ISSN 1410-1939 JURNAL AGRONOMI in vitro... · 2018. 2. 25. · ISSN 1410-1939 59 RESPON IN VITRO...

13
ISSN 1410-1939 JURNAL AGRONOMI Publikasi Nasional Ilmu Budidaya Pertanian Volume 11, Nomor 2, Juli – Desember 2007 Diterbitkan sejak tahun 1996 oleh Fakultas Pertanian Universitas Jambi

Transcript of ISSN 1410-1939 JURNAL AGRONOMI in vitro... · 2018. 2. 25. · ISSN 1410-1939 59 RESPON IN VITRO...

Page 1: ISSN 1410-1939 JURNAL AGRONOMI in vitro... · 2018. 2. 25. · ISSN 1410-1939 59 RESPON IN VITRO ANTERA KEDELAI TERHADAP ZAT PENGATUR TUMBUH [THE IN VITRO RESPONSE OF SOYBEAN ANTHERS

ISSN 1410-1939

JURNAL

AGRONOMI Publikasi Nasional Ilmu Budidaya Pertanian Volume 11, Nomor 2, Juli – Desember 2007

Diterbitkan sejak tahun 1996 oleh Fakultas Pertanian Universitas Jambi

Page 2: ISSN 1410-1939 JURNAL AGRONOMI in vitro... · 2018. 2. 25. · ISSN 1410-1939 59 RESPON IN VITRO ANTERA KEDELAI TERHADAP ZAT PENGATUR TUMBUH [THE IN VITRO RESPONSE OF SOYBEAN ANTHERS

JURNAL AGRONOMI Publikasi Nasional Ilmu Budidaya Pertanian

Terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Desember, berisi tulisan yang diangkat dari hasil-hasil

penelitian dan kajian analisis-kritis di bidang ilmu budidaya pertanian (teknologi benih, perbanyakan

tanaman, pemuliaan tanaman, perlindungan tanaman, produksi tanaman, panen dan pasca panen,

bioteknologi tanaman, dan ilmu tanah). ISSN 1410-1939.

Ketua Penyunting

Zulkarnain

Wakil Ketua Penyunting

Sarman S.

Penyunting Pelaksana

Bambang Irawan

Nerty Soverda

Wilma Yunita

M. Syarif

Eliyanti

Pelaksana Tata Usaha

Husda Marwan

Gusniwati

M. Zuhdi

Alamat Penyunting dan Tata Usaha: Fakultas Pertanian Universitas Jambi, Kampus Pinang Masak,

Mendalo Darat, Jambi 36361. Telpon/Faksimil (0741) 583051 atau (0741) 582781 atau (0741) 62774.

Email: [email protected]

JURNAL AGRONOMI diterbitkan oleh Fakultas Pertanian Universitas Jambi dan Perhimpunan

Agronomi Indonesia (PERAGI) Komisariat Jambi. Dekan: Zulkifli, Pembantu Dekan I: A. Rahman,

Pembantu Dekan II: Sarman S., Pembantu Dekan III: Y.M.S. Rambe. Terbit pertama kali pada tahun

1996 dengan nama Buletin Agronomi Universitas Jambi.

Penyunting menerima sumbangan tulisan yang belum pernah diterbitkan pada media lain, baik cetak mau-

pun elektronik. Naskah tulisan diketik di atas kertas HVS ukuran A4 spasi ganda, panjang tulisan 10 – 20

halaman dengan format seperti tercantum pada halaman kulit dalam-belakang (“Pedoman Penulisan”).

Naskah yang masuk akan dievaluasi dan disunting untuk keseragaman format, istilah dan tata cara lainnya

tanpa mengubah isi tulisan. Kontribusi penulisan sebesar Rp100.000,00 bagi pelanggan dan Rp150.000,00

bagi bukan pelanggan untuk setiap artikel yang dimuat, dan dapat dibayar setelah ada pemberitahuan

pemuatan tulisan. Penulis yang artikelnya dimuat akan mendapatkan lima eksemplar cetak lepas dan satu

eksemplar nomor bukti pemuatan. Artikel yang tidak dimuat tidak akan dikembalikan.

Harga berlanganan (sudah termasuk ongkos kirim): Rp150.000,00 per tahun, Rp250.000,00 per dua tahun

atau Rp300.000,00 per tiga tahun untuk dua nomor penerbitan setiap tahun.

Page 3: ISSN 1410-1939 JURNAL AGRONOMI in vitro... · 2018. 2. 25. · ISSN 1410-1939 59 RESPON IN VITRO ANTERA KEDELAI TERHADAP ZAT PENGATUR TUMBUH [THE IN VITRO RESPONSE OF SOYBEAN ANTHERS

JURNAL AGRONOMI Publikasi Nasional Ilmu Budidaya Pertanian

Volume 11, Nomor 2, Juli – Desember 2007

Daftar Isi

Respon In Vitro Antera Kedelai terhadap Zat Pengatur Tumbuh

Nyimas Myrna Elsa Fathia dan Zulkarnain 59 - 67

Pengaruh Jumlah Nodus terhadap Pengakaran Stek-Mikro Kentang (Solanum

tuberosum L.)

Jasminarni 69 - 72

Subtitusi Pupuk Anorganik dengan Kascing pada Pembibitan Kakao (Theobroma

cacao L.) di Polybag

Ardyaningsih Puji Lestari, Hanibal, Sarman Syamsuddin 73 - 76

Respon Tanaman Semangka (Citrullus vulgaris Schard.) terhadap Pemberian

Berbagai Dosis Abu Sabut Kelapa

Tiur Hermawati 77 - 79

Pengaruh Kombinasi Tanah Gambut dan Tanah Mineral sebagai Media

Pertumbuhan Bibit Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) di Pembibitan

Utama

Hanibal 81 - 84

Pengaruh Berbagai Kadar Air Tanah terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman

Kedelai yang Diberi Mikoriza Vesikular Arbuskular

Nerty Soverda, Mapegau dan Feni Destri 85 - 89

Pertumbuhan dan Hasil Jagung Manis (Zea mays saccharata Sturry) pada

Berbagai Konsentrasi Efektif Mikroorganisme-4 (EM-4) dan Waktu

Fermentasi Janjang Kelapa Sawit

Budiyati Ichwan 91 - 94

Respon Tanaman Jagung Manis (Zea mays saccharata Sturt) terhadap Pemberian

Kompos Sampah Kota

Irianto 95 - 97

Keragaman Genetik Rhizophora mucronata Lamk. di Hutan Bakau Jambi

Hamzah 99 - 105

Variasi Somaklonal sebagai Salah Satu Sumber Keragaman Genetik untuk

Perbaikan Sifat Tanaman

Ahmad Riduan 107 - 112

Pedoman Penulisan

Page 4: ISSN 1410-1939 JURNAL AGRONOMI in vitro... · 2018. 2. 25. · ISSN 1410-1939 59 RESPON IN VITRO ANTERA KEDELAI TERHADAP ZAT PENGATUR TUMBUH [THE IN VITRO RESPONSE OF SOYBEAN ANTHERS

ISSN 1410-1939

59

RESPON IN VITRO ANTERA KEDELAI TERHADAP ZAT PENGATUR

TUMBUH

[THE IN VITRO RESPONSE OF SOYBEAN ANTHERS TO PLANT GROWTH

REGULATORS]

Nyimas Myrna Elsa Fathia dan Zulkarnain Fakultas Pertanian Universitas Jambi

Kampus Pinang Masak, Mendalo Darat, Jambi 36361

Telp./Fax (0741) 583051 - 582781

Email: [email protected]

Abstract

This investigation was aimed at studying the effect of types and concentrations of auxins and cytokinins on the

growth and development of anthers of two soybean cultivars, Merubetiri and Wilis cultured in vitro. The trial

was conducted at Plant Biotechnology Laboratory, Agricultural Faculty, University of Jambi, from February

through to September 2006. Anthers were cultured on MS solid medium provided with IAA, 2,4-D or NAA as

auxin source in combination with BAP or kinetin as cytokinin source. Each growth regulators was tested at 0,

5, 10, 15 and 20 µM. The experiment was placed in a completely randomized design with five replicates. Each

replicates consisted of 8 to 10 anthers obtained from the same floral bud. Cultures were placed in a light

intensity of 50 µmol m-2 s-1 and 16 hours photoperiod at 25 ± 1 oC. Observation was done weekly for 8 weeks of

culture. Results indicated that response showed by anthers cultured on medium supplemented with 2,4-

D+BAP, IAA+BAP and NAA+BAP, in the form of callus proliferation, occurred within 5 – 18 days of culture

initiation. Meanwhile, with 2,4-D+kinetin, IAA+kinetin and NAA+kinetin, callus proliferation took place

within 4 – 16 days of culture initiation. Callus formation was preceded by a swollen on the surface of anthers,

followed by changing in color from light green to brownish. Following this, anther wall turned into amorphous

shape, before it was finaly covered by a white, cream or light green callus mass. Initially, the callus showed

friable or compact structure, but following two weeks of proliferation all callus showed compact structure.

Among growth regulators tested, combination involving 2,4-D produced more callus than other combinations.

In addition, of the two cultivars tested, Merubetiri showed better response compared to Wilis.

Key words: growth regulators, anther culture, in vitro culture, soybean, Glycine max.

PENDAHULUAN

Teknologi haploid menawarkan lebih banyak

keunggulan dibandingkan metoda pemuliaan kon-

vensional. Dengan teknologi ini, tanaman homo-

zigot dapat dihasilkan hanya dalam waktu satu ge-

nerasi, sedangkan dengan metoda pemuliaan kon-

vensional dibutuhkan proses seleksi yang mema-

kan waktu 5 – 6 generasi untuk mendapatkan ta-

naman homozigot (Taji et al., 2002). Sejumlah

sifat-sifat unggul, a.l. toleransi terhadap kondisi

lingkungan yang kurang menguntungkan, seperti

kekeringan, suhu rendah, hara rendah ataupun kan-

dungan logam berat yang tinggi di dalam tanah

merupakan karakter resesif yang dapat dideteksi

secara dini pada tanaman haploid. Selain itu, per-

masalahan yang berkaitan dengan silang luar dan

inkompatibilitas sendiri (self incompatibility) dapat

pula diatasi dengan pemanfaatan teknologi ini.

Tanaman haploid dapat diregenerasikan lewat

embriogenesis mikrospora, baik melalui kultur an-

tera mau pun kultur mikrospora. Tanaman haploid

tidak memiliki pasangan kromosom yang homo-

log, sehingga pada saat meiosis berlangsung kro-

mosom-kromosomnya tidak berpasang-pasangan

seperti halnya pada tanaman normal (diploid). Me-

lalui teknik in vitro tanaman haploid dapat direge-

nerasikan secara langsung dari gamet jantan mau-

pun betina tanpa melalui proses pembuahan. Akan

tetapi berbeda dengan tanaman normal (diploid),

individu-individu haploid bersifat steril. Apabila

komplemen kromosomnya digandakan secara bu-

atan, misalnya menggunakan kolkisin atau oryza-

lin, maka tanaman tersebut akan menjadi doubled-

haploid. Sebagaimana dengan induk haploid yang

homozigous, tanaman doubled-haploid juga bersi-

fat homozigous. Bedanya adalah tanaman doubled-

haploid bersifat fertil sehingga bisa diperbanyak

secara seksual.

Produksi tanaman haploid mau pun doubled-

haploid telah berhasil dilakukan pada spesies ta-

naman monokotil seperti Oryza sativa (Lentini et

Page 5: ISSN 1410-1939 JURNAL AGRONOMI in vitro... · 2018. 2. 25. · ISSN 1410-1939 59 RESPON IN VITRO ANTERA KEDELAI TERHADAP ZAT PENGATUR TUMBUH [THE IN VITRO RESPONSE OF SOYBEAN ANTHERS

Jurnal Agronomi Vol. 11 No. 2, Juli – Desember 2007

60

al., 1995; Aryan, 2002) dan Triticum aestivum

(Touraev et al., 1996). Teknologi ini juga telah

berhasil diterapkan pada tanaman-tanaman dikotil

seperti Brassica napus (Lichter, 1982), Populus sp.

(Hyun et al., 1986), Malus domestica (Höfer et al.,

1999), dan Anemone sp., Zantedeschia sp. dan

Delphinium sp. (Custers et al., 2001). Juga ditemu-

kan adanya laporan tentang regenerasi tanaman ha-

ploid dari kultur antera maupun kultur mikrospora

pada tanaman legum seperti Medicago sativa

(Zagorska et al., 1997), Cajanus cajun (Kaur dan

Bhalla, 1998), Lupinus spp. (Bayliss et al., 2002)

dan sejumlah tanaman legum pohon seperti Albiz-

zia lebbeck (Gharyal et al., 1983) and Peltophorum

pterocarpum (Rao dan De, 1987). Namun demiki-

an, belum ditemukan adanya laporan penelitian

mengenai regenerasi tanaman baik haploid mau

pun doubled-haploid dari kultur antera atau pun

mikrospora tanaman kedelai untuk tujuan pemulia-

an tanaman.

Keberhasilan induksi embriogenesis mikrospo-

ra dipengaruhi oleh banyak faktor, di antaranya

adalah keterlibatan zat pengatur tumbuh, terutama

auksin dan sitokinin, di dalam medium kultur.

Aplikasi zat pengatur tumbuh pada medium

kultur perlu dilakukan untuk berhasilnya induksi

embriogenesis mikrospora. Auksin dan sitokinin

adalah dua zat pengatur tumbuh yang paling ba-

nyak penggunaannya pada kultur antera berbagai

spesies tanaman. Pada kultur antera tanaman famili

Poaceae and Brassicaceae 2,4-dichlorophenoxy-

acetic acid (2,4-D) seringkali digunakan (Bishnoi

et al., 2000). Mitykó et al. (1996) menggunakan

2,4-D dan kinetin untuk menginduksi pembentuk-

an embrio pada kultur antera Capsicum annuum,

dan zat pengatur tumbuh yang sama juga diguna-

kan oleh Metwally et al. (1998) untuk mendapat-

kan plantlet haploid dari kultur antera Cucurbita

pepo. Plantlet hijau yang sehat berhasil diregene-

rasikan dari kultur mikrospora Hordeum vulgare

pada medium yang dilengkapi dengan auksin se-

perti indoleacetic acid (IAA) atau naphthalene-

acetic acid (NAA) (Castillo et al., 2000).

Kinetin and benzylamino purine (BAP) adalah

dua sitokinin yang berfungsi meningkatkan rege-

nerasi pucuk dari dalam kalus yang diproliferasi-

kan dari kultur antera Oryza sativa (Bishnoi et al.,

2000). Jenis sitokinin yang lain, zeatin, diketahui

lebih efektif daripada thidiazuron (TDZ) dalam

meningkatkan perkembangan pucuk dari dalam

kalus yang diregenerasikan dari kultur antera

Linum usitatissimum (Chen et al., 1998a).

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pe-

ngaruh sumber auksin dan sitokinin yang diberikan

pada berbagai taraf konsentrasi terhadap pertum-

buhan dan perkembangan antera kedelai kultivar

Merubetiri dan Wilis dalam sistem in vitro.

BAHAN DAN METODA

Persiapan tanaman induk

Tanaman induk yang digunakan pada peneliti-

an ini adalah kedelai kultivar Merubetiri dan Wilis.

Benih kedelai dikecambahkan dan ditumbuhkan di

dalam polybag dan dipelihara di kebun percobaan

Fakultas Pertanian Universitas Jambi, Desa Men-

dalo Darat. Pemeliharaan tanaman mengikuti pro-

sedur kultur teknik yang umum dilakukan, yakni

penyiraman air, pemberantasan hama dan penya-

kit, pengendalian gulma dan pemupukan untuk

mendapatkan tanaman yang sehat. Penanaman ba-

han induk dilakukan setiap 3 – 4 minggu guna

menjamin ketersediaan bahan eksplan (tunas bu-

nga) yang cukup selama penelitian.

Medium kultur

Penelitian ini menggunakan medium dasar MS

(Murashige dan Skoog, 1962) yang dilengkapi de-

ngan vitamin dan sukrosa. Sebanyak 10 mL dari

masing-masing larutan stok dimasukkan ke dalam

gelas piala berisi lebih-kurang 200 mL air suling

dan aduk secara konstan. Selanjutnya ditambahkan

sukrosa sebanyak 30 g, dan volume larutan dijadi-

kan 1 L dengan penambahan air suling. Kemasam-

an medium ditetapkan 5,8 0,02 dengan menam-

bahkan NaOH 1 M atau HCl 0,5 M. Pemadatan

medium dilakukan dengan memberikan Bacto

Bitek agar-agar sebanyak 8 g, yang dilarutkan

dengan pemanasan sebelum medium tersebut di-

bagi-bagi ke dalam botol kultur dan disterilkan de-

ngan otoklaf pada tekanan 1.1 kg cm-1 (103 kPa)

pada suhu 121oC selama 20 menit.

Eksplan

Bahan tanaman yang digunakan sebagai eks-

plan adalah antera yang diperoleh dari tunas bunga

muda berukuran panjang 2,5 – 3,5 mm. Setelah di-

sterilkan dengan alkohol 70% selama lebih-kurang

10 detik, kelopak dan mahkota bunga dibuang de-

ngan hati-hati, lalu antera dipisahkan dari filamen

untuk selanjutnya dikulturkan pada media yang te-

lah disiapkan.

Setelah dikulturkan antera selanjutnya dipeliha-

ra di dalam ruang kultur dengan suhu 25 1oC.

Lama pencahayaan adalah 16 jam per hari yang di-

peroleh dari lampu fluorescence dengan intensitas

lebih-kurang 50 µmol m-2 s-1. Pertumbuhan dan

perkembangan kultur diamati setiap minggu sela-

ma 8 minggu.

Page 6: ISSN 1410-1939 JURNAL AGRONOMI in vitro... · 2018. 2. 25. · ISSN 1410-1939 59 RESPON IN VITRO ANTERA KEDELAI TERHADAP ZAT PENGATUR TUMBUH [THE IN VITRO RESPONSE OF SOYBEAN ANTHERS

Nyimas Myrna Elsa Fathia dan Zulkarnain: Respon In Vitro Antera Kedelai terhadap ZPT.

61

HASIL DAN PEMBAHASAN

Respon yang diperlihatkan oleh eksplan antera

dari dua kultivar kedelai (Merubetiri dan Wilis)

yang dikulturkan pada medium MS (Murashige

dan Skoog, 1962) padat yang dilengkapi dengan

IAA dan BAP, 2,4-D dan BAP dan NAA dan

BAP, masing-masing pada taraf konsentrasi 0, 5,

10, 15 dan 20 µM adalah berupa proliferasi kalus

yang terjadi dalam kurun waktu 5 – 18 hari setelah

tanam. Pembentukan kalus diawali dengan terjadi-

nya pembengkakan pada permukaan antera, yang

berlanjut dengan terjadinya perubahan warna dari

hijau muda menjadi kecoklatan. Dalam perkem-

bangan selanjutnya dinding antera menjadi tidak

rata (amorf), dan akhirnya antera diselimuti oleh

massa kallus.

Sementara itu pada kultur yang tidak memben-

tuk kalus, antera mengalami perubahan warna dari

hijau menjadi putih atau coklat dan tidak memper-

lihatkan perkembangan lebih lanjut.

Jumlah eksplan membentuk kalus

Perlakuan kombinasi konsentrasi IAA dan BAP

Pada kultivar Wilis, dari semua perlakuan yang

dicobakan hanya satu perlakuan yang memperli-

hatkan pengaruh berupa pembentukan kalus, yaitu

IAA 15µM + BAP 10 µM (1 eksplan). Sedangkan

perlakuan-perlakuan lain tidak memperlihatkan

pengaruh terhadap perkembangan eksplan; dengan

kata lain eksplan mati, yang ditunjukkan oleh pe-

rubahan warna antera yang semula berwarna hijau

menjadi putih dan sebagian lagi cenderung menja-

di kecoklatan tanpa adanya pembentukan kalus.

Kondisi yang serupa juga terjadi pada kultivar

Merubetiri, di mana pembentukan kalus hanya ber-

langsung pada eksplan yang dikulturkan pada me-

dium dengan IAA 15µM + BAP 10 µM (2 eks-

plan), pada medium dengan IAA 20 µM + BAP 5

µM (1 eksplan), dan pada medium dengan IAA

20µM + BAP 15 µM (1 eksplan). Sama seperti

halnya pada kultivar Wilis, eksplan yang tidak

membentuk kalus mengalami perubahan warna da-

ri hijau menjadi putih atau kecoklatan dan mati.

Perlakuan kombinasi konsentrasi IAA dan kinetin

Sama sepertihalnya dengan perlakuan IAA +

BAP, antera kedelai baik dari kultivar Wilis mau-

pun Merubetiri yang dikulturkan pada medium

yang dilengkapi dengan IAA + kinetin tidak mem-

perlihatkan respon yang memuaskan. Pada kultivar

Wilis, kalus hanya terbentuk pada perlakuan IAA

20 µM + kinetin 10 µM (1 eksplan) dan perlakuan

IAA 20µM + kinetin 20 µM (1 eksplan). Sedang-

kan pada kultivar Merubetiri, respon yang yang

diperlihatkan juga hampir sama, di mana prolife-

rasi kalus hanya terjadi pada perlakuan IAA 5 µM

+ kinetin 15 µM (2 eksplan) dan IAA 10 µM + ki-

netin 20 µM (1 eksplan). Sementara itu eksplan

yang dikulturkan pada medium lainnya berubah

warna dari hijau menjadi putih atau menjadi keco-

klatan tanpa adanya proliferasi kalus.

Perlakuan kombinasi konsentrasi 2,4-D dan BAP

Pada antera kedelai kultivar Wilis, pembentuk-

an kalus terjadi pada eksplan yang dikulturkan pa-

da medium dengan 2,4-D 5 µM + BAP 15 µM,

2,4-D 10 µM + BAP 0 µM dan 2,4-D 20 µM +

BAP 0 µM. Sedangkan pada kultivar Merubetiri,

pembentukan kalus terjadi pada antera yang dita-

nam pada medium dengan 2,4-D 0 µM + BAP 20

µM, 2,4-D 5 µM + BAP 10 µM, 2,4-D 15 µM +

BAP 10 µM, 2,4-D 15 µM + BAP 15 µM, 2,4-D

20 µM + BAP 0 µM, dan 2,4-D 20 µM + BAP 10

µM (Tabel 1). Sementara itu eksplan yang dikul-

turkan pada medium lain tidak memperlihatkan

respon perkembangan, namun mengalami peru-

bahan warna dari hijau menjadi putih dan sebagian

lagi cenderung menjadi kecoklatan dan mati.

Tabel 1. Jumlah eksplan antera kedelai kultivar

Wilis dan Merubetiri yang membentuk

kalus pada perlakuan zat pengatur tumbuh

2,4-D + BAP.

Zat pengatur tumbuh Σ eksplan berkalus (%)

2,4-D (µM) BAP (µM) Wilis Merubetiri

0 20 - 20

5 10 - 20

15 10 - 80

15 15 - 20

20 0 40 80

20 10 - 80

5 15 20 -

10 0 20 -

Perlakuan kombinasi konsentrasi 2,4-D dan kinetin

Kehadiran 2,4-D dan kinetin di dalam medium

kultur sangat besar pengaruhnya terhadap pemben-

tukan kalus pada antera kedelai, di mana hampir

semua perlakuan yang dicobakan mampu mengin-

duksi proliferasi kalus pada antera yang dikultur-

kan, kecuali perlakuan tanpa 2,4-D, 2,4-D 5 µM +

kinetin 0 µM, 2,4-D 5 µM + kinetin 15 µM, 2,4-D

5 µM + kinetin 20 µM, 2,4-D 10 µM + kinetin 0

µM, 2,4-D 15 µM + kinetin 0 µM, 2,4-D 15 µM +

kinetin 15 µM, dan 2,4-D 15 µM + kinetin 20 µM.

Page 7: ISSN 1410-1939 JURNAL AGRONOMI in vitro... · 2018. 2. 25. · ISSN 1410-1939 59 RESPON IN VITRO ANTERA KEDELAI TERHADAP ZAT PENGATUR TUMBUH [THE IN VITRO RESPONSE OF SOYBEAN ANTHERS

Jurnal Agronomi Vol. 11 No. 2, Juli – Desember 2007

62

Sementara itu pada kultivar Merubetiri, respon

proliferasi kalus diperlihatkan oleh antera yang di-

kulturkan pada sebagian besar medium yang di-

lengkapi dengan 2,4-D dan kinetin, kecuali pada

medium tanpa 2,4-D, 2,4-D 5 µM + kinetin 0 µM,

2,4-D 15 µM + kinetin 5 µM, 2,4-D 15 µM +

kinetin 20 µM, dan 2,4-D 20 µM + kinetin 5 µM.

Data hasil pengamatan terhadap jumlah antera

yang membentuk kalus dari kedua kulivar kedelai

yang diuji pada medium yang dilengkapi dengan

2,4-D + kinetin pada berbagai konsentrasi selan-

jutnya disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Jumlah eksplan antera kedelai kultivar

Wilis dan Merubetiri yang membentuk

kalus pada perlakuan zat pengatur tumbuh

2,4-D + kinetin.

Zat pengatur tumbuh Σ eksplan berkalus (%)

2,4-D (µM) kinetin (µM) Wilis Merubetiri

5 5 20 40

5 10 - 40

5 15 - 20

5 20 20 60

10 0 - 20

10 5 80 40

10 10 80 40

10 15 40 40

10 20 20 80

15 0 - 40

15 5 40 -

15 10 - 40

15 15 60 60

15 20 - -

20 0 80 20

20 5 20 -

20 10 60 100

20 15 40 100

20 20 60 80

Perlakuan kombinasi konsentrasi NAA dan BAP

Antera kedelai kultivar Wilis yang memperli-

hatkan respon adalah yang dikulturkan pada medi-

um yang dilengkapi dengan NAA 0 µM + BAP 10

µM, NAA 10 µM + BAP 5 µM, NAA 15 µM +

BAP 15 µM, NAA 20 µM + Bap 0 µM, dan NAA

20 µM + BAP 20 µM. Sementara itu pada kultivar

Merubetiri, antera yang memberikan respon adalah

yang dikulturkan pada medium yang dilengkapi

dengan NAA 0 µM + BAP 10 µM, NAA 0 µM +

BAP 20 µM, NAA 5 µM + BAP 0 µM, NAA 5

µM + BAP 10 µM, NAA 10 µM + BAP 0 µM,

NAA 10 µM + BAP 10 µM, NAA 10 µM + BAP

15 µM, NAA 10 µM + BAP 20 µM, dan NAA 15

µM + BAP 15 µM, NAA 15 µM + BAP 20 µM,

NAA 20 µM + BAP 0 µM, NAA 20 µM + 5 µM,

dan NAA 20 µM + BAP 20 µM.

Data hasil pengamatan terhadap jumlah antera

yang membentuk kalus dari kedua kulivar kedelai

yang diuji selanjutnya disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Jumlah eksplan antera kedelai kultivar

Wilis dan Merubetiri yang membentuk

kalus pada perlakuan zat pengatur tumbuh

NAA + BAP.

Zat pengatur tumbuh Σ eksplan berkalus (%)

NAA (µM) BAP (µM) Wilis Merubetiri

0 0 - 80

0 10 20 60

0 20 - 40

5 0 - 60

5 10 - 20

10 0 - 20

10 5 40 -

10 10 - 20

10 15 - 60

10 20 - 80

15 15 20 20

15 20 - 40

20 0 20 20

20 5 - 40

20 20 20 80

Perlakuan kombinasi konsentrasi NAA dan kinetin

Pada perlakuan kombinasi NAA dan kinetin,

respon proliferasi kalus diperlihatkan oleh antera

kedelai kultivar Wilis yang dikulturkan pada medi-

um dengan NAA 10 µM + BAP 5 µM, NAA 15

µM + BAP 0 µM, NAA 15 µM + BAP 5 µM,

NAA 20 µM + BAP 5 µM, dan NAA 20 µM +

BAP 10 µM. Sedangkan pada kultivar Merubetiri

antera yang memperlihatkan respon adalah pada

medium yang dilengkapi dengan NAA 5 µM +

BAP 10 µM, NAA 5 µM + BAP 20 µM, NAA 10

µM + BAP 5 µM, NAA 10 µM + BAP 10 µM,

NAA 10 µM + BAP 15 µM, NAA 10 µM + BAP

Page 8: ISSN 1410-1939 JURNAL AGRONOMI in vitro... · 2018. 2. 25. · ISSN 1410-1939 59 RESPON IN VITRO ANTERA KEDELAI TERHADAP ZAT PENGATUR TUMBUH [THE IN VITRO RESPONSE OF SOYBEAN ANTHERS

Nyimas Myrna Elsa Fathia dan Zulkarnain: Respon In Vitro Antera Kedelai terhadap ZPT.

63

20 µM, NAA 15 µM + BAP 0 µM, NAA 15 µM +

BAP 15 µM, NAA 15 µM + BAP 20 µM, NAA 20

µM + BAP 5 µM, dan NAA 20 µM + BAP 10 µM.

Data jumlah antera yang membentuk kalus dari

kedua kulivar kedelai yang diuji pada medium de-

ngan konsentrasi NAA dan BAP yang berbeda di-

sajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Jumlah eksplan antera kedelai kultivar

Wilis dan Merubetiri yang membentuk

kalus pada perlakuan zat pengatur tumbuh

NAA + kinetin.

Zat pengatur tumbuh Jumlah eksplan

berkalus (%)

NAA (µM) kinetin (µM) Wilis Merubetiri

5 10 - 20

5 20 - 20

10 5 20 20

10 10 - 40

10 15 - 20

10 20 - 20

15 0 20 20

15 5 20 -

15 15 - 20

15 20 - 40

20 5 20 20

20 10 80 20

Waktu muncul kalus

Data yang dikumpulkan selama penelitian ber-

langsung mengungkapkan bahwa proliferasi kalus

pada permukaan antera yang dikulturkan pada me-

dium yang dilengkapi dengan BAP terjadi pada

rentang waktu 5 sampai 18 hari setelah tanam (Ta-

bel 5). Sedangkan pada medium yang dilengkapi

dengan kinetin, proliferasi kalus terjadi dalam ku-

run waktu 4 sampai 16 hari (Tabel 6).

Warna kalus

Secara umum pada perlakuan BAP sebagai

sumber sitokinin yang dikombinasikan dengan 2,4-

D, IAA dan NAA sebagai sumber auksin, warna

kalus pada awal pembentukannya adalah transpa-

ran kehijauan, kecuali pada perlakuan yang meli-

batkan 2,4-D, kalus yang diregenerasikan berwar-

na putih transparan yang selanjutnya menjadi krem

transparan (Gambar 5A). Pada media dengan IAA

sebagai sumber auksin, kalus yang semula berwar-

na hijau transparan berangsur-angsur berubah

menjadi hijau muda sebelum akhirnya menjadi hi-

jau tua (Gambar 6A, B). Sementara itu pada medi-

um yang dilengkapi dengan NAA, kalus yang pada

awalnya berwarna hijau transparan, setelah 2

minggu berangsur-angsur berubah warna menjadi

putih kehijauan atau hijau muda (Gambar 1).

Tabel 5. Waktu inisiasi kalus pada antera kedelai

kultivar Wilis dan Merubetiri yang dikul-

turkan pada medium dengan BAP dan je-

nis auksin yang berbeda.

Zat pengatur tumbuh Waktu untuk

inisiasi kalus (hst)

Auksin Sitokinin Wilis Merubetiri

0 µM 2,4-D 20 µM BAP - 7

0 µM NAA 0 µM BAP - 5

0 µM NAA 10 µM BAP 5 5

0 µM NAA 20 µM BAP - 5

5 µM 2,4-D 10 µM BAP - 7

5 µM 2,4-D 15 µM BAP 7 -

5 µM NAA 0 µM BAP - 5

5 µM NAA 10 µM BAP - 5

10 µM 2,4-D 0 µM BAP 7 -

10 µM NAA 0 µM BAP - 5

10 µM NAA 5 µM BAP 7 -

10 µM NAA 10 µM BAP - 5

10 µM NAA 15 µM BAP - 5

10 µM NAA 20 µM BAP - 9 – 11

15 µM 2,4-D 10 µM BAP - 8

15 µM 2,4-D 15 µM BAP - 7

15 µM IAA 10 µM BAP 5 14

15 µM NAA 15 µM BAP 7 5

15 µM NAA 20 µM BAP - 5 – 11

20 µM 2,4-D 0 µM BAP 6 5 - 7

20 µM 2,4-D 10 µM BAP - 7 - 8

20 µM IAA 5 µM BAP - 18

20 µM IAA 15 µM BAP - 16

20 µM NAA 0 µM BAP 5 18

20 µM NAA 5 µM BAP - 5

20 µM NAA 20 µM BAP - 5 - 12

Perubahan warna pada kalus yang diregenera-

sikan pada medium dengan NAA umumnya terjadi

pada kultivar Wilis, sedangkan pada kultivar Me-

rubetiri perubahan warna hanya terjadi pada perla-

kuan NAA 20 µM + BAP 20 µM. Selain berubah

menjadi putih kehijauan atau hijau muda, kalus

yang diregenerasikan dari antera kedelai kultivar

Merubetiri yang dikulturkan pada medium dengan

NAA juga ada yang berubah menjadi hijau, teruta-

ma pada media NAA 0 µM + BAP 20 µM, NAA

15 µM + BAP 20 µM dan NAA 20 µM + BAP 20

µM, atau menjadi hijau muda, terutama pada medi-

um dengan NAA 15 µM + BAP 20 µM, NAA 10

Page 9: ISSN 1410-1939 JURNAL AGRONOMI in vitro... · 2018. 2. 25. · ISSN 1410-1939 59 RESPON IN VITRO ANTERA KEDELAI TERHADAP ZAT PENGATUR TUMBUH [THE IN VITRO RESPONSE OF SOYBEAN ANTHERS

Jurnal Agronomi Vol. 11 No. 2, Juli – Desember 2007

64

µM + BAP 20 µM dan NAA 20 µM + BAP 20

µM.

Gambar 1. Kalus berwarna putih kehijauan yang

diregenerasikan dari antera yang dikul-

turkan pada medium yang dilengkapi

dengan NAA + BAP.

Pada umur 4 minggu setelah tanam, kalus yang

berwarna hijau muda mulai mengalami pencoklat-

an pada bagian sisinya yang bersentuhan dengan

medium kultur. Sedangkan kalus yang berwarna

putih hingga krem memerlukan waktu yang lebih

lama untuk mengalami pencoklatan, yaitu 10

minggu setelah tanam.

Sementara itu warna kalus yang berproliferasi

dari antera kedua kultivar kedelai yang dikulturkan

pada medium yang dilengkapi dengan kinetin se-

bagai sumber sitokinin yang dikombinasikan de-

ngan 2,4-D, IAA dan NAA sebagai sumber auksin

tidak memperlihatkan perbedaan yang mencolok

antar sumber auksin. Pada umumnya, terlepas dari

sumber auksin yang digunakan, kalus pada medi-

um dengan kinetin sebagai sumber sitokinin ber-

warna putih transparan sampai krem (Gambar 2).

Gambar 2. Kalus berwarna putih, krem dan kehi-

jauan yang diregenerasikan dari antera

yang dikulturkan pada medium yang

dilengkapi dengan kinetin sebagai sum-

ber sitokinin dan 2,4-D (A), IAA (B)

dan NAA (C) sebagai sumber auksin

(umur 2 minggu setelah inisiasi).

Tabel 6. Waktu inisiasi kalus pada antera kedelai

kultivar Wilis dan Merubetiri yang dikul-

turkan pada medium dengan kinetin dan

jenis auksin yang berbeda.

Zat pengatur tumbuh Waktu untuk inisiasi

kalus (hst)

Auksin Sitokinin Wilis Merubetiri

5 µM 2,4-D 5 µM kin. 13 9 – 10

5 µM 2,4-D 10 µM kin. – 10 – 12

5 µM 2,4-D 15 µM kin. – 9 – 10

5 µM 2,4-D 20 µM kin. 11 6 – 10

5 µM IAA 15 µM kin. – 7 – 8

10 µM IAA 20 µM kin. – 11

5 µM NAA 10 µM kin. – 7

5 µM NAA 20 µM kin. – 6

10 µM 2,4-D 0 µM kin. – 9

10 µM 2,4-D 5 µM kin. 9 – 15 11

10 µM 2,4-D 10 µM kin. 11 – 13 12 – 14

10 µM 2,4-D 15 µM kin. 6 – 11 9 – 10

10 µM 2,4-D 20 µM kin. 13 5 – 9

10 µM NAA 5 µM kin. 10 8

10 µM NAA 10 µM kin. – 8

10 µM NAA 15 µM kin. – 7

10 µM NAA 20 µM kin. – 7 – 8

15 µM 2,4-D 0 µM kin. 9 – 13 8 - 10

15 µM 2,4-D 5 µM kin. 9 – 13

15 µM 2,4-D 10 µM kin. – 9 – 14

15 µM 2,4-D 15 µM kin. 9 – 15 9 – 14

15 µM NAA 0 µM kin. 10 6 – 7

15 µM NAA 10 µM kin. 9 – 11 –

15 µM NAA 5 µM kin. 6 – 9 –

15 µM NAA 15 µM kin. – 8

15 µM NAA 20 µM kin. 7 – 8

20 µM 2,4-D 0 µM kin. 7 – 9 8 – 13

20 µM 2,4-D 10 µM kin. 6 – 16 6 – 13

20 µM 2,4-D 5 µM kin. 12 – 14 –

20 µM 2,4-D 15 µM kin. 7 – 10 8 – 10

20 µM 2,4-D 20 µM kin. 4 – 10 9 – 13

20 µM IAA 15 µM kin. 7 –

20 µM IAA 20 µM kin. 10 –

20 µM NAA 5 µM kin. – 4

20 µM NAA 20 µM kin. – 6

Page 10: ISSN 1410-1939 JURNAL AGRONOMI in vitro... · 2018. 2. 25. · ISSN 1410-1939 59 RESPON IN VITRO ANTERA KEDELAI TERHADAP ZAT PENGATUR TUMBUH [THE IN VITRO RESPONSE OF SOYBEAN ANTHERS

Nyimas Myrna Elsa Fathia dan Zulkarnain: Respon In Vitro Antera Kedelai terhadap ZPT.

65

Struktur kalus

Secara umum, pada awal pembentukannya ka-

lus yang berproliferasi dari antera kedua kultivar

kedelai yang dikulturkan pada medium dengan se-

mua kombinasi auksin dan sitokinin yang diuji me-

miliki struktur yang beragam, yakni mulai dari

kompak sampai remah. Akan tetapi setelah melam-

paui umur 4 minggu proliferasi, kalus tersebut s-

makin memperlihatkan karakteristik yang seragam,

yaitu semuanya memiliki struktur yang kompak

(Gambar 3).

Gambar 3. Visualisasi contoh struktur yang kom-

pak dari kalus yang berproliferasi pada

antera kedelai kultivar Merubetiri yang

dikulturkan pada medium yang dileng-

kapi dengan BAP (A) dan kinetin (B)

sebagai sumber sitokinin (umur kalus 4

minggu setelah proliferasi).

Pembahasan

Semua kalus yang terbentuk berproliferasi dari

dalam antera, baik itu muncul dari celah/lekukan

dinding antera maupun didahului oleh pecahnya

dinding antera. Hal ini menunjukkan adanya pelu-

ang bahwa kalus tersebut beregenerasi dari mikro-

spora yang berada di dalam antera. Jika demikian

adanya, maka kemungkinan besar tingkat ploidi

kalus yang didapatkan pada penelitian ini adalah

sama sebagaimana halnya dengan tingkat ploidi

mikrospora, yaitu haploid. Namun demikian, hal

ini masih perlu dibuktikan lebih lanjut dengan me-

meriksa dan menghitung secara langsung jumlah

kromosomnya di bawah mikroskop. Cara lain yang

dapat ditempuh adalah dengan menginduksi em-

briogenesis dari massa kalus. Diharapkan embrioid

dapat terbentuk dari sel-sel kalus yang haploid dan

tumbuh dan berkembanga menjadi tanaman leng-

kap.

Pada penelitian ini terungkap, bahwa keterli-

batan zat pengatur tumbuh, khususnya auksin, di

dalam medium kultur besar pengaruhnya terhadap

pembentukan kalus. Di antara jenis auksin yang

dicobakan, 2,4-D memperlihatkan pengaruh yang

lebih besar dibandingkan dengan IAA maupun

NAA, yang diperlihatkan oleh jumlah eksplan

yang membentuk kalus lebih banyak. Hal ini dapat

dimaklumi karena di antara jenis auksin yang ada,

2,4-D termasuk jenis auksin kuat (Pierik, 1997)

yang pengaruhnya terutama sekali adalah merang-

sang pembentukan kalus pada sistem kultur in

vitro (Taji et al., 1995).

Meskipun BAP dan kinetin yang dikombinasi-

kan dengan 2,4-D, IAA dan NAA berpengaruh be-

sar meningkatkan proliferasi kalus, namun karak-

teristik kalus dari kedua kultivar yang diuji dapat

dikatakan sama untuk semua kombinasi perlakuan,

yaitu memiliki warna putih sampai putih kehijauan

dengan struktur yang kompak. Dengan kata lain,

pengaruh zat pengatur tumbuh tidak tergantung

pada perbedaan genotipe kedelai yang diuji. Pe-

ngaruh zat pengatur tumbuh yang serupa juga dila-

porkan oleh Tade (1992) dan Zulkarnain et al.,

(2002) pada kultur antera Swainsona formosa yang

juga tanaman legum seperti halnya kedelai.

Warna yang putih dengan struktur kalus yang

kompak memperlihatkan adanya kapasistas em-

briogenik dari massa kalus yang bersangkutan. Hal

ini telah dibuktikan oleh sejumlah peneliti, baik

pada tanaman non-legum mapun pada tanaman le-

gum. Sebagai contoh, pada kultur in vitro tanaman

Bixa arellana, Sha-Valli-Khan et al. (2002) mene-

mukan bahwa kombinasi NAA + BAP menghasil-

kan kalus berwarna putih dengan struktur remah

dan permukaan mengkilap, yang kemudian ber-

kembang menjadi kalus berwarna putih dengan

struktur kompak, sebelum akhirnya meregenerasi-

kan struktur globular berwarna hijau. Pembentuk-

an struktur globular berwarna hijau ini merupakan

tanda-tanda awal dari embriogenesis sebagaimana

dilaporkan oleh Sudhersan dan Abo-El Nil (2002)

dan Zulkarnain (2004) pada kultur in vitro Swain-

sona formosa. Pembentukan kalus berwarna putih

Page 11: ISSN 1410-1939 JURNAL AGRONOMI in vitro... · 2018. 2. 25. · ISSN 1410-1939 59 RESPON IN VITRO ANTERA KEDELAI TERHADAP ZAT PENGATUR TUMBUH [THE IN VITRO RESPONSE OF SOYBEAN ANTHERS

Jurnal Agronomi Vol. 11 No. 2, Juli – Desember 2007

66

dan kompak yang berakhir pada embriogenesis ju-

ga dilaporkan oleh Tang et al. (2001) pada kultur

in vitro Pinus taeda, dan oleh Fulzele dan Satdive

(2003) pada kultur in vitro Nothapodytes foetida.

Namun demikian, sifat jaringan tanaman legum

yang rekalsitran (Van Doorne et al., 1995) kiranya

perlu menjadi bahan pertimbangan dalam meng-

upayakan egenerasi tanaman secara in vitro.

Sementara itu, di antara kedua kultivar kedelai

yang diuji, terungkap bahwa kultivar Merubetiri

lebih responsif terhadap kultur in vitro dibanding-

kan kultivar Wilis. Adanya pengaruh genotipe ter-

hadap keberhasilan regenerasi tanaman secara in

vitro telah dilaporkan oleh banyak peneliti, misal-

nya Takahata et al. (1996) pada Raphanus sativus,

Bitsch et al. (1998) pada Triticum aestivum, Chen

et al. (1998) pada Linum usitatissimum, Romeijn

dan Lammeren (1999) pada Scabiosa columbaria

dan Guo et al. (1999) pada Phleum pratense. Pal-

mer dan Keller (1997) menambahkan bahwa geno-

tipe tanaman induk tidak hanya mempengaruhi

frekuensi embriogenesis tetapi juga mempengaruhi

kualitas embrio yang dihasilkan. Meskipun dasar

dari kontrol genetikanya masih belum terungkap,

namun jelas bahwa faktor-faktor genetika berinter-

aksi dengan faktor-faktor lain untuk mengendali-

kan arah perkembangan eksplan pada kultur in

vitro.

Bila dikaitkan dengan penelitian-penelitian se-

belumnya, regenerasi kalus berwarna putih dan

kompak pada penelitian ini mengandung implikasi

besarnya peluang untuk mendapatkan tanaman ha-

ploid melalui embriogenesis dari massa kalus yang

diduga terdiri atas sel-sel haploid. Dengan melaku-

kan modifikasi pada sejumlah faktor lingkungan,

terutama komposisi medium, diharapkan regene-

rasi kedelai haploid secara in vitro dapat diwujud-

kan, setidak-tidaknya pada kultivar Merubetiri

yang telah terbukti lebih responsif daripada kulti-

var lainnya.

KESIMPULAN

Dari hasil yang diperoleh pada penelitian ini

dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Kehadiran zat pengatur tumbuh, khususnya

auksin dan sitokinin, di dalam medium kultur

sangat meningkatkan pembentukan kalus pada

eksplan antera kedelai, baik kultivar Wilis

maupun Merubetiri.

2. Di antara auksin dan sitokinin yang dicobakan,

kombinasi 2,4-D 20 µM dengan kinetin 10 µM

hingga 20 µM memperlihatkan pengaruh yang

lebih baik daripada kombinasi lainnya.

3. Di antara kedua kultivar kedelai yang diuji,

Merubetiri memperlihatkan respon in vitro

yang lebih baik daripada Wilis.

4. Sesuai dengan hasil yang diperoleh pada tahun

ke-dua, maka untuk penelitian pada tahun ber-

ikutnya kultivar yang akan diuji hanya Meru-

betiri dengan zat pengatur tumbuh 2,4-D dan

kinetin.

DAFTAR PUSTAKA

Aryan, A. P. 2002. Production of double haploids in

rice: anther vs. microspore culture, 201-208. Prosiding The Importance of Plant Tissue Culture

and Biotechnology in Plant Sciences. Armidale.

Bayliss, K. L., J. M. Wroth dan W. A. Cowling. 2002.

Production of multicellular microspores of Lupinus species: first step toward haploid lupin embrios,

145-157. Prosiding The Importance of Plant Tissue

Culture and Biotechnology in Plant Sciences.

Armidale.

Custers, J., M. Visser, R. Snijder, K. Litovkin dan L. v.

d. Geest. 2001. Model plants pave the way to

haploid technology; microspore embriogenesis in

ornamentals. Laporan Penelitian Plant Research International B.V., Wageningen, The Netherlands.

Gharyal, P. K., A. Rashid dan S. C. Maheshwari. 1983.

Production of haploid plantlets in anther cultures of

Albizzia lebbeck L. Plant Cell Reports 2: 308-309.

Höfer, M., A. Touraev dan E. Heberle-Bors. 1999.

Induction of embriogenesis from isolated apple

microspores. Plant Cell Reports 18: 1012-1017.

Hyun, S. K., J. H. Kim, E. W. Noh dan J. I. Park. 1986. Induction of haploid plants of Populus species.

Dalam P. G. Alderson [ed.], Plant Tissue Culture

and its Agricultural Application, 413-418.

Butterworths, London.

Immonen, S. dan H. Anttila. 1999. Cold pretreatment to

enhance green plant regeneration from rye anther

culture. Plant Cell, Tissue and Organ Culture 57:

121-127.

Immonen, S. dan J. Robinson. 2000. Stress treatment

and Ficoll for improving green plant regeneration in

triticale anther culture. Plant Science 150: 77-84.

Kaur, P. dan J. K. Bhalla. 1998. Regeneration of haploid plants from microspore culture of pigeon pea

(Cajanus cajun L.). Indian Journal of Experimental

Biology 36: 736-738.

Kyo, M. dan H. Harada. 1986. Control of the developmental pathway of tobacco pollen in vitro.

Planta 168: 427-432.

Lentini, Z., P. Reyes, C. P. Martínez dan W. M. Roca.

1995. Androgenesis of highly recalcitrant rice genotypes with maltose and silver nitrate. Plant

Science 161: 677-683.

Page 12: ISSN 1410-1939 JURNAL AGRONOMI in vitro... · 2018. 2. 25. · ISSN 1410-1939 59 RESPON IN VITRO ANTERA KEDELAI TERHADAP ZAT PENGATUR TUMBUH [THE IN VITRO RESPONSE OF SOYBEAN ANTHERS

Nyimas Myrna Elsa Fathia dan Zulkarnain: Respon In Vitro Antera Kedelai terhadap ZPT.

67

Lichter, R. 1982. Induction of haploid plants from

isolated pollen of Brassica napus. Zeitschrift für Pflanzenphysiologie 105: 427-434.

Murashige, T. dan F. Skoog. 1962. A revised medium

for rapid growth and bio assays with tobacco tissue

cultures. Physiologia Plantarum 15: 473-497.

Rao, P. V. dan D. N. De. 1987. Haploid plants from in

vitro anther culture of the leguminous tree,

Peltophorum pterocarpum (DC) K. Hayne (Copper

pod). Plant Cell, Tissue and Organ Culture 11: 167-177.

Taji, A., P. Kumar dan P. Lakshmanan. 2002. In Vitro

Plant Breeding. Haworth Press, Inc., New York.

Touraev, A., A. Indrianto, I. Wratschko dan O. Vicente. 1996. Efficient microspore embriogenesis in wheat

(Triticum aestivum L.) induced by starvation at high

temperature. Sexual Plant Reproduction 9: 209-215.

Winata, L. 1987. Teknik Kultur Jaringan. Pusat Antar

Universitas Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Zagorska, N., B. Dimitrov, P. Gadeva dan P. Robeva.

1997. Regeneration and characterisation of plants obtained from anther culture of Medicago sativa L.

In Vitro Cellular and Developmental Biology -

Plant. 33.

Zulkarnain. 2003. Breeding Strategies in Sturt"s Desert Pea (Swainsona formosa (G.Don) J. Thompson)

using In Vitro and In Vivo Techniques. PhD

Dissertation, The University of New England,

Armidale, Australia.

Page 13: ISSN 1410-1939 JURNAL AGRONOMI in vitro... · 2018. 2. 25. · ISSN 1410-1939 59 RESPON IN VITRO ANTERA KEDELAI TERHADAP ZAT PENGATUR TUMBUH [THE IN VITRO RESPONSE OF SOYBEAN ANTHERS

Jurnal Agronomi Vol. 11 No. 2, Juli – Desember 2007

68