repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini...

216
POLITIK AGRARIA TRANSFORMATIF: Studi Peluruhan Kelembagaan Lokal Dan Kegagalan Politik Tata Kelola Agraria Pada Komunitas Petani Di DAS Cidanau Kabupaten Serang Provinsi Banten HIDAYAT SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

Transcript of repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini...

Page 1: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

POLITIK AGRARIA TRANSFORMATIF: Studi Peluruhan Kelembagaan Lokal Dan Kegagalan

Politik Tata Kelola Agraria Pada Komunitas Petani

Di DAS Cidanau Kabupaten Serang Provinsi Banten

HIDAYAT

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011

Page 2: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

DAFTAR ISI

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif:

Studi Peluruhan Kelembagaan Lokal dan Kegagalan Politik Tata Kelola Agraria Pada

Komunitas Petani di DAS Cidanau, Kabupaten Serang Provinsi Banten” adalah karya

akademik saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk

apapun kepada perguruan tinggi manapun.

Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya diterbitkan maupun tidak diterbitkan

dari penulis telah saya sebutkan dalam catatan kaki, teks dan dicantumkan dalam Daftar

Pustaka dibagian akhir disertasi ini.

Bogor, 16 Pebruari 2011

Hidayat

NRP A162040021

Page 3: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

A B S T R A C T

HIDAYAT. Political Agrarian Transformative: The Study Local Institutional Declaning and

Political Failure On Management Setting of Agrarian in Peasant Community of Cidanau Watershed,

Regency of Serang, Province of Banten. Suvervised by ENDRIATMO SOETARTO, DJUARA P.

LUBIS, SEDIONO M.P.TJONDRONEGORO.

The research was aimed to study 3 aspect: management setting model of agrarian resources based

local institutions which was conducted by forest peasant community in the upstream watershed region of

Cidanau, sectoral contestation, local superlocal and contes-tation in the internal scope of peasant

community. To study the mentioned above, this research used a critical paradigm. The research was done

in 3 villages location which have different ecological characteristics namely dry land, and wet/rice fields

and rice fields. The collecting data methods used observed participation, in depth interview and Focus

Group Discussion (FGD). Data Analysis used qualitative analysis approach. In an effort of obtaining data

validity truth can be convinced, data eligibility tested through technical triangulation resources and

method. The results of this research showed that local institutional management setting of agrarian

resources in this area has relation with life insight and social culture value and being rule of game form of

management setting of conducive agrarian resources for sustainability development.

The local institution is in the form covering (1) soil conception, land used management (2) and

forest zonation (3) local knowledge/wise regarding food plants and medicines (4) buyut, pipeling

institutions. While local institutions is in the form organization and management setting practices are

liliuran dan wanatani (agroforestry). In management setting of agrarian resources manifest from local

institution ia an agricultural technological appliances of rotated farming, ngaseuk (land managed

conservation form), coo bibit (prime seed upgrading), environment friendly plant germs eradication and

planting period following season and rotated plants.

The agrarian resources control contestation in the village area goes on in 3 forms, sectoral

contestation, local superlocal and internal scope community. The sectoral contestation was due to the lack

of comprehension over agrarian resources function as stock, public commodity and resources as

commodity and political will and political action weakness of government agency. In the contestation

sector of rural community push country’s control towards rural resources, institutional conflict, taking

away of increasing standard of living achieved and independent appearance of rural community. The

contestation sector was jeered by synergy weakness and government coordination in planning aspect,

implementation, evaluation and monitoring. The local superlocal contestation appeared in the form of

holistic contestation versus reductionist, agroforestry community versus plantations, institutional

community versus institutional made government. The scope of internal community contestation relating

with the difference of religion understanding, political and economical orientation, ecological condition

and environmental services receipt.

The course of farmers’ history in Indonesia was colored by superlocal power domination the form

of which vary from time to time depend on political interest and economical regime of the ruling one.The

agrarian politic of new order which oriented betting on the strong had complex impact towards rural

community that caused local institutional declining of management setting went on systematically. The

declining occurred over level system, rule of laws, level organization and individual. The declining

towards buyut institution, the removal of liliuran social capital, the rottening of conservation ethics and

declining local wise. The oriented agrarian politic was betting on the strong caused the ruling government

had failed to create the objective of institutional for prosperity at large and people’s welfare. The failure

of agrarian politics was performed by the marginalization of agrarian community structure, agrarian

predator appeared, peasant eviction and low concern towards environment services.

Key Word: Political agrarian transformative, sectoral contestation, local declining, local institutional,

institutional failure, peasanitation proceses, environment services, Cidanau watershed

Page 4: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

RINGKASAN

HIDAYAT. ”Politik Agraria Transformatif: Studi Peluruhan Kelembagaan Lokal

dan Kegagalan Politik Tata Kelola Agraria Pada Komunitas Petani di DAS Cidanau,

Kabupaten Serang Provinsi Banten.” Dibimbing oleh ENDRIATMO SOETARTO,

DJUARA P. LUBIS, SEDIONO M.P.TJONDRONEGORO.

Penelitian bertujuan untuk mengkaji tiga hal yaitu: (1) praktik dan tradisi tata

kelola sumberdaya agraria berbasis kearifan lokal pada komunitas petani hutan di

kawasan hulu DAS Cidanau, (2) proses kontestasi sektoral, lokal supralokal dan

kontestasi dalam lingkup internal komunitas petani dan (3) peluruhan kelembagaan lokal

dan kegagalan politik agraria bidang kehutanan di kawasan DAS Cidanau.

Untuk mengkajinya diggunakan paradigma kritis, karena interaksi kelembagaan

lokal dan supra lokal yang berlangsung di lokasi penelitian berlangsung timpang,

diwarnai penetrasi kekuasaan, posisi tineliti yang termarginalkan. Dengan penggunaan

paradigma kritis diharapkan dapat membongkar dimensi struktur yang timpang dan

menindas untuk selanjutnya mendorong kesadaran kolektif (collective consciousness) dan

perbaikan posisi sosial dan ekonominya yang termarginalkan. Penelitian dilakukan di tiga

desa komunitas petani hutan di kawasan DAS Cidanau, yaitu Desa Citaman Kecamatan

Ciomas (representasi lahan kering), Desa Cibojong (representasi campuran lahan kering

dan basah) dan Desa Citasuk Kecamatan Padarincang, yang merupakan lahan sawah.

Metode pengumpulan datanya menggunakan pengamatan partisipasi, wawancara

mendalam dan Focus Group Discussion (FGD). Analisis datanya menggunakan

pendekatan analisa kualitatif melalui teknik triangulasi teori, sumber dan metode.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelembagaan lokal tata kelola sumberdaya

agraria di lokasi penelitian memiliki hubungan dengan pandangan hidup, nilai sosial

budaya, bentuk aturan tata kelola sumberdaya agraria yang kondusif untuk pembangunan

pertanian dan kehutanan berkelanjutan. Kelembagaan lokalnya berbentuk pranata, nilai

dan norma dan berupa organisasi dan praktek tata kelola sumberdaya agraria.

Kelembagaan lokal berbentuk pranata melipiuti (1) konsepsi tanah dan tata guna tanah,

(2) zonasi hutan (leuweung), (3) kearifan lokal tentang tanaman pangan dan obat (4)

Kelembagaan buyut, pipeling. Sedangkan kelembagaan lokal berupa organisasi dan

praktek tata kelola adalah liliuran dan wanatani (agroforestry). Dalam praktik tata kelola

sumberdaya agraria manifestasinya adalah penerapan teknologi pertanian gilir balik

(rotated farming), ngaseuk, (bentuk olah tanah konservasi), coo benih (pemulian bibit

unggul), pemberantasan hama tanaman ramah lingkungan, dan masa tanam mengikuti

daur musim dan pergiliran tanaman.

Kontestasi penguasaan sumberdaya agraria wilayah pedesaan berlangsung pada

tiga bentuk, yaitu kontestasi sektoral, kontestasi lokal versus supralokal dan kontestasi

lingkup internal komunitas. Kontestasi sektoral disebabkan kurangnya pemahaman atas

fungsi sumberdaya agraria sebagai stock, barang publik dan sumberdaya sebagai

komoditi serta lemahnya political will dan political action agensi pemerintah untuk

meningkatkan kesejahteraan petani. Kontestasi sektoral mengakibatkan terjadinya

kapitalisasi sumberdaya pedesaan, konflik kelembagaan, menjauhkan tercapainya

peningkatkan taraf hidup petani dan hilangnya kemandirian masyarakat pedesaan.

Kontestasi sektoral melahirkan pelaksanaan pembangunan berlangsung secara tidak

sinergi dan tidak terkoordinasi mulai dari perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan

Page 5: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

monitoring. Kontestasi lokal supralokal muncul dalam bentuk tata kelola sumberdaya

secara holistik versus reduksionis, agroforestry komunitas versus bisnis dan kelembagaan

komunitas versus bentukan pemerintah. Kontestasi lingkup internal komunitas berkaitan

dengan perbedaan paham keagamaan, orientasi politik dan ekonomi, kondisi ekologi serta

perebutan penerimaan jasa lingkungan.

Perjalanan sejarah petani di Indonesia diwarnai oleh dominasi kekuasaan supra

lokal yang bentuknya berbeda-beda dari waktu ke waktu tergantung kepentingan politik

dan ekonomi rezim yang berkuasa. Politik agraria Orde Baru yang berorientasi betting on

the strong memiliki dampak yang kompleks terhadap masyarakat pedesaan. Meskipun

meningkatkan perolehan devisa negara dari sektor kehutanan dan menggelembungnya

"dompet pemerintah pusat", tetapi tidak meneteskan kemakmuran bagi masyarakat

lokal/sekitar hutan; yang terjadi justru peminggiran dan penyempitan ruang hidupnya dan

peluruhan kelembagaan lokal secara sistemik. Peluruhan berlangsung pada aras sistem

(peraturan perundang-undangan), organisasional (pembentukan kelembagaan bentukan

pemerintah yang merupakan substitusi terhadap kelembagaan komunitas) dan pada aras

individual, melalui provokasi, stigmatisasi dan promosi prilaku yang bertentangan

dengan nilai budaya sosial religius, menjunjung tinggi resiprositas dan solidaritas sosial

dan keseimbangan hidup antara material dan spiritual.

Peluruhan kelembagaan komunitas di lokasi penelitian mencakup kelembagaan

buyut, modal sosial liliuran, etika konservasi dan kearifan lokal. Kondisi ini terjadi

karena karena politik agraria kehutanan yang berorientasi ekonomi dan produksi kurang

mempertimbangkan manusia sebagai komponen utama ekosistem hutan dan kepentingan

peran serta masyarakat lokal dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Komunitas dan

sekitar hutan dan kelembagaannya dipandang sebagai "sumber gangguan" daripada

"kunci keberhasilan".

Pemangku kepentingan lebih melayani kepentingan dunia bisnis dan investasi

daripada mewujudkan sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat. Kegagalan mewujudkan

tujuan politik agraria ditunjukkan dengan ketidakmampuan mewujudkan kelembagaan

agraria yang berkeadilan dan berkelanjutan, depeasanisasi, tampilnya agensi sebagai

predator, penggusuran petani dan relokasi petani secara exsitu dan kepedulian semu

pemerintah terhadap jasa lingkungan. Kegagalan tersebut disebabkan bangunan ideologis

dan signifikansi politik agraria bersifat kapitalistik, ekstraktif dan mengabaikan dimensi

manusia dalam pembangunan sumberdaya hutan. Dampak dari politik agraria kehutanan

tersebut adalah terabaikannya konservasi hutan, jasa lingkungan hutan dan hubungan

hulu dan hilir kawasan DAS. Akibatnya pembayaran jasa lingkungan di DAS Cidanau

tidak menjadi insentif untuk meningkatkan kesejahteraan petani hutan dan penghargaan

terhadap komunitas petani yang melaksanakan sistem agroforstry dan sistem olah tanah

konservasi. Sebaliknya pembayaran jasa lingkungan menjadi alat kontrol kekuatan

supralokal terhadap aktivitas agroforestry komunitas melalui prosedur dan mekanisme

pembayaran jasa lingkungan yang tidak partisipatif dan tidak demokratis.

Kata Kunci: politik agraria transformatif, kontestasi sektoral, predator agraria, peluruhan

kelembagaan lokal, pembayaran jasa lingkungan.

Page 6: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

@ Hak cipta milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa

mencantumkan atau menyebutkan sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan

karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tujuan suatu

masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagaian atau seluruh karya

tulis dalam bentuk apapun tanpa ijin IPB

Page 7: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

POLITIK AGRARIA TRANSFORMATIF: Studi Peluruhan Kelembagaan Lokal Dan Kegagalan Politik Tata Kelola

Agraria Pada Komunitas Petani di DAS Cidanau

Kabupaten Serang Provinsi Banten

HIDAYAT

Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

gelar Doktor

Pada Program Studi Sosiologi Pedesaan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011

Page 8: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

Ujian Tertutup : 23 Oktober 2010

Penguji Luar Komisi:

1. Prof. Dr. Hariadi Kartodihardjo

Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB

2. Dr. Satyawan Sunito

Staf Pengajar Sosiologi Pedesaan

Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

Fakultas Ekologi Manusia IPB

Ujian Terbuka : 16 Pebruari 2011

Penguji Luar Komisi:

1. Dr. Harry Santoso

Direktur Jenderal Bina Pengelolaan DAS dan Perhutanan Sosial

Kementerian Kehutanan RI

2. Dr. Soeryo Adiwibowo, MS.

Ketua Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

Fakultas Ekologi Manusia IPB

Page 9: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

Judul Disertasi: Politik Agraria Transformatif: Studi Peluruhan Kelembagaan Lokal dan

Kegagalan Politik Tata Kelola Agraria Pada Komunitas Petani di Daerah

Aliran Sungai Cidanau Kabupaten Serang Provinsi Banten

Nama : Hidayat

NRP : A162040021

Disetujui

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, MA.

Ketua

Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS. Prof. Dr. Sediono M.P.Tjondronegoro

Anggota Anggota

Diketahui

Koordinator Mayor Dekan Sekolah Pascasarjana

Ilmu Sosiologi Pedesaan

Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, MSc.Agr. Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr.

Page 10: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 6 Agustus 1962 sebagai anak sulung

dari tiga bersaudara dari pasangan bapak Amin Amsani dan Ibu Zubaidah. Pendidikan

dasar dan menengah diselesaikan di kota hujan, Bogor. Lulus sarjana pendidikan sejarah

pada tahun 1986 dari Fakultas Pendidikan Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta.

Pendidikan Magister diraih dari Program Studi Sosiologi Antropologi Pascasarjana

Universitas Padjadjaran Bandung pada tahun 2003. Penulis melanjutkan studi Program

Doktor pada Program Studi Sosiologi Pedesaan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian

Bogor sejak tahun 2004 dengan biaya BPPS dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi

Kementerian Pendidikan Nasional.

Sejak tahun 1990 sampai sekarang penulis menjadi staf pengajar Fakultas Ilmu

Sosial Universitas Negeri Medan. Pada tahun 2009 penulis terlibat dalam studi

Peningkatan Kapasitas Kelembagaan Nelayan dibawah dikordinasi Direktorat Kelautan

dan Perikanan BAPPENAS di Lima Kabupaten dan Lima Provinsi di Jawa dan luar Jawa

Tahun 2009-2010 penulis terlibat dalam program Pengembangan Ekonomi Lokal di Jawa

Tengah kerja sama Direktorat Perkotaan dan Pedesaan BAPPENAS dengan GTZ.

Page 11: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, berkat rahmat dan

hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan penulisan disertasi berjudul “Politik Agraria

Transformatif: Studi Peluruhan Kelembagaan Lokal dan Kegagalan Politik Tata Kelola

Agraria Pada Komunitas Petani di DAS Cidanau, Kabupaten Serang Provinsi Banten”.

Penulisan disertasi ini merupakan proses pembelajaran berharga berkaitan dengan

kelembagaan lokal, politik agraria, tata kelola hutan dan Daerah Aliran Sungai, kontestasi

sektoral, mengingat tema tersebut sebelumnya bukan merupakan kompetensi penulis.

Sehingga tulisan disertasi ini disadari sepenuhnya masih jauh dari kesempurnaan dan

memuaskan.

Penulisan disertasi ini berkat arahan dan bimbingan dari Prof. Dr. Endriatmo

Soetarto, MA. Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS. dan Prof. Dr. Sediono M.P.Tjondronegoro.

Pada tempatnya kepada beliau penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya

atas dukungan yang tak terhingga, diskusi dan bimbingan yang mendidik serta membuka

cakrawala akademik penulis. Kesediaan beliau bertiga mengalokasikan waktu kepada

penulis di tengah kesibukannya mengemban tugas mulia merupakan kemewahan luar

biasa yang ludiberikan kepada penulis.

Ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya saya sampaikan kepada:

1. Rektor Institut Pertanian Bogor beserta jajarannya yang telah memberikan

kesempatan dan layanan yang baik selama penulis menempuh kuliah.

2. Dekan Fakultas Ekologi Manusia IPB dan Ketua Program Studi Sosiologi Pedesaan

beserta jajarannya yang telah memberikan layanan perkuliahan kepada penulis.

3. Rektor Universitas Negeri Medan dan Dekan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri

Medan yang mendorong dan mengizinkan penulis menempuh studi doktor di IPB.

4. Direktur Direktorat Kelautan dan Perikanan dan Direktur Pedesaan Perkotaan

Bappenas yang telah mempercayai penulis untuk terlibat dalam Peningkatan

Kapasitas Kelembagaan Masyarakat Nelayan dan Pembangunan Ekonomi Lokal.

5. Dr. Sugeng Budisuharsono, bukan hanya memberikan pandangan dan pendapatnya

tentang dunia akademik tetapi berjasa membantu mendapatkan pendapatan sehingga

penulis dapat bertahan dan terus berkelanjut studi doktor di Pascasarjana IPB. Ucapan

terimakasih juga disampaikan kepada Dr. Rahmat Abbas, Dr. Abubakar dan Ir.

Ahmad Yani, MSi atas kerjasamanya dalam kegiatan survei.

6. Staf Kecamatan Padarincang dan Ciomas, Kepala Desa Citaman, Desa Citasuk dan

Desa Cibojong dan KRH atas informasi yang berharga untuk penulisan disertasi ini.

7. Teman-teman mahasiswa S3 Sosiologi Pedesaan khusunya kepada Dr. Yety

Rocwulaningsih, Dr. Undang Fadjar dan Dr. Hartoyo atas kerjasama dan diskusinya

yang membuka inspirasi penulis dalam penulisan disertasi ini.

8. Secara khusus ucapan terimakasih disampaikan kepada isteri penulis Dandi Muhidin,

anak-anak tercita Eka Maulida Hardiyanti, Mohammad Luthfi, Rahmi Rafikasari dan

Meli Deliana Kamila, atas pengorbanannya yang tak terhingga selama penulis studi

S3 di IPB. Semoga penulisan disertasi ini menjadi sumber inspirasi untuk

mengembangkan diri dan menyongsong masa depan yang lebih gemilang.

Bogor, 16 Pebruari 2011

Hidayat

Page 12: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

DAFTAR ISI

Halaman

1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang........................................................................................... 1

1.2. Pertanyaan Penelitian ................................................................................. 9

1.3. Tujuan Penelitian ....................................................................................... 10

1.4. Kegunaan Penelitian .................................................................................. 10

1.5. Novelti ....................................................................................................... 11

2. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

2.1. Kelembagaan Lokal ................................................................................... 14

2.2. Kontestasi Sektoral dan Kontestasi Lokal Supralokal ................................. 21

2.2.1. Kontestasi Sektoral........................................................................... 24

2.2.2. Kontestasi Lokal Supralokal ............................................................. 27

2.3. Politik Agraria dan Peluruhan Kelembagaan Lokal .................................. 31

2.4. Kerangka Pikir ........................................................................................... 40

2.5. Hipotesa Pengarah…………………………………………………………… 42

3. METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Metodologi dan Kerangka Penelitian ......................................................... 43

3.2. Pokok Penelitian dan Metode Pengumpulan Data ..................................... 44

3.3. Metode Penelitian ...................................................................................... 45

3.4. Pemilihan Lokasi Penelitian ....................................................................... 46

3.5. Informan Penelitian ................................................................................... 47

3.6. Teknik Pengumpulan Data ......................................................................... 47

3.7. Teknik Pengolahan dan Analisa Data ......................................................... 48

3.8. Jadwal Penelitian ....................................................................................... 49

4. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4.1. Kondisi Geografi dan Demografi DAS Cidanau ........................................... 50

4.2. Kondisi Geografi dan Demografi Lokasi Penelitian ..................................... 50

4.3. Struktur Mata Pencaharian…………………………………………………… 54

4.4. Resiprositas dan Solidaritas ......................................................................... 56

4.5. Transisi Elit ................................................................................................. 59

4.6. Kelembagaan Lokal ..................................................................................... 62

5. DINAMIKA TATA KELOLA SUMBERDAYA AGRARIA BERBASIS

KELEMBAGAAN LOKAL

5.1. Pendahuluan ................................................................................................ 65

5.2. Kearifan Lokal Tata Kelola Sumberdaya Agraria ......................................... 65

5.2.1. Konsepsi dan Tata Guna Tanah ......................................................... 65

Page 13: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

5.2.2. Zonasi Hutan ..................................................................................... 70

5.2.3. Domestikasi Tanaman Pangan dan Obat ........................................... 72

5.2.4. Buyut dan Pipeling: Pengawal Keserakahan ....................................... 76

5.3. Dinamika Kelembagaan Agroforestry .......................................................... 80

5.3.1. Kelembagaan Agroforestry ................................................................ 80

5.3.2. Agroforestry Sebagai Strategi Bertahan ............................................. 82

5.3.3. Perkembangan Komunitas Agroforestry…………………………… . 84

5.3.4. Liliuran: Bertahan Sebagai Sarana Pencarian Nafkah ……………… 87

5.4. Ihtisar .......................................................................................................... 90

6. KONTESTASI SEKTORAL, LOKAL SUPRALOKAL DAN INTERNAL

6.1. Pendahuluan ............................................................................................... 91

6.2. Kontestasi Sektoral .................................................................................... 91

6.2.1. Aktor Kontestasi Sektoral ……………………………………………. 94

6.2.2. Kontestasi Sektoral: Kapitalisasi Sumberdaya ................................... 97

6.3. Kontestasi Lokal Supra Lokal ..................................................................... 100

6.3.1. Holistik Versus Reduksionistik ......................................................... 100

6.3.2. Konflik Tenurial ............................................................................... 103

6.4. Kontestasi Internal Komunitas .................................................................... 106

6.4.1. Perbedaan Orientasi Keagamaan ....................................................... 107

6.4.2. Afiliasi Politik dan Konflik Elit ......................................................... 109

6.4.3. Kontestasi Merebut Insentif Jasa Lingkungan .................................... 114

6.5. Ihtisar .......................................................................................................... 117

7. PELURUHAN KELEMBAGAAN LOKAL DAN KEGAGALAN POLITIK

TATA KELOLA SUMBERDAYA AGRARIA

7.1. Pendahuluan ............................................................................................... 119

7.2. Politik Agraria dan Peluruhan Kelembagaan Lokal ..................................... 120

7.2.2.1. Latar Belakang Sejarah Peluruhan Kelembagaan Lokal ................. 120

7.2.2. Politik Pertanian dan Kehutanan Orde Baru ...................................... 124

7.3. Proses dan Bentuk Peluruhan Kelembagaan Lokal ....................................... 126

7.3.1 Peluruhan Kelembagaan Buyut dan Pipeling ....................................... 128

7.3.2. Penghancuran Modal Sosial .............................................................. 130

7.3.3. “Pembusukan” Etika Konservasi........................................................ 133

7.3.4. Peluruhan Kearifan Lokal .................................................................. 136

7.4. Kegagalan Politik Agraria ............................................................................. 140

7.4.1. Penggusuran Petani (Depeasanitation Processes) ............................ 140

7.4.2. Predator Agraria ................................................................................. 146

7.4.3. Pendudukan Petani dan Enclavisme ..................................................... 149

7.4.4. Pembayaran Jasa Lingkungan dan Kepedulian Semu .......................... 156

Dominasi Birokrasi dan Kooptasi Civil Society Associations (CSA) ..... 161

7.5. Ihtisar ............................................................................................................ 165

Page 14: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

8. URGENSI PENGUATAN KELEMBAGAAN LOKAL DAN POLITIK

AGRARIA TRANSFORMATIF

8.1. Pendahuluan ............................................................................................. 167

8.2. Penguatan Kelembagaan Komunitas ........................................................ 167

8.3. Menuju Politik Agraria Transformatif ....................................................... 172

9. KESIMPULAN DAN SARAN

9.1. Kesimpulan ................................................................................................ 178

9.2. Saran dan Implikasi Kebijakan ................................................................... 181

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 183

Lampiran…………………………………………………………………………. 194

Page 15: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Pengelolaan SDA Menurut 5 UU dan Potensi Masalahnya............... 25

Tabel 2. Pokok Penelitian dan Metode Pengumpulan Data............................. 44

Tabel 3. Struktur Penduduk Desa Citaman, Citasuk dan Cibojong ................ 53

Menurut Kelompok Usia

Tabel 4. Mata Pencaharian Penduduk Desa Citaman, Desa Citasuk ............ 55

dan Desa Cibojong

Tabel 5. Sebaran Ikatan Hak Milik, Ikatan Kerabat Sosiologis dan Ikatan

Kerabat Genealogis Dalam Komunitas Desa Citaman .................... 58

Tabel 6. Komposisi Tanaman Agroforestry Komunitas................................. 82

Tabel 7. Kelembagaan Bentukan Pemerintah di Wilayah Pedesaan………… 99

Tabel 8. Program dan Pengelola Bantuan Sosial Kementerian Pertanian…... 100

di Pedesaan

Tabel 9. Jenis Kebutuhan Petani Yang Mendorong Transfer Tanah………. 142

Tabel 10. Pola Interkasi Gerakan Lingkungan Hidup Dengan Pemerintah .... 164

Page 16: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Kerangka Pikir.............................................................................. 42

Gambar 2. Tata Guna Tanah Petani Desa Citaman dan Cibojong…….. 67

Gambar 3. Kontestasi Sektoral........................................................................ 92

Gambar 4. Konsesi Kolosal Pengelolaan SDA……………………………… 93

Gambar 5. Aktor Kontestasi Pengelolaan Hutan DAS Cidanau……………. 94

Gambar 6. Kontestasi Kehutanan dan Pertambangan..................................... 96

Gambar 7. Proses Peluruhan Kelembagaan Lokal ………………………… 127

Gambar 8. Grafik Proses Transformasi Penguasaan Tanah ............................ 143

Gambar 9 Bentuk Kelembagaan Tata Kelola DAS........................................ 163

Page 17: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Dalam buku Max Havelar, Multatuli menyebut Indonesia sebagai negeri

jamrud khatulistiwa dan dalam hal keragaman hayati mendapat predikat

megadiversity country.1 Tetapi predikat itu kontras dengan kondisi kehidupan

sosial ekonomi sebagian besar masyarakatnya dan kondisi sumberdaya alamnya

termasuk sumberdaya hutan yang tidak seindah jamrud. Kekayaan dan keragaman

hayati Indonesia semakin terancam kelestariannya. Laju kerusakan hutan seluas

enam kali lapangan sepak bola per menit atau berkisar 1,6 – 2 juta hektar per

tahun, mengakibatkan lebih dari separuh hutan tropis Indonesia (77.806.881

hektar) dalam kategori kritis, sedangkan kemampuan merehabilitasinya hanya

sekitar 300.000 hektar per tahun.2 Eksploitasi hutan yang berlangsung secara

massif, tidak hanya mengakibatkan rusaknya ekosistem hutan dan sebagian besar

DAS dalam kondisi kritis,3 tetapi juga komunitas yang bermukim di kawasan itu

termarginalkan.

Pernyataan Multatuli “...bahwa nun di sana rakyat Tuan yang lebih dari

tiga puluh juta dihisap atas nama Tuan4…, pada akhir abad sembilan belas, masih

relevan untuk menggambarkan kondisi kehidupan sosial ekonomi masyarakat

1 Keanekaragaman hayati Indonesia mencakup berbagai jenis fauna dan flora, uraiannya lihat

BAPPENAS, 2003. Strategi dan Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati Indonesia 2003-2020.

Jakarta: BAPPENAS.

2 Lihat A.Ng. Ginting dan Kirsfianti Ginoga, “Peluang dan Tantangan Kebijakan Moratorium

Lahan Gambut dan Deforestasi”. Makalah “Seminar Lokakarya Nasional Pemanfaatan Lahan

Gambut Berkelanjutan Untuk Pengurangan Kemiskinan dan Percepatan Pembangunan Daerah”.

Pusat Studi Pembangunan dan Pedesaan IPB, Bogor 28 Oktober 2010.

3 Pada era otonomi daerah kerusakan ekosistem hutan dan DAS cenderung meningkat kualitas dan

kuantitasnya, karena menguatnya ego sektoral disertai ego kedaerahan dalam upaya meningkatkan

Pendapatan Asli Daerah (PAD). Gambaran kerusakan ekosistem DAS lihat Budi Prasetyo,

“Perubahan Penutupan/ Penggunaan Lahan, Degradasi Lahan dan Upaya Penanggulangannya:

Studi Kasus di Daerah Aliran Sungai Citanduy” dalam Arya Hadi Dharmawan (penyunting),

2005. Pembaharuan Tata Pemerintahan Lingkungan: Menciptakan Ruang Kemitaran Negara-

Masyarakat Sipil - Swasta. Bogor, PSP3 dan Partnership For Governance Reform In Indoensia,

UNDP.

4 Pernyataan itu dinyatakan Multatuli dalam pengantarnya yang ditujukan kepada Ratu Willem

Ketiga dan Kaisar Kerajaan Insulinde, Lihat H.B. Jassin/G Termorshuizen, 1985. Max Havelaar

atau Lelang Kopi Maskapai Dagang Belanda.

Page 18: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

2

Indonesia dewasa ini. Pambudi (2010) misalnya mencatat, sekitar 14,7 juta g

penduduk Indonesia kurang gizi. Dari 237,6 juta penduduk Indonesia, 35 juta

orang di antaranya berpendapatan kurang dari 65 sen dollar Amerika Serikat atau

Rp 6000 sehari, dan 127 juta orang pendapatannya kurang dari dua dollar

Amerika Serikat.5 Sementara 56 persen aset yang ada di tanah air, baik berupa

property, tanah maupun perkebunan, dikuasai hanya oleh 0,2 persen penduduk

Indonesia. Sawit Watch mencatat: “hingga Juni 2010 pemerintah telah memberi

hak konsesi 9,4 juta ha tanah dan mencapai 26,7 juta ha pada tahun 2010 kepada

30 kelompok usaha yang mengontrol 600 perusahaan”. Angka ini menunjukkan

penguasaan tanah oleh kelompok kecil pemilik modal hampir setara dengan yang

dikuasai oleh 26,7 juta petani miskin, jika setiap petani memiliki tanah 1 hektar.

Padahal sebagian besar petani Indonesia adalah, petani gurem, menguasai tanah di

bawah 0,5 hektar.6 Sementara Hutan Taman Rakyat yang difasilitasi oleh Badan

Layanan Umum P2H (Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan) yang ditargetkan

5,4 juta hektar hanya mencapai 87.299.89 hektar.

Data tersebut menunjukkan kronisnya ketimpangan struktur agraria di

Indonesia. Ketimpangan struktur agraria disertai eksploitasi sumberdaya agaria

oleh sekelompok kecil pemilik modal yang berlangsung secara masif dapat

berakibat hilangnya harapan masa depan sebagian masyarakat Mengingat prakarsa

dan tindakan penyelenggara negara masih jauh dari peran dan fungsi semestinya,

baik sebagai regulator untuk membuat regulasi yang adil dan demokratis maupun

kapasitas untuk melindungi sumberdaya agraria dan sumberdaya manusia

Indonesia dari gempuran kekuatan ekonomi dan politik global. Bila tidak ada

langkah strategis dan political action, kondisi tersebut dapat mengantarkan

“Indonesia sebentar lagi”.

Sejauh ini peran penyelenggara merujuk pada Pierre Boudieu mengarah

pada dominasi simbolik dan pola interaksi negara warga negara terbangun atas

5 Lihat Rachmat Pambudi, “Hak dan Kewajiban Atas Pangan”, Harian Kompas, 15 Oktober 2010.

6 Penguasaan sumberdaya agraria oleh segelintir orang semakin jelas jika dilihat secara sektoral.

Misalnya saja 42 juta ha hutan dikuasai oleh sekitar 301 perusahan pemegang hak pengusahaan

hutan dan 262 unit perusahaan hutanan tanaman industri. Chalid Muhammad, “Drama Haru

SBY”, Harian Kompas, 30 Oktober 2010.

Page 19: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

3

benevolent obedient7. Dalam konteks komunitas sekitar hutan pola interaksi

benevolent obedient ditandai adanya stigmatisasi dan predikat: “terbelakang,

terasing, orang pasisian, dan perambah hutan”. Pola interaksi negara warga

negara berpola benevolent - obedient dan stigmatisasi, menurut Dove,8

mencerminkan “kegelapan” pandangan “orang-orang lain” terhadap “orang-orang

berbudaya lain”. Dalam analisis Tania, stigmatisasi pihak supralokal sebagai

upaya “teritorialisasi” dan modernisasi komunitas sekitar hutan menjadi “orang

modern”.9 Stigmatisasi dan “teritorialisasi” kekuatan supralokal merupakan

pembungkus untuk meraih kepentingan ekonomi dan melegalkan eksploitasi

sumberdaya hutan, baik melalui konsesi Hak Penguasahaan Hutan (HPH) atau

Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK), Hutan Taman Industri

(HTI) dan hak kuasa pertambangan.

Perkembangan penguasaan sumberdaya hutan oleh pemilik

konsesi/pemilik modal, diakaui berdampak positif terhadap peningkatkan

kontribusi sektor kehutanan terhadap PDB dan APBN. Tetapi peningkatan

kontribusinya harus dibayar mahal, karena berakibat meluasnya deforestasi,

degradasi hutan, delegitimasi akses dan hak sosial ekonomi komunitas terhadap

sumberdaya hutan. Komunitas lokal yang telah memiliki ikatan sejarah dan

penguasaan sumberdaya hutan berdasarkan tradisi, dikriminalisasi dan menjadi

sasaran aksi polisionil. Di sisi lain, pihak berwenang cenderung tidak berdaya

mengatasi aktivitas illegal logging yang melibatkan oknum aparat penguasa dan

pengusaha, karena upaya penegakkan hukumnya bersifat transaksional semata-

mata.

7 William Liddle, 1988. “Politics and Culture in Indonesia”. Center for Political Studies for Social

Research” The University of Michigan.

8 Lihat Michael Dove, “Representasi Orang yang Berbudaya Lain” oleh ”Orang-Orang Lain”:

Tantangan Etnografis tentang Pandangan Pengusaha Perkebunan terhadap Petani Kecil di

Indonesia” dalam Tania Murray (peny.), 2002. Proses Transformasi Daerah Pedalaman di

Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

9 “Murray Li, “Keterpinggiran, Kekuasaan dan Produksi: Analisis Terhadap Transformasi Daerah

Pedalaman”, dalam Tania Murray (peny.), 2002. Proses Transformasi Daerah Pedalaman di

Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Page 20: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

4

Kondisi ini menimbulkan kegundahan masyarakat dan mendorong

tampilnya komunitas terbayang,10

karena menyaksikan ketidak hadiran negara dan

kegagalan kelembagaan negara.11

Indikasinya ditunjukkan oleh pembiaran

masyarakat menyelesaikan masalahnya sendiri atau main hakim sendiri,

meluasnya korupsi dan konflik sosial dan meningkatnya deforestasi dan degradasi

hutan yang menimbulkan bencana alam di berbagai wilayah di Indonesia.

Kegagalan kelembagaan negara juga ditunjukkkan dari ketidakmampuan

penyelenggara negara membangun kelembagaan tata kelola sumberdaya agraria

yang adil dan memungkinkan para pihak mendapatkan perlakuan yang setara dan

demokratis, serta akses informasi yang akurat dan transfran. Jika dikaitkan dengan

tujuan politik agraria yang diamanatkan konstitusi untuk mewujudkan sebesar-

besarnya kemakmuran rakyat, ketidakmampuan penyelenggara negara

mewujudkannya dapat dipandang sebagai “kegagalan kelembagaan negara”12

Secara sosio-historis kegagalan kelembagaan negara mewujudkan sebesar-

besarnya kemakmuran rakyat, merupakan implikasi dari pengarus-utamaan politik

agraria kapitalis yang berurat akar dalam sejarah politik Kolonial Belanda.

Kondisi ini diperteguh dengan mistifikasi pembangunan dan menguatnya

kontestasi sektoral dalam pembangunan ekonomi dan sumberdaya. Pelestarian

politik agraria kapitalis kolonial Belanda, ditunjukkan dengan “pemberlakukan

domain verklaring” dan pemberian hak konsesi penguasaan sumberdaya hutan

dan tambang kepada pemilik modal, tetapi mengabaikan Undang-Undang Pokok

Agraria No. 5 tahun 1960 yang bersifat populis. Ciri penting dari politik agraria

kapitalis adalah akumulasi modal lebih diutamakan dan menempatkan

10 Istilah “komunitas terbayang” dikemukakan Benecdict Anderson,” merujuk pada kondisi

kehidupan masyarakat Indonesia pada masa pergerakkan yang memiliki kesamaan cita-cita

sebagai bangsa, meskipun di antara mereka tidak pernah bertatap muka dan saling mengenal. Lihat

Benecdict Anderson, 2001. Imagined Communities. Yogyakarta, INSIST. Dewasa ini komunitas

terbayang muncul dalam jejaring sosial dunia maya sebagai kekuatan alternatif dan penekan,

karena rendahnya political will dan ketidak hadiran negara terhadap persoalan masyarakat dan

lingkungan.

11Dalam analisis North kegagalan kelembagaan dicirikan berbiaya trasaksi tinggi, salah urus dan

kelembagaan yang tidak tepat. Lihat North, D.C. (1990). Institutions, Institutional Change and

Economic Performance. Cambridge University Press, USA.

12Swedberg menyebut institutional failure sebagai keterbelakangan kelembagaan (the biggest

laggard), kebijakan yang tidak tepat, informasi asimetris dan perilaku cheating dan oportunis.

Swedberg, 1994. Markets as Social Structures. Princeton University Press, New Jersey, USA.

Page 21: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

5

sumberdaya agraria dan sumberdaya manusia menjadi komoditas semata-mata,13

sementara upaya mencerdaskan bangsa dan mewujudkan sebesar-besarnya

kemakmuran rakyat diabaikan. 14

Dalam penegelolaan sumberdaya kehutanan, politik agraria kapitalis

ditandai mistifikasi produksi, pertumbuhan ekonomi dan menguatnya kontestasi

sektoral dalam upaya mendapatkan rente ekonomi. Sehingga proses pembangunan

kehutanan bukan hanya tidak sinegis tetapi juga tidak meningkatkan perbaikan

kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Sebaliknya pembangunan kehutanan

mengakibatkan alienasi dan mendorong masyarakat sekitar hutan menjadi buruh

upahan15

dan tenaga kuli.16

Hal ini terjadi karena pembangunan kehutanan yang

berorientasi kapitalis tidak ramah terhadap ”wong cilik”. Kondisi ini diperkuat

dengan pendekatan pembangunan yang bersifat teknokratis yang kurang

menghargai peran dan partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan.

Dampak lebih lanjut dari politik agraria kapitalis adalah kontestasi sektoral

yang tidak sehat, tergerusnya kelangsungan berbagai entitas sosial budaya dan

terancamnya keragaman hayati bumi Indonesia. Sementara itu tolak ukur

pembangunan yang menguatamakan keberhasilan pembangunan fisik material dan

indikator kuantitatif, berakibat aspek sosial dan kemanusiaan kurang

dipertimbangkan. Sehingga dibalik pencapaian pembangunan ekonomi

sumberdaya yang gemilang secara fisik dan kuantitatif, berlangsung proses

dekonstruksi dan delegitimasi kelembagaan komunitas.

Pada komunitas sekitar hutan di luar Pulau Jawa, gambaran dekonstruksi

dan delegitimasi tersebut dapat disimak antara lain dari kajian yang dilakukan

13

Lihat Roy Ellen, 2002. “Pengetahuan tentang Hutan, Transformasi Hutan: Ketidakpastian

Politik, Sejarah Ekologi dan Renegosiasi Terhadap Alam di Seram Tengah,” dalam Murray Li,

2002. Proses Transformasi Daerah Pedalaman di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 14

Nancy Lee Peluso, 2006. Hutan Kaya, Rakyat Melarat: Penguasaan Sumber Daya dan

Perlawanan Rakyat. Yogyakarta: Insist Press. 15

Ben White, 2002. “Inti dan Plasma: Pertanian Kontrak dan Pelaksanaan Kekuasaan di Dataran

Tinggi Jawa Barat” dalam Tania Murray (peny.), 2002. Proses Transformasi Daerah Pedalaman

di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 16

Dampak beroperasinya produksi kapitalis pada masa Kolonial Belanda lihat, Jan Bremen,

1997. Menjinakkan Sang Kuli: Politik Kolonial, Tuan Kebun dan Kuli di Sumatera Timur Pada

Awal Abad ke 20. Jakaarta: Pustaka Utama Grafiti.

Page 22: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

6

oleh Djuweng dan Dove pada komunitas Dayak, 17

Awang di Lampung,18

Zakaria di Mentawai, 19

dan Tania di Sulawesi20

. Sedangkan kajian terhadap

komunitas sekitar hutan di Jawa, antara lain dilakukan oleh Santoso dan Peluso,21

White dan Marzali di Jawa Barat. 22

Dari kajian tersebut diketahui bahwa

berbagai entitas yang sebelumnya memiliki tradisi dan kearifan lokal yang

berkontribusi terhadap kelestarian hutan, seperti sebagai “pelestari plasma

nutfah”,23

menjadi tidak berdaya menghadapi proses penetrasi kekuatan supra

lokal (nasional dan global).

Dalam konteks pembangunan kehutanan berkelanjutan, program

perhutanan sosial dan pengembangan masyarakat, ketidakberdayaan komunitas

sekitar hutan merupakan masalah serius yang layak dicermati. Berpangkal dari

pemikiran tersebut, penulis tertantang untuk mengkaji dinamika kelembagaan

komunitas di hulu DAS Cidanau dalam proses interaksi dan adaptasinya dengan

kekuatan supra lokal (negara dan pasar). Ketertarikan penulis mengkaji masalah

ini terdorong oleh keprihatinan, di mana proses pembangunan kehutanan yang

memistifikasi pertumbuhan ekonomi dan produksi, yang berlangsung di kawasan

17 Djuweng, “Orang Dayak, Pembangunan dan Agama Resmi” dalam Stepanus Djuweng, Yando

Zakaria dkk, 1996. Kisah Dari Kampung Halaman: Masyarakat Suku, Agama Resmi dan

Pembangunan”. Yogyakarta: Interfidei. Michael Dove, “Representasi “Orang yang Berbudaya

Lain” oleh Orang-orang Lain”: Tantangan Etnografis tentang Pandangan Pengusaha Perkebunan

terhadap Petani kecil di Indonesia” dalam Tania Murray (peny.), 2002. Proses Transformasi

Daerah Pedalaman di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

18 San Afri Awang, 2006. Sosiologi Pengetahuan Deforestasi: Konstruksi Sosial dan Perlawanan.

Jogyakarta: Debut Press.

19 Lihat Zakaria, “Pembangunan Yang Melumpuhkan: Pelajaran dari Kepulauan Mentawai” dalam

Stepanus Djuweng, Yando Zakaria dkk, 1996. Kisah Dari Kampung Halaman: Masyarakat Suku,

Agama Resmi dan Pembangunan”. Yogyakarta: Interfidei.

20 Lihat Murray Li, “Keterpinggiran, Kekuasaan dan Produksi: Analisis Terhadap Tranformasi

Daerah Pedalaman” dalam Tania Murray Li (peny.), 2002. Proses Transformasi Daerah

Pedalaman di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

21 Hery Santoso, 2006. Perlawanan Di Simpang Jalan: Konteks Harian di Desa-Desa Sekitar

Hutan” Yogyakarta: Penerbit Damar; Nancy Lee Peluso, 2006. Hutan Kaya, Rakyat Melarat:

Penguasaan Sumber Daya dan Perlawanan Rakyat. Yogyakarta: Insist Press.

22 Ben White, 2002. “Inti dan Plasma: Pertanian Kontrak dan Pelaksanaan Kekuasaan di Dataran

Tinggi Jawa Barat” dalam Tania Murray Li (peny.), 2002. Proses Transformasi Daerah

Pedalaman di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Amri Marzali, 1992. The Urang Sisi

of West Java: A Study of Peasants: Responses to Population Pressure”. Boston University. 23

Herwasono Soedjoto, “Masyarakat Dayak: Peladang Berpindah dan Pelestari Plasma Nutfah”

dan Sulaeman Mamar, “Sistem Pengetahuan dan Teknologi Suku Wana di Sulawesi Tengah”

dalam Kusnaka Adimihardja (ed.), 1999. Petani Merajut Tradisi Era Globalisasi. Bandung:

Humaniora Utama Press.

Page 23: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

7

tersebut terindikasi kuat mengakibatkan proses delegitimasi kelembagaan

komunitas.

Delegitimasi kelembagaan komunitas sekitar hutan, bukan hanya menjadi

ancaman serius terhadap pembangunan hutan berkelanjutan, tetapi juga

menyangkut kelanjutan kehidupan sosial budaya dan ekonomi jutaan penduduk

yang berada di sekitar hutan. Proses delegitimasi kelembagaan komunitas sekitar

hutan juga berdampak pada pemberdayaan masyarakat, ketahanan budaya serta

pembangunan karakter bangsa Indonesia. Dalam era globalisasi dewasa ini,

bangsa Indonesia bukan hanya membutuhkan modal ekonomi yang kuat dan

ketangguhan teknologi, tetapi juga ketahanan sosial budaya dan keberlanjutan

sumberdaya hutan.

Sejauh jangkauan penulis, kajian pemerhati dan rimbawan lebih tercurah

pada keberlanjutan sumberdaya hutan dalam rangka moratium kehutanan.

Sementara keunikan sosial budaya dan kelembagaan komunitas sekitar hutan

kurang dipertimbangkan, padahal mereka merupakan bagian terdepan yang akan

menerima dampak negatif dari moratorium kehutanan.

Hasrat penulis mengkaji komunitas petani di hulu DAS Cidanau, terdorong

adanya kemitraan hulu dan hilir dalam bentuk mekanisme pembayaran jasa

lingkungan. Dari sekitar 450 DAS di Indonesia, pembayaran jasa lingkungan oleh

pemakai jasa di hilir kepada petani (penghasil jasa lingkungan) di hulu, baru

diterapkan di DAS Cidanau. Pemakai jasa lingkungan di hilir yakni PT Krakatau

Tirta Industri (KTI), bersedia membayar jasa lingkungan (willingness to pay) dan

komunitas petani hutan di hulu DAS, bersedia memelihara area kebunnya secara

konservasi untuk menghasilkan jasa lingkungan. Kemitraan hulu dan hilir

merupakan fondasi untuk terbangunnya kelembagaan tata kelola DAS terpadu dan

berkelanjutan atas prinsip one river, one plan and one management.

Pertimbangan lain yang mendorong penulis mengkaji kelembagaan DAS

Cidanau adalah karena sebagian kajian tentang DAS Cidanau tercurah pada aspek

ekologi fisik24

, sedangkan dimensi sosiologi, ekologi budaya dan kelembagaannya

24 Kajian ini dilakukan tim peneliti Indonesia Jepang yang tergabung dalam Research Unit For

Biological Resources Development-Core University Programmes. Goto AK Yoshoda, T Shimizu,

Y Purwanto, 2001. Investigation on Hydraulic Water Balance for Integrated Watershed

Management Planning in Cidanau River Basin, West Java. Proceeding of the 1st Seminar Toward

Page 24: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

8

termasuk kemitraan hulu hilir belum mendapat perhatian yang memadai. Padahal

keberlanjutan tata kelola DAS, tidak hanya ditentukan secara teknik dan ekonomi,

melainkan terkait dengan dimensi sosial dan kelembagaannya. Dari segi ini

kemitraan hulu hilir berbentuk mekanisme pembayaran jasa lingkungan di DAS

Cidanau menarik untuk di kaji. Bahkan kemitraan hulu hilir berbentuk mekanisme

pembayaran jasa di DAS Cidanau telah menjadi sumber inspirasi pengelolaan

DAS di Nusa Tenggara Timur, Sumatera Barat dan Sumatera Utara.

Pilihan terhadap kelembagaan komunitas petani di hulu DAS Cidanau

diperkuat dengan hasil pengamatan lapangan, bahwa pengarus-utamaan politik

agraria kapitalis dan kontestasi sektoral di kawasan tersebut, berujung pada

pengabaian “negara” terhadap komunitas lokal sampai pada kondisi menciptakan

keresahan sosial, maraknya demonstrasi petani (ke DPRD), meluasnya konflik

agraria dan mengarah pada kebangkrutan sosial.25 Merujuk pada pendapat Beck,

kondisi ini berpotensi dan dapat mengarah pada risk society.26

Dalam konteks

wilayah Kabupaten Serang, mencuatnya keresahan sosial, mengingatkan penulis

pada keresahan petani di wilayah ini pada penghujung abad ke sembilan belas

yang berujung dengan pemberontakan petani.27

Bila tidak ada langkah strategis

dan “political action”, kekhawatiran “sejarah berulang” dapat menjadi kenyataan.

Dari segi ini, kajian terhadap politik agraria kapitalis terkandung maksud

dan upaya agar “sejarah tidak berulang”. Sebab bila sejarah berulang, keresahan

sosial meluas dan pembrontakan petani meletus, ongkos sosial ekonomi dan

politiknya terlalu mahal. Atas dasar itu dan terinspirasi oleh pemikiran Sobhan

Harmonization Between Development and Environmental Conservation in Biological Production.

The University of Tokyo; Feb 21-23 2001. Goto A Kato, 2003. Studies on Environment Changes

and Sustainable Development. Water Quality Model of Cidanau Watershed, Indonesia, for

Watershed Management Planning. Proceeding of the 2nd Seminar on Toward Harmonization

Between Development and Environmental Conservation in Biological Production. The University

of Tokyo; Feb. 15-16 2003.

25 Indikasinya: tingginya kemiskinan dan pengangguran, pembiaran rakyat dibelit masalah,

perilaku koruptif dan tereduksinya keluhuran politik menjadi sekadar politik praktis yang kerdil,

sempit dan berdurasi pendek. Lihat “Kesalehan Sosial Bangkrut” Harian Kompas, 10 Agustus

2010.

26 Beck, Ulrich, 2000. “Risk Society Revisited: Theory, Politics and Research Programmes” in J.

Van Loon (ed). The Risk Society and Beyond Critical Issues for Social Theory. London: Sage.

27 Pembrontakan petani di Banten dipicu oleh tindakan kesewenang-wenangan penguasa yang

menimbulkan keresahan sosial. Lihat Kartodirdjo, 1984. Pemberontakan Petani Banten 1888.

Jakarta: Pustaka Jaya.

Page 25: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

9

(1993), maka politik agraria transformatif relavan diangkat dan menjadi salah

tema tulisan ini.

Sejalan dengan pentingnya politik agraria transformatif dan penguatan

kelembagaan komunitas, perspektif dan posisi tulisan ini lebih dekat dengan

perspektif populis28

dan rasionalitas ekologi utility maximising manner dari (Gorz,

1996).29

Perspektif tersebut menjadi ciri dan pembeda dari kajian sebelumnya.

Karena itu pemanfaatan sumber dan tulisan yang beraroma (modernis dan

developmentalis) dan kurang sejalan dengan jiwa/perspektif utama, menunjukkan

sebuah perspektif mengandung kelemahan dan kelebihan dalam menganalisis

suatu gejala sosiologis dan realitas sosial. Dalam tulisan ini perspektif populis,

rasionalitas ekologis dan utility maximising manner dijadikan landasan pemikiran

perlunya politik agraria transformatif, tata kelola DAS partisipatif dan penguatan

kelembagaan komunitas petani di kawasan DAS Cidanau.

1.2. Pertanyaan Penelitian

1. Mengapa unsur-unsur kelembagaan lokal di kawasan hulu DAS Cidanau rentan

dalam adaptasi dan interaksinya dengan kekuatan supralokal ?

2. Mengapa program pembangunan sektoral yang berlangsung di kawasan DAS

Cidanau menimbulkan konflik agraria dan kapitalisasi sumberdaya pedesaan ?

3. Mengapa pelaksanaan politik agraria bidang kehutanan mengakibatkan

peluruhan kelembagaan lokal dan gagal mewujudkan politik tata kelola agraria

berkeadilan dan berkelanjutan?

28 Jones (1999) mengidentifikasi lima perspektif tentang keberlanjutan dan degradasi sumberdaya:

Neo-Malthusian, Technocratik, Neo Marxist/Dependensi, Neo Liberal dan Populis. Perspektif

populis memandang degradasi sumberdaya disebabkan tidak sempurna dan kurangnya

penghargaan atas lembaga dan kearifan lokal. Pengelolaan sumberdaya agraria yang adaptif,

berbasis komunitas dan kearifan lokal dipandang sebagai salah satu alternatif untuk mengurangi

degradasi lingkungan. Lihat Roe, E. 1991. Development Naratives or Making the Best of Blueprint

Development. World Development 19 (4: 287-300; Biot, Y, Blaike, M., and Palmer-Jones, 19995.

Rethinking Research on Land Degradation in Developing Countries. World Bank Discussion

Paper No. 289. World Bank: Washington; Jones, S. 1999. From Meta Naratives to Flexible

Framework: An Actor Analysis of Land Degradation Highland Tanzania. PP 211-219. Global

Environmental Vol. 9.

29 Rasionalitas ekologis yang ditawarkan Gorz adalah perlunya pembatasan pengaruh rasionalitas

ekonomi melalui rasionalitas lingkungan, demokrasi dan pendekatan politik dalam menganalisis

hubungan antara rasionalitas lingkungan dan sosial sebagai titik tolak memandang rasionalitas

ekonomi. Lihat Andrian Little, 2000. New Political Economy. Vol.5/1. p 121-133.

Page 26: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

10

1.3. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui unsur-unsur kelembagaan lokal di kawasan hulu DAS Cidanau

yang rentan dalam adaptasi dan interaksinya dengan kekuatan supralokal.

2. Menjelaskan program pembangunan sektoral yang berlangsung di kawasan

DAS Cidanau yang menimbulkan konflik agraria dan kapitalisasi sumberdaya

pedesaan.

3. Menganalisis pelaksanaan politik agraria bidang kehutanan yang

mengakibatkan peluruhan kelembgaan lokal dan gagal mewujudkan politik tata

kelola agraria berkeadilan dan berkelanjutan.

1.4. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini memiliki kontribusi teoritis dan impliksi kebijakan sebagai

berikut:

1. Pada tataran teoritis, penelitian ini memberikan penjelasan terhadap persoalan

kelembagaan lokal, kontestasi sektoral, proses peluruhan kelembagaan

komunitas dan kegagalan politik tata kelola agraria bidang kehutanan dan

kerangka politik agraria transformatif. Dari penelitian ini ditemukan (1)

kelembagaan tata kelola sumberdaya agraria komunitas petani yang

memadukan aspek ekonomi dan konservasi, (2) kerangka analisis kontestasi

sektoral yang menimbulkan konflik agraria dan kapitalisasi sumberdaya

pedesaan, (3) kerangka analisis proses peluruhan kelembagaan komunitas dan

kegagalan mewujudkan tata kelola DAS partisipatif dan (4) kerangka analisis

politik agraria transformatif.

2. Pada tataran kebijakan, temuan penelitian ini dapat menjadi bahan masukan,

informasi dan refleksi untuk perumusan kebijakan instansi Pemerintah Daerah

Kabupaten Serang dan pihak terkait yang bertugas dan berempati terhadap

pembangunan kehutanan berkelanjutan, pengembangan kapasitas kelembagaan

dan pemberdayaan komunitas sekitar hutan, kemitraan hulu hilir DAS Cidanau

dan terpeliharanya kawasan konservasi Rawa Danau.

1.5. Novelti Penelitian

Gambaran tentang pertanian di Jawa biasanya identik dengan hamparan

sawah dan berpematang. Gambaran demikian tidak keliru, karena ditemukan di

Page 27: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

11

berbagai wilayah kabupaten di P. Jawa. Implikasinya kajian tentang kelembagaan

komunitas petani, cenderung didominasi dan berlatar belakang komunitas petani

sawah30

. Kondisi ini menimbulkan bias kebijakan pembangunan pertanian dan

swa sembada pangan kepada padi/beras atau lahan sawah. Sementara wilayah

Jawa berupa lahan kering yang cukup luas, lebih bervariasi dan memiliki potensi

sosial ekonomi yang tidak kalah penting dari sawah diabaikan.

Hal ini tercermin dari cara Biro Pusat Statistik menyederhanakan semua

kawasan lahan kering dalam rubrik “tegalan”. Padahal aktivitas pertanian lahan

kering di P. Jawa terbentang antara lain di Jawa Barat bagian Selatan dan Banten,

selain tegalan terdapat pekarangan, kebun, talun, kebun campuran, plantasi kecil

dan agroforestry.

Sejauh jangkauan penulis kajian dari perspektif sosiologi terhadap

aktivitas pertanian lahan kering dan kelembagaannya relatif terbatas.31

Kajian

terhadap komunitas lahan kering di wilayah Jawa Barat antara lain dilakukan oleh

Ben White di Sukabumi dan Marzali di Cianjur. Keduanya mengkaji dari

perspektif sosiologi ekonomi dan antropologi. Kajian serupa di lakukan oleh

Hefner pada suku Tengger di kaki Gunung Bromo Jawa Timur.

Komunitas lahan kering juga menarik perhatian peneliti Balibang

Kehutanan. Sebagian besar kajian yang dilakukan oleh peneliti Balibang

Kehutanan menggunakan teori positivisme, pendekatan teknis, metodologi

statistik kuantitatif dan metode survey.32

Hasil kajiannya cenderung membenarkan

kebijakan, keangkuhan agensi dan menempatkan masyarakat lokal sebagai

"sumber gangguan" dari pada kunci keberhasilan konservasi dan pertanian

30 Misalnya Herman Suwardi di Cianjur berjudul “Respon Masyarakat Desa Terhadap Modernitas

di Bidang Produksi Pertnian di Jawa Barat”.Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

31 Kajian terhadap sistem pertanian dan kelembagaan komunitas lahan kering di Jawa dilakukan

oleh White dan Hefner serta muridnya Marzali. Lihat Ben White, “Inti dan Plasma: Pertanian

Kontrak dan Pelaksanaan Kekuasaan di Dataran Tinggi Jawa Barat” dalam Tania Murray Li

(peny.), 2002. Proses Transformasi Daerah Pedalaman di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor

Indonesia. Hefner 1990. The Political Economy of Mountain Java: An Interpretative History.

University of California Press. Amri Marzali, 1992. The Urang Sisi of West Java: A Study of

Peasants: Responses to Population Pressure”. Boston University.

32Lihat: (1) Ogi Setiawan dan Ryke Nandini, “Kuantifikasi Jasa Hutan Lindung Sebagai Pengatur

Tata Air di Daerah Aliran Sungai (DAS) Palu dalam Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi

Alam Vol. III No.3 Tahun 2006, p.309-326.

Page 28: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

12

berkelanjutan.33

Kelembagaan dan komunitas sekitar hutan dan hulu DAS sebagai

“tertuduh”, objek eksploitasi, tanpa ada pembelaan dan kajian kritis.

Berbeda dengan kajian di atas, paradigma, pendekatan dan metodologi

dalam studi ini mengunakan paradigma kritis. Pilihan paradigma ini didasarkan

pemikiran, bahwa pandangan yang menempatkan komunitas sekitar hutan sebagai

“perambah hutan” dan "sumber gangguan" bersifat tendensius, tidak proporsional

dan penilainnya dari perspektif “Orang-orang Berbudaya Lain” terhadap “Orang-

orang Lain”. Boleh dikatakan keberadaan komunitas sekitar hutan menjadi

penyebab tunggal terancamnya kelestarian sumberdaya hutan. Sementara pemilik

modal yang mengeksploitasi sumberdaya hutan secara masif, jarang diungkap dan

disebut sebagai perusak dan perambah hutan, karena aktivitas mereka

berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja.

Senyatanya penyebab dan sumber gangguan terhadap kelestarian

sumberdaya hutan dan kawasan hulu DAS bervariasi. Penyebab kerusakan

sumberdaya hutan dan kritisnya kawasan hulu DAS, tidak tunggal; bisa

bersumber dari kebijakan yang tidak tepat dan ”permainan” kelompok

kepentingan di aras supralokal yang melibatkan komunitas lokal. Pelaksanaan

politik agraria transaksional dan kontestasi sektoral merupakan penyebab

struktural kerusakan sumberdaya hutan dan kritisnya kawasan DAS di Indonesia

berlangsung masif.

Berangkat dari pemikiran tersebut, maka upaya pembangunan kehutanan

berkelanjutan, tata kelola DAS terpadu dan pemberdayaan komunitas sekitar

hutan, tidaklah memadai dengan pendekatan politik tata kelola agraria

konvensional. Karena pendekatan politik tata kelola agraria konvensional gagal

mewujudkan politik agraria yang diamanatkan konstitusi untuk sebesar-besarnya

kemakmuran rakyat. Kegagalan tersebut disebabkan menempatkan sumberdaya

agraria dan sumberdaya manusia sebagai komoditas dan objek semata-mata.

33Lihat: (1) Christian Wulandari, “Tingkatan Penerimaan Sosial Masyarakat Sekitar Hutan Dalam

Mengadopsi Agroforestry di Lahan Pekarangan” dalam Jurnal Hutan Rakyat Vol. VII No.1 Tahun

2005, p. 17-27; (2) Heriyanto dan Garsetiasih, “Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Oleh Masyarakat

Lokal di Taman Nasional Meru Betiri Jawa Timur, Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam

Vol. III No.3 Tahun 2006, p.297-306; (3) Triyono Puspitojati, Preferensi Pemangku Kepentingan

Dalam Pengelolaan Hutan Produksi: Studi Kasus Pengolahan Hutan Produksi di KPH Bogor”,

Sekolah Pascasarjana, IPB, 2008.

Page 29: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

13

Kegagalan politik tata kelola agraria konvensional menjadi landasan perlunya

politik agraria transformatif dalam pembangunan kehutanan dan pemberdayaan

komunitas di sekitar hutan. Pemikiran politik agraria tranformatif dimaksudkan

untuk meminimalkan kontestasi sektoral, penguasaan sumberdaya agraria

terdistribusi lebih adil, terjaganya sumberdaya hutan dan modal sosial bangsa

Indonesia dalam menghadapi persaingan ekonomi dan perubahan iklim global.

Page 30: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

14

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

2.1. Kelembagaan Lokal

Kelembagaan yang hidup dalam masyarakat bersifat dinamis dan

kompleks, jenis dan ragamnya berkembang sesuai dengan dinamika kehidupan

masyarakat.34

Interaksi desa dengan supra desa yang intensif mengakibatkan

kelembagaan yang hidup dalam masyarakat pedesaan tidak hanya berasal dari

dalam dan tumbuh dalam komunitas atau desa, tetapi juga berasal dari supra desa.

Hal ini menunjukkan kelembagaan yang terdapat dalam wilayah pedesaan atau

entitas bersifat dinamis dan kompleks.

Dinamika dan kompleksitas kelembagaan dalam masyarakat dapat disimak

dari analisis yang dikemukakan oleh Tjondronegoro (1984). Menurutnya

kelembagaan masyarakat berkembang secara kontinum, dari lembaga menjadi

organisasi.35

Meskipun antara lembaga atau institusi sulit dipisahkan dan memiliki

persamaan, tetapi antara keduanya terdapat perbedaan ciri-cirinya. Menurut

Tjondronegoro, lembaga memiliki ciri: berorientasi pada kebutuhan, peranan yang

dimainkan, upacara, pengawasan sosial, pengakuan karena membudaya,

terlibatnya pendukung, tradisi turun-temurun, empiris, berpegang pada norma,

prioritas usia dan gengsi dan sifat memenuhi kebutuhan tertentu. Sedangkan

organisasi memiliki karakteristik: berorientasi pada tujuan, tugas yang

dilaksanakan, prosedur, pengawasan peraturan, pengakuan karena didirikan resmi,

kebiasaan karena rutin, digagas dan diwujudkan, kesetiaan dan ikatan pada tujuan,

prioritas pada keterampilan dan kemampuan dan alat mencapai tujuan tertentu.

Kompleksitas kelembagaan dalam masyarakat juga dapat dilihat dari

jangkauan dan cakupannya. Dimensi kelembagaan seperti ini dikemukakan oleh

34 Koentjaraningrat mengidentifikasi kelembagaan menurut fungsinya meliputi kelembagaan: (1)

kekerabatan/domestik, (2) ekonomi (mata pencaharian, produksi, menimbun dan distribusi

kekayaan), (3) pendidikan, (4) ilmiah, (5) politik (mengatur kehidupan kelompok besar atau

kehidupan negara), (5) keagamaan (untuk mengatur hubungan manusia dengan Tuhan), (6)

estetika dan rekreasi (untuk menyatakan rasa keindahan dan rekreasi) dan (7) somatik (jasmaniah

manusia). Lihat Koentjaraningrat, 1986. Pengantar Antropologi. Jakarta, Aksara Baru.

35 Sediono M.P Tjondronegoro, “Gejala Organisasi dan Pembangunan Berencana Dalam

Masyarakat Pedesaan di Jawa.” Dalam Koentjaraningrat (penyunting), 1984. Masalah-Masalah

Pembangunan Bunga Rampai Antropologi Terapan. Jakarta LP3ES, p.220.

Page 31: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

15

dikemukakan oleh Uphoff (1986). Ia mengidentifiksi kelembagaan secara hirakis

dan vertikal: kelembagaan mikro, meso dan kelembagaan makro. Kelembagaan

mikro atau kelembagaan lokal, adalah kelembagaan yang hidup dinamis dalam

komunitas/masyarakat, baik publik, partisipatori maupun swasta. Dalam analisis

Uphoff, kelembagaan lokal jangkauannya mencakup administrasi pemerintahan

terkecil, seperti desa.36

Pada kelembagaan lokal yang bersifat publik,

jangkauannya mencakup administrasi dan pemerintahan lokal dengan perangkat

birokrasi yang terdapat di dalamnya. Pada kelembagaan lokal bersifat

partisipatori, meliputi lembaga-lembaga yang tumbuh dalam masyarakat yang

dibangun secara sukarela dan swadaya. Menurut Uphoff, kelembagaan lokal dapat

berupa kelembagaan bisnis yang terdapat dalam suatu wilayah seperti

kelembagaan pertanian, perdagangan, kerajinan, industri dan kelembgaan bisnis

lainnya yang berorientasi profit.

Kelembagaan lokal baik partisipatori, publik maupun bisnis, dinamika dan

kompleksitasnya dipengaruhi oleh kemampuan dan fungsinya dalam pemenuhan

kebutuhan sosial dan ekonomi komunitas. Sepanjang kelembagaan lokal tersebut

memiliki kapasitas dan adaptabilitas untuk memenuhi kebutuhan sosial dan

ekonomi komunitas, eksistensinya akan terjaga dan terpelihara dengan baik.

Tetapi bila kapasitas dan adaptabilitas melemah dan disfungsional, kelembagaan

lokal tersebut hanya akan menjadi artefak sejarah. Salah salah kelembagaan lokal

yang bersifat parsipatori dan persisten dalam kehidupan komunitas pedesaan

adalah kelembagaan tata kelola sumberdaya agraria. Kelembagaan jenis ini

ditemukan pada berbagai komunitas dan entitas di Indonesia.

Merujuk pada Schmidt, (1987)37

, persistensi kelembagaan parsipatori ini

disebabkan memiliki yurisdiksi, representasi dan mengatur hak kepemilikan

36 Lihat Uphoff, Norman, 1986. Local Institutional Development: An Analytical Sourcebook With

Cases. Conecticut, Kumarian Press. p.130

37 Yurisdiksi merujuk pada adanya batas wilayah kekuasaan atau batas otoritas yang dimiliki oleh

suatu kelembagaan, mengatur siapa dan apa saja yang boleh dilakukan oleh anggota dalam suatu

komunitas. Hak kepemilikan merupakan bagian integral dari kelembagaan, bentuknya dapat

berupa hukum formal atau yang diatur dalam tradisi atau adat kebiasaan dalam suatu masyarakat.

Aturan representasi mengatur siapa yang berhak berpartisipasi dalam proses pengambilan

keputusan. Keputusan apa yang diambil dan apa akibatnya terhadap performa akan ditentukan oleh

kaidah representasi yang digunakan dalam proses pengambilan keputusan. Partisipasi warga

ditentukan oleh hasil kesepakatan karena partisipasi sering berimplikasi pengorbanan atau adanya

Page 32: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

16

sumberdaya. Perangkat aturannya mengatur hak, kewajiban dan tanggung jawab

bagi anggotanya dan menyediakan jaminan sosial, kepercayaan dan perlindungan

ekonomi (aturan main dan ”kepastian” tentang siapa memperoleh apa dan berapa

banyak). Kelembagaan jenis ini secara sosiologis berpotensi menurunkan derajat

ketidakpastian dalam kehidupan masyarakat. Dalam analisis Berkes (1989)38

hal

ini disebabkan pada kelembagaan kategori ini bersifat praktis, menghargai

kolektivitas dan resiprositas sesuai ruang spasial dan kulturalnya. Kelembagaan

lokal ketegori ini tercakup dalam kelembagaan buyut, pipeling dan liliuran

sebelum meluasnya kapitalisasi sumberdaya pada komunitas petani di hulu DAS

Cidanau.

Dalam perspektif sosiologi, kelembagaan yang hidup dalam suatu

komunitas dapat dianalisis dalam dua perspektif. Perspektif pertama kelembagaan

sebagai nilai, norma, aturan perilaku dan aturan main, dan perspektif kedua

kelembagaan sebagai institusi/organisasi atau struktur. Pandangan yang

menempatkan kelembagaan sebagai nilai, norma, aturan perilaku dan aturan main

terangkum dalam fakta sosial yang dikemukakan oleh Emile Durkheim39

atau

tindakan subjektif penuh arti (verstehen) yang dikemukakan oleh Max Weber.40

Kelembagaan sebagai nilai, norma, aturan perilaku dan aturan main,

menurut Giddens (Scot, 2008) memberikan kedamaian bagi kehidupan sosial dan

dukungan pada sistem sosial.41

Dalam analisis Scott (1989) keberadaan

ongkos yang dikeluarkan. Lihat Schmidt, A. 1987. Property, Power, and an Inquiry Into Law and

Economic. New York Praeger.

38 Fikret Berkes, C. Folke and J. Colding, eds, 1998. Linking Social and Ecological Systems:

Management Practices and Social Mechanisms for Building Resilience. Cambridge: Cambridge

University Press.

39 Durkheim membedakan fakta sosial atas material (dapat disimak, ditangkap dan diobservasi)

dan non material (fenomena inter subjektif dari kesadaran manusia). Fakta sosial material dan non

material bersifat nyata dan eksternal. Fakta sosial antara lain kesadaran, sistem sosial, kesatuan

masyarakat, nilai, keluarga, dan perusahaan dan pemerintahan. Emile, Durkheim, 1964. The Rule

of Sociological Method. New York: The Free Press.

40 Inti pemikiran Weber adalah tindakan sosial penuh arti, hanya individu yang riil secara objektif

yang berarti, masyarakat hanyalah satu nama menunjuk pada sekumpulan individu. Menurut

Weber tindakan sosial adalah tindakan individu sepanjang tindakannya mempunyai arti subjektif

bagi dirinya dan diarahkan pada orang lain dan untuk memahaminya perlu empati dan pemahaman

(verstehen). Lihat Max Weber, 1964. The Theory of Social and Economic Organization. New

York: The Free Press.p.88

41Lihat Richard, W. Scot, 2008, Institutions and Organizations, Idea and Interest. Los Angeles:

Sage Publications. p.48-587.

Page 33: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

17

kelembagaan komunitas di pedesaan pra kapitalis berfungsi sebagai “asuransi

terselubung” dan “energi sosial” dalam mengatasi masalah-masalah kehidupan.

Sehingga ketika kedua fungsi itu memudar akibat penetrasi kekuatan ekonomi

kapitalis menimbulkan ketegangan sosial dan pemberontakan di pedesaan.42

Kelembagaan sebagai institusi/organisasi telah mendapat perhatian dari

Durkheim dan Weber. Analis Durkheim tentang organisasi dijelaskan dalam

pembagian kerja, solidaritas organis dan solidaritas mekanis.43

Analisis Weber

tentang organisasi diuraikan dalam birokrasi modern berciri otoritas legal/rasional,

regulatif, memiliki struktur formal dan aturan main yang diatur secara legal. 44

Peran kelembagaan lokal baik sebagai nilai, norma, aturan perilaku dan

aturan main atau sebagai institusi, eksistensinya dipengaruhi oleh pengetahuan,

pengalaman dan budaya komunitas, fungsionalitas dan intensitas interaksinya

dengan supralokal. Kelembagaan komunitas kehadirannya didorong oleh adanya

kebutuhan bersama dari anggota untuk menciptakan ketertiban, keamanan dan

keberlanjutan sumberdaya ataupun kesejahteraan. Dalam hal ini kelembagaan

lokal merupakan upaya pemenuhan kebutuhan bersama yang dilembagakan.

Karena keberadaannya didasarkan pada kebutuhan bersama, maka kelembagaan

komunitas muncul dan tenggelam seiring dengan kebutuhan dan dinamika

masyarakatnya.45

Kelembagaan komunitas akan tetap eksis jika dirasakan

fungsional oleh masyarakatnya, dan akan ditinggalkan jika dirasakan sudah

disfunction.46

Kelembagaan lokal yang hidup dalam komunitas dapat berupa

kelembagaan tradisional/adat dan kelembagaan bukan tradisional. Kelembagaan

42Scott, James, 1989. Moral Ekonomi Petani: Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara.

Jakarta, LP3ES.

43 Lihat Emile, Durkheim,1967. The Division of Labor in Society. The Free Press, p.79,172. 44

Lihat Max Weber, 1964. The Theory of Social and Economic Organization. New York: The Free

Press Press, p,328,358.

45Berkaitan dengan fungsi kelembagaan, Soekanto mengidentifikasinya atas empat hal, yaitu (1)

memenuhi kebutuhan pokok manusia, (2) memberi pedoman pada anggota masyarakat bagaimana

mereka bersikap dan bertingkah laku dalam menghadapi masalah-masalah dalam masyarakat,

terutama yang menyangkut pemenuhan kebutuhan-kebutuhan manusia, (3) menjaga keutuhan

masyarakat, dan (4) memberi pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan kontrol sosial.

Soerjono, Soekanto. 1990. Sosiologi, Suatu Pengantar. Jakarta, Rajawali.

46 Lihat Masyhuri Imron, Peran Pemerintah Dalam Pengembangan Kelembagaan Masyarakat

Nelayan” Makalah disampaikan Dalam Seminar Peningkatan Kapasitas Kelembagaan

Masyarakat Nelayan”, Bappenas, 21 April 2009.

Page 34: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

18

tradisional dibentuk dan dipraktikkan secara turun-temurun oleh masyarakat yang

bersangkutan. Sedangkan kelembagaan bukan tradisional bentuknya mungkin

tradisional (belum memiliki struktur kepengurusan seperti kelembagaan modern),

tetapi merupakan bentukan generasi baru (bukan turun-temurun) atau hasil

bentukan (intervensi) dari luar komunitas, seperti KUB (Kelompok Usaha

Bersama), Kelompok Tani Hutan, Lembaga Masyarakat Desa Hutan dan

sejenisnya.

Struktur kelembagaan lokal tidak selalu formal, tetapi nilai dan aturan

mainnya tersosialisasikan secara melembaga, sehingga kelembagaan lokal

terinternalisasikan secara terus-menerus. Internalisasi kelembagaan lokal dalam

suatu komunitas berkaitan dengan pengetahuan/kearifan lokalnya. Kearifan lokal

merupakan totalitas pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki komunitas dalam

wilayah geografis tertentu yang memungkinkan mereka menjangkau dan menata

lingkungan alamiahnya. Pengetahuan dan keterampilan komunitas bersumber dari

pengalaman trial and error dan berasal dari proses adaptasi dan akomodasi

terhadap keadaan dan lingkungan yang senantiasa berubah.

Pengetahuan lokal yang hidup dalam suatu komunitas merupakan

implikasi dari keterlibatannya dengan tradisi, praktik tata kelola sumberdaya dan

lingkungan. Dalam istilah Geertz pengetahuan lokal berakar pada pengalaman dan

ruang spasial.47

Meskipun demikian, pengetahuan lokal bukan merupakan suatu

kategori pengetahuan yang bersifat distingtif dan terpisah, murni yang diwariskan,

dipelajari dan dilestarikan secara apa adanya.48

Sebaliknya pengetahuan lokal

dikonstruksi oleh para partisipan dan pelakunya melalui uji coba, praksis dan

wacana secara terus menerus. Karena sifat dasar dari setiap bentuk pengetahuan

manapun termasuk pengetahuan lokal selalu kontekstual dan menyerap unsur-

47 Kajian antropologis tentang proses pembentukan pengetahuan lokal diulas oleh Geertz. Lihat

Clifford Geertz. 2003. Pengetahuan Lokal: Esai-Esai Lanjutan Antropologi Interpretatif.

Yogyakarta: 253-267.

48 Pengetahuan lokal bersifat kategoris dan distingtif dikemukakan kaum positvis/modernis karena

landasan metodologis/epistemologis pengetahuan lokal dan pengetahuan modern berlainan di

dalam menangkap realitas. Pengetahuan sains bersifat terbuka, sistematis, objektif, analitis dan

dikembangkan melalui capaian-capaian rigorus terdahulu, sedangkan indigenous knowledge dinilai

tertutup, non-sistematis, holistis ketimbang analitis dan dikembangkan atas dasar pengalaman dan

bukan berdasar logika deduktif. Lihat Agrawal, A. ‘Indigenous and Scientific Knowledge: Some

Critical Comments”, Indigenous Knowledge and Development Monitor 3(3), 1995

Page 35: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

19

unsur yang berlainan.49

Gambaran bahwa pengetahuan lokal bersifat orisinal dan

statis merupakan konstruksi “the other”. Karakteristik dari pengetahuan lokal

seperti ini ditemukan dan dialami oleh berbagai entitas.

Dalam kajian Nygren terhadap komunitas lokal di Rio San Juan, salah satu

“the other” yang menempatkan pengetahuan lokal bersifat distingtif adalah

petugas/ agensi konservasi.50

Mereka memandang kelembagaan lokal sebagai

“ignorant” dan kendala pembangunan, dipersepsi terbelakang dan terasing.

Karena itu agensi konservasi berpendapat, negara dan agensi pembangunan

berkewajiban untuk menolong dan membawanya menuju kebudayaan modern dan

global. Prejudice tersebut menyebabkan benturan antara otoritas konservasi

dengan komunitas lokal di kawasan penyangga hutan lindung. Para petugas

konservasi memandang bahwa komunitas lokal hidup dalam suatu habitat tropis

yang kaya, namun mereka tidak menyadari keanekaragaman hayatinya dan tidak

tahu bagaimana cara memeliharanya. Agensi konservasi memandang dirinya

sebagai aktor yang memiliki kapasitas untuk melakukan konservasi atas kekayaan

ekologis hutan tropis.

Perbedaan pengetahuan dan kelembagaan dalam merawat hutan tropis,

selanjutnya dijadikan alasan untuk memperkuat hak-hak pemegang otoritas

konservasi untuk mengontrol sumberdaya alam dan komunitas lokal. Mereka

menganggap komunitas lokal memerlukan bimbingan dan pencerahan agar

mencapai kesadaran lingkungan yang modern.51

Kalaupun terdapat penghargaan

terhadap kelembagaan lokal terbatas pada upaya memperkaya diskursif bukan

sebagai basis diskursif dan praksis tata kelola hutan tropis dan lingkungannya.52

49 Sillitoe, Paul, “The Development of Indigenous Knowledge: A New Applied Anthropology”

Current Anthropology, Vol. 39, No. 2, 1998. 50

Nygren, 1999. “Indigenous Knowledge in Environment Development Discourse: From

Dichotomies to Situated Knowledge” dalam Crtique of Antropology Vol. 19 No. 3 Th 1999

51 Pemahaman demikian dikemukakan oleh konservasionis. Sebaliknya eko-populis memandang

masyarakat adat/lokal memiliki kemampuan untuk melakukan konservasi lebih baik dan pengawal

kelestarian sumberdaya. Lihat Wittemer, Heidi dan Regina Bitmer, 2005. Between

Conservationsm, Eco-Populisme and Developmentalism: Discurse in Biodiversity Policy in

Thailand and Indonesia. CAPRI Working paper No. 37. Washington DC, International Food

Policy Research Institute.

52 Eko populis memandang kelembagaan lokal sebagai gudang kesadaran refleksif, mitos- pada

komunitas lokal sebagai sikap hormat terhadap alam (repect for nature), mengandung moral

responsibility for nature, solidaritas kosmis, kasih sayang dan kepedulian terhadap alam, no harm,

Page 36: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

20

Pandangan agensi kehutanan dan konservasi tentang kelembagaan lokal di

Rio San Juan Brazil yang dikemukakan Nygren, ternyata terjadi dan dialami oleh

komunitas sekitar hutan di Indonesia, seperti Komunitas Dayak Kanarakan di

Kalimantan, komunitas Kulawi di Bolapapu, Sulawesi Tengah dan komunitas

Naulu di Seram Tengah Maluku. Pandangan pemangku otoritas atau “the other”

terhadap komunitas lokal yang cenderung bersifat prejudice merupakan

”pembungkus” dalam proses ”teritorialisasi” karena sering berujung pada

penguasaan sumberdaya dan peluruhan kelembagaan komunitas.

Pada Komunitas Dayak Kanarakan di Kalimantan Tengah, penetrasi supra

lokal melalui industrialisasi kehutanan menyebabkan anomali, degradasi dan

bersitegangnya posisi asosiasi-asosiasi tradisional ke aras bawah komunitas,

resiprositas dan kerjasama balas-membalas yang sebelumnya berskala luas

bergeser ke dalam jaringan primordial.53

Pada komunitas Kulawi, penetrasi

kelembagaan supra lokal telah menyebabkan terkooptasinya kelembagaan

tradisional totua ngata dan mendorong terjadinya pertarungan antar kelompok

sosial yakni Totua Ngata dengan Ngato Toro. 54

Pada komunitas Naulu di Seram

Tengah, kehadiran perusahaan kehutanan yang mengeksploitasi hutan

menimbulkan kerusakan ekosistem hutan dan ketidakpastian kehidupan. Karena

pengusahaan hutan yang dilakukan oleh pemilik modal di wilayah suku Naulu

mengakibatkan kerusakan eksosistem hutan, hilangnya binatang buruan dan ikan

di sungai, kesulitan suku Naulu mendapatkan makanan, deforestasi dan degradasi

hutan.55

Kapitalisasi sumberdaya hutan yang berujung pada marginalisasi

kelembagaan lokal bukan hanya terjadi pada komunitas Dayak Kanarakan,

berkeadilan, demokrasi, dan integritas moral. Bryant, Raymond L., “Power, Knowlwdge and

Political Ecology in the Third World: A Review,” Progress in Geography, 22 (1),p. 998. 53

Lihat Siregar, Budi Baik, 2004. “Modal Sosial Komunitas Perladangan (Kasus Komunitas

Kanarakan, Kecamatan Bukit Batum Kota Palangkaraya, Propinsi Kalimantan Tengah”. Thesis,

Pascasarjana IPB

54 Lihat Hunawu, Momy, 2004. “Pengelolaan Sumberdaya Hutan Berkelanjutan: Terjadinya

Pertarungan Pengetahuan Antar Pemimpin Lokal (Studi Kasus Kepemimpinan Lokal Pada

Komunitas Kulawi di Desa Bolapapu, Sulawe Tengah”. Thesis, IPB.

55Roy Ellen, 2002. “Pengetahuan tentang Hutan, Transformasi Hutan: Ketidakpastian Politik,

Sejarah Ekologi dan Renegosiasi Terhadap Alam di Seram Tengah,” dalam Tania Murray Li

(peny.), 2002. Proses Transformasi Daerah Pedalaman di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor

Indonesia.

Page 37: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

21

komunitas Kulawi dan komunitas Naulu, tetapi juga dialami oleh komunitas

petani hutan di hulu DAS Cidanau Kabupaten Serang. Mistifikasi pembangunan

ekonomi dan menguatnya kontestasi sektoral, mengakibatkan peluruhan

kelembagaan buyut, pipeling, liliuran, tanah kajaroan dan tanah kaguronan

yang merupakan keunikan di kawasan hulu DAS Cidanau.

2.2. Kontestasi Sektoral dan Lokal Supralokal

Ostrom dan Gardner, (1994) mengklasifikasikan sumberdaya agraria atas

private goods, club goods, quasi public goods dan pure public goods. Klasifikasi

Ostrom dan Gardner didasarkan atas rivalitas dan excludabilitas sumberdaya dan

manfaat yang dihasilkannya.56

Keempat tipe kepemilikan sumberdaya merupakan

pilihan bentuk hak-hak, lazimnya disebut rejim hak milik (regimes of rights). Dari

empat rejim hak milik tersebut dapat dikelompokkan atas tiga kelompok (1) rezim

hak (state property), (2) rezim hak masyarakat atau komunitas (common property)

(3) rezim hak individu (private property). Rejim hak merupakan alat untuk

mengendalikan penggunaan sumberdaya agraria dan menentukan hubungan sosial

antara kelompok.57

Rezim hak merupakan manifestasi dan representasi dari

ideologi yang dianutnya: liberal, neo liberal, atau sosialis/populis.

Rezim hak sumberdaya yang dikuasai negara (state property) dan dikuasai

komunitas (common property) merupakan representasi dari ideologi sosialis atau

populis; sedangkan rejim hak milik sumberdaya yang dikuasai individu (private

property) atau swasta adalah representasi dari ideologi liberal atau neo liberal.58

56Rivalitas sumberdaya, terjadi bila sumberdaya yang dimanfaatkan seseorang mengurangi jumlah

yang tersedia bagi orang lain baik pada sumberdaya yang dikategorikan private goods maupun

common pool goods. Sebaliknya bila dimanfaatkan seseorang tetapi tidak mengurangi jumlah bagi

orang lain, diklasifikasikan club goods dan public goods. Excludabilitas terjadi bila pengguna

sumberdaya dapat dipisahkan satu dari yang lain baik pada sumberdaya yang dikategorikan private

goods maupun club goods. Sebaliknya bila penggunanya tidak dapat dipisahkan satu dari lainnya

diklasifikasikan common pool goods atau public goods. Pemanfaatan sumberdaya common pool

goods, public goods (hutan, sungai, pantai, laut dan padang gembala) dan open acces

menimbulkan tampilnya penunggang gratis (free riders). Lihat Ostrom E, Gardner, R and

Walker,J, 1994. Rules, Games and Common Pool Resources. University of Michigan Press, Ann

Arbor, MI.

57 Hanna, Susan, Carl Folke, Karl, Goran Maler, 1996. Property Right and Natural Environment

dalam Right to Nature: Ecological, Economic, Cultural and Political Principles of Institutions for

Environment, Stockholm (Sweden): Island Press.

58Jones (1999) mengidentifikasi lima perspektif atau ideologi tata kelola sumberdaya: yaitu (1)

Neo-Malthusian, (2) Paternalis/Technocratik, (3) Populis, (4) Neo Marxis/Dependensi, (5) Neo

Page 38: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

22

Antara kedua rezim hak terdapat perbedaan krusial dan memiliki implikasi yang

luas terhadap pola penguasaan dan akses masyarakat terhadap sumberdaya.

Perbedaan kedua rezim hak mencakup: derajat kesetaraan, institusi pengendali,

pelaku produksi, moral justification, tujuan/orientasi ekonomi, pola hubungan,

peluang terjadi kemiskinan, ketimpangan dan kerusakan alam.

Dalam negara yang menganut rezim hak sosialis, negara memonopoli

penguasaan dan pengaturan sumberdaya. Pendiri republik merumuskan

sumberdaya agraria “dikuasai negara” untuk sebesar-besarnya kesejahteraan

rakyat. Rumusan ini didasarkan pemahaman historis dan sosiologis pengelolaan

sumberdaya oleh berbagai komunitas di wilayah nusantara dan suasana kebatinan

penyelenggaraan pemerintahan yang akan mereka laksanakan. Pendiri republik

memahami bahwa pengelolaan sumberdaya agraria oleh negara dan masyarakat,

tujuan akhirnya sama, yakni terwujudnya kesejahteraan rakyat. Rumusan itu

didukung oleh suasana kebatinan dan pemahaman ideal tentang kinerja birokrasi

yang efisien seperti dikemukakan oleh Max Weber.59

Negara merupakan

instrumen, fasilitator, regulator dan mediator yang netral, berdiri di atas berbagai

kepentingan golongan, partai dan kelompok dalam upaya mewujudkan

kesejahteraan masyarakat.

Pemahaman atas kondisi sosiologis historis bangsa dan birokrasi yang

ideal dari pendiri republik itu, dalam empat dekade terakhir mengalami deviasi,

kontradiktif dan bahkan kontraprodukitf. Deviasi dari semangat pendiri republik,

paling tidak dapat diidentifikasi dalam dua hal. Pertama arah kebijakan dan politik

agraria berorientasi kapitalis, kedua pendekatan yang digunakan dalam tata kelola

sumberdaya bersifat sektoral. Amanat konstitusi yang menyatakan pengelolaan

tanah dan air untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat dan semangat

Liberal. Kelima persepektif menjadi bahan perdebatan yang signifikan karena sebagian besar

sumberdaya di berbagai belahan dunia kondisinya semakin kritis. Lihat Jones, S. 1999. From Meta

Narratives to Flexible Framwork: An Actor Analysis of Land Degradtionin Higland Tanzania. P.

211-219. Global Environmental Vol 9.

59Weber memandang birokrasi sebagai organisasi yang tepat dan ideal untuk masyarakat modern.

Ciri-ciri birokrasi ideal yang dikemukakan Weber adalah: (1) struktur hirarkis dan pendelegasian

wewenang dari atas ke bawah dalam organisasi (2) posisi-posisi/jabatan masing-masing memiliki

tugas dan tanggungjawab yang tegas (3) aturan, standar formal yang mengatur bekerjanya

organisasi dan tingkah laku para anggota, (4) personil yang secara teknis memenuhi syarat yang

dipekerjakan atas dasar karir dan promosi berdasarkan kualifikasi kinerja. Lihat Weber, 1968.

Economy and Society on Outline of Interpretative Sociology. New York, Bedminster Press.

Page 39: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

23

“populisme” yang terkandung dalam Undang–Undang Pokok Agraria, dewasa ini

menjadi “vehicle to get power” dari penyelenggara negara dan kelompok kecil

pengusaha. Sementara itu pendekatan dan kelembagaan tata kelola sumberdaya

bersifat sektoral, tidak sineregis dan tidak terkoordinasi secara baik.

Arah orientasi politik sumberdaya agraria kapitalis dan sektoral, tercermin

dalam sejumlah peraturan perundangan dan praktik penyelengaraan pemerintahan

rezim Orde Baru dan rezim penggantinya.60

Berbagai regulasi kebijakan

pengelolaan dan pemanfataan sumberdaya cenderung memfasilitasi dan membuka

akses kepada pemilik modal untuk menguasai sumberdaya melalui “mekanisme

pasar”: supply and demand. Dalam kondisi penyelenggaraan negara bersifat

transaksional, maka mekanisme pasar dan menguatnya kontestasi sektoral

pengelolaan sumberdaya agraria berpotensi menyuburkan pelaku usaha oportunis.

Pemilik modal, pengusaha yang memiliki jaringan pertemanan dan akses terhadap

kekuasaan, berpeluang memonopoli sumberdaya agraria (hutan dan

pertambangan) secara berlebihan, menimbulkan ketimpangan struktural

penguasaan/pemilikan sumberdaya. Sejumlah kecil pelaku usaha yang memiliki

akses terhadap kekuasaan, menguasai sumberdaya hutan yang berlimpah untuk

mengakumulasi modalnya, sementara sebagian besar masyarakat yang hidupnya

tergantung pada sumberdaya hutan, berkeluh keringat dan mencucurkan darah

memperebutkan setapak tanah untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya.

2.2.1. Kontestasi Sektoral

Kerangka politik pengelolaan sumberdaya agraria, idealnya berlandaskan

karakteristik sumberdaya dan landasan konstitusional. Pengelolaan sumberdaya

secara sektoral apalagi diserahkan pada mekanisme pasar, selain bertentangan

dengan landasan konstitusi, juga kontradiktif dan kontraproduktif dengan sifat

dari sumberdaya itu sendiri. Sifat sumberdaya agraria dapat dibedakan sebagai

60 Di era reformasi lahir TAP MPR No.IX/2001 tentang Pembahruan Agraria dan Pengelolaan

Sumberdaya Alam, tapi perundang-undangan sesudahnya berpihak dan melayani kepentingan

pasar nasional dan global daripada kesejahteraan rakyat. Misalnya UU No. 7/2004 Tentang

Sumber Daya Air; Perpu No.1/ 2004 tentang Perubahan Undang-Undang No. 41/1999 tentang

Kehutanan; UU No.25/2007 tentang Penanaman Modal, UU No. 27/2007 tentang Pengelolaan

Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan UU No. 4/2009 tentang Pertambangan dan Mineral.

Page 40: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

24

sistem daya dukung kehidupan, stock atau modal alam dan sebagai komoditi

ekonomi.61

Sumberdaya alam dalam bentuk stock menghasilkan sejumlah kegunaan

yang dapat dirasa dan dilihat, seperti menyimpan air dan mencegah banjir di

musim hujan, mengendalikan kekeringan di musim kemarau, menyerap CO2 di

udara, mempertahankan kesuburan tanah, mengurai berbagai bahan beracun, dan

sebagai sumber pengetahuan serta hubungan sosial dan budaya komunitas. Fungsi

sumberdaya alam dalam bentuk stock merupakan barang publik, sehingga tidak

dapat dimiliki secara perorangan, meskipun setiap orang memerlukannya. Sebagai

komoditi, sumberdaya dapat dimanfaatkan untuk mendukung kehidupan manusia,

sepanjang pemanfaatannya memperhatikan daya dukung alamiahnya. Kedua

fungsi sumberdaya tersebut saling terkait erat dan tak dapat dibagi-bagikan,

berdasarkan wilayah administrasi kekuasaan/pemerintahan. Sumberdaya sebagai

sistem daya dukung kehidupan misalnya bentang alam DAS, pengelolaannya

tidak dapat disekat berdasarkan wilayah administrasi pemerintahan.

Menurut Hariadi, (2006) upaya melestarikan kedua fungsi sumberdaya

ditentukan oleh kelembagaan tata kelola dan sifat sumberdaya, karena

sumberdaya mempunyai keterbatasan daya dukung untuk menghasilkan komoditi

dan fungsinya secara berkelanjutan. Setiap jenis komoditi yang diambil dari

sumberdaya berupa stock, akan mempengaruhi produktifitas jenis komoditi lain

dan fungsi sumberdaya alam secara keseluruhan, seperti ketersediaan air dalam

DAS atau bioregion lainnya. Karakteristik DAS, seharusnya menjadi dasar

perumusan pembuatan undang-undang, peraturan pemerintah dan peraturan

daerah, yang menjamin keberlanjutan sumberdaya dan sekaligus memberi

kesempatan kepada masyarakat terlibat.

Kondisi ini tidak dipahami sepenuhnya oleh pembuat kebijakan. Regulasi

yang dirumuskan oleh pemangku otoritas lebih mengutamakan kepentingan fungsi

sumberdaya sebagai komoditi dari fungsinya sebagai daya dukung kehidupan.

Arus utama pengelolaan sumberdaya yang berorientasi pada produksi komoditi

61 Klasifikasi sumberdaya sebagai stock atau modal alam (hutan dan daerah aliran sungai) dan

sebagai aset ekonomi atau barang/komoditi (tanah dan barang yang ada di bawah dan di atas

tanah), Lihat Hariadi Kartodiharjo dan Hira Jhamtani, 2006. Politik Lingkungan dan Kekuasaan Di

Indonesia. Jakarta: Equinox Publisihing, p.55-56.

Page 41: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

25

dan pertumbuhan ekonomi, mendorong komoditifikasi sumberdaya dan

pengelolaan sumberdaya secara transaksional dalam rangka memburu rente

ekonomi dan vehicle to get power” penyelenggara negara dan kelompok kecil

pengusaha.

Pendekatan tata kelola sumberdaya secara demikian mengakibatkan

berbagai peraturan perundang-undangan dan kebijakan pendukungnya yang

mengatur tata kelola sumberdaya, cenderung kontradiktif dan kontraproduktif dari

upaya mewujudkan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat. Gambaran

kontradiktif dan kontraproduktif dari sejumlah peraturan perundang-undangan

tersebut disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Pengelolaan SDA Menurut 5 UU dan Potensi Masalahnya

Undang

Undang

Pengaturan dan Usaha Potensi Masalah &

Dampaknya Lingkup Tata Kelola Sumberdaya Lingkup Pemanfaatan

Lingkup

SDA

Organisasi

Pengelola

Perencanaan Obyek/

Komoditi

Tata Kelola

dan Izin

No.41/’99

Kehutanan

DAS,Hutan

&Hsl Hutan

Balai dan

Pengelola

Wilayah

Pengelolaan

Hutan

Pembentukan

Wilayah

Pengelolaan

Hutan & Akti

vitas Pengelo

laan

Kayu, Non

Kayu&jasa

Lingkungan

Izin Usaha

Pemanfaatan

Pemungutan

dan & Izin

Pinjam Pakai

Izin dikeluarkan

meski perencanaan

tidak dilaksanakan.

(Secara nasional

mengukuhkan hutn

< 10% kwasan hutn

No. 7/’04

SD Air

Wil. Su-

ngai (Dpt

Lebih dr 1

DAS&

Cekungan

Air Tanah

Dewan SDA

Air (Nas,

Prov dan

Kab./ Kota

Pola Pengelo-

laan wil. su-

ngai, Pengelo

laan SD air

&pendayagu

anaan sda Air

Air Penggunaan

peran serta,

pengemb, izin

pengusahaan

sda air

Izin dpt dikeluar-

kan meski belum

ada perencanaan.

Degradasi dan

komersialisasi air

No. 31/’04

Perikanan

Perairan

ZEE danau

Waduk su

ngai Rawa

dan Ikan

Pengawas

Perikanan

Renc.Pengel.

Perikanan, Po

tensi&Alokasi

SDA ikan &

Jum Tangkp

&alat tangkap

Ikan Izin Penang-

kapan Ikan &

Izin Kapl

Pengangkut

ikan

Tak disebutkan dgn

jelas, Izin dpt dibe-

rikan tanpa diketa

tahui daya dukung

sda perikannan. Eks

ploitasi & konflik

No.5/1990

Konserv.

SDA

Hayati dan

Ekosistem

Wil. Sbg

sistem per

lindungan

penyangga

kehidupan

Lembaga-

Lembaga

Pengelola

Kawasan

Konservasi

Pembentukan

Wil. Pola dsr,

Pengaturan &

Pemanfaatan

Konservasi

Kondisi

Lingkungan,

Tumbuhan

dan Satwa

Liar

Tidak

Menetapkan

perizinan

Konservasi

mengabaikan

komunitas lokal

No 22/’01

Minyak

dan Gas

Bumi

Minyak dan

Gas Bumi

sbg

komoditi

Badan

Pelaksana

Pengatur

Wilayah Kerja

untuk Kegiat-

tan Hulu dan

Hilir

Minyak dan

Gas Bumi

Hulu: Kontrak

Kerjasama, Hi

lir: Perizinan

Wil. kerja hulu hilir

tak terkait. Harga

migas makin tinggi/

sulit dijangkau

Dari Tabel 1 diketahui bahwa undang-undang sektoral (pertambangan,

kehutanan, perikanan, minyak dan energi) satu sama lainnya tumpang tindih, tidak

adanya kordinasi antar sektor dan menimbulkan sejumlah masalah dalam hal

perizinan, pemanfaatan, pengelolaan dan kelembagaannya. Arus utama dari

Page 42: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

26

regulasi dan tata kelola sumberdaya diarah orientasikan untuk menyokong

pertumbuhan ekonomi dan menempatkannya sebagai komoditas semata-mata.

Arus utama dan pendekatan tata kelola sumberdaya secara demikian berimplikasi

cukup kompleks terhadap keberlanjutan sumberdaya maupun keberadaan

komunitas di sekitarnya.

Dari penelaahan terhadap lima peraturan perundangan di atas

diidentifikasi sejumlah implikasi negatif sebagai berikut:

1. Mendorong perubahan fungsi bentang alam yang luas untuk perkebunan,

pertambangan dan infrastruktur (jalan, bendungan), properti, pemukiman dan

kawasan industri.

2. Konsentrasi peruntukan lahan untuk sektor-sektor yang diunggulkan demi

mengejar target, meskipun yang menikmati dari pencapaian target segelintir

orang pemilik modal yang melakukan negoisasi secara transaksional.

3. Menyingkirkan kebutuhan lain seperti keberlanjutan tata air permukaan dan

bawah permukaan, keberlanjutan lahan untuk penyediaan pangan, serta

ketersediaan kawasan pemukiman yang sehat bagi warga miskin.

4. Peluruhan kelembagaan dan alienasi komunitas di wilayah yang menjadi

kawasan sektor-sektor unggulan.

5. Kelima meluasnya pengungsi ekologik di perkotaan dengan fasilitas pendukung

terbatas yang menimbulkan pertumbuhan kriminalitas, sektor informal,

kantung-kantung permukiman kumuh.

Kelima aspek tersebut menunjukkan bahwa kontestasi sektoral yang

menempatkan sektor tertentu sebagai sektor unggulan sulit untuk menselaraskan

pertumbuhan ekonomi dengan upaya mempertahankan ekosistem bentang alam

dan perbaikan kesejahteraan masyarakat. Menguatnya kontestasi dan ego sektoral

menyebabkan program pembangunan yang melibatkan berbagai sektor tidak

mencapai sasaran yang diharapkan. Misalnya program agropolitan yang dilakukan

Kementerian Pertanian dan Pekerjaan Umum. Kontestasi sektoral mengakibatkan

konversi lahan pertanian untuk kepentingan bukan pertanian (pemukiman,

perkantoran, wisata, restoran, hotel dan jalan tol) baik di Jawa maupun di luar

Jawa terus berlanjut dan sulit dikendalikan. Dampak dari tak terkendalinya

konversi lahan pertanian untuk kepentingan bukan pertanian mengakibatkan

Page 43: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

27

semakin sulitnya mencapai swa-sembada pangan dan tergusurnya petani dari

kawasan pertanian.

Dalam bidang pertambangan dan energi, kontestasi sektoral

menyebabkan rusaknya ekosistem hutan lindung sebagai akibat ekploitasi

pertambangan. Di sisi lain swa sembada energi semakin sulit dicapai dan harga

semakin tidak terjangkau oleh masyarakat lapisan bawah di pedesaan. Hal ini

disebabkan masing-masing instansi sektoral lebih mengutamakan pencapaian

program, produktivitas dan target sektoral, sementara aspek perlindungan dan

pelayanan publik cenderung diabaikan. Kondisi ini terjadi pada berbagai jenjang

kelembagaan pemerintahan (kementriaan, provinsi dan Kabupaten/Kota).

Otonomi daerah yang bertumpu pada pemerintah Kabupaten/Kota, bukan hanya

tidak mampu meredam ego sektoral, tetapi menumbuh-suburkan ego kedaerahan.

Ego kedaerahan tersebut ditunjukkan oleh perilaku dan tindakan Kepala Daerah

sebagai ”raja lokal”. Menguat ego kedaerahan mengakibatkan semakin sulitnya

koordinasi dan sinkroniasasi pembangunan antar daerah, termasuk antar

pemerintah kabupaten/kota yang berada di satu kawasan/ bentang DAS.

2.2.2. Kontestasi Lokal Supralokal

Visi dan misi pengelolaan sumberdaya yang dirumuskan oleh pendiri

republik untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat mengambarkan pemikiran

politik agraria populis. Pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya secara populis

diarahkan untuk mencapai keselarasan, ketentraman, terjaganya keberlanjutan dan

keseimbangan ekosistem. Politik agraria populis sangat kecil peluang terjadinya

ketimpangan dan kemiskinan dalam masyarakat, karena aktivitas tata kelola

sumberdaya diarahkan untuk kepentingan bersama dari pada kepentingan/

keuntungan individual.62

Tata kelola sumberdaya populis didukung oleh pengetahuan dan kearifan

lokal yang bersifat “mutable immobiles” (pengetahuan yang relatif lunak dan

selalu selaras dengan lingkungan lokal). Partisipan yang terlibat dalam tradisi dan

praktik tata kelola sumberdaya agraria berbasis komunitas memiliki pengalaman

62

Dewalt, Billie R. 1994. Using Indigenous Knowledge to Improve Agriculture and Natural

Resource Management. Human Organization, Vol. 53, No. 2.

Page 44: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

28

yang melimpah tentang ekologi lokal dan kaya dengan detail-detail teknis pada

ruang spasial komunitas menjalin interrelasinya. Sehingga komunitas yang terlibat

dalam tata kelola sumberdaya agraria berbasis kearifan lokal memiliki kesadaran

yang tinggi tentang keterkaitan ekologis antara manusia, fauna, flora dan tanah.

Atas dasar itu tata kelola sumberdaya agraria populis dinilai sebagai

kelembagaan yang efektif dan berkelanjutan.63

Karena praktik tata kelolanya

bersumber dari trust, menyediakan akses dan partisipasi komunitas lebih besar

daripada kelembagaan formal (state and private property). Meski tata kelola

sumberdaya agraria berbasis kelembagaan lokal lebih menjanjikan keberlanjutan

sumberdaya dan berkeadilan, sejauh ini tidak menjadi pilihan politik dan strategi

pembangunan sumberdaya agraria di Indonesia. Sebaliknya rezim hak

sumberdaya di Indonesia mengalami transformasi dari indigenous property dan

common property ke state dan private/business property. Proses transformasinya

berjalan seiring dengan proses transformasi politik dari sistem politik tradisional

menuju sistem politik demokrasi modern. Penguasaan sumberdaya agraria oleh

negara dan swasta dianggap sebagai syarat menuju masa depan negara yang lebih

modern dan demokratis. Pengarusutamaan state property dan private/business

property menyebabkan eksistensi dan posisi tata kelola berbasis kelembagaan

komunitas ditentukan oleh pemegang kekuasaan dan pemilik modal.64

Sejak rezim Orde Baru berkuasa, hegemoni dan dominasi state dan

private/business property mengalami transformasi menjadi kapitalis dan

perjalanan politik agraria Orde Baru merupakan panggung kapitalis. Orientasi

politik agraria kapitalis, terlihat dari sejumlah kebijakan dan regulasi yang

membuka pintu masuknya penanaman modal di Indonesia, baik PMDN maupun

PMA. Melalui UU PMDN dan PMA, pemerintah memberikan konsesi pada

pemilik modal untuk menguasai sumberdaya hutan dalam skala besar seperti

63Efektivitas dan keberlanjutan kelembagaan (intitutional sustainability) dapat dinilai berdasarkan

faktor partisipasi, keragaman, kompleksitas dan derajat kemerosotan kelembagaannya. Modal

sosial, kondisi aktor, ekologi dan struktur otoritas, merupakan variabel yang mempengaruhi

dinamika kelembagaan komunitas. Lihat Brinkerhoff, Derick W, and Arthur A. Goldsmith, 1992.

“Promoting the Sustainability of Development Institutions: A Framework for Strategy”, World

Development, Vol. 20.

64 Escobar (1999), mencatat relasi kekuasaan (power relations) tata kelola berbasis kelembagaan

lokal sering tidak seimbang, sehingga sering dimanfaatkan menjadi obyek kepentingan sosial dan

ekonomi supra lokal dan global. Escobar, Arturo, 1999. “After Nature: Steps to an Anti essentialist

Political Ecology” in Current Anthropology Volume 40 Number 1 Februari 1999.

Page 45: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

29

HPH, HTI, hak kuasa pertambangan. Dalam era reformasi dewasa ini, penguasaan

sumberdaya dalam skala besar ditunjukkan oleh pencanangan Merauke

Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) di Papua. Pencanangan (MIFEE)

yang mengintegrasikan produktivitas makanan dan energi dalam skala besar di

Papua mengingatkan kita pada program pembukaan sawah satu juta hektar di

lahan gambut di Kalimantan pada masa Orde Baru yang gagal.

Pencanangan Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE),

menunjukkan bahwa setelah reformasi, politik agraria berpihak kepada yang besar

dan pro bisnis terus menguat, dengan berbagai dalih (dalam rangka memacu

pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah). Di era

reformasi, proses liberalisasi dan komodifikasi, tidak terbatas pada sumberdaya

agraria tetapi juga menyentuh pada bidang usaha untuk kepentingan publik,

seperti privatisasi BULOG di bidang pangan, privatisasi PT. Krakatau Steel di

industri strategis, privatisasi Indosat di bidang telekomunikasi dan privatiasi

Garuda di bidang transportasi. Privatisasi pada dasarnya merupakan ”amputasi”

peran dan fungsi negara untuk kepentingan publik atau hajat orang banyak, seperti

terlihat dari amputasi peran dan fungsi BULOG sebagai stabilator harga dan

”penyangga” kebutuhan pokok masyarakat. Program privatisasi BUMN, seperti

Bulog, Krakatau Steel, Indosat dan Garuda merupakan langkah untuk

memuluskan jalan masuknya pemilik modal dan perusahaan transnasional untuk

menguasai pelayanan publik dan industri-industri strategis di Indonesia.

Selain privatisasi bidang publik, sepak terjang politik agraria kapitalis di

era reformasi, dapat disimak dari Undang-Undang No. 41/1999 tentang

Kehutanan, Undang-Undang No. 7/2004 tentang Sumberdaya Air dan UU No

22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Semangat yang terkandung dalam

undang-undang tersebut menempatkan sumberdaya agraria sebagai komoditi.

Komoditifikasi sumberdaya agraria tercermin dari fasilitasi dan kemudahan yang

diberikan kepada pemilik modal, baik domestik maupun asing melalui pemberian

konsesi hutan dan hak kuasa pertambangan dan program privatisasi yang

berlangsung secara masif dan kolosal di berbagai wilayah Indonesia.

Sepanjang fasilitasi itu diberikan secara adil dan transparan serta ditujukan

untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat merupakan tugas pemerintah.

Page 46: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

30

Masalahnya berbagai program fasilitasi pemerintah kepada dunia bisnis dan

pemilik modal, tidak berkoeksistensi dengan kegiatan ekonomi masyarakat,

sebaliknya cenderung menegasikan aktivitas ekonomi komunitas. Sehingga

kebijakan konsesi dan transformasi penguasaan sumberdaya dari

indigenous/common property ke business property, menjadi presenden buruk,

mengancam keberlanjutan sumberdaya dan menurunnya kesejahteraan

masyarakat.

Argumentasi bahwa transformasi penguasaan sumberdaya dari indigenous/

common property ke state dan private property sebagai upaya meminimalkan free

rider dalam kenyataan empirik yang terjadi sebaliknya. Transformasi hak

kepemilikan menyebabkan meningkatnya biaya transaksi65

dan menambah

semaraknya semangat memburu rente ekonomi, merebaknya konflik agraria,66

dan

semakin termarginalkannya kehidupan komunitas di sekitar pertambangan,

perkebunan dan kawasan HTI dan HPH. Pemasukan pajak dan retribusi yang

diperoleh pemerintah dari pemberian konsensi kepada pemilik modal tidak

sebanding dengan kerusakan dan degradasi ekosistem hutan dan marginalisasi

komunitas. Dari segi ini dapat dikatakan pemerintah sebagai regulator, tidak

mampu membuat regulasi dan membangun kelembagaan politik tata kelola

sumberdaya yang adil untuk mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Negara sebagai protektor, tidak mampu melindungi sumberdaya ke arah

terjadinya Drama of The Commons67

yang berpotensi dan mengarah pada

”Indonesia Sebentar Lagi.”

65

Biaya transaksi adalah dana yang dikeluarkan untuk mendapatkan informasi tentang barang,

biaya koordinasi, pembuatan dan evaluasi kebijakan, biaya pembuatan dan pengawasan kontrak

yang dilakukan para pihak yang terlibat. Kinerja kelembagaan yang buruk diukur oleh biaya

transaksi yang tinggi, ketimpangan informasi dan meluasnya sikap oportunis dan free rider.

Menurut Poffenberger, kerangka kebijakan regulasi yang didesain pemerintah dalam tata kelola

sumberdaya agraria cenderung tidak mempertimbangkan kendala biaya transaksi. Lihat,

Pofenberger, Mark, 1990. “The Evolulution of Forest Management System in Southeast Asia” in M. Poffenberger, (ed), Keeper of The Forest: Land Management Alternatives in Southeast Asia.

Connecticut: Kumarian Press.

66 Merujuk pada Wiradi (2002) konflik agraria di sekitar hutan disebabkan oleh (1) ketimpangan

akses dan pengusaaan sumberdaya hutan, (2) ketimpangan peruntukan tanah dan (3) ketimpangan

persepsi dan konsepsi mengenai agraria. Wiradi, Gunawan, 2000. Reforma Agraria: Perjalanan

yang Belum Berakhir. Yogyakarta: Insist Press, KPA dan Pustaka Pelajar.

67 Laju kerusakan hutan Indonesia, 6 kali lapangan sepak bola per menit. Dari 673 bencana (banjir,

longsor dan kebakaran hutan) > 65% karena kesalahan kebijakan. Dari total kayu ditebang, 73%

diantaranya illegal dengan kerugian 30 triliun rupiah/tahun dgn total kayu tercuri 70 juta m3/tahun.

Page 47: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

31

2.3. Politik Agraria dan Peluruhan Kelembagaan Lokal

Soetiknyo (1990) merumuskan politik agraria sebagai bidang kebijakan

yang berfokus pada tiga hal: (1) hubungan antara manusia dengan tanah, (2)

manusia dari sudut politik, sosial, ekonomis, kulural dan mental, (3) alam dan

khususnya tanah. 68

Rumusan politik agraria yang dikemukakan Soektinyo oleh

Wiradi disebut sebagai strategi agraria, yakni suatu pendekatan dan pemahaman

berkaitan dengan penguasaan tanah, tenaga kerja, dan pengambilan keputusan

mengenai produksi, akumulasi dan investasi.69

Arah dan pelaksanaan politik agraria di Indonesia dapat dianalisis dari

pandangan Habermas tentang dua dimensi tindakan manusia, yaitu tindakan

teknis/kerja (terhadap obyek) dan tindakan komunikasi (tindakan sosial terhadap

subyek berdasarkan norma sosial).70

Tindakan teknis atau hubungan subyek

agraria dengan agraria cenderung searah, karena tindakan di dunia kerja

merupakan tindakan instrumental dan produktif, sedangkan tindakan komunikasi

untuk mencapai pemahaman dan saling memahami. Tindakan teknis untuk

memecahkan masalah ekonomi sedangkan tindakan komunikasi menjaga pranata

ssial.71

Perkiraan lain menyebutkan US$ 4 milyar/tahun. Dari 129 perusahaan kehutanan dengan total

hutang mencapai Rp 21,9 trilyun, 12 trilyun milik perusahaan pengolahan kayu tanpa HPH. Nilai

ekspor kehutanan tahun 2007 sekitar 1,25 juta dolar pertahun lebih rendah dari pemasukan negara

dari TKI yang mencapai 12 juta dollar/tahun. Luas kawasan yang masih tertutup pepohonan di

Jawa hanya 4 persen berfungsi sebagai wilayah tangkapan air pada daerah aliran sungai (DAS).

Sekitar 65 % (125 juta jiwa) penduduk Indonesia menetap di Pulau Jawa yang potensi airnya 4,5%

dari total potensi air di Indonesia. Lihat Chalid Muhammad, “Indonesia Sebentar Lagi” Makalah

Seminar, diselenggarakan oleh Forum Wacana Pascasarjana, IPB, 8 September 2007.

68 Ilmu politik agraria adalah bidang ilmu yang mengkaji tentang hubungan dengan tanah beserta

segala persoalan dan lembaga-lembaga masyarakat yang timbul karenanya yang bersifat politis,

ekonomi, sosial dan budaya. Iman Soetiknyo, 1990. Politik Agraria Nasional: Hubungan Manusia

Dengan Tanah yang Berdasarkan Pancasila. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

69 Gunawan Wiradi, 1991. “Reforma Agraria: Masalah dan Relevansinya dengan Pembangunan

Jangka Panjang: Suatu Pandangan ke Depan.” Sekretariat Bina Desa, 1991.

70 Konsep kerja (arbeit) Habermas merupakan kritik terhadap Karl Marx, karena merombak

struktur dengan revolusi/jalan sosialis terbukti gagal dan tidak relevan dengan late capitalis.

Habermas memandang perlu merubah paradigma emansipasi revolusioner berdasar paradigma

kerja dengan paradigma komunikasi untuk mencapai konsensus. Habermas, J. 1990. Ilmu dan

Teknologi Sebagai Ideologi. Jakarta: LP3ES, Hardiman F.B. 1990. Kritik Ideologi: Pertautan

Pengetahuan dan Kepentingan. Yogyakarta: Kanisius.

71 Dalam karyanya yang berjudul “The Communicative Action”, Habermas menyebut adanya

empat tuntutan (klaim) yang harus dipenuhi dalam komunikasi, yaitu: (1) Klaim kebenaran (truth),

Page 48: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

32

Merujuk pada pendapat Habermas, maka tindakan manusia dalam

keagrariaan juga mengandung dimensi kerja dan interaksi/komunikasi. Dengan

berfikir deduktif dirumuskan semacam proposisi.

(1) Setiap subyek agraria (masyarakat, pemerintah dan swasta) saling berinteraksi

dalam rangka penguasaan dan pemanfaatan sumberdaya agraria.

(2) Subjek agraria (masyarakat, pemerintah dan swasta) memiliki hubungan

teknis dengan objek agraria dalam bentuk pemanfaatan dan penguasaan objek

agraria untuk memenuhi kepentingan ekonomi dan sosial.

Berbeda dengan tindakan teknis yang dilakukan subyek agraria bersifat

searah, maka tindakan komunikasi bersifat dua arah, saling mempengaruhi.

Landasan terjadinya interaksi antar subyek agraria, karena masing-masing subyek

mempunyai hak keagrariaan. Hak penguasaan dan pemilikan agraria oleh subyek

agraria, lazimnya beragam sesuai dengan ruang spasial dan budayanya. 72

Hubungan sosial antar subyek agraria menghasilkan suatu tatanan sosial yang

disebut struktur sosial agraria. Proses interaksi antar subyek agraria yang memiliki

kesamaan cara kerja dalam satu kawasan mendorong terbentuknya komunitas.

Sebaliknya proses interaksi antar subyek agraria yang berbeda cara kerjanya

berpotensi menimbulkan konflik.

Konflik terjadi jika cara kerja suatu subyek agraria berakibat buruk

terhadap sumberdaya dan ekologi subyek agraria lain tanpa ada suatu konpensasi.

Seperti masuknya pemilik modal yang difasilitasi pemerintah melalui HPH dan

HTI yang mengeksploitasi sumberdaya hutan yang berakibat rusaknya ekosistem

hutan dan merugikan komunitas sekitar hutan/komunitas adat. Ekploitasi hutan

oleh pemegang HPH dan HTI bukan hanya mengakibatkan rusaknya sumberdaya

(2) Klaim ketepatan (rightness), (3) Klaim kejujuran (sincerity), (4) Klaim komprehensibilitas.

Lihat Habermas, J. 1990. Ilmu dan Teknologi Sebagai Ideologi. Jakarta: LP3ES.

72 Sistem pemilikan tanah dalam masyarakat pedesaan/sekitar hutan didasarkan atas okupasi

(natural acquisition) yang disebut John Locke, teori kerja. Hubungan agraria berawal dan

diperoleh dengan cara membuka hutan. Makin intens hubungannya dengan tanah makin kukuh

penguasaan dan pemilikan atas tanah. Penguasaan tanah de facto kemudian melahirkan hak

tenurial dan hak teritorialitas karena pemiliknya melakukan perubahan jenis tutupan vegetasi,

investasi tenaga, modal dan kontrol terhadap tanah. Locke John, 1988. Two Treatises of

Government. Cambridge: Cambridge University Press.

Page 49: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

33

hutan dan ekosistem hulu DAS, tetapi juga menimbulkan konflik agraria dan

peluruhan komunitas lokal/sekitar hutan.73

Hubungan teknis antar subjek agraria (masyarakat, pemerintah dan swasta)

dapat bervariasi, apakah ekstraktif, konservatif atau eksploitatif, tergantung pada

ideologi, teknologi dan rezim hak.74

Basis ideologi kapitalis, sosialis dan

populis,75

menentukan bentuk tata kelola sumberdaya agraria. Menurut ideologi

kapitalis, sarana produksi utama (tanah) dikuasai oleh individu-individu non

penggarap. Penggarap yang mengolah tanah adalah pekerja upahan atau “bebas”,

diupah oleh pemilik tanah. Hubungan antara penguasaan/pemilikan tanah dan

pekerjaan terpisah. Penggarap menjual tenaga yang dibeli dengan upah oleh

pemilik tanah. Kedudukan tenaga kerja dalam sistem kapitalis sebagai komoditi

dan tanggungjawab produksi, akumulasi dan investasi sepenuhnya di tangan

pemilik tanah.

Dalam sistem politik agraria sosialis, tanah dan sarana produksi dikuasi

oleh negara (melalui serikat pekerja). Tenaga kerja memperoleh imbalan dari hasil

kerjanya. Tanggung jawab produksi, akumulasi dan investasi berada di tangan

organisasi pekerja yang dikuasai negara. Dalam politik agraria neo/populis, satuan

usaha adalah usaha keluarga. Penguasaan tanah dan sarana produksi tersebar pada

mayoritas keluarga tani. Tenaga kerjanya adalah tenaga kerja keluarga dan

produksi secara keseluruhan merupakan pekerjaan keluarga tani walaupun

tanggungjawab atas akumulasi diatur oleh negara.

Berdasarkan karakteristik politik agraria di atas, maka semangat yang

terkandung dalam UU No. 5 tentang Pokok Agraria 1960 bersifat populis dan

73 Wiradi, menyatakan konflik agraria disebabkan (1) terjadinya imcompatibility (ketidakserasian

atau ketimpangan) dalam alokasi pengadaan tanah. Tanah-tanah pertanian tergusur sementara areal

perkebunan besar justru bertambah. (2) ketimpangan yang parah dalam hal sebaran penguasaan

tanah di sektor pangan. Lihat Gunawan Wiradi, 2001. ”Reforma Agraria Tuntutan Bagi

Pemenuhan Hak-Hak Azasi Manusia”, dalam Jurnal Analisis Sosial, Vol. 6. No. 2 Juli 2001.

74 Rezim hak berdasarkan komunitas cenderung keberlanjutan dan rezim hak liberal/kapitalis

berorientasi profit maximize, akumulasi kapital dan eksploitatif. Rezim hak merupakan mode of

production yang dikemukakan oleh Karl Marx, yang menentukan cara masyarakat secara aktual

berproduksi dan terlibat ke dalam hubungan kerja dan sosial satu sama lainnya. Karena mode of

production merupakan unsur utama produksi/ekonomi dan menentukan sistem hubungan sosial

dalam masyarakat. John,Taylor G, 1989. From Modernization to Modes of Production. London:

The Macmillan Pres LTD.

75 Wiradi, Gunawan, 2000. Reforma Agraria: Perjalanan yang Belum Berakhir. Yogyakarta: Insist

Press, KPA dan Pustaka Pelajar.

Page 50: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

34

menentang politik agraria kapitalis dan sosialis. Politik agraria UU PA merupakan

jalan tengah, yang mengakui hak individu atas tanah tetapi hak atas tanah tersebut

memiliki fungsi sosial.76

Penentangan UU PA atas politik agraria kapitalis,

didasarkan penilaian penyusun undang-undang atas watak/hukum dari ekspansi

modal yang cenderung negatif terhadap kehidupan masyarakat. Watak dari modal

adalah menuntut digandakan terus menerus yang disebut hukum akumulasi modal.

Dalam sirkuit produksi kapitalis, pemilik modal berusaha merubah uang

menjadi modal untuk memperoleh surplus dalam bentuk uang kembali yang lebih

besar. Dari hasil akumulasi uang, sebagian kecil digunakan pemiliknya untuk

memenuhi kebutuhan konsumif dan sebagian besar “dibunga-uangkan.” 77

Pemahaman yang mendalam atas sejarah penguasaan sumberdaya agraria

oleh pemilik kapital dan perkembangan kapitalisme di Eropa pada abad ke

delapan belas serta didorong semangat menjadi Bangsa Merdeka, menyebabkan

spirit politik agraria Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 tahun 1960

berorientasi populis. Spirit populis dari Presiden Soekarno juga ditunjukkan

dalam UU 21 tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil, UU No. 21 1964 tentang

Pengadilan Land Reform dan pembentukan organisasi Panitia Pelaksana Land

Reform.78

Penyusunan undang-undang tersebut berkeyakinan bahwa introdusir

politik agraria kapitalis dalam tatanan ekonomi bukan kapitalis mengakibatkan

dekonstruksi sosial, alienasi petani dan mengakibatkan petani menjadi buruh

upahan.

Pergantian Orde Lama ke Orde Baru menyebabkan perubahan radikal

dalam pentas politik agraria Indonesia, karena politik agraria Orde Baru

merupakan anti tesa terhadap politik agraria Orde Lama. Bila politik agraria Orde

76 Prinsip yang terkandung dalam UUPA 1960 adalah nasionalitas, tanah mempunyai fungsi

sosial, hak menguasai dari Negara, land reform dan perencanaan agraria. Uraian tentang UUPA

1960 lihat, A.P. Parlindungan, 1991. Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria. Bandung:

Alumni.

77 Perputaran modal dapat digambarkan dalam skema: M (money) – C (Capital) – M (Money) atau

C (Capital) – M (Money) C (Capital). Uraian mengenai watak kapital dan ekonomi klasik, lihat

Sumitro Djojohadikusumo, 1991. Perkembangan Pemikiran Ekonomi. Yayasan Obor Indonesia.

78 Orientasi politik agraria populis Orde Lama ditunjukkan dengan pembentukan

Organisasi/Panitia Pelaksana Land Reform dan Pengadilan Land Reform, yang strukturnya

terbentuk dari tingkat Pusat sampai tingkat Kecamatan/Desa.

Page 51: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

35

Lama bersifat populis maka politik agraria Orde Baru berorientasi kapitalis/liberal

dan menganut kebijakan “rumah terbuka”.79

Anti tesa politik agraria Orde Baru antara lain:

(1) Land reform yang sebelumnya merupakan strategi pembangunan80

dan bagian

penting dari “Revolusi Indonesia” dijadikan rutinitas dan kegiatan teknis

birokrasi. Rezim Orde Baru mengambangkan UU Pokok Agraria dan tidak

menjadikannya sebagai induk peraturan keagrariaan, bahkan sejumlah

undang-undang sektoral cenderung menegasikan semangat UU Pokok

Agraria.

(2) Penghapusan Pengadilan Land Reform dan organisasi Panitia Pelaksana Land

Reform. Pengahapusan dua institusi itu melenyapkan legitimasi partisipasi

petani dalam agraria, karena Organisasi dan Tata Kerja Penyelenggaraan

Land Reform berdasarkan Kepres No. 55 tahun 1980 didominasi oleh

birokrasi.81

Kepres ini merupakan bagian dari kebijakan sistemik pemerintah

Orde Baru untuk memperkuat kontrol dan cengkraman birokrasi terhadap

petani. Berbagai organisasi sosial dan ekonomi yang hidup di pedesaan

sebelum Orde Baru yang merupakan underbouw dari partai politik dilarang

beroperasi.82

79 Perubahan politik agraria itu digambarkan Wiradi: “dari berdaulat dalam politik, berdikari dalam

ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan dan meletakkan masalah pembaruan agraria

sebagai basis pembangunan” diubah total menjadi “bertumpu pada yang kuat (betting on the

strong), mengandalkan bantuan, utang dari luar negeri dan mengundang modal asing”. Lihat

Gunawan Wiradi, 2001. “Kedudukan UUPA 1960 dan Pengelolaan Sumberdaya Agraria di

Tengah Kapitalisasi Negara (Politik Kebijakan Hukum Agraria Melanggengkan Ketidakadilan)

dalam Jurnal Analisis Sosial Vo. 6. No.2 Juli 2001.

80Lihat Gunawan Wiradi, “Kebijakan Agraria, Modal Besar dan Kasus-Kasus Sengketa Tanah.”

Makalah pada Lokakarya Antar Wilayah Advokasi Kasus-Kasus Tanah, 1993.

81 Dalam organisasi Panitia Pelaksana Land Reform terdapat perwakilan organisasi petani,

sedangkan dalam Tata Kerja Penyelenggaraan Land Reform didominasi birokrasi. Pemerintah

hanya melibatkan organisai petani “boneka” pemerintah, yakni HKTI, karena sebagian besar

pengurusnya berasal dari mantan atau pejabat yang tidak pernah hidup sebagai petani. Lihat

Loekman Soetrisno, 1995. Menuju Masyarakat Partisipatif. Yogyakarta: Kanisius.

82Kebijakan sistemik dilakukan dengan penyederhanaan partai politik, pemberlakuan floating mass

dan peleburan berbagai organisasi sosial dan ekonomi dalam satu wadah tunggal dibawah kontrol

pemerintah. Beragam koperasi di desa sebagai underbouw partai politik dihapus, kemudian

disatukan dalam wadah tunggal Koperasi Unit Desa (KUD). Lihat Frans Husken dan Benjamin

White, “Ekonomi Politik Pembangunan Pedesaan dan Struktur Agraria di Jawa” dalam Prisma

No.4, 1989.

Page 52: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

36

Kedua langkah itu dimaksudkan untuk menciptakan situasi yang kondusif

bagi iklim investasi dan kenyamanan pemilik modal. Kebijakan bertumpu pada

yang kuat (betting on the strong), merupakan ciri politik agraria kapitalis Orde

Baru. Politik agraria kapitalis Orde Baru dapat diidentifikasi sebagai berikut: (1)

tanah dijadikan sebagai kekayaan/milik individual (private), (2) tanah dijadikan

sebagai komoditas atau perdagangan, (3) tanah ditujukan untuk kepentingan

perusahaan nasional dan transnasional,83

(4) pelaku utama pengusahaan

sumberdaya agraria adalah perusahaan skala besar (nasional dan transnasional),

(5) peran, insiatif partisipasi dan akses masyarakat terhadap sumberdaya agraria

dieliminasi dan dimarginalkan, 84

(6) kriminalisasi terhadap hak penguasaan dan

pemilikan tanah berbasis komunitas dan kelembagaan lokal/adat.

Sejalan dengan arus-utama politik agraria kapitalis, maka institusi agraria

diarahkan untuk melayani kepentingan pemilik modal dan memfasilitasi

transasksi pasar tanah.85

Karena itu politik agraria Orde Baru diawali dengan

program Catur Tertib Pertanahan86

dan penyusunan berbagai regulasi yang

kondusif masuknya investasi dalam pengelolaan sumberdaya agraria.

Politik agraria pro pasar/bisnis yang berlangsung pada rezim Orde Baru,

tidak banyak berubah secara berarti di bawah payung otonomi daerah. Dalam era

otonomi daerah, kepala daerah berlomba dan merasa bangga bila berhasil

mengundang pemilik modal untuk mengeksploitasi kakayaan alam yang berada di

wilayah kekuasaannya. Dampak dari politik agraria pro bisnis dan investasi yang

ditempuh oleh masing-masing Kepala Daerah menyebabkan laju kerusakan hutan

83 Faizi, mencatat politik agraria kapitalis Orde Baru berupa revolusi hijau, ekspolitasi hutan dan

agro industri. Lihat Noer Faizi, 1991. Petani dan Penguasa: Dinamika Perjalanan Politik Agraria

Indonesia. Yogyakarta: INSIST, KPA, Pusaka Pelajar.

84 Uraian tentang politik ekonomi liberal lihat Sonny Keraf, 1996. Pasar Bebas, Keadilan dan

Peran Pemerintah. Yogyakarta: Kanisius.

85Sistem pasar identik dengan kapitalisme karena hubungannya yang integral dengan sistem hak

milik pribadi dan prioritas pengejaran akumulasi laba. Pasar adalah sarana tukar menukar

barang/jasa dan mekanisme untuk mengorganisir hidup bersama atas logika untung rugi. Lihat B.

Herry Proyono, 2003. “Bangsa Dalam Tegangan Lokal Global” dalam Jurnal Filsafat dan Teologi,

STF Driyarkara, Diskursus, Vol. 2 Oktober 2003.

86 Catur Tertib Pertanahan meliputi (1) tertib hukum pertanahan (2) tertib administrasi (3) tertib

administrasi pertanahan dan (4) tertib pemeliharaan tanah dan lingkungan. Peningkatan status

Dirjen Agraria menjadi Badan Pertanahan Nasional tahun 1988 melalui Kepres Presiden No. 26

tahun 1988, tidak dimaksudkan untuk penataan tanah dalam konsep land reform, melainkan untuk

mengontrol dan penguasaan tanah oleh pemerintah karena meningkatnya kebutuhan akan tanah.

Page 53: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

37

di era otonomi daerah meningkat dengan pesat, sementara tingkat kesejahteraan

masyarakatnya seperti jalan di tempat, tanpa ada perbaikan. Meskipun kebijakan

pro investasi dan bisnis tersebut berdalih untuk meningkatkan Pendapatan Asli

Daerah (PAD). Dalam analisis Tjondronegro (2001), kebijakan pro bisnis yang

ditempuh oleh rezim Orde Baru dan pemangku otoritas di era reformasi didorong

oleh “ambisi” yang ingin cepat merubah struktur ekonomi Indonesia dari

pertanian ke perdagangan dan industri (merkantilisme ke neoklasik) dengan

mengabaikan pembenahan agraria, yang dasar-dasarnya sudah dirumuskan dalam

UUPA.87

Implikasinya dari politik agraria kapitalis adalah meluasnya eksploitasi

sumberdaya agraria, ketimpangan struktural agraria dan merebaknya konflik

agraria.88

Sekelompok kecil pengusaha memiliki akses besar terhadap sumberdaya

agraria (sumberdaya hutan), sementara akses masyarakat sekitar hutan dibatasi

dan dirampas haknya, kearifan rokal dan tradisi resiprositasnya diluruhkan.89

Atas dasar itu tak berlebihan jika dikatakan bahwa kinerja politik agraria

kapitalis, gagal menjalankan tugas konstitusional melindungi bumi, air dan

kekayaan alam yang terkandung didalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran

rakyat. Di bawah payung politik agraria kapitalis, penyelenggara negara tidak

mampu mengayomi dan melindungi masyarakat dan sumberdayanya secara adil

dan demokratis. Karena sebagian agensinya, tidak mampu berperan menjadi wasit

yang adil dalam distribusi sumberdaya dan mengatasi konflik agraria. Bahkan

dalam sejumlah konflik agraria, penyelenggara berperan sebagai pihak

berkepentingan dan menjadi representasi kelompok kepentingan.90

87 Sediono M.P.Tjondronegoro, 2001. “Pengelolaan Sumberdaya Agraria: Kelembagaan dan

Reforma Agraria” dalam Jurnal Analisis Sosial, Vol.6 No.2 Juli 2001.

88 Kondisi ini disebabkan penguasaan sumberdaya hutan dijadikan sebagai alat kekuatan ekonomi

dan politik elit penguasa dan pemilik modal. Tampilnya pengusaha konglemerat bukan karena kepiawian dan enterprenershipnya tapi karena difasilitasi negara sehingga berkembang Ersaz

Capitalism” (Kapitalisme Semu). Lihat Yoshihara Kunio, 1990, Kapitalisme Semu Asia Tenggara.

Jakarta: LP3ES,

89Awang, San Afri, (2003). Politik Kehutanan Masyarakat. Kreasi Wacana, Yogyakarta.

90 Dalam teori negara organis (1) negara merupakan akumulasi dari kelompok eksekutif,

pengusaha, militer dan politisi (representasi partai politik), (2) masyarakat bagian dari negara dan

kehendak negara sebagai manifestasi dan representasi rakyat (3) posisi negara kuat dan

intervensionis dalam proses politik. Menurut pandangan Marxian, negara merupakan perpanjangan

tangan dari pemilik modal/kapitalis. Lihat Bryan Tunner, 2002. Orientalisme, Posmodernisme dan

Page 54: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

38

Politik agraria kapitalis yang menjadi ciri rezim Orde Baru, tidak berubah

secara berarti setelah berlangsungnya era otonomi daerah.91

Di bawah payung

otonomi, praktek pengelolaan sumberdaya semakin eksploitatif dan diwarnai ego

kedaerahan dalam upaya meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Pada era

otonomi daerah, politik sumberdaya agraria tidak didasarkan good governance,

sebaliknya cenderung mengarah ke resentralisasi di tingkat lokal, yang

mengakibatkan injustice the agrarian and ecology. Pemangku otoritas di tingkat

lokal, tidak hanya tidak rela berbagi otoritas dengan masyarakat, tetapi otoritasnya

sedapat mungkin mendatangkan manfaat dan keuntungan ekonomi serta

melestarikannya secara hegemonik. Praktik nepotis dalam rekruitmen aparat

birokrasi, elitis dalam pengambilan keputusan politik dan ekonomi serta birokrasi

koorporasi yang menjadi ciri rezim Orde Baru,92

pada era otonomi dewasa ini

gejalanya semakin mengemuka pada sejumlah pemerintah daerah. Stabilitas

politik dan rekrutmen birokrasi daerah, tidak terkonstruksi atas mekanisme

demokrasi dan profesionalitas tetapi atas keseimbangan, konfigurasi, koeksistensi

kekuatan partai politik. Hegemoni, penetrasi dan ekpsploitasi sumberdaya pada

era sentralisasi, berulang kembali dalam era otonomi daerah. Praktik birokrasi

pemerintahan pada era otonomi merujuk Evers dan Schiel (1990) merupakan

perpaduan weberisasi, parkinsonisasi dan orwelisasi93

.

Proses Weberisasi ditandai dengan penggunaan peraturan perundang-

undangan dan ketentuan formal yang memfasilitasi dan akses kepada pemilik

modal menguasai dan mengeksploitasi sumberdaya untuk meningkatkan

Globalisasi. Jakarta: Piora Cipta. Stepan mengidentifikasi kelompok kepentingan atas aliansi

tripel (elit eksekutif pemerintah, elit eksekutif perusahaan, elit militer/elit politisi). Alfred Stepan,

(1979). The State and Civil Society: Peru in Coorporative Perspective. Princeton: Princeton

Univertrty Press.

91 Ini terjadi karena jatuhnya Orde Baru merupakan keberhasilan para pendukung neoliberalisme

daripada keberhasilan massa rakyat. Kanishka Jayasuriya,”Negara, Pembangunan dan Globalisasi:

Dari Kekuasan Negara ke Kekuasaan Pasar Global”, dalam Jurnal Wacana, Edisi 5, tahun II, 2000

dan James Petras dan Veltmeyer, 2002. Imperialisme Abad 21. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

92Ciri penting dari birokrasi korporasi adalah (1) legalistik dan mencitrakan diri sebagai

benevolence (pelindung, pengayom dan pemurah hati), (2) mempersepsi rakyat tidak tahu apa-apa,

belum siap dan karenanya harus setia (obidience). Pola benevolence - obidience tidak hanya

berlangsung dalam hubungan kerja tetapi merembes dan meluas dalam hubungan aparat dengan

masyarakat. Nasikun. “Reformasi, Jalan Berliku Menuju Transisi Demokrasi” dalam Mahfud MD. Editor: Kritik Sosial Dalam Wacana Pembangunan. Yogyakarta: UII Press.

93Lihat Evers, Hans Dieter dan Schiel, 1990. Kelompok Strategis: Perbandingan Tentang Negara

Birokrasi dan Pembentukan Kelas di Dunia Ketiga. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Page 55: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

39

pendapatan asli daerah (PAD). Di sisi lain, terdapat peraturan perundang-

undangan yang membatasi dan mengabaikan hak-hak sosial ekonomi komunitas.

Proses weberisasi politik tata kelola sumberdaya agraria pada era otonomi daerah,

selain lemah dalam kordinasi dan tidak sinergi, juga tidak berkaitan dengan

kesejahteraan masyarakat dan tidak memihak pada wong cilik. Proses weberisasi

hanya mengukuhkan arogansi agensi pemerintah sejalan dengan semakin

tambunnya kelembagaan birokrasi yang disebut Evers dan Schiel, parkinsonisasi.

Pembentukan struktur baru dan peningkatan jumlah personal agensi

(Kecamatan, Dinas Pertanian, Kehutanan), tidak mempermudah pelayanan dan

akses komunitas pada sumberdaya agraria dan perbaikan kesejahteraan

masyarakat. Sebaliknya parkinsonisasi cenderung mendorong semakin intensifnya

proses orwelisasi, yakni meningkatnya pengawasan dan pembatasan pemerintah

daerah terhadap wong cilik untuk mengakses sumberdaya. Tetapi proses

orwelisasi berlangsung secara transaksional. Proses orwelisasi dalam bentuk

penegakkan hukum terhadap aktivitas illegal logging yang melibatkan oknum

penguasa dan pemilik modal cenderung mandul, meskipun berakibat rusaknya

ekosistem sumberdaya hutan dan mengakibatkan kritisnya kawasn hulu DAS.

Lain halnya bila aktivitas illegal logging tersebut melibatkan wong cilik, aparat

penegak hukum tidak segan mengkriminalkan dan melakukkan aksi polisionil.

Politik agraria berciri Weberisasi, Parkinsonisasi dan Orwelisasi, merujuk

pada Beck mengantarkan Indonesia berada pada risk society, 94

yakni kondisi

masyarakat yang kian dicengkram individualistik dan kekuatan pasar yang

disebabkan manufactured risk (bencana akibat perbuatan dan keputusan politik

yang tidak tepat). Bencana banjir, kebakaran hutan, deforestasi, ketimpangan

sosial, merupakan manufactured risk yang diakibatkan keputusan politik untuk

kepentingan politik berdurasi pendek dan demokrasi prosedural. Sementara

substansi politik dan demokrasi untuk kesejahteraan masyarakat terabaikan.

Pentas panggung politik demikian oleh Blau95

sebagai pertanda bentuk akhir dari

94 Lihat Beck, Ulrich, 2000. “Risk Society Revisited: Theory, Politics and Research Programmes”

in J. Van Loon (ed). The Risk Society and Beyond Critical Issues for Social Theory. London:

Sage.

95 Lihat Turner, Jonathan, 1998. The Structure of Sociological Theory. First Edition,Wadsworth

Publishing Company.

Page 56: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

40

kekuasaan, karena kekuasaan tidak menjadi solusi masalah masyarakat, tetapi

menjadi sumber masalah bagi masyarakat. Kondisi inilah yang disebut oleh

penulis kegagalan politik agraria sehingga politik agraria transformatif menjadi

semakin penting.

2.4. Kerangka Pikir

Bentuk rezim hak milik sumberdaya berkisar antara milik negara (state

property), diatur bersama (common property) atau berupa hak individu (private

property). Rezim hak merupakan alat kendali penguasaan dan pemanfaatan

sumberdaya agraria dan relasi sosial antara kelompok masyarakat. Rezim hak

sumberdaya berbasis komunitas, bersumber dari tradisi, trust, budaya dan religi.

Hubungan teknis dan hubungan sosial agraria pada komunitas lebih menekankan

keseimbangan dan keberlanjutan daripada keuntungan ekonomi berdurasi pendek.

Hal ini berbeda dengan hubungan teknis dan hubungan sosial agraria

berbasis state/business property bersifat reduksionis, utilitarian dan eksploitatif.

Dalam istilah Evers dan Schiel kelembagaan agraria berbasis negara bercirikan

weberisasi dan orwelsiasi dan perilaku individual aparatnya cenderung oportunis.

Pada rezim hak berbasis bisnis, sumberdaya dan kelembgaannya diletakaan

sebagai vehicle to get power semata-mata. Akibatnya sejarah rezim hak

state/private property gagal mewujudkan tujuan konstitusional untuk sebesar-

besarnya kemakmuran rakyat. Indikasinya adalah meluasnya konflik agraria,

terancamnya keberlanjutan sumberdaya dan luruhnya kelembagaan komunitas.

Komunitas yang telah memiliki hubungan teknis dan sosial, hak sejarah dan

ekonominya dimarginalkan. Kelembagaan lokal buyut, pipeling, liliuran,

kajaroan dan kaguronan dan kearifan lokal yang kondusif untuk agroforestry

berkelanjutan dimarginalkan.

Dampak lebih lanjut dari marginalisasi kelembagaan lokal adalah

tergerusnya kemandirian masyarakat dan hilangnya potensi masyarakat untuk

membangun kelembagaan DAS partisipatif. Peluruhan kelembagaan lokal di DAS

Cidanau ditandai dengan melemahnya modal sosial, resiprositas, pudarnya

kearifan lokal budidaya tanaman obat-obatan dan zonasi hutan. Peluruhan

Page 57: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

41

kelembagaan komunitas yang disebabkan oleh manufactured risk mengarah pada

risk society.

Risk society terjadi karena manufactured risk berlangsung secara

sistematik. Pada aras sistem, diwarnai dengan weberisasi dan orwelisasi

(pengawasan ketat terhadap wong cilik tetapi lembut terhadap penguasa dan

pengusaha). Pada aras organisasional, ditandai dengan menguatnya ego sektoral

dan kontestasi sektoral serta proses pengambilan keputusan secara hegemonik dan

berdasarkan demokrasi prosedural. Pada aras individual, ditandai dengan sikap

agensi yang cenderung oportunis dan menempatkan otoritasnya atas sumberdaya

sebagai vehicle to get power bagi kelompok kepentingan.

Dalam kawasan hulu DAS Cidanau indikasi dari risk society adalah

peluruhan kelembagaan lokal, kegagalan mewujudkan politik agraria berkeadilan

dan tata telola DAS secara partisipatif. Kegagalan mewujudkan politik agraria

berkeadilan ditandai dengan meluasnya konflik agraria, penggusuran petani,

munculnya predator agraria, kepedulian semu terhadap jasa lingkungan. Kondisi

ini hanya mungkin dipecahkan dengan melakukan transformasi politik agraria

kehutanan, pertanian dan pengelolaan kawasan DAS. Politik agraria transformatif

diperlukan supaya sumberdaya hutan terpelihara dan terdistribusi secara adil.

Sumberdaya hutan yang terkelola dengan baik yang didukung oleh kelembagaan

tepat dan berkelanjutan merupakan modal ekonomi dan modal sosial dalam

mengahadapi persaingan dan perubahan iklim global. Kerangka pemikiran dari

penelitian ini diilustrasikan dalam Gambar 1 di bawah.

Page 58: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

42

Gambar 1. Kerangka Pikir

2.5. Hipotesa Pengarah

Hipotesa pengarah dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:

1. Dinamika unsur-unsur kelembagaan lokal pada komunitas petani di hulu DAS

Cidanau dipengaruhi oleh adaptabilitas, dinamika internal dan intensitas

interaksinya dengan kekuataan supralokal.

2. Kontestasi sektoral dalam proses pembangunan ekonomi pedesaan dan

komunitas sekitar hutan di kawasan DAS Cidanau menimbulkan konflik

agraria dan kapitalisasi sumberdaya pedesaan.

3. Negara sebagai regulator dan protektor yang bertugas memfasilitasi dan

memberi payung hukum dalam kenyataan empirik sering tampil sebagai

bagian dari kelompok kepentingan yang memiliki karakter meluruhkan

kelembagaan komunitas dan terancamnya eksistensi politik agraria yang

berkeadilan.

Rezim Hak Sumber

daya Berbasis Bisnis Rezim Hak Sumber

daya Berbasis Negara

Rezim Hak Sumberdaya

Berbasis Komunitas

Pertukaran&Pasar Institusi Pengendali Kelembagaan Komunitas

Justifikasi Moral Dominatif dan

Eksploitatif Keselarasan dan

Keberlanjutan

Berbasis Bisnis

Majikan Buruh

Korporasi

Holistik

Kolektif/Individu

al

Kekeluargaan/

Kolekktivitas Hubungan Produksi

Agensi

Pendekatan

Kontestasi Sektoral

Kompetisi &

Liberal

Peluruhan Kelembagaan Lokal dan

Kegagalan Politik Tata Kelola

Agraria Politik Agraria

Transformatif

Page 59: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

43

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Metodologi dan Kerangka Penelitian

Penelitian ini dimaksudkan untuk memperoleh pemahaman mengenai

interaksi kelembagaan lokal dengan supra lokal dalam tata kelola sumberdaya

agraria di hulu DAS dengan menggunakan metodologi kritis.96

Penggunaan

metodologi kritis didasarkan pertimbangan, posisi tineliti yang termarginalkan

dan rendahnya perhatian dan apresiasi dari pihak agensi terhadap kelembagaan

lokal, meskipun kondusif untuk konservasi tanah dan air kawasan hulu DAS.

Penggunaan metodologi kritis, dimaksudkan agar dapat membongkar dimensi

struktur pengetahuan dan kekuasaan yang mengalienasi komunitas dan

mendorong kesadaran kolektif (collective conscious-ness) tineliti untuk

melakukan perubahan dan perbaikan terhadap posisi sosial dan ekonominya yang

termarginalkan.

Sejalan dengan metodologi kritis, maka penelitian ini tidak hanya

mendeskripsikan interaksi komunitas lokal dengan kekuatan supralokal, tetapi

juga menganalisis dampak negatifnya terhadap kehidupan sosial ekonomi tineliti.

Merujuk pada Cavallaro (2004) proses penelitian ini sebagai riset transformatif,

karena melakukan kritik sosial terhadap politik tata sumberdaya agraria yang

berlangsung di wilayah kajian. Secara metodologis hubungan peneliti-tineliti

dalam penelitian ini bersifat transaksional, dalam arti terjalin interaksi dan dialog,

ealitas dan temuan diletakkan dalam kerangka pemikiran dunia peneliti dan

teneliti. 97

Perspektif dan pendekatan emik lebih menonjol daripada etik. 98

96Secara ontologi, teori kritis memaknai realitas dibentuk oleh sejarah sosial, politik dan ekonomi.

Epistimologi teori kritis memaknai hubungan peneliti-tineliti bersifat transaksional, termediasi

nilai dan aksiologinya memandang ilmu tidak bebas nilai, etika dan pilihan moral menentukan

pilihan penelitian. Dalam istilah Habermas, ilmu terkait dengan kepentingan, kepentingan berada

dibalik dan memandu setiap sistem pengetahuan dan tugas ilmuan adalah mengungkapnya. Pilihan

pada paradigma kritis diyakini dapat memotret penetrasi supralokal terhadap kelembagaan lokal

secara terang benderang. Lihat Akhyar, Lubis, 2004. Paradigma Baru dan Persoalan Metodologi

Ilmu Sosial-Humaniora dan Budaya Pada Era Postmodern. Jakarta: PPS UI. Peneliti tidak

menggunakan paradigma kritis secara murni karena peneliti tidak sepenuhnya terlibat dalam

pemberdayaan tineliti, hanya terlibat secara temporal dalam proses penyadaran.

97 Hubungan pengetahuan dan kepentingan manusia bersifat dialektik. Sistem pengetahuan ada

pada level objektif sedangkan kepentingan atau minat manusia adalah fenomena subjektif . Lihat,

Ritzer Geoge & Goodman Douglas J, 2004. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prenada Media.

Page 60: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

44

3.2. Pokok Penelitian dan Metode Pengumpulan Data

Pokok dan unit analisis penelitian ini mencakup tata kelola sumberdaya

agraria berbasis kelembagaan lokal, kontestasi sektoral, peluruhan kelembagaan

lokal dan kegagalan politik tata kelola sumberdaya agraria kawasan hulu DAS

Cidanau. Masing-masing konsep dan cara pengumpulan datanya disajikan pada

Tabel 2.

Tabel 2. Pokok Penelitian dan Metode Pengumpulan Data

Pokok Penelitian Metode Pengumpulan Data

Gambaran Umum

Lokasi - Desa Penelitian

- Pengamatan dan pencatatan atas obyek-obyek visual:

kondisi geografis, fasilitas fisik, infrastruktur transportasi

dan komunikasi, data demografi, monografi desa dan

dokumen lainnya di desa/kecamatan tempat penelitian.

- Wawancara dengan informan kunci (aparat desa, tokoh

masyarakat, pengurus/anggota kelompok tani hutan

Kelembagaan Lokal

(Buyut, Pipeling, Lili-

uran, tanah kajaroan

dan tanah kaguronan)

- Wawancara mendalam dengan informan kunci tentang

pengetahuan lokal, tradisi dan praktik tata kelola

sumberdaya agraria komunitas.

- Wawancara mendalam dengan informan kunci mengenai

nilai dan norma sosial dalam hubungan ketetanggaan,

kekerabatan, pemilikan, penguasaan dan warisan tanah

- Wawancara mendalam dengan informan kunci tentang

kelembagaan buyut, pipeling, liliuran, kajaroan dan

kaguronan

Kelembagaan hubung-

an sosial dan teknis

agraria

Kontestasi Sektoral dan

Kontestasi Kelembaga-

an Lokal - Supralokal

- Wawancara mendalam dengan petani dan informan kunci

tentang aktivitas produksi dan konsumsi.

- Wawancara mendalam dengan informan kunci berkaitan

dengan bentuk penguasaan, pemilikan, pemanfaatan tanah,

distribusi, bagi hasil, transfer hak penguasaan tanah

(hibah/wakaf, warisan, jual beli dan gadai tanah) dan

hubungan sosial agraria (hubungan pemilik dengan

pemilik, pemilik dengan penyewa dan pemilik-penggarap).

- Mengkaji regulasi, program dan pelaksanaan pembangunan

sektoral (pertanian, kehutanan, lingkungan hidup dan

pekerjaan umum) melalui diskusi berfokus, studi

dokumentasi dan wawancara mendalam.

- Mengkaji jejaring kelembagaan komunitas dan stakeholder

DAS (pemerintah, FKDC, LSM dan toloh masyarakat)

melalui wawancara mendalam dan diskusi berfokus.

- Wawancara mendalam dengan informan kunci mengenai

kearifan lokal, praktik agroforestry dan konservasi tanah

dan air.

98 Lihat David Kaplan dan Albert A Manners, 1999. Teori Budaya: Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Page 61: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

45

Peluruhan Kelembagaan

Lokal

Menganalisis kebijakan, program dan implementasinya

serta perilaku agensi pembangunan yang mengakibatkan

peluruhan kelembagaan komunitas (buyut, pipeling,

liliuran) melalui FGD, studi dokumentasi dan wawancara

mendalam dengan informan kunci (aparat instansi teknis,

aparat kecamatan, aparat desa, pimpinan kelompok tani

dan LSM).

Kegagalan Politik

Agraria

- Mengkaji kebijakan dan implementasi pembangunan

kehutanan, pertanian dan infrastruktur di kawasan DAS

Cidanau yang mengakibatkan ketimpangan dan konflik

agraria melalui FGD, studi dokumentasi dan wawancara

mendalam dengan informan kunci

- Mengkaji kondisi ekologi area cagar alam dan konservasi/

area obyek jasa lingkungan dan area konflik melalui

wawancara mendalam dengan informan kunci dan studi

dokumentasi

- Menganalisis ajang-ajang sosial dalam masyarakat melalui

wawancara mendalam dengan informan kunci.

3.3. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus,99

yakni

studi yang memfokuskan pada kasus tertentu yaitu dinamika kelembagaan lokal,

kontestasi sektoral, peluruhan kelembagaan dan kegagalan politik agraria kawasan

hulu DAS Cidanau. Penggunaan metode studi kasus dalam penelitian ini disertai

penggunaan metode sejarah sosiologis dengan maksud untuk mengungkap sejarah

dan dinamika politik tata kelola sumberdaya agraria yang berdampak negatif

terhadap dekonstruksi kekehidupan sosial ekonomi masyarakat. Kegiatan

penelitian ini juga menggunakan metode interpretatif hermeneutik untuk

menafsirkan fakta sosial atau teks sosial100

di masyarakat dengan maksud dapat

menangkap fenomena dibalik realitas empirik.

99 Pilihan atas studi kasus karena peneliti bertujuan memahami situasi-situasi yang unik dan

mengidentifikasinya dengan menggali informasi secara mendalam. Kasus yang dipelajari

bervariasi seperti, individu, komunitas, kelembagaan, kelompok sosial dalam periode waktu

tertentu yang kemudian dijelaskan secara konfrehensif dan terintegrasi. Lihat Yin, R, (1996). Studi

Kasus: Desain dan Metode. Radja Grafindo Persada, Jakarta; Creswell, John W, 1994. Research

Disign: Qualitative and Quantitative Approaches. USA: Saga Publications.

100 Pengertian teks dalam perspektif metode interpretatif hermeneutik tidak terbatas pada sumber

tertulis tetapi juga teks sosial berupa pemikiran, gagasan, ide dan realitas batin/konteks fenomena

yang muncul. Teks tulisan dan teks sosial perlu diinterpretasikan dan didialogkan untuk menjadi

Page 62: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

46

Penggunaan metode interpretatif hermeneutik didasarkan atas asumsi

bahwa nilai, tradisi, kearifan lokal tata kelola sumberdaya agraria komunitas dan

perilaku agensi adalah realitas sosial yang dipengaruhi oleh kepentingan politik

”tersembunyi”.101

Dengan menggunakan multi-metode, persoalan yang dikaji

dapat terungkap secara utuh dan memungkinkan peneliti menjadi “God’s Eye

Point of View” dalam mengamati realitas/fenomena yang diteliti dan unit

analistis/ variabel penelitian dapat dikonsktruksi secara komprehensif.

3.4. Pemilihan Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di tiga desa di kawasan DAS Cidanau, yakni102

Desa

Citanam di wilayah Kecamatan Ciomas dan Desa Citasuk dan Desa Cibojong di

Kecamatan Padarincang. Pemilihan ketiga lokasi atas pertimbangan:

1. Desa Citanam merupakan salah satu desa di kawasan hulu DAS Cidanau yang

memiliki sejarah sosiologis unik dan khas, adanya kelembagaan buyut,

pipeling, liliuran, tanah kajaroan dan tanah kaguronan.

2. Komunitas di hulu DAS Cidanau memiliki tradisi agroforestry dan kearifan

lokal tata kelola sumberdaya yang mendukung konservasi tanah, air dan hutan

yang kondusif untuk tata kelola sumberdaya agraria berkelanjutan.

3. Kelompok petani hutan di Desa Citanam dan Desa Cibojong terlibat dalam

jejaring kelembagaan hubungan hulu hilir dalam bentuk mekanisme

pembayaran jasa lingkungan yang kondusif untuk tata kelola DAS terpadu.

4. Dalam kawasan Das Cidanau terdapat Cagar Alam Rawa Danau sebagai

kawasan endemik situs konservasi rawa pegunungan satu-satunya yang

narasi yang bermakna. Lihat Akhyar, Lubis, (2004), Metode Hermeneutika dan Penerapannya

pada Ilmu Sosial, Budaya dan Humaniora. PPS UI, Jakarta.

101Penggunaan metoda interpretatif hermeneutik dimaksudkan untuk dapat menyingkap kesalahan

dan distorsi teks sosial, komunikasi dan tindakan sosial, sehingga dimungkinkan untuk memahami

tanda-tanda, makna, tampilan atau simbol-simbol yang muncul dalam suatu peristiwa. Seperti penafsiran terhadap tanda-tanda atau simbol-simbol yang muncul dalam praktek liliuran. Uraian

tentang metoda interpretatif hermeneutik Lihat Akhyar, Lubis, Akhyar, 2004. Paradigma Baru

dan Persoalan Metodologi Ilmu Sosial-Humaniora dan Budaya Pada Era Postmodern. Jakarta:

PPS UI.

102 DAS Cidanau merupakan salah satu DAS di wilayah Provinsi Banten, luasnya sekitar 22.620

ha mencakup 38 desa (33 desa berada pada lima kecamatan di Kabupaten Serang dan lima desa berada di wilayah Kecamatan Mandalawangi Kabupaten Pandeglang. Lihat Rencana Teknik

Lapangan Rehabilitasi Lahan dan Konsrvasi Tanah DAS Cidanau, Bappeda Kabupaten Serang –

Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah (BRLKT), DAS Citarum- Ciliwung, 1999.

Page 63: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

47

tersisa di P. Jawa. Tetapi karena proses pembiaran dan salah urus

menyebabkan hampir sepertiganya diduduki oleh petani lapar tanah sebagai

akibat ketimpangan struktur agraria di kawasan tersebut.

Karakteristik ketiga desa atau lokasi peneilitian tersebut diharapkan dapat

menggambarkan dan mengungkap arah orientasi politik tata kelola sumberdaya

yang berlangsung di Indonesia dan khususnya di kawasan DAS Cidanau.

3.5. Informan Penelitian

Pemilihan informan dilakukan secara purposive snowball sampling yang

melibatkan 52 orang. Kriteria dasar pemilihan informan adalah mereka yang

menjadi bagian dari peristiwa dan mengetahui masalah yang diteliti. Informan

yang terpilih mempunyai berbagai ragam latar belakang sosial (petani, pamong

desa, pejabat pemerintahan, tokoh masyarakat, pengurus/anggota LSM dan

Kelompok Tani, dan Kelompok Tani Hutan.

Rincian informan sebagai berikut: (1) Pengurus Kelompok Tani Hutan

sebanyak sepuluh orang terdiri dari Desa Citaman: empat orang, Desa Citasuk dan

Cibojong masing-masing tiga Orang; (2) Tokoh Masyarakat sebanyak sembilan

orang berasal dari Desa Citaman tiga orang, Desa Cibojong tiga orang dan Desa

Citasuk tiga orang; (3) Pengurus Rekonvasi Bumi tiga Orang; (4) Pengurus Forum

Komunikasi DAS Cidanau sejumlah tiga orang; (5) Penyuluh pertanian/kehutanan

empat orang terdiri dari penyuluh pertanian/kehutanan Kecamatan Padarincang

dua orang dan Kecamatan Ciomas dua orang; (6) satu Kepala Desa dan delapan

orang aparat Desa terdiri dari empat orang Desa Citaman, dua dari aparat Desa

Cobojong dan dua orang aparat Desa Citasuk; (7) Dinas Pertanian: dua orang,

Dinas Kehutanan: dua orang), Bappeda dan Bapedal masing-masing dua orang,

(8) Staf BKSD Banten dua orang dan empat orang Staf UPT DAS Cidanau.

3.6. Teknik Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri atas data primer dan

data sekunder. Data primer dikumpulkan melalui pengamatan, pengamatan

berperan serta, wawancara mendalam dan Focus Group Discussion (FGD),

sedangkan data sekunder dikumpulkan melalui studi dokumentasi. Wawancara

Page 64: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

48

mendalam dilakukan untuk menggali informasi, keterangan dan penjelasan dari

tineliti/aktor yang terlibat dalam kelembagaan komunitas dan pelaksana kebijakan

yang berdampak pada peluruhan kelembagaan buyut, pipeling, liliuran, kajaroan

dan kaguronan, kearifan lokal dan praktik tata kelola sumberdaya yang kondusif

untuk agroforestry berkelanjutan.

Wawancara mendalam dilakukan untuk mendalami fenomena dan

realitas batin tineliti/informan, berkenaan dengan persepsi, pengalaman aktor

dalam suatu peristiwa yang menjadi sasaran penelitian.Wawancara mendalam

dengan tineliti dilakukan secara lepas dengan terlebih dahulu menyiapkan pokok-

pokok pertanyaan yang diajukan. Narasumber/informan kunci dalam wawancara

mendalam berasal dari berbagai strata, kelompok dan organisasi baik formal dan

informal di tingkat desa, instansi teknis (pertanian, kehutanan, UPT DAS, FKDC)

dan LSM.

Informasi, keterangan dan penjelasan yang digali melalui wawancara

mendalam dijadikan bahan diskusi kelompok berfokus. Pesertanya adalah

informan kunci (tokoh masyarakat, pengurus dan anggota kelompok tani, aparat

desa, pejabat instansi teknis dan aktivis LSM) dikelompokkan sesuai dengan

stratanya, agar terhindar dari rasa sungkan dan dapat mengungkap data dan

fenomena secara akurat. Kegiatan Diskusi berfokus dimaksudkan untuk

konfirmasi secara kognitif dan emosional dan pemahaman bersama dan mendalam

tentang fokus penelitian.

Pengaamatan berperan serta dilakukan untuk mendeteksi pola perilaku

sosial dalam merespon tekanan struktural yang berasal dari kekuatan supralokal.

Pengaamatan berperan serta ditujukan untuk mengamati secara langsung

pengalaman, tindakan sosial/kolektif dan individual, hubungan teknis agraria dan

jaringan kelembagaan yang berlangsung di tengah masyarakat.

3.7. Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Data yang terkumpul diolah dengan menggunakan pendekatan analisis

kualitatif. Analisis data kualitatif merupakan penelusuran terhadap pernyataan-

pernyataan tentang hubungan antara berbagai kategori data untuk mengkonstruksi

suatu fenomena sosial. Analisis data kualitatif merupakan proses mengatur urutan

Page 65: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

49

data dan mengorganisasikannya ke dalam suatu pola kategori dan satuan uraian

dasar. Pengkategorian data disesuaikan dengan pertanyaan dan tujuan penelitian

agar memudahkan seleksi, deskrispsi, interpretasi dan analitis sebagai bahan

konseptualisasi, komparasi, narasi dan konstruksi.

Tahapan analisis data dalam penelitian ini merujuk pada pendapat

Mathew dan Michael, (1992)103

meliputi tiga tahapan: (1) membandingkan

kejadian/ fenomena yang cocok dengan kategorinya; (2) mengintegrasikan

kategori dengan ciri-cirinya; (3) merumuskan dan mengkonstruksi konsep sesuai

dengan teori yang relevan. Proses kategorisasi kejadian atau fenomena sosial

dimulai dengan mengelompokkan berdasarkan nama, fungsi atau alasan tertentu

sebagai bahan menyusun narasi dan abstraksi.

Dalam upaya memperoleh kebenaran ilmiah, data/informasi diuji silang

melalui teknik triangulasi metode, triangulasi sumber dan triangulasi teori. Data

dan informasi hasil wawancara dengan informan kunci, dibandingkan dengan

hasil diskusi berfokus, selanjutnya dibanding ulang dengan data hasil pengamatan

berperan serta yang dilakukan di ajang sosial dalam masyarakat. Abstraksi dan

ekplanasi dirumuskan setelah ada kesepamahaman peneliti dan tineliti.

3.8. Jadwal Penelitian

Penelitian dilakukan dalam tiga tahap. Tahap pertama persiapan dan

penjajakan, berlangsung pada bulan Maret April 2008. Tahap ini digunakan untuk

mengumpulkan informasi tentang kondisi sosial, politik, ekologi sumberdaya

agraria yang terdapat di kawasan hulu DAS Cidanau. Tahap kedua dilakukan pada

Mei sampai dengan Oktober 2008, kegiatan penelitian terfokus di tiga desa yakni

Desa Citanam, Desa Citasuk dan Desa Cibojong. Dalam rentang waktu Mei -

Oktober 2008 peneliti tidak secara terus menerus tinggal di lokasi, tetapi secara

periodik dengan maksud untuk mengambil jarak dengan tineliti. Tahap ketiga

dilakukan berlangsung dari April sampai dengan Mei 2009. Tahap ini digunakan

untuk “panajaman” terkait dengan arahan pembimbing untuk mengungkap

kontestasi sektoral dalam pembangunan sumberdaya agraria dan pedesaan yang

memarginalisasi kelembagaan komunitas di kawasan DAS Cidanau.

103 Matew, Miles dan Michael, Hubermmne, 1992. Analisis Data Kualitatif. Jakarta; UI Press.

Page 66: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

50

BAB IV

GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4.1. Kondisi Geografi Dan Demografi DAS Cidanau

DAS Cidanau seluas 22.620 hektar merupakan salah satu DAS di wilayah

Provinsi Banten. Kondisi geografis DAS Cidanau berbentuk topografi yang

didominasi oleh pegunungan di sebelah Utara dan Barat dan dataran rendah di

belahan Selatan dan Timur. Kawasan DAS Cidanau mencakup 38 desa (33 desa

berada di lima kecamatan di Kabupaten Serang dan lima desa di wilayah Kecamatan

Mandalawangi Kabupaten Pandeglang). Sungai Cidanau merupakan sungai utama

DAS Cidanau yang menampung aliran air dari sekitar 17 batang anak sungai besar

dan kecil (misal Cikalumpang, Cisaat, Cisawarna, Cibojong, Cikondang dan

Cicangkedan) yang bermuara di Selat Sunda.104

Kelerengan DAS Cidanau dibedakan atas lima klasifikasi, dataran dengan

kelerengan 0 - 8 derajat sekitar 39,36 persen, landai 8 - 5 derajat mencapai 15,16

persen, agak curam 15–26 derajat mencapai 19,19 persen, curam 25 - 40 derajat

sekitar 14,63 persen dan sangat curam > 40 derajat sekitar 11,66 persen. Tata guna

tanah di kawasan DAS Cidanau meliputi lahan sawah (30 persen), agroforestry (27

persen), kebun campuran (16 persen), rawa (9 persen), ladang (9 persen), hutan (7

persen) dan pemukiman (2 persen ).105

Jumlah penduduk di wilayah DAS Cidanau sebanyak 133.213 jiwa terdiri dari

66.872 jiwa laki-laki dan 66.341 jiwa perempuan. Berdasarkan klasifikasi struktur

umurnya dibedakan tiga golongan, yaitu usia anak-anak (0 - 15 tahun) berjumlah

52.770 jiwa (39,61 persen), usia produktif (16 - 60 tahun) sebanyak 74.259 jiwa

(55,74 persen) dan sisanya berusia lanjut sebanyak 6.184 jiwa (4,60 persen).

4.2. Kondisi Geografis Dan Demografis Lokasi Penelitian

Secara geografis desa/lokasi penelitian dijelaskan sebagai berikut. Desa

Citasuk sebagian wilayahnya daratan rendah dan tanah tadah hujan, sebagian besar

104 Rencana Teknik Lapangan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah DAS Cidanau, Bappeda

Kabupaten Serang – Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah (BRLKT), DAS Citarum-

Ciliwung, 1999.

105 Potensi dan Masalah DAS Cidanau. Forum Komunikasi DAS Cidanau (FKDC), 2005.

Page 67: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

51

aktivitas ekonomi penduduk untuk memenuhi kebutuhan pokoknya menanam padi,

palawija dan berdagang. Hal Ini berbeda dengan kondisi geografis Desa Cibojong

terbagi atas dua bagian, bagian bawah geografinya didominasi daratan rendah, lahan

sawah dan bagian atas terdiri dari lereng perbukitan yang digunakan penduduk untuk

pertanian lahan kering.

Kondisi geografi dan topografi Desa Citaman memiliki kategori desa hutan

dan sebagian besar aktivitas penduduknya adalah berladang, menanam tanaman

perkebunan dan agroforestry. Lokasi desa Citaman terletak di bagian Selatan kaki

Gunung Pangarang pada ketinggian sekitar 350 meter dari permukaan laut,

sedangkan Wilayah Desa Citasuk dan Desa Cibojong sekitar 300-325 meter dari

permukaan laut. Wilayah Desa penelitian dengan desa-desa sekitarnya dihubungkan

oleh area perkebunan rakyat, perkampungan, sungai, dan batas alam lainnya.

Bagi penduduk, kondisi topografi dan geografi bukan hanya sebagai sarana

mencari nafkah tetapi juga tempat tinggal sekaligus sarana membangun relasi sosial

dan kultural dengan lingkungannya. Ikatan sosial kultural penduduk dengan

lingkungannya terlihat dari kelembagaan lokal tata kelola sumberdaya agraria yang

hidup pada desa tersebut. Perkampungan Desa Citaman membentang dari Utara ke

Selatan. Pusat pemerintahan Desa berada di bagian Utara dan bawah wilayah desa,

sementara sebagian besar penduduk bermukim di bagian selatan dan atas desa. Area

perkebunan rakyat penduduk Desa Citaman berada di sekitar kampung terpencar

mengikuti pola penyebaran penduduk. Perkampungan wilayah Desa Citaman

dikelilingi oleh kebun penduduk.

Ini berbeda dengan perkampungan desa Citasuk, dikelilingi batas alam

(sungai, rawa dan sawah) dan batas buatan (jalan/gang). Landscape (bentang darat)

perkampungan Desa Citasuk membentang dari Barat ke Timur, dengan pusat

pemerintahan berada di tengahnya. Bentang darat perkampungan wilayah Desa

Cibojong dari Utara ke Selatan. Pusat Pemerintahan Desa berada di bagian Selatan,

sedangkan sebagian besar penduduk bermukim di bagian Utara desa. Bila diletakkan

dalam pembagian wilayah menurut Geertz,106

Desa Citaman dan Cibojong

106Geertz membedakan wilayah Indonesia atas Indonesia “dalam” dan Indonesia “luar”. Indonesia

dalam mencakup Jawa, Madura dan Bali, Indonesia luar meliputi wilayah yang tidak termasuk

wilayah Indonesia dalam. Wilayah Indonesia dalam dan luar, dibedakan atas dasar perbedaan ekologi

yang berdampak pada sistem pertanian. Di wilayah Indonesia “dalam” tanah subur, beririgasi teknis

Page 68: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

52

merupakan desa yang berada di wilayah Indonesia ”dalam”, tetapi memiliki

karakteristik topografi wilayah Indonesia luar. Sedangkan kondisi geografi Desa

Citasuk merupakan perpaduan Indonesia ”dalam” dan wilayah Indonesia ”luar”.

Landscape perkampungan masing-masing desa, tampaknya berimplikasi pada

intensitas interaksi sosial dan pertukaran informasi masyarakatnya inward looking

atau outward looking. Pembagian wilayah desa atas dan bawah, ternyata bukan

hanya secara fisik tetapi berkaitan dengan perbedaan akses dan posisi politik.

Pertukaran informasi antar penduduk Desa Citaman dan Cibojong cenderung inward

looking; kohesivitas, kerukunan dan kebersamaannya lebih kuat dibandingkan yang

berlangsung di Desa Citasuk yang bersifat outward looking.

Sebaran pemukiman penduduk yang terpilah atas dan bawah pada Desa

Citaman dan Cibojong ternyata ada kaitannya dengan hubungan sosial super

ordinate-sub ordinate.107

Di mana pemegang kekuasaan (ruling class) dan pusat

pemerintahannya pada kedua desa dikuasai oleh penduduk yang bermukim di bagian

bawah desa. Kondisi ini tidak terjadi di desa Citasuk, pemukiman penduduknya

tidak terbentuk atas dan bawah, melainkan menyebar pada sejumlah kampung.

Struktur sosial dan politiknya didasarkan tingkat penguasaan dan pemilikan aset

ekonomi (tanah, bentuk rumah, tingkat penghasilan, kendaraan bermotor dan

peralatan rumah tangga dan jenis pekerjaan).

Struktur fisik wilayah desa dengan variasinya juga berpengaruh terhadap

aktivitas pertanian, demografi dan ekonomi penduduk. Pengaruh kondisi geografi

desa terhadap demografi, antara lain terlihat dari perbedaan kepadatan, sebaran dan

struktur penduduk desa. Pada desa di mana struktur fisiknya sebagian besar berlereng

dan berbukit, kepadatan penduduknya lebih rendah dibandingkan desa yang struktur

fisiknya sebagian besar dari dataran. Struktur penduduk pada ketiga desa disajikan

pada Tabel 3.

lahan basah dan intensif; sedangkan di wilayah Indonesia “luar” kurang intensif dan pertanian lahan kering. Lihat Clifford Geertz, 1983. Involusi Pertanian. Jakarta: Bhratara. Tipologi Indonesia dalam

dan Indonesia luar yang dikemukakan Geertz dewasa ini mengalami perubahan, sentra padi dan

pertanian intensif bukan hanya ada di Jawa, Madura dan Bali tetapi juga tersebar di Pulau Sumatera,

Kalimantan dan Sulawesi.

107 Penduduk bagian atas Desa Citaman menyebut penduduk bagian bawah dan di pusat pemerintahan

desa sebagai urang landeuh, sedangkan penduduk bagian bawah menyebut penduduk bagian atas

sebagai urang tonggoh atau “urang gunung”/urang kebon. Sebutan urang landeuh dan urang tongoh

yang digunakan oleh warga tidak merupakan identitas budaya tetapi menggambarkan dinamika

interaksi komunitas. Diolah dari umber primer.

Page 69: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

53

Tabel 3. Struktur Penduduk Desa Citaman, Citasuk dan Cibojong Menurut

Kelompok Usia

No Nama Desa Citaman

Kelompok Umur Jenis Kelamin Jumlah Persentase

Laki-laki Perempuan

1 0 - 6 tahun 124 141 265 16,99

2 7 - 15 tahun 181 193 374 23,97

3 16 - 18 tahun 167 176 343 21,99

4 19 - 55 tahun 239 222 461 29,55

5 > 56 tahun 58 59 117 7,50

Jumlah 769 791 1.560 100,00

No Nama Desa Cibojong

Kelompok Umur Jenis Kelamin Jumlah Persentase

Laki-laki Perempuan

1 0 - 6 tahun 323 321 644 15,47

2 7 - 15 tahun 424 439 863 20,73

3 16 - 18 tahun 496 487 983 23,61

4 19 - 55 tahun 522 515 1037 24,90

5 > 56 tahun 319 318 637 15,29

Jumlah 2.084 2.080 4.164 100,00

No Nama Desa Citasuk

Kelompok Umur Jenis Kelamin Jumlah Persentase

Laki-laki Perempuan

0 - 6 tahun 461 527 988 14,57

7 - 15 tahun 634 689 1.323 19,49

16 - 18 tahun 744 796 1.540 22,69

19 - 55 tahun 912 1058 1.970 29,03

> 56 tahun 458 506 964 14,22

Jumlah 3.209 3.576 6.785 100,00 Sumber Diolah dari Monografi Desa Citaman, Citasuk dan Cibojong tahun 2008

Dari Tabel 3 diketahui bahwa struktur penduduk ketiga didominasi oleh

kelompok umur 19 - 55 tahun, masing-masing mencapai 29,55 persen, 29,03 persen

dan 24,90 persen. Kelompok umur selanjutnya yang dominan adalah penduduk

berumur 16 - 18 tahun, desa Citaman: 21,99 persen, desa Citasuk: 22,69 persen dan

desa Cibojong sebesar 23,61 persen. Pada masyarakat pedesaan penduduk dalam

kelompok umur 16 - 18 tahun termasuk kategori usia produktif, masuk dunia kerja

dan banyak telah melangsungkan pernikahan.

Bila kelompok umur 16 - 18 tahun dihitung sebagai kelompok umur

produktif, maka kelompok umur produktif di desa Citaman sebesar 51,54 persen,

desa Citasuk mencapai 51,72 persen dan desa Cibojong 48.51 persen. Jika kelompok

umur produktif dihitung dari 16 - 55 tahun dibandingkan dengan kelompok umur

belum produktif (0 - 15 tahun) dan kelompok umur kurang produktif (>55 tahun),

Page 70: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

54

maka perbandingan komposisinya di tiga desa penelitian adalah: Desa Citaman 54

persen, 40,96 persen, 7,5 persen; Desa Citasuk 51,72 persen, 34,06 persen, 14,22

persen dan Desa Cibojong 48.51 persen 36,20 persen dan 15,29 persen .

Data itu menunjukkan beban kelompok usia produktif paling besar terdapat

di desa Cibojong, mereka harus menanggung kelompok usia tidak produktif dan

kurang produktif sebesar 51,49 persen. Tingginya beban penduduk usia produktif di

desa Cibojong disebabkan tingginya persentase kelompok usia kurang produktif.

Beban penduduk kelompok usia produktif yang relatif kecil terdapat di desa Citaman,

karena kelompok usia produktif secara nyata masuk dan terlibat dalam berbagai mata

pencaharian dan pekerjaan baik di dalam desa maupun di luar desa.

4.3. Struktur Mata Pencaharian

Struktur mata pencaharian penduduk pedesaan pada umumnya dipengaruhi

oleh ketersediaan daya dukung sumberdaya dan tata letaknya. Sumber mata

pencaharian ketiga berada di sekitar desa dan di luar wilayah pemukiman. Merujuk

pada tipologi yang dikemukakan Smith dan Zopf, (1970) tipe pemukiman penduduk

ketiga desa dikategorikan sebagai the farm village tipe (FVT),108

yakni pola

pemukiman di mana penduduk/petani tinggal bersama-sama dan berdekatan dengan

lahan pertanian atau sekitar pemukiman.

Sumber mata pencaharian penduduk di lokasi penelitian dibedakan atas

sektor pertanian dan bukan pertanian. Sektor pertanian menjadi sumber mata

pencaharian/sumber nafkah utama warga di tiga desa, baik sebagai petani pemilik,

penggarap bagi hasil, pemegang hak gadai atau buruh tani. Persentase pekerjaan

sebagai petani di desa Citaman, petani pemilik 49,03 persen dan petani penggarap

21,75 persen, Desa Citasuk petani pemilik 37,12 persen dan petani penggarap 25,58

persen; Desa Cibojong petani pemilik 39,87 persen dan petani penggarap 29,16

108 Smith dan Zopf mengidentifikasi tipe pemukiman penduduk desa atas empat tipe: (1) the farm

village tipe (FVT), yakni pola pemukiman di mana penduduk (petani) tinggal bersama-sama dan

berdekatan di suatu tempat dengan lahan pertanian berada sekitar dan di luar lokasi pemukiman; (2)

the nebulous farm tipe (NFT), yaitu tipe FVT ditambah adanya sejumlah penduduk yang tinggal

tersebar di luar pemukiman; (3) the arranged isolated farm tipe (AIFT), yaitu pola pemukiman di

mana penduduk tinggal di sekitar jalan dan masing-masing berada di lahan pertanian mereka dan

trade center di tengahnya; (4) the pure isolated farm tipe (PIFT) yakni pola pemukiman yang

penduduknya tinggal dalam lahan pertanian mereka masing-masing, terpisah dan berjauhan satu sama

lain. Smith, T Lyn and Zopf, Paul. 1970. Principles of Inductive Rural Sociology, Philadelphia: Davis

Company.

Page 71: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

55

persen. Bila petani pemilik dan penggarap digabung maka pekerjaan sebagai petani

di Desa Citaman mencapai 70,78 persen; Desa Citasuk sebesar 62,70 persen dan

Desa Cibojong 69.03 persen. Gambaran mata pencaharian penduduk ketiga desa

disajikan dalam Tabel 4.

Tabel 4. Mata Pencaharian Penduduk Desa Citaman, Desa Citasuk dan

Desa Cibojong

No Mata Pencaharian Desa Citaman Desa Citasuk Desa Cibojong

1 Petani Jumlah % Jumlah % Jumlah %

2 Buruh Tani 327 49,03 457 37,12 395 39,87

3 Buruh Bangunan 145 21,75 315 25,58 289 29,16

4 Pedagang 78 11,69 152 12,35 112 11,31

5 Pegawai/industri 51 7,64 136 11,06 92 9,28

6 Lain – Lain 42 6,29 97 7,88 54 5,44

Jumlah 24 3,59 74 6,01 49 4,94

667 100 1.231 100 991 100 Sumber Diolah dari Monografi Desa Citaman, Cobojong dan Desa Citasuk tahun 2008

Di desa Citasuk persentase petani relatif kecil disebabkan proses

pembangunan ekonominya lebih intensif dan letaknya yang strategis (pinggir jalan)

dan semakin terbukanya jenis pekerjaan di luar sektor pertanian (pedagang, buruh

industri atau pegawai).109

Kondisi ini ditambah nilai upah buruh tani yang jauh lebih

rendah dari UMR daerah, sehingga sektor non pertanian (industri dan sektor

informal) di kota lebih memberikan harapan dari pada sebagai petani.

Salah satu bidang pekerjaan di luar pertanian yang menjadi pilihan penduduk

desa, adalah buruh bangunan dan buruh industri. Pekerjaan buruh bangunan,

biasanya dilakukan jika pekerjaan di huma, kebun dan sawah masa rengse (sedang

sepi). Keterlibatan warga sebagai buruh bangunan dan buruh industri karena adanya

jaringan sosial (kekerabatan, ketetanggaan dan pertemanan). Jaringan sosial/

pekerjaan buruh bangunan biasanya diawali dari salah satu warga mereka sebagai

mandor atau tukang. Mereka yang terlibat dalam pekerjaan buruh bangunan,

biasanya bekerja secara kelompok melalui mobilitas sirkulasi setahap dan tidak

menetap. Hal serupa pada penduduk yang menjadi buruh industri, sebagian besar

109Penurunan jumlah penduduk yang bekerja di sektor pertanian di desa Citasuk disebabkan semakin

terbukanya pilihan jenis pekerjaan di luar sektor pertanian dan adanya generasi muda/lulusan

SMU/SMK yang menganggap bekerja di sektor non pertanian lebih bergengsi dan terhormat daripada

bekerja di bidang pertanian. Di Desa Citasuk pergeseran ketenaga-kerjaan atau diversifikasi okupasi

dari sektor pertanian ke sektor non pertanian dengan migrasi sirkuler ke kota Serang, Tangerang dan

Jakarta.Diolah dari sumber primer.

Page 72: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

56

didapatkan melalui jaringan sosial dan individual dengan pola mobilitas sirkulasi

linier dan dilakukan secara bertahap kemudian menetap.

Jenis pekerjaan lain yang dilakukan oleh penduduk adalah kerajinan/industri

rumah tangga. Salah satu kerajinan yang memiliki nilai sosial historis dan ekonomi

di wilayah Ciomas dan Padarincang adalah kerajinan golok. Kerajinan golok menjadi

pranata ekonomi tradisional masyarakat Ciomas dan sekitarnya. Kerajinan golok

bukan hanya menyerap lapangan kerja dan sumber nafkah sebagian warga, tetapi

juga merupakan aktivitas ekonomi yang menopang keberlangsungan dan eksistensi

lapisan sosial jawara. Ketika posisi jawara semakin terdesak karena munculnya elit

politik formal dan meluasnya pembangunan pedesaan, kerajinan golok semakin tidak

popular. Keruntuhan kerajinan golok Ciomas karena tidak mampu bersaing dengan

produk sejenis berasal dari luar daerah dan impor yang membanjiri wilayah Ciomas

dan Padarincang.

Upaya mengembalikan populeritas kerajinan golok Ciomas dilakukan Pemda

setempat dengan membuat golok “raksasa”, berukuran panjang 7 m, lebar 40 cm dan

berat 2000 kg pada tahun 2005. Golok yang dibuat oleh pengrajian golok Ciomas

tercatat oleh Musium Record Indonesia (MURI) sebagai golok terbesar dan

terpanjang di Indonesia. Tetapi pencatatan golok Ciomas dalam MURI tidak mampu

membangkitkan kejayaan industri golok di wilayah itu.

4.4. Resiprositas dan Solidaritas

Setiap masyarakat mempunyai tatanan yang keberadaannya merupakan

keniscayaan pada setiap kebudayaan. Tatanan hidup yang senantiasa disosialisasikan

dalam komunitas di hulu DAS Cidanau adalah kelembagaan pipeling110

seperti silih

asah, silih asih dan silih asuh. Silih asah mengandung makna, setiap orang dituntut

untuk senantiasa saling memberi, mengasah dan bertukar pengalaman dan

pengetahuan. Silih asih berarti setiap orang harus selalu saling mencintai dan silih

asuh berarti saling membimbing sesuai posisinya dalam bermasyarakat.

110Kelembagaan pipeling merupakan tradisi, norma dan nilai budaya dalam kehidupan masyarakat

pada ketiga. Kelembagaan pipeling berisi sembilan puluh sembilan kata larangan dan sembilan puluh

sembilan kata anjuran yang berfungsi sebagai pedoman hidup dan terciptanya keharmonisan dan

kebersamaan dalam masyarakat.

Page 73: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

57

Melalui kelembagaan pipeling, kehidupan masyarakat senantiasa dalam

keseimbangan antara aspek jasmani rohani, dunia akhirat, pribadi dan sosial, privasi

dan publik dan hubungan manusia dengan Maha Kuasa dan hubungan manusia

dengan lingkungannya. Kelembagaan pipeling terlembagakan dalam proses interaksi

sosial laki-laki-perempuan, orang tua-anak/remaja dan antar sesama di tempat tinggal

dan ajang sosial kehidupan sehari-hari. Nilai silih asah, silih asih dan silih asuh

dalam kehidupan komunitas termanifestasikan dalam resiprositas dan solidaritas.

Kelembagaan pipeling juga termanifestasikan dalam struktur pemukiman

penduduk, di mana satu rumah dengan rumah warga lainnya tidak dibatasi oleh

pagar. Pagar pembatas antar rumah warga, tidak berbentuk fisik tetapi bersifat

abstrak berupa trust, kebersamaan dan kerukunan. Hubungan sosial antar warga

berlangsung dalam suasana keterbukaan dan kehangatan. Demikian pula halnya

dengan fungsi mesjid dan pemandian umum di sekitar Masjid, merupakan (1) sarana

sosialisasi kelembagaan pipeling (2) ajang sosial, pertukaran informasi dan bercerita

kaum perempuan dalam urusan rumah tangganya.

Dalam kehidupan warga, resiprositas dan solidaritas bagai dua sisi dari mata

uang, saling mengisi dan melengkapi. Solidaritas mempunyai makna bila diwujudkan

dalam bentuk tolong menolong, sebaliknya resiprositas mempunyai arti bila

diletakkan dalam bingkai solidaritas. Bentuk resiprositas dalam kehidupan

komunitas, dipengaruhi ikatan kerabat dan kekerabatan sosiologis.111

Praktik

resiprositas biasanya diutamakan pada kaum kerabat dekat yang kurang mampu,

disusul kerabat sosiologis, kemudian kerabat luas, dan baru kepada orang lain jika

masih ada sisa peluang. Dalam resiprositas, ada faktor-faktor tertentu yang

dipertimbangkan, kepada siapa “individu” paling berhak’ untuk turut serta, berbagi

dan memperoleh manfaat dari hasil aktivitas produksi pertanian dan kehutanan.

Dalam kehidupan warga, resiprositas dan solidaritas terpelihara melalui

pertalian kerabat, ketetanggaan dan ikatan salembur. Ikatan ketetanggaan dan ikatan

salembur, menimbulkan rasa bangga, cinta lembur, keengganan meninggalkan

lembur dan kerinduan untuk kembali ke lembur setelah ngumbara (merantau) dan

nyaba (mengunjungi kerabat lain). Di wilayah pedesaan, ikatan kerabat sosiologis

111Koentjaraningrat menyebut pengelompokkan sosial atas dasar kesamaan wilayah teritorial dengan

istilah kesatuan hidup setempat/kerabat sosiologis atau kinship affiliations (pergaulan kekerabatan).

Koentjaraningrat, 1985. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat.

Page 74: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

58

memiliki arti penting bagi kehidupan sosial ekonomi warga dan menjadi dasar bagi

terbangunnya ikatan sosial yang lebih luas, seperti terlihat dari ungkapan jauh-jauh

oge dulur dan dulur-dulur oge jauh.

Ikatan lain yang sederajat dengan ikatan genealogis dan kerabat sosiologis

adalah ikatan hak milik yang bersifat fungsional. Perpaduan ikatan genealogis dan

ikatan sosiologis bersifat laten, menjadi aktual bila diperkuat dengan ikatan hak

milik.112

Perpaduan ketiga ikatan yang berlangsung lama melahirkan praktik tata

kelola sumberdaya agraria bersifat khas. Untuk Desa Citaman perpaduan ketiganya

disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Sebaran Ikatan Hak Milik, Ikatan Kerabat Sosiologis dan Ikatan

Kerabat Genealogis Dalam Komunitas Desa Citaman No Lembur/Kampung Ikatan Hak

Milik

Ikatan Kerabat

Sosiologis

Ikatan Kerabat

Genealogis

1 Citaman - + +

2 Cibarugbug + - +

3 Sibopong Landeuh + + +

4 Sibopong Girang + - +

5 Sibopong Tengah + + -

6 Pamatang + - +

7 G. Sumbul Girang + + +

8 G.Sumbul Landeuh. + + + Catatan: Tanda + dan – tidak bersifat absolut, hanya mengindikasikan faktor dominan.

Diolah dari wawancara dengan informan kunci.

Pemilikan dan penguasaan sumberdaya yang berhimpitan dengan ikatan

kerabat sosiologis dan kerabat genealogis, mengakibatkan akses terhadap

sumberdaya tidak sepenuhnya individual dan tertutup. Terdapat mekanisme yang

bersifat sosial dan redistributif atas sumber-sumber ekonomi dan nafkah hidup yang

berada di dalam wilayah lembur atau desa, baik sederhana maupun yang relatif besar

dari ukuran dan nilai sumberdaya yang dikorbankan. Hasil panen padi dan buah-

buahan (kopi, durian, cengkeh, petai, jengkol, dukuh, rambutan dan kelapa) selain

untuk dijual ke pedagang pengumpul/tengkulak, pemiliknya senantiasa berbagai dan

mengalokasikan hasil panennya untuk warga yang dipandang pantas.113

112 Lihat Thorns, David & Willmott, Bill. 1983. “Class, Locality and Family: Bases of Communion in

a Locality”. Dalam Crow, Graham (Ed.). 1986. The Sociology Of Rural Communities. Vol. II. US:

Edward Elgar Publishing Company.

113 Pelaksanaan mekanisme redistributif dilakukan atas dasar “konsensus”, tidak berlaku atas seluruh

komoditas hasil kebun/sawah terutama komoditas yang memiliki nilai ekonomi tinggi, seperti buah

durian, cengkeh dan petai. Pemilik mengutamakan distribusi hasil panen komoditas tersebut

berdasarkan jasa yang diberikan dan derajat hubungan sosialnya. Diolah dari sumber primer.

Page 75: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

59

Resiprositas antar kuren (rumah tangga) tidak satu berbanding satu, tetapi

bersifat proporsional, mutualistis dan berlangsung secara periodik (bulanan dan

tahunan) sesuai dengan siklus kehidupan komunitas (tujuh bulanan, khitanan,

perkawinan, kematian). Resiprositas dan solidaritas warga, bentuknya bervariasi

sesuai dengan status sosial dan kemampuannya, dapat berbentuk curahan tenaga

maupun materi. Dalam acara siklus tahunan berbagai kelompok sosial berperan serta

baik jalma boga/jalma beunghar (berstatus sosial ekonomi tinggi) atau jalma teu

boga (berstatus sosial ekonomi rendah atau miskin).

Dalam analisis Scott, resiprositas dan solidaritas sebagai karakteristik dari

kehidupan komunitas pra-kapitalis.114

Di hulu DAS Cidanau, resiprositas dan

solidaritas bersifat fungsional dan berperan sebagai sarana pencapaian tujuan

bersama dan jaminan keamanan subsistensi minimum. Resiprositas dan solidaritas

merupakan modal sosial komunitas,115

dan menjadi solusi masalah ketika warga

menghapi kesulitan ekonomi. Sejalan dengan meluasnya komoditifikasi sumberdaya

agraria di wilayah pedesaan, resiprositas dan solidaritas mengalami transisi, seperti

halnya proses transisi elit yang berlangsung pada ketiga desa, yang gambarannya

dapat disimak pada uraian selanjutnya.

4.5. Transisi Elit

Struktur sosial desa penelitian dibangun atas tiga pilar: yakni kiai, jawara,

dan Pamong Desa. Dari tiga pilar tersebut, kedudukan kiai dan jawara cenderung

semakin melemah, sebaliknya peran pamong desa dan kelompok pegawai negeri

semakin kuat. Di wilayah pedesaan, kedudukan kiai sebagai elit lokal, berperan

sebagai pemimpin ritual keagamaan, pendidik santri dan pembimbing moral umat. Di

114Scott memandang resiprositas sebagai bagian dari “etika subsistensi”, karena adanya kekhawatiran

kekurangan pangan dan sebagai konsekuensi dari kehidupan yang berada atau dekat dengan garis

batas kemiskinan. Resiprositas berperan untuk mengatasi kesulitan ekonomi yang tak terelakkan yang

diderita oleh warga petani. Lihat James, Scott, 1989. Moral Ekonomi Petani: Pergolakan dan

Subsistensi di Asia Tenggara. Jakarta, LP3ES.

115Modal sosial pada komunitas di lokasi penelitian tidak terbatas pada modal sosial yang bersifat

integrasi atau bonding tetapi juga modal sosial yang dikategorikan bridging social capital. Lihat

Woolcock, M and Narayan, D. (2000). Social Capital: Implications for Developments Theory,

Research, and Policy. The World Bank Research Observer, vol. 15, no. 2 (August, 2000). Beugelsdijk

S, Smulders, S, 2003. Bridging and Bonding Social Capital: Which Type is Good for Economic

Growth?. Faculty of Economics. Tilburg University. [email protected] and [email protected].

Page 76: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

60

luar peran tradisionalnya sejumlah kiai, tertarik dengan dinamika politik lokal dan

lingkungan, seperti Ustaz Bachrani dalam pengorganisasian petani hutan.116

Keterlibatan kiai dalam dinamika politik lokal dilakukan melalui pemanfaatan

forum keagamaan (pengajian rutin, manakiban dan ajang sosial) dengan

menyampaikan ”wejangan agama” yang disisipi muatan politik. Pentingnya menjaga

kekompakkan dan keutuhan kerabat, disisipi pesan memilih partai dan orang tertentu

sebagai kemaslahatan; dan kemudaratan (keburukan) tidak memilih orang/partai

tertentu. Dalam kapasitasnya sebagai publik figur dan pemuka pendapat,

penyampaian pesan agama yang diberi makna tertentu (muatan politik) terlihat

berdampak positif terhadap perolehan suara calon kepala desa yang dijagokannya

dan terbukti efektif membentuk dan menggiring opini masyarakat sesuai dengan

kepentingan politiknya.117

Keterlibatan Kiai Muhaimin Saleh dalam politik praktis bukan hanya dalam

panggung politik lokal (pemilihan Kepala Desa Citaman), tetapi juga berkiprah

dalam partai Golkar sejak tahun 1996 (masa Partai Golkar dipimpin oleh Harmoko),

yakni sebagai pengurus Satkar Ulama Golkar Kecamatan Ciomas, Kabupaten

Serang. Tak berlebihan bila sebagian masyarakat menyebutnya sebagai kiai Golkar.

Pilar kedua dalam struktur sosial masyarakat di lokasi penelitian adalah

jawara.118

Dalam wilayah Ciomas dan Padarincang, jawara memiliki tempat dan

peran dalam masyarakat dan merupakan ciri khas dari struktur sosial di Kabupaten

Serang dan wilayah Banten pada umumnya. Peran sosial yang menonjol dari jawara

khususnya dalam keterampilan bela diri dan penguasaan ilmu kekebalan. Dalam

masyarakat, khususnya di wilayah Kecamatan Ciomas dan Padarincang, jawara

dibedakan atas dibedakan atas jawara ngora dan jawara kolot. Jawara ngora

mengandalkan kemampuan otot, tindakan dan keputusannya sering tidak

116Kepedulian terhadap lingkungan terlihat dari sikapnya yang kritis dalam menyikapi penyusutan

debit air Rawa Danau. Tokoh masyarakat meyakini penebangan kayu di kawasan hutan Pangarang

tidak dilakukan oleh penduduk setempat, kalaupun ada yang terlibat, mereka hanya diperalat oleh

”orang luar” yang tidak bertanggung jawab. Diolah dari sumber primer.

117Keterlibatan kiai dalam politik praktis mampu mendongkrak perolehan suara calon kades dan

menang mutlak dalam pemilihan Kades Citaman tahun 2007. Diolah dari sumber primer.

118Istilah Jawara memiliki dua pengertian: (1) Akronim dari jago,wani dan rahul. Jago menunjuk

pada seorang yang bertubuh kekar dan kuat, wani berarti berani bertarung dan rahul berarti banyak

omong kosong/berbohong. (2) Akronim dari jujur dan wara. Jujur berarti mengatakan apa adanya,

yang benar dikatakan benar dan yang salah dikatakan salah dan wara berarti hati-hati memilih

pendapatan untuk menafkahi keluarga. Diolah dari sumber primer

Page 77: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

61

mempertimbangkan akal sehat. Jawara ngora sering diidentikkan dengan akronim

jago, wani dan rahul. Jawara kolot diakronimkan dengan jujur dan wara. Jawara

kolot merujuk pada sikap, tindakan dan pertimbangan matang dan pengalaman. 119

Secara sosiologis, jawara tidak bersifat homogen, melainkan bersifat hirarkis

dan heterogen, ada pemilahan atas senioritas dan junioritas. Kategori ini didasarkan

atas penguasaan ilmu kanuragan (ilmu yang berkaitan dengan teknik-teknik menjaga

kekebalan tubuh) dan jangkauan pengaruh kekuasaannya. Merujuk pada pendapat

Hobsbawm (dalam Kartodirdjo, 1984) secara sosiologis jawara hampir menyerupai

bandit sosial, yakni seseorang yang terpaksa melakukan tindakan kriminal tetapi

hasilnya tidak dinikmati sendiri melainkan sebagian dibagikan kepada orang-orang

miskin.

Karenanya jawara seperti bandit sosial, disanjung dan dipuja sebagai

“pahlawan sosial”, sekaligus dibenci/dicaci maki di luar komunitasnya, karena sering

melakukan tindakan kriminalnya yang merugikan.

Lapis ketiga yang menonjol dalam bangunan struktur masyarakat di lokasi

penelitian adalah pamong desa dan pegawai negeri. Dalam struktur sosial pedesaan,

pamong desa berada di puncak piramida, karena posisinya sebagai pengendali,

pelaksana dan pemegang kekuasaan tertinggi di wilayahnya.120

Meskipun nominal

gaji Kepala Desa lebih kecil dari gaji pegawai negeri, tetapi dengan terlibat dalam

berbagai proyek pembangunan pedesaan mendapatkan keuntungan ekonomi secara

langsung maupun tidak langsung. Keuntungan langsung yang diterima Kepala Desa

adalah ”uang kadeudeuh”, komisi sekitar 5% dari nilai transaksi jual beli tanah dan

biaya administrasi pemungutan PBB (Pajak Bumi dan Bangunan).

Keuntungan yang tidak langsung berasal dari proses administrasi pendataan

warga yang berhak menerima BLT, Jamkesmas, SKTM (Surat Keterangan Tidak

Mampu), kompor gas, raskin dan “proyek” pembangunan ekonomi pedesaan. Dari

keuntungan langsung dan tidak langsung (pendapatan resmi dan tidak resmi), bila

119 Sebutan itu menggambarkan proses evolusi linier kehidupan seorang jawara. Perilaku baragajul,

kumaha kula merupakan titik awal dan puncak dari perjalanan hidup jawara ngora. Sejalan dengan

bertambahnya usia, pahit manisnya kehidupan kemudian berangsur mengalami transformasi menjadi

handap asor (rendah hati). Diolah dari sumber primer.

120 Kedudukan Kepala Desa sebagai kepala pemerintahan tertinggi di desa memungkinkannya untuk

mendapat peluang ekonomi langsung maupun tidak langsung, dengan terlibat dalam berbagai proyek

pembangunan ekonomi dan infrastruktur pedesaan. Mantan Kepala Desa menuturkan, dari

pengalaman sebagai Kepala Desa ia dapat mengembalikan jumlah dana yang dikeluarkan dalam

pemilihan Kepala Desa, berinvestasi di sektor pertanian termasuk membeli sebidang tanah. Diolah

dari sumber primer.

Page 78: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

62

diakumulasi nilainya cukup besar hampir setara dengan sekitar 1 ha tanah sawah

(Citasuk) dan tanah kebun di Cibojong dan Citaman.

Kelompok sosial lain yang diuntungkan oleh pembangunan adalah pegawai

negeri, karena memiliki pendapatan yang relatif tetap dan terhindar dari goncangan

ekonomi dan musim paceklik.121

Pendapatan yang diterimanya memungkinkan

berinvestasi dalam sektor pertaniaan. Pegawai negeri, pamong desa, pekerja sektor

formal dan pedagang merupakan kelompok di luar petani yang berperan sebagai elit

ekonomi lokal dan pemilik tanah luas di desa.

Munculnya pemilik lahan yang bukan petani, menggambarkan terjadinya

transformasi penguasaan tanah dan elit pedesaan dari elit tradisonal dan informal ke

tangan elit pemerintah desa/elit formal. Di wilayah penelitian transformasi elit lokal

dihela modernisasi pedesaan dan pemberlakuan UU No. 5 tahun 1979 tentang

Pemerintahan Desa. Struktur kepemimpinan pedesaan yang sebelumnya berada di

tangan elit keagamaan dan kokolot, bergeser ke kepemimpinan formal seperti

pamong desa. Tampilnya Kepala Desa sebagai elit lokal, disebabkan perannya

sebagai pengendali tunggal pembangunan pedesaan dan kebijakan floating mass

yang mengasingkan massa dari pemimpin politik yang berakibat melemahnya

kepemimpinan informal dan kharismatik di wilayah pedesaan. Arah pembangunan

yang lebih mengutamakan aspek material mengakibatkan pemimpin informal,

kehilangan aura dan pengaruhnya di masyarakat. Sementara itu modernisasi dan

pendirian SD Inpres, berdampak pada penurunan anak-anak desa menimba ilmu di

pesantren yang berakibat terputusnya kaderisasi kepemimpinan informal

4.6. Kelembagaan Lokal

Sebelum terbentuknya pemerintahan desa, di Desa Citaman terdapat

kelembagaan kajaroan, pimpinannya disebut jaro yang berperan sebagai pengelola

pemerintahan desa dan memiliki hak penguasaan tanah kajaroan (istilah lokal

untuk tanah jabatan). Kajaroan merupakan kelembagaan lokal dan berperan sebagai

pemerintahan “adat”. Di wilayah kesultanan Banten juga terdapat kelembagaan hak

121Musim paceklik adalah masa sulit untuk memenuhi kebutuhan pangan karena gagal panen.

Pegawai negeri pada umumnya terhindar dari musim paceklik, bahkan sebagian pegawai negeri dari

tabungannya dapat membeli tanah. Diolah dari sumber primer.

Page 79: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

63

penguasaan tanah, yakni sawah negara, sawah ganjaran/ pusaka laden atau

pecaton, tanah kawargaan, tanah kanayakan, tanah pangawulaa dan tanah yasa.

Pemegang tanah kawargaan dan tanah kanayakan berhak atas bagi hasil

panen dan tenaga kerja (cacah) untuk membuka tanah baru atau untuk melakukan

pelbagai macam kerja bakti. Sawah ganjaran/pusaka laden atau pecaton merupakan

hak penguasaan tanah yang dimiliki anggota kerabat Sultan dan berasal dari

pemberian Sultan. Status ganjaran/pusaka laden adalah hak milik dan dapat

diwariskan secara turun temurun tetapi tidak dapat dipindah-tangankan kepada pihak

lain. Di wilayah kesultanan Banten juga terdapat berbagai praktik, tradisi dan ritual

berkaitan dengan proses rangkaian tata kelola sumberdaya agraria seperti mipit,

ngirab sawan, ngaseuk, nganyaran, ngalaksa (selamatan).

Lembaga kajaroan merupakan sarana mobilisasi ekonomi, tenaga kerja dan

perpanjangan tangan Sultan di wilayah pedesaan dan sekaligus menjadi tulang

punggung stabilitas politik. Kajaroan bertugas menentukan tata cara dan haluan

pemerintahan, menyelenggarakan musyawarah bersama kokolot untuk menentukan

pelaksanaan kegiatan pertanian. Dalam kehidupan sosial, kajaroan berperan

sebagai “pengetua adat”, perekat dan pengikat tata hubungan antar anggota

masyarakat dan kesultanan. Dalam tata kelola sumberdaya agraria, kajaroan

memiliki kewenangan administratif dan bertanggungjawab menyelesaikan persoalan

tanah. Kajaroan bertindak sebagai penghubung antara kajaroan dengan “abdi

dalem” (diangkat dan diberi tugas oleh Sultan untuk memungut upeti dan pajak dari

petani serta cukai perdagangan dari pedagang). Sebagai imbalannya, Sultan

memberikan tanah pangawulaan kepada abdi dalem.

Setelah kesultanan Banten jatuh ke tangan kolonial Belanda, beban kajaroan

semakin berat karena harus memobilisasi tenaga kerja dan memungut pajak hasil

bumi.122

Tekanan pemerintah kolonial Belanda yang semakin berat juga mendorong

para demang melakukan pemerasan dan bertindak sewenang-wenang123

yang

122 Akibat beban kerja yang berat para bujang lari dari tuannya. Ulasan penderitaan rakyat di wilayah

kesultanan Banten, lihat C. Fasseur, 1987. “Tentang Lebak” dalam Ibrahim Alfian, Koesoemanto,

H.J., Hardjowidjono dan Djoko Suryo: Dari Babad dan Hikayat Sampai Sejarah Kritis. Yogyakarta:

Gadjah Mada University Press.

123 Seperti perampasan kerbau milik ayah Saijah yang dilakukan oleh demang Parangkujang (kerabat

Bupati Lebak Raden Adipati Karta Negara). Lihat H.B. Jassin/G Termorshuizen, 1985. Max Havelaar

atau Lelang Kopi Maskapai Dagang Belanda.

Page 80: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

64

memicu timbulnya keresahan sosial dan pemberontakan petani di Banten serta

meluasnya keresahan sosial di pelbagai wilayah lain di Indonesia. Keresahan sosial

itu dipicu oleh kebijakan pemerintah kolonial Belanda, mengeluarkan sejumlah

peraturan (reglement) tentang kehutanan yang membatasi hak, akses masyarakat

terhadap hutan. 124

Pembatasan akses masyarakat terhadap sumberdaya hutan terus

berlanjut sampai runtuhnya kolonial Belanda dan Bala Tentara Dai Nippon125

.

Secara de facto sejak proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945

Indonesia menjadi negara merdeka. Tetapi politik agraria kolonial Belanda menjiwai

politik agraria nasional, karena pemerintah melegitimasi peraturan perundangan

Kolonial Belanda yang bersifat kapitalis dan eksploitatif. Legitimasi hukum kolonial

dalam sistem hukum agraria nasional, memberikan ruang gerak yang bebas bagi

negara dan pemilik modal untuk menguasai dan mengeksploitasi sumberdaya agraria,

yang ternyata berdampak negatif terhadap dinamika kelembagaan komunitas.

Gambarannya dapat disimak pada bab selanjutnya.

124 Untuk memperkuat landasan hukum eksploitasi hutan, pemerintah Kolonial Belanda mengeluarkan

sejumlah reglemen. Reglemen 1874, cakupannya menembus ke wilayah kesultanan (Vorstenlanden);

Reglemen 1879 mengatur kepemilikan negara atas hutan dan penggolongan hutan atas hutan tetap dan

tidak tetap; Reglemen 1879 memperkuat genggaman Belanda terhadap penguasaan hutan di Hindia

Belanda; Reglemen 1913 mengatur pengamanan hutan dan ancaman sanksi pidana bagi yang

melanggar; Ordonansi 1927 mengatur pemberian sanksi pidana bagi pelanggar dan perusak hutan dan

Kebijakan Tata Guna Hutan Kesepakatan pada tahun 1935. Berbagai reglemen tersebut

mengakibatkan semakin terbatasnya akses dan termarginalkannya kehidupan masyarakat sekitar

hutan. Lihat Salim, 2004, Dasar-Dasar Hukum Kehutanan. Jakarta: Sinar Grafika.

125 Bala Tentara Jepang mengeluarkan Undang-Undang No. 1 tahun 1942 yang berisi penegasan

berlakunya peraturan-peraturan dari pemerintahan masa penjajahan Belanda dan Ordonansi Hutan

1927. UU tersebut ditujukan untuk memobilisasi penduduk Indonesia melawan sekutu dan

meneruskan eksploitasi sumberdaya hutan di Indonesia. Salim, 2004, Dasar-Dasar Hukum

Kehutanan. Jakarta: Sinar Grafika.

Page 81: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

65

BAB V

DINAMIKA TATA KELOLA SUMBERDAYA AGRARIA BERBASIS

KELEMBAGAAN LOKAL

5.1. Pendahuluan

Seiring berjalannya waktu interaksi manusia dengan sumberdaya agraria

(air, tanah dan hutan) disertai upaya pemeliharaan dan pembuatan aturan main

pemanfaatannya berupa adat, tradisi, norma, yang disebut kelembagaan. Bagi

komunitas, sumberdaya agraria bukan hanya sebatas komoditas tetapi memiliki

makna sosial, kultural bahkan “religi”. Kelembagaan tata kelola sumberdaya

komunitas yang terdapat di Indonesia bervariasi dan unik sesuai dengan kondisi

ekologi dan ruang sepasialnya. Salah satu keunikan tata kelola sumberdaya itu

adalah kelembagaan lokal: buyut, pipeling, liliuran yang terdapat di hulu DAS

Cidanau Kabupaten Serang Provinsi Banten.

Kelembagaan tata kelola sumberdaya agraria di wilayah ini terkait dengan

tradisi, pandangan hidup dan nilai sosial budaya Sunda. Dalam pandangan orang

Sunda, memelihara sumberdaya sama pentingnya dengan mempertahankan

kelangsungan hidup dan peradaban. Pemanfaatan sumberdaya yang berlebihan,

apalagi merusaknya akan berimplikasi negatif bagi kelanjutan kehidupan dan

peradaban manusia. Gambaran tata kelola sumberdaya agraria di lokasi penelitian

dapat disimak pada uraian bab ini.

5.2. Kearifan Lokal Tata Kelola Sumberdaya Agraria

Kelembagaan tata kelola sumberdaya agraria di lokasi penelitian meliputi

kearifan lokal konsepsi tanah, tata guna tanah, zonasi hutan (leuweung),

kelembagaan buyut dan pipeling, dan kearifan lokal tentang tanaman pangan dan

obat.

5.2.1. Konsepsi dan Tata Guna Tanah

Istilah yang digunakan warga untuk menyebut tanah adalah taneuh atau

lemah. Kata ini sering dipertukarkan dengan lembur (kampung) dan dikaitkan

dengan cai (air), lemah cai (tanah air) seperti terangkum pepatah Sunda: ”ka cai

Page 82: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

66

jadi sa leuwi ka darat jadi sa logak”. Pepatah ini mengandung makna bahwa

konsep tanah dipahami secara luas dan holistik. Pemahaman warga tentang tanah

tidak dilihat dalam bentuk fisik semata-mata tetapi dalam horizon luas.126

Secara

fisik tanah merupakan bagian dari permukaan-lapisan kulit bumi untuk menanam

tanaman dan tempat membuat tapak rumah. Dalam arti luas tanah merupakan

tempat berlangsungnya berbagai peristiwa kehidupan (kelahiran, perkawinan,

mencari nafkah, ibadah dan kematian). Sehingga manusia sepanjang hidupnya

membutuhkan dan tergantung pada tanah. Paling sedikit terdapat tiga kebutuhan

manusia yang pemenuhannya berkaitan dengan tanah: (1) Manusia membutuhkan

tanah untuk memperoleh pendapatan guna menunjang dan kelangsungan

kehidupan.127

(2) Manusia memerlukan tanah untuk mendirikan rumah sebagai

tempat tinggal.128

(3) Manusia membutuhkan tanah untuk tempat tinggalnya yang

terakhir pada saat mengakhiri hidupnya di dunia.

Pemahaman warga tentang tata guna tanah dibedakan atas lahan

basah/sawah dan lahan kering. Tata guna lahan kering mencakup pemanfaatan

tanah untuk pekarangan, kebun, kebun campuran, talun kebun dan ladang. Tata

guna tanah basah penggunaannya untuk tanaman padi dan berbagai jenis tanaman

palawija. Kedua jenis tanah tersebut pada mulanya berasal dari pembukaan hutan

dan ladang. Pemanfaatan dan tata guna lahan kering di lokasi penelitian

berlangsung secara linier: berawal dari pembukaan hutan menjadi ladang,

kemudian menjadi kebun, talun kebun dan terakhir pekarangan dan pemukiman.

Warga menyebut pekarangan pada sebidang tanah di sekitar tempat tinggal

yang sekelilingnya ditanami berbagai jenis tanaman semusim dan tahunan.

126 Bandingkan dengan tulisan Sediono MP Tjondronegero dan Gunawan Wiradi, ”Menelusuri

Pengertian Istilah Agraria”, Jurnal Analisis Sosial, Vol.9, No.1 April 2004.

127 More menyatakan, pemilikan de facto atas tanah merupakan ciri pokok yang membedakan

petani dan bukan petani. Bagi komunitas petani tanah merupakan bagian penting kehidupan. Lihat

Henry Landsberger, 1984. Pergolakan Petani dan Perubahan Sosial, Jakarta: Rajawali Press.

Wolf dalam Scot (1989) menyatakan petani merupakan produsen pertanian dengan penguasaan

efektif pada tanah, mengganggu tanah petani berarti mengusik statusnya sebagai produsen

pertanian, karena tanah merupakan tulang punggung hidupnya. James Scott, 1989. Moral Ekonomi

Petani: Pergolakan dan Subsistensi Di Asia Tenggara. Jakarta: LP3ES.

128 Tanah dianalogikan dengan perempuan/ibu pertiwi, tempat manusia membangun tapak rumah,

meskipun sempit bila diserobot akan dipertahankan dengan nyawa. Lihat Paschalis Laksano,

”Tanpa Tanah, Budaya Nir Papan, Antropologi Antah Berantah”, dalam Lounela, Anu dan R

Yando Zakaria (eds), 2002. Berebut Tanah Beberapa Kajian Perspektif Kampus dan Kampung.

Yogyakarta: Insis Press dan Karsa.

Page 83: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

67

Karakteristik utama yang membedakan pekarangan dengan ladang, kebun, talun

kebun, adalah adanya rumah pada pekarangan. Pepohonan sekitar rumah atau

pekarangan selain berfungsi sebagai pembatas juga bernilai ekonomi dan

konservasi. Pohon buah-buahan di pekarangan berfungsi ganda, menghasilkan

buah-buahan untuk kebutuhan keluarga dan dijual, sekaligus pelindung tanah dari

bahaya erosi, mengatur tata air, memelihara kesejukan dan keteduhan tempat

tinggal.

Warga membedakan ladang, kebun, talun kebun atas dasar jenis dan

susunan tanaman yang ditanam. Kebun merujuk pada sebidang tanah yang

didominasi oleh jenis tanaman semusim dan memerlukan curahan waktu dan

tenaga untuk merawatnya. Kebun campuran adalah sebidang yang ditanami

berbagai jenis tanaman semusim dan tahunan yang keragamannya relatif tinggi.

Sedangkan talun merujuk pada sebidang tanah yang ditanami tanaman tahunan

atau jenis tanaman keras (untuk kayu bakar atau bangunan) dan buah-buahan.

Sebutan talun mangga atau talun cengkeh untuk menggambarkan bahwa di dalam

kebun terdapat dominasi tanaman mangga atau cengkeh dan adanya suksesi

(pergantian) tanaman. Proses suksesi biasanya disebabkan menurunnya

produktivitas, atau jenis komoditi tertentu sedang naik daun yang mendorong

pemiliknya menanam tanaman yang diperkirakan hasilnya memiliki nilai jual

lebih tinggi. Talun jenis ini secara perlahan akan menjadi kebun (karena adanya

dominasi tanaman tertentu) atau kebun campuran (yang ditumbuhi campuran jenis

tanaman semusim dan tahunan). Tata guna tanah lahan kering di lokasi penelitian

disajikan pada Gambar 2.

Selain tata guna tanah yang diuraikan di atas, warga juga mengenal tata

guna tanah untuk tanah pertanian (taneuh tatanen), tanah tempat tinggal (taneuh

bumenan), tanah tempat ibadah dan tanah kuburan, tanah kaguronan, kajaroan

Lahan Kering

Kebun Campuran

kering

Lahan Pemukiman

PPPemukimankerin

Lahan di Luar Pemukiman

Pekarangan

kering

Kebun

kering

Talun Kebun

kering

Ladang

kering

Gambar 2.Tata Guna Tanah Petani Desa Citaman & Cibojong

Page 84: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

68

dan tanah perburuan. Warga memandang tanah yang baik untuk huma dan kebun

adalah tanah yang kemiringannya di bawah 30˚, karena lapisan permukaan tanah

relatif stabil. Sebaliknya permukaan tanah dengan kemiringan 45˚-75˚ akan

mengalami erosi dan dapat menurunkan kesuburan tanah, kapasitas dan daya

menahan air jelek, peka terhadap erosi dan vegetasinya kebanyakan berupa

belukar dan pohon yang berbatang lurus. Pada tanah yang kemiringannya di

bawah 45˚ bergelombang dan agak landai, dinilai warga cocok untuk ladang.

Warga setempat memiliki pengetahuan tanah tatanen berdasarkan arah

mata angin, di mana bidang tanah yang baik untuk pertanian adalah yang

membujur dari utara ke selatan. Pepohonan yang ditanam pada bidang tanah

tersebut pertumbuhannya lebih cepat dan hasilnya lebih produktif, karena

mendapat sinar matahari yang cukup.

Warga juga memiliki pengetahuan tentang tata guna tanah untuk tempat

tinggal, tempat ibadah dan kuburan. Menurut warga, tanah yang baik untuk

tempat tinggal adalah berupa hamparan datar dan letaknya tidak jauh dari sumber

mata air. Bila tidak memiliki tanah datar, tingkat kemiringan tanah yang sesuai

untuk tempat tinggal adalah tanah yang kemiringannya di bawah 30 derajat. Hal

ini didasarkan pertimbangan praktis untuk meratakannya tidak memakan waktu

dan tenaga kerja yang besar.

Tanah yang baik untuk tempat ibadah (masjid dan musholla) adalah

letaknya lebih tinggi dari tempat tinggal dan berada di tengah perkampungan. Ini

terkait dengan pemahaman warga, bahwa masjid bukan hanya tempat shalat tetapi

juga berfungsi sebagai sarana berjama'ah (bersosialisasi), pendidikan dan ajang

sosial.129

Lokasi ideal untuk tanah kuburan letaknya lebih tinggi dari tempat tinggal

dan berada di luar/sekitar kampung, bebas dari genangan air hujan dan suara

bising. Warga senantiasa memilih lokasi yang ideal untuk kuburan terkait dengan

tradisi menghormati buyut/leluhur dan ikatan batin anak dengan orang tua/leluhur,

tidak berakhir dengan kematian. Keberlanjutan ikatan batin dipelihara melalui

129Tempat ibadah sebagai ajang sosial terkait dengan fungsinya untuk berjamaah (berkumpul),

bertukar fikiran untuk pemandian umum (laki-laki dan perempuan), tempat mencuci pakaian dan

bahkan bagi kaum perempuan kehidupan sehari-harinya berawal dan berakhir dari pemandian

umum di sekitar masjid. Diolah dari sumber primer.

Page 85: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

69

tradisi berziarah pada hari-hari yang dianggap penting (Hari Raya Idul Fitri,

menyambut kedatangan bulan Ramadhan). Ikatan batin antara yang hidup dengan

yang mati diwujudkan dengan memelihara kuburan dan menanam pepohonan

yang rindang dan area kuburan tidak boleh dijadikan ladang.130

Tata guna yang cukup unik di lokasi penelitian adalah adanya tanah

kaguronan dan tanah kajaroan. Tanah kaguronan merujuk pada peruntukan dan

pemanfaatan tanah untuk tujuan pengembangan pendidikan. Status tanah

kaguronan merupakan tanah wakaf (tanah yang diberikan oleh warga untuk

kepentingan syi’ar Islam) terutama kemajuan pendidikan Islam. Tanah kajaroan

adalah tanah jabatan yang dimiliki aparat desa khususnya sekretaris desa

berbentuk kebun/lahan kering. Sedangkan tanah jabatan kepala berupa sawah

disebut sawah pangiwaan.

Berkaitan dengan sejarah status tanah kaguronan (di desa Citaman)

terdapat dua sumber. Sumber pertama menyatakan bahwa tanah kaguronan

berasal dari wakaf warga untuk kemajuan pendidikan Islam. Pendapat ini

didukung oleh fakta sampai sekarang di sekitar tanah kaguronan masih terdapat

Pondok Pesantren Subulus Salam yang diasuh oleh Kyai Mufti. Sumber kedua

menyatakan bahwa tanah keguronan berasal dan merupakan hadiah dari

Kesultanan Banten pada masa Sultan Agung Tirtayasa atas jasa masyarakat

Ciomas dalam pengembangan pendidikan Islam. Tanah tersebut diberikan oleh

Sultan Banten kepada para guru yang menyiarkan agama Islam di wilayah

Ciomas. Tanah keguronan adalah pertanda kepedulian dan terima kasih Sultan

kepada para guru yang telah mengembangkan pendidikan Islam. Pendapat kedua

argumentasinya tidak didukung oleh fakta keterkaitan antara masyarakat Citaman

dengan kesultanan Banten. Dewasa ini sebagian tanah kaguronan menjadi tempat

kantor kelurahan dan lapangan sepak bola ”milik” Pemerintah Kecamatan

Ciomas.

130 Kawasan kuburan berfungsi sebagai “kawasan konservasi komunitas”, keragaman hayati di

kawasan tersebut kelestariannya menjadi tanggung jawab bersama. Diolah dari sumber primer.

Page 86: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

70

5.2.2. Zonasi Hutan (Leuweung)

Warga menyebut hutan dengan leuweung, merujuk pada kawasan tempat

tumbuh kembangnya beragam flora dan fauna yang menjadi sumber kehidupan

dan tempat kehidupan manusia yang telah meninggal (buyut, karuhun) dan

makhluk halus. Pengertian ini menunjukkan bahwa pemahaman warga tentang

leuweung tidak secara fisik dan spesifik tetapi juga sosial religius. Warga juga

mengenal zonasi hutan, yang meliputi leuweung bukaan, leuweung kolot, dan

leuweung titipan.

Leuweung kolot atau leuweung tutupan merupakan area hutan yang

dipersepsi warga sebagai kawasan hutan yang dititipkan dan diamanatkan para

leluhur kepada incu putu untuk dilindungi dan dipelihara. Sebagai titipan para

leluhur akses dan pemanfaatan warga setempat pada leuweung kolot bersifat

terbatas. Pengambilan manfaat leuweung kolot baik berupa kayu maupun non

kayu harus memperhatikan nilai-nilai kabuyutan dan keberlanjutannya. Warga

diperkenankan untuk mengambil manfaat dalam bentuk hasil kayu maupun non

kayu, sepanjang tidak melanggar buyut dan berdasarkan kesepakatan dan restu

kokolot. Pengambilan hasil kayu dibatasi hanya untuk memenuhi kebutuhan

rumah tangga dan tidak boleh untuk keperluan komersial.

Sesuai dengan sebutannya, leuweung tutupan dipersepsi masyarakat

seperti “pintu” bisa dibuka dan ditutup. Leuweung tutupan berfungsi sebagai

“hutan cadangan”. Warga setempat mempercayai barang siapa yang melakukan

eksploitasi leuweung kolot akan tertimpa kebendon (kemalangan). Meskipun tidak

dikeramatkan, pemanfaatan sumberdaya hutan leuweung kolot harus

memperhatikan buyut atau etika konservasi.

Komunitas desa Citaman merujuk leuweung kolot pada kawasan hutan

lindung yang berada pada bagian tengah gunung Pangarang. Kawasan leuweung

titipan dimaknai oleh warga sebagai hutan pembatas, dalam arti pembatas antara

kawasan hutan yang terlarang (buyut) untuk mengambil manfaat ekonomi dengan

kawasan hutan yang “boleh” dimanfaatkan yang diawasi secara ketat. Secara

ekologis kawasan leuweung kolot berfungsi sebagai pengatur siklus hidrologi

hutan dan mengeksploitasinya akan berakibat rusaknya pengatur siklus hidrologi

yang dapat menimbulkan bencana banjir.

Page 87: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

71

Leuweung titipan merupakan kawasan hutan yang dititipkan

buyut/karuhun kepada incu putu untuk dilindungi dan dipelihara. Mereka

menganggap leuweung titipan merupakan area tempat bersemayamnya

makhluk/roh halus dan karuhun, dan mereka pula yang menjaganya. Warga

setempat menempatkan dan memaknai leuweung titipan sebagai hutan keramat.

Tata kelola dan perlakuan warga terhadap leuweung kolot dan leuweung titipan

pada prinsip sama, warga dilarang (buyut) mengeksploitasinya. Hanya saja

leuweung titipan dikeramatkan, tidak diperkenankan mengambil manfaat hutan

baik dalam bentuk hasil kayu maupun non kayu.

Warga desa Citaman merujuk leuweung titipan pada kawasan hutan

lindung yang terletak di atas gunung Karang. Secara ekologis kawasan ini

memiliki fungsi yang sama dengan leuweung kolot sebagai pengatur siklus

hidrologi hutan, sehingga eksploitasi hutan berakibat rusaknya pengatur siklus

hidrologi hutan yang dapat menimbulkan banjir. Leuweung titipan oleh komunitas

disebut sebagai sirah cai (sumber mata air dan pusat keseimbangan ekosistem).

Zona hutan ketiga yang dikenal warga adalah leuweung bukaan atau

sampalan (hutan budidaya). Leuweung bukaan merupakan kawasan hutan yang

telah digarap dan dikelola untuk kegiatan huma dan kebun. Pengelolaan leuweung

bukaan oleh warga berdasarkan kearifan lokal. Aktivitas pertanian yang dilakukan

warga pada sampalan senantiasa memperhatikan keberlanjutannya. Pengelolaan

dan pengusahaan sampalan tidak boleh menyebabkan erosi tanah dan kepunahan

varietas tanaman/tumbuhan yang terdapat di sampalan. Kearifan lokal yang

dimiliki warga bersumber dari pesan dan ajaran leluhur yang disosialisasikan

secara lisan dari generasi ke generasi, seperti tertuang dalam pepatah: Leuweung

kakaian, gawir awian, legok balongan. Artinya: Hutan tanami kayu, tebing tanami

bambu dan lembah jadikan kolam.131

Bagi warga pepatah itu berfungsi sebagai rujukan, tuntunan moral dan

pedoman dalam aktivitas berhuma dan berkebun. Tata kelola sampalan diarahkan

untuk senantiasa menjaga hubungan harmonis antara manusia dan sumberdaya

131 Dalam masyarakat Baduy di Kabupaten Lebak Banten, terdapat pikukuh (aturan) dalam

pengelolaan sumberdaya agraria yang berbunyi: “Gunung teu meunang dilebur, lebak teu menang

dirusak, sasaka teu menang direumpak”. Artinya: Gunung tidak boleh dihancurkan, dataran tidak

boleh dirusak dan tanah suci tidak boleh diacak-acak. Lihat, Judistira K. Garna, 1999. Metode

Penelitian Pendekatan Kualitatif. Bandung: Primaco Akademika.

Page 88: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

72

hutan sebagai bagian dari ritme budaya.132

Hubungan harmonis ditunjukkan dari

perilaku hidup bersahabat dengan hutan dan pemanfaatan hutan sebagai bagian

dari mempertahankan keberlanjutan budaya. Arah orientasi pemanfaatan hutan

secara berkelanjutan ditopang oleh tradisi dan religi, bahwa dunia ini tempat

persinggahan sementara menuju kehidupan kekal di akhirat.

Pemanfataan leuweung bukaan bukan hanya untuk menghasilkan tanaman

yang dapat menopang kehidupan keluarga dan komunitas tetapi juga didasarkan

semangat untuk mempertahankan fungsi ekologis hutan bukaan sebagai pengatur

tata air. Tanaman yang ditanam oleh petani di leuweung bukaan merupakan

tanaman multikultur (beragam pohon buah-buahan secara bersama dengan pohon

kayu-kayuan yang membentuk hamparan hutan) dan menjunjung etika konservasi.

Sistem olah tanah dilakukan dengan gilir balik dan tapak siring, budidaya tanaman

dengan mengikuti daur musim dan pengambilan kayu dengan sistem tebang pilih.

Pemanfaatan hutan secara demikian dalam upaya menjaga keharmonisan dan

keberlanjutan sumberdaya hutan. Sejalan dengan komoditifikasi sumberdaya

hutan, kearifan lokal tentang zonasi hutan dan tradisi praktik tata kelolanya

dewasa ini semakin tergerus.

5.2.3. Domestikasi Tanaman Pangan dan Obat

Tanaman pangan dan obat yang dibudidayakan komunitas petani sesuai

dengan kondisi ekologi wilayah Serang Selatan yang sebagian besar berupa

perbukitan. Dari penggalian informasi pada sejumlah narasumber, pengetahuan

warga setempat tentang tanaman pangan terutama varietas padi lokal bervariasi.

Pengetahuan warga tentang varietas padi lokal terdiri atas lima jenis, seperti

diuraikan berikut.

1. Klasifikasi padi berdasarkan warna berasnya, yakni pare hideung (padi/ketan

hitam), pare bodas (padi putih) dan pare beureum (padi merah). Dari tiga jenis

padi itu terdapat variannya yang ditanam tergantung pada lahan huma. Varietas

padi merah yang biasa ditanam adalah Ramanteun.

132 Bagi masyarakat setempat hutan merupakan mata rantai dari sistem sosio-religius dan ekologis,

seperti tempat penyelenggaraan acara ritual, pelepasan nazar, doa, kegiatan liliuran dan macak

(makan bersama). Diolah dari sumber primer.

Page 89: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

73

2. Klasifikasi atas padi biasa dan padi ketan (pare ketan). Padi biasa dibedakan

oleh petani atas varietas Melati, Ramanteun dan Mayang. Padi ketan

diidentifikasi berdasarkan karakteristik utamanya, yakni rasanya enak, gurih,

pulen dan likat (sticky) yang dikonsumsi hanya waktu-waktu tertentu, seperti

upacara selamatan atau kue tradisional seperti kue oli dan tape (peyem).

3. Klasifikasi berdasarkan ada tidaknya bulu sekam: pare bulu dan pare tidak

berbulu. Padi berbulu dapat terhindar dari hama pemakan padi misalnya

burung pemakan padi seperti burung pipit, tikus dan babi hutan.

4. Petani membedakan padi berdasarkan bentuk, ukuran dan warna bulu butir

padi, seperti pare sabeulah (padi sebelah) karena bentuk butirnya tipis dan

pare kasumba, (pare warna violet) karena bulu biji padinya berwarna kasumba.

Varietas padi ini diidentifikasi berdasarkan morfologi dan warna biji padi.

5. Klasifikasi padi menurut umurnya sampai panen, padi di bawah enam bulan

yang disebut pare hawara dan padi berumur normal (enam bulan) yang

disebut pare hawara bunar. Klasifikasi umur padi membantu petani untuk

merencanakan penanaman padi.

Merujuk pada pemilahan varietas padi atas kelompok javanica,

sinica/indica dan javanica, maka varietas padi lokal yang ditanam oleh komunitas

petani di DAS hulu Cidanau termasuk padi kelompok javanica. Karakteristik

varietas kelompok javanica, umur tanaman padi relatif panjang, berdaun lebar,

jerami tinggi dan biji padi tidak mudah rontok, sehingga dapat mengurangi

gangguan dari burung pemakan padi seperti burung pipit, tikus dan babi hutan.

Selain menanam padi lokal kelompok javanica, komunitas petani juga

menanam beberapa jenis tanaman tambahan di huma, seperti cengek/cabe rawit

(Capsium frutesces), kacang panjang (Vigna sinensis), dangdeur/pisang (Manihot

utilisama), bonteng/ketimun (Cucuxumis sativus), terong (Sanumum melongena).

Penanaman tanaman itu umumnya untuk keperluan sendiri, kadangkala dijual

sebagai tambahan penghasilan.

Selain menanam berbagai jenis tanaman pangan, komunitas petani

memiliki pengetahuan lokal tentang tanaman obat, jenis-jenis penyakit yang dapat

diobati dengan tanaman obat. Dari hasil wawancara mendalam dan diskusi

terfokus, warga mengetahui sekitar 55 (lima puluh lima) jenis tumbuhan yang

Page 90: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

74

dapat dimanfaatkan sebagai obat tradisional. Dari lima puluh lima jenis tumbuhan

tersebut dikelompokkan ke dalam tujuh macam habitus (kelompok), yaitu pohon,

herba, semak, tumbuhan memanjat, semak, rumput dan lainnya. Dari lima puluh

jenis tumbuhan obat yang diketahui dan dimanfaatkan oleh warga sebagian besar

terdiri dari pepohonan yang mencapai 25 jenis tumbuhan, (lihat lampiran 1.a).

Sebagian warga mengetahui cara pengolahan, kegunaan dan pemanfaatan

ke dua puluh lima jenis tumbuhan tersebut. Dari kelompok habitus herba yang

biasa dimanfaatkan warga untuk obat-obatan adalah getah batang, satu jenis yaitu

Parahulu (Amomum Oculeatum); bagian daun tiga jenis: Kumis Kucing, Ciriwuh

dan Jonge; bagian batang dua jenis: Sariawan dan Ilat; bagian kulit batang satu

jenis yaitu Kanyere; rimpang dua jenis yaitu Loa Gajah dan Koneng Beurang;

bagian Kulit Umbi satu jenis yaitu Taleus; dan akar satu jenis yaitu Cau Galek,

(lihat lampiran 1.b).

Bagian-bagian dari kelompok habitus pepohonan yang dapat dipergunakan

untuk pengobatan mencakup kulit batang, bagian batang, bagian daun,133

bagian

getah batang (Angsana), bagian pucuk daun: Jambu Batu dan bagian buah satu

jenis yaitu Gaharu. Warga menggunakan dan memanfaatkan habitus pepohonan

untuk mengobati 22 jenis penyakit, dengan cara ditumbuk, dibuat tuak, diperas

getah/air, dikerik batang/ranting, direbus. Setelah diolah kemudian dijadikan obat

untuk mengobati berbagai jenis penyakit. Untuk obat sakit panas, menambah

stamina, sakit kuning, sakit perut, mencret, demam diolah dengan cara direbus

kemudian diminum. Untuk sakit gigi dan gatal dengan cara ditempel di bagian

tubuh yang sakit dan untuk mengobati bisul dan borok dengan cara dibalurkan.

Habitus lainnya yang didomestikasi oleh warga adalah kelompok herba: 11

jenis, Semak: 7 jenis, Perdu: 4 jenis, Tumbuhan memanjat: 3 jenis, Lainnya: 4

jenis dan rumput 1 jenis. Dari penggalian informasi di lapangan diketahui bahwa

warga setempat mengetahui berbagai jenis perdu dan tumbuhan semak yang dapat

dipergunakan untuk mengobati berbagai jenis penyakit tertentu. Pengetahuan

warga terhadap habitus perdu yang dapat digunakan untuk mengobati penyakit

133 Bagian kulit batang yang dapat digunakan untuk obat adalah Jeunjing, Kitoke, Lame, Teureup,

Andul, Beunying, dan Pisitan; bagian batang: Muncang, Awi Koneng, Cangkore, Bisoro,

Kondang, Kimerak; bagian daun meliputi: Lampeni, Nangka, Awi Apus, Cangkudu, Tundun,

Kisabrang, Kicapi dan Sangkar Badak. Diolah dari sumber primer.

Page 91: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

75

mencakup empat jenis: Kiajag, Katepeng, Jeruk Nipis dan Harendong. Sedangkan

habitus semak yang dapat digunakan untuk mengobati penyakit mencapai tujuh

jenis yaitu Babakoan, Heuras Tulang, Keji Beling, Singgugu, Amis Mata, dan

Salak, (lihat lampiran 1.c).

Dari enam habitus tumbuhan yang diketahui oleh warga bila dibandingkan

dengan jumlah jenis tumbuhan obat yang disusun menurut Buku Indeks

Tumbuhan Obat Indonesia tahun 1986 dan 1995, diketahui jumlah tumbuhan obat

yang dimanfaatkan masyarakat yang sudah terdaftar adalah sebanyak 47 jenis.

Jumlah ini menunjukkan bahwa jenis-jenis tumbuhan tersebut juga dimanfaatkan

oleh masyarakat lain di wilayah Indonesia. Penggunaan tumbuhan obat tersebut

oleh warga digunakan untuk mengobati penyakit yang sama atau penyakit yang

berbeda. Sedangkan 8 delapan jenis tumbuhan lainnya belum terdaftar dalam

Buku Indeks Tumbuhan Obat Indonesia tahun 1986 dan 1995. Kedelapan jenis

tumbuhan tersebut adalah 4 jenis dalam habitus pepohonan yaitu Kitoke (Albizia

Tomenntella ), Cangkore, (Albizia Tomenntella), Garu (Gonystillus Macrophylus)

dan Sangkar Badak (Voacanga Grandifolia), 2 jenis dalam habitus Herba yaitu

Laja Goah (Catimbium Malaccensis) dan Ilat (Scleria Purpuscens); satu jenis

dalam habitus Perdu Harendong (Melastoma Polyanthum) dan satu jenis habitus

lainnya, yaitu Kihadangan (Fissitigma Latifolium).

Pengetahuan warga setempat tentang jenis-jenis tumbuhan obat ternyata

berkorelasi dengan pengetahuan mereka tentang cara pengolahan, penggunaannya

dan jenis-jenis penyakit yang dapat diobati oleh jenis tumbuhan tersebut.

Sebagaimana diuraikan di atas dari lima puluh lima jenis tumbuhan, warga

setempat menggunakannya untuk mengobati 32 jenis penyakit.

Kearifan lokal tentang tanaman obot-obatan dapat menjadi salah satu

bentuk pengobatan alternatif dan berpotensi meningkatkan pendapatan masyarakat

bila diberdayakan dengan melibatkan berbagai pihak yang kompeten. Sejauh ini

langkah itu belum dilakukan secara optimal, rendahnya political will dan

pemberdayaan masyarakat yang kurang sinergis menyebabkan kearifan lokal itu

berkembang secara optimal bahkan cenderung layu.

Page 92: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

76

5.2.4. Buyut dan Pipeling: Pengawal Keserakahan

Istilah buyut dimaknai atas dua hal: pertama sebagai silsilah, garis

keturunan, kedua sebagai seperangkat nilai dan kearifan lokal. Secara genealogis,

buyut merupakan cara menentukan kedudukan ego dalam silsilah kekerabatan.

Dalam masyarakat Sunda silsilah kekerabatan sampai tujuh turunan/generasi (dari

atas ke bawah atau dari bawah ke atas) disebut sabondoroyot .134

Seseorang yang terjalin ikatan karena perkawinan (afiniti) atau pertalian

ikatan darah (konsanguiti) dalam sabondoroyot (dari ayah atau ibu) disebut dulur

urang atau wargi. Kedudukan ego sebagai dulur urang dalam sabondoroyot

dibedakan atas dulur anggang dan dulur deukeut. Dari segi ini buyut dimaknai

keluarga luas sampai generasi ketiga yang terbentuk atas dasar perkawinan

(afiniti) atau pertalian ikatan darah (konsanguiti).

Pengertian kedua buyut adalah seperangkat nilai, norma, dan adat yang

berfungsi sebagai aturan main, pedoman dan rujukan interaksi antar warga dan

tata kelola sumberdaya agraria. Dalam pengertian ini buyut mengandung dua hal:

(1) Buyut berarti suci, maksudnya (a) merupakan bentuk pembeda antara yang

dianggap sakral dan tidak sakral/profan; (b) merupakan bentuk pembatasan

akses dalam hal-hal tertentu atas dasar gender (aturan yang mengatur pekerjaan

yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan oleh laki-laki dan perempuan).

(2) Buyut diartikan sebagai tabu atau terlarang. Dalam ungkapan warga, buyut

berarti teu meunang (tak boleh melakukan hal-hal yang dianggap

tabu/terlarang), seperti perkawinan dengan saudara sepupu. Buyut adalah

norma dan etika masyarakat tidak tertulis yang merupakan kebiasaan

(folkways), cara (usage) dan adat-istiadat (customs).135

Dari dua pengertian di atas disimpulkan bahwa buyut merupakan

mekanisme dan aturan warga setempat untuk menjaga kepentingan bersama,

keadilan, keharmonisan dan keseimbangan hubungan antar manusia dan hubungan

134 Istilah silsilah turunan dalam masyarakat Sunda: bapak, aki/kakek, buyut, bao, janggawareng,

udeg-udeg dan gantung siwur atau anak, incu, buyut, bao, janggawareng, udeg-udeg dan gantung

siwur. Diolah dari sumber primer.

135 Buyut dapat disejajarkan dengan adat dalam konsepsi Vallonhoven atau folkways menurut

Sumner yang merupakan pedoman perilaku komunitas. Lihat Surjo Wingnjodipuro, 1983.

Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat. Jakarta: Gunung Agung dan Koentjaraningrat, 1986.

Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru.

Page 93: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

77

manusia dengan sumberdaya agraria. Dalam tata kelola sumberdaya, buyut

merupakan pranata lokal dan mekanisme pengendalian sosial, aturan main

pemanfaatan sumberdaya agraria. Mekanisme tersebut ditujukan untuk mencegah

seseorang mengambil hak yang bukan haknya, adanya kepastian dan kesamaan

akses warga terhadap sumberdaya produktif pada suatu kawasan.136

Secara

ekologis aturan buyut dimaksudkan untuk memberi waktu kepada sumberdaya

untuk tumbuh dan berproduksi secara sempurna. Secara sosiologis mekanisme

tersebut untuk menciptakan pemerataan dan keadilan, mencegah orang untuk

bertindak serakah dan membatasi ruang bagi penunggang kepentingan.

Dalam praktik tata kelola sumberdaya agraria, buyut diwujudkan dengan

memadukan produksi dan konservasi. Praktik sistem olah tanah konservasi

dilakukan dengan menerapkan teknologi gilir balik, ngaseuk dan pemulian bibit

unggul, larangan menangkap ikan di sungai dengan tuba, berburu selain babi dan

menjual hasil buruan untuk tujuan komersial dan menebang pohon yang rimbun di

hutan tutupan. Warga juga menganggap buyut (tabu) mengambil pucuk kelapa,

cengkir dan kelapa muda, agar panen kelapa berlangsung secara periodik dan

serentak dalam jumlah besar dengan harga optimal. 137

Dalam tata kelola sumberdaya agraria, keberadaan buyut ditopang oleh

kelembagaan pipeling yang merupakan unsur penting budaya dan pandangan

hidup orang Sunda. 138

Orang Sunda memiliki keyakinan yang kuat pada

kekuasaan Tuhan, pada nasib, dan kesadaran dirinya merupakan bagian kecil dari

alam semesta. Dalam pemahaman orang Sunda, di luar diri manusia terdapat

alam semesta, masyarakat dan super natural, ketiganya memiliki kekuatan untuk

mempengaruhi tingkah laku manusia. Alam memiliki hukum alam, masyarakat

136 Kelembagan buyut dapat disejajarkan dengan pikukuh pada komunitas Baduy Luar atau di luar

kampung tangtu. Lihat Judistira K Garna, “Masyarakat Baduy di Banten” dalam Koentjaraningrat,

dkk, 1993. Masyarakat Terasing di Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Pratama.

137 Dampak dari desakralisasi buyut mengakibatkan, hancurnya desa Citaman sebagai sentra kelapa

di Kecamatan Ciomas. Pudarnya Desa Citaman sebagai sentra kelapa disebabkan meningkatnya

kebutuhan kelapa muda sejalan dengan perkembangan kota Serang menjadi Ibu Kota Provinsi

Banten.

138 Pandangan hidup orang sunda dapat dibedakan atas komponen potensi (pandangan hidup yang

mencerminkan sifat-sifat khas personal), komponen tingkah laku dan komponen aspirasi (yang dikejar dan dihindari dalam hidup). Lihat Suwarsih Warnen 1985 Pandangan Hidup Orang Sunda.

Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda, Jakarta: Departemen Pendidikan

dan Kebudayaan

Page 94: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

78

memiliki nilai dan norma, super natural memiliki kekuasaan untuk mengadakan

dan meniadakan. Untuk keharmonisan dan tercapainya kehidupan yang dicita-

citakan diperlukan guru (pengajar atau ajaran) yang disebut pipeling untuk

menuntun manusia agar mendapat keterangan yang benar.

Kelembagaan pipeling yang hidup dalam komunitas berisi seratus tuntunan

dan seratus larangan. Seratus tuntunan hidup tersebut disarikan atas silih asih,

silih asuh, silih asah, lihat lampiran 1.d) dan seratus larangan disarikan atas silih

benci, silih fitnah dan silih curiga, lihat lampiran 1.e). Seratus tuntunan dan

seratus larangan terus menerus dinternalisasi agar lingkungan masyarakat dan

lingkungan alam dapat memberikan manfaat sebesar-besarnya kepada manusia.

Sosialisasi dan internalisasi kelembagaan pipeling didorong untuk saling

mengingatkan, karena tingkah laku manusia bergayut di antara dua

kecenderungan, yaitu patuh pada tuntunan atau melanggar larangan. Dalam

bahasa seorang informan: “Tingkah laku manusia tidak mungkin selamanya baik

karena tidak selamanya menjadi bayang-bayang Gusti Nu Suci, tetapi juga tidak

selamanya berbuat jahat karena tidak selamanya menjadi bayang-bayang setan.”

Pernyataan ini menegaskan bahwa manusia yang baik dan bijak adalah manusia

yang dapat menjaga dan mempertahankan keseimbangan dalam hidup. Pentingnya

keseimbangan hidup pada komunitas desa ditunjukan oleh penghargaan posisi

tengah: “Hidup tidak berkekurangan dan juga tidak berlebihan, makan sekedar

tidak lapar dan minum sekedar tidak haus.” 139

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa buyut dan pepeling dalam

komunitas petani merupakan norma, aturan main dan mekanisme supaya manusia

senantiasa dalam keseimbangan. Buyut dan pipeling merupakan aturan main untuk

memelihara keharmonisan hubungan sosial dan hubungan manusia dengan alam.

Sumberdaya agraria akan memberikan manfaat yang optimal kepada manusia, bila

dirawat dan dipelihara sesuai dengan tuntutnan, dan hanya dipergunakan

seperlunya. Sebab bila sumberdaya dipergunakan berlebihan, tanpa perawatan,

alam akan berbalik menimbulkan malapetaka dan kesengsaraan pada manusia.

139 Diolah dari sumber primer. Ungkapan ini sesuai dengan Sunnah Rasul: “Makanlah bila lapar

dan berhenti sebelum kenyang”.

Page 95: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

79

Pembelajaran yang diperoleh dari kelembagaan buyut dan pipeling di

komunitas hulu DAS Cidanau adalah:

1. Pesan moral yang mengedepankan keselarasan kebutuhan manusia dan

keberlanjutan sumberdaya. Pemanfaatan yang berlebihan dan pemerkosaan

daya dukung lingkungan akan menghancurkan masa depan kehidupan manusia

sendiri. Memelihara sumberdaya agraria (tanah, air dan hutan) sama

pentingnya dengan menjaga eksistensi manusia, karena manusia merupakan

komponen ekosistem.

2. Substansi dari kelembagaan buyut dan pipeling adalah pengaturan hak-hak

tertentu seperti hak pakai, hak menguasai, hak mengalihkan, hak mendapatkan

keuntungan ekonomi yang layak dan akses yang adil terhadap sumberdaya.

Hak atas sumberdaya merupakan mekanisme untuk menjaga keseimbangan

hubungan sosial, hubungan agraria dan hubungan manusia dengan Pencipta.

3. Penghayatan kelembagaan buyut dan pepeling dalam tata kelola sumberdaya

agraria diwujudkan dalam bentuk sistem olah tanah konservasi dengan

menerapkan teknologi pertanian gilir balik (rotated farming), ngaseuk, coo

benih (pemuliaan padi bibit unggul), masa tanam mengikuti daur musim140

dan

pergiliran tanaman,141

pemberantasan hama tanaman ramah lingkungan,

penggunaan alat berburu yang tidak merusak lingkungan (sumpit, golok),

berburu hanya diizinkan untuk binatang pengganggu pertanian (babi hutan),

hasil kegiatan berburu dinikmati bersama dan dilarang menggunakan tuba

dalam menangkap ikan di sungai.

4. Kelembagaan buyut dan pipeling merupakan visi dan orientasi tata kelola

susmberdaya agraria yang mengintegrasikan produksi dan konservasi.

140Penentuan kegiatan mulai tanam atau taram, didasarkan atas pemantauan gejala alam mata poe

geus dengdek ngaler, lantaran jagad urang nggues mimiti tiis (Matahari sudah ada di sebelah

utara, bumi kita sudah mulai dingin) merupakan waktu yang tepat untuk turun kujang dan

membersihkan semak ladang bakal huma. Diolah dari sumber primer.

141 Menurut petani pergiliran tanaman merupakan cara untuk menghindari penyerapan unsur-unsur

hara tanah oleh tanaman tertentu dan salah satu cara memutus siklus kehidupan hama yang

menyerang tanaman. Pergiliran tanaman padi dengan kacang-kacangan dimaksudkan untuk

menambah kadar unsur nitrogen di dalam tanah. Sehingga pergiliran tanaman merupakan

merupakan cara yang efektif untuk melakukan konservasi tanah dan mempertahankan sifat-sifat

fisik tanah. Bandingkan dengan pandangan Forth tentang masalah ini. Henry Forth, D. 1984.

Fundamental of Social Science. Michigan USA. John Willey and Son.

Page 96: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

80

Karena itu pada tempatnyalah kelembagaan lokal tata kelola sumberdaya

mendapat ruang dalam politik agraria sesuai dengan lokalitas dan ruang

kulturalnya. Pengintegrasian produksi dan konservasi dalam praktik tata kelola

sumberdaya didasarkan pengutamaan keberlanjutan daripada “keuntungan sesaat”

dan adaptabilitasnya dengan dinamika sosial ekonomi di luar komunitasnya.

5.3. Dinamika Kelembagaan Agroforestry

5.3.1. Kelembagaan Agroforestry

Agroforestry merujuk pada sistem penggunaan lahan relatif permanen

yang memadukan budidaya tanaman kayu kehutanan dan pertanian (tanaman

semusim dan tahunan).142 Aktivitas agroforestry di hulu DAS Cidanau merupakan

bentuk adaptasi, akomodasi dan inovasi petani dengan kekuatan sosial ekonomi

supra lokal. Dalam lima tahun terakhir perkembangan aktivitas agroforestry di

wilayah ini dipengaruhi oleh tiga hal: (1) dukungan kelembagaan lokal tradisi

saling asah, saling asih dan saling asuh sebagai modal sosial komunitas untuk

mengusahakan agroforestry berbiaya transaksi rendah. (2) akses transportasi, lalu

lintas perdagangan komoditas hasil kebun semakin lancar dan (3) informasi harga

pasar komoditas yang semakin terbuka.

Tanah yang dialokasikan oleh warga untuk aktivitas agroforestry adalah

bidang tanah dengan relief relatif datar dan landai atau berombak dengan

kemiringan sekitar 8 -15 derajat. Tanaman yang ditanam pada area agroforestry

merupakan kombinasi tanaman musiman dan tanaman tahunan, komposisinya

sekitar 40:60 persen. Bentuk agroforestry yang dikembangkan petani adalah

bercocok tanam ganda, di mana terdapat intercropping antara tanaman kehutanan

dengan tanaman pertanian yang membentuk suatu tajuk yang berlapis.143

Penanamannya dilakukan secara bersama-sama atau rotasi sesuai dengan

pengetahuan dan pengalaman petani tentang sifat-sifat genetik dan daya adaptasi

tanaman. Jenis tanaman yang dipilih petani biasanya tanaman yang efisien dalam

142 Uraian tentang agroforestry lihat Junus Kartasubrata, 2003. Sosial Forestry dan Agroforestry di

Asia. Bogor: Lab Politik Ekonomi dan Sosial Kehutanan Fakultas Kehutanan IPB; Johan Iskandar,

2001. Manusia, Budaya dan Lingkungan. Bandung: Humaniora Utama Press.

143 Lihat Van der Meer The Ecology Intercropping. Cambridge: Cambridge University Press.

Page 97: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

81

pemanfaatan sinar matahari, percampuran tanaman tahan naungan dan tanaman

tidak tahan naungan secara komplementer agar tanaman produktif.

Pengetahuan petani tentang agroforestry tidak terbatas pada karakteristik

budidaya tanaman, tetapi juga mencakup pengetahuan tata guna dan teknik

pengolahan tanah yang dapat mempertahankan kesuburan tanah. Bidang tanah

untuk agroforestry ditata secara tera sering, menanam tanaman penguat teras,

pembuatan dan pemeliharaan saluran pembuangan air, pembutan rorak, guludan,

menanam tanaman penutup tanah yang mengurangi erosi tanah dan air. Untuk

meningkatkan kesuburan tanah petani memanfaatkan serasah dedaunan dan

penggunaan pupuk kandang secara optimal.

Kondisi ini menunjukkan tata guna tanah dan praktik agroforestry petani

dikategorikan sistem olah tanah konservasi. Pengolahan tanah pada bidang

agroforestry sedapat mungkin dapat menahan infiltrasi air hujan, mengurangi

aliran permukaan, menahan erosi dan pelapukan bahan organik tanah supaya

kesuburan tanah terus terpelihara. Praktik olah tanah konservasi yang dilakukan

petani terlihat dari penggunaan peralatan tradisional dan konvensional.

Setelah tanah dibersihkan, tidak seluruhnya diolah (dibajak dan digaru),

petani hanya menugal atau mengaseuk bagian tanah yang akan ditanami padi,

palawija dan kacang-kacangan. Dengan cara mengolah tanah demikian, tidak

terjadi pelapukan bahan organik, tanah tidak mudah terinfiltrasi dan terhindar dari

erosi dan kesuburan tanah terpelihara. Sistem olah tanah seperti ini kondusif dan

efektif untuk konservasi tanah dan air, mengatur sistem hidrologi dan memberikan

efek positif kepada iklim mikro wilayah Desa Citaman dan Cibojong.

Penanaman tanaman kehutanan dan pertanian yang dilakukan petani

dengan sistem tajuk berlapis. Hal ini dilakukan, selain menguntungkan secara

ekonomi tetapi juga memberikan sumbangan bagi stabilitas lingkungan di

sekitarnya. Bila kita berada di kebun-kebun petani di wilayah Citaman, pagi hari

terasa dingin siang hari terasa sejuk. Dampak positif agroforestry yang dilakukan

oleh petani antara lain, warga Citaman dan Cibojong tidak pernah kesulitan untuk

mendapatkan air bersih. Aktivitas agroforestry yang memadukan aspek ekonomi

dan konservasi, hasilnya tidak hanya dinikmati oleh petani hulu DAS, tetapi juga

oleh penduduk yang berada di bawah Desa Citaman seperti Desa Leuwi Kahuru,

Page 98: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

82

bahkan di desa ini terdapat sumber mata air yang dikelola oleh perusahaan swasta.

Debit air beberapa sungai yang berhulu di Desa Citaman fluktuasinya relatif

stabil. Bila aktivitas agroforestry seperti ini menjadi bagian dari praktik tata guna/

tata kelola tanah semua desa di kawasan kaki gunung Karang akan mendukung

stabilitas air area konservasi Rawa Danau yang semakin memprihatinkan.

5.3.2. Agroforestry Sebagai Strategi Bertahan

Aktivitas agroforestry yang dilakukan petani didasarkan atas pemahaman

ruang spasial, kondisi ekologi, ketersediaan tanaga kerja dan kemampuan modal.

Komoditas yang ditanam oleh warga merupakan kombinasi dari tanaman

musiman dan tahunan, agar masa panen berlangsung secara periodik, ada

komoditas yang dapat dipanen secara bulanan, triwulan, musiman dan tahunan.

Tanaman palawija seperti berbagai jenis umbi-umbian dan kacang-kacangan

merupakan tanaman musiman/jangka pendek yang dapat dipanen triwulanan atau

enam bulanan. Sedangkan tanaman kehutanan merupakan tanaman jangka

panjang. Tanaman tahunan yang banyak ditanam adalah cengkeh, petai, durian,

albasia, afrika, nangka, kopi, melinjau, rambutan, sengon dan mahoni. Dari

informan kunci dan pengamatan terhadap kebun petani, komposisi tanaman yang

ditanam petani disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Komposisi Tanaman Agroforestry Komunitas

No Kategori Komposisi Komoditas Utama Jumlah %

1 Pola I Kelapa + petai + rambutan + melinjau palawija 30 35.70

2 Pola II Kelapa + petai + cengkeh + palawija + albasia 24 28,60

3 Pola III Kelapa + durian + melinjau + sengon/mahoni 19 22,60

4 Pola IV Kelapa + petai + durian + melinjau. 11 13,10

Jumlah 84 100% Sumber: Diolah dari sumber primer dan FGD

Dari empat pola tersebut diketahui bahwa tanaman kelapa, petai, durian

dan melinjau merupakan tanaman yang dominan dan komoditas unggulan yang

bernilai ekonomi di wilayah hulu DAS Cidanau. Penanaman pepohan tersebut

dimaksudkan untuk mendapatkan penghasilan jangka panjang, baik berupa buah-

buahan untuk dikonsumsi dan dijual serta pemenuhan kebutuhan kayu untuk

membangun rumah. Tanaman cengkeh, petai, durian, nangka, dukuh dan tanaman

kehutanan lainnya, merupakan tanaman tahunan dan hasil panennya sering

Page 99: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

83

mengejutkan dan dapat meningkatkan kesejahteraan petani. Bagi pemilik lahan

luas di atas 2 ha, menanam tanaman tahunan didorong untuk meningkatkan

pendapatan jangka panjang dan merupakan sarana akumulasi modal dan

kekayaan. Kondisi ini dituturkan seorang pemilik lahan luas di Desa Citaman:

Pada musim buah tahun ini (2008), kula bersyukur, semua pepohonan di kebun

(petai, durian, dukuh, melinjau) buahna rea pisan (berbuah banyak). Pengalaman

menarik dari kegiatan mengelola kebun campuran adalah dalam rentang waktu

tertentu (3-5 tahun) hasilnya sering “mengejutkan” (panen raya). Panen kiwari

kula bisa nyumponan kehayang budak boga motor jeng induk budak boga tv anu

anyar. (Hasil panen tahun ini dapat memenuhi keinginan anak membeli motor

dan permintaan isterinya membeli tv baru).

Lain halnya bagi buruh tani dan pemilik lahan sempit, aktivitas

agroforestry ditujukan agar dapur berasap (memenuhi kebutuhan pangan sehari-

hari), seperti dituturkan seorang buruh tani beranak tiga berinisial Hsn (40):

Pekerjaan sehari-hari kula (saya) sebagai buruh harian ngored (membersihkan

kebun). Bila ngored lepas tangan (tidak diberi makan oleh pemiliknya) dari jam

07.00 s/d jam 12.30) dibayar Rp. 25.000,- tetapi bila diberi makan, nyanet

(makanan ringan) dan kopi dibayar Rp. 22.500, per hari. Kula tidak memiliki

pekerjaan yang tetap, hampir tiap minggu ngored pada kebun yang pemiliknya

berganti-ganti. Pekerjaan ngored tidak selalu tersedia sepanjang tahun ada masa

rengse (istirahat). Bila nganggur kula melak palawija di kebun dunungan

(majikan), hasilnya membantu untuk “memperpanjang umur” (mempertahankan

kelangsungan hidup).

Hal senada dikemukakan oleh petani pemilik lahan sekitar 0,5 ha berinisial Mmn

(50), ia menuturkan pengalamannya sebagai berikut:

Dari hasil penjualan 10 tandan pisang Ambon diperoleh uang sebesar Rp.

225.000,-. Uang itu digunakannya untuk membeli 30 liter beras seharga Rp.

105.000,-, untuk beli rokok Rp. 20.000,- sisanya diberikan kepada isteri untuk

keperluan belanja sehari-hari. Dari hasil panen 50 kg tangkil (melinjau) senilai

Rp. 250.000,- digunakan untuk keperluan membeli perlengkapan sekolah anak

sulung masuk Tsanawiyah sedangkan dari penjualan 2 ikat petai ditabung untuk

keperluan Hari Raya Idul Fitri.

Dari tiga kasus di atas diketahui, aktivitas agroforestry petani bervariasi,

sesuai dengan kemampuan ekonomi dan luas penguasaan tanah. Bagi penggarap

dan buruh tani, aktivitas agroforestry merupakan sarana survival strategy, untuk

memenuhi kebutuhan pangan keluarga sehari-hari karena agroforestry menyerap

tenaga kerja sepanjang tahun. Bagi pemilik tanah sempit, aktivitas agroforestry

merupakan sarana untuk mewujudkan consolidation strategy, untuk perbaikan

kesejahteraan keluarga. Bagi pemilik lahan (> 2 ha) aktivitas agroforestry sebagai

Page 100: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

84

wahana kondusif untuk accumulation strategy, pemenuhan kebutuhan sekunder

(peralatan rumah tangga dan motor) dan menambah kekayaan.

5.3.3. Perkembangan Komunitas Agroforestry

Perkembangan agroforestry di lokasi penelitian dipengaruhi oleh

kemampuan beradaptasi dengan kondisi sosio-ekologi dan responnya terhadap

tekanan supra lokal baik dari negara (kebijakan ekonomi makro dan mikro)

maupun pasar komoditas. Sejalan dengan semakin derasnya pembangunan

ekonomi pedesaan, maka komoditifikasi dan komersialisasi sumberdaya

merupakan bagian yang dihadapi petani dalam mengembangkan agroforestry.

Aktivitas agroforestry yang sebelumnya berlangsung dan berdasar interaksi timbal

balik yang intens dan mensinergikan kepentingan ekonomi dan ekologi, pada

perkembangannya kemudian berubah menjadi agroforestry “modern”. Dalam

istilah Shanin, sistem agroforestry komunitas petani merupakan perkembangan

aktivitas pertanian dari peasantry ke smallholder/farmer.

Aktivitas agroforestry berciri peasantry di lokasi penelitian dapat

diidentifikasi atas empat hal: (1) produsen pertanian skala kecil, berorientasi

domestik (dalam proses kerja dan hasilnya), karena karakteristik dasar ekonomi

petani ditentukan oleh ukuran, komposisi keluarga, kebutuhan konsumsi dan

jumlah tangan yang bekerja; (b) lahan dibutuhkan untuk memenuhi lapangan

tenaga kerja keluarga, pemilikan dan proses produksi lahan berdasarkan unit

keluarga; (c) keluarga merupakan tim produksi usaha

tani dan irama usaha tani merupakan irama kehidupan keluarga yang

menyediakan kerangka dasar untuk saling membantu dan kontrol.144

Ini berbeda dengan aktivitas agroforestry pada kategori smallholder,

selain untuk memenuhi kebutuhan keluarga juga untuk memenuhi permintaan

pasar. Lahan yang semula dikelola menggunakan tenaga kerja keluarga, berubah

dikelola secara intensif dan berdiversifikasi. Proses produksi dan pilihan

komoditas yang ditanam memperhatikan alokasi waktu, iklim, peralatan, modal,

144 Lihat Teodor Shanin, 1990. Defining Peasant: Essay Concerning Rural Societies, Exppolary

Economy and Learning from them in The Contemporary World. Cambridge: Basil Blackwell.

Page 101: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

85

alat, tanah, keuangan dan prospek pasarnya.145

Di lokasi penelitian ciri menonjol

proses produksi peasantry dan smallholder adalah terletak pada motivasi dan

tujuan utama usahanya. Pada proses produksi peasantry, perolehan keuntungan

dan akumulasi modal bukan menjadi motivasi dan tujuan utamanya, hal

sebaliknya pada aktivitas produksi pertanian smallholder 146

.

Meskipun demikian, pemahaman petani tentang perolehan keuntungan

atau laba, berbeda dengan konsep yang berkembang dalam literatur ekonomi

modern atau kapitalis. Motivasi dan tujuan utama aktivitas agroforestry adalah

untuk memenuhi kebutuhan konsumsi tahunan keluarga, bila hal ini terpenuhi

aktivitas produksi usaha tani dikatakan untung/laba. Tenaga kerja keluarga yang

telah dicurahkan tidak dinilai dengan uang/upah karena bekerja dipahami secara

subyektif dan bernilai sosial kultural. Ini berbeda dengan perspektif kapitalis, laba

atau laba bersih dihitung dengan cara mengurangi penghasilan total dengan semua

biaya produksi dan tenaga kerja termasuk tenaga kerja keluarga, dihitung sebagai

upah yang bernilai ekonomi. Perhitungan laba dalam konsepsi ekonomi kapitalis,

tidak relavan dan tidak dapat diaplikasikan pada aktivitas agroforestry komunitas

peasantry. Unsur biaya produksinya tidak dapat diperbandingkan dengan yang

terdapat dalam perekonomian kapitalis.

Secara sosiologis aktivitas produksi peasantry dan smallholder dapat

dilihat dari hubungan sosial dan operasi kekuatan produksi dan posisi tawarnya

dengan kekuatan luar. Hubungan sosial produksi peasantry adalah untuk

mempertahankan subsistensi keluarganya, sedangkan hubungan sosial produksi

smallholder memperhitungkan keuntungan dengan memperhatikan azas

kelayakan dan keseimbangan. Kekuatan produksi (tanah, tenaga kerja, input

produksi dan finansial) dalam perekonomian smallholder dilakukan secara

intensif dan diversifikasi usaha; sedangkan kekuatan produksi peasantry terbatas

pada rekayasa tenaga kerja keluarga dan tanah. Petani dalam arti peasant sebagai

sub ordinat dari pihak yang memiliki kekuasaan ekonomi, ini tidak selalu berlaku

145Lihat Robert Netting, 1993. Smallholders, Householder: Farm Families and the Ecology of

Intensive, Sustainable Agriculture. California: Stanford University Press.

146Lihat Eric Wolf, 1985. Petani: Suatu Tinjauan Antropologis. Jakarta CV Rajawali.

Page 102: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

86

pada smallholder, karena relatif bebas dari intervensi “kelas-kelas sosial” baik

secara ekonomi maupun politik.

Merujuk pada pandangan Shanin, (1990), peasantry merupakan gambaran

keadaan dan tahapan tententu kehidupan sosial ekonomi suatu komunitas. Pada

komunitas petani di hulu DAS Cidanau, tahapan itu ditandai oleh aktivitas

produksi pertanian berhuma dan bertanam padi dan sepenuhnya memanfaatkan

tenaga kerja keluarga dan teknologi sederhana. Unit keluarga merupakan unit

dasar dalam pemilikan, produksi dan konsumsi. Aktivitas pertanian ditujukan

untuk strategi bertahan hidup (survival strategies). Tahapan aktivitas pertanian itu

kemudian berubah ke arah perekonomian bercirikan smallholder/farmer, dimana

aktivitas produksi pertanian dilakukan untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan

sekaligus untuk dijual dalam upaya perbaikan kesejahteraan keluarga

(consolidation strategy). Di lokasi penelitian tahapan ini berlangsung dengan

berkembangnya aktivitas agroforestry modern.

Perubahan orientasi produksi dari domestik ke pasar, dipicu oleh semakin

intensifnya penetrasi kekuatan ekonomi dan politik supra lokal terhadap

komunitas petani. Di lokasi penelitian penetrasi kekuatan ekonomi supralokal

berdampak meluasnya komoditisasi agraria dan tanah in-absentia, munculnya

spekulan/calo tanah, tengkulak (pedagang pengumpul tingkat lokal), pedagang

antar desa dan tumbuhnya jaringan perdagangan desa kota.147

Hal ini mendorong

pergeseran orientasi dan ukuran ketentraman hidup dalam masyarakat pedesaan.

Gambaran pergeserannya sebagai berikut:

Ketentraman hidup petani diukur dari tiga hal: leuit pinuh (tersedia beras yang

cukup), duit weuteuh (yang dibutuhkan terbeli cukup), dan hubungan suami isteri

yang harmonis (reuneuh). Beras merupakan kebutuhan pokok sehari-hari yang tidak

bisa ditunda, rumah tangga tanpa ketersediaan beras seperti lutung kasarung (kera

kelaparan) dan rumah tangga tanpa ketersediaan uang cawerang (hambar). Beras dan

uang dua sisi dari mata uang yang memiliki nilai yang sama dan dibutuhkan dalam

kehidupan. Sekarang zamannya duit jadi “raja”, ketentraman diukur oleh banyaknya

lembaran uang, sehingga uang jadi rebutan semua.

Pernyataan di atas menunjukkan bahwa penetrasi ekonomi moderen pada

komunitas sekitar hutan menimbulkan moneterisasi. Proses moneterisasi yang

147 Goodland, R.G. Ledec and W. Webb, 1989. “Meeting Environmental Concerns Caused by

Common Property Mismanagement in Economic Development Project” dalam Barkes (ed,) In

Common Property Resources: Ecology and Community Based Sustainable Development. London:

Belhaven Press.

Page 103: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

87

dihela oleh mesin birokrasi dan pasar menimbulkan ketegangan sosial dalam

masyarakat, seperti dialami kelembagaan liliuran.

5.3.4. Liliuran: Bertahan Sebagai Sarana Pencarian Nafkah

Warga setempat memaknai liliuran sebagai kerja bersama-sama dan

tolong menolong untuk menyelesaikan berbagai tahapan pekerjaan di

huma/kebun. Secara harfiah liliuran berasal dari kata liur, artinya bersatu,

bersama. Maksudnya mengerjakan pekerjaan secara serentak bersama-sama.

Keberadaan liliuran terkait dengan proses kegiatan pertanian yang membutuhkan

tenaga kerja yang banyak dan berlangsung pada periode tertentu secara serentak

agar tidak terlambat masa tanam. Proses kerja demikian menempatkan liliuran

sebagai bagian penting dari kehidupan petani ladang dan tetap bertahan sebagai

kegiatan komunitas di tengah proses komersialisasi pertanian.

Faktor-faktor yang mempengaruhi bertahannya kelembagaan liliuran

dalam komunitas petani diidentifikasi sebagai berikut:

(1) Liliuran memberi ruang yang cukup bagi aktivitas perempuan untuk

berkontribusi dalam upaya memelihara kesinambungan hidup keluarga tani.

(2) Dalam kelembagaan liliuran terdapat mekanisme aturan pertukaran timbal

balik tenaga kerja.

(3) Landasan dasar liliuran adalah tolong-menolong atas dasar resiprositas,

sehingga keberlakuannya bukan hanya terbatas dalam kegiatan usaha tani,

tetapi juga dalam berbagai aktivitas kehidupan sosial lainnya.

(4) Petani yang terlibat dalam kegiatan liliuran jumlahnya relatif kecil berkisar 5-

10 orang, memudahkan pengorganisasiannya, sehingga kelompok liliuran

ditemukan pada tiap kampung.

Keberadaan liliuran menguntungkan proses produksi agroforestry dan

aktivitas pertanian pada umumnya, karena meringankan biaya, baik untuk saprodi

maupun ongkos produksi. Kebutuhan bibit tanaman dapat dipenuhi dengan

meminjam dari anggota liliuran lainnya. Anggota liliuran juga tidak selalu harus

mengeluarkan upah tenaga kerja secara tunai, karena dapat meminta bantuan

kelompoknya untuk mengerjakan kebun miliknya. Seorang petani menuturkan:

Untuk ngored (membersihkan kebun) seluas 2000 m pemilik kebun

membutuhkan lima orang tenaga kerja perempuan selama empat hari, dengan

Page 104: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

88

jumlah total biaya yang harus dikeluarkan sebesar Rp. 348.000,- . Bagi petani

yang menjadi anggota liliuran, uang sebesar itu tidak perlu dikeluarkan secara

tunai dan dapat digunakan untuk kebutuhan lainnya. Sebagai imbalannya yang

bersangkutan diwajibkan mencurahkan waktu dan tenaga sesuai dengan jumlah

hari yang dibutuhkan untuk ngored pada waktu liliuran di hari dan tempat lain.

Secara sosiologis kelembagaan liliuran memperkuat kohesivitas sosial,

terpeliharanya tradisi tolong-menolong dan resiprositas sosial. Faktor ini

diperkuat dengan keterlibatan kaum perempuan cukup besar dalam liliuran

terutama pada beberapa tahapan kegiatan usaha tani. Keterlibatan kaum

perempuan mampu memupuk kebersamaan antar warga, sekaligus berfungsi

untuk menopang pemenuhan kebutuhan pangan keluarganya. Bagi petani, liliuran

dapat memberikan “jaminan keamanan subsistensi” dan menyediakan lapangan

pekerjaan. Secara ekologi keberadaan kelembagaan liliuran berdampak positif

pada tata kelola agraria ramah lingkungan. Peran dan kontribusi perempuan dalam

liliuran dapat disimak dari pandangan seorang petani sebagai berikut:

Bumi adalah Ibu

Siti Hajar adalah sosok perempuan biasa yang setiap hari berkebun dan

melakukan pekerjaan domestik di desa kelahirannya Citaman. Namun, ada yang

tidak biasa dalam sosok dirinya dari perempuan lainnya. Dibalik kesahajaannya,

tersimpan kecerdasan luar biasa dan nilai hidup yang begitu mulia dalam

memaknai ruang hidupnya. Itulah kesan yang diperoleh selama berminggu-

minggu di Desa Citaman. Ibu beranak empat itu memiliki pemahaman yang

kental bahwa tanah kelahiran adalah entitas ruang hidup, bukan komoditas yang

bisa dijual-beli, apalagi dipertukarkan.

Pemikiran Siti Hajar tentang dampak pembangunan berdasarkan kesaksiannya

melihat proses pembangunan di pedesaan. Dari informasi yang dimilikinya, Siti

Hajar sampai pada kesimpulan bahwa pembangunan melahirkan marginalisasi

perempuan, melanggengkan ketidakadilan, kekerasan psikis, fisik dan ekonomi.

Bumi yang digambarkannya sebagai ibu telah dieksploitasi, dirusak dan dijarah

karena didorong oleh keserakahan (“kapitalisme”) dengan menempatkan posisi

laki-laki secara dominan.

Ia berpandangan bahwa bumi adalah ibu yang harus diselamatkan dari ancaman

kerusakan yang dilakukan orang besar (“pengusaha dan penguasa”). Mengingat

perempuan merupakan tangan pertama yang bersentuhan dengan sumber daya

alam, maka akibat kerusakannya perempuanlah yang paling rentan menerima

resiko dan dampaknya. Dengan bahasa sederhana dan tidak terdengar heroik,

cara pandangnya tampak lugas menganalisis persoalan lingkungan hidup dan

praktik ketidakadilan yang dipertontonkan merusak bumi.

Menurutnya langkah strategis yang dapat dilakukan perempuan untuk

menyelamatkan bumi adalah mengembalikan peran perempuan ke kodratnya

kepada alam dengan memelihara kualitas kefeminimannya sebagai pemelihara

dan perawat alam. Bekerja dan bertindak seperti laki-laki (maskulinisasi

perempuan) tidak saja merugikan perempuan melainkan juga akan berdampak

Page 105: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

89

kepada lingkungan sosial dan alam. Maskulinisasi menyebabkan merebaknya

eksploitasi dan rusaknya alam, menurunnya solidaritas sosial dan meningkatnya

kejahatan. Dia tidak setuju dengan anggapan bahwa perempuan yang berperan

sebagai ibu adalah "dewi tolol" di sangkar emas. Karena menurutnya

maskulinisasi menjadi salah satu faktor langgengnya budaya kemiskinan dan

feminisasi kemiskinan.

Narasi di atas menggambarkan pemahaman dan praktik ekofeminis148

dalam merawat alam untuk keberlanjutan sumber kehidupan. Penghayatan itu

bersumber dari keterlibatannya dalam kegiatan liliuran dalam waktu panjang pada

jaringan sosial komunitas. Merujuk pendapat Polanyi, kelembagaan komunitas

sebagai embedded institute, yakni institusi sosial yang berperan dan memberi

ruang ekonomi untuk mobilisasi tenaga kerja dan modal secara terintegrasi.149

Kelembagaan liliuran merupakan bentuk mekanisme yang mengatur

hubungan kerja antara pesertanya, baik sebagai pemilik tanah maupun sebagai

pekerja secara imbal balik. Status sebagai pemilik tanah dan pekerja silih berganti

sesuai dengan kesepakatan. Partisipan liliuran tidak selamanya menjadi pemilik

tanah dan menjadi pekerja, pada waktu tertentu seorang peserta menjadi tuan,

pada waktu lain berperan sebagai pekerja dan seterusnya. Ini berbeda dengan

hubungan kerja antara petani dengan tuan, hubungan patron client, hubungan

antar keduanya tidak setara dan cenderung eksploitatif.

Hubungan kerja dalam liliuran dibangun atas dasar kesetaraan dan

perpaduan aspek ekonomi, sosial dan resiprositas. Partisipan tidak hanya

terpenuhi kebutuhan akan tenaga kerja atau biaya produksi pertanian, tetapi juga

keterlibatan partisipan berguna untuk penguatan modal sosial melalui pertukaran

tenaga kerja, pertukaran barang dan jasa dalam jaringan kekerabatan, komunitas

dan tempat tinggal. Hal ini menunjukkan bahwa kelembagaan liliuran di

komunitas petani berperan sebagai institusi pendistribusian tenaga kerja, berfungsi

sebagai institusi budaya yang memberi makna bagi penguatan kohesivitas dan

modal sosial komunitas. Hubungan kerja antar partisipan liliuran tidak terbatas

pada hubungan kerja semata-mata tetapi didalamnya melekat hubungan sosial

148 Ekofeminisme merupakan perluasan diskursus dari perjuangan feminisme yang mendobrak

dominasi laki-laki terhadap perempuan sebagai mana upaya mendobrak dominasi manusia terhadap alam. Tong, Rosemarie,1998. Feminist Thought. Westview Press.

149 Karl Polanyi, “Perkembangan Ekonomi Pasar” dalam Hans Dieter Evers, 1998, Teori

Masyarakat: Proses Peradaban Dalam Sistem Dunia Moderen. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Page 106: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

90

yang luas. Liliuran sebagai embedded institute dalam tata kelola sumberdaya

agraria merupakan modal dasar bagi pembangunan ekonomi berkelanjutan.

5.4. Ihtisar

Kelembagaan lokal tata kelola sumberdaya agraria di hulu DAS Cidanau

dibedakan atas kelembagaan lokal berupa aturan main, nilai dan norma dan

berupa institusi dan praktik tata kelolanya. Bentuk kelembagaan lokal berupa

aturan main meliputi buyut, pipeling, konsepsi tanah, tata guna tanah dan zonasi

hutan (leuweung), dan kearifan lokal tentang tanaman pangan dan obat.

Sedangkan kelembagaan lokal berupa institusi adalah liliuran dan agroforestry.

Buyut dan pepeling merupakan mekanisme dan aturan warga setempat

yang mengedepankan keselarasan kebutuhan manusia dan keberlanjutan

sumberdaya. Pemanfaatan sumberdaya yang berlebihan-melampaui daya dukung

alam sama dengan menghancurkan masa depan kehidupan manusia, karena

manusia dan sumberdaya merupakan bagian dari ekosistem. Dalam kehidupan

petani, kelembagaan buyut dan pepeling diwujudkan dengan sistem olah tanah

konservasi (penerapan teknologi pertanian gilir balik, terasering, pembuatan

guludan), ngaseuk, coo benih, pemberantasan hama tanaman ramah lingkungan,

masa tanam mengikuti daur musim dan pergiliran tanaman.

Aspek penting yang terkandung dalam tata kelola sumberdaya agraria

berbasis kearifan lokal adalah visi dan orientasinya yang memadukan produksi

dan konservasi. Visi dan orientasi pengelolaan sumberdaya secara demikian

diperlukan dalam tata kelola hutan berkelanjutan. Sejauh ini ilmu pengetahuan

pertanian dan kehutanan modern yang mencerminkan tafsir Barat gagal

memahami dan menempatkan kelembagaan sosial dan kearifan lokal dalam

konservasi hutan. Kegagalan ini berujung pada meluasnya deforestasi dan

peluruhan kelembagaan komunitas yang mengakibatkan komunitas sekitar hutan

mengalami keterbelakangan dan menjadi kantong kemiskinan. Dalam upaya

mewujudkan pembangunan hutan berbasis masyarakat, maka kelembagaan dan

kearifan lokal tata kelola sumberdaya hutan komunitas selayaknya

dipertimbangkan dan mendapat tempat dalam politik agraria kehutanan dan

khususnya perhutanan sesuai ruang sosial, lokalitas dan spasialnya.

Page 107: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

91

BAB VI

KONTESTASI SEKTORAL, LOKAL SUPRALOKAL

DAN INTERNAL KOMUNITAS

6.1. Pendahuluan

Kontestasi penguasaan sumberdaya agraria dan sumberdaya manusia di

wilayah pedesaan berlangsung pada aras makro/nasional dan mikro di masyarakat.

Pada aras makro kontestasi berlangsung antar berbagai kekuatan politik dan

ekonomi melalui perumusan sejumlah peraturan perundang-undangan. Di aras

mikro/masyarakat, kontestasi sektoral, muncul dalam pelaksanaan program

sektoral melalui proyek yang bersifat top down yang disertai pembentukan

kelembagaan yang menegasikan kelembagaan masyarakat.

Sehingga kontestasi sektoral mengakibatkan kapitalisasi sumberdaya

pedesaan dan mengabikan pemberdayaan masyarakat secara partisipatif.

Kontestasi sektoral juga semakin menjauhkan upaya peningkatan taraf hidup dan

kemandirian masyarakat pedesaan dan mendorong meluasnya konflik agraria di

wilayah pedesaan. Kontestasi sektoral dipicu oleh tumpang tindihnya regulasi dan

lemahnya sinergi dan koordinasi masing-masing sektor dalam perencanaan,

pelaksanaan, evaluasi dan monitoring. Gambaran kontestasi sektoral di lokasi

penelitian dapat disimak pada uraian berikut.

6.2. Kontestasi Sektoral

Dari penggalian informasi di lapangan, diketahui bahwa kontestasi

sektoral penguasaan sumberdaya agraria terkait erat dengan tumpang tindihnya

peraturan penundang-undangan sektoral, menguatnya ego sektoral dan kurangnya

pemahaman pemangku kepentingan atas sifat dan fungsi sumberdaya sebagai

sistem daya dukung kehidupan atau modal alam. Pemangku kepentingan atau

aktor yang terlibat dalam kontestasi sektoral, menempatkan sumberdaya agraria

semata-mata sebagai komoditi ekonomi dan mengabaikan fungsinya sebagai daya

dukung kehidupan atau modal alam. Sebab sumberdaya sebagai daya dukung

kehidupan, jika dikelola dan dimanfaatkan untuk kepentingan ekonomi semata-

Page 108: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

92

mata akan berakibat terganggunya dan rusaknya keseimbangan keseluruhan

ekosistem sumberdaya hutan dan kawasan DAS.

Kurangnya pemahaman memilah dan memilih fungsi sumberdaya alam

sebagai stock, barang publik dan sebagai komoditi, mengakibatkan pengelolaan

dan penguasaan sumberdaya tidak memperhatikan karakteristik sifat dan fungsi

sumberdaya. Pelaksanaan tata kelola sumberdaya lebih didasarkan pertimbangan

teknis, kepentingan ekonomi, administrasi politik pemerintahan dan wilayah

kekuasaan/administratif daripada perbaikan kesejahteraan rakyat. Padahal

karakteristik sumberaya seperti bentang DAS tidak bisa dibagi-bagikan

berdasarkan unit administratif pemerintahan.

Kekurang-pahaman atas karakteristik sumberdaya dan besarnya

kepentingan politik dan ekonomi sektoral, menyebabkan sejumlah peraturan

perundang-undangan menimbulkan konflik jurisdiksi. Beberapa peraturan

perundang-undangan yang menimbulkan konflik sektoral antara lain: UU No.

41/1999 tentang Kehutanan, Undang-Undang No. 31 tentang Perikanan dan UU

UU No. 22/2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi, Undang-Undang No. UU No.

32/2004 tentang Pemerintah Daerah. Konflik sektoral keempat UU tersebut

disajikan dalam gambar berikut:

Gambar 3 Kontestasi Sektoral

Dari gambar 3 diketahui bahwa kontestasi sektoral antara kehutanan

dengan perikanan berkaitan dengan status dan pengelolaan hutan mangrove.

Hutan mangrove secara de facto berada di wilayah pesisir yang merupakan

wilayah kewenangan Kementerian Kelautan dan Perikanan, tetapi de jure

pengelolaan hutan mangrove merupakan kewenangan Kementerian Kehutanan.

Masalah Konservasi

Hutan mangrove UU No. 31/2003

Tentang Perikanan

Masalah Kewenangan

Wilayah Operasi Nelayan

NNnelayan

Masalah Pertambangan di

Hutan Lindung Kontestasi

Sektoral dan

Tumpang

Tindih

Kepentingan UU No 32/2004Tentang

Otonomi Daerah

UU No.41 Tentang

Kehutanan

UU No. 22/2001 Tentang

Minyak dan Gas Bumi

Page 109: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

93

Akibat tumpang tindihnya regulasi dan kewenangan, sebagian besar hutan

mangrove tidak terawat, kritis dan tidak bisa menahan enterupsi air laut.

Kontestasi sektoral juga terjadi antara UU No. 41/1999 tentang Kehutanan

dengan UU No. 32/2004 tentang Pemerintah Daerah, berkaitan dengan ijin

pengelolaan dan pengusahaan hutan yang mengakibatkan tarik menarik

kepentingan antara Kementerian Kehutanan dengan Pemerintah Daerah. Tarik

menarik kepentingan antara Pemerintah Daerah dengan Kementerian Kehutanan

menyebabkan deforestasi dan illegal logging sulit dikendalikan dan rusaknya

kawasan hulu DAS. Lemahnya penegakkan hukum terhadap pelaku illegal

logging merupakan sisi lain dampak dari kontestasi sektoral.

Lemahnya sinergi dan koordinasi dalam penegakkan hukum terhadap

pelaku illegal logging, berbanding terbalik dengan semangat memberikan konsesi

penguasaan/ pengusahaan hutan dan pertambangan pada pemilik modal. Kondisi

kontradisi ini menggambarkan kuatnya pertimbangan trasaksional dalam politik

tata kelola sumberdaya agraria. Konsesi penguasaan dan pengusahaan hutan dan

pertambangan oleh pemilik modal berlangsung secara masif dan kolosal di

berbagai wilayah di Indonesia.

Penguasaan sumberdaya hutan oleh pemilik modal melalui konsesi

transaksional secara kolosal berdampak luas terhadap kelanjutan sumberdaya dan

nasib komunitas sekitar hutan. Pada banyak kasus, pengusahaan hutan tidak

berkoeksistensi dengan kelembagaan lokal, berakibat penegasian hak, akses dan

ruang hidupnya. Keragaman budaya dan tradisi tata kelola sumberdaya berbagai

komunitas di Indonesia, ruang spasialnya terbagi habis dan tertutup oleh berbagai

hak konsesi yang dimiliki oleh pemilik modal, seperti terlihat pada Gambar 4.

Konsesi lahan di Indonesia

Tambang

HPHHGUHTI

Lain-lain

35% lahan73,1 juta ha

15,0 juta ha8,8 juta ha 35,1 juta ha

Gambar 4. Konsesi Kolosal Pengelolaan SDA

Page 110: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

94

6.2.1. Aktor Kontestasi Sektoral

Kontestasi sektoral pengelolaan dan penguasaan sumberdaya hutan dan

DAS melibatkan para pemangku kepentingan atau aktor pada berbagi tingkat:

internasional, nasional, regional dan lokal. Aktor yang terlibat dalam pengelolaan

dan penguasaan sumberdaya hutan dan kawasan DAS di Cidanau disajikan pada

gambar 5.

Gambar 5. Aktor Kontestasi Pengelolaan Hutan DAS Cidanau

Dari gambar 5 diketahui bahwa pada tingkat internasional kontestasi

sektoral melibatkan perusahaan Multinasional dan NGO internasional yakni IIED

(International Institute for Environment Development). Pada tingkat nasional

aktor yang terlibat dalam pengelolaan dan penguasaan sumberdaya hutan adalah

Kementerian Kehutanan, Kementerian Eenergi dan Sumberdaya Mineral, DPR

dan NGO. Pada tingkat regional aktor yang terlibat dalam pengelolaan

sumberdaya hutan dan kawasan DAS, melibatkan BKSD, UPT DAS Cidanau,

FKDC (Forum Komunikasi DAS Cidanau), Pemda Provinsi Banten dan LSM

(Rekonvasi Bumi). Pada tingkat lokal aktor yang terlibat dalam pengelolaan

sumberdaya hutan dan DAS adalah UPT Pertanian dan Kehutanan, aparat

Kecamatan Padarincang dan Ciomas, Aparat Desa Cibojong dan Desa Citaman

serta Kelompok Tani Hutan Karya Muda dan Kelompok Tani Maju Bersama.

Kontestasi sektoral antar aktor pada tingkat nasional dalam pengelolaan

dan penguasaan sumberdaya hutan, berlangsung sejak perumusan draf naskah

perundangan, pengajuan ke Presiden dan perumusan di badan legislatif sampai

dengan alokasi anggaran dari APBN. Sengitnya kontestasi sektoral antar aktor

tercermin dalam pembahasan, perumusan dan pengesahan Perpu No. 1 Tahun

2004 tentang Perubahan Undang-Undang No. 41/1999 tentang Kehutanan oleh

Internasional

Lokal

Nasional

Regional

NGO (IIED)

DPR NGO

UPT DAS

Kemenhut

Pemda Rekonvasi

Aparat Desa UPT Sektoral Pem.Kecamatan

MNC

FKDC

KTH

Kement.ESD

Page 111: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

95

DPR. Pembahasan, perumusan dan pengesahan Perpu tersebut di DPR melibatkan

berbagai pemangku kepentingan (aktor) yang memiliki kekuatan politik dan

ekonomi, baik di lingkungan internal DPR maupun kekuatan di luar DPR

(eksekutif dan pelaku usaha (domestik dan asing) bahkan badan internasional.

Pada awalnya DPR secara tegas menolak perpu tersebut tetapi penolakan

lantang DPR kemudian redup dan melunak yang berakhir dengan persetujuan

melalui pengambilan keputusan secara voting. Perubahan sikap politik DPR

dinilai janggal,150

karena berlangsung secara drastis. Ketika Perpu No.1 tahun

2004 dikeluarkan pemerintah, pihak DPR secara tegas menolaknya, dengan alasan

bahwa negara tidak dalam kondisi darurat. Tetapi penolakan DPR terhadap Perpu

tidak bulat, ada pro dan kontra, antara pro investasi dan pro lingkungan. Menolak

Perpu, khawatir DPR dituduh tidak pro investasi karena investasi diperlukan

untuk menodorong pertumbuhan ekonomi. Di sisi lain DPR khawatir

membebaskan hutan lindung dari aktivitas pertambangan akan menuai arbitrase,

karena sebagian perusahaan pertambangan yang beroperasi di kawasan Hutan

Lindung adalah perusahaan Amerika Serikat.

Ambiguitas DPR terhadap Perpu mencerminkan sengitnya kontestasi

sektoral penguasaan sumberdaya hutan yang berlangsung secara transaksional.

Proses transaksional itu dimungkinkan karena menguatnya kedudukan badan

legislatif yang memberikan peluang proses pembuatan undang-undang menjadi

lahan subur pencari rent seeker. Besarnya kepentingan ekonomi dari pemangku

kepentingan (penguasa dan pengusaha) dalam penguasaan sumberdaya hutan dan

pertambangan adalah aspek lain yang memicu kontestasi sektoral.

Perubahan Undang-Undang No. 41/1999 tentang Kehutanan melalui Perpu

No.1 tahun 2004 berawal dari penilaian stakeholder pertambangan bahwa UU No.

41 tidak menjamin kepastian hukum bagi ijin pertambangan di kawasan hutan

lindung. Besarnya pengaruh politik dan ekonomi stakeholder pertambangan

mendorong pemerintah mengeluarkan Perpu No.1 tahun 2004 yang berisi revisi

Undang-Undang No. 41/1999 tentang Kehutanan yang melegalkan perusahaan

pertambangan beroperasi di kawasan hutan lindung. Revisi UU Kehutanan No.

150 Perubahan sikap politik DPR menurut sejumlah aktivis lingkungn dan kaukus anti korupsi

terdapat dugaan kuat disebabkan mengalirnya uang kepada sejumlah anggota DPR. Lihat Harian

Kompas 13-14 Juli 2004.

Page 112: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

96

41 yang melegalisasi eksplorasi pertambangan di kawasan hutan lindung,

menunjukkan kekuatan politik dan ekonomi sektor pertambangan mendesakkan

kepentingannya melalui Presiden.

Ambiguitas DPR terhadap Perpu diselesaikan melalui pengambilan

keputusan secara voting dalam rapat paripurna, dengan keputusan menyetujui

Perpu No. 1 tahun 2004. Persetujuan DPR terhadap Perpu itu menggambarkan

kontestasi sektoral, Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral dengan

Kementerian Kehutanan. Dalam kasus pertambangan di kawasan hutan lindung,

kontestasi sektoral tidak hanya melibatkan Presiden tetapi juga pihak di luar

pemerintah, yakni DPR. Persetujuan DPR terhadap Perpu itu memperkuat dugaan

bahwa pelaku usaha untuk memuluskan tujuan dan ambisinya, tidak saja

mempengaruhi pemerintah, Presiden sebagai pimpinan eksekutif tetapi juga

mampu mendesakkan kepentingannya kepada DPR untuk membuat peraturan

perundangan yang menguntungkan sektor dan perusahaan pertambangan.

Ì Ì

Ì

ÌÌ

Ì

Ì

Ì

Ì

ÌÌ

ÌÌ

ÌÌ Ì Ì

Ì

ÌÌ

Ì

Ì

Ì

Ì

ÌÌ

ÌÌ

ÌÌ Ì Ì

Ì

ÌÌ

Ì

Ì

Ì

Ì

ÌÌ

ÌÌ

ÌÌ

Sabuk Mineral Wilayah KKWilayah KK yang

tak dapat dieksplorasi

Papua: 68%

Nusa Tenggara: 43%

Maluku: 7%

Kalimantan: 19%

Sulawesi: 26%

Java-Bali: 6%

Sumatra: 44%

TUMPANG TINDIH PERTAMBANGAN DAN KEHUTANAN

Definisi hutan lindung dalam UU No 41 tahun 2004 tidak memberi ruang gerak lagi bagi kegiatan pertambangan

UU 41/1999 Tambang tidak boleh di hutan lindung���� PP 1/2004,

why not ?

Menguatnya kepentingan politik dan ekonomi instansi sektoral dan

perusahaan dalam proses pembuatan perundang-undangan sektoral, menyebabkan

produk hukum dari badan legislatif menjadi “vehicle to get power” para pihak

(badan legislatif, eksekutif dan pelaku usaha (domestik dan mancanegera). Dalam

proses pembuatan perundangan sektoral, wakil rakyat di badan legislatif

cenderung merepresentasikan kepentingan diri sendiri dan partai politiknya

daripada kepentingan rakyat yang diwakilinya. Proses pembuatan undang-undang

demikian, mengakibatkan isi dan subtansi perundang-undangan, bukan hanya

bersifat sektoral dan parsial, tetapi juga syarat muatan kepentingan politik dan

ekonomi para pihak dan menjauhkan terwujudnya kesejahteraan masyarakat.

Gambar 6 Kontestasi Kehutanan dan Pertambangan

Page 113: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

97

6.2.2. Kontestasi Sektoral: Kapitalisasi Sumberdaya

Proses kontestasi sektoral yang syarat muatan politik dan ekonomi di

tingkat nasional, merembes dalam program pembangunan ekonomi dan pedesaan

di tingkat kecamatan dan desa. Dalam pembangunan pertanian, kehutanan,

infrastruktur, pemberdayaan masyarakat, keluarga berencana, kesehatan, koperasi

dan UKM dan industri/kerajinan, terlihat antar pelaksana teknis tidak

terkoordinasi dan tidak bersinergi. Program kerja yang disusun oleh masing-

masing instansi sektoral tidak dikomunikasikan dan dikoordinasikan satu sama

lainnya.

Program peningkatan produktivitas tanaman pangan dan hortikultura dari

UPT Pertaniaan Padarincang dan Ciomas tidak bersinergi dengan program

konservasi dari intansi Kehutanan dan Pekerjaan Umum. Program/ kegiatan

mengatasi degradasi dan sedimentasi Cagar Alam Rawa Danau yang dilakukan

oleh Balai Konservasi tanpa koordinasi dengan instansi sektoral lainnya seperti

lingkungan hidup dan pertanian. Menguatnya ego sektoral mengakibatkan

pembangunan infrastruktur irigasi yang dilakukan oleh Pekerjaan Umum, tidak

terkoordinasi dengan instansi teknis (sektor pertanian) yang menangani

pengelolaan lahar dan air. Pembangunan masyarakat sekitar hutan dan desa

hutan, seakan hanya menjadi tugas dan tanggungjawab sektor kehutanan,

termasuk dalam peningkatan produktivitas agroforestry. Kontestasi sektoral antar

pertanian dan kehutanan berakibat rendahnya produktivitas komoditas

agroforestry pada desa-desa sekitar hutan.

Kontestasi sektoral juga terlihat dari tidak koordinasinya pengelolaan

hulu, tengah dan hilir DAS Cidanau. Kawasan DAS Cidanau tidak dikelola secara

terpadu sebagai satu ekosistem, tapi terpisah-pisah sesuai dengan kewenangan dan

kepentingan masing-masing sektor.

Kondisi ini merupakan implikasi dari pembangunan berbasis sektoral, di

mana keberhasilan program/proyek diukur berdasarkan masukan dana, tahapan,

prosedur dan target sektoral secara kuantitatif. Berdasarkan penuturan pelaksana

teknis UPT Ciomas dan Padarincang, “program pembangunan (kehutanan dan

pertanian) yang berjalan sesuai dengan tahapan, prosedur dan target dianggap

Page 114: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

98

tujuannya tercapai, bahkan penyerapan anggaran proyek sesuai dengan tahapan

dan prosedur, menjadi tolok ukur keberhasilan kinerja UPT dan aparatnya.”

Pernyataan itu menunjukkan bahwa dalam pembangunan berbasis sektoral,

masukan dana dan aturan–aturan teknis lebih diutamakan daripada pencapaian

output, perbaikan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat sasaran.151

Dampak

lebih lanjutnya adalah pencapaian target secara kuantitatif dan penyerapan

anggaran, lebih diutamakan daripada pencapaian keberhasilan secara kualitatif,

seperti perbaikan sosial ekonomi masyarakat. Kondisi ini secara jelas tergambar

dari dokumen perencanaan pembangunan pertanian dan kehutanan yang disusun

oleh UPT Pertanian dan Kehutanan Kecamatan Ciomas dan Padarincang.

Pengukuran kinerja instansi sektoral berdasarkan capaian dan target

kuantitatif, mengakibatkan program kerja pelaksana teknis di tingkat kecamatan

cenderung seragam, kurang memperhatikan karakteristik dan potensi ekonomi

wilayah kerja UPT serta peran partisipasi masyarakat. Akibatnya sebagian besar

program pembangunan pertanian dan kehutanan di wilayah ini dapat dikatakan

“tidak meninggalkan bekas”. Indikasinya adalah masyarakat sasarannya tidak

mengalami perbaikan sosial dan ekonominya. Keberhasilan kinerja dari

pendekatan sektoral dalam pembangunan dapat diilustrasikan: Bila kesejahteraan

masyarakat, dapat diwujudkan melalui tata kelola sumberdaya agraria berbasis

masyarakat sebagai suatu ruang terisi penuh, maka pendekatan sektoral tidak

pernah dapat mengisi ruang secara penuh. Ruang kosong yang belum terisi itulah

kesejahteraan rakyat yang tidak menjadi target pembangunan sektoral.

Dalam diskusi terfokus bersama instansi terkait dan tokoh masyarakat,

permasalahan yang ditimbulkan dari kontestasi sektoral dalam pembangunan di

wilayah DAS Cidanau diidentifikasi sebagai berikut:

Pertama pengukuran kinerja sektoral secara kuantitatif (seperti persentase

penyerapan anggaran, volume kegiatan dan jumlah sasaran suatu program),

mengakibatkan banyaknya program dan anggaran yang dikeluarkan tidak

berkorelasi dengan besaran manfaat dan kegunaannya bagi masyarakat. Sejauh

mana program masing-masing sektor meningkatkan taraf hidup masyarakat

151 Uraian tentang pendekatan sektoral lihat Sayuti Hasibuan, 1997. Pendekatan Pelaksanaan

Dalam Pembangunan. Jakarta: Lembaga Pengkajian Pembangunan Nasional.

Page 115: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

99

kurang diperhitungkan. Sehingga keberhasilan pembangunan sektoral tidak

bersentuhan dengan kepentingan masyarakat. Masyarakat hanya sebagai obyek

dan dipandang tidak memiliki pengetahuan dan kepentingan terhadap

pembangunan.

Kedua pembangunan ekonomi dan pemberdayaan masyarakat

berdasarkan “pendekatan proyek,” menyebabkan keberhasilan dan keberlanjutan

program ditentukan oleh ketersediaan anggaran. Meskipun anggaran diperlukan,

tetapi ketergantungan program pemberdayaan masyarakat pada anggaran,

mengabaikan faktor lainnya, yakni sumberdaya manusia, modal sosial dan

partisipasi masyarakat.

Ketiga dengan alasan teknis administratif, pelaksanan pembangunan

bersifat top down dan diikuti dengan pembentukan kelembagaan baru yang

bersifat substitusi. Kelembagaan bentukan pemerintah yang terdapat di pedesaan

disajikan pada tabel 7.

Tabel 7. Kelembagaan Bentukan Pemerintah di Wilayah Pedesaan

No Instansi Induk/Pusat Kelembagaan Sektoral Bentukan Pemerintah

1 BKKBN KUBER (Pra Koperasi)

2 Koperasi dan UKM KUD, Kelompok Usaha Bersama, BDS

3 Kementerial Sosial Kelompok Usaha Bersama (KUBE)

4 Kementerian PU Petani Pemakai Air

5 Kementerian Kehutanan Kelompok Tani Hutan (KTH) dan LMDH

6 Kementerian Pertanian Kelompok Tani, Gapoktan, LUEP

7 Kementerian Dalam Negeri Badan Usaha Milik Desa (BUMDes)

8 Badan Ketahanan Pangan Lembaga Distribusi Pangan Masyarakat Diolah dari sumber primer.

Pembentukan kelembagaan baru di tengah masyarakat, terkait dengan

pemahaman pemangku otoritas terhadap keberadaan kelembagaan lokal sebagai

anak tiri dan tidak diinginkan orphan factor.152

Pembentukan kelembagaan baru

di tengah masyarakat, menyebabkan ruang spasial dan sosial pedesaan disesaki

oleh kelembagaan bentukan dan perpanjangan supra desa. Penetrasi kelembagaan

sektoral terhadap wilayah pedesaan berdampak negatif terhadap kemandirian dan

keswadayaan masyarakat pedesaan. Desa sebagai wilayah otonom kehilangan

152 Lihat Suradistra, 2006. “Revitalisasi Kelembagaan Untuk Percepatan Pembangunan Sektor

Pertanian Dalam Otonomi Daerah”. Makalah orasi ilmiah pengukuhan peneliti utama sebagai

profesor riset bidang sosiologi pertanian. Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,

Departemen Pertanian.

Page 116: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

100

otonomi dan kemandiriannya. Kondisi inilah yang disebut penulis sebagai

kapitalisasi sumberdaya pedesaan. Desa sebagai wilayah otonom, dalam

kenyataan empirik, ditempatkan sebagai struktur pemerintahan terendah dan

menjadi obyek intervensi kekuatan ekonomi supra lokal yang berakibat

meningkatnya ketergantungan desa pada pemerintah pusat dan lemahnya

keswadayaan masyarakat. Aparat desa memaknai kehadiran kelembagaan supra

lokal di wilayahnya sebagai beban rumah tangga pedesaan. Karena Pemerintah

Desa dipaksa membantu program sektoral, sementara kemampuan keuangan dan

sumberdayanya terbatas.

Pendekatan pembangunan sektoral, tidak hanya mengakibatkan lemahnya

kordinasi dan sinergi antar sektor, tetapi juga berlangsung dalam internal sektor,

misalnya pengelolaan bantuan sosial yang dikelola Kementerian Pertanian.

Masing-masing direktorat di kementerian itu memiliki program dan kelembagaan

sendiri di wilayah pedesaan, seperti terlihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Program & Pengelola Bantuan Sosial Kementerian Pertanian di

Pedesaan No Direktorat Nama Program Pengelola

1 Sekretarit Jenderal Pengembangan Usaha Agribisnis Pertanian Gapoktan

2 Ditjen Tanaman Pangan Penguatan Kelembagaan Ekonomi Petani LM3

3 Ditjen Hortikultura Penguatan Modal Usaha Kelompok (PMUK) LM3

4 Ditjen Peternakan Penguatan Modal Usaha Kelompok (PMUK LM3

5 Ditjen Perkebunan Penguatan Modal Usaha Kelompok (PMUK LM3

6 Ditjen Pengolahan & Pe

masaran Hasil Pertanian

Penguatan Kelembagaan Ekonomi Petani LM3

7 Badan Pengemb. SDM Bantuan Langsung Masyarakat LM3 Model

8 Bdan Ketahanan Pangan LUEP

6.3. Kontestasi Lokal Supralokal

Kontestasi lokal supralokal yang berlangsung di lokasi penelitian

mencakup dimensi nilai, organisasi dan orientasi perilaku individual. Dari tiga

dimensi tersebut yang menonjol dua hal yakni holistik versus reduksionis dan

konflik agraria tenurial.

6.3.1. Holistik Versus Reduksionistik

Kontestasi kelembagaan lokal supralokal dapat ditelusuri dari peraturan

perundang-undangan tata kelola sumberdaya agraria yang dikeluarkan

pemerintah, seperti yang terkandung dalam Undang-Undang Kehutanan No. 41

Page 117: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

101

Tahun 1999 dan Undang-Undang Sumberdaya Air nomor 7 tahun 2004. Kedua

undang-undang mereduksi sumberdaya agraria, hanya sebagai komoditi ekonomi

yang dieksploitasi untuk menopang pertumbuhan ekonomi tanpa memperhatikan

kesejahteraan masyarakat.

Dalam Undang-Undang Kehutanan No. 41 Tahun 1999 dinyatakan bahwa

hutan adat merupakan bagian hutan negara. Ketentuan ini tidak memberikan rasa

aman (unsecured tenure), kepada masyarakat sekitar hutan, karena mereka didera

rasa khawatir terus menerus hak atas daerah leluhur dan hak kepribumiannya.153

Undang-Undang Kehutanan tidak mengatur secara jelas pengakuan terhadap

hutan adat/ kelembagaan komunitas sekitar hutan. Demikian halnya Undang-

Undang Sumberdaya Air Nomor 7 tahun 2004, semangatnya mereduksi

sumberdaya air menjadi komoditi semata-mata. Jika dibandingkan dengan UU

No.11/1974 tentang Pengairan, UU nomor 7 tahun 2004 lebih komprehensif.

Hanya saja Undang-undang No. 7 tahun 2004 mengatur soal peran dan

keterlibatan swasta secara luas dan privatisasi sumberdaya air.154

Penguasaan sumberdaya air oleh swasta (nasional dan multinasional)

mengakibatkan posisi masyarakat termarginalkan. Fenomena ini terlihat dari

pengusahaan sumberdaya air oleh perusahaan air minum kemasan di kawasan

DAS Cidanau. Pemerintah hanya memperhatikan nilai pajak dan retribusi dari

pengusahaan air, sedangkan masyarakat di sekitar sumberdaya air tidak mendapat

kompensasi, akses sosial dan ekonominya diabaikan. Padahal kualitas dan debet

air yang dieksploitasi perusahaan dan pajaknya dipungut Pemerintah, ditentukan

oleh praktik sistem olah tanah konservasi masyarakat di sekitarnya.

Kontestasi kelembagaan lokal-supra lokal juga mengemuka dalam diskusi

berfokus di mana masing-masing pemangku kepentingan memiliki pandangan

dalam melihat masalah, cara mengatasinya dan bentuk pengelolaan DAS.

Pandangan para pemangku kepentingan (aktor) di tingkat lokal. Aktor yang

153 Ini terkait dengan visi dan orientasi pengelolaan hutan pada timber extraction untuk menopang

pertumbuhan ekonomi tetapi mengabaikan hak sosial ekonomi komunitas sekitar hutan yang

memiliki sejarah sebelum berdirinya Rebublik Indoensia. Simon, H. 1999. Pengelolaan Hutan

Bersama Rakyat: Teori dan Aplikasi Pada Hutan Jati di Jawa. Yogyakarta: Bigraf Publishing.

154 Privatisasi merupakan salah satu strategi neoliberalisme untuk memudahkan transaksi uang dan

barang melalui mekanisme pasar yang memungkinkan perusahaan multi-nasional menguasai

sumberdaya air. Lihat J. Bradford Delong, “Globalization” and “Neoliberalism” downloaded from

http://con161 berkleley.edu/Econ_ Articles/Rrevie. at October 24.2009.

Page 118: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

102

terlibat dalam kontestasi di tingkat lokal – regional adalah Pemerintah Kecamatan,

UPT DAS, LSM, tokoh masyarakat dan Kelompok Tani Hutan.

Aparat Kecamatan memandang bahwa masalah DAS Cidanau adalah

kemiskinan, lemahnya visi dan aplikasi pengelolaan DAS secara terpadu antara

hulu dan hilir. Menguatnya kepentingan sektoral dan ego kedaerahan

mengakibatkan tidak terkoordinasinya antara hulu dan hilir. Hal senada

dikemukakan oleh staf UPT DAS Cidanau. Menurutnya masalah DAS Cidanau

adalah adanya jarak antara visi pembangunan berkelanjutan dengan praktik di

lapangan. Pembangunan kehutanan berkelanjutan baru perlu didukung

sumberdaya manusia yang kompeten dan ditunjang oleh dana yang memadai,

seperti terbatasnya dana untuk reboisasi dan pengembangan SDM. Dua masalah

ini menjadi kendala untuk melaksanakan pengelolaan DAS yang terpadu.

Menurut LSM Rekonvasi Bumi, masalah DAS Cidanau adalah kuatnya

ego-sektoral dan rendahnya kemauan politik pemerintah dalam pengelolaan DAS

secara partisipatif. Sedangkan tokoh masyarakat dan pengurus kelompok tani

hutan memandang masalah DAS Cidanau bersumber dari ketidakkonsistenan dan

rendahnya perhatian pemerintah terhadap pemberdayaan ekonomi di hulu DAS.

Perbedaan melihat masalah DAS berimplikasi pada cara dan usaha mengatasi

masalah DAS. Menurut Kecamatan kerusakan hulu DSAS Cidanau dapat

dilakukan melalui pemberdayaan ekonomi dan pengembangan agroforestry

dengan melibatkan swasta. Untuk meningkatkan koordinasi antara hulu dan hilir

dapat dilakukan dengan meningkatkan peran Pokja dan Sekretariat Bersama

Pemerintah. Menurut UPT DAS usaha mengatasi masalah DAS dilakukan dengan

perbaikan tata ruang/tata guna tanah dan penegakan hukum; dan peningkatan

alokasi dana reboisasi, pembangunan terasering, perbaikan tebing kritis dan

pembangunan civil teknis. Menurut Rekonvasi Bumi, untuk mengatasi masalah

DAS Cidanau memerlukan komitmen dan aksi politik pemerintah untuk

mewujudkan pengelolaan DAS berkelanjutan dan partisipatif. Sedangkan tokoh

masyarakat dan kelompok tani hutan memandang, komitmen dan konsistentensi

pemerintah untuk mewujudkan tata pengelolaan DAS partisipatif, dapat dilakukan

melalui pemberdayaan ekonomi masyarakat dan pengembangan usaha tani

konservasi dan kolaborasi masyarakat dengan pemerintah.

Page 119: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

103

Perbedaan pemangku kepentingan atau aktor dalam melihat masalah

DAS Cidanau juga berpengariuh terhadap bentuk kelembagaan atau tata

kelolanya. Aparat Kecamatan memandang perlunya political action untuk

mewujudkan keterpaduan hulu dan hilir dalam pengelolaan DAS, melalui

penguatan kelembagaan DAS. Hal senada dikemukakan oleh staf UPT DAS, yang

memandang perlunya peningkatan kapasitas kelembagaan DAS, koordinasi antar

sektor dan penguatan Forum Komunikasi DAS Cidanau. Sementara tokoh

masyarakat menghendaki DAS Cidanau dikelola secara terpadu yang melibatkan

masyarakat, kemitraan hulu dan hilir dan dialog demokratis yang setara dan

berkelanjutan.

6.3.2. Konflik Tenurial

Konflik agraria di kawasan DAS Cidanau (Desa Citaman dan di Cagar

Alam Rawa Danau) merupakan pertentangan antara komunitas petani dengan

perusahaan dan pemerintah. Para pihak yang terlibat konflik mengklaim dan

memperjuangkan kepentingan atas objek agraria yang sama, tetapi dari sumber

hukum yang berbeda. Pengembang mengklaim bahwa penguasaannya atas

sejumlah area tanah di kaki Gunung Karang sah secara hukum, sesuai izin yang

dikeluarkan Pemerintah Daerah. Pengembang yang memiliki legalitas formal

mengklaim bahwa leuweung bukaan merupakan tanah negara, sehingga hak

pemilikan dan penguasaannya gugur dan melanggar hukum. Atas dasar itu

pengembang merampas dan memancang patok tanah petani.155

Tindakan sepihak pengembang mendapat perlawanan petani. Petani

mengklaim bahwa tanah yang dikuasainya berdasarkan hak kesejarahan, hak

sosial, dan “hak kepribumian” yang telah berlangsung secara turun temurun, jauh

sebelum terbentuknya negara kesatuan Republik Indonesia. Hak kesejarahan dan

“hak kepribumian” terhadap sumberdaya agraria pada komunitas kajaroan

memiliki fungsi dan kedudukan sebagai hak ulayat.156

Karena itu konflik agraria

155 Terdapat dugaan kuat bahwa klaim sepihak pengembang atas leuweung bukaan di wilayah

Citaman dilakukan melalui konspirasi dengan aparat terkait. Di tengah komersialisasi tanah

penguasaan tanah sekitar 50 ha untuk mengembangkan usaha agrowisata memerlukan investasi yang besar. Diolah dari sumber primer.

156Hak ulayat diakui UU Pokok Agraria No. 5 tahun 1960 dan UU Kehutanan No. 41 tahun 1999

sepanjang menurut kenyataannya memang masih ada. Pemerintah menilai masyarakat hukum adat

Page 120: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

104

di wilayah Citaman dikategorikan sebagai konflik tenurial, 157

yakni pertentangan

klaim terhadap obyek agraria yang sama berdasarkan hukum yang berbeda,

hukum positif berhadapan dengan hukum adat. Penguasaan komunitas atas

sumberdaya agraria telah berkembang jauh sebelum negara Indonesia berdiri,

sehingga memiliki hak kesejarahan dan kepribumian. Menurut petani tanah

merupakan kebutuhan dasar (basic need) pemenuhan tanah sebagai bagian dari

pemenuhan hak azasinya dan sekaligus sebagai public good yang pemanfaatannya

harus dapat diakses oleh petani.

Bagi petani, tanah yang dikuasainya merupakan sumber nafkah, tempat

kelahiran dan kematian, budaya bahkan religi. Hak tenurial atas tanah yang

dikuasai penduduk berasal dari berbagai perolehan hak dan peralihan hak, seperti

warisan, pembelian dan pembukaan leuweung bukaan sebelum kemerdekaan.

Menurut sejumlah informan, tanah yang dikuasai penduduk merupakan leuweung

bukaaan, warisan buyut (leluhur) yang telah berlangsung sejak masa kolonial

Belanda dan diakui pemerintah berdasarkan Kebijakan Tata Guna Hutan

Kesepakatan. Klaim pengembang bahwa tanah yang dikuasai petani sebagai tanah

negara merupakan bentuk pengingkaran terhadap hak kesejarahan dan hak

kepribumian.

Dari penggalian informasi di lapangan, diketahui alasan pemerintah daerah

mengeluarkan surat izin hak guna usaha pada pengembang didasarkan atas

pemahaman bahwa hak turun temurun, hak kepribumian atau hak ulayat yang

berada di tangan penduduk telah “diangkat" dan digantikan menjadi hak ulayat

yang dipegang oleh negara sebagai organisasi kekuasaan tertinggi di Indonesia.

Komunitas petani bukan masyarakat hukum adat dan bukan subjek hukum,

sehingga tidak memiliki hak penguasaan dan kekayaan yang diatur dalam KUHP.

Akibat kedua belah pihak tetap kukuh pada pendiriannya, konflik agraria

kenyataannya sudah tidak ada lagi, implikasinya hak ulayat dianggap tidak ada. Pandangan ini

menjadi sikap pemerintah dalam menanggapi “hak tradisi’ dan hak kepribumian penguasaan dan

pemilikan tanah oleh komunitas petani.

157 Uraian tentang hak tenurial lihat Ton Diez, Ton. 1998. Pengakuan Hak Atas Sumberdaya Alam.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar-Insist-Remedec.

Page 121: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

105

menjadi tak terhindarkan. Dari segi eskalasinya bersifat lokal-regional,158

para

pihak yang terlibat konflik terbatas pada wilayah Kecamatan Ciomas. Para petani

yang tanahnya diklaim oleh pengembang turun ke jalan, dalam aksinya mereka

menggunakan atribut hitam putih, sebagai simbol kebersihan protes

mempertahankan hak tanah yang dikuasainya.159

Prosesnya berlangsung sekitar

tiga bulan dari April sampai Juni 1997. Sejumlah informan yang terlibat dalam

aksi demonstrasi menyatakan, aksi-aksi massa petani tidak sempat menimbulkan

korban, karena pada saat aksi berlangsung, pihak pengembang menahan diri

dengan menarik stafnya dari wilayah tanah yang disengketakan. Petani hanya

mendapat teror dan intimidasi dari pengembang dan aparat keamanan secara terus

menerus sampai jatuhnya Presiden Soeharto bulan Mei 1998.

Perjuangan petani mempertahankan haknya atas tanah, tidak terbatas

dalam bentuk aksi demonstrasi, tetapi juga sesuai dengan keyakinannya disertai

penyelenggaraan shalat jenazah (kematian) tujuh malam berturut-turut.

Perjuangan petani secara “batin” melalui shalat jenazah menunjukkan dua hal:

pertama tanah merupakan kebutuhan ekonomi yang bersifat azasi buat petani

sehingga harus dibela sampai mati. Kedua mempertahankan penguasaan tanahnya

merupakan hak (kebenaran), karena itu ketika haknya dipersoalkan dikembalikan

dan minta bantuan kepada Yang Maha Pemilik Hak. Keyakinan petani bahwa

tanah yang dikuasainya sebagai hak dan kebenaran, kemudian menjadi kenyataan.

Perjuangannya membuahkan hasil, sekitar empat puluh hari setelah selesai shalat

jenazah atau tiga bulan setelah jatuhnya Rezim Orde Baru diperoleh informasi

pemilik perusahaan pengembang meninggal dunia.

Informasi kematian pemilik pengembang disambut gembira oleh penduduk

Desa Citaman. Kabar meninggalnya pengembang di tengah rezim transisi,

disambut suka cita, menumbuhkan semangat baru, karena petani memiliki

amunisi dan darah segar untuk mempertahankan hak sosial ekonomi atas tanah

158 Data tentang konflik agraria yang eskalasinya lokal dapat dilihat dari Statistik Potensi Desa,

BPS 2003. Dari 69.000 desa/kelurahan yang di data pada tahun 2002, dilaporkan terjadi konflik

lokal pada sekitar 4.872 desa/kelurahan (7%). Lihat Statistik Potensi Desa, BPS, 2003.

159 Dalam aksinya pengunjuk rasa sering meneriakkan: “Jangan sebut tanah leluhur Kajaroan

kalau tanah kami dirampas secara sewenang-wenang”. “Bebaskan kami dari PBB (Pajak Bumi dan

Bangunan) jika tanah leluhur tidak diakui”. “Hentikan perampasan tanah leluhur.” Dituturkan oleh

narasumber

Page 122: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

106

yang telah lama dikuasainya. Kegembiraan tersebut diwujudkan dalam bentuk

syukuran dan liliuran pada tanah yang telah diklaim oleh pengembang yang

melibatkan sekitar 60 orang petani bersama keluarganya. Kegiatan liliuran

merupakan titik puncak perjuangan petani untuk memperjuangkan tanah sebagai

hak sosial ekonomi dan kepribumian penduduk.160

Dalam diskusi dengan masyarakat timbul kesadaran, bahwa konflik agraria

di Desa Citaman dipicu oleh kebijakan agraria betting on the strong. Bagi petani

konflik tersebut, bukan hanya menegangkan, menyengsarakan dan menimbulkan

trauma tetapi juga mengancam aset produktifnya, yakni tanah dan hampir

merenggut keselamatan jiwanya. Pengabaian hak sosial ekonomi komunitas dan

keberpihakan Pemda pengembang, mengakibatkan petani mengalami tindak

kekerasan, penindasan dan penyingkiran.

Konflik agraria di wilayah desa Citaman disebabkan pelaksanaan politik

agraria pemerintah daerah, tidak berdasarkan horizon yang luas (menjamin

kepentingan, akses dan kesejahteraan rakyat) tetapi bersifat sektoral dan mengarah

pada upaya pelestarian kepentingan sempit, yakni peningkatan asli daerah.

Pengembangan kawasan ekowisata dengan mencaplok tanah masyarakat,

merupakan bentuk ketidakpedulian pemerintah terhadap nilai dan fungsi tanah

bagi petani. Pemerintah lebih mengedepankan preferensi ekonomi daripada

pemberdayaan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Sehingga tidaklah

berlebihan bila masyarakat menuduh, pemerintah menghidupkan kembali politik

agraria kolonial karena menegasikan hak-hak rakyat dan bukan melindunginya.

6.4. Kontestasi Internal Komunitas

Kontestasi dalam internal komunitas sebagai akibat langsung dan tidak

langsung proses interaksi, adaptasi dan modernisasi yang masuk ke wilayah

pedesaan. Penetrasi supra lokal terhadap kelembagaan lokal mendorong adanya

perbedaan orientasi keagamaan, afiliasi politik dan konflik kepemimpinan serta

pertarungan antar warga mendapatkan jasa lingkungan.

160 Konflik tenurial di wilayah Desa Citaman berakhir dengan heavy ending, karena konflik terjadi

di tengah ephoria demokrasi, jatuhnya Orde Baru yang mengakibatkan pengembang kehilangan

mantera dan dukungan politik, sebaliknya petani memiliki darah segar untuk melawan pihak yang

telah merampas tanahnya. Diolah dari Sumber Primer.

Page 123: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

107

6.4.1. Perbedaan Orientasi Keagamaan

Perbedaan orientasi paham keagamaan di lokasi penelitian terjadi antara

penganut paham kolot (konservatif) dengan paham modern, reformis atau

pembaharuan. Perbedaan antara keduanya, berkisar pada masalah kedudukan

manusia, hubungan agama dan politik, agama dan kebudayaan dan perbedaan aliran

keagamaan.161

Jika dikaji perbedaan tersebut bersumber dari perbedaan metodologi

yang digunakan untuk memahami doktrin/ajaran agama. Metodologi yang

digunakan kaum modernis adalah pemikiran rasional dengan cara membaca dan

menafsirkan secara langsung Al-Qur’an dan Hadist. Metodologi ini dipilih kaum

reformis, karena menurut mereka setiap orang memiliki kebebasan untuk

menafsirkan kitab suci sesuai dengan kapasitas intelektualnya. Taklid (pengikut

pasif) dan bertindak menjadi pengikut mazhab (aliran) Syafii, Maliki, Hambali

atau Hanafi, menurut kaum modernis dipandang sebagai perbuatan kurang terpuji

dan tidak mensyukuri karunia Tuhan yang telah menganugrahkan akal pikiran

kepada manusia. Salah satu bentuk mensyukuri nikmat Tuhan adalah

menggunakan akal pikiran dalam mengkaji Al-Qur’an dan Sunnah.

Pemahaman ini kontras dengan pandangan penganut paham konservatif

yang senantiasa merujuk pada hasil pemikiran ulama besar pendiri mazhab.162

Menurut paham konservatif, ajaran dan pesan-pesan Kitab Suci Al-Qur’an dan

Sunnah Rasul, hanya bisa dipahami dan ditafsirkan oleh orang-orang terpilih, para

ulama yang telah mendapat hidayah dari Tuhan. Metodologi pemahaman secara

demikian, didasarkan pemikiran terbatasnya kemampuan manusia (biasa)

memahami Ajaran Islam, (Al-Quran dan Sunnah Rasul). Menurut mereka bila

manusia yang memiliki kemampuan terbatas, menafsirkan langsung Al-Quran dan

Sunnah Rasul, berpeluang besar menimbulkan salah tafsir dan sesat pikir, bahkan

menyimpang dari fitrah dan substansi Ajaran Islam. Atas dasar itu, penganut

konservatif, memandang patuh atau taqlid pada pemikiran mazhab merupakan

kebaikan untuk memelihara kesucian ajaran Islam.

161 Geertz mengidentifikasi perbedaan paham keagamaan abangan dengan santri atas lima hal: (1)

takdir dan ikhtiar, (2) totalistik dan terbatas, (3) sinkritik dan pemurnian (4) pengalaman

keagamaan dan perilaku keagamaan (5) adat-mazhab dan pragmatisme dan rasionalisme. Lihat Clifford Geertz, 1983, Abangan, Santri Priyayi Dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: Pustaka Jaya.

162 Aliran atau mazhab yang dianut sebagian besar umat Islam di Indonesia adalah mazhab Syafi’i,

penganut mazhab selain mazhab Syafii disebut wahabi (pembaharu).

Page 124: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

108

Perbedaan metodologi yang digunakan untuk memahami sumber ajaran

(Al-Quran dan Sunnas), mengakibatkan perbedaan pandangan mengenai

kedudukan dan posisi manusia. Kedudukan manusia seperti kaya atau miskin,

hidup dan kematian, menurut kelompok konservatif, telah ditakdirkan

(ditentukan) sebelum manusia lahir ke dunia. Panjang dan pendeknya umur

manusia, kapasitas dan ruang gerak manusia di dunia dibatasi takdir Tuhan.

Seorang informan mengilustrasikan pengertian takdir sebagai berikut:

“Nasib manusia tak ubahnya seperti wayang dalam sebuah pertunjukkan kesenian

rakyat. “Naik turunnya wayang ke pentas pertunjukkan ditentukan oleh Dalang.

Dalang memiliki kuasa penuh untuk menentukan bagaimana dan kapan wayang

dipentaskan, apakah pada permulaan atau akhir dari suatu pertunjukan. Peran

manusia di dunia tak ubahnya seperti wayang, nasibnya ditentukan oleh Yang Maha

Menentukan, Allah SWT.”

Kedudukan manusia yang dipahami penganut kaum konservatif, kontras

dengan yang dianut oleh kaum modernis. Menurut penganut modernis manusia

memiliki ruang gerak yang bebas tetapi kebebasannya dibatasi ikhtiar (kerja keras

yang optimal). Kaya miskin seseorang, hidup dan kematian memang telah

digariskan, tetapi dapat diperbaiki atau dirubah melalui proses ikhtiar.

Kemiskinan seseorang dapat diperbaiki dengan berusaha, kerja keras dan berdo’a.

Demikian juga penyakit yang diderita seseorang dapat diobati dan disembuhkan

melalui berbagai cara, (medis, pengobatan tradisional atau pengobatan alternatif).

Seorang informan mencontohkan tentang demam berdarah yang disebabkan gigitan

nyamuk yang berakibat kematian seseorang. Kematian tersebut dapat dicegah, bila

dilakukan ikhtiar melalui pencegahan dini dan pengobatan yang tepat.

Perbedaan paham konservatif dan modernis juga terlihat dari pemahaman

mereka tentang makna dan fungsi agama dalam kehidupan masyarakat. Bagi

modernis, agama dimaknai bukan hanya mengatur hubungan manusia dengan

Tuhan atau urusan ibadah semata-mata, tetapi mengatur urusan ekonomi dan

politik (negara). Berpolitik, menyampaikan amar (seruan untuk bertindak adil dan

bersikap hikmat) dan ma’ruf, (bujukan untuk berbuat kemaslahatan umat) kepada

amir (pemerintah) merupakan bagian tak terpisahkan dari pelaksanaan ajaran

Islam. Sebaliknya penganut faham konservatif lebih menekankan pada aspek

ibadat, kesalehan sosial dan kesalehan individual. Dalam hubungannya warga

negara dengan negara, kaum konservatif memandang kewajiban warga negara

Page 125: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

109

adalah sami’na wa ath’na (mendengar dan patuh pada penguasa) daripada terlibat

dalam politik praktis. Mereka memahami agama sebagai urusan manusia dengan

Tuhannya dan agama terpisah dari kehidupan politik.

Perbedaan paham modernis dan konservatif juga merembes dalam

berbagai acara ritual keagamaan dan praktik kelola sumberdaya agraria. Dalam

penyelenggaraan ritual keagamaan kelompok konservatif cenderung

mensinkretiskan unsur agama dengan adat/ tradisi. Pembacaan tahlil, dzikir dan

do’a dalam acara selamatan sering diikuti dengan pembakaran kemenyan. Acara

selamatan secara demikian oleh kelompok modernis dipandang sebagai

dinamisme dan bid’ah (inovasi ritual terlarang). Ritual agama tidak boleh

bercampur baur dengan adat/tradisi.

6.4.2. Afiliasi Politik dan Konflik Elit

Afiliasi warga terhadap partai politik tercermin dalam pemilihan umum

tahun 2009 terutama untuk pemilihan anggota legislatif Kabupaten Serang. Dalam

masa kampanye afiliasi politik ditunjukkan dari pemasangan dan pemakaian atribut

partai politik yang menjadi afiliasinya seperti kaos dan bendera partai politik.

Menurut penuturan informan, afiliasi politik warga dalam pemilihan umum tidak

berkaitan dengan paham keagamaan yang dianutnya, pilihan politik seseorang tidak

dipengaruhi oleh paham keagamaannya. Sehingga afiliasi warga dengan partai

politik, tidak menyebabkan pengelompokan sosial.

Dari penggalian informasi di lapangan, diketahui bahwa pilihan dan

afiliasi warga pada partai politik dalam pemilihan umum bulan April 2009,

didasarkan atas pertimbangan: (1) mengikuti pilihan partai politik orang yang

ditokohkan/dihormati, (2) tokoh/pemimpin partai politiknya populer, (3) partai

politik yang memiliki kepedulian sosial, (4) partai politik yang menjadi simbol

perlawanan dan pembelaan wong cilik, (5) partai politik yang mengusung nilai

agama (Islam), (6) partai politik yang memperjuangkan kesejahteraan petani.

Fenomena ini menunjukkan dua hal: pertama terjadi pergeseran sumber

opini yang mempengaruhi masyarakat pedesaan atas afiliasi politik dalam

pemilihan umum. Bila sebelumnya afiliasi politik dipengaruhi dan ditentukan

tokoh masyarakat sebagai pembentuk opini, dewasa ini afiliasi politik penduduk

Page 126: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

110

pedesaan dalam pemilihan umum dipengaruhi oleh terpaan informasi media audo

visual. Informasi partai politik yang disiarkan oleh media televisi, cukup efektif

membentuk opini masyarakat pedesaan untuk menentukan afiliasi politiknya

secara bebas.

Kedua perubahan orientasi dan afiliasi politik masyarakat pedesaan dalam

pemilihan umum, tidak lagi terpolarisasi atas ideologi tertentu163

(nasionalis dan

religius), tetapi cenderung lebih pragmatis. Kondisi ini menyebabkan perbedaan

afiliasi politik dalam pemilihan umum, tidak menimbulkan ketegangan-

ketegangan sosial dalam masyarakat. Sejumlah warga menyatakan, afiliasinya

dengan partai politik tertentu tidak didasarkan ikatan ideologis tetapi atas dasar

pertimbangan sosiologis, seperti terungkap dari pernyataan seorang warga sebagai

berikut: “afiliasi politik warga dalam pemilihan umum mengikuti pandangan

orang yang dihormatinya seperti tokoh masyarakat, orang tua, majikan dan orang-

orang yang berbuat baik serta informasi dan obrolan yang berkembang dalam

ajang-ajang sosial yang berlangsung secara informal”.

Pergeseran afiliasi politik masyarakat pedesaan tak terlepas dari

penghapusan kebijakan massa mengambang (floating mass), yang memungkinkan

partai politik memiliki kepengurusan pada tingkat desa. Meskipun demikian

tidak berarti partai politik berbasiskan ideologi kehilangan pengaruhnya di

pedesaan. Partai politik yang berbasiskan ideologi agama, masih mendapat ruang di

tengah masyarakat, terutama partai politik berbasis agama yang memiliki

perpanjangan tangan sampai ke wilayah pedesaan dan partai politik yang mampu

mengemas isu yang relevan dan menarik masyarakat164.

Afiliasi politik yang menimbulkan ketegangan terjadi dalam pemilihan

Kepala Desa, seperti pemilihan Kepala Desa Citaman. Antara pro dan kontra

terhadap calon Kepala Desa pada waktu dan hal tertentu terjadi ketegangan dalam

intensitas yang relatif tinggi. Dari penggalian informasi dengan narasumber,

ketegangan sosial tersebut disebabkan faktor sebagai berikut:

163Dari penelitian di Mojokuto Geertz, menyimpulkan bahwa terdapat hubungan antara paham

keagamaan dengan afiliasi partai politik. Penganut modernism (Muhammadiyah) berafiliasi

dengan partai Masyumi dan penganut konservatif (NU) untuk memilih PNI. Lihat Clifford Geertz,

1983, Abangan, Santri Priyayi Dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: Pustaka Jaya. 164

Menurut informan partai politik dalam kategori ini antara lain Partai Keadilan Sejahtera (PKS)

dan Partai Golkar.

Page 127: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

111

Pertama hiruk pikuk politik dalam pemilihan Kepala Desa melibatkan

kepentingan sosial ekonomi warga secara langsung dan kongkrit, seperti

pengurusan KTP dan PBB, bantuan Raskin, kompor GAS, Askeskin, pelayanan

kesehatan dan bantuan sarana produksi pertanian. Pihak yang mendapat

kemudahan dan bantuan dari Kepala Desa cenderung membela Caleg Kepala

Desa incumbent (petahana), sebaliknya mereka yang pernah dipersulit atau tidak

mendapatkan bantuan, bersikap kontra terhadap Kepala Desa incumbent. Berbeda

dengan pemilihan anggota legislatif dan Presiden, hanya melibatkan kepentingan

semu warga. Hasil akhir pertarungan dalam pemilihan badan legislatif dan

Presiden, tidak bersentuhan langsung dengan kepentingan dan perbaikan

kesejahteraan masyarakat. Informan mengumpamakan pihak-pihak yang

bersitegang dalam pemilihan badan legislatif dan Presiden sebagai “perebutan

pepesan kosong.”

Kedua afiliasi politik warga dalam pemilihan kepala desa melibatkan elit desa

termasuk tokoh agama. Keterlibatan pemimpin informal dan kharismatik seperti

kiai, menyebabkan pemilihan kepala desa melibatkan dimensi psikologis dan

emosial warga. Dalam pemilihan Kepala Desa Citaman keterlibatan kiai sebagai

pembentuk opini, cukup efektif mendongkrak perolehan suara Kepala Desa yang

dijagokannya.

Ketiga sejalan dengan semakin banyaknya program pembangunan pedesaan dan

otonomi daerah, kedudukan Kepala Desa semakin penting secara politik dan

ekonomi. Makna strategis kedudukan Kepala Desa, terlihat dari upaya yang

dilakukan oleh incumbent dan pesaingnya untuk mengerahkan segenap

sumberdaya ekonomi dan politik, termasuk penggunaan politik uang untuk

memenangkan pemilihan Kepala Desa, seperti dituturkan informan sebagai

berikut:

“Permainan politik uang” dalam pemilihan Kepala Desa dilakukan secara tertutup

atau terbuka yang dikoordinir tim sukses masing-masing. Nilai “transaksi suara”

bervariasi, berkisar Rp 10.000,- s/d Rp. 50.000,-. Calon Kepala Desa yang mampu

“membeli suara pemilih” yang lebih besar berpeluang menang lebih besar.”

Maraknya politik uang dalam pemilihan Kepala Desa karena berkembangnya

fenomena, dimana warga sebagai pemilih merasa dirinya berhak “menjual suara”

sementara calon kades merasa berhak “membeli suara pemilih” sesuai dengan

kemampuannya.”

Page 128: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

112

Pernyataan tersebut memberikan gambaran bahwa ”permainan politik

uang” yang mengemuka pada pentas politik nasional, dewasa ini telah menembus

wilayah pedesaan. Mistifikasi pembangunan ekonomi yang berlangsung pada aras

nasional, berimbas pada proses moneterisasi di masyarakat pedesaan. Indikasinya

adalah meluasnya pemburuan rente ekonomi dan munculnya perilaku masyarakat

yang lebih mengedepankan preferensi ekonomi dari pada nilai agama, sosial

budaya dan keluhuran politik. Maraknya politik uang dalam pemilihan kepala

desa, menunjukkan bahwa warga dalam memberikan hak suara cenderung

pragmatis dan kurang mempertimbangkan kualifikasi status, kompetensi dan

kapasitas calon Kepala Desa yang dipilihnya. Permainan politik uang dalam

pemilihan Kepala Desa yang terjadi di desa Citaman, melainkan juga terjadi di

sejumlah pemilihan kepala desa di wilayah Jawa Tengah seperti dikemukakan

Smith: (1982) 165

“Beberapa tokoh masyarakat memberitahukan bahwa di sejumlah desa, pemilihan

kepala desa seringkali diwarnai oleh cara-cara untuk memperoleh dukungan

melalui pembagian uang kepada calon pemilihnya. Dalam hal ini mereka yang

memberi hadiah paling besar seringkali memiliki peluang pertama untuk

memenangkan pemilihan sebagai calon kepala desa. Calon kepala desa yang

menguasai sumber ekonomi berlebih atau menguasai tanah luas mempunyai

kesempatan yang lebih terbuka untuk dipilih menjadi kepala desa.”

Keempat pertarungan dalam pemilihan Kepala Desa dipicu oleh perebutan

penguasaan tanah kajaroan. Hal ini menunjukkan bahwa dalam pemilihan kepala

desa pertimbangan motif ekonomi (penguasaan tanah) lebih menonjol daripada

kehendak mengabdi membangun membangun desa. Sengitnya perebutan untuk

menguasai tanah kajaroan dan sumber-sumber ekonomi lain, ditunjukkan oleh

dengan “pecahnya kongsi” atau “koalisi” antara Kepala Desa dan Sekretaris Desa,

untuk selanjutnya bertarung dalam pemilihan kepala desa pada periode

berikutnya.

Kelima ketegangan politik akibat pertarungan pemilihan kepala desa

meluas pada hubungan antar kelompok sosial. Ketegangan dipicu oleh pergantian

Sekretaris Desa yang dilakukan oleh kepala desa yang tidak melibatkan Badan

Perwakilan Desa (BPD) dan tokoh masyarakat yang bermukim di bagian atas desa

165 Lihat Theodor Smith (1982) “Kepala Desa: Pelopor Pembaharuan?” dalam Koentjaraningrat

(ed). Masalah-Masalah Pembangunan, Bunga Rampai Antropologi Terapan. Jakarta: LP3ES.

Page 129: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

113

(kampung Cibarugbug, Sibopong Landeuh, Sibopong Tengah, Sibopong Girang

dan Pematang). Sebagian besar anggota BPD dan tokoh masyarakat bagian atas,

mengharapkan agar Sekretaris Desa yang mendampingi Kepala Desa adalah M

Bachraini. Beliau dipandang sebagai representasi aspirasi penduduk desa bagian

atas, sehingga struktur politik desa berada dalam keseimbangan.

Sayangnya aspirasi BPD dan masyarakat Desa Citaman bagian atas, tidak

ditanggapi positif dari Kepala Desa terpilih, karena yang diangkat sebagai

Sekretaris Desa adalah keponakan Kepala Desa. Kepala Desa berdalih

pengangkatan keponakannya sebagai Sekretaris Desa, telah memenuhi kualifikasi

persyaratan minimal untuk menjadi perangkat desa, yakni sekurang-kurangnya

berpendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama dan/atau berpengetahuan yang

sederajat. Argumen Kepala Desa tidak dapat dipahami oleh BPD dan tokoh

masyarakat, karena Kepala Desa mengabaikan persyaratan lain untuk menjabat

perangkat desa seperti pengalaman dan umur.166

Pengangkatan Sekretaris Desa memang merupakan kewenangan Kepala

Desa, tetapi pengangkatan yang hanya memperhatikan syarat administrasi (tingkat

pendidikan) dengan mengabaikan kompetensi, pengalaman dan aspirasi BPD

merupakan tindakan sewenang-wenang. Kondisi ini mengakibatkan ketegangan

sosial setelah pemilihan Kepala Desa berlanjut dan Kepala Desa dituduh bersikap

nepotis dalam pengangkatan perangkat desa. Berhembusnya isu nepotisme,

menggambarkan semakin pentingnya peran politik dan ekonomi pemerintahan

desa dalam masyarakat pedesaan. Terdapat gejala, di mana ajang perebutan

kekuasaan di wilayah pedesaan, bukan hanya pada kedudukan Kepala Desa, tetapi

meluas dalam jabatan-jabatan birokrasi desa termasuk Sekretaris Desa. Adanya

rencana pemerintah yang akan mengangkat Sekretaris Desa sebagai pegawai

negeri sipil, dapat dipastikan akan menambah sengitnya pertarungan untuk

menduduki jabatan Sekretaris Desa.

166 Dalam UU No.22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah pasal 97 disebutkan untuk menjadi

Kepala Desa/perangkat desa adalah penduduk desa warga negara Republik Indonesia yang

memenuhi syarat antara lain: (a) bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; (b) setia dan taat kepada

Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; (c) berpendidikan sekurang-kurangnya Sekolah

Lanjutan Tingkat Pertama dan/atau berpengetahuan yang sederajat; (d) berumur sekurang-

kurangnya 25 tahun; (e) mengenal daerahnya dan dikenal oleh masyarakat di desa setempat.

Page 130: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

114

6.4.3. Kontestasi Merebut Insentif Jasa Lingkungan

Di wilayah Desa Citaman dan Desa Cibojong, menguatnya kontestasi

politik dalam jabatan Kepala Desa dan Sekretaris Desa, ternyata meluas pada

kelompok tani hutan. Pertarungan antar kelompok tani, berawal dari aktivitas

agroforestry komunitas petani di desa Cibojong dan Citaman berdampak positif

terhadap konservasi tanah dan air yang menghasilkan jasa lingkungan. Jasa

lingkungan yang dihasilkan petani adalah cadangan air dan sumber air baku untuk

memenuhi kebutuhan air bersih masyarakat dan industri strategis di kota Cilegon

(PT Indonesia Power (anak perusahaan PLN) yang menjadi produsen listrik untuk

Jawa dan Bali, industri baja PT Krakatau Steel dan PT. Krakatau Tirta Industri).

Sebagai imbalan atas aktivitas agroforestry yang mendukung pelestarian

ekosistem bagian hulu DAS Cidanau, sejumlah petani di Desa Citaman dan

Cibojong mendapatkan pembayaran jasa lingkungan.

Hanya saja pembayaran jasa lingkungan oleh konsumen kepada produsen

jasa lingkungan (petani) di hulu DAS Cidanau, tidak diterima oleh semua petani

yang terlibat dalam agroforestry di Desa Citaman dan Desa Cibojong.

Pembayaran jasa lingkungan hanya diberikan kepada petani yang berada pada

zona tertentu, berdasarkan hasil kajian Tim Ad Hoc Forum Komunikasi DAS

Cidanau (FKDC) 167

. Luasnya sekitar 50 ha, 25 ha berada di wilayah desa Citaman

Kecamatan Ciomas dan 25 ha di desa Cibojong Kecamatan Padarincang.168

Pembayaran jasa lingkungan berdasarkan zonasi Tim Ad Hoc, kemudian menjadi

sumber ketegangan antar kelompok tani, karena tidak semua petani mendapatkan

pembayaran jasa lingkungan atau kompensasi lainnya. Kelompok Tani Karya

167Forum Komunikasi DAS Cidanau disingkat FKDC dibentuk berdasarkan Surat Keputusan

Gubernur Banten Nomor 124.3/Kep.64-Huk/2002 tanggal 24 Mei 2002. Pembentukannya

didorong adanya keprihatinan bersama untuk memelihara kelestarian ekosistem DAS untuk

menunjang pembangunan ekonomi wilayah Serang dan wilayah barat Propinsi Banten. Rekonvasi

Bumi, 2007, Uji Coba Konsep Pembayaran Jasa Lingkungan di DAS Cidanau Propinsi Banten.

168Pada saat penelitian kelompok tani penerima pembayaran jasa lingkungan adalah Kelompok

Tani Karya Muda Desa Citaman Kecamatan Ciomas, Kelompok Tani Maju Bersama Desa

Cibojong Kecamatan Padarincang. Saat ini kelompok petani penerima pembayaran jasa

lingkungan bertambah dua yakni Kelompok Tani Agung Lestari Desa Kadu Agung Kecamatan

Gunung Sari Kabupaten Serang dan Kelompok Tani Alam Lestari Desa Cikumbueuen Kecamatan

Mandalawangi Kabupaten Pandeglang. Sehingga kawasan yang mendapatkan pembayaran jasa lingkungan di DAS Cidanau seluas 100 hektar, setiap kelompoknya sebesar Rp. 30.000.000,- (tiga

puluh juta rupiah) per tahun atau sebesar Rp. 1.200.000,- (satu juta dua ratus ribu rupiah) per

hektar per tahun.

Page 131: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

115

Muda Desa Citaman dan Kelompok Tani Maju Bersama Desa Cibojong,

merupakan kelompok tani generasi pertama yang terlibat dalam pengembangan

mekanisme hulu hilir dengan mekanisme transaksi jasa lingkungan di DAS

Cidanau masa perjanjian tahun 2005 - 2009. Sedangkan Kelompok Tani Agung

Lestari Desa Kadu Agung, dan Kelompok Tani Alam Lestari Desa Cikumbueuen

Kecamatan Mandalawangi Kabupaten Pandeglang, merupakan kelompok tani

generasi kedua yang menerima pembayaran jasa lingkungan dengan masa

perjanjian pembayaran dimulai pada awal tahun 2008 sampai dengan 5 tahun ke

depan.

Seperti disebutkan di atas Kelompok Tani Hutan (KTH) yang menerima

menerima insentif jasa lingkungan pada kedua desa hanya seluas 50 hektar.

Kondisi ini menimbulkan ketegangan antara kelompok tani yang menerima jasa

lingkungan dengan kelompok tani yang tidak menerima jasa lingkungan dan

dengan pengurus FKDC. KTH yang tidak menerima insentif lingkungan menuduh

KTH yang menerima insentif jasa lingkungan sebagai tidak peduli sesama, hanya

mementingkan kelompoknya dan mengabaikan keguyuban petani. Petani yang

menerima insentif lingkungan, berdalih bahwa insentif yang diterimanya

berdasarkan hasil kajian Tim Ad Hoc. Kelompok tani yang tidak menerima jasa

lingkungan menuduh pengurus FKDC berbuat tidak adil dan pilih kasih. Dalam

aturan perjanjian itu disebutkan:

“Anggota kelompok petani hutan yang menerima pembayaran jasa lingkungan,

syaratnya lahan memiliki jumlah tanaman tidak kurang dari 500 batang pohon

pada tahun pertama tidak kurang dari 200 batang pada akhir tahun kelima. Jenis

tanaman yang berhak atas pembayaran jasa lingkungan adalah, semua jenis

tanaman berdasarkan ketentuan Departemen Kehutanan Republik Indonesia. Peta

situasi lahan dan tanaman masing–masing anggota kelompok harus

menginformasikan tata letak pohon yang diberi notasi nomor dan informasi jenis

tanaman yang tersebar secara merata.169

Insentif jasa lingkungan yang diterima petani adalah sebesar Rp. 100.000,-

(seratus ribu rupiah) tiap bulan untuk satu hektar kebun. Nilai insentif jasa

lingkungan itu dinilai oleh petani bervariasi. Sebagian petani memandang “nilai

nominal insentif lingkungan yang diterimanya per bulan hanya cukup untuk upah

ngored selama lima hari”. Nilai tersebut jauh lebih kecil dibandingkan dengan

169 Forum Komunikasi DAS Cidanau, 2005, Perjanjian Pembayaran Jasa Lingkungan, FKDC.

Page 132: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

116

biaya perjalanan dinas pengurus FKDC sebagai pengelola Pembayaran Jasa

Lingkungan yang mencapai Rp 150.000,- (seratus lima puluh ribu) per hari.

Tetapi bagi petani pemilik lahan sempit/petani gurem, nilai uang sebesar Rp.

100.000,- (seratus ribu rupiah) hampir setara dengan 30 liter beras (per liter Rp

3.500,-), sehingga sangat berarti buat petani.

Pertarungan antar anggota/Kelompok Tani Hutan di hulu DAS Cidanau,

merujuk pada pendapat Leventhal dalam Nurrahman, (2004) berkaitan dengan

perbedaan pemahaman atas contribution rule dan equality rule.170

Perspektif

contribution rule memandang bahwa suatu mekanisme yang adil, bila semua

individu yang terlibat mendapatkan imbalan yang sebanding dengan

kontribusinya. Petani/kelompok yang telah bekerja keras menghasilkan jasa

lingkungan memandang, petani/kelompoknya yang berhak mendapatkan insentif

jasa lingkungan. Sebaliknya perspektif equality rule memandang suatu

mekanisme yang adil, bila semua individu yang terlibat mendapatkan imbalan

yang setara di antara para partisipan. Insentif lingkungan harus terbagi dan

diterima secara merata di antara petani yang terlibat dalam produksi jasa

lingkungan.

Dalam diskusi bersama kelompok tani, kontestasi merebut jasa lingkungan

disebabkan dua hal: (1) Ketentuan perjanjian pembayaran jasa lingkungan, yang

menyatakan bahwa pada tahun kedua sampai dengan tahun kelima, insentif jasa

lingkungan yang diterima petani meningkat nilainya menjadi minimal Rp 2,5 juta

per hektar per tahun dengan syarat jumlah tanaman tidak kurang dari 200 batang

pada akhir tahun kelima. Petani yang tidak menerima jasa lingkungan pada

peruide 2005-2009 sedikit peluangnya mendapatkan insentif lingkungan pada

periode berikutmya. (2) Aturan dan mekanisme pembayaran jasa lingkungan

ditentukan secara sepihak oleh Tim Ad Hoc FKDC yang didominasi oleh

pejabat/mantan pejabat pemerintah daerah. Menurut masyarakat dominasi pejabat,

mengakibatkan kepentingan politik dan ekonomi lebih mengemuka daripada

kepentingan petani dan konservasi.

170 Nani Nurrrachman,2004. Keadilan dalam Perspektif Psiko Sosial” dalam ”Keadilan Sosial:

Upaya Mencari Makna Kesejahteraan Bersama di Indonesia.” Jakarta: PT Kompas Media

Nusantara.

Page 133: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

117

Indikasinya ditunjukkan oleh dua hal: (a) mekanisme pembayaran jasa

lingkungan di DAS Cidanau dirancang untuk mengontrol aktivitas komunitas

petani di hulu DAS daripada membangun kelembagaan tata kelola DAS yang

partisipatif, terpadu dan berkelanjutan. (2) Sistem penganggaran FKDC untuk

kegiatan operasional dibebankan kepada APBD provinsi, sedangkan untuk

pembayaran jasa lingkungan berasal dari PT Krakatau Tirta Industri (BUMD).

Patut diduga pejabat pemerintah daerah yang menjadi pengurus FKDC menjadi

’benalu” daripada memperjuangkan keberlanjutan ekosistem DAS Cidanau. (3)

Pengurus FKDC cenderung sewenang-wenang, bertindak sebagai “pembeli” yang

menentukan “harga” jasa lingkungan secara sepihak daripada menjadi pengayom

petani dan menjaga kelesatarian ekosistem hulu DAS Cidanau.

6.5. Ikhtisar

Pemahaman yang menempatkan sumberdaya agraria sebagai komoditi

daripada sebagai stock dan barang publik, mengakibatkan kontestasi sektoral

menjadi tak terhindarkan. Kurangnya pemahaman memilah dan memilih fungsi

sumberdaya alam sebagai stock, barang publik dan sebagai komoditi,

mengakibatkan pengelolaan dan penguasaan sumberdaya tidak memperhatikan

karakteristik sifat dan fungsi sumberdaya. Kontestasi penguasaan sumberdaya

agraria di wilayah pedesaan berlangsung pada aras makro/nasional dan mikro di

masyarakat. Pada aras makro kontestasi berlangsung antar berbagai aktor atau

kekuatan politik dan ekonomi melalui perumusan sejumlah peraturan perundang-

undangan, seperti revisi Undang-Undang No. 41 tahun 1999 yang melegalkan

eksploitasi pertambangan di hutan lindung.

Di aras mikro/masyarakat, kontestasi sektoral, muncul dalam pelaksanaan

program sektoral melalui proyek pembangunan yang bersifat top down yang

disertai pembentukan kelembagaan yang menegasikan kelembagaan masyarakat.

Pembentukan kelembagaan baru oleh instansi sektoral di pedesaan disebabkan

rendahnya political will pemangku otoritas terhadap kelembagaan komunitas.

Kelembagaan komunitas dipersepsi dan diposisikan sebagai sebagai orphan factor

anak tiri dan tidak diinginkan. Sehingga kontestasi sektoral pada aras desa

mengakibatkan kapitalisasi sumberdaya pedesaan.

Page 134: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

118

Dalam konteks komunitas sekitar hutan dan desa hutan, kapitalisasi

sumberdaya pedesaan menyebabkan interaksi negara dengan warga negara atau

desa cenderung menjadi transaksional. Dampak lebih lanjutnya adalah proses

pembangunan didominasi oleh kepentingan memburu rente ekonomi dan abai

terhadap pemberdayaan dan perbaikan kesejahteraan masyarakat. Kapitalisasi

sumberdaya pedesaan juga mereduksi sumberdaya (sumberdaya agraria dan

manusia) sebagai komoditas semata-mata. Akibatnya pembangunan ekonomi

sebatas peningkatan angka statistik dan indikator kuantitatif, sementara esensi

pembangunan untuk memberdayakan dan memandirikan masyarakat diabaikan.

Menguatnya kontestasi sektoral tidak hanya berdampak pada

pembangunan kehutanan dan kawasan DAS Cidanau tidak dikelola secara

terkoordinasi dan tidak sinergis. Kontestasi disertai ego kedaerahan

mengakibatkan pembangunan ekonomi tidak mampu menurunkan dan merubah

desa hutan sebagai salah satu kantong kemiskinan. Karena kontestasi sektoral dan

ego keadaerahan mendorong masing-masing instansi sektoral dan daerah memiliki

perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan monitoring tersendiri tanpa koordinasi.

Padahal dalam pengelolaan sumberdaya hutan dan kawasan DAS memerlukan

adanya ”rumah bersama” untuk memadu serasikan antar pemangku kepentingan

untuk menjaga keberlanjutan sumberdaya manusia dan sumberdaya hutan.

Page 135: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

119

BAB VII

PELURUHAN KELEMBAGAAN LOKAL

DAN KEGAGALAN POLITIK SUMBERDAYA AGRARIA

7.1. Pendahuluan

Interkasi masyarakat pedesaan dengan kekuatan supra lokal berlangsung

secara tidak simetris, timpang dan cenderung dominatif, bentuknya berbeda-beda

dari waktu ke waktu tergantung kepentingan politik dan ekonomi rezim yang

berkuasa. Di bawah rezim pemerintahan yang menganut ideologi

pembangunanisme, interaksi masyarakat pedesaan dengan kekuatan supra lokal

seperti dua sisi mata uang.

Di satu sisi mendorong peningkatan produktivitas komoditas, tumbuhnya

jaringan perdagangan desa kota dan makin terintegrasinya kehidupan petani

dengan kehidupan kota. Di sisi lain interaksi masyarakat pedesaan yang tidak

simetris menyebabkan hilangnya kemandirian dan keswadayaan masyarakat

pedesaan. Kedua hal tersebut merupakan implikasi dari pengarus-utamaan politik

agraria kapitalistik. Dalam pembangunan kehutanan orientasi politik agraria

kapitalis ditandai oleh kebijakan yang kurang mempertimbangkan komunitas

sebagai komponen utama ekosistem hutan.

Secara umum politik agraria termanifestasikan dalam sejumlah peraturan

perundang-undangan dan kebijakan kehutanan yang menempatkan komponen

manusia atau masyarakat lokal sebagai "sumber gangguan" daripada "kunci

keberhasilan". Pemahaman ini bersumber dan berakar dari politik agraria

kapitalis kolonial dan pelaksanaan pembangunan ekonomi dengan cara instant dan

pro pasar, yang mereduksi sumberdaya agraria hanya sebagai komoditi bernilai

ekonomi. Dampak dari pelestarian politik agraria kapitalis kolonial tersebut

adalah berujung pada kegagalan penyelenggara negara mewujudkan tujuan politik

agraria untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Indikasi dari kegagalannya

adalah peluruhan kelembagaan komunitas sekitar hutan. Gambaran kedua aspek

tersebut menjadi fokus utama uraian bagian ini.

Page 136: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

120

7.2. Politik Agraria dan Peluruhan Kelembagaan Lokal

7.2.1. Latar Belakang Sejarah Peluruhan Kelembagaan Lokal

Perjalanan sejarah petani di Indonesia diwarnai oleh dominasi kekuasaan

supra lokal yang bentuknya berbeda-beda dari waktu ke waktu, tergantung

kepentingan politik dan ekonomi rezim yang berkuasa. Pada zaman kerajaan,

komunitas petani di DAS Cidanau bekerja, berproduksi dan mengabdi kepada

kesultanan Banten. Dalam menjalankan pemerintahannya dan untuk mengontrol

wilayah pedesaan. Kesultanan Banten memberlakukan sistem appanage dengan

cara memberi kekuasaan kepada priyayi/abdi dalam untuk mengabdi dan

memanfaatkan tenaga kerja penduduk/cacah yang dikuasainya. Sistem appanage

yang dilakukan kesultanan Banten terlihat dari adanya berbagai kelembagaan

penguasaan tanah, seperti sawah negara, sawah ganjaran atau pusaka laden,

tanah kawargaan, tanah kanayakan dan tanah pangawulaan. Berbagai bentuk

penguasaan tanah itu merupakan sumber finansial dan stabilitas politik kerajaan

sekaligus sarana pengawasan kerajaan terhadap wilayah pedesaan. Melalui sistem

appanage Sultan Banten dapat mengganti pemegang appanage, bila abdi dalem

yang diberi hak kuasa dan ditunjuk Sultan, dipandang menimbulkan ketegangan

sosial atau mengkonsolidasikan diri menentang kekuasaan Kesultanan Banten.

Selain sistem appanage, di pedesaan wilayah Kesultanan Banten, terdapat

kelembagaan kejaroan. Pada masa kerajaan kelembagaan lokal ini berperan

sebagai sarana mobilisasi sumberdaya manusia dan sumber ekonomi serta tulang

punggung stabilitas politik kesultanan di wilayah pedesaan. Di wilayah

kekuasaannya, kajaroan bertugas menentukan tata cara dan haluan pemerintahan

menurut norma keguyuban dalam upaya memelihara keharmonisan,

menyelenggarakan musyawarah bersama kokolot untuk menentukan langkah-

langkah pelaksanaan kegiatan pertanian dan mengedukasi masyarakat dalam

pemenuhan kebutuhan hidupnya. Di wilayah kesultanan Banten kajaroan

berfungsi sebagai “kelembagaan lokal/adat” yang berperan sebagai perekat dan

pengikat tata hubungan antar anggota masyarakat dan pemerintahan.

Dalam tata kelola sumberdaya, kajaroan memiliki kewenangan

administratif dan bertanggungjawab menyelesaikan persoalan tanah. Pemimpin

kajaroan bertindak sebagai penghubung antara kajaroan dengan abdi dalam. Abdi

Page 137: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

121

dalam diangkat dan diberi tugas oleh Sultan untuk memungut upeti, pajak dan

cukai dari petani dan pedagang. Sebagai imbalannya, Sultan memberikan tanah

pangawulaan, yakni tanah kerajaan yang diberikan kepada warga berstatus

“penggarap”, berhak atas bujang dan berkewajiban menanggung beban atas tanah

(membayar upeti secara berkelanjutan). 171

Setelah kesultanan Banten runtuh digantikan oleh Pemerintah Kolonial

Belanda, sistem appanage digantikan Sistem Tanam Paksa yang mengharuskan

petani menanam tanaman komersial dan mengikuti kerja wajib. Dalam

melaksanakan Sistem Tanam Paksa, Pemerintah Kolonial Belanda menggunakan

sistem pemerintahan indirect rule (pemerintahan tidak langsung). Dalam arti

Pemerintah tidak menghapus pemerintahan tradisional atau membentuk

kelembagaan baru, melainkan memanfaatkan struktur kekuasaan tradisional.

Aparat Kolonial Belanda tidak langsung berhubungan dan berurusan dengan

rakyat, melainkan melalui aparat pemerintahan tradisional. Dengan

pemberlakukan sistem pemerintahan indirect rule, pemerintah kolonial Belanda

dapat mendayagunakan penguasa lokal, tanpa terlibat dan berhadapan secara

langsung dengan rakyat jajahan.

Pemberlakuan pemerintahan indirect rule di wilayah kesultanan Banten, di

satu sisi meringankan beban Pemerintah Kolonial Belanda, tetapi lain halnya bagi

masyarakat pedesaan, memberatkan dan menimbulkan penderitaan, karena rakyat

harus membayar upeti yang lebih besar. Besarnya tekanan Pemerintah Kolonial

Belanda terhadap masyarakat pedesaan ditunjukkan oleh tiga hal: (1) adanya

kebijakan diskriminatif yang dikeluarkan oleh Residen Banten tahun 1896 yang

berisi larangan kegiatan huma di wilayah Serang Selatan; (2) tindakan sewenang-

wenang dan kekerasan yang dilakukan oleh para demang seperti pencurian dan

pemerasan terhadap hak milik rakyat; (3) banyaknya para bujang yang melarikan

diri sikep.

Beban penderitaan rakyat yang diakibatkan eksploitasi sumberdaya

manusia dan sumberdaya alam di wilayah kesultanan Banten dikemukakan secara

menarik oleh Douwes Dekker, penulis kebangsaan Belanda yang pernah bertugas

di wilayah Lebak dalam bukunya yang terkenal Max Havelar. Douwes Dekker

171 Lihat Sartono Kartodirdjo, 1984. Pemberontakan Petani Banten 1888. Jakarta: Pustaka Jaya.

Page 138: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

122

menyatakan tiga puluh juta rakyat disiksa, diisap dan dirampas harta kekayaan

dan ternaknya seperti perampasan kerbau milik ayah Saijah yang dilakukan oleh

Demang Parangkujang (kerabat bupati Lebak Raden Adipati Kartanegara).172

Akibat kesewenang-wenangannya, Demang Parangkujang dipecat, tetapi

penderitaan petani yang disebabkan eksploitasi “penguasa lokal” tidak surut.

Sebaliknya mengakibatkan bertambah luasnya keresahan sosial dan meletusnya

pemberontakan petani tahun 1888 di wilayah Banten. Penghisapan rakyat oleh

kolonial juga menimbulkan keresahan dan meluasnya pemberontakan di

penghujung abad ke XIX di pelbagai wilayah di Jawa dan luar Jawa 173

Meluasnya keresahan sosial di wilayah pedesaan disebabkan politik

kolonial Belanda yang eksploitatif dan liberal, dengan memberi kesempatan yang

terbuka kepada pemilik modal asing untuk menguasai sumberdaya agraria di

Hindia Belanda. Untuk mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia, pemerintah

kolonial mengeluarkan sejumlah reglemen kolonial yang merugikan hak dan akses

masyarakat pedesaan dan sekitar hutan antara lain: Reglemen 1865 (tentang

Pemangkuan Hutan dan Eksploitasi Hutan, Agrarische Wet 1870, Reglemen 1874

dan Reglemen 1879. Agrarische Wet tahun 1870 merupakan landasan peraturan

agraria kolonial untuk melakukan komersialisasi dan eksploitasi sumberdaya

agraria di Hindia Belanda. Agrarische Wet tahun 1870 bersifat dualistis dan

diskriminatif, karena merubah dan menggusur kepemilikan dan penguasaan tanah

masyarakat dan hukum adat serta hak adat atas tanah. Tanah yang sebelumnya

bernilai sosial dan kepemilikannya secara komunal, dirubah secara radikal

menjadi komoditi dan hak milik individual. Bahkan tanah yang diberakan dengan

maksud untuk memulihkan kesuburan tanah lebih dari tiga tahun, dapat beralih

status menjadi hak Pemerintah Kolonial Belanda.

Dalam bidang kehutanan, untuk memperkuat landasan hukum eksploitasi

sumberdaya hutan, Pemerintah Kolonial Belanda mengeluarkan sejumlah

reglemen, antara lain: (1) Reglemen 1874, mengatur penguasaan tanah kesultanan

172 Lihat H.B. Jassin/G Termorshuizen, 1985. Max Havelaar atau Lelang Kopi Maskapai Dagang

Belanda.

173 Kasus keresahan Sosial yang disebabkan penetrasi kolonial di luar Jawa antara lain ditulis oleh

B.J.O. Schrieke, 1973. Pergolakan Agama di Sumatera Barat, Sebuah Sumbangan Bibliografi.

Jakarta: Bhratara.

Page 139: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

123

(vorstenlanden), (2) Reglemen 1879, mengatur kepemilikan negara atas hutan dan

penggolongan hutan atas hutan tetap dan tidak tetap, (3) Reglemen 1913,

mengatur pengamanan hutan dan ancaman sanksi pidana bagi yang melanggar, (4)

Ordonansi 1927, mengatur pemberian sanksi pidana bagi pelanggar dan perusak

hutan. 174

Berbagai reglemen tersebut berdampak luas terhadap kehidupan

masyarakat sekitar hutan, sumberdaya hutan dieksploitasi sementara akses

masyarakat sekitarnya dibatasi dan dimarginalkan. Penggerusan kelembagaan

komunitas oleh pihak kolonial semakin parah dengan keluarnya Kebijakan Tata

Guna Hutan Kesepakatan pada tahun 1935, yang secara nyata dan efektif

memarginalkan komunitas di pinggiran hutan. Bagi masyarakat, kebijakan ini

telah merubah kedudukan tanah dari “ibu pertiwi” menjadi komoditi dan

tergerusnya sumberdaya ekonomi komunitas sekitar hutan.

Marginalisasi kelembagaan masyarakat terus berlanjut setelah runtuhnya

pemerintahan kolonial Belanda digantikan oleh Bala Tentara Dai Nippon. Politik

kolonial Bala Tentara Jepang, diarahkan untuk mobilisasi penduduk Indonesia

melawan sekutu dan meneruskan eksploitasi sumberdaya agraria yang telah

dilakukan oleh Belanda. Eksploitasi sumberdaya agraria yang dilakukan Bala

Tentara Jepang, ditunjukkan dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 1 tahun

1942 yang berisi penegasan berlakunya peraturan-peraturan dari Pemerintah

Kolonial Belanda dan Ordonansi Hutan 1927.175

Pada permulaan kemerdekaan di bawah pemerintahan Presiden Soekarno,

kontrol negara terhadap masyarakat petani relatif lemah. Konflik politik antar elit

di tingkat nasional dan pergantian kabinet “seumur jagung” menyebabkan

pemerintah kurang memiliki kesempatan untuk menata perekonomian di wilayah

pedesaan. Menjelang pemilu 1955 partai politik besar PNI, Masyumi dan PKI

menerobos masuk mencari pengaruh dan dukungan politik ke wilayah pedesaan.

Pemilu 1955 menghasilkan empat partai politik: PNI, Masyumi, NU dan PKI

yang menggambarkan polarisasi politik masyarakat desa. Di tengah terjadinya

polarisasi politik tahun 1960, pemerintahan Soekarno mencanangkan reformasi

174 Lihat Salim, 2004, Dasar-Dasar Hukum Kehutanan. Jakarta: Sinar Grafika.

175 Lihat Salim, 2004, Dasar-Dasar Hukum Kehutanan. Jakarta: Sinar Grafika.

Page 140: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

124

agraria dengan memberlakukan UU Pokok Agraria No. 5 tahun 1960. Sengitnya

pertarungan antar partai politik menyebabkan reforma agraria yang dikelola oleh

aparat di tingkat lokal menjadi ajang konflik, sehingga reforma agraria tidak

berjalan lancar. Kendalanya berasal dari pemilik lahan luas dan minimnya

dukungan kelompok berkuasa dalam tubuh PNI yang merupakan lawan politik

dari partai pro reforma agraria yaitu PKI. Pada tingkat lokal hambatan reforma

agraria, diselesaikan dengan aksi sepihak dan mobilisasi massa yang berujung

pada pemberontakan PKI September 1965. Jatuhnya pemerintahan Soekarno

menunjukkan bahwa reforma agraria sebagai “gerakan revolusi yang belum

selesai” itu gagal mengakhiri dominasi kapitalisme.

7.2.2. Politik Pertanian dan Kehutanan Orde Baru

Kegagalan kudeta PKI tahun 1965 meninggalkan pengaruh mendalam

terhadap cara pandang rezim Orde Baru terhadap komunitas petani dan politik

agraria. Merujuk pendapat Subhan (1993), politik agraria Orde Baru adalah

reforma agraria tanpa transformasi sosial, karena mengukuhkan dominasi

kapitalisme. Politik agraria kapitalis Orde Baru terlihat dari kebijakan

pembangunan pertanian melalui birokratisasi lembaga-lembaga sosial pedesaan

dan kapitalisasi sistem ekonomi produksi pertanian.

Politik agraria kapitalis Orde Baru paling tidak dapat diidentifikasi dalam

dua hal. Pertama hubungan negara dan petani diwarnai birokratisasi lembaga-

lembaga sosial pedesaan dengan maksud mengatasi konflik politik dan

mengendalikan komunitas petani dengan memberlakukan strategi masa

mengambang (the floating mass strategy). Strategi ini sebagai bagian dari

pengendalian pemerintah terhadap petani dan sekaligus pemutusan hubungan

petani dengan partai politik di tingkat supra desa. Kebijakan masa mengambang

merupakan upaya pemerintah mengontrol perilaku petani, agar petani

memproduksi beras secara besar-besaran dan petani tidak dikendalikan kekuatan

sosial politik supra lokal yang berpotensi menentang kekuasaan negara. Ruang

sosial petani berpolitik dimarginalkan, petani semata-mata diarahkan untuk

mengadakan perubahan teknik dan peningkatan produksi pertanian.

Page 141: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

125

Dalam konteks kawasan DAS Cidanau, kelembagaan lokal kajaroan yang

sebelumnya berperan sebagai perekat dan pengikat tata hubungan masyarakat

semakin termarginalkan. Pimpinan kajaroan sebagai “pengetua adat” yang

mengatur seremonial kehidupan petani digantikan oleh pemimpinan formal

bentukan pemerintah. Tetapi bila terjadi konflik tanah, pemimpinan formal itu

sering tidak berdaya dan tidak bergigi, karena sering merupakan pihak yang

terlibat. Penyelesaian konflik diserahkan pada pimpinan kajaron dan kokolot,

sementara ruang sosialnya dimarginalkan.

Ciri kedua yang menonjol dari politik pertanian Orde Baru adalah

kapitalisasi ekonomi pertanian. Kebijakan ini dimaksudkan untuk menjamin

ketersediaan beras dengan harga yang relatif stabil di perkotaan untuk

kepentingan kelas menengah di kota dengan meningkatkan produksi dan

ketersediaan cadangan beras yang aman secara nasional. Pemerintah Orde Baru

memandang politik ekonomi beras merupakan bagian tak terpisahkan dari

stabilitas politik. Karena pemenuhan kebutuhan pokok pangan terutama beras dan

stabilisasi harga beras bagi konsumen kelas menengah (pegawai negeri, TNI,

pekerja, industri) di kota merupakan sarana penting bagi stabilitas politik.

Kapitalisasi sistem ekonomi pertanian Orde Baru dilakukan melalui

pendekatan pasar dan kelembagaan. Pendekatan kelembagaan terlihat dari

pembentukan Bimas, yang sepenuhnya dikendalikan oleh penguasa dan birokrat

dari pusat sampai ke desa.

Bimas bertugas mengendalikan program intensifikasi produksi pertanian dengan

menggunakan sarana struktur birokrasi dan pihak otoritas di daerah kabupaten/kota

yang loyal terhadap pemerintah pusat. Pengelola dan pelaksana intensifikasi

pertanian lebih berorientasi kepada penguasa daripada kepada petani. Tidak tersedia

ruang sosial politik dan dialog antara petani dengan pemerintah dan aspirasi politik

petani sepenuhnya dikendalikan oleh penguasa dan birokrat dari pusat sampai ke

desa.

Pendekatan pasar dilakukan dengan menerapkan harga dasar komoditi, agar

harganya tidak berfluktuasi tajam dengan menempatkan Bulog dan KUD sebagai

pengendali harga di tingkat petani. Pendekatan pasar yang dilakukan rezim Orde

Baru, cukup efektif untuk memobilisasi sumber ekonomi pedesaan untuk

menopang perekonomian nasional.

Page 142: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

126

Dalam bidang kehutanan, kapitalisasi dilakukan dengan cara membuka

masuknya penanaman modal asing dan dalam negeri, pemberian konsesi hutan

(HPH dan HTI) kepada pemilik modal dan skenario pinjaman luar negeri melalui

World Bank dan IMF. Sampai tahun 1989 eksploitasi hutan oleh 572 unit HPH

mencapai 64 juta ha. Dari 572 unit HPH itu jika dikelompokkan, dimiliki sekitar

20 konglomerat, setiap konglomerat menguasai lebih dari 1 juta ha. Kapitalisasi

kehutanan berhasil mendongkrak perolehan devisa negara dari sektor kehutanan

dan menggelumbungnya keuangan elit kroni pusat.176

Tetapi peningkatan

kontribusi sektor kehutanan harus dibayar mahal dengan meningkatnya

deforestasi dan degradasi hutan,177

dan peluruhan kelembagaan komunitas sekitar

hutan, gambarannya dapat disimak pada uraian selanjutnya.

7.3. Proses dan Bentuk Peluruhan Kelembagaan Lokal

Proses peluruhan kelembagaan lokal tata kelola sumberdaya agraria di

wilayah hulu DAS Cidanau berlangsung secara sistematis, terjadi pada aras

sistem/peraturan perundang-undangan, aras organisasional dan perilaku individual

aparat. Merujuk pada pendapat Giddens (2004)178

peluruhan berlangsung secara

struktural, mencakup struktur signifikansi (ilmu pengetahuan dan ideologi),

struktur otoritatif (politik), alokatif (ekonomi) dan struktur legitimasi (norma dan

hukum). Gambaran peluruhan kelembagaan komunitas di DAS Cidanau disajikan

pada gambar 7.

176 Awang,S. 2003, Politik Kehutanan Masyarakat. Yogyakarta: Kreasi Wacana.p.6.

177 Gillis, 1990 mencatat akibat beroperasinya HPH jumlah kayu yang ditebang meningkat tajam,

periode 1960-1965 sebanyak 2,5 juta m3 log, pada 1970 meningkat menjadi 10 juta m3 log, tujuh

belas tahun kemudian meningkat menjadi 26 juta m3 log. Gillis,M,1990, “ Indonesia Public

Policies, Resources Management and the Tropical Forrest. Dalam Repetto R and Gllis, M (eds).

Publik Policies and Missue of Forrest Resource. New York: Cambridge University Press.p. 54

178 Anthony Giddens, 2004, The Constitution of Society: Teori Strukturasi untuk Analisis Sosial.

Pasuruan: Pedati, p.39.

Page 143: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

127

Dari gambar 7 diketahui peluruhan kelembagaan komunitas DAS Cidanau,

berlangsung pada aras sistem dan peraturan perundang-undangan yang

dikeluarkan oleh pemerintah sejak masa Orde Baru sampai era reformasi.

Peraturan perundang-undangan sektoral secara langsung maupun tidak langsung,

berimplikasi negatif terhadap eksistensi kelembagaan komunitas. Pendekatan

pembangunan sumberdaya agraria secara sektoral yang diikuti pembentukan

kelembagaan baru sebagai substitusi, berdampak negatif terhadap kelangsungan

kelembagaan komunitas. Kondisi ini diperkuat dengan ketidakpedulian aparat

sektoral dan sikapnya yang diskriminatif terhadap kelembagaan komunitas. Dari

penuturan informan diperoleh keterangan, di satu sisi pemerintah memfasilitasi

dan memberi dukungan politik dan finansial terhadap kelembagaan sektoral di

pedesaan. Tetapi di sisi lain membiarkan kelembagaan komunitas mati suri.

Pembiaran aparat pada kelembagaan komunitas terkait pandangannya yang

bersifat prajudis negatif dan menempatkannya sebagai kelembagaan orang

pasisian. Di tengah masyarakat yang masih terikat dengan tradisi, prejudis

tersebut menunjukkan rendahnya kepedulian dan empati aparat, seperti terungkap

dari pernyataan warga:

“Seharusnya aparat sektoral bertindak sebagai pengayom masyarakat. Dengan

pengetahuan dan keterampilan teknisnya berpartisipasi memberdayakan segenap

Gambar 7. Proses Peluruhan Kelembagaan Lokal

Aras Sistem

Aras

Organisasional

Aras Individual

Hukum/Arah Kebijakan

Kebijakan Pendukung

• Prosedr Pengambilan

Keputusan

• Struktur Sumberdaya

• Budaya organisasi

• Sistem Info/Mnj

• Pengetahuan

• Keterampilan

• Kompetensi

Peluruhan

Kelembagaan

Masyarakat

Page 144: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

128

potensi sosial ekonomi masyarakat. Yang terjadi justru sebaliknya, kedatangannya

ke desa sering minta dilayani, kurang menghargai tradisi, suka unjuk kekuasaan

dan suka pamer”.

Pernyataan tersebut menggambarkan, proses peluruhan kelembagaan komunitas

pada aras lokal tak terlepas dari keterlibatan aparat sektoral dan mesin birokrasi.

Prejudis negatif dan rendahnya empati agensi memiliki kontribusi terhadap

peluruhan kelembagaan komunitas. Gambaran proses peluruhan kelembagaan

komunitas di lokasi penelitian dijelaskan di bawah.

7.3.1. Peluruhan Kelembagaan Buyut dan Pipeling

Seperti diuraikan di atas kelembagaan buyut dan pipeling merupakan

sistem nilai, mekanisme dan aturan dalam relasi sosial dan tata kelola sumberdaya

agraria. Kelembagaan buyut dan pipeling esensinya berisi: (1) larangan

pemanfaatan sumberdaya secara berlebihan, memburu flora dan fauna pada

tempat tertentu pada periode tertentu, (2) tuntunan praktik tata kelola sumberdaya

berkelanjutan dengan menerapkan teknologi pertanian gilir balik, ngaseuk, coo

benih, pemberantasan hama tanaman ramah lingkungan, masa tanam mengikuti

daur musim, pergiliran tanaman dan menjunjung tinggi etika konservasi.

Dalam tata kelola sumberdaya agraria, keduanya dimaksudkan sebagai

upaya mewujudkan keadilan dan keseimbangan hubungan manusia dengan alam

dan lingkungannya. Hanya saja sejumlah informan menyatakan, sejauh ini praktik

tata kelola sumberdaya berbasis kelembagaan komunitas tidak mendapat apresiasi

dari agensi pembangunan pertanian dan kehutanan di tingkat lokal. Rendahnya

apresiasi dan empati dari agensi, merujuk pada Giddens, disebabkan adanya

distansi ideologis dan arus utama ilmu pengetahuan moderen yang menjadi dasar

pembangunan pertanian dan kehutanan menempatkan hal-hal yang bersifat

askripsi dan tradisi, bukan hanya dipersepsi “tidak efisien dan tidak produktif”

tetapi juga ”tidak ilmiah”. Pemahaman atas superioritas pengetahuan modern,

mengakibatkan terbatasnya ruang bagi tumbuh kembangnya kearifan lokal.

Arogansi dari praktisi pengetahuan modernis tercermin dari penilaiannya

terhadap praktik tata kelola sumberdaya agraria yang diinspirasi kelembagaan

buyut dan pepeling “hanya relavan untuk aktivitas pertanian dan kehutanan orang

pasisian.” Dalam upaya membangun rasionalitasnya, aparat pelaksana di tingkat

Page 145: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

129

desa tidak jarang menggunakan idiom pembangunan yang hanya dipahami oleh

dirinya sendiri dan tidak ada kaitannya dengan praktik pertanian komunitas.

Menurut tokoh masyarakat, penilaian bahwa “kelembagaan buyut dan

pipeling untuk aktivitas pertanian dan kehutanan orang pasisian”,

menggambarkan pola fikir sempit dan cenderung provokatif. Aparat pelaksana

melihat praktik pertanian warga, hanya dari perpektif teknologi produksi, tidak

diletakkan dalam horizon yang luas dan pembanguan berkelanjutan serta

dampaknya yang positif terhadap konservasi tanah dan air. Warga menyadari

bahwa praktik tata kelola sumberdayanya, tidak menggunakan teknologi modern

dan tingkat produksinya tidak seperti yang ditargetkan pemerintah. Karena

penggunaan teknologi pertanian modern (penggunaan pupuk kimia sintetis dan

pestisida), membutuhkan modal yang besar. Keengganan warga menggunakan

pupuk kimia sintetis dan pestisida, selain karena keterbatasan modal, tetapi juga

tujuan produksi usaha taninya tidak dimaksudkan untuk mencapai target produksi

pemerintah, swa-sembada beras dan memberi makan rakyat Indonesia. Tujuan

produksi usaha taninya adalah untuk memenuhi kebutuhan konsumsi pangan

keluarga. Petani bersyukur bila hasil produksi pertaniannya dapat berbagi rejeki

dengan saudara dan tetangganya (dulur angang).

Provokasi agensi birokrasi terhadap kelembagaan buyut dan pipeling

tidak hanya bersandar pada sainstifikasi modern, tetapi juga menggunakan idiom

agama dan melibatkan otoritas keagamaan. Misalnya acara ritual pertanian

sebagai perbuatan musyrik, bid’ah dan takhayul. Penggunaan idiom agama dan

pelibatan otoritas keagamaan di lingkungan masyarakat religius dan patrimonial,

terlihat efektif terhadap “desakraliasi” kelembagaan buyut dan pipeling. Labeling

bahwa rangkaian acara ritual dan tradisi berhuma bersifat musyrik dan bid’ah,

disertai penetrasi sains moderen berdampak positif pada penggusuran kearifan

lokal secara evolutif, yang berakibat kelembagaan buyut dan pipeling kehilangan

magis.

Proses peluruhan kelembagaan buyut dan pipeling di wilayah hulu DAS

Cidanau, ternyata bukan hanya menggunakan idiom keagamaan tetapi juga

dilakukan secara represif, yakni melalui proses merelokasi komunitas petani ke

dalam proyek transmigrasi ke luar Jawa. Sejumlah petani di hulu DAS Cidanau

Page 146: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

130

dan sekitar Cagar Alam Rawa Danau dipaksa ikut program transmigrasi ke

Provinsi Sumatera Selatan, Jambi dan Bengkulu. Relokasi petani secara exsitu

merupakan titik kulminasi sikap represif aparat pemerintah terhadap komunitas.

Menurut penuturan informan, langkah itu dilakukan didasarkan pertimbangan: (1)

untuk mengurangi tekanan penduduk terhadap kawasan hulu DAS Cidanau dan

Cagar Alam Rawa Danau (2) sistem pertanian modern dapat dibangun dengan

memisahkan ikatan emosional dan sosial kulturalnya.

Secara sosiologis relokasi exsitu, berarti mencabut petani dari akar dan

relung budaya dan lingkungannya. Petani dipaksa beradaptasi dengan lingkungan

fisik dan sosial budaya baru, meskipun mereka tidak memiliki informasi dan

pengetahuan tentang kondisi sosial dan ekologi daerah tujuannya.179

Tindakan

pemerintah merelokasi petani secara paksa ke lingkungan ekologi baru, merujuk

pada Ever merupakan manifestasi orwelisasi (tindakan respresif pemerintah

terhadap masyarakat). Secara ekologi relokasi penduduk menggambarkan cara

pandang bahwa peradaban dapat dibangun tanpa ikatan historis manusia dengan

tanah. Padahal krisis komunitas dan kemanusiaan pada umumnya, antara lain

disebabkan manusia hidup dalam wilayah maya di wilayah antah berantah tak

bertanah. Kegagalan program transmigrasi antara lain didasarkan asumsi bahwa

manusia bisa hidup di wilayah antar berantah dan tanpa ikatan sosial kultural.

7.3.2. Penghancuran Modal Sosial

Modal sosial yang mengalami peluruhan yang berdampak luas terhadap

kehidupan petani adalah liliuran. Bagi petani, liliuran merupakan institusi sosial

yang berperan menjaga kohesivitas dan solidaritas, distribusi tenaga kerja dan

“katup pengaman” ketahanan pangan komunitas petani. Untuk wilayah hulu DAS

Cidanau, merujuk pada Polanyi, kelembagaan liliuran memiliki karakteristik

sebagai embedded economy.180

Dari penggalian informasi di lapangan, peran

strategis kelembagaan lokal itu kurang mendapat perhatian dari aparat sektoral.

179Lihat Laksono, “Tanpa Tanah, Budaya Nir Papan: Antropologi Antah Berantah” dalam Anu

Lounela dan R Yando Zakaria, 2002, Berebut Tanah: Beberapa Kajian Berperspektif Kampus dan

Kampung. Yogyakarta: Insist-KARSA.

180 Lihat Karl Polanyi, “Perkembangan Ekonomi Pasar” dalam Hans Dieter Evers, 1998, Teori

Masyarakat: Proses Peradaban Dalam Sistem Dunia Moderen. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Page 147: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

131

Aparat sektoral di tingkat lokal lebih tertarik mensosialisasikan kelembagaan

bentukan pemerintah, seperti KUBE, Kelompok Tani, LUEP, LMDH dan

Gapoktan untuk meningkatkan pemenuhan pangan dan kesejahteraan keluarga

petani. Sementara warga yang sehari-harinya bergelut dengan aktivitas produksi

pertanian yang bergabung dalam liliuran yang secara nyata memiliki kontribusi

terhadap ketahanan pangan keluarga tidak diberdayakan.

Rendahnya kemauan politik agensi pembangunan meningkatkan kapasitas

kelembagaan liliuran, berlangsung ketika wilayah Banten menjadi bagian dari

provinsi Jawa Barat dan setelah Banten menjadi provinsi sendiri yang otonom.

Hal ini menunjukkan otonomi daerah belum menghilangkan prejudis negatif dan

subyektivitas aparat di tingkat lokal terhadap kelembagaan liliuran. Indikasinya

adalah pembentukan kelembagaan baru yang menjadi substitusi dan menapikan

kelembagaan komunitas. Dalam pelaksanaan pembangunan pedesaan, aparat lebih

menaruh perhatian pada “kelembgaan konspirasi” daripada yang tumbuh kembang

dari akar rumput.

Kondisi ini terjadi karena pelaksanaan otonomi daerah pada aras lokal,

merupakan duplikasi sentralisasi dengan mengedepankan efisiensi dan

peningkatan pendapatan asli daerah daripada demokratisasi dan memberdayakan

kelembagaan komunitas. UU No. 22 tahun 1999 yang direvisi menjadi UU No. 32

tahun 2004, diakui menyediakan peluang dan ruang kepada masyarakat dan

komunitas adat untuk membentuk pemerintahan desa sesuai dengan struktur sosial

adatnya. Tetapi sejauh ini khususnya di tiga desa penelitian, otonomi daerah

belum sepenuhnya mampu mereposisi kelembagaan lokal. Kultur dan perilaku

politik masyarakat desa yang telah lama terkooptasi oleh birokrasi dan sistem

politik elitis dan monolitik, perlu waktu untuk memberdayakan kelembagaan

komunitas. Sementara UU No. 41 tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kehutanan

cenderung ambigu, tidak memberikan rasa aman atas hak keperibumian dan hak

atas daerah leluhurnya. UU No. 41/1999 tidak secara jelas mengakui kelembagaan

komunitas adat/komunitas sekitar hutan, karena hutan adat diposisikan sebagai

hutan negara yang berada di wilayah masyarakat adat.

Page 148: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

132

Ketentuan ini merupakan mainstream yang diturunkan dari asas dan dasar

negara kesatuan, negara sebagai organisasi yang berkuasa atas rakyatnya.181

Meskipun Undang-Undang No. 41 tahun 1999 lahir di era reformasi, tetapi

dominasi negara atas kehutanan sangat kuat, negara sebagai pemegang kendali

dapat mencabut status ”hukum adat”. Hak negara atas hutan adalah syah,

sebaliknya klaim sejarah masyarakat adat terhadap hutan tidak syah. Negara

mengakui hukum adat tetapi kedudukan hukumnya lemah dan tidak memberikan

rasa aman (unscure tenure) bagi komunitas sekitar hutan, hak atas daerah leluhur

dan kepribumiannya tidak diakui.182

Ini berbeda dengan pemangku otoritas hutan di Filipina dan Meksiko.

Pemangku otoritas Filipina mengakui secara sah kedudukan, hak adat dan klaim

atas kawasan nenek moyang (Ancestral Domain Claims). Hal serupa berlaku di

Meksiko yang mengakui klaim atas masyarakat pribumi (Communidandes). Di

Indonesia pengakuan terhadap kelembagaan hutan adat sekedar jargon politik,

karena penyerobotan tanah/hutan rakyat terus berlangsung dengan tingkat eskalasi

yang semakin luas. Sejauh ini pemberian izin HPH dan HTI tidak

mempertimbangkan/menyertakan rekomendasi dari pemangku hutan adat dan

komunitas sekitar hutan, meskipun mereka merupakan tangan pertama yang

menerima dampak langsung kerusakan akibat beroperasi HPH dan HTI.

Pemerintah alih-alih mengakui dan memperkuat kelembagaan komunitas,

yang terjadi sebaliknya, melakukan pembusukan secara sistematis. Merujuk pada

analisis Peluso, produk hukum dan kebijakan kehutanan yang dikeluarkan

pemerintah cenderung memperparah kemerosotan hutan dan semakin

merunyamkan kemiskinan penduduk yang tinggal di pinggiran hutan.183

Kondisi

inilah yang terjadi dan dialami kelembagaan buyut, pipeling dan liliuran di lokasi

penelitian. Kebijakan tata kelola hutan dan program pembangunan kehutanan

181 Lihat Undang-Undang Kehutanan No.41 tahun 1999.

182 Lihat Kartodihardjo, “Devolusi dan Undang-Undang Kehutanan Baru Indonesia” dalam Ida Aju

Prandja Resosudarmo dan Carol J.P. Colfer, 2003, Kemana Harus Melangkah. Jakarta Yayasan Obor

Indonesia.

183Lihat Nancy Lee Peluso, 2006. Hutan Kaya, Rakyat Melarat: Penguasaan Sumber Daya dan

Perlawanan Rakyat. Yogyakarta: Insist Press.

Page 149: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

133

belum sepenuhnya berorientasi pada pemberdayaan komunitas, peningkatan

kesejahteraan komunitas sekitar hutan.

Dampak dari kebijakan kehutanan demikian adalah semakin terbatasnya

kesempatan kaum perempuan untuk mengais rejeki untuk mempertahankan

ketahanan pangan rumah tangganya. Penetrasi ekonomi kapital terhadap

masyarakat sekitar hutan, menimbulkan perubahan hubungan kerja agraria dari

patron-client ke tenaga kerja upahan, dari bapak angkat - anak angkat ke pemilik -

buruh harian. Perubahan hubungan kerja agraria patron-client, mengakibatkan

hilangnya perlindungan petani miskin dan buruh tani di sekitar hutan. Kebutuhan

tenaga kerja, biaya produksi dan sarana produksi usaha tani (bibit) yang

sebelumnya dapat dipenuhi secara resiprositas melalui liliuran, dewasa ini harus

dibeli secara tunai dari luar desa. Dalam ungkapan seorang informan, kehancuran

modal sosial ditandai dengan “tumbuhnya kecerdasan petani dari kepandaian

berbagi, beralih ke kepandaian berkali” dari resiprositas dan rasionalitas sosial ke

rasionalitas ekonomi dan utilitarian.

7.3.3. “Pembusukan” Etika Konservasi

Komunitas petani di hulu DAS Cidanau memiliki pemahaman yang

mendalam terhadap tata kelola sumberdaya hutan berkelanjutan. Etika konservasi

petani terkonstruksi atas pengalaman dan praktik tata kelola sumberdaya agraria

yang diwariskan buyut/luluhur. Bentuknya tampak sederhana, namun di balik

kesederhanaan terkandung pemahaman “luhur” tentang ekosistem, seraya

berusaha keras untuk mempraktikkan kegiatan pertanian yang ramah lingkungan.

Etika konservasi petani, antara lain dalam aktivitas tatanen yang disesuaikan

dengan pergeseran bulan dan bintang184

dan pergantian musim (kidang), meliputi

kidang turun kujang, kidang rumensang, kidang muuhan dan kidang turun

kungkang.185

“Bila Matahari bergeser ke Utara dan posisinya di sebelah Utara equator pertanda

masuk kidang turun kujang (musim ngahuru - musim kemarau). Sebaliknya bila

Matahari bergeser ke Selatan dan posisinya di sebelah Selatan equator berarti akan

184 Lihat, Rek Rozari, M Balantaram, 1994, “Perkiraan Musim Tradisional”. Buletin Meterologi

Pertanian Indonesia Vol. 11 No. 1 dan 2. Bogor: PP PERHIMPI.

185 Ance Gunarsih, 1986. Pengaruh Klimatologi Terhadap Tanah dan Tanaman. Jakarta: Bina

Aksara.

Page 150: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

134

terjadi kidang muuhan (musim tanam). Bila Matahari berada di sekitar equator akan

terjadi masa peralihan yakni kidang rumengsang dan kidang turun kungkang (masa

kungkang menyerang padi dalam keadaan hamil muda)

Petani memahami siklus kidang “ajeug” dan dapat dijadikan petunjuk

perencanaan dan pengaturan aktivitas tatanen seperti nyacar (membersihkan

lahan bakal ladang), ngahuru (membakar hasil pembersihan lahan bakal ladang),

ngalabuh/ngasupan (masa tanam) dan musim kungkang (pemberantasan hama

penyakit). Penyesuaian aktivitas pertanian dengan siklus kidang dipahami petani

sebagai upaya memelihara keserasian dan keseimbangan hubungan antara

manusia (mikro kosmos) dan alam jagad raya (makro kosmos). Petani memaknai

pergantian kidang merupakan waktu yang tepat untuk pergiliran tanaman dan cara

untuk memutus siklus kehidupan hama tanaman. Aktivitas pertanian berdasarkan

kearifan lokal merupakan cara yang efektif untuk melakukan konservasi tanah dan

mempertahankan sifat-sifat fisik tanah, karena dapat terhindar dari penyerapan

unsur-unsur hara oleh tanaman tertentu.186

Praktik pertanian atas siklus kidang sering bertabrakan dengan program

kerja intansi sektoral. Perbedaan kalender masa tanam sering berakibat distribusi

bibit padi petani oleh aparat pertanian tidak sejalan dengan musim tanam. Petani

menanam padi varietas lokal Ramanteun (beras merah), Mayang dan Melati pada

bulan Oktober/ November, sementara distribusi bibit mengikuti pencairan

anggaran. Perbedaan kalender masa tanam sering menjadi pemicu ketegangan

petani dengan UPT pertanian. Dalam kaitan ini aparat UPT menyatakan:

“Aktivitas pertanian yang mengikuti kidang, sebagai pola tanam orang

pasisian, ketinggalan, tidak ilmiah dan tidak perlu dipertahankan.” Pola

tanam “petani” tidak sesuai dengan standar dan program dinas pertanian,

yang mengakibatkan rendahnya produktivitas pertanian dan sulitnya

mencapai target produksi untuk mewujudkan swasembada pangan baik

lokal maupun regional.

Pernyataan tersebut menunjukkan ’kejengkelan” agensi pembangunan,

menyaksikan pola pertanian komunitas berbasis kearifan lokal. Kejengkelan

186 Pergiliran tanaman dengan tanaman sejenis kacang-kacangan akan menambah kadar unsur

nitrogen di dalam tanah, karena tanaman kacang-kacangan mengandung rizobium pada bintil-bintil

akar dapat menambah nitrogen di dalam tanah. Forth, Henry, D. 1984. Fundamental of Social

Science. Michigan USA. John Willey and Son.

Page 151: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

135

tersebut menimbulkan ketegangan petani dengan aparat sektoral. Ketegangan

tidak perlu terjadi, bila agensi sektoral memiliki apresiasi terhadap praktik tatanen

berbasis tradisi. Bagi petani tanah tidak hanya sebatas tempat tumbuhnya tanaman

tetapi juga terkandung nilai sosial budaya. Aktivitas pertanian mengikuti kidang,

pergiliran tanaman dan pengolahan tanah dengan gilir balik” dimaksudkan supaya

aktivitas pertanian “tidak menyakiti bumi”. Petani memaknai tujuan produksi

usaha taninya “tidak dimaksudkan untuk mengejar keuntungan” melainkan untuk

memenuhi konsumsi rumah tangga dan ketentraman hidup.

Pemaknaan atas cara dan pola tatanen yang berbeda dengan arus utama,

bagi agensi menjadi kendala pencapaian target produksi dan swasembada pangan.

Atas dasar itu pula sejak tahun 1980-an pemerintah, termasuk agensi pertanian di

kawasan DAS Cidanau mensosialisasikan sistem pertanian intensif, penggunaan

pupuk kimia dan masa tanam serempak. Tetapi sosialisasi pertanian intensif, bagi

petani berarti meningkatnya biaya produksi tetapi tidak menjamin keamanan

subsistensinya. Dalam hubungan ini informan menuturkannya sebagai berikut:

“Penyeragaman masa tanam bagi petani lahan kering tidak sejalan dengan siklus

kidang. Masa tanam yang jatuh pada akhir periode Kidang Muuhan curah hujannya

sedikit, akibatnya padi tidak tumbuh baik dan berdampak buruk pada hasil panen.

Keharusan menanam varietas padi tertentu sering berakibat kegagalan panen dan

terancamnya kehidupan subsistensi petani. Bagi petani lahan basah penyeragaman

masa tanam dan keharusan menanam varietas padi tertentu menyebabkan

berkurangnya waktu bera yang berimplikasi tambahan biaya produksi.

Penyeragaman masa tanam sebagai bentuk pemaksaan untuk menanam tanaman

sesuai kehendaknya.”

Berkaitan dengan penggunaan pupuk kimia, sejumlah petani menyatakan

bahwa penggunaan pupuk kimia dan pestisida diakui dapat meningkatkan

produksi pertanian dalam jangka pendek. Tetapi peningkatan produksinya tidak

memberi jaminan peningkatan kesejahteraan. Dalam bahasa seorang petani:

“Sanajan berakna ditambah hasilna mah teu sabaraha. Mun diberakan terus taneuh

jadi cape” (Walaupun pupuknya ditambah, hasil panennya tidak banyak meningkat,

penggunaan pupuk yang terus menerus menyebabkan kejenuhan pada tanah).

Akibatnya “kiwari mah melak dangdeur oge kudu diberak” (akibat kejenuhan tanah

menanam ubi kayu harus dipupuk).”

Pernyatan itu menunjukkan dua hal. Pertama pengetahuan petani tentang

aktivitas pertanian yang “tidak menyakiti bumi” merupakan bagian praktik

tatanen dan tata kelola sumberdaya agraria. Pembangunan pertanian yang

Page 152: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

136

berorientasi produksi secara terpusat menyebabkan terbatasnya program alternatif

bagi aparat sektoral di tingkat lokal dan luruhnya pengetahuan dan praktek

pertanian berbasis kearifan lokal. Kedua pencapaian target produksi melalui

mekanisasi, intensifikasi pertanian dan penggunaan pupuk kimia dan pestisida

secara berlebihan mengakibatkan pencemaran lingkungan. Penggunaan pupuk

kimiawi telah menimbulkan pertumbuhan fitoplankton dalam jumlah berlebihan di

area konservasi Cagar Alam Rawa Danau. Pembusukan etika konservasi harus

dibayar dengan semakin meningkatnya tambahan biaya produksi dan sekaligus

menimbulkan pencemaran lingkungan. Dalam ungkapan seorang petani:

“penyemprotan hama dengan menggunakan pestisida, hama tanaman tidak

berkurang, sebaliknya terjadi ledakan hama karena terjadi resistensi terhadap

pestisida dan pencemaran tanah dan air.”

7.3.4. Peluruhan Kearifan Lokal

Di atas dijelaskan komunitas petani memiliki kearifan lokal tentang tata

kelola sumberdaya agraria, yang meliputi sistem olah tanah konservasi,

pemuliaan tanaman (coo beunih, huma pupuhunan, mipit (ritual pemilihan bibit

unggul), ngubaran pare (pemberantasan hama tanaman ramah lingkungan dan

ngirab sawan (acara ritual pembasmian hama padi ),187

pergiliran tanam (kidang)

dan zonasi hutan. Kearifan lokal merupakan bentuk pendekatan petani dalam

memahami kondisi ekologi lokal, sederhana namun di balik kesederhanaan justru

terkandung kelebihan dalam upaya menjaga kelestarian ekosistem dengan cara

“tidak menyakiti bumi”.

Etika konservasi dan aktivitas pertanian yang “tidak menyakiti bumi” itu

diprovokasi karena tidak sejalan dengan arus modernisasi dan sains modern.

Provokasi aparat sektoral terhadap etika konservasi dilakukan secara persuasi dan

represif. Persuasi dan provokasi dilakukan melalui sosialisasi penggunaan

teknologi modern, pupuk kimia dan pestisida untuk meningkatkan produksi

pertaniaan. Bentuk lainnya adalah membujuk petani untuk memodifikasi kebun

187 Bahan untuk membasmi hama padi adalah daun cangkudu, jeruk nipis, beuti laja (lengkuas),

karuhang, gembol, kalapa yang masih hijau, areuy beureum dan daun hanjuang. Bahan–bahan itu

ditumbuk sampai halus, kemudian dicampur dengan abu kapur, lalu ditebarkan di ladang. Kegiatan

membasmi hama tergantung tingkat serangan hama, angka ganjil sering dijadikan acuan karena

dinilai mengandung keberuntungan. Sumber diolah dari sumber primer.

Page 153: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

137

campuran dan talun menjadi tanaman monokultur (kebun cengkeh, kebun kopi

dan sejenisnya). Upaya provokasi ini dinilai masyarakat sebagai bentuk

ketidakpahaman aparat sektoral terhadap kondisi sosial dan ekologi lokal. Seperti

terungkap dari pernyataan informan berikut:

Diakui petani hasil panen dan nilai jual cengkeh sering mengejutkan, tetapi tanaman

cengkeh cukup rentan dari serangan hama pohon dan daun, untuk membasminya

perlu disemprot pestisida yang tidak selalu tersedia di pasar lokal dan harganya

mahal. Pohon cengkeh memerlukan sinar matahari yang cukup, karena sebagian

besar kebun petani didominasi oleh kebun campuran dan talun, menyebabkan pohon

cengkeh kurang subur, hasil panennya sedikit dan sering terkena serangan hama

daun yang mengakibatkan kematian. Ketika pohon cengkih milik petani banyak yang

mati, petugas sulit diminta bantuan apalagi menggantinya.

Anjuran aparat sektoral untuk mengganti kebun campuran menjadi

tanaman monokultur merupakan tindakan memaksakan kepentingan pemerintah

kepada masyarakat. Aparat sektoral tidak menghargai etika dan tradisi petani

untuk menanam tanaman sesuai dengan kebutuhan dan kearifannya. Masyarakat

diprovokasi untuk membudidayakan tanaman tertentu sesuai dengan program

sektoral, tetapi tidak dibekali keterampilan yang memadai. Tindakan provokasi

juga dilakukan terhadap tradisi dan praktik pemuliaan tanaman, pemilihan bibit

unggul (coo beunih), tempat persemaian benih (huma pupuhunan), ritual

pemilihan bibit unggul (mipit), maupun pada tahap pemberantasan hama tanaman

ramah lingkungan (ngubaran pare) dan acara ritualnya (ngirab sawan). Aktivitas

tradisi dan praktik itu diprovokasi aparat sebagai “takhayul dan musyrik dan cara

tatanen orang pasisian”.

Dampak dari provokasi tersebut adalah teralienasinya petani dari

komoditi yang ditanam dan diproduksinya. Pemuliaan bibit unggul yang

sebelumnya melekat dan mentradisi dalam aktivitas pertanian, beralih tangan ke

laboratorium pusat-pusat kajian di perguruan tinggi dan penelitian dan

pengembangan pertanian. Sebelum revolusi hijau bibit padi varietas lokal yang

terdapat di Indonesia mencapai 8000 jenis, setelah berlangsung revolusi hijau,

bibit padi varietas lokal diperkirakan hanya mencapai sekitar 25 jenis.188

Keberhasilan revolusi hijau di Indonesia harus dibayar dengan hilangnya kearifan

lokal dan beralihnya penguasaan sekitar 7975 varietas padi lokal dari petani ke

188 Lihat Francis Wahono, “Revolusi Hijau: Dari Perangkap Involusi ke Perangkap Globalisasi”.

Jurnal Wacana. No.IV, 1999.

Page 154: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

138

tangan bukan petani. Kearifan lokal tentang varietas padi lokal merupakan

kekayaan intelektual yang tak ternilai yang beralih tangan dan menjadi milik IRRI

dan pemerintah Amerika Serikat.

Pada komunitas petani di Citaman dan Cobojong, peluruhan kearifan lokal

mengakibatkan pudar dan rendahnya apresiasi masyarakat terhadap pengetahuan

keanekaragaman hayati. Modernisasi pertanian dan kesehatan yang

mencerminkan tafsir Barat tentang ilmu pengetahuan moderen, mengesampingkan

pengetahuan keanekaragaman hayati dan tanaman obat-obatan. Padahal kearifan

lokal tentang keanekaragaman hayati dan tanaman obat-obatan, bila direvitalisasi

secara optimal berpotensi untuk bahan pengobatan alternatif secara herbal,

menjadi komoditas unggulan daerah dan dapat memberi nilai tambah bagi

peningkatan pendapatan masyarakat.

Dari penggalian informasi di lapangan, sejauh ini belum ada upaya serius

dari pemerintah daerah untuk merevitalisasi kearifan lokal masyarakat tentang

tanaman obat-obatan. Aparat sektoral di aras lokal lebih tertarik untuk melibatkan

kelompok tani pada berbagai pameran dan pekan pertanian lokal dan regional,

meskipun tidak relavan bagi petani. Seperti dituturkan seorang pimpinan

kelompok tani sebagai berikut:

“Bagi kami (kelompok tani) bisa ikut serta dalam pameran dan pekan pertanian,

menambah percaya diri dan wawasan tentang dunia pertanian. Tetapi inovasi

pertanian yang diperkenalkan dalam pameran tidak punya arti, karena tidak sesuai

dengan kondisi sumberdaya dan sumber dana yang dimiliki petani serta tidak ada

tindak lanjutnya. Ikut serta dalam pameran dan pekan pertanian hanya memberikan

inspirasi untuk pengembangan agroforestry dan agrobisnis, tetapi tidak relevan

dengan kondisi SDM dan ekonomi petani.”

Pelibatan petani dalam pameran tampaknya dimaksudkan sebagai bagian

dari upaya peluruhan kearifan lokal secara halus, untuk mendorong petani

merubah tradisi dan praktik agroforestry berbasis komunitas ke arah agroforestry

komersial. Pengembangan agroforestry secara komersial berpeluang untuk

meningkatkan produktivitas agroforestry, tetapi peningkatan produktivitas

tersebut berpotensi memudarkan kearifan lokal tentang keanekaragaman hayati

tanaman obat-obatan dan tanaman yang telah lama didomestikasi oleh petani.

Pengembangan agroforestry komersial juga berpotensi merubah agro-ekosistem

Page 155: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

139

tradisional yang bersifat polikultur dan stabil, digantikan sistem monokultur yang

padat bahan kimia.189

Peluruhan kelembagaan lokal oleh kekuatan supra lokal tak terlepas dari

peran dan fungsi negara modern sebagai aktor pengatur utama dan mengatur

banyak hal kehidupan sosial. Meminjam istilah Schiller,190

negara modern

merupakan negara penentu daya (power house state) atau dalam istilah Giddens

(1987)191

negara dalam masyarakat modern adalah aktor pendefinisi utama realitas

sosial. Melalui proses weberisasi (perumusan sejumlah peraturan perundang-

undangan), parkinsonisasi (pembesaran kapasitas birokrasi), pemerintah

melakukan orwelsiasi (membatasi dan mengawasi) aktivitas produksi agroforestry

yang dianggap mengganggu pencapaian target produksi.

Peran dan posisi negara sebagai pendefinisi realitas dan penentu daya,

dimungkinkan untuk melakukan kekerasan fisik dan kerasan simbolik.

Penggunaan kekerasan oleh aparat negara merupakan tindakan yang sah menurut

negara, tetapi tindakan serupa bila dilakukan oleh masyarakat sipil dianggap

melawan hukum. Dari segi ini dapat dikatakan bahwa peran negara sebagai

pendefinisi utama realitas sosial, mengakibatkan peluruhan kelembagaan lokal

berlangsung secara terstruktur. Merujuk pada Evers dan Schiel (1990), peluruhan

kelembagaan lokal melalui pengawasan pemerintah terhadap masyarakat sipil

(orwelisasi), dimaksudkan untuk mengamankan kepentingan politik dan ekonomi

rezim berkuasa, yakni penguasaan sumberdaya agraria termasuk sumberdaya

hutan.

Hanya saja transformasi penguasaan sumberdaya hutan dari berbasis

kelembagaan lokal ke penguasaan oleh negara, sejauh ini belum mampu

mewujudkan sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat seperti diamanat dalam

189 Indtrodusir tanaman monokultur mendorong aplikasi asupan kimiawi tak terkendali dalam

pertanian yang menimbulkan kejenuhan tanah dan berdampak negatif pada kesehatan petani, yakni

melemahnya sistem endokrin yang ditandai dengan berkurangnya kesuburan, kelainan sistem

kekebalan, gangguan rasa kepekaan dan menurunnya kecerdasan dan teragonik (kelahiran anak

cacat dari ibu yang keracunan). Lihat, “Bahaya-bahaya Pestisida”. Tani Lestari No.4 Agustus,

1999.

190 Schiller, J., “Indonesia (Mulai) Tahun 1999: Hidup Tanpa Kepastian,” dalam Jalan Terjal

Reformasi Lokal: Dinamika Politik di Indonesia, Yogyakarta: Program Pascasarjana, Universitas

Gadjah Mada, 2003.

191 Giddens, A. 1987. The Nation-State and Violence: Volume Two of A Contemporary Critique of

Historical Materialism. Berkeley: University of California Press.

Page 156: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

140

konstitusi. Sehingga sejarah penguasaan sumberdaya hutan oleh negara

merupakan sejarah kegagalan politik agraria kehutanan. Dalam konteks kawasan

DAS Cidanau gambarannya dapat disimak pada uraian berikut.

7.4. Kegagalan Politik Agraria

Peluruhan kelembagaan lokal melalui proses weberisasi dan orwelisasi,

menunjukkan kegagalan pemangku otoritas untuk mewujudkan tujuan politik

agraria untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Di lokasi penelitian hal ini

ditunjukkan antara lain dengan penggusuran dan alienasi petani (depeasanitation

process), menculnya predator agraria, koflik agraria, relokasi petani secara exsitu

dan kepedulian semu pemerintah terhadap jasa lingkungan di kawasan DAS

Cidanau. Indikasi bentuk kegagalan politik agraria tersebut dijelaskan pada uraian

selanjutnya.

7.4.1. Penggusuran Petani (Depeasanitation Processes)

Komoditifikasi sumberdaya agraria, di lokasi penelitian ditandai dengan

meluasnya alih tangan penguasaan dan pemilikan tanah melalui jual beli dan

meningkatnya tanah in-absentia. Proses alih tangan lainnya yang menonjol adalah

melalui warisan, gadai dan hibah. Proses alih tangan pemilikan tanah melalui

warisan dan gadai tidak menyebabkan jatuhnya penguasaan tanah kepada “orang

kota”, karena penerima waris tanah dan penerima gadai, umumnya merupakan

penduduk lokal. Lain halnya dengan alih tangan melalui jual beli, mengakibatkan

jatuhnya penguasaan dan pemilikan tanah dari petani kepada bukan petani (orang

kota, petani berdasi serta kelompok sosial lainnya yang diuntungkan oleh proses

pembangunan).

Proses alih tangan penguasaan dan pemilikan melalui warisan yang

berlangsung di lokasi penelitian, didasarkan hukum Islam dan adat Sunda. Kedua

sistem pewarisan, terdapat perbedaan penting terutama berkaitan dengan jumlah

hak waris yang diperoleh laki-laki lebih besar daripada perempuan. Pelaksanan

sistem warisan menurut hukum Islam di masyarakat dituturkan responden sebagai

berikut:

“Bagian hak waris anak laki-laki lebih besar dari pada hak waris yang diterima anak

perempuan. Hak waris anak laki-laki lebih besar, karena anak laki-laki harus

Page 157: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

141

nanggung (penanggung jawab rumah tangga), sedangkan perempuan “nyalindung”

(ikut) pada suami. Pembagian warisan dilakukan secara proporsional dan adil, yang

memiliki tanggung jawab lebih besar mendapat bagian lebih besar dan sebaliknya

yang tanggung jawabnya kecil mendapat bagian kecil.

Ini berbeda dengan sistem pewarisan menurut adat Sunda, laki-laki dan

perempuan memperoleh bagian yang “setara”. Sistem pembagian waris menurut

adat, cenderung memberikan keistimewaan kepada anak sulung dan atau anak

bungsu. Sistem pewarisan tanah menurut adat Sunda, dituturkan informan sebagai

berikut:

”Anak sulung dan atau anak bungsu dalam pembagian warisan tanah sering

diprioritaskan, seperti mendapatkan tanah kebun yang lebih subur. Sementara anak

perempuan sering diprioritaskan untuk menempati rumah yang merupakan hak milik

bapaknya, terutama jika anak laki-lakinya telah memiliki rumah”. Pembagian

warisan tanah seperti ini merupakan bagian penting dari tradisi petani.

Sistem pembagian warisan baik menurut Islam maupun adat biasanya

dilakukan secara lisan dan enggan mendaftarkan tanah warisnya pada pejabat

berwenang. Hal ini disebabkan pemilik waris terjalin ikatan keluarga, sehingga

kecil kemungkinannya terjadi konflik tanah warisan. Keengganan pemilik waris

mendaftarkan tanah waris, karena enggan mengeluarkan biaya administrasi yang

berkisar 2,5 – 5 persen dari nilai jual objek pajak (NJOP) tanah.

Proses alih pemilikan tanah melalui warisan merupakan salah faktor

penyebab fragmentasi pemilikan tanah di hulu DAS Cidanau. Ini ditunjukkan dari

pemilikan tanah pada sejumlah keluarga yang sebelumnya dikenal sebagai tuan

tanah, seperti dituturkan informan dari keluarga BHR:

Almarhum orang tua saya memiliki tanah sekitar 5 hektar, setelah diwariskan kepada

anak-anaknya termasuk saya, masing-masing mendapat hak waris seluas 1,1 hektar.

Sekarang Cucu BHR hanya menguasai tanah 0,5 hektar, bahkan di antara

keponakan (cucu BHR) harus puas menjadi penggarap tanah keluarga dan jadi

bujang (penggarap) tanah dari orang kota.

Pada kasus keluarga BHR dari empat anaknya, hanya anak sulung yang

bertambah tanahnya meski tidak signifikan. Fragmentasi pemilikan tanah keluarga

BHR, disebabkan alih tangan melalui warisan, gadai dan penjualan oleh generasi

kedua dan ketiga. Akibat gadai dan penjualan tanah, tiga dari sembilan cucu

BHR hanya memiliki tanah pekarangan dan tanah tempat tinggalnya.

Page 158: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

142

Dari wawancara dengan sejumlah informan diketahui, dalam lima tahun

terakhir transasksi gadai dan penjualan tanah terus meningkat. Dalam keadaan

terdesak petani, bukan hanya menggadaikan tanah kebun yang menjadi sumber

kehidupannya, tetapi juga tidak jarang aset rumah tangga lainnya termasuk

pepohonan yang bernilai ekonomi. Penggadaian pepohonan biasanya dilakukan

jika bantuan/pertolongan yang dibutuhkan tidak diperoleh. Cara ini dilakukan

terutama oleh petani yang memiliki lahan kebun < 0,5 hektar, sedangkan pemilik

lahan luas (> 3 hektar) untuk pengembangan dan diversifikasi usaha atau

akumulasi modal. Seperti dituturkan seorang petani: “Saya sudah dua kali

menggadaikan 2 pohon duren dan 2 pohon petani senilai Rp. 3.000.000,-. Uang

hasil gadai saya gunakan untuk tambahan membeli sawah 2000 m.” Faktor yang

mendorong meningkatnya proses transaksi gadai dan jual beli tanah di lokasi

penelitian disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9. Jenis Kebutuhan Petani Yang Mendorong Transfer Tanah

No Jenis Kebutuhan Petani Kelompok Tani Hutan Jumlah Kasus

A. Kebutuhan Konsumtif KM1 KM 2 KM 3 KM 4

1 a. Rehab/bangunan rumah 2 3 1 2 8

2 b. Pesta perkawinan 2 3 2 2 9

3 c. Beli alat elektronik 2 1 2 1 6

4 d. Kebutuhan mendesak - - 1 2 3

5 e. Membeli motor 2 1 - - 3

B. Pengembangan Usaha

6 a. Modal usaha 2 1 2 - 5

7 b. Gadai/beli kebun 1 - 1 1 3

8 C. Biaya Pendidikan - 1 1 1 3

9 D. Ibadah Haji 2 1 - - 3

Jumlah Kasus 13 11 10 9 43

Sumber: Diolah dari informan kunci dan buku leter C

Dari Tabel 9 diketahui bahwa ada sembilan penyebab rumah tangga petani

menggadaikan tanahnya. Dari sembilan penyebab transfer penguasaan tanah

tersebut kebutuhan untuk memenuhi perkawinan, merehab membangun rumah

dan modal usaha merupakan faktor dominan. Penyebab lainnya yang mendorong

transfer penguasaan dan pemilikan tanah di lokasi penelitian adalah untuk

memenuhi kebutuhan yang dikategorikan mendesak, keperluan pendidikan

Page 159: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

(menyekolahkan anak), tambahan biaya untuk menggadai dan membeli tanah dan

tambahan biaya untuk menunaikan ibadah haji.

Kelompok sosial yang bertindak sebagai pembeli dan pemegang hak

gadai, adalah petani pemilik lahan luas, pedagang, pegawai/karyawan dan aparat

desa. Sepanjang tahun 2008

dan pemegang hak gadai di lokasi penelitian disajikan pada

Gambar 8. Grafik Proses Transformasi Penguasaan Tanah

Sumber: Diolah dari sumber primer dan buku Cohir

Dari gambar tersebut

Desa Citaman dan Cibojong adalah pedagang

hak gadai tanah terbesar di Desa Citasuk berasal dari karyawan/pegawai (negeri

dan swasta). Tampilnya pedagang sebag

pada kedua desa, menunjukkan

hutan menguntungkan kalangan pedagang dan pemilik lahan luas.

Tampilnya pedagang, pegawai (negeri dan swasta termasuk aparat desa)

dan pemilik lahan luas sebagai pembeli/pemegang hak gadai tanah

bahwa pembangunan pertanian/ekonomi pedesaan dalam sepuluh tahun terakhir

192 Pedagang yang diuntungkan dari

menyuplai berbagai jenis kebutuhan

hasil pertanian di tingkat lokal

komoditasnya ke pusat-pusat perdagangan di Kota Serang, Tangerang, Cilegon dan Jaka

Diolah dari sumber primer.

(menyekolahkan anak), tambahan biaya untuk menggadai dan membeli tanah dan

n biaya untuk menunaikan ibadah haji.

Kelompok sosial yang bertindak sebagai pembeli dan pemegang hak

adalah petani pemilik lahan luas, pedagang, pegawai/karyawan dan aparat

desa. Sepanjang tahun 2008-2009 mereka yang terlibat dalam pembelian tanah

ak gadai di lokasi penelitian disajikan pada Gambar 8 di bawah.

. Grafik Proses Transformasi Penguasaan Tanah

Sumber: Diolah dari sumber primer dan buku Cohir

ambar tersebut diketahui, pembeli dan pemegang hak gadai tanah di

Desa Citaman dan Cibojong adalah pedagang, sedangkan pembeli dan pemegang

hak gadai tanah terbesar di Desa Citasuk berasal dari karyawan/pegawai (negeri

dan swasta). Tampilnya pedagang sebagai pembeli dan pemegang hak gadai tanah

menunjukkan pembangunan pedesaan dan masyarakat sekitar

menguntungkan kalangan pedagang dan pemilik lahan luas.192

Tampilnya pedagang, pegawai (negeri dan swasta termasuk aparat desa)

pemilik lahan luas sebagai pembeli/pemegang hak gadai tanah, menunjukkan

pembangunan pertanian/ekonomi pedesaan dalam sepuluh tahun terakhir

Pedagang yang diuntungkan dari pembangunan ekonomi pedesaan adalah pedagang

uplai berbagai jenis kebutuhan pokok warga, membeli dan menampung berbagai komoditas

hasil pertanian di tingkat lokal dan antar desa, serta pedagang yang mampu memasarkan

pusat perdagangan di Kota Serang, Tangerang, Cilegon dan Jaka

143

(menyekolahkan anak), tambahan biaya untuk menggadai dan membeli tanah dan

Kelompok sosial yang bertindak sebagai pembeli dan pemegang hak

adalah petani pemilik lahan luas, pedagang, pegawai/karyawan dan aparat

mereka yang terlibat dalam pembelian tanah

di bawah.

diketahui, pembeli dan pemegang hak gadai tanah di

sedangkan pembeli dan pemegang

hak gadai tanah terbesar di Desa Citasuk berasal dari karyawan/pegawai (negeri

ai pembeli dan pemegang hak gadai tanah

pembangunan pedesaan dan masyarakat sekitar

Tampilnya pedagang, pegawai (negeri dan swasta termasuk aparat desa)

menunjukkan

pembangunan pertanian/ekonomi pedesaan dalam sepuluh tahun terakhir

pedagang yang

membeli dan menampung berbagai komoditas

dan antar desa, serta pedagang yang mampu memasarkan

pusat perdagangan di Kota Serang, Tangerang, Cilegon dan Jakarta.

Page 160: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

144

berpihak dan menguntungkan orang kuat dan orang kaya di desa. Pelaksanan

pembangunan pertanian dan kehutanan, memang meningkatkan produktivitas

komoditas pertanian dan perkebunan. Tetapi yang menikmati peningkatan

produktivitas pertanian itu adalah the strong di desa seperti pedagang,

pegawai/karyawan (negeri dan swasta) termasuk aparat desa dan pemilik kebun di

atas dua ha. Kondisi ini merupakan implikasi dari politik pembangunan pertanian

dan kehutanan bersifat economy of scale. Akibatnya teknologi dan aliran dana

yang masuk ke pedesaan, sebagian besar dinikmati oleh elit desa (pemilik lahan

luas dan kelompok tertentu) yang dekat dengan birokrat desa atau jalur lain yang

memiliki akses terhadap sumber dana itu.193

Dari pengamatan dan penggalian informasi juga diketahui bahwa sejalan

dengan komoditifikasi sumberdaya, maka pembangunan fisik material lebih

menonjol daripada pengembangan sosial dan kemandirian rakyat. Meningkatnya

pembangunan jalan disertai tersedianya sarana transportasi pedesaan di wilayah

Kecamatan Ciomas dan Padarincang, memudahkan arus masuk keluar barang dan

orang ke pusat perdagangan dan pemerintahan di Kota Serang dan sekitarnya.

Pembangunan jaringan listrik dan sarana komunikasi, juga menambah lama

denyut kehidupan warga pada malam hari dan memudahkan komunikasi serta

akses informasi penduduk dengan luar dan supra desa.

Di sisi lain meningkatnya pembangunan infrastruktur, terindikasi kuat

berhasil memacu pola hidup konsumtif masyarakat.

Peningkatan konsumsi

keluarga petani melampaui peningkatan kapasitas produksinya. Lebih besar pasak

dari tiang dan semakin tergantungnya kebutuhan komunitas petani kepada pasar.

Kondisi ini menurut Soetrisno, (1995) mengindikasikan bahwa pembangunan

ekonomi pedesaan telah merangsang rumah tangga petani untuk hidup dalam

“budaya kredit”.194

Meluasnya budaya kredit dituturkan informan sebagai

berikut:

Sebagian ibu rumah tangga lebih senang memasak nasi menggunakan rice cooker,

yang dibeli secara kredit, meskipun kayu bakar masih tersedia di sekitarnya. Di

tengah tersedianya kayu bakar, memasak nasi dengan rice cooker hanya menambah

beban rumah tangga membayar listrik.

193 Lihat Kenneth Young & R Tanter. Politik Kelas Menengah Indonesia. Jakarta: LP3ES.

194Lihat Loekman Soetrisno, 1995. Menuju Masyarakat Partisipatif. Yogyakarta: Kanisius.

Page 161: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

145

Komodifikasi agraria selain memicu tumbuhnya pola hidup hidup

konsumtif, juga ternyata memicu meluasnya pemilikan tanah in-absentia di

wilayah Kecamatan Ciomas dan Padaricang. Gejala demikian menggambarkan

bahwa komodifikasi agraria bukan hanya diikuti dengan beroperasinya moda

produksi kapitalis pada komunitas sekitar hutan, tetapi juga mengakibatkan

penggusuran dan alienasi petani depeasanitation process), yakni pemiskinan

penguasaan aset produksi petani yakni tanah. Area persawahan dan perkebunan di

lokasi penelitian, yang sebelumnya dikuasai petani, dewasa ini beralih tangan

kepada ”petani berdasi” dan orang kota. Bila tak ada upaya strategis dan

tindakan politik yang berarti untuk memperbaiki kehidupan petani, penggusuran

dan alienasi petani yang berlangsung dewasa ini pada ketiga desa, dapat mengarah

pada fenomena sosial yang disebut Hobsbawm, 195

the death of the peasantry atau

deruralization dan deagrarianization processes yang dikemukakan Bryceson. 196

Penggusuran dan alienasi petani atau dissolving kehidupan petani

merupakan implikasi dari beroperasinya sistem produksi kapitalis di wilayah

pedesaan. Penggusuran dan alienasi petani yang terjadi pada desa penelitian,

disebabkan surplus value dari peningkatan produktivitas pertanian dan komoditas

agroforestry terdistribusi secara timpang. Pemilik modal, majikan dan pemilik

lahan luas memperoleh surplus value lebih besar dari peningkatan produktivitas

pertanian dan pendapatan di luar pertaniaan. Sebaliknya tenaga kerja dan buruh

upahan memperoleh surplus value lebih kecil dari yang seharusnya, karena

dieksploitasi oleh pemilik modal dan pemilik lahan luas, sebagian di antaranya

adalah orang kota.

Meningkatnya penguasaan sumberdaya agraria oleh orang kota dalam

aktivitas agroforestry di lokasi penelitian, ternyata disertai semakin dominannya

kekuatan produksi non lahan (bahan, alat, modal dan keterampilan) yang berasal

dari luar dan untuk mendapatkannya petani dipaksa melakukan hubungan

195 Penguasaan dan pemilikan tanah oleh bukan petani oleh Hobsbawm dipandang sebagai

pertanda the death of the peasantry. Hobsbawm, Eric, 1985, Age of Extremes: The Short Twentieth

Century 1914-1991, London: Abacus Books, Little, Brown and Co.

196Meluasnya kepemilikan tanah oleh kelompok bukan petani oleh Bryceson dipandang sebagai

deruralization dan deagrarianization processes Bryceson, Deborah; Cristóbal Kay, and Jos Mooij,

2000, Disappearing Peasantries? Rural Labour in Africa, Asia and Latin America, London:

Intermediate Technology Publications.

Page 162: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

146

pertukaran ekonomi di pasar. Penguasaan faktor produksi non lahan oleh bukan

petani, mendorong semakin terintegrasi dan tergantungnya petani kepada

kekuatan supra lokal untuk menopang aktivitas ekonominya. Meningkatnya

ketergantungan petani dalam proses produksi kepada pihak luar, bersamaan

dengan penguasaan produksi berupa sumberdaya agraria merupakan bentuk nyata

penggusuran dan alienasi petani (depeasanitation process).

7.4.2. Predator Agraria

Pada uraian sebelumnya diuraikan bahwa penguasaan faktor produksi

lahan dan non lahan (bahan, alat, modal dan keterampilan) oleh bukan petani

menjadi faktor pengungkit penggusuran dan alienasi petani (depeasanitation

process). Di antara kelompok elit desa yang diuntungkan oleh proses

pembangunan adalah Kepala Desa dan aparatnya. Tampilnya Kepala Desa sebagai

elit ekonomi dan politik, karena posisinya menjadi pemegang kekuasaan tertinggi

dan pengendali pelaksanaan pembangunan di desa. Dengan posisi tersebut, Kepala

Desa memungkinkan untuk meraih keuntungan politik dan ekonomi secara

langsung maupun tidak langsung dari proses pembangunan ekonomi pedesaan.

Implikasi dari posisinya sebagai pemegang otoritas kekuasaan

pemerintahan desa, maka Kepala Desa memiliki tugas dan tanggung jawab

melindungi kekayaan dan kelembagaan sosial ekonomi di wilayahnya. Dalam

konteks lokasi penelitian, tugas dan tanggung jawab pemegang otoritas

kekuasaan pemerintahan desa antara lain adalah melindungi kelembagaan sosial

seperti tanah kaguronan dan tanah kajaroan. Kedua bentuk penguasaan tanah itu

merupakan keunikan kelembagaan penguasaan tanah di Desa Citaman.

Tanah kaguronan yang terdapat di Desa Citaman berasal dari hibah dan

wakaf masyarakat untuk mendukung kemajuan pendidikan keagamaan dan

pondok pesantren, luasnya sekitar 6 hektar. Hibah dan wakaf tanah yang

dilakukan masyarakat dilakukan secara lisan dan pengelolaannya diserahkan

kepada kepala pengurus Pesantren,Pengurus Madrasah dan Masjid. Masyarakat

Page 163: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

147

meng-hibah-kan dan me-wakaf-kan tanahnya didorong oleh niat mulia dan ikhlas

karena Allah, sehingga jarang dilakukan secara tertulis.

Dewasa ini sebagian area tanah kaguronan yang terdapat di desa Citaman

sampai sekarang merupakan lokasi Pondok Pesantren Subulus Salam dan tempat

tinggal pengasuhnya. Sebagian lagi digarap oleh warga setempat yang memiliki

hubungan kerabat dengan Kepala Desa Citaman dengan sistem bagi hasil. Pondok

Pesantren Subulus Salam pada masa puncak kebesarannya merupakan Pondok

Pesantren yang berpengaruh di Kecamatan Ciomas. Santri yang mondok di

pesantren ini berasal dari berbagai daerah sekitar Kabupaten Serang. Pengaruh

kebesaran Pesantren itu terlihat pada acara peringatan maulid Nabi pada tanggal

12 Maulid dan acara ritual pencucian golok raksasa (tercatat di Musium Record

Indoensia (MURI).

Di tengah komersialsiasi sumberdaya agraria dan meluasnya penguasaan

dan pemilikan tanah oleh orang kota, pelaksanaan hibah dan wakaf tanah secara

lisan yang didorong oleh niat mulia dan ikhlas dapat disalahkan gunakan oleh

“penguasa yang tidak amanah”. Ikrar hibah dan wakaf tanah yang tidak didukung

bukti dan dokumen tertulis di tengah maraknya pragmatisme ekonomi ternyata

menjadi peluang terjadinya penyalahgunaan, manipulasi dan rekayasa

kepemilikan tanah untuk merauf kepentingan ekonomi pribadi. Kondisi inilah

yang terjadi dalam kasus alih tangan dan penyalah-gunaan penguasaan tanah

kaguronan yang terjadi di Desa Citaman.

Posisinya sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di desa dan pelindung

tanah kaguronan, disalah-gunakan untuk kepentingan pribadi dengan bertindak

sebagai predator tanah kaguronan. Tindakan yang dilakukan oleh Kepala Desa

seperti pepatah, pagar makan tanaman. Kepala Desa yang seharusnya bertindak

sebagai protektor tanah kaguronan, malah bertindak sebagai predator.

Tindakannya sebagai predator tanah, dilakukan dengan menyalahgunakan

otoritasnya dan merekayasa status hukum tanah kaguronan. Tanah kaguronan

yang sebelumnya merupakan aset publik/masyarakat di bidang pendidikan,

kemudian direkayasa menjadi milik pribadi dengan cara mengagunkan tanah

kaguronan ke bank untuk mendapat dana segar bagi pribadinya.

Page 164: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

148

Proses rekayasa status hukum tanah kaguronan hanya mungkin dilakukan

oleh orang yang memiliki akses dan kekuasan serta pemberi hibah tanah telah

meninggal dunia. Setelah pemberi hibah meninggal dunia, maka subyek hukum

tanah kaguronan menurut hukum positif menjadi “mengambang”, meskipun

secara substansial tidak berubah. Dalam kondisi ini, Kepala Desa sebagai

pemegang otoritas tunggal dalam administrasi pertanahan, memiliki wewenang

menentukan administrasi pertanahan, termasuk tanah yang ”statusnya

mengambang”. Kewenangan dan peluang inilah yang dilakukan oleh Kepala Desa

melalui rekayasa administrasi tanah wakaf, ketika pemberi wakafnya telah

meninggal dunia. Tampilnya Aparat Desa sebagai predator agraria membenarkan

adigium bahwa kekuasaan cenderung korupsi.

Mencuatnya aparat desa sebagai predator agraria menunjukkan bahwa

upaya mewujudkan politik agraria untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,

terkendala oleh praktik dan perilaku aparat pemerintahan (tingkat desa dan di

atasnya) yang memiliki semangat untuk memburu rente ekonomi. Aparat desa

sebagai ujung tombak kelembagaan pemerintah paling bawah tidak lagi berfungsi

sebagai pemecah masalah agraria di tingkat komunitas, tetapi menjadi bagian dari

masalah keagrariaan. Perilaku aparat (pusat, daerah dan desa) yang tidak bersih

akan mengalami kesulitan untuk mewujudkan pemerintahan yang baik dan

bersih.197

Dalam konteks wilayah Desa Citaman, kesulitan untuk menyelenggarakan

pemerintahan yang baik dan bersih, tercermin dari ketidakmampuan pemeritah

desa melindungi tanah kaguronan. Tampilnya aparat desa sebagai predator agraria

dan ketidakmampuan pemerintah tingkatan paling bawah menyelenggarakan

pemerintahan yang baik dan bersih, menjauhkan upaya pembangunan ekonomi

pedesaan dan komunitas sekitar hutan melalui reforma agraria yang dicanangkan

pemerintah. Tampilnya aparat desa sebagai predator agraria, menunjukkan bahwa

197 Tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih adalah penyelenggaraan negara yang responsif

dan bertanggung jawab dan bersinergi dengan masyarakat sipil. Lihat Robert Archer, “Pasar dan

Penyelenggaraan Negara yang Baik”, dalam Didik J. Rachbini (ed.), Negara dan Kemiskinan di

Daerah (Jakarta: Sinar Harapan, 1995). UNDP mengidentifikasi 6 karakteristik good governance:

(1) partisipatif; (2) transparan dan bertanggungjawab; (3) efektif dan berkeadilan; (4) supremasi

hukum; (5) prioritas sosial, ekonomi, dan politik didasarkan konsensus dalam masyarakat; (6)

proses pembuatan keputusan mendengarkan suara penduduk miskin dan rentan.

UNDP,1997.

Reconceptualizing Governance (New York: UNDP.

Page 165: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

149

komoditifikasi sumberdaya agraria menjadi kendala mewujudkan reforma agraria

dan penyelenggaraan politik sumberdaya agraria berkeadilan dan produktif, baik

di aras lokal maupun supralokal.

Pada tingkatan di atas desa pecanangan reforma agraria terkendala oleh

arus politik agraria yang berorientasi produksi dan transaksional semata-mata.

Rembesan dari pengarus-utamaan politik agraria tersebut pada aras lokal adalah

rendahnya produktivitas komoditas agroforestry, meluasnya komersialisasi tanah,

tergerusnya kemandirian dan keswadayaan masyarakat desa. Aset dan faktor

produksi pertanian (tanah) tidak terdistribusi secara adil dan semakin terhempas

dari tangan petani wong cilik kemudian beralih tangan dan dinikmati oleh

kelompok the strong baik di desa maupun di atas desa. Terhempasnya

penguasaan faktor produksi, tanah dari tangan petani wong cilik, mengakibatkan

program sektoral dan upaya peningkatan produktivitas pertanian bukan

memberdayakan petani, tetapi memperdayanya. Kesadaran inilah yang

mendorong petani untuk melakukan pendudukan tanah area Cagar Alam Rawa

Danau.

7.4.3. Pendudukan Petani dan Enclavisme

Dari sekitar 303 kawasan konservasi yang terdapat di Indonesia, salah

satunya Cagar Alam Rawa Danau yang terdapat di Kabupaten Serang. Cagar

Alam Rawa Danau berada dalam wilayah administrasi pemerintahan Kecamatan

Padarincang, Pabuaran dan Kecamatan Mancak Kabupaten Serang. Cagar Alam

Rawa Danau merupakan kawasan endemik dan sebagai situs konservasi rawa

pegunungan satu-satunya yang masih tersisa di Pulau Jawa.

Namun dibalik keunikan ekologinya, Cagar Alam dalam kondisi kritis.

Debit air Rawa Danau dari tahun ke tahun cenderung menurun198

dan secara de

facto luas Cagar Alam Rawa Danau terus menyusut karena diduduki dan dikuasai

oleh petani untuk persawahan, pemukiman dan perkebunan yang telah mencapai

sepertiganya. Dewasa ini Cagar Alam Rawa Danau mengalami degradasi dan

198 Pada tahun 1922 debit airnya mencapai 45 m³/detik, tahun 1989 tercatat 25 m³/detik dan tahun

1990-2001 berkisar 10-15 m³/detik. Pada tahun 2003 debit airnya 20 m³/detik bahkan pada musim

kemarau panjang tercatat hanya 12-15 m³ per detik. Laporan Hasil Perjalanan Observasi Rawa

Danau tahun 2003 oleh Kelompok Swadaya Masyarakat Rekonvasi Bumi, 2003.

Page 166: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

150

sedimentasi yang krusial mencapai 360.000 ton per tahun, akibat kegagalan

reboisasi di hulu dan aktivitas pertanian yang tidak ramah lingkungan.

Kritisnya Cagar Alam Rawa Danau disebabkan salah urus dan dibiarkan

merana dalam tempo lama. Penetapan Rawa Danau sebagai Cagar Alam,

berdasarkan Government Besluit (GB) nomor 60 stnl. 683 tanggal 16 Oktober

1921. Sejak ditetapkan oleh pemerintah Kolonial Belanda tahun 1921, kawasan

konservasi ini tidak dikelola secara baik dan profesional. Akibat salah urus dan

pembiaran merana terlalu lalu, maka pemulihan dan rehabilitasinya menjadi pelik

dan kompleks. Dewasa ini permasalahan pengelolaan Cagar Alam Rawa Danau,

tidak hanya berkaitan dengan masalah tata kelola dan teknik konservasi, tetapi

telah menyentuh persoalan politik konservasi dan hubungan teknis dan sosial

agraria penduduk di sekitar area cagar alam.

Tata kelola konservasi Rawa Danau yang tidak baik dan salah urus,

menyebabkan situs konservasi rawa pegunungan itu kritis dan merana. Sementara

penduduk sekitarnya sebagian besar adalah petani lapar tanah. Kondisi ini

mengundang birahi petani lapar tanah, untuk melakukan pendudukan kawasan

Cagar Alam Rawa Danau untuk mengais rejeki dan menyambung hidup. Selain

lapar tanah, penduduk sekitar Rawa Dawa Danau juga memiliki ikatan sejarah dan

hubungan teknis agraria dengan area Rawa Danau. Pertautan ikatan sejarah dan

kebutuhan ekonomi (lapar tanah), merupakan faktor dominan pendudukan petani

terhadap Cagar Alam Rawa Danau.

Akibat pembiaran yang berlangsung lebih dari setengah abad dan salah

urus, maka upaya rehabilitasi kawasan konservasi yang terlanjur terdegradasi,

menjadi pelik dan kompleks. Upaya pemerintah baik secara persuasi maupun

represi, sejauh ini belum dapat menyelesaikan masalah konservasi kawasan Rawa

Danau secara menyeluruh. Pemerintah baru tersentak setelah kawasan Rawa

Danau sepertiganya diduduki petani, yang sudah berlangsung lebih dari setengah

abad. Meluasnya pendudukan petani atas Rawa Danau, mendorong pemerintah

bertindak represif dengan merelokasi 274 kepala keluarga secara paksa ke

berbagai wilayah transmigrasi di Aceh dan Riau.199

Sedangkan upaya rehabilitasi

199 Tindakan relokasi petani dari kawasan Cagar Alam Danau didasarkan atas Surat Keputusan

Bupati Serang No. 750/280-017.4.Huk.Ek/1985. (Kabar Bumi,2004).

Page 167: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

151

Rawa Danau baru dilakukan dalam sepuluh tahun terakhir, tahun 2002

melakukan penanaman 5000 pohon pohon gempol (Anthocephalus cadamba)

pada wilayah catchment area dan tahun berikutnya penanaman 6000 pohon di

Blok Cimanuk.

Perlindungan Cagar Alam Rawa Danau yang terlanjur salah urus dan

terlantar, sejauh ini belum dapat menyelesaikan masalah konservasi dan

pendudukan petani atas Rawa Danau. Hal ini disebabkan langkah yang dilakukan

pemerintah, meneruskan politik konservasi kolonial Belanda yang bersifat

konvesional. Dalam penanganan konservasi Rawa Danau, pemerintah seperti

”mengadopsi pengembangan konservasi Taman Nasional Yellowstone” (di

Amerika tahun 1872), yang memisahkan kawasan yang berfungsi sebagai sumber

keindahan dengan penduduk sekitarnya. Kawasan konservasi diisolasi, sebagai

”barang antik” tidak boleh disentuh dan diganggu oleh aktivitas manusia.

Penanganan Cagar Alam Rawa Danau, dilakukan dengan cara konservatif,

represif bahkan eko-totalitarianism, seperti menempatkan area Rawa Danau

sebagai ”enclave” dan relokasi ex situ penduduk sekitar Rawa Danau. Langkah ini

menjadi pilihan pemerintah untuk memutus rantai interaksi masyarakat dengan

Cagar Alam Rawa Danau. Kawasan konservasi dijadikan sebagai enclave yang

tidak boleh disentuh dan dijauhkan dari interaksi manusia. Penduduk sekitar Rawa

Danau diposisikan sebagai makhluk biologis semata-mata tanpa ada ikatan dan

kaitan sosial dan budaya dengan tanah, air dan tempat kelahirannya. Seperti

terungkap dalam pernyataan informan berikut:

Peran serta masyarakat dalam konservasi Cagar Alam Rawa Danau tidak penting,

karena tidak mengerti tentang konservasi. Sosialisasi dan edukasi konservasi tidak

bermanfaat, penduduk di sekitar CA Rawa Danau adalah perambah dan menjadi

kendala upaya konservasi. Konservasi Rawa Danau hanya bisa dilakukan dengan

menindak secara tegas dan menjauhkannya dari para perambah.

Parnyataan itu menunjukkan bahwa aparat memaknai dan menempatkan

Cagar Alam Rawa Danau sebagai enclave dan mengalienasi penduduk dari ikatan

sosial ekonomi dengan tanah dan air yang berlangsung puluhan tahun. Dalam

analisis Dietz (1998), kebijakan konservasi yang dilakukan oleh pemerintah

Page 168: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

152

terhadap Rawa Danau, dikategorikan sebagai eko-fasisme atau ekototaliter.200

Konservasi cagar alam dipandang jauh lebih penting daripada kehidupan

masyarakat dan penyelamatan Rawa Danau dianggap lebih mendesak dan lebih

penting daripada upaya pemberian akses masyarakat untuk mengais rejeki.

Di tengah ketimpangan struktur agraria dan keterbatasan pemerintah

menyediakan lapangan kerja, kebijakan ekototaliter tak menyelesaikan masalah

konservasi Rawa Danau maupun masalah sosial ekonomi komunitas petani di

sekitarnya. Misalnya Relokasi 274 kepala keluarga di sekitar CA Rawa Danau

secara ex-situ tahun 1985 ke lokasi transmigrasi di di P. Sumatera, lebih tepat

disebut “cerita gagal” daripada “cerita sukses” land refom. Dari penulusuran,

penyebabnya “cerita gagal” itu adalah penempatan transmigran di daerah

berekologi marginal (lahan kering/kritis, pasang surut) dan “penyimpangan dalam

pelaksanaan”. “Cerita gagal” land refom, ditunjukkan dengan kembalinya

sejumlah petani yang direlokasi setelah jatuhnya rezim Orde Baru ke habitat

ekologi sosialnya, Cagar Alam Rawa Danau yang telah didomestikasi

sebelumnya.

Cerita gagal “enclavisme” kawasan konservasi dan alienasi petani dari

Rawa Danau, ditunjukkan dengan semakin meningkatnya kualitas dan kuantitas

perlawanan dan pendudukan petani. Tahun 1985 warga yang harus direlokasi dari

Cagar Alam hanya 300 kepala keluarga, tahun 2006 meningkat menjadi 3000

petani. Tahun 2000 pendudukan petani sebatas menggarap Rawa Danau untuk

memenuhi kebutuhan pangannya, tahun 2006 petani telah membangun “tempat

tinggal”. Area konservasi yang diduduki petani telah mencapai 845,13 hektar atau

sepertiga dari luas Cagar Alam Rawa Danau sekitar 2.500 hektar.201

Sebelumnya

petani yang menduduki Cagar Alam Rawa Danau hanya berhadapan dengan

petugas jagawana (yang dapat diselesaikan dengan memberi upeti pada saat

panen), dewasa ini petani demonstrasi ke DPRD Kabupaten Serang, menuntut

pendudukannya atas sebagian Cagar Alam Rawa Danau dilegalkan dengan pola

pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM) atau perhutanan sosial.

200 Diez, Ton, 1998. Pengakuan Hak Atas Sumberdaya Alam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar-Insist

Remedec.

201 BKSDA, Ekspose Penanganan Perambahan dan Pemukiman Liar Cagar Alam Rawa Danau,

2005.Tidak dipublikasikan.

Page 169: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

153

Sejauh ini pemangku otoritas belum mengakomodasi tuntutan petani dan

belum melihat hal positif pelibatan dan kemitraan dengan masyarakat dalam

pengelolaan Rawa Danau. Pemahaman kawasan konservasi sebagai enclave dan

eksklusif, masih menjadi arus utama, dibandingkan dengan pengelolaan kawasan

konservasi secara komprehensif dalam konteks pengembangan wilayah dan

pemberdayaan masyarakat, yang mengintegrasikan aspek ekologi, ekonomi dan

sosial. Pemangku otoritas tetap pada pendiriannya, area konservasi harus

dibebaskan dari aktivitas petani. Peraturan perundangan dijadikan rasionalitas

aparat pada umumnya. Atas dasar rasionalitas hukum pula petugas meniadakan

pembelaan terhadap petani dan menempatkannya sebagai obyek polisionil

daripada sebagai kelompok sosial yang perlu diberdayakan oleh pemerintah.

Upaya petani mengais rejeki di kawasan konservasi, dilihat dalam

perspektif aturan hukum tentang konservasi secara formal dengan mengabaikan

aspek substansi dan keadilan. Penegakkan hukum oleh pemangku otoritas hanya

memperhatikan pasal-pasal konservasi sebagai harga mati, yang tidak berkaitan

dengan kebenaran hukum secara substansial. Bahkan aturan hukum yang

ditegakkan sering tidak sejalan dengan masalah sosial ekonomi petani, yakni

alienasi, pengusiran dan pembatasan akses terhadap sumberdaya untuk menopang

kelangsungan hidup. Pasal-pasal konservasi ditegakkan untuk membela

rasionalitas yang dianut dan tidak ada kaitan dan tidak sejalan dengan masalah

yang seharusnya dipecahkan. Dalam menegakkan pasal-pasal konservasi dan

membela rasionalitasnya dari pendudukan petani, tidak jarang agensi konservasi

memandang kekerasan sebagai solusi, karena terbukti efektif untuk mencapai

tujuan, meskipun untuk sementara waktu. Sejauh ini pendekatan represif dan

kriminalisasi petani, tidak menyelesaikan masalah sosiologis area konservasi,

yakni hubungan sosial dan hubungan teknis manusia dengan area konservasi.

Dari penggalian informasi di lapangan, diperoleh keterangan hubungan

teknis agraria petani dengan area konservasi memiliki ikatan sejarah. Sebagian

petani yang menggarap sebagian tanah area konservasi, meneruskan warisan

leluhur orang tuanya jauh sebelum lahirnya negara RI. Dari segi ini relokasi ex-

situ dan alienasi petani dari area konservasi, bukan hanya memutus rantai sumber

mata pencaharian, tetapi juga memutus rantai sosial dan sejarah komunitas petani.

Page 170: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

154

Penegasian hubungan sosial dan teknis agraria petani untuk kepentingan

konservasi secara sempit, merupakan klaim sepihak penguasa. Klaim sepihak

yang menegasikan hak sosial dan sejarah itulah yang menyebabkan masalah

konservasi Rawa Danau tidak kunjung terselesaikan dan terus bergejolak.

Dalam analisis Habermas klaim sepihak pemerintah terhadap hak sosial

ekonomi masyarakat sebagai bentuk “kolonisasi”. Dalam konteks Rawa Danau,

kolonisasi ditunjukkan oleh hegemoni pemerintah dan menolak pengelolaan

kolaborasi 202

dan penataan batas dan zonasi area konservasi. Zonasi area

konservasi, diperlukan agar ada kejelasan zona yang dapat diakses untuk

mendapatkan manfaat ekonomi dan zona terlindungi.

Meluasnya eskalasi perlawanan dan pendudukan petani di area Cagar

Alam Rawa Danau, disebabkan tersebarnya informasi di masyarakat, bahwa

Pemda merencanakan pembangunan jalan yang menghubungkan Kecamatan

Mancak dengan Kecamatan Cinangka yang membelah kawasan Rawa Danau

dalam rangka mengembangkan kawasan wisata Curug Betung. Informasi ini

dinilai oleh petani, sebagai “politik belah bambu”.203

Pemerintah menggusur dan

mengkriminalisasi petani yang memanfaatkan area konservasi untuk mendapatkan

sesuap nasi, pada saat yang sama memberi kesempatan pada pemilik modal

memperoleh manfaat dari Rawa Danau untuk mengembangkan bisnisnya.

Petani dan aktivitas lingkungan yang memiliki kepedulian terhadap

konservasi Rawa Danau, menilai bahwa rencana membelah Rawa Danau sebagai

upaya memuluskan jalan bagi konspirasi pemilik modal dan aparat untuk kegiatan

illegal logging. Merujuk pada pendapat Gadgil dan Guha: di negara berkembang

environmentalism menyebabkan konflik, termasuk konflik antara para petani

dengan pengusaha yang didukung penguasa untuk mendapatkan sumber-sumber

produktif. Sehingga konflik lingkungan tampil menjadi bentuk konflik ekonomi.

Dalam diskusi dengan pengurus kelompok tani timbul pemikiran, agar

kebijakan konservasi ke depan dilakukan dengan memadukan program konservasi

202 Lihat Ricardo Ramirez, ”Memahami Pendekatan-Pendekatan Kolaborasi: Usaha

Mengakomodasi Kepentingan Multi Stakeholder” dalam Suporahardjo, (editor), 2005.

Manajemen Kolaborasi: Memahami Pluralisme Membangun Konsesus. Bogor: Pustaka Latin.

203 Pengembangan kawasan Wisata Curug Betung yang membelah CA Rawa Danau dinilai oleh

bloger sebagai cool bangeut (tindakan keterlaluan yang tidak memiliki apresiasi terhadap nilai

sejarah dan ekologi Cagar Alam rawa danau).

Page 171: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

155

dan program perberdayaan sosial ekonomi penduduk sekitar kawasan konservasi

yang disebut Integrated Conservation and Development Projects ICDPs, atau

Community-Based Natural Resource Management atau bahkan ekopopulis204

.

Melalui pendekatan ICDPs, pengelolaan konservasi disinergikan dengan

pengembangan sosial ekonomi penduduk di sekitar area konservasi. Pilihan

pendekatan ini didasarkan pemikiran bahwa pengelolaan konservasi secara

enclavisme cenderung menimbulkan konflik dan menegasikan peran komunitas

lokal, yang telah memiliki ikatan sejarah dan ekonomi sebelumnya. Pendekatan

eko-fasisme atau ekototaliter dalam pengelolaan konservasi merupakan respon

dari gaya hidup negara maju, di mana biodiversity protection dan landscape

beauty menjadi kebutuhan. Sedangkan di Indonesia sebagian besar penduduknya

bergelut dengan kemiskinan, mengais rejeki pagi untuk sore hari.

Dalam diskusi dengan petani berkembang pemikiran, bahwa pendudukan

tanah oleh petani sebagai bentuk reforma agraria dari bawah, di tengah rezim pro

the strong, ternyata menghadapi berbagai kendala. Karena belum terpenuhinya

prasyarat yang mendukung keberhasilan reforma agraria.

Reforma agraria

baiknya dilakukan dalam waktu terbatas, persiapan yang matang, petani

terorganisir, tekad politik dan pelaksanaan yang terkoordinir. Reforma agraria

juga perlu dukungan aparat sipil dan militer yang bersih serta perancang ekonomi

pembangunan untuk mempercepat industrialisasi negara secara lebih mandiri. 205

Tekad politik dari penguasa diperlukan, karena reforma agraria terkait erat

dengan kekuasaan, siapa yang berkuasa, dialah menjadi pemenangnya. Reforma

agraria membutuhkan petani yang terorganisir, karena merekalah sesungguhnya

yang berkepentingan secara langsung dengan reforma agraria.206

Pelaksanaan

reforma agraria tidak bisa bertumpu pada niat baik penguasa, karena sejarah

204 Borrini-Fayerabend G,Kothari, etl, 2004. Sharing Power, Learning By Doing in Co-

Management of Natural Resources Throughout in the World. IIED and IUCN/CEESP,

Cenesta,Teheran.

205 Tjondronegoro mengibaratkan kebijakan reforma agraria sebagai suatu pembedahan dalam

tumbuh manusia. Tidak nyaman untuk golongan tertentu terutama tuan tanah besar, tetapi menjadi

satu-satunya jalan untuk melangkah lebih cepat ke arah industrialisasi dengan cara yang adil. Lihat

Sediono M.P.Tjondronegoro, 2001. “Pengelolaan Sumberdaya Agraria: Kelembagaan dan Reforma Agraria” dalam Jurnal Analisis Sosial, Vol.6 No.2 Juli 2001.

206 Noer Faizi, 2003. Bersaksi Untuk Pembaruan Agraria: Dari Tuntutan Lokal Hingga

Kecenderungan Global. Yogyakarta: KARSA, KPA dan Insist..

Page 172: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

156

penguasa merupakan bagian dari kelompok kepentingan. Dalam diskusi dengan

petani terdapat pemahaman syarat keberhasilan reforma agraria belum terdapat

dalam struktur politik pemerintahan dan organisasi petani. Reforma agraria juga

belum menjadi strategi pembangunan dan pemenuhan kebutuhan tanah belum

dipandang sebagai bagian hak azasi manusia.207

Kelompok petani yang tidak terorganisir dan belum memiliki basis

ideologis yang solid, sulit untuk melakukan kerja besar seperti reforma agraria.

Penggiat petani dan kelompok swadaya masyarakat dengan networking yang

lemah, sulit membangun aliansi kekuatan dan menjadi penyeimbang efektif

pemerintah. Sebaliknya orientasi dan gerakan lembaga swadaya yang terlibat

pemberdayaan petani bersifat asosiatif atau paralel208

yang mengakibatkan isu-isu

utama reforma agraria terkooptasi dan terhegemoni oleh negara.

7.4.4. Pembayaran Jasa Lingkungan Dan Kepedulian Semu

Kekhawatiran masyarakat pada berbagai dampak yang ditimbulkan oleh

deforestasi melahirkan pemikiran perlunya membangun hubungan hulu hilir

dalam kawasan daerah aliran sungai (DAS) melalui mekanisme pembayaran jasa

lingkungan (Payment for Environment Services). Jasa lingkungan dalam kawasan

DAS adalah ketersediaan air yang memadai. Kerjasama hulu hilir di DAS

Cidanau diwujudkan dalam bentuk pembayaran jasa lingkungan yang dilakukan

oleh pemakai jasa lingkungan di hilir ke ptani di hulu. Dewasa ini jasa lingkungan

berupa carbon sequestration dan biodiversity sudah menjadi komoditas transaksi

jual beli jasa lingkungan antar negara, seperti moratorium kehutanan antara

Indonesia dengan Norwegia.

207 Gunawan Wiradi,2001. “Reforma Agraria Tuntutan Bagi Pemenuhan Hak Azasi Manusia”

dalam Jurnal Analisis Sosial, Vol.6 No.2 Juli 2001. Erpan Faryadi, 2002. “Tanpa Reforma

Agraria, Tidak Akan Ada Hak Atas Pangan” dalam Jurnal Analisis Sosial, Vol. 7.3 Desember

2002. 208

Orientasi gerakan LSM asosiatif dan paralel ditandai adanya kerjasama atau dibentuk untuk

kepentingan pelaksanaan program pemerintah, sehingga isu-isu reforma agraria tidak menjadi

fokus gerakan. Lihat Onny Prijono, 1995. “Peran Organisasi Nirlaba, Lembaga Pengembangan

Swadaya Masyarakat dan Lembaga Swadaya Masyarakat serta Pola Interaksi dengan Pemerintah”

dalam Bantarto Bandono, et.al. Refleksi Setengah Abad Kemerdekaan Indoensia. Jakrta: CSIS.

Page 173: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

157

Jasa lingkungan di DAS Cidanau berbentuk penyediaan air baku, yang

dihasilkan oleh komunitas petani hutan di hulu DAS, kemudian dimanfaatkan

oleh berbagai instansi pemerintah dan perusahaan di wilayah barat Provinsi

Banten. DAS Cidanau merupakan sumber air baku satu-satunya yang dapat

memenuhi kebutuhan air bersih masyarakat dan industri di kota Cilegon. Industri

yang memanfaatkan air DAS Cidanau antara lain PT Indonesia Power (anak

perusahaan PLN) yang menjadi produsen listrik untuk Jawa dan Bali dan PT

Krakatau Steel (industri baja yang menjadi hulu bagi aneka industri strategis di

wilayah Cilegon, Merak, Serang dan JABOTABEK).

Kesediaan pemakai jasa lingkungan di hilir membayar jasa lingkungan,

merupakan apresiasi dan insentif bagi kelompok tani yang melaksanakan sistem

olah tanah konservasi. Pembayaran jasa lingkungan dapat menjadi insentif

(reward) bagi petani, manakala nilainya minimal sama atau lebih besar dari biaya

yang dikeluarkan petani. Paling tidak, komunitas petani yang terlibat dalam sistem

olah tanah konservasi, memiliki kemampuan ekonomi minimal untuk mencukupi

kebutuhan sehari-hari sandang, pangan, papan, pendidikan dan kesehatan.

Kecukupan kebutuhan minimal akan mengurangi tekanan dan godaan petani

menebang kayu lebih awal dan mempertahankan sistem olah tanah konservasi di

hulu DAS.

Dari sejumlah pemakai jasa lingkungan di hilir yang bersedia membayar

jasa lingkungan ke produsen jasa lingkungan di hulu, hanya PT Krakatau Tirta

Industri (PT KTI, anak perusahaan industri baja PT Krakatau Steel). Pembayaran

jasa lingkungan oleh PT KTI kepada petani dikelola oleh Forum Komunikasi

DAS Cidanau (FKDC), sebuah lembaga yang digagas pemerintah bersama

(International Institute for Environment and Development (IIED) dan LP3ES.

Pengurus FKDC terdiri dari instansi sektoral yang ditunjuk pemerintah daerah dan

pengurus LSM Rekonvasi Bumi. Dalam statutanya pengurus FKDC bertugas

sebagai fasilitator antara petani (penghasil jasa lingkungan) dengan PT KTI

(pemakai jasa lingkungan).

Dalam Perjanjian Pembayaran Jasa Lingkungan, disebutkan PT KTI

bersedia membayar jasa lingkungan kepada petani selama lima tahun, dua tahun

pertama sebesar Rp. 175 juta per tahun dan tiga tahun berikutnya akan

Page 174: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

158

dinegosiasikan kemudian. Kesepakatan FKDC dan KTI dituangkan dalam naskah

perjanjian pembayaran jasa lingkungan, yang berisi penjelasan prinsip

pembayaran jasa lingkungan:

(a) pencemar membayar (polluter’s pay); (b) tertutupnya biaya jasa lingkungan

(willingness to pay/opportunity cost); (c) prinsip sukarela (voluntary). Jenis jasa

lingkungan yang menjadi sumber pembayaran jasa lingkungan, adalah sumber daya

air. Pemanfaat jasa lingkungan adalah masyarakat, industri, pemerintahan,

lembaga lain yang menerima manfaat dari produk jasa lingkungan DAS Cidanau

secara langsung maupun tidak langsung. Penghasil jasa lingkungan adalah

masyarakat/lembaga yang berada di DAS Cidanau yang karena upayanya

menghasilkan produk jasa lingkungan. 209

Dalam perjanjian tersebut dinyatakan, anggota kelompok petani hutan di

Desa Citaman dan Cibojong menerima pembayaran jasa lingkungan sebesar Rp

1,2 juta per hektar tiap tahun selama lima tahun. Selanjutnya, petani akan

menerima pembayaran jasa lingkungan minimal Rp 2,5 juta per hektar per tahun

dengan jumlah tanaman tidak kurang dari 200 batang pada akhir tahun kelima.

Persyaratan kondisi tanaman yang harus dipenuhi oleh petani untuk

menerima pembayaran jasa lingkungan adalah:

(1) pada setiap tahapan pembayaran selama masa kontrak, jumlah tanaman yang ada

dan tumbuh dengan baik per hektar tidak kurang dari 500 (lima ratus) batang; (2)

batasan tanaman yang tumbuh dengan baik ditentukan oleh tinggi dan diameter yang

disesuaikan dengan umur tanaman; (3) untuk tanaman yang mati akibat unsur alam,

hama dan penyakit harus diganti dan dibuatkan berita acara pada kelompok tani

dengan diketahui oleh Ketua Tim Ad Hoc; (4) peta situasi lahan dan tanaman

kelompok tani harus menginformasikan tata letak pohon yang diberi notasi nomor dan

informasi jenis tanaman; (5) tata letak tanaman yang masuk dalam mekanisme

pembayaran jasa lingkungan harus tersebar secara merata; (5) Tim verifikasi akan

mengamati contoh areal yang diverifikasi minimal 10% dari luas areal yang dikelola

oleh petani dan dipilih secara acak. 210

Pembayaran jasa lingkungan oleh PT KTI kepada Kelompok Tani Hutan

di Desa Citaman dan Desa Cibojong, merupakan fondasi untuk pengelolaan DAS

secara terpadu antara hulu dan hilir di DAS Cidanau. Dari diskusi dengan

sejumlah kelompok tani, ternyata mekanisme pembayaran jasa lingkungan di

DAS Cidanau kurang mengapresiasi dan melibatkan kelompok tani. Yurisdiksi

atau rumusan aturan mekanisme Pembayaran Jasa Lingkungan, tidak

memperhatikan aspek representasi. Akibat yurusdiksi tanpa representasi, maka

209

Forum Komunikasi DAS Cidanau, (FKDC) 2005.

210 Forum Komunikasi DAS Cidanau,(FKDC), 2005.

Page 175: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

159

petani sebagai penghasil jasa lingkungan kedudukan, hak dan kewajibannya

ditentukan secara sepihak oleh FKDC bersama KTI. Menurut penilaian petani

terdapat sejumlah aturan dan mekanisme untuk mendapatkan pembayaran jasa

lingkungan dipandang memberatkan petani dan tidak adil. Salah satu ketentuan

yang memberatkan petani adalah:

”Apabila jumlah pohon yang terdapat dalam area mekanisme pembayaran jasa

lingkungan yang dikelola petani dinyatakan kurang oleh Tim Verifikasi, maka

secara tanggung renteng petani tidak akan menerima pembayaran jasa

lingkungan untuk periode yang sudah jatuh tempo”.

Ketentuan ini dinilai petani tidak adil dan cenderung sewenang-wenang.

Kekhilafan salah satu anggota kelompok mengakibatkan semua petani batal

menerima pembayaran jasa lingkungan. Ketentuan FKDC dan PT KTI dinilai

Kelompok Tani Hutan, tidak menghargai jerih payah dan biaya yang telah

dikeluarkan petani. Pemberlakuan tanggung renteng dalam pembayaran jasa

lingkungan dinilai Kelompok Tani Hutan sebagai gebyah uyah (penyamarataan

yang tidak proporsional dan tidak adil). Aturan lainnya yang dinilai petani

menunjukkan arogansi “pembeli” (KTI), adalah nilai insentif jasa lingkungan

kepada petani sangat kecil. Dalam ungkapan seorang petani: ”jumlah uang yang

diterima hanya cukup untuk upah ngored lima hari.”211

Nilai jasa lingkungan yang

diterima petani dari PT KTI tiap bulannya, lebih kecil dari biaya perjalanan dinas

pengurus FKDC sehari.212

Ketentuan lain yang dinilai kelompok petani sebagai cermin

ketidakpedulian pemerintah terhadap jasa lingkungan adalah pembayaran jasa

lingkungan secara “proyek” dan birokratis. Sistem pembayaran jasa lingkungan

kepada Kelompok Tani Hutan, mengikuti pencairan dana proyek dan dibayar

211 Bandingkan dengan skema pembayaran jasa lingkungan di Kosta Rika: konservasi hutan

produksi koridor biodiversity dibayar 212 dollar/ha AS dengan kontrak lima tahun. Pengelolaan

hutan lestari dibayar 327 dollar/ha AS dengan kontrak 15 tahun, dan penghutanan kembali 527

dollar/ha AS, dengan kontrak 15 tahun. Masyarakat yang mengembangkan agroforestry dibayar 1

dollar AS per batang pohon yang ditanam dengan jumlah maksimal 3.500 batang. Dengan nilai

insentif jasa lingkungan tersebut maka sumberdaya hutan menjadi sumber mata pencaharian dan

sumber ekonomi bagi komunitas sekitar hutan. Sunderlin. 2003. Forests and Poverty Alleviation.

In: FAO. State of the World‘s Forests 2003. Rome, Italy, FAO. 61-73. http://www.fao.org.

212 Pengurus FKDC selain mendapat honorarium setiap bulan Rp. 150.000 ,- (seratus lima puluh

ribu) juga mendapat lumpsum sebesar Rp 150.000, per hari dalam melakukan perjalanan dinas dan

biaya operasional: biaya evaluasi, dokumentasi dan rapat. Sumber FKDC,2005.

Page 176: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

160

dalam tiga tahap dalam setahun. Tahap pertama dan kedua 30 persen dan tahap

ketiga 40 persen dari nilai total yang diterima petani. Masing-masing tahapan itu

harus dihadapi petani dan untuk mencairkannya harus melalui prosedur birokrasi

yang berlit-belit. Sementara untuk mendapatkan hasil dari kerja kerasnya

menanam tanaman kehutanan, petani harus “berpuasa” (menahan menjual kayu)

selama lima tahun.

Dalam menyikapi ketentuan tersebut, ternyata tidak semua Kelompok

Petani Hutan sanggup “berpuasa” lima tahun, sehingga melakukan perlawanan,

seperti yang dilakukan oleh petani hutan Desa Cibojong. Bentuk perlawanan yang

dilakukan petani hutan Desa Cibojong adalah menebang kayu durian yang

berdiameter sekitar 100 cm. Penebangan kayu durian yang termasuk area

Pembayaran Jasa Lingkungan, merupakan puncak kekecewaan petani terhadap

mekanisme pembayaran jasa lingkungan yang dinilai tidak adil. Menurut petani,

penebangan kayu tersebut didorong kebutuhan darurat dan tidak menemukan

solusi untuk menutup biaya pendidikan anaknya dan modal usaha (membeli motor

untuk mengojek). Dalam diskusi dengan pengurus kelompok, berkembang

penilaian:

“FKDC sebagai fasilititator pembayaran jasa lingkungan tidak berperan sebagai

fasilitator independen dan adil, karena lebih berpihak dan menyuarakan kepentingan

pemakai jasa lingkungan (KTI) daripada memediasi kepentingan petani. Pembayaran

jasa lingkungan oleh KTI bukan didorong oleh tanggung-jawab/moral membantu

petani, melainkan untuk memudahkan intervensi dan kontrol terhadap petani di Desa

Citaman dan Cibojong.

Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa pembayaran jasa lingkungan

oleh pemakainya merupakan kepedulian semu (shallow environmental), dalam

istilah Sylvan dan Bennet (1994) disebut prudential argument213

. Pemberian

insentif jasa lingkungan oleh PT KTI, bukan dimaksudkan untuk meningkatkan

tarap hidup petani yang terlibat dalam sistem olah tanah konservasi, tetapi

dimaksudkan untuk meraup keuntungan berdalih lingkungan. Aspek lingkungan

(konservasi hulu DAS) pertimbangan kebijakan bisnis PT KTI, bukan karena

kepedulian pada petani yang memiliki tradisi agroforestry untuk konservasi hutan,

tanah dan air, melainkan karena kelangsungan bisnisnya, tergantung konservasi

213 Lihat Sylvian Richard dan David Bennet, 1994, The Greening of Ethics, Cambridge: The White

House Press

Page 177: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

161

sumberdaya air kawasan hulu DAS Cidanau. Hal inilah mendorong KTI

memberikan insentif lingkungan kepada petani di Desa Citaman dan Desa

Cibojong.

Dari diskusi bersama tokoh masyarakat berkembang asumsi, bahwa

pembayaran jasa lingkungan oleh pemakai jasa kepada petani, menjadi instrumen

politik dan ekonomi dalam upaya memonopoli penguasaan dan pemanfaatan

sumberdaya air di kawasan DAS Cidanau. Asumsi itu didasarkan atas indikasi

antara lain: (1) PT KTI memonopoli pemasokan kebutuhan air industri yang

bernaung dibawah PT Kratau Steel dan PDAM Serang dan Cilegon. (2)

Hengkangnya PT. Tirta Investama yang membangun pabrik air minum dalam

kemasan (AMDK) di Desa Curug Goong Kecamatan Padarincang dan batalnya

Danone mengeksploitasi Cekungan Air Bawah Tanah (CABT) Rawa Danau.

Hengkangnya Tirta Investama disebabkan pembatalan izin operasional yang telah

diberikan Pemda. Kuat dugaan pembatalan izin tersebut, karena pemerintah

mendapat tekanan dari pihak tertentu yang berkepentingan terhadap monopoli

penguasaan sumberdaya air.

Di tengah upaya mendatangkan investasi, pemerintah terpaksa bersikap

tidak konsisten dan membatalkan izin beroperasinya Tirta Investama, pabrik air

minum dalam kemasan (AMDK) di Desa Curug Goong Kecamatan Padarincang.

Mengingat pemberian izin usaha Tirta Investama disertai dengan beredarnya

informasi kesediaan Tirta Investama untuk memberi kompensasi yang wajar

kepada warga, maka pembatalan izin itu bukan hanya menunjukkan ketidak-

kosistenan pemerintah dalam mendatangkan investasi, juga menimbulkan pro dan

kontra di masyarakat. Di satu sisi mengizinkan penyedotan air tanah oleh

perusahaan AMDK, di sisi lain AMDK Tirta Investama dilarang beroperasi.

Dominasi Birokrasi dan Kooptasi Civil Society Associations (CSA)

Pencabutan izin operasional Tirta Investama bukan hanya menunjukkan

bahwa pemangku otoritas gagal mewujudkan politik tata kelola sumberdaya

agraria yang berkeadilan. Karena pemangku otoritas di tingkat lokal dan regional,

tidak memberikan kesempatan yang setara dan demokratis terhadap tiap pelaku

usaha untuk memanfaatkan sumberdaya air di kawasan DAS Cidanau. Perlakuan

Page 178: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

162

yang tidak adil, tidak hanya dialami oleh pelaku usaha tetapi perlakuan tidak

setara, juga dialami kelompok tani hutan dalam mekanisme pembayaran jasa

lingkungan. Petani yang terlibat dalam aktivitas agroforestry sebagai penghasil

jasa lingkungan diposisikan inferior, sebaliknya pemangku otoritas menempatkan

PT KTI sebagai superior.

Perlakukan tidak setara dan tidak domokratis tercermin dari peran

kelembagaan dan proses pengambilan keputusan FKDC. Pada awalnya FKDC

dibentuk sebagai fasilitator independen untuk mewadahi berbagai kepentingan

dalam rangka pengelolaan DAS terpadu. Tetapi karena pengurusnya didominasi

oleh pejabat dan mantan pejabat, serta operasionalnya bersumber dari anggaran

Pemda, mengakibatkan keberadaan FKDC dan keputusannya tidak aspiratif dan

tidak representatif. FKDC lebih berperan menjadi penyalur kepentingan

pemerintah dan PT KTI daripada fasilitator independen yang menyuarakan

kepentingan petani. Untuk memperjuangkan kepentingannya, seperti pengambilan

keputusan tentang mekanisme pembayaran jasa lingkungan dan nilai pembayaran

yang wajar, petani merasaa harus berjuang “berjuang sendirian.” Sebagian aparat

bersikap negatif terhadap pembayaran jasa lingkungan kepada petani, bahkan ada

yang menilai sebagai “kemewahan” yang tidak pantas.

Penilain tersebut menunjukkan bahwa, kepedulian aparat untuk melayani

petani dan menjadi ”penyambung lidah rakyat,” masih rendah. Rendahnya

apresiasi dan pelayanan instansi sektoral dan aparatnya terhadap komunitas

petani, menjadi kendala tumbuhnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan.

Pelayanan dan partisipasi merupakan dua aspek yang saling berkaitan, pelayanan

yang baik akan menimbulkan partisipasi, sebaliknya partisipasi masyarakat akan

tinggi bila pelayanan yang diberikan aparat pemerintah baik dan memuaskan.

Dapat dikatakan pelayanan pemerintah yang baik dan partisipasi masyarakat yang

tinggi, menggambarkan sistem tata kelola sumberdaya yang baik (good

governance resources management). Sebaliknya pelayanan yang buruk dan

partisipasi masyarakat yang rendah, menggambarkan sistem tata kelola

sumberdaya yang buruk (bad governance resources management). Secara umum

sistem tata kelola sumberdaya yang baik cenderung berkelanjutan dan sebaliknya

sistem tata kelola sumberdaya yang buruk cenderung tidak berkelanjutan.

Page 179: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

163

Berdasarkan pemikiran tersebut sistem tata kelola jasa lingkungan dan

DAS Cidanau dapat digambarkan dalam bentuk kuadran, seperti pada gambar 9.

Tata Kelola DAS yang Baik

Setengah

Berkelanjutan Berkelanjutan

II I

Terkendala Pelayanan Tata Kelola DAS yang Baik

Pelayanan Rendah Pelayanan Tinggi

III IV

Tidak Berkelanjutan Setengah Berkelanjutan

Terkendala Tata kelola baik

Tata Kelola DAS Yang Buruk Gambar 9 Bentuk Kelembagaan Tata Kelola DAS

Garis vertikal menunjukkan dari tidak berfungsi sampai berfungsinya tata kelola

DAS yang baik. Garis ordinat menggambarkan tingkat keberhasilan pengelolaan

pelayanan dari rendah sampai tinggi. Perpotongan garis vertikal dan ordinat

membentuk suatu kuadran/tipologi tata kelola jasa lingkungan dan DAS.

Kuadran I merupakan ruang yang menggambarkan keseimbangan

pelayanan dan partisipasi tinggi dan berjalannya prinsip tata kelola jasa

lingkungan dan DAS yang baik atau merupakan gambaran bentuk tata kelola jasa

lingkungan dan DAS berkelanjutan. Kuadran II merupakan ruang yang

menggambarkan keseimbangan pelayanan dan partisipasi rendah, tetapi

berjalannya prinsip tata kelola jasa lingkungan dan DAS yang baik. Kuadran ini

merupakan gambaran bentuk tata kelola jasa lingkungan dan DAS setengah

berkelanjutan karena terkendala pelayanan yang rendah. Kudran III merupakan

ruang yang menggambarkan pelayanan dan partisipasi rendah dan tidak

berjalannya prinsip tata kelola jasa lingkungan dan DAS yang baik. Kuadran ini

merupakan gambaran bentuk tata kelola jasa lingkungan dan DAS tidak

berkelanjutan. Kuadran IV merupakan ruang yang menggambarkan keseimbangan

pelayanan dan partisipasi tinggi, tetapi prinsip tata kelola jasa lingkungan dan

DAS tidak berjalan baik. Kuadran ini merupakan gambaran bentuk tata kelola jasa

lingkungan dan DAS setengah berkelanjutan, karena terkendala prinsip tata kelola

jasa lingkungan dan DAS yang baik.

Page 180: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

164

Rendahnya partisipasi masyarakat dan pelayanan yang kurang baik dari

FKDC, disebabkan pengambilan keputusan dan kepengurusan FKDC didominasi

oleh birokrasi dan mengabaikan aspirasi dan partisipasi masyarakat. Yurisdiksinya

dirumuskan tanpa partisipasi dan representasi partisipan, termasuk civil society

associations (CSA). Hegemoni dan dominasi birokrasi ditunjukkan dengan

pembentukan kelompok sosial berdasarkan komoditi, kelompok berbasis

kepentingan (Kelompok Lebah Madu, Petani Pemakai Air dan Lembaga

Masyarakat Desa Hutan, LMDH). Kelompok-kelompok sosial “bentukan dari

atas” dan LSM yang terkooptasi, tidak memiliki basis ideologi dan menjadi motor

penggerak untuk melakukan kerja-kerja kreatif. Pola interaksi dan gerakannya

dengan pemerintah bersifat pragmatis, akomodatif atau paralel serta tidak mampu

mengambil jarak dan bersikap kritis terhadap pemerintah. Dari diskusi dengan

pengurus Kelompok Tani Hutan dan tokoh masyarakat, gambaran interaksi LSM

lingkungan hidup dengan pemerintah di DAS disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10. Pola Interkasi Gerakan Lingkungan Hidup Dengan Pemerintah

No Pola Interaksi Gerakan Lingkungan Hidup dan Pemerintah

1 Orientasi Asosiatif Paralel Konfliktual

2 Lembaga Pemerintah Sangat dekat Mitra sejajar Mengambil jarak

3 Program Pembangunan - Dependen

- Integratif

-Interdependen

-Komplementer

-Independen

-Independen

-Menentang

4 Kebijakan Pemerintah Melaksanakan

Mendukung

-Mendukung

-Mempengaruhi

- Korektif

- Korektif

- Menentang

5 Sumberdana Pemerintah Dependen -Dependen

-Independen

Independen

Dari Tabel 10 ditunjukkan bahwa gerakan LSM Lingkungan Asosiatif dan

Paralel senantiasa orientasinya melaksanakan, mendukung dan terintegrasi dengan

program pemerintah. Young menyebut gerakan lingkungan yang asosiatif dan

paralel sebagai suplementary atau compelementary,214

dalam istilah Korten

214

Dari studinya di empat negara: Amerika Serikat, Inggris, Israel dan Jepang, Young menyatakan

relasi pemerintah dengan LSM lingkungan dibedakan atas suplementary, compelementary dan

adversarial. Young, Dennis R. 2000. “Alternative Model of Government-Nonprofit Sector

Relations: Theoritical and International Perspevtives” in Nonprofit and Voluntary Sector

Quarterly, vol 29, No. 1 March 2000.

Page 181: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

165

berorientasi community development.215

LSM atau gerakan lingkungan asosiatif

dan paralel dekat dan menjadi mitra pemerintah, bahkan program kerjanya

seringkali dependen atau kompelementer dengan program pemerintah. Hal ini

terkait dengan aktivitas gerakannya bersumber dari dana pemerintah. Akibatnya

mereka tidak memiliki energi mengusung isu-isu lingkungan secara komprehensif

dan radikal, karena terkooptasi dan terhegemoni oleh arus utama politik

lingkungan negara yang semu. Gerakan lingkungan kategori ini oleh Ranjit LSM

disebut gerakan lingkungan berorientasi pada mata pencaharian.216

Sepak terjang

dan gerakan LSM demikian dapat menjadi mimpi buruk bagi terwujudnya politik

agraria berkeadilan, tata kelola sumberdaya dan DAS yang baik, dan pengelolaan

jasa lingkungan yang partisipatif dan keberlanjutan.

7.5. Ikhtisar

Politik agraria bidang kehutanan yang berorientasi betting on the strong

diakui berdampak positif terhadap perolehan devisa negara, menggelembungnya

"dompet pemerintah pusat". Tetapi arah dan orientasi politik kehutanan tersebut

tidak meneteskan kemakmuran, kurang mempertimbangkan manusia sebagai

komponen ekosistem hutan dan peranserta masyarakat lokal dalam tata kelola

sumberdaya hutan. Hal ini disebabkan peraturan perundang-undangan, kebijakan

pendukung dan pelaksanaan pengelolaan hutan, menempatkan manusia dan

masyarakat lokal sebagai “sumber gangguan” dan bukan kunci keberhasilan

pembangunan kehutanan. Pengabaian manusia dan masyarakat, ditunjukkan

dengan adanya stigmatisasi masyarakat sekitar hutan : ”the other, orang pasisian

dan perambah hutan”. Rasionalitas hukum dan stigmatisasi tersebut

mengakibatkan tidak tersedianya akses masyarakat, penyempitan ruang hidup dan

peluruhan kelembagaan masyarakat sekitar hutan.

215Korten mengidentifikasi LSM lingkungan atas lima kategori Relief and Welfare, Community

Development, Sustainble System Devolopment, People’s Movement and Empower People. Lihat

Korten, David, C. 1988. “LSM Generasi Keempat: Fasilitator Gerakan Kemasyarakatan”, Prisma

XVII, No. 4.

216 Dwivedi, Ranjit, 2001.”Environmental Movements in the Global South: Issues of Livelihood

and Beyond”, in International Sociology, March 2001, Vol 16 (1).

Page 182: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

166

Proses peluruhan kelembagaan lokal di hulu DAS Cidanau berlangsung

secara sistemik, terjadi di aras sistem (peraturan perundang-undangan), aras

organisasional dan aras perilaku individual agensi. Peluruhan kelembagaan

komunitas oleh kekuatan supralokal mencakup aspek kelembagaan buyut dan

liliuran, etika konservasi dan kearifan lokal. Dampak dari proses peluruhan

secara sistemik adalah penggusuran petani, tampilnya agensi sebagai predator,

enclavisme, relokasi petani secara exsitu dan kepedulian semu terhadap jasa

lingkungan. Hal ini menggambarkan ketidakmampuan pemerintah

menyelenggarakan politik tata kelola sumberdaya hutan dan DAS yang

berkeadilan dan berkelanjutan dan gagal mewujudkan tujuan konstitusional politik

agraria sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Kekhawatiran yang ditimbulkan oleh aktivitas deforestasi dan degradasi

hutan dan kawasan hulu DAS Cidanau, melahirkan pemikiran perlunya

membangun ”rumah bersama” dan jejaring hubungan hulu hilir DAS Cidanau

secara terpadu melalui pembayaran jasa lingkungan. Tetapi karena ”rumah

bersama” tersebut fondasinya kurang kokoh, prosedur dan mekanismenya tidak

demokratis dan posisi relasi antar pemangku kepentingan tidak setara, maka

pembayaran jasa lingkungan kepada petani di DAS Cidanau, masih jauh dari

upaya peningkatan kesejahteraan petani hutan, pemberdayaan petani dan

pengembangan agroforestry yang kondusif untuk konservasi hulu DAS.

Page 183: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

167

BAB VIII

URGENSI PENGUATAN KELEMBAGAN LOKAL

DAN POLITIK AGRARIA TRANSFOMATIF

8.1. Pendahuluan

Dalam uraian sebelumnya dijelaskan bahwa interaksi negara desa diwarnai

dengan proses kapitalisasi negara dan pedesaan serta peluruhan kelembagaan

komunitas. Dampak dari kapitalisasi negara dan pedesaan mengakibatkan

penyelenggara negara gagal mewujudkan tujuan politik agraria untuk sebesar-

sebesarnya kesejahteraan rakyat dan tidak mampu membangun kelembagaan tata

kelola DAS yang terpadu berkelanjutan dan partisipatif. Berpangkal tolak dari

temuan empirik tersebut, fokus dari bab ini menguraikan implikasi dan proyeksi

untuk penguatan kelembagaan komunitas dan politik agraria transformatif.

8.2. Urgensi Penguatan Kelembagaan Lokal

Peluruhan kelembagaan lokal yang berlangsung secara sistemik, maka

upaya penguatannya perlu dilakukan secara sistemik pula. Merujuk pada Giddens

(2004),217

penguatan kelembagaan lokal memerlukan perubahan struktur dimensi

signifikansi, otoritatif, alokatif dan legitimasi atau perubahan rasionalitas

ekososial yang ditawarkan Groz dan reformasi rasionalitas komunikasi yang

dikemukakan Habermas.

Perubahan struktural signifikasi, otoritatif, alokatif dan legitimasi didorong

oleh kenyataan empirik bahwa paradigma signifikasi, otoritatif, alokatif dan

legitimasi, yang menjadi dasar rekayasa sosial dan pembangunan pedesaan,

terbukti melahirkan perlakuan kurang manusiawi (dehumanisasi) dan alienasi

masyarakat. Penguatan kelembagaan komunitas juga mensyaratkan adanya

perubahan rasionalitas dan bangunan ilmu pengetahuan sosial modernis dan

positivis, karena rasionalitasnya yang bertumpu rasionalitas utility maximum

mendorong pemanfaatan sumberdaya secara eksploitatif dan tidak ramah

lingkungan. Struktur signifikansi, otoritatif, alokatif yang dibangun atas atas dasar

rasionalitas utility maximum dalam pengelolaan sumberdaya dan pemberdayaan

217

Anthony Giddens, 2004, The Constitution of Society: Teori Strukturasi untuk Analisis Sosial.

Pasuruan: Pedati, p.39.

Page 184: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

168

masyarakat diposisikan hanya sebagai obyek dan komoditas semata-mata.

Pengembangan dimensi manusia sebagai “homo-economicus” lebih menonjol

dari dimensi dan jati dirinya sebagai “homo-ecologicus” dan “homo-

sociologicus”. Pengarus-utamaan dimensi manusia sebagai “homo-economicus”

adalah terbatasnya ruang kultural, tidak tersedianya ruang bagi tumbuhnya

kearifan lokal dan kelembagaan parsipatori dalam masyarakat.

Dari segi ini perubahan struktural signifikasi, otoritatif, alokatif dan

legitimasi dimaksudkan untuk membebaskan sumberdaya dan kelembagaan

komunitas dari penetrasi kekuatan ekonomi dan politik supra lokal. Merujuk pada

Habermas, pembebasan komunitas dari cengkraman kekuatan supralokal yang

menindas hanya mungkin dilakukan, jika terjadi perubahan rasionalitas

komunikasi antara negara dengan warga negara atau perubahan rasionalitas dari

rasionalitas utility maximum menuju utility maximising manner. Sebab selama ini

komunikasi negara dengan warga negara seperti halnya dengan komunitas sekitar

hutan bersifat searah, dominatif dan hegemonik. Pola komunikasi demikian

cenderung memposisikan komunitas sekitar hutan menjadi objek kepentingan

supra lokal (negara dan pasar) dan tidak menjadi bagian dari stakeholder

kehutanan dan kelembagaan pengelolaan DAS.

Penempatan komunitas sekitar hutan sebagai “obyek” dan the other

berakibat penegasian hak sosial, sejarah dan hak kepribumiannya. Memposisikan

mereka sebagai “obyek” dan the other berdasarkan rasionalitas hukum positif

menyebabkan tidak dapat memperoleh akses dan manfaat ekonomi dari

sumberdaya hutan yang berada di sekitarnya. Dengan posisinya sebagai the other,

komunitas sekitar hutan merupakan out group dari kelembagan kehutanan,

bahkan distigmatisasi sebagai perambah hutan, urang pasisian, atau urang

leuweung” dan predikat lainnya yang negatif. Tradisi dan praktik tata kelola

sumberdaya hutan yang berkontribusi terhadap pelestarian plasma nutfah, tidak

mengantarkannya menjadi mitra pemerintah dalam pengelolaan dan pelestarian

sumberdaya hutan. Sebaliknya mereka dipersepsi sebagai sumber gangguan atau

kendala untuk kegiatan konservasi dan eksploitasi sumberdaya hutan atau

dipandang tidak sejalan dengan arus utama dan kepentingan ekonomi supralokal

(negara dan pasar) dalam pengelolaan sumberdaya hutan.

Page 185: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

169

Berangkat dari pemikiran di atas, maka penguatan kelembagaan komunitas

sekitar hutan dirumuskan sebagai berikut:

Pertama merujuk pada pandangan Habermas, penguatan kelembagaan

komunitas mensyaratkan perubahan rasionalitas komunikasi antara negara dengan

warga negara dan antara pemangku otoritas kehutanan dengan komunitas sekitar

hutan. Rasionalitas komunikasi yang ditawarkan Habermas adalah pola

komunikasi antar komunikan (segenap pemangku kepentingan termasuk

masyarakat) berbasis kepercayaan (trust), kebenaran (truth), ketepatan (rightness),

komprehensibilitas (comprehensibility) dan kejujuran (sincerety). Dari segi ini

maka stigmatisasi komunitas sekitar hutan sebagai perambah hutan, urang

pasisian, atau urang leuweung dan memposisikan mereka sebagai the other atau

out group, menggambarkan pola komunikasi yang bertentangan rasionalitas

komunikasi yang ditawarkan Habermas.

Kedua penguatan komunitas sekitar hutan mensyaratkan adanya perubahan

paradigma dalam pembangunan kehutanan dan rasionalitas dalam mempersepsi

dan memposisikan kelembagaan komunitas sekitar hutan. Paradigma pengelolaan

hutan berbasis ekonomi (kayu) dan menempatkan sumberdaya hutan sebagai

komoditi semata-mata, tidak kondusif untuk pembangunan hutan berkelanjutan.

Pemanfaatan sumberdaya hutan dengan sistem tebang pilih, lebih bijak daripada

pengelolaan hutan berskala besar oleh pemilik modal. Demikian juga sikap

prejudice pemangku otoritas terhadap komunits sekitar hutan sebagai perambah

hutan, urang pasisian, atau urang leuweung tidak mendukung program

pemberdayaan dan peningkatan kesejahteraan komunitas sekitar hutan.

Pemberdayaan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan akan

bermakna jika ditempatkan sebagai stakeholder dan bagian tak terpisahkan dari

ekosistem sumberdaya hutan. Perubahan paradigma dalam pengelolaan hutan dan

cara pandang terhadap komunitas sekitar hutan relavan dengan dalam menghadapi

pemanasan dan perubahan iklim global serta moratorium kehutanan.

Ketiga penguatan kelembagan dan kesejahteraan komunitas sekitar hutan

dapat dilakukan melalui akselarasi pengembangan Hutan Tanaman Rakyat (HTR)

dan moratorium pengeluaran izin konsesi penguasaan hutan kepada pemilik

modal. Sejauh ini pengembangan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) yang difasilitasi

Page 186: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

170

oleh Badan Layanan Umum P2H (Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan) yang

ditargetkan 5,4 juta hektar baru mencapai 87.299.89 hektar atau sekitar 1,6

persen. Rendahnya realisasi pengembangan Hutan Tanaman Rakyat (HTR)

disebabkan rendahnya political will dan political action untuk mengalokasikan

sumberdaya hutan pada masyarakat. Rendahnya political will dan political action

ditunjukkan dari kelembagaan dan prosedur perijinan pengelolaan Hutan

Tanaman Rakyat (HTR) kepada masyarakat yang birokratis.

Bila moratorium pengeluaran izin konsesi penguasaan hutan kepada

pemilik modal terus berlanjut, sudah selayaknya pengeluaran izin konsesi

pemanfaatan hutan mensyaratkan rekomendasi dan pemberian konpensasi yang

pantas kepada komunitas sekitar hutan. Rekomendasi dan pemberian konpensasi

dimaksudkan untuk penguatan aspek otoritatif dan legalitimasi sekaligus dalam

upaya penguatan alokatif (ekonomi) komunitas sekitar hutan. Rekomendasi dan

konpensasi berguna untuk memperkuat struktur otoritatif, legitimasi dan posisi

tawar menawar masyarakat sekitar hutan berhadapan dengan kekuatan pasar

sekaligus sebagai upaya meningkatkan kesejahteraannya.

Gagasan dan pemikiran tentang rekomendasi dan konpensasi, didasarkan

kenyataan, bahwa ijin konsesi pengelolaan hutan kepada korporasi, selama ini

menimbulkan ketidakadilan ekologi dan ekonomi. Pemilik modal berasal dari

supra lokal memiliki legitimasi mengeksploitasi hutan, sedangkan hak sosial

ekonomi dan hak kepribumian komunitas lokal, dikriminalisasi dan menjadi

sasaran aksi polisionil. Kehadiran kekuatan ekonomi korporasi kehutanan yang

tidak berkoeksistensi dengan kelembagaan komunitas, menggiring komunitas

sekitar masuk perangkap kebijakan kehutanan, menjadi tenaga kuli dan tidak

berdaya secara ekonomi dan politik.218

Sehingga kehadiran perusahaan kehutanan

bukannya membawa berkah ekonomi, tapi sebalikanya mendatangkan musibah

dan bencana ekologi. Sementara itu pengarus uatamaan rasionalitas hukum positif

dalam penataan kehutanan memaksa dan menegasikan hak sosial ekonomi

komunitas sekitar hutan bahkan menjadi sasaran aksi polisionil.

218 Bank Dunia mencatat ketidaksetaraan (atau ketimpangan) ekonomi yang berlangsung di

Indonesia disebabkan konsentrasi kekayaan pada kalangan elit politik dan ekonomi. Masyarakat

miskin termarginalkan karena adanya perangkap kebijakan. Bank Dunia, 2006. Laporan Bank

Dunia: Kesetaraan dan Pembangunan. Jakarta: The World Bank-Salemba Empat.p. 60-80.

Page 187: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

171

Keempat penguatan aspek alokatif dan otoritatif komunitas kawasan DAS

menghendaki paradigma pengelolaan DAS atas prinsip partnership based

governance. Rancang bangun kelembagaan dan pelaksanaan prinsip partnership

based governance dalam pengelolaan DAS Cidanau diwujudkan melalui

pembentukan FKDC dan Perjanjian Kesepakatan Pembayaran Jasa Lingkungan

antara FKDC dengan Kelompok Tani Hutan di Desa Citaman dan Desa Cibojong.

Tata kelola DAS Cidanau berdasarkan partnership based governance tersebut

menjadi sumber inspirasi pembentukan kelembagaan tata kelola DAS di provinsi

Sumatera Utara, Sumatera Barat, NTT dan provinsi Papua.

Meskipun demikian, peran FKDC dan mekanisme pembayaran jasa

lingkungan di DAS Cidanau, belum menggambarkan kemitraan sejati antar aktor

atau pemangku kepentingan hulu hilir. Sejak berdirinya tahun 2003 kepengurusan

FKDC didominasi pejabat dan mantan pejabat, yang berkibat FKDC menjadi

perpanjangan tangan pemerintah dan kurang menyuarakan kepentingan

masyarakat. Aturan dan mekanisme (yurisdiksi) pembayaran jasa lingkungan

disusun tanpa representasi petani. Akibatnya petani sebagai “produsen” jasa

lingkungan tidak menerima insentif yang sebanding dengan biaya yang telah

dikeluarkannya, tidak berkelanjutan dan terbatasnya jumlah petani dan area kebun

yang menjadi obyek jasa lingkungan.

Kelima rancang bangun kelembagaan dan pelaksanaan partnership based

governance DAS Cidanau masa yang akan datang, hendaknya diarahkan untuk

memperkuat basis partisipasi dan representasi petani dalam FKDC, penambahan

jumlah petani dan area kebun yang menjadi obyek jasa lingkungan. Perluasan

area kebun yang menjadi obyek jasa lingkungan berguna untuk mempertahankan

kawasan hulu DAS Cidanau sebagai pengatur siklus hidrologi hutan dan

mencegah bencana banjir. Penambahan jumah kelompok tani yang mendapat

pembayaran jasa lingkungan berguna untuk mempertahankan praktik agroforestry

dan meningkatkan kesejahteraan petani. Hal ini mensyaratkan adanya “politik

anggaran hijau” dari pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Selama ini

pemerintah daerah hanya menyediakan anggaran untuk membiayai operasional

aparat pemerintah yang bertugas di FKDC, sementara pembayaran jasa

Page 188: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

172

lingkungan dilakukan atas dasar “kesukarelaan” (voluntry) dari PT Krakatau Tirta

Industri.

Keenam pembayaran jasa kepada petani secara voluntry (kesukarelaan)

pemakai jasa jasa lingkungan yakni KTI, hendaknya menjadi stimulus pemerintah

dan perusahaan pemakai jasa lingkungan. Oleh karena itu pelaksanaan

partnership based governance dalam pengelolaan DAS Cidanau, hendaknya

melibatkan perusahaan lainnya yang memanfaatkan jasa lingkungan DAS

Cidanau. Karena dari sejumlah intansi pemerintah dan perusahaan di hilir yang

memanfaatkan jasa lingkungan DAS Cidanau, hanya PT Krakatau Tirta Industri

yang bersedia membayar jasa lingkungan kepada petani sebagai produsen jasa

lingkungan di hulu.

Oleh karena itu dalam upaya pengelolaan DAS secara terpadu dan

kemitraan antara hulu dan hilir, pemerintah dituntut untuk membuat regulasi dan

kelembagaan pembayaran jasa lingkungan secara berkelanjutan dan mengikat

berbagai pemakai jasa lingkungan DAS Cidanau. Pelaksanaan partnership based

governance dalam tata kelola DAS Cidanau akan berdampak positif bila pada

periode kedua ini Pemerintah Daerah, dapat diwujudkannya dengan

mengalokasian anggaran untuk pembayaran jasa lingkungan. Supaya semangat

pemerintah untuk mendatangkan pemilik modal berinvestasi dalam pemanfaatan

hutan diimbangi dengan political action dan pengalokasian anggaran untuk

pembayaran jasa lingkungan.

8.3. Menuju Politik Agraria Transformatif

Keenam bentuk penguatan kelembagaan komunitas tersebut merujuk pada

Capra mensyaratkan perubahan paradigmatik atau dalam istilah Sobhan menuntut

adanya politik agraria transformatif dalam pengelolaan sumberdaya hutan dan

kawasan DAS. Perlunya politik agraria transformatif didasarkan pemikiran

sebagai berikut:

Pertama politik agraria bidang kehutanan dan pertanian konvensional

cenderung membela rasionalitas yang dianut dalam pasal-pasal peraturan

perundang-undangan dan kebijakan pendukungnya, meskipun tidak relevan

dengan masalah sosial ekonomi dan kelembagaan komunitas sekitar hutan.

Page 189: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

173

Pembelaan atas rasionalitas hukum positif mengakibatkan aktivitas sosial

ekonomi komunitas menjadi sasaran aksi polisionil, obyek penggusuran dan

tindak kekerasan serta kriminalisasi sering dipandang sebagai solusi. Akibatnya

penanganan masalah sosial ekonomi komunitas sekitar hutan dan penduduk di

hulu DAS, tidak memecahkan akar masalah sosiologis dan ekonomi komunitas

dan pelestarian sumberdaya hutan dan kawasan DAS.

Kedua politik agraria kehutanan yang diadopsi dari produk hukum

kolonial dan kapitalistik, cenderung berorientasi betting on the strong, pro

pertumbuhan, tetapi abai terhadap pembangunan kehutanan berkelanjutan,

pelestarian ekologi (wide ecological sustainability), kelembagaan komunitas dan

kearifan lokal. Dampak lebih lanjut dari politik agraria tersebut adalah meluasnya

eskalasi konflik agraria, meningkatnya kemiskinan struktural, peluruhan

kelembagaan komunitas dan meluasnya deforestasi dan degradasi hutan dan

kawasan hulu DAS.

Ketiga politik kehutanan berorientasi “pembangunanisme” menempatkan

sumberdaya hutan sebagai komoditas dan sekaligus sebagai enclave (barang antik

bagi komunitas sekitar hutan). Sehingga pembangunan kehutanan menimbulkan

ketidakadilan ekonomi dan ekologi bagi masyarakat sekitarnya. Di satu sisi,

sumberdaya hutan dieksploitasi untuk memacu pertumbuhan ekonomi negara,

kapitalisasi negara dan akumulasi kapital pemilik modal. Di sisi lain komunitas

yang hidupnya tergantung pada sumberdaya hutan teralienasi dan dimarginalkan.

Bahkan dalam rangka kapitalisasi negara, komunitas sekitar hutan, distigmatisasi

sebagai perambah hutan, urang pasisian, urang leuweung, dan menjadi sumber

gangguan dan kendala pembangunan kehutanan. Ikatan sejarah, hak sosial

budaya dan ekonomi komunitas sekitar hutan dinegasikan. Demikian juga

keberadaan mereka sebagai “pelestari plasma nutfah” diluruhkan secara sistemik.

Sementara itu “agensi dan korporasi” kehutanan dari supralokal meskipun

diantaranya terindikasi terlibat dalam aktivitas deforestasi dengan mudah

mendapat berkah ekonomi dari sumberdaya hutan.

Page 190: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

174

Pemikiran politik agraria transformatif yang ditawarkan dalam tulisan ini

diakomodasi dari Beck tentang safety state219

. Dalam kaitannya dengan

pembangunan kehutanan, konsep safety state mencakup tiga hal: (1) penggunaan

mekanisme asuransi dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan (2)

penegakkan hukum bagi perusak hutan (3) pemberian kompensasi kepada

komunitas yang terkena dampak ekonomi dan ekologi akibat eksploitasi

sumberdaya hutan.

Konsep safety state diperlukan dalam pembangunan kehutanan baik untuk

jangka panjang maupun jangka pendek. Dalam jangka panjang konsep safety

state menjadi landasan dalam upaya mewujudkan good resources governance,

pembangunan kehutanan berkelanjutan, mengatasi perubahan iklim dan

pemanasan global. Sedangkan dalam jangka pendek konsep safety state berguna

untuk pemberdayaan komunitas sekitar hutan dan menurunkan tingkat degradasi

sumberdaya hutan.

Konsep safety state menyediakan landasan yuridis dan teoritis bahwa

negara sebagai pemegang hak kuasa dan penentu regulasi kehutanan,

memposisikan komunitas sekitar hutan sebagai subyek seperti pemangku

kepentingan lainnya. Selama ini komunitas sekitar hutan, diposisikan sebagai

obyek semata-mata dari berbagai kekuatan supralokal (penguasa dan pemilik

modal nasional dan global), sehingga proses interaksi mereka dengan kekuatan

supralokal bersifat hegemonik dan eksploitatif. Dengan statusnya sebagai subyek

dalam pengelolaan dan pemanfaatan kehutanan, maka proses interaksinya dengan

kekuatan supralokal seyogyanya bersifat setara dan demokratis.

Dalam konsep safety state, jika pemerintah mengeluarkan hak konsensi

kepada pemilik modal untuk mengeksploitasi sumberdaya hutan, maka komunitas

sekitar hutan berhak atas mekanisme asuransi dan kompensasi. Dari segi ini

konsep safety state merupakan upaya meminimalkan alienasi komunitas sekitar

hutan dan sekaligus solusi atas enclavisme dan komoditifikasi sumberdaya hutan.

219

Lihat Beck, Ulrich, 2000. “Risk Society Revisited: Theory, Politics and Research Programmes”

in J. Van Loon (ed). The Risk Society and Beyond Critical Issues for Social Theory. London:

Sage.

Page 191: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

175

Lemahnya struktur otoritatif dan alokatif atas sumberdaya hutan, menjadi kendala

komunitas untuk mendapatkan akses dan peluang memperoleh rejeki atas

sumberdaya hutan, tanpa mendapat kompensasi sama sekali, baik dari korporasi

dan maupun pemerintah.

Politik agraria transformatif bidang kehutanan dapat diwujudkan dalam

bentuk tata kelola dan pemanfaatan sumberdaya hutan atas dasar rasionalitas hijau

(green rationalism) atau rasionalitas eko-sosial. Tawaran rasionalitas hijau

didasarkan pemahaman dan kenyataan empirik, bahwa paradigma pengelolaan

hutan atas dasar rasionalitas utility maximum, mendorong manusia tenggelam ke

dalam “barbarisme baru” dan menempatkan manusia sebagai homo economicus.

Sementara dimensi manusia sebagai homo ecologicus diabaikan, yang ternyata

berdampak pada dehumanisasi, marginalisasi komunitas, meluasnya deforestasi

dan degradasi sumberdaya hutan.

Tawaran rasionalitas eko-sosial, karena memadukan perlindungan

lingkungan, pemenuhan kebutuhan sosial dan ekonomi. Rasionalitas eko-sosial

merupakan upaya untuk memenuhi kebutuhan material dengan cara yang sebaik-

baiknya dengan materi sekecil mungkin, yaitu menggunakan barang, tenaga kerja

dan modal dengan nilai guna berdurabilitas tinggi. Dalam rasionalitas eko-sosial,

prinsip durabilitas lebih diutamakan daripada produktivitas. Dapat dikatakan

durabilitas sebagai anti tesa atas produktivitas yang diusung rasionalitas utility

maximum. Dalam hubungan ini dapat dikatakan bahwa deforestasi dan degradasi

sumberdaya hutan di Indonesia pada dasarnya disebabkan politik tata kelola hutan

berorientasi pada produktivitas dan pengarus-utamaan rasionalitas utility

maximum. Sementara durabilitas, konservasi, reboisasi dan rehabalitisasi hutan

diabaikan atau hanya tambal sulam, serta posisi dan eksistensi manusia sebagai

bagian dari ekosistem hutan dimarginalkan.

Politik agraria transformatif mensyaratkan transformasi rasionalitas

pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan dari rasionalitas utility maximum

menuju utility maximum manner. Rasionalitas utility maximum manner kondusif

untuk mendorong tumbuhnya tata kelola dan pemanfaatan sumberdaya hutan

berkelanjutan, ramah terhadap hutan dan bersahabat dengan komunitas lokal.

Pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan berbasis utility maximum manner

Page 192: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

176

akan membantu menekan komoditifikasi dan eksploitasi hutan yang ditujukan

semata-mata untuk memacu produktivitas, pertumbuhan ekonomi, kapitalisasi

negara dan akmumulasi kapital.

Transformasi rasionalitas dari utility maximum ke utility maximum

manner merujuk pada Habermas mensyaratkan adanya empati dalam komunikasi

antara negara dengan warga negara. Komunikasi negara dengan warga negara

berpola benevolent - obedient dan hegemonik, bukan hanya tidak solutif tetapi

juga problematik dan kontra produktif. Karena itu komunikasi negara dengan

warga negara hendaknya berbasis kesetaraan, kebenaran, ketepatan, kejujuran,

dan komprehensif. Pola komunikasi demikian idealnya juga menjadi ciri proses

interaksi dan komunikasi antar pemangku kepentingan dalam pengelolaan DAS.

Aturan main dan mekanisme (yurisdiksi) tata kelola DAS dirumuskan atas dasar

representasi, demokrasi dan menyediakan ruang dialog dan partisipasi penduduk

sekitar DAS. Interaksi antar pemangku kepentingan yang demokratis dapat

menjadi landsan untuk pengelolaan DAS kolaboratif dan terwudunya

kelembagaan partnership based governance.

Sejalan dengan rasionalitas utility maximum manner, maka penguasaan

sumberdaya hutan yang terdistribusi pada banyak orang lebih dihargai daripada

dikuasi secara oligarki dan elitis. Rasionalitas utility maximum manner

mengandung makna, reforma agraria merupakan solusi untuk memperbaiki

kehidupan ekonomi komunitas sekitar hutan dan mendorong pertumbuhan

agroforestry. Berbeda dengan reforma agraria berbasis rasionalitas utility

maximum yang melahirkan rekonsentrasi penguasaan tanah oleh orang kota,

pemilik modal dan kelompok yang diuntungkan oleh proses pembangunan, maka

reforma agraria di bawah payung utility maximum manner ditujukan untuk

redistribusi tanah dan menjadi pintu masuk untuk pemberdayaan sosial ekonomi,

menurunkan kawasan sekitar hutan sebagai kantong kemisknan dan peningkatan

kesejahteraan rakyat.

Bentuk dan proses reforma agraria komunitas sekitar hutan dapat

bervariasi sesuai dengan kondisi ekologi dan ruang spasial dan sosialnya.

Misalnya fasilitasi perhutanan sosial, distribusi tanah dan kemudahan akses

komunitas terhadap sumber keuangan. Redistrubusi tanah kehutanan bagi

Page 193: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

177

komunitas sekitar hutan memerlukan rasionalitas kehutanan, di mana hutan

terlantar, tidak produktif dan tanah sengketa, dipetakan dan diidentifikasi sebagai

sebagai obyek reforma agraria.

Secara yuridis dan kelembagaan, politik agraria transformatif dapat

dilakukan melalui penyusunan peraturan perundang-undangan yang mengikis

habis pendekatan sektoral dan administrasi kewilayahan. Undang-Undang

sektoral, seperti kehutanan, sumberdaya air dan lingkungan hidup, sebaiknya

diintegrasikan dalam Undang-Undang Pertanahan atau Undang-Undang Pokok

Agraria. Pengintegrasian peraturan perundang-undangan tersebut dengan

sendirinya mengharuskan adanya transformasi pengaturan undang-undang

sektoral, kewenangan pemerintah daerah dan relasi kekuasaan tata kelola

sumberdaya hutan, sumberdaya air dan pertanahan (keagrarian). Transformasi

ketiga peraturan perundang-undangan tersebut ditujukan untuk meminimalkan

konflik kepentingan, menekan konflik agraria, kontestasi sektoral dan

mewujudkan tujuan politik agraria yang diamanatkan konstitusi untuk sebesar-

besarnya kemakmuran rakyat.

Page 194: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

178

BAB IX

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan pembahasan yang dijelaskan pada bab sebelumnya, maka

pada bagian ini dirumuskan kesimpulan dan implikasinya terhadap politik tata

kelola sumberdaya hutan dan kawasan DAS.

9.1. Kesimpulan

Pertama, tata kelola sumberdaya agraria berbasis kelembagaan lokal

mengandung visi dan orientasi mengenai produksi dan konservasi secara

terintegrasi. Visi dan orientasinya terkandung dalam konsepsi buyut dan pipeling

yang berfungsi sebagai mekanisme, rangkaian hak (bundle of rights) dan aturan

main yang mengedepankan keselarasan kebutuhan manusia dan keberlanjutan

sumberdaya (wide ecological sustainability). Pemanfaatan sumberdaya yang

melebihi daya dukung (carrying capacity) dan daya lenting (resilience), sama

dengan menghancurkan diri sendiri karena manusia merupakan bagian dari

ekosistem. Dalam kegiatan berladang dan berkebun, praktik dan tata kelola

sumberdaya berbasis kelembagan dan kearifan lokal, diwujudkan melalui system

olah tanah gilir balik, ngaseuk, coo benih, pemberantasan hama ramah

lingkungan, masa tanam mengikuti daur musim dan pergiliran tanaman.

Kelembagaan buyut, pipeling dan liliuran di hulu DAS Cidanau sejalan

dengan ciri kelembagaan parsipatori yang dikemukakan Up Hoff, yakni tumbuh

dari akar rumput, terintegrasi dengan kehidupan sosial, ekonomi, tradisi dan

berkembang sesuai kondisi ruang spasial dan ekologi lokal. Praktik dan tradisi tata

kelola sumberdaya komunitas petani di hulu DAS Cidanau mengukuhkan

pendapat Redfield, yakni merupakan komunitas dinamis dan adaptif dengan

dinamika sosial ekonomi di luar komunitas. Mereka bukan hanya aktif dalam

aktivitas agroforestry dan menjadi produsen komoditas perkebunan, tetapi juga

terlibat dalam proses politik dan menjadi bagian dari partai politik tertentu dan

memiliki ikatan emosional dengan penguasa dan elit pada aras lokal, regional dan

nasional.

Persistensi dan adaptabilitas kelembagaan buyut, pipeling dan liliuran di

hulu DAS Cidanau sebelum berlangsungnya kapitalisasi negara dan sumberdaya

Page 195: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

179

hutan, menggambarkan kelembagaan komunitas yang dikemukakan Scott (1989),

yakni berperan sebagai “asuransi terselubung” dan menjadi “energi sosial” dalam

mengatasi masalah-masalah kehidupan.

Kedua kontestasi kelembagaan lokal dengan supra lokal memiliki latar

belakang historis dan berkaitan dengan dinamika politik nasional dan global,

karena kebijakan dan dinamika politik pada pentas nasional berimplikasi luas

pada aspek sosial ekonomi dan politik aras lokal. Kontestasi sektoral dan

kontestasi lokal-supralokal menegasikan kelembagaan komunitas, karena

pembangunan sektoral diikuti kapitalisasi negara dan pembentukan kelembagaan

baru yang menjadi substitusi kelembagaan komunitas.

Kelembagaan ”baru” bentukan supra lokal merupakan hasil konspirasi

aparat di atas desa dengan elit desa, tujuannya untuk menangkap peluang ekonomi

dari pembangunan pedesaan dan strukturnya seragam. Ini berbeda dengan

kelembagaan komunitas yang tumbuh dari akar rumput, bersifat unik dan

beragam sesuai dengan kondisi sosial, ruang spasial dan ekologi lokal. Penetrasi

kelembagaan pemerintah yang bersifat substitusi berimplikasi negatif terhadap

keberadaan kelembagaan komunitas, karena mendorong proses komersialsiasi dan

kapitalisasi sumberdaya pedesaan.

Proses pembangunan yang diwarnai komersialsiasi dan kapitalisasi

sumberdaya tidak memberdayakan masyarakat pedesaan, sebaliknya cenderung

memperdaya dan meningkatkan ketergantungan masyarakat ke luar dan di atas

desa yang disebut Sajogjo modernization without development. Dampak negatif

lain dari kapitalisasi sumberdaya adalah mereduksi ruang otonom di wilayah

pedesaan yang disebut Tjondronegoro sodality dan pembangunan menjadi proses

penetrasi dan ekspansi kekuatan modal yang membonceng masuk melalui

program pembangunan ekonomi dan industrialisasi pedesaan. Kapitalisasi dan

komersialsiasi sumberdaya juga mengakibatkan dinamika dan panggung politik

wilayah pedesaan ditentukan oleh bentuk konspirasi pemilik modal dan aparat

Pemerintah di aras supra desa. Kondisi ini mengakibatkan proses pemilihan

kepala desa diwarnai penggunaan politik uang dan otonomi desa tak terlepas dari

kepentingan politik dan ekonomi pemilik modal dan aparat pemerintah di atas

desa. Dampak lebih lanjut kapitalisasi dan komersialsiasi tersebut adalah

Page 196: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

180

demokratisasi dan desentralisasi politik wilayah pedesaan berlangsung secara

prosedural, transaksional dan tidak mampu mereposisi pemerintahan desa dan

mingkatkan perbaikan kehidupan ekonomi masyarakat pedesaan.

Ketiga arus utama politik agraria utilitarian dan betting on the strong

berdampak pada komoditifikasi sumberdaya agraria, peluruhan kelembagaan

komunitas secara sistemik (terjadi pada aras sistem, organisasi dan individual),

dan mendeligitimasi kepemimpinan komunitas/informal, tetapi mengkonstruksi

posisi pemerintah desa menjadi semakin dependen. Demokratisasi dan

desentralisasi kekuasaan di wilayah pedesaan, di satu sisi mengarah pada

resentralisasi kekuasaan seperti tampilnya pamong desa sebagai “raja-raja lokal”

atau bahkan menjadi predator. Di sisi lain, semakin tergantungnya pemerintah

desa pada kekuatan supra dan di atas desa.

Pendekatan konservasi secara ekofasis (menempatkan area konservasi

sebagai enclave dan relokasi ex-situ) di tengah ketimpangan struktur agraria, tidak

menyelesaikan masalah konservasi dan masalah agraria di Rawa Danau,

sebaliknya menimbulkan pendudukan petani dan konflik berkepanjangan.

Pendekatan konservasi secara ekofasis mengakibatkan terputusnya petani dengan

basis ekonominya dan mengalienasi ikatan emosi, sosial dan sejarahnya.

Pendekatan ex-situ sebagai bentuk land reform yang didasarkan pendekatan dan

pertimbangan teknik semata-mata, dalam kenyataan menjadi “pemindahan

kemiskinan” ke luar Jawa. Kondisi ini mencerminkan kegagalan pemangku

otoritas mewujdukan tujuan politik agraria untuk kesejahteraan rakyat.

Indikasinya adalah depeasanisasi, tampilnya predator agraria dan penggusuran

petani dan kepedulian semu terhadap komunitas petani dan jasa lingkungan.

Dalam tata kelola DAS, ditunjukkan oleh ketidakmampuan pemangku

otoritas membangun ”rumah bersama” dan jejaring hulu hilir DAS secara terpadu

dan subordinasi kelembagaan komunitas. FKDC yang seharusnya menjadi ”rumah

bersama”, mediator dan fasilitator antara komunitas petani dengan perusahaan dan

pemerintah, dalam kenyataan dikooptasi birokrasi dan koorporasi. Rapuhnya

bangunan ”rumah bersama” mengakibatkan pembayaran jasa lingkungan kepada

petani hutan tidak menghilangkan ketidakadilan ekologi dan ekonomi di hulu

DAS Cidanau. Dominasi birokrasi dalam FKDC sebagai ”rumah bersama”,

Page 197: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

181

mengakibatkan keputusannya tidak aspiratif, tidak partisipatif dan tidak

independen. Dalam kaitananya dengan mekanisme pembayaran jasa lingkungan

dapat dikatakan yurisdiksi dirumuskan tanpa representasi dan demokrasi.

2. Saran dan Implikasi Kebijakan

Dari temuan empirik di lapangan dapat dikemukakan beberapa saran

kebijakan untuk mengatasi persoalan yang dihadapi petani sekaligus untuk

pembangunan komunitas sekitar hutan. Adapun beberapa saran kebijakan

dimaksud sebagai berikut:

Pertama tata kelola agraria berbasis kelembagaan lokal yang

mengintegrasikan produksi dan konservasi hendaknya dipertimbangkan menjadi

pilihan kebijakan dan mendapat ruang dalam politik tata kelola sumberdaya

agraria. Praktik tata kelola sumberdaya agraria berbasis kelembagaan komunitas

yang perlu diperhatikan adalah tradisi pemuliaan dan pergiliran tanaman, kearifan

lokal tentang tanaman pangan dan obat-obatan, zonasi hutan, teknologi gilir balik,

sistem tebang pilih dan sistem olah tanah konservasi. Praktik tata kelola

sumberdaya tersebut kondusif untuk menjaga keamanan subsistensi petani dan

mendukung pembangunan pertanian dan kehutanan berkelanjutan.

Kedua penguatan kelembagaan komunitas mensyaratkan perubahan

struktur signifikansi (sistem ilmu pengetahuan/ideologi), struktur otoritatif,

alokatif dan legitimasi (norma dan hukum). Peningkatan kapasitas kelembagaan

komunitas dapat dilakukan melalui revitalisasi dan pengakuan keabsahan secara

yuridis. Pemetaan wilayah hutan secara partisipatif dan pelibatan komunitas

dalam pemanfaatan sumberdaya hutan mulai perencanaan, pelaksanaan, evaluasi

dan monitoring merupakan langkah strategis untuk membangun kemandirian

masyarakat sekitar hutan dan mengurangi konflik agraria di sekitar hutan dan

kawasan DAS.

Ketiga untuk meminimalkan peluruhan kelembagaan komunitas, perlu

terobosan politik untuk merasionalisasi kawasan hutan. Wilayah yang diklaim

kawasan hutan tetapi sesungguhnya “bukan hutan”, diidentifikasi, diregistrasi dan

dipetakan sebagai obyek reforma agraria. Kebijakan kehutanan pro populis seperti

pengakuan hak sosial ekonomi masyarakat, perluasan akses dan kesempatan

Page 198: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

182

petani pemilik lahan sempit dan tak bertanah terhadap sumberdaya agraria dan

land reform adalah kebijakan strategis yang dapat memperbaiki kehidupan

masyarakat sekitar hutan. Adanya ”rumah bersama” dalam tata kelola DAS, yang

memungkin partisipasi masyarakat adalah langkah strategis untuk membangun

kelembagaan DAS hulu hilir secara terpadu. Demikian pula perluasan area hutan

rakyat yang obyek insentif jasa lingkungan dan alokasi anggaran hijau yang

memadai adalah kondusif untuk perbaikan petani dan tata DAS berkelanjutan.

Page 199: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

183

DAFTAR PUSTAKA

Agrawal, A. ‘Indigenous and Scientific Knowledge: Some Critical Comments’,

Indigenous Knowledge and Development Monitor 3(3), 1995

Agger, Ben, 2003. Teori Sosial Kritis: Kritik, Penerapan dan Implikasinya.

Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Anderson, Benecdict, 2001. Imagined Communities. Yogyakarta: INSIST.

Arifin, Susilo. 2005. Harmonisasi Pembangunan Pertanian Berbasis DAS Pada

Lanskap Desa Kota Kawasan Bogor Puncak Cianjur. Bogor: Fakultas

Pertanian IPB.

Awang, San Afitri, 2003. Politik Kehutanan Masyarakat. Yogyakarta: Kreasi

Wacana.

Bank Dunia, 2006. Laporan Bank Dunia: Kesetaraan dan Pembangunan. Jakarta:

The World Bank-Salemba Empat.

Bappeda Kabupaten Serang, 1999. Rencana Teknik Lapangan Rehabilitasi Lahan

dan Konservasi Tanah DAS Cidanau. Serang: Bappeda Kabupaten Serang –

Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah (BRLKT), DAS Citarum-

Ciliwung.

BAPPENAS, 2003. Strategi dan Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati Indonesia

2003-2020. Jakarta, BAPPENAS.

Beck, Ulrich, 2000. “Risk Society Revisited: Theory, Politics and Research

Programmes” in J. Van Loon (ed). The Risk Society and Beyond Critical

Issues for Social Theory. London: Sage.

Berkes, Fikret, C, Folke and J. Colding, eds, 1998. Linking Social and Ecological

Systems: Management Practices and Social Mechanisms for Building

Resilience. Cambridge: Cambridge University Press.

Beugelsdijk S, Smulders, S, 2003. Bridging and Bonding Social Capital: Which

Type is Good for Economic Growth?. Faculty of Economics. Tilburg

University. [email protected] and [email protected].

Billie, Dewalt, R. 1994. Using Indigenous Knowledge to Improve Agriculture and

Natural Resource Management. Human Organization, Vol. 53, No. 2.

Biot, Y, Blaike, M., and Palmer - Jones, 19995. Rethinking Research on Land

Degradation in Developing Countries. World Bank Discussion Paper No.

289. World Bank: Washington.

Balai Konservasi dan Sumberdaya Alam, (BKSDA) 2005. Ekspose Penanganan

Perambahan dan Pemukiman Liar di Cagar Alam Rawa Danau. Serang:

BKSDA

Biro Pusat Statistik. 2003. Statistik Potensi Desa, BPS, 2003.

Bradford, Delong,J.2009. “Globalization” and “Neoliberalism” downloaded from

http://con161 berkleley.edu/Econ_ Articles/Rrevie. at October 24.2009.

Page 200: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

184

Bremen, Jan 1997. Menjinakkan Sang Kuli: Politik Kolonial, Tuan Kebun dan

Kuli di Sumatera Timur Pada Awal Abad ke 20. Jakaarta: Pustaka Utama

Grafiti.

Brinkerhoff, Derick W, and Arthur A. Goldsmith, 1992. “Promoting the

Sustainability of Development Institutions: A Framework for Strategy”,

World Development, Vol. 20.

Bryceson, Deborah; Cristóbal Kay, and Jos Mooij, 2000, Disappearing

Peasantries? Rural Labour in Africa, Asia and Latin America. London:

Intermediate Technology Publications.

Bryant, Raymond L., “Power, Knowlwdge and Political Ecology in the Third

World: A Review,” Progress in Geography, 22 (1).

Creswell, John W, 1994. Research Design: Qualitative and Quantitative

Approaches. USA: Saga Publications.

Diez, Ton, 1998. Pengakuan Hak Atas Sumberdaya Alam. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar-Insist-Remedec.

Djuweng, Stepanus, “Orang Dayak, Pembangunan dan Agama Resmi” dalam

Stepanus Djuweng, Yando Zakaria dkk, 1996. Kisah Dari Kampung

Halaman: Masyarakat Suku, Agama Resmi dan Pembangunan”.

Yogyakarta: Interfidei

Djojohadikusumo, Sumitro 1991. Perkembangan Pemikiran Ekonomi. Yayasan

Obor Indonesia.

Dove, Michael, “Representasi Orang yang Berbudaya Lain” oleh” Orang-Orang

Lain”: Tantangan Etnografis tentang Pandangan Pengusaha Perkebunan

terhadap Petani Kecil di Indonesia” dalam Tania Murray Li (peny.), 2002.

Proses Transformasi Daerah Pedalaman di Indonesia. Jakarta: Yayasan

Obor Indoensia.

Dwivedi, Ranjit, 2001.”Environmental Movements in the Global South: Issues of

Livelihood and Beyond”, in International Sociology, March 2001, Vol 16

(1).

Ellen, Roy, “Pengetahuan tentang Hutan, Transformasi Hutan: Ketidakpastian

Politik, Sejarah Ekologi dan Renegosiasi Terhadap Alam di Seram Tengah,”

dalam Tania Murray Li (peny.), 2002. Proses Transformasi Daerah

Pedalaman di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Escobar, Arturo, 1999. “After Nature: Steps to an Antiessentialist Political

Ecology” in Current Anthropology Volume 40 Number 1 Februari.

Evers, Hans Dieter dan Schiel, 1990. Kelompok Strategis: Perbandingan Tentang

Negara Birokrasi dan Pembentukan Kelas di Dunia Ketiga. Jakarta: Yayasan

Obor Indonesia.

Durrkheim, Emile. 1967. The Division of Labor in Society. The Free Press.

Durkheim, Emile, 1964. The Rule of Sociological Method. New York: The Free

Press.

Page 201: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

185

Faizi, Noer, 1991. Petani dan Penguasa: Dinamika Perjalanan Politik Agraria

Indonesia. Yogyakarta: INSIST, KPA, Pusaka Pelajar.

Faizi, Noer, 2003. Bersaksi Untuk Pembaruan Agraria: Dari Tuntutan Lokal

Hingga Kecenderungan Global. Yogyakarta: KARSA, KPA dan Insist.

Faryadi, Erpan, 2002. “Tanpa Reforma Agraria, Tidak Akan Ada Hak Atas

Pangan” dalam Jurnal Analisis Sosial, Vol. 7.3 Desember 2002.

Fayerabend, Borrini, G,Kothari, etl, 2004. Sharing Power, Learning By Doing in

Co-Management of Natural Resources Throughout in the World. IIED and

IUCN/CEESP, Cenesta,Teheran.

Forum Komunikasi DAS Cidanau (FKDC), 2005. Potensi dan Masalah DAS

Cidanau. Serang: Forum Komunikasi DAS Cidanau.

Forum Komunikasi DAS Cidanau, (FKDC), 2005. Perjanjian Pembayaran Jasa

Lingkungan. Serang: Forum Komunikasi DAS Cidanau.

Fasseur, C. 1987. “Tentang Lebak” dalam Ibrahim Alfian, Koesoemanto, H.J.,

Hardjowidjono dan Djoko Suryo: Dari Babad dan Hikayat Sampai Sejarah

Kritis. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Evers, Hans Dieter dan Schiel, 1990. Kelompok Strategis: Perbandingan Tentang

Negara Birokrasi dan Pembentukan Kelas di Dunia Ketiga. Jakarta: Yayasan

Obor Indonesia.

Garna, Judistira, K. 1999. Metode Penelitian: Pendekatan Kualitatif. Bandung:

Primaco.

Garna, Judistira, K.1993. “Masyarakat Baduy di Banten” dalam Koentjaraningrat,

dkk, 1993. Masyarakat Terasing di Indonesia. Jakarta: Gramedia.

Geertz, Clifford, 1983. Involusi Pertanian. Jakarta: Bhratara.

Geertz, Clifford. 2003. Pengetahuan Lokal: Esai-Esai Lanjutan Antropologi

Interpretatif. Yogyakarta:

Giddens, Anthony. 2004, The Constitution of Society: Teori Strukturasi untuk

Analisis Sosial. Pasuruan: Pedati.

Giddens, A. 1987. The Nation-State and Violence: Volume Two of A

Contemporary Critique of Historical Materialism. Berkeley: University of

California Press.

Gillis,M,1990, “Indonesia Public Policies, Resources Management and the

Tropical Forrest. Dalam Repetto R and Gllis, M (eds). Publik Policies and

Missue of Forrest Resource. New York: Cambridge University Press.

Ginting, A.Ng dan Kirsfianti Ginoga, 2010. “Peluang dan Tantangan Kebijakan

Moratorium Lahan Gambut dan Deforestasi”. Makalah “Seminar

Lokakarya Nasional Pemanfaatan Lahan Gambut Berkelanjutan Untuk

Pengurangan Kemiskinan dan Percepatan Pembangunan Daerah”. Bogor:

PSP3 IPB

Goodland, R.G. Ledec and W. Webb, 1989. “Meeting Environmental Concerns

Caused by Common Property Mismanagement in Economic Development

Page 202: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

186

Project” dalam Barkes (ed,) In Common Property Resources: Ecology and

Community Based Sustainable Development. London: Belhaven Press.

Gunarsih, Ance,1986. Pengaruh Klimatologi Terhadap Tanah dan Tanaman.

Jakarta: Bina Aksara.

Habermas, J. 1990. Ilmu dan Teknologi Sebagai Ideologi. Jakarta: LP3ES,

Hadi Dharmawan, Arya, 2005. Sistem Tata Pemerintahan Sumberdaya Alam dan

Lingkungan di Daerah Aliran Sungai Citanduy: Perspektif Politik. Bogor:

Pusat Studi Pembangunan IPB Bekerjasama dengan Partnership for

Governance Reform in Indonesia UNDP.

Hanna, Susan, Carl Folke, Carl, Goran Maler, 1996. Property Right and Natural

Environment in Right to Nature: Ecological, Economic, Cultural and

Political Principles of Institutions for Environment. Stockholm (Sweden):

Island Press.

Hardiman, F.B. 1990. Kritik Ideologi: Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan.

Yogyakarta: Kanisius.

Hardiman F.B. 2003. Melampaui Positivisme dan Modernitas. Yogyakarta:

Kanisius.

Hasibuan, Sayuti, 1997. Pendekatan Pelaksanaan Dalam Pembangunan. Jakarta:

Lembaga Pengkajian Pembangunan Nasional.

Hefner, Robert, W.1990. The Political Economy of Mountain Java: An

Interpretative History. University of California Press.

Henry, Forth, D. 1984. Fundamental of Social Science. Michigan USA. John

Willey and Son.

Heriyanto dan Garsetiasih, “Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Oleh Masyarakat

Lokal di Taman Nasional Meru Betiri Jawa Timur, Jurnal Penelitian Hutan

dan Konservasi Alam Vol. III No.3 Tahun 2006.

Hobsbawm, Eric, 1985. Age of Extremes: The Short Twentieth Century 1914-

1991. London: Abacus Books, Little, Brown and Co.

Hunawu, Momy, 2004. “Pengelolaan Sumberdaya Hutan Berkelanjutan:

Pertarungan Pengetahuan Antar Pemimpin Lokal (Studi Kasus

Kepemimpinan Lokal Pada Komunitas Kulawi di Desa Bolapapu, Sulawe

Tengah”. Thesis, IPB.

Husken, Frans, dan Benjamin White, “Ekonomi Politik Pembangunan Pedesaan

dan Struktur Agraria di Jawa” dalam Prisma No.4, 1989.

Imron, Masyhuri, 2009. Peran Pemerintah Dalam Pengembangan Kelembagaan

Masyarakat Nelayan” Makalah Seminar Peningkatan Kapasitas

Kelembagaan Masyarakat Nelayan”, Bappenas, 21 April 2009.

Iskandar, Johan, 2001. Manusia, Budaya dan Lingkungan. Bandung: Humaniora

Utama Press.

Page 203: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

187

Jayasuriya, Kanishka, ”Negara, Pembangunan dan Globalisasi: Dari Kekuasan

Negara ke Kekuasaan Pasar Global”, dalam Jurnal Wacana, Edisi 5, tahun

II, 2000

Jones, S. 1999. From Meta Narratives to Flexible Framwork: An Actor Analysis

of Land Degradation in Higland Tanzania. Global Environmental Vol 9.

Kaplan David dan Albert A Manners, 1999. Teori Budaya. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar.

Kartasubrata, Junus. 2003. Sosial Forestry Dan Agroforestry di Asia. Bogor: Lab

Politik Ekonomi dan Sosial Kehutanan Fakultas Kehutanan IPB.

Kartodirdjo, Sartono. 1984. Pemberontakan Petani Banten 1888. Jakarta: Pustaka

Jaya.

Kartodihardjo, Hariadi, 2003. “Devolusi dan Undang-Undang Kehutanan Baru

Indonesia” dalam Ida Aju Prandja Resosudarmo dan Carol J.P. Colfer, 2003.

Kemana Harus Melangkah. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Kartodiharjo, Hariadi dan Hira Jhamtani, 2006, Politik Lingkungan dan

Kekuasaan Di Indonesia. Jakarta: Equinox Publisihing.

Kato, Goto A, 2003. Studies on Environment Changes and Sustainable

Development. Water Quality Model of Cidanau Watershed, Indonesia, for

Watershed Management Planning. Proceeding of the 2nd Seminar on

Toward Harmonization Between Development and Environmental

Conservation in Biological Production. The University of Tokyo; Feb. 15-

16 2003.

Kenneth Young & R Tanter. Politik Kelas Menengah Indonesia. Jakarta: LP3ES.

Keraf, Sonny,1996. Pasar Bebas, Keadilan dan Peran Pemerintah. Yogyakarta:

Kanisius.

Kompas, 2010. “Kesalehan Sosial Bangkrut” Harian Kompas, 10 agustus 2010.

Koentjaraningrat, 1986. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru.

Koentjaraningrat, 1985. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian

Rakyat. Publisihing.

Korten, David, C. 1988. “LSM Generasi Keempat: Fasilitator Gerakan

Kemasyarakatan”, Prisma XVII, no. 4.

Laksano, Paschalis, 2002. ”Tanpa Tanah, Budaya Nir Papan, Antropologi Antah

Berantah”, dalam Lounela, Anu dan R Yando Zakaria (eds), 2002. Berebut

Tanah Beberapa Kajian Perspektif Kampus dan Kampung. Yogyakarta:

Insist Press dan Karsa.

Landsberger, Henry, 1984. Pergolakan Petani dan Perubahan Sosial. Jakarta:

Rajawali Press

Lee, Nancy Peluso, 2006. Hutan Kaya, Rakyat Melarat: Penguasaan Sumber Daya

dan Perlawanan Rakyat. Yogyakarta: Insist Press.

Liddle, R William, 1988. “Politics and Culture in Indonesia”. Center for Political

Studies for Social Research” The Uuniversity of Michigan.

Page 204: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

188

Little, Andrian 2000. New Political Economy. Vol.5/1.

Locke, John, 1988. Two Treatises of Government. Cambridge: Cambridge

University Press.

Lubis, Akhyar, (2004). Metode Hermeneutika dan Penerapannya pada Ilmu

Sosial, Budaya dan Humaniora. PPS UI, Jakarta.

Lubis, Akhyar, 2004. Paradigma Baru dan Persoalan Metodologi Ilmu Sosial-

Humaniora dan Budaya Pada Era Postmodern. Jakarta: PPS UI.

Lync, Owen and Harwell, Emily, 2002. Whose Natural Resource ? Whose

Common Good? Towards a New Paradigm of Environmental Justice and

the National Interest in Indonesia. Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi

Masyarakat (ELSAM).

Mamar, Sulaeman, “Sistem Pengetahuan dan Teknologi Suku Wana di Sulawesi

Tengah” dalam Kusnaka Adimihardja (ed.), 1999. Petani Merajut Tradisi

Era Globalisasi. Bandung: Humaniora Utama Press.

Marzali, Amri. 1992. The Urang Sisi of West Java: A Study of Peasants:

Responses to Population Pressure”. Boston University.

Matew, Miles dan Michael, Hubermne, 1992. Analisis Data Kualitatif. Jakarta: UI

Press.

Meer, van der, 1989. The Ecology Intercropping. Cambridge: Cambridge

University Press.

Muhammad, Chalid, 2007. “Indonesia Sebentar Lagi” Makalah Seminar, Forum

Wacana Pascasarjana, IPB, 8 September 2007.

Muhammad, Chalid, “Drama Haru SBY”, Harian Kompas, 30 Oktober 2010.

Murray Li, Tania, “Keterpinggiran, Kekuasaan dan Produksi: Analisis Terhadap

Transformasi Daerah Pedalaman”, dalam Tania Murray Li (peny.), 2002.

Proses Transformasi Daerah Pedalaman di Indonesia. Jakarta: Yayasan

Obor Indonesia.

Nasikun.1999. “Reformasi, Jalan Berliku Menuju Transisi Demokrasi” dalam

Mahfud MD. Editor: Kritik Sosial Dalam Wacana Pembangunan.

Yogyakarta: UII Press.

Netting, Robert, 1993. Smallholders, Householder: Farm Families and the

Ecology of Intensive, Sustainable Agriculture. California: Stanford

University Press.

North, D.C. (1990). Institutions, Institutional Change and Economic Performance.

Cambridge: Cambridge University Press.

Nurrachman, Nani, 2004. Keadilan dalam Perspektif Psiko Sosial” dalam

Kompas, Keadilan Sosial: Upaya Mencari Makna Kesejahteraan Bersama di

Indonesia. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.

Nygren, 1999. “Indigenous Knowledge in Environment Development Discourse:

From Dichotomies to Situated Knowledge” dalam Crtique of Antropology

Vol. 19No. 3 1999

Page 205: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

189

Ostrom E, Gardner, R and Walker,J, 1994. Rules, Games and Common Pool

Resources. University of Michigan Press, An Arbor, MI.

Pambudi, Rachmat . “Hak dan Kewajiban Atas Pangan”, Harian Kompas, 15

Oktober 2010.

Parlindungan, A.P.1991. Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria.

Bandung Alumni.

Parlindungan,A.P. 1990. Land Reform di Indoensia. Bandung: Alumni.

Petras, James dan Veltmeyer, 2002. Imperialisme Abad 21. Yogyakarta: Kreasi

Wacana.

Pofenberger, Mar, 1990. “The Evolulution of Forest Management System in

Southeast Asia” in. Poffenberger, Mar (ed), Keeper of The Forest: Land

Management Alternatives in Southeast Asia. Connecticut: Kumarian Press.

Polanyi, Karl, 1998.“Perkembangan Ekonomi Pasar” dalam Hans Dieter Evers,

1998. Teori Masyarakat: Proses Peradaban Dalam Sistem Dunia Moderen.

Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Prasetyo, Budi, “Perubahan Penutupan/Penggunaan Lahan, Degradasi Lahan dan

Upaya Penanggulangannya: Studi Kasus di Daerah Aliran Sungai Citanduy”

dalam Arya Hadi Dharmawan (peny.), 2005. Pembaharuan Tata

Pemerintahan Lingkungan: Menciptakan Ruang Kemitaran Negara-

Masyarakat Sipil-Swasta. Bogor, PSP3 dan Partnership For Governance

Reform In Indonesia, UNDP.

Prijono, Onny, “Peran Organisasi Nirlaba, Lembaga Pengembangan Swadaya

Masyarakat dan Lembaga Swadaya Masyarakat serta Pola Interaksi dengan

Pemerintah” dalam Bantarto Bandono, et.al. 1995. Refleksi Setengah Abad

Kemerdekaan Indoensia. Jakrta: CSIS.

Proyono, Herry B.2003. “Bangsa Dalam Tegangan Lokal Global” dalam Jurnal

Filsafat dan Teologi. STF Driyarkara, Diskursus, Vol.: 2 Oktober 2003.

Puspitojati, Triyono, 2008. Preferensi Pemangku Kepentingan Dalam Pengelolaan

Hutan Produksi: Studi Kasus Pengolahan Hutan Produksi di KPH Bogor”.

Bogor: Sekolah Pascasarjana, IPB.

Ramirez, Ricardo, ”Memahami Pendekatan-Pendekatan Kolaborasi: Usaha

Mengakomodasi Kepentingan Multi Stakeholder” dalam Suporahardjo,

(editor), 2005. Manajemen Kolaborasi: Memahami Pluralisme Membangun

Konsensus. Bogor: Pustaka Latin.

Rekonvasi Bumi, 2007. Uji Coba Konsep Pembayaran Jasa Lingkungan di DAS

Cidanau Propinsi Banten. Serang: Rekonvasi Bumi.

Redfield, Robert, 1982. Masyarakat Petani dan Kebudayaan. Jakarta: Rajawali.

Rek Rozari, M Balantaram, 1994, “Perkiraan Musim Tradisional”. Buletin

Meterologi Pertanian Indonesia Vol. 11 No. 1 dan 2. Bogor: PP PERHIMPI.

Rekonvasi Bumi, 2003. Laporan Hasil Perjalanan Observasi Rawa Danau tahun

2003 oleh Kelompok Swadaya Masyarakat. Serang: Rekonvasi Bumi

Page 206: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

190

Ritzer, George & Goodman Douglas J, 2004. Teori Sosiologi Modern. Jakarta:

Prenada Media.

Robert J, 2004. Environmental Policy. Routledge Introduction to Environment

Series. Routledge. London and New York.

Roe, E. 1991. Development Narratives or Making the Best of Blueprint

Development. World Development 19 (4).

Rosemarie. Tong,1998. Feminist Thought. Westview Press.

Salim, 2004. Dasar-Dasar Hukum Kehutanan. Jakarta: Sinar Grafika.

Sandra, Moniaga, (2004). The National Park is Their Homelands: Study of

Reconciliation Possibilities of the Conflicting Laws on Land Tenure System

in Lebak District of the Banten Province, Indonesia.

Santoso, Hery. 2006. Perlawanan Di Simpang Jalan: Konteks Harian di Desa-

Desa Sekitar Hutan. Yogyakarta: Penerbit Damar.

Schiller, J., 2003. “Indonesia Tahun 1999: Hidup Tanpa Kepastian,” dalam Jalan

Terjal Reformasi Lokal: Dinamika Politik di Indonesia. Yogyakarta:

Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.

Schiller, J., 1996. Developing Jepara: State and Society in New Order Indonesia.

Clayton: Monash Asia Institute.

Schmidt, A. 1987. Property, Power, and an Inquiry Into Law and Economic. New

York Praeger.

Schrieke, B.J.O. 1973. Pergolakan Agama di Sumatera Barat, Sebuah Sumbangan

Bibliografi. Jakarta: Bhratara.

Setiawan, Ogi dan Ryke Nandini, “Kuantifikasi Jasa Hutan Lindung Sebagai

Pengatur Tata Air di Daerah Aliran Sungai (DAS) Palu” dalam Jurnal

Penelitian Hutan dan Konservasi Alam Vol. III No.3 Tahun 2006,

Scot, Richard, W. 2008. Institutions and Organizations, Idea and Interest. Los

Angeles: Sage Publications.

Scott, James, 1989. Moral Ekonomi Petani: Pergolakan dan Subsistensi di Asia

Tenggara. Jakarta: LP3ES.

Sillitoe, Paul, 1998. “The Development of Indigenous Knowledge: A New

Applied Anthropology” Current Anthropology, Vol. 39, No. 2, 1998.

Simon, H. 1999. Pengelolaan Hutan Bersama Rakyat: Teori dan Aplikasi pada

Hutan Jati di Jawa. Yogyakarta: Bigraf Publishing.

Shanin. Teodor, 1990. Defining Peasant: Essay Concerning Rural Societies,

Exppolary Economy and Learning from them in The Contemporary World.

Cambridge: Basil Blackwell.

Siregar, Budi Baik, 2004. “Modal Sosial Komunitas Perladangan (Kasus

Komunitas Kanarakan, Kecamatan Bukit Batum Kota Palangkaraya,

Propinsi Kalimantan Tengah”). Bogor: Thesis, Pascasarjana IPB.

Page 207: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

191

Smith, Theodor, (1982) “Kepala Desa: Pelopor Pembaharuan?” dalam

Koentjaraningrat (ed). Masalah-Masalah Pembangunan, Bunga Rampai

Antropologi Terapan. Jakarta: LP3ES

Smith, T Lyn and Zopf, Paul. 1970. Principles of Inductive Rural Sociology,

Philadelphia: Davis Company.

Sobhan, R. 1993. Agraria Reform and Social Transformation: Precondition for

Development. London: Zed Books Ltd.

Soedjoto, Herwasono, “Masyarakat Dayak: Peladang Berpindah dan Pelestari

Plasma Nutfah”, dalam Kusnaka Adimihardja (ed.), 1999. Petani Merajut

Tradisi Era Globalisasi. Bandung: Humaniora Utama Press.

Soeriatmadja, R.E,Whitten, T, R.E. & S.A. Afif, 1999. Ekologi Jawa dan Bali.

Jakarta: Prehallindo.

Soekanto, Soerjono. 1990. Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta, Rajawali.

Soetiknyo, Iman. 1990. Poliik Agraria Nasional: Hubungan Manusia Dengan

Tanah Berdasarkan Pancasila. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Soetrisno, Loekman, 1995. Menuju Masyarakat Partisipatif. Yogyakarta:

Kanisius.

Stepan, Alfred, 1979. The State and Civil Society: Peru in Coorporative

Perspective. Princeton: Princeton Univertrty Press.

Sunderlin. 2003. Forests and Poverty Alleviation. In: FAO. State of the World‘s

Forests 2003. Rome, Italy, FAO. 61-73. http://www.fao.org. at October

11.2009.

Suradisastra, Kedi, 2006. Revitalisasi Kelembagaan Untuk Percepatan

Pembangunan Sektor Pertanian Dalam Otonomi Daerah. Bogor: Balitbang

Kementerian Pertanian.

Suwardi, Herman, 1978. “Respon Masyarakat Desa Terhadap Modernitas di

Bidang Produksi Pertanian di Jawa Barat”. Yogyakarta: Gadjah Mada

University Press.

Swedberg, 1994. Markets as Social Structures. New Jersey: Princeton University

Press.

Sylvian, Richard, dan David Bennet, 1994. The Greening of Ethics. Cambridge:

The White House Press

Taylor, John, G, 1989. From Modernization To Modes of Production. London:

The Macmillan Pres LTD.

Thorns, David & Willmott, Bill. 1983. “Class, Locality and Family: Bases of

Communion in a Locality”. In Crow, Graham (Ed.). 1986. The Sociology of

Rural Communities. Vol. II. US: Edward Elgar Publishing Company.

Tjondronegoro, Sediono M.P. 2001. “Pengelolaan Sumberdaya Agraria:

Kelembagaan dan Reforma Agraria” dalam Jurnal Analisis Sosial, Vol.6

No.2 Juli 2001.

Page 208: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

192

Tjondronegoro, Sediono MP dan Gunawan Wiradi, ”Menelusuri Pengertian Istilah

”Agraria”, Jurnal Analisis Sosial, Vol.9, No.1 April 2004.

Tjondronegoro, Sediono M.P, 1984. “Gejala Organisasi dan Pembangunan

Berencana Dalam Masyarakat Pedesaan di Jawa.” Dalam Koentjaraningrat

(peny.). Masalah-Masalah Pembangunan Bunga Rampai Antropologi

Terapan. Jakarta: LP3ES.

Tony, Fredian, 2004. Perspektif Kelembagaan Dalam Pengelolaan Daerah Aliran

Sungai Citanduy: Studi Desentralisasi Pengelolaan dan Sistem Tata

Pemerintahan Sumberdaya Alam. Bogor: Pusat Studi Pembangunan IPB

Bekerjasama dengan Partnership for Governance Reform in Indonesia

UNDP.

Torpey, J., 1998. ‘Coming and Going on the State Monopolization of the

Legitimate ‘Means of Movement,” Sociological Theory: A Journal of the

American Sociological Association , XVI, No.3.

Tunner, Bryan. 2002. Orientalisme, Posmodernisme dan Globalisasi. Jakarta:

Piora Cipta.

Turner, Jonathan, 1998. The Structure of Sociological Theory. First Edition,

Wadsworth Publishing Company.

UNDP,1997. Reconceptualising Governance. New York: UNDP.

Uphoff, Norman, 1986. Local Institutional Development: An Analytical

Sourcebook With Cases. Conecticut, Kumarian Press.

Wahono, Francis, 1999. “Revolusi Hijau: Dari Perangkap Involusi ke Perangkap

Globalisasi”. Jurnal Wacana. No.IV, 1999.

Warnen, Suwarsih. 1985 Pandangan Hidup Orang Sunda. Bagian Proyek

Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda. Jakarta: Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan

Weber, Max, 1968. Economy and Society on Outline of Interpretative Sociology.

New York: Bedminster Press.

Weber, Max. 1964. The Theory of Social and Economic Organization. New York:

The Free Press

White, Ben, “Inti dan Plasma: Pertanian Kontrak dan Pelaksanaan Kekuasaan di

Dataran Tinggi Jawa Barat” dalam Tania Murray Li (peny.), 2002. Proses

Transformasi Daerah Pedalaman di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor

Indonesia.

Wignjodipuro, Surjo, 1983. Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat. Jakarta:

Gunung Agung

Wiradi, Gunawan, 2000. Reforma Agraria: Perjalanan yang Belum Berakhir.

Yogyakarta: Insist Press, KPA dan Pustaka Pelajar.

Wiradi, Gunawan, 1991. “Reforma Agraria: Masalah dan Relevansinya dengan

Pembangunan Jangka Panjang: Suatu Pandangan ke Depan.” Sekreariat

Bina Desa.

Page 209: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

193

Wiradi, Gunawan, 2001. ”Reforma Agraria Tuntutan Bagi Pemenuhan Hak-Hak

Azasi Manusia”, Jurnal Analisis Sosial, Vol. 6. No. 2.

Wiradi, Gunawan, 2001. “Kedudukan UUPA 1960 dan Pengelolaan Sumberdaya

Agraria di Tengah Kapitalisasi Negara (Politik Kebijakan Hukum Agraria

Melanggengkan Ketidakadilan). Jurnal Analisis Sosial Vo. 6. No.2.

Wiradi, Gunawan, 1993. “Kebijakan Agraria, Modal Besar dan Kasus-Kasus

Sengketa Tanah.” Makalah pada Lokakarya Antar Wilayah Advokasi

Kasus-Kasus Tanah.

Wittemer, Heidi dan Regina Bitmer, 2005. Between Conservationsm, Eco-

Populism and Developmentalism: Discurse in Biodiversity Policy in

Thailand and Indonesia. CAPRI Working Paper No. 37. Washington DC,

International Food Policy Research Institute.

Wolf, Eric, 1985. Petani: Suatu Tinjauan Antropologis. Jakarta CV Rajawali.

Woolcock, M and Narayan, D. 2000. Social Capital: Implications for

Developments Theory, Research and Policy. The World Bank Research

Observer, vol. 15, No. 2 August.

Wulandari, Christian, 2005. “Tingkatan Penerimaan Sosial Masyarakat Sekitar

Hutan Dalam Mengadopsi Agroforestry di Lahan Pekarangan” dalam Jurnal

Hutan Rakyat Vol. VII No.1 Tahun 2005.

Yin, R, (1996). Studi Kasus: Desain dan Metode. Radja Grafindo Persada, Jakarta

Yoshihara, Kunio, 1990. Kapitalisme Semu di Asia Tenggara. Jakarta: LP3ES.

Yoshoda, Goto AK, T Shimizu, Y Purwanto, 2001. Investigation on Hydraulic

Water Balance for Integrated Watershed Management Planning in Cidanau

River Basin, West Java. Proceeding of the 1st Seminar Toward

Harmonization Between Development and Environmental Conservation in

Biological Production. Graduate School of Agricultural and Life Sciences;

The University of Tokyo; Feb 21-23.

Young, Dennis R. 2000. “Alternative Model of Government-Nonprofit Sector

Relations: Theoritical and International Perspectives” in Nonprofit and

Voluntary Sector Quarterly, vol 29, No. 1 March 2000.

Young, Kenneth & R Tanter. Politik Kelas Menengah Indonesia. Jakarta: LP3ES.

Wolf, Eric,1985. Petani: Suatu Tinjauan Antropologis. Jakarta CV Rajawali.

Zakaria, Yando, “Pembangunan Yang Melumpuhkan: Pelajaran dari Kepulauan

Mentawai” dalam Stepanus Djuweng, Yando Zakaria dkk, 1996. Kisah

Dari Kampung Halaman: Masyarakat Suku, Agama Resmi dan

Pembangunan”. Yogyakarta: Interfidei.

Page 210: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

194

LAMPIRAN

Page 211: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

195

Lampiran 1.a

Tabel 1.a. Habitus Pepohonan, Cara Penggunaan dan Kegunaannya

No Nama Lokal Nama Ilmiah Bagian Yang Dimanfatkan dan

Cara Penggunannya

Kegunaannya/Obat

1 Jeunjing Albizia Falcata Back Kulit batang/ditumbuk, tempel Gatal

2 Kitoke Albizia Tomenntella * Kulit batang/ditumbuk, dibalur Patah tulang

3 Muncang Aleuritas Moluccana Batang/kerik dan tempel Sakit gigi

4 Lame Alstonia Scholaris Kulit batang/rebus, minum Penambah stamina

5 Lampeni Ardisia Humilis Daun, buah/ tumbuk, balur Kadas Cacingan

6 Teureup Artocarpus Elstica Kulit batang/kunyah, tempel Radang

7 Nangka Artocarpus Heterophyllus Daun/rebus, minum Sakit panas

8 Awi Koneng Bambusa Vulgaris Batang muda/rebus, makan Sakit kuning

9 Cangkore Dinochloa Scandens * Batang/tuak, tetes Mata merah

10 Kimerak Diospyros Buxifolia Batang/tuak minum Demam

11 Andul Elaeocarpus Obtusa Kulit Batang/tumbuk, balur Borok

12 Beunying Ficus Fistulosa Kulit Batang/kerik, tempel Sakit pnggang

13 Bisoro Ficus Hispida Batang/kerik, tempel Bisul

14 Kondang Ficus Variegata Batang/tuak, minum Sakit perut

15 Awi Apus Gigantochoa Apus Daun/tumbuk, minum Keracunan makanan

No Nama Lokal Nama Ilmiah Bagian Yang Dimanfatkan dan

Cara Penggunannya

Kegunaannya/Obat

16 Garu Gonystillus Macrophylus* Buah/peras, balur Koreng

17 Pisitan Lansium Domesticum Kulit Batang/rebus, minum Mencret

18 Bintinu Melochia Umbellata Batang/tuak, tetes Mata merah

19 Cangkudu Morinda Citrifolia Daun/rebus, minum Tambah stamina, sesak

nafas

20 Tundun Nephelium Lappaceum Daun/rebus, minum Sakit panas

21 Kisabrang Preronema Canescens Daun/rebus, minum Menghentikan pendarahan

22 Jambu Batu Psidium Guajava Pucuk daun/remas, minum Mencret

23 Angsana Pterocarpus Indicus Getah batang/tetes Sakit gigi

24 Kacapi Sandoricum Koetjape Daun/rebus, minum Sakit panas

25 Sangkar Badak Voacanga Grandifolia * Daun/tumbuk, balur Lebam

Sumber: Diolah dari dari Hasil Wawancara dengan Informan Kunci

Page 212: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

196

Lampiran 1.b.

Tabel 1.b. Habitus Herba, Cara Penggunaan dan Kegunaanya

No Nama Lokal Nama Ilmiah Bagian Yang Dimanfatkan dan

Cara Penggunannya

Kegunaannya/Obat

1 Parahulu Amomum Oculeatum Getah batang, diperas, dibalur Kepala pening

2 Sariawan Begonia Isoptera Batang, tuak, minum Sariawan

3 Kanyere Bridelia Monoica Kulit batang, direbus, minum Mencret

4 Laja Goah Catimbium Malaccensis Rimpang, ditumbuk, minum Sakit perut

5 Taleus Colocasia Esculenta Kulit umbi, dililitkan Luka benda tajam

6 Pacing Costus Speciousus Rimpang, dikikid, tempel Sakit perut, gigitan ular

7 Kumis Kucing Orthosispon Spicatus Daun, direbus, diminum Sakit kencing

8 Koneng Beurang Curcuma Domestica Rimpang, ditumbuk, minum Sakit perut

9 Jonge Emilia Sonchifolia Daun, ditumbuk, tetes Sakit kepala Sebelah

10 Cau Galek Musa Paradisiaca Akar, dituak, minum Batuk

11 Ciriwuh Schismatoglottis Calyptrata Daun, akar, direbus, minum Mencret

12 Ilat Scleria Purpuscens Batang, dituak, minum Susah kencing

Sumber: Diolah dari dari Hasil Wawancara dengan Informan Kunci

Page 213: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

197

Lampiran 1.c.

Tabel 1.c. Habitus Perdu dan Semak Cara Penggunaan dan Kegunaanya

No Nama Lokal Nama Ilmiah Bagian Yang Dimanfatkan dan

Cara Penggunannya

Kegunaannya/Obat

No Nama Lokal Nama Ilmiah Bagian Yang Dimanfatkan Kegunaannya/Obat

1 Perdu

Kiajag Ardisia Fuliginosa Getah batang/tetes Borok

Katepeng Cassia Alata Daun/tumbuk, balur Panu

Jenuk Nipis Citrus Aurantifolia Buah/peras, minum Batuk

Harendong Melastoma Polyanthum Daun/ dikunyah,makan Mencret

2 Semak

Babakoan Calotropis Gigantea Getah batang, tetes Bisul

Heuras Tulang Chlorantus Officialis Daun/rebus, minum Penambah stamina

Keji Beling Clerodendron Calamitosum Daun/rebus,minum Sakit kencing

Singgugu Clerodenron Serratum Daun/rebus, minum Penambah stamina

Amis Mata Ficus Septica Batang/kerik, tempel Bisul

Salak Salacca Edulis Daun/rebus, minum Sakit panas

Pungpurutan Triumfetta Bartamia Daun/tumbuk, tempel Sakit kepala/pening

Page 214: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

198

Lampiran 1.d.

Tabel 1.d. Seratus Sifat Positif Untuk Membangun Kebersamaan

1 Saling Terbuka 51 Saling Tegang Rasa

2 Saling Percaya 52 Saling Mengasihi

3 Saling Menguntunglan 53 Saling Mengangkat

4 Saling Membutuhkan 54 Saling Tukar pengalaman

5 Saling Memaafkan 55 Saling Memaklumi

6 Saling Menghormati 56 Saling Memikiran

7 Saling Menghargai 57 Saling Menyemangati

8 Saling Memberi 58 Saling Memuji

9 Saling Membangun 59 Saling Menunjang

10 Saling Menolong 60 Saling Mentraktir

11 Saling Mengingatkan 61 Saling Jujur

12 Saling Membela 62 Saling Berbagi Rasa

13 Saling Menegur 63 Saling Memotivasi

14 Saling Menyabarkan 64 Saling Adil

15 Saling Mematuhi 65 Saling Bertanggungjawab

16 Saling Merindukan 66 Saling Mengalah

17 Saling Menasehati 67 Saling Setia

18 Saling Memperbaiki 68 Saling Mengabdi

19 Saling Mengisi 69 Saling Mendorong

20 Saling Melindungi 70 Saling Mnyelamati

21 Saling Membantu 71 Saling Mengimbangi

22 Saling Mendoakan 72 Saling Bersimpati

23 Saling Menyayangi 73 Saling Menitip

24 Saling Mencintai 74 Saling Berbagi kasih

25 Saling Mengunjungi 75 Saling Merestui

26 Saling Mengoreksi 76 Saling Beradaptasi

27 Saling Menghibur 77 Saling Asah

28 Saling Mendukung 78 Saling Asih

29 Saling Pengertian 79 Saling Asuh

30 Saling Menerima 80 Saling Bekerjasama

31 Saling Mengawasi 81 Saling Mengayomi

32 Saling Menjaga 82 Saling Memberdayakan

33 Saling Menyempurnakan 83 Saling Mmperhatikan

34 Saling Memahami 84 Saling Berjabat tangan

35 Saling Memajukan 85 Saling Berlapang dada

36 Saling Merasakan 86 Saling Meluruskan

37 Saling Mendengarkan 87 Saling Berdiskusi

38 Saling Meyakinkan 88 Saling Merangkul

39 Saling Silaturahmi 89 Saling Menyapa

40 Saling Membina 90 Saling Menginformasikan

41 Saling Memelihara 91 Saling Menyontoh

42 Saling Melengekapi 92 Saling Musyawarah

43 Saling Menghimbau 93 Saling Menyefakati

44 Saling Mengikhlaskan 94 Saling Mengajari

45 Saling Menguatkan 95 Saling Berterus Trang

46 Saling Membimbing 96 Saling Menyantuni

47 Saling Mentaati 97 Saling Berkomunikasi

48 Saling Merelakan 98 Saling Menerangkan

49 Saling Menahan diri 99 Saling Menyadari

Page 215: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

199

50 Saling Membahagiakan 100 Saling Meniru

Lampiran 1.e.

Tabel 1.e. Seratus Sifat Negatif Yang Menghancurkan Kebersamaan

1 Saling mencurigai 51 Saling cemburu

2 Saling membenci 52 Saling mempersulit

3 Saling menfitnah 53 Saling memperdayakan

4 Saling dengki 54 Saling berdiam diri

5 Saling menghina 55 Saling meremehkan

6 Saling menjegal 56 Saling mendahului

7 Saling menyakiti 57 Saling mencuri

8 Saling iri 58 Saling menginjak

9 Saling menendang 59 Saling mengabaikan

10 Saling merugikan 50 Saling mecemoohkan

11 Saling menuduh 61 Saling melapiaskan

12 Saling menghianati 62 Saling membinasakan

13 Saling menjatuhkan 63 Saling mentertawalan

14 Saling merusak 64 Saling membunuh

15 Saling mencela 65 Saling menyiksa

16 Saling menyalahkan 66 Saling mangkir

17 Saling unjuk rasa 67 Saling mendobrak

18 Saling mendongkel 68 Saling mengejek

19 Saling membantah 69 Saling menandingi

20 Saling menghasut 70 Saling mencaci

21 Saling membohongi 71 Saling merampok

22 Saling memojokkan 72 Saling menghalangi

23 Saling melemahkan 73 Saling melupakan

24 Saling mengalahkan 74 Saling berdusata

25 Saling mempersulit 75 Saling mempermainkan

26 Saling mengusir 76 Saling menolak

27 Saling menyepelekan 77 Saling melabrak

28 Saling mengadu domba 78 Saling mempersalahkan

29 Saling mencerca 79 Saling menyaingi

30 Saling mengganggu 80 Saling menutup diri

31 Saling melanggar 81 Saling merampas

32 Saling meruntuhkan 82 Saling

mengkambinghitamkan

33 Saling mejelekkan 83 Saling menggeser

34 Saling menuding 84 Saling mendiamkan

35 Saling mengancam 85 Saling merintangi

36 Saling melecehkan 86 Saling menunggu

37 Saling meresahkan 87 Saling membatasi

38 Saling berprasangka 88 Saling mematahkan

39 Saling merongrong 89 Saling acuh

40 Saling mengingkari 90 Saling menyudutkan

41 Saling menipu 91 Saling marah

42 Saling menuntut 92 Saling menggusur

43 Saling menjerumuskan 93 Saling menguasai

44 Saling memeras 94 Saling meragukan

45 Saling berselingkuh 95 Saling mendamprat

Page 216: repository.ipb.ac.id · DAFTAR ISI PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi

200

46 Saling mengabaikan 96 Saling menyulut

47 Saling menghadang 97 Saling memanaskan

48 Saling menghancurkan 98 Saling manantang

49 Saling membangga 99 Saling bermusuhan

50 Saling membingungkan 100 Saling menindas