masyarakat. Baik untuk keperluan sehari-hari atau bagi mata pencaharian seperti nelayan dan distribusi air untuk persawahan. Air sungai sudah menjadi bagian yang melekat dan tak terpisahkan dengan keberadaan masyarakat setempat. Walaupun secara kasat mata sangat berpengaruh terhadap status kesehatan masyarakat setempat. Kami hanya bisa berusaha sekuat tenaga untuk mengupayakan masyarakat melestarikan dan membudidayakan perilaku hidup bersih dan sehat.

Sarana Pelayanan Kesehatan dan Keberadaannya

Masyarakat Banjar di Kecamatan Aluh-Aluh, memperoleh pelayanan kesehatan di Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) Aluh-Aluh. Dengan statusnya rawat inap dan merupakan salah satu Puskesmas PONED dengan wilayah kerja 19 Desa. Keberadaan bangunan Puskesmas yang berada di Pusat Kecamatan, dengan jarak 15 m letaknya dengan Kantor Camat Aluh-Aluh menjadikan sarana fasilitas kesehatan berada di posisi yang strategis walaupun masih sulit untuk menjangkau Desa yang jaraknya jauh dari PKM.

Tiga belas desa yang berada dipinggiran Sungai Barito mengharuskan petugas kesehatan untuk mendatangi dan

Page 165: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

156

melakukan kunjungan pelayanan kesehatan agar merata. Alat transportasi menggunakan spedd, kendaraan sungai satu-satunya yang dimanfaatkan untuk beberapa kegiatan Puskesmas, di antaranya Posyandu dan pengobatan. Untuk desa yang berada di daratan Puskesmas memiliki 2 kendaraan beroda empat (mobil ambulance) dan beberapa kendaraan beroda dua (motor). Kendaraan darat yang digunakan membantu petugas kesehatan dalam hal proses rujukan pasien ke sarana pelayanan kesehatan tingkat ke dua yakni Rumah Sakit pemerintah maupun swasta yang berada di Kabupaten Banjar. Memakan waktu kurang lebih 90 menit untuk menuju ke rumah sakit.

Gambar 5

Puskesmas Aluh-Aluh dan sarana transportasi darat dan sungai Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015

Mengedepankan upaya kuratif tanpa mengke-sampingkan upaya preventif, suatu gambaran yang terlihat di Puskesmas Aluh-Aluh. Dalam 2 tahun terakhir yakni di tahun 2013-2014 jumlah tenaga kesehatan yang ada kurang lebih 40 orang yang terbagi atas dokter umum 2, dokter gigi 1, tenaga gizi 2, tenaga perawat 12, tenaga bidan 22, tenaga

Page 166: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

157

analisis lab 2 dan hanya ada 1 tenaga kesmas di tahun 2011. Realita keberadaan tenaga kesehatan yang ada di Puskesmas Aluh-Aluh. Promosi kesehatan yang seharusnya menjadi salah satu garda terdepan di puskesmas harus tertelan dengan aktifitas petugas kesehatan yang mengedepankan upaya kuratifnya. Puskesmas masih sangat membutuhkan tenaga kesehatan masyarakat, terlebih menjawab gambaran dan situasi pola hidup masyarakat yang berkaitan dengan PHBS.

Keberadaan Puskesmas menjadi alternatif pengobatan medis bagi masyarakat, pelayanan di buka pukul 09.00 WITA di setiap harinya. Masyarakat paling banyak berobat di hari Jum’at karena hari pasar di pusat kecamatan. Masyarakat datang berbondong-bondong untuk mendatangi puskesmas di pagi hari. rata-rata bisa sampai 50 orang yang berobat dengan berbagai macam keluhan penyakit yang di derita. Ada yang datang sendiri dan ada pula yang datang bersama sanak keluarga. Memadati ruangan pelayanan yang hanya ditopang oleh kayu ulin dibawahnya sebagai tiang penyanggah, cahaya yang kurang, akses udara yang terbatas, tempat duduk seadanya. Orang muda dan orang tua dengan prosedur pelayanan yang diawali dari jendela register pasien dan berakhir di meja apotik. Suasana ramai, saling bertegur sapa dan pelayanan kesehatan yang diberikanpun dijalanakan oleh tenaga kesehatan yang sudah standby di ruangan mereka masing-masing.

Page 167: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

158

Cerita kecil, dibalik asa masyarakat

1. Seberkas usaha kesehatan ibu antara bidan desa dan dukun kampung Usaha kemitraan antara penolong persalinan baik secara medis maupun tradisional, masih mengalami jalan buntu dan belum selaras. Dari hasil pengamatan peneliti di lokasi, temuan dilapangan yang menggambarkan bahwa masih adanya kepercayaan ibu akan jasa yang diberikan oleh dukun kampung lebih besar dibanding dengan bidan desa. Sembari duduk, dan menunggu anak mereka yang bersekolah di TK, para ibu mengatakan melahirkan di DK lebih murah, dan proses persalinan didampingi sampai kepada membersihkan ibu dan bayinya. Di bidan desa, sulit dijangkau semacam perlu biaya tambahan untuk satu paket pertolongan persalinan. Ada tambahan pemberian susu untuk ibu pasca melahirkan dan juga obat-obatan, akan tetapi belum sampai kepada membersihkan ibu dan bayinya hingga proses persalinan selesai, terkadang bidan desa tidak melakukan itu. Hingga akhirnya kami memilih untuk ditolong oleh DK.

Pendekatan dengan kelas ibu hamil yang menghadirkan 10 orang bumil di setiap minggu 1 bulan berjalan dilakukan oleh bidan desa yang memiliki target 30 bumil untuk tahun 2015. Masih tak sejalan dengan target yang ditetapkan oleh dinas kesehatan Kabupaten Banjar yang disampaikan oleh bidan sendiri yakni 53 orang. Dengan alasan beragam seperti diantaranya ibu hamil yang susah diajak, pendidikan ibu hamil masih di bawah rata-rata

Page 168: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

159

setingkat SD yang sedikitnya menghambat proses keberlangsungan kelas ibu hamil agar efektif. Hal lain yang dilakukan oleh DK dengan mengunjungi dan melakukan pendampingan secara intens kepada ibu hamil melalui perawatan dan pelayanan tradisionalnya seperti diantaranya urut bumil, dan betapung tawar pasca melahirkan masih dibudayakan. Sampai-sampai dari 2 DK aktif di Desa Podok satu diantaranya membuat catatan ibu melahirkan yang ditolong. Hal yang diluar dugaan.

Dari segi pendekatan emosional sangatlah berbeda, terkadang masyarakat berfikir bahwa lebih dekat dengan DK ketimbang bidan desa. Lebih nyaman dengan DK ketimbang bidan desa, merasa bahwa DK lebih mengedepankan keikhlasannya untuk membantu ketimbang bidan desa, menerima apa adanya, tak mengenal waktu, situasi, cepat hadir ditengah-tengah mereka ketimbang bidan desa. Suatu pemikiran yang sebenarnya terdapat sisi positif yang mungkin pula bisa di aplikasikan oleh bidan desa untuk membangun sebuah kemitraan baik dengan dk sendiri maupun keluarga dari si ibu hamil. Akankah itu bisa dilakukan…??? Sepintas berfikir bahwa dimata masyarakat para ibu-ibu Banjar, dk adalah orang terpilih dari jasa yang diberikan, bidan desapun menjadi orang terpilih datang ke desa untuk menyatu. Dan berusaha menjadi orang terpilih dimata para ibu-ibu selaknya pandangan mereka kepada dk. Proses dan waktu yang berjalan akan menjawab semua ini. Seiring sejalan dengan penyesuaian bidan desa yang berusaha untuk mengenal budaya lokal spesifik yang telah lebih dulu diketahui oleh dk sendiri.

Page 169: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

160

Gambar 7

Kelas ibu hamil (kiri) (kanan) Betapung Tawar Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015

2. Inikah yang disebut “Suami Siaga”? Tepat pada tanggal 5 mei 2015, tim peneliti melanjutkan langkah perjuangan untuk melakukan observasi kegiatan Posyandu yang bertepatan pula dengan hari pasar di Desa Podok. Undangan kepada masyarakat yang terdengar dari pengeras suara dalam mesjid Baiturahman di sampaikan langsung oleh bidan desa untuk kiranya menghadiri pelaksanaan kegiatan Posyandu yang akan dimulai pukul 09.00 wita. Upaya ini dilakukan setiap kali jadwal Posyandu, namun terkadang masyarakat masih enggan untuk datang ke Posyandu sebab kepercayaan yang berkembang di masyarakat bahwa ketika ada pelayanan imunisasi yang diberikan oleh petugas kesehatan, tidak mendapatkan kesehatan malah sakit yang diperoleh, yaitu panas sehabis disuntik. Hal lain yang diutarakan oleh ibu-ibu kader Posyandu bahwa waktu pagi bertepatan dengan kegiatan kerja masyarakat. Lebih baik kerja daripada ke Posyandu. Dari dua alasan diatas sepenuhnya menjadi suatu keputusan dari sang suami kepada istri dan anaknya. Sangat

Page 170: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

161

disayangkan… kata yang terlontar dari peneliti ketika mendengar hal tersebut. sambil mengamati kegiatan Posyandu yang ada seperti pelayanan kesehatan ibu hamil, pemeriksaan KB, pengobatan lansia, penimbangan, imunisasi, pemberian vitamin A, dan pemberian makanan tambahan bagi ibu dan anak yang datang ke Posyandu ragam kegiatan yang ada. pustu menjadi wadah dilaksanakannya kegiatan ini. Beberapa orang ibu dan anaknya mulai berdatangan, pelayananpun mulai diberikan. Tak satupun kaum adam yang turut hadir dalam kegiatan Posyandu ini, peran suami masih sangat kurang dan jarang ditemukan untuk sama-sama melakukan pendampingan kepada sang istri dan anak. Mengingatkan peneliti kepada cerita dari bapak M yang mengatakan bahwa ketika isterinya melahirkan beliau tidak sedang berada ditempat karena lebih memilih untuk bekerja di sawah. Anak kedua yang dilahirkan diketahui dari tetangga yang menyebutkan bahwa istrinya sudah melahirkan anak perempuan. Melahirkan dirumah, dibantu oleh keluarga dalam hal ini ibu dari informan dan DK pada waktu itu. Sangat jarang bahkan tidak pernah informan mendampingi istrinya untuk pergi ke Posyandu memeriksakan kehamilan secara rutin. Informan tergolong keluarga kurang mampu yang tak memiliki jaminan kesehatan. Membuat informan harus merogok kocek lebih untuk pergi ke pelayanan kesehatan. Sehingga membuat informan lebih memilih menunggu di rumah selagi keadaan masih aman untuk istrinya.

Page 171: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

162

Meninggalkan secuplik kisah diatas menandakan bahwa peran suami untuk keberlangsungan pelayanan kesehatan kepada sang isteri masih sangat kurang bahkan tak ditemukan. Hanya suami-suami terpilih dan berani berkorban lebih demi cinta kasih dan sayang kepada keluarga yang mampu membuktikan hal ini. Tak di sangka di desa Podok tim peneliti menemukan satu dari ribuan jiwa kaum adam yang mendiami desa ini membuktikan akan pentingnya suami di samping istri untuk mendapatkan pelayanan kesehatan sepenuhnya, terlebih kepada ibu hamil sampai proses melahirkan. Informan tak menyadari bahwa apa yang telah iya lakukan merupakan salah satu dari program kesehatan yang berkembang dimasyarakat dan hanya segelintir kaum adam yang mampu melakukan hal ini.

Gambar 8

Suami Siaga di Desa Podok Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015

Suami siaga patut disebut kepada bapak dengan usianya yang sudah berkepala 30 tahun dan berprofesi sebagai petani di dusun 3 Desa Podok. Baginya

Page 172: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

163

menjaga keluarga sangat penting terlebih untuk memenuhi usaha kesehatan. Informan selalu memberikan dukungan kepada istri dan kedua anaknya untuk rajin datang ke Posyandu jika waktunya tiba. Informan juga meluangkan waktunya untuk beayunan salah satu tradisi orang Banjar untuk menidurkan anak. Biasanya disertai dengan nyanyian kidung. Berusaha untuk memberikan waktu yang lebih demi keluarga kecilnya, mendampingi dan menjaga karena informan berpegang teguh bahwa keluarga adalah yang nomor satu.

Riset etnografi kesehatan membelajarkan banyak hal kepada peneliti, melihat situasi kesehatan yang sesungguhnya, kepekaan dan rasa yang dialami oleh masyarakat dengan serba keterbatasan tak menyulitkan mereka untuk berusaha mencari kesehatan yang sesungguhnya. Hal kecil yang tak disangka menjadi suatu bentuk usaha meninggikan derajat kesehatan di wilayah pelosok negeri ini yang masih perlu sentuhan oleh penentu kebijakan. Mengenal lebih dekat dengan kehidupan mereka hal sederhana yang bisa dilakukan dengan perjuangan dalam kurun waktu yang tak bisa dipastikan. Dibalik perjuangan itu pasti semua akan terjawab dan hanya ada satu diantara banyak orang yang mau dan mampu mengedepankan kesehatan di atas segala-galanya.

Page 173: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

164

Page 174: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

165

Cerita dari Pulau Sapudi Izzah Dienillah Saragih Sapudi, 30 Mei 2015

“Oh ada ya bagian Indonesia namanya Pulau Sapudi,” begitu pikir saya waktu pertama kali mengetahui lokasi penelitian Riset Etnografi Kesehtan 2015. Sempat kecil hati saat ditempatkan di tempat yang jangankan dikunjungi, mendengar namanya saja baru pertama kali. Sementara teman-teman lain yang sama-sama dari Medan ditempatkan di Sumatera. Saya merasakan ”kecemasan yang bergairah”. Takut, tapi tidak sabar menunggu; Bagaimana di sana? Siapa saja yang akan ditemui di sana? Apa yang Tuhan rencanakan dalam perjalanan kali ini?

Pulau Sapudi adalah bagian dari Indonesia, hanya tiga jam menyeberang dengan kapal dari Kabupaten Sumenep. Which is Sumenep sendiri adalah kabupaten paling ujung di Pulau Madura dan hanya lima jam dari Kota Surabaya. Tidak terlalu antah berantah, bukan?. Tapi memang seperti kata pepatah, tak kenal maka tak sayang.

Page 175: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

166

Gambar 1.

Peta Letak Pulau Sapudi Sumber: Provinsi Jawa Timur

Saya tiba di Pulau Sapudi pada Minggu dua puluh enam Mei yang cerah. Tertahan sehari di ibukota kabupaten karena cuaca yang tidak baik, sehingga tidak ada kapal yang berani menyeberang. Setelah menempuh tiga jam penyeberangan dengan kapal feri (kata penumpang lainnya laut cukup bagus dan kapal tidak goyang, tapi cukup membuat saya menyesal kenapa tidak minum obat anti mabuk sebelum berangkat), kami tiba di Pelabuhan Dungkek dan dijemput dengan ambulans Puskesmas oleh Pak Abu, supir Puskemas dan Mas Lukman, Asisten peneliti. Perjalanan dari Pelabuhan menuju Kecamatan Gayam sekitar 45 menit dengan kondisi jalan yang, alhamdulillah yah (diucapkan dengan nada Syahrini), makin mendorong perut untuk mengeluarkan isinya. Muka saya sudah pucat, akibat mabuk perjalanan. Sepanjang perjalanan saya diajak bercakap-cakap

Page 176: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

167

oleh Mas Lukman dan Pak Abu sehingga tidak terlalu fokus memikirkan mual yang makin menjadi. Mereka terkaget-kaget mengetahui saya datang dari Medan. “Jauh sekali…”, komentar mereka. Dalam hati saya, jangankan bapak yang kaget, saya juga kaget kenapa bisa sampai disini.

Thus, saya menginap semalam di Kecamatan Gayam di Pulau Sapudi sebelum akhirnya menetap di Desa tempat penelitian. Saya menginap di rumah Pak Haji Nurullah, yang berada persis di depan Puskesmas. Beliau adalah putra asli Pulau Sapudi yang sudah mengabdi sebagai perawat sejak tahun 1980an. Istrinya, Ibu Haji Ida adalah bidan. Pak Haji dan Bu Haji, begitu saya menyapa mereka, saya banyak tahu informasi mengenai pulau Sapudi. Mereka berdua membuka klinik yang selalu ramai di samping rumah dan kadang-kadang, masyarakat pulau lebih senang berobat ke ‘warung’ Pak Haji ketimbang pergi ke Puskesmas.

“Orang-orang di Pulau ini baru melek kesehatan sepuluh-dua puluh tahun lagi. Tunggu dukun-dukun itu mati, dan tidak ada penerusnya baru semua mau ke bidan atau puskemas”, begitu komentar Pak Haji dengan logat Madura yang kental saat kami bercakap-cakap sore hari ketika saya baru tiba. Masyarakat di Pulau Sapudi memang masih menganggap penyakit sebagai bentuk kiriman dari orang yang tidak senang kepadanya atau disebut tarekaan. Penyakit TB Paru disebut cekek, karena berasal dari minuman yang dianggap diberi racun. Penyakit kusta dianggap kiriman orang yang tidak senang dan masih banyak lagi. Mereka menjadikan dukun sebagai upaya pengobatan pertama saat

Page 177: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

168

sakit. Bila penyakit sudah parah dan tak sembuh-sembuh barulah pergi ke bidan atau Puskesmas.

Keesokan harinya, saya menuju Desa Prambanan yang menjadi fokus penelitian. Jarak dari Kecamatan Gayam menuju Desa Prambanan tidak terlalu jauh. Hanya saja kondisi jalan yang rusak parah menyebabkan perjalanan ditempuh kurang lebih 45 menit. Jalanan lurus dan sedikit berkelok menuju ke sana. Ada satu sudut jalan favorit saya selama di Pulau Sapudi. Di satu tikungan dan tanjakan, dengan sawah di sisi jalan. Dan begitu kita berkelok, tadaaa... tampaklah laut dengan gradasi biru yang berbeda-beda mulai dari biru muda sampai tua. Saya selalu terkagum-kagum melihat pemandangan dari tikungan ini.

Saya tinggal di Desa Prambanan, di rumah Pak Fathur dan Bu Chairani, bersebelahan dengan rumah kepala desa atau disebut klebun Desa Prambanan. Belum dua puluh empat jam saya di sana, saya langsung menyesal. Menyesal karena pernah berprasangka buruk tentang masyarakat Madura (yang katanya) galak, kasar, dan tidak ramah. Apa yang saya lihat dan rasa, benar-benar berbeda dengan dugaan awal. Cuaca di Pulau Sapudi memang menyengat, namun keluarga ini dan seluruh penduduk pulau sangatlah hangat.

Page 178: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

169

Gambar 2.

Sudut favorit saya selama di Pulau Sapudi. Seringkali saya teriak-teriak norak tiap melintas di sini.

Sumber: Dokumentasi Peneliti

Mereka memiliki dua orang anak, yang paling besar perempuan dan sedang mondok di Sumenep. Anak paling kecil, namanya Yusuf berumur enam tahun. Rumah selalu ramai di pagi hari dengan bujukan Bu Rani dan celotehan Yusuf karena Yusuf malas pergi ke sekolah. Malam sehabis magrib pun juga begitu, giliran Pak Fatur yang turun tangan mengomeli karena Yusuf malas pergi mengaji. Rumah sebelah pun tak kalah ramai. Bu klebun memiliki perangai yang ramah dan riang. Mereka memiliki tiga orang anak. Anak paling besar sudah menikah, yang nomer dua, Roni kelas tiga SMP tinggal di Kecamatan Gayam dan hanya pulang ke rumah tiap akhir pekan. Anak paling kecil, namanya Widhat, masih berumur empat tahun. Tipikal balita perempuan yang aktif, lucu, dan ceriwis. Pernah satu waktu

Page 179: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

170

ia meniru Bu Klebun yang memanggil saya dengan sebutan Dek Izzah. Sejak saat itu saya memanggil dia dengan Mbak Widhat dan dia memanggil saya kadang-kadang dengan sebutan Dek Izzah. Widhat sendiri punya panggilan khusus untuk Yusuf, yaitu cucuk. Widhat dan Yusuf ini ibarat duet yang kalau disatukan, wah bisa ramai sekali.

Gambar 2.

Widhat memakai seragam pinjaman hanya karena mau ikut Yusuf ke sekolah

Sumber: Dokumentasi Peneliti

Tidak ada hari yang tidak menyenangkan di Pulau Sapudi. Jadwal rutin saya, Pak Basuki, beserta Mbak Ririn dan Mas Lukman berkeliling dari pagi hingga siang sesuai dengan

Page 180: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

171

daftar informan yang kami “kejar”. Sesekali melihat tempat-tempat unik di pulau, seperti Gua Rato Sapi (Gua yang dipercaya masyarakat sebagai tempat asal usul sapi-sapi di Pulau Sapudi yang tak pernah habis), Gua Celik (Celik, yang berarti vagina dalam bahasa Madura. Dinamai karena bentuknya menyerupai vagina), atau makam raja-raja. Atau sore-sore mencari kerang di pantai belakang rumah Mbak Ririn. Menghadiri acara isra mi’raj di mesjid yang penuh dengan aneka kue warna-warni. Pernah satu waktu kami dibawakan gurita oleh informan yang berprofesi sebagai nelayan gurita. Masyarakat yang hangat, pemandangan yang indah, makanan yang enak-enak. Kelak, ketika pamit pulang saya kesulitan menjawab pertanyaan, kapan datang ke Sapudi lagi?

Ada satu hari, yang kalau boleh dibilang tidak enak, yang paling saya ingat. Saya tidak tahu bagaimana mendeskripsikan hari itu, tapi Kamis 7 mei 2014 adalah hari teraneh yang saya miliki di Pulau Sapudi. Pagi itu, sekitar pukul delapan, saya dan Pak Basuki pergi ke Puskesmas di Gayam. Kami berencana bertemu dengan Pak Hanafi dan Bu Hasanah, informan yang merupakan pemilik Taman PAUD di dusun Prambanan. Kami bisa menuju rumah mereka tanpa harus melewati Puskesmas, karena lebih dekat dari desa tempat tinggal tanpa harus turun dahulu ke Kota kecamatan. Tetapi karena saya harus ke ATM yang hanya ada di Kecamatan dan bertemu dengan Mbak Ririn dan Mas Lukman, jadilah saya dan Pak Basuki mampir ke Puskesmas dahulu.

Page 181: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

172

Di Puskemas terlihat ramai. Mobil bak terbuka parkir di depan Puskesmas. Di dalamnya, perempuan-perempuan setengah baya dengan sarung dan tutup kepala seadanya mengelilingi seorang pasien. Beberapa dari mereka mulai berteriak dan tersedu. Saya tak berani mendekat, pikir saya pasien tersebut pastilah sudah gawat. Seorang perempuan muda dengan jas putihnya (syukurlah, hari itu ada dokter jaga di Puskesmas *ucapkan dengan nada sarkas*), naik ke atas mobil dengan tergesa kemudian langsung memeriksa. Tangis pun pecah, teriakan makin pilu. Baru saja, satu nyawa kembali pada-Nya. Saya tanya pada seorang warga, itu kenapa? “Meninggal habis melahirkan. Sampai disini sudah tidak ada”. Hati saya kontan luluh-lantak. Selama ini saya belajar soal kematian ibu sebatas teori dan kertas saja. Trias penyebab kematian pasca melahirkan yang dulu sering diulang-ulang dosen sampai saya mengantuk di kelas hari itu begitu nyata terlihat. Belakangan saya tahu dari Mbak Ririn, Ibu tersebut meninggal akibat perdarahan, plus sesak karena selama hamil menderita TB Paru.

Entah keterlambatan jenis apa pula yang menyebabkan ibu, yang baru melahirkan anak pertamanya itu syahid. Terlambat karena akses kah, pengambilan keputusan kah atau ditolong bukan oleh tenaga kesehatan (dukun beranak), atau the worst, kombinasi semuanya. Entahlah. Hari itu saya jadi paham, betapa persoalan angka kematian ibu di negeri ini memang sesuatu yang membuat kita pusing, darimana harusnya ia dientaskan?

Page 182: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

173

Selang lima belas menit kemudian, mobil bak terbuka itu pergi. Membawa pulang jasad ibu yang sudah syahid diiringi tangis dan ratapan dari para pengantar. Kerumunan mulai sepi. Orang-orang yang menonton saling berbisik dan bergegas melanjutkan kesibukannya masing-masing. Drama di pagi hari, esok atau lusa bisa jadi, anak, menantu, cucu, atau bahkan dirinya sendiri bisa bernasib serupa.

Di Puskesmas, orang-orang terlihat tidak berminat membahas kejadian tadi dengan saya. Entah karena tahu saya dari Jakarta. Takut diintervensi atau apa, tak mengertilah. Namun rupanya, keanehan hari itu rupanya belum selesai. Selesai urusan di ATM dan bertemu Mbak Ririn dan Mas Lukman, kami menuju rumah Pak Hanafi karena saat itu hari sudah siang. Saat menuju rumah pak Hanafi, Mbak Susi, putri kepala dusun yang menjadi penunjuk jalan kami tiba-tiba gemurungsung. “Ada ibu melahirkan. Bayinya sudah keluar tapi ibunya tidak sehat.” Kata tidak sehat itu membuat saya terkesiap. Oh Tuhan, tidak lagi. Sial sekali kami kalau sampai melihat dua orang ibu meninggal pada hari yang sama. Saya tidak berani bertanya lebih jauh. Ciut dan merapal doa dalam hati. Semoga selamat, semoga selamat. “Ini lahiran anak kedua..dia kepingin anak perempuan tapi dari sejak hamil itu mbaknya sudah lemas. Sepertinya diguna-guna,” kata Mbak Susi lagi. “Oh nooooo..not that anymore… itu bukan guna-guna mbak susi sayaaang, itu anemiaaaaa..., ”batin saya rusuh. Anemia yang jangan-jangan memang sudah didapat sejak kehamilan

Page 183: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

174

pertama, tidak terdeteksi karena tidak pernah periksa ke bidan atau posyandu. Kemudian setelah melahirkan langsung pergi ke sawah dan mengurus anak. Makin parah ketika hamil kedua. Betapa perempuan itu hebat, mengurus anak dan rumah, ikut pula mencari nafkah. Di Pulau ini ibu juga pergi ke sawah, mencari rumput, memberi makan sapi atau mencari pandan lalu menganyamnya menjadi tikar. Kalaulah boleh wanita melaut, tentu ibu juga pergi ikut. Ibu yang begitu multitasking tidak diikuti dengan asupan gizi yang baik, istirahat yang berkualitas, malah dibebani psikis meyangkut ekonomi keluarga yang tidak bisa dibilang ringan. “Melahirkan sama dukun bayi. Bayinya sudah keluar.” Dukun lagi. “Bidan Ida ndak bisa datang lagi Posyandu..” Ya, di Desa Prambanan yang cukup luas dan terpencar-pencar wilayah adminstratifnya ini memang hanya ada satu bidan desa. Coba kalau ada dua tentu pelayanan kesehatan lebih maksimal. “Ini sedang menunggu perawat desa datang” “Lah, kenapa ga dibawa ke Puskesmas langsung…,” gumam saya dalam hati.

Karena pusing, saya memilih diam dan tidak berkomentar. Belakangan saya tahu, ibu tersebut dibawa ke Puskesmas. Sesampainya di Puskesmas, diketahui kalau HB ibu tersebut tinggal tiga! Dimana angka normal adalah 12. Ia harus ditransfusi darah, dan hanya bisa dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Sumenep yang artinya harus menyeberang lautan. HB tinggal tiga! Saya benar-benar tak habis pikir. Bagaimana ia bisa bertahan? Wallahuallam.

Page 184: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

175

Bukankah kalau sudah begini, kematian Ibu saat melahirkan terasa seperti arisan maut? Karena kebetulan saja bukan giliran nama si ibu yang keluar, makanya selamat... Astaghfirullah.

Beberapa waktu kemudian, saya mencoba cari info ke bidan koordinator di Puskemas. Penasaran, berapa sih angka kematian ibu di Kecamatan Gayam ini? (karena di Puskesmas datanya tidak ada). Batin saya rusuh, kalau sehari itu saja saya hampir melihat dua orang lewat, jangan-jangan angkanya memang sangat besar?. Lalu alangkah terkejutnya saya waktu mendengar jawaban si Ibu-Bidan-Koordinator. “Ndak boleh ada angka kematian ibu. Ya kalau saya laporkan, nanti bidan koordinatornya bisa dicopot”

Jreeeenggg!! Rasanya semacam ada saronen yang memainkan musik di kepala. Asli, saya speechless. Muka Bu Haji yang juga nimbrung ngobrol langsung keruh mendengar jawaban si Bidan Koordinator. Apa yang salah dari sistem kesehatan kita sampai paradigma, jangan-dilaporin-nanti-bisa-dicopot itu ada?. Menurunkan angka kematian ibu, menyehatkan masyarakat dan lain lainnya memang tugas yang berat, namun karenanya kita ada kan?.

Kalau saya lihat, ada gap antara tenaga kesehatan dan masyarakat. Komunikasi antara masyarakat dan tenaga kesehatan tidak terjalin. Gap tersebut, yang kata Pak Haji di zaman ia baru menjadi perawat di Puskesmas diminimalisir dengan proaktif dan turun langsung ke lapangan. Sulit memang mengubah preferensi masyarakat yang lebih suka ke dukun ketimbang ke fasilitas kesehatan. Melihat muka-muka bidan desa yang baru lulus dan cantik-cantik, pasti

Page 185: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

176

terbesit ragu ini benar bisa mengobati tidak? Sementara dengan dukun, entah dari zaman ibu, bibi, nenek mereka sudah mengenal dukun tersebut. Belum lagi ada stigma takut terhadap alat-alat medis, seperti gunting, jarum suntik, infus, dan semacamnya. Seolah kalau berobat dengan tenaga kesehatan pasti bersentuhan dengan alat-alat tersebut.

Misalnya, Mbak Susi, yang melahirkan dengan dukun bayi karena takut dengan alat-alat medis bidan. Padahal ibu dan ayahnya adalah kader posyandu. Selain itu, masyarakat banyak juga yang tidak tahu kalau berobat ke Puskesmas itu gratis. Hal-hal tersebut sebetulnya bisa diminimalisir jika tenaga kesehatannya mau turun aktif, menjalin komunikasi dengan masyarakat. Kalau cuma duduk manis di Puskesmas menunggu masyarakat datang, kondisinya bakal begitu-begitu saja.

Tidak cuma masalah kematian ibu, permasalahan surveillans penyakit, mau itu menular dan tidak menular juga hampir tidak dilakukan di pulau ini. Misalnya ketika saya wawancara dengan petugas TB Paru Puskesmas. Ia dengan jujur mengatakan bahwa selama ini kasus TB Paru hanya mengandalkan laporan dan masyarakat yang datang ke puskemas saja. Active Case Finding tidak pernah dilakukan. Berapa banyak lagi kasus TB Paru yang tidak terdeteksi?. Berapa banyak pula orang yang rentan terhadap TB Paru tidak mendapatkan penyuluhan maupun edukasi? Singkat kata, upaya kesehatan preventif dan promotif tidak berjalan di Pulau ini. Puskesmas benar-benar blass kuratif.

Di kampung saya, ada peribahasa “hepeng do mangatur nagaraon”, artinya “uang yang mengatur negara”.

Page 186: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

177

Apakah preventif dan promotif tidak berjalan karena masalah dana? Contoh sederhana misalnya untuk rumah polindes saja, si bidan desa harus membayar dengan dana pribadi. Memang jika dilihat dari anggaran, alokasi APBD untuk kesehatan di Kabupaten Sumenep kecil, tak sampai 10% sesuai amanat undang-undang yang ada. Itupun sudah naik jika dibandingkan dengan tahun 2013 lalu yang angkanya tak sampai 7%. Kalau sudah begitu, saya gemas sendiri sama pemerintah daerah yang seperti tak punya willing untuk menyehatkan masyarakatnya.Mereka cuma menyediakan pengobatan atau KB gratis. Selain berharap pada APBD, bantuan Operasional Kesehatan (BOK) yang ada juga sering terlambat cair. Bidan Ida, bidan desa di Prambanan bercerita kalau ia pernah mengajukan proposal pelatihan untuk dukun-dukun bayi. Sudah detail dan bagus, tapi belum terlaksana karena duitnya tak kunjung cair. Hari terakhir sebelum balik ke Kabupaten, saya satu kapal dengan ibu melahirkan dengan indikasi plasenta previa yang dirujuk ke RSUD Sumenep, bersama Bidan Ida. Ibu itu yang akan melahirkan, saya yang deg degan. Untungngya ia dirujuk masih dalam kondisi sadar. Tapi tetap lucu dan miris bagi saya, ibu hamil dengan perut buncit tergopoh-gopoh turun dari ambulans Puskesmas lalu dipapah dengan tangan terpasang infus menaiki dek kapal feri. Kalau ada ambulans laut, tentu proses menjadi lebih cepat. Lalu apa kesanmu tentang kondisi kesehatan di Pulau Sapudi? Seperti di film-film ataupun buku teks yang dipelajari waktu kuliah dulu. AKI yang tinggi, akses yang sulit, upaya

Page 187: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

178

kesehatan preventif dan promotif yang tak jalan, tenaga kesehatan yang belum pro-aktif. Tapi, atas itu semua, mengutip dari Pak ADL, “Ini tugas berat, tentu saja! Karena itu kita ada…” (Harusnya) sesederhana itu.

Page 188: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

179

Romantisme Kebun Sayur Catatan Perjalanan ke Suku Tengger di Desa Ngadiwana Agung Dwi Laksono Ngadiwana, 08 April 2015

Dua hari lalu, tepatnya Selasa, 07 April 2015, kami membawa rombongan para calon peneliti Riset Ethnografi Kesehatan tahun 2015 ke masyarakat Suku Tengger di Desa Ngadiwono, Kecamatan Tosari, Pasuruan. Kedatangan kami bersama 60 calon ethnografer di sini untuk belajar pada Suku Tengger tentang kehidupan keseharian mereka.

Pertama kali memasuki wilayah Ngadiwono, terbersit pertanyaan sebagai ekspresi keterkejutan saya, “Ini bukan di Jakarta kan? Jangan-jangan ini di pojokan Surabaya?” bagaimana tidak? Perkampungan yang kami datangi sungguh jauh berbeda dengan apa yang menjadi bayangan saya dengan pengalaman beberapa tahun lalu berkunjung di wilayah Tengger ini. Perkampungan Tengger di Ngadiwono ini sungguh jauh melampaui ekspektasi saya.

Page 189: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

180

Gambar 1. Desa Ngadiwono, Kecamatan Tosari, Kabupaten Pasuruan

Sumber: Dokumentasi Peneliti

Perkampungan Tengger di Desa Ngadiwono kali ini lebih mirip perkampungan di pojokan sebuah kota metropolis sebangsa Jakarta, Surabaya, atau Bandung. Crowded, penuh sesak! Setiap rumah saling berhimpitan, dengan hampir tidak menyisakan halaman rumah sama sekali. Meski masih ada juga menyisakan beberapa rumah dengan halaman yang lebih luas khas pedesaan.

Tapi jangan salah, lebih dari 95% penduduk di wilayah ini berprofesi sebagai petani. Kondisi perumahan yang padat dan penuh sesak hanya ada di wilayah pemukiman saja. Sementara sebagian tanah di wilayah pegunungan Tengger ini merupakan lahan kebun sayur yang sangat luas dan subur.

Page 190: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

181

Hasil sayuran utama di wilayah ini adalah kobis, kentang dan wortel. Ada komoditi tanaman lain semacam jagung, ketela, bawang, cabe, dan beberapa sayuran lainnya. “Orang sini lebih suka tanaman yang umurnya pendek mas…,” terang mas Sug, lelaki asli Tengger berumur 38 tahun yang juga berprofesi sebagai petani, saat saya mintai penjelasan tentang kecenderungan menanam sayur mayur tersebut. Masyarakat yang hampir seluruhnya petani, tentu saja membawa konsekuensi pada kultur budaya yang mempunyai kecenderungan seperti wilayah agraris lainnya. Hampir seluruh waktu masyarakat Tengger pada siang hari, terutama yang dewasa, berada di kebun. Sementara di rumah menyisakan anak-anak dan beberapa orang tua yang sudah tidak seberapa kuat untuk menjalankan aktivitas secara fisik di kebun.

Konsekuensi inilah yang membuat banyak aktivitas rumah tangga yang bagi masyarakat lain umumnya dilakukan di rumah, menjadi bergeser ke kebun, termasuk di dalamnya ‘bercinta’. Bagaimana bisa? Kebiasaan masyarakat Tengger yang berangkat ke kebun berdua dari pagi, bekerja keras merawat kebun, hingga pulang pada sore harinya, membuat sedikit waktu yang tersisa untuk mengerjakan aktivitas lainnya.

“…lha kalo pulang kan sudah capek mas. Kan habis nyangkul-nyangkul di kebun…,” kilah mas Har. Lelaki berumur 33 tahun ini sudah menghasilkan dua anak laki-laki hasil ber’kebun’ bersama Nah, istrinya yang malu-malu saat suaminya bercerita tentang hal tersebut.

Page 191: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

182

Gambar 2

Kenampakan Posisi Kebun dan Rumah Masyarakat Tengger di Desa Ngadiwono

Sumber: Dokumentasi Peneliti

Kondisi di kebun dengan angin pegunungan yang semilir, serta keadaan yang cukup sepi, mampu membangkitkan romantisme saat hanya berduaan dengan pujaan hati. Tidak ada ‘gangguan’ anak-anak yang bisa merusak suasana romantis yang terbangun, bukannya mereka sedang menunggu di rumah. Aman terkendali. Mas Sug (38 tahun) pun mengakui adanya romantisme kebun sayur ini. Anak perempuan yang dimilikinya pun diakui merupakan hasil kerja kerasnya saat men'cangkul' di kebun. “Yaaa… banyak yang memang begitu mas, melakukan itu di kebun… kan kebunnya jauh-jauh…”

Kondisi kepemilikan tanah kebun yang cukup luas pada masing-masing keluarga membuat jarak antar kebun

Page 192: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

183

tidak mengganggu aktivitas bercinta mereka. Rasa takut ketahuan tetangga menjadi hilang, meski sebenarnya rasa takut dan deg-degan ketahuan itulah yang sesungguhnya membuat romantisme kebun sayur jauh lebih membara. Ahh seandainya…

Page 193: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

184

Page 194: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

185

Menapak Mesuji; Feminisme Bioepik Daerah Konflik Harun Alrasyid Mesuji, 15 Mei 2015

Jika kita mengetikkan satu kata kunci saja di mesin serba tahu google mengenai Mesuji, maka kita akan menemukan puluhan artikel, berita, dan jurnal mengenai konflik yang terjadi di daerah perbatasan ini. Kemudian jika discroll ke bagian bawah, maka google akan menampilkan secara otomatis beberapa kata kunci yang paling umum dalam ‘Searches related to Mesuji’ seperti, kasus Mesuji, Mesuji berdarah, kerusuhan Mesuji, hingga tragedi Mesuji. Ya, memang daerah ini memiliki catatan hitam nan kelam dalam proses perkembangannya sebagai kabupaten baru sehingga membuat siapa saja berpikir berulang kali untuk mengunjunginya, kendati pun sebuah tugas. Tercatat, pernah terjadi beberapa kali kerusuhan di daerah ini hingga terjadi pembantaian dan penembakan akibat sengketa lahan. Awal mula permasalahan adalah berakar dari konflik agraria yang

Page 195: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

186

kunjung tidak terselesaikan. Bahkan konflik ini memasuki babak baru dengan perhatian internasional terhadap kabupaten Mesuji atas isu pelanggaran Hak Azazi Manusia (HAM) di daerah register 45.

Gambar 1

Rute Perjalanan Palembang – Mesuji Lampung Sumber: Google Maps

Karena berada pada daerah perbatasan provinsi, maka ada dua rute perjalanan yang dapat kita pilih untuk dilalui. Rute pertama, Bandar Lampung-Mesuji dan rute kedua, Palembang-Mesuji. Kedua rute ini memiliki keunggulan dan kekurangan masing-masing. Jika kita melalui rute Bandar Lampung–Mesuji, maka perjalanan relatif lebih

Page 196: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

187

smooth dibandingkan dengan rute Palembang-Mesuji. Hanya saja waktu tempuh untuk rute pertama akan jauh lebih lama dibandingkan dengan rute kedua. Akhirnya saya dan rekan Tim Riset Etnografi Kesehatan memilih rute kedua untuk kami lalui dengan pertimbangan efisiensi waktu. Rute yang kami pilih memang berbeda dari rute yang kami tempuh saat melakukan persiapan daerah. Jika pada persiapan daerah kami memilih rute Lampung-Mesuji, sedangkan pada kali ini kami menempuh jalur lebih singkat yaitu Palembang-Kayuagung-Mesuji. Untuk mengefisiensi waktu, perjalanan kami mulai pada pukul 05.05 WIB setelah ba’da subuh. Kami melewati jalan Lintas Timur, dimana ini adalah jalan darat satu-satunya untuk menuju ke kabupaten Mesuji lampung dari Sumsel. Jalan Lintas Timur adalah jalur lintas provinsi yang menghubungkan antara Provinsi Sumatera Selatan dengan Provinsi Lampung. Kabupaten Mesuji berada di perbatasan kedua provinsi ini. Jarak antara Palembang-Mesuji Lampung sekitar 237 km dengan memakan waktu tempuh normal tanpa hambatan 4-5 jam.

Hingga memasuki daerah Teluk Gelam jalan yang dilalui agak sedikit tersedat dengan adanya jalan-jalan rusak di beberapa titik, bahkan jalan pemerintah sedikit pun tidak memanjakan perjalanan kami. Seakan menjadi penawar, sepanjang perjalanan kami menikmati proses alamiah yang terjadi. Sunrise yang seakan membentuk frame-frame yang membuat panorama begitu asri, sedap di pandang mata. Terlihat sepanjang jalan, bagaimana proses ‘tumbuh kembang’ daerah-daerah dulu yang hanya berisi pohon-pohon hutan yang lebat sekarang sudah menjadi rumah-

Page 197: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

188

rumah dan sesak dengan bangunan seperti di Tugu Mulyo. Dulu, saat tahun 90-an saat saya masih kecil, daerah ini sama halnya seperti Mesuji saat ini bahkan lebih parah. Namun saat transmigrasi dimulai oleh Pak Presiden Soeharto, perkembangan dan perbedaan itu pun sangat terlihat. Mesuji saat ini bertahap untuk menuju ke arah tersebut, setidaknya itulah yang saya tahu sebelum tinggal dan mendalaminya lebih jauh.

Gambar 2

Matahari Terbit, di Jalan Lintas Timur Sumatera Sumber: Dokumen Peneliti

Pukul 09.15 WIB kami tiba di Simpang Pematang atau akrab disebut dengan Unit 2 atau A oleh masyarakat Mesuji, kemudian kami melanjutkan perjalanan menuju Kecamaatan Brabasan yang merupakan pusat pemerintahan kabupaten Mesuji. Meskipun hujan tadi malam, namun karena pagi ini matahari cukup terik untuk mengeringkan jalan-jalan berlumpur di Mesuji membuat perjalanan kami menuju

Page 198: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

189

Kecamatan Brabasan cukup mulus, setidaknya lebih baik dari Persiapan daerah bulan lalu. Sekitar pukul 10.30 WIB kami sampai di Kecamatan Brabasan dan langsung menuju Dinkes Kab. Mesuji untuk melapor. Kami melanjutkan perjalanan menuju Desa Wiralaga sebagai desa lokus penelitian kami. Kami tiba di puskesmas dan disambut oleh Kepala Puskesmas Wiralaga dan untuk sementara kami memutuskan untuk tinggal di Puskesmas Wiralaga sebagai basecamp awal.

Gambar 3.

Jalan Menuju Desa Wiralaga, Mesuji Lampung Sumber: Dokumentasi Peneliti

Mesuji, sebagai Sub Etnik dan Wilayah Administrasi

Jika kita menyebut Mesuji, maka akan ada dua referensi yang akan kita gunakan yaitu Mesuji sebagai kelompok budaya dan Mesuji sebagai sebuah wilayah administrasi. Mesuji dalam segi budaya, merupakan sub etnik

Page 199: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

190

atau marga yang mendiami wilayah di Sumatera bagian Selatan. Sedangkan jika dilihat dari segi administratif, Mesuji merupakan sebuah kabupaten yang ditinggali oleh multi etnik bukan hanya marga Mesuji. Kabupaten Mesuji yang terbentuk pada tahun 2008 yang lalu, saat ini sedang giat-giatnya berbenah diri membangun wilayah. Hal ini terlihat dari telah dibangunnya komplek pemerintahan terpadu di wilayah kecamatan brabasan. Hubungan kekerabatan yang sangat erat dengan masyarakat Sumatera Selatan, merupakan asal usul munculnya orang Mesuji. Suku asli marga Mesuji merupakan keturunan orang sirah pulau padang, yang merupakan salah satu wilayah di Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan dan beberapa suku lainnya seperti suku Kayuagung, Sugi Waras, Palembang dan suku Lampung Tulang Bawang. Kelima suku inilah yang disebut sebagai Marga Mesuji sebagai orang Mesuji asli.

Kehidupan masyarakat Mesuji tidak dapat dipisahkan dari sungai dan perkebunan. Sebagai sumber utama kehidupan, sungai dan hume menjadi mata pencaharian. Menangkap ikan, ngehume (berladang), dan ngedolok kayu adalah aktivitas sehari-hari yang dilakukan untuk melanjutkan hidup. Tidak seperti dulu, kini masyarakat Mesuji sudah bisa menikmati listrik dan teknologi. Berangkat dari salah satu desa tua, kami mulai melakukan grounded masyarakat Mesuji di Desa Wiralaga. Desa Wiralaga merupakan satu dari 10 desa tertua di kecamatan Mesuji lampung.

Page 200: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

191

Gambar 4

Sungai Kabong, Desa Wiralaga Sumber: Dokumentasi Peneliti

Perempuan Mesuji

Dalam adat istiadat Mesuji, perempuan memiliki kedudukan yang tinggi dan istimewa. Hukum adat sangat melindungi dan memberikan perhatian khusus terhadap segala sesuatunya mengenai perempuan sehingga wajar jika terdapat denda adat bagi siapa saja laki-laki yang berperilaku tidak pantas kepada perempuan di Mesuji. Dalam hukum adat istiadat Mesuji Lampung diberlakukan denda adat jika laki-laki memegang bagian tubuh perempuan dan perempuan merasa tidak senang. Denda adat ini mulai dari denda uang hingga pernikahan. Pertama kali mendengar hal ini, kontan saja saya menggunakan baju lengan panjang dan tidak berani dekat-dekat dengan perempuan Mesuji, sekalipun istri kapuskes. Ketika mendengar pengalaman dr.

Page 201: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

192

Gerry (disamarkan), saya agak tergelitik untuk tertawa karena dr. Gerry memiliki sikap yang sama dengan saya, tidak ingin pegang pasien wanita katanya bahkan hanya untuk menegakkan diagnosa. Beberapa cerita juga mengatakan bahwa hukum adat ini sangat menguntungkan perempuan dan tidak adil bagi laki-laki. Untungnya saat ini, denda adat untuk sementara tidak diberlakukan karena Dewan Adat Mesuji sedang menyusun Perundangan Adat Mesuji yang baru.

Gambar 5

Perempuan Mesuji, Desa Wiralaga Sumber: Dokumentasi Peneliti

Cantik itu PUTIH!

Beberapa diantara pengalaman menarik yang saya alami di Desa Wiralaga Mesuji ini adalah ketika bersinggungan dengan hal-hal yang berbau feminisme. Tidak disangka-sangka daerah yang kental akan konflik ini

Page 202: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

193

menyimpan bumbu-bumbu feminisme di salah satu desanya. Salah satunya adalah berbicara soal role model yang dipegang teguh oleh perempuan Mesuji, khususnya kalangan ibu-ibu dan remaja putri. Sesekali, bukan tapi berkali-kali saya mengamati dari atas hingga ke bawah, mayoritas penampilan perempuan-perempuan Mesuji di Desa Wiralaga ini agak berbeda. Berbeda dalam arti yang sebenarnya, antara warna muka dan bagian tubuh lainnya. Perempuan di desa ini percaya bahwa, Cantik itu PUTIH !. Sehingga untuk perempuan-perempuan yang tidak memiliki genetik kulit putih, mencoba untuk melakukan langkah yang cukup ekstrim. Hampir semua remaja putri dan ibu-ibu yang kami temui mengaku memiliki cara yang cukup mudah untuk menjadi putih bersinar. Cream pemutih yang sering mereka sebut dengan krim putih dan cream malam yang mereka sebut dengan SP tersedia rapi di kamar masing-masing. Setelah dilihat cream pemutih yang disebut oleh Bidan BT sebagai cream plasenta ini merupakan semacam cream yang tidak memiliki etiket bahkan merk sekalipun. Jarang berharap untuk mengetahui kandungan, cara pemakaian terlebih indikasi dan kontraindikasi seperti produk lainnya. Sekilas cream ini memiliki ciri-ciri mengkilat dan bau menyengat mirip layaknya cream yang mengandung merkuri. Terlebih harganya yang sangat murah yaitu tiga buah hanya Rp.10.000,-. Namun belum bisa dijustifikasi apakah benar-benar mengandung merkuri atau tidak karena sampel sedang dalam pemeriksaan laboratorium. Pengakuan masyarakat wiralaga menyatakan bahwa dalam satu minggu kulit akan mengelupas dan bersih seperti bayi. Meskipun pernah terjadi

Page 203: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

194

kasus kanker kulit hingga mengakibatkan kematian namun produk ini tetap saja laris manis di warung-warung di Desa Wiralaga. Bidan BT yang pernah mencoba produk ini juga mengakui bahwa perempuan-perempuan di Desa Wiralaga sangat fanatik dengan produk ini. Bahkan bayi sekalipun diberi cream pemutih ini oleh ibunya. Sekali lagi, Cantik itu Putih, kawan!

Gambar 5

Remaja Putri di Desa Wiralaga Sumber: Dokumentasi Peneliti

Page 204: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

195

Bidan Desa Tumpuan Harapan Catatan Perjalanan ke Kabupaten Aceh Timur Lafi Munira

Aceh, sudah sejak lama diri ini ingin menapak jejak kaki di ujung barat Indonesiaku ini. Tuhan menjawab harapan saya, walau saya tak pernah memanjatkan doa secara langsung agar bisa ke Tanah Aceh, namun apalah yang tidak bisa diketahuiNya, walau hanya sepintas harap dalam hati. Oh sungguh Maha Suci-Nya yang memberikan kesempatan kepada saya untuk singgah di Tanah Aceh, dan belajar tentang kesyukuran nan senantiasa merenung akan keindahan alam pun tentang polemik kesehatan di Tanah Aceh ini.

Perjalanan saya dimulai dari Banjarmasin, tempat dimana keluarga saya tercinta menetap. Pagi itu tanggal 27 April 2015 saya berangkat dari Bandara Syamsudin Noer tepat pukul 09.00 WITA, kemudian sampai di Bandara Soekarno-Hatta pada 09.30 WIB untuk transit. Penerbangan Medan kembali dilanjutkan pada pukul 12.30 sampai dengan pukul 15.10. Perjalanan dari Jakarta menuju Medan cukup

Page 205: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

196

membuat deg-degan karena memakan waktu yang cukup lama. Sesampainya di Bandara Kuala Namu Medan, saya menginap 1 malam di Medan.

Gambar 1.

Batas Aceh dengan Sumatera Utara Sumber: Dokumentasi Peneliti

Saya kembali melanjutkan perjalanan keesokan harinya berbarengan dengan kawan satu tim, mas Subhansyah yang pada hari sebelumnya berangkat dari Yogyakarta. Kami naik travel mulai jam 10.30 WIB travel menjemput kami dan kami berputar-putar selama 2 jam di Medan karena menjemputi satu-persatu penumpang yang hendak pergi ke Kota Langsa. Sedangkan kami akan melanjutkan perjalanan sampai dengan Kabupaten Aceh

Page 206: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

197

Timur. Membutuhkan waktu 5 jam dari Medan ke Aceh Timur.

Di sepanjang jalan Medan-Banda Aceh, kami disuguhi pemandangan perkebunan sawit di sebelah kanan dan kiri jalan. Kami singgah untuk makan dan sholat di Kota Langsa yang merupakan daerah pemekaran. Dahulunya Kota Langsa merupakan bagian dari Kabupaten Aceh Timur, namun kini telah menjadi kota tersendiri. Kami sampai di Puskesmas Peudawa sekitar pukul 18.00 WIB dengan selamat dan aman. Kami tinggal di rumah dinas Puskesmas Peudawa. Saya tinggal satu kamar dengan dokter internship Ririn Juli Anggraini, 25 tahun, dan petugas gizi, Desi Mauliza, 25 tahun.

Gambar 2. Tampak Luar Puskesmas Peudawa Sumber: Profil Puskesmas Peudawa

Page 207: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

198

Dari pengamatan yang dilakukan, sarana Puskesmas Peudawa cukup lengkap karena di dalamnya terdapat beberapa poli atau program-program yang telah tertata dengan baik. Diantaranya terdapat ruang UGD (Unit Gawat Darurat) 24 jam, yang akan berganti-ganti shift baik pada pagi hari sampai sore hari. Terdapat ruang laboratorium untuk pengecekan gula dalam darah. Pelayanan Puskesmas dimulai dari jam 8 pagi hingga jam 4 sore. Selain itu terdapat program KIA, Gizi, Kesling, PHBS, PM, PTM. Bidan Desa Tumpuan Harapan

Pernah suatu hari saya mengikuti lokakarya mini (lokmin) yang diadakan di Puskesmas pada pekan pertama hari kamis tiap bulannya. Lokakarya mini tersebut dihadiri oleh 17 bidan desa, petugas gizi, imunisasi, KIA, poli umum, hingga petugas apotik yang menyampaikan progress report-nya plus uneg-uneg dalam hati. Pada lokakarya mini tersebut saya mengamati pemaparan satu-persatu program kesehatan yang ada. Tidak jarang saat pemaparan penanggung jawab program, 17 bidan desa yang ada dicecar pertanyaan-pertanyaan sekaligus ditegur oleh kepala pukesmas bahwa kinerja bidan desa kurang baik. Definisi “kurang baik” disini dianggap karena; 1) kurang up date permasalahan kesehatan di desa tempat dimana bidan desa bertugas terkait masalah penyakit menular, 2) tidak memantau pola konsumsi obat pada pasien kusta dan TB, 3) serta pelayanan masyarakat yang sakit di polindes atau pustu, 4) adanya pernyataan, “Mana mungkin satu penanggung jawab program (petugas

Page 208: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

199

Puskesmas), memegang 17 desa yang ada? ya itulah tugas kalian bidan-bidan desa.”

Polindes atau Pustu yang terdapat di wilayah kerja Puskesmas Peudawa telah memiliki peralatan Posyandu yang lengkap. Terdapat timbangan badan, dacin, dan mikrotoa. Posyandu dilakukan 1 bulan sekali oleh bidan desa dan kader Posyandu serta petugas Puskesmas di 17 titik desa yang menghimpun dusun-dusun yang terdapat di desa-desa. Polindes juga lengkap dengan obat-obatan sehingga apabila masyarakat merasa sakit, mereka akan berkunjung ke Polindes untuk meminta obat kepada bidan desa.

Dari beberapa jabaran di atas, saya berfikir bahwa tugas bidan desa cukup berat, karena selain mengurusi permasalahan kesehatan ibu dan anak, mereka pun menjadi tumpuan harapan keberhasilan status kesehatan masyarakat di desa yang mereka diami. Saya mencoba bertanya kepada salah seorang petugas kesehatan di Puskesmas Peudawa yang sebelumnya pernah menjadi bidan desa. “Kata orang dinkes, kami lah ujung tombak pelayanan kesehatan di desa... capek sekali jadi bidan desa.. nanti ada salah-salah kami yang disalahkan.. belum lagi membuat laporan,, aduuh capek kali kami waktu itu Lafi,” ujarnya.

Kemudian saya bertanya kembali tentang apa yang dialami dan dirasakan oleh “mantan bidan desa” yang kini telah menjadi petugas Puskesmas, dari 2 orang informan yang saya tanyai, keduanya melontarkan kata-kata; ”Ooh tanggung jawabnya besar”, “beda bebannya dengan orang yang bekerja di Puskesmas”, “kita berada di bawah pak geucik (kepala desa), ada orang melahirkan kita yang

Page 209: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

200

menolong, ada orang sakit kita yang menolong, nanti kalau ada orang yang KBnya tidak berjalan kita juga yang ditanya, kalau desanya tidak bersih kita juga yang ditanya, semuanyalah, maka itu bidang desa dibilang ujung tombak kesehatan masyarakat”.

Kemudian saya menanyakan kembali apakah bidan desa membutuhkan tenaga kesehatan pendamping untuk meringankan beban kerjanya. “Tergantung desanya kita lihat luas atau tidak desanya, banyak tidak penduduknya.. seperti di desa paya dua itu kan ada 4 dusun tapi dipegang oleh 1 bidan desa saja. Kalau dulu kalau desanya besar ditaroh 2 bidan desa, tapi sekarang tidak lagi karena ada peraturan 1 bidan 1 desa saja. Darimana asal peraturan datangnya kami tidak tahu juga, tapi ada peraturan seperti itu. Untuk penambahan tenaga kesehatan lain kami rasa tidak perlu, cukup tambahkan jumlah bidan di desa yang luas saja. Kalau penambahan tenaga kesehatan lain seperti perawat oh itu tidak perlu, penambahan sesama bidan saja biar enak komunikasinya. Tapi saat ini tidak bisa seperti itu dari pemerintah, kalau misal bidannya ada 2 di desa berarti gajinya dibagi dua juga.” Kemudian saya menanyakan tentang anggaran desa apakah ada pengalokasiannya ke ranah kesehatan, menurut informan anggaran desa hanya sebatas membantu untuk Pemberian Makanan Tambahan (PMT) lebihnya tidak ada.

Saya mencoba menarik benang merah bahwa kondisi-kondisi kesehatan yang ada di desa-desa yang berada di wilayah kerja Puskesmas Peudawa berasal dari perilaku kesehatan masyarakat yang kurang mendukung, serta belum

Page 210: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

201

efektifnya sisi promotif, dan preventif. Apakah tugas bidan desa juga meliputi promotif dan preventif seluruh masalah kesehatan secara holistik? Mungkin akan menarik jika ada suatu mekanisme di dalam sistem kesehatan yang telah dibuat untuk melibatkan SDM kesehatan berlatarbelakang Ilmu Kesehatan Masyarakat dilibatkan dalam pendampingan di masyarakat yang terarah dan berkontinuitas. Namun ironinya ketika saya bertanya apakah bidan desa perlu didampingi oleh SKM atau tidak mereka menyatakan, “emmm SKM, ini SKM yang mana dulu? SKM yang betul-betul bisa kerja apa enggak di lapangan, SKM yang betul-betul bisa kasih penyuluhan dan promosi kesehatan tidak, jangan sampai SKM nanti di tempatkan di desa malah cuma duduk-duduk santai saja. Sebetulnya 1 SKM di desa itu tak perlu, namun bisa jadi ada SKM yang punya desa binaan fokus ke desa itu.”

Nah, ini jadi PR tersendiri untuk para SKM yang kompetensinya pun masih “diragukan” oleh tenaga kesehatan lain, ya inilah kenyataan di lapangan, kata-kata penyemangat saja tidak cukup, namun inilah kenyataan di lapangan, bahwa SKM perlu memantapkan keberadaannya di ranah kesehatan dengan kerja-kerja nyata yang dibutuhkan masyarakat sesederhana penyuluhan. Ya sesederhana itu.

Page 211: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

202

Page 212: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

205

Aceh yang Mempesona Tak Habis oleh Tsunami Catatan Perjalanan ke Kabupaten Aceh Utara Siti Khodijah Parinduri

Aceh Utara, 30 Mei 2015

Aceh Utara, merupakan salah satu kabupaten dari bentangan provinsi Aceh yang masih dalam tanda tanya dan memberikan beribu tanya bagi kami, tapi yang kami tahu pasti adalah Aceh Utara bagian dari Indonesia, dan sebuah tugas penelitian etnografi kesehatan mengharuskan kami berangkat ke Aceh Utara. Sebelum berangkat menuju lokasi tujuan, banyak masukan dan persiapan diri terutama mental karena terdapat beberapa wacana yang kami terima. Mulai dari adanya berita di Koran bahwa telah terjadi penembakan terhadap 2 TNI, baru saja terjadi banjir, hingga kasus AUDEK yang juga terjadi penembakan. Betapa Aceh masih sangat menyimpan banyak tanda tanya bagi kami, dan tentunya berada disana adalah jawabannya. Tanah Aceh yang menyimpan kisah tsunami di bulan Desember 2004 silam,

Page 213: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

206

sangat dikenal dengan sebutan Serambi Mekah dalam keistimewaan sistem religinya.

Perjalanan menuju Aceh dilalui melalui Bandara Soekarno Hatta, untuk sampai di Aceh dapat dilakukan dua kali penerbangan, yaitu melalui Jakarta-Medan-Lhokseumawe ataupun Jakarta-Banda Aceh-Lhokseumawe. Jarak tempuh dari Medan-Aceh Utara sama dengan Banda Aceh-Aceh Utara sehingga kami pun memilih penerbangan Jakarta-Medan-Lhokseumawe. Bandara pertama yang menjadi tempat transit kami adalah Bandara Kualanamu Medan kemudian perjalanan dilanjutkan hingga sampailah kami di Bandara Malikussaleh Lhokseumawe. Sebenarnya masih ada cara lain, yaitu dengan jalur darat dari Banda Aceh ataupun dari Medan, yaitu naik bus yang akan memakan waktu sekitar 8 jam dengan ongkos sebesar 100.000 rupiah. Akan tetapi jalur udara pun mampu mempersingkat waktu tiba di Aceh Utara. Turun dari pesawat menyusuri jalan menuju Desa Sawang, bentangan sawah pun menjadi pemandangan segar, jalan yang masih lengang dan situasi jalan anti macet membuat siapa saja menikmati perjalanan.

Sampai di Puskesmas Samudera, Kecamatan Samudera, kami berharap ada staf yang bisa mengantar kami. Namun ternyata Puskesmas kosong, petugas piket belum hadir, maka kami memutuskan menggunakan ojek “RBT”. RBT pun mengantarkan kami melewati beberapa desa di kecamatan Samudera, hingga sampai di Desa Sawang dengan bermodalkan alamat kedai pak Geuchik akhirnya kami pun sampai. Ongkos yang dibayarkan untuk RBT ialah sebesar Rp. 15.000 rupiah. Tapi tenang saja, untuk

Page 214: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

207

masyarakat ongkos biasanya adalah Rp. 8.000 rupiah sampai di Geudong sebagai pusat kota terdekat. Melihat Aceh Utara dari Desa Sawang

Desa Sawang merupakan bagian dari kecamatan Samudera kabupaten Aceh Utara memiliki luas daerah 194764.3460 m2 Jumlah penduduk Desa Sawang sebanyak 367 KK, 1500 penduduk yang merupakan jumlah penduduk terbanyak di kecamatan Samudera. Desa Sawang dibagi menjadi tiga bagian yaitu Sawang Barat, Sawang Timur dan Sawang Tengah, sedangkan rumah Pak Geuchik berada di Sawang Barat.

Perjalanan pun berjalan mulus, hanya bertanya beberapa kali untuk menemukan kedai pak Geuchik Desa Sawang, karena pengendara RBT yang mengantar kami mengetahui lokasi Desa Sawang meski ia bukan warga sekitar. Begitulah paparannya, “kalau disini sudah saling tau jadi cari alamat gak akan sulit” . Aku yang berada di belakang pun tenang dan asyik menghirup udara segar dan pemandangan yang membuat wajah secara otomatis akan tersenyum, membuat semakin penasaran pada Desa Sawang dan tentunya menjadi kebahagiaan di sesi awal. Perjalanan pun menyusuri sawah, tambak, rumah-rumah penduduk dan masjid khas Aceh, pengrajin besi pembuat pisau, hewan-hewan ternak yang bebas berjalan dan gerombolan anak-anak yang bersepeda. Rasa penasaran pun semakin membuat kami tak sabar untuk menemukan Desa Sawang, tempat kami mengenal Aceh Utara lebih dalam.

Page 215: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

208

Gambar 1.

Tepi jalan menuju Desa Sawang Sumber : Dokumentasi peneliti

RBT pun berhenti tepat di depan sebuah kedai, untuk memastikannya turunlah kami dan menanyakan dimanakah kedai pak geuchik Desa Sawang? Dan ternyata Pak Geuchik pun menjadi salah satu dari orang yang kami tanyakan. Memang penampilannya agak berbeda karena sudah tidak memiliki kumis tebal seperti pertama kali berjumpa, hehe.. Kami pun membayar RBT dan membawa barang-barang ke dalam kedai. Di kedai tersebut hanya terlihat para pemuda dan bapak-bapak yang sedang menikmati rokok sambil berbincang-bincang. Tak lama aku langsung di antar ke rumah Pak Geuchik dan bertemu dengan bu Geuchik serta keluarga. Pak Geuchik merupakan tokoh masyarakat bagi Aceh, biasa kita mengenal dengan sebutan kepala desa, Pak

Page 216: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

209

Geuchik memiliki pengaruh besar di desa terutama dalam hal administrasi seperti pengurusan akte, surat-menyurat, dan kegiatan-kegiatan masyarakat. Bahkan dalam program puskesmas pun pak Geuchik turut berperan.

Menyusuri rumah penduduk yang diberi pagar kayu dan tampak beberapa rumah dengan arsitektur rumah bantuan pasca tsunami dari Jepang, yang biasa disebut rumah IOM. Sebagian masyarakat telah membangun kembali rumah dengan menambah luas dan tinggi rumah bantuan tersebut. Rumah IOM ini terdiri dari 2 kamar tidur, 1 kamar mandi, dapur dan ruangan depan. Begitu juga dengan rumah pak geuchik yang telah dibangun kembali sehingga menjadi lebih besar. Selain rumah IOM, disini juga terdapat rumah PMI, yaitu rumah bantuan dari PMI dan masih ada beberapa rumah panggung peninggalan tsunami yang masih bisa diperbaiki kembali.

Desa Sawang dikenal tiga model rumah, yaitu rumah IOM, PMI dan rumah panggung. Namun, rumah panggung sudah tidak banyak lagi, terdapat hitungan jari. Menariknya dari rumah masyarakat Sawang, hampir setiap rumah memiliki tempat untuk duduk-duduk yang terbuat dari bambu atau seperti rumah panggung kecil dan memiliki pekarangan serta tanaman. Jauh dari kesan “crowded” tentunya.

Page 217: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

210

Gambar 2.

Rumah Pak Geuchik, Rumah IOM yang sudah dibangun menjadi lebih besar.

Sumber: Dokumentasi peneliti.

Bahasa Indonesia Belum Bersahabat

Setelah sampai di rumah pak Geuchik, menjadi awal perkenalan dengan Desa Sawang. Menyapa anak-anak yang sedang bermain, tentunya dengan pertanyaan pertama pada umumnya yaitu siapa namanya? Namun tanya tak berbalas. Anak-anak pun menghindar dan tertawa. Begitu juga dengan Bu Geuchik yang tak banyak berkata-kata. Hingga akhirnya pak Gechik pun menyampaikan bahwa Bu Geuchik agak kesulitan dalam bahasa Indonesia sehingga akan jarang

Page 218: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

211

berbicara dan aku pun tersadar bahwa alasan tak ada reaksi adalah karena bahasa yang tidak dimengerti. Bahasa Indonesia ternyata masih dirasa sulit oleh bangsa Indonesia sendiri hingga timbul pertanyaan dari kepolosan seorang anak, kenapa seluruh Indonesia tidak menggunakan bahasa Aceh saja. Bahkan jika membandingkan, salah seorang anak mengaku lebih bisa menggunakan bahasa Malaysia karena belajar dari film kartun kesukaannya. Bahasa Etnis Aceh Utara ialah bahasa Aceh Utara, yang berbeda dengan Aceh Barat, Aceh Timur ataupun Aceh Tenggara meskipun dalam etnis Aceh. Modal kosakata yang harus dipegang adalah “Han jiet bahasa Aceh” yang artinya tidak bisa berbahasa Aceh ataupun “Hana lon Tupu” yang artinya saya tidak mengerti. Ini sebagai senjata saat ada yang memulai percakapan dengan bahasa Aceh Utara. Alhasil, bahasa isyarat dan senyuman sebagai komunikasi. Syukurnya masih ada beberapa yang dapat berbahasa Indonesia meski masih terbata-bata ataupun harus sedikit berpikir saat mengucapkan sebuah kalimat. Hal ini mendorong peneliti untuk mempelajari bahasa Aceh tentunya, pun mendorong masyarakat mempelajari bahasa Indonesia. Bahasa persatuan nampaknya belum kokoh mengakar di bumi pertiwi. Lalu bagaimana dengan sekolah? Ya, hanya di sekolah lah Bahasa Indonesia digunakan, itupun masih percampuran, belum sepenuhnya menggunakan bahasa Indonesia. Maka, yang tamat sekolah hingga SMA tentunya bisa berbahasa Indonesia, atau minimal mengerti. Serta beberapa pemuda yang telah merantau ke Malaysia atau

Page 219: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

212

sekitar pulau Sumatera yang biasanya mampu berbahasa Indonesia dengan lancar meski tetap tidak terbiasa. Timbul kembali pertanyaan, apakah edukasi kesehatan pun dilakukan dalam bahasa Aceh Utara? Ternyata tetap bahasa persatuanlah yang digunakan, bahkan banyak petugas puskesmas pun tidak mengerti bahasa Aceh Utara dan tidak bisa menggunakan bahasa Aceh yang biasa digunakan masyarakat. Hal ini tentu menjadi suatu kekhawatiran bahwa pesan yang disampaikan tidak diterima dengan baik ataupun terjadi miss komunikasi. Dan ternyata memang terjadi. Antara Kebahagiaan, Kesedihan dan Pengobatan : Sebuah Pembelajaran dari Pantai Sawang

“Jak u pasi…!” begitulah ajakan untuk pergi ke sebuah pantai di desa sawang. Melanjutkan kembali perjalanan di Desa Sawang, kita akan menemukan sebuah keindahan di pagi hari dengan langit birunya dan di sore hari dengan pesona matahari terbenamnya. Kebahagiaan selanjutnya adalah menemukan keindahan Pantai Sawang yang dapat dijumpai hanya dengan berjalan kaki, bahkan jalan menuju pantainya saja sudah memanjakan mata ditambah angin sepoi-sepoi yang bertiup. Indah dan membuat semakin takjub pada penciptaan Nya.

Page 220: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

213

Gambar 3. Jalan menuju Pantai Sawang. Sumber: Dokumentasi peneliti

Rekreasi Masyarakat

Pantai Sawang menjadi salah satu tempat rekreasi yang mudah, murah dan mantab. Hari Minggu adalah hari dimana Pantai Sawang ramai oleh pengunjung dan penduduk setempat. Rekreasi yang dilakukan bersama keluarga ini tentunya memberikan kebahagian disela rutinitas harian. Ada yang sekedar berjalan-jalan di tepi pantai, ada yang bermain air, ada yang bermain pasir ada pula yang makan bersama. Kegiatan yang dilakukan tentunya mengundang canda dan tawa. Setelah bermain air, perut pun terasa lapar, jika

Page 221: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

214

berjalan ke arah tepi maka akan ditemukan pedagang makanan dan minuman seperti baso bakar, tahu goreng, es kelapa, dan lainnya. Untuk baso bakar dijual seharga Rp.1.000, 00 dan ini juga menjadi jajanan paling banyak diminati.

Gambar 4.

Keceriaan anak-anak dan masyarakat di Pantai Sawang sebagai sarana rekreasi

Sumber: Dokumentasi peneliti. Memenuhi Kebutuhan Sehari-hari

Saat berjalan pulang dari pantai, jangan heran ketika menemui sepasang kakek dan nenek yang membawa batang-batang kayu ataupun daun kelapa kering. Setiap harinya beliau membawa batang tersebut yang diambil dari pantai untuk kebutuhan memasak. Masyarakat Desa Sawang memasak dengan menggunakan kayu, daun-daun kelapa kering dan sabut kelapa.

Page 222: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

215

Gambar 5.

Membawa kayu untuk memasak. Sumber: Dokumentasi Peneliti

Nelayan pun tak ketinggalan, kita akan menemukan kapal-kapal pencari ikan yang baru pulang dari melaut dan membawa ikan untuk makanan sehari-hari. Ikan atau dalam bahasa Aceh disebut uengkot yang paling banyak ditemukan adalah ikan tongkol. Sehingga menjadi makan sehari-hari masyarakat. Ikan ini dijual dengan harga Rp. 5.000 per kilo nya oleh pedagang ikan. Ada juga jala-jala di pinggiran pantai yang digunakan untuk menangkap ikan, udang ataupun kepiting. Namun memang setelah pasca tsunami, tak banyak ikan yang dapat diperoleh nelayan sehingga tak banyak lagi yang menjadi nelayan. Pengobatan

Pantai Sawang juga menyimpan rahasia kesehatan bagi pengunjungnya. Menjadi obat penghilang jenuh ataupun stress tentu sudah bukan rahasia lagi sehingga sudah menjadi sarana bagi masyarakat untuk mengelola stress dengan datang ke pantai sendiri ataupun bersama-sama.

Page 223: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

216

Menguburkan setengah tubuh di pasir juga dipercaya dapat menyembuhkan kelumpuhan atau kaki yang terasa sakit. Salah seorang yang mempercayai hal tersebut memang mengatakan bahwa dahulu ada yang lumpuh bertahun-tahun, namun setelah menguburkan setengah bandannya di pasir, ia pun sembuh. Semenjak itulah menguburkan tubuh di sekitar pantai tersebut dipercaya berkhasiat menyembuhkan kelumpuhan atau baik untuk kesehatan. Menurut yang melakukannya, saat dikubur terasa kaki seperti diremas-remas dan terasa enak di kaki setelah menguburkannya. Salah satu anak yang baru sembuh karena jatuh pun datang ke pantai untuk mencobanya. Anda pun perlu mencobanya Nah, selain digunakan untuk kaki, lumpur digunakan untuk kesehatan kulit dipercaya menghilangkan jerawat dan memutihkan wajah dengan mengusapkan lumpur pantai ke wajah atau bagian tangan dan kaki.

Namun bagi masyarakat Aceh, kesehatan merupakan kuasa Allah SWT. segala suatu penyakit akan sembuh atas izin Allah. Berdoa menjadi bagian terpenting dari pengobatan, memohon kesembuhan kepada Allah SWT. Segala pengobatan yang dimiliki seperti obat gampong, rajah, dan pengobatan medis adalah jalan ataupun usaha yang dilakukan untuk memperoleh kesembuhan itu.

Page 224: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

217

Gambar 6.

Pengunjung yang mempercayai khasiat menguburkan sebagian tubuh di pasir.

Sumber: Dokumentasi peneliti. Pantai Sawang dan Tsunami

Di balik keindahan Pantai Sawang yang membuat kita jatuh cinta menyimpan cerita tersendiri bagi masyarakat. Disinilah kembali terkenang kisah 2004 silam yang menjadi pelajaran berharga bagi masyarakat. Saat bencana dahsyat, yang akal manusia tidak mampu menjangkaunya hingga benar-benar terjadi di depan mata mereka. Kejadian Tsunami 2004 lalu tetap menjadi cerita bagi mereka bagaimana Tuhan telah memberikan teguran atas perbuatan manusia.

Page 225: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

218

Gambar 7.

Pantai Sawang dalam kesunyiannya. Sumber : Dokumentasi Peneliti

Desa Sawang yang hampir semua penduduk beragama Islam ini pun memiliki tengku yang mengajarkan nilai-nilai Islam kepada masyarakat agar menjunjung nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari. Peristiwa tsunami menjadi pelajaran berharga sehingga adanya larangan berpacaran di pantai menjadi salah satu upaya pencegahan. Selain itu banyaknya korban yang telah meninggal membuat masyarakat lebih berhati-hati dalam mencegah penyakit kesurupan. Berjalan sendiri ke pantai bukanlah hal yang lumrah bagi masyarakat karena khawatir menjadi kesurupan. Tetapi tetap saja, Pantai Sawang sungguh memberi banyak kisah dan pelajaran. Inilah Aceh Utara, sebuah Desa Sawang

Page 226: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

219

yang membuat jatuh cinta. Melalui Pantai Sawang saja kita dapat mengambil banyak pelajaran dari Aceh Utara.

Gambar 8.

Pantai Sawang saat terbenam matahari. Sumber: Dokumentasi Peneliti

Page 227: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan

220

Page 228: Jelajah Nusantara 2; Catatan Perjalanan 11 orang Peneliti Kesehatan