Izzi_Filsafat René Descrates dan Pendidikan Islam
-
Upload
izzi-ramdani -
Category
Documents
-
view
295 -
download
2
Transcript of Izzi_Filsafat René Descrates dan Pendidikan Islam
FILSAFAT RENÉ DESCRATES(Epistemologi Rasionalisme dan Integrasinya dalam Pendidikan Islam)
Dosen Pengampu: Dr. Alim Roswantoro, M.Ag
Oleh:
Izzi Ramdani
STUDI PENDIDIKAN ISLAMMANAJEMEN DAN KEBIJAKAN PENDIDIKAN ISLAM
PROGRAM PASCASARJANAUNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
2010
1
FILSAFAT RENÉ DESCRATES
(Epistemologi Rasionalisme dan Integrasinya dalam Pendidkan Islam)
Oleh:Izzi Ramdani. dan Addin Arsyadana
A. Pendahuluan
Filsafat yang dimaknai sebagai “kecintaan akan kebijaksanaan” telah
mewarnai dunia ilmu pengetahuan sejak berabad-abad silam. Berlanjut sampai
pada era modern, menjadi topik yang hampir pasti ada dalam diskusi-diskusi
ilmiah, baik di seminar-seminar umum maupun diskusi dalam kelas
perkuliahan sebagaimana pada level makalah ini. Sebuah gambaran dalam
kalimat umum, seperti: “landasan filosifis” atau “kajiian filosofis”, nyaris
selalu ada pada setiap tema.
Terfokus kepada filsafat pengetahuan, pada jalur Epistemologi1 yang
mengkaji tentang hakikat dan wilayah pengetahuan (episteme secara harafiah
berarti “pengetahuan”), bahwa Epistemologi membahas berbagai hal tentang
pengetahuan seperti batas, sumber, dan kebenaran suatu pengetahuan.2
Dalam perspektif barat, dikenal dua aliran epistemologi yang bertolak
belakang, Rasionalisme dan Empirisme. Dua mazhab ini berbeda pada
paradigma dan parameter apa yang digunakan untuk mengungkap sumber
pengetahuan.
Aliran empirisme berdasarkan pada alam, sesuai dengan penyelidikan
ilmiah secara empiris. Empirisme mendasarkan sumber pengetahuan kepada
sesuatu yang berangkat dari pengalaman, yang memiliki konstruksi bersumber
penginderaan dengan metode dedukuksi. Memulai dari beberapa fakta dan
menggabungkannya ke dalam satu kesimpulan umum sebagai pengetahuan.
1 Ach. Khatib, Makalah: Konstruksi Epistemologi Sir Francis Bacon, (PI-MKPI PPs UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta: 2010), hlm. 12 Website Wikipedia: Ensiklopedia Bebas di http://id.wikipedia.org/wiki/Filsafat#Filsafat_Barat, akses 18/10/2010.
Izzi: Pendidikan Islam dan Rasionalisme (René Descrates)
2
Sedangkan Rasionalisme, sesuai dengan namanya menempatkan akal
budi (rasio) pada posisi pertama sebagai sumber pengetahuan. Berdasarkan
pengetahuan umum untuk mencari tahu tentang hal-hal lainnya. Seperti
sekumpulan “rumus-rumus” yang dapat digunakan untuk menemukan jawaban
bagi permasalahan lainnya. Dengan ilustrasi andai seseorang di dalam rumah
ingin mencari tahu tentang apa yang ada di luar rumahnya, yang akan dia
lakukan bukan membukan pintu lalu melangkah keluar, tapi yang akan ia
lakukan hanya “berpikir”. Lalu siapakah sebenarnya pemilik ungkapan
“berpikir” ini. Ia adalah René Descrates (1596–1650), seorang berkebangsaan
Perancis, dengan diktumnya dalam bahasa Latin yang sangat terkenal “cogito
ergo sum” (aku berpikir maka aku ada).
Bersama Gottfried Wilhelm von Leibniz, Christian Wolff dan Baruch
Spinoza, Descrates mengusung perkembangan Rasionalisme pada abad ke-17
dan dilanjutkan oleh Voltaire, Diderot dan D’Alembert pada abad ke-18.3
Dengan meninjau kepada biografi, teori dan karyanya pada tulisan ini,
banyak yang dapat ditemukan melalui melalui kaca mata filsafat René Descrates,
namun yang paling penting adalah tentang bagaimanakah kelangsungan hidup
Rasionalisme dalam pendidikan islam.
B. Kehidupan dan Karya Sang Bapak Filsafat Modern (1596 – 1650)4
René Descartes lahir di La Haye, sebuah kota kecil di Touraine,
Perancis pada tanggal 31 maret 15965 dari sebuah keluarga borjuis. Ayahnya
adalah seorang pengacara yang aktif berpolitik sementara ibunya telah
meninggal pada saat usia Descartes masih 1 tahun.
Mengawali pendidikannya di bangku sekolah saat menginjak usia 8
tahun, Descartes mendapatkan pendidikan di sekolah Jesuit6 di La Flèche. 3 M. Ied Al Munir, Tinjauan TerhadapMetode Empirisme dan Rasionalisme, hlm. 34 M. Ied Al Munir, Tinjauan TerhadapMetode Empirisme dan Rasionalisme, hlm. 45 Website Para Pemikir (Filsafat | Logika | Epistemologi | Irfan) di http://parapemikir.com/rene-descartes.html., akses 16/10/2010.6 Nama sebuah Perserikatan Katolik.
Izzi: Pendidikan Islam dan Rasionalisme (René Descrates)
3
Selama di sekolah ini, karena kondisi kesehatannya yang kurang baik, ia
diizinkan untuk tetap berada di tempat tidur dan ini pada akhirnya menjadi
sebuah kebiasaan selama hidupnya, ia lebih banyak merenung dan perpikir.
Descartes banyak mendapatkan pelajaran-pelajaran tentang filsafat, fisika dan
matematika di sekolah ini. Selama di sekolah ini pula ia ikut merayakan
ditemukannya berbagai bulan yang ada pada planet Jupiter tahun 1611.
Dua tahun kemudian (1613) Descrates meninggalkan La Flèche dan
melanjutkan pendidikannya ke sebuah sekolah di Poitiers sebuah kota di
bagian utara tengah Perancis. Di sana ia bukan memperdalam filsafat
melainkan mempelajari hukum. Pada tahun 1617 dikirim ke Jerman untuk
dinas militer. Dalam karir militernya Descartes tidak terlalu menonjol, dia
lebih banyak memanfaatkan fasilitas militer untuk belajar kepada buku besar
alam.7
Menjelang namanya muncul sebagai fisluf terkemuka, Descrates
melancong ke beberapa negera di Eropa, termasuk tiga tahun di Paris. Di sana
lah ia bertemu dengan tokoh-tokoh pemikir dunia, di mana ia menemukan
Mersenne, yang kemudian menjadi mentornya.
Dalam pencariannya akan ketenangan dan kesunyaian, pada tahun
1619 ia menetap di Belanda yang ia anggap sebagai tempat yang paling tepat
dengan iklim kebebasannya yang terbaik di Eropa. Descartes menetap di
negeri itu sampai tahun 1649. Pada rentang waktu inilah ia banyak menulis
karya ilmiah. Pada Oktober 1649 ia pindah ke Stochkholm, Swedia, namun
pada Februari tahun berikutnya yakni pada tahun 1650, ia wafat karena
penyakit pneumonia.
Sebagai seorang filsuf, Descartes telah melahirkan beberapa karya
filsafat, yaitu: Discours de la méthode pour bien conduire sa raison et
chercher les vérités dansles sciences (Discourse on Method), 1637;
7 Website Para Pemikir (Filsafat | Logika | Epistemologi | Irfan) di http://parapemikir.com/rene-descartes.html., akses 16/10/2010.
Izzi: Pendidikan Islam dan Rasionalisme (René Descrates)
4
Meditationes de Prima Philosophia (Meditations on the First Philosoph),
1641; Principia Philosopiae (Principles of Philosophy), 16448; dan Les
Passiones de L’ame (1650).9
C. Konstruksi Epistemologi René Descrates
Teori tentang Sumber Pengetahuan
René Descrates (1596-1650) yang dijuluki “Bapak Filsafat
Modern” adalah pelopor Rasionalisme yang bertolak belakang dengan
mazhab Francis Bacon (1561-1626) dengan Empirismenya. Masing-
masing dari kedua tokoh ini mencapai kedudukan “terang” selama
mengusung mazhabnya. Descrates menyandang kedudukan tinggi karena
beberapa temuannya bi bidang Matematika,10 seperti Teori Koordinat
Kartesius. Bacon telah berhasil dengan semangat “percobaann” dan
“pengalamannya”.
Rasionalisme adalah aliran yang menyatakan bahwa sumber
pengetahuan satu-satunya yang benar adalah rasio (akal pikiran). Dengan
berpondasikan metode deduksi, Rasionalisme berangkat berangkat dari
pemahaman umum untuk mencari tahu tentang hal-hal khusus. Ini
menentang Empirisme dengan metode deduksi yang mendahuluinya satu
generasi. Rasionalisme mengajukan pertanyaan secara metafisik
(mendasar) sedangkan Empirisme secara empiris.
Rasionalisme René Descrates menganggap empirisme memiliki
kelemahan karena alat indera mempunyai kemampuan yang terbatas.
Rasionalisme tidak mengingkari nilai pengalaman, melainkan pengalaman
hanya dipandang sebagai sejenis perangsang bagi pikiran. Karenanya,
8 M. Ied Al Munir dalam: Lacey, A.R., A Dictionary of Philosophy, (New York: Routledge, 2000), hlm. 79, sebagaimana yang dikutip M. Ied Al Munir, hlm. 59 Ali Mudhofir, Kamus Filsafat Barat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 124, Sebagaimana yang dikutip M. Ied Al Munir10 Ach. Khatib, Makalah: Konstruksi Epistemologi Sir Francis Bacon, hlm. 2
Izzi: Pendidikan Islam dan Rasionalisme (René Descrates)
5
aliran ini yakin bahwa kebenaran dan kesesatan terletak di dalam ide, dan
bukannya di dalam barang/sesuatu.11
Sikap Kritis-Argumentalis Dalam Cogito Ergo Sum (Aku Ada Karena
Aku Berpikir)
Satu hal yang membuat Descartes sangat terkenal adalah
bagaimana dia menciptakan satu metode yang betul-betul baru di dalam
berfilsafat yang kemudian ia beri nama metode keraguan/kesangsian yang
dalam bahasa aslinya dikatakan sebagai Le Doubt Methodique. Descartes
memulai metode ini dengan meragukan semua persoalan yang telah
diketahuinya. Descrates mengatakan bahwa segalanya harus disangsikan
secara radikal, dan tidak boleh diterima begitu saja.12
Dalam bukunya Jujun mengutip ucapan Descrates yang seakan
memaksa “de amnibus dubitandum! (segala sesuatu harus diragukan!).
Lalu ia (Jujun) mengatakan, “Namun segala yang ada dalam hidup ini
dimulai dengan meragukan sesuatu., bahkan juga Hamlet si peragu, yang
berseru kepada Ophelia”. Lalu ia mengutip ucapan William Shakespeare
dalam drama Helmet:
“Doubt thou the stars are fire;doubt the sun doth move;doubt truth to be a liar.But neber doubt I love.”
(Ragukan bahwa bintang-bintang itu api;Ragukan bahwa matahari itu bergerak;Ragukan bahwa kebenaran itu dusta;Tapi jangan ragukan aku cinta).
Kebenaran adalah pernyataan tanpa ragu!13
11 M. Ied Al Munir, Tinjauan TerhadapMetode Empirisme dan Rasionalisme, (Dokumen Pdf) hlm. 2 diunduh dari http://jurnal.filsafat.ugm.ac.id/index.php/jf/article/viewFile/56/54, akses 16/10/2010.12 Filsafat Barat:Zaman Modern, diunduh dari http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/pengantar_filsafat/Bab_6.pdf
Izzi: Pendidikan Islam dan Rasionalisme (René Descrates)
6
Descrates meragukan apakah asas-asas metafisik dan matematika
yang diketahuinya selama ini bukan hanya sekedar ilusi belaka. Jangan-
jangan apa yang diketahuinya selama ini hanyalah tipuan dari khayalan
belaka, jika demikian adanya maka apakah yang bisa menjadi pegangan
untuk menentukan titik kepastian?
Menurut Descartes, setidak-tidaknya “aku yang meragukan” semua
persoalan tersebut bukanlah hasil tipuan melainkan sebuah kepastian
(termasuk meragukan adanya diri sendiri). Semakin kita dapat meragukan
segala sesuatu, maka semakin pastilah bahwa kita yang meragukan itu
adalah ada. Dengan demikian tidak bisa dipungkiri lagi bahwa keraguan
justru akan membuktikan keberadaan kita semakin nyata dan pasti.
Semakin kita ragu maka kita akan semakin merasa pasti bahwa keraguan
itu adalah ada, dan karena keraguan itu adanya pada diri kita maka sudah
tentu kita sebagai tempat bercantolnya rasa ragu itu pasti sudah ada
terlebih dahulu.14
Dengan demikian bisa dikatakan bahwa kepastian akan eksistensi
kita bisa dicapai dengan berpikir.15 Dan akhirnya muncul lah ungkapan
Descartes kemudian mengatakan “cogito ergo sum” (aku adak karena aku
perpikir), atau kalau dalam bahasa aslinya dikatakan “je pense donc je
suis” (aku berpikir maka aku ada). Karena sebelumnya ia bahkan
meragukan dirinya ada. Maka dengan berpikir bahwa dirinya yang benar-
benar sedang ragu, ia jadi yakin dirinya ada. Demikianlah filsafat yang
pertama (primium philosophicum) yang dijadikan semboyan oleh
Descrates.16
13 Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2007), hlm. 3014 Website Website Para Pemikir (Filsafat | Logika | Epistemologi | Irfan) di http://parapemikir.com/rene-descartes.html. akses 16/10/2010.15 Website Website Para Pemikir (Filsafat | Logika | Epistemologi | Irfan) di http://parapemikir.com/rene-descartes.html.16 Drs. Sudarsono, SH., M.Si., Ilmu Filsafat, Suatu Pengantar, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), hlm. 314.
Izzi: Pendidikan Islam dan Rasionalisme (René Descrates)
7
Karena metode ini (Le Doubt Methodique) sifatnya hanyalah
sebuah metode maka tidak berarti Descartes menjadi seorang skeptis
(peragu), menentang ilmu pengetahuan yang ada, ataupun menolak ajaran
agama. tapi Descartes ingin menunjukkan kepastian akan kebenaran yang
kokoh jelas dan terpilah melalui metode yang diperkenalkannya ini.
Descrates mengatakan bahwa kalau suatu kebenaran terhadap kesangsian
(artinya tidak disangsikan lagi), itulah kebenaran yang sesungguhnya dan
harus menjadi fondamen bagi ilmu pengetahuan.17 Demikianlah pandangan
Descrates terhadap sistem pengetahuan dengan menawarkan metode
kesangsiannya yang lebih menarik disebut “berpikir”.
Di tengah-tengah perlawanan ideologis Descartes kembali
mengajukan argumentasi yang kukuh untuk pendekatan rasional terhadap
pengetahuan. Ia berkeinginan untuk mendasarkan keyakinannya kepada
sebuah landasan yang memiliki kepastian yang mutlak. Untuk itu, ia
melakukan berbagai pengujian yang mendalam terhadap segenap yang
diketahuinya.
Dengan memutuskan bahwa jika ia menemukan suatu alasan yang
meragukan suatu kategori atau prinsip pengetahuan, maka ketegori itu
akan dikesampingkan. Ia berharap dapat menemukan sesuatu yang tidak
memiliki keraguan apa-apa. Apapun yang masih dapat diragukan maka hal
tersebut wajib diragukan. Seluruh pengetahuan yang dimiliki manusia
harus diragukan termasuk pengetahuan yang dianggap paling pasti dan
sederhana.18 Keraguan Descartes inilah yang kemudian dikenal sebagai
Keraguan Metodis Universal.
Dengan mengatakan bahwa satu-satunya hal yang tidak dapat
diragukan adalah eksistensi (keadaan ada) dirinya sendiri, Descrates
menyatakan bahwa ia tidak ragu lagi bahwa dia sedang ragu-ragu. Bahkan
17 Makalah Filsafat Barat: Zaman Modern, diunduh dari http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/pengantar_filsafat/Bab_6.pdf18 M. Ied Al Munir, Tinjauan TerhadapMetode Empirisme dan Rasionalisme, hlm. 5
Izzi: Pendidikan Islam dan Rasionalisme (René Descrates)
8
jika kemudian dia disesatkan dalam berpikir bahwa dia ada; dia berdalih
bahwa penyesatan itu pun merupakan bukti bahwa ada seseorang yang
sedang disesatkan19 (yaitu dia sendiri). Aku yang ragu-ragu adalah
kenyataan yang tidak dapat disangkal, karena apabila kita menyangkalnya
berarti kita melakukan apa yang disebut kontradiksi performatis. Dengan
kata lain, kesangsian secara langsung menyatakan adanya aku yang
kebenarannya bersifat pasti dan tidak tergoyahkan. Kebenaran tersebut
bersifat pasti karena aku mengerti itu secara jernih dan terpilah-pilah atau
dengan kata lain tidak ada kesangsian sedikit pun di dalamnya. Kristalisasi
dari kepastian Descartes diekspresikan dengan diktumnya Corgito Ergo
Sum sebagaimana yang telah pembaca temukan pada pembahasan
terdahulu.
Lebih jauh, menurut Descartes, apa yang jernih dan terpilah-pilah
itu tidak mungkin berasal dari luar diri kita. Descartes memberi contoh
dengan lilin yang apabila dipanaskan mencair dan berubah bentuknya. Apa
yang membuat pemahaman kita bahwa apa yang nampak sebelum dan
sesudah mencair adalah lilin yang sama? Mengapa setelah penampakan
berubah kita tetap mengatakan bahwa itu lilin? Jawaban Descartes adalah
karena akal kita yang mampu menangkap ide secara jernih dan gamblang
tanpa terpengaruh oleh gejala-gejala yang ditampilkan lilin.20 Ini sebentuk
kecil pikiran yang sangsi terhadap pandangan mata yang melihat lilin
dalam bentuk lain. Ia menyangkal kalau itu bukan lilin, melainkan ia
tetaplah lilin.
Atau seperti pensil yang dicelupkan setengahnya ke dalam air di
dalam gelas, ia akan terlihat bengkok/patah. Padahal ia tidak bengkok
ataupun patah. Lalu dari mana jawaban “tidak bengkok/tidak patah” itu
didapat? Jawabannya dari akal pikiran yang tak dapat ditipu. Disebabkan
19 René Descartes, The Principles of Philosophy, dalam a Discourse on Method, terj. John Veitch, (London: J.M. Dent & Sons, Ltd., 1953), hlm. 165, sebagaimana yang dikutip M. Ied Al Munir. hlm. 620 M. Ied Al Munir, Tinjauan TerhadapMetode Empirisme dan Rasionalisme, hlm. 6
Izzi: Pendidikan Islam dan Rasionalisme (René Descrates)
9
oleh penampakan dari luar yang kadang menipu dan tidak dapat dipercaya
maka seseorang lalu mencari kebenaran-kebenaran dalam dirinya sendiri
yang bersifat pasti.
Meninjau dari Fenomena kepada Teori Kesangsian dan Logika
Deduksi
René Descrates, dalam Rasionalismenya yang memperkenalkan
akal (rasio) sebagai sumber pengetahuan menawarkan metode kesangsian
terhadap penginderaan, ini ia telah ia mulai dengan menawarkan metode
yang berpegang kepada pengetahuan umum sebagai dasar pengetahuan
yang lebih khusus yang disebut metode deduksi.
Melalui jendela logika deduksi akan kita perhatikan dua
perumpamaan (lilin dan pensil) di atas, bahwa besar kemungkinan bahwa
jawabannya tidak ditentang oleh pembaca saat ini, serta secara tidak sadar
dan tanpa verifikasi telah menentang (meragukan dengan pasti) hasil
penginderaan terhadap fenomena alam (pengalaman empiris) sebagai
berikut: Dalam pengetahuan mendasar bahwa lilin tidak akan menjadi
benda lain (misalnya kue) hanya karena dipindahkan dari satu tempat ke
tempat lainnya. Maka seandainya lilin dipanaskan lalu dimasukkan ke
dalam cetakan berbentuk bola, atau dibentuk seperti batu bata ia tetaplah
lilin. Maka bagaimanapun bentuknya ia tetap lilin. Atau dari pensil yang
keras yang dikaitkan dengan air yang lunak, difahami bahwa pensil yang
keras tetaplah lurus ketika masuk ke dalam air yang lunak walaupun
terlihat bengkok/patah. Di sinilah terlihat jelas, bagaimana kesangsian
kepada penginderaan itu berlaku.
Rasionalisme Yang Bukan Anti Tuhan
Karena pemikiran-pemikirannya, Descrates tak pernah sepi dari
orang-orang yang mengecam pemikirannya, bahkan kecaman yang
terkeras datang dari almamaternya sendiri, yaitu dari Jesuit yang pernah
Izzi: Pendidikan Islam dan Rasionalisme (René Descrates)
10
mengasuhnya di sekolah La Flèche. Ajarannya dianggap sesat karena telah
menyimpang jauh dari ajaran Katolik.21
Berbeda dengan rasionalis-ateis Voltaire, Diderot dan D’Alembert,
Descartes masih memberi tempat bagi Tuhan. Descartes masih dalam
koridor semangat skolastik yaitu penyelarasan iman dan akal melalui ilmu
pengetahuan. Descartes mempertanyakan bagaimana ide tentang Tuhan
sebagai tak terbatas dapat dihasilkan oleh manusia yang terbatas?
Jawabannya jelas. Tuhanlah yang meletakkan ide tentang-Nya di benak
manusia karena kalau tidak keberadaan ide tersebut tidak bisa dijelaskan.22
Dalam mencari hakikat sesuatu, agar hakikat segala sesuatu dapat
ditentukan Descrates mempergunakan pengertian-pengertian tertentu,
yaitu: substansi, atribut (sifat dasar), dan modus. Substansi adalah apa
yang berada sedemikian rupa sehingga tidak memerlukan sesuatu yang
lain untuk berada. Substansi yagn dipikirkan seperti itu sebenarnya hanya
ada satu saja, yaitu Tuhan. Segala sesuatu yang lain hanya dapat dipikirkan
sebagai berada dengan pertolongan Tuhan. Jadi sebutan substansi
sebenarnya tidak dapat sama apa yang diberikan kepada Tuhan dan apa
yang diberikan kepada hal-hal lain.23
Atas dasar itu Descartes dikatakan termasuk dalam golongan
rasionalis yang tidak menafikan Tuhan begitu saja sebagai konsekuensi
pemikiran mereka. Kaum rasionalis pada umumnya “menyelamatkan” ide
tentang keberadaan Tuhan dengan berasumsi bahwa Tuhanlah yang
menciptakan akal kita juga Tuhan yang menciptakan dunia. Dan inilah
yang menjadi pondasi kuat para filsuf muslim dari goncangan konflik
21 Website Website Para Pemikir (Filsafat | Logika | Epistemologi | Irfan) di http://parapemikir.com/rene-descartes.html., akses 16/10/2010.22 René Descartes, Discourse on the Method of Rightly Conducting the Reason and Seeking Truth in the Science, dalam a Discourse on Method, terj. John Veitch, London, (J.M. Dent & Sons, Ltd., 1953), hlm. 28, sebagaimana yang dikutip M. Ied Al Munir, hlm. 623 Drs. Sudarsono, SH., M.Si., Ilmu Filsafat, Suatu Pengantar, hlm. 315
Izzi: Pendidikan Islam dan Rasionalisme (René Descrates)
11
batin dan konflik sosial, dan sebagai naungan dari hujan kecaman dari para
cendekiawan muslim yang kontradiktif.
Tuhan menurut kaum rasionalis adalah seorang “Matematikawan
Agung”. Matematikawan agung tersebut dalam menciptakan dunia ini
meletakkan dasar-dasar rasional, ratio, berupa struktur matematis yang
wajib ditemukan oleh akal pikiran manusia itu sendiri.24
D. Kelangsungan Hidup Prisip “Akal Budi” dalam Pendidikan Islam
Penulis ingin mengawali pembahasan ini dari luar jalur rasionalime,
yang dianggap memliki keterkaitan yang mengatakan Rasionalislme bukan
anti Tuhan.
Seorang tokoh yang terkenal karena andilnya dalam ilmu pengetahuan
modern, muncul dengan karya-karya yang menentang teori Evolusi Charles
Darwin dala buku “The Origin of Species” tentang asal usul kehidupan. Tokoh
dengan nama asli Adnan Hoca25 ini tidak sependapat dengan Darwin yang
mengatakan alam ini terjadi (keberdadaannya) dengan sendirinya sebagai
sebuah peristiwa tak terencana (kebetulan). Dengan kata lain Darwin
meniadakan keberadaan Tuhan dengan berdalilkan ilmu pengetahuan yang
dikembangkan dari pemikirannya. Melalui jalur arkeologi mengandalkan
temuan-temuan fosil yang menggambarkan kehidupan pada masa lampau.
Adnan Hoca, dengan nama pena Harun Yahya adalah laki-laki
berkebangsaan Turki yang menentang Darwin dengan teorinya creationism
(kreasionisme) alias teori “ciptaanisme”.26 Dalam koridor ilmu pengetahuan
juga ia mengembangkan pemikirannya yang menakjubkan tentang hakekat
keberadaan alam semesta yang begitu terorganisir. Maka dengan senang, itu
24 Adian, Donny Gahral, Menyoal Objektivisme Ilmu Pengetahuan dari David Hume Sampai Thomas Kuhn, Jakarta: PT. Gramedi Pustaka Utama, 2002), hlm. 47, sebagaimana yang dikutip M. Ied Al Munir25 Website Wikipedie: Ensiklopedia Bebas di http://id.wikipedia.org/wiki/Harun_Yahya, akses tanggal 19/10/201026 Website Wikipedie: Ensiklopedia Bebas di http://id.wikipedia.org/wiki/Harun_Yahya
Izzi: Pendidikan Islam dan Rasionalisme (René Descrates)
12
disesebutnya sebagai penciptaan alam semesta untuk menegaskan “keberadaan
Tuhan”.
Dalam teorinya yang juga dikenal dengan sebutan “Perancangan
Cerdas”, ia mengatakan bahwa ciri-ciri tertentu pada alam semesta dan
makhluk hidup merupakan hasil dari suatu sebab yang intelijen (cerdas),
bukan oleh proses tak termbimbing (kebetulan) seperti seleksi alam.
Perancangan cerdas merupakan bentuk modern dari argumen teologis tentang
keberadaan Tuhan, dengan menghindari pendeskripsian sifat-sifat maupun
identitas sang perancang. Untuk itu ia menyibukkan teori ini pada logika
peristiwa penciptaan alam semesta untuk meruntuhkan teori evolusi. Gagasan
ini dikembangkan oleh sekelompok kreasionis Amerika yang
memformulasikan ulang argumen mereka untuk menyiasati putusan
pengadilan Amerika Serikat yang melarang pengajaran ciptaanisme sebagai
sains.27
Sepenggal tentang tokoh muslim dapat melukiskan kesangsian “unik”
kepada Darwinisme tentang klaimnya pada keberadaan alam. Sang tokoh
menananamkan prisip “kesangsian” terhadap pengetahuan yang telah ada
sebelumnya tentang adanya dan pernciptaannya. Ini adalah jalan yang disebut
“berpikir” untuk menemukan kebenaran yang memuaskan yang lebih dari
sekedar “acuan”, sekaligus sebagai pebuktian kepada “acuan” bernama
“wahyu”.
Untuk memperindah kata “kesangsian”, penulis menawarkan kata
“kritis” mungkin cukup membantu dalam menyelami metode Descrates ini ke
dalam sudut pandang yang mungkin ia maksudkan. Sehingga, meragukan
sesuatu dapat diartikan berpikir tentangnya.
27 Website Wikipedie: Ensiklopedia Bebas di http://id.wikipedia.org/wiki/Perancangan_cerdas akses tanggal 19/10/2010
Izzi: Pendidikan Islam dan Rasionalisme (René Descrates)
13
Kata “kritis” terhadap validitas lama yang dikatikan dengan metode
“kesangsian” inilah yang kemudian melahirkan aliran “kritikisme”. Sebab
bukankah “kesangsian” juga tidak sepenuhnya dapat lepas dari kritik?
Sebenarnya para ilmuwan modern termasuk Hoca, bukan berpegang
sepihak hanya pada rasionalisme, namun sebagian besar ilmuwan abad akhir
adalah penganut keduanya, mungkin dapat diartikan sebagai penganut
“kritikisme” atau yang lebih dikenal dengan sebutan “sintetisme” sebagai
jembatan atau perpaduan bagi pertentangan antara rasionalisme dan
empirisme. Inilah “kritikisme” yang penulis maksud pada bagian terdahulu.
Immanuel Kant (1724-1804) yang mencoba memberikan penyelesaian
bagi pertarungan antara rasionalisme dan empirisme yang kemudian
melahirkan “Sintetisme” dengan berdasar teori “dua syarat dasar” dalam
pengetahuan, yang pertama bersifat umum dan perlu mutlak dan yang kedua
memberi pengetahuan baru.28
Kant menganggap empirisme tidak dapat bersifat umum dan mutlak, ia
hanya memberikan putusan-putusan empiri sebagai pengetahuan baru.
Sebaliknya rasionalisme memberikan putusan-putusan analistis melalui
pengetahuan umum dan mutlak, namun tak dapat memberikan pengetahuan
baru. Jadi “kritikisme” dapat dikatakan sebagai pintu masuk bagi rasionalisme
ke dalam dunia (pendidikan) Islam.
Mengarah lebih fokus kepada rasionalisme dalam pendidikan Islam,
kembali penulis mendapatkan informasi untuk gagasan tulisan ini yang
bersumbar dari sebuah tulisan milik M. Sahrul Murajjab. Dalam uraiannya
yang lumayan panjang dengan judul “Rasionalisme Dalam Pendidikan Islam:
Studi Awal Pemikiran Yūsuf al-Qaradlāwi”, ia mengemukakan problematika
dalam dunia pendidikan islam terkait rasionalisme.
28 Drs. Sudarsono, SH., M.Si., Ilmu Filsafat, Suatu Pengantar, hlm. 325.
Izzi: Pendidikan Islam dan Rasionalisme (René Descrates)
14
Sahrul mengatakan bahwa isu mengenai rasionalisme dalam
pendidikan Islam telah menjadi perbincangan yang cukup intens dikalangan
pemerhati dan pelaku pendidikan Islam. Ia mengatakan, bahwa dengan
mengambil makna umum “rationality” sesuai bahasa asalnya, rationalism
(rasionalisme) akan diartikan sebagai penggunaan kemerdekaan berfikir yang
kritis dan analitis dalam melakukan pembelajaran, penelitian dan pencarian
kebenaran dengan menghindari fanatisme terhadap ide-ide yang pernah ada
sebelumnya.29
Dalam beberapa literatur dijumpai banyak kritik yang dilontarkan para
pakar pendidikan mengenai problem rasionalisme dalam pendidikan Islam.
Para pengamat pendidikan dari kalangan Islam secara umum mengakui bahwa
dalam prakteknya, pendidikan Islam saat ini banyak mengalami kemunduran
dan melenceng dari garis yang diidealkan oleh Islam sendiri. Salah satu
indikasinya adalah bahwa dalam praktek belajar-mengajar, berbagai lembaga
pendidikan muslim di dunia telah mengabaikan pendekatan kritis, rasional dan
analitis (critical, rational and analytical approach).
Pengabaian rasionalitas ini menurutnya merupakan satu dari dua
kekeliruan ekstrim dalam sebuah kerja intelektual, yakni meninggalkan fungsi
akal (no use), yang sejajar dengan kesalahan ekstrim lainnya yaitu
menyalahgunakan akal (misuse).30 Kenyataan ini juga berbeda dengan apa
yang pernah tercatat dalam sejarah Islam pada masa Dinasti `Abbasiyah
dimana halaqah-halaqah yang ada di masjid-masjid Baghdad pada masa itu
para syaikh (guru) yang mengajar melibatkan murid-muridnya dalam diskusi.
Debat bahkan juga diadakan untuk mengasah kemampuan murid,31 untuk
29 M. Sahrul Murajjab, Rasionalisme Dalam Pendidikan Islam: Studi Awal Pemikiran Yusuf Al-Qaradlāwi, pada Website Akademi Islam di http://akademiislam.wordpress.com/2010/08/30/rasionalisme-dalam-pendidikan-islam-studi-awal-pemikiran-yusuf-al-qaradlawi/, akses 19/10/201030 Israr Ahmad Khan, Towards Understanding Islamic Paradigm of Educatio. sebagaimana yang dikutip M. Sahrul Murajjab dalam tulisannya di http://akademiislam.wordpress.com/2010/08/30/rasionalisme-dalam-pendidikan-islam-studi-awal-pemikiran-yusuf-al-qaradlawi/31 Charles M. Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam, terj. oleh H. Afandi & Hasan Asari dari aslinya berjudul “Higher Learning in Islam: The Classical Period, A.D 700-1300”, (Jakarta:
Izzi: Pendidikan Islam dan Rasionalisme (René Descrates)
15
menemukan ide-ide baru sebagai solusi bagi masalah-masalah pada masa yang
akan datang.
Sementara itu dari sebagian kalangan pakar pendidikan yang lain,
khususnya dari kalangan Barat, melihat bahwa ”ada yang salah” dengan
konsep-konsep pendidikan Islam yang seakan menolak rasionalisme, terutama
rasionalisme liberal peradaban Barat. John M. Halstead, seorang professor
pendidikan asal Inggris, dalam sebuah kajiannya menyimpulkan bahwa
konsep pendidikan Islam secara umum sangat tidak rasional. Ia menyatakan
bahwa “Independence of thought and personal autonomy do not enter into the
Muslim thinking about education, which is more concerned with the
progressive initiation of pupils into the received truths of the faith.”32, yang
artinya: “Kemerdekaan berpikir dan otonomi pribadi tidak masuk ke
pemikiran muslim tentang pendidikan, yang lebih berkaitan dengan inisiasi
progresif murid ke dalam kebenaran yang diterima dari iman.”
Halstead memang berlebihan, sehingga ia rentan terhadap kontradiksi
dari kalangan sarjana muslim, seperti dilakukan oleh dua orang professor
pendidikan asal Iran, Khosrow Bagheri dan Zohreh Khosravi, yang berhasil
membuktikan melalui salah satu kajian kritisnya terhadap pendapat Halstead
bahwa secara konseptual sistem pendidikan Islam sangat mempertimbangkan
rasionalitas, meskipun tentu saja sangat berbeda dengan konsep rasionalitas
dalam konsep Liberalisme Barat.
Letak perbedaannya, rasionalisme dalam pendidikan Islam tidak
dibiarkan bebas-lepas tanpa batas laiknya dalam tradisi Barat-Liberal.
Sehingga perlu digarisbawahi bahwa makna berfikir menggunakan rasio ini
dalam artian kemampuan untuk berfikir guna membedakan yang baik dari
yang buruk,33 bukan kebebasan berikir tanpa batas.
Logos Publishing House, 1994) , hlm. 37. sebagaimana yang dikutip M. Sahrul Murajjab.32 J.M. Halstead, “An Islamic Concept of Education: Comparative Education Journal, 40, no.4 (2004):519 Sebagaimana yang dikutip M. Sahrul Murajjab.33 Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Concept of Education in Islam, hal. 1-3. Adalah makalah yang dibacakan sebagai sambutan kunci (keynote address) pada “First World Conference on
Izzi: Pendidikan Islam dan Rasionalisme (René Descrates)
16
Sebagai seorang tokoh Muslim abad modern yang juga dianggap
sebagai seorang pembaharu, Yūsuf al-Qaradlāwi secara tegas menolak jika
Islam diklaim menghalangi rasionalisme atau kemajuan ilmu pengetahuan.
Menurutnya, ilmu dan akal justru mendapat tempat yang cukup tinggi dalam
Islam. Tokoh yang berkebangsaan Mesir yang lahir Kairo ini mengatakan
bahhwa di dalam Islam akal menjadi prasyarat utama adanya taklīd. Tanpa
adanya akal, taklīd dengan sendirinya juga tidak akan pernah ada. Dengan kata
lain, pengabaian akal akan mejatuhkan derajat manusia menjadi hewan.34
Penghormatan terhadap akal dan rasionalitas tersebut juga diturunkan
dalam konsep pendidikan. Bentuk lain dari penghargaan terhadap akal dan
rasionalitas dalam proses pendidikan Islam adalah didorongnya para peserta
didik untuk tidak merasa segan ataupun enggan bertanya kepada “pengajar”
jika mendapati hal-hal yang belum jelas atau masih mengganggu pikiran
mereka. Cara atau pendekatan seperti ini sebagai klarifikasi bahwa metode
rasionalisme tidak relevan dalam mendidikan Islam. Namun, meski memberi
kewenangan kepada murid untuk menyempaikan pendapatnya dihadapan
guru, al-Qaradlāwi juga mengingatkan keharusan penghormatan terhadap
seorang guru. Dalam pandangannya, kewajiban penghormatan kepada seorang
guru bisa disejajarkan dengan penghormatan terhadap orang tua kandung si
murid atau lebih.35
Al-Qaradlāwi mengkritik keras “nalar mitos” (aqliyah khurāfiyah)
yang tanda-tandanya adalah menerima begitu saja setiap apa yang didengar
yang datang dari orang-orang terhormat, guru, tokoh agama atau dari berbagai
tradisi lama. Lawannya yang harus dikembangkan adalah sikap “nalar rasional
objektif” (aqliyah ilmiyah mawdlū`iyyah).
Muslim Education” di Makkah, 1977, sebagaimana yang dikutip M. Sahrul Murajjab dari http://www.mef-ca.org/files/attas-text-final.pdf, (akses terakhir Maret 2010)34 M. Sahrul Murajjab, Rasionalisme Dalam Pendidikan Islam: Studi Awal Pemikiran Yusuf Al-Qaradlāwi, pada Website Akademi Islam di http://akademiislam.wordpress.com/2010/08/30/rasionalisme-dalam-pendidikan-islam-studi-awal-pemikiran-yusuf-al-qaradlawi/, akses 19/10/201035 Yusuf al-Qaradlāwi, Al-Rasūl wa al-`Ilm, hlm. 103-104, sebagaimana yang dikutip M. Sahrul Murajjab.
Izzi: Pendidikan Islam dan Rasionalisme (René Descrates)
17
Rasionalisme ini, menurut al-Qaradlāwi memiliki lima prinsip penting
yaitu: 1) Perlunya pembuktian ilmiyah terhadap sebuah klaim ilmu/kebenaran;
2) Tidak tergesa-gesa dengan praduga; 3) Tidak mengedepankan emosi dan
subjektifitas; 4) Menghindari taklid buta dan mental mengekor; serta 5)
Membiasakan aktifitas berfikir dan olah akal.36
E. Penutup
Dalam tulisan ini penulis ingin menghubungkan bebearpa, orang yaitu:
“René Descrates” (sang Bapak Filsafat Modern berkebangsaan Perancis),
“Adnan Hoca” alias “Harun Yahya” (ilmuwan beragama islam dari Ankara,
Turki), dan Yūsuf al-Qaradlāwi (cendekiawan muslim kelahiran Shafth
Turaab, Kairo, Mesir, 9 September 1926).
“René Descrates” mengumumkan raionalismenya yang bukan anti
Tuhan. Dan untuk menjelaskan apa yang dapat dipahami oleh penulis tentang
“kaitan”nya dengan “Immanuel Kant”, lalu menampilkan ilmuwan Muslim
“Harun Yahya” yang menyangsikan sekaligus membantah teori Evolusi
“Darwin” penapi Tuhan. Hoca memilih membuktikan “Keberadaan Tuhan”
bukan sekedar melalui “Wahyu” tapi lebih jauh melalui telaah rasional yang
kritis dengan pendekatan ilmiah terhadap “Kebaradaan Alam”. Dan dengan
harapan dapat menggambarkan “Bagaimana Kehidupan Rasionalisme dalam
Islam”, terakhir penulis menyebut “Yūsuf al-Qaradlāwi” yang menolak klaim
bahwa pendidkan Islam menapikan rasionalisme.
Rasionalisme telah diterima secara meluas dalam berbagai disiplim
ilmu oleh karena andilnya yang sedikit merombak tradisi lama dengan
menawarkan metode baru yang lebih kritis. Namun demikian, dalam
prakteknya di dunia (pendidikan) Islam, rasionalitas belum sepenuhnya
diberikan ruang.
36 Yusuf al-Qaradlāwi, Al-Rasūl wa al-`Ilm, hlm. 38-40, sebagaimana yang dikutip M. Sahrul Murajjab.
Izzi: Pendidikan Islam dan Rasionalisme (René Descrates)
18
Islam bukan agama yang menolak total rasionalisme. Islam adalah
agama ilmu, agama rasional dan “agama akal”. Ilmu, rasionalitas dan akal
sangat dihormati dalam Islam.
Dalam penddidikan Islam dengan berbagai konsep dan ajarannya,
rasionalisme dan akal manusia mendapat perhatian besar, meskipun dengan
catatan bahwa rasionalisme yang disokong bukanlah rasionalisme yang
kebablasan sebagaimana dalam pandangan Barat. Sayangnya, rasionalisme
yang sedemikian dijunjung tinggi dalam Islam kemudian menjadi sebuah
ironi, karena dianggap sebagai ancaman bagi keutuhan Islam.
Dunia pendidikan Islam pada selama abad terakhir mengalami krisis.
Dominasi aktivitas yang seakan menggeser pendekatan rasional, kritis dan
analitis dalam proses kegiatan ilmiah. Kenyataan ini menjadi objek perhatian
bagi sejumlah cendekiawan muslim, salah satunya Yūsuf al-Qaradlāwi, salah
satu tokoh otoritatif di dunia Islam abad ini. Bersumber dari al-Qur’an dan
Hadits Nabi SAW yang dikuasainya, serta sejumlah “pengalaman” yang
diwariskan oleh orang-orang yang sangat yang berpengaruh pada perjalanan
intelektualnya seperti Hasan al-Banna, al-Qaradlāwi cukup berhasil
mendudukan “rasionalisme Islam” yang seharusnya ditegakkan kembali dalam
bidang pendidikan Islam.
Rasionalisme memberikan sumbangan yang cukup berharga bagi
pendidikan Islam dalam mengembangkan pengetahuan. Bukan membuat Islam
runtuh ataupun pudar validitas ajarannya, tapi sebagai bentuk usaha pencarian
atas hakikat kebenaran itu sendiri. Dengan demikian, seiring zaman
pendidikan Islam diharapkan semakin menemukan jalannya dalam menguak
kebenaran yang masih tersembunyi dalam Islam itu sendiri. Fa’taibiruu yaa
ulil albaab, wallahu a’lam.
Demikian penulis mengakhiri tulisan ini, dengan mengharap
sumbangsih berupa kritik dan saran yang membangun dari pembaca. Guna
Izzi: Pendidikan Islam dan Rasionalisme (René Descrates)
19
bersama-sama menemukan hal-hal yang lebih baik dengan berangkat dari
“berpikir”.
Izzi: Pendidikan Islam dan Rasionalisme (René Descrates)
20
Daftar Pustaka
Adian, Donny Gahral, 2002 Menyoal Objektivisme Ilmu Pengetahuan dari David Hume Sampai Thomas Kuhn, Jakarta: PT. Gramedi Pustaka Utama.
Ali Mudhofir, 2001, Kamus Filsafat Barat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Artikel, Tinjauan TerhadapMetode Empirisme dan Rasionalisme, oleh: M. Ied Al Munir (Dokumen Pdf), diunduh dari http://jurnal.filsafat.ugm.ac.id/index.php/jf/article/viewFile/56/54, akses 16/10/2010.
Charles M. Stanton, 1994, Pendidikan Tinggi dalam Islam, terj. oleh H. Afandi & Hasan Asari dari aslinya berjudul “Higher Learning in Islam: The Classical Period, A.D 700-1300”, Jakarta: Logos Publishing House
Israr Ahmad Khan, Towards Understanding Islamic Paradigm of Education.
J.M. Halstead, “An Islamic Concept of Education: Comparative Education Journal, 40, no.4 (2004):519
Jujun S. Suriasumantri, 2007, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Lacey, A.R., 2000, A Dictionary of Philosophy, New York: Routledge.
M. Sahrul Murajjab, Rasionalisme Dalam Pendidikan Islam: Studi Awal Pemikiran Yusuf Al-Qaradlāwi, pada Website Akademi Islam di http://akademiislam.wordpress.com/2010/08/30/rasionalisme-dalam-pendidikan-islam-studi-awal-pemikiran-yusuf-al-qaradlawi/, akses 19/10/2010
Makalah Filsafat Illmu: Konstruksi Epistemologi Sir Francis Bacon,oleh: Ach. Khatib, S.Pd.I, PI-MKPI PPs UIN Sunan Klijaga Yogyakarta.
Makalah: Filsafat Barat:Zaman Modern, diunduh dari http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/pengantar_filsafat/Bab_6.pdf.
René Descartes, 1953, Discourse on the Method of Rightly Conducting the Reason and Seeking Truth in the Science, dalam a Discourse on Method, terj. John Veitch, London: J.M. Dent & Sons, Ltd.
René Descartes, 1953, The Principles of Philosophy, dalam a Discourse on Method, terj. John Veitch, London: J.M. Dent & Sons, Ltd.
Izzi: Pendidikan Islam dan Rasionalisme (René Descrates)
21
Sudarsono, Drs., SH., M.Si., 2008, Ilmu Filsafat, Suatu Pengantar, Jakarta: Rineka Cipta.
Syed Muhammad Naquib al-Attas, 1977, The Concept of Education in Islam, hal. 1-3. (Makalah yang dibacakan sebagai sambutan kunci (keynote address) pada “First World Conference on Muslim Education” di Makkah)
Website Wikipedia: Ensiklopedia Bebas di http://id.wikipedia.org/wiki/Filsafat#Filsafat_Barat, akses 18/10/2010.
Website Wikipedie: Ensiklopedia Bebas di http://id.wikipedia.org/wiki/Harun_Yahya, akses tanggal 19/10/2010
Website Wikipedie: Ensiklopedia Bebas di http://id.wikipedia.org/wiki/Perancangan_cerdas akses tanggal 19/10/2010
Yusuf al-Qaradlāwi, Al-Rasūl wa al-`Ilm.
Izzi: Pendidikan Islam dan Rasionalisme (René Descrates)