repository.utu.ac.idrepository.utu.ac.id/1139/1/BAB I_V.docx · Web viewBerdasarkan DKP Provinsi...
Transcript of repository.utu.ac.idrepository.utu.ac.id/1139/1/BAB I_V.docx · Web viewBerdasarkan DKP Provinsi...
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Nelayan adalah orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam operasi
penangkapan ikan atau hewan air lainnya atau tanaman air (Direktorat Jenderal
Perikanan Tangkap, 2010). Tingkat kesejahteraan nelayan sangat ditentukan oleh
hasil tangkapan. Oleh karena itu, nelayan memerlukan teknologi penangkapan yang
efektif dalam rangka memaksimalkan hasil tangkapan sehingga dapat meningkatkan
taraf hidup nelayan.
Sumberdaya ikan yang memiliki potensi dan nilai ekonomis cukup tinggi di
Aceh Barat di antaranya adalah ikan pelagis, dimana nelayan di Kabupaten Aceh
Barat menggunakan teknologi alat bantu rumpon. Penggunaan teknologi rumpon
dapat memaksimalkan hasil tangkapan. Sebagaimana yang dijelaskan Taquet (2011)
dalam Konferensi Internasional di Tahiti “Tuna fisheries and FADs”, program
rumpon (Fish Aggregating Device/FAD) memiliki manfaat seperti 1) meningkatkan
efisiensi penangkapan; 2) meningkatkan Catch Per Unit Effort (CPUE); 3)
meminimumkan biaya penangkapan (terutama bahan bakar minyak).
Pemanfaatan rumpon oleh nelayan PPI Ujong Baroh sebagai alat bantu
penangkapan ikan seperti dengan alat tangkap pukat cincin (purse seine), payang
maupun alat tangkap pasif seperti pancing.
Nelayan di PPI Ujong Baroh masih didominasi oleh nelayan skala kecil.Menurut
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No 57 Tahun 2014, nelayan kecil adalah
orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari yang menggunakan kapal perikanan berukuran paling
besar 5GT.
Pendapatan nelayan diperoleh melalui dua cara yaitu sistem upah dan sistem bagi
hasil. Pemberlakuan kedua sistem ini ditentukan oleh adat, kebiasaan setempat dan
pemilik kapal. Pada sistem upah, pendapatan nelayan cenderung cukup baik pada saat
1
musim panen ataupun musim paceklik (musim angin barat). Menurut nelayan sistem
upah memiliki keuntungan yaitu nilai pendapatan yang tetap dan tidak mengalami
perubahan pada saat musim paceklik. Kerugian yang didapat nelayan dengan sistem
upah adalah pendapatan cenderung tetap pada saatharga ikan tinggi (Muhartono et
al., 2007).
Perjanjian bagi hasil adalah perjanjian yang sediakan dalam usaha penangkapan
ikan, menurut perjanjian tersebut masing-masing menerima bagian dari hasil usaha
berdasarkan imbangan yang telah disetujui sebelumnya. Menurut Muhartono et al.,
(2007) bagi hasil yang terjadi selama ini adalah setiap pembagian hasil usaha dari
tahun petama sampai tahun terakhir, dimana proporsi tingkat pendapatan nelayan
cenderung sangat kecil bila dibandingkan dengan pendapatan juragan. Hal ini tidak
sesuai atau tidak sebanding dengan usaha keras yang dilakukan nelayan.
Berdasarkan permasalahan di atas, penelitian ini sangat penting dilakukan untuk
mengkaji pendapatan dan pola bagi hasil nelayan pukat payang yang menggunakan
alat bantu rumpon di PPI Ujong Baroh Kabupaten Aceh Barat.
1.2. Perumusan Masalah
Masalah yang muncul adalah:
1. Bagaimanakah tingkat pendapatan nelayan pukat payang yang menggunakan alat
bantu rumpon di PPI Ujong Baroh Kabupaten Aceh Barat?
2. Bagaimanakah sistem pola bagi hasil nelayan pukat payang yang menggunakan
alat bantu rumpon di PPI Ujong Baroh Kabupaten Aceh Barat?
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui tingkat pendapatan nelayanpukat payang yang menggunakan alat
bantu rumpondi PPI Ujong Baroh Kabupaten Aceh Barat.
2
2. Mengetahui pola bagi hasil nelayan pukat payang yang menggunakan alat bantu
rumpon di PPI Ujong Baroh Kabupaten Aceh Barat.
1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi nelayan
pukat payang yang menggunakan alat bantu rumpon untuk mengembangkan unit
usaha penangkapan ikan.
2. Hasil penelitian diharapkan bisa memberi gambaran mengenai kondisi
pendapatan dan pola bagi hasil nelayan pukat payang yang menggunakan alat
bantu rumpon di PPI Ujong Baroh Kabupaten Aceh Barat.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Rumpon
Penggunaan rumpon tradisional di Indonesia banyak ditemukan di daerah
Mamuju (Sulawesi Selatan) dan Jawa Timur, rumpon banyak digunakan di Indonesia
pada tahun 1980 dan negara yang sudah mengoperasikan rumpon diantaranya Jepang,
Philipina, Srilanka, Papua Nugini dan Australia (Monintja, 1992).
Rumpon merupakan salah satu alat bantu penangkapan yang digunakan oleh
nelayan di Aceh Barat. Istilah lain rumpon dikenal di Meulaboh dengan nama unjam,
sedangkan fungsi dari rumpon ini untuk memikat ikan agar berkumpul di satu daerah
penangkapan.
Rumpon ialah alat bantu penangkapan ikan yang berfungsi untuk memikat ikan
agar berkumpul di wilayah penangkapan ikan dimana rumpon tersebut dipasang.
Tujuan pemasangan rumpon yaitu untuk memikat ikan agar singgah dan berkumpul
di sekitar rumpon sehingga dapat mempermudah nelayan untuk menentukan wilayah
atau daerah penangkapannya (Jungjunan, 2010).
Menurut Jungjunan (2010) menyatakan bahwa manfaat penggunaan rumpon
sebagai alat bantu penangkapan ikan adalah mengurangi waktu dan bahan bakar
dalam pengejaran kelompok ikan, meningkatkan hasil tangkapan per satuan upaya
penangkapan, meningkatkan hasil tangkapan ditinjau dari spesies dan komposisi
ukuran.
Efektivitas rumpon diukur dengan jumlah hasil tangkapan dimana penangkapan
ikan di sekitar rumpon tergolong baik, hal ini dikarenakan terhadap hasil tangkapan
nelayan dengan menggunakan rumpon umumnya lebih banyak dibandingkan dengan
nelayan yang tidak mengunakan rumpon (Jeujanan, 2008).
Jenis-jenis rumpon terdiri atas rumpon hanyut dan rumpon menetap (Jeujanan,
2008):
4
1. Rumpon hanyut adalah rumpon yang ditempatkan tidak menetap, tidak dilengkapi
dengan jangkar dan hanyut mengikuti arah arus.
2. Rumpon menetap adalah rumpon yang ditempatkan secara menetap dengan
menggunakan jangkar atau pemberat, yang terdiri dari:
- Rumpon permukaan, merupakan rumpon menetap yang dilengkapi dengan
atraktor yang ditempatkan dipermukaan perairan untuk mengumpulkan ikan
pelagis.
- Rumpon dasar, merupakan rumpon menetap yang dilengkapi dengan atraktor
yang ditempatkan di dasar perairan untuk mengumpulkan ikan demersal.
Ada beberapa asumsi atau teori mengapa ikan senang berada di sekitar rumpon
(Wahyudin, 2007):
1. Rumpon tempat berkumpulnya plankton dan ikan kecil lainnya sehingga
mengundang ikan-ikan yang lebih besar untuk tujuan feeding.
2. Merupakan suatu tingkah laku dari berbagai jenis ikan untuk berkelompok
disekitar kayu terapung seperti jenis-jenis tuna dan cakalang. Dengan demikian,
tingkah laku ini dimanfaatkan untuk tujuan penangkapan.
Kepadatan gerombolan ikan pada rumpon diketahui oleh nelayan berdasarkan
buih atau gelembung-gelembung udara yang timbul di permukaan air, warna air yang
gelap karena pengaruh gerombolan ikan atau banyaknya ikan kecil yang bergerak di
sekitar rumpon (Wahyudin, 2007).
MenurutWahyudin (2007) tujuan penggunaan rumpon adalah:
1. Meningkatkan produksi perikanan.
2. Meningkatkan produksi perikanan komersial.
3. Lokasi produksi akuakultur.
4. Lokasi rekreasi pancing.
5. Mengontrol daya recruitment sumberdaya ikan.
5
Gambar 1. Rumpon (Boa, 2013)
2.2. Alat Tangkap yang Menggunakan Rumpon
Zulkarnain (2002) menyatakan bahwa jenis rumpon terdiri dari rumpon laut
dangkal dan rumpon laut dalam. Alat tangkap yang digunakan untuk rumpon laut
dangkal adalah pukat payang, gillnet (jaring insang). Jenis ikan yang tertangkap di
rumpon laut dangkal adalah ikan-ikan pelagis kecil. Sedangkan alat tangkap yang
digunakan untuk rumpon laut dalam adalah rawai tuna, pole and line, pancing ulur,
dan pukat cincin. Adapun jenis ikan yang tertangkap di rumpon laut dalam adalah
jenis-jenis ikan pelagis besar.
2.2.1. Pukat Payang
Payang termasuk kedalam klasifikasi pukat kantong. Payang adalah pukat
kantong lingkar yang secara garis besar terdiri dari bagian kantong, badan/perut dan
kaki/sayap. Payang mempunyai bagian atas mulut jaring yang menonjol kebelakang.
Hal ini dikarenakan payang tersebut umumnya untuk menangkap jenis-jenis ikan
pelagis yang biasanya hidup dibagian atas air yang mempunyai sifat cenderung lari
kelapisan bawah bila telah terkurung jaring. Pada bagian bawah kaki atau sayap dan
mulut jaring diberi pemberat, sedangkan pada bagian atas pada jarak tertentu diberi
pelampung. Pelampung yang berukuran paling besar ditempatkan dibagian tengah
6
mulut jaring. Pada kedua ujung depan kaki/sayap disambung dengan taki panjang
yang umumnya tali selambar (Siska, 2011). Desain alat tangkap payang dapat dilihat
pada gambar 2.
Gambar 2. Pukat payang (Subani dan Barus, 1989 diacu dalam Siska, 2011)
Penangkapan dengan pukat payang dapat dilakukan baik pada malam maupun
pada siang hari. Pada malam hari terutama hari-hari gelap (tidak dalam keadaan
terang bulan), penangkapan ikan dibantu menggunakan lampu petromak. Sedangkan
penangkapan yang dilakukan pada siang hari menggunakan alat bantu rumpon.
Namun, penangkapan ikan kadang kala tanpa alat bantu rumpon, yaitu dengan cara
menduga-duga ditempat banyaknya ikan/mencari gerombolan ikan (Subani dan
Barus, 1989 diacu dalam Siska, 2011).
Hasil tangkapan payang terutama jenis-jenis ikan pelagis kecil, seperti ikan
layang, selar, kembung, lemuru, tembang dan japuh. Hasil tangkapan sangat
tergantung pada keadaan daerah dan banyak sedikitnya ikan yang berkumpul di
sekitar rumpon (Siska, 2011). Menurut Siska (2011) jenis ikan yang menjadi tujuan
penangkapan dengan payang adalah ikan yang hidup bergerombol pada lapisan
permukaan perairan, baik yang bergerombol dalam jenis yang sama ataupun dalam
jenis berbeda ukuran sama.
7
2.3. Metode dan Teknik Pengoperasian Pukat Payang
2.3.1. Metode Pengoperasian
Payang berbadan jaring panjang dioperasikan melingkari gerombolan ikan yang
berada dipermukaan perairan dengan menggunakan tali selambar yang panjang.
Penarikan tali selambar dengan tujuan untuk mengangkat dan menarik pukat kantong
payang keatas geladak kapal. Penarikan selambar dilakukan dengan atau tanpa
menggunakan mesin penangkapan (fishing machinery). Pengoperasian pukat kantong
payang dilaksanakan dengan tidak menghela (dragging) payang dibelakang kapal
atau tidak secara penghelaan (SNI, 2005).
2.3.2. Teknik Pengoperasian
1. Penurunan jaring (setting)
Berdasarkan SNI (2005) teknik penurunan jaring (setting) pukat payang
adalah:
Penurunan jaring dilaksanakan dari salah satu sisi lambung bagian buritan
kapal, dengan gerakan maju kapal membentuk lingkaran yang bertujuan
melingkari gerombolan ikan sesuai dengan panjang tali selambar (50m-100m)
dengan kecepatan kapal anatar 1 knot-1,5 knot. Penggunaan sayap jaring atau
tali selambar yang panjang dengan tujuan untuk memperoleh lingkaran payang
yang besar, dan jarak liputan/tarikan payang yang panjang.
2. Penarikan dan pengangkatan jaring (hauling)
Berdasarkan SNI (2005) teknik penarikan dan pengangkatan jaring (hauling)
pukat payang adalah:
Penarikan dan pengangkatan jaring dilakukan dari sisi lambung kapal
atauburitan kapal tanpa atau dengan menggunakan mesin bantu penangkapan
(fishing machinery) dan kedudukan kapal berlabuh jangkar atau kedudukan
kapal terapung (drifting), agar supaya tidak terjadi gerakan mundur kapal yang
8
berlebihan, diupayakan kapal bergerak maju dengan kecepatan kapal yang lambat,
sesuai beban/kecepatan penarikan payang.
2.4. Nelayan
Nelayan adalah orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam operasi
penangkapan ikan/binatang air lainnya/tanaman air. Orang yang hanya melakukan
pekerjaan seperti membuat jaring mengangkut alat-alat perlengkapan kedalam
perahu/kapal tidak dimasukkan sebagai nelayan. Tetapi ahli mesin dan juru masak
yang bekerja di atas kapal penangkap ikan dimasukkan sebagai nelayan walaupun
mereka tidak secara langsung melakukan penangkapan (Direktorat Jenderal
Perikanan Tangkap, 2010).
Menurut Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (2010) nelayan dapat
diklasifikasikan berdasarkan waktu yang digunakan untuk melakukan pekerjaan
operasi penangkapan:
1. Nelayan penuh yaitu nelayan yang seluruh waktu kerjanya digunakan untuk
melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan/binatang air lainya/tanaman air.
2. Nelayan sambilan utama yaitu nelayan yang sebagian besar waktu kerjanya
digunakan utuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan/binatang air
lainnya/tanaman air. Di samping melakukan pekerjaan penangkapan, nelayan
kategori ini dapat pula mempunyai pekerjaan lain.
3. Nelayan sambilan tambahan yaitu nelayan yang sebagian kecil waktu kerjanya
digunakan untuk melakukan pekerjaan penangkapan ikan.
Menurut Sujarno (2008) faktor yang mempengaruhi pendapatan nelayan meliputi
faktor sosial dan ekonomi yang terdiri dari modal, jumlah perahu,pengalaman melaut,
jarak tempuh melaut, jumlah tenaga kerja. Dengan demikian pendapatan nelayan
berdasarkan besar kecilnya volume tangkapan, masih terdapat beberapa faktor yang
lainnya yang ikut menentukan keberhasilan nelayan yaitu faktor sosial dan ekonomi
selain tersebut diatas.
9
Di Indonesia para nelayan biasanya bermukim di daerah pinggir pantai atau
pesisir laut. Komunitas nelayan adalah kelompok orang yang bermata pencaharian
hasil laut dan tinggal didesa-desa pantai atau pesisir (Sujarno, 2008).
Ciri komunitas nelayan dapat dilihat dari berbagai segi, sebagai berikut (Sujarno,
2008):
1. Dari segi mata pencaharian, nelayan adalah mereka yang segala aktivitasnya
berkaitan dengan lingkungan laut dan pesisir, atau mereka yang menjadikan
perikanan sebagai mata pencaharian mereka.
2. Dari segi cara hidup, komunitas nelayan adalah komunitas gotong royong.
Kebutuhan gotong royong dan tolong menolong terasa sangat penting pada saat
untuk mengatasi keadaan yang menuntut pengeluaran biaya besar dan
pengerahan tenaga yang banyak, seperti saat berlayar, membangun rumah atau
tanggul penahan gelombang di sekitar desa.
3. Dari segi keterampilan, meskipun pekerjaan nelayan adalah pekerjaan berat
namun pada umumnya mereka hanya memiliki keterampilan sederhana.
Kebanyakan mereka bekerja sebagai nelayan adalah profesi yang di turunkan
oleh orang tua, bukan yang dipelajari secara professional.
2.5. Pendapatan Nelayan
Pendapatan masyarakat nelayan bergantung terhadap pemanfaatan potensi
sumberdaya perikanan yang terdapat di lautan. Pendapatan masyarakat nelayan secara
langsung maupun tidak akan sangat mempengaruhi kualitas hidup mereka, karena
pendapatan dari hasil berlayar merupakan sumber pemasukan utama atau bahkan
satu-satunya bagi mereka, sehingga besar kecilnya pendapatan akan sangat
memberikan pengaruh terhadap kehidupan mereka, terutama terhadap kemampuan
mereka dalam mengelola lingkungan tempat hidup mereka (Hakim, 2011).
Pendapatan nelayan berasal dari dua sumber, yaitu, pendapatan dari usaha
penangkapan ikan dan pendapatan dari luar usaha penangkapan ikan. Sumber
pendapatan utama bagi nelayan yaitu berasal dari usaha penangkapan ikan sedangkan
10
pendapatan dari luar usaha penangkapan ikan, biasanya lebih rendah (Fantony,
2014).
Pola perekonomian masyarakat nelayan dapat dikatakan masih berada pada
ambang tradisional, mereka masih menggunakan cara-cara tradisional dalam melaut.
Pendapatan nelayan adalah hasil yang diperoleh oleh nelayan berupa hasil penjualan
produk tangkapan dilaut atau bagi hasil penangkapan ikan (Fantony, 2014).
Pendapatan nelayan ditentukan oleh jumlah hasil tangkapan ikan. Pendapatan
disebut juga dengan income yaitu imbalan yang diterima oleh seluruh rumah tangga
pada lapisan masyarakat dalam suatu negara atau daerah, dari penyerahan faktor-
faktor produksi atau setelah melakukan kegiatan perekonomian (Tito, 2011).
Dengan kata lain pendapatan secara lebih fokus yaitu hasil pengurangan antara
jumlah penerimaan dengan biaya yang dikeluarkan, pendapatan total diperoleh dari
merupakan penjumlahan dari seluruh pendapatan yang hasil usaha yang dilakukan.
Menurut Sumiyati (2006) terdapat hubungan yang positif antara hasil produksi yang
dipasarkan dengan pendapatan, artinya semakin besar produksi yang dipasarkan,
semakin besar pula pendapatan yang diperoleh.
Pendapatan nelayan rumpon yang diterima tergantung pada hasil tangkapan atau
produksi dan harga yang berlaku, dimana teknologi akan sangat menentukan
terhadap hasil usaha diantaranya perlengkapan yang digunakan dalam operasi
penangkapan, daerah penangkapan ikan (fishing ground), cuaca saat penangkapan
dan efektifitas alat tangkap yang digunakan (Muhartono et al., 2007).
Berdasarkan DKP Provinsi Aceh, 2014 bahwa nelayan skala kecil mendominasi
usaha perikanan tangkap di Indonesia yaitu sebesar 97,02%. Hal ini dibuktikan dari
555.950 unit jumlah kapal perikanan yang menangkap ikan di laut, 539.380 unit
merupakan kapal yang berukuran <10 GT.
2.6. Pola Bagi Hasil
Menurut Muhartono et al., (2007) sistem bagi hasil adalah sistem perjanjian yang
disediakan dalam usaha penangkapan ikan, menurut perjanjian tersebut masing-
11
masing menerima bagian dari hasil usaha berdasarkan imbangan yang telah disetujui
sebelumnya berdasarkan (UU No.16 Tahun 1964). Bagi Hasil yang terjadi selama
iniadalah setiap pembagian hasil usaha dari tahun pertama sampai tahun terakhir,
dimana proporsi tingkat pendapatan nelayan cenderung sangat kecil bila
dibandingkan dengan pendapatan juragan. Hal ini tidak sesuai atau tidak sebanding
dengan usaha keras yang dilakukan nelayan (Muhartono et al., 2007).
Perjanjian bagi hasil adalah perjanjian yang diadakan dalam usaha penangkapan
atau pemeliharaan ikan antara nelayan pemilik dan nelayan penggarap. Sistem bagi
hasil tangkapan dilakukan pada saat setelah penyortiran dan pengemasan ikan
kedalam styrofoam. Ikan-ikan hasil tangkapan akan dipisahkan sebagian untuk dijual
dan sebagian untuk dibagikan kepada tiap-tiap ABK, dan setiap akhir bulan akan
dilkukan perhitungan ongkos dan jumlah pemasukan oleh nahkoda kapal selaku
bendahara dalam usaha tersebut, setelah mengakumulasi jumlah pendapatan
dan jumlah pengeluaran maka nahkoda tersebut akan membagi jumlah pendapatan
separuh bagian untuk para nelayan dan separuh bagian untuk pemilik kapal
(Muhartono et al., 2007).
Panglima laot (2005) diacu dalam Hafinuddin (2010) menyebutkan bahwa dari
awal kegiatan melaut dengan adanya modal kerja melaut, meliputi biaya hidup
nelayan selama melaut, biaya pembelian es sebagai pengawet hasil tangkapan, dan
bahan bakar minyak (BBM) sebagai bahan dasar pengoperasian boat melaut. Modal
melaut dipinjamkan oleh toke bangku kepada nelayan untuk memenuhi modal kerja
melaut, dengan keharusan hasil tangkapan nelayan tersebut akan dibeli oleh toke
bangku dengan keuntungan yang diperoleh toke bangku sebesar 5% dari total
keuntungan hasil tangkapan dan ditambah dari pemotongan dari biaya belanja
melaut. Pemotongan biaya melaut akan digulirkan kembali kedalam siklus
sebagaimodal melaut. Dan setiap akhir bulan akan dilakukan perhitungan ongkos.
Skema penghitungan modal kerja melaut dapat dilihat pada gambar 3.
12
Gambar 3. Skema perhitungan modal kerja melaut (Hafinuddin, 2010)
2.7. Analisis Usaha
2.7.1. Biaya Investasi
Biaya investasi adalah biaya yang dikeluarkan satu kali dalam satu periode
proses produksi untuk memperoleh berapa kali manfaat secara ekonomis yang
dikeluarkan pada awal kegiatan melakukan operasi penangkapan ikan (Napasau et al.,
2015).
2.7.2. Biaya Tetap
Biaya tetap adalah biaya yang digunakan dalam menjalankan usaha
penangkapan ikan hingga mencapai targetusia ekonomi suatu usaha, meliputi biaya
pembuatan unit rumpon, biaya perawatan, dan biaya penyusutan, dengan kisaran
harga yang relatif sama antara rumpon (Napasau et al., 2015).
13
B. Hasil penjualan
C. [(5%×B) + A
Toke Bangku
E. Modal kerja selanjutnya (E=A)
F. Laba (5%× B)
D. [95%× B) - A
G. Toke Boat (50%×D)
H. Nelayan (50%×D)
A. Modal kerja melaut (es, BBM, living cost)
Pemodal/Toke Bangku
2.7.3. Biaya Tidak Tetap
Biaya tidak tetap dalam menjalankan kegiatan usaha penangkapan adalah
biaya yang digunakan untuk menunjang kegiatan usaha rumpon tersebut, diantaranya
yang terdiri dari bahan bakar minyak (BBM), es, oli, air bersih, dan konsumsi. Biaya-
biaya ini digunakan untuk menunjang kebutuhan kegiatan operasi penangkapan ikan
yang menggunakan rumpon (Napasau et al., 2015).
2.7.4. Biaya Penyusutan
Biaya penyusutan dalam melakukan kegiatan usaha penangkapan ikan adalah
biaya penurunan nilai alat tangkap dan alat bantu rumpon yang di akibatkan oleh
menurunnya kualitas alat. Penurunan biaya tersebut akibat adanya keausan atau
turunnnya kualitas barang atau adanya penemuan barang atau alat model terbaru
(Napasau et al., 2015).
14
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilakukan dari bulan Oktober-November 2015 di PPI Ujong Baroh
Kabupaten Aceh Barat.
3.2. Metode Penelitian
Metode penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif dan penelitian
kuantitatif dan pembahasan secara deskriptif. Pendekatan kualitatif adalah suatu
proses penelitian dan pemahaman yang berdasarkan pada metodologi yang
menyelidiki suatu fenomena sosial dan masalah manusia. Pada pendekatan ini,
peneliti membuat suatu gambaran kompleks, wawancara, laporan terinci dari
pandangan responden, dan melakukan studi pada situasi yang alami (Afriani, 2009).
Metode kuantitatif adalah pendekatan ilmiah yang sistematis terhadap bagian-bagian
fenomena serta mengembangkan dan menggunakan model matematis berdasarkan
objek yang diteliti (Sugiyono, 2008).
Penelitian ini akan dilakukan dengan menggunakan metode penelitian survei.
Penggunaan survei sebagai metode penelitian sehingga melibatkan sejumlah
responden yang merupakan stakeholder atau responden yang berkaitan dengan
penelitian yang akan dilakukan, metode penelitian survei menggunakan instrumen
berupa kuisoner untuk meminta tanggapan dari responden dalam wawancara.
Diagram alir metode penelitian dapat dilihat pada gambar 4.
15
Gambar 4. Diagram alir metode penelitian
3.3. Teknik Pengumpulan Data
Metode pengambilan data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah
sensus. Sensus adalah cara pengumpulan data apabila seluruh elemen populasi
diselidiki satu persatu, pada dasarnya sensus adalah sebuah riset survei dimana
peneliti mengambil seluruh anggota populasi sebagai respondennya. Data yang akan
diperoleh tersebut merupakan hasil pengolahan sensus disebut sebagai data yang
sebenarnya (true value) (Sugiyono, 2008).
Sensus dilakukan dengan tujuan mendapatkan informasi tentang pendapatan
dan pola bagi hasil nelayan pukat payang yang menggunakan alat bantu rumpon di
PPI Ujong Baroh Kabupaten Aceh Barat. Data yang dikumpulkan mencakup data
primer dan sekunder.
16
Nelayan rumpon
PPI Ujong Baroh
KualitatifMetode penelitian
Analisis dataAnalisis
Pendapatan
Kuantitatif
Analisis pola bagi hasil
Survei
1. Data Primer
Data primer akan diperoleh secara langsung dengan melakukan wawancara
kepada nelayan di PPI Ujong Baroh. Berdasarkan panduan dan pertanyaan (kuisoner).
Wawancara dilakukan untuk mendapat informasi tentang pendapatan dan pola bagi
hasil nelayan rumpon. Pengumpulan data primer berdasarkan sumber dan informasi
yang ingin diperoleh dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Data primer berdasarkan sumber dan informasi yang akan diperoleh
No Sumber Data
Informasi Jumlah Responden
1 Nelayan Pendapatan dan pola bagi hasil nelayan pukat payang yang menggunakan rumpon di PPI Ujong Baroh Kabupaten Aceh Barat
7 pemilik kapal UPI nahkoda kapal, ABK, dengan alat bantu rumpon
2. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang dikumpulkan antara lain data yang diperoleh dari
dokumen-dokumen tertulis dikantor atau studi literatur. Adapun data sekunder yang
akan dikumpulkan pada penelitian ini dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2. Data sekunder berdasarkan sumber dan informasi yang akan diperoleh
No Sumber Data Informasi
1 Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Aceh
a. Jumlah armada penangkapan ikan Kabupaten Aceh Barattahun 2010-2014
b. Jumlah alat tangkap Kabupaten Aceh Barattahun 2010-2014
c. Jumlah nelayan Kabupaten Aceh Barat tahun 2010-2014d. Produksi dan nilai produksi yang didaratkan di Kabupaten
Aceh Barat tahun 2010-20142 Bappeda Peta lokasi penelitian (Peta posisi PPI Ujong Baroh)
3 BPS Kabupaten Aceh Barat
Letak geografis Kabupaten Aceh Barat
3.4. Metode Analisis Data
17
3.4.1. Analisis Pendapatan Nelayan
Metode analisis pendapatan nelayan yang digunakan ialah analisis keuntungan
secara mendalam dengan mempertimbangkan perhitungan nilai investasi dan
penyusutan (Boa, 2013).
π = TRTC.......................................................................... (1)
TR =x. Px............................................................................ (2)
TC = TC fixed + TC variable................................................. (3)
Penyusutan (RP / bulan) ¿Nilai Investasi(RP)
Umur Ekonomis (bulan)...........(4)
Yang mana:π : Keuntungan, satuannya rupiahTR : Total Revenue (Total penerimaan), satuannya rupiahTC : Total Cost (Total Biaya), satuannya rupiahx : Hasil tangkapan, satuannya rupiah/kilogramPx : Harga jual, satuannya rupiah/kilogramTC fixed : Total Cost of Fixed (Total biaya tetap), satuannya rupiahTC variable : Total Cost of Variable (Total biaya tidak tetap), satuannya rupiah.
3.4.2. Analisis Pola Bagi Hasil
Analisis pola bagi hasil dilakukan secara deskriptif yang informasinya
diperoleh dari kuisoner (wawancara dengan nelayan rumpon). Penelitian deskriptif
merupakan metode penelitian yang berusaha menggambarkan objek atau subjek yang
diteliti sesuai dengan apa adanya, dengan tujuan menggambarkan secara sistematis,
fakta dan karakteristik objek yang diteliti secara tepat.
Menurut Syah (2010) penelitian deskriptif adalah metode penelitian yang
digunakan untuk menemukan pengetahuan yang seluas-luasnya terhadap objek
penelitian pada suatu masa tertentu.Sedangkan menurut Setyosari (2010) ia
menjelaskan bahwa penelitian deskriptif adalah penelitian yang bertujuan untuk
menjelaskan atau mendeskripsikan suatu keadaan, peristiwa, objek apakah orang,
18
atau segala sesuatu yang terkait dengan variabel-variabel yang bisa dijelaskan baik
dengan angka-angka maupun kata-kata.
Penelitian deskriptif menurut Widodo et al., (2000) kebanyakan tidak
dimaksudkan untuk menguji hipotesis tertentu, melainkan lebih pada
menggambarkan apa adanya suatu gejala, variabel, atau keadaan. Namun demikian,
tidak berarti semua penelitian deskriptif tidak menggunakan hipotesis. Penggunaan
hipotesis dalam penelitian deskriptif bukan dimaksudkan untuk diuji melainkan
bagaimana berusaha menemukan sesuatu yang berarti sebagai alternatif dalam
mengatasi masalah penelitian melalui prosedur ilmiah.
Penelitian deskriptif tidak hanya terbatas pada masalah pengumpulan dan
penyusunan data, tapi juga meliputi analisis dan interpretasi tentang arti data tersebut.
Oleh karena itu, penelitian deskriptif mungkin saja mengambil bentuk penelitian
komparatif, yaitu suatu penelitian yang membandingkan satu fenomena atau gejala
dengan fenomena atau gejala lain, atau dalam bentuk studi kuantitatif dengan
mengadakan klasifikasi, penilaian, menetapkan standar, dan hubungan kedudukan
satu unsur dengan unsur yang lain (Widodo et al., 2000).
Secara ringkas, metode pengolahan data pada penelitian ini dapat dilihat pada
Tabel 3.
Tabel 3. Metode pengolahan data berdasarkan sumber data dan informasi yang akan diperoleh
No Tujuan penelitian
Teknik pengumpulan
Data
Responden Alat analisis
1 Analisis usaha
Wawancara dan kuesioner (Data populasi)
7 pemilik kapal UPI nahkoda kapal, ABK, dengan alat bantu rumpon
Analisis keuntungan menggunakan perangkat lunak MS. Excell
2 Pola bagi hasil
Wawancara dan kuesioner (Data populasi)
7 pemilik kapal UPI, nahkoda kapal, ABK, dengan alat bantu rumpon
Analisis deskriptif menggunakan perangkat lunak MS. Excell
19
BAB IV
KONDISI DAERAH PENELITIAN
4.1. Letak Geografis Lokasi Penelitian
Secara geografis Kabupaten Aceh Barat terletak antara 04°06'-04°47' Lintang
Utara dan 95°52'- 96°30' Bujur Timur. Wilayah KabupatenAceh Barat berbatasan
dengan Kabupaten Pidie Jaya dan Aceh Jaya di sebelah utara, kemudian di sebelah
selatan berbatasan dengan Kabupaten Nagan Raya dan Samudera Indonesia.
Sedangkan disebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Aceh Tengah dan Nagan
Raya, sebelah barat berbatasan dengan Samudera Indonesia (BPS Aceh Barat, 2014).
Kabupaten Aceh Barat terletak dibagian ujung pulau sumatera dipesisir Barat,
luas wilayah Kabupaten Aceh Barat mencapai 2.927,95 Km2atau seluas 292,795 Ha
sedangkan panjang garis pantai diperhitungkan 50.55 km dengan luas laut 12 mil atau
233 km2 daratan (BPS Aceh Barat, 2014).
Kabupaten ini memiliki empat kecamatan yang berbatasan langsung dengan
Samudera Indonesia dan merupakan Kecamatan pesisir yaitu Kecamatan Johan
Pahlawan, Meureubo, Samatiga dan Kecamatan Arongan Lambalek. Serta 8
kecamatan daratan yaitu Kaway XVI, Sungai Mas, Pantee Ceureumen, Panton Ree,
Bubon, Woyla, Woyla Barat dan Woyla Timur (BPS Aceh Barat, 2014).
PPI Meulaboh berlokasi di Desa Ujong Baroh, Kecamatan Johan Pahlawan. Luas
Wilayah Kecamatan Johan Pahlawan adalah 44,91 Km2 atau 1,53% dari luas
kabupaten (BPS Aceh Barat, 2014).
4.2. Keadaan Umum PerikananTangkap Aceh Barat
Kabupaten Aceh Barat memiliki kekayaan sumberdaya perikanan yang cukup
besar dan memiliki peluang yang cukup menjanjikan untuk pengembangan sub sektor
perikanan khususnya perikanan tangkap. Diperkirakan potensi perikanan laut di
20
perairan Aceh Barat pada tahun 2014 mencapai 12.767 ton/tahun dengan nilai
produksi Rp. 250.988.543.000 (DKP Provinsi Aceh, 2014).
4.2.1. Unit Penangkapan Ikan
Unit penangkapan merupakan satu kesatuan dari, kapal, alat tangkap dan
nelayan yang merupakan faktor yang menentukan dalam usaha penangkapan ikan.
4.2.1.1. Armada Penangkapan Ikan
Berdasarkan data DKP Provinsi Aceh 2014 jumlah armada penangkapan
ikan di Kabupaten Aceh Barat mencapai 848 unit, yang didominasi oleh armada
perahu kapal motor 559 unit. Rincian data jumlah armada penangkapan dapat dilihat
pada Tabel 4.
Tabel 4. Jumlah armada penangkapan pada tahun 2010-2014
Armada 2010 2011 2012 2013 2014
Perahu tanpa motor
Jukung 74 74 74 74 74Kecil 93 93 93 93 93Sedang 41 41 41 41 41Besar 7 7 7 7 7
Sub Total 215 215 215 215 215Pertumbuhan per tahun perahu tanpa
motor 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Rata rata pertumbuhan per tahun perahu tanpa motor 0.00
Perahu motorMotor temple 74 74 74 74 74
Kapal motor 565 565 565 559 559
Sub Total 639 639 639 633 633Pertumbuhan per tahun perahu Motor
0.00 0.00 0.00 -0.94 0.00
Rata rata pertumbuhan per tahun perahu motor -0.19
Total 854 854 854 848 848Pertumbuhan per tahun armada
penangkapan ikan 0.00 0.00 0.00 -0.70 0.00
Rata rata pertumbuhan per tahun -0.14
Sumber: DKP Provinsi Aceh, 2010-2014; diolah kembali
21
Adapun rata-rata pertumbuhan per tahun armada perahu tanpa motor tidak
mengalami pertumbuhan per tahunnya selama periode tahun 2010-2014, sedangkan
untuk armada perahu motor rata-rata pertumbuhan per tahunnya mengalami
penurunan sebesar -0,19% , dan untuk armada penangkapan ikan dari tahun 2010-
2014 rata-rata pertumbuhan pertahun mengalami penurunan yaitu sekitar -0.14 % per
tahun.
Gambar 5. Diagram jumlah armada penangkapan tahun 2010-2014
Berdasarkan Gambar 5. maka dapat diketahui, jumlah armada penangkapan
tahun 2010-2012 mencapai 854 unit, dan tidak mengalami penurunan maupun
kenaikan dari tahun sebelumnya, sedangkan pada tahun 2013-2014 jumlah armada
penangkapan mengalami penurunan yaitu mencapai 848 unit.
Gambar 6. Persentase jumlah armada tahun 2014
22
Perahu Tanpa Motor25%
Perahu Motor75%
2010 2011 2012 2013 2014845846847848849850851852853854855 854 854 854
848 848
Arm
ada
(uni
t)
Berdasarkan Gambar 6. Maka dapat diketahui, persentase jumlah armada
penangkapan ikan pada tahun 2014 untuk perahu tanpa motor jumlah persentasenya
sekitar 25%, persentase ini lebih rendah dibandingkan dengan perahu motor yang
mencapai jumlah persentase sekitar 75%.
4.2.1.2. Alat Tangkap
Berdasarkan data Statistik Perikanan Provinsi Aceh tahun 2014, di
Kabupaten Aceh Barat jumlah alat tangkap ikan pada tahun 2014 mencapai 849 unit,
yang didominasi oleh pancing (Hook and lines) 653 unit, pukat udang (Equiped
shrimp net) 0 unit, pukat kantong (Seine nets) 20 unit, pukat cincin 21 unit, jaring
insang (Gill nets) 155 unit dan perangkap (Traps) 3 unit. Jenis dan jumlah alat
tangkap dapat dilihat pada tabel 5.
Tabel 5. Jenis dan jumlah alat tangkap di Kabupaten Aceh Barat tahun 2010-2014
No Alat tangkapTahun
2010 2011 2012 2013 20141 Pukat udang 0 0 0 0 0
Sub Total 0 0 0 0 0
2Pukat
kantong/seine net
Pukat payang 15 15 15 15 15Dogol 0 0 0 0 0Pukat pantai 7 5 5 5 5
Sub Total 22 20 20 20 203 Pukat cincin 21 21 21 21 21
Sub Total 21 21 21 21 21
4 Jaring insang
Jaring insang hanyut 27 27 27 27 65Jaring lingkar 27 27 0 0 0Jaring klitik 30 30 30 30 30Jaring insang tetap 26 26 26 26 26Jaring tiga lapis 34 34 34 34 34
Sub Total 144 144 117 117 155
23
Lanjutan tabel 5. Jenis dan jumlah alat tangkap di Kabupaten Aceh Barat tahun
2010-2014
No Alat tangkap Tahun2010 2011 2012 2013 2014
5 Jaring angkat 70 0 0 0 0
6 Pancing/hook and lines
Rawai tuna 0 65 0 0 0
Rawai hanyut 45 45 45 45 45Rawai tetap 137 127 127 127 127Rawai tetap dasar 0 35 35 35 35
Pancing tonda 82 82 82 82 82Pancing ulur 32 32 32 32 97
Pancing lainnya 374 267 267 267 267
Sub Total 740 653 588 588 6537 Perangkap Bubu 3 3 17 3 3
Sub Total 3 3 17 3 3Total alat tangkap 930 841 763 749 849
Pertumbuhan alat tangkap per tahun 0.00 -9.57 -9.27 -1.83 13.35
Rata rata pertumbuhan per tahun -1.47Sumber: DKP Provinsi Aceh, 2010-2014; diolah kembali
Berdasarkan data yang diperoleh, rata-rata pertumbuhan pertahun jumlah alat
tangkap pada tahun 2011 mengalami penurunan sebesar -9,57% per tahun, pada tahun
2012 jumlah alat tangkap tidak mengalami pertumbuhan dari tahun sebelumnya -
9,27% per tahun dan pada tahun 2013 jumlah alat tangkap mengalami penurunan
sebesar -1,83% per tahun, sedangkan pada tahun 2014 jumlah alat tangkap
mengalami kenaikan sebesar 13,35% per tahun. Dan untuk rata-rata pertumbuhan
pertahun jumlah alat tangkap ikan di Kabupaten Aceh Barat sebesar -1,47% tahun.
24
2010 2011 2012 2013 20140
200
400
600
800
1000 930841
763 749849
Tahun
Ala
t Tan
gkap
(Uni
t)
Gambar 7.Diagram jumlah alat tangkap tahun 2010-2014
Berdasarkan gambar 7. Jumlah alat tangkap, maka dapat diketahui jumlah alat
tangkap pada tahun 2010 merupakan jumlah alat tangkap tertinggi yang mencapai
930 unit, pada tahun 2011 mencapai 841 unit, pada tahun 2012 mencapai 763 unit,
sedangkan pada tahun 2013 merupakan jumlah alat tangkap terendah yang mencapai
749 unit dan pada tahun 2014 mencapai 849 unit.
Pukat kantong/seine net2%
Pukat Cincin2%
Jaring Insang18%
Pancing/ hook and lines77%
Perangkap0%
Gambar 8. Persentase jumlah alat tangkap pada tahun 2014
25
Persentase jumlah alat tangkap pada tahun 2014 diantaranya meliputi pukat
kantong 2%, pukat cincin 3%, jaring insang 18% dan mencapai 79%, perangkap 0%.
4.2.1.3. Nelayan
Nelayan di PPI Ujong Baroh disebut sebagai nelayan tradisional yang masih
memegang erat nilai dan norma terhadap aturan-aturan yang dibuat dalam ketentuan
adat setempat. Aturan-aturan tersebut biasanya berupa larangan menggunakan alat
tangkap tertentu atau larangan untuk melaut pada hari-hari tertentu. Nilai-nilai
tersebut juga diimplementasikan dalam ritual-ritual atau upacara-upacara tertentu
yang biasanya dilakukan untuk menghormati laut sebagai sumber mata pencarian
bagi masyarakat nelayan. Apabila nelayan melanggar aturan tersebut maka akan
dikenakan Hukôm Adat Laôt oleh tetua adat yang biasa disebut Panglima Laot
Beberapa nelayan di PPI Ujong Baroh, sampai saat ini masih menggunakan
rumpon sebagai alatbantu penangkapan, menurut nelayan di PPI Ujong Baroh,
penggunaan rumpon lebih efektif digunakan dalam melakukan operasi penangkapan
ikan, bahkan hasil tangkapan per trip nya cenderung lebih banyak daripada nelayan
yang tidak menggunakan rumpon.
Bagi nelayan rumpon di PPI Ujong Baroh, rumpon adalah salah satu
alternatif yang digunakan nelayan dalam melakukan operasi penangkapan ikan, tetapi
penggunaan alat tangkap juga sangat mempengaruhi jumlah tangkapan nelayan. Oleh
karena itu nelayan rumpon menggunakan pukat payang sebagai alat tangkap dalam
pengoperasiannya menggunakan rumpon.
Nelayan di Kabupaten Aceh Barat di bagi ke dalam tiga kategori yaitu
nelayan penuh, nelayan sambilan utama dan nelayan sambilan tambahan. Nelayan
penuh adalah nelayan yang seluruh waktunya untuk menangkap ikan, nelayan
sambilan utama nelayan yang sebagian besar waktunya untuk menangkap ikan dan
nelayan sambilan tambahan nelayan yang hanya sebagian kecil waktu nya digunakan
untuk menangkap ikan. Nelayan berdasarkan kategori pada tahun 2010-2014 dapat di
lihat pada tabel 6.
26
Tabel 6. Nelayan berdasarkan kategori pada tahun 2010-2014
Tahun
Kategori Nelayan
Total Pertumbuhan per tahun
Nelayan Penuh
Nelayan Sambilan
Utama
Nelayan Sambilan Tambahan
2010 1,134 582 33 1,749 0.002011 1,134 582 33 1,749 02012 1,134 582 33 1,749 02013 1,987 608 61 2,656 51.862014 1,987 608 61 2,656 0.00
Rata-rata pertumbuhan per tahun 10.37Sumber: DKP Provinsi Aceh, 2010-2014; diolah kembali
2010 2011 2012 2013 20140
500
1,000
1,500
2,000
2,500
3,000
1,749 1,749 1,749
2,656 2,656
Tahun
Nel
ayan
(Jiw
a)
Gambar 9. Diagram jumlah nelayan tahun 2010-2014
Berdasarkan data Statistik Perikanan Provinsi Aceh 2010-2014, jumlah nelayan
tertinggi terjadi pada tahun 2013-2014 yaitu mencapai 2.656 jiwa sedangkan jumlah
nelayan terendah terjadi pada tahun 2010-2012. Rata-rata pertumbuhan per tahun
jumlah nelayan Kabupaten Aceh Barat yaitu sebesar 10,37% per tahun.
27
Nelayan Penuh75%
Nelayan Sambilan Utama23%
Nelayan Sambilan Tambahan2%
Gambar 10. Persentase kategori jumlah nelayan tahun 2014
Persentase nelayan berdasarkan kategori pada tahun 2014. Nelayan penuh
sebesar 75%, nelayan sambilan utama sebesar 23% dan nelayan sambilan tambahan
sebesar 2%.
4.2.1.4. Rumpon
Rumpon merupakan salah satu alat bantu penangkapan ikan yang bertujuan
untuk meningkatkan hasil tangkapan.Menurut nelayan di PPI Ujong Baroh
penggunaan rumpon sebagai alat bantu penangkapan ikan lebih memudahkan nelayan
dalam menemukan daerah penangkapan ikan (fishing ground), meminimumkan biaya
bahan bakar dan meningkatkan hasil tangkapan.
Jenis alat tangkap yang menggunakan rumpon oleh nelayan di PPI Ujong
Baroh adalah pukat payang. Payang adalah pukat kantong yang di gunakan untuk
menangkap ikan permukaan dimana kedua sayapnya berguna untuk menakut-nakuti
atau mengejutkan ikan serta menggiring gerombolan ikan agar masuk kedalam
kantong (Lestariono, 2013). Dalam operasi penangkapan pukat payang dengan
menggunakan alat bantu rumpon, ikan-ikan yang ada pada rumpon digiring masuk ke
dalam kantong pukat payang. Menurut nelayan di PPI Ujong Baroh penggunaan alat
tangkap pukat payang lebih efektif jika digunakan pada rumpon.
28
Menurut nelayan di PPI Ujong Baroh, pengoperasian alat tangkap pukat
payang yaitu kapal akan mendekati gerombolan ikan pada rumpon, dengan
memperhatikan arah arus, karena arah ikan pada rumpon akan berlawanan arah
dengan arah arus, jika arah arus dibarat maka posisi ikan ada ditimur. Sebelum
melakukan penurunan jaring, terlebih dahulu nelayan menurunkan 2 perahu kecil
yang berguna untuk memudahkan nelayan dalam melakukan penangkapan ikan.
Kemudian memindahkan rumpon utama agar ikan berkumpul di rumpon pada perahu
kecil, perahu kecil berukuran 2 meter ini, sudah dilengkapi dengan rumpon, cara ini
lebih memudahkan operasi penangkapan ikan dengan alat tangkap pukat payang agar
pukat payang tidak tersangkut pada rumpon utama. Setelah itu baru dilakukan
penurunan jaring, penurunan jaring harus dilakukan pada jarak dan waktu yang tepat,
sehingga pada waktu jaring melewati gerombolan ikan pada rumpon, jaring dapat
membuka dengan maksimal.
Setelah jaring diturunkan yang dimulai dengan menurunkan pelampung
tanda mengelilingi rumpon, penarikan jaring berdasarkan aba-aba dari Pawang Laot,
penarikan jaring dilakukan sampai semua jaring turun kelaut dan selanjutnya
mengambil kedua sayap, kemudian jaring yang telah diisi dengan ikan ditarik keatas
perahu, operasi penangkapan ikan dianggap selesai apabila jaring telah ditarik keatas
perahu. Gambar alat bantu rumpon dapat dilihat pada gambar 11.
Gambar 11. Alat bantu rumpon
29
4.2.2. Volume dan Nilai Produksi Perikanan Kabupaten Aceh Barat
Perkembangan produksi dan nilai produksi perikanan laut selama periode
2010-2014 di PPI Ujong Baroh mengalami kenaikan yang cukup baik dengan
didukung oleh tingginya nilai jual ikan. Nilai produksi tertinggi dalam 5 tahun
terakhir ini terjadi pada tahun 2014 dengan produksi perikanan sebesar 12.767
ton/tahun dengan nilai produksi Rp. 250.988.543. Nilai produksi yang terendah dalam
lima tahun terakhir ini terjadi pada tahun 2010 dengan produksi perikanan sebesar
11.217 ton/tahun dengan nilai produksi Rp. 155.903.166,50. Perkembangan produksi
perikanan laut periode 2010-2014 di PPI Ujong Baroh dapat dilihat pada tabel 7.
Tabel 7. Perkembangan produksi perikanan laut selama periode 2010-2014
Tahun Volume produksi (Ton) Pertumbuhan per tahun
2010 11,217.00 0.002011 10,715.60 -4.472012 12,400.60 15.722013 12,557 1.2572014 12,767 1.677
Pertumbuhan rata-rata per tahun 2.84Sumber : DKP Provinsi Aceh, 2010-2014; diolah kembali
2010 2011 2012 2013 20149,500
10,00010,50011,00011,50012,00012,50013,000
11,21710,716
12,401 12,55712,767
Tahun
Vol
ume
prod
uksi
(ton
)
Gambar 12. Diagram volume produksi tahun 2010-2014
30
Dari data yang diperoleh volume produksi secara keseluruhan tertinggi terjadi
pada tahun 2014 yaitu sebesar 12.767 ton. Sedangkan volume produksi terendah
terjadi pada tahun 2011 yaitu sebesar 10,715.60 ton. Dan rata-rata pertumbuhan
pertahun volume produksi sebesar 2.84%. Nilai produksi dari 2010-2014 dapat dilihat
di tabel 8.
Tabel 8. Nilai produksi perikanan tahun 2010-2014
Tahun Nilai produksi (× Rp 1000) Pertumbuhan per tahun
2010 155,903,166.50 0.002011 199,635,418.40 28.052012 249,697,905.80 25.082013 246,794,334 -1.1632014 250,988,543 1.699
Pertumbuhan rata-rata per tahun 10.73Sumber: DKP Provinsi Aceh, 2010-2014; diolah kembali
2010 2011 2012 2013 2014000
50,000,000
100,000,000
150,000,000
200,000,000
250,000,000
300,000,000
Tahun
Nila
i pro
duks
i (x
Rp
1000
)
Gambar 13. Diagram nilai produksi tahun 2010-2014
Dari data yang diperoleh nilai produksi tertinggi terjadi pada tahun 2014 yaitu
Rp. 250.988.543. Sedangkan nilai produksi terendah terjadi pada tahun 2010 sebesar
Rp. 155.903.166.50. Dan untuk rata-rata pertumbuhan per tahun berkisar 10.73%.
31
4.2.3. Daerah Penangkapan Ikan
Daerah penangkapan ikan (fishing ground) merupakan daerah operasi
penangkapan ikan, yang diduga sebagai tempat ikan-ikan bergerombol. Penangkapan
ikan di aceh barat umumya dilakukan sepanjang tahun dan dikenal dengan dua
musim, yaitu musim timur dan musim barat. Menurut nelayan di PPI Ujong Baroh
musim timur adalah dimana jumlah ikan sangat banyak atau berlimpah yaitu pada
bulan April-Oktober, sedangkan musim barat ditandai dengan sedikitnya hasil
tangkapan yang didaratkan akibat keadaan perairan yang cukup membahayakan
untuk melakukan operasi penangkapan ikan, musim barat biasanya berlangsung pada
bulan November-Maret.
Armada penangkapan ikan yang ada di Kabupaten Aceh Barat didominasi oleh
armada kapal motor yaitu sebanyak 559 unit (DKP Provinsi Aceh, 2014), maka
diduga jarak tempuh armada tersebut jauh dari perairan Aceh Barat atau
diprediksikan nelayan kabupaten ini melaut dengan radius 20-30 mil ke arah laut
lepas.
32
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Hasil
5.1.1. Karakteristik Masyarakat Nelayan di Meulaboh
Masyarakat nelayan di Meulaboh masih disebut sebagai nelayan tradisional
yang sampai saat ini tetap memegang erat nilai dan norma terhadap aturan-aturan
yang dibuat dalam ketentuan adat setempat. Aturan-aturan tersebut biasanya berupa
larangan menggunakan alat tangkap tertentu atau larangan untuk melaut pada hari-
hari tertentu yang biasa disebut sebagai Hukôm Adat Laôt. Nilai-nilai tersebut juga
diimplementasikan dalam ritual-ritual atau upacara-upacara tertentu yang biasanya
dilakukan untuk menghormati laut sebagai sumber mata pencarian bagi masyarakat
nelayan. Apabila nelayan melanggar aturan tersebut maka akan dikenakan Hukôm
Adat Laôt oleh pemimpin nelayan yang secara hukum adat laut (hukum adat laôt)
yang biasa disebut Panglima Laot.
Hukôm Adat Laôt merupakan bagian dari adat istiadat secara turun temurun,
maka dapat dikatakan Hukôm Adat Laôt adalah kesadaran masyarakat terhadap
hukum adat yang dibuat, khususnya pada masyarakat-masyarakat dengan struktur
sosial dan kebudayaan sederhana.
5.1.2. Aktivitas Melaut Nelayan Rumpon di PPI Ujong Baroh
Berdasarkan hasil survei yang dilakukan, aktivitas melaut nelayan rumpon
dalam melakukan operasi penangkapan ikan berlangsung setiap hari kecuali pada hari
jumat, dikarenakan hari jumat merupakan hari pantang melaut bagi nelayan rumpon
di PPI Ujong Baroh Kabupaten Aceh Barat. Aktivitas melaut yang dilakukan nelayan
rumpon biasanya berlangsung pada pagi hingga sore hari, adapun aktivitas melaut
nelayan rumpon per minggu adalah selama 6 hari dan per bulan adalah selama 26
hari.
33
5.1.3. Pendapatan Nelayan Rumpon
Pendapatan yang diperoleh nelayan merupakan hasil bersih setelah dikurangi
atau dipotong oleh biaya yang telah terpakai selama melaut. Penggunaan rumpon oleh
nelayan di PPI Ujong Baroh sebagai alat bantu penangkapan ikan cenderung mampu
meningkatkan hasil produksi usaha penangkapan dan memudahkan nelayan dalam
menentukan daerah penangkapan ikan.
Adapun estimasi penerimaan yang diperoleh nelayan dari hasil jual ikan
tangkapan per minggu Rp. 32.857.143,- dan dari hasil penerimaan kotor tersebut
menunjukkan bahwa penerimaan per hari nelayan rumpon adalah sebesar Rp.
5.054.945,-; dari hasil asumsi tersebut maka diperoleh penerimaan kotor per bulan
adalah sebesar Rp. 131.428.572,-; kemudian biaya pengeluaran saat melakukan
fishing ground perbulan per rumpon dalam rupiah, terdiri dari biaya tetap dan biaya
tidak tetap atau biaya operasional.
Biaya tetap nelayan rumpon di PPI Ujong Baroh terdiri dari beberapa
komponen. Untuk estimasi biaya tetap nelayan rumpon perbulan dapat dilihat pada
tabel 9.
Tabel 9. Estimasi biaya tetap nelayan rumpon di PPI Ujong Baroh
NO KomponenUmur Ekonomis (bulan)
HargaBeli (Rp)
Penyusutan/ bulan (Rp)
1 Rumpon 24 5,580,000 232.500
2 Pelepah kelapa 2 38,000 19,000
3 Pukat payang 60 20,000,000 333,3334 Kapal payang 120 90,000,000 750,000Total 1.334.833
Sumber: Data Primer, 2015
Berdasarkan tabel 9. Estimasi biaya tetap, komponen rumpon terdiri dari tali
utama, jangkar, pelampung styrofoam dan perahu kecil, sedangkan pelepah kelapa
sebagai atraktornya. Estimasi biaya tetap nelayan rumpon di PPI Ujong Baroh adalah
34
sebesar Rp. 1.334.833,-; per bulan. Hal ini didasarkan pada perhitungan yang terdiri
dari biaya penyusutan alat bantu rumpon per bulan.
Biaya tidak tetap nelayan rumpon di PPI Ujong Baroh merupakan komponen
operasional yang terdiri dari bahan bakar minyak (BBM), es, oli, air bersih, konsumsi
dan cuci boat. Untuk estimasi biaya tidak tetap nelayan rumpon perbulan dapat dilihat
pada tabel 10.
Tabel 10. Estimasi biaya tidak tetap nelayan rumpon di PPI Ujong Baroh
No Bahan Kebutuhan/ trip
Kebutuhan/ bulan @ Biaya/bulan
(Rp)1 BBM 60 liter 1,560 liter 7.300 11.388.0002 Es 8 batang 208 batang 12.000 2.496.0003 Air bersih 2 jirigen 52 jirigen 7.000 364.0004 Oli - 4 liter 62.000 248.0005 Konsumsi 14 orang 364 orang 100.000 36.400.0006 Cuci boat 1 26 200.000 5.200.000
Total 56.096.000
Sumber: Data Primer, 2015
Berdasarkan tabel 10. Estimasi biaya tidak tetap nelayan rumpon di PPI
UJong Baroh maka diketahui estimasi biaya tidak tetap nelayan rumpon yaitu sebesar
Rp. 56.096.000,-; per bulan, hal ini berdasarkan jangka melaut nelayan rumpon per
trip dalam sebulan adalah selama 26 hari.
5.1.4. Nilai Investasi Rumpon
Rumpon merupakan alat bantu penangkapan ikan yang bersifat permanen atau
sementara yang didesain/dirangkai dengan kontruksi dari jenis material alami dan
buatan yang dijangkar menetap sebagai pemberat, rumpon dapat dipindahkan dilaut
dalam ataupun laut dangkal yang mampu memikat ikan agar berkumpul disekitar
rumpon, sehingga memudahkan nelayan dalam melakukan operasi penangkapan
dalam menentukan daerah penangkapan (fishing ground). Material rumpon terdiri
dari tali, pelepah kelapa, jangkar, pelampung styrofoam, perahu kecil, alat tangkap
dan kapal. Deskripsi material rumpon di PPI Ujong Baroh dapat dilihat pada tabel 11.
35
Tabel 11. Nilai investasi rumpon di PPI Ujong Baroh
No Komponen rumpon Jumlah Volume Harga satuan (Rp) Total (Rp)
1 Tali utama 200 meter 6.000 1.200.0002 Pelepah kelapa 38 lembar 1000 38.0003 Jangkar 1 buah 350.000 350.0004 Pelampung styrofoam 2 buah 15.000 30.000
5 Kapal bantu/perahu kecil 2 buah 2.000.000 4.000.000
6 Alat tangkap payang 1 buah 20.00.000 20.000.000
7 Kapal 1 buah 90.000.000 90.000.000
Total 115.618.000
Sumber: Data Primer, 2015
Berdasarkan hasil survey yang dilakukan dengan nelayan rumpon, nilai
investasi rumpon secara keseluruhan Rp. 115.618.000. Umur ekonomis rumpon
adalah sekitar 2 tahun, dan setiap 2 tahun nelayan akan mengganti tali utama rumpon
dengan yang baru, tetapi setiap 2 bulan sekali nelayan mengganti pelepah kelapa
yang lama dengan yang baru dengan mengaitkan pelepah kelapa dengan tali utama.
Teknik penggantiannya ialah dengan mengaitkan pelepah kelapa di tali utama
rumpon sebelumnya, artinya pemberat atau jangkar masih menggunakan yang lama.
Berdasarkan hasil survei yang dilakukan, jenis ikan hasil tangkapan nelayan
yang paling dominan atau yang sering tertangkap oleh nelayan pukat payang yang
menggunakan alat bantu rumpon terdiri dari 4 jenis spesies utama yaitu tongkol
(Euthynnus affinis), kembung (Rastrelliger sp), tamban (Sardinella lemuru), dan
cakalang (Katsuwonus pelamis). Data estimasi jumlah hasil tangkapan nelayan dapat
dilihat pada tabel 12.
Tabel 12. Estimasi jumlah hasil tangkapan nelayan per trip
36
Estimasi jumlah hasil tangkapan nelayan per trip
Data hasil tangkapan
Tongkol (kg)
Kembung (kg)
Tamban (kg)
Cakalang (kg)
Total (kg)
Musim puncak 540 540 540 540 1620Musim biasa 360 360 180 360 1260Musim paceklik 180 90 180 90 540
Sumber: Data Primer, 2015
Dari hasil wawancara dengan nelayan rumpon di PPI Ujong Baroh, jumlah hasil
tangkapan nelayan per trip pada musim puncak bisa mencapai 1620 kg, dan pada
musim biasa per trip nya bisa mencapai 1260 kg, sedangkan pada musim paceklik
nelayan hanya mendapat jumlah hasil tangkapan per tripnya sekitar 540 kg. Jadi dari
hasil tangkapan nelayan pada musim puncak merupakan musim jumlah tangkapan
ikan yang paling berlimpah dibanding musim lainnya, musim puncak bisanya terjadi
pada bulan April-Oktober.
Berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan rumpon, estimasi penerimaan
kotor nelayan perbulan setelah penjualan ikan adalah sebesar Rp. 131.428.572,-; per
bulan, penerimaan kotor tersebut kemudian di potong dengan biaya-biaya yang telah
dikeluarkan sebelumnya meliputi estimasi biaya tetap dan biaya tidak tetap (biaya
operasional), dari hasil pemotongan biaya-biaya tersebutmaka diperoleh hasil
penerimaan bersih nelayan sebesar Rp. 73.977.739,-; per bulan.
5.1.4. Pola Bagi Hasil
Berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan rumpon di PPI Ujong Baroh,
perhitungan pola bagi hasil setelah penjualan ikan dibagi menjadi 3 bagian
berdasarkan kesepakatan yang telah disetujui sebelumnya. Pola bagi hasil yang
terjadi di PPI Ujong Baroh Kabupaten Aceh Barat oleh nelayan pukat payang yang
menggunakan alat bantu rumpon adalah 40% untuk Toke Boat, (Pemilik kapal), 50%
untuk Pawang Laot (Nahkoda kapal) dan 13 orang ABK, sedangkan Toke Bangku
hanya mendapat 10% dari hasil penjualan ikan. Pola bagi hasil yang terjadi di PPI
37
Ujong Baroh dilakukan setiap hari jumat, pada saat nelayan tidak melakukan operasi
penangkapan ikan. Ikan hasil tangkapan selama melaut akan di distribusikan kepada
Toke Bangku yang mana nantinya Toke Bangku akan menjual hasil tangkapan
nelayan.
Dari hasil penjualan ikan per hari maka diperoleh penerimaan kotor sebesar
Rp. 5.054.945,-; dan penjualan per minggu sebesar Rp. 32.857.143,-; sedangkan
penjualan per bulan sebesar Rp. 131.428.572, estimasi penerimaan kotor ini terjadi
pada musim puncak penangkapan ikan. Dari estimasi penerimaan kotor per bulan
tersebut kemudian di potong dengan biaya-biaya yang telah dikeluarkan sebelumnya
meliputi estimasi biaya tetap dan biaya tidak tetap (Biaya operasional), dan dari hasil
pemotongan biaya-biaya tersebutmaka diperoleh hasil penerimaan bersih nelayan
sebesar Rp. 73.997.739,-; per bulan.
Hasil penerimaan bersih tersebut kemudian dibagi menjadi 3 bagian, Toke Boat
memperoleh hasil pendapatan sebesar Rp. 29.599.095,6,-; per bulan, Toke Bangku
memperoleh hasil pendapatan sebesar Rp. 7.399.774,-; per bulan, sedangkan nelayan
rumpon memperoleh hasil pendapatan sebesar Rp. 36.998.869,5, kemudian dari hasil
pendapatan tersebut dibagi menjadi 14 bagian, masing-masing nelayan rumpon
memperoleh pendapatan sebesar Rp. 2.642.776,3,-; per bulan. Estimasi pendapatan
ini diperoleh pada saat musim puncak dalam melakukan operasi penangkapan ikan
yaitu saat dimana jumlah hasil tangkapan nelayan berlimpah.
Pola bagi hasil nelayan pukat payang yang menggunakan alat bantu rumpon di
PPI Ujong Baroh dapat dilihat pada gambar 14.
38
Nilai hasil tangkapan
Gambar 14. Pola bagi hasil nelayan pukat payang yang menggunakan alat
bantu rumpon di PPI Ujong Baroh.
5.2. Pembahasan
5.2.1. Pendapatan Nelayan
Pendapatan pada usaha penangkapan ikan adalah nilai jual dari hasil
tangkapan setelah operasi penangkapan ikan selesai dilakukan, nilai pendapatan
nelayan tergantung dari jenis ikan dan berat total ikan yang tertangkap, dan yang
nantinya akan dijual, dari hasil penjualan tersebut maka akan diperoleh hasil
pendapatan nelayan (Lestariono, 2013).
Berdasarkan Boa (2013) hasil tangkapan nelayan sangat bergantung pada
keadaan rumpon, yakni letak rumpon dan jumlah rumpon. Apabila hasil tangkapan
banyak maka tentu saja akan berpengaruh terhadap tingkat pendapatan nelayan.
Pendapatan merupakan hasil bersih setelah dikurangi biaya-biaya sebelumnya,
dengan memperhitungkan biaya pengeluaran saat melakukan fishing ground per
bulan per rumpon, yang terdiri dari biaya tetap dan biaya tidak tetap atau biaya
39
Hasil bersih
14 bagian
1 bagian Pawang Laot
13 orang ABK
50% untuk ABK
40% untuk Toke Boat
Biaya tetap Biaya tidak tetap
(biaya operasional)
10% untuk Toke Bangku
operasional, penggunaan rumpon mampu meningkatkan produksi usaha dan
harioperasi per trip lebih pendek sehingga biaya operasional kapal lebih ekonomis.
Menurut nelayan rumpon di PPI Ujong Baroh penggunaan rumpon sangat
efektif digunakan dalam melakukan operasi penangkapan ikan, memudahkan nelayan
dalam menentukan daerah penangkapan ikan dan meminimumkan penggunaan bahan
bakar karena nelayan tidak perlu membuang waktu hanya untuk mencari lokasi yang
tepat dalam melakukan operasi penangkapan ikan. Umur ekonomis rumpon berkisar
2 tahun dan hanya setiap 2 bulan sekali nelayan mengganti pelepah kelapa. Sehingga
nelayan di PPI Ujong Baroh cenderung mampu meningkatkan hasil produksi
penangkapan yang berpengaruh terhadap meningkatnya pendapatan mereka.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di PPI Ujong Baroh Kabupaten
Aceh Barat, nelayan rumpon terdiri dari 1 orang Pawang Laot dan 13 orang ABK,
dari hasil penjualan bersih nelayan memperoleh pendapatan sebesar Rp.
36,998.869,5,-; per bulan, kemudian hasil pendapatan ini bagi menjadi 14 bagian
sehingga masing-masing nelayan rumpon memperoleh pendapatan sebesar Rp.
2.642.776,3,-; per bulan dan Toke Boat memperoleh hasil pendapatan sebesar Rp.
29.599.095,6,-; per bulan, sedangkan Toke Bangku memperoleh hasil pendapatan
sebesar Rp. 7.399.774. Estimasi pendapatan ini diperoleh pada saat musim puncak
dalam melakukan operasi penangkapan ikan yaitu saat dimana jumlah hasil
tangkapan nelayan berlimpah, musim puncak biasanya terjadi pada saat musim timur
yang berlangsung dari bulan April-Oktober.
5.2.2. Pola Bagi Hasil
Pola bagi hasil adalah pendapatan yang diterima nelayan tergantung pada hasil
tangkapan dan hasil produksi dan harga yang berlaku, dimana teknologi akan sangat
menentukan terhadap hasil usaha penangkapan diantaranya perlengkapan yang
digunakan, daerah penangkapan (fishing ground), cuaca saat penangkapan dan
efektitas alat tangkap yang digunakan selain itu juga pola bagi hasil yang diterapkan
(Muhartono et al., 2007).
40
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Muhartono et al., (2007) pola bagi
hasil yang ditetapkan pada kegiatan usaha perikanan dapat mempengaruhi besarnya
tingkat pendapatan bagi nelayan ABK maupun nelayan juragan. Pola bagi hasil yang
digunakan ialah dengan melakukan pemotongan hasil tangkapan untuk biaya
operasional kapal, biaya operasional terdiri Jan Coan (uang makan ABK) dan biaya
ransum di laut (BBM, makan dll), dan potongan bunga 3% untuk pemilik modal.
Kemudian uang jancoan (uang makan ABK) dibagi menjadi 7 bagian yaitu 2 bagian
untuk nahkoda dan 5 bagian untuk 5 orang ABK. Dan kemudian dilakukan
pemotongan untuk uang ransum, potongan ini berasal dari jumlah belanja bahan
kebutuhan (konsumsi, BBM, es) dikapal sebelum melakukan operasi penangkapan
ikan. Uang yang di dapat setelah dipotong biaya operasional kemudian di bagi dua
bagian 50% untu ABK dan 50% untuk Pemilik kapal.
Sedangkan, menurut penelitian yang dilakukan Napasau et al., (2015) sistem
bagi hasil yang terjadi di Teluk Manado antara pemilik pajeko dan pemilik rumpon,
yaitu 70% untuk pemilik pajeko dan 30% untuk pemilik rumpon dari hasil tangkapan
persatu unit rumpon. Sistem bagi hasil yang terjadi di Teluk Manado adalah bukan
berupa uang seperti sistem bagi hasil pada umumnya melainkan berupa hasil
tangkapan. Sedangkan untuk anggota yang menjaga rumpon atau melakukan operasi
penangkapan harus memberikan fee (biaya) kepada kelompok sebesar 2%. Sebagai
contoh, jika hasil tangkapan ikan pelagis yang di peroleh sebanyak 100 kg, maka
untuk pemilik pajeko mendapat 70 kg (Rp. 980.000) dan untuk pemilik rumpon
mendapat 30 kg (Rp. 420.000) dan fee dari pemilik rumpon untuk kelompok 1,5 kg
(Rp. 21.000).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Hafinuddin (2010) sistem bagi hasil di
PPI Meulaboh dapat dilihat pada gambar 15.
41B. Hasil penjualan
Pemodal/Toke Bangku
A. Modal kerja melaut (es, BBM, living cost)
Gambar 15. Sistem bagi hasil nelayan pukat banting (jaring) di Kabupaten
Aceh Barat PPI Meulaboh (Hafinuddin, 2010)
Bagi hasil yang terjadi adalah 5% diberikan kepada Toke Bangku selaku
pemberi modal melaut, dan dari sisa hasil 95% setelah dipotong biaya belanja melaut
maka akan dibagikan kepada Toke Boat dan nelayan, yang didasarkan pada
klasifikasi atau jenis boat/kapal, jumlah personal yang terlibat waktu melaut dan jenis
hasil tangkapan. Untuk boat/kapal pukat banting (jaring) dengan lama melaut satu
hingga tiga hari dengan jumlah nelayan 15 orang, maka pembagian sisa hasil 95%
akan dipotong kembali sebanyak 15%. Hasil pemotongan ini akan dibagi kepada
pawang sebesar 5%, masinis 5% dan sisa 5% adalah untuk tenaga kerja khusus
berdasarkan keahliannya masing-masing (pembagian biasa lebih dari satu orang).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Hafinuddin (2010) proporsi bagi hasil
nelayan pukat banting (jaring) di Kabupaten Aceh Barat PPI Meulaboh berbeda
dengan sistem bagi hasil nelayan pukat payang yang menggunakan alat bantu rumpon
di PPI Ujong Baroh Kabupaten Aceh Barat. Pola bagi hasil nelayan pukat payang
42
C. [(5%×B) + A
Toke Bangku
Pawang
Juru mesin
D. [95%× B) - A
G. Toke Boat H. Nelayan
ABK
E. 15% x D
E. 80% x D
5%
5%
5%
yang menggunakan alat bantu rumpon di PPI Ujong Baroh dapat dilihat pada gambar
16.
Gambar 16. Pola bagi hasil nelayan pukat payang yang menggunakan alat
bantu rumpon di PPI Ujong Baroh.
Pola bagi hasil nelayan rumpon di PPI Ujong Baroh yaitu jumlah hasil
tangkapan yang diperoleh kemudian dijual oleh Toke Bangku, dan dari hasil
penjualan yang diperoleh, Toke Boat kemudian memotong biaya-biaya yang telah
digunakan sebelumnya yang meliputi biaya tetap dan biaya tidak tetap. Proporsi bagi
hasil yang terjadi di PPI Ujong Baroh Kabupaten Aceh Barat adalah keuntungan
bersih dibagi menjadi 3 bagian yaitu 50% untuk nelayan, 40% untuk Toke Boat dan
10% lagi untuk Toke Bangku. Sedangkan modal konsumsi nelayan saat melaut
diperoleh dari Toke Bangku yaitu uang sebesar Rp. 100.000, dan untuk modal selain
konsumsi ditanggung oleh Toke Boat.
BAB VI
KESIMPULAN
43
10% untuk Toke Bangku
Biaya tetap Biaya tidak tetap (biaya
operasional)
14 bagian 1 bagian Pawang Laot13 orang ABK
50% untuk ABK
40% untuk Toke Boat
Hasil bersih
Nilai hasil tangkapan
6.1. Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan maka diperoleh kesimpulan:
1. Pendapatan masing-masing nelayan rumpon per bulan ialah Rp. 2.642.776,3,-;
Toke Boat Rp. 29.599.095,6,-; dan Toke Bangku Rp. 7.399.774. Pendapatan ini
diperoleh dari pemotongan biaya-biaya yang telah dikeluarkan sebelumnya
meliputi estimasi biaya tetap dan biaya tidak tetap (biaya operasional).
2. Sistem bagi hasil nelayan rumpon yang terjadi di PPI Ujong Baroh cukup adil
yaitu, Toke Boat mendapat 40% bagian, Nelayan 50% bagian sedangkan Toke
Bangku mendapat 10% bagian dari hasil bersih yang diperoleh.
6.2. Saran
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat disarankan:
1. Perlu adanya dukungan dari pemerintah daerah Kabupaten Aceh Barat dalam
meningkatkan ukuran kapal menjadi >10GT, hal ini mampu meningkatkan
volume produksi nelayan di Kabupaten Aceh Barat.
2. Perlu pengelolaan pemerintah tentang pemasangan rumpon di Kabupaten Aceh
Barat berdasarkan peraturan Menteri KP RI No. 26/Permen-KP/2014.
3. Perlu adanya pembaharuan (UU No.16 Tahun 1964) tentang pola bagi hasil
yang diterima nelayan oleh Kementrian Perikanan RI.
4. Perlu dilakukan penelitian komparasi tentang nelayan rumpon atau nelayan pukat
payang yang menggunakan rumpon dengan nelayan pukat payang yang tidak
menggunakan rumpon.
44