JAM’IYYAH AHL AL-T{ARI
Transcript of JAM’IYYAH AHL AL-T{ARI
BAB III
JAM’IYYAH AHL AL-T{ARI<QAH AL-MU’TABARAH AL-NAHD{IYAH
A. Pengertian dan Asal-usul Tarekat
1. Pengertian Tarekat
Kata tarekat berasal dari bahasa Arab t}ari>qah yang berarti al-khat fi> al-
shai’ (garis sesuatu), al-si>rah (jalan), al-sabi>l (jalan). Kata ini juga bermakna al-
h}al (keadaan) seperti yang terdapat dalam kalimat huwa ‘ala> t}ari>qah h}asanah wa
t}ari>qah sayyi’ah (berada dalam jalan yang baik dan jalan yang buruk).1 Secara
terminologis, kata tarekat berarti perjalanan seseorang sa>lik (pengikut tarekat)
menuju Tuhan dengan cara menyucikan diri atau perjalanan yang harus ditempuh
oleh seseorang untuk dapat mendekatkan diri sedekat mungkin pada Tuhan.2
Sementara Louis Massignon, sebagaimana dikutip oleh Abu Bakar Atjeh,
mengartikan tarekat dalam dua pengertian.
Pertama, cara pendidikan akhlak dan jiwa bagi mereka yang beruzlah
untuk menempuh hidup sufi. Pengertian ini dipakai oleh kaum sufi abad ke -9 dan
ke 10 M. Kedua, tarekat berarti suatu gerakan yang lengkap untuk memberikan
latihan-latihan rohani dan jasmani dalam segolongan orang Islam menurut ajaran
dan keyakinan tertentu.3 Abu Bakar Atjeh selanjutnya menjelaskan bahwa bahwa
pengertian tarekat yang pertama masih kabur. Pengertian semacam itu lebih 1Abi>d al-Fad}l Jamal al-Di>n Muh}ammad Mukram Bin Maudhu’i>, Lisa>n al-Arab, Jilid 10 (Beirut: Da>r al-Fikr, 1990), 220-221. T{ari>qah juga berarti jalan, keadaan, aliran, atau garis pada sesuatu. Baca Louis Makluf, Al-Munji>d fi> al-Lughat wa al-Mauri>d, terj. Ahmad Sunanto (Jakarta: Halim Jaya, 2006), 580; Atabik Ali> dan Ah}mad Zuhdi Muhdor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia (Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 1998), 1231. 2Azyumardi Azra, et al., ”Tarekat”, Ensiklopedi Islam Vol. 5, ed. Kafrawi Ridwan, at al. (Jakarta: Ikhtiar Baru van Hoeve, 2003), 66. 3Abu Bakar Atjeh, Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf (Solo: Ramadani, 1984), 63.
103
tepat digunakan untuk memperdalam syariat sampai hakikatnya melalui tingkat-
tingkat pendidikan tertentu (maqa>mat4 dan ah}wa>l).5 Sedangkan pada pengertian
yang kedua, tarekat sudah menjelma menjadi suatu kekeluargaan yang didirikan
menurut aturan dan penyajian tertentu.6
Adapun menurut Harun Nasution, tarekat berasal dari t}ari>qah yaitu jalan
yang harus ditempuh oleh seorang calon sufi dalam tujuannya berada sedekat
mungkin dengan Allah. T}ari>qah kemudian mengandung arti organisme (terekat).
Tiap tarekat mempunyai shaykh, upacara ritual, dan bentuk zikir sendiri.7
Pendapat yang sama dikatakan oleh Martin van Bruinessen yang menyatakan
bahwa istilah “tarekat” paling tidak dipakai untuk dua hal yang secara
konseptual berbeda. Maknanya yang asli secara harfiah adalah “jalan”, yaitu
panduan yang khas dari doktrin, metode, dan ritual. Tetapi istilah ini pun sering
dipakai untuk mengacu kepada organisasi (formal atau informal) yang
menyatakan pengikut-pengikut “jalan” tertentu. Di Timur Tengah istilah t}a>ifah
(keluarga atau persaudaraan) terkadang lebih disukai untuk organisasi sehingga
lebih mudah untuk membedakan antara yang satu dengan yang lain. Tetapi di
Indonesia kata “tarekat” mengacu kepada keduanya.8
4Maqa>mat adalah bentuk jamak dari kata maqam yang berarti kedudukan, posisi, tingkatan (station) atau kedudukan dan tahapan dalam mendekatkan diri pada Allah. Dalam terminologi sufistik berarti tempat atau martabat seorang hamba di hadapan Allah pada saat ia berdiri menghadap kepada-Nya. Maqa>mat yang disepakati oleh para sufi adalah: al-tau>bah, al-zuhud, al-wara’, al-faqi>r, al-s}abr, al-tawakkal, dan rid}a>. Lihat Moh Toriquddin, Sekularitas Tasawuf, Membumikan Tasawuf dalam Dunia Modern (Malang: UIN-Malang Press, 2008), 116; Simuh, Tasawuf dan Perkembangan dalam Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), 49. 5Ah}wa>l adalah bentuk jamak dari kata h}al yang artinya keadaan, yakni keadaan hati yang dialami oleh para sufi dalam menempuh jalan untuk dekat kepada Tuhan. Ah}}wa>l juga bisa berarti situasi kejiwaan yang diperoleh seseorang sufi sebagai karunia Allah SWT, bukan dari hasil usahanya. Moh Tariquddin, Sekularitas, 115; Simuh, Tasawuf, 73. 6Abu Bakar Atjeh, Pengantar, 53-64. 7Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II (Jakarta: UI Press, 1986), 89. 8 Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia (Bandung: Mizan, 1994), 61.
104
Dengan demikian dalam perjalanannya, tarekat bukan saja sebagai
lembaga spiritual di mana didalamnya anggota sebuah tarekat melakukan
latihan-latihan secara kolektif tetapi juga menjadi jaringan sosial, bahkan
organisasi sosial yang mempunyai fungsi-fungsi sosiologis.9
2. Asal Usul Tarekat
Pada mulanya tarekat dilakukan oleh seorang sufi secara individual
dengan tujuan agar amalan yang dilakukan benar. Untuk tujuan ini, seorang sufi
mencari guru yang memiliki ilmu pengetahuan dan pengalaman yang luas dalam
pengamalan tasawuf. Sebab belajar dari seorang guru dengan metode mengajar
yang disusun berdasarkan pengalaman yang bersifat praktikal merupakan suatu
keharusan bagi seorang sufi.
Seorang guru tasawuf biasanya memang memformulasikan suatu sistem
pengajaran tasawuf berdasarkan pengalamannya sendiri. Sistem pengajaran itulah
yang kemudian menjadi ciri khas bagi suatu tarekat yang membedakannya dari
tarekat yag lain.10 Pengajaran tarekat kepada orang lain sudah dimulai sejak
zaman al-H}allaj (w 858-922 H).11 Selanjutnya, praktek-praktek pengajaran
semacam itu dilakukan oleh sufi-sufi besar lain.
9Istilah tarekat dalam termonologi Barat sering disebut dengan sufi order (organisasi para sufi) dan juga disebut sebagai sufi brotherhoods. Baca Ira M Lapidus, A History of Islamic Sociaties (Cambridge: t.p, 1998), 168. 10M. Solihin dan Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia, 2008), 207. 11Namanya adalah Abu> al-Mughith al-H}asan Ibn Mans}ur Ibn Muh}ammad al-Baidawi, biasa dipanggil Al-H{allaj yang artinya penenun atau pengurai. Salah satu ajarannya yang paling terkenal adalah tentang kesatuan agama-agama (wah|}dah al-adya>n). Ada dugaan yang salah tentang ajarannya dan disebabkan masalah politik, apalagi ditambah pertentangannya dengan ulama yang pro-kekuasaan. Akibatnya, dia harus dihukum mati dengan cara yang tragis, yaitu dengan cara dipukuli, dilempari batu, dicambuk, digantung dan jasadnya dipotong-potong. Setelah mati tubuhnya dibuang di sungan Tigris. Baca Louis Massignon, The Passion of al-H{ala>jj; Mistic and Martyr of Islam, Vol. 3. translated by Herbert Masson (New Jersey: Prenation University Press, 1982). Baca pula Hamka, Tasawuf: Perkembangan dan Pemurnian (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1993), 108-118.
105
Dengan demikian, timbullah dalam sejarah Islam kumpulan-kumpulan
sufi yang mempunyai guru sufi tertentu sebagai shaykhnya dengan tarekat
tertentu sebagai amalannya, juga pengikut-pengikut atau murid-murid. Sistem
hubungan antara mursyid (guru atau pembimbing) dan murid (aspiran) menjadi
fondasi bagi petumbuhan tarekat sebagai sebuah ordo (organisasi) dan jaringan.12
Fungsi mursyid yang sedemikian sentral dalam rangka melampaui tahap-tahap
(maqa>mat) jalan sufi menjadikan murid secara alami menerima otoritas dan
bimbingan mursyid. Penerimaan ini tampaknya didasarkan atas keyakinan bahwa
setiap manusia pada dasarnya mempunyai kemungkinan yang inherent dalam
dirinya berupa kemampuan untuk mewujudkan proses dan pengalaman “bersatu”
dengan Tuhan. Tetapi potensi ini terpendam dan tidak aktif dan tidak mungkin
terwujud kecuali dengan iluminasi tertentu yang dianugerahkan oleh Tuhan tanpa
bimbingan dari seorang mursyid.
Sementara menurut Harun Nasution, ditinjau dari segi historisnya, kapan
dan tarekat mana yang mula-mula timbul sebagai lembaga, sulit untuk diketahui
dengan pasti. Namun demikian, menarik menyimak pendapat Sri Mulyani yang
mengatakan bahwa tarekat baru muncul pada abad lima hijriyah atau abad ke-13
Masehi sebagai lanjutan dari kegiatan kaum sufi sebelumnya.13 Hal ini ditandai
dengan setiap silsilah tarekat yang selalu dihubungkan dengan nama pendiri atau
12J. Spenser Triminghan, The Sufi Order in Islam (New York: Affand University Press, 1973), 3. 13Tasawuf muncul pada abad kedua hijriyah dan terus berkembang secara luas dan mulai terkena berbagai pengaruh luar. Salah satu pengaruh adalah filsafat, baik filsafat Yunani, India maupun Persia. Setelah abad kedua hijriyah, golongan sufi banyak yang menggunakan amalan-amalan dengan tujuan kesucian jiwa untuk taqarrub kepada Allah. Baca Sri Mulyani (et.al), Mengenal dan Memahami Tarekat-tarekat Mu’tabarah di Indonesia (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), 6. Sementara menurut Abu> Wafa’ al-Ghanami> al-Taftazami, tarekat-tarekat muncul pada abad keenam hijriyah. Abu> Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Tasawuf Islam, Telaah Historis dan Perkembangannya, terj. Subhan Anshor (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2008), 294.
106
tokoh-tokoh sufi yang lahir pada abad itu. Setiap Tarekat mempunyai Shaykh,
kaifiah zikir dan upacara-upacara ritual atau mursyid mengajarkan murid-
muridnya di asrama latihan rohani yang dinamakan rumah suluk14 atau riba>t}
(pos-pos pengucilan diri) di berbagai wilayah. Paparan ini memberikan gambaran
awal mengenai kemunculan tarekat pada abad ke 5 H.
Perspektif yang lebih konkrit diberikan oleh Kamil Mustofa. Dalam
tesisnya tentang gerakan tasawuf dan gerakan Syi’ah, Kamil mengungkapkan
bahwa tokoh pertama yang memperkenalkan sistem tarekat adalah Shaykh Abdul
Qa>dir al-Ji>lani (w. 561 H/1166 M) di Baghdad. Ajaran tarekatnya menyebar ke
seluruh penjuru dunia Islam dan mendapat sambutan luas di Aljazair, India dan
Indonesia. Sedangkan di Mesir, tarekat yang banyak pengikutnya adalah Tarekat
Rifa’iyyah yang dibangun oleh Sayyid Ah}mad Rifa’i. Dan di tempat ketiga
diduduki oleh Tarekat ulama penyair kenamaan Persia, Jala>l al-Di>n al-Rumi
(w.672 H/1273 M).
Pada periode berikutnya muncul tarekat Shadhiliyah yang mendapat
sambutan luas di Maroko dan Tunisia khususnya, dan dunia Islam bagian Timur
pada umumnya. Yang juga perlu dicatat di sini adalah, munculnya Tarekat
Sanusiyah yang mempunyai disiplin tinggi mirip disiplin militer di bawah
Shaykhnya yang terakhir, Sayyid Ah}mad al-Sharif al-Sanusi (1787 – 1859 M).15
Sosok penting yang mempengaruhi perkembangan tasawuf adalah Ima>m al-
14Suluk adalah mengosongkan diri dari sifat-sifat tercela (maz}mumah) dari kemaksiatan lahir batin dan mengisinya dengan sifat-sifat terpuji (mah}mudah) dengan melakukan ketaatan lahir dan batin. Baca Isma’il Nawawi, Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah, Sebuah Tinjauan Ilmiyah dan Amaliyah (Surabaya: Karya Agung, 2008), 53. 15Ali Yafie, “Shari>‘ah, T{ari>qah, Haqiqiah dan Ma’rifah,”dalam http//al-manar. wordpress.com/2007/0/24/. Diakses pada hari selasa, 9-11 2010.
107
Ghazali. Beliau adalah ulama yang menyatakan bahwa tasawuf merupakan
bagian penting dari ajaran Islam. Pernyataan al-Ghazali ini menghapus kesan
yang berkembang bahwa tasawuf itu sesat. Lewat pernyataannya, dan juga karya
yang ditulisnya, tasawuf kemudian berkembang secara pesat. Salah satu bentuk
perkembangannya adalah lewat tarekat.
Sejak abad kesebelas, zawiyah dan khanaqah menjadi cikal bakal pusat-
pusat kehidupan mistik—semacam biara sufi—karena tempat ini dipersiapkan
untuk peristirahatan para sufi musafir yang menyebarkan kehidupan saleh. Para
sufi ini memainkan peran signifikan dalam Islamisasi kawasan perbatasan dan
kawasan-kawasan non-Arab di Asia Tengah dan Afrika Utara.
Pada perkembangan selanjutnya, khususnya pada abad ketiga belas,
beberapa pusat tertentu menjadi bibit-bibit tarekat, aliran-aliran mistik atau
pusat pengajaran kepada seorang pembimbing. Dalam perkembangan
selanjutnya, tarekat mengalami perubahan menjadi suatu aliran yang didesain
untuk melestarikan nama pendirinya, jenis pengajarannya, latihan-latihan
mistiknya dan aturan kehidupannya. Setiap tarekat kemudian diturunkan melalui
mata rantai (silsilah) yang berkesinambungan atau isna>d mistikal.16
Perkembangan tarekat memang menarik untuk dicermati. Seorang
pengamat tarekat, J. Spencer Trimingham membagi kawasan-kawasan utama
pemikiran dan praktek-praktek sufi berdasarkan perkembangan tarekat menjadi
tiga lingkungan utama. Pertama, lingkungan Mesopotamia. Lingkungan utama
tarekat di Mesopotamia meliputi Baghdad, Syiria, hingga ke Mesir. Alur utama
16 J. Spencer Trimingham, The Sufi Order, 8-9.
108
isnad dalam tarekat ini adalah Ima>m Junai>d al-Baghdadi> (w. 298/980), menuju
Ma’ru>f al-Karkhi (w. 200/815) dan Sari> al-Saqat}i> (w. 251/865). Tarekat-tarekat
yang tumbuh dari lingkungan Mesopotamia adalah Sughrawardiyah, Rifa’iyah,
dan Kadiriah. Kedua, lingkungan Mesir dan Maghribi yang merupakan
lingkungan perkembangan beberapa tarekat besar setelah masa pembentukan
sebelumnya. Tarekat yang berkembang pada lingkungan ini adalah Syaziliah.
Namun demikian jaringan yang muncul dari lingkungan Mesir dan Maghrib
mencakup banyak tarekat kecil yang kurang tersebar. Dan ketiga, lingkungan
Iran, Turki, dan India yang memadukan dua kecenderungan sufi awal Iraqi dan
Kurasa>ni> yang dikaitkan dengan nama al-Junaidi> (sufi Mesopotamia) dan Abu>
Yazi>d al-Bustami> (sufi Malamati, Kurasani). Tarekat-tarekat besar yang tumbuh
dalam lingkungan ini adalah Kubrawiah, Yasaviah, Maulawiah, Khawajagan-
Naksybandiah, Chistiah dan Sughrawardiah India.17 Dengan demikian, tarekat
yang pada mulanya merupakan perkumpulan orang sufi yang berdiri secara
spontan dan tanpa ikatan kemudian berkembang menjadi organisasi sufi populer
yang mempunyai peraturan-peraturan tertentu dan berkembang menjadi jaringan
yang sangat luas dan tersebar di berbagai wilayah Islam, sehingga sampai dengan
sekarang jumlah tarekat lebih dari 200 macam.18
Fenomena tarekat memang menarik untuk diamati. Banyak perspektif
yang bisa digunakan untuk memahaminya, sebagaimana dikembangkan Rah}man,
yaitu perspektif agama, sosial dan politik.19 Perspektif agama melihat tarekat
17Ibid. 18Ah}mad Tafsir, “Tarekat dan Hubungannya dengan Tasawuf,”dalam Harun Nasution (ed.), Tarekat Qadiriyyah Naqsyabandiyah (Tasikmalaya: IAILM, 1990), 25. 19 Fazlur Rahman, Islam, 217.
109
sebagai sarana untuk menuntun pengikutnya menuju pertemuan langsung dengan
Tuhan. Tarekat menawarkan cara yang rapi dan konkrit di mana seorang pemula
(murid) dibawa dari tahap ke tahap sampai ia berhasil melepaskan sifat
kemanusiaannya dan menjadi bersifat ke-Tuhanan.
Fenomena keagamaan ini dapat menjadi salah satu motivasi untuk
mempraktekkan amaliah sufisme yang berkembang secara alami. Namun dalam
kenyataannya fenomena keagamaan bukanlah satu-satunya penyebab suksesnya
penyebaran gerakan tarekat. Ada perspektif lain untuk melengkapi penjelasan
fenomena ini, yaitu perspektif sosial politik. Tarekat melalui ritus-ritusnya yang
terorganisasi dalam pertemuan-pertemuan mistiknya menawarkan suatu bentuk
kehidupan yang memenuhi kebutuhan sosial.
Pada waktu yang bersamaan, organisasi-organisasi sufi (tarekat)
merupakan benteng perlindungan terhadap otoritas negara, terutama sejak abad
ke 5 H/11 H ketika kesatuan politik dunia Islam mulai runtuh, dan memberi
tempat kepada rakyat yang makin lama makin tidak aman terhadap penguasa-
penguasa yang otokratis dan zalim, yang otoritasnya juga diakui oleh para ulama
sebagai kejahatan yang lebih kecil daripada kekacauan dan keadaan tanpa
hukum.20
Sufisme dalam bentuknya yang terorganisir juga berfungsi sebagai protes
terhadap tirani politis. Kasus yang menonjol, misalnya di Turki. Gerakan sufi di
Turki telah diasosiasikan dengan banyak pemberontakan menentang negara pada
abad ke VII/13 M, ketika Shaykh Baba Ilya>s memberontak melawan Sultan Bani
20Ibid., 219.
110
Saljuk yang terakhir. Di Afrika, berbagai macam ordo Sufi terus menerus
melakukan perlawanan militer melawan penetrasi kekuatan-kekuatan Eropa.21
Tarekat sebagai lembaga atau organisasi para sufi mempunyai
perkembangan sejarah melalui tiga tahapan, yaitu tahap khanaqah, tahap t}ari>qah
dan tahap ta’li>fah.22 Pertama, tahap khanaqah. Tahap ini terjadi sekitar abad X
masehi yang merupakan tahap keemasan tasawuf. Para sufi membentuk tempat
pusat pertemuan sufi (khanaqah) di mana Shaykh mempunyai sejumlah murid
yang hidup bersama-sama di bawah peraturan yang tidak ketat. Shaykh menjadi
mursyid yang dipatuhi. Ia menjadi pemimpin dalam latihan-latihan spiritual.
Kedua, tahap t}ari>qah. Tahap ini berlangsung sekitar abad XIII Masehi.
Pada masa ini, sudah terbentuk ajaran-ajaran dan peraturan serta metode tasawuf.
Selain itu, muncul pula pusat-pusat pengajaran tasawuf. Tahap t}ari>qah memiliki
ciri, di antaranya, dengan silsilah pada masing-masing t}ari>qah. Secara sosial,
pada tahap ini tasawuf telah mengambil bentuk kelas menengah, dalam makna
bahwa yang menjadi pengikutnya sebagian adalah kalangan kelas menengah.
Ketiga, tahap ta’li>fah. Tahap ini terjadi pada sekitar abad XV Masehi.
Pada tahap ini telah terjadi transisi ajaran dan peraturan kepada pengikut. Sejak
masa inilah permulaan munculnya organisasi tasawuf yang mempunyai cabang di
tempat lain.
Selain itu, tarekat juga memiliki arti lain, yaitu sebagai organisasi sufi
yang melestarikan ajaran Shaykh tertentu. Oleh karenannya, lahirlah tarekat-
21 Ibid. 22Karisudin Aqib, Al-Hikmah, Memahami Teosofi Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah (Surabaya: Dunia Ilmu, 2000), 20.
111
tarekat seperti tarekat Kadiriah, tarekat Naksyabandiah, tarekat Syazilliah,
tarekat Tijaniah, tarekat Rifa’iah, dan lainnya.23
B. Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia
Kehidupan tasawuf dapat dilaksanakan secara individual atau dengan cara
kolektif. Melaksanakan tasawuf secara individual ialah mengamalkan sifat-sifat
sufistik, seperti takwa, sabar, tawakal, syukur, ikhlas, rida dan sebagainya.
Sedangkan mengamalkan tasawuf secara kolektif ialah melaksanakannya secara
bersama-sama melalui persaudaraan sufi yang disebut tarekat.24 Dalam konteks
Indonesia, tarekat sebagai bagian dari metode pendekatan diri kepada Allah tidak
steril dari perbedaan pendapat. Sejarah membuktikan bahwa tarekat tumbuh
subur dalam faksi yang sangat beragam. Realitas ini, satu sisi menunjukkan
bahwa tarekat telah menarik minat banyak orang, tetapi di sisi yang lain faksi
yang ada sangat mungkin berkembang keluar dari ajaran Islam.
Munculnya beragam faksi tarekat ini menimbulkan keresahan di kalangan
ulama. Disinyalir tidak sedikit faksi tarekat yang ada tidak memiliki nilai
otentisitas. Oleh karena itu, dibutuhkan respon yang tepat untuk meminimalisir
dampak negatif fenomena tersebut.
Salah satu jalan yang dapat dilakukan adalah membentuk lembaga yang
meneliti kualifikasi tarekat yang ada. Mencermati persoalan yang krusial ini,
Nahdlatul Ulama (NU) melalui Jam’iyah Ahl al-T{ari>qah al-Mu’tabarah al-
Nahd}iyah telah melakukan kualifikasi tarekat-tarekat yang telah ada. Dari sekian
ratus tarekat yang ada, diputuskan sebanyak 45 tarekat yang masuk dalam
23Saiful Mujani (ed.), Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Prof Dr. Harun Nasution (Bandung: Mizan, 1996), 366. 24Suderman Tebba, Orientasi Sufistik Cak Nur (Jakarta: Paramadina, 2004), 177.
112
kategori muktabarah.25 Pendapat mengenai berapa jumlah tarekat yang
muktabarah pun ternyata tidak seragam. Jika NU memutuskan sebanyak 45,
Habib Lutfi menyebut 43,26 sedangkan Abu Bakar Atjeh menyatakan terdapat 41
tarekat.27 Perbedaan mengenai jumlah tarekat yang muktabarah tersebut
sebenarnya tidak substansial sebab sesungguhnya jumlahnya tetap sama, karena
ada tarekat yang merupakan gabungan dari dua aliran sehingga tidak
dihitung.Tarekat muktabarah adalah aliran tarekat yang mempunyai sanad (mata
rantai) tidak terputus atau muttas}il (bersambung) sampai kepada Rasulullah Saw.
Beliau menerima dari malaikat Jibril dan malaikat Jibril menerimanya dari Allah
Swt.28 Ajaran-ajaran tarekat ini sesuai dengan doktrin Islam (al-Qur’an dan
Sunnah).29
Sedangkan aliran tarekat yang tidak mempunyai sanad muttas}il dan
ajaran-ajarannya bertentangan atau diduga bertentangan dengan doktrin Islam
dikategorikan sebagai tarekat ghairu muktabarah (bukan muktabarah).30 Yang
25Ke 45 tarekat tersebut adalah: Rumaiyah, Rifa>’iyah, Sadziliyah, Bakriyah, Umariyyah, Alawiyah, Abba>siyah, Zai>niyyah, Dasu>qiyyah, Akbariyyah, Bayumiyyah, Malamiyyah (Ghazaliyah), Ghaiyyah, Tija>niyyah, Uwaisiyyah, Idrisiyyah, Samaniyyah, Bahuriyyah, Usyaqiyyah, Kubrawiyyah, Maulawiyyah, Jalwatiyyah, Bairumiyyah, Ghazaliyyah, H{amzawiyyah, H{addadiyyah, Madbuliyyah, Sumbuliyyah, Idrusiyyah, Usmaniyyah, Sya’baniyyah (Kalsamiyah), Qalqasyaniyyah, Qadhiriyyah, Kalwatiyyah, Bakdasyiyyah, Syuriwiyah, Ah}madiyah, Isawiyah, T{uru>q al-Akabir al-Awliyya’ Qadiriyyah wa Naqsabandiyyah, Khalidiyyah wa Naqsabandiyyah. Baca Said Agiel Siraj, Tasawuf Sebagai Kritik Sosial (Bandung: Mizan, 2006), 98. Baca pula Ida>rah ’Aliyah T}ari>qah Mu’tabarah Nahd}iyyah (Semarang: Toha Putra, t.th), 37; A. Aziz Masyhuri, Permasalahan Tarekat: Hasil Kesepakatan Muktamar dan Musyawarah Besar Jam’yya ahl al-T}ari>qah al-Mu’tabarah Nahdlatul Ulama (1957-2005 M) (Surabaya: Kalista, 2006), 22-23. 26Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah dan Khalidiyyah wa Naqsyabandiyah sudah tidak dihitung lagi. Baca Mehdi Zidane (ed.), Mengenal Tarekat Ala Habib Lutfi bin Yahya (Bekasi Timur: Hayyat Publishing, 2009), 69-70. 27Yang tidak dihitung adalah Akbariyah, Ah}madiyah, Isawiyah, dan Turuq al-Akabir al-Auliya. Baca Abu Bakar Atjeh, Pengantar, 303. 28Mehdy Zidane (ed) “Mengenal, 69. 29Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat (Bandung: Mizan, 1999), 203. Baca pula M. Solihin dan Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, 219. 30Ibid.
113
termasuk dalam kategori ini seperti tarekat Akmaliyah,31 Shiddiqiyyah,32 dan
Wahidiyah.33 Tarekat Akmaliyah dan Shiddiqiyah dikatakan ghairu muktabarah
karena dipandang bahwa sanad atau silsislah tarekatnya terputus.
Pada tasawuf Akmaliyah, ajarannya tentang wah}dat al-wuju>d dikatakan
oleh kebanyakan ulama sebagai bertentangan dengan akidah Islam.34 Sedangkan
Wahidiyah tidak memperoleh status muktabarah karena tiga hal. Pertama,
Wahidiyah dipandang tidak menggunakan model sistem tarekat yang memiliki
sanad (silsilah) amalan yang sampai kepada Nabi karena ia adalah salawat, dan
setiap salawat menurut referensi otoritas ketasawufan sanad dan Shaykhnya
adalah Nabi sendiri sehingga tidak memerlukan sistem silsilah seperti tarekat.
Wahidiyah dipandang sebagai amalan umum yang tidak seketat sistem
amalan tasawuf dan tarekat. Kedua muallif (pengarang) Salawat Wahidiyah tidak
menghendaki misi jami’ al-‘alami>n (global)-nya dibatasi oleh status muktabarah.
Ketiga, adanya penilaian bahwa salawat Wahidiyah mengemban corak tasawuf
falsafi yang banyak ditentang keras oleh para tokoh NU yang corak tasawufnya
cenderung pada tasawuf akhlaqi atau sunni.35
Adapun tarekat-tarekat muktabarah yang terdapat di Indonesia adalah:
31Tarekat Akmaliyah didirikan oleh Kiai Nurhakim. Ia belajar dari Kiai Hasan Maulana dari Cirebon. Tarekat ini dicurigai oleh pihak Belanda sebagai penghasut anti-kolonial. Tarekat ini menganut ajaran metafisika wahd}ah al-wuju>d. Baca Martin van Bruinessen, Ibid., ; M. Solihin dan Rosihon Anwar, Ibid., 218. 32Tarekat Shiddiqiyah didirikan oleh Kiai Mukhtar Mukti di Losari Ploso Jombang pada tahun 1958. Dia menerima ajaran tarekat ini dari gurunya, Syu’aib Jamal dari Banten yang merupakan pewaris spiritual Shaykh Yusuf Makasar pada pertengahan 1450-an. Baca: Martin van Bruinessen, Ibid., 204; M. Sholihin dan Rosihon Anwar, Ibid., 219. 33Wah}idiyah didirikan oleh Kiai Madjid Ma’ruf dari Kedonglo Kediri pada tahun 1963. Aliran ini bersifat terbuka yaitu cukup mengamalkan zikir Salawat Wahidiyah. Baca: Martin van Bruinesseen, Ibid., 204 dan M. Sholihin dan Rosihon Anwar, Ibid., 219. Baca pula: Sokhi Huda, Tasawuf Kultural, Fenomena Salawat Wahidiyah (Yogyakarta: LKIS, 2008), 93-102. 34Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, 204. 35Sokhi Huda, Tasawuf Kultural, 7-8.
114
1. Tarekat Kadiriah
Tarekat Kadiriah didirikan oleh Shaykh Abd al-Qadi>r al-Jilani> (470–561
H/1077–1666 M). Tarekat ini menempati posisi yang amat penting dalam sejarah
spiritualitas Islam karena merupakan cikal bakal lahirnya berbagai cabang
organisasi tarekat di dunia Islam. Walaupun struktur organisasinya baru muncul
beberapa dekade setelah kematiannya, semasa hidupnya Shaykh Abd al-Qadi>r al-
Jilani> telah memberikan pengaruh yang sangat besar pada pemikiran dan perilaku
umat Islam. Ia dipandang sebagai sosok ideal yang memiliki keunggulan dan
pencerahan spiritual. Kebesaran nama al-Jilani> menyebabkan banyak cerita
berkisar dirinya. Konon, para pengagumnya banyak yang mengembangkan
berbagai legenda yang berkuasa pada aktivitas spiritualnya sehingga muncul
berbagai kisah ajaib tentang dirinya.36
Shaykh Abd al-Qadi>r al-Jilani> lahir di Desa Naif tahun 470 H/1077 M dan
meninggal dunia di Baghdad pada tahun 561 H/1166 M. Besarnya pengaruh al-
Jilani> dapat dilihat dari banyaknya orang yang menziarahi makamnya sejak dulu
hingga sekarang. Di kalangan kaum sufi, al-Jilani diakui sebagai sosok yang
menempati herarki mistik yang tertinggi dan menduduki tingkat kewalian yang
tertinggi (al-qut}b al-awliya>’).
Masyarakat muslim banyak yang mempercayai bahwa Shaykh Abd al-
Qadi>r al-Jilani> adalah wali terbesar yang diberi wewenang untuk menolong
manusia yang dalam keadaan bahaya. Lebih dari itu, ia juga dikagumi dan
dicintai rakyat. Di mana-mana orang tua menceritakan tentang kekeramatannya
36Amsal Baktiar, “Tarekat Qadiriyah: Pelopor Aliran-aliran Tarekat di Dunia Islam,” dalam Sri Mulyati, et.al, Tarekat, 26.
115
kepada anak-anak mereka. Indikasi lain dari kebesaran namanya adalah hampir
setiap upacara keagamaan tradisional, orang menghadiahkan pembacaan al-
Fa>tihah kepadannya.37
Kebesaran nama al-Jilani> didukung oleh realitas bahwa beliau memang
ulama mumpuni yang menguasai berbagai bidang keilmuan Islam. Ia seorang
teolog (ahli ilmu kalam), seorang mujtahid dalam bidang fikih, dan juga seorang
orator yang piawai.38 Kemampuan spiritual tinggi dan penguasaan berbagai
bidang keilmuan tersebut yang tampaknya menjadi faktor yang cukup
menentukan pada besarnya pengaruh al-Jilani>. Sehingga merupakan hal wajar
jika dalam perkembangannya tarekat ini menyebar ke daerah kekuasaan Islam di
luar Baghdad.
Penyebarnya adalah para murid dan pengikut al-Jilani>, di antaranya Ali>
Muh}ammad al-H{addad di daerah Yaman dan Muh}ammad Ibnu Abd S{amad di
Mesir. Pada abad ke-12 M tarekat ini telah tersebar ke berbagai daerah Islam,
baik Barat maupun Timur.39
Menurut Trimingham Spencer, tarekat ini sampai sekarang masih
merupakan tarekat yang terbesar di dunia Islam dengan berjuta-juta pengikutnya
karena tarekat yang tergolong kepada kelompok Kadiriah ini cukup banyak dan
tersebar ke seluruh negeri Islam.
Ajaran Shaykh Abd al-Qadi>r menekankan pada penyucian diri dari nafsu
dunia. Karena itu dia memberikan petunjuk bahwa untuk mencapai kesucian diri
37Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, 211. 38Kharisudin Aqib, Al-Hikmah, 49. 39Ibid.
116
yang tertinggi dilakukan dengan melaksanakan ajaran taubat,40 zuhud,41
tawakal,42 syukur,43 sabar,44 rida,45 dan jujur.46 Di antara praktek tarekat Kadiriah
adalah zikir (terutama melantunkan asma Allah berulang-ulang). Dalam
pelaksanaannya, terdapat berbagai tingkatan penekanan dan intensitas. Ada zikir
yang terdiri dengan satu gerakan yang dilaksanakan dengan mengulang-ulang
asma Allah melalui tarikan napas yang kuat, seakan dihelai dari tempat tinggi,
diikuti penekanan diri jantung dan tenggorokan, kemudian dihentikan sehingga
40Taubat ada dua macam. Pertama, taubat yang berkaitan dengan hak sesama manusia. Taubat ini tidak terealisasi kecuali dengan menghindari kezaliman, memberikan hak kepada yang berhak, dan mengembalikan pada pemiliknya. Kedua, taubat yang berkaitan dengan hak Allah. Taubat ini dilakukan dengan cara selalu mengucapkan istighfar dengan lisan, menyesal dalam hati, dan bertekat untuk tidak mengulangi lagi di masa mendatang. Baca Amsal Bahtiar, “Tarekat Qadiriyah”, 39. 41Zuhud ada dua macam. Pertama, zuhud haqiqi (mengeluarkan zuhud dari hatinya). Kedua, mutazahid suari atau zuhud lahir (mengeluarkan dunia dari hadapannya). Namun hal ini tidak berarti seorang zahid haqiqi menolak rejeki yang diberikan Allah kepadanya, tetapi dia mengambilnya lalu digunakan untuk ketaatan kepada Allah. Ibid., 40. 42Tawakal adalah menyerahkan segala urusan kepada Allah dan membersihkan diri dari gelapnya pilihan, tunduk dan patuh kepada hukum dan takdir sehingga dia yakin tidak ada perubahan dalam bagian. Apa yang merupakan bagiannya tidak akan hilang dan apa yang tidak ditakdirkan untuknya tidak akan diterima. Hatinya merasa tenang dan merasa nyaman dengan janji Tuhan. Ibid., 39-40. 43Syukur adalah mengakui nikmat Allah, karena Dia-lah pemilik karunia dan pemberian sehingga hati mengakui bahwa segala nikmat berasal dari Allah dan patuh kepada Shari>‘at-Nya. Syukur itu ada tiga macam. Pertama, syukur dengan lisan yaitu mengakui adanya nikmat, merasa tenang, dan mengucapkan dengan kerendahan hati, serta ketundukan. Kedua, syukur dengan anggota badan dengan cara melaksanakan ibadah sesuai perintah Allah. Ketiga, syukur dengan hati, yaitu mengakui dalam hatinya bahwa semua nikmat itu berasal dari Allah Swt. Ibid., 41. 44Sabar adalah tidak mengeluh karena sakitnya musibah yang menimpa kita kecuali mengeluh kepada Allah karena Allah Swt. Sabar ada tiga macam. Pertama, bersabar kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjahui larangan-Nya. Kedua, bersabar bersama Allah yaitu bersabar atas ketetapan Allah dan dari berbagai macam kesulitan dan musibah. Ketiga, bersabar atas Allah, yaitu bersabar atas rizki, jalan keluar, kecukupan, pertolongan, dan pahala yang dijanjikan Allah di kampung akhirat. Ibid., 42. 45Rida adalah menerima ketetapan Allah dengan berserah diri dan pasrah tanpa menunjukkan pertentangan terhadap apa yang dilakukan oleh Allah. Seorang hamba yang rida menerima apa yang dipilihkan Allah untuknya. Dia tahu bahwa yang dipilihkan Allah untuknya adalah yang terbaik baginya di segala macam keadaan. Bahkan, dengan keridaan seseorang akan merasa tenang dalam hidupnya, rasa gundah dan kegalauan juga lenyap. Ibid., 42–43. 46Jujur adalah mengatakan yang benar dalam kondisi apapun, baik menguntungkan maupun tidak menguntungkan. Kejujuran merupakan derajat kesempurnaan manusia tertinggi. Seseorang tidak akan berlaku jujur, kecuali dia memiliki jiwa yang baik, hati yang bersih, pandangan yang lurus, sifat yang mulia, lidah yang bersih, dan hati yang dihiasi oleh keimanan, keberanian, dan kekuatan. Ibid., 43.
117
napas kembali normal. Hal ini harus diulangi secara konsisten untuk waktu yang
lama.47
Tarekat ini merupakan tarekat yang cukup besar di Indonesia. Sejarah
masuk dan berkembangnya di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari nama Hamzah
Fansuri, seorang ulama besar Aceh. Beliau mendapatkan khilafah (ijazah untuk
mengajar) ilmu Shaykh Abd al-Qadi>r al-Jilani> ketika mukim di Ayuthia, Ibu kota
Muangthai.48 Namun demikian, ada pendapat yang menyatakan bahwa tidak
mustahil pada waktu itu beliau berziarah ke makam Shaykh Abd al-Qadi>r dan
terjadi pembaiatan secara langsung.49
Pendapat lain mengatakan bahwa sebenarnya tarekat Kadiriah sudah sejak
lama ada di Indonesia, khususnya Jawa, jauh sebelum Hamzah Fansuri. Memang
tidak ada informasi dan bukti otentik tentang hal ini, namun ilmu al-Ji>lani telah
diajarkan di Cirebon dan Banten setidak-tidaknya abad ke-17.50 Hal ini
merupakan bukti bahwa keberadaan tarekat ini sudah ada sebelum masa Hamzah
Fansuri.
Tarekat ini di Indonesia dikembangkan oleh Shaykh Ahmad Khatib
Sambas menjadi tarekat Kadiriah Naksyabandiah (TKN). Penggabungan tarekat
Kadiriyah dan Naksyabandiah menjadi satu ini dilakukan oleh Shaykh Sambas
setelah belajar beberapa lama di Makkah. Dia mengajarkan TKN ini secara utuh
dengan mengabungkan dua jenis zikir sekaligus, yaitu zikir nafi is}bat La>ila>ha illa 47Ibid., 44. 48Muh}ammad Naquib al-At}t}as, The Mysmticism of Hamzah Fansuri (Kuala Lumpur: Universiti Of Malaya Press, 1970), 11; G.W.J. Drewes & L.F. Brakel, The Poems Of Hamzah Fansuri (Paris: Dordrecht Sayid, 1986), 44-45. 49Muhammad Ibn Yahya al-Tadafi, Mahkota Para Aulia : Syaikh Abdul Qadir al-Jilani, Terj. Munirul Abidin (Jakarta: Prenada, 2003), 2; Muh}ammad Sayid Naquib al-At}t}as, The Mysticism,11. 50Ibid., 210.
118
Alla>h yang dibaca dengan jahr (keras) dan zikir Alla>h yang dibaca dalam hati
(khafi).
2. Tarekat Syazilliah
Tarekat Syazilliah didirikan oleh Shaykh Abu> al-H{asan Ali> bin Abdulla>h
bin Abd al-Jabba>r bin Tami>m bin H}ormuz al-Shadhili, yang masih mempunyai
jalur nasab (keturunan) H{asan bin Ali> bin Abi T{a>lib. Beliau dilahirkan di Desa
Ghumara,51 sebuah desa yang sekarang ini terletak di dekat Ceuta di utara
Maroko.52 Namun demikian, mengenai tahun kelahiran al-Shadhili, terdapat
perbedaan pendapat di antara para ahli. Sira>j al-Di>n Abu> H{absh menyebut bahwa
tahun kelahirannya adalah 591 H /1069 M.53 Ibnu Sabagh mengatakan bahwa
tahun kelahirannya adalah 583 H/1187 M.54 Sedangkan J. Spencer Trimingham
menyatakan bahwa al-Shadhili lahir pada 593 H/1196 M.55
Pendidikan yang dijalani dimulai dari kedua orang tuanya. Setelah cukup,
beliau kemudian melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Di
antara guru kerohaniannya adalah ulama besar Abd al-Salam Ibn Mashish ( w
628 H / 1228 M). Beliau merupakan ulama yang dikenal sebagai “qut}b al-qut}b
para wali”. 56 Selain itu, al-Shadhili juga berguru kepada Abu> Abdilla>h Ibnu
Kharazim ( w. 633 H/1236 M). Kedua ulama besar tersebut adalah murid dari
Abu> Madyan Shu’aib Ibnu al-H{usain (1116–1198 M), seorang ulama sufi yang
51Al-Jami’ menasabkan al-Shadzili kepada al-Husain bin Abi Talib, dan bukan kepada al-Hasan bin Ali bin Abi Talib. Baca Ihsan Ilahi Zahir, Dira>sat fi’ al-Tasawuf (Lahore: Ida>rah Tarjaman, 1988), 271. Baca juga Abd al-Wahab Farhat, Sayyidi Abu> al-H}asan al-Shadhili, Hayatahu wa Adrasatuhu fi al-Tasawuf (Kairo: Maktabah Madbuli, 2003), 44. 52Abu Bakar Atjeh, Pengantar, 275. 53Abu> H}afsh Sira>j al-Di>n, Tabaqat al-Auliya (Mesir: Maktabah al-Kanji, t.t), 458. 54Iba Sabbagh, The Mystical Teaching of al-Shadhili, 3. 55J. Spencer Trimigham, The Sufi Orders in Islam (New York: Affan University Press, 1971), 48. 56Abd al-Wahab Farhat, Sayyidi Abu al-Hasan, 52-53.
119
sangat berpengaruh. Bahkan hampir seluruh sufi maghrib mempunyai jalan
silsilah kepadanya. Abu> Madyan pernah mempelajari dan menghafal, antara lain,
kitab “Ihya’ ‘Ulu>m ad-Di>n” karya al-Ghazali, kemudian ia belajar kepada Shaykh
Abd al-Qadi>r al-Jilani> dan memandangnya sebagai shaykh yang luar biasa.57
Kitab-kitab tasawuf yang dipelajari oleh al-Shadhili kemudian diajarkan
kepada para muridnya. Kitab yang diajarkan, antara lain Ihya>’ Ulu>m ad-Di>n
karya al-Ghazali, Qut al-Qutub (santapan hati) karya Abu> T{a>lib al-Makhi>, Khat}m
al-Auliya>’ karya al-H{akim al-Tirmidhi>, al-Muwa>fiq wa al-Mukhat}abah karya
Muh}ammad Abd al-Abba>r al-Nafiri>, al-Shifa’ karya Kadi>r al-‘Iya>d dan al-
Muh}arrar al-Waji>z karya Ibnu Atiyah.58
Al-Shadhili dianggap sebagai wali yang keramat. Di antara keramatnya
adalah beliau pernah mimpi bertemu dengan nabi Muh}ammad saw. yang
mengatakan “Hai Ali>, pergilah kamu ke negeri Mesir. Di sana kamu akan
mendidik empat puluh orang siddi>qi>n. Karena hari itu sangat panas, konon al-
Shadhili mengeluh dengan berkata, “Ya Rasulullah hari sangat panas dan terik”.
Nabi berkata, “Ada awan yang akan memayungi kamu”. Al-Shadhili
mengatakan, “Aku takut akan kehausan”. Nabi menjawab, “Langit akan
menurunkan hujan untukmu setiap hari”. Kemudian Rasulullah saw. menjanjikan
kepada al-Shadhili akan memberikan tujuh puluh karamah.59
57Moh. Ardani, “Tarekat Shadziliyah”, dalam Sri Mulyati, et. al, Tarekat-tarekat Mu’tabarah, 59. 58Ibid., 59-60. 59Ibid., 60. Cerita karomah yang lain terjadi ketika al-Shadhili melakukan i’tikaf dan beribadah di Gunung Zagwan. Di tempat ini al-Shadzili melakukan khalwat untuk membersihkan diri selama lebih kurang dua tahun. Aktivitasnya adalah membaca Surat al-An’am. Ketika sampai pada ayat ke-70 70األنعام (وان تقدل كل عدل منھا( artinya: ”Dan jika ia menembus segala macam tebusan pun niscaya tidak akan diterima itu dari padanya (al-Qur’an 06 : 70)”, maka terjadilah sesuatu yang hebat pada dirinya. Ia mengulang-ulang ayat tersebut dan bergerak-gerak. Setiap kali ia miring ke
120
Al-Shadhili adalah seorang teolog atau ahli tauhid beraliran sunni yang
menentang kaum Muktazilah. Pendapatnya sangat moderat dalam masalah
hubungan syariat dan tasawuf karena ia berguru kepada tokoh sufi yang kokoh
mengenai syariat.60 Sedangkan dalam masalah fikih, al-Shadhili mengikuti
mazhab Ma>liki> karena mazhab Ma>liki> sangat dominan di daerah magrib
(Spanyol, Maroko, dan Tunisia).61
Di samping sebagai ulama, beliau juga tokoh sufi, dan wali Qutb Agung
dalam tarekat. Beliau juga sebagai pejuang yang gigih dalam memperjuangkan
tanah airnya. Di antara perjuangannya adalah ikut serta dalam pertempuran
mashurah membela tanah airnya melawan serangan Prancis. Hal ini menunjukkan
bahwa beliau bukan hanya sibuk dengan persoalan ibadah, tetapi juga memiliki
kepedulian dalam persoalan sosial, politik, dan juga negara.
Di samping mengajar murid-muridnya yang jumlahnya sangat banyak,
beliau juga menjadi petani yang dapat menghidupi keluarga dan santri-
santrinya.62 Ia membangun za>wiyah (semacam pondok pesantren) di Tunisia pada
tahun 625 H/1228 M. Kemudian bersama murid-muridnya memutuskan
meninggalkan Tunisia menuju Mesir dan tiba di Alexandria, Mesir pada tahun
1228 M.63 Ia membangun Madrasah kesufian yang sangat terkenal di Alexandria.
Muridnya yang terkemuka yang ikut pindah ke Mesir adalah Shaykh Abu> Abba>s
al-Mursi>. al-Shadhili meninggal pada tahun 656 H / 1258 M di Humistra.
suatu arah, ternyata Gunung Zagwa ikut miring ke arah tersebut. Selama di tempat tersebut, ia hanya makan tumbuh-tumbuhan dan rumput yang ada di sana. Ibid. 60J. Spencer Trimighan, The Sufi, 50. 61Moh Ardani, Tarekat Shadhiliyah, 62. 62Haili Mansur, Ajaran dan Tarekat Para Sufi (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), 277. 63Moh Ardani, Tarekat Shadhiliyah, 63-64.
121
Ajaran tasawuf al-Shadhili diteruskan oleh murid-muridnya, yaitu Shaykh
Abu> Abba>s al-Mursi> (w. 686 H),64 kemudian diteruskan Shaykh Ibn Ata’ilah al-
Iskandari>, pengarang kitab al-H{ika>m (murid semenjak di Mesir). Selanjutnya
diteruskan Ibn Abbad al-Raud}a (w. 793 H) dan pada abad IX H/XV M
dilanjutkan oleh Sayid Abi Abd Allah Muh}ammad Ibn Sulaima>n al-Jazuli (w.
1465 M).65 Mereka inilah yang mengembangkan madrasah al-shadhiliyah.
Pemikiran dan ajaran al-shadhiliyah cukup dekat dengan tasawuf al-Ghazali yang
berpegang pada kitab dan sunah.66 Dalam perkembangan selanjutnya, mereka
dipandang sebagai pemimpin tarekat Syazilliah. Atas jasa mereka sehingga
sekarang telah berkembang pesat di berbagai wilayah, seperti Tunisia, Mesir,
Aljazair, Maroko, Sudan, Syiria, dan Indonesia.67
Adapun pokok-pokok pemikiran tarekat Syazilliah adalah: (a) Tidak
menganjurkan kepada murid-muridnya untuk meninggalkan profesi dunia
mereka. (b) Tidak mengabaikan dalam menjalankan syariat Islam. (c) Zuhud
tidak berarti menjauhi dunia karena pada dasarnya zuhud adalah mengosongkan
hati dari selain Tuhan. (d) Tidak ada larangan bagi kaum saleh untuk menjadi
milioner yang kaya raya asalkan hatinya tidak tergantung pada harta yang
dimilikinya. (e) Melaksanakan tasawuf yang ideal dalam arti bahwa di samping
berusaha mencari langit juga harus beraktivitas dalam realitas sosial di bumi ini.
Beraktivitas demi kamaslahatan umat adalah bagian integral dari hasil
64Al-Mursi adalah murid al-Shadzili yang mengantikan posisi al-Shadzili sebagai murshid yang menyebarkan Tarekat Shadziliyah namun tidak menulis ajaran-ajarannya. Muridnya yang bernama Ibn ’Atailah itulah yang aktif menulis ajaran-ajaran dan biografi gurunya. Ibid. 65Ibid., 76. 66Abu Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Tasawuf Islam, Telaah Historis dan Perkembangannya, terj. Subkhan Anshari (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2008), 298. 67Moh Ardani, Tarekat Shadhiliyah, 76.
122
kontemplasi. (f) Tasawuf memiliki empat aspek penting, yakni berakhlak dengan
akhlak Allah Swt., senantiasa melakukan perintahnya, dapat menguasai hawa
nafsu dan berupaya selalu bersama, serta beribadah dengannya secara sungguh-
sungguh. (g) al-Ma’rifah (gnosis) dapat diperoleh dengan dua jalan. Pertama,
mawa>lub atau ain al-jud (sumber kemurahan Tuhan) yaitu Tuhan memberikannya
tanpa usaha dan memilihnya sendiri orang-orang yang akan diberikan anugerah
tersebut. Kedua, makasib atau badhli al-mah}jud, yaitu melalui usaha keras
dengan cara al-riya>d}ah mulazamah, al-dhikir mulazamah, al-wudu’, puasa, salat
sunah, dan amal saleh lainnya.68Meskipun terdapat persamaan dengan tasawuf al-
Ghazali, namun juga memiliki perbedaan, yaitu dalam hal upaya mendekatkan
diri kepada Allah Swt. Al-Ghazali lebih menekankan pada riya>d}ah al-abda>n
(latihan yang berkaitan dengan fisik) yang mengharuskan adanya mashaqah,
misalnya bangun malam, lapar, dan lain-lain, sementara al-Shadhili menekankan
pada riyadah al-qulu>b (latihan yang berkaitan dengan hati) tanpa menekankan
adanya mashaqat al-abda>n, misalnya senang (al-farh }), rela (ar-rid}a),69 dan
bersyukur atas nikmat Allah (al-shukr).
Sedangkan hizib (doa dan zikir) tarekat Syaziliah, antara lain, h}izb al-
ashfa’, h}izb al-kafa atau al-autad, h}izb al-bah}r, h}izb al-baladiyah atau al-
birhatiyah, h}izb al–barr, h}izb al-mash, h}izb al-muba>rak, h}izb al-sala>mah, h}izb al-
nu>r, dan h}izb al-huj.70
68Ibid., 73-75. 69Ibid. 70Abi> Abdillah} Muh}ammad Ibn Sulaima>n al-Jazuli>, Dala>il al-Khamat ma’a al-Ah}zab (Surabaya: Nabhan, t.th). Baca juga Ibn ‘At}aillah, H{ata’fal Mina>r, tahqiq Abd H{ali>m Mah}mad (Mesir: Da>r as-Shab, 1986), 252-257.
123
3. Tarekat Naksyabandiah
Tarekat Nakshabandiah71 didirikan oleh Muh}ammad Baha’ al-Di>n al-
Uwaisi> al-Bukha>ri> Naqshabandiah (717 – 791 H / 1318 – 1389 M).72 Beliau
dilahirkan di sebuah desa yang bernama Qas}rul Ari>fah. Lokasi desa ini beberapa
kilometer dari Kota Bukha>ra yang merupakan kota tempat lahir Ima>m Bukha>ri>.
Di tempat ini pula beliau wafat dan dimakamkan.73
Ditinjau dari silsilah keluarga, beliau berasal dari keluarga dan lingkungan
yang baik. Hal ini ditandai dengan gelar shaykh yang beliau peroleh sebagai
tanda kedudukan yang tinggi sebagai seorang pemimpin spiritual. Namun
demikian, gelar ini diperoleh setelah melalui jenjang perjuangan panjang. Beliau
belajar tasawuf kepada Baba al-Samasi> ketika berusia 18 tahun. Setelah itu,
beliau belajar tarekat kepada seorang qut}b di Nasaf, yaitu Ami>r Sayyid Kulal al-
Bukha>ri> (w. 772 H / 1371 M).
Kulal adalah seorang khalifah Muh}ammad Baba al-Samasi>. Dari Kulal
beliau terutama belajar tarekat, walaupun ilmu-ilmu yang lainnya juga dipelajari.
Selain itu, beliau juga belajar kepada seorang ‘arif bernama al-Dikkira>m selama
sekitar satu tahun. Dari kedua guru utamanya, yaitu Baba al-Samasi> dan Ami>r
Kulal, beliau mendapatkan posisi sebagai pewaris tradisi khawajagan. Nama ini
71Dinisbatkan kepada nama pendirinya, yaitu Baha’ ad-Di>n Naqsabandi. Pendiri tarekat ini merupakan ulama yang mensistematisasikan ajaran, metode ritual, dan amalan secara ekplisit. Namun tokoh tersebut tidak dipandang sebagai pencipta tarekat, melainkan hanya mengolah ajaran-ajaran yang diturunkan melalui garis keguruan yang terus sampai kepada Nabi. Wiwit Siti Sajarah, “Tarekat Naqshabandiyah: Menyalin Hubungan Harmonis dengan Kalangan Penguasa”, dalam Sri Mulyati, et. al., Tarekat-tarekat Mu’tabarah, 89. 72Naqsabandiyah berasal dari kata Naqshaband, artinya “pelukis, penyulam, penghias” karena nenek moyang mereka adalah penyulam. Nama tersebut mengacu pada prosesi keluarga. Selain itu, kata tersebut juga menunjukkan kualitas spiritual untuk melukis nama Allah di atas hati seorang murid. Ibid. 73Abu Bakar Atjeh, Pengantar, 319.
124
dinisbatkan kepada Abd Khaliq Ghujdawani> (w.120 H). Ia adalah seorang sufi
dan mursyid tarekat Naksyabandi yang keenam serta sebagai pencetus dasar
ajaran tarekat ini. Sebagai pewaris, peran ini kemudian dilanjutkan oleh al-
Naqshabandi. Ghujdawani> merumuskan delapan ajaran pokok. Di tangan al-
Naqshabandi, delapan ajaran tersebut ditambah tiga ajaran pokok sehingga ajaran
tarekat ini menjadi sebelas.74
Pusat terekat ini pertama kali di Asia Tengah75 kemudian meluas ke
Turki, Suriah, Afganistan, dan India. Di Asia Tengah, tarekat ini menyebar
bukan hanya di kota-kota penting, tetapi juga di kampung-kampung kecil.
Dalam perkembangannya, tarekat ini masuk India mulai pada masa
pemerintahan Babur, Pendiri kerajaan Mughal (w. 1530 M). Namun demikian,
perkembangan yang pesat terjadi setelah kepemimpinan Muh}ammad Baqi’ Billah
(971–1012 H/1563-1603 M). Tokoh ini dilahirkan di Kabul. Beliau telah banyak
belajar kepada beberapa tokoh Naksyabandi sebelum bermukim di India. Ia
membawa kesucian dalam tarekat dari Samarkand dan Bukha>ra> dan
menyematkannya di tanah India. Dalam jangka waktu lima tahun ia
menghabiskan waktunya untuk bekerja di India dengan menyampaikan pesan
silsilah kepada para ulama, kaum sufi, para tuan tanah, dan pejabat. Berkat kerja
kerasnya, hampir semua pengikut Naksyabandiah di seluruh dunia dewasa ini
menarik garis keturunan spiritual melalui Baqi’ Billah dan Khalifahnya, Ah}mad
Shirhindi (w. 1624 M) serta Shaykh Wali Allah al-Dahlawi (w.1762 M).76
74J.Spencer Triminghan, The Sufi Order, 62-63. 75Ibid., 92. 76Annemarie Schimmel, Mystical Dimensian of Islam (Chapellhills: Coroline Press, 1981), 365, 367-370.
125
Penyebaran Tarekat Naksyabandiah di India terjadi setelah wafatnya
Baqi’ Billah adalah Ah}mad Sirhindi (972-1033 H/1564-1624 M) yang dikenal
sebagai mujadid alfi thani (pembaharu milenium kedua) pada akhir abad ke
delapan belas. Nama Shaykh Sirhindi hampir sinonim dengan tarekat
Naksyabandiah di seluruh Asia Selatan dan sebagian besar Asia Tengah.77 Ketika
Sirhindi berhasil mengukuhkan dirinya sebagai penerus khanaqah Baqi’ Billah di
Delhi, Ta>j ad-Di>n (w.1050 H/1640 M), seorang khalifah Baqi’ Billa>h yang gigih
dalam membela konsep wah}dat al-wuju>d (kesatuan wujud) meninggalkan Delhi
dan menetap di Makkah untuk mengajarkan tarekat.78
Ah}mad bin Ibrahi>m bin Allam, seorang sufi yang cukup mashur, menjadi
muridnya dan kemudian menjadi khalifahnya selanjutnya. Ta>j ad-Di>n
mengangkat dua orang khalifah di Yaman, yaitu Ah}mad bin ‘Ujai>l dan
Muh}ammad Abd al-Baqi>. Muh}ammad al-Baqi> ini adalah pembimbing Yusuf
Makasari (1626-1699) yang disebut sebagai orang pertama yang
memperkenalkan Tarekat Naksyabandiah di Nusantara.79
Pada abad ke-19, tarekat Naksyabandiah telah berkembang di Makah dan
memperoleh banyak pengikut dari berbagai negara, termasuk Indonesia.80
Menurut catatan Kharisudin Aqib, setidaknya terdapat tiga cabang besar tarekat
Naksyabandiah, yaitu Khalidiyah di Makah, Mazahiriyah di Madinah, dan
Mujadinah (murni) di Makah. Dari kedua kota suci ini tarekat Naksyabandiah
77Wiwit Siti Sajaroh, “Tarekat Naqshabandiyah”, 94. 78Zurkarni Yahya, “Asal-usul Tarekat Qadiriyah wa Naqshabandiyah dan Perkembangannya”, dalam Harun Nasution (ed.), Tarekat Qadiriyah wa Naqshabandiyah: Sejarah, Asal-usul, dan Perkembangannya (Tasikmalaya: AILM, 1990), 79. 79Wiwit Siti Sajaroh, “Tarekat Naqshabandiyah”, 95. 80Zamakhsari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai (Jakarta: LP3ES, 1981), 141.
126
masuk Indonesia.81Shaykh Yusuf al-Makasari (1626-1699) adalah orang pertama
yang menyebarkan tarekat Naksyabandiah di Nusantara. Ia mendapatkan ijazah
dari Shaykh Muh}ammad Abd al-Baqi’ di Yaman. Selanjutnya mempelajari
tarekat ketika ada di Madinah di bawah bimbingan Shaykh Ibrahi>m al-Kara>m.
Penyebaran berikutnya dilakukan oleh para pelajar yang mencari ilmu di Makah
dan jama’ah haji Indonesia. Misalnya saja Muh}ammad Yusuf, yang dipertuan
muda di Kepulauan Riau, ketika pertama naik haji ke Makah telah dibaiat masuk
tarekat Naksyabandiah oleh Shaykh Muh}ammad S{alih} al-Zawawi>. Dia menjadi
sultan pada tahun 1883. Kemudian pada tahun 1885 mengangkat anaknya sendiri
sebagai sultan sehingga dia dapat lebih aktif memimpin langsung zikir bersama
jama’ah. Pada tahun 1894 dia mencetak risalah karya Shaykh al-Zawawi>, seorang
guru tarekat Naksyabandiah.82
Penyebaran tarekat Naksyabandiah Mazariah di Pontianak pada tahun
1884 dilakukan oleh Usman Pantiani.83 Ia belajar di Makah pada tahun 1870, saat
ia berusia 15 tahun dari dua gurunya, yaitu M. Salih dan Abdullah Zawawi.
Demikian pula di Madura tarekat Naksyabandiah Mazariah telah hadir sejak
akhir abad kesembilan belas.84 Sejumlah mursyid madura tampaknya telah
menerapkan semacam kepemimpinan bersama dalam tarekat, yang secara
kolektif melayani pengikut tarekat yang sama. Di antara mereka adalah Fath} al-
Bari> yang secara teratur mengunjungi masyarakat Madura dan membaiat
sejumlah besar pengikutnya. Mursyid lain yang berjasa menyebarkan tarekat
81Kharisudin Aqib, Al-Hikmah, 58. 82Ibid., 97-98. 83Usman Pantiani juga bisa dipanggil “al-Sarawaki”. Beliau lahir di Pontianak, tetapi ibunya dari Sarawak, dan ayahnya berasal dari Banjar (Kalimantan Selatan). Ibid., 98-99. 84Martin van Brainessen, Tarekat Naqshabandiyah, 185.
127
Mazariah ke Madura adalah Abdul Azim dari Bangkalan (w.1335/1916), seorang
yang telah lama mukim di Makah dan telah menjadi khalifah dari Muh}ammad
Saleh serta mengajarkan tarekat pada orang-orang Madura yang sedang
menunaikan ibadah haji dan tinggal sebentar di kota suci Makah dan Madinah.85
Tarekat Naksyabandiah juga berkembang dan berpengaruh di
Minangkabau. Menurut perkiraan Schrieke, tarekat ini datang pertama kali ke
Minangkabau sekitar tahun 1850. Berdasarkan analisis Schrieke, orang Minang
menerima tarekat ini dari Isma’il Minangkabaw> ketika ia berada di Makah.
Kemungkinan yang lainnya, orang Minang menerima tarekat ini dari tokoh lokal,
yaitu Muh}ammad T{ahir dari Berulak di Negeri Padang Ganting Tanah datar
(w.1860).86 Memang tidak ditemukan data pasti tentang bagaimana tarekat
Naksyabandiah masuk ke Minangkabau. Berdasarkan kajian yang penulis
lakukan, kemungkinan yang terkuat adalah lewat jalur Isma’il Minangkabawi
karena tokoh ini memiliki akar dan pengaruh yang cukup kuat di Minangkabau.
Dalam perkembangannya kemudian, tarekat ini menyebar luas di daerah
Minangkabau hingga pelosok pedalaman. Di antara tokoh yang berpengaruh
sebagai Shaykh Naksyabandiah adalah Jalaludin dari Cangkring,87 Abd al-
Wahab,88 dan Tuanku Shaykh Habuan dari Padang.89Perkembangan tarekat ini
pulau Jawa juga menarik untuk dicermati. Di Jawa Tengah, cabang-cabang
tarekat ini kebanyakan berasal dari Muh}ammad Ilyas dari Sukaraja Kabupaten 85Ibid., 186. 86Khalifah Muh}ammad Tahir adalah generasi ketiga setelah Shaykh Abd al-Majid. Ibid., 124. 87Ia banyak menarik orang berpindah menjadi pengikut Naqshabandiyah. Akibatnya, ia terlibat konflik dengan guru-guru Tarekat Shatariyah. Ibid., 125. 88Ia mendapat gelar Shaykh Ibrahim bin Pahad. Ia dikelilingi oleh banyak orang dengan rasa setia. Orang memohon berkhahnya dan ia dijunjung tinggi di atas tandu sebagai seorang wali. Ibid. 89Melalui perkawinannya dengan putri (perempuan bangsawan keturunan Pangaruyung), ia banyak membaiat kalangan bangsawan masuk tarekat. Ibid.
128
Banyumas dan Muh}ammad Hadi dari Giri Kusumo. Menurut cerita, Muh}ammad
Hadi—di samping terpelajar dalam bidang fikih dan tarekat—ia juga orang sakti
khas Jawa. Ia mengajar tarekat secara lengkap dan memberi ijazah untuk
pengajaran dan penyebaran tarekat. Salah satu anaknya yang bernama Mansur
mendirikan pesantren di Desa Papangan, sebuah desa yang terletak antara Solo
dan Klaten. Pesantren ini dalam perkembangannya menjadi salah satu pusat
pengembangan tarekat Naksyabandiah di Jawa Tengah (Rembang, Blora,
Banyumas, dan Purwokerto), Jawa Barat (Cirebon), dan Jawa Timur (Kediri dan
Blitar).90Ajaran dasar tarekat Naksyabandiah terdiri atas 11 Asas. 8 Asas
dirumuskan oleh Abd al-Khaliq Ghujdawani> dalam bahasa Persia dan tiga asas
lainnya berasal dari Shaykh Baha’ al-Di>n Naksyabandi.91 Delapan ajaran tersebut
adalah: pertama, nush dar dam (menjaga nafas), yaitu suatu latihan konsentrasi
seorang sufi setiap menarik dan menghembuskan nafas dan ketika berhenti
sebentar di antara keduanya untuk menjaga diri dari Allah SWT.
Dengan latihan ini dapat memberikan kekuatan spiritual dan membawa
orang lebih dekat kepada Allah serta dapat menghindarkan diri dari kematian
spiritual yang mengakibatkan orang akan jauh dari Allah SWT.Kedua, nazar bar
qadam (menjaga langkah), yaitu seorang sa>lik (murid yang sedang menjalani
khalwat suluk),92 sewaktu berjalan menundukkan kepala melihat ke arah kaki.
90 Ibid, 124-133 Baca pula-wiwit siti sajaroh. Tarekat Naqshabandiyah, 101. 91 Muh}ammad Amin al-Kardi. Tanwi>r Qulu>b fi Muamalati Allam al-Qhuyub. (Indonesia: Da>r Ihya’ al-Kutub, t.th), 506-508. Baca Ah}mad Mustofa Diya’ al-Din al-Gumushkhanawi. Jami’ al-Usul f al-Auliya (Surabaya: Mutba’ah al-Haramain, t.th); Martin Van Bruinessen. Tarekat Naqshabandiyah, 76-79. 92 Khalwat berarti mengasingkan diri/pengasingan rohani. Misalnya Rasulullah saw pernah melakukan khalwahdi gua hira. Suluk berarti perjalanan menuju Allah. Maksudnya : berada di suatu tempat yang jauh dari gangguan manusia untuk mengkonsentrasikan diri (jasmani dan
129
Apabila duduk memandang lurus ke depan supaya tujuan-tujuan (rohani)-nya
tidak tergoda oleh segala hal yang ada di sekelilingnya yang tidak relevan.
Ketiga, safar tar wat}an (melakukan perjalanan di tanah kelahirannya), yaitu
melakukan perjalanan batin dengan meninggalkan segala bentuk
ketidaksempurnaannya sebagai manusia menuju kesadaran akan hakekatnya
sebagai makhluk yang mulia. Arti lainnya adalah pindah dari sifat-sifat manusia
yang rendah menuju kepada sifat-sifat malaikat yang terpuji.
Keempat, khalwat dar anjuman (sepi di tengah keramaian), yaitu
menyibukkan diri dengan terus-menerus membaca zikir tanpa memperhatikan
persoalan-persoalan yang lainnya sewaktu berada di tengah keramaian orang.
Pendapat lain mengartikan sebagai perintah untuk tetap turut aktif dalam
kehidupan masyarakat, sedangkan hatinya selalu berkonsentrasi ingat kepada
Allah dan selalu warak.93
Kelima, yard kard (menyebut asma Allah berulang-ulang). Berzikir terus-
menerus mengingat Allah, baik zikir ismal-dhat (lafal Allah), maupun dzikir nafi>-
ithba>t (lafal la> ila>ha illa Alla>h). Bagi penganut Naksyabandiah, zikir tersebut
tidak terbatas dilakukan secara berjama’ah ataupun sendirian sesudah salat tetapi
secara terus-menerus supaya di dalam hati tertanam kesadaran adanya Allah yang
permanen. Keenam, baz gasht (kembali/memperbaharui). Seorang murid setelah
seleksi berzikir menghela nafas kembali munajat dengan mengucapkan kalimat
rahani) melakukan ibadah kepada Allah Baca: M.Solihin dan Rosihon Anwar Kamus Tasawuf (Bandung : Remaja Rosda karya, 2002), 116 dan 192. Khalwat ada dua bagian, yaitu : a) khalwat lahir : seorang salik mengasingkan diri kesebuah tempat yang jauh dari keramaian masyarakat. b) khalwat batin : mata hati menyaksikan rahasia kebesaran Allah SWT dalam pergaulan sesame makhluk. Baca Muh}ammad Amin al-Kandi Tanwi>r al-Qulu>b, 506-507. 93 Menjaga diri dari berbuat dosa atau maksiat sekecil apapaun. Ibid, 267.
130
yang mulia: Ila>hi anta maqs}u>di>y wa rid}a>ka mat}lu>bi>y (Ya Tuhan, Engkaulah
tempatku memohon dan keridaan-Mu lah yang kuharapkan). Sewaktu
mengucapkan zikir, makna dari kalimah ini haruslah senantiasa berada di hati
seorang murid untuk mengkonsentrasikan perasaan. Hati diarahkan kepada Allah
semata sehingga dalam kalbunya merasakan rahasia tauhid yang hakiki dan
semua makhluk ini lenyap dari pandangannya.
Ketujuh, nigah dasht (waspada). Setiap murid harus menjaga hati, pikiran,
dan perasaan secara terus-menerus ketika melakukan zikir tauhid untuk
mencegah agar pikiran dan perasaan tidak menyimpang dari kesadaran yang tetap
keberadaan Tuhan serta untuk memelihara pikiran dan tingkah laku sesuai
dengan makna kalimah tersebut.
Kedelapan, yad dasht (mengingat kembali), adalah tawajuh
(menghadapkan diri) kepada Nur Zat llah tanpa kata-kata sampai secara langsung
menangkap Zat Allah yang berbeda dari sifat-sifat dan nama-nama-Nya
mengalami bahwa segalannya berasal dari Allah yang Esa dan keanekaragam
ciptaan terus berlanjut ke tak terhingga.
Penglihatan ini ternyata hanya mungkin dalam keadaan jadhbah.94 Itulah
derajat rohani tertinggi yang dapat dicapai. Tampaknya hal ini semula dikaitkan
pada pengalaman langsung kesatuan dengan yang ada wah}dat al-wuju>d. Menurut
Ah}mad Sirhindi dan pengikut-pengikutnya, adanya dalil yang lebih tinggi bahwa
seorang sufi sadar kesatuan (kemanunggalan) ini hanyalah bersifat fenomenal,
bukan ontologis. 94 Jadhbah adalah perasaan dimabuk rindu, keterpesonaan kepada Allah. Daya tarik kepada tuhan atau pesona kepada tuhan yang terjadi pada proses rohani Baca: M. Solihin dan Rosihon Anwar Kamus Tasawuf, 102.
131
Adapun tiga asas lainya yang berasal dari Shaykh Baha’ al-Di>n
Naksyabandiah adalah: pertama, wuquf zamani> (memeriksa pengunaan waktu).
Setiap sa>lik senantiasa mengamati dan memeriksa tiga jam sekali. Jika ternyata
secara terus-menerus sadar dan larut dalam berzikir serta melakukan perbuatan
terpuji, hendaklah bersyukur kepada Allah. Tetapi jika ternyata lupa atau
melakukan perbuatan dosa, hendaklah segera minta ampun dan bertaubat serta
kembali kepada Allah dengan kehadiran hati yang sempurna. Kedua, wuquf adabi
(memeriksa hitungan zikir), yaitu memeriksa hitungan zikir dengan hati-hati dan
penuh konsentrasi beberapa kali seseorang mengulangi kalimah zikir. Zikir nafi-
ithbat diucapkan dalam jumlah hitungan ganjil, atau 5 sampai 21 kali. Ketiga,
wuqu>f qalbi> (menjaga hati tetap terkontrol), yaitu menjaga hati seseorang (secara
batin terus zikir) berada di hadirat Allah sehingga hati itu tidak sadar akan yang
lain kecuali Allah. Dengan demikian, konsentrasi hati seseorang selaras dengan
zikir dan maknanya. Makna wuqu>f qalbi> yang lain adalah bahwa hati orang yang
zikir itu berhenti (wuquf). Ketika konsentrasi zikir memusatkan kepada Allah
dan bergumul dengan lafad-lafad zikir dan maknanya.
4. Tarekat Khalwatiah
Pendiri tarekat ini adalah Dede Umar al-Khalwati (w.1397 M) yang
bergelar Qut}b al-Zamani Maulana Affandi Umar al-Khalwati.95 Tarekat ini
merupakan cabang dari tarekat Suhrawardiyah yang didirikan oleh Abu> H{afs al-
Suhrawardi (w. 632 H).96 Paham tarekatnya bersumber dari Abu> al-Qasim al-
Junaidi> (w. 298 H/910 M). Tokoh ini juga melahirkan tarekat Kubrawiyah yang
95M. Sholihin dan Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia, 2008), 214. 96Moh. Toriquddin, Sekularitas Tasawuf, 129.
132
didirikan oleh Hajmuddi>n Kubra (w. 618 H/1221 M) dan tarekat Mawlawiyah
yang didirikan oleh Jalaludi>n Rumi> (1207-1273 M).
Perkembangan tarekat ini cukup pesat. Ada beberapa negara yang yang
menjadi wilayah perkembangannya, yaitu Turki, Syiria, Mesir, Hijaz, dan
Yaman. Di Turki, tarekat ini pertama kali dipimpin oleh Amir Sultan (w.1439
M). Sementara di Mesir dipimpin oleh Ibrahi>m Galshaini (w. 940 H/1534 M).
Dalam sejarahnya, tarekat ini berkembang menjadi beberapa cabang tarekat,
antara lain tarekat Sammaniyah yang didirikan oleh Muh}ammad bin Abd al-
Karim al-Samani (1718-1775 M).97
Tarekat Khalwatiah pertama kali diperkenalkan di Indonesia oleh Shaykh
Yusuf Makasar pada tahun 1670 M. Setelah pulang menempuh studi dari dari
tanah Arab, Shaykh Yusuf menetap di Banten untuk menjadi penasehat spiritual
dan menantu Sultan Ageng Tirtayasa. Selain itu, beliau juga menjadi pemimpin
karismatis orang Makasar dan Bugis yang bermukim di Banten. Beliau dibaiat
menjadi penganut Khalwatiah di Damaskus oleh Abu al-Barakah Ayyub bin
Ah}mad bin Ayyub al-Khalwati al-Quraisyi.98 Selain tarekat Khalwatiah, Yusuf
juga dibaiat menjadi pengikut kadariah, Naksyabandiah, Shat}ariyah, dan
Ba’lawiyah.99Tarekat Khalwatiah di Indonesia kebanyakan diikuti oleh Suku
Bugis dan Makasar di Sulawesi Selatan atau di temapat lain di mana suku itu
berada, seperti Riau, Malaysia, Kalimantan Timur, Ambon, dan Irian Barat.100
Tarekat ini memiliki dua cabang yakni Tarekat Khalwatiah Yusuf yang diambil
97M. Sholihin dan Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, 214. 98Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, 287. 99Ibid., 289. 100Musrifah Sunanto, “Tarekat Khalwatiyah: Perkembangannya di Indonesia”, dalam Sri Mulyati (ed.), Tarekat-tarekat Mu’tabarah, 177.
133
dari nama seorang sufi dan pejuang Makasar abad ke-17, Syaykh Yusuf Makasar,
dan tarekat Khalwatiah Saman yang diambil dari nama seorang sufi Madinah
abad ke-18, Muh}ammad al-Saman. Kedua cabang tarekat ini sesungguhnya
memiliki banyak perbedaan. Masing-masing berdiri sendiri dan tidak memiliki
banyak kesamaan.101
Perbedaan keduanya mencakup amalan, organisasi, dan komposisi sosial
pengikutnya. Tarekat Khalwatiah Yusuf dalam berzikir mewiridkan nama-nama
Tuhan dan kalimat singkat lainya secara sirr (lembut) dalam hati, sementara
tarekat Khalwatiah Saman melakukan zikir dan wiridnya dengan suara keras dan
ekstatik. Tarekat Khalwatiah Yusuf tidak mempunyai pimpinan pusat, sedangkan
Tarekat Khalwatiyah Samaniyah memiliki pimpinan pusat. Semua guru tunduk
pada Pimpinan Pusat di Maros.102 Cabang-cabang Tarekat Khalwatiah Saman
memiliki tempat ibadah sendiri (musala, langgar) dan cenderung mengisolasi diri
dari tarekat yang lain, sedangkan tarekat Khalwatiah Yusuf tidak memiliki
tempat ibadah secara khusus. Mereka bebas berbaur dengan masyarakat yang
bukan menjadi pengikut tarekat ini. Tarekat Khalwatiah Yusuf dapat disebut
sebagai tarekat yang lebih “aristrokratis” karena anggotanya banyak yang dari
kalangan bangsawan Makasar, termasuk penguasa Kerajaan Gowa yang terakhir,
Andi Ijo Sultan Muh}ammad Abdul Khadir Aidid (berkuasa tahun 1946-1960).
Sementara tarekat Khalwatiah Saman lebih merakyat, baik dalam hal gaya
maupun komposisi sosial pengikutnya yang sebagian besar orang-orang desa.103
101Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, 286. 102Ibid. 103Ibid.
134
Adapun ajaran dasar tarekat Khalwatiah adalah: (a) yaqza (kesadaran
akan dirinya sebagai makhluk yang hina di hadapan Allah SWT. Yang Maha
Agung. (b) Taubah (mohon ampun atas segala dosa). (c) Muh}a>sabah (instropeksi
diri). (d) Ina>bah (berhasrat kembali kepada Allah). (e) Tafakur (merenung
tentang kebesaran Allah). (f) I’tisan (selalu bertindak sebagai khalifah Allah di
bumi. (g) Firar (lari dari kehidupan jahat dan keduniaan yang tidak berguna. (h)
Riya>d}ah (melatih diri dengan beramal sebanyak-banyaknya. (i) Tasyakur (selalu
bersyukur kepada Allah dengan mengabdi dan memuji-Nya. (j) Sima’
(mengonsentrasikan seluruh anggota tubuh dalam mengikuti perintah-perintah
Allah, terutama pendengaran.104
Zikir dalam tarekat Khalwatiah ada empat macam. (a) La> ila>ha illa Alla>h.
Zikir ini disebut dhikir nafi ithba>t. La> ila>ha sebagai yang dinafikan (ditiadakan),
dan illa Alla>h sebagai ithbat-nya (penegasan terhadap satu-satunya yang abadi).
Zikir ini diajarkan pada murid tingkat permulaan untuk diamalkan setiap hari
minimal 10-100 kali dan apabila maqamnya (tingkatannya) sudah meningkat
lebih tinggi diamalkan menjadi 300 kali. (b) Allah-Allah. Zikir ini disebut zikir
Ismu al-Jalah. Zikir ini diajarkan kepada murid yang sudah mencapai maqam
khusus untuk diamalkan setiap hari antara 40, 101, atau 300 kali. (c) huwa-huwa.
Zikir ini disebut ismu al-Isharah, diajarkan kepada murid yang telah mencapai
maqam tinggi setingkat badal (wakil mursyid). Zikir ini diamalkan setiap hari
antara 100-700 kali. Tetapi kebiasaannya diamalkan sebanyak 300 kali. (d) Ah-
ah. Zikir ini diberikan kepada murid yang telah mencapai maqam tertinggi
104Musyrifah Sunanto, ”Tarekat Khalwatiyah”, 130-131.
135
setingkat mursyid yang ma’rifatullah (mengenal Allah). Zikir yang wajib
diamalkan sebanyak 100-700 kali setiap hari.105
5. Tarekat Shat}ariyah
Tarekat Shat}ariyah didirikan oleh Abdulla>h al-Shat}ar (w.890H/1485
M).106 Beliau memiliki hubungan silsilah tarekatnya kepada Abu> Yazi>d al-Ish}a>qi>,
yang terhubungkan lagi kepada Abu> Yazi>d al-Bustami> (w. 260 H/873 M), dan
Ima>m Ja’far al-S{adi>q (w.148 H/763 M). Oleh karenanya, tarekat ini dikenal
dengan tarekat Ish}a>qiyyah di Iran atau tarekat Bistamiyyah di Turki Usmani.107
Dalam sejarahnya, tarekat ini kurang berkembang. Kebangkitan kembali
tarekat ini terjadi setelah Shaykh Abdullah al-Sat}ar mengajarkannya dan
menyebarluaskan di wilayah India. Beliau lalu memberi nama tarekat ini sebagai
tarekat Shat}t}ariyah. Sejak itulah tarekat Shat}t}ariyah selalu dikaitkan dengan
tasawuf India. Namun demikian, nama Abu> Yazi>d al-Ish}a>qi dan Abu> Yazi>d al-
Bustami> tetap menjadi sandaran dalam tradisi silsilahnya untuk menghubungkan
sampai kepada Imam Ja’far al-S{a>diq dan akhirnya sampai pada Nabi Muh}ammad
Saw.108Shaykh Abdulla>h al-Sat}t}ar sebagai pendiri Tarekat Shat}t}ariyah menetap
di Mandu, sebuah desa di India tengah di mana dia mendirikan khanaqah109
pertama bagi para penganut tarekat Shat}t}ariyah. Ia menulis sebuah kitab berjudul
105Ibid., 135. 106Seorang ulama yang masih memiliki hubungan kekeluargaan dengan Sihab al-Di>n Abu> H}afs ‘Umar al-Suhrawardi> (539-632 H/1145–1234 M). Ulama sufi mempopulerkan Tarekat Suhrawardiyah, yaitu sebuah tarekat yang awalnya didirikan oleh pamannya sendiri, Diya’ ad-Di>n Abu> Naji>b al-Suhrawardi> (490–563 H/1097–1168 M). Lihat J.Spencer Triminghan, The Sufi Order, 33-34. 107Ibid., 97-98. 108Oman Fathurahman, Tarekat Shattariyah di Minangkabau (Jakarta: Prenada Media Group, 2008), 28-29. 109Khanaqah berasal dari bahasa Persia yang berarti sebuah bangunan yang digunakan oleh para sufi untuk berbagi macam keperluan, seperti belajar-mengajar, berkhalwat, berdhikir, dan sebagainya. Ibid., 150.
136
Hat}a’if al-Ghalaiyah. Kitab ini berisi tentang prinsip-prinsip dasar ajaran tarekat
Shat}t}ariyah dan metode cepat untuk mencapai tingkatan makrifat. Kitab ini
kemudian disempurnakan oleh kedua muridnya utamanya, yaitu Shaykh
Muh}ammad A’la> yang dikenal dengan nama Shaykh Qadi Bengal (Qazair
Shat}t}ari), dan Shaykh H{afiz Jawrpur. Murid yang kedua ini yang berjasa
mengembangkan silsilah tarekat Shat}t}ariyah di India bagian utara melewati
muridnya, Shaykh Budhdhan. Dalam perkembangannya kemudian, murid dari
Shaykh Budhdhan menulis kitab berjudul Risalah Shat}t}ariyah yang berisi tentang
prinsip-prinsip ajaran Tarekat Shat}t}ariyah.110
Khalifah tarekat Shat}t}ariyah setelah Abdulla>h al-Shat}t}ar adalah Ima>m
Qadi> al-Syat}t}ari, Shaykh Hidayat Allah al-Sarmasti>, Shaykh Haji H{uduri>, dan
Shaykh Muh}ammad Gauth. Di antara nama-nama tersebut, Shaykh Muh}ammad
Bauth Gwaliyar (w. 970 H/1563 M) merupakan khalifah tarekat Shat}t}ariyah yang
paling berhasil memaparkan doktrin dan ajaran tarekat Shat}t}ariyah melalui
berbagai karangannya, antara lain, Jawa>hir al-Khamsah, Khilid Makhzam
Dama’ir, Basa>ir, dan Kauz al-Tauhi>d.111 Namun di antara kitab-kitab tersebut
yang muncul di India hanya Jawa>hir al-Khamsah.
Di antara murid Shaykh Muh}ammad Gauth Gwaliyah yang paling
terkemuka adalah Shaykh Wa>jih} al-Di>n Alawi> (w. 1018 H/ 1609 M) yang
bertempat tinggal di Ah}madabad, India. Ia mempunyai murid bernama Sayyid
Sibgat Alla>h Ibn Ruh} Alla>h Jama>l al-Barwaji> (w.1029 H/1620 M). Selama
beberapa tahun di bawah lindungan penguasa setempat, Sayyid Sibgat Allah
110Ibid., 29. 111J. Spencer Trimighan, The Sufi Order, 98.
137
mengajarkan doktrin Shat}t}ariyah di tempat kelahirannya Ah}mad Dabad India
sebelum tahun 999 H/1591 M. Setelah tahun itu, ia berangkat ke Makah untuk
menunaikan ibadah haji dan mengembangkan ajaran tarekat Shat}t}ariyah di
H{aramai>n (Makah dan Madinah). Bahkan apa yang dilakukan Sayyid Sibgat
Allah telah melahirkan era baru bagi sejarah tarekat Shat}t}ariyah dan menjadi
contoh yang baik dalam melakukan interaksi keilmuan yang menghasilkan
pertukaran pengetahuan dan transmisi “tradisi-tradisi kecil” Islam dari India.112
Lebih dari itu, ia yang wafat di Madinah menjadi ulama pengembara yang
menjadi salah seorang tokoh kunci dalam penyebaran berbagai gagasan
keislaman di Haramain, terutama dalam memperkenalkan kitab Jawa>hir al-
Khamsah karangan gurunya (Muh}ammad Gauth Gwaliyah) kepada ulama di
H{aramai>n.
Kemampuan ilmu Sayyid Sibgat Alla>h diakui di H{aramai>n sampai ia
dipercaya mengajar di Masjid Nabawi. Ia menulis berbagai kitab tasawuf dan
diajarkan kepada murid-muridnya yang berasal dari berbagai macam golongan.
Di antara murid-muridnya yang paling terkemuka yang kemudian menjadi
penerusnya dalam tarekat Shat}t}ariyah adalah Ah}mad al-Shinawi (lahir 975
H/1567 M), dan Ah}mad al-Qushashi (991-1071 H/1583–1660 M). Dua orang
inilah yang paling bertanggung jawab menyebarkan ajaran Sayyid Sibghat Allah
di H{aramai>n. Hubungan al-Shinawi> dan al-Qushashi termasuk unik sebab al-
Shinawi> adalah kawan seperguruan dengan Sayyid Sibgat Alla>h, tetapi juga
menjadi guru dan sekaligus mertuanya. Ia mengajar al-Qushashi berbagai macam
112Oman Fathurahman, Tarekat Shat}t}ariyah, 31.
138
ilmu keislaman seperti hadis, fikih, kalam, dan tasawuf. Bahkan, al-Shinawi pula
yang menginisiasi al-Qushashi> sebagai khalifah tarekat Shat}t}ariyah berikutnya.
Sehingga, setelah al-Shinawi> wafat tanggung jawab pengajaran tarekat
Shat}t}ariyah selanjutnya di H{aramai>n dilaksanakan oleh al-Qushashi>. Berkat
kedalaman ilmunya dalam tasawuf ia mendapat gelar al-bah}ir al-t}ari>qah. Ia
seorang penulis dan pengarang yang terkenal pada masanya. Karyanya dalam
berbagai bidang keilmuan, seperti tasawuf, hadis, fikih, usul fikih dan tafsir. Dari
beberapa hasil karyanya, hanya al-sunt al-maji>d yang menjadi salah satu sumber
pokok ajaran tarekat Shat}t}ariyah.113
Usaha al-Qushashi> dalam menyebarkan ajaran Tarekat Shat}t}ariyah di
H{aramai>n yang telah dirintis oleh al-Shinawi> terus dilakukan. Bahkan di tangan
al-Qushashi>, tarekat Shat}t}ariyah semakin memantapkan pengaruhnya di
H{aramai>n, dan mengalami semacam reorientasi dari sifat awalnya yang
cenderung lebih menekankan pada aspek mistis menjadi sebuah tarekat yang
mengajarkan perpaduan antara aspek mistis dan syariat atau yang kemudian
dikenal dengan Neo-Sufisme.114
Selain itu, tarekat Shat}t}ariyah juga memperlihatkan adanya pertemuan
beberapa tradisi keilmuan, khususnya tradisi hadis, untuk menjustifikasi berbagai
ajaran tasawuf dan tarekat, dan untuk menegaskan bahwa tasawuf dan tarekat
tidak harus dipandang sebagai bertentangan dengan ajaran al-Qur’an dan
113Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Akar Pembaharuan Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2004), 89. 114Neo-Sufisme adalah jenis tasawuf yang telah diperbarui, terutama dilucuti dari ciri dan kandungan ekstatik dan metafisiknya, kemudian digantikan dengan kandungan yang berasal dari dalil-dalil ortodoksi Islam (al-Qur’an dan Hadis Nabi). Baca Oman Fathurohman, Tarekat Shattariyah, 151; Suderman Tebba, Orientasi Sufisme Cak Nur (Jakarta: Paramadina, 2004), 165.
139
sunah.115Al-Qushashi> merupakan ulama yang dianggap paling utama dalam
transmisi ajaran Tarekat Shat}t}ariyah melalui murid-muridnya ke berbagai
penjuru dunia, termasuk ke wilayah Indonesia. Di antara murid-muridnya yang
paling berperan dalam konteks ini adalah Ibrahi>m al-Khura>ni> (1023-1102
H/1616–1690 M), dan Abdurrau>f bin Ali> al-Jawi> atau dikenal dengan Abdurrau>f
al-Sinkili> (1024–1105H/1615–1693M).116
Meskipun tidak mewariskan estafet kekhalifahan kepada Abdurrau>f dalam
tarekat Shat}t}ariyah, tetapi al-Khura>ni> adalah guru utama Abd al-Ra’u>f setelah
wafatnya al-Qashashi>, khususnya dalam berbagai macam pengetahuan dan
pemahaman keislaman. Sementara kedalaman ilmu Abd al-Ra’uf tidak diragukan
lagi karena ia berhasil memasuki inti jaringan ulama, bahkan mampu merebut
hati sejumlah ulama di H{aramai>n, sehingga menjadikan dirinya sebagai salah
seorang murid utama dan disejajarkan dengan para ulama besar dari belahan
dunia lain.117
Sekitar tahun 1661 M, Abdal-Ra’u>f pulang ke Indonesia setelah
menghabiskan waktunya sekitar 19 tahun di H{aramai>n untuk belajar berbagai
ilmu pengetahuan Islam, terutama dalam ilmu tasawuf. Sebagai tanda selesainya
pelajaran dalam jalan mistis, al-Qushashi> menunjuknya sebagai khalifah dalam
tarekat Shat}t}ariyah dan Qadariah sekaligus. Sekembalinya dari H{aramai>n,
Abdurrau>f aktif mengajar berbagai macam pengetahuan Islam dan menyebarkan
Tarekat Shat}t}ariyah. Bahkan, ia dianggap sebagai ulama yang otokratif dalam
menyebarkan Tarekat Shat}t}ariyah di Wilayah Melayu–Indonesia. Selain itu,
115Oman Fathurahman, Tarekat Shattariyah, 160-161. 116Azyumardi Azra, Jaringan Ulama, 91. 117Ibid., 198.
140
beliau juga merupakan figur utama karena hampir semua silsilah tarekat
Shat}t}ariyah melalui dirinya. Di antara salah satu kitab karangannya yang
dijadikan pengangan murid-muridnya adalah ’umda>t al-muhajiri>n ila> sulu>k
masla>k al-mufrodi>n. Sedangkan murid-murid Abdu al-Rau>f yang paling
terkemuka, antara lain, Shaykh Burhanudin dari Ulakan Pariaman Sumatra Barat
dan Shaykh Abdul Muhyi dari Pamijahan Tasikmalayu Jawa Barat. Kedua murid
ini telah berhasil melanjutkan dan mengembangkan silsilah Tarekat Shat}t}ariyah
dan menjadi tokoh sentral di wilahnya masing-masing.
Shaykh Burhanudin menjadi khalifah utama bagi semua khalifah tarekat
Shat}t}ariyah di wilayah Sumatra periode berikutnya, sedangkan Shaykh Abdul
Muhyi menjadi salah satu mata rantai silsilah utama tarekat Shat}t}ariyah di Jawa
Barat khususnya, dan Jawa pada umumnya.118 Dengan demikian, pertumbuhan
dan perkembangan tarekat Shat}t}ariyah sejak awal sampai di wilayah Melayu–
Indonesia mengalami empat fase. Pertama, fase cikal bakal munculnya tarekat
Shat}tariyah, yaitu fase sebelum berkembang di India. Dalam fase ini, tarekat
Shat}t}ariyah dikenal dengan nama tarekat Ish}a>qiyyah di Iran, atau Bistamiyyah di
Turki Usmani. Kedua, fase India, yaitu sejak tarekat ini mulai dikenal dengan
nama Shat}t}ariyah karena dinisbatkan kepada Shaykh Abd Allah al-Shat}t}ari.
Ketiga, fase Haramain, yaitu ketika tarekat Shat}t}ariyah diajarkan oleh tokoh
sentralnya, al-Qushashi dan al-Shinawi sebagai khalifah tarekat Shat}t}ariyah di
Haramain. Pada fase ini, sifat dan corak ajaran tarekat telah dilakukan
rekonsiliasi antara tradisi tasawuf dengan tradisi syariat.119 Keempat, fase pasca
118Oman Fathurahman, Tarekat Syattariyah, 32-35. 119Ibid., 37; Azyumardi Azra, Jaringan Ulama, 129-130.
141
Haramain. Dalam fase ini tarekat Shat}t}ariyah menyebar ke berbagai belahan
dunia Islam di luar Jazirah Arab, termasuk dunia Islam Melayu Indonesia. Sifat
dan corak ajaran tarekat berkembang menjadi neo-sufisme dan tokoh sentralnya
adalah Abdurrau>f al-Singkili.120
6. Tarekat Samaniah
Tarekat Samaniyah didirikan oleh Muh}ammad bin Abd al-Kari>m al-
Madani> al-Sha>fi’i> al-Saman (1130-1189 H/1718-1775 M). Ia dilahirkan di
Madinah dari keturunan Quraish dan dikenal dengan nama al-Sama>n atau
Muh}ammad Samman. Ia aktif mengajar di Madinah dan bertempat tinggal di
bekas rumah milik Abu> Bakar.121 Al-Saman adalah orang alim yang menguasai
berbagai macam ilmu pengetahuan Islam. Penguasaannya akan ilmu pengetahuan
ini berkat ketekunannya belajar dari para ulama terkenal. Misalnya, dalam bidang
hukum Islam, ia berguru kepada Muh}ammad al-Daqaq, Sayyid Ali> al-At}t}ar, Ali>
al-Kurdi>, Abd al-Wahab al-Tant}awi> (di Makkah), dan Ali> Sai>d Jila>l al-Makki>.122
Dalam bidang hadis, ia berguru kepada Muh}ammad Jlayyat serta berguru kepada
Muh}ammad bin Abd al-Wahab, Pendiri Wahabiyah yang menentang bid’ah dan
praktik syirik.123 Guru-guru al-Samman lainnya adalah Muh}ammad Sulaima>n al-
Kurdi> (1125-1194 H/1713-1780 M), Abu> T{ahir al-Khara>ni>, dan Abd Alla>h al-
Bas}ri>.
Di bidang tasawuf dan tauhid, gurunya yang paling mengesankan adalah
Must}afa bin Kama>l al-Di>n al-Bakri> (disingkat Must}afa al-Bakri>), seorang ulama
120Oman Fathurrahman, Tarekat Shattariyah, 36-38. 121Azyumardi Azra. Jaringan Ulama, 159. 122Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, 56. 123Azyumardi Azra, Jaringan Ulama, 159.
142
Damaskus, pengarang yang produktif, Shaykh tarekat Khalwatiyah yang pernah
menetap di Madinah dan wafat di Kairo pada tahun 1749.
Guru tarekat Khalwatiah yang lain adalah Muh}ammad bin Sali>m al-
Hifnawi dan Muh}mud al-Kurdi>. Namun pengaruh keduanya dalam tarekat tidak
tampak dalam karya-karya al-Saman sendiri.124 Pada periode berikutnya, al-
Saman membuka cabang tarekat Khalwatiah yang menyebutkan silsilah mata
rantai gurunya mulai dari Must}afa al-Bakri>. Ia tidak banyak melakukan
perubahan dengan tarekat induknya. Hal ini terlihat dari salah satu karya
utamanya, Risa>lah al-Nafah}at al-Ila>hiyyah al-Kaifiyah Suluh} al-T}ari>qah al-
Muh}ammadiyah. Dalam karya ini terlihat bahwa ia sama sekali tidak mengubah
peribadatan tarekat Khalwatiah. Sementara dia membiarkan tarekat Khalwatiah
tetap utuh, dia mendirikan tarekatnya sendiri.125
Tarekat Samaniah tampak merupakan gabungan dari bermacam-macam
tarekat. Tarekat ini berafiliasi kepada tarekat Khalwatiah, Kadiriah,126
Naksyabandiah,127 Adiliah, dan Syazilliah.128 Bermacam-macam ajaran tarekat
itu diadopsi oleh al-Saman, kemudian dipadukan menjadi teknik zikir, bacaan-
bacaan lain, dan ajaran-ajaran metafisika. Semua tarekat itu, dengan beberapa
tambahan seperti qasidah dan bacaan lain yang merupakan hasil susunannya
sendiri gabungan dari macam-macam tarekat itu, diberi nama al-Muh}ammadiyah,
124Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, 56. 125Azyumardi Azra, Jaringan Ulama, 160-161. 126Ia masuk menjadi murid Tarekat Qadiriyah sehingga dikenal orang sezamannya dengan nama lengkap Muh}ammad bin Abd al-Kari>m al-Qadi>ri al-Samman. Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, 57. 127Tarekat Naksyabandiah juga banyak mempengaruhinya, terutama dipengaruhi oleh Abd al-Ghani al-Nabulusi. Ibid. 128Tarekat Syazilliah juga ia pelajari sebagai tarekat yang mewakili tradisi tasawuf maghrib yang terkenal hizib-hizibnya. Ibid.
143
yang selanjutnya lebih dikenal dengan nama Tarekat Sammaniyah. Al-Saman
menyusun ra>tib-nya sendiri, wirid-wiridnya, dan tawasulnya yang diajarkan
kepada murid-muridnya. Kemampuan melakukan penyusunan ini adalah karena
ia adalah seorang sufi al-ari>f billa>h dan mursyid tarekat.129
Sistem tarekat yang tidak genuine (asli) ini tidak hanya terjadi pada
tarekat Samaniah, tetapi juga pada tarekat yang lain. Misalnya, Muh}ammad
Luqma>n al-Mirghani mendirikan Tarekat Khatmiah yang merupakan gabungan
dari Naksybandiah, Kadiriah, Sazilliah, Junaidiah, dan Mirghaniah. Sementara
Ah}mad Khatib Sambas, seorang ulama Kalimantan yang lama menetap di Makah
pertengahan abad 19, menggabungkan dua tarekat (Kadiriah dan Naksyabandiah)
dengan nama tarekat Kadiriah wa Naksyabandiah. Tarekat Khatmiah menyebar
ke berbagai wilayah, utamanya Afrika Utara. Sedangkan tarekat Kadiriah wa
Naksyabandiah tersebar ke seluruh Indonesia.130
Jabatan al-Saman sebagai penjaga pintu makam Nabi di Madinah
menyebabkan ia banyak menerima tamu dari seluruh dunia Islam. Hal ini dapat
digunakan untuk mengajarkan tarekatnya, sehingga dalam waktu singkat ia
mendapat murid yang berasal dari berbagai benua, mulai dari maghrib dan Afrika
Timur sampai ke India dan Nusantara. Di berbagai kota Hijaz dan Yaman berdiri
zawiyah-zawiyah Sammaniyah.
Dalam salah satu karyanya, H}ikayat Shaykh Muh}ammad Samman,
diceritakan bahwa salah satu zawiyah di kota Jeddah dibangun atas biaya Sultan
129Ah}mad Abrori, ”Tarekat Sammaniyah: Sejarah Perkembangan Ajarannya”, dalam Sri Mulyati (ed.), Tarekat-tarekat Mu’tabarah, 186. 130Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, 57.
144
Palembang pada tahun 1191 H/1777 M (dua tahun setelah al-Saman wafat).131
Murid-murid al-Saman yang diberi kewenangan mengajar tarekat Samaniah yang
paling menonjol, antara lain, Shaykh Siddiq bin Uma>r Khan al-Madani>, Abd al-
Rah}ma>n bin Abd al-Aziz al-Maghribi>,132 Abd al-Ghani bin Abi Bakar al-Hindi>,133
Shaykh Abd al-Kari>m (Putra Shaykh Saman), Maula Sayid Ah}mad al-Baghdadi>,
Sur al-Di>n al-Qabuli> (dari Kabul Afghanistan), dan Abd al-Wahab ‘Afi>fi> al-Misri>.
Sedangkan murid dari Indonesia, antara lain, M. Arsyad al-Banjari, Abd al-
Rahman al-Fatani, dan tiga orang Palembang, yaitu Shaykh Abd al-Samad, Tuan
Haji Ah}mad, dan Muhyidin bin Syihabudin.134
Shaykh Samman adalah figur yang sangat menarik. Ia dikagumi tidak
hanya oleh murid-murid yang sedang berguru kepadanya, tetapi juga dikagumi
raja-raja dari berbagai wilayah, seperti Raja Rum, Mesir, Syam, India, Makkah,
dan Madinah.
Para raja tersebut banyak yang mengirim hartanya kepada al-Saman.
Demikian juga dengan para saudagar kaya memberikan sadaqah emas kepadanya.
Semua kekayaan itu seluruhnya diserahkan kepada fakir miskin tanpa ada sedikit
pun yang tersisa.135 Hal ini membuktikan bahwa Shaykh Saman merupakan
tokoh sufi yang disegani yang sarat dengan daya mistik dan memiliki karamah.
Shaykh Samman meninggal pada hari Rabu, 2 Dhulhijah 1189 H/1775 M dalam
usia 57 tahun setelah sakit selama 17 hari. Beliau dimakamkan di Baqiq
131Ibid., 57-58. 132Sejak Shaykh Saman masih hidup sudah diberi kewenangan mengajar kitab utama Shaykh Saman yang berjudul al-Nafah}at al-Ila>hiyyah kepada murid Shaykh Samman. Ibid. 133Ia telah membuat syarah karya Shaykh Samman “Risalah Asrar al-Ibadat” yang berjudul Fath} al-Rahman. Ibid. 134Ibid. 135Ah}mad Asrori, Tarekat Sammaniyah, 187.
145
Madinah.136Di antara ajaran pokok dalam tarekat Samaniah adalah baiat sebagai
simbol perpindahan masuk anggota tarekat, zikir sebagai wirid yang harus
diamalkan serta pemahamannya tentang wah}dat al-wuju>d (kesatuan eksistensi
atau kesatuan wujud), dan martabat tujuh.137 Sementara di antara praktek
ritualnya adalah: (a) membaca manakib. Pembacaan manakib (cerita tentang
kekeramatan wali) dilakukan setiap minggu sekali atau dibaca pada peristiwa-
peristiwa tertentu dalam berbagai ritual yang mengikuti siklus kehidupan
seseorang, untuk memahami mazar, menolak bahaya, atau mungkin untuk
mengusir setan. Namun, hakikatnya pembacaan manakib untuk memperoleh
pahala yang banyak.
Di samping itu, ada juga yang bertujuan untuk minta kepada Allah
melalui Shaykh Saman. (b) ratib Saman. Ratib Saman adalah sejumlah bacaan
yang diamalkan dengan cara berzikir yang tidak hanya mulutnya yang menyebut
nama Allah, tetapi seluruh badannya bergetar dengan nama-Nya, seperti
digerakkan oleh kekuatan ilahi. (c) zikir. Praktek zikir yang diamalkan dalam
tarekat Samaniah meliputi zikir nafi ithbat,138 zikir ism al-jala>lah,139 zikir ism al-
isha>rah,140 dan zikir khusus.141
136Ibid. 137Ajaran tentang penciptaan alam dan manusia melalui penampakan diri Tuhan dalam tujuh martabat (tingkatan), yakni ahadiyah, wahdah, wahidiyyah, ‘alam mithal, alam arwah, alam ajsam, dan insan kamil. Oman Fathurrahman, Tarekat Shattariyah, 150. 138Zikir ini dilakukan dengan membaca La>ilaha illa Alla>h sebanyak 10–100 kali. Ibid., 205. 139Zikir ini dengan membaca Alla>h–Alla>h sebanyak 40–101 atau 300 kali sehari. Biasanya diberikan kepada muridnya yang telah mencapai tingkatan khusus. Ibid. 140Zikir ini dengan membaca Huwa Huwa. Zikir ini diberikan kepada murid yang telah mencapai tingkatan mursyid, jumlah zikirnya 100-700 kali setiap hari. Tetapi umumnya dibaca sebannyak 300 kali setiap hari. Ibid. 141 Zikri ini dengan membaca Ah Ah. Zikir ini diberikan kepada murid yang telah menjadi mursyid dan telah mencapai maqam tertinggi yaitu ma’rifatullah. Jumlah zikirnya antara 100-700 setiap hari. Ibid .
146
7. Tarekat Tijaniah
Pendiri Tarekat Tijaniah adalah Shaykh Abu> al-Abba>s Ah}mad bin
Muh}ammad bin al-Mukhta>r bin Sali>m al-Tijani yang lahir pada tahun 1150
H/1737 M di ‘Ain Madi Aljazair Selatan dan meninggal di Fez Maroko pada
tahun 1230 H/1815 M (dalam usia 80 tahun). Silsilahnya dari pihak ayah adalah
keturunan H{asan bin Ali> bin Abi> T{a>lib. Kata al-Tijani diambil dari suku yang
bernama Tijanah dari pihak ibu.142
Shaykh Ah}mad Tijani diyakini oleh pengikutnya sebagai wali yang agung
yang memiliki derajat tertinggi dan mempunyai banyak karomah karena
didukung oleh faktor genealogis sebagai keturunan Muh}ammad Rasulullah Saw.,
tradisi keluarga yang taat beragama, dan penempaan dirinya melalui proses yang
panjang.143Tarekat Tijaniyah sampai sekarang telah tersebar luas ke beberapa
negara, antara lain Maroko, Pakistan, Tunisia, Mauratania, Senegal, dan
Indonesia.144 Tarekat ini berkembang di Indonesia pada tahun 1928 M dibawa
oleh Ali> bin Abdulla>h al-T{ayyib al-Azhari dari Madinah, seorang penulis kitab
Iluya>t al-Muri>d (kitab harapan murid). Kemudian dikembangkan oleh
Muh}ammad Ra’is atau Kiai Madrais, yang merupakan murid Ali> Abdulla>h, di
Pekalongan dan Cirebon. Pada saat yang hampir bersamaan, tarekat ini juga
tumbuh di Pesantren Buntet yang diajarkan oleh Kiai Abbas.145
142Ikyan Sibawaih, Ajaran Tasawuf Shaykh Ah}mad Al-Tijani, Disertasi--IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 1999, 4-5. 143Yaitu iyadhah, mujtahadah, al-fath} al-akbar, pengangkatan sebagai wali al-khatm, al-qutb al-a’z}am dan al-khatim al-maktum. Baca Syamsuri, “Tarekat Tijaniyah: Tarekat Eklusif dan Kontroversional”, dalam Sri Mulyati, et. Al., Tarekat-tarekat Mu’tabarah, 217-218. 144G.H. Pijper, Fragmenta Islamica: Beberapa Studi Mengenai Sejarah Islam di Indonesia Awal Abad XX (Jakarta: UI Press, 1980), 81-82. 145Kiai Anas belajar Tarekat Tijaniayah langsung di Madinah dari Alfa Al-Hasyim, guru Masjidil Haram. Sirojuddin, Enslikopedi Islam, jilid 5 (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), 102-103.
147
Beberapa tahun kemudian tarekat ini tersebar luas ke berbagai daerah lain
di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Penyebaran tarekat Tijaniah di
Jawa Timur dilaksanakan oleh murid-murid K.H. Umar Baidowi.146 Mereka,
antara lain, adalah K.H. Mukhlas (Probolinggo), K.H. Mahdi (Blitar), KH
Mustofa (Sidoarjo), K. Mu’ad (Probolinggo), K.H. Abd Ghafur Maksum
(Bandawoso), K.A. Fauzan Fathullah (Pasuruan), K.H. Salih (Jember), dan K.H.
Muh}ammad Tijani Jauhari (Madura). Daerah penyebarannya lainnya adalah
Malang, Sumenep, Lumajang, Bangkalan, dan Situbondo. Sedangkan penyebaran
tarekat Tijaniyah di Jawa Tengah dilakukan oleh Habib Muh}ammad bin Ali
Basa’lama (Jatibarang Brebes dan mendapat talkin dari K.H. Hawi Cirebon),
Habib Lutfi dan K. Malawi (Pekalongan). Sementara penyebaran tarekat Tijaniah
ke Jawa Barat dimulai dari Cirebon, menyebar ke Tasikmalaya, Ciamis, dan
Garut. K.H. Badruzzaman (Garut) menyebarkan ke daerah lain, seperti Bandung,
Tangerang, Karawang, Sumedang, dan Bogor.147
Namun demikian, usaha penyebaran tarekat ini tidak berjalan lancar.
Berbagai hambatan dan tantangan harus dihadapi oleh para penyebarnya.
Tantangan yang paling banyak berasal dari tarekat-tarekat lama yang telah ada,
seperti Kadiriah, Naksyabandiah, Syazilliah, Khalwatiah, dan Shat}t}ariyah. Pada
umumnya mereka meragukan keabsahan tarekat ini karena dinilai banyak terjadi
kejanggalan-kejanggalan.
Pertentangan ini terjadi antara tahun 1928–1931. Saat itu terjadi
“perang” dalam bentuk pamflet yang saling serang antara pengikut tarekat
146K.H. Umar Baidawi, murid dari Shaykh Muh}ammad Yusuf Cirebon. Syamsuri, Tarekat Tijaniyah, 226. 147Ibid.
148
Tijaniah dengan tarekat-tarekat lama.148 Pertentangan yang paling keras justru
diungkapkan melalui kitab-kitab sanggahan, seperti kitab al-Tijaniyah149 yang
ditulis oleh Ali Dakhilullah, seorang ulama asal Saudi Arabia, dan kitab Tanbih
al-Ghafi>l wa Irshad al-Mustafa sid al-Aqil yang ditulis oleh Sayid Abdullah bin
Sadaqah Dahlan150, seorang ulama asal Madinah. Dua buku tersebut mengupas
ajaran tasawuf Shaykh Ah}mad Tijani, khususnya mengenai tarekat yang
diajarkannya,151 dan pengalaman pertemuan Shaykh Ah}mad Tijani dengan Nabi
Muh}ammad saw. dalam keadaan yaqz}ah152 (dalam keadaan sadar). Secara umum,
dua buku tersebut menyimpulkan bahwa ajaran tasawuf Shaykh Ah}mad Tijani
penuh dengan kejanggalan dan bertentangan dengan syariat Islam serta tidak ada
dalil yang menjadi pegangan mereka, baik dari kitab Allah maupun hadis.153
148Ibid., 104. 149Buku ini judulnya Al-Tija>niyat Dira>sah li Ahammi Aqa>’id al-Tija>niyah ‘ala Dhaw al-Kita>b wa al-Sunnah (Riyad: Da>r Tayyibah, t.th). 150Sayyid Abdullah datang ke Ceribon atas pengaduan sebagian karibnya yang mempersoalkan Tarekat Tijaniyah. Beliau berdialog dengan kaum Tijaniyah. Mereka sempat sadar, tetapi kemudian meruncing lagi setelah ia pulang ke Mekah. Pada tahun 1929, ia datang lagi ke Cirebon. Ia membaca kitab-kitab Tijaniyah, selanjutnya ia menulis buku yang berjudul Tanbih al-Ghafil. Syamsuri, Tarekat Tijaniyah, 227. 151Di antara ajaran-ajaran Tarekat Tijaniyah adalah: (1) Setiap orang yang akan mengikuti ajaran Tarekat Tijaniyah terlebih dahulu harus meninggalkan amalan wirid yang lain. (2) Larangan ziarah kepada wali-wali Allah, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal dunia. (3) Seseorang yang mengucapkan wirid secara teratur sampai ajalnya akan masuk surga tanpa dihisab dan disiksa, berikut kedua orang tua, istri serta anak-anaknya. Sirojudin, Ensiklopedi Islam, 103–104; Ikyan Sibawaih, Ajaran Tasawuf, 6; Muh}ammad bin Abd Allah al-Tasfawi, Al-Fath} al-Rabbani fi Musyarakat Yahtaj Ilaih al-Murid al-Tijani (Surabaya: Sa’id Nabhan, t. th), 7. 152Pada tahun 1196 H Shaykh Ah}mad Tijani pergi ke Sahara tempat waliqutb Abi Samngul. Di tempat inilah Shaykh Ah}mad mencapai Al-Fath al-Akbar (terbukanya pintu martabat tertinggi dalam kewalian). Al-Tijani mencapai mukashafah (kondisi keterbukaan hati sehingga dapat mengetahui hakekat sesuatu). Dia melihat Rasulullah secara yaqzah (dalam keadaan sadar), mendapatkan talqin (pengajaran) tentang wirid-wirid dari Rasulullah berupa istighfar 100 kali dan salawat 100 kali kemudian disempurnakan dengan bacaan surah al-Ikhlas. Empat tahun kemudian (1200 H) wirid itu disempurnakan lagi oleh Rasulullah dengan lailalah (lailaha illa Allah) 100 kali. Ali Hazarim, Jawa>hir al-Masharakat’ani wa Bulugh al-Amani (Madinah: Maktabah Abd al-Ghani, 1984), 24-44. 153Ali> Dakhilulla>h, Al-Tijaniyat: Dira>sah li Ahammi Aqa>’id al-Tijaniyah ‘ala dhaw al-Kita>b wa al-Sunnah (Riyad: Da>r Tayyibah, t.th), 200-220; Sayyid Abdulla>h Dah}lan, Tanbih al-Ghafil wa Irshad al-Mustafid al-Aqil, terj. Bahrun Abu Bakar (Jakarta: Andamera Pustaka, 1986), 35-75.
149
Dalam upaya menjawab kritikan dari para penentang, para murid tarekat
Tijaniyah juga membuat sanggahan dalam bentuk kitab-kitab rujukan dan
pegangan pokok yang menjelaskan ajaran-ajaran tasawuf tarekat Tijaniyah, dasar
dan sumber dari dalil syar’i dan akli untuk menjelaskan keabsahan ajaran-ajaran
Shaykh Ah}mad Tijani. Kitab-kitab tersebut, antara lain, al-Fath} al-Rabbani fi>ma
Yah}taj ilaih al-Murid al-Tijani. Kitab ini ditulis oleh Shaykh Muh}ammad bin
Abdullah al-Tasfawi. Kitab lainnya adalah Bughyah al-Mustafid karya
Muh}ammad al-Arabi al-Tijani, al-Jaishy al-Kafil bi Akhdh al-Thar min Man salla
‘ala al-Shaykh al-Tijani Saif al-Inkar, karya Shaykh Muh}ammad bin Muh}ammad
al-Sinqiti, dan Jana>yah al-Muntasab al-‘Aini fi Ila Nas}abahu bi al-Kazb li al-
Shaykh al-Tijani karya Ah}mad Sukairij.154 Kitab-kitab tersebut secara langsung
menunjukkan kebenaran ajaran tasawuf Shaykh Ah}mad Tijani dan tarekatnya
sesuai dengan syariat Islam, dan secara tidak langsung menunjukkan kelemahan
argumentasi dan kesalahan para penentangnya.
Beberapa kelemahan para pengkritik, antara lain; pertama, mereka tidak
tuntas membaca dan memahami ungkapan Shaykh Ah}mad Tijani dan ajaran-
ajaran tarekatnya. Kedua, ketika menafsirkan ungkapan Shaykh Ah}mad Tijani,
mereka hanya menggunakan pendekatan literal (lahir). Padahal, ungkapan
Shaykh Ah}mad Tijani lebih banyak mengandung kalimat-kalimat metaforis
(kiasan) yang hanya dapat dipahami dengan pendekatan takwil (penjelasan).
Ketiga, mereka hanya membaca buku tarekat Tijaniah, tetapi tidak berguru
langsung dari guru-guru tarekat Tijaniah sehingga kesimpulan yang mereka
154Syamsuri, ”Tarekat Tijaniyah: Tarekat Eksklusif dan Kontroversial”, dalam Sri Mulyati, et. al, Mengenal dan Memahami Tarekat-tarekat Mu’tabarah, 229 – 230.
150
ambil dari membaca buku tersebut cenderung kurang relevan, subyektif, dan
bias.155
Sedangkan kritikan tentang “pengalaman pertemuan Shaykh Ah}mad
Tijani dengan Nabi Muh}ammad saw. dalam keadaan yaqz}ah” dijawab bahwa
semua tarekat harus mempunyai sanad (silsilah) urutan-urutan guru secara
berkesinambungan sampai kepada Rasulullah. Setiap guru dalam sanad bertemu
langsung dengan guru yang di atasnya dan seterusnya sampai pada Rasulullah.
Namun tidak semua talkin (pengajaran) tarekat mengunakan sanad bertemu
langsung secara fisik. Ternyata ada talkin yang disampaikan melalui komunikasi
spiritual langsung antara murid dan guru, antara guru dan guru, antara guru sufi
dengan Rasulullah yang disebut sistem barzakhi atau uwaisi.156 Dan, tarekat
Tijaniah masuk tarekat yang dasar pembentukannya menggunakan sistem
barzakhi.
Menurut Sa’id al-Fauti>, pengalaman melihat Rasulullah secara yaqz}ah
banyak dialami oleh para wali.157 Rasulullah seringkali menghadiri majelis atau
tempat-tempat yang dikehendaki dengan roh dan jasadnya. Rasulullah bisa
berkeliling di penjuru bumi sesuai dengan kehendaknya dengan kemampuan yang
telah ada sejak sebelum wafatnya. Kemampuannya tidak berubah sedikit pun.
Rasulullah sekarang ini hanya gaib dari pandangan mata manusia, seperti gaibnya
155 Ibid., 230-231. 156Dinamakan berzakhi karena pembaiatannya ternyata berasal dari alam barzakh. Sistem berzakhi juga berlaku dari seorang guru kepada guru yang di atasnya, dari murid kepada guru, dan seterusnya. Martin van Bruinessen, Tarekat Naqshabandiyah, 49; Ah}mad Fauzan Fathullah, Sayyidul Auliya’ Syakh Ah}mad Tijani dan Tarekat al-Tijaniyah (Pasuruan: t.p, 1985), 52-64. 157Hadis yang dijadikan dasar para sufi tentang paham melihat Rasulullah secara sadar atau dalam mimpi adalah: ”Orang yang melihatku (Rasulullah) dalam mimpi berarti ia melihatku keadaan yaqzah (sadar) atau seakan-akan ia melihatku dalam keadaan yaqzah karena syetan tidak menyerupaiku”. Baca Syamsuri, Tarekat Tijaniyah, 221.
151
malaikat. Jika Allah membukakan hijab, maka orang itu bisa melihat Rasulullah
yang berada di alam malakut. Berjumpa dengan Rasulullah secara yaqz}ah,
menurut Sayyid Ali> al-Khawwashi>, merupakan bentuk penyempurnakan maqa>m
makrifat. Sebab, seorang sufi yang mencapai maqa>m makrifat belum sempurna
apabila belum berjumpa dengan Rasulullah secara yaqz}ah dan berbicara langsung
dengannya (mushafah}ah).158 Dalam tradisi sufi, melihat Rasulullah, walaupun
beliau sudah wafat, merupakan bentuk karamah wali. Kalau Allah memberikan
mukjizat kepada Nabi, maka Allah juga memberikan karamah kepada wali.159
Kontroversi tentang tarekat Tijaniah pernah dibahas dalam dua kali
muktamar NU, yaitu muktamar III dan VI. muktamar III memutuskan
keabsahan(muktabarah) tarekat Tijaniah dan muktamar VI memperkuat
muktamar III. Kedua muktamar melahirkan beberapa keputusan, antara lain; (1)
Tarekat Tijaniah mempunyai sanad mut}t}asil pada Rasulullah bersama bai’ah
barzakiyah-nya. (2) Tarekat Tijaniah dianggap sebagai tarekat yang sah dalam
Islam. (3) Semua tarekat muktabarah tidak ada perbedaan antara satu dengan
lainnya.
Dalam keputusan Muktamar VI ditambahkan beberapa lagi keputusan,
yaitu: (1) semua wirid Tijaniah adalah sah, seperti zikir, shalawat, dan
istigfarnya. (2) Pernyataan dan syarat-syaratnya sesuai dengan syariat Islam. (3)
Ajaran yang tidak sesuai, apabila bisa di takwilkan, maka harus ditakwilkan pada
arti yang sesuai dengan syariat dan diserahkan pada ahlinya.
158Umar bin Sa’i>d al-Fau>ti, Rimah H}izb al-Rah}im fi Muhur H}izib al-Raji (Madinah: Maktabah Abd al-Ghani, 1984), 210. 159Yusuf al-Habhani, Jam Karamat al Auliya, Juz 1(Mesir: Mustafa ala al-Bab al-Halabi, t.t), 14.
152
Kemudian dalam Bah}thul Masa>’il Jami’iyah Ahl al-T}ari>qah al-
Mu’tabarah al-Nahd}iyyah mengangkat kembali persoalan tarekat Tijaniah, dan
hasilnya tarekat tersebut tetap diakui sebagai tarekat muktabarah (tertulis nomor
urut 43).160
Adapun bentuk amalan wiridtTarekat Tijaniah terdiri dari dua jenis.
Pertama, wirid wajibah, yaitu wirid yang wajib diamalkan oleh setiap murid
sesuai dengan tata tertib wirid yang telah ditentukan dan menjadi ukuran sah
atau tidaknya menjadi murid Tijaniah. Wirid ini terdiri dari tiga jenis wirid
pokok, yaitu (a) wirid hazimah (wajib). Wirid ini dipraktikkan dua kali setiap
hari (pagi dan sore) dan diamalkan perseorangan. Bacaan wirid tidak boleh
dikeraskan. Waktu pelaksanaannya, pagi setelah salat subuh sampai waktu duha,
sore setelah salat asar. Jika ada uzur dapat diamalkan sampai waktu maghrib. (b)
Wirid waz}ifah (pengasih), yaitu wirid yang harus diamalkan setiap hari sebanyak
2 kali (pagi dan sore atau siang dan malam). Jika dalam sehari semalam murid
tidak mengamalkan wirid lazimah atau wirid wazifah maka wajib qada. (c).
Wirid hailalah (tahlil). Wirid ini ada yang bersifat lokal yaitu diamalkan secara
kolektif (berjamaah) dalam tingkat desa (jamaah kecil) pada setiap hari jum’at
yang dipimpin langsung oleh muqaddam (pemuka) atau badal muqaddam dan ada
yang bersifat regional, yaitu diamalkan secara kolektif (berjama’ah) dalam
tingkat kabupaten (jama’ah besar) dan dilaksanakan secara rutin, satu setengah
bulan sekali atau di luar jadwal tertentu sesuai dengan kebutuhan seperti haul,
hari-hari besar Islam, dan sebagainya. Acara ini disebut Ijtima’ Hailalah yang
160A. Aziz Masyuri, Permasalahan T}ari>qah: Hasil Kesepakatan Muktamar dan Musyawarah Besar Jami’yyah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah Nahdlatul Ulama (1957 – 2005 M) (Surabaya: Khalista, 2006), 22.
153
dipimpin langsung oleh yang diberi mandat. Di samping wirid waz}ifah juga
sekaligus diamalkan wirid wazifah dan lazimah serta pengajian yang berisi pesan-
pesan dari muqaddam mutlak. Kedua, wirid ikhtiyariyah, yaitu wirid yang tidak
mempunyai ketentuan kewajiban untuk diamalkan dan tidak menjadi ukuran
syarat sah atau tidaknya menjadi murid Tijaniah.161
8. Tarekat Kadiriah wa Naksyabandiah (TKN)
Tarekat Kadiriah wa Naksyabandiah (TKN) didirikan oleh Shaykh Khatib
Sambas (1217-1289 H/1802-1872 M). Beliau lahir di Sambas, sebuah kota di
sebelah utara Pontianak Kalimantan Barat. Setelah menyelesaikan pendidikan
agama tingkat dasar di daerah asalnya, beliau pergi ke Mekah pada usia sembilan
belas tahun untuk melanjutkan belajar. Beliau menetap di sana hingga wafatnya.
Bidang studi yang dipelajari mencakup berbagai ilmu pengetahuan Islam,
termasuk tasawuf. Kedalaman ilmunya dapat mengantarkannya mencapai derajat
spiritual yang tinggi dan menjadikannya terhormat pada zamannya serta
berpengaruh di seluruh Indonesia.162
Di antara guru-gurunya adalah Shaykh Dau>d Ibn Abd Alla>h Ibn Idri>s al-
Fat}ani> (wafat sekitar 1843 M),163 Shaykh Syamsul al-Di>n, Shaykh Muh}ammad
Arsyad al-Banjari> (w.1812 M), 164 dan Shaykh Abd al-Samad al-Palimbani (w.
161Syamsuri, Tarekat Tijaniyah, 236-246. 162Sri Mulyati, Tasawuf Nusantara: Rangkaian Mutiara Sufi Terkemuka (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), 175. 163Beliau lahir di Desa Keresik Patani, sebuah desa di Thailand Selatan. Hawasy Abdullah, Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-tokohnya di Nusantara (Surabaya: al-Ikhlas, 1980), 122-158. 164Beliau adalah seorang sufi moderat dari Banjarmasin Kalimantan Selatan yang telah memperkenalkan tarekat Samaniyah ke Banjar. Ia adalah sahabat Shaykh Abd al-Samad al-Palimbani, dan mempelajari tasawuf dari Shaykh Abd al-Karim al-Samani, Pendiri Tarekat Samaniyah. Ia belajar di Mekah dan mengajar di sana. Sri Mulyati, Tasawuf Nusantara, 176.
154
1800).165 Shaykh Sambas mencapai tingkat kemampuan dan wewenang tertinggi,
dan kemudian diangkat sebagai Shaykh mursyid ka>mil mukamil (guru
pembimbing kerohanian yang sempurna).166
Guru-guru Shaykh Sambas yang lain adalah Shaykh Muh}ammad S{alih
Rays, Shaykh Umar bin Abd al-Karim Ibn Abd al-Rasul al-‘At}t}ar (w.1249/1832).
Kedua ulama ini adalah mufti dalam mazhab al-Sha>fi’i>. Guru yang lainnya lagi
adalah Shaykh Abd al-H{afiz ‘Ajani (w.1235 H/1819 M). Ia juga mengikuti
pelajaran yang diberikan oleh Shaykh Bis}ri al-Jabati (seorang mufti Madhab
Ma>lik), Sayyid Ah}mad al-Marzuqi (seorang mufti H{anafi>), Sayyid Abd Alla>h bin
Muh}ammad al-Mirghani (w.1273 H/1856 M) dan Ustma>n bin H{asan al-Dimyati
(w.1849 M). Dengan demikian kita dapat mengetahui bahwa Shaykh Sambas
telah belajar fikih secara seksama kepada tiga dari empat mazhab terkemuka.167
Shaykh Sambas adalah seorang mursyid dari dua tarekat, yaitu tarekat
Kadiriah dan Naksyabandiah.168 Dia tidak mengajarkan kedua tarekat tersebut
secara terpisah, tetapi mengkombinasikan keduanya. Tarekat kombinasinya
dapat dilihat sebagai tarekat yang baru, berbeda dari kedua tarekat asalnya.169
Penggabungan inti ajaran kedua tarekat itu didasarkan atas pertimbangan logis
dan strategis untuk saling melengkapi, terutama dalam hal jenis zikir dan
165Menurut hasil analisa bahwa kemungkinan kecil Shaykh Sambas belajar kepada al-Palimbani karena ia lahir pada tahun 1802, sedangkan Palimbani wafat pada tahun 1800. Hawasy Abdullah, Perkembangan, 85-107. 166Ibid., 181. 167Sri Mulyati, Tasawuf Nusantara, 178\-179. 168Sri Mulyati, “Tarekat Qadiriyah wa Naqshabandiyah: Tarekat Temuan Tokoh Indonesia Asli”, dalam Sri Mulyati, et.al., Mengenal dan Memahami Tarekat-tarekat Mu’tabarah, 155. 169Shaykh Sambas adalah seorang mursyid tarekat kadiriah. Di samping ada juga yang menyebutkan bahwa beliau mursyid juga dalam tarekat Naksyabandiah, akan tetapi beliau hanya menyebutkan silsilah tarekatnya dari sanad tarekat Kadiriah dan sampai sekarang belum ditemukan dari sanad mana beliau menerima baiat tarekat Naksyabandiah.
155
metodenya. Dalam tarekat Kadiriah, memang ada kebebasan untuk memodifikasi
seperti itu bagi orang yang telah mencapai derajat mursyid dalam rangka
mempersiapkan para mursyidnya dapat mencapai derajat kesufian yang lebih
tinggi dengan cara yang lebih efektif dan efesien.170 Tarekat Kadiriah
menekankan ajarannya pada zikir jahr nafi> ithba>t (la> ila>ha illa Alla>h). Sementara
tarekat Naksyabandiah mengutamakan pada zikir sirr ism al-dha>t (Alla>h),171 atau
zikr lat}a>’if.172
Shaykh Sambas tidak menisbatkan nama tarekatnya pada diri sendiri,
meskipun apabila dilihat ajaran dan tata cara ritualnya lebih cocok dinamakan
tarekat Sambasiah atau Khatibiah. Hal ini dikarenakan sikap tawaduknya dan
keikhlasan untuk ikra>man kepada pendiri kedua tarekat tersebut, walaupun
tarekat ini merupakan hasil ijtihadnya yang tidak hanya berasal dari dua tarekat
(Kadiriah dan Naksyabandiah), tetapi gabungan dari beberapa tarekat, yaitu
tarekat Kadiriah, Naksyabandiah, Anfasiah, Junaidiah, dan Muwafaqah.173
Perkembangan ajaran TKN diteruskan oleh murid-murid Shaykh Sambas
yang berasal dari beberapa daerah di kawasan Nusantara. Di antara murid-
muridnya yang telah diangkat menjadi khalifah adalah Shaykh Abd Kari>m al-
Bantani, Shaykh Ah}mad T{alh}ah al-Cireboni, dan Shaykh H{asbilla>h al-Maduri.
Semua cabang tarekat Kadiriah wa Naksyabandiah pada masa kini mempunyai
170Kharisudin Aqib, Al-Hikmah, 52. 171Amin Kurdi, Tanwir al-qulub fi Mu’amalati ‘Allan al-Qhuyub (Indonesia: Dar Ihya’ al-Kutub al-Arabiyah, t,th), 508 – 509. 172Zikir Latifah adalah zikir yang dilakukan dengan memusatkan kesadarannya dan membayangkan nama-nama Allah itu sampai bergetar dan memancarkan panas berturut-turut pada tujuh titik halus pada tubuh (lataif tujuh), yaitu : latifah al-Qalbi latifah al-Ru>h, latifah al-sir, latifah al-khafi, latifah al-Akhfa, latifah al-Nafsi dan latifah al-Qalab (seluruh jazad) Baca Muslih Abd al-Rahman Al-Futuh}a>t al-Rabba>niyah fi al-T}ari>qah al-Qadiyah wa al-Naqshabandiyah (semarang Toha Putra, t.th).41 – 43. 173Nawasy Abdullah, Perkembangan, 182 – 183.
156
hubungan dengan ketiga khalifah ini. Sedangkan khalifah-khalifah yang lain yang
tidak begitu terkenal adalah Muh}ammad Isma’il Ibnu Abd al-Rahim dari Bali,174
Shaykh Yasin dari Kedah Malaysia,175 Shaykh Haji Ah}mad Lampung Sumatera
Selatan,176 dan Muh}ammad Ma’ruf Ibnu Abdullah al-Khatib dari Palembang.177
Setelah wafatnya Shaykh Sambas, maka tarekat ini dipimpin oleh Shaykh Abd
al-Karim al-Bantani yang berpusat di Makah, dan semua khalifah Shaykh
Sambas menerima kepemimpinan ini.
Namun setelah Shaykh Abd al-Karim al-Bantani wafat, maka para
khalifah memisahkan diri dan bertindak sebagai mursyid secara mandiri yang
tidak terikat kepada mursyid yang lain sehingga berdirilah para mursyid baru
yang independen.178TKN tersebar ke berbagai daerah, antara lain Sambas yang
merupakan asal daerah Shaykh Ah}mad Khatib. Tokoh yang menyebarkan adalah
Shaykh Nuruddin dari Pilipina dan Shaykh Sa’ad Petra yang asli Sambas.179
Penyebaran di daerah Cirebon dilakukan oleh Shaykh Talhah,180
penyebaran di Bogor dipimpin oleh Kiai Tohir Falek,181 Madura dilaksanakan
174Ia menetap dan mengajar di Makkah dan menulis kitab Fath al-Arifin yang menguraikan ajaran-ajaran Shaykh Sambas tentang ba’iat zikir, dan tehnik-tehnik serta peribadatan yang lain baik dari tarekat Kadiriah maupun Naksyabandiah kitab ini pertama kali dicetak di Makah tahun 1323 / 1905 dicetak ulang beberapa kali dan tersimpan juga di Museum Nasional Jakarta (Ml 149). Baca Martin van Bruinessen, Tarekat Naqshabandiyah di Indonesia (Bandung: Mizan, 1994), 90 -92. 175Ia menetap di Makah. Belakangan ia menyebarkan tarekat ini di Mempawah, Kalimantan Barat. Ibid. 176Ia mengajarkan tarekat ini di Lampung. Ibid. 177Ia mengajarkan tarekat ini di Palembang. Ibid. 178Ibid, 93. 179Hawasy Abdullah, Perkembangan, 181. 180Ia menerima ijazah tarekat langsung dari Shaykh Sambas. Selama Shaykh Abd al-Karim masih hidup, ia mengakuinya sebagai pucuk pimpinan tarekat. Setelah Shaykh Abd al-Karim wafat, ia mendirikan kemursyidan sendiri. Baca Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah, 95. 181Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai (Jakarta: LP3ES, 1985), 90.
157
oleh Kiai Ah}mad Hasbullah,182 dan Tasikmalaya dilakukan oleh Abdullah
Mubarak bin Mubarak. Abdullah Mubarak bin Mubarak kemudian mendirikan
pusat penyebaran tarekat di wilayah Tasikmalaya. Sebagai tempat pengajarannya
didirikan Pondok Pesantren Suralaya dan kemudian beliau terkenal dengan nama
Abah Sepuh (1836-1956). Setelah Abah Sepuh wafat, dilanjutkan oleh putranya
Abah Anom (1917–1981) atau K.H. A Shohibulwafa Tadjul Arifin. Di bawah
kepemimpinan Abah Anom, tarekat ini berkembang pesat. Pesantren Suryalaya
menjadi terkenal secara nasional karena pengobatan yang dilakukan terhadap
para korban narkotik, penderita ganguan kejiwaan, dan macam-macam penyakit
lainnya dengan mengamalkan zikir tarekatnya.183
Pusat penyebaran TKN yang lain adalah Pondok Pesantren Futuhiyah
Mranggen Jawa Tengah. Pondok Pesantren ini didirikan oleh Kiai Abd Al-
Rahman pada tahun 1905, selanjutnya diteruskan oleh putranya, Kiai Muslih
yang menerima ijazah kemursyidan TKN pertama dari Kiai Asnawi Banten dan
Kiai Abd al-Latif Banten. Keduanya dibaiat oleh Shaykh Abd Karim Banten.
Ijasah kedua Mbah Abd Rahman Menur, utara Mranggen yang dibaiat oleh Mbah
Ibrahim al-Brumbuni atau Brumbung, yang merupakan khalifah juga dari Shaykh
Abd al-Karim Banten.184
TKN berkembang pesat di Jawa Tengah di bawah kemursyidan K.H.
Muslih Ibnu Abdurrohman. Perkembangan ini dipengaruhi—di antaranya—oleh
karena beliau bertindak sangat murah dan longgar kepada para khalifahnya.
182Ah}mad Hasbullah telah berhasil menyebarkan TKN di luar Jawa. Baca Sri Mulyati, Tarekat Qadiriyah, 260–261. 183Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah, 95. 184 Sri Mulyati. Tarekat Qadiriyah, 259.
158
Khalifah yang berasal dari daerah yang berjauhan diberi kewenangan untuk
mandiri menjadi khalifah khubra. Misalnya, K.H. Zamroji, Mursyid TKN yang
berpusat di Pondok Pesantren Kencong Pare Kediri Jawa Timur.185 Contoh
lainnya adalah Kiai Muslih Ibnu Abd Rahman telah menulis beberapa buku186
yang digunakan di beberapa pesantren di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Setelah
K.H. Muslih meninggal, kepemimpinan TKN diteruskan putranya yang bernama
Muh}ammad Sadiq Lutfi Hakim187
Penyebaran TKN di Jawa Timur berpusat di Pondok Pesantren Rejoso
Jombang. Pesantren ini didirikan oleh K.H. Tamim dari Madura. TKN
diperkenalkan oleh menantu K.H. Tamim, yaitu K.H. Kholil (dari Madura juga)
yang mendapat ijazah mursyid TKN dari Kiai Ah}mad Hasbullah (dari Madura)
ketika berada di Makah. Kiai Kholil kemudian menyerahkan kepemimpinan TKN
kepada iparnya, yaitu K.H. Romli Tamim. Sejak masa kepemimpinan beliau,
TKN berkembang pesat di Jawa Timur dan Madura, bahkan ke Jawa Tengah
dengan jumlah muridnya yang mencapai puluhan ribu yang dibina oleh beberapa
orang khalifah dan sekitar delapan puluh badal.188
Ketika kiai Romli wafat, terjadi persoalan kepemimpian dalam TKN.
Kepemimpinan pesantren sudah diserahkan kepada putranya, Musta’in, sejak
satu tahun sebelumnya. Beberapa saat sebelum wafat, Kiai Romli sempat
mewasiatkan TKN kepada Musta’in melalui ijazah baiat yang disaksikan dua
185 Kharisudin Aqib. Al-Hikmah, 58. 186Di antaranya adalah Al-Futuhat al-Rabbaniyah fi al-Tariqqah al-Qadiriyah wa al-Naqshabandiyah, Umdat al-Salik fi khal al-Masalih dan Risalah Tuntunan Tarekat Qadiriyah wa Naqshabandiyah. Baca: Sri Mulyati, Tasawuf Nusantara, 185. 187Ibid., 259. 188Kesaksian ini hampir dua dasawarsa kemudian dibukukan dan diterbitkan oleh Pondok Pesantren Darul Ulum. Baca: Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah, 178.
159
saksi.189 Di antara khalifah utama K.H. Romli Tamim adalah K.H. Usman al-
Ishaqi, pendiri Pondok Pesantren Jatipurwo Sawuhpulo Surabaya. Banyak murid
dan bahkan badal kiai Romli tampaknya lebih cenderung menganggap kiai
Usman sebagai pengganti kiai Romli yang paling absah.190
Kedua tokoh ini saling menghormati dan secara diam-diam menyetujui
pembagian wilayah pengaruh, meskipun terlihat persaingan antara murid-murid
mereka, yang masing-masing menjagokan guru mereka. Kiai Musta’in berhasil
mengonsolidasikan kesetiaan hampir semua badal almarhum ayahnya dan
membangun lebih lanjut tarekatnya. Sedikit demi sedikit ia muncul sebagai
tokoh penting pada tingkat propinsi dan bahkan nasional. Pada tahun 1975, Kiai
Musta’in terpilih menjadi ketua umum Jam’iyyah Ahl al-T}ari>qah al-Mu’tabarah,
akan tetapi kepemimpinan Kiai Musta’in mengalami kegoncangan dalam tubuh
TKN di Jawa Timur karena Kiai Musta’in mengarahkan umatnya untuk
berafiliasi ke Golkar pada pemilu 1977.191 Para badal/khalifah K.H. Romli yang
sebelumnya mengakui kepemimpinan KH Musta’in banyak yang mufa>raqah.
Sebagian ada yang bertindak sebagai mursyid dengan baiat kepada K.H. Muslih
Ibnu Abd al-Rahman, mursyid yang sama di Jawa Tengah, dan sebagian
berpindah guru kepada Kiai Usman al-Ishaqi.192
Mursyid TKN di Rejoso Jombang setelah meninggalnya Kiai Musta’in
adalah adiknya, yaitu K.H. Rifa’i Ramli. Dan, setelah beliau wafat jabatan 189Ibid. 190Kiai Romli sebetulnya punya tiga atau empat khalifah. Menurut Kiai Usman, mereka adalah Kiai Usman al-Ishaqi untuk daerah Surabaya dan Madura, Kiai Maki Muharram untuk daerah Kediri, Blitar, Tulungagung, dan Trenggalek, dan Kiai Bahri Mashudi di Mojosari. Ibid, 179. 191Nur Syam, Transisi Pembaruan Dialektika Islam, Politik dan Pendidikan (Surabaya: Bina Ilmu, 2008), 30. 192Kharisudin Aqib, Al-Hikmah, 60; Nursyam, Transisi, 30-31; Sri Mulyati, Tarekat Qadiriyah, 262.
160
mursyid dilanjutkan oleh adik K.H. Musta’in yang lain, yaitu K.H. Ah}mad
Dimyati Ramli. Sampai sekarang, kedua mursyid ini mengambil baiat
kemursyidan kepada Kiai Maksum Ja’far (Porong Sidoarjo).193 Beliau adalah
Khalifah K.H. Romli Tamim yang sampai sekarang masih berkhidmah
menegakkan mursyid TKN di Rejoso Jombang.194 Sedangkan mursyid TKN di
Surabaya setelah meninggalnya K.H. Usman diteruskan oleh putranya yang
bernama K.H. Ah}mad Asrori Usman al-Ishaqi, pendiri Pondok Pesantren al-
Fitrah Kedinding Lor Surabaya. Beliau memusatkan kegiatan TKN di pondok
tersebut dan menyebut TKN dengan nama tarekat Kadiriah wa Naksyabandiah
al-Usmaniyah. TKN al-Usmaniyah di bawah kepemimpinan K.H. Ah}mad Asrori
telah tersebar ke pulau Jawa dan luar Jawa, bahkan sampai ke Malaysia,
Singapura, Brunei Darussalam, Tailand, Philipina dan Makah.195 Hal ini terbukti
dalam acara haul akbar yang dilaksanakan di Pondok Pesantren al-Fitrah pada
setiap ahad pertama sya’ban selalu dihadiri oleh ratusan ribu murid dari berbagai
wilayah dan Negara tersebut.
Di samping itu, Kiai Ah}mad Asrori telah berhasil melaksanakan majelis
zikir pada masing-masing wilayah tersebut setiap tahun sesuai dengan jadwal
yang telah ditentukan melalui jama’ah al-Khidmah,196 tidak hanya dilaksanakan
193Putranya K.H. Musta’in yang bernama K.H. Mujib menerima ijazah kemursyidan dari K.H. Bahri Mashudi dari Mojosari dan menyebarkan TKN di wilayah Malang. Sumber informasi dari murid di Trenggalek (K.H. Masykur Bukhari) pada tanggal 23 Desember 2010. 194Kharisudin Aqib, Al-Hikmah, 61. 195 Sumber informasi dari Pidato Ketua Umum Jamaah al-Khidmah (Bung Hasanudin) tanggal 25 Nopember 2012 M/11 Muharram 1433 H Pada waktu Musda ke I Jamaah al-Khidmah Trenggalek di Pondok Pesantren Raden Paku. Baca pula:Nur Haris Ali, et, al.,editor, Hasanudin, Catatan Para Pejuang: Kisah-Kisah Inspiratif al-Khidmah Kampus,( Jogjakarta: al-Khidmah Kampus, 2012), 183-239. 196Jama’ah al-Khidmah diresmikan pada tanggal 25 Desember 2005 di Pondok Pesantren Assalafi al-Fitrah. Semua orang bertujuan untuk melaksanakan majelis zikir dan amalan yang lain dalam
161
di tempat yang khusus, seperti musalla, masjid dan Pondok Pesantren, akan
tetapi di tempat yang umum, antara lain: pendopo kabupaten di banyak wilayah,
Keraton Jogjakarta, LIPI Jakarta, kampus-kampus di Indonesia, Kantor
pemerintah, perusahaan dan berbagai tempat yang lain. Peserta yang hadir dalam
majelis ini tidak hanya murid-murid tarekat, namun dari berbagai lapisan
masyarakat muslim. Bahkan ketika kegiatan majelis zikir di Bali, juga diikuti
oleh pendeta Hindu.
Penyebaran TKN al-Usmaniyah terus berlanjut sampai sekarang,
meskipun Kiai Ahmad Asrori telah meninggal dunia.197 Bahkan para murid
semakin aktif menyebarluaskan kegiatan majelis zikir di berbagai daerah sesuai
dengan amaliah yang beliau contohkan dan telah tertulis dalam buku panduan.
Meskipun Pengganti beliau belum diumumkan sampai dengan sekarang, akan
tetapi jumlah kaum muslimin yang mengamalkan amaliah yang telah
dicontohkan beliau semakin banyak dan telah tersebar hampir di seluruh tanah
air, Asia Tenggara dan Saudi Arabia melalui kegiatan majelis zikir oleh Jamaah
al-Khidmah.198
C. Hubungan, Syariat, Tarekat, Hakikat dan Makrifat
1. Kedudukan Tarekat dalam Syariat Islam
Tarekat sebagai bagian dari metode pendekatan diri kepada Allah Swt.
telah dilaksanakan Nabi Muh}ammad sebelum beliau diangkat menjadi Rasul.
rangka mendekatkan diri kepada Allah Swt. kepada seluruh lapisan masyarakat muslim. Baca Buku Petunjuk Munas 2 al-Khidmah di UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta, 2-3 April 2010, 5. 197 KH Ahmad Asrori wafat pada tanggal 18 Agustus 2009 M/27 Sya’ban 1430 H. Dasarnya: Catatan yang terdapat pada Kalender Pondok Pesantren al-Fitrah 2012 M/1433 H. 198Sumber ini berasal dari penulis sendiri sebagai murid Ah}mad Asrori al-Ishaqi dan sebagai Ketua Jama’ah al-Khidmah Kabupaten Trenggalek (masa Khidmah 2005-2012). Penulis secara langsung ikut aktif dalam acara tersebut.
162
Beliau pergi ke Gua Hira menyisihkan dirinya, memutuskan hubungannya
sementara dengan masyarakat sekeliling, mencari kebersihan rohani, melepaskan
jiwa dari ikatan kemewahan dan kerepotan dunia. Perhatiannya dihadapkannya
kepada wujud semesta dengan memandang dan merenungkan dengan mata hati
keseluruh bekas kekuasaan dan perbuatan Ilahi. Jika kita perhatikan, tatkala
Muh}ammad menyisihkan dirinya di gua Hira, menilik keindahan ciptaan, lalu
kita bandingkan dengan kehidupan orang-orang zahid dan Abid, yaitu para ahli
tasawuf yang datang kemudian, dapatlah dengan mudah melihat persamaan
kehidupan mereka dengan kehidupan Nabi.199
Kehidupan rohani Nabi seperti ini terus berlanjut setelah beliau diangkat
menjadi Rasul dan bahkan diikuti oleh sahabat-sahabat beliau, Abu> Bakar,
Uthma>n dan Ali> terutama apabila menghadapi persoalan-persoalan yang besar.
Kehidupan Bila>l orang Abessina, Salman orang Persia, Suheib orang Rumawi,
yang telah hijrah dari lingkungan kebangsaan yang sempit kepada hidup
kerohanian yang besar. Demikian pula kehidupan ashh}a>b al-s}uffah (sahabat Nabi
yang miskin yang hijrah kemadinah yang tidak punya tempat tinggal) yang
bertempat tinggal di beranda masjid Nabawi Madinah. Sistem kehidupan rohani
Nabi ini dipertegas hadis Nabi riwayat Umar bin Khat}t}ab yang menceritakan
datangnya seorang laki-laki asing (malaikat Jibril) yang datang kepada Nabi
mengajarkan tentang al-ima>n, al-isla>m dan al-ih}sa>n.
Ketiga ajaran tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan antara satu dengan yang lain. Sedangkan al-ih}sa>n pada teks hadis
199Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1993), 24.
163
tersebut yang dinyatakan dengan :” An ta’buda Alla>h kaannaka tara>hu, fa in lam
takun tara>hu fa innahu yara>ka.200 pada perkembangan ilmu pengatahuan
berikutnya melahirkan ilmu tasawuf. Menurut Jalaluddin Rakhmat, tasawuf
sering dikaitkan dengan tiga hal. 1). Tasawuf sebagai akhlak atau adab yang
harus diajalankan manusia ketika mendekat kepada Allah. 2). Tasawuf sebagai
cara untuk mencapai makrifat guna memperoleh pengetahuan. 3). Tasawuf
sebagai ilmu tentang realitas.201
Dalam tasawuf terdapat unsur-unsur yang baik yang merupakan hasil
ijtihad yang tulus untuk taat kepada Allah dan mendekat kepadan-Nya.
Diantaranya adalah ajaran tentang zikir, yaitu ingat kepada Allah. Dalam al-
Qur’an banyak gambaran tentang kaum yang beriman yang dikaitkan dengan
zikir, seperti digambarkan bahwa mereka itu ialah :
”yang ingat kepada Allah ketika berdiri, ketika duduk dan ketika berada pada lambung-lambung mereka”202
”Dan bahwa mereka itu tenang jiwanya karena ingat kepada Allah maka jiwanya menjadi tenang”203
“Apabila kita ingat kepada Allah, maka Allah pun ingat kepada kita”.204
200Muslim Abu Husain Ibu Hajaj al- Hasaburi, Sah}i>h Muslim (Bairut: Dar al-Fikr, 1992), 29. 201Rosyidi, Dakwah Sufistik Kang Jalal: Menentramkan Jiwa, Mencerahkan Pikiran (Jakarta: Paramadina, 2004), 65-68. 202al-Qur’an, 3: 191. 203al-Qur’an, 13: 28. 204al-Qur’an, 2: 152.
164
“Lalu ada peringatan agar jangan sampai kita lupa akan Allah, sebab Allah pun akan membuat kita lupa akan diri kita sendiri, mereka itulah orang-orang yang fasik.”205 (yakni kita menjadi manusia yang tidak integral, tidak utuh). Kehidupan tasawuf dapat dilaksanakan baik dengan cara individual
maupun cara kolektif. Melaksanakan tasawuf secara individual ialah
mengamalkan sikap-sikap sufistik, seperti takwa, tawakal, sabar, syukur, ikhlas,
rida dan sebagainya. Sedangkan mengamalkan tasawuf secara kolektif ialah
melaksanakannya secara bersama-sama melalui persaudaraan sufi yang biasa
disebut tarekat.206
Tasawuf secara harfiah dari kata s}u>f yang berarti bulu. Sedangkan
menurut Ibnu Khaldun, tasawuf adalah ilmu syariat dalam Islam yang muncul
kemudian.207 Hal ini sesuai dengan sebuah hadis bahwa al-Ima>n disebut dengan
akidah dan al-Isla>m dikatakan dengan syariat dan al-Ih{sa>n dinamakan dengan
tasawuf karena masing-masing cabang tersebut kelak melahirkan ilmu-ilmu
keislaman.208 Agar ilmu tasawuf dapat diamalkan dan dipraktekkan dalam
kehidupan sehari-hari, maka menggunakan sebuah metode yang disebut
tarekat.209
Mengenai kata tarekat terdapat dalam al-Quran: “sekiranya mereka tetap
berjalan dijalan yang lurus lempang, pastilah kami beri mereka minum air
berlimpahan”.210Dengan demikian tarekat merupakan bagian tak terpisahkan
205al-Qur’an, 59: 19. 206Suderman Tebba, Orientasi Sufistik Cak Nur, 175. 207Sri Mulyati, “Pendahuluan”, dalam Mengenal, 8. 208Samsun Ni’am, The Wisdom of KH. Ah}mad Siddiq: Membumikan Tasawuf (Jakarta: Erlangga, 2008). 209Habi>b Abdussala>m Alwi al-H{induan, Tarekat adalah Suatu Perintah Allah (Surabaya: Cahaya Ilmu, 2010), 9. 210al-Qur’an, 22: 16.
165
dalam syariat agama Islam.211 Al-Jailani memandang bahwa syariat sebagai
aspek lahir suatu ibadah, dan tarekat sebagai aspek batinnya. Orang yang
bertakwa harus selalu terikat dengan syariat sambil memerangi hawa nafsu, diri
sendiri, setan, dan teman yang buruk melalui tarekat.212
2. Keselarasan antara Syariat, Tarekat, Hakikat dan Makrifat,
Agar seorang sufi dapat mencapai tujuan utama tasawuf, maka langkah-
langkah yang harus ditempuh adalah didasarkan beberapa pilar, yaitu: syariat,213
tarekat214 (berbuat menurut teologi), hakikat215 (kebenaran), dan makrifat216
(Gnosis). Hadis Nabi: Syariat adalah perkataanku (aqwa>li), tarekat adalah
perbuatanku (af’a>li), hakikat adalah keadaan rohaniku (ahwa>li), dan makrifat
adalah rahasiaku (asra>r)”.217
Selain itu terdapat ucapan Nabi yang dicatat dalam kitab-kitab hadis
yang paling sahih yang merupakan sumber dan landasan sufisme adalah: ”Tuhan
berkata, hamba-Ku sama sekali tidak datang begitu dekat kepada-Ku seperti
kalau melaksanakan kewajiban-kewajiban yang telah Aku bebankan atasnya dan
211Kharisudin Aqib, Al-Hikmah: Memahami Teosofi Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah (Surabaya: Dunia Ilmu, 1999), 24. 212 Muhammad Sholikin, 17 Jalan Menggapai Mahkota Sufi Syaikh ‘Abdul Qadir al-Jailani (Jakarta:Mutiara Media, 2009), 116. 213Syariat : Kepastian hukum dalam Ubudiyah, sebagai kewajiban hamba kepada Al-Kha>liq. Syariat ditunjukkan dalam bentuk kaifiyah lahiriyah antara manusia dengan Allah AWT. Baca; Al-Qushairi, Al-Risa>lah al-Qush}airiyah (Bairut: Da>r al-Kutub, 2005), 118. 214Tarekat adalah : Perjalanan Seorang Salik (pengikut tarekat) menuju tuhan dengan cara menyucikan diri atau perjalanan yang harus ditumpuh oleh seorang untuk dapat mendekatkan diri sedekat mungkin kepada Tuhan. Baca Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam, V (Jakarta: Ikhtiar Baru van Hoeve, 1994), 66. 215Hakikat adalah penyaksian manusia tentang rahasia-rahasia ketuhanan dengan mata hatinya atau kesaksian terhadap sesuatu yang telah ditentukan dan ditakdirkan-Nya serta yang disembunyikan dan yang ditampakkan. Ibid. 216Makrifat: mengetahui Allah dari dekat melalui hati sanubarinya. Baca Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Jilid V, 130. Pendapat yang lain, makrifat adalah sifat orang-orang mengenal Allah dengan nama-nama dan sifat-sifatnya kemudian ia membenarkan Allah dengan melaksanakan ajaran-ajarannya dalam segala perbuatan. Baca Al-Qusyani, al-Risa>lah, 342. 217Wahid Bakhash Rabbani, Sufisme Islam (Jakarta: Sahara, 2004), 112.
166
hamba-Ku terus mendekat melalui amal-amal nawafil, sampai Aku mencintainya
dan ketika Aku mencintainya, maka Aku adalah telinganya, sehingga ia
mendengar karena Aku, Aku adalah matanya, sehingga ia melihat karena Aku,
dan lidahnya, sehingga ia berbicara karena Aku, dan tangannya, sehingga ia
bekerja karena Aku. Hadis ini terkenal menjadi dasar bangunan teosofistik yang
besar dalam tulisan-tulisan sufi kemudian.
Menurut al-barry218, hal yang sama juga dikatakan oleh Imam Malik
”Orang yang mengikuti Tasawuf, tapi tidak mempelajari fikih adalah seorang
bid’ah. Orang yang mempelajari fikih, tapi tidak mengamalkan tasawuf adalah
pendosa. Orang yang menggabungkan tasawuf dengan fikih maka ia menemukan
kebenaran219, Dengan demikian syariat merupakan tingkat awal, tarekat
merupakan tingkat menengah, dan hakikat merupakan tingkat tertinggi. Syariat,
tarekat, dan hakikat, walaupun ketiganya tidak ada perbedaan dari aspek hakikat,
toh kesempurnaan syariat hanya terjadi dengan tarekat dan kesempurnaan tarekat
hanya terjadi dengan hakikat.
Melihat ini berarti : tingkatan ahli hakikat lebih tinggi dari ahli tarekat
dan tingkatan tarekat lebih tinggi dari ahli syariat.220 Bagi kaum sufi, tasawuf
tidak dapat dipisahkan dari syariat, tarekat, dan hakikat. Ibarat buah kacang,
syariat adalah kulitnya, tarekat adalah bijinya, sedangkan hakikat adalah
minyaknya yang sekalipun tidak tampak, tapi terdapat dimana-mana. Kacang
tanpa ketiga unsurnya itu tidak akan tumbuh jika ditanam di ladang. Jadi tasawuf
218Ibid, 111. 219Ibid, 112. 220S. Haidar Amuli, Menembus Batas Langit Beragama Menurut Ahli Syariat, Tarekat, dan Hakekat, terj. Irwan Kurniawan (Bandung: Pustaka Hidayah, 2009), 83-85.
167
tidak akan memberikan kegunaan ruhani jika tidak mencakup ketiga bagian yang
integral itu.221
Menurut Sirhindi, syariat adalah segala sesuatu yang telah ditetapkan
Allah melalui Rasul-Nya dan berarti sesuai dengan agama yang diajarkan Rasul.
Ini berarti syariat menunjukkan bagaimana mencapai kehidupan nyata dan
kesempurnaan dari kesalehan dan ihsan. Tarekat adalah cara yang dipakai untuk
mencapai kenyataan kehidupan agamis sebagaimana didefinisikan oleh syariat.
Tarekat merupakan alat bantu untuk mencapai kenyataan tersebut. Sedangkan
hakikat adalah kenyatan yang ingin dicapai.
Pandangan lain mengatakan Syariat merupakan kode hukum yang
mengatur kehidupan lahiri. Ia berkaitan erat dengan struktur lahiri kehidupan
agamis, tetapi tidak berkaitan dengan kenyataan batini. Kenyataan iman dan
kehidupan agamis terletak diluar jangkauan syariat, dan hanya dapat diketahui
dengan jalan sufi (tarekat). Dengan kata lain syariat adalah sosok tanpa
kenyataan, tulang tanpa sumsum, atau sekam tanpa isi.222
Menurut Moh.Toriquddin, syariat adalah peraturan Allah yang ditetapkan
melalui wahyu berupa perintah dan larangan. Tarekat adalah pelaksanaan dari
peraturan dan hukum Allah (syariat). Hakikat adalah menyelami dan mendalami
apa yang tersirat dan tersurat dalam syariat. Syariat ibarat kapal, yakni sebagai
instrumen mencapai tujuan. Tarekat ibarat lautan , yakni sebagai wadah yang
mengantar ke tempat tujuan. Hakikat ibarat mutiara yang sangat berharga dan
221Said Agil Siraj, Tasawuf sebagai kritik sosial mengedepankan islam sebagai Inspirasi Bukan Aspirasi (Bandung Mizan Pustaka, 2006), 96-97. 222Muh}ammad Abd Haq Ansari, Merajut Tradisi Shari>‘ah Sufisme, Trj. Nasir Budiman (Jakarta : Rajagrafindo Persada, 2009), 96-97.
168
banyak manfaatnya. Untuk memperoleh mutiara hakikat, manusia harus
mengarungi lautan dengan gelombang yang dahsyat. Sedangakn untuk
mengarungi lautan itu, tidak ada jalan lain kecuali dengan kapal.223Menurut
Shaykh Ahmad Asrori al-Ishaqy, syariat adalah urusan yang terkait dengan
kesanggupan menghamba secara terus-menerus. Yakni semua perintah Allah
Swt. dan Rasulnya seperti mandi, wudu , salat, puasa, dan lain sebagainya.
Tarekat adalah perjalanan hati seorang sa>lik yang kusus untuk menempuh
mana>zil dan meningkatkan maqa>mat serta ah}wa>l. Hakikat adalah menyaksikan
ketuhanan, yakni menyaksikan pengaturan Allah dalam segala ciptaan.
Sedangkan makrifat adalah mengerti dan merasakan diri sebagai sosok
hamba yang lemah dan Allah adalah Zat yang Maha Kuasa, Besar ,Agung,
Tinggi, Indah dan Mulia. Setiap tarekat yang bertentangan dengan syariat adalah
kufur, dan setiap hakikat yang tidak sesuai dengan al-Qur’an dan hadis adalah
penyimpangan dan kezindikan224 (menampakkan iman dan memendam
kekufuran).
Shaykh Ahmad Asrori lebih lanjut menggambarkan hubungan syariat,
tarekat, hakikat, dan makrifat adalah: “syariat laksana perahu, tarekat laksana
samudera, dan hakikat laksana mutiara. Barangsiapa menginginkan mutiara maka
harus mendayung perahu untuk mengarungi samudera demi meraih mutiara.
Barang siapa yang meninggalkan urutan ini, maka ia tidak akan memperoleh
mutiara”.225
223Moh Toriquddin, Sekularitas Tasawuf, Membumikan Tasawuf dalam Dunia Modern (Malang: UIN Press, 2008), 99-102. 224Ahmad Asrori al-Ishaqy, Setetes Embun Penyejuk Hati (Surabaya: al-Wafa, 2009), 29-30. 225Ibid.
169
D. Acuan dan Amalan Tarekat
Setiap tarekat mempunyai mempunyai acuan dan pedoman dalam
melaksanakan peribadatan yang diperoleh dari mursyid masing-masing. Antara
tarekat yang satu dengan yang lain berbeda. Perbedaan tersebut biasanya
berkaitan dengan tata cara peribadatan, misalnya lagu zikir, urut-urutannya, tata
cara duduknya, waktu melaksanakannya, jumlahnya, dan sebagainya. Sedangkan
materi amalan yang dilakukan pada umumnya sama.
Adapun acuan dan bentuk-bentuk amalannya adalah sebagai berikut:
1. Mursyid dan murid
Mursyid adalah guru pembimbing kerohanian yang mampu membimbing
dan memberi contoh kepada murid untuk mengamalkan ajaran tarekat,
mula>zamah (mengekalkan) zikir kepada Allah dan berakhakul karimah.226 Di
samping kata mursyid, kata shaykh juga dipakai untuk maksud yang sama dalam
literatur tasawuf. Shaykh adalah orang yang sudah mencapai maqam rija>l al
kama>l, yaitu seorang yang sudah sempurna suluknya dalam ilmu syariat dan ilmu
hakikat menurut al-Qur’an, sunnah dan ijma’.227 Shaykh juga dipakai sebagai
sebutan yang diberikan kepada pendiri aliran tarekat sufi, atau orang yang
menjadi pemimpin silsilah tarekait itu, juga para pemimpin cabang tarekat yang
beraneka ragam. Shaykh (mursyid) merupakan pemimpin kerohanian yang tinggi
sekali kedudukannya dalam tarekat.
226 Muh}ammad Rifa’i, Tarekat Asy-Syadziliyah : langkah-Langkah dan Amaliyahnya ( Semarang: Wicaksana, 2005),129. Baca: M.Solihin dan Rosihon Anwar, Kamus Tasawuf ( Bandung : Remaja Rosda Karya, 2002), 151. Lihat : Dewan Redaksi, “ Mursyid” Ensiklopedi Islam, Vol. 11, (Jakarta: Icktiar Baru Van Hoeve, 2003), 303. 227 Muh}ammad Amin al-Kurdi, Tanwi>r al-Qulu>b fi> Mu’amala>t ‘alla>m al-Ghuyu>b (Mesir; al-Sa’adah,tt), 524..
170
Sebagai pemimpin ia mengawasi murid-muridnya dalam kehidupan lahir
dan pergaulan sehari-hari agar tidak menyimpang dari ajaran Islam dan
terjerumus ke dalam maksiat, perbuatan dosa besar atau kecil. Ia berhak menegur
kepada murid-muridnya setiap perbuatan yang dinilai menyimpang. Jabatan
Shaykh atau mursyid dituntut untuk memiliki sifat-sifat kerohanian yang
sempurna, bersih, dan menjalani kehidupan batin yang murni. Ia adalah orang
yang kuat sekali jiwanya, memiliki segala keutamaan, dan mempuyai
kemampuan makrifat. Ia adalah pilihan Tuhan yang secara khusus mendapat
barakah-Nya, sehingga ia menjadi wasilah (perantara) antara hamba dan Tuhan.
Ia adalah manusia yang sempurna dalam ilmu syariat, tarekat dan hakikat,
sebab ia mengetahui berbagai penyakit nafsu, pengobatan dan cara
penanganannya, dan teguh mengikuti pola hidup dalam tradisi kesufian.228 Ia
hanya berpikir apa yang sesuai dengan ilham Tuhan dan pola yang ditentukan
oleh-Nya, sehingga ia dianugerahi kemampuan memiliki karamah229 dan tampak
mempuyai keahlian serta kesungguhan baik ucapan, perbuatan, maupun h}a>l
(perilaku batin) dalam lima persyaratan,230 baik dengan upaya dan belajar atau
dengan anugerah dan ilham.231
228 Ah}mad Asrori bin Muh}ammad Usma>n al-Ishaqi, Al muntakhaba>t fi> Ra>bit}ah al-qalbiyah wa silat al Ru>h}iyah juz III ( Surabaya: al-khidmah, 2009), 200. Baca pula : Hasan Muarif (et al), Ensiklopedi Islam, 303. 229 Karamah : keadaan luar biasa diluar pengalaman manusia biasa yang diberikan Allah SWT kepada para wali-Nya. Kata Karamah juga sering disamakan dengan keramat, yang berarti bakat luar biasa bagi orang yang dipilih Allah SWT, yaitu bakat individual karena Allah SWT menyertai, melindungi, dan menolong orang-orang saleh. Karamah atau keramat sering terjadi dikalangan orang-orang sufi, namun dapat juga lahir dari seorang hamba Allah SWT yang biasa, saleh, beritikad bersih dan tekun mengerjakan ibadah. Ibid., 11. 230 Syaikh Ahmad Asrori al-Ishaqi menyebutkan lima syarat yang harus dimiliki oleh mursyid, yaitu: (1). Mengetahui dan menyakini aqidah ahli sunah wa al-jamaah dalam bidang tauhid. (2). Mengetahui dan mengerti akan kebesaran Allah ( makrifat bi Alla>h), sehingga dengan akidah ahli sunah wa al -jamaah , ia dapat membuktikan dengan kesungguhan dan perbuatan serta mendalami dengan kokoh bahwa Allah itu Esa dalam zat-Nya, Esa dalam sifat-Nya , Esa dalam kekuasaan-
171
Terdapat beberapa sebutan yang diberikan kepada guru tarekat sesuai
dengan peran dan kedudukannya, di antaranya: nussa>k (orang yang gigih
mengerjakan segala amal dan perintah agama), ‘ubba>d (orang yang ahli dan
ikhlas menjalankan ibadah), mursyid (pembimbing, pengajar dan pemberi contoh
kepada murid-muridnya), imam (Pemimpin dalam berbagai aliran tarekat),
shaykh (kepala dari kumpulan tarekat), dan al-sa>dah (orang yang dihormati dan
diberi kekuasaan penuh).232
Predikat mursyid dapat bertingkat-tingkat sesuai dengan bentuk
pengajaran yang diberikan kepada murid-muridnya. Predikat itu bisa saja dimiliki
oleh seseorang atau beberapa orang, yaitu: (1) Syaikh al-ira>dah: tingkat tertinggi
dalam tarekat yang iradahnya (kehendaknya) telah bercampur dan bergabung
dengan hukum Tuhan, sehingga atas pengaruhnya dari shaykh itu orang yang
meminta petunjuk menyerahkan jiwa dan raganya secara total. (2) Shaykh al-
iqtida>’: guru yang tindak–tanduknya (perkataan dan perbuatan) baik untuk ditiru
oleh murid. (3) Shaykh al-tabarruk: guru yang selalu dikunjungi oleh orang-orang
yang meminta petunjuk, sehingga barakahnya melimpah kepada mereka. (4)
Shaykh al-intisa>b: guru yang atas campur tangan dan sifat kebapakannya, orang
Nya dan Esa dalam semua perbuatan-Nya. (3). Mengetahui fardu ‘ain seperti hukum salat, puasa, haji, dan zakat. (4). Mengetahui dan mengerti adab–adab dalam hati, cara membersihkannya, menyempurnakannya, melirik dan melihat terhadap penyakit jiwa, dampak negatif, tingkatan-tingkatannya serta tata cara menjaga kesehatan. (5). Telah diberi restu dan izin kedudukannya sebagai mursyid melalui bimbingan dan petunjuk-petunjuk kehadirat Allah SWT. dari gurunya seca terus menerus dan berkesinambungan sampai kepada Rasulullah SAW dengan cara langsung (berhadap-hadapan) atau tulisan yang jelas dan terang dan tidak cukup dengan dasar mimpi. Baca: Ahmad Asrori, Al-Muntakhaba>t, Juz III, 270-280. 231 Ilham: sesuatu yang didatangkan Allah ke dalam jiwa manusia sehingga membangkitkan keinginan untuk mengerjakan atau meninggalkan sesuatu. Syarif Al-jurjani menjelaskan: Ilham adalah sesuatu yang disusupkan Allah kedalam jiwa lewat limpahan karunia batin ( al-fayd}). Baca : M.Solihin dan Rosihon Anwar, Kamus Tasawuf, 88. 232 Hasan Muarif Ambary (et al), Ensiklopedi Islam, 303.
172
yang meminta petunjuknya akan beruntung lantaran bergantung kepadanya,
sehingga ia rela menjadi pembantunya yang setia dan menerima berbagai
perintahnya yang berkaitan dengan tugas keduniaan. (5) Shaykh al-talqi>n: guru
kerohanian yang membantu setiap individu anggota tarekat dengan berbagai doa
dan wirid yang selalu harus diulang-ulang. (6) Shaykh al-tarbiyah : guru yang
memberikan bimbingan kepada para pemula dalam tarekat.233 Shaykh biasanya
bertempat tinggal di zawiyah, dan dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh para
khadamnya yang terdiri dari beberapa tingkatan, yaitu: (1) Khalifah atau naib:
wakil atau pengganti yang menempati kedudukan utama dari Shaykh. (2)
Muqaddam: orang yang mengurus urusan sekelompok peserta tarekat di tempat
tertentu (juru dakwah dalam aliran tarekat). (3) Al-Raqib atau al-Shawish: orang
yang bertugas untuk menyampaikan doa, ajaran tertulis atau lisan yang
bersumber dari Shaykh atau muqaddam-nya. (4) Al-S}iya>f: petugas pada musim
s}aif (panas) mengunjungi keluarga pengikut tarekat untuk mengumpulkan zakat,
infak, dan tugas-tugas keduniaan yang lain.234
Mursyid mempunyai tugas dan tanggung jawab yang berat. Oleh karena
itu, orang yang boleh diangkat menjadi mursyid harus memiliki sifat dan
keahlian sebagaimana terdapat dalam lampiran II.
Sifat dan keahlian yang harus dimiliki oleh mursyid tersebut merupakan
acuan dasar yang ideal dan merupakan petunjuk bagi shaykh yang akan
mengangkat seorang mursyid,235 sebagai penggantinya. Sebab pengangkatan
233 Ibid., 234 Ibid., 235 Menurut Shaykh Abd al Wahab Rokan al Khalidi cara pengangkatan mursyid adalah sebagai berikut : (1). Perintah (amar) dari Shaykh (mursyid) sebelumnya. (2). Wasiat dari Shaykh
173
mursyid adalah hak penuh dari shaykh-nya masing-masing melalui pertimbangan
ketajaman batin melihat murid-muridnya yang mempuyai kemampuan. Karena
ada juga murid yang sebelum diangkat menjadi mursyid belum tampak
memenuhi persyaratan, tetapi setelah diangkat menjadi mursyid ternyata
menunjukan kemampuannya.
Murid adalah orang yang belajar teori maupun amalan–amalan praktis
dalam tasawuf untuk menjadi pengikut suatu aliran tarekat.236 Murid dalam
tarekat disebut juga salik, yaitu orang yang sedang menempuh perjalanan ruhani.
Keberhasilan salik tidak hanya ditentukan oleh adanya teori dan praktek, akan
tetapi dipengaruhi oleh kemampuannya dalam mengendalikan hawa nafsunya dan
membimbing batinnya untuk memiliki sifat-sifat (tabiat) yang terpuji.237
Langkah-langkah selanjutnya yang diperlukan oleh salik adalah menghiasi
batiniahnya dengan akhlak mah}mu>dah (perilaku lahir yang terpuji) yang biasanya
disebut dengan adab yang meliputi adab kepada mursyid, sesama teman, dan
kepada diri sendiri. Adapun adab murid terrsebut dapat dilihat pada lampiran III.
Adab murid kepada Shaykh238, dirinya sendiri dan sesama teman yang
ditentukan dalam lampiran III tersebut, merupakan pokok-pokoknya saja yang
(mursyid) sebelumnya. (3). Diangkat oleh para wakil mursyid (khalifah) dan murid (pengikut ajaran suatu tarekat) dengan suara bulat. (4). Ditunjuk oleh mursyid untuk memimpin tarekat disuatu daerah yang belum ada mursyidnya. Baca: Shaykh Abd al Wahab Rokan al khalidi, Bahjat al Suniyah ( Istambul: Fatih,1997), 102. 236M. Solihin dan Rosihon Anwar, Kamus Tasawuf, 150. Baca pula : Ismail Nawawi, Tarekat Qadiriyah, 86. 237 Ada tujuh Sifat (martabat) yang harus dimiliki oleh seorang salik, yaitu: (1). kasih sayang. (2). Membiasakan bersyukur. (3). Hormat kepada orang tuanya dan menjaga hubungan silaturrahim. (4). Dapat mengendalikan diri dari hal-hal yang negatif.(5). Selalu dalam keadaan bertauhid serta menggantungkan segalanya hanya kepada Rab al ‘izati. (6). Menjalankan shari>‘at islam. (7). Selalu dalam kondisi munajat atau memohon kepada Allah. Baca: Shaykh Achmad Syakir Ibnu Muh}ammad, Aku, T{ari>qoh, Tasawuf (Demak,jawa tengah: Tanjung Mas Inti, 2003), 15. 238 Lihat lampiran II
174
sering dilakukan, tentunya masih banyak lagi yang lain. Oleh karena
kesungguhan, keikhlasan dan kepatuhan murid dalam mengikuti bimbingan dan
petunjuk dari Shaykh-nya dalam segala hal serta untuk mendapat ridanya sangat
diperlukan. Demikian pula semangat murid, istiqamahnya dalam menjaga diri
agar tetap berakhlak yan mulia lahir dan batin, baik kepada diri sendiri maupun
kepada sesama teman serta bersabar dalam menghadapi segala ujian adalah sifat-
sifat dasar yang harus dimiliki setiap murid agar dapat berhasil dalam
menempuh perjalanannya menuju Allah (sulu>k ).
2. Baiat
Baiat adalah sebuah prosesi perjanjian dan kesetiaan antara seorang murid
terhadap seorang mursyid, dimana seorang murid menyerahkan dirinya untuk
dibina dan dibimbing dalam rangka membersihkan jiwanya, dan mendekatkan
diri kepada Tuhannya. Selanjutnya seorang mursyid menerimanya dengan
mengajarkan zikir (talqi>n al-dhikir) kepadanya.239 Shaykh Ahmad Asrori
menyebutkan dengan: muba>ya’ah dan akhdhu al-’ahdi atau lubsu al-khirqah
yang artinya adalah sebuah prosesi menghubungkan pertalian ruhaniah antara
murid dan mursyidnya, dan pemasrahan murid kepada mursyidnya dalam
pengaturan jiwanya. Ciri rahasia baiat adalah menghubungkan pertalian hati dan
ruhani segenap guru tarekat sampai kepada rasul Allah Muhamad saw. hingga ke
hadirat Allah ’Azza wajalla.240 Upacara baiat merupakan langkah awal yang
239 Kharisudin Aqib, Al Hikmah: Memahami Teosofi Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah (Surabaya: Dunia Ilmu, 1998), 32. Baca Al-Qur’an, 48 :10. 240 Hadrat al-Shaykh al-Murabbi al-Mursyid Ahchmad Asrori al-Ishaqy, Setetes Embun Penyejuk Hati Ringkasan dari al-Muntakhaba>t fi ra>bit}ah al-qalbiyyah wa s}ilah al-Ru>hiyah (Surabaya al-wafa 2009), Al-Sya’roni sebagai tokoh sufi sering menggunakan istilah talqi>n dan khirqah dari pada baiat: Baca Abd Wahab al-Sha’roni Al-Anwa>r Al-Qudsiyah,16.
175
harus dilalui oleh seorang salik yang memasuki jalan hidup kesufian melalui
tarekat. Menurut ketetapan Jam’iyyah ahli tarekat al-mu’tabarah al-Nahd}iyyah,
hukum dasar baiat zikir (tarekat) adalah al-sunnah al-nabawiyah..241 Akan tetapi
bisa menjadi wajib apabila seseorang tidak dapat membersihkan jiwanya kecuali
dengan baiat. Bagi yang telah baiat hukum mengamalkannya adalah wajib untuk
memenuhi janji.242
Baiat dibagi menjadi tiga macam, yaitu: pertama, tashabuh (h}usn al-
dhan): baiat kepada guru mursyid karena ada prasangka baik dan tidak
mempunyai tujuan dan maksud dalam tarbiyah (bimbingan guru mursyid), hanya
sekadar ikut-ikutan dalam mengamalkan amaliah ahli tarekat. Kedua, tabarruk:
baiat dengan tujuan mendapatkan keberkahan dan garis keturunan nasab ruhaniah
dari mursyid tanpa tujuan mengamalkannya. Ketiga, ira>dah (kehendak): baiat
dengan tujuan menjadi murid tarekat yang sesungguhnya dan mempunyai
keinginan yang luhur, sabar dalam bermujahadah mengikuti semua perintah dan
bimbingan guru mursyidnya.243
Bentuk baiat yang dilakukan mursyid pada murid dengan dua cara yaitu
baiat fardiyah (individual) dan baiat jam’iyyah (kolektif). Adapun baiat fardiyah
(individual) sebagaimana hadis:
241 A.Aziz Masyhuri, Permasalahan T{ari>qah : Hasil kesepakatan muktamar dan musyawarah Besar jamiyyah ahli al-T{ari>qah al-Mu’tabarah Nahd}latul Ulama (1957-2005 M), (Surabaya : Kalista 2006), 2 Pendapat yang sama mengatakan hukum baiat tidak wajib dan tidak dosa apa bila tidak baiat berdasarkan ijmak. Baca: Muh}ammad Najmuddin al-Kurdi al-Dala>’il al’a>liyah : As’illah al-Naqshabandiyah (kairo Da>r Al-Sa’adah, 2008), 50. 242 Al-Qur’an, 17:34. Baca : Muslikh Abd Rahman, Al-Fatuha>t al-Rabba>niyah (semarang :Toha Putra, 1962), 6. 243 Shaykh Ahmad Asrori, Setetes Embun, 61. Pendapat lain mengatakan jenis baiat adalah : Pertama baiat dari beberapa dosa. Kedua baiat untuk memperoleh keberkahan dan silsilah orang-orang saleh. Ketiga baiat untuk melaksanakan perintah Allah dan menjahui larangan-laranganNya zahir dan batin serta mendapat bimbingan hatinya untuk (makrifat) kepada Allah Baca: Muh}ammad Najmuddin al-Kurdi, Al-Dala>’il al-‘A>liyah, 45.
176
یا رسول هللا دلنى على أقرب الطرق الى هللا تعالى : عن على ابن أبى طالب رضى هللا عنھ قال
یا على علیك بمداومة : قال رسول هللا صلى هللا علیھ وسلم . وأسھلھا على العباد وأفضلھا عند هللا تعالى
كل الناس ذاكرون یا رسول هللا وإنما أرید أن : فقال على رضى هللا عنھ . عزوجل سرا وجھرا ذكرهللا
أفضل ما قلت أنا والنبیون من قبلى الإلھ إال هللا ولو أن : مھ یا على : قال رسول هللا . تخصنى بشئ
244 هللا ألرضین السبع فى كفة وال إلھ إال هللا فى كفة لرجحت الإلھ إالاالسماوات السبع و
“Dari Ali> bin Abi> T{ha>lib, ia berkata: Ya Rasulullah tunjukkan kepadaku jalan yang paling dekat kepada Allah, yang paling mudah bagi hamba-Nya, tetapi paling utama menurut Allah: Rasulullah. Saw menjawab : “Hai Ali>, hendaklah kamu senantiasa berzikir kepada Allah, baik secara sirri (batin) maupun jahr (bersuara)”. Maka Ali> berkata: Ya Rasulallah, setiap manusia telah biasa berzikir, padahal aku ingin engkau memberikan secara khusus”. Rasulullah menjawab: Ah kamu Ali>! Seutama-utamanya apa yang aku ucapkan dan diucapkan oleh Nabi sebelumku adalah kalimat “La> ila>ha illa Allah”. Seandainya tujuh langit dan tujuh bumi dikumpulkan jadi satu dalam satu timbangan, maka pastilah kalimat “La> ila>ha illa> Allah” akan lebih berat.”
Hadis tersebut didukung oleh hadis yang diriwayatkan oleh Ibn H{ibba>n (w
354 H), al-H{akim (w 405 H) dan yang lainnya, tentang dialog nabi Musa dengan
Tuhan:
: قال . یا موسى قل الإلھ إال هللا: قال , یا ربى علمنى شیئا أذكرك بھ وأدعوك بھ . یا ربى إنما أرید شیئا تخصنى بھ: قال . ھ إال هللاقل الإل: قال . یاربى كل عبادك یقول ھذا
لو أن السموات السبع واألرضین السبع فى كفة والإلھ إال فى كفة مالت , یا موسى: قال 245بھم الإلھ إال
“Ya Tuhanku, ajarilah sesuatu yang dapat aku pergunakan dengan mengingat-Mu, dan untuk untuk berdoa kepada-Mu. Maka Allah berfirman: Hai Musa, katakan “La ilaha illa Allah”. Maka Musa berkata: Ya Tuhanku, aku menginginkan sesuatu yang engkau khususkan untukku. Allah berfirman: Wahai Musa, seandainya langit yang tujuh dan bumi yang tujuh dikumpulkan dalam saru timbangan, dan kalimat “La ilaha illa Allah” dalam satunya lagi, maka pastilah “La ilaha illa Allah” akan miring ke bawah (lebih berat).”
Sedangkan baiat jam’iyyah (kolektif) sebagaimana hadis:
244 HR. Yusuf al’Ajami dalam risalahnya dengan sanadnya yang muttasil dari Ali> bin Abi T{a>lib ra. Lihat: Abdul Wahab al-Sha’rani, Al-Anwa>r al-Qudsiyyah fi> Ma’rifat Qawa>’id al-S}u>fiyyah (Kairo : Dar Jawa>mi’ Al-kilam, t.th.), 17. 245 HR. Abu Ya’la, Al H{akim, Ibnu H{ibba>n, al-H{akim dalam al Mustadrak, Abu Na’im dalam al H}ilyah, Baihaqi dalam al-Asma’ dan Dhiya’ al Maqdisiy dalam al Mukhtarah dari Abu Sa’id. Lihat: Jalaluddi>n al-Suyut}i, Ja>m’u al-Jawa>mi’ al Ma’ruf bi al Jami’ al Kabir, juz 6 (Kairo: Da>r al-Sa’adah, 2005), 158.
177
اھل . (ھل فیكم غریب : ان رسول هللا صلى هللا علیھ وسلم كان یوما مجتمعا مع اصحابھ فقال
قال شداد ابن , ارفعوا ایدیكم وقولوا آل الھ االهللا : فأمر بغلق الباب وقال . ال یا رسول هللا : قالوا ) الكتاب
اللھم انك بعثتنى بھذه : صلى هللا علیھ وسلم ثم قال رسول هللا. فرفعنا ایدینا ساعة وقلنا آلالھ اال هللا : أوس
:ثم قال رسول هللا صلى هللا علیھ وسلم . انك ال تخلف المیعاد , الكلمة وأمرتنى بھا ووعدتنى علیھا الجنة
أبشروا فإن هللا تعالى قد غفر لكم
Artinya: “Sesungguhnya Rasulullah saw. pada suatu hari sedang berkumpul dengan para sahabatnya, kemudian beliau bertanya : “Adakah diantara kalian orang asing ? yakni ahli kitab. “ Mereka menjawab, tidak ada ya Rasulullah, “Maka Rasulullah menyuruh menutup pintu . Selanjutnya bersabda: “Angkatlah tangan kalian, dan katakana “La ila>ha illa Alla>h,” maka berkata Saddat ibn Aus : kami semua mengangkat tangan sesaat, dan mengucap “La> ila>ha illa Alla>h.” maka Rasulullah bersabda: “Ya Allah sungguh engkau akan mengutusku dengan kalimat ini, menyuruhku dengannya, engkau janjikan kepadaku surga dengannya, dan sungguh engkau tidak pernah menyalahi janji.” Kemudian Rasulullah bersabda: “Berbahagialah kalian semua karena Allah akan mengampuni kamu semua.” (HR. Ah}mad, Tabrani dan yang lain).246
Prosesi baiat dilaksanakan setelah calon murid mengetahui terdahulu
tentang hal ihwal tarekat, termasuk kewajiban yang harus dilaksanakannya.
Murid yang merasa mantap dan mampu menghadap guru mursyid untuk dibaiat
sesuai dengan cara prosesi pembaiatan yang berlaku pada mursyid masing-
masing. Untuk prosesi pembaiatan dapat dicontohkan dalam tarekat Qadiriyah
wa Naqsyabandiyah sebagai berikut: ”Prosesi pembaiatan dalam tarekat
Qadiriyah wa Naqsyabandiyah biasanya dilaksanakan setelah calon murid
mengetahui terlebih dahulu hal ihwal tarekat tersebut, terutama menyangkut
masalah kewajiban yang harus dilaksanakannya, termasuk tata cara berbaiat”,247
246 Muh}ammad Ibn Abdullah al-H{akim, al-Mustadrak ala al-Sahihaini fi al-H{adi>th, juz 1 (Beirut: Da>r al-Fikr, 1978) 501. Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ah}mad, Bazzar, Tabrani dan yang lain dengan sanad yang H{asan. Lihat: Abdul Wahab As-Sa’rani, Al Anwa>r Al Qudsiyyah, .17. 247 Biasanya seseorang yang datang hendak berbai’at terlebih dahulu ia diberi kitab pegangan untuk ditelaah di rumahnya. Baru setelah memahami dan merasa cocok ia harus datang lagi untuk menyatakan diri ingin di bai’at. Baca Kharisudin Aqib, al-Hikmah, 98-109.
178
sehingga setelah merasa mantap dan mampu, maka seorang murid datang
mengahadap mursyid untuk dibaiat. Adapun prosesi baiat dapat dilihat pada
lampiran IV.
3. Zikir dan Wirid
Zikir adalah secara berulang-ulang menyebut nama Allah atau
menyatakan kalimah La> ila>ha illa> Alla>h melalui ucapan lisan, gerakan raga,
maupun getaran hati sesuai dengan cara-cara yang diajarkan agama dalam rangka
mendekatkan diri pada Allah SWT.248 Ibn ’At}a>’illah membagi zikir kepada tiga
bagian, yaitu: dhikir Jaliy (jelas, nyata), dhikir khafiy (zikir samar yang samar-
samar) dan dhikir h}aqi>qiy (zikir yang sebenarnya).249 Dhikir jaliy adalah suatu
perbuatan mengingat Allah SWT dalam bentuk ucapan-ucapan lisan yang
mengandung arti pujian, rasa syukur dan do’a kepada Allah SWT yang lebih
menampakkan suara yang jelas untuk menuntun gerak hati, misalnya dengan
membacakan tahlil, (La> ila>ha illa> Alla>h) tasbih, (Subha>n Alla>h) takbir, (Alla>hu
Akbar) membaca al-Qur’an atau do’a lainnya. Dhikir jaliy ada yang bersifat
muqayyad (terikat) dengan waktu, tempat dan amalan tertentu lainnya.
Contohnya ucapan-ucapan dalam salat, do’a-do’a yang diucapkan ketika akan
makan, sesudah makan, akan tidur, bangun tidur, pergi keluar rumah dan
sebagainya. Banyak ayat-ayat al-Qur’an dan hadis Nabi yang isinya perintah
248 Martin Van Brainessen. Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia (Bandung : Mizan, 1994),80 Baca pula: Hasan Muarif Ambary (et. al), Ensiklopedi Islam, V , 235. 249 Al-Shaykh Abd Allah al-Sharqawi, Al-H{{ikam al-At}a>’iyyah bi Sharkhi Shaykh al-Isla>m (kairo: al-rahmat al-muhda>t, 2010), 147-148. pendapat lain yang mengatakan jenis zikir ada tiga, yaitu : pertama zikir lisan dengan hati yang lalai dan ini disebut dhikir al-a’dat atau zikir orang awam, kedua zikir lisan disertai dengan ingatnya hati dan ini disebut zikir ibadah atau zikir khas, ketiga zikir seluruh anggota badan (jasmani dan rohani) dan disebut zikir cinta dan makrifat atau zikir paling khas. Baca: Ah}mad Must}afa, Ja>mi’ al-Us}u>l fi al-auliya>’ (Surabaya al-Haramain,tt),161.
179
untuk senantiasa berzikir mengingat Allah.250 Dhikir Jaliy ada pula yang bersifat
mutlak (tidak terikat dengan waktu dan tempat), misalnya mengucapkan tahlil,
tasbih, tahmid dan takbir dimana saja dan kapan saja.
Dhikir khafiy adalah zikir yang dilakukan secara khusuk oleh ingatan hati,
baik disertai zikir lisan ataupun tidak. Bagi murid yang mempunyai kemampuan
zikir ini hatinya merasa senantiasa memiliki hubungan dengan Allah SWT kapan
dan dimana saja, sebab seorang sufi ketika ia melihat suatu benda apa saja yang
dilihatnya bukan benda itu, tetapi Allah SWT. Ia menyadari akan adanya zat
yang menciptakan benda itu.
Dhikir h}aqi>qiy yaitu zikir yang dilakukan oleh seluruh jiwa raga lahiriah
dan batiniah, kapan dan dimana saja, dengan usaha yang sungguh-sungguh untuk
menjaga seluruh jiwa raga dari larangan Allah SWT dan selalu mengerjakan apa
saja yang diperintahkanNya. Dhikir h}aqi>qiy merupakan tingkatan yang paling
tinggi dan untuk dapat mencapai tingkatan dhikir h}aqi>qiy perlu melakukan
latihan-latihan mulai dari tingkat dhikir jaliy dan dhikir khafiy.
Zikir dalam tarekat dilakukan dalam waktu-waktu tertentu dan dengan
tehnik tertentu sesuai dengan petunjuk mursyid masing-masing. Secara umum
250 al-Qur’an, 4:103. Ibid., 5: 4. Ibid., 22:36. Ibid.,33: 33, Ibid.,62:10.Baca: H{asan Muarif Ambari (et. Al), Ensiklopedi Islam 5, 235. Dalam hadis riwayat Muslim dan Abu Hurairah Rasulullah SAW bersabda :”Siapa yang bertasbih setiap selesai salat sebanyak 33 kali, tahmid, 33 kali, tasbih 33 kali kemudian digenapkan menjadi 100 dengan ال الھ اال هللا وحده ال شریك لھ الملك ولھ الحمد وھو tidak ada tuhan selain Allah yang Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya yang) على كل شیئ قدیرmempunyai kerajaan yang pantas dipuji, Ia Maha Kuasa atas segala sesuatu), niscaya diampuni dosa-dosanya walaupun dosa itu sebanyak buih dilaut.” Baca: Al-Ghazali Ihya’ Ulumuddin juz I. (Baiurt: Da>r Al-Kutub, 2005), 282. Dalam hadis yang lain yang diriwayatkan Muslim, Sa’id bin Abi Waqqas menceritakan ketika sedang duduk bersama Rasulullah saw, tiba-tiba Nabi SAW bersabda “Adakah diantara kalian yang lemah sehingga tidak mampu berbuat seribu buah kebajikan dalam setiap hari? Diantara sahabat ada yang langsung menanyakan “Bagaimana caranya? “Nabi SAW menjawab “ membaca tasbih seratus kali, maka tercatat untuk seribu kebajikan atau dihapuskan dari padanya seribu kesalahan. Baca: Hasan Muarif Ambari (et.al), Ensiklopedi Islam 5, 236.
180
ada dua jenis zikir yang dilakukan. Pertama, dhikir nafi ithba>t (la> ila>ha illa>
Alla>h). Tarekat Qadiriyah merumuskan teknis zikir ini dengan cara menekankan
lidahnya pada langit-langit, bibir dan giginya tertutup rapat dan menarik nafas.
Selanjutnya dimulai dari kata La>, naik dari pusar menuju otak ketika tiba diotak,
dia mengucapkan ila>ha sambil menuju bahu kanan dan illa> Alla>h ke sisi kiri,
sambil menekan dengan penuh kekuatan menuju hati yang dilaluinya ia mengalir
keseluruh bagian tubuh yang lain untuk membakar nafsu-nafsu jahat yang
dikendalikan oleh syetan.251
Gerakan zikir tersebut dimaksudkan agar semua lat}i>fah (pusat-pusat
pengendalian nafsu dan kesadaran) teraliri dan terbakar dengan panasnya kalimat
tahlil. Mulai yang ditengah dada, ditengah kening, diatas dan dibawah susu
kanan, serta di atas dan di bawah susu kiri, sedangkan pusat merupakan start
penarikan kalimat tahlil karena ia merupakan pusat dari proses penciptaan
jasmani manusia252. zikir ini dilaksanakna setelah salat wajib sebannya 165 kali.
Kedua : dhikir ism al-dha>t (Alla>h-Alla>h) zikir ini bisa dikerjakan setelah
dhikir nafi ithba>t secara langsung atau diwaktu-waktu senggang yang lain
minimal 500. jika dikerjakan setelah dhikir nafi ithba>t (salat fardu) setiap majelis
1000 kali, zikir ini dikerjakan dengan menyebut lafal Alla>h-Alla>h secara sirri atau
khafiy (tanpa suara) pada tujuh lat}i>fah253 yang ada pada tubuh manusia dengan
251 M. Muhsin Jamil, Tarekat dan Dinamika Sosial Politik : Tafsir Sosial Sufi Nusantara (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), 68 Baca: Kharisudin Aqib. Al-Hikmah, 178. 252 Ibid. 253 Lat}i>fah adalah sesuatu yang halus yang ada pada rohani manusia yang menjadi pusat pengendalian nafsu dan kesadaran. Ada tujuh latifah yaitu: 1) Lat}i>faht al-qalb (hati) ia berada di bawah susu kiri agak condong luar dua jari 2) Lat}i>fat al-ru>h}i (jiwa) ia berada di bawah susu kanan jarak dua jari condong ke kenan. 3) Lat}i>fat al-Sirri (nurani terdalam) terletak di susu kiri kira-kira jarak dua jari condong ke dada. 4) Lat}i>fat al-Khafiy (kedalaman tersembunyi) ia berada diatas susu kanan dengan jarak dua jari dan condong ke dada sebelah kanan. 5) Lat}i>fat al-akhfa
181
menekuk lidah dan menyentuhkannya pada langit-langit mulut sebagaimana
praktek zikir Nabi.254
Setiap murid diwajibkan zikir lat}i>fah sebanyak 500 kali sampai dengan
2500 kali atau lebih banyak dalam sehari semalam, mulai lat}i>fah pertama sampai
ketujuh sehingga murid dapat merasakan asar zikir ini, perpindahan lat}i>fah
pertama sampai tujuh didasarkan petunjuk dan ujian guru (mursyid). Zikir pada
lat}a>’if (lat}i>fah-lat}i>fah) tersebut merupakan kunci dan penekanan pada zikir
kebanyakan tarekat dalam rangka mengusir setan yang bersarang ditempat ini
dan membasmi hawa nafsu255, terutama nafsu Lawwa>mah.
Dengan zikir ini diharapkan setan tidak berani tinggal di lat}i>fah yang pada
akhirnya dapat mempengaruhi pola pikir dan sikap mental dha>kir (orang-orang
yang zikir).
(kedalaman yang paling tersembunyi) letaknya di tengah dada. 6) Lat}i>fat al-Nafs (akal budi/otak) ia berada pada posisi antara dua mata dan alis (kening). 7). Lat}i>fat al-Qalab (halusnya seluruh badan) baik jasmani maupun rohani mulai dari umbun-umbun dengan ujung kaki. Baca: Muslih Abd Rahman al-Futuh}a>t al-Rabba>niyyah fi al-T}ari>qah al-qadiriyah wa Naqshabandiyah (Semarang Toha Putra, 1962), 40-43. Baca Pula : Kharisudin Aqib Al-Hikmah, 183-193. Lihat Martin Van Bruinessen Tarekat Naqshabandiyah di Indonesia (Bandung; Mizan, 1994), 81. 254 Sabda Nabi : یاعلى أغمض عینك وألصق شفیك وأعل لسا نك وقل هللا هللا هللا Artinya : Hai Ali pejamkan kedua matamu, rapatkan bibirmu, tekuklah lidahmu, dan katakanlah Allah, Allah, Allah (Hr. Tabrani dan Baihaqi) Ibid, 185-186. 255 Nafsu adalah organ rohani manusia yang besar pengaruhnya dalam mengeluarkan instruksi kepada jasmani untuk melakukan suatu tindakan durhaka atau taqwa. Dalam Tasawuf nafsu memiliki delapan katagori yaitu: 1). Nafsu al-amara>t bi al-su>’ : Nafsu selalu menyuruh /cenderung kepada keburukan. 2). Nafsu lawwa>mah: Nafsu yang telah mempunyai rasa insaf dan menyesal sesudah melakukan pelanggaran. 3). Nafsu al-musawwalah : nafsu yang telah dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buru. Ia masih melakukan perbuatan buruk meskipun tidak terang-terangan karena malu dilihat orang. 4). Nafsu al-mut}}ma’innah: nafsu yang telah mendapatkan tuntunan dan pemeliharaan yang baik, Nafsu ini telah mampu mengalahkan keburukan dan godaan yang menggangu ketentraman jiwa. 5). Nafsu mulhamah : nafsu yang memperoleh ilham dari Allah SWT, dikaruniai pengetahuan, dihiasi akhlak mahmudah dan merupakan sumber kesabaran, ketabahan serta keuletan. 6). Nafsu ra>d}iyah: nafsu rida kepada Allah SWT yang mempunyai peran penting dalam mewujudkan kesejahteraan. nafsu ini muncul dalam bentuk tindakan bersyukur atas nikmat Allah. 7). Nafsu mard}iyyah : nafsu yang mencapai rida Allah SWT, keridaan terlihat pada anugerah yang diberikan-Nya berupa senantiasa berzikir , ikhlas mempunyai karomah dan mempunyai kemuliaan. 8). Nafsu ka>milah : nafsu yang sudah sempurna bentuk dan dasarnya, sudah dianggap mampu untuk mengerjakan irsyad (petunjuk) dan menyempurnakan penghambaan diri kepada Allah SWT. Baca: Hasan Muarif Ambari (et.al), Ensiklopedi Islam, III, 343-344.
182
Wirid jamaknya awra>d merupakan doa-doa pendek atau formula-formula
untuk menuju Tuhan dan atau memuji Nabi Muh}ammad dan membacanya dalam
hitungan sekian kali pada waktu yang telah ditentukan untuk memperoleh
keajaiban atau manfaat.256 Wirid atau Hizb adalah sekumpulan dari pada
beberapa zikir yang berasal dari Nabi atau yang lainnya yang selalu dilakukan
orang yang berzikir dengan senang hati257 untuk mendekatkan diri kepada Allah
SWT. Wirid dapat saja diberikan secara khusus kepada seorang murid oleh
shaykhnya untuk diamalkan secara rahasia dan tidak boleh diberitahukan kepada
orang lain. Atau seorang dapat memperoleh kumpulan awra>d yang sudah
diterbitkan. Kegunaan wirid adalah menanamkan kedamaian dalam hati serta
keyakinan yang teguh kepada yang h}aq.
Cara mengamalkan wirid bermacam-macam, ada yang membaca wirid
dengan duduk bersila, bersimpuh, ada yang membaca dengan keras-keras, seperti
mambaca al-Qur’an dan lain sebagainnya sesuai dengan tata cara yang diberikan
oleh guru (mursyid). Dalam kebiasaan para sufi wirid diperoleh melalui ijazah
guru yang harus diamalkan secara istiqamah, karena kata wirid berhubungan
istilah ”wa>rid” barang siapa yang tidak melakukan wirid, maka ia tidak akan
memperoleh wa>rid (hidayah yang diturunkan kedalam hati seseorang tanpa
diminta seperti intutif, ilham dan sebagainya).258 Oleh karena itu setiap tarekat
mempunyai wirid yang khusus yang harus diamalkan oleh masing-masing murid
256 Martin Van Bruinessen, tarekat Naqshabandiyah, 81-82. Wirid juga diartikan kewajiban yang ditetapkan kepada seseorang yang berupa doa-doa yang diucapkan berulang-ulang setiap hari,. Salurannya adalah limpahan anugerah, cahaya, nilai atau pengertian-pengertian yang Allah berikan kepada kalbu seseorang atau yang dengannya Allah memuliakan hati seseorang. Baca: M. Salihin dan Rosihon Anwar, Kamus Tasawuf (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002), 268. 257 Ali Jum’at , Al-Baya>n Lima> Yushghil al-adhha>n (Kairo: al-Muqat}am, 2005), 237. 258 Ibid.
183
setiap saat untuk memperoleh wa>rid.259Wirid juga diartikan kewajiban yang
ditetapkan kepada seseorang yang berupa doa-doa yang diucapkan berulang-
ulang setiap hari, biasanya usai salat wajib
4. Khatm-i Khawajagan
Khatm-i Khawajagan adalah serangkaian wirid, ayat, salawat, dan doa
yang menutup setiap zikir secara berjama’ah.260 Ada juga yang menyebut dengan
tawajjuh yang berarti tatap muka antara seorang mursyid dengan murid di mana
seorang murid membuka hatinya kepada shaykhnya.261
Ada pula yang memberi nama khus}u>s}iyyah yang berarti hanya murid
tertentu (yang sudah baiat) yang boleh mengamalkan ritual ini dan tidak seorang
pun boleh ikut serta tanpa izin terlebih dahulu dari shaykh.262 Amalan ini disusun
oleh Abd Khaliq al-Ghujdawani, dan dianggap sebagai tiang ke-tiga
Naqshabandiyah setelah zikir ism al-dha>t dan zikir nafi wa al-ithba>t. Kemudian
dalam perkembangan selanjutnya khatm-i ini merupakan upacara ritual resmi dan
dilaksanakan secara rutin di semua cabang mursyid sebagai kegiatan mingguan
atau bulanan.263 Kegiatan khatam-i ini dipimpin langsung oleh mursyid264 atau
khalifah265 atau imam khususi266 yang telah mendapat izin dari guru mursyid.
259 H{usni Sharqawi, Mu’jam al-Fa>z} al-S}u>fiyah (Kairo: al-Muqat}am, 1987), 283. Baca pula: Al-Qur’an, 25: 62. 260 Martin Van Bruinessen; Tarekat Naqshabandiyah, 85. 261 Shaykh Ah}mad Syakir Ibn Muh}ammad, Aku T{ari>qah, Tasawuf (Demak: Tanjung masa inti, 2003), 70. 262 Ah}mad Asrori al-Ishaqy, al-Anwa>r al-khus}u>s}iyyah al-khatmiyyah (Surabaya: al-wafa, 2004),1. 263 Kharisudin Aqib, Al-Hikmah, 114. 264 Mursyid adalah pembimbing, pengajar, pemberi contoh kepada murid-muridnya Baca: Hasan Muarif Ambari (et.al), Ensiklopedi Islam III, 2003. 265 Badal atau khalifah atau naib: Pengganti yang menempati kedudukan utama dari shaykh. Baca: ibid. 266 Imam khususi atau muqaddam: adalah orang yang mengurus urusan sekelompok peserta tarekat di tempat tertentu dan ia terdidik secara umum. Baca: ibid.
184
Khatm-i khawajagan merupakan amalan yang wajib diikuti oleh setiap
murid yang telah khatam tarbiyah dhikir lat}a>’if. Hal ini dimaksudkan dapat
digunakan sebagai wasilah memohon arwah para shaykh besar pada masa lampau
agar membantu mereka yang sedang berkumpul untuk membukakan hati mereka
melalui para guru (mursyid) dengan membayangkan hatinya disirami berkah dari
gurunya kemudian guru (mursyid) membawa hati tersebut kepada guru-gurunya
sampai kehadapan Nabi Muhammad saw.267
Hati manusia digambarkan seperti lentera, selalu berzikir seperti mengisi
minyak dalam tabung. Menghadiri majelis khatm-i khawajagan seperti
menyalakan dengan korek api. Bagi pencari nur cahaya penerangan, tentulah
minyak dan korek api harus digunakan secara bersamaan.
Ketidak hadiran murid dalam majelis khus}u>s}i al-khatmi memperlambat
langkah perjalanan kehadirat Allah SWT. Semakin sering tidak hadir dapat
memperlemah dan mensurutkan sentuhan getaran magnet. Setrum hati nurani
rohani kehadirat Allah SWT sedikit demi sedikit makin pudar, pupus dan
terputus dari untaian mutiara ruhaniah, rahasia dan nur cahaya para guru
meskipun secara pribadi selalu banyak berzikir ke hadirat Allah SWT (Na’udhu
bi Alla>h min dha>lik)268
Khatm-i khawajagan diyakini juga sebagai majelis yang sangat besar
kemanfaatan dan barakahnya antara lain: mempermudah berhasilnya hajat dan
cita-cita, menolak segala macam bencana, meningkatkan derajat baik dunia
maupun akhirat dan dapat menghantarkan seorang murid mencapai maqam tajalli
267 Martin Van Bruinessen, Tarekat Naqshabandiyah, 87. 268 Syaikh Ah}mad Asrori al-Ishaqi, Al-anwa>r al-Khus}u>s}iyyah al-khatmiyyah, iii-iii.
185
(terungkapnya hijab atau nur gaib)269 majelis ini dipercaya juga dihadiri arwah
para guru besar (masha>yikh) untuk ikut bersama-sama berdoa kepada Allah
SWT. Oleh karenannya ketika mengamalkan awra>d ini harus memenuhi adab
(tata aturan) yang telah ditentukan, yaitu (1) Suci dari hadas dan najis. (2)
Dilaksanakan di tempat yang khusus, sunyi dari keramaian manusia. (3) Khusyuk
dan hadirnya hati kepada Allah, seolah-olah dalam mengabdikan diri kepadannya
kamu melihat-Nya. Jika kamu tidak melihat-Nya, maka dia (Allah) melihat
kamu. (4) Mendapat ijin dari shaykh. (5) Pintu ditutup. (6) Memejamkan mata
dari permulaan sampai akhir. (7) Berusaha melenyapkan lintasan dan getaran hati
supaya tidak lalai hatinya dari mengingat Allah. (8) Duduk bersimpuh kebalikan
arah tawaruk dalam shalat. 270 Adapun bacaan khatm-i khawajagan dapat dilihat
pada lampiran V.
5. Mura>qabah
Mura>qabah adalah sikap mawas diri dalam rangka menghindarkan diri
dari perbuatan dosa.271 Mura>qabah dalam pandangan tasawuf adalah kesadaran
seorang hamba secara terus-menerus atas pengawasan Tuhan terhadap semua
keadaanya, baik dengan cara ia musha>hadah (berkomunikasi) langsung kepada
Allah SWT maupun ia meyakini sepenuh hati bahwa Allah SWT selalu melihat
dan mengawasi seluruh gerak-gerik serta apa saja yang terlintas dalam hati
manusia.272Ajaran mura>qabah ini didasarkan bahwa Allah senantiasa
memperhatikan (mengawasi) hambanya. Salah satu dasarnya adalah hadis Nabi
269 Muh}ammad Amin al-Kurdi, Tanwi>r al-Qulu>b , 520. 270 Ibid. 271 Hasan Muarif Ambari (et.al), Ensiklopedi Islam, 301. 272 Muh}ammad Nasrudin al-Kurdi, al-Dala>’il al-‘a>liyah, 308.
186
yang menceritakan kedatangan seorang laki-laki yang bertanya tentang Islam,
iman dan ihsan.273 Para sahabat yang menyaksikan peristiwa ini terheran-heran
karena laki-laki yang bertanya setelah diuraikan Nabi kemudian malah
membenarkannya.
Di tengah-tengah keheranan para sahabat yang belum terjawab kemudian
Nabi menjelaskan bahwa lelaki yang datang adalah malaikat Jibril yang
mengajarkan tentang ajaran pokok Islam yang meliputi tiga dimensi (Islam, iman
dan ihsan). Dimensi Islam dibahas secara mendalam dalam kitab fikih, dimensi
iman dibahas secara mendalam dalam ilmu tauhid, sedangkan dimensi ihsan
dibahas secara mendalam dalam ilmu akidah dan tasawuf.
Pada perkembangan berikutnya berdasarkan pernyataan Nabi tentang
ihsan tersebut melalui berbagai pendapat tentang bagaimana menggunakan
metode (tarekat) untuk dapat menyembah Allah seakan-akan Allah melihatnya,
atau setidaknya memiliki kesadaran bahwa Allah senantiasa mengawasi dan
melihat kita. Kesadaran yang demikian ini dalam pandangan tasawuf disebut
mura>qabah.274
Aktivitas mura>qabah disebut juga dengan istilah kontemplasi275 dan
meditasi276 yang dimulai dengan mengulang-ulang zikir kepada Allah SWT,
seperti Alla>h h}ad}iri>, Alla>h naziri>, Alla>h ma’i> (Allah hadir denganku, Allah
جاء جبریل الى النبى ص م فى صورة رجل فقال یا محمد 273274 Ibid. 275 Kontemplasi : Pertapaan, menyendiri atau menghindar dari hiru pikuk pergaulan manusia. Baca: M.Solihin dan Rosihon Anwar, Kamus Tasawuf, 120. Atau :Renungan dsb dan kebulatan pikiran. Baca: Umi Chalsum dan wirdi Novia, Kamus besar Bahasa Indonesia, (Surabaya, kasliko, 2006), 392. 276 Meditasi: Penyatuan pikiran untuk mencapai sesuatu pemusatan konsentrasi pada satu titik obyek. Ibid, 455
187
melihatku, Allah bersamaku).277 Lafal-lafal zikir itu dapat diucapkan dengan
suara keras maupun suara lembut atau dalam hati, sesuai dengan keinginan,
kebiasaan dan kepuasan orang yang melaksanakannya. Meskipun mura>qabah
dimulai dengan lafal zikir, ternyata memiliki perbedaan dengan zikir secara
umum.
Perbedaan tersebut terdapat dalam dua hal. Pertama, obyek
konsentrasinya. Jika zikir memiliki obyek perhatian pada simbol yang berupa
kata atau kalimat, maka mura>qabah menjaga kesadaran atas makna, sifat, qudrat
dan iradat Allah SWT. Kedua, media yang dipergunakan. Jika zikir menggunakan
lidah, baik lidah fisik maupun lidah batin, maka mura>qabah mengunakan
kesadaran murni yang berupa imajinasi dan daya khayali.278Mura>qabah dapat
dicapai melalui beberapa tahapan. Pertama, menjaga hati, perasaan dan pikiran
karena Allah SWT menguasai semua itu. Kedua, menjaga yang benar (haq)
dengan kebenaran (haq) dalam keadaan fana’ (pemusnahan keterbatasan
individu) dan kemudian mengikuti teladan Nabi Muh}ammad SAW dalam semua
perbuatan, akhlak dan adabnya. Ketiga, selalu bersikap mawas diri terhadap
Allah SWT dan selalu memohon kepada-Nya agar ia menjaganya dalam keadaan
tersebut (keadaan mura>qabah), sebab Allah SWT telah memberikan anugerah
kepada orang-orang pilihan-Nya dan orang-orang baik yang tidak merasa berat
dalam menjalani keadaan tersebut.279 Tahapan ketiga inilah merupakan keadaan
orang sufi yang telah mencapai derajat mura>qabah, baik sebagai mura>qabat al-
277 Ilir valiudin, contemplative Disciplinisin Sufisme diterjemahkan oleh M.S Nasrullah dengan judul dhikir dan kontemplase dalam tasawuf (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997), 194. 278 Kharisudin aqib, Al-Hikmah, 87. 279 Hasan Muarif ambari (e.al), Ensiklopedi Islam III,, 301.
188
muqarrabi>n,280 maupun sebagai mura>qabat al-muwarri’i>n.281 Pada tingkat
mura>qabat al-muqarrabi>n, seorang hamba telah dapat mengkonsentrasikan
hatinya untuk dapat musha>hadah (berkomunikasi langsung) dengan Allah SWT
dan tenggelam dengan memperlihatkan keagungan-Nya. Sedangkan pada tingkat
mura>qabat al-muwarri’i>n, seorang hamba belum dapat mencapai musha>hadah
akan tetapi ia meyakini spenuh hatinya bahwa Allah selalu melihat dan
mengawasi lahiriyah dan batiniyahnya.
Seorang calon sufi sejak awal sudah diajarkan bahwa dirinya tidak
pernah lepas dari pengawasaan Allah seluruh aktivitas hidupnya ditujukan untuk
berada sedekat mungkin dengan-Nya. Ia tahu dan sadar bahwa Allah memandang
kepadanya kesadaran itu membawannya pada suatu sikap mawas diri atau
mura>qabah.
6. Wasilah dan Ra>bit}ah
Wasilah (perantara)282adalah jalan atau sarana yang dijadikan oleh
seorang untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan cara yang telah
disyariatkan oleh Allah SWT.283 Kata wasilah disebutkan dua kali dalam al-
Qur’an, yaitu:
”Hai orang-orang yang beriman, bertakwallah kepada Allah dan carilah
wasilah (jalan mendekatkan diri) kepada-Nya”,284 dan ”Orang-orang yang
mereka seru itu, mereka sendiri mencari wasilah (jalan kepada Tuhan)
280 Muh}ammad al-Ghazali, Ihya>’ ulu>m al-di>n IV, 346 – 347. 281. Imam al-Qushairi, al-Risa>lah al-Qushairiyah, 226. 282 A.W. Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab Indonesia Terlengkap (Surabaya: Pustaka Pogresif, 2002), 1559. 283Hasan Muarif Ambari (et.al), Ensiklopedi Islam, 195. Al-Qur’an. 5: 35 یاایھا الذین أمنوا اتقوا هللا وابتغوا الیھ الو سیلة 284
189
mereka”.285 Menurut para mufasir yang dimaksud wasilah dalam al-Qur’an
adalah amal saleh, jalan atau sarana yang dipakai oleh seseorang untuk dekat
kepada Allah SWT.286 Kata wasilah disebutkan pula dalam berbagai hadis sahih.
Misalnya: ”Mintalah kepada Allah wasilah bagiku. Sesungguhnya ia adalah
kedudukan dalam surga yang tak layak kecuali untuk seorang hamba di antara
hamba-hamba Allah, sedang aku berharap menjadi hamba itu. Siapa yang
meminta wasilah kepada Allah bagiku, pasti ia memperoleh syafa’atku di hari
kiamat.287 Barang siapa selesai mendengar azan mengucapkan: ”Ya Allah Tuhan
pemilik seruan yang sempurna ini dan pemilik salat yang tegak, berilah
Muh}ammad wasilah keutamaan dan kedudukan yang tinggi, dan bangkitkanlah ia
di tempat yang terpuji sebagai mana engkau janjikan, sesungguhnya engkau tidak
mengingkari janji”. maka ia mendapat syafa’at.288
Wasilah di sini secara khusus ditujukan kepada Rasulullah SAW. Beliau
telah menyuruh kita untuk memintakannya kepada Allah SWT dan beliau
mengatakan bahwa orang yang meminta wasilah tersebut, niscaya ia memperoleh
syafaatnya di hari kiamat. Wasilah kepada Rasulullah pernah pula dilakukan oleh
seorang laki-laki buta yang datang kepada Rasulullah untuk didoakan
kesembuhan penyakit butanya. Rasulullah SAW bersabda: Ambillah air lalu
wudu kemudian salat dua rakaat, bacalah doa: ”Ya Allah! aku mohon kepada-MU
aku hadapkan wajahku kapada-MU dengan Nabi-MU Muh}ammad SAW, Nabi Al-Qu’an, 17:57 اولیك الذین یدعون یبتغون الرربھم الوسیلة 285286 Team Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam, 195; Sulaima>n Bin Umar al Usairi, al-Futuha>t al-Ila>hiyyah 2 dan 4 (Bairut: Da>r al-Fikri, 2009), 232, 338. سلوا هللا الى الوسیلة فإ نھا درجة فى الجنة ال تنبغى اال لعبد من عند هللا وارجوا ان أكون أنا ذلك العبد فمن سأل هللا لى الوسیلة 287 ,Ibn Taymi>yyah, Tasawuf dan Wasilah (Bandung: Remaja Rosdakarya ;حملت علیھ شفاعة یوم القیمة 2006), 90 dan 350. محمد الوسیلة والفضیلة وابعثھ مقاما محمود الذى آتلدعوة التامة والصال ة القائمة من قال حین یسمع النداء اللھم رب ھذه ا 288 .Ibid , وعدتھ انك ال تخلف المیعاد حلت لھ شفاعتھ
190
(Pembawa) rahmat. Ya Muhammad, aku hadapkan wajahku denganmu (seraya
memohon) kepada Tuhanmu untuk memberi penerangan mataku (menyembuhkan
butaku). Ya Allah, berikanlah syafaat kepadanya (Muh}ammad) dan ia
(Muh}ammad) memberi syafaat kepada diriku.289
Dengan demikian wasilah (tawasul) melalui doa dan syafaat Rasulullah
SAW diperbolehkan berdasarkan kesepakan umat Islam.290 Wasilah melalui amal
saleh, misalnya dilakukan oleh tiga orang yang tersesat di dalam gua yang
masing-masing dari tiga orang tersebut berdoa kepada Allah SWT dengan
wasilah amal saleh, ternyata dikabulkan oleh Allah sehingga batu besar yang
menutup gua tersingkap dan mereka dapat keluar dari gua dengan selamat.291
Wasilah juga diartikan minta tolong kepada orang-orang saleh (selain
nabi) sebagai mana doa yang dipanjatkan oleh Umar bin Khat}t}ab pada saat
kekeringan ketika melaksanakan salat istisqa>’ (minta hujan) wasilah (tawasul)
dengan paman Nabi SAW, Abbas Bin Abdul Mut}t}alib, ucapan Umar bin
Khat}t}ab, ”Ya Allah, sesungguhnya kami tawasul (wasilah) kepada-Mu dengan
Nabi kami maka Engkau sirami kami. Sesungguhnya kami tawasul kepada-MU
dengan paman Nabi kami maka siramilah kami”.292Wasilah melalui orang saleh,
wali dan seorang pembimbing spiritual (mursyid) dalam tarekat biasanya disebut
ص م نبى رحمة یا محمد إنى اتوجھ بك المیضاة فتوضأثم صلى ركعتین ثم قل اللھم أنى أسئلك وأتوجھ الیك بنبیك محمد تائ 289
فوهللا ما تفرقنا وال طال بنا الحدیث حتى دخل : قال عثمان . اللھم شفعھ فى وشفعنى فى نفسى , إلى ربك فیجلى لى عن بصرى الرجل وكأنھ لم یكن بھ ضرPendapat Muh}ammad Alwi Al-Maliki do’a tersebut tidak khusus pada masa hidup Nabi, tetapi dilakukan sebagai sahabat setelah wafat Nabi. Menurut hukum hadis tersebut isnadnya sahih, menurut Dhahafi sahih sedangkan menurut Turmudhi hadis tersebut H{asan sah}ih gharib. Baca: Muh}ammad Alawi al-Maliki, Mafa>him yajib an Tusah}ah (Kairo: Dar Jawari al-Kalim, 1993), 70. 290 Ibn Taimiyyah, Tawasul, 91 291 Lihat: lampiran VI 292 م نبینا فاسقناعسل الیك بنبیناوأنا نتوسل الیك باللھم اناكن نتو Hadis riwayat Buldhan dari Anas : Baca” Muh}ammad Alwi al-Ma>liki, Mafa>him, 91. Lihat bukh}ari no. 3434 kitab Manaqib.
191
dengan ra>bit}at al-mursyid yaitu menghadirkan rupa guru atau shaykh ketika
hendak berzikir sesuai tata cara yang telah ditentukan.293 atau menghubungkan
hati dan ruhani murid dengan hati dan ruhani guru (Shaykh) dengan melakukan
amalan tertentu untuk memperoleh limpahan barakah dari hati guru.294 Pendapat
lain mengenai ra>bit}at al-murshid diungkapkan oleh Muh}ammad Amin al-Kurdi:
ra>bita}t al-murshid ialah menghadirkan gambar sang Shaykh dalam imajinasi
seseorang dimana hati murid dan hati gurunya saling berhadapan. Hal ini dapat
dilakukan meskipun secara fisik Shaykhnya tidak hadir dengan cara sang murid
harus membayangkan hati seorang Shaykh seperti samudra karunia spiritual dan
dari sana pancaran ditumpahkan ke hati sang murid.295
Ra>bit}at al-murshid merupakan sesuatu sangat diperlukan demi kemajuan
spiritual. Untuk dapat sampai kepada perjumpaan dengan yang mutlak seseorang
tidak hanya memerlukan bimbingan, tetapi campur tangan aktif dari pihak
pembimbing spiritualnya dan para pendahulu sang pembimbing sampai kepada
Nabi Muhammad saw. sangat diperlukan. Inilah arti silsilah yang menunjukkan
rantai yang menghubungkan seseorang dengan Nabi kemudian malaikat Jibril
sampai kepada Tuhan. Oleh kerena itu bagi seorang murid diperlukan untuk
mencari dan menemukan seorang mursyid yang dapat diandalkan. Kemudian
sang murid turut bimbingan sang guru tanpa syarat, patuh mutlak, sang murid
293 Tata cara Rabitah : 1) Mengahadirkan di depan mata dengan sempurna. 2) membayangkan kiri kanan dengan memasukkan perhatian ruhaniyah sampai terjadi sesuatu yang gaib, 3) Menghayalkan rupa guru ditengah-tengah hati, 4) Menghadirkan rupa guru di tengah hati, 5) membayangkan rupa di kening kemudian menurunkannya di tengah hati, 6) meniadakan (menafikan) dirinya dan menisbatkan (menetapkan) keberadaan guru. Muh}ammad bin Abdullah al-Kamil al-Khalidi, Bahjat al-Suniyah (Istambul: Fatih, 1977). 43. 294 Muh}ammad Najmuddin al-kurdi, AL-Dala>’il, 274-275. 295 Muh}ammad Amin Al-Kurdi, Tanwi>r al-qulu>b, 512.
192
haruslah seperti kata pepatah ”bagai mayat ditangan orang yang
memandikannya”.
Ra>bit}ah diamalkan secara bervariasi. Terdapat perbedaan antara tarekat
yang satu dan tarekat yang lain, tetapi selalu mencakup kehadiran (visualization)
mursyid oleh murid, dan membayangkan hubungan yang sedang dijalin dengan
mursyid. Hubungan ini seringkali digambarkan dalam bentuk seberkas cahaya
yang memancar dari mursyid. Cara menggambarkan kehadiran guru seperti
pengakuan seorang penganut Naqshabandiyah bangsa Kurdi sebagai berikut: ”Ia
membayangkan gambar pembimbingnya dan agak samar-samar semua wali
dalam silsilahnya, lalu ia bayangkan seberkas cahaya memancar dari Allah turun
ke kening Rasulullah. Dari sana cahaya itu memantul melalui wali-wali satu
persatu berurutan kemudian dari kening sang pembimbing langsung masuk ke
hati sang murid yang ketika itu menyebut “Alla>h, Alla>h.”296 Tehnik ra>bit}ah
seperti tersebut di atas lebih tepat disebut Tas}awur (menggambarkan guru).
Ra>bit}ah dilaksanakan sebagai pendahuluan zikir, biasanya ditujukan
kepada guru yang telah membaiatnya, tidak kepada shaykh yang lebih awal.
Namun ada juga shaykh yang menuntut agar semua murid bukan hanya muridnya
sendiri tetapi juga murid khalifahnya dan seterusnya senantiasa melakukan
ra>bit}ah hanya dengan seorang. Ini maksudnya tarekat yang berasal darinya akan
sangat kompak dan sentralistis. Salah seorang mursyid yang berpendapat
demikian adalah Maulana Khalid.297 Ra>bit}ah tidak hanya dilakukan dengan guru
(mursyid) yang masih hidup, tetapi kadang-kadang ra>bit}ah dilakukan dengan
296 Martin Van Bruinessen, Tarekat Naqshabandiyah, 85. 297 Ibid., 83.
193
guru yang telah wafat dan ra>bit}ah inilah yang disebut dengan Ra>bit}at al-
barzakhiyyah.298
Selain ra>bit}ah al-murshid terdapat pula ra>bit}at al-qabr (meditasi
kematian). Dalam ra>bit}ah ini orang membayangkan kematian. Misalnya, ia
membayangkan bagaimana ketika ia mati, bagaimana ia dimandikan, dikafani, di
salatkan, dikuburkan, berpisah dengan keluarga, handai taulan, sendirian dalam
kubur, ditanya malaikat dalam kubur, menghadapi hari kebangkitan kembali dan
pemisahan mereka yang telah beramal saleh dari mereka yang tidak. Tujuan dari
pada latihan ini adalah untuk membebaskan diri seorang dari semua keterikatan
kepada dunia dan membuka hatinya kepada Tuhannya.299 Ra>bit}at al-qabr ini
tentunya tidak akan banyak manfaat kecauli dengan amal salehnya.
7. Suluk, Khalwat dan Uzlah
Suluk menurut arti harfiyahnya adalah menempuh jalan spiritual.300
Sedangkan dalam istilah sufi suluk adalah menjernihkan akhlak (dari sifat-sifat
yang tercela dan mengisinya dengan sifat-sifat terpuji) amal dan pengetahuan
dengan cara menyibukkan diri dengan menjalankan berbagai amalan lahir dan
amalan batin.301 Dalam proses pencariannya itu, sa>lik (seorang hamba yang
menempuh jalan ruhani).302 akan dipalingkan dari Tuhannya, kecuali benar-benar
menyibukkan diri dalam pencucian batinnya sebagai persiapan untuk dapat
298 Ra>bit}ah Barzakhiyah: yaitu hubungan ruhani dan hati antara orang-orang saleh atau antara mursyid dan murid setelah salah satunya meninggal dunia, sehingga mereka bisa saling berbicara dan memberikan pelajaran baik dalam keadaan mimpi atau sadar atau ketika seorang murid melakukan ra>bit}ah khusus pada saat berziarah ke kubur gurunya atau mashayikh dan wali-wali yang lain. Baca: Muh}ammad Najmuddin al-Kurdi, Al-Dala>’il, 298. 299 Ibid., 274. 300 Martin Van Bruinessen. Tarekat Nagshabandiyah, 88. 301 Abu H{amid Muh}ammad bin Muh}ammad al-Ghazali, Raudat al-T}a>libi>n wa umdat al-S}a>lihi>n (Beirut: Da>r al-qalam, tt), 3 302 M. Solihin dan Rosihon Anwar, Kamus Tasawuf ,187.
194
mencapai derajat wus}u>l (seorang sufi pada kondisi tertentu merasa sudah
mencapai kepada Allah )303 kepada Allah SWT.
Suluk dalam tarekat biasanya dilakukan dengan cara berkhalwat yaitu:
mengasingkan diri dari keramaian manusia dengan mengingat Allah SWT304 atau
kegiatan menyepi untuk sementara waktu dari kesibukan duniawi.305 Dengan
demikian hakikat khalwat adalah pemutusan hubungan dengan makhluk menuju
penyambungan hubungan dengan Al-H{aqq,306 hal ini dikarenakan khalwat
merupakan perjalanan rohani dari nafsu menuju hati, dari hati menuju ruh, dari
ruh menuju alam rahasia dan dari alam rahasia menuju Zat Maha pemberi segala
amalannya. Khalwat dilakukan secara bervariasi, ada yang menjalankan tiga hari,
tujuh hari, lima belas hari, dua puluh hari, 30 hari (sesuai yang dilakukan Nabi)
dan yang lebih sempurna adalah empat puluh hari sebagai mana sabda Nabi:
Barang siapa mendekatkan diri kepada Allah selama 40 hari maka akan mengalir
sumber hikmah dari hatinya sampai pada lisannya.307
Pada waktu khalwat, sa>lik mengurangi makan dan minum, bahkan
hampir seluruh waktunya dipakai untuk berzikir dan meditasi dan ia pun tidak
diperbolehkan bicara kecuali dengan Shaykhnya atau sesama salik, dan itupun
terbatas pada soal-soal keruhanian saja. Selama khalwat salik diajarkan zikir
lat}i>fah dan praktek ibadah yang lain. Al-Jailani memerinci waktu-waktu serta
tindakan khalwat yang merupakan perpaduan ajaran syariat dengan spiritualitas
303 Ibid., 268. 304 Muh}ammad Sholikhin, 17 Jalan Menggapai Mahkota Sufi Syaikh, Abdul Qadir Jailani (Yogyakarta: Mutiara media 2009), 348. 305 Martin Van Brinessen, Tarekat Naqshabandiyah, 88. 306 Abul Qasim Abdul Karim Nawazir Al-Qusyai>ri>, Al-Risa>lah Al-Qusyai>ri>yyah, 138. 307 Muh}ammad Amin Al-Kurdi,Tanwi>r al-Qulu>b, 493.
195
sebagai berikut: dimulai dengan waktu salat tahajud pada pertengahan malam
sebagai simbul dari kebangkitan seorang hamba menghadap Allah sambil
memanjatkan untaian berbagai doa, disambung dengan melakukan salat dua belas
rakaat, hingga pada bagian akhir pertengahan malam dengan melaksanakan salat
witir sebanyak tiga rakaat. Setelah matahari terbit, orang yang berkhalwat
melakukan shalat ishra>q, salat fajar yang terdiri dari dua raka’at, lalu dua rakaat
berikutnya shalat isti’a>dhah. Disambung kemudian dengan salat istikharah, dan
pada bagian pagi terakhir disambung dengan salat duha enam rakaat.
Setelah salat duha masih disambung dengan salat dua rakaat kafarah.
Pada saat siang hari, dilaksanakan salat tasbih sebanyak empat rakaat dengan
bacaan tasbih 300 kali, kalau bisa disambung dengan membaca al-Qur’an paling
tidak 200 ayat. Setiap hari juga dianjurkan orang yang berkhalwat membaca
surat al-ikhlas 100 kali, salawat, serta sayyid al-istighfa>r 100 kali. Sedangkan
waktu-waktu yang tersisa dari itu semua digunakan untuk membaca al-Qur’an,
beribadah serta doa.308
Pelaksanaan khalwat tentunya tidak harus seperti amaliah tersebut diatas,
tergantung petunjuk Shaykhnya masing-masing sesuai dengan tingkat
kamampuan murid. Untuk memudahkan murid menjalankan suluk tanpa
terganggu, kebanyakan para shaykh menyediakan ruang khusus yang disebut
khalwat khanah (rumah suluk).
Pengaruh dan wibawa shaykh seringkali diukur dengan besar kecilnya
rumah suluk yang dimilikinya dan jumlah murid yang khalwat di tempat shaykh.
308 Syaikh Abd Qadir al-Jilani, Sir al-asrar. Terjemahan oleh joko S. Kahan dengan judul Rahasia di Balik Rahasia (Surabaya Risalah Gusti, 2002), 153-164, 165-167.
196
khalwat dapat pula dilaksanakan di tempat lain seperti di gua-gua dan makam
para waliyullah.
Uzlah adalah mengasingkan diri dari pergaulan umum dengan tujuan
melatih mensucikan dirinya agar konsentrasi ibadahnya tidak terganggu oleh
persoalan-persoalan duniawi.309 Dalam kondisi kekinian uzlah dapat bermakna
mengasingkan hati dan jiwa dari keramaian dunia, uzlah ini sangat diperlukan
bagi salik (orang yang akan menuju Allah) yang dalam prakteknya dilaksanakan
dalam bentuk khalwat. Tentu dalam uzlah seorang harus memperoleh ilmu yang
dibenarkan oleh akidah tauhid, agar ia tidak diganggu oleh setan dan dibekali
ilmu-ilmu syariat mengenai tata cara semua amal perbuatan yang harus
dilakukan, seperti salat, doa, wirid, zikir dan sebagainya310. Dalam uzlah dan
khalwat diharuskan bersih secara lahir dan batin, niat utamanya adalah ikhlas
karena Allah SWT. Dalam pandangan al-Jailani khalwat merupakan asal
muasal perilaku zuhud,311 dimana baju tasawuf dikenakan pada saat khalwat
yaitu hati, jiwa dan jasadnya. Tinggalkanlah hawa nafsu diambang pintu
khalwatmu kemudian masuklah ke dalam khalwatmu. Khalwat juga memerlukan
sikap wara’312 yang akan menjauhkan seseorang dari kemaksiatan dan kesia-
siaan, juga sikap mura>qabah313 agar selalu memperhatikan Allah. Lebih lanjut al-
309 M. Salihin dan Rasihan Anwar, Kamus Tasawuf, 246 310 Al-Qusyai>ri>, Risa>lah , 138. 311 Zuhud: suatu sikap melepaskan diri rasa ketergantungan terhadap kehidupan duniawi dengan mengutamakan kehidupan akhirat. Baca: M.Sholihin dan Rasihan, Kamus Tasawuf, 270 Baca pula Al-Qusyai>ri>, Al-Risa>lah, 515. 312 Wara’: menjaga diri dari perbuatan dosa atau maksiat sekecil apapun atau meninggalkan hal-hal yang syubhat dan yang tidak pasti. Baca: M Salikin dan Rosihon, kamus, 267 Baca pula: Al-Qusyai>ri>, al-Risa>lah, 146. 313 Mura>qabah : meresapkan kesadaran bahwa Allah melihat, mengawasi memonitor diri kita dalam gerak dan diam kita baik lahir maupun batin. Baca: Muh}ammad solikin dan Rasihan, Kamus Tasawuf, 149. Baca pula: Al-Qusyai>ri>, al-Risa>lah. 224-226.
197
Jailani mengibaratkan batiniah manusia sebagai sebuah rumah, dimana perbaikan
sebuah rumah harus dimulai dan berasal dari dalam rumah, baru kemuadian
menuju luar. Khalawat adalah titik awalnya, dimana ketika dalam kesendirian ia
telah bersih, itu akan menyebar keseluruh jiwa, hati dan anggota badan, juga
pada makanan, pakaian dan dalam seluruh keadaan.314
Oleh karena itu, jika khalwatnya telah berhasil, justru seorang salik harus
turun kepada keramaian, dimana hatinya tetap berada dalam khalwatnya bersama
Allah. Sebab kesibukan seorang muslim adalah mencurahkan dan menciptakan
ketenangan bagi makluk. Sebab mereka adalah para pencari sekaligus pemberi.
Mereka mencari sesuatu dari karunia Allah dan rahmat-Nya, lalu mereka
memberikannya untuk kepentingan kemanusiaan, sehingga keberadaan mereka
akan mempengaruhi setiap yang ada. Khalwat seseorang menurut al-Jailani
merupakan sesuatu yang berubah-ubah, maka khalwat akan rusak jika tidak
diperbaiki, ternoda jika tidak dibersihkan. Untuk itu maka diperlukan amal hati
dengan tauhid dan keikhlasan. Seseorang tidak boleh tidur, lupa, berpaling, dan
bersikap masa bodoh dengan meninggalkan Allah dan Rasul-Nya.
Jadi menurut al-Jailani, khalwat yang dikehendaki dalam perjalanan
menuju Allah adalah khalwat hati dari segala makhluk, dimana khalwat dalam
bentuk uzlah, namun dalam hatinya masih tersisa ruang bagi makhluk dan dunia
materi, maka khalwatnya tidak berguna, ia memang menyepi tetapi tanpa hadir ,
dan tanpa sikap baik kepada Allah, bahkan ia berarti ber-uzlah bersama hawa
nafsu dan setan yang menemaninya.315Agar para salik berhasil melaksanakan
314 Muh}ammad Shalikin, jalan mengapai mahkota sufi, 350. 315 Ibid.
198
suluk atau khalwat atu uzlah, maka Muhammad Amin al-Kurdi menyebutkan 20
syarat yang harus dilakukan.316
8. Mana>qib
Mana>qib adalah salah satu acara ritual yang menjadi tradisi dalam tarekat
dengan pembacaan kitab-kitab mana>qib.317Selain memiliki aspek seremonial,
mana>qib juga memiliki aspek mistikal. Kata mana>qib berasal dari bahasa Arab
mana>qaba, yang artinya membagi, menggali, memeriksa dan membahas.318 Pada
al-Qur’an lafal mana>qaba disebutkan tiga kali dalam berbagai bentuknya, yaitu:
naqqabu>, artinya menjelajah,319 naqi>ba artinya pemimpin,320 dan naqaban artinya
menolong.321 Dengan demikian mana>qib adalah riwayat hidup seseorang yang
dapat dijadikan suatu teladan baik yang berkait dengan karamah, akhlak, silsilah
dan segala perilaku hidupnya.
Menurut pandangan tarekat, mana>qib adalah buku cacatan mengenai
riwayat hidup seorang Shaykh tarekat. Aspek yang dipaparkan dalam tarekat
adalah kisah-kisah yang ajaib dan bersifat menyanjung (hagiografis) dengan
menyertakan ikhtisar hikayatnya, legenda, kekeramatannya dan nasehat-
nasehatnya.322Istilah mana>qib dalam dunia Islam sebenarnya merupakan istilah
yang biasa-biasa saja. Dalam al-Qur’an telah diceritakan dengan jelas adanya
316 Lihat lampiran VII. 317 Kharisudin Aqib, Al-hikmah, 109. 318 Ahmad Warson (AW) Munawir, Kamus al-Munawir Arab Indonesia Terlengkap (Surabaya: Pustaka Progresif, 2002), 1450. 319 Yakni melakukan penjelajahan intelektual untuk menyelidiki syarah kehidupan seseorang Baca: Al-Qur’an, 50:36. 320 Yakni berisi riwayat hidup seorang pemimpin yang bisa menjadi panutan umat. Baca: Ibid, 5:12. 321 Yakni agar mendapatkan keberkahan dari Allah yang dapat menjadi perantara datangnya pertolongan Allah. Baca: Ibid; 18:97. 322 Hasan Muarif Ambari (et.al), Ensiklopedi Islam, Vol. 2 , 152.
199
mana>qib Maryam, Dhulqarnain, Ash}ab al-Kahfi, dan lain sebagainya.323
Demikian pula dalam berbagai kitab hadis yang standar, penggunaan istilah
mana>qib dikaitkan sebagai kesaksian yang baik atas kehidupan seorang tokoh,
terutama para sahabat.324Pada masa ta>bi’in dan ta>bi’ al-ta>bi’i>n, istilah mana>qib
adalah suatu hal yang biasa-biasa saja, dan umum dibaca kaum muslimin.
Misalnya ada mana>qib Shaykh Ma’ruf al-Karkhi, mana>qib Imam al-Shafi’i, dan
sebagainya.
Dengan demikian, sebenarnya mana>qib Shaykh Abdul Qadir al-Jailani
juga hal yang biasa dalam dunia Islam. Mana>qibnya merupakan bagian kecil dari
sekian banyak mana>qib di dunia Islam. Pembacaan atasnya juga bukan sesuatu
yang dilarang agama, sebagaimana membaca tarikh, tadhki>rah, dan mana>qib
tokoh-tokoh lain.
Kaum Wahabi di Arab Saudi setiap ramadan juga memiliki acara
tadhki>rah Shaykh Muh}ammad bin ’Abdul Waha>b, yakni membaca kembali
biografi dan jasa-jasa beliau terhadap Islam. Pembacaan mana>qib Shaykh al-
Jailani juga demikian, yakni dengan membaca riwayat hidup beliau, karamah-
karamahnya dari Allah, jasa-jasanya dan ajaran-ajarannya.
Jadi sebenarnya kontroversi pembacaan mana>qib Shaykh al-Jailani terjadi
karena kekurangpahaman dan kurang mengerti terhadap sejarah perkembangan
323 Al-Fikri el Hakim, Manaqiban Syirik dan Bid’ah Kah?(kediri: Al Aziziyah, 2009), 4 324 Misalnya : Ima>m al-Tirmidhi> mengkususkan mana>qib al-s}ah}a>bah pada Sunan al-Tirmidhi, vol.5 dari halaman 267-356 (89 halaman), mulai hadis no. 3735-3948 (213 hadis dan asar sahabat), yang berisi mana>qib, (biografi dan kesaksian) 37 sahabat. Istilah yang sering disepadankan dengan mana>qib adalah “fadhl” (keutaman), “tadzk>irat” (mengingat kembali), “tarikh” (sejarah), “hilyah” (perhiasan) dan terutama istilah “tabaqat” (penjelasan atau kesaksian tentang pangkat, kedudukan, derajat seseorang). Ada kitab Hilyah al-Auliya’ (Abu Nu’aim al-Ishfahani, al-Khatimi, 1935): tadhkirat al-Auliya; Thabaqat al-Syafi iyyah (al-Subki); Thabaqat al-shufiyyah (al-Sulami dan sebagainnya). Baca: Muh}ammad Shalikin, 17 Jalan menggapai Mahkota Sufi Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani (Jakarta: Mutiara Merdeka, 2009), 49.
200
Islam dan sejarah para tokoh muslim itu sendiri.325Kitab mana>qib yang terkenal
dan tersebar luas di dunia Islam adalah mana>qib Shaykh Muhammad Saman326
dan mana>qib Shaykh Abd al-qadi>r al-Jailani.327 Hal ini menunjukkan bahwa
kedua tokoh sufi ini pernah memiliki tempat dalam hati para pengikutnya di
berbagai negara Islam, menembus asal kelahiran dan masa hidup mereka dari
timur tengah hingga ke Afrika dan Asia termasuk Indonesia. Shaykh Saman atau
nama lengkapnya adalah Muh}ammad bin Abd al-Kari>m al-Samani> (1718-1775
M) di kenal sebagai pendiri tarekat Samaniyah, sedangkan Shaykh Abd al-Qadi>r
al-Jailani (1077-1166 M) adalah tarekat Qadiriyah.
Tradisi pembacaan mana>qib dilaksanakan secara terpisah dan merupakan
seremonial tersendiri, tidak termasuk dalam kegiatan muja>hadah maupun
khataman atau tawajjuhan. Misalnya tradisi yang berlaku dalam tarekat
Qadiriyah wa Naqshabandiyah, mana>qib dilaksanakan pada setiap bulan tanggal
11 atau biasa disebut sewelasan (bahasa Jawa) bertepatan dengan hari kelahiran
Shaykh Abd al-Qadi>r al-Jailani pada tanggal 11 Rabi’ al-Tha>ni>, dan pada acara
haul Shaykh Abd al-Jailani tanggal 11 Rabi’ al-Tha>ni>, sebab Shaykh Abd al-
325 Ibid. 326 Mana>qib Shaykh Saman antara lain: (1). Manaqib Al-Qubra yang memuat lengkap kisah-kisah keajaiban, legenda dan kekeramatannya. (2) Tabaqat Sayid Ah}mad al-Sarrubi yang memuat sebagian kisah ajaib dan kekeramatan. (3) Manaqib al-Shaykh al-Shahir Muh}ammad Saman yang memuat ringkasan riwayat hidupnya, kisah manaqib ajaibnya dan kekeramatannya. Hasan Mu’arif Ambari, Ensiklopedi Islam, 152. 327 Mana>qib Shaykh Abd Al-Qadir al-Jailani, antara lain: (1) Bahjat al-Asra>r oleh al-Shattanawi yang merupakan biografi tertua dan terbaik Shaykh al-Qadir). (2) Khalasah al-Mufakhir oleh al-Yafi (w.768 H) (3) Khala’id al-Jawahir karya al-Tadifi yang memuat kehidupannya, keturunan dan lingkungan wali dan kisah-kisah mustratif. (4) Natijah al-Tahqiq karya Abdullah Muh}ammad al-Dilai (w.1136 H) yang memuat deskripsi kehidupan Abdul Qadir dan ucapan-ucapannya yang menunjukkan kebesaran sang wali. (5) Al-Nur Al-Burhani fi Tarjamah al-Hujaini al-Dani fi Manaqib Sayyid Abd al-Qadir al-Jailani karya Lutfi al-Hakim M. Muslih bin Abdurrahman al-Maraqi yang memuat kisah-kisah ajaib Abd al-Qadir. (6) H{ubu>b al-Ma’a>ni fi Tarjamah H}ujai>n ad Dari fi Mana>qib Sayyid al-Shaykh abd al-Qadir karya Abu Muh}ammad Salih Mustamin al-H{ajian al-Jawani yang memuat kisah hidup dan kekeramatannya.
201
jailani wafat pada 11 Rabi’ al-Tha>ni> 561 H. Tradisi mana>qib yang berkembang
di masyarakat dalam rangka melaksanakan nazarnya mencari berkah, mencintai
ulama atau orang lain tergantung pada pembuat acara yang bersangkutan.328
Kebiasaan pelaksanaan ritual mana>qib di Indonesia sering disandarkan kepada
kelompok Islam tradisional yang pada umumnya para petani. Demikian pula
tempat pennyelenggaraannya hanya berkisar di masjid, mushalla dan rumah-
rumah penduduk di pedesaan.
Namun akhir-akhir ini seiring dengan semakin maraknya aktivitas
keislaman di perkotaan, justru ritual mana>qib mengalami peningkatan pesat,
termasuk pada masyarakat perkotaan. Apalagi setelah ritual mana>qib dikemas
dalam bentuk sajian yang menarik oleh H{adrat al-Shaykh Ahmad Asrori al-
Ish}a>qy>329 maka ritual mana>qib dapat dilaksanakan di kota, pendopo kabupaten,
kampus, kantor pemerintah dan di tempat-tempat umum. Acara ini dihadiri
puluhan ribu jamaah.
9. Wali
Menurut arti bahasa, wali adalah mufrad dari isim jama’ “awliya>’” berarti
yang menolong yang mencintai. Perwalian (al-wila>yah) berarti al-nus}rah
(pertolongan) atau mah}abbah (kecintaan).330 Ada juga yang mengartikan orang
yang dekat dengan Allah SWT (wali Allah).331
328 Isma’il Nawawi, Tarekat Qadiriyah wa Naqshabandiyah: Sebuah tinjauan Ilmiyah dan Amaliyah (Surabaya: Karya Agung, 2008), 168-169. 329Beliau adalah mursyid tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah al-Usmaniyah, pendiri Pondok al-Fittrah Kedinding Surabaya. Beliau menyebarluaskan tarekat di beberapa provinsi di Indonesia, bahkan sampai di Malaysia, Brunei Darussalam, dan Singapura. Baca: Ah}mad Asrori al-Ishaqy, Pedoman Kepemimpinan dan Kepengurusan dalam kegiatan dan Amaliyah Ath Thoriqah dan al-Khidmah Surabaya: al-Wafa, 2009), 91. 330 Hasan Muarif Ambary (et al), Ensiklopedi Islam V, 171. 331 M. Sholihin dan Rosihon Anwar, Kamus Tasawuf, 257.
202
Sedangkan menurut ulama pengertian wali Allah antara lain dikemukakan
oleh Shaykh Yusu>f bin Sulaima>n
عایة لكرامة والر ا ى ب هللا تعال ه اعة وتوال الط ى ب ى هللا تعال ي من تول ول ل ا
“Wali ialah orang yang sangat dekat kepada Allah lantaran ketaatannya dan oleh karena itu Allah memberikan kuasa kepadannya dengan karamah dan penjagaan”.332
Maksud pendapat ini bahwa wali ialah orang yang menjadi dekat keadaan
jiwannya dengan Allah disebabkan penuh ketaatannya. Akibatnya, Allah menjadi
dekat dengan orang tersebut dan Allah berikan kepadanya berupa karamah dan
penjagaan untuk tidak terjerumus berbuat maksiat (mah}fu>z}), apabila ia
terjerumus berbuat maksiat, maka segera ia bertaubat. Menurut Shaykh al-
Qushairi>, wali mempunyai dua pengertian. Pertama, wali adalah orang yang
dicintai Allah SWT (orang yang dilindungi segala urusannya). Kedua, orang yang
sangat mencintai Allah (ia selalu beribadah dan taat kepada Allah).333
Secara terperinci, Shaykh Ibra>him al-Bajuri menyatakan pengertian wali:
ھ ال ن معنى أ ب ب اعة المجتن ى الط حسب اإل مكان المواظب عل اتھ صف ى وب ال تع ا عارف ب ل یرتكب ا
یس م و ل أ ة ی كل ال ب ة معصی قع منھ ال ھ ال ی ن مراد أ یس ال ة ول ن توب دو ب ة عصومامعصی
Orang yang mengetahui Allah dan sifat-sifatNya dengan melalui perantara ketekunan mentaati Allah, terhindar dari segala macam maksiat, tidak berarti bahwa ia melakukan maksiat tanpa bertaubat dan juga tidak berarti ia jatuh ke dalam maksiat secara menyeluruh atau juga tidak berarti maksum (terjaga dari maksiat).334
Menurut al-Bajuri>, wali adalah orang yang telah bermakrifat kepada Allah
beserta sifat-sifat-Nya lantaran penuh ketaatan di dalam memenuhi panggilan
syariat dan akidah agama Islam. Oleh karenanya ia dijaga oleh Allah dari
332 M. Fikri el-Hakim, Manaqiban, 20. 333 Al-Qusyai>ri>, al-Risa>lah al-Qusha>iriyah, 381; Al-Qur’an 7: 196. 334 M. Fikri el Hakim, Manaqiban, 21-22.
203
terjerumus berbuat maksiat. Apabila tergelincir melakukan maksiat, secepat
mungkin bertaubat dengan sunguh-sungguh. Melihat kenyataan ini sebetulnya
wali bukanlah orang yang maksum sebagaimana Nabi. Berdasarkan panjelasan di
atas maka dapat disimpulkan bahwa wali adalah orang yang di dalam segala hal-
ahwalnya sesuai dengan akidah dan syariat Islam. Di kalangan sufi, wali adalah
orang yang kudus, yang mah}fu>z }, yakni di bawah perlindungan khusus. Sedangkan
dalam literature orientais disebut saintis (ilmuwan).335 Konsep wali dalam
pandangan sufi merupakan masalah yang kontroversial. Muh}ammad Abduh,
misalnya, dalam tafsir al-Mana>r, ketika menafsirkan ayat 62 Surah Yunus,
mengartikan wali (awliya>’) sebagai lawan dari musuh-musuh Allah SWT, Seperti
orang kafir dan musyrik. Wali, jamaknya awliya>, menurut Abduh, adalah orang
mukmin dan orang muttaqi>n (orang yang bertakwa) sebagaimana ditunjukkan
dalam ayat sesudahnya (surat yunus 63). Konsep wali dalam pandangan sufi
menurut Abduh adalah khayalan semata, oleh karena itu bid’ah dan sesat.
Ibnu Kathi>r dalam tafsirnya juga tidak menyinggung konsep wali dengan
pendekatan sufi. Menurutnya, wali Allah ialah orang-orang yang beriman dan
bertakwa. Barangsiapa yang bertakwa, itulah wali Allah. Ia tidak takut terhadap
apa-apa yang akan terjadi pada masa depan, termasuk hari akhirat, dan tidak
pernah menyesal atas apa yang telah diperbuatnya masa silam.
Ibn Mas’u>d meriwayatkan, seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah
SAW tentang siapa sebenarnya yang dimaksud dengan wali Allah. Rasulullah
335 Azyumardi Azra, et.al, “wali”, Ensiklopedi Islam, Vol .5, ed. Kafrawi Ridwan, et.al.(Jakrta: PT Ikhtiar Baru Van Hoeve,1997), 172. Ada perbedaan antara maksum dan mahfud, maksum adalah orang yang tidak melakukan apa saja yang bertentangan dengan syariat islam seperti para Rasul dan Nabi. Baca: M. Fikri el Hakim, Manaqiban, 27. lihat. Al-Risa>lah al-Qusyai>ri>yah, 381.
204
SAW menjawab, “Wali Allah ialah orang-orang yang diangkat Allah melalui
mimpi mereka” (HR. Ah}mad bin H{anbal).
Hadis yang teksnya hampir serupa banyak diriwayatkan orang, misalnya
dari Abi Duh}a (Muslim bin H{amada>ni> Subaih} w. 100 H), dari Sa’i>d bin Jubai>r
(624-692 H), “Wali Allah ialah orang-orang yang apabila mimpi diingatkan
Allah.336 Hadis-hadis yang diriwayatkan melalui beberapa sanad ini merupakan
jawaban Rasulullah SAW atas pertanyaan sahabat berkaitan dengan Surat Yunus
ayat 62 tersebut.
Untuk mengambil jalan tengah mengenai kontroversi pembicaraan
tentang wali, ada ulama yang membagi dua, yaitu: wali atas wilayah al-‘ammah
(kewalian umum), yaitu derajat kewalian yang dimiliki oleh orang-orang mukmin
dan muttaqi>n pada umumnya, dan wilayah al-khassah (kewalian khusus), yaitu
orang-orang tertentu yang mencapai atau dianugerahi derajat kewalian
sebagaimana dapat dipahami dari hadis Ibnu Mas’u>d tersebut di atas. Wali dalam
pengertian di kalangan sufi, terlepas dari kontroversi pembicaraan tentang itu,
termasuk dalam katagori wilayah al-khas}s}ah.
Teori perwalian dalam kalangan sufi baru muncul pada akhir abad
kesembilan ketika para sufi seperti al-Kharraj, Shal al-Tustari> dan H{aki>m al-
Tirmidhi> menulis tentang persoalan wali. Abu> Qasi>m Abdul Kari>m Al-Qusyai>ri>
mengartikan: wali dengan pengertian pasif, yaitu seseorang yang dicintai Allah
(wuliya Alla>h) karena ketaatannya dan dalam pengertian aktif, yaitu orang yang
336 Azyumardi Azra, et.al, Ensiklopedia Islam 5, 173.
205
melakukan kepatuhan kepada Tuhan; wali-wali (awliya>’) diartikan sebagai
teman-teman Tuhan.337Seorang tokoh sufi pada awal abad ke sepuluh, Abu
Abdullah al-Salimi, mengemukakan definisi wali sebagai “mereka yang dapat
dikenali karena bicara mereka yang baik-baik, tingkah laku yang sopan dan
merendahkan diri, murah hati, tak suka berselisih dan menerima permintaan maaf
dari siapa saja yang meminta maaf kepadanya, halus budi terhadap segala
ciptaan, baik yang bagus maupun yang jelek”.338
Menurut Ibn ‘Arabi>, seseorang bisa disebut wali apabila ia sudah
mencapai tingkatan makrifat, yang dalam literatur Barat disebut gnosis. Wali
merupakan tingkatan tertinggi dalam tingkatan tasawuf akhla>qi. Kaum sufi yakin
bahwa makrifat bukan hasil pemikiran manusia, tetapi tergantung pada kehendak
dan rahmat Tuhan kepada seorang sufi yang dipandang sanggup menerimanya.
Menurut Al-Qusyai>ri>, ada tiga alat untuk mencapai makrifat, yakni qalb
atau kalbu (sering diterjemahkan dengan hati) untuk mengetahui sifat-sifat
Tuhan, ruh (rohani), untuk mencintai Tuhan, dan sirri (sering diartikan rahasia)
yaitu alat paling halus yang ada pada manusia untuk “melihat” Tuhan.339 Al-
Ghazali mendefinisikan makrifat dengan “penglihatan terhadap rahasia-rahasia
ketuhanan, pengetahuan terhadap susunan tata aturan ketuhanan yang mencakup
seluruh yang wujud”.340
Pengertian wali dalam dunia sufi sering menekankan dimensi mistiknya.
Maqa>m-maqa>m (tingkatan-tingkatan) awal seperti taubat, warak, fakir, sabar,
337 Ibid., 172. 338 Ibid. 339 Al-Qusyai>ri>, Al-Risa>lah Al-Qusyai>ri>yah, 342. 340 Al-Ghazali, Ihya>’ Ulu>m al-Di>n Jilid IV, 280.
206
tawakal, dan rida perlu diperhatikan dalam memahami pengertian wali dalam
dunia sufi. Dalam dunia sufi dikenal pula hirarki kekuasaan kerohanian.
Tingkatan-tingkatan hierarki itu ditempati oleh para wali sesuai dengan tingkat
kesempurnaan kewalian yang dicapainya.
Tingkatan kekuasaan rohani tertinggi disebut qut}ub (poros kutub) atau
ghaws (pertolongan); qut}ub atau ghaws itu dikelilingi oleh tiga nuqab
(pengganti) empat awta>d (tiang-tiang), tujuh abra>r (saleh), empat puluh abda>l
(para penganti), tiga ratus akhya>r (para terpilih) dan empat ribu wali
tersembunnyi.341
Penguasa rohani itu berfungsi sebagai pemandu rohani kehidupan
manusia. Kaum Syi’ah sering menghubungkan qut}ub dan ghaws dengan
kedudukan imam-imam yang tersembunyi. Dalam kalangan Sunni, ada yang
menghubungkannya dengan Imam Mahdi. Ada pula yang mempunyai faham
bahwa yang menduduki hirarki qut}ub dan ghaws adalah malaikat Jibril dan
Israfil.Alam atau derajat kewalian pada hakekatnya dapat diperoleh atau dicapai
oleh orang mukmin yang takwa dengan jalan melaksanakan dan mentaati
peraturan dan tuntunan syariat yang diwajibkan dan disukai Allah dikerjakan
dengan penuh ketekunan. Aspek haram atau yang tidak disukai Allah dijauhkan
dan dihindarkan dari dirinya supaya jangan sampai jatuh tergelincir
melakukannya. Apabila tergelincir melakukan dosa kecil sekejab saja, maka
cepat-cepat diikuti dengan bertaubat yang sebenar-benarnya, dan terus segera
kembali kepada yang haq (benar).
341 Hasan Muarif Ambari (et al), Ensiklopedi Islam 5, 173. Baca : Al-Shaykh Diya’ al-Din, Ja>mi’ al-Us}}u>l fi al-auliya>’, (DKI: Dar al-kutub al-‘ilmiyah, 2010), 168-170.
207
Untuk dapat mencapai keadaan diri seperti di atas, maka lazimnya
seseorang ini selalu menjauhkan diri dari keramaian dunia (‘uzlah) dan mencari
tempat yang sunnyi (khalwat). Perasaan cinta kepada Allah terus menerus
diwujudkan samapai dapat ke tingkat yang lebih tinggi dan ini mengakibatkan
dirinya itu dapat menguasai jiwanya, setidak-tidaknya akan mengurangi rasa
cinta kepada perkara-perkara yang lain, sehingga selalu ingat dan tafakur kepada
Allah beserta sifat-sifat-Nya serta keagunggan-Nya. Di dalam hati sanubarinya
sudah tiada lagi sedikitpun ruangan untuk memikirkan hal-hal lain diluar itu.
Akhlaknya senantiasa diperbaiki untuk membersihkan kalbunya, sehingga ia
menjadi dekat kepada Allah. Semua itu dilakukan semata-mata untuk memenuhi
ketaatan kepada Allah dan memperbannyak kebajikan dengan landasan penuh
ikhlas tanpa adanya riya’.
Shaykh Yusu>f bin Sulaima>n menyatakan bahwa apabila seseorang itu
dapat menjadi dekat kepada Allah sebab ketaatan-ketaatannya dan keikhlasannya
yang banyak, maka Allah pun menjadi dekat kepadanya sebab rah}mat, fad}al dan
kebaikan-Nya. Kedekatan inilah yang memungkinkan seseorang mendapatkan
derajat kewalian.342
Mereka yang dapat mencapai derajat wali akan menghasilkan buah fikiran
dari akal yang menimbulkan kesimpulan-kesimpulan yang indah. Bahkan ada
yang dapat sampai ketingkat ruh qudsi, sehingga kepadanya terbuka dengan jelas
sekali segala macam isyarat ghaib yang berada di balik hijab dengan terang
benderang. Firman Allah:
342 M.Fikri el Hakim, Manaqiban, 29.
208
Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (al-Quran) dengan perintah kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah al-kitab (al-Quran) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan al-Quran itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.343
Kalau seseorang benar-benar telah sampai berada di dalam keadaan ruh
qudsi, maka jiwanya menjadi jernih dan terang benderang. Hal ini
memungkinkan ia dapat melihat dengan jernih segala sesuatu yang ada di balik
hijab. Itu semua dapat dilakukan dengan melalui tarekat (suluk).
10. Haul
Ditinjau dari sisi bahasa, haul berasal dari bahasa Arab al-h}awl yang
mempunyai arti telah lewat dan berlalu atau berarti setahun. Dalam masyarakat
Indonesia, khususnya Jawa, kata haul mempunyai arti yang sangat khusus, yaitu
suatu upacara ritual keagamaan untuk memperingati meninggalnya seseorang
yang ditokohkan, baik wali, ulama, atau kiai.344 Dalam literatur fikih bab zakat,
kita jumpai kata haul yang menjadi syarat wajibnya zakat.345
Dalam konteks disertasi ini, haul yang dimaksudkan adalah peringatan
kematian seseorang yang diadakan setahun sekali dengan tujuan utama untuk
mendoakan ahli kubur agar semua amal ibadah yang dilakukannya diterima oleh
Allah SWT.346 Biasanya, haul diadakan untuk para keluarga yang telah
343 Al-Qur’an, 42: 52. 344 Rubath, “Peringatan Haul dalam Hukum Islam”, dalam http://www.rubathalmuhibbien.org/berita/peringatan-haul-dalam-hukum-islam (9 April 2011) 345Abi Bakr Muh}ammad Shata, I’a>nat al-T}a>libi>n ( Beirut: dar al-fikr,2002), 210-211. 346 Rubath, Peringatan Haul dalam Hukum Islam (20 April 2011).
209
meninggal dunia atau para tokoh untuk mengingat dan meneladani jasa-jasa dan
amal baik mereka.
Haul yang penting diadakan setiap setahun sekali dan tidak harus tepat
pada tanggal tertentu atau tidak sakral sebagaimana kita memperingati hari
ulang tahun. Hari dan tanggal pelaksanaan ditentukan berdasarkan pertimbangan
tertentu yang berhubungan acara-acara lain yang diselenggarakan bersamaan
dengan peringatan haul itu.347 Dari hal tersebut tampak adanya kesesuaian antara
makna lughawi haul dengan acara haul yang dimaksud. Dalam kenyataannya,
acara haul dilakukan satu tahun sekali, yaitu pada hari kematian atau wafatnya
orang yang dihauli.348Tradisi haul di Indonesia pertama kali dipopulerkan oleh al
Ima>m al Alla>mah al-H{abi>b Muh}ammad bin Idru>s al-H{absi> tepatnya di Surabaya.
Dalam perkembangannya kemudian, haul dilakukan oleh para tokoh agama
Islam. Sekarang ini, acara haul telah menjadi bagian tidak terpisah dari ritual
umat Islam di Indonesia.
Haul bukan sekadar acara rutinitas mengingat perjuangan dan kiprah
seorang tokoh, melainkan juga sebagai momentum yang paling tepat untuk
mengingatkan manusia kepada Allah dengan cara meneladani perilaku para
ulama dan awliya>’ yang diperingati haulnya.349Menurut penjelasan Kiai Sahal
Mahfudh, ada beberapa hal yang biasa dilakukan dalam acara haul. Pertama,
tahlilan dirangkai dengan doa kepada mayit. Kedua, pengajian umum yang
347 Rubath, “Peringatan Haul dalam Hukum Islam”, dalam http://www.rubathalmuhibbien.org/berita/peringatan-haul-dalam-hukum-islam/ ( 9 April 2011 ). 348 M. Hanif Muslih, Peringatan Haul Ditinjau dari Hukum Islam, (Semarang: Karya Toha Putra, 2006), 1. 349 Rubath, “Peringatan Haul dalam Hukum Islam”, dalam http://www.rubathalmuhibbien.org/berita/peringatan-haul-dalam-hukum-islam/ ( 9 April 2011).
210
kadang dirangkai dengan pembacaan secara singkat sejarah orang yang dihauli
yang mencakup nasab, tanggal lahir, wafat, jasa-jasa, serta keistimewaan yang
kiranya patut diteladani. Ketiga, sedekah.350yaitu dengan memberikan makanan
kepada para jamaah dan para jamaah memberikan infaq untuk dipergunakan
dalam kegiatan haul yang akan datang atau kegiatan-kegiatan lain yang
bermanfaat.Untuk rangkaian acara yang pertama, biasanya tidak hanya sekadar
membaca tahlil, akan tetapi tidak sedikit yang dibarengi atau didahului dengan
khataman al-Qur’an 30 juz oleh para huffa>z}. Mereka yang melakukan ritual ini
umumnya adalah para kiai atau santri yang pernah menimba ilmu dari sunan, kiai
atau orang yang dihauli.351Saat mengadakan peringatan haul dianjurkan untuk
membacakan mana>qib (biografi yang baik) dari orang yang wafat untuk
diteladani kebaikannya dan untuk berbaik sangka kepadanya.
Ibnu Abd Salam mengatakan bahwa pembacaan mana>qib tersebut adalah
bagian dari perbuatan taat kepada Allah karena bisa menimbulkan kebaikan.
Karena itu banyak sahabat dan ulama yang melakukannya.352Menurut penjelasan
Kiai Sahal Mahfudh, status hukum haul ditentukan oleh status hukum rangkaian
3 hal dalam pelaksanaan haul, yaitu: pertama, tahlil, membaca al-Qur’an, dan
mendoakan mayit. Mayoritas ulama dari empat mazhab berpendapat bahwa
pahala ibadah atau amal saleh yang dilakukan orang yang masih hidup bisa
sampai kepada mayit.353
350 M. Hanif Muslih, Peringatan Haul, 2. 351 Ibid. 352 Rubath,“Peringatan Haul dalam Hukum Islam”, dalam http://www.rubathalmuhibbien.org/berita/peringatan-haul-dalam-hukum-Islam/ 353 Hal ini diperkuat oleh pendapat para imam dan ulama madzhab, di antaranya adalah pendapat Ibn Taymiyah. Ia berpendapat bahwa:
211
Dasarnya adalah sebagai berikut: Al-Ima>m Abu> Zakariya Muhyiddi>n ibn
al-Sharaf dari mazhab al-Sha>fi’i> yang terkenal dengan panggilan Ima>m al-
Nawa>wi> (w 676 H) di dalam Syarh} S{ah}i>h} Muslim menjelaskan:
یت وقال بعض انھ ال یصل ثوابھا الى الم: ة القرآن فالمشھور من مذھب الشافعى ءواما قرا
یصل ثوابھا الى المیت وذھب جماعة من العلماء الى انھ یصل الى المیت ثواب جمیع العبادات : اصحابھ
من الصالة والصوم والقرائة وغیر ذلك
Adapun hukum qira>’ah (membaca) al-Qur’an menurut pendapat yang masyhur dari mazhab Sha>fi’i> adalah pahala bacaannya tidak sampai kepada mayit. Sedangkan menurut sebagian ashabnya pahala bacaan itu bisa sampai kepada mayit, (bahkan) menurut beberapa golongan ulama pahala semua ibadah dari shalat, puasa, qira>’ah (membaca) al-Qur’an dan ibadah yang lain, semua pahalanya akan sampai kepada mayit.354
Ali> Jum’ah berpendapat:
ثوابھ و نص العلماء على وصول ثواب القراءة للمیت وأخذوا ذالك من جواز الحج عنھ ووصول
فثواب , إلیھ ألن الحج یشتمل على الصالة والصالة تقرأ فیھا الفاتحة وغیرھا وما وصل كلھ وصل بعضھ
إذا دعا القارئ أن یھب هللا تعالى مثل ثوا 355ب قراءتھ للمیتالقراءة یصل للمیت بإذن هللا تعالى خصوصاPara ulama menyatakan sampainya pahala bacaan (al-Qur’an dan yang lain)
kepada mayit, dan mereka mengambil dalil dari bolehnya seseorang untuk
menghajikan mayit dan sampainya pahala tersebut kepada mayit, sebab haji di
dalamnya terdapat salat sedangkan salat di dalamnya harus dibaca bacaan al -
fatihah dan surat yang lain, sedangkan pahala yang sampai semuanya, maka
sampailah sebagiannya. Jadi pahala membaca (al-Qur’an dan yang lain) sampai
kepada mayit dengan izin Allah Swt, terkhusus apabila orang yang membaca
memohon kepada Allah untuk menghadiahkan sebagaimana pahala bacaannya
kepada mayit.
ینتفع بھ وھو مذھب احمد : احدھما : واما الصیام عنھ وصالة التطوع عنھ وقرائة القرآن عنھ فھذا فیھ قوالن للعلماء
التصل الیھ وھو المشھور من مذھب مالك و الشافعى: وابى حنیفة وغیرھما وبعض اصحاب الشافعى وغیرھم والثانى
Adapun puasa, salat sunah, membaca al-Qur’an untuk mayit, ada dua pendapat. Pertama, mayit bisa mengambil manfaat dengannya. Pendapat ini menurut Ima>m Ah}mad, Abu> H{ani>fah, dan sebagian Ash}ab Sya>fi’i> dan yang lain. Kedua, tidak bisa sampai kepada mayit, menurut pendapat yang masyhur dalam madzhab Ima>m Ma>lik dan Sya>fi’i>. Lihat M. Hanif Muslih, Peringatan Haul, 3. 354 M. Hanif Muslih, Peringatan Haul, 2-7. 355 Ali> Jum’ah, Al Baya>n Lima> Yasghilu Al-Adhha>n (Kairo: Al-Muqattam, 2005), 275.
212
Shaykh Muhammad Maky al-Araby : قد ثبت فى الحدیث الصحیح أن المیت یعذب ببكاء أهله علیه، وثبت أیضا تعذیب األموات فى قبورهم
ث وضعه علیه الصالة والسالم الجریدتین على یوكحد) یعرضون علیها غدوا وعشیا النار( كقوله تعالى ألربعة وابن أخرجه الشیخان وأصحاب السنن ا) أنه یخفف عنهما ما دامتا رطبتین ( قبرین وأخبر
إلى أن قال، وكون األموات یعذبون فى قبورهم ویتألمون من سوء أعمال أقربائهم األحیاء وینتفعون ...خزیمة بما یسدیه األحیاء إلیهم شئ ال یأتى علیه الحصر من األحادیث واآلثار عن السلف
Di dalam hadis sahih sudah dijelaskan bahwa mayit akan disiksa apabila keluarganya menangisi kepergiannya, serta dalam Al-Qur’an dijelaskan tentang mayit yang disiksa dalam kuburnya, sebagaimana firman Allah swt : “Kepada mereka dinampakkan neraka pada pagi dan petang”. Kemudian ada lagi sebuah hadis yang menjelaskan bahwa Nabi Muhammad saw meletakkan pelepah kurma yang masih basah di dua kuburan, lalu menjelaskan bahwa selama pelepah kurma ini belum kering, maka akan membantu meringankan sisksaan kedua mayit tersebut. (Hadis ini diriwayatkan oleh al-Bukahari, Muslim, Nasa’i, Ibnu Majah, Tirmidhi, Abu Dawud, dan Ibnu Khuzaimah). Para mayit akan disiksa di dalam kubur disebabkan kerena perbuatan jelek keluarganya yang masih hidup. Demikian pula mereka juga dapat memperoleh manfaat dari apa yang telah diberikan oleh orang yang masih hidup sebagaimana keterangan yang terdapat dalam hadis dan athar dari ulama salaf. permasalahan ini sudah dijelaskan dalam athar dan hadis.
Dengan demikian tahlil, membaca al-Qur’an dan do’a pahalanya bisa
sampai kepada mayit. Amaliyah tersebut merupakan amalan yang diajarkan oleh
Nabi, sebagaimana keterangan di bawah ini:
أخرج اإلمام أحمد فى مسنده وأبو داود والنسائى . القراءة على األموات أمر بها النبى صلى اهللا علیه وسلمم النووى رحمه قال اإلما" اقرءوا یس على موتاكم: "لیه الصالة والسالم أنه قال عوابن حبان وصححه عنه
یجوز ویستحب العمل فى : قال العلماء من المحدثین والفقهاء وغیرهم: اهللا فى كتابه األذكار ما نصهإلى أن قال، وقال اإلمام احمد فى ....الفضائل والترغیب والترهیب بالحدیث الضعیف ما لم یكن موضوعا
على میت ) یعنى یس(إذا قرئت : وا یقولونلمشیخة كانحدثنا أبو المغیرة حدثنا صفوان أن ا: المسند أیضاوالرافعى فى تاریخه والدارقطنى ) قل هو اهللا أحد: (أبو محمد السمرقندى فى فضائل خفف عنه بها، وأخرج
قل هو اهللا (المقابر وقرأ من مر على: "كلهم عن على رضى اهللا عنه، عنه علیه الصالة والسالم أنه قالإلى أن قال، وأخرج ابن "...جرها لألموات أعطى من األجر بعدد األمواتإحدى عشرة مرة ثم وهب أ) أحد
وقد نقل . كان یقال األموات أحوج إلى الدعاء من األحیاء إلى الطعام والشراب: أبى الدنیا عن سفیان قال
213
والذین جاءوا من بعدهم: (ودلیله من القرآن قوله تعالى غیر واحد اإلجماع على أن الدعاء ینفع المیت، 356)باإلیمانیقولون ربنا اغفر لنا وإلخواننا الذین سبقونا
Menghadiahkan bacaan kepada mayit merupakan anjuran Nabi Muhammad saw sebagaimana hadis nabi, riwayat al-Imam Ahmad dalam musnadnya, Abu Dawud, al-Nasa’i dan dianggap sahih oleh Ibn Hibban, Nabi bersabda: : “bacalah surat yasin kepada orang yang sudah meninggal”. Imam Nawawi berkata dalam kitabnya al-Adhka>r: “para ulama’ hadis dan fikih berkata: diperbolehkan dan dianggap baik mengamalkan hadis da’if yang menjelaskan tentang keutamaan keutamaan amalan untuk menyenangkan, atau menakut-nakuti, selama hadis tersebut tidak sampai pada derajat hadis maud}u>’ (palsu). Imam al-Ahmad berkata di dalam musnadnya bahwa para ulama’ mengatakan apabila surat yasin dibacakan kepada orang yang sudah meninggal, maka dapat meringankan siksanya, Imam Rafi’i dan Imam Da>raqut}ni meriwayatkan hadis melalui Ali bahwasanya Rasulullah saw bersabda: “Barang siapa yang melewati kuburan lalu membaca surat al ikhlas dan menghadiahkannya kepada para mayit yang ada di kuburan tersebut, maka ia akan diberikan pahala sebanyak jumlah mayit yang dikuburkan di sana”. Ibnu Abi Dunya meriwayatkan hadis dari Sofyan bahwa para mayit lebih membutuhkan doa dari pada orang yang masih hidup daripada membutuhkan makan dan minum. Sudah menjadi ijma’ (kesepakatan) ulama’ bahwa doa itu dapat memberikan manfaat kepada mayit sebagaimana firman Allah swt: “Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: “Wahai Rabb kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami”
Kedua, pengajian. Pengajian merupakan salah satu cara dakwah bi al lisan
(dengan lisan) untuk memberikan wawasan, bimbingan dan penyuluhan yang
bertujuan meningkatkan kualitas ketakwaan kaum muslimin dengan jalan
memperluas pemahaman mereka tentang ajaran agamanya. Peningkatan iman dan
takwa diharapkan akan mendorong melakukan amal saleh.
Ketiga, sedekah. Sedekah yang pahalanya diberikan atau dihadiahkan
kepada mayit, pada dasarnya diperbolehkan, karena hal itu termasuk amal saleh.
356 Muhammad Al Arabi al-Makiy, Is’aful muslimi>n wa al-Muslima>t bi jawaz al-Qiro’ah wa wushuli tsawabiha li al-Amwa>t, ( Kairo: Must}ofa al-Babi al-Halabi>, cetakan pertama. 1950 M ) 1-11
214
Dari keterangan tersebut, jelas aktivitas dalam rangkaian upacara haul
dibenarkan adanya. Maka dengan sendirinya haul itu sendiri tidak dilarang.
Adapun dalil haul adalah:
ال واقدي، ق ي الشعب، عن ال ي ف بیھق ھداء : و روى ال زور الش م ی یھ و سل ى هللا عل ي صل ب كان الن
حد في كل حول أ ول . ب یق غ رفع صوتھ ف عم عقبى ا: و إذا بل ن م ف ما صبرت یكم ب ارسالم عل م أبو بكر كل حول لد ث
م عثمان م عمر ث ك، ث فعل مثل ذل یھ و تدعو . ی رضي هللا عنھا تأت نت فاطمة . و كا اص ي وق ن سعد ابن أب و كا
و ق ی ھ، ف ى أصحاب ل عل قب م ی یھم ث م عل السالم یسل یكم ب ون عل رد وم ی ى ق مون عل ل أال تسل
Al-Baih}aqi> meriwayatkan dari al-Wakidi> mengenai kematian, bahwa Nabi senantiasa berziarah ke makam para syuhada di bukit Uhud setiap tahun. Dan sesampainya di sana beliau mengucapkan salam dengan mengeraskan suaranya, “Salamun alaikum bima> shabartum fani’ma uqba al-da>r (QS al-Ra’d: 24) Keselamatan atasmu berkat kesabaranmu. Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu. Abu> Bakar juga melakukan hal itu setiap tahun, kemudian Umar, lalu Uthma>n. Fat}imah juga pernah berziarah ke bukit Uhud dan berdoa. Saad bin Abi Waqqash mengucapkan salam kepada para syuhada tersebut kemudian ia menghadap kepada para sahabatnya lalu berkata,”Mengapa kalian tidak mengucapkan salam kepada orang-orang yang akan menjawab salam kalian?”357
Firman Allah swt:
Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah hajimu, Maka berdzikirlah dengan menyebut Allah, sebagaimana kamu menyebut-nyebut (membangga-banggakan) nenek moyangmu, atau (bahkan) berdzikirlah lebih banyak dari itu. Maka di antara manusia ada orang yang bendoa: "Ya Tuhan Kami, berilah Kami (kebaikan) di dunia", dan Tiadalah baginya bahagian (yang menyenangkan) di akhirat.358
Firman Allah Swt. ini berkaitan dengan orang-orang Arab Jahiliyah yang
setelah menunaikan haji. Mereka hanya bermegah-megahan tentang kebesaran
nenek moyangnya saja. Kemudian turun perintah Allah swt, agar mereka
357 Muh}ammad Al-H{usaini> as-Zabidi>, Ittihaf al-Sa>dah al- Mut}t}aqi>n bi Sharh}i ihya’ Ulum ad-di>n, juz 10 (Beirut : Mu’assasah at-Taarikh al’Uzza, 1994), 363. 358 Al Qur’an, 2 :200.
215
sebagaimana mereka menyebut-nyebut nenek moyangnya banyak berzikir kepada
Allah swt. Dalam ayat ini, tidak ada isyarat yang melarang adat mereka setiap
tahun usai haji menceritakan riwayat hidup dan membangga-banggakan nenek
moyangnya, hanya Allah swt. menghendaki agar orang Arab Jahiliyah, di
samping membangga-banggakan nenek moyang, juga banyak berzikir pada Allah
swt.
Sebagian ulama mengatakan ayat ini bisa dijadikan sebagai dalil
dibolehkannya orang setiap tahun memperingati para wali atau salihin yang telah
wafat (haul). Karena dalam peringatan ini para ulama’ akan mengumandangkan
pada hadirin, riwayat hidup para wali dan s}a>lih}i>n yang diperingati tersebut.
Kemudian diakhiri dengan doa kepada Allah SWT, agar amalan-amalan para wali
diterima oleh Allah SWT, dan para hadirin serta semua muslimin diberi taufik
oleh Allah, sehingga bisa mencontoh amal perbuatan para s}a>lih}i>n yang terpuji
dimasa hidupnya.