Isi Disertasi

134
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia dengan keanekaragaman hayatinya yang terdiri dari sekitar 30.000 jenis tumbuhan tinggi (Achmad, 2007), 381 jenis mamalia (Heny, 2010) dan 12.000 jenis jamur (Anonim, 2010) potensial untuk memproduksi metabolit primer (misalnya karbohidrat, lemak dan protein) dan metabolit sekunder (misalnya senyawa antibiotik). Mikroba banyak dikembangkan untuk memproduksi metabolit primer dan sekunder, karena mikroba berkembang biak dengan cepat, tidak terganggu oleh musim, dan dapat diproduksi sewaktu-waktu. Selain itu produksi enzim dari mikroba dapat ditingkatkan pada skala besar melalui fermentor dan dapat dikontrol lingkungan tempat tumbuhnya (Suhartono, 1989). Enzim lipase dari mikroba termasuk salah satu enzim komersial yang mempunyai nilai ekonomi

description

iyaaa bangett

Transcript of Isi Disertasi

44

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia dengan keanekaragaman hayatinya yang terdiri dari sekitar 30.000 jenis tumbuhan tinggi (Achmad, 2007), 381 jenis mamalia (Heny, 2010) dan 12.000 jenis jamur (Anonim, 2010) potensial untuk memproduksi metabolit primer (misalnya karbohidrat, lemak dan protein) dan metabolit sekunder (misalnya senyawa antibiotik). Mikroba banyak dikembangkan untuk memproduksi metabolit primer dan sekunder, karena mikroba berkembang biak dengan cepat, tidak terganggu oleh musim, dan dapat diproduksi sewaktu-waktu. Selain itu produksi enzim dari mikroba dapat ditingkatkan pada skala besar melalui fermentor dan dapat dikontrol lingkungan tempat tumbuhnya (Suhartono, 1989). Enzim lipase dari mikroba termasuk salah satu enzim komersial yang mempunyai nilai ekonomi tinggi dan masih diimpor. Harga enzim lipase impor relatif mahal, misalnya harga enzim lipase dengan merek dagang BIO-lipase dan Lipolase mencapai 25 juta rupiah per kg (Kao Corporation, 2004). Menurut Kirk dkk (2002), penggunaan enzim lipase untuk industri bioteknologi senilai U$ 1,5 milyar. Enzim lipase dapat pula digunakan dalam industri makanan, deterjen, kimia, farmasi, dan lain-lain (Gupta dkk., 2004). Enzim lipase merupakan kelompok enzim yang berfungsi untuk menghidrolisis triasilgliserol menjadi monoasilgliserol, diasilgliserol dan asam lemak bebas. Monoasilgliserol dan diasilgliserol termasuk produk diversifikasi minyak yang bernilai ekonomi relatif tinggi dan mempunyai prospek pasar yang cukup cerah pada era pasar global. Krog (1990) memprediksi kebutuhan monoasilgliserol dan diasilgliserol sebagai pengemulsi pangan pada era pasar global sekitar 132.000 ton/tahun. Kebutuhan monoasilgliserol dan diasilgliserol dalam negeri saat ini masih impor. Monoasilgliserol dan diasilgliserol adalah ester gliserol dari triasilgliserol yang digunakan sebagai bahan pengemulsi dan penstabil produk makanan, kosmetika dan farmasetika (Ling dkk., 2007). Hasanuddin (2001) melaporkan bahwa pada dasarnya diasilgliserol dan monoasilgliserol terbentuk dari reaksi antara gliserol dengan triasilgliserol. Reaksi ini dapat berlangsung dengan katalisator alkali (gliserolisis secara kimia) maupun biokatalisator enzim lipase (gliserolisis secara enzimatik). Enzim lipase sebagai biokatalisator mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan katalisator alkali diantaranya: bekerja secara spesifik, aktivitas katalitik enzim yang tinggi dan kemampuannya bekerja pada suhu yang relatif rendah sekitar 30 0C, katalisator alkali bekerja pada suhu (220-250) 0C. Suhu yang tinggi menghasilkan produk berwarna coklat (gelap) dan bau tidak diinginkan (Noureddini dkk., 2004). Enzim lipase sebagai biokatalisator dapat meningkatkan kualitas crude palm oil (CPO) yang lebih baik yaitu minyak sehat (healthy oil). Healthy Econa Cooking Oil telah diproduksi massal pada tahun 2001 oleh Kao Industries of Japan bekerjasama dengan Novozymes, Co. Bahan utama yang terkandung di dalam minyak ini adalah diasilgliserol dibuat secara enzimatik menggunakan minyak murni (virgin olive oil). Minyak ini dalam jangka panjang mampu mencegah peningkatan lemak tubuh, terutama lemak yang terdeposit dalam organ internal (Kao Corporation, 2004). Fungi (jamur) adalah mikroba yang 80% substratnya terdiri dari makromolekul yang memiliki banyak rantai karbon (Putranto dkk., 2006). Beberapa jenis fungi penghasil enzim lipase seperti Aspergillus, Mucor, Rhizopus, Penicillium diketahui dapat tumbuh pada habitat mengandung minyak (Sharma dkk., 2001). Buah kelapa adalah bahan baku industri pembuatan minyak nabati, dalam pengolahannya terlebih dahulu dibuat kopra. Pembuatan kopra dilakukan secara tradisional yaitu dengan cara pengupasan tempurung kelapa kemudian penjemuran sampai kering. Survei lapangan menunjukkan bahwa dalam pengolahan kelapa menjadi kopra, ditemukan (1-5)% kopra berjamur, sehingga potensial menjadi limbah. Kopra memiliki kandungan lemak sebesar 67,7% (Woodroof, 1979) merupakan media yang baik untuk pertumbuhan fungi (jamur) penghasil enzim lipase. Studi pendahuluan menunjukkan bahwa fungi yang tumbuh pada kopra berjamur teridentifikasi dari genus Aspergillus dan Penicillium, Aspergillus menunjukkan aktivitas enzim lipase lebih besar (Dali dan Pirman, 2005). Studi mengenai penelitian enzim lipase dari beberapa mikroba (jamur, ragi dan bakteri) telah dilaporkan oleh (Nascimento dan Takaki, 1994; Schmid dkk., 1997, 1998). Pada umumnya enzim lipase mikroba aktif pada pH basa, pH (7-9). Produksi enzim lipase dari mikroba dapat ditingkatkan aktivitasnya dengan membuat formulasi media yang sesuai dengan kebutuhan mikroba untuk pertumbuhannya. Media yang digunakan untuk pertumbuhan mikroba harus mengandung komponen-komponen yang dibutuhkan seperti air, karbon, nitrogen, mineral dan lain-lain sesuai kebutuhan setiap macam mikroba (Darwis dan Sukara, 1990). Enzim lipase dari mikroba (misalnya: Mucor miehei, Candida rugosa, Aspergillus oryzae) merupakan enzim ekstraseluler yang disekresikan melalui membran eksternal ke dalam media kultur. Optimasi media fermentasi untuk produksi enzim lipase bergantung pada beberapa faktor seperti suhu pertumbuhan, pH, komposisi nitrogen, sumber karbon dan lipid, konsentrasi garam anorganik serta ketersediaan oksigen (Suzuki dkk., 1998) Penggunaan enzim lipase terlarut sebagai biokatalisator sangat tidak ekonomis, dibandingkan dengan enzim lipase yang tidak terlarut (lipase imobil). Enzim dalam bentuk terlarut relatif tidak stabil dan tidak dapat digunakan secara berulang-ulang (reuseable). Penggunaan enzim hanya terbatas satu kali pemakaian, sehingga setiap memulai pengolahan harus menggunakan enzim baru, dan hal ini tidaklah efisien dan membutuhkan biaya yang lebih mahal. Kekurangan-kekurangan ini, dapat diatasi melalui metode imobilisasi enzim untuk meningkatkan kestabilannya, yaitu metode imobilisasi secara adsorpsi menggunakan silika gel. Pemakaian silika gel sebagai material pendukung, karena kemampuan adsorpsi permukaan dan intramolekul yang baik, memiliki ruang pengunci (interlocking cavasities) yang memberikan media dengan luas permukaan yang besar (Wulan dkk., 2008). Berbagai material pendukung telah dilaporkan dalam literatur untuk meningkatkan kestabilan enzim lipase imobil. Kelompok peneliti Inggris (Murray dkk., 1997) telah melaporkan imobilisasi enzim lipase pada material pendukung polimer polistirena EP 400 untuk menghidrolisis minyak bunga matahari. Aktivitas enzim setelah penggunaan berulang tetap stabil. Imobilisasi enzim lipase dengan menggunakan material pendukung sepharosa dan resin dilaporkan oleh (Dosanjh dan Kaur, 2002). Enzim lipase imobil ini dapat digunakan untuk sintesis ester. Penelitian Wulan dkk (2008), terhadap enzim lipase imobil dari Rhizopus oryzae pada material pendukung kitin dapat digunakan sebanyak tiga kali pemakaian berulang untuk menghidrolisis minyak zaitun. Enzim imobil adalah suatu enzim yang baik secara fisik maupun kimia tidak dapat bebas bergerak sehingga dapat dikendalikan atau diatur kapan enzim tersebut harus kontak dengan substrat. Imobilisasi mencegah difusi enzim ke dalam campuran reaksi dan mempermudah memperoleh kembali enzim tersebut dari aliran produk dengan teknik pemisahan padat-cair yang sederhana, sehingga enzim tersebut memungkinkan untuk digunakan kembali.

B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka penelitian ini dipusatkan kajian beberapa masalah yaitu:1.Bagaimanakah kondisi optimum memproduksi enzim lipase dari A. oryzae pada kopra berjamur? 2.Bagaimanakah kemurnian dan karakteristik enzim lipase dari A. oryzae? 3.Dapatkah enzim lipase imobil dari A. oryzae digunakan sebagai biokatalisator yang efektif dan efisien? .4.Dapatkah enzim lipase imobil dari A. oryzae menghidrolisis minyak kelapa menjadi diasilgliserol?C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian adalah sebagai berikut :1. Menentukan kondisi optimum produksi enzim lipase dari A. oryzae pada kopra berjamur.2. Memurnikan dan mengkarakterisasi enzim lipase dari A. oryzae 3. Menentukan unjuk kerja enzim lipase imobil dari A. oryzae sebagai biokatalisator yang efektif dan efisien4.Menggunakan enzim lipase imobil dari A. oryzae untuk hidrolisis minyak kelapa menjadi diasilgliserolD. Kegunaan Penelitian Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat sebagai berikut:1.Menambah informasi ilmiah tentang mikroba A. oryzae yang dapat diisolasi dari bahan baku lokal (kopra berjamur) dan potensial menghasilkan enzim lipase2. Enzim lipase yang dihasilkan dari A. oryzae dapat diimobilisasi dan digunakan sebagai biokatalisator untuk menghasilkan pengemulsi diasilgliserol dari minyak kelapa

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kopra

Kelapa (Cocos mucifera. L) adalah tanaman yang bernilai komoditi komersial, karena semua bagian kelapa dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan. Budidaya tanaman kelapa merupakan salah satu alternatif yang sangat menguntungkan. Salah satu pemanfaatan kelapa dalam industri adalah pembuatan minyak kelapa yang sebelumnya diproses terlebih dahulu menjadi kopra. Kopra adalah daging buah tanaman kelapa yang telah dikeringkan secara tradisional dengan cara penjemuran, pengasapan atau pengeringan mekanis lainnya. Cara ini akan mencegah tumbuhnya jamur dan bakteri yang dapat memakan daging buah kelapa dan merusak minyak kelapa (Anonim, 2007). Namun demikian pada pengolahan kopra masih ditemukan adanya kopra yang rusak (berjamur), seperti pada Gambar 1. Kopra mengandung asam lemak tidak jenuh. Asam lemak adalah asam organik yang terdapat sebagai ester trigliserida atau lemak, baik yang berasal dari tumbuhan maupun hewan. Gambar 1. Kopra berjamur

B. Uraian Aspergillus oryzae

Aspergillus merupakan jamur, yaitu tumbuhan dari divisi Thallophyta yang memiliki ciri utama tubuh yang berbentuk talus, yaitu belum dapat dibedakan dalam tiga bagian tubuh utama tumbuhan yang disebut akar, batang dan daun, dan termasuk subdivisi fungi karena tidak mempunyai klorofil. Jamur termasuk fungi sejati yang merupakan organisme heterotropik dimana mereka memerlukan senyawa organik untuk nutrisinya.

1. Taksonomi Aspergillus oryzaeRegnum: PlantaeDivisio: ThallophytaSubdivisio : FungiClassis: EumycetesSubclassis: AscomycetesOrdo : MonilialesFamilia: AspergillaceaeGenus: AspergillusSpecies: Aspergillus oryzae

Gambar 2. Aspergillus oryzae (Gandjar dkk, 1999) a. Konidiofor; b.Vesikel; c. Metula; d. Fialid; e. Konidia

A. oryzae mempunyai kepala konidia berwarna kuning kecoklatan dengan dinding yang tipis. Panjangnya bisa mencapai 1-2 n m, dengan diameter 7-10 m. Visekel yang berada pada ujung konidiophor berbentuk sedikit lonjong dengan diameter kurang lebih 100 m. Strigmata berwarna cokelat yang tersusun dalam dua seri. Konidia yang sudah matang berwarna hitam. Aspergillus ada dimana-mana, di daerah kutub maupun di daerah tropik, dan hampir pada setiap substrat. Beberapa Aspergillus yang digunakan dalam industri fermentasi adalah A. flavus dan A. oryzae. Di Jepang A. oryzae digunakan dalam pabrik-pabrik sake. Fungsi utama jamur ini adalah untuk proses saccharifikasi zat pati beras, dan juga digunakan pada pabrik-pabrik shoyu (kecap asin) dan miso (tauco). Berbagai galur A. oryzae digunakan pula dalam produksi enzim dengan nama dagang seperti: takadiastase, polyzyme, digestin, oryzyme dan kashiwagidiastase (Judoamijoyo, 1992).2. Fisiologi Aspergillus oryzae a. Suhu pertumbuhan Kebanyakan jamur bersifat mesofilik, yaitu tumbuh baik pada suhu kamar. Suhu optimum pertumbuhan kebanyakan jamur adalah sekitar (25 30) 0C, tetapi beberapa diantaranya dapat tumbuh pada suhu antara (3537) 0C misalnya Rhizopus stolonifer, Aspergillus atau suhu lebih tinggi, yaitu 45 0C, misalnya Absidia ramosa (Ganjar dkk., 1999). Pada umumnya jamur dapat tumbuh pada kisaran pH yang luas, yaitu pH (28,5). Beberapa jamur bersifat psikrotrofik, yaitu dapat tumbuh baik pada suhu dingin, dan bahkan masih dapat tumbuh lambat pada suhu di bawah suhu pembekuan, misalnya pada suhu -5 0C sampai -10 0C. Semua spesies jamur bersifat aerobik, yaitu membutuhkan oksigen untuk pertumbuhannya. b. Nutrisi Pada umumnya jamur dapat menggunakan berbagai komponen makanan, dari yang sederhana sampai yang kompleks untuk nutrisinya dalam mensintesis semua komponen selnya. Walaupun demikian jamur bersifat heterotrof (sumber karbon hanya dari senyawa karbon organik). Berbeda dengan bakteri, jamur tidak dapat menggunakan senyawa karbon anorganik, misalnya karbondioksida. Karbon harus berasal dari sumber organik, misalnya glukosa. Beberapa spesies dapat menggunakan nitrogen; itulah sebabnya media biakan untuk jamur biasanya mengandung pepton, pati, pektin, protein atau lipid. Untuk menumbuhkan dan mengaktifkan isolat Aspergillus yang merupakan organisme heterotrofik, dapat digunakan media yang diperkaya (enrichment medium), yaitu media yang ditambahkan zat tertentu, misalnya serum, darah, ekstrak hewan dan tumbuhan serta komponen selular esensial yang tidak dapat disintesis sendiri oleh suatu organisme dari sumber karbon atau nitrogen dasar berupa asam-asam amino dan vitamin (Pelczar, 1986).

C. Media Pertumbuhan Media yang digunakan untuk menumbuhkan mikroba di laboratorium terbagi atas tiga jenis, yaitu : (a) media cair, (b) media padat, dan (c) media semi padat. Media yang digunakan untuk pertumbuhan mikroba harus mengandung komponen-komponen yang dibutuhkan seperti : air, karbon, nitrogen, mineral dan lain-lain yang sesuai dengan kebutuhan setiap jenis mikroba. Menurut Somkuti dan Babel (1968), untuk memproduksi enzim lipase dari Mucor pusillus digunakan media gandum wheat-bran dengan pH 6,8, sedangkan untuk lipase dari Bacillus J33 digunakan media kaldu (nutrient both) dengan pH 8,0. Nawani dkk (1998) dan Maia dkk (1999), menggunakan media minyak zaitun-pepton untuk memproduksi enzim lipase ekstraselluler dari fungi Fusarium solani. Produksi enzim lipase dari Aspergillus carneus dan Penicillium sp, Helisto dan Korpela (1998), menggunakan media modifikasi Czapek dengan komposisi bahan yaitu: NaNO3, KHPO4, KCl, MgSO4.7H2O, FeSO4, tepung kedelai, minyak zaitun dan agar serta pH media 7. Menurut Liu dan Tsai (2003), n-heksadekana dan minyak zaitun berfungsi sebagai sumber karbon untuk memproduksi enzim lipase alkali dari A. radioresistens. Sumber nitrogen dalam media juga berpengaruh terhadap produksi enzim lipase. Umumnya sumber nitrogen yang digunakan adalah pepton dan ekstrak ragi, dapat meningkatkan produksi enzim lipase dari Bacillus sp, Pseudomonas, dan Staphylococcus haemolyticus (Gupta dkk., 2004).D. Mikroba dan Kultur Fermentasi Mikroba banyak digunakan dalam proses fermentasi di antaranya adalah khamir, fungi (jamur) dan bakteri. Pada dasarnya tidak semua khamir, fungi (jamur) dan bakteri dapat digunakan secara langsung tetapi diperlukan seleksi dari masing-masing untuk menjamin berlangsungnya proses fermentasi sesuai dengan tujuan. Mikroba bagi industri fermentasi memang bersifat unik, karena persyaratan yang harus dipenuhi sangat bervariasi dan sering kali sulit dipenuhi secara langsung. Suatu galur khusus yang digunakan dalam memproduksi streptomisin, harus dapat memproduksi zat tersebut cukup tinggi agar menurunkan biaya operasionalnya. Selain itu tahan disimpan sebagai galur murni tanpa penurunan sifat unggulnya. Persyaratan penting di luar daya produksi suatu mikroba untuk industri, hendaknya tidak mengganggu kesehatan manusia, hewan dan tumbuhan apalagi bersifat toksik. Apabila mikroba tersebut bersifat toksik, hendaknya toksik yang dihasilkan mudah dimatikan (Judoamijoyo, 1992).E. Teknik Biakan Murni Inokulasi adalah memindahkan bakteri atau fungi dari medium yang lama ke medium yang baru. Inokulasi dapat dilakukan di dalam suatu kotak berkaca yang disebut enkas untuk menghindari kontaminasi. Bahan yang diinoklasikan pada medium disebut inokulum. Sel-sel dalam inokulum akan terpisah sendiri-sendiri. Setelah inkubasi, sel-sel mikroba individu ini memperbanyak diri sedemikian cepatnya sehingga dalam waktu 18 sampai 24 jam terbentuklah massa sel yang dapat dilihat dan dinamakan koloni. Setiap koloni yang berlainan dapat mewakili macam organisme yang berbeda-beda, setiap koloni merupakan biakan murni satu macam mikroorganisme. F. Isolasi dan Pemurnian Enzim Isolasi enzim perlu memperhatikan tujuan serta bentuk isolat enzim yang diinginkan. Untuk keperluan penelitian dan analisis, hasil isolasi enzim tidak diperlukan dalam jumlah banyak, tetapi mempunyai tingkat kemurnian yang tinggi. Isolasinya memerlukan teknologi isolasi enzim yang mempunyai sifat dan aktivitas maksimum (Suhartono, 1989).

1. Sentrifugasi Sentrifugasi merupakan suatu cara pemisahan yang berdasarkan kepada perbedaan kecepatan sedimentasi dari partikel-partikel molekul yang disebabkan oleh adanya gaya sentrifrugal. Cara ini terutama digunakan untuk memisahkan endapan yang sukar disaring dengan saringan biasa (filter), dimana zat terlarut dapat dipisahkan dengan cepat menuju pusat medan sentrifugal. Dalam hal ini partikel-partikel mula-mula yang terdistribusi secara merata di dalam larutan, pada suatu kecepatan perputaran tertentu akan bergerak meninggalkan larutan induknya dan bila partikel-partikel terlarut tersebut lebih besar dari partikel pelarut, maka akan memisah dan terjadi pengendapan. Sebaliknya partikel-partikel yang memiliki berat jenis lebih kecil dari pelarutnya, akan terapung di permukaan. Pada saat kesetimbangan tercapai, dimana konsentrasi zat terlarut di bagian atas lebih kecil dari pada konsentrasi bagian bawahnya, maka pada saat itulah terjadi pengendapan.

2. Fraksinasi

Hasil sentrifugasi diperoleh suatu larutan enzim kasar, selanjutnya dilakukan metode pemurnian. Pemurnian enzim pada dasarnya bergantung pada beberapa variabel diantaranya: pH, suhu, komposisi pelarut dan sifat dari protein itu sendiri (ukuran, kelarutan, muatan dan bentuknya). Fraksinasi protein dengan menggunakan garam, berdasarkan atas kelarutan protein yang merupakan interaksi antara gugus polar dengan air, interaksi ionik dengan garam dan daya tolak menolak protein yang bermuatan sama. Dalam hal ini fenomena kelarutan protein ada dua macam yaitu salting in dan salting out. Salting in adalah peristiwa dimana dengan penambahan garam konsentrasi rendah pada larutan protein dalam air, akan menurunkan koefisien aktivitas sehingga kelarutan protein akan bertambah. Bila konsentrasi garam dinaikkan sehingga kekuatan ion bertambah besar, maka interaksi ion dari garam dengan air akan bertambah, hal ini akan menyebabkan interaksi antara protein dengan air menurun. Proses ini disebut salting out. Salting out sangat tergantung pada hidrofobilitas protein. Peningkatan konsentrasi garam yang ditambahkan secara bertahap, akan mengendapkan protein secara bertahap pula, sehingga dapat digunakan untuk pemurnian protein. Pada peristiwa salting out akan terjadi pengendapan protein, dimulai dari kelarutan yang lebih kecil. Dalam larutan elektrolit kuat, penurunan logaritma kelarutan suatu protein merupakan fungsi linier dari kenaikan konsentrasi garam Colowick dan Kaplan (1957), yang dinyatakan dalam persamaan: Log s = Ks (1)dimana : S = Kelarutan protein dalam gram/liter = Konstanta intersep; juga merupakan kelarutan protein dalam air murni = Kekutan ion dari larutan Ks = Konstanta kelarutan protein pada salting outHubungan antara kekuatan ion dengan konsentrasi larutan adalah : = Ci Zi2 (2) dimana: = kekuatan ion Ci = konsentrasi ion i Zi = valensi ion i

Slope = - Ks

Log s

Gambar 3. Kurva antara log s terhadap (Colowick dan Kaplan, 1957) Amonium sulfat adalah salah satu jenis garam yang paling banyak digunakan untuk mengendapkan protein enzim. Keuntungannya adalah (1) dalam keadaan jenuh molaritasnya cukup tinggi sehingga dapat mengendapkan sebagian besar protein; (2) panas pelarutannya rendah, sehingga panas yang dihasilkannya mudah hilang; (3) bahkan pada larutan jenuhnya (4,04 M pada 20 0C) memiliki kerapatan sekitar 1,235 gram per cm3, yang tidak cukup besar mengganggu sedimentasi sebagian besar protein yang mengendap karena sentrifugasi; (4) larutan amonium sulfat yang pekat mencegah atau membatasi pertumbuhan bakteri, dan (5) dalam larutan amonium sulfat sebagian besar protein terlindungi dari denaturasi. Berdasarkan keuntungan terakhir ini, seringkali protein murni disimpan sebagai suspensi dalam larutan amonium sulfat pekat (Englard dan Seiffer, 1990).3. Dialisis Dialisis dalam biokimia dikenal sebagai proses untuk menghilangkan garam-garam dari larutan protein. Proses dialisis diperlukan suatu membran yang bersifat semipermeabel, dapat menahan zat-zat molekul besar tetapi melewatkan zat-zat molekul kecil. Adapun membran yang dipakai pada umumnya adalah kantong selofan dengan ukuran ketebalan dan panjang yang berbeda-beda. Permeabilitas suatu kantong selofan tergantung pada ukuran dan juga pada praperlakuan yang dilakukan. Pada dasarnya bahwa suatu membran atau selaput itu permeabel, jika ia dapat melewatkan molekul-molekul yang berberat molekul kurang dari 30.000 selama satu malam. Permeabilitas suatu kantong membran tidak tergantung pada lamanya dialisis. Jika suatu molekul tidak dapat melalui selaput maka selamanya ia tidak akan lewat walaupun waktu dialisisnya diperpanjang. Kondisi lain yang perlu diperhatikan dalam melakukan dialisis adalah pelarut. Secara umum dikatakan bahwa kecepatan dialisis maksimal jika menggunakan akuades. Pada hal suatu larutan ditentukan oleh pH dan kekuatan ionisasi zat terlarut yang diperlukan untuk menstabilisasikan kondisi biomolekul dalam larutan tersebut. Proses dialisis yang menyebabkan masuknya air ke kantong membran adalah tekanan osmotik, oleh karena itu selalu diusahakan supaya volume kantong selofan setelah tercapai kesetimbangan masih normal, tidak mengalami kerusakan akibat tekanan osmotik (Gambar 4). Sebaliknya dapat terjadi, misalnya jika biomolekul yang keluar meninggalkan kantong selofan lebih cepat, sehingga kantong selofan menjadi kempes. Sebagai contoh dari 200 mL isi kantong selofan jika dibiarkan satu malam dapat bertambah volumenya menjadi beberapa mililiter lagi.

kantong dialisis

larutan protein

bufer awal dialisis kondisi saat kesetimbangan

Gambar 4.Pemisahan protein berdasarkan ukuran molekul dengan dialisis (Stryer, 1995).

Cara-cara untuk mempercepat pergerakan molekul:a. Membuat luas permukaan membran sebesar mungkin, antara lain dengan menambah panjang tabung (kantong).b. Mengubah lapisan larutan yang berhubungan langsung dengan membran secara terus menerus dengan mengaduk pelarut.c. Mengganti pelarut pada selang waktu tertentu

4. Kromatografi kolom penukar ion Prinsip yang mendasari fraksinasi protein dengan kolom penukar ion, adalah adsorpsi molekul-molekul pada kolom penukar ion, dengan cara merubah lingkungan ioniknya, molekul yang terikat akan dilepaskan lagi. Protein dapat dipisahkan berdasarkan pada muatan netonya dengan kromatografi penukar ion. Jika suatu protein memiliki muatan positif pada pH 7, maka akan terikat pada matrik kolom yang mengandung gugus karboksilat, sebaliknya protein yang bermuatan negatif tidak akan terikat. Protein bermuatan positif yang terikat pada suatu kolom, dapat dielusi dengan gradien konsentrasi garam bufer pengelusi atau kalium klorida (gambar 5). Ion kalium berkompetisi dengan gugus bermuatan positif protein untuk terikat pada kolom. Protein yang memiliki densitas rendah muatan neto positif akan terelusi yang pertama, kemudian diikuti protein yang memiliki densitas muatan lebih tinggi. Selain faktor muatan neto, afinitas terhadap matrik pendukung kolom, dapat mempengaruhi sifat-sifat protein pada kolom penukar ion (Stryer, 1995).

Protein bermuatan negatif mudah dipindahkan

Hanya protein bermuatan positif dipindahkan dengan kekuatan ionik yang tinggiPenambahan larutan KCl

Gambar 5.Kromatografi kolom penukar ion memisahkan protein berdasarkan muatan netonya (Steve, 2008)

5. Kromatografi kolom filtrasi gel Prinsip yang mendasari kromatografi kolom filtrasi gel adalah partisi ukuran molekul pada kolom yang mengandung butiran sangat kecil berpori, yang terbuat dari polimer berhidrat tinggi gel. Jika molekul-molekul protein dengan berbagai ukuran dielusikan lewat kolom yang telah dicuci dan disetimbangkan dengan eluennya, maka molekul-molekul yang lebih kecil dari ukuran pori gel akan masuk kedalam partikel-partikel gel sebagai fasa stasioner. Sedangkan molekul-molekul yang lebih besar dari pori gel akan ditolak oleh partikel gel dan masuk kedalam fasa mobil diantara partikel gel (Gambar 6)

matriks polimermolekul kecil masuk ke pori

molekul besar tidak dapat masuk ke pori

Gambar 6. Pemisahan protein berbeda ukuran dengan kromatografi filtrasi gel, protein besar keluar lebih awal daripada protein lebih kecil (Stryer, 1995)

Gaya gravitasi kedua fasa tersebut akan bergerak ke bawah sepanjang kolom dan keluar sebagai eluat (Stryer, 1995). Matriks kolom yang digunakan adalah berpori dan terbuat dari polimer yang tidak larut namun bersifat hidratasi tinggi, seperti dextran atau agarosa yang merupakan karbohidrat atau poliakrilamida. Nama dagang dikenal sebagai sephadex, sepharosa dan bio-gel, yang memiliki diameter butiran 100 m.

6. Elektroforesis Umumnya biomolekul polimer bermuatan listrik, sehingga dapat bergerak dalam medan listrik. Pergerakan partikel-partikel bermuatan listrik oleh medan listrik melalui suatu pelarut disebut elektroforesis. Fenomena ini dapat digunakan untuk karakterisasi molekul berdasarkan kecepatan pergerakan dalam medan listrik. Sifat pergerakan tersebut dapat digunakan untuk memisahkan protein dan makromolekul lain, seperti DNA dan RNA (Stryer, 1995). Kecepatan migrasi (V) suatu protein (atau molekul lain) didalam suatu medan listrik adalah bergantung pada besarnya medan listrik (E), muatan neto protein (z), serta koefisien gesekan (f): V = EZ / f (3)Gaya listrik (EZ ) yang menggerakkan molekul bermuatan kearah elektroda dengan muatan berlawanan, adalah berlawanan dengan viskositas, fv, yang timbul dari gesekan antara molekul yang bergerak dengan medium. Koefisien gesekan (f) bergantung pada massa dan bentuk molekul yang bermigrasi, serta viskositas () medium, untuk bentuk partikel bulat dengan radius r, adalah : f = 6r Pemisahan biomolekul secara elektroforesis umumnya dilakukan di dalam gel atau medium pendukung padat seperti kertas dari pada di dalam larutan bebas, dengan alasan gel bertindak sebagai penyaring molekul yang mempertinggi proses pemisahan serta menekan naiknya suhu yang dihasilkan arus listrik. Molekul yang lebih kecil dari poli gel dengan mudah bergerak melalui gel, sebaliknya molekul yang lebih besar tertahan pergerakannya.

Gambar 7. Pembentukan gel poliakrilamida. Ukuran pori dapat dikendalikan dengan cara mengatur konsentrasi akrilamida dan metilenbisakrilamida sebagai pembentuk ikatan silang (Stryer, 1995)

Gel poliakrilamida dipilih sebagai media pendukung untuk elektroforesis, karena secara kimia inert dan mudah dibentuk dengan polimerisasi akrilamida. Selain itu, ukuran porinya dapat dikontrol dengan mengatur konsentrasi akrilamida dan metilenbisakrilamida (pereaksi ikatan silang) pada saat akan dilakukan reaksi polimerisasi (Gambar 7). Sebagian besar protein dapat dipisahkan berdasarkan massanya secara elektroforesis gel poliakrilamida pada kondisi terdenaturasi. Sampel protein yang akan dielektroforesis terlebih dahulu direduksi dengan -merkaptoetanol, kemudian direaksikan dengan sodium dedosilsulfat. -merkaptoetanol akan memecahkan semua ikatan disulfida (-S-S-) dalam protein maupun subunit protein sehingga struktur sekundernya hilang. Sedangkan sodium dodesilsulfat (SDS) akan berikatan dengan semua rantai polipeptida dan membentuk kompleks SDS- polipeptida yang sangat anionik. Perlakuan protein dengan cara ini akan menghasilkan bentuk yang seragam, dengan rasio muatan anionik terhadap massa yang tetap sehingga dapat mengatasi gesekan pada gel dengan konsentrasi yang tinggi. Konsentrasi gel yang tinggi berfungsi sebagai penyaring molekul, dimana porositas dan viskositas gel menentukan mobilitas protein. Selanjutnya rantai polipeptida ini dielektroforesis pada gel poliakrilamida dalam lingkungan bufer yang mengandung SDS dan -merkaptoetanol. Dengan adanya arus listrik maka semua rantai polipeptida yang bermuatan negatif akan bergerak menuju anoda. Mobilitas rantai polipeptida merupakan fungsi ukuran molekul, sehingga akan terjadi proses pemisahan rantai-rantai polipeptida dalam bentuk pita-pita pada gel akrilamida. Untuk menentukan letak pergerakan pita-pita protein maka dilakukan pewarnaan. Mobilitas relatif setiap rantai polipeptida anionik yang denaturasi merupakan fungsi log bobot molekul polipeptida. Dengan menghitung mobilitas relatif rantai polipeptida standar terhadap pewarna pelacak kemudian dialurkan terhadap log bobot molekul standar, maka akan diperoleh kurva bobot molekul protein standar. Dengan demikian cara ini dapat menentukan bobot molekul suatu protein.

G. Imobilisasi enzim Enzim dapat dipertahankan agar penggunaannya efektif dan efisien melalui teknologi imobilisasi enzim. Dikenal beberapa teknik imobilisasi enzim seperti ikatan silang, penjebakan, dan pengikatan secara kovalen pada bahan pendukung. Bahan pendukung yang digunakan untuk imobilisasi enzim antara lain : glutaraldehid, polifenol, chip silikon, naflon, poli-o-diamino benzena dan poli-vinil piridin (Davis dkk., 1995). Aktivitas enzim imobil ditentukan oleh bahan pendukung yang digunakan. Silika gel merupakan sebuah polimer anorganik disusun oleh siloksan (Si-O-Si) dan distribusi silanol (Si-OH) pada permukaan senyawa. Modifikasi kimia dapat terjadi dengan adanya polimer dari kelompok silanol (Lee dkk., 2006).

1. Adsorpsi enzim pada permukaan zat padat Adsorpsi secara fisik merupakan metode yang relatif mudah dilakukan. Adsorben yang umum digunakan dari berbagai bahan organik dan anorganik seperti alumina (aminosilase, amilase), selulosa (selulase), tanah liat (katalase), kaca (urease) hidroksilapatit (NAD pirofosforilase), karbon dan berbagai macam bahan silika (amilase). Adsorpsi terjadi karena gaya Van der Waals, ikatan hidrogen dan interaksi hidrofobik diantara molekul enzim dan molekul penyangga dicampurkan pada kondisi lingkungan yang sesuai, selama waktu tertentu. Enzim terikat oleh bahan dengan ukuran fisik yang lebih besar sehingga dapat dipisahkan dari enzim bebas dengan cara filtrasi dan sentrifugasi (Suhartono, 1989). Pengikatan terhadap enzim bersifat reversibel, sehingga enzim yang teradsorpsi mungkin mengalami desorpsi dengan adanya substrat atau menaikkan kekuatan ion. 2. Sifat-sifat enzim imobil

Berbagai jenis perubahan kimia fisika enzim terjadi selama proses imobilisasi dilakukan, bergantung pada jenis metode yang digunakan. Akibat dari proses imobilisasi yang merugikan adalah turunnya aktivitas spesifik enzim; sedangkan manfaat yang menyebabkan metode ini berkembang adalah meningkatnya stabilitas enzim dan daya tahannya terhadap kondisi lingkungan ekstrim seperti pH dan suhu. Imobilisasi menyebabkan enzim yang telah berubah ini bersifat lebih tahan lama dan dapat dipakai berulang-ulang. Pada umumnya masa aktif enzim imobil melebihi masa aktif enzim terlarut. Apabila substrat atau produk yang dihasilkan sensitif terhadap pH, maka teknologi imobilisasi memungkinkan memilih polimer pengikat yang sesuai, sehingga kisaran pH optimum enzim imobil sesuai dengan stabilitas substrat maupun produknya. Perubahan konformasi molekul enzim yang menimbulkan perubahan stereokimiawi dan muatan total pada sisi aktif enzim akan mengubah daya katalitik enzim terhadap substratnya. Hal ini tercermin pada perubahan beberapa parameter kinetika enzim. Konstanta kinetika enzim imobil biasanya berubah dari bentuk aslinya. Imobilisasi dapat meningkatkan atau menurunkan nilai Km enzim. Penurunan Km mencerminkan reaksi yang lebih cepat dibandingkan dengan reaksi pada enzim bebas. Penurunan Km enzim terjadi apabila muatan polimer penyangga dan muatan substrat terjadi tarik menarik elektrostatik diantara polimer penyangga dan substrat yang akan membantu meningkatkan konsentrasi substrat di sekitar enzim imobil. Peningkatan Km oleh proses imobilisasi berimplikasi bahwa konsentrasi substrat yang lebih tinggi diperlukan untuk mencapai kecepatan reaksi yang sama pada enzim bebas. Perubahan konformasi pada molekul enzim dapat meningkatkan Km, karena menurunnya daya gabung antara enzim dan substrat. Perubahan kimiawi pada proses imobilisasi yang diakibatkan oleh teknik pengikatan kovalen biasanya menyebabkan peningkatan Km. Kadang-kadang ukuran partikel enzim imobil yang terlalu besar dapat meningkatkan harga Km enzim imobil. Hal ini berkaitan dengan pengaruh difusi substrat (Suhartono, 1989).H. Uraian enzim lipase Enzim lipase (triasilgliserol hidrolase, EC.3.1.1.3) adalah enzim yang aktif mengkatalisis hidrolisis ikatan ester trigliserida antar permukaan air-lemak. Dalam kondisi tertentu, enzim lipase dapat mengkatalisis reaksi sebaliknya (sintesis, reaksi esterifikasi) membentuk gliserida dari asam lemak dan gliserol. Enzim lipase adalah suatu glikoprotein dengan berat molekul 48 kDa dan dibuat serta disekresikan oleh kelenjar pankreas (gambar 8). Enzim lipase bekerja terhadap senyawa yang tidak larut dalam air dan hanya dapat mengolah lemak yang bersinggungan dengan permukaan air. Di alam enzim lipase terdapat dimana mana dan diproduksi oleh beberapa tumbuhan, binatang dan mikroorganisme. Sebagian besar enzim lipase diproduksi oleh mikroorganisme, yaitu bakteri dan jamur. Enzim lipase adalah kelompok enzim yang secara luas penggunaannya dalam bioteknologi dan kimia organik. Hal ini berhubungan dengan kelebihan enzim ini, seperti aktivitas enzim pada temperatur dan cakupan pH yang luas.

Gambar 8. Enzim lipase (Brown, 1997) Studi biokimia enzim lipase termolabil maupun termostabil telah dilaporkan. Enzim lipase dari mikroba termolabil berhasil dimurnikan dan dikarakterisasi dari berbagai sumber antara lain: Pseudomonas fragi CRDA 037, Aspergillus terreus, Mucor miemalis, dan Staphylococcus haemolyticus (Kermasha dkk., 1997; Davidson dkk., 1998; Comeau dkk., 1999). Selain enzim lipase termolabil, berbagai laporan penelitian mengungkapkan bahwa enzim lipase termostabil diproduksi dari bakteri termofilik, misalnya Bacillus thermotenulatus (Schmid dkk.,1994), Bacillus sp J33 (Kaur dkk., 1998), Bacillus sp THL 027 (Luchai dkk., 1999). Bacillus thermotenulatus menghasilkan dua jenis lipase yaitu lipase BTL 1 dan BTL 2. Gen lipase BTL 2 telah diklon dan urutan nukleotida serta sifat-sifat enzimnya telah diketahui (Schmid dkk., 1997; 1998). Karakteristik enzim lipase termostabil dari kelompok Bacillus termofilik telah diketahui, misalnya bobot molekul sekitar 69 kDa. Enzim lipase dari Bacillus thermotenulatus dan Bacillus sp J33 stabil dalam pelarut organik dan diaktifkan dengan Triton X-100, namun berbeda kespesifikan terhadap substrat (Schmid dkk., 1997; Kaur dkk., 1998). Enzim lipase dari Bacillus thermoleonovorans ID-1 mempunyai suhu optimum 70 0C, sedangkan enzim lipase dari Bacillus sp THL 027 suhu optimumnya 65 0C. Enzim lipase yang diisolasi dari Bacillus sp J33 bersifat alkali, dan kelarutan yang tinggi dalam pelarut organik sehingga dapat digunakan sebagai katalis dalam sintesis senyawa ester dan imobilisasi enzim dalam n-heksan (Nawani dkk., 1998). Demikian pula enzim lipase dari Candida rugosa diketahui mempunyai kemampuan yang tinggi untuk mengkonsentrasikan asam lemak omega-3 dalam campuran gliserida dengan cara hidrolisis minyak ikan (Utami dkk., 2005). Karakteristik enzim lipase dari beberapa mikroba lainnya pada Tabel 1.Tabel 1. Karakteristik enzim lipase beberapa mikrobaMikroba BM(KDa) pH optimumSuhu optimum (0C) Aktivator

Yarrowia lipolitica (Mingrui Yu dkk., 2007) 38

8,040 Ca; Mg

P. aeruginosa MB 5001(Sharma dkk., 2001) 298,055 Ca

Bacillus cereus C71(Shaoxin dkk., 2007) 429,033Ca; Mg;Na

Mucor sp ( Abbas dkk., 2002) 427,030Ca; Co

Enzim lipase dapat mengkatalisis pembentukan monoasilgliserol dan diasilgliserol melalui tiga cara (Gracia dkk., 1996). (1) esterifikasi dari asam lemak bebas dan gliserol, (2) hidrolisis dari minyak, (3) transesterifikasi yaitu reaksi transfer asil antara ester asam lemak/minyak dengan alkohol seperti etanolisis atau gliserolisis. Salah satu contoh reaksi yang dikatalisis oleh enzim lipase adalah reaksi hidrolisis, yaitu hidrolisis triasilgliserol menjadi monoasilgliserol dan diasilgliserol serta asam lemak bebas .

Gambar 9. Reaksi hidrolisis triasilgliserol oleh enzim lipase (Kuchel dan Ralston,1988) Monoasilgliserol terdiri dari satu asam lemak dan dua gugus hidroksil bebas yang terikat pada satu molekul gliserol. Bagian asam lemaknya atau rantai asil lemaknya bersifat lipofilik dan dapat bercampur dengan bahan-bahan yang berlemak, sedangkan gugus hidroksilnya bersifat hidrofilik dapat bercampur dengan air (OBrien, 1998). Bagian asam lemak dapat teresterifikasikan ke satu, dua atau tiga gugus hidroksil menjadi monoasilgliserol, diasilgliserol dan triasilgliserol. Kespesifikan enzim lipase dalam menghidrolisis triasilgliserol menjadi monoasilgliserol dan diasilgliserol pada beberapa penelitian yaitu, lipase dari Rhizomucor miehei spesifik pada posisi sn 1,3- DAG, lipase dari Candida antartica spesifik pada posisi sn -1(3) - MAG ( Blasi dkk., 2007). Diasilgliserol dan monoasilgliserol dalam industri pangan digunakan sebagai pengemulsi pada pengolahan margarine, mentega kacang (peanut butter), whitener, pudding, roti, biskuit dan kue-kue kering berlemak lainnya (Malundo dan Resurreccion, 1994; Igoe dan Hui, 1996) dalam Hasanuddin 2001. Pada suatu reaksi transesterifikasi atau reaksi alkoholis satu mol triasilgliserol bereaksi dengan tiga mol alkohol untuk membentuk satu mol gliserol dan tiga mol alkohol ester asam lemak berikutnya. Proses tersebut merupakan suatu rangkaian dari reaksi reversibel yang didalamnya molekul triasilgliserol diubah satu tahap demi tahap, diasilgliserol, monoasilgliserol , dan gliserol (Syah, 2005). I. Kerangka konseptual Mikroba asal Indonesia baru sebagian kecil diketahui dapat memproduksi bahan-bahan bernilai ekonomi. Potensi alam tersebut hingga saat ini belum dimanfaatkan secara optimal. Hingga saat ini kebutuhan enzim lipase mikroba untuk keperluan industri masih diimpor. Kelapa adalah bahan baku dalam pembuatan minyak nabati. Pengolahan kelapa menjadi kopra didapatkan kopra yang rusak (berjamur). Survei lapangan menunjukkan bahwa 1- 5% kelapa yang diolah menjadi kopra, dapat berjamur sehingga potensial menjadi limbah. Kopra berjamur dapat dimanfaatkan sebagai sumber mikroba penghasil enzim lipase. Kopra berjamur mengandung berbagai macam mikroba, salah satu diantaranya adalah A. oryzae. Jamur ini dapat memproduksi enzim lipase melalui proses fermentasi. Minyak nabati yang diproduksi dari kopra bernilai ekonomi rendah, oleh karena itu minyak nabati dapat ditingkatkan nilai ekonominya dengan mengolahnya menjadi diasilgliserol bernilai ekonomi tinggi, oleh enzim lipase yang diproduksi dari A. oryzae pada kopra berjamur.

Minyak kelapa(nilai ekonomi rendah) Kelapa Kopra

Limbah Kopra berjamur

Aspergillus oryzae

Diasilgliserol(nilai ekonomi tinggi)

Proses fermentasi

Enzim lipase Enzim lipase imobil

Gambar 10. Diagram kerangka konseptualJ. Hipotesis1. Waktu fermentasi, konsentrasi media produksi dan kecepatan pengadukan berpengaruh terhadap produksi enzim lipase dari A. oryzae pada kopra berjamur. 2. Enzim lipase imobil efektif dan efisien sebagai biokatalisator. 3. Enzim lipase imobil dapat digunakan untuk menghidrolisis minyak kelapa menjadi diasilgliserol.

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pola dan tahap-tahap yang sesuai untuk memproduksi enzim dari mikroba (jamur). Adapun pola dan tahap-tahap tersebut meliputi: pembuatan media (media agar miring, media inokulum dan media produksi), isolasi mikroba penghasil enzim lipase pada kopra berjamur, produksi, karakterisasi, pemurnian dan imobilisasi serta aplikasi enzim lipase sebagai biokatalisator untuk menghidrolisis minyak kelapa menjadi diasilgliserol.B. Waktu dan lokasi penelitian

Penelitian ini dilakukan mulai pada bulan Agustus 2008 Maret 2010 , lokasi penelitian dilakukan di Laboratorium Biokimia Jurusan Kimia FMIPA, Laboratorium Bioteknologi dan Mikrobiologi Pangan Teknologi Hasil Pertanian UNHAS, Laboratorium Bioteknologi dan Biokimia PAU IPB, Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Farmasi UMI dan Laboratorium Kesehatan Makassar.

C. Bahan dan Alat yang Digunakan1. Bahan Bakto agar (Merck), pepton (Merck), natrium karbonat (Merck), natrium klorida (Merck), KH2PO4 (Merck), FeSO47H2O (Merck), Na2S2O3 (Merck), AgNO3 (Merck), minyak zaitun, p-nitrofenilbutirat (Sigma), p-nitrofenol (Sigma), glisin (Merck), bufer Tris-HCl (Merck), DMSO (Merck), bufer borat (Merck), Lowry A (Merck), Folin cioucalteu (Merck), Lowry B (Merck), bovin serum albumin (BSA) (Merck), -merkaptoetanol (Merck), gliserol (Merck), amonium sulfat (Merck), metanol (Merck), asam asetat glasial (Merck), formalin (Merck), etanol (Merck), kalium hidroksida (Merck), nitrogen dioksida (Merck), TEMED (Merck), Q sepharosa FF (Sigma), kantong selofan, sephadex G-75 (Sigma), SDS-PAGE 10% dengan marker: posforilase-b (116 kDa); BSA (66,2 kDa); ovalbumin (45 kDa); karbonik anhidrase (35 kDa); rease BSP 981 (25 kDa); -laktoglobulin (18,4 kDa); lisozim (14,4 kDa) (Pharmacia, Biotech), polietilen-glikol (Merck), silika gel (Merck), 1,2-DAG; 1,3 - DAG dan MAG (Sigma), lipase komersial (porcine pancreatin) (Sigma), minyak kelapa, tauge, kopra berjamur, A. oryzae.

2. Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah: cawanpetri dan alat-alat gelas yang umum digunakan di laboratorium, mikropipet, mikroskop elektron (Nevo), autoklaf (Napco Model 8000-DSE), inkubator (Memmert), sentrifuse 5000 rpm suhu 4 0C (Universal 320 R), shaker incubator (BL Barnstead/Lab-line Max Q 4000) , spektronik 20 D+ (Thermo), spektrofotometer UV-Vis (Farmacia), sentrifuse 10.000 rpm suhu 4 0C (Sorval Super T 21), kromatografi kolom penukar ion, kromatografi kolom filtrasi gel, seperangkat alat elektroforesis (Apelex), pH meter, kromatografi gas (G 1800 C GCD System, Hewlett Packerd).

D. Prosedur KerjaPenelitian dilakukan dalam beberapa tahap kerja, sebagai berikut:1. Pengambilan sampel Sampel berupa kopra berjamur diperoleh dari Campalagian Kabupaten Polewali Mandar.2. Pembuatan media Pembuatan media meliputi: media agar miring, media inokulum dan media produksi menggunakan metode Pirman dan Aryanta (2003).a. Media agar miring/media cawan petri Media agar miring terdiri dari bahan-bahan sebagai berikut: pepton 0,25%; KH2PO4 0,1%; FeSO47H2O 0,001%; bakto agar 1,5%; minyak zaitun 0,5%, kemudian semua bahan dilarutkan dalam ekstrak tauge 100 mL (tauge 10 gram direbus dengan akuades sebanyak 100 mL) dan pH media diatur sekitar 7. Selanjutnya larutan dipanaskan di atas hot plate. Setelah dipanaskan media agar dituang ke dalam tabung reaksi dan ditutup dengan kapas, kemudian disterilisasi dalam autoklaf selama 15 menit pada suhu 121 0C dan tekanan 1 atm. Setelah sterilisasi, media di dinginkan pada suhu kamar dengan posisi dimiringkan sampai memadat, kemudian disimpan pada suhu kamar. Untuk media agar di cawan petri, media dan cawan petri disterilkan secara terpisah. Media agar steril dituang ke dalam cawan petri, kemudian disimpan pada suhu kamar. b. Media inokulum Penyiapan media inokulum menggunakan bahan-bahan sebagai berikut: pepton 0,25%; KH2PO4 0,1%; FeSO47H2O 0,001%; minyak zaitun 0,5%, kemudian semua bahan dilarutkan dalam 100 mL akuades dan pH media diatur sekitar 7. Selanjutnya larutan dipanaskan di atas hot plate. Setelah dipanaskan media dituang ke dalam Erlenmeyer 250 mL, kemudian disterilisasi dalam autoklaf selama 15 menit pada suhu 121 0C dan tekanan 1 atm. Setelah sterilisasi, didinginkan pada suhu kamar.c. Media produksi Penyiapan media produksi menggunakan bahan-bahan sebagai berikut: pepton 0,5%; KH2PO4 0,1%; FeSO47H2O 0,001%; minyak zaitun 1%, kemudian semua bahan dilarutkan dalam 100 mL akuades dan pH media diatur sekitar 7. Selanjutnya larutan dipanaskan di atas hot plate. Setelah dipanaskan dituang ke dalam Erlenmeyer 250 mL, kemudian disterilisasi dalam autoklaf selama 15 menit pada suhu 121 0C dan tekanan 1atm. Setelah sterilisasi, didinginkan pada suhu kamar.3. Isolasi mikroba penghasil enzim lipase pada kopra berjamur Mikroba pada kopra berjamur dipindahkan dengan menggunakan ose ke dalam tabung reaksi yang mengandung NaCl 0,9% sebanyak 10 mL. Selanjutnya dilakukan pengenceran secara berseri dari 10-1 sampai dengan 10-9. Setiap tabung reaksi yang mengandung biakan diambil 1 mL, kemudian dituang ke dalam cawan petri steril lalu ditambahkan media agar yang telah disterilkan. Media agar cawan petri yang mengandung biakan diinkubasi pada suhu 37 0C selama 4 hari. Mikroba yang tumbuh pada media agar cawan petri dipindahkan lagi ke media agar cawan petri yang lain, dan selanjutnya ke media agar miring untuk mendapatkan kultur murni. Kultur yang diperoleh diidentifikasi secara makroskopis dan mikroskopis.

4. Produksi enzim lipase a. Isolasi enzim lipase dan penentuan waktu produksi optimum

Biakan mikroba hasil isolasi dimasukkan sebanyak 5 ose ke dalam 100 mL media cair (media inokulum) dan dikocok dengan shaker incubator selama 4 hari dengan kecepatan 150 rpm pada suhu 37 0C. Biakan dari media inokulum diambil sebanyak 5 mL kemudian ditumbuhkan ke dalam media produksi sebanyak 100 mL untuk setiap Erlenmeyer (digunakan 10 Erlenmeyer) dan dikocok dengan shaker incubator kecepatan 150 rpm pada suhu 37 0C. Setiap hari media produksi pada Erlenmeyer diambil, dipisahkan antar sel dan supernatan dengan sentrifuse pada kecepatan 3500 rpm selama 30 menit pada suhu 4 0C, kemudian disaring dengan kertas wathman. Supernatan yang diperoleh merupakan ekstrak kasar enzim lipase, selanjutnya diuji aktivitas enzim dan kadar proteinnya. Pengukuran aktivitas enzim dan kadar protein dilakukan setiap hari untuk menentukan pada hari keberapa produksi enzim lipase diproduksi secara maksimal. Massa sel ditentukan berdasarkan berat sel kering. Penentuan berat sel kering dilakukan dengan menimbang cawan petri kosong, cawan petri berisi sel, dan cawan petri berisi sel yang telah dipanaskan dalam oven pada suhu 80 0C, dilakukan sampai diperoleh berat konstan. b. Uji aktivitas enzim lipase Aktivitas enzim lipase ekstrasel ditentukan dengan menggunakan substrat p-nitrofenilbutirat seperti metode yang digunakan Vorderwulbecke dkk (1992), yang dimodifikasi dengan prosedur sebagai berikut: sebanyak 0,3 mL larutan enzim lipase atau blanko ditambahkan ke dalam bufer 2,67 mL yang mengandung Tris-HCl 0,05 M pH 7,0. Reaksi diawali dengan penambahan 0,03 mL substrat p-nitrofenilbutirat 0,1 M (pelarut dimetilsulfoksida) dan dikocok secepatnya lalu campuran reaksi diinkubasi selama 10 menit pada suhu 37 0C, kemudian campuran reaksi diukur serapannya dengan spektronik 20 D+ pada panjang gelombang 410 n m. Aktivitas enzim lipase dihitung berdasarkan p-nitrofenol yang terbentuk dari hasil hidrolisis enzim lipase terhadap substrat p-nitrofenilbutirat (Shaoxin Chen dkk., 2007).

OO C (CH2) 2CH 3)OHNO2

NO2 O + HO C (CH2) 2CH 3 Lipase

H2O

Asam butiratp-nitrofenol (kuning)p-nitrofenilbutirat (bening)

Gambar 11. Reaksi hidrolisis enzim lipase terhadap p-nitrofenilbutirat

c. Penentuan kadar protein enzim Kadar protein enzim lipase ditentukan dengan menggunakan metode Lowry dkk (1951), dengan prosedur sebagai berikut: sebanyak 4 mL larutan enzim lipase direaksikan dengan 5,5 mL Lowry B, kemudian dikocok dan dibiarkan selama 10 menit. Campuran reaksi ditambahkan dengan 0,5 mL Lowry A, dikocok dan dibiarkan selama 30 menit kemudian serapan protein diukur dengan spektronik 20 D+ pada panjang gelombang 710 n m. Sebagai blanko, dipipet 4 mL air suling perlakuannya sama dengan prosedur uji kadar protein enzim lipase. Untuk kurva standar digunakan protein standar bovine serum albumin (BSA) pada berbagai konsentrasi, (yaitu: 0,02; 0,04; 0,06; 0,08; 0,1; 0,12; 0,14; 0,16; 0,18 dan 0,20) mg/mL.Lowry A : Folin cioucalteu : H2O = 1: 1Lowry B : 100 mL Na2CO3 2% dalam NaOH 0,1 N ditambahkan dengan 1 mL CuSO45H2O 1% dan 1 mL natrium kalium tartrat 2%5. Optimasi produksi enzim lipase Optimasi produksi enzim lipase dilakukan dengan membuat media inokulum dan media produksi (seperti pada bagian 2.b dan 2.c). Pada pembuatan media produksi dilakukan variasi konsentrasi pepton, (yaitu: 0,5; 0,75; 1,0; 1,25; dan 1,50 )%. Konsentrasi pepton optimum digunakan untuk memvariasikan konsentrasi minyak zaitun (yaitu: 1; 2; 3; 4 dan 5)%. Konsentrasi minyak zaitun optimum digunakan untuk memvariasikan kecepatan pengadukan (yaitu: 50; 100; 150; 200 dan 250) rpm, sehingga akan diperoleh komposisi media produksi dan kecepatan pengadukan optimum untuk memproduksi enzim lipase dari A. oryzae.6. Pemurnian enzim lipase Setelah diperoleh komposisi media produksi dan kecepatan pengadukan optimum, maka komposisi media ini digunakan untuk memproduksi enzim lipase seperti pada percobaan sebelumnya. Enzim lipase yang diperoleh dimurnikan dalam beberapa tahap sebagai berikut:a. Fraksinasi dengan amonium sulfat Tahap fraksinasi dimulai dengan menentukan dahulu berapa jumlah amonium sulfat harus ditambahkan pada setiap tingkat kejenuhan dengan memperhatikan volume awal ekstrak kasar enzim yang diperoleh. Kedalam larutan ekstrak kasar enzim ditambahkan sedikit demi sedikit padatan amonium sulfat sambil diaduk dengan pengocok magnetik dengan kecepatan lambat, hingga mencapai tingkat kejenuhan tertentu dari (0-100)%. Selanjutnya endapan dibiarkan selama satu malam untuk mencapai kesetimbangannya. Setelah itu di sentrifugasi pada suhu 4 0C dengan kecepatan 10.000 rpm selama 20 menit . Pada tabung sentrifuse akan terpisah antara supernatan dan endapan. Supernatan yang diperoleh dilanjutkan untuk tahap fraksinasi selanjutnya, sedangkan endapan dilarutkan dengan bufer borat 0,2 M pH 8,2. Fraksinasi amonium sulfat tertinggi aktivitas enzimnya didialisis. b. Proses dialisis Hasil fraksinasi diperoleh pada tingkat kejenuhan amonium sulfat dari (60-80)% dengan endapan sebanyak 0,8000 gram. Selanjutnya dilarutkan ke dalam 3 mL larutan bufer borat 0,2 M pH 8,2. Dari larutan ini diambil 1,5 mL ditambahkan dengan 1,5 mL bufer borat, sehingga volume larutan menjadi 3 mL. Larutan dimasukkan ke dalam kantong selofan kemudian didialisis dengan bufer borat, konsentrasi 0,05 M, diaduk dengan pengaduk magnetik stirer selama satu malam pada suhu 5 0C. Setiap 3 jam dilakukan penggantian bufer. c. Kromatografi kolom penukar ion Pemurnian enzim lipase dengan menggunakan kromatografi kolom penukar ion dilakukan berdasarkan metode Mingrui Yu dkk ( 2007), yang dimodifikasi.Cara kerja kromatografi kolom penukar ion Enzim lipase hasil dialisis sebanyak 3 mL dimasukkan ke dalam kolom yang telah diisi matriks Q sepharosa FF (panjang kolom 14,5 cm dan diameter 1 cm) sebelumnya telah disetimbangkan dengan bufer borat 0,05 M pH 8,2 selama satu malam. Setelah semua sampel masuk ke dalam matriks, gradien-mixer dan fraction collector dioperasikan. Gradien-mixer tersebut berisi bufer borat 0,05 M, pH 8,2 dan NaCl (0-04 M) sebagai larutan pengelusi. Volume tiap fraksi 3,0 mL dan setiap fraksi diukur serapan protein dan aktivitas enzimnya. Fraksi aktif dengan aktivitas enzim yang tinggi dikumpulkan dan digunakan untuk kromatografi kolom filtrasi gel.d. Kromatografi kolom filtrasi gel Fraksi aktif yang diperoleh dari kromatografi kolom penukar ion, dimasukkan ke dalam kolom dengan matriks sephadex G-75 (panjang kolom 35 cm dan diameter 1 cm) sebelumnya telah disetimbangkan dengan bufer borat 0,05 M pH 8,2 selama satu malam. Selanjutnya dielusi dengan bufer yang sama. Volume tiap fraksi sebanyak 3,0 mL dan setiap fraksi diukur serapan protein dan aktivitas enzimnya. Fraksi aktif dengan aktivitas enzim tertinggi digunakan untuk elektroforesis. e. Elektroforesis dan pewarnaan perak Elektroforesis dan pewarnaan perak dilakukan untuk mendeteksi kemurnian enzim paling tinggi dari fraksi hasil kolom filtrasi gel. Elektoforesis menggunakan gel poliakrilamida natrium dedosil sulfat (SDS-PAGE), dengan konsentrasi gel pemisah poliakrilamida 10% dan gel penahan poliakrilamida 4% (Bollag dan Edelstein,1991). Sampel fraksi hasil pemurnian enzim sejumlah 30 L terlebih dahulu diinkubasi selama 3 menit pada suhu 100 0C. Selanjutnya dilakukan loading pada setiap sumur gel, kemudian proses elektroforesis dilakukan dengan kondisi tegangan listrik 70 Volt, arus sebesar 100 mA. Setelah selesai, gel difiksasi dengan larutan fiksasi, yaitu: (125 mL metanol ditambahkan dengan 25 mL asam asetat glacial 10%, 0,125 mL formalin dan 99,85 mL akuabides) selama semalam. Selanjutnya perendaman diganti dengan larutan enhancer yaitu: (0,05 gram Na2S2O3 dalam 250 mL akuabides) selama 2 menit. Setelah gel dicuci dengan akuabides sebanyak 2 kali masing-masing selama 20 detik, gel diwarnai dengan larutan perak nitrat yaitu: (0,1 gram AgNO3 dalam 50 mL akuabides dan 0,038 mL formalin), dilakukan selama 20 menit. Terakhir larutan perendaman gel diganti dengan larutan natrium karbonat yaitu: (3 gram Na2CO3 dalam 50 mL akuabides ditambahkan dengan 0,025 mL formalin dan 1 mL Na2S2O3 0,004%) selama 10 menit, kemudian dilakukan penghentian reaksi dengan larutan fiksasi.

7. Karakterisasi enzim lipase murni

Karakterisasi enzim lipase murni meliputi penentuan suhu dan pH

optimum.

a. Penentuan suhu optimum Penentuan suhu optimum enzim lipase dilakukan sesuai dengan prosedur penentuan aktivitas enzim lipase, dengan memvariasikan suhu (yaitu : 20 ; 25 ; 30 ; 35 ; 40 ; 45 ; dan 50) 0C.b. Penentuan pH optimum Penentuan pH optimum enzim lipase dilakukan sesuai dengan prosedur penentuan aktivitas enzim lipase, dengan memvariasikan pH pada suhu optimum menggunakan bufer borat 0,2 M yaitu pH: 7,0; 7,2; 7,4; 7,6; 7,8; 8,0; 8,2; 8,4; 8,6; 8,8 dan 9,0.c. Penetapan konstante kinetika Km dan Vmaks Penetapan konstante kinetika Km dan Vmaks dilakukan sesuai dengan prosedur penentuan aktivitas enzim lipase, dengan memvariasikan konsentrasi substrat pada suhu dan pH optimum berturut-turut: ( 0,05; 0,10; 0,15 dan 0,20) M.8. Imobilisasi enzim lipase murni Enzim lipase murni diimobilisasi dengan metode adsorpsi menggunakan silika gel (Nawani dkk., 2006). Sebanyak 2,5 mL enzim lipase murni ditambahkan dengan 0,5 gram silika gel, lalu campuran di shaker selama waktu tertentu(0 120) menit pada suhu kamar. Selanjutnya disentrifugasi selama 5 menit dengan kecepatan 1000 rpm. Jumlah enzim lipase yang tidak terimobilisasi pada supernatan ditentukan dengan menggunakan spektronik 20 D+ pada panjang gelombang 410 n m untuk menentukan aktivitas enzim lipase dan pada panjang gelombang 710 n m untuk menentukan kadar protein. Jumlah enzim lipase imobil dihitung dengan rumus: CE = C0 - Ct (4)dimana : CE = jumlah enzim terimobilisasi (U/mL) C0 = jumlah enzim sebelum imobilisasi (U/mL) Ct = jumlah enzim pada waktu t (U/mL)

9. Karakterisasi enzim lipase imobil

Karakterisasi enzim lipase imobil meliputi: penentuan pH, suhu optimum, kestabilan termal dan operasional enzim lipase imobil.a. Penentuan pH dan suhu optimum enzim lipase imobil Sebanyak 1,5 mL enzim lipase murni ditambahkan dengan 0,4 gram silika gel. pH larutan dibuat bervariasi yaitu pH : 7,0; 7,2; 7,4; 7,6; 7,8; 8,0; 8,2; 8,4; 8,6; 8,8 dan 9,0 menggunakan bufer borat 0,2 M. Larutan tersebut di shaker selama 90 menit (waktu optimum imobilisasi) pada suhu kamar, selanjutnya disentrifugasi selama 5 menit dengan kecepatan 1000 rpm. Jumlah enzim lipase yang tidak terimobilisasi pada supernatan ditentukan dengan menggunakan spektronik 20 D+ pada panjang gelombang 410 n m. Cara kerja penentuan suhu optimum enzim lipase imobil dilakukan dengan membuat variasi suhu (yaitu: 20; 25; 30; 35; 40; 45; 50; dan 55) 0C. Pengaturan suhu dilakukan dengan menginkubasi larutan dalam shaker inkubator selama 90 menit, selanjutnya disentrifugasi selama 5 menit dengan kecepatan 1000 rpm. Jumlah enzim lipase yang tidak terimobilisasi pada supernatan ditentukan dengan menggunakan spektronik 20 D+ pada panjang gelombang 410 n m. b. Penentuan kestabilan termal enzim lipase imobil Uji kestabilan termal ditentukan dengan cara enzim lipase bebas dipaparkan pada suhu optimum selama waktu tertentu, enzim lipase bebas diuji aktivitas enzimatiknya pada kondisi optimumnya. Hal yang sama dilakukan terhadap enzim lipase imobil (Cahyaningrum dkk., 2008).c. Penentuan kestabilan operasional enzim lipase imobil Uji kestabilan lipase imobil ditentukan berdasarkan metode Sigurgisladittor dkk (1993), sebagai berikut: sebanyak 3 mL campuran reaksi yang mengandung substrat p-nitrofenilbutirat (berdasarkan penentuan aktivitas enzim lipase) ditambahkan kedalam enzim imobil kemudian di shaker selama 90 menit pada suhu 45 0C (suhu optimum enzim lipase imobil). Selanjutnya disentrifugasi dengan kecepatan 1000 rpm selama 5 menit. Supernatan yang dihasilkan diuji aktivitas enzimnya. Endapan dicuci dengan bufer borat pH 8,2, konsentrasi 0,2 M selanjutnya digunakan untuk penentuan aktivitas enzim lipase berikutnya.10. Penggunaan enzim lipase imobil untuk hidrolisis minyak kelapa menjadi 1,3-DAG Penggunaan enzim lipase imobil dilakukan berdasarkan metode (Blasi dkk., 2007) sebagai berikut: a. Reaksi etanolisis Seratus miligram minyak kelapa ditambahkan dengan 0,5 mL etanol 96%. Selanjutnya ditambahkan enzim lipase imobil sebanyak 50 mg. Campuran reaksi disimpan selama satu malam dengan menggunakan magnetik stirer pada suhu 45 0C kecepatan 100 rpm, lalu disaring .Filtrat enzim yang diperoleh dicuci tiga kali dengan campuran kloroform/metanol (1:1, v/v). Evaporasi pelarut, dialiri dengan gas nitrogen.b. Preparasi sampel hasil etanolisis

Sebanyak 10 mg sampel hasil etanolisis dilarutkan ke dalam 3 mL n-heksan, kemudian ditambahkan 0,5 mL KOH metanolik 2 N, setelah3 menit, ditambahkan akuades 3 mL. Fase organik pada lapisan atas dikeringkan dengan Na2SO4, konsentrat yang dihasilkan dialirkan dengan gas nitrogen. Hal yang sama dilakukan juga untuk standar. Sampel dan standar siap untuk dianalisis dengan kromatografi gas yang dilengkapi dengan detektor EID, integrator chromatopac C-R 6A dan kolom kapiler HP-5 (30 m x 0,25 mm). Kondisi kromatografi gas : suhu injektor dan detektor 250 0C, spliting injektor 70:1, suhu awal kolom 130 0C, penambahan suhu kolom 3 0C / menit hingga mencapai suhu 250 0C, dipertahankan selama 10 menit, dan gas pembawa He 1 mL/menit.

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Isolasi mikroba penghasil enzim lipase pada kopra berjamur Hasil isolasi mikroba penghasil enzim lipase pada kopra berjamur, menunjukkan bahwa pada pengenceran 10-1 terdapat satu macam warna spora pada cawan petri yaitu putih kekuning-kuningan mulai hari pertama sampai hari kelima. Setelah hari kelima warna spora berubah menjadi hijau pucat kekuning-kuningan. Hasil identifikasi menunjukkan bahwa mikroba tersebut adalah A. oryzae, dan sesuai dengan petunjuk identifikasi pada literatur Identification of Pathogenic Fungi (Campbell dkk., 1996) dan Pengenalan Kapang Tropik Umum (Ganjar dkk., 1999).2. Produksi enzim lipase Produksi enzim lipase dilakukan dengan menumbuhkan mikroba (A. oryzae) dalam media inokulum. Selanjutnya media inokulum ditumbuhkan dalam Erlenmeyer menggunakan shaker incubator selama empat hari. Hari pertama dan kedua terjadi kekeruhan pada media dan belum terlihat adanya butiran-butiran kecil, tetapi pada hari ketiga sudah nampak ada butiran pada Erlenmeyer dan pada hari keempat butiran-butiran berwarna putih kekuning-kuningan memenuhi wadah Erlenmeyer. Hal ini menunjukkan bahwa media inokulum dapat digunakan untuk memproduksi enzim lipase pada media produksi. Seperti halnya media inokulum, media produksi dibuat dalam Erlenmeyer menggunakan shaker incubator. Setiap hari dilakukan pengambilan sampel. Selanjutnya disentrifugasi pada kecepatan 3500 rpm suhu 4 0C selama 30 menit, filtrat yang diperoleh merupakan ekstrak kasar enzim lipase ekstraselluler. Ekstrak kasar diuji aktivitas enzim dan kadar protein, massa sel ditentukan berdasarkan berat sel kering. .

x 103

Gambar 12. Penentuan waktu fermentasi optimum terhadap aktivitas enzim lipase dari A. oryzae.

Dari uji aktivitas enzim lipase diperoleh bahwa enzim lipase diproduksi maksimal pada hari kedelapan melalui proses fermentasi. Grafik pada Gambar 12 menunjukkan bahwa aktivitas enzim lipase, kadar protein dan berat sel kering meningkat seiring dengan bertambahnya waktu fermentasi sampai pada hari kedelapan, setelah itu terjadi penurunan aktivitas enzim lipase dan kadar protein. Hal ini disebabkan karena terjadinya kerapatan sel dan ketersediaan nutrisi dalam media produksi mulai berkurang, sehingga produksi enzim lipase menurun. Dari berat sel kering diketahui bahwa produksi maksimal enzim lipase terjadi pada akhir fase logaritmik (awal fase stasioner). Produksi maksimal enzim lipase berhubungan dengan siklus pertumbuhan mikroorganisme penghasil enzim lipase. Menurut Andersson (1980), aktivitas enzim lipase selama pertumbuhan Pseudomonas flourescens mencapai maksimum pada awal fase stasioner. Hasil penelitian Tripanji dkk (2008), menunjukkan bahwa enzim lipase dari Neurospora sitophila diproduksi maksimal pada hari ketiga.3. Optimasi produksi enzim lipase a. Variasi konsentrasi pepton

Pada Gambar 13 menunjukkan bahwa aktivitas relatif enzim lipase tertinggi diperoleh pada konsentrasi pepton 1,0%, setelah itu menurun sampai pada konsentrasi 1,5%. Penurunan aktivitas enzim lipase pada konsentrasi pepton diatas 1,0%, karena pada media fermentasi terjadi kelebihan pepton yang menyebabkan komposisi nutrien tidak seimbang dalam pertumbuhan mikroba, sehingga produksi enzim lipase mengalami penurunan. Menurut Suhartono (1989) komposisi nutrien yang seimbang berpengaruh untuk pertumbuhan setiap mikroorganisme, jamur berfilamen membutuhkan (1025)% protein (pepton)/berat kering untuk pertumbuhannya. Pepton adalah komponen pada media produksi berfungsi sebagai sumber nitrogen, berperan dalam pembentukan protoplasma dan dinding sel. Pepton diperlukan oleh mikroba (A. oryzae) untuk pertumbuhannya dalam memproduksi enzim lipase.

Gambar 13. Pengaruh konsentrasi pepton terhadap aktivitas enzim lipase dari A. oryzae (suhu 37 0C; pH 7,0; [E] = 10%; [S] = 0,1 M)

b. Variasi konsentrasi minyak zaitun

Pada Gambar 14 menunjukkan bahwa aktivitas relatif enzim lipase tertinggi diperoleh pada konsentrasi minyak zaitun 3%, setelah itu aktivitas enzim lipase menurun. Penurunan aktivitas enzim lipase pada konsentrasi minyak zaitun diatas 3%, karena pada media produksi terjadi kelebihan minyak zaitun yang menyebabkan komposisi nutrien tidak seimbang dalam pertumbuhan mikroba, sehingga produksi enzim lipase mengalami penurunan. Menurut Suhartono (1989) komposisi nutrien yang seimbang berpengaruh untuk pertumbuhan setiap mikroorganisme, jamur berfilamen membutuhkan (250)% lipida (minyak zaitun)/berat kering untuk pertumbuhannya. Minyak zaitun adalah komponen pada media produksi berfungsi sebagai sumber karbon untuk pembentukan sel dan sumber energi, juga sebagai induser yaitu zat penginduksi pada sintesis enzim lipase dari A. oryzae. Penambahan senyawa penginduksi pada konsentrasi yang tepat akan membawa hasil yang maksimal pada enzim yang terinduksi.

Gambar 14. Pengaruh konsentrasi minyak zaitun terhadap aktivitas enzim lipase dari A. oryzae (suhu 37 0C; pH 7,0; [E] = 10% [S] = 0,1 M) c. Variasi kecepatan pengadukan Pada Gambar 15 menunjukkan bahwa aktivitas enzim lipase tertinggi pada kecepatan pengadukan 150 rpm. Kecepatan pengadukan diatas 150 rpm, aktivitas enzim lipase mengalami penurunan cukup besar, karena pada media fermentasi terdapat busa cukup banyak. Busa dapat memberikan efek buruk, karena gelembung udara terkurung dalam busa. Keberadaan busa pada media fermentasi, menambah waktu tinggal gelembung udara, sehingga terjadi kekurangan oksigen (Tarigan, 1991). Penurunan oksigen terlarut menyebabkan penurunan dalam laju pertumbuhan sel-sel di dalam media fermentasi, sehingga produksi enzim juga menurun (Praweda, 2004).

Gambar 15. Pengaruh kecepatan pengadukan terhadap aktivitas enzim lipase dari A. oryzae (suhu 37 0C; pH 7,0; [E] = 10%; [S] = 0,1 M) Menurut Chander dkk (1980), aktivitas enzim lipase pada media produksi yang teraduk 50% lebih tinggi dibandingkan dengan tidak teraduk. Kecepatan pengadukan berfungsi untuk mendispersi udara di dalam larutan nutrien dan menyeragamkan suhu serta konsentrasi nutrien di dalam proses fermentasi. Selama proses fermentasi berlangsung, diperlukan pengocokan (pengadukan) terus menerus agar konsumsi oksigen selalu ada. Oksigen adalah gas yang sedikit larut dalam air (10 mg/liter), sehingga perlu ditransfer terus-menerus ke dalam media fermentasi. Optimasi produksi enzim lipase sebelum variasi komposisi media produksi dan kecepatan pengadukan dapat dilihat pada Tabel 2, 3 dan 4.Tabel 2. Aktivitas enzim lipase dari A. oryzae sebelum variasi komposisi media produksi dan kecepatan pengadukan (suhu 37 0C; pH 7,0; [S] = 0,1 M; [E] = 10%)

V. media Kom. media Kecepatan Serapan Aktivitas produksi produksi (%) pengadukan (410 n m) (U/mL) (mL) (rpm)

Pepton 0,5 100 Minyak zaitun 1 150 0,126 13.222

Tabel 3. Aktivitas enzim lipase dari A. oryzae setelah variasi komposisi media produksi dan kecepatan pengadukan (suhu 37 0C; pH 7,0; [S = 0,1 M]; [E = 10%]

V. media Kom. media Kecepatan Serapan Aktivitas produksi produksi (%) pengadukan (410 n m) (U/mL) (mL) (rpm)

100 Pepton 1 150 0,140 14.777 Minyak zaitun 3

Tabel 4. Aktivitas enzim lipase dari Aspergillus oryzae setelah variasi komposisi media produksi dan kecepatan pengadukan pada kondisi optimum (suhu 35 0C; pH 8,2; [S] = 0,2 M; [E] = 45%)

V. media Kom. media Kecepatan Serapan Aktivitas produksi produksi (%) pengadukan (410 n m) (U/mL) (mL) (rpm)

100 Pepton 1 150 0,230 18.888 Minyak zaitun 3

Pada Tabel 2, 3 dan 4 menunjukkan bahwa komposisi media produksi dan kecepatan pengadukan pada kondisi optimum dapat meningkatkan aktivitas enzim lipase dari 13.222 U/mL menjadi 18.888 U/mL .

4. Pemurnian enzim lipase

a. Fraksinasi dengan amonium sulfat Ekstrak kasar enzim lipase (supernatan) diendapkan dengan menambahkan garam amonium sulfat pada berbagai tingkat kejenuhan (0-100)%. Penambahan garam amonium sulfat dilakukan sedikit demi sedikit pada suhu rendah (5 0C) sambil diaduk dengan magnetik stirer selama satu malam. Hasil pengendapan protein dengan amonium sulfat terlihat pada Tabel 5.Tabel 5. Fraksinasi enzim lipase menggunakan amonium sulfatNo.Fraksi (%)Volume tiap fraksi (mL)Jumlah amonium sulfat (gr)Aktivitas enzim (U/mL)Kadar protein (mg/mL)

123450 2020 4040 6060 8080 - 10050051452054457253,00058,08262,40070,17679,51011.69113.91415.06726.511 7.97517.99424.67949.12057.176 5.738

Pada Tabel 5 menunjukkan bahwa fraksinasi amonium sulfat tertinggi diperoleh pada tingkat kejenuhan ( 60- 80)% , dengan aktivitas enzim tertinggi sebesar 26.511 U/mL dan kadar protein 57.176 mg/mL. Amonium sulfat pada konsentrasi tinggi akan mengendapkan komponen protein (termasuk enzim) sehingga diperoleh enzim bebas dari komponen non protein. Amonium sulfat banyak digunakan untuk mengendapkan protein karena kelarutannya tinggi, harga murah, dan umumnya tidak mempengaruhi struktur protein (Suhartono, 1989). Shaoxin Chen (2007), memperoleh fraksinasi amonium sulfat pada tingkat kejenuhan antara (50-70)% terhadap enzim lipase dari Bacillus cereus C71. Enzim kasar yang diperoleh pada tingkat kejenuhan amonium sulfat antara (60-80)% didialisis dengan bufer borat selama semalam pada suhu 4 0C. Enzim yang diperoleh pada tahap ini adalah enzim semi murni.b. Kromatografi kolom penukar ion Enzim semi murni (hasil pengendapan amonium sulfat dan dialisis) dimurnikan lebih lanjut dengan teknik kromatografi kolom penukar ion, hasil kromatogram pada Gambar 16.

Serapan AktivitasNomor fraksiAktivitas enzim (U/mL) Serapan protein (280 n m)

Gambar 16. Kromatogram hasil pemurnian enzim lipase dari A. oryzae pada kromatografi kolom penukar ion Q sepharosa FF. volume enzim 3 mL, kec. alir 30 tetes/menit dan suhu 16 0C.

Pada Gambar 16 menunjukkan bahwa dari hasil pemurnian kromatografi kolom penukar ion, terdapat puncak- puncak protein dan tiga puncak aktivitas enzim lipase. Aktivitas enzim lipase tertinggi terdapat pada fraksi 74-77, dengan aktivitas enzim masing-masing fraksi 74 = 19.777 U/mL, fraksi 75 = 20.111 U/mL, fraksi 76 = 21.777 U/mL, dan fraksi 77= 20.222 U/mL. Fraksi ini disatukan sehingga diperoleh sebanyak 12 mL kemudian dimasukkan dalam kantong selofan, dipekatkan dengan kristal polietilen-glikol diperoleh volume 6 mL dengan aktivitas spesifik sebesar 27,50 U/mg protein. Dari hasil pemurnian dapat disimpulkan bahwa proses pemurnian dengan kromatografi kolom penukar ion dapat meningkatkan kemurnian enzim lipase sebesar 12,85 kali dibandingkan dengan fraksi enzim ekstrak kasarnyac. Kromatografi kolom filtrasi gel Hasil pemekatan yang diperoleh dari kromatografi kolom penukar ion, dimurnikan lebih lanjut dengan kromatografi kolom filtrasi gel. Kromatogram hasil pemurnian enzim lipase pada Gambar 17, menunjukkan bahwa pemurnian dengan kromatografi kolom filtrasi gel pada matriks sephadex G-75 menghasilkan puncak-puncak protein dan satu puncak aktivitas enzim lipase tertinggi, yaitu fraksi 39 dengan aktivitas spesifik sebesar 43,76 U/mg protein. Dengan demikian pada tahap pemurnian ini, dapat meningkatkan kemurnian enzim lipase sebesar 20,25 kali dibandingkan dengan fraksi enzim ekstrak kasarnya. Tahapan pemurnian enzim lipase ditunjukkan pada Tabel 5.

Aktivitas Serapan protein (280 n m)Serapan Nomor fraksi Aktivitas enzim (U/mL)

Gambar 17. Kromatogram hasil pemurnian enzim lipase dari A. oryzae pada kromatografi kolom filtrasi gel sephadex G-75, volume enzim 3 mL, kec. alir 6 tetes/menit dan suhu 16 0C.

Tabel 5. Tahap-tahap proses pemurnian enzim lipase dari A. oryzae

Tahap-tahap Volume Protein Aktivitas Enzim Recovery FP Pemurnian (mL) total (%) (X) (mg) Total Spesifik (unit) (U/mg prot)

Ekstrak 1820 33.670 72.800 2,16 100 1 kasar

(NH4)2SO4 10 5.559 43.753 7,87 60,10 3,64 60-80%

Q Sepharosa 6 399,75 11.022 27,50 15,14 12,85 FF

Sephadex 3 137,37 6.012 43,76 8,25 20,25 G-75

Keterangan: FP (Faktor/tingkat pemurnian) Beberapa hasil penelitian mengenai tingkat kemurnian enzim lipase dari mikroba, yaitu Yarrowia lipolitica, Bacillus licheniformis B42 masing-masing dengan tingkat kemurnian 26,50 dan 27,33 kali dibandingkan dengan fraksi enzim ekstrak kasarnya (Mingrui Yu dkk., 2007) dan (Bayoumi dkk., 2007). d. Uji kemurnian dan penentuan berat molekul enzim lipase Kemurnian enzim lipase dan penentuan berat molekul diuji dengan elektroforesis SDS-PAGE, diperoleh hasil seperti ditunjukkan pada Gambar 18. Fraksi enzim ekstrak kasar (kolom 2) dan fraksi amonium sulfat (kolom 3), kemurnian enzim lipase relatif rendah ditandai dengan munculnya beberapa pita pada gel elektroforesis. Pada fraksi kromatografi kolom matriks Q sepharosa FF(kolom 4) terlihat tiga pita yang muncul sedangkan fraksi kromatografi kolom matriks sephadex G-75 (kolom 5) hanya terlihat dua pita, sehingga dapat disimpulkan bahwa tahap pemurnian dengan kromatografi kolom matriks sephadex G-75 menghasilkan enzim lipase dengan kemurnian relatif tinggi dibandingkan dengan enzim ekstrak kasar, pengendapan amonium sulfat dan kromatografi kolom matriks Q sepharosa FF. Berdasarkan marker (protein standar) pada Gambar 18 dan Tabel penentuan berat molekul pada Lampiran 17 diperoleh berat molekul enzim lipase sebesar 40,7 kDa. Adapun pita yang muncul pada penunjuk berat molekul 19,6 kDa, itu karena terjadi denaturasi pada molekul protein. Berat molekul enzim lipase dari beberapa mikroba yaitu, Mucor sp 42 kDa (Abbas dkk., 2002), Bacillus cereus C71 42 kDa (Shaoxin Chen dkk., 2007), dan Yarrowia lipolytica 38 kDa (Mingrui Yu dkk., 2007).

kDakDa

116

66,2

45

40,7 35

25

19,6 18,4 14,4

14,4 1 2 3 4 5

Gambar 18. Elektroforegram hasil elektroforesis gel SDS-PAGE 10% hasil pemurnian enzim lipase dari A. oryzae

Keterangan: Kolom 1 protein standar : Posforilase-b (116 kDa), BSA (66,2 kDa), ovalbumin (45 kDa), karbonik anhidrase (35 kDa), rease BSP 981 (25 kDa), -laktoglobulin (18,4 kDa), lisozim (14,4 kDa); kolom 2, ekstrak kasar enzim lipase; kolom 3, fraksi amonium sulfat (60-80)%; kolom 4, hasil pemurnian dengan matriks Q sepharosa FF; kolom 5, hasil pemurnian dengan matriks sephadex G-75.

5. Karakterisasi enzim lipase

a. Penentuan suhu optimum Pada Gambar 19 menunjukkan bahwa aktivitas enzim lipase mengalami peningkatan sampai pada suhu 35 0C (suhu optimum) dengan aktivitas relatif 100%. Setelah melewati suhu optimum, terjadi penururan aktivitas enzim pada suhu 40 0C dengan aktivitas relatif 61,20%. Kenaikan aktivitas enzim di bawah suhu optimum disebabkan karena kenaikan energi kinetika molekul-molekul yang bereaksi. Akan tetapi apabila suhu tetap dinaikkan terus, energi kinetika molekul-molekul enzim menjadi besar sehingga memecahkan ikatan-ikatan sekunder yang mempertahankan enzim dalam bentuk aslinya, akibatnya struktur sekunder dan tersier hilang sehingga aktivitas enzim menurun.

Suhu (0C)

Gambar 19. Pengaruh suhu terhadap aktivitas enzim lipase dari A. oryzae [S] = 0,2 M; [E] = 45%; pH 7,0

Adanya perubahan suhu juga akan mempengaruhi ikatan hidrogen atau interaksi hidrofobik yang berperanan dalam menjaga konformasi molekul enzim. Perubahan konformasi akan mempengaruhi sisi aktif dari enzim, kondisi panas tertentu menyebabkan ikatan hidrogen tersebut akan putus. Putusnya satu ikatan hidrogen akan menyebabkan mudahnya pemutusan ikatan hidrogen selanjutnya dalam rantai polipeptida tersebut, sehingga protein enzim mengalami denaturasi (Whitaker, 1972). Penelitian yang dilakukan oleh Mingrui Yu ( 2007) terhadap enzim lipase dari Yarrowia lipolytica diperoleh suhu optimum 40 0C.b. Penentuan pH optimum Variasi pH dilakukan pada suhu optimum. Kondisi pH berpengaruh terhadap aktivitas enzim. Pada Gambar 20 menunjukkan bahwa aktivitas enzim lipase mengalami peningkatan sampai pada pH 8,2 (pH optimum) dengan aktivitas relatif sebesar 100%, kemudian mulai menurun pada pH 8,4 dengan aktivitas relatif 87,79%. Untuk enzim, perubahan muatan dapat mempengaruhi aktivitas, baik dengan perubahan struktur maupun dengan perubahan muatan pada residu asam amino yang berfungsi mengikat substrat. Misalkan suatu enzim bermuatan negatif bereaksi dengan suatu substrat bermuatan positif membentuk kompleks enzim-substrat, kemudian pada nilai pH rendah enzim akan diprotonasi dan kehilangan muatan negatifnya. Hal yang sama pada pH tinggi substrat akan terionisasi dan kehilangan muatan positifnya (Murray dkk., 2009). Perubahan ion H+ yang ada dalam larutan enzim memberikan efek pada bagian katalitik dan konformasi enzim. Kondisi pH terlalu rendah atau terlalu tinggi menyebabkan terjadinya perubahan konformasi enzim, sehingga aktivitas enzim menurun (Gambar 20). Penelitian yang dilakukan oleh Mingrui Yu dkk (2007) terhadap enzim lipase dari Yarrowia lipolytica diperoleh pH optimum 8,0.

Gambar 20. Pengaruh pH terhadap aktivitas enzim lipase dari A. oryzae [S] = 0,2 M ; [E] = 45%; suhu 35 0C

c. Penentuan Km dan Vmaks Karakter utama yang ditentukan dalam mempelajari sifat kinetik enzim adalah kecepatan katalitik maksimum (Vmaks) dan konsentrasi substrat pada saat kecepatan katalitik mencapai setengah maksimum (Km). Uji aktivitas enzim lipase menggunakan substrat p-nitrofenilbutirat pada interval (0-0,05) M dan menggunakan p-nitrofenol sebagai standar. Konstanta Vmaks dan Km ditentukan dengan metode Lineweaver-Burk. Grafik hubungan antara (1/v) sebagai sumbu Y terhadap (1/S) sebagai sumbu X diperlihatkan pada Gambar 21. Selanjutnya data-data yang diperoleh dibuat regresi liniernya dan diperoleh persamaan garis linier, yaitu: Y = 0,024 X + 0,519. Lereng regresi linier dimasukkan kedalam persamaan Lineweaver-Burk 1/V = (Km/Vmaks)(1/S) +( 1/V maks), maka akan diperoleh nilai Km = 0,046 M dan Vmaks adalah 1,926 mol mL-1 menit-1 . Samsumaharto (2007) memperoleh nilai Km = 0,011 M dan nilai Vmaks = 11,63 mol menit-1 terhadap substrat triolein hasil katalisis enzim lipase yang diisolasi dari Theobroma cacao. L. Nilai Km yang tinggi menunjukkan afinitas terhadap substrat yang rendah. Semakin kecil nilai Km semakin tinggi afinitasnya terhadap substrat, sehingga semakin rendah konsentrasi substrat yang dibutuhkan untuk mencapai kecepatan reaksi katalitik maksimumnya (Vmaks).

1/Vmaks-1/Km

Gambar 21. Kurva Lineweaver-Burk hubungan antara 1/substrat dan 1/kecepatan katalitik6. Imobilisasi enzim lipase a. Penentuan waktu imobilisasi Waktu imobilisasi ditentukan dengan memvariasikan 8 waktu yang berbeda untuk proses imobilisasi. Pada Gambar 22 menunjukkan bahwa waktu mempunyai pengaruh terhadap proses imobilisasi enzim lipase pada matriks silika gel. Gambar 22. Penentuan waktu imobilisasi optimum enzim lipase murni dari A. oryzae

Pada waktu 15-90 menit jumlah enzim lipase terimobil bertambah seiring kenaikan waktu imobilisasi. Setelah 90 menit jumlah enzim lipase yang terimobil relatif konstan atau terjadi kenaikan tidak signifikan sampai waktu 120 menit. Pada keadaan tersebut dapat dikatakan bahwa mulai menit ke-90 situs aktif matriks telah jenuh oleh enzim lipase dan mencapai kesetimbangan imobilisasi. Wulan dkk (2008) memperoleh waktu imobilisasi maksimal 3 jam terhadap enzim lipase dari Rhyzopus oryzae menggunakan kitin sebagai adsorben.b. Karakterisasi enzim lipase imobil Karakterisasi enzim lipase imobil meliputi penentuan pH dan suhu optimum. Pada Gambar 23 menunjukkan bahwa aktivitas enzim lipase bebas pada pH 7,0 rendah, kemudian terjadi peningkatan sampai pH 8,2. Pada pH 8,2, aktivitas enzim lipase bebas memberikan aktivitas maksimum, dimana pada kondisi ini aktivitas relatif enzim lipase bebas mencapai 100%. Pada pH 8,4 aktivitas enzim lipase mulai menurun sampai pada pH 9,0. Hal yang sama terjadi pada enzim lipase imobil, sehingga baik enzim lipase bebas maupun imobil mempunyai pH optimum sama yaitu 8,2. Aktivitas enzim lipase bebas sedikit lebih besar dari imobil, ini disebabkan karena enzim lipase imobil terikat pada matriks silika gel sehingga kecepatan untuk kontak dengan substrat lebih kecil. Penelitian Dosanjh dan Kaur (2002) menunjukkan bahwa enzim lipase imobil pada matriks HP-20, pH optimum 8,0 dan suhu optimum 54 0C. Enzim lipase imobil dari Rhizopus oryzae pada matriks kitin pH optimum 7,0 dan suhu optimum 37 0C (Wulan dkk., 2008).

Enzim lipase imobilEnzim lipase bebas Gambar 23. pH optimum enzim lipase bebas dan imobil dari A. oryzae (suhu 35 0C; [S]= 0,2 M; dan [E]= 45%)

Pada Gambar 24 menunjukkan bahwa aktivitas enzim lipase bebas mengalami kenaikan seiring dengan kenaikan suhu dari (20 55 0C). Pada suhu diatas 35 0C aktivitas enzim lipase bebas mengalami penurunan. Aktivitas tertinggi terjadi pada suhu 35 0C dengan aktivitas relatif 100%. Peningkatan suhu sampai pada suhu optimum akan meningkatkan laju reaksi enzimatik, tetapi peningkatan suhu diatas suhu optimum akan menurunkan laju reaksi enzimatik. Uji aktivitas enzim lipase imobil mempunyai suhu optimum 45 0C, sedangkan enzim lipase bebas 35 0C. Hal tersebut menunjukkan bahwa matriks silika gel mampu melindungi enzim lipase imobil terhadap panas sehingga enzim lipase imobil mampu bertahan pada suhu yang lebih tinggi dibandingkan dengan enzim lipase bebas.

Suhu (0C)Enzim lipase imobilEnzim lipase bebas

Gambar 24. Suhu optimum enzim lipase bebas dan imobil dari A.oryzae (pH = 8,2; [S] = 0,2 M; dan [E] = 45%)

c. Kestabilan termal enzim lipase imobil Hasil uji kestabilan termal enzim lipase bebas dan imobil ditunjukkan pada Gambar 25. Enzim lipase bebas pada suhu optimumnya yaitu 35 0C hanya dapat bertahan sampai dengan pemanasan selama 60 menit dengan aktivitas relatif tinggal 20%. Penurunan aktivitas mulai terjadi pada pemanasan selama 40 menit sampai 100 menit dimana aktivitas relatif tinggal 5%. Enzim lipase imobil pada suhu optimumnya 45 0C mampu bertahan dengan pemanasan selama 80 menit dan jumlah aktivitas yang tersisa relatif konstan sampai pemanasan 120 menit. Penurunan aktivitas mulai terjadi pada waktu inkubasi 40 menit sampai 80 menit dimana aktivitas relatif tinggal 38%. Bila dibandingkan dengan enzim lipase bebas maka enzim lipase imobil lebih baik stabilitas termalnya.

Aktivitas relatif (%)Enzim lipase imobilEnzim lipase bebas Waktu pemaparan (menit)

Gambar 25. Kestabilan termal enzim lipase bebas (suhu 35 0C) dan enzim lipase imobil (suhu 45 0C) dari A. oryzae pH = 8,2; [S] = 0,2 M; dan [E] = 45%

d. Kestabilan operasional enzim lipase imobil Penggunaan berulang enzim lipase imobil pada adsorben silika gel, terdapat penurunan aktivitas enzim lipase seperti yang terlihat pada Gambar 26.

Jumlah penggunaan berulang (waktu)Aktivitas relatif (%) Gambar 26. Penggunaan berulang enzim lipase imobil dari A. oryzae (suhu 45 0C, pH = 8,2; [S] = 0,2 M; dan [E] = 45%)

Pada Gambar 26 menunjukkan bahwa enzim lipase imobil dapat digunakan berulangkali . Semakin banyak penggunaan berulang aktivitas enzim lipase semakin menurun. Enzim lipase imobil mampu digunakan sebanyak enam kali pemakaian berulang, dan pada penggunaan keenam kali, aktivitas katalitiknya masih sekitar 37,50%. Enzim lipase pancreatin imobil pada matriks karbon aktif efektif lima kali penggunaan berulang, (Silva dkk., 2007), enzim lipase imobil dari Rhyzopus oryzae pada matriks kitin efektif tiga kali penggunaan berulang (Wulan dkk., 2008). Enzim lipase bebas hanya dapat digunakan satu kali, karena enzim lipase bebas akan tercampur dengan produk reaksi sehingga harus dilakukan proses perusakan untuk memisahkan enzim lipase dari produk reaksi. Pada aplikasinya hal tersebut sangat tidak ekonomis mengingat enzim lipase mahal harganya. Penurunan aktivitas setelah penggunaan berulang disebabkan karena lemahnya ikatan antara enzim lipase dengan adsorben pendukung, karena hanya di dukung oleh ikatan Van der Waals, ikatan hidrogen dan interaksi hidrofobik (Suhartono, 1989). Jika terdapat gangguan seperti halnya penggunaan berulang, ikatan ini dapat rusak menyebabkan enzim terlepas dari adsorben.7. Penggunaan enzim lipase imobil untuk hidrolisis minyak kelapa menjadi 1,3-diasilgliserol (1,3-DAG)

Penggunaan enzim lipase imobil hasil isolasi dari A. oryzae pada kopra berjamur untuk hidrolisis minyak kelapa menjadi 1,3-DAG, dilakukan analisis kromatografi gas. Melalui uji kromatografi gas dapat diketahui persentase senyawa yang terkandung di dalam larutan sampel hasil reaksi. Dari analisis kromatografi gas akan terlihat peak yang merupakan identitas dari senyawa tertentu. Hasil analisis sampel tersebut diketahui bahwa produk hasil reaksi menghasilkan 1,3-DAG sebesar 26,49% dengan waktu retensi 21,99 seperti yang ditunjukkan pada Gambar 27, dan sebagai pembanding digunakan kromatogram standar 1,3-DAG dengan waktu retensi 22,04 pada Gambar 28. Penelitian Blasi dkk (2007) terhadap enzim lipase dari Rhizomucor miehei pada substrat virgin olive oil spesifik menghasilkan 1,3-DAG. Bornscheuer (1995) meneliti enzim lipase dari Rhizomucor delemar spesifik menghasilkan monoasilgliserol (MAG). Untuk lebih meyakinkan bahwa enzim lipase hasil isolasi menghasilkan 1,3-DAG, maka dilakukan pula analisis terhadap sampel minyak kelapa tanpa penambahan enzim lipase, hasilnya dapat dijelaskan bahwa sampel minyak kelapa yang digunakan tidak mengandung 1,3-DAG, seperti yang terlihat pada Gambar 29.

Waktu retensi (menit)Gambar 27. Kromatogram hasil katalisis enzim lipase imobil dari Aspergillus oryzae pada minyak kelapa

1,3-DAGMAGWaktu retensi (menit)Gambar 28. Kromatogram standar dari campuran 1,3-DAG dengan MAGWaktu retensi (menit)Gambar 29. Kromatogram minyak kelapa tanpa penambahan enzim lipase

Waktu retensi (menit) Gambar 30. Kromatogram hasil katalisis oleh enzim lipase imobil komersial pada minyak kelapa

Waktu retensi (menit)