Isi

download Isi

of 39

description

daftar

Transcript of Isi

BAB IPENDAHULUAN

Sampai saat ini malaria masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara-negara seluruh dunia, baik di daerah tropis maupun sub tropis, terutama di negara berkembang termasuk Indonesia. Penyakit malaria disebabkan oleh parasit protozoa dari Genus plasmodium. Empat spesies yang ditemukan pada manusia adalah Plasmodium Vivax, P. ovale, P. malariae dan P. Falciparum. Badan kesehatan sedunia (WHO) melaporkan tiga juta anak manusia meninggal setiap tahun karena menderita malaria. Dan tiap tahun terdapat 110 juta penderita malaria, 280 juta orang sebagai Carrier dan 2/5 penduduk dunia selalu kompak dengan malaria. Malaria menyerang individu tanpa membedakan umur dan jenis kelamin, tidak terkecuali wanita hamil merupakan golongan yang rentan. Malaria pada kehamilan dapat disebabkan oleh keempat spesies plasmodium, tetapi plasmodium Falciparum merupakan parasit yang dominan dan mempunyai dampak paling berat terhadap morbiditas dam mortalitas ibu dan janinnya. Angka kematian ibu karena kehamilan dan persalinan, dan angka kematian bayi di Indonesia masih jauh lebih tinggi dibandingkan di negara maju. Oleh sebab itu kesehatan ibu dan anak menjadi prioritas pada Repelita V. Hal ini sangat tepat, karena di tangan ibu terdapat kesejahteraan keluarga dan negara, sedangkan anak adalah penerus pembangunan bangsa. Dalam Sistim Kesehatan Nasional, malaria merupakan penyakit menular yang perlu diperhitungkan karena selain menyebabkan angka kesakitan dan kematian yang tinggi, juga sewaklu-waktu dapat menimbulkan wabah dan menyerang semua golongan umur (Depkes RI, 1984). Malaria pada wanita hamil ternyata ditemukan lebih banyak dibandingkan pada wanita yang tidak hamil. Sedangkan pada kehamilan, malaria berat lebih sering dijumpai dan angka kematiannya lebih tinggi dibandingkan dengan ibu-ibu yang tidak hamil, selain itu selama kehamilan juga terjadi peningkatan prevalensi dan kepadatan parasit falsiparum. Sedangkan di daerah tropis, malaria falsiparum pada kehamilan merupakan penyebab terbesar kesakitan dan kematian janin dan ibu. Dari hal-hal tersebut di atas terlihat bahwa malaria pada kehamilan perlu mendapat perhatian khusus.

Prevalensi malaria pada wanita hamil paling tinggi ditemukan pada umur kehamilan 13-16 minggu, sedangkan menurut McGregor dkk (1983) pada umur kehamilan 4 dan 5 bulan. Dari hasil penelitian McGregor (1984) pada wanita hamil (15-45 tahun) di Gambia, diketemukan bahwa prevalensi dan kepadatan parasit paling tinggi pada primipara, kemudian menurun sesuai dengan bertambahnya paritas. Sedangkan dari hasil penelitian prospektif terhadap 60 wanita primipara di Afrika, prevalensi dan kepadatan parasit juga lebih tinggi pada wanita hamil dibandingkan baik terhadap wanita tersebut sebelum hamil atau wanita tidak hamil sebagai kelompok kontrol, yang tinggal dalam jangka waktu dan lingkungan yang sama.

Di daerah endemi malaria, wanita hamil lebih mudah terinfeksi parasit malaria dibandingkan wanita tidak hamil. Kemudahan infeksi itu terjadi karena kekebalan yang menurun selama kehamilan, akibatnya dapat terjadi peningkatan Prevalensi densitas parasit malaria berat. Laporan dari berbagai negara menunjukan insidens malaria pada wanita hamil umumnya cukup tinggi, dari El vador 55,75% yaitu 63 kasus dari 113 wanita hamil; dari berbagai tempat bervariasi antara 2-76%. Berdasarkan hal-hal diatas terlihat bahwa malaria selama kehamilan perlu mendapat perhatian khusus. Selanjutnya pada refrat ini akan dibahas pengaruh malaria terhadap ibu dan janinnya serta kontrol terhadap malaria selama kehamilan.BAB II

ISI

2.1. DefinisiMalaria adalah suatu penyakit akut dan bisa menjadi kronik, disebabkan protozoa yang hidup intra-sel, genus plasmodium. Malaria merupakan penyakit yang dapat dicegah dan diobati. Merupakan masalah kesehatan masyarakat saat ini pada lebih dari 100 negara dengan total penduduk 2.400 juta orang--40 persen populasi dunia.Malaria adalah salah satu penyakit infeksi yang paling serius dan umum terjadi. Malaria diperkirakan menyebabkan 300-500 juta kasus klinis dan lebih dari satu juta kematian tiap tahun (3.000 kematian per hari), 90% di sub-Saharan Afrika. Setiap 30 detik, seorang anak di suatu tempat meninggal karena malaria. Pada tahun manapun, hampir 10 persen dari keseluruhan populasi akan menderita malaria. Kebanyakan bertahan setelah 10-20 hari timbul penyakit. Karena rendahnya tingkat imunitas terhadap infeksi,anak-anak usia di bawah 5 tahun merupakan grup yang paling berat terinfeksi malaria. Kenyataannya, malaria merupakan penyebab utama kematian seluruh dunia di antara anak di kelompok usia ini.

Gambar 1. Plasmodium flaciparum ring-form dan gametosit pada darah manusa

Wanita hamil juga beresiko tinggi. Resiko penyakit dan kematian mereka meningkat, sebagaimana efeknya terhadap bayi yang berkembang- termasuk berat badan lahir rendah, retardasi pertumbuhan, lahir mati dan kematian. Dari penderita malaria tepatnya 30% kasus berat badan lahir rendah yang dapat dicegah dan 5-10% kematian janin di sub-Saharan Africa. Malaria merupakan penyebab utama maternal anemia, yang pada gilirannya beresiko menjadi kematian maternal. Pelancong ke Sub-Saharan Afrika memiliki resiko terbesar terinfeksi malaria dan meninggal akibat infeksinya. Semua pelancong ke negara manapun dengan resiko malaria mungkin mendapatkan penyakit berpotensial meninggal ini, dan karena itu pengobatan yang tepat sangatlah penting.Kelompok beresiko tinggi lainnya termasuk refugees, displaced persons, atau pekerja paksa yang dipaksa pergi ke daerah endemik. Malaria ditransmisi ke daerah luas dari Afrika, Amerika Pusat dan Amerika Selatan, pulau Hispaniola (termasuk Haiti, Jamaica dan Republik Dominika), Asia (termasuk India subcontinent, Asia tenggara dan Timur tengah), Eropa timur, dan Pasifik selatan.

Gambar 2. Daerah endemik malaria di dunia pada abad ke 21 (warna biru)Karena terdapat overlap secara geografis antara daerah prevalensi malaria tinggi dan infeksi HIV (lihat Gambar 3), maka terjadilah pemikiran yang lebih berkembang antara profesional kesehatan, peneliti, dan pembuat kebijakan bahwa dua penyakit ini saling berkaitan satu sama lain, secara sinergis meningkatkan insiden keduanya dan merumitkan pengobatannya.

Gambar 3. Daerah Prevalensi Tinggi Infeksi Malaria dan HIV2.2. EtiologiMalaria disebabkan oleh parasit yang termasuk dalam genus Plasmodium. Kebanyakan infeksi malaria pada manusia disebakan oleh 4 species: Plasmodium falciparum, Plasmodium vivax, Plasmodium malariae, and Plasmodium ovale. P falciparum, yang merupakan species tersering, menyebabkan penyakit yang paling parah dan berperan terhadap kebanyakan mortalitas dan morbiditas malaria. Terkonsentrasi di sub-Saharan Afrika. P vivax dan P. ovale dapat menyebabkan relaps.

Gambar 4. Nyamuk Anopheles albimanus mengigit tangan manusia. Nyamuk ini merupakan vektor malaria dan kontrol nyamuk merupakan cara yang efektif untuk menurunkan insiden malaria.Parasit Malaria ditransmisikan dari satu orang ke orang lain melalui gigitan nyamuk betina genus Anopheles. Setelah transmisi, parasit tumbuh dan bermultipikasi di hati. Saat parasit matang, mereka dilepaskan ke darah dan menginfeksi sel darah merah. Setelah matang dan bermultiplikasi di sel darah merah, selnya pecah dan melepaskan parasit, yang akan menginfeksi sel lainnya. Organ internal, seperti otak, terinfeksi saat sel darah merah terinfeksi parah berkelompok bersama dan memblok aliran darah kapiler. Orang mungkin akan berulang kali terinfeksi parasit malaria dan di daerah dimana malaria endemik, dapat mengembangkan sebagian komunitas yang menurunkan keparahan infeksi namun memungkinkan reinfeksi. Anak-anak pada daerah ini biasanya mendapatkan imunitas ini saat usia mereka sudah 5 tahun.

Gambar 5. Siklus malaria pada tubuh manusia2.3. Gejala Klinis

Orang yang telah mendapat imunitas, infeksi malaria mungkin asimptomatik. Pada pasien yang simptomatik, infeksi malaria biasanya bermanifes dengan demam, diare, sakit kepala, nyeri badan, muntah, dan gejala seperti flu lainnya. Gejala ini secara khas 9-30 hari setelah gigitan nyamuk yang terinfeksi. Tanpa pengobatan, atau dengan pengobatan yang inefektif, infeksi dapat berkembang secara cepat mengancam kehidupan, malaria berat.Manifestasi yang umum dari malaria berat adalah anemia disebabkan oleh destruksi sel darah merah (hemolysis) oleh parasit. Manifestasi lainnya dari malaria meliputi:

Malaria cerebral malaria menghasilkan abnormal behavior, kejang, atau koma. Pulmonary edema atau acute respiratory distress syndrome Gagal ginjal atau hati

thrombocytopenia dan abnormalitas koagulasi darah ruptur limfeKegagalan organ lebih sering pada orang dewasa dan anak-anak, sementara anemia berat dan malaria cerebral merupakan manifestasi tersering pada anak-anak. Adanya respiratory distress pada anak-anak dapat mengancam kehidupan. Bahkan dengan pengobatan, 20-40% pasien dengan malaria berat meninggal. Malaria cerebral sering menyebabkan kerusakan neurologis menetap dan keterlambatan perkembangan bagi yang bertahan hidup. Sindrom klinis dari infeksi malaria dan keparahan penyakit bervariasi, tergantung pada infeksi yang muncul di daerah yang transmisinya stabil (tinggi atau regular) atau unstable (rendah atau infrequent). Umumnya, di daerah unstable transmission, penduduknya tidak memiliki imunitas dan penyakitnya lebih parah. Berbagai tahapan klinis untuk wanita hamil, dewasa tidak hamil, dan anak-anak dijelaskan pada Tabel 1. Pada wanita hamil, malaria berat lebih sering berkembang selama kehamilan trimester ke dua dan ke tiga. Pada kasus ini, mortalitas maternal dapat setinggi 50% dan kelahiran prematur biasa terjadi. Hypoglycemia merupakan komplikasi yang sering terjadi pada wanita hamil, terutama bila pasien mengkonsumsi kuinin. Infeksi bakterial dapat terjadi setelah melahirkan. Malaria dapat ditransmisikan dari ibu ke anak, meski malaria neonatal jarang ditemukan.Tabel 1. Gejala Klinis Infeksi MalariaKelompok

PopulasiDaerah Unstable Malaria Transmission (Tingkat imunitas rendah)Daerah Stable Malaria Transmission(Tingkat imunitas tinggi)

Wanita hamil Resiko tinggi berkembangnya penyakit berat dan simptomatik Tingkat parasitemia perifer tinggi Tingkat infeksi plasenta rendah Resiko tinggi kematian maternal, Resiko tingi aborsi spontan, berat badan lahir rendah, kematian janin Infeksi biasanya asimptomatik Prevalensi parasitemia perifer rendah Prevalensi parasitemia plasenta tinggi Prevalensi anemia maternal tinggi

Dewasa

Febris akut, yang dapat menyebabkan malaria cerebral dan kematianInfeksi biasanya asymptomatik

Anak Anemia berat Malara cerebral, mengarah pada kematian

Infeksi kronik Parasitemia berulang

Sumber: Theo Smart. "HIV/Malaria: When Elephants Collide". HIV & AIDS Treatment in Practice . Aidsmap. March 1, 2006. Available at: http://hivinsite.ucsf.edu/InSite?page=pa-hatip-64 .

2.4. Kekebalan

Malaria sendiri bersifat imunosupresif, dan banyak faktor yang berperan dalam terjadinya imunosupresi pada kehamilan, antara lain tingginya kadar steroid adrenal, korionik gonadotropin dari plasenta, alpha fetoprotein, dan penekanan fungsi limfosit yang ditemui pada wanita hamil. Adanya imunosupresi ini diperkuat dengan menurunnya nilai rata-rata dari IgG dan IgA pada masa kehamilan. McGregor (1984) juga membuktikan bahwa antibodi spesifik malaria dari wanita hamil dengan parasitemia, lebih rendah dibandingkan dengan wanita hamil sehat. Hilangnya kekebalan pada hamil muda sama dengan menurunnya 11 (sebelas) kali lipat dari kekebalan pada saat sembuh dari infeksi malaria.

2.5. Pengaruh Malaria pada KehamilanA. Pada IbuMalaria pada ibu hamil dapat menimbulkan berbagai kelainan, tergantung pada tingkat kekebalan seseorang terhadap infeksi parasit malaria dan paritas (jumlah kehamilan). Ibu hamil dari daerah endemi yang tidak mempunyai kekebalan dapat menderita malaria klinis berat sampai menyebabkan kematian. Di daerah endemisitas tinggi, malaria berat dan kematian ibu hamil jarang dilaporkan. Gejala klinis malaria dan densitas parasitemia dipengaruhi paritas, sehingga akan lebih berat pada primigravida (kehamilan pertama) daripada multigravida (kehamilan selanjutnya). Pada ibu hamil dengan malaria, gejala klinis yang penting diperhatikan ialah demam, anemia, hipoglikemia, edema paru, akut dan, malaria berat lainnya.1. Demam

Demam merupakan gejala akut malaria yang lebih sering dilaporkan pada ibu hamil dengan kekebalan rendah atau tanpa kekebalan, terutama pada primigravida. Pada ibu hamil yang multigravida dari daerah endemisitas tinggi jarang timbul gejala malaria termasuk demam, meskipun terdapat parasitemia yang tinggi.2. Anemia

Menurut defenisi WHO, anemia pada kehamilan adalah bila kadar haemoglobin(Hb) < 11 g/ dl. Gregor (1984) mendapatkan data bahwa penurunan kadar Hb dalam darah hubungannya dengan parasitemia, terbesar terjadi pada primigravida dan berkurang sesuai dengan penyusunan peningkatan paritas. Van Dongen (1983) melaporkan bahwa di Zambia, primigravida dengan infeksi P. Falciparum merupakan kelompok yang beresiko tinggi menderita anemia dibandingkan dengan multigravida. Di Nigeria Fleming (1984) melaporkan bahwa malaria sebagai penyebab anemia ditemukan pada 40% penderita anemia primigravida. McGregor (1984) mendapatkan data bahwa penurunan kadar hemoglobin dalam hubungannya dengan parasitemia, terbesar terjadi pada primigravida, kemudian berkurang sesuai dengan peningkatan paritas.Anemia pada kehamilan dengan malaria biasanya merupakan anemia hemolitik, dan umumnya pada umur kehamilan 16-24 minggu. Patogenesis anemia hemolitik ini masih belum jelas, mungkin merupakan akibat nutrisi dan parasitnya sendiri. Perrin (1982) mengatakan bahwa faktor kekebalan memegang peranan penting dalam menentukan penyebab anemia yang berhubungan dengan malaria. Anemia juga dapat disebabkan karena umur eritrosit yang lebih pendek; sifat itu bertahan sampai beberapa minggu setelah infeksi. Adanya eritrofagositosis terhadap eritrosit yang tidak mengandung dan yang mengandung parasit di dalam organ dalam, juga menyebabkan timbulnya anemia. Hematokrit tak berkorelasi dengan parasitemia atau infeksi plasenta atau plasenta dengan pigmen. Hubungan antara anemia dan splenomegali dilaporkan oleh Brabin (1990) yang melakukan penelitian pada wanita hamil di Papua Neu Geuinea, dan menyatakan bahwa makin besar ukuran limpa makin rendah nilai Hb-nya. Pada penelitian yang sama Brabin melaporkan hubungan BBLR (berat badan lahir rendah) dan anemia berat pada primigravida. Ternyata anemia yang terjadi pada trimester I kehamilan, sangat menentukan apakah wanita tersebut akan melahirkan bayi dengan berat badan rendah atau tidak karena kecepatan pertumbuhan maksimal janin terjadi sebelum minggu ke 20 usia kehamilan.

Laporan WHO menyatakan bahwa anemia berpengaruh terhadap morbiditas ibu hamil, dan secara tidak langsung dapat menyebabkan kematian ibu dengan meningkatnya angka kematian kasus yang disebabkan oleh pendarahan setelah persalinan (Post-partum hemorrhage).3. Hipoglikemia

Pada wanita hamil dengan infeksi berat sering dijumpai hipoglikemia. Hipoglikemia ini adalah sebagai akibat berkurangnya suplai glukosa karena terjadinya hiperinsulinemia, asidemia dan disfungsi hati, yang semuanya menghambat proses glukoneogenesis. Di samping itu kebutuhan glukosa meningkat karena adanya hiperinsulinemia, demam, infeksi, dan kehamilan.

Hipoglikemia juga terdapat sebagai komplikasi malaria, sering ditemukan pada wanita hamil daripada tidak hamil. Pada wanita hamil terjadi perubahan metabolisme karbohidrat yang cenderung menyebabkan terjadinya Hipoglikemia, terutama pada trimester akhir kehamilan. Dilaporkan juga bahwa sel darah merah yang terinfeksi parasit malaria memerlukan glukosa 75 kali lebih banyak daripada sel darah merah yang tidak terinfeksi, sehingga pada penderita dengan hiperparasitemia dapat terjadi hipoglikemia. Selain daripada itu, pada wanita hamil dapat terjadi hipoglikemia karena meningkatnya fungsi sel B pankreas, sehingga pembentukan insulin bertambah.

Seseorang menderita hipoglikemia bila kadar glukosa dalam darah lebih rendah dari 2, 2 m.mol perliter. Mekanisme terjadinya hipoglikemia sangat kompleks dan belum diketahui secara pasti. Berdasarkan faktor tersebut diatas jelaslah bahwa wanita hamil yang terinfeksi malaria cenderung untuk menderita hipoglikemia. Migasena (1983) melaporkan bahwa wanita hamil diantara 6 kasus menderita hipoglikemia dan White (1983) mendapatkan 50% kasus hipoglikemia yang diteliti ternyata wanita hamil. Gejala hipoglikemia dapat berupa gangguan kesadaran sampai koma. Bila sebelumnya penderita sudah dalam keadaan koma karena malaria serebral, maka komanya akan lebih dalam lagi. Penderita ini bila diinjeksikan glukosa atau diinfus dengan dekstrosa maka kesadarannya akan pulih kembali, tetapi karena ada hiperinsulinemia, keadaan hipoglikemia dapat kambuh dalam beberapa hari.4. Gangguan ginjal

Hal ini jarang terjadi, biasanya disebabkan oleh Plasmodium malariae. Dapat juga akibat penyakit lain, misalnya keracunan kehamilan. Seringkali penderita dengan gangguan ginjal disertai dengan malaria otak, sehingga sukar dibedakan dengan keracunan kehamilan.

5. Edema paru akut

Biasanya kelainan ini terjadi setelah persalinan bagaimana cara terjadinya edema paru ini masih belum jelas kemungkinan terjadi karena autotransfusi darah post-partum yang penuh dengan sel darah merah yang terinfeksi. Gejalanya, mula-mula frekuensi pernafasan meningkat, kemudian terjadi dispenia (sesak nafas) dan penderita dapat meninggal dalam waktu beberapa jam.6. Malaria Berat Lainnya

Menurut WHO, penderita malaria berat adalah penderita yang darah tepinya mengandung stadium aseksual palsmodium falciparum yang disertai gejala klinik berat dengan catatan kemungkinan penyakit lain telah disingkirkan. Gejala klinik dan tanda malaria berat antara lain hiperparasitemia (> 5% sdm terinfeksi), malaria otak, anemia berat (Hb < 7,1 g/ dl), hiperpereksia (suhu > 40oC), edema paru, gagal ginjal, hipoglikemia, syok. Gejala dan tanda-tanda malaria tersebut diatas perlu diperhatikan, karena kasus ini memerlukan penanganan khusus baik untuk keselamatan ibu maupun untuk kelangsungan hidup janinnya.7. Partus sulitPembesaran limpa yang dapat mencapai pelvis, dan pembesaran hati merupakan faktor mekanis yang mendesak diafragma dan menyulitkan persalinan.

8. Abortus

Abortus terjadi karena adanya gangguan atau mikrosirkulasi yang berhenti pada plasenta. Demam yang tinggi pada penderita malaria, mengaktifkan uterus sehingga dapat menyebabkan pengeluaran hasil pembuahan. Pada daerah yang rendah endemisitasnya, diduga ada hubungan antara terjadinya abortus dengan infeksi malaria. Sedangkan di daerah yang holoendemis tidak ada hubungan nyata antara infeksi malaria dan terjadinya abortus.

B. Pada Janin1. Malaria Plasenta

Plasenta (ari-ari) merupakan organ penghubung antara ibu dan janinnya. Fungsi plasenta antara lain :

1. memberi makanan ke janin (nutrisi)

2. mengeluarkan sisa metabolisme (ekskresi)

3. memberi O2 dan mengeluarkan CO2

4. membentuk hormon dan

5. mengeluarkan anti bodi kejanin.

Plasenta juga berfungsi sebagai Barrier (penghalang) terhadap bakteri, parasit dan virus. Karena itu ibu terinfeksi parasit malaria, maka parasit akan mengikuti peredaran darah sehingga akan ditemukan pada plasenta bagian maternal.Plasenta merupakan barier utama dari parasit malaria, dan status kekebalan ibu berperan menghambat transmisi tersebut. Oleh sebab itu pada banyak ibu-ibu yang non imun dan semi imun terjadi transmisi malaria intra-uterin ke janin, walaupun mekanisme transplasental dari parasit ini masih belum diketahui. Pada ibu ibu yang berasal dari daerah endemis, meskipun infeksi plasenta sering terjadi, insidens malaria kongenital sangat rendah. Insidens malaria plasenta di daerah endemis sangat bervariasi, rata-rata 30%. Insidens malaria kongenital pada ibu-ibu semi-imun 3%, dan tertinggi pada ibu-ibu non imun : l0%. Mekanisme transplasental ini dapat disebabkan karena penetrasi langsung melalui villi chorion, separasi plasenta yang prematur, dan transfusi fisiologis darah ibu ke sirkulasi darah janin di dalam uterus atau pada saat melahirkan. Rupanya kekebalan pasif dari ibu (IgG) dapat melindungi janin dalam uterus sampai beberapa minggu setelah dilahirkan. Gejala klinis malaria kongenital umumnya ditemui pada bayi umur 8 minggu, sesuai dengan umur paruh IgG ibu. Selain IgG ibu, HbF (hemoglobin fetal), HbS, Thalasemia, defisiensi G6PD, sekresi limfokin, makrofag, atau pengobatan malaria selama kehamilan, dapat mencegah transmisi dari plasenta ke sirkulasi janin.Bila terjadi kerusakan pada plasenta, barulah parasit malaria dapat menembus plasenta dan masuk ke sirkulasi darah janin, sehingga terjadi malaria kongenital. Beberapa peneliti menduga hal ini terjadi karena adanya kerusakan mekanik, kerusakan patologi oleh parasit, fragilitas dan permeabilitas plasenta yang meningkat akibat demam akut dan akibat infeksi kronis. Pada intervilli plasenta terdapat banyak eritrosit yang berisi parasit, dan monosit yang memakan pigmen. Juga ditemukan nekrosis fokal dari sinsitia, hilangnya mikrovilli sinsitial, proliferasi sel sitotrofoblas, penebalan yang tak teratur dan nyata dari dasar membran trofoblas, dan penonjolan seperti lidah dari sinsitiotrofoblast ke dalam dasar membran.Abortus, kematian janin, bayi lahir mati dan prematuritas dilaporkan terjadi pada malaria berat dan apa yang menyebabkan terjadinya kelainan tersebut diatas masih belum diketahui. Malaria maternal dapat menyebabkan kematian janin, karena terganggunya transfer makanan secara transplasental, demam yang tinggi (hiperpireksia) atau hipoksia karena anemial. Kemungkinan lain adalah Tumor Necrosis Factor (TNF) yang dikeluarkan oleh makrofag bila di aktivasi oleh antigen, merupakan salah satu faktor yang dapat menimbulkan berbagai kelainan pada malaria, antara lain demam, kematian janin, abortus.

Umumnya infeksi pada plasenta lebih berat daripada darah tepi. Kortmann (1972) melaporkan bahwa plasenta dapat mengandung banyak eritrosit yang terinfeksi (sampai 65%), meskipun pada darah tepi tidak ditemukan parasit. Jadi tidak ada hubungan antara kepadatan parasit dalam darah tepi dan plasenta yang baik perkembangan kekebalannya. Sebaliknya pada wanita yang tidak kebal dari daerah non endemi, sering terdapat parasit ilmiah tinggi tanpa infeksi parasit yang berat pada plasenta. Jefile di Kampala Uganda, melaporkan dari 750 wanita hamil yang diperiksa, 5,6% di antaranya menanggung parasit malaria dalam darah tepinya, tetapi pada pemeriksaan plasenta infeksinya mencapai 6,1%. Hal ini mungkin terjadi karena plasenta merupakan tempat parasit berkembang biak, seperti pada kapiler alat dalam lainnya. Pada imigran yang datang dari daerah non endemis ke daerah endemis, dapat terjadi keadaan yang berlawanan yaitu sering menunjukkan parasitemia tinggi tanpa infeksi plasenta yang berat. Plasenta yang banyak mengandung pigmen tetapi tak ada parasitnya, menunjukkan adanya infeksi lama atau infeksi yang tak aktif. Demikian pula tidak tampak kumpulan monosit, atau kelainan trofoblas, tetapi terdapat penebalan dasar membran. Secara imunohistologis tak ada perbedaan bermakna antara plasenta yang positip parasit dengan plasenta yang hanya berpigmen.Insidens malaria plasenta dipengaruhi oleh paritas ibu yaitu lebih tinggi daripada primipara (persalinan pertama) dan makin rendah sesuai dengan peningkatan paritas ibu. Demikian pula berat badan lahir dipengaruhi oleh paritas ibu, ini dapat diterangkan bahwa pada multi gravida kekebalan pada ibu telah dibentuk dan meningkat. 2. Berat Badan Lahir RendahPada semua daerah, malaria maternal dapat dihubungkan dengan berkurangnya berat badan lahir, terutama pada kelahiran anak pertama. Hal ini mungkin akibat gangguan pertumbuhan intra-uretrin, persalinan prematur atau keduanya. Selama epidemi telah dilaporkan kelahiran prematur yang tinggi, mungkin hal ini berhubungan dengan gejala infeksi akut. Pertumbuhan lambat intra-uretrin pada malaria maternal berhubungan dengan malaria plasenta dan hal ini disebabkan oleh berkurangnya transfer makanan dan oksigen dari ibu ke janin. Tetapi hal ini bukan suatu mekanisme yang menghambat pertumbuhan intra uretrin, karena berat badan lahir rendah (BBLR) dilaporkan pada daerah dengan prevalensi malaria plasenta rendah. Laporan terakhir menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan antara BBLR dengan malaria plasenta. Hal ini berarti bahwa patofisiologi pertumbuhan lambat intra-uretrin pada malaria adalah multifactor. Sebagai contoh, anemia maternal berhubungan dengan BBLR baik di daerah endemi maupun pada daerah non-endemi.Insidens tertinggi berat badan lahir rendah diketemukan pada primigravida. Dalam hal ini berat badan lahir rendah ( < 2.500 g ) diduga akibat gangguan sirkulasi darah plasenta sehingga mengakibatkan gangguan pertumbuhan. Beberapa peneliti di Afrika (Nigeria dan Uganda) mendapatkan adanya hubungan antara berat badan lahir bayi dengan infeksi malaria plasenta. Hubungan ini jelas terlihat pada primigravida; berat badan bayi waktu lahir dari ibu primigravida dengan malaria, lebih rendah dibandingkan ibu multigravida, dan tak tergantung dari jenis kelamin bayi. McGregor tidak menemukan adanya kecenderungan penurunan berat badan lahir bayi dengan meningkatnya kepadatan parasit ibu, dan bayi berat badan lahir rendah tidak selalu dilahirkan oleh ibu dengan plasenta yang terinfeksi berat.

2.6. Kontrol Malaria Selama KehamilanA. Pencegahan Penyebaran malaria dapat dicegah dengan empat cara utama:

1. Kontrol vektor

Kontrol vektor termasuk penurunan populasi nyamuk dengan memusnahkan larva nyamuk atau nyamuk dewasa dengan pemakaian insektisida atau membrantas tempat perkembangannya. Kontrol vektor intensif tercapai pada akhir 1940an berhasil mengeradikasi malaria pada daerah yang luas termasuk USA, Eropa, dan sebagian Asia. Namun, hal tersebut gagal di Afrika dan sebagian besar Asia.

Menurunkan kontak manusia-nyamuk dengan menggunakan kelambu dengan insektisida pyrethroid (diketahui sebagai insecticide-treated nets atau ITNs), pakaian pelindung, topical repellents, atau insektisida indoor spraying. ITNs sangat efektif dalam menurunkan penyebaran malaria. Penggunaan skala besar ITNs (80% atau lebih) dapat secara efektif menghentikan penyebaran infeksi pada seluruh populasi. Studi telah menunjukkan bahwa penggunaan ITNs menurunkan angka mortalitas anak-anak usia di bawah 5 tahun lebih dari 20%. ITNs juga efektif bagi individu terinfeksi HIV. Pada studi yang dilakukan di Uganda, ITNs digunakan bersama dengan ART dan cotrimoxazole pada individu terifeksi HIV menurunkan insiden malara 25 kali lipat. Pada wanita hamil di Thailand dilaporkan bahwa penggunaan ITNs dalam mengurangi anemia maternal dan parasitemia densitas tinggi, tetapi tidak efektif dalam meningkatkan berat badan lahir rendah.

2. Kemoprofilaksis atau Intermittent Preventative Treatment (IPT) Strategi kontrol malaria saat ini untuk kehamilan masih merupakan pemberian kemoprofilaksis anti malaria yang rutin pada setiap wanita hamil dalam daerah endemi malaria. Kemoprofilaksis dianjurkan di daerah endemis tinggi, terhadap ibu hamil, ibu menyusui, dan anak balita, dengan maksud mengurangi komplikasi pada kehamilan, agar ibu dapat menyusui bayi-bayi yang baru dilahirkan, bayi lahir sehat, dan mengurangi kematian neonatal dari bayi-bayi yang lahir sehat. Kemoprofilaksis tidak mencegah terjadinya infeksi, tetapi dapat menekan dan membatasi konsentrasi parasit di dalam darah (sison) sehingga tak dijumpai gejala klinis. Pada daerah endemisitas tinggi untuk P. falciparum infeksi malaria selama kehamilan menyebabkan rendahnya berat badan lahir merupakan faktor resiko yang paling besar untuk mortalitas neonatal. Malaria falsiparum sangat berbahaya terutama pada trimester terakhir kehamilan, dan angka kematiannya sepuluh kali lebih tinggi dibandingkan penderita lain. Seringkali janinnya juga meninggal seperti ibunya. Oleh sebab itu pencegahan perlu dilakukan sedini mungkin. Kemoprofilaksis yang diberikan selama kehamilan dapat meningkatkan berat kelahiran rata-rata, terutama pada kehamilan pertama dan menurunkan tingkat mortalitas bayi kira-kira 20%. Rata-rata bayi yang dilahirkan pada kehamilan pertama bagi ibu yang menerima kemoprofilaksis lebih tinggi daripada berat bayi yang ibunya tidak menerima kemoprofilaksis. Kelahiran mati dan setelah mati lahir lebih sedikit pada bayi dan ibu-ibu yang menerima kemoprofilaksis dibandingkan dengan bayi dari ibu-ibu yang tidak mendapat kemoprofilaksis. Resiko malaria dan konsekuensi bahayanya tidak meningkat selama kehamilan ke dua pada wanita yang menerima kemoprofilaksis selama kehamilan pertama.Klorokuin, amodiakuin, dan obat-obatan inhibitor dihidrofolat reduktase (perimetamin, proguanil dan klorproguanil) cukup aman untuk kemoprofilaksis ibu hamil. Pemberian obat-obatan tersebut harus disertai dengan asam folat terutama pada trimester I. Pada kehamilan lanjut, bila diberikan obat antimalaria yang mengandung sulfonamid, teoritis dapat menyebabkan kernikterus; tetapi ternyata tak ada data kuat yang melarang menggunakan Fansidar atau Maloprim untuk ibu hamil. Wanita menyusui tidak dapat diberi obat tersebut karena diekskresi melalui air susu ibu sehingga sangat berbahaya untuk bayi berumur kurang dari 6 minggu karena beberapa sistem enzim bayi tersebut belum berkembang; sedangkan penggunaan tetrasiklin harus dihindarkan.

Pada daerah endemik malaria, insiden penyakit tinggi terjadi pada anak-anak dan wanita hamil. Wanita sering mendapatkan pengaruh malaria terutama selama kehamian pertama dan keduanya. Hanya sekitar 50 juta wanita yang tinggal di daerah endemik malaria menjadi hamil setiap tahun, sebagian di daerah Afrika sub-Saharan dengan transmisi menetap dari Plasmodium falciparum (parasit yang menyebabkan malaria). Pada daerah ini, strategi untuk mencegah malaria selama kehamilan tergantung pada management kasus malaria dan anemia, dan varietas pencegahan yang terdiri dari insecticide-treated nets (ITNs) dan intermittent preventive therapy (IPT) dengan obat malaria sulfadoxine-pyrimethamine.Resistensi klorokuin akhir-akhir ini telah menyebar luas dan kebutuhan untuk dosis yang banyak telah membuat metode pendekatan ini infektif. Baru-baru ini, kebanyakan regimen IPT terdiri dari 2 atau 3 dosis sulfadoxine-pyrimethamine (SP), sebagaimana regimen ini telah ditemukan untuk menurunkan anemia pada wanita hamil dan menurunkan insiden terjadinya berat badan lahir rendah. Studi-studi yang dilakukan saat ini cenderung untuk menginvestigasi keefektifan regimen IPT yang mengandung derivat artemisinin kombinasi dengan obat antimalaria lainnya. Regimen IPT yang direkomendasikan adalah:

500 mg sulfadoxine + 25 mg pyrimethamine (1 tablet)

3 tablet diberikan pada msing-masing dosis

IPT-SP tidak boleh diberikan lebih dari satu kali sebulan

(Sumber: World Health Organization. Pregnancy, Childbirth, Postpartum and Newborn Care: A Guide for Essential Practice. 2003. Available at: http://www.who.int/reproductive-health/publications/pcpnc/pcpnc.pdf).

Garner P dan Glmezoglu AM. dari Liverpool School of Tropical Medicine, International Health Group, Pembroke Place, Liverpool, Merseyside, UK melakukan penelitian mengenai obat-obatan untuk mencegah malaria pada wanita hamil. Hasil penelitian tersebut adalah bahwa antimalaria menurunkan antenatal parasitaemia saat diberikan kepada semua wanita hamil, placental malaria, namun tidak berpengaruh terhadap kematian perinatal. Pada kehamilan pertama atau ke dua wanita, obat antimalaria menurunkan antenatal anaemia berat, antenatal parasitaemia, dan kematian perinatal; rata-rata berat lahir lebih tinggi, dan berat badan lahir rendah lebih sedikit. Proguanil menunjukkan hasil yang lebih bagus dari klorokuin pada satu percobaan wanita hamil dengan episode demam maternal yang sama. Sulfadoxine-pyrimethamine menunjukkan hasil yang lebih baik dari klorokuin pada dua percobaan low-parity women. Sehingga disimpulkan bahwa kemoprophylaxis atau IPT menurunkan prevalensi parasit antenatal dan placental malaria saat diberikan pada wanita dengan semua kelompok paritas. Kemoprofilaksis juga mempunyai efek yang bagus pada berat badan lahir dan kemungkinan pada kematian perinatal pada low-parity women.Sebuah penelitian baru di Washington Juni 2007, mereview studi sebelumnya, telah menemukan bahwa dua dosis terapi pencegahan malaria selama kehamilan memberikan keuntungan besar terhadap wanita HIV-negatif di Afrika, dan telah menjadi dosis yang biasa digunakan pada wanita HIV-positif.Feiko ter Kuile, M.D., Ph.D., dari Liverpool School of Tropical Medicine, Liverpool, England dan kolega mengevaluasi data untuk menentukan angka penggunaan IPT dengan sulfadoxine-pyrimethamine selama kehamilan pengobatan di daerah Afrika dengan peningkatan resistensi sulfadoxine-pyrimethamine.Peneliti mengidentifikasi empat percobaan yang membandingkan 2 dosis IPT dengan sulfadoxine-pyrimethamine untuk management ataupun placebo wanita selama kehamilan pertama dan keduanya. IPT menurunkan resiko malaria placental 52 persen, resiko berat badan lahir rendah 29 persen, dan resiko anemia 10 persen. Efeknya tidak bervarasi dengan tingkat resistensi sulfadoxine-pyrimethamine.Keefektifan IPT dengan sulfadoxine-pyrimethamine lebih rendah di antara wanita yang menggunakan insecticide-treated nets. Tiga percobaan membandingkan 2-dosis IPT setiap bulan dengan IPT dan sulfadoxine-pyrimethamine selama kehamilan. Di antara wanita HIV-positif pada kehamilan pertama atau kedua, IPT tiap bulan menurunkan placental malaria dan berat badan lahir lebih tinggi dalam batas resistensi sulfadoxine-pyrimethamine. Di antara wanita HIV-negatif, tidak ada efek tambahan yang pasti dengan dosis tiap bulan.Mempertahankan penggunaan sulfadoxine-pyrimethamine untuk IPT selama kehamilan dan bagi bayi mungkin dapat menurunkan tekanan obat dan memperluas durasi dari obat penting ini. Hampir semua negara di Afrika mengambil langkah tersebut dan juga telah mengimplementasikannya atau sedang dalam proses mengimplementasikan penggunaan terapi kombinasi sebagai pengobatan pertama pada populasi, kebanyakan dengan kombinasi artemisin sebagai dasar [satu tipe obat antimalaria].Tabel 2. Obat-obatan kemoprofilaksis malaria untuk ibu hami1

DaerahObatDosis oralEfek sampingNama dagang

Sensitif

klorokuin

klorokuin 300 mg/mgg neuroretinitis

gangguan

penglihatan Nivaquine

Resochine

amodiakuin 300 mg/mgg neutropenia Camoquine

klorokuin+ 300 mg/mgg

Resisten

Klorokuinproguanil 200 mg/hr def.as.folat Paludrine

SP (sulfa-

doksin/sul-

falen+piri

metamin 1 tab/mgg

(S = 500 mg

P = 25 mg)

neutropenia

reaksi kulit

agranulosi-

tosis Fansidar

klorokuin+

dapsone+

pirimetamin300 mg/mgg

100 mg/mgg

12,5 mg/mgg hemolisis

def.as.folat Maloprim

3. VaksinasiTarget vaksin malaria antara lain mengidentifikasi antigen protektif pada ketiga permukaan stadium parasit malaria yang terdiri dari sporozoit, merozoit, dan gametosit.Kemungkinan penggunaan vaksin yang efektif selama kehamilan baru muncul dan perlu pertimbangan yang kompleks. Tiga hal yang perlu dipertimbangkan dalam penggunaan vaksin untuk mencegah malaria selama kehamilan, yaitu :

a. Tingkat imunitas sebelum kehamilan

b. Tahap siklus hidup parasit

c. Waktu pemberian vaksin.

Sampai saat ini belum ditemukan vaksin yang aman dan efektif untuk penanggulangan malaria.B. Pengobatan

Malaria dapat diobati dan disembuhkan bila dideteksi secara dini dan bila pengobatan diinisiasi secara tepat. Secara waktu, pengobatan malaria dapat juga dipikirkan sebagai sebuah strategi pencegahan karena menurunkan transmisi malaria.

Bagi wanita hamil yang didiagnosa dengan malaria disebabkan oleh P. malariae, P. vivax, P. ovale, atau infeksi P. falciparum sensitif klorokuin, pengobatan yang tepat dengan klorokuin direkomendasikan (jadwal pengobatan sama seperti pasien dewasa yang tidak hamil). Di daerah yang sensitif klorokuin digunakan klorokuin 1,5 g, atau dengan amodiakuin 1,2 g, selama 3 hari.

Tabel 3. Pengobatan Oral Malaria Akut pada Kehamilan

Hari pengobatanKlorokuinAmodiakuin

Hari I

6 jam kemudian 600 mg

300 mg600 mg

Hari II 300 mg300 mg

Hari III 300 mg300 mg

Sebagai alternatif ke dua untuk pengobatan, hydroxyklorokuin dapat diberikan. Bagi wanita hamil didiagnosa dengan malaria disebabkan oleh infeksi P. Falciparum resisten klorokuin, pengobatan yang tepat dengan kina sulfat dan clindamycin direkomendasikan. Pengobatan kina harus bekelanjutan selama 7 hari untuk infeksi yang didapat di Asia Tenggara dan 3 hari untuk infeksi yang didapat di Afrika atau Amerika Selatan; pengobatan clindamycin harus berlanjut selama 7 hari dimana infeksinya didapat. Bagi wanita hamil yang didiagnosa dengan malaria disebabkan oleh infeksi P. vivax resisten klorokuin, pengobatan yang tepat dengan kina selama 7 hari direkomendasikan dimana infeksi didapat. Tidak ada studi yang adekuat, terkontrol penuh yang mendukung tambahan clindamycin terhadap kina saat mengobati infeksi P. vivax resisten klorokuin.Doxycyclin dan tetracyclin umumnya tidak diindikasikan untuk digunakan pada wanita hamil. Namun, jarang sekali doxycyclin atau tetracyclin dapat digunakan dalam kombinasi dengan kina bila pilihan pengobatan lainnya tidak tesedia atau tidak ditoleransi, dan penambahan doxycyclin atau tetracyclin dianggap memperberat resiko.Berdasarkan label U.S., atovaquone/proguanil diklasifikasikan sebagai pengobatan kehamilan kategori C dan umumnya tidak diindikasikan digunakan wanita hamil karena tidak ada studi adekuat dan terkontrol penuh mengenai atovaquone dan/atau proguanil hydrochloride pada wanita hamil. Bagaimanapun, bagi wanita hamil yang didiagnosa dengan malaria disebakan oleh infeksi P. falciparum resisten klorokuin, atovaquone-proguanil dapat digunakan bila pilihan pengobatan lainnya tidak tersedia atau tidak ditoleransi, dan bila potensi kelebihannya dianggap untuk memperberat potensi resikonya. Tidak ada data mengenai kefektifan atovaquone/proguanil pada pengobatan infeksi P. vivax resisten klorokuin.

Mefloquine juga merupakan pengobatan kehamilan kategori C dan umumnya tidak diindikasikan untuk pengobatan pada wanita hamil. Mefloquine tidak berkaitan dengan resiko abnormalitas kongenital yang meningkat; namun, kemungkinan hubungan pengobatan mefloquine selama kehamilan dengan peningkatan lahir mati telah dilaporkan. Meflokuin direkomendasikan hanya bila tidak ada pilihan pengobatan lainnya tersedia dan bila potensi kelebihan obat dianggap memperberat potensi resiko.Untuk infeksi P. vivax atau P. ovale, primaquine phosphate untuk pengobatan radikal hypnozoit tidak boleh diberikan selama hamil. Wanita hamil dengan infeksi P. vivax atau P. ovale harus dipertahankan pada profilaksis klorokuin selama kehamilannya. Dosis kemoprofilaksis chloroquine phosphate adalah 300mg basa (=500 mg salt) oral satu kali seminggu. Setelah melahirkan, pasien hamil dengan infeksi P. vivax atau P. ovale tanpa defisiensi G6PD tidak boleh diobati dengan primakuin. Wanita hamil dengan malaria berat harus diobati secara agresif dengan terapi antimalaria parenteral seperti yang akan dijelaskan berikut ini.Pasien yang dianggap bermanifestasi penyakit yang lebih berat harus diobati secara agresif dengan terapi antimalaria parenteral. Obat antimalaria oral (seperti oral kina, klorokuin, atau meflokuin) tidak direkomendasikan untuk awal pengobatan malaria berat. Bila suspek kuat malaria berat namun blood smear pertama tidak menunjukkan parasit, obat antimalaria parenteral harus diberikan. Bila ada bukti klinis malaria berat namun blood smear dilaporkan P. vivax, P. ovale atau P. malariae, pasien harus diobati sebagai malaria falciparum karena dianggap sebagai infeksi campuran atau misdiagnosis.Sejak 1991, kuinidin glukonas telah menjadi satu-satunya obat antimalaria parenteral yang tersedia di United States. Direkomendasikan untuk memberikan dosis awal 6.25 mg basa/kg (=10 mg salt/kg) kuinidin glukonas dalam infus intravena 1-2 jam diikuti dengan infus lanjutan 0.0125 mg basa/kg/min (=0.02 mg salt/kg/min). Regimen alternatif adalah dosis awal intravena 15mg basa/kg (=24 mg salt/kg) kuinidin glukonas infus intravena lebih dari 4 jam, diikuti 7.5mg basa/kg (=12 mg/kg salt) infus lebih dari 4 jam di setiap 8 jam, mulai 8 jam setelah dosis awal. Level kuinidin harus dipertahankan dalam batas 3-8 mg/L. Paling sedikit 24 jam infus kuinidin glukonas direkomendasikan (atau 3 dosis intermittent); saat densitas parasit < 1% dan pasien dapat memakan medikasi oral, pasien dapat melengkapi tahapan pengobatan dengan oral kuinin pada dosis 10 mg salt/kg setiap 8 jam (untuk pengobatan kombinasi kuinidin/kina selama 7 hari di Asia Tenggara dan 3 hari di Afrika dan Amerika Selatan)Dosis inisial (termasuk dosis loading) kina atau kuinidin parenteral tidak perlu diturunkan pada orang dengan gagal ginjal. Bila gagal ginjal muncul atau pasien tidak mengalami peningkatan secara klinis, dosis maintenance harus diturunkan sepertiga hingga setengah pada hari ke tiga pengobatan.

Seperti pada pengobatan P. falciparum, terapi kuinidin/kina harus dikombinasikan dengan doxycyclin, tetracyclin, atau clindamycin. Bila pasien tidak mampu mentoleransi oral therapy, doxycyclin hyclate (100 mg setiap 12 jam) atau clindamycin (5 mg base/kg setiap 8 jam) mungkin diberikan secara intavena sampai pasien dapat diberikan terapi oral. Pemberian cepat doxycyclin atau clindamycin secara intravena harus dihindari. Bila pasien dapat mentoleransi oral terapy, pilihan doxycyclin (100 mg setiap 12 jam), tetracyclin (250 mg setiap 6 jam), atau clindamycin (20 mg base/kg/day dibagi tiga kali per hari) selama 7 hari.

Kuinidin glukonas parenteral bersifat kardiotoksik dan harus diberikan pada intensive care setting dengan monitoring jantung dan tekanan darah. Pada dosis yang diperlukan untuk pengobatan malaria falciparum, kuinidin glukonas dapat menyebabkan ventricular arrhythmia, hypotensi, hypoglykemi, dan perpanjangan QTc interval. Infus kuinidin glukonas harus diperlambat atau dihentikan untuk peningkatan QRS complex > 50%, QTc interval > 0.6 detik, QTc interval yang diperpanjang lebih dari 25%, atau hypotensi tidak responsif terhadap cairan. Karena kebanyakan kematian akibat malaria berat dalam 24-48 jam pertama, tujuan dosis loading adalah untuk mencapai konsentrasi terapi secara cepat saat dibutuhkan banyak. Penggunaan obat lainnya baru-baru ini yang memperpanjang QTc interval (misalnya, kuinin atau meflokuin) harus dipertimbangkan saat menentukan apakah seorang pasien harus menerima dosis loading kuinidin glukonas. Karena terdapat pengalaman yang sedikit untuk memutuskan pemakaian kuinidin glukonas, rekomendasi untuk penggunaan dosis loading berdasarkan pengalaman dengan dosis loading kuinin. Dosis loading kuinidin gluconas harus diberikan paling tidak pasien telah menerima lebih dari 40 mg/kg kuinin pada 2 hari sebelumnya atau telah menerima meflokuin 12 jam sebelumnya. Berkonsultasi dengan seorang ahli kardiologi dan seorang dokter dengan pengalamannya dalam mengobati malaria disarankan saat mengobati pasien malaria di United States dengan kuinidin gluconas. Glukosa harus dimonitor secara ketat karena kuinidin- (atau kuinin-) dapat menginduksi hyperinsulinemic hypoglycemia.

Dengan penemuan agen anti-aritmia terbaru, kuinidin glukonas telah dihentikan dari banyak formula rumah sakit dan sedikit dokter yang berpengalaman dengan obat tersebut. Untuk meyakinkan ketersediaan kuinidin glukonas di fasilitas kesehatan U.S., pelayanan obat rumah sakit perlu untuk mempertahankan atau menambahkan kunidin glukonas ke formula. Bila kuinidin tidak tersedia di formula rumah sakit, rumah sakit harus mampu mencari fasilitas kesehatan terdekat secara cepat yang menyimpannya. Bila sumber lokal tak dapat ditemukan, kuinidin glukonas harus dipesan dari distributor lokal atau regional. 21 Juni 2007, CDCs Investigational New Drug Application (IND) menemukan bahwa artesunat intravena memberikan efek. IND ini membolehkan penggunaan medikasi malaria (intravenous artesunate) digunakan untuk pengobatan malaria berat. Sebuah pendekatan baru dalam mengobati malaria pada wanita hamil di Afrika Barat telah terbukti aman dan efektif dengan percobaan acak yang dilakukan oleh sebuah tim di Ghana dan di London School of Hygiene & Tropical Medicine (LSHTM). Mengobati wanita dengan obat amodiaquine, baik sendiri atau dalam kombinasi dengan sulphadoxine-pyrimethamine (SP), ditemukan menghapus hampir semua parasit malaria dan tidak menyebabkan efek samping yang serius pada wanita yang diobati.Parasit malaria mengalami peningkatan resisten terhadap klorokuin dan sulphadoxin-pyrimethamin (SP) di Afrika dan diperlukan penemuan obat-obat baru yang aman dan ditoleransi secara baik. Kebanyakan negara di Afrika mengadopsi artesunate-based combination therapy (ACT) sebagai pengobatan pertama namun tidak ada informasi yang cukup mengenai keamanan ACT selama kehamilan. Ada hal yang mengatakan bahwa ACT mungkin berpengaruh pada embrio yang sedang berkembang, khususnya bila diberikan selama trimester pertama kehamilan.Professor Brian Greenwood, Clinician dan Epidemiologist di LSHTM, berkomentar: 'Malaria pada kehamilan harus diobati keduanya, ibu dan janinnya. Studi sebelumnya telah menemukan amodiaquin sendiri atau dalam kombinasi dengan SP merupakan pengobatan yang efektif malaria pada anak-anak di Afrika Barat, namun penelitin kami mengkonfirmasi bahwa hal ini juga benar terhadap wanita hamil. Tidak ada efek samping yang serius ditemukan dan pengobatannya ditoleransi secara baik oleh mayoritas wanita yang berperan dalam penelitian ini.Pengobatan malaria dirumitkan dengan penyebaran secara luas resistensi terhadap obat, yang telah dihasilkan dari dosis yang suboptimal dan kelebihan penggunaan obat seperti klorokuin. Resistensi klorokuin telah menyebar luas sehingga obat ini tidak lagi direkomendasikan sebagai pengobatan pertama malaria falciparum pada kebanyakan negara. Resistensi secara luas terhadap dua obat lainnya yang dipakai, SP dan mefloquine, meningkat secara tajam. Karena peningkatan resistensi, WHO sekarang merekomendasikan obat kombinasi berdasarkan derivat artemisin untuk pengobatan pertama malaria falciparum di Afrika dan Asia. Formulasi antimalaria tebaru meliputi: artemether + lumefantrine

amodiaquine + artesunate

mefloquine + artesunate

SP + artesunate

Sutrisno et. al. Melakuan penelitian pada tahun 1998 mengenai Efek Pengobatan Malaria dengan Klorokuin terhadap Plasmodium pada Ibu Hamil di Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur. Penelitian ini menggunakan dua grup yaitu grup pertama adalah ibu hamil dengan malaria falciparum positif. Kedua grup dilakukan pemeriksaan darah malaria secara serial pada hari I (saat diagnosa), hari III (selesai pengobatan), hari ke 7 (4 hari selesai pengobatan), hari 28 dan saat partus (bagi grup I). Dengan diketahuinya tingkat kepositipan parasit dalam darah, resistensi hasil pengobatan dapat ditentukan. Grup ibu hamil terdiri dari 49 responden dan kelompok kontrol sebanyak 67 responden. Kedua grup cukup memenuhi syarat untuk dibandingkan. Dari kedua grup, keluhan subyektif dan temuan obyektif pemeriksaan fisik hampir sama. Pada grup wanita didapatkan 16 responden (32,7%) mengalami resistensi dan pada grup kontrol didapatkan 3 responden (4,5%) terjadi resistensi.

Terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik dalam hal tingkat resistensi antara grup wanita hamil dan grup wanita tidak hamil dengan x=16,4 dengan p0,05. Sedangkan perbedaan distribusi usia responden wanita hamil tidak bermakna secara statistik terhadap timbulnya resistensi. Masih perlu diteliti lebih lanjut mengenai penyebab timbulnya resistensi ini apakah karena faktor kehamilan, faktor parasit malaria (Plasmodium falciparum), faktor obat atau faktor tersebut secara kumulatif atau faktor-faktor lainnya. Di daerah yang resisten klorokuin digunakan SP (Fansidar), 3 tablet, dosis tunggal. Menurut Mashaal (1986) kerja Fansidar lambat, sehingga perlu didahului pemberian kina 3 tablet/hari (1 tablet = 600 mg) selama 2 hari dan kemudian diikuti 2 tablet Fansidar. Penggunaan Fansidar selama kehamilan harus di bawah pengawasan ketat dokter karena efek sampingnya yang teratogenik. Mengingat komplikasi bila tidak diobati, maka pada kasus-kasus yang akut dapat diberikan kina 3 tablet/hari selama 7 hari.

Pada dosis terapeutik kina sangat cepat mengendalikan infeksi malaria, demam tinggi, mencegah terjadinya kelahiran prematur, dan kematian janin. Kina sendiri dapat merangsang kontraksi otot-otot uterus yang dapat menyebabkan abortus, tetapi hal ini sangat jarang. Kina lebih sering menyebabkan anemia hemolitik akut atau trombositopenia. Dari hal-hal yang telah dikemukakan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa kina merupakan obat yang efektif dan cepat untuk pengobatan malaria berat pada wanita hamil, dan kehamilan bukan merupakan kontra indikasi penggunaan kina. KlorokuinKerja obat ini adalah: sizon darah: sangat efektif terhadap semua jenis parasit malaria dengan menekan gejala klinis dan menyembuhkan secara klinis dan radikal; obat pilihan terhadap serangan akut, demam hilang dalam 24 jam dan parasitemia hilang dalam 48-72 jam; bila penyembuhan lambat dapat dicurigai terjadi resistensi (gagal obat); terhadap p. falciparum yang resisten klorokuin masih dapat mencegah kematian dan mengurangi penderitaan gametosit: tidak evektif terhadap gamet dewasa tetapi masih efektif terhadap gamet muda Farmokodinamikanya: - menghambat sintesa enzim parasit membentuk DNA dan RDA- obat bersenyawa dengan DNA sehingga proses pembelahan dan pembentukan RNA terganggu. Toksisitasnya: - Dosis toksis: 1500 mg basa (dewasa) - Dosis lethal: 2000 mg basa (dewasa) atau 1000 mg basa pada anak-anak atau lebih besar/sama dengan 30 mg basa/kg BB

Efek sampingnya:

- gangguan gastro-intestinal seperti mual, muntah, diare terutama bila perut dalam keadaan kosong

- pandangan kabur

- sakit kepala, pusing (vertigo)

- gangguan pendengaran

Formulasi obat:

- Tablet (tidak berlapis gula): Klorokuin difosfat 150 mg basa setara dengan 250 mg berntuk garam dan Klorokuin sulfat 150 mg basa setara dengan 204 mg garam.

- Ampul: 1 ml berisi 100 ml basa klorokuin disulfat per ampul dan 2 ml berisi 200 ml basa klorokuin disulfat per ampul.

PrimakuinKerja obat ini adalah:- sizon jaringan: sangat efektif terhadap p.falciparum dan p.vivax, terhadap p. malariae tidak diketahui

sizon darah: aktif terhadap p.falciparum dan p.vivax tetapi memerlukan dosis tinggi sehingga perlu hati-hati gametosit: sangat efektif terhadap semua spesies parasit

hipnosoit: dapat memberikan kesembuhan radikal pada p.vivax dan p.ovale.Farmakodinamikanya adalah menghambat proses respirasi mitochondrial parasit (sifat oksidan) sehingga lebih berefek pada parasit stadium jaringan dan hipnosoit. Toksisitasnya:- Dosis toksis 60-240 mg basa (dewasa) atau 1-4 mg/kgBB/hari - Dosis lethal lebih besar 240 mg basa (dewasa) atau 4 mg/kg/BB/hari.

Efek sampingnya:

- Gangguan gastro-intestinal seperti mual, muntah, anoreksia, sakit perut terutama bila dalam keadaan kosong

- Kejang-kejang/gangguan kesadaran

- Gangguan sistem haemopoitik

- Pada penderita defisiensi G6 PD terjadi Hemolysis

Formulasi obat adalah tablet tidak berlapis gula, 15 mg basa per tablet. KinaKerja obat ini adalah:

- sizon darah: sangat efektif terhadap penyembuhan secara klinis dan radikal

- Gametosit: tidak berefek terhadap semua gamet dewasa P. falciparum dan terhadap spesies lain cukup efektif.

Farmakodinamikanya adalah terikat dengan DNA sehingga pembelahan RNA terganggu yang kemudian menghambat sintesa protein parasit. Toksisitasnya:

- dosis toksis: 2-8 gr/hari (dewasa)

- dosis lethal: lebih besar dari 8 gr/hari (dewasa)

Efek sampingnya adalah Chinchonisme Syndrom dengan keluhan: pusing, sakit kepala, gangguan pendengaran telinga berdenging (tinuitis dll), mual dan muntah, tremor dan penglihatan kabur.

Formulasi obat:

- Tablet (berlapis gula), 200 mg basa per tablet setara 220 mg bentuk garam.

- Injeksi: 1 ampul 2 cc kina HCl 25% berisi 500 mg basa (per 1 cc berisi 250 mg basa) Sulfadoksin Pirimetamin (SP)Kerja obat ini adalah:- Sizon darah: sangat efektif terhadap semua p. falciparum dan kurang efektif terhadap parasit lain dan menyembuhkan secara radikal. Efeknya bisa lambat bila dipakai dosis tunggal sehingga harus dikombinasikan dengan obat lain (Pirimakuin).

- Gametosit: tidak efektif terhadap gametosit tetapi pirimetamin dapat mensterilkan gametosit.

Farmakodinamikanya:

primetamin, terikat dengan enzym Dihidrofolat reduktase sehingga sintesa asam folat terhambat sehingga pembelahan inti parasit terganggu

SP menghambat PABA ekstraseluler membentuk asam folat merupakan bahan inti sel dan sitoplasma parasit.

Toksisitasnya:

sulfadoksin, dosis toksis 4-7gr/hari (dewasa); dosis lethal lebih besar 7 gr/hari (dewasa)

pirimetamin, dosis toksis 100-250 mg/hari (dewasa); dosis lethal lebih besar 250 mg/hari (dewasa) Efek sampingnya:

gangguan gastro-intestinal seperti mual, muntah

pandangan kabur

sakit kepala, pusing (vertigo)

haemolisis, anemia aplastik, trombositopenia pada penderita defisiensi G6PD

Kontra indikasinya:

idiosinkresi

bayi kurang 1 tahun

Defisiensi G6PD

Formulasi obat adalah SP: 500 mg sulfadoksin ditambah 25 mg pirimetaminC. Pengobatan tambahan

Bila terjadi hipoglikemia, berikan glukosa 50% intravena, dilanjutkan dengan infus 10% glukosa. Bila terjadi anemia megaloblastik, diberikan asam folat 5 mg/hari. Asam folat ini sebaiknya diberikan secara rutin untuk profilaksis.Bila terjadi defisiensi vitamin B12, diberikan vitamin B12 dengan dosis 100-1.000 mikrogram sehari.

Bila terjadi anemia berat, dikoreksi dengan pemberian transfusi darah. Bila terjadi anemia besi diberikan preparat besi yang dijelaskan pada tabel 4.Tabel 4. Pemberian oral preparat besi untuk wanita hamil.

PreparatKadar Fe (mg/tablet)Dosis(tablet/hari)

Fe sulfat. 7 H20

Fe sulfat, desiccated

Fe glukonat

Fe fumarat

Fe glisin sulfat64

58

39

66

10540

2

2

2-3

2

BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Sampai saat ini malaria masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara-negara seluruh dunia, baik di daerah tropis maupun sub tropis, terutama di negara berkembang termasuk Indonesia. Badan kesehatan sedunia (WHO) melaporkan tiga juta anak manusia meninggal setiap tahun karena menderita malaria. Dan tiap tahun terdapat 110 juta penderita malaria, 280 juta orang sebagai Carrier dan 2/5 penduduk dunia selalu kompak dengan malaria.Penyakit malaria disebabkan oleh parasit protozoa dari Genus plasmodium. Empat spesies yang ditemukan pada manusia adalah Plasmodium Vivax, P. ovale, P. malariae dan P. Falciparum. Malaria pada kehamilan dapat disebabkan oleh keempat spesies plasmodium, tetapi plasmodium falciparum merupakan parasit yang dominan dan mempunyai dampak paling berat terhadap morbiditas dam mortalitas ibu dan janinnya.Malaria menyerang individu tanpa membedakan umur dan jenis kelamin, tidak terkecuali wanita hamil merupakan golongan yang rentan. Wanita hamil terutama primipara mudah mendapat infeksi malaria, lebih tinggi kepadatan parasitnya, dan lebih berat manifestasi klinisnya karena adanya imunosupresi selama kehamilan.

Parasit malaria dapat ditemukan dalam darah wanita hamil, placenta atau keduanya.

Abortus, prematuritas, kematian janin, bayi lahir mati, berat badan lahir rendah, malaria kongenital, partus sulit, anemia, gangguan ginjal, dan hipoglikemia merupakan komplikasi malaria pada kehamilan.

Pencegahan dengan kemoprofilaksis harus dimulai sedini umur kehamilan, sebelum ditemukan vaksin malaria yang memenuhi syarat.

Pengobatan diutamakan pada keselamatan ibu dan anak. Karena wanita hamil beresiko tinggi terhadap komplikasi malaria, wanita terinfeksi harus diobati secara tepat, dengan regimen yang sangat efektif. Sayangnya, tidak ada informasi yang adekuat mengenai keamanan obat antimalaria selama kehamilan dan efek obat-obat tersebut pada janin yang yang sedang berkembang. Kina, klorokuin, proguanil-pyrimethamin, and SP dipercaya aman diberikan pada trimester pertama kehamilan. Dari semuanya, kina yang paling efektif dan dapat digunakan selama kehamilan. Penggunaan derivat artemisinin meningkat selama kehamilan, dengan tanpa adanya bukti efek samping pada ibu hamil ataupun janinnya.

Petunjuk WHO terbaru menyatakan bahwa derivat artemisin dapat digunakan secara aman terhadap malaria falciparum pada trimester ke dua dan ke tiga kehamilan, dan dengan peringatan pada trimester pertama.

Obat lainnya yang digunakan untuk terapi kombinasi selama kehamilan meliputi: amodiaquine, chlorproguanil, dapsone, halofantrine, lumefantrine, dan piperaquine; namun, tidak ada data keamanan yang cukup dari obat-obat ini untuk penggunaan yang rutin.

Obat antimalaria tertentu tidak direkomendasikan untuk digunakan selama kehamilan. Primaquine kontraindikasi digunakan selama kehamilan. Antibiotik tetracyclin kontraindikasi digunakan wanita hamil atau menyusui karena efeknya pada perkembangan gigi dan tulang bayi. Meflokuin berkaitan dengan meningkatnya lahir mati pada sebuah studi di Thailand namun tidak ditemukan adanya hubungan pada studi yang sama di Malawi.

Data yang terbatas mengindikasikan bahwa kebanyakan obat antimalaria tidak dirahasiakan dalam jumlah yang cukup selama menyusui hingga mengganggu keamanan bayi. Dapson dan tetracyclin lainnya sebagai pengecualian; obat-obat ini tidak direkomendasikan digunakan oleh wanita menyusui.3.2. Saran

Malaria merupakan penyakit infeksi yang cukup serius dan banyak menyebabkan kematian individu tanpa membedakan umur dan jenis kelamin. Oleh karena itu informasi tentang malaria di seluruh kalangan masyarakat harus terus diperluas. Informasi tersebut dapat melalui diskusi, penyuluhan, seminar dan sejenisnya untuk memperdalam pengetahuan masyarakat mengenai malaria, terutama mengenai proses terjadinya, pencegahan serta pengobatan yang benar.Pada ibu hamil, malaria berat lebih sering dijumpai dengan berbagai komplikasi sebagai akibatnya dan angka kematiannya pun cukup tinggi. Sehingga kontrol malaria pada kehamilan, baik pencegahan maupun pengobatannya perlu perhatian khusus. Pencegahan dan pengobatan perlu dilakukan sedini mungkin guna menghentikan penyebaran parasit lebih luas dan mencegah komplikasi yang lebih berat.Resistensi terhadap beberapa obat antimalaria yang semakin menyebar ke berbagai wilayah juga perlu diperhitungkan dalam menetapkan tatalaksana. Dengan keputusan dan pemberian terapi yang tepat maka diharapkan angka kejadian malaria bisa diturunkan dan komplikasi serta akibat lainnya yang lebih berat pun bisa dihentikan.DAFTAR PUSTAKA

1. Badan Litbang Kesehatan. Efek Pengobatan Malaria dengan Klorokuin terhadap Plasmodium pada Ibu Hamil di Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur. 1998. Available from: URL: HYPERLINK http://digilib.litbang.depkes.go.id/go.php?id=jkpkbppk-gdl-res-1998-sutrisno-1960-hamil2. CDC. Treatment of Malaria (Guidelines for clinicians). 2004. Available from: URL: HYPERLINKhttp://www.cdc.gov/malaria/diagnosis_treatment/clinicians3.htm3. Cermin Dunia Kedokteran . Malaria pada Kehamilan. 1991. Available from: URL: HYPERLINKhttp://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/146_07MalariapadaKehamilan.pdf/146_07MalariapadaKehamilan.html4. Katzung B.G. Prinsip-prinsip dasar kemoterapi antiparasitik. Farmakologi dasar dan klinik. Editor: Prof.Dr. H. Azwar Agoes DSFK. Edisi VI. EGC: Jakarta, 1998. Hal 802.5. Mansjoer A., Triyanti K., dan Savitri R., editor. Malaria. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid I. Edisi ke tiga. Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta, 2000. Hal 409.

6. Noer S., Waspadji S., dan Rachman M., editor. Malaria berat. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi ke tiga. Gaya Baru: Jakarta, 2003. Hal 504.7. Price, S.A., Wilson L.M. Gangguan sel darah merah. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Volume 1. Edisi 6. EGC: Jakarta, 1995. Hal 255.8. PubMed. Drugs for preventing malaria in pregnant women. 2006. Available from: URL: HYPERLINKhttp://www.ncbi.nlm.nih.gov/sites/entrez?cmd=Retrieve&db=PubMed&dopt=AbstractPlus&list_uids=170541289. Sudoyo A.W., Setyohadi B, Alwi I., editor. Malaria. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi IV. Pusat Penerbitan IPD FK UI: Jakarta, 2006. Hal 175410. USU digital library. Pengaruh malaria selama kehamilan. 2003. Available from: URL: HYPERLINKhttp://library.usu.ac.id/modules.php?op=modload&name=Downloads&file=index&req=getit&lid=49611. Wikipedia, the free encyclopedia. Malaria. 2008. Available from: URL: HYPERLINK http://en.wikipedia.org/wiki/Wikipedia:Text_of_the_GNU_Free_Documentation_LicensePAGE 1