JAM’IYYAH AHL AL-T{ARI

114
BAB III JAM’IYYAH AHL AL-T{ ARI< QAH AL-MU’TABARAH AL-NAHD{ IYAH A. Pengertian dan Asal-usul Tarekat 1. Pengertian Tarekat Kata tarekat berasal dari bahasa Arab t} ari> qah yang berarti al-khat fi> al- shai’ (garis sesuatu), al-si> rah (jalan), al-sabi> l (jalan). Kata ini juga bermakna al- h} al (keadaan) seperti yang terdapat dalam kalimat huwa ‘ala> t} ari> qah h} asanah wa t} ari> qah sayyi’ah (berada dalam jalan yang baik dan jalan yang buruk). 1 Secara terminologis, kata tarekat berarti perjalanan seseorang sa> lik (pengikut tarekat) menuju Tuhan dengan cara menyucikan diri atau perjalanan yang harus ditempuh oleh seseorang untuk dapat mendekatkan diri sedekat mungkin pada Tuhan. 2 Sementara Louis Massignon, sebagaimana dikutip oleh Abu Bakar Atjeh, mengartikan tarekat dalam dua pengertian. Pertama, cara pendidikan akhlak dan jiwa bagi mereka yang beruzlah untuk menempuh hidup sufi. Pengertian ini dipakai oleh kaum sufi abad ke -9 dan ke 10 M. Kedua, tarekat berarti suatu gerakan yang lengkap untuk memberikan latihan-latihan rohani dan jasmani dalam segolongan orang Islam menurut ajaran dan keyakinan tertentu. 3 Abu Bakar Atjeh selanjutnya menjelaskan bahwa bahwa pengertian tarekat yang pertama masih kabur. Pengertian semacam itu lebih 1 Abi > d al-Fad} l Jamal al-Di > n Muh} ammad Mukram Bin Maudhu’i> , Lisa> n al-Arab, Jilid 10 (Beirut: Da> r al-Fikr, 1990), 220-221. T{ ari> qah juga berarti jalan, keadaan, aliran, atau garis pada sesuatu. Baca Louis Makluf, Al-Munji > d fi> al-Lughat wa al-Mauri > d, terj. Ahmad Sunanto (Jakarta: Halim Jaya, 2006), 580; Atabik Ali> dan Ah} mad Zuhdi Muhdor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia (Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 1998), 1231. 2 Azyumardi Azra, et al., ”Tarekat”, Ensiklopedi Islam Vol. 5, ed. Kafrawi Ridwan, at al. (Jakarta: Ikhtiar Baru van Hoeve, 2003), 66. 3 Abu Bakar Atjeh, Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf (Solo: Ramadani, 1984), 63.

Transcript of JAM’IYYAH AHL AL-T{ARI

Page 1: JAM’IYYAH AHL AL-T{ARI

BAB III

JAM’IYYAH AHL AL-T{ARI<QAH AL-MU’TABARAH AL-NAHD{IYAH

A. Pengertian dan Asal-usul Tarekat

1. Pengertian Tarekat

Kata tarekat berasal dari bahasa Arab t}ari>qah yang berarti al-khat fi> al-

shai’ (garis sesuatu), al-si>rah (jalan), al-sabi>l (jalan). Kata ini juga bermakna al-

h}al (keadaan) seperti yang terdapat dalam kalimat huwa ‘ala> t}ari>qah h}asanah wa

t}ari>qah sayyi’ah (berada dalam jalan yang baik dan jalan yang buruk).1 Secara

terminologis, kata tarekat berarti perjalanan seseorang sa>lik (pengikut tarekat)

menuju Tuhan dengan cara menyucikan diri atau perjalanan yang harus ditempuh

oleh seseorang untuk dapat mendekatkan diri sedekat mungkin pada Tuhan.2

Sementara Louis Massignon, sebagaimana dikutip oleh Abu Bakar Atjeh,

mengartikan tarekat dalam dua pengertian.

Pertama, cara pendidikan akhlak dan jiwa bagi mereka yang beruzlah

untuk menempuh hidup sufi. Pengertian ini dipakai oleh kaum sufi abad ke -9 dan

ke 10 M. Kedua, tarekat berarti suatu gerakan yang lengkap untuk memberikan

latihan-latihan rohani dan jasmani dalam segolongan orang Islam menurut ajaran

dan keyakinan tertentu.3 Abu Bakar Atjeh selanjutnya menjelaskan bahwa bahwa

pengertian tarekat yang pertama masih kabur. Pengertian semacam itu lebih 1Abi>d al-Fad}l Jamal al-Di>n Muh}ammad Mukram Bin Maudhu’i>, Lisa>n al-Arab, Jilid 10 (Beirut: Da>r al-Fikr, 1990), 220-221. T{ari>qah juga berarti jalan, keadaan, aliran, atau garis pada sesuatu. Baca Louis Makluf, Al-Munji>d fi> al-Lughat wa al-Mauri>d, terj. Ahmad Sunanto (Jakarta: Halim Jaya, 2006), 580; Atabik Ali> dan Ah}mad Zuhdi Muhdor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia (Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 1998), 1231. 2Azyumardi Azra, et al., ”Tarekat”, Ensiklopedi Islam Vol. 5, ed. Kafrawi Ridwan, at al. (Jakarta: Ikhtiar Baru van Hoeve, 2003), 66. 3Abu Bakar Atjeh, Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf (Solo: Ramadani, 1984), 63.

Page 2: JAM’IYYAH AHL AL-T{ARI

103

tepat digunakan untuk memperdalam syariat sampai hakikatnya melalui tingkat-

tingkat pendidikan tertentu (maqa>mat4 dan ah}wa>l).5 Sedangkan pada pengertian

yang kedua, tarekat sudah menjelma menjadi suatu kekeluargaan yang didirikan

menurut aturan dan penyajian tertentu.6

Adapun menurut Harun Nasution, tarekat berasal dari t}ari>qah yaitu jalan

yang harus ditempuh oleh seorang calon sufi dalam tujuannya berada sedekat

mungkin dengan Allah. T}ari>qah kemudian mengandung arti organisme (terekat).

Tiap tarekat mempunyai shaykh, upacara ritual, dan bentuk zikir sendiri.7

Pendapat yang sama dikatakan oleh Martin van Bruinessen yang menyatakan

bahwa istilah “tarekat” paling tidak dipakai untuk dua hal yang secara

konseptual berbeda. Maknanya yang asli secara harfiah adalah “jalan”, yaitu

panduan yang khas dari doktrin, metode, dan ritual. Tetapi istilah ini pun sering

dipakai untuk mengacu kepada organisasi (formal atau informal) yang

menyatakan pengikut-pengikut “jalan” tertentu. Di Timur Tengah istilah t}a>ifah

(keluarga atau persaudaraan) terkadang lebih disukai untuk organisasi sehingga

lebih mudah untuk membedakan antara yang satu dengan yang lain. Tetapi di

Indonesia kata “tarekat” mengacu kepada keduanya.8

4Maqa>mat adalah bentuk jamak dari kata maqam yang berarti kedudukan, posisi, tingkatan (station) atau kedudukan dan tahapan dalam mendekatkan diri pada Allah. Dalam terminologi sufistik berarti tempat atau martabat seorang hamba di hadapan Allah pada saat ia berdiri menghadap kepada-Nya. Maqa>mat yang disepakati oleh para sufi adalah: al-tau>bah, al-zuhud, al-wara’, al-faqi>r, al-s}abr, al-tawakkal, dan rid}a>. Lihat Moh Toriquddin, Sekularitas Tasawuf, Membumikan Tasawuf dalam Dunia Modern (Malang: UIN-Malang Press, 2008), 116; Simuh, Tasawuf dan Perkembangan dalam Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), 49. 5Ah}wa>l adalah bentuk jamak dari kata h}al yang artinya keadaan, yakni keadaan hati yang dialami oleh para sufi dalam menempuh jalan untuk dekat kepada Tuhan. Ah}}wa>l juga bisa berarti situasi kejiwaan yang diperoleh seseorang sufi sebagai karunia Allah SWT, bukan dari hasil usahanya. Moh Tariquddin, Sekularitas, 115; Simuh, Tasawuf, 73. 6Abu Bakar Atjeh, Pengantar, 53-64. 7Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II (Jakarta: UI Press, 1986), 89. 8 Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia (Bandung: Mizan, 1994), 61.

Page 3: JAM’IYYAH AHL AL-T{ARI

104

Dengan demikian dalam perjalanannya, tarekat bukan saja sebagai

lembaga spiritual di mana didalamnya anggota sebuah tarekat melakukan

latihan-latihan secara kolektif tetapi juga menjadi jaringan sosial, bahkan

organisasi sosial yang mempunyai fungsi-fungsi sosiologis.9

2. Asal Usul Tarekat

Pada mulanya tarekat dilakukan oleh seorang sufi secara individual

dengan tujuan agar amalan yang dilakukan benar. Untuk tujuan ini, seorang sufi

mencari guru yang memiliki ilmu pengetahuan dan pengalaman yang luas dalam

pengamalan tasawuf. Sebab belajar dari seorang guru dengan metode mengajar

yang disusun berdasarkan pengalaman yang bersifat praktikal merupakan suatu

keharusan bagi seorang sufi.

Seorang guru tasawuf biasanya memang memformulasikan suatu sistem

pengajaran tasawuf berdasarkan pengalamannya sendiri. Sistem pengajaran itulah

yang kemudian menjadi ciri khas bagi suatu tarekat yang membedakannya dari

tarekat yag lain.10 Pengajaran tarekat kepada orang lain sudah dimulai sejak

zaman al-H}allaj (w 858-922 H).11 Selanjutnya, praktek-praktek pengajaran

semacam itu dilakukan oleh sufi-sufi besar lain.

9Istilah tarekat dalam termonologi Barat sering disebut dengan sufi order (organisasi para sufi) dan juga disebut sebagai sufi brotherhoods. Baca Ira M Lapidus, A History of Islamic Sociaties (Cambridge: t.p, 1998), 168. 10M. Solihin dan Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia, 2008), 207. 11Namanya adalah Abu> al-Mughith al-H}asan Ibn Mans}ur Ibn Muh}ammad al-Baidawi, biasa dipanggil Al-H{allaj yang artinya penenun atau pengurai. Salah satu ajarannya yang paling terkenal adalah tentang kesatuan agama-agama (wah|}dah al-adya>n). Ada dugaan yang salah tentang ajarannya dan disebabkan masalah politik, apalagi ditambah pertentangannya dengan ulama yang pro-kekuasaan. Akibatnya, dia harus dihukum mati dengan cara yang tragis, yaitu dengan cara dipukuli, dilempari batu, dicambuk, digantung dan jasadnya dipotong-potong. Setelah mati tubuhnya dibuang di sungan Tigris. Baca Louis Massignon, The Passion of al-H{ala>jj; Mistic and Martyr of Islam, Vol. 3. translated by Herbert Masson (New Jersey: Prenation University Press, 1982). Baca pula Hamka, Tasawuf: Perkembangan dan Pemurnian (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1993), 108-118.

Page 4: JAM’IYYAH AHL AL-T{ARI

105

Dengan demikian, timbullah dalam sejarah Islam kumpulan-kumpulan

sufi yang mempunyai guru sufi tertentu sebagai shaykhnya dengan tarekat

tertentu sebagai amalannya, juga pengikut-pengikut atau murid-murid. Sistem

hubungan antara mursyid (guru atau pembimbing) dan murid (aspiran) menjadi

fondasi bagi petumbuhan tarekat sebagai sebuah ordo (organisasi) dan jaringan.12

Fungsi mursyid yang sedemikian sentral dalam rangka melampaui tahap-tahap

(maqa>mat) jalan sufi menjadikan murid secara alami menerima otoritas dan

bimbingan mursyid. Penerimaan ini tampaknya didasarkan atas keyakinan bahwa

setiap manusia pada dasarnya mempunyai kemungkinan yang inherent dalam

dirinya berupa kemampuan untuk mewujudkan proses dan pengalaman “bersatu”

dengan Tuhan. Tetapi potensi ini terpendam dan tidak aktif dan tidak mungkin

terwujud kecuali dengan iluminasi tertentu yang dianugerahkan oleh Tuhan tanpa

bimbingan dari seorang mursyid.

Sementara menurut Harun Nasution, ditinjau dari segi historisnya, kapan

dan tarekat mana yang mula-mula timbul sebagai lembaga, sulit untuk diketahui

dengan pasti. Namun demikian, menarik menyimak pendapat Sri Mulyani yang

mengatakan bahwa tarekat baru muncul pada abad lima hijriyah atau abad ke-13

Masehi sebagai lanjutan dari kegiatan kaum sufi sebelumnya.13 Hal ini ditandai

dengan setiap silsilah tarekat yang selalu dihubungkan dengan nama pendiri atau

12J. Spenser Triminghan, The Sufi Order in Islam (New York: Affand University Press, 1973), 3. 13Tasawuf muncul pada abad kedua hijriyah dan terus berkembang secara luas dan mulai terkena berbagai pengaruh luar. Salah satu pengaruh adalah filsafat, baik filsafat Yunani, India maupun Persia. Setelah abad kedua hijriyah, golongan sufi banyak yang menggunakan amalan-amalan dengan tujuan kesucian jiwa untuk taqarrub kepada Allah. Baca Sri Mulyani (et.al), Mengenal dan Memahami Tarekat-tarekat Mu’tabarah di Indonesia (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), 6. Sementara menurut Abu> Wafa’ al-Ghanami> al-Taftazami, tarekat-tarekat muncul pada abad keenam hijriyah. Abu> Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Tasawuf Islam, Telaah Historis dan Perkembangannya, terj. Subhan Anshor (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2008), 294.

Page 5: JAM’IYYAH AHL AL-T{ARI

106

tokoh-tokoh sufi yang lahir pada abad itu. Setiap Tarekat mempunyai Shaykh,

kaifiah zikir dan upacara-upacara ritual atau mursyid mengajarkan murid-

muridnya di asrama latihan rohani yang dinamakan rumah suluk14 atau riba>t}

(pos-pos pengucilan diri) di berbagai wilayah. Paparan ini memberikan gambaran

awal mengenai kemunculan tarekat pada abad ke 5 H.

Perspektif yang lebih konkrit diberikan oleh Kamil Mustofa. Dalam

tesisnya tentang gerakan tasawuf dan gerakan Syi’ah, Kamil mengungkapkan

bahwa tokoh pertama yang memperkenalkan sistem tarekat adalah Shaykh Abdul

Qa>dir al-Ji>lani (w. 561 H/1166 M) di Baghdad. Ajaran tarekatnya menyebar ke

seluruh penjuru dunia Islam dan mendapat sambutan luas di Aljazair, India dan

Indonesia. Sedangkan di Mesir, tarekat yang banyak pengikutnya adalah Tarekat

Rifa’iyyah yang dibangun oleh Sayyid Ah}mad Rifa’i. Dan di tempat ketiga

diduduki oleh Tarekat ulama penyair kenamaan Persia, Jala>l al-Di>n al-Rumi

(w.672 H/1273 M).

Pada periode berikutnya muncul tarekat Shadhiliyah yang mendapat

sambutan luas di Maroko dan Tunisia khususnya, dan dunia Islam bagian Timur

pada umumnya. Yang juga perlu dicatat di sini adalah, munculnya Tarekat

Sanusiyah yang mempunyai disiplin tinggi mirip disiplin militer di bawah

Shaykhnya yang terakhir, Sayyid Ah}mad al-Sharif al-Sanusi (1787 – 1859 M).15

Sosok penting yang mempengaruhi perkembangan tasawuf adalah Ima>m al-

14Suluk adalah mengosongkan diri dari sifat-sifat tercela (maz}mumah) dari kemaksiatan lahir batin dan mengisinya dengan sifat-sifat terpuji (mah}mudah) dengan melakukan ketaatan lahir dan batin. Baca Isma’il Nawawi, Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah, Sebuah Tinjauan Ilmiyah dan Amaliyah (Surabaya: Karya Agung, 2008), 53. 15Ali Yafie, “Shari>‘ah, T{ari>qah, Haqiqiah dan Ma’rifah,”dalam http//al-manar. wordpress.com/2007/0/24/. Diakses pada hari selasa, 9-11 2010.

Page 6: JAM’IYYAH AHL AL-T{ARI

107

Ghazali. Beliau adalah ulama yang menyatakan bahwa tasawuf merupakan

bagian penting dari ajaran Islam. Pernyataan al-Ghazali ini menghapus kesan

yang berkembang bahwa tasawuf itu sesat. Lewat pernyataannya, dan juga karya

yang ditulisnya, tasawuf kemudian berkembang secara pesat. Salah satu bentuk

perkembangannya adalah lewat tarekat.

Sejak abad kesebelas, zawiyah dan khanaqah menjadi cikal bakal pusat-

pusat kehidupan mistik—semacam biara sufi—karena tempat ini dipersiapkan

untuk peristirahatan para sufi musafir yang menyebarkan kehidupan saleh. Para

sufi ini memainkan peran signifikan dalam Islamisasi kawasan perbatasan dan

kawasan-kawasan non-Arab di Asia Tengah dan Afrika Utara.

Pada perkembangan selanjutnya, khususnya pada abad ketiga belas,

beberapa pusat tertentu menjadi bibit-bibit tarekat, aliran-aliran mistik atau

pusat pengajaran kepada seorang pembimbing. Dalam perkembangan

selanjutnya, tarekat mengalami perubahan menjadi suatu aliran yang didesain

untuk melestarikan nama pendirinya, jenis pengajarannya, latihan-latihan

mistiknya dan aturan kehidupannya. Setiap tarekat kemudian diturunkan melalui

mata rantai (silsilah) yang berkesinambungan atau isna>d mistikal.16

Perkembangan tarekat memang menarik untuk dicermati. Seorang

pengamat tarekat, J. Spencer Trimingham membagi kawasan-kawasan utama

pemikiran dan praktek-praktek sufi berdasarkan perkembangan tarekat menjadi

tiga lingkungan utama. Pertama, lingkungan Mesopotamia. Lingkungan utama

tarekat di Mesopotamia meliputi Baghdad, Syiria, hingga ke Mesir. Alur utama

16 J. Spencer Trimingham, The Sufi Order, 8-9.

Page 7: JAM’IYYAH AHL AL-T{ARI

108

isnad dalam tarekat ini adalah Ima>m Junai>d al-Baghdadi> (w. 298/980), menuju

Ma’ru>f al-Karkhi (w. 200/815) dan Sari> al-Saqat}i> (w. 251/865). Tarekat-tarekat

yang tumbuh dari lingkungan Mesopotamia adalah Sughrawardiyah, Rifa’iyah,

dan Kadiriah. Kedua, lingkungan Mesir dan Maghribi yang merupakan

lingkungan perkembangan beberapa tarekat besar setelah masa pembentukan

sebelumnya. Tarekat yang berkembang pada lingkungan ini adalah Syaziliah.

Namun demikian jaringan yang muncul dari lingkungan Mesir dan Maghrib

mencakup banyak tarekat kecil yang kurang tersebar. Dan ketiga, lingkungan

Iran, Turki, dan India yang memadukan dua kecenderungan sufi awal Iraqi dan

Kurasa>ni> yang dikaitkan dengan nama al-Junaidi> (sufi Mesopotamia) dan Abu>

Yazi>d al-Bustami> (sufi Malamati, Kurasani). Tarekat-tarekat besar yang tumbuh

dalam lingkungan ini adalah Kubrawiah, Yasaviah, Maulawiah, Khawajagan-

Naksybandiah, Chistiah dan Sughrawardiah India.17 Dengan demikian, tarekat

yang pada mulanya merupakan perkumpulan orang sufi yang berdiri secara

spontan dan tanpa ikatan kemudian berkembang menjadi organisasi sufi populer

yang mempunyai peraturan-peraturan tertentu dan berkembang menjadi jaringan

yang sangat luas dan tersebar di berbagai wilayah Islam, sehingga sampai dengan

sekarang jumlah tarekat lebih dari 200 macam.18

Fenomena tarekat memang menarik untuk diamati. Banyak perspektif

yang bisa digunakan untuk memahaminya, sebagaimana dikembangkan Rah}man,

yaitu perspektif agama, sosial dan politik.19 Perspektif agama melihat tarekat

17Ibid. 18Ah}mad Tafsir, “Tarekat dan Hubungannya dengan Tasawuf,”dalam Harun Nasution (ed.), Tarekat Qadiriyyah Naqsyabandiyah (Tasikmalaya: IAILM, 1990), 25. 19 Fazlur Rahman, Islam, 217.

Page 8: JAM’IYYAH AHL AL-T{ARI

109

sebagai sarana untuk menuntun pengikutnya menuju pertemuan langsung dengan

Tuhan. Tarekat menawarkan cara yang rapi dan konkrit di mana seorang pemula

(murid) dibawa dari tahap ke tahap sampai ia berhasil melepaskan sifat

kemanusiaannya dan menjadi bersifat ke-Tuhanan.

Fenomena keagamaan ini dapat menjadi salah satu motivasi untuk

mempraktekkan amaliah sufisme yang berkembang secara alami. Namun dalam

kenyataannya fenomena keagamaan bukanlah satu-satunya penyebab suksesnya

penyebaran gerakan tarekat. Ada perspektif lain untuk melengkapi penjelasan

fenomena ini, yaitu perspektif sosial politik. Tarekat melalui ritus-ritusnya yang

terorganisasi dalam pertemuan-pertemuan mistiknya menawarkan suatu bentuk

kehidupan yang memenuhi kebutuhan sosial.

Pada waktu yang bersamaan, organisasi-organisasi sufi (tarekat)

merupakan benteng perlindungan terhadap otoritas negara, terutama sejak abad

ke 5 H/11 H ketika kesatuan politik dunia Islam mulai runtuh, dan memberi

tempat kepada rakyat yang makin lama makin tidak aman terhadap penguasa-

penguasa yang otokratis dan zalim, yang otoritasnya juga diakui oleh para ulama

sebagai kejahatan yang lebih kecil daripada kekacauan dan keadaan tanpa

hukum.20

Sufisme dalam bentuknya yang terorganisir juga berfungsi sebagai protes

terhadap tirani politis. Kasus yang menonjol, misalnya di Turki. Gerakan sufi di

Turki telah diasosiasikan dengan banyak pemberontakan menentang negara pada

abad ke VII/13 M, ketika Shaykh Baba Ilya>s memberontak melawan Sultan Bani

20Ibid., 219.

Page 9: JAM’IYYAH AHL AL-T{ARI

110

Saljuk yang terakhir. Di Afrika, berbagai macam ordo Sufi terus menerus

melakukan perlawanan militer melawan penetrasi kekuatan-kekuatan Eropa.21

Tarekat sebagai lembaga atau organisasi para sufi mempunyai

perkembangan sejarah melalui tiga tahapan, yaitu tahap khanaqah, tahap t}ari>qah

dan tahap ta’li>fah.22 Pertama, tahap khanaqah. Tahap ini terjadi sekitar abad X

masehi yang merupakan tahap keemasan tasawuf. Para sufi membentuk tempat

pusat pertemuan sufi (khanaqah) di mana Shaykh mempunyai sejumlah murid

yang hidup bersama-sama di bawah peraturan yang tidak ketat. Shaykh menjadi

mursyid yang dipatuhi. Ia menjadi pemimpin dalam latihan-latihan spiritual.

Kedua, tahap t}ari>qah. Tahap ini berlangsung sekitar abad XIII Masehi.

Pada masa ini, sudah terbentuk ajaran-ajaran dan peraturan serta metode tasawuf.

Selain itu, muncul pula pusat-pusat pengajaran tasawuf. Tahap t}ari>qah memiliki

ciri, di antaranya, dengan silsilah pada masing-masing t}ari>qah. Secara sosial,

pada tahap ini tasawuf telah mengambil bentuk kelas menengah, dalam makna

bahwa yang menjadi pengikutnya sebagian adalah kalangan kelas menengah.

Ketiga, tahap ta’li>fah. Tahap ini terjadi pada sekitar abad XV Masehi.

Pada tahap ini telah terjadi transisi ajaran dan peraturan kepada pengikut. Sejak

masa inilah permulaan munculnya organisasi tasawuf yang mempunyai cabang di

tempat lain.

Selain itu, tarekat juga memiliki arti lain, yaitu sebagai organisasi sufi

yang melestarikan ajaran Shaykh tertentu. Oleh karenannya, lahirlah tarekat-

21 Ibid. 22Karisudin Aqib, Al-Hikmah, Memahami Teosofi Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah (Surabaya: Dunia Ilmu, 2000), 20.

Page 10: JAM’IYYAH AHL AL-T{ARI

111

tarekat seperti tarekat Kadiriah, tarekat Naksyabandiah, tarekat Syazilliah,

tarekat Tijaniah, tarekat Rifa’iah, dan lainnya.23

B. Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia

Kehidupan tasawuf dapat dilaksanakan secara individual atau dengan cara

kolektif. Melaksanakan tasawuf secara individual ialah mengamalkan sifat-sifat

sufistik, seperti takwa, sabar, tawakal, syukur, ikhlas, rida dan sebagainya.

Sedangkan mengamalkan tasawuf secara kolektif ialah melaksanakannya secara

bersama-sama melalui persaudaraan sufi yang disebut tarekat.24 Dalam konteks

Indonesia, tarekat sebagai bagian dari metode pendekatan diri kepada Allah tidak

steril dari perbedaan pendapat. Sejarah membuktikan bahwa tarekat tumbuh

subur dalam faksi yang sangat beragam. Realitas ini, satu sisi menunjukkan

bahwa tarekat telah menarik minat banyak orang, tetapi di sisi yang lain faksi

yang ada sangat mungkin berkembang keluar dari ajaran Islam.

Munculnya beragam faksi tarekat ini menimbulkan keresahan di kalangan

ulama. Disinyalir tidak sedikit faksi tarekat yang ada tidak memiliki nilai

otentisitas. Oleh karena itu, dibutuhkan respon yang tepat untuk meminimalisir

dampak negatif fenomena tersebut.

Salah satu jalan yang dapat dilakukan adalah membentuk lembaga yang

meneliti kualifikasi tarekat yang ada. Mencermati persoalan yang krusial ini,

Nahdlatul Ulama (NU) melalui Jam’iyah Ahl al-T{ari>qah al-Mu’tabarah al-

Nahd}iyah telah melakukan kualifikasi tarekat-tarekat yang telah ada. Dari sekian

ratus tarekat yang ada, diputuskan sebanyak 45 tarekat yang masuk dalam

23Saiful Mujani (ed.), Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Prof Dr. Harun Nasution (Bandung: Mizan, 1996), 366. 24Suderman Tebba, Orientasi Sufistik Cak Nur (Jakarta: Paramadina, 2004), 177.

Page 11: JAM’IYYAH AHL AL-T{ARI

112

kategori muktabarah.25 Pendapat mengenai berapa jumlah tarekat yang

muktabarah pun ternyata tidak seragam. Jika NU memutuskan sebanyak 45,

Habib Lutfi menyebut 43,26 sedangkan Abu Bakar Atjeh menyatakan terdapat 41

tarekat.27 Perbedaan mengenai jumlah tarekat yang muktabarah tersebut

sebenarnya tidak substansial sebab sesungguhnya jumlahnya tetap sama, karena

ada tarekat yang merupakan gabungan dari dua aliran sehingga tidak

dihitung.Tarekat muktabarah adalah aliran tarekat yang mempunyai sanad (mata

rantai) tidak terputus atau muttas}il (bersambung) sampai kepada Rasulullah Saw.

Beliau menerima dari malaikat Jibril dan malaikat Jibril menerimanya dari Allah

Swt.28 Ajaran-ajaran tarekat ini sesuai dengan doktrin Islam (al-Qur’an dan

Sunnah).29

Sedangkan aliran tarekat yang tidak mempunyai sanad muttas}il dan

ajaran-ajarannya bertentangan atau diduga bertentangan dengan doktrin Islam

dikategorikan sebagai tarekat ghairu muktabarah (bukan muktabarah).30 Yang

25Ke 45 tarekat tersebut adalah: Rumaiyah, Rifa>’iyah, Sadziliyah, Bakriyah, Umariyyah, Alawiyah, Abba>siyah, Zai>niyyah, Dasu>qiyyah, Akbariyyah, Bayumiyyah, Malamiyyah (Ghazaliyah), Ghaiyyah, Tija>niyyah, Uwaisiyyah, Idrisiyyah, Samaniyyah, Bahuriyyah, Usyaqiyyah, Kubrawiyyah, Maulawiyyah, Jalwatiyyah, Bairumiyyah, Ghazaliyyah, H{amzawiyyah, H{addadiyyah, Madbuliyyah, Sumbuliyyah, Idrusiyyah, Usmaniyyah, Sya’baniyyah (Kalsamiyah), Qalqasyaniyyah, Qadhiriyyah, Kalwatiyyah, Bakdasyiyyah, Syuriwiyah, Ah}madiyah, Isawiyah, T{uru>q al-Akabir al-Awliyya’ Qadiriyyah wa Naqsabandiyyah, Khalidiyyah wa Naqsabandiyyah. Baca Said Agiel Siraj, Tasawuf Sebagai Kritik Sosial (Bandung: Mizan, 2006), 98. Baca pula Ida>rah ’Aliyah T}ari>qah Mu’tabarah Nahd}iyyah (Semarang: Toha Putra, t.th), 37; A. Aziz Masyhuri, Permasalahan Tarekat: Hasil Kesepakatan Muktamar dan Musyawarah Besar Jam’yya ahl al-T}ari>qah al-Mu’tabarah Nahdlatul Ulama (1957-2005 M) (Surabaya: Kalista, 2006), 22-23. 26Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah dan Khalidiyyah wa Naqsyabandiyah sudah tidak dihitung lagi. Baca Mehdi Zidane (ed.), Mengenal Tarekat Ala Habib Lutfi bin Yahya (Bekasi Timur: Hayyat Publishing, 2009), 69-70. 27Yang tidak dihitung adalah Akbariyah, Ah}madiyah, Isawiyah, dan Turuq al-Akabir al-Auliya. Baca Abu Bakar Atjeh, Pengantar, 303. 28Mehdy Zidane (ed) “Mengenal, 69. 29Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat (Bandung: Mizan, 1999), 203. Baca pula M. Solihin dan Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, 219. 30Ibid.

Page 12: JAM’IYYAH AHL AL-T{ARI

113

termasuk dalam kategori ini seperti tarekat Akmaliyah,31 Shiddiqiyyah,32 dan

Wahidiyah.33 Tarekat Akmaliyah dan Shiddiqiyah dikatakan ghairu muktabarah

karena dipandang bahwa sanad atau silsislah tarekatnya terputus.

Pada tasawuf Akmaliyah, ajarannya tentang wah}dat al-wuju>d dikatakan

oleh kebanyakan ulama sebagai bertentangan dengan akidah Islam.34 Sedangkan

Wahidiyah tidak memperoleh status muktabarah karena tiga hal. Pertama,

Wahidiyah dipandang tidak menggunakan model sistem tarekat yang memiliki

sanad (silsilah) amalan yang sampai kepada Nabi karena ia adalah salawat, dan

setiap salawat menurut referensi otoritas ketasawufan sanad dan Shaykhnya

adalah Nabi sendiri sehingga tidak memerlukan sistem silsilah seperti tarekat.

Wahidiyah dipandang sebagai amalan umum yang tidak seketat sistem

amalan tasawuf dan tarekat. Kedua muallif (pengarang) Salawat Wahidiyah tidak

menghendaki misi jami’ al-‘alami>n (global)-nya dibatasi oleh status muktabarah.

Ketiga, adanya penilaian bahwa salawat Wahidiyah mengemban corak tasawuf

falsafi yang banyak ditentang keras oleh para tokoh NU yang corak tasawufnya

cenderung pada tasawuf akhlaqi atau sunni.35

Adapun tarekat-tarekat muktabarah yang terdapat di Indonesia adalah:

31Tarekat Akmaliyah didirikan oleh Kiai Nurhakim. Ia belajar dari Kiai Hasan Maulana dari Cirebon. Tarekat ini dicurigai oleh pihak Belanda sebagai penghasut anti-kolonial. Tarekat ini menganut ajaran metafisika wahd}ah al-wuju>d. Baca Martin van Bruinessen, Ibid., ; M. Solihin dan Rosihon Anwar, Ibid., 218. 32Tarekat Shiddiqiyah didirikan oleh Kiai Mukhtar Mukti di Losari Ploso Jombang pada tahun 1958. Dia menerima ajaran tarekat ini dari gurunya, Syu’aib Jamal dari Banten yang merupakan pewaris spiritual Shaykh Yusuf Makasar pada pertengahan 1450-an. Baca: Martin van Bruinessen, Ibid., 204; M. Sholihin dan Rosihon Anwar, Ibid., 219. 33Wah}idiyah didirikan oleh Kiai Madjid Ma’ruf dari Kedonglo Kediri pada tahun 1963. Aliran ini bersifat terbuka yaitu cukup mengamalkan zikir Salawat Wahidiyah. Baca: Martin van Bruinesseen, Ibid., 204 dan M. Sholihin dan Rosihon Anwar, Ibid., 219. Baca pula: Sokhi Huda, Tasawuf Kultural, Fenomena Salawat Wahidiyah (Yogyakarta: LKIS, 2008), 93-102. 34Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, 204. 35Sokhi Huda, Tasawuf Kultural, 7-8.

Page 13: JAM’IYYAH AHL AL-T{ARI

114

1. Tarekat Kadiriah

Tarekat Kadiriah didirikan oleh Shaykh Abd al-Qadi>r al-Jilani> (470–561

H/1077–1666 M). Tarekat ini menempati posisi yang amat penting dalam sejarah

spiritualitas Islam karena merupakan cikal bakal lahirnya berbagai cabang

organisasi tarekat di dunia Islam. Walaupun struktur organisasinya baru muncul

beberapa dekade setelah kematiannya, semasa hidupnya Shaykh Abd al-Qadi>r al-

Jilani> telah memberikan pengaruh yang sangat besar pada pemikiran dan perilaku

umat Islam. Ia dipandang sebagai sosok ideal yang memiliki keunggulan dan

pencerahan spiritual. Kebesaran nama al-Jilani> menyebabkan banyak cerita

berkisar dirinya. Konon, para pengagumnya banyak yang mengembangkan

berbagai legenda yang berkuasa pada aktivitas spiritualnya sehingga muncul

berbagai kisah ajaib tentang dirinya.36

Shaykh Abd al-Qadi>r al-Jilani> lahir di Desa Naif tahun 470 H/1077 M dan

meninggal dunia di Baghdad pada tahun 561 H/1166 M. Besarnya pengaruh al-

Jilani> dapat dilihat dari banyaknya orang yang menziarahi makamnya sejak dulu

hingga sekarang. Di kalangan kaum sufi, al-Jilani diakui sebagai sosok yang

menempati herarki mistik yang tertinggi dan menduduki tingkat kewalian yang

tertinggi (al-qut}b al-awliya>’).

Masyarakat muslim banyak yang mempercayai bahwa Shaykh Abd al-

Qadi>r al-Jilani> adalah wali terbesar yang diberi wewenang untuk menolong

manusia yang dalam keadaan bahaya. Lebih dari itu, ia juga dikagumi dan

dicintai rakyat. Di mana-mana orang tua menceritakan tentang kekeramatannya

36Amsal Baktiar, “Tarekat Qadiriyah: Pelopor Aliran-aliran Tarekat di Dunia Islam,” dalam Sri Mulyati, et.al, Tarekat, 26.

Page 14: JAM’IYYAH AHL AL-T{ARI

115

kepada anak-anak mereka. Indikasi lain dari kebesaran namanya adalah hampir

setiap upacara keagamaan tradisional, orang menghadiahkan pembacaan al-

Fa>tihah kepadannya.37

Kebesaran nama al-Jilani> didukung oleh realitas bahwa beliau memang

ulama mumpuni yang menguasai berbagai bidang keilmuan Islam. Ia seorang

teolog (ahli ilmu kalam), seorang mujtahid dalam bidang fikih, dan juga seorang

orator yang piawai.38 Kemampuan spiritual tinggi dan penguasaan berbagai

bidang keilmuan tersebut yang tampaknya menjadi faktor yang cukup

menentukan pada besarnya pengaruh al-Jilani>. Sehingga merupakan hal wajar

jika dalam perkembangannya tarekat ini menyebar ke daerah kekuasaan Islam di

luar Baghdad.

Penyebarnya adalah para murid dan pengikut al-Jilani>, di antaranya Ali>

Muh}ammad al-H{addad di daerah Yaman dan Muh}ammad Ibnu Abd S{amad di

Mesir. Pada abad ke-12 M tarekat ini telah tersebar ke berbagai daerah Islam,

baik Barat maupun Timur.39

Menurut Trimingham Spencer, tarekat ini sampai sekarang masih

merupakan tarekat yang terbesar di dunia Islam dengan berjuta-juta pengikutnya

karena tarekat yang tergolong kepada kelompok Kadiriah ini cukup banyak dan

tersebar ke seluruh negeri Islam.

Ajaran Shaykh Abd al-Qadi>r menekankan pada penyucian diri dari nafsu

dunia. Karena itu dia memberikan petunjuk bahwa untuk mencapai kesucian diri

37Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, 211. 38Kharisudin Aqib, Al-Hikmah, 49. 39Ibid.

Page 15: JAM’IYYAH AHL AL-T{ARI

116

yang tertinggi dilakukan dengan melaksanakan ajaran taubat,40 zuhud,41

tawakal,42 syukur,43 sabar,44 rida,45 dan jujur.46 Di antara praktek tarekat Kadiriah

adalah zikir (terutama melantunkan asma Allah berulang-ulang). Dalam

pelaksanaannya, terdapat berbagai tingkatan penekanan dan intensitas. Ada zikir

yang terdiri dengan satu gerakan yang dilaksanakan dengan mengulang-ulang

asma Allah melalui tarikan napas yang kuat, seakan dihelai dari tempat tinggi,

diikuti penekanan diri jantung dan tenggorokan, kemudian dihentikan sehingga

40Taubat ada dua macam. Pertama, taubat yang berkaitan dengan hak sesama manusia. Taubat ini tidak terealisasi kecuali dengan menghindari kezaliman, memberikan hak kepada yang berhak, dan mengembalikan pada pemiliknya. Kedua, taubat yang berkaitan dengan hak Allah. Taubat ini dilakukan dengan cara selalu mengucapkan istighfar dengan lisan, menyesal dalam hati, dan bertekat untuk tidak mengulangi lagi di masa mendatang. Baca Amsal Bahtiar, “Tarekat Qadiriyah”, 39. 41Zuhud ada dua macam. Pertama, zuhud haqiqi (mengeluarkan zuhud dari hatinya). Kedua, mutazahid suari atau zuhud lahir (mengeluarkan dunia dari hadapannya). Namun hal ini tidak berarti seorang zahid haqiqi menolak rejeki yang diberikan Allah kepadanya, tetapi dia mengambilnya lalu digunakan untuk ketaatan kepada Allah. Ibid., 40. 42Tawakal adalah menyerahkan segala urusan kepada Allah dan membersihkan diri dari gelapnya pilihan, tunduk dan patuh kepada hukum dan takdir sehingga dia yakin tidak ada perubahan dalam bagian. Apa yang merupakan bagiannya tidak akan hilang dan apa yang tidak ditakdirkan untuknya tidak akan diterima. Hatinya merasa tenang dan merasa nyaman dengan janji Tuhan. Ibid., 39-40. 43Syukur adalah mengakui nikmat Allah, karena Dia-lah pemilik karunia dan pemberian sehingga hati mengakui bahwa segala nikmat berasal dari Allah dan patuh kepada Shari>‘at-Nya. Syukur itu ada tiga macam. Pertama, syukur dengan lisan yaitu mengakui adanya nikmat, merasa tenang, dan mengucapkan dengan kerendahan hati, serta ketundukan. Kedua, syukur dengan anggota badan dengan cara melaksanakan ibadah sesuai perintah Allah. Ketiga, syukur dengan hati, yaitu mengakui dalam hatinya bahwa semua nikmat itu berasal dari Allah Swt. Ibid., 41. 44Sabar adalah tidak mengeluh karena sakitnya musibah yang menimpa kita kecuali mengeluh kepada Allah karena Allah Swt. Sabar ada tiga macam. Pertama, bersabar kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjahui larangan-Nya. Kedua, bersabar bersama Allah yaitu bersabar atas ketetapan Allah dan dari berbagai macam kesulitan dan musibah. Ketiga, bersabar atas Allah, yaitu bersabar atas rizki, jalan keluar, kecukupan, pertolongan, dan pahala yang dijanjikan Allah di kampung akhirat. Ibid., 42. 45Rida adalah menerima ketetapan Allah dengan berserah diri dan pasrah tanpa menunjukkan pertentangan terhadap apa yang dilakukan oleh Allah. Seorang hamba yang rida menerima apa yang dipilihkan Allah untuknya. Dia tahu bahwa yang dipilihkan Allah untuknya adalah yang terbaik baginya di segala macam keadaan. Bahkan, dengan keridaan seseorang akan merasa tenang dalam hidupnya, rasa gundah dan kegalauan juga lenyap. Ibid., 42–43. 46Jujur adalah mengatakan yang benar dalam kondisi apapun, baik menguntungkan maupun tidak menguntungkan. Kejujuran merupakan derajat kesempurnaan manusia tertinggi. Seseorang tidak akan berlaku jujur, kecuali dia memiliki jiwa yang baik, hati yang bersih, pandangan yang lurus, sifat yang mulia, lidah yang bersih, dan hati yang dihiasi oleh keimanan, keberanian, dan kekuatan. Ibid., 43.

Page 16: JAM’IYYAH AHL AL-T{ARI

117

napas kembali normal. Hal ini harus diulangi secara konsisten untuk waktu yang

lama.47

Tarekat ini merupakan tarekat yang cukup besar di Indonesia. Sejarah

masuk dan berkembangnya di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari nama Hamzah

Fansuri, seorang ulama besar Aceh. Beliau mendapatkan khilafah (ijazah untuk

mengajar) ilmu Shaykh Abd al-Qadi>r al-Jilani> ketika mukim di Ayuthia, Ibu kota

Muangthai.48 Namun demikian, ada pendapat yang menyatakan bahwa tidak

mustahil pada waktu itu beliau berziarah ke makam Shaykh Abd al-Qadi>r dan

terjadi pembaiatan secara langsung.49

Pendapat lain mengatakan bahwa sebenarnya tarekat Kadiriah sudah sejak

lama ada di Indonesia, khususnya Jawa, jauh sebelum Hamzah Fansuri. Memang

tidak ada informasi dan bukti otentik tentang hal ini, namun ilmu al-Ji>lani telah

diajarkan di Cirebon dan Banten setidak-tidaknya abad ke-17.50 Hal ini

merupakan bukti bahwa keberadaan tarekat ini sudah ada sebelum masa Hamzah

Fansuri.

Tarekat ini di Indonesia dikembangkan oleh Shaykh Ahmad Khatib

Sambas menjadi tarekat Kadiriah Naksyabandiah (TKN). Penggabungan tarekat

Kadiriyah dan Naksyabandiah menjadi satu ini dilakukan oleh Shaykh Sambas

setelah belajar beberapa lama di Makkah. Dia mengajarkan TKN ini secara utuh

dengan mengabungkan dua jenis zikir sekaligus, yaitu zikir nafi is}bat La>ila>ha illa 47Ibid., 44. 48Muh}ammad Naquib al-At}t}as, The Mysmticism of Hamzah Fansuri (Kuala Lumpur: Universiti Of Malaya Press, 1970), 11; G.W.J. Drewes & L.F. Brakel, The Poems Of Hamzah Fansuri (Paris: Dordrecht Sayid, 1986), 44-45. 49Muhammad Ibn Yahya al-Tadafi, Mahkota Para Aulia : Syaikh Abdul Qadir al-Jilani, Terj. Munirul Abidin (Jakarta: Prenada, 2003), 2; Muh}ammad Sayid Naquib al-At}t}as, The Mysticism,11. 50Ibid., 210.

Page 17: JAM’IYYAH AHL AL-T{ARI

118

Alla>h yang dibaca dengan jahr (keras) dan zikir Alla>h yang dibaca dalam hati

(khafi).

2. Tarekat Syazilliah

Tarekat Syazilliah didirikan oleh Shaykh Abu> al-H{asan Ali> bin Abdulla>h

bin Abd al-Jabba>r bin Tami>m bin H}ormuz al-Shadhili, yang masih mempunyai

jalur nasab (keturunan) H{asan bin Ali> bin Abi T{a>lib. Beliau dilahirkan di Desa

Ghumara,51 sebuah desa yang sekarang ini terletak di dekat Ceuta di utara

Maroko.52 Namun demikian, mengenai tahun kelahiran al-Shadhili, terdapat

perbedaan pendapat di antara para ahli. Sira>j al-Di>n Abu> H{absh menyebut bahwa

tahun kelahirannya adalah 591 H /1069 M.53 Ibnu Sabagh mengatakan bahwa

tahun kelahirannya adalah 583 H/1187 M.54 Sedangkan J. Spencer Trimingham

menyatakan bahwa al-Shadhili lahir pada 593 H/1196 M.55

Pendidikan yang dijalani dimulai dari kedua orang tuanya. Setelah cukup,

beliau kemudian melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Di

antara guru kerohaniannya adalah ulama besar Abd al-Salam Ibn Mashish ( w

628 H / 1228 M). Beliau merupakan ulama yang dikenal sebagai “qut}b al-qut}b

para wali”. 56 Selain itu, al-Shadhili juga berguru kepada Abu> Abdilla>h Ibnu

Kharazim ( w. 633 H/1236 M). Kedua ulama besar tersebut adalah murid dari

Abu> Madyan Shu’aib Ibnu al-H{usain (1116–1198 M), seorang ulama sufi yang

51Al-Jami’ menasabkan al-Shadzili kepada al-Husain bin Abi Talib, dan bukan kepada al-Hasan bin Ali bin Abi Talib. Baca Ihsan Ilahi Zahir, Dira>sat fi’ al-Tasawuf (Lahore: Ida>rah Tarjaman, 1988), 271. Baca juga Abd al-Wahab Farhat, Sayyidi Abu> al-H}asan al-Shadhili, Hayatahu wa Adrasatuhu fi al-Tasawuf (Kairo: Maktabah Madbuli, 2003), 44. 52Abu Bakar Atjeh, Pengantar, 275. 53Abu> H}afsh Sira>j al-Di>n, Tabaqat al-Auliya (Mesir: Maktabah al-Kanji, t.t), 458. 54Iba Sabbagh, The Mystical Teaching of al-Shadhili, 3. 55J. Spencer Trimigham, The Sufi Orders in Islam (New York: Affan University Press, 1971), 48. 56Abd al-Wahab Farhat, Sayyidi Abu al-Hasan, 52-53.

Page 18: JAM’IYYAH AHL AL-T{ARI

119

sangat berpengaruh. Bahkan hampir seluruh sufi maghrib mempunyai jalan

silsilah kepadanya. Abu> Madyan pernah mempelajari dan menghafal, antara lain,

kitab “Ihya’ ‘Ulu>m ad-Di>n” karya al-Ghazali, kemudian ia belajar kepada Shaykh

Abd al-Qadi>r al-Jilani> dan memandangnya sebagai shaykh yang luar biasa.57

Kitab-kitab tasawuf yang dipelajari oleh al-Shadhili kemudian diajarkan

kepada para muridnya. Kitab yang diajarkan, antara lain Ihya>’ Ulu>m ad-Di>n

karya al-Ghazali, Qut al-Qutub (santapan hati) karya Abu> T{a>lib al-Makhi>, Khat}m

al-Auliya>’ karya al-H{akim al-Tirmidhi>, al-Muwa>fiq wa al-Mukhat}abah karya

Muh}ammad Abd al-Abba>r al-Nafiri>, al-Shifa’ karya Kadi>r al-‘Iya>d dan al-

Muh}arrar al-Waji>z karya Ibnu Atiyah.58

Al-Shadhili dianggap sebagai wali yang keramat. Di antara keramatnya

adalah beliau pernah mimpi bertemu dengan nabi Muh}ammad saw. yang

mengatakan “Hai Ali>, pergilah kamu ke negeri Mesir. Di sana kamu akan

mendidik empat puluh orang siddi>qi>n. Karena hari itu sangat panas, konon al-

Shadhili mengeluh dengan berkata, “Ya Rasulullah hari sangat panas dan terik”.

Nabi berkata, “Ada awan yang akan memayungi kamu”. Al-Shadhili

mengatakan, “Aku takut akan kehausan”. Nabi menjawab, “Langit akan

menurunkan hujan untukmu setiap hari”. Kemudian Rasulullah saw. menjanjikan

kepada al-Shadhili akan memberikan tujuh puluh karamah.59

57Moh. Ardani, “Tarekat Shadziliyah”, dalam Sri Mulyati, et. al, Tarekat-tarekat Mu’tabarah, 59. 58Ibid., 59-60. 59Ibid., 60. Cerita karomah yang lain terjadi ketika al-Shadhili melakukan i’tikaf dan beribadah di Gunung Zagwan. Di tempat ini al-Shadzili melakukan khalwat untuk membersihkan diri selama lebih kurang dua tahun. Aktivitasnya adalah membaca Surat al-An’am. Ketika sampai pada ayat ke-70 70األنعام (وان تقدل كل عدل منھا( artinya: ”Dan jika ia menembus segala macam tebusan pun niscaya tidak akan diterima itu dari padanya (al-Qur’an 06 : 70)”, maka terjadilah sesuatu yang hebat pada dirinya. Ia mengulang-ulang ayat tersebut dan bergerak-gerak. Setiap kali ia miring ke

Page 19: JAM’IYYAH AHL AL-T{ARI

120

Al-Shadhili adalah seorang teolog atau ahli tauhid beraliran sunni yang

menentang kaum Muktazilah. Pendapatnya sangat moderat dalam masalah

hubungan syariat dan tasawuf karena ia berguru kepada tokoh sufi yang kokoh

mengenai syariat.60 Sedangkan dalam masalah fikih, al-Shadhili mengikuti

mazhab Ma>liki> karena mazhab Ma>liki> sangat dominan di daerah magrib

(Spanyol, Maroko, dan Tunisia).61

Di samping sebagai ulama, beliau juga tokoh sufi, dan wali Qutb Agung

dalam tarekat. Beliau juga sebagai pejuang yang gigih dalam memperjuangkan

tanah airnya. Di antara perjuangannya adalah ikut serta dalam pertempuran

mashurah membela tanah airnya melawan serangan Prancis. Hal ini menunjukkan

bahwa beliau bukan hanya sibuk dengan persoalan ibadah, tetapi juga memiliki

kepedulian dalam persoalan sosial, politik, dan juga negara.

Di samping mengajar murid-muridnya yang jumlahnya sangat banyak,

beliau juga menjadi petani yang dapat menghidupi keluarga dan santri-

santrinya.62 Ia membangun za>wiyah (semacam pondok pesantren) di Tunisia pada

tahun 625 H/1228 M. Kemudian bersama murid-muridnya memutuskan

meninggalkan Tunisia menuju Mesir dan tiba di Alexandria, Mesir pada tahun

1228 M.63 Ia membangun Madrasah kesufian yang sangat terkenal di Alexandria.

Muridnya yang terkemuka yang ikut pindah ke Mesir adalah Shaykh Abu> Abba>s

al-Mursi>. al-Shadhili meninggal pada tahun 656 H / 1258 M di Humistra.

suatu arah, ternyata Gunung Zagwa ikut miring ke arah tersebut. Selama di tempat tersebut, ia hanya makan tumbuh-tumbuhan dan rumput yang ada di sana. Ibid. 60J. Spencer Trimighan, The Sufi, 50. 61Moh Ardani, Tarekat Shadhiliyah, 62. 62Haili Mansur, Ajaran dan Tarekat Para Sufi (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), 277. 63Moh Ardani, Tarekat Shadhiliyah, 63-64.

Page 20: JAM’IYYAH AHL AL-T{ARI

121

Ajaran tasawuf al-Shadhili diteruskan oleh murid-muridnya, yaitu Shaykh

Abu> Abba>s al-Mursi> (w. 686 H),64 kemudian diteruskan Shaykh Ibn Ata’ilah al-

Iskandari>, pengarang kitab al-H{ika>m (murid semenjak di Mesir). Selanjutnya

diteruskan Ibn Abbad al-Raud}a (w. 793 H) dan pada abad IX H/XV M

dilanjutkan oleh Sayid Abi Abd Allah Muh}ammad Ibn Sulaima>n al-Jazuli (w.

1465 M).65 Mereka inilah yang mengembangkan madrasah al-shadhiliyah.

Pemikiran dan ajaran al-shadhiliyah cukup dekat dengan tasawuf al-Ghazali yang

berpegang pada kitab dan sunah.66 Dalam perkembangan selanjutnya, mereka

dipandang sebagai pemimpin tarekat Syazilliah. Atas jasa mereka sehingga

sekarang telah berkembang pesat di berbagai wilayah, seperti Tunisia, Mesir,

Aljazair, Maroko, Sudan, Syiria, dan Indonesia.67

Adapun pokok-pokok pemikiran tarekat Syazilliah adalah: (a) Tidak

menganjurkan kepada murid-muridnya untuk meninggalkan profesi dunia

mereka. (b) Tidak mengabaikan dalam menjalankan syariat Islam. (c) Zuhud

tidak berarti menjauhi dunia karena pada dasarnya zuhud adalah mengosongkan

hati dari selain Tuhan. (d) Tidak ada larangan bagi kaum saleh untuk menjadi

milioner yang kaya raya asalkan hatinya tidak tergantung pada harta yang

dimilikinya. (e) Melaksanakan tasawuf yang ideal dalam arti bahwa di samping

berusaha mencari langit juga harus beraktivitas dalam realitas sosial di bumi ini.

Beraktivitas demi kamaslahatan umat adalah bagian integral dari hasil

64Al-Mursi adalah murid al-Shadzili yang mengantikan posisi al-Shadzili sebagai murshid yang menyebarkan Tarekat Shadziliyah namun tidak menulis ajaran-ajarannya. Muridnya yang bernama Ibn ’Atailah itulah yang aktif menulis ajaran-ajaran dan biografi gurunya. Ibid. 65Ibid., 76. 66Abu Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Tasawuf Islam, Telaah Historis dan Perkembangannya, terj. Subkhan Anshari (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2008), 298. 67Moh Ardani, Tarekat Shadhiliyah, 76.

Page 21: JAM’IYYAH AHL AL-T{ARI

122

kontemplasi. (f) Tasawuf memiliki empat aspek penting, yakni berakhlak dengan

akhlak Allah Swt., senantiasa melakukan perintahnya, dapat menguasai hawa

nafsu dan berupaya selalu bersama, serta beribadah dengannya secara sungguh-

sungguh. (g) al-Ma’rifah (gnosis) dapat diperoleh dengan dua jalan. Pertama,

mawa>lub atau ain al-jud (sumber kemurahan Tuhan) yaitu Tuhan memberikannya

tanpa usaha dan memilihnya sendiri orang-orang yang akan diberikan anugerah

tersebut. Kedua, makasib atau badhli al-mah}jud, yaitu melalui usaha keras

dengan cara al-riya>d}ah mulazamah, al-dhikir mulazamah, al-wudu’, puasa, salat

sunah, dan amal saleh lainnya.68Meskipun terdapat persamaan dengan tasawuf al-

Ghazali, namun juga memiliki perbedaan, yaitu dalam hal upaya mendekatkan

diri kepada Allah Swt. Al-Ghazali lebih menekankan pada riya>d}ah al-abda>n

(latihan yang berkaitan dengan fisik) yang mengharuskan adanya mashaqah,

misalnya bangun malam, lapar, dan lain-lain, sementara al-Shadhili menekankan

pada riyadah al-qulu>b (latihan yang berkaitan dengan hati) tanpa menekankan

adanya mashaqat al-abda>n, misalnya senang (al-farh }), rela (ar-rid}a),69 dan

bersyukur atas nikmat Allah (al-shukr).

Sedangkan hizib (doa dan zikir) tarekat Syaziliah, antara lain, h}izb al-

ashfa’, h}izb al-kafa atau al-autad, h}izb al-bah}r, h}izb al-baladiyah atau al-

birhatiyah, h}izb al–barr, h}izb al-mash, h}izb al-muba>rak, h}izb al-sala>mah, h}izb al-

nu>r, dan h}izb al-huj.70

68Ibid., 73-75. 69Ibid. 70Abi> Abdillah} Muh}ammad Ibn Sulaima>n al-Jazuli>, Dala>il al-Khamat ma’a al-Ah}zab (Surabaya: Nabhan, t.th). Baca juga Ibn ‘At}aillah, H{ata’fal Mina>r, tahqiq Abd H{ali>m Mah}mad (Mesir: Da>r as-Shab, 1986), 252-257.

Page 22: JAM’IYYAH AHL AL-T{ARI

123

3. Tarekat Naksyabandiah

Tarekat Nakshabandiah71 didirikan oleh Muh}ammad Baha’ al-Di>n al-

Uwaisi> al-Bukha>ri> Naqshabandiah (717 – 791 H / 1318 – 1389 M).72 Beliau

dilahirkan di sebuah desa yang bernama Qas}rul Ari>fah. Lokasi desa ini beberapa

kilometer dari Kota Bukha>ra yang merupakan kota tempat lahir Ima>m Bukha>ri>.

Di tempat ini pula beliau wafat dan dimakamkan.73

Ditinjau dari silsilah keluarga, beliau berasal dari keluarga dan lingkungan

yang baik. Hal ini ditandai dengan gelar shaykh yang beliau peroleh sebagai

tanda kedudukan yang tinggi sebagai seorang pemimpin spiritual. Namun

demikian, gelar ini diperoleh setelah melalui jenjang perjuangan panjang. Beliau

belajar tasawuf kepada Baba al-Samasi> ketika berusia 18 tahun. Setelah itu,

beliau belajar tarekat kepada seorang qut}b di Nasaf, yaitu Ami>r Sayyid Kulal al-

Bukha>ri> (w. 772 H / 1371 M).

Kulal adalah seorang khalifah Muh}ammad Baba al-Samasi>. Dari Kulal

beliau terutama belajar tarekat, walaupun ilmu-ilmu yang lainnya juga dipelajari.

Selain itu, beliau juga belajar kepada seorang ‘arif bernama al-Dikkira>m selama

sekitar satu tahun. Dari kedua guru utamanya, yaitu Baba al-Samasi> dan Ami>r

Kulal, beliau mendapatkan posisi sebagai pewaris tradisi khawajagan. Nama ini

71Dinisbatkan kepada nama pendirinya, yaitu Baha’ ad-Di>n Naqsabandi. Pendiri tarekat ini merupakan ulama yang mensistematisasikan ajaran, metode ritual, dan amalan secara ekplisit. Namun tokoh tersebut tidak dipandang sebagai pencipta tarekat, melainkan hanya mengolah ajaran-ajaran yang diturunkan melalui garis keguruan yang terus sampai kepada Nabi. Wiwit Siti Sajarah, “Tarekat Naqshabandiyah: Menyalin Hubungan Harmonis dengan Kalangan Penguasa”, dalam Sri Mulyati, et. al., Tarekat-tarekat Mu’tabarah, 89. 72Naqsabandiyah berasal dari kata Naqshaband, artinya “pelukis, penyulam, penghias” karena nenek moyang mereka adalah penyulam. Nama tersebut mengacu pada prosesi keluarga. Selain itu, kata tersebut juga menunjukkan kualitas spiritual untuk melukis nama Allah di atas hati seorang murid. Ibid. 73Abu Bakar Atjeh, Pengantar, 319.

Page 23: JAM’IYYAH AHL AL-T{ARI

124

dinisbatkan kepada Abd Khaliq Ghujdawani> (w.120 H). Ia adalah seorang sufi

dan mursyid tarekat Naksyabandi yang keenam serta sebagai pencetus dasar

ajaran tarekat ini. Sebagai pewaris, peran ini kemudian dilanjutkan oleh al-

Naqshabandi. Ghujdawani> merumuskan delapan ajaran pokok. Di tangan al-

Naqshabandi, delapan ajaran tersebut ditambah tiga ajaran pokok sehingga ajaran

tarekat ini menjadi sebelas.74

Pusat terekat ini pertama kali di Asia Tengah75 kemudian meluas ke

Turki, Suriah, Afganistan, dan India. Di Asia Tengah, tarekat ini menyebar

bukan hanya di kota-kota penting, tetapi juga di kampung-kampung kecil.

Dalam perkembangannya, tarekat ini masuk India mulai pada masa

pemerintahan Babur, Pendiri kerajaan Mughal (w. 1530 M). Namun demikian,

perkembangan yang pesat terjadi setelah kepemimpinan Muh}ammad Baqi’ Billah

(971–1012 H/1563-1603 M). Tokoh ini dilahirkan di Kabul. Beliau telah banyak

belajar kepada beberapa tokoh Naksyabandi sebelum bermukim di India. Ia

membawa kesucian dalam tarekat dari Samarkand dan Bukha>ra> dan

menyematkannya di tanah India. Dalam jangka waktu lima tahun ia

menghabiskan waktunya untuk bekerja di India dengan menyampaikan pesan

silsilah kepada para ulama, kaum sufi, para tuan tanah, dan pejabat. Berkat kerja

kerasnya, hampir semua pengikut Naksyabandiah di seluruh dunia dewasa ini

menarik garis keturunan spiritual melalui Baqi’ Billah dan Khalifahnya, Ah}mad

Shirhindi (w. 1624 M) serta Shaykh Wali Allah al-Dahlawi (w.1762 M).76

74J.Spencer Triminghan, The Sufi Order, 62-63. 75Ibid., 92. 76Annemarie Schimmel, Mystical Dimensian of Islam (Chapellhills: Coroline Press, 1981), 365, 367-370.

Page 24: JAM’IYYAH AHL AL-T{ARI

125

Penyebaran Tarekat Naksyabandiah di India terjadi setelah wafatnya

Baqi’ Billah adalah Ah}mad Sirhindi (972-1033 H/1564-1624 M) yang dikenal

sebagai mujadid alfi thani (pembaharu milenium kedua) pada akhir abad ke

delapan belas. Nama Shaykh Sirhindi hampir sinonim dengan tarekat

Naksyabandiah di seluruh Asia Selatan dan sebagian besar Asia Tengah.77 Ketika

Sirhindi berhasil mengukuhkan dirinya sebagai penerus khanaqah Baqi’ Billah di

Delhi, Ta>j ad-Di>n (w.1050 H/1640 M), seorang khalifah Baqi’ Billa>h yang gigih

dalam membela konsep wah}dat al-wuju>d (kesatuan wujud) meninggalkan Delhi

dan menetap di Makkah untuk mengajarkan tarekat.78

Ah}mad bin Ibrahi>m bin Allam, seorang sufi yang cukup mashur, menjadi

muridnya dan kemudian menjadi khalifahnya selanjutnya. Ta>j ad-Di>n

mengangkat dua orang khalifah di Yaman, yaitu Ah}mad bin ‘Ujai>l dan

Muh}ammad Abd al-Baqi>. Muh}ammad al-Baqi> ini adalah pembimbing Yusuf

Makasari (1626-1699) yang disebut sebagai orang pertama yang

memperkenalkan Tarekat Naksyabandiah di Nusantara.79

Pada abad ke-19, tarekat Naksyabandiah telah berkembang di Makah dan

memperoleh banyak pengikut dari berbagai negara, termasuk Indonesia.80

Menurut catatan Kharisudin Aqib, setidaknya terdapat tiga cabang besar tarekat

Naksyabandiah, yaitu Khalidiyah di Makah, Mazahiriyah di Madinah, dan

Mujadinah (murni) di Makah. Dari kedua kota suci ini tarekat Naksyabandiah

77Wiwit Siti Sajaroh, “Tarekat Naqshabandiyah”, 94. 78Zurkarni Yahya, “Asal-usul Tarekat Qadiriyah wa Naqshabandiyah dan Perkembangannya”, dalam Harun Nasution (ed.), Tarekat Qadiriyah wa Naqshabandiyah: Sejarah, Asal-usul, dan Perkembangannya (Tasikmalaya: AILM, 1990), 79. 79Wiwit Siti Sajaroh, “Tarekat Naqshabandiyah”, 95. 80Zamakhsari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai (Jakarta: LP3ES, 1981), 141.

Page 25: JAM’IYYAH AHL AL-T{ARI

126

masuk Indonesia.81Shaykh Yusuf al-Makasari (1626-1699) adalah orang pertama

yang menyebarkan tarekat Naksyabandiah di Nusantara. Ia mendapatkan ijazah

dari Shaykh Muh}ammad Abd al-Baqi’ di Yaman. Selanjutnya mempelajari

tarekat ketika ada di Madinah di bawah bimbingan Shaykh Ibrahi>m al-Kara>m.

Penyebaran berikutnya dilakukan oleh para pelajar yang mencari ilmu di Makah

dan jama’ah haji Indonesia. Misalnya saja Muh}ammad Yusuf, yang dipertuan

muda di Kepulauan Riau, ketika pertama naik haji ke Makah telah dibaiat masuk

tarekat Naksyabandiah oleh Shaykh Muh}ammad S{alih} al-Zawawi>. Dia menjadi

sultan pada tahun 1883. Kemudian pada tahun 1885 mengangkat anaknya sendiri

sebagai sultan sehingga dia dapat lebih aktif memimpin langsung zikir bersama

jama’ah. Pada tahun 1894 dia mencetak risalah karya Shaykh al-Zawawi>, seorang

guru tarekat Naksyabandiah.82

Penyebaran tarekat Naksyabandiah Mazariah di Pontianak pada tahun

1884 dilakukan oleh Usman Pantiani.83 Ia belajar di Makah pada tahun 1870, saat

ia berusia 15 tahun dari dua gurunya, yaitu M. Salih dan Abdullah Zawawi.

Demikian pula di Madura tarekat Naksyabandiah Mazariah telah hadir sejak

akhir abad kesembilan belas.84 Sejumlah mursyid madura tampaknya telah

menerapkan semacam kepemimpinan bersama dalam tarekat, yang secara

kolektif melayani pengikut tarekat yang sama. Di antara mereka adalah Fath} al-

Bari> yang secara teratur mengunjungi masyarakat Madura dan membaiat

sejumlah besar pengikutnya. Mursyid lain yang berjasa menyebarkan tarekat

81Kharisudin Aqib, Al-Hikmah, 58. 82Ibid., 97-98. 83Usman Pantiani juga bisa dipanggil “al-Sarawaki”. Beliau lahir di Pontianak, tetapi ibunya dari Sarawak, dan ayahnya berasal dari Banjar (Kalimantan Selatan). Ibid., 98-99. 84Martin van Brainessen, Tarekat Naqshabandiyah, 185.

Page 26: JAM’IYYAH AHL AL-T{ARI

127

Mazariah ke Madura adalah Abdul Azim dari Bangkalan (w.1335/1916), seorang

yang telah lama mukim di Makah dan telah menjadi khalifah dari Muh}ammad

Saleh serta mengajarkan tarekat pada orang-orang Madura yang sedang

menunaikan ibadah haji dan tinggal sebentar di kota suci Makah dan Madinah.85

Tarekat Naksyabandiah juga berkembang dan berpengaruh di

Minangkabau. Menurut perkiraan Schrieke, tarekat ini datang pertama kali ke

Minangkabau sekitar tahun 1850. Berdasarkan analisis Schrieke, orang Minang

menerima tarekat ini dari Isma’il Minangkabaw> ketika ia berada di Makah.

Kemungkinan yang lainnya, orang Minang menerima tarekat ini dari tokoh lokal,

yaitu Muh}ammad T{ahir dari Berulak di Negeri Padang Ganting Tanah datar

(w.1860).86 Memang tidak ditemukan data pasti tentang bagaimana tarekat

Naksyabandiah masuk ke Minangkabau. Berdasarkan kajian yang penulis

lakukan, kemungkinan yang terkuat adalah lewat jalur Isma’il Minangkabawi

karena tokoh ini memiliki akar dan pengaruh yang cukup kuat di Minangkabau.

Dalam perkembangannya kemudian, tarekat ini menyebar luas di daerah

Minangkabau hingga pelosok pedalaman. Di antara tokoh yang berpengaruh

sebagai Shaykh Naksyabandiah adalah Jalaludin dari Cangkring,87 Abd al-

Wahab,88 dan Tuanku Shaykh Habuan dari Padang.89Perkembangan tarekat ini

pulau Jawa juga menarik untuk dicermati. Di Jawa Tengah, cabang-cabang

tarekat ini kebanyakan berasal dari Muh}ammad Ilyas dari Sukaraja Kabupaten 85Ibid., 186. 86Khalifah Muh}ammad Tahir adalah generasi ketiga setelah Shaykh Abd al-Majid. Ibid., 124. 87Ia banyak menarik orang berpindah menjadi pengikut Naqshabandiyah. Akibatnya, ia terlibat konflik dengan guru-guru Tarekat Shatariyah. Ibid., 125. 88Ia mendapat gelar Shaykh Ibrahim bin Pahad. Ia dikelilingi oleh banyak orang dengan rasa setia. Orang memohon berkhahnya dan ia dijunjung tinggi di atas tandu sebagai seorang wali. Ibid. 89Melalui perkawinannya dengan putri (perempuan bangsawan keturunan Pangaruyung), ia banyak membaiat kalangan bangsawan masuk tarekat. Ibid.

Page 27: JAM’IYYAH AHL AL-T{ARI

128

Banyumas dan Muh}ammad Hadi dari Giri Kusumo. Menurut cerita, Muh}ammad

Hadi—di samping terpelajar dalam bidang fikih dan tarekat—ia juga orang sakti

khas Jawa. Ia mengajar tarekat secara lengkap dan memberi ijazah untuk

pengajaran dan penyebaran tarekat. Salah satu anaknya yang bernama Mansur

mendirikan pesantren di Desa Papangan, sebuah desa yang terletak antara Solo

dan Klaten. Pesantren ini dalam perkembangannya menjadi salah satu pusat

pengembangan tarekat Naksyabandiah di Jawa Tengah (Rembang, Blora,

Banyumas, dan Purwokerto), Jawa Barat (Cirebon), dan Jawa Timur (Kediri dan

Blitar).90Ajaran dasar tarekat Naksyabandiah terdiri atas 11 Asas. 8 Asas

dirumuskan oleh Abd al-Khaliq Ghujdawani> dalam bahasa Persia dan tiga asas

lainnya berasal dari Shaykh Baha’ al-Di>n Naksyabandi.91 Delapan ajaran tersebut

adalah: pertama, nush dar dam (menjaga nafas), yaitu suatu latihan konsentrasi

seorang sufi setiap menarik dan menghembuskan nafas dan ketika berhenti

sebentar di antara keduanya untuk menjaga diri dari Allah SWT.

Dengan latihan ini dapat memberikan kekuatan spiritual dan membawa

orang lebih dekat kepada Allah serta dapat menghindarkan diri dari kematian

spiritual yang mengakibatkan orang akan jauh dari Allah SWT.Kedua, nazar bar

qadam (menjaga langkah), yaitu seorang sa>lik (murid yang sedang menjalani

khalwat suluk),92 sewaktu berjalan menundukkan kepala melihat ke arah kaki.

90 Ibid, 124-133 Baca pula-wiwit siti sajaroh. Tarekat Naqshabandiyah, 101. 91 Muh}ammad Amin al-Kardi. Tanwi>r Qulu>b fi Muamalati Allam al-Qhuyub. (Indonesia: Da>r Ihya’ al-Kutub, t.th), 506-508. Baca Ah}mad Mustofa Diya’ al-Din al-Gumushkhanawi. Jami’ al-Usul f al-Auliya (Surabaya: Mutba’ah al-Haramain, t.th); Martin Van Bruinessen. Tarekat Naqshabandiyah, 76-79. 92 Khalwat berarti mengasingkan diri/pengasingan rohani. Misalnya Rasulullah saw pernah melakukan khalwahdi gua hira. Suluk berarti perjalanan menuju Allah. Maksudnya : berada di suatu tempat yang jauh dari gangguan manusia untuk mengkonsentrasikan diri (jasmani dan

Page 28: JAM’IYYAH AHL AL-T{ARI

129

Apabila duduk memandang lurus ke depan supaya tujuan-tujuan (rohani)-nya

tidak tergoda oleh segala hal yang ada di sekelilingnya yang tidak relevan.

Ketiga, safar tar wat}an (melakukan perjalanan di tanah kelahirannya), yaitu

melakukan perjalanan batin dengan meninggalkan segala bentuk

ketidaksempurnaannya sebagai manusia menuju kesadaran akan hakekatnya

sebagai makhluk yang mulia. Arti lainnya adalah pindah dari sifat-sifat manusia

yang rendah menuju kepada sifat-sifat malaikat yang terpuji.

Keempat, khalwat dar anjuman (sepi di tengah keramaian), yaitu

menyibukkan diri dengan terus-menerus membaca zikir tanpa memperhatikan

persoalan-persoalan yang lainnya sewaktu berada di tengah keramaian orang.

Pendapat lain mengartikan sebagai perintah untuk tetap turut aktif dalam

kehidupan masyarakat, sedangkan hatinya selalu berkonsentrasi ingat kepada

Allah dan selalu warak.93

Kelima, yard kard (menyebut asma Allah berulang-ulang). Berzikir terus-

menerus mengingat Allah, baik zikir ismal-dhat (lafal Allah), maupun dzikir nafi>-

ithba>t (lafal la> ila>ha illa Alla>h). Bagi penganut Naksyabandiah, zikir tersebut

tidak terbatas dilakukan secara berjama’ah ataupun sendirian sesudah salat tetapi

secara terus-menerus supaya di dalam hati tertanam kesadaran adanya Allah yang

permanen. Keenam, baz gasht (kembali/memperbaharui). Seorang murid setelah

seleksi berzikir menghela nafas kembali munajat dengan mengucapkan kalimat

rahani) melakukan ibadah kepada Allah Baca: M.Solihin dan Rosihon Anwar Kamus Tasawuf (Bandung : Remaja Rosda karya, 2002), 116 dan 192. Khalwat ada dua bagian, yaitu : a) khalwat lahir : seorang salik mengasingkan diri kesebuah tempat yang jauh dari keramaian masyarakat. b) khalwat batin : mata hati menyaksikan rahasia kebesaran Allah SWT dalam pergaulan sesame makhluk. Baca Muh}ammad Amin al-Kandi Tanwi>r al-Qulu>b, 506-507. 93 Menjaga diri dari berbuat dosa atau maksiat sekecil apapaun. Ibid, 267.

Page 29: JAM’IYYAH AHL AL-T{ARI

130

yang mulia: Ila>hi anta maqs}u>di>y wa rid}a>ka mat}lu>bi>y (Ya Tuhan, Engkaulah

tempatku memohon dan keridaan-Mu lah yang kuharapkan). Sewaktu

mengucapkan zikir, makna dari kalimah ini haruslah senantiasa berada di hati

seorang murid untuk mengkonsentrasikan perasaan. Hati diarahkan kepada Allah

semata sehingga dalam kalbunya merasakan rahasia tauhid yang hakiki dan

semua makhluk ini lenyap dari pandangannya.

Ketujuh, nigah dasht (waspada). Setiap murid harus menjaga hati, pikiran,

dan perasaan secara terus-menerus ketika melakukan zikir tauhid untuk

mencegah agar pikiran dan perasaan tidak menyimpang dari kesadaran yang tetap

keberadaan Tuhan serta untuk memelihara pikiran dan tingkah laku sesuai

dengan makna kalimah tersebut.

Kedelapan, yad dasht (mengingat kembali), adalah tawajuh

(menghadapkan diri) kepada Nur Zat llah tanpa kata-kata sampai secara langsung

menangkap Zat Allah yang berbeda dari sifat-sifat dan nama-nama-Nya

mengalami bahwa segalannya berasal dari Allah yang Esa dan keanekaragam

ciptaan terus berlanjut ke tak terhingga.

Penglihatan ini ternyata hanya mungkin dalam keadaan jadhbah.94 Itulah

derajat rohani tertinggi yang dapat dicapai. Tampaknya hal ini semula dikaitkan

pada pengalaman langsung kesatuan dengan yang ada wah}dat al-wuju>d. Menurut

Ah}mad Sirhindi dan pengikut-pengikutnya, adanya dalil yang lebih tinggi bahwa

seorang sufi sadar kesatuan (kemanunggalan) ini hanyalah bersifat fenomenal,

bukan ontologis. 94 Jadhbah adalah perasaan dimabuk rindu, keterpesonaan kepada Allah. Daya tarik kepada tuhan atau pesona kepada tuhan yang terjadi pada proses rohani Baca: M. Solihin dan Rosihon Anwar Kamus Tasawuf, 102.

Page 30: JAM’IYYAH AHL AL-T{ARI

131

Adapun tiga asas lainya yang berasal dari Shaykh Baha’ al-Di>n

Naksyabandiah adalah: pertama, wuquf zamani> (memeriksa pengunaan waktu).

Setiap sa>lik senantiasa mengamati dan memeriksa tiga jam sekali. Jika ternyata

secara terus-menerus sadar dan larut dalam berzikir serta melakukan perbuatan

terpuji, hendaklah bersyukur kepada Allah. Tetapi jika ternyata lupa atau

melakukan perbuatan dosa, hendaklah segera minta ampun dan bertaubat serta

kembali kepada Allah dengan kehadiran hati yang sempurna. Kedua, wuquf adabi

(memeriksa hitungan zikir), yaitu memeriksa hitungan zikir dengan hati-hati dan

penuh konsentrasi beberapa kali seseorang mengulangi kalimah zikir. Zikir nafi-

ithbat diucapkan dalam jumlah hitungan ganjil, atau 5 sampai 21 kali. Ketiga,

wuqu>f qalbi> (menjaga hati tetap terkontrol), yaitu menjaga hati seseorang (secara

batin terus zikir) berada di hadirat Allah sehingga hati itu tidak sadar akan yang

lain kecuali Allah. Dengan demikian, konsentrasi hati seseorang selaras dengan

zikir dan maknanya. Makna wuqu>f qalbi> yang lain adalah bahwa hati orang yang

zikir itu berhenti (wuquf). Ketika konsentrasi zikir memusatkan kepada Allah

dan bergumul dengan lafad-lafad zikir dan maknanya.

4. Tarekat Khalwatiah

Pendiri tarekat ini adalah Dede Umar al-Khalwati (w.1397 M) yang

bergelar Qut}b al-Zamani Maulana Affandi Umar al-Khalwati.95 Tarekat ini

merupakan cabang dari tarekat Suhrawardiyah yang didirikan oleh Abu> H{afs al-

Suhrawardi (w. 632 H).96 Paham tarekatnya bersumber dari Abu> al-Qasim al-

Junaidi> (w. 298 H/910 M). Tokoh ini juga melahirkan tarekat Kubrawiyah yang

95M. Sholihin dan Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia, 2008), 214. 96Moh. Toriquddin, Sekularitas Tasawuf, 129.

Page 31: JAM’IYYAH AHL AL-T{ARI

132

didirikan oleh Hajmuddi>n Kubra (w. 618 H/1221 M) dan tarekat Mawlawiyah

yang didirikan oleh Jalaludi>n Rumi> (1207-1273 M).

Perkembangan tarekat ini cukup pesat. Ada beberapa negara yang yang

menjadi wilayah perkembangannya, yaitu Turki, Syiria, Mesir, Hijaz, dan

Yaman. Di Turki, tarekat ini pertama kali dipimpin oleh Amir Sultan (w.1439

M). Sementara di Mesir dipimpin oleh Ibrahi>m Galshaini (w. 940 H/1534 M).

Dalam sejarahnya, tarekat ini berkembang menjadi beberapa cabang tarekat,

antara lain tarekat Sammaniyah yang didirikan oleh Muh}ammad bin Abd al-

Karim al-Samani (1718-1775 M).97

Tarekat Khalwatiah pertama kali diperkenalkan di Indonesia oleh Shaykh

Yusuf Makasar pada tahun 1670 M. Setelah pulang menempuh studi dari dari

tanah Arab, Shaykh Yusuf menetap di Banten untuk menjadi penasehat spiritual

dan menantu Sultan Ageng Tirtayasa. Selain itu, beliau juga menjadi pemimpin

karismatis orang Makasar dan Bugis yang bermukim di Banten. Beliau dibaiat

menjadi penganut Khalwatiah di Damaskus oleh Abu al-Barakah Ayyub bin

Ah}mad bin Ayyub al-Khalwati al-Quraisyi.98 Selain tarekat Khalwatiah, Yusuf

juga dibaiat menjadi pengikut kadariah, Naksyabandiah, Shat}ariyah, dan

Ba’lawiyah.99Tarekat Khalwatiah di Indonesia kebanyakan diikuti oleh Suku

Bugis dan Makasar di Sulawesi Selatan atau di temapat lain di mana suku itu

berada, seperti Riau, Malaysia, Kalimantan Timur, Ambon, dan Irian Barat.100

Tarekat ini memiliki dua cabang yakni Tarekat Khalwatiah Yusuf yang diambil

97M. Sholihin dan Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, 214. 98Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, 287. 99Ibid., 289. 100Musrifah Sunanto, “Tarekat Khalwatiyah: Perkembangannya di Indonesia”, dalam Sri Mulyati (ed.), Tarekat-tarekat Mu’tabarah, 177.

Page 32: JAM’IYYAH AHL AL-T{ARI

133

dari nama seorang sufi dan pejuang Makasar abad ke-17, Syaykh Yusuf Makasar,

dan tarekat Khalwatiah Saman yang diambil dari nama seorang sufi Madinah

abad ke-18, Muh}ammad al-Saman. Kedua cabang tarekat ini sesungguhnya

memiliki banyak perbedaan. Masing-masing berdiri sendiri dan tidak memiliki

banyak kesamaan.101

Perbedaan keduanya mencakup amalan, organisasi, dan komposisi sosial

pengikutnya. Tarekat Khalwatiah Yusuf dalam berzikir mewiridkan nama-nama

Tuhan dan kalimat singkat lainya secara sirr (lembut) dalam hati, sementara

tarekat Khalwatiah Saman melakukan zikir dan wiridnya dengan suara keras dan

ekstatik. Tarekat Khalwatiah Yusuf tidak mempunyai pimpinan pusat, sedangkan

Tarekat Khalwatiyah Samaniyah memiliki pimpinan pusat. Semua guru tunduk

pada Pimpinan Pusat di Maros.102 Cabang-cabang Tarekat Khalwatiah Saman

memiliki tempat ibadah sendiri (musala, langgar) dan cenderung mengisolasi diri

dari tarekat yang lain, sedangkan tarekat Khalwatiah Yusuf tidak memiliki

tempat ibadah secara khusus. Mereka bebas berbaur dengan masyarakat yang

bukan menjadi pengikut tarekat ini. Tarekat Khalwatiah Yusuf dapat disebut

sebagai tarekat yang lebih “aristrokratis” karena anggotanya banyak yang dari

kalangan bangsawan Makasar, termasuk penguasa Kerajaan Gowa yang terakhir,

Andi Ijo Sultan Muh}ammad Abdul Khadir Aidid (berkuasa tahun 1946-1960).

Sementara tarekat Khalwatiah Saman lebih merakyat, baik dalam hal gaya

maupun komposisi sosial pengikutnya yang sebagian besar orang-orang desa.103

101Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, 286. 102Ibid. 103Ibid.

Page 33: JAM’IYYAH AHL AL-T{ARI

134

Adapun ajaran dasar tarekat Khalwatiah adalah: (a) yaqza (kesadaran

akan dirinya sebagai makhluk yang hina di hadapan Allah SWT. Yang Maha

Agung. (b) Taubah (mohon ampun atas segala dosa). (c) Muh}a>sabah (instropeksi

diri). (d) Ina>bah (berhasrat kembali kepada Allah). (e) Tafakur (merenung

tentang kebesaran Allah). (f) I’tisan (selalu bertindak sebagai khalifah Allah di

bumi. (g) Firar (lari dari kehidupan jahat dan keduniaan yang tidak berguna. (h)

Riya>d}ah (melatih diri dengan beramal sebanyak-banyaknya. (i) Tasyakur (selalu

bersyukur kepada Allah dengan mengabdi dan memuji-Nya. (j) Sima’

(mengonsentrasikan seluruh anggota tubuh dalam mengikuti perintah-perintah

Allah, terutama pendengaran.104

Zikir dalam tarekat Khalwatiah ada empat macam. (a) La> ila>ha illa Alla>h.

Zikir ini disebut dhikir nafi ithba>t. La> ila>ha sebagai yang dinafikan (ditiadakan),

dan illa Alla>h sebagai ithbat-nya (penegasan terhadap satu-satunya yang abadi).

Zikir ini diajarkan pada murid tingkat permulaan untuk diamalkan setiap hari

minimal 10-100 kali dan apabila maqamnya (tingkatannya) sudah meningkat

lebih tinggi diamalkan menjadi 300 kali. (b) Allah-Allah. Zikir ini disebut zikir

Ismu al-Jalah. Zikir ini diajarkan kepada murid yang sudah mencapai maqam

khusus untuk diamalkan setiap hari antara 40, 101, atau 300 kali. (c) huwa-huwa.

Zikir ini disebut ismu al-Isharah, diajarkan kepada murid yang telah mencapai

maqam tinggi setingkat badal (wakil mursyid). Zikir ini diamalkan setiap hari

antara 100-700 kali. Tetapi kebiasaannya diamalkan sebanyak 300 kali. (d) Ah-

ah. Zikir ini diberikan kepada murid yang telah mencapai maqam tertinggi

104Musyrifah Sunanto, ”Tarekat Khalwatiyah”, 130-131.

Page 34: JAM’IYYAH AHL AL-T{ARI

135

setingkat mursyid yang ma’rifatullah (mengenal Allah). Zikir yang wajib

diamalkan sebanyak 100-700 kali setiap hari.105

5. Tarekat Shat}ariyah

Tarekat Shat}ariyah didirikan oleh Abdulla>h al-Shat}ar (w.890H/1485

M).106 Beliau memiliki hubungan silsilah tarekatnya kepada Abu> Yazi>d al-Ish}a>qi>,

yang terhubungkan lagi kepada Abu> Yazi>d al-Bustami> (w. 260 H/873 M), dan

Ima>m Ja’far al-S{adi>q (w.148 H/763 M). Oleh karenanya, tarekat ini dikenal

dengan tarekat Ish}a>qiyyah di Iran atau tarekat Bistamiyyah di Turki Usmani.107

Dalam sejarahnya, tarekat ini kurang berkembang. Kebangkitan kembali

tarekat ini terjadi setelah Shaykh Abdullah al-Sat}ar mengajarkannya dan

menyebarluaskan di wilayah India. Beliau lalu memberi nama tarekat ini sebagai

tarekat Shat}t}ariyah. Sejak itulah tarekat Shat}t}ariyah selalu dikaitkan dengan

tasawuf India. Namun demikian, nama Abu> Yazi>d al-Ish}a>qi dan Abu> Yazi>d al-

Bustami> tetap menjadi sandaran dalam tradisi silsilahnya untuk menghubungkan

sampai kepada Imam Ja’far al-S{a>diq dan akhirnya sampai pada Nabi Muh}ammad

Saw.108Shaykh Abdulla>h al-Sat}t}ar sebagai pendiri Tarekat Shat}t}ariyah menetap

di Mandu, sebuah desa di India tengah di mana dia mendirikan khanaqah109

pertama bagi para penganut tarekat Shat}t}ariyah. Ia menulis sebuah kitab berjudul

105Ibid., 135. 106Seorang ulama yang masih memiliki hubungan kekeluargaan dengan Sihab al-Di>n Abu> H}afs ‘Umar al-Suhrawardi> (539-632 H/1145–1234 M). Ulama sufi mempopulerkan Tarekat Suhrawardiyah, yaitu sebuah tarekat yang awalnya didirikan oleh pamannya sendiri, Diya’ ad-Di>n Abu> Naji>b al-Suhrawardi> (490–563 H/1097–1168 M). Lihat J.Spencer Triminghan, The Sufi Order, 33-34. 107Ibid., 97-98. 108Oman Fathurahman, Tarekat Shattariyah di Minangkabau (Jakarta: Prenada Media Group, 2008), 28-29. 109Khanaqah berasal dari bahasa Persia yang berarti sebuah bangunan yang digunakan oleh para sufi untuk berbagi macam keperluan, seperti belajar-mengajar, berkhalwat, berdhikir, dan sebagainya. Ibid., 150.

Page 35: JAM’IYYAH AHL AL-T{ARI

136

Hat}a’if al-Ghalaiyah. Kitab ini berisi tentang prinsip-prinsip dasar ajaran tarekat

Shat}t}ariyah dan metode cepat untuk mencapai tingkatan makrifat. Kitab ini

kemudian disempurnakan oleh kedua muridnya utamanya, yaitu Shaykh

Muh}ammad A’la> yang dikenal dengan nama Shaykh Qadi Bengal (Qazair

Shat}t}ari), dan Shaykh H{afiz Jawrpur. Murid yang kedua ini yang berjasa

mengembangkan silsilah tarekat Shat}t}ariyah di India bagian utara melewati

muridnya, Shaykh Budhdhan. Dalam perkembangannya kemudian, murid dari

Shaykh Budhdhan menulis kitab berjudul Risalah Shat}t}ariyah yang berisi tentang

prinsip-prinsip ajaran Tarekat Shat}t}ariyah.110

Khalifah tarekat Shat}t}ariyah setelah Abdulla>h al-Shat}t}ar adalah Ima>m

Qadi> al-Syat}t}ari, Shaykh Hidayat Allah al-Sarmasti>, Shaykh Haji H{uduri>, dan

Shaykh Muh}ammad Gauth. Di antara nama-nama tersebut, Shaykh Muh}ammad

Bauth Gwaliyar (w. 970 H/1563 M) merupakan khalifah tarekat Shat}t}ariyah yang

paling berhasil memaparkan doktrin dan ajaran tarekat Shat}t}ariyah melalui

berbagai karangannya, antara lain, Jawa>hir al-Khamsah, Khilid Makhzam

Dama’ir, Basa>ir, dan Kauz al-Tauhi>d.111 Namun di antara kitab-kitab tersebut

yang muncul di India hanya Jawa>hir al-Khamsah.

Di antara murid Shaykh Muh}ammad Gauth Gwaliyah yang paling

terkemuka adalah Shaykh Wa>jih} al-Di>n Alawi> (w. 1018 H/ 1609 M) yang

bertempat tinggal di Ah}madabad, India. Ia mempunyai murid bernama Sayyid

Sibgat Alla>h Ibn Ruh} Alla>h Jama>l al-Barwaji> (w.1029 H/1620 M). Selama

beberapa tahun di bawah lindungan penguasa setempat, Sayyid Sibgat Allah

110Ibid., 29. 111J. Spencer Trimighan, The Sufi Order, 98.

Page 36: JAM’IYYAH AHL AL-T{ARI

137

mengajarkan doktrin Shat}t}ariyah di tempat kelahirannya Ah}mad Dabad India

sebelum tahun 999 H/1591 M. Setelah tahun itu, ia berangkat ke Makah untuk

menunaikan ibadah haji dan mengembangkan ajaran tarekat Shat}t}ariyah di

H{aramai>n (Makah dan Madinah). Bahkan apa yang dilakukan Sayyid Sibgat

Allah telah melahirkan era baru bagi sejarah tarekat Shat}t}ariyah dan menjadi

contoh yang baik dalam melakukan interaksi keilmuan yang menghasilkan

pertukaran pengetahuan dan transmisi “tradisi-tradisi kecil” Islam dari India.112

Lebih dari itu, ia yang wafat di Madinah menjadi ulama pengembara yang

menjadi salah seorang tokoh kunci dalam penyebaran berbagai gagasan

keislaman di Haramain, terutama dalam memperkenalkan kitab Jawa>hir al-

Khamsah karangan gurunya (Muh}ammad Gauth Gwaliyah) kepada ulama di

H{aramai>n.

Kemampuan ilmu Sayyid Sibgat Alla>h diakui di H{aramai>n sampai ia

dipercaya mengajar di Masjid Nabawi. Ia menulis berbagai kitab tasawuf dan

diajarkan kepada murid-muridnya yang berasal dari berbagai macam golongan.

Di antara murid-muridnya yang paling terkemuka yang kemudian menjadi

penerusnya dalam tarekat Shat}t}ariyah adalah Ah}mad al-Shinawi (lahir 975

H/1567 M), dan Ah}mad al-Qushashi (991-1071 H/1583–1660 M). Dua orang

inilah yang paling bertanggung jawab menyebarkan ajaran Sayyid Sibghat Allah

di H{aramai>n. Hubungan al-Shinawi> dan al-Qushashi termasuk unik sebab al-

Shinawi> adalah kawan seperguruan dengan Sayyid Sibgat Alla>h, tetapi juga

menjadi guru dan sekaligus mertuanya. Ia mengajar al-Qushashi berbagai macam

112Oman Fathurahman, Tarekat Shat}t}ariyah, 31.

Page 37: JAM’IYYAH AHL AL-T{ARI

138

ilmu keislaman seperti hadis, fikih, kalam, dan tasawuf. Bahkan, al-Shinawi pula

yang menginisiasi al-Qushashi> sebagai khalifah tarekat Shat}t}ariyah berikutnya.

Sehingga, setelah al-Shinawi> wafat tanggung jawab pengajaran tarekat

Shat}t}ariyah selanjutnya di H{aramai>n dilaksanakan oleh al-Qushashi>. Berkat

kedalaman ilmunya dalam tasawuf ia mendapat gelar al-bah}ir al-t}ari>qah. Ia

seorang penulis dan pengarang yang terkenal pada masanya. Karyanya dalam

berbagai bidang keilmuan, seperti tasawuf, hadis, fikih, usul fikih dan tafsir. Dari

beberapa hasil karyanya, hanya al-sunt al-maji>d yang menjadi salah satu sumber

pokok ajaran tarekat Shat}t}ariyah.113

Usaha al-Qushashi> dalam menyebarkan ajaran Tarekat Shat}t}ariyah di

H{aramai>n yang telah dirintis oleh al-Shinawi> terus dilakukan. Bahkan di tangan

al-Qushashi>, tarekat Shat}t}ariyah semakin memantapkan pengaruhnya di

H{aramai>n, dan mengalami semacam reorientasi dari sifat awalnya yang

cenderung lebih menekankan pada aspek mistis menjadi sebuah tarekat yang

mengajarkan perpaduan antara aspek mistis dan syariat atau yang kemudian

dikenal dengan Neo-Sufisme.114

Selain itu, tarekat Shat}t}ariyah juga memperlihatkan adanya pertemuan

beberapa tradisi keilmuan, khususnya tradisi hadis, untuk menjustifikasi berbagai

ajaran tasawuf dan tarekat, dan untuk menegaskan bahwa tasawuf dan tarekat

tidak harus dipandang sebagai bertentangan dengan ajaran al-Qur’an dan

113Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Akar Pembaharuan Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2004), 89. 114Neo-Sufisme adalah jenis tasawuf yang telah diperbarui, terutama dilucuti dari ciri dan kandungan ekstatik dan metafisiknya, kemudian digantikan dengan kandungan yang berasal dari dalil-dalil ortodoksi Islam (al-Qur’an dan Hadis Nabi). Baca Oman Fathurohman, Tarekat Shattariyah, 151; Suderman Tebba, Orientasi Sufisme Cak Nur (Jakarta: Paramadina, 2004), 165.

Page 38: JAM’IYYAH AHL AL-T{ARI

139

sunah.115Al-Qushashi> merupakan ulama yang dianggap paling utama dalam

transmisi ajaran Tarekat Shat}t}ariyah melalui murid-muridnya ke berbagai

penjuru dunia, termasuk ke wilayah Indonesia. Di antara murid-muridnya yang

paling berperan dalam konteks ini adalah Ibrahi>m al-Khura>ni> (1023-1102

H/1616–1690 M), dan Abdurrau>f bin Ali> al-Jawi> atau dikenal dengan Abdurrau>f

al-Sinkili> (1024–1105H/1615–1693M).116

Meskipun tidak mewariskan estafet kekhalifahan kepada Abdurrau>f dalam

tarekat Shat}t}ariyah, tetapi al-Khura>ni> adalah guru utama Abd al-Ra’u>f setelah

wafatnya al-Qashashi>, khususnya dalam berbagai macam pengetahuan dan

pemahaman keislaman. Sementara kedalaman ilmu Abd al-Ra’uf tidak diragukan

lagi karena ia berhasil memasuki inti jaringan ulama, bahkan mampu merebut

hati sejumlah ulama di H{aramai>n, sehingga menjadikan dirinya sebagai salah

seorang murid utama dan disejajarkan dengan para ulama besar dari belahan

dunia lain.117

Sekitar tahun 1661 M, Abdal-Ra’u>f pulang ke Indonesia setelah

menghabiskan waktunya sekitar 19 tahun di H{aramai>n untuk belajar berbagai

ilmu pengetahuan Islam, terutama dalam ilmu tasawuf. Sebagai tanda selesainya

pelajaran dalam jalan mistis, al-Qushashi> menunjuknya sebagai khalifah dalam

tarekat Shat}t}ariyah dan Qadariah sekaligus. Sekembalinya dari H{aramai>n,

Abdurrau>f aktif mengajar berbagai macam pengetahuan Islam dan menyebarkan

Tarekat Shat}t}ariyah. Bahkan, ia dianggap sebagai ulama yang otokratif dalam

menyebarkan Tarekat Shat}t}ariyah di Wilayah Melayu–Indonesia. Selain itu,

115Oman Fathurahman, Tarekat Shattariyah, 160-161. 116Azyumardi Azra, Jaringan Ulama, 91. 117Ibid., 198.

Page 39: JAM’IYYAH AHL AL-T{ARI

140

beliau juga merupakan figur utama karena hampir semua silsilah tarekat

Shat}t}ariyah melalui dirinya. Di antara salah satu kitab karangannya yang

dijadikan pengangan murid-muridnya adalah ’umda>t al-muhajiri>n ila> sulu>k

masla>k al-mufrodi>n. Sedangkan murid-murid Abdu al-Rau>f yang paling

terkemuka, antara lain, Shaykh Burhanudin dari Ulakan Pariaman Sumatra Barat

dan Shaykh Abdul Muhyi dari Pamijahan Tasikmalayu Jawa Barat. Kedua murid

ini telah berhasil melanjutkan dan mengembangkan silsilah Tarekat Shat}t}ariyah

dan menjadi tokoh sentral di wilahnya masing-masing.

Shaykh Burhanudin menjadi khalifah utama bagi semua khalifah tarekat

Shat}t}ariyah di wilayah Sumatra periode berikutnya, sedangkan Shaykh Abdul

Muhyi menjadi salah satu mata rantai silsilah utama tarekat Shat}t}ariyah di Jawa

Barat khususnya, dan Jawa pada umumnya.118 Dengan demikian, pertumbuhan

dan perkembangan tarekat Shat}t}ariyah sejak awal sampai di wilayah Melayu–

Indonesia mengalami empat fase. Pertama, fase cikal bakal munculnya tarekat

Shat}tariyah, yaitu fase sebelum berkembang di India. Dalam fase ini, tarekat

Shat}t}ariyah dikenal dengan nama tarekat Ish}a>qiyyah di Iran, atau Bistamiyyah di

Turki Usmani. Kedua, fase India, yaitu sejak tarekat ini mulai dikenal dengan

nama Shat}t}ariyah karena dinisbatkan kepada Shaykh Abd Allah al-Shat}t}ari.

Ketiga, fase Haramain, yaitu ketika tarekat Shat}t}ariyah diajarkan oleh tokoh

sentralnya, al-Qushashi dan al-Shinawi sebagai khalifah tarekat Shat}t}ariyah di

Haramain. Pada fase ini, sifat dan corak ajaran tarekat telah dilakukan

rekonsiliasi antara tradisi tasawuf dengan tradisi syariat.119 Keempat, fase pasca

118Oman Fathurahman, Tarekat Syattariyah, 32-35. 119Ibid., 37; Azyumardi Azra, Jaringan Ulama, 129-130.

Page 40: JAM’IYYAH AHL AL-T{ARI

141

Haramain. Dalam fase ini tarekat Shat}t}ariyah menyebar ke berbagai belahan

dunia Islam di luar Jazirah Arab, termasuk dunia Islam Melayu Indonesia. Sifat

dan corak ajaran tarekat berkembang menjadi neo-sufisme dan tokoh sentralnya

adalah Abdurrau>f al-Singkili.120

6. Tarekat Samaniah

Tarekat Samaniyah didirikan oleh Muh}ammad bin Abd al-Kari>m al-

Madani> al-Sha>fi’i> al-Saman (1130-1189 H/1718-1775 M). Ia dilahirkan di

Madinah dari keturunan Quraish dan dikenal dengan nama al-Sama>n atau

Muh}ammad Samman. Ia aktif mengajar di Madinah dan bertempat tinggal di

bekas rumah milik Abu> Bakar.121 Al-Saman adalah orang alim yang menguasai

berbagai macam ilmu pengetahuan Islam. Penguasaannya akan ilmu pengetahuan

ini berkat ketekunannya belajar dari para ulama terkenal. Misalnya, dalam bidang

hukum Islam, ia berguru kepada Muh}ammad al-Daqaq, Sayyid Ali> al-At}t}ar, Ali>

al-Kurdi>, Abd al-Wahab al-Tant}awi> (di Makkah), dan Ali> Sai>d Jila>l al-Makki>.122

Dalam bidang hadis, ia berguru kepada Muh}ammad Jlayyat serta berguru kepada

Muh}ammad bin Abd al-Wahab, Pendiri Wahabiyah yang menentang bid’ah dan

praktik syirik.123 Guru-guru al-Samman lainnya adalah Muh}ammad Sulaima>n al-

Kurdi> (1125-1194 H/1713-1780 M), Abu> T{ahir al-Khara>ni>, dan Abd Alla>h al-

Bas}ri>.

Di bidang tasawuf dan tauhid, gurunya yang paling mengesankan adalah

Must}afa bin Kama>l al-Di>n al-Bakri> (disingkat Must}afa al-Bakri>), seorang ulama

120Oman Fathurrahman, Tarekat Shattariyah, 36-38. 121Azyumardi Azra. Jaringan Ulama, 159. 122Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, 56. 123Azyumardi Azra, Jaringan Ulama, 159.

Page 41: JAM’IYYAH AHL AL-T{ARI

142

Damaskus, pengarang yang produktif, Shaykh tarekat Khalwatiyah yang pernah

menetap di Madinah dan wafat di Kairo pada tahun 1749.

Guru tarekat Khalwatiah yang lain adalah Muh}ammad bin Sali>m al-

Hifnawi dan Muh}mud al-Kurdi>. Namun pengaruh keduanya dalam tarekat tidak

tampak dalam karya-karya al-Saman sendiri.124 Pada periode berikutnya, al-

Saman membuka cabang tarekat Khalwatiah yang menyebutkan silsilah mata

rantai gurunya mulai dari Must}afa al-Bakri>. Ia tidak banyak melakukan

perubahan dengan tarekat induknya. Hal ini terlihat dari salah satu karya

utamanya, Risa>lah al-Nafah}at al-Ila>hiyyah al-Kaifiyah Suluh} al-T}ari>qah al-

Muh}ammadiyah. Dalam karya ini terlihat bahwa ia sama sekali tidak mengubah

peribadatan tarekat Khalwatiah. Sementara dia membiarkan tarekat Khalwatiah

tetap utuh, dia mendirikan tarekatnya sendiri.125

Tarekat Samaniah tampak merupakan gabungan dari bermacam-macam

tarekat. Tarekat ini berafiliasi kepada tarekat Khalwatiah, Kadiriah,126

Naksyabandiah,127 Adiliah, dan Syazilliah.128 Bermacam-macam ajaran tarekat

itu diadopsi oleh al-Saman, kemudian dipadukan menjadi teknik zikir, bacaan-

bacaan lain, dan ajaran-ajaran metafisika. Semua tarekat itu, dengan beberapa

tambahan seperti qasidah dan bacaan lain yang merupakan hasil susunannya

sendiri gabungan dari macam-macam tarekat itu, diberi nama al-Muh}ammadiyah,

124Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, 56. 125Azyumardi Azra, Jaringan Ulama, 160-161. 126Ia masuk menjadi murid Tarekat Qadiriyah sehingga dikenal orang sezamannya dengan nama lengkap Muh}ammad bin Abd al-Kari>m al-Qadi>ri al-Samman. Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, 57. 127Tarekat Naksyabandiah juga banyak mempengaruhinya, terutama dipengaruhi oleh Abd al-Ghani al-Nabulusi. Ibid. 128Tarekat Syazilliah juga ia pelajari sebagai tarekat yang mewakili tradisi tasawuf maghrib yang terkenal hizib-hizibnya. Ibid.

Page 42: JAM’IYYAH AHL AL-T{ARI

143

yang selanjutnya lebih dikenal dengan nama Tarekat Sammaniyah. Al-Saman

menyusun ra>tib-nya sendiri, wirid-wiridnya, dan tawasulnya yang diajarkan

kepada murid-muridnya. Kemampuan melakukan penyusunan ini adalah karena

ia adalah seorang sufi al-ari>f billa>h dan mursyid tarekat.129

Sistem tarekat yang tidak genuine (asli) ini tidak hanya terjadi pada

tarekat Samaniah, tetapi juga pada tarekat yang lain. Misalnya, Muh}ammad

Luqma>n al-Mirghani mendirikan Tarekat Khatmiah yang merupakan gabungan

dari Naksybandiah, Kadiriah, Sazilliah, Junaidiah, dan Mirghaniah. Sementara

Ah}mad Khatib Sambas, seorang ulama Kalimantan yang lama menetap di Makah

pertengahan abad 19, menggabungkan dua tarekat (Kadiriah dan Naksyabandiah)

dengan nama tarekat Kadiriah wa Naksyabandiah. Tarekat Khatmiah menyebar

ke berbagai wilayah, utamanya Afrika Utara. Sedangkan tarekat Kadiriah wa

Naksyabandiah tersebar ke seluruh Indonesia.130

Jabatan al-Saman sebagai penjaga pintu makam Nabi di Madinah

menyebabkan ia banyak menerima tamu dari seluruh dunia Islam. Hal ini dapat

digunakan untuk mengajarkan tarekatnya, sehingga dalam waktu singkat ia

mendapat murid yang berasal dari berbagai benua, mulai dari maghrib dan Afrika

Timur sampai ke India dan Nusantara. Di berbagai kota Hijaz dan Yaman berdiri

zawiyah-zawiyah Sammaniyah.

Dalam salah satu karyanya, H}ikayat Shaykh Muh}ammad Samman,

diceritakan bahwa salah satu zawiyah di kota Jeddah dibangun atas biaya Sultan

129Ah}mad Abrori, ”Tarekat Sammaniyah: Sejarah Perkembangan Ajarannya”, dalam Sri Mulyati (ed.), Tarekat-tarekat Mu’tabarah, 186. 130Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, 57.

Page 43: JAM’IYYAH AHL AL-T{ARI

144

Palembang pada tahun 1191 H/1777 M (dua tahun setelah al-Saman wafat).131

Murid-murid al-Saman yang diberi kewenangan mengajar tarekat Samaniah yang

paling menonjol, antara lain, Shaykh Siddiq bin Uma>r Khan al-Madani>, Abd al-

Rah}ma>n bin Abd al-Aziz al-Maghribi>,132 Abd al-Ghani bin Abi Bakar al-Hindi>,133

Shaykh Abd al-Kari>m (Putra Shaykh Saman), Maula Sayid Ah}mad al-Baghdadi>,

Sur al-Di>n al-Qabuli> (dari Kabul Afghanistan), dan Abd al-Wahab ‘Afi>fi> al-Misri>.

Sedangkan murid dari Indonesia, antara lain, M. Arsyad al-Banjari, Abd al-

Rahman al-Fatani, dan tiga orang Palembang, yaitu Shaykh Abd al-Samad, Tuan

Haji Ah}mad, dan Muhyidin bin Syihabudin.134

Shaykh Samman adalah figur yang sangat menarik. Ia dikagumi tidak

hanya oleh murid-murid yang sedang berguru kepadanya, tetapi juga dikagumi

raja-raja dari berbagai wilayah, seperti Raja Rum, Mesir, Syam, India, Makkah,

dan Madinah.

Para raja tersebut banyak yang mengirim hartanya kepada al-Saman.

Demikian juga dengan para saudagar kaya memberikan sadaqah emas kepadanya.

Semua kekayaan itu seluruhnya diserahkan kepada fakir miskin tanpa ada sedikit

pun yang tersisa.135 Hal ini membuktikan bahwa Shaykh Saman merupakan

tokoh sufi yang disegani yang sarat dengan daya mistik dan memiliki karamah.

Shaykh Samman meninggal pada hari Rabu, 2 Dhulhijah 1189 H/1775 M dalam

usia 57 tahun setelah sakit selama 17 hari. Beliau dimakamkan di Baqiq

131Ibid., 57-58. 132Sejak Shaykh Saman masih hidup sudah diberi kewenangan mengajar kitab utama Shaykh Saman yang berjudul al-Nafah}at al-Ila>hiyyah kepada murid Shaykh Samman. Ibid. 133Ia telah membuat syarah karya Shaykh Samman “Risalah Asrar al-Ibadat” yang berjudul Fath} al-Rahman. Ibid. 134Ibid. 135Ah}mad Asrori, Tarekat Sammaniyah, 187.

Page 44: JAM’IYYAH AHL AL-T{ARI

145

Madinah.136Di antara ajaran pokok dalam tarekat Samaniah adalah baiat sebagai

simbol perpindahan masuk anggota tarekat, zikir sebagai wirid yang harus

diamalkan serta pemahamannya tentang wah}dat al-wuju>d (kesatuan eksistensi

atau kesatuan wujud), dan martabat tujuh.137 Sementara di antara praktek

ritualnya adalah: (a) membaca manakib. Pembacaan manakib (cerita tentang

kekeramatan wali) dilakukan setiap minggu sekali atau dibaca pada peristiwa-

peristiwa tertentu dalam berbagai ritual yang mengikuti siklus kehidupan

seseorang, untuk memahami mazar, menolak bahaya, atau mungkin untuk

mengusir setan. Namun, hakikatnya pembacaan manakib untuk memperoleh

pahala yang banyak.

Di samping itu, ada juga yang bertujuan untuk minta kepada Allah

melalui Shaykh Saman. (b) ratib Saman. Ratib Saman adalah sejumlah bacaan

yang diamalkan dengan cara berzikir yang tidak hanya mulutnya yang menyebut

nama Allah, tetapi seluruh badannya bergetar dengan nama-Nya, seperti

digerakkan oleh kekuatan ilahi. (c) zikir. Praktek zikir yang diamalkan dalam

tarekat Samaniah meliputi zikir nafi ithbat,138 zikir ism al-jala>lah,139 zikir ism al-

isha>rah,140 dan zikir khusus.141

136Ibid. 137Ajaran tentang penciptaan alam dan manusia melalui penampakan diri Tuhan dalam tujuh martabat (tingkatan), yakni ahadiyah, wahdah, wahidiyyah, ‘alam mithal, alam arwah, alam ajsam, dan insan kamil. Oman Fathurrahman, Tarekat Shattariyah, 150. 138Zikir ini dilakukan dengan membaca La>ilaha illa Alla>h sebanyak 10–100 kali. Ibid., 205. 139Zikir ini dengan membaca Alla>h–Alla>h sebanyak 40–101 atau 300 kali sehari. Biasanya diberikan kepada muridnya yang telah mencapai tingkatan khusus. Ibid. 140Zikir ini dengan membaca Huwa Huwa. Zikir ini diberikan kepada murid yang telah mencapai tingkatan mursyid, jumlah zikirnya 100-700 kali setiap hari. Tetapi umumnya dibaca sebannyak 300 kali setiap hari. Ibid. 141 Zikri ini dengan membaca Ah Ah. Zikir ini diberikan kepada murid yang telah menjadi mursyid dan telah mencapai maqam tertinggi yaitu ma’rifatullah. Jumlah zikirnya antara 100-700 setiap hari. Ibid .

Page 45: JAM’IYYAH AHL AL-T{ARI

146

7. Tarekat Tijaniah

Pendiri Tarekat Tijaniah adalah Shaykh Abu> al-Abba>s Ah}mad bin

Muh}ammad bin al-Mukhta>r bin Sali>m al-Tijani yang lahir pada tahun 1150

H/1737 M di ‘Ain Madi Aljazair Selatan dan meninggal di Fez Maroko pada

tahun 1230 H/1815 M (dalam usia 80 tahun). Silsilahnya dari pihak ayah adalah

keturunan H{asan bin Ali> bin Abi> T{a>lib. Kata al-Tijani diambil dari suku yang

bernama Tijanah dari pihak ibu.142

Shaykh Ah}mad Tijani diyakini oleh pengikutnya sebagai wali yang agung

yang memiliki derajat tertinggi dan mempunyai banyak karomah karena

didukung oleh faktor genealogis sebagai keturunan Muh}ammad Rasulullah Saw.,

tradisi keluarga yang taat beragama, dan penempaan dirinya melalui proses yang

panjang.143Tarekat Tijaniyah sampai sekarang telah tersebar luas ke beberapa

negara, antara lain Maroko, Pakistan, Tunisia, Mauratania, Senegal, dan

Indonesia.144 Tarekat ini berkembang di Indonesia pada tahun 1928 M dibawa

oleh Ali> bin Abdulla>h al-T{ayyib al-Azhari dari Madinah, seorang penulis kitab

Iluya>t al-Muri>d (kitab harapan murid). Kemudian dikembangkan oleh

Muh}ammad Ra’is atau Kiai Madrais, yang merupakan murid Ali> Abdulla>h, di

Pekalongan dan Cirebon. Pada saat yang hampir bersamaan, tarekat ini juga

tumbuh di Pesantren Buntet yang diajarkan oleh Kiai Abbas.145

142Ikyan Sibawaih, Ajaran Tasawuf Shaykh Ah}mad Al-Tijani, Disertasi--IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 1999, 4-5. 143Yaitu iyadhah, mujtahadah, al-fath} al-akbar, pengangkatan sebagai wali al-khatm, al-qutb al-a’z}am dan al-khatim al-maktum. Baca Syamsuri, “Tarekat Tijaniyah: Tarekat Eklusif dan Kontroversional”, dalam Sri Mulyati, et. Al., Tarekat-tarekat Mu’tabarah, 217-218. 144G.H. Pijper, Fragmenta Islamica: Beberapa Studi Mengenai Sejarah Islam di Indonesia Awal Abad XX (Jakarta: UI Press, 1980), 81-82. 145Kiai Anas belajar Tarekat Tijaniayah langsung di Madinah dari Alfa Al-Hasyim, guru Masjidil Haram. Sirojuddin, Enslikopedi Islam, jilid 5 (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), 102-103.

Page 46: JAM’IYYAH AHL AL-T{ARI

147

Beberapa tahun kemudian tarekat ini tersebar luas ke berbagai daerah lain

di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Penyebaran tarekat Tijaniah di

Jawa Timur dilaksanakan oleh murid-murid K.H. Umar Baidowi.146 Mereka,

antara lain, adalah K.H. Mukhlas (Probolinggo), K.H. Mahdi (Blitar), KH

Mustofa (Sidoarjo), K. Mu’ad (Probolinggo), K.H. Abd Ghafur Maksum

(Bandawoso), K.A. Fauzan Fathullah (Pasuruan), K.H. Salih (Jember), dan K.H.

Muh}ammad Tijani Jauhari (Madura). Daerah penyebarannya lainnya adalah

Malang, Sumenep, Lumajang, Bangkalan, dan Situbondo. Sedangkan penyebaran

tarekat Tijaniyah di Jawa Tengah dilakukan oleh Habib Muh}ammad bin Ali

Basa’lama (Jatibarang Brebes dan mendapat talkin dari K.H. Hawi Cirebon),

Habib Lutfi dan K. Malawi (Pekalongan). Sementara penyebaran tarekat Tijaniah

ke Jawa Barat dimulai dari Cirebon, menyebar ke Tasikmalaya, Ciamis, dan

Garut. K.H. Badruzzaman (Garut) menyebarkan ke daerah lain, seperti Bandung,

Tangerang, Karawang, Sumedang, dan Bogor.147

Namun demikian, usaha penyebaran tarekat ini tidak berjalan lancar.

Berbagai hambatan dan tantangan harus dihadapi oleh para penyebarnya.

Tantangan yang paling banyak berasal dari tarekat-tarekat lama yang telah ada,

seperti Kadiriah, Naksyabandiah, Syazilliah, Khalwatiah, dan Shat}t}ariyah. Pada

umumnya mereka meragukan keabsahan tarekat ini karena dinilai banyak terjadi

kejanggalan-kejanggalan.

Pertentangan ini terjadi antara tahun 1928–1931. Saat itu terjadi

“perang” dalam bentuk pamflet yang saling serang antara pengikut tarekat

146K.H. Umar Baidawi, murid dari Shaykh Muh}ammad Yusuf Cirebon. Syamsuri, Tarekat Tijaniyah, 226. 147Ibid.

Page 47: JAM’IYYAH AHL AL-T{ARI

148

Tijaniah dengan tarekat-tarekat lama.148 Pertentangan yang paling keras justru

diungkapkan melalui kitab-kitab sanggahan, seperti kitab al-Tijaniyah149 yang

ditulis oleh Ali Dakhilullah, seorang ulama asal Saudi Arabia, dan kitab Tanbih

al-Ghafi>l wa Irshad al-Mustafa sid al-Aqil yang ditulis oleh Sayid Abdullah bin

Sadaqah Dahlan150, seorang ulama asal Madinah. Dua buku tersebut mengupas

ajaran tasawuf Shaykh Ah}mad Tijani, khususnya mengenai tarekat yang

diajarkannya,151 dan pengalaman pertemuan Shaykh Ah}mad Tijani dengan Nabi

Muh}ammad saw. dalam keadaan yaqz}ah152 (dalam keadaan sadar). Secara umum,

dua buku tersebut menyimpulkan bahwa ajaran tasawuf Shaykh Ah}mad Tijani

penuh dengan kejanggalan dan bertentangan dengan syariat Islam serta tidak ada

dalil yang menjadi pegangan mereka, baik dari kitab Allah maupun hadis.153

148Ibid., 104. 149Buku ini judulnya Al-Tija>niyat Dira>sah li Ahammi Aqa>’id al-Tija>niyah ‘ala Dhaw al-Kita>b wa al-Sunnah (Riyad: Da>r Tayyibah, t.th). 150Sayyid Abdullah datang ke Ceribon atas pengaduan sebagian karibnya yang mempersoalkan Tarekat Tijaniyah. Beliau berdialog dengan kaum Tijaniyah. Mereka sempat sadar, tetapi kemudian meruncing lagi setelah ia pulang ke Mekah. Pada tahun 1929, ia datang lagi ke Cirebon. Ia membaca kitab-kitab Tijaniyah, selanjutnya ia menulis buku yang berjudul Tanbih al-Ghafil. Syamsuri, Tarekat Tijaniyah, 227. 151Di antara ajaran-ajaran Tarekat Tijaniyah adalah: (1) Setiap orang yang akan mengikuti ajaran Tarekat Tijaniyah terlebih dahulu harus meninggalkan amalan wirid yang lain. (2) Larangan ziarah kepada wali-wali Allah, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal dunia. (3) Seseorang yang mengucapkan wirid secara teratur sampai ajalnya akan masuk surga tanpa dihisab dan disiksa, berikut kedua orang tua, istri serta anak-anaknya. Sirojudin, Ensiklopedi Islam, 103–104; Ikyan Sibawaih, Ajaran Tasawuf, 6; Muh}ammad bin Abd Allah al-Tasfawi, Al-Fath} al-Rabbani fi Musyarakat Yahtaj Ilaih al-Murid al-Tijani (Surabaya: Sa’id Nabhan, t. th), 7. 152Pada tahun 1196 H Shaykh Ah}mad Tijani pergi ke Sahara tempat waliqutb Abi Samngul. Di tempat inilah Shaykh Ah}mad mencapai Al-Fath al-Akbar (terbukanya pintu martabat tertinggi dalam kewalian). Al-Tijani mencapai mukashafah (kondisi keterbukaan hati sehingga dapat mengetahui hakekat sesuatu). Dia melihat Rasulullah secara yaqzah (dalam keadaan sadar), mendapatkan talqin (pengajaran) tentang wirid-wirid dari Rasulullah berupa istighfar 100 kali dan salawat 100 kali kemudian disempurnakan dengan bacaan surah al-Ikhlas. Empat tahun kemudian (1200 H) wirid itu disempurnakan lagi oleh Rasulullah dengan lailalah (lailaha illa Allah) 100 kali. Ali Hazarim, Jawa>hir al-Masharakat’ani wa Bulugh al-Amani (Madinah: Maktabah Abd al-Ghani, 1984), 24-44. 153Ali> Dakhilulla>h, Al-Tijaniyat: Dira>sah li Ahammi Aqa>’id al-Tijaniyah ‘ala dhaw al-Kita>b wa al-Sunnah (Riyad: Da>r Tayyibah, t.th), 200-220; Sayyid Abdulla>h Dah}lan, Tanbih al-Ghafil wa Irshad al-Mustafid al-Aqil, terj. Bahrun Abu Bakar (Jakarta: Andamera Pustaka, 1986), 35-75.

Page 48: JAM’IYYAH AHL AL-T{ARI

149

Dalam upaya menjawab kritikan dari para penentang, para murid tarekat

Tijaniyah juga membuat sanggahan dalam bentuk kitab-kitab rujukan dan

pegangan pokok yang menjelaskan ajaran-ajaran tasawuf tarekat Tijaniyah, dasar

dan sumber dari dalil syar’i dan akli untuk menjelaskan keabsahan ajaran-ajaran

Shaykh Ah}mad Tijani. Kitab-kitab tersebut, antara lain, al-Fath} al-Rabbani fi>ma

Yah}taj ilaih al-Murid al-Tijani. Kitab ini ditulis oleh Shaykh Muh}ammad bin

Abdullah al-Tasfawi. Kitab lainnya adalah Bughyah al-Mustafid karya

Muh}ammad al-Arabi al-Tijani, al-Jaishy al-Kafil bi Akhdh al-Thar min Man salla

‘ala al-Shaykh al-Tijani Saif al-Inkar, karya Shaykh Muh}ammad bin Muh}ammad

al-Sinqiti, dan Jana>yah al-Muntasab al-‘Aini fi Ila Nas}abahu bi al-Kazb li al-

Shaykh al-Tijani karya Ah}mad Sukairij.154 Kitab-kitab tersebut secara langsung

menunjukkan kebenaran ajaran tasawuf Shaykh Ah}mad Tijani dan tarekatnya

sesuai dengan syariat Islam, dan secara tidak langsung menunjukkan kelemahan

argumentasi dan kesalahan para penentangnya.

Beberapa kelemahan para pengkritik, antara lain; pertama, mereka tidak

tuntas membaca dan memahami ungkapan Shaykh Ah}mad Tijani dan ajaran-

ajaran tarekatnya. Kedua, ketika menafsirkan ungkapan Shaykh Ah}mad Tijani,

mereka hanya menggunakan pendekatan literal (lahir). Padahal, ungkapan

Shaykh Ah}mad Tijani lebih banyak mengandung kalimat-kalimat metaforis

(kiasan) yang hanya dapat dipahami dengan pendekatan takwil (penjelasan).

Ketiga, mereka hanya membaca buku tarekat Tijaniah, tetapi tidak berguru

langsung dari guru-guru tarekat Tijaniah sehingga kesimpulan yang mereka

154Syamsuri, ”Tarekat Tijaniyah: Tarekat Eksklusif dan Kontroversial”, dalam Sri Mulyati, et. al, Mengenal dan Memahami Tarekat-tarekat Mu’tabarah, 229 – 230.

Page 49: JAM’IYYAH AHL AL-T{ARI

150

ambil dari membaca buku tersebut cenderung kurang relevan, subyektif, dan

bias.155

Sedangkan kritikan tentang “pengalaman pertemuan Shaykh Ah}mad

Tijani dengan Nabi Muh}ammad saw. dalam keadaan yaqz}ah” dijawab bahwa

semua tarekat harus mempunyai sanad (silsilah) urutan-urutan guru secara

berkesinambungan sampai kepada Rasulullah. Setiap guru dalam sanad bertemu

langsung dengan guru yang di atasnya dan seterusnya sampai pada Rasulullah.

Namun tidak semua talkin (pengajaran) tarekat mengunakan sanad bertemu

langsung secara fisik. Ternyata ada talkin yang disampaikan melalui komunikasi

spiritual langsung antara murid dan guru, antara guru dan guru, antara guru sufi

dengan Rasulullah yang disebut sistem barzakhi atau uwaisi.156 Dan, tarekat

Tijaniah masuk tarekat yang dasar pembentukannya menggunakan sistem

barzakhi.

Menurut Sa’id al-Fauti>, pengalaman melihat Rasulullah secara yaqz}ah

banyak dialami oleh para wali.157 Rasulullah seringkali menghadiri majelis atau

tempat-tempat yang dikehendaki dengan roh dan jasadnya. Rasulullah bisa

berkeliling di penjuru bumi sesuai dengan kehendaknya dengan kemampuan yang

telah ada sejak sebelum wafatnya. Kemampuannya tidak berubah sedikit pun.

Rasulullah sekarang ini hanya gaib dari pandangan mata manusia, seperti gaibnya

155 Ibid., 230-231. 156Dinamakan berzakhi karena pembaiatannya ternyata berasal dari alam barzakh. Sistem berzakhi juga berlaku dari seorang guru kepada guru yang di atasnya, dari murid kepada guru, dan seterusnya. Martin van Bruinessen, Tarekat Naqshabandiyah, 49; Ah}mad Fauzan Fathullah, Sayyidul Auliya’ Syakh Ah}mad Tijani dan Tarekat al-Tijaniyah (Pasuruan: t.p, 1985), 52-64. 157Hadis yang dijadikan dasar para sufi tentang paham melihat Rasulullah secara sadar atau dalam mimpi adalah: ”Orang yang melihatku (Rasulullah) dalam mimpi berarti ia melihatku keadaan yaqzah (sadar) atau seakan-akan ia melihatku dalam keadaan yaqzah karena syetan tidak menyerupaiku”. Baca Syamsuri, Tarekat Tijaniyah, 221.

Page 50: JAM’IYYAH AHL AL-T{ARI

151

malaikat. Jika Allah membukakan hijab, maka orang itu bisa melihat Rasulullah

yang berada di alam malakut. Berjumpa dengan Rasulullah secara yaqz}ah,

menurut Sayyid Ali> al-Khawwashi>, merupakan bentuk penyempurnakan maqa>m

makrifat. Sebab, seorang sufi yang mencapai maqa>m makrifat belum sempurna

apabila belum berjumpa dengan Rasulullah secara yaqz}ah dan berbicara langsung

dengannya (mushafah}ah).158 Dalam tradisi sufi, melihat Rasulullah, walaupun

beliau sudah wafat, merupakan bentuk karamah wali. Kalau Allah memberikan

mukjizat kepada Nabi, maka Allah juga memberikan karamah kepada wali.159

Kontroversi tentang tarekat Tijaniah pernah dibahas dalam dua kali

muktamar NU, yaitu muktamar III dan VI. muktamar III memutuskan

keabsahan(muktabarah) tarekat Tijaniah dan muktamar VI memperkuat

muktamar III. Kedua muktamar melahirkan beberapa keputusan, antara lain; (1)

Tarekat Tijaniah mempunyai sanad mut}t}asil pada Rasulullah bersama bai’ah

barzakiyah-nya. (2) Tarekat Tijaniah dianggap sebagai tarekat yang sah dalam

Islam. (3) Semua tarekat muktabarah tidak ada perbedaan antara satu dengan

lainnya.

Dalam keputusan Muktamar VI ditambahkan beberapa lagi keputusan,

yaitu: (1) semua wirid Tijaniah adalah sah, seperti zikir, shalawat, dan

istigfarnya. (2) Pernyataan dan syarat-syaratnya sesuai dengan syariat Islam. (3)

Ajaran yang tidak sesuai, apabila bisa di takwilkan, maka harus ditakwilkan pada

arti yang sesuai dengan syariat dan diserahkan pada ahlinya.

158Umar bin Sa’i>d al-Fau>ti, Rimah H}izb al-Rah}im fi Muhur H}izib al-Raji (Madinah: Maktabah Abd al-Ghani, 1984), 210. 159Yusuf al-Habhani, Jam Karamat al Auliya, Juz 1(Mesir: Mustafa ala al-Bab al-Halabi, t.t), 14.

Page 51: JAM’IYYAH AHL AL-T{ARI

152

Kemudian dalam Bah}thul Masa>’il Jami’iyah Ahl al-T}ari>qah al-

Mu’tabarah al-Nahd}iyyah mengangkat kembali persoalan tarekat Tijaniah, dan

hasilnya tarekat tersebut tetap diakui sebagai tarekat muktabarah (tertulis nomor

urut 43).160

Adapun bentuk amalan wiridtTarekat Tijaniah terdiri dari dua jenis.

Pertama, wirid wajibah, yaitu wirid yang wajib diamalkan oleh setiap murid

sesuai dengan tata tertib wirid yang telah ditentukan dan menjadi ukuran sah

atau tidaknya menjadi murid Tijaniah. Wirid ini terdiri dari tiga jenis wirid

pokok, yaitu (a) wirid hazimah (wajib). Wirid ini dipraktikkan dua kali setiap

hari (pagi dan sore) dan diamalkan perseorangan. Bacaan wirid tidak boleh

dikeraskan. Waktu pelaksanaannya, pagi setelah salat subuh sampai waktu duha,

sore setelah salat asar. Jika ada uzur dapat diamalkan sampai waktu maghrib. (b)

Wirid waz}ifah (pengasih), yaitu wirid yang harus diamalkan setiap hari sebanyak

2 kali (pagi dan sore atau siang dan malam). Jika dalam sehari semalam murid

tidak mengamalkan wirid lazimah atau wirid wazifah maka wajib qada. (c).

Wirid hailalah (tahlil). Wirid ini ada yang bersifat lokal yaitu diamalkan secara

kolektif (berjamaah) dalam tingkat desa (jamaah kecil) pada setiap hari jum’at

yang dipimpin langsung oleh muqaddam (pemuka) atau badal muqaddam dan ada

yang bersifat regional, yaitu diamalkan secara kolektif (berjama’ah) dalam

tingkat kabupaten (jama’ah besar) dan dilaksanakan secara rutin, satu setengah

bulan sekali atau di luar jadwal tertentu sesuai dengan kebutuhan seperti haul,

hari-hari besar Islam, dan sebagainya. Acara ini disebut Ijtima’ Hailalah yang

160A. Aziz Masyuri, Permasalahan T}ari>qah: Hasil Kesepakatan Muktamar dan Musyawarah Besar Jami’yyah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah Nahdlatul Ulama (1957 – 2005 M) (Surabaya: Khalista, 2006), 22.

Page 52: JAM’IYYAH AHL AL-T{ARI

153

dipimpin langsung oleh yang diberi mandat. Di samping wirid waz}ifah juga

sekaligus diamalkan wirid wazifah dan lazimah serta pengajian yang berisi pesan-

pesan dari muqaddam mutlak. Kedua, wirid ikhtiyariyah, yaitu wirid yang tidak

mempunyai ketentuan kewajiban untuk diamalkan dan tidak menjadi ukuran

syarat sah atau tidaknya menjadi murid Tijaniah.161

8. Tarekat Kadiriah wa Naksyabandiah (TKN)

Tarekat Kadiriah wa Naksyabandiah (TKN) didirikan oleh Shaykh Khatib

Sambas (1217-1289 H/1802-1872 M). Beliau lahir di Sambas, sebuah kota di

sebelah utara Pontianak Kalimantan Barat. Setelah menyelesaikan pendidikan

agama tingkat dasar di daerah asalnya, beliau pergi ke Mekah pada usia sembilan

belas tahun untuk melanjutkan belajar. Beliau menetap di sana hingga wafatnya.

Bidang studi yang dipelajari mencakup berbagai ilmu pengetahuan Islam,

termasuk tasawuf. Kedalaman ilmunya dapat mengantarkannya mencapai derajat

spiritual yang tinggi dan menjadikannya terhormat pada zamannya serta

berpengaruh di seluruh Indonesia.162

Di antara guru-gurunya adalah Shaykh Dau>d Ibn Abd Alla>h Ibn Idri>s al-

Fat}ani> (wafat sekitar 1843 M),163 Shaykh Syamsul al-Di>n, Shaykh Muh}ammad

Arsyad al-Banjari> (w.1812 M), 164 dan Shaykh Abd al-Samad al-Palimbani (w.

161Syamsuri, Tarekat Tijaniyah, 236-246. 162Sri Mulyati, Tasawuf Nusantara: Rangkaian Mutiara Sufi Terkemuka (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), 175. 163Beliau lahir di Desa Keresik Patani, sebuah desa di Thailand Selatan. Hawasy Abdullah, Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-tokohnya di Nusantara (Surabaya: al-Ikhlas, 1980), 122-158. 164Beliau adalah seorang sufi moderat dari Banjarmasin Kalimantan Selatan yang telah memperkenalkan tarekat Samaniyah ke Banjar. Ia adalah sahabat Shaykh Abd al-Samad al-Palimbani, dan mempelajari tasawuf dari Shaykh Abd al-Karim al-Samani, Pendiri Tarekat Samaniyah. Ia belajar di Mekah dan mengajar di sana. Sri Mulyati, Tasawuf Nusantara, 176.

Page 53: JAM’IYYAH AHL AL-T{ARI

154

1800).165 Shaykh Sambas mencapai tingkat kemampuan dan wewenang tertinggi,

dan kemudian diangkat sebagai Shaykh mursyid ka>mil mukamil (guru

pembimbing kerohanian yang sempurna).166

Guru-guru Shaykh Sambas yang lain adalah Shaykh Muh}ammad S{alih

Rays, Shaykh Umar bin Abd al-Karim Ibn Abd al-Rasul al-‘At}t}ar (w.1249/1832).

Kedua ulama ini adalah mufti dalam mazhab al-Sha>fi’i>. Guru yang lainnya lagi

adalah Shaykh Abd al-H{afiz ‘Ajani (w.1235 H/1819 M). Ia juga mengikuti

pelajaran yang diberikan oleh Shaykh Bis}ri al-Jabati (seorang mufti Madhab

Ma>lik), Sayyid Ah}mad al-Marzuqi (seorang mufti H{anafi>), Sayyid Abd Alla>h bin

Muh}ammad al-Mirghani (w.1273 H/1856 M) dan Ustma>n bin H{asan al-Dimyati

(w.1849 M). Dengan demikian kita dapat mengetahui bahwa Shaykh Sambas

telah belajar fikih secara seksama kepada tiga dari empat mazhab terkemuka.167

Shaykh Sambas adalah seorang mursyid dari dua tarekat, yaitu tarekat

Kadiriah dan Naksyabandiah.168 Dia tidak mengajarkan kedua tarekat tersebut

secara terpisah, tetapi mengkombinasikan keduanya. Tarekat kombinasinya

dapat dilihat sebagai tarekat yang baru, berbeda dari kedua tarekat asalnya.169

Penggabungan inti ajaran kedua tarekat itu didasarkan atas pertimbangan logis

dan strategis untuk saling melengkapi, terutama dalam hal jenis zikir dan

165Menurut hasil analisa bahwa kemungkinan kecil Shaykh Sambas belajar kepada al-Palimbani karena ia lahir pada tahun 1802, sedangkan Palimbani wafat pada tahun 1800. Hawasy Abdullah, Perkembangan, 85-107. 166Ibid., 181. 167Sri Mulyati, Tasawuf Nusantara, 178\-179. 168Sri Mulyati, “Tarekat Qadiriyah wa Naqshabandiyah: Tarekat Temuan Tokoh Indonesia Asli”, dalam Sri Mulyati, et.al., Mengenal dan Memahami Tarekat-tarekat Mu’tabarah, 155. 169Shaykh Sambas adalah seorang mursyid tarekat kadiriah. Di samping ada juga yang menyebutkan bahwa beliau mursyid juga dalam tarekat Naksyabandiah, akan tetapi beliau hanya menyebutkan silsilah tarekatnya dari sanad tarekat Kadiriah dan sampai sekarang belum ditemukan dari sanad mana beliau menerima baiat tarekat Naksyabandiah.

Page 54: JAM’IYYAH AHL AL-T{ARI

155

metodenya. Dalam tarekat Kadiriah, memang ada kebebasan untuk memodifikasi

seperti itu bagi orang yang telah mencapai derajat mursyid dalam rangka

mempersiapkan para mursyidnya dapat mencapai derajat kesufian yang lebih

tinggi dengan cara yang lebih efektif dan efesien.170 Tarekat Kadiriah

menekankan ajarannya pada zikir jahr nafi> ithba>t (la> ila>ha illa Alla>h). Sementara

tarekat Naksyabandiah mengutamakan pada zikir sirr ism al-dha>t (Alla>h),171 atau

zikr lat}a>’if.172

Shaykh Sambas tidak menisbatkan nama tarekatnya pada diri sendiri,

meskipun apabila dilihat ajaran dan tata cara ritualnya lebih cocok dinamakan

tarekat Sambasiah atau Khatibiah. Hal ini dikarenakan sikap tawaduknya dan

keikhlasan untuk ikra>man kepada pendiri kedua tarekat tersebut, walaupun

tarekat ini merupakan hasil ijtihadnya yang tidak hanya berasal dari dua tarekat

(Kadiriah dan Naksyabandiah), tetapi gabungan dari beberapa tarekat, yaitu

tarekat Kadiriah, Naksyabandiah, Anfasiah, Junaidiah, dan Muwafaqah.173

Perkembangan ajaran TKN diteruskan oleh murid-murid Shaykh Sambas

yang berasal dari beberapa daerah di kawasan Nusantara. Di antara murid-

muridnya yang telah diangkat menjadi khalifah adalah Shaykh Abd Kari>m al-

Bantani, Shaykh Ah}mad T{alh}ah al-Cireboni, dan Shaykh H{asbilla>h al-Maduri.

Semua cabang tarekat Kadiriah wa Naksyabandiah pada masa kini mempunyai

170Kharisudin Aqib, Al-Hikmah, 52. 171Amin Kurdi, Tanwir al-qulub fi Mu’amalati ‘Allan al-Qhuyub (Indonesia: Dar Ihya’ al-Kutub al-Arabiyah, t,th), 508 – 509. 172Zikir Latifah adalah zikir yang dilakukan dengan memusatkan kesadarannya dan membayangkan nama-nama Allah itu sampai bergetar dan memancarkan panas berturut-turut pada tujuh titik halus pada tubuh (lataif tujuh), yaitu : latifah al-Qalbi latifah al-Ru>h, latifah al-sir, latifah al-khafi, latifah al-Akhfa, latifah al-Nafsi dan latifah al-Qalab (seluruh jazad) Baca Muslih Abd al-Rahman Al-Futuh}a>t al-Rabba>niyah fi al-T}ari>qah al-Qadiyah wa al-Naqshabandiyah (semarang Toha Putra, t.th).41 – 43. 173Nawasy Abdullah, Perkembangan, 182 – 183.

Page 55: JAM’IYYAH AHL AL-T{ARI

156

hubungan dengan ketiga khalifah ini. Sedangkan khalifah-khalifah yang lain yang

tidak begitu terkenal adalah Muh}ammad Isma’il Ibnu Abd al-Rahim dari Bali,174

Shaykh Yasin dari Kedah Malaysia,175 Shaykh Haji Ah}mad Lampung Sumatera

Selatan,176 dan Muh}ammad Ma’ruf Ibnu Abdullah al-Khatib dari Palembang.177

Setelah wafatnya Shaykh Sambas, maka tarekat ini dipimpin oleh Shaykh Abd

al-Karim al-Bantani yang berpusat di Makah, dan semua khalifah Shaykh

Sambas menerima kepemimpinan ini.

Namun setelah Shaykh Abd al-Karim al-Bantani wafat, maka para

khalifah memisahkan diri dan bertindak sebagai mursyid secara mandiri yang

tidak terikat kepada mursyid yang lain sehingga berdirilah para mursyid baru

yang independen.178TKN tersebar ke berbagai daerah, antara lain Sambas yang

merupakan asal daerah Shaykh Ah}mad Khatib. Tokoh yang menyebarkan adalah

Shaykh Nuruddin dari Pilipina dan Shaykh Sa’ad Petra yang asli Sambas.179

Penyebaran di daerah Cirebon dilakukan oleh Shaykh Talhah,180

penyebaran di Bogor dipimpin oleh Kiai Tohir Falek,181 Madura dilaksanakan

174Ia menetap dan mengajar di Makkah dan menulis kitab Fath al-Arifin yang menguraikan ajaran-ajaran Shaykh Sambas tentang ba’iat zikir, dan tehnik-tehnik serta peribadatan yang lain baik dari tarekat Kadiriah maupun Naksyabandiah kitab ini pertama kali dicetak di Makah tahun 1323 / 1905 dicetak ulang beberapa kali dan tersimpan juga di Museum Nasional Jakarta (Ml 149). Baca Martin van Bruinessen, Tarekat Naqshabandiyah di Indonesia (Bandung: Mizan, 1994), 90 -92. 175Ia menetap di Makah. Belakangan ia menyebarkan tarekat ini di Mempawah, Kalimantan Barat. Ibid. 176Ia mengajarkan tarekat ini di Lampung. Ibid. 177Ia mengajarkan tarekat ini di Palembang. Ibid. 178Ibid, 93. 179Hawasy Abdullah, Perkembangan, 181. 180Ia menerima ijazah tarekat langsung dari Shaykh Sambas. Selama Shaykh Abd al-Karim masih hidup, ia mengakuinya sebagai pucuk pimpinan tarekat. Setelah Shaykh Abd al-Karim wafat, ia mendirikan kemursyidan sendiri. Baca Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah, 95. 181Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai (Jakarta: LP3ES, 1985), 90.

Page 56: JAM’IYYAH AHL AL-T{ARI

157

oleh Kiai Ah}mad Hasbullah,182 dan Tasikmalaya dilakukan oleh Abdullah

Mubarak bin Mubarak. Abdullah Mubarak bin Mubarak kemudian mendirikan

pusat penyebaran tarekat di wilayah Tasikmalaya. Sebagai tempat pengajarannya

didirikan Pondok Pesantren Suralaya dan kemudian beliau terkenal dengan nama

Abah Sepuh (1836-1956). Setelah Abah Sepuh wafat, dilanjutkan oleh putranya

Abah Anom (1917–1981) atau K.H. A Shohibulwafa Tadjul Arifin. Di bawah

kepemimpinan Abah Anom, tarekat ini berkembang pesat. Pesantren Suryalaya

menjadi terkenal secara nasional karena pengobatan yang dilakukan terhadap

para korban narkotik, penderita ganguan kejiwaan, dan macam-macam penyakit

lainnya dengan mengamalkan zikir tarekatnya.183

Pusat penyebaran TKN yang lain adalah Pondok Pesantren Futuhiyah

Mranggen Jawa Tengah. Pondok Pesantren ini didirikan oleh Kiai Abd Al-

Rahman pada tahun 1905, selanjutnya diteruskan oleh putranya, Kiai Muslih

yang menerima ijazah kemursyidan TKN pertama dari Kiai Asnawi Banten dan

Kiai Abd al-Latif Banten. Keduanya dibaiat oleh Shaykh Abd Karim Banten.

Ijasah kedua Mbah Abd Rahman Menur, utara Mranggen yang dibaiat oleh Mbah

Ibrahim al-Brumbuni atau Brumbung, yang merupakan khalifah juga dari Shaykh

Abd al-Karim Banten.184

TKN berkembang pesat di Jawa Tengah di bawah kemursyidan K.H.

Muslih Ibnu Abdurrohman. Perkembangan ini dipengaruhi—di antaranya—oleh

karena beliau bertindak sangat murah dan longgar kepada para khalifahnya.

182Ah}mad Hasbullah telah berhasil menyebarkan TKN di luar Jawa. Baca Sri Mulyati, Tarekat Qadiriyah, 260–261. 183Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah, 95. 184 Sri Mulyati. Tarekat Qadiriyah, 259.

Page 57: JAM’IYYAH AHL AL-T{ARI

158

Khalifah yang berasal dari daerah yang berjauhan diberi kewenangan untuk

mandiri menjadi khalifah khubra. Misalnya, K.H. Zamroji, Mursyid TKN yang

berpusat di Pondok Pesantren Kencong Pare Kediri Jawa Timur.185 Contoh

lainnya adalah Kiai Muslih Ibnu Abd Rahman telah menulis beberapa buku186

yang digunakan di beberapa pesantren di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Setelah

K.H. Muslih meninggal, kepemimpinan TKN diteruskan putranya yang bernama

Muh}ammad Sadiq Lutfi Hakim187

Penyebaran TKN di Jawa Timur berpusat di Pondok Pesantren Rejoso

Jombang. Pesantren ini didirikan oleh K.H. Tamim dari Madura. TKN

diperkenalkan oleh menantu K.H. Tamim, yaitu K.H. Kholil (dari Madura juga)

yang mendapat ijazah mursyid TKN dari Kiai Ah}mad Hasbullah (dari Madura)

ketika berada di Makah. Kiai Kholil kemudian menyerahkan kepemimpinan TKN

kepada iparnya, yaitu K.H. Romli Tamim. Sejak masa kepemimpinan beliau,

TKN berkembang pesat di Jawa Timur dan Madura, bahkan ke Jawa Tengah

dengan jumlah muridnya yang mencapai puluhan ribu yang dibina oleh beberapa

orang khalifah dan sekitar delapan puluh badal.188

Ketika kiai Romli wafat, terjadi persoalan kepemimpian dalam TKN.

Kepemimpinan pesantren sudah diserahkan kepada putranya, Musta’in, sejak

satu tahun sebelumnya. Beberapa saat sebelum wafat, Kiai Romli sempat

mewasiatkan TKN kepada Musta’in melalui ijazah baiat yang disaksikan dua

185 Kharisudin Aqib. Al-Hikmah, 58. 186Di antaranya adalah Al-Futuhat al-Rabbaniyah fi al-Tariqqah al-Qadiriyah wa al-Naqshabandiyah, Umdat al-Salik fi khal al-Masalih dan Risalah Tuntunan Tarekat Qadiriyah wa Naqshabandiyah. Baca: Sri Mulyati, Tasawuf Nusantara, 185. 187Ibid., 259. 188Kesaksian ini hampir dua dasawarsa kemudian dibukukan dan diterbitkan oleh Pondok Pesantren Darul Ulum. Baca: Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah, 178.

Page 58: JAM’IYYAH AHL AL-T{ARI

159

saksi.189 Di antara khalifah utama K.H. Romli Tamim adalah K.H. Usman al-

Ishaqi, pendiri Pondok Pesantren Jatipurwo Sawuhpulo Surabaya. Banyak murid

dan bahkan badal kiai Romli tampaknya lebih cenderung menganggap kiai

Usman sebagai pengganti kiai Romli yang paling absah.190

Kedua tokoh ini saling menghormati dan secara diam-diam menyetujui

pembagian wilayah pengaruh, meskipun terlihat persaingan antara murid-murid

mereka, yang masing-masing menjagokan guru mereka. Kiai Musta’in berhasil

mengonsolidasikan kesetiaan hampir semua badal almarhum ayahnya dan

membangun lebih lanjut tarekatnya. Sedikit demi sedikit ia muncul sebagai

tokoh penting pada tingkat propinsi dan bahkan nasional. Pada tahun 1975, Kiai

Musta’in terpilih menjadi ketua umum Jam’iyyah Ahl al-T}ari>qah al-Mu’tabarah,

akan tetapi kepemimpinan Kiai Musta’in mengalami kegoncangan dalam tubuh

TKN di Jawa Timur karena Kiai Musta’in mengarahkan umatnya untuk

berafiliasi ke Golkar pada pemilu 1977.191 Para badal/khalifah K.H. Romli yang

sebelumnya mengakui kepemimpinan KH Musta’in banyak yang mufa>raqah.

Sebagian ada yang bertindak sebagai mursyid dengan baiat kepada K.H. Muslih

Ibnu Abd al-Rahman, mursyid yang sama di Jawa Tengah, dan sebagian

berpindah guru kepada Kiai Usman al-Ishaqi.192

Mursyid TKN di Rejoso Jombang setelah meninggalnya Kiai Musta’in

adalah adiknya, yaitu K.H. Rifa’i Ramli. Dan, setelah beliau wafat jabatan 189Ibid. 190Kiai Romli sebetulnya punya tiga atau empat khalifah. Menurut Kiai Usman, mereka adalah Kiai Usman al-Ishaqi untuk daerah Surabaya dan Madura, Kiai Maki Muharram untuk daerah Kediri, Blitar, Tulungagung, dan Trenggalek, dan Kiai Bahri Mashudi di Mojosari. Ibid, 179. 191Nur Syam, Transisi Pembaruan Dialektika Islam, Politik dan Pendidikan (Surabaya: Bina Ilmu, 2008), 30. 192Kharisudin Aqib, Al-Hikmah, 60; Nursyam, Transisi, 30-31; Sri Mulyati, Tarekat Qadiriyah, 262.

Page 59: JAM’IYYAH AHL AL-T{ARI

160

mursyid dilanjutkan oleh adik K.H. Musta’in yang lain, yaitu K.H. Ah}mad

Dimyati Ramli. Sampai sekarang, kedua mursyid ini mengambil baiat

kemursyidan kepada Kiai Maksum Ja’far (Porong Sidoarjo).193 Beliau adalah

Khalifah K.H. Romli Tamim yang sampai sekarang masih berkhidmah

menegakkan mursyid TKN di Rejoso Jombang.194 Sedangkan mursyid TKN di

Surabaya setelah meninggalnya K.H. Usman diteruskan oleh putranya yang

bernama K.H. Ah}mad Asrori Usman al-Ishaqi, pendiri Pondok Pesantren al-

Fitrah Kedinding Lor Surabaya. Beliau memusatkan kegiatan TKN di pondok

tersebut dan menyebut TKN dengan nama tarekat Kadiriah wa Naksyabandiah

al-Usmaniyah. TKN al-Usmaniyah di bawah kepemimpinan K.H. Ah}mad Asrori

telah tersebar ke pulau Jawa dan luar Jawa, bahkan sampai ke Malaysia,

Singapura, Brunei Darussalam, Tailand, Philipina dan Makah.195 Hal ini terbukti

dalam acara haul akbar yang dilaksanakan di Pondok Pesantren al-Fitrah pada

setiap ahad pertama sya’ban selalu dihadiri oleh ratusan ribu murid dari berbagai

wilayah dan Negara tersebut.

Di samping itu, Kiai Ah}mad Asrori telah berhasil melaksanakan majelis

zikir pada masing-masing wilayah tersebut setiap tahun sesuai dengan jadwal

yang telah ditentukan melalui jama’ah al-Khidmah,196 tidak hanya dilaksanakan

193Putranya K.H. Musta’in yang bernama K.H. Mujib menerima ijazah kemursyidan dari K.H. Bahri Mashudi dari Mojosari dan menyebarkan TKN di wilayah Malang. Sumber informasi dari murid di Trenggalek (K.H. Masykur Bukhari) pada tanggal 23 Desember 2010. 194Kharisudin Aqib, Al-Hikmah, 61. 195 Sumber informasi dari Pidato Ketua Umum Jamaah al-Khidmah (Bung Hasanudin) tanggal 25 Nopember 2012 M/11 Muharram 1433 H Pada waktu Musda ke I Jamaah al-Khidmah Trenggalek di Pondok Pesantren Raden Paku. Baca pula:Nur Haris Ali, et, al.,editor, Hasanudin, Catatan Para Pejuang: Kisah-Kisah Inspiratif al-Khidmah Kampus,( Jogjakarta: al-Khidmah Kampus, 2012), 183-239. 196Jama’ah al-Khidmah diresmikan pada tanggal 25 Desember 2005 di Pondok Pesantren Assalafi al-Fitrah. Semua orang bertujuan untuk melaksanakan majelis zikir dan amalan yang lain dalam

Page 60: JAM’IYYAH AHL AL-T{ARI

161

di tempat yang khusus, seperti musalla, masjid dan Pondok Pesantren, akan

tetapi di tempat yang umum, antara lain: pendopo kabupaten di banyak wilayah,

Keraton Jogjakarta, LIPI Jakarta, kampus-kampus di Indonesia, Kantor

pemerintah, perusahaan dan berbagai tempat yang lain. Peserta yang hadir dalam

majelis ini tidak hanya murid-murid tarekat, namun dari berbagai lapisan

masyarakat muslim. Bahkan ketika kegiatan majelis zikir di Bali, juga diikuti

oleh pendeta Hindu.

Penyebaran TKN al-Usmaniyah terus berlanjut sampai sekarang,

meskipun Kiai Ahmad Asrori telah meninggal dunia.197 Bahkan para murid

semakin aktif menyebarluaskan kegiatan majelis zikir di berbagai daerah sesuai

dengan amaliah yang beliau contohkan dan telah tertulis dalam buku panduan.

Meskipun Pengganti beliau belum diumumkan sampai dengan sekarang, akan

tetapi jumlah kaum muslimin yang mengamalkan amaliah yang telah

dicontohkan beliau semakin banyak dan telah tersebar hampir di seluruh tanah

air, Asia Tenggara dan Saudi Arabia melalui kegiatan majelis zikir oleh Jamaah

al-Khidmah.198

C. Hubungan, Syariat, Tarekat, Hakikat dan Makrifat

1. Kedudukan Tarekat dalam Syariat Islam

Tarekat sebagai bagian dari metode pendekatan diri kepada Allah Swt.

telah dilaksanakan Nabi Muh}ammad sebelum beliau diangkat menjadi Rasul.

rangka mendekatkan diri kepada Allah Swt. kepada seluruh lapisan masyarakat muslim. Baca Buku Petunjuk Munas 2 al-Khidmah di UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta, 2-3 April 2010, 5. 197 KH Ahmad Asrori wafat pada tanggal 18 Agustus 2009 M/27 Sya’ban 1430 H. Dasarnya: Catatan yang terdapat pada Kalender Pondok Pesantren al-Fitrah 2012 M/1433 H. 198Sumber ini berasal dari penulis sendiri sebagai murid Ah}mad Asrori al-Ishaqi dan sebagai Ketua Jama’ah al-Khidmah Kabupaten Trenggalek (masa Khidmah 2005-2012). Penulis secara langsung ikut aktif dalam acara tersebut.

Page 61: JAM’IYYAH AHL AL-T{ARI

162

Beliau pergi ke Gua Hira menyisihkan dirinya, memutuskan hubungannya

sementara dengan masyarakat sekeliling, mencari kebersihan rohani, melepaskan

jiwa dari ikatan kemewahan dan kerepotan dunia. Perhatiannya dihadapkannya

kepada wujud semesta dengan memandang dan merenungkan dengan mata hati

keseluruh bekas kekuasaan dan perbuatan Ilahi. Jika kita perhatikan, tatkala

Muh}ammad menyisihkan dirinya di gua Hira, menilik keindahan ciptaan, lalu

kita bandingkan dengan kehidupan orang-orang zahid dan Abid, yaitu para ahli

tasawuf yang datang kemudian, dapatlah dengan mudah melihat persamaan

kehidupan mereka dengan kehidupan Nabi.199

Kehidupan rohani Nabi seperti ini terus berlanjut setelah beliau diangkat

menjadi Rasul dan bahkan diikuti oleh sahabat-sahabat beliau, Abu> Bakar,

Uthma>n dan Ali> terutama apabila menghadapi persoalan-persoalan yang besar.

Kehidupan Bila>l orang Abessina, Salman orang Persia, Suheib orang Rumawi,

yang telah hijrah dari lingkungan kebangsaan yang sempit kepada hidup

kerohanian yang besar. Demikian pula kehidupan ashh}a>b al-s}uffah (sahabat Nabi

yang miskin yang hijrah kemadinah yang tidak punya tempat tinggal) yang

bertempat tinggal di beranda masjid Nabawi Madinah. Sistem kehidupan rohani

Nabi ini dipertegas hadis Nabi riwayat Umar bin Khat}t}ab yang menceritakan

datangnya seorang laki-laki asing (malaikat Jibril) yang datang kepada Nabi

mengajarkan tentang al-ima>n, al-isla>m dan al-ih}sa>n.

Ketiga ajaran tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak dapat

dipisahkan antara satu dengan yang lain. Sedangkan al-ih}sa>n pada teks hadis

199Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1993), 24.

Page 62: JAM’IYYAH AHL AL-T{ARI

163

tersebut yang dinyatakan dengan :” An ta’buda Alla>h kaannaka tara>hu, fa in lam

takun tara>hu fa innahu yara>ka.200 pada perkembangan ilmu pengatahuan

berikutnya melahirkan ilmu tasawuf. Menurut Jalaluddin Rakhmat, tasawuf

sering dikaitkan dengan tiga hal. 1). Tasawuf sebagai akhlak atau adab yang

harus diajalankan manusia ketika mendekat kepada Allah. 2). Tasawuf sebagai

cara untuk mencapai makrifat guna memperoleh pengetahuan. 3). Tasawuf

sebagai ilmu tentang realitas.201

Dalam tasawuf terdapat unsur-unsur yang baik yang merupakan hasil

ijtihad yang tulus untuk taat kepada Allah dan mendekat kepadan-Nya.

Diantaranya adalah ajaran tentang zikir, yaitu ingat kepada Allah. Dalam al-

Qur’an banyak gambaran tentang kaum yang beriman yang dikaitkan dengan

zikir, seperti digambarkan bahwa mereka itu ialah :

”yang ingat kepada Allah ketika berdiri, ketika duduk dan ketika berada pada lambung-lambung mereka”202

”Dan bahwa mereka itu tenang jiwanya karena ingat kepada Allah maka jiwanya menjadi tenang”203

“Apabila kita ingat kepada Allah, maka Allah pun ingat kepada kita”.204

200Muslim Abu Husain Ibu Hajaj al- Hasaburi, Sah}i>h Muslim (Bairut: Dar al-Fikr, 1992), 29. 201Rosyidi, Dakwah Sufistik Kang Jalal: Menentramkan Jiwa, Mencerahkan Pikiran (Jakarta: Paramadina, 2004), 65-68. 202al-Qur’an, 3: 191. 203al-Qur’an, 13: 28. 204al-Qur’an, 2: 152.

Page 63: JAM’IYYAH AHL AL-T{ARI

164

“Lalu ada peringatan agar jangan sampai kita lupa akan Allah, sebab Allah pun akan membuat kita lupa akan diri kita sendiri, mereka itulah orang-orang yang fasik.”205 (yakni kita menjadi manusia yang tidak integral, tidak utuh). Kehidupan tasawuf dapat dilaksanakan baik dengan cara individual

maupun cara kolektif. Melaksanakan tasawuf secara individual ialah

mengamalkan sikap-sikap sufistik, seperti takwa, tawakal, sabar, syukur, ikhlas,

rida dan sebagainya. Sedangkan mengamalkan tasawuf secara kolektif ialah

melaksanakannya secara bersama-sama melalui persaudaraan sufi yang biasa

disebut tarekat.206

Tasawuf secara harfiah dari kata s}u>f yang berarti bulu. Sedangkan

menurut Ibnu Khaldun, tasawuf adalah ilmu syariat dalam Islam yang muncul

kemudian.207 Hal ini sesuai dengan sebuah hadis bahwa al-Ima>n disebut dengan

akidah dan al-Isla>m dikatakan dengan syariat dan al-Ih{sa>n dinamakan dengan

tasawuf karena masing-masing cabang tersebut kelak melahirkan ilmu-ilmu

keislaman.208 Agar ilmu tasawuf dapat diamalkan dan dipraktekkan dalam

kehidupan sehari-hari, maka menggunakan sebuah metode yang disebut

tarekat.209

Mengenai kata tarekat terdapat dalam al-Quran: “sekiranya mereka tetap

berjalan dijalan yang lurus lempang, pastilah kami beri mereka minum air

berlimpahan”.210Dengan demikian tarekat merupakan bagian tak terpisahkan

205al-Qur’an, 59: 19. 206Suderman Tebba, Orientasi Sufistik Cak Nur, 175. 207Sri Mulyati, “Pendahuluan”, dalam Mengenal, 8. 208Samsun Ni’am, The Wisdom of KH. Ah}mad Siddiq: Membumikan Tasawuf (Jakarta: Erlangga, 2008). 209Habi>b Abdussala>m Alwi al-H{induan, Tarekat adalah Suatu Perintah Allah (Surabaya: Cahaya Ilmu, 2010), 9. 210al-Qur’an, 22: 16.

Page 64: JAM’IYYAH AHL AL-T{ARI

165

dalam syariat agama Islam.211 Al-Jailani memandang bahwa syariat sebagai

aspek lahir suatu ibadah, dan tarekat sebagai aspek batinnya. Orang yang

bertakwa harus selalu terikat dengan syariat sambil memerangi hawa nafsu, diri

sendiri, setan, dan teman yang buruk melalui tarekat.212

2. Keselarasan antara Syariat, Tarekat, Hakikat dan Makrifat,

Agar seorang sufi dapat mencapai tujuan utama tasawuf, maka langkah-

langkah yang harus ditempuh adalah didasarkan beberapa pilar, yaitu: syariat,213

tarekat214 (berbuat menurut teologi), hakikat215 (kebenaran), dan makrifat216

(Gnosis). Hadis Nabi: Syariat adalah perkataanku (aqwa>li), tarekat adalah

perbuatanku (af’a>li), hakikat adalah keadaan rohaniku (ahwa>li), dan makrifat

adalah rahasiaku (asra>r)”.217

Selain itu terdapat ucapan Nabi yang dicatat dalam kitab-kitab hadis

yang paling sahih yang merupakan sumber dan landasan sufisme adalah: ”Tuhan

berkata, hamba-Ku sama sekali tidak datang begitu dekat kepada-Ku seperti

kalau melaksanakan kewajiban-kewajiban yang telah Aku bebankan atasnya dan

211Kharisudin Aqib, Al-Hikmah: Memahami Teosofi Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah (Surabaya: Dunia Ilmu, 1999), 24. 212 Muhammad Sholikin, 17 Jalan Menggapai Mahkota Sufi Syaikh ‘Abdul Qadir al-Jailani (Jakarta:Mutiara Media, 2009), 116. 213Syariat : Kepastian hukum dalam Ubudiyah, sebagai kewajiban hamba kepada Al-Kha>liq. Syariat ditunjukkan dalam bentuk kaifiyah lahiriyah antara manusia dengan Allah AWT. Baca; Al-Qushairi, Al-Risa>lah al-Qush}airiyah (Bairut: Da>r al-Kutub, 2005), 118. 214Tarekat adalah : Perjalanan Seorang Salik (pengikut tarekat) menuju tuhan dengan cara menyucikan diri atau perjalanan yang harus ditumpuh oleh seorang untuk dapat mendekatkan diri sedekat mungkin kepada Tuhan. Baca Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam, V (Jakarta: Ikhtiar Baru van Hoeve, 1994), 66. 215Hakikat adalah penyaksian manusia tentang rahasia-rahasia ketuhanan dengan mata hatinya atau kesaksian terhadap sesuatu yang telah ditentukan dan ditakdirkan-Nya serta yang disembunyikan dan yang ditampakkan. Ibid. 216Makrifat: mengetahui Allah dari dekat melalui hati sanubarinya. Baca Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Jilid V, 130. Pendapat yang lain, makrifat adalah sifat orang-orang mengenal Allah dengan nama-nama dan sifat-sifatnya kemudian ia membenarkan Allah dengan melaksanakan ajaran-ajarannya dalam segala perbuatan. Baca Al-Qusyani, al-Risa>lah, 342. 217Wahid Bakhash Rabbani, Sufisme Islam (Jakarta: Sahara, 2004), 112.

Page 65: JAM’IYYAH AHL AL-T{ARI

166

hamba-Ku terus mendekat melalui amal-amal nawafil, sampai Aku mencintainya

dan ketika Aku mencintainya, maka Aku adalah telinganya, sehingga ia

mendengar karena Aku, Aku adalah matanya, sehingga ia melihat karena Aku,

dan lidahnya, sehingga ia berbicara karena Aku, dan tangannya, sehingga ia

bekerja karena Aku. Hadis ini terkenal menjadi dasar bangunan teosofistik yang

besar dalam tulisan-tulisan sufi kemudian.

Menurut al-barry218, hal yang sama juga dikatakan oleh Imam Malik

”Orang yang mengikuti Tasawuf, tapi tidak mempelajari fikih adalah seorang

bid’ah. Orang yang mempelajari fikih, tapi tidak mengamalkan tasawuf adalah

pendosa. Orang yang menggabungkan tasawuf dengan fikih maka ia menemukan

kebenaran219, Dengan demikian syariat merupakan tingkat awal, tarekat

merupakan tingkat menengah, dan hakikat merupakan tingkat tertinggi. Syariat,

tarekat, dan hakikat, walaupun ketiganya tidak ada perbedaan dari aspek hakikat,

toh kesempurnaan syariat hanya terjadi dengan tarekat dan kesempurnaan tarekat

hanya terjadi dengan hakikat.

Melihat ini berarti : tingkatan ahli hakikat lebih tinggi dari ahli tarekat

dan tingkatan tarekat lebih tinggi dari ahli syariat.220 Bagi kaum sufi, tasawuf

tidak dapat dipisahkan dari syariat, tarekat, dan hakikat. Ibarat buah kacang,

syariat adalah kulitnya, tarekat adalah bijinya, sedangkan hakikat adalah

minyaknya yang sekalipun tidak tampak, tapi terdapat dimana-mana. Kacang

tanpa ketiga unsurnya itu tidak akan tumbuh jika ditanam di ladang. Jadi tasawuf

218Ibid, 111. 219Ibid, 112. 220S. Haidar Amuli, Menembus Batas Langit Beragama Menurut Ahli Syariat, Tarekat, dan Hakekat, terj. Irwan Kurniawan (Bandung: Pustaka Hidayah, 2009), 83-85.

Page 66: JAM’IYYAH AHL AL-T{ARI

167

tidak akan memberikan kegunaan ruhani jika tidak mencakup ketiga bagian yang

integral itu.221

Menurut Sirhindi, syariat adalah segala sesuatu yang telah ditetapkan

Allah melalui Rasul-Nya dan berarti sesuai dengan agama yang diajarkan Rasul.

Ini berarti syariat menunjukkan bagaimana mencapai kehidupan nyata dan

kesempurnaan dari kesalehan dan ihsan. Tarekat adalah cara yang dipakai untuk

mencapai kenyataan kehidupan agamis sebagaimana didefinisikan oleh syariat.

Tarekat merupakan alat bantu untuk mencapai kenyataan tersebut. Sedangkan

hakikat adalah kenyatan yang ingin dicapai.

Pandangan lain mengatakan Syariat merupakan kode hukum yang

mengatur kehidupan lahiri. Ia berkaitan erat dengan struktur lahiri kehidupan

agamis, tetapi tidak berkaitan dengan kenyataan batini. Kenyataan iman dan

kehidupan agamis terletak diluar jangkauan syariat, dan hanya dapat diketahui

dengan jalan sufi (tarekat). Dengan kata lain syariat adalah sosok tanpa

kenyataan, tulang tanpa sumsum, atau sekam tanpa isi.222

Menurut Moh.Toriquddin, syariat adalah peraturan Allah yang ditetapkan

melalui wahyu berupa perintah dan larangan. Tarekat adalah pelaksanaan dari

peraturan dan hukum Allah (syariat). Hakikat adalah menyelami dan mendalami

apa yang tersirat dan tersurat dalam syariat. Syariat ibarat kapal, yakni sebagai

instrumen mencapai tujuan. Tarekat ibarat lautan , yakni sebagai wadah yang

mengantar ke tempat tujuan. Hakikat ibarat mutiara yang sangat berharga dan

221Said Agil Siraj, Tasawuf sebagai kritik sosial mengedepankan islam sebagai Inspirasi Bukan Aspirasi (Bandung Mizan Pustaka, 2006), 96-97. 222Muh}ammad Abd Haq Ansari, Merajut Tradisi Shari>‘ah Sufisme, Trj. Nasir Budiman (Jakarta : Rajagrafindo Persada, 2009), 96-97.

Page 67: JAM’IYYAH AHL AL-T{ARI

168

banyak manfaatnya. Untuk memperoleh mutiara hakikat, manusia harus

mengarungi lautan dengan gelombang yang dahsyat. Sedangakn untuk

mengarungi lautan itu, tidak ada jalan lain kecuali dengan kapal.223Menurut

Shaykh Ahmad Asrori al-Ishaqy, syariat adalah urusan yang terkait dengan

kesanggupan menghamba secara terus-menerus. Yakni semua perintah Allah

Swt. dan Rasulnya seperti mandi, wudu , salat, puasa, dan lain sebagainya.

Tarekat adalah perjalanan hati seorang sa>lik yang kusus untuk menempuh

mana>zil dan meningkatkan maqa>mat serta ah}wa>l. Hakikat adalah menyaksikan

ketuhanan, yakni menyaksikan pengaturan Allah dalam segala ciptaan.

Sedangkan makrifat adalah mengerti dan merasakan diri sebagai sosok

hamba yang lemah dan Allah adalah Zat yang Maha Kuasa, Besar ,Agung,

Tinggi, Indah dan Mulia. Setiap tarekat yang bertentangan dengan syariat adalah

kufur, dan setiap hakikat yang tidak sesuai dengan al-Qur’an dan hadis adalah

penyimpangan dan kezindikan224 (menampakkan iman dan memendam

kekufuran).

Shaykh Ahmad Asrori lebih lanjut menggambarkan hubungan syariat,

tarekat, hakikat, dan makrifat adalah: “syariat laksana perahu, tarekat laksana

samudera, dan hakikat laksana mutiara. Barangsiapa menginginkan mutiara maka

harus mendayung perahu untuk mengarungi samudera demi meraih mutiara.

Barang siapa yang meninggalkan urutan ini, maka ia tidak akan memperoleh

mutiara”.225

223Moh Toriquddin, Sekularitas Tasawuf, Membumikan Tasawuf dalam Dunia Modern (Malang: UIN Press, 2008), 99-102. 224Ahmad Asrori al-Ishaqy, Setetes Embun Penyejuk Hati (Surabaya: al-Wafa, 2009), 29-30. 225Ibid.

Page 68: JAM’IYYAH AHL AL-T{ARI

169

D. Acuan dan Amalan Tarekat

Setiap tarekat mempunyai mempunyai acuan dan pedoman dalam

melaksanakan peribadatan yang diperoleh dari mursyid masing-masing. Antara

tarekat yang satu dengan yang lain berbeda. Perbedaan tersebut biasanya

berkaitan dengan tata cara peribadatan, misalnya lagu zikir, urut-urutannya, tata

cara duduknya, waktu melaksanakannya, jumlahnya, dan sebagainya. Sedangkan

materi amalan yang dilakukan pada umumnya sama.

Adapun acuan dan bentuk-bentuk amalannya adalah sebagai berikut:

1. Mursyid dan murid

Mursyid adalah guru pembimbing kerohanian yang mampu membimbing

dan memberi contoh kepada murid untuk mengamalkan ajaran tarekat,

mula>zamah (mengekalkan) zikir kepada Allah dan berakhakul karimah.226 Di

samping kata mursyid, kata shaykh juga dipakai untuk maksud yang sama dalam

literatur tasawuf. Shaykh adalah orang yang sudah mencapai maqam rija>l al

kama>l, yaitu seorang yang sudah sempurna suluknya dalam ilmu syariat dan ilmu

hakikat menurut al-Qur’an, sunnah dan ijma’.227 Shaykh juga dipakai sebagai

sebutan yang diberikan kepada pendiri aliran tarekat sufi, atau orang yang

menjadi pemimpin silsilah tarekait itu, juga para pemimpin cabang tarekat yang

beraneka ragam. Shaykh (mursyid) merupakan pemimpin kerohanian yang tinggi

sekali kedudukannya dalam tarekat.

226 Muh}ammad Rifa’i, Tarekat Asy-Syadziliyah : langkah-Langkah dan Amaliyahnya ( Semarang: Wicaksana, 2005),129. Baca: M.Solihin dan Rosihon Anwar, Kamus Tasawuf ( Bandung : Remaja Rosda Karya, 2002), 151. Lihat : Dewan Redaksi, “ Mursyid” Ensiklopedi Islam, Vol. 11, (Jakarta: Icktiar Baru Van Hoeve, 2003), 303. 227 Muh}ammad Amin al-Kurdi, Tanwi>r al-Qulu>b fi> Mu’amala>t ‘alla>m al-Ghuyu>b (Mesir; al-Sa’adah,tt), 524..

Page 69: JAM’IYYAH AHL AL-T{ARI

170

Sebagai pemimpin ia mengawasi murid-muridnya dalam kehidupan lahir

dan pergaulan sehari-hari agar tidak menyimpang dari ajaran Islam dan

terjerumus ke dalam maksiat, perbuatan dosa besar atau kecil. Ia berhak menegur

kepada murid-muridnya setiap perbuatan yang dinilai menyimpang. Jabatan

Shaykh atau mursyid dituntut untuk memiliki sifat-sifat kerohanian yang

sempurna, bersih, dan menjalani kehidupan batin yang murni. Ia adalah orang

yang kuat sekali jiwanya, memiliki segala keutamaan, dan mempuyai

kemampuan makrifat. Ia adalah pilihan Tuhan yang secara khusus mendapat

barakah-Nya, sehingga ia menjadi wasilah (perantara) antara hamba dan Tuhan.

Ia adalah manusia yang sempurna dalam ilmu syariat, tarekat dan hakikat,

sebab ia mengetahui berbagai penyakit nafsu, pengobatan dan cara

penanganannya, dan teguh mengikuti pola hidup dalam tradisi kesufian.228 Ia

hanya berpikir apa yang sesuai dengan ilham Tuhan dan pola yang ditentukan

oleh-Nya, sehingga ia dianugerahi kemampuan memiliki karamah229 dan tampak

mempuyai keahlian serta kesungguhan baik ucapan, perbuatan, maupun h}a>l

(perilaku batin) dalam lima persyaratan,230 baik dengan upaya dan belajar atau

dengan anugerah dan ilham.231

228 Ah}mad Asrori bin Muh}ammad Usma>n al-Ishaqi, Al muntakhaba>t fi> Ra>bit}ah al-qalbiyah wa silat al Ru>h}iyah juz III ( Surabaya: al-khidmah, 2009), 200. Baca pula : Hasan Muarif (et al), Ensiklopedi Islam, 303. 229 Karamah : keadaan luar biasa diluar pengalaman manusia biasa yang diberikan Allah SWT kepada para wali-Nya. Kata Karamah juga sering disamakan dengan keramat, yang berarti bakat luar biasa bagi orang yang dipilih Allah SWT, yaitu bakat individual karena Allah SWT menyertai, melindungi, dan menolong orang-orang saleh. Karamah atau keramat sering terjadi dikalangan orang-orang sufi, namun dapat juga lahir dari seorang hamba Allah SWT yang biasa, saleh, beritikad bersih dan tekun mengerjakan ibadah. Ibid., 11. 230 Syaikh Ahmad Asrori al-Ishaqi menyebutkan lima syarat yang harus dimiliki oleh mursyid, yaitu: (1). Mengetahui dan menyakini aqidah ahli sunah wa al-jamaah dalam bidang tauhid. (2). Mengetahui dan mengerti akan kebesaran Allah ( makrifat bi Alla>h), sehingga dengan akidah ahli sunah wa al -jamaah , ia dapat membuktikan dengan kesungguhan dan perbuatan serta mendalami dengan kokoh bahwa Allah itu Esa dalam zat-Nya, Esa dalam sifat-Nya , Esa dalam kekuasaan-

Page 70: JAM’IYYAH AHL AL-T{ARI

171

Terdapat beberapa sebutan yang diberikan kepada guru tarekat sesuai

dengan peran dan kedudukannya, di antaranya: nussa>k (orang yang gigih

mengerjakan segala amal dan perintah agama), ‘ubba>d (orang yang ahli dan

ikhlas menjalankan ibadah), mursyid (pembimbing, pengajar dan pemberi contoh

kepada murid-muridnya), imam (Pemimpin dalam berbagai aliran tarekat),

shaykh (kepala dari kumpulan tarekat), dan al-sa>dah (orang yang dihormati dan

diberi kekuasaan penuh).232

Predikat mursyid dapat bertingkat-tingkat sesuai dengan bentuk

pengajaran yang diberikan kepada murid-muridnya. Predikat itu bisa saja dimiliki

oleh seseorang atau beberapa orang, yaitu: (1) Syaikh al-ira>dah: tingkat tertinggi

dalam tarekat yang iradahnya (kehendaknya) telah bercampur dan bergabung

dengan hukum Tuhan, sehingga atas pengaruhnya dari shaykh itu orang yang

meminta petunjuk menyerahkan jiwa dan raganya secara total. (2) Shaykh al-

iqtida>’: guru yang tindak–tanduknya (perkataan dan perbuatan) baik untuk ditiru

oleh murid. (3) Shaykh al-tabarruk: guru yang selalu dikunjungi oleh orang-orang

yang meminta petunjuk, sehingga barakahnya melimpah kepada mereka. (4)

Shaykh al-intisa>b: guru yang atas campur tangan dan sifat kebapakannya, orang

Nya dan Esa dalam semua perbuatan-Nya. (3). Mengetahui fardu ‘ain seperti hukum salat, puasa, haji, dan zakat. (4). Mengetahui dan mengerti adab–adab dalam hati, cara membersihkannya, menyempurnakannya, melirik dan melihat terhadap penyakit jiwa, dampak negatif, tingkatan-tingkatannya serta tata cara menjaga kesehatan. (5). Telah diberi restu dan izin kedudukannya sebagai mursyid melalui bimbingan dan petunjuk-petunjuk kehadirat Allah SWT. dari gurunya seca terus menerus dan berkesinambungan sampai kepada Rasulullah SAW dengan cara langsung (berhadap-hadapan) atau tulisan yang jelas dan terang dan tidak cukup dengan dasar mimpi. Baca: Ahmad Asrori, Al-Muntakhaba>t, Juz III, 270-280. 231 Ilham: sesuatu yang didatangkan Allah ke dalam jiwa manusia sehingga membangkitkan keinginan untuk mengerjakan atau meninggalkan sesuatu. Syarif Al-jurjani menjelaskan: Ilham adalah sesuatu yang disusupkan Allah kedalam jiwa lewat limpahan karunia batin ( al-fayd}). Baca : M.Solihin dan Rosihon Anwar, Kamus Tasawuf, 88. 232 Hasan Muarif Ambary (et al), Ensiklopedi Islam, 303.

Page 71: JAM’IYYAH AHL AL-T{ARI

172

yang meminta petunjuknya akan beruntung lantaran bergantung kepadanya,

sehingga ia rela menjadi pembantunya yang setia dan menerima berbagai

perintahnya yang berkaitan dengan tugas keduniaan. (5) Shaykh al-talqi>n: guru

kerohanian yang membantu setiap individu anggota tarekat dengan berbagai doa

dan wirid yang selalu harus diulang-ulang. (6) Shaykh al-tarbiyah : guru yang

memberikan bimbingan kepada para pemula dalam tarekat.233 Shaykh biasanya

bertempat tinggal di zawiyah, dan dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh para

khadamnya yang terdiri dari beberapa tingkatan, yaitu: (1) Khalifah atau naib:

wakil atau pengganti yang menempati kedudukan utama dari Shaykh. (2)

Muqaddam: orang yang mengurus urusan sekelompok peserta tarekat di tempat

tertentu (juru dakwah dalam aliran tarekat). (3) Al-Raqib atau al-Shawish: orang

yang bertugas untuk menyampaikan doa, ajaran tertulis atau lisan yang

bersumber dari Shaykh atau muqaddam-nya. (4) Al-S}iya>f: petugas pada musim

s}aif (panas) mengunjungi keluarga pengikut tarekat untuk mengumpulkan zakat,

infak, dan tugas-tugas keduniaan yang lain.234

Mursyid mempunyai tugas dan tanggung jawab yang berat. Oleh karena

itu, orang yang boleh diangkat menjadi mursyid harus memiliki sifat dan

keahlian sebagaimana terdapat dalam lampiran II.

Sifat dan keahlian yang harus dimiliki oleh mursyid tersebut merupakan

acuan dasar yang ideal dan merupakan petunjuk bagi shaykh yang akan

mengangkat seorang mursyid,235 sebagai penggantinya. Sebab pengangkatan

233 Ibid., 234 Ibid., 235 Menurut Shaykh Abd al Wahab Rokan al Khalidi cara pengangkatan mursyid adalah sebagai berikut : (1). Perintah (amar) dari Shaykh (mursyid) sebelumnya. (2). Wasiat dari Shaykh

Page 72: JAM’IYYAH AHL AL-T{ARI

173

mursyid adalah hak penuh dari shaykh-nya masing-masing melalui pertimbangan

ketajaman batin melihat murid-muridnya yang mempuyai kemampuan. Karena

ada juga murid yang sebelum diangkat menjadi mursyid belum tampak

memenuhi persyaratan, tetapi setelah diangkat menjadi mursyid ternyata

menunjukan kemampuannya.

Murid adalah orang yang belajar teori maupun amalan–amalan praktis

dalam tasawuf untuk menjadi pengikut suatu aliran tarekat.236 Murid dalam

tarekat disebut juga salik, yaitu orang yang sedang menempuh perjalanan ruhani.

Keberhasilan salik tidak hanya ditentukan oleh adanya teori dan praktek, akan

tetapi dipengaruhi oleh kemampuannya dalam mengendalikan hawa nafsunya dan

membimbing batinnya untuk memiliki sifat-sifat (tabiat) yang terpuji.237

Langkah-langkah selanjutnya yang diperlukan oleh salik adalah menghiasi

batiniahnya dengan akhlak mah}mu>dah (perilaku lahir yang terpuji) yang biasanya

disebut dengan adab yang meliputi adab kepada mursyid, sesama teman, dan

kepada diri sendiri. Adapun adab murid terrsebut dapat dilihat pada lampiran III.

Adab murid kepada Shaykh238, dirinya sendiri dan sesama teman yang

ditentukan dalam lampiran III tersebut, merupakan pokok-pokoknya saja yang

(mursyid) sebelumnya. (3). Diangkat oleh para wakil mursyid (khalifah) dan murid (pengikut ajaran suatu tarekat) dengan suara bulat. (4). Ditunjuk oleh mursyid untuk memimpin tarekat disuatu daerah yang belum ada mursyidnya. Baca: Shaykh Abd al Wahab Rokan al khalidi, Bahjat al Suniyah ( Istambul: Fatih,1997), 102. 236M. Solihin dan Rosihon Anwar, Kamus Tasawuf, 150. Baca pula : Ismail Nawawi, Tarekat Qadiriyah, 86. 237 Ada tujuh Sifat (martabat) yang harus dimiliki oleh seorang salik, yaitu: (1). kasih sayang. (2). Membiasakan bersyukur. (3). Hormat kepada orang tuanya dan menjaga hubungan silaturrahim. (4). Dapat mengendalikan diri dari hal-hal yang negatif.(5). Selalu dalam keadaan bertauhid serta menggantungkan segalanya hanya kepada Rab al ‘izati. (6). Menjalankan shari>‘at islam. (7). Selalu dalam kondisi munajat atau memohon kepada Allah. Baca: Shaykh Achmad Syakir Ibnu Muh}ammad, Aku, T{ari>qoh, Tasawuf (Demak,jawa tengah: Tanjung Mas Inti, 2003), 15. 238 Lihat lampiran II

Page 73: JAM’IYYAH AHL AL-T{ARI

174

sering dilakukan, tentunya masih banyak lagi yang lain. Oleh karena

kesungguhan, keikhlasan dan kepatuhan murid dalam mengikuti bimbingan dan

petunjuk dari Shaykh-nya dalam segala hal serta untuk mendapat ridanya sangat

diperlukan. Demikian pula semangat murid, istiqamahnya dalam menjaga diri

agar tetap berakhlak yan mulia lahir dan batin, baik kepada diri sendiri maupun

kepada sesama teman serta bersabar dalam menghadapi segala ujian adalah sifat-

sifat dasar yang harus dimiliki setiap murid agar dapat berhasil dalam

menempuh perjalanannya menuju Allah (sulu>k ).

2. Baiat

Baiat adalah sebuah prosesi perjanjian dan kesetiaan antara seorang murid

terhadap seorang mursyid, dimana seorang murid menyerahkan dirinya untuk

dibina dan dibimbing dalam rangka membersihkan jiwanya, dan mendekatkan

diri kepada Tuhannya. Selanjutnya seorang mursyid menerimanya dengan

mengajarkan zikir (talqi>n al-dhikir) kepadanya.239 Shaykh Ahmad Asrori

menyebutkan dengan: muba>ya’ah dan akhdhu al-’ahdi atau lubsu al-khirqah

yang artinya adalah sebuah prosesi menghubungkan pertalian ruhaniah antara

murid dan mursyidnya, dan pemasrahan murid kepada mursyidnya dalam

pengaturan jiwanya. Ciri rahasia baiat adalah menghubungkan pertalian hati dan

ruhani segenap guru tarekat sampai kepada rasul Allah Muhamad saw. hingga ke

hadirat Allah ’Azza wajalla.240 Upacara baiat merupakan langkah awal yang

239 Kharisudin Aqib, Al Hikmah: Memahami Teosofi Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah (Surabaya: Dunia Ilmu, 1998), 32. Baca Al-Qur’an, 48 :10. 240 Hadrat al-Shaykh al-Murabbi al-Mursyid Ahchmad Asrori al-Ishaqy, Setetes Embun Penyejuk Hati Ringkasan dari al-Muntakhaba>t fi ra>bit}ah al-qalbiyyah wa s}ilah al-Ru>hiyah (Surabaya al-wafa 2009), Al-Sya’roni sebagai tokoh sufi sering menggunakan istilah talqi>n dan khirqah dari pada baiat: Baca Abd Wahab al-Sha’roni Al-Anwa>r Al-Qudsiyah,16.

Page 74: JAM’IYYAH AHL AL-T{ARI

175

harus dilalui oleh seorang salik yang memasuki jalan hidup kesufian melalui

tarekat. Menurut ketetapan Jam’iyyah ahli tarekat al-mu’tabarah al-Nahd}iyyah,

hukum dasar baiat zikir (tarekat) adalah al-sunnah al-nabawiyah..241 Akan tetapi

bisa menjadi wajib apabila seseorang tidak dapat membersihkan jiwanya kecuali

dengan baiat. Bagi yang telah baiat hukum mengamalkannya adalah wajib untuk

memenuhi janji.242

Baiat dibagi menjadi tiga macam, yaitu: pertama, tashabuh (h}usn al-

dhan): baiat kepada guru mursyid karena ada prasangka baik dan tidak

mempunyai tujuan dan maksud dalam tarbiyah (bimbingan guru mursyid), hanya

sekadar ikut-ikutan dalam mengamalkan amaliah ahli tarekat. Kedua, tabarruk:

baiat dengan tujuan mendapatkan keberkahan dan garis keturunan nasab ruhaniah

dari mursyid tanpa tujuan mengamalkannya. Ketiga, ira>dah (kehendak): baiat

dengan tujuan menjadi murid tarekat yang sesungguhnya dan mempunyai

keinginan yang luhur, sabar dalam bermujahadah mengikuti semua perintah dan

bimbingan guru mursyidnya.243

Bentuk baiat yang dilakukan mursyid pada murid dengan dua cara yaitu

baiat fardiyah (individual) dan baiat jam’iyyah (kolektif). Adapun baiat fardiyah

(individual) sebagaimana hadis:

241 A.Aziz Masyhuri, Permasalahan T{ari>qah : Hasil kesepakatan muktamar dan musyawarah Besar jamiyyah ahli al-T{ari>qah al-Mu’tabarah Nahd}latul Ulama (1957-2005 M), (Surabaya : Kalista 2006), 2 Pendapat yang sama mengatakan hukum baiat tidak wajib dan tidak dosa apa bila tidak baiat berdasarkan ijmak. Baca: Muh}ammad Najmuddin al-Kurdi al-Dala>’il al’a>liyah : As’illah al-Naqshabandiyah (kairo Da>r Al-Sa’adah, 2008), 50. 242 Al-Qur’an, 17:34. Baca : Muslikh Abd Rahman, Al-Fatuha>t al-Rabba>niyah (semarang :Toha Putra, 1962), 6. 243 Shaykh Ahmad Asrori, Setetes Embun, 61. Pendapat lain mengatakan jenis baiat adalah : Pertama baiat dari beberapa dosa. Kedua baiat untuk memperoleh keberkahan dan silsilah orang-orang saleh. Ketiga baiat untuk melaksanakan perintah Allah dan menjahui larangan-laranganNya zahir dan batin serta mendapat bimbingan hatinya untuk (makrifat) kepada Allah Baca: Muh}ammad Najmuddin al-Kurdi, Al-Dala>’il al-‘A>liyah, 45.

Page 75: JAM’IYYAH AHL AL-T{ARI

176

یا رسول هللا دلنى على أقرب الطرق الى هللا تعالى : عن على ابن أبى طالب رضى هللا عنھ قال

یا على علیك بمداومة : قال رسول هللا صلى هللا علیھ وسلم . وأسھلھا على العباد وأفضلھا عند هللا تعالى

كل الناس ذاكرون یا رسول هللا وإنما أرید أن : فقال على رضى هللا عنھ . عزوجل سرا وجھرا ذكرهللا

أفضل ما قلت أنا والنبیون من قبلى الإلھ إال هللا ولو أن : مھ یا على : قال رسول هللا . تخصنى بشئ

244 هللا ألرضین السبع فى كفة وال إلھ إال هللا فى كفة لرجحت الإلھ إالاالسماوات السبع و

“Dari Ali> bin Abi> T{ha>lib, ia berkata: Ya Rasulullah tunjukkan kepadaku jalan yang paling dekat kepada Allah, yang paling mudah bagi hamba-Nya, tetapi paling utama menurut Allah: Rasulullah. Saw menjawab : “Hai Ali>, hendaklah kamu senantiasa berzikir kepada Allah, baik secara sirri (batin) maupun jahr (bersuara)”. Maka Ali> berkata: Ya Rasulallah, setiap manusia telah biasa berzikir, padahal aku ingin engkau memberikan secara khusus”. Rasulullah menjawab: Ah kamu Ali>! Seutama-utamanya apa yang aku ucapkan dan diucapkan oleh Nabi sebelumku adalah kalimat “La> ila>ha illa Allah”. Seandainya tujuh langit dan tujuh bumi dikumpulkan jadi satu dalam satu timbangan, maka pastilah kalimat “La> ila>ha illa> Allah” akan lebih berat.”

Hadis tersebut didukung oleh hadis yang diriwayatkan oleh Ibn H{ibba>n (w

354 H), al-H{akim (w 405 H) dan yang lainnya, tentang dialog nabi Musa dengan

Tuhan:

: قال . یا موسى قل الإلھ إال هللا: قال , یا ربى علمنى شیئا أذكرك بھ وأدعوك بھ . یا ربى إنما أرید شیئا تخصنى بھ: قال . ھ إال هللاقل الإل: قال . یاربى كل عبادك یقول ھذا

لو أن السموات السبع واألرضین السبع فى كفة والإلھ إال فى كفة مالت , یا موسى: قال 245بھم الإلھ إال

“Ya Tuhanku, ajarilah sesuatu yang dapat aku pergunakan dengan mengingat-Mu, dan untuk untuk berdoa kepada-Mu. Maka Allah berfirman: Hai Musa, katakan “La ilaha illa Allah”. Maka Musa berkata: Ya Tuhanku, aku menginginkan sesuatu yang engkau khususkan untukku. Allah berfirman: Wahai Musa, seandainya langit yang tujuh dan bumi yang tujuh dikumpulkan dalam saru timbangan, dan kalimat “La ilaha illa Allah” dalam satunya lagi, maka pastilah “La ilaha illa Allah” akan miring ke bawah (lebih berat).”

Sedangkan baiat jam’iyyah (kolektif) sebagaimana hadis:

244 HR. Yusuf al’Ajami dalam risalahnya dengan sanadnya yang muttasil dari Ali> bin Abi T{a>lib ra. Lihat: Abdul Wahab al-Sha’rani, Al-Anwa>r al-Qudsiyyah fi> Ma’rifat Qawa>’id al-S}u>fiyyah (Kairo : Dar Jawa>mi’ Al-kilam, t.th.), 17. 245 HR. Abu Ya’la, Al H{akim, Ibnu H{ibba>n, al-H{akim dalam al Mustadrak, Abu Na’im dalam al H}ilyah, Baihaqi dalam al-Asma’ dan Dhiya’ al Maqdisiy dalam al Mukhtarah dari Abu Sa’id. Lihat: Jalaluddi>n al-Suyut}i, Ja>m’u al-Jawa>mi’ al Ma’ruf bi al Jami’ al Kabir, juz 6 (Kairo: Da>r al-Sa’adah, 2005), 158.

Page 76: JAM’IYYAH AHL AL-T{ARI

177

اھل . (ھل فیكم غریب : ان رسول هللا صلى هللا علیھ وسلم كان یوما مجتمعا مع اصحابھ فقال

قال شداد ابن , ارفعوا ایدیكم وقولوا آل الھ االهللا : فأمر بغلق الباب وقال . ال یا رسول هللا : قالوا ) الكتاب

اللھم انك بعثتنى بھذه : صلى هللا علیھ وسلم ثم قال رسول هللا. فرفعنا ایدینا ساعة وقلنا آلالھ اال هللا : أوس

:ثم قال رسول هللا صلى هللا علیھ وسلم . انك ال تخلف المیعاد , الكلمة وأمرتنى بھا ووعدتنى علیھا الجنة

أبشروا فإن هللا تعالى قد غفر لكم

Artinya: “Sesungguhnya Rasulullah saw. pada suatu hari sedang berkumpul dengan para sahabatnya, kemudian beliau bertanya : “Adakah diantara kalian orang asing ? yakni ahli kitab. “ Mereka menjawab, tidak ada ya Rasulullah, “Maka Rasulullah menyuruh menutup pintu . Selanjutnya bersabda: “Angkatlah tangan kalian, dan katakana “La ila>ha illa Alla>h,” maka berkata Saddat ibn Aus : kami semua mengangkat tangan sesaat, dan mengucap “La> ila>ha illa Alla>h.” maka Rasulullah bersabda: “Ya Allah sungguh engkau akan mengutusku dengan kalimat ini, menyuruhku dengannya, engkau janjikan kepadaku surga dengannya, dan sungguh engkau tidak pernah menyalahi janji.” Kemudian Rasulullah bersabda: “Berbahagialah kalian semua karena Allah akan mengampuni kamu semua.” (HR. Ah}mad, Tabrani dan yang lain).246

Prosesi baiat dilaksanakan setelah calon murid mengetahui terdahulu

tentang hal ihwal tarekat, termasuk kewajiban yang harus dilaksanakannya.

Murid yang merasa mantap dan mampu menghadap guru mursyid untuk dibaiat

sesuai dengan cara prosesi pembaiatan yang berlaku pada mursyid masing-

masing. Untuk prosesi pembaiatan dapat dicontohkan dalam tarekat Qadiriyah

wa Naqsyabandiyah sebagai berikut: ”Prosesi pembaiatan dalam tarekat

Qadiriyah wa Naqsyabandiyah biasanya dilaksanakan setelah calon murid

mengetahui terlebih dahulu hal ihwal tarekat tersebut, terutama menyangkut

masalah kewajiban yang harus dilaksanakannya, termasuk tata cara berbaiat”,247

246 Muh}ammad Ibn Abdullah al-H{akim, al-Mustadrak ala al-Sahihaini fi al-H{adi>th, juz 1 (Beirut: Da>r al-Fikr, 1978) 501. Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ah}mad, Bazzar, Tabrani dan yang lain dengan sanad yang H{asan. Lihat: Abdul Wahab As-Sa’rani, Al Anwa>r Al Qudsiyyah, .17. 247 Biasanya seseorang yang datang hendak berbai’at terlebih dahulu ia diberi kitab pegangan untuk ditelaah di rumahnya. Baru setelah memahami dan merasa cocok ia harus datang lagi untuk menyatakan diri ingin di bai’at. Baca Kharisudin Aqib, al-Hikmah, 98-109.

Page 77: JAM’IYYAH AHL AL-T{ARI

178

sehingga setelah merasa mantap dan mampu, maka seorang murid datang

mengahadap mursyid untuk dibaiat. Adapun prosesi baiat dapat dilihat pada

lampiran IV.

3. Zikir dan Wirid

Zikir adalah secara berulang-ulang menyebut nama Allah atau

menyatakan kalimah La> ila>ha illa> Alla>h melalui ucapan lisan, gerakan raga,

maupun getaran hati sesuai dengan cara-cara yang diajarkan agama dalam rangka

mendekatkan diri pada Allah SWT.248 Ibn ’At}a>’illah membagi zikir kepada tiga

bagian, yaitu: dhikir Jaliy (jelas, nyata), dhikir khafiy (zikir samar yang samar-

samar) dan dhikir h}aqi>qiy (zikir yang sebenarnya).249 Dhikir jaliy adalah suatu

perbuatan mengingat Allah SWT dalam bentuk ucapan-ucapan lisan yang

mengandung arti pujian, rasa syukur dan do’a kepada Allah SWT yang lebih

menampakkan suara yang jelas untuk menuntun gerak hati, misalnya dengan

membacakan tahlil, (La> ila>ha illa> Alla>h) tasbih, (Subha>n Alla>h) takbir, (Alla>hu

Akbar) membaca al-Qur’an atau do’a lainnya. Dhikir jaliy ada yang bersifat

muqayyad (terikat) dengan waktu, tempat dan amalan tertentu lainnya.

Contohnya ucapan-ucapan dalam salat, do’a-do’a yang diucapkan ketika akan

makan, sesudah makan, akan tidur, bangun tidur, pergi keluar rumah dan

sebagainya. Banyak ayat-ayat al-Qur’an dan hadis Nabi yang isinya perintah

248 Martin Van Brainessen. Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia (Bandung : Mizan, 1994),80 Baca pula: Hasan Muarif Ambary (et. al), Ensiklopedi Islam, V , 235. 249 Al-Shaykh Abd Allah al-Sharqawi, Al-H{{ikam al-At}a>’iyyah bi Sharkhi Shaykh al-Isla>m (kairo: al-rahmat al-muhda>t, 2010), 147-148. pendapat lain yang mengatakan jenis zikir ada tiga, yaitu : pertama zikir lisan dengan hati yang lalai dan ini disebut dhikir al-a’dat atau zikir orang awam, kedua zikir lisan disertai dengan ingatnya hati dan ini disebut zikir ibadah atau zikir khas, ketiga zikir seluruh anggota badan (jasmani dan rohani) dan disebut zikir cinta dan makrifat atau zikir paling khas. Baca: Ah}mad Must}afa, Ja>mi’ al-Us}u>l fi al-auliya>’ (Surabaya al-Haramain,tt),161.

Page 78: JAM’IYYAH AHL AL-T{ARI

179

untuk senantiasa berzikir mengingat Allah.250 Dhikir Jaliy ada pula yang bersifat

mutlak (tidak terikat dengan waktu dan tempat), misalnya mengucapkan tahlil,

tasbih, tahmid dan takbir dimana saja dan kapan saja.

Dhikir khafiy adalah zikir yang dilakukan secara khusuk oleh ingatan hati,

baik disertai zikir lisan ataupun tidak. Bagi murid yang mempunyai kemampuan

zikir ini hatinya merasa senantiasa memiliki hubungan dengan Allah SWT kapan

dan dimana saja, sebab seorang sufi ketika ia melihat suatu benda apa saja yang

dilihatnya bukan benda itu, tetapi Allah SWT. Ia menyadari akan adanya zat

yang menciptakan benda itu.

Dhikir h}aqi>qiy yaitu zikir yang dilakukan oleh seluruh jiwa raga lahiriah

dan batiniah, kapan dan dimana saja, dengan usaha yang sungguh-sungguh untuk

menjaga seluruh jiwa raga dari larangan Allah SWT dan selalu mengerjakan apa

saja yang diperintahkanNya. Dhikir h}aqi>qiy merupakan tingkatan yang paling

tinggi dan untuk dapat mencapai tingkatan dhikir h}aqi>qiy perlu melakukan

latihan-latihan mulai dari tingkat dhikir jaliy dan dhikir khafiy.

Zikir dalam tarekat dilakukan dalam waktu-waktu tertentu dan dengan

tehnik tertentu sesuai dengan petunjuk mursyid masing-masing. Secara umum

250 al-Qur’an, 4:103. Ibid., 5: 4. Ibid., 22:36. Ibid.,33: 33, Ibid.,62:10.Baca: H{asan Muarif Ambari (et. Al), Ensiklopedi Islam 5, 235. Dalam hadis riwayat Muslim dan Abu Hurairah Rasulullah SAW bersabda :”Siapa yang bertasbih setiap selesai salat sebanyak 33 kali, tahmid, 33 kali, tasbih 33 kali kemudian digenapkan menjadi 100 dengan ال الھ اال هللا وحده ال شریك لھ الملك ولھ الحمد وھو tidak ada tuhan selain Allah yang Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya yang) على كل شیئ قدیرmempunyai kerajaan yang pantas dipuji, Ia Maha Kuasa atas segala sesuatu), niscaya diampuni dosa-dosanya walaupun dosa itu sebanyak buih dilaut.” Baca: Al-Ghazali Ihya’ Ulumuddin juz I. (Baiurt: Da>r Al-Kutub, 2005), 282. Dalam hadis yang lain yang diriwayatkan Muslim, Sa’id bin Abi Waqqas menceritakan ketika sedang duduk bersama Rasulullah saw, tiba-tiba Nabi SAW bersabda “Adakah diantara kalian yang lemah sehingga tidak mampu berbuat seribu buah kebajikan dalam setiap hari? Diantara sahabat ada yang langsung menanyakan “Bagaimana caranya? “Nabi SAW menjawab “ membaca tasbih seratus kali, maka tercatat untuk seribu kebajikan atau dihapuskan dari padanya seribu kesalahan. Baca: Hasan Muarif Ambari (et.al), Ensiklopedi Islam 5, 236.

Page 79: JAM’IYYAH AHL AL-T{ARI

180

ada dua jenis zikir yang dilakukan. Pertama, dhikir nafi ithba>t (la> ila>ha illa>

Alla>h). Tarekat Qadiriyah merumuskan teknis zikir ini dengan cara menekankan

lidahnya pada langit-langit, bibir dan giginya tertutup rapat dan menarik nafas.

Selanjutnya dimulai dari kata La>, naik dari pusar menuju otak ketika tiba diotak,

dia mengucapkan ila>ha sambil menuju bahu kanan dan illa> Alla>h ke sisi kiri,

sambil menekan dengan penuh kekuatan menuju hati yang dilaluinya ia mengalir

keseluruh bagian tubuh yang lain untuk membakar nafsu-nafsu jahat yang

dikendalikan oleh syetan.251

Gerakan zikir tersebut dimaksudkan agar semua lat}i>fah (pusat-pusat

pengendalian nafsu dan kesadaran) teraliri dan terbakar dengan panasnya kalimat

tahlil. Mulai yang ditengah dada, ditengah kening, diatas dan dibawah susu

kanan, serta di atas dan di bawah susu kiri, sedangkan pusat merupakan start

penarikan kalimat tahlil karena ia merupakan pusat dari proses penciptaan

jasmani manusia252. zikir ini dilaksanakna setelah salat wajib sebannya 165 kali.

Kedua : dhikir ism al-dha>t (Alla>h-Alla>h) zikir ini bisa dikerjakan setelah

dhikir nafi ithba>t secara langsung atau diwaktu-waktu senggang yang lain

minimal 500. jika dikerjakan setelah dhikir nafi ithba>t (salat fardu) setiap majelis

1000 kali, zikir ini dikerjakan dengan menyebut lafal Alla>h-Alla>h secara sirri atau

khafiy (tanpa suara) pada tujuh lat}i>fah253 yang ada pada tubuh manusia dengan

251 M. Muhsin Jamil, Tarekat dan Dinamika Sosial Politik : Tafsir Sosial Sufi Nusantara (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), 68 Baca: Kharisudin Aqib. Al-Hikmah, 178. 252 Ibid. 253 Lat}i>fah adalah sesuatu yang halus yang ada pada rohani manusia yang menjadi pusat pengendalian nafsu dan kesadaran. Ada tujuh latifah yaitu: 1) Lat}i>faht al-qalb (hati) ia berada di bawah susu kiri agak condong luar dua jari 2) Lat}i>fat al-ru>h}i (jiwa) ia berada di bawah susu kanan jarak dua jari condong ke kenan. 3) Lat}i>fat al-Sirri (nurani terdalam) terletak di susu kiri kira-kira jarak dua jari condong ke dada. 4) Lat}i>fat al-Khafiy (kedalaman tersembunyi) ia berada diatas susu kanan dengan jarak dua jari dan condong ke dada sebelah kanan. 5) Lat}i>fat al-akhfa

Page 80: JAM’IYYAH AHL AL-T{ARI

181

menekuk lidah dan menyentuhkannya pada langit-langit mulut sebagaimana

praktek zikir Nabi.254

Setiap murid diwajibkan zikir lat}i>fah sebanyak 500 kali sampai dengan

2500 kali atau lebih banyak dalam sehari semalam, mulai lat}i>fah pertama sampai

ketujuh sehingga murid dapat merasakan asar zikir ini, perpindahan lat}i>fah

pertama sampai tujuh didasarkan petunjuk dan ujian guru (mursyid). Zikir pada

lat}a>’if (lat}i>fah-lat}i>fah) tersebut merupakan kunci dan penekanan pada zikir

kebanyakan tarekat dalam rangka mengusir setan yang bersarang ditempat ini

dan membasmi hawa nafsu255, terutama nafsu Lawwa>mah.

Dengan zikir ini diharapkan setan tidak berani tinggal di lat}i>fah yang pada

akhirnya dapat mempengaruhi pola pikir dan sikap mental dha>kir (orang-orang

yang zikir).

(kedalaman yang paling tersembunyi) letaknya di tengah dada. 6) Lat}i>fat al-Nafs (akal budi/otak) ia berada pada posisi antara dua mata dan alis (kening). 7). Lat}i>fat al-Qalab (halusnya seluruh badan) baik jasmani maupun rohani mulai dari umbun-umbun dengan ujung kaki. Baca: Muslih Abd Rahman al-Futuh}a>t al-Rabba>niyyah fi al-T}ari>qah al-qadiriyah wa Naqshabandiyah (Semarang Toha Putra, 1962), 40-43. Baca Pula : Kharisudin Aqib Al-Hikmah, 183-193. Lihat Martin Van Bruinessen Tarekat Naqshabandiyah di Indonesia (Bandung; Mizan, 1994), 81. 254 Sabda Nabi : یاعلى أغمض عینك وألصق شفیك وأعل لسا نك وقل هللا هللا هللا Artinya : Hai Ali pejamkan kedua matamu, rapatkan bibirmu, tekuklah lidahmu, dan katakanlah Allah, Allah, Allah (Hr. Tabrani dan Baihaqi) Ibid, 185-186. 255 Nafsu adalah organ rohani manusia yang besar pengaruhnya dalam mengeluarkan instruksi kepada jasmani untuk melakukan suatu tindakan durhaka atau taqwa. Dalam Tasawuf nafsu memiliki delapan katagori yaitu: 1). Nafsu al-amara>t bi al-su>’ : Nafsu selalu menyuruh /cenderung kepada keburukan. 2). Nafsu lawwa>mah: Nafsu yang telah mempunyai rasa insaf dan menyesal sesudah melakukan pelanggaran. 3). Nafsu al-musawwalah : nafsu yang telah dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buru. Ia masih melakukan perbuatan buruk meskipun tidak terang-terangan karena malu dilihat orang. 4). Nafsu al-mut}}ma’innah: nafsu yang telah mendapatkan tuntunan dan pemeliharaan yang baik, Nafsu ini telah mampu mengalahkan keburukan dan godaan yang menggangu ketentraman jiwa. 5). Nafsu mulhamah : nafsu yang memperoleh ilham dari Allah SWT, dikaruniai pengetahuan, dihiasi akhlak mahmudah dan merupakan sumber kesabaran, ketabahan serta keuletan. 6). Nafsu ra>d}iyah: nafsu rida kepada Allah SWT yang mempunyai peran penting dalam mewujudkan kesejahteraan. nafsu ini muncul dalam bentuk tindakan bersyukur atas nikmat Allah. 7). Nafsu mard}iyyah : nafsu yang mencapai rida Allah SWT, keridaan terlihat pada anugerah yang diberikan-Nya berupa senantiasa berzikir , ikhlas mempunyai karomah dan mempunyai kemuliaan. 8). Nafsu ka>milah : nafsu yang sudah sempurna bentuk dan dasarnya, sudah dianggap mampu untuk mengerjakan irsyad (petunjuk) dan menyempurnakan penghambaan diri kepada Allah SWT. Baca: Hasan Muarif Ambari (et.al), Ensiklopedi Islam, III, 343-344.

Page 81: JAM’IYYAH AHL AL-T{ARI

182

Wirid jamaknya awra>d merupakan doa-doa pendek atau formula-formula

untuk menuju Tuhan dan atau memuji Nabi Muh}ammad dan membacanya dalam

hitungan sekian kali pada waktu yang telah ditentukan untuk memperoleh

keajaiban atau manfaat.256 Wirid atau Hizb adalah sekumpulan dari pada

beberapa zikir yang berasal dari Nabi atau yang lainnya yang selalu dilakukan

orang yang berzikir dengan senang hati257 untuk mendekatkan diri kepada Allah

SWT. Wirid dapat saja diberikan secara khusus kepada seorang murid oleh

shaykhnya untuk diamalkan secara rahasia dan tidak boleh diberitahukan kepada

orang lain. Atau seorang dapat memperoleh kumpulan awra>d yang sudah

diterbitkan. Kegunaan wirid adalah menanamkan kedamaian dalam hati serta

keyakinan yang teguh kepada yang h}aq.

Cara mengamalkan wirid bermacam-macam, ada yang membaca wirid

dengan duduk bersila, bersimpuh, ada yang membaca dengan keras-keras, seperti

mambaca al-Qur’an dan lain sebagainnya sesuai dengan tata cara yang diberikan

oleh guru (mursyid). Dalam kebiasaan para sufi wirid diperoleh melalui ijazah

guru yang harus diamalkan secara istiqamah, karena kata wirid berhubungan

istilah ”wa>rid” barang siapa yang tidak melakukan wirid, maka ia tidak akan

memperoleh wa>rid (hidayah yang diturunkan kedalam hati seseorang tanpa

diminta seperti intutif, ilham dan sebagainya).258 Oleh karena itu setiap tarekat

mempunyai wirid yang khusus yang harus diamalkan oleh masing-masing murid

256 Martin Van Bruinessen, tarekat Naqshabandiyah, 81-82. Wirid juga diartikan kewajiban yang ditetapkan kepada seseorang yang berupa doa-doa yang diucapkan berulang-ulang setiap hari,. Salurannya adalah limpahan anugerah, cahaya, nilai atau pengertian-pengertian yang Allah berikan kepada kalbu seseorang atau yang dengannya Allah memuliakan hati seseorang. Baca: M. Salihin dan Rosihon Anwar, Kamus Tasawuf (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002), 268. 257 Ali Jum’at , Al-Baya>n Lima> Yushghil al-adhha>n (Kairo: al-Muqat}am, 2005), 237. 258 Ibid.

Page 82: JAM’IYYAH AHL AL-T{ARI

183

setiap saat untuk memperoleh wa>rid.259Wirid juga diartikan kewajiban yang

ditetapkan kepada seseorang yang berupa doa-doa yang diucapkan berulang-

ulang setiap hari, biasanya usai salat wajib

4. Khatm-i Khawajagan

Khatm-i Khawajagan adalah serangkaian wirid, ayat, salawat, dan doa

yang menutup setiap zikir secara berjama’ah.260 Ada juga yang menyebut dengan

tawajjuh yang berarti tatap muka antara seorang mursyid dengan murid di mana

seorang murid membuka hatinya kepada shaykhnya.261

Ada pula yang memberi nama khus}u>s}iyyah yang berarti hanya murid

tertentu (yang sudah baiat) yang boleh mengamalkan ritual ini dan tidak seorang

pun boleh ikut serta tanpa izin terlebih dahulu dari shaykh.262 Amalan ini disusun

oleh Abd Khaliq al-Ghujdawani, dan dianggap sebagai tiang ke-tiga

Naqshabandiyah setelah zikir ism al-dha>t dan zikir nafi wa al-ithba>t. Kemudian

dalam perkembangan selanjutnya khatm-i ini merupakan upacara ritual resmi dan

dilaksanakan secara rutin di semua cabang mursyid sebagai kegiatan mingguan

atau bulanan.263 Kegiatan khatam-i ini dipimpin langsung oleh mursyid264 atau

khalifah265 atau imam khususi266 yang telah mendapat izin dari guru mursyid.

259 H{usni Sharqawi, Mu’jam al-Fa>z} al-S}u>fiyah (Kairo: al-Muqat}am, 1987), 283. Baca pula: Al-Qur’an, 25: 62. 260 Martin Van Bruinessen; Tarekat Naqshabandiyah, 85. 261 Shaykh Ah}mad Syakir Ibn Muh}ammad, Aku T{ari>qah, Tasawuf (Demak: Tanjung masa inti, 2003), 70. 262 Ah}mad Asrori al-Ishaqy, al-Anwa>r al-khus}u>s}iyyah al-khatmiyyah (Surabaya: al-wafa, 2004),1. 263 Kharisudin Aqib, Al-Hikmah, 114. 264 Mursyid adalah pembimbing, pengajar, pemberi contoh kepada murid-muridnya Baca: Hasan Muarif Ambari (et.al), Ensiklopedi Islam III, 2003. 265 Badal atau khalifah atau naib: Pengganti yang menempati kedudukan utama dari shaykh. Baca: ibid. 266 Imam khususi atau muqaddam: adalah orang yang mengurus urusan sekelompok peserta tarekat di tempat tertentu dan ia terdidik secara umum. Baca: ibid.

Page 83: JAM’IYYAH AHL AL-T{ARI

184

Khatm-i khawajagan merupakan amalan yang wajib diikuti oleh setiap

murid yang telah khatam tarbiyah dhikir lat}a>’if. Hal ini dimaksudkan dapat

digunakan sebagai wasilah memohon arwah para shaykh besar pada masa lampau

agar membantu mereka yang sedang berkumpul untuk membukakan hati mereka

melalui para guru (mursyid) dengan membayangkan hatinya disirami berkah dari

gurunya kemudian guru (mursyid) membawa hati tersebut kepada guru-gurunya

sampai kehadapan Nabi Muhammad saw.267

Hati manusia digambarkan seperti lentera, selalu berzikir seperti mengisi

minyak dalam tabung. Menghadiri majelis khatm-i khawajagan seperti

menyalakan dengan korek api. Bagi pencari nur cahaya penerangan, tentulah

minyak dan korek api harus digunakan secara bersamaan.

Ketidak hadiran murid dalam majelis khus}u>s}i al-khatmi memperlambat

langkah perjalanan kehadirat Allah SWT. Semakin sering tidak hadir dapat

memperlemah dan mensurutkan sentuhan getaran magnet. Setrum hati nurani

rohani kehadirat Allah SWT sedikit demi sedikit makin pudar, pupus dan

terputus dari untaian mutiara ruhaniah, rahasia dan nur cahaya para guru

meskipun secara pribadi selalu banyak berzikir ke hadirat Allah SWT (Na’udhu

bi Alla>h min dha>lik)268

Khatm-i khawajagan diyakini juga sebagai majelis yang sangat besar

kemanfaatan dan barakahnya antara lain: mempermudah berhasilnya hajat dan

cita-cita, menolak segala macam bencana, meningkatkan derajat baik dunia

maupun akhirat dan dapat menghantarkan seorang murid mencapai maqam tajalli

267 Martin Van Bruinessen, Tarekat Naqshabandiyah, 87. 268 Syaikh Ah}mad Asrori al-Ishaqi, Al-anwa>r al-Khus}u>s}iyyah al-khatmiyyah, iii-iii.

Page 84: JAM’IYYAH AHL AL-T{ARI

185

(terungkapnya hijab atau nur gaib)269 majelis ini dipercaya juga dihadiri arwah

para guru besar (masha>yikh) untuk ikut bersama-sama berdoa kepada Allah

SWT. Oleh karenannya ketika mengamalkan awra>d ini harus memenuhi adab

(tata aturan) yang telah ditentukan, yaitu (1) Suci dari hadas dan najis. (2)

Dilaksanakan di tempat yang khusus, sunyi dari keramaian manusia. (3) Khusyuk

dan hadirnya hati kepada Allah, seolah-olah dalam mengabdikan diri kepadannya

kamu melihat-Nya. Jika kamu tidak melihat-Nya, maka dia (Allah) melihat

kamu. (4) Mendapat ijin dari shaykh. (5) Pintu ditutup. (6) Memejamkan mata

dari permulaan sampai akhir. (7) Berusaha melenyapkan lintasan dan getaran hati

supaya tidak lalai hatinya dari mengingat Allah. (8) Duduk bersimpuh kebalikan

arah tawaruk dalam shalat. 270 Adapun bacaan khatm-i khawajagan dapat dilihat

pada lampiran V.

5. Mura>qabah

Mura>qabah adalah sikap mawas diri dalam rangka menghindarkan diri

dari perbuatan dosa.271 Mura>qabah dalam pandangan tasawuf adalah kesadaran

seorang hamba secara terus-menerus atas pengawasan Tuhan terhadap semua

keadaanya, baik dengan cara ia musha>hadah (berkomunikasi) langsung kepada

Allah SWT maupun ia meyakini sepenuh hati bahwa Allah SWT selalu melihat

dan mengawasi seluruh gerak-gerik serta apa saja yang terlintas dalam hati

manusia.272Ajaran mura>qabah ini didasarkan bahwa Allah senantiasa

memperhatikan (mengawasi) hambanya. Salah satu dasarnya adalah hadis Nabi

269 Muh}ammad Amin al-Kurdi, Tanwi>r al-Qulu>b , 520. 270 Ibid. 271 Hasan Muarif Ambari (et.al), Ensiklopedi Islam, 301. 272 Muh}ammad Nasrudin al-Kurdi, al-Dala>’il al-‘a>liyah, 308.

Page 85: JAM’IYYAH AHL AL-T{ARI

186

yang menceritakan kedatangan seorang laki-laki yang bertanya tentang Islam,

iman dan ihsan.273 Para sahabat yang menyaksikan peristiwa ini terheran-heran

karena laki-laki yang bertanya setelah diuraikan Nabi kemudian malah

membenarkannya.

Di tengah-tengah keheranan para sahabat yang belum terjawab kemudian

Nabi menjelaskan bahwa lelaki yang datang adalah malaikat Jibril yang

mengajarkan tentang ajaran pokok Islam yang meliputi tiga dimensi (Islam, iman

dan ihsan). Dimensi Islam dibahas secara mendalam dalam kitab fikih, dimensi

iman dibahas secara mendalam dalam ilmu tauhid, sedangkan dimensi ihsan

dibahas secara mendalam dalam ilmu akidah dan tasawuf.

Pada perkembangan berikutnya berdasarkan pernyataan Nabi tentang

ihsan tersebut melalui berbagai pendapat tentang bagaimana menggunakan

metode (tarekat) untuk dapat menyembah Allah seakan-akan Allah melihatnya,

atau setidaknya memiliki kesadaran bahwa Allah senantiasa mengawasi dan

melihat kita. Kesadaran yang demikian ini dalam pandangan tasawuf disebut

mura>qabah.274

Aktivitas mura>qabah disebut juga dengan istilah kontemplasi275 dan

meditasi276 yang dimulai dengan mengulang-ulang zikir kepada Allah SWT,

seperti Alla>h h}ad}iri>, Alla>h naziri>, Alla>h ma’i> (Allah hadir denganku, Allah

جاء جبریل الى النبى ص م فى صورة رجل فقال یا محمد 273274 Ibid. 275 Kontemplasi : Pertapaan, menyendiri atau menghindar dari hiru pikuk pergaulan manusia. Baca: M.Solihin dan Rosihon Anwar, Kamus Tasawuf, 120. Atau :Renungan dsb dan kebulatan pikiran. Baca: Umi Chalsum dan wirdi Novia, Kamus besar Bahasa Indonesia, (Surabaya, kasliko, 2006), 392. 276 Meditasi: Penyatuan pikiran untuk mencapai sesuatu pemusatan konsentrasi pada satu titik obyek. Ibid, 455

Page 86: JAM’IYYAH AHL AL-T{ARI

187

melihatku, Allah bersamaku).277 Lafal-lafal zikir itu dapat diucapkan dengan

suara keras maupun suara lembut atau dalam hati, sesuai dengan keinginan,

kebiasaan dan kepuasan orang yang melaksanakannya. Meskipun mura>qabah

dimulai dengan lafal zikir, ternyata memiliki perbedaan dengan zikir secara

umum.

Perbedaan tersebut terdapat dalam dua hal. Pertama, obyek

konsentrasinya. Jika zikir memiliki obyek perhatian pada simbol yang berupa

kata atau kalimat, maka mura>qabah menjaga kesadaran atas makna, sifat, qudrat

dan iradat Allah SWT. Kedua, media yang dipergunakan. Jika zikir menggunakan

lidah, baik lidah fisik maupun lidah batin, maka mura>qabah mengunakan

kesadaran murni yang berupa imajinasi dan daya khayali.278Mura>qabah dapat

dicapai melalui beberapa tahapan. Pertama, menjaga hati, perasaan dan pikiran

karena Allah SWT menguasai semua itu. Kedua, menjaga yang benar (haq)

dengan kebenaran (haq) dalam keadaan fana’ (pemusnahan keterbatasan

individu) dan kemudian mengikuti teladan Nabi Muh}ammad SAW dalam semua

perbuatan, akhlak dan adabnya. Ketiga, selalu bersikap mawas diri terhadap

Allah SWT dan selalu memohon kepada-Nya agar ia menjaganya dalam keadaan

tersebut (keadaan mura>qabah), sebab Allah SWT telah memberikan anugerah

kepada orang-orang pilihan-Nya dan orang-orang baik yang tidak merasa berat

dalam menjalani keadaan tersebut.279 Tahapan ketiga inilah merupakan keadaan

orang sufi yang telah mencapai derajat mura>qabah, baik sebagai mura>qabat al-

277 Ilir valiudin, contemplative Disciplinisin Sufisme diterjemahkan oleh M.S Nasrullah dengan judul dhikir dan kontemplase dalam tasawuf (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997), 194. 278 Kharisudin aqib, Al-Hikmah, 87. 279 Hasan Muarif ambari (e.al), Ensiklopedi Islam III,, 301.

Page 87: JAM’IYYAH AHL AL-T{ARI

188

muqarrabi>n,280 maupun sebagai mura>qabat al-muwarri’i>n.281 Pada tingkat

mura>qabat al-muqarrabi>n, seorang hamba telah dapat mengkonsentrasikan

hatinya untuk dapat musha>hadah (berkomunikasi langsung) dengan Allah SWT

dan tenggelam dengan memperlihatkan keagungan-Nya. Sedangkan pada tingkat

mura>qabat al-muwarri’i>n, seorang hamba belum dapat mencapai musha>hadah

akan tetapi ia meyakini spenuh hatinya bahwa Allah selalu melihat dan

mengawasi lahiriyah dan batiniyahnya.

Seorang calon sufi sejak awal sudah diajarkan bahwa dirinya tidak

pernah lepas dari pengawasaan Allah seluruh aktivitas hidupnya ditujukan untuk

berada sedekat mungkin dengan-Nya. Ia tahu dan sadar bahwa Allah memandang

kepadanya kesadaran itu membawannya pada suatu sikap mawas diri atau

mura>qabah.

6. Wasilah dan Ra>bit}ah

Wasilah (perantara)282adalah jalan atau sarana yang dijadikan oleh

seorang untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan cara yang telah

disyariatkan oleh Allah SWT.283 Kata wasilah disebutkan dua kali dalam al-

Qur’an, yaitu:

”Hai orang-orang yang beriman, bertakwallah kepada Allah dan carilah

wasilah (jalan mendekatkan diri) kepada-Nya”,284 dan ”Orang-orang yang

mereka seru itu, mereka sendiri mencari wasilah (jalan kepada Tuhan)

280 Muh}ammad al-Ghazali, Ihya>’ ulu>m al-di>n IV, 346 – 347. 281. Imam al-Qushairi, al-Risa>lah al-Qushairiyah, 226. 282 A.W. Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab Indonesia Terlengkap (Surabaya: Pustaka Pogresif, 2002), 1559. 283Hasan Muarif Ambari (et.al), Ensiklopedi Islam, 195. Al-Qur’an. 5: 35 یاایھا الذین أمنوا اتقوا هللا وابتغوا الیھ الو سیلة 284

Page 88: JAM’IYYAH AHL AL-T{ARI

189

mereka”.285 Menurut para mufasir yang dimaksud wasilah dalam al-Qur’an

adalah amal saleh, jalan atau sarana yang dipakai oleh seseorang untuk dekat

kepada Allah SWT.286 Kata wasilah disebutkan pula dalam berbagai hadis sahih.

Misalnya: ”Mintalah kepada Allah wasilah bagiku. Sesungguhnya ia adalah

kedudukan dalam surga yang tak layak kecuali untuk seorang hamba di antara

hamba-hamba Allah, sedang aku berharap menjadi hamba itu. Siapa yang

meminta wasilah kepada Allah bagiku, pasti ia memperoleh syafa’atku di hari

kiamat.287 Barang siapa selesai mendengar azan mengucapkan: ”Ya Allah Tuhan

pemilik seruan yang sempurna ini dan pemilik salat yang tegak, berilah

Muh}ammad wasilah keutamaan dan kedudukan yang tinggi, dan bangkitkanlah ia

di tempat yang terpuji sebagai mana engkau janjikan, sesungguhnya engkau tidak

mengingkari janji”. maka ia mendapat syafa’at.288

Wasilah di sini secara khusus ditujukan kepada Rasulullah SAW. Beliau

telah menyuruh kita untuk memintakannya kepada Allah SWT dan beliau

mengatakan bahwa orang yang meminta wasilah tersebut, niscaya ia memperoleh

syafaatnya di hari kiamat. Wasilah kepada Rasulullah pernah pula dilakukan oleh

seorang laki-laki buta yang datang kepada Rasulullah untuk didoakan

kesembuhan penyakit butanya. Rasulullah SAW bersabda: Ambillah air lalu

wudu kemudian salat dua rakaat, bacalah doa: ”Ya Allah! aku mohon kepada-MU

aku hadapkan wajahku kapada-MU dengan Nabi-MU Muh}ammad SAW, Nabi Al-Qu’an, 17:57 اولیك الذین یدعون یبتغون الرربھم الوسیلة 285286 Team Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam, 195; Sulaima>n Bin Umar al Usairi, al-Futuha>t al-Ila>hiyyah 2 dan 4 (Bairut: Da>r al-Fikri, 2009), 232, 338. سلوا هللا الى الوسیلة فإ نھا درجة فى الجنة ال تنبغى اال لعبد من عند هللا وارجوا ان أكون أنا ذلك العبد فمن سأل هللا لى الوسیلة 287 ,Ibn Taymi>yyah, Tasawuf dan Wasilah (Bandung: Remaja Rosdakarya ;حملت علیھ شفاعة یوم القیمة 2006), 90 dan 350. محمد الوسیلة والفضیلة وابعثھ مقاما محمود الذى آتلدعوة التامة والصال ة القائمة من قال حین یسمع النداء اللھم رب ھذه ا 288 .Ibid , وعدتھ انك ال تخلف المیعاد حلت لھ شفاعتھ

Page 89: JAM’IYYAH AHL AL-T{ARI

190

(Pembawa) rahmat. Ya Muhammad, aku hadapkan wajahku denganmu (seraya

memohon) kepada Tuhanmu untuk memberi penerangan mataku (menyembuhkan

butaku). Ya Allah, berikanlah syafaat kepadanya (Muh}ammad) dan ia

(Muh}ammad) memberi syafaat kepada diriku.289

Dengan demikian wasilah (tawasul) melalui doa dan syafaat Rasulullah

SAW diperbolehkan berdasarkan kesepakan umat Islam.290 Wasilah melalui amal

saleh, misalnya dilakukan oleh tiga orang yang tersesat di dalam gua yang

masing-masing dari tiga orang tersebut berdoa kepada Allah SWT dengan

wasilah amal saleh, ternyata dikabulkan oleh Allah sehingga batu besar yang

menutup gua tersingkap dan mereka dapat keluar dari gua dengan selamat.291

Wasilah juga diartikan minta tolong kepada orang-orang saleh (selain

nabi) sebagai mana doa yang dipanjatkan oleh Umar bin Khat}t}ab pada saat

kekeringan ketika melaksanakan salat istisqa>’ (minta hujan) wasilah (tawasul)

dengan paman Nabi SAW, Abbas Bin Abdul Mut}t}alib, ucapan Umar bin

Khat}t}ab, ”Ya Allah, sesungguhnya kami tawasul (wasilah) kepada-Mu dengan

Nabi kami maka Engkau sirami kami. Sesungguhnya kami tawasul kepada-MU

dengan paman Nabi kami maka siramilah kami”.292Wasilah melalui orang saleh,

wali dan seorang pembimbing spiritual (mursyid) dalam tarekat biasanya disebut

ص م نبى رحمة یا محمد إنى اتوجھ بك المیضاة فتوضأثم صلى ركعتین ثم قل اللھم أنى أسئلك وأتوجھ الیك بنبیك محمد تائ 289

فوهللا ما تفرقنا وال طال بنا الحدیث حتى دخل : قال عثمان . اللھم شفعھ فى وشفعنى فى نفسى , إلى ربك فیجلى لى عن بصرى الرجل وكأنھ لم یكن بھ ضرPendapat Muh}ammad Alwi Al-Maliki do’a tersebut tidak khusus pada masa hidup Nabi, tetapi dilakukan sebagai sahabat setelah wafat Nabi. Menurut hukum hadis tersebut isnadnya sahih, menurut Dhahafi sahih sedangkan menurut Turmudhi hadis tersebut H{asan sah}ih gharib. Baca: Muh}ammad Alawi al-Maliki, Mafa>him yajib an Tusah}ah (Kairo: Dar Jawari al-Kalim, 1993), 70. 290 Ibn Taimiyyah, Tawasul, 91 291 Lihat: lampiran VI 292 م نبینا فاسقناعسل الیك بنبیناوأنا نتوسل الیك باللھم اناكن نتو Hadis riwayat Buldhan dari Anas : Baca” Muh}ammad Alwi al-Ma>liki, Mafa>him, 91. Lihat bukh}ari no. 3434 kitab Manaqib.

Page 90: JAM’IYYAH AHL AL-T{ARI

191

dengan ra>bit}at al-mursyid yaitu menghadirkan rupa guru atau shaykh ketika

hendak berzikir sesuai tata cara yang telah ditentukan.293 atau menghubungkan

hati dan ruhani murid dengan hati dan ruhani guru (Shaykh) dengan melakukan

amalan tertentu untuk memperoleh limpahan barakah dari hati guru.294 Pendapat

lain mengenai ra>bit}at al-murshid diungkapkan oleh Muh}ammad Amin al-Kurdi:

ra>bita}t al-murshid ialah menghadirkan gambar sang Shaykh dalam imajinasi

seseorang dimana hati murid dan hati gurunya saling berhadapan. Hal ini dapat

dilakukan meskipun secara fisik Shaykhnya tidak hadir dengan cara sang murid

harus membayangkan hati seorang Shaykh seperti samudra karunia spiritual dan

dari sana pancaran ditumpahkan ke hati sang murid.295

Ra>bit}at al-murshid merupakan sesuatu sangat diperlukan demi kemajuan

spiritual. Untuk dapat sampai kepada perjumpaan dengan yang mutlak seseorang

tidak hanya memerlukan bimbingan, tetapi campur tangan aktif dari pihak

pembimbing spiritualnya dan para pendahulu sang pembimbing sampai kepada

Nabi Muhammad saw. sangat diperlukan. Inilah arti silsilah yang menunjukkan

rantai yang menghubungkan seseorang dengan Nabi kemudian malaikat Jibril

sampai kepada Tuhan. Oleh kerena itu bagi seorang murid diperlukan untuk

mencari dan menemukan seorang mursyid yang dapat diandalkan. Kemudian

sang murid turut bimbingan sang guru tanpa syarat, patuh mutlak, sang murid

293 Tata cara Rabitah : 1) Mengahadirkan di depan mata dengan sempurna. 2) membayangkan kiri kanan dengan memasukkan perhatian ruhaniyah sampai terjadi sesuatu yang gaib, 3) Menghayalkan rupa guru ditengah-tengah hati, 4) Menghadirkan rupa guru di tengah hati, 5) membayangkan rupa di kening kemudian menurunkannya di tengah hati, 6) meniadakan (menafikan) dirinya dan menisbatkan (menetapkan) keberadaan guru. Muh}ammad bin Abdullah al-Kamil al-Khalidi, Bahjat al-Suniyah (Istambul: Fatih, 1977). 43. 294 Muh}ammad Najmuddin al-kurdi, AL-Dala>’il, 274-275. 295 Muh}ammad Amin Al-Kurdi, Tanwi>r al-qulu>b, 512.

Page 91: JAM’IYYAH AHL AL-T{ARI

192

haruslah seperti kata pepatah ”bagai mayat ditangan orang yang

memandikannya”.

Ra>bit}ah diamalkan secara bervariasi. Terdapat perbedaan antara tarekat

yang satu dan tarekat yang lain, tetapi selalu mencakup kehadiran (visualization)

mursyid oleh murid, dan membayangkan hubungan yang sedang dijalin dengan

mursyid. Hubungan ini seringkali digambarkan dalam bentuk seberkas cahaya

yang memancar dari mursyid. Cara menggambarkan kehadiran guru seperti

pengakuan seorang penganut Naqshabandiyah bangsa Kurdi sebagai berikut: ”Ia

membayangkan gambar pembimbingnya dan agak samar-samar semua wali

dalam silsilahnya, lalu ia bayangkan seberkas cahaya memancar dari Allah turun

ke kening Rasulullah. Dari sana cahaya itu memantul melalui wali-wali satu

persatu berurutan kemudian dari kening sang pembimbing langsung masuk ke

hati sang murid yang ketika itu menyebut “Alla>h, Alla>h.”296 Tehnik ra>bit}ah

seperti tersebut di atas lebih tepat disebut Tas}awur (menggambarkan guru).

Ra>bit}ah dilaksanakan sebagai pendahuluan zikir, biasanya ditujukan

kepada guru yang telah membaiatnya, tidak kepada shaykh yang lebih awal.

Namun ada juga shaykh yang menuntut agar semua murid bukan hanya muridnya

sendiri tetapi juga murid khalifahnya dan seterusnya senantiasa melakukan

ra>bit}ah hanya dengan seorang. Ini maksudnya tarekat yang berasal darinya akan

sangat kompak dan sentralistis. Salah seorang mursyid yang berpendapat

demikian adalah Maulana Khalid.297 Ra>bit}ah tidak hanya dilakukan dengan guru

(mursyid) yang masih hidup, tetapi kadang-kadang ra>bit}ah dilakukan dengan

296 Martin Van Bruinessen, Tarekat Naqshabandiyah, 85. 297 Ibid., 83.

Page 92: JAM’IYYAH AHL AL-T{ARI

193

guru yang telah wafat dan ra>bit}ah inilah yang disebut dengan Ra>bit}at al-

barzakhiyyah.298

Selain ra>bit}ah al-murshid terdapat pula ra>bit}at al-qabr (meditasi

kematian). Dalam ra>bit}ah ini orang membayangkan kematian. Misalnya, ia

membayangkan bagaimana ketika ia mati, bagaimana ia dimandikan, dikafani, di

salatkan, dikuburkan, berpisah dengan keluarga, handai taulan, sendirian dalam

kubur, ditanya malaikat dalam kubur, menghadapi hari kebangkitan kembali dan

pemisahan mereka yang telah beramal saleh dari mereka yang tidak. Tujuan dari

pada latihan ini adalah untuk membebaskan diri seorang dari semua keterikatan

kepada dunia dan membuka hatinya kepada Tuhannya.299 Ra>bit}at al-qabr ini

tentunya tidak akan banyak manfaat kecauli dengan amal salehnya.

7. Suluk, Khalwat dan Uzlah

Suluk menurut arti harfiyahnya adalah menempuh jalan spiritual.300

Sedangkan dalam istilah sufi suluk adalah menjernihkan akhlak (dari sifat-sifat

yang tercela dan mengisinya dengan sifat-sifat terpuji) amal dan pengetahuan

dengan cara menyibukkan diri dengan menjalankan berbagai amalan lahir dan

amalan batin.301 Dalam proses pencariannya itu, sa>lik (seorang hamba yang

menempuh jalan ruhani).302 akan dipalingkan dari Tuhannya, kecuali benar-benar

menyibukkan diri dalam pencucian batinnya sebagai persiapan untuk dapat

298 Ra>bit}ah Barzakhiyah: yaitu hubungan ruhani dan hati antara orang-orang saleh atau antara mursyid dan murid setelah salah satunya meninggal dunia, sehingga mereka bisa saling berbicara dan memberikan pelajaran baik dalam keadaan mimpi atau sadar atau ketika seorang murid melakukan ra>bit}ah khusus pada saat berziarah ke kubur gurunya atau mashayikh dan wali-wali yang lain. Baca: Muh}ammad Najmuddin al-Kurdi, Al-Dala>’il, 298. 299 Ibid., 274. 300 Martin Van Bruinessen. Tarekat Nagshabandiyah, 88. 301 Abu H{amid Muh}ammad bin Muh}ammad al-Ghazali, Raudat al-T}a>libi>n wa umdat al-S}a>lihi>n (Beirut: Da>r al-qalam, tt), 3 302 M. Solihin dan Rosihon Anwar, Kamus Tasawuf ,187.

Page 93: JAM’IYYAH AHL AL-T{ARI

194

mencapai derajat wus}u>l (seorang sufi pada kondisi tertentu merasa sudah

mencapai kepada Allah )303 kepada Allah SWT.

Suluk dalam tarekat biasanya dilakukan dengan cara berkhalwat yaitu:

mengasingkan diri dari keramaian manusia dengan mengingat Allah SWT304 atau

kegiatan menyepi untuk sementara waktu dari kesibukan duniawi.305 Dengan

demikian hakikat khalwat adalah pemutusan hubungan dengan makhluk menuju

penyambungan hubungan dengan Al-H{aqq,306 hal ini dikarenakan khalwat

merupakan perjalanan rohani dari nafsu menuju hati, dari hati menuju ruh, dari

ruh menuju alam rahasia dan dari alam rahasia menuju Zat Maha pemberi segala

amalannya. Khalwat dilakukan secara bervariasi, ada yang menjalankan tiga hari,

tujuh hari, lima belas hari, dua puluh hari, 30 hari (sesuai yang dilakukan Nabi)

dan yang lebih sempurna adalah empat puluh hari sebagai mana sabda Nabi:

Barang siapa mendekatkan diri kepada Allah selama 40 hari maka akan mengalir

sumber hikmah dari hatinya sampai pada lisannya.307

Pada waktu khalwat, sa>lik mengurangi makan dan minum, bahkan

hampir seluruh waktunya dipakai untuk berzikir dan meditasi dan ia pun tidak

diperbolehkan bicara kecuali dengan Shaykhnya atau sesama salik, dan itupun

terbatas pada soal-soal keruhanian saja. Selama khalwat salik diajarkan zikir

lat}i>fah dan praktek ibadah yang lain. Al-Jailani memerinci waktu-waktu serta

tindakan khalwat yang merupakan perpaduan ajaran syariat dengan spiritualitas

303 Ibid., 268. 304 Muh}ammad Sholikhin, 17 Jalan Menggapai Mahkota Sufi Syaikh, Abdul Qadir Jailani (Yogyakarta: Mutiara media 2009), 348. 305 Martin Van Brinessen, Tarekat Naqshabandiyah, 88. 306 Abul Qasim Abdul Karim Nawazir Al-Qusyai>ri>, Al-Risa>lah Al-Qusyai>ri>yyah, 138. 307 Muh}ammad Amin Al-Kurdi,Tanwi>r al-Qulu>b, 493.

Page 94: JAM’IYYAH AHL AL-T{ARI

195

sebagai berikut: dimulai dengan waktu salat tahajud pada pertengahan malam

sebagai simbul dari kebangkitan seorang hamba menghadap Allah sambil

memanjatkan untaian berbagai doa, disambung dengan melakukan salat dua belas

rakaat, hingga pada bagian akhir pertengahan malam dengan melaksanakan salat

witir sebanyak tiga rakaat. Setelah matahari terbit, orang yang berkhalwat

melakukan shalat ishra>q, salat fajar yang terdiri dari dua raka’at, lalu dua rakaat

berikutnya shalat isti’a>dhah. Disambung kemudian dengan salat istikharah, dan

pada bagian pagi terakhir disambung dengan salat duha enam rakaat.

Setelah salat duha masih disambung dengan salat dua rakaat kafarah.

Pada saat siang hari, dilaksanakan salat tasbih sebanyak empat rakaat dengan

bacaan tasbih 300 kali, kalau bisa disambung dengan membaca al-Qur’an paling

tidak 200 ayat. Setiap hari juga dianjurkan orang yang berkhalwat membaca

surat al-ikhlas 100 kali, salawat, serta sayyid al-istighfa>r 100 kali. Sedangkan

waktu-waktu yang tersisa dari itu semua digunakan untuk membaca al-Qur’an,

beribadah serta doa.308

Pelaksanaan khalwat tentunya tidak harus seperti amaliah tersebut diatas,

tergantung petunjuk Shaykhnya masing-masing sesuai dengan tingkat

kamampuan murid. Untuk memudahkan murid menjalankan suluk tanpa

terganggu, kebanyakan para shaykh menyediakan ruang khusus yang disebut

khalwat khanah (rumah suluk).

Pengaruh dan wibawa shaykh seringkali diukur dengan besar kecilnya

rumah suluk yang dimilikinya dan jumlah murid yang khalwat di tempat shaykh.

308 Syaikh Abd Qadir al-Jilani, Sir al-asrar. Terjemahan oleh joko S. Kahan dengan judul Rahasia di Balik Rahasia (Surabaya Risalah Gusti, 2002), 153-164, 165-167.

Page 95: JAM’IYYAH AHL AL-T{ARI

196

khalwat dapat pula dilaksanakan di tempat lain seperti di gua-gua dan makam

para waliyullah.

Uzlah adalah mengasingkan diri dari pergaulan umum dengan tujuan

melatih mensucikan dirinya agar konsentrasi ibadahnya tidak terganggu oleh

persoalan-persoalan duniawi.309 Dalam kondisi kekinian uzlah dapat bermakna

mengasingkan hati dan jiwa dari keramaian dunia, uzlah ini sangat diperlukan

bagi salik (orang yang akan menuju Allah) yang dalam prakteknya dilaksanakan

dalam bentuk khalwat. Tentu dalam uzlah seorang harus memperoleh ilmu yang

dibenarkan oleh akidah tauhid, agar ia tidak diganggu oleh setan dan dibekali

ilmu-ilmu syariat mengenai tata cara semua amal perbuatan yang harus

dilakukan, seperti salat, doa, wirid, zikir dan sebagainya310. Dalam uzlah dan

khalwat diharuskan bersih secara lahir dan batin, niat utamanya adalah ikhlas

karena Allah SWT. Dalam pandangan al-Jailani khalwat merupakan asal

muasal perilaku zuhud,311 dimana baju tasawuf dikenakan pada saat khalwat

yaitu hati, jiwa dan jasadnya. Tinggalkanlah hawa nafsu diambang pintu

khalwatmu kemudian masuklah ke dalam khalwatmu. Khalwat juga memerlukan

sikap wara’312 yang akan menjauhkan seseorang dari kemaksiatan dan kesia-

siaan, juga sikap mura>qabah313 agar selalu memperhatikan Allah. Lebih lanjut al-

309 M. Salihin dan Rasihan Anwar, Kamus Tasawuf, 246 310 Al-Qusyai>ri>, Risa>lah , 138. 311 Zuhud: suatu sikap melepaskan diri rasa ketergantungan terhadap kehidupan duniawi dengan mengutamakan kehidupan akhirat. Baca: M.Sholihin dan Rasihan, Kamus Tasawuf, 270 Baca pula Al-Qusyai>ri>, Al-Risa>lah, 515. 312 Wara’: menjaga diri dari perbuatan dosa atau maksiat sekecil apapun atau meninggalkan hal-hal yang syubhat dan yang tidak pasti. Baca: M Salikin dan Rosihon, kamus, 267 Baca pula: Al-Qusyai>ri>, al-Risa>lah, 146. 313 Mura>qabah : meresapkan kesadaran bahwa Allah melihat, mengawasi memonitor diri kita dalam gerak dan diam kita baik lahir maupun batin. Baca: Muh}ammad solikin dan Rasihan, Kamus Tasawuf, 149. Baca pula: Al-Qusyai>ri>, al-Risa>lah. 224-226.

Page 96: JAM’IYYAH AHL AL-T{ARI

197

Jailani mengibaratkan batiniah manusia sebagai sebuah rumah, dimana perbaikan

sebuah rumah harus dimulai dan berasal dari dalam rumah, baru kemuadian

menuju luar. Khalawat adalah titik awalnya, dimana ketika dalam kesendirian ia

telah bersih, itu akan menyebar keseluruh jiwa, hati dan anggota badan, juga

pada makanan, pakaian dan dalam seluruh keadaan.314

Oleh karena itu, jika khalwatnya telah berhasil, justru seorang salik harus

turun kepada keramaian, dimana hatinya tetap berada dalam khalwatnya bersama

Allah. Sebab kesibukan seorang muslim adalah mencurahkan dan menciptakan

ketenangan bagi makluk. Sebab mereka adalah para pencari sekaligus pemberi.

Mereka mencari sesuatu dari karunia Allah dan rahmat-Nya, lalu mereka

memberikannya untuk kepentingan kemanusiaan, sehingga keberadaan mereka

akan mempengaruhi setiap yang ada. Khalwat seseorang menurut al-Jailani

merupakan sesuatu yang berubah-ubah, maka khalwat akan rusak jika tidak

diperbaiki, ternoda jika tidak dibersihkan. Untuk itu maka diperlukan amal hati

dengan tauhid dan keikhlasan. Seseorang tidak boleh tidur, lupa, berpaling, dan

bersikap masa bodoh dengan meninggalkan Allah dan Rasul-Nya.

Jadi menurut al-Jailani, khalwat yang dikehendaki dalam perjalanan

menuju Allah adalah khalwat hati dari segala makhluk, dimana khalwat dalam

bentuk uzlah, namun dalam hatinya masih tersisa ruang bagi makhluk dan dunia

materi, maka khalwatnya tidak berguna, ia memang menyepi tetapi tanpa hadir ,

dan tanpa sikap baik kepada Allah, bahkan ia berarti ber-uzlah bersama hawa

nafsu dan setan yang menemaninya.315Agar para salik berhasil melaksanakan

314 Muh}ammad Shalikin, jalan mengapai mahkota sufi, 350. 315 Ibid.

Page 97: JAM’IYYAH AHL AL-T{ARI

198

suluk atau khalwat atu uzlah, maka Muhammad Amin al-Kurdi menyebutkan 20

syarat yang harus dilakukan.316

8. Mana>qib

Mana>qib adalah salah satu acara ritual yang menjadi tradisi dalam tarekat

dengan pembacaan kitab-kitab mana>qib.317Selain memiliki aspek seremonial,

mana>qib juga memiliki aspek mistikal. Kata mana>qib berasal dari bahasa Arab

mana>qaba, yang artinya membagi, menggali, memeriksa dan membahas.318 Pada

al-Qur’an lafal mana>qaba disebutkan tiga kali dalam berbagai bentuknya, yaitu:

naqqabu>, artinya menjelajah,319 naqi>ba artinya pemimpin,320 dan naqaban artinya

menolong.321 Dengan demikian mana>qib adalah riwayat hidup seseorang yang

dapat dijadikan suatu teladan baik yang berkait dengan karamah, akhlak, silsilah

dan segala perilaku hidupnya.

Menurut pandangan tarekat, mana>qib adalah buku cacatan mengenai

riwayat hidup seorang Shaykh tarekat. Aspek yang dipaparkan dalam tarekat

adalah kisah-kisah yang ajaib dan bersifat menyanjung (hagiografis) dengan

menyertakan ikhtisar hikayatnya, legenda, kekeramatannya dan nasehat-

nasehatnya.322Istilah mana>qib dalam dunia Islam sebenarnya merupakan istilah

yang biasa-biasa saja. Dalam al-Qur’an telah diceritakan dengan jelas adanya

316 Lihat lampiran VII. 317 Kharisudin Aqib, Al-hikmah, 109. 318 Ahmad Warson (AW) Munawir, Kamus al-Munawir Arab Indonesia Terlengkap (Surabaya: Pustaka Progresif, 2002), 1450. 319 Yakni melakukan penjelajahan intelektual untuk menyelidiki syarah kehidupan seseorang Baca: Al-Qur’an, 50:36. 320 Yakni berisi riwayat hidup seorang pemimpin yang bisa menjadi panutan umat. Baca: Ibid, 5:12. 321 Yakni agar mendapatkan keberkahan dari Allah yang dapat menjadi perantara datangnya pertolongan Allah. Baca: Ibid; 18:97. 322 Hasan Muarif Ambari (et.al), Ensiklopedi Islam, Vol. 2 , 152.

Page 98: JAM’IYYAH AHL AL-T{ARI

199

mana>qib Maryam, Dhulqarnain, Ash}ab al-Kahfi, dan lain sebagainya.323

Demikian pula dalam berbagai kitab hadis yang standar, penggunaan istilah

mana>qib dikaitkan sebagai kesaksian yang baik atas kehidupan seorang tokoh,

terutama para sahabat.324Pada masa ta>bi’in dan ta>bi’ al-ta>bi’i>n, istilah mana>qib

adalah suatu hal yang biasa-biasa saja, dan umum dibaca kaum muslimin.

Misalnya ada mana>qib Shaykh Ma’ruf al-Karkhi, mana>qib Imam al-Shafi’i, dan

sebagainya.

Dengan demikian, sebenarnya mana>qib Shaykh Abdul Qadir al-Jailani

juga hal yang biasa dalam dunia Islam. Mana>qibnya merupakan bagian kecil dari

sekian banyak mana>qib di dunia Islam. Pembacaan atasnya juga bukan sesuatu

yang dilarang agama, sebagaimana membaca tarikh, tadhki>rah, dan mana>qib

tokoh-tokoh lain.

Kaum Wahabi di Arab Saudi setiap ramadan juga memiliki acara

tadhki>rah Shaykh Muh}ammad bin ’Abdul Waha>b, yakni membaca kembali

biografi dan jasa-jasa beliau terhadap Islam. Pembacaan mana>qib Shaykh al-

Jailani juga demikian, yakni dengan membaca riwayat hidup beliau, karamah-

karamahnya dari Allah, jasa-jasanya dan ajaran-ajarannya.

Jadi sebenarnya kontroversi pembacaan mana>qib Shaykh al-Jailani terjadi

karena kekurangpahaman dan kurang mengerti terhadap sejarah perkembangan

323 Al-Fikri el Hakim, Manaqiban Syirik dan Bid’ah Kah?(kediri: Al Aziziyah, 2009), 4 324 Misalnya : Ima>m al-Tirmidhi> mengkususkan mana>qib al-s}ah}a>bah pada Sunan al-Tirmidhi, vol.5 dari halaman 267-356 (89 halaman), mulai hadis no. 3735-3948 (213 hadis dan asar sahabat), yang berisi mana>qib, (biografi dan kesaksian) 37 sahabat. Istilah yang sering disepadankan dengan mana>qib adalah “fadhl” (keutaman), “tadzk>irat” (mengingat kembali), “tarikh” (sejarah), “hilyah” (perhiasan) dan terutama istilah “tabaqat” (penjelasan atau kesaksian tentang pangkat, kedudukan, derajat seseorang). Ada kitab Hilyah al-Auliya’ (Abu Nu’aim al-Ishfahani, al-Khatimi, 1935): tadhkirat al-Auliya; Thabaqat al-Syafi iyyah (al-Subki); Thabaqat al-shufiyyah (al-Sulami dan sebagainnya). Baca: Muh}ammad Shalikin, 17 Jalan menggapai Mahkota Sufi Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani (Jakarta: Mutiara Merdeka, 2009), 49.

Page 99: JAM’IYYAH AHL AL-T{ARI

200

Islam dan sejarah para tokoh muslim itu sendiri.325Kitab mana>qib yang terkenal

dan tersebar luas di dunia Islam adalah mana>qib Shaykh Muhammad Saman326

dan mana>qib Shaykh Abd al-qadi>r al-Jailani.327 Hal ini menunjukkan bahwa

kedua tokoh sufi ini pernah memiliki tempat dalam hati para pengikutnya di

berbagai negara Islam, menembus asal kelahiran dan masa hidup mereka dari

timur tengah hingga ke Afrika dan Asia termasuk Indonesia. Shaykh Saman atau

nama lengkapnya adalah Muh}ammad bin Abd al-Kari>m al-Samani> (1718-1775

M) di kenal sebagai pendiri tarekat Samaniyah, sedangkan Shaykh Abd al-Qadi>r

al-Jailani (1077-1166 M) adalah tarekat Qadiriyah.

Tradisi pembacaan mana>qib dilaksanakan secara terpisah dan merupakan

seremonial tersendiri, tidak termasuk dalam kegiatan muja>hadah maupun

khataman atau tawajjuhan. Misalnya tradisi yang berlaku dalam tarekat

Qadiriyah wa Naqshabandiyah, mana>qib dilaksanakan pada setiap bulan tanggal

11 atau biasa disebut sewelasan (bahasa Jawa) bertepatan dengan hari kelahiran

Shaykh Abd al-Qadi>r al-Jailani pada tanggal 11 Rabi’ al-Tha>ni>, dan pada acara

haul Shaykh Abd al-Jailani tanggal 11 Rabi’ al-Tha>ni>, sebab Shaykh Abd al-

325 Ibid. 326 Mana>qib Shaykh Saman antara lain: (1). Manaqib Al-Qubra yang memuat lengkap kisah-kisah keajaiban, legenda dan kekeramatannya. (2) Tabaqat Sayid Ah}mad al-Sarrubi yang memuat sebagian kisah ajaib dan kekeramatan. (3) Manaqib al-Shaykh al-Shahir Muh}ammad Saman yang memuat ringkasan riwayat hidupnya, kisah manaqib ajaibnya dan kekeramatannya. Hasan Mu’arif Ambari, Ensiklopedi Islam, 152. 327 Mana>qib Shaykh Abd Al-Qadir al-Jailani, antara lain: (1) Bahjat al-Asra>r oleh al-Shattanawi yang merupakan biografi tertua dan terbaik Shaykh al-Qadir). (2) Khalasah al-Mufakhir oleh al-Yafi (w.768 H) (3) Khala’id al-Jawahir karya al-Tadifi yang memuat kehidupannya, keturunan dan lingkungan wali dan kisah-kisah mustratif. (4) Natijah al-Tahqiq karya Abdullah Muh}ammad al-Dilai (w.1136 H) yang memuat deskripsi kehidupan Abdul Qadir dan ucapan-ucapannya yang menunjukkan kebesaran sang wali. (5) Al-Nur Al-Burhani fi Tarjamah al-Hujaini al-Dani fi Manaqib Sayyid Abd al-Qadir al-Jailani karya Lutfi al-Hakim M. Muslih bin Abdurrahman al-Maraqi yang memuat kisah-kisah ajaib Abd al-Qadir. (6) H{ubu>b al-Ma’a>ni fi Tarjamah H}ujai>n ad Dari fi Mana>qib Sayyid al-Shaykh abd al-Qadir karya Abu Muh}ammad Salih Mustamin al-H{ajian al-Jawani yang memuat kisah hidup dan kekeramatannya.

Page 100: JAM’IYYAH AHL AL-T{ARI

201

jailani wafat pada 11 Rabi’ al-Tha>ni> 561 H. Tradisi mana>qib yang berkembang

di masyarakat dalam rangka melaksanakan nazarnya mencari berkah, mencintai

ulama atau orang lain tergantung pada pembuat acara yang bersangkutan.328

Kebiasaan pelaksanaan ritual mana>qib di Indonesia sering disandarkan kepada

kelompok Islam tradisional yang pada umumnya para petani. Demikian pula

tempat pennyelenggaraannya hanya berkisar di masjid, mushalla dan rumah-

rumah penduduk di pedesaan.

Namun akhir-akhir ini seiring dengan semakin maraknya aktivitas

keislaman di perkotaan, justru ritual mana>qib mengalami peningkatan pesat,

termasuk pada masyarakat perkotaan. Apalagi setelah ritual mana>qib dikemas

dalam bentuk sajian yang menarik oleh H{adrat al-Shaykh Ahmad Asrori al-

Ish}a>qy>329 maka ritual mana>qib dapat dilaksanakan di kota, pendopo kabupaten,

kampus, kantor pemerintah dan di tempat-tempat umum. Acara ini dihadiri

puluhan ribu jamaah.

9. Wali

Menurut arti bahasa, wali adalah mufrad dari isim jama’ “awliya>’” berarti

yang menolong yang mencintai. Perwalian (al-wila>yah) berarti al-nus}rah

(pertolongan) atau mah}abbah (kecintaan).330 Ada juga yang mengartikan orang

yang dekat dengan Allah SWT (wali Allah).331

328 Isma’il Nawawi, Tarekat Qadiriyah wa Naqshabandiyah: Sebuah tinjauan Ilmiyah dan Amaliyah (Surabaya: Karya Agung, 2008), 168-169. 329Beliau adalah mursyid tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah al-Usmaniyah, pendiri Pondok al-Fittrah Kedinding Surabaya. Beliau menyebarluaskan tarekat di beberapa provinsi di Indonesia, bahkan sampai di Malaysia, Brunei Darussalam, dan Singapura. Baca: Ah}mad Asrori al-Ishaqy, Pedoman Kepemimpinan dan Kepengurusan dalam kegiatan dan Amaliyah Ath Thoriqah dan al-Khidmah Surabaya: al-Wafa, 2009), 91. 330 Hasan Muarif Ambary (et al), Ensiklopedi Islam V, 171. 331 M. Sholihin dan Rosihon Anwar, Kamus Tasawuf, 257.

Page 101: JAM’IYYAH AHL AL-T{ARI

202

Sedangkan menurut ulama pengertian wali Allah antara lain dikemukakan

oleh Shaykh Yusu>f bin Sulaima>n

عایة لكرامة والر ا ى ب هللا تعال ه اعة وتوال الط ى ب ى هللا تعال ي من تول ول ل ا

“Wali ialah orang yang sangat dekat kepada Allah lantaran ketaatannya dan oleh karena itu Allah memberikan kuasa kepadannya dengan karamah dan penjagaan”.332

Maksud pendapat ini bahwa wali ialah orang yang menjadi dekat keadaan

jiwannya dengan Allah disebabkan penuh ketaatannya. Akibatnya, Allah menjadi

dekat dengan orang tersebut dan Allah berikan kepadanya berupa karamah dan

penjagaan untuk tidak terjerumus berbuat maksiat (mah}fu>z}), apabila ia

terjerumus berbuat maksiat, maka segera ia bertaubat. Menurut Shaykh al-

Qushairi>, wali mempunyai dua pengertian. Pertama, wali adalah orang yang

dicintai Allah SWT (orang yang dilindungi segala urusannya). Kedua, orang yang

sangat mencintai Allah (ia selalu beribadah dan taat kepada Allah).333

Secara terperinci, Shaykh Ibra>him al-Bajuri menyatakan pengertian wali:

ھ ال ن معنى أ ب ب اعة المجتن ى الط حسب اإل مكان المواظب عل اتھ صف ى وب ال تع ا عارف ب ل یرتكب ا

یس م و ل أ ة ی كل ال ب ة معصی قع منھ ال ھ ال ی ن مراد أ یس ال ة ول ن توب دو ب ة عصومامعصی

Orang yang mengetahui Allah dan sifat-sifatNya dengan melalui perantara ketekunan mentaati Allah, terhindar dari segala macam maksiat, tidak berarti bahwa ia melakukan maksiat tanpa bertaubat dan juga tidak berarti ia jatuh ke dalam maksiat secara menyeluruh atau juga tidak berarti maksum (terjaga dari maksiat).334

Menurut al-Bajuri>, wali adalah orang yang telah bermakrifat kepada Allah

beserta sifat-sifat-Nya lantaran penuh ketaatan di dalam memenuhi panggilan

syariat dan akidah agama Islam. Oleh karenanya ia dijaga oleh Allah dari

332 M. Fikri el-Hakim, Manaqiban, 20. 333 Al-Qusyai>ri>, al-Risa>lah al-Qusha>iriyah, 381; Al-Qur’an 7: 196. 334 M. Fikri el Hakim, Manaqiban, 21-22.

Page 102: JAM’IYYAH AHL AL-T{ARI

203

terjerumus berbuat maksiat. Apabila tergelincir melakukan maksiat, secepat

mungkin bertaubat dengan sunguh-sungguh. Melihat kenyataan ini sebetulnya

wali bukanlah orang yang maksum sebagaimana Nabi. Berdasarkan panjelasan di

atas maka dapat disimpulkan bahwa wali adalah orang yang di dalam segala hal-

ahwalnya sesuai dengan akidah dan syariat Islam. Di kalangan sufi, wali adalah

orang yang kudus, yang mah}fu>z }, yakni di bawah perlindungan khusus. Sedangkan

dalam literature orientais disebut saintis (ilmuwan).335 Konsep wali dalam

pandangan sufi merupakan masalah yang kontroversial. Muh}ammad Abduh,

misalnya, dalam tafsir al-Mana>r, ketika menafsirkan ayat 62 Surah Yunus,

mengartikan wali (awliya>’) sebagai lawan dari musuh-musuh Allah SWT, Seperti

orang kafir dan musyrik. Wali, jamaknya awliya>, menurut Abduh, adalah orang

mukmin dan orang muttaqi>n (orang yang bertakwa) sebagaimana ditunjukkan

dalam ayat sesudahnya (surat yunus 63). Konsep wali dalam pandangan sufi

menurut Abduh adalah khayalan semata, oleh karena itu bid’ah dan sesat.

Ibnu Kathi>r dalam tafsirnya juga tidak menyinggung konsep wali dengan

pendekatan sufi. Menurutnya, wali Allah ialah orang-orang yang beriman dan

bertakwa. Barangsiapa yang bertakwa, itulah wali Allah. Ia tidak takut terhadap

apa-apa yang akan terjadi pada masa depan, termasuk hari akhirat, dan tidak

pernah menyesal atas apa yang telah diperbuatnya masa silam.

Ibn Mas’u>d meriwayatkan, seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah

SAW tentang siapa sebenarnya yang dimaksud dengan wali Allah. Rasulullah

335 Azyumardi Azra, et.al, “wali”, Ensiklopedi Islam, Vol .5, ed. Kafrawi Ridwan, et.al.(Jakrta: PT Ikhtiar Baru Van Hoeve,1997), 172. Ada perbedaan antara maksum dan mahfud, maksum adalah orang yang tidak melakukan apa saja yang bertentangan dengan syariat islam seperti para Rasul dan Nabi. Baca: M. Fikri el Hakim, Manaqiban, 27. lihat. Al-Risa>lah al-Qusyai>ri>yah, 381.

Page 103: JAM’IYYAH AHL AL-T{ARI

204

SAW menjawab, “Wali Allah ialah orang-orang yang diangkat Allah melalui

mimpi mereka” (HR. Ah}mad bin H{anbal).

Hadis yang teksnya hampir serupa banyak diriwayatkan orang, misalnya

dari Abi Duh}a (Muslim bin H{amada>ni> Subaih} w. 100 H), dari Sa’i>d bin Jubai>r

(624-692 H), “Wali Allah ialah orang-orang yang apabila mimpi diingatkan

Allah.336 Hadis-hadis yang diriwayatkan melalui beberapa sanad ini merupakan

jawaban Rasulullah SAW atas pertanyaan sahabat berkaitan dengan Surat Yunus

ayat 62 tersebut.

Untuk mengambil jalan tengah mengenai kontroversi pembicaraan

tentang wali, ada ulama yang membagi dua, yaitu: wali atas wilayah al-‘ammah

(kewalian umum), yaitu derajat kewalian yang dimiliki oleh orang-orang mukmin

dan muttaqi>n pada umumnya, dan wilayah al-khassah (kewalian khusus), yaitu

orang-orang tertentu yang mencapai atau dianugerahi derajat kewalian

sebagaimana dapat dipahami dari hadis Ibnu Mas’u>d tersebut di atas. Wali dalam

pengertian di kalangan sufi, terlepas dari kontroversi pembicaraan tentang itu,

termasuk dalam katagori wilayah al-khas}s}ah.

Teori perwalian dalam kalangan sufi baru muncul pada akhir abad

kesembilan ketika para sufi seperti al-Kharraj, Shal al-Tustari> dan H{aki>m al-

Tirmidhi> menulis tentang persoalan wali. Abu> Qasi>m Abdul Kari>m Al-Qusyai>ri>

mengartikan: wali dengan pengertian pasif, yaitu seseorang yang dicintai Allah

(wuliya Alla>h) karena ketaatannya dan dalam pengertian aktif, yaitu orang yang

336 Azyumardi Azra, et.al, Ensiklopedia Islam 5, 173.

Page 104: JAM’IYYAH AHL AL-T{ARI

205

melakukan kepatuhan kepada Tuhan; wali-wali (awliya>’) diartikan sebagai

teman-teman Tuhan.337Seorang tokoh sufi pada awal abad ke sepuluh, Abu

Abdullah al-Salimi, mengemukakan definisi wali sebagai “mereka yang dapat

dikenali karena bicara mereka yang baik-baik, tingkah laku yang sopan dan

merendahkan diri, murah hati, tak suka berselisih dan menerima permintaan maaf

dari siapa saja yang meminta maaf kepadanya, halus budi terhadap segala

ciptaan, baik yang bagus maupun yang jelek”.338

Menurut Ibn ‘Arabi>, seseorang bisa disebut wali apabila ia sudah

mencapai tingkatan makrifat, yang dalam literatur Barat disebut gnosis. Wali

merupakan tingkatan tertinggi dalam tingkatan tasawuf akhla>qi. Kaum sufi yakin

bahwa makrifat bukan hasil pemikiran manusia, tetapi tergantung pada kehendak

dan rahmat Tuhan kepada seorang sufi yang dipandang sanggup menerimanya.

Menurut Al-Qusyai>ri>, ada tiga alat untuk mencapai makrifat, yakni qalb

atau kalbu (sering diterjemahkan dengan hati) untuk mengetahui sifat-sifat

Tuhan, ruh (rohani), untuk mencintai Tuhan, dan sirri (sering diartikan rahasia)

yaitu alat paling halus yang ada pada manusia untuk “melihat” Tuhan.339 Al-

Ghazali mendefinisikan makrifat dengan “penglihatan terhadap rahasia-rahasia

ketuhanan, pengetahuan terhadap susunan tata aturan ketuhanan yang mencakup

seluruh yang wujud”.340

Pengertian wali dalam dunia sufi sering menekankan dimensi mistiknya.

Maqa>m-maqa>m (tingkatan-tingkatan) awal seperti taubat, warak, fakir, sabar,

337 Ibid., 172. 338 Ibid. 339 Al-Qusyai>ri>, Al-Risa>lah Al-Qusyai>ri>yah, 342. 340 Al-Ghazali, Ihya>’ Ulu>m al-Di>n Jilid IV, 280.

Page 105: JAM’IYYAH AHL AL-T{ARI

206

tawakal, dan rida perlu diperhatikan dalam memahami pengertian wali dalam

dunia sufi. Dalam dunia sufi dikenal pula hirarki kekuasaan kerohanian.

Tingkatan-tingkatan hierarki itu ditempati oleh para wali sesuai dengan tingkat

kesempurnaan kewalian yang dicapainya.

Tingkatan kekuasaan rohani tertinggi disebut qut}ub (poros kutub) atau

ghaws (pertolongan); qut}ub atau ghaws itu dikelilingi oleh tiga nuqab

(pengganti) empat awta>d (tiang-tiang), tujuh abra>r (saleh), empat puluh abda>l

(para penganti), tiga ratus akhya>r (para terpilih) dan empat ribu wali

tersembunnyi.341

Penguasa rohani itu berfungsi sebagai pemandu rohani kehidupan

manusia. Kaum Syi’ah sering menghubungkan qut}ub dan ghaws dengan

kedudukan imam-imam yang tersembunyi. Dalam kalangan Sunni, ada yang

menghubungkannya dengan Imam Mahdi. Ada pula yang mempunyai faham

bahwa yang menduduki hirarki qut}ub dan ghaws adalah malaikat Jibril dan

Israfil.Alam atau derajat kewalian pada hakekatnya dapat diperoleh atau dicapai

oleh orang mukmin yang takwa dengan jalan melaksanakan dan mentaati

peraturan dan tuntunan syariat yang diwajibkan dan disukai Allah dikerjakan

dengan penuh ketekunan. Aspek haram atau yang tidak disukai Allah dijauhkan

dan dihindarkan dari dirinya supaya jangan sampai jatuh tergelincir

melakukannya. Apabila tergelincir melakukan dosa kecil sekejab saja, maka

cepat-cepat diikuti dengan bertaubat yang sebenar-benarnya, dan terus segera

kembali kepada yang haq (benar).

341 Hasan Muarif Ambari (et al), Ensiklopedi Islam 5, 173. Baca : Al-Shaykh Diya’ al-Din, Ja>mi’ al-Us}}u>l fi al-auliya>’, (DKI: Dar al-kutub al-‘ilmiyah, 2010), 168-170.

Page 106: JAM’IYYAH AHL AL-T{ARI

207

Untuk dapat mencapai keadaan diri seperti di atas, maka lazimnya

seseorang ini selalu menjauhkan diri dari keramaian dunia (‘uzlah) dan mencari

tempat yang sunnyi (khalwat). Perasaan cinta kepada Allah terus menerus

diwujudkan samapai dapat ke tingkat yang lebih tinggi dan ini mengakibatkan

dirinya itu dapat menguasai jiwanya, setidak-tidaknya akan mengurangi rasa

cinta kepada perkara-perkara yang lain, sehingga selalu ingat dan tafakur kepada

Allah beserta sifat-sifat-Nya serta keagunggan-Nya. Di dalam hati sanubarinya

sudah tiada lagi sedikitpun ruangan untuk memikirkan hal-hal lain diluar itu.

Akhlaknya senantiasa diperbaiki untuk membersihkan kalbunya, sehingga ia

menjadi dekat kepada Allah. Semua itu dilakukan semata-mata untuk memenuhi

ketaatan kepada Allah dan memperbannyak kebajikan dengan landasan penuh

ikhlas tanpa adanya riya’.

Shaykh Yusu>f bin Sulaima>n menyatakan bahwa apabila seseorang itu

dapat menjadi dekat kepada Allah sebab ketaatan-ketaatannya dan keikhlasannya

yang banyak, maka Allah pun menjadi dekat kepadanya sebab rah}mat, fad}al dan

kebaikan-Nya. Kedekatan inilah yang memungkinkan seseorang mendapatkan

derajat kewalian.342

Mereka yang dapat mencapai derajat wali akan menghasilkan buah fikiran

dari akal yang menimbulkan kesimpulan-kesimpulan yang indah. Bahkan ada

yang dapat sampai ketingkat ruh qudsi, sehingga kepadanya terbuka dengan jelas

sekali segala macam isyarat ghaib yang berada di balik hijab dengan terang

benderang. Firman Allah:

342 M.Fikri el Hakim, Manaqiban, 29.

Page 107: JAM’IYYAH AHL AL-T{ARI

208

Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (al-Quran) dengan perintah kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah al-kitab (al-Quran) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan al-Quran itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.343

Kalau seseorang benar-benar telah sampai berada di dalam keadaan ruh

qudsi, maka jiwanya menjadi jernih dan terang benderang. Hal ini

memungkinkan ia dapat melihat dengan jernih segala sesuatu yang ada di balik

hijab. Itu semua dapat dilakukan dengan melalui tarekat (suluk).

10. Haul

Ditinjau dari sisi bahasa, haul berasal dari bahasa Arab al-h}awl yang

mempunyai arti telah lewat dan berlalu atau berarti setahun. Dalam masyarakat

Indonesia, khususnya Jawa, kata haul mempunyai arti yang sangat khusus, yaitu

suatu upacara ritual keagamaan untuk memperingati meninggalnya seseorang

yang ditokohkan, baik wali, ulama, atau kiai.344 Dalam literatur fikih bab zakat,

kita jumpai kata haul yang menjadi syarat wajibnya zakat.345

Dalam konteks disertasi ini, haul yang dimaksudkan adalah peringatan

kematian seseorang yang diadakan setahun sekali dengan tujuan utama untuk

mendoakan ahli kubur agar semua amal ibadah yang dilakukannya diterima oleh

Allah SWT.346 Biasanya, haul diadakan untuk para keluarga yang telah

343 Al-Qur’an, 42: 52. 344 Rubath, “Peringatan Haul dalam Hukum Islam”, dalam http://www.rubathalmuhibbien.org/berita/peringatan-haul-dalam-hukum-islam (9 April 2011) 345Abi Bakr Muh}ammad Shata, I’a>nat al-T}a>libi>n ( Beirut: dar al-fikr,2002), 210-211. 346 Rubath, Peringatan Haul dalam Hukum Islam (20 April 2011).

Page 108: JAM’IYYAH AHL AL-T{ARI

209

meninggal dunia atau para tokoh untuk mengingat dan meneladani jasa-jasa dan

amal baik mereka.

Haul yang penting diadakan setiap setahun sekali dan tidak harus tepat

pada tanggal tertentu atau tidak sakral sebagaimana kita memperingati hari

ulang tahun. Hari dan tanggal pelaksanaan ditentukan berdasarkan pertimbangan

tertentu yang berhubungan acara-acara lain yang diselenggarakan bersamaan

dengan peringatan haul itu.347 Dari hal tersebut tampak adanya kesesuaian antara

makna lughawi haul dengan acara haul yang dimaksud. Dalam kenyataannya,

acara haul dilakukan satu tahun sekali, yaitu pada hari kematian atau wafatnya

orang yang dihauli.348Tradisi haul di Indonesia pertama kali dipopulerkan oleh al

Ima>m al Alla>mah al-H{abi>b Muh}ammad bin Idru>s al-H{absi> tepatnya di Surabaya.

Dalam perkembangannya kemudian, haul dilakukan oleh para tokoh agama

Islam. Sekarang ini, acara haul telah menjadi bagian tidak terpisah dari ritual

umat Islam di Indonesia.

Haul bukan sekadar acara rutinitas mengingat perjuangan dan kiprah

seorang tokoh, melainkan juga sebagai momentum yang paling tepat untuk

mengingatkan manusia kepada Allah dengan cara meneladani perilaku para

ulama dan awliya>’ yang diperingati haulnya.349Menurut penjelasan Kiai Sahal

Mahfudh, ada beberapa hal yang biasa dilakukan dalam acara haul. Pertama,

tahlilan dirangkai dengan doa kepada mayit. Kedua, pengajian umum yang

347 Rubath, “Peringatan Haul dalam Hukum Islam”, dalam http://www.rubathalmuhibbien.org/berita/peringatan-haul-dalam-hukum-islam/ ( 9 April 2011 ). 348 M. Hanif Muslih, Peringatan Haul Ditinjau dari Hukum Islam, (Semarang: Karya Toha Putra, 2006), 1. 349 Rubath, “Peringatan Haul dalam Hukum Islam”, dalam http://www.rubathalmuhibbien.org/berita/peringatan-haul-dalam-hukum-islam/ ( 9 April 2011).

Page 109: JAM’IYYAH AHL AL-T{ARI

210

kadang dirangkai dengan pembacaan secara singkat sejarah orang yang dihauli

yang mencakup nasab, tanggal lahir, wafat, jasa-jasa, serta keistimewaan yang

kiranya patut diteladani. Ketiga, sedekah.350yaitu dengan memberikan makanan

kepada para jamaah dan para jamaah memberikan infaq untuk dipergunakan

dalam kegiatan haul yang akan datang atau kegiatan-kegiatan lain yang

bermanfaat.Untuk rangkaian acara yang pertama, biasanya tidak hanya sekadar

membaca tahlil, akan tetapi tidak sedikit yang dibarengi atau didahului dengan

khataman al-Qur’an 30 juz oleh para huffa>z}. Mereka yang melakukan ritual ini

umumnya adalah para kiai atau santri yang pernah menimba ilmu dari sunan, kiai

atau orang yang dihauli.351Saat mengadakan peringatan haul dianjurkan untuk

membacakan mana>qib (biografi yang baik) dari orang yang wafat untuk

diteladani kebaikannya dan untuk berbaik sangka kepadanya.

Ibnu Abd Salam mengatakan bahwa pembacaan mana>qib tersebut adalah

bagian dari perbuatan taat kepada Allah karena bisa menimbulkan kebaikan.

Karena itu banyak sahabat dan ulama yang melakukannya.352Menurut penjelasan

Kiai Sahal Mahfudh, status hukum haul ditentukan oleh status hukum rangkaian

3 hal dalam pelaksanaan haul, yaitu: pertama, tahlil, membaca al-Qur’an, dan

mendoakan mayit. Mayoritas ulama dari empat mazhab berpendapat bahwa

pahala ibadah atau amal saleh yang dilakukan orang yang masih hidup bisa

sampai kepada mayit.353

350 M. Hanif Muslih, Peringatan Haul, 2. 351 Ibid. 352 Rubath,“Peringatan Haul dalam Hukum Islam”, dalam http://www.rubathalmuhibbien.org/berita/peringatan-haul-dalam-hukum-Islam/ 353 Hal ini diperkuat oleh pendapat para imam dan ulama madzhab, di antaranya adalah pendapat Ibn Taymiyah. Ia berpendapat bahwa:

Page 110: JAM’IYYAH AHL AL-T{ARI

211

Dasarnya adalah sebagai berikut: Al-Ima>m Abu> Zakariya Muhyiddi>n ibn

al-Sharaf dari mazhab al-Sha>fi’i> yang terkenal dengan panggilan Ima>m al-

Nawa>wi> (w 676 H) di dalam Syarh} S{ah}i>h} Muslim menjelaskan:

یت وقال بعض انھ ال یصل ثوابھا الى الم: ة القرآن فالمشھور من مذھب الشافعى ءواما قرا

یصل ثوابھا الى المیت وذھب جماعة من العلماء الى انھ یصل الى المیت ثواب جمیع العبادات : اصحابھ

من الصالة والصوم والقرائة وغیر ذلك

Adapun hukum qira>’ah (membaca) al-Qur’an menurut pendapat yang masyhur dari mazhab Sha>fi’i> adalah pahala bacaannya tidak sampai kepada mayit. Sedangkan menurut sebagian ashabnya pahala bacaan itu bisa sampai kepada mayit, (bahkan) menurut beberapa golongan ulama pahala semua ibadah dari shalat, puasa, qira>’ah (membaca) al-Qur’an dan ibadah yang lain, semua pahalanya akan sampai kepada mayit.354

Ali> Jum’ah berpendapat:

ثوابھ و نص العلماء على وصول ثواب القراءة للمیت وأخذوا ذالك من جواز الحج عنھ ووصول

فثواب , إلیھ ألن الحج یشتمل على الصالة والصالة تقرأ فیھا الفاتحة وغیرھا وما وصل كلھ وصل بعضھ

إذا دعا القارئ أن یھب هللا تعالى مثل ثوا 355ب قراءتھ للمیتالقراءة یصل للمیت بإذن هللا تعالى خصوصاPara ulama menyatakan sampainya pahala bacaan (al-Qur’an dan yang lain)

kepada mayit, dan mereka mengambil dalil dari bolehnya seseorang untuk

menghajikan mayit dan sampainya pahala tersebut kepada mayit, sebab haji di

dalamnya terdapat salat sedangkan salat di dalamnya harus dibaca bacaan al -

fatihah dan surat yang lain, sedangkan pahala yang sampai semuanya, maka

sampailah sebagiannya. Jadi pahala membaca (al-Qur’an dan yang lain) sampai

kepada mayit dengan izin Allah Swt, terkhusus apabila orang yang membaca

memohon kepada Allah untuk menghadiahkan sebagaimana pahala bacaannya

kepada mayit.

ینتفع بھ وھو مذھب احمد : احدھما : واما الصیام عنھ وصالة التطوع عنھ وقرائة القرآن عنھ فھذا فیھ قوالن للعلماء

التصل الیھ وھو المشھور من مذھب مالك و الشافعى: وابى حنیفة وغیرھما وبعض اصحاب الشافعى وغیرھم والثانى

Adapun puasa, salat sunah, membaca al-Qur’an untuk mayit, ada dua pendapat. Pertama, mayit bisa mengambil manfaat dengannya. Pendapat ini menurut Ima>m Ah}mad, Abu> H{ani>fah, dan sebagian Ash}ab Sya>fi’i> dan yang lain. Kedua, tidak bisa sampai kepada mayit, menurut pendapat yang masyhur dalam madzhab Ima>m Ma>lik dan Sya>fi’i>. Lihat M. Hanif Muslih, Peringatan Haul, 3. 354 M. Hanif Muslih, Peringatan Haul, 2-7. 355 Ali> Jum’ah, Al Baya>n Lima> Yasghilu Al-Adhha>n (Kairo: Al-Muqattam, 2005), 275.

Page 111: JAM’IYYAH AHL AL-T{ARI

212

Shaykh Muhammad Maky al-Araby : قد ثبت فى الحدیث الصحیح أن المیت یعذب ببكاء أهله علیه، وثبت أیضا تعذیب األموات فى قبورهم

ث وضعه علیه الصالة والسالم الجریدتین على یوكحد) یعرضون علیها غدوا وعشیا النار( كقوله تعالى ألربعة وابن أخرجه الشیخان وأصحاب السنن ا) أنه یخفف عنهما ما دامتا رطبتین ( قبرین وأخبر

إلى أن قال، وكون األموات یعذبون فى قبورهم ویتألمون من سوء أعمال أقربائهم األحیاء وینتفعون ...خزیمة بما یسدیه األحیاء إلیهم شئ ال یأتى علیه الحصر من األحادیث واآلثار عن السلف

Di dalam hadis sahih sudah dijelaskan bahwa mayit akan disiksa apabila keluarganya menangisi kepergiannya, serta dalam Al-Qur’an dijelaskan tentang mayit yang disiksa dalam kuburnya, sebagaimana firman Allah swt : “Kepada mereka dinampakkan neraka pada pagi dan petang”. Kemudian ada lagi sebuah hadis yang menjelaskan bahwa Nabi Muhammad saw meletakkan pelepah kurma yang masih basah di dua kuburan, lalu menjelaskan bahwa selama pelepah kurma ini belum kering, maka akan membantu meringankan sisksaan kedua mayit tersebut. (Hadis ini diriwayatkan oleh al-Bukahari, Muslim, Nasa’i, Ibnu Majah, Tirmidhi, Abu Dawud, dan Ibnu Khuzaimah). Para mayit akan disiksa di dalam kubur disebabkan kerena perbuatan jelek keluarganya yang masih hidup. Demikian pula mereka juga dapat memperoleh manfaat dari apa yang telah diberikan oleh orang yang masih hidup sebagaimana keterangan yang terdapat dalam hadis dan athar dari ulama salaf. permasalahan ini sudah dijelaskan dalam athar dan hadis.

Dengan demikian tahlil, membaca al-Qur’an dan do’a pahalanya bisa

sampai kepada mayit. Amaliyah tersebut merupakan amalan yang diajarkan oleh

Nabi, sebagaimana keterangan di bawah ini:

أخرج اإلمام أحمد فى مسنده وأبو داود والنسائى . القراءة على األموات أمر بها النبى صلى اهللا علیه وسلمم النووى رحمه قال اإلما" اقرءوا یس على موتاكم: "لیه الصالة والسالم أنه قال عوابن حبان وصححه عنه

یجوز ویستحب العمل فى : قال العلماء من المحدثین والفقهاء وغیرهم: اهللا فى كتابه األذكار ما نصهإلى أن قال، وقال اإلمام احمد فى ....الفضائل والترغیب والترهیب بالحدیث الضعیف ما لم یكن موضوعا

على میت ) یعنى یس(إذا قرئت : وا یقولونلمشیخة كانحدثنا أبو المغیرة حدثنا صفوان أن ا: المسند أیضاوالرافعى فى تاریخه والدارقطنى ) قل هو اهللا أحد: (أبو محمد السمرقندى فى فضائل خفف عنه بها، وأخرج

قل هو اهللا (المقابر وقرأ من مر على: "كلهم عن على رضى اهللا عنه، عنه علیه الصالة والسالم أنه قالإلى أن قال، وأخرج ابن "...جرها لألموات أعطى من األجر بعدد األمواتإحدى عشرة مرة ثم وهب أ) أحد

وقد نقل . كان یقال األموات أحوج إلى الدعاء من األحیاء إلى الطعام والشراب: أبى الدنیا عن سفیان قال

Page 112: JAM’IYYAH AHL AL-T{ARI

213

والذین جاءوا من بعدهم: (ودلیله من القرآن قوله تعالى غیر واحد اإلجماع على أن الدعاء ینفع المیت، 356)باإلیمانیقولون ربنا اغفر لنا وإلخواننا الذین سبقونا

Menghadiahkan bacaan kepada mayit merupakan anjuran Nabi Muhammad saw sebagaimana hadis nabi, riwayat al-Imam Ahmad dalam musnadnya, Abu Dawud, al-Nasa’i dan dianggap sahih oleh Ibn Hibban, Nabi bersabda: : “bacalah surat yasin kepada orang yang sudah meninggal”. Imam Nawawi berkata dalam kitabnya al-Adhka>r: “para ulama’ hadis dan fikih berkata: diperbolehkan dan dianggap baik mengamalkan hadis da’if yang menjelaskan tentang keutamaan keutamaan amalan untuk menyenangkan, atau menakut-nakuti, selama hadis tersebut tidak sampai pada derajat hadis maud}u>’ (palsu). Imam al-Ahmad berkata di dalam musnadnya bahwa para ulama’ mengatakan apabila surat yasin dibacakan kepada orang yang sudah meninggal, maka dapat meringankan siksanya, Imam Rafi’i dan Imam Da>raqut}ni meriwayatkan hadis melalui Ali bahwasanya Rasulullah saw bersabda: “Barang siapa yang melewati kuburan lalu membaca surat al ikhlas dan menghadiahkannya kepada para mayit yang ada di kuburan tersebut, maka ia akan diberikan pahala sebanyak jumlah mayit yang dikuburkan di sana”. Ibnu Abi Dunya meriwayatkan hadis dari Sofyan bahwa para mayit lebih membutuhkan doa dari pada orang yang masih hidup daripada membutuhkan makan dan minum. Sudah menjadi ijma’ (kesepakatan) ulama’ bahwa doa itu dapat memberikan manfaat kepada mayit sebagaimana firman Allah swt: “Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: “Wahai Rabb kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami”

Kedua, pengajian. Pengajian merupakan salah satu cara dakwah bi al lisan

(dengan lisan) untuk memberikan wawasan, bimbingan dan penyuluhan yang

bertujuan meningkatkan kualitas ketakwaan kaum muslimin dengan jalan

memperluas pemahaman mereka tentang ajaran agamanya. Peningkatan iman dan

takwa diharapkan akan mendorong melakukan amal saleh.

Ketiga, sedekah. Sedekah yang pahalanya diberikan atau dihadiahkan

kepada mayit, pada dasarnya diperbolehkan, karena hal itu termasuk amal saleh.

356 Muhammad Al Arabi al-Makiy, Is’aful muslimi>n wa al-Muslima>t bi jawaz al-Qiro’ah wa wushuli tsawabiha li al-Amwa>t, ( Kairo: Must}ofa al-Babi al-Halabi>, cetakan pertama. 1950 M ) 1-11

Page 113: JAM’IYYAH AHL AL-T{ARI

214

Dari keterangan tersebut, jelas aktivitas dalam rangkaian upacara haul

dibenarkan adanya. Maka dengan sendirinya haul itu sendiri tidak dilarang.

Adapun dalil haul adalah:

ال واقدي، ق ي الشعب، عن ال ي ف بیھق ھداء : و روى ال زور الش م ی یھ و سل ى هللا عل ي صل ب كان الن

حد في كل حول أ ول . ب یق غ رفع صوتھ ف عم عقبى ا: و إذا بل ن م ف ما صبرت یكم ب ارسالم عل م أبو بكر كل حول لد ث

م عثمان م عمر ث ك، ث فعل مثل ذل یھ و تدعو . ی رضي هللا عنھا تأت نت فاطمة . و كا اص ي وق ن سعد ابن أب و كا

و ق ی ھ، ف ى أصحاب ل عل قب م ی یھم ث م عل السالم یسل یكم ب ون عل رد وم ی ى ق مون عل ل أال تسل

Al-Baih}aqi> meriwayatkan dari al-Wakidi> mengenai kematian, bahwa Nabi senantiasa berziarah ke makam para syuhada di bukit Uhud setiap tahun. Dan sesampainya di sana beliau mengucapkan salam dengan mengeraskan suaranya, “Salamun alaikum bima> shabartum fani’ma uqba al-da>r (QS al-Ra’d: 24) Keselamatan atasmu berkat kesabaranmu. Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu. Abu> Bakar juga melakukan hal itu setiap tahun, kemudian Umar, lalu Uthma>n. Fat}imah juga pernah berziarah ke bukit Uhud dan berdoa. Saad bin Abi Waqqash mengucapkan salam kepada para syuhada tersebut kemudian ia menghadap kepada para sahabatnya lalu berkata,”Mengapa kalian tidak mengucapkan salam kepada orang-orang yang akan menjawab salam kalian?”357

Firman Allah swt:

Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah hajimu, Maka berdzikirlah dengan menyebut Allah, sebagaimana kamu menyebut-nyebut (membangga-banggakan) nenek moyangmu, atau (bahkan) berdzikirlah lebih banyak dari itu. Maka di antara manusia ada orang yang bendoa: "Ya Tuhan Kami, berilah Kami (kebaikan) di dunia", dan Tiadalah baginya bahagian (yang menyenangkan) di akhirat.358

Firman Allah Swt. ini berkaitan dengan orang-orang Arab Jahiliyah yang

setelah menunaikan haji. Mereka hanya bermegah-megahan tentang kebesaran

nenek moyangnya saja. Kemudian turun perintah Allah swt, agar mereka

357 Muh}ammad Al-H{usaini> as-Zabidi>, Ittihaf al-Sa>dah al- Mut}t}aqi>n bi Sharh}i ihya’ Ulum ad-di>n, juz 10 (Beirut : Mu’assasah at-Taarikh al’Uzza, 1994), 363. 358 Al Qur’an, 2 :200.

Page 114: JAM’IYYAH AHL AL-T{ARI

215

sebagaimana mereka menyebut-nyebut nenek moyangnya banyak berzikir kepada

Allah swt. Dalam ayat ini, tidak ada isyarat yang melarang adat mereka setiap

tahun usai haji menceritakan riwayat hidup dan membangga-banggakan nenek

moyangnya, hanya Allah swt. menghendaki agar orang Arab Jahiliyah, di

samping membangga-banggakan nenek moyang, juga banyak berzikir pada Allah

swt.

Sebagian ulama mengatakan ayat ini bisa dijadikan sebagai dalil

dibolehkannya orang setiap tahun memperingati para wali atau salihin yang telah

wafat (haul). Karena dalam peringatan ini para ulama’ akan mengumandangkan

pada hadirin, riwayat hidup para wali dan s}a>lih}i>n yang diperingati tersebut.

Kemudian diakhiri dengan doa kepada Allah SWT, agar amalan-amalan para wali

diterima oleh Allah SWT, dan para hadirin serta semua muslimin diberi taufik

oleh Allah, sehingga bisa mencontoh amal perbuatan para s}a>lih}i>n yang terpuji

dimasa hidupnya.