MEMBANGUN PUSAT STUDI YANG TRANSFORMATIF Charles ...

13
MEMBANGUN PUSAT STUDI YANG TRANSFORMATIF Charles Simabura Peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) FH Universitas Andalas Mencerdaskan kehidupan bangsa dan Memajukan kesejahteraan umum. Kutipan dari pembukaan UUD NRI tahun 1945 tersebut mengamanatkan tugas utama bangsa Indonesia adalah membangun pendidikan guna mewujudkan kesejahteraan bangsa. Sejalan dengan cita-cita bangsa maka sulit kiranya mewujudkan kesejahteraan tanpa kualitas pendidikan yang baik. Sayangnya semua itu akan menjadi hancur manakala sebuah Negara terkungkung dalam jerat korupsi yang sangat akut. Fakta membuktikan begitu banyak kegagalan pencapaian tujuan negara akibat korupsi. Perlawanan terhadap korupsi sama tuanya dengan perlawanan terhadap kejahatan pada umumnya. Perlawanan publik terhadap korupsi telah menjadi gerakan semesta di Indonesia. Gerakan melawan korupsi terus mengikuti penyebaran virus korupsi itu sendiri. Dalam konteks Indonesia gerakan melawan korupsi setidaknya telah dimulai dari awal kemerdekaan. Hal ini ditandai dengan munculnya beberapa institusi yang dibentuk untuk memberantas korupsi. Institusi dimaksud antara lain : 1 a. Masa Orde Lama : Badan Koordinasi Penilik Harta Benda, Badan Pengawas Kegiatan Aparatur Negara, Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran I, II (Operasi Budi), Komando Retooling Aparatur Revolusi (Kotrar); b. Masa Orde Baru : Tim Pemberantas Korupsi (1967), Komisi 4, Operasi Penertiban, Tim Pemberantasan Korupsi (1982); c. Era Reformasi : Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi. Kehadiran lembaga dimaksud secara silih berganti menunjukkan upaya bangsa ini melawan korupsi tak pernah kenal lelah. Pasang surut perlawanan terhadap korupsi mengikuti pasang surut rezim yang berkuasa di republik ini. 1 Dirangkum dari Deny Indrayana, Jangan Bunuh KPK, Intrans Publishing, ICW, PuKAT FH UGM, 2016, h. 1-40

Transcript of MEMBANGUN PUSAT STUDI YANG TRANSFORMATIF Charles ...

MEMBANGUN PUSAT STUDI YANG TRANSFORMATIF

Charles Simabura

Peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) FH Universitas Andalas

Mencerdaskan kehidupan bangsa dan

Memajukan kesejahteraan umum.

Kutipan dari pembukaan UUD NRI tahun 1945 tersebut mengamanatkan

tugas utama bangsa Indonesia adalah membangun pendidikan guna

mewujudkan kesejahteraan bangsa. Sejalan dengan cita-cita bangsa maka sulit

kiranya mewujudkan kesejahteraan tanpa kualitas pendidikan yang baik.

Sayangnya semua itu akan menjadi hancur manakala sebuah Negara

terkungkung dalam jerat korupsi yang sangat akut. Fakta membuktikan begitu

banyak kegagalan pencapaian tujuan negara akibat korupsi.

Perlawanan terhadap korupsi sama tuanya dengan perlawanan terhadap

kejahatan pada umumnya. Perlawanan publik terhadap korupsi telah menjadi

gerakan semesta di Indonesia. Gerakan melawan korupsi terus mengikuti

penyebaran virus korupsi itu sendiri. Dalam konteks Indonesia gerakan

melawan korupsi setidaknya telah dimulai dari awal kemerdekaan. Hal ini

ditandai dengan munculnya beberapa institusi yang dibentuk untuk

memberantas korupsi. Institusi dimaksud antara lain :1

a. Masa Orde Lama : Badan Koordinasi Penilik Harta Benda, Badan

Pengawas Kegiatan Aparatur Negara, Panitia Retooling Aparatur

Negara (Paran I, II (Operasi Budi), Komando Retooling Aparatur

Revolusi (Kotrar);

b. Masa Orde Baru : Tim Pemberantas Korupsi (1967), Komisi 4, Operasi

Penertiban, Tim Pemberantasan Korupsi (1982);

c. Era Reformasi : Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,

Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Komisi

Pemberantasan Korupsi.

Kehadiran lembaga dimaksud secara silih berganti menunjukkan upaya

bangsa ini melawan korupsi tak pernah kenal lelah. Pasang surut perlawanan

terhadap korupsi mengikuti pasang surut rezim yang berkuasa di republik ini.

1 Dirangkum dari Deny Indrayana, Jangan Bunuh KPK, Intrans Publishing, ICW, PuKAT FH UGM, 2016,

h. 1-40

Hidup matinya lembaga anti korupsi hampir selalu dikarenakan perlawanan dari

para koruptor pada masing-masing rezim. Setidaknya terdapat beberapa modus

serangan balik dari koruptor yang meliputi :2 1) pelemahan dengan membentuk

badan baru yang bertujuan melemahkan lembaga sebelumnya, 2) dibubarkan

secara resmi sebagai lembaga anti korupsi, 3) tidak ada pembubaran namun

perannya terus dikurangi, 4) pelemahan dengan upaya pembatalan dasar hukum

pembentukannya.

Meskipun demikian upaya untuk terus melawan gerakan pelemahan

pemberantasan korupsi selalu digelorakan oleh berbagai kalangan. Tidak hanya

dari kaum terdidik, kelompok masyarakat di akar rumput pun aktif terlibat

mulai dari petani, nelayan, buruh, karyawan, sopir, para profesional, pengusaha,

pedagang dan para pekerja lainnya. Faktor pemicu kemarahan dan gerakan

perlawanan publik terhadap korupsi sangat mudah diidentifikasi. Ketidakpuasan

terhadap kualitas pelayanan publik berimplikasi pada menurunnya derajat

kesejahteraan. Mahalnya biaya pendidikan dan buruknya kualitas pendidikan

maupun kesehatan serta berbelitnya proses perizinan menjadi bukti bahwa

dampak korupsi dirasakan langsung oleh publik.

Mengingat begitu semrawut dan sistemiknya persoalan korupsi maka

diperlukan upaya luar biasa untuk menanggulanginya. Masyarakat yang terdidik

menjadi kunci utama dalam melakukan perlawanan terhadap korupsi. Untuk

memperkuat upaya dimaksud salah satunya sangat ditentukan oleh peran dunia

pendidikan. Begitu pentingnya peran dunia pendidikan dikarenakan disanalah

proses pembentukan kader bangsa yang jujur dan berintegritas. Kegagalan

melahirkan tenaga didik yang jujur dan berintegritas menjadi cikal bakal bagi

kegagalan membangun bangsa.

Pendidikan tinggi sebagai jenjang tertinggi dalam pendidikan formal di

Indonesia memiliki tridharma perguruan tinggi yang meliputi : pendidikan,

pengabdian masyarakat dan penelitian. Dalam konteks upaya pemberantasan

korupsi kalangan civitas akademika harus mampu mengkombinasikan ketiga

tridharma tersebut. Tridharma perguruan tinggi menghendaki kalangan civitas

akademika untuk aktif melakukan kajian dan penelitian baik secara personal

2 Ibid. h. 40

maupun melembaga dalam pusat-pusat kajian atau lembaga penelitian di

kampus ataupun di luar kampus.

Dalam bidang pendidikan kalangan civitas akademika tidak hanya

memberikan pengetahuan (tansfer of knowledge) namun juga mengajarkan nilai-

nilai keteladanan (transfer of value). Kewajiban ketiga adalah melakukan

pengabdian masyarakat artinya kalangan civitas akademika harus hadir bersama

masyarakat guna menyelesaikan segala persoalan yang muncul di tengah-tengah

masyarakat. Kampus tidak boleh menjadi menara gading ilmu pengetahuan di

tengah bobroknya kondisi Negara. Dalam konteks ini Tan Malaka (Madilog,

1948) pernah berujar guna mengingatkan kaum muda yang terdidik (dosen dan

mahasiswa) yang enggan hadir dalam kehidupan masyarakat :

Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah dan menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita yang sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali. Sejalan dengan ketiga dharma tersebut, kalangan civitas akademika harus

mampu mengimplementasikannya secara berimbang. Perguruan tinggi bukanlah

intitusi yang jauh dari realitas. Sejarah membuktikan betapa besar peran

kampus dengan obyektivitas dan moralitas keilmuannya sebagai pilar

peradaban bangsa. Kaum terpelajar telah membuktikan perannya dalam sejarah

pergerakan nasional terutama menginisiasi dan mengawal transisi demokrasi.

Bahkan, kehadiran kalangan kampus selalu menjadi penentu bagi

keberhasilan gerakan perubahan di Indonesia. Sejarah mencatat antara lain

gerakan aktivis kampus angkatan 1908, 1928, 1945, 1966, 1974, 1978, dan 1998

dalam perubahan rezim kekuasaan di Indonesia. Atas peran penting dimaksud

kadangkala memunculkan kekhawatiran bagi kekuasaan politik. Terbukti pada

tahun 1977/1978 Orde Baru melahirkan kebijakan Normalisasi Kehidupan

Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK).

Kebijakan tersebut menjauhkan kampus (khsusnya mahasiswa) dari

gerakan politik dan realitas kehidupan sosial masyarakat. Tertutupnya ruang

demokrasi dan jauhnya gerakan mahasiswa (kampus) dari rakyat

mengakibatkan frustasi yang meluas di tingkatan gerakan mahasiswa. Pada era

tersebut pusat studi yang dibentuk para akademisi justru berada dalam masa

“kegegelapan”. Akademisi menjadi salah satu pilar Orde Baru dalam melahirkan

kebijakan yang tak pro rakyat. Meskipun terdapat pusat studi yang konsisten

dengan idealisme keilmuan, sulit rasanya untuk hidup dan berkembang di masa

itu. Terjadilah gap antara pusat studi di kampus dengan gerakan sosial

kemasyarakatan.

Perlahan dan pasti diam-diam kalangan kritis di kampus membangun

kolaborasi dengan gerakan masyarakat sipil di luar kampus. Kelompok-

kelompok kritis bermunculan dan ini menjadi salah satu cikal bakal lahirnya

Lembaga Swadaya Masyarakat di Indonesia. 3 Tindakan Orde Baru yang

melupakan peran aktivis kampus dalam menggulingkan rezim sebelumnya

seakan menjadi karma. Orde Baru jelas tak menginginkan hal yang sama terjadi

padanya, sejarah justru kembali membuktikan bahwa kejatuhan rezim tersebut

kembali dimotori oleh kalangan aktivis kampus.

Dengan posisi akademiknya yang sangat strategis, kampus berperan

dalam membangun gerakan keilmuan dalam perbaikan kondisi sosial

kemasyarakatan. Di sisi lain sikap kritis kalangan civitas akademika dapat

menjadi ancaman bagi kelangsungan rezim penguasa. Sungguh peran yang

cukup dilematis.

Pada era sekarang gerakan keilmuan kampus mewujud salah satunya

melalui kehadiran pusat-pusat studi. Pusat studi hadir baik secara formal

terintegrasi dalam struktur universitas maupun secara informal yang mewujud

dalam forum kajian maupun diskusi lepas pada kelompok/komunitas kritis di

kampus. Maraknya kehadiran pusat studi tidak boleh mengulangi “dosa” masa

lalu dan sudah saatnya kembali kepada khitah sebagai bagian dari gerakan

perubahan sosial.

Dalam prespektif strukturalis kehadiran pusat studi memiliki dua

prespektif, pertama, sebagai bagian dari organ kampus dan kedua, representasi

kebebasan akademik. Mengawinkan kedua hal dimaksud agar sejalan

kadangkala tidaklah mudah. Sebagai bagian dari organ kampus tentu terikat

dengan standar organisai dan manajmen yang tertuang dalam peratuan internal

maupun peraturan perundang-undangan lainnya. Dalam kerangka kebebasan

3 HCB. Dharmawan, ,Lembaga Swadaya Masyarakat, Menyuarakan Nurani Menggapai Kesetaraan, Penerbit Kompas, 2004, h. 43

akademik pusat studi bebas untuk melakukan kajian dan segala hal yang berkait

dengan pengembangan keilmuan.

Dalam konteks mendukung upaya pemberantasan korupsi wujud nyata

peran perguruan tinggi salah satunya dilakukan melalui kerjasama dengan para

penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan, Mahkamah Agung, Komisi Yudisial,

Komisi Pemberantasan Korupsi) dan lembaga-lembaga sosial kemasayarakatn

lainnya. Pusat Studi Konstitusi (PUSaKo) sebagai bagian dari Universitas Andalas

baik langsung maupun tidak langsung telah menjalin kerjasama dengan KPK

sebagai wujud implementasi turunan dari Nota Kesepahaman/Memorandum of

Understanding (MoU) dengan 82 (delapan puluh dua) Perguruan Tinggi Negeri

dan Swasta di Indonesia.

Meskipun merupakan Pusat Studi yang lebih menitikberatkan pada kajian

konstitusi, PUSaKo terlibat aktif dalam kampanye gerakan anti korupsi.

Perwujudan kerjasama tersebut antara lain melalui keterlibatan dalam kegiatan

perekaman persidangan tipikor sebagai bentuk pengawasan dan mendorong

transparansi peradilan, melakukan kajian terkait tindak pidana korupsi maupun

eksaminasi/bedah kasus terhadap putusan peradilan.

Dalam bidang pencegahan korupsi antara lain PUSaKo juga terlibat dalam

Pendidikan Anti-korupsi/kurikulum anti-korupsi, penelitian, sosialisasi dan

partner beserta komponen masyarakat sipil lainnya dalam kampanye

antikorupsi. Khusus dalam bidang Penindakan, personel PUSaKo terlibat dalam

pemberian keterangan ahli di persidangan dan narasumber dalam hal pelatihan

penguatan institusi Komisi Pemberantasan Korupsi.

Dari pengalaman yang ada setidaknya terdapat beberapa poin penting

yang mempengaruhi pasang surutnya keberhasilan gerakan anti korupsi :

1. konsistensi lembaga dan personel pusat studi dalam memperjuangkan

gerakan anti korupsi;

2. komitmen untuk terus berada di garda terdepan dalam melawan upaya

pelemahan gerakan antikorupsi;

3. moralitas yang tinggi sehingga tak tergoda dengan iming-iming yang

dapat merusak kemurnian gerakan anti korupsi;

4. satu kata antara perbuatan dan perkataan, nilai-nilai anti korupsi menjadi

prinsip dasar dalam mengelola pusat studi.

Tantangan yang dihadapi gerakan anti korupsi kadangkala justru berasal

dari internal kampus sendiri. Tak jarang ketidakberpihakan terhadap gerakan

anti korupsi malah datang dari sesama kolega. Dengan berbagai prespektif,

delegitimasi atas gerakan anti korupsi menjadi paradox dengan kesepakatan-

kesepakatan yang telah dibuat kampus dengan banyak lembaga. Artinya

seringkali kesepakatan yang dibuat hanya menjadi aksesoris gerakan anti

korupsi tidak terimplementasi secara institusional apalagi personal.

Gerakan anti korupsi seringkali mendapat cibiran justru dari sesama

akademisi. Akibatnya, kampus muncul dengan dua wajah yang berbeda di

hadapan publik, sebagian aktif dalam gerakan anti korupsi sedangkan sebagian

lagi aktif melakukan pembelaan terhadap para koruptor. Robert Klitgard pernah

mengkritik keras pernyataan para sajana yang menyatakan bahwa korupsi itu

baik bagi negara-negara berkembang.4 Sehingga ada pemakluman secara sadar

terhadap maraknya korupsi yang terjadi di Negara berkembang termasuk

Indonesia.

Perbedaan sikap para akademisi yang kontra dengan gerakan “pembela

koruptor” secara langsung ataupun tidak telah ikut memperlemah gerakan

antikorupsi. Padahal, pembelahan sikap publik justru berawal dari terbelahnya

pendapat akademisi. Untuk itu ada baiknya pihak-pihak yang kontra terhadap

gerakan anti korupsi mengambil sikap diam. Orang bijak telah mengingatkan :

Jika tak ingin memperbaiki janganlah engkau ikut merusak. Pesan ini

menghendaki bagi siapapun yang tak ingin memperbaiki keadaan ada baiknya

diam dan jangan malah ikut menghancurkan gerakan anti korupsi.

Meskipun kebebasan akademik sebenarnya menghendaki keberpihakan

bagi gerakan anti korupsi sebagai hal utama namun diakui sulit mewujudkannya.

Pada titik tertentu “gerakan oposisi” yang muncul dari sesama akademisi harus

direspon posistif sebagai penyeimbang. Sebaik apapun sebuah gerakan secara

alamiah tetap membutuhkan oposan guna terus mengingatkan bahwa gerakan

ini tidaklah mudah. Perbedaan pendapat harus dijadikan sebagai alarm untuk

selalu berhati-hati. Dengan demikian konsistensi sikap gerakan dapat terus

dipertahankan.

4 Robert Klitgard, Membasmi Korupsi, Yayasan Obor Indonesia, 2001, h. 38

Dalam rangka menjaga konsistensi, penting kiranya pusat studi

menerapkan nilai-nilai bersama. Kebebasan berpendapat harus dijunjung tinggi

dan perbedaan pendapat menjadi suatu yang mutlak untuk dihargai. Saling

mengingatkan atas nilai-nilai dasar organisasi menjadi mekanisme kontrol

internal. Sikap tegas dan intoleran atas penyimpangan nilai-nilai bersama

menjadi kunci dalam menjaga konsistensi kelembagaan. Tak jarang sikapt

tersebut memunculkan konflik secara internal. Pada akhirnya pilihan untuk

bertahan atau meninggalkan gerakan antikorupsi menjadi sesuatu yang pahit

tetapi harus diterima. Tak jarang teman seperjuangan justru berpindah haluan

menjadi lawan terberat dalam gerakan anti korupsi.

Sekuat apapun gerakan yang sudah dibangun tetap saja memiliki

kelemahan. Hal ini seringkali menjadi senjata utama untuk melakukan serangan

balik bagi gerakan anti korupsi. Sehingga suka tidak suka, semakin keras

perjuangan melawan gerakan anti korupsi maka semakin kuat serangan balik

yang akan dihadapi. Kunci utama kembali kepada konsistensi. Di sisi lain sikap

hati-hati dalam mengelola pusat studi jangan sampai memunculkan sikap

paranoid. Jika ini terjadi maka serangan balik terhadap gerakan anti korupsi

telah berhasil.

Pusat studi harus menghindarkan diri dari praktik curang sekecil apapun.

Pepatah lama telah mengingatkan : orang selalu tersandung batu kecil dan bukan

batu besar. Artinya sekecil apapun celah harus dihindari karena serangan

terbesar justru ditujukan pada kesalahan terkecil. Setidaknya terdapat beberapa

kelemahan yang dimiliki oleh kalangan akademisi dan mudah terdeteksi.

Pertama, dunia akademik mempunyai kecenderungan kuat kearah deskripsi dan

penjelasan belaka (teoritis) dan bukannya memberikan resep/solusi bagi

relevansi kebijkan (tidak implementatif). Kedua, data yang dimunculkan

seringkali tak tersedia, kurang lengkap dan tidak akurat.5

Pusat studi bukanlah lembaga yang steril dari kejahatan sehingga segala

praktik buruk akan dengan sangat mudah didentifikasi. Praktik dimaksud antara

lain jual beli hasil kajian dan penelitian pesanan. Dengan legitimasi akademik,

peneliti di kampus bukan tidak mungkin menyalahgunakan hasil kajiannya

untuk kepentingan kelompok tertentu.

5 Ibid, h. 39

Hasil penelitian justru dijadikan alat legitimasi bagi kekuasaan untuk

mengeluarkan kebijakan dan mungkin saja merugikan kepentingan publik yang

sangat besar. Bukan rahasia umum jika pendapat akademisi seringkali menjadi

pembenar bagi sebuah kezaliman. Perdebatan ranah akademik tak jarang

dilatarbelakangi bukan oleh kemurnian keilmuan akan tetapi lebih kepada

kepentingan siapa yang terlebih dahulu “memesan”.

Tidak hanya dari kalangan penguasa, dari kelompok pemodal pun

godaannya tak kalah menggiurkan. Pada sektor swasta kajian akademisi

seringkali digunakan untuk mengkounter perlawanan publik yang muncul.

Pendapat para ahli menjadi senjata ampuh guna meredam gugatan dari

masyarakat ataupun pihak pemerintah. Bahkan keberpihakan kepada kaum

kapitalis telah membunuh idealisme akademik yang begitu mulia yaitu sebesar-

besar untuk kesejahteraan rakyat.6

Untuk itu perlu kiranya pusat kajian menyusun kode etik bersama baik

tertulis maupun tidak tertulis. Selain itu diperlukan kesepahaman untuk

menunjukkan keberpihakan bagi gerakan anti korupsi yang bersandar pada

kepentingan masyarakat. Pusat studi harus terus menjaga konsistensi dalam

bersikap. Konsistensi tersebut sangat ditentukan oleh konsistensi dari personel

yang ada. Kompetisi yang tak sehat dan memunculkan saling tidak percaya harus

dihindari.

Keinginan untuk menahan diri dan menjadi “hebat” sendiri harus dapat

dikendalikan sedemikian rupa. Prinsip satu untuk bersama, bersama untuk satu

menjadi sesuatu yang penting dalam memperkuat integrasi pusat kajian.

Perbedaan pendapat sebagai wujud kebebasan akademik jangan dijadikan

sebagai perpecahan. Sepanjang masih dalam rangka mencapai tujuan bersama

maka perbedaan harus dipandang sebagai bentuk “checks and balances” internal.

Inti dari kebebasan akademik melekat tanggung jawab akademik. Secara

umum kekebasan dan tanggung jawab saling berkaitan karena dalam pengertian

kebebasan sudah termuat tanggung jawab. Kebebasan mengandaikan kewajiban

untuk bertanggung jawab. Semakin manusia menjadi bebas, ia semakin bersedia

6 Zaiyardam Zubir, Terjajah oleh Bangsa Sendiri : Perampasan Tanah Rakyat dan Pemihakan Kaum

Cendikiawan, Orasi ilmiah disampaikan dalam rangka Lustrum Ke XII Universitas Andalas, 2016.

untuk bertanggung jawab. Berkat akal budinya ia dapat meimilih ini atau itu

karena ia mengerti pilihan tersebut dan karena ia bebas memilihnya.7

Persoalan lain yang muncul adalah dalam upaya untuk terus bertahan

hidup maka diperlukan pembiayaan. Kondisi ini kadangkala memaksa pusat

kajian menjadi menjadi lembaga pemburu proyek. Padahal pusat kajian harus

mampu mengendalikan diri dari hal demikian. Jika virus ini telah menjangkit di

pusat kajian maka disanalah awal kematian gerakan anti korupsi. Sikap “project

oriented” pada suatu waktu akan “membunuh” objektivitas akademik. Kewajiban

mengungkap kebenaran tertutupi oleh tawaran finansial yang menggiurkan.

Akhirnya pusat kajian akan menjadi lembaga penjaja proposal dengan

menawarkan proposal kegiatan sebanyak-banyaknya.

Maraknya praktik tawar menawar harga untuk mengerjakan penelitian

menjadi hal yang lazim dilakukan. Tak sedikit lembaga kajian memasang tarif

fantastis untuk sebuah riset. Akibatnya hasil riset menjadi kurang berkualitas

dan malah merepotkan diri sendiri karena kewalahan dalam mempertanggung

jawabkan anggaran yang telah diterima.

Pusat studi dimanapun jelas membutuhkan pembiayaan akan tetapi uang

bukanlah segala-galanya. Dengan tidak bermaksud untuk menafikan

pembiayaan, sudah saatnya pusat kajian di kampus kembali merefleksikan diri

antara kewajiban akademik dan kebutuhan finansial. Secara akademik

sebenarnya dengan pembiayaan ataupun tidak seorang peneliti idealnya tetap

melakukan riset. Yang terjadi sebaliknya, ditentukan dulu tarifnya setelah itu

dilakukan kegiatan penelitian. Inilah kondisi paradox hari ini. Jika terus berlanjut

maka secara alamiah pusat kajian akan mengalami kematian dikarenakan

rusaknya kredibilitas.

Seorang akademisi/peneliti yang profesional harus terus berkarya tanpa

tergantung pada skema pembiayaan dari pihak manapun. Siapapun menyadari

hal ini mustahil dilakukan. Sudah saatnya penelitian lembaga pusat kajian tidak

berorientasi pada pemenuhan pundi-pundi materil semata. Untuk itu para

peneliti harus tetap berpegang teguh pada nilai-nilai moral dalam menjaga

profesionalitas. Jangan sampai pusat studi malah menjadi tempat terjadinya

praktik koruptif.

7 E.Y Kanter, Etika Profesi Hukum, Pendekatan Sosio-Religius, Storia Grafika, 2001, h. 16

Menurut Emil Durkheim setiap komunitas (termasuk komunitas profesi)

harus memiliki nilai- nilai yang disakralkan. Nilai kesakralan adalah nilai-nilai

paling ideal yang mutlak harus ditegakkan karena melalui nilai inilah komunitas

profesi itu dapat mengidentifikasikan diri mereka. Dengan kata lain, nilai

kesakralan merupakan moralitas terdalam (inner morality) yang tidak mungkin

dikesampingkan dengan alasan apapun juga.8

Selain nilai-nilai kesakralan dalam menjalankan profesi terutama sebagai

dosen dan peneliti pada pusat kajian terdapat nilai lain yang juga harus

dijunjung tinggi yakni solidaritas, landasan teori, kekuasaan, ekonomi dan

keterampilan. Shidarta mengurai masing-masing nilai dasar tersebut menjadi :

1. kesakralan meliputi : religious, jujur, bebas, adil, bijaksana;

2. solidaritas : terbuka, pengabdian, keutuhan korps, kolegial;

3. teori : obyektif (kebenaran), Methodologis (taat asas); berwawasan;

4. kekuasaan : tanggung jawab, wibawa, amanah;

5. ekonomi : sederhana, tidak berorientasi materi;

6. keterampilan : cermat dan cakap.

Keenam nilai dasar tersebut dapat dijadikan pegangan bagi seorang

peneliti. Sudah saatnya untuk mulai dipikirkan kembali apakah pusat kajian

masing-masing telah memiliki nilai dasar tersebut.

Di sisi lain sebagai penyandang profesi maka dosen dan peneliti pada

pusat studi/kajian di universitas terikat pada landasan intelektual, standar

kualifikasi, ruang lingkup pekerjaan dan kewajiban untuk mengabdi kepada

masyarakat.9 Manajemen organisai menjadi pengikat bekerjanya nilai-nilai dasar

dimaksud sebaliknya sehebat apapun ilmu manajemen organisasi jika tidak

dilandasi nilai-nilai yang benar maka semuanya hanya menjadi teori.

Ilmu manajemen organisasi sangat dibutuhkan dan berjalan beriringan

dengan nilai-nilai yang ada. Orang bijak selalu mengingatkan : kebajikan yang tak

terorganisir akan dikalahkan oleh kejahatan yang terorganisir. Dalam rangka

mengadopsi nilai dimaksud, sebaik apapun gerakan anti korupsi tanpa

konsolidasi dan manajemen yang baik maka dia akan dikalahkan oleh para

8 Shidarta, Moralitas Profesi Hukum, Refika Aditama, 2006, h. 132. 9 Ibid. h.102

koruptor yang jelas memiliki sumber daya yang luar biasa dan sangat

terorganisir.

Dalam rangka membangun akuntabilitas dan integritas pusat studi

setidaknya dapat mengadopsi sistem yang diterapkan oleh lembaga anti korupsi

pada umumnya. Sistem dimaksud antara lain : 10

1) memiliki sistem dalam menjaga etika para pimpinan dan pegawai;

2) memiliki sistem pengawasan internal dengan aturan dan SOP yang jelas

termasuk disiplin sistem pegawai untuk meminimalisir penyimpangan;

3) memiliki sistem pengawasan eksternal untuk menghindari

penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang

4) memiliki sistem pelaporan yang baik kepada publik termasuk menjaga

komunikasi yang baik dengan publik.

Dengan sistem yang ada, meskipun dalam lingkup yang sederhana maka

diharapkan pengelolaan pusat studi akan semakin profesional dan akuntabel.

Konsolidasi Gerakan Anti Korupsi

Dalam konteks membangun demokrasi dan ekonomi pasca reformasi,

seringkali dunia pendidikan terbawa arus pertarungan pengaruh sebagai agen

perubahan. Bahkan bukan tidak jarang terjadi rebutan dan persaingan tidak

sehat dalam memperjuangkan gagasan masing-masing. Mengingat usia

demokrasi Indonesia yang masih sangat muda tak jarang kebijakan yang lahir

merupakan hasil trial and error dan perguruan tinggi menjadi bagian dari

eksperimen tersebut.

Indonesia saat ini telah menjadi arena terbuka yang memungkinkan bagi

setiap orang, setiap pihak, dengan berbagai gagasan, permintaan, dan kebutuhan

seta kepentingan untuk terlibat dalam proses-proses politik dan pemerintahan.

Kondisi ini memunculkan saling berkompetisi atau kerjasama dan

memperebutkan pengaruh untuk dapat mengarahkan dan mengatur atas kontrol

sumber daya publik yang dikuasai oleh pemerintah.11

10 Op. Cit. Deny Indrayana, h. 65

11 Iskandar Saharudin, Masyarakat sipil, Open Local Government, dan Kolaborasi, dalam buku : Melawan Korupsi Dari Advokasi Hingga Pemantauan Masyarakat, h. 30 diterbitkan oleh Transparancy International Indonesia.

Sebagai arena terbuka, sungguh berbahaya apabila arena tersebut tidak

memiliki aturan main jelas dan tegas. Aturan main yang membangun tatanan

agar tertib, rapi, bersih jujur dan adil. Aturan tersebut harus menjamin arena

yang ada memungkinkan bagi aktor untuk saling bekerjasama dan berkolaborasi

dan bukan berkompetisi secara tidak sehat akibatnya publiklah yang akan

dirugikan. Arena yang dibangun diharapkan mampu membangun interaksi dan

konektivitas yang sehat.12

Di sisi lain dunia penelitian yang digeluti oleh pusat studi harus siap juga

untuk dikritisi antara satu dan yang lainnya apabila melanggar kaidah atau nilai

dasar yang telah diuraikan sebelumnya. Dengan demikian akan terbangun

hubungan yang saling mengawasi dan mengimbangi sehingga menjadi sarana

kontrol bagi siapapun untuk tidak terlibat dalam praktik-praktik yang tidak baik.

Terkhusus bagi pusat kajian yang konsern dalam gerakan anti korupsi

jelas memiliki tantangan yang cukup besar untuk terus bertahan. Selain sebagai

gerakan moral dan hukum, perlawanan terhadap korupsi setidkanya telah

menjelma menjadi gerakan politik. Akibatnya bukan tidak mungkin memiliki

resiko baik secara hukum maupun politik.

Ditengah tingkat kepercayaan publik yang terus menurun terhadap

konsistensi aktivis gerakan antikorupsi kiranya semakin sulit rasanya untuk

terus di dalam garis perjuangan. Tarikan untuk masuk ke dalam sistem guna

melakukan perbaikan justru berbalik arah menjadi jebakan bagi aktivis

antikorupsi terutama yang berasal dari kalangan akademisi.

Tidak hanya itu pilihan untuk bertahan pun semakin sulit di tengah

godaan untuk “memperdagangkan” kajian atau pendapat hukum. Apalagi

kebenaran ilmiah tidaklah absolut, dan jelas menjadi hak prerogratif para

peneliti dan tergantung akan digunakan untuk kepentingan siapa hasil penelitian

dimaksud. Padahal, layaknya seperti Lembaga Swadaya Masyarakat yang

merupakan bagian dari masyarakat sipil maka kepercayaan publik menjadi

sesuatu yang utama. Jika hasil kajian yang disampaikan kepada publik tidak

sesuai dengan fakta atau bahkan menyesatkan maka ia akan kehilangan

legitimasi publik.13

12 Ibid 13 Jeremy Pompe, Strategi Memberantas Korupsi (edisi ringkas), TII, 2003, h. 30

Sebagai gerakan bersama pusat studi kampus tidak boleh sibuk hanya

dengan hasil penelitian dan kajian ilmiah. Para peneliti pusat studi harus turun

gunung untuk mengkampanyekan hasil penelitiannya. Manakala seorang

akademisi telah selesai melakukan pengkajian maka wajib hukumnya untuk

terlibat dalam advokasi gerakan social kemasyarakatan.

Hasil penelitian harus dijadikan alat perubahan dan berkontribusi bagi

perbaikan bangsa dan negara. Hasil pengkajian harus dikampanyekan untuk

terus diperdebatkan dan didiskusikan dalam ruang publik sehingga siapapun

dapat berkontribusi untuk penyempurnaan. Hal tersebut akan memunculkan

sikap bersama untuk melakukan dorongan bagi perbaikan keadaan. Disinilah

konsolidasi gerakan akan terjadi secara sistematis, massif dan terstruktur.

Di sisi lain publikasi dan kampanye hasil penelitian menjadi mimbar

pertanggungjawaban akdemik dan akan mengingatkan si peneliti untuk tidak

main-main dengan penelitian yang dihasilkan. Hasil penelitian tidak hanya untuk

memperbanyak koleksi perpustakaan namun harus menjadi alat perubahan.

Untuk itu diperlukan kolaborasi dengan kalangan masyarakat sipil lainnya

sehingga gerakan anti korupsi akan semakin solid dan kolaboratif.

Kerja-kerja advokasi akan menggiring pusat studi bertindak bak

Organisasi Non Pemerintah. Koalisi dengan organisasi masyarakat sipil sesuatu

yang mutlak dilakukan. Untuk itu sebagai gerakan sosial seperti halnya ornop

maka pusat studi juga harus berperan dalam mengkonsolidasikan gerakan anti

korupsi. Apalagi di tengah pengkotak-kotakan masyarakat saat ini sudah saatnya

peran tersebut dikerjakan bersama dengan kalangan organisasi masyarakat sipil

lainnya.